Anda di halaman 1dari 4

Menggugat Skandal BPHTB Karawang

Penulis : Cecep Sopandi S.Sos


Hukum sejatinya memposisikan diri dalam memenuhi rasa keadilan masyarakat yang tidak
dikebiri oleh elite penguasa untuk memenuhi hasrat kuasanya dengan menggunakan
kekuasaannya sebagai alat pelindung atas prilaku kejahatannya. Untuk itu, penegakkan hukum
menjadi suatu keharusan sebagaimana yang menjadi cita-cita bangsa dalam narasi agungnya,
yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Hingar-bingar kasus korupsi ramai mewarnai perjalanan bangsa ini, seolah menjadi hiasan
kusam yang mencoreng wajah bangsa yang elok ini. Terlebih dengan diberlakukannya otonomi
daerah dalam UU No.22 tahun 1999 dan mengalami revisi dalam UU No.20 tahun 2002 yang
mana pelaksanaan pemerintah dilakukan oleh pemerintah tingkat dua, kabupaten dan kota, serta
diberikan wewenang mengatur pembangunan daerahnya sendiri, karena berangkat dari sebuah
asumsi bahwa daerah lah yang mengetahui permasalannya sendiri. Kondisi seperti itu
memberikan ruang terbuka terhadap transaksi KKN sehingga menjadikan fenomena korupsi
mengalami penyebaran sampai ke tingkat daerah.
Adalah pajak yang menjadi menjadi salah satu lahan potensial lahirnya korupsi di daerah, apalagi
setelah ditetapkannya UU nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRB), sebagai sebuah landasan hukum untuk mengatur Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) yang mengalihkan kewenangan pemungutan pajak dari pemerintah pusat ke
pemerintah daerah per Januari 2011.
Berdasarkan UU PRDB makan pemerintah daerah harus siap menerima pengalihan kewenangan
itu dan memenuhi amanat UU tersebut dengan menyiapkan peraturan daerah serta berbagai
perangkat lainnya sebagai penunjang pemungutan BPHTB.
Sebagai instrumen pelaksanaan teknisnya, tanggal 29 September 2010 Menteri Keuangan
Republik Indonesia mengeluarkan surat nomor S-495/MK.07/2010 perihal Pedoman Penyusunan
Perda dan Sistem dan Prosedur Pemungutan BPHTB yang ditujukan kepada Gubernur dan
Bupati/Walikota seluruh Indonesia.
Selain itu, pada tanggal 18 Oktober 2010, Menteri Keuangan RI bersama Menteri Dalam Negeri
RI membuat surat bersama dengan nomor 186/PMK.07/2010 tentang tahapan Persiapan
Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BHTB) sebagai Pajak Daerah.
Polemik Legalitas BHTB Karawang
Meski pengalihan BPHTB menjadi kas daerah menjadi solusi bagi Pemda untuk membangun
daerahnya, akan tetapi dalam perjalanannya mengalami kendala. Asep Toha, Ketua Gerakan

Rakyat Pemberantas Korupsi (GRPK) mensinyalir adanya indikasi pemungutan BPHTB


Karawang bersifat Ilegal. Jika memperhatikan UU No.28 tahun 2009, Surat Menteri Keuangan
No. S-495/MK.07/2010, maka sebelum seluruh perangkat hukum dibuat yaitu Peraturan Daerah
dan Peraturan Bupati terkait BPHTB, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang belum
dinyatakan sah menurut hokum dalam memungut BPHTB, maka BPHTB yang terkumpul pada
tahun 2011 termasuk dana yang masuk ke APBD sebagai pendapatan lain-lain yang sah
terindikasi illegal, katanya dalam memberikan keterangan kepada Barometer, Sabtu, (26/5).
Pelaksanaan pemungutan BPHTB, lanjut Asep, dilaksanakan Pemerintah Daerah Kabupaten
Karawang sejak 1 Januari 2011, sementara Peraturan Daerah Kabupaten Karawang No. 4 tahun
2011 tentang BPHTB baru ditetapkan dan diberlakukan pada tanggal 17 Maret 2011 dan
Peraturan Bupati terkait petunjuk teknis pemungutan BPHTB diterbitkan pada bulan Desember
2011.
Menurut dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2011,
sebagaimana dalam data Kementrian Keuangan RI, bahwa BPHTB Karawang sebesar Rp. 24
Mulyar, tambahnya.
Sementara itu, menurut pernyataan DPPKAD yang dimuat beberapa media cetak menyatakan,
dana BPHTB tersimpan dalam rekening Giro di Bank BNI 46, masuk ke APBD 2011 sebesar 3%
atau Rp.7 Milyar dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada pos lain-lain pendapatan
yang sah. Jika 3% nya sebesar Rp.7 Milyar, maka dana BPHTB selama tahun 2011 yang di
rekening Giro Bank BNI sebesar Rp. 235 Milyar, terang Asep. Melihat fakta ini, kata Asep,
maka terdapat dua jumlah yang berbeda antara dokumen Kementrian Keuangan dengan jumlah
prosentase yang dimasukan ke APBD 2011.
Menanggapi polemik skandal BPHTB Karawang memaksa Kejaksaan Negeri (Kejari) Karawang
ikut bersuara, kali ini melalui Kepala Seksi Intelijen, Imran Yusuf. Ia memberikan pernyataan
berbeda dari hasil kajian hukum LSM GRPK. Menurutnya, BPHTB berjalan sesuai dengan
aturan hukum. Sebenarnya tidak dapat dikatakan bahwa program ini berjalan tanpa payung
hukum. Pada dasarnya, program ini ada peraturannya, ada Undang-Undangnya, ungkapnya,
Kamis, (24/5) di kantornya.
Mengenai landasan hukum atas pemungutan BPHTB, Imran Yusup berdalih bahwa Perda
mengenai BPHTB sebenarnya sudah disepakati dengan DPRD, tapi belum disampaikan kepada
gubernur karena ada suatu keterlambatan. Dan ternyata, lanjutnya, setelah disahkan pun tidak
ada perbedaan sama sekali di antara perda itu.
Selain itu, alasan kenapa pemungutan BPHTB yang dilaksanakan oleh Pemda Karawang tidak
ada potensi melawan hukum, Kasi Intel Kejari Karawang menggunakan landasan yurisprudensi.
Yurisprudensi adalah salah satu sumber hukum, yang mana hukum ini berasal dari putusan
Mahkamah Agung. Yurisprudensi tahun 1965 menyatakan bahwa tuduhan tindakan melawan

hukum akan hilang jika ada 3 indikasi yang terpenuhi. Tiga indikasi tersebut adalah kepentingan
umum terlayani, pelaku tidak mengambil keuntungan, dan negara tidak dirugikan, jelasnya.
Insentif Pajak : Kemana Dana Tak Bertuan itu ?
Ibarat lawakan dalam lakon komedi, cerita yang ditampilkan selalu menarik dengan sentilan tiap
episode yang menggigit dan menggelitik. Selain polemik legalitas BPHTB yang diduga
bermasalah secara hukum, juga ditemukan adanya insentif BPHTB yang menyebabkan masalah
dana tak bertuan. Artinya kebijakan mengenai insentif BPHTB diindikasikan berbau korupsi.
Polemik tersebut terjadi ketika Bupati Karawang mengeluarkan Perbup Nomor 12 tahun 2011
tentang Tata Cara Pemberian Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada
tanggal 19 April 2011 lebih dulu dibandingkan dengan penetapan Bupati terkait teknis BPHTB
pada tanggal 30 Desember 2011. Kebijakan tersebut masih menjadi misteri tentang apa motiv
dibalik semua itu.
Menurut data yang kami peroleh dari dokumen Dinas Pendapatan, pengelolaan Keuangan dan
Aset Daerah (DPPKAD) pada bulan Agustus 2011, triwulan II tahun 2011, BPHTB Karawang
terkumpul sebesar Rp. 40.672.219.634,00 (enam puluh miyal enam ratus tujuh puluh dua juta
dua ratus Sembilan belas ribu enam ratus tiga puluh empat rupiah). Dari jumlah tersebut,
penerimaan sampai tanggal 17 Maret 2011 yaitu sebesar Rp. 11.981.924.156,00 (sebelas milyar
Sembilan ratus delapan puluh satu juta Sembilan ratus dua puluh empat ribu seratus lima puluh
enam rupiah), dana tersebut dikembalikan kepada wajib pajak.
Menurut Elyasa Budianto SH selaku penasehat hokum GRPK, pengembalian pungutan BPHTB
pada 2 Januari sampai 16 Maret 2011 ditengarai karena Perda BPHTB belum ditetapkan. Ia
menambahkan, insentif yang dibagikan pada triwulan II tahun 2011 sebesar Rp.
28.690.295.478,00 x 4%, yaitu sebesar Rp. 1.147.611.819,00 (satu milyar seratus empat puluh
tujuh juta enam ratus sebelas ribu delapan ratus Sembilan belas rupiah).
Anehnya, berdasarkan informasi dari beberapa wajib pajak termasuk beberapa orang notaris
yang tidak ingin diketahui identitasnya, bahwa sampai Bulan Mei 2012, tidak pernah ada
pengembalian pembayaran pajak BPHTB tahun 2011 sebagaimana tertulis dalam dokumen
DPPKAD pada bulan Agustus 2011, bahwa sebesar Rp. 11.981.924.156,00 dikembalikan kepada
wajib pajak. Maka pertanyaannya, bagaimana status dana tersebut, apakah dimasukan ke kas
daerah atau bagaimana?
Selanjutnya, pembagian insentif BPHTB itu sendiri terindikasi terjadi pelanggaran hukum.
Diantaranya, pertama, penetapan insentif tidak berdasarkan musyawarah dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Padahal menurut PP No. 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah menjelaskan, Pemerintah Daerah dapat memberikan tambahan
penghasilan kepada Pegawai Negeri Sipil Daerah berdasarkan pertimbangan yang obyektif

dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan Dewan


Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Adanya dugaan penyimpangan masalah legalitas BPHTB di Karawanag tak ayal menambah
catatan buruk kinerja Pemerintah Daerah, hal tersebut seharusnya memberikan sinyal bagi aparat
penegak hukum untuk menuntaskan kasus tersebut, bukan bersembunyi dibalik jubah penguasa
yang mengkerdilkan keadilan hukum bagi masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai