Anda di halaman 1dari 95

PENERAPAN UANG PAKSA (DWANGSOM)

DALAM PERKARA HADHANAH


(Analisis Putusan Perkara Nomor : 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk


Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

MUHAMMAD AKBAR ALFATHTAA


NIM : 108044100080

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA


PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H / 2015 M
ABSTRAKSI
MUHAMMAD AKBAR ALFATHTAA, 108044100080, Penerapan
Hukuman Dwangsom (Uang Paksa) Dalam Perkara Hadhanah (Analisis
Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS).
Pada perkara di Pengadilan Agama pada dasarnya semua perkara bisa
dikenakan uang paksa/dwangsom (perkawinan, harta bersama, waris, wasiat,
hadhanah, hibah, wakaf, maupun di bidang ekonomi syariah) kecuali terhadap
putusan hakim dalam perkara-perkara tersebut yang hukuman pokoknya berupa
pembayaran sejumlah uang.
Dalam perkara mengenai boleh atau tidaknya menerapkan dwangsom dalam
putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum. Sebagian praktisi
hukum berpendapat bahwa dwangsom ini tidak boleh diterapkan dalam putusan
hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian yang lain berpendapat bahwa
lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan
mencamtumkan dwangsom, pihak tergugat akan memenuhi isi putusan hakim jika ia
mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan
hukuman pokok yang dibebankan kepadanya. Namun demikian, dalam putusan
Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor: 2/Pdt.G/2013/PTA.Mks hakim
menyertakan dwangsom dalam perkara Hadhanah.
Metode yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif, dalam hal ini data bahan hukum primer yaitu Kompilasi
Hukum Islam, dan Burgelijk Wetbok. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan,
bahwa dalam putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar Nomor:
2/Pdt.G/2013/PTA Mks) yang menyertakan dwangsom dalam perkara hadhanah,
sudah memenuhi unsur dibolehkannya tuntutan tambahan uang paksa/dwangsom.
Yang mana legal opinion hakim masuk dalam kriteria dwangsom yaitu: (1)
dwangsom diminta secara tegas oleh pihak berperkara; (2) dwangsom diajukan
bersama-sama dengan hukuman pokok; (3) hukuman pokok yang diminta bukan
berupa pembayaran sejumlah uang; (4) terhukum dalam keadaan mampu dan
memungkinkan untuk melaksanakan hukuman pokok; (5) dwangsom menjadi solusi
efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan.
Kata kunci: Uang paksa (Dwangsom), Hadhanah, Pengadilan Tinggi Agama Agama
Makasar.

Pembimbing: Hj. Rosdiana, M.A/Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam


Negeri Sysarif Hidayatullah Jakarta.

iv
KATA PENGANTAR

    


 

Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini

dengan izin dan karunia Dzat yang selalu memberikan kekuatan kepada penulis;

Allah SWT. Shalawat teriring salam kepada Baginda Nabi Muhammad SAW,

semoga syafaatnya senantiasa tercurah kepada kaum muslimin.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar

Sarjana Syariah (S.Sy) pada Konsentrasi Peradilan Agama, Universitas Islam Negeri.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari

berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan

sebesar-besarnya kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA.

2. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, S.Ag, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag, MH, Dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag, selaku Ketua

dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyah Fakultas Syariah dan Hukum.

4. Bapak JM. Muslimin, Ph.D selaku Dosen Pembimbing Akademik Penulis yang

telah banyak memberikan saran dan nasehat dalam perkuliahan.

5. Ibu Hj. Rosdiana, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang saya cintai.

6. Ayahanda tercinta Drs. Hambali Sahak dan Ibunda tersayang Sulismiani sujud

baktiku kepada kalian atas segala do’a dan pengorbanan kalian selama ini,

v
“Robbighfirlii Waliwaalidayya Warhamhumaa Kamaa Robbayaanii Shoghiiroo”.

Saudaraku tercinta kanda dr. M. Hafiizh Alfarisii, Nenekku tersayang Hj.

Sukarmi yang selalu memberi doa.

7. Sahabat-sahabatku: Rusdi Nurridho, S.Sy, S.H, M Athoilah, S.Sy, S.H, IBM

Andhika, S.Sy, Ali Seto, S.Sy, Udi Wahyudi, S.Sy, Ade Taufik, S.Sy, Fahrur

Rodzy, S.Sy, Mawardi, S.Sy, Monica Lauren, S.Par, Bramantyo Faga, S.Ds, Aby

Respati, S.Kom, canda tawa kalian akan menjadi kenangan terindah dan tak

terlupakan.

8. Teman-teman Mahasiswa PA.B Angkatan 2008 dan teman-teman KKN Malfath

2011 terima kasih untuk kalian semua semoga sukses selalu.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai rujukan

penyusunan skripsi lainnya di masa mendatang. Penulis pun menyadari bahwa skripsi

ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik

demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya.

Jakarta, 19 Maret 2015


Pesilun

aiaMaaMl raMk laMhahMM

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iii

ABSTRAK ............................................................................................................ iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................... v

DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ....................................... 6

C. Tujuan Penelitian ..................................................................... 7

D. Study Review............................................................... ............. 7

E. Manfaat Penelitian ................................................................... 8

F. Metode Penelitian ..................................................................... 9

G. Teknik Penulisan ...................................................................... 11

H. Sistematika Penulisan .............................................................. . 11

BAB II UANG PAKSA (DWANGSOM) DALAM PERKARA

HADHANAH ................................................................................ 13

A. Pengertian Uang Paksa (dwangsom) ...................................... 13

B. Kegunaan Uang Paksa (dwangsom) ........................................ 15

C. Eksistensi Hadhanah Dalam Hukum Islam dan

Hukum Positif .......................................................................... 18


BAB III PROFIL PENGADILAN TINGGI AGAMA MAKASAR ....... 33

A. Histori Pengadilan Tinggi Agama Makassar ........................... 33

B. Struktur Organisasi Pengadilan .............................................. 36

C. Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama

Makassar .................................................................................. 37

BAB IV PENERAPAN UANG PAKSA (DWANGSOM) PADA

PERKARA HADHONAH

(analisis putusan nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS) ...................... 43

A. Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (dwangsom) ........... 43

B. Kategori Perkara Yang Dapat Dijatuhi

Uang Paksa (Dwangsom) ........................................................ 52

C. Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan ................... 56

D. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim

Dalam Menjatuhkan Uang Paksa (Dwangsom)

(Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS) ............................ 57

BAB V PENUTUP ..................................................................................... 66

A. Kesimpulan .............................................................................. 66

B. Saran-saran .............................................................................. 68

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 69

LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Satu di antara persoalan penting yang direkomendasikan dalam Rapat

Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung R.I di Manado tanggal 31 Oktober

2012 yang lalu adalah mengenai penerapan lembaga dwangsom dalam perkara

pengasuhan anak (hadhanah), di mana berdasarkan hasil Rakernas tersebut dalam

perkara pemeliharaan anak (hadhanah) hakim dapat menghukum tergugat untuk

membayar dwangsom. Hal ini dimaksudkan antara lain untuk mengantisipasi

berbagai kesulitan pelaksanaan eksekusi anak yang selama ini kerap terjadi.1

Berbagai masalah dan kesulitan dalam penyelesaian baik pada tahapan

pemeriksaan apalagi saat pelaksanaan eksekusi, karena sampai saat masalah

eksekusi putusan anak masih ada perselisihan dimana ada ahli hukum yang

berpendapat anak tidak dapat di eksekusi sedangkan ahli hukum yang lain putusan

hadhanah dapat di eksekusi. Para ahli hukum yang berpendapat putusan hadhanah

tidak dapat di eksekusi beralasan bahwa selama ini Yurisprudensi yang ada

tentang eksekusi semuanya hanya bidang hukum kebendaan, bukan terhadap

orang. Oleh karena itu eksekusi terhadap anak sesuai dengan kelaziman yang ada

1
Cik Basir, Hakim pada Pengadilan Agama Lubuk Linggau (Sum-Sel) hal ini Rumusan hasil
Rakernas dimaksud selengkapnya menyatakan bahwa pada dasarnya putusan perkara hadhanah dapat
dieksekusi, akan tetapi dalam pelaksanaannya harus memperhatikan kepentingan dan psikologis anak.
Untuk menghindari kesulitan pelaksanaan eksekusi, hakim dapat menghukum tergugat untuk
membayar dwangsom. Lihat Rumusan Hasil Diskusi Kelompok Bidang Peradilan Agama (Komisi II),
(Manado, tanggal 31 Oktober 2012), h.2-3.

1
2

maka tidak ada eksekusinya, apalagi putusan bersifat deklatoir, karena kenyataan

sekarang eksekusi terhadap anak hanya bersifat sukarela. Sedang ahli hukum yang

memperbolehkan eksekusi terhadap anak dapat dijalankan bahwa perkembangan

hukum yang dianut akhir-akhir ini menetapkan bahwa masalah penguasaan anak

yang putusannya bersifat comdennatoir.

Sejauh ini di Pengadilan Agama menerima permohonan dwangsom itu

justru lebih banyak diajukan dalam perkara-perkara sengketa kebendaan,

sedangkan dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah) dapat dikatakan masih

sangat jarang yang disertai dengan tuntutan dwangsom.2

Dari sekian banyak permohonan dwangsom yang diajukan di Pengadilan

Agama selama ini khususnya dalam perkara-perkara sengketa kebendaan

(zakenrecht) ternyata masih sangat jarang yang sampai dikabulkan hakim. Hal ini

tidak dipungkiri disebabkan antara lain karena masih terbatasnya pemahaman

sebagian hakim Pengadilan Agama terhadap eksistensi dan urgensi lembaga

dwangsom itu sendiri di satu sisi dan penerapannya di Pengadilan Agama di sisi

lain.3

Dalam aspek teori dan praktik tuntutan uang paksa (dwangsom) lazim

dijumpai dalam setiap gugatan. Kongkritnya, tuntutan uang paksa merupakan hal

2
Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek. (Bandung: Mandar Maju, 2002), h. 34
3
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia. (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h. 9.
3

wajar dan semestinya diminta oleh pihak penggugat atau para penggugat kepada

pihak tergugat atau para tergugat sebagai upaya tekanan agar nantinya pihak

tergugat atau para tergugat mematuhi, memenuhi dan melaksanakan tuntutan atau

hukuman pokok.4

Uang paksa (Dwangsom) diartikan sebagai hukuman tambahan yang

dibebankan hakim kepada pihak tergugat (terhukum) untuk membayar sejumlah

uang kepada pihak penggugat dengan tujuan agar tergugat (terhukum) bersedia

memenuhi hukuman pokok yang dijatuhkan hakim secara sukarela dalam waktu

yang telah ditentukan.

Sedangkan dari ketentuan Pasal 606a dan 606b Rv setidaknya ada tiga hal

yang perlu dipahami yang merupakan sifat sekaligus sebagai prinsif dasar dari

dwangsom sebagaimana diuraikan oleh Harifin Tumpa:5

Pertama, dwangsom itu bersifat pelengkap (accessoir). Oleh karena

bersifat accessoir maka gugatan mengenai dwangsom hanya dapat dikabulkan

oleh hakim apabila diajukan bersama-sama dengan gugatan pokok. Dengan

perkataan lain gugatan mengenai dwangsom tidak bisa diajukan secara tersendiri

atau terpisah dengan gugatan pokok, ia selalu harus mengikuti gugatan pokok.

Dengan demikian dwangsom tidak mungkin dijatuhkan hakim jika gugatan pokok

4
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan; Hukum
Acara Perdata, Hukum Perdata Materiil, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perkara Perdata
(Bandung: P.T Alumni, 2009), h. 71.
5
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 18-19.
4

tidak dikabulkan. Gugatan mengenai dwangsom hanya dapat dijatuhkan hakim

apabila bersama-sama dengan dijatuhkannya hukuman pokok.

Kedua, dwangsom merupakan hukuman tambahan. Dalam hal ini

dwangsom yang dijatuhkan hakim bersama-sama dengan hukuman pokok hanya

akan diberlakukan terhadap tergugat (terhukum) manakala ia tidak memenuhi

hukuman pokok dalam putusan tersebut. Apabila hukuman pokok dalam putusan

tersebut telah dilaksanakan dan dipenuhi oleh tergugat (terhukum) sebagaimana

mestinya maka dengan sendirinya dwangsom tidak mempunyai kekuatan hukum

lagi sehingga tidak perlu dilaksanakan lagi oleh tergugat. Sebaliknya, manakala

tergugat lalai melaksanakan hukuman pokok, lalu ia hanya memenuhi dwangsom

sebagaimana yang dijatuhkan hakim dalam putusan, pelaksanaan dwangsom

tersebut sama sekali tidak menghapuskan hukuman pokok. Keharusan tergugat

melaksanakan hukum pokok tetap tidak gugur dengan dilaksanakannya

dwangsom.

Ketiga, dwangsom merupakan media untuk memberikan tekanan psychis

(dwaang middelen) kepada terhukum. Hal ini berarti bahwa dwangsom

dimaksudkan untuk memberikan tekanan secara psikis kepada pihak tergugat agar

yang bersangkutan mau melaksanakan putusan hakim secara sukarela. Di sini

kedudukan dwangsom jelas fungsi utamanya adalah sebagai alat untuk menekan

pihak tergugat agar ia mau memenuhi hukuman pokok secara sukarela.6

6
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana Prenada Madia Group, 2008), h. 439.
5

Inilah tiga hal yang merupakan sifat sekaligus prinsif lembaga dwangsom

yang penting untuk diketahui dan dipahami guna memudahkan dalam memahami

eksistensi dan urgensinya dalam praktik Peradilan di Indonesia.

Disisi lain, persoalan mengenai boleh atau tidaknya menerapkan dwangsom

dalam putusan hadhanah masih diperselisihkan oleh para praktisi hukum.

Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa dwangsom ini tidak boleh diterapkan

dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda, sebagian praktisi hukum

yang lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom dapat juga diterapkan dalam

putusan hadhanah karena dengan mencamtumkan dwangsom itu pihak tergugat

akan memenuhi isi putusan hakim jika ia mengetahui ada kewajiban yang harus

dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan hukuman pokok yang dibebankan

kepadanya. Hipotesa atas persoalan ini tampaknya pendapat yang terakhir

menginginkan diterapkan lembaga dwangsom dalam putusan hadhanah apabila

dilihat dari doolmattigheit-nya, lebih-lebih lagi apabila penerapan itu dengan

tujuan kemaslahatan.7

Berdasarkan uraian di atas yang telah dijelaskan, maka penulis tertarik

untuk mengkaji lebih jauh bagaimana penerapan atau implementasi uang paksa

dalam perkara hadhanah. Berangkat dari keingintahuan penulis inilah, penulis

ingin mencoba meneliti dan menguraikan bentuk penulisan skripsi dengan judul:

“Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) Dalam Perkara Hadhanah (Analisis

Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks)”

7
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Pengadilan Agama, h.
438.
6

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Pembahasan mengenai penerapan atau implementasi uang paksa dalam

perkara hadhanah banyak perbedaan antara para ahli hukum, karena masih

banyak ahli hukum yang berbeda pendapat akan hal ini, maka dari

permasalahan ini penulis ingin mengkaji lebih dalam dan memberikan batasan

pada Penerapan Uang Paksa (Dwangsom) Pada Pelaksanaan Putusan hanya

pada Perkara Hadhanah saja (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks) di

Pengadilan Tinggi Agama Makassar.

2. Perumusan Masalah

Perkara Hadhanah yang sering kita temui dalam praktek yang terkadang

kasusnya sangat komplek dan cukup luas jangkauannya dikarenakan

banyaknya pihak tergugat atau yang kalah jarang sekali yang melaksanakan

putusan dari pengadilan, sehingga proses eksekusi terhadap anak sering terjadi

tarik-ulur. Sehingga banyak ahli hukum berpendapat untuk memasukkan

unsur uang paksa (dwangsom) pada perkara hadhanah ini agar memberikan

efek jera pada tergugat, akan tetapi hal psikis anak harus juga diliat berkaitan

eksekusinya, dalam skripsi ini penulis mencoba untuk menganalisis juga

terkait putusan Pengadilan Tinggi Agama Makassar (Putusan Nomor

2/Pdt.G/2013/PTA Mks) yang menyertakan dwangsom dalam perkara

hadhanah. Hal ini lah yang masih menjadi perdebatan para ahli. Berdasarkan

uraian pokok permasalahan di atas, maka penulis mencoba memformulasikan


7

dalam rumusan penelitian ini dengan mengajukan beberapa pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana Dasar Hukum implementasi uang paksa (dwangsom)?

b. Apa saja Kategori Perkara yang dapat dijatuhi uang paksa (dwangsom)?

c. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan uang paksa

(dwangsom) terhadap tergugat dalam perkara hadhanah Analisis Putusan

Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.

C. Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan penulis bertujuan:

1. Untuk mengetahui Dasar Hukum implementasi uang paksa (dwangsom).

2. Untuk mengetahui Apa saja Perkara yang dapat dijatuhi uang paksa

(dwangsom).

3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan uang paksa

(dwangsom) terhadap tergugat dalam perkara hadhanah Analisis Putusan

Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.

D. Review Study

1. Pelaksanaan Eksekusi Sengketa Hadhanah di Pengadilan agama Cikarang,

oleh: RA Didin Dlliyauddin, (109044200003) Tahun 2014.

2. Hak Asuh Anak Akibat Istri Nusuz (Analisis Putusan Pengadilan Agama

Jakarta Timur (Putusan Nomor: 377/Pdt.G/2006/PAJT) oleh: Hadi

Zulkarnain, (106044201462) Tahun 2011.


8

3. Hadhanah Perspektif Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i dan Prakteknya di

Pengadilan Agama Jakarta Selatan (Studi Putusan Pengadilan Agama Jakarta

Selatan No. 1185/Pdt.G/2006/PAJS) oleh: Sabaruddin (204044103057) Tahun

2009.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan memberikan manfaat bagi pihak terkait, yang dalam hal ini

para pihak khususnya yang konsen mengkaji Hukum Acara Perdata.

b. Untuk menambah serta memperdalam ilmu pengetahuan penulis akan hal

Hukum Acara Perdata.

c. Sebagai bahan pertimbangan untuk dijadikan acuan terhadap pembuatan

penelitian yang serupa di masa mendatang.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan wawasan dan pengetahuan bagi masyarakat luas

mengenai hak asuh anak (hadhanah) dan uang paksa (dwangsom).

b. Untuk meningkatkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis serta

mengaplikasikan ilmu yang diperoleh penulis selama studi di Fakultas

Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


9

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi

ini, maka Penulis menggunakan metode:

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah

a. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum

positif.8

b. Penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan

dengan cara mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku,

literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini

menggunakan pendekatan konseptual (Conseptual Approach).9 Pendekatan ini

beranjak dari pandangan-pandang dan doktrin-doktrin yang berkembang

didalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan

dokrtin-doktrin didalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang

melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-

asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi.

8
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2008), h. 294.
9
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta, Kencana, 2011), cet. 7, h. 137.
10

2. Sumber Hukum

Sumber Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

bahan hukum primer yaitu bahan-bahan mengikat yakni, Kompilasi Hukum

Islam, dan Burgelijk Wetbok. Dan sumber data sekunder yaitu bahan-bahan

hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer yang terdiri dari

buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de

herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus

hukum, yurisprudensi.10 Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang

memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain.11

3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan metode

dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkrip,

buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan

sebagainya.12

4. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan

dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan

10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h. 13.
11
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, h. 29.
12
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat, h.
201.
11

untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

Pada penelitian hukum normatif, pengelolahan bahan hukum hakikatnya

merupakan kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan

hukum tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-

bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan

konstruksi.

Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain

a. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur

tentang hukum hak asuh anak serta tentang uang paksa dalam peraturan

perundang-undangan.

b. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut

sehingga menghasilkan klasifikasi tertentu.

G. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada

prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan

skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta tahun 2012.

H. Sistematika Penulisan

Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, Studi review terdahulu,

manfaat penelitian, metode penelitian, teknik penulisan dan sistematika penulisan.


12

Kedua dalam Bab ini menjelaskan tentang Pengertian Uang Paksa

(dwangsom) kemudian tentang Kegunaan Dwangsom dan yang terakhir tentang

Eksistensi Hadhanah dalam Hukum Islam dan Hukum Positif.

Ketiga dalam bab ini penulis menjelaskan tentang Histori Pengadilan

Tinggi Agama Makassar kemudian menjelaskan tentang Struktur Organisasi

Pengadilan Tinggi Agama Makassar dan yang terakhir menjelaskan tentang

Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar.

Keempat dalam bab terakhir ini berisikan tentang Dasar Hukum

Implementasi Uang Paksa (dwangsom) kemudian menjelaskan tentang Kategori

Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (dwangsom) kemudian menjelaskan

tentang Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan dan yang terakhir

tentang Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan

Uang Paksa (dwangsom) (putusan nomor 2/Pdt.G/2013/PTA.MKS).

Kelima dalam bab terakhir ini berisikan tentang kesimpulan dari penulis

beserta saran-saran penulis dan penutup.


BAB II

UANG PAKSA (DWANGSOM) DAN PELAKSANAAN PUTUSAN (EXECUTIE

VERKOOP) HADHANAH

A. Pengertian Uang Paksa (dwangsom)

Hukuman adalah resiko yang ditanggung oleh siapa saja yang melakukan

kesalahan akibat perbuatannya. Hukuman tidak selamanya berbentuk penjara

untuk mengekang dalam arti fisik agar orang itu terasing dari komunitas sosial

dalam pembinaan diri untuk menjadi lebih baik. Hukuman menjadi sebuah sarana

pengendalian sosial (social control) yang efektif dalam pembinaan terhadap orang

yang melakukan kesalahan.

Dalam ranah hukum privat/perdata terdapat hukuman yang disebut “uang

paksa” sebagai uang hukuman bagi seseorang tergugat (orang yang menimbulkan

kerugian bagi orang lain) yang ditetapkan dalam putusan hakim yang sifatnya

komdemnatoir.1

Qudelaar menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi, tuntutan

uang paksa (dwangsom) adalah sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan

1
Ditinjau dari segi sifatnya, terdapat beberapa jenis putusan yang dapat dijatuhkan hakim:
Putusan declatoir atau deklarator adalah yang berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan
atau kedudukan hukum semata-mata, Misalnya putusan yang menyatakan ikatan perkawinan sah,
perjanjian jual beli sah. Putusan Constitutief atau konstitutif (constitutief vonnis) adalah putusan yang
memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang
menimbulkan hubungan hukum baru, misalnya putusan perceraian. Putusan Condemnatoir atau
kondemnator adalah putusan yang memuat amar menghukum salah satu pihak yang berperkara.
Putusan yang bersifat kondemnator merupakan bagian yang tidak terpisah dari amar deklaratif atau
konstitutif. Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 872-
874.

13
14

hakim yang harus dibayar oleh si Terhukum untuk kepentingan pihak lawan

apabila ia tidak memenuhi hukuman pokok.2

Dasar hukum dwangsom dijelaskan dalam Pasal 606a Rv. menentukan:


Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain
dari pada pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan,bahwa sepanjang
atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus
diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan
uang tersebut dinamakan uang paksa.3

Tuntutan uang paksa dalam praktik peradilan perkara perdata di Indonesia

lazim disebut dengan terminology "Dwangsom". Terminology "dwangsom" ini

berasal dari bahasa Belanda, yang merupakan kata absorptie dari bahasa Perancis

yaitu kata "astreinte". Dalam aspek teori dan praktik tuntutan uang paksa

(dwangsom) lazim dijumpai dalam setiap gugatan. Konkritnya, tuntutan uang

paksa merupakan hal wajar dan semestinya diminta oleh pihak Penggugat atau

para Penggugat kepada pihak Tergugat atau para Tergugat sebagai upaya tekanan

agar nantinya pihak Tergugat atau para Tergugat mematuhi, memenuhi dan

melaksanakan tuntutan atau hukuman pokok.4

Penerapan dwangsom (uang paksa) dalam hukum acara perdata berkaitan

dengan amar putusan yang mesti dilaksanakan oleh pihak yang kalah dalam

2
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia: Teori, Praktik,
Teknik Membuat dan Permasalahannya (Bandung: PT. Citra Aditya Abadi, 2009), h. 70.
3
Harifin A.Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (dwangsom) dan Implementasinya di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 17.
4
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Perdata Perspektif Teoritis dan Praktik Peradilan;
HukumAcara Perdata, Hukum Perdata Materiil, Peradilan Hubungan Industrial, Peradilan Perkara
Perdata (Bandung: P.T Alumni,2009), h. 71.
.
15

sengketa perdata terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum

tetap.

Berdasarkan pengertian ini dapat diketahui bahwa sifat dwangsom adalah

sebagai berikut:5

1. merupakan accecoir, tidak ada dwangsom apabila tidak ada hukuman pokok,

apabila hukuman pokok telah dilaksanakan maka dwangsom yang ditetapkan

bersama hukuman pokok tersebut menjadi tidak mempunyai kekuatan lagi;

2. merupakan hukuman tambahan, apabila hukuman pokok yang ditetapkan oleh

hakim tidak dipenuhi oleh Tergugat, maka dwangsom tersebut dapat

dijalankan eksekusi;

3. merupakan tekanan pcychis, dengan adanya hukuman dwangsom yang

ditetapkan oleh putusan hakim dalam putusannya, maka orang yang dihukum

tersebut ditekan secara pcychis agar ia dengan sukarela menjalankan hukuman

pokok yang telah ditentukan oleh hakim.

B. Kegunaan Uang Paksa (dwangsom)

Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar pemeriksaan perkara

perdata adalah gugatan. Oleh karena itu, apabila di dalam gugatan diminta adanya

suatu dwangsom, hakim dapat saja mengabulkannya. Kewenangan ada pada

hakim tingkat pertama, banding maupun kasasi.6 Tentang seberapa jauh hakim

5
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet ke-
5, (Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008), h.230.
6
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 51.
16

agar dapat mengabulkan suatu dwangsom, itu sangat tergantung pada

kebijaksanaan (diskresioner) dari hakim. Tidak harus setiap permintaan

dwangsom yang memenuhi rumusan ketentuan pasal 611a Rv harus dikabulkan

oleh hakim. Hakim pulalah yang mempunyai kewenangan untuk

mempertimbangkan fakta-fakta dan menentukan suatu jumlah uang paksa

(dwangsom).

Adalah suatu sifat yang sangat bijaksana bila hakim mempertimbangkan

kemampuan dr si terhukum (tergugat) didalam menjatuhkan dwangsom. Di

samping itu, dalam menetapkan besarnya uang paksa (dwangsom) hakim

hendaknya juga mempertimbangkan apkah jumlah uang paksa (dwangsom) yang

dijatuhkan itu dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tujuannya, artinya

apakah hukuman dwangsom itu akan sungguh-sungguh merupakan tekanan

psychis bagi terhukum, sehingga si terhukum ini akan dengan sukarela memenuhi

hukuman pokoknya.7

Pembayaran suatu jumlah uang secara paksa (setidak-tidaknya ancaman

untuk melakukan itu) digunakan sebagai alat pemaksa, maka alat pemaksa ini

tidak diperlakukan di dalam hal keputusan itu berupa pembayaran sejumlah uang.

Dengan melihat maksud dan tujuan dari dwangsom tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa dalam eksekusi riil hanya mempunyai 2 unsur, yaitu: 8

7
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 51.
8
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di
Indonesia, h. 21.
17

1. Adanya suatu ancaman (de bedreiging) yang bekerja secara psychis; dan

2. Pelaksanaan secara paksa (de uitvoering geweld).

Sedangkan dwangsom mempunyai unsur yang lebih luas, yaitu:

1. Ancaman yang berasal dari penerapan dwangsom;

2. Berlakunya dwangsom;

3. Tuntutan pelaksanaan dwangsom.

Dengan adanya ancaman dari suatu kemungkinan penerapan dwangsom

yang kemudian diterapkan dan dilaksanakan secara paksa, si berutang diharapkan

melaksanakan secara sukarela apa yang ditentukan dalam hukuman pokok,

sebelum dwangsom betul-betul dilaksanakan.

Dalam rumusan ketentuan pasal 61d Ayat 1 menetukan bahwa hakim yang

telah menjatuhkan dwangsom, dapat menghapuskan, atau menunda untuk suatu

jangka waktu atau mengurangi dwangsom baik mengenai jumlahnya maupun

jangka waktunya, di dalam hal si terhukum tidak mungkin melaksanakan

hukuman pokok. Kemudian Ayat 2 menegaskan bahwa hakim tidak boleh

mengubah suatu dwangsom yang telah berkekuatan hukum, sebelum ternyata

adanya ketidak-mungkinan tersebut.9 Ternyata undang-undang tidak

menjelaskannya. Hal ini tentunya diserahkan sepenuhnya kepada kearifan dari

hakim dan para ahli hukum. Menurut yurisprudensi dan literatur ditemukan dua

kemungkinan sebagai dasar “ketidakmungkinan” tersebut yaitu:

9
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Implementasinya di
Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 39.
18

1. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara materiil/fisik;

2. Tidak mungkin melaksanakan prestasi pokok secara psychis.

C. Eksistensi Hadhanah Dalam Hukum Islam Dan Hukum Positif

1. Menurut Fiqh

Dalam islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Secara etimologis,

hadhanah jamaknya ahdhan atau hudhun terambil dari kata hidhn yaitu

anggota badan yang terletak di bawah ketiak hingga al-kayh (bagian badan

sekitar pinggul antara pusat hingga pinggang). Burung dikatakan hadhanat-

tha’ir baydhahu, manakala burung tidak mengerami telurnya karena dia

mengumpulkan (mengempit) telurnya itu kedalam dirinya di bawah (himpitan

sayapnya).10 Demikian pula sebutan hadhanah diberikan kepada seorang

perempuan (ibu) manakala mendekap (mengemban) anaknya di bawah ketiak,

dada, serta pinggulnya.11

Hadhanah menurut bahasa berarti meletakan sesuatu dekat tulang

rusuk atau di pangkuan.12 Hadhanah juga berarti “di samping” atau berada “di

bawah ketiak”. Sedangkan secara terminologis, hadhanah adalah merawat dan

mendidik seseorang yang belum mumayiz atau yang kehilangan

10
Ahmad Warson, kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), h. 296.
11
Sayyid Sabiq, Fiqhus-Sunnah Jilid 2, (Beirut-Lubhan : Dar al-Fikr, 1973), h. 339.
12
DEPAG RI, Ilmu Fiqh, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek
Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama IAIN Jakarta, 1984/1985. Jilid II, h. 206.
19

kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.13

Dalam kajian fiqh, pemeliharaan anak biasa disebut dengan hadhanah yang

berarti memelihara seorang anak yang belum mampu hidup mandiri yang

meliputi pendidikan segala sesuatu yang diperlukannya baik dalam bentuk

melaksanakan maupun dalam bentuk menghindari sesuatu yang dapat

merusaknya.14

Para ulama fiqh mendefinisikan hadhanah yaitu melakukan

pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan,

atau yang sudah besar tetapi belum tamyiz, menyediakan sesuatu yang

menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan

merusaknya, mendidik jasmani, rohani, akhlaknya agar mampu berdiri sendiri

menghadapi hidup dan memikul tanggung jawab.15

Dalam kitab Subulussalam disebutkan bahwa hadhanah adalah

pemeliharaan anak yang belum mampu berdiri sendiri mengurus dirinya,

pendidikannya serta pemeliharaannya dari segala sesuatu yang

membinasakannya atau membahayakannya.16

Dalam literatur fiqh, hadhanah didefinisikan dalam beberapa

terminologis diantaranya:

13
Amiur Nuruddin, dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2006), h.
293.
14
Ali Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), h. 67.
15
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut : Dar Fikr, 1983), h. 287.
16
Imam Muhammad Ibnu Ismail As-Shan‟ani, Subulussalam Juz III, (Kairo: Dar Ihya Al-
Turas Al-Araby, 1960), h. 227.
20

a. Menurut Sayyid Sabiq:17

Artinya: “Suatu sikap pemeliharaan terhadap anak kecil baik laki-laki


maupun perempuan atau yang kurang akal, belum dapat
membedakan antara baik dan buruk, belum mampu dengan
bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan
sesuatu untuk kebaikan, dan memeliharanya dari sesuatu yang
menyakiti dan membahayakannya, mendidik serta
mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akal, supaya
menegakkan kehidupan sempurna dan bertanggung jawab”.

b. Menurut Qalyubi Dan Umairah:18

Artinya : “Hadhanah ialah menjaga anak yang tidak dapat mengurus

urusannya dan mendidiknya dengan hal-hal yang baik”.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan hadhanah adalah mengasuh atau memelihara anak yang

belum mumayiz supaya menjadi manusia yang hidup sempurna dan

tanggung jawab. Hadhanah diartikan dengan pemeliharaan dan

pendidikan. Yang dimaksud mendidik dan memelihara disini adalah

17
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid II, (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 289.
18
Syeikh Al-syihab Al-Din Al-Qalyubi Wa Al-„Umairah, Al-Mahalli Juz IV, (Kairo: Dar
Wahya Al-Kutub, 1971), h. 88.
21

menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal yang anak-anak itu belum

sanggup mengatur sendiri.19

Menurut Wahbah Al-Zuhaili, hadhanah merupakan hak

bersama antara kedua orang tua serta anak-anak, sehingga apabila

nantinya timbul permasalahan dalam hadhanah, maka yang diutamakan

adalah hak anak.20

Dalam meniti kehidupannya di dunia seorang anak memiliki hak

mutlak yang tidak dapat diganggu gugat. Orang tua tidak boleh begitu saja

mengabaikan lantaran hak-hak anak tersebut termasuk ke dalam salah satu

kewajiban orang tua terhadap anak yang telah digariskan dalam islam,

yakni hadhanah memelihara anak sebagai amanah Allah yang harus

dilaksanakan dengan baik.21

Kewajiban orang tua merupakan hak anak. Menurut Abdul Rozak,

anak mempunyai hak-hak sebagai berikut:22

1) Hak anak sebelum dan sesudah melahirkan.

2) Hak anak dalam kesucian keturunannya.

3) Hak anak dalam pemberian nama yang baik.

4) Hak anak dalam menerima susuan.

19
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), h. 391.
20
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, (damaskus: Dar Al-fikr, 1984), h. 279.

21
Abdur Rozak Kusein, Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Fikahati Aneska, 1995), h. 49.
22
Neng Djubaedah, dkk, Hukum Perkawinan Islam DI Indonesia, (Jakarta: PT. Hecca Utama,
2005), h. 177.
22

5) Hak anak dalam mendapatkan asuhan, perawatan dan pemeliharaan.

6) Hak anak dalam kepemilikan harta benda atau hak warisan demi

kelangsungan hidupnya.

7) Hak anak dalam bidang pendidikan dan pengajaran.

Undang-undang perkawinan saat ini belum mengatur secara

khusus tentang pengawasan anak sehingga pada waktu sebelum tahun

1989, para hakim masih menggunakan kitab-kitab fiqh. Barulah setelah

diberlakukannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan KHI,

masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan

Agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan.23

2. Menurut Hukum Perdata

Pemeliharaan anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata Buku Kesatu hal Orang pada Bab X, XI, dan XIV, Pada pasal 289 bab

XIV Tentang Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang

Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyatakan bahwa setiap anak, berapapun juga umurnya wajib menghormati

dan menghargai kedua orang tuanya. Dalam tinjauan hukum perdata mengenai

siapa yang paling berhak memelihara atau mengasuh anak yang masih di

bawah umur, akibat dari perceraian suami istri adalah kewajiban orang tuanya.

23
Amiur Nuruddin dkk, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006). h.
298-299.
23

Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang masih di

bawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak

membebaskan mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut

besarnya pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan

anak-anak mereka itu.24

Kemudian juga dijelaskan pada pasal 299 bab XIV Tentang

Kekuasaan Orang Tua bagian 1 Akibat-akibat Kekuasaan Orang Tua

Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bahwa

selama perkawinan orang tuanya, sejauh kedua orang tua tersebut tidak

dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Kecuali jika terjadi pelepasan atau

pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang,

bapak sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam

keadaan tidak mungkin untuk melakukan kekuasaan orang tua, kecuali dalam

hal adanya pisah meja atau ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak

berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat seorang wali sesuai

dengan pasal 359. Hal ini terdapat dalam pasal 300 bab XIV Tentang

Kekuasaan Orang Tua Terhadap Pribadi Anak dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata.25

Dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan

Anak, orang tua (bapak ataupun ibu) memiliki hak yang setara dan sama

24
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: sinar Grafika, 2007), h. 72.
25
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, h.76.
24

sebagai orang tua untuk mengasuh, memelihara dan merawat serta melindungi

hak-hak anak. Yang terpenting, kemampuan orang tua untuk mengasuh dan

memelihara anak.26

Mengenai pemeliharaan anak yang masih dibawah umur, diatur dalam

pasal 229 bab X Tentang Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berisikan: “Setelah memutuskan

perceraian, dan setelah mendengar atau memanggil dengan sah para orang tua

atau keluarga sedarah atau semenda dari anak-anak yang dibawah umur,

Pengadilan Negeri akan menetapkan siapa dari kedua orang tua akan

melakukan perwalian atas tiap-tiap anak, kecuali jika kedua orang tua itu

dipecat atau dilepaskan dari kekuasaan orang tua, dengan mengindahkan

putusan-putusan hakim terdahulu yang mungkin memecat atau melepas

mereka dari kekuasaan orang tua.27

Dari uraian tersebut di atas, bahwa setelah adanya kekuasaan orang tua

atau para wali atau yang ditetapkan oleh Pengadilan, kecuali keduanya telah

dipecat dari kekuasaannya, dikarenakan telah melalaikan tugasnya atau

berperilaku tidak baik. Jadi, menurut hukum perdata, bahwa hak memelihara

atau mengasuh anak yang masih kecil tetap berada dalam tanggungan orang

tua baik dari ibu maupun ayah.

26
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2009), h. 211.
27
Soedharyo soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
h. 72.
25

Sebagaimana dijelaskan juga dalam pasal 231 bab X Tentang

Pembubaran Perkawinan pada umumnya dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata,

“Bubarnya perkawinan karena perceraian tidak akan menyebabkan anak-anak


yang lahir dari perkawinan itu kehilangan keuntungan-keuntungan yang telah
dijamin bagi mereka oleh undang-undang atau oleh perjanjian perkawinan
orang tua mereka”.

Menurut pasal tersebut di atas, bahwa hak mengasuh terhadap anak kecil

meskipun orang tua telah terjadi perceraian, tetap berada dalam

tanggungannya, dengan syarat anak tersebut adalah yang dilahirkan atas

perkawinan yang sah.28

3. Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan

KHI

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah

disebutkan tentang hukum penguasaan anak secara tegas yang merupakan

rangkaian dari hukum perkawinan di Indonesia, akan tetapi hukum

pengauasaan anak itu belum diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9

Tahun 1975 secara luas dan rinci. Oleh karena itu, masalah penguasaan anak

(hadhanah) ini belum dapat diberlakukan secara efektif sehingga pada hakim

di lingkungan Peradilan Agama pada waktu itu masih mempergunakan

hukum hadhanah yang tersebut dalam Kitab-Kitab Fiqh ketika memutus

perkara yang berhubungan dengan hadhanah itu. Setelah diberlakukan

28
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
h. 55-56.
26

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Inpres

Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam,

masalah hadhanah menjadi hukum positif di Indonesia dan Peradilan Agama

diberi wewenang untuk menjadi dan menyelesaikannya.29

Kompilasi Hukum Islam juga melakukan antisipasi jika kemungkinan

seorang bayi disusukan kepada perempuan yang bukan ibunya sebagaimana

dikemukakan dalam pasal 104 yaitu:

(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungjawabkan kepada ayah.


Apabila ayahnya meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan
kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya
atau walinya;
(2) Penyusuan dilakukan paling lama dua tahun dan dilakukan penyapihan
dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayahnya.30

Antisipasi ini sangat positif sebab meskipun ibu yang harus menyusui

anaknya tetapi dapat diganti dengan susu kaleng atau anak disusukan oleh

seorang ibu yang bukan ibunya sendiri. Ketentuan ini juga relavan dengan hal

yang terdapat dalam ayat 233 surat Al-Baqarah yang menjadi acuan dalam hal

pemeliharaan anak.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Pasal 41, dapat dipahami bahwa ada perbedaan antara tanggung jawab

pemeliharaan yang bersifat material dengan tanggung jawab pengasuhan.

Pasal 41 ini lebih memfokuskan kepada kewajiban dan tanggung jawab

29
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 428-429.
30
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 149.
27

material yang menjadi beban suami atau bekas suami jika ia mampu, dan

sekiranya tidak mampu Pengadilan Agama dapat menentukan lain sesuai

dengan keyakinannya.31 Dalam kaitan ini, Kompilasi Hukum Islam Pasal 105

menjelaskan secara lebih rinci dalam hal suami istri terjadi perceraian yaitu

(1) pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum berumur 12 tahun

adalah hak ibunya; (2) pemeliharaan anak yang sudah mumayiz diserahkan

diserahkan kepada anak untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai

pemegang hak pemeliharaannya; (3) biaya pemeliharaan ditanggung oleh

ayahnya.32

Pada pasal 48 bab X mengenai Hak dan Kewajiban antara Orang Tua

dan Anak Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

menyatakan orang tua juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau

menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang berumur 18

tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila

kepentingan anak itu menghendakinya.33

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada pasal 98 menyatakan pada ayat:

1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia
21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak tercatat fisik maupun mental
atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

31
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986) h. 149.
32
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo,
2007), h. 138.
33
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus untuk Anggota
ABRI, POLRI, Pegawai Kejaksaan dan Pegawai Negara Sipil, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 14-15.
28

2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan


hukum di dalam dan diluar pengadilan.
3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat
yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang
tuanya tidak mampu.34

Jadi, dengan adanya perceraian, hadhanah bagi anak yang belum

mumayiz dilaksanakan oleh ibunya, sedangkan biaya pemeliharaan tersebut

tetap dipikulkan kepada ayahnya. Tanggung jawab ini tidak hilang meskipun

mereka bercerai. Hal ini sejalan dengan bunyi pasal 34 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dimana dijelaskan bahwa

suami mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan memberi segala

kepentingan biaya yang diperlukan dalam kehidupan rumah tangganya.

Apabila suami ingkar terhadap tanggung jawabnya, bekas istri yang diberi

beban untuk melaksanakan, maka Pengadilan Agama setempat agar

menghukum bekas suaminya untuk membayar biaya hadhanah sebanyak yang

dianggap patut jumlahnya oleh Pengadilan Agama. Jadi, pembayaran itu dapat

dipaksakan melalui hukum berdasarkan putusan Pengadilan Agama.35

Jika orang tua dalam melaksanakan kekuasaannya tidak cakap atau

tidak mampu melaksanakan kewajibannya memelihara dan mendidik anak-

anaknya, maka kekuasaan orang tua dapat dicabut dengan putusan Pengadilan

Agama. Adapun alasan pencabutan tersebut karena: (1) orang tua itu sangat

34
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan agama (Dalam Sistem Hukum
Nasional), (Jakarta: Logos, 1999), h. 189.
35
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 13.
29

melalaikan kewajiban terhadap anaknya; (2) orang tua berkelakuan buruk

sekali, M. Yahya Harahap (1975:216) menjelaskan bahwa orang yang

melalaikan kewajiban terhadap anaknya yaitu meliputi ketidak becusan si

orang tua itu atau sama sekali tidak mungkin melaksanakannya sama sekali,

boleh jadi disebabkan karena dijatuhi hukuman penjara yang memerlukan

waktu lama, sakit uzur atau gila dan berpergian dalam suatu jangka waktu

yang tidak diketahui kembalinya. Sedangkan berkelakuan buruk meliputi

segala tingkah laku yang tidak senonoh sebagai pengasuh dan pendidik yang

seharusnya memberikan contoh yang baik.36

Akibat pencabutan kekuasaan dari orang tua sebagaimana tersebut di

atas, maka terhentinya kekuasaan orang tua itu untuk melakukan penguasaan

kepada anaknya. Jika yang dicabut kekuasaan terhadap anaknya hanya

ayahnya saja, maka dia tidak berhak lagi mengurusi urusan pengasuhan,

pemeliharaan dan mendidik anaknya, tidak berhak lagi untuk mewakili anak

di dalam dan di luar pengadilan.37 Dengan demikian, ibunyalah yang berhak

melakukan pengasuhan terhadap anak tersebut, ibunyalah yang

mengendalikan pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut. Berdasarkan

Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,

36
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama,
(Jakarta: Kencana, 2008), h. 431.
37
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 431.
30

biaya pemeliharaan ini tetap melekat secara permanen meskipun

kekuasaannya terhadap anaknya dicabut.38

4. Dasar Hukum Hadhanah

Islam telah mewajibkan pemeliharaan atas anak sampai anak tersebut

telah mampu berdiri dengan sendirinya tanpa mengharapkan bantuan orang

lain. Oleh karena itu mengasuh anak yang masih kecil adalah wajib karena

apabila anak yang masih dibawah umur dibiarkan begitu saja akan

mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan pengasuhan dan perawatan,

sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai membahayakan. Selain itu, ia

juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari segala hal yang dapat

merusaknya. Dasar hukum hadhanah yaitu:

a. Al-Qur‟an

Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 223:

                

 
                 

               

               

               

Artinya: “ Para ibu hendaklah menyusunkan anak-anaknya selama dua


tahun penuh, yaitu memberi makan dan Pakaian kepada para ibu
38
Soedharyo Soimin, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Sianar Grafika, 2007),
h. 15.
31

dengan cara ma‟ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan


menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah
Karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila
keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas
keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang
lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada
Allah dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan”.

Pada ayat ini, Allah SWT mewajibkan kepada orang tua untuk memelihara

anak mereka, ibu berkewajiban menyusuinya sampai umur dua tahun. Dan

bapak berkewajiban memberikan nafkah kepada ibu. Dibolehkan

mengadakan penyapihan (menghentikan penyusuan) sebelum dua tahun

apabila ada kesepakatan antara kedua orang tua dan mereka boleh

mengambil perempuan lain untuk menyusukan anak tersebut dengan

syarat memberikan upah yang pantas. Hal ini demi keselamatan anak itu

sendiri.39

b. As-Sunnah

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :40

39
Syaikh Hasan Ayyub, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006), h. 392-393.
40
Abu Daud Sulaiman bin Al-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, (Beirut: Daar Fikr, 2003), h.
525.
32

.
Artinya: “Dari hadis yang diriwayatkan oleh Amr bin Syuaib dari
ayahnya, dari kakeknya, Abdullah bin Amr bahwa seorang
perempuan berkata kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya anakku ini telah menjadikan perutku sebagai
tempat (naungan)-nya, air susuku menjadi minumannya, dan
pangkuanku sebagai tempat berteduhnya. Sedangkan ayahnya
telah mentalakku seraya menginginkan untuk mengambilnya
dariku”. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Kamu lebih berhak
terhadapnya selama belum menikah”.

Hadis ini menjelaskan bahwa ibu lebih berhak dari pada bapak

selama ibunya belum menikah lagi. Ibu lebih diutamakan karena

mempunyai kelayakan mengasuh dan menyusui, mengingat ibu lebih

mengerti dan mampu mendidik anak. Kesabaran ibu dalam hal ini lebih

besar dari pada bapak. Waktu yang dimiliki ibu lebih lapang dari pada

bapak. Karena itu, ibu lebih diutamakan demi menjaga kemaslahatan

anak. Jika si ibu telah menikah dengan laki-laki lain, maka hak hadhanah

menjadi hilang.41

41
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Sayyid Sabiq jilid 2, (Jakarta: Al-I‟tishom, 2008), h. 528.
BAB III

PROFIL PENGADILAN TINGGI AGAMA MAKASSAR

A. Histori Pembentukan Pengadilan

1. Masa Sebelum Penjajahan

Pada pemerintahan Raja Gowa III (1637-1653) yang bernama Sultan

Malikus Saleh dibentuk semacam Pengadilan Tinggi Agama, dimana

kepalanya diberi gelar Parewa Syara’ (Pejabat Syari’at) dan bawahannya

disebut IMAM dan dibantu oleh seorang Khatib dan seorang Bilal.1

Pada tahun 1611 Kerajaan Bone menerima agama Islam sebagai

agama resmi dan Raja adalah penghulu tertinggi (Syaikhul Islam). Parewa

Syara’ bertugas sebagai aparat pelayanan bagi masyarakat Islam, seperti

pelaksanaan ibadat, upacara keagamaan, pembinaan dan perawatan bangunan

keagamaan, melayani upacara pernikahan, kematian dan menyelesaikan

perkara-perkara kewarisan.

Parewa Syara’ mendapat nafkah dari zakat fitrah, zakat harta, sedekah Iedul

Fitri dan Iedul Adha, penyelenggaraan mayat, kenduri kerajaan dan

pernikahan.

2. Masa Penjajahan Belanda dan Jepang

Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang Parewa Syara’ tidak

mengalami perubahan sekalipun Kerajaan Bone dan Gowa telah ditaklukkan

1
Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 24 November 2013
pkl. 16.15 wib

33
34

oleh Belanda dan Jepang, penyelesaian masalah perceraian dan kewarisan

tetap ditangani oleh Parewa Syara’.

3. Masa Kemerdekaan

Pada tahun 1957 Pemerintah RI mengeluarkan Peraturan Pemerintah

No. 45 tahun 1957 Lembaran Negara No. 99 tentang Pembentukan Mahkamah

Syari’ah di luar Jawa dan Madura, Kalimantan serta sebagian Kalimantan

Timur. Pada tahun 1958 Menteri Agama menetapkan Penetapan Menteri

Agama Nomor : 5 tahun 1958 tentang pembentukan beberapa Mahkamah

Syari’ah antara lain Mahkamah Syari’ah Propinsi di Makassar yang wilayah

hukumnya meliputi Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara

Timur, Maluku dan Irian Jaya.2

4. Masa berlakunya Undang-undang No. 1 tahun 1974

Setelah Undang-undang Nomor: 1 tahun 1974 berlaku secara efektif

pada tanggal 1 Oktober 1975 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor: 9

tahun 1975, maka Mahkamah Syari’ah Propinsi di Makassar berangsur-angsur

dikurangi wilayah hukumnya hanya meliputi Sulawesi-Selatan dan Tenggara

saja, dan namanya berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang.

5. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989

Pengadilan Tinggi Agama Ujungpandang dikembangkan lagi menjadi

dua Pengadilan Tinggi Agama, yakni Pengadilan Tinggi Agama

Ujungpandang dan Pengadilan Tinggi Agama Kendari berdasarkan Undang-


2
Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 26 maret 2015 pkl. 09.18 wib
35

undang Nomor: 3 tahun 1995, jadi Pengadilan Tinggi Agama Ujung Pandang

hanya mewilayahi Sulawesi Selatan saja dan Pengadilan Tinggi Agama

Kendari mewilayahi Sulawesi Tenggara.

6. Masa Sekarang

Dengan berubahnya nama Kota Ujungpandang menjadi Kota

Makassar pada tahun 2000, maka secara otomatis Pengadilan Tinggi Agama

Ujungpandang berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Makassar. Dan

pada tanggal 30 Juni 2004 Pengadilan Tinggi Agama Makassar berada di

bawah naungan Mahkamah Agung RI berdasarkan Keputusan Presiden RI

Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, Administrasi, dan

Finansial di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara,

dan Peradilan Agama ke Mahkamah Agung yang ditetapkan pada tanggal 23

Maret 2004 yang sebelumnya berada di bawah naungan Departemen Agama

RI.3

Berdasarkan Undang-undang nomor 26 tahun 2004 telah terbentuk

propinsi baru di Sulawesi yakni Sulawesi Barat yang memiliki 5 wilyah

kabupaten. Dengan terbentuknya propinsi baru tersebut, maka Pengadilan

Agama yakni : PA Polewali, PA Mamuju, dan PA Majene masuk menjadi

wilayah Sulawesi Barat. Dengan belum terbentuknya Pengadilan.

3
Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 26 Maret 2015 Pkl. 09.20 wib.
36

B. Struktur Organisasi Pengadilan Tinggi Agama Makassar


37

C. Kedudukan Dan Kewenangan Pengadilan Tinggi Agama Makassar

Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara

yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.

Sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 jo.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yakni menyangkut perkara-

perkara:4

1. Perkawinan;

2. Waris;

3. Wasiat;

4. Hibah;

5. Wakaf;

6. Zakat;

7. Infaq;

8. Shadaqah; dan

9. Ekonomi Syari’ah.

Di samping itu, Pengadilan TInggi Agama juga bertugas dan berwenang

mengadili di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar

Pengadilan.

4
Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 26 Maret 2015 pkl. 09.20 wib
38

Fungsi:

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Tinggi Agama mempunyai

fungsi sebagai berikut :5

1. Memberikan pelayanan teknis yustisial bagi perkara banding.

2. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara banding dan

administrasi peradilan lainnya.

3. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang Hukum Islam

pada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta sebagaimana

diatur dalam pasal 52 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama.

4. Mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan perilaku Hakim,

Panitera, Sekretaris dan Jurusita di daerah hukumnya.

5. Mengadakan pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan

Agama dan menjaga agar peradilan diselenggarakan dengan seksama dan

sewajarnya.

6. Memberikan pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan

Pengadilan Tinggi Agama dan Penagdilan Agama.

7. Melaksanakan tugas-tugas pelayanan lainnya seperti hisab rukyat dan

sebagainya.

Pengadilan Agama Merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas

dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di

5
Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 26 Maret 2015 Pkl. 09.22 wib
39

tingkat pertama antara orang–orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,

kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam serta

waqaf, zakat, infaq dan shadaqah serta ekonomi Syari’ah sebagaimana di atur

dalam Pasal 49 UU Nomor 50 Tahun 2009.

Pengadilan Agama mempunyai dua kewenangan yaitu :

1. Kewenangan relatif

Kewenangan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu

pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat

banding. Artinya, cakupan dan batasan kewenangan relatif pengadilan ialah

meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Kewenangan relatif diartikan sebagai kewenangan pengadilan yang

satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kewenangan

pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara

Pengadilan Negeri Magelang dengan Pengadilan Negeri Purworejo, antara

Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.

Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan Negeri Purworejo satu jenis,

sama-sama lingkungan peradilan umum dan sama-sama pengadilan tingkat

pertama. Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pengadilan Agama Jakarta Selatan,

Pengadilan Agama Jakarta Utara satu jenis, yaitu sama-sama lingkungan

peradilan agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama.6

6
Chatib Rasyid dkk, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada Peradilan Agama,
Yogyakarta : UII Press 2009 h. 26
40

2. Kewenangan absolut

Kewenangan absolut artinya kewenangan pengadilan agama yang

berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan

pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan

atau tingkatan pengadilan. Dalam perbedannya dengan jenis perkara atau

jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya : Pengadilan

agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam

sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kewenangan peradilan umum.

Pengadilan agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam

tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di pengadilan tinggi agama

atau mahkamah agung. Banding dari pengadilan agama diajukan ke

pengadilan tinggi agama, tidak boleh diajukan ke pengadilan tinggi.7

Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, Pengadilan Agama mempunyai fungsi

sebagai berikut :

1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili

dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan

Agama dalam tingkat pertama (vide : Pasal 49 Undang-undang Nomor 3

Tahun 2006).

2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk

kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik

7
Ibid, h. 27-28
41

menyangkut teknis yudicial, administrasi peradilan, maupun administrasi

umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan. (vide :

Pasal 53 ayat (3) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor

KMA/080/VIII/2006).

3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas

pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera

Pengganti, dan Jurusita/ Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar

peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya (vide : Pasal 53

ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006) dan terhadap

pelaksanaan administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (vide:

KMA Nomor KMA/080/VIII/2006).

4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum

Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide

: Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor No. 3 Tahun 2006).

5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis

dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan

umum/perlengakapan) (vide : KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).

6. Fungsi Lainnya :

a. Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan

instansi lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain

(vide: Pasal 52 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006).


42

b. Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan riset/penelitian dan sebagainya

serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi masyarakat dalam era

keterbukaan dan transparansi informasi peradilan, sepanjang diatur dalam

Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007

tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.8

8
Diakses dari website www.pta-makassar.co.id pada tanggal 24 November 2013
pkl.16.15wib
BAB IV

PENERAPAN UANG PAKSA (DWANGSOM)

PADA PERKARA HADHANAH

A. Dasar Hukum Implementasi Uang Paksa (Dwangsom)

1. Dasar Hukum Dwangsom Sebagai Salah Satu Instrumen Pelaksanaan

Putusan Hakim

Ketentuan mengenai lembaga dwangsom ini diatur dalam Reglemen

Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering) atau yang lebih dikenal

dengan singkatan Rv. Keberadaan lembaga dwangsom itu sendiri diatur dalam

Bab V Bagian 3 Rv yakni dalam Pasal 606a dan 606b. Rumusan pasal

tersebut (yang aslinya berbahasa Belanda) menurut Harifin Tumpa sama

bunyinya dengan ketentuan Pasal 611a dan 611b Rv lama Belanda.1 Namun

sebelum membahas lebih jauh rumusan kedua pasal tersebut ada baiknya

dibicarakan terlebih dahulu bagaimana dan mengapa lembaga dwangsom

yang diatur dalam Rv tersebut ternyata masih diberlakukan dan diterapkan

dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan

peradilan umum. Bukankah Rv itu sendiri seperti dinyatakan Supomo sudah

tidak berlaku lagi di Indonesia dengan dihapuskannya Raad Van Justitie dan

Hooggerechtshof, sejak itu yang berlaku sebagai hukum acara perdata di

1
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010). h.52.

43
44

Indonesia hanya HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan R.Bg

(Rechts Reglement Buitengewesten) saja.2

Sementara Mertokusumo menyatakan bahwa Rv itu sudah tidak berlaku

lagi di Indonesia sejak adanya Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951

karena Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang tersebut dengan tegas menyatakan

berlakunya HIR dan RBg, dalam hal ini hukum acara perdata yang dinyatakan

resmi berlaku hanya HIR untuk daerah Jawa dan Madura dan R.Bg untuk

daerah lainnya di Indonesia3.

Hal ini dipertegas pula dengan ketentuan dalam SEMA Nomor:

19/1964 dan SEMA Nomor 3/1965 yang menegaskan tentang berlakukannya

HIR dan RBg. Sedangkan Pasal 393 ayat (1) HIR4 jo. Pasal 721 R.Bg dengan

tegas melarang segala bentuk hukum acara selain yang diatur dalam HIR dan

RBg tersebut. Atas dasar ketentuan pasal dalam HIR dan R.Bg tersebut maka

seharusnya semua ketentuan yang terdapat dalam Rv itu dan termasuk aturan

mengenai lembaga dwangsom tersebut sama sekali sudah tidak berlaku dan

tidak boleh diterapkan lagi. Dengan demikian mengenai lembaga dwangsom

ini sebenarnya dapat dikatakan telah terjadi kekosongan (kevakuman) hukum.

Lalu bagaimana dan mengapa lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv

tersebut ternyata hingga saat ini masih diterapkan dan diberlakukan

2
Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri., (Jakarta: Fasco 1958), h. 11.
3
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. (Yogyakarta: Liberty,1999), h.38.
45

sedemikian rupa dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini Untuk

menjawab pertanyaan tersebut perlu kiranya terlebih dahulu dikemukakan

beberapa pendapat pakar hukum dan juga yurisprudensi Mahkamah Agung

berkaitan dengan hal ini.

Menurut beberapa pakar hukum antara lain Mertokusumo bahwa

meskipun HIR dan R.Bg tidak mengatur mengenai lembaga dwangsom, tetapi

karena dwangsom ini penting bagi penggugat untuk memaksa tergugat

melaksanakan putusan maka tuntutan itu patut dikabulkan sepanjang diminta

oleh penggugat.4 Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Sutanto dan

Oeripkartawinata bahwa walaupun Pasal 393 ayat (1) HIR jo. Pasal 721 R.Bg

melarang segala bentuk hukum acara selain HIR dan R.Bg, tetapi apabila

benar-benar dirasakan perlu dalam perkara perdata dapat digunakan peraturan

lain seperti Rv.5

Demikian juga menurut Harifin Tumpa (Mantan Ketua Mahkamah

Agung) bahwa meskipun Rv sudah tidak berlaku lagi sebagai pedoman

hukum acara perdata di Indonesia, namun karena kebutuhan pada keadaan

tertentu, di mana peraturan-peraturan yang ada tidak memadai maka praktik

peradilan kita masih kadang-kadang harus memakai ketentuan-ketentuan

hukum acara dalam Rv sebagai pedoman termasuk dalam hal lembaga

4
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. h.50
5
Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek. (Mandar Maju, Bandung, 2002), h 8
46

dwangsom ini.6 Pendapat para pakar tersebut dipertegas pula dengan

yurisprudensi Mahkamah Agung tanggal 7 Mei 1967 Nomor: 38 K/SIP/1967

dalam perkara Frederika Melane Hilverdink von Ginkel berlawanan dengan

Leon Johannes, di mana majelis hakim dalam putusan tersebut antara lain

mempertimbangkan sebagai berikut: “Lembaga uang paksa, sekalipun tidak

secara khusus diatur di dalam HIR haruslah dianggap tidak bertentangan

dengan sistem HIR dan berdasarkan penafsiran yang lazim dari pada Pasal

393 HIR dapat diterapkan di pengadilan-pengadilan”.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa diterapkannya lembaga

dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut dalam praktik peradilan di

Indonesia selama ini khususnya di lingkungan peradilan umum ternyata

memang dapat dibenarkan karena tuntutan kebutuhan dalam praktik dan hal

itu dianggap tidak bertentangan dengan sistem HIR maupun R.Bg. Adapun

yang menjadi dasar penerapan lembaga dwangsom tersebut selain

yurisprudensi Mahkamah Agung juga pendapat para pakar hukum (doktrin)

sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

2. Dasar Penerapan Lembaga Dwangsom di Pengadilan Agama

Suatu persoalan yang sering dimunculkan pada beberapa diskusi dalam

penerapan Hukum Acara di Lingkungan Peradilan Agama, adalah dapat atau

tidaknya lembaga dwangsom diterapkan dalam putusan hadhanah oleh hakim.

6
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, ,( Jakarta: Prenada Media Group, 2010). h.50.
47

Sebagian praktisi hukum berpendapat bahwa lembaga dwangsom ini tidak

boleh diterapkan dalam putusan hadhanah karena konteksnya berbeda,

sebagian praktisi hukum antara lain berpendapat bahwa lembaga dwangsom

dapat juga diterapkan dalam putusan hadhanah karena dengan mencantumkan

dwangsom itu pihak tergugat akan mematuhi isi putusan hakim jika ia

mengetahui ada kewajiban yang harus dipenuhi apabila ia tidak melaksanakan

hukuman pokok yang dibebankan padanya. Hipotesa atas persoalan ini,

tampaknya pendapat yang terakhir menginginkan diterapkan lembaga

dwangsom dalam putusan hadhanah apabila dilihat dari doolmattigheit-nya,

lebih-lebih lagi apabila penerapan itu dengan tujuan kemaslahatan.7

Dwangsom merupakan upaya optimalisasi kebijakan hakim dalam

memutus Perkara, telah dipahami bahwa Peradilan Agama ialah salah satu

pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama

Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-

undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.8 Pasal ini menjelaskan

para hakim di Pengadilan Agama berkewajiban untuk memutus dan

menuntaskan setiap perkara yang masuk sesuai dengan peraturan perundang-

undangan tanpa terkecuali dalam bentuk penetapan dan putusan.

7
Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Fakultas Syariah Dan
Hukum UIN, 2013), h. 319-320.
8
Pasal 2 Ayat (1) Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
48

Dalam menjalankan fungsi peradilan ini, para hakim Peradilan Agama

harus menyadari sepenuhnya bahwa tugas pokok hakim adalah menegakan

hukum dan keadilan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam setiap putusan

yang hendak dijatuhkan oleh hakim dalam mengakhiri dan menyelesaikan

suatu perkara, perlu diperhatikan tiga hal yang sangat esensial, yaitu keadilan,

kemanfatan dan kepastian. Ketiga hal ini harus mendapatkan perhatian yang

seimbang dan profesional, meskipun dalam praktik sangat sulit

mewujudkannya.9

Seperti telah diuraikan di atas bahwa lembaga dwangsom telah

diterapkan sedemikian rupa dalam praktik peradilan di Indonesia selama ini.

Diterapkannya lembaga dwangsom yang diatur dalam Rv tersebut dalam

praktik peradilan di Indonesia selama ini khususnya di lingkungan peradilan

umum memang dapat dibenarkan dan dianggap tidak bertentangan dengan

sistem HIR maupun R.Bg. Hal ini selain didasarkan beberapa yurisprudensi

Mahkamah Agung juga sejalan dengan pendapat para pakar hukum berkenaan

dengan hal itu. Namun yang menjadi pertanyaan bagaimana halnya dengan di

lingkungan peradilan agama. Apakah peradilan agama juga berwenang

menerapkan, mengabulkan atau menjatuhkan hukuman dwangsom tersebut

sebagaimana peradilan umum, dan kalau peradilan agama berwenang, apa saja

dasar penerapannya.

9
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Cet ke-5
(Jakarta: Kencana Prenada Madia Group, 2008), h.230
49

Pertanyaan di atas menjadi penting untuk dijawab karena masih banyak

di antara para hakim yang belum cukup memahami eksistensi dan urgensi

lembaga dwangsom itu sendiri dalam konteksnya dengan kompetensi

peradilan, juga disebabkan karena masih banyak di antara para hakim

peradilan agama yang belum cukup yakin bahwa permohonan dwangsom itu

termasuk kewenanganan lingkungan peradilan agama. Bahkan hingga saat ini

masih ada di antara para hakim peradilan agama yang berpendirian bahwa

permohonan dwangsom itu bukan kewenangan peradilan agama. Sehingga

terhadap permohonan dwangsom yang diajukan di pengadilan agama harus

ditolak atau dinyatakan tidak diterima (Niet Ontvankelijke verklaard).10

Untuk mengetahui apakah pengadilan agama berwenang atau tidak

dalam mengabulkan atau menjatuhkan hukuman dwangsom yang diajukan

kepadanya, tentunya harus merujuk pada landasan utama penerapan hukum

acara yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama yaitu ketentuan Pasal 54

Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor: 3 Tahun 2006 dan terakhir diubah

dengan Undang-Undang Nomor: 50 Tahun 2009, yang selengkapnya

menyatakan bahwa: “Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam

lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada

pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur

secara khusus dalam Undang-Undang ini”

10
Cik Basir, Penerapan Lembaga Dwangsom Di Pengadilan Agama, (Makalah Rumusan
Hasil Diskusi Kelompok Bidang Peradilan Agama Komisi II), Manado, tanggal 31 Oktober 2012, h.
17.
50

Berdasarkan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang tersebut dapat

dipahami bahwa hukum acara yang berlaku bagi lingkungan peradilan agama

paling tidak terdiri dari dua bagian yaitu: 11

Pertama, Hukum Acara Perdata sebagaimana yang berlaku di

lingkungan peradilan umum. Dalam hal ini baik yang diatur dalam R.Bg

(Rechts Reglement Buitengewesten), HIR (Het Herziene Inlandsche

Reglement), termasuk beberapa ketentuan yang diatur dalam Rv (Reglement

of de Rechtsvordering), KUH Perdata (BW), UU No.48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, serta beberapa peraturan lain yang berkenaan,

termasuk dalam hal ini ketentuan-ketentuan hukum acara yang bersumber dari

yurisprudensi dan juga diatur dalam beberapa Peraturan Mahkamah Agung

(PERMA) dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang berlaku bagi

peradilan umum dengan sendirinya berlaku juga bagi peradilan agama.

Ketentuan-ketentuan hukum acara tersebut harus dipedomani khususnya

dalam menangani perkara-perkara di luar bidang perkawinan.

Kedua, Hukum Acara yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang

Peradilan Agama itu sendiri. Dalam hal ini khususnya yang menyangkut

pemeriksaan perkara di bidang perkawinan12 sebagaimana dimaksud dalam

11
Cik Basir, Penyelesaikan Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syar’iyah, cet.2, (Jakarta: Prenada Media 2012), h.135-142.
12
Yang dimaksud dengan perkara-perkara di bidang perkawinan adalah perkara-perkara
sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 49 huruf ( a) UU No.3 Tahun 2006 tetang Perubahan
Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
51

Undang-Undang Perkawinan Dalam menangani perkara-perkara di bidang

perkawinan tersebut bagi pengadilan agama tidak cukup hanya berpedoman

pada ketentuan hukum acara yang diatur dalam HIR/R.Bg, Rv dan KUH

Perdata saja. Bahkan dalam beberapa hal menyangkut kompetensi relatif

pengadilan agama misalnya, masalah pemanggilan para pihak, pemeriksaan di

persidangan, pembuktian serta pelaksanaan putusan, pengadilan agama

sepenuhnya harus tunduk dan berpedoman pada ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam Pasal 54 sampai dengan Pasal 91 UU Peradilan Agama serta

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan berikut penjelasannya, PP No.9 Tahun 1975 termasuk beberapa

ketentuan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dengan

demikian khusus dalam menangani perkara-perkara dalam bidang perkawinan

pengadilan agama tidak boleh hanya berpedoman pada hukum acara yang

terdapat dalam HIR/R.Bg, Rv dan atau KUH Perdata saja misalnya,

melainkan harus berpedoman pada ketentuan hukum acara yang telah diatur

secara khusus dalam undang-undang peradilan agama itu sendiri.

Berdasarkan cakupan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Peradilan

Agama yang diuraikan di atas dapat dipahami bahwa oleh karena lembaga

dwangsom tersebut merupakan salah satu lembaga yang diatur dalam Rv yang

berlaku dan diterapkan sedemikian rupa pada pangadilan dalam lingkungan

peradilan umum maka atas dasar ketentuan Pasal 54 Undang-Undang

Peradilan Agama tersebut dengan sendirinya lembaga dwangsom tersebut


52

juga dapat diterapkan dan diberlakukan pada pengadilan dalam lingkungan

peradilan agama.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa penerapan lembaga

dwangsom di lingkungan peradilan agama secara yuridis mempunyai landasan

hukum yang jelas sehingga dapat ditegaskan bahwa lingkungan peradilan

agama secara yuridis berwenang menerapkan, menerima dan mengabulkan

permohonan dwangsom yang diajukan kepadanya. Dengan demikian hakim

peradilan agama dalam hal ini tidak perlu ragu untuk menerapkan atau

memberlakukannya, dalam hal ini menerima dan mengabulkan permohonan

dwangsom sepanjang hal itu memang diminta oleh para pihak dalam

gugatannya dan secara yuridis, sosiologis atau filosofis permohonan tersebut

memang beralasan serta bermanfaat bagi penyelesaian perkara bersangkutan.

B. Kategori Perkara Yang Dapat Dijatuhi Uang Paksa (Dwangsom)

Setelah memahami dasar hukum penerapan lembaga dwangsom di

lingkungan peradilan agama, lalu yang perlu diketahui pula dalam hal ini adalah

mengenai putusan hakim dalam perkara apa saja di lingkungan peradilan agama

yang dapat dijatuhkan dwangsom. Apakah setiap putusan pengadilan agama dapat

dijatuhkan dwangsom, ataukah hanya terhadap putusan tertentu saja.

Selama ini ada kesan seolah-olah penerapan dwangsom di pengadilan

agama hanya terbatas pada putusan hakim dalam perkara pengasuhan anak

(hadhanah) saja, karena hal inilah yang paling sering dibicarakan dalam berbagai
53

kesempatan diskusi atau pelatihan-pelatihan bimbingan tehnis para hakim

peradilan agama selama ini. Padahal tentu sama sekali tidak demikian halnya.

Untuk mengetahui putusan dalam perkara apa saja di lingkungan peradilan

agama yang dapat dijatuhkan dwangsom dapat merujuk pada ketentuan Pasal

606a Rv. Untuk memudahkan memahaminya berikut diketengahkan kembali

ketentuan Pasal 606a Rv tersebut yang terjemahannya berbunyi sebagai berikut:

“Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu

yang lain dari pada membayar sejumlah uang maka dapat ditentukan bahwa

sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya

harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan

hakim dan uang tersebut dinamakan uang paksa (dwangsom).”

Dari ketentuan pasal tersebut jelas bahwa yang dikecualikan dalam

menjatuhkan dwangsom hanya terhadap putusan hakim yang hukuman pokoknya

berupa pembayaran sejumlah uang saja. Artinya, terhadap semua putusan hakim

dalam perkara apapun yang mengandung hukuman dapat dijatuhkan dwangsom,

kecuali hukuman dimaksud berupa pembayaran sejumlah uang. Bahkan dalam hal

ini termasuk kemungkinan eksekusi riil atas suatu putusan sama sekali tidak

menjadi halangan untuk menjatuhkan dwangsom sebagaimana yurisprudensi

Mahkamah Agung Nomor: 244 K/Pdt/2008 tanggal 29 Desember 2008 yang

menegaskan bahwa “kemungkinan eksekusi riil tidak menjadi halangan untuk

menjatuhkan dwangsom. Satu-satunya halangan untuk menjatuhkan dwangsom


54

adalah hukuman pembayaran sejumlah uang”.13 Dengan demikian dalam hal ini

dapat ditegaskan bahwa hanya putusan hakim yang hukuman pokoknya berupa

pembayaran sejumlah uang saja yang tidak dapat dijatuhkan dwangsom, di luar

itu, semua putusan hakim dalam perkara apapun di bidang perdata yang

mengandung hukuman dapat dijatuhkan dwangsom.

Dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 606a Rv tersebut dapat dipahami

bahwa di pengadilan agama semua putusan hakim dalam perkara contentious

yang mengandung hukuman dapat dijatuhkan dwangsom, kecuali terhadap

putusan hakim yang hukuman pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang.

Dengan demikian di pengadilan agama bukan hanya terhadap putusan hakim

dalam perkara pengasuhan anak (hadhanah) saja yang dapat dijatuhkan

dwangsom seperti yang selama ini sering diwacanakan, tetapi semua putusan

hakim yang mengandung hukuman dapat dijatuhkan dwangsom, baik di bidang

perkawinan, harta bersama, waris, wasiat, hadhanah, hibah, wakaf, maupun di

bidang ekonomi syariah, semuanya dapat dijatuhkan dwangsom, kecuali terhadap

putusan hakim dalam perkara-perkara tersebut yang hukuman pokoknya berupa

pembayaran sejumlah uang.14

Lalu apa yang dimaksud dengan hukuman pokok berupa pembayaran

sejumlah uang dalam konteksnya dengan putusan pengadilan agama, dan

mengapa terhadap hukuman tersebut tidak boleh dijatuhkan dwangsom.

13
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h.25-26
14
Cik Basir, Penerapan Lembaga Dwangsom Di Pengadilan Agama, (Makalah Rumusan
Hasil Diskusi Kelompok Bidang Peradilan Agama Komisi II), Manado, tanggal 31 Oktober 2012, h.
22
55

Seperti diketahui unsur penghukuman dalam amar atau diktum putusan

hakim dapat berupa: Menyerahkan sesuatu; Mengosongkan suatu tempat;

Melakukan suatu perbuatan; Tidak melakukan suatu perbuatan; Menghentikan

suatu perbuatan, atau Membayar sejumlah uang. Terhadap putusan yang amar

atau diktumnya yang mengandung unsur penghukuman yang disebut terakhir

inilah yang tidak boleh dijatuhkan dwangsom, yakni apabila hukuman pokok yang

dijatuhkan hakim dalam amar atau diktum putusan tersebut memerintahkan

terhukum (tergugat) agar membayar sejumlah uang kepada pihak yang menang

(penggugat).

Dalam konteksnya dengan putusan hakim di lingkungan peradilan agama

misalnya dalam perkara gugatan isteri atas nafkah yang dilalaikan suaminya atau

nafkah anak atau bisa juga dalam hal gugatan harta bersama dalam bentuk uang.

Misalnya dalam amar putusan hakim menyatakan: Menghukum Tergugat (mantan

suami) untuk membayar nafkah yang dilalaikannya (madhiyah) kepada Penggugat

(mantan isteri) sebesar Rp.100.000.0000,- (seratus juta rupiah); Atau,

Menghukum Tergugat (mantan suami) untuk membayar nafkah anak sebesar

Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) per bulan hingga anak tersebut dewasa. Atau,

Menghukum Tergugat (mantan suami) untuk menyerahkan bagian harta bersama

berupa uang sebesar Rp.100.000.000,- (sertatus juta rupiah) kepada Penggugat

(mantan isteri). Hukuman semacam inilah yang dimaksud dengan hukuman

berupa pembayaran sejumlah uang yang tidak boleh dijatuhkan dwangsom.


56

C. Tata Cara Pengajuan Dwangsom Dalam Gugatan

Penggugat dalam gugatannya dapat mengajukan tuntutan dwangsom

sebagaimana diatur dalam Pasal 606 a Rv dengan ketentuan:

a) tuntutan tentang dwangsom tersebut diajukan bersama-sama dalam

bentuk satu kesatuan dengan gugatan pokok perkara;

b) tuntutan dwangsom tersebut didasarkan kepada posita yang jelas

c) besarnya dwangsom tidak berkenaan dengan gugatan pembayaran

sejumlah uang;

d) tuntutan dwangsom tersebut dicantumkan secara jelas dan tegas secara

petitum.

Apabila tuntutan dwangsom diajukan dalam gugatan hadhanah, maka petitum

gugatan dirumuskan sebagai berikut:

a) mengabulkan gugatan tergugat;

b) menetapkan secara hukum anak atas nama ............... bin/binti

............... berada dibawah asuhan dan pemeliharaan penggugat;

c) menghubungkan tergugat untuk menyerahkan anak atas nama

...............bin/binti kepada penggugat;

d) menghukum tergugat untuk membayar kepada penggugat sebesar Rp

...............(................) setiap hari keterlambatannya melaksanakan

putusan ini terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap;

e) biaya perkara menurut ketentuan yang berlaku.15

15
Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Fakultas Syariah
Dan Hukum UIN, 2013), h. 322.
57

D. Analisis Penulis Terhadap Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Uang

Paksa (Dwangsom) (Putusan Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks)

1. Pertimbangan Hukum Hakim

Menimbang, bahwa penetapan hak hadhanah (pemeliharaan anak)

terhadap dua orang anak tersebut kepada penggugat/terbanding, tidak

mengurangi hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi

secara tetap dengan tergugat/pembanding selaku orang tuanya sebagaimana

diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, demikian juga tidak menghapus kewajiban Tergugat selaku

ayah dalam menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan kedua orang

anaknya tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf b Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 105 huruf c

Kompilasi Hukum Islam;

Menimbang, bahwa sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 791

K/Sip/1972, tanggal 26 Februari 1973 dan No. 307 K/Sip/1976, tanggal 7

Desember 1976 yang mengandung abstrak hukum, bahwa “uang paksa

(dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang dan

harus ditolak dalam hal putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil bila

keputusan yang bersangkutan mempunyai kekuatan yang pasti”, maka

Pengadilan Tinggi Agama berpendapat bahwa mengenai tuntutan

penggugat/terbanding agar menghukum tergugat/pembanding membayar

uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap


58

hari apabila tergugat/pembanding lalai melaksanakan isi putusan, adalah hal

yang dapat dibenarkan dan beralasan mengingat eksekusi anak berbeda

dengan eksekusi riil dan eksekusi pembayaran sejumlah uang yang di

lapangan kadang mendapatkan kendala, diantaranya melalui uang paksa

(dwangsom), oleh karena itu tuntutan penggugat/terbanding a quo dapat

dikabulkan.

Menurut penulis sebagaimana disebutkan Harifin Tumpa dalam

bukunya dalam pertimbangan hukum hakim di atas pada Putusan (Nomor

2/Pdt.G/2013/PTA Mks), hakim dalam menjatuhkan suatu hukuman

dwangsom terhadap tergugat (terhukum) di samping hukuman pokok maka

sebelum menjatuhkan hukuman dwangsom tersebut paling tidak ada 5 (lima)

hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu:

a. Dwangsom Diminta Secara Tegas oleh Pihak Berperkara: Inilah hal

yang pertama-tama harus diperhatikan sebelum menjatuhkan suatu

hukuman dwangsom, bahwa hukuman dwangsom tersebut memang

diminta oleh pihak penggugat secara tegas dalam petitum surat

gugatannya. Hal ini perlu diperhatikan karena hakim tidak dibenarkan

menjatuhkan hukuman dwangsom secara ex officio atau karena

jabatannya (ambtshalve) tanpa diminta melainkan harus atas dasar

permohonan dari para pihak berperkara itu sendiri yang dicantumkan

secara tegas dalam petitum surat gugatannya.16 Jika hakim menjatuhkan

16
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media Group, 2010), h.81
59

hukuman dwangsom tanpa diminta para pihak berperkara jelas hal ini

melanggar asas ultra petita17 yang tentunya tidak dibenarkan dalam

hukum acara perdata.

b. Dwangsom Diajukan Bersama-sama dengan Hukuman Pokok:

Adapun hal kedua yang harus diperhatikan sebelum mengabulkan

permohonan dwangsom, bahwa hukuman dwangsom yang diajukan oleh

penggugat dalam petitum gugatannya bersama-sama dengan gugatan

pokok. Hal ini penting diperhatikan terlebih dahulu karena hukuman

dwangsom hanya mungkin dikabulkan apabila diajukan dalam petitum

gugatan bersama-sama dengan hukuman pokok. Tanpa hukuman pokok

permohonan dwangsom tidak mungkin dan tidak boleh dikabulkan karena

seperti telah dikemukakan di atas bahwa salah satu sifat dwangsom adalah

accessoir, dalam pengertian bahwa keberadaan dwangsom tergantung dan

mengikuti keberadaan hukuman pokok, tidak ada dwangsom tanpa

hukuman pokok.

c. Hukuman Pokok Yang Diminta Bukan Berupa Pembayaran

Sejumlah Uang: Hal ketiga yang harus diperhatikan terlebih dahulu

sebelum mengabulkan permohonan dwangsom, bahwa hukuman pokok

yang diminta dalam perkara tersebut harus bukan berupa pembayaran

17
Ultra Petita dalam hukum acara perdata adalah memutus hal yang tidak diminta atau tidak
dituntut atau memutus lebih dari yang diminta/dituntut, di mana menurut ketentuan Pasal 189 ayat (2)
R.Bg jis. Pasal 178 ayat (3) HIR dan Pasal 50 ayat (3) serta Psl 385 ayat (2) dan (3) RV hakim perdata
dilarang memberi putusan tentang hal-hal yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang
dituntut.
60

sejumlah uang. Hal ini sesuai dengan Penerapan ketentuan Pasal 606a

Rv, di mana dwangsom hanya dapat dijatuhkan terhadap putusan hakim

yang hukuman pokoknya bukan berupa pembayaran sejumlah uang.

Terhadap putusan hakim yang hukuman pokoknya berupa pembayaran

sejumlah uang tidak boleh dan tidak perlu dijatuhkan dwangsom karena

pemenuhan hukumannya dapat diperoleh dengan suatu upaya hukum

biasa dengan melalui executorial beslag kemudian dilakukan penjualan

dengan cara pelelangan sehingga tidak perlu hukuman dwangsom.18

d. Terhukum Dalam Keadaan Mampu dan Memungkinkan untuk

Melaksanakan Hukuman Pokok: Hal selanjutnya yang harus

diperhatikan terlebih dahulu sebelum mengabulkan permohonan

dwangsom adalah bahwa terhukum (tergugat) dalam keadaan mampu dan

memungkinkan untuk memenuhi dan melaksanakan hukum pokok.

Dwangsom tidak boleh dijatuhkan apabila sebelumnya menurut penilaian

hakim debitur atau terhukum (tergugat) tidak akan mampu memenuhi

hukuman pokok misalnya, seorang terhukum (tergugat) dalam amar

putusan ia dihukum untuk mengembalikan suatu barang tidak bergerak

kepada penggugat. Padahal barang dimaksud sudah nyata tidak lagi

berada di bawah penguasaan terhukum (tergugat) tersebut. Dalam

keadaan demikian tentu tidak ada manfaatnya menjatuhkan hukuman

18
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, h.29.
61

dwangsom karena terhukum (tergugat) sudah nyata tidak akan mampu

atau tidak memungkinkan untuk memenuhi hukuman pokok tersebut.19

e. Dwangsom Menjadi Solusi Efektif bagi Penyelesaian Perkara

bersangkutan: Seperti telah diketahui bahwa tujuan utama dijatuhkannya

hukuman dwangsom tidak lain dimaksudkan untuk menjadi solusi yang

efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan manakala pihak terhukum

(tergugat) tidak bersedia memenuhi hukuman pokok secara sukarela

dalam batas waktu yang telah ditentukan. Oleh karena itu sebelum

menjatuhkan hukuman dwangsom hakim perlu memastikan terlebih

dahulu bahwa hukuman dwangsom tersebut benar-benar akan menjadi

solusi yang efektif bagi penyelesaian perkara bersangkutan jika sekiranya

pihak terhukum tidak mau memenuhi hukuman pokok. Dalam hal jumlah

uang paksa (dwangsom) misalnya, seperti dinyatakan Harifin Tumpa

hakim harus memastikan terlebih dahulu bahwa jumlah uang paksa yang

dijatuhkan itu dapat bekerja secara efektif sesuai dengan tujuannya, di

mana dengan hukuman uang paksa sejumlah itu benar-benar akan

menjadi tekanan psikis bagi terhukum (tergugat) sehingga ia akan dengan

sukarela memenuhi hukuman pokok.20

19
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, h. 79
20
Harifin Tumpa, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di
Indonesia, h. 51
62

Dengan adanya syarat-syarat ini menurut penulis maka tuntutan

dwangsom penggugat/terbanding terhadap tergugat/pembanding telah

memenuhi unsur sebagai berikut :

a. Dalam hal poin pertama, dikarenakan selama ini tergugat/pembanding

belum pernah menyerahkan kedua anak ke penggugat/terbanding dalam

pengadilan tingkat pertama. Sehingga dwangsom masuk dalam tuntutan

tegas.

b. Dalam hal poin dua, penggugat/terbanding telah memenuhi unsur karena

dwangsom ini hanya tuntutan penggugat/terbanding karena sudah

memenuhi unsur sebagai tutuntan tambahan dalam pokok perkara

hadhanah.

c. Dalam hal poin tiga, diperhatikan terlebih dahulu sebelum mengabulkan

permohonan dwangsom, bahwa hukuman pokok yang diminta dalam

perkara tersebut harus bukan berupa pembayaran sejumlah uang. Karena

dwangsom merupakan tuntutan tambahan bukan tuntutan pokok sejumlah

uang.

d. Dalam hal poin empat, dikarenakan secara financial dan ekonomi

tergugat/pembanding mampu.

e. Dwangsom merupakan salah satu solusi efektif karena

penggugat/terbanding belum menerima penyerehan hak asuh anak dari

tergugat/pembanding padahal di amar putusan pada tingkat pertama hak

asuh ada pada penggugat/terbanding.


63

2. Amar Putusan Hakim

MENGADILI

Menyatakan permohonan banding pembanding dapat diterima;

DALAM EKSEPSI

 Menyatakan tuntutan provisi dari penggugat/terbanding tidak dapat

diterima;

DALAM PROVISI

 Menolak eksepsi tergugat/pembanding;

DALAM POKOK PERKARA

 Menguatkan putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor

1138/Pdt.G/2012/PA Mks., tanggal 28 November 2012 M., bertetapan

tanggal 14 Muharam 1434 H., yang dimohonkan banding, dengan

perbaikan dan penambahan amar sehingga selengkapnya berbunyi sebagai

berikut :

1. Mengabulkan gugatan penggugat/terbanding ;

2. Menetapkan anak yang bernama Ahmad Farel bin Wawan, umur 5

tahun 7 bulan dan Hilwa Nuratifah binti wawan, umur 4 tahun 6

bulan, berada di bawah hadhanah penggugat/terbanding, Sri Derajat

Tenriola binti A. Abd. Kadir sampai dengan anak tersebut berumur 12

tahun (mumayyiz);
64

3. Menghukum tergugat/pembanding untuk menyerahkan kedua orang

anak tersebut pada petitum angka 2 di atas kepada

penggugat/terbanding ;

4. Menghukum tergugat/pembanding untuk membayar uang paksa

(dwangsom) kepada penggugat/terbanding, sebesar Rp 5.000.000,00

(lima juta rupiah) setiap hari apabila ia lalai melaksanakan isi

putusan tersebut terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap ;

5. Menghukum penggugat/terbanding untuk membayar biaya perkara di

tingkat pertama sebesar Rp 211.000,00 (dua ratus sebelas ribu

rupiah);

6. Menghukum tergugat/pembanding untuk membayar biaya perkara

ditingkat banding sebesar Rp 150.000,- (seratus lima puluh ribu

rupiah).

Menurut penulis dengan diajukan tuntutan dwangsom dalam gugatan

penggugat maka hakim yang memeriksa perkara tersebut dalam memutus

pokok perkara harus pula memberikan putusan terhadap dwangsom ini dengan

mengabulkan atau menolak permohonan tersebut. Majelis hakim dalam

memeriksa tuntutan dwangsom ini harus betul-betul memerhatikan hal-hal

sebagai berikut: (1) beralasan hukum atau tidaknya tuntutan dwangsom itu;

(2) boleh atau tidaknya dwangsom itu ditetapkan dalam perkara tersebut; (3)

kondisional ekonomi melaksanakan tuntutan dwangsom itu. Jika


65

pertimbangan yang dikemukakan ini tidak terpenuhi secara utuh dan

menyeluruh, sebaiknya tuntutan dwangsom tersebut ditolak atau

dikesampingkan. Jadi, putusan hadhanah itu harus tegas dan jelas dengan

amar bersifat declatoir dan comdemnatoir.21

Dari pertimbangan hukum dan amar putusan hakim, penulis melihat

hakim telah memenuhi unsur-unsur dalam penerapan uang paksa (dwangsom)

terhadap tergugat/pembanding. Tentu masih banyak hal lain yang dapat

dijadikan pertimbangan hakim untuk menilai sejauh mana urgensi

dijatuhkannya dwangsom bagi perkara bersangkutan. Hal-hal yang

dikemukakan di atas merupakan beberapa di antaranya yang sudah lazim di

temukan dalam praktik peradilan selama ini. Adapun yang terpenting untuk

dipahami dalam hal ini baik untuk mengabulkan atau menolak suatu

permohonan dwangsom haruslah dipertimbangkan sebagaimana mestinya

sehingga kepentingan hukum yang ingin dicapai dari penerapan dwangsom

bagi perkara bersangkutan benar-benar terwujud dan hukuman dwangsom itu

sendiri memang bermanfaat bagi pihak yang mimintanya, bukan justeru

menimbulkan permasalahan baru bagi penyelesaian perkara bersangkutan.

Semoga dengan adanya dwangsom ini memberi tekanan psikis kepada

tergugat/pembanding agar menjalankan putusan hakim.

21
Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Fakultas Syariah
Dan Hukum UIN, 2013), h. 323.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis penulis pada bab sebelumnya, kesimpulan yang

dapat diambil yaitu :

1. Dasar implementasi dwangsom adalah 606a Rv yang mana dwangsom

merupakan tuntutan uang paksa tambahan terhadap tuntutan pokok perkara

kepada pihak yang kalah apabila lalai dalam menjalankan amar putusan

pengadilan. Dwangsom dalam perkara hadhanah di Peradilan Agama serta

hukum acaranya mengikuti hukum acara Peradilan Umum sebagaimana yang

disebutkan pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989.

2. Dwangsom sebagai upaya memaksimalkan isi putusan hakim dijalankan

dengan sukarela seyogyanya diterapkan dalam putusan hakim, karena dengan

keberadaan dwangsom tersebut dapat menekan secara kejiwaan dan

meminimalisir putusan yang sia-sia (illusoir). Terlebih lagi bila penerapan

dwangsom tersebut didasarkan dengan tujuan kemaslahatan, yaitu mencegah

kemudaratan dan membuka selebar mungkin kemaslahatan-kemaslahatan

yang terdapat dalam putusan hakim, dalam artian mencegah kemungkinan

Tergugat tidak menjalankan isi putusan hakim sebagaimana mestinya. Pada

perkara di Pengadilan Agama pada dasarnya semua perkara bisa dikenakan

uang paksa/dwangsom (Perkawinan, Harta Bersama, Waris, Wasiat,

66
67

Hadhanah, Hibah, Wakaf, maupun di Bidang Ekonomi Syari’ah) kecuali

terhadap putusan hakim dalam perkara-perkara tersebut yang hukuman

pokoknya berupa pembayaran sejumlah uang.

3. Penerapan dwangsom dalam perkara cerai gugat hanya sebatas pada gugatan

isteri yang bersifat kumulatif (penggabungan gugatan), karena pada dasarnya

dalam gugatan ini isteri tidak sekedar menuntut perceraian semata melainkan

tuntutan hak asuh anak juga (Hadhanah) dalam satu surat gugatan. Meskipun

dwangsom dapat diterapkan dalam gugatan kumulatif, namun tidak sertamerta

dapat diterapkan pada seluruh tuntutan hukum, melainkan sebatas pada

tuntutan hukum hak asuh anak . Dwangsom tidak dapat diterapkan bersamaan

dengan penyerahan sejumlah uang, seperti pembayaran nafkah mad’iyah

(nafkah terhutang) atau nafkah anak. Dalam pertimbangan hakim putusan

Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA MKS sudah memenuhi unsur dibolehkannya

tuntutan tambahan uang paksa/dwangsom, yang mana legal opinion hakim

masuk dalam kriteria dwangsom yaitu: (1) dwangsom diminta secara tegas

oleh pihak berperkara; (2) dwangsom diajukan bersama-sama dengan

hukuman pokok; (3) hukuman pokok yang diminta bukan berupa pembayaran

sejumlah uang; (4) terhukum dalam keadaan mampu dan memungkinkan

untuk melaksanakan hukuman pokok; (5) dwangsom menjadi solusi efektif

bagi penyelesaian perkara bersangkutan.


68

B. Saran-Saran

Setelah menelaah dari permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini,

maka ada beberapa hal yang penulis rekomendasikan antara lain:

1. Dwangsom merupakan solusi antisipasi terhadap pihak yang lalai dalam

menjalankan putusan pengadilan, maka dwangsom bisa menjadi alternatif bagi

pihak yang berperkara khususnya di pengadilan agama.

2. Selama ini dwangsom lebih banyak dipakai di perkara Pengadilan Negeri,

maka sudah saatnya hakim di Pengadilan Agama memberikan terobosan

hukum dwangsom, agar putusan di Pengadilan Agama lebih bertaring.

3. Dengan adanya Dwangsom diharapkan menjaga kwalitas perkara yang

diajukan di Pengadilan Agama khusunya, sehingga penerapan dwangsom

dalam putusan menjadi suatu tuntutan tekanan (psikis) terhadap pihak yang

kalah.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qalyubi, Al-syihab Al-Din, Al-Mahalli Juz IV, Kairo : Dar Wahya Al-Kutub, 1971

Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 2006

Aripin, Jaenal, Pengadilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Islam, Jakarta :
Kencana, 2008

Arto, Mukti, Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta :


Pustaka Pelajar, 2003

Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 1996

Ayyub, Hasan, Fiqh Keluarga, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2004

Ayyub, Syaikh Hasan, Fiqh keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2006

Bisri, Cik Hasan, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan agama (Dalam Sistem
Hukum Nasional), Jakarta : Logos, 1999

Djohansyah, J, Mahkamah Agung Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman,


Jakarta : Kesain Blanc, 2008

Djubaedah, Neng, Hukum Perkawinan Islam DI Indonesia, Jakarta : PT. Hecca


Utama, 2005

Hamza, Andi, Kamus Hukum, Jakarta : Ghalia, Indonesia, 1986

Hanitijo Soemitro, Ronny, Metodologi Penelitian Hukum dan Jumetri, Jakarta :


Ghalia Indonesia, 1990

Harahap, Yahya, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2010

69
70

Tumpa, Harifin A, Memahami Eksistensi Uang Paksa (Dwangsom) dan Inplementasinya di


Indonesia, Jakarta : Prenada Media Group, 2010

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif, Malang :


Bayumedia Publishing, 2008

Ismail, Muhammad Ibnu, Subulussalam Juz III, Kairo : Dar Ihya Al-Turas Al-Araby,
1960

Kamarusdiana, Buku Daras Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Fakultas Syariah Dan
Hukum UIN, 2013

Kusein, Abdur Rozak, Hak Anak Dalam Islam, Jakarta : Fikahati Aneska, 1995

Mahmud Marzuki, Peter, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana, 2011

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta :
Kencana Prenada Media Group, 2005
--------------, Beberapa Permasalahan Hukum Acara Perdata Pada Peradilan Agama,
Jakarta : Al-Hikmah, 1997

--------------, Beberapa Tinjauan Mengenai sistem Peradilan dan Penyelsaian


Sengketa, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992

--------------, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia, Medan : Zakir, 2001

--------------, Kedudukan kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Pustaka


Kartini, 1993

--------------, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta : Sinar


Grafika, 2007

Mujahidin, Ahmad, Pembaharuan Hukum Acara Perdata, Peradilan Agama dan


Mahkamah Syariyah Di Indonesia, Jakarta : IKAHI, 2008

Nuruddin, Amiur, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Kencana, 2006


71

Pangaribuan, Luhut MP., Menuju Sistem Peradilan Pengayoman, (suatu catat awal ),
Jakarta : Ghalia Indonesia, 1995

Rasjidi, Lili, Hukum Sebagai Sistem, Jakarta : PT. Remaja Rosdakarya, 1993

Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek, Bandung : Mandar Maju, 2002

Romy H, Soemitro. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990

Sabiq, Sayyid, Fiqh Sunnah Jilid 2, Beirut-Lubhan : Dar al-Fikr, 1973

Saraswati, Rika, Hukum Perlindungan Anak Di Indonesia, Bandung : PT. Citra


Aditya Bakti, 2009

Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Bandung : Alumni,
1992

Simorangkir, Kamus Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2007

Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992

Soimin, Soedharyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta : sinar Grafika,


2007

Sulaiman, Abu Daud bin Al-Sajastani, Sunan Abu Daud Juz I, Beirut: Daar Fikr,
2003

Warson, Ahmad, kamus Al-Munawir Arab – Indonesia, Surabaya : Pustaka Progresif,


1997

Zainuddin, Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2007

Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu Juz VII, damaskus : Dar Al-fikr, 1984
PUTUSAN
Nomor 2/Pdt.G/2013/PTA Mks.
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Tinggi Agama Makassar yang memeriksa dan mengadili


perkara tertentu pada tingkat banding dalam sidang musyawarah majelis telah
menjatuhkan putusan atas perkara yang diajukan oleh :
PEMBANDING, umur 27 tahun, agama Islam, pekerjaan karyawan swasta,
pendidikan terakhir SMA, tempat tinggal di Kota Makassar, dalam
hal ini memberi kuasa kepada kuasa hukumnya, Sri Wahyuningsih,
S.H., Advokat / Penasehat Hukum pada Kontor Hukum Sri
Wahyuningsih,S.H. & Rekan, berkantor di Jalan Topaz Raya Ruko
Zamrud I Blok G No.15, Kelurahan Masale, Kecamatan
Panakkukang, Kota Makassar, berdasarkan surat kuasa khusus
tanggal 4 September 2012, yang telah terdaftar di kepaniteraan
Pengadilan Agama Makassar dengan register
No.464/SK/IX/2012/PA Mks., tanggal 5 September 2012, tergugat /
pembanding;
m e l a w a n
TERBANDING, umur 32 tahun, agama Islam, pekerjaan wiraswasta, tempat
tinggal di Kota Makassar, dalam hal ini memberi kuasa kepada
kuasa hukumnya, Hamka Jarod, S.H., Advokat / Penasehat Hukum
pada Law Offices Advokat dan Penasehat Hukum Hamka Jarod,
S.H., berkantor di Jalan Arif Rahman Hakim No.40 di Makassar,
berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 8 Agustus 2012, yang telah
terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Agama Makassar dengan
register No.432/SK/VIII/2012/PA Mks., tanggal 13 Agustus 2012,
penggugat / terbanding;
Pengadilan Tinggi Agama tersebut ,
Telah membaca dan mempelajari berkas perkara dan semua surat yang
berhubungan dengan perkara ini.

Hlm. 1 dari 15 / Pts .No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


TENTANG DUDUK PERKARANYA
Mengutip segala uraian sebagaimana termuat dalam putusan Pengadilan
Agama Makassar Nomor 1138/Pdt.G/2012/PA Mks., tanggal 28 November 2012
M., bertepatan tanggal 14 Muharam 1434 H., yang amarnya sebagai berikut;
Dalam Eksepsi
- Mengabulkan eksepsi tergugat;
Dalam Provisi
- Menyatakan tidak menerima permohonan provisi penggugat;
Dalam Pokok Perkara
1. Mengabulkan gugatan penggugat ;
2. Menetapkan anak bernama Ahmad Farel bin Wawan, umur 5 tahun dan Hilwa
Nuratifah binti Wawan, umur 4 tahun berada di bawah hadhanah penggugat,
Sri Derajat Tenriola binti A. Abd. Kahar ;
3. Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara, sejumlah
Rp 211.000,00 (dua ratus sebelas ribu rupiah) ;
Membaca Akta Permohonan Banding Nomor 1138/Pdt.G/2012/PA Mks.
yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Makassar, tanggal 11 Desember
2012, yang menyatakan bahwa tergugat / pembanding telah mengajukan
permohonan banding terhadap putusan Pengadilan Agama Makassar tersebut dan
permohonan banding tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawannya secara
seksama pada tanggal 13 Desember 2012 ;
Bahwa tergugat / pembanding telah mengajukan memori banding
bertanggal 26 Desember 2012 yang diterima oleh Panitera Pengadilan Agama
Makassar pada tanggal 3 Januari 2013, dan telah disampaikan kepada penggugat
/ terbanding melalui kuasanya pada tanggal 7 Januari 2013, kemudian terhadap
memori banding tersebut penggugat / terbanding telah mengajukan kontra memori
banding bertanggal 7 Januari 2013 dan telah disampaikan pula kepada tergugat /
pembanding pada tanggal 9 Januari 2013;
Bahwa terhadap kedua pihak telah diberitahukan untuk memeriksa berkas
(inzage), sesuai surat pemberitahuan tanggal 8 Junuari 2013 kepada kuasa hukum
masing-masing pihak, dan berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan Berkas Nomor
1138/Pdt.G/2012/PA Mks. , tanggal 9 Januari 2013, tergugat / pembanding telah
datang memeriksa berkas perkara banding (inzage), sedangkan penggugat /
terbanding telah datang memeriksa berkas perkara banding (inzage) berdasarkan

Hlm. 2 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


Berita Acara Pemeriksaan Berkas Nomor 1138/Pdt.G/2012/PA Mks. , tanggal 10
Januari 2013 ;
TENTANG HUKUMNYA
Menimbang, bahwa oleh karena permohonan banding pembanding
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara-cara serta memenuhi syarat
menurut ketentuan perundang-undangan, maka permohonan banding tersebut
formal harus dinyatakan dapat diterima;
Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama setelah membaca, meneliti,
mempelajari dengan seksama berkas perkara banding yang terdiri dari berita acara
persidangan, surat-surat bukti dan surat-surat lainnya yang berhubungan dengan
perkara ini serta keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh para pihak berperkara,
salinan resmi putusan Pengadilan Agama, dan setelah pula memperhatikan
pertimbangan hukum Pengadilan Agama, maka Pengadilan Tinggi Agama
menyatakan tidak seluruhnya sependapat dengan pertimbangan Pengadilan
Agama tersebut, oleh karena itu Pengadilan Tinggi Agama akan memberikan
pertimbangan sebagai berikut :
DALAM EKSEPSI
Menimbang, bahwa eksepsi tergugat / pembanding sebagaimana yang
diuraikan dalam jawabannya adalah berupa bantahan atas tuntutan provisi
penggugat / terbanding yang bertujuan agar hak asuh kedua orang anak dari
perkawinan penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding diserahkan
kepada penggugat / terbanding sambil menunggu keputusan yang berkekuatan
hukum tetap. Oleh karena tuntutan provisi sudah menyentuh pokok perkara dan
bertentangan dengan tujuan provisi yang hanya berkenaan dengan tindakan
sementara yang tidak termasuk pokok perkara, maka tuntutan penggugat /
terbanding tersebut harus ditolak (vide Putusan Mahkamah Agung No. 1967
K/Pdt/1995, tanggal 4 Juni 1998);
Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Agama atas dasar apa yang
dipertimbangkan sepanjang mengenai eksepsi dalam putusannya telah
mempertimbangkan bahwa eksepsi tersebut sudah membahas pokok perkara maka
pada dasarnya eksepsi tergugat / pembanding tersebut beralasan dan tidak
melawan hukum, sehingga eksepsi tersebut patut dikabulkan, namun Pengadilan
Tinggi Agama dalam hal ini tidak sependapat dengan pertimbangan hukum
Pengadilan Agama tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut :

Hlm. 3 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama menilai eksepsi tergugat /
pembanding tersebut adalah jawaban yang berupa bantahan tergugat / pembanding
atas tuntutan provisi penggugat / terbanding yang bertujuan agar hak asuh kedua
orang anak dari perkawinan penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding
diserahkan kepada penggugat / terbanding sambil menunggu keputusan yang
berkekuatan hukum tetap dan lagi pula akan dipertimbangkan dalam provisi maka
eksepsi tergugat / pembanding a quo harus ditolak, sesuai Yurisprudensi
Mahkamah Agung No. 361 K/Sip/1973, tanggal 30 Desember 1975, yang
mengandung abstrak hukum bahwa “karena tangkisan tergugat / terbanding
tanggal 28 Oktober 1968 bukan merupakan tangkisan dalam arti eksepsi, tetapi
jawaban (verweer), sedang menurut pasal 162 RBg. yang diputus bersama-sama
dengan pokok perkara adalah tangkisan dalam arti kata eksepsi, putusan Hakim
pertama terhadap tangkisan tergugat / terbanding tersebut adalah keliru maka
harus dibatalkan“ ;
Menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan di atas maka Pengadilan Tinggi
Agama tidak dapat menyetujui dan menilai pertimbangan hukum sebagai mana
terurai dalam putusan Pengadilan Agama (hlm. 14 alinea kedua dan ketiga) serta
amar putusan dalam eksepsi adalah tidak tepat dan tidak benar, oleh karenanya
tidak dapat dipertahankan dan selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama menyatakan
menolak eksepsi tergugat / pembanding,
DALAM PROVISI
Menimbang, bahwa penggugat dalam tuntutan provisinya menuntut agar
memerintahkan kepada tergugat / pembanding untuk menyerahkan kedua anak
penggugat / terbanding dan tergugat / pembanding kepada penggugat / terbanding
sambil menunggu putusan berkekuatan hukum tetap, dan menghukum tergugat /
pembanding membayar uang paksa (dwangsom), sebesar Rp 5.000.000,00 (lima
juta rupiah) setiap hari apabila lalai melaksanakan putusan provisi ini;
Menimbang, bahwa tuntutan provisi penggugat menyangkut dua hal yaitu
pertama menuntut menyerahkan kedua anak penggugat / terbanding dan tergugat /
pembanding kepada penggugat / terbanding sambil menunggu putusan
berkekuatan hukum tetap, dan kedua menuntut tergugat / pembanding membayar
uang paksa ( dwangsom ), apabila lalai melaksanakan putusan provisi ini :
Menimbang, bahwa terhadap tuntutan yang pertama sudah masuk pokok
perkara karena memerlukan pembuktian, sedangkan terhadap tuntutan kedua
menyangkut pelaksanaan putusan yang akan dipertimbangkan dalam pokok

Hlm. 4 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


perkara, karena itu putusan Pengadilan Agama dalam provisi dapat dikuatkan
dengan menyatakan tuntutan provisi penggugat / terbanding tidak dapat diterima :

DALAM POKOK PERKARA


Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama setelah pula
memperhatikan pertimbangan hukum Pengadilan Agama, maupun memori
banding pembanding dan kontra memori para terbanding, maka Pengadilan Tinggi
Agama akan memberikan tanggapan terlebih dahulu atas keberatan pembanding
tersebut sebagai berikut ;
Menimbang, bahwa keberatan pembanding pada angka 1 s.d. 5
sebagaimana terurai dalam memori banding a quo, pada dasarnya hanyalah
merupakan pengulangan atas jawaban yang disampaikannya pada waktu
pemeriksaan perkara, dan telah dipertimbangkan dengan cermat oleh hakim
tingkat pertama, sehingga tidak perlu dipertimbangkan lagi oleh Pengadilan
Tinggi Agama, dengan demikian keberatan pembanding a quo tidak dapat
dibenarkan dan harus ditolak ;
Menimbang, bahwa terlepas dari keberatan-keberatan tergugat /
pembanding yang terurai dalam memori bandingnya, maka atas dasar apa yang
telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Agama dalam putusannya adalah telah
tepat dan benar, oleh karenanya Pengadilan Tinggi Agama menyatakan
sependapat dan dapat menyetujui pertimbangan hukum Pengadilan Agama
tersebut dan kemudian diambil alih sebagai pertimbangan hukum sendiri dalam
putusan ini, namun demikian Pengadilan Tinggi Agama memandang perlu untuk
menambah pertimbangan hukum sendiri sebagai berikut ;
Menimbang, bahwa gugatan tentang hadhanah dalam perkara ini pada
pokoknya didasarkan atas dalil bahwa penggugat / terbanding dan tergugat /
pembanding telah bercerai, dimana dua orang anak dari perkawinannya belum
mumayyiz dan belum ditetapkan pemegang hak hadhanahnya, anak pertama
bernama Ahmad Farel bin Wawan berumur 5 (lima) tahun dan anak kedua
bernama Hilwa Nuratifah binti Wawan berumur 4 (empat) tahun, tergugat telah
membatasi dan menghalangi hak penggugat untuk pemeliharaan kedua anak
tersebut, anak pertama hanya ikut bersama penggugat / terbanding pada setiap hari
Senin dan Selasa, sedangkan terhadap anak kedua, tidak pernah lagi diizinkan
oleh tergugat / pembanding untuk bertemu dengan penggugat / terbanding, dan
bahkan saat ini kedua anak tersebut dirahasiakan tempat tinggalnya oleh tergugat /
pembanding ;

Hlm. 5 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


Menimbang, bahwa sesuai pengakuan tergugat / pembanding di depan
sidang dan didukung bukti P.1, P.2 dan P.3 maka ditemukan fakta bahwa
penggugat / terbanding dan tergugat / pembanding pernah menikah pada tanggal 4
September 2006 kemudian bercerai pada tanggal 24 Juli 2012, selama
perkawinannya dikarunai dua orang anak, yaitu Ahmad Farel bin Wawan, lahir
tanggal 20 Juli 2007 atau masih berusia 5 tahun 7 bulan dan anak kedua bernama
Hilwa Nuratifah binti Wawan, lahir tanggal 6 Agustus 2008 atau masih berusia 4
tahun 6 bulan (belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun atau belum mumayyiz),
yang berada dalam penguasaan tergugat / pembanding hingga pada saat putusan
perkara ini diputus di Pengadilan Agama Makassar tanggal 28 November 2012 ;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 66 ayat (5) Undang undang Nomor
7 Tahun 1989 yang telah dirubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 dinyatakan
bahwa permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta
bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak
atau pun sesudah ikrar talak diucapkan, jo. Pasal 86 Undang-undang yang sama
dinyatakan bahwa gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan
harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan
perceraian atau pun sesudah keputusan perceraian memperoleh kekuatan hukum
tetap maka gugatan penggugat / terbanding tersebut berdasarkan hukum dan
karenanya patut dipertimbangkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di persidangan Penggugat menuntut
hak pengasuhan dan pemeliharaan anak (hadhanah), karena secara hukum sejak
penggugat / terbanding bercerai dengan tergugat / pembanding, ternyata dua orang
anak penggugat / terbanding dengan tergugat / pembanding belum mencapai umur
12 (dua belas) tahun atau belum mumayyiz), dan hingga saat ini belum ditetapkan
siapa yang berhak mengasuh dan memeliharanya (belum ditetapkan/diputuskan
siapa pemegang hak hadlonahnya) ;
Menimbang, bahwa sejak terjadinya perceraian tersebut ditemukan pula
fakta bahwa anak pertama yang bernama Ahmad Farel bin Wawan berada dalam
pemeliharaan penggugat / terbanding hanya pada setiap hari Senin dan Selasa,
sedangkan anak kedua yang bernama Hilwa Nuratifah binti Wawan tidak lagi
berada dalam pemeliharaan penggugat / terbanding dan bahkan tidak pernah
dipertemukan dengan penggugat / terbanding sebagai ibu kandungnya, sehingga
secara de fakto kedua anak tersebut hingga kini berada dalam penguasaan tergugat

Hlm. 6 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


/ pembanding sebagai ayah kandungnya, sesuai Pasal 41 huruf a UU No.1 Tahun
1974 yang menyatakan bahwa ”akibat putusnya perkawinan karena perceraian
bahwa baik ibu atau ayah tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusannya”, maka
dengan demikian harus ada kepastian hukum siapa yang berhak menjadi hadhin
(pengasuh dan pemelihara) demi kelangsungan hidup dan kepentingan terbaik
bagi kedua anak tersebut;
Menimbang, bahwa sesuai Pasal 45 ayat (1) dan (2) yang menentukan
bahwa : ”kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban
itu berlaku terus meski perkawinan kedua orang tua putus”, maka dengan
ketentuan ini mempertegas dan memperjelas bahwa kewajiban dan kasih sayang
orang tua terhadap anak-anaknya tidak boleh diputus dan dihalang-halangi meski
pun kedua orang tuanya bercerai dan tidak tinggal satu rumah lagi, dan
penguasaan anak kepada salah satu orang tuanya tidaklah berarti menghalang-
halangi atau memutus hubungannya dengan orang tua yang lainnya dan atau
menjadikan orang tua yang lainnya akan kesulitan untuk bertemu dengan anak,
lagi pula untuk mengakhiri konflik yang berkepanjangan dalam sengketa
hadhanah ini yang jika berlarut-larut akan menimbulkan kemudlaratan bagi
perkembangan kehidupan mental dan psikologi anak ;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, ternyata
keinginan penggugat / terbanding untuk mendidik dan mencurahkan kasih
sayangnya terhadap anak-anaknya yang sekarang ini dibatasi dan bahkan
dihalang-halangi oleh tergugat / pembanding dengan alasan adanya Surat
Pernyataan yang dibuat pada tanggal 21 Juni 2012 sebagai kesepakatan bersama
tentang hak pemeliharaan anak antara penggugat / terbanding dengan tergugat /
pembanding yang dibuat tanpa ada paksaan dari pihak siapa pun yang selama ini
kesepakatan itu sudah dijalankan sebagai mana mestinya, meskipun ada aturan
yang menyatakan bahwa anak yang belum mumayyiz berada dalam pemeliharaan
ibunya, sedangkan penggugat / terbanding menilai kesepakatan tersebut hanyalah
bersifat sementara kemudian harus mengacu pada aturan yang berlaku mengenai
siapa yang berhak untuk melakukan hak hadhanah atas anak, hal mana oleh
Pengadilan Agama dalam putusannya tidak dipertimbangkan lebih lanjut

Hlm. 7 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


mengenai kesepakatan dimaksud, maka Pengadilan Tinggi Agama akan
memberikan pertimbangannya sebagai berikut ;
Menimbang, bahwa dalam Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 dan 1338 KUH
Perdata mengandung “asas kebebasan berkontrak”, bahwa para pihak yang
berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar kesusilaan, ketertiban
umum dan undang-undang, maka dapat disimpulkan bahwa “asas kebebasan
berkontrak” tersebut meliputi :
1) kebebasan membuat perjanjian, memilih dan menentukan causa perjanjian,
menentukan obyek perjanjian, menentukan bentuk suatu perjanjian;
2) kebebasan membuat perjanjian tidak bersifat mutlak atau tidak tak terbatas
tetapi memiliki batasan-batasan yang menyangkut kesepakatan, kecakapan,
i’tikad baik, obyek yang tidak dilarang oleh syara’, dan menegakkan keadilan
dan menghindari kezhaliman;
3) asas keseimbangan para pihak yang membuat perjanjian sehingga tidak
merugikan salah satu pihak dikarenakan salah satu pihak memiliki posisi yang
kuat dan posisi yang lemah pada pihak lain;
4) klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjian harus didasarkan dan
dilaksanakan dengan itikad baik;
Menimbang, bahwa sesuai Putusan Mahkamah Agung RI No. 169
PK/Pdt/2008 tanggal 5 Desember 2008 jo. Putusan No. 442 PK/Pdt/2008, tanggal
23 Desember 2008, kesepakatan kedua pihak yang bersengketa, sehingga tidak
mungkin lagi diatur dengan cara lain, sepanjang kedua belah pihak tidak
menentukan lain, atau kesepakatan itu tidak seimbang/memberatkan salah satu
pihak, dan pada hakekatnya rasa keadilan tidak saja ditinjau dan dilihat dari segi
formal legalistic yang bisa dimungkinkan melalui rekayasa, tetapi harus juga
ditinjau dan dilihat dari segi keadilan substantif dengan mempertimbangkan segi-
segi kondisional yang mempengaruhinya;
Menimbang, bahwa ditemukan fakta, pembuatan surat kesepakatan
bersama berupa Surat Pernyataan yang dibuat tanggal 21 Juni 2012 sebagai
kesepakatan bersama tentang hak pemeliharaan anak antara penggugat /
terbanding dengan tergugat / pembanding ketika penggugat / terbanding
melaporkan tergugat / pembanding ke pihak kepolisian, patut diduga sangat
dipengaruhi oleh kondisi keretakan rumah tangga yang telah mencapai puncaknya
dengan terjadinya perceraian antara keduanya, sehingga suasana batin penggugat /
terbanding berada dalam posisi yang tertekan dan lemah serta tidak bebas

Hlm. 8 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


menyatakan kehendaknya mengenai isi dan substansi dari perjanjian tersebut, dan
perjanjian yang dibuat dibawah tekanan dan dalam keadaan terpaksa adalah
merupakan “misbruik van omstandigheiden”, yang mengakibatkan perjanjian
dapat dibatalkan, karena tidak lagi memenuhi unsur-unsur Pasal 1320
KUH.Perdata, yaitu tidak adanya kehendak yang bebas dari salah satu pihak ( vide
Putusan Mahkamah Agung RI. No. 2356 K/Pdt/2008, Tanggal 18 Februari 2009) ;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas,
ditemukan fakta bahwa causa atau klausul perjanjian yang terdapat dalam Surat
Pernyataan a quo, bertentangan undang-undang dan hukum yang berlaku
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan jo. Pasal 149 huruf d, pasal 156 huruf (d) dan (f) Kompilasi
Hukum Islam, serta melanggar asas kebebasan berkontrak sebagaimana ketentuan
Pasal 1320 ayat (4) jo 1337 dan 1338 KUH Perdata, dan pula merupakan
penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan (misbruik van
omstandigheden) oleh tergugat / pembanding yang menempatkan posisi dan
kedudukan penggugat / terbanding sebagai pihak yang lemah dalam perjanjian
tersebut ;
Menimbang, bahwa atas dasar pertimbangan di atas, maka majelis hakim
menilai bahwa Surat Pernyatan a quo adalah tidak sah menurut hukum sehingga
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi penggugat / terbanding
dengan tergugat / pembanding, oleh karena itu dalil-dalil bantahan tergugat /
pembanding aquo tidak beralasan menurut hukum sehingga harus
dikesampingkan, dan selanjutnya Pengadilan Tinggi Agama akan
mempertimbangkan ada tidaknya alasan atau halangan menurut hukum bagi
penggugat / terbanding dalam penguasaan kedua anak tersebut ;
Menimbang, bahwa pada saat perkara ini diputus, ternyata kedua anak
tersebut berada dalam pemeliharaan tergugat / pembanding dan pula tergugat /
pembanding telah membatasi dan bahkan melarang anaknya tersebut untuk
tinggal bersama atau pun bertemu dengan penggugat / terbanding, maka dengan
sikap tergugat / pembanding tersebut telah mengabaikan dan menghalangi hak-
hak penggugat / terbanding sebagai ibu kandungnya untuk memelihara dan
memberikan kasih sayang sepenuhnya kepada kedua anak tersebut;
Menimbang, bahwa sesuai Pasal 3 Undang-undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa Perlindungan anak bertujuan untuk

Hlm. 9 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera, kemudian dalam
Pasal 1 ayat (1) huruf (a) dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1979 tentang Kesejahteraan Anak, bahwa kesejahteraan anak adalah suatu tata
kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial, dan
anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi
warganegara yang baik dan berguna ;
Menimbang, bahwa sesuai ketentuan Pasal 105 huruf a Kompilasi Hukum
Islam dinyatakan bahwa apabila terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak yang
belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya, karena sesuai
kodratnya seorang ibu yang telah mengandung dan melahirkan mempunyai
kelebihan dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, demikian juga
sebaliknya bagi anak-anak yang belum dewasa terlebih lagi anak perempuan yang
masih balita sangat memerlukan kedekatan psikologis, emosional dan kedekatan
fisik dengan ibu kandungnya, hal mana sejalan dengan pendapat pakar Hukum
Islam dalam Kitab Al Bajuri juz II hal 195 yang selanjutnya diambil alih sebagai
pendapat Pengadilan Tinggi Agama, sebagai berikut :

Artinya : “Apabila seorang laki-laki bercerai dengan isterinya, dan dia mempunyai
anak dari perkawinannya dengan isterinya itu, maka isterinya lebih
berhak untuk memeliharanya” ;
Menimbang, bahwa berdasarkan fakta di persidangan, penggugat /
terbanding sebagai ibu kandung kedua anak tersebut tidak/belum menikah dengan
seorang lelaki lain (belum bersuami) dan pula telah menetap tempat tinggalnya
bersama dengan ibu kandung penggugat / terbanding di Jalan Landak Baru No.94
I, RT.006, RW.003, Kelurahan Banta-bantaeng, Kecamatan Rappocini, Kota
Makassar, sehingga penggugat / terbanding sebagai ibu kandung kedua anak
tersebut telah memenuhi syarat untuk menjadi pengasuh dan pemelihara anaknya,
dalam hal ini Pengadilan Tinggi Agama sependapat dengan Hadits Nabi Riwayat

Hlm. 10 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


Abu Daud yang diambil alih sebagai pendapat Pengadilan Tinggi Agama, sebagai
berikut :

Artinya : “Dari Abdullah bin Amru: Ada seorang wanita bertanya kepada
Rasulullah, "Wahai Rasul, anakku ini dulu keluar dari perutku, susuku
sebagai siraman baginya, dan kuda betina ini baginya sebagai barang
milik. Ayahnya sekarang telah menthalak serta ingin meminta anak ini
dariku." Rasulullah kemudian bersabda kepada sang wanita, "Kamu
lebih berhak atas anakmu selama kamu belum menikah ";
Menimbang, bahwa Pengadilan Tinggi Agama mempertimbangkan pula
bahwa ternyata pada diri penggugat / terbanding tidak terbukti adanya ketidak
cakapan untuk menerima hak sebagai pemegang hak hadlanah terhadap anaknya
tersebut, atau dengan kata lain penggugat / terbanding dipandang layak dan
memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai pemegang hak hadlanah sebagaimana
dimaksud dalam kitab Kifayatul Ahyar juz II halaman 94 sebagai berikut :

Artinya : “Syarat-syarat hadlanah itu ada tujuh, berakal, merdeka, beragama


Islam, menjaga kehormatan, amanah (dapat dipercaya) tinggal di
tempat yang dipilih dan belum menikah dengan laki-laki lain. Jika
tidak terpenuhi salah satu diantara syarat –syarat tersebut maka
gugurlah hak si ibu untuk memelihara anaknya”.
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, telah nyata dalil-dalil gugatan penggugat / terbanding terbukti dan dalam
pemeriksaan perkara ini tidak ternyata terdapat alasan dan atau halangan menurut
hukum bagi penggugat / terbanding sebagai pemegang hak hadhanah terhadap
kedua orang anaknya yang belum mumayyiz tersebut, dan dengan memperhatikan
kepentingan anak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sesuai Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak, maka gugatan penggugat /
terbanding tersebut patut dikabulkan, oleh karenanya pertimbangan Pengadilan

Hlm. 11 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


Agama dalam putusannya dan amar putusan dalam pokok perkara dapat
dipertahankan ;
Menimbang, bahwa penetapan hak hadhanah (pemeliharaan anak)
terhadap dua orang anak tersebut kepada penggugat / terbanding, tidak
mengurangi hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi
secara tetap dengan tergugat / pembanding selaku orang tuanya sebagaimana
diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, demikian juga tidak menghapus kewajiban Tergugat selaku ayah dalam
menanggung biaya pemeliharaan dan pendidikan kedua orang anaknya tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 41 huruf b Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan jo. Pasal 105 huruf c Kompilasi Hukum Islam;
Menimbang, bahwa oleh karena kedua anak penggugat / terbanding
dengan tergugat / pembanding tersebut berada dalam penguasaan tergugat /
pembanding, dan agar jaminan penyelesaian perkara a quo dapat dijalankan sesuai
ketentuan hukum yang berlaku, maka Pengadilan Tinggi Agama secara ex officio
dalam putusan perkara a quo perlu mencamtumkan diktum amar menghukum
tergugat / pembanding untuk menyerahkan kedua anak tersebut kepada penggugat
/ terbanding, meski pun tidak diminta dalam petitum primair, akan tetapi sesuai
dengan petitum subsidair yang meminta putusan seadil-adilnya, berdasarkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 499 K/Sip/1970 tanggal 4 Februari
1970 yang menyatakan “bahwa pengadilan boleh memberi putusan yang melebihi
apa yang diminta dalam hal adanya hubungan yang erat satu sama lainnya”, dalam
hal ini Pasal 189 ayat (3) Rbg. tidak berlaku secara mutlak, sebab Hakim dalam
menjalankan tugas harus bertindak aktif dan selalu berusaha agar memberikan
putusan yang benar-benar menyelesaikan perkara ;
Menimbang, bahwa sesuai Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 791
K/Sip/1972, tanggal 26 Februari 1973 dan No. 307 K/Sip/1976, tanggal 7
Desember 1976 yang mengandung abstrak hukum, bahwa “uang paksa
(dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar uang dan harus
ditolak dalam hal putusan dapat dilaksanakan dengan eksekusi riil bila keputusan
yang bersangkutan mempunyai kekuatan yang pasti “, maka Pengadilan Tinggi
Agama berpendapat bahwa mengenai tuntutan penggugat / terbanding agar
menghukum tergugat / pembanding membayar uang paksa (dwangsom) sebesar
Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap hari apabila tergugat / pembanding lalai
melaksanakan isi putusan, adalah hal yang dapat dibenarkan dan beralasan

Hlm. 12 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


mengingat eksekusi anak berbeda dengan eksekusi riil dan eksekusi pembayaran
sejumlah uang yang di lapangan kadang mendapatkan kendala, sehingga
diperlukan cara khusus untuk memudahkan pelaksanaan eksekusi, diantaranya
melalui uang paksa (dwangsom), oleh karena itu tuntutan penggugat / terbanding
a quo dapat dikabulkan ;
Menimbang, bahwa segala hal yang telah dipertimbangkan oleh
Pengadilan Agama dalam pertimbangannya dan tidak dipertimbangkan lagi oleh
Pengadilan Tinggi Agama atau tidak bertentangan dengan pertimbangan
Pengadilan Tinggi Agama, oleh Pengadilan Tinggi Agama dapat disetujui dan
diambil alih sebagai pertimbangan sendiri;
Menimbang, bahwa dengan tambahan dan perbaikan pertimbangan
tersebut di atas, maka putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor
1138/Pdt.G/2012/PA Mks. tanggal 28 November 2012 M., bertepatan tanggal
14 Muharam 1434 H., dapat dikuatkan dengan perbaikan dan penambahan amar
putusan yang bunyi lengkapnya akan dituangkan dalam diktum putusan ini;
Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang
perkawinan, maka berdasarkan Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, maka biaya
perkara ini dalam tingkat pertama dibebankan kepada Penggugat, dan dalam
tingkat banding dibebankan kepada Pembanding;
Mengingat segala ketentuan peraturan perudang-undangan yang berlaku
dan hukum syara, yang berkaitan dengan perkara ini ;

MENGA DILI

- Menyatakan permohonan banding pembanding dapat diterima;


DALAM EKSEPSI
- Menyatakan tuntutan provisi dari penggugat / terbanding tidak dapat diterima ;
DALAM PROVISI
- Menolak eksepsi tergugat / pembanding ;
DALAM POKOK PERKARA
- Menguatkan putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor
1138/Pdt.G/2012/PA Mks., tanggal 28 November 2012 M., bertepatan tanggal

Hlm. 13 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


14 Muharam 1434 H., yang dimohonkan banding, dengan perbaikan dan
penambahan amar sehingga selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan penggugat / terbanding ;
2. Menetapkan anak yang bernama Ahmad Farel bin Wawan, umur 5 tahun 7
bulan dan Hilwa Nuratifah binti Wawan, umur 4 tahun 6 bulan, berada di
bawah hadhanah penggugat / terbanding, Sri Derajat Tenriola binti A.
Abd. Kadir sampai dengan anak tersebut berumur 12 tahun (mumayyiz);
3. Menghukum tergugat / pembanding untuk menyerahkan kedua orang anak
tersebut pada petitum angka 2 di atas kepada penggugat / terbanding ;
4. Menghukum tergugat / pembanding untuk membayar uang paksa
(dwangsom) kepada penggugat / terbanding, sebesar Rp 5.000.000,00
(lima juta rupiah) setiap hari apabila ia lalai melaksanakan isi putusan
tersebut terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap ;
5. Menghukum penggugat / terbanding untuk membayar biaya perkara di
tingkat pertama sebesar Rp 211.000,00 (dua ratus sebelas ribu rupiah) ;
6. Menghukum tergugat / pembanding untuk membayar biaya perkara di
tingkat banding sebesar Rp. 150.000.- (seratus lima puluh ribu rupiah).
Demikian diputuskan dalam sidang musyawarah majelis hakim
Pengadilan Tinggi Agama Makassar pada hari Senin tanggal 4 Februari 2013 M.,
bertepatan tanggal 23 Rabiulawal 1434 H. yang diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum pada hari itu juga oleh Drs. Bahrussam Yunus, S.H., M.H., sebagai
Ketua Majelis, Drs. H. Wakhidun A.R., S.H., M.H., dan Drs. Masrur, S.H.,
M.H., masing-masing sebagai Hakim Anggota, dibantu oleh Drs. H. Zainudin
Zain, S.H., Panitera Pengganti, tanpa dihadiri oleh para pihak yang berperkara;

Hakim Anggota, Ketua Majelis

ttd ttd

Drs. H. Wakhidun A.R., S.H., M.H Drs. Bahrussam Yunus, S.H., M.H.

ttd

Drs. Masrur, S.H., M.H. Panitera Pengganti,


ttd

Drs. H. Zainudin Zain, S.H.

Hlm. 14 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.


Perincian biaya :

1. Materai : Rp. 6.000,00

2. Redaksi : Rp. 5.000,00

3. Proses penyelesaian perkara : Rp.139.000,00


Jumlah : Rp.150.000,00

Untuk Salinan,
Panitera Pengadilan Tinggi Agama Makassar

Drs.H.Agus Zainal Mutaqien,S.H.

Hlm. 15 dari 15 | Pts.No.2/Pdt.G/2013/PTA Mks.

Anda mungkin juga menyukai