Anda di halaman 1dari 63

USM

ANALISIS PUTUSAN NO.20/PDT.SUS-PHI/G/2014/PN.SMG


TENTANG PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
KARENA KECELAKAAN KERJA

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan


memenuhi syarat-syarat guna menyelesaikan
Program Studi S1. Hukum

Oleh

Nama : HANA DWI PRASASTI


NIM : A.131.14.0061

HALAMAN JUDUL

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG
SEMARANG
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha

Esa yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis

dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi ini dengan judul, “Analisis Putusan

No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg Tentang Pemutusan Hubungan Kerja

Karena Kecelakaan Kerja”, dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana.

Mengingat keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis

sehingga dalam penyusunan Skripsi ini tidak sedikit mendapat bantuan, petunjuk,

serta saran-saran maupun arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan

rendah hati dan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga

kepada:

1. Bapak Andy Kridasusila, S.E., M.M., selaku Rektor Universitas Semarang,

2. Ibu B. Rini Heryanti, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum, Universitas

Semarang,

3. Ibu Endah Pujiastuti, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing I yang telah

meluangkan waktu dalam membimbing dan memberikan arahan serta

masukan kepada penulis dalam pembuatan Skripsi ini,

4. Ibu Tri Mulyani, S.Pd., S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing II yang telah

meluangkan waktu dalam membimbing dan memberikan arahan serta

masukan kepada penulis dalam pembuatan Skripsi ini,

5. Ibu Efi Yulistyowati, S.H., M.Hum, selaku Dosen Wali yang telah

membimbing dan memberi arahan kepada penulis dalam menempuh

pendidikan Strata Satu (S-1) pada Fakultas Hukum, Universitas Semarang,

vi
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Motto

”Jika kita mempunyai keinginan yang kuat dari dalam hati, maka seluruh alam

semesta akan bahu-membahu mewujudkannya”

~Ir. Soekarno Koesno Sosrodihardjo, 1901-1970~

Persembahan

Dengan mengucap rasa syukur kepada Alaah SWT, skripsi ini saya persembahkan
kepada :
 Orangtua tercinta, atas seluruh cinta dan kasihya dalam mendidik dan
mendukung dalam segala kondisi.
 Kakak dan adik tersayang yang selalu memberikan semangat untuk
menyelesaikan skripsi ini.
 Para dosen yang telah mendidik dan membimbing dengan sabar sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
 Teman-teman seperjuangan yang memberi semangat untuk menyelesaikan
skripsi ini.
 Semua orang yang selalu menanyakan kapan lulus.

viii
ABSTRAK

Kecelakaan dalam kerja sering terjadi, sehingga dalam penelitian ini akan
mengkaji terkait dengan putusan Pengadilan Hubungan Industrial tentang
pemutusan hubungan kerja karena kecelakaan kerja dengan mengangkat
permasalahan apa dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Perselisihan
Hubungan Industrial dalam Putusan No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg tentang
pemutusan hubungan kerja karena kecelakaan kerja beserta akibat hukumnya.
Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan spesifikasinya
diskriptif analitis. Adapun data yang dipergunakan adalah data sekunder dengan
analisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dasar pertimbangan
Majelis Hakim Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial dalam Putusan
No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg yang memutus perkara mengenai pemutusan
hubungan kerja karena kecelakaan kerja didasarkan pada kondisi Penggugat yang
tidak bisa melakukan pekerjaan karena cacat buta permanen sehingga menurut
ketentuan Pasal 93 ayat (3) jo. Pasal 172 UU Ketenagakerjaan pekerja yang
mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak bisa melakukan pekerjaan
setelah melampaui 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan
kerja dan diberikan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
pengganti hak. Dikarenakan Penggugat tidak ada itikat baik untuk melakukan
pekerjaan setelah mengalami kecelakaan kerja, perbuatan Penggugat tersebut
dianggap mangkir oleh Hakim, maka sesuai ketentuan Pasal 168 ayat (3)
Penggugat hanya berhak menerima uang pisah sebesar Rp 16.192.500,-.
Sedangkan akibatnya berdasarkan UU Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat (1), jika
Penggugat dianggap mengundurkan diri, maka perusahaan berdasarkan Pasal 168
ayat (3) wajib memberikan uang pisah sebesar Rp 16.192.500,- dan Pasal 172
wajib memberikan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
pengganti hak.

Kata kunci : Pengadilan, PHK, Kecelakaan Kerja.

ix
DAFTAR ISI

halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN MEMPERBANYAK ...................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN UJIAN .............................................................. iv

DOKUMENTASI PERPUSTAKAAN ............................................................. v

KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................... viii

ABSTRAK ......................................................................................................... ix

DAFTAR ISI ....................................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar Belakang Penelitian .................................................................. 1

B. Perumusan Masalah ........................................................................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................... 6

1. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6

2. Manfaat Penelitian ....................................................................... 6

D. Keaslian Penelitian ............................................................................. 7

E. Sistematika Penulisan......................................................................... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 11

A. Tinjauan tentang Tenaga Kerja/Pekerja/Buruh, Pengusaha. ............ 11

1. Pengertian Tenaga kerja/Pekerja/Buruh ..................................... 11

2. Pengertian Pengusaha................................................................. 12

B. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Tenaga Kerja ..................... 13

C. Tinjauan tentang Kecelakaan Kerja ................................................. 15

x
D. Jaminan Sosial Bagi Pekerja ............................................................ 16

E. Tinjauan Tentang Perselisihan Hubungan Industrial ....................... 19

1. Peselisihan hubungan Industrial ................................................. 19

2. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial......................... 20

a. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar


pengadilan (Non Litigasi) .................................................... 20

b. Penyelesaian Peselisihan Hubungan Industrial melalui


Pengadilan Hubungan Industrial (Litigasi) .......................... 25

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................ 28

A. Jenis Penelitian ................................................................................. 28

B. Spesifikasi Penelitian ....................................................................... 28

C. Metode Pengumpulan Data .............................................................. 29

D. Metode Analisis Data ....................................................................... 31

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 32

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan No.20/Pdt.Sus-


PHI/G/2014/PN.Smg tentang Pemutusan Hubungan Kerja
Karena Kecelakaan Kerja. ................................................................ 32

B. Akibat Hukum dari Putusan No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg


tentang Pemutusan Hubungan Kerja Karena Kecelakaan Kerja
Terhadap Penggugat dan Tergugat.................................................. 46

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 49

A. Simpulan .......................................................................................... 49

B. Saran................................................................................................. 50

DAFTAR PUSTAKA………………………………..…………………...…..51

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Tenaga kerja merupakan suatu elemen terpenting dalam sebuah

perusahaan. Tanpa adanya pekerja maka perusahaan tidak akan beroperasi

dengan baik. Tenaga kerja adalah orang yang mampu melakukan pekerjaan

guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan

sendiri maupun untuk masyarakat. Pengusaha membutuhkan tenaga kerja yang

memiliki keterampilan dan kemampuan sesuai keahliannya agar dapat

meningkatkan produktifitas perusahaan.

Tenaga kerja yang terampil banyak dibutuhkan oleh perusahaan-

perusahaan, dimana untuk menjamin kesehatan dan keselamatan tenaga kerja

maka perlu dibentuk perlindungan tenaga kerja, karena banyak resiko yang

dapat dialami oleh pekerja dalam melakukan pekerjaannya. Apabila sewaktu

ketika tenaga kerja mengalami sakit akibat pekerjaannya, kecelakaan kerja

maupun hari tua, sudah ada penggantian yang sesuai atas apa yang telah di

kerjakannya.1

Salah satu prinsip dasar hubungan kerja adalah menciptakan hubungan

yang harmonis dan berkeadilan disertai dengan proteksi jaminan sosial yang

memadai yang dapat menjamin kelangsungan bekerja dan berusaha.

1
Zainal Asikin, dkk., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan (Jakarta : Rajagrafindo
Persada, 2010), halaman 77

1
2

Harmonisasi hubungan kerja merupakan modal dasar untuk menciptakan

produktifitas yang baik secara berkesinambungan. 2

Kondisi yang harmonis, dinamis dan berkeadilan dalam hubungan

industrial perlu diwujudkan secara optimal, sesuai dengan nilai-nilai

Pancasila. Namun, dalam era industrialisasi saat ini, seringkali terjadi

perselisihan hubungan industrial yang semakin kompleks, terutama

perselisihan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK). 3 Dalam Undang-

undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial untuk selanjutnya disebut dengan UU PPHI

Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa “Perselisihan Hubungan Industrial adalah

perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau

gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh

karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan,

perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan”.

Hubungan industrial memerlukan ketenangan kerja. Perselisihan

memberikan dampak kurang baik bagi produktifitas, secara normal tidak ada

orang yang menginginkan masalah. Namun menyelesaikan perselisihan

bukanlah hal yang mudah dan bukan pula hal yang sulit. Kalau para pihak

2
Juanda Pangaribuan, Tuntunan Praktis Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
(Jakarta: PT Bumi Intitama Sejahtera, 2010), halaman 1
3
Tim Visi Yustisia, Buku Pintar Pekerja Terkena PHK: Dari Memperoleh Hak Yang
Semestinya Sampai Merintis Karier Baru. (Jakarta: Visimedia, 2015), halaman 70
3

memiliki perspektif yang sama, perselisihan akan mudah diselesaikan dan

tahap-tahap perundingan mudah untuk dijalani.4

Perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan hubungan kerja

(PHK) oleh pengusaha terhadap pekerja atau buruh sulit untuk dihindari,

walaupun kedua belah pihak telah membuat peraturan tertulis baik yang dibuat

oleh pengusaha maupun yang disusun secara bersama-sama oleh serikat

pekerja atau serikat buruh dengan pengusaha. Dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan untuk

selanjutnya disebut dengan UU Ketenagakerjaan sudah diatur dalam Pasal 151

ayat (1) yang menyatakan bahwa “Pengusaha, pekerja/ buruh, serikat pekerja/

serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar

jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”. Kemudian dalam hal sudah

dilakukannya upaya untuk mengusahakan agar tidak terjadi pemutusan

hubungan kerja, tetapi pemutusan hubungan kerja tersebut tidak dapat

dihindari lagi maka diwajibkan untuk perusahaan melakukan perundingan

dengan pekerja untuk mencari solusi terbaik. Apabila perundingan tidak

menghasilkan kesepakatan maka kedua belah pihak dalam hal ini pengusaha

dengan pekerja dapat menyelesaikan perselisihan lewat jalur pengadilan atau

litigasi melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

Sebagaimana telah dinyatakan dalam Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) bahwa negara Indonesia

adalah negara hokum. Salah satu ciri-ciri negara hukum adalah peradilan yang

4
Juanda, op.cit., halaman 12
4

bebas dan tidak memihak. Dalam UU PPHI telah diatur pula mengenai

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada Pasal 55 yang menyatakan bahwa

“Pengadilan Hubungan Industrial merupakan pengadilan khusus yang berada

pada lingkungan peradilan umum.” Pengadilan ini secara khusus mengadili

perkara-perkara terkait dengan hubungan industrial atau biasa disebut dengan

perselisihan hubungan industrial yang diantaranya perselisihan mengenai hak,

perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Seperti perselisihan hubungan industrial mengenai pemutusan

hubungan kerja yang telah diputus oleh Majelis Hakim di Pengadilan

Hubungan Industrial Kota Semarang yang kasusnya yaitu mengenai pekerja

yang mengalami kecelakaan kerja dan mengakibatkan cacat buta permanen di

kedua matanya kemudian tidak dapat melakukan pekerjaanya dengan baik.

Pekerja tersebut telah mengajukan permohonan kepada perusahaan tempat

pekerja tersebut bekerja untuk diputus hubungan kerjanya dan meminta hak

pesangon, tetapi pihak perusahaan tetap mempertahankan pekerja tersebut dan

tetap memberi gaji tiap bulan seperti biasa tetapi pihak perusahaan tidak

menyebutkan akan sampai kapan pekerja tersebut akan mendapatkan gaji.

Sampai pada akhirnya secara tiba-tiba pekerja tersebut tidak mendapatkan gaji

lagi, kemudian pekerja menanyakan kepada pihak perusahaan atas gaji yang

sudah tidak diterimanya lagi dan pihak perusahaan menjawab bahwa gaji yang

diterima oleh pekerja tersebut adalah cicilan pesangon. Tetapi pekerja merasa

pihak perusahaan telah menipu dirinya karena sejak awal pihak perusahaan
5

mengatakan kalau uang yang diterima oleh pekerja nantinya adalah gaji bukan

cicilan pesangon. Kemudian pekerja tersebut menggugat pihak perusahaan

untuk meminta hak-hak yang seharusnya diperoleh pekerja. Kasus tersebut

kemudian telah diputus oleh Majelis Hakim yang tertuang dalam putusan

No.20/Pdt-Sus/PHI/G/2014.Pn.Smg.

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut

mendorong keingintahuan peneliti untuk melakukan kajian yuridis dan penulis

tertarik melakukan penelitian mengenai putusan Pengadilan Hubungan

Industrial dengan Judul : Analisis Putusan No.20/Pdt.Sus-

PHI/G/2014/PN.Smg Tentang Pemutusan Hubungan Kerja Karena

Kecelakaan Kerja.

B. Perumusan Masalah

Berpijak dari latar belakang penelitian sebagaimana telah diuraikan,

dalam penelitian ini pokok permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut

dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa dasar pertimbangan hakim dalam Putusan No.20/Pdt.Sus-

PHI/G/2014/PN.Smg tentang pemutusan hubungan kerja karena

kecelakaan kerja ?

2. Bagaimana akibat hukum dari Putusan No.20/Pdt.Sus-

PHI/G/2014/PN.Smg tentang pemutusan hubungan kerja karena

kecelakaan kerja terhadap Penggugat dan Tergugat ?


6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan pokok permasalahan di atas, maka tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam Putusan

No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg tentang pemutusan hubungan

kerja karena kecelakaan kerja.

b. Untuk mengetahui akibat hukum dari Putusan No.20/Pdt.Sus-

PHI/G/2014/PN.Smg tentang pemutusan hubungan kerja karena

kecelakaan kerja terhadap Penggugat dan Tergugat.

2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang hendak diberikan dengan dilakukannya penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan

kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah, yang diharapkan

dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu

hukum administrasi negara khususnya hukum ketenagakerjaan terkait

tentang pemutusan hubungan kerja karena kecelakaan kerja.

b. Manfaat Praktis

a. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

serta pengetahuan dan masukkan bagi pemerintah / pembuat


7

kebijakan, dalam pengambilan kebijakan terkait dengan

penyelesaian sengketa tentang pemutusan hubungan kerja karena

kecelakaan kerja.

b. Bagi Pengusaha

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumber

informasi serta pengetahuan dan masukkan bagi Pengusaha, dalam

mewujudkan perlindungan hukum terhadap pekerja/buruh yang

mengalami kecelakaan kerja.

c. Bagi Pekerja/Buruh

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi

serta pengetahuan dan masukan bagi pekerja/buruh terkait dengan

perlindungan hukum bagi pekerja/buruh yang mengalami

kecelakaan kerja.

D. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan tidak ditemukan

penelitian yang mirip dengan penelitian ini. Memang ada beberapa penelitian,

dan skripsi yang mengangkat tema mengenai pemutusan hubungan kerja

(PHK).

1. Penulisan hukum yang dilakukan oleh I Gusti Bagus Oka Budi Sudarma

pada tahun 2017 dari Universitas Udayana dengan judul “Analisis Yuridis

Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Pada pengadilan Negeri

Denpasar Nomor: 01/Pdt.Sus-PHI/2015/Pn.Dps”. Perbedaan dengan

penulisan ini yaitu pada penulisan hukum tersebut penyebab terjadinya


8

PHK karena pekerja mangkir dari pekerjaannya selama 5 hari berturut-

turut walaupun sudah dipanggil secara patut sebanyak 2 (dua) kali,

sementara pada penulisan hukum ini penyebab terjadinya PHK karena

pekerja mengalami kecelakaan kerja.

2. Penulisan hukum yang dilakukan oleh Musrifah pada tahun 2013 dari

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau dengan judul

“Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja Dalam Perkara Nomor:

50/G/2009/PHI.BDG”. Perbedaan dengan peneitian hukum ini yaitu pada

penulisan hukum tersebut penyebab terjadinya PHK karena adanya

pengurangan karyawan yang dianggap tidak produktif oleh pengusaha,

sementara pada penulisan hukum ini penyebab terjadinya PHK karena

pekerja mengalami kecelakaan kerja.

3. Penulisan hukum yang dilakukan oleh Dian Firdaus pada tahun 2016 dari

Universitas Diponegoro dengan judul “Tinjauan Yuridis Proses

Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada Pengadilan

Hubungan Industrial (Analisis Putusan Mahkamah Agung

No.83K/Pdt.Sus-PHI/2015)”. Perbedaan dengan penelitian hukum ini

yaitu pada penelitian hukum tersebut penyebab terjadinya sengketa antara

pekerja dengan pengusaha karena pekerja tidak memenuhi kewajibannya

sampai pada tanggal berakhirnya perjanjian kerja yang telah disepakati,

sementar pada penelitian ini penyebab terjadinya sengketa adalah karena

pekerja mengalami kecelakaan kerja.


9

E. Sistematika Penulisan

Untuk lebih memudahkan dalam memahami keseluruhan dari isi skripsi

ini, maka penulis menyusun dalam sistematika yang terdiri atas lima bab,

yaitu:

BAB I : Pendahuluan

Terdiri dari uraian tentang latar belakang penelitian, perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penelitian, serta

sistematika penulisan.

BAB II : Tinjauan pustaka

Terdiri dari uraian tentang tinjauan tentang tentang pekerja/buruh

dan pengusaha, yang uraiannya terdiri dari pengertian

pekerja/buruh dan pengertian pengusaha. Selanjutnya diuraikan

mengenai tinjauan tentang kecelakaan kerja yang isinya mengulas

tentang kualifikasi kecelakaan kerja. Kemudian diuraikan

mengenai tinjauan perlindungan pekerja/buruh yang uraiannya

meliputi pengertian perlindungan hukum bagi pekerja/buruh,

tujuan perlindungan terhadap pekerja, dan jaminan sosial bagi

pekerja. Selanjutnya mengulas tinjauan tentang perselisihan

hubungan industrial yang uraiannya meliputi pengertian

perselisihan hubungan industrial dan ruang lingkup perselisihan

hubungan industrial. Dan yang terakhir tinjauan mengenai

penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang uraiannya

terdiri dari penyelesaian di luar Pengadilan (Non Litigasi) meliputi


10

perundingan bipartit, mediasi hubungan industrial, konsiliasi

hubungan industrial, arbitrase hubungan industrial dan

penyelesaian melalui pengadilan (litigasi) meliputi pengadilan

hubungan industrial.

BAB III : Metode penelitian

Terdiri dari metode pendekatan, spesifikasi penelitian, metode

pengumpulan data, dan metode analisis data.

BAB IV : Hasil penelitian dan pembahasan

Meliputi dasar pertimbangan hakim dalam Putusan Pengadilan

Hubungan Industrial No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg dan

akibat hukum dari Putusan Pengadilan Hubungan Industrial

No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg terhadap Penggugat dan

Tergugat.

BAB V : Penutup

Berisi tentang simpulan dari hasil penelitian serta saran bagi pihak

terkait.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Tenaga Kerja/Pekerja/Buruh, Pengusaha.

1. Pengertian Tenaga kerja/Pekerja/Buruh

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1

angka 2 memberikan pengertian bahwa tenaga kerja adalah setiap orang

yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/ata jasa

baik kebutuhan sendiri atau untuk masyarakat. Selanjutnya pada Pasal 1

angka 3 disebutkan pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan

menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.

Beberapa para ahli mengemukakan pendapat mengenai pengertian

tenaga kerja yaitu Eeng Ahman & Epi Indriani mengemukakan

bahwa tenaga kerja adalah seluruh jumlah penduduk yang dianggap dapat

bekerja dan sanggup bekerja jika ada permintaan kerja. Alam. S yang

menyatakan bahwa tenaga kerja adalah penduduk yang berusia 15 tahun

keatas untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sedangkan di

negara-negara maju, tenaga kerja adalah penduduk yang berumur antara

15 hingga 64 tahun. Kemudian Suparmoko & Icuk Ranggabawono

berpendapat bahwa tenaga kerja adalah penduduk yang telah memasuki

usia kerja dan memiliki pekerjaan, yang sedang mencari pekerjaan, dan

yang melakukan kegiatan lain seperti sekolah, kuliah dan mengurus rumah

tangga. Lalu yang terakhir yang mengemukakan mengenai tenaga kerja

yaitu Sjamsul Arifin, Dian Ediana Rae, Charles, Joseph menyatakan

11
12

bahwa tenaga kerja adalah merupakan faktor produksi yang bersifat

homogen dalam suatu negara, namun bersifat heterogen (tidak identik)

antar negara.5

2. Pengertian Pengusaha

Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

13 Tahun 2003 yang dimaksud dengan pengusaha adalah :

a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;

b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara

berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;

c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di

Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a

dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.

Sedangkan pengertian perusahaan menurut Pasal 1 angka 6 adalah :

a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang

perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik

swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh

dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;

b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus

dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan

dalam bentuk lain.

5
Sugi Arto, “Pengetian Buruh”. (Online),
(http://artonang.blogspot.co.id/2014/12/pengertian-buruh.html, diakses, 29 Desember 2017)
13

Menurut Profesor Abdul Kadir Muhammad, SH, pengusaha adalah

orang yang menjalankan perusahaan atau menyuruh menjalankan

perusahaan. Menjalankan perusahaan artinya mengelola sendiri

perusahaannya, baik dengan sendiri maupun dengan bantuan pekerja.6

B. Tinjauan tentang Perlindungan Hukum Tenaga Kerja

Perlindungan pekerja dapat dilakukan, baik dengan jalan

memberikan tuntunan maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak

asasi manusia, perlindungan fisik dan teknis serta sosial dan ekonomi melalui

norma yang berlaku dalam lingkungan kerja itu. Dengan demikian maka

perlindungan pekerja ini mencakup : 7

1. Norma Keselamatan Kerja : yang meliputi keselamatan kerja yang

bertalian dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja bahan dan proses

pengerjaannya, keadaan tempat kerja dan lingkungan serta cara-cara

melakukan pekerjaan;

2. Norma Kesehatan dan Higiene Kesehatan Perusahaan yang meliputi :

pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan pekerja, dilakukan

dengan mengatur pemberian obat-obatan, perawatan tenaga kerja yang

sakit, mengatur persediaan tempat, cara dan syarat kerja yang memenuhi

hiegiene kesehatan dan kesehatan pekerja untuk mencegah penyakit, baik

sebagai akibat bekerja atau penyakit umum serta menetapkan syarat

perumahan pekerja;

6
Rocky Marbun, Jangan Mau Di-PHK Begitu Saja (Jakarta : Visimedia, 2010), halaman
16
7
Zainal Asikin, dkk., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan (Jakarta : Rajagrafindo Persada,
2012), halaman 96
14

3. Norma kerja yang meliputi : perlindungan terhadap tenaga kerja yang

bertalian dengan waktu bekerja, sistem pengupahan, istirahat, cuti, kerja

wanita, anak, kesusilaan ibadah menurut agama keyakinan masing-masing

yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial kemasyarakatan dan

sebagainya guna memelihara kegairahan dan moril kerja yang menjamin

daya guna yang tinggi serta menjaga perlakuan yang sesuai dengan

martabat manusia dan moral;

4. Kepada tenaga kerja yang mendapat kecelakaan dan/atau menderita

penyakit kuman akibat pekerjaan, berhak atas ganti rugi perawatan dan

rehabilitasi akibat kecelakaan dan atau penyakit akibat pekerjaan, ahli

warisnya berhak mendapat ganti kerugian.

Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Soepomo membagi perlindungan

pekerja ini menjadi 3 macam yaitu: 8

1. Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan

dengan usaha-usaha untuk memberikan kepada pekerja suatu penghasilan

yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari baginya beserta keluarganya,

termasuk dalam hal pekerja tersebut tidak mampu bekerja karena sesuatu

diluar kehendaknya. Perlindungan ini disebut dengan jaminan sosial;

2. Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan

usaha kemasyarakatan, yang tujuannya memungkinkan pekerja itu

mengenyam dan memperkembangkan kehidupannya sebagai manusia pada

8
Ibid, halaman 97
15

umumnya, dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga; atau

yang biasa disebut : kesehatan kerja;

3. Perlindungan teknis, yaitu suatu jenis perindungan yang berkaitan dengan

usaha-usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya kecelakaan yang dapat

ditimbulkan oleh pesawat-pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan

yang diolah atau dikerjakan perusahaan. Perlindungan jenis ini disebut

dengan keselamatan kerja.

C. Tinjauan tentang Kecelakaan Kerja

Kecelakaan adalah kejadian yang tak terduga dan tidak diharapkan

terjadi. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang berhubungan dengan

hubungan kerja pada suatu perusahaan.9

Kecelakaan kerja maupun penyakit akibat kerja merupakan risiko yang

dihadapi oleh tenaga kerja yang melakukan pekerjaan, karena pada umumnya

kecelakaan bisa jadi akan mengakibatkan : 10

1. Kematian, yaitu kecelakaan-kecelakaan yang mengakibatkan penderitanya

bisa meninggal dunia;

2. Cacat atau tidak berfungsinya sebagian dari anggota tubuh tenaga kerja

yang menderita kecelakaan. Cacat ini terdiri dari :

a. Cacat tetap, yaitu kecelakaan-kecelakaan yang mengakibatkan

penderitanya mengalami pembatasan atau gangguan fisik atau mental

yang bersifat tetap;

9
Zaeni Asyhadie, Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja Di Indonesia
(Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2013), halaman 127
10
Ibid., halaman 125
16

b. Cacat sementara, yaitu kecelakan yang mengakibatkan penderitanya

menjadi tidak mampu bekerja untuk sementara waktu.

Tidak semua jenis kecelakaan dapat dikategorikan sebagai kecelakaan

kerja, ada beberapa jenis kecelakaan yang awalnya tidak dikategorikan

sebagai kecelakaan kerja namun karena perkembangan teknologi. Jenis

kecelakaan kerja dapat digolongkan menjadi tiga kategori yaitu : 11

1. Golongan pertama, yang mengartikan kecelakaan kerja secara sempit,

yaitu golongan yang hanya meliputi kecelakaan kerja yang terjadi di

perusahaan saja;

2. Golongan kedua, yang mengartikan kecelakaan kerja yang bukan hanya

terjadi di perusahaan saja, tetapi juga penyakit yang timbul karena

hubungan kerja di perusahaan tempat bekerja;

3. Golongan ketiga, yang mengartikan kecelakaan kerja yang meliputi

golongan pertama dan golongan kedua ditambah kecelakaan (lalu lintas)

yang terjadi pada saat pulang dan pergi ke tempat kerja, dengan melalui

rute yang biasa dilalui.

D. Jaminan Sosial Bagi Pekerja

Pengertian mengenai jaminan sosial tenaga kerja disebutkan dalam

Pasal 1 angka 1 Undang-undang nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial

Tenaga Kerja yaitu suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk

santunan berupa uang sebagai pengganti sebagian penghasilan yang hilang

atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat peristiwa atau keadaan yang

11
Ibid., halaman 131
17

dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari

tua, dan meninggal dunia.

Penyelenggaraan program Jaminan Sosial terhadap tenaga kerja oleh

PT JAMSOSTEK merupakan salah satu bentuk tanggung jawab dan

kewajiban negara untuk memberikan perlindungan sosial, ekonomi kepada

masyarakat, sesuai dengan kondisi kemampuan keuangan negara. Indonesia

mengembangkan program jaminan sosial berdasarkan funded social security

yaitu jaminan sosial yang didanai oleh peserta dan masih terbatas pada

masyarakat pekerja formal.12

Pada Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia nomor 3

tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja untuk selanjutnya akan

disebut UU Jamsostek menyebutkan bahwa ruang lingkup program Jaminan

Sosial tenaga kerja dalam Undang-undang ini meliputi :

a. Jaminan Kecelakaan Kerja;

b. Jaminan Kematian;

c. Jaminan Hari Tua;

d. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.

Adapun penjelasan dari program jaminan sosial tersebut yaitu :

pertama, Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yaitu jaminan yang diperoleh

pekerja untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilan

pekerja yang diakibatkan oleh kematian atau cacat karena mengalami

12
Widhi W. Karni, “Sejarah Berdirinya PT Jamsostek (Persero)”. (Online)
(http://bbsnews.co.id/sejarah-berdirinya-pt-jamsostek-persero/, diakses tanggal 20 Juni 2018),
2018
18

kecelakaan kerja atau mendapatkan penyakit akibat kerja. Kemudian yang

kedua, Jaminan Kematian (JK) yaitu Jaminan yang diberikan kepada pekerja

yang mengalami kematian yang bukan diakibatkan karena kecelakaan kerja

karena setelah meninggalnya pekerja tersebut akan berpengaruh terhadap

kehidupan sosial ekonomi bagi keluarga yang ditinggalkan. Ketiga, Jaminan

Hari Tua (JHT) yaitu jaminan yang memberikan kepastian penerimaan yang

dibayarkan sekali atau berkala pada asat usia pekerja lima puluh lima (55)

tahun dikarenakan pada saat usia tua seseorang sudah tidak lagi mampu

bekerja dan akibatnya upah pekerja tersebut putus yang menimbulkan

kerisauan bagi pekrja yang memiliki penghasilan rendah. Terakhir yang

keempat, Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) yaitu jaminan yang

diberikan kepada tenaga kerja beserta keluarganya dengan maksud

mengupayakan kesehatan atau penyembuhan terhadap pekerja agar

meningkatkan produktivitas tenaga kerja sehingga dapat menjalankan tugas

dengan sebaik-baiknya.

Cakupan jaminan kecelakaan kerja (JKK) yang tercantum dalam UU

Jamsostek Pasal 9 meliputi : biaya pengangkutan, biaya pemeriksaan,

pengobatan dan/atau perawatan, biaya rehabilitasi, serta santunan berupa uang

bagi pekerja yang tidak mampu bekerja, cacat sebagian maupun cacat total

serta santunan kematian.


19

E. Tinjauan Tentang Perselisihan Hubungan Industrial

1. Peselisihan hubungan Industrial

Menurut Pasal 1 angka 1 UU PPHI, perselisihan hubungan

industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan

antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja atau serikat

pekerja karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan

kepentingan, perselisihan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat

pekerja dalam satu perusahaan.

Dalam perumusan Undang-Undang nomor 22 tahun 2004 tentang

Perselisihan Hubungan Industrial, dari berbagai tipe, bentuk dan latar

belakang perselisihan yang terjadi di lingkungan kerja, pengertian

perselisihan hubungan industrial dikelompokkan perselisihan tersebut

dalam empat (4) jenis, yaitu :

a. Perselisihan Hak

Perselisihan yang timbul karena tidak terpenuhinya hak, akibat

adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan

peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan,

atau perjanjian kerja bersama. Contohnya adalah kekurangan upah

lembur dari kelebihan jam kerja, pembayaran upah lebih rendah dari

UMP atau tentang asuransi kerja dan keselamatan kerja.

b. Perselisihan Kepentingan

Perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak

adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan


20

syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau

peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Contohnya adalah

perundingan PKB, tuntutan pemberian tunjangan jabatan, tunjangan

cuti dan lain-lainnya yang belum ada pengaturannya.

c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja

Perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian

pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh

salah satu pihak. Contohnya adalah Pemutusan Hubungan Kerja

karena pekerja melanggar perjanjian kerja.

d. Perselisihan Antar Serikat Buruh/Serikat Pekerja

Perselisihan antara serikat pekerja/ serikat buruh lainnya hanya

dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham

mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatan

pekerjaan. Contohnya adalah siapa yang berhak merundingkan PKB.

2. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

a. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial di Luar pengadilan

(Non Litigasi)

1) Perundingan Bipartit

Bipartit adalah perundingan antara pekerja atau serikat pekerja

dengan pemberi kerja untuk menyelesaikan perselisihan hubungan

industrial. Undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan

industrial mengharuskan setiap perselisihan hubungan industrial


21

diselesaikan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk

mufakat terlebih dahulu.13

Perundingan bipartit harus selesai dalam waktu 30 hari sejak

perundingan dimulai, apabila perundingan tidak selesai dalam waktu

30 hari maka perundingan tersebut dianggap gagal. Dalam suatu

perundingan bipartit, harus dibuat risalah yang memuat ringkasan

umum perundingan. Risalah ini harus ditandatangi oleh kedua belah

pihak. Bila dalam perundingan bipartit kedua belah pihak mencapai

kesepakatan (mufakat), maka dibuatlah perjanjian bersama yang

ditandatangani oleh kedua belah pihak. Perjanjian bersama ini menjadi

hukum yang mengikat yang harus dilaksanakan oleh para pihak.

Perjanjian bersama ini harus didaftarkan ke Pengadilan Hubungan

Industrial (PHI) pada Pengadilan Negeri tempat perundingan

dilaksanakan. Apabila perjanjian bersama tersebut tidak dilaksanakan

oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan

permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada

Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk

mendapat penetapan eksekusi.

2) Mediasi

Penyelesaian melalui mediasi dilakukan melalui seorang

penengah yang disebut mediator. Undang-undang penyelesaian

perselisihan hubungan industrial menyebutkan bahwa mediasi adalah

13
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Pasal 3
22

penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan

pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui

musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang

netral.14

Mediator haruslah seorang pegawai instansi pemerintah yang

bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-

syarat sebagai mediator. 15 Mediator berada di setiap kantor instansi

yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.

Mediator ditetapkan oleh menteri dan memiliki kewajiban memberikan

anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan

perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh

dalam satu perusahaan.

Dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah

menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan, mediator harus sudah

mengadakan penelitian tentang duduknya perkara dan segera

mengadakan sidang mediasi, dan tugas tersebut harus sudah

diselesaikan dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari

kerja terhitung sejak menerima pelimpahan penyelesaian perselisihan.

14
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 11
15
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 12
23

3) Konsiliasi

Beralihnya proses perundingan bipartit ke proses konsiliasi

melalui proses penawaran cara perdamaian oleh instansi bidang

ketenagakerjaan, setelah para pihak menyerahkan hasil dari

perundingan bipartit yang tidak mencapai kata sepakat, tetapi belum


16
melewati batas jangka waktu. Penyelesaian melalui konsiliasi

dilakukan melalui seorang atau beberapa orang atau badan sebagai

penengah yang disebut konsiliator, dengan mempertemukan atau

memberi fasilitas kepada pihak-pihak yang berselisih untuk

menyelesaikan perselisihannya secara damai. Dalam undang-undang

penyelesaian perselisihan hubungan industrial, konsiliasi didefinisikan

sebagai penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan

hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh

hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh

seorang atau lebih konsiliator yang netral.17

Konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-

syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh menteri. Konsiliator bertugas

melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada

para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan

kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan

antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.18

16
Rocky, op.cit., halaman 148
17
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 13
18
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 14
24

Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh

konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang bertanggungjawab

di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dan yang wilayah kerjanya

meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Dalam waktu selambat-

lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah menerima permintaan

penyelesaian perselisihan secara tertulis, konsiliator harus sudah

mengadakan penelitian tentang duduk perkara dan selambat lambatnya

pada hari kerja kedelapan harus sudah dilakukan sidang konsiliasi

pertama dan kemudian konsiliator sudah harus menyelesaikan

tugasnya dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja

terhitung sejak menerima permintaan penyelesaian perselisihan.

4) Arbitrase

Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan

berdasarkan kesepakatan para pihak yang dilakukan oleh pihak ketiga

yang disebut arbiter dan para pihak menyatakan akan menaati putusan

yang diambil oleh arbiter. Dalam undang-undang penyelesaian

perselisihan hubungan industrial, arbitrase adalah penyelesaian suatu

perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat

buruhnya dalam satu perusahaan, di luar pengadilan hubungan

industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih

untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang

putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.19

19
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 15
25

Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak

yang berselisih dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh menteri untuk

memberikan putusan mengenai perselisihan kepentingan, dan

perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan

yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya

mengikat para pihak dan bersifat final.20

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase

meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Penyelesaian

perselisihan hubungan industrial melalui arbiter dilakukan atas dasar

kesepakatan para pihak yang berselisih. Kesepakatan para pihak yang

berselisih dinyatakan secara tertulis dalam surat perjanjian arbitrase.

Bila tak terjadi kesepakatan, maka diambil sidang arbitrase untuk

menghasilkan putusan arbitrase. Terhadap putusan arbitrase, ada

jangka waktu 30 hari bagi para pihak untuk mengajukan permohonan

pembatalan putusan kepada Mahkamah Agung.

b. Penyelesaian Peselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan

Hubungan Industrial (Litigasi)

Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang

dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa,

mengadili dan memberi putusan terhadap perselisihan hubungan

20
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2004 Pasal 1 angka 16.
26

industrial.21 Kewenangan mutlak atau kompetensi absolut dari pengadilan

hubungan industrial disebutkan dalam Pasal 56 undang-undang

penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yakni pengadilan hubungan

industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:

1) Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak.

2) Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan.

3) Di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja.

4) Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat

pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Perselisihan

Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada

Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, sesuai dengan ketentuan

Pasal 57 UU PPHI yaitu : “Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan

Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata yang berlaku pada

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara

khusus dalam undang-undang ini.” Hukum acara juga disebut sebagai

hukum formil. Untuk mengetahui apakah itu hukum acara, maka terlebih

dahulu harus diketahui bahwa hukum itu secara umum di bagi 2 (dua),

yaitu hukum materiil dan hukum formil (acara).

Hukum materiil adalah keseluruhan aturan-aturan hukum yang

mengatur apa-apa saja yang menjadi atau merupakan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban seseorang. Semisal Undang-Undang RI No.13

21
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2004 Pasal 55
27

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Siapa saja yang melanggar

ketentuan hukum materiil akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur di

undang-undang yang bersangkutan. Atau setiap orang yang haknya

dilanggar oleh orang lain, berhak untuk menuntut haknya tersebut.

sedangkan hukum formil (acara) adalah keseluruhan aturan-aturan hukum

yang mengatur bagaimana menegakkan, mempertahankan hak-hak dan

kewajiban.22

Dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-

pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya, termasuk biaya eksekusi

yang nilai gugatannya di bawah Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh

juta rupiah).23Sedangkan susunan hakim Pengadilan Hubungan Industrial

pada Pengadilan Negeri adalah 2 hakim ad hoc yang namanya diusulkan

oleh serikat pekerja dan organisasi pengusaha, serta 1 hakim karier. 24

Penyelesaian perkara di Pengadilan Hubungan Industrial dibatasi masanya

oleh undang-undang penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Berdasarkan UU PPHI Pasal 103, dinyatakan bahwa hakim harus

memberikan putusan paling lama 50 hari sejak hari pertama sidang.

22
Ugo, dan Pujiyo.” Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Tata
cara dan Proses Penyelesaian Perselisihan Perburuhan”. (Jakarta:Sinar Grafika), halaman.5
23
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2004 Pasal 58
24
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 2004 Pasal 60 angka 1
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian

hukum yang dilakukan dengan cara meneliti atau mempelajari masalah dilihat

dari segi aturan hukumnya, meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Penulis

menggunakan metode yuridis normatif dalam penelitian ini menganalisis

Putusan No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg tentang pemutusan hubungan

kerja karena kecelakaan kerja.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analitis, yaitu menggambarkan peraturan perundangan yang berlaku

dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif,25

yang menyangkut perumusan masalah yang diteliti. Deskriptif disini

dimaksudkan untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan

menyeluruh mengenai segala hal yang berkaitan dengan Putusan

No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg tentang pemutusan hubungan kerja

karena kecelakaan kerja. Sedangkan analitis disini mengandung makna

mengelompokkan, menghubungkan, menjelaskan dan memberi makna pada

pokok permasalahan yang akan dianalisis sehingga dapat memberikan

gambaran yang jelas terhadap permasalahan dasar pertimbangan hakim dan

25
Moch Nazir.” Metode Penelitian”.(Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008), halaman 84.

28
29

akibat hukum dari putusan No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg tentang

pemutusan hubungan kerja karena kecelakaan kerja.

C. Metode Pengumpulan Data

Sebelum menentukan metode pengumpulan data dalam suatu proses

penelitian, maka haruslah terlebih dahulu mengetahui jenis data yang

digunakan dalam proses penelitian tersebut. Mengingat penelitian termasuk

dalam penelitian hukum normatif, maka jenis data yang digunakan adalah data

sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak secara langsung dari

sumber pertamanya, melainkan bersumber dari data-data yang sudah

terdokumentasi dalam bentuk bahan-bahan hukum.26 Data sekunder di bidang

hukum (dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya) dapat dibedakan

menjadi:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang terdiri dari norma

dasar, serta peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek

penelitian, yaitu:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1992 tentang

Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

c. Undang -Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 tentang

Serikat Pekerja / Serikat Buruh.

d. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

26
Ibid., halaman 119.
30

e. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

f. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang erat hubungannya

dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan

memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan

dalam penelitian ini adalah buku, jurnal, hasil-hasil karya ilmiah para ahli

yang terkait dengan dasar pertimbangan hakim dan akibat hukum dari

putusan No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg tentang pemutusan hubungan

kerja karena kecelakaan kerja.

Data sekunder sebagaimana dimaksud di atas diperoleh dengan

cara sebagai berikut:

1) Studi kepustakaan (library research)

Studi kepustakaan (library research) adalah teknik pengumpulan data

dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, literatur-

literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya

dengan masalah yang dipecahkan.27

2) Studi dokumentasi.

Studi dokumentasi yang dilaksanakan merupakan upaya memperoleh

bahan-bahan langsung berupa dokumen yaitu Putusan No.20/Pdt.Sus-

27
Moch Nazir, op.cit., halaman 111.
31

PHI/G/2014/PN.Smg yang dipeoleh dari Pengadilan Hubungan

Industrial Semarang.

D. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode analisis-kualitatif, yaitu analisis yang sifatnya non-statistik atau non-

matematis. Data yang ada baik yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan,

dan studi dokumentasi, secara yuridis akan dipaparkan dan dianalisis dengan

berlandaskan pada peraturan yang berlaku.28 sehingga dari sini akan diperoleh

simpulan yang benar dan objektif tentang perlindungan hukum pekerja/buruh

yang mengalami kecelakaan kerja.

28
Heribertus Sutopo, Pengantar Penelitian Kualitatif, (Surakarta: Puslitbang UNS, 2008),
halaman 8.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan No.20/Pdt.Sus-

PHI/G/2014/PN.Smg tentang Pemutusan Hubungan Kerja Karena

Kecelakaan Kerja.

1. Pihak yang Berperkara

a. Penggugat

Penggugat dalam kasus ini bernama Jumadi, berkewarganegaraan

Indonesia yang bertempat tinggal di alamat Pondok Raden Patah LL.

No. 14 Sayung-Demak. Penggugat adalah karyawan PT. SC

Interprice Semarang. Dalam hal ini Penggugat diwakili Kuasa

Hukumnya yaitu Isranto, S.H. dan Suwondo, S.H. yang semuanya

adalah Advokad pada kantor “Advokad/pengacara Isranto & Rekan”

yang beralamat di Kembang Jeruk II No 54 Semarang, berdasarkan

Surat Kuasa Khusus tertanggal 27 Agustus 2014.

b. Tergugat

Tergugat adalah Perusahaan tempat Penggugat Bekerja yaitu PT. SC.

Interprice yang beralamat di jalan Muktiharjo Km. 3 Kaligawe, Kota

Semarang.

2. Posisi Kasus

Pada tanggal 22 Juli 2014 Penggugat telah mengajukan gugatan

di Kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan

Negeri Semarang dengan Nomor Register Perkara No. 20/Pdt.Sus-

32
33

PHI/G/2014/PN.Smg dan surat gugatan tersebut telah dilakukan

perbaikan atau penambahan gugatan pada tanggal 23 September 2014.

Kronologis peristiwanya diawali dari Penggugat menjadi karyawan

Tergugat sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2014 yang menerima

gaji terakhir sebesar Rp 1.079.000,- (satu juta tujuh puluh Sembilan ribu

rupiah) per bulan (dibawah ketentuan UMK Semarang). Penggugat

bekerja di bagian maintenance dan selama ini hubungan antara

Penggugat dengan Tergugat sangat baik dan Penggugat belum pernah

melakukan kesalahan apapun.

Selanjutnya pada tanggal 17 September 2008 Penggugat

mengalami kecelakaan lalu lintas sepulang dari kerja. Kecelakaan ini

dikategorikan sebagai kecelakaan dalam hubungan kerja. Dalam

kecelakaan tersebut mengakibatkan Penggugat mengalami cacat buta

permanen sehingga penggugat tidak bisa menjalankan tugasnya dengan

baik. Hingga akhirnya pada tahun 2012 Penggugat mengajukan

permohonan kepada Tergugat untuk diputus hubungan kerjanya dengan

hak pesangon, karena menyadari bahwa Penggugat tidak bisa melihat

dan bekerja dengan baik. Tetapi Tergugat tetap mempertahankan

Penggugat untuk tetap bekerja dan akan memberikan gaji kepada

Penggugat tiap bulan seperti biasa. Sampai pada bulan Oktober 2013

secara tiba-tiba Tergugat tidak lagi memberikan gaji kepada Penggugat.

Tergugat beralasan bahwa gaji yang diterima oleh Penggugat selama ini
34

adalah cicilan pesangon, sehingga Penggugat menjadi panik karena

harus menghidupi keluarganya.

Pada tanggal 26 Februari 2014 Penggugat melaporkan Tergugat

ke Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang. Kemudian

pada tanggal 18 Maret 2014 Mediator mengeluarkan anjuran No.

567/1067/2014 agar dalam pemutusan hubungan kerja, perusahaan PT.

SC. Interprice memberikan uang pesangon, uang penghargaan masa

kerja dan penggantian hak kepada pihak pekerja Sdr. Jumadi sebagai

Penggugat sekurang-kurangnya Rp 42.562.650,- (empat puluh dua juta

lima ratus enam puluh dua ribu enam ratus lima puluh rupiah) yang

rinciannya sebagai berikut :

a. Uang pesangon : 2 × 9 × Rp 1.423.500,- = Rp 25.623.000,-

b. Uang PMK : 2 × 4 × Rp 1.423.500,- = Rp 11.388.000,-

c. Uang perum pengobatan : 15% × (UP+UMPK)= Rp 5.551.650,-

= Rp 42.562.650,-

Anjuran dari Mediator Disnakertrans tersebut, oleh Tergugat

ditolak sehingga perkara ini dilimpahkan Penggugat ke Pengadilan

Perselisihan Hubungan Industrial Kota Semarang. Penggugat dalam

gugatannya menyebutkan bahwa menurut ketentuan UU

Ketenagakerjaan pada Pasal 90 ayat (1) yang menyatakan bahwa

“Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari Upah minimum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89”.


35

Penggugat menerima upah terakhir pada bulan Oktober 2013 sebesar Rp

1.079.000,- (satu juta tujuh puluh sembilan ribu rupiah), sedangkan

UMK Kota Semarang tahun 2013 sebesar Rp 1.209.100,- (satu juta dua

ratus sembilan ribu seratus rupiah), sehingga ada kekurangan upah

sebesar Rp 130.000,- (seratus tiga puluh ribu rupiah) selama 10 bulan

sehingga total kekurangan menjadi sebesar Rp 1.300.000,- (satu juta tiga

ratus ribu rupiah) dan Penggugat masih berhak atas upah sejak bulan

Nopember 2013 sampai dengan masalah ini diajukan ke Pengadilan

Hubungan Industrial yaitu bulan Juli 2014 sebesar Rp 12.382.700,- (dua

belas juta tiga ratus delapan puluh dua ribu tujuh ratus rupiah) dengan

rincian sebagai berikut :

Tahun 2013 = 2 bulan × Rp 1.209.100,- = Rp 2.418.200,-

(sebesar UMK Kota Semarang tahun 2013)

Tahun 2014 = 7 bulan × Rp 1.423.500,- = Rp 9.964.500,-

(sebesar UMK Kota Semarang tahun 2014)

Jumlah = Rp 12.382.700,-

3. Petitum

Berdasarkan duduk perkara yang telah diuraikan tersebut, maka

Penggugat dalam petitum gugatannya mengajukan beberapa permohonan

untuk menjatuhkan putusan diantaranya yaitu

a. Menerima dan mengabulkan gugatan Penggugat secara keseluruhan.

b. Membayar uang pesangon dan lain-lain kepada Penggugat secara

kontan, sebagai berikut :


36

Uang pesangon : 2 × 9 × Rp 1.423.500,- = Rp 25.623.000,-

Uang PMK : 2 × 4 × Rp 1.423.500,- = Rp 11.388.000,-

Uang perum pengobatan : 15% × (UP+UMPK) = Rp 5.551.650,-

= Rp 42.562.650,-

(empat puluh dua juta lima ratus enam puluh dua ribu enam ratus

lima puluh rupiah)

c. Menghukum Tergugat untuk membayar kekurangan upah bulan

Januari sampai dengan Oktober 2013 sebesar Rp 130.000,- selama

10 bulan = Rp 130.000,- × 10 bulan = Rp 1.300.000,- (satu juta tiga

ratus ribu rupiah)

d. Menghukum tergugat untuk membayar kekurangan upah bulan

Nopember 2013 sampai dengan bulan Juli 2014 sebesar :

Tahun 2013 = 2 bulan × Rp 1.209.100,- = Rp 2.418.200,-

Tahun 2014 = 7 bulan × Rp 1.423.500,- = Rp 9.964.500,-

Jumlah = Rp 12.382.700,-

(dua belas juta tiga ratus delapan puluh dua ribu tujuh ratus rupiah)

e. Menghukum Tergugat untuk membayar upah kepada Penggugat

sejak bulan Agustus 2014 sampai ada putusan yang mempunyai

kekuatan hukum tetap.

f. Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih

dahulu meskipun ada upaya hukum lain (kasasi).

g. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang timbul.


37

4. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Putusan No.20/Pdt.Sus-

PHI/G/2014/PN.Smg.

Hakim dalam memutus perkara, tentu mempunyai pertimbangan

yang didasarkan pada bukti-bukti yang ada pada pemeriksaan

persidangan yang telah dilaksanakan. Hakim memutus perkara menurut

keyakinan dan pengetahuan yang dimiliki didukung minimal 2 (dua) alat

bukti. Adapun dasar pertimbangan hakim dalam Putusan No.20/Pdt.Sus-

PHI/G/2014/PN.Smg tentang pemutusan hubungan kerja akibat

kecelakaan kerja, dapat diuraikan selanjutnya.

Pertimbangan tersebut diantaranya adalah dalil-dalil Penggugat

yang menyatakan bahwa Penggugat adalah karyawan Tergugat dibagian

maintenance sejak tahun 1999, yang kemudian mengalami kecelakaan

lalu lintas saat pulang kerja yang mengakibatkan cacat buta permanen

dan tidak bisa melakukan pekerjaannya dengan baik sejak tanggal 17

September 2008. Kemudian pada akhir tahun 2012, Penggugat

mengajukan permohonan kepada Tergugat untuk diputus hubungan

kerjanya dengan hak pesangon, tetapi Tergugat tidak mengijinkan dan

tetap mempertahankan Penggugat dan akan tetap memberikan gaji tiap

bulan seperti biasa. Kemudian Penggugat melaporkan permasalahan ke

Disnakertrans Kota Semarang dan selanjutnya memperoleh anjuran agar

Tergugat dalam perkara PHK ini memberikan uang pesangon, uang masa

kerja, uang penggantian hak, yang berjumlah total Rp 42.562.650,- dan

Upah pekerja sejak bulan Oktober 2013 sampai sekarang dibayar sesuai
38

Pasal 93 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Penggugat menerima upah

terakhir pada bulan Oktober tahun 2013 yaitu sebesar Rp 1.079.000,-

(satu juta tujuh puluh sebilan ribu rupiah) per bulan atau dibawah Upah

Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang pada saat tahun 2013 UMK

Kota Semarang sebesar Rp 1.209.100,- (satu juta dua ratus sembilan ribu

seratus rupiah). Sehingga ada kekurangan upah sebesar Rp 130.000,-

(seratus tiga puluh ribu rupiah) selama 10 bulan totalnya menjadi Rp

1.300.000,- (satu juta tiga ratus rupiah).

Atas dalil pokok gugatan tersebut, Tergugat telah membantahnya

dengan menyatakan bahwa setelah Penggugat mengalami kecelakaan

lalu lintas selanjutnya tidak bisa bekerja lagi dan karena saat itu ada

kesepakatan lisan yang berdasarkan permintaan Penggugat yang bersedia

menerima pesangon dengan cara diangsur tiap bulannya, dan angsuran

dimulai sejak Oktober 2008 hingga Oktober 2013, yang mana untuk tiap

bulannya angsuran pesangon tersebut sejumlah Rp 1.423.500,- (satu juta

empat ratus dua puluh tiga ribu lima ratus rupiah), dan Tergugat menolak

anjuran dari Mediator karena Penggugat telah menerima pembayaran

pesangon yang diangsur oleh tergugat mulai Oktober 2008 hingga bulan

Oktober 2013 sejumlah Rp 85.410.000,- (delapan puluh lima juta empat

ratus sepuluh ribu rupiah).

Dengan adanya bantahan Tergugat atas dalil pokok Penggugat

tersebut, maka beban pembuktian ada pada Penggugat yang artinya

kewajiban Penggugat untuk membuktikan kebenaran dalil-dalil


39

gugatannya, sebaliknya pihak Tergugat dapat mengajukan bukti lawan

untuk memperkuat dan mengukuhkan dalil-dalil bantahannya.

Selanjutnya terhadap perselisihan PHK sebagaimana disebut di atas,

maka Majelis Hakim akan memberikan pertimbangan-pertimbangan

berdasarkan bukti-bukti surat dan saksi yang telah diajukan, dan hanya

bukti-bukti surat yang telah diajukan dan hanya bukti-bukti yang

mempunyai relevansi dengan perkara yang akan dipertimbangkan.

Berdasarkan bukti surat P-1 yaitu berupa anjuran dari Dinas

Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang dimaksudkan untuk

memperkuat Posita Gugatan angka 7 yaitu : Dinas menganjurkan Pihak

PT. SC Interprice (Tergugat) untuk memberikan uang pesangon,

penghargaan masa kerja dan penggantian hak kepada pihak Penggugat

sebesar Rp 42.562.650,-. Sedangkan bukti P-2 berupa slip gaji dibulan

September 2013 atas nama Penggugat dengan jabatan maintenance,

menunjukkan Penggugat benar-benar menerima Gaji sebagai karyawan

dari Tergugat dan membuktikan Penggugat adalah karyawan dari

Tergugat.

Selanjutnya bukti surat P-3 yaitu diskripsi transaksi bank atas

nama Jumadi (Penggugat) dimana membuktikan adanya dana masuk ke

rekening Penggugat yang bertanda payroll/salary pada bulan Januari

2013 s/d September 2013.

Hakim juga mempertimbangkan berdasarkan Pasal 93 ayat (3) jo

Pasal 172 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 di mana Tergugat


40

wajib membayar upah selama 1 tahun, dan setelah waktu itu pekerja

dapat mengajukan Pemutusan Hubungan Kerja. Dikarenakan Tergugat

mengalami kecelakaan lalu lintas sepulang dari kerja yang berakibat

cacat buta permanen, sehingga tidak bisa menjalankan tugasnya dengan

baik. Di mana kondisi yang demikian menempatkan penggugat dalam

kondisi sakit yang tidak dapat melakukan pekerjaan. Maka satu tahun

sejak terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan cacat tetap penggugat

untuk dapat menggunakan haknya untuk mengajukan Pemutusan

Hubungan Kerja.

Pertimbangan hakim selanjutnya berdasarkan posita gugatan

angka (6) pada bulan Oktober 2013 secara tiba-tiba Tergugat tidak

membayarkan upahnya lagi kepada Penggugat dengan alasan selama ini

gaji yang diterima adalah cicilan pesangon, dengan fakta ini berarti sejak

September 2008 sampai dengan Oktober 2013 telah membayar secara

rutin gaji Penggugat meskipun terbukti Penggugat tidak melakukan

pekerjaan karena sakit permanen. Hal demikian diperkuat keterangan

saksi-saksi Penggugat bahwa sejak kecelakaan lalu lintas sepulang kerja

Penggugat tidak bekerja tetapi masih mendapat upah/gaji.

Sesuai ketentuan Pasal 172 UU Ketenagakerjaan, maka satu

tahun sejak terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan cacat tetap

Penggugat, yaitu sekitar September 2009 Penggugat dapat menggunakan

haknya untuk mengajukan pemutusan hubungan kerja dan dalam perkara

a-quo sebagaimana diterangkan para saksi bahwa Penggugat setelah satu


41

tahun sakit permanen tersebut berusaha menemui Direktur perusahaan

yaitu Bapak Stevano menanyakan statusnya, yang pada pokonya dijawab

Penggugat diminta pulang atau disuruh pulang di rumah saja nanti setiap

bulan dapat gaji.

Berdasarkan fakta sampai dengan bulan Oktober 2013 Penggugat

masih menerima upah dari Tergugat. Hal ini menunjukkan antara

Penggugat dan Tergugat masih ada hubungan kerja. Saksi pihak

Tergugat menyatakan dalam kesaksiannya, pihak Tergugat telah

membayar pesangon secara angsuran dan telah diberitahukan kepada

Penggugat terakhir pada bulan September 2013 dengan jumlah Rp

56.562.000,- ( lima puluh enam juta lima ratus enam puluh dua ribu

rupiah). Namun Majelis berpendapat keterangan saksi patut

dikesampingkan karena tidak ditemukan bukti dalam slip gaji yang

menerangkan sebagai angsuran pesangon.

Mulai bulan Nopember 2013 ternyata gaji penggugat tidak

dibayarkan lagi oleh Tergugat. Hal ini diperkuat oleh keterangan saksi –

saksi Penggugat dan Tergugat. Dengan tidak dibayarkannya gaji atau

diberhentikannya pembayaran upah, Majelis tidak melihat adanya itikat

baik dari Penggugat untuk berusaha bekerja sampai diajukannya

gugatan, oleh karenanya Majelis berpendapat bahwa karena penggugat

tidak melakukan pekerjaan setelah tidak dibayarkannya upah oleh

Tergugat selama kurang lebih satu tahun, maka demi keadilan

berdasarkan hal tersebut antara Penggugat dan Tergugat putus hubungan


42

kerja dikarenakan Penggugat mengundurkan diri terhitung sejak putusan

dibacakan.

Karena Penggugat dianggap mengundurkan diri, maka Penggugat

berhak mendapatkan uang pisah sebagaimana ketentuan Pasal 168 ayat

(3) Undang-undang Republik Indonesia tahun 2003, maka demi keadilan

untuk besarnya uang pisah adalah sebesar upah proses sejak bulan

Nopember 2013 sampai dengan Januari 2015, yaitu 15 bulan dikalikan

upah sebulan (Rp 1.079.500,-) dengan total sejumlah Rp 16.192.500,-

(enam belas juta seratus sembilan puluh dua ribu lima ratus rupiah).

Selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan Petitum

Penggugat. Terhadap petitum angka (2) dan angka (3), Majelis

berpendapat karena tidak terbukti sesuai dengan pertimbangan di atas,

sehingga patut untuk ditolak, sedangkan demi keadilan Majelis

berpendapat antara Penggugat dan Tergugat adalah putus hubungan kerja

karena mengndurkan diri terhitung sejak putusan ini dibacakan, maka

Penggugat berhak mendapatkan uang pisah sebesar Rp 16.192.500,-.

Terhadap petitum angka (4) dan (5), Majelis berpendapat bahwa

karena hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat sudah putus sejak

bulan Nopember 2013 sesuai petimbangan petitum angka (2) dan (3),

maka petitum angka (4) dan (5) haruslah ditolak.

Berdasarkan hasil penelitian yang didapat, maka dapat dikatakan

bahwa yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam pokok perkara

yang pertama adalah mengenai pertimbangan Majelis Hakim yang


43

mengacu pada ketentuan Pasal 93 ayat (3) jo. Pasal 172 UU

Ketenagakerjaan karena Majelis Hakim melihat kondisi Penggugat yang

tidak bisa melakukan pekerjaan karena cacat buta permanen. Menurut

ketentuan Pasal 93 ayat (3) bahwa seharusnya upah yang dibayarkan

untuk pekerja yang tidak melakukan pekerjaan karena pekerja sakit yaitu

4 (empat) bulan pertama sebesar 100% (seratus perseratus) dari upah, 4

(empat) bulan kedua sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari

upah, 4 (empat) bulan ketiga sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari

upah, dan bulan selanjutnya sebesar 25% (dua puluh lima perseratus)

dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh Pengusaha,

namun dari bulan Oktober 2008 hingga bulan Oktober 2013 Penggugat

tetap menerima gaji penuh dengan bukti slip gaji yang bertanda

payroll/salary dari Tergugat, hal ini menunjukan antara Tergugat dan

Penggugat masih ada Hubungan Kerja.

Kemudian menurut Pasal 172 UU Ketenagakerjaan, pekerja yang

mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak bisa melakukan

pekerjaan setelah melampaui 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan

pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali

ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali

ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali

ketentuan Pasal 156 ayat (4). Penggugat mengajukan permohonan

pemutusan hubungan kerja pada tahun 2012 atau 4 (empat) tahun setelah

mengalami kecelakaan namun tidak diizinkan oleh Tergugat dengan


44

mengatakan bahwa Tergugat akan membayarkan upah Penggugat seperti

biasa tiap bulan hingga pada bulan Nopember 2013 Tergugat tidak

membayarkan gaji kepada Penggugat. Ternyata maksud dari Tergugat

membayarkan gaji selama kurang lebih 5 tahun itu adalah untuk

membayarkan pesangon secara angsuran dan selama 5 tahun itu

Tergugat telah membayarkan pesangon sebesar Rp 85.410.000,-

(delapan puluh lima juta empat ratus sepuluh ribu rupiah).

Dasar pertimbangan Hakim yang kedua yaitu menyatakan bahwa

antara Penggugat dan Tergugat telah putus hubungan kerja dikarenakan

Penggugat dianggap mengundurkan diri, sebab Majelis Hakim melihat

tidak adanya itikat baik Penggugat untuk datang ke perusahaan dan

berusaha bekerja setelah tidak dibayarkannya gaji atau dihentikannya

pembayaran upah selama kurang lebih 1 (satu) tahun hingga Penggugat

mengajukan gugatan karena hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 168

ayat (1) yang berbunyi “Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima)

hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keteran gan secara tertulis yang

dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2

(dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya

karena dikualifikasikan mengundurkan diri.” Meskipun dalam kondisi

cacat buta permanen seharusnya Penggugat tetap datang ke perusahaan

untuk melakukan kewajibannya selama putusan Pengadilan belum

ditetapkan karena sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan Pasal 155 ayat

(2) yang menyatakan bahwa “Selama putusan lembaga penyelesaian


45

perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha

maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.”

Dalam pertimbangan Hakim untuk menentukan hak yang harus

diterima oleh pekerja, Majelis Hakim menggunakan Pasal 168 ayat (3)

UU Ketenagakerjaan yang berbunyi “Pemutusan hubungan kerja

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan

berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat

(4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja

bersama.” Dengan digunakannya ketentuan Pasal 168 ayat (3) UU

Ketenagakerjaan maka penulis berpendapat bahwa Majelis Hakim telah

berlaku adil kepada kedua belah pihak, karena dalam ketentuan Pasal

156 ayat (4) menyebutkan bahwa uang penggantian hak yang diterima

oleh pekerja yaitu cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur,

biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke

tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja, penggantian perumahan

serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus)

dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang

memenuhi syarat, hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja,

peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Hakim hanya

menentukan uang pisah sebesar uang proses selama penyelesaian

perselisihan hubungan industrial ini berlangsung yaitu sebesar 15 (lima

belas) bulan atau dari bulan Nopember 2013 hingga bulan Januari 2015
46

dikalikan dengan upah sebulan yaitu Rp 1.079.000,-. Jadi uang pisah

yang harus dibayarkan Tergugat sebesar Rp 16.192.500,-.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka penulis

sependapat dengan Hakim yang memutuskan untuk Tergugat

membayarkan uang pisah kepada Penggugat sebesar Rp 16.192.500,-

karena berdasarkan bukti persidangan yang menyatakan bahwa antara

Penggugat dengan tergugat masih ada hubungan kerja setelah terjadinya

kecelakaan kerja dan belum ada pemutusan hubungan kerja sampai

hakim memutus perkara tersebut. Sesuai dengan ketentuan Pasal 168

ayat (3) UU Ketenagakerjaan maka setiap terjadi pemutusan hubungan

kerja, pekerja berhak untuk mendapatkan uang penggantian hak. Dan

selama masa persidangan Penggugat tidak menerima upah sama sekali

sehingga Penggugat berhak atas upah tersebut.

B. Akibat Hukum dari Putusan No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg tentang

Pemutusan Hubungan Kerja Karena Kecelakaan Kerja Terhadap

Penggugat dan Tergugat.

1. Isi Putusan No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang terkuak di pengadilan,

ditambah dengan keterangan saksi-saksi dan alat bukti maka Pengadilan

memutuskan :

a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;


47

b. Menyatakan putus hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat

dikarenakan Penggugat dianggap mengundurkan diri, dengan

memberikan Uang Pisah kepada Penggugat sebesar Rp 16.192.500,-

(enam belas juta seratus sembilan puluh dua ribu lima ratus rupiah);

c. Menolak gugatan lain dan selebihnya;

d. membebankan biaya perkara kepada negara sebesar Rp 546.000,- (lima

ratus empat puluh enam ribu rupiah).

2. Akibat Hukum

Setiap putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang diputus oleh

hakim yang berkekuatan hukum tetap pastilah mempunyai akibat hukum

terhadap Penggugat atau dalam hal ini pekerja dan Tergugat atau dalam

hal ini pengusaha. Akibat hukum adalah segala akibat yang terjadi dari

segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum terhadap

obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan karena kejadian-

kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah ditentukan atau

dianggap sebagai akibat hukum. 29 Jadi perbuatan yang dilakukan oleh

Tergugat terhadap Penggugat yang tidak memenuhi hak Penggugat

sebagai pekerja yang mengalamai kecelakaan kerja dan perbuatan

Penggugat sebagai pekerja yang tidak melaksanakan pekerjaannya setelah

mengalami kecelakaan kerja sampai pada putusan Pengadilan Peselisihan

29
Ilmu Hukum, “Akibat Hukum”. (Online), (https://e-
kampushukum.blogspot.com/2016/05/akibat-hukum.html?m=1, diakses tanggal 1 Juli 2018),
2018.
48

Hubungan Industrial dikeluarkan maka akan menimbulkan akibat hukum.

Akibat hukum tersebut sudah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Ada berbagai alasan dilakukannya pemutusan hubungan kerja.

Setiap alasan PHK memiliki akibat hukum yang berbeda-beda bagi

Pekerja dan pemberi pekerja atau Pengusaha sebagaimana diatur dalam

UU Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Dalam

hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Pengusaha diwajibkan

membayar uang pesangon dan atau uang penggantian hak yang seharusnya

diterima”.

Berdasarkan putusan Hakim yang menyatakan bahwa pekerja

dianggap mengundurkan diri maka sesuai ketentuan Pasal 162 ayat (1)

yang menyebutkan bahwa “Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas

kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan

Pasal 156 ayat (4).” Mengenai putusan yang mengabulkan gugatan

Penggugat untuk sebagian menyatakan putus hubungan kerja antara

Penggugat dan Tergugat dikarenakan Penggugat dianggap mengundurkan

diri, sehingga Hakim memutuskan agar Tergugat memberikan uang pisah

kepada Penggugat sebesar Rp 16.192.500,- (enam belas juta seratus

sembilan puluh dua ribu lima ratus rupiah). Maka setelah dijatuhkannya

putusan tersebut akibat hukum terhadap Penggugat dan Tergugat yaitu

Penggugat dan Tergugat tidak lagi ada hubungan kerja dan Tergugat

diwajibkan membayar Uang Pisah sebesar yang disebutkan dalam putusan

tersebut.
BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan

sebagai berikut :

1. Dasar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Perselisihan Hubungan

Industrial dalam Putusan No.20/Pdt.Sus-PHI/G/2014/PN.Smg yang

memutus perkara mengenai pemutusan hubungan kerja karena kecelakaan

kerja didasarkan pada kondisi Penggugat yang tidak bisa melakukan

pekerjaan karena cacat buta permanen sehingga menurut ketentuan Pasal

93 ayat (3) jo. Pasal 172 UU Ketenagakerjaan pekerja yang mengalami

cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak bisa melakukan pekerjaan setelah

melampaui 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan

kerja dan diberikan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan

uang pengganti hak. Dikarenakan Penggugat tidak ada itikat baik untuk

melakukan pekerjaan setelah mengalami kecelakaan kerja, perbuatan

Penggugat tersebut dianggap mangkir oleh Hakim, maka sesuai ketentuan

Pasal 168 ayat (3) Penggugat hanya berhak menerima uang pisah sebesar

Rp 16.192.500,-.

2. Akibat hukum yang timbul dalam Putusan No.20/Pdt.Sus-

PHI/G/2014/PN.Smg berdasarkan UU Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat (1),

jika Penggugat dianggap mengundurkan diri, maka perusahaan

berdasarkan Pasal 168 ayat (3) wajib memberikan uang pisah sebesar Rp

49
50

16.192.500,- dan Pasal 172 wajib memberikan uang pesangon, uang

penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak.

B. Saran

1. Bagi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Semarang.

Diharapkan dapat mengadakan sosialisasi mengenai hal-hal yang harus

dilakukan ketika pekerja mengalami kecelakaan kerja kepada seluruh

pekerja terutama pekerja yang kurang paham mengenai hukum

ketenagakerjaan agar ketika pekerja mengalami kecelakaan kerja

mengetahui apa yang harus dilakukan dan pekerja mengetahui hak yang

seharusnya diterima oleh pekerja tersebut.

2. Bagi Pengusaha

Diharapkan Pengusaha dapat memberikan hak sepenuhnya kepada pekerja

yang mengalami kecelakaan kerja sebagaimana telah di sebutkan dalam

Undang- Undang Ketenagakerjaan.

3. Bagi Pekerja

Diharapkan pekerja melakukan kewajibannya dan beritikat baik kepada

pengusaha meskipun dalam kondisi cacat buta permanen.


DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abdul Khakim, Aspek Hukum Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


(Antara Peraturandan Pelaksanaan). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2010.

Asyhadie, Zaeni. Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja Di


Indonesia. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2013.

Asyhadie, Zaeni. Hukum Kerja: Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan


Kerja. Jakarta: Rajawali Pers, 2015.

Marbun, Rocky. Jangan Mau Di-PHK Begitu Saja. Jakarta : Visimedia, 2010.

Marzuki, Peter Mahmud.”Penelitian Hukum”. Jakarta: Kencana, 2005.

Nazir, Moch.” Metode Penelitian”. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2008.

Pangaribuan, Juanda. Tuntunan Praktis Penyelesaian Perselisihan Hubungan


Industrial. Jakarta: PT Bumi Intitama Sejahtera, 2010.

Soedarjadi, Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia: Panduan bagi Pengusaha,


Pekerja, dan Calon Pekerja. Jakarta: Pustaka Yustisia, 2008.

Sutopo, Heribertus, Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta: Puslitbang UNS,


2008.

Tim Visi Yustisia, Buku Pintar Pekerja Terkena PHK: Dari Memperoleh Hak
Yang Semestinya Sampai Merintis Karier Baru. Jakarta: Visimedia,
2015.

Ugo, dan Pujiyo.” Hukum Acara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial


Tata cara dan Proses Penyelesaian Perselisihan Perburuhan”.
Jakarta:Sinar Grafika, 2011.

Zainal Asikin, dkk., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta : Rajagrafindo


Persada, 2010.

Zainal Asikin, dkk., Dasar-Dasar Hukum Perburuhan. Jakarta : Rajagrafindo


Persada, 2012.

Peraturan Perundang-Undangan

Sekretariat Negara RI. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945.Jakarta, 1945.

51
52

Sekretariat Negara RI. Undang-undang Republik Indonesia nomor 3 tahun 1992


tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Jakarta, 1992.

Sekretariat Negara RI. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun


2003 tentang Ketenagakerjaan. Jakarta, 2003.

Sekretariat Negara RI. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun


2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Jakarta,
2004.

Internet

Ilmu Hukum, “Akibat Hukum”. (Online), (https://e-


kampushukum.blogspot.com/2016/05/akibat-hukum.html?m=1, diakses
tanggal 1 Juli 2018), 2018

Sugi Arto, “Pengertian Buruh”. (Online),


(http://artonang.blogspot.co.id/2014/12/pengertian-buruh.html, diakses
29 Desember 2017).

Widhi W. Karni, “Sejarah Berdirinya PT Jamsostek (Persero)”. (Online)

(http://bbsnews.co.id/sejarah-berdirinya-pt-jamsostek-persero/, diakses

tanggal 20 Juni 2018), 2018

Anda mungkin juga menyukai