Anda di halaman 1dari 99

TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN JAKSA

DALAM PEMBATALAN PERKAWINAN DIKARENAKAN


PEMALSUAN SURAT DAN IDENTITAS
(Studi Putusan Nomor 133/Pdt.G/2020/PA.Wates)

PENULISAN KERTAS KERJA PERORANGAN

OLEH :

NAMA : VINA ANGELINA BANGUN, S.H.

NO. PESERTA : 39

KELAS : PPPJ VIII

PPPJ ANGKATAN LXXX TAHUN 2023


BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN
KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA
JAKARTA
2023
LEMBAR PENGESAHAN KERTAS KERJA PERORANGAN
TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN JAKSA DALAM PEMBATALAN
PERKAWINAN DIKARENAKAN PEMALSUAN SURAT DAN IDENTITAS
(Studi Putusan Nomor 133/Pdt.G/2020/PA.Wates)

Untuk Memenuhi Persyaratan Kelulusan Bagi Siswa Diklat Pendidikan


Pelatihan dan Pembentukan Jaksa (PPPJ) Angkatan LXXX (80)
Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2023

DISUSUN OLEH :

NAMA : VINA ANGELINA BANGUN, S.H.


PANGKAT : YUANA WIRA / III (a)
NIP/NRP : 199311292022032003 / 62293956
PPPJ/KELAS : PPPJ LXXX (80) TAHUN 2023 / VIII
NO. PESERTA : 39

Jakarta, September 2023

PEMBIMBING, PENGUJI,

Dr. Erni Mustikasari, S.H., M.H. Dr. Endi Arofa, S.H.,M.H.


Jaksa Utama Pratama Jaksa Utama Muda
NIP. 197601062000032003 NIP.197511132000121001

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT karena

dengan Rahmat, berkah dan karunia Allah SWT, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan kertas kerja ini dengan judul TINJAUAN

YURIDIS KEWENANGAN JAKSA DALAM PEMBATALAN

PERKAWINAN DIKARENAKAN PEMALSUAN SURAT DAN IDENTITAS

(Studi Putusan Nomor 133/Pdt.G/2020/PA.Wt.) sebagai salah satu

persyaratan dalam pemenuhan penilaian kelulusan Pendidikan, Pelatihan

dan Pembentukan Jaksa Angkatan LXXX Tahun 2023 untuk dapat

dinyatakan LULUS dan dapat dilantik menjadi seorang JAKSA.

Dengan segala kerendahan hati, penulis pada kesempatan ini ingin

menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. ST. Burhanuddin, S.H.,M.M., selaku Jaksa Agung

Republik Indonesia

2. Bapak Dr. Tony Tribagus Spontana, S.H., M.Hum selaku Kepala

Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia;

3. Bapak Dr. Jaya Kesuma, S.H.,M.Hum., selaku Sekretaris Badan

Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia;

4. Bapak Dr. Yulianto, S.H, M.H., selaku Kepala Pusat Diklat Teknis

Fungsional Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik

Indonesia;

5. Bapak Dr. Patris Yusrian Jaya, SH.,M.H., selaku Kepala Kejaksaan

Tinggi Sulawesi Tenggara;

ii
6. Bapak Dr. Endi Arofa, S.H.,M.H., selaku penguji penulis;

7. Ibu Dr. Erni Mustikasari, S.H., M.H., selaku pembimbing penulis;

8. Bapak Dr. Khunaifi Alhumami, S.H., M.H., Ibu Alarma Napitupulu,

S.H., Ibu Ulfah Nur Utami, S.H., Bapak Willyam Barclay Tampubolon,

A.Md. Farm selaku Penanggung Jawab dan Penyelenggara Kelas VIII

PPPJ Angkatan 80 Tahun Tahun 2023;

9. Bapak Agustinus Baka Tangdililing, S.H., M.H., selaku Kepala

Kejaksaan Negeri Muna;

10. Keluarga penulis terutama orang tua, kakak dan adik yang selalu

memberikan restu dan dukungan dalam penulisan kertas kerja

perorangan ini;

11. Rekan-rekan Kelas VIII PPPJ Angkatan 80 Tahun 2023 yang saya

sayangi;

12. Sahabat-sahabat saya, Ira Monica, Feicy dan Icha Fadillah yang telah

memberikan dukungan dan semangat dalam penulisan kertas kerja

perorangan ini dapat diselesaikan.

13. Pihak – pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang

telah banyak memberikan bantuan, sehingga penulisan kertas kerja

perorangan ini dapat diselesaikan.

Dalam penyusunan kertas kerja perorangan ini penulis menyadari

masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan kemampuan dan

pengetahuan yang dimiliki penulis, untuk itu penulis sangat mengharapkan

kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak.

iii
Akhir kata penulis mengharapkan semoga penulisan kertas kerja

ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan berharap semoga kertas kerja

ini menjadi sumbangsih bagi perkembangan hukum khususnya untuk

peserta Diklat PPPJ pada tahun-tahun yang akan datang.

Jakarta, September 2023

Penulis,

Vina Angelina Bangun, S.H.

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN KERTAS KERJA PERORANGAN ....... i


KATA PENGANTAR ........................................................................ ii
DAFTAR ISI..................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................ 1
B. Rumusan Masalah...................................................... 7
C. Maksud Dan Tujuan Penelitian.................................... 8
D. Manfaat Penelitian...................................................... 9
E. Metode Penulisan ...................................................... 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Kewenangan Jaksa ........................ 15
B. Tinjauan Tentang Perkawinan .................................... 26
C. Tinjauan Tentang Pembatalan Perkawinan ................ 38
D. Tinjauan Tentang Pemalsuan Surat dan Identitas ...... 43
BAB III PEMBAHASAN
A. Kasus Posisi ............................................................... 46
B. Landasan Teori ........................................................... 48
1. Teori Kewenangan ................................................ 48
2. Teori Penegakan Hukum ....................................... 54
C. Fakta dan Analisa Yuridis ........................................... 62
1. Kewenangan Jaksa Di Bidang Perdata dan
Tata Usaha Negara selaku Jaksa Pengacara Negara
dalam Permohonan Pembatalan Perkawinan Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2021 tentang Kejaksaan ........................................ 62
2. Mekanisme Pembatalan Perkawinan oleh Jaksa
selaku Jaksa Pengacara Negara berdasarkan Peraturan
Perundang – Undangan yang berlaku ................... 65

v
3. Keabsahan Permohonan Pembatalan Perkawinan oleh
Jaksa Pengacara Negara ditinjau dari Hukum Perkawinan
Pada Putusan Nomor 133/Pdt.G/2020/Pa.Wt. dan
Akibat Hukumnya ................................................... 72
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................ 80
1. Kewenangan Jaksa Di Bidang Perdata dan
Tata Usaha Negara selaku Jaksa Pengacara
Negara dalam Permohonan Pembatalan
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang
Kejaksaan .............................................................. 80
2. Mekanisme Pembatalan Perkawinan oleh Jaksa
Selaku Jaksa Pengacara Negara berdasarkan
Peraturan Perundang – Undangan yang berlaku
3. Keabsahan Permohonan Pembatalan Perkawinan oleh
Jaksa Pengacara Negara ditinjau dari Hukum ....... 81
Perkawinan Pada Putusan Nomor 133/Pdt.G/2020/
Pa.Wt. dan Akibat Hukumnya ................................ 84
B. Saran........................................................................... 85
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................ vii
BIODATA PENULIS ........................................................................ x
LAMPIRAN......................................................................................

vi
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa :

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan tidak hanya

didasarkan pada ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi

merupakan perwujudan ikatan lahir dan batin. Ikatan lahir tercermin

adanya akad nikah, sedangkan ikatan batin adanya perasaan saling

mencintai dari kedua belah pihak.

Sejak tanggal 2 Januari 1974, Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan diberlakukan bersamaan dengan

dikeluarkannya peraturan pelaksananya, yaitu Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 yang berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober

1975. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tersebut bersifat

nasional dan berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia di seluruh

wilayah Indonesia. Perkawinan yang didasari ikatan lahir bathin dapat

dikatakan sah, jika telah memenuhi unsur dalam Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

1
”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti bahwa

setiap Warga Negara Indonesia yang akan melakukan perkawinan

sudah seharusnya melewati lembaga agamanya masing-masing dan

tunduk kepada aturan pernikahan agamanya.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan disebutkan, bahwa ”Tidak ada perkawinan

di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,

sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Dari hal tersebut dapat

disimpulkan, bahwa perkawinan mutlak harus dilakukan menurut

hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, kalau

tidak, maka perkawinan itu tidak sah. 1

Berdasarkan Pasal 22 sampai dengan Pasal 38 Undang-

Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan

bahwa perkawinan yang tidak sah menurut hukum negara dan hukum

agama dapat dibatalkan melalui proses pengadilan dan didukung

Peraturan Pemerintah Pasal 37 – 38 PP Nomor 9 tahun 1975

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan. Aturan yang menyebutkan bahwa Jaksa termasuk salah

satu pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan diatur

Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan bahwa :

1
Wantjik, K Shaleh. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta : Ghalia Indonesia,
1982, hlm.16.

2
“Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat

perkawinan yang tidak berwenang wali nikah yang tidak sah

atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua (2) orang saksi

dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam

garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan

suami atau isteri”.

Pembatalan perkawinan terjadi karena tidak terpenuhinya

syarat-syarat dasar perkawinan. Seperti halnya pada kasus :

Perkawinan pasangan Muhlisin (Termohon 1) dan Mita

(Termohon 2). Permohonan pembatalan perkawinan diajukan Jaksa

Pengacara Negara Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat dan

Kejaksaan Negeri Mataram, karena ternyata pengantin wanitanya

adalah seorang pria. Sidang dilakukan oleh Pengadilan Agama Giri

Menang, Gerung, Lombok Barat, NTB, Nomor

540/Pdt.G/2020/PA.GM. Isi putusan membatalkan Perkawinan

Termohon 1 dan Termohon 2 dikarenakan keduanya berjenis kelamin

laki-laki atau melakukan perkawinan sesama jenis. Akta nikah tidak

berlaku dan tidak berkuatan hukum. 2

Kemudian dalam perkara yang ditangani di Pengadilan Agama

Wates didominasi perkara tentang perceraian baik cerai talak maupun

cerai gugat yang tingkat kenaikannya dari tahun sebelumnya

disampaikan sangat signifikan. Dari kasus yang sudah terdata selama

tahun 2020 tersebut pembatalan perkawinan hanya ditemukan 2 dan


2
Kejati NTB. https://kejati-ntb.kejaksaan.go.id 27 Ags 2021 01:13:35 GMT

3
salah satunya adalah pembatalan poligami. Pembatalan perkawinan

di Pengadilan Agama Wates dilakukan oleh Kepala Kejaksaan Negeri

Kulon Progo sebagai Pemohon. Dalam hal ini sebagaimana diketahui

bahwasanya pihak yang melakukan poligami telah melakukan

pemalsuan berkas permohonan Poligami.

Wewenang Jaksa dalam masalah perkawinan adalah: 3

1. Meminta kepada pengadilan untuk meniadakan niat untuk

melangsungkan perkawinan.

2. Meminta kepada pengadilan untuk dibatalkannya perkawinan.

3. Meminta kepada pengadilan untuk diberlakukannya

pengampuan terhadap seseorang.

Kewenangan Jaksa secara jelas disebutkan Jaksa sebagai

pihak yang berhak mengajukan permohonan sebagaimana diatur

Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan yang merupakan salah satu sumber hukum acara di

lingkungan peradilan agama yang mengaturnya. Selain Pasal 26 ayat

(1) UU Perkawinan, dan Pasal 23 huruf c terutama pada kata “pejabat

yang berwenang” harus memperluas makna kata tersebut dan masih

perlu penafsiran lebih lanjut atas Pasal tersebut.

Terkait pembatalan perkawinan yang merupakan ranah hukum

perdata, peran Jaksa dalam bidang ini diatur lebih lanjut dalam

3
Prakoso, Djoko dan Murtika, I Ketut. Kedudukan Jaksa dalam Hukum Perdata.
Jakarta : Bina Aksara, 1998, hlm.30.

4
Peraturan Jaksa Agung Nomor PER025/A/JA/11/2015 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum,

Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain dan Pelayanan Hukum

di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut “Perja

25/2015”). Pada Bab II tentang Penegakan Hukum Lampiran Perja

25/2015 ditegaskan bahwa kewenangan untuk melakukan

pembatalan perkawinan yang telah dilangsungkan dengan tidak

mengindahkan syarat yang dimuat dalam hukum positif Indonesia

dilekatkan kepada Jaksa Pengacara Negara. Jaksa selaku penegak

hukum akan memohonkan gugatan pembatalan perkawinan ke

pengadilan atas perkawinan yang melanggar ketentuan peraturan

Perundang-undangan. Mekanisme permohonan pembatalan

perkawinan dalam Perja 25/2015 memuat poin-poin berikut :

1. Pengumpulan data secara aktif dilakukan oleh Jaksa melalui

internal kejaksaan maupun pihak eksternal yang melibatkan

instansi serta masyarakat sekitar.

2. Perkawinan yang dilangsungkan dihadapan Pegawai Pencatat

Perkawinan, wali nikah yang tidak berwenang, serta perkawinan

yang dilangsungkan tanpa kehadiran dua orang saksi adalah

ranah yang melekat pada Jaksa untuk memohon pembatalan

perkawinan.

3. Pembatalan Perkawinan diajukan oleh Jaksa melalui Pengadilan

Negeri maupun Pengadilan Agama Locus perkawinan

5
dilangsungkan atau tempat kediaman kedua mempelai dan

tempat tinggal salah satu pihak apabila kedua belah pihak

berada dalam wilayah yang berbeda.

4. Permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Jaksa

dilakukan dengan mengindahkan tata cara yang diatur sesuai

dengan hukum acara Indonesia.

Pengetahuan Jaksa mengenai pelanggaran hukum atas

pelaksanaan perkawinan dapat ditemui secara langsung maupun

tidak langsung. Pengetahuannya secara langsung dimaknai bahwa

Jaksa sendirilah yang menemukan adanya pelanggaran terhadap

perkawinan yang telah dilangsungkan oleh para pihak, sementara

keterangan dari pihak yang bersangkutan langsung atau pihak yang

mengetahui perkawinan tersebut merupakan pengetahuan Jaksa

yang digolongkan sebagai pengetahuan tidak langsung. Keterangan

yang disampaikan oleh masyarakat kepada Jaksa harus disertai bukti-

bukti yang cukup bahwa terlaksananya perkawinan telah nyata

melanggar hukum positif Indonesia sebagaimana dimuat pada

Undang-Undang Perkawinan beserta aturan turunannya. Oleh karena

perkara pembatalan perkawinan merupakan lingkup hukum perdata,

maka Jaksa dalam permohonan pembatalan perkawinan bertindak

selaku pemohon sementara pasangan suami istri yang dimohonkan

pembatalan perkawinannya memegang peranan sebagai termohon.

6
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis merasa

tertarik untuk mengkaji dalam bentuk Kertas Kerja Perorangan

mengenai Kewenangan Jaksa Pengacara Negara dalam Upaya

Permohonan Pembatalan Perkawinan. Penulis maksudkan mengenai

kewenangan Jaksa di sini adalah dalam arti status, fungsi dan

tugasnya dalam pembatalan perkawinan yang absah dianalisis secara

yuridis dan tentunya berkaitan dengan peraturan perundang-

undangan yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang

Kejaksaan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan penjabaran latar belakang di atas maka

permasalahan yang akan saya angkat dalam penulisan Kertas Kerja

Perorangan adalah :

1. Bagaimana kewenangan Jaksa di bidang Perdata dan Tata Usaha

Negara selaku Jaksa Pengacara Negara dalam permohonan

pembatalan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2021 tentang Kejaksaan?

2. Bagaimana mekanisme pembatalan perkawinan oleh Jaksa

selaku Jaksa Pengacara Negara berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku?

7
3. Bagaimana keabsahan permohonan pembatalan perkawinan oleh

Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara ditinjau dari Hukum

Perkawinan pada putusan Putusan Nomor

133/Pdt.G/2020/PA.Wt. dan akibat hukumnya?

C. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

Dalam pembuatan Kertas Kerja Perorangan (KKP) ini penulis

bermaksud untuk :

1. Meneliti apa yang menjadi dasar kewenangan Jaksa di bidang

Perdata dan Tata Usaha Negara selaku Jaksa Pengacara Negara

dalam permohonan pembatalan perkawinan menurut Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan;

2. Meneliti mekanisme pembatalan perkawinan oleh Jaksa selaku

Jaksa Pengacara Negara berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku;

3. Meneliti keabsahan permohonan pembatalan perkawinan oleh

Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara di tinjau dari Hukum

Perkawinan pada putusan Putusan Nomor

133/Pdt.G/2020/PA.Wt. dan akibat hukumnya.

Sedangkan tujuan yang dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai

berikut :

8
1. Untuk mengetahui dan menganalisis kewenangan Jaksa di

bidang Perdata dan Tata Usaha Negara selaku Jaksa Pengacara

Negara dalam permohonan pembatalan perkawinan menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan;

2. Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme pembatalan

perkawinan oleh Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Untuk mengetahui dan menganalisis keabsahan permohonan

pembatalan perkawinan oleh Jaksa selaku Jaksa Pengacara

Negara ditinjau dari Hukum Perkawinan pada putusan Putusan

Nomor 133/Pdt.G/2020/PA.Wt. dan akibat hukumnya.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Akademis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

bagi pengembangan ilmu hukum terutama yang berhubungan

dengan kebijakan penguatan wewenang Jaksa dalam bidang

Perdata dan Tata Usaha Negara;

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai

referensi bagi penelitian lebih lanjut dalam perkembangan

kewenangan Kejaksaan dalam hal Pembatalan Perkawinan.

9
2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para

pihak yang terkait erat dengan pembatalan perkawinan,

khususnya Jaksa serta Lembaga perlindungan perempuan dan

anak;

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman

dalam bidang hukum pidana mengenai penanganan terjadinya

pemalsuan surat dan identitas dalam perkawinan yang abash.

E. METODE PENULIS

Metode Penulisan merupakan sarana untuk menemukan,

merumuskan, menganalisis suatu masalah tertentu untuk

mengungkapkan suatu kebenaran karena pada prinsipnya metode

memberikan pedoman tentang cara peneliti dalam mempelajari,

menganalisis dan memahami apa yang dihadapinya.

Penulisan adalah suatu sarana pokok dalam pengembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi. Penulisan telah dimulai apabila ketika

seseorang berusaha memecahkan suatu masalah secara sistematis

dengan metode-metode tertentu yang ilmiah. Metode yang diterapkan

harus memiliki kesesuaian dengan ilmu pengetahuan induknya, namun

bukan berarti metode dari setiap ilmu pengetahuan berbeda satu sama

lain, karena pada dasarnya tujuan dari metode-metode tersebut adalah

10
sama yaitu mencari kebenaran yang sistematis, metodologis dan

konsisten.

Penulisan hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada suatu penelitian mengenai metode, sistematika dan

pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum dengan jalan menganalisisnya, kecuali juga

diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut

untuk kemudian dituangkan dalam suatu tulisan yang berisikan suatu

usaha pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul

dalam gejala hukum yang bersangkutan.4

Agar suatu penelitian berjalan dengan baik maka dibutuhkan

suatu metode penulisan yang tepat. Adapun metode penelitian yang

dipakai adalah sebagai berikut :

1. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini

adalah yuridis normatif atau pendekatan hukum kepustakaan serta

melalui pendekatan menggunakan pendekatan kasus (case

approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap

kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah

menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap. Kasus itu dapat berupa kasus yang terjadi di

Indonesia maupun di negara lain. Lalu yang menjadi kajian pokok

4
Zainudi Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), halaman
14

11
di dalam pendekatan kasus adalah rasio decidendi atau rasioning

yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu

putusan. Baik untuk keperluan praktik maupun untuk kajian

akademis, rasio decidenci atau reasoning tersebut merupakan

referensi bagi penyusunan argumentasi dalam pemecahan isu

hukum.

2. Spesifikasi Penulisan

Spesifikasi penulisan yang digunakan bersifat deskriptif

analitis yaitu pemecahan masalah yang diselidiki dengan

menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum

positif beserta alasan yang melatarbelakangi terbentuknya hukum

positif itu. Bersifat deskriptif karena penelitian ini mempunyai maksud

untuk memberikan gambaran secara rinci, sistematis dan

menyeluruh mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan

penulisan skripsi ini.

Analisa penelitian ini diharapkan dapat mengetahui

bagaimana keadaan yang ada pada teori dan praktek, sehingga

diharapkan pada akhir kegiatan dapat memecahkan masalah yang

ada.

3. Metode Pengumpulan Data

12
Dalam penelitian ini data yang diperlukan adalah data

sekunder karena penelitian ini menggunakan metode pendekatan

yuridis normatif. Data sekunder diperoleh dengan cara studi

kepustakaan, yaitu mengumpulkan, menyeleksi dan meneliti

peraturan perundang-undangan, buku-buku, teori-teori sarjana,

serta sumber bacaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. 5

Data sekunder yang dimaksud antara lain :

a) Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum

mengikat (peraturan perundang-undangan), terdiri dari :

1) Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun

1945.

2) Kitab Undang – Undang Hukum Pidana

3) Undang - Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP)

b) Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum

primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan

hukum primer, terdiri dari hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-

hasil penelitian dan jurnal – jurnal yang ada relevansinya dengan

penulisan ini.

c) Bahan Hukum Tersier

5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI-Press, 2007),
halaman 3

13
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, terdiri

dari :6

1) Kamus Hukum

2) Kamus Ilmiah Populer

d) Kamus Besar Bahasa Indonesia

Dengan mengadakan telaah/ penelitian kepustakaan akan

diperoleh data awal untuk dipergunakan dalam penulisan di

lapangan dan berguna sebagai landasan teori dalam

menganalisis pokok-pokok permasalahan.

e) Internet

Penjelajahan internet sebenarnya hampir sama dengan

studi kepustakaan yaitu sama-sama mencari bahan pustaka.

Dalam menjelajahi internet, peneliti melakukan penelusuran

terhadap data-data yang berhubungan dengan pokok

permasalahan. Kelebihan penjelajahan di internet adalah

efisien, cepat dan murah.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

6
Ibid.hlm.66

14
A. TINJAUAN TENTANG KEWENANGAN JAKSA

Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang fungsinya

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang melaksanakan

kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain

berdasarkan Undang – Undang sedangkan Jaksa adalah pegawai

negeri sipil dengan jabatan fungsional yang memiliki kekhususan

dan melaksanakan tugas, fungsi dan kewenangannya berdasarkan

Undang – Undang.

Dalam Pasal 30 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan dan Pasal 30A sampai dengan Pasal 30C

Undang – Undang No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas

Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia menegaskan mengenai tugas dan wewenang

kejaksaan sebagai berikut :

a. Di bidang Pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan

wewenang:

1. Melakukan penuntutan;

2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan

pidana bersayarat, putusan pidana penagwasan, and

keputusan lepas bersyarat;

15
4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang – undang;

5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan

ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya

dikoordinasikan dengan penyidik.

b. Di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, kejaksaan dengan

kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar

pengadilan untuk dan atas naman negara atau pemerintah;

c. Di Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum, Kejaksaan

turut menyelenggarakan kegiatan :

1. Peningkatan kesadaran hukum Masyarakat;

2. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

3. Pengawasan peredaran barang cetakan;

4. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat

membahayakan masyarakat dan negara;

5. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan

agama;

6. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistic

kriminal.

d. Dalam pemulihan asset, kejaksaan berwenang melakukan

kegiatan penelurusan, perampasan dan pengembalian asset

16
perolehan tindak pidana dan asset lainnya kepada negara,

korban, atau yang berhak.

e. Dalam bidang intelijen penegakanhukum, Kejaksaan

berwenang :

1. Menyelenggarakan fungsi penyelidikan, pengamanan, dan

penggalangan untuk kepentingan penegakan hukum;

2. Menciptakan kondisi yang mendukung dan mengamankan

pelaksanan Pembangunan;

3. Melakukan kerja sama intelijen penegakan hukum dengan

lembaga intelijen negara lainnya, di dalam maupun di luar

negeri;

4. Melaksanakan pencegahan korupsi, kolusi dan

nepotisme; dan

5. Melaksanakan pengawasan multimedia.

f. Selain itu Kejaksaan juga memiliki tugas dan wewenang

sebagai berikut :

1. Menyelenggarakan kegiatan statistik criminal dan

kesehatan yustisal kejaksaan;

2. Turut serta dan aktif dalam pencarian kebenaran atas

perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan

konflik sosial tertentu demi terwujudnya keadilan;

17
3. Turut serta dan aktif dalam penanganan perkara pidana

yang melibatkan saksi dan korban serta proses

rehabilitasi, restitusi dan kompensasinya;

4. Melakukan mediasi penalm melakukan sita eksekusi

untuk pembayaran pidana denda dan pidana pengganti

serta restitusi;

5. Dapat memberikan keterangan sebagai bahan informasi

dan verifikasi tentang ada atau tidaknya dugaan

pelanggaran hukum yang sedang atau telah diproses

dalam perkara pidana untuk menduduki jabatan publik

atas permintaan instansi yang berwenang;

6. Menjalankan fungsi dan kewenangannya di bidang

keperdataan dan/atau bidang publik lainnya

sebagaimana diatur dalam undang – undang;

7. Mengajukan peninjauan Kembali; dan

8. Melakukan penyadapan berdasarkan undang – undang

khusus yang mengatur mengenai penyedapan dan

menyelenggarakan pusat pemantauan di bidang tindak

pidana.

Kejaksaan untuk melaksanakan kewenangannya pada

Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara diatur dalam Peraturan

Jaksa Agung Republik Indonesia No. 7 Tahun 2021 tentang

Pedoman Pelaksanan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum,

18
Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain dan Pelayanan

Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara.

Jaksa Pengacara Negara (JPN) merupakan Jaksa dengan

Kuasa Khusus yang bertindak untuk dan atas nama negara atau

pemerintah dalam melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan

di bidang perkara Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun). Istilah

Jaksa Pengacara Negara ini dipakai oleh lembaga Kejaksaan pada

unit kerja Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara

(JAMDATUN). Jaksa Pengacara Negara (JPN) merupakan Jaksa

dengan Surat Kuasa Khusus melakukan penegakan hukum,

bantuan hukum, pertimbangan hukum, tindakan hukum lain, dan

pelayanan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara. Jaksa

Pengacara Negara memiliki wewenang antara lain :

1. Penegakan Hukum

Penegakan Hukum di bidang Perdata dan Tata Usaha Negara

adalah melalui mengajukan gugatan / permohonan kepada

pengadilan atau Tindakan tertentu lainnya berdasarkan

ketentutan peraturan perundang-undangan yang meliputi :

1) Dalam penanganan keperdataan atas pemulihan dan

pengembalian kerugian negara terkait dengan perkara

tindak pidana, termasuk :

19
a. Perkara Tindak Pidana Korupsi yang dihentikan

penyidikannya, karena tidak cukup bukti sedangkan

secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.

b. Perkara Tindak Pidana Korupsi yang dihentikan

penyidikannya karena tersangka meninggal dunia

sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan

negara;

c. Perkara Tindak Pidana Korupsi yang dihentikan

penuntutannya karena terdakwa meninggal dunia

sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan

negara;

d. Perkara tindak pidana korupsi yang dinyatakan onislag

van rechtsvervolging, namun terdapat kerugian

keuanga negara yang harus dipulihkan;

e. Perkara tindak pidana korupsi yang tidak berhasil

memulihkan seluruh kerugian keuangan negara;

f. Gugatan perdata terhadap terpidana/ahli waris perkara

tindak pidana korupsi atas harta kekayaannya yang

diduga hasil tindak pidana korupsi dan belum dilakukan

perampasan setelah terdapat putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap;

20
g. Penanganan tuntutan keperdataan dan/atau

penyelesaian atas kewajiban Pembayaran Uang

Pengganti (PUP);

h. Perkara tindak pidana selain tindak pidana korupsi,

termasuk tindak pidana di bidang perpajakan, cukai,

atau perbankan, yang tidak berhasil dipulibkan seluruh

kerugian keuangan negara.

2) Dalam penanganan keperdataan berkaitan dengan

pertanggungjawaban keperdataan terhadap orang atau

korporasi, termasuk :

a. Permohonan pemeriksaan dan/atau pembubaran

perseroan terbatas;

b. Permohonan pembubaran yayasan dan pembatalan

pengangkatan, pemberhentian atau penggantian

pengurus dan/atau pengawas yayasan;

c. Permohonan pernyataan pailit terhadap debitor.

3) Dalam penanganan keperdataan berkaitan dengan hukum

keluarga dan perkawinan, termasuk :

a. Permohonan pembatalan perkawinan;

b. Permohonan agar Balai Harta Peninggalan

diperintahkan mengusut harta kekayaan serta

kepentingan seseorang yang meninggalkan tempat

tinggalnya, tanpa menunjuk seorang wakil;

21
c. Permohonan agar seseorang ayah dan ibu dibebaskan

kekuasannya atau dipulihkan dari pembebasan

kekuasaannya sebagai orang tua;

d. Permohonan pengangkatan seorang wali dari anak yang

belum dewasa;

e. Permohonan pemecatan seorang wali dari anak yang

belum dewasa;

f. Permohonan pengangkatan pengurus pengganti jika

pengurus waris meninggal dunia

4) Dalam penanganan Penegakan Hukum Keperdataan

lainnya, termasuk :

a. Mengajukan gugatan pembatalan merek terdaftar;

b. Mengajukan gugatan penghapusan paten.

2. Bantuan Hukum

Bantuan Hukum ini adalah layanan di bidang perdata oleh

Jaksa Pengacara Negara atau Pemerintah untuk bertindak

sebagai kuasa hukum berdasarkan Surat Kuasa Khusus baik

secaara Non Litigasi dan/atau Litigasi sebagai

Penggugat/Penggugat

Intervensi/Pemohon/Pelawan/Pembantah atau Tergugat/

Tergugat Intervensi/Termohon/Terlawan/Terbantah serta

layanan di bidang tata usaha negara oleh Jaksa Pengacara

Negara keapda Negara atau Pemerintah berdasarkan Surat

22
Kuasa Khusus sebagai Tergugat/Termohon di Peradilan Tata

Usaha Negara sebagai kuasa pemerintah dalam perkara

pembubaran partai politik pada Mahkamah Konstitusi, Kuasa

Termohon dalam sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum

(PHPU) dan Sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala

Daerah (PHPKADA) di Mahkamah Konstitusi.

3. Pertimbangan Hukum

Pemberian pertimbangan hukum oleh Jaksa Pengacara

Negara hanya diberikan kepada Negara atau Pemerintah

meliputi pendapat hukum (legal opinion/LO), pendampingan

hukum (Legal Assistance/LA), audit hukum (Legal Audit) dan

pertimbangan hukum tidak atas permohonan di bidang perdata.

4. Tindakan Hukum Lain

Tindakan hukum lain adalah kegiatan Jaksa Pengacara Negara

antara lain untuk menjadi Konsiliator, Mediator dan Fasilitator

dalam penyelesaian suatu sengketa antar negara atau

pemerintah. Hal – hal yang perlu diperhatikan untuk

keberhasilan Tindakan hukum lain yaitu harus ditunjuk Jaksa

Pengacara Negara yang mempunyai kompetensi sebagai

konsiliator, meditor dan fasilitator serta menguasai pokok

sengketa/permasalahan serta harus Jaksa Pengacara Negara

harus berpegang teguh pada prinsip – prinsip obyektivitas,

23
keadilan, kelayakan dan ketentuan hukum yang berlaku untuk

menghindari permasalahan/sengketa hukum.

5. Pelayanan Hukum

Jaksa Pengacara Negara berwenang memberikan pelayanan

hukum yang bertujuan untuk membangun kesadaran hukum

masyarakat, membantu masyarakat atas akses terhadap

hukum, mencegah terjadinya pelanggaran hukum sekaligus

menerima pengaduan hukum dari masyarakat. Pelayanan

hukum dilaksanakan dalam bentuk konsultasi dan pemberian

informasi di bidang hukum perdata atau tata usaha negara

kepada masyarakat, baik perorangan atau badan hukum, yang

dapat diberikan secara lisan, tertulis maupun melalui sistem

elektronik. Ruang lingkup pelayanan hukum adalah Jaksa

Pengacara Negara tidak melakukan analisis dan verifikasi

secara formal dan material terhadap data dan fakta yang

disampaikan oleh pemohon, oleh karena itu Jaksa Pengacara

Negara tidak dapat memberikan penilaian ataupun

pembenaran terhadap permasalahan yang disampaikan,

namun hanya memberikan konsultasi mengenai permasalahan

hukum yang disampaikan berdasarkan hukum serta peraturan

perundang-undangan, termasuk hak dan kewajiban pemohon.

24
Jaksa Pengacara Negara dalam melakukan penanganan

keperdataan berkaitan dengan permohonan pembatalan perkawinan

adalah :

a. Jaksa Pengacara Negara mengajukan permohonan pembatalan

perkawiann dalam hal terjadi perkawinan yang dilangsungkan di

muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali

nikah yang tidak sah, atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2

(dua) orang saksi

b. Dalam hal terdapat alasan selain dimaksud dalam huruf a untuk

kepentingan umum Jaksa Pengacara Negara dapat

mengajukan permohonan pembatalan perkawinan.

c. Informasi tentang adanya perkawinan sebagaimana dimaksud

dalam huruf a dan huruf b diperoleh dari instansi terkait,

masyarakat, dan/atau internal kejaksaan.

d. Jaksa Pengacara Negara berkoordinasi dengan bidang teknis

dan/atau instansi terkait yang berwenang melakukan

pencatatan perkawinan.

e. Berdasarkan informasi dan hasil koordinasi sebagaimana

dimaksud dalam huruf c dan huruf d serta telaahan Jaksa

Pengacara Negara, kepala satuan kerja menentukan apakah

kejaksaan akan mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan.

25
f. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada

Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri yang daerah

hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, di

tempat tinggal kedua suami istri atau tempat tinggal suami atau

istri.

B. TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN

Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian

hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan

yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang

meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim dan

seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan

upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan

maksud untuk membentuk keluarga. Tergantung budaya setempat

bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan tujuannya bisa berbeda-

beda juga. Tapi umumnya perkawinan itu ekslusif dan mengenal

konsep perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan.

Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud untuk

membentuk keluarga. Umumnya perkawinan harus diresmikan

dengan pernikahan.7

Pengertian Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pada pasal 1, yaitu: “Ikatan lahir

7
Wikipedia, “Pengertian Tentang Perkawinan”, https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan,
tanggal di akses 12 Agustus 2022

26
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Pengertian Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

pada Pasal 1, yaitu Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau untuk mentaati perintah ALLAH dan

melaksanakannya merupakan ibadah.

Menurut Prof. Subekti, SH pengertian perkawinan adalah

pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan untuk waktu yang lama. Sedangkan pengertian

perkawinan menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, SH

mengatakan perkawinan adalah suatu hidup bersama dari seorang

laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat

yang termasuk dalam peraturan hukum perkawinan.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan, sahnya suatu perkawinan adalah merujuk pada dasar

hukum sebagai berikut :

Pasal 2

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

27
Pasal 3

1) Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya

boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya

boleh mempunyai seorang suami.

2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami

untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh

pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4

1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang,

sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-

undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan

kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

2) Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya

memberikan izin kepada seorang suami yang akan

beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai

isteri;

b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak

dapat disembuhkan;

c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

28
Pasal 5

1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-

undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;

b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin

keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak

mereka;

c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil

terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini

tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-

isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak

dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak

ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2

(dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu

mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Sedangkan didalam Kompilasi Hukum Islam, Dasar-dasar

perkawinan tertulis di dalam Bab II, yaitu :

29
Pasal 2

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.

Pasal 3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal 4

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal 5

1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat

Islam setiap perkawinan harus dicatat.

2) Pencatatan perkawinan tersebut apada ayat (1), dilakukan

oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur

dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undang-

Undang No. 32 Tahun 1954.

Pasal 6

1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap

perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah

pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

30
2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai

Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

Pasal 7

1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah

yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta

Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan

Agama.

3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama

terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan:

a. Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian

perceraian;

b. Hilangnya Akta Nikah;

c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah

satu syarat perkawian;

d. Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan;

e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak

mempunyai halangan perkawinan menurut Undang-

Undang No.1 Tahun 1974.

4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah

suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan

pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

31
Pasal 8

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan

dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik

yang berbentuk putusan perceraian, ikrar talak, khuluk atau

putusan taklik talak.

Pasal 9

1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan

karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan

salinannya kepada Pengadilan Agama.

2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak

dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke

Pengadilan Agama.

Pasal 10

Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku

Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat

Nikah.

Syarat – syarat perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

a. Syarat perkawinan bersifat materiil disimpulkan dari pasal 6

sampai dengan pasal 11 pada Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974, sebagai berikut :

1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua

calon mempelai.

32
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum

mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua

orangtuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah

satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua

orang tuanya telah meninggal dunia.

3. Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah

mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah

mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus

ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh

kedua orang tua pihak pria maupun wanita.

4. Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan

orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali memenuhi Pasal

3 ayat 2 dan pasal 4.

5. Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu

dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya.

6. Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku

jangka waktu tunggu.

b. Syarat perkawinan secara formal dapat diuraikan menurut

Pasal 12 UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 direalisasikan

dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975. Secara singkat syarat formal ini dapat

diuraikan sebagai berikut :

33
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan

harus memberitahukan kehendaknya kepada Pegawai

Pencatat Perkawinan di mana perkawinan di mana

perkawinan itu akan dilangsungkan, dilakukan sekurang-

kurangnya 10 hari sebelum perkawinan dilangsungkan.

Pemberitahuan dapat dilakukan lisan/tertulis oleh calon

mempelai/orang tua/wakilnya. Pemberitahuan itu antara

lain memuat: nama, umur, agama, tempat tinggal calon

mempelai (Pasal 3-5)

2. Setelah syarat-syarat diterima Pegawai Pencatat

Perkawinan lalu diteliti, apakah sudah memenuhi syarat

/belum. Hasil penelitian ditulis dalam daftar khusus untuk

hal tersebut (Pasal 6-7).

3. Apabila semua syarat telah dipenuhi Pegawai Pencatat

Perkawinan membuat pengumuman yang ditandatangani

oleh Pegawai Pencatat Perkawinan yang memuat antara

lain: Nama, umur, agama, pekerjaan, dan pekerjaan

calon pengantin.hari tanggal, jam dan tempat perkawinan

akan dilangsungkan (pasal 8-9).

4. Barulah perkawinan dilaksanakan setelah hari ke sepuluh

yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu. Kedua calon mempelai

menandatangani akta perkawinan dihadapan pegawai

34
pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi, maka

perkawinan telah tercatat secara resmi. Akta perkawinan

dibuat rangkap dua, satu untuk Pegawai Pencatat dan

satu lagi disimpan pada Panitera Pengadilan. Kepada

suami dan Istri masing-masing diberikan kutipan akta

perkawinan (pasal 10-13).

Sedangkan, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUH Perdata), syarat-syaratnya yaitu:

1. Kedua pihak harus telah mencapai umur yang ditetapkan

dalam undang-undang, yaitu bagi laki-laki 18 tahun dan

bagi perempuan 15 tahun.

2. Harus ada persetujuan bebas antara kedua pihak.

3. Untuk seorang perempuan yang telah kawin harus lewat

300 hari dahulu setelah putusnya perkawinan pertama.

4. Tidak ada larangan dalam undang-undang bagi kedua

belah pihak.

5. Untuk pihak yang masih dibawah umur harus ada izin dari

orangtua atau walinya.

6. Asas Monogami yang mutlak (Pasal 27 KUHPerdata).

Pencatatan perkawinan diperlukan sebagai bukti adanya

perkawinan. Bukti adanya perkawinan ini diperlukan kelak untuk

melengkapi syarat-syarat administrasi yang diperlukan untuk

35
membuat akta kelahiran, kartu keluarga dan lain-lain. Dalam

KUHPerdata, pencatatan perkawinan ini diatur dalam bagian ke

tujuh Pasal 100 dan Pasal 101. Dalam Pasal 100, bukti adanya

perkawinan adalah melalui akta perkawinan yang telah dibukukan

dalam catatan sipil. Pengecualian terhadap pasal ini yaitu Pasal

101, apabila tidak terdaftar dalam buku di catatan sipil, atau hilang

maka bukti tentang adanya suatu perkawinan dapat diperoleh

dengan meminta pada pengadilan. Di pengadilan akan diperoleh

suatu keterangan apakah ada atau tidaknya suatu perkawinan

berdasarkan pertimbangan hakim.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Syarat-

syarat perkawinan adalah sebagai berikut :

Pasal 14

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :

a. Calon Suami;

b. Calon Isteri;

c. Wali nikah;

d. Dua orang saksi dan;

e. Ijab dan Kabul.

Menurut Hukum Islam syarat-syarat yang harus dipenuhi

agar suatu perkawinan dinyatakan sah adalah:

36
a. Syarat Umum

Perkawinan tidak boleh bertentangan dengan larangan

perkawinan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat (221)

tentang larangan perkawinan karena perbedaan agama

dengan pengecualiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat

(5) yaitu khusus laki-laki Islam boleh mengawini perempuan-

perempuan, Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (22), (23) dan (24)

tentang larangan perkawinan karena hubungan darah,

semenda dan saudara sesusuan.

b. Syarat Khusus

1. Adanya calon mempelai laki-laki dan perempuan. Calon

mempelai laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat

mutlak (conditio sine qua non), absolut karena tanpa calon

mempelai laki-laki dan perempuan tentu tidak akan ada

perkawinan. Calon mempelai ini harus bebas dalam

menyatakan persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain.

Hal ini menuntut konsekuensi bahwa kedua calon mempelai

harus sudah mampu untuk memberikan persetujuan untuk

mengikatkan diri dalam suatu perkawinan dan ini hanya

dapat dilakukan oleh orang yang sudah mampu berpikir,

dewasa, akil baliqh. Dengan dasar ini Islam menganut asas

kedewasaan jasmani dan rohani dalam melangsungkan

perkawinan.

37
2. Harus ada wali nikah, Menurut Mazhab Syafi’i berdasarkan

hadist Rasul SAW yang diriwayatkan Bukhari da n Muslim

dari Siti Aisyah, Rasul SAW pernah mengatakan tidak ada

kawin tanpa wali. Hanafi dan Hambali berpandangan

walaupun nikah itu tidak pakai wali, nikahnya tetap sah.

C. TINJAUAN TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN

Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan

suami isteri sesudah dilangsungkannya akad nikah. Menurut

Soedaryo Soimin, pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan

Pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu

tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak

pernah ada.

Sedangkan pembatalan perkawinan menurut hukum Islam

suatu perkawinan dapat batal dan dibatalkan, perkawinan yang

melanggar larangan yang bersifat abadi, yakni yang berkaitan

dengan hukum agama dalam perkawinan, maka pembatalannya

bersifat abadi. Sedangkan yang melanggar larangan yang bersifat

sementara, yakni larangan yang adakalanya berhubungan dengan

agama dan administrasi.

Pembatalan perkawinan yaitu rusak atau tidak sahnya

perkawinan karena tidak memenuhi salah satu rukun atau salah

satu syaratnya, atau sebab lain yang dilarang atau diharamkan oleh

38
agama. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan dapat juga

dikenal sebagai fasakh.8

Pembatalan perkawinan dalam hukum Islam disebut fasakh

yang artinya merusakkan atau membatalkan. Fasakh menurut

bahasa berarti rusak, batal. Batal yaitu rusaknya hukum yang

ditetapkan terhadap suatu amalan seseorang, karena tidak

memenuhi syarat dan rukunnya, sebagaimana yang ditetapkan oleh

syara’. Jadi fasakh sebagai salah satu sebab putusnya perkawinan

ialah merusakkan atau membatalkan hubungan perkawinan yang

telah berlangsung.9

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi

syarat-syarat Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ini berarti bahwa

perkawinan batal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang

dimaksud, namun jika perkawinan itu telah terlanjur terlaksana,

maka perkawinan itu dapat dibatalkan. Di dalam Pasal 22 Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan

bahwa :

“Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak

memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.”

Pengertian dapat dibatalkan disini menurut penjelasan atas

Pasal 22 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


8
Abdurrahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2003, hlm. 141-142
9
Ahmad Azhar Basyir, Hukum perkawinan Islam, UII Press, Yogjakarta, 2000, hlm
78

39
Perkawinan, dapat diartikan bisa batal atau bisa tidak batal,

bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing

tidak menentukan lain. Terdapat kesan bahwa pembatalan

perkawinan terjadi karena tidak berfungsinya pengawasan baik dari

pihak keluarga atau pejabat berwenang sehingga perkawinan

terlanjur terlaksana yang mana setelah itu ditemukan pelanggaran

terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan maupun terhadap hukum munakahat.

Secara sederhana, ada dua sebab terjadinya pembatalan

perkawinan: 10

a. Pertama, pelanggaran prosedural perkawinan. Misalnya, tidak

terpenuhinya syarat-syarat wali nikah, tidak dihadiri para saksi

dan alasan prosedural lainnya.

b. Kedua, pelanggaran terhadap materi perkawinan. Misalnya,

perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman, terjadi salah

sangka mengenai calon suami dan isteri.

Pembatalan perkawinan adalah usaha untuk tidak

dilanjutkannya hubungan perkawinan setelah sebelumnya

perkawinan itu terjadi. Dalam memutus permohonan pembatalan

perkawinan, pengadilan harus selalu memperhatikan ketentuan

agama mempelai. Jika menurut agama perkawinan itu sah maka

pengadilan tidak bisa membatalkan perkawinan.

10
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia,
kencana, Jakarta, 2006, hlm. 107

40
Batalnya perkawinan dimulai setelah adanya putusan dari

pengadilan, Pasal 28 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan menentukan bahwa : “Batalnya suatu

perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan yang

mempunyai ketentuan tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya

perkawinan”.

Orang yang dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan menurut Pasal 23 Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan dan Pasal 73 Kompilasi Hukum Islam,

yaitu :11

a. Para keluarga dalam garis keturunan terus keatas dari suami

atau isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum

diputuskan;

d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-

undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan

hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi

hanya setelah perkawinan itu putus.

Undang-undang Perkawinan mengatur tempat diajukannya

permohonan pembatalan perkawinan yang dimuat didalam Pasal

25 yaitu Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada

pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan


11
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 106

41
dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau

isteri. Batalnya suatu perkawinan setelah putusan Pengadilan

Agama mempunyai ketentuan yang tetap.

Pembatalan perkawinan dapat pula diajukan oleh wali nikah

sesuai dengan ketentuan Pasal 26 dengan beberapa ketentuan :12

1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat

perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah, yang tidak sah

atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi

dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam

garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan

suami atau isteri.

2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan

alasan dalam ayat (1) Pasal ini gugur apabila mereka telah

hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat

memperlihatkan akta perkawinan yang dibuat pegawai

pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan

harus diperbaharui supaya sah.

Ketentuan tentang yang mengatur saat berlakunya

pembatalan perkawinan dimuat di dalam Pasal 28 Undang-undang

Perkawinan yaitu :

1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan

pengadilan mempunyai ketentuan yang tetap dan berlaku

sejak saat berlangsungnya perkawinan.


12
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2010, hlm. 107

42
2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap :

a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik,

kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan

perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang

lebih dahulu;

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b

sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad

baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai

ketentuan tetap.

D. TINJAUAN TENTANG PEMALSUAN SURAT DAN IDENTITAS

Kejahatan mengenai pemalsuan adalah berupa kejahatan

yang didalamnya mengandung unsur ketidak benaran atau palsu

atas sesuatu objek yang tampak seolah-olah benar adanya padahal

sesungguhnya tidak benar. Perbuatan pemalsuan dapat

digolongkan pertama-tama dalam kelompok kejahatan “Penipuan”.

Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan

apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu

keadaan atas barang (surat) seakan-akan asli atau benar,

sedangkan sesungguhnya keaslian atau kebenaran tersebut tidak

demikian benar. Karena gambaran orang lain terpedaya bahwa

43
keadaan yang di gambarkan atas barang atau surat tersebut

adalah benar atau asli.

Kejahatan pemalsuan dikelompokan menjadi 4 gologan, yaitu:

1. Kejahatan sumpah palsu (Bab IX)

2. Kejahatan pemalsuan uang (Bab X)

3. Kejahatan pemalsuan materai dan merek (Bab XI)

4. Kejahatan pemalsuan surat (Bab XII)

Perihal tindak pidana pemalsuan diatur dalam bab XII KUHP

dengan titel memalsukan surat-surat. Tindak pidana yang

dirumuskan sebagai membuat surat palsu atau memalsukan surat

yang dapat menerbitkan suatu hak atau suatu perikatan atau surat

suatu pembebasan dari utang atau surat-surat yang diajukan untuk

membuktikan suatu kejadian, dengan tujuan dan maksud untuk

memakai surat itu asli dan tidak palsu, dan pemakaian itu dapat

menimbulkan kerugian, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263

ayat (1) KUHP. Didalam surat terkandung arti atau makna tertentu

dari sebuah pikiran, yang kebenarannya harus dilindungi.13

Pemalsuan sangat beragam bentuknya, salah satunya adalah

pemalsuan identitas. Dalam hal ini kejahatan pemalsuan identitas

yang dimaksud penulis adalah kejahatan pemalsuan dalam

perkawinan. Pengaturan pemalsuan identitas dalam perkawinan

menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana diatur dalam pasal

13
Adam Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Rajawali Pers, Jakarta, 2001,
hlm 97.

44
266 yang merupakan yang mengatur tentang pemalsuan identitas,

walaupun tidak secara tegas dituliskan bentuk pemalsuannya

adalah dalam hal identitas dalam perkawinan dan pemalsuan,

namun demikian identitas yang dimaksud tersebut di tuliskan dalam

suatu akta otentik sehingga menjadi bagian dari pasal ini. Dalam

hal pemalsuan identitas dalam perkawinan ini, dimana seseorang

yang mempunyai tujuan tertentu yang secara ilegal akan

menggunakan segala macam cara atau membuat identitas palsu.

BAB III

PEMBAHASAN

45
A. KASUS POSISI

Termohon I sebelumnya telah menikah secara sah dengan

saudari Tri Mei Endah Wahyuni Binti Sofi’i Hadi Siswanto (Istri

Termohon I) di Kecamatan Kepung Kabupaten Kediri Provinsi Jawa

Timur yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 27 Juni 2011

sebagaimana dikuatkan dengan Akta Nikah Nomor: 465/75/VI/2011

tanggal 27 Juni 2011 diterbitkan oleh KUA Kecamatan Kepung,

Kabupaten Kediri, Provinsi Jawa Timur.

Dari hasil perkawinan antara Termohon I dengan saudari Istri

Termohon I telah dikaruniai 2 (dua) orang anak, yang pertama

bernama Ardiansyah Putra Pratama umur 11 (sebelas) tahun, yang

kedua bernama Arfan Naufal Raffasya umur 5 (lima) bulan.

Selanjutnya Termohon I tanpa sepengetahuan dan seijin istrinya

(sdri. Istri Termohon I) melaksanakan perkawinan yang kedua

dengan Termohon II pada hari Senin tanggal 17 Februari 2014

bertempat di Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo,

sebagaimana dikuatkan dengan buku nikah isteri atas nama

Termohon II (Alm) dengan Nomor: 0042/019/II/2014 tanggal 17

Februari 2014 yang diterbitkan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)

Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo.

Bahwa untuk dapat melakukan perkawinan yang kedua tersebut

Termohon I telah menggunakan data-data palsu berupa Akta Cerai

Nomor: 465/AC/2017/PA.Msy.Kediri tanggal 28 Agustus 2017 yang

46
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Kabupaten Kediri, padahal

faktanya Akta Cerai tersebut bukan milik Termohon I, namun setelah

dikonfirmasi di Pengadilan Agama Kediri, Akta Cerai Nomor:

465/AC/2017/PA.Msy.Kediri tanggal 28 Agustus 2017 tersebut

merupakan Akta Cerai atas nama Abdul Hasan Bin Mpohamad Soleh

dengan Rikhatul Ajmi Binti Ihwan dan bukan atas nama Termohon I

dan Termohon II. Dari hasil perkawinan antara Termohon I dengan

Termohon II telah dikaruniai 2 (dua) orang anak.

Perbuatan Termohon I melanggar pasal 4 ayat (1), pasal 5 ayat

(1), pasal 9 UU RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

melanggar pasal 40, PP RI Nomor : 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan Jo. pasal 56 ayat (1) dan ayat (3) jo. Pasal 71 huruf a

Kompilasi Hukum Islam jo. Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991

tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

B. LANDASAN TEORI

1. Teori Kewenangan

47
Kewenangan atau wewenang mempunyai kedudukan yang

sangat penting dalam kajian hukum administrasi. Pentingnya

kewenangan ini sehingga F.A.M. Stroink dan J.G Steenbeek

menyatakan: “Het Begrip bevoegdheid is dan ook een kembegrip

in he staats-en administratief recht”.14 Dari pernyataan tersebut

dapat ditarik kesimpulan bahwa wewenang merupakan konsep

yang inti dari hukum administrasi. Istilah kewenangan atau

wewenang sejajar dengan “authority” dalam bahasa inggris dan

“bevoegdheid” dalam bahasa Belanda. “Authority” dalam Black’s

Law Dictionary diartikan sebagai Legal Power; a right to command

or to act; the right and power of publik officers to require

obedience to their orders lawfully issued in scope of their public

duties.15 Kewenangan atau wewenang itu sendiri adalah

kekuasaan hukum serta hak untuk memerintah atau bertindak, hak

atau kekuasaan hukum pejabat publik untuk mematuhi aturan

hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik.

Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu

hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan

wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan

kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah

kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan

sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya


14
Nur Basuki Winanrno, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi,
laksbang mediatama, Yogyakarta, 2008, hlm. 65.
15
Ibid.

48
berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang

memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the

ruled).16

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang.

Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering

disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum

Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit

perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”.

Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya.Istilah

“bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun

dalam hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan

atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum

publik.17

Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu

hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan

wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan

kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah

kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan

sering disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya

berbentuk hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang

16
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1998), hlm. 35-36
17
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga,
Surabaya, tanpa tahun, hlm. 20

49
memerintah dan pihak lain yang diperintah” (the rule and the

ruled).18

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang.

Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering

disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum

Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit

perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”.

Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya.Istilah

“bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun

dalam hukum privat.Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan

atau wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum

publik.19

Meskipun demikian kekuasaan mempunyai dua aspek yaitu

aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya

beraspek pada hukum semata yang artinya kekuasaan itu dapat

bersumber dari konstitusi, serta dapat bersumber dari luar

konstitusi (inkonstitusional), misalnya melalui perang atau kudeta,

sedangkan kewenangan itu sendiri jelas bersumber dari konstitusi.

Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal,

kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh

undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu

18
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1998), hlm. 35-36
19
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga,
Surabaya, tanpa tahun, hlm. 20

50
“onderdeel” atau bagian tertentu saja dari kewenangan. Di dalam

kewenangan terdapat wewenang-wewenang rechtsbe

voegdheden. Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum

publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi

wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi

meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan

memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya

ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara yuridis,

pengertian wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh

peraturan perundangundangan untuk menimbulkan akibat-akibat

hukum.20

Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut

di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kewenangan atau

authority memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang

atau competence. Kewenangan merupakan kekuasaan formal

yang berasal dari undang-undang, sedangkan wewenang itu

sendiri yaitu suatu spesifikasi dari kewenangan yang artinya

barang siapa disini adalah subyek hukum yang diberikan

kewenangan oleh undang-undang, maka subyek hukum

berwenang untuk melakukan sesuatu tersebut dalam kewenangan

karena perintah undang-undang.

20
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 65

51
Kewenangan yang dimiliki oleh organ atau institusi

pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), melakukan

pengaturan atau mengeluarkan keputusan yang selalu dilandasi

oleh kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara delegasi,

atribusi, maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada

kewenangan yang asli atas dasar konstitusi di dalam Undang-

Undang Dasar. Pada kewenangan delegasi, haruslah ditegaskan

suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang

lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti

pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak

atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat

yang diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas

nama mandator atau pemberi mandat.

Bagir Manan mengemukakan bahwa wewenang dalam

bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan atau match.

Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak

berbuat. Di dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan

kewajiban atau rechten en plichen. Di dalam kaitan dengan

otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk

mengatur sendiri zelfregelen, sedangkan kewajiban secara

horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan

pemerintahan sebagaimana mestinya. Vertikal berarti kekuasaan

52
untuk menjalankan pemerintahan dalam suatu tertib ikatan

pemerintahan negara secara keseluruhan.21

Mengenai sifat kewenangan pemerintahan yaitu yang

bersifat terikat, fakultatif, dan bebas, terutama dalam kaitannya

dalam kewenangan-kewenangan pembuatan dan penerbitan

keputusan-keputusan atau besluiten dan ketetapan-ketetapan atau

beschikkingan oleh organ pemerintahan, sehingga dikenal ada

keputusan yang bersifat terikat dan bebas. Wewenang yang

bersifat terikat, yakni terjadi apabila peraturan dasarnya

menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana

wewenang tersebut dapat digunakan atau peraturan dasarnya

sedikit banyak menentukan tentang isi dan keputusan yang harus

diambil.

Ada dua wewenang yaitu wewenang fakultatif dan wewenang

bebas. Wewenang fakultatif adalag wewenang yang terjadi dalam

hal badan atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan

tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit banyak masih

ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-

hal atau keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam

peraturan dasarnya, sedangkan wewenang bebas adalah

wewenang yang terjadi ketika peraturan dasarnya memberikan

kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha negara untuk

21
Bagir manan, wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam Rangka Otonomi
Daerah. Hlm 1-2

53
menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan

dikeluarkannya atau peraturan dasarnya memberi ruang lingkup

kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan.

Philipus mandiri Hadjon mengutip pendapat N. M. Spelt dan

Ten Berge, membagi kewenangan bebas dalam dua kategori yaitu

kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan

penilaian (beoordelingsverijheid) yang selanjutnya disimpulkan

bahwa ada dua jenis kekuasaan bebas yaitu : pertama,

kewenangan untuk memutuskan mandiri; kedua, kewenangan

interpretasi terhadap norma-norma tersamar (verge norm).22

2. Teori Penegakan Hukum

Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan

sosial menjadi kenyataan. Jadi penegakan hukum pada

hakikatnya adalah proses perwujudan ide-ide. Penegakan hukum

adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya

norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman pelaku

dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Penegakan hukum

merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep hukum yang

22
Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hlm. 112

54
diharapakan rakyat menjadi kenyataan. Penegakan hukum

merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal.23

Secara umum pengertian penegakan hukum menurut Satjipto

Rahardjo adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide menjadi

kenyataan, sedangkan Suryono Soekanto dengan mengutip

pendapat Purnadi Purbacaraka mengatakan bahwa penegakan

hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

mantap dan mengejahwantahkan serta sikap tindak sebagai

rangkuman penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan (social

engineering), memelihara dan mempertahankan (control)

perdamaian pergaulan hidup. Lebih lanjut menurut Soewardi M

pengertian umum penegakan hukum adalah kegiatan untuk

melaksanakan atau memberlakukan ketentuan. Lebih jauh lagi

dijelaskan bahwa sistem hukum yang baik adalah menyangkut

penyerasian antara nilai dengan kaidah serta dengan perilaku

nyata.24 Dalam Buku Seminar Hukum Laut Kelima Tahun 1990

dinyatakan bahwa dalam pengertian penegakan hukum tersirat

adanya tuntutan kemampuan untuk memelihara dan mengawasi

pentaatan ketentuanketentuan hukum tertentu baik nasional

maupun internasional di perairan di dalam yurisdiksi nasional

23
Dellyana Shant, Op.Cit, Liberty hlm 32
24
Raida L. Tobing dan Sriwulan Rios, Penegakan Kedaulatan dan Penegakan
Hukum Di Ruang Udara, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, AsosiasiPeneliti Hukum
Indonesia, Vol 01 N0. 2, Hlm. 49.

55
Indonesia dan perairan lainnya dalam rangka membela dan

melindungi kepentingan nasional lainnya.25

Dengan demikian sepanjang intensitas ancaman dianggap

mengganggu tertib dan kepentingan hukum, maka tindakan yang

diambil dalam menghadapi ancaman tersebut adalah berupa

penegakan hukum. Lebih jauh lagi dinyatakan bahwa pengertian

umum penegakan hukum diartikan sebagai suatu kegiatan

negara/aparatnya berdasarkan kedaulatan negara dan atau

berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum internasional agar

supaya peraturan hukum yang berlaku di laut, baik aturan hukum

nasional maupun aturan hukum internasional dapat diindahkan

atau ditaati oleh setiap orang dan atau badan hukum dan negara

sebagai subyek hukum. Dengan demikian dapat tercipta tertib

hukum nasional dan tertib hukum internasional.

Pengertian penegakan hukum disatu pihak dan penegakan

kedaulatan di lain pihak dapat dibedakan namun keduanya tidak

dapat dipisahkan karena penegakan kedaulatan di laut mencakup

penegakan hukum di laut saja. Penegakan kedaulatan dapat

dilaksanakan tidak hanya dalam lingkup negara, melainkan dapat

juga menjaring keluar batas negara, sedangkan penegakan hukum

di laut adalah suatu proses kegiatan penangkapan dan penyidikan

suatu kasus yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran di

25
Seminar Hukum Nasional Kelima, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1990,
hlm 168

56
laut atas ketentuan hukum yang berlaku baik ketentuan hukum

internasional maupun nasional, sehingga dalam pelaksanaannya

penegakan kedaulatan dan penegakan hukum di laut dilakukan

serentak. Penegakan hukum di laut tidak dapat dilepaskan dari

masalah penegakan kedaulatan di laut. Dengan demikian adanya

perbedaan penegakan hukum dengan penegakan kedaulatan

tergantung intensitas ancaman yang dihadapi. Sepanjang

ancaman itu dianggap membahayakan eksistensi suatu negara

maka tindakan yang dapat diambil menghadapi ancaman tersebut

adalah berupa penegakan kedaulatan.

Wewenang untuk menegakkan kedaulatan dan hukum

tersebut bersumber pada kedaulatan dan yurisdiksi yang dimiliki

oleh negara yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan-

ketentuan hukum internasional. Pada hakekatnya kedaulatan

adalah kekuasaan tertinggi dan penuh dari suatu negara yang

sifatnya menyeluruh, untuk melakukan suatu tindakan yang

dianggap perlu demi kepentingan nasional negara itu sendiri

berdasarkan hukum nasional dengan memperhatikan hukum

internasional. Kedaulatan negara itu dijabarkan dalam bentuk

kewenangan-kewenangan atau hak negara negara yang

bersangkutan, antara lain yurisdiksi, yaitu wewenang negara untuk

membuat dan menegakkan peraturan hukum. Penegakan hukum

di laut oleh negara melalui aparatnya pada hakekatnya adalah

57
terselenggaranya penegakan kedaulatan itu sendiri karena

kewenangan dan kemampuan penyelenggaraan penegakan

hukum pada dasarnya bersumber pada kedaulatan negara dan

sekaligus merupakan pengejahwantahan kedaulatan.

Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka

penegakan hukum pidana menampakkan diri sebagai penerapan

hukum pidana (criminal law application) yang melibatkan pelbagai

sub sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan,

pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk didalamnya tentu saja

lembaga penasehat hukum. Dalam hal ini penerapan hukum

haruslah dipandang dari 3 dimensi :

1. penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif

(normative system) yaitu penerapan keseluruhan aturan

hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial yang didukung

oleh sanksi pidana.

2. penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif

(administrative system) yang mencakup interaksi antara

pelbagai aparatur penegak hukum yang merupakan sub

sistem peradilan diatas.

3. penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social

system), dalam arti bahwa dalam mendefinisikan tindak

pidana harus pula diperhitungkan pelbagai perspektif

pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat. Faktor-faktor

58
yang mempengaruhi penegakan hukum menurut Soerjono

Soekanto adalah :26

a. Faktor Hukum

Faktor penyelenggaraan hukum di lapangan ada

kalanya terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan

keadilan, hal ini disebabkan oleh konsepsi keadilan

merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak,

sedangkan kepastian hukum merupakan suatu prosedur

yang telah ditentukan secara normatif. Justru itu, suatu

kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar

hukum merupakan sesuatu yang dapat dibenarkan

sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan

dengan hukum. Maka pada hakikatnya penyelenggaraan

hukum bukan hanya mencakup law enforcement, namun

juga peace maintenance, karena penyelenggaraan hukum

sesungguhnya merupakan proses penyerasian antara

nilai kaedah dan pola perilaku nyata yang bertujuan untuk

mencapai kedamaian.

b. Faktor Penegakan Hukum

Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas

penegak hukum memainkan peranan penting, kalau

peraturan sudah baik, tetapi kualitas petugas kurang baik,

ada masalah. Oleh karena itu, salah satu kunci


26
Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm 42

59
keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas

atau kepribadian penegak hukum

c. Faktor Sarana

Faktor sarana atau fasilitas pendukung mencakup

perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu contoh

perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang

diterima oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal

yang praktis konvensional, sehingga dalam banyak hal

polisi mengalami hambatan di dalatujuannya, diantaranya

adalah pengetahuan tentang kejahatan computer, dalam

tindak pidana khusus yang selama ini masih diberikan

wewenang kepada jaksa, hal tersebut karena secara

teknis yuridis polisi dianggap belum mampu dan belum

siap. Walaupun disadari pula bahwa tugas yang harus

diemban oleh polisi begitu luas dan banyak.

d. Faktor Masyarakat

Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan

bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam

masyarakat. Setiap warga masyarakat atau kelompok

sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum,

persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum,

yaitu kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang.

Adanya derajat kepatuhan hukum masyarakat terhadap

60
hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya

hukum yang bersangkutan.

e. Faktor Kebudayaan

Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang

begitu sering membicarakan soal kebudayaan.

Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai

fungsi yang sangat besar bagi manusia dan masyarakat,

yaitu mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana

seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya

kalau mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan

demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang

perikelakuan yang menetapkan peraturan mengenai apa

yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

C. FAKTA DAN ANALISA YURIDIS

61
1. Kewenangan Jaksa Di Bidang Perdata Dan Tata Usaha

Negara Selaku Jaksa Pengacara Negara Dalam Permohonan

Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan

Sebagai pejabat fungsional, Jaksa diberikan kewenangan

selaku penuntut umum serta pelaksana putusan pengadilan

dengan kekuatan hukum tetap dan wewenang lain yang melekat

pada dirinya sebagaimana aturan perundang-undangan

memberikan kewenangan tersebut. Pandangan awam yang

memfokuskan bahwa kewenangan Jaksa hanya dalam bidang

hukum pidana adalah pendapat yang keliru sebab ia juga

diberikan kewenangan baik dalam ranah hukum perdata maupun

hukum tata usaha negara. Kedudukannya dalam bidang hukum

perdata maupun hukum tata usaha negara telah ditegaskan

melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia (selanjutnya disebut

“Undang-Undang Kejaksaan”) khususnya pada Pasal 30 ayat (2)

yang menegaskan bahwa baik di dalam maupun di luar

pengadilan kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak

atas nama negara atau pemerintah dalam menangani kasus-

kasus perdata maupun kasus yang menjadi lingkup tata usaha

negara.

62
Terkait pembatalan perkawinan yang merupakan ranah

hukum perdata, andil Jaksa dalam bidang ini diatur lebih lanjut

dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor PER025/A/JA/11/2015

tentang Petunjuk Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan

Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain dan

Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara

(selanjutnya disebut “Perja 25/2015”). Pada Bab II tentang

Penegakan Hukum Lampiran Perja 25/2015 ditegaskan bahwa

kewenangan untuk melakukan pembatalan perkawinan yang

telah dilangsungkan dengan tidak mengindahkan syarat yang

dimuat dalam hukum positif Indonesia dilekatkan kepada Jaksa

Pengacara Negara. Jaksa selaku penegak hukum akan

memohonkan gugatan pembatalan perkawinan ke pengadilan

atas perkawinan yang melanggar ketentuan peraturan

perundang-undangan. Mekanisme permohonan pembatalan

perkawinan dalam Perja 25/2015 memuat poin-poin berikut :

1. Pengumpulan data secara aktif dilakukan oleh Jaksa melalui

internal kejaksaan maupun pihak eksternal yang melibatkan

instansi serta masyarakat sekitar.

2. Perkawinan yang dilangsungkan dihadapan Pegawai

Pencatat Perkawinan, wali nikah yang tidak berwenang,

serta perkawinan yang dilangsungkan tanpa kehadiran dua

63
orang saksi adalah ranah yang melekat pada Jaksa untuk

memohon pembatalan perkawinan.

3. Pembatalan Perkawinan diajukan oleh Jaksa melalui

Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Agama locus

perkawinan dilangsungkan atau tempat kediaman kedua

mempelai dan tempat tinggal salah satu pihak apabila kedua

belah pihak berada dalam wilayah yang berbeda

4. Permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh

Jaksa dilakukan dengan mengindahkan tata cara yang diatur

sesuai dengan hukum acara Indonesia.

Pengetahuan Jaksa mengenai pelanggaran hukum atas

pelaksanaan perkawinan ditemuinya baik secara langsung

maupun tidak langsung. Pengetahuannya secara langsung

dimaknai bahwa Jaksa sendirilah yang menemukan adanya

pelanggaran terhadap perkawinan yang telah dilangsungkan

oleh para pihak, sementara keterangan dari pihak yang

bersangkutan langsung atau pihak yang mengetahui perkawinan

tersebut merupakan pengetahuan Jaksa yang digolongkan

sebagai pengetahuan tidak langsung. Keterangan yang

disampaikan oleh masyarakat kepada Jaksa harus disertai bukti-

bukti yang cukup bahwa terlaksananya perkawinan telah nyata

melanggar hukum positif Indonesia sebagaimana dimuat pada

Undang-Undang Perkawinan beserta aturan turunannya. Oleh

64
karena perkara pembatalan perkawinan merupakan lingkup

hukum perdata, maka Jaksa dalam permohonan pembatalan

perkawinan bertindak selaku pemohon sementara pasangan

suami istri yang dimohonkan pembatalan perkawinannya

memegang peranan sebagai termohon.

2. Mekanisme Pembatalan Perkawinan Oleh Jaksa Selaku Jaksa

Pengacara Negara Berdasarkan Peraturan Perundang-

Undangan Yang Berlaku

Apabila kita telaah lebih dalam bunyi Pasal 26 ayat (1)

Undang-Undang Perkawinan, maka kewenangan Jaksa dalam

mengajukan gugatan pembatalan perkawinan kepada pengadilan

hanya sebatas pada ketidakwenangan Pegawai Pencatat

Perkawinan yang melangsungkan perkawinan, ketiadaan wali

nikah yang sah, atau perkawinan yang dilangsungkan tanpa

kehadiran dua orang saksi.

Demikian menggambarkan bahwa pembatalan perkawinan

pemalsuan surat dan identitas tampaknya bukanlah kewenangan

Jaksa untuk memohonkan pembatalan perkawinan tersebut.

Merujuk ketentuan Pasal 23 huruf d Undang-Undang

Perkawinan, beleid tersebut hanya menerangkan bahwa akan

diatur lebih lanjut pejabat yang dilekatkan kewenangan

pembatalan perkawinan, namun hingga saat ini ketentuan

65
tersebut belum juga diterbitkan bahkan dalam Instruksi Presiden

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum

Islam khususnya ketentuan Pasal 73 huruf c (selanjutnya disebut

“Kompilasi Hukum Islam”) hanya menegaskan bahwa

kewenangan pejabat untuk memohonkan pembatalan perkawinan

dilekatkan pada pejabat yang secara langsung mengawasi

pelaksanaan perkawinan tersebut.

Atas keraguan yang terjadi dalam hukum perkawinan, maka

sepantasnya Jaksalah yang diberikan kewenangan dalam

memohonkan pembatalan perkawinan pemalsuan surat dan

identitas manakala pihak-pihak yang terlibat langsung dalam

perkawinan tidak mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan. Sejalan dengan fungsi Jaksa sebagai pembela

kepentingan negara atas pelanggaran hukum yang terjadi dalam

ranah perdata, pidana, serta tata usaha negara dan fungsi Jaksa

memelihara ketertiban dan ketenteraman umum, maka

sepatutnya kewenangan tersebut dilekatkan pada Jaksa. Terang

pula bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (3) huruf e Undang-Undang

Kejaksaan menegaskan bahwa Kejaksaan turut

menyelenggarakan segala kegiatan pencegahan penodaan

agama yang dapat mencederai ketenteraman masyarakat.

Oleh karena itu, Jaksa dalam memohonkan pembatalan

perkawinan pada pengadilan setempat tidak terbatas pada

66
perkawinan yang dilangsungkan di hadapan wali nikah yang tidak

sah, perkawinan dimuka Pegawai Pencatat Perkawinan yang

tidak berwenang atau perkawinan yang dilangsungkan tanpa

dihadiri oleh dua orang saksi sebagaimana ketentuan Pasal 26

ayat (1) Undang-Undang Perkawinan telah memuat hal tersebut.

Untuk mewujudkan kepastian hukum yang berkenan dengan

ketentuan Pasal 16 ayat (2) serta Pasal 23 huruf d Undang-

Undang Perkawinan yang tidak memberikan gambaran nyata

mengenai pejabat manakah yang berwenang melayangkan

permohonan pembatalan perkawinan lebih khusus permohonan

pembatalan perkawinan pemalsuan surat dan identitas, maka

Jaksa sejatinya merupakan pejabat yang tepat untuk mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan di muka pengadilan.

Dikemudian hari ketika Jaksa menemukan kasus serupa

dan dari perkawinan tersebut telah dibuat suatu akta notariil maka

Jaksa tidak hanya memohonkan putusnya ikatan perkawinan di

antara mereka. Jaksa patut pula untuk mengajukan pembatalan

atas akta yang telah dibuat oleh Notaris sebab perjanjian tersebut

melanggar syarat subjektif mengenai kesepakatan dan syarat

objektif berupa sebab yang halal dalam ketentuan Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut

sebagai “KUH Perdata”) yang bertentangan dengan undang-

undang, ketertiban umum, dan kesusilaan baik.27


27
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 2005), hlm. 17.

67
Walau pada tanggal 15 November 1995, melalui Putusan

Kasasi Nomor 196 K/AG/1994, di mana telah terjadi perkawinan

yang dilaksanakan oleh wali hakim yang tidak berwenang karena

daerah asal wali tidak sesuai dengan tempat tinggal mempelai

wanita, Mahkamah Agung selaku peradilan tingkat kasasi

menerangkan bahwa permohonan yang diajukan oleh Jaksa

adalah tindakan yang kurang tepat sebab ia bukanlah pejabat

yang dimaksud dalam Undang-Undang Perkawinan maupun

Kompilasi Hukum Islam.28 Keputusan Hakim Agung mengenai

ketidakwenangan Jaksa menurut pendapat penulis tidak dapat

dijadikan sebagai acuan mutlak bagi Jaksa untuk tidak

memohonkan pembatalan perkawinan yang secara nyata

melanggar ketentuan hukum perkawinan dikemudian hari.

Putusan tersebut hanya sebatas yurisprudensi dengan hierarki

yang tidak dapat mengesampingkan ketentuan peraturan

perundangundangan sebagaimana Pasal 7 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan menjabarkan mana saja hierarki

perundang-undangan Indonesia. Sehingga secara prosedural

Putusan Kasasi Nomor 196 K/AG/1994 tidaklah mengikat Jaksa

untuk mencegahnya melakukan permohonan pembatalan

28
Darsi et. al, “Kedudukan Jaksa dalam Pembatalan Perkawinan (Studi Pasal 26
Undang Undang No. 1 Tahun 1974),” Al-Qishthu Vol. 5 (2): 31-36.

68
perkawinan pemalsuan surat dan identitas dalam sistem peradilan

Indonesia.

Terhadap perkawinan poligami yang tidak adanya ijin dari

pengadilan agama atau terjadi suatu pemalsuan identitas maka

pihak yang berkepentingan (dalam hal ini istri atau pejabat yang

berwenang) dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan tersebut ke Pengadilan Agama di tempat tinggal

termohon atau tempat perkawinan dilakukan. Prosedur pengajuan

pembatalan perkawinan poligami secara umum sama dengan

prosedur pengajuan perkara yang lain, perkara poligami juga

diawali dengan pengajuan perkara, Setelah itu pihak pengadilan

memeriksa perkara yang telah didaftarkan oleh pemohon tersebut

untuk selanjutnya diproses dalam persidangan. Pemeriksaan

perkara pembatalan perkawinan poligami di pengadilan agama

pada dasarnya sama dengan pemeriksaan permohonan atau

perkara voluntir lainnya. Perbedaannya adalah perlunya bukti-

bukti yang mengharuskan perkawinan itu dibatalkan dan perlunya

didengar keterangan dari pemohon yang melakukan pembatalan

perkawinan tersebut, hanya saja keputusan izin tersebut tidak

bergantung sepenuhnya pada hakim akan tetapi lebih kepada

hukum agamanya juga.

Undang-undang peradilan agama menyebutkan bahwa

peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang

69
beragama Islam. Berarti orang yang mengajukan perkara adalah

orang-orang yang beragama Islam. Sedangkan hukum acara

yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata

yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Sebagaimana yang

disebutkan dalam Undang-undang Pengadilan Agama pasal 54 :

“Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan

peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada

pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah

diatur secara khusus dalam Undang-undang ini”. Dalam

pemeriksaan pembatalan perkawinan poligami secara umum ada

beberapa hal yang perlu dibuktikan oleh pemohon, yaitu :

1. Apakah benar Termohon I telah melakukan perkawinan yang

kedua tanpa seizin istri sahnya dan Pengadilan Agama

setempat.

2. Apakah Termohon melakukan perkawinan keduanya

tersebut dengan menggunakan identitas palsu.

3. Apakah Termohon telah menggunakan akta cerai orang lain

dalam perkawinannya yang kedua.

Ketiga hal tersebut perlu di buktikan oleh pemohon dan

mempunyai unsur yang bersifat kumulatif. Selanjutnya

Mekanisme yang ada di dalam persidangan ini berfungsi untuk

menjaga keteraturan setiap elemen yang ada di dalam sidang

tersebut agar persidangan dapat berjalan dengan lancar.

70
Prosedur perkara pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama

Wates, penulis mendapatkan penjelasan bahwa prosedur

pembatalan perkawinan adalah pengajuan permohonan pemohon

sampai proses persidangan. Dalam pengajuan permohonan,

pemohon mencantumkan uraian perkara dalam permohonan

yang diajukan pemohon termasuk surat keterangan pembatalan

perkawinan poligami yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan

Agama, hal ini sesuai dengan pasal 22 Undang-Undang Nomor

16 Tahun 2019 perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan bahwa perkawinan dapat dibatalkan

apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan. Permohonan pembatalan

perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau istri dan pejabat

yang berwenang. Pada proses persidangan, harus dihadirkan

para saksi saat pernikahan antara Termohon I dan Termohon II

dilangsungkan dan jaksa (pejabat) dalam hal ini sebagai

pemohon. Untuk menguatkan perihal adanya saksi yang

mengetahui bahwa termohon I telah menyembunyikan

perkawinan dan menggunakan identitas palsu untuk melakukan

perkawinan yang kedua kalinya tanpa seizin dari istri sah nya dan

Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara

singkat dan akan memberikan ketetapan apakah ia akan

menguatkan pembatalan perkawinan tersebut atau

71
memerintahkan agar perkawinan tetap berlangsung sebagaimana

mestinya.

3. Keabsahan Permohonan Pembatalan Perkawinan Oleh Jaksa

Selaku Jaksa Pengacara Negara Di Tinjau Dari Hukum

Perkawinan pada Putusan Nomor 133/Pdt.G/2020/PA.Wt. dan

Akibat Hukumnya.

Dari 2 kasus pembatalan perkawinan yang terjadi selama

tahun 2020 sangat penting untuk diketahui secara lebih

mendalam, selain karena pembatalan perkawinan ini adalah

perkawinan poligami, ternyata perkawinannya dilakukan dengan

pelanggaran hukum lebih jelasnya perkara No

133/Pdt.G/2020/Pa.Wt yang dikaji oleh peneliti tentang

pembatalan perkawinan poligami dikarenakan pihak laki-laki

menggunakan identitas palsu bahwa Termohon I mengaku masih

perjaka/bujang kepada Termohon II supaya pernikahannya yang

kedua dapat dilakukan. Tetapi kenyataannya Termohon I masih

berstatus sebagai seorang suami yang sah dari istrinya.

Diketahui bahwa termohon melakukan pemalsuan dalam

perkawinannya. Pembatalan perkawinan poligami dalam kasus ini

banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya :

a. Faktor Internal Mempelai kurang pemahamannya terhadap

ketaatan hukum dan kemungkinan risiko yang muncul jika

72
terjadi pelanggaran sehingga mempelai lakilaki tidak

memperhitungkan jika perkawinannya yang kedua

(poligami) tersebut tidak akan dapat terlaksana dan dapat

dibatalkan, terbukti dalam kasus tersebut Termohon I telah

melakukan Pemalsuan surat untuk melakukan perkawinan

yang kedua kalinya tanpa tahu risiko dari perbuatannya

tersebut. Perbuatan yang dilakukan oleh Termohon I jelas

merupakan perbuatan yang melanggar legalitas hukum

karena pernikahan antara Termohon I dan Termohon II yang

dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat perkawinan

Kantor Urusan Agama kecamatan Pengasih, Kabupaten

Kulon Progo mengandung cacat dalam syarat perkawinan

yakni Termohon I melakukan poligami tanpa seizin

Pengadilan Agama dan pada saat berlangsungnya

perkawinan Termohon I menggunakan kartu identitas yang

tidak sesuai pada saat itu.

b. Faktor Eksternal dari pejabat selaku penegak hukum

mengetahu bahwa termohon telah melakukan pelanggaran

pemalsuan identitas, selain itu juga adanya anggapan

masyarakat bahwa poligami tidak bertentangan dengan

agama Termohon 1 yang memang dalam agamanya

diperbolehkan, Selain itu status sosial seseorang menjadi

73
alasan untuk tidak menghalangi jika para pihak akan

melakukan poligami karena berpenghasilan cukup.

Dalam kasus No. No.133/Pdt.G/2020/Pa.Wt terbukti bahwa

termohon I telah melakukan pelanggaran dengan pemalsuan

surat dan ini merupakan perbuatan pidana oleh karenanya

pembatalan perkawinan tersebut yang mengajukan adalah jaksa

sebagai pemohon karena Termohon I telah melanggar pasal 4

ayat (1), pasal 5 ayat (1), pasal 9 Undang-undang RI Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan dan melanggar pasal 40 PP RI

Nomor : 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 56 ayat (1)

dan (3) jo. Pasal 71 huruf a Kompilasi Hukum Islam jo. Instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi

Hukum Islam. Sebelumnya termohon I juga telah mendapat

hukuman penjara 9 (Sembilan) bulan karena telah

menyembunyikan perkawinannya sebelumnya sebagaimana yang

dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Wates dengan

Nomor perkara 57/Pid.B/2019/PN. Wat.

Putusnya perkawinan bukan hanya disebabkan karena

adanya perceraian dan kematian saja melainkan disebabkan

adanya putusan hakim. Putusnya perkawinan atau putusan

pengadilan terjadi karena pembatalan suatu perkawinan. Dalam

74
kasus tersebut perkawinannya dibatalkan sesuai dengan tuntutan

jaksa oleh karena adanya beberapa pertimbangan, antara lain :

1. Pertimbangan Faktual bahwa :

a. Bahwa Termohon I adalah Terpidana dalam perkara

melakukan tindak pidana yang terbukti menyembunyikan

perkawinan yang ada sebelumnya kepada pihak lain

sebagaimana ketentuan pasal 279 ayat (2) KUHP, yang

mana perkara tersebut telah diperiksa dan diadili pada

pengadilan tingkat pertama dan saat ini telah memperoleh

kekuatan hukum tetap (incraht) dengan hukuman pidana

penjara selama 9 (Sembilan) bulan.

b. Bahwa Termohon I sebelumnya telah menikah secara sah

dengan sdri. Istri Termohon I di kecamatan kepung

kabupaten Kediri provinsi Jawa timur.

c. Bahwa selanjutnya Termohon I tanpa sepengetahuan dan

seizin istrinya (sdri. Istri Termohon I) melaksanakan

perkawinan yang kedua dengan Termohon II bertempat di

Kecamatan Pengasih Kabupaten Kulon Progo.

d. Bahwa untuk dapat melakukan perkawinan yang kedua

tersebut Termohon I telah menggunakan data-data palsu

berupa akta cerai yang dikeluarkan Pengadilan Agama

kabupaten Kediri, padahal faktanya akta cerai tersebut

bukan milik Termohon I.

75
Berdasarkan fakta hukum tersebut bahwa pemohon dalam

hal ini selaku pejabat yang berwenang dalam melakukan

pembatalan perkawinan karena Termohon I telah

menyembunyikan perkawinannya sebelumnya. Perkawinan

yang dilakukan oleh Termohon I dengan Termohon II telah

melanggar syarat perkawinan.

Fakta bahwa pemohon telah mampu memberikan bukti-

bukti berupa kartu identitas yang digunakan Termohon I dalam

melakukan perkawinan poligami yang tersembunyi dan

beberapa orang yang menjadi saksi dalam perkawinan poligami

tanpa izin tersebut yang dilakukan Termohon I dengan

Termohon II.

2. Pertimbangan Hukum

Perkawinan tersebut dapat dibatalkan oleh Pengadilan

Agama Wates karena alasan-alasan pembatalan perkawinan

telah terpenuhi yaitu seorang suami melakukan perkawinan

poligami tanpa seizin Istri sahnya dan Pengadilan Agama.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5ayat (1),

Pasal 9 Undangundang RI No 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan dan melanggar Pasal 40 dan Pasal 41 PP RI

Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang undang No.

1 tahun 1974ntentang Perkawinan jo.Pasal 56 ayat (1) dan (3)

jo Pasal 71 huruf a Kompilasi Hukum Islam jo. Instruksi

76
Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang penyebarluasan

Kompilasi Hukum Islam. Dalam memutuskan perkara

pembatalan perkawinan poligami tersebut adalah melanggar

syarat administratif yaitu pemalsuan identitas yang berupa

pemalsuan status calon suami yang mengaku perjaka serta

menyangkut legalitas hukum perkawinan. Oleh karenanya

gugatan pembatalan dikabulkan.

Setelah terjadinya pembatalan perkawinan yang

diputuskan oleh pengadilan agama Wates ada beberapa akibat

hukum yang timbul yaitu :

a. Putusnya hubungan perkawinan Putusnya hubungan

perkawinan antara suami dan istri terjadi sejak pengadilan

agama Wates mengabulkan gugatan pemohon dalam

pembatalan perkawinan. Sejak adanya putusan dari

pengadilan Agama Wates Termohon I dan Termohon II

sudah tidak lagi mempunyai hubungan sebagaimana

mestinya, perkawinan batal sejak saat berlangsungnya

perkawinan, oleh karena itu perkawinan dianggap tidak

pernah ada (Rachman, et al., 2020). Termohon I dan

termohon II hanya mempunyai hubungan dengan anak-

anaknya yang telah dihasilkan dari perkawinannya antara

Termohon I dengan Termohon II. Perkawinan dapat putus

77
karena tiga hal, yaitu kematian salah satu pihak,

perceraian, dan putusan hakim.

b. Akibat terhadap anak

Perkawinan yang dibatalkan oleh Pengadilan Agama

Wates mengakibatkan keduanya (suami-istri) kembali

seperti keadaan semula atau di antara keduanya seolah-

olah tidak pernah melangsungkan perkawinan. Tetapi itu

tidak berpengaruh dengan status anak-anak yang telah

dihasilkan dari perkawinan yang telah dibatalkan, anak-

anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan dapat

mewarisi dari ayahnya maupun ibunya dan juga anak itu

mempunyai hubungan kekeluargaan dengan keluarga si

ayah ataupun ibu. dan Pasal 28 ayat (2) Undang-undang

Perkawinan menyebutkan bahwa “putusan tidak berlaku

surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan

tersebut” dan anak yang telah dilahirkan tetap menjadi

anak kandung dari Termohon I dan Termohon II. Setelah

adanya pembatalan perkawinan bukan berarti Termohon I

lepas dari tanggung jawab keluarganya, setidaknya

Termohon I tetap memberi nafkah kepada anaknya atau

biaya untuk sekolah anaknya.

c. Implikasi terhadap harta bersama

78
Bagi semua orang yang telah melakukan perkawinan

pastinya kedua belah pihak samasama menghasilkan harta

atau uang yang telah dikumpulkan selama perkawinan.

Penghasilan bersama antara harta suami dan harta istri

digabungkan menjadi satu. Setelah perkawinannya

dibatalkan oleh Pengadilan dalam pembagian harta

bersama dari Termohon I dan Termohon II pembagian

hartanya disepakati antara kedua belah pihak. Dan harta

bawaan yang dibawa sebelum terjadinya perkawinan bisa

dibawa kembali oleh Termohon I dan Termohon II sesuai

bawaannya

Anak dari hasil perkawinan yang dibatalkan tidak menjadi

anak luar kawin/tetap menjadi anak kandung sehingga apabila

nanti setelah anak itu dewasa terjadi pembagian warisan dari

ayah kandungnya (termohon I) anak tersebut tetap berhak

mendapatkan warisan dan menjadi ahli waris dari bapaknya.

Setelah batalnya perkawinan antara Termohon I dan

Termohon II apabila keduanya akan melakukan perkawinan

kembali dengan alasan untuk merawat anak-anaknya bisa saja

dilakukan asalkan Termohon I melakukan perkawinan poligami

tersebut harus sesuai prosedur dengan meminta izin dari

Pengadilan Agama Wates.

79
BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Kewenangan Jaksa Di Bidang Perdata Dan Tata Usaha

Negara Selaku Jaksa Pengacara Negara Dalam Permohonan

Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2021 Tentang Kejaksaan

Terkait pembatalan perkawinan yang merupakan ranah

hukum perdata, andil Jaksa dalam bidang ini diatur lebih lanjut

dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor PER025/A/JA/11/2015

tentang Petunjuk Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan

Hukum, Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain dan

Pelayanan Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara

(selanjutnya disebut “Perja 25/2015”). Pada Bab II tentang

Penegakan Hukum Lampiran Perja 25/2015 ditegaskan bahwa

kewenangan untuk melakukan pembatalan perkawinan yang

telah dilangsungkan dengan tidak mengindahkan syarat yang

dimuat dalam hukum positif Indonesia dilekatkan kepada Jaksa

Pengacara Negara. Jaksa selaku penegak hukum akan

80
memohonkan gugatan pembatalan perkawinan ke pengadilan

atas perkawinan yang melanggar ketentuan peraturan

perundang-undangan. Pengetahuan Jaksa mengenai

pelanggaran hukum atas pelaksanaan perkawinan ditemuinya

baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengetahuannya

secara langsung dimaknai bahwa Jaksa sendirilah yang

menemukan adanya pelanggaran terhadap perkawinan yang

telah dilangsungkan oleh para pihak, sementara keterangan dari

pihak yang bersangkutan langsung atau pihak yang mengetahui

perkawinan tersebut merupakan pengetahuan Jaksa yang

digolongkan sebagai pengetahuan tidak langsung. Keterangan

yang disampaikan oleh masyarakat kepada Jaksa harus disertai

bukti-bukti yang cukup bahwa terlaksananya perkawinan telah

nyata melanggar hukum positif Indonesia sebagaimana dimuat

pada Undang-Undang Perkawinan beserta aturan turunannya.

2. Mekanisme Pembatalan Perkawinan Oleh Jaksa Selaku Jaksa

Pengacara Negara Berdasarkan Peraturan Perundang-

Undangan Yang Berlaku

Merujuk ketentuan Pasal 23 huruf d Undang-Undang

Perkawinan, beleid tersebut hanya menerangkan bahwa akan

diatur lebih lanjut pejabat yang dilekatkan kewenangan

pembatalan perkawinan, namun hingga saat ini ketentuan

81
tersebut belum juga diterbitkan bahkan dalam Instruksi Presiden

Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum

Islam khususnya ketentuan Pasal 73 huruf c (selanjutnya disebut

“Kompilasi Hukum Islam”) hanya menegaskan bahwa

kewenangan pejabat untuk memohonkan pembatalan perkawinan

dilekatkan pada pejabat yang secara langsung mengawasi

pelaksanaan perkawinan tersebut.

Atas keraguan yang terjadi dalam hukum perkawinan, maka

sepantasnya Jaksalah yang diberikan kewenangan dalam

memohonkan pembatalan perkawinan pemalsuan surat dan

identitas manakala pihak-pihak yang terlibat langsung dalam

perkawinan tidak mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan. Sejalan dengan fungsi Jaksa sebagai pembela

kepentingan negara atas pelanggaran hukum yang terjadi dalam

ranah perdata, pidana, serta tata usaha negara dan fungsi Jaksa

memelihara ketertiban dan ketenteraman umum, maka

sepatutnya kewenangan tersebut dilekatkan pada Jaksa. Terang

pula bahwa ketentuan Pasal 30 ayat (3) huruf e Undang-Undang

Kejaksaan menegaskan bahwa Kejaksaan turut

menyelenggarakan segala kegiatan pencegahan penodaan

agama yang dapat mencederai ketenteraman masyarakat.

Oleh karena itu, Jaksa dalam memohonkan pembatalan

perkawinan pada pengadilan setempat tidak terbatas pada

82
perkawinan yang dilangsungkan di hadapan wali nikah yang tidak

sah, perkawinan dimuka Pegawai Pencatat Perkawinan yang

tidak berwenang atau perkawinan yang dilangsungkan tanpa

dihadiri oleh dua orang saksi sebagaimana ketentuan Pasal 26

ayat (1) Undang-Undang Perkawinan telah memuat hal tersebut.

Untuk mewujudkan kepastian hukum yang berkenan dengan

ketentuan Pasal 16 ayat (2) serta Pasal 23 huruf d Undang-

Undang Perkawinan yang tidak memberikan gambaran nyata

mengenai pejabat manakah yang berwenang melayangkan

permohonan pembatalan perkawinan lebih khusus permohonan

pembatalan perkawinan pemalsuan surat dan identitas, maka

Jaksa sejatinya merupakan pejabat yang tepat untuk mengajukan

permohonan pembatalan perkawinan di muka pengadilan.

Dikemudian hari ketika Jaksa menemukan kasus serupa

dan dari perkawinan tersebut telah dibuat suatu akta notariil maka

Jaksa tidak hanya memohonkan putusnya ikatan perkawinan di

antara mereka. Jaksa patut pula untuk mengajukan pembatalan

atas akta yang telah dibuat oleh Notaris sebab perjanjian tersebut

melanggar syarat subjektif mengenai kesepakatan dan syarat

objektif berupa sebab yang halal dalam ketentuan Pasal 1320

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut

sebagai “KUH Perdata”) yang bertentangan dengan undang-

undang, ketertiban umum, dan kesusilaan baik.

83
3. Keabsahan Permohonan Pembatalan Perkawinan Oleh Jaksa

Selaku Jaksa Pengacara Negara Di Tinjau Dari Hukum

Perkawinan pada Putusan Nomor 133/Pdt.G/2020/PA.Wt. dan

Akibat Hukumnya.

Dalam kasus No.133/Pdt.G/2020/Pa.Wt terbukti bahwa

termohon I telah melakukan pelanggaran dengan pemalsuan

identitas dan ini merupakan perbuatan pidana oleh karenanya

pembatalan perkawinan tersebut yang mengajukan adalah jaksa

sebagai pemohon karena Termohon I telah melanggar pasal 4

ayat (1), pasal 5 ayat (1), pasal 9 Undang-undang RI Nomor 1

Tahun 1974 tentang perkawinan dan melanggar pasal 40 PP RI

Nomor : 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal 56 ayat (1)

dan (3) jo. Pasal 71 huruf a Kompilasi Hukum Islam jo. Instruksi

Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang penyebarluasan Kompilasi

Hukum Islam. Sebelumnya termohon I juga telah mendapat

hukuman penjara 9 (Sembilan) bulan karena telah

menyembunyikan perkawinannya sebelumnya sebagaimana yang

dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Negeri Wates dengan

Nomor perkara 57/Pid.B/2019/PN. Wat.

84
Berdasarkan fakta hukum tersebut bahwa pemohon dalam

hal ini selaku pejabat yang berwenang dalam melakukan

pembatalan perkawinan karena Termohon I telah

menyembunyikan perkawinannya sebelumnya. Perkawinan yang

dilakukan oleh Termohon I dengan Termohon II telah melanggar

syarat perkawinan.

Fakta bahwa pemohon telah mampu memberikan bukti-

bukti berupa Akta Cerai yang dipergunakan untuk memalsukan

Identitas oleh Termohon I dalam melakukan perkawinan poligami

yang tersembunyi dan beberapa orang yang menjadi saksi dalam

perkawinan poligami, sehingga terkait keabsahan permohonan

pembatalan oleh Jaksa selaku Jaksa Pengacara Negara telah

sah karena telah diatur didalam Peraturan Perundang-Undangan

yang berlaku, namun belum mengatur mengenai akibat hukum

yang terjadi setelah pembatalan perkawinan telah dilakukan oleh

Jaksa.

B. SARAN

1. Sebaiknya Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan dalam

hal jaksa sebagai pihak yang berwenang membatalkan

perkawinan patutnya diperluas kembali oleh pihak legislatif

karena perkawinan dilakukan dalam bidang hukum privat dimana

Jaksa juga seharusnya melakukan penanganan terhadap akibat

85
adanya pembatalan perkawinan semisal terhadap ahli warisnya,

atau harta yang ditinggalkan.

2. Dalam aspek pembatalan perkawinan terhadap dampak yang

ditimbulkan harus mendapatkan perlindungan hukum sehingga

pihak pemerintah perlu untuk merumuskan sebuah produk hukum

yang memperjelas kedudukan tersebut.

86
87
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Hukum perkawinan Islam, Yogyakarta:UII

Press.

Budiardjo, Miriam. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.

Chazawi, Adam. 2001. Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Jakarta:Rajawali

Pers.

Darsi “Kedudukan Jaksa dalam Pembatalan Perkawinan (Studi Pasal 26

Undang Undang No. 1 Tahun 1974),” Jurnal Al-Qishthu Vol. 5 (2):

31-36.

Ghazaly, Abdurrahman. 2003. Fiqh Munakahat, Jakarta:Kencana

Hadjon, Philipus M. Tanpa Tahun. Tentang Wewenang, Makalah,

Surabaya:Universitas Airlangga.

Kejati NTB. https://kejati-ntb.kejaksaan.go.id 27 Ags 2021 01:13:35 GMT

Lotulung, Paulus Efendie. 1994. Himpunan Makalah Asas-Asas Umum

Pemerintahan yang Baik, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Manan, Bagir. 2002. wewenang Provinsi, Kabupaten dan Kota dalam

Rangka Otonomi Daerah.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan 2006. Hukum Perdata Islam

di Indonesia, Jakarta:Kencana.

Prakoso, Djoko dan Murtika, I Ketut. 1998. Kedudukan Jaksa dalam

Hukum Perdata. Jakarta : Bina Aksara.

vii
Seminar Hukum Nasional Kelima, 1990. Badan Pembinaan Hukum

Nasional.

Shaleh, Wantjik, K. 1982. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Jakarta :

Ghalia Indonesia.

Subekti, 2005. Perjanjian Jakarta: Intermasa.

Sudarsono, 2010. Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta:Rineka Cipta.

Tobing, Raida L. dan Sriwulan Rios, Penegakan Kedaulatan dan

Penegakan Hukum Di Ruang Udara, Jurnal Penelitian Hukum De

Jure, Asosiasi Peneliti Hukum Indonesia, Vol 01 N0. 2.

Wikipedia, “Pengertian Tentang Perkawinan”,

<https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan>, tanggal di akses 12

Agustus 2022

Winanrno, Nur Basuki. 2008. Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak

Pidana Korupsi, Yogyakarta:laksbang mediatama.

B. JURNAL

Tami Rusli. 2013. “Pembatalan Perkawinan Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” Jurnal Pranata

Hukum Vol 8 No. 2, Juli 2013, Lampung: Universitas Bandar

Lampung.

Muhammad Yusuf, et.al. 2018. “Kedudukan Sebagai Pengacara Negara

dalam Lingkup Perdata dan Tata Usaha Negara,” Jurnal Yustika

viii
Vol. 21 No. 2, Desember 2018, Surabaya: Fakultas Hukum

Universitas Surabaya.

C. PERUNDANG – UNDANGAN

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang

Perubahan Atas Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan

Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 Tentang

Pedoman Pelaksanaan Penegakan Hukum, Bantuan Hukum,

Pertimbangan Hukum, Tindakan Hukum Lain, dan Pelayanan

Hukum di Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara

ix
BIODATA PENULIS

Nama : VINA ANGELINA BANGUN, S.H.

Pangkat : Yuana Wira TU / (III/a)

NIP : 19931129 202203 2 003

NRP : 62293956

Kelas : VIII

No. Peserta : 39

Diklat : PPPJ Angkatan LXXX

Tempat/ Tgl. Lahir : Sibolga, 29 November 1993

Alamat : Perumahan Panorama Banjaran E-9, Kota

Semarang

Pengalaman Tugas : - Analis Penuntutan pada Kejaksaan Negeri

Muna (2022- 2023)

Pendidikan Formal : - SD RK 2 Sibolga (1999 - 2005)

- SMPK Fatima 1 Sibolga (2005 - 2008)

- SMA Negeri 1 Plus Matauli Pandan (2008 -

2011)

- Pendidikan Sarjana (S-1) Ilmu Hukum,

x
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

(2011 - 2015)

xi

Anda mungkin juga menyukai