Anda di halaman 1dari 91

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KREDITOR

SEPARATIS DALAM PEMBERESAN HARTA PAILIT


(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No. 814 K/Pdt.Sus/2012)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan


Untuk Menyelesaikan Studi dan
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

ARTHA ULLY TAMBUNAN


NPM : 130600035
Departemen : Hukum Perdata
Program Kekhususan : Hukum Perdata

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KATOLIK SANTO THOMAS
SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
ABSTRAK

Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, yang menggunakan data


sekunder sebagai sumber data. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
kedudukan kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan kebendaan dalam
mengeksekusi harta pailit serta mengetahui bagaimana perlindungan hukum
terhadap kreditor separatis dalam putusan Mahkamah Agung RI No. 814
K/Pdt.Sus/2012.
Penelitian ini mengkaji pertimbangan hukum hakim sehubungan dengan di
keluarkannya Putusan tersebut yang di nilai bertentangan dari yang telah di atur
dalam Undang-Undang. Permasalahan pada skripsi ini meliputi bagaimana
kedudukan kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan kebendaan dalam
mengeksekusi harta pailit dan bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditor
separatis dalam pemberesan harta pailit oleh Pengadilan dalam Putusan
Mahkamah Agung Nomor 814/Pdt.Sus/2012.
Sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dalam kasus tersebut
kreditor separatis telah mendapatkan haknya untuk melakukan eksekusi harta
pailit. Namun demikian, walaupun kreditor separatis telah mendapatkan haknya
melalui lelang eksekusi jaminan kreditor separatis masih harus berhadapan dengan
kreditor lainnya yang dalam Putusan tersebut dinyatakan bahwa kreditor separatis
tidak sepenuhnya mendapatkan hasil dari eksekusi jaminan yang dimilikinya.
Sehingga dengan demikian, pemerintah sudah seharusnya melakukan
pembaharuan terhadap perundang-undangan khususnya dalam perkara kepailitan
untuk menjamin perlindungan hukum terhadap kreditor separatis.

Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Kreditor separatis, Kepailitan


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih dan

karuniaNya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Separatis Dalam

Pemberesan Harta Pailit. Penulisan skripsi ini dilakukan guna memenuhi syarat

untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Katolik

Santo Thomas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan

masih banyak kekurangan dalam penyajian karena keterbatasan kemampuan dan

pengetahuan penulis. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran

yang dapat membangun kesempurnaan skripsi ini.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak menerima bimbingan, doa

serta bantuan dari berbagai pihak. Secara khusus dalam kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih atas dukungan baik secara moral maupun materil yang

sebesar-besarnya kepada Ayahanda E. Tambunan dan Ibunda J. Br. Dabukke,

yang telah banyak memberi dukungan, doa dan cinta yang sangat berarti sehingga

penulis dapat menyelesaikan studi dan mendapat Gelar Sarjana Hukum di

Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara.

Selanjutnya melalui kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan

terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Frietz Tambunan, Pr, selaku Rektor Universitas Katolik Santo

Thomas Sumatera Utara.

ii
2. Bapak Janus Sidabalok, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara sekaligus Dosen

Pembimbing Utama yang telah benyak memberi saran dan masukan dalam

membimbing penulis baik dalam studi maupun dalam penulisan skripsi.

3. Bapak Dr. Yohanes Suhardin, SH, M.Hum, selaku Ka. Prodi Fakultas Hukum

Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara.

4. Bapak Kosman Samosir, SH, M.Hum, selaku Pembimbing Pendamping yang

telah banyak memberikan saran dan masukan serta untuk semua kesabaran

dan dedikasi dalam membimbing penulis baik dalam studi maupun dalam

penulisan skripsi.

5. Ibu Dr. Alum Simbolon, SH, M.Hum, selaku Pembahas skripsi saya yang

telah banyak memberi kritik dan saran sehingga penulis terbantu dalam

penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas

Sumatera Utara, yang telah berjasa dalam memberikan ilmu, didikan dan

nasehat kepada penulis selama dalam masa perkuliahan.

7. Pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum, Pegawai Perpustakaan dan seluruh

Civitas Akademika Universitas Katolik Santo Thomas Sumatera Utara.

8. Kepada Saudara-saudara Jhon Hendrik Tambunan (Abang), Lolita Mariana

Tambunan (Adik), Daniel Gidion Tambunan (Adik), Sarah Mutiara (Adik),

yang telah memberi dukungan, doa dan motivasi kepada penulis selama

pembuatan skripsi, penulis mengucapkan terima kasih.

iii
9. Kepada Choki Sidabutar SH yang telah menyemangati dan memberikan

motivasi, perhatian, dukungan dan semangat selama dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini.

10. Kepada Sahabat-sahabat saya Febri Yanti Siagian, Winda Hariani Munthe,

Ayu Tiana Silaban, Theresya Margaretha Panjaitan terima kasih atas

dukungan dan motivasi yang selalu di berikan walaupun jarak kita berjauhan.

Semoga kita menjadi orang sukses dan berguna sesuai dengan cita-cita kita

masing-masing.

11. Kepada teman-teman terdekat saya Desi Simanjuntak, Tien Sangita

Napitupulu, Apriani Panjaitan, Ernika Napitupulu, Rainhardus Halawa, Canro

Nababan, Imanuel Pasaribu dan teman-teman lainnya yang tidak dapat

disebutkan satu persatu, terima kasih telah membantu, memberi dukungan

dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

12. Rekan-rekan Stambuk 2013 Fakultas Hukum terimakasih atas dorongan dan

motivasi yang diberikan kepada penulis selama pembuatan skripsi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang

telah banyak membantu dan terima kasih atas semua kebaikan yang telah penulis

terima, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan berkatnya kepada kita

semua.

Medan, Januari 2017


Penulis

Artha Ully Tambunan

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK ....................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang .......................................................................... 1

1. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

2. Perumusan Masalah ............................................................... 11

3. Keaslian Penelitian ................................................................ 11

4. Kegunaan/Manfaat Penelitian ............................................... 12

B. Tujuan Penelitian ....................................................................... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 14

A. Tinjauan Umum Tentang Ruang Lingkup Kepailitan .............. 14

1. Pengertian Kepailitan........................................................... 14

2. Pengaturan Hukum Kepailitan ............................................. 16

3. Sejarah Hukum Kepailitan ................................................... 18

4. Fungsi Hukum Kepailitan .................................................... 22

B. Perkara Kepailitan .................................................................... 24

1. Syarat Pengajuan Pailit ........................................................ 23

2. Pihak-pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit ... 25

3. Pihak-Pihak yang Dapat Dinyatakan Pailit.......................... 26

4. Akibat Pernyataan Pailit Bagi Debitor Pailit dan Hartanya . 27

5. Akibat Hukum Pernyataan Pailit Bagi Kreditor ................. 29

v
C. Kreditor Separatis ..................................................................... 31

1. Pengertian Kreditor Separatis .............................................. 31

2. Kedudukan Kreditor Separatis dalam Undang-undang No.

37 Tahun 2004 ..................................................................... 32

D. Pemberesan Harta Pailit ........................................................... 36

1. Kelanjutan Usaha Debitor Pailit .......................................... 36

2. Pembagian Harta Pailit ........................................................ 38

E. Teori Perlindungan Hukum ...................................................... 39

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 41

A. Jenis dan Sumber Data ........................................................... 41

B. Metode Pengumpulan Data .................................................... 42

C. Lokasi Penelitian.................................................................... 42

D. Jalannya Penelitian................................................................. 43

E. Analisis Hasil ......................................................................... 43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 45

A. Hasil Penelitian......................................................................... 45

1. Kasus Posisi ......................................................................... 45

2. Putusan ................................................................................. 61

a. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Separatis

dalam Kepailitan ............................................................. 62

B. Pembahasan .............................................................................. 64

1. Pertimbangan Mahkamah Agung Melalui Putusan No. 814

K/Pdt.Sus/2012 .................................................................... 64

vi
2. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 814

K/Pdt.Sus/2012Tentang Perlindungan Hukum Terhadap

Kreditor Separatis ................................................................ 65

BAB V PENUTUP ....................................................................................... 77

A. Kesimpulan ............................................................................... 77

B. Saran ......................................................................................... 78

DAFTAR PUSTAKA

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

1. Latar Belakang Masalah

Pemberian utang atau kredit oleh kreditor dalam kedudukannya sebagai

orang perseorangan maupun badan hukum kepada debitor, sudah lazim terjadi

dalam kehidupan masyarakat. Pada jaman sekarang ini sangat sulit menemukan

seorang pengusaha yang tidak menggunakan fasilitas utang (pinjaman atau kredit)

dalam bentuk utang jangka pendek, jangka menegah maupun utang jangka

panjang. Utang menjadi faktor yang tidak dapat dipisahkan dalam dunia ekonomi,

bisnis dan perdagangan. Alternatif lain sebagai sumber pelunasan utang (pinjaman

atau kredit) dapat digunakan bilamana debitor ingkar janji dan tidak melunasi

hutang tersebut pada waktunya.

Perlindungan bagi kreditor sebagai antisipasi apabila ternyata perusahaan

debitor mengalami kesulitan dalam menjalankan usahanya sehingga tidak mampu

membayar utang-utangnya menjadi sangat penting. Oleh karenanya, kreditor

harus memperoleh kepastian bahwa hasil penjualan agunan atau hasil likuidasi

atas harta kekayaan (asset) perusahaan debitor tersebut dengan melalui putusan

pailit dari Pengadilan Niaga yang nantinya dapat digunakan sebagai sumber

pelunasan alternatif. Tentunya dari hasil penjualan agunan atau likuidasi harta

kekayaan perusahaan yang dinyatakan pailit dimungkinkan juga harta kekayaan

penjamin (borg) sebagai pihak ketiga dapat dipergunakan untuk sumber pelunasan

1
utang perusahaan (debitor). Sumber pelunasan alternatif ini dalam dunia

perbankan disebut second way out.

Sebagai konsekuensi hukum pernyataan pailit, maka dilakukan penyitaan

terhadap semua kekayaan debitor. H. Man S. Sastrawidjaja menyatakan bahwa,

konsekuensi hukum dari pernyataan pailit adalah dilakukannya penyitaan

terhadap semua harta kekayaan debitor yang ada pada saat pailit dan kekayaan

yang diperoleh selama berada dalam kepailitan, hal inilah yang dinamakan dengan

sita umum (public attachment).1 Pemberesan harta pailit selanjutnya dilakukan

oleh seorang atau lebih kurator atau Balai Harta Peninggalan (BHP) yang berada

di bawah pengawasan Hakim Pengawas yang diangkat secara bersamaan oleh

Pengadilan Niaga pada saat putusan pernyataan pailit terhadap debitor.

Demikian M. Hadi Shubhan berpendapat bahwa, kepailitan merupakan

putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh harta kekayaan

debitor pailit, baik yang sudah ada maupun yang akan ada selama dalam

kepailitan.2 Selanjutnya M. Hadi Shubhan berpendapat bahwa, tujuan utama

kepailitan adalah menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk

membayar seluruh utang debitor pailit secara proporsional dan sesuai dengan

tingkatan kreditor.3 Dalam pengertian ini, kepailitan sesungguhnya merupakan

salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa utang-piutang.

Lembaga kepailitan bukan merupakan lembaga penyelesaian utang seorang

kreditor saja melainkan untuk kepentingan semua kreditor. Dengan adanya

1
H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang, P.T. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 72.
2
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma dan Praktik di Pengadilan),
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 1.
3
Ibid.
putusan pengadilan tentang pernyataan pailit, maka kreditor beramai-ramai

mengajukan tagihan atas piutang yang dimilikinya kepada kurator. Kemudian

selanjutnya akan terjadi pembagian harta pailit kepada seluruh kreditor yang

disesuaikan dengan tingkatan atau golongan kreditor tersebut.

Undang-undang kepailitan dibentuk untuk memberikan perlindungan

kepada para kreditor apabila debitor tidak membayar utang-utangnya, kreditor

diharapkan dapat memperoleh akses terhadap harta kekayaan dari debitor yang

dinyatakan pailit, hal tersebut karena debitor tidak mampu lagi membayar utang-

utangnya. Namun perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Kepailitan

bagi kepentingan kreditor tidak boleh sampai merugikan kepentingan debitor yang

bersangkutan.

Dalam jaminan yang bersifat umum, semua kreditor mempunyai kedudukan

yang sama. Tidak ada kreditor yang diutamakan dan diistimewakan. Pelunasan

utang, dengan sendirinya dibagi menurut asas keseimbangan, yaitu berdasarkan

besar-kecilnya jumlah piutang masing-masing kreditor. Hal ini ditegaskan dalam

Pasal 1131 KUHPerdata yang menyatakan kebendaan tersebut menjadi jaminan

bersama-sama bagi semua orang yang mempunyai piutang kepadanya; pendapatan

dan penjualan tersebut dibagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar-

kecilnya piutang masing-masing kecuali apabila seorang kreditor mempunyai

alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Pasal 1132 KUHPerdata juga memberi kemungkinan ada kreditor yang

kedudukannya didahulukan (kreditor preferen). Berdasarkan Pasal 1132, kreditor

yang diutamakan adalah mereka yang memiliki hak-hak yang dilahirkan karena
piutang yang seperti gadai, hipotik, hak tanggungan atas tanah dan jaminan

fidusia. Dengan demikian, kedudukan para kreditor terhadap harta kekayaan milik

debitornya ditentukan oleh jenis jaminan yang dipegangnya.

Dalam hukum jaminan telah dinyatakan bahwa kreditor mempunyai hak

eksekutorial terhadap benda jaminan jika debitor dinyatakan wanprestasi.

Beberapa hukum jaminan yang mengatur tentang eksekusi benda jaminan adalah

sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang

Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah,

sedangkan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960 mengatur

tentang gadai pada tanah pertanian. Adapun jaminan atas benda tidak bergerak

selain tanah tetap diatur berdasarkan Pasal 1162 KUHPerdata yaitu tentang

hipotik atas pesawat terbang. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang

Jaminan Fidusia mengatur jaminan atas benda bergerak dan benda tidak bergerak

tertentu yang dilakukan tanpa menguasai bendanya.

Pasal 2 ayat (1) UU kepailitan menentukan bahwa, Debitor yang

mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu

utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau

lebih kreditornya. Dalam penjelasan Pasal tersebut yang dimaksud dengan

kreditor adalah baik kreditor konkuren, kreditor preferen maupun kreditor

separatis.

Mengenai pengertian kreditor separatis, Munir Fuady berpendapat sebagai

berikut:
Kreditor separatis adalah kreditor pemegang jaminan kebendaan seperti
pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek dan agunan
kebendaan lainnya. Dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan
karena kedudukan kreditor tersebut memang dipisahkan dari kreditor
lainnya, dalam arti dia dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri hasil
penjualan yang terpisah dengan harta pailit umum.4

Dalam melaksanakan tugas pemberesan harta pailit kurator

bertanggungjawab terhadap kesalahan atau kelalaian yang menyebabkan kerugian

terhadap harta pailit, sehingga meskipun kurator telah mendapatkan persetujuan

untuk melakukan pembagian tidak berarti bahwa kurator dapat mengalihkan

tanggung jawabnya kepada Hakim Pengawas. Dalam membuat daftar pembagian

yang diusulkan oleh Kurator untuk mendapatkan persetujuan dari Hakim

Pengawas, kurator harus benar-benar memperhatikan kedudukan masing-masing

kreditor apakah sebagai kreditor separatis, preferen maupun konkuren.

Salah satu proses dalam pemberesan harta pailit adalah penjualan yang

dilakukan oleh Kurator dan apabila harta pailit telah laku terjual oleh kurator

melalui lelang, apabila Hakim Pengawas berpendapat bahwa telah cukup uang

tunai, kurator diperintahkan untuk melakukan pembagian kepada kreditor yang

piutangnya telah dicocokkan. Dalam kerangka pembayaran kurator wajib

menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan persetujuan kepada Hakim

Pengawas.

Selanjutnya pada lembaga jaminan, selain hak untuk mengeksekusi benda

jaminan apabila debitor wanprestasi, kreditor juga mendapatkan hak istimewa

yang diberikan oleh undang-undang yang disebut dengan hak separatis. Hak

separatis tersebut diberikan oleh hukum (undang-undang) karena kreditor


4
Munir Fuady, Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,
hlm. 99.
pemegang hak jaminan (hak tanggungan, gadai, hipotik dan fidusia) tidak

termasuk dalam harta pailit. Hal tersebut sebagai perwujudan dari hak kreditor

pemegang hak jaminan untuk didahulukan dari para kreditor lainnya.

Penyelesaian melalui lembaga kepailitan diharapkan dapat memberikan

keamanan dan menjamin terlaksananya kepentingan pihak-pihak yang

berkepentingan yaitu debitor dan kreditor. Namun demikian, harapan

penyelesaian utang melalui lembaga kepailitan dapat menjamin kepentingan para

pihak, ada kemungkinan kurang dirasakan sepenuhnya oleh kreditor separatis.

Hal ini disebabkan karena adanya pengaturan tentang pembatasan terhadap hak-

hak kreditor separatis, yang pada akhirnya dianggap kurang melindungi

kedudukan kreditor separatis. Ketentuan yang mengatur hak-hak kreditor separatis

antara lain diatur dalam Pasal 55, Pasal 56 dan Pasal 59 Undang-undang

kepailitan.

Pasal 55 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menentukan bahwa Dengan tetap

memperhatikan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58. Setiap kreditor pemegang gadai

jaminan fidusia, hak tanggungan, hak hipotek, atau hak guna kebendaan lainnya,

dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepaiitan. Ketentuan Pasal

55 ayat (1), tersebut sejalan dengan ketentuan mengenai hak kreditor separatis

sehingga sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 1134 KUHPerdata yang

menyatakan: gadai dan hipotik adalah lebih tinggi dari pada hak istimewa kecuali

dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.


Ketentuan Pasal 55 ayat (1) tersebut tidak dapat serta merta dilaksanakan

oleh kreditor separatis, karena adanya ketentuan Pasal 56 yang menentukan

sebagai berikut:

1. Hak eksekusi kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)


dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam
penguasaan debitor pailit atau kurator ditangguhkan untuk jangka waktu
paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan
pailit diucapkan.
2. Penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
terhadap tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak
kreditor untuk memperjumpakan utang.
3. Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud ayat (1).
Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak
maupun benda bergerak yang berada dalam penguasaan kurator dalam
rangka kelangsungan usaha debitor, dalam hal telah diberikan
perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditor atau pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ketentuan Pasal 56 ayat (1) mengenai penangguhan hak eksekusi kreditor

separatis tersebut dianggap sebagai ketentuan yang tidak konsisten dan

bertentangan dengan ketentuan Pasal 55 ayat (1). Selanjutnya ketentuan Pasal 56

ayat (3) dirasakan tidak memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaksanaan

eksekusi kreditor separatis. Hal ini dikarenakan dalam penjelasan Pasal tersebut

bahwa harta pailit yang dapat dijual oleh kurator termasuk benda-benda bergerak

yang dibebani hak agunan atas kebendaan.

Ketentuan lain yang membatasi hak kreditor separatis adalah Pasal 59 yang

menentukan :

1. Dengan tetap memperhatikan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58, kreditor
pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus
melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lama 2 (dua)
bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 178 ayat (1).
2. Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan
untuk selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak kreditor pemegang hak tersebut
atas hasil penjualan agunan tersebut.
Pasal 178 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa :
1. Jika dalam rapat pencocokan piutang tidak ditawarkan rencana
perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima, atau
pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada
dalam keadaan insolvensi.
2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 106 tidak
berlaku, apabila sudah ada kepastian bahwa perusahaan Debitor pailit
tidak akan dilanjutkan menurut pasal-pasal di bawah ini atau apabila
kelanjutan usaha itu dihentikan.

Pasal 185 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 menyebutkan bahwa :

1. Atas permintaan Kreditor atau Kurator, Hakim Pengawas dapat


memerintahkan supaya kelanjutan perusahaan dihentikan.
2. Dalam hal terdapat permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
panitia Kreditor, apabila ada, wajib didengar dan Kurator wajib pula
didengar apabila usul tersebut tidak diajukan oleh Kurator.
3. Hakim Pengawas juga dapat mendengar Kreditor dan Debitor Pailit.

Berdasarkan ketentuan Pasal 59 tersebut, kreditor separatis tidak boleh

melaksanakan haknya pada fase pertama kepailitan, hal ini berarti penyimpangan

terhadap ketentuan Pasal 55 ayat (1) yaitu dapat mengeksekusi seolah-olah tidak

terjadi kepailitan. Sementara setelah lewat jangka waktu yang telah ditentukan,

kurator harus menuntut diserahkannya benda jaminan, merupakan pembatasan

terhadap hak kreditor separatis.

Terkait dengan hal tersebut, masih banyak ditemukan penetapan atau

putusan dimana kreditor separatis tidak memperoleh haknya atau mendapatkan

secara utuh hasil penjualan oleh kurator melalui lelang harta pailit atas harta

debitor yang telah dijaminkan kepadanya, sekalipun hasil lelang tersebut di bawah

jumlah tagihan kreditor separatis. Hal ini terjadi karena hak kreditor separatis
tersebut masih harus dibagi dengan kreditor lainnya yang kedudukannya bukan

merupakan kreditor separatis.5

Berdasarkan alasan tersebut diatas, sangat menarik untuk dilakukan

penelitian lebih lanjut disebabkan adanya ketentuan yang secara limitatif diatur

dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, yang dalam praktiknya tidak

diterapkan sepenuhnya. Akibatnya adalah penyelesaian pembagian harta pailit

kepada para kreditor menjadi berbeda dari yang diatur dalam Undang-Undang No.

37 Tahun 2004. Dalam penelitian, penulis melakukan penelitian terhadap kasus

Putusan Tingkat Kasasi No. 814 K/Pdt.Sus/2012. Adapun alasan pemilihan kasus

ini adalah bahwa betapa tidak sederhananya pemberesan harta paillit dalam suatu

proses kepailitan. Di dalam praktik, di samping kreditor separatis, kurator masih

harus berhadapan dengan buruh selaku kreditor preferen, pajak dan kreditor

konkuren lainnya.

Perlindungan hukum terhadap kreditor separatis sangat penting demi

menjamin adanya kepastian pelunasan utang oleh debitor terhadap kreditor

separatis. Kasus ini bermula saat PT. Tripanca Group dinyatakan pailit pada 3

Agustus 2009. Pada saat masih belum pailit, perusahaan tersebut meminjam dana

kepada Bank Mega. Pada Bank Mega, PT. Tripanca Group menjaminkan biji kopi

sebanyak 26.000 (dua puluh enam ribu) ton. Untuk Menutupi hutang PT.

Tripanca, maka Bank Mega melakukan lelang atas jaminan fidusia berupa kopi

sebanyak 26.000 ton tersebut, dari hasil lelang tersebut didapat uang sejumlah Rp

277.000.000.000,00 ( dua ratus tujuh puluh tujuh milyar rupiah), hasil lelang
5
Anonim, Hakim Perintahkan Kreditor Separatis Berbagi Hak dengan Buruh
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba11d3b8804d/hakim-perintahkan-kreditor-separatis-
berbagi-hak-dengan-buruh, diakses Senin, 16 Oktober 2016.
tersebut dipegang oleh Bank Mega. Kurator PT. Tripanca mengajukan gugatan

pada tanggal 1 Oktober 2012 agar Bank Mega menyerahkan laporan pertanggung

jawaban, bukti transaksi dan sebagian uang hasil eksekusi jaminan pinjaman PT.

Tripanca sebesar 10% senilai Rp. 27.000.000.000,00 (dua puluh tujuh milyar

rupiah). Dalam gugatan sebelumnya, Hakim mengabulkan gugatan kurator PT.

Tripanca sebagian dan menetapkan Bank Mega untuk membayar 5% dari hasil

lelang jaminan fidusia tersebut. Selanjutnya karena tidak puas dengan hasil

putusan No: 04/Renvoi Prosedur/2012/PN.NIAGA.JKT.PS.Jo. No.33/PAILIT/

2009/PN.NIAGA.JKT.PST tentang Pelelangan Objek Jaminan Fidusia, PT. Bank

Mega,Tbk mengajukan permohonan kasasi sehubungan perselisihan yang timbul

antara PT. Bank Mega,Tbk dengan Kurator PT. Tripanca Group. Prosedur renvoi

kepailitan sendiri diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, meskipun tidak

ditentukan pengertian dari prosedur renvoi tersebut. Setelah dinyatakan pailit

suatu perusahaan, terkadang debitor dan kreditor dalam melakukan pemberesan

boedel pailit tidak berhasil mencapai titik temu, sehingga Hakim Pengawas perlu

turun tangan dan mencoba mendamaikan permasalahan tersebut. Namun, apabila

Hakim Pengawas tidak berhasil mendamaikan pihak yang berbantahan, maka

Hakim Pengawas memerintahkan pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan

perselisihan ke majelis hakim Pengadilan Niaga. Inilah yang disebut dengan

prosedur renvoi.

Dalam kasus tersebut diatas Putusan Mahkamah Agung dalam kasasi

menguatkan Putusan Pengadian Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat


untuk memberikan bagian, sebesar 5% dari nilai hasil lelang eksekusi jaminan

fidusia berupa stock kopi sebesar Rp. 277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh

tujuh milyar lima ratus juta seribu rupiah) yaitu sebesar Rp. 13.875.000.000,- (tiga

belas milyar delapan ratus tujuh puluh lima juta rupiah) untuk dibagikan kepada

Kreditor Preferen yang dalam hal ini adalah pekerja PT. Tripanca Group. Dari

kasus ini sangat menarik untuk dilakukan penelitian tentang perlindungan hukum

terhadap kreditor separatis dalam bentuk skripsi dengan judul: Perlindungan

Hukum Terhadap Kreditor Separatis Dalam Pemberesan Harta Pailit.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kedudukan kreditor separatis sebagai pemegang hak jaminan

kebendaan dalam mengeksekusi harta pailit?

2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap kreditor separatis dalam

pemberesan harta pailit oleh pengadilan dalam putusan MA No. 814

K.Pdt.Sus/2012?

3. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelitian dan penelusuran yang dilakukan, baik terhadap

hasil-hasil penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya

di lingkungan Program Studi Ilmu Hukum Universitas Katolik Santo Thomas

Sumatera Utara, belum ditemukan judul mengenai Perlindungan Hukum

Terhadap Kreditor Separatis dalam Pemberesan Harta Pailit. Adapun


permasalahan yang timbul dalam penulisan ini merupakan ide dari penulis

sendiri.

Penelitian ini menghimpun data dari referensi buku-buku, perundang-

undangan dan internet. Penulis berkeyakinan bahwa penelitian ini dan

permasalahan yang diajukan belum pernah diteliti dan dibahas, sehingga dapat

dikatakan asli.

4. Kegunaan/ Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun

praktis. Manfaat penelitian yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah :

1. Manfaat secara teoretis;

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam melatih

diri dan mengembangkan pemahaman dan kemampuan berfikir melalui

penulisan karya ilmiah serta menambah pengetahuan, wawasan, khususnya

yang berkaitan dengan penelitian dibidang hukum dengan menerapkan

pengetahuan dan pengalaman praktis yang diperoleh selama ini.

2. Manfaat secara praktis;

Secara praktis memberikan masukan kepada mahasiswa lain yang akan

melakukan penelitian tentang perlindungan hukum terhadap kreditor separatis

dalam pengurusan harta pailit secara khusus serta pembacaan secara umum.
B. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan kreditor separatis sebagai

pemegang hak jaminan kebendaan dalam mengeksekusi harta pailit.

2. Untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum terhadap kreditor

separatis dalam pemberesan harta pailit.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Ruang Lingkup Kepailitan

1. Pengertian Kepailitan

Kepailitan berasal dari kata pailit. Apabila ditelusuri lebih mendasar, kata

pailit dijumpai dalam perbendaharaan Bahasa Belanda, Perancis, Latin dan

Inggris dengan istilah yang berbeda-beda. Dalam Bahasa Belanda, pailit berasal

dari istilah failliet yang mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan sifat.

Dalam Bahasa Prancis dinamakan faillite yang berarti pemogokan atau kemacetan

pembayaran; sedangkan orang yang mogok atau berhenti membayar dalam

Bahasa Prancis dinamakan lefaili. Kata kerja failir berarti gagal. Dalam Bahasa

Inggris dikenal kata to fail dengan arti yang sama, dalam Bahasa Latin disebut

failure. Di negara-negara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan kepailitan

diwakili dengan kata-kata bankrupt dan bankruptcy.

Terminologi kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan

umum. Sebagian dari mereka menganggap kepailitan sebagai vonis yang berbau

tindakan kriminal serta merupakan suatu cacat hukum sebagai subjek hukum,

karena itu kepailitan harus serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara

apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari

debitor dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu

dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai pengemplangan

utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada

kreditor.

14
Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk

keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, di mana

debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang-

utang tersebut kepada para kreditornya.

Mengenai ketidakmampuan debitor, Ricardo Simanjuntak menegaskan

sebagai berikut:

Bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh


tempo tersebut disadari oleh debitor, maka langkah untuk mengajukan
langkah permohonan penetapan status pailit dirinya menjadi suatu langkah
yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap
debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitor tersebut
memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo
dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy).6

Kepailitan merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas

creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta

kekayaan (vermogensrechts). Kartini Mulyadi berpendapat bahwa, prinsip

paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa

barang bergerak maupun barang yang tidak bergerak maupun harta yang sekarang

telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari akan dimiliki debitor

terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.7 Selanjutnya Kartini Mulyadi

menjelaskan bahwa, prinsip pari passu prorate parte berarti harta kekayaan

tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus

dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor

6
Ricardo Simanjuntak, Esensi Pembuktian Sederhana dalam Kepailitan, Dalam: Emmy
Yuhassarie (ed.), Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangan, Pusat Pengkajian Hukum,
Jakarta, 2005, hlm. 55-56.
7
Kartini Mulyadi, Kepailitan dan Penyelesaian Utang Piutang, dalam Rudy Lontoh, Ed.,
Penyelesaian Utang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni,
Bandung, 2001, hlm. 168.
ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima

pembayaran tagihan.8

Apabila kepailitan dihubungkan dengan ketidakmampuan untuk membayar

dari seorang debitor atau utang-utang yang telah jatuh tempo, maka dalam

pemberesan harta pailit secara arif, bijaksana dan cermat, dalam artian tidaklah

boleh merugikan salah satu pihak, baik debitor ataupun kreditor.

Mengenai pengertian kepailitan M. Hadi Shubhan berpendapat sebagai

berikut:

Pengertian pailit adalah keadaan di mana seseorang debitor tidak mampu


untuk melunasi utang-utangnya pada saat utang tersebut jatuh tempo.
Selanjutnya perbedaannya dengan kepailitan yang merupakan putusan
pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor
pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari.
Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan seorang hakim pengawas dengan tujuan utama untuk
menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut dengan membayar
seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan
sesuai dengan struktur kreditor.9

2. Pengaturan Hukum Kepailitan

Pengaturan kepailitan termasuk dalam Hukum Dagang, meskipun tidak

diatur dalam peraturan tersendiri yaitu dalam Faillissements Verordening yang

disingkat FV (S. 1905-217 bsd. 1906-348) yang mengandung 279 Pasal , terdiri

dari 2 Bab, yaitu:

a. Bab I, tentang Kepailitan (Van Faillissments) Pasal 1 sampai Pasal 211.

b. Bab II, tentang Penundaan Pembayaran (Surseance van Betaling) Pasal

212 sampai Pasal 279.

8
Ibid.
9
M. Hadi Shubhan, Loc. Cit.
Baru pada tanggal 22 April 1998, Peraturan Kepailitan tersebut kemudian

disempurnakan melalui PERPU No. 1 Tahun 1998 dan pada tanggal 9 September

1998 PERPU tersebut ditingkatkan menjadi Undang-undang, yakni UU No. 4

Tahun 1998. Didalam UU kepailitan yang baru ini terdiri dari 289 Pasal , yang

terbagi dalam 3 (tiga) Bab, yaitu :

1) Bab I, tentang Kepailitan mulai dari Pasal 1 sampai dengan Pasal 211.

2) Bab II, tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Pasal

212 sampai dengan Pasal 279.

3) Bab III, tentang Pengadilan Niaga, Pasal 280 sampai dengan Pasal 289.

Bila dibandingkan dengan aturan kepailitan yang lama maka pada aturan

kepailitan yang baru ada tambahan 1 Bab yaitu Bab ketiga yang berisi 10 Pasal ,

yang mengatur tentang Pengadilan Niaga. Sedangkan pada Bab 1 (kesatu) dan

Bab 2 (kedua) pada prinsipnya sama dengan aturan yang lama tetapi dengan

beberapa perubahan dan penambahan substansi maupun Pasal didalamnya. Lebih

lanjut seperti yang dipaparkan pada bab-bab berikutnya.

Dalam perjalanan waktunya, UU No. 4 Tahun 1998 ini pun dirasa masih

belum mampu mengakomodir semua kepentingan pihak-pihak dalam

penyelesaian masalah utang piutang. Oleh karena itu perlu dibenahi,

disempurnakan baik dari aspek formil maupun materilnya. Maka pada tanggal 18

November 2004 disahkan dan diundangkanlah Undang-Undang No. 37 Tahun

2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.


Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 ini terdiri dari 308 Pasal yang terbagi

kedalam 7 Bab yaitu:

Bab I : Ketentuan Umum (Pasal 1)


Bab II : Kepailitan (Pasal 2-221)
Bab III : Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) (Pasal 222-
294)
Bab IV : Permohonan Peninjauan Kembali (Pasal 295-298)
Bab V : Ketentuan Lain-lain
Bab VI : Ketentuan Peralihan (Pasal 299-303)
Bab VII : Ketentuan Penutup (Pasal 306-308)

3. Sejarah Hukum Kepailitan

Menurut Rahayu Hartini, dalam sejarah berlakunya Peraturan Kepailitan di

Indonesia, dapat dipilah menjadi 3 masa yakni: masa sebelum Faillisement

Verordening berlaku, masa berlakunya Faillisement Verordening dan masa

berlakunya UU Kepaltitan yang sekarang ini.10

a. Sebelum berlakunya Faillisement Verordening

Sebelum Failisement Verordenimg berlaku, Hukum Kepailitan diatur

dalam 2 tempat yakni:

1. Wet Book Van Koophandel atau WvK buku ketiga yang berjudul Van
de Voorzieningen in geval van Onvormogen van kooplieden atau
peraturan tentang ketidakmampuan pedagang. Peraturan ini adalah
peraturan kepailitan bagi pedagang.
2. Reglemen op de Rechtsvoordering (RV). S. 1847-52 bsd 1849-63,
Buku ketiga Bab ketujuh dengan judul Van den staat Von Kenneljk
Onvermogen atau tentang keadaan nyata-nyata tidak mampu.

10
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Universitas Muhamadiya Malang, Malang, 2008,
hlm. 9.
Peraturan ini adalah peraturan kepailitan bagi orang-orang yang bukan

pedagang. Akan tetapi menurut H.M.N Purwostjipto ternyata dalam

pelaksanaannya, kedua aturan tersebut justru menimbulkan banyak kesulitan

antara lain:

a. Banyak formalitas yang ditentukan, menimbulkan banyak kesulitan


dalam pelaksanaan;
b. Biaya tinggi;
c. Pengaruh kreditor yang sedikit terhadap jalannya kepailitan;
d. Pelaksanaan kepailitan harus melalui waktu yang lama.11

Oleh karena itu maka dibuatlah aturan baru, yang sederhana dan tidak

perlu banyak biaya, maka lahirlah Faillissements Verordening (S. 1905-217)

untuk menggantikan 2 (dua) Peraturan Kepailitan tersebut.

b. Masa Berlakunya Faillisements Verordening (S. 1905 No. 217 jo S. 1906

No. 348)

Selanjutnya mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening

(S. 1905-271 bsd S. 1906-348). Peraturan Kepailitan ini sebenarnya hanya berlaku

bagi golongan Eropa, Cina dan Timur Asing (S. 1924-556).

Bagi golongan Indonesia asli (pribumi) dapat saja menggunakan

Faillisements Verordening dengan cara melakukan penundukan diri. Dalam masa

ini untuk kepailitan berlaku Faillisements Verordening 1905-217 yang berlaku

bagi semua orang baik pedagang maupun bukan pedagang, baik perseorangan

maupun badan hukum.

Jalannya sejarah peraturan kepailitan di Indonesia ini adalah sejalan

dengan apa yang terjadi di Negara Belanda dengan melalui asas konkordansi

11
H.M.N Purwostjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 8, Penerbit
Jambatan, Jakarta, 1992, hlm. 29.
(Pasal 131 IS), yakni dimulai dengan berlakunya Code de Commerce (tahun 1811-

1838) kemudian pada tahun 1893 diganti dengan Faillisements Wet 1893 yang

berlaku pada 1 September 1896.

c. Masa Berlakunya Undang-Undang Kepailitan Produk Hukum Nasional

Pada akhirnya setelah berlaku Fv. S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348,

Republik Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan, yakni sudah

ada 3 (tiga) peraturan perundangan yang merupakan produk hukum nasional:

dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU)

No. 1 tahun 1998 tentang Kepailitan yang kemudian ditingkatkan menjadi

Undang-undang No. 4 tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004

disempurnakan lagi dengan Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan

dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

1. Masa Berlakunya Perpu No. 1 Tahun 1998 dan UU No. 4 Tahun 1998

Pengaruh gejolak moneter yang terjadi di beberapa negara di Asia

termasuk di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan

yang sangat besar terhadap perekonomian Nasional terutama kemampuan dunia

usaha dalam mengembangkan usahanya. Terlebih lagi dalam rangka untuk

memenuhi kewajiban pembayaran pada para kreditor. Keadaan ini pada gilirannya

telah melahirkan akibat yang berantai dan apabila tidak segera diselesaikan akan

menimbulkan dampak yang lebih luas.

Kemudian, dilaksanakanlah penyempurnaan atas peraturan kepailitan atau

Faillisemnets Verordening melalu Perpu No. 1 tahun 1998 tentang perubahan

Undang-undang tentang kepailitan pada tanggal 22 April 1998 dan sebagai


konsekwensi lebih lanjut dari PERPU ini ditingkatkan menjadi Undang-undang

Republik Indonesia No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pengganti

Undang-undang Kepailitan yang telah disahkan dan diundangkan di Jakarta pada

tanggal 9 September 1998 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI)

tahun 1998 No. 135.

Maka sejak tanggal Undang-undang tersebut disahkan maka berlakulah

UU Kepailitan yang pada prinsipnya isinya masih merupakan tambal sulam dari

aturan sebelumnya yaitu Peraturan Kepailitan (FV).

2. Masa Berlakunya UU No. 37 Tahun 2004

Krisis moneter yang melanda negara Asia termasuk Indonesia sejak

pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap

perekonomian dan perdagangan nasional. Untuk kepentingan dunia usaha dalam

menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif,

sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya. Oleh karena itu

perubahan dilakukan terhadap Undang-undang Kepailitan dengan memperbaiki,

manambah dan meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak

sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, karena

jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih terdapat kekurangan dan

kelemahan.

Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan

penundaan kewajiban pembayaran utang yaitu dengan menghindari adanya:

a. Perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa
kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.
b. Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya
dengan cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan
kepentingan debitor atau para kreditor lainnya.
c. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor
atau debitor sendiri.12

Undang-undang baru tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma,

ruang lingkup materi maupun proses penyelesaian utang-piutang.

4. Fungsi Hukum Kepailitan

Hukum pada dasarnya berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia.

Penjelasan umum Undang-undang No. 37 Tahun 2004 menyebutkan beberapa

faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban

pembayaran utang. Menurut H. Man S. Sastrawidjaja, faktor-faktor dimaksud

sebagai berikut :

a. Untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang


sama ada beberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor;
b. Untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan kebendaan
yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik debitor tanpa
memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor lainnya;
c. Untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan
oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.13
Memperhatikan Penjelasan Umum Undang-Undang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dapat diketahui bahwa adanya Undang-

undang ini berfungsi baik untuk kepentingan kreditor maupun debitor. Hal

demikian sesuai dengan fungsi hukum pada umumnya sebagaimana telah

dikemukakan di atas. Karena undang-undang tersebut dimaksudkan berfungsi

untuk melindungi kepentingan baik kreditor maupun debitor, perlindungan yang

12
Rahayu Hartini, op. Cit., hlm. 11.
13
H. Man S. Sastrawidjaja, op. Cit., hlm. 72.
diberikan harus seimbang, tidak terlalu berat sebelah, baik kepada kreditor

maupun debitor. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan.

Sehubungan dengan keadaan demikian, dalam Penjelasan Umum Undang-

Undang No. 37 Tahun 2004 juga disebutkan adanya beberapa asas yang

mendasari undang- undang tersebut. Asas-asas dimaksud adalah:

1. Asas Keseimbangan

Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan

dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak terdapat ketentuan yang dapat

mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh

debitor yang tidak jujur. Di lain pihak, terdapat ketentuan yang dapat

mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh

kreditor yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha

Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan

perusahaan debitor yang prospektif untuk melanjutkan perusahaannya.

3. Asas Keadilan

Keadilan dimaksud dapat terpenuhi bagi para pihak yang berkepentingan.

4. Asas Integrasi

Asas Integrasi dalam Undang-undang ini mengandung pengertian bahwa

sistem hukum formil dan materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari

sistem hukum perdata dan hukum acara perdata internasional.


B. Perkara Kepailitan

1. Syarat Pengajuan Pailit

Agar dapat dinyatakan pailit, seorang debitor harus memenuhi syarat-

syarat sebagai berikut:

a. debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor

b. tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat

ditagih

c. atas permohonan sendiri atau permohonan satu atau lebih kreditornya.

Undang-undang kepailitan pengaturan tentang syarat kepailitan diatur

lebih tegas, hal ini semata-mata untuk menghindari adanya:

1) Perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor

yang menagih piutangnya dari debitor.

2) Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan

cara menjual barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor

atau para kreditor lainnya.

3) Kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau

debitor sendiri. Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada

seorang atau beberapa orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya

dirugikan, atau adanya perbuatan curang dari debitor untuk melarikan semua

harta kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung jawabnya

terhadap para kreditor.


2. Pihak-Pihak yang Dapat Mengajukan Permohonan Pailit

Salah satu pihak yang terlibat dalam perkara kepailitan adalah pihak

pemohon pailit yaitu pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit

ke Pengadilan Niaga. Pihak-pihak pemohon pailit berdasarkan ketentuan Pasal 2

ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yaitu debitor yang mempunyai dua

atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah

jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik

atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun

2004 di atas maka dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang berhak mengajukan

permohonan pernyataan pailit ke pengadilan niaga adalah sebagai berikut:

a. Debitor sendiri

Permohonan pernyataan pailit yang diajukan sendiri oleh debitor (voluntary

petition) menandakan bahwa permohonan pernyataan pailit bukan saja dapat

diajukan untuk kepentingan para kreditornya tetapi dapat pula diajukan untuk

kepentingan debitor sendiri. Debitor harus dapat mengemukakan dan

membuktikan bahwa ia memiliki lebih dari satu kreditor dan tidak membayar

salah satu utang kreditornya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Tanpa

membuktikan hal tersebut maka pengadilan akan menolak permohonan

pernyataan pailit tersebut.

b. Seorang atau lebih kreditor

Syarat seorang kreditor untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit

tentu sama dengan syarat yang harus dipenuhi debitor dalam mengajukan
permohonan pernyataan pailit terhadap dirinya karena landasan bagi

keduanya adalah Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

Selain itu, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang juga mengatur mengenai pihak-pihak diluar perjanjian utang-

piutang antara debitor dan kreditor yang bisa mengajukan permohonan pernyataan

pailit terhadap debitor-debitor tertentu, yaitu:

1. Kejaksaan

2. Bank Indonesia

3. Bapepam

4. Menteri Keuangan

Dari penjelasan di atas, dapat ditegaskan bahwa pihak-pihak pemohon

pailit dapat dilakukan oleh debitor atau kreditor dari perjanjian utang-piutang itu

sendiri ataupun pihak lain (lembaga pemerintah) yang sama sekali tidak ada

kaitannya dengan perjanjian utang-piutang antara debitor dan kreditor.

3. Pihak-pihak yang Dapat Dinyatakan Pailit

Pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit menurut ketentuan Undang-

Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang adalah debitor, debitor yang dimaksud adalah :

a. Orang-perorangan, baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah

maupun yang belum menikah. Jika orang-perorangan yang telah menikah

maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan dengan ijin suami atau istri

yang bersangkutan, kecuali antara mereka tidak ada percampuran harta.


b. Perserikatan-perserikatan atau perkumpulan-perkumpulan yang bukan badan

hukum seperti maathscap, firma dan persekutuan komanditer.

c. Perkumpulan Perseroan (Holding Company) dan anak-anak perusahaannnya

dapat diajukan dalam satu permohonan, tetapi dapat juga diajukan terpisah

sebagai dua permohonan.

d. Harta peninggalan. Harta peninggalan atau warisan yang dinyatakan pailit

oleh hakim.

Pasal 1 angka (11) UU No. 37 tahun 2004 melalui Bab I Ketentuan Umum

menyebutkan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi

termasuk korporasi yang berbentuk badan hukum mapun yang bukan badan

hukum.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa setiap orang baik orang

perseorangan atau korporasi termasuk berbentuk badan hukum maupun yang

bukan badan hukum dalam lukuidasi dapat mengajukan permohonan pailit dan

dapat diajukan pailit.

4. Akibat Hukum Pernyataan Pailit Bagi Debitor Pailit dan Hartanya

Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan

pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan (Pasal 21).

Namun ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap (Pasal 22):

a. Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitor sehubungan

dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang dipergunakan

untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh


debitor dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi

debitor dan keluarganya, yang terdapat di tempat tersebut;

b. Segala sesuatu yang diperoleh debitor dari pekerjaannya sendiri sebagai

penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu

atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim Pengawas;

c. Uang yang diberikan kepada debitor untuk memenuhi suatu kewajiban

memberi nafkah menurut undang-undang.

Perlu diingat bahwa dalam Pasal 23 Undang-undang No. 37 Tahun 2004

bahwa Debitor Pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan 22 juga meliputi

istri atau suami dari Debitor Pailit yang menikah dalam persatuan harta. Sejak

tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan maka debitor demi hukum kehilangan

haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta

pailit sesuai dengan Pasal 24 ayat (1) sedangkan tanggal putusan sebagaimana

dimaksud tersebut dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat sesuai dengan Pasal

24 ayat (2), apabila sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah

dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal

putusan sebagaimana dimaksud transfer tersebut wajib diteruskan dan dalam hal

sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan Transaksi Efek di

Bursa Efek maka transaksi tersebut wajib diselesaikan. Setelah adanya putusan

pernyataan pailit maka semua perikatan debitor yang terbit sesudahnya tidak dapat

lagi dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta

pailit. Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus

diajukan oleh atau terhadap kurator, dalam hal tuntutan tersebut diajukan atau
diteruskan oleh atau terhadap debitor Pailit maka apabila tuntutan tersebut

mengakibatkan suatu penghukuman terhadap Debitor Pailit, penghukuman

tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit.

5. Akibat Hukum Pernyataan Pailit Bagi Kreditor

Kreditor adalah Orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

undang-undang yang dapat ditagih dimuka pengadilan yang memiliki kedudukan

yang sama dengan kreditor lainnya, oleh karena itu para kreditor tersebut

memiliki hak yang sama atas hasil eksekusi boedel pailit sesuai dengan besarnya

tagihan mereka masingmasing. Namun demikian, terdapat pengecualian terhadap

golongan kreditor yang memegang hak agunan atas kebendaaan dan golongan

kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan undang-undang kepailitan dan

peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, akibat kepailitan bagi

para kreditornya terbagi menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:

a. Kreditor separatis.

Kreditor separatis adalah kreditor pemegang jaminan kebendaan yang

dapat bertindak sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan

pernyataan pailit debitor, artinya golongan ini tetap dapat menjalankan hak

eksekusinya meskipun debitor dalam keadaan pailit. Dalam hal ini kreditor dapat

menjual sendiri barang jaminan dan mengambil hasil penjualan tersebut sebesar

piutangnya, apabila hasil penjualan tersebut tidak mencukupi maka kreditor

separatis dapat memasukkan sisa piutang yang belum terbayar sebagai kreditor

separatis. Hak jaminan kebendaan yang memberikan hak menjual sendiri secara

lelang untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu terdiri dari:


1) Hak gadai yang diatur dalam Bab XX Buku III KUH Perdata.

2) Hipotek yang diatur dalam Bab XXI Buku III KUH Perdata.

3) Hak tanggungan yang diatur dalam undang-undang nomor 4 Tahun 1996.

4) Jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-Undang No 32 tahun 1999.

b. Kreditor preferen

Kreditor preferen adalah kreditor yang karena sifat piutangnya mempunyai

kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan lebih dahulu

dari penjualan harta pailit. Dalam pasal 1334 KUHPerdata dijelaskan bahwa hak

istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang undang kepada

seseorang yang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang

berpiutang lainnya.

c. Kreditor konkuren.

Kreditor konkuren yang lebih dikenal dengan istilah kreditor bersaing,

adalah para kreditor yang memiliki kedudukan dan hak yang sama dalam

memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitor, baik harta yang telah ada

maupun yang akan ada di kemudian hari, setelah dikurangi dengan kewajiban

membayar piutang kepada para kreditor pemegang hak jaminan dan para kreditor

dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan besarnya piutang

masingmasing kreditor konkuren tersebut.


C. Kreditor Separatis

1. Pengertian Kreditor Separatis

Aulis Aarnio menyatakan bahwa, ilmu hukum adalah ilmu tentang

makna-makna, menentukan makna dari sesuatu adalah menginterpretasikan

sesuatu.14 Meuwissen berpendapat bahwa, hukum jaminan mengenal istilah

kreditor separatis, dikatakan separatis yang berkonotasi pemisahan karena

kedudukan kreditor tersebut memang dipisahkan dari kreditor lainnya, dalam arti

kreditor dapat menjual sendiri dan mengambil sendiri dari hasil penjualan, yang

terpisah dengan hukum kepailitan pada umumnya.15 Menurut Kamus Hukum

separatis diartikan bahwa dalam hal adanya kepailitan ada penagih yang berhak

mendahului menagih piutangnya.16 Sudargo Gautama bependapat bahwa,

Kreditor pemegang hak jaminan ini karena sifatnya pemilik suatu hak yang

dilindungi secara super preferen dapat mengeksekusi seolah-olah tidak terjadi

kepailitan, karena dianggap separatis (berdiri sendiri).17

Munir Fuady menyebutkan bahwa, kreditor separatis adalah kreditor yang

memiliki jaminan utang kebendaan (Hak Jaminan), seperti pemegang hak

tanggungan, hipotik, gadai, fidusia dan lain-lain (Pasal 55 Undang-undang No. 37

Tahun 2004).18 Selanjutnya Munir Fuady menyatakan bahwa, kreditor dengan

jaminan yang bukan jaminan kebendaan (seperti garansi termasuk garansi bank)

14
Aulis Aarnio, A Hermeneutik Approach In Legal Theory, dalam Philosophial perspective
In Jurisprudence, Helsinki, 1983, hlm. 64, dalam Benard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur
Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1999, hlm. 149.
15
Meuwissen, Teori Hukum, Majalah Pro Justitia, Tahun XXI, Nomor 2 April 1994, hlm.
99.
16
Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum Edisi lengkap Bahasa Belanda Indonesia, Inggris,
CV. Aneka Ilmu, Semarang, 1977, hlm. 767.
17
Sudargo Gautama, Komentar atas Peraturan Kepailitan Baru untuk Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm. 105.
18
Munir Fuady, loc. cit.
bukan merupakan kreditor separatis.19 Pemahaman yang dimaksud dengan hak

kreditor separatis adalah hak yang diberikan oleh hukum kepada kreditor

pemegang hak jaminan untuk tetap dapat melaksanakan hak-hak eksekusinya

meskipun debitor telah dinyatakan pailit.

Sedangkan menurut Sri Soedewi bahwa, hak kreditor separatis para pemegang

gadai dan hipotik dapat malaksanakan haknya dengan cepat dan mudah, tidak

terpengaruh dengan adanya kepailitan.20

2. Kedudukan Kreditor Separatis dalam Undang-undang No. 37 tahun 2004

Dalam suatu kepailitan dikenal 3 (tiga) tingkatan atau golongan kreditor

yaitu:

a. Kreditor separatis, yaitu kreditor yang piutangnya dijamin dengan


agunan kebendaan (hak tanggungan, hipotik, gadai dan fidusia).
Kreditor separatis (secured creditor) dapat mengeksekusi haknya
seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Namun dalam haknya itu harus
ditangguhkan selama 90 hari sejak tanggal putusan pailit diucapkan.
Penangguhan eksekusi utang adalah suatu masa tertentu dimana
kreditor separatis tidak dapat mengeksekusi jaminannya.
b. Kreditor dengan hak istimewa khusus, dan kreditor dengan hak
istimewa umum. Pembayaran terhadap kreditor dengan hak istimewa
khusus, harus didahulukan dari kreditor hak istimewa umum.
c. Kreditor konkuren, yaitu kreditor yang tidak termasuk kreditor
separatis maupun kreditor dengan hak istimewa. Kreditor konkuren
atau kreditor bersaing (unsecured creditors) adalah semua kreditor
atau penagih berdasarkan piutang tanpa jaminan tertentu. Mereka
bersama-sama akan memperoleh pembayaran piutangnya menurut
pertimbangan besar-kecilnya piutang masing-masing kreditor.21

19
Ibid.
20
Sri Soedewi Masjshoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm. 77-78.
21
Eliyana, Konsep Dasar dan Aspek Hukum Kepailitan, Proceeding Kepailitan dan
Transfer Asset secara Melawan Hukum, Bogor, 20-21 juli 2004, Pusat Pengkajian Hukum,
Jakarta, 2005, hlm. 117.
Mengenai kedudukan para kreditor Fred B.G Tumbuan berpendapat

sebagai berikut:

Pada dasarnya kedudukan para kreditor adalah sama (paritas creditorium)


dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas hasil eksekusi
boedel pailit sesuai dengan besarnya tagihan mereka masing-masing (pari
passu pro rata parte). Namun demikian, asas itu mengenal pengecualian
yaitu golongan kreditor yang memegang hak agunan atas kebendaan dan
golongan kreditor yang haknya didahulukan berdasarkan Undang-undang
kepailitan dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan demikian
asas paritas creditorium berlaku bagi para kreditor konkuren saja.22

Berdasarkan hak kreditor yang memegang hak jaminan sebagaimana

dimaksudkan dalam Pasal 56 UU No. 37 tahun 2004, yaitu penangguhan

pelaksanaan hak eksekusi kreditor tersebut, dalam jangka waktu paling lama 90

hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, persetujuan dari kurator

atau hakim pengawas. Imran Nating menyatakan bahwa, maksud diadakan

lembaga penangguhan pelaksanaan hak kreditor separatis adalah untuk

memungkinkan kurator mengurus boedel pailit secara teratur untuk kepentingan

semua pihak yang tersangkut dalam kepailitan, termasuk kemungkinan

tercapainya perdamaian atau untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan

harta pailit.23

Selama berlangsungnya jangka waktu penangguhan, segala tuntutan

hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutangnya tidak dapat diajukan

dalam sidang peradilan. Baik kreditor maupun pihak ketiga dimaksud dilarang

mengeksekusi atau memohon sita atas barang yang menjadi agunan. Penangguhan

22
Fred B.G Tumbuan, Pokok-Pokok Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana
diubah oleh perpu No. 1/1998, dalam Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni Bandung, Bandung, 2001, hlm. 128.
23
Imran Nating, Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 47.
eksekusi itu tidak berlaku terhadap tagihan kreditor yang dijamin uang tunai dan

hak kreditor untuk memperpanjang utang.

Elijana Tansah berpendapat bahwa, kreditor separatis adalah kreditor

pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak sendiri.24 Kemudian

Elijana Tansah juga mengemukakan bahwa, Golongan kreditor ini tidak terkena

akibat putusan pernyataan pailit debitor, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap

dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor.25 Kreditor golongan ini

dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak ada

kepailitan. Hasil penjualan itu, diambil sebesar piutangnya, sedangkan jika ada

sisanya disetor ke kas kurator sebagai boedel pailit. Menurut Erman Rajagukguk

bahwa, jika hasil penjualan tersebut ternyata tidak mencukupi, kreditor tersebut

untuk ditagih yang belum terbayar dapat memasukkan kekurangannya sebagai

kreditor bersaing (concurrent).26

Kedudukan kreditor separatis diatur dalam dua tahap yaitu masa pra pailit

dan setelah masa kreditor dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga (pasca pailit)

baik kepailitan yang timbul karena prosedur kepailitan maupun dari Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, sebagai berikut:

1. Kedudukan Kreditor Separatis pada Periode Pra Pailit

Kedudukan para kreditor separatis dengan jelas diatur dalam Pasal 55

Undang-undang No. 37 Tahun 2004, yaitu kreditor separatis dapat

mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Ketentuan dalam

24
Elijana Tansah, Kapita Selekta Hukum Kepailitan, Makalah, disampaikan dalam
Pendidikan Singkat Hukum Perusahaan, Jakarta, 17 Juli- 4 Agustus 2000.
25
Ibid.
26
Erman Rajagukguk, dalam Imran Nating, Op, Cit., hlm. 48.
Pasal 55 ini konsisten dengan ketentuan perundangan lainnya yang mengatur

tentang parte executie dari pemegang hak jaminan atas kebendaan seperti hak

tanggungan, hipotik, gadai, fidusia, kreditor pemegang ikatan jaminan dan

kreditor pemegang hak retensi.

2. Kedudukan Kreditor Separatis Periode Pasca Pernyataan Pailit.

Kedudukan kreditor separatis pada periode pra pailit dengan pasca pailit pada

dasarnya tetap mengacu pada Pasal 55 dan Pasal 244 ayat (1) Undang-undang

No. 37 Tahun 2004, yaitu kreditor separatis ditempatkan di luar dari

kepailitan debitornya karena sifat jaminan piutang yang dimilikinya

memberinya hak untuk mengeksekusi sendiri barang jaminan guna pelunasan

piutangnya. Namun demikian, UU No. 37 Tahun 2004 juga mengatur

kedudukan kreditor separatis pada periode setelah debitor pailit.

Apabila hasil penjualan barang jaminan piutang kreditor separatis tidak

mencukupi untuk memenuhi pembayaran piutangnya, kreditor separatis dapat

mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut kepada kurator.

Konsekuensinya, kreditor separatis berubah menjadi kreditor konkuren tetapi

hanya untuk kekurangan tagihan pembayarannya. Dengan demikian, kekurangan

tagihan ini harus diajukan untuk dicocokkan dalam rapat verifikasi. Terhadap

tagihan kreditor separatis yang dibantah ini, Pasal 118 ayat (2) Undang-undang

No. 37 Tahun 2004 menegaskan bahwa tagihannya harus dimasukkan dalam

daftar piutang yang diakui sementara.

Demikian juga jika jaminan yang ada padanya tidak mencukupi untuk

memenuhi pembayaran tagihannya, kreditor separatis dapat menjadi kreditor


konkuren untuk kekurangan tagihannya tersebut tanpa kehilangan hak

istimewanya untuk mengeksekusi sendiri barang jaminan yang ada padanya.

Walaupun kreditor separatis sudah memegang jaminan hak tanggungan dan dapat

mengeksekusi jaminan hak tanggungan yang dipegangnya seolah-olah tidak

terjadi kepailitan, namun kreditor pemegang hak tanggungan (separatis) masih

memiliki kepentingan yang berupa sisa tagihan yang tidak cukup ditutup dengan

eksekusi jaminan serta kepentingan mengenai kelangsungan usaha debitor.

D. Pemberesan Harta Pailit

Apabila dalam rapat pencocokkan piutang tidak ditawarkan rencana

perdamaian, rencana perdamaian yang di tawarkan tidak diterima atau pengesahan

perdamaian telah ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolven.

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dan Pasal 106 tidak

berlaku, apabila sudah ada kepastian bahwa perusahaan debitor pailit tidak akan

dilanjutkan atau apabila kelanjutan usaha dihentikan (Pasal 178 UU No. 37 Tahun

2004).

1. Kelanjutan Perusahaan Debitor Pailit

Usul tentang dilanjutkannya usaha debitor pailit wajib diterima apabila usul

tersebut disetujui oleh kreditor yang mewakili lebih dari (satu perdua) dari

semua piutang yang diakui dan diterima dengan sementara yang tidak dijamin

dengan hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunan atas

kebendaan lainnya. Dalam hal tidak ada panitia kreditor, berlaku ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 80. Berita acara rapat harus
memuatnama kreditor yang hadir, suara yang dikeluarkan oleh masing-masing

kreditor, hasil pemungutan suara, dan segala sesuatu yang terjadi pada rapat

tersebut.

Atas permintaan kreditor atau kurator, hakim pengawas dapat

memerintahkan supaya kelanjutan perusahaan dihentikan. Dalam hal terdapat

permintaan tersebut, panitia kreditor bila ada, wajib didengar dan kurator wajib

pula didengar apabila usul tersebut tidak diajukan oleh kurator. Hakim pengawas

juga dapat mendengar kreditor dan debitor pailit. (Pasal 183 UU No. 37 Tahun

2004)

Dengan tetap memperhatikan Pasal 15 ayat (1), kurator harus memulai

pemberesan dan menjual semua harta pailit tanpa perlu memperoleh persetujuan

atau bantuan debitor apabila:

a. Usul untuk mengurus perusahaan debitor tidak diajukan dalam jangka waktu

sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, atau usul tersebut telah

diajukan dan ditolak;

b. Pengurusan terhadap perusahaan debitor dihentikan.

Bila perusahaan dilanjukan dapat dilakukan penjualan benda termasuk harta

pailit, yang tidak diperlukan untuk meneruskan perusahaan. Debitor pailit dapat

diberikan sekedar perabot rumah dan perlengkapannya, alat-alat medis yang

dipergunakan untuk kesehatan atau perabot kantor yang ditentukan oleh Hakim

Pengawas. (Pasal 184 UU No. 37 Tahun 2004).


2. Pembagian Harta Pailit

Kurator wajib menyusun suatu daftar pembagian untuk dimintakan

persetujuan kepada Hakim Pengawas. Daftar pembagian memuat rincian

penerimaan dan pengeluaran termasuk di dalamnya upah kurator, nama kreditor,

jumlah yang dicocokkan dari tiap-tiap piutang dan bagian yang wajib diterimakan

kepada kreditor. Apabila hasil penjualan benda jaminan tidak mencukupi untuk

membayar seluruh piutang kreditor yang didahulukan maka untuk kekurangannya

mereka berkedudukan sebagai kreditor konkuren.

Daftar pembagian yang telah disetujui oleh Hakim Pengawas wajib

disediakan di Kepanitraan Pengadilan agar dapat diterima oleh kreditor selama

tanggungan waktu yang ditetapkan oleh Hakim Pengawas pada waktu daftar

tersebut disetujui. Penyediaan daftar pembagian dan tenggang waktu yang

diumumkan oleh kurator dalam surat kabar. Tenggang waktu mulai berlaku pada

hari dan tanggal penyediaan daftar pembagian tersebut diumumkan dalam surat

kabar (Pasal 192 UU No. 37 Tahun 2004).

Pembagian yang diperuntukkan bagi kreditor yang piutangnya diakui

sementara, tidak diberikan selama belum ada putusan mengenai piutangnya yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal kreditor terbukti tidak

mempunyai piutang atau piutangnya kurang dari uang yang diperuntukkan

baginya, baik seluruh atau sebagian menjadi keuntungan kreditor lainnya. Jika

bagian yang diperuntukkan bagi kreditor yang hak didahulukan dibantah, melebihi

presentase bagian yang wajib dibayarkan kepada kreditor konkuren, bagian


tersebut untuk sementara wajib dicadangkan sampai ada putusan mengenai hak

untuk didahulukan (Pasal 198 UU No. 37 Tahun 2004).

Bila suatu benda yang di atasnya terletak hak istimewa tertentu baik gadai,

jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik atau hak agunanan atas kebendaan

lainnya dijual setelah kepada kreditor yang didahulukan tersebut diberikan

pembagian menurut Pasal 189 pada waktu diadakan pembagian lagi, hasil

penjualan benda tersebut akan dibayarkan kepada mereka sebesar paling tinggi

nilai hak yang didahulukan setelah dikurangi jumlah yang diterima sebelumnya

(Pasal 199 UU No. 37 Tahun 2004).

Setelah berakhirnya tenggang waktu untuk melihat daftar pembagian atau

dalam hal telah diajukan perlawanan setelah putusan perkara perlawanan tersebut

diucapkan. Kurator wajib segera membayar pembagian yang sudah ditetapkan

(Pasal 201 UU No. 37 Tahun 2004).

E. Teori Perlindungan Hukum

Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum

mempunyai tujuan. Hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Sudikno

Mertokusumo berpendapat bahwa, tujuan pokok hukum adalah menciptakan

tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.

Dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan

manusia akan terlindungi.27

Mengenai Perlindungan Hukum Philipus M. Hadjon menyatakan sebagai

berikut:
27
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Liberty. Jogjakarta,
2003,hlm. 77.
Perlindungan hukum bagi rakyat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
perlindungan hukum yang preventif dan perlindungan hukum yang
represif. Pada perlindungan hukum yang preventif, kepada rakyat
diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau
pendapatnya sebelum suat keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
definitif. Dengan demikian, perlindungan hukum yang preventif bertujuan
untuk mencegah terjadinya sengketa sedangkan sebaliknya perlindungan
hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Dengan pengertian yang demikian, penanganan perlindungan hukum bagi
rakyat oleh Peradilan Umum di Indonesia termasuk kategori perlindungan
hukum yang represif. Perlindungan hukum yang represif biasanya
merupakan perlindungan hukum yang paling efektif bagi rakyat untuk
memperoleh perlindungan terhadap hak-haknya dari pihak yang tidak
memiliki itikad baik untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi
diantara mereka.28

Selanjutnya mengenai prinsip perlindungan hukum Philipus M. Hadjon

menegaskan sebagai berikut:

Prinsip perlindungan hukum bagi rakyat (di Indonesia) adalah prinsip


pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang
bersumber pada Pancasila dan prinsip negara hukum yang berdasarkan
Pancasila. Pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia dikatakan bersumber pada Pancasila, karena pengakuan dan
perlindungan terhadapnya secara intrinsic melekat pada Pancasila dan
seyogyanya memberi warna dan corak serta isi negara hukum yang
berdasarkan Pancasila.29

28
Philipus M. Hadjon, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta,
Bandung, 1987, hlm. 2-3.
29
Ibid., hlm. 20.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Sumber Data

Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian normatif. Metode

penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah

metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada .30 Menurut Zainuddin Ali penelitian

normatif dilakukan dengan menelaah undang-undang atau regulasi yang

bersangkut paut dengan permasalahan hukum. Hasil dari telaah tersebut dapat

dipergunakan untuk memecahkan permasalahan hukum yang diteliti.31

Bahder Johan Nasution menyatakan jenis penelitian normatif meliputi

kajian terhadap penelitian yang dilakukan dengan menggunakan peraturan

perundang-undangan, asas-asas hukum dan teori-teori hukum.32 Melalui

pendekatan secara normatif maka penelitian ini dilaksanakan dengan

menginvetarisasi, memaparkan, menginterprestasikan dan mensistemisasi serta

mengevaluasi hukum positif yang berlaku dalam masyarakat yang keseluruhan

kegiatannya diarahkan sebagai upaya menemukan penyelesaian yuridis terhadap

masalah hukum yang terjadi dalam masyarakat.33

30
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, ,PT Raja Grafindo Persada, Cetakan ke 11, Jakarta, 2009, hlm. 1314.
31
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 105.
32
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2008, hlm.
26.
33
Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan Refleksi,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 142.

41
Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 814

K/Pdt.Sus/2012 tentang Prosedur Renvoi Kepailitan. Jenis data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yanh dimaksud di dalam

penelitian ini adalah pertimbangan-pertimbangan hukum hakim dalam Putusan

Mahkamah Agung RI.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah Putusan

Mahkamah Agung RI pada perkara No. 814 K/Pdt.Sus/2012. Naskah putusan MA

tersebut diperoleh dengan mendownload putusan tersebut dari internet.

B. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang dipergunakan adalah penelitian

kepustakaan (library research) yaitu menghimpun data dengan melakukan

penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum

primer, sekunder dan bahan hukum tersier.

Untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam penelitian dilakukan

dengan cara menyalin dari Putusan Mahkamah Agung dengan Kasus Perkara No.

814 K/Pdt.Sus/2012, serta membaca, mempelajari dokumen berupa kasus

kepailitan, bahan-bahan kepustakaan dan perundang-undangan yang berkaitan

dengan permasalah yang diteliti.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di lingkungan wilayah Perpustakaan Universitas Katolik

Santo Thomas Medan.


D. Jalannya Penelitian

Penelitian ini di awali dengan mencari dokumen Putusan perkara

Mahkamah Agung RI No. 814 K/Pdt.Sus/2012 dari website Direktori Putusan.

Dokumen Putusan yang telah disalin tersebut kemudian ditelaah untuk

menentukan kasus posisi secara singkat agar mendapatkan rincian mengenai kasus

secara singkat dan jelas.

Menentukan perumusan masalah dari kasus perkara tersebut menjadi

langkah selanjutnya untuk menegaskan hal-hal yang akan diteliti dalam kasus

tersebut.

Pertimbangan hukum Hakim dalam memutus perkara tersebut menjadi

salah satu yang dibahas dalam penelitian ini. Penulis mengutip atau menyalin

Pertimbangan hukum dari Hakim Mahkamah Agung RI. Kemudian pertimbangan

hukum dari Hakim Mahkamah Agung tersebut dianalisis dan dibandingkan

dengan Pendapat Para Ahli melalui buku-buku yang menjadi referensi.

Penarikan kesimpulan dan memberikan saran merupakan langkah terakhir

dalam penelitian yang dilakukan. Maka setelah melakukan analisis terhadap

putusan penulis kemudia menarik kesimpulan berdasarkan perumusan masalah

yang telah dibuat serta memberikan saran terhadap kasus tersebut.

E. Analisis Hasil

Melakukan suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang

memiliki manfaat untuk memberikan suatu jawaban terhadap permasalahan-

permasalahan yang diteliti. Menurut Lexy J. Moleong bahwa, analisis data


adalah suatu proses mengatur urutan data, membuatnya kedalam suatu pola,

kategori, dan suatu uraian dasar.34

Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif, normatif, logis

dan sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif yang

berpedoman pada bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tertier; utamanya

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang sesuai dengan permasalahan yang dibahas.

Deskriptif, artinya memaparkan seluruh data yang diperoleh dari lapangan

sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Normatif, artinya dasar yang dipakai

untuk menganalisis data yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia khusunya menyangkut tentang Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor

Separatis.

Logis, artinya bahwa analisis yang dilakukan dengan menggunakan rasio

dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sistematis, artinya setiap bagian

hasis analisis harus saling berkaitan dan saling mempengaruhi untuk mendapat

hasil penelitian yang sebenarnya.

Untuk menarik suatu kesimpulan, penulis menggunakan metode deduktif

dan metode induktif. Metode deduktif adalah metode yang menarik suatu

kesimpulan dari hal yang umum, yaitu perundang-undangan kemudian

dihubungkan dengan praktek yang terjadi. Metode induktif adalah metode yang

menarik kesimpulan dari praktek yang terjadi kemudian dihubungkan dengan hal-

hal yang umum, yaitu perundang-undangan.

34
Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2004, hlm. 103.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Kasus Posisi

Latar belakang lahirnya Putusan Mahkamah Agung RI No. 814

K/Pdt.Sus/2012 ini bermula saat PT. Tripanca Group dinyatakan pailit pada 3

Agustus 2009. Pernyataan pailit PT. Tripanca Group diikuti setelah Hakim

menyatakan insolvensi terhadap PT. Tripanca Group dikarenakan PT. Tripanca

pada saat permohonan PKPU oleh Bank Mandiri PT. Tripanca Group tidak pernah

menghadiri sidang padahal telah dipanggil secara patut. Pada saat masih belum

pailit, perusahaan melakukuan peminjaman dana kepada PT. Bank Mega Tbk.

Atas peminjaman tersebut PT. Tripanca Group menjaminkan biji kopi sebanyak

26.000 (dua puluh enam ribu) ton kepada Bank Mega. Untuk Menutupi hutang

PT. Tripanca Group, maka Bank Mega melakukan lelang atas jaminan fidusia

berupa kopi sebanyak 26.000 ton tersebut, dari hasil lelang tersebut di dapat uang

sejumlah Rp. 277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh tujuh milyar lima ratus juta

seribu rupiah), sebelumnya Bank Mega juga telah memperoleh hasil penjualan

jaminan pinjaman PT. Tripanca Group berupa lada sebesar Rp.

122.068.205.871,50 (seratus dua puluh dua milyar enam puluh delapan juta dua

ratus lima ribu delapan ratus tujuh puluh satu koma lima puluh rupiah). Dengan

jumlah hutang PT. Tripanca Group kepada Bank Mega sebesar Rp

507.000.000.000,00 (lima ratus tujuh milyar), hasil lelang saat ini dipegang oleh

Bank Mega.

45
Jandri Siadari selaku kurator PT. Tripanca mengajukan gugatan pada Bank

Mega di muka persidangan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat pada pokoknya atas dalil-dalil:

a. Bahwa PT. Tripanca Group (dalam pailit) telah dinyatakan pailit dengan

segala akibat hukumnya berdasarkan Putusan No. 33/Pailit/2009/PN.Niaga.

JKT.PST tanggal 03 Agustus 2009 dan mengangkat kami selaku Kurator,

sejak putusan dimaksud kekuasaan dan pengurusan dan pemberesan terhadap

harta pailit (boedel pailit) beralih kepada Kurator;

b. Bank Mega selaku Kreditor Separatis telah melakukan lelang eksekusi

jaminan pinjaman PT. Tripanca Group (dalam pailit) berupa stock kopi yang

merupakan boedel pailit pada tanggal 02 November 2009 yang terjual dengan

nilai sebesar Rp 277.000.000.000,00 ( dua ratus tujuh puluh tujuh milyar);

c. Hingga permohonan ini diajukan Bank Mega belum memberikan laporan

pertanggungjawaban lelang eksekusi, risalah lelang dan dokumen-dokumen

terkait lainnya kepada kami;

d. Selain itu Bank Mega juga telah memperoleh hasil penjualan jaminan PT.

Tripanca Group (Dalam Pailit) berupa lada sebesar Rp. 122.068.205.871,50

(seratus dua puluh dua milyar enam puluh delapan juta dua ratus lima ribu

delapan ratus tujuh puluh satu koma lima puluh rupiah) sebagaimana

disampaikan dalam surat No. 058/SAMR/12 tanggal 14 Juni 2012 (copy

terlampir);

e. Menunjuk pada Pasal 69 ayat (1) UUK tugas Kurator adalah melakukan

pengurusan dan pemberesan harta palit (boedel pailit), oleh sebab itu
menyikapi lelang kopi dimaksud kami berpendapat bahwa Bank Mega

berkewajiban untuk memberikan sebagian uang hasil lelang eksekusinya

kepada kepailitan mengingat pada asas keseimbangan dan keadilan yang

dianut dalam UUK serta mengingat bahwa Bank Mega telah juga memperoleh

hasil eksekusi dari jaminan pinjaman PT. Tripanca Group (Dalam Pailit)

berupa hasil penjualan lada;

f. Menindaklanjuti hal tersebut kami melakukan korespondensi dengan Bank

Mega melalui surat kami:

1) Surat No. 217.33/SKK-TG/JOS/VII/12 tanggal 13 Mei 2012 (copy terlampir);

2) Surat No. 220.33/SKK-TG/JOS/VII/12 tanggal 23 Juli 2012 (copy terlampir);

3) Surat No. 230 .33/SKK-TG/JOS/VII/12 tanggal 31 Juli 2012 (copy terlampir);

Yang mana, inti dari ketiga surat tersebut adalah meminta kesediaan Bank Mega

untuk menyerahkan sebagian uang hasil eksekusinya atas jaminan pinjaman

PT. Tripanca Group (Dalam Pailit) kepada kepailitan;

g. Namun hingga saat ini Bank Mega sama sekali tidak menanggapi ketiga surat

kami tersebut;

h. Disamping itu pada tanggal 31 Juli 2012 kami menerima tembusan surat kuasa

dari ex karyawan PT. Tripanca Group (Dalam Pailit) No. 30/SS/VII/2012/FPS

tanggal 31 Juli 2012(copy terlampir) yang ditujukan kepada PT. Bank Mega

Tbk, yang menuntut agar Bank Mega selaku Kreditor Separatis memberikan

bagian dari hasil eksekusi jaminan pinjaman PT. Tripanca Group (Dalam

Pailit) sebesar tagihan ex karyawan yang telah diakui oleh Kurator;


Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut diatas Pemohon mohon kepada

Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar menjatuhkan

Putusan sebagai berikut:

1. Memerintahkan PT. Bank Mega Tbk, untuk memnyerahkan kepada Kurator

berupa laporan pertanggungjawaban, bukti transaksi, tanda terima uang dan

surat lunas dan risalah lelang serta dokumen-dokumen terkait lainnya atas

lelang eksekusi boedel pailit berupa stock kopi yang telah berhasil di jual oleh

Bank Mega dengan nilai sebesar Rp. 277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh

tujuh milyar lima ratus juta seribu rupiah);

2. Memerintahkan kepada PT. Bank Mega Tbk, untuk memberikan sebagian uang

hasil eksekusi jaminan pinjaman PT. Tripanca Group (Dalam Pailit) kepada

kepailitan yaitu sebesar 10% (sepeluh persen) dari nilai hasil lelang eksekusi

boedel pailit sebesar Rp. 277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh tujuh milyar

lima ratus juta seribu rupiah) yaitu sebesar Rp. 27.750.000.100,- (dua puluh

tujuh milyar tujuh ratus lima puluh juta seratus rupiah);

3. Jika Majelis Hakim berpendapat lain mohon kiranya diberikan putusan yang

dirasakan memenuhi rasa keadilan (ex aquo et bono);

Bahwa terhadap gugatan tersebut Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan Putusan, yaitu Putusan No. 04 /Renvoi

Prosedur/2012/PN.Niaga.JKT.PST Jo No.33/PAILIT/2009/PN.Niaga.JKT.PST.

tanggal 01 Oktober 2012 yang amarnya sebagai berikut:

1) Mengabulkan Permohonan Pemohon untuk sebagian;


2) Memerintahkan PT. Bank Mega Tbk, untuk menyerahkan kepada

Kurator berupa laporan pertanggungjawaban, bukti transaksi, tanda

terima uang dan surat lunas dan risalah lelang serta dokumen-dokumen

terkait lainnya atas lelang eksekusi boedel pailit berupa stock kopi

dengan nilai sebesar Rp. 277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh tujuh

milyar lima ratus juta seribu rupiah);

3) Menetapkan kepada Termohon untuk mengalokasikan sejumlah 5% (lima

persen) dari nilai hasil lelang eksekusi boedel pailit sebesar Rp.

277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh tujuh milyar lima ratus juta

seribu rupiah) yaitu sebesar Rp. 13.875.000.000,- (tiga belas milyar

delapan ratus tujuh puluh lima juta rupiah) kepada Pemohon;

4) Memerintahkan kepada Pemohon untuk membagikan uang atau setidak-

tidaknya 5% (lima persen) dari hasil penjualan lelang pihak Termohon

untuk dibagikan kepada Pekerja/Kreditor Preferen PT. Tripanca Group

(Dalam Pailit);

5) Membebankan biaya perkara yang timbul dalam perkara ini kepada

boedel pailit.

Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diucapkan dengan hadirnya

kedua belah pihak pada tanggal 01 Oktober 2012 kemudian terhadapnya oleh

Termohon dengan perantaraan kuasanya, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal

02 Oktober 2012 diajukan permohonan kasasi tanggal 08 Oktober 2012

sebagaimana ternyata dari akte permohonan kasasi No.

57/Kas/Pailit/2012/PN.Niaga.JKT.PST. Jo. No. 04/Renvoi Prosedur/2012/ PN.


Niaga.JKT.PST. Jo. No. 33/Pailit/2009/ PN.Niaga.JKT.PST. yang dibuat oleh

Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan mana disertai dengan

memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut pada

tanggal 08 Oktober 2012;

Bahwa setelah itu oleh Pemohon yang pada tanggal 09 Oktober 2012 telah

diberitahu tentang memori kasasi dari Termohon diajukan kontra memori kasasi

yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 17

Oktober 2012;

Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah

diberitahukan kepada pihak lawan dengan seksama, diajukan dalam tenggang

waktu dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena

itu permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima;

Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon

Kasasi/Termohon dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya adalah:

Bahwa Judex Facti telah melakukan kekeliruan dan salah menerapkan hukum

dengan mengabulkan Permohonan Renvoi Prosedur oleh Kurator pada Putusan A

Quo.

a. Bahwa pemohon kasasi menolak dengan tegas permohonan renvoi

prosedur yang diajukan kurator dalam perkara permohonan a quo

dikarenakan sesuai ketentuan yang diatur pada Undang-Undang No. 37

Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang, permohonan renvoi prosedur seharusnya diajukan dalam rangka

adanya keberatan yang terkait dengan tagihan maupun daftar tagihan


sebagaimana ketentuan Pasal 193-Pasal 196 Undang-Undang Kepailitan

dan PKPU.

b. Bahwa Renvoi Prosedur yang diajukan kurator pada perkara a quo yang

menyangkut dan terkait dengan eksekusi atas Objek Jaminan Fidusia

yang telah berlangsung, dimana hasil eksekusi lelang telah dipergunakan

sepenuhnya untuk pelunnasan kewajiban debitor pada kreditor sesuai

kedudukan kreditor sebagai pemegang Objek Jaminan Fidusia yang

berada diluar kepailitan sebagaimana diputus oleh Mahkamah Agung

Republik Indonesia Judex Juris dalam Putusan Kasasi NO. 306

K/Pdt.Sus/2010 tanggal 11 Mei 2010 yang diperkuat dengan Putusan

Peninjauan Kembali No. 062 PK/Pdt.Sus/2011 tanggal 26 Juli 2011;

Dengan demikian Judex Facti telah melakukan kekeliruan dan salah

dalam penerapan hukum dengan memberikan putusan mengabulkan

permohonan renvoi prosedur yang diajukan oleh kurator pada Putusan a

quo karena jelas-jelas bertentangan dengan hukum yang berlaku;

Bahwa Majelis Hakim Judex Facti telah melakukan kekeliruan dalam

Putusannya dengan memberikan Putusan yang berbeda dengan

pertimbangan hukum yang dinyatakan pada Putusan A Quo.

c. Bahwa pemohon kasasi keberatan dan menolak dengan tegas

pertimbangan hukum Judex Facti yang telah salah dan keliru yang telah

memberikan putusan yang tidak sesuai dengan pertimbangan hukumnya

pada Putusan a quo. Pada Putusan Judex Facti pada halaman 12 butir 3
Judex Facti telah menyatakan Objek Jaminan Fidusia merupakan boedel

pailit, sebagaimana diputuskan :

Menetapkan kepada Termohon untuk mengalokasikan sejumlah 5%

(lima persen) dari nilai hasil lelang eksekusi boedel pailit sebesar Rp.

277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh tujuh milyar lima ratus juta

seribu rupiah); yaitu sebesar Rp. 13.875.000.000,00 (tiga belas milyar

delapan ratus tujuh puluh lima juta rupiah) kepada Pemohon

Menimbang, bahwa harta debitor pailit termasuk harta diluar boedel

pailit merupakan jaminan bagi pelunasan hutangnya kepada para

kreditor (in casu para buruh) dan kreditor;

d. Bahwa Judex Facti tidak konsisten dalam memberikan penilaian

terhadap Objek Jaminan Fidusia. Satu sisi pada Putusan Judex Facti

menyatakan objek jaminan fidusia adalah termasuk dalam boedel pailit,

akan tetapi disisi lain dinyatakan sebagai objek jaminan fidusia yang

berada diluar boedel pailit;

Akibat inkonsistensi pada pertimbangan hukum dan putusan dari Judex

Facti a quo menyebabkan Putusan a quo telah diputus berdasarkan

kekeliruan yang nyata, dengan demikian mohon kepada Majelis Hakim

Mahkamah Agung Republik Indonesia (Judex Juris) yang memeriksa

dan mengadili perkara a quo menolak dan mengenyampingkan Putusan

Judex Facti a quo;

Bahwa Judex Facti telah melakukan kelalaian dan kekeliruan dalam

pertimbangan hukum pada Putuasa A quo terhadap Objek Jaminan yang


telah diikat Fidusia sesuai ketentuan Undang-Undang No. 42 Tahun 1999

Tentang Fidusia dengan memberikan pertimbangan hukum atas Objek

Jaminan Fidusia berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 4 Tahun

1996 Tentang Hak Tanggungan.

e. Bahwa Pemohon Kasasi menolak dengan tegas Putusan Judex Facti a

quo dikarenakan Judex Facti telah melakukan kekeliruan dan kelalaian

dalam memberikan pertimbangan hukumnya tentang Objek Jaminan

Fidusia dengan memberikan pertimbangan hukum sesuai dengan Hak

Tanggungan berdasarkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1996,

sebagaimana ternyata pada pertimbangan hukum Judex Facti pada

halaman 10 alinea 3, 4, 5 dan 6 Putusan a quo, sebagaimana diuraikan

sebagai berikut:

Menimbang, bahwa dalam undang-undang telah diatur secara tegas

dalam Pasal 1133 Pasal 1178 KUHPerdata lebih khusus telah diatur

dalam Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak

Tanggungan, dst;

Menimbang, bahwa dari peraturan-peraturan tersebut di atas dimana

telah jelas bahwa pemegang Hak Tanggungan telah didahulukan atas

penjualan asset yang dijadikan jaminan kepadanya;

Menimbang, bahwa dalam permohonannya, Pemohon minta agar

Pemohon mendapat sebagian hasil penjualan asset Hak Tanggungan

yang telah dilakukan Termohon, dst;


Menimbang, bahwa dari ketentuan sebagaimana diatur dalam berbagai

peraturan perundang-undangan telah jelas kalau kedudukan Termohon

PT. Bank Mega, Tbk, sebagai kreditor separatis mempunyai hak untuk

didahulukan dari para kreditor lainnya atas penjualan harta pailit PT.

Tripanca Group (dalam pailit) yang merupakan asset yang dijaminkan

dengan Hak Tanggungan kepada PT. Bank Mega, Tbk..dst;

f. Bahwa terhadap Objek Jaminan yang telah dibebani dengan Fidusia

sesuai ketentuan hukum yang berlaku telah diatur tersendiri dalam

Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia, sementara itu

Judex Facti telah memberikan pertimbangan hukumnya pada Putusan a

quo terhadap Objek Jaminan Fidusia sesuai dengan ketentuan yang diatur

pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang

berlaku khusus terhadap objek jaminan yang terkait dengan tanah dan

segala sesuatu yang berdiri di atas tanah bukan berlaku terhadap Objek

Jaminan Fidusia, dengan demikian terbukti Judex Facti telah melakukan

kekeliruan dan kelalaian yang sangat fatal dalam memberikan

pertimbangan hukumnya tentang Objek Jaminan Fidusia, sehingga

terhadap Putusan Judex Facti a quo yang telah didasarkan pada aturan

hukum yang salah dan keliru sudah sepatutnya untuk ditolak dan

dibatalkan oleh Judex Juris yang memeriksa dan mengadili perkara a

quo;

Bahwa terhadap Objek Jaminan Fidusia milik PT. Tripanca Group

(dalam pailit) telah dinyatakan tidak termasuk dalam boedel pailit oleh
Mahkamah Agung RI dalam Putusan Peninjauan Kembali No. 306

PK/Pdt.Sus/2010 tanggal 11 Mei 2010 dan telah dikuatkan oleh

Mahkamah Agung RI dalam Putusan Peninjauan Kembali No. 062

PK/Pdt.Sus/2011 tanggal 26 Juli 2011.

g. Bahwa Mahkamah Agung RI pada Putusan yang telah dihapus oleh

Bapak Dr. Harifin A. Tumpa, SH, MH sebagai Ketua Majelis dalam

Putusan No. 306 PK/Pdt.Sus/2010 tanggal 11 Mei 2010, dengan amar

Putusan menyatakan menolak gugatan Penggugat (antara lain Kurator

PT. Tripanca Group) untuk seluruhnya dan pada pertimbangan

Putusannya telah dinyatakan dengan tegas Objek Jaminan Fidusia tidak

masuk dalam harta atau boedel pailit;

h. Bahwa terbukti terhadap Putusan Judex Juris sebagaimana tersebut diatas

telah dikuatkan kembali oleh Judex Juris pada Putusannya No.

062PK/Pdt.Sus/2011 tanggal 26 Juli 2011;

Dan terhadap adanya Putusan Mahkamah Agung RI baik dalam tingkat

kasasi maupun Peninjauan Kembali tersebut terbukti telah diakui dan

ditegaskan oleh Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya pada

halaman 10 alinea ke-6 Putusan a quo, dengan menyatakan:

Menimbang, bahwa dari ketentuan sebagaimana diatur dalam berbagai

peraturan perundang-undangan telah jelas kalau kedudukan Termohon

PT. Bank Mega, Tbk., sebagai kreditor separatis mempunyai hak untuk

didahulukan dari para kreditor lain atas penjualan harta pailit PT.

Tripanca Group (dalam pailit) yang merupakan aset yang dijaminkan


dengan hak tanggungan kepada PT. Bank Mega, Tbk., dimana hal ini

juga diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung RI No. 306

K/Pdt.Sus/2010 tanggal 11 Mei 2010 jo. No. 062 PK/Pdt.Sus/2011

tanggal 26 Juli 2011;

Berdasarkan hal tersebut diatas, bagaimana mungkin Judex Facti dapat

mengeluarkan suatu putusan yang bertentangan dengan hal-hal yang

telah diputus oleh Judex Juris dalam perkara yang sama terhadap Objek

Jaminan Fidusia yang telah diputus berada di luar boedel pailit oleh

Judex Juris dalam perkara yang sama terhadap objek jaminan fidusia

yang telah diputus berada diluar boedel pailit oleh Judex Juris dalam

putusannya dalam perkara renvoi prosedur yang diajukan oleh Kurator di

Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Putusan Judex Facti a quo

mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum;

Dengan adanya Putusan Judex Facti yang bertentangan dengan Putusan

Judex Juris dalam perkara yang terkait dengan Objek Jaminan Fidusia

yang sama terbukti Judex Facti telah melakukan kelalaian dan kesalahan

dalam penerapan hukumnya dikarenakan Judex Facti telah memberikan

putusan terhadap perkara yang sama dan telah terlebih dahulu diputus

Judex Juris dan telah mempunyai Putusan yang berkekuatan hukum tetap

(inkracht van gewijsde), dengan demikian sudah seharusnya dan

sepantasnyalah Judex Juris membatalkan putusan Judex Facti a quo;

Bahwa Objek Jaminan Fidusia PT. TripancaGroup (dalam pailit) telah

dinyatakan berada diluar kepailitan (bukan termasuk boedel pailit),


sehingga menyebabkan pemohon kasasi tidak berkewajiban untuk

menyerahkan dan membagihan hasil lelang kepada pihak lain dalam hal

hasil lelang telah seluruhnya digunakan untuk pembayaran kewajiban

debitor pailit pada kreditor In Casu pemohon kasasi)

i. Bahwa pemohon kasasi menolak dengan tegas Putusan Judex Facti a quo

yang mewajibkan pemohon kasasi menyerahkan 5% (lima persen) dari

hasil lelang eksekusi boedel pailit sebesar Rp. 277.500.001.000,- yaitu

sebesar Rp. 13.875.000.000,-. Putusan Judex Facti tersebut jelas-jelas

tidak seseuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebagaimana

alasan-alasan yang diuraikan dibawah ini:

j. Bahwa Pasal 55 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan

telah dijelaskan bahwa:

setiap kreditor pemegang gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan,

hipotik atau hak agunan atas kebendaan lainnya dapat mengeksekusi

haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan;

k. Bahwa dalam penjelasan Pasal 27 Undang-Undang No.42 Tahun 1999

Tentang Jaminan Fidusia secara tegas dinyatakan bahwa:

Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia berada di luar kepailitan

dan atau Likuidasi;

l. Bahwa Pasal 27 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan

Fidusia menyebutkan sebagai berikut:

1) Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor

lainnya;
2) Hak yang didahulukan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)

adalah Hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya

atas hasil eksekusi Benda yang menjadi Jaminan Fidusia;

3) Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia; Fidusia tidak hapus

karena adanya kepailitan dan atau Likuidasi Pemberi;

m. Bahwa Judex Juris pada Putusan yang telah dihapus oleh Bapak Dr.

Harifin A. Tumpa, SH., MH. Sebagai Ketua Majelis dalam Putusan

Perkara No. 306 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 11 Mei 2010 pada pertimbangan

hukumnya telah dengan tegas menyatakan Objek Jaminan Fidusia tidak

masuk dalam harta/boedel pailit, yang telah dikuatkan kembali oleh

Judex Juris pada putusannya pada tingkat PK No. 062 PK/Pdt.Sus/2011

tanggal 26 Juli 2011;

Oleh karena terhadap objek jaminan yang telah diikat fidusia berada

diluar kepailitan dan Pemohon Eksekusi dapat mengeksekusi haknya

seolah-olah tidak terjadi kepailitan dan dimana hasil lelang eksekusi

objek jaminan telah dipergunakan seluruhnya untuk pelunasan hutang

Debitor pada Kreditor (in casu Pemohon Kasasi) sesuai ketentuan Pasal

27 ayat (2) Undang-Undang tentang Fidusia, terlebih pula dengan adanya

Putusan yang telah (in kracht) terkait dengan objek jaminan fidusia milik

PT. Tripanca Group (dalam pailit), maka terbukti Putusan Judex Facti a

quo yang memerintahkan Pemohon Kasasi memberikan hasil lelang

eksekusi telah didasarkan pada ketentuan hukum yang salah dan keliru,
sehingga terhadap Putusan Judex Facti a quo sudah seharusnya dan

sepantasnya Judex Juris menolaknya;

Bahwa asas Keadilan tidak tepat diterapkan oleh Judec Facti terhadap

Objek Jaminan Fidusia yang jelas-jelas telah diputus dalam Putusan yang

telah Inkracht Van Gewijsde bukan merupakan boedel pailit;

n. Bahwa Pemohon Kasasi menolak dengan tegas pertimbangan Judex

Facti pada halaman 11 alinea (2), dengan menyatakan sebagai berikut:

Menimbang, bahwa sesuai dengan asas hukum kepailitan yaitu

diantaranya asas keadilan, pembagian harta pailit harus dilakukan

secara adil sesuai dengan point 3 penjelasan umum Undang-Undang

No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang yang menyatakan : Asas Keadilan dalam kepailitan

mengandung pengertian bahwa ketentyuan mengenai kepailitan dapat

memenuhi rasa keadilan bagi Para Pihak yang berkepentingan. Asas

keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak

penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing

terhadap debitor dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.dst;

o. Bahwa Putusan Judex Facti yang medasarkan pada asas keadilan tidak

tepat diterapkan terhadap jaminan yang berada di luar boedel pailit

dikarenakan asas keadilan tersebut hanya berlaku terhadap objek jaminan

yang berada dalam boedel pailit sesuai dengan point 3 penjelasan umum

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang;


p. Bahwa Judex Facti dalam pertimbangan hukumnya pada Halaman 10

alinea (7) telah dengan secara tegas mengakui bahwa harta debitor pailit

PT. Tripanca Group adalah merupakan Objek Jaminan Fidusia di luar

boedel pailit, sebagaimana berikut :

Menimbang, maka terbukti bahwa harta debitor pailit termasuk di luar

boedel pailit merupakan jaminan bagi pelunasan hutangnya kepada para

kreditor (in casu para buruh dan kreditor lainnya);

q. Bahwa dengan dinyatakan Objek Jaminan Fidusia debitor pailit di luar

boedel pailit, maka terbukti secara hukum asas keadilan tidak dapat

diberlakukan terhadap kreditor pemegang objek jaminan yang berada di

luar boedel pailit. Kreditor pemegang objek jaminan fidusia tunduk pada

ketentuan yang di atur pada Undang-Undang No. 42 Tahun 1999, dimana

seluruh hasil lelang terhadap objek jaminan yang telah dipergunakan

Pemohon Kasasi untuk melunasi kewajiban dari debitor kepada Pemohon

Kasasi sebagaimana ketentuan Pasal 27 Undang-Undang No. 42 Tahun

1999 Tentang Jaminan Fidusia menyebutkan sebagai berikut:

(1)Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditor

lainnya;

(2)Hak yang didahulukan sebagaimana di maksud dalam ayat (1) adalah

hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas

hasil eksekusi Benda yang menjadi Jaminan Fidusia;

r. Bahwa justru dengan adanya Putusan a quo menimbulkan ketidakadilan

bagi Pemohon Kasasi yang merupakan kreditor pemegang jaminan


fidusia yang jelas-jelas telah dinyatakan merupakan Objek Jaminan yang

berada di luar boedel pailit dan telah mempunyai putusan yang telah

berkekuatan hukum tetap;

Dengan dalil-dalil tersebut di atas maka PT. Bank Mega Tbk, mengajukan

Permohonan Kasasi sebagai bentuk penolakan maupun keberatan terhadap

Putusan Pengadilan Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

2. Putusan

Menurut Putusan Mahkamah Agung RI No. 814 K/Pdt.Sus/2012 tanggal 20

Februari 2013 menyatakan, bahwa menolak permohonan kasasi dari Pemohon

Kasasi PT. Bank Mega Tbk dan menghukum Pemohon Kasasi/Termohon untuk

membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp. 5.000.000,- (lima

juta rupiah).

Dengan demikian, Putusan Mahkamah Agung tersebut sejalan dengan

Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tanggal 01 Oktober 2012 yang

menyatakan sebagai berikut:

a. Mengabulkan permohonan Pemohon (Kurator PT. Tripanca Group)

untuk sebagian;

b. Memerintahkan PT. Bank Mega Tbk, untuk menyerahkan kepada kurator

berupa laporan pertanggungjawaban, bukti transaksi, tanda terima uang

dan surat lunas dan risalah lelang serta dokumen-dokumen terkait lainnya

atas lelang eksekusi boedel pailit berupa stock kopi yang telah berhasil

dijual oleh PT. Bank Mega Tbk dengan nilai sebesar Rp.
277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh tujuh milyar lima ratus juta

seribu rupiah);

c. Menetapkan kepada Termohon (Bank Mega Tbk) untuk mengalokasikan

sejumlah 5% (lima persen) dari nilai hasil lelang eksekusi boedel pailit

sebesar Rp. 277.500.001.000,- (dua ratus tujuh puluh tujuh milyar lima

ratus juta seribu rupiah) kepada pemohon (Kurator PT. Tripanca Group);

d. Memerintahkan kepada Pemohon (Kurator PT. Tripanca Group) untuk

membagikan uang atau setidak-tidaknya 5% (lima persen) dari hasil

penjualan lelang pihak Termohon (Bank Mega Tbk) untuk dibagikan

kepada pekerja/kreditor preferen PT. Tripanca Grpoup (Dalam Pailit);

e. Membebankan biaya perkara yang timbul dalam perkara ini kepada

boedel pailit.

Berdasarkan amar putusan di atas, maka terlihat bahwa dalam putusan

bahwa putusan Mahkamah Agung RI juga sejalan dengan putusan Pengadilan

Niaga dalam Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

a. Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor Separatis dalam Kepailitan

Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang harus memberikan perlindungan yang seimbang

antara kreditor dan debitor. Undang-undang Kepailitan diadakan untuk

memberikan manfaat dan perlindungan kepada kreditor apabila debitor tidak

membayar utangnya, dengan adanya Undang-undang ini diharapkan kreditor

dapat memperoleh jalan terhadap harta kekayaan dari debitor yang dinyatakan

pailit karena tidak mampu membayar utangnya. Persyaratan permohonan


kepailitan salah satunya adalah dapat diajukan oleh debitor. Debitor dapat

mengajukan permohonan pailit apabila mempunyai dua atau lebih kreditor yang

tidak dapat menjalankan kewajibanya yaitu membayar hutang beserta bunganya

yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pengadilan Niaga harus mengabulkan

apabila terdapat fakta yang sesuai dengan syarat-syarat untuk dinyatakan pailit

telah terpenuhi oleh pihak yang mengajukan pailit. sesuai dengan Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang Kepailitan.

Penyelesaian melalui lembaga kepailitan diharapkan dapat memberikan

keamanan dan menjamin terlaksananya kepentingan pihak-pihak yang

berkepentingan, yaitu debitor dan kreditor. Namun demikian, harapan

penyelesaian utang melalui lembaga kepailitan dapat menjamin kepentingan para

pihak, ada kemungkinan kurang dirasakan sepenuhnya oleh kreditor separatis. Hal

ini disebabkan adanya pengaturan tentang pembatasan terhadap hak-hak kreditor

separatis, yang pada akhirnya dianggap kurang melindungi kedudukan kreditor

separatis.

Di dalam proses pemberesan harta pailit dalam praktik banyak di jumpai

bahwa kreditor separatis tidak mendapatkan secara utuh hasil penjualan lelang

eksekusi jaminan karena masih harus dibagi dengan kreditor lainnya yang

kedudukannya bukan sebagai kreditor separatis.

Dalam Putusan Mahkamah Agung RI dengan No. 814 K/Pdt.Sus/2012

merupakan salah satu contoh bahwa dalam praktik memang sering ditemukan

bahwa meski kreditor separatis telah mendapatkan secara utuh hasil penjualan

lelang eksekusi jaminan yang telah dilakukan namun kreditor separatis harus
berbagi dengan kreditor lainnya dengan putusan pengadilan. Dalam kasus tersebut

juga kita tidak melihat adanya kepastian hukum, bahwa apa yang telah di atur

dalam undang-undang tidak sepenuhnya dilaksanakan dalam praktik.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada kenyataannya

pelaksanaan pemberesan harta pailit belum melindungi kreditor separatis.

Ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tidak

sepenuhnya dijalankan dalam praktik pengambilan keputusan mengenai

pemberesan harta pailit.

B. Pembahasan

1. Pertimbangan Mahkamah Agung Melalui Putusan No. 814

K/Pdt.Sus/2012

Dalam putusannya Mahkamah Agung memuat pertimbangan-pertimbangan

sebelum menetapkan keputusannya, pertimbangan- pertimbangan dimaksud antara

lain :

Bahwa menurut Mahkamah Agung alasan-alasan yang dimuat pemohon

dalam permohonannya tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti tidak

salah menerapkan hukum, pertimbangannya sudah tepat dan benar yaitu ketika

dalam memberikan pertimbangan dalam putusannya sudah memperhatikan :

Prinsip keseimbangan sesuai asas keadilan dalam kepailitan (Vide

Penjelasan Umum Undang-Undang No. 37 Tahun 2004)

Ketentuan dalam Pasal 1133 KUHPerdata dan Pasal 1178 KUHPerdata

serta Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, dikaitkan

dengan Pasal 6 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996.


Bahwa perimbangan Judex Facti yang menyatakan bahwa harta Termohon

Pailit telah dijaminkan pada pihak lain merupakan kekayaan yang tetap dapat

dimasukkan ke dalam harta untuk pelunasan hutang-hutang adalah pertimbangan

yang dapat dibenarkan dengan tetap memperhatikan asas keadilan dalam Undang-

Undang No. 37 Tahun 2004, dan termasuk keistimewaan dari kreditor separatis in

casu Pemohon Kasasi;

Bahwa lagi pula alasan-alasan kasasi tersebut adalah mengenai penilaian

hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana

tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena

pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kesalahan

penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian

dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

undangan yang mengancam kelalaian tersebut dengan batalnya putusan yang

bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas

wewenangnya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang No.

14 Tahun 1985 sebagaimana telah di ubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun

2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009;

Menurut Mahkamah Agung, bahwa Putusan Judex Facti dalam perkara ini

tidak bertentangan dengan Hukum dan/atau undang-undang.

2. Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 814 K/Pdt.Sus/2012 Tentang

Prosedur Renvoi Kepailitan

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, tidak memberikan batasan siapa yang dimaksud


dengan kreditor separatis, kecuali sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 55

ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan bahwa: "Dengan tetap

memperhatikan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, setiap kreditor pemegang gadai,

jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotik, atau hak agunan atas kebendaan

lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan".

Berdasarkan ketentuan tersebut, yang dimaksud kreditor separatis adalah kreditor

yang dapat melaksanakan hak-haknya seakan-akan tidak ada atau tidak terjadi

Kepailitan atau seakan-akan tagihan kreditor ada di luar kepailitan, di luar sitaan

umum.

Sutan Remy Sjahdeini menyatakan bahwa, kreditor separatis adalah

kreditor yang didahulukan dari kreditor-kreditor yang lain untuk memperoleh

pelunasan dari hasil penjualan harta kekayaan debitor asalkan benda tersebut telah

dibebani dengan jaminan tertentu bagi kepentingan kreditor tersebut.35

Berdasarkan pengertian kreditor separatis tersebut di atas, maka dapat ditegaskan

bahwa kreditor separatis adalah kreditor yang dapat menjual sendiri barang-

barang yang menjadi jaminan utang yang berada di bawah penguasaannya, seolah-

olah tidak terjadi kepailitan. Hasil penjualan barang-barang tersebut kemudian

diambil guna melunasi piutangnya dan apabila ada sisa disetorkan kepada kurator

sebagai bagian dari boedel pailit. Sebaliknya, apabila hasil penjualan barang-

barang jaminan tersebut tidak mencukupi untuk membayar piutangnya, maka

35
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening
Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002, hlm. 280.
kreditor tersebut dapat berkedudukan sebagai kreditor konkuren untuk tagihan

yang belum terbayar.

Hak eksekusi yang didahulukan dari kreditor separatis ini, ada ketentuan di

dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, yang dirasakan sebagai ketentuan yang membatasi

hak eksekusi kreditor separatis sehingga dianggap kurang memberikan

perlindungan kepadanya. Hal ini tampak pada ketentuan Pasal 56 Undang-Undang

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang, yang menentukan sebagai berikut:

a. Hak eksekusi kreditor sebagaimana di- maksud dalam Pasal 55 ayat (1)

dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam

penguasaan debitor Pailit atau Kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu

paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pemyataan

pailit diucapkan.

b. Penangguhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku

terhadap tagihan kreditor yang dijamin dengan uang tunai dan hak

kreditor untuk memperjumpakan utang.

c. Selama jangka waktu penangguhan sebagaimana dimaksud ayat (1),

Kurator dapat menggunakan harta pailit berupa benda tidak bergerak

maupun benda bergerak yang berada dalam penguasaan Kurator dalam

rangka kelangsungan usaha Debitor, dalam hal telah diberikan

perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditor atau pihak ketiga

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Ketentuan Pasal 56 ayat (1) mengenai penangguhan hak eksekusi kreditor

separatis tersebut dianggap sebagai ketentuan yang tidak konsisten karena

bertentangan dengan ketentuan sebelumnya. Dalam Hukum Jaminan hak eksekusi

selalu dikaitkan dengan waktu jatuh tempo utang yang harus dibayar oleh debitor.

Artinya apabila pada saat jatuh tempo utang debitor tidak dibayar, maka kreditor

dapat menggunakan hak eksekusi tersebut dengan menjual benda jaminan yang

ada di bawah penguasaannya, yang hasilnya dipergunakan untuk melunasi utang

debitor. Untuk melaksanakan hak tersebut tidak terpengarah atau tetap ada

meskipun debitor dinyatakan dalam keadaan pailit. Namun demikian yang perlu

ditegaskan bahwa hak eksekusi tersebut timbul setelah jatuh tempo dan utang

debitor tidak dibayar.

Dalam kaitannya dengan penangguhan sebagaimana di atur dalam Pasal 56

ayat (1) tersebut, maka penangguhan tidak menjadi persoalan manakala jatuh

tempo tersebut sendiri belum lahir, akan tetapi apabila pada saat peryataan pailit

debitor bersamaan dengan saat jatuh temponya utang yang dijamin separatis,

maka penangguhan jelas akan membatasi hak eksekusi dari kreditor separatis

untuk segera mendapatkan pelunasan dari piutangnya. Penjelasan Pasal 56 ayat

(1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, menegaskan bahwa penangguhan yang dimaksud

dalam ketentuan ini bertujuan antara lain: (1) untuk memperbesar kemungkinan

tercapainya perdamaian; atau (2) untuk memperbesar kemungkinan mengoptimal-

kan harta pailit; atau (3) untuk memungkinkan Kurator melaksanakan tugasnya

secara optimal.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tujuan penangguhan untuk memperbesar

kemungkinan tercapainya perdamaian sebenamya kurang begitu tepat. Kepailitan

sendiri ditujukan bagi kreditor konkuren, sehingga soal perdamaian ini juga

dikaitkan dengan kreditor konkuren dan bukan bagi kreditor separatis. Dengan

demikian apabila konsisten mendudukkan pemegang hak jaminan kebendaan

adalah sebagai kreditor separatis, maka ia tidak terikat pada persoalan perdamaian

yang diperuntukkan bagi kreditor konkuren.

Sementara itu, bahwa tujuan penangguhan adalah untuk memperbesar

kemungkinan mengoptimalkan harta pailit ini berarti bahwa benda-benda jaminan

khusus merupakan bagian dari harta pailit. Pemaknaan yang demikian tersebut

tentu saja menyalahi ketentuan hukum jaminan dan hukum kepailitan itu sendiri

yang memberikan hak mendahului kepada pemegang hak jaminan kebendaan

untuk melakukan eksekusi atas benda jaminan tersebut seakan-akan tidak terjadi

kepailitan, dengan demikian benda-benda jaminan kebendaan tersebut berada di

luar harta pailit. Selanjutnya bahwa tujuan penundaan adalah untuk

memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal, juga kurang

begitu tepat. Apabila konsisten dengan pemahaman bahwa benda-benda jaminan

kebendaan berada di luar harta pailit tentu saja kurator tidak berwenang untuk

menguasainya, kecuali ada alasan yang dapat dibenarkan misalnya kreditor

separatis sendiri yang melepaskan kedudukannya sebagai kreditor separatis.

Kreditor separatis sebagai pemegang jaminan kebendaan berhak secara

penuh untuk melakukan eksekusi atas hak jaminan seolah-olah tidak terjadi

kepailitan, namun kreditor separatis tetap tunduk kepada ketentuan mengenai


penangguhan eksekusi (stay) yang berlaku demi hukum selama masa 90

(Sembilan puluh) hari setelah putusan pernyataan pailit diucapkan. Dengan

demikian, dalam hubungan dengan asset yang dijamin tersebut, kedudukan

kreditor separatis sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditor yang diistimewakan

lainnya (Pasal 1139 jo Pasal 1149 KUH Perdata). Kreditor separatis sebagai

pemegang jaminan kebendaan berhak secara penuh untuk melakukan eksekusi

atas hak jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, oleh karenanya pemegang

jaminan kebendaan tidak boleh dihalangi haknya untuk melakukan eksekusi atas

harta kekayaan debitor yang dibebani dengan jaminan kebendaan walaupun dalam

keadaan debitor pailit, untuk itu kreditor separatis diberikan waktu untuk

melaksanakan hak eksekusinya selama 2 (dua) bulan terhitung sejak dimulainya.

Sehubungan dengan tidak dilaksanakannya hak eksekusi oleh kreditor pemegang

jaminan kebendaan dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak insolvensi, maka

kreditor separatis tidak berwenang lagi mengeksekusi hak jaminannya karena

kewenangan tersebut diambil alih oleh kurator.

Selanjutnya Pasal 56 ayat (3) menentukan bahwa selama jangka waktu

penangguhan sebagaimana dimaksud ayat (1), kurator dapat menggunakan harta

pailit berupa benda tidak bergerak maupun benda bergerak yang berada dalam

penguasaan kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitor, dalam hal telah

diberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditor atau pihak ketiga

sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Dalam penjelasan ayat tersebut ditegaskan

bahwa harta pailit yang dapat dijual oleh kurator terbatas pada barang persediaan

(inventory) dan atau benda bergerak (current assets), meskipun harta pailit
tersebut dibebani dengan hak agunan atas kebendaan. Berdasarkan Pasal 56 ayat

(3) beserta penjelasannya tersebut, maka benda-benda bergerak yang diikat

dengan lembaga jaminan fidusia atau hipotik (dimana benda yang dijaminkan

tetap dikuasai debitor) dapat dikuasai oleh kurator dan dapat dialihkan atau dijual.

Ketentuan ini berarti penegasan kembali bahwa adanya penangguhan

dimaksudkan untuk mengoptimalkan harta pailit, yang berarti menempatkan

benda-benda yang diikat dengan jaminan fidusia atau hipotik berada di bawah

penguasaan kurator dan merupakan harta pailit. Benda-benda dalam jaminan

fidusia atau hipotik dapat dikuasai dan dialihkan oleh kurator manakala pemegang

sertifikat fidusia atau pemegang sertifikat hipotik telah diberi perlindungan

berupa: (a) ganti rugi atas terjadinya penurunan nilai harta pailit; (b) hasil

penjualan bersih; (c) hak kebendaan pengganti; atau (d) imbalan yang wajar dan

adil serta pembayaran tunai (utang yang dijamin) lainnya. Sekalipun ada

perlindungan bagi kreditor separatis sehubungan dengan tindakan kurator untuk

menggunakan benda-benda jaminan kebendaan tersebut, namun pada

kenyataannya pengaturan ini telah menghilangkan hak eksekusi dari kreditor

separatis.

Berdasarkan uraian tersebut nampak bahwa ketentuan Pasal 56 kurang

sejalan dengan ketentuan hukum jaminan dan ketentuan hukum kepailitan itu

sendiri. Pertentangan tidak saja antar substansi hukum jaminan dan hukum

kepailitan, tetapi pertentangan juga terjadi dalam satu pengaturan Undang-Undang

No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang, yaitu antara Pasal 55 dengan Pasal 56, sehingga kondisi ini potensial dapat
menimbulkan konflik apabila terjadi penafsiran/pemahaman yang berbeda antar

kreditor separatis dengan kurator, oleh karena itu perlu kiranya untuk dilakukan

suatu penyesuaian sehingga dapat memberikan kepastian hukum mengenai ada

atau tidak adanya hak eksekusi kreditor separatis.

Ketentuan lain yang membatasi hak kreditor separatis adalah Pasal 59

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, menentukan:

1. Dengan tetap memperhatikan Pasal 56, Pasal 57, dan Pasal 58, kreditor

pemegang hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) harus

melaksanakan haknya tersebut dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua)

bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 178 ayat (1).

2. Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

kurator harus menuntut diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk

selanjutnya dijual sesuai dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal

185, tanpa mengurangi hak kreditor pemegang hak tersebut atas hasil

penjualan agunan tersebut.

3. Setiap waktu kurator dapat membebaskan benda yang menjadi agunan

dengan membayar jumlah terkecil antara harga pasar benda agunan dan

jumlah utang yang dijamin dengan benda agunan tersebut kepada

kreditor yang bersangkutan.

Pembatasan waktu pelaksanaan hak eksekusi dari kreditor separatis

sebagaimana ditentukan dalam Pasal 59 ayat (1) tersebut di samping tidak selaras
dengan ketentuan Pasal 55 ayat (1) juga tidak sesuai dengan ketentuan hukum

jaminan. Pasal 55 ayat (1) menegaskan bahwa kreditor separatis dapat

mengeksekusi benda jaminan seolah-olah tidak terjadi kepailitan, artinya

pelaksanaan hak tersebut tidak terikat pada batasan waktu tertentu karena memang

mengabaikan adanya kepailitan. Jika berpegang pada ketentuan tersebut maka

kreditor separatis tidak dapat melaksanakan haknya pada fase pertama Kepailitan,

bagaimana kalau pada saat itu utangnya sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Hal yang demikian ini tentu saja akan merugikan kreditor separatis.

Sementara ketentuan tersebut tidak selaras dengan hukum jaminan karena pada

hakikatnya jaminan dimaksudkan untuk menjamin pelunasan utang debitor

manakala debitor tidak membayar setelah utangnya jatuh tempo dan dapat ditagih.

Dengan demikian pelaksanaan hak eksekusi kreditor separatis tersebut diukur

dengan utangnya sudah jatuh tempo atau belum. Jika utang sudah jatuh tempo,

maka kreditor akan melaksanakan eksekusi benda jaminan, sementara jika belum

jatuh tempo, maka akan menunggu hingga waktu jatuh tempo. Lantas bagaimana

jika insolvensi sudah dimulai sementara waktu jatuh temponya lebih dari 2 bulan

kemudian, yang berarti melanggar ketentuan Pasal 59 ayat (1). Dalam hal ini akan

terjadi pertentangan antara ketentuan hukum kepailitan dan hukum jaminan yang

perlu mendapatkan penyelesaian demi adanya kepastian hukum.

Selanjutnya ketentuan Pasal 59 ayat (2) menegaskan bahwa setelah lewat

jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), kurator harus menuntut

diserahkannya benda yang menjadi agunan untuk selanjutnya dijual sesuai dengan

cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185, tanpa mengurangi hak kreditor
pemegang hak tersebut atas hasil penjualan agunan tersebut. Ketentuan ini dirasa

memberatkan posisi kreditor separatis sebagai pemegang hak eksekusi yang haras

didahulukan. Jangka waktu 2 bulan adalah rentang waktu yang relatif pendek

untuk melakukan transaksi penjualan yang baik, lebih-lebih untuk jaminan dengan

nilai yang cukup tinggi, karena harus mencari calon pembeli yang betul-betul

dapat diharapkan memberikan penawaran harga yang menguntungkan tidak saja

bagi pemegang hak jaminan, tetapi juga bagi debitor itu sendiri. Apabila jangka

waktu tersebut lewat kemudian kurator menuntut diserahkannya benda jaminan ini

berarti mengurangi hak kreditor separatis untuk melaksanakan sendiri hak

eksekusinya.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 59 ayat (1), maka isi Pasal 59 ayat (2) juga

menimbulkan pertentangan antara ketentuan hukum kepailitan dengan hukum

jaminan. Artinya apabila mengedepankan ketentuan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2)

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang, berarti mengesampingkan ketentuan hukum

jaminan, oleh karena dalam ketentuan hukum jaminan sudah ditegaskan mengenai

hak dari pemegang jaminan kebendaan gadai, fidusia, hak tanggungan maupun

hipotik, untuk melaksanakan eksekusi objek jaminan tidak dibatasi jangka waktu

tertentu, dengan harapan akan diperoleh hasil yang terbaik hingga dilunasinya

utang debitor.

Sementara apabila jangka waktu tertentu terlewati maka menurut hukum

kepailitan benda objek jaminan kebendaan harus diambil oleh kurator. Meskipun

ada jaminan tanpa mengurangi hak kreditor pemegang hak tersebut atas hasil
penjualan agunan tersebut, pengambilalihan oleh kurator yang selanjutnya

menjual dengan cara-cara yang ditentukan oleh kurator kurang melindungi

kedudukan kreditor separatis. Konsekuensi penjualan oleh kurator, maka hasil

penjualan benda jaminan tersebut akan dikurangi dengan biaya kurator.

Pengurangan biaya kurator tidak mempengaruhi hak kreditor separatis manakala

hasil penjualan masih memenuhi piutangnya, namun apabila hasil penjualan tidak

menutup piutangnya, maka pengurangan biaya kurator akan mengurangi hak

kreditor separatis. Sekalipun kekurangannya dapat ditagihkan terhadap harta

pailit, tetapi kedudukannya sudah berubah menjadi kreditor konkuren.

Ketentuan mana yang akan diterapkan bila dalam pelaksanaannya terjadi

ketidakakuran antara kreditor separatis dengan Kurator. Bila digunakan asas lex

specialis derogat legi generalis, perlu ditegaskan ketentuan mana yang dianggap

sebagai ketentuan umum dan mana yang dianggap sebagai ketentuan khusus.

Apabila dicermati, ketentuan jaminan kebendaan (gadai, jaminan fidusia, hak

tanggungan dan hipotik) merupakan bentuk khusus dari ketentuan jaminan secara

umum sebagaimana di atur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.

Sementara Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, merupakan penerapan lebih lanjut dari

ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Berdasarkan pemahaman

yang demikian, maka ketentuan jaminan merupakan ketentuan yang lebih khusus

dibandingkan dengan ketentuan kepailitan. Dengan demikian ketentuan yang

digunakan terhadap kasus perkara No. 814 K/Pdt.Sus/2012 sudah semestinya

yang diutamakan adalah ketentuan jaminan kebendaan. Namun demikian dapat


dilihat bahwa dalam putusan tersebut asas lex specialis derogate legi generali

tidak diterapkan dalam memutus perkara ini.

Putusan Mahkamah Agung mengenai perkara diatas tidak sepenuhnya

memperhatikan ketentuan hukum yang telah diatur. Dalam Putusan ini kita dapat

melihat ketidakkonsistenan Hukum yang ditunjukkan dengan memutus suatu

perkara yang telah diatur dalam Undang-undang mengenai ketentuaannya namun

dalam praktik tidak sesuai dengan apa yang telah diatur dalam Undang-undang.

Dari Putusan ini dapat disimpulkan bahwa Penyelesaian Pembagian harta pailit

berbeda dari apa yang telah di atur dalam Undang-Undang. Kasus ini

menggambarkan bahwa ternyata dalam praktik Pemberesan harta pailit sangat

rumit. Undang-undang telah mengatur ketentuan di mana Kreditor separatis akan

terlindungi haknya namun di lihat dalam praktik kreditor separatis juga masih

harus berhadapan dengan kreditor lainnya walaupun sebagai pemegang jaminan

kebendaan.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun yang dapat di tarik oleh penulis yang menjadi suatu kesimpulan

adalah sebagai berikut :

1. Bahwa dalam Putusan Mahkamah Agung No. 814 K/Pdt.Sus/2012 kreditor

separatis berkedudukan sebagai kreditor yang mengeksekusi sendiri barang

jaminan guna pelunasan piutangnya setelah debitor pailit. Kreditor separatis

dalam perkara di atas telah melakukan eksekusi harta pailit setelah debitor

dinyatakan pailit sesuai dengan Pasal 55 jo Pasal 244 ayat (1) Undang-Undang

No. 37 Tahun 2004.

2. Putusan Mahkamah Agung No. 814 K/Pdt.Sus/2012 sesungguhnya belum

memberikan perlindungan terhadap kreditor separatis dan menimbulkan

persoalan hukum karena berbeda dari yang di atur dalam Undang-Undang dan

yang terjadi dalam praktik pada Pemberesan Harta Pailit. Asas keadilan yang

menjadi salah satu dasar pertimbangan Hakim dalam memutus perkara

mengurangi hak kreditor separatis atas jaminan kebendaan yang dimilikinya

untuk pelunasan piutangnya karena harus berbagi dengan kreditor preferen

(buruh/tenaga kerja). Hal ini mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum

karena Putusan tersebut berbeda dari apa yang di atur dalam Undang-Undang.

Penulis berpendapat bahwa seharusnya pengadilan tidak mengambil putusan

dengan membagi hasil penjualan lelang eksekusi jaminan kepada kreditor lain

selain dari kreditor separatis. Dengan pertimbangan asas keadilan maka

77
seharusnya pengadilan tidak menutup mata terhadap kepastian hukum karena

pemberesan ini nyata-nyata telah di atur dalam undang-undang.

B. Saran

Berdasarkan atas kesimpulan yang di kemukakan di atas maka penulis dapat

memberikan saran sebagai berikut :

1. Mengingat pemerintah adalah pihak yang memiliki tanggung jawab lebih

dalam membuat, memperhatikan dan memperbaiki kekurangan yang ada dalam

Undang-Undang khususnya Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang khususnya terhadap pasal-pasal yang dalam

undang-undang ini bertentangan atau tidak sejalan dengan ketentuan hukum

lainnya.

2. Untuk melindungi kepentingan kreditor separatis maka dalam hal ini penulis

menyarankan bahwa Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 harus sesegera

mungkin dilakukan perubahan atau revisi agar adanya kepastian hukum

mengenai perlindungan hukum terhadap kreditor separatis.

3. Perlu adanya penyempurnaan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, khususnya Pasal 56

ayat (1) untuk kata ditangguhkan selama 90 hari Sebaiknya tidak perlu ada

kata-kata ditangguhkan untuk menghindari terjadinya konflik norma,

khususnya antara Undang-Undang No. 37 Tahun 2004, dengan ketentuan

mengenai jaminan kebendaan yang nantinya dapat menimbulkan

ketidakpastian Hukum.
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika. Jakarta, 2009.

Eliyana. Konsep Dasar dan Aspek Hukum Kepailitan. Proceeding Kepailitan


dan Transfer Asset secara Melawan Hukum. Bogor. 20-21 juli 2004. Pusat
Pengkajian Hukum. Jakarta. 2005.

Fuady, Munir. Hukum Pailit dalam Teori dan Praktik. Citra Aditya Bakti.
Bandung. 2005.

Gautama, Sudargo. Komentar atas Peraturan Kepailitan Baru untuk Indonesia.


Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998.

Hadjon, Philipus M. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional.


Bina Cipta. Bandung. 1987.

Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan. Universitas Muhamadiya Malang. Malang.


2008.

Irianto, Sulistyowati dan Shidarta. Metode Penelitian Hukum Konstelasi dan


Refleksi. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Jakarta. 2011.

Lontoh, Rudy. Ed. Penyelesaian Utang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Alumni. Bandung. 2001.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Liberty. Jogjakarta.


2003.

Meuwissen. Teori Hukum. Majalah Pro Justitia. Tahun XXI. Nomor 2 April.
1994.

Moleong, Lexy J. Metode Kualitatif. Remaja Rosda Karya. Bandung, 2004.

Nasution, Bahder Johan. Metode P mnjbhjndrtvvbbhenelitian Hukum. Mandar


Maju. Bandung, 2008.

Nating , Imran. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2004.

Purwostjipto, H.M.N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Jilid 8.


Penerbit Jambatan. Jakarta. 1992.

Puspa,Yan Pramadya. Kamus Hukum Edisi lengkap Bahasa Belanda Indonesia,


Inggris. CV. Aneka Ilmu. Semarang, 1977.
Sastrawidjaja, H. Man S.. Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. P.T. Alumni. Bandung. 2006.

Shubhan, M. Hadi. Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma dan Praktik di


Pengadilan). Kencana Prenada Media Group Jakarta 2008.

Sidharta, Benard Arief, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Mandar Maju.
Bandung. 1999.

Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening


Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta,
2002.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. PT Raja Grafindo Persada. Cetakan ke 11. Jakarta, 2009.

Sofwan, Sri Soedewi Masjshoen. Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok


Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan. Liberty. Yogyakarta. 1980.

Tumbuan, Fred B.G. Pokok-Pokok Undang-Undang tentang Kepailitan


sebagaimana diubah oleh perpu No. 1/1998, dalam Penyelesaian Utang
Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Alumni Bandung. Bandung. 2001.

Yuhassarie, Emmy (ed.). Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangan. Pusat


Pengkajian Hukum. Jakarta. 2005.

B. PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia, UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

_________________ , Kitab Undang-undang Hukum Perdata

_________________ , UU Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

_________________ , Kitab Undang-Undang Hukum Dagang


C. MAKALAH

Elijana Tansah, Kapita Selekta Hukum Kepailitan, Makalah, disampaikan dalam


Pendidikan Singkat Hukum Perusahaan, Jakarta, 17 Juli- 4 Agustus 2000.

Anonim, Hakim Perintahkan Kreditor Separatis Berbagi Hak dengan Buruh


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba11d3b8804d/hakim-
perintahkan kreditor-separatis-berbagi-hak-dengan-buruh, diakses Senin,
16 Oktober 2016.

Anda mungkin juga menyukai