Anda di halaman 1dari 151

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA OUTSOURCING

PADA PT. PKSS CABANG PALEMBANG


Tesis

untuk memnuhi sebagai persyaratan


mencapai derajat Sarjana S-2

Magister Kenotariatan

Diajukan Oleh :

ANGGA ANGGRIAWAN
11/323943/PHK/06872

Kepada

PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
Tesis

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA OUTSOURCING


PADA PT. PKSS CABANG PALEMBANG

Yang dipersiapkan dan disusun oleh :

ANGGA ANGGRIAWAN
11 / 323943 / PHK / 06872

Telah disetujui oleh :

Pembimbing :

Pitaya, S.H, M.Hum. Tanggal ………Januari 2014


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin Segala Puji bagi Allah SWT yang berkat rahmat


dan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Perlindungan
Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pada PT. PKSS Cabang Palembang” yang dibuat
untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam menyelesaikan tesis ini tidak
lepas dari dukungan, bantuan dan doa dari kedua orang tua penulis Sutrisno dan Dian
Anggraini, S.Pdserta pihak lain. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Pratikno, M.Soc., Sc., selaku Rektor Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
2. Dr. Paripurna, SH., M.Hum., LL.M., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
3. Dr. Sutanto, SH., M.S., selaku Ketua Pengelola Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
4. Pitaya, SH., M.Hum., selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu
penulis serta meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, atas segala
kesabaran, arahan, masukan dalam penulisan tesis ini.
5. Dr. Ari Hernawan, SH., M.Hum selaku dosen yang telah banyak membantu
penulis serta meluangkan waktu dalam memberikan arahan, masukan, dan
menyemangati dalam penulisan ini.
6. Bapak Sutrisno selaku sebagai Staff Recruitment dan HRD PT. PKSS, Tbk
Kantor Cabang Palembang yang telah membantu dalam pengurusan izin
penelitian di PT. PKSS, Tbk.
7. Bapak H. Drs. Azizi. S.Hsebagai Pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Provinsi
Sumatera Selatan yang telah memberikan penjelasan mengenai pengaturan dan
pengupahan tenaga kerja di Provinsi Sumatra Selatan.

iv
8. Bapak Erick, Bapak Ryo, Bapak Aris, Ibu Anis dan Ibu Eka selaku nara sumber
yang telah memberikan penjelasan yang dibutuhkan oleh penulis.
9. Seluruh Dosen serta staff akademik Program Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
10. Untuk Kakak Penulis Arief Rahadian, S.E dan Dimas AndriTristya, S.E, yang
banyak memberikan masukan dan semangat.
11. Almamater Penulis, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.
12. Sahabat-sahabat Penulis dari E11 MKN yang banyak memberi semangat.
13. Seluruh teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
14. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan karena keterbatasan yang penulis miliki. Oleh karena itu penulis
bersedia menerima segala bentuk saran, kritik, dan pendapat yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan guna kesempurnaan tesis ini.
Akhirnya penulis mengharapkan semoga tesis ini dapat memberikan manfaat
yang berguna bagi semua pihak yang membutuhkan.

Yogyakarta, Desember 2014


Penyusun

AnggaAnggriawan, SH.

v
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... iv
DAFTAR ISI .............................................................................................. vi
INTISARI ................................................................................................... ix
ABSTRACT ............................................................................................... x

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................. 6
C. Tujuan Penelitian .................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................. 7
E. Keaslian Penelitian ................................................................. 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA


A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ...................................... 10
1. Tempat Pengaturan dan Pengertian Perjanjian .................. 10
2. Asas-Asas Hukum Perjanjian ........................................... 16
3. Syarat Sahnya Perjanjian ................................................... 25
4. Unsur-Unsur Perjanjian ..................................................... 43
5. Wanprestasi ....................................................................... 45
6. Hapusnya Perjanjian .......................................................... 51
7. Somasi ............................................................................... 54
B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kerja ........................... 57
1. Tempat Pengaturan dan Pengertian Perjanjian Kerja ........ 57

vi
2. Unsur-Unsur Perjanjian Kerja .......................................... 59
3. Syarat Sah Perjanjian Kerja .............................................. 61
4. Bentuk dan Isi Perjanjian Kerja ........................................ 64
5. Macam-Macam Perjanjian Kerja ....................................... 66
6. Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Beserta Hak dan
Kewajiban Para Pihak ................................................. 70
7. Berakhirnya Perjanjian Kerja ............................................ 82
C. Tinjauan UmumTentang Outsourcing.................................... 83
1. Pengertian Outsourcing ..................................................... 83
2. Hukum Outsourcing .......................................................... 87
3. Tinjauan Umum Tentang Outsourcing .............................. 88

BAB III : METODE PENELITIAN


A. Jenis Penelitian ...................................................................... 95
B. Bahan Penelitian ..................................................................... 96
C. Lokasi Penelitian .................................................................... 98
D. Subyek Penelitian ................................................................... 99
E. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ...................................... 99
F. Analisis Data .......................................................................... 101
G. Jalannya Penelitian ................................................................. 101
H. Kendala Penelitian .................................................................. 102
I. Cara Mengatasi Kendala Penelitian ....................................... 103

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pada PT.
Prima Karya Sarana Sejahtera (PKSS) Cabang Palembang .... 104
1. Perlindungan terkait dengan waktu kerja, waktu lembur,
waktu istirahat, dan cuti ..................................................... 105
2. Pelindungan Pengupahan .................................................. 109
3. Perlindungan terhadap Jaminan Sosial Tenaga Kerja

vii
(Jamsostek) ........................................................................ 118
4. Perlindungan terkait pengadaan seragam .......................... 120
5. Perlindungan terkait dengan Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK)....................................................................... 120

B. Bentukwanprestasi yang dilakukan para pihak dalam


praktik Outsourcing di PT. PKSS .......................................... 125
1. Wanprestasi yang dilakukan oleh pekerja Outsourcing
dalam PKWT ..................................................................... 126
2. Wanprestasi yang dilakukan oleh PT. PKSS dalam
PKWT dengan pekerja Outsourcing dan perjanjian kerja
dengan perusahaan pengguna jasa pekerja ........................ 129
3. Wanprestasi yang dilakukan oleh pengguna jasa pekerja
(user) dalam kerja dengan PT. PKSS ................................ 133

C. Upayahukum yang dilakukanolehpekejaoutsourcing dalam hal


PT. PKSS melakukan wanprestasi .......................................... 133

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 135
B. Saran ........................................................................................ 136

viii
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA OUTSOURCING PADA PT.
PKSS CABANG PALEMBANG

Angga Anggriawan1 dan Pitaya2

INTISARI

Penelitian dengan judul ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hokum


bagi pekerja outsourcing, mengetahui bentuk wanprestasi yang dilakukan parapi hak
dalam praktek outsourcing di PT. PKSS, serta untuk mengetahui upaya hukum yang
dilakukan oleh para pekerja outsourcing dalam hal PT. PKSS melakukan wanprestasi.
Penelitian ini dilakukan pendekatan yuridis dan empiris. Data yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data
penelitian kepustakaan dengan teknik studi dokumenter. Subyek penelitian ini dibagi
dua, yaitu responden dan narasumber. Responden terdiri dari 5 (lima) pekerja
outsourcing yang telah bekerja di perusahaan outsourcing minimal 1 (satu) tahun dan
pejabat PT. PKSS. Narasumber terdiri dari pimpinan perusahaan pemakai jasa
pekerja outsourcing dan pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Sosial Provinsi Sumatera
Selatan. Penelitian responden menggunakan teknik non probality sampling. Jenis
pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling. Data yang diperoleh
dianalisa dengan carakualitatif-komparatif.
Hasil Penelitian menunjukan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu tetap
tidak mencantumkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja yang
obyek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa
pekerja di PT. PKSS. Para pihak juga melakukan wanprestasi berupa melaksanakan
apa yang diperjanjikan tapi tidak melaksankan apa yang disanggupi akan dilakukan
dalam praktek outsourcing di PT. PKSS. Upaya hukum yang dilakukan oleh pekerja
outsourcing dalam hal PT. PKSS melakukan wanprestasi adalah musyawarah
mufakat dan penyelesaian perselisihan dengan UU No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Kata Kunci :Perlindungan Hukum, Outsourcing, Wanprestasi, Upaya Hukum

1
. Jl. Mawar No. 16, DesaGondangLegi, Kec. Mlati, Kab. Sleman, Yogyakarta
2
. FakultasHukumUniversitasGadjahMada

ix
LEGAL PROTECTION FOR WORKERS ON OUTSOURCING PT. PKSS
BRANCH PALEMBANG

Angga Anggriawan3 dan Pitaya4

ABSTRACT

Research with this title aims to find out the legal protection for outsourcing, to
know form wanprestasi done parties in practice outsourcing in PT. PKSS, and to
know legal efforts done by outsourcing workers in terms of PT. PKSS wanprestasi
do.

This Study uses empirical juridical approach. Data used in this study is the
primary data and secondary data. Data were collected through field research by
technique of an interview and library research technique of documentary studies. The
subject of this study was devided the respondents and interviewees. Respondents
consisted of 5 (five) workers outsourcing who has worked in the company of
outsourcing at least one (1) year and officials in PT. PKSS. Interviewees consited of
the Head Company as a User of outsourcing workers and Official of Dinas Tenaga
Kerja dan Sosial Provinsi Sumatera Selatan. The Study uses non probality sampling,
the sampling technique using a purposive sampling method. The data obtained were
analyzed qualitative-comparative.

The results showed that Definited Period of Labor Agreement does not melude
any transfer of rights protection for workers who work object persist despite going on
the turn of a company providers in PT. PKSS. The parties also do wanprestasi liked
be carrying out what is exchanged but not perfect of outsourcing in PT. PKSS. Legal
efforts undertaken by workers outsourcing in terms of PT. PKSS performs
wanprestasi deliberation consensussolution to the dispute with Act No. 2 of 2004
concerning the Industrial Relations Disputes Settlement.

Keywords : Legal Protection, Outsourcing, Wanprestasi, Legal Effort


3
. Jl. Mawar No. 16, DesaGondangLegi, Kec. Mlati, Kab. Sleman, Yogyakarta
4
. FakultasHukumUniversitasGadjahMada

x
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Sebagai Negara hukum yang dengan tegas dinyatakan dalam Pasal 1 ayat

(3) UUD 1945, Indonesia mempunyai asas dari Negara hukum yang mana

melindungi kehidupan individu dan kelompok dalam hidup bermasyarakat

maupun bernegara. Perlindungan ini ditekankan secara khusus pula dalam

amandemen Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yang menegaskan bahwa tiap-tiap

warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi

kemanusiaan, yang mana negara patut melindungi hal tersebut. Perlindungan

hukum dapat dilakukan oleh negara melalui pemerintah dengan membuat

regulasi-regulasi yang mana bertujuan untuk melindungi warganegara yang hal ini

khususnya warganegara sebagai pekerja.

Negara Indonesia memfasilitasi warganegaranya untuk mendapatkan

pekerjaan dan penghidupan yang layak dengan cara melahirkan beberapa

Undang-Undang yang berkaitan dengan ketenagakerjaan. Salah satunya UU No.

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang tersebut bertujuan

untuk memberikan perlindungan bagi tenaga kerja yang dimaksud untuk

menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan serta perlakuan

tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan

pekerja/buruh dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha.


2

Meningkatnya kemajuan dunia usaha, perusahaan-perusahaan yang berada

di Negara Indonesia melakukan persaingan yang sangat ketat. Dalam

menjalankan perusahaannya, perusahaan-perusahaan tersebut bersaing dalam

memberikan pelayanannya baik itu berupa produk maupun jasa. Dalam rangka

mewujudkan tujuan itu, perusahaan berusaha mengefisiensikan dalam hal apapun.

Salah satu efisiensi dalam hal kendali manajemen, dewasa ini banyak perusahaan

mempekerjakan pekerjanya dengan sistem outsourcing.

Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau

pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana

badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen

berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.1 Dengan

diundangkannya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maka sistem

outsourcing turut diatur dalam Pasal 64 yang mana memberikan pengertian

mengenai praktik outsourcing yakni perusahaan dapat menyerahkan sebagian

pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian

pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara

tertulis.

Perjanjian dalam penyediaan jasa pekerjaan atau buruh terdiri dari

beberapa pihak. Para pihak tersebut adalah pekerja outsourcing, perusahaan

outsourcing dan perusahaan pemakai tenaga kerja. Ketiga pihak ini diikat dengan

suatu perjanjian kerja. Perjanjian kerja tersebut terdiri dari perjanjian kerja antara

1
Tunggal Imam Sjahputra, 2009, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan, Harvarido, Jakarta,
Hlm. 308.
3

perusahaan outsourcing dengan perusahaan pemakai tenaga kerja yang berbentuk

perjanjian kerja sama dan perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing dengan

pekerja outsourcing dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Hal ini

menyebabkan adanya hubungan antara pekerja outsourcing dengan perusahaan

jasa outsourcing dengan perusahaan pemakai jasa tenaga kerja.

Pada dasarnya, tujuan awal outsourcing adalah untuk meningkatkan

konsentrasi usaha pada suatu kegiatan inti suatu perusahaan. Hal ini sangat

berbeda pada praktiknya, outsourcing dilakukan untuk mereduksi atau

menghemat pengeluaran untuk pekerja dengan cara memberikan upah, tunjangan

dan syarat kerja yang jauh dari semestinya. Praktik outsourcing pun

menguntungkan pihak perusahaan pemakai tenaga kerja yang mana tidak akan

memikirkan kesulitan tentang tuntutan kenaikan upah, biaya kesehatan, biaya

pemutusan hubungan kerja dengan pekerja/buruh outsourcing, dan hal-hal yang

menjadi beban suatu perusahaan.

Penyimpangan praktik inilah yang memicu tidak adanya perlindungan

hukum bagi pekerja outsourcing dalam sistem perjanjian kerja outsourcing.

Praktik sistem kerja outsourcing hendaknya memberikan perlindungan bagi

ketiga pihak yang terkait khususnya bagi pekerja outsourcing yang mempunyai

kedudukan tawar yang sangat kecil dikarenakan adanya persaingan pencarian

kerja denga sedikitnya lahan pekerjaan

Kurangnya pengaturan ini merupakan celah bagi pengusaha untuk

mengatur tentang pelaksanaan kerja di dalam perjanjian antara pekerja atau buruh.

Menyebabkan ada kecenderungan bagi pengusaha untuk melakukan


4

kesewenangan yang dapat menimbulkan kerugian bagi pekerja/buruh. Padahal

pengusaha penyedia jasa haruslah menyadari bahwa pekerja/buruh merupakan

penunjang faktor produksi utama. Menurut pemberi pekerjaan apa yang

dikerjakan oleh pekerja atau buruh bukanlah pekerjaan utama.

Apalagi outsourcing ada yang mengatakan bahwa sebagai Human

Traffiking atau perbudakan modern, buruh dianggap barang dagangan yang dapat

diperjual-belikan. Hal ini dinyatakan oleh ahli Aloysius Uwiyono, beliau

mengatakan pada dasarnya ada dua bentuk outsourcing yang hendak

diperkenalkan oleh Undang-undang Ketenagakerjaan yaitu, bentuk pertama

outsourcing pekerja (Pasal 66) dan bentuk kedua outsourcing (Pasal 65). Menurut

Aloysius Uwiyono bentuk yang pertama dapat dipandang sebagai Human

Trafficking (perdagangan manusia). Hal ini didasarkan pada asumsi dengan

adanya perjanjian, dimana perusahaan penyedia jasa menyediakan pekerja/buruh

dan perusahaan pengguna (user) menyerahkan sejumlah uang, maka seolah-olah

terjadi penjualan tenaga kerja. Untuk bentuk kedua, Aloysius Uwiyono

menyatakan tidak terjadi Human Trafficking. Menurutnya dalam bentuk kedua

ini, pekerja / buruh masih mempunyai hubungan kerja dengan perusahaan

pemborong. Antara perusahaan penyedia jasa dengan perusahaan pemborong

hanya terkait pada pemborongan kerja.

Keberadaan pekerja/buruh sebagai tenaga kerja outsourcing tidak dapat

diabaikan begitu saja. Kesewenangan yang terjadi harus diberi tindakan oleh

pemerintah sebagai bentuk perlindungan., tetapi tugas ini tidak hanya dibebankan
5

kepada pemerintah sendiri melaikan kepada pengusaha, baik pengusaha pengguna

jasa sebagai rasa pertanggung jawaban maupun pengusaha penyedia jasa.

Ternyata pada saat ini outsourcing tidak hanya diterapkan oleh lembaga-

lembaga yang bergerak di bidang produksi, tetapi juga dapat diterapkan di

lembaga-lembaga pendidikan, lembaga perbankan juga dapat menggunakan jasa

outsourcing untuk mengerjakan pekeraan-pekerjaan penunjang sebagai contoh,

untuk jasa keamanan (security), pelayanan kebersihan lingkungan (cleaning

service), dan pekerjaan-pekerjaan penunjang lainnya.

Penerapan sistem outsourcing bukan berjalan tanpa kendala, hal ini

terbukti melalui sejumlah aksi yang dilakukan oleh para pekerja/buruh di hampir

seluruh wilayah Indonesia yang mempermasalahkan pelaksanaan sistem

outsourcing. Para pekerja/buruh yang dipekerjakan menggunakan sistem

outsourcing menganggap bahwa pelaksanaan outsourcing di Indonesia

merupakan bentuk perbudakan modern (modern slavery), dimana pekerja/buruh

dipandang sebagai suatu komoditas yang diperjualbelikan atau disewakan

layaknya barang oleh perusahaan, baik oleh perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh maupun oleh perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh. Tidak hanya

itu, pekerja/buruh outsourcing juga mempermasalahkan minimnya perlindungan

upah dan kesejahteraan mereka yang dipekerjakan menggunakan sistem

outsourcing.

Pada perinsipnya penulis berpendapat bahwa pihak yang paling dirugikan

di dalam perjanjian antara perusahaan pengguna jasa dengan penyedia jasa adalah

pekerja, karena pekerja mempunyai barganing potition (posisi tawar) yang paling
6

lemah. Sebaiknya dalam pembuatan suatu perjanjian, hak dan kewajiban

pekerja/buruh dimuat tertulis dan harus mencantumkan secara jelas. Dengan

adanya perjanjian secara tertulis maka perlindungan hukum terhadap pekerja

dapat dipenuhi.

B. Rumusan Masalah.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka terdapat tiga

rumusan masalah yang bisa diungkap untuk kemudian menjadi bahan

pembahasan. Ketiga permasalahan tersebut adalah sebagai berikut;

1. Bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing


pada PT. PKSS ?

2. Bentuk wanprestasi apakah yang terjadi dalam perjanjian kerja antara

PT. PKSS dengan pekerja/buruh outsourcing ?

3. Upaya Hukum Apakah yang dilakukan oleh pekerja/buruh outsourcing

dalam Hal PT. PKSS melakukan Wanprestasi?

C. Tujuan Penelitian.

Terkait masalah yang telah dirumuskan di atas, maka penelitian ini

memiliki tiga tujuan. yaitu :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk mengetahui pelaksanaan perlindungan hukum bagi pekerja

outsourcing pada PT. PKSS.


7

b. Untuk mengetahui bentuk wanprestasi yang terjadi dalam perjanjian

kerja antara PT. PKSS dengan pekerja/buruh outsourcing.

c. Untuk mengetahui upaya hukum yang dilakukan dalam hal terjadi

wanprestasi terhadap pekerja/buruh outsourcing.

2. Tujuan Subyektif

Untuk memperoleh data guna menyusun tesis sebagai salah satu syarat

meraih gelar Magister Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada.

D. Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif dalam

menambah ilmu pengetahuan dan wawasan hukum di Indonesia baik secara

ilmiah maupun secara praktis. Adapun manfaat tersebut antara lain:

1. Secara Ilmiah

Diharapkan Penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu

hukum dalam bidang perjanjian, khususnya hukum ketenagakerjaan.

2. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam praktek

dan masukan bagi pemerintah untuk menelaah peraturan-peraturan yang

telah ada dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan

peraturan pelaksana yang terkait dengan outsourcing.

3. Hasil penelitian dapat menjadi referensi dalam pemecahan atas

permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian outsourcing.


8

E. Keaslian Penelitian.

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan peneliti, diketahui

sudah ada penelitian yang berkaitan dengan “Perlindungan Hukum Bagi

Pekerja Outsourcing” yaitu :

1. Studi Komparisi Perlindungan Hukum bagi Pekerja Outsourcing Setelah

Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/ PUU – IX/ 2011 di

PT. Garda Total Security,2yang ditulis oleh YULYEN PINKAN SOLINA

SIMAMORA, tahun 2012 dengan permasalahan :

a. Bagaimana Perlindungan Hukum bagi Pekerja Outsourcing Sebelum dan

Sesudah Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/ PUU – IX/

2011 di PT. Garda Total Security?

b. Bentuk Wanprestasi Apakah yang Dilakukan Para Pihak dalam Praktik

Outsourcing di PT. Garda Total Security?

2. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing di PT. Gapura Angkasa

Yogyakarta,3 yang di tulis oleh ALIEF FITRIA SUPRIYANI, tahun 2010

dengan permasalahan :

a. Bagaimana Perlindungan Hukum Yang Diberikan Oleh PT. Gapura

Angkasa Terhadap Para Pekerja Outsourcing Yang Bekerja Di Perusahaan

Tersebut.

2
Yulyen Pinkan Solina Simamora, 2012, Studi Komparisi Perlindungan Hukum bagi Pekerja
Outsourcing Setelah Lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/ PUU – IX/ 2011 di PT.
Garda Total Security, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
3
Alief Fitria Supriyani, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing di PT. Gapura
Angkasa Yogyakarta, Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
9

b. Upaya Hukum Apakah yang Dilakukan oleh Pekerja Outsourching dalam

Hal PT. Gapura Angkasa melakukan Wanprestasi?

Keduanya dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan pada tesis

ini tidak terdapat kesamaan namun, menurut peneliti pada penelitian Yulyen

Pinkan Solina Simamora lebih menekankan komparisi setelah dan sebelum

lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/ PUU – IX/ 2011.

Penelitian yang di tulis oleh Alief Fitria Supriyani lebih menekankan pada

sektor Gapura Angkasa. Pada penelitian ini lebih menekankan pada sektor

Perbankan tanpa mengkaitkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/ PUU

– IX/ 2011 dan sektor Gapura Angkasa. Dimungkinkan dalam pembahasan

yang dilakukan peneliti mengenai perumusan masalah lokasi, dan waktu

pelaksanaan perlindungan hukum tersebut. Dengan demikian penulis

menjamin keaslian dari penelitian dengan judul Perlindungan Hukum Bagi

Pekerja Outsourcing Pada PT. PKSS Cabang Palembang, belum pernah

ditulis oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Dapat

dikatakan bahwa penelitian hukum ini asli dan dapat dipertanggung jawabkan

secara akademis.
10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian

1. Tempat Pengaturan dan Pengertian Perjanjian

Pengaturan mengenai hukum perdata di Indonesia terejawantah di

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang seringkali disebut sebagai

KUHPerdata. KUHPerdata merupakan kitab hukum (rechtsboek) yang isinya

adalah terjemahan langsung dan Burgerlijk Wetboek yang merupakan sumber

hukum perdata bagi bangsa Eropa. Dasar berlakunya KUHPerdata di

Indonesia terdapat dalam ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi bahwa semua

lembaga negara yang masih ada tetap berfungsi sepanjang untuk

melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang

baru menurut Undang-Undang Dasar ini.

KUHPerdata memiliki sistematika yang terdiri dan empat Buku, yaitu:

1. Buku I yang berkepala “Tentang Orang”, memuat hukum tentang diri

seseorang dan hukum kekeluargaan;

2. Buku II yang berkepala “Tentang Kebendaan”, memuat hukum

perbendaan serta hukum warisan;

3. Buku III yang berkepala “Tentang Perikatan”, memuat hukum harta

kekayaan mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku

terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu;


11

4. Buku IV yang berkepala “Tentang Pembuktian dan Daluwarsa”, memuat

perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap

hubungan-hubungan hukum.4

Berdasarkan penjelasan di atas, Buku III KUHPerdata mengatur

perihal hukum perikatan (verbintenissenrecht, law of obligation). Di dalam

KUHPerdata tidak ditemukan definisi khusus perihal perikatan, sehingga

makna perikatan dapat ditelusuri dan doktrin atau pendapat pakar-pakar

hukum perdata. Menurut C. J. H. Brunner dan G. T. De Jong, perikatan adalah

sebagai hubungan hukum (rechtsverhouding) antara dua pihak berdasarkan

satu pihak, yakni debitor (schuldenaar atau debiteur), memiliki suatu prestasi

yang terletak di bidang kekakayaan (vermogen), dan kreditor (schuldeiser

atau crediteur) memiliki hak untuk menuntut pemenuhan prestasi tersebut.5

Adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh Buku III KUHPerdata

adalah suatu hubungan hukum (mengenai harta kekayaan harta benda) antara

dua orang, yang memberi hak pada yang sam untuk menuntut barang sesuatu

dan yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi

tuntutan itu.6 Pengertian serupa dilontarkan oleh J. Satrio yang menyatakan

bahwa makna perikatan sebagaimana dimaksud Buku III KUHPerdata adalah

hubungan hukum dalam lapangan hukum harta kekayaan, di mana satu pihak

ada hak, dan di pihak lain ada kewajiban.7 Sehingga dapat dikatakan bahwa

4
Subekti, 1980, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Bandung, hlm. 17
5
C.J.H. Brunner dan G.T de Jong, 2004, Verbintenissenrech Algemeen, Kluwer, Deventer, hlm 8
6
Subekti, Op.cit. hlm. 122
7
J. Satrio, 1993, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, hlm. 12
12

hukum perikatan dalam Buku III KUHPerdata juga dapat disebut sebagai

hukum perutangan karena isinya yang selalu mengenai tuntut-menuntut

(terkait harta kekayaan.).

Berdasarkan ketentuan Pasal 1233 KUHPerdata, perikatan yang

merupakan terjemahan dan verbintenis lahir dan adanya persetujuan

(overeenkomst) dan undang-undang (obligatio ex lege). Ahli hukum di

Indonesia ternyata masih memiliki perbedaan pendapat mengenai arti

overeenkomst itu sendiri, di satu sisi ada yang menyebutnya sebagai

persetujuan dan di sisi lain ada yang menyebutnya sebagai perjanjian.

Menurut R. Setiawan dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok

Hukum Perikatan, beliau menyebutkan bahwa overeenkomst memiliki anti

sebagai persetujuan, hal ini dikarenakan persetujuan berasal dan kata kerja

overeenkomen yang berarti sepakat atau setuju, sesuai dengan asas

konsensualisme yang dianut oleh KUHPerdata.8

Pada sisi yang lain, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan

perjanjian dan kata asal janji adalah persetujuan (tertulis atau lisan) yang

dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing berjanji akan menaati apa

yang tersebut dalam persetujuan itu. Sudikno Mertokusumo menyatakan

bahwa menurut teori klasik, suatu perjanjian adalah een tweezijdige

overeenkomst, yang mengandung arti satu perbuatan hukum yang bersisi dua,

8
R. Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hlm. 14
13

didasarkan atas kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.9 Penulisan

hukum ini, penulis akan menggunakan istilah perjanjian sebagai arti dari

overeenkomst.

Perjanjian menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata adalah suatu

perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang atau lebih. Rumusan pengertian perjanjian tersebut mengalami suatu

perdebatan dan para ahli. Para ahli hukum berpendapat bahwa pengertian

perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata memiliki beberapa

kelemahan, yaitu:

1) Terdapat ketidakjelasan makna pada kata “suatu perbuatan”, karena

makna yang terkandung di dalanmya dapat berupa perbuatan hukum,

yaitu perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum atau perbuatan

biasa,, yaitu perbuatan yang tidak menimbulkan akibat hukum;

2) Pengertian perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata juga

dirasa kurang lengkap, karena hanya menggambarkan perjanjian sepihak

saja, hal ini terithat dan kalimat “satu orang atau lebth mengikatkan

dirinya terhadap satu orang lainnya atau lebih”. Perumusan seperti itu

seolah-olah memberikan pengertian bahwa di satu pihak hanya ada

kewajiban, sedangkan di pihak lain hanya ada hak saja;

3) Perumusan arti perjanjian dalam ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata

dianggap telalu luas, karena dan perumusan pasal tersebut dapat termasuk

di dalamnya perbuatan-perbuatan dalam lapangan hukum keluarga.

9
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta. hlm. 34
14

Sedangkan yang dimaksudkan adalah perbuatan dalam lapangan hukum

harta kekayaan saja.

Berdasarkan beberapa kelemahan tersebut, kemudian para ahli

memberikan tanggapan mengenai pengertian perjanjian. Pengertian perjanjian

menurut Subekti adalah suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada

seseorang yang lain atau di mana dua orang itu saling beijanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.10 Abdulkadir Muhammad mendefinisikan

perjanjian sebagai suatu persetujuan dengan dua orang atau lebih saling

mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta

kekayaan.11 Pengertian mengenai perjanjian pun lahir dan M. Yahya Harahap

yang menerangkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu hubungan kekayaan

antara dua orang atau lebih yang memberikan kekuatan hak pada suatu pihak

untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk

melaksanakan prestasi.12 Sudikno Mertokusumo mendefinisikan bahwa

perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebth berdasarkan

kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.13

Berdasarkan penjelesan di atas maka dapat disimpulkan bahwa

perjanjian adalah suatu perbuatan hukum antara dua pihak atau lebih yang

saling mengikatkan dirinya untuk menimbulkan hak dan kewajiban.14

10
Sudikno Mertokusumo, 2005, Op.cit, hlm. 117
11
Bahan Ajar Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, Tim Pengajar Hukum Perdata Fakultas
Hukum Univertas Gadjah Mada.
12
M. Yahya Harahap, 1982, Segi-segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hlm . dapat dilihat
pula dalam Syahmin AK, 2006. Hukum Kontrak Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta. hlm 12
13
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 78
14
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm 1
15

Penggunaan istilah “perbuatan hukum” dirasa lebih tepat karena hak dan

kewajiban yang timbul akibat perjanjian merupakan hal yang memang

dikehendaki oleh para pihak, berbeda hal apabila istilah yang digunakan

adalah “peristiwa hukum” karena pengertiannya cenderung merupakan bukan

sesuatu yang dikehandaki oleh para pihak, sedangkan apabila menggunakan

istilah “hubungan hukum” makna yang terkandung di dalamnya menjadi

sangat luas karena hak dan kewajiban yang lahir tidak hanya disebabkan oleh

perjanjian semata namunjuga lahir akibat undang-undang.15

Berdasarkan pengertian perjanjian yang dikemukakan di atas, maka

dapatlah diambil kesimpulan bahwa dalam pengertian perjanjian, terdapat

beberapa unsur yang harus ada seperti yang dinyatakan oleh Salim H. S, yaitu:

a. Adanya Kaidah Hukum

Kaidah dalam hukum perjanjian dapat dibagi menjadi dua macam,

yaitu tertulis dan tidak tertulis. Kaidah hukum perjanjian tertulis adalah

kaidah-kaidah hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-

undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sedangkan kaidah hukum perjanjian

tidak tertulis adalah kaidah.16 Kaidah hukum yang timbul, tumbuh, dan

hidup dalam masyarakat. Contoh jual beli lepas, jual beli tahunan, dan

lain-lain. Konsep-konsep hukum ini berasal dan hukum adat.

b. Subjek Hukum

15
Sudikno Mertokusumo. Loc.cit
16
Salim H. S, 2006, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 4-5
16

Istilah lain dan subjek hukum adalah persoon. Subjek hukum

diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban. Yang menjadi subjek

hukum dalam hukum perjanjian adalah kreditur dan debitur. Kreditur

adalah pihak yang berpiutang sedangkan debitur adalah orang yang

berutang.

c. Adanya prestasi

Prestasi adalah apa yang menjadi hak kreditur dan kewajiban

debitur. Prestasi terdiri dari:

1) Memberikan sesuatu;

2) Berbuat sesuatu; dan

3) Tidak berbuat sesuatu.

d. Kata sepakat

Di dalam Pasal 1320 KUHPerdata ditentukan empat syarat sahnya

perjanjian. Salah satunya kata sepakat. Kesepakatan adalah persesuaian

pernyataan kehendak antara pam pihak.

e. Akibat hukum

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak akan menimbulkan

akibat hukum. Akibat hukum adalah timbulnya hak dan kewajiban. Hak

adalah suatu kenikmatan dan kewajiban adalah suatu beban.17

2. Asas-Asas Hukum Perjanjian

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan

asas adalah hukum dasar atau dasar dan sesuatu yang menjadi tumpuan dasar

17
Pusat Bahasa, Op.cit, hlm. 69
17

beipilcir dan berpendapat atau cita-cita.18 Menurut Sudikno Mertokusumo,

asas hukum merupakan latar belakang dan peraturan konkrit yang terdapat di

dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan

perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan

dapat dikemukakan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit

tersebut.19 Dapat dikatakan bahwa asas-asas hukum tersebut tidak tertuang

secara eksplisit di dalam peraturan konkrit.

Hukum peranjian mengenal lima asas penting yang kerap kali

diterapkan dalam melaksanakan perjanjian. Lima asas tersebut, yaitu:

a. Asas Konsensualisme

Asas ini berhubungan dengan saat lahirnya perjanjian, karena

berdasarkan asas ini perjanjian lahir sejak adanya kata sepakat di antara

para pihak.20 Kata sepakat yang dimaksud menurut Subekti adalah bahwa

antara pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu kehendak, yakni apa

yang dikendaki oleh yang satujuga dikehendaki oleh pihak lainnya.21

Asas konsensualisme dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal

1320 butir (1) KUHPerdata bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian

adalah adanya kata sepakat di antara mereka yang mengikatkan dirinya,

dan dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1338 butir (1) KUHPerdata

yang berbunyi semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
18
Sudikno Mertokusumo, Op.cit. hlm. 34
19
Bahan Ajar Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, Tim Pengajar Hukum Perdata Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
20
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 54
21
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 34.
18

suatu undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas

konsensualisme memperlihatkan kepada para subjek hukum bahwa pada

dasarnya suatu perjanjian yang dibuat secara lisan antara dua orang atau

lebih telah mengikat para pihak, dan karenanya telah melahirkan

kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut,

segera setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan, meskipun

tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.22

Dapat disimpulkan bahwa untuk terjadinya suatu perjanjian

diperlukan adanya suatu kesepakatan, karena kesepakatan merupakan

salah satu syarat sahnya suatu perjanjian. Maka dengan demikian

perjanjian itu lahir apabila sudah tercapai kata sepakat dan para pihak

mengenai hal-hal pokok yang menjadi objek perjanjian dan tidak perlu

ada formalitas tertentu selain yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Tidak semua perjanjian lahir hanya berdasarkan adanya kata

sepakat, dengan kata lain terdapat perkecualian terhadap asas

konsensualisme, yaitu oleh undang-undang ditetapkan bagi beberapa

perjanjian ada formalitas tertentu yang harus dilaksanakan. Sehingga

perjanjian baru akan lahir apabila formalitas tersebut sudah terpenuhi.

Perjanjian yang membutuhkan formalitas tertentu antara lain, yaitu:

1) Perjanjian Riil

Suatu perjanjian ini lahir atau terbentuk dengan adanya

penyerahan barang yang menjadi objek perjanjian, sehingga perjanjian mi

22
Sudikno Mertokusumo, Op. cit. hlm. 112
19

selain membutuhkan kata sepakat dan para pihak juga dibutuhkan

penyerahan barang yang menjadi objek perjanjian, contohnya adalah

perjanjian penitipan barang yang diatur dalam ketentuan Pasal 1694

KUHPerdata, perjanjian pinjam pakai yang terdapat dalam ketentuan

Pasal 1740 KUHPerdata, dan perjanjian pinjam mengganti yang diatur

dalam KUHPerdata Pasal 1754.

2) Perjanjian Formil

Selain membutuhkan kata sepakat, perjanjian formil lahir dengan

terpenuhinya formalitas tertentu seperti yang ditentukan oleh undang-

undang, contohnya adalah perjanjian perdamaian yang diatur dalam

ketentuan Pasal 1851 KUHPerdata yang harus dibuat secara tertulis.

b. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan isi, bentuk, dan

jenis dan perjanjian yang akan dibuat. Dalam ketentuan Pasal 1338 butir

(1) KUHPerdata yang berbunyi semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai suatu undang-undang bagi mereka yang membuatnya,

asas kebebasan berkontrak tersirat di dalam kata “semua”, yang memiliki

makna:

1) Setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan

perjanjian;

2) Setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun;

3) Setiap orang bebas menentukan bentuk yang dibuatnya


20

4) Setiap orang bebas untuk menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian

yang dibuatnya;

5) Setiap orang bebas untuk mengadakan pilihan hukum, maksudnya

adalah bebas untuk memilih pada hukum mana perjanjian yang

dibuatnya akan tunduk.

Pada ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata memberikan batasan

mengenai asas ini yang mana para pihak tidak diperbolehkan untuk

mengadakan perjanjian yang dilarang oleh Undang-Undang atau

berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Asas kebebasan

berkontrak ini semakin dipersempit dalam perkembangannya dengan

dilihat dari beberapa segi, antara lain dari segi kepentingan umum, dari

segi perjanjian baku dan terakhir dari segi perjanjian dengan

pemerintah.23 Pembatasan asas ini dapat berupa :

1) Banyaknya penggabungan badan usaha/pemusatan usaha ke dalam

bentuk-bentuk badan usaha seperti Perseroan Terbatas, CV, Firma,

ternyata membatasi perorangan untuk melakukan perjanjian secara

perorangan;

2) Munculnya perjanjian-perjanjian yang bentuk dan isinya telah

dibakukan serta dibuat secara massal. Perjanjian jenis ini adalah

perjanjian standar;

23
Mariam Darus Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan dalam Rangka
Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 87.
21

3) Asas ini juga dibatasi dengan campur tangan pemerintah dalam

bidang ekonomi sebagai pelindung terhadap pihak yang lemah

dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Campur

tangan pemerintah ini mengakibatkan sifat keperdataannya menjadi

hilang, sehingga menjadi hukum piblik;

4) Adanya usaha-usaha dengan memberantas perjanjian-perjanjian yang

tidak memenuhi rasa keadilan (perjanjian yang prestasi dan

kontraprestasinya tidak seimbang).24

c. Asas Pacta Sunt Servanda

Asas ini berhubungan dengan akibat dan lahirnya suatu

perjanjian. Asas pacta sunt servanda memiliki makna bahwa para pihak

harus mentaati perjanjian yang telah mereka bunt sendiri seperti halnya

mentaati undang-undang, hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338

butir (1) KUHPerdata yang berbunyi semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai suatu undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Sudikno Mertokusumo juga menyatakan bahwa para pihak yang membuat

perjanjian harus melaksanakan apa yang telah mereka sepakati, sehingga

perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang, selayaknya sesuatu yang

24
Sudikno Mertokusumo, Op. cit. hlm. 34
22

telah disepakati oleh kedua belah pihak, dipatuhi pula oleh kedua belah

pihak.25

Makna lain dan asas ini adalah apabila di antara para pihak ada

yang melanggar perjanjian yang telah dibuat maka pihak yang melanggar

tersebut dianggap telah melanggar undang-undang.

Dengan demikian, adanya asas pacta sunt servanda beakibat

bahwa suatu perjanjian yang telah dibuat tidak dapat ditarik atau

dibatalkan tanpa adanya persetujuan dari pihak lain. Hal ini ditegaskan

dalam Pasal 1338 butir (2) yang berbunyi suatu perjanjian tidak dapat

ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena

alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Asas pacta sunt servanda juga seningkali disebut sebagai asas

kepastian hukum karena perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak

dianggap sebagai undang-undang, sehingga pihak manapun tidak boleh

ikut campur terhadap isi perjanjianyang telah ditentukan oleh para pihak.

d. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian.

Pasal 1338 butir (3) KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian

harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini berarti bahwa dalam

melaksanakan perjanjian harus senantiasa dilandasi dengan itikad baik

25
Bahan Ajar Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, Tim Pengajar Hukum Perdata Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada.
23

dan para pihak yang membuatnya. Itikad baik mempunyai dua pengertian,

yaitu:

1) Itikad baik dalam arti subjektif, yang dapat dilihat dalam ketentuan

Pasal 1977 KUHPerdata mengenai kedudukan berkuasa dan dalam

Pasal 531 KUHPerdata. Itikad baik di sini dapat diartikan sebagai

kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu

yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan

perbuatan hukum, baik sebelum dilaksanakannnya perjanjian maupun

pada saat dilaksanakannya perjanjian.

2) Itikad baik dalam arti objektif, yaitu bahwa pelaksanaan suatu

perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa-apa yang

dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat. Dalam

pelaksanaan perjanjian tersebut harus tetap berjalan dengan

mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta harus

berjalan di atas rel yang benar. Pasal 1338 butir (3) KUHPerdata

memberikan suatu kekuasaan pada hakim untuk mengawasi

pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai pada saat pelaksanaanya

tersebut melanggar norma-norma kepatutan dan keadilan, namun

tentu saja ada batas-batasnya.26

26
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2003, Perikatan Yang Lahr dari Perjanjian, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 15
24

Asas ini menghendaki bahwa apa yang diperjanjikan oleh para

pihak tersebut harus dilaksanakan dengan memenuhi tuntutan keadilan

dan tidak melanggar kepatutan.

e. Asas Kepribadian

Asas kepribadian diatur dalam KUHPerdata Pasal 1340 butir (1)

yang berbunyi suatu perjanjian hanya berlaku bagi pihak-pihak yang

membuatnya. Sedangkan pada butir (2) dalam pasal yang sama

disebutkan bahwa suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada

pihak-pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat

karenanya, selain yang diatur dalam Pasal 1317.

Dan ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa perjanjian

hanya berlaku bagi para pihak yang menbuat pejanjian dan tidak dapat

berlaku bagi pihak ketiga, baik untuk diuntungkan ataupun dirugikan

karena perjanjian. Sebagai orang yang cakap bertindak dalam hukum,

maka setiap tindakan, perbuatan yang dilakukan oleh orang perorangan,

sebagai subjek hukum pribadi yang mendiri, akan mengikat pribadi

tersebut, dan di dalam lapangan perikatan, mengikat seluruh harta

kekayaan yang dimilikinya secara pribadi.27 Hal ini dibuktikan melalui

ketentuan Pasal 1131 KUHPerdata yang berbunyi bahwa segala

kebendaan milik si berutang, baik yang bergerak maupun yang tak

bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru aka nada di kemudian

hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

27
ibid, hlm. 15.
25

Pasal 1317 KUHPerdata marupakan perkecualian terhadap

penerapan asas kepribadian. Dalam pasal tersebut, dinyatakan bahwa

suatu perjanjian dapat berlaku bagi piha ketiga (derden werking) ataupun

bahwa suatu perjanjian dapat dibuat untuk kepentingan bagi pihak ketiga

(derden beding).

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak baru dapat dikatakan

sah apabila memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Pasal 1320

KUHPerdata memuat empat ketentuan yang harus dipenuhi oleh suatu

perjanjian, yaitu:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;

3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Terhadap empat syarat tersebut kemudian dikelompokkan lagi

menjadi syarat subjektif dan syarat objektif, yang terdiri dari:

a. Syarat Subjektif

Dikatakan sebagai syarat subjektif karena menyangkut orang-

orang atau subjek yang mengadakan perjanjian. Implikasi dan tidak

terpenuhinya syarat subjektif dan suatu perjanjian adalah bahwa terhadap

perjanjian yang dibuat dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar),


26

sebingga apabila selama pembatalan tersebut belum dilaksanakan maka

perjanjian itu masih tetap berlaku sebagai perjanjian yang sah dan

mengikat kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Syarat

sahnya perjanjian yang tergolong syarat subjektif adalah:

(1) Sepakat mereka yang mengikatkan diri

Syarat pertama yang harus dipenuhi agar suatu peijanjian

dapat dikatakan sah adalah adanya kesepakatan yang bebas di

antara para pihak yang mengadakan perjanjian, sesuai dengan yang

tertera dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata.

Kesepakatan merupakan pertemuan antara dua kehendak di

mana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang

dikehendaki oleh pihak yang lainnya, juga dapat dikatakan sebagai

persesuaian pemyataan kehendak antara satu orang atau lebih

dengan pihak yang lainnya.

Kedua kehendak tersebut bertemu dalam sepakat dan

tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh kedua kedua belah pihak

dengan kata-kata ataupun dengan bersama-sama menaruh tanda

tangan di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda bukti

bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera

di atas tulisan itu.

Kesepakatan atau persetujuan kehendak di antara para

pihak tersebut adalah mengenai hal-hal pokok dalam suatu

perjanjian. Para pihak tersebut adalah piliak yang menawarkan


27

(offerte) dan pihak lain yang menerima tawaran (acceptatie)

sehingga terjadi saling menawarkan dan menerima tawaran.

Sudikno Mertokusumo menyatakan ada lima cara

terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu dengan:

a) Bahasa yang sempurna dan tertulis;

b) Bahasa yang sempurna secara lisan;

c) Bahasa yang tidak sempuma asal dapat diterima oleh pihak

lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seorang

menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempuma tetapi

dimengerti oleh pihak lawannya;

d) Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;28

e) Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima oleh

pihak lawan.29

Cara terjadinya kesepakatan dapat dilihat dan beberapa teori

mengenai terbentuknya kesepakatan, yaitu:

a) Teori pernyataan

Teori pernyataan bersifat objektif. Teori penyataan

menerangkan bahwa suatu kesepakatan terjadi apabila ada

kontroversi antara apa yang dikehendaki dengan apa yang

dinyatakan, maka apa yang dinyatakan tersebutlah yang

28
Subekti, Loc.cit
29
Maram Darus Badrulzaman et all, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm. 73
28

berlaku. Sebab, masyarakat menghendaki bahwa apa yang

dinyatakan itu dapat dipegang.30

b) Teori pengiriman

Menurut teori pengiriman, kesepakatan kehendak terjadi

pada saat dikirimkannya surat jawaban oleh pihak yang

kepadanya telah ditawarkan suatu perjanjian, karena sejak saat

pengiriman tersebut, si pengirim jawaban telah kehilangan

kekuasaan atas surat yang dikirimnya itu.31

c) Teori kehendak

Teori kehendak merupakan teori yang sangat tua

mengenai terjadinya kesepekatan kehendak. Teori kehendak

adalah teori yang bersifat subjektif, di mana dalam teori

kehendak menjelaskan bahwa jika ada kontroversi antara apa

yang dikehendaki dengan apa yang dinyatakan dalam

perjanjian, maka yang berlaku adalah apa yang dikehendaki,

sementara apa yang dinyatakan tersebut dianggap tidak

berlaku. Hal yang ditekankan dalam teori kehendak adalah

30
Salim H.S., 2006, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 33
31
Munir Faudy, 2001, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hlm 47
29

kehendak atau maksud dan pihak dalam memberikan janji.

Ukuran dan eksistensi, kekuatan berlaku, dan substansi dan

suatu perjanjian diukur dan kehendak atau maksud tersebut.32

d) Teori penawaran dan penerimaan

Teori dasar dan adanya kesepakatan kehendak adalah

teori penawaran dan penerimaan. Teori penawaran dan

penerimaan adalah suatu kesepakatan baru terjadi setelah

adanya penawaran dan salah satu pihak dan diikuti dengan

penerimaan tawaran oleh pihak lain dalam perjanjian tersebut.

Teori ini diakui secara umum di setiap sistem hukum, dan teori

ini banyak dilakukan dinegara-negara yang menganut sistem

hukum common law.

e) Teori pengetahuan

Teori pengetahuan adalah kesepakatan terjadi saat

adanya pengetahuan dan pihak yang menawarkan bahwa

penawarannya itu telah disetujui oleh pihak lainnya. Jadi

pengiriman jawaban saja oleh pihak yang menerima tawaran

dianggap masih belum cukup, karena pihak yang melakukan

32
Ibid, hlm. 45
30

tawaran masih belum mengetahui diterimanya tawaran

tersebut.33

Dalam KUHPerdata tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai

arti kata sepakat atau kesepakatan, namun arti kata sepakat atau kata

sepakat dapat diterjemahkan secara a contrario dan ketentuan Pasal 1321

KUHPerdata yang berbunyi tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu

diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya paksaan atau penipuan.

Sehingga dapat dikatakan bahwa kata sepakat dan para pihak dalam

perjanjian harus berupa kata sepakat yang bebas, artinya adalah bahwa

kata sepakat tersebut benar-benar atas kemauan sukarela dan para pihak

yang mengadakan perjanjian sehingga sepakat yang diberikannya bukan

karena paksaan, kekhilafan, atau penipuan (adanya cacat kehendak).

Syarat sepakat para pihak tidak terpenuhi apabila suatu perjanjian dibuat

dengan adanya paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan

(bedrog) maka perjanjian itu dapat dibatalkan (vernietigebaar,

voidable).34

Kekhilafan terdapat dalam ketentuan Pasal 1322 KUHPerdata

yang menyatakan bahwa kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu

perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenal hakikat barang

yang menjadi pokok perjanjian. Kekhilafan itu tidak menjadi sebab

kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang

33
Ibid, hlm. 48
34
Subekti, 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hlm.135
31

dengan siapa seorang bermaksud membuat suatu perjanjian kecuali jika

perjianjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang

tersebut. Dengan kata lain, kekhilafan dapat terjadi mengenai orang atau

barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang membuat perjanjian.

Seseorang dikatakan telah membuat peianjian secara khilaf atau silap

manakala dia ketika membuat perjanjian tersebut dipengaruhi oleh

pandangan atau kesan yang tenyata tidak benar.35 Berdasarkan ketentuan

Pasal 1322 KUHPerdata, yang merupakan objek dan kekhilafan, sehingga

suatu perjanjian dapat dibatalkan, adalah sebagai berikut:

a) Kekhilafan terhadap hakikat barang (error in substantia)

Dalam hal ini yang menjadi objek dan kekhilafan adalah hakikat

barang yang diperjanjikan dalam perjanjian.

b) Kekhilafan terhadap diri orang (error in persona)

Objek kekhilafan lain adalah terhadap diii orang yang

melakukan perjanjian. Terhadap kekhilafan mengenai orang tersebut

tidaklah dapat membatalkan perjanjian, kecuali jika perjanjian yang

bersangkutan dibuat semata-mata mengingat tentang diri orang

tersebut.36

Pasal 1324 butir (1) KUHPerdata menyatakan bahwa paksaan

telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat

menakutkan seorang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu

35
Ibid, hlm. 42
36
R.Setiawan, 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hlm. 60-61
32

dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya

atau kekayaannya terancam dengan suatu kergian yang terang dan

nyata. Menurut R. Setiawan, paksaan adalah keadaan di mana

seseorang melakukan perbuatan karena takut clengan ancaman, baik

diancam dengan paksaan psikis, maupun dengan cara-cara seperti

misalnya akan dibocorkan rahasianya, tidak merupakan dan mana

datangnya ancaman tersebut. Suatu paksaan dapat mengakibatkan

pembatalan suatu kontrak, apabila paksaan tersebut memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

a) Paksaan dilakukan terhadap:

(1) Orang yang membuat kontrak; atau

(2) Suami atau isteri dan orang yang membuat kontrak; atau

(3) Sanak keluarga dalam garis ke atas atau ke bawah.

b) Paksaan dilakukan oleh:

(1) Salah satu pihak dalam kontrak; atau

(2) Pihak ketiga untuk kepentingan siapa kontrak tersebut

dibuat.

c) Paksaan tersebut menakutkan seseorang;

d) Orang yang takut tersebut harus berpikiran sehat;

e) Ketakutan karena paksaan tersebut berupa:

f) Timbulnya ketakutan karena paksaan haruslah dengan

memperhatikan keadaan dan yang dipaksakan berupa:

(1) Usia;
33

(2) Kelamin;

(3) Kedudukan.

g) Ketakutan bukan karena hormat dan patuh kepada orang tua atau

sanak keluarga tanpa paksaan;

h) Setelah terjadinya paksaan kontrak tersebut ticlak telah

dikuatkan (dengan tegas atau diam-diam);

i) Tidak telah lewat waktu kedaluwarsa setelah dilakukan

paksaan.37

Pembatalan perjanjian juga dapat didasarkan karena adanya

penipuan terhadap salah satu pihak sehingga karena adanya penipuan

tersebut pihak yang tertipu kemudian membuat perjanjian. Penipuan atau

bedrog terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-

keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan,

sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan persetujuan

atau kesepakatan.38 Apabila tidak melakukan tipu muslihat tersebut maka

pihak yang lain tidak akan membuat perjanjian tersebut.

Mengenai penipuan terdapat dalam ketentuan Pasal 1328

KUHPerdata yang dapat disimpulkan bahwa penipuan berbeda dengan

kekhilafan, penipuan melibatkan unsur kesengajaan dan salah satu pihak

dalam perjanjian, untuk mengelabui pihak lawannya, sehingga pihak yang

37
Munir Fuady. Op.cit. hlm. 36-37
38
Ibid, hlm. 135
34

terakhir ini memberikan kesepakatannya untuk tunduk pada perjanjian

yang dibuat antara mereka.39

Dilihat dan segi keterlibatan pihak yang melakukan penipuan,

suatu penipuan dalam kontrak dapat dibagi ke dalam:

a) Penipuan disengaja;

b) Penipuan karena kesalahan;

c) Penipuan tanpa kesalahan;

d) Penipuan denganjalan merahasiakan;

e) Penipuan dengan jalan yang tidak terbuka informasi.40

Selain cacat kehendak yang diatur pada Pasal 1321 KUHPerdata

sebagai alasan untuk membatalkan perjanjian, dalam perkembangannya

muncul penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu bagian cacat

kehendak yang juga dapat membatalkan sebuah perjanjian.

Penyalahgunaan keadaan adalah keadaan di mana salah satu pihak dalam

perjanjian yang memiliki kedudukan lebih unggul baik secara psikologis

ataupun ekonomis, mengarahkan pihak lain yang kedudukannya lebih

lemah untuk membuat suatu perjanjian dan perjanjian tersebut merugikan

pihak yang lemah tersebut ciri-ciri dan adanya suatu penyalahgunaan

keadaan adalah:

a) Salah satu pihak dalam keadaan terjepit;

b) Salah satu pihak dalam kesulitan keuangan;

39
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. Op.Cit. hlm. 125-126.
40
Munir Fuady. Op.cit. hlm. 39
35

c) Adanya hubungan atasan dan bawahan;

d) Adanya prestasi (kewajiban) yang tidak seimbang;

e) Adanya kerugian yang sangat besar bagi salah satu pihak;

f) Adanya klausula eksenorasi untuk membebaskan tanggung jawab.

(2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Syarat kedua sekaligus syarat subjektif yang harus dipenuhi

agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah adalah kecakapan para

pihak untuk membuat suatu perjanjian. Membuat perjanjian

merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum. Perbuatan hukum

yang dilakukan oleh subjek hukum barn dapat dikatakan sah sejauh

diatur oleh hukum. Hukum positif Indonesia mengakui orang

(persoon) sebagai subjek hukum yang dapat memperoleh hak dan

mengemban kewajiban menurut hukum, sehingga implikasinya

subjek hukum dapat melakukan perbuatan hukum. Orang sebagai

subjek hukum di Indonesia terdiri dan badan hukum (recht person)

dan manusia pribadi (naturlijk pesoon). Badan hukum sebagai

subjek hukum adalah perkumpulan/organisasi yang oleh hukum

dilakukan seperti manusia yang mempunyai tujuan tertentu yang

dapat menyandang hak dan kewajiban. Pengakuan manusia pribadi

sebagai subjek hukum pada umumnya dimulai sejak manusia

dilahirkan, namun terdapat perkecualian dalam hal ini sebagaimana

yang diatur dalam ketentuan Pasal 2 KUHPerdata yang menyatakan


36

bahwa anak yang berada dalam kandungan seorang perempuan

dianggap sebagai telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak

menghendaki. Pada dasamya semua orang (subjek hukum)

dianggap cakap dalam melakukan perbuatan hukum, kecuali

dinyatakan sebaliknya oleh undang-udang.

Pasal 1329 KUHPerdata menyebutkan setiap orang adalah

cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-

undang tidak dinyatakan tak cakap. Ketentuan tersebut dapat

disimpulkan bahwa sernua orang dianggap cakap untuk membuat

suatu perjanjian kecuali dinyatakan tidak cakap oleh undang-

undang. KUHPerdata Pasal 1330 mengatur mengenai siapa saja

yang dinyatakan sebagai orang yang tidak cakap, yaitu orang yang

belum dewasa, mereka yang ditaruh di bawah pengampuan, serta

orang perempuan dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh

undang-undang.

a) Orang-orang yang belum dewasa

Ketentuan pasal 330 KUHPerdata menyatakan bahwa

orang yang belum dewasa adalah orang yang belum berumur

21 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan. Pada

Pasal 47 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan mengatur bahwa seseorang dianggap dewasa

apabila telah berusia 18 tahun atau penah melangsungkan


37

perkawinan. Ketentuan Pasal 39 Undang-Undang No. 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris, mengatur hal yang sama bahwa

seseorang dianggap dewasa apabila telah berusia 18 tahun atau

pernah melangsungkan perkawinan. Batas kedewasaan

sesorang berdasarkan hukum positif Indonesia di atas, berbeda

antara satu dengan yang lainnya. Untuk mengatasi perbedaan

tersebutdigunakanlah asas hukum yang berbunyi lex posteriori

derogate legi priori yang berarti undang-undang yang baru

menghapus peraturan undang-undang lama di mana kedua

peraturan tersebut mengatur hal yang sama. Sehingga saat ini

yang menjadi acuan mengenai unsur kedewasaan seseorang

dalam melakukan perbuatan hukum terdapat dalam ketentuan

Undang-undang No. 39 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

yaitu berusia 18 tahun, atau sudah menikah sebelum berumur

18 tahun, hal tersebut juga dikuatkan dengan adanya Keputusan

MA No. 447 K/Sip/I 976 tanggal 13 Oktober 1976 yang dimuat

di dalam Y.I. 1977 dalarn perkara “Batas Akhir Perwalian”41

b) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan (curatele)

Pasal 433 KUHPerdata menyebutkan bahwa setiap

orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit

41
J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Buku II, Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 8
38

otak atau mata gelap, harus ditaruh di bawah pengampuan, pun

jika ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya, seorang

dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena

keborosannya. Golongan orang-orang yang ditaruh di bawah

pengampuan adalah:

(1) Orang yang dungu (onnoozelheid);

(2) Orang gila (tidak waras pikiran);

(3) Orang yang mata gelap (razernij);

(4) Orang yang boros.

Mereka tetap ditaruh dibawah pengampuan, walaupun

kadang-kadang mereka dapat bertindak seperti orang yang

cakap berbuat perbuatan hukum.42 Kedudukan seorang yang

ditaruh dibawah pengampuan sama seperti seorang yang belum

dewasa, tak dapat lagi melakukan perbuatan-perbuatan hukum

secara sah.43 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 452

KUHPerdata. Untuk seseorang yang ada di bawah pengampuan

karena ia seorang pemboros, maka yang bersangkutan tetap

bisa melakukan perbuatan hukum, namun di luar ranah

perbuatan hukum mengenai harta kekayaan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 434 bingga 445

KUHPerdata, pengampuan baru dapat terjadi apabila

42
Munir Faudy, Op.cit, hlm. 70
43
Subekti, Op.cit, hlm. 57
39

dimohonkan, dan tidak dapat terjadi demi hukum. Pasal 446

KUHPerdata menyebutkan bahwa pengampuan berlaku setelah

adanya penetapan dan pengadilan.

c) Orang perempuan dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh

undang-undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan

bahwa seorang perempuan bersuami tidak boleh melakukan

perbuatan hukum tertentu tanpa izin dan suaminya. Hal

demikian diatur dalam Pasal 108 dan 110 KUHPerdata dan

dipertegas oleh Pasal 1330 butir (3) KUHPerdata juga

menyebutkan bahwa wanita yang telah kawin merupakan orang

yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian. Maksud dan

ketentuan ini adalah agar jangan sampai ada dua nahkoda

dalam satu perahu, karena dalam suatu perkawinan, pihak

suami lah yang dianggap sebagai nahkoda atau kepala rumah

tangga. Hal tersebut diperkuat oleh ketentuan Pasal 31 ayat (1)

dan (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

bahwa suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu

rumah tangga, tetapi masing-masing pihak mempunyai hak dan

kedudukan yang seimbang, dan masing-masing pihak berhak

untuk melakukan perbuatan hukum, termasuk dalam membuat

perjanjian.
40

b. Syarat Objektif

Syarat objektif merupakan syarat mengenai objek dalam suatu

perjanjian. Apabila syarat objektif suatu perjanjian dilanggar, maka

perjanjian tersebut menjadi batal demi hukum (nietig, null and void).

Syarat perjanjian yang termasuk syarat objektif terdiri dari:

(1) Suatu hal tertentu

Abdulkadir Muhammad berpendapat bahwa suatu hal tertentu

merupakan pokok perjanjian, merupakan suatu prestasi yang perlu

dipenuhi dalam suatu perjanjian, merupakan objek perjanjian, dan

prestasi tersebut harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat

ditentukan, sehingga apa yang diperjanjikan itu harus cukup jelas,

ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat

dihitung atau ditetapkan.44 Objek atau prestasi dalam perjanjian harus

tertentu, sekurang-kurangnya jenisnya dapat ditentukan baik hal itu

mengenai benda yang berwujud maupun yang tidak berwujud.45

Pengaturan mengenai suatu hal tertentu terhadap objek

tertentu dan perjanjian, khususnya jika objek kontrak tersebut berupa

barang, dalam KUHPerdata terejawantah dalam Pasal 1332 sampai

dengan 1334:

44
Abdulkadir Muhammad. Op.cit. hlm. 93
45
M. Yahya Harahap. Op.cit. hlm. 27
41

a) Barang yang merupakan objek perjanjian tersebut haruslah

barang yang dapat diperdagangkan (Pasal1332 KUHPerdata);

b) Pada saat perjanjian dibuat, minimal barang tersebut sudah

dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333 ayat (1) KUHPerclata);

c) Jumlah barang tersebut boleh tidak tertentu, asal jumlah terebut

kemudian dapat ditentukan atau dihitung (Pasal 1333 ayat (2)

KUHPerdata);

d) Barang tersebut dapat juga barang yang baru akan ada

dikemudian hari (Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata);

e) Tetapi tidak dapat dibuat perjanjian terhadap barang yang

masih ada dalam warisan yang belum terbuka (Pasal 1334 ayat

(2) KUHPerdata).

Tidak diperkenankan untuk membuat perjanjian terhadap

objek warisan yang masih belum terbuka, meskipun calon pewaris

telah sepakat. Hal ini dikarenakan warisan belum tentu dapat menjadi

milik calon ahli waris, dan belum tentu pula sang calon pewaris

meninggal lebih dahulu dan calon ahli waris.

(2) Suatu sebab/kausa yang halal

Pembentuk undang-undang tidak memberikan definisi tentang

suatu sebab/kausa di dalam KUHPerdata. Menurut Yurisprudensi,

yang dimaksudkan dengan sebab/kausa adalah sesuatu yang akan

dicapai oleh para pihak dalam perjanjian atau sesuatu yang menjadi
42

tujuan perjanjian.46 Dengan kata lain, suatu sebab/kausa yang halal

adalah sebab mengapa kontrak tersebut dibuat.

Seringkali dikaitkan antara sebab/kausa dengan motif,

padahal perlu dibedakan secara jelas antara sebab/kausa dengan motif.

Motif atau sebab/kausa yang subjektif adalah alasan yang mendorong

batin seseorang untuk melakukan suatu hal, sedangkan sebab/kausa


47
adalah tujuan dari pada persetujuan. Contoh dan suatu sebab/kausa

adalah bila terjadi suatu perjanjian jual beli pisau, maka sebab/kausa

dan perjanjian tersebut adalah agan pembeli memiliki pisau tersebut,

sedangkan apabila pisau itu dipakai oleh pembeli untuk membunuh

maka itu adalah motif dan pembelian pisau tersebut, artinya, motif

tersebut bukanlah menjadi syarat sah atau tidak terhadap perjanjian

tersebut.48

Tidak disebutkan dalam KUHPerdata rnengenai apa saja yng

termasuk ke dalam sebab/kausa yang halal, namun KUHPerdata

menyebutkan sebab/kausa yang terlarang. Hal tersebut terdapat dalam

ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa

sebab/kausa yang terlarang adalah hal-hal yang dilarang oleh undang-

undang, hal-hal yang bertentangan dengan kesusilaan yang baik atau

ketertiban umum. Disebutkan pula pada psal 1335 KUHPerdata, suatu

46
Bahan Ajar Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, Tim Pengajar Hukum Perdata Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada. hlm 41
47
R. Setiawan, Op.cit, hlm. 62
48
Bahan Ajar Hukum Perdata, Op.cit. hlm 42
43

perjanjian tanpa sebab/kausa, atau yang telah dibuat karena suatu

sebab/kausa yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.

Dapat dikatakan apabila suatu perjanjian bertentangan dengan undang-

undang, kesusilaan atau ketertiban umum, maka perjanjian tersebut

tidak mempunyai kekuatan atau yang lazim disebut batal demi

hukum.49

4. Unsur-Unsur Perjanjian

Terdapat tiga unsur dasar dalam suatu perjaijian, yaitu:

1) Unsur essentialia

Unsur essentialia merupakan unsur yang harus ada dalam

suatu perjanjian, karena tanpa unsur essentialia maka suatu

perjanjian tidak akan ada. Unsur essentialia dalam suatu

perjanjian mewakili ketentuan-ketentuan berupa prestasiprestasi

yang wajib dilakukan oleh salah satu atau lebih pihak, yang

mencerminkan sifat clan perjanjian tersebut, yang

membedakannya secara pninsip dan jenis perjanjian lainnya.50

Contohnya, harga dalam perjanjian jual beli adalah unsur

essentialia dan perjanjian jual beli, sehingga apabila tidak

terdapat klausula mengenai harga dalam perjanjian jual beli,

maka perjanjian tersebut dianggap tidak ada.

49
Ahmad Miru dan Sakka Pati. Op.cit. hlm. 77.
50
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit. hlm. 85
44

2) Unsur naturalia

Unsur naturalia merupakan unsur yang melekat dalam

suatu perjanjian atau unsur yang selalu dianggap ada dalam

perjanjian, dengan kata lain meskipun para pihak pembuat

perjanjian tidak mengatur mengenai ketentuan hukum umum

tertentu secara rinci dalam suatu perjanjian, narnun ketentuan

yang sudah diatur dalam undang-undang secara otomatis tetap

berlaku. Contohnya dalam perjanjian jual beli yang di dalam

perjanjiannya tidak diatur mengenai cacat tersembunyi, namun

ketentuan di dalarn KUHPerdata yang mengatur mengenai pihak

penjual harus menanggung cacat tersembunyi secara otomatis

akan berlaku.

3) Unsur accidentalia

Unsur accidentalia merupakan unsur khusus dalam suatu

perjanjian. Dikatakan khusus karena unsur accidentalia

merupakan ketentuan-ketentuan yang dikehendaki dan secara

khusus diatur dengan jelas oleh para pihak dalam suatu

perjanjian, artinya bisa diatur dalam perjanjian bisa juga tidak

diatur, tergantung kesepakatan para pihak perjanjian. Dengan

demikian, unsur accidentalia dapat dikatakan sebagai unsur yang

sifatnya pelengkap. Contoh dan unsur accidentalia adalah

pengaturan mengenai hukum mana yang berlaku apabila terjadi

perselisihan antara para pihak.


45

5. Wanprestasi

Perjanjian merupakan suatu perbuatan hukum antara dua pihak atau

lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk menimbulkan hak dan

kewajiban.51 Kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam suatu

perjanjian disebut sebagai prestasi. Prestasi berasal dan bahasa Belanda yaitu

“prestatie”, berarti ketetapan janji untuk membayar. Prestasi pada dasarnya

adalah janji dan para pihak dalam perjanjian untuk melakukan sesuatu,

memberikan sesuatu, dan atau tidak melakukan sesuatu. Hal tersebut sesuai

dengan ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata yang membagi prestasi menjadi

tiga, yaitu:

1) Memberikan sesuatu, dengan menyerahkan hak milik atau memberi

kenikmatan atas suatu benda;

2) Berbuat sesuatu, melakukan suatu pekerjaan seperti yang telah

diperjanjiakan;

3) Tidak berbuat sesuatu, tidak melakukan sesuatu seperti yang telah

diperjanjikan.

Apabila salah satu atau lebih pihak tidak melaksanakan prestasi

sesuai dengan apa yang diperjanjikan, maka dapat dikatakan bahwa pihak

tersebut telah melakukan wanprestasi.

Wanprestasi berasal dan kata Belanda yaitu “wanprestatie” yang

berarti kelalaian/kealpaan.52 Sedangkan menurut Subekti, wanprestasi berarti

51
Bahan Ajar Hukum Perdata, Op.cit. hlm 52
52
Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 587
46

prestasi buruk.53 Pengertian dan wanprestasi menurut M. Yahya Harahap

adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan

tidak menurut selayaknya.54 Pada Pasal 1238 KUHPerdata disebutkan, si

berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah

akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikataimya sendiri, ialah

jika mi menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya

waktu yang telah ditentukan. Berdasarkan pasal tersebut, untuk perjanjian

yang tidak ditentukan dengan waktu, perlu ada pemberitahuan atau somasi

terlebih dahulu kepada debitur.

Definisi wanprestasi Kansil yang mengatakan bahwa wanprestasi

terjadi kalau debitur tidak memenuhi atau tidak menepati perikatan disebut

cidera janji (wanprestasi), dan sebelum dinyatakan cidera janji terlebih dahulu

harus dilakukan somasi (ingebrekestelling).55 Di lain sisi, Abdulkadir

Muhammad menjelaskan bahwa wanprestasi berarti tidak memenuhi

kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul

karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang.56

Perbuatan wanprestasi memberikan konsekuensi hukum berupa timbulnya hak

pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi

untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada

satu pun pihak yang dirugikan karena adanya wanprestasi.

53
Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 45
54
M. Yahya Harahap, 1982, Segi-segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hlm. 60
55
C.S.T Kansil, 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, hlm. 247
56
Abdulkadir Muhammad, Op.cit, hlm. 20
47

Bentuk dan suatu wanprestasi dapat berupa:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;

b. Melakukan apa yang dijanjikan, tapi tidak sebagaimana yang

dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi tidak tepat waktu;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh

dilakukan.57

Suatu keadaan dapat dikatan wanprestasi apabila memenuhi beberapa

syarat, yaitu syarat materiil dan syarat formil, yaitu:

1) Syarat materiil, merupakan kesalahan yang kemudian dibedakan menjadi

dua yaitu kesalahan dalam arti luas dan kesalahan dalam arti sempit.

Kesalahan dalam arti luas meliputi kesengajaan dan kelalaian. Dikatakan

kesengajaan apabila pihak yang melakukan perbuatan menghendaki dan

sudah mengetahui apa yang terjadi setelah ia melakukan perbuatan

tersebut. Dikatakan sebagai kelalaian apabila perbuatan yang dilakukan

oleh seseorang di mana ia tidak mengetahui kemungkinan suatu akibat

yang dapat merugikan orang lain. Sedangkan kesalahan dalam arti sempit

hanya meliputi kelalaian saja.

2) Syarat formil, merupakan peringatan (somasi) dan kreditur yang berisi

pesan kepada debitur untuk segera atau pada waktu tertentu memenuhi

prestasinya. Somasi dapat berbentuk surat perintah atau akta sejenis..

57
Munir Faudy. Op.cit, hlm. 87-88
48

Berdasar pada ketentua Pasal 1267 KUHPerdata, Mariam Darus

Badrulzaman menyimpulkan bahwa apabila terjadi wanprestasi, kreditur

memiliki hak-hak sebagai berikut:

a) Hak menuntut pemenuhan perikatan;

b) Hak menuntut pemtusan perkatan atau apabila perikatan itu bersifat

timbal balik, dapat menuntut pembatalan perikatan;

c) Hak menuntut ganti rugi;

d) Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi;

e) Hak menuntut pemutusan atau pebatalan perikatan dengan ganti rugi.58

Ganti rugi adalah mengembalikan kreditur ke dalam keadaan

seandainya debitur tidak wanprestasi. Dalam memenuhi tuntutan ganti rugi,

yang dimaksud dengan kerugian meliputi biaya-biaya (kosten), kerugian

(schaden), dan bunga (interessen).

Ahmad Miru dan Sakka Pati berpendapat bahwa seharusnya tidak

ada tuntutan ganti kerugian yang berdiri sendiri, karena ganti kerugian itu

hanya dapat menyertai dua pilihan utama yaitu melaksanakan perjanjian atau

membatalkan peijajian, sehingga hanya ada empat kemungkinan yang dapat

dilakukan kreditur apabila terjadinya Pemenuhan perjanjian;

a) Pemenuhan perjanjian disertai dengan ganti kerugian;

b) Pembatalan perjanjian;

c) Pembatalan perjanjian disertai dengan ganti kerugian.59

58
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit. hlm. 21.
59
Ahmad Miru dan Sakka Pati, Op.cit. hlm. 31
49

Akibat hukum dan wanprestasi adalah timbulnya keharusan atau

kemestian bagi debitur untuk membayar ganti rugi atau dengan adanya

wanprestasi oleh debitur maka kreditur dapat menuntut “pembatalan

perjanjian”.60 Konsekuensi hukum akibat wanprestasi tersebut juga terdapat

dalam keputusan Mahkamah Agung tanggal 21 Mei 1973 No.

70HK/Sip/1972, yaitu apabila salah satu pihak melakukan wanprestasi karena

tidak melaksanakan pembayaran barang yang dibeli, pihak yang dirugikan

dapat menuntut pembatalan jual-beli.61

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan batasan

mengenai ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh debitur, yaitu:

1) Jika jumlah kerugian melampaui batas yang dapat diduga, kelebihan yang

melampaui batas itu tidak boleh dibebankan kepada debitur, kecuali dalam

hal debitur melakukan tipu daya. Maksudnya adalah bahwa dalam

pemenuhan ganti rugi, debitur hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi,

dan bunga yang nyata telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu

perikatan dilahirkan (Pasal 1247 KUHPerdata);

2) Kerugian yang menjadi akibat langsung dan wanprestasi debitur (Pasal

1248 KUHPerdata);

3) Bunga sebagaimana diatur dalam pasal 1267 KUHPerdata. Dapat

disimpulkan bahwa ganti rugi yang dapat diajukan oleh kreditur hanya

60
Subekti, 1996, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 45
61
Ibid, dapat dilihat juga dalam Yurisprudensi Indonesia, Mahkamah Agung Republik
Indonesia, 1974, hlm. 250
50

sebatas pada kerugian yang secara nyata terjadi dan merupakan akibat

langsung dan wanprestasi.

Berdasarkan teori sebab akibat, Adequate Veroorzaking yaitu teori

yang menyatakan bahwa suatu syarat merupakan sebab, jika menurut sifat

pada umumnya sanggup untuk menimbulkan akibat, maksudnya adalah harus

terdapat hubungan langsung antara perbuatan dan kerugian.62 Sehingga

menurut teori tersebut, debitur hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang

selayaknya dapat diharapkan sebagai akibat dan perbuatannya.

Dalam suatu perjanjian ataupun perikatan yang prestasinya berupa

pembayaran sejumlah uang, maka istilah bunga moratoir merupakan istilah

yang tidak asing. Hal ini karena bunga moratoir merupakan bunga yang harus

dibayarkan debitur kepada kreditur apabila terdapat suatu keterlambatan

pembayaran. Kata moratoir berasal dan bahasa Latin yaitu kata mora, yang

berarti kealpaan atau kelalaian. Bunga moratoir adalah bunga yang harus

dibayar sebagai wujud hukuman bagi debitur karena telah alpa atau lalai

dalam mernbayar hutangnya.63 Berdasarkan Pasal 1250 KUHPerdata,

besamya bunga yang dituntut tidak boleh melebihi prosenan yang telah

ditetapkan undang-undang serta barn dapat dihitung sejak dituntutnya ke

pengadilan.64

62
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.
257.
63
Subekti, 1980. Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, hlm. 49
64
M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hlm. 72.
51

Beberapa alasan yang dapat digunakan oleh debitur sebagai

pembelaan diri karena telah dituduh lalai, antara lain:

1) Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht/force

majeur);

2) Mengajukan bahwa kreditur sendiri juga telah lalai (exception non

adimleti contractus);

3) Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut

ganti rugi/pelepasan hak (rechtsverweking).65

Pada perkembangannya, cacat tersembunyi merupakan bentuk

khusus wanprestasi, dan terhadap cacat tersembunyi itu kreditur dapat

melakukan:

1) Actio redhibitoria, yaitu dengan mengembalikan barang dan meminta

barang yang baru; atau

2) Actio quantiminoris, yaitu tetap menerima barang yang mengandung

cacat tersebunyi tersebut namun disertai dengan meminta ganti rugi

sebagian harta.66

6. Hapusnya Perjanjian

Pasal 1381 KUHPerdata menentukan ada sepulah cara hapusnya

perikatan, antara lain:

65
ibid, hlm. 74
66
Bahan Ajar Hukum Perdata, Hukum Perjanjian, Tim Pengajar Hukum Perdata Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada. hlm. 69
52

1) Dengan pembayaran (betaling);

2) Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan (konsinyasi);

3) Pembaharuan hutang (novasi);

4) Kompensasi atau perhitungan laba-rugi;

5) Percampuran hutang;

6) Pembebasan hutang;

7) Musnahnya barang yang menjadi hutang;

8) Kebatalan atau pembatalan;

9) Berlakunya syarat-syarat batal;

10) Hapusnya perikatan karena daluwarsa.

Cara-cara yang mengakibatkan hapusnya perikatan dalam Pasal 1381

KUHPerdata bukanlah cara yang mengakibatkan hapusnya perjanjian. Suatu

perikatan dapat hapus sementara perjanjian yang menjadi sumbernya masih

tetap ada, misalnya pada perjanjian jual beli, dengan adanya pembayaran

harga maka perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus, namun

pembayaran tersebut belum bisa menghapuskan perjanjian jual beli karena

belum dilaksanakannya penyerahan barang.

Suatu perjanjian baru akan hapus apabila seluruh perikatan yang

timbul dan perjanjian tersebut telah hapus seluruhnya. Dalam hal ini dapat

diartikan bahwa berakhirnya perikatan belum tentu menghapuskan perjanjian

yang menjadi sumber perikatan tersebut. Namun dengan berakhinya

perjanjian sudah pasti menghapus perikatan atas perjanjian tersebut.


53

Suatu perjanjian pada umumnya berakhir apabila tujuan dan perjanjian

tersebut tercapai, yaitu telah terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak

dalam perjanjian, seperti apa yang telah diperjanjikan. Untuk menjelaskan

secara lebih rinci cara hapusnya perjanjian, dapat terjadi dengan beberapa

cara, yaitu:

a. Perjanjian dapat berakhir dengan cara ditentukannya batas waktu

perjanjian oleh para pihak;

b. Undang-undang menentukan batas waktu dan berlakunya perjanjian

tersebut, contoh dalam Pasal 106 KUHPerdata bahwa perjanjian tidak

melakukan pemisahan harta selama jangka waktu tertentu hanya mengikat

selama lima tahun;

c. Perjanjian menjadi hapus dengan terjadinya suatu peristiwa baik yang

ditentukan para pihak maupun oleh undang-undang, contohnya dalam

Pasal 1646 KUHPerdata menentukan salah satu sebab berakhirnya suatu

persekutuan adalah dengan musnahnya barang atau diselesaikannya

perbuatan yang menjadi pokok persekutuan;

d. Adanya pernyataan penghentian perjanjian baik oleh kedua belah pihak

maupun oleh salah satu pihak. Namun, cara ini hanya dapat dilakukan

pada perjanjian yang bersifat sementara;

e. Adanya putusan hakim yang menyatakan penghapusan suatu perjanjian;

f. Apabila telah tercapainya tujuan dan perjanjian;


54

g. Adanya perjanjian dan para pihak untuk mengakhiri perjanjian, Pasal

1338 ayat (2) KUHPerdata menyatakan bahwa berakhirnya perjanjian

dapat terjadi dengan adanya kesepakatan antara para pihak.67

7. Somasi

1. Dasar Hukum dan Pengertian Somasi

Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari

ingebrekestelling. Somasi diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata dan Pasal

1243 KUH Perdata. Somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur)

kepada si berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan

isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Somasi timbul

disebabkan debitur tidak memenuhi prestasinya sesuai dengan yang

diperjanjikan. Ada tiga cara terjadinya somasi itu, yaitu

a. Debitur melaksanakan prestasi yang keliru, misalnya kreditur menerima

sekeranjang jambu seharusnya sekeranjang apel;

b. Debitur tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan.

Tidak memenuhi prestasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

kelambatan melaksanakan prestasi dan sama sekali tidak memberikan

prestasi. Penyebab tidak melaksanakan prestasi sama sekali karena

prestasi tidak mungkin dilaksanakan atau karena debitur terang-terangan

menolak memberikan prestasi.

67
R. Setiawan, Op.cit, hlm. 69
55

c. prestasi yang dilaksanakan oleh debitur tidak lagi berguna bagi kreditur

setelah lewat waktu yang diperjanjikan.

Ajaran tentang somasi ini sebagai instrumen hukum guna

mendorong debitur untuk memenuhi prestasinya. Bila prestasi sudah tentu

tidak dilaksanakan, maka sudah tentu tidak dapat diharapkan prestasi.

Momentum adanya somasi ini apabila prestasi tidak dilakukan pada waktu

yang telah diperjanjikan antara kreditur dengan debitur.

2. Bentuk dan Isi Somasi

Dari telaahan berbagai ketentuan tentang somasi. tampaklah bahwa

bentuk, somasi yang harus disampaikan kreditur kepada debitur adalah dalam

bentuk surat perintah atau sebuah akta yang sejenis.

Yang berwenang mengeluarkan surat perintah itu adalah kreditur atau

pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang adalah Juru

Sita, Badan Urusan Piutang Negara, dan lain-lain. Surat teguran harus

dilakukan paling sedikit tiga kali, dengan mempertimbangkan jarak tempat

kedudukan kreditur dengan tempat tinggal debitur. Tenggang waktu yang

ideal untuk menyampaikan teguran antara peringatan I, II, dan III adalah

tiga puluh hari. Maka waktu yang diperlukan untuk itu selama tiga bulan

atau sembilan puluh hari.


56

3. Peristiwa-Peristiwa yang Tidak Memerlukan Somasi

Ada lima macam peristiwa yang tidak mensyaratkan pernyataan

lalai, sebagai mana dikemukakan berikut ini :

a. Debitur menolak pemenuhan.

Seorang kreditur tidak perlu mengajukan somasi apabila debitur

menolak pemenuhan prestasinya, sehingga kreditur boleh berpendirian

bahwa dalam sikap penolakan demikian suatu somasi tidak akan

menimbulkan suatu perubahan (HR 1-2-1957).

b. Debitur mengakui kelalaiannya.

Pengakuan demikian dapat terjadi secara tegas, akan tetapi juga

secara implisit (diam-diam), misalnya dengan menawarkan ganti rugi.

c. Pemenuhan prestasi tidak mungkin dilakukan.

Debitur lalai tanpa adanya somasi, apabila prestasi (di luar

peristiwa overmacht) tidak mungkin dilakukan, misalnya karena debitur

kehilangan barang yang harus diserahkan atau barang tersebut musnah.

Tidak perlunya pernyataan lalai dalam hal ini sudah jelas dari sifatnya (somasi

untuk pemenuhan prestasi).

d. Pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos)

Tidak diperlukannya somasi, apabila kewajiban debitur untuk

memberikan atau melakukan, hanya dapat diberikan atau dilakukan dalam

batas waktu tertentu, yang dibiarkan lampau. Contoh klasik, kewajiban untuk

menyerahkan pakaian pengantin atau peti mati. Penyerahan kedua barang

tersebut setelah. perkawinan atau setelah pemakaman tidak ada artinya lagi.
57

e. Debitur melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.

Kelima cara itu tidak perlu dilakukan somasi oleh kreditur

kepada debitur. Debitur dapat langsung dinyatakan wanprestasi.

B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kerja

1. Tempat Pengaturan dan Pengertian Perjanjian Kerja

Menurut Imam Soepomo, perjanjian kerja adalah suatu perjanjian yang

diadakan oleh pekerja/buruh dan majikan, di mana pekerja/buruh menyatakan

kesanggupannya untuk bekerja pada majikan dengan menerima upah dan di

mana majikan menyatakan kesanggupannya untuk mempekerjakan

pekerja/buruh dengan membayar upah.68 Menurut Subekti, perjanjian kerja

adalah hubungan hukum antara seseorang yang bertindak sebagai

Pekerja/buruh dengan seseorang yang bertindak sebagai pengusaha/majikan,

atau perjanjian orang-perorangan pada satu pihak dengan pihak lain sebagai

pengusaha untuk melaksanakan suatu pekerjaan dengan mendapatkan upah.69

Sedangkan KUHPerdata Pasal 1601a menyatakan persetujuan perburuhan

adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si buruh, mengikatkan

dirinya untuk di bawah perintahnya pihak yang lain, si majikan, untuk sesuatu

waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah. Namun

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 angka

14 menyebutkan, Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh

68
Imam Soepomo, 1968. Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja, PPAKRI
Bhayangkara, Jakarta. hlm 74
69
Subekti, Op. cit. hlm. 52
58

dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak,

dan kewajiban pam pihak.

Perjanjian kerja merupakan landasan terciptanya hubungan kerja

antara pekerja/buruh dengan pengusaha/pemberi kerja. Sesuai dengan

ketentuan Pasal 1 angka 15 yang menyatakan bahwa hubungan kerja adalah

hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian

kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Sehingga

hubungan kerja baru akan tercipta setelah adanya perjanjian kerja.

Perjanjian kerja tidak sama dengan perjanjian kerja bersama.

Perjanjian kerja bersama menurut Pasal I angka 21 Undang-Undang No. 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah perjanjian yang merupakan hasil

perundingan antara serikat pekerjalserikat buruh atau beberapa serikat

pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di

bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau

perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban

kedua belah pihak. Suatu perusahaan menjadi tidak wajib untuk membuat

peraturan perusahaan apabila ia telah memiliki perjanjian kerja bersama, hal

ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 108 ayat (2) Undang-Undang No. 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Perjanjian kerja bersama dalam sebuah perusahaan menempati

kedudukan paling tinggi di atas peraturan perusahaan dan perjanjian kerja.

Selama terdapat perjanjian kerja bersama, pengusaha tidak perlu membuat

peraturan perusahaan, dan Pasal 127 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun
59

2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjaiIjian kerja yang

dibuat oleh pengusaha dengan pekeaja/buruh tidak boleh bertentangan dengan

perjanjian kerja bersama. Namun dimungkinkan bagi suatu perusahaan untuk

tidak memiliki perjanjian kerja bersama sebagai pedoman bagi pengusaha dan

pekerja/buruh dalam menjanlankan kehidupan hubungan industrial di

perusahaan. Dengan demikian, peraturan perusahaanlah yang kemudian

menjadi sarana, landasan sekaligus acuan serta pedoman bagi pengusaha dan

pekerja/buruh dalam melaksanakan hubungan industrial yang ideal dalam

kehidupan perusahaan.

2. Unsur-Unsur Perjanjian Kerja

Dikatakan Subekti di dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum

Perdata, halaman 172-173, bahwa perjanjian kerja merupakan perjanjian

perburuhan yang sejati dan memiliki sifat-sifat khusus, yaitu:

1) Menerbitkan suatu hubungan diperatas, yaitu hubungan antara buruh

dengan majikan, berdasarkan mana pihak yang satu berhak memberikan

perintah-perintah kepada pihak yang lain tentang bagaimana ia harus

melakukan pekejaannya;

2) Selalu diperjanjikan suatu gaji atau upah, yang lazimnya berupa uang,

tetapi ada juga yang (sebagian) berupa pengobatan dengan percuma,

kendaraan, makan, dan penginapan, pakaian, dan lain sebagainya;


60

3) Dibuat untuk suatu waktu tertentu atau sampai diakhiri oleh salah satu

pihak.70

Sedangkan menurut Sendjum W. Manulang, terdapat 3 (tiga) unsur

yang harus ada dalam sebuah hubungan kerja, yaitu adanya pekerjaan yang

harus dilakukan, adanya perintah (bekerja atas perintah atasan/pengusaha),

dan adanya upah.71 Pendapat serupa dikemukakan oleh Lalu Husni yang

menyatakan bahwa unsur-unsur pei-janjian kerja terdin atas:

1. Adanya unsur pekerjaan

Sifat dan pekerjaan yang dilakukan oleh buruh ini bersifat sangat

pribadi karena bersangkutan dengan keahlian/keterampilan si pekerja itu,

maka menurut hukum sesuai dengan asas kepribadian jika pekerja

meninggal dunia akan membawa akibat perjanjian kerja tersebut putus

demi hukum.

2. Adanya unsur perintah

Manifestasi dan pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh

pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah

pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan

3. Adanya upah

70
Subekti. Op.cit. hIm. 172-173.
71
Sendjum W. Manulang, 1990, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta, hlm. 64.
61

Jika tidak terdapat unsur upah, maka suatu hubungan bukan

merupakan hubungan kerja.72

Penjelasan ahli hukum di atas mengenai unsur-unsur perjanjian kerja

senada dengan pengertian hubungan kerja yang terejawantah dalam ketentuan

Pasal I angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa

suatu hubungan kerja yang didasarkan atas perjanjian kerja memiliki unsur

pekerjaan, upah, dan perintah.

3. Syarat Sah Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja merupakan salah satu jenis perjanjian, sehingga

ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian yang terejawantah dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320 berlaku serta untuk perjanjian

kerja yaitu, sepakat mereka yang mengikatkan din, kecakapan untuk membuat

suatu perjanjian, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.

Mengenai syarat sahnya perjanjian kerja diatur secara tegas dalam

ketentuan Pasal 52 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Pasal 52 ayat (1) menyebutkan bahwa perjanjian kerja

dibuat atas dasar:

a. Kesepakatan kedua belah pihak;

b. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

c. Adanya pekerjaan yang dipeijanjikan; dan

72
Lalu Husni, 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, him. 56.
62

d. Pekerjaan yang dipeijanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Bahwa kesepakatan dan para pihak dalam membuat perjanjian kerja

haruslah dicapai dalam keadaan bebas, artinya para pihak yang sepakat

membuat perjanjian kerja harus bebas dan unsur cacat kehendak baik itu unsur

paksaan (dwang), kekhilafan (dwaling), atau penipuan (bedrog), sehingga

para pihak sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian secara sukarela.

Pihak pekerja buruh menerima pekerjaan yang ditawarkan dan pihak

pengusaha sebagai pemberi kerja menerima Pekerja/buruh tersebut untuk

dipekerjakan.

Kecakapan seseorang untuk melakukan perbuatan hukum dianggap

terpenuhi apabila orang tersebut telah dewasa atau mencapai usia yang cukup

sesuai ketentuan undang-undang. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan Pasal 1 angka 26 menyebutkan bahwa anak adalah setiap

orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun, hal ini sesuai dengan

ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa orang yang

belum dewasa merupakan salah satu golongan yang dikategorikan sebagai

orang yang tidak cakap, selain mereka yang ditaruh di bawah pengampuan,

serta orang perempuan dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh undang-

undang.

Pekerjaan yang dipeijanjiakan dalam perjanjian kerja yang dibuat

merupakan suatu objek perjanjian. Objek perjanjian haruslah tertentu dan


63

tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum,

dan kesusilaan.

Syarat pertama dan kedua merupakan syarat subjektif yang apabila

tidak dipenuhi maka akibatnya adalah dapat dimintakan pembatalan

perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif

yang apabila tidak terpenuhi maka akibatnya adalah perjanjian kerja tersebut

batal demi hukum. Djumadi membagi syarat-syarat perjanjian kerja menjadi

syarat formil dan syarat materiil. Syarat materiil adalah unsur-unsur yang

harus ada dalam perjanjian kerja sebagaimana yang telah diuraikan di atas

(kesepakatan, kecakapan, adanya pekerjaan yang diperjanjikan, dan pekerjaan

tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan serta

ketertiban umum). Sedangkan syarat formil dalam suatu perjanjian kerja

meliputi:

1. Harus disebutkan macam pekerjaan yang dipeijanjiakan;

2. Waktu berlakunya perjanjian kerja;

3. Upah buruh yang merupakan uang harus diberikan setiap bulan;

4. Saat istirahat bagi buruh;

5. Bagian upah lainnya yang berisi perjanjian menjadi hak buruh.73

73
Djumadi, 2004, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Rajawali, Jakarta hIm. 45. Sebagaimana
dikutip dan Imam Soepomo, 1968, Hukum Perburuhan Bagian Pertama Hubungan Kerja, PPAKRI
Bhayangkara, Jakarta, hlm 9.
64

4. Bentuk dan Isi Perjanjian Kerja

Salah satu asas perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak yang di

dalamnya antara lain memuat ketentuan bahwa setiap orang bebas

menentukan bentuk perjanjian yang dibuatnya, dan setiap orang bebas untuk

menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuatnya, menjadi acuan

bagi para pihak dalam membuat perjanjian kerja untuk menentukan bentuk

dan isi perjanjian kerja. Para pihak bebas menentukan bentuk perjanjian kerja,

mau dalam bentuk lisan atau tertulis, sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat

(1) Undang-undang Ketenagakerjaan. Pada ayat (2) dalam pasal yang sama,

disebutkan bahwa Perjanjian kerja yang dipersyaratkan secara tertulis

dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat secara

tertulis sekurang-kurangnya memuat:

a. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;

c. Jabatan atau jenis pekerjaan;

d. Tempat pekerjaan;

e. Besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan

pekerja/buruh;

g. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja,

h. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan


65

i. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

Pasal 54 ayat (2) menyebutkan bahwa ketentuan dalam perjanjian kerja

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh bertentangan

dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Pada penjelasan Pasal 54 ayat (2) Undang-

Undang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan tidak boleh

bertentangan pada ayat ini adalah apabila di perusahaan telah ada peraturan

perusahaan atau perjanjian kerja bersarna, maka isi perjanjian kerja baik

kualitas maupun kuantitas tidak boleh lebih rendah dan peraturan perusahaan

atau perjanjian kerja bersama di perusahaan yang bersangkutan.

Selanjutnya pada ayat (3) disebutkan, perjanjian kerja sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang-kurangnya rangkap 2 (dua), yang

mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta pekerja/buruh dan pengusaha

masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Pasal 57 ayat (3) menyatakan bahwa apabila perjanjian kerja dibuat

dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat

perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja

yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Selain dalam bentuk tertulis, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003

tentang Ketenagakerjaan mempekenankan perjanjian kerja dalam bentuk lisan.

Perjanjian kerja dalam bentuk lisan hanya diperkenankan untuk perjanjian

kerja waktu ticlak tertentu. Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang

Ketenagakerjaan menyebutkan, dalam hal perjanjian kerja waktu tidak


66

tertentu dibuat secara lisan, maka pengusaha wajib membuat surat

pengangkatan bagi pekerja/buruh yang bersangkutan. Pada ayat (2)

dinyatakan, surat pengangkatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

sekurang-kurangnya memuat keterangan:

a. Nama dan alamat Pekerja/buruh ;

b. Tanggal mulai bekerja;

c. Jenis pekerjaan; dan

d. Besarnya upah.

Pasal 55 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa

perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah, kecuali atas

persetujuan para pihak.

5. Macam-Macam Perjanjian Kerja

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, perjanjian kerja dapat dikategorikan menjadi tiga macam

berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria pertama, macam perjanjian kerja dapat

dikategorikan berdasarkan bentuknya yang terdiri dan perjanjian kerja yang

dibuat secara tertulis dan perjanjian kerja yang dibuat secara lisan.

Kriteria kedua, yaitu perjanjian kerja berdasarkan pelaksanaan

pekerjaan yang terdiri dan perjanjian kerja yang pelaksanaan pekerjaannya

dilaksanakan sendiri oleh perusahaan dan perjanjian kerja yang pelaksanaan

pekerjaannya diserahkan kepada perusahaan lain alih daya (outsourcing)

berdasarkan ketentuan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan.


67

Kriteria ketiga, perjanjian kerja berdasarkan jangka waktu perjanjian

kerja yang terdiri dan pejanjian kerja dengan jangka waktu tertentu (PKWT)

dan perjanjian keaja untuk jangka waktu tidak tertentu atau untuk

pekerja/buruh tetap (PKWTT).

Untuk perjanjian kerja waktu tertentu, Undang-Undang No. 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur secara jelas dalam ketentuan Pasal 57

sampai dengan Pasal 59 yang kemudian diperjelas melalui Keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: KEP. 100/MEN/VI/2004 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (berdasarkan Pasal

57 ayat (8) Undang-Undang Ketenagakerjaan).

Pasal 57 ayat (1) menjelaskan, perjanjian kerja untuk waktu tertentu

dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf

latin. Selanjutnya pada ayat (2), perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang

dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagai mana dimaksud

dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu,

hal demikian dijelaskan pula path Pasal 15 ayat (1) Keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP. 1 00/MEN/VI/2004 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat mensyaratkan adanya

masa percobaan kerja, hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 58 ayat (I), dan

apabila disyaratkan masa percobaan kerja dalam perjanjian kerja sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1), masa percobaan kerja yang disyaratkan batal demi

hukum, jelas Pasal 58 ayat (2).


68

Pasal 59 ayat (1) memberikan batasan mengenai jenis pekerjaan yang

dapat menerapkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu, yaitu untuk pekerjaan

yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam

waktu tertentu, yaitu:

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak

terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau

d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau

produk tambahan yang masih dalam pereobaan atau penjajakan.

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor:

KEP.100/MEN/V1/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu, menjelaskan secara terperinci mengenai ketentuan

pelaksanaan perjanjian kerja waktu tertentu untuk setiap jenis pekerjaan yang

diperkenankan menggunakan perjanjian kerja waktu tertentu.

Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan,

perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang

bersifat tetap, dan pada ayat (3), perjanjian kerja waktu tertentu dapat

dilakukan perpanjangan atau diperbaharui, dengan ketentuan yang terdapat

pada ayat (4) bahwa perjanjian kerja waktu tertentu dapat diadakan untuk

paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk

jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Pada pasal yang sama ayat (5),
69

Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu

tersebut, paling lama 7 (tujuh) han sebelum perjanjian kerja waktu tertentu

berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada

Pekerja/buruh yang bersangkutan.

Sedangkan Pasal 59 ayat (6) menjelaskan, pembaruan perjanjian kerja

waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu

30 (tiga puluh) han berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama,

pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu)

kali dan paling lama 2 (dua) tahun.

Ketentuan Pasal 59 ayat (7) menyebutkan bahwa perjanjian kerja

untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) maka demi hukum

menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Pasal 13 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor :

KEP.100/MEN/V1/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja

Waktu Tertentu memerintahkan pengusaha untuk mencatatkan perjanjian

kerja waktu tertentu kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang

ketenagakerjaan Kabupaten/Kota setempat selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari

kerja sejak penandatanganan.

Pekerja/buruh yang melaksanakan perjajian kerja untuk waktu tidak

tertentu merupakan pekerja/buruh tetap. Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang

No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian

kerja untuk waktu tidak tertentu dapat mensyaratkan masa percobaan kerja
70

paling lama 3 (tiga) bulan dan dalam masa percobaan kerja pengusaha

dilarang membayar upah di bawah upah minimum yang berlaku.

6. Para Pihak Dalam Perjanjian Kerja Bcserta Hak dan Kewajiban Para

Pihak

Para pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja terdiri dan pihak

pertama yaitu pemberi kerja, dan pihak kedua yaitu pekerja/buruh sebagai

pihak yang dipekerjakan. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Ketenagakerjaan

memberikan mendefinisikan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja

dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Sedangkan pemberi

kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan

lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau

imbalan dalam bentuk lain, jelas Pasal I angka 4 di dalam Undang-Undang

Ketenagakerjaan. Baru saja disebutkan bahwa pengusaha dapat bertindak

sebagai pemberi kerja. Adapun definisi dan pengusaha terdapat dalam

ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang

menyebutkan, pengusaha adalah:

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan

suatu perusahaan milik sendiri;

b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri

sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di

Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan

b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.


71

Layaknya suatu perjanjian yang berisi hak dan kewajiban para pihak,

begitu pula yang terjadi dengan perjanjian kerja sesuai dengan ketentuan Pasal

54 ayat (1) huruf f bahwa perjanjian kerja harus memuat hak dan kewajiban

pengusaha sebagai pemberi kerja dan pekerja/buruh sebagai yang

dipekerjakan. Dapat dikatakan bahwa kewajiban bagi suatu pihak akan

menjadi hak bagi pihak yang lain, sehingga kewajiban pengusaha merupakan

hak Pekerja/buruh dan kewajiban pekerja/buruh merupakan hak bagi

pengusaha.

Berikut adalah beberapa kewajiban pengusaha, yaitu antara lain:

1. Membayar upah

Definisi upah menurut ketentuan Pasal 1 angka 30, upah adalah hak

pekerja/buruh yang diterirna dan dinyatakan dalambentuk uang sebagai

imbalan dan pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang

ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,

atau peraturan perundang undangan, termasuk tunjangan bagi

pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang

telah atau akan dilakukan. Membayar upah kepada pekerja/buruh

merupakan kewajiban utama bagi pengusaha sebagai pemberi kerja, hal ini

tereantum di dalam Pasal 1602 KUHPerdata yang mengatakan bahwa si

majikan diwajibkan membayar kepada si buruh upahnya yang telah

ditentukan.
72

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

mengatur perihal upah dalam ketentuan Pasal 88 sampai dengan Pasal 98.

Pada Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, setiap

pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan

penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,

pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi

pekerja/buruh , yang salah satunya adalah penetapan upah minimum.

Upah minimum diarahkan untuk pencapaian kebutuhan hidup yang

layak. Pasal 90 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan melarang

pengusaha untuk membayar upah lebih rendah dan upah minimum.

Sedangkan bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah sesuai

dengan ketentuan upah minimum, dapat mengajukan penangguhan yang

tata caranya kemudian diatur melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan

Transmigrasi Nomor KEP/231/MEN/2003 tentang Tata Cara Penagguhan

Pelaksanaan Upah Minimum.

Pasal 93 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan secara tegas

menyatakan bahwa upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak

melakukan pekerjaan. Namun ketentuan tersebut tidak sepenuhnya berlaku

secara mutlak karena Pasal 93 ayat (2) memberikan pengecualian, dengan

kata laun pengusaha tetap wajib membayar upah pekerja/buruh apabila

terjadi keadaan sebagai berikut:

a. Pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;


73

b. Pekerja/buruh perempuan yang sakit pada han pertama dan kedua masa

haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

c. Pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,

menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan

atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu

atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah

meninggal dunia;

d. Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang

menjalankan kewajiban terhadap negara;e. Pekerja/buruh tidak dapat

e. melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang

diperintahkan agamanya;

f. Pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan

tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan

sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;

g. Pekerjalbunth melaksanakan hak istirahat;

h. Pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerjalserikat buruh atas

persetujuan pengusaha; dan

i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dan perusahaan.

Upah sebagai kewajiban utama pengusaha dipertegas dalam Pasal

95 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyatakan dalam hal

perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan


74

perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dan

pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.

2. Melaksanakan keselamatan dan kesehatan kerja

Pasal 86 sampai dengan Pasal 87 Undang-Undang No. 13 Tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur terkait keselamatan dan kesehatan

kerja. Pada Pasal 86 ayat (1) Undang-undang Ketenagakerjaan, disebutkan

setiap pekerja/buruh mempunyai ha untuk memperoleh perlindungan atas:

a. Keselamatan dan kesehatan kerja;

b. Moral dan kesusilaan;

c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-

nilai agama.

Dengan demikian jelas bahwa pengusaha wajib memperhatikan

kondisi tempat keja dan pekerja/buruh yang dapat dilakukan dengan

memberikan jaminan keselamatan dan meningkatkan derajat kesehatan

para pekerja/buruh dengan melakukan pencegahan kecelakaan dan

penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya di tempat kerja, dan promosi

kesehatan dan rehabilitasi74

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1602w mengatakan

bahwa si majikan memiliki kewajiban untuk mengatur letak-letak peralatan

kerja serta merawatnya dan memberikan penjelasan kepada pekerja

74
Djumialdi F.X, 1987, Perjanjian Keija, Bumi Aksara, Jakarta, hIm. 28.
75

mengenai penggunaan peralatan tersebut, yang bertujuan untuk

memberikan keamanan pada pekerja. Selanjutnya pada Pasal 1602x

KUHPerdata, juga mewajibkan si majikan untuk menguruskan pengobatan

dan perawatan sepantasnya apabila pekerjanya mengalami sakit atau

kecelakaan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 mengatur mengenai

keselamatan kerja yang di dalarnnya menjelaskan pekerja/buruh dilindungi

dan bahaya dipakainya alat-alat kerja maupun bahan-bahan yang dipakai

perusahaan.

3. Memberi istirahat dan libur

Pasal 1602v KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban sang

majikan atau pengusaha untuk memberikan waktu untuk istirahat dan han

libur. Selain itu, Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan juga mengatur mengenai waktu istirahat dan waktu libur

yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 79 sampai dengan Pasal 85.

Disebutkan pada Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan,

bahwa pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada

pekerja/buruh .

Waktu istirahat untuk pekerja/buruh dijelaskan path Pasal 79 ayat

(2) huruf a dan huruf b yang berbunyi:

a. Istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya setengah jam setelah

bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut

tidak termasuk jam kerja;


76

b. Istirahat mingguan I (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu)

minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam I (satu)

minggu; Sedangkan untuk waktu cuti dijelaskan pada Pasal 79 ayat

huruf c dan d yang berbunyi:

c. Cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah

pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan

secara terus-menerus; dan

d. Istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan

pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi

pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-

menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh

tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun

bei)alan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa keqa 6

(enam) tahun.

Pasal 80 Undang-Undang Ketenagakerjaan juga mewajibkan

pengusaha untuk memberikan kesemoatan kepada pekerja/buruh untuk

melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.

Pasal 81 sampai dengan Pasal 83 Undang-Undang Ketenagakerjaan

mengatur secara khusus mengenai waktu istirahat kepada pekerja/buruh

perempuan, terkait masa haid perempuan, waktu sebelum maupun sesudah

melahirkan, masa bagi perempuan yang mengalami keguguran, sampai

dengan masalah menyusui sang anak.


77

Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan mengatakan

bahwa pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari libur resmi. Namun

terdapat pengecualian yang dijelaskan pada ayat (2), yaitu pengusaha dapat

mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi

apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau

dijalankan secara terus- menerus atau pada keadaan lain berdasarkan

kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. Pada ayat (3)

dikatakan pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan

pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana climaksud dalam ayat (2)

wajib membayar upah kerja lembur.

4. Membuat peraturan perusahaan

Pasal 1 angka 20 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan Peraturan perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara

tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib

perusahaan. Peraturan perusahaan mengatur lebih lanjut mengenai hal-hal

yang tidak diatur di dalam perjanjian kerja. Di samping perjanjian kerja,

peraturan perusahan merupakan salah satu pedoman bagi pengusaha dan

pekerja/buruh dalam melaksanakan tugas masing-masing.

Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan

bahwa pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya

10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai

berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Namun
78

ayat (2) mengatakan bahwa kewajiban membuat peraturan perusahaan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang

telah memiliki perjanjian kerja bersama. Dengan kata lain, apabila dalam

suatu perusahaan terdapat perjanjian kerja bersama, maka peajanjian kerja

bersamalah yang kemudian menjadi pedoman tertinggi bagi pengusaha dan

pekerja/buruh dalam melaksanakan pekeajaannya, di samping peajanjian

kerja tentunya.

Pasal 111 ayat (I) Undang-Undang Ketenagakerjaan menjelaskan

bahwa sekurang-kurangnya peraturan perusahaan barns memuat:

a. Hak dan kewajiban pengusaha;

b. Hak dan kewajiban pekerja/buruh;

c. Syarat kerja;

d. Tata tertib perusahaan; dan

e. Jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.

5. Memberi surat keterangan

Pasal 1602z KUHPerdata mengatur mengenai kewajiban majikan

untuk memberi pekerja/buruh berupa surat pernyataan yang ditandatangani

olehnya pada waktu berakhirnya perjanjian kerja. Surat keterangan tersebut

memuat keterangan mengenai sifat pekerjaan yang telah dilakukan beserta

lamanya hubungan kerja. Atas permintaan pekerja/buruh yang

bersangkutan, surat keterangan tersebut dapat pula memuat keterangan

mengenai cara pekerja/buruh memenuhi kewajibannya dan cara


79

berakhirnya hubungan kerja. Surat keterangan tersebut sangat penting

artinya sebagai bekal pekerja dalam mencari pekerjaan baru sehingga ia

dapat diperlakukan sesuai dengan pengalamannya.75

6. Membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang

pengganti hak.

Pekerja/buruh akan menerima uang pesangon dan/atau uang

penghargaan masa kerja dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima,

pada saat terjadi pemutusan hubungan kerja. Pengaturan mengenai hal

tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 156 Undang-Undang

Ketenagakejaan.

7. Bertindak sebagai pengusaha yang baik

Pasal l6O2y KUHPerdata meyebutkan bahwa majikan diwajibkan

untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam keadaan yang sama

sepatutnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang majikan yang baik.

Berikut adalah beberapa kewajiban pekerja/buruh, yaitu antara lain:

1. Melakukan pekerjaan

Sudah seyogyanya pekerja/buruh untuk melakukan pekerja

dengan sebaik-baiknya, karena melakukan pekerjaan merupakan obyek

perjanjian dalam perjanjian kerja. Dengan melaksanakan

perkerjaannya maka pekerja/buruh kemudian akan mendapatkan hak

75
Lalu Husni, Op. cit. hlm. 6.
80

utamanya yaitu berupa upah sesuai dengan yang telah dipeijanjikan.

Pekerja/buruh pada hakikatnya melaksanakan pekerjaannya secara

individu atau dilakukan sendiri oleh pekerja/buruh yang bersangkutan,

namun dikarenakan alasan tertentu ketentuan tersebut dapat

dikesampingkan dengan terlebih dahulu Pekerja/buruh terkait

memberi tahu dan meminta izin kepada pengusaha.

2. Menaati tata tertib perusahaan

Pekerja/buruh wajib untuk menaati peraturan yang telah

dibuat oleh pengusaha dalam rangka melaksanakan pekerjaannya agar

tercipta disiplin perusahaan serta suasana kerja yang harmonis.

Kewajiban pekerja/buruh dalam menjalankan peraturan perusahaan

terkait pelaksanaan pekerjaannya merupakan wujud dan unsur

“melakukan pekerjaan di bawah perintahnya (pengusaha)” yang juga

diatu dalam ketentua Pasal 1603b KUHPerdata. Namun tidak semua

perintah pengusaha wajib dipatuhi oleh pekerja/buruh, perintah yang

bertentangan dengan Undang-Undang, norma susila, kebiasaan, dan

ketertiban umum tidak wajib dipatuhi oleh pekerja.76

3. Membayar denda dan ganti rugi

Asas demmum in lura datum yang berarti perbuatan melangga

hukum dapat menimbulkan ganti rugi, berlaku bagi pekerja/buruh yang

76
Djumadi, 2004. Op.cit. him. 48.
81

oleh karenanya pengusaha mengalami kerugian karena kelalaian atau

kesengajaan dan pekerja, sehingga pekerja/buruh yang bersangkutan

diwajibkan untuk membayar ganti rugi. Namun apabila tidak terdapat

unsur kelalaian ataupun kesengajaan dan pekerja, maka pekerja

tersebut dibebaskan dan tanggug jawabnya untuk membayar ganti rugi.

Pekerja/buruh diwajibkan untuk membayar denda apabila

telah melanggar perjanjian kerja maupun peraturan perusahaan,

sehingga ganti rugi baru akan dibayar apabila telah benar-benar terjadi

kerugian dan denda harus dibayar apabila melanggar ketentuan dalam

perjanjian kerja tertulis atau peraturan peusahaan.77

4. Bertindak sebagai pekerja yang baik

Pasal 1603d KUHPerdata menjelaskan bahwa pekerja/buruh

diwajibkan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dalam keadaan

yang sama sepatutnya dilakukan atau tidak dilakukan oleh seorang

pekerja yang baik, dan kewajiban untuk bertindak sebagai pekerja

yang baik merupakan timbal balik dan kewajiban pengusaha yang juga

harus bertindak sebagai majikan yang baik.

77
Abdul Rachman Budiono, 1997, Hukum Perburuhan Di Indonesia, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, him. 49.
82

7. Berakhirnya Perjanjian Kerja

Perjanjian kerja yang merupakan salah satu jenis perjanjian

akan berakhir apabila perikatan yang terdapat di dalamnya telah hapus

atau telah selesai, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian kerja

akan berakhir apabila hubungan kerja yang timbul dan perjanjian

tersebut telah selesai dilaksanakan atau telah hapus. Berakhinya

perjanjian kerja diatur di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan

Pasal 61, yaitu:

(1) Perjanjian kerja berakhir apabila:

a. Pekerja meninggal dunia;

b. Berakhimya jangka waktu perjanjian kerja;

c. Adanya putusan pengadilan dan atau putusan atau penetapan

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau

d. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian

kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhimya hubungan

kerja.

(2) Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha

atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan,

pewarisan, atau hibah.

(3) Dalam hal terjadi pengalihan perusahaan maka hak-hak

Pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali


83

ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak

mengurangi hak-hak pekerja/buruh.

(4) Dalam hal pengusaha, orang perseorangan, meninggal dunia, ahli

waris pengusaha dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah

merundingkan dengan pekerja/buruh .

(5) Dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/

buruh berhak mendapatkan hak haknya sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama.

Dalam ketentuan Pasal 62, dinyatakan apabila salah satu

pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhimya jangka waktu

yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhinya

hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan

membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh

sampai batas waktu berakhinya jangka waktu perjanjian kerja.

C. Tinjauan Umum Tentang Outsourcing

1. Pengertian Outsourcing

Outsourcing yang berasal dan kata outsource, terdiri dan 2 (dua)

padanan suku kata yaitu out yang berarti keluar dan source yang berarti
84

sumber. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa outsourcing

memiliki makna menggunakan sumber daya dan luar.

Dunia bisnis mengenal outsourcing sebagai sebuah sistem yang dapat

diartikan sebagai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya

non-core bussines (bukan bisnis/kegiatan utama perusahaan) atau bersifat

penunjang, artinya jenis pekerjaan yang menggunakan sistem outsourcing

adalah jenis pekerjaan yang bukan merupakan kegiatan utama sebuah bisnis

atau usaha. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan tersebut diserahkan

kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau

perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh.

Beberapa ahli yang mendefnisikan outsourcing di antaranya adalah

Chandra Suwondo yang berpendapat bahwa outsourcing adalah pendelegasian

operasi dan manajemen harian dan suatu proses bisnis kepada pihak luar

(perusahaan penyedia jasa outsourcing).78 Menurut Libertus Jehani,

outsourcing adalah pekerjaan suatu pekeajaan tertentu suatu perusahaan

kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan tujuan untuk membagi risiko dan

mengurangi beban perusahaan tersebut79. Sedangkan pendapat selanjutnya

datang dari Amin Widjaja Tunggal yang berpendapat bahwa outsourcing

adalah usaha untuk mendapatkan tenaga ahli serta mengurangi beban dan

biaya perusahaan dalam meningkatkan kineija perusahaan agar dapat

78
Chandra Suwondo, 2003, Outsourcing Implementasi Di indonesia, Elex Media Computindo,
Jakarta, hlm. 3.
79
Libertus Jehani, 2008, Hak-Hak Karyawan Kontrak, Forum Sahabat, Jakarta, hIm. 1.
85

teknologi global dengan menyerahkan kegiatan perusahaan pada pihak lain

yang tertuang dalam kontrak.80

Michael F. Corbett, pendiri The Outsourcing Institute dan Presiden

Direktur dan Michael F. Corbett & Associates Consulting Firm, menyatakan

bahwa outsourcing bukan hanya untuk menyelesaikan masalah, tetapi juga

mendukung tujuan dan sasaran bisnis.81 Definisi outsourcing menurut

Maurice F. Gerafer, adalah tindakan penyerahan beberapa kegiatan internal

perusahaan dan hak memerintah kepada pihak luar sebagaimana tertera dalam

perjanjian, dan di dalam praktiknya tidak hanya kegiatan yang diserahkan

tetapi juga faktor produksi dan hak memutus juga.82

Pasal 160lb KUHPerdata mengatur mengenai perjanjian pemborongan

memiliki pengertian suatu perjanjian di mana pemborong mengikat diri untuk

membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan

mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborongan

dengan bayaran tertentu, yang kemudian menunut I Wayan Nedeng dapat

dikatakan sebagai bentuk outsourcing.

Melalui pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh

perusahaan, melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing.83

Proses pemindahan tersebut merupakan proses pemindahan tanggung jawab

80
Amin Widjaja Tunggal, 2008, Outsourcing Konsep dan Kasus, Flarvarindo, Jakarta, hIm.11
81
_____, “Definisi Outsourcing”,
http://tropisgroup.co.id/index.php?option=com_content&viewaticie&id=53&Itemid6 I,
www.tropisgroup.co.id, diakses pada 20 Agustus 2013.
82
Richardus Eko Indrajit, Richardus Djokopranoto, 2006, Proses Bisnis Outsourcing, Grasindo,
Jakarta, hlm. 2.
83
Amin Widjaja Tunggal, Op.cit. hlm.7.
86

tenaga kerja dan perusahaan lain di luar perusahaan induk yang dapat berupa

koperasi atau instansi lain yang diatur melalui suatu kesepakatan tertentu

sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Melalui studi para ahli manajemen yang dilakukan sejak tahun 1991,

termasuk survey yang dilakukan terhadap lebih dan 1.200 perusahaan,

Outsourcing Institute mengumpulkan sejumlah alasan perusahaan melakukan

outsourcing, yaitu:

1) Meningkatkan fokus perusahaan;

2) Memanfaatkan kemampuan kelas dunia;

3) Mempercepat keuntungan yang diperoleh dan reengineering,

4) Membagi risiko;

5) Sumber daya sendiri dapat dipergunakan untuk kebutuhan-kebutuhan

lain;

6) Memungkinkan tersedianya dana capital;

7) Menciptakan dana segar;

8) Mengurangi dan mengandalikan biaya operasi;

9) Memperoleh sumber daya yang tidak dimiliki sendiri;

10) Memecahkan masalah yang sulit dikendalikan atau dikelola.84

Sehat Damanik dalam bukunya yang berjudul Outsourcing &

Perjanjian Kerja Menurut UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,

mengatakan bahwa untuk memperoleh keunggulan kompetitif, ada dua hal

84
Richardus Eko Indrajit, Richardus Djokopranoto, Op.cit. Nm 4-5.
87

yang dilakukan oleh pengusaha berkaitan dengan ketenagakerjaan, yakni

melakukan hubungan kerja dengan pekerja/buruh melalui perjanjian kerja

waktu tertentu dan melakukan outsourcing.85

Para perusahaan akan lebih luwes dalam berkompetisi apabila

perusahan-perusahaan tersebut mengidentifikasi bisnis utama mereka

kemudian berkonsentrasi untuk mengelolanya, dan meng-outsource-kan atau

meng-hive off-kan apa yang disebut dengan fungsi-fungsi yang tidak utama

(pekerjaan yang sifatnya penunjang) kepada perusahaan lain kepada

perusahaan-perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.86

Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak

menyebutkan istilah outsourcing secara eksplisit namun memberikan

penjelasan mengenai alih daya dalam pelaksanaannya yang kemudian

dituangkan dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

2. Landasan Hukum Outsourcing

Pengaturan outsourcing terdapat dalam ketentuan Pasal 64 sampai

dengan Pasal 66 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

yang kemudian secara lebih jelas terejawantah di dalam Keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 101/Men/IV/2004 tentang Tata Cara

Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa pekerja/buruh dan Keputusan Menteri

Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat

85
Sehat Damanik, 2006, Outsourcing & Perjanjian Kerja Menurut UU No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan, DSS Publishing, hIm. 19.
86
Ibid. hlm. 23
88

Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

Namun, kedua Keputusan Menteri tersebut dicabut setelah lahirnya Peraturan

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. 19 Tahun

2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan

Kepada Perusahaan Lain pada bulan November tahun 2012 lalu, sehingga saat

ini segala ketentuan mengenai outsourcing selain mengacu kepada Undang-

Undang Ketenagakerjaan juga mengacu kepada Permenaker outsourcing

tersebut.

3. Tinjauan Umum Tentang Outsourcing

a. Pengertian Outsourcing

Outsourcing adalah pendelegasian operasi dan managemen harian dari

suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa outsourcing).

Melalui pendelegasian, maka pengelolaan tak lagi dilakukan oleh perusahaan,

melainkan dilimpahkan kepada perusahaan jasa outsourcing.87

Di dalam Undang-Undang tidak menyebutkan secara tegas mengenai

istilah outsorcing. Tetapi pengertian outsourcing dapat dilihat dalam

ketentuan Pasal 64 Undang-Undang ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003,

yang isinya menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang

dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut

dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan

87
Ibid. hlm. 10.
89

lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara

tertulis.88

Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, outsourcing disamakan dengan

perjanjian pemborongan sehingga pengertian outsourcing adalah suatu

perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja

tertentu bagi pihak lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk

memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborongan dengan bayaran

tertentu.

Dari pengertian diatas maka dapat ditarik suatu definisi operasional

mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan

pengguna jasa dengan perusahaan penyedia jasa, dimana perusahaan

pengguna jasa meminta kepada perusahaan penyedia jasa untuk menyediakan

tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan pengguna jasa

dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh

perusahaan penyedia jasa.

b. Pengaturan Outsourcing di Indonesia

Pelaksanaan outsourcing melibatkan 3 (tiga) pihak yakni perusahaan

penyedia tenaga kerja outsourcing, perusahaan pengguna tenaga kerja

outsourcing, dan tenaga kerja outsourcing itu sendiri. Oleh karena itu perlu

88
H.Zulkarnain Ibrahim, Praktek Outsourcing Dan Perlindungan Hak-Hak Pekerja, Simbur
Cahaya, hlm.80
90

adanya suatu peraturan agar pihak-pihak yang terlibat tidak ada yang

dirugikan khususnya tenaga kerja outsourcing.

Mengingat bisnis outsourcing berkaitan erat dengan praktek

ketenagakerjaan, maka Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan merupakan salah satu peraturan pelaksanaan outsorcing di

Indonesia yang ditemukan dalam Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66.

Perusahaan wajib memiliki ijin operasional dari instansi

ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota sesuai dengan domisili perusahaan

penyedia jasa pekerja/buruh. Untuk mendapatkan ijin operasional, dilakukan

permohonan dengan melampirkan :

a. Copy pengesahan sebagai badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas

atau koperasi;

b. Copy anggaran dasar yang di dalamnya memuat kegiatan usaha penyedia

jasa pekerja/buruh;

c. Copy SIUP;

d. Copy wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku.

Dinas Tenaga Kerja Kota/Kabupaten harus sudah menerbitkan ijin

operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi ketentuan diatas

dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan diterima. Ijin operasional

bagi perusahaan penyedia pekerja/buruh outsourcing berlaku diseluruh

Indonesia untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka

waktu yang sama.


91

3. Para Pihak Dalam Outsourcing

Berdasarkan beberapa definisi outsourcing menurut para pendapat ahli

yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa outsourcing

adalah suatu penyerahan sebagian aktifitas perusahaan yang bukan merupakan

kegiatan inti, kepada pihak luar. Sehingga hubungan kerja yang terjadi

kemudian adalah hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh dengan pekerja/buruh yang nantinya akan ditempatkan di

perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh, sedangkan perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh dengan perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dilandasi

dengan perjanjian kerjasama atau perjanjian penyedia jasa pekerja/buruh.

4. Macam-macam Perlindungan Hukum

Hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari

hukum.Hampir seluruh hubungan hukum harus mendapat perlindungan dari

hukum.Oleh karena itu terdapat banyak macam perlindungan hukum.Dari

sekian banyak jenis dan macam perlindungan hukum, terdapat beberapa

diantaranya yang cukup populer dan telah akrab di telinga kita, seperti

perlindungan hukum terhadap konsumen.

Perlindungan hukum terhadap konsumen ini telah diatur dalam

Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen yang pengaturannya

mencakup segala hal yang menjadi hak dan kewajiban antara produsen dan

konsumen.
92

Selain itu, terdapat juga perlindungan hukum yang diberikan kepada

hak atas kekayaan intelektual (HaKI). Pengaturan mengenai hak atas

kekayaan intelektual meliputi, hak cipta dan hak atas kekayaan industri.

Pengaturan mengenai hak atas kekayaan intelektual tersebut telah dituangkan

dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten,

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas

Tanaman, dan lain sebagainya.

Tersangka sebagai pihak yang telah melakukan perbuatan hukum juga

memiliki hak atas perlindungan hukum.Perlindungan hukum terhadap

tersangka diberikan berkaitan dengan hak-hak tersangka yang harus dipenuhi

agar sesuai dengan prosedur pemeriksaan sebagaimana diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Selain jenis dan bentuk perlindungan hukum yang disebutkan diatas,

masih banyak lagi jenis dan bentuk perlindungan hukum yang dapat kita

jumpai dalam berbagai hubungan hukum dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian artikel mengenai perlindungan hukum semoga bermanfaat bagi

anda.
93

5. Tinjauan Umum tentang PT. PKSS

PT. Prima Karya Sarana Sejahtera (PKSS) didirikan pada tahun 1999

sebagai Group Usaha PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. dengan

Pemegang Saham Yayasan Kesejahteraan Pekerja Bank Rakyat Indonesia

(YKP BRI) dan Dana Pensiun Bank Rakyat Indonesia (DP BRI), PT. Prima

Karya Sarana Sejahtera (PKSS) memiliki komitmen dan dedikasi yang tinggi

sebagai perusahaan yang bergerak dibidang pengerahan dan pengadaan

sumber daya manusia untuk memenuhi sektor-sektor operasional baik intern

maupun ekstern dari perusahaan anda.

PT. Prima Karya Sarana Sejahtera (PKSS) bergerak dalam bidang

usaha pengelolaan tenaga kerja dengan bentuk layanan produk dan jasa antara

lain; Assesment, Rekrutmen, Analisa Jabatan, Jasa Penyedia

Kerja/Pemborongan Pekerjaan, Pendidikan dan Pelatihan. Harapan kami bisa

menjadi konsultan pribadi bagi setiap perusahaan yang paham dan mengerti

berbagai aspek permasalahan human capital, organisasi, sistem manajemen

beserta pemecahannya yang komprehensif. Perusahaan kami mengasah tenaga

kerja Indonesia yang telah terbukti sebagai potensi yang dianggap masih

terpendam dan belum maksimal dikelola dengan baik dan benar. Dengan

demikian kami melakukan perekrutan, seleksi, pengembangan, penempatan

human capital atau sumber daya manusia yang memiliki nilai kinerja yang

tinggi, disamping memfasilitasi pengembangan human capital yang

terstruktur, aplikatif dan sejalan dengan kebutuhan usaha.


94

PT. Prima Karya Sarana Sejahtera (PKSS) hadir sebagai perusahaan

yang siap memenuhi kebutuhan sumber daya manusia untuk berbagai tenaga

antara lain; Frontliner untuk tugas pekerjaan sebagai Teller dan/atau

Customer Service, Petugas Administrasi, IT Support, Sekretaris, Marketing,

Satpam, Pramubhakti, Cleaning Service, Penjaga Malam dan Pengemudi

Mobil (Driver).

Kami memahami dan memberikan solusi yang akurat untuk kebutuhan

setiap perusahaan dalam mengelola dan menggerakkan organisasi sumber

daya manusia yang mendasarkan kepada prinsip human capital manajemen

secara effektif dan effisien menuju sasaran perusahaan.


95

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian hukum menurut Soerjono Soekamto merupakan suatu kegiatan

ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang

bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa jejak hukum analisis.89

Penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis untuk kemudian

dituangkan ke dalam bentuk penulisan hukum ini dilakukan melalui dua tahap,

yang pertama yaitu melalui penelitian kepustakaan, dan yang ke dua adalah

penelitian lapangan. Dua tahap penelitian ini dilakukan penulis melengkapi data-

data yang dibutuhkan dalam penulisan hukum terkait, serta membantu penulis

dalam menganalisa secara yuridis terhadap permasalahan yang ingin dipecahkan

dalam penulisan hukum ini.

a. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan adalah penelitian yang dilakukan dengan

cara mengumpulkan, mempelajari, dan menganalisis data tertulis/data

sekunder yang terdapat dalam peraturan, buku, makalah, artikel, dan bahan-

bahan lain yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti, data-data

tersebut juga disebut sebagai bahan hukum. Bahan hukum yang digunakan

dalam penelitian ini dapat dikelompokan menjadi :

89
Soerjono Soekamto, 1986, Metode Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
hlm. 43.
96

B. Bahan Penelitian

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat,

dapat berupa norma atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan

perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi, serta

yurisprudensi.

Bahan hukum primer dalam penelitian ini antara lain terdiri dari :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

c) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;

d) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan;

e) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia

No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat penyerahan sebagian

pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain;

f) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.

100/Men/VI/2004 tentang Pelaksanaan Kerja Waktu Tertentu;

g) Keputusan Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No Kep.

101/Men/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa

Pekerja/Buruh;

h) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep.

220/Men/X/2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian

Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain;


97

i) Naskah Perjanjian Kerja antara PT. Prima Karya Sarana Sejahtera

(PKSS) Cabang Palembang dengan pekerja/buruh outsourcing yang

berada dibawah naungan PT. Prima Karya Sarana Sejahtera (PKSS)

Cabang Palembang.

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, terdiri dari :

a) Buku-buku yang membahas tentang Hukum Perdata;

b) Buku-buku yang membahas tentang Perjanjian;

c) Buku-buku yang membahas tentang Perburuhan atau Ketenagakerjaan;

d) Buku-buku yang membahas tentang Outsourcing;

e) Jurnal, makalah serta artikel yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti.

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder, yang terdiri atas :

a) Kamus Besar Bahasa Indonesia;

b) Kamus Bahasa Inggris-Indonesia;

c) Kamus Hukum.
98

C. Lokasi Penelitian

Dengan mengacu kepada komitmen dan dedikasi yang tinggi sebagai

perusahaan yang bergerak dibidang pengerahan dan pengadaan sumber daya

manusia untuk memenuhi sektor-sektor operasional baik intern maupun ekstern

yang dimiliki oleh PT. Prima Karya Sarana Sejahtera (PKSS) Cabang Palembang

sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dipercaya oleh banyak

perusahaan untuk menjadi rekan kerja/mitra bisnis. Selain memiliki manajemen

sumber daya manusia yang cukup handal, cakupan wilayah yang luas di seluruh

kota besar di Indonesia tidak terkecuali di Palembang, menjadi salah satu

keunggulan yang dimiliki oleh PT. Prima Karya Sarana Sejahtera (PKSS)

Cabang Palembang.

Sebagai perusahaan penyedia jasapekerja/buruh, PT. Prima Karya Sarana

Sejahtera (PKSS) sudah tentu memiliki hubungan kerja dengan pekerja/buruh

outsourcing yang berada dibawah naungannya, dan hubungan kerja ini

didasarkan atas perjanjian kerja.

Terhadap pertimbangan di atas kemudian penulis memutuskan untuk

melakukan penelitian terkait pelaksanaan perjanjian kerja bagi pekerja/buruh

outsourcing di PT. Prima Karya Sarana Sejahtera (PKSS) Cabang Palembang,

yang berkedudukan di Jalan Pangeran SW Subekti No. 3c, Rukun Tetangga 22,

Rukun Warga 26, Kelurahan 26 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan.


99

D. Subyek Penelitian

Responden adalah pemberi informasi yang mengalami sendiri

permasalahan yang diteliti. Responden dalam penelitian ini adalah pihak-pihak

yang terlibat secara langsung dalam pelaksanaan perjanjian kerja bagi

pekerja/buruh outsourcing pada PT. Prima Karya Sarana Sejahtera (PKSS)

Cabang Palembang, yaitu Bapak H. Suprantio selaku Pimpinan Cabang PT.

Prima Karya Sarana Sejahtera (PKSS) Cabang Palembang.

Narasumber adalah pihak-pihak yang mengetahui mengenai

permasalahan yang diteliti, namun tidak terlibat secara langsung didalam

permasalahan. Narasumber pada penelitian penulisan hukum ini adalah pejabat

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Palembang, yaitu Bapak H. Drs.

Azizi. S. H selaku Kepala Seksi Hubungan Industrial.

E. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Populasi90 dalam penelitian ini adalah Pimpinan, karyawan pada PT.

Prima Karya Sarana Sejahtera (PKSS) Cabang Palembang. Pengambilan sampel

dilaksanakan dengan teknik Non Random Sampling. Adapun jenis pengambilan

sampel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling91

yaitu :

90
Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama. Ibid, hlm 118.
91
Dalam purposive sampling, pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas cirri-ciri atau
sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan cirri-ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Sutrisno Hadi, 2004, Metodologi Research, Andi,
Yogyakarta, hlm 91.
100

a) Pihak PT. PKSS yang memiliki kualifikasi dan peran menangani masalah

yang terjadi.

1. Pimpinan PT. PKSS Cabang Palembang;

2. Pembina PT. PKSS Cabang Palembang.

b) Pihak yang memiliki kompetensi dalam penelitian sebagai responden dengan

kriteria :

c) Minimal 2 Tahun masa kerja;

d) Berjenis klamin Pria;

e) Dikenai wanprestasi..

Berdasarkan kriteria inilah penulis menentukan sampel responden atau

narasumber yang menjadi sumber data lapangan dalam penelitian.

1. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data sekunder, penulis menggunakan metode

dokumentasi yaitu dengan melakukan studi dokumentasi yang dilakukan

dengan menelusuri bahan-bahan hukum yang tersedia. Sedangkan dalam

pengambilan data primer dilakukan dengan metode interview/wawancara,

yaitu proses komunikasi dan interaksi dengan mengadakan Tanya jawab

langsung dengan responden maupun narasumber mengenai permasalahan

dalam penelitian.
101

2. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data sekunder dilakukan menggunakan alat berupa

studi dokumen terhadap bahan-bahan hukum yang tersedia. Sedangkan alat

yang digunakan dalam mengumpulkan data primer adalah berupa wawancara.

Pedoman wawancara yang digunakan adalah berupa daftar pertanyaan yang

bersifat terbuka serta disusun secara sistematis dan berkaitan dengan masalah

yang teliti. Pedoman wawancara hanya berupa garis besar saja, sehingga tidak

menutup kemungkinan adanya pertanyaan lain sepanjang masih berhubungan

dengan masalah yang diteliti.

F. Analisis Data

Data-data yang telah diperoleh, baik melalui penelitian kepustakaan (data

sekunder) dan penelitian lapangan (data primer) akan dianalisa secara kualitatif,

yaitu dengan mengumpulkan dan menyeleksi data yang terkumpul berdasarkan

kualitasnya sesuai dengan permaslahan yang diteliti sehingga akan memperoleh

suatu kesimpulan dan alternatif penyelesaian dari permasalahan yang diteliti.

G. Jalannya Penelitian

Penulisan hukum ini dilakukan melalui beberapa tahap. Adapun tahap

yang dilalui yaitu :

a. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan, penulis melakukan pemilihan judul kemudian

menentukan rumusan masalah yang selanjutnya dituangkan dalam sebuah

proposal (usulan penelitian penulisan hukum ini). Proposal tersebut penulis


102

konsultasikan kepada dosen pembimbing tesis. Setelah proposal disetujui,

penulis kemudian mulai melakukan penyusunan alat penelitian dan perizinan

penelitian untuk lokasi penelitian kepada Fakultas Hukum Universitas Gadjah

Mada.

b. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan, penulis melakukan penelitian kepustakaan

dengan mengumpulkan dan mengkaji data sekunder dan di tahap ini pula

penulis melakukan penelitian lapangan menggunakan metode wawancara

dengan responden dan narasumber untuk mendapatkan data primer dalam

penulisan hukum ini.

c. Tahap Penyelesaian

Tahap Penyelesaian merupakan tahap di mana penulis menganalisa

seluruh data hasil penelitian untuk menjawab rumusan masalah dari penulisan

hukum ini. Setelah itu dilanjutkan dengan konsultasi dengan dosen

pembimbing tesis dan melakukan sidang pendadaran di depan para dosen

penguji.

H. Kendala Penelitian

Pada saat melakukan penulisan hukum ini, penulis mengalami kendala

berupa sulitnya bertemu dan menyesuaikan waktu yang tepat untuk mengakses

data primer maupun data sekunder dari narasumber maupun responden, hal ini

dikarenakan sibuknya responden dan narasumber.


103

I. Cara Mengatasi Kendala Penelitian

Mendatangi lokasi responden dan narasumber serta mengirim pesan

singkat (SMS) dan mencoba menghubungi via telepon, seringkali penulis

lakukan terhadap responden dan narasumber untuk selalu bertanya kapan

sekiranya penulis dapat mengakses data primer maupun data sekunder yang

penulis butuhkan dari responden dan narasumber dalam melakukan penulisan

hukum ini.
104

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing Pada PT. Prima Karya

Sarana Sejahtera (PKSS) Cabang Palembang

Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Dasar 1945, pekerja/buruh

mempunyai kedudukan yang sama dengan majikan/pengusaha, namun tidak

demikian mengenai social ekonomis. Kedudukan majikan lebih tinggi dari

pekerja/buruh. Kedudukan yang tidak seimbang dalam hubungan kerja ini

mengakibatkan adanya hubungan diperatas (dienstverhoeding), sehingga

menimbulkan kecenderungan pihak majikan/pengusaha untuk berbuat sewenang-

wenang kepada pekerja/buruhnya.

Dalam melindungi pekerja/buruh dari kesewenang-wenangan pengusaha

maka Pasal 5 Keputusan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik

Indonesia Nomor Kep. 220/Men/X2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan

Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain menentukan bahwa

setiap perjanjian pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang

menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubugan kerja

sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan perlindungan bagi pekerja/buruh yang dimuat dalam

ketentuan Pasal 65 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa

perlindungan kerja dan syarat-syarat bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain


105

sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja

pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Hal ini bertujuan agar pekerja outsourcing mendapat

perlindungan hukum berupa perlindungan kerja, syarat-syarat kerja serta

kesejahteraan yang sama yang berlaku bagi pekerja tetap yang bekerja pada

perusahaan pengguna jasa pekerja atau sekurang-kurangnya sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan penelitian, data-data mengenai Perlindungan Hukum Bagi

Pekerja Outsourcing Pada PT. Prima Karya Sarana Sejahtera (PKSS) Cabang

Palembang, akan diuraikan secara jelas dan terperinci dibawah ini.

1. Perlindungan terkait dengan waktu kerja, waktu lembur, waktu

istirahat, dan cuti.

Waktu kerja yang berlaku bagi pekerja outsourcing yang ditempatkan

pada sebanyak 9 (sembilan) jam 1 (satu) hari dan 45 (empat puluh lima) jam 1

(satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. Jam kerja

dilapangan baik pekerja pria maupun wanita tidak dibedangkan jam kerjanya.

Berdasarkan Pasal 77 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003 yang

menyatakan waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

a) 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b) 8 (delapan) jam 1(satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu
untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
106

Ketentuan terkait waktu kerja yang berlaku bagi pekerja outsourcing

belum sesuai dengan ketentuan waktu kerja yang telah ditentukan oleh UU

No. 13 Tahun 2003.

Pekerja outsourcing sering bekerja diluar waktu kerja. Tidak ada

aturan yang jelas mengenai waktu lembur sehingga perusahaan pengguna jasa

pekerja yang menentukan kapan si pekerja harus lembur atau tidak, pada

prakteknya sering kali pekerja bekerja melampaui jauh jam yang seharusnya

saat bekerja, dan itupun tidak dihitung lembur.92 Hal ini bertentangan dengan

Pasal 3 ayat (1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

Kep. 102/Men/VI/2004 yang menentukan bahwa waktu kerja lembur hanya

dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat

belas) jam dalam 1 (satu) minggu.

Mengenai waktu istirahat antara jam kerja, seperti biasa hanya 30 (tiga

puluh) menit bagi pekerja untuk istirahat, dan itupun tidak ada aturan yang

jelas dari user yang mengatur tentang istirahat. Bagi pekerja satpam tidak

adanya aturan yang mengatur secara jelas tentang istirahat pekerja

dikarenakan satpam dapat beristirahat setiap saat dalam waktu jam kerja.93

Hal ini bertenangan dengan apa yang disampaikan oleh PT. PKSS yang mana

menegaskan hal ini diatur secara personal oleh perusahaan yang memakai jasa

pekerja.

92
Hasil wawancara dengan Para Responden
93
Hasil wawancara dengan Para Responden
107

Berdasarkan Pasal 79 ayat (2) huruf a UU No. 13 Tahun 2003, waktu

istirahat antara jam kerja adalah sekurang-kurangnya setengah jam setelah

bekerja selama 4 (empat) jam secara terus-menerus dan waktu istirahat

tersebut tidak termasuk jam kerja. Ketentuan terkait waktu istirahat antara jam

kerja yang berlaku bagi pekerja outsourcing belum sesuai dengan ketentuan

waktu istirahat antara jam kerja yang telah ditentukan oleh UU No. 13 Tahun

2004.

Pekerja outsourcing mendapatkan waktu istirahat mingguan. Pasal 79

ayat (2) huruf b UU. No. 13 Tahun 2003 yang mengatur lamanya waktu

istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk enam hari kerja yakni 8 (delapan) jam

per hari dalam satu minggu dan 2 (dua) hari untuk lima hari kerja yakni 12

(dua belas) jam per hari dalam satu minggu telah terpenuhi bagi pekerja

outsourcing.

Hak pekerja outsourcing mengenai cuti tahunan yakni dengan waktu

kurang lebih 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja secara

terus menerus selama 12 (dua belas) bulan tidak sepenuhnya diterima

pekerja/buruh outsourcing. PT. PKSS menyatakan ada cuti tersebut akan

tetapi dalam pelaksanaannya tetap dikembalikan pada kebijakan perusahaan

pengguna jasa pekerja outsourcing.94

Berdasarkan Pasal 79 ayat (2) huruf c UU No. 13 Tahun 2003 yang

mengatur lamanya cuti tahunan sekurang – kurangnya 12 (dua belas) hari

94
Hasil wawancara dengan Bapak Sutrisno sebagai Staff Recruitment dan HRD PT. PKSS
108

kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas)

bulan secara terus menerus bagi pekerja outsourcing belum terpenuhi.

Mengenai cuti kawin dan cuti meninggalnya orang tua, 4 (empat)

responden menyatakan tidak pernah meminta cuti tersebut sedangkan seorang

responden menyatakan selama waktu bekerja di PT. PKSS pernah

mengadakan perkawinan tetapi tidak mendapatkan cuti. Salah satu responden

tidak mendapatkan cuti dari PT. PKSS maupun dari pihak perusahaan

pengguna jasa pekerja (user) ketika ayah kandungnya meninggal. PT. PKSS

memotong gaji selama pekerja tidak masuk kerja dalam hal melaksanakan cuti

tersebut.

Berdasarkan Pasal 79 ayat (2) huruf c UU No. 13 Tahun 2003 yang

mengatur lamanya cuti tahunan sekurang kurangnya 12 (dua belas) hari kerja

setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan

secara terus menerus bagi pekerja outsourcing belum terpenuhi.

Dalam hal istirahat panjang, tidak pernah ada istirahat panjang dengan

waktu kurang lebih 2 (dua) bulan dan dilaksanakan masing- masing 1 (satu)

bulan pada tahun ketujuh atau kedelapan setelah pekerja/buruh yang telah

bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus menerus pada perusahaan yang

sama dikarenakan responden yang telah di wawancara oleh peneliti baru

menjalani masa bekerja selama 5 (lima) tahun.


109

Mengenai Istirahat/Cuti Khusus bagi pekerja/buruh Perempuan

meliputi hari pertama dan hari kedua pada waktu haid, cuti selama 1,5 (satu

setengah) bulan sampai dengan melahirkan melahirkan, cuti selama 1,5 (satu

setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau

bidan setelah mengalami keguguran kandungan, serta kesempatan khusus

untuk menyusui anaknya dikarenakan 2 (dua) responden wanita pernah

melahirkan, keguguran maupun menyusui anaknya dalam masa kerja di PT.

PKSS

2. Pelindungan Pengupahan

Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Penghasilan tersebut berupa upah

yang pada hakekatnya berbentuk uang yang ditetapkan dan dibayarkan oleh

pengusaha atau pemberi kerja menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan,

atau atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan ditentukan.

H. Drs. Azizi. S.H menyatakan besarnya Upah Minimum Provinsi

Sumatera Selatan adalah Rp. 1.350.000,- (satu juta tiga ratus lima puluh ribu

rupiah).95 Menurut Pasal 94 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 menentukan

bahwa pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum

yang telah ditentukan oleh pemerintah setempat dimana pekerja itu

95
Hasil wawancara dengan Bapak H. Drs. Azizi. S.H, Pejabat Dinas Tenaga Kerja dan Sosial
Provinsi Sumatera Selatan.
110

ditempatkan. Komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap

maka besarnya upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima

perseratus) dari jumlah upah pokok dan tunjangan tetap. Hal ini bertujuan

untuk memenuhi kebutuhan hidup secara layak serta meningkatkan

kesejahteraan bagi kehidupan pekerja dan keluarganya.

Menurut upah PKWT antara PT. PKSS dengan pekerja outsourcing

adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari Pihak Pertama yakni PT. PKSS

kepada Pihak Kedua yakni pekerja atas jasa yang telah dilakukan oleh Pihak

Kedua dalam bentuk uang termasuk tunjangan yang ada didalamnya. Upah

yang diberikan oleh PT. PKSS kepada pekerja tidak dibedakan berdasarkan

masa kerjanya. Upah tersebut dinyatakan dalam bentuk uang rupiah dan

dibayarkan melalui Bank Rakyat Indonesia pada tanggal 25 setiap bulannya.

Jika tepat tanggal 25 di bulan tersebut adalah hari libur maka penggajian

dilakukan sebelum tanggal 24.

Bentuk Pembayaran upah dilakukan dengan pemberian uang tunai

yang disetor kepada Bank Rakyat Indonesia yang dapat diambil secara tunai

melalui teller Bank maupun melalui Anjungan Tunai BRI. Cara pembayaran

upah pun tidak dilakukan dengan menandatangani slip gaji yang mana

memuat seluruh detail pembayaran maupun pemotongan-pemotongan yang

ada. Hal ini menyebabkan pekerja tidak mengetahui hak tunai yang wajib bagi

mereka dapat.
111

Perusahaan pengguna jasa pekerja (user) telah memberikan upah

diatas Upah Minimum Provinsi Sumatera Selatan kepada pekerja outsourcing

yang diatur dalam perjanjian kerjasama dengan PT. PKSS yang bertujuan

untuk mensejahterakan pekerja outsourcing. Mengenai besarnya upah

minimum yang diterima oleh pekerja outsourcing adalah sebesar Rp. 1.

400.000 (satu juta empat ratus ribu rupiah). Upah minimum pokok yang

diberikan kepada pekerja merupakan gaji pokok diluar tunjangan-tunjangan

yang lain. PT. PKSS memberikan tunjangan fungsional sebesar Rp. 432.000,-.

Total dari upah yang diterima oleh perkerja harus dipotong dengan Asuransi

Jaminan Hari Tua sebesar Rp. 36.640,-. Dengan demikian total upah yang

diterima oleh pekerja adalah RP. 1.795.360,- (satu juta tujuh ratus Sembilan

puluh lima ribu tiga ratus enam puluh rupiah). Tidak ada pekerja outsourcing

yang mendapat gaji dibawah upah minimum yang telah ditetapkan

pemerintah. Dalam hal ini, pekerja outsourcing juga mendapat gaji diatas

upah minimum tersebut..

PT. PKSS telah sesuai memberikan upah minimum berdasarkan Pasa

88 ayat (3) huruf a UU No. 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa upah

minimum itu berdasarkan upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau

kabupaten / kota atau upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah

provinsi atau Kabupaten/Kota yang mana merupakan salah satu bentuk

pengupahan yang melindungi pekerja adalah upah minimum.


112

Mengenai upah kerja lembur, apabila terjadi kelebihan waktu kerja

maka pihak PT. PKSS tidak akan memberi upah lembur karena sudah

memberi lebih dalam pengupahan, sehingga upah lebih yang diberikan

diharapkan mampu mengganti nilai dari kelebihan waktu kerja tersebut.

Perjanjian kerja antara perusahaan pengguna jasa pekerja (user)

dengan PT. PKSS mengatur mengenai upah lembur yang akan dibayarkan

oleh pihak user. Penentuan besarnya upah lembur dan pemberian diserahkan

kepada perusahaan pengguna jasa pekerja (user). Besarnya upah kerja lembur

telah ditetapkan sebesar Rp. 60.000,- sampai dengan Rp. 150.000,- untuk

lembur masuk pada Hari Libur Resmi yang diberikan oleh pihak user.

Pembayaran upah lembur diberikan secara langsung kepada pekerja

outsourcing sesuai dengan aturan yang dipakai oleh badan keuangan

perusahaan user.

Upah kerja lembur tersebut tidak sesuai dengan Pasal 85 UU NO. 13

Tahun 2003 yang menentukan bahwa pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada

hari libur resmi. Jika pengusaha ingin mempekerjakan pekerja/buruh untuk

bekerja pada hari-hari libur resmi dikarenakan jenis dan sifat pekerjaan

tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada

keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha

maka pengusaha wajib membayar upah kerja lembur.


113

Perhitungan upah kerja lembur pun bertentangan dengan Pasal 11

Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor

KEP.102/MEN/VI/2004 Tahun 2004 yang mana mengatur cara perhitungan

upah kerja lembur sebagai berikut :

1. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari kerja :

a) Untuk jam kerja lembur pertama harus dibayar upah sebesar 1,5 (satu

setengah) kali upah sejam ;

b) Untuk setiap jam kerja lembur berikutnya harus dibayar upah sebesar 2

(dua) kali upah sejam.

2. Apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau

hari libur resmi untuk waktu kerja 6 (enam) hari kerja 40 (empat puluh)

jam seminggu maka :

a) Perhitungan upah kerja lembur untuk 7 (tujuh) jam pertama

dibayar 2 (dua) kali upah sejam, dan jam kedelapan dibayar 3

(tiga) kali upah sejam dan jam lembur kesembilan dan kesepuluh

dibayar 4 (empat) kali upah sejam

b) Apabila hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek

perhitungan upah lembur 5 (lima) jam pertama dibayar 2 (dua)

kali upah sejam, jam keenam 3 (tiga) kali upah sejam dan jam

lembur ketujuh dan kedelapan 4 (empat) kali upah sejam.

PT. PKSS tidak memberikan cuti pernikahan maupun cuti ketika

kerabat dekat dari pekerja outsourcing meniggal. 1 (satu) dari 5 (lima)


114

responden yang pernah melakukan pernikahan tidak diberikan cuti

pernikahan. Pekerja outsourcing tidak mendapatkan cuti ketika salah satu

orang tua kandungnya meninggal. Mengenai upah tidak masuk kerja, upah

dari pekerja itu dipotong oleh PT. PKSS selama pekerja itu tak bekerja.

Hal ini bertentangan dengan aturan mengenai upah tidak masuk kerja

yang diatur dalam Pasal 93 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 yang

mengatur bahwa upah tidak dibayarkan kepada pekerja apabila pekerja/buruh

tidak melakukan pekerjaannya. Ketentuan tersebut tidak berlaku, dan

pengusahan wajib membayar upah, apabila :

1). Pekerja/buruh tidak masuk kerja karena berhalangan disebabkan :

a) Pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan ;

b) Pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua

masahaidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan ;

c) Pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah,

menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri

melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak

atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam

satu rumah meniggal dunia ;

d) Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena

menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;


115

e) Pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan

tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan

sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.

2) Pekerja/buruh tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain diluar

pekerjaannya, seperti :

a) Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaanya karena sedang

menjalankan kewajiban terhadap negara;

b) Pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas

persetujuan pengusaha ; dan

c) Pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan

3) Pekerja/buruh menjalankan hak waktu istirahat kerjanya.

Pekerja outsourcing mendapatkan tunjangan hari raya sebesar 1 (satu)

bulan gaji, dengan demikina pada prakteknya hal ini sesuai dengan peraturan

Perundang undangan dan telah terlaksana mengenai Tunjangan Hari Raya

(THR) dibayarkan oleh pengusaha yakni sebesar 1 (satu) bulan gaji pokok dan

dibayarkan 2 (dua) minggu sebelum hari raya.96 Masa kerja kurang dari 3

bulan, pekerja belum berhak mendapatkan THR, sedangkan untuk masa kerja

3 bulan sampai dengan 12 bulan mendapatkan THR dengan penghitungan

bulan yang sudah ditempuh dibagi 12 bulan dan kemudian dikalikan dengan

upah pokok perbulan dari pekerja tersebut.

96
Hasil wawancara dengan Para Responden
116

Mengenai pembayaran upah pesangon tidak pernah terlaksana. Dalam

hal ini tidak akan pernah terlaksana dikarenakan pekerja dipekerjakan secara

kontrak sehingga menimbulkan pihak pengguna jasa pekerja maupun PT.

PKSS tidak berkewajiban membayar pesangon kepada pekerja kontrak

layaknya pekerja tetap yang bekerja pada perusahaan masing masing tersebut.

Pekerja outsourcing tidak berhak atas uang pesangon, uang

penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Hal ini disebabkan masa

kerja pekerja outsourcing hanyalah sepanjang PKWT yang dibuat, yang mana

masa kerja tersebut adalah 1 tahun. Dalam hal PKWT berakhir, maka PT.

PKSS mengikat pekerja outsourcing dengan suatu PKWT yang baru sehingga

tidak memperhitungkan masa kerja yang telah dilalui. Setiap PKWT yang

berakhir tidak diikuti dengan pembayaran kompensasi PHK karena

pembayaran dapat diberikan kepada pekerja outsourcing yang telah bekerja

selama 3 tahun. PT. PKSS menyimpangi hal tersebut dengan membuat PKWT

yang baru setelah PKWT sebelumnya berakhir.

Tidak ada uang pesangon bagi pekerja. Pekerja outsourcing hanya

bekerja dengan kontrak 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang dengan

perjanjian yang baru. Pekerja sampai kapanpun tidak akan mendapat

pesangon dikarenakan jika perjanjian kerja tersebut berakhir maka akan dibuat

perjanjian kerja yang baru yang mana masa kerja yang telah dilakukan tidak
117

pernah dihitung. Dengan kata lain, pekerja dianggap bekerja dari 0 (nol)

tahun.97

Tidak ada uang penghargaan masa kerja dikarenakan pekerja

outsourcing hanya bekerja selama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang masa

kerjanya dengan perjanjian kerja baru dengan resiko tidak pernah

memperhitungkan masa kerja sebelumnya. Tidak mungkin dapat karena uang

akan didapat minimal telah bekerja selama 3 (tiga) tahun untuk mendapatkan

2 (dua) bulan upah.98

Uang penggantian hak seperti penggantian perumahan, pengobatan,

biaya atau ongkos pulang untuk pekerja tidak pernah didapat oleh pekerja.

Pada praktiknya tidak sesuai dengan Pasal 156 ayat (1) UU No. 13

Tahun 2003 mengatur bahwa dengan dilakukannya pemutusan hubungan

kerja, pengusaha diwajibkan membayarkan uang pesangon dan atau uang

penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang harusnya diterima

sebagai kompensasi dari suatu pemutusan hubungan kerja. Besarnya

kompensasi PHK pekerja outsourcing pada dasarnya sama dengan pekerja

tetap.

97
Hasil wawancara dengan Bapak Sutrisno sebagai Staff Recruitment dan HRD PT. PKSS
98
Hasil wawancara dengan Bapak Sutrisno sebagai Staff Recruitment dan HRD PT. PKSS
118

3. Perlindungan terhadap Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)

PT. PKSS mengikutsertkan pekerja outsourcing yang dinaunginya

dengan program Jamsostek. Keikutsertaan pekerja outsourcing dalam

program Jamsostek yaitu program dalam Jaminan Hari Tua (JHT). Hal ini

tidak sesuai dengan peraturan perundang undangan yang menentukan bahwa

pekerja outsourcing wajib dikutkan ketiga jaminan yakni Jaminan Kecelakaan

Kerja (JKK), Jaminan Keamanan (JK), dan Jaminan Hari Tua (JHT). Semua

responden hanyalah anggota Jamsostek untuk Jaminan Hari Tua. Dalam hal

Jaminan Pemeliharaan Kesehatan PT. PKSS merasa cukup memasukkan

pekerja dalam program Asuransi Jamsostek yang mana hanya melindungi

pekerja selama pekerja tersebut mendapatkan rawat inap dengan bantuan

maksimal Rp. 100.000, (seratus ribu rupiah) per hari.

Akibat dari responden yang tidak diikutsertakan seluruh program

Jamsostek, maka pekerja pada hakekatnya tidak mendapat jaminan -jaminan

yang telah disebutkan diatas. Tidak ada Jaminan Kecelakaan Kerja bagi

pekerja baik diluar maupun didalam lingkungan kerja. 1 (satu) dari 5 (lima)

responden pernah mengalami kecelakaan pada jam kerja dan mendapatkan

rawat jalan. Responden tersebut meminta penggantian uang yang telah dipakai

untuk rawat jalan kepada PT. PKSS tapi tidak dilakukan penggantian sampai

saat ini. Tidak ada Jaminan kematian bagi pekerja.


119

PT. PKSS mengikutsertakan pekerja dengan Jaminan Hari Tua (JHT)

dengan cara memotong dari gaji pekerja secara rutin perbulan yakni 2 % (dua

persen) dari upah.99 Hal ini belum bisa dibuktikan karena tidak adanya data

yang jelas. Pekerja tidak mengerti dikarenakan tidak ada informasi yang

lengkap mengenai perhitungan upah maupun potongan potongan yang

dilakukan pihak PT. PKSS. Tidak adanya Jaminan Pemeliharaan Kesehatan

untuk pekerja yang melakukan rawat jalan. Biaya-biaya yang timbul

dikarenakan rawat jalan ditanggung oleh pekerja itu sendiri.

Hal ini sangat bertentangan dengan ketentuan mengenai Jamsostek

telah diatur dalam Pasal 99 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 yang mana

menentukan setiap pekerja/buruh dana keluarganya berhak untuk memperoleh

Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Program Jamsostek terdiri dari Jaminan

Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), dan Jaminan Hari Tua

(JHT). Ketiga jenis jaminan ini pada dasarnya bersifat wajib. Salah satu

program jaminan yang sifatnya tidak wajib adalah Jaminan Pemeliharaan

Kesehatan (JPK) yang mana diserahkan kepada pekerja outsourcing untuk

memilih dan mengaturnya.

99
Hasil wawancara dengan Bapak Sutrisno sebagai Staff Recruitment dan HRD PT. PKSS
120

4. Perlindungan terkait pengadaan seragam

Mengenai pengadaan seragam bagi pekerja, PT. PKSS menjanjikan

kepada pekerja untuk memberikan 1 (satu) seragam baru per 6 (enam) bulan.

Hal ini tidak terlaksana dengan baik dikarenakan pengakuan dari pekerja,

mereka mendapatkan 1 (satu) seragam baru per 12 (dua belas) bulan. Dalam

perjanjian kerja antara PT. PKSS dengan perusahaan pengguna jasa pekerja

outsourcing membebankan pihak user biaya pengadaan 1 seragam baru per 6

bulan untuk masing masing pekerja. Pada praktiknya, dalam hal permintaan

seragam baru, pekerja dipersulit untuk menerimanya.

5. Perlindungan terkait dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)

Menurut Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2003 memberikan

definisi dari pemutusan hubungan kerja yakni pengakhiran hubungan kerja

karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban

antara pekerja / buruh dan pengusaha. Pemutusan hubungan kerja yang diatur

dalam Pasal 10 PKWT yang dibuat antara PT. PKSS dengan pekerja

outsourcing adalah Pemutusan Hubungan Kerja oleh pengusaha.

Berdasarkan penelitian , didapatkan informasi bahwa PT. PKSS

sebagai vendor dan perusahaan pengguna jasa pekerja sebagai user tidak

pernah melakukan PHK karena alasan-alasan yang diatur dalam Pasal 193 UU

No. 13 Tahun 2003, yakni sebagai berikut :


121

a) pekerja / buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan

dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus

menerus;

b) Pekerja / buruh berhalangan menjalankan pekerjaanya karena mempunyai

kewajiban terhadap negara sesuai denga keterangan peraturan perundang

undangan yang berlaku ;

c) Pekerja / buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya ;

d) Pekerja / buruh menikah ;

e) Pekerja / buruh perempuan hamil, melahirhkan, gugur kandungan, atau

menyusui bayinya ;

f) Pekerja / buruh mempunyai pertalian darah dan/ atau ikatan perkawinan

dengan pekerja / buruh lainnya didalam satu perusahaan, kecuali telah

diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama ;

g) Pekerja / buruh mendirikan, menjadi anggota dan / atau pengurus serikat

pekerja / serikat buruh, pekerja / buruh melakukan kegiatan serikat

pekerja / serikat buruh diluar jam kerja atau didalam jam kerja atas

kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam

perjanjian kerja , peraturan perusahaan, atau perjanjian kerjasama ;

h) Pekerja / buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib

mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan

;
122

i) Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit,

golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan ;

j) Pekerja / buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja

atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter

yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat diperkirakan.

PT. PKSS dan user sudah melaksanakan ketentuan PHK yang telah

diatur dalam Pasal 153 UU No. 13 Tahun 2003. Apabila PT. PKSS

melakukan pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan

sebagaimana disebutkan diatas, maka PHK tersebut gagal demi hukum dan

pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja / buruh yang bersangkutan,

Mengenai pemutusan hubungan kerja oleh pekerja outsourcing itu

sendiri, maka pekerja outsourcing wajib membayarkan ganti kerugian dengan

Rp. 13.500.000 (tiga belas juta lima ratus ribu rupiah) bila pekerja

outsourcing belum bekerja selama 12 bulan dan harus mengajukan

permohonan tertulis secara resmi sekurang kurangnya 1 bulan sebelumnya,

dan PT. PKSS tidak wajib memberikan kompensasi. Mengenai pemutusan

hubungan ini telah diatur dalam Pasal 11 ayat 4 PKWT antara PT.PKSS

dengan pekerja outsourcing.

Semua bentuk perlindungan ini sebagian besar telah diatur dalam

PKWT maupun perjanjian kerja yang dibuat oleh PT. PKSS, user, maupun

pekerja outsourcing. PKWT tersebut pada dasarnya tidak mencantumkan


123

pengalihan hak hak pekerja yang mempunyai objek kerjanya tetap ada apabila

terjadi pergantian perusahaan outsourcing.

Pada dasarnya Pasal 65 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003 tentang

ketenagakerjaan mengatur bahwa perlindungan hukum bagi pekerja / buruh

outsourcing haruslah sama dengan perlindungan hukum bagi pekerja tetap

yang telah diatur oleh peraturan perusahaan atau sekurang kurangnya sesuai

dengan peraturan perundang undangan yang berlaku yang mengatur hal

tersebut.

Pada praktiknya, beberapa hal tidak dapat diterapkan dikarenakan

belum ada undang-undang yang jelas yang mengatur praktik outsourcing

maupun perlindungan bagi pekerja outsourcing. Oleh karena itu muncul

desakan desakan para pihak untuk menghapus praktik outsourcing yang dirasa

tidak memberi perlindungan yang sama antara pekerja tetap dan pekerja

outsourcing. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU IX/2011 tidak

memutuskan bagaimana perlindungan hukum yang jelas bagi pekerja

outsourcing . Hal ini menimbulkan bahwa bentuk perlindungan hukum di PT.

PKSS tidak mengalami perubahan setelah putusan Mahkamah Kontitusi ini

lahir.

Menurut Mahkamah Konstitusi, Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2)

huruf b UU No. 13 Tahun 2003 hanya bertentangan secara bersyarat dengan

Undang-Undang Dasar 1945 (conditionally unconstitutional). Akibat dari


124

putusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka setiap PKWT atau Perjanjian

Kerja Untuk Waktu Tertentu yang dibuat oleh PT. PKSS dengan pekerja

outsourcing wajib dicantumkan hal syarat syarat mengenai adanya pengalihan

perlindungan hak-hak dari pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada,

walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian

pekerjaan borongan dari perusahaan lain atau perusahaan penyedia jasa

pekerja/buruh. Dalam hal ini dilaksanakan maka Pasal 65 ayat (7) dan Pasal

66 ayat (2) huruf b UU No. 13 Tahun 2003 tidaklah bertentangan.

Berdasarkan penelitian, didapatkan informasi bahwa PT. PKSS tidak

memasukkan syarat-syarat mengenai pengalihan hak-hak pekerja apabila

terjadi pergantian perusahaan outsourcing.

Dalam hal tidak dicantumkan syarat pengalihan tersebut maka PKWT

atau perjanjian kerja untuk waktu tertentu dinilai bertentangan dengan

Undang-Undang 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat antar pihak.

Dari segala akibat tersebut maka hubungan kerja antara PT. PKSS dengan

pekerja outsourcing terputus dan seketika muncul hubungan kerja antara

perusahaan pengguna jasa pekerja (user) dengan pekerja outsourcing yang

mana PKWT demi hukum berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak

Tertentu (PKWTT).
125

B. Bentuk wanprestasi yang dilakukan para pihak dalam praktik outsourcing

di PT. PKSS.

Berdasarkan temuan penelitian lapangan diperoleh data bahwa telah

terjadi beberapa penyimpangan dalam praktik outsourcing yang dilakukan para

pihak . Wanprestasi adalah suatu keadaan tidak terlaksananya suatu perjanjian

dikarenakan kesalahan / kelalaian para pihak atau salah satu pihak. Bentuk

wanprestasi / cidera janji berupa :

a) Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukan

b) Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi tidak sempurna

c) Melaksanakan apa yang dijanjikan tapi tidak tepat waktu

d) Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan

Dalam suatu perjanjian kerja outsourcing para pihak yang terkait adalah

pekerja outsourcing, PT. PKSS sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja

outsourcing (vendor), dan perusahaan pengguna jasa (user). Praktek outsourcing

ini terdiri dari dua perjanjian kerja yakni perjanjian kerja antara pekerja

outsourcing dengan PT. PKSS sebagai vendor dalam bentuk PKWT dan

perjanjian kerja antara user dengan PT. PKSS dalam bentuk perjanjian kerja

pengadaan jasa pekerja.

1. Wanprestasi yang dilakukan oleh pekerja outsourcing dalam PKWT

Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, wanprestasi yang

dilakukan oleh pekerja outsourcing sangatlah sedikit. Hal ini disebabkan


126

posisi tawar yang kecil dalam praktik outsourcing. Pada praktiknya pekerja

outsourcing merupakan korban dari segala praktik outsourcing. Peneliti

berusaha mengemukakan wanprestasi yang dilakukan oleh pekerja

outsourcing yang pada dasarnya diakibatkan kurangnya pengetahuan

mengenai UU No.13 Tahun 2003 maupun PKWT yang mereka tandatangani.

Wanprestasi yang dilakukan pekerja outsourcing antara lain :

a) Pekerja mengundurkan diri sebelum PKWT berakhir

PKWT yang disepakati oleh pekerja pada dasarnya mempunyai

jangka waktu kerja selama 1 tahun. Bersadarkan penelitian, didapatkan

informasi bahwa terjadi hal dimana pekerja mengundurkan diri sebelum

PKWT tersebut berakhir tanpa mengajukan permohonan secara tertulis.

Dengan demikian pekerja outsourcing diangap melakukan

wanprestasi karena melanggar hal hal mengenai pengunduran diri dalam

Pasal 11 ayat 4 PKWT yang telah disepakati menentukan bahwa apabila

pekerja mengundurkan diri sebelum PKWT yang disepakati berakhir

maka pekerja harus melakukan permohonan tertulis secara resmi

sekurang kurangnya 30 hari sebelumnya danmembayar penalti.

b) Penggantian kehadiran pekerja yang bertentangan peraturan perusahaan

jasa pekerja (user)

Pada dasarnya suatu pekerjaan harus dilakukan sendiri oleh

pekerja outsourcing. Apabila dalam hal pekerja tidak dapat


127

melaksanakan pekerjaanya sendiri, maka pekerja dapat melimpahkan

kepada pekerja yang lain dengan izin dari pengusaha (user).

Berdasarkan penelitian, didapatkan informasi dalam hal salah satu

pekerja sakit, para pekerja lain bersama sama bekerjasama untuk

menutupi dari kehadiran pekerja yang sakit tersebut. Pekerja yang lain

menggantikan pekerja yang sakit untuk hadir melaksanakan pekerjaan

tersebut. Penggantian kehadiran akan dilakukan jika pekerja yang sakit

telah sembuh dan dapat bekerja kembali. Hal ini disebabkan pekerja

tidak mendapatkan izin sakit dan takut apabila PT. PKSS melakukan

pemotongan gaji pun.

Pekerja outsourcing dengan demikian dianggap melakukan

wanprestasi karena melanggar hal-hal mengenai kewajiban pekerja

dalam Pasal 5 ayat (4) PKWT yang telah disepakati menentukan bahwa

dalam hal pihak pekerja tidak masuk kerja tanpa keterangan atau

mangkir kerja diluar ketentuan yang berlaku, makan pihak pekerja wajib

merelakan / mengizinkan pihak PT. PKSS memotong upah pihak

pekerja secara profesional yang kemudian ditentukan kecuali sakit

dengan surat keterangan atau izin dari atasana langsung.

c) Pekerja pulang di tengah masa bertugas

Berdasarkan penelitian, didapatkan informasi bahwa pekerja

pernah melakukan pelanggaran yakni pulang sebelum jam kerja berakhir


128

tanpa izin dari user maupun vendor. Dalam hal ini pekerja telah

melanggar hal hal mengenai kewajiban para pekerja dalam Pasal 5 ayat

(2) PKWT yang telah disepakati menentukan bahwa pekerja wajib

melaksanakan dan mentaati semua peraturan peraturan yang dikeluarkan

oleh PT. PKSS baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, meliputi

juga peraturan/tata tertib yang berlaku dilingkungan pekerja

ditempatkan.

d) Pekerja datang terlambat ke tempat kerja

Berdasarkan penelitian, didapatkan informasi bahwa pekerja

pernah melakukan pelanggaran yakni datang terlambat ke tempat kerja.

Dalam hal ini pekerja telah melanggar hal-hal mengenai kewajiban

pekerja dalam Pasal 5 ayat (2) PKWT yang telah disepakati menentukan

bahwa pekerja wajib melaksanakan dan menaati semua peraturan-

peraturan yang dikeluarkan oleh PT. PKSS baik yang tertulis maupun

tidak tertulis, meliputi juga peraturan/tata tertib yang berlaku di lokasi

pekerja ditempatkan.

2. Wanprestasi yang dilakukan oleh PT. PKSS dalam PKWT dengan

pekerja outsourcing dan perjanjian kerja dengan perusahaan pengguna

jasa pekerja.

a) Memilih Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang Tidak Memadai


129

Berdasarkan hasil penelitian, informasi yang didapat dari hasil

wawancara, PT. PKSS mengikutsertakan pekeja outsourcing yang

dinaunginya dengan program Jamsostek, keikutsertaan pekeja

outsourcing dalam program Jamsostek yaitu dalam Jaminan Kecelakaan

Kerja (JKK). Hal ini juga diatur dalam PKWT (lampiran 1) yang

mengikutsertkan pekerja outsourcing dalam ketiga jaminan yakni

Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JK), dan Jaminan

Hari Tua (JHT).

Berdasarkan penelitian, didapatkan informasi bahwa pekerja

tidak merasakan manfaat dari keikutsertaan mereka dalam Jamsostek.

Semua responden hanyalah Jamsostek yang mana kartu Jamsostek

tersebut masa berlakunya telah habis dan tidak pernah diperbaharui oleh

PT.PKSS.

Dalam hal Jaminan Pemeliharaan Kesehatan, PT.PKSS

menggunakan Asuransi Jamsostek. pekeja outsourcing juga tidak bisa

menggunakan program ini, dikarenakan rumah sakit yang mereka tuju

tidak mengakui keberadaan jaminan pemeliharaan kesehatan yang

pekerja punya.

Oleh karena itu, PT.PKSS melakukan wanprestasi mengenai hak

hak pekerja dalam Pasal 7 ayat (4) PKWT yang telah disepakati

menentukan bahwa pihak pekerja akan diikutsertakan dalam asuransi


130

tenaga kerja yang dikelola PT. Jamsostek sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1882 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

b) Pengadaan perlindungan pribadi security yang tidak terbuka

Berdasarkan penelitian, didapatkan informasi dari responden

bahwa pengadaan seragam tidak dilakukan secara terbuka. Pada

praktiknya, dalam hal permintaan seragam baru, pekerja dipersulit untuk

menerimanya. Mengenai pengadaan seragam bagi pekerja , PT. PKSS

menjanjikan kepada pekerja untuk memberikan 1 (satu) seragam beru

per 6 (enam) bulan. Tetapi hal itu tidak terlaksana dengan baik

dikarenakan pengakuan dari pekerja mereka mendapatkan 1 (satu)

seragam baru per 12 (dua belas) bulan. Dalam perjanjian kerja antara

PT. PKSS dengan perusahaan pengguna jasa pekerja outsourcing

membebankan pihak user biaya pengadaan 1 seragam baru per 6 (enam)

bulan untuk masing masing pekerja.

Dalam Pasal 8 ayat (1) PKWT yang telah disepakati menentukan

bahawa pihak PT. PKSS menyediakan perlengkapan perlindungan

pribadi security (Personal Protection Equipment / PPE) antara lain :

sepatu, topi, dan atribut lainnya yang disesuaikan dengan kondisi tempat

atau lokasi kerja tidak terlaksana dengan sempurna.

Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan informasi bahwa PT.

PKSS hanya menyediakan seragam, topi dan segala atribut seragam.


131

Penyedian fasilitas sepatu tidak terlaksana, oleh karena itu PT. PKSS

dikatakn wanprestasi atas Pasal 8 ayat (1) PKWT yang telah disepakati.

c) Pemotongan gaji bagi pekerja yang tidak bekerja karena sakit

Berdasarkan penelitian, didapatkan informasi dari responden

bahwa pemotongan gaji di lakukan ketika pekerja tidak bekerja karena

sakit. Hal ini vendor melakukan wanprestasi terhadapa hal hal mengenai

kewajiban pekerja dalam Pasal 5 ayat (4) PKWT yang telah disepakati

yang menentukan bahwa dalam hal pihak pekerja tidak masuk kerja

tanpa keterangan atau mangkir kerja diluar ketentuan yang berlaku,

maka pihak pekerja wajib merelakan/mengizinkan pihak PT. PKSS

memotong upah pihak pekerja secara profesional yang kemudian di

tentukan kecuali sakit dengan surat keterangan didokter atau izin dari

atasan langsing.

d) Tidak mendaftarkan PKWT kepada Dinas Tenaga Kerja setempat

Berdasarkan penelitian, didapatkan informasi bahwa PKWT

antara PT. PKSS dengan pekeja outsourcing tidak didaftarkan oleh PT.

PKSS kepada Dinas Kerja dan Transmigrasi dan Sosial setempat.100

Dalam hal ini, PT. PKSS melakukan wanprestasi terhadapa Perjanjian

Kerja yang dibuatnya dengan user dalam Pasal 10 ayat (4) yang

menentukan bahwa PT. PKSS bersedia mendaftarkan anggotanya

100
Hasil wawancara dengan Para Responden
132

kepada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Sosial setempat

terkait dengan surat PKWT.

e) Menimbulkan hubungan kerja antara user dengan pekerja ousoucing

Bahwa berdasarkan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 27/PUU IX/2011, PT. PKSS wajib mencantumkan klausul

mengenai pengalihan perlindungan hak-hak pekerja outsourcing apabila

terjadi pergantian vendor. Hal ini tidak dilakukan oleh PT PKSS

sehingga menimbulkan hubungan kerja antara user dengan vendor.

Oleh karena itu, PT. PKSS dapat dikatakan wanprestasi terhadap

Pasal 12 ayat (1) mengenai hubungan kerja antara pihak user, pihak PT.

PKSS dan pihak pekerja outsourcing yang diatur dalam perjanjian kerja

antara user dengan PT. PKSS yang menentukan bahwa pekerja yang

ditempatkan di pihak user adalah murni tenaga kerja dari PT. PKSS dan

dalam hubungan kerja tidak ada kaitan dengan pihak user.

3. Wanprestasi yang dilakukan oleh pengguna jasa pekerja (user) dalam

kerja dengan PT. PKSS

a) Terlambat melakukan pembayaran kepada pihak vendor

Berdasarkan penelitian, didapatkan informasi dari responden

bahwa pihak user kadang terlambat melakukan pembayaran kepada


133

pihak vendor.101 Hal ini mengakibatkan pihak vendor kerepotan dalam

hal membayar gaji pekerja. Hal ini user melakukan wanprestasi

berkaitan dengan hal-hal mengenai biaya jasa dalam Pasal 4 ayat (1)

perjanjian kerja antara PT. PKSS dengan user yang menentukan bahwa

atas perjanjian ini, pihak user akan membayar kepada pihak PT. PKSS

biaya jasa setiap bulan yang besarnya telah disetujui oleh para pihak.

C. Upaya hukum yang dilakukan oleh pekeja outsourcing dalam hal PT. PKSS

melakukan wanprestasi.

Pasal 1 angka 12 UU No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa hubungan

kerja adalah hubungan antar pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan

perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.

Berdasarkan pasal ini, pada dasarnya pekerja outsourcing hanyalah tunduk pada

peraturan PT. PKSS diakrenakan hubungan kerja yang terjalin itu dibuat antara

PT. PKSS dengan pekerja. Hal ini juga ditekankan oleh Pasal 66 ayat (2) a UU

NO.13 Tahun 2003 yang mana menegaskan status pekerja outsourcing secara

hukum hanya berhubungan dengan PT. PKSS yang merekrutnya.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa perusahaan penyedia

tenaga kerja yakni PT. PKSS dengan perusahaan pengguna jasa tenaga kerja

outsourcing membuat kontrak kerjasama outsourcing yaitu perjanjian

101
Hasil wawancara dengan Para Responden
134

Penyediaan Jasa Tenaga Kerja dalam bentuk perjanjian tertulis. PT. PKSS

merekrut pekerja untuk ditempatkan di perusahaan pengguna dengan membuat

PKWT dengan pekerja outsourcing tersebut.

Dalam hal PT. PKSS melakukan wanprestasi, pekerja outsourcing

hanya mempunyai upaya untuk menyelesaikan secara musyawarah mufakat. Hal

ini disebabkan posisi tawar pekerja yang sangat kecil sehingga pekerja tidak

mempunyai cukup upaya hukum apapaun. Disatu sisi, pekerja ingin mengajukan

keberatan atas wanprestasi yang dilakukan tetapi disisi lain ancaman PHK tanpa

pesangon juga mengincar. Oleh karena itu, pekerja tidak mempunyai hasrat

untuk mengajukan keberatan. Pada prakteknya, di PT. PKSS jarang terjadi

pekerja melakukan upaya hukum yang diatur dalam Pasal 12 PKWT yang

disepakati.

Upaya hukum yang diatur dalam Pasal 12 PKWT tersebut menentukan

bahwa setiap perselisihan yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan

perjanjian ini akan diselesaikan secara musyawarah untuk mencapai mufakat

diantara para pihak. Apabila tidak dapat diselesaikan secara musyawarah

mufakat maka akan diselesaikan dengan UU No. 2 Tahun 2004 Tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.


135

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. PT. PKSS tidak memberikan hak-hak pekerja/buruh secara seharusnya

dan tidak mencantumkan pengalih hak-hak pekerja outsourcing dari pihak

outsourcing lama kepada perusahaan outsourcing baru dalam PKWT,

dan .

2. a) Pekerja outsourcing melakukan wanprestasi berupa :

1) Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilakukan, yakni

pekerja mengundurkan diri sebelum PKWT berakhir.

2) Melaksanakan apa yang di perjanjikan tapi tidak sempurna yakni

penggantian kehadiran pekerja yang bertentangan dengan

peraturan perusahaan pengguna jasa pekerja (user), pekerja pulang

ditengah masa bertugas, dan pekerja dating terlambat ketempat

kerja.

b) PT. PKSS melakukan wanprestasi berupa :

1) Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi tidak sempurna yakni

memilih Jaminan Pemeliharaan Kesehatan yang tidak memadai dan

pengadaan perlindungan pribadi security yang tidak terbuka.


136

2) Tidak melaksanakan apa yang disanggupi akan dilaksanakan yakni

pemotongan gaji jika pekerja tidak bekerja karena sakit, tidak

mendaftarkan PKWT kepada Dinas Tenaga Kerja setempat, dan

menimbulkan hubungan kerja antara user dengan pekerja

outsourcing.

c) User melakukan wanprestasi berupa :

1) Melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi tidak sempurna yakni

terlambat melakukan pembayaran kepada pihak vendor.

3) Upaya hukum yang dilakukan oleh pekerja outsourcing dalam hal PT.

PKSS melakukan wanprestasi adalah Musyawarah Mufakat dan

penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial yang telah diatur dalam

Pasal 12 PKWT antara pekerja dengan PT. PKSS yang mana dalam

pelaksanaanya belum pernah terjadi.

B. Saran

1. Pemerintah wajib memeberikan peraturan yang jelas mengenai sanksi

bagi perusahaan outsourcing . Hal ini bertujuan agar perlindungan

hukum bagi pekerja outsourcing dapat terprnuhi secara sempurna.

Pemerintah pun wajib aktif memberikan informasi kepada user mengenai

akibat dari tidak dicantumkan syarat-syarat pengalihan tersebut.


137

2. Para pihak diharapkan menyusun isi perjanjian yang dapat dilaksanakan

dan tidak merugikan para pihak. Para pihak wajib konsisten dalam

melaksanakan isi-isi dari perjanjian yang disepakati para pihak maupun

undang-undang yang mengatur sehingga tidak ada pihak yang dirugikan

atas wanprestasi yang dilakukan masing- masing pihak.

3. PKWT harus memuat secara jelas tahap-tahap upaya hukum yang telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial agar para pekerja mengerti apa yang

dapat dilakukan apabila terjadi wanprestasi oleh pihak PT. PKSS

sehingga dalam peyelesaian perselisihan tersebut dapat dilakukan dan

tidak merugikan para pihak.


DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Badrulzaman et all, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti,


Bandung, hlm. 73

Budiono, Abdul Rachman. 1997, Hukum Perburuhan Di Indonesia, Raja


Grafindo Persada, Jakarta, him. 49

Darus Mariam Badrulzaman, dkk, 2001, Kompilasi Hukum Perikatan dalam


Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm. 87.
De Jong G.T, dan C.J.H. Brunner, 2004, Verbintenissenrech Algemeen, Kluwer,
Deventer, hlm 8

Djumadi, 2004, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Rajawali, Jakarta hIm. 45.

Faudy, Munir, 2001, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm 47

Harahap, M. Yahya. 1982, Segi-segi Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, hlm .


dapat dilihat pula dalam Syahmin AK, 2006. Hukum Kontrak
Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta. hlm 12

Husni, Lalu. 2007, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo


Persada, Jakarta, him. 56

Ibrahim, H.Zulkarnain. Praktek Outsourcing Dan Perlindungan Hak-Hak


Pekerja, Simbur Cahaya, hlm.80

Imam Tunggal Sjahputra, 2009, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan,


Harvarido, Jakarta, Hlm. 308.

Indrajit, Richardus Eko Richardus Djokopranoto, 2006, Proses Bisnis


Outsourcing, Grasindo, Jakarta, hlm. 2
Jehani, Libertus. 2008, Hak-Hak Karyawan Kontrak, Forum Sahabat, Jakarta,
hIm. 1
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 34
Manulang, Sendjum W. 1990, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia,
Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 64

Mertokusumo, Sudikno 2005, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,


Yogyakarta. hlm. 34

Muhammad, Abdulkadir 1990, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti,


Bandung, hlm. 257
Salim H. S, 2006, Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, sinar
Grafika, Jakarta, hlm. 4-5

Satrio, J. 1993, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung,


hlm. 12
1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari Perjanjian, Buku II,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 8
Setiawan, R. 1987, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hlm. 2
Simamora, Yulyen Pinkan Solina, 2012, Studi Komparisi Perlindungan Hukum
bagi Pekerja Outsourcing Setelah Lahirnya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 27/ PUU – IX/ 2011 di PT. Garda Total Security,
Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
Soekamto, Soerjono. 1986, Metode Penelitian Hukum, Universitas Indonesia
Press, Jakarta, hlm. 43
Soepomo, Imam 1968. Hukum Perburuhan Bagian Pertma Hubungan Kerja, PPAKRI
Bhayankara, Jakarta. hlm 74

Subekti, 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hlm.135


1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 54

1996, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hlm. 45

Sudarsono, C. 2007, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 587S.T Kansil,
1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, |Balai Pustaka,
Jakarta, hlm. 247

Suhardi, Gunarto, 2006, Perlindungan Hukum bagi Para Pekerja Kontrak


Outsourcing, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, hlm 3.
Supriyani, Alief Fitria, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Outsourcing di
PT. Gapura Angkasa Yogyakarta, Program Studi Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Tunggal, Amin Widjaja. 2008, Outsourcing Konsep dan Kasus, Flarvarindo,
Jakarta, hIm. 11

B. Peraturan Perundang-undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Kitab Undang Undang Hukum Perdata

UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun


2003 No. 39, Tambahan Lembaran Negara No. 4279)

Dokumen

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011

Internet

__________, “Definisi Outsourcing”,


http://tropisgroup.co.id/index.php?option=com_content&viewaticie&id=53&Itemid6
I, www.tropisgroup.co.id, diakses pada 20 Agustus 2013.

Anda mungkin juga menyukai