TESIS
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2018
UNIVERSITAS INDONESIA
TESIS
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2018
KATA PENGANTAR
Penulisan Tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis berharap agar Tesis ini berguna
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi masyarakat luas. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka penulis dengan hati yang terbuka sangat mengharapkan saran dan
pandangan dari pembaca, guna memberikan masukan yang membangun sehingga
membawa kepada karya yang lebih sempurna dan lebih baik lagi.
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met, selaku Rektor Universitas
Indonesia
2. Ibu Prof. Melda Kamil, S.H., LL.M., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
3. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Program
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
4. Ibu Dr. Siti Hajati Hoesin, S.H., M.H., C.N., dan Bapak Parullian Aritonang,
S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktunya bagi Penulis untuk berkonsultasi dan memberikan masukan-
4
masukan kepada Penulis demi terselesaikannya karya ini. Terima kasih telah
memberikan ilmu, nasihat, semangat serta dukungan kepada Penulis selama
ini.
5. Kepada Ibu Daly Erni, S.H., LL.M., dan Ibu Surini Ahlan Syarif, S.H.,
M.H., selaku penguji Tesis yang telah memberikan masukan kepada Penulis
agar Tesis ini menjadi lebih baik lagi.
6. Kepada Pembimbing Akademis penulis, Ibu Farida Prihatini, S.H., M.H.,
C.N. yang memperhatikan perkembangan kondisi Penulis dalam
menjalankan studinya di Magister Kenotariatan Universitas Indonesia
7. Kedua orang tua saya tercinta, almarhum Bapak Shafri D. Abdullah yang
dengan ketegasan di balik kelembutan hati Beliau telah memberikan saya
banyak makna dalam hidup, arsitek kasih sayang yang jarang bicara, namun
selalu mampu mengubah hal-hal sederhana mempesona, yang selalu
memberikan ketenangan di kala hati ini gundah dan inspirasi bagi saya
untuk menjadi orang tua kelak. Almarhumah Ibu Dharmawati Tabrani yang
dengan kesabarannya memberikan kesempatan bagi penulis untuk
berkembang sesuai dengan jalan yang Penulis pilih serta kasih sayangnya
yang memberikan kekuatan terhadap Penulis untuk menyelesaikan Tesis ini.
Terima kasih atas dukungan yang telah Bapak (alm) dan Ibu (alm) berikan
untuk Penulis, semoga Allah memberikan izin-Nya agar Penulis dapat
menjadi seperti do’a yang Bapak dan Ibu panjatkan pada-Nya.
8. Adik serta Abang Penulis terkasih, Farah Shafira dan Thobby Maulana
Pasha terima kasih dukungan dan doanya selama penulis berkuliah sampai
menyelesaikan tesis ini
9. Paman sekaligus Mentor Penulis Muchlis Tabrani beserta Keluarga Besar
M. Tabrani (alm) dan Abdullah Shaleh (alm) terima kasih atas doa serta
dukungan yang diberikan pada penulis.
10. Yang Terkasih Ismi Khairunisa terima kasih atas kesetiaan menemani serta
memotivasi penulis dan telah menjadi obat penyemangat bagi Penulis untuk
menyelesaikan Tesis ini.
11. Rekan-rekan terbaik Penulis di Magister Kenotariatan Universitas Indonesia
angkatan 2015, Ilhami Aflah, SH., Irham Vidi, SH., I Made Andhika Darma
5
Perkasa, S.H.,M.Kn, Nela Ade Fahrani, S.H, Okky Patra Yudha, S.H.,M.Kn,
Erik Andhika, S.H., Zen Fadli, S.H, Damianus Handoko, SH., M.Kn,
Amaliasyifa Agustina SH., Wijayanti Ciayadi, SH., Disa Victoria Deran,
S.H., M.Kn, dan rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah memberi dukungan kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini
12. Teman-teman perjuangan Muhammad Aulia Syifa, Sahnan Amarullah,
Fadlan Syambutho, Patria Febriansyah yang telah membuka mata penulis
untuk berjuang dengan integritas, dan idealisme.
Akhir kata saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu Penulis. Semoga tesis ini dapat
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
Penulis
6
ABSTRAK
8
ABSTRACT
9
DAFTAR ISI
10
3. Peranan Notaris Dalam Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
69/PUU_XIII-
2015 ......................................................................................................
.... 48
E. Kepailitan ............................................................................................ 63
BAB 3 AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 69/PUU-XIII-2015 TERHADAP PEMBUATAN AKTA
PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH
PERKAWINAN DALAM PROSES KEPAILITAN DAN
TANGGUNG JAWAB NOTARIS
A. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-
2015 Terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat
Dalam Proses Kepailitan ................................................................. 67
BAB 4 PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................... 78
B. Saran ........................................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 81
LAMPIRAN
11
DAFTAR TABEL
12
DAFTAR LAMPIRAN
13
BAB I
PENDAHULUAN
manusia, termasuk naluri untuk berkumpul ataupun hidup bersama dengan lawan
jenisnya untuk membentuk suatu keluarga.2
Keluarga terbentuk dari ikatan perkawinan. Perkawinan adalah perilaku
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia menjadi
berkembang biak. Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu
masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan
lingkungan dimana masyarakat itu berada, serta bagaimana pergaulan
masyarakatnya. Perkawinan juga dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan.Seperti halnya
aturan perkawinan bangsa Indonesia yang bukan saja dipengaruhi ajaran agama
Islam, Kristen, Hindu, Budha bahkan dipengaruhi budaya perkawinan barat. Hal
mana turut sesuai dengan pribahasa “lain padang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya”, maka lain masyarakat lain pula aturan perkawinan yang dianutnya.3
Membentuk keluarga dilakukan melalui suatu proses yang mana disebut
sebagai perkawinan. Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mana dituangkan dalam Pasal 1 yaitu :
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”
Pasal tersebut terdapat dua rumusan yaitu rumusan arti dan tujuan
perkawinan. Maksud arti dari perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan
adalah “Membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.4
2
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet V, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2009),
hlm. 48.
Universitas Indonesia
3
Bagi suatu negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya
undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-
prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini
menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam
masyarakat kita.
Universitas Indonesia
4
6
Baharuddin Ahmad, Hukum Perkawinan di Indonesia, Studi Historis Metodologi,
, Jambi: Syari’ah Press, 2008), hlm. 54.
7Mahkamah Konstitusi, “Putusan Nomor 69/PUU/XIII/2015”, http://www.mahkamah
konstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/69_PUU-XIII_2015.pdf, 02 Desember 2017
pukul 10.43 WIB, hlm. 156-157.
Universitas Indonesia
5
8 Ibid
9Catatan Penulis: Sebenarnya, tidak ada aturan yang tegas di bidang perdata yang
menyatakan bahwa perjanjian tidak dapat berlaku surut atau non-retroaktif. Non-retroaktif
merupakan salah satu asas di bidang hukum pidana. Asas non retroaktif merupakan asas turunan
dari asas legalitas yang dalam bahasa latin disebut nullum delictum nulla poena sine praevia legi
poenali, yakni tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa pidana yang mendahuluinya. Moeljatno
menyatakan bahwa asas legalitas mengandung tiga makna, yaitu
1. Tidak ada perbuatan pidana yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
Asas tidak berlaku surut ini sebenarnya berlaku untuk segala bidang hukum, hal ini
tercantum dalam Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan-Ketentuan Umum
tentang Perundang-Undangan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda tanggal 30 April 1847
(Stb. 1847 No. 23) bahwa undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku
surut. Lihat: Bakri, et.all., Pengantar Hukum Indonesia Pembidangan dan Asas-Asas Hukum Jilid
2 (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2013) hlm. 13.
Lebih lanjut, dalam hukum perdata dikenal adanya asas pacta sunt servanda yang terdapat pada
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa perjanjian yang dibuat merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan
sejalan dengan pengertian asas non-retroaktif yang dijelaskan oleh Bakri, et.all. dalam bukunya
Pengantar Hukum Indonesia Pembidangan dan Asas-Asas Hukum Jilid 2 tersebut.
Universitas Indonesia
6
11Pada tanggal 23 Juni 1925 Regerings Reglement (RR) diubah menjadi Indische Staatsregeling
(IS) atau peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda yang termuat dalam Staatsblad (1925) Nomor
415 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926. Pada masa berlakunya IS tata hukum yang
berlaku di Hindia Belanda adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS juncto Pasal 163 IS.
Tujuan pembagian golongan penduduk sebenarnya adalah untuk menentukan sistem-sistem hukum
yang berlaku bagi masing-masing golongan yaitu sebagai berikut:
1. Golongan Eropa sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS adalah tunduk kepada hukum
perdata barat
2. Bagi golongan bumiputra (pribumi) dalam hal keperdataan, hukum yag digunakan adalah
hukum perdata adat dalam bentuk tidak tertulis. Tetapi dengan adanya pasal 131 ayat (6) IS
kedudukan berlakunya hukum perdata adat itu tidak mutlak, dan dapat diganti dengan
ordonansi jika dikehendaki oleh pemerintah Hindia Belanda.
3. Bagi golongan Timur Asing, berlakulah Hukum perdata, hukum pidana adat mereka menurut
ketentuan Pasal 11 AB, berdasarkan Staatsblad 1855 Nomor 79 (untuk semua golongan
timur asing) Hukum perdata golongan Eropa (BW) hanya bagi golongan Timur Asing Cina
untuk wilayah Hindia Belanda melalui Staatsblad 1924 Nomor 557. Untuk daerah
Kalimantan Barat berlakunya BW tanggal 1 September 1925 melalui Staatsblad 1925 Nomor
92
Lihat: e-kampushukum, “Sejarah Tata Hukum Indonesia Masa Indische Staatsregeling”,
https://ekampushukum.blogspot.co.id/2016/05/tata-hukum-indonesia-masa-indische.html, diunduh
19 Desember 2017 pukul 10.30 WIB.
13 Catatan Penulis: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers
S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S. 1898
No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam Undang-Undang ini,
dinyatakan tidak berlaku.
Universitas Indonesia
7
Oktober 1975 mengacu pada UU Perkawinan dan KUHPerdata khusus untuk hal-
hal yang belum diatur di dalam UU Perkawinan.
Berdasarkan ketentuan diatas maka terdapat 2 (dua) jenis harta dalam
perkawinan, yaitu harta bersama dan harta bawaan. Pengaturan mengenai harta
tersebut dapat disimpangi dengan mengadakan perjanjian perkawinan. Namun,
pengaturan mengenai perjanjian perkawinan pada UU Perkawinan hanya terdapat
pada Pasal 29. Oleh karenanya sesuai dengan Pasal 66 UU Perkawinan, aturan-
aturan yang terdapat di dalam KUHPerdata namun tidak diatur dalam UU
Perkawinan tetap berlaku.
Kemudian Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa
perjanjian perkawinan dapat dibuat dalam 2 (dua) bentuk, yaitu taklik talak dan
perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sejalan dengan
aturan dalam UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur bahwa
perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan dalam bentuk tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan.14
Dalam hal ini Perkawinan tidak terlepas dari unsur kesejahteraan, yaitu
dalam hal ini adalah harta benda atau harta kekayaan. Berkaitan dengan hal
tersebut, UU Perkawinan mengatur harta benda dalam perkawinan dalam pasal-
pasal berikut:
1. Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan
(1) harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2) harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.
2. Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan
(1) mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak
Lihat: Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974,
TLN No. 3019, Ps. 66
14 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Buku 1 Hukum Perkawinan, Ps. 47 Ayat (1).
Universitas Indonesia
8
Universitas Indonesia
9
dipailitkan adalah suami, maka istri akan turut pailit, begitu pula sebaliknya, jika
mereka menikah dalam persatuan harta.
Ketidak berwenangan seseorang atas harta bendanya karena kepailitan
sedikit banyak turut mempengaruhi kehidupan berumah tangga yang harta
perkawinannya tidak dipisahkan (menikah dalam persatuan harta). Ketika suami
sebagai kepala rumah tangga dinyatakan pailit, kemampuannya, terutama secara
ekonomi untuk bertanggung jawab terhadap keluarga akan diragukan dan
memunculkan permasalahan lain misalnya perceraian. Salah satu cara untuk
menghindari permasalahan tersebut adalah dengan membuat perjanjian
perkawinan agar tidak ada persatuan harta dalam perkawinan antara suami istri.
Dengan demikian, ketika ada salah satu pihak yang dinyatakan pailit, maka pihak
yang lain dapat menopang kehidupan berumah tangga untuk sementara waktu
sampai pemberesan harta pailit tersebut selesai.
Debitur pailit yang pada saat dinyatakan pailit sudah terikat dalam suatu
perkawinan yang sah dan adanya persatuan harta, kepailitannya juga dapat
memberikan akibat hukum terhadap pasangan (suami istri).16 Dalam Pasal 23 UU
Kepailitan dan PKPU ditentukan bahwa apabila seseorang dinyatakan pailit, maka
yang pailit tersebut termasuk juga istri atau suaminya yang kawin atas dasar
persatuan harta. Ketentuan pasal ini membawa konsekuensi yang cukup berat
terhadap harta kekayaan suami istri yang kawin dalam persatuan harta. Artinya
bahwa seluruh harta istri atau suami yang termasuk dalam persatuan harta
perkawinan juga terkena sita kepailitan dan otomatis masuk dalam boedel pailit.
Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit, istri atau suami berhak
mengambil kembali semua benda bergerak atau tidak bergerak yang merupakan
harta bawaan dari istri atau suami dan hartanya diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan. Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh istri atau
suami dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur
dalam harta pailit maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil
penjualan tersebut yang diatur di dalam buku ke III KUHPerdata dan UU
Perkawinan dan Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 UU Kepailitan dan PKPU.
16
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 107.
Universitas Indonesia
10
Universitas Indonesia
11
B. Rumusan Masalah
Untuk menghindari agar penelitian ini tidak keluar dari pokok masalah,
maka permasalahannya akan dibatasi sebagai berikut:
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan diatas, penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengidentifikasi peranan Notaris dalam hal Perjanjian Perkawinan yang
dibuat sepanjang perkawinan tersebut tidak merugikan Pihak Ketiga, serta
sejak kapankah mulai berlakunya perjanjian perkawinan yang dibuat
sepanjang perkawinan tersebut pasca berlakunya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015
2. Menganalisis akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah
perkawinan berlangsung dalam proses kepailitan, menurut Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015
D. Kerangka Konsepsional
Universitas Indonesia
12
1. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 19 Di Belanda,
terdapat perkawinan tidak hanya dapat dilakukan oleh seorang wanita dan
seorang pria melainkan dapat pula dilakukan oleh 2 (dua) orang dengan jenis
kelamin yang sama. Dalam konteks perjanjian perkawinan di Belanda,
pasangan registered partnership yaitu 2 (dua) orang dengan jenis kelamin
17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum, Cet. Ke-3, (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1986), hlm. 132.
18Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Cet.1 (Jakarta:
Ind.Hill.Co, 1990), hlm 83-84.
Universitas Indonesia
13
23 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, Cet. Ke-3 (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015), hlm.
94.
Universitas Indonesia
14
4. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pilit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan ini.25
5. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.26
6. Akta Notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta autentik yang dibuat
oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam undang-undang. 27
Terkait dengan definisi perjanjian perkawinan di Indonesia, dapat
disimpulkan bahwa belum ada kesamaan mengenai hal-hal yang dapat
diperjanjikan di dalam perjanjian perkawinan. Sehingga untuk menyamakan
persepsi mengenai hal tersebut, maka perjanjian perkawinan yang dimaksud
dalam penelitian ini ialah perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai harta
kekayaan suami isteri.
F. Metode Penelitian
26
Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No.3 Tahun
2014, TLN No. 5491, Pasal 1 butir 1.
29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Cet. 8, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2004), hlm. 13.
Universitas Indonesia
15
30 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, 2005),
hlm. 57
32Sri Mamudji, etal., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 28
Universitas Indonesia
16
Data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan analisis
secara mendalam, data yang diperoleh dikelompokkan, dipisah-pisahkan dan
diseleksi berdasarkan data yang penting atau tidak penting, data yang relevan atau
34 Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat seperti norma dasar,
peraturan dasar, Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Peraturan Daerah, Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, Yurisprudensi, Traktat, Peraturan dari
zaman penjajahan yang kini masih berlaku.
Lihat: Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif…, hlm. 30-31.
35 Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal–hal
yang berkaitan dengan isi bahan primer serta implementasinya, contoh: buku, makalah dan artikel
ilmiah.
Lihat: Ibid.
Universitas Indonesia
17
G. Sistematika Penulisan
Bab Kedua berisi teori-teori yang menunjang penulisan tesis ini antara lain
perkawinan di Indonesia, perjanjian di Indonesia, perjanjian perkawinan di
Indonesia, Notaris di Indonesia dan peranan Notaris dalam pembuatan perjanjian
perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015,
Serta Kepailitan.di Indonesia.
Universitas Indonesia
18
Pada Bab Ketiga akan diuraikan jawaban dari seluruh rumusan masalah
pada tesis ini, yaitu Peranan Notaris dalam pembuatan Perjanjian Perkawinan
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015, akibat hukum
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap pihak ketiga dalam hal perjanjian
Perkawinan dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement) yang
dalam proses kepailitan.
.
.
.
Universitas Indonesia
BAB II
A. Perkawinan Di Indonesia
Perkawinan merupakan hubungan antara subyek-subyek (yaitu seorang pria
dan seorang wanita) yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut
didasarkan pada persetujuan diantara mereka dan mengikat keduanya. Pada
dasarnya, perkawinan adalah perjanjian, namun perjanjian yang dimaksud disini
bukanlah suatu perjanjian pada umumnya yang mana para pihak bebas
menentukan isi dari pejanjian yang dibuat oleh mereka dengan catatan tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Sedangkan pada perkawinan, harus ada persetujuan atau kesesuaian kehendak
antara seorang pria dan seorang wanita untuk membina rumah tangga bersama.
Hal ini tercermin pada Pasal 28 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUHPerdata), yaitu asas perkawinan menghendaki adanya
kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami isteri. Pada pelaksanaan
perkawinan, calon pasangan suami isteri harus mengikuti tata tertib serta
aturanaturan yang sudah ditentukan oleh hukum. Calon suami isteri tidak dapat
menyimpang dari ketentuan-ketentuan dan akibat-akibat yang timbul dari suatu
perkawinan.1
Syarat persetujuan bebas atau kata sepakat dalam perkawinan hanya
mencakup soal persetujuan bebas akan dilangsungkan perkawinan oleh kedua
pihak yang berkepentingan, akan tetapi apa yang menjadi isi atau hakekat
perkawinan itu tidak dikuasai oleh asas kebebasan berkontrak, artinya pihak calon
suami dan isteri hanya mempunyai persetujuan bebas dalam hal akan
1 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, Cet. Ke-8, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 54
20
Universitas Indonesia
21
orang wanita saja atau dilakukan antara banyak pria dan banyak wanita, maka hal
tersebut tidak dapat disebut sebagai perkawinan.
Subekti berpendapat bahwa suatu ikatan perkawinan merupakan pertalian
yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama,
sedangkan Scholten berpendapat bahwa perkawinan adalah suatu hubungan antara
seorang pria dan wanita untuk hidup bersama yang diakui oleh negara. 6 Dari
berbagai definisi mengenai perkawinan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah (baik itu secara agama maupun
negara) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang saling mengikatkan
diri untuk membentuk keluarga.
B. Perjanjian Perkawinan
1. Istilah dan Pengertian Perjanjian Perkawinan
Istilah Perjanjian Perkawinan yang penulis maksudkan ini berasal dari
Bahasa Belanda “huwelijksvoorwaarden” atau “huwelijkse voorwaarden”.
Ada beberapa pendapat dalam mengalihbahasakan istilah ini kedalam Bahasa
Indonesia, antara lain:7
a. “Syarat Kawin” menurut Mr. H. Van Der Tas;
b. “syarat-syarat perkawinan” menurut Saleh Adiwinata, SH. Cs Fockema
Andreae dan Prof. Drs. S. Wojowasito;
c. “perjanjian perkawinan” menurut Mr. Soekartini, SH.
d. “perjanjian kawin” menurut Prof. R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio;
Dari beberapa istilah tersebut penulis lebih cenderung untuk menggunakan
istilah Mr. Soekartini, SH yaitu “perjanjian perkawinan”. Menurut penulis istilah
perjanjian perkawinan lebih cenderung kearah perjanjian-perjanjian sebagai suatu
lembaga yang berdiri sendiri pun demikian halnya dengan perkawinan itu sendiri,
sedangkan istilah perjanjian kawin lebih mengarah kepada perkawinan sebagai
suatu bentuk perjanjian untuk untuk melangsungkan perkawinan. Undang-Undang
6
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,
Hukum Islam dan Hukum Adat, Edisi Revisi (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 8.
Universitas Indonesia
22
8
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1988),
hlm. 97
Universitas Indonesia
23
Universitas Indonesia
24
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
20
Ibid, hlm. 83-84.
Universitas Indonesia
27
Dengan demikian perjanjian kawin baru perlu, apabila calon suami isteri,
pada saat akan menikah memang telah mempunyai harta atau selama perkawinan
mengharapkan didapatnya harta. Pertimbangan-pertimbangan diadakannya
perjanjin kawin adalah:
1) Dalam perkawinan dengan persatuan secara bulat, agar isteri terlindung dari
kemungkinan-kemungkinan tindakan-tindakan beheer suami yang tidak
baik, dan tindakan-tindakan beschikking atas barang-barang tak bergerak
dan surat-surat berharga tertentu milik isteri.
2) Dalam perkawinan dengan harta terpisah:
a) agar barang-barang tertentu atau semua barang-barang yang dibawa
suami/isteri alam perkawinan, tidak masuk dalam persatuan harta
perkawinan dan dengan demikian tetap menjadi harta pribadi
suami/isteri. Adanya perjanjian yang demikian merupakan perlindungan
bagi isteri, terhadap hutang-hutang yag dibuat oleh suami dan
sebaliknya.21
b) agar harta pribadi tersebut terlepas dari beheer suami, dan isteri dapat
mengurus sendiri harta tersebut.22
21
Mahkamah Agung Republik Indonesia, 21 Mei 1977 No.217 K/S.I.P./1976 "tergugat tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas huang-hutang yang dibuat oleh alm. suaminya, karena ternyata
tergugat kawin/nikah dengan mengadakan perjanjian kawin."
Universitas Indonesia
28
23 Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Lihat: Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3050, Ps. 7 ayat (1).
24 W.D. Kolkman, Et All, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum Waris di
Belanda dan Indonesia (Bali: Pustaka Larasan, 2012), hlm. 141.
Universitas Indonesia
29
25 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, Cet. Ke-3, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Indonesia, 2015), hlm 82
Universitas Indonesia
30
27
Darmabrata dan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga…, hlm. 89.
Universitas Indonesia
31
keuntungan dan kerugian dan akan menyimpang dari hukum harta benda
dalam perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 164 KUHPerdata.
Pada masa keberlakuan Buku I KUHPerdata, ada pula bentuk-bentuk
perjanjian kawin KUHPerdata. Bentuk-bentuk perjanjian kawin itu adalah29 :
Universitas Indonesia
32
Menurut ketentuan pasal tersebut di atas tersimpul suatu asas bahwa antara
suami dan isteri di dalam perkawinan terdapat persatuan bulat harta kekayaan
kecuali jika diadakan perjanjian kawin sebelum perkawinan dilangsungkan, hal
ini berarti bahwa dengan perkawinan antara suami dan isteri maka seluruh harta
mereka dilebur jadi satu. Dengan demikian pada prinsipnya didalam suatu
keluarga, terdapat satu kekayaan milik bersama.30
30
Universitas Indonesia
33
J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 224-225.
Universitas Indonesia
34
adanya perjanjian kawin ini, maka akan melindungi harta benda dari
rebutan pihak lain.
4. Melindungi salah satu pihak dari tindakan hukum
Apabila salah satu pihak mengajukan kredit (misalna kredit rumah)
biasanya akan dilakukan penandatanganan perjanjian kredit oleh suami-
istri sehingga utang kredit tersebut ditanggung bersama. Namun,
dengan adanya perjanjian ini maka yang mengajukan kredit
bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan bukan menjadi utang
bersama.
5. Bagi perempuan WNI yang menikah dengan laki-laki WNA, sebaiknya
mereka memiliki perjanjian kawin, untuk melindungi hak mereka
sendiri, karena jika tidak membuat perjanjian kawin maka perempuan
WNI tersebut tidak akan bisa membeli tanah dan rumah atas namanya
sendiri. Selain itu, perjanjian kawin ini dapat pula memuat mengenai
kewarganegaraan anak yang nantinya dilahirkan dari perkawinan
campuran, bahwa anak yang nantinya akan dilahirkan akan mengikuti
kewarganegaran ibu dengan pertimbangan tertentu, misalnya pekerjaan
ibu berlokasi di Indonesia.
Universitas Indonesia
35
dan bukanlah kasus permohonan. Pasal tersebut juga menyatakan bahwa jika
permohonan dikabulkan oleh Hakim, maka pemberlakuan putusan tersebut
berlaku surut terhitung dari hari gugatan diajukan. Lebih lanjut, Pasal 191
KUHPerdata menyatakan bahwa:
Keputusan di mana pemisahan harta kekayaan diizinkan, hapus menurut
hukum, bila hal itu tidak dilaksanakan secara sukarela dengan
pembagian barang-barang itu, seperti yang ternyata dan akta otentik
tentang itu; atau bila dalam waktu satu bulan setelah putusan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap, si isteri tidak mengajukan tuntutan
untuk pelaksanaannya kepada Hakim dan tidak melanjutkan penuntutan
secara teratur.
Universitas Indonesia
36
D. Notaris Di Indonesia
1. Kewenangan dan Kewajiban Notaris
Wewenang merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan
kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang mengatur jabatan yang bersangkutan.Dalam Hukum Administrasi wewenang
bisa diperoleh secara atribut, delegasi, mandat. Wewenang secara atribut adalah
pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu
peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Wewenang secara delegasi,
merupakan pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan peraturan
perundang-undangan atau aturan hukum. Sedangkan wewenang secara mandat
bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang berkompeten
berhalangan.
Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari
kebutuhan dalam pergaulan masyarakat berkenaan dengan hubungan hukum
keperdataan antara sesama individu yang menghendaki suatu alat bukti diantara
mereka.32 Masyarakat membutuhkan seorang figur yang ketentuan-ketentuannya
dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segalanya
memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan
penasihat yang tidak ada cacatnya, yang tutup mulut, dan membuat suatu
32
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 2.
Universitas Indonesia
37
perjanjian yang dapat melindunginya dihari yang akan datang. 33 Atas dasar
kebutuhan masyarakat tersebut, lahirlah lembaga notariat dan Notaris sebagai
figur pejabat umum yang dengan kekuasaan/kewenangan yang diberikan Negara
kepadanya untuk bertindak sehingga kebutuhan masyarakat tersebut dapat
dipenuhi.
Notaris memiliki kedudukan sebagai suatu fungsionaris dimana masyarakat
dapat mendapatkan nasehat hukum dan apa yang ditulis dan ditetapkan oleh
Notaris adalah benar dan kuat di dalam proses hukum.34 Di dalam memberikan
nasehat-nasehat hukum, Notaris haruslah memperhatikan kaedah-kaedah yang
berlaku. Kaedah-kaedah itu merupakan suatu peraturan mengenai perilaku,
pelindung, penilaian dan sikap mengetahui apa yang dapat dilakukan, dilarang
atau yang dianjurkan untuk dilakukan.35
Kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum juga memperoleh kekuasaanya
itu langsung dari kekuasaan eksekutif yang berarti Notaris melakukan sebagian
dari kekuasaan eksekuti.36Namun, pada intinya, Notaris sebagai pejabat umum itu
maksudnya adalah orang khusus yang berwenang untuk membuat akta autentik.
Notaris Sebagai Pejabat Umum yaitu orang yang dengan syarat-syarat
tertentu memperoleh kewenangan secara atributif dari negara untuk melaksanakan
sebagian fungsi publik dari negara khususnya dalam bidang hukum perdata untuk
membuat alat bukti otentik. Adapun yang dimaksud dengan alat bukti berdasarkan
Pasal 1866 KUHPerdata yaitu:37
1. Bukti tulisan;
2. Bukti dengan saksi-saksi;
3. Persangkaan-persangkaan;
33 Tan Thong Kie, Studi Notaris, Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994), hlm. 162.
34 Tan Thong Kie, Notaris, Siapakah Dia, Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notaris,
Cet III (Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 2000), hlm. 157.
Universitas Indonesia
38
4. Pengakuan;
5. Sumpah.
Pasal 1867 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembuktian dengan tulisan
dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik dan tulisan-tulisan dibawah tangan.Akta
otentik merupakan suatu alat bukti yang sempurna, yaitu apabila akta otentik
diajukan sebagai alat bukti dalam suatu persidangan, maka tidak diperlukan bukti
pendukung lain yang menyatakan bahwa akta otentik tersebut benar. Hal ini
dikarenakan suatu akta otentik telah dapat dipastikan kebenarannya.
Notaris sebagai pejabat umum diberikan kewenangan oleh pemerintah
untuk membuat akta otentik sebagaimana dimaksud pada Pasal 1868
KUHPerdata, yaitu suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk
itu di tempat dimana akta dibuatnya. Seorang Notaris biasanya dianggap sebagai
seorang pejabat umum dikarenakan Notaris memberikan pelayanan publik
(pelayanan pada masyarakat) untuk membuat akta-akta otentik, selain itu Notaris
juga sebagai tempat seseorang dapat memperoleh nasihat dan penjelasan
mengenai Undang-Undang kepada pihak yang bersangkutan yang dapat
diandalkan dan bisa dipercaya.38 Segala sesuatu yang ditulis dan ditetapkannya
adalah benar, dimana Notaris adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu
proses hukum.39
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa sebuah akta
otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, dimana salah
satunya adalah Notaris.40 hal ini didasarkan dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang berbunyi:
"Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini."
38
Bambang Hartoyo, Seluk Beluk Kenotariatan, (Yogyakarta: Debut Wahana Press, 2009),
hlm. 14.
39 Tan Thong Kie, Studi Notaris, Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994), hlm. 162.
Universitas Indonesia
39
Notaris sebagai pejabat umum juga ditegaskan juga di dalam Bab 1 Pasal 1 UUJN
yang berbunyi:
"Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan
oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk
dinyatakan dalam suatu akta otentik. menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
aktanya, memberikan grosse salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. 41
41
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cet.III (Jakarta: Erlangga, 1999) hlm
31.
Universitas Indonesia
40
42
Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 78.
Universitas Indonesia
41
Selain yang disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN Perubahan, terdapat
beberapa akta otentik lainnya yang merupakan wewenang Notaris, yaitu:
1. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 KUHPerdata);
2. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik
(Pasal1227 KUHPerdata);
3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi
(Pasal 1405 dan 1406 KUHPerdata);
4. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK);
5. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah); dan
6. Membuat akta risalah lelang.
Kewenangan khusus Notaris sebagaimana ternyata pada Pasal 15 ayat (2)
UUJN Perubahan yaitu bahwa Notaris juga ditugaskan untuk melakukan
pendaftaran (waarmerking) dan mengesahkan (legalisasi) surat-surat atau akta-
akta yang dibuat dibawah tangan serta memberikan nasehat/penyuluhan hukum
dan penjelasan mengenai undang-undang terutama yang berkaitan dengan isi dari
akta yang dibuat para pihak di hadapan Notaris.
Sedangkan kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian
dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN Perubahan, yang dimaksud dengan
kewenangan yang akan ditentukan kemudian adalah wewenang yang berdasarkan
aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius constituendum).44 Wewenang
Notaris yang akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan
ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
44
Ibid., hlm. 82.
Universitas Indonesia
42
menjamin keamanan dan kerahasiaan akta tersebut, karena minuta aktanya akan
disimpan oleh Notaris.
Selain wewenang Notaris juga memiliki kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu:
a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta;
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini terkecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan kecuali undang-undang menentukan lain;
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta dan jika akta tidak dapat
dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu
buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, tahun pembuatannya
pada sampul buku;
h. Membuat daftar dari akta prostes terhadap tidak dibayar atau diterimanya
surat berharga;
i. Membuat daftar akta berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulannya;
j. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat
Departemen yang tugas dan tanggungjawabnya dibidang kenotariatan
dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulannya;
k. Mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
Universitas Indonesia
43
Universitas Indonesia
44
2. Akta Notaris
Pengertian Akta Notaris terdapat pada Pasal 1 angka 7 UUJN Perubahan
bahwa akta Notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta autentik yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini. Pada kamus hukum akta notariil berarti akta yang dibuat di
hadapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu.Oleh sebab itu dalam hal
ini akta yang dibuat oleh notaris merupakan suatu akta yang autentik, dimana
syarat untuk memperoleh otentisitasnya suatu akta adalah seperti sebagaimana
yang dimuat dalam Pasal 1868 KUHPerdata yaitu memuat sebagai berikut :45
1. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;
2. Akta tersebut dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
Undang;
3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Universitas Indonesia
45
Suatu akta dapat dikatakan sebagai akta autentik apabila memenuhi syarat
verlijden. Syarat verlijden adalah serangkaian tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh notaris, penghadap dan saksi-saksi yang merupakan suatu proses melakukan
pembacaan akta oleh Notaris kepada para penghadap dan saksi-saksi dan akhirnya
ditandatangani oleh para penghadap saksi-saksi dan notaris atau yang dapat
disebut juga sebagai peresmian akta.
Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi maka akta tersebut dapat dikatakan
sebagai akta autentik.oleh sebab itu akta tersebut merupakan suatu alat bukti yang
memunyai kekuatan pembuktian yang sempurna atau lengkap yang berati
mengikat dan harus diakui oleh hakim sebagai kebenaran menurut hukum, kecuali
dapat dibuktikan sebaliknya, misalnya tidak terpenuhinya salah satu syarat
otentisitasnya suatu akta, atau terdapat keterangan palsu dalam suatu akta yang
dibuatnya.
Selain akta autentik terdapat juga akta dibawah tangan dimana akta tersebut
dibuat tidak ditentukan oleh undang-undang tanpa perantara atau dihadapan
pejabat umum yang berwenang.Baik akta autentik maupun akta dibawah tangan
dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti.46
Dalam hal ini terdapat perbedaan antara Akta Notaris dengan akta dibawah tangan
yaitu sebagai berikut:47
1. Akta Notaris
1. Bentuknya telah ditentukan oleh undang-undang, dibuat dihadapan
pejabat yang diberi wewenang ditempat dimana akta tersebut
dibuat;
2. Ada kepastian tangalnya serta kepastian tanda-tangannya;
3. Memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna;
4. Jika terdapat yang menyangkal kebenaran akta tersebut maka yang
menyangkal yang harus membuktikan.
2. Akta di bawah tangan
1. Dibuat sendiri dan tidak dibuat dihadapan yang berwenang;
2. Tidak ada kepastian tanggal serta tidak ada kepastian siapa yang
menandatanganinya;
47 A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 31.
Universitas Indonesia
46
48
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan... , hlm. 51.
Universitas Indonesia
47
Universitas Indonesia
48
pihak ketiga, hal inilah yang menjadi perhatian penulis sehingga menarik untuk
ditelusuri dan dikaji.
Ketentuan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur
mengenai pembuatan perjanjian perkawinan setelah kawin dilangsungkan
(postnuptial agreement). Ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang tersebut
yang pada intinya hanya mengatur mengenai perjanjian perkawinan yang dapat
dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, namun dalam
fenomena perkembangannya di masyarakat (praktek) dapat ditemui perjanjian
perkawinan yang dibuat pada saat ikatan perkawinan berlangsung yang dengan
alasan tertentu antara suami-istri tersebut baru membuat perjanjian perkawinan,
adapun hal demikian tersebut dapat dibenarkan oleh hukum dengan dasar bahwa
perjanjian demikian itu haruslah didahului dengan mengajukan permohonan ke
pengadilan yang berwenang agar mendapatkan suatu penetapan dari hakim.49
Selanjutnya setelah mendapatkan penetapan pengadilan tersebut para pihak
(suami-istri) barulah dapat membuat akta perjanjian perkawinan setelah kawin
kehadapan Notaris. Karena berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa Notaris berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-
Undang.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
menyebutkan bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua
Universitas Indonesia
49
Universitas Indonesia
50
52
Universitas Indonesia
51
langsung memperoleh kekuatan hukum tetap dan mengikat setelah diucapkan dan
tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh (final and binding). Adapun
kekuatan hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi terdiri dari kekuatan hukum
mengikat, kekuatan hukum pembuktian, dan kekuatan hukum eksekutorial.
Kekuatan hukum mengikat pada Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya
mengikat pihak-pihak berperkara (interpartes), tetapi juga mengikat dan/atau
ditujukan bagi semua warga negara, lembaga/pejabat negara dan badan hukum
dalam wilayah Republik Indonesia (erga omnes). Oleh karena itu berdasarkan
penjelasan tersebut Putusan Mahkamah Konstitusi juga mengikat bagi Notaris
selaku yang memiliki wewenang (pejabat) dalam pembuat akta perjanjian
perkawinan dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau Kantor Urusan
Agama (KUA) selaku pejabat yang memiliki wewenang untuk mencatatkan akta
perjanjian perkawinan tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) ternyata Notaris
sebagai Pejabat Umum, memperoleh wewenang secara atribusi, karena wewenang
tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Dengan demikian yang
diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya Departemen Hukum
dan HAM.
Dalam hal wewenang Notaris, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Notaris sebagai pejabat umum
adalah orang yang dengan syarat-syarat tertentu memperoleh kewenangan dari
negara secara atributif untuk melaksanakan sebagai fungsi publik dari negara,
khusus dalam bidang hukum perdata untuk membuat alat bukti otentik.
Pasal 147 ayat 1 KUHPerdata telah ditentukan bahwa perjanjian
perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman kebatalan.
Selanjutnya dalam Pasal 147 ayat (2) KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian
perkawinan mulai berlaku sejak saat dilangsungkan perkawinan.Sedangkan mulai
berlakunya terhadap pihak ketiga adalah sejak hari pendaftarannya di Kantor
Indonesia, Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Universitas Indonesia
52
Catatan Sipil atau KUA yang di dalam wilayah hukumnya perkawinan tersebut
berlangsung.Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan maka seorang pria
atau wanita yang hendak melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian
perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.Perjanjian
perkawinan tersebut dibuat dalam bentuk tertulis, jadi dapat dibuat dengan akta
notaris atau akta dibawah tangan.53
Dikaitkan dengan pembuatan perjanjian perkawinan, Pasal 147
KUHPerdata memang menyatakan secara tegas bahwa perjanjian perkawinan
harus dibuat dengan akta otentik, dengan kata lain perjanjian perkawinan harus
dibuat dihadapan notaris. Akan tetapi Pasal 29 ayat (1) hanya menyebutkan bahwa
perjanjian perkawinan harus dibuat secara tertulis. Tidak ada ketentuan bahwa
perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta otentik. Pasal 66 UU Perkawinan
menyebutkan bahwa
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-undang ini ketentuan- ketentuan yang diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordinansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia
1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op Gemeng de
Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini,
dinyatakan tidak berlaku.”
Jika dilihat ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan maka terdapat perbedaan
prinsip dalam membuat perjanjian perkawinan, khususnya menyangkut mengenai
bentuk perjanjian perkawinan tersebut, dengan apa yang diatur dalam
KUHPerdata. Didalam Pasal 147 KUHPerdata secara tegas dinyatakan bahwa
perjanjian perkawinan tersebut harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman
kebatalan.Syarat tersebut dimaksudkan agar perjanjian perkawinan dituangkan
dalam suatu akta otentik, yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat.54
53
Wahyono Darmabrata Dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, Cet. I. Jakarta:Rizkita, 2002).
54 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Cet. II, ( Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1993),
hal.153
Universitas Indonesia
53
55 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cet. III (Jakarta:Erlangga, 1996),
hal.186.
56Subekti (e), Hukum Pembuktian, cet. 14, ( Jakarta:Pradnya Paramita, 2003), hal.27
Universitas Indonesia
54
Akta otentik pada dasarnya dapat digolongkan menjadi akta otentik yang
dibuat oleh pejabat umum atau yang disebut sebagai akta pejabat atau akta relaas,
dan akta otentik yang dibuat oleh para pihak di hadapan pejabat umum yang
disebut sebagai akta partij.
Akta pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu, sedangkan yang dimaksud Akta Partij sebagai yang dibuat langsung di
hadapan (ten overstaan) Pejabat Umum. Akta perjanjian kawin yang dibuat oleh
calon suami dan calon isteri dihadapan notaris, merupakan akta yang termasuk
dalam akta partij.
Wewenang seorang notaris selaku pejabat umum, diatur pula dalam Pasal
15 ayat (1) Undang-undang tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang merumuskan
sebagai berikut:
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
smuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang”.
“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”.
57 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Cet. II, ( Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1993),
hal 153
Universitas Indonesia
55
Universitas Indonesia
56
58
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. 30, (Jakarta PT. Intermasa, 2002), hlm. 23.
Universitas Indonesia
57
yang di hadapi. Akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi ini yang mana telah
menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum yang baru atau membentuk
hukum yang baru kemudian putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat sejak diumumkannya.
Terkait dengan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang
perkawinan tentunya harus juga diperhatikan dimana ketika melakukan praktek
ternyata masih adanya hambatan-hambatan teknis di dalam melakukan pencatatan
perjanjian perkawinan, karena ternyata pejabat kantor catatan sipil hanya
berpegang pada petunjuk teknis terkait dengan pencatatan perkawinan, yang
mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan
terkait dengan pencatatan perjanjian perkawinan. Hambatan yang terjadi karena di
dalam Formulir (Formulir F2.12) yang digunakan untuk melakukan pencatatan
perkawinan tersebut tidak terdapat kolom mengenai perjanjian perkawinan.59
Terhadap pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat pada saat
perkawinan berlangsung pastinya akan menghadapi hambatan yang sama
sepanjang belum dibuatnya ketentuan yang baru untuk mengatur tata cara
pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat pada saat perkawinan telah
berlangsung. Mengatasi hambatan tersebut tentunya Menteri dalam Negeri
harusnya menyegerakan untuk mengeluarkan peraturan terkait dengan pencatatan
perjanjian perkawinan, juga mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang
dibuat sepanjang perkawinan, yang segera diikuti dengan dikeluarkannya perihal
pencatatan perjanjian perkawinan tersebut. Oleh sebab itu jika sepanjang belum
adanya ketentuan mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat pada
saat perkawinan berlangsung maka tentunya pencatatan belum dapat dilakukan,
dan jika perjanjian perkawinan belum dicatatkan maka perjanjian perkawinan
tersebut tidak mengikat pihak ketiga dan hanya berlaku diantara para pihak.60
Menurut Muhammad Hafidh, hambatan dalam pembuatan perjanjian
perkawinan yaitu misalnya jika para pihak tidak berterus terang atas apa yang
59
Alwesius, Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,
http://alwesius.blogspot.co.id/2016/11/pembuatanperjanjian- perkawinan-pasca.html diakses pada
tanggal 05 Desember 2017
60 Ibid,
Universitas Indonesia
58
61
Farida Prihatini, “Meski Telat, Perjanjian Perkawinan Perlu Didaftarkan”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56a5c53a38ebc/meski-telat--perjanjian-perkawinan
perlu-didaftarkan diunduh 17 Desember 2017 pukul 09.00 WIB
Universitas Indonesia
59
62
Universitas Indonesia
60
Mulyoto, Perjanjian Tehnik, Cara Membuat, dan Hukum Perjanjian yang harus dikuasai,
(Yogyakarta: Cakrawala Media, 2012), hlm. 17.
63 Perjanjian Kawin Pasca Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.69/PUU-
XIII/2015, Seminar diadakan oleh pengurus wilayah (Pengwil) INI/IPPAT DKI Jakarta, tanggal 23
November 2016, di Hotel Sahid Sudirman, Jakarta
Universitas Indonesia
61
E. Kepailitan
1. Pengertian Kepailitan
Didalam lalu-lintas hukum (khususnya hukum perjanjian), setidak-tidaknya
terdapat dua pihak yang terikat oleh hubungan hukum itu, yaitu kreditor (creditor)
dan debitur (debitor).Masing-masing fihak mempunyai hak dan kewajiban yang
lahir dari hubungan hukum itu, yaitu prestasi dan kontra prestasi, memberi,
berbuat dan tidak berbuat sesuatu, atau oleh undang-undang disebut dengan istilah
“onderwerp object”.64
Di dalam hukum Anglo Sakson prestasi itu dikenal dengan istilah
“consideration”. Tidak ada satu definisi pun yang lengkap yang mampu
menggambarkan pengertian consideration itu, sebagai perbandingan, penulis
paparkan pendapat beberapa sarjana sebagai berikut:
Menurut Jesse S. Raphael, AB.LL.B65: “Consideration is not easy to
explain in a single definition. In general, it consistin the giving up of some
legal right by one of the parties in exchange for the promise of the others.”
64
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Press, 1991) hlm 21
65
Jesse S. Raphael, The Collier Quick and Easy Guide to Law, Collier Books, (Newyork:
NY, 1962) edisi pertama
Universitas Indonesia
62
Pada umumnya orang berusaha tidak dengan modalnya sendiri atau tidak
sepenuhnya dengan modal sendiri, untuk dapat memperoleh pinjaman dari pihak
lain adalah dengan modal kepercayaan, bahwa peminjam akan mengembalikan
pinjaman beserta bunganya pada waktu yang ditetapkan atau diperjanjikan. Hal
ini merupakan alasan dalam hal debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya,
dapat diberlakukan suatu perangkat peraturan kepailitan yang efektif.Peraturan
67
Ronald A. Anderson, Business Law, (Nashville: South Western Publishing,Co, 1981)
Edisi Kesebelas, hlm.170
Universitas Indonesia
63
tersebut harus dapat mengembalikan kepada kreditur jumlah kredit yang dipinjam
oleh debitur dengan patut, cepat dan efisien.69
Bila ditelusuri secara lebih mendasar, bahwa istilah pailit dijumpai di dalam
perbendaharaan bahasa Latin, Belanda, Perancis dan Inggris dengan istilah yang
berbeda-beda. Dalam bahasa Belanda Pailit berasal dari istilah “failliet” yang
mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan kata sifat.Dalam bahasa
Perancis istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan
pembayaran.Oleh sebab itu orang mogok atau macet atau berhenti membayar
utangnya didalam bahasa Prancis disebut lefailli.Kata kerja “failir” berarti gagal.
Dalam bahasa Inggris dikenal kata “to fail”dengan arti yang sama; dalam bahasa
Latin disebut “failure”. Di negara-negara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan
kepailitan diwakili dengan kata-kata ‘bankrupt”dan “bankruptcy”.70
Dalam Black’s Law Dictionary Pailit atau Bankrupt adalah “the state or
condition of a person (individual , partnership, corporation, municipality) who is
unable to pay its debt as they are, or became due”. The term includes a person
against who an involuntary petition has been filed, who has filed a voliuntary
petition, or who has been adjugged a bankrupt.71
Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut,
dapat kita lihat bahwa penertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan
untuk membayar” dari seorang (debitur) atas hutang-hutangnya yang telah jatuh
tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata
untuk mngejukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri,
maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan
pernyataan pailit ke Pengadilan.Maksud dari pengajuan permohonan tersebut
adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan azas “publisitas” dari keadaan tidak
mampu membayar dari seorang debitur. Tanpa adanya permohonan tersebut ke
69
Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil) Kapita
Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 77.
70
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm 11
71Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, (St.Paul Minn: West Publishing
Co,1979) hlm 100
Universitas Indonesia
64
Pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu
keadaan tidak mampu membayar dari debitur. Keadaan ini kemudian akan
diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh Hakim Pengadilan, baik itu
putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang
diajukan.72
72
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, (Jakarta; PT Grafindo
Persada, 2002) Cetakan ketiga, hlm 1.
Universitas Indonesia
BAB III
Tabel 1
Fakta Kasus Posisi
Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK 69/2015:
“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan
perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”
Universitas Indonesia
68
2 Ibid
Universitas Indonesia
69
Universitas Indonesia
70
Sementara itu keterkaitan antara itikad baik dan kepatutan adalah sangat
erat sebagaimana dijelaskan8:
...bahwa kedua belah pihak harus jujur dalam melaksanakan perjanjian.
Ada kalanya kejujuran sudah sepenuhnya dilakukan dan diperhatikan,
tetapi pelaksanaan perjanjian masih berada dalam jalan buntu (deadlock).
Disinilah perhatian dituntut ke arah kepatuhan agar suatu peristiwa dapat
diselesaikan secara memuaskan.
8 Ibid
9 Samuel W. Buell, Good Faith and Law Evasion, (UCLA Law Review , 2011), hlm. 629
Universitas Indonesia
71
Universitas Indonesia
72
Universitas Indonesia
73
perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum
perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan
berlangsung (postnuptial agreement). Hal ini kemudian dapat berdampak pada
dimungkinnya seseorang pasangan suami isteri yang dalam proses kepailitan
untuk membuat perjanjian perkawinan yang kemudian merugikan pihak ketiga.
Berlakunya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga diatur dalam Pasal 152
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Ketentuan yang
tercantum dalam perjanjian perkawinan, yang mengandung penyimpangan dari
persatuan menurut Undang- Undang seluruhnya atau untuk sebagian, tidak akan
berlaku terhadap pihak ketiga, sebelum hari ketentuan-ketentuan itu dilakukan
dalam suatu register umum, yang harus diselenggarakan untuk itu di Kepaniteraan
pada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya perkawinan itu telah
dilangsungkan, atau, jika perkawinan berlangsung di luar negeri, di Kepaniteraan
dimana akta perkawinan dibukukannya”. Dari ketentuan di atas dapat diketahui
bahwa suatu perjanjian perkawinan dapat juga berlaku bagi pihak ketiga, setelah
perjanjian perkawinan tersebut didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan maka pendaftaran atau pencatatan akta perjanjian perkawinan beralih
ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA).
Menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, sebuah perjanjian perkawinan dapat mengikat terhadap pihak ketiga
apabila perjanjian tersebut disahkan atau didaftarkan kepada pegawai pencatat
perkawinan maka dengan sendirinya perjanjian perkawinan tersebut mempunyai
kekuatan yang mengikat terhadap pihak ketiga.
Hal yang sama juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal
50 disebutkan perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak
dan pihak ketiga, terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan di
hadapan pegawi pencatat nikah. Maka dengan keadaan tersebut akibat hukumnya
terhadap pihak ketiga adalah pihak ketiga selama perjanjian perkawinan belum
didaftarkan dapat saja menganggap bahwa perkawinan berlangsung dengan harta
persatuan. Sehingga apabila terjadi persangkutan utang dengan suami atau istri,
penyelesainannya dilakukan dengan melibatkan harta bersama.
Universitas Indonesia
74
Universitas Indonesia
75
Universitas Indonesia
76
15 Ibid.
Universitas Indonesia
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
B. Saran
Saran yang dapat Penulis berikan terhadap uraian pada bab sebelumnya
adalah sebagai berikut:
1. Dalam menjalankan tugasnya dan jabatannya diharapkan Notaris selalu taat
serta berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan serta peraturan-peraturan
yang berlaku bagi Notaris. Bersikap hati-hati dan waspada dalam meneliti
dan memeriksa surat-surat atau warkah dan dokumen-dokumen yang
diberikan oleh para penghadap.
2. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
yang menyatakan bahwa pasangan suami isteri dimungkinkan untuk
membuat perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung (postnuptial
Universitas Indonesia
80
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
A. PERATURAN
B. PUTUSAN:
C. BUKU
Apeldoorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1981.
Buell, Samuel W. Good Faith and Law Evasion. UCLA Law Review, 2011.
Universitas Indonesia
83
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Cet. Ke-7.
Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Universitas Indonesia
84
Kie, Tan Thong, Studi Notaris, Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994
Kolkman, W.D. et all. Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum
Waris di Belanda dan Indonesia. Bali: Pustaka Larasan, 2012.
Mamudji, Sri et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. 2. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.
Miru, Ahmadi dan Sakka Pati. Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Universitas Indonesia
85
Raphael, S. Jesse The Collier Quick and Easy Guide to Law, Collier Books,
Newyork: NY, 1962
_________. Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.
Soemanto, R.B. Hukum dan Sosiologi Hukum. Surakarta: LPP UNS, 2008.
Universitas Indonesia
86
_________. Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat. Cet. Ke-8. Jakarta: Gitama Jaya, 2005.
Taekama, Sanne, et.all. Understanding Dutch Law. Den Haag: Boom Juridische
Uitgevers, 2004.
Tobing, G.H.S. Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Cet Ke-3. Jakarta: Erlangga,
1983.
D. TESIS
Universitas Indonesia
87
D. INTERNET
Universitas Indonesia
LAMPIRAN