Anda di halaman 1dari 105

AKIBAT HUKUM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN

PERKAWINAN NOTARIIL YANG TIDAK DICATAT DI

CATATAN SIPIL (Studi Kasus Penetapan Pengadilan

468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel.)

Ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan akademik


Guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan

Oleh :
NAMA : SHERLY FEBRYANNE PRAYOGO
NIM : 00000010249

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
2016
PERI\IYATAAN KEASLIAN KARYA TUGAS AKIIIR

Saya mahasiswa Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas pelita


Harapan.

Nama Mahasiswa : SFIERLY FEBRYANNE PRAYOGO

Nomor Pokok Mahasiswa : 00000010249


Jurusan : Magister Kenotariatan

Dengan ini menyatakan bahwakarya Tugas Akhir yang saya buat dengan judul

..AKIBAT HUKTIM PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN


PERKAWINAN

NorARtrL YANG TrDAK DTCATAT Dr CATATAN srprl,,, (studi Kasus


Penetapan Pen gadilan 468fP dt.P /20 1 s/PN.Jkt. Set.).

adalah:

1) Dibuat dan diselesaikan sendiri, dengan menggunakan hasil kuliah,


tinjauan lapangan dan buku-buku sertajurnal acuan yang tertera di dalam
referensi pada karya tugas akhir saya.
2) Bukan merupakan duplikasi karya tulis yang sudah dipublikasikan atau
yang pernah dipakai untuk mendapatkan gelar magister atau gelar
lainnya di universitas lain, kecuali pada bagian-bagian sumber informasi
yang dicantumkan dalam referensi dengan cara yang semestinya.
3) Bukan merupakan karya terjemahan dari kumpulan buku atau jurnal
acuan yang tertera di dalam referensi pada karya Tugas Akhir saya.

Kalau terbukti saya tidak memenuhi apa yang telah dinyatakan di atas, maka
karya tugas akhir ini batal.

Jakarta, 02 Pebruari 2016

Yang membuat pernyataan

(SI{ERLY FEBRYANNE PRAYOGO)


LINIVERSITAS PELITA HARAPAN
FAKULTAS HUKUM

PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING TUGAS AKHIR


..AKIBAT HUKT]M PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN
PERKAWINAN
NOTARtrL YANG TII}AK I}ICATAT
DI CATATAN SIPIL'
(Studi Kasus Penetapan Pen gadilan 468tP dt P 120 I slPN.Jkt. Sel.).

Oleh:

Nama : SFIERLY FEBRYANNE PRAYOGO

NIM . 00000010249

Program Studi . Magister Kenotariatan

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dan dipertahankan dalam ujian
komprehensif guna mencapai gelar Magister Kenotariatan, pada Fakultas Hukum
Universitas Pelita Harapan J akarta.

Jakarta, 17 Maret 2016


Menyetujui:

Dr. Ahmad Redi, S.H, M.H

Ketua Program Studi Dekan Fakultas Hukum


Magister Kenotariatan

T--
Dr. Susi Susant ijo, S.H.,LL.M Prof.Dr.Bintan RSaragih,S.H.

III
UNTVERSITAS PELITA HARAPAN

FAKULTAS HT]KT]M

PERSETUJUAN TIM PENGUJI TUGAS AKHIR

Pada (hari dan tanggal sidang) telah diselenggarakan ujian komprehensif untuk
memenuhi sebagian persyaratan akademik guna mencapai Gelar Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan, atas nama:

Nama : Sherly Febryanne Prayogo

NPM :00000010249

Jurusan : Magister Kenotariatan

termasuk ujian Tugas Akhir yang berjudul *AI(IBAT HUKUM PEMBUATAN

AKTA PERJANJIAN PERKAWINAN NOTARIIL YANG TIDAK DICATAT DI

CATATAN SIPIL' (Studi Kasus Penetapan Pengadilan

468tP dt.? 120 I 5/?N. Jkt. Sel.).

oleh tim penguji yang terdiri dari

Nama Penguji Status Tandatangan


/\

Dr. Susi Susantijo S.H, LLM Sebagai Ketua

,{r."t
Dr. Ahmad Redi, S.H, M.H Sebagai Pembimbing
A(

Dr. Vincensia Esti P.S, S.fL Sebagai Anggota


M.Hum

IV
KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa pemilik
seluruh alam semesta atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas akhir yang berjudul “AKIBAT HUKUM PEMBUATAN AKTA
PERJANJIAN PERKAWINAN NOTARIIL YANG TIDAK DICATAT DI
CATATAN SIPIL” (Studi Kasus Penetapan Pengadilan
468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel.). Penulisan tugas akhir ini merupakan persyaratan untuk
memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Strata Dua (S2) Fakultas
Hukum Universitas Pelita Harapan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan
penghargaan kepada pihak-pihak yang sangat berperan dalam mendukung penyelesaian
studi penulis, termasuk menyelesaikan Tugas Akhir ini.
Ucapan terimakasih secara khusus penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Bintan Saragih, S.H selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Pelita Harapan.
2. Ibu Dr. Susi Susantijo, S.H., LLM selaku Ketua Program Studi Magister
Universitas Pelita Harapan.
3. Bapak Dr. Ahmad Redi, S.H, M.H selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing dengan penuh kesabaran dan ketelitian, memberikan berbagai kritik
dan masukan yang sangat berarti bagi kemajuan penulis, juga telah meluangkan
waktu, tenaga, dan pikiran di tengah-tengah kesibukan beliau.
4. Semua dosen yang telah mengajar penulis selama mengikuti perkuliahan di
Universitas Pelita Harapan.
5. Ibu Rosa selaku staf tata usaha Program Magister Kenotariatan yang telah banyak
membantu dan memberikan petunjuk kepada penulis.
6. Ibu Wenda Taurusita Amidjaja, S.H., selaku pimpinan dari Kantor Notaris Wenda
Taurusita Amidjaja, S.H., yang selalu memberikan dukungan kepada penulis baik
moral maupun material, dan selalu memberikan ijin kepada penulis untuk pergi
kuliah dan bimbingan sampai selesainya Tugas Akhir ini. Beliau juga menjadi
inspirasi buat penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan Tugas Akhir ini.
7. Papa dan Mama tercinta, Wiyono Prayogo dan Lanneke Cancerlita Amidjaja, atas
dukungan doa serta bimbingan dan bantuan yang terus menerus mengalir memberi

vii
motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini. Lebih dari itu,
ucapan terimakasih yang mendalam kepada kedua orangtua tercinta atas segala
pengorbanan yang tak ternilai dalam membesarkan, mengasuh, menuntun, serta
mendidik penulis dengan penuh kasih dan kesabaran.
8. Suami dan putri tercinta, Kurniawan Widjaya dan Isabelle Noveline, atas
dukungan, pengertian dan waktu yang diberikan selama ini kepada penulis dan
menjadi motivasi penulis untuk dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini.
9. Teman-teman di Universitas Pelita Harapan Magister Kenotariatan Pingkan,
Paula, Jilli, Shinta, Shintya dan seluruh teman-teman di Magister Kenotariatan
Batch 3 yang selama ini selalu memberikan semangat dan bantuan kepada penulis
dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini.
10. Teman-teman di Kantor Notaris Wenda Taurusita Amidjaja, S.H., (Sofia, Putri,
Daryoto, Ratna, Iqbal, Jilli, Ruth, Icha, Puji, Yani, Rosi, Flory, Nico, Lutfi,
Benny, Solihin, Ipul,Jupri dan Siti) terimakasih atas segala bantuannya selama
penulis ijin kerja untuk kuliah.
11. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu: Tyo, Mas Krisna, Icha, Puji dan GOJEK yang selalu siap sedia
membantu dalam menyelesaikan penulisan Tugas Akhir ini. Tak terlupakan,
kepada setiap orang yang telah memberikan kontribusi dalam kehidupan Penulis,
baik secara langsung maupun tidak langsung hingga saat ini, disertai permohonan
maaf karena tidak dapat disebutkan satu per satu.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
substansi maupun penulisan redaksional dalam Tugas Akhir ini. Oleh karena itu, kritik
dan saran akan sangat penulis hargai. Semoga Tugas Akhir ini memberi manfaat bagi
pengayaan dan perkembangan Kenotariatan.

Jakarta, 02 Pebruari 2016

Penulis
Sherly Febryanne Prayogo

viii
DAFTAR ISI

Hal.
Cover ………………………………………………………………………… i
Pernyataan Keaslian Karya Tugas Akhir ……………………………………. ii
Persetujuan Dosen Pembimbing Tugas Akhir ..……………………………… iii
Persetujuan Tim Penguji Tugas Akhir ………………………………………. iv
Abstrak ………………………………………………………………………. v
Abstract ……………………………………………………………………… vi
Kata Pengantar ………………………………………………………………. vii
Daftar Isi …………………………………………………………………….. ix
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 1
A. Latar Belakang…………………………………………………. 1

B. Rumusan Masalah………………………………………………. 5

C. Tujuan Penelitian……………………………………………….. 6

D. Kegunaan Penelitian …………………………………………… 6

E. Sistematika Penulisan ………………………………………….. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ….............................................................. 8


A. Notaris …………………………………………………………. 8

1. Pengertian Notaris…………………………………………... 8

2. Wewenang Notaris …………………………………………. 11

3. Kewajiban Notaris ………………………………………….. 13

4. Tanggung Jawab Notaris …………………………………… 18

5. Larangan dan Pengecualian Bagi Notaris…………………… 22

B. Akta ……………………………………………………………. 26

1. Pengertian Akta …………………………………………….. 26

ix
2. Akta Dibawah tangan ……………………………………… 28

3. Jenis Akta Otentik…………………………………………. 30

4. Akta Notaris Sebagai Alat Bukti……………………………. 33

C. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual ……………………. 37

1. Kerangka Teori …………………………………………….. 37

2. Kerangka Konseptual ………………………………………. 42

BAB III METODE PENELITIAN………………………………………… 44


A. Jenis Penelitian……………………………………………….… 44

B. Teknik Pendekatan…………………………………………….. 45

C. Jenis dan Sumber Data ………………………………………... 46

D. Teknik Pengumpulan Data…………………………………….. 48

E. Teknik Analisis Data…………………………………………… 49

F. Lokasi Penelitian……………………………………………….. 50

BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN……………………………….. 51

A. Kasus Putusan Penetapan Pengadilan………………………..… 51

B. Analisis …………………………………………………………. 54

1. Keberlakuan Mengikat Akta Perjanjian Kawin……………… 54

2. Akibat Hukum Perjanjian Kawin yang tidak didaftarkan

di Kantor Catatan Sipil ……………………………………… 68

3. Analisis Akibat Hukum Pada Kasus Penetapan Pengadilan

Nomor 468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel. ………………………. 82

BAB V PENUTUP………………………………………………………… 89

A. Kesimpulan…………………………………………………….. 89

B. Saran…………………………………………………………… 90

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………. 92

x
ABSTRAK
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa
perjanjian perkawinan dibuat sebelum perkawinan berlangsung yang dibuat secara
tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan dimana Isi dari perjanjian
perkawinan itu sendiri berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut. Dalam praktik terdapat kasus, yaitu Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh
Notaris sebelum perkawinan berlangsung belum didaftarkan di Kantor Catatan Sipil
dengan alasan lupa dan baru beberapa tahun kemudian perkawinan tersebut
berlangsung, pasangan suami istri mengajukan permohonan pendaftaran Perjanjian
Perkawinan di Kantor Catatan Sipil melalui Surat Keputusan Penetapan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor 468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel tertanggal 09 November
2015.
Permasalahan dalam penelitian adalah keberlakuan sebuah Perjanjian Perkawinan yang
dibuat dengan akta notariil dapat mengikat terhadap pihak ketiga sebelum dan sesudah
adanya penetapan pengadilan, dan akibat hukumnya jika perjanjian perkawinan yang
dibuat dengan akta notaris tersebut tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil sebelum
dan sesudah adanya penetapan pengadilan. Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif dengan teknik pendekatan melalui undang-undang dan kasus yang berkaitan
dengan penelitian. Sumber penelitian berupa bahan-bahan hukum primer, bahan-bahan
hukum sekunder, bahan hukum tersier yang dikumpulkan dengan menggunakan teknik
studi pustaka/tinjauan dokumen, sedangkan analisis data yaitu analisis kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagi Perjanjian Perkawinan yang belum
didaftarkan di Kantor Pecatatan Sipil setelah perkawinan berlangsung, agar berlaku
mengikat pihak ketiga maka harus terlebih dahulu mendapat keputusan penetapan dari
pengadilan. Selama Perjanjian Perkawinan tersebut belum dicatatkan di Kantor
Pencatatan Sipil atas perintah Pengadilan, maka perjanjian tersebut belum berlaku juga
bagi pihak ketiga. Sedangkan, Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat dengan Akta
Notariil akan memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban terhadap suami-
istri atas harta benda selama berlangsungnya perkawinan, mengingat akta Notaris
sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian yang telah memenuhi unsur
syarat lahiriah, formal, dan materiil. Sedangkan, perjanjian perkawinan tetap sah dan
mengikat bagi yang membuatnya (suami-istri) selama unsur Pasal 1320 KUHPerdata
terpenuhi. Perbedaan akibat hukum terhadap akta perjanjian perkawinan yang tidak
didaftarkan di Kantor Catatan Sipil sebelum dan sesudah adanya penetapan pengadilan
yaitu menyangkut pemberlakuan perjanjian perkawinan tersebut pada pihak ketiga bila
ada.
Kata kunci : Perjanjian, Perkawinan, Akta, Notariil

v
ABSTRACT
Article 29 of Law No. 1 of 1974 on Marriage stipulates that prenuptial agreement shall
be made in writing before the commencement of marriage and legalized by the marriage
registration officer. The content of the prenuptial agreement shall be applicable toward
relevant third parties. In practice, there is a case where the Prenuptial Agreement made
by a Public Notary before the commencement of marriage had not been registered at the
Civil Records Office due to negligence and only in a couple of years after such
prenuptial agreement had been ongoing, the couple filed a request for registration at the
Civil Records Office through State Court of South Jakarta’s Decree No.
468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel dated 09 November 2015.
The problem in the present research deals with whether Prenuptial Agreement made
through notarial deed is applicable toward third parties before and after a court’s decree
and its legal implications if prenuptial agreement made through such notarial deed is not
registered at the Civil Records Office before and after a court’s decree. The present
research is a legal normative research that will be approached through laws and
regulation and a case that is related to the research issue. The source of data include
primary legal sources, secondary legal sources, and tertiary legal sources gathered
through document analysis and qualitative techniques.
The result of the study shows that in order for Prenuptial Agreements not registered at
the Civil Records Office after the commencement of marriage to be able to be binding
toward Third Parties, such agreement shall firstly obtain a decree from the court. As
long as the Prenuptial Agreement is not registered at the Civil Records Office by order
of the Court, then such agreement shall not apply to any third party. Meanwhile,
considering that notarial deed as an authentic deed possesses strength of evidence that
fulfills the physical, formal, and material aspects, Prenuptial Agreement made through
Notarial Deed will provide legal certainty toward the rights and obligations of the
married couple and their respective assets throughout their marriage. In the mean time,
prenuptial agreement shall be legal and binding for the concluding parties (husband-
wife) as long as the elements of Article 1320 of the Civil Code (KUHPerdata) are
fulfilled. The difference in the legal implications on prenuptial agreement that is not
registered at the Civil Record Office before and after court’s decree is related to the
applicability of such agreement toward any relevant third party.
Key Words: Agreement, Marriage, Deed, Notarial

vi
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya manusia hidup tidak akan terlepas dari manusia lain

atau kelompok sosial di dalam masyarakat. Manusia menurut kodratnya

merupakan mahluk individual, sejauh mereka eksis secara individual,

memiliki perasaan, keinginan, harapan, dan juga kebebasan untuk

mengaktualisasikan dirinya dan memiliki eksistensi yang berupa bakat

maupun kesenangan.1 Semua warga masyarakat merupakan manusia yang

hidup bersama, hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam

suatu tatanan pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia

melakukan hubungan. Maclver dan Page menyebutkan bahwa, masyarakat

merupakan suatu sistem dari kebiasaan, tata cara, dari wewenang dan kerja

sama antara berbagai kelompok, penggolongan, dan pengawasan tingkah laku

serta kebiasaan-kebiasaan manusia.2

Mengingat manusia dalam kehidupan bermasyarakat saling

berinteraksi satu sama lain, maka tidak menutup kemungkinan diantara

mereka melakukan suatu ikatan atau hubungan secara hukum. Sebagaimana

diungkapkan oleh Subekti bahwa, “Perikatan adalah suatu perhubungan

hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu

berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain

berkewajiban memenuhi tuntutan itu”.3

1
Andreas Soeroso, Sosiologi 2, Bogor : Quadra, 2008, hlm.93.
2
Soerjono Soekanto, Sosiologi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2006, hlm.22.
3
Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan 18, Jakarta : PT Intermasa, 2001, hlm.1.

1
Merujuk pada Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(selanjutnya disebut KUHPerdata) bahwa, perikatan lahir karena bersumber

dari perjanjian dan undang-undang. Suatu perikatan yang bersumberkan dari

perjanjian lahir karena hal tersebut memang dikehendaki oleh para pihak

yang membuat perjanjian. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal

1313 KUHPerdata bahwa, “Perjanjian adalah suatu persetujuan yang terjadi

antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau

lebih”.

Salah satu perjanjian yang bersumber dari kehendak para pihak yaitu

perjanjian perkawinan. Hal ini dimungkinkan dilakukan oleh para pihak

(calon suami-istri) sebelum melangsungkan perkawinan, sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan) yang

menyebutkan sebagai berikut :

a. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah


pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut;
b. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama dan kesusilaan;
c. Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan;
d. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat
dirubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk
merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Perjanjian perkawinan merupakan persetujuan antara calon suami atau

istri, untuk mengatur akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka,

yang menyimpang dari persatuan harta kekayaan. Perjanjian perkawinan

sebagai suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri dimungkinkan

2
untuk dibuat dan diadakan sepanjang tidak menyimpang dari asas atau pola

yang ditetapkan oleh Undang-Undang.4

Bentuk dan isi perjanjian kawin, sebagaimana halnya dengan

perjanjian pada umumnya, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan

sesuai dengan asas hukum “kebebasan berkontrak” dan Pasal 1320

KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian asalkan tidak bertentangan

dengan undang-undang, kesusilaan atau tidak melanggar ketertiban umum.

Karena menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan

menyebutkan bahwa, “Tujuan dibuatnya perjanjian perkawinan adalah untuk

mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan”.5

Perjanjian perkawinan dapat dilakukan secara di bawah tangan atau

dengan akta perjanjian notariil, hal ini mengingat Pasal 1338 ayat (1) KUH

Perdata yang menyebutkan bahwa, “Semua perjanjian yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Namun akta yang dibuat oleh Notaris menurut Pasal 1 ayat (7) Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN)

adalah merupakan akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris

menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.

Sehingga akta otentik merupakan alat bukti yang sempurna, sebagaimana

dimaksud dalam pasal 1870 KUHPerdata. Pasal 1870 KUHPerdata itu sendiri

berbunyi : “Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya

4
Subekti, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Cetakan Keempat, Jakarta : Intermasa, 2004,
hlm. 9.
5
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian, Jakarta : Visimedia
Pustaka, 2008, hlm.2.

3
ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta

otentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di

dalamnya”.

Setiap perjanjian perkawinan yang telah dibuat berdasarkan akta

notariil harus dicatat di Kantor Urusan Agama (bagi yang muslim) dan di

Kantor Catatan Sipil (bagi non muslim), hal ini diamanatkan dalam Pasal 29

ayat (1) Undang-Undang Perkawinan sebagaimana telah disebutkan di atas,

karena fungsi dicatatnya perjanjian perkawinan tersebut adalah agar

perjanjian kawin tersebut dapat mengikat dan berlaku secara sah bagi kedua

belah pihak dan juga berlaku bagi pihak ketiga. Perjanjian kawin yang dicatat

berlaku bagi pihak ketiga maksudnya adalah pihak-pihak yang memiliki

hubungan hukum dengan masing-masing pasangan calon suami-istri,

misalnya urusan utang-piutang.

Dalam kenyataannya, terdapat salah satu contoh kasus perjanjian

perkawinan yang dibuat secara notariil tidak didaftarkan di Kantor Catatan

Sipil dengan alasan “lupa” yang pada saat ini sedang ditangani oleh salah satu

Kantor Notaris di Jakarta, yang terhadap akta perjanjian perkawinan

bernomor 6 tertanggal 01 Agustus 1980 dibuat oleh JN. Siregar, SH, Notaris

di Jakarta Pusat dengan penghadap Marlynee dan Widodo Salim mengajukan

permohonan untuk mendapatkan pengesahan dari Pengadilan Negeri tentang

akta perjanjian perkawinan yang dibuatnya dan belum pernah dicatatkan di

Kantor Catatan Sipil .

Suatu hal yang menarik dari contoh kasus di atas bahwa, akta

perjanjian perkawinan secara notariil adalah dibuat sejak tanggal 01 Agustus

4
1980 dan seharusnya pada waktu itu juga segera didaftarkan di Kantor

Catatan Sipil, hal ini mengingat Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan yang

menyebutkan bahwa, “Peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan

sejauh telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

Dalam kondisi demikian maka, bagaimana keabsahan dari perjanjian

perkawinan yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil dan kemudian di

daftarkan kepada panitera pengadilan negeri oleh Notaris atas permintaan

para penghadap. Hal inilah yang menjadi alasan untuk dilakukan penelitian

lebih jauh dengan mengambil judul : “AKIBAT HUKUM PEMBUATAN

AKTA PERJANJIAN PERKAWINAN NOTARIIL YANG TIDAK

DICATAT DI CATATAN SIPIL” (Studi Kasus Penetapan Pengadilan

468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel.).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang disampaikan di atas, maka

terdapat 2 (dua) permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini, yaitu

sebagai berikut :

1. Apakah akta perjanjian perkawinan notariil yang tidak dicatat di catatan

sipil dapat mengikat terhadap pihak ketiga sebelum dan sesudah adanya

penetapan pengadilan?.

2. Bagaimana akibat hukumnya jika perjanjian perkawinan yang dibuat

dengan akta Notaris tersebut tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil

sebelum dan sesudah adanya penetapan pengadilan?

5
C. Tujuan Penelitian

Sesuai permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini, maka

tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui perjanjian perkawinan yang dibuat dengan akta notariil

dapat mengikat terhadap pihak ketiga sebelum dan sesudah adanya

penetapan pengadilan.

2. Untuk mengetahui akibat hukumnya jika perjanjian perkawinan yang

dibuat dengan akta Notaris tersebut tidak didaftarkan di Kantor Catatan

Sipil sebelum dan sesudah adanya penetapan pengadilan.

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat dari penelitian ini meliputi manfaat teoritis dan manfaat praktis,

yaitu sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan ilmu pengetahuan

dalam pengembangan ilmu hukum tentang masalah perjanjian, khususnya

tentang perjanjian perkawinan dengan segala akibat hukumnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi penulis, untuk memperluas pengetahuan mengenai pengaturan

tentang Perjanjian Perkawinan.

b. Bagi masyarakat, dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat

membuka wacana baru yang lebih baik tentang pengaturan kekayaan

dalam rumah tangga, sehingga keadaan dalam pengaturan kekayaan

dalam rumah tangga menjadi lebih baik.

6
c. Bagi akademis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat terhadap

pemecahan atau solusi yang tepat bagi penyelesaian perjanjian

perkawinan yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil.

E. Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab dengan sistematika penulisannya

sebagai berikut :

BAB I : Dalam bab ini menguraikan tentang latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan sistematika

penulisan tesis.

BAB II : Dalam bab ini menguraikan tentang tinjauan pustaka sebagai

landasan teori dan kerangka pemikiran yang terdiri dari

kerangka teori dan konseptual.

BAB III : Dalam bab ini disampaikan tentang metode penelitian yang

uraiannya meliputi : jenis penelitian, teknik pendekatan, jenis

dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data,

serta lokasi penelitian.

BAB IV : Dalam bab ini disampaikan kasus putusan penetapan pengadilan

yang kemudian dilakukan analisis kaitannya dengan rumusan

masalah yang diangkat dalam penelitian ini.

BAB V : Dalam bab ini disampaikan kesimpulan hasil penelitian sebagai

jawaban terhadap rumusan masalah yang diangkat dalam

penelitian dan sekaligus menyampaikan saran-saran terkait hasil

penelitian.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DAN KERANGKA PEMIKIRAN

TINJAUAN PUSTAKA

A. Notaris

1. Pengertian Notaris

Menurut G.H.S. Lumban Tobing, kata Notaris berasal dari kata

"nota literaria" yaitu tanda tulisan atau karakter yang dipergunakan untuk

menuliskan atau menggambarkan ungkapan kalimat yang disampaikan

nara sumber. Tanda atau karakter yang dimaksud adalah tanda yang

dipakai dalam penulisan cepat (stenografie).6

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan

penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang

berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,

menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan

grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembiuatan akta itu

oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan

kepada pejabat atau orang lain.7

6
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, Jakarta : Gramedia
Pustaka, 2008, hlm.41.
(https://books.google.co.id/books?id=kQyF14ljALEC&printsec=frontcover&dq=Notaris&hl=id&s
a=X&redir_esc=y#v=onepage&q=Notaris&f=false).
7
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1983, hlm.15.
Dikutip dari Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia : Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Cetakan ke 3, PT. Refika Aditama, Bandung,
2011, hlm.13.

8
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Jabatan Notaris (Undang-Undang Jabatan Notaris) disebutkan bahwa,

”Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat


akta otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan undang-
undang lainnya”.

Notaris dikualifikasikan sebagai Pejabat Umum, tapi kualifikasi

Notaris sebagai Pejabat Umum, tidak hanya untuk Notaris saja, karena

sekarang ini seperti Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) juga diberi

kualifikasi sebagai Pejabat Umum dan Pejabat Lelang. Pemberian

kualifikasi sebagai pejabat umum kepada pejabat lain selain kepada

Notaris, bertolak belakang dengan makna dari Pejabat Umum itu sendiri,

karena seperti PPAT hanya membuat akta-akta tertentu saja yang berkaitan

dengan pertanahan dengan jenis akta yang sudah ditentukan, dan Pejabat

Lelang hanya untuk lelang saja.8

Notaris merupakan suatu Jabatan (Publik) yang mempunyai

karakteristik sebagai berikut :9

a. Sebagai Jabatan

Undang-Undang Jabatan Notaris merupakan unifikasi di bidang

pengaturan Jabatan Notaris, artinya satusatunya aturan hukum dalam

bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia,

sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu

kepada Undang-Undang Jabatan Notaris.10

8
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Cetakan ke 3, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm.13.
9
Ibid., hlm. 15-16.
10
Habib Adjie “Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi Hukum
Pengaturan Notaris”, RENVOI, Nomor 28. Th. III, 3 September 2005, hlm. 38.

9
Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh

negara. Menempatkan Notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang

pekerjaan atau tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk

keperluan dan fungsi tertentu (kewenangan tertentu) serta bersifat

berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap.

b. Notaris mempunyai kewenangan tertentu

Setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada

aturan hukumnya sebagai batasan agar jabatan dapat berjalan dengan

baik, dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Dengan

demikian jika seorang pejabat (Notaris) melakukan suatu tindakan

diluar wewenang yang telah ditentukan, maka dapat dikategorikan

sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang Notaris hanya

dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3) UUJN.

c. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah

Pasal 2 Undang-Undang Jabatan Notaris menentukan bahwa

Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, dalam hal ini

menteri yang membidangi kenotariatan (Pasal 1 ayat (14) Undang-

Undang Jabatan Notaris). Notaris meskipun secara administratif

diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti Notaris

menjadi subordinasi (bawahan) dari yang mengangkatnya, yaitu

pemerintah. Dengan demikian, Notaris dalam menjalankan jabatannya :

1) Bersifat mandiri (autonomous);

2) Tidak memihak siapa pun (impartial);

10
3) Tidak tergantung kepada siapa pun (independent), yang berarti

dalam menjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh

pihak yang mengangkatnya atau oleh pihak lain;

d. Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya;

Notaris meskipun diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah

tetapi tidak menerima gaji maupun uang pensiun dari pemerintah.

Notaris hanya menerima honorarium dari masyarakat yang telah

dilayaninya atau dapat memberikan pelayanan cuma-cuma untuk

mereka yang tidak mampu.

e. Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat;

Kehadiran Notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang

memerlukan dokumen hukum (akta) otentik dalam bidang hukum

perdata, sehingga Notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani

masyarakat, masyarakat dapat menggugat secara perdata Notaris, dan

menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat

dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, hal

ini merupakan bentuk akuntabilitas Notaris kepada masyarakat.

2. Wewenang Notaris

Wewenang merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan

diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku yang mengatur jabatan yang bersangkutan.11 Pasal

15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan Notaris,

11
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Cetakan ke 3, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm.77.

11
yaitu membuat akta secara umum, hal ini disebut sebagai kewenangan

umum Notaris dengan batasan sepanjang :12

a. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-

undang.

b. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta

otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang

diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh orang yang

bersangkutan.

c. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan

siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.

Pasal 15 ayat (2) UUJN mengatur mengenai kewenangan khusus

Notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti :13

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam

buku khusus;

c. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan;

d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan, atau

g. Membuat akta risalah lelang.

12
Ibid, hlm.78.
13
Ibid., hlm.81.

12
Selain kewenangan yang dimiliki oleh Notaris sebagaimana Pasal

15 ayat (1) dan (2) UUJN, terdapat pula kewenangan Notaris yang akan

ditentukan kemudian berdasarkan aturan hukum lain yang akan datang

kemudian sebagaima disebutkan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN.14

Berkaitan dengan wewenang, jika Notaris melakukan bertindak di

luar wewenang yang telah ditentukan, maka produk atau akta Notaris

tersebut tidak mengikat secara hokum atau tidak dapat dilaksanakan, dan

pihak atau mereka yang merasa dirugikan oleh tindakan Notaris di luar

wewenang tersebut, maka Notaris dapat digugat secara perdata ke

pengadilan negeri.15

3. Kewajiban Notaris

Kewajiban menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan

sebagai sesuatu yang diwajibkan, sesuatu yang harus dilaksanakan atau

dapat diartikan juga sebagai suatu keharusan.16 Kewajiban Notaris diatur

dalam Pasal 16 Undang-Undang Jabatan Notaris sebagai berikut :17

(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib:

a. bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan

menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. membuat Akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya

sebagai bagian dari Protokol Notaris;

14
Ibid., hlm.82.
15
Ibid., hlm.82.
16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, KamusBesar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1994, hal.1123.
17
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Op.Cit., hlm.74-76.

13
c. melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada

Minuta Akta;

d. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta

berdasarkan Minuta Akta;

e. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-

Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

f.merahasiakan segala sesuatu mengenai Akta yang dibuatnya dan

segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan Akta sesuai

dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan

lain;

g. menjilid Akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku

yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) Akta, dan jika jumlah

Akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, Akta tersebut dapat

dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta

Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

h. membuat daftar dari Akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak

diterimanya surat berharga;

i. membuat daftar Akta yang berkenaan dengan wasiat menurut

urutan waktu pembuatan Akta setiap bulan;

j. mengirimkan daftar Akta sebagaimana dimaksud dalam huruf i

atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke pusat daftar

wasiat pada kementerian yang menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang hukum dalam waktu 5 (lima) hari pada

minggu pertama setiap bulan berikutnya;

14
k. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada

setiap akhir bulan;

l. mempunyai cap atau stempel yang memuat lambang negara

Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan

nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

m. membacakan Akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh

paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi

khusus untuk pembuatan Akta wasiat di bawah tangan, dan

ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan

Notaris; dan

n. menerima magang calon Notaris.

(2) Kewajiban menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan Akta in

originali.

(3) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;

b. Akta penawaran pembayaran tunai;

c. Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat

berharga;

d. Akta kuasa;

e. Akta keterangan kepemilikan; dan

f. Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

15
(4) Akta in originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat

lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi

yang sama, dengan ketentuan pada setiap Akta tertulis kata-kata

“berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua".

(5) Akta in originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima

kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.

(6) Bentuk dan ukuran cap atau stempel sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf l ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(7) Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak

wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak

dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan

memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan

dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf

oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dikecualikan terhadap

pembacaan kepala Akta, komparasi, penjelasan pokok Akta secara

singkat dan jelas, serta penutup Akta.

(9) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dan

ayat (7) tidak dipenuhi, Akta yang bersangkutan hanya mempunyai

kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

(10) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak berlaku untuk

pembuatan Akta wasiat.

16
Sebenarnya dalam pratek ditemukan alasan-alasan lain, sehingga

Notaris menolak memberikan jasanya, antara lain:18

a. Apabila Notaris sakit sehingga tidak dapat memberikan jasanya, jadi

berhalangan karena fisik.

b. Apabila Notaris tidak ada karena dalam cuti, jadi karena sebab yang

sah.

c. Apabila Notaris karena kesibukan pekerjaannya tidak dapt melayani

orang lain.

d. Apabila surat-surat yang diperlukan untuk membuat sesuatu akta, tidak

diserahkan kepada Notaris.

e. Apabila penghadap atau saksi instrumentair yang diajukan oleh

penghadap tidak dikenal oleh Notaris atua tidak dapat diperkenalkan

kepadanya.

f. Apabila yang berkepentingan tidak mau membayar bea materai yang

diwajibkan.

g. Apabila karena pemberian jasa tersebut, Notaris melanggar sumpahnya

atau melakukan perbuatan melanggar hukum.

h. Apabila pihak-pihak menghendaki bahwa Notaris membuat akta dalam

bahasa yang tidak dikuasai olehnya, atau apabila orang-orang yang

menghadap berbicara dalam bahasa yang tidak jelas, sehingga Notaris

tidak mengerti apa yang dikehendaki oleh mereka.

18
R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Rajawali,
Jakarta, 1982, hlm. 97-98. Dikutip dari Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik
Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Cetakan ke 3, Refika Aditama,
Bandung, 2011, hlm.87.

17
Dalam kondisi seorang Notaris akan menolak memberikan jasanya

kepada piahk yang membutuhkannya, maka penolakan tersebut harus

merupakan penolakan dalam arti hukum, artinya ada alasan atau

argumentasi hukum yang jelas dan tegas sehingga pihak yang

bersangkutan dapat memahaminya. Pada intinya apapun alasan penolakan

yang dilakukan oleh Notaris akan kembali pada Notaris sendiri yang

menentukannya.19

4. Tanggung Jawab Notaris

Profesi Notaris yang memerlukan suatu tanggung jawab baik

individual maupun sosial terutama ketaatan terhadap norma-norma hukum

positif dan kesediaan untuk tunduk ada kode etik profesi, bahkan

merupakan suatu hal yang wajib sehingga akan memperkuat norma hukum

positif yang sudah ada.20

Notaris tidak bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahan isi

akta yang dibuat di hadapannya, melainkan Notaris hanya bertanggung

jawab bentuk formal akta otentik sesuai yang diisyaratkan oleh undang-

undang.21 Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang

berhubungan dengan kebenaran materiil, Nico membedakannya menjadi

empat poin, yaitu sebagai berikut :22

19
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, Op.Cit., hlm.87.
20
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, Yogyakarta
: Publishing, 1994, hlm.4.
21
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Yogyakarta : UII Press, 2009,
hlm.16.
22
Nico, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Yogyakarta: Center for
Documentation and Studies of Business Law, 2003, hlm.21.

18
a. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil

terhadap akta yang dibuatnya;

b. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil

dalam akta yang dibuatnya;

c. Tanggung jawab Notaris berdasarkan PJN terhadap kebenaran materiil

dalam akta yang dibuatnya;

d. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya

berdasarkan kode etik Notaris.

Mengenai tanggung jawab Notaris selaku pejabat umum yang

berhubungan dengan kebenaran materil Abdul Ghofur Anshori

memberikan penjelasan lebih luas atas pendapat dari Nico tersebut di atas

sebagai berikut :23

a. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materil

Konstruksi yuridis yang digunakan dalam tanggung jawab

perdata terhadap kebenaran materil terhadap akta yang dibuat oleh

Notaris adalah konstruksi perbuatan melawan hukum.24 Perbuatan

melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif. Aktif, dalam

artian melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak

lain. Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang

merupakan keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi

unsur dari perbuatan melawan hukum disini yaitu adanya perbuatan

melawan hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang

23
Abdul Ghofur Anshori, Op.Cit., hlm.16.
24
Ibid.

19
ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini diartikan luas, yaitu

suatupebuatan tidak saja melanggar undang-undang, tetapi juga

melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan

kerugian. Suatu perbuatan dikategorikan perbuatan melawan hukum

apabila perbuatan tersebut :25

1) Melanggar hak orang lain;

2) Bertentangan dengan aturan hukum;

3) Bertentangan dengan kesusilaan;

4) Bertentangan dengan kepatutan dalam memperhatikan kepentingan

diri dan harta orang lain dalam pergaulan hidup sehari-hari.

b. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materil

dalam akta yang dibuatnya

Mengenai ketentuan pidana tidak diatur di dalam UUJN namun

tanggung jawab Notaris secara pidana dikenakan apabila Notaris

melakukan perbuatan pidana. Undang-Undang Jabatan Notaris hanya

mengatur sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap

Undang-Undang Jabatan, sanksi tersebut dapat berupa akta yang dibuat

oleh Notaris tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya mempunyai

kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Terhadap Notarisnya sendiri

dapat diberikan sanksi yang berupa teguran hingga pemberhentian

dengan tidak hormat.

c. Tanggung jawab Notaris berdasarkan Paraturan Jabatan

25
M. Nur Rasaid, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hlm.38.

20
Notaris terhadap kebenaran materil dalam akta yang dibuatnya,

tanggung jawab Notaris disebutkan dalam Pasal 65 UUJN yang

menyatakan bahwa Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang

dibuatnya, meskipun protokol Notaris telah diserahkan atau

dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol Notaris.

Notaris harus menjalankan jabatannya sesuai dengan Kode Etik

Notaris, yang mana dalam melaksanakan tugasnya Notaris itu

diwajibkan untuk hal-hal sebagai berikut :26

1) Senantiasa menjunjung tinggi hukum dan asas negara serta bertindak

sesuai dengan makna sumpah jabatannya.

2) Mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat dan

negara.

d. Tanggung jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya

berdasarkan kode etik Notaris

Hubungan kode etik Notaris dan Undang-Undang Jabatan

Notaris memberikan arti terhadap profesi Notaris itu sendiri. Undang-

Undang Jabatan dan kode etik Notaris menghendaki agar Notaris dalam

menjalankan tugasnya, selain harus tunduk pada Undang-Undang

Jabatan juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggung

jawab terhadap masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan

Notaris Indonesia) maupun terhadap negara.

26
Komar Andasasmita, Notaris II, Sumur Bandung, Bandung , 1983, hlm.158.

21
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka, seorang Notaris

dalam menjalankan tugasnya dibatasi oleh koridor-koridor aturan.

Pembatasan ini dilakukan agar seorang Notaris tidak kebablasan dalam

menjalankan praktiknya dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang

dilakukannya. Tanpa ada pembatasan, seseorang cenderung akan bertindak

sewenang-wenang. Demi sebuah pemerataan, pemerintah membatasi kerja

seorang Notaris.27

5. Larangan dan Pengecualian Bagi Notaris

Larangan Notaris merupakan suatu tindakan yang dilarang

dilakukan oleh Notaris, jika larangan ini dilanggar oleh Notaris, maka

kepada Notaris yang melanggar akan dikenakan sanksi sebagai tersebut

dalam Pasal 85 UUJN.28

Sesuai Pasal 17 ayat (1) UUJN terdapat larangan yang dilakukan

oleh Notaris, yaiutu sebagai berikut :

a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja

berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. merangkap sebagai pegawai negeri;

d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

e. merangkap jabatan sebagai advokat;

f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik

negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

27
Ira Koesoemawati dan Yunirman Rijan, Ke Notaris, Jakarta : Raih Asa Sukses, 2009, hlm.
46-47.
28
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Op.Cit., hlm.90.

22
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah dan/atau

Pejabat Lelang Kelas II di luar tempat kedudukan Notaris;

h. menjadi Notaris Pengganti; atau

i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama,

kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan

martabat jabatan Notaris.

Larangan tersebut di atas apabila dilanggar oleh Notaris, maka

menurut Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Jabatan dapat dikenakan sanksi

berupa peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian

dengan hormat, atau pemberhentian dengan tidak hormat.

Adanya larangan bagi Notaris yang diatur dalan Undang-Undang

Jabatan, juga diatur dalam Pasal 4 Kode Etik Notaris yang menyebutkan

bahwa, dalam menjalankan jabatannya notaries dilarang melakukan hal-hal

sebagai berikut :

a. Mempunyai lebih dari 1 (satu) kantor, baik kantor cabang ataupun

kantor perwakilan.

b. Memasang papan nama dan/atau tulisan yang berbunyi “Notaris/ Kantor

Notaris" di luar lingkungan kantor.

c. Melakukan publikasi atau promosi diri, baik sendiri maupun secara

bersama-sama, dengan mencantumkan nama dan jabatannya,

menggunakan sarana media cetak dan/atau elektronik dalam bentuk

iklan, ucapan selamat, ucapan belasungkawa, ucapan terima kasih,

kegiatan pemasaran, kegiatan sponsor, baik dalam bidang sosial,

keagamaan, maupun olahraga.

23
d. Bekerja sama dengan Biro jasa/orang/Badan Hukum yang pada

hakekatnya bertindak sebagai perantara untuk mencari atau

mendapatkan klien.

e. Menandatangani akta yang proses pembuatan minutanya telah

dipersiapkan oleh pihak lain.

f. Mengirimkan minuta kepada klien untuk ditanda tangani.

g. Berusaha atau berupaya dengan jalan apapun, agar seseorang berpindah

dari Notaris lain kepadanya, baik upaya itu ditujukan langsung kepada

klien yang bersangkutan maupun melalui perantara orang lain.

h. Melakukan pemaksaan kepada klien dengan cara menahan dokumen-

dokumen yang telah diserahkan dan/atau melakukan tekanan psikologis

dengan maksud agar klien tersebut tetap membuat akta padanya.

i. Melakukan usaha-usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang

menjurus ke arah timbulnya persaingan yang tidak sehat dengan sesama

rekan Notaris.

j. Menetapkan honorarium yang harus dibayar oleh klien dalam jumlah

yang lebih rendah dari honorarium yang telah ditetapkan Perkumpulan.

k. Mempekerjakan dengan sengaja orang yang masih berstatus karyawan

kantor Notaris lain tanpa persetujuan terlebih dahulu dari Notaris yang

bersangkutan.

l. Menjelekkan dan/atau mempersalahkan rekan Notaris atau akta yang

dibuat olehnya. Dalam hal seorang Notaris menghadapi dan/atau

menemukan suatu akta yang dibuat oleh rekan sejawat yang ternyata

didalamnya terdapat kesalahan-kesalahan yang serius dan/atau

24
membahayakan klien, make Notaris tersebut wajib memberitahukan

kepada rekan sejawat yang bersangkutan atas kesalahan yang dibuatnya

dengan cara yang tidak bersifat menggurui, melainkan untuk mencegah

timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap klien yang

bersangkutan ataupun rekan sejawat tersebut.

m. Membentuk kelompok sesama rekan sejawat yang bersifat ekslusif

dengan tujuan untuk melayani kepentingan suatu instansi atau lembaga,

apalagi menutup kemungkinan bagi Notaris lain untuk berpartisipasi.

n. Menggunakan dan mencantumkan gelar yang tidak sesuai dengan

peraturan perundangundangan yang berlaku.

o. Melakukan perbuatan-perbuatan lain yang secara umum disebut sebagai

pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris, antara lain namun tidak

terbatas pada pelanggaran-pelanggaran terhadap :

1) Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris;

2) Penjelasan pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004

tentang Jabatan Notaris;

3) Isi sumpah jabatan Notaris;

4) Hal-hal yang menurut ketentuan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah

Tangga dan/atau Keputusan-Keputusan lain yang telah ditetapkan

oleh organisasi Ikatan Notaris Indonesia tidak boleh dilakukan oleh

anggota.

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

sebagaimana tersebut di atas telah dilakukan perubahan dengan terbitnya

25
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Adanya larangan dan sanksi bagi Notaris dimaksudkan agar Notaris

dalam setiap menjalankan tugas dan kewajibannya sesuai dengan

ketentuan yang telah diatur dalam UUJN dan Kode Etik Notaris agar

dalam setiap akta yang dibuatnya dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum.

B. Akta

Akta adalah surat tanda bukti berisi pernyataan (keterangan,

pengakuan, keputusan, dan sebagainya) resmi yang dibuat menurut peraturan

yang berlaku, disaksikan dan disahkan oleh Notaris atau pejabat pemerintah

yang berwenang.29

Dari pengertian akta tersebut di atas, terdapat empat unsur yang

terkandung di dalamnya, yaitu :30

a. Surat tanda bukti;

b. Isinya pernyataan resmi;

c. Dibuat menurut peraturan yang berlaku; dan

d. Disaksikan dan disahkan oleh Notaris atau pejabat pemerintah yang

berwenang.

29
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai
Pustaka, 1989, hlm.915-916. Dikutip dari Salim HS, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep
Teoritis, Kewenangan Notaris, Bentuk dan Minuta Akta), Edisi 1, Cetakan 1, Jakarta : Rajawali
Pers, 2015, hlm.6.
30
Salim HS, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris, Bentuk
dan Minuta Akta), Edisi 1, Cetakan 1, Jakarta : Rajawali Pers, 2015, hlm.6.

26
Menurut Pasal 1867 KUHPerdata, pembuktian dengan tulisan

dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di

bawah tangan.

1. Akta Otentik

Menurut Pasal 1868 KUHPerdata bahwa, ”Suatu akta otentik ialah

suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang,

dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berwenang

untuk itu di tempat akta dibuatnya”.

Dalam akta otentik terdapat tiga unsur di dalamnya, yaitu sebagai

berikut :31

1) Dibuat dalam bentuk tertentu;

2) Di hadapan pejabat yang berwenang untuk itu; dan

3) Tempat dibuatnya akta.

Sudikno Mertokusumo memberikan pengertian mengenai akta

otentik adalah surat sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang

memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau

perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.32

Di dalam UUJN tidak ditemukan rumusan tentang akta otentik,

yang ada adalah akta Notaris. Menurut Pasal 1 angka 7 UUJN bahwa,

“akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan

tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

31
Ibid., hlm.17.
32
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2006, hlm.
149.

27
Merujuk pada Pasal 1874 KUHPerdata, akta otentik tidak saja

dapat dibuat oleh Notaris, tapi juga oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT), Pejabat Lelang dan Pegawai Kantor Catatan Sipil. Akta Notaris

adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut

bentuk dan tata cara yang ditetapkan, 33

Dari beberapa pengertian di atas, terdapat 3 (tiga) unsur agar

terpenuhinya syarat formal suatu akta otentik, yaitu sebagai berikut :

1) Di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang

2) Dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Umum

3) Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat umum yang berwenang

untuk itu dan di tempat dimana akta itu dibuat.34

2. Akta Di bawah Tangan

Menurut Pasal 1874 KUHPerdata menyebutkan bahwa, “yang

dianggap sebagai tulisan di bawah tangan adalah akta yang ditandatangani

di bawah tangan, surat, daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-

tulisan yang lain yang dibuat tanpa perantaraan seorang pejabat umum”.

Akta di bawah tangan adalah merupakan akta yang dibuat oleh para

pihak tanpa perantara seorang pejabat. Akta ini dapat dibagi menjadi tiga

jenis, yaitu :35

a. Akta di bawah tangan di mana pihak menandatangani kontrak itu di atas

materai (tanpa keterlibatan pejabat umum);

33
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 1 Angka 7.
34
Irawan Soerodjo, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Surabaya : Arkola,
2003, hlm.148.
35
Salim HS, Op.Cit., hlm.24.

28
b. Akta di bawah tangan yang didaftar (waarmeking) oleh Notaris/ Pejabat

Umum yang berwenang;

c. Akta di bawah tangan dan dilegalisasi oleh Notaris/Pejabat Umum yang

berwenang

Dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan b UUJN, istilah yang

digunakan untuk akta di bawah tangan yang dilegalisasi adalah akta di

bawah tangan yang disahkan. Akta di bawah tangan yang disahkan

merupakan akta yang harus ditandatangani dan disahkan di depan

Notaris/Pejabat yang berwenang. Makna dilakukan pengesahan terhadap

akta di bawah tangan adalah :36

a. Notaris menjamin bahwa benar orang yang tercantum namanya dalam

kontrak adalah orang yang menandatangani kontrak;

b. Notaris menjamin bahwa tanggal tanda tangan tersebut dilakukan pada

tanggal disebutkan dalam kontrak.

Sedangkan akta di bawah tangan yang didaftar (warmerken) adalah

dibukukan. Akta di bawah tangan yang dibukukan merupakan akta yang

telah ditandatangani pada hari dan tanggal yang disebut dalam akta oleh

para pihak, dan tanda tangan tersebut bukan di depan Notaris/Pejabat yang

berwenang. Makna akta tangan yang dibukukan adalah bahwa yang

dijamin oleh Notaris adalah bahwa akta tersebut benar telah ada pada hari

dan tanggal dilakukan pendaftaran/pembukuan oleh Notaris.37

36
Ibid., hlm.25.
37
Ibid., hlm.25.

29
3. Jenis Akta Otentik

Ada dua jenis/golongan akta Notaris, yaitu akta yang dibuat oleh

Notaris, biasa disebut dengan istilah Akta Relaas atau Berita Acara, dan

akta yang dibuat dihadapan Notaris, biasa disebut dengan istilah Akta

Pihak atau Akta Partij.38

a. Akta Relaas (Berita Acara)

Dalam Akta Relaas ini Notaris menulis atau mencatatkan semua

hal yang dilihat atau didengar sendiri secara langsung oleh Notaris yang

dilakukan oleh para pihak dan kemudian dituangkan dalam suatu akta

Notaris.39

G.H.S. Lumbun menyampaikan pengertian Akta Relaas adalah

berisi uraian Notaris yang dilihat dan disaksikan Notaris sendiri atas

permintaan para pihak agar tindakan atau perbuatan para pihak

dituangkan ke dalam bentuk akta Notaris.40 Menurut A.A. Andi

Prayitno menyampaikan akta relaas adalah mencatat segala peristiwa

apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan dari pelaksanaan jalannya

rapat atau acara yang diliput.41 Sedangkan Salim HS mendefinisikan

tentang Akta Relaas adalah :42

“Surat tanda bukti yang dibuat oleh Notaris tentang apa yang
dipandangnya, diketahuinya, atau diperhatikan (dilihat) dan
disaksikan tentang terjadinya suatu perbuatan atau peristiwa
secara langsung”.
38
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Op.Cit., hlm.45.
39
Ibid., hlm.45.
40
G.H.S. Lumbun, Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : Erlangga, 1983, hlm.51. Dikutip dari
Salim Hs, Teknik Pembuatan Akta Satu, Op.Cit., hlm.90.
41
A.A. Andi Prayitno, Pengetahuan Pratis Tentang Apa dan Siapa Noataris di Indonesia,
Surabaya, Putra Media Nusantara, 2010, hlm.69. Dikutip dari Salim HS, Teknik Pembuatan Akta
Satu, Op.Cit., hlm.90.
42
Salaim HS, Teknik Pembuatan Akta Satu, Op.Cit., hlm.90.

30
Dengan demikian unsur-unsur akta relaas dalam beberapa

pengertian di atas adalah adanya surat tanda bukti, yang dilihat dan

disaksikan, adanya peristiwa, dan langsung.43

b. Akta Partij

Menurut G.H.S. Lumban, Akta Partij atau Akta Pihak adalah

akta yang dibuat di hadapan Notaris atas permintaan para pihak, Notaris

berkewajiban untuk mendengar pernyataan atau keterangan para pihak

yang dinyatakan atau diterangkan sendiri oleh para pihak di hadapan

Notaris. Pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh Notaris

dituangkan ke dalam akta Notaris.44

Dalam akta partij penandatanganan oleh para pihak adalah

merupakan suatu keharusan.45 Suatu akta yang dibuat oleh Notaris

dalam kedudukannya dapat menjadi akta otentik apabila memenuhi

persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, yaitu:

1) Akta harus dibuat “oleh” atau “dihadapan” seseorang pejabat umum

2) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-

undang.

3) Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus

mempunyai kewenangan untuk membuat akta itu.

43
Ibid., hlm.90.
44
Hambib Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Op.Cit., Hlm.45.
45
Teguh Samudera, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992, hlm.
42.

31
Berdasarkan Pasal 1869 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Jo Pasal 16 ayat (8) Undang-Undang Jabatan Notaris, bila salah satu

syarat yang ditentukan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata itu tidak terpenuhi maka akta yang dibuatnya tidak

otentik, hanya mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan

apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap.

Pada akta partij selalu terdapat kekuatan bukti materiil dan

merupakan alat bukti sempurna sebab dalam akta partij kebenaran dari

isi akta tersebut ditentukan oleh pihak-pihak dan diakui pula oleh pihak-

pihak dan pejabat yang menerangkan seperti apa yang dilihat,

diketahuinya dari para pihak itu. Tetapi pada akta Relaas tidak selalu

terdapat kekuatan bukti materiil artinya setiap orang dapat menyangkal

kebenaran isi akta otentik itu asal dapat membuktikannya, sebab apa

yang dilihat dan dilakukan oleh pejabat itu hanya berdasarkan pada apa

yang dikehendaki oleh yang berkepentingan.46

4. Akta Notaris Sebagai Alat Bukti

Dalam hukum (acara) perdata, alat bukti yang sah atau yang diakui

oleh hukum salah satunya adalah bukti tulisan.47 Dalam Pasal 1867

KUHPerdata disebutkan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan

dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah

46
Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1992, hlm.136.
47
M. Ali Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum Acara
Perdata Setengah Abad, Jakarta : Swa Justitia, 2005, hlm.146. Dikutip dari Habib Adjie, Hukum
Notaris Indonesia, Op.Cit., hlm.120.

32
tangan.48 Fungsi akta otentik adalah sebagai alat bukti yang sempurna, hal

ini dapat dilihat dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa,

“suatu akta untuk memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya

atau orang-orang yang mendapat hak ini dari mereka, suatu bukti yang

sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya“. Menurut Subekti, akta

otentik merupakan suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah

tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian. Ia merupakan suatu alat

bukti yang mengikat dan sempurna.49

Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai

pembuktian sebagai berikut :50

a. Lahiriah (Uitwendige Bewijskracht)

Kemampuan lahiriah akta Notaris merupakan akta itu sendiri

untuk membuktikan keabsahannya sebagai akta otentik. Jika dilihat dari

luar (lahirnya ) sebagai akta otentik serta sesuai dengan aturan hukum

yang sudah ditentukan mengenai syarat akta otentik, maka akta tersebut

berlaku sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya, artinya sampai

ada yang membuktikan bahwa akta tersebut bukan akta otentik secara

lahiriah. Dalam hal ini beban pembuktian ada pada pihak yang

menyangkal keontetikan akta Notaris yang bersangkutan, baik yang ada

pada Minuta dan Salinan serta adanya Awal akta (mulai dari judul)

sampai dengan akhir akta.

b. Formal (Formale Bewisjskracht)

48
Habieb Adjie, Hukum Notaris Indonesia, Op.Cit., hlm.120.
49
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha, 2005, hlm.27.
50
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm.72-74.

33
Akta Notaris harus memberikan kepastian bahwa sesuatu

kejadian dan fakta tersebut dalam akta benar dilakukan oleh Notaris

atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang

tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang sudah ditentukan

dalam pembuatan akta. Secara formal untuk membuktikan kebenaran

dan kepastian tentang hari, tanggal, bulan, tahun, pukul (waktu)

menghadap, dan para pihak yang menghadap, paraf dan tanda tangan

para pihak/penghadap, saksi dan Notaris, serta membuktikan apa yang

dilihat, disaksikan, didengar oleh Notaris (pada akta pejabat/berita

acara), dan mencatatkan keterangan atau pernyataan para

pihak/penghadap (pada akta pihak). Jika aspek formal dipermasalahkan

oleh para pihak, maka harus dibuktikan formalitas dari akta, yaitu harus

dapat membuktikan ketidakbenaran hari, tanggal, bulan, tahun, dan

pukul menghadap, membuktikan ketidakbenaran apa yang dilihat,

disaksikan, dan didengar oleh Notaris. Selain itu juga harus dapat

membuktikan ketidakbenaran pernyataan atau keterangan para pihak

yang diberikan/disampaikan di hadapan Notaris, dan ketidakbenaran

tanda tangan para pihak saksi, dan Notaris ataupun ada prosedur

pembuatan akta yang tidak dilakukan. Dengan kata lain, pihak yang

mempermasalahkan akta tersebut harus melakukan pembuktian terbalik

untuk menyangkal aspek formal dari Akta Notaris. Jika tidak mampu

membuktikan ketidakbenaran tersebut, maka akta tersebut harus

diterima oleh siapapun.

c. Materiil (Materiele Bewijskracht)

34
Kepastian tentang materi suatu akta sangat penting, bahwa apa

yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap

pihakpihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan

berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya. Keterangan

atau pernyataan yang dituangkan/dimuat dalam akta pejabat (atau berita

acara), atau keterangan para pihak yang diberikan/disampaikan di

hadapan Notaris dan para pihak harus dinilai benar. Perkataan yang

kemudian dituangkan/dimuat dalam akta berlaku sebagai yang benar

atau setiap orang yang datang menghadap Notaris yang kemudian

tentang keterangannya dituangkan/dimuat dalam akta harus dinilai telah

benar berkata demikian. Jika ternyata pernyataan/keterangan para

penghadap tersebut menjadi tidak benar, maka hal tersebut

tanggungjawab para pihak sendiri. Dengan demikian isi akta Notaris

mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya, menjadi bukti yang sah

di antara para pihak dan para ahli waris serta para penerima hak

mereka.

Perbedaan yang penting antara akta otentik dengan akta di bawah

tangan adalah terletak dalam nilai pembuktian. Akta otentik mempunyai

pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat

bukti, maka akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau

ditafsirkan lain, selain yang tertulis dalam akta tersebut. Akta di bawah

tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak

35
mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari salah satu pihak51, jika para

pihak mengakuinya menurut Pasal 1875 KUHPerdata, maka akta di bawah

tangan tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagai

akta otentik.52

Menurut Yahya Harahap daya kekuatan pembuktian akta di bawah

tangan hanya memilik dua daya kekuatan pembuktian. Tidak memiliki

kekuatan pembuktian luar sebagaiman akta otentik yang tidak bisa

dibantah kebenarannya oleh hakim, sehingga harus pihak lawan yang

mengajukan pembuktian “kepalsuan” atas akta itu.53 Jika salah satu pihak

tidak mengakuinya, beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang

menyangkal akta tersebut, dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut

diserahkan kepada hakim.54 Tujuan pembuktian adalah putusan hakim

yang didasarkan pada pembuktian itu.55

Baik alat bukti akta di bawah tangan maupun akta otentik keduanya

harus memenuhi rumusan mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan

Pasal 1320 KUHPerdata, dan secara materiil mengikat para pihak yang

membuatnya sebagama disebutkan dalam Pasal 1338 sebagai suatu

perjanjian yang harus ditepati oleh para pihak (pacta sunt servanda).56

51
M. Ali Boediarto, Op.Cit. hlm.145.
52
Habib Adjie, Op.Cit., hlm.121.
53
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hlm.590.
54
M. Ali Boediarto, Op.Cit. hlm.145. Dikutip dari Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia,
Op.Cit., hlm.121.
55
Achmad Ali dan Wiwie Herayani, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Jakarta :
Kencana Media Group, 2012, hlm.57.
56
Habib Adjie, Op.Cit., hlm.121.

36
Kerangka Pemikiran

1. Kerangka Teori

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan

perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki oleh dua

orang atau dua pihak yang membuat perjanjian, sedangkan perikatan yang

lahir dari undang-undang dibuat atas dasar kehendak yang berhubungan

dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak.57

Perjanjian perkawinan sebagai bagian dari hukum perjanjian pada

umumnya adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami dan istri

sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-

akibat perkawinan terhadap terhadap harta benda mereka. Hal ini merujuk

pada Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang

Perkawinan yang menyebutkan bahwa :

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua


belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut”.58

Terdapat beberapa alasan perjanjian perkawinan tersebut dibuat

oleh pasangan suami istri. Pada umumnya suatu perjanjian kawin dibuat

oleh pasangan suami-istri dengan alasan sebagai berikut :

a. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah

satu pihak daripada pihak yang lain;

b. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst)

yang cukup besar;

57
Suharnoko, Hukum Perjanjian, Jakarta : Prenada Media, 2004, hlm.117.
58
Pasal 29 huruf a Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

37
c. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andai kata

salah satu jatuh (failliet), yang lain tidak tersangkut;

d. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin masing-masing

akan bertanggunggugat sendiri-sendiri.59

Dari alasan dibuatnya perjanjian kawin, maka perjanjian kawin

bertujuan untuk melindungi kedudukan harta benda setelah perkawinan,

sehingga tidak akan berbuat sewenang-wenang terhadap harta benda yang

telah diperjanjikan. Dan apa yang diperjanjikan berlaku sebagai undang-

undang yang mengikat masing-masing pihak yang melakukan perjanjian

sehingga apabila perjanjian tersebut dilanggar maka dapat diajukan

gugatan pembatalan perkawinan dan gugatan ganti rugi ke Pengadilan,

juga bisa dijadikan sebagai alasan perceraian.

Untuk keabsahannya perjanjian perkawinan, dalam Undang-

Undang Perkawinan mensyaratkan bahwa perjanjian perkawinan tersebut

harus dibuat dalam bentuk tertulis. Selain untuk keabsahan, perjanjian

perkawinan, dibuatnya perjanjian perkawinan secara tertulis bertujuan

untuk hal-hal sebagai berikut :60

a. Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa, oleh karena akibat

daripada perjanjian ini akan dipikul untuk seumur hidup,

b. Untuk adanya kepastian hukum,

c. Sebagai satu-satunya alat bukti yang sah,

59
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta : Prestasi Pustaka,
2006, hlm.129.
60
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, Surabaya:
Airlangga University Press,1991, hlm.59.

38
d. Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas ketentuan

Pasal 149 KUHPerdata (setelah perkawinan berlangsung, perjanjian

kawin tidak boleh diubah dengan cara apapun).

Untuk menjamin bahwa perjanjian kawin yang dibuat adalah benar

dan dapat mengikat para pihak maka mengenai bentuk perjanjian kawin

menurut KUHPerdata harus dibuat dengan akta Notaris, sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 147 KUHPerdata yang menyatakan bahwa,

“Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta Notaris sebelum pernikahan

berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian”.

Adanya syarat bahwa perjanjian kawin harus dibuat dengan akta

Notaris (akta otentik) adalah bertujuan untuk hal-hal sebagai berikut :61

a. Agar perjanjian kawin tersebut mempunyai kekuatan pembuktian

sempurna apabila terjadi persengketaan. Suatu perjanjian yang

dituangkan dalam akta otentik, maka akan mempunyai kekuatan

pembuktian sempurna, artinya hakim terikat pada kebenaran formil dan

materiil terhadap akta otentik yang diajukan kepadanya sebagai bukti di

depan persidangan, kecuali dengan bukti lawan dapat dibuktikan

sebaliknya. Menurut pasal 1868 KUHPerdata disebutkan bahwa: “Suatu

akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum

yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akte di buatnya”.

Kekuatan pembuktian akta otentik disebutkan dalam Pasal 1870

KUHPerdata yang menyatakan: “Bagi para pihak yang berkepentingan

61
J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Cetakan kedua, Yogyakarta :
Laksbang Grafika, 2012, hlm.24.

39
beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan

hak dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang

sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya”.

b. Dengan dibuatnya perjanjian kawin dalam akta Notaris maka akan

memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami-istri

atas harta benda mereka, mengingat perjanjian kawin mempunyai

konsekuensi yang luas dan dapat menyangkut kepentingan keuangan

yang besar yang dipunyai oleh suatu rumah tangga.

Perjanjian kawin akan mulai berlaku pada saat pernikahan

dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu, sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 147 KUHPerdata. Akibat hukum adanya

perjanjian perkawinan antara suami dan istri adalah sebagai berikut:

a. Perjanjian mengikat pihak suami dan pihak istri;

b. Perjanjian mengikat pihak ketiga yang berkepentingan;

c. Perjanjian hanya dapat diubah dengan persetujuan kedua pihak suami

dan istri, dan tidak merugikan kepentingan pihak ketiga, serta disahkan

oleh pegawai pencatat perkawinan.62

Perjanjian kawin harus didaftarkan atau dicatatkan ke Pegawai

Pencatat Perkawinan hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 29

ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang menyebutkan bahwa :

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua


pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.”
62
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan ke-5, Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti, 2014, hlm.99.

40
Terdapat dua hal pokok dari bunyi Pasal 29 ayat (1) Undang-

Undang Perkawinan sebagaimana disebutkan di atas, yaitu sebagai berikut

:63

a. Perjanjian kawin harus didaftarkan. Hal ini dilakukan untuk memenuhi

unsur publisitas dari perjanjian kawin dimaksud. Supaya pihak ketiga

(di luar pasangan suami atau istri tersebut) mengetahui dan tunduk pada

aturan dalam perjanjian kawin yang telah dibuat oleh pasangan tersebut.

Jika tidak didaftarkan, maka perjanjian kawin hanya mengikat/berlaku

bagi para pihak yang membuatnya, yakni suami dan istri yang

bersangkutan. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal 1313, 1314 dan 1340

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dimana

perjanjian hanya mengikat bagi para pihak yang membuatnya.

b. Sejak Undang-Undang Perkawinan tersebut berlaku, maka pendaftaran

atau pengesahan atau pencatatan perjanjian kawin tidak lagi dilakukan

di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Untuk pasangan yang beragama

Islam pencatatannya dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) pada

buku nikah mereka, sedangkan untuk yang nonmuslim, pencatatan

dilakukan oleh kantor catatan sipil setempat pada akta nikah mereka.

Berdasarkan kerangka teori di atas, menunjukkan bahwa perjanjian

perkawinan harus di catat di Kantor Catatan Sipil untuk keabsahan dan

kepastian hukum bagi pasangan suami-istri dalam hal kaitannya dengan

63
Irma Devita, “Hukum Online: Sahkah Perjanjian Kawin Yang Tak Didaftarkan Ke
Pengadilan”, Rabu, 13 November 2013, (http://m.hukumonline.com), diunduh pada 10 Oktober
2015.

41
harta kekayaan dan pihak ketiga yang memiliki kepentingan terhadap

keduanya dan akan berakibat hukum apabila akta perjanjian perkawinan

yang telah dibuatnya tidak dicatat di Kantor Catatan Sipil.

2. Kerangka Konseptual

Beberapa konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

a. Perjanjian

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

Pasal 1313 menyebutkan bahwa, perjanjian atau persetujuan adalah

suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih. Sedangkan menurut Subekti, suatu

perjanjian merupakan suat u peristiwa di mana seseorang berjanji

kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal.64

b. Perkawinan

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan disebutkan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

64
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa, 2001, hlm.36.

42
c. Perjanjian kawin

Perjanjian kawin ialah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh

calon suami istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan

untuk mengatur akibatakibat perkawinan terhadap harta kekayaan

mereka.65

d. Notaris

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

Tentang Jabatan Notaris bahwa, Notaris adalah pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan

lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau

berdasarkan undang-undang lainnya.

e. Akta Notaris

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014

Tentang Jabatan Notaris bahwa, Akta Notaris yang selanjutnya disebut

Akta adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris

menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang

ini.

65
Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga, Surabaya :
Airlangga University Press, 1991. hlm.57.

43
BAB III
METODE PENELITIAN

Menurut Conny R. Semiawan menyebutkan bahwa, asal katanya metode

berarti ‘jalan’ atau ‘cara’. Metode penelitian berarti cara pengumpulan data dan

analisis. Dari analisis tersebut kemudian peneliti akan mendapatkan hasil, apakah

itu berupa penegasan atas teori yang pernah ada (confirmation) atau suatu

penemuan baru (discovery).66

Metode penelitian adalah cara melakukan sesuatu dengan menggunakan

pikiran secara seksama untuk mencapai tujuan dengan cara mencari, mencatat,

merumuskan dan menganalisis hingga menyusun laporan.67 Metode penelitian

hukum merupakan suatu cara yang sistematis dalam melakukan sebuah

penelitian.68 Peter Mahmud Marzuki menyebutkan bahwa, penelitian hukum

merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-

about. Sebagai kegiatan know-how, penelitian hukum dilakukan untuk

memecahkan isu hukum yang dihadap.69

Adapun metode penelitian yang akan dilakukan penulis dalam penelitian

hukum ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Dalam Ilmu Hukum mengenal dua jenis penelitian, yaitu penelitian

hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Dalam penelitian hukum ini,

66
J.R. Raco, 2010, Metode Penelitian Kualitatif : Jenis, Karakteristik dan Keuanggulannya,
Penerbit Grasindo, Jakarta, hlm.xii. < https://books.google.co.id>.
67
Chalid Narbuko, dan Abu Ahmad, 2007, Metode Penelitian, Cetakan VIII, Penerbit Bumi
Aksara, Jakarta, hlm.2.
68
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung : hlm. 57.
69
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan ke 9, Prenamedia,
Jakarta, hlm.60.

44
jenis penelitiannya adalah yuridis normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki

bahwa, penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu

aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi.70

Penelitian normatif ini termasuk penelitian keputusan kepustakaan

(library research) atau studi dokumen, karena obyek yang di teliti merupakan

dokumen resmi yang bersifat publik, yaitu data resmi dari pihak Pengadilan

Agama.71 Penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

pustaka atau data sekunder berkala, dapat dinamakan penelitian normatif atau

penelitian hukum kepustakaan.72

Sehubungan hal di atas maka jenis penelitian ini adalah penelitian

yuridis normatif. Oleh karena penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif,

oleh sebab itu spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analitis. Penelitian deskriptif dalah suatu penelitian yang bertujuan

untuk menggambarkan keadaan atau gejala dari obyek yang akan diteliti

dengan mengambil suatu kesimpulan yang bersifat umum.73

2. Teknik Pendekatan

Pendekatan penelitian adalah metode atau cara mengadakan

penelitian.74 Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek


70
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta, hlm. 35.
71
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, hlm. 13.
72
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Penerbit PT. Raja Grafindo, Jakarta, hlm.13.
73
Bambang Sunggono, 2002, Methodologi Penelitian Hukum, Penerbit PT Raja Grafindo,
Jakarta, hlm.38.
74
Suharsimi Arikunto, 2002, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Penerbit
Rieneka Cipta, Jakarta, hlm.23.

45
mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-

pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan

undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach),

pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative

approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).75

Teknik pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum ini yaitu

menggunakan pendekatan undang-undang atau statute approach. Pendekatan

undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-

undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

ditangani.76 Adapun undang-undang yang dipergunakan sebagai acuan dalam

penelitian hukum ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dan Undang-

Undang atau Peraturan lainnya yang berhubungan dengan permasalahan, dan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

3. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif, kegiatan untuk menjelaskan hukum

tidak diperlukan dukungan data atau fakta sosial, sebab ilmu hukum normatif

tidak mengenal data atau fakta sosial, jadi untuk menjelaskan hukum atau

untuk mencari makna dan memberi nilai akan akan hukum tersebut hanya

75
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Op.Cit., hlm.133.
76
Ibid.

46
digunakan konsep hukum dan langkah-langkah yang ditempuh adalah langkah

normatif.77

Demikian pula menurut Peter Mahmud Marzuki menyebutkan bahwa,

penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Untuk memecahkan isu hukum

dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya,

diperlukan sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber penelitian hukum dapat

dibedakan menjadi sumber penelitian yang berupa sumber data primer dan

sumber data sekunder,78 dengan penjelasannya sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri

dari perundang-undangan, putusan-putusan hakim.79 Bahan hukum primer

yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

4) Putusan Penetapan atas perjanjian perkawinannya melalui Pengadilan

Negeri Jakarta Selatan Nomor 468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel tertanggal 9

November 2015.

5) Undang-Undang atau Peraturan lainnya yang berhubungan dengan

permasalahan.

77
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: CV. Mandara Maju,
2002, hlm.87.
78
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Op.Cit., hlm.181.
79
Ibid., hlm.181

47
b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan-bahan hukum sekunder adalah bahan berupa semua publikasi

tentang hukum yang meliputi buku-buku teks, kamus hukum, jurnal-jurnal

hukum80, yang berkaitan dengan isu yang sedang diteliti.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan

informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder,81 berupa kamus-

kamus seperti kamus bahasa Indonesia, Inggris, dan kamus-kamus keilmuan

seperti kamus istilah hukum.

4. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah dengan

menggunakan teknik dokumentasi. Menurut Soemitro (1983), penelitian

hukum yang normatif (legal research) biasanya hanya merupakan studi

dokumen, yakni menggunakan sumber-sumber data sekunder saja yang berupa

peraturan-peraturan, perundang-undangan, keputusan-keputusan pengadilan,

teori-teori hukum, dan pendapat-pendapat para sarjana hukum terkemuka.82

Sedangkan, Suharsini Arikunto menjelaskan metode dokumentasi adalah

mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip,

buku, prasasti, notulen rapat, dan lain sebagainya.83

80
Ibid.
81
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1990, hlm.1.
82
Rianto Adi, 2010, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Penerbit Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta, hlm.92. < https://books.google.co.id >.
83
Suharsini Arikunto, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Penerbit Rineke
Cipta, Jakarta, hlm.227.

48
5. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, setelah bahan hukum terkumpul maka bahan

hukum tersebut dianalisis untuk mendapatkan konklusi, bentuk dalam teknik

analisis bahan hukum adalah content analysis. Sebagaimana telah dipaparkan

sebelumnya, bahwa dalam penelitian normatif tidak diperlukan data lapangan

untuk kemudian dilakukan analisis terhadap sesuatu yang ada di balik data

tersebut. Dalam analisis bahan hukum jenis ini dokumen atau arsip yang

dianalisis disebut dengan istilah “teks”. Content analysis menunjukkan pada

metode analisis yang integratif dan secara konseptual cenderung diarahkan

untuk menemukan, mengidentifikasi, mengolah, dan menganalisis bahan

hukum untuk memahami makna, signifikansi, dan relevansinya.84

Berkaitan dengan hal di atas maka, analisis data dilakukan dalam

penelitian ini adalah kualitatif yaitu suatu metode analisis data deskripif

analistis yang mengacu pada suatu masalah tertentu dan dikaitkan dengan

pendapat para pakar hukum maupun berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Dalam penelitian hukum yuridis normatif biasanya

hanya mempergunakan sumber-sumber data sekunder saja yaitu buku-buku

kepustakaan, catatan perkuliahan, peraturan perundang-undangan, teori-teori

hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka sehingga akan

menemukan kesimpulan.85 Demikian pula menurut Wignjosoebroto (1974)

84
Burhan Bungin, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi Ke arah
Ragam Varian Kontemporer, Penerbit PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm.203.
85
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit., hlm.39.

49
menyebutkan bahwa, penelitian hukum yang normatif, maka analisisnya adalah

analisis normatif-kualitatif karena datanya bersifat kualitatif.86

6. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kantor Notaris Wenda Taurusita

Amidjaja, SH yang beralamat di Rukan Graha Mas, Jalan Raya Perjuangan

Kebon Jeruk Jakarta Barat dan Perpustakaan Universitas Pelita Harapan

Jakarta.

86
Rianto Adi, Op.Cit., hlm.92.

50
BAB IV

ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Kasus Putusan Penetapan Pengadilan

Sesuai dengan kasus yang diangkat dalam penelitian tentang perjanjian

perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami-istri sampai perkawinannya

berlangsung belum dicatatkan di Kantor Catatan Sipil dengan alasan lupa,

maka pasangan suami-istri selaku Pemohon mengajukan permohonan putusan

Penetapan atas perjanjian perkawinannya melalui Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan Nomor 468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel dengan kasus posisinya sebagai

berikut :

1. Identitas Pemohon :

Widono Salim dan Marline Pradjanta, pasangan suami-istri (Para

Pemohon) yang beralamat di Jalan Daksa III/2 Rt.006/002, Kel. Selong,

Kec. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

a. Duduk Perkara :

1) Para Pemohon telah melangsungkan perkawinan di Jakarta pada 23

Desember 1985 sesuai Kutipan Akta Perkawinan Nomor 2660/1/1985

yang diterbitkan oleh Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Jakarta pada

23 Desember 1985.

2) Sebelum perkawinan berlangsung, para pemohon membuat Perjanjian

Kawin nomor 6 yang dibuat dihadapan Juliaan Nimrod Siregar, SH.,

Notaris di Jakarta tanggal 1 Agustus 1980.

51
3) Perjanjian Kawin nomor 6 tanggal 1 Agustus 1980 tersebut tidak

terdaftar dalam register pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta, karena

kealpaan.

4) Para Pemohon mengajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan menerbitkan Penetapan untuk memerintahkan Kantor Catatan

Sipil DKI Jakarta, mendaftarkan dan mencatat Perjanjian Kawin

nomor 6 dalam register yang tersedia untuk itu.

b. Dalil Permohonan

1) Alat bukti tertulis berupa : kartu tanda penduduk para pemohon,

kutipan akta perkawinan, kartu keluarga, perjanjian kawin yang dibuat

dihadapan Notaris.

2) Dua orang saksi yang menyatakan kebenaran duduk perkara dan tidak

keberatan.

3) Segala sesuatu yang tercatat dalam berita acara persidangan dianggap

telah turut termuat secara lengkap.

4) Para Pemohon dalam permohonannya telah mendalilkan bahwa

Perjanjian Perkawinan yang telah mereka buat tidak terdaftar dalam

register pada Kantor Catatan Sipil DKI Jakarta, karena kealpaan.

5) Permohonan Pengesahan dan dicatatnya Perjanjian Kawin di Kantor

Catatan Sipil DKI Jakarta ditolak karena harus ada penetapan dari

Pengadilan Negeri setempat terlebih dahulu.

6) Sesuai dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa pada waktu atau sebelum

perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat

52
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat

perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga

sepanjang pihak ketiga tersangkut.

7) Sesuai pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan yang menyebutkan bahwa perjanjian tersebut tidak dapat

disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan

kesusilaan, sedangkan dalam ayat (3) disebutkan bahwa perjanjian

tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

8) Perjanjian Perkawinan nomor 6 yang dibuat oleh Para Pemohon diteliti

dari segi isinya tidaklah bertentangan dengan batas-batas hukum, agama

dan kesusilaan.

9) Perjanjian Perkawinan Para Pemohon dibuat sebelum perkawinan

mereka dilangsungkan dan muatan/isinya tidak melanggar batas-batas

hukum, agama, dan kesusilaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29

Undang-Undang Perkawinan.

c. Keputusan Pengadilan

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum permohonan

yang disampaikan di atas, maka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

menetapkan sebagai berikut :

1) Mengabulkan Permohonan Para Pemohon.

2) Menyatakan Perjanjian Perkawinan nomor 6 yang dibuat Para

Pemohon dihadapan Notaris Juliaan Nimrod Siregar, SH. di Jakarta

pada tanggal 1 Agustus 1980, telah terlambat didaftarkan dan

dicatatkan.

53
3) Memberi izin kepada Pegawai Kantor Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil DKI Jakarta untuk mendaftarkan dan mencatat

Perjanjian Perkawinan nomor 6 yang dibuat oleh Para Pemohon

dihadapan Notaris Juliaan Nimrod Siregar, SH di Jakarta pada tanggal

1 Agustus 1980 yang lalai dilaporkan pada saat perkawinan Para

Pemohon dilangsungkan pada tanggal 23 Desember 1985 di Jakarta.

B. Analisis

1. Keberlakuan Mengikat Akta Perjanjian Kawin

a. Keberlakuan Mengikat Akta Perjanjian Kawin sebelum Penetapan

Pengadilan

Perjanjian perkawinan sama halnya dengan perjanjian pada

umumnya, yaitu suatu perjanjian antara dua orang calon suami istri untuk

mengatur harta kekayaan pribadi masing-masing yang dibuat menjelang

perkawinan, serta disahkan oleh pegawai pencatat nikah.87

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan (UUP) hanya terdapat 1 pasal yang mengatur tentang

perjanjian kawin, yaitu Pasal 29. Sedangkan di dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaan dari

UUP sama sekali tidak mengatur mengenai perjanjian kawin. Sehingga

Mahkamah Agung berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang sudah

87
Damanhuri HR, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Cetakan ke 1,
Bandung : Mandar Maju, 2007, hlm.7.

54
berlaku sebelumnya, termasuk ketentuan dalam KUHPerdata tetap

diberlakukan.88

Hal senada juga disampaikan oleh Djaja S. Meliala, bahwa UUP

tidak mengatur secara tegas tentang perjanjian perkawinan, hanya

dinyatakan bahwa kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian

tertulis yaitu Perjanjian Perkawinan. Dalam ketentuan ini tidak

disebutkan batasan yang jelas, bahwa Perjanjian Perkawinan itu

mengenai hal apa. Sehingga dapat dikatakan bahwa UUP ini mencakup

banyak hal. Disamping itu UUP tidak mengatur lebih lanjut tentang

bagaimana hukum Perjanjian Perkawinan yang dimaksud.89

Perjanjian Perkawinan diatur dalam Pasal 29 ayat (1) sampai

dengan ayat (4) UUP yang bunyinya sebagai berikut :

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas

perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang

disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya

berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-

batas hukum, agama dan kesusilaan.

3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

88
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, Surabaya : Airlangga University Press, 1988, hlm.57.
89
Djaja S. Meliala, 2006, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum
Keluarga, Bandung: Nuansa Aulia,hlm. 67. Dikutip dari Jurnal Dinamika Hukum Vol. 8 No. 3
September 2008, di unduh dari
http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/JDH82008/VOL8S2008%20HAEDAH%2
0FARADZ.pdf, pada 10 Desember 2015.

55
4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat

diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk

mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga

Merujuk pada bunyi Pasal 29 ayat (1) UUP di atas, bahwa

Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat pada waktu atau sebelum

perkawinan dilangsungkan harus disahkan oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan (Kantor Catatan Sipil), dimana isinya berlaku juga terhadap

pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Oleh sebab itu, dari

bunyi Pasal 29 ayat (1) UUP tersebut dapat dipersepsikan bahwa

Perjanjian Perkawinan yang tidak dicatatkan di Kantor Catatan Sipil

dianggap/dinilai tidak sah dan isi dari perjanjian yang telah dibuat tidak

berlaku apabila ada kaitannya dengan pihak ketiga. Sebagaimana hal ini

dinyatakan pula dalam Pasal 152 KUHPerdata bahwa :

“Ketentuan tercantum dalam perjanjian perkawinan, yang


mengandung penyimpangan dari persatuan menurut undang–
undang, seluruhnya atau untuk sebagian, tak akan berlaku
terhadap pihak ketiga, sebelum hari ketentuan-ketentuan itu
dibukukan dalam suatu register umum, yang harus
diselenggarakan untuk itu di kepaniteraan pada Pengadilan
Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya perkawinan itu telah
dilangsungkan, atau, jika perkawinan berlangsung di luar negeri,
di kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukannya.”

Diluar konteks ketentuan Perjanjian Perkawinan sebagaimana

yang disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1) UUP, perjanjian yang telah

dibuat oleh suami-istri pada prinsipnya adalah suatu perbuatan atau

tindakan hukum yang terbentuk dengan tercapainya kata sepakat yang

merupakan pernyataan kehendak bebas dari dua orang (para pihak),

56
dimana tercapainya sepakat tersebut tergantung dari para pihak yang

menimbulkan akibat hukum untuk kepentingan pihak yang satu dan atas

beban pihak yang lain atau timbal balik dengan mengindahkan ketentuan

perundang-undangan.90

Kaitannya dengan Perjanjian Perkawinan yang merujuk pada

ketentuan KUHPerdata, bahwa Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh

pasangan suami-istri merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dalam

pembuatannya harus memenuhi unsur-unsur syarat sahnya perjanjian

yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Abdulkadir Muhammad

menyebutkan bahwa, “Perjanjian sah dan mengikat adalah perjanjian yang

memenuhi unsur-unsur dan syarat-syarat yang ditetapkan oleh undang-

undang. Perjanjian yang sah dan mengikat diakui dan memiliki akibat

hukum (legally concluded contract).91

Dalam Putusan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Nomor 468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel disebutkan bahwa pasangan suami-

istri telah membuat Perjanjian Kawin dihadapan Notaris sebelum

dilangsungkannya perkawinan. Hal ini berarti sebelum perkawinan

tersebut berlangsung telah terjadi peristiwa hukum berupa kesepakatan

diantara mereka (Para Pemohon) untuk membuat perjanjian sesuai

kehendak bebas mereka sendiri. Dengan telah dibuatnya Perjanjian

Kawin oleh dan dihadapan Notaris maka unsur kecakapan dinilai telah

90
C. Asser.A.S. Hartkamp 4-II, Verbintenissenrecht, Algemene leer der overeenkomsten.
Tiende druk, W.E.J. Tjeenk, Deventer, 1997,hlm.10. Dikutip dari Herlien Budiono, Ajaran Umum
Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti,
Cetakan ke II, 2010, hlm.3.
91
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan ke-V, Bandung : Citra
Adtya, hlm.299.

57
terpenuhi, sebab yang dapat membut Perjanjian Kawin adalah mereka

yang mempunyai syarat untuk menikah pada waktu perjanjian itu dibuat,

dimana sesuai Pasal 7 UUP menentukan bahwa untuk dapat

melangsungkan perkawinan telah berusia 19 tahun untuk pria dan 16

tahun untuk wanita. Sesuai ketentuan perundang-undangan, Notaris tidak

mungkin membuatkan suatu akta perjanjian kawin yang dilakukan para

penghadap yang belum cukup dewasa secara hukum. Dengan demikian,

unsur-unsur syarat subjektif dalam Perjanjian Kawin yang telah dibuat

oleh Para pemohon telah terpenuhi.

Unsur berikutnya dalam Perjanjian Perkawinan adalah tentang

suatu hal tertentu. Dalam KUHPerdata menjelaskan maksud dari suatu

hal tertentu dengan memberikan rumusan dalam Pasal 1333 KUH

Perdata yang menyebutkan bahwa, “Suatu perjanjian harus mempunyai

sesuatu sebagai pokok perjanjian berupa suatu kebendaan yang paling

sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah

kebendaan tidak tentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat ditentukan

atau dihitung”.

Suatu pokok persoalan tertentu menyangkut adanya objek

perjanjian. Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi

objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi ini terdiri

dari memberi sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1234 KUHPerdata.92 Objek

92
Salim H.S., Hukum Kontrak : Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan ke-9,
Jakarta : Sinar Grafika, 2013, hlm. 34.

58
perjanjian yang dimaksud, misalnya tentang harta selama perkawinan

tersebut berlangsung.

Unsur yang terakhir adalah suatu sebab yang tidak terlarang.

Dalam surat keputusan pengadilan disebutkan bahwa perjanjian yang

dibuat oleh suami-istri tidak mengandung unsur yang dilarang. Dengan

demikian, syarat objektif Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh suami-

istri telah terpenuhi unsur-unsurnya.

Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat oleh pasangan suami-

istri sebagaimana dalam kasus Putusan Penetapan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan Nomor 468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel, dimana bila dalam

pembuatannya telah terpenuhi unsur-unsur yang dipersyaratkan oleh

Pasal 1320 KUHPerdata maka sekalipun Perjanjian Perkawinan tersebut

belum mendapat penetapan dari pengadilan, menurut hemat penulis dapat

dinyatakan bahwa Perjanjian Perkawinan tersebut tetap sah dan mengikat

hanya bagi kedua belah pihak (suami-istri) yang membuatnya. Hal ini

sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang

menyebutkan bahwa, “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku

sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Selanjutnya, Perjanjian Perkawinan yang harus dibuat oleh

Notaris adalah berhubungan dengan kekuatan akta perjanjian kawin

tersebut sebagai alat bukti bila dikemudian hari terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan dalam perkawinan, hal ini berkaitan dengan Pasal 29 ayat (4)

UUP yang menyebutkan bahwa, “selama perkawinan berlangsung

perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak

59
ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak

ketiga”. Dari bunyi Pasal 29 ayat (4) UUP dapat dipersipkan bahwa

Perjanjian Perkawinan yang diantaranya tidak ada perjanjian untuk

mengubahnya, berpotensi terjadinya pembatalan sebagaimana yang

disebutkan dalam Pasal 147 KUHP bahwa :

“Atas ancaman kebatalan, setiap perjanjian perkawinan harus


dibuat dengan akta Notaris sebelum perkawinan berlangsung.
Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan
dilangsungkan; lain saat untuk itu tak boleh ditetapkannya.”

Adanya syarat bahwa perjanjian kawin harus dibuat dengan akta

Notaris (akta otentik) adalah juga bertujuan untuk:93

1) Agar perjanjian kawin tersebut mempunyai kekuatan pembuktian

sempurna apabila terjadi persengketaan. Suatu perjanjian yang

dituangkan dalam akta otentik, maka akan mempunyai kekuatan

pembuktian sempurna, artinya hakim terikat pada kebenaran formil

dan materiil terhadap akta otentik yang diajukan kepadanya sebagai

bukti di depan persidangan, kecuali dengan bukti lawan dapat

dibuktikan sebaliknya.

Menurut pasal 1868 KUHPerdata dikatakan bahwa: “Suatu

akta otentik adalah akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum

yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akte di buatnya.”

93
J. Andy Hartanto, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Cetakan kedua, Yogyakarta:
Laksbang Grafika, 2012, hlm.34.

60
Mengenai kekuatan pembuktian akta otentik disebutkan dalam

Pasal 1870 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa :

“Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli


warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak
dari mereka, suatu akta otentik memberikan suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya”.

Apabila disangkal kebenaran dari akta otentik tersebut, maka

penyangkal harus membuktikan mengenai ketidakbenarannya.

2) Dibuatnya perjanjian kawin dengan akta Notaris maka akan

memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami-istri

atas harta benda mereka, mengingat perjanjian kawin mempunyai

konsekuensi yang luas dan dapat menyangkut kepentingan keuangan

yang besar yang dipunyai oleh suatu rumah tangga.

Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan

penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang

berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik,

menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan

grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembiuatan akta itu

oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan

kepada pejabat atau orang lain.94

Oleh sebab itu Perjanjian Perkawinan yang telah mengikat dan

sah sesuai Pasal 1320 KUHP, agar memiliki kekuatan pembuktian yang

94
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, jakarata : Erlangga, 1983, hlm.15.
Dikutip dari Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia : Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Cetakan ke 3, bandung : PT. Refika Aditama,
2011, hlm.13.

61
kuat dan sempurna harus dibuat dalam bentuk akta otentik. Sudikno

Mertokusumo memberikan pengertian mengenai akta otentik adalah surat

sebagai alat bukti yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-

peristiwa yang menjadi dasar dari pada suatu hak atau perikatan, yang

dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.95

Perjanjian Perkawinan yang dibuat dalam akta otentik memiliki

fungsi sebagai alat bukti yang sempurna, hal ini dapat juga dapat dilihat

dalam Pasal 1870 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “Suatu akta

untuk memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-

orang yang mendapat hak ini dari mereka, suatu bukti yang sempurna

tentang apa yang dimuat didalamnya“. Hal ini juga diperkuat dengan apa

yang disampaikan oleh Subekti, bahwa akta otentik merupakan suatu

bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu

penambahan pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang mengikat

dan sempurna.96 Hal ini mengingat akta Notaris sebagai akta otentik

mempunyai kekuatan nilai pembuktian yang telah memenuhi unsur

syarat lahiriah (Uitwendige Bewijskracht), formal (Formale

Bewisjskracht), dan materiil (Materiele Bewijskracht).97

Sehubungan dengan uraian di atas, maka Perjanjian Kawin yang

belum mendapat Penetapan dari pengadilan hanya mengikat bagi para

pihak (suami istri) yang membuat perjanjian perkawinan selama unsur

syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUHPerdata terpenuhi,

95
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 2006,
hlm. 149.
96
Subekti, Hukum Pembuktian, Jakarta : PT. Pradnya Paramitha, 2005, hlm.27.
97
Habib Adjie, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat
Publik, bandung : PT. Refika Aditama, 2009, hlm.72-74.

62
terlebih Perjanjian Perkawinan tersebut dibuat dan dihadapan Notaris

yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.

b. Keberlakuan Mengikat Akta Perjanjian Kawin pada Pihak Ketiga

Pada umumnya, perjanjian hanya berlaku antara para pihak yang

membuat perjanjian tersebut tanpa dapat menimbulkan kerugian maupun

manfaat bagi pihak ketiga. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1340

KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut :

“Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.


Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak
dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal
yang ditentukan dalam pasal 1317.

Sedangkan ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 1317 KUHP

sebagai berikut :

“Dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga,


bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu
pemberian kepada orang lain, mengandung syarat semacam itu.
Siapa pun yang telah menentukan suatu syarat, tidak boleh
menariknya kembali, jika pihak ketiga telah menyatakan akan
mempergunakan syarat itu”.

Dalam UUP disebutkan, bahwa sebuah perjanjian kawin dapat

mengikat pihak ketiga sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 29

ayat (1) UUP yang berbunyi :

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah


pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut”.

63
Dikaitkan antara ketentuan dalam KUHPerdata dengan UUP

tentang keberlakukan perjanjian perkawinan dapat mengikat terhadap

pihak ketiga dengan syarat bahwa perjanjian perkawinan tersebut harus

dicatat dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Adanya

keterkaitan antara Pasal 29 ayat (1) UUP dengan Pasal 1340 KUHPerdata

Jo. Pasal 1317 KUHP dinyatakan dalam Pasal 152 KUHPerdata yang

menyebutkan bahwa :

“Ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kawin, yang


menyimpang dan harta bersama menurut undang-undang,
seluruhnya atau sebagian, tidak akan berlaku bagi pihak ketiga
sebelum hari pendaftaran ketentuan-ketentuan itu dalam daftar
umum, yang harus diselenggarakan di kepaniteraan pada
Pengadilan Negeri, yang di daerah hukumnya perkawinan itu
dilangsungkan. atau kepaniteraan di mana akta perkawinan itu
didaftarkan, jika perkawinan berlangsung di luar negeri”.

Dari ketentuan di atas, berdasarkan Pasal 29 ayat (1) UUP Jo.

Pasal 152 KUHPerdata dapat dinayatakan bahwa perjanjian perkawinan

dapat berlaku dan mengikat bagi pihak ketiga setelah perjanjian

perkawinan tersebut didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Tetapi,

perjanjian perkawinan yang dibuat dengan mengabaikan ketentuan Pasal

29 ayat (1) UUP Jo. Pasal 152 KUHPerdata, maka perjanjian perkawinan

tersebut tidak berlaku bagi pihak ketiga, namun hanya berlaku dan

mengikat bagi para pihak yang membuatnya, yaitu dalam hal ini

pasangan suami istri yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan ketentuan

Pasal 1313 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “Suatu persetujuan

adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri

terhadap satu orang lain atau lebih”. Dan lebih lanjut disebutkan pula

64
kaitannya dengan Pasal 1340 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa,

“Persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.

Persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga; persetujuan tidak dapat

memberi keuntungan kepada pihak ketiga selain dalam hal yang

ditentukan dalam pasal 1317”. Pasal 1317 KUHPerdata menyebutkan

bahwa :

“Dapat pula diadakan perjanjian untuk kepentingan orang ketiga,


bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu
pemberian kepada orang lain, mengandung syarat semacam itu.
Siapa pun yang telah menentukan suatu syarat, tidak boleh
menariknya kembali, jika pihak ketiga telah menyatakan akan
mempergunakan syarat itu”.

Dengan demikian berdasarkan uraian di atas, perjanjian

perkawinan berlaku mengikat bagi pihak ketiga (apa bila) ada setelah

Perjanjian Perkawinan tersebut di catat dan disahkan oleh Kantor Catatan

Sipil yang dilakukan sebelum perkawinan berlangsung sesuai amanat

Pasal 29 ayat (1) UUP atau Perjanjian Perkawinan tersebut telah

mendapat Putusan Penetapan dari Pengadilan yang memerintah Kantor

Catatan Sipil untuk mencatat Perjanjian Perkawinan yang dimohon oleh

Pemohon (suami-istri).

c. Mekanisme Pencatatan Akta Perjanjian Perkawinan

Filosofi dalam Pasal 29 ayat (1) UUP menyebutkan bahwa, jika

perjanjian kawin ingin mengikat/berlaku juga bagi pihak ketiga, maka

akta harus di sahkan/dicatatkan ke pegawai pencatat perkawinan,

sebelum perkawinan dilaksanakan. Sejak UUP tersebut berlaku, maka

65
pendaftaran/pengesahan/pencatatan perjanjian kawin tidak lagi dilakukan

di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Untuk pasangan yang beragama

Islam, pencatatannya dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA)

setempat pada buku nikah mereka, sedangkan untuk yang nonmuslim,

pencatatan dilakukan oleh Kantor Catatan Sipil setempat pada akta Nikah

mereka.

Seyogyanya, sesuai kentuan Pasal 29 ayat (1) UUP pencatatan

perjanjian perkawinan dilakukan di Kantor Catatan Sipil dilakukan

sebelum dilangsungkannya perkawinan. Namun dalam kondisi tertentu,

manakala perjanjian perkawinan telah berlangsung dan perjanjian

perkawinan yang telah dibuat belum dicatatkan di Kantor Catatan Sipil,

maka sebelum dicatatkan di Kantor Catatan Sipil terlebih dahulu harus

mendapat penetapan terlebih dahulu dari pengadilan negeri.

Dengan merujuk pada ketentuan UUP dan KUHPerdata, maka

dapat ditarik urutan prosedurnya sebagai berikut :

1) Perjanjian Perkawinan dibuat oleh pasangan suami istri sebelum

perkawinan berlangsung sebagaimana ketentuan Pasal 29 ayat (1)

UUP;

2) Membuat Akta Perjanjian Kawin di hadapan Notaris, sebelum tanggal

perkawinan dilangsungkan sesuai Pasal 147 KUHPerdata;

3) Dimintakan pengesahan kepada pegawai pencatat perkawinan (Kantor

Catatan Sipil) apabila dilakukan sebelum tanggal perkawinan

berlangsung sesuai ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUP;

66
4) Dalam hal Perjanjian Perkawinan dimintakan pengesahan kepada

Kantor Catatan Sipil setelah tanggal berlangsungnya perkawinan,

maka mengajukan terlebih dahulu kepada pengadilan negeri untuk

mendapat penetapan;

5) Mendaftarkan Salinan Akta Perjanjian Kawin dari Notaris, di

Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya tempat

perkawinan dilangsungkan sesuai Pasal 152 KUHPerdata;

6) Akta Perjanjian Kawin yang sudah didaftarkan ke Kepaniteraan

Pengadilan Negeri dan sudah mendapat penetapan tersebut kemudian

disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dari Kantor Catatan Sipil

sesuai Pasal 29 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan.

Prosedur atau proses pembuatan perjanjian kawin yang diatur

dalam KUHPerdata dan Undang Undang Perkawinan sebagaimana

disampaikan di atas terdapat persamaan-persamaan yaitu; Pertama,

perjanjian kawin dibuat oleh calon suami istri sebelum perkawinan

dilangsungkan (Pasal 29 UUP dan Pasal 147 KUHPerdata). Kedua,

perjanjian kawintidak boleh melanggar ketertiban umum dan kesusilaan

(Pasal 29 ayat 2 Undang Undang Perdata dan Pasal 147 KUHPerdata).

Ketiga, perjanjian kawin berlaku pada saat atau sejak perkawinan

dilangsungkan (Pasal 29 ayat 4 Undang undang Perkawinan dan Pasal

147 KUHPerdata). Keempat, perjanjian pada prinsipnya tidak boleh

dirubah setelah perkawinan dilangsungkan (Pasal 29 ayat 4 Undang

undang Perkawinana dan Pasal 149 KUHPerdata).

67
Dengan demikian, apabila syarat formal telah dipenuhi maka

perjanjian kawin tersebut berlaku di antara pasangan suami istri tersebut

dan juga terhadap pihak ketiga sebagaiamana ketentuan bunyi Pasal 29

ayat (1) UUP.

2. Akibat Hukum Perjanjian Kawin yang tidak didaftarkan di Kantor

Catatan Sipil

Akibat hukum adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk

memperoleh suatu akibat yang dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh

hukum. Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni

tindakan yang dilakukan guna memperoleh sesuatu akibat yang dikehendaki

hukum.98 Ahli lain menyebutkan bahwa, akibat hukum adalah segala akibat

yang terjadi dari segala perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek

hukum terhadap obyek hukum atau akibat-akibat lain yang disebabkan

karena kejadian-kejadian tertentu oleh hukum yang bersangkutan telah

ditentukan atau dianggap sebagai akibat hukum.99 Demikian pula dalam

setiap perjanjian yang dibuat para pihak pada umumnya menimbulkan

akibat hukum bagi pihak yang membuatnya, maupun terhadap pihak ketiga

yang berkepentingan. Demikian juga ketentuan yang berlaku terhadap

perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami istri akan

menimbulkan akibat hukum terhadap harta benda yang memiliki perlakuan

yang berbeda antara perjanjian perkawinan sebelum dan sesudah adanya

penetapan dari pengadilan negeri dengan penjelasannya sebagai berikut :

98
Soeroso, R., SH., Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, hlm.295.
99
Pipin Syarifin, Pengantar Ilmu Hukum. Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, hlm 71.

68
a. Akibat Hukum Sebelum Penetapan Pengadilan

Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1) UUP

bahwa, pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah

pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang

disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku

juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Dari bunyi

pasal tersebut memberikan isyarat bahwa jika tidak didaftarkan maka

dengan sendirinya akan mempunyai konsekwensi atau akibat hukumnya

tersendiri. Oleh karena perjanjian perkawinan tersebut dibuat oleh

pasangan suami istri dan juga menyangkut pihak ketiga (bila ada), maka

perjanjian perkawinan tidak didaftarkan akan berakibat hukum kepada

para pihak (suami istri) yang membuatnya dan pihak ketiga, dengan

penjelasan sebagai berikut :

1) Akibat hukum kepada suami istri

Mencermati bunyi Pasal 29 ayat (1) UUP perjanjian

perkawinan harus dibuat secara tertulis. Dengan adanya ketentuan

yang mengharuskan perjanjian perkawinan dalam bentuk tertulis maka

perjanjian perkawinan yang dibuat mempunyai alat bukti yang kuat,

karena dibuat secara tertulis. Sedangkan untuk asas berlakunya, sesuai

dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk

Wetboek) yang berbunyi : "semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

69
Berdasarkan keterangan kedua pasal di atas maka untuk

perjanjian perkawinan apabila tidak didaftarkan maka tetap berlaku

bagi kedua belah pihak yang membuat pejanjian perkawinan tersebut

yaitu suami dan/atau istri, karena dalam UUP tidak ada satu pasalpun

yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan baru berlaku jika telah

didaftarkan atau disahkan.

Sesuai dengan asas lahirnya perjanjian yaitu asas

konsensualisme, yang menyebutkan bahwa perjanjian lahir sejak saat

tercapainya kata sepakat antara para pihak, maka dengan sendirinya

perjanjian perkawinan mengikat pihak yang membuatnya saat

keduanya sepakat tentang perjanjian perkawinan yang dibuat, baik di

daftarkan maupun tidak,100 perbedaannya terletak pada keberlakuan

pada pihak ketiga sebagaimana telah diuraikan di atas.

Jadi baik didaftarkan maupun tidak, perjanjian perkawinan

yang telah dibuat mempunyai akibat hukum yang tetap mengikat bagi

suami-istri yang bersepakat membuatnya. Dengan kata lain kedua

tetap terikat dengan kesepakatan yang terdapat dalam Perjanjian

Perkawinan tersebut tentang hal-hal yang menyangkut harta benda.

Dalam KUHPerdata menganut asas percampuran bulat

(Algehele Gemeenschap Van Goederen) yang berarti bahwa kekayaan

yang dibawa ke dalam perkawinan itu dicampur menjadi satu. Dengan

kata lain semua harta yang dimiliki oleh suami sebelum dia kawin dan

semua harta yang dimiliki oleh istri sebelum dia kawin otomatis akan
100
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta
: Prestasi Pustaka Publisher, 2006, hlm.249.

70
menjadi harta bersama ketika mereka telah melakukan perkawinan.

Namun dengan membuat perjanjian perkawinan suami dan istri

bersepakat untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan-

ketentuan mengenai harta dalam perkawinan atau harta kekayaan

bersama suami-istri sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 119

KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut :

“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut


hukum terjadi harta bersama menyeluruh antarà suami istri,
sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain
dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama
perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah
dengan suatu persetujuan antara suami istri”.

Dengan merujuk pada bunyi Pasal 119 KUHPerdata, maka

dengan membuat perjanjian perkawinan, para pihak dalam hal ini

suami-istri yang melangsungkan perkawinan, bebas menentukan

bentuk hukum yang dikehendaki atas harta kekayaan yang menjadi

objeknya. Mereka (suami-istri) dapat saja menentukan, bahwa di

dalam perkawinan mereka sama sekali tidak akan terdapat

kebersamaan harta kekayaan atau kebersamaan harta kekayaan yang

terbatas.101

Ketentuan dalam UUP berbeda dengan KUHPerdata, dimana

dalam UUP tidak menganut asas percampuran bulat, hal ini

ditunjukkan dalam Pasal 35 UUP yang menyebutkan bahwa :

a) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama;

101
Soetojo Prawirohamidjojo, Op. cit., hal 58.

71
b) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda

yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah

di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak

menentukan lain.

Dari penjelasan pasal di atas terlihat bahwa dalam UUP, yang

dicampurkan secara bulat adalah harta yang diperoleh selama

perkawinan, sedangkan untuk harta bawaan tetap di bawah kekuasaan

masing-masing kecuali disepakati bersama oleh suami dan/atau istri

untuk disatukan dalam harta bersama.

Dengan demikian, diadakannya perjanjian perkawinan yang

dapat mengikat dan berakibat hukum terhadap kedua belah pihak

(suami-istri) adalah terkandung dalam isi kesepakatan terhadap harta

kekayaannya sebagai berikut :

a) Terhadap perkawinan dengan persatuan harta bulat

Maksud dibuatnya perjanjian perkawinan terhadap

perkawinan dengan persatuan harta bulat adalah, agar istri dapat

terlindung dari kemungkinan tindakan suami yang tidak baik, yang

meliputi tindakan atas harta tak bergerak dan harta bergerak

tertentu lainnya, yang dibawa istri ke dalam perkawinan. Tanpa

adanya pembatasan yang diperjanjikan oleh istri dalam perjanjian

perkawinan, suami mempunyai wewenang penuh bahkan tanpa

harus melakukan atau memberikan pertanggungjawaban atas

tindakan-tindakannya atas harta persatuan, dalam persatuan mana

temasuk semua harta, baik bergerak maupun tidak bergerak, yang

72
dibawa pihak istri ke dalam persatuan tersebut. Untuk menghindari

adanya tindakan atas barang-barang tak bergerak dan surat-surat

berharga tertentu milik istri, yang dianggap oleh istri dapat

merugikan dirinya dapatlah istri memperjanjikan dalam perjanjian

perkawinan, bahwa tanpa persetujuan dari istri suami tidak

diperkenankan memindahtangankan atau membebani barang-

barang tak bergerak si istri serta surat-surat pendaftaran dalam

buku besar tentang piutang umum, surat berharga lainnya dan

piutang atas nama istri. Jadi disini yang diperjanjian adalah

pembatasan atas wewenang suami.

b) Dalam perkawinan dengan harta terpisah

Perjanjian perkawinan dengan harta terpisah dimaksudkan

pada beberapa hal sebagai berikut :102

(1) Agar barang-barang tertentu atau semua barang yang dibawa

suami-istri dalam perkawinan, tidak masuk dalam persatuan

harta bersama atau harta perkawinan, dengan demikian tetap

menjadi harta pribadi dari masing-masing suami atau istri.

Adanya perjanjian perkawinan merupakan perlindungan bagi

istri, terhadap kemungkinan dipertanggungjawabkannya harta

tersebut, terhadap utang yang dibuat oleh suami dan

sebaliknya.

102
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Bandung : PT.Citra Aditya Bhakti, 1993, hlm.148-
149.

73
(2) Agar harta pribadi tersebut terlepas dari suami, dan istri dapat

mengurus sendiri harta tersebut. Untuk itu dalam perjanjian

perkawinan harus disebut secara tegas. Jadi yang diperjanjikan

disini adalah adanya harta pribadi.103

Berdasarkan penjelasan di atas, cukup beralasan bahwa

dibuatnya Perjanjian Kawin oleh pasangan calon suami-istri

bertujuan sebagai berikut :

(1) Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar

pada salah satu pihak daripada pihak yang lain;

(2) Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan

(aanbrengst) yang cukup besar;

(3) Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga

andai kata salah satu jatuh (failliet), yang lain tidak tersangkut;

(4) Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin masing-

masing akan bertanggunggugat sendiri-sendiri.

2) Akibat hukum terhadap pihak ketiga

Berbeda dengan akibat hukum bagi suami istri yang membuat

Perjanjian Perkawinan jika tidak didaftarkan, pada pihak ketiga

apabila Perjanjian Perkawinan tidak di sahkan atau didaftarkan kepada

pegawai pencatat perkawinan maka dengan sendirinya Perjanjian

Perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap

pihak ketiga. Hal ini sesuai dengan yang telah penulis terangkan pada

103
Ibid.

74
sub bab sebelumnya tentang persyaratan Sebuah Perjanjian

Perkawinan Dapat Mengikat Terhadap Pihak Ketiga, dan ketentuan

yang terdapat dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi : pada waktu atau

sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas perjanjian

bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga

terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Maka dengan keadaan tersebut akibat hukumnya terhadap

pihak ketiga adalah pihak ketiga selama perjanjian perkawinan belum

didaftarkan dapat saja menganggap bahwa perkawinan berlangsung

dengan persatuan harta perkawinan secara bersama. Sehingga apabila

terjadi persangkutan utang dengan suami dan/atau istri,

penyelesaiannya dilakukan dengan melibatkan harta bersama antara

harta suami dan/atau harta istri, karena dengan tidak adanya perjanjian

perkawinan dengan sendirinya yang ada hanya harta bersama.

Akan tetapi anggapan tidak tahunya pihak ketiga tentang

adanya perjanjian perkawinan hanya dapat diberikan kepada pihak

ketiga yang tidak mengetahui bahwa suami istri telah membuat

perjanjian perkawinan namun belum mendaftarkannya. Sedangkan

pihak ketiga yang mengetahui bahwa suami istri telah membuat

perjanjian perkawinan namun perjanjian perkawinan tersebut belum di

daftarkan, maka ia tidak boleh menganggap bahwa perjanjian

75
perkawinan itu tidak ada dan suami istri kawin dengan persatuan harta

perkawinan.104

Jadi apabila perjanjian perkawinan tidak di daftarkan maka

untuk suami-istri tetap mengikat bagi kedua belah pihak. Lain halnya

jika menyangkut terhadap pihak ketiga, apabila perjanjian perkawinan

tidak didaftarkan maka akibat hukumnya perjanjian perkawinan

tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga.

2. Akibat setelah penetapan pengadilan

Akibat hukum yang ditimbulkan dari hasil Penetapan Pengadilan

terhadap para pihak (suami istri), harta benda, dan bagi pihak ketiga dapat

disampaikan sebagai berikut :

a. Akibat hukum bagi pihak yang membuatnya

Jika kita cermati pembuatan Perjanjian Kawin dalam Pasal 29

ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

yang berbunyi : “ Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,

kedua belah pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian

tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana

isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut “. Dari pasal

tersebut terlihat bahwa perjanjian kawin yang diatur dalam UUP harus

dibuat secara tertulis. Dengan adanya ketentuan yang mengharuskan

104
Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, Cetakan V
Bandung : Alumni, 1987, hal 83.

76
perjanjian kawin dalam bentuk tertulis maka perjanjian kawin yang

dibuat mempunyai alat bukti.

Merujuk pada Pasal 147 KUHPerdata, perjanjian kawin tidak saja

harus dibuat secara tertulis, namun harus dibuat dengan akta notaries

yang diadakan sebelum perkawinan dan akan menjadi batal bila tidak

dibuat secara demikian, perjanjian ini berlaku sejak saat dilakukan

perkawinan, tidak boleh pada saat lain. Dari ketentuan pasal tersebut

dapat diartikan pembuatan perjanjian kawin mengharuskan dalam bentuk

akta Notaris dan dilakukan sebelum perkawinan berlangsung. Sedangkan

pembuatan perjanjian kawin dibuat setelah perkawinan yang didasarkan

Penetapan Pengadilan Negeri adalah persetujuan kedua belah pihak dari

pasangan suami istri setelah perkawinan berlangsung, hal ini tidak ada

penjelasannya dalam UUP maupun di dalam ketentuan KUHPerdata.

Berdasarkan keterangan di atas maka untuk pembuatan perjanjian

kawin berlaku bagi kedua belah pihak yang membuat perjanjian kawin

tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang

yang menyebutkan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara sah dan

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Perjanjian kawin yang dibuat terbentuk karena tercapainya kata sepakat

antara para pihak yang membuatnya, maka dengan sendirinya perjanjian

kawin mengikat para pihak yang membuatnya saat keduanya sepakat

tentang perjanjian kawin yang dibuat. Jadi dapat disimpulkan untuk

perjanjian kawin yang dibuat oleh para pihak, baik yang diatur dalam

ketentuan KUHPerdata, UUP maupun yang didasarkan oleh penetapan

77
Pengadilan Negeri, perjanjian kawin yang dibuat mempunyai akibat

hukum mengikat bagi suami istri yang bersepakat membuatnya. Dengan

kata lain kedua belah pihak yaitu suami istri tetap terikat dengan

kesepakatan yang terdapat dalam perjanjian kawin tersebut.

b. Akibat hukum terhadap harta

Perjanjian kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang

(calon suami istri) sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk

mengatur aibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.105

Suatu perkawinan dapat melahirkan persoalan tentang harta kekayaan

yaitu mengenai harta benda bersama suami istri maupun harta pribadi

dan atau harta bawaan.106

Akibat hukum dari Penetapan tersebut di atas berdampak pada

kedudukan harta setelah adanya pembuatan perjanjian kawin yang berupa

Penetapan Pengadilan Negeri menjadi semakin kuat, karena masing-

masing pihak suami maupun istri harus mematuhi segala isi penetapan

dari Pengadilan Negeri tersebut sebab segala hal yang menyangkut

pemisahan harta sudah jelas dipisahkan, juga terhadap harta-harta lain

yang kemudian hari timbul setelah tanggal penetapan tersebut tetap

terpisah satu dengan yang lainnya, sehingga tidak ada lagi berstatus harta

bersama.

Menurut sistem KUHPerdata, harta kekayaan harta bersama yang

menyeluruh (algehele gemeenschap van goederen) adalah akibat yang

105
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En Familie-
Recht), Surabaya : Airlangga University Press, 2000, hlm.73.
106
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUH
Perdata dan Perkem bangannya , Bandung : PT. Refika Aditama, 2012, hlm.22.

78
normal dari suatu perkawinan, sedangkan pembatasan atau penutupan

setiap kebersamaan harta yang menyeluruh hanya dapat dilakukan

dengan suatu perjanjian kawin.107

Dam Pasal 139 KUHPerdata disebutkan bahwa :

“Dengan mengadakan Perjanjian Perkawinan, kedua calon suami


istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari
peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal
perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib
umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini”.

Kata “segala ketentuan di bawah ini” yang termaktub dalam pasal

tersebut di atas mengacu pada segala ketentuan yang diatur mulai dari

Pasal 140 sampai dengan Pasal 154 KUHPerdata

Perjanjian kawin yang dibuat tidak hanya mengatur tentang harta

dalam perkawinan saja tetapi juga mengatur hak dan kewajiban para

pihak. Menurut pada Pasal 34 UUP disebutkan bahwa :

1) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

2) Istri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.

3) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masingmasing dapat

mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

c. Akibat hukum terhadap pihak ketiga

Perjanjian kawin dapat juga berlaku bagi pihak ketiga.

Berlakunya perjanjian kawin bagi pihak ketiga diatur dalam Pasal 152

Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berbunyi :

107
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta : Prestasi
Pustaka Publisher, 2006, hlm.129.

79
“Ketentuan yang tercantum dalam perjanjian kawin, yang
mengandung penyimpangan dari persatuan menurut Undang-
undang seluruhnya atau untuk sebagian, tidak akan berlaku
terhadap pihak ketiga, sebelum hari ketentuan-ketentuan itu
dilakukan dalam suatu register umum, yang harus
diselenggarakan untuk itu di Kepaniteraan pada Pengadilan
Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya perkawinan itu telah
dilangsungkan, atau, jika perkawinan berlangsung di luar negeri,
di Kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukannya”.

Dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa suatu perjanjian

kawin dapat juga berlaku bagi pihak ketiga, setelah perjanjian

perkawinan tersebut didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri. Jadi

berdasarkan ketentuan Pasal 147 Juncto Pasal 152 Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata dapat disimpulkan bahwa sejak perkawinan

dilangsungkan perjanjian kawin hanya berlaku bagi para pihak yang

membuatnya yaitu pasangan suami istri, sedangkan perjanjian kawin baru

berlaku terhadap pihak ketiga sejak didaftarkan di Kepaniteraan

Pengadilan Negeri.

Menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, sebuah perjanjian kawin dapat mengikat terhadap

pihak ketiga apabila perjanjian kawin tersebut disahkan atau didaftarkan

kepada pegawai pencatat perkawinan maka dengan sendirinya perjanjian

kawin tersebut mempunyai kekuatan yang mengikat terhadap pihak

ketiga.Bagi yang beragama Islam, ditegaskan juga dalam Pasal 50

Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan, bahwa perjanjian kawin

mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga, terhitung

mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan di hadapan pegawi pencatat

nikah.

80
Maka dengan keadaan tersebut akibat hukumnya terhadap pihak

ketiga adalah pihak ketiga selama perjanjian kawin belum didaftarkan

dapat saja menganggap bahwa perkawinan berlangsung dengan harta

persatuan. Sehingga apabila terjadi persangkutan utang dengan suami

atau istri, penyelesainannya dilakukan dengan melibatkan harta bersama.

Sedangkan pembuatan perjanjian kawin yang didasarkan

penetapan Pengadilan Negeri yang hubungannya terhadap pihak ketiga

akan berlaku sejak tanggal penetapan Pengadilan Negeri dikeluarkan,

sehingga pihak ketiga dalam hal ini tidak mendapatkan kerugian jika

terjadi sesuatu dikemudian hari, karena sudah ada kesepakatan

pemisahan harta sebelumnya, dengan alasan-alasan seperti yang diajukan

Para Pemohon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun demikian

jika pihak ketiga (kreditur) bisa membuktikan bahwa yang dijadikan

jaminan hutang atau diperjanjikan sebagai jaminan dalam bentuk apapun

diperoleh sebelum atau sesudah ada pada saat dikeluarkan penetapan

Pengadilan Negeri maka pihak ketiga (kreditur) tersebut dapat menuntut

pelunasannya terhadap harta bersama dari suami istri. sedangkan utang

yang dibuat oleh salah satu pihak suami atau istri setelah penetapan

tersebut maka pihak ketiga dapat menagih pelunasannya terhadap pihak

suami atau pihak istri yang berhutang. Dengan demikian, perjanjian

kawin setelah perkawinan diadakan tidak hanya mengatur sebab akibat

harta perkawinan setelah perkawinan berlangsung tetapi juga terhadap

pihak ketiga.

81
3. Analisis Akibat Hukum Pada Kasus Penetapan Pengadilan Nomor

468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel

Penetapan terhadap Perjanjian Perkawinan yang diajukan Pemohon

adalah berkaitan dengan perbuatan hukum, dimana perbuatan hukum itu

sendiri adalah setiap perbuataan manusia yang dilakukan dengan sengaja untuk

menimbulkan hak dan kewajiban. Perbuatan hukum merupakan perbuatan subyek

hukum yang akibat hukumnya dikehendaki pelaku.108

Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat oleh Pemohon pada dasarnya

adalah merupakan kesepakatan terhadap sesuatu hal yang diperjanjikan dalam

berlangsungnya perkawinan, namun karena undang-undang menentukan bahwa

Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat harus didaftarkan dan dicatat di Kantor

Catatan Sipil. Oleh sebab itu, untuk mendapat kepastian hukum bagi para pihak

(suami-istri) yang membuat perjanjian perlu mendapat penetapan dari pengadilan.

Dengan terbitnya surat penetapan Perjanjian Perkawinan dari pengadilan, maka

akan memberikan konsekuensi hukum atau akibat hukum terhadap para pihak yang

terkait dalam perjanjian perkawinan tersebut.

Secara sederhana dapat disampaikan, bahwa adanya penetapan

pengadilan terhadap perjanjian kawin akan berakibat hukum terhadap

perjanjian yang dapat memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang

membuatnya, artinya para pihak (suami-istri) harus tunduk pada penetapan

pengadilan tersebut dan menjalankan isi perjanjian perkawinan. Beberapa

hal yang dapat dianalisis berkaitan dengan akibat hukum penetapan

pengadilan terhadap perjanjian perkawinan yang dimohonkan dapat

memberikan kepastian hokum bagi para pihak, yaitu sebagai berikut :

108
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 191.

82
a. Dasar dan Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan

Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam

bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk

umum sebagai hasil dari pemeriksaan permohonan (voluntair).109

Dalam Putusan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Nomor 468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel yang menjadi dasar hukum

pertimbangan Hakim mengabulkan permohonan Penetapan atas

Perjanjian Kawin yang dibuat oleh Pemohon tersebut meliputi beberapa

aspek yaitu sebagai berikut :

1) Aspek Yuridis

Dilihat dari sisi hukumnya, bahwa yang dapat dijadikan sebagai

landasan hukum bagi Hakim dalam memberikan putusan

penetapannya adalah sebagai berikut :

a) Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman bahwa : “Pengadilan tidak boleh menolak untuk

memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan

dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan

wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Hal ini didasarkan pada adanya permohonan dari Para

Pemohon (suami-istri) yang telah didaftarkan di Kepaniteraan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan di bawah Register Nomor

468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel. tanggal 28 Oktober 2015 tentang

109
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Yogyakarta: Pustaka,
Pelajar, 1996, 168.

83
permohonan menerbitkan Penetapan untuk memerintahkan Kantor

Catatan Sipil DKI Jakarta, mendaftarkan dan mencatat Perjanjian

Kawin Nomor 6 yang dibuat dihadapan Notaris Juliaan Nimrod

Siregar, SH di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 1980.

b) Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan menyebutkan bahwa :

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua


pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian
tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Sekalipun dalam bunyi pasal 29 ayat (1) di atas memberikan isyarat

bahwa perjanjian perkawinan tidak wajib dilakukan karena terdapat

kata “dapat”, namun karena perjanjian perkawinan tersebut telah

dibuat oleh para pihak (suami-istri) maka demi hukum perlu

adanya putusan penetapan dari pengadilan.

c) Pasal 139 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “Dengan

mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami istri adalah

berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan

perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan asal

perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib

umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan-ketentuanya

yang berkaitan dengan pasal-pasal berikut”.

84
d) Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, ”para pihak

yang berjanji bebas membuat perjanjian selama tidak melanggar

kesusilaan, ketertiban umum dan undang-undang.

Berkaitan dengan pasal 1338 KUHPerdata, bahwa Pemohon

sesuai dalam putusannya telah membuat Perjanjian Perkawinan

Nomor 6 yang dibuat oleh Para Pemohon (suami-istri) dihadapan

Notaris Juliaan Nimrod Siregar, SH di Jakarta pada tanggal 1

Agustus 1980.

2) Aspek Kepastian Hukum

Setiap putusan atau penetapan yang telah ditetapkan dalam

persidangan oleh hakim adalah bersifat mengikat bagi para pihak,

sehingga dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi Para

Pemohon terhadap Perjanjian Kawin yang telah dibuatnya, karena

dengan adanya Penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang

pasti atau tetap selama para pihak tidak mengajukan upaya hukum

yang lain.

Sehubungan dengan Putusan Penetapan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan Nomor 468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel. setidak-tidaknya

penetapan Hakim tersebut mempunyai dua kekuatan hukum di

dalamnya, antara lain kekuatan mengikat, dan kekuatan pembuktian

yang dapat disampaikan analisisnya sebagai berikut:

a) Kekuatan Mengikat (bindende kracht)

85
Putusan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Nomor 468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel, menurut hemat penulis adalah

putusan yang mengikat dan final yang mempunyai nilai kepastian

hukum yang mengikat. Hal ini mengacu pada pendapat Van

Apeldoorn, yang menyatakan bahwa,110 ”wujud hukum tidak hanya

sebatas peraturan perundang-undangan yang berlaku mengikat

namun juga menjelma dalam putusan-putusan hakim yang juga

bersifat mengatur dan memaksa”.

Oleh karenanya, Perjanjian Kawin yang sudah mendapat

penetapan dari Pengadilan, para pihak (suami-istri) harus taat dan

tunduk pada penetapan, harus dihormati dan dijalankan

sebagaimana mestinya. Jadi, Putusan Penetapan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan Nomor 468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel mempunyai

kekuatan mengikat (bindende kracht).

b) Kekuatan Pembuktian (bewijzende kracht)

Alat bukti adalah segala sesuatu yang oleh undang-undang

ditetapkan dapat dipakai untuk membuktikan sesuatu. Mengacu

pada ketentuan pasal 164 HIR dan 284 Rbg serta Pasal 1886

KUHPerdata, bahwa terdapat lima alat bukti dalam perkara perdata

di Indonesia, salah satunya adalah alat bukti tertulis. Alat bukti

tertulis yang berupa akta dapat dibagi lagi atas Akta Otentik dan

Akta dibawah tangan.

110
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. XXIV, (terjemahan Oetarid Sadino),
Jakarta: Pradnya Paramita, 1990, hlm.4-5.

86
Putusan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

merupakan akta otentik, karena sesuai rumusan Pasal 165 HIR,

1868 BW, dan 285 Rbg disebutkan bahwa, ”Akta otentik adalah

akta yag dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh

penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik

dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan”.

Dikaitkan dengan teori yang telah disampaikan pada bagian

terdahulu, bahwa dalamPutusan Penetapan Pengadilan Negeri

Jakarta Selatan Nomor 468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel memiliki unsur

dalam tiga macam pembuktian, yaitu baik kekuatan pembuktian

secara formil, materiil maupun lahiriah yang dapat disampaikan

analisisnya sebagai berikut :

(1) Kekuatan pembuktian formil dibuktikan dengan adanya para

pemohon (suami-istri) telah menerangkan apa yang ditulis

dalam akte perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh dan di

hadapan Notaris dan dibenarkan oleh saksi-saksi.

(2) Kekuatan pembuktian mengikat atau materiil ditunjukkan

bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan telah

terjadi.

(3) Membuktikan tidak saja antara para pihak yang bersangkutan

tetapi juga terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut

dalam akta ke dua belah pihak tersebut sudah menghadap di

muka pegawai umum (Notaris) dan menerangkan apa yang

ditulis dalam akta tersebut. kekuatan mengikat yang pada

87
hakekatnya bertujuan menetapkan kedudukan antara para

pihak satu sama lain pada kedudukan yang teruraikan dalam

akta. Kekuatan ini dinamakan kekuatan pembuktian keluar,

artinya ialah terhadap pihak ke-tiga bila ada.

Berdasarkan pada kekuatan pembuktian yang disampaikan di

atas, maka adanya penetapan pengadilan terhadap Perjanjian

Perkawinan yang diajukan Pemohon telah memberikan kepastian

hukum bagi para pihak (suami-istri) yang membuat Perjajian

Kawin, yang turut berlaku juga bagi pihak ketiga.

Dengan demikian, maka kepastian hukum dalam perjanjian kawin

adalah merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-

wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang

diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya

kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan

lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena

bertujuan ketertiban masyarakat. Kepastian hukum sangat identik dengan

pemahaman positivisme hukum. Positivisme hukum berpendapat bahwa

satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang, sedangkan peradilan

berarti semata-mata penerapan undang-undang pada peristiwa yang

konkrit.111

111
Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2001, hlm. 42-43.

88
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah disampaikan pada

bagian sebelumnya, maka dapat disampaikan kesimpulannya sebagai berikut :

1. Merujuk Pasal 29 ayat (1) UUP Jo. Pasal 152 KUHPerdata, bahwa

Perjanjian Perkawinan yang telah dibuat pada waktu atau sebelum

perkawinan dilangsungkan harus disahkan oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan (Kantor Catatan Sipil), dimana isinya berlaku juga terhadap

pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Perjanjian Perkawinan yang

belum didaftarkan di Kantor Pecatatan Sipil, agar berlaku mengikat pihak

ketiga harus terlebih dahulu mendapat keputusan penetapan dari pengadilan.

Selama Perjanjian Perkawinan tersebut belum dicatatkan di Kantor

Pecatatan Sipil atas perintah Pengadilan, maka perjanjian tersebut tidak

berlaku bagi pihak ketiga. Sedangkan, Perjanjian Perkawinan yang telah

dibuat dengan Akta Notariil akan memberikan kepastian hukum tentang hak

dan kewajiban suami-istri atas harta benda mereka selama berlangsungnya

perkawinan, mengingat akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai

kekuatan nilai pembuktian yang telah memenuhi unsur syarat lahiriah,

formal, dan materiil.

89
2. Perjanjian perkawinan yang tidak didaftarkan akan berakibat hukum kepada

para pihak (suami istri) yang membuatnya dan pihak ketiga. Dalam UUP

tidak ada satu pasalpun yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan baru

berlaku jika telah didaftarkan atau disahkan. Sesuai dengan asas

konsensualisme, yang menyebutkan bahwa perjanjian lahir sejak saat

tercapainya kata sepakat antara para pihak, maka dengan sendirinya

perjanjian perkawinan mengikat pihak yang membuatnya saat keduanya

sepakat tentang perjanjian perkawinan yang dibuat, baik di daftarkan

maupun tidak. Oleh sebab itu perjanjian perkawinan yang dibuat oleh suami

istri selama unsur Pasal 1320 KUHPerdata terpenuhi, maka perjanjian

tersebut tetap sah dan mengikat bagi kedua belah pihak (suami-istri) yang

membuatnya. Perbedaan akibat hukum terhadap akta perjanjian perkawinan

yang tidak didaftarkan di Kantor Catatan Sipil sebelum dan sesudah adanya

penetapan pengadilan adalah tidak berlakunya perjanjian perkawinan

tersebut pada pihak ketiga.

B. Saran

Saran-saran yang dapat disampaikan sehubungan dengan hasil penelitian

adalah sebagai berikut :

1. Petugas Pencatat Perkawinan seharusnya memastikan terlebih dahulu prihal

ada tidaknya perjanjian perkawinan yang dibuat oleh pasangan suami-istri,

demikian pula pihak Notaris sebagai pihak yang membuat akta perjanjian

perkawinan untuk menindaklanjuti akta yang dibuatnya untuk dicatatkan di

90
Kantor Pencatatan Sipil sebelum perkawinan tersebut berlangsung agar

tidak memberikan peluang kerugian bagi pihak ketiga.

2. Notaris sebagai pembuat akta, seharusnya memberikan penyuluhan hukum

terhadap pasangan suami istri tentang akibat hukum terhadap akta perjanjian

perkawinan yang dibuatnya sebagai bagian dari kewajibannya yang

diamanatkan oleh UUJN.

91
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku :

Adi, Rianto, 2010, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Penerbit Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta.

Adjie, Habib, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Publik, Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung.

_________, 2011, Hukum Notaris Indonesia : Tafsir Tematik Terhadap Undang-


Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Cetakan ke 3,
Penerbit PT. Refika Aditama, Bandung.

Ali, Achmad dan Wiwie Herayani, 2012, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata,
Penerbit Kencana MediaGroup, Jakarta.

Andasasmita Komar, 1983, Notaris II, Penerbit Sumur Bandung, Bandung.

Anshori, Abdul Ghofur, 2009, Lembaga Kenotariatan Indonesia, Penerbit UII


Press, Yogyakarta.

Arikunto, Suharsini, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis,


Penerbit Rineke Cipta, Jakarta.

Bungin, Burhan, 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologi


Ke arah Ragam Varian Kontemporer, Penerbit PT. RajaGrafindo
Persada, Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia,


Penerbit Balai Pustaka, Jakarta.

Harahap, M. Yahya, 2005, Hukum Acara Perdata, Penerbit Sinar Grafika,


Jakarta.

Hartanto, J. Andy, 2012, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan, Cetakan kedua,


Penerbit Laksbang Grafika, Yogyakarta.

Koesoemawati, Ira dan Yunirman Rijan, 2009, Ke Notaris, Penerbit Raih Asa
Sukses, Jakarta.

Marzuki, Peter Mahmud, 2014, Penelitian Hukum, Edisi Revisi, Cetakan ke 9,


Prenamedia, Jakarta.

92
________, 2010, Penelitian Hukum, Penerbit Kencana, Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno, 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty,


Yogyakarta.

Moleong, Lexy J., 2007, Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit PT Remaja


Rosdakarya Offset, Bandung.

Muhammad, Abdulkadir, 1992, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit PT.


Citra Aditya Bakti, Bandung.

_________ , 2004, Hukum Dan Penelitian Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung.

_________, 2014, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan ke-5, Penerbit PT.Citra


Aditya Bakti, Bandung.

Narbuko,,Chalid, dan Abu Ahmad, 2007, Metode Penelitian, Cetakan VIII,


Penerbit Bumi Aksara, Jakarta.

Nasution, Bahder Johan, 2002, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Penerbit CV.
Mandara Maju, Bandung.

Nico, 2003, Tanggungjawab Notaris Selaku Pejabat Umum, Penerbit Center for
Documentation and Studies of Business Law, Yogyakarta.

Prawirohamidjojo, Soetojo dan Marthalena Pohan, 1991, Hukum Orang dan


Keluarga, Penerbit Airlangga University Press, Surabaya.

Salim HS, 2015, Teknik Pembuatan Akta Satu (Konsep Teoritis, Kewenangan
Notaris, Bentuk dan Minuta Akta), Edisi 1, Cetakan 1, Penerbit Rajawali
Pers, Jakarta.

Samudera, Teguh, 1992, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Penerbit


Alumni, Bandung.

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Suatu
Tinjauan Singkat, Penerbit PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Soekanto, Soerjono, 2006, Sosiologi, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Soerodjo, Irawan, 2003, Kepastian Hukum Hak Atas Tanah di Indonesia, Penerbit
Arkola, Surabaya.

93
Soeroso, Andreas, 2008, Sosiologi 2, Penerbit Quadra, Bogor.

Subekti, 2001, Hukum Perjanjian, Cetakan 18, Penerbit PT Intermasa, Jakarta.

________, 2001, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Penerbit PT. Intermasa, Jakarta.

________, 2004, Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Cetakan Keempat, Penerbit
Intermasa, Jakarta.

________, 2005, Hukum Pembuktian, Penerbit PT. Pradnya Paramitha, Jakarta.

Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian, Penerbit Prenada Media, Jakarta.

Suharsini, Arikunto, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis,


Penerbit Rineke Cipta, Jakarta.

Sunggono, Bambang, 2002, Methodologi Penelitian Hukum, Penerbit PT Raja


Grafindo, Jakarta.

Susanto, Happy, 2008, Pembagian Harta Gono-Gini Saat Terjadi Perceraian,


Penerbit Visimedia Pustaka, Jakarta.

Tedjosaputro, Liliana, 1994, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum


Pidana, Penerbit Publishing, Yogyakarta.

Tutik, Titik Triwulan, 2006, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Penerbit


Prestasi Pustaka, Jakarta.

Raco, J.R., 2010, Metode Penelitian Kualitatif : Jenis, Karakteristik dan


Keuanggulannya, Penerbit Grasindo, Jakarta.

Rasaid, M. Nur, 2005, Hukum Acara Perdata, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta.

Waluyo, Bambang, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Penerbit Sinar


Grafika, Jakarta.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

94
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

C. Makalah, Artikel, Internet

Adjie, Habib, Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) Sebagai Unifikasi


Hukum Pengaturan Notaris, RENVOI, Nomor 28. Th. III, 3 September
2005.

Irma Devita, “Hukum Online: Sahkah Perjanjian Kawin Yang Tak Didaftarkan
Ke Pengadilan”, Rabu, 13 November 2013, (http://m.hukumonline.com),
diunduh pada 10 Oktober 2015.

Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jati Diri Notaris Indonesia, Jakarta :
Gramedia Pustaka, 2008, hlm.41.
(https://books.google.co.id/books?id=kQyF14ljALEC&printsec=frontcover&dq=
Notaris&hl=id&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=Notaris&f=false

D. Putusan

Penetapan atas perjanjian perkawinannya melalui Pengadilan Negeri Jakarta


Selatan Nomor 468/Pdt.P/2015/PN.Jkt.Sel.

95

Anda mungkin juga menyukai