Anda di halaman 1dari 99

UNIVERSITAS INDONESIA

IMPLIKASI YURIDIS PERJANJIAN PERKAWINAN YANG


DIBUAT DALAM PROSES KEPAILITAN BERKAITAN
DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 69/PUU-XIII-2015

TESIS

ALFAN HALIFA PASHA, S.H.


1506781276

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2018
UNIVERSITAS INDONESIA

IMPLIKASI YURIDIS PERJANJIAN PERKAWINAN YANG


DIBUAT DALAM PROSES KEPAILITAN BERKAITAN
DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK
INDONESIA NOMOR 69/PUU-XIII-2015

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Magister Kenotariatan (M.Kn.)

ALFAN HALIFA PASHA, S.H.


1506781276

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2018
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdullilah Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala


berkat, rahmat, kekuasaan dan kasih sayang-Nya Penulis dapat menyelesaikan
Tesis yang berjudul Implikasi Yuridis Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Dalam
Proses Kepailitan Berkaitan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 69/PUU-XIII-2015. Shalawat dan salam terlimpahkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW serta pengikutnya sampai akhir zaman.

Penulisan Tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) pada Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis berharap agar Tesis ini berguna
bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan bagi masyarakat luas. Penulis
menyadari bahwa dalam penyusunan Tesis ini masih jauh dari kesempurnaan,
maka penulis dengan hati yang terbuka sangat mengharapkan saran dan
pandangan dari pembaca, guna memberikan masukan yang membangun sehingga
membawa kepada karya yang lebih sempurna dan lebih baik lagi.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang


sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak berperan membantu dan
memberikan masukan-masukan dalam menyelesaikan Tesis ini. Izinkanlah
penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met, selaku Rektor Universitas
Indonesia
2. Ibu Prof. Melda Kamil, S.H., LL.M., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
3. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Program
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia
4. Ibu Dr. Siti Hajati Hoesin, S.H., M.H., C.N., dan Bapak Parullian Aritonang,
S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing yang telah bersedia meluangkan
waktunya bagi Penulis untuk berkonsultasi dan memberikan masukan-

4
masukan kepada Penulis demi terselesaikannya karya ini. Terima kasih telah
memberikan ilmu, nasihat, semangat serta dukungan kepada Penulis selama
ini.
5. Kepada Ibu Daly Erni, S.H., LL.M., dan Ibu Surini Ahlan Syarif, S.H.,
M.H., selaku penguji Tesis yang telah memberikan masukan kepada Penulis
agar Tesis ini menjadi lebih baik lagi.
6. Kepada Pembimbing Akademis penulis, Ibu Farida Prihatini, S.H., M.H.,
C.N. yang memperhatikan perkembangan kondisi Penulis dalam
menjalankan studinya di Magister Kenotariatan Universitas Indonesia
7. Kedua orang tua saya tercinta, almarhum Bapak Shafri D. Abdullah yang
dengan ketegasan di balik kelembutan hati Beliau telah memberikan saya
banyak makna dalam hidup, arsitek kasih sayang yang jarang bicara, namun
selalu mampu mengubah hal-hal sederhana mempesona, yang selalu
memberikan ketenangan di kala hati ini gundah dan inspirasi bagi saya
untuk menjadi orang tua kelak. Almarhumah Ibu Dharmawati Tabrani yang
dengan kesabarannya memberikan kesempatan bagi penulis untuk
berkembang sesuai dengan jalan yang Penulis pilih serta kasih sayangnya
yang memberikan kekuatan terhadap Penulis untuk menyelesaikan Tesis ini.
Terima kasih atas dukungan yang telah Bapak (alm) dan Ibu (alm) berikan
untuk Penulis, semoga Allah memberikan izin-Nya agar Penulis dapat
menjadi seperti do’a yang Bapak dan Ibu panjatkan pada-Nya.
8. Adik serta Abang Penulis terkasih, Farah Shafira dan Thobby Maulana
Pasha terima kasih dukungan dan doanya selama penulis berkuliah sampai
menyelesaikan tesis ini
9. Paman sekaligus Mentor Penulis Muchlis Tabrani beserta Keluarga Besar
M. Tabrani (alm) dan Abdullah Shaleh (alm) terima kasih atas doa serta
dukungan yang diberikan pada penulis.
10. Yang Terkasih Ismi Khairunisa terima kasih atas kesetiaan menemani serta
memotivasi penulis dan telah menjadi obat penyemangat bagi Penulis untuk
menyelesaikan Tesis ini.
11. Rekan-rekan terbaik Penulis di Magister Kenotariatan Universitas Indonesia
angkatan 2015, Ilhami Aflah, SH., Irham Vidi, SH., I Made Andhika Darma

5
Perkasa, S.H.,M.Kn, Nela Ade Fahrani, S.H, Okky Patra Yudha, S.H.,M.Kn,
Erik Andhika, S.H., Zen Fadli, S.H, Damianus Handoko, SH., M.Kn,
Amaliasyifa Agustina SH., Wijayanti Ciayadi, SH., Disa Victoria Deran,
S.H., M.Kn, dan rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu
yang telah memberi dukungan kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini
12. Teman-teman perjuangan Muhammad Aulia Syifa, Sahnan Amarullah,
Fadlan Syambutho, Patria Febriansyah yang telah membuka mata penulis
untuk berjuang dengan integritas, dan idealisme.
Akhir kata saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu Penulis. Semoga tesis ini dapat
membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Jakarta, 12 Januari 2018

Penulis

6
ABSTRAK

Nama : Alfan Halifa Pasha


NPM : 1506781276
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul : Implikasi Yuridis Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat
Dalam Proses Kepailitan Berkaitan Dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
69/PUU-XIII-2015

Tesis ini membahas mengenai implikasi yuridis perjanjian perkawinan yang


dibuat dalam proses kepailitan berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU-XIII-2015, serta peranan Notaris dalam pembuatan perjanjian
perkawinan yang dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement)
serta akibatnya bagi pihak ketiga. Metode penelitian yang digunakan dalam tesis
ini adalah yuridis normatif. Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 69/PUU-XIII-2015, pasangan harus mengajukan tuntutan ke pengadilan
berupa pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan dengan alasan yang
limitatif sebagaimana diatur pada Pasal 186 KUHPerdata, sedangkan setelah
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, pasangan suami isteri tidak
memerlukan suatu alasan tertentu untuk membuat perjanjian perkawinan yang
dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement). Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015 memberi tafsir konstitusional
terhadap Pasal 29 Ayat (1), (3), dan (4) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dengan memperluas makna perjanjian perkawinan sehingga
perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat
sebelum perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga bisa dibuat setelah
perkawinan berlangsung (postnuptial agreement). Hal ini kemudian dapat
berdampak pada dimungkinnya seseorang pasangan suami isteri yang dalam
proses kepailitan untuk membuat perjanjian perkawinan yang kemudian
merugikan pihak ketiga.

Kata Kunci: Perjanjian Perkawinan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


69/PUU-XIII/2015, Dalam Proses Kepailitan

8
ABSTRACT

Name : Alfan Halifa Pasha


Student Number : 1506781276
Program : Master of Notarial Study
Title : Juridical Implications of Marriage Agreements Made In The
Bankruptcy Process In connection with the Decision of the
Constitutional Court of the Republic of Indonesia Number
69 / PUU-XIII-2015

This thesis discusses the juridical implications of marriage agreements made in


the bankruptcy proceedings in relation to the decision of the Constitutional Court
Number 69 / PUU-XIII-2015, as well as the role of Notary in the making of
marriage agreements made after the postnuptial agreement and its consequences
for third parties. The research method used in this thesis is normative juridical.
Prior to the Ruling of the Constitutional Court Number 69 / PUU-XIII-2015,
couples must file a lawsuit in the form of separation of property throughout the
marriage for the limitative reason as provided for in Article 186 of the Civil
Code, whereas after the Constitutional Court ruling, married couples do not
require a particular reason for making a marriage agreement made after
marriage takes place (postnuptial agreement). Decision of the Constitutional
Court Number 69 / PUU-XIII-2015 provides a constitutional interpretation of
Article 29 Paragraph (1), (3), and (4) Law no. 1 Year 1974 on Marriage by
extending the meaning of the marriage agreement so that the marriage agreement
is no longer interpreted only as a contract made before the marriage (prenuptial
agreement) but also can be made after the marriage took place (postnuptial
agreement). This can then have an impact on the possibility of a married couple
who are in bankruptcy process to make a marriage agreement that then harms the
third party.

Keywords: Postnuptial Agreement, Constitutional Court Decision Number


69/PUU-XIII/2015, Notary’s role

9
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


PERNYATAAN ORISINALITAS ..................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
PERSETUJUAN PUBLIKASI ......................................................................... vii
ABSTRAK ......................................................................................................... viii
ABSTRACT .......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................ x
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 11
D. Kerangka Konsepsional ....................................................................... 12
E. Metode Penelitian ................................................................................ 15
F. Sistematika Penulisan .......................................................................... 17
BAB 2 PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PERANAN
NOTARIS DI INDONESIA DAN BELANDA
A. Perkawinan di Indonesia ..................................................................... 19
B. Perjanjian Perkawinan di Indonesia .................................................... 21
1. Istilah dan Pengertian Perjanjian Perkawinan ................................. 21
2. Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Perjanjian Perkawinan ................. 25
3. Bentuk Perjanjian Perkawinan ........................................................ 30
4. Manfaat Perjanjian Perkawinan ...................................................... 33
C. Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 69/PUU-XIII-2015 ................................................. 35
D. Notaris di Indonesia ............................................................................. 36
1. Kewenangan dan Kewajiban Notaris .............................................. 37
2. Akta Notaris .................................................................................... 45

10
3. Peranan Notaris Dalam Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
69/PUU_XIII-
2015 ......................................................................................................
.... 48
E. Kepailitan ............................................................................................ 63
BAB 3 AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 69/PUU-XIII-2015 TERHADAP PEMBUATAN AKTA
PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH
PERKAWINAN DALAM PROSES KEPAILITAN DAN
TANGGUNG JAWAB NOTARIS
A. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-
2015 Terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat
Dalam Proses Kepailitan ................................................................. 67
BAB 4 PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................... 78
B. Saran ........................................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 81
LAMPIRAN

11
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Fakta Kasus Posisi ................................................................................ 67

12
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Edaran Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil


Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor
472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017

13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masyarakat adalah unsur kategoris yang pertama dari hukum. Masyarakat


yang terorganisir adalah objek pengaturan hukum. Menurut Rousseau, sifat atau
status alamiah manusia adalah innocent (tidak tercela) dan baik, namun
masyarakat cenderung mengikuti status tersebut dengan menciptakan perbedaan
yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial, sifat kejam dan tindakan
sewenang-wenang melalui pemberlakuan hukum yang lalim. Thomas Aquinas
menganggap keliru kedua pandangan itu, karena keduanya mengingkari
kebenaran metafisik tentang keterlibatan manusia sebagai makhluk being yang
ditandai secara kausa formalis dan kausa materialis.
Kausa formalis, yaitu adanya ikatan moral dari semua kehendak manusia
untuk mencapai tujuan kebaikan umum. Faktor penentu keterikatan moral para
anggota masyarakat terbentuk karena asas solidaritas rasa persaudaraan
berdasarkan asas persamaan kodrat manusia dan asal usul metafisik-religius, serta
asas subsidiaritas atau asas bantuan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kausa
materialis, yaitu segala sesuatu yang menjadi unsur atau bahan untuk membentuk
masyarakat. Dalam masyarakat sipil, materi pertama pembentuk masyarakat
adalah keluarga, dimana individu sebagai faktor penunjang.1
Sebagai makhluk yang berkehidupan sosial, manusia tidak dapat hidup
sendiri karena senantiasa selalu membutuhkan antara sesamanya. Dalam
kehidupannya manusia senantiasa akan selalu mempunyai kepentingan antara
individu satu dengan yang lainnya. Disamping itu juga manusia selalu
mempunyai naluri untuk hidup bersama dan saling berinteraksi antar sesama
1
RB. Soemanto, Hukum dan Sosiologi Hukum, (Surakarta: LPP UNS, 2008), hlm. 80.
2

manusia, termasuk naluri untuk berkumpul ataupun hidup bersama dengan lawan
jenisnya untuk membentuk suatu keluarga.2
Keluarga terbentuk dari ikatan perkawinan. Perkawinan adalah perilaku
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia menjadi
berkembang biak. Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu
masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan
lingkungan dimana masyarakat itu berada, serta bagaimana pergaulan
masyarakatnya. Perkawinan juga dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman,
kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat bersangkutan.Seperti halnya
aturan perkawinan bangsa Indonesia yang bukan saja dipengaruhi ajaran agama
Islam, Kristen, Hindu, Budha bahkan dipengaruhi budaya perkawinan barat. Hal
mana turut sesuai dengan pribahasa “lain padang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya”, maka lain masyarakat lain pula aturan perkawinan yang dianutnya.3
Membentuk keluarga dilakukan melalui suatu proses yang mana disebut
sebagai perkawinan. Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang mana dituangkan dalam Pasal 1 yaitu :

“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”

Pasal tersebut terdapat dua rumusan yaitu rumusan arti dan tujuan
perkawinan. Maksud arti dari perkawinan adalah “Ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri, sedangkan tujuan perkawinan
adalah “Membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.4

2
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet V, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2009),
hlm. 48.

3Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut: Perundangan, Hukum


Adat, Hukum Agama, (Bandung: CV. Madar Maju, 2003), hlm. 1.

4 K. Wantijk Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Cet VI , (Jakarta: Ghalia Indonesia,


1980), hlm.14.

Universitas Indonesia
3

Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (LN Tahun


1974 Nomor 1 TLN Nomor 3019) tentang Perkawinan (selanjutnya disebut
dengan UU Perkawinan) antara lain dinyatakan bahwa,

Bagi suatu negara dan Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya
undang-undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-
prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini
menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam
masyarakat kita.

Dalam hal ini UU Perkawinan dibentuk untuk menjamin kepastian hukum


atas lembaga perkawinan dalam lapangan hukum keluarga secara privat. UU
Perkawinan ini merupakan kodifikasi hukum yang bersifat parsial bagi seluruh
rakyat Indonesia. Namun tetap menghormati dan menerima perbedaan terutama
yang berkaitan dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh seluruh rakyat
Indonesia. UU Perkawinan ini bertujuan sebagai unifikasi hukum namun tetap
bersifat pluralisme mengingat agama dan kepercayaan yang dianut serta diakui di
Indonesia tidaklah tunggal.
Spirit nilai-nilai keagamaan dan kepercayaan yang dituangkan ke dalam
hukum formal pada UU Perkawinan ini juga merupakan bentuk kepentingan
negara agaradanya persatuan dalam unifikasi hukum, meskipun tidak secara
penuh.5
Sebagaimana teori yang dikemukakan oleh Max Weber bahwa Hukum
dapat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan, baik kepentingan-kepentingan
material maupun kepentingan-kepentingan ideal, dan oleh cara berpikir kelas-
kelas sosial dan kelompok-kelompok yang berpengaruh dalam masyarakat,
terutama kelompok-kelompok ahli hukum. Munculnya ketentuan perjanjian
perkawinan dalam UU Perkawinan tentu juga merupakan hasil dari suatu
kepentingan tersebut, kepentingan dan keinginan atas adanya suatu kejelasan
bagaimana perkawinan akan dilaksanakan bersama oleh suami istri.
Perikatan sebagai salah satu macam interaksi antar manusia, yang lahir
dari perjanjian, dewasa ini lebih beragam jenis dan ragamnya seiring dengan

5 Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Dan Keluarga Di Indonesia, (Jakarta: Badan


Penerbit FH-UI, 2015), hlm 14.

Universitas Indonesia
4

perkembangan dan kompleksitas kehidupan manusia itu sendiri. Perjanjian


dirancang dan dibuat sesuai dengan kebutuhan para pemegang janji tersebut,
namun tetap ada kaidah yang melingkupinya. Indonesia sebagai negara hukum
tentu tidak serta merta membebaskan rakyatnya membuat perjanjian sesuka
hatinya. Meski dengan adanya pengakuan atas asas kebebasan berkontrak, namun
asas ini tetap memiliki batasan bahwa perjanjian yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Kemunculan Pasal 29 ayat (1) pada UU Perkawinan tentang perjanjian
perkawinan dikehendaki sebagai pengiring tuntutan zaman akan persamaan hak
asasi manusia dan kebebasan untuk menentukan kebutuhan rakyat sendiri.
Kepentingan dari negara dalam hal ini sangatlah penting, dengan adanya
“kebebasan yang terbatas” dalam perjanjian perkawinan ini diharapkan akan lebih
mencegah dan mengurangi konflik terutama yang terjadi di dalam lembaga
perkawinan.
Lembaga Perkawinan sendiri mengandung hubungan hukum yang bersifat
istimewa. Keistimewaan tersebut dikarenakan perkawinan mengandung dua
aspek, yaitu aspek biologis mengenai kebutuhan manusia untuk mendapatkan
keturunan dan aspek efeksional yaitu kebutuhan manusia pada ketenangan dan
ketenteraman berdasarkan kasih sayang.6 Dengan adanya pemisahan harta antara
suami dan istri dalam perkawinan, bisa saja menciptakan ketenteraman atau
bahkan sebaliknya justru menjadi ancaman bagi berlangsungnya keharmonisan
rumah tangga pasangan suami istri jika terjadi pengingkaran atau konflik lainnya.
Pada 27 Oktober 2016, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dengan
Nomor 69/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa pasangan suami isteri selama
dalam ikatan perkawinannya dapat membuat perjanjian perkawinan (postnuptial
agreement), sepanjang tidak merugikan pihak ketiga.7 Ketentuan mengenai
postnuptial agreement yang tidak boleh merugikan pihak ketiga tersebut sejalan
dengan aturan yang terdapat pada Pasal 1340 ayat (2) Kitab Undang-Undang

6
Baharuddin Ahmad, Hukum Perkawinan di Indonesia, Studi Historis Metodologi,
, Jambi: Syari’ah Press, 2008), hlm. 54.
7Mahkamah Konstitusi, “Putusan Nomor 69/PUU/XIII/2015”, http://www.mahkamah
konstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/69_PUU-XIII_2015.pdf, 02 Desember 2017
pukul 10.43 WIB, hlm. 156-157.

Universitas Indonesia
5

Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata) yaitu persetujuan tidak dapat


merugikan pihak ketiga. Selain itu, apabila pihak ketiga dirugikan karena adanya
postnuptial agreement maka akan terjadi sengketa dan pihak ketiga yang
dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.
Dalam putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa
perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan atau selama perkawinan
berlangsung (postnuptial agreement) dapat berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.8 Hal ini
dapat menimbulkan permasalahan karena seharusnya perjanjian tidak dapat
berlaku surut atau nonretroaktif.9 Oleh karenanya perjanjian perkawinan yang
dibuat sebelum perkawinan atau pada saat perkawinan dilangsungkan dirasa lebih
memberikan perlindungan hukum terhadap pihak ketiga. Hal ini dikarenakan
apabila perjanjian perkawinan dibuat selama perkawinan berlangsung, maka
keberlakuan perjanjian perkawinan tersebut mempengaruhi pertanggungjawaban
hutang suami dan/atau isteri terhadap pihak ketiga.
Pada mulanya, pengaturan mengenai perkawinan serta perjanjian
perkawinan di Indonesia terdapat dalam KUHPerdata yang berasal dari Belanda.
KUHPerdata merupakan kodifikasi hukum Belanda di bidang perdata yang

8 Ibid
9Catatan Penulis: Sebenarnya, tidak ada aturan yang tegas di bidang perdata yang
menyatakan bahwa perjanjian tidak dapat berlaku surut atau non-retroaktif. Non-retroaktif
merupakan salah satu asas di bidang hukum pidana. Asas non retroaktif merupakan asas turunan
dari asas legalitas yang dalam bahasa latin disebut nullum delictum nulla poena sine praevia legi
poenali, yakni tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa pidana yang mendahuluinya. Moeljatno
menyatakan bahwa asas legalitas mengandung tiga makna, yaitu
1. Tidak ada perbuatan pidana yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih
dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut
Asas tidak berlaku surut ini sebenarnya berlaku untuk segala bidang hukum, hal ini
tercantum dalam Pasal 2 Algemene Bepalingen van Wetgeving (Ketentuan-Ketentuan Umum
tentang Perundang-Undangan) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda tanggal 30 April 1847
(Stb. 1847 No. 23) bahwa undang-undang hanya mengikat untuk masa depan dan tidak berlaku
surut. Lihat: Bakri, et.all., Pengantar Hukum Indonesia Pembidangan dan Asas-Asas Hukum Jilid
2 (Malang: Universitas Brawijaya Press, 2013) hlm. 13.
Lebih lanjut, dalam hukum perdata dikenal adanya asas pacta sunt servanda yang terdapat pada
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa perjanjian yang dibuat merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan
sejalan dengan pengertian asas non-retroaktif yang dijelaskan oleh Bakri, et.all. dalam bukunya
Pengantar Hukum Indonesia Pembidangan dan Asas-Asas Hukum Jilid 2 tersebut.

Universitas Indonesia
6

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. KUHperdata diberlakukan di Indonesia


dengan asas konkordansi10 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 131 juncto 163
Indische Staatsregeling11. KUHPerdata sampai saat ini masih digunakan di
Indonesia secara keseluruhan kecuali pasal-pasal tertentu yang dinyatakan tidak
berlaku lagi.
Sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) pada tanggal 1 Oktober 1975, 12
segala aturan yang terdapat dalam KUHPerdata mengenai perkawinan dicabut,
kecuali hal-hal yang belum diatur dalam UU Perkawinan. 13 Sehingga aturan
mengenai perkawinan di Indonesia bagi pasangan yang menikah setelah 1
10Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia terdapat suatu prinsip Concordantie yang
menggunakan persamaan civil law (hukum perdata) dan commercial law (hukum dagang) untuk
digunakan di Indonesia dan di Negeri Belanda.
Lihat: Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum (Semarang: CV Aneka Ilmu, 2008), hlm. 148.

11Pada tanggal 23 Juni 1925 Regerings Reglement (RR) diubah menjadi Indische Staatsregeling
(IS) atau peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda yang termuat dalam Staatsblad (1925) Nomor
415 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1926. Pada masa berlakunya IS tata hukum yang
berlaku di Hindia Belanda adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS juncto Pasal 163 IS.
Tujuan pembagian golongan penduduk sebenarnya adalah untuk menentukan sistem-sistem hukum
yang berlaku bagi masing-masing golongan yaitu sebagai berikut:
1. Golongan Eropa sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS adalah tunduk kepada hukum
perdata barat
2. Bagi golongan bumiputra (pribumi) dalam hal keperdataan, hukum yag digunakan adalah
hukum perdata adat dalam bentuk tidak tertulis. Tetapi dengan adanya pasal 131 ayat (6) IS
kedudukan berlakunya hukum perdata adat itu tidak mutlak, dan dapat diganti dengan
ordonansi jika dikehendaki oleh pemerintah Hindia Belanda.
3. Bagi golongan Timur Asing, berlakulah Hukum perdata, hukum pidana adat mereka menurut
ketentuan Pasal 11 AB, berdasarkan Staatsblad 1855 Nomor 79 (untuk semua golongan
timur asing) Hukum perdata golongan Eropa (BW) hanya bagi golongan Timur Asing Cina
untuk wilayah Hindia Belanda melalui Staatsblad 1924 Nomor 557. Untuk daerah
Kalimantan Barat berlakunya BW tanggal 1 September 1925 melalui Staatsblad 1925 Nomor
92
Lihat: e-kampushukum, “Sejarah Tata Hukum Indonesia Masa Indische Staatsregeling”,
https://ekampushukum.blogspot.co.id/2016/05/tata-hukum-indonesia-masa-indische.html, diunduh
19 Desember 2017 pukul 10.30 WIB.

12 Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3050, Ps. 49 ayat
(2).

13 Catatan Penulis: Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen Indonesiers
S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S. 1898
No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur
dalam Undang-Undang ini,
dinyatakan tidak berlaku.

Universitas Indonesia
7

Oktober 1975 mengacu pada UU Perkawinan dan KUHPerdata khusus untuk hal-
hal yang belum diatur di dalam UU Perkawinan.
Berdasarkan ketentuan diatas maka terdapat 2 (dua) jenis harta dalam
perkawinan, yaitu harta bersama dan harta bawaan. Pengaturan mengenai harta
tersebut dapat disimpangi dengan mengadakan perjanjian perkawinan. Namun,
pengaturan mengenai perjanjian perkawinan pada UU Perkawinan hanya terdapat
pada Pasal 29. Oleh karenanya sesuai dengan Pasal 66 UU Perkawinan, aturan-
aturan yang terdapat di dalam KUHPerdata namun tidak diatur dalam UU
Perkawinan tetap berlaku.
Kemudian Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa
perjanjian perkawinan dapat dibuat dalam 2 (dua) bentuk, yaitu taklik talak dan
perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Sejalan dengan
aturan dalam UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam juga mengatur bahwa
perjanjian perkawinan dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan dalam bentuk tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan.14
Dalam hal ini Perkawinan tidak terlepas dari unsur kesejahteraan, yaitu
dalam hal ini adalah harta benda atau harta kekayaan. Berkaitan dengan hal
tersebut, UU Perkawinan mengatur harta benda dalam perkawinan dalam pasal-
pasal berikut:
1. Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan
(1) harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
(2) harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta benda yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan
lain.
2. Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan
(1) mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak

Lihat: Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974,
TLN No. 3019, Ps. 66

14 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Buku 1 Hukum Perkawinan, Ps. 47 Ayat (1).

Universitas Indonesia
8

(2) mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai


hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
3. Pasal 37 UU Perkawinan mengatur mengenai apabila perkawinan putus
karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing.

Semakin pesat perkembangan perekonomian dan perdagangan maka


semakin banyak pula permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat.
Selain karena kerugian akibat konsekuensi bisnis, modal yang dimiliki oleh para
pengusaha pada umumnya sebagian besar juga merupakan pinjaman yang berasal
dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi
maupun cara lain yang diperbolehkan secara hukum. Peminjaman modal kepada
pihak lain tersebut sedikit banyak telah menimbulkan permasalahan penyelesaian
utang piutang dikemudian hari, misalnya menimbulkan keadaan pailit.

Pernyataan pailit yang dijatuhkan dan diucapkan di dalam persidangan


yang terbuka untuk umum pada seseorang atau badan hukum adalah salah satu
cara pemaksa bagi kreditur untuk mendapatkan pelunasan atas utang debitur,
demikian juga sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum bagi debitur jika ia
sendiri yang mengajukan permohonan pailit agar pemberesan utangnya tersebut
dilakukan secara proporsional. Putusan pailit akan mengubah status hukum
seorang debitur menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum,
menguasai, dan mengurus harta kekayaannya sejak putusan pernyataan pailit
tersebut diucapkan.
Pasal 23 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut sebagai UU
Kepailitan dan PKPU) menyebutkan bahwa, debitor pailit sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 dan Pasal 22 meliputi istri atau suami dari debitor pailit yang
menikah dalam persatuan harta.15 Berdasarkan ketentuan tersebut, jika yang

15 Indonesia, Undang-Undang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang, UU No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443, Ps. 23

Universitas Indonesia
9

dipailitkan adalah suami, maka istri akan turut pailit, begitu pula sebaliknya, jika
mereka menikah dalam persatuan harta.
Ketidak berwenangan seseorang atas harta bendanya karena kepailitan
sedikit banyak turut mempengaruhi kehidupan berumah tangga yang harta
perkawinannya tidak dipisahkan (menikah dalam persatuan harta). Ketika suami
sebagai kepala rumah tangga dinyatakan pailit, kemampuannya, terutama secara
ekonomi untuk bertanggung jawab terhadap keluarga akan diragukan dan
memunculkan permasalahan lain misalnya perceraian. Salah satu cara untuk
menghindari permasalahan tersebut adalah dengan membuat perjanjian
perkawinan agar tidak ada persatuan harta dalam perkawinan antara suami istri.
Dengan demikian, ketika ada salah satu pihak yang dinyatakan pailit, maka pihak
yang lain dapat menopang kehidupan berumah tangga untuk sementara waktu
sampai pemberesan harta pailit tersebut selesai.
Debitur pailit yang pada saat dinyatakan pailit sudah terikat dalam suatu
perkawinan yang sah dan adanya persatuan harta, kepailitannya juga dapat
memberikan akibat hukum terhadap pasangan (suami istri).16 Dalam Pasal 23 UU
Kepailitan dan PKPU ditentukan bahwa apabila seseorang dinyatakan pailit, maka
yang pailit tersebut termasuk juga istri atau suaminya yang kawin atas dasar
persatuan harta. Ketentuan pasal ini membawa konsekuensi yang cukup berat
terhadap harta kekayaan suami istri yang kawin dalam persatuan harta. Artinya
bahwa seluruh harta istri atau suami yang termasuk dalam persatuan harta
perkawinan juga terkena sita kepailitan dan otomatis masuk dalam boedel pailit.
Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit, istri atau suami berhak
mengambil kembali semua benda bergerak atau tidak bergerak yang merupakan
harta bawaan dari istri atau suami dan hartanya diperoleh masing-masing sebagai
hadiah atau warisan. Jika benda milik istri atau suami telah dijual oleh istri atau
suami dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur
dalam harta pailit maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang hasil
penjualan tersebut yang diatur di dalam buku ke III KUHPerdata dan UU
Perkawinan dan Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 27 UU Kepailitan dan PKPU.

16
Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 107.

Universitas Indonesia
10

Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan sebelumnya telah membatasi dibuatnya


suatu perjanjian perkawinan pisah harta setelah perkawinan berlangsung karena
dipahami bahwa perjanjian perkawinan haruslah dibuat sebelum perkawinan
dilangsungkan.
Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan:

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas


persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Namun demikian, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-


XIII-2015 (selanjutnya disebut Putusan MK 69/2015), ketentuan Pasal 29 ayat (1)
UU Perkawinan telah diubah menjadi sebagai berikut:

Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK 69/2015:


“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan
kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut.”

Putusan MK 69/2015 tersebut telah memperluas makna perjanjian


perkawinan sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai
perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga
bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement). Walaupun
Putusan MK 69/2015 tersebut dimohonkan oleh WNI yang menikah dengan
WNA (perkawinan campuran), namun Putusan MK tersebut berlaku pula bagi
pasangan menikah sesama WNI.
Kemudian jika ditelaah penjabaran diatas tersebut dan dikaitkan dengan
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 69/PUU-XIII/2015 ini memberi tafsir
konstitusional terhadap Pasal 29 Ayat (1), (3), dan (4) UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan terkait perjanjian perkawinan, akan timbul suatu masalah-
masalah baru sehingga penulis merasa tertarik untuk mengangkat masalah yang

Universitas Indonesia
11

berkaitan dengan perjanjian perkawinan pada perkara kepailitan dalam suatu


penelitian dengan judul Implikasi Yuridis Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat
Dalam Proses Kepailitan Beraitan Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII-2015.

B. Rumusan Masalah

Untuk menghindari agar penelitian ini tidak keluar dari pokok masalah,
maka permasalahannya akan dibatasi sebagai berikut:

1. Bagaimana peranan Notaris dalam hal Perjanjian Perkawinan yang dibuat


setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement) dalam proses
kepailitan untuk tidak merugikan Pihak Ketiga?
2. Bagaimana akibat hukum terhadap pihak ketiga dalam hal Perjanjian
Perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dalam proses kepailitan dengan
adanya Putusan Mahkamah konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-
XIII-2015?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok-pokok permasalahan diatas, penelitian ini bertujuan
untuk:
1. Mengidentifikasi peranan Notaris dalam hal Perjanjian Perkawinan yang
dibuat sepanjang perkawinan tersebut tidak merugikan Pihak Ketiga, serta
sejak kapankah mulai berlakunya perjanjian perkawinan yang dibuat
sepanjang perkawinan tersebut pasca berlakunya Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015
2. Menganalisis akibat hukum perjanjian perkawinan yang dibuat setelah
perkawinan berlangsung dalam proses kepailitan, menurut Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Undang-Undang No. 37 tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015

D. Kerangka Konsepsional

Universitas Indonesia
12

Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan


hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti. Suatu
konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu
abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri biasanya dinamakan fakta,
sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam
fakta tersebut.17

Eksistensi kerangka konsepsional dalam suatu penelitian diperlukan untuk


membatasi pengertian yang akan ditemukan dalam penulisan, karena mungkin
saja satu kata atau istilah mempunyai pengertian yang jamak. Dengan demikian,
antara penulis dan pembaca akan tercipta suatu kerangka pemikiran dan
pemahaman yang sama terhadap terminologi suatu pengertian istilah, agar tidak
terjadi verbal dispute.18

Dalam penulisan tesis ini terdapat istilah-istilah yang digunakan dalam


bidang perdata, khususnya perjanjian perkawinan dan Notaris. Sehubungan
dengan hal tersebut, untuk menyamakan persepsi mengenai istilah yang dipakai
dalam penulisan tesis ini, berikut diuraikan definisi operasional yang terkait
dengan penelitian, yaitu:

1. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 19 Di Belanda,
terdapat perkawinan tidak hanya dapat dilakukan oleh seorang wanita dan
seorang pria melainkan dapat pula dilakukan oleh 2 (dua) orang dengan jenis
kelamin yang sama. Dalam konteks perjanjian perkawinan di Belanda,
pasangan registered partnership yaitu 2 (dua) orang dengan jenis kelamin

17
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum, Cet. Ke-3, (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1986), hlm. 132.
18Soerjono Soekanto, Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris, Cet.1 (Jakarta:
Ind.Hill.Co, 1990), hlm 83-84.

19 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No.1 Tahun 1974,


TLN No. 3019, Pasal 1.

Universitas Indonesia
13

yang heterogen atau homogen yang mendaftarkan hubungannya, namun tidak


melangsungkan perkawinan juga dapat membuat perjanjian perkawinan.
2. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih lainnya.20
3. Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai
pencatat perkawinan atau notaris,pada waktu sebelum dilangsungkan atau
selama dalam ikatan perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.21
Perjanjian Perkawinan atau nuptial agreement adalah perjanjian diantara
calon suami isteri mengenai harta perkawinan mereka kelak setelah
menikah.22 Mengenai isi perjanjian perkawinan, Wahyono Darmabrata
berpendapat bahwa KUHPerdata mengatur perjanjian perkawinan merupakan
perjanjian yang diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan untuk
mengatur harta kekayaan suami isteri menyimpang dari prinsip harta campur
bulat.23 Berdasarkan UU Perkawinan, belum ada kesamaan persepsi
mengenai hal-hal apa saja yang boleh diatur di dalam perjanjian perkawinan,
namun sebagian ahli hukum berpendapat bahwa perjanjian perkawinan dapat
memuat apa saja yang berhubungan dengan hak dan kewajiban suami isteri
maupun mengenai hal-hal yang berkaitan dengan harta benda perkawinan. 29
Disisi lain, Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa pasangan suami isteri
dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk taklik talak dan
perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.24

20 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.


Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. Ke-41, (Jakarta: Balai Pustaka, 2013), Ps. 1313.
21 Indonesia, Undang-Undang Perkawinan...,Op.cit Ps. 29

22Legal Akses, “Membuat Perjanjian Perkawinan”, http://www.legalakses.com/


perjanjianperkawinan/, diunduh 1 Desember 2017pukul 10.15 WIB.

23 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, Cet. Ke-3 (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015), hlm.
94.

24 Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Buku 1 Hukum Perkawinan, Ps. 45.

Universitas Indonesia
14

4. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pilit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan
Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Kepailitan ini.25
5. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik
dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya.26
6. Akta Notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta autentik yang dibuat
oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan
dalam undang-undang. 27
Terkait dengan definisi perjanjian perkawinan di Indonesia, dapat
disimpulkan bahwa belum ada kesamaan mengenai hal-hal yang dapat
diperjanjikan di dalam perjanjian perkawinan. Sehingga untuk menyamakan
persepsi mengenai hal tersebut, maka perjanjian perkawinan yang dimaksud
dalam penelitian ini ialah perjanjian perkawinan yang mengatur mengenai harta
kekayaan suami isteri.

F. Metode Penelitian

Penelitian merupakan suatu sarana yang dipergunakan oleh manusia untuk


memperkuat, membina serta mengembangkan ilmu pengetahuan28 karena
penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis,
metodologis dan konsisten29 yang berdasarkan pada analisa.

Bentuk penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif.


Penelitian yuridis normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk

25 Indonesia, Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang, UU No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004, TLN No. 4443, Pasal 1 butir 1.

26
Indonesia, Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No.3 Tahun
2014, TLN No. 5491, Pasal 1 butir 1.

27 Ibid, Pasal 1 butir 7.

28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitan Hukum,, hlm. 3.

29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, Cet. 8, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2004), hlm. 13.

Universitas Indonesia
15

menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.


Logika keilmuan yang ajeg dalam penelitian hukum normatif dibangun
berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu
hukum yang objeknya adalah hukum itu sendiri.30 Penelitian hukum normatif pada
tesis ini menggunakan jenis penelitian perbandingan hukum. Perbandingan
hukum adalah suatu metode penelitian, suatu ilmu pengetahuan yang bermaksud
untuk memperbandingkan, yaitu mengungkapkan unsur persamaan dan perbedan
dari obyek yang diperbandingkan, yang dapat berupa sistem hukum atau lembaga
hukum tertentu yang diperbandingkan dengan sistem hukum atau lembaga hukum
tertentu yang lain pada saat bersamaan dengan tujuan untuk memecahkan
permasalahan.31 Norma-norma atau hukum tertulis tersebut dalam penelitian ini
yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII-
2015, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang
No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang.

Tipologi penelitian dalam penelitian ini adalah preskriptif, yakni suatu


penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang
harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu

Data penelitian yang digunakan adalah data Sekunder. Data penelitian


sekunder merupakan data yang diperoleh dari kepustakaan yang akan digunakan
sebagai bahan hukum dari penelitan.32 Adapun bahan hukum penelitian yang
klasifikasinya adalah sebagai berikut:33

30 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Hukum Normatif (Malang: Bayumedia, 2005),
hlm. 57

31 Wahyono Darmabrata, Perbandingan Hukum Perdata, Cet. Ke-4 (Jakarta: Gitama


Jaya, 2006), hlm. 7 dan 47.

32Sri Mamudji, etal., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 28

33Ibid., hlm. 30-31

Universitas Indonesia
16

1. Bahan Hukum Primer34, yaitu penulis akan menggunakan KUHPerdata,


Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No.37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 69/PUU-XIII-
2015..
2. Bahan Hukum Sekunder35, yaitu penelitian ini menggunakan bahan-bahan
pustaka seperti buku-buku tentang Perkawinan, buku-buku, artikel, serta
thesis yang berkaitan dengan Perjanjian Perkawinan dan Kepailitan..
3. Bahan Hukum Tertier36, yaitu bahan-bahan penunjang yang menjelaskan atau
memberikan informasi mengenai bahan hukum primer dan sekunder yaitu
kamus hukum Black's Law Dictionary.dan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI).

Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan yaitu, penelitian


yang menekankan pada penggunaan data sekunder atau berupa norma hukum
tertulis yaitu buku-buku yang berkaitan dengan Perjanjian Perkawinan dan
Kepailitan, peraturan-peraturan yaitu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. dan tesis yang terdapat pada
Perpustakaan Universitas Indonesia, mengakses data melalui internet dan
menganalisa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XII/2015.

Data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan analisis
secara mendalam, data yang diperoleh dikelompokkan, dipisah-pisahkan dan
diseleksi berdasarkan data yang penting atau tidak penting, data yang relevan atau

34 Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat seperti norma dasar,
peraturan dasar, Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,
Peraturan Daerah, Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, Yurisprudensi, Traktat, Peraturan dari
zaman penjajahan yang kini masih berlaku.
Lihat: Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif…, hlm. 30-31.
35 Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang memberikan informasi atau hal–hal
yang berkaitan dengan isi bahan primer serta implementasinya, contoh: buku, makalah dan artikel
ilmiah.
Lihat: Ibid.

36 Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang memberikan petunjuk maupun


penjelasan terhadap bahan primer atau bahan sekunder, contoh: abstrak, bibliografi, ensiklopedia,
kamus.
Lihat: Ibid.

Universitas Indonesia
17

tidak relevan berdasarkan kualitas sebenarnya, kemudian disusun, dikaji, diolah,


dianalisis dan dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
serta teori yang diperoleh dari studi kepustakaan. Dengan demikian, hasil
penelitian berbentuk preskriptif-analitis, yaitu menerangkan dan memaparkan data
yang diperoleh dari hasil penelitian, untuk kemudian ditarik kesimpulan yang
jelas dan nyata untuk menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara Komprehensif maka penyusunan


hasil penelitian perlu dilakukan secara sistematis untuk memberikan gambaran
secara umum dan menyeluruh mengenai pokok permasalahan yang akan dibahas,
agar pembaca lebih mudah dalam membaca penelitian ini.

Penulis menguraikan permasalahan yang di bagi dalam 4 (empat) Bab, yang


terdiri dari beberapa Sub Bab, dan tiap-tiap Sub Bab menguraikan dan
menjelaskan setiap masalah. Adapun Sistematika Penulisan ini adalah :

Bab Pertama adalah pendahuluan, yang berisikan latar belakang pemilihan


judul, pokok-pokok permasalahan, tujuan penelitian, kerangka konsepsional,
metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab pertama ini menguraikan
topik batasan dari penelitian ini, yaitu mengenai Perjanjian Perkawinan pasca
adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, akibat
hukumnya terhadap pihak ketiga, serta peranan Notaris di Indonesia dalam
pembuatan dan pengesahan perjanjian perkawinan.

Bab Kedua berisi teori-teori yang menunjang penulisan tesis ini antara lain
perkawinan di Indonesia, perjanjian di Indonesia, perjanjian perkawinan di
Indonesia, Notaris di Indonesia dan peranan Notaris dalam pembuatan perjanjian
perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015,
Serta Kepailitan.di Indonesia.

Universitas Indonesia
18

Pada Bab Ketiga akan diuraikan jawaban dari seluruh rumusan masalah
pada tesis ini, yaitu Peranan Notaris dalam pembuatan Perjanjian Perkawinan
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015, akibat hukum
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap pihak ketiga dalam hal perjanjian
Perkawinan dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement) yang
dalam proses kepailitan.

Bab Keempat merupakan bab penutup berisi simpulan atas pokok


permasalahan dan saran yang diperoleh dari penulisan penelitian ini. .

.
.
.

Universitas Indonesia
BAB II

PERKAWINAN, PERJANJIAN PERKAWINAN DAN PERAN NOTARIS


DALM PEMBUATAN PERJANJIAN PERKAWINAN PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 69/PUU-XIII-2015

A. Perkawinan Di Indonesia
Perkawinan merupakan hubungan antara subyek-subyek (yaitu seorang pria
dan seorang wanita) yang mengikatkan diri dalam perkawinan. Hubungan tersebut
didasarkan pada persetujuan diantara mereka dan mengikat keduanya. Pada
dasarnya, perkawinan adalah perjanjian, namun perjanjian yang dimaksud disini
bukanlah suatu perjanjian pada umumnya yang mana para pihak bebas
menentukan isi dari pejanjian yang dibuat oleh mereka dengan catatan tidak
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.
Sedangkan pada perkawinan, harus ada persetujuan atau kesesuaian kehendak
antara seorang pria dan seorang wanita untuk membina rumah tangga bersama.
Hal ini tercermin pada Pasal 28 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(selanjutnya disebut KUHPerdata), yaitu asas perkawinan menghendaki adanya
kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami isteri. Pada pelaksanaan
perkawinan, calon pasangan suami isteri harus mengikuti tata tertib serta
aturanaturan yang sudah ditentukan oleh hukum. Calon suami isteri tidak dapat
menyimpang dari ketentuan-ketentuan dan akibat-akibat yang timbul dari suatu
perkawinan.1
Syarat persetujuan bebas atau kata sepakat dalam perkawinan hanya
mencakup soal persetujuan bebas akan dilangsungkan perkawinan oleh kedua
pihak yang berkepentingan, akan tetapi apa yang menjadi isi atau hakekat
perkawinan itu tidak dikuasai oleh asas kebebasan berkontrak, artinya pihak calon
suami dan isteri hanya mempunyai persetujuan bebas dalam hal akan

1 Wienarsih Imam Subekti dan Sri Soesilowati Mahdi, Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat, Cet. Ke-8, (Jakarta: Gitama Jaya, 2005), hlm. 54
20

dilangsungkannya perkawinan tetapi tidak berwenag menentukan isi perkawinan


itu sendiri. Mereka yang telah melangsungkan perkawinan pada dasarnya harus
tunduk pada hukum yang mengatur perkawinan.2
KUHPerdata memandang perkawinan dari sudut hukum perdata
sebagaimana tercantum pada Pasal 26 KUHPerdata yang berbunyi “Undang-
Undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”.
UU Perkawinan memandang perkawinan dari sudut hukum agama atau religius,3
tertuang pada Pasal 1 UU Perkawinan yang berbunyi “perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
ke-Tuhanan Yang Maha Esa.” Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat 5 unsur
perkawinan, yaitu:4
a. Ikatan lahir dan batin;
b. Terjadi antara seorang pria dan seorang wanita, sehingga tidak
dimungkinkan adanya perkawinan antara pasangan sejenis, yaitu pria
dengan pria atau wanita dengan wanita;
c. Sebagai suami istri, karena telah terpenuhinya syarat sah perkawinan yang
diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut UUP);
d. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal; dan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga
UU Perkawinan memperhatikan sisi keagamaan dari masing-masing calon
suami isteri.
Berkaitan dengan hal di atas, Hilman Hadikusuma berpendapat bahwa
perkawinan barulah ada apabila dilakukan antara seorang pria dan seorang wanita,
dengan demikian perkawinan sama dengan perikatan (verbindtenis).5 Apabila
yang terikat dalam perjanjian itu adalah 2 (dua) orang pria saja ataupun 2 (dua)

2 Wahyono Darmabrata, Hukum Perkawinan Perdata, Syarat Sahnya Perkawinan, Hak


dan Kewajuban Suami Isteri, Harta Benda Perkawinan, Jilid I, (Jakarta: Rizkita, 2009), hlm. 61

3 Subekti dan Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan…, hlm. 42

4 Ibid., hlm 44.

5 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia (Bandung: CV. Mandar Maju,


2007), hlm. 7.

Universitas Indonesia
21

orang wanita saja atau dilakukan antara banyak pria dan banyak wanita, maka hal
tersebut tidak dapat disebut sebagai perkawinan.
Subekti berpendapat bahwa suatu ikatan perkawinan merupakan pertalian
yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama,
sedangkan Scholten berpendapat bahwa perkawinan adalah suatu hubungan antara
seorang pria dan wanita untuk hidup bersama yang diakui oleh negara. 6 Dari
berbagai definisi mengenai perkawinan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perkawinan merupakan suatu ikatan yang sah (baik itu secara agama maupun
negara) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang saling mengikatkan
diri untuk membentuk keluarga.

B. Perjanjian Perkawinan
1. Istilah dan Pengertian Perjanjian Perkawinan
Istilah Perjanjian Perkawinan yang penulis maksudkan ini berasal dari
Bahasa Belanda “huwelijksvoorwaarden” atau “huwelijkse voorwaarden”.
Ada beberapa pendapat dalam mengalihbahasakan istilah ini kedalam Bahasa
Indonesia, antara lain:7
a. “Syarat Kawin” menurut Mr. H. Van Der Tas;
b. “syarat-syarat perkawinan” menurut Saleh Adiwinata, SH. Cs Fockema
Andreae dan Prof. Drs. S. Wojowasito;
c. “perjanjian perkawinan” menurut Mr. Soekartini, SH.
d. “perjanjian kawin” menurut Prof. R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio;
Dari beberapa istilah tersebut penulis lebih cenderung untuk menggunakan
istilah Mr. Soekartini, SH yaitu “perjanjian perkawinan”. Menurut penulis istilah
perjanjian perkawinan lebih cenderung kearah perjanjian-perjanjian sebagai suatu
lembaga yang berdiri sendiri pun demikian halnya dengan perkawinan itu sendiri,
sedangkan istilah perjanjian kawin lebih mengarah kepada perkawinan sebagai
suatu bentuk perjanjian untuk untuk melangsungkan perkawinan. Undang-Undang

6
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,
Hukum Islam dan Hukum Adat, Edisi Revisi (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 8.

7 Nataya Fariza, "Keabsahan Pemisahan Harta Kekayaan Dalam Perkawinan Berdasarkan


Perjanjian Kawin Yang Dibuat Setelah Perkawinan", Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Depok, 2015.

Universitas Indonesia
22

Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pun menggunakan istilah perjanjian


perkawinan dalam pasal 29 yang mengatur tentang perjanjian perkawinan.
Istilah “perjanjian Perkawinan” ini harus dibedakan dengan istilah “janji kawin”
dan istilah “perkawinan sebagai suatu perjanjian”.
Menurut Sudikno Mertokusumo perjanjian perkawinan adalah suatu
perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua
belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sehabis pernikahan
dilangsungkan.8 R. Subekti mendefinisikan perjanjian perkawinan sebagai suatu
perjanjian mengenai harta benda suami isteri selama perkawinan mereka yang
menyimpang dari asas pola yang ditetapkan oleh undang-undang.9
Bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlaku
persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekadar mengenai itu
dengan perjanjian perkawinan tidak diadakan ketentuan lain, 10 sehingga dari
ketentuan tersebut dapatlah dibuat perjanjian perkawinan yang menyimpang dari
asas percampuran bulat harta kekayaan yang dibuat berdasarkan kesusilaan,
ketertiban umum dan peraturan yang berlaku.11
Suatu perjanjian mengandung syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
terjadinyya suatu perjanjian yang sah sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320
KUHPerdata mengenai syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif karena mengenai
orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua
syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai
perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.12

8
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1988),
hlm. 97

9 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 1994), hlm. 9.

10 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.


Subketi dan R. Tjitrosudibio, Cet. Ke-41, (Jakarta: Balai Pustaka, 2013), Ps. 119.

11 Ibid, Ps. 139

12R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta; Intermasa, 1991), hlm. 17.

Universitas Indonesia
23

Sepakat berarti mereka yang mengikatkan dirinya menghendaki sesuatu yang


sama secara timbal balik.
Kecakapan para pihak dalam pembuatan perjanjian perkawinan adalah
mereka yang memenuhi syarat untuk menikah pada waktu perjanjian itu dibuat
yaitu usia 19 tahun untuk pria dan usia 16 tahun untuk wanita ( pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).Namun dalam
praktek jika belum berusia 21 tahun maka dalam pembuatan Perjanjian
Perkawinan calon suami isteri harus dibantu oleh mereka yang ijinnya diperlukan
untuk melangsungkan perkawinan.
Menurut Wahyono Darmabrata, pengertian perjanjian perkawinan tidak
diatur secara tegas. Pada Pasal 29 UUP hanya diatur sebagai berikut:
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan
perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Dari pasal 29 UU Perkawinan tersebut dapat disimpulkan bahwa belum
terdapat kejelasan mengenai yang dimaksud dengan perjanjian perkawinan,
terutama mengenai hak yang berkaitan dengan cakupan atau isi yang dapat diatur
atau diperjanjikan oleh calon suami isteri dalam perjanjian perkawinan.13

Perjanjian Perkawinan merupakan sebuah bentuk kesepakatan bersama yang


dibuat oleh calon mempelai, baik laki-laki maupun perempuan sebelum
perkawinan dilangsungkan dan isi perjanjian tersebut mengikat hubungan
perkawinan. Perjanjian Perkawinan menurut asalnya merupakan terjemahan dari
kata “huwelijkssevooraarden” yang ada dalam Burgerlijk Wetboek (BW) 14, Istilah
ini terdapat dalam KUHP Perdata, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

13 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan, Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksananya (Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997), hlm. 86-87.

14Ibid, hlm 37.

Universitas Indonesia
24

Kompilasi Hukum Islam. Huwlijk sendiri menurut bahasa berarti:“perkawinan


seorang laki-laki dan perempuan”, sedangkan voorwaard berarti“syarat”.
Belum ada definisi secara baku mengartikan perjanjian perkawinan baik
menurut bahasa maupun istilah. Namun dari masing-masing kata dalam kamus
bahasa dapat diartikan :
a. Perjanjian : persetujuan, syarat, tenggang waktu, kesepakatan baik
lisanmaupun tulisan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk
ditepati.
b. Perkawinan : pernikahan, hal-hal yang berhubungan dengan kawin.

Dalam arti formal perjanjian perkawinan adalah tiap perjanjian yang


dilangsungkan sesuai dengan ketentuan undang-undang antara calon suami dan
isteri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan apa isinya.15
Menurut Wirjonno Projodikoro, kata perjanjian diartikan sebagai “suatu
perhubungan hukum menegai harta kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu
pihak berjanji atau dianggap berjanji melakukan suatu hal, sedang pihak lain
berhak menuntut pelaksanaan janji itu.16
R. Soetojo Prawirohamidjojo, S.H. menyatakan bahwa17:

perjanjian kawin adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon


suami isteri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk
mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.

Tidak jauh berbeda dengan pengertian tersebut, rumusan perjanjian kawin


yang disampaikan oleh Ali Afandi, S.H. yaitu "Perjanjian perkawinan adalah yang
mengatur akibat suatu perkawinan di dalam bidang harta kekayaan"18.

15HR.Damanhuri, Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama. Cet ke I.


(Bandung : Mandar Maju, 2007) hlm 1.

16 Wirjono Projodikoro, Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan tertentu.


(Bandung : Sumur, 1981) hlm 11.

17 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan


Di Indonesia, (Surabaya: Airlangga University Press, 1988), hlm.57.

18 Ali Afandi, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang HUkum Perdata,


(Yogyakarta; Gajah Mada, 1964), hlm.46.

Universitas Indonesia
25

Dari pengertian-pengertian perjanjian kawin tersebut diatas, secara


sederhana dapat disimpulkan bahwa perjanjian perkawinan merupakan perjanjian
yang dibuat oleh dua orang sebagai calon suami isteri, terdapat unsur-unsur harta
kekayaan dalam perkawinan.
Persamaannya dari pengertian-pengertian tersebut terletak pada adanya
suatu perjanjian dan harta kekayaan, tetapi harus dibedakan bahwa makna
perjanjian yang terkandung dalam UU No.1 Tahun 1974 berbeda makna dan
fungsinya dengan perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, karena
yang dimaksud perjanjian dalam UU No.1 Tahun 1974 hanya mengatur akibat
akibat perkawinan dalam bidang harta kekayaan. Perjanjian kawin dibuat untuk
mengatur akibat perkawinan dalam bidang harta kekayan sebelum perkawinan
dilangsungkan.

2. Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Perjanjian Perkawinan

Dengan menghubungkan antara pengertian perjanjian perkawinan menurut


doktrin dan pasal-pasal yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan, maka
dapat dilihat beberapa unsur perjanjian perkawinan19:

1. Dibuat oleh calon suami isteri sebelum perkawinan berlangsung.


Pasal 147 KUHPerdata menentukan bahwa atas ancaman kebatalan, setiap
perjanjian kawin harus dibuat dengan akta Notaris sebelum perkawinan
dilangsungkan. Adalah suatu hal logis dan suda semestinya bahwa
perjanjian perkawinan dibuat oleh calon suami isteri karena perjanjian
kawin tersebut menyangkut harta kekayaan mereka sebagai akibat
perkawinan. Salah satu hal yang harus diingat adalah bahwa setiap
perjanjian, termasuk perjanjian kawin, yang dibuat oleh para pihak akn
berlaku sebagai undang-undang. Pihak ketiga dapat diikutsertakan dalam
perjanjian kawin sepanjang kepentingan pihak tersebut dilindungi. Tetapi
teknis pembuatannya harus dibuat dengan akta notaris dan dilakukan
sebelum perkawinan dilangsungkan.
2. Dibuat dalam bentuk tertulis.

19 Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang


Perkawinan, Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: FHUI, 1997),
hlm.88-90

Universitas Indonesia
26

Perjanjian Perkawinan merupakan perjanjian yang dibuat oleh calon


suami-isteri sebelum perkawinan dan dibuat dalam bentuk tertulis. Prof.
Subekti, S.H. menyatakan bahwa akta dibawah tangan mempunyai
kekuatan pembuktian sempurna seperti akta otentik jika tandatangan akta
di bawah tangan tersebut diakui oeh para pihak (Pasal 1875 KUHPerdata).
Kekuatan pembuktian sempurna tersebut hanya bagi para pihak, tetapi
tiadak terhadap pihak ketiga. Sesuai dengan pendapat tersebut Nurnazly
Soetarno, S.H. berpendapat, apa artinya jika perjanjian kawin dibuat
dengan akta dibawah tangan? Masyarakat tidak mengetahui adanya
perjanjian kawin tersebut dan kekuatan pembuktiannya masih kurang kuat,
karena masih dapat dibantah, sedangkan apabila diakui pun, akta
dibawahtangan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna hanya bagi
para pihak. Oleh karena itu beliau juga berpendirian bahwa perjanjian
kawin, sebaiknya dibuat dalam bentuk akta otentik.
3. Unsur Kesusilaan dan Ketertiban Umum Unsur kesusilaan, ketertiban
umum dalam Pasal 139 KUHPerdata, dimuat pula dalam Pasal 29 ayat (2)
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Perjanjian kawin tidak boleh
melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
4. Unsur Tidak Boleh Diubah
Unsur tidak boleh diubahnya perjanjian kawin dapat kita lihat dalam Pasal
149 KUHPerdata, yang menetukan bahwa setelah perkawinan berlangsung
perjanjian kawin dengan cara bagaimanapun tidak boleh diubah. Menurut
KItab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian kawin dengan cara
bagaimanapun tidak boleh dirubah, setelah berlangsungnya perkawinan.20
5. Bahwa Perjanjian Kawin mulai berlaku semenjak saat perkawinan
dilangsungkan.
Hal ini sesuai dengan Pasal 147 ayat 2 KUHPerdata. Ketentuan ini
berhubungan erat dengan unsur pertama, yaitu pembuatan perjanjiankawin
dilakukan sebelum perkawinan dilaksanakan, dan tidak bileh perjanjian
kawin dibuat setelah perkawinan dilangsungkan. jadi ada perjanjian kawin
lebih dulu danberlaku sejak saat perkawinan dilaksanakan.

20
Ibid, hlm. 83-84.

Universitas Indonesia
27

Dengan demikian perjanjian kawin baru perlu, apabila calon suami isteri,
pada saat akan menikah memang telah mempunyai harta atau selama perkawinan
mengharapkan didapatnya harta. Pertimbangan-pertimbangan diadakannya
perjanjin kawin adalah:
1) Dalam perkawinan dengan persatuan secara bulat, agar isteri terlindung dari
kemungkinan-kemungkinan tindakan-tindakan beheer suami yang tidak
baik, dan tindakan-tindakan beschikking atas barang-barang tak bergerak
dan surat-surat berharga tertentu milik isteri.
2) Dalam perkawinan dengan harta terpisah:
a) agar barang-barang tertentu atau semua barang-barang yang dibawa
suami/isteri alam perkawinan, tidak masuk dalam persatuan harta
perkawinan dan dengan demikian tetap menjadi harta pribadi
suami/isteri. Adanya perjanjian yang demikian merupakan perlindungan
bagi isteri, terhadap hutang-hutang yag dibuat oleh suami dan
sebaliknya.21
b) agar harta pribadi tersebut terlepas dari beheer suami, dan isteri dapat
mengurus sendiri harta tersebut.22

Dalam pembuatan perjanjian perkawinan, calon pasangan atau pasangan


suami isteri harus memenuhi syarat-syarat dalam pembuatan perjanjian
perkawinan sebagai berikut:
1. Yang berwenang membuat perjanjian perkawinan
Pada Pasal 29 UU Perkawinan, dinyatakan bahwa “….kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis.” Dari kutipan pasal
tersebut dapat disimpulkan bahwa yang berwenang membuat perjanjian
perkawinan adalah kedua belah pihak calon suami dan isteri. UU Perkawinan
selanjutnya tidak mengatur mengenai pengikutsertaan keluarga kedua
mempelai dalam pembuatan perjanjian perkawinan. Hal ini berbeda dengan
ketentuan pada Pasal 151 KUHPerdata yang menyatakan bahwa keluarga

21
Mahkamah Agung Republik Indonesia, 21 Mei 1977 No.217 K/S.I.P./1976 "tergugat tidak
dapat dipertanggungjawabkan atas huang-hutang yang dibuat oleh alm. suaminya, karena ternyata
tergugat kawin/nikah dengan mengadakan perjanjian kawin."

22 Endang Sumiarni, Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan, Cet.1,


(Yogyakarta: Wonderful Publishing Company, 2004), hlm. 36-37.

Universitas Indonesia
28

calon mempelai dapat memberikan bantuan dalam pembuatan perjanjian


perkawinan.
Syarat umur dalam membuat perjanjian perkawinan tidak disebutkan, namun
dari ketentuan yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan dibuat sebelum
atau pada saat perkawinan dilangsungkan, maka dapat disimpulkan bahwa
dalam hal demikian calon suami dan isteri harus memenuhi syarat batas umur
untuk melakukan perkawinan.23 Lebih lanjut, Pada Pasal 39 ayat (1) huruf a
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN),
disebutkan bahwa penghadap paling sedikit berumur 18 tahun. Sehingga
apabila perjanjian perkawinan dibuat dihadapan notaris, maka ketentuan umur
ini harus dipenuhi oleh calon suami isteri. J. Satrio berpendapat bahwa:24
a. Dalam hal mempelai laki-laki maupun perempuan telah mencapai umur
18 (delapan belas) tahun atau sebelumnya telah menikah, maka mereka
boleh membuat perjanjian perkawinan sendiri baik sebelum maupun
pada saat melangsungkan pernikahan.
b. Dalam hal mempelai perempuan telah mencapai umur untuk menikah,
tetapi belum genap berumur 18 (delapan belas) tahun dan sebelumnya
belum pernah menikah, maka ia harus diwakili atau paling tidak
didampingi oleh orang tuanya.
c. Dalam hal mempelai laki-laki maupun perempuan menikah dengan
dispensasi umur, maka ia harus diwakili atau didampingi orang tua atau
walinya.

2. Dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan Kedua belah


pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.25

23 Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas)
tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
Lihat: Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, LN No. 12 Tahun 1975, TLN No. 3050, Ps. 7 ayat (1).

24 W.D. Kolkman, Et All, Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum Waris di
Belanda dan Indonesia (Bali: Pustaka Larasan, 2012), hlm. 141.

Universitas Indonesia
29

3. Dalam bentuk tertulis yang disahkan Pejabat Pencatat Nikah KUHPerdata


hanya mengatur bahwa perjanjian perkawinan dibuat dihadapan Notaris,
namun UUP mengatur bahwa perjanjian perkawinan harus dicatat oleh Pejabat
Pencatat Perkawinan dan dibuat dalam bentuk tertulis.26 Dengan demikian
apabila suatu perjanjian perkawinan tidak dibuat dalam bentuk tertulis dan
tidak disahkan pejabat pencatat nikah, maka perjanjian tersebut tidak memiliki
akibat hukum dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.
4. Mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan
5. Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tidak dapat diubah
Berdasarkan Pasal 29 Ayat 4 UU Perkawinan, syarat ini dapat disimpangi asalkan
memenihi syarat-syarat antara lain:
a. Atas persetujuan dari kedua belah pihak
Pasal 29 ayat (4) UUP menyatakan “selama perkawinan berlangsung
perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak
ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak
ketiga.” Kata “persetujuan” menegaskan bahwa perubahan perjanjian
perkawinan tidak boleh terjadi karena paksaan dan juga kembali merujuk
pada salah satu syarat sah perjanjian pada umumnya yaitu tercapai kata
sepakat.
b. Tidak boleh merugikan pihak ketiga
Pihak ketiga yang dimaksud adalah orang yang berkepentingan dalam
masalah harta perkawinan. Misalnnya kreditur yang jaminan atas piutang-
piutangnya bergantung dari keadaan dan bentuk harta debiturnya. Apabila
syarat ditas tidak dicantumkan, timbul kekhawatiran kemungkinan
terjadinya penyalahgunaan oleh suami isteri yang sengaja dilakukan untuk
mengindarkan diri dari tanggung jawab mereka terhadap pihak ketiga
6. Perjanjian dimuat dalam akta perkawinan
Syarat ini dinyatakan dalam Pasal 12 (h) Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

25 Wahyono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, Cet. Ke-3, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Indonesia, 2015), hlm 82

26 Subekti dan Mahdi, Hukum Perorangan dan Kekeluargaan…., hlm. 102

Universitas Indonesia
30

tentang Perkawinan. Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa akta perkawinan


juga memuat keterangan tentang perjanjian perkawinan, jika memang dibuat
oleh pasangan suami isteri yang akan menikah tersebut.27
7. Perjanjian perkawinan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama,
kesusilaan dan ketertiban umum28
8. Perjanjian perkawinan berlaku kepada pihak ketiga hanya sepanjang pihak
ketiga ini tersangkut dan berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

3. Bentuk Perjanjian Perkawinan

Didalam KUHPerdata ditemukan beberapa bentuk atau macam dari


perjanjian perkawinan yang dapat dilaksanakan oleh para pihak. Apabila di dala
perkawinan, para pihak akan menyimpang dari ketentuan hukum harta benda
perkawinan, maka para pihak dapat membuat perjanjian kawin. Ketentuan
tersebut termuat dalam Pasal 139 KUHPerdata. Disamping itu masih ada bentuk-
bentuk lain yang tidak dirumuskan di dalam KUHPerdata.
Bentuk-bentuk Perjanjian Kawin yang diatur di dalam KUHPerdata:
1. Perjanjian kawin dengan persatuan keuntungan dan kerugian
(Gemeenschap van winst en varlies).
KUHPerdata menetukan apa saja yang dimaksud dengan keuntungan.
Keuntungan adalah bertambahnya harta kekayaan dari hasil yang didapat
dari harta kekayaannya dan dari hasil pekerjaan serta kerajinannya (Pasal
157 ayat 1 KUHPerdata). Yang dimaksud dengan kerugian adalah tiap-tiap
berkurangnya harta kekayaan, disebabkan karena pengeluaran yang
melampaui pendapatan.
2. Perjanjian kawin dengan persatuan hasil dan pendapatan (Gemeenschap
van vruchten en inkomsten).
Calon suami isteri yang mengadakan bentuk perjanjian seperti itu berarti
tidak menghendaki harta kekayaannya diatur oleh bentuk persatuan

27
Darmabrata dan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga…, hlm. 89.

28 Ibid., hlm. 82.

Universitas Indonesia
31

keuntungan dan kerugian dan akan menyimpang dari hukum harta benda
dalam perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 164 KUHPerdata.
Pada masa keberlakuan Buku I KUHPerdata, ada pula bentuk-bentuk
perjanjian kawin KUHPerdata. Bentuk-bentuk perjanjian kawin itu adalah29 :

1. Perjanjian kawin dengan pemisahan harta kekayaan secara mutlak


(uitsluiting van alle gemeenschap). Dibuatnya perjanjian kawin semacam
ini berarti calon suami isteri akan menghilangkan peraturan mengenai
harta persatuan bulat yang diatur dalam Pasal 119 KUHPerdata.
2. Perjanjian kawin bermaksud untuk menghindari kemungkinan adanya
kesulitan dalam menetukan apa yang termasuk dalam keuntungan dan
kerugian. Kesulitan tentunya masih mungkin timbul, walaupun ada
ketentuan segala barang adalah milik suami atau milik isteri secara
pribadi, tetapi masi ada kesulian mengenai siapakah pemilik barang
tertentu yang biasanya dipakai bersama-sama dalam rumah tangga.
3. Perjanjian kawin dimana suami tetap mempunyai kewajiban yang disebut
dalam Pasal 105 ayat 3 KUHPerdata dan dapat ditentukan bahwa isteri
akan mengurus sendiri harta kekayaannya dan mempergunakan sendiri
hasil dan pendapatannya.
4. Perjanjian kawin dalam bentuk verblijvensbeding, yaitu dengan ketentuan
bahwa salah seorang dari suami isteri meninggal dunia, harta persatuannya
atas barang-barang rumah tangga itu seketika beralih kepada suami atau
isteri yang hidup terlama.
Maksud dari perjanjian kawin ini adalah untuk mengadakan campuran
kekayaan mengenai barang-barang rumah tangga. Menurut Pasal 168 dan
169 KUHPerdata, calon suami isteri boleh menetukan dalam perjanjian
kawinnya untuk memberikan atau menghbahkan harta, baik yang telah da
maupun atas warisan sebagian atau seluruhnya kepada calon suami atau
isteri, dengan tidak mengurangi ketentuan adanya pengurangan, bila
melanggar ketentuan atas bagian mutlak bagi mereka menurut undang-
undang. Perjanjian kawin tersebut berlaku dengan sendirinya. Dengan
29
R.Soetojo Prawirohamidjojo dan Asis Safioedin, Hukum Orang dan Keluarga, (Bandung:
Alumni, 1986), hlm.121.

Universitas Indonesia
32

meninggalnya salah satu pihak, semua barang yang ada di dalam


ketentuan perjanjian itu beralih kepada suami atau isteri yang masih hidup.
5. Perjanjian kawin dalam bentuk overnemingbeding yaitu perjanjian kawin
antara calon suami isteri bahwa bila seorang suami atau isteri meninggal,
suami atau isteri yang masih hidup berhak mengoper bagian pihak lain,
dengan membayar harganya. Pihak yang hidup terlama dapat secara
sukarela mempergunakan atau tidak haknya. Dengan membuat perjanjian
kawin seperti ini, dapatlah dihindari apabila salah satu pihak meninggal
dunia, suatu kemungkinan bahwa segala perabot rumah tangga segera
dibagi untuk ahli waris atas tuntutan ahli waris yang lain. Dengan
demikian akibat bahwa suami atau isteri yang masih hidup terlantar
hidupnya karena kehilangan barang rumah tangga yang sagat diperlukan
untuk hidupnya sehari-hari, dapat dicegah atau dihindari.

4. Manfaat Perjanjian Perkawinan .

Menurut KUHPerdata mulai saat perkawinan dilangsungkan terjadilah


percampuran kekayaan secara bulat.Semua kekayaan suami maupun isteri baik
yang mereka milliki maupun yang mereka peroleh sebelum atau selama
perkawinan berlangsung bercampur menjadi satu kekayaan milik
bersama.Percampuran kekayaan perkawinan mencakup aktiva dan pasiva dari
suami dan isteri. Dalam pasal 119 ayat (1) KUHPerdata disebutkan;
“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan
bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan
perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. “

Menurut ketentuan pasal tersebut di atas tersimpul suatu asas bahwa antara
suami dan isteri di dalam perkawinan terdapat persatuan bulat harta kekayaan
kecuali jika diadakan perjanjian kawin sebelum perkawinan dilangsungkan, hal
ini berarti bahwa dengan perkawinan antara suami dan isteri maka seluruh harta
mereka dilebur jadi satu. Dengan demikian pada prinsipnya didalam suatu
keluarga, terdapat satu kekayaan milik bersama.30
30

Universitas Indonesia
33

Maksud dari Perjanjian perkawinan adalah untuk penyimpangan atas


ketentuan-ketentuan tentang harta kekayaan bersama sebagaimana yang
ditetapkan dalam Pasal 119 KUHPerdata tersebut, ataupun ketentuan Pasal 35
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pada umumnya
Perjanjian Perkawinan ini dibuat:31
1. bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah
satu pihak dari pada pihak lain.
2. kedua belah pihak masing-masing membawa masukkan (aanbrengst)
yang cukup besar
3. masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri sehingga andaikan
salah satu jatuh pailit, yang lain tidak tersangkut
4. atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing
akan bertanggung jawab sendri-sendiri.
Secara umum manfaat adanya perjanjian kawin adalah:
1. Dapat menimbulkan sikap saling terbuka antar pasangan dalam hal
keuangan.
Masing-masing pihak dapat mengekspresikan kemauannya dalam
perjanjan ini. Harus terdapat keterbukaan dari awal mengenai harta
bawaan masing-masing, kondisi finasial, serta garis besar penghasilan
yang nanti diperoleh seorang istri jika dia memiliki pekerjaan sendiri.
2. Menghindari sifat boros salah satu pasangan
Seandainya salah satu dari pasangan suami istri ada terindikasi
memiliki sifat boros, maka dengan adanya perjanjian ini dapat
menyelamatkan rumah tangga mereka nantinya. Pihak yang boros
tentunya harus mentaati semua aturan-aturan yang sudah disepakati
dalam perjanjian kawin ini.
3. Menghindari dari maksud buruk salah satu pasangan
Seringkali pernikahan menjadi suatu sarana untuk memperoleh
keuntungan atau kekayaan dari pihak lain. mereka kemudian
mengajukan gugatan cerai untuk mendapatkan harta gono-gini. Dengan

J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 224-225.

31 Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di


Indonesia, (Surabya: Universitas Airlangga, 1986), hlm 58.

Universitas Indonesia
34

adanya perjanjian kawin ini, maka akan melindungi harta benda dari
rebutan pihak lain.
4. Melindungi salah satu pihak dari tindakan hukum
Apabila salah satu pihak mengajukan kredit (misalna kredit rumah)
biasanya akan dilakukan penandatanganan perjanjian kredit oleh suami-
istri sehingga utang kredit tersebut ditanggung bersama. Namun,
dengan adanya perjanjian ini maka yang mengajukan kredit
bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan bukan menjadi utang
bersama.
5. Bagi perempuan WNI yang menikah dengan laki-laki WNA, sebaiknya
mereka memiliki perjanjian kawin, untuk melindungi hak mereka
sendiri, karena jika tidak membuat perjanjian kawin maka perempuan
WNI tersebut tidak akan bisa membeli tanah dan rumah atas namanya
sendiri. Selain itu, perjanjian kawin ini dapat pula memuat mengenai
kewarganegaraan anak yang nantinya dilahirkan dari perkawinan
campuran, bahwa anak yang nantinya akan dilahirkan akan mengikuti
kewarganegaran ibu dengan pertimbangan tertentu, misalnya pekerjaan
ibu berlokasi di Indonesia.

C. Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik


Indonesia No.69/PUU-XIII-2015
Sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
yang diputus pada tanggal 27 Oktober 2016, pasangan suami isteri dimungkinkan
untuk melakukan pembuatan perjanjian Perkawinan setelah perkawinan
berlangsung (postnuptial agreement) yaitu dengan cara mengajukan tuntutan ke
Pengadilan berupa pemisahan harta kekayaan sepanjang perkawinan sebagaimana
diatur pada Buku 1, Bab IX, Pasal 186-198 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (selanjutnya disebut KUHPerdata). Akan tetapi pengaturan tersebut hanya
berlaku terhadap golongan Tionghoa sebagaimana disebutkan pada ketentuan
pemberlakuan pasal pada Bab IX KUHPerdata. Pasal 189 KUHPerdata
menyebutkan bahwa “… putusan tentang dikabulkannya pemisahan harta
kekayaan itu, dalam hal akibat hukumnya, mempunyai kekuatan berlaku surut,
terhitung dari hari gugatan diajukan.” Berdasarkan ketentuan tersebut dapat
disimpulkan bahwa pemisahan harta kekayaan merupakan kasus gugatan perdata

Universitas Indonesia
35

dan bukanlah kasus permohonan. Pasal tersebut juga menyatakan bahwa jika
permohonan dikabulkan oleh Hakim, maka pemberlakuan putusan tersebut
berlaku surut terhitung dari hari gugatan diajukan. Lebih lanjut, Pasal 191
KUHPerdata menyatakan bahwa:
Keputusan di mana pemisahan harta kekayaan diizinkan, hapus menurut
hukum, bila hal itu tidak dilaksanakan secara sukarela dengan
pembagian barang-barang itu, seperti yang ternyata dan akta otentik
tentang itu; atau bila dalam waktu satu bulan setelah putusan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap, si isteri tidak mengajukan tuntutan
untuk pelaksanaannya kepada Hakim dan tidak melanjutkan penuntutan
secara teratur.

Berdasarkan ketentuan di atas, maka setelah Hakim mengizinkan adanya


pemisahan harta kekayaan melalui keputusannya, maka pasangan suami isteri
harus membuat suatu akta otentik mengenai pembagian harta mereka atau
mengajukan tuntutan untuk pelaksanaannya kepada pengadilan dalam jangka
waktu 1 (satu) bulan setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde) dengan ancaman keputusan mengenai pemisahan harta kekayaan
sepanjang perkawinan tersebut hapus menurut hukum jika tidak dilaksanakan.
Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan sebelumnya telah membatasi dibuatnya
suatu perjanjian perkawinan pisah harta setelah perkawinan berlangsung karena
dipahami bahwa perjanjian perkawinan haruslah dibuat sebelum perkawinan
dilangsungkan.
Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan:

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak


atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Namun demikian, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


69/PUU-XIII-2015 (selanjutnya disebut Putusan MK 69/2015), ketentuan Pasal
29 ayat (1) UU Perkawinan telah diubah menjadi sebagai berikut:

Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK 69/2015:

Universitas Indonesia
36

“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan


perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan
atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Putusan MK 69/2015 tersebut telah memperluas makna perjanjian


perkawinan sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai
perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga
bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial agreement).

D. Notaris Di Indonesia
1. Kewenangan dan Kewajiban Notaris
Wewenang merupakan suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan
kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
yang mengatur jabatan yang bersangkutan.Dalam Hukum Administrasi wewenang
bisa diperoleh secara atribut, delegasi, mandat. Wewenang secara atribut adalah
pemberian wewenang yang baru kepada suatu jabatan berdasarkan suatu
peraturan perundang-undangan atau aturan hukum. Wewenang secara delegasi,
merupakan pemindahan/pengalihan wewenang yang ada berdasarkan peraturan
perundang-undangan atau aturan hukum. Sedangkan wewenang secara mandat
bukan pengalihan atau pemindahan wewenang, tapi karena yang berkompeten
berhalangan.
Lembaga Notariat merupakan lembaga kemasyarakatan yang timbul dari
kebutuhan dalam pergaulan masyarakat berkenaan dengan hubungan hukum
keperdataan antara sesama individu yang menghendaki suatu alat bukti diantara
mereka.32 Masyarakat membutuhkan seorang figur yang ketentuan-ketentuannya
dapat diandalkan, dapat dipercaya, yang tanda tangannya serta segalanya
memberikan jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan
penasihat yang tidak ada cacatnya, yang tutup mulut, dan membuat suatu

32
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta: Erlangga, 1999), hlm. 2.

Universitas Indonesia
37

perjanjian yang dapat melindunginya dihari yang akan datang. 33 Atas dasar
kebutuhan masyarakat tersebut, lahirlah lembaga notariat dan Notaris sebagai
figur pejabat umum yang dengan kekuasaan/kewenangan yang diberikan Negara
kepadanya untuk bertindak sehingga kebutuhan masyarakat tersebut dapat
dipenuhi.
Notaris memiliki kedudukan sebagai suatu fungsionaris dimana masyarakat
dapat mendapatkan nasehat hukum dan apa yang ditulis dan ditetapkan oleh
Notaris adalah benar dan kuat di dalam proses hukum.34 Di dalam memberikan
nasehat-nasehat hukum, Notaris haruslah memperhatikan kaedah-kaedah yang
berlaku. Kaedah-kaedah itu merupakan suatu peraturan mengenai perilaku,
pelindung, penilaian dan sikap mengetahui apa yang dapat dilakukan, dilarang
atau yang dianjurkan untuk dilakukan.35
Kedudukan Notaris sebagai Pejabat Umum juga memperoleh kekuasaanya
itu langsung dari kekuasaan eksekutif yang berarti Notaris melakukan sebagian
dari kekuasaan eksekuti.36Namun, pada intinya, Notaris sebagai pejabat umum itu
maksudnya adalah orang khusus yang berwenang untuk membuat akta autentik.
Notaris Sebagai Pejabat Umum yaitu orang yang dengan syarat-syarat
tertentu memperoleh kewenangan secara atributif dari negara untuk melaksanakan
sebagian fungsi publik dari negara khususnya dalam bidang hukum perdata untuk
membuat alat bukti otentik. Adapun yang dimaksud dengan alat bukti berdasarkan
Pasal 1866 KUHPerdata yaitu:37
1. Bukti tulisan;
2. Bukti dengan saksi-saksi;
3. Persangkaan-persangkaan;

33 Tan Thong Kie, Studi Notaris, Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994), hlm. 162.

34 Tan Thong Kie, Notaris, Siapakah Dia, Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notaris,
Cet III (Jakarta: PT Midas Surya Grafindo, 2000), hlm. 157.

35 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,


2001), hlm 11

36 G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan…, hlm. 37.


37 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, [burgerlijk Wetboek], diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio, Cet. Ke-41, (Jakarta: Balai Pustaka, 2013), Pasal 1866.

Universitas Indonesia
38

4. Pengakuan;
5. Sumpah.
Pasal 1867 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembuktian dengan tulisan
dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik dan tulisan-tulisan dibawah tangan.Akta
otentik merupakan suatu alat bukti yang sempurna, yaitu apabila akta otentik
diajukan sebagai alat bukti dalam suatu persidangan, maka tidak diperlukan bukti
pendukung lain yang menyatakan bahwa akta otentik tersebut benar. Hal ini
dikarenakan suatu akta otentik telah dapat dipastikan kebenarannya.
Notaris sebagai pejabat umum diberikan kewenangan oleh pemerintah
untuk membuat akta otentik sebagaimana dimaksud pada Pasal 1868
KUHPerdata, yaitu suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk
itu di tempat dimana akta dibuatnya. Seorang Notaris biasanya dianggap sebagai
seorang pejabat umum dikarenakan Notaris memberikan pelayanan publik
(pelayanan pada masyarakat) untuk membuat akta-akta otentik, selain itu Notaris
juga sebagai tempat seseorang dapat memperoleh nasihat dan penjelasan
mengenai Undang-Undang kepada pihak yang bersangkutan yang dapat
diandalkan dan bisa dipercaya.38 Segala sesuatu yang ditulis dan ditetapkannya
adalah benar, dimana Notaris adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu
proses hukum.39
Berdasarkan Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa sebuah akta
otentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang, dimana salah
satunya adalah Notaris.40 hal ini didasarkan dari Pasal 1 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang berbunyi:
"Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini."

38
Bambang Hartoyo, Seluk Beluk Kenotariatan, (Yogyakarta: Debut Wahana Press, 2009),
hlm. 14.

39 Tan Thong Kie, Studi Notaris, Serba-Serbi Praktek Notaris, (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1994), hlm. 162.

40 Catatan Penulis : Pasal 1868 KItab Undang-Undang Hukum Perdata berbunyi :


"Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat
dimana akata dibuatnya".

Universitas Indonesia
39

Notaris sebagai pejabat umum juga ditegaskan juga di dalam Bab 1 Pasal 1 UUJN
yang berbunyi:
"Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan
oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk
dinyatakan dalam suatu akta otentik. menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan
aktanya, memberikan grosse salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. 41

Bentuk akta itu telah memenuhi unsur-unsur bentuk akta otentik


sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1868 KUHPerdata, antara lain:
1. Akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum
2. Akta itu dibuat sesuai bentuk yang telah ditentukan oleh Undang-
Undang
3. Pejabat Umum itu memiliki wewenang untuk membuat akta tersebut.
Adapun Kewenangan Notaris terhadap akta yang dibuatnya itu meliputi:
1. Notaris berwenang sepanjang mengenai akta yang dibuatnya;
2. Notaris berwenang sepanjang mengenai orang, untuk siapa akta ini
dibuat;
3. Notaris berwenang sepanjang mengenai temapat dimana akta dibuat;
dan
4. Notaris berwenang sepanjang waktu pembuatan akta.
Kewenangan Notaris termuat di dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang
Jabatan Notaris, antara lain:
1. Membuat akta otentik mengenai perjanjian, perbuatan dan ketetapan
yang diharuskan peraturan perundang-undangan dan/atau yang
dikehendaki yang berkepentingan untuk dibuat menjadi akta otentik;
2. Menjamin kepastian tanggal pembuatan akta;
3. Menyimpan akta;
4. Memberikan grosse, salinan dan kutipan akta;

41
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cet.III (Jakarta: Erlangga, 1999) hlm
31.

Universitas Indonesia
40

5. Membuat akta jika tidak dikecualikan atau tidak ditugaskan kepada


pejabat lain atau ditetapkan Undang-Undang.
Selain kewenangan yang diberikan pada Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang
Jabatan Notaris, wewenang lain tercantum juga di Pasal 15 ayat (2) Undang-
Undang jabatan Notaris, yaitu:
a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat
dibawah tangan dengan mendaftarkan dalam buku kuhusus;
b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
c. Membuat kopi dari surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
d. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau;
g. Membuat akta risalah lelang.
Secara garis besar kewenangan Notaris tersebut dalam Pasal 15 UUJN
dapat dibagi menjadi kewenangan umum Notaris, kewenangan khusus Notaris
dan kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian.42 Kewenangan umum
Notaris sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN Peubahan, yaitu
wewenang yang dipunyai oleh Notaris sebagai pejabat umum untuk membuat
suatu akta otentik. Hal ini dapat disebut sebagai kewenangan umum Notaris
dengan batasan sepanjang: 43
1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-
undang.
2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanijan, dan ketetapan yang diharuskan
oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan;

42
Habib Adjie, Sanksi Perdata Dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik,
(Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 78.

43 Ibid., hlm. 56.

Universitas Indonesia
41

3. Mengenai subyek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan


siapa akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan;
4. Berwenang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengan
tempat kedudukan dan wilayah jabatan Notaris;
5. Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini Notaris harus menjamin
kepastian waktu para penghadap yang tercantum dalam akta.

Selain yang disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) UUJN Perubahan, terdapat
beberapa akta otentik lainnya yang merupakan wewenang Notaris, yaitu:
1. Akta pengakuan anak di luar kawin (Pasal 281 KUHPerdata);
2. Akta berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik
(Pasal1227 KUHPerdata);
3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi
(Pasal 1405 dan 1406 KUHPerdata);
4. Akta protes wesel dan cek (Pasal 143 dan 218 WvK);
5. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah); dan
6. Membuat akta risalah lelang.
Kewenangan khusus Notaris sebagaimana ternyata pada Pasal 15 ayat (2)
UUJN Perubahan yaitu bahwa Notaris juga ditugaskan untuk melakukan
pendaftaran (waarmerking) dan mengesahkan (legalisasi) surat-surat atau akta-
akta yang dibuat dibawah tangan serta memberikan nasehat/penyuluhan hukum
dan penjelasan mengenai undang-undang terutama yang berkaitan dengan isi dari
akta yang dibuat para pihak di hadapan Notaris.
Sedangkan kewenangan Notaris yang akan ditentukan kemudian
dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJN Perubahan, yang dimaksud dengan
kewenangan yang akan ditentukan kemudian adalah wewenang yang berdasarkan
aturan hukum lain yang akan datang kemudian (ius constituendum).44 Wewenang
Notaris yang akan ditentukan kemudian, merupakan wewenang yang akan
ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan wewenang yang diberikan Peraturan Perundang-undangan


kepada Notaris untuk membuat akta otentik, maka akta yang dibuat oleh seorang
Notaris merupakan alat bukti yang kuat dan mengikat semua pihak, serta akan

44
Ibid., hlm. 82.

Universitas Indonesia
42

menjamin keamanan dan kerahasiaan akta tersebut, karena minuta aktanya akan
disimpan oleh Notaris.
Selain wewenang Notaris juga memiliki kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang Jabatan Notaris, yaitu:
a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari Protokol Notaris;
c. Melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada Minuta
Akta;
d. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan
Minuta Akta;
e. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini terkecuali ada alasan untuk menolaknya;
f. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan kecuali undang-undang menentukan lain;
g. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta dan jika akta tidak dapat
dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu
buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, tahun pembuatannya
pada sampul buku;
h. Membuat daftar dari akta prostes terhadap tidak dibayar atau diterimanya
surat berharga;
i. Membuat daftar akta berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulannya;
j. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau
daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat
Departemen yang tugas dan tanggungjawabnya dibidang kenotariatan
dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulannya;
k. Mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;

Universitas Indonesia
43

l. Mempunyai Cap/Stemple yang memuat lambang negara Republik


Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan,
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
m. Membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) saksi dan ditandatagani pada saat itu jug oleh penghadap,
saksi, dan Notaris, dan
n. Menerima magang calon Notaris.
Kewajiban Notaris sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Kode Etik yaitu:
1. Memiliki moral, akhlak serta kepribadian yang baik.
2. Menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat Jabatan Notaris.
3. Menjaga dan membela kehormatan Perkumpulan.
4. Berperilaku jujur, mandiri, tidak berpihak, amanah, seksama, penuh rasa
tanggung jawab, berdasarkan peraturan perundang-undangan da nisi
sumpah jabatan Notaris.
5. Meningkatkan ilmu pengetahuan yang telah dimiliki tidak terbatas pada
ilmu pengetahuan hukum dan kenotariatan.
6. Mengutamakan pengabdian kepada kepentingan masyarakat dan Negara.
7. Memberikan jasa pembuatan akta dan jasa keNotarisan lainnya untuk
masyarakat yang tidak mampu tanpa memungut honorarium.
8. Menetapkan satu kantor di tempat kedudukan dan kantor tersebut
merupakan satu-satunya kantor bagi Notaris yang bersangkutan dalam
melaksanakan tugas jabatan sehari-hari.
9. Memasang 1 (satu) buah papan nama di depan / di lingkungan kantornya
dengan pilihan ukuran yaitu 100 cm x 40 cm, 150 cm x 60 cm atau 200
cm x 80 cm, yang memuat :
a. Nama lengkap dan gelar yang sah;
b. Tanggal dan nomor Surat Keputusan pengangkatan yang terakhir
sebagai Notaris;
c. Tempat kedudukan;
d. Alamat kantor dan nomor telepon/fax. Dasar papan nama berwarna
putih dengan huruf berwarna hitam dan tulisan di atas papan nama
harus jelas dan mudah dibaca, kecuali di lingkungan kantor tersebut
tidak memungkinkan untuk pemasangan papan nama dimaksud.
10. Hadir, mengikuti dan berpartisipasi aktif dalam setiap kegiatan yang
diselenggarakan oleh Perkumpulan; menghormati, mematuhi,
melaksanakan setiap dan seluruh keputusan Perkumpulan.

Universitas Indonesia
44

11. Menghormati, mematuhi, melaksanakan peraturan-peraturan dan


Keputusan-keputusan Perkumpulan
12. Membayar uang iuran Perkumpulan secara tertib.
13. Membayar uang duka untuk membantu ahli waris teman sejawat yang
meninggal dunia.
14. Melaksanakan dan mematuhi semua ketentuan tentang honorarium
ditetapkan Perkumpulan.
15. Menjalankan jabatan Notaris terutama dalam pembuatan, pembacaan dan
penandatanganan akta dilakukan di kantornya, kecuali karena alasan-
alasan yang sah.
16. Menciptakan suasana kekeluargaan dan kebersamaan dalam
melaksanakan tugas jabatan dan kegiatan sehari-hari serta saling
memperlakukan rekan sejawat secara baik, saling menghormati, saling
menghargai, saling membantu serta selalu berusaha menjalin komunikasi
dan tali silaturahim.
17. Memperlakukan setiap klien yang datang dengan baik, tidak membedakan
status ekonomi dan/atau status sosialnya.
18. Membuat Akta dalam jumlah batas kewajaran untuk menjalankan
peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang tentang
Jabatan Notaris dan Kode Etik.

2. Akta Notaris
Pengertian Akta Notaris terdapat pada Pasal 1 angka 7 UUJN Perubahan
bahwa akta Notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta autentik yang dibuat
oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam
Undang-Undang ini. Pada kamus hukum akta notariil berarti akta yang dibuat di
hadapan dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu.Oleh sebab itu dalam hal
ini akta yang dibuat oleh notaris merupakan suatu akta yang autentik, dimana
syarat untuk memperoleh otentisitasnya suatu akta adalah seperti sebagaimana
yang dimuat dalam Pasal 1868 KUHPerdata yaitu memuat sebagai berikut :45
1. Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum;
2. Akta tersebut dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-
Undang;
3. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat harus
mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.

45 Tan Thong Kie, Studi Notaris,…, hlm. 30.

Universitas Indonesia
45

Suatu akta dapat dikatakan sebagai akta autentik apabila memenuhi syarat
verlijden. Syarat verlijden adalah serangkaian tindakan-tindakan yang dilakukan
oleh notaris, penghadap dan saksi-saksi yang merupakan suatu proses melakukan
pembacaan akta oleh Notaris kepada para penghadap dan saksi-saksi dan akhirnya
ditandatangani oleh para penghadap saksi-saksi dan notaris atau yang dapat
disebut juga sebagai peresmian akta.
Apabila syarat-syarat tersebut terpenuhi maka akta tersebut dapat dikatakan
sebagai akta autentik.oleh sebab itu akta tersebut merupakan suatu alat bukti yang
memunyai kekuatan pembuktian yang sempurna atau lengkap yang berati
mengikat dan harus diakui oleh hakim sebagai kebenaran menurut hukum, kecuali
dapat dibuktikan sebaliknya, misalnya tidak terpenuhinya salah satu syarat
otentisitasnya suatu akta, atau terdapat keterangan palsu dalam suatu akta yang
dibuatnya.
Selain akta autentik terdapat juga akta dibawah tangan dimana akta tersebut
dibuat tidak ditentukan oleh undang-undang tanpa perantara atau dihadapan
pejabat umum yang berwenang.Baik akta autentik maupun akta dibawah tangan
dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti.46
Dalam hal ini terdapat perbedaan antara Akta Notaris dengan akta dibawah tangan
yaitu sebagai berikut:47
1. Akta Notaris
1. Bentuknya telah ditentukan oleh undang-undang, dibuat dihadapan
pejabat yang diberi wewenang ditempat dimana akta tersebut
dibuat;
2. Ada kepastian tangalnya serta kepastian tanda-tangannya;
3. Memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna;
4. Jika terdapat yang menyangkal kebenaran akta tersebut maka yang
menyangkal yang harus membuktikan.
2. Akta di bawah tangan
1. Dibuat sendiri dan tidak dibuat dihadapan yang berwenang;

2. Tidak ada kepastian tanggal serta tidak ada kepastian siapa yang
menandatanganinya;

46 Habib Adjie, Sanksi Perdata…, hlm. 48.

47 A. Kohar, Notaris Dalam Praktek Hukum, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 31.

Universitas Indonesia
46

3. Hanya mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak


mengakuinya atau tidak terdapat penyangkalan dari salah satu
pihak;
4. Kalau ada yang menyangkal kebenarannya, maka yang disangkal
itulah yang harus membuktikan kebenarannya, oleh sebab itu
bukan yang menyangkal yang membuktikannya.
Sehubungan dengan akta yang dibuat oleh Notaris, menurut G.H.S Lumban
Tobing, dalam Peraturan Jabatan Notaris terdapat dua (2) golongan akta Notaris,
antara lain:48
1. Akta yang dibuat oleh (door) Notaris atau yang dinamakan akta
relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten); Akta pejabat yaitu
dimana Notaris menerangkan/memberikan dalam jabatannya
sebagai pejabat umum kesaksian dari apa yang dilihat, disaksikan
dan dialaminya, yang dilakukan oleh pihak lain. Termasuk di
dalam akta relaas antara lain berita acara rapat para pemegang
saham dalam perseroan terbatas, akta pencatatan budel, dan
lainnya.
2. Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) Notaris atau
dinamakan akta partij (partij akten) dalam akta partij dicantumkan
secara otentik keterangan-keterangan dari orang-orang yang
bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta tersebut. Termasuk di
dalam akta partij antara lain akta-akta yang memuat perjanjian
hibah, jual beli, wasiat, kuasa, dan lain sebagainya.

3. Peranan Notaris dalam pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan


Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015

Pada tanggal 27 Oktober 2016 Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat


MK) melalui putusannya Nomor 69/PUU-XIII/2015 memberi tafsir konstitusional
terhadap Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan atas permohonan Ny. Ike Farida yang inti amarnya
menyebutkan bahwa sepanjang tidak dimaknai perjanjian pernikahan dapat
dilangsungkan “selama dalam ikatan perkawinan”, maka Pasal demikian itu
menurut Mahkamah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
(inkonstitusional bersyarat).

48
G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan... , hlm. 51.

Universitas Indonesia
47

Artinya bahwa berdasarkan Putusan MK tersebut terhadap Pasal 29 ayat


(1), (3), dan (4) Mahkamah menerapkan interpretasi ekstensif sehingga
mengakibatkan rumusan norma dalam Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) terhadap
pelaksanaan perjanjian perkawinan kini tidak terbatas hanya dapat dilaksanakan
pada waktu atau sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan, melainkan juga
selama dalam ikatan perkawinan pun perjanjian perkawinan dapat dilaksanakan
oleh suami-istri atas persetujuan bersama. Dengan demikian dalam hal ini MK
mengedepankan penerapan hukum progresif untuk memenuhi kebutuhan hukum
atas fenomena yang terjadi di masyarakat terhadap resiko-resiko yang mungkin
saja dapat timbul dari harta bersama dalam perkawinan, baik dikarenakan
pekerjaan suami dan istri yang memiliki konsekuensi dan tanggung jawab sampai
pada harta pribadi, maupun dikarenakan akibat hukum atas Pasal 21 ayat (1) dan
(3) UUPokok Agraria.
Perjanjian Perkawinan setelah kawin sebelumnya tidak dikenal atau diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun pasca
Putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) yang menurut Mahkamah
haruslah dimaknai juga dapat dilakukan pada saat telah berlangsungnya ikatan
perkawinan apabila ada persetujuan bersama antara suami dan istri, hal ini akan
menjadi permasalahan hukum ketika Putusan MK tersebut dihadapkan dengan
ketentuan Pasal 186 KUHPerdata yang mengatur proses pembuatan Akta
Perjanjian Kawin setelah kawin (pemisahan harta) yang harus mendapatkan
penetapan pengadilan terlebih dahulu.
Maka dalam hal ini penulis berpandangan menjadi penting untuk dikaji
lebih jauh implikasi hukum atas Putusan MK yang mempengaruhi sistem hukum
perjanjian perkawinan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, dimana pasca Putusan MK mengalami perubahan
secara maknawi terhadap Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) yang menurut Mahkamah
haruslah dimaknai juga dapat dilakukan pada saat telah berlangsungnya ikatan
perkawinan apabila ada persetujuan bersama antara suami dan istri, hal demikian
tersebut akan berimplikasi terhadap pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan
selama dalam ikatan perkawinan oleh notaris dan akibat hukum dari perjanjian
perkawinan terhadap status harta yang telah menjadi harta bersama serta terhadap

Universitas Indonesia
48

pihak ketiga, hal inilah yang menjadi perhatian penulis sehingga menarik untuk
ditelusuri dan dikaji.
Ketentuan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur di
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur
mengenai pembuatan perjanjian perkawinan setelah kawin dilangsungkan
(postnuptial agreement). Ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang tersebut
yang pada intinya hanya mengatur mengenai perjanjian perkawinan yang dapat
dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, namun dalam
fenomena perkembangannya di masyarakat (praktek) dapat ditemui perjanjian
perkawinan yang dibuat pada saat ikatan perkawinan berlangsung yang dengan
alasan tertentu antara suami-istri tersebut baru membuat perjanjian perkawinan,
adapun hal demikian tersebut dapat dibenarkan oleh hukum dengan dasar bahwa
perjanjian demikian itu haruslah didahului dengan mengajukan permohonan ke
pengadilan yang berwenang agar mendapatkan suatu penetapan dari hakim.49
Selanjutnya setelah mendapatkan penetapan pengadilan tersebut para pihak
(suami-istri) barulah dapat membuat akta perjanjian perkawinan setelah kawin
kehadapan Notaris. Karena berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa Notaris berwenang membuat akta
otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan
oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-
Undang.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
menyebutkan bahwa Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua

49 Disa Victoria Deran, "Perbandingan Pengaturan Postnuptial Agreement Sebelum dan


Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015 Serta Akibat Hukumnya
Terhadap Pihak Ketiga Berdasarkan Hukum Indonesia dan Belanda", Tesis Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2017.

Universitas Indonesia
49

perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-


undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan
dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan
akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang
pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat
lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang.
Oleh karena itu bila dikaitkan antara Pasal tersebut (kewenangan Notaris)
dengan perjanjian perkawinan setelah kawin yang telah terlebih dahulu
mendapatkan penetapan dari pengadilan, maka dapat diartikan bahwa walaupun
perjanjian demikian itu dilaksanakan pada saat perkawinan berlangsung dengan
terlebih dahulu mendapatkan penetapan dari pengadilan namun tidak mengurangi
esensi dari wewenang Notaris sebagai pejabat umum dalam pembuatan akta
perjanjian perkawinan tersebut. Kemudian daripada itu akta perjanjian yang telah
dibuat di hadapan Notaris tersebut didaftarkan pada instansi yang diberi
wewenang oleh peraturan perundang-undangan untuk mencatatkannya yaitu
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA)
sesuai subjek hukumnya50. Jika akta perjanjian perkawinan tersebut kemudian
tidak didaftarkan maka dengan sendirinya secara hukum tidak mengikat bagi
pihak ketiga.
Hal demikian itu sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-
Undang Perkawinan, perjanjian perkawinan disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan. Menurut Alwesius, S.H., M.Kn. “disahkan” dalam kalimat ketentuan
Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan tidak berarti apabila perjanjian
perkawinan tersebut tidak disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan maka
perjanjian perkawinan tersebut tidak sah. Menurutnya “disahkan” dalam kalimat
tersebut artinya adalah bahwa perjanjian perkawinan tersebut harus “dicatat”, dan
apabila perjanjian perkawinan tersebut tidak dicatat maka perjanjian perkawinan
tersebut tidak mengikat pihak ketiga.51

50 Catatan Penulis: Setelah diundangkannya Undang-Undang Perkawinan (tanggal 2


Januari 1974/setidak-tidaknya sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975)
perjanjian perkawinan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama.

51 Alwesius, Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi


http://alwesius.blogspot.co.id/2016/11/pembuatan-perjanjian-perkawinan-pasca.html, diakses pada

Universitas Indonesia
50

Namun pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-


XIII-2015 tanggal 21 Maret 2016 terjadi perubahan yang berkaitan dengan
pembuatan perjanjian perkawinan, dalam putusannya tersebut Mahkamah
Konstitusi berpendapat dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa:
Tegasnya, ketentuan yang ada saat ini hanya mengatur perjanjian perkawinan
yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan, padahal dalam
kenyataannya ada fenomena suami-istri yang karena alasan tertentu baru
merasakan adanya kebutuhan untuk membuat perjanjian kawin selama dalam
ikatan perkawinan. Selama ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 perjanjian demikian itu harus diadakan sebelum perkawinan
dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akta Notaris. Perjanjian
Perkawinan ini mulai berlaku antara suami dan istri sejak perkawinan
dilangsungkan. Isi yang diatur di dalam Perjanjian perkawinan tergantung pada
kesepakatan pihak-pihak calon suami dan istri, asal tidak bertentangan dengan
Undang-Undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan, adapun terhadap bentuk
dan isi perjanjian perkawinan, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan
atau kemerdekaan seluas-luasnya (sesuai dengan hukum “kebebasan berkontrak”).
Frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal
29 ayat (1), frasa”... sejak perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal 29 ayat (3),
dan frasa “selama perkawinan berlangsung” dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 membatasi kebebasan 2 (dua) orang individu untuk
melakukan atau kapan akan melakukan “perjanjian”, sehingga bertentangan
dengan Pasal 28 E ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan pemohon. Dengan
demikian, frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” dalam
Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah bertentangan
dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula
selama dalam ikatan perkawinan.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang demikian itu, akan memperoleh
kekuatan hukum tetap dan mengikat sejak setelah diucapkan dihadapan sidang
terbuka untuk umum52, yang berarti bahwa, putusan Mahkamah Konstitusi
tanggal 5 Desember 2017.

52

Universitas Indonesia
51

langsung memperoleh kekuatan hukum tetap dan mengikat setelah diucapkan dan
tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh (final and binding). Adapun
kekuatan hukum dari Putusan Mahkamah Konstitusi terdiri dari kekuatan hukum
mengikat, kekuatan hukum pembuktian, dan kekuatan hukum eksekutorial.
Kekuatan hukum mengikat pada Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya
mengikat pihak-pihak berperkara (interpartes), tetapi juga mengikat dan/atau
ditujukan bagi semua warga negara, lembaga/pejabat negara dan badan hukum
dalam wilayah Republik Indonesia (erga omnes). Oleh karena itu berdasarkan
penjelasan tersebut Putusan Mahkamah Konstitusi juga mengikat bagi Notaris
selaku yang memiliki wewenang (pejabat) dalam pembuat akta perjanjian
perkawinan dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau Kantor Urusan
Agama (KUA) selaku pejabat yang memiliki wewenang untuk mencatatkan akta
perjanjian perkawinan tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) ternyata Notaris
sebagai Pejabat Umum, memperoleh wewenang secara atribusi, karena wewenang
tersebut diciptakan dan diberikan oleh UUJN sendiri. Dengan demikian yang
diperoleh Notaris bukan berasal dari lembaga lain, misalnya Departemen Hukum
dan HAM.
Dalam hal wewenang Notaris, Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, menyebutkan Notaris adalah Pejabat Umum
yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Notaris sebagai pejabat umum
adalah orang yang dengan syarat-syarat tertentu memperoleh kewenangan dari
negara secara atributif untuk melaksanakan sebagai fungsi publik dari negara,
khusus dalam bidang hukum perdata untuk membuat alat bukti otentik.
Pasal 147 ayat 1 KUHPerdata telah ditentukan bahwa perjanjian
perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman kebatalan.
Selanjutnya dalam Pasal 147 ayat (2) KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian
perkawinan mulai berlaku sejak saat dilangsungkan perkawinan.Sedangkan mulai
berlakunya terhadap pihak ketiga adalah sejak hari pendaftarannya di Kantor
Indonesia, Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Universitas Indonesia
52

Catatan Sipil atau KUA yang di dalam wilayah hukumnya perkawinan tersebut
berlangsung.Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan maka seorang pria
atau wanita yang hendak melangsungkan perkawinan dapat membuat perjanjian
perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan.Perjanjian
perkawinan tersebut dibuat dalam bentuk tertulis, jadi dapat dibuat dengan akta
notaris atau akta dibawah tangan.53
Dikaitkan dengan pembuatan perjanjian perkawinan, Pasal 147
KUHPerdata memang menyatakan secara tegas bahwa perjanjian perkawinan
harus dibuat dengan akta otentik, dengan kata lain perjanjian perkawinan harus
dibuat dihadapan notaris. Akan tetapi Pasal 29 ayat (1) hanya menyebutkan bahwa
perjanjian perkawinan harus dibuat secara tertulis. Tidak ada ketentuan bahwa
perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta otentik. Pasal 66 UU Perkawinan
menyebutkan bahwa
“Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan
perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-undang ini ketentuan- ketentuan yang diatur dalam
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordinansi
Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia
1933 No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op Gemeng de
Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini,
dinyatakan tidak berlaku.”
Jika dilihat ketentuan Pasal 29 UU Perkawinan maka terdapat perbedaan
prinsip dalam membuat perjanjian perkawinan, khususnya menyangkut mengenai
bentuk perjanjian perkawinan tersebut, dengan apa yang diatur dalam
KUHPerdata. Didalam Pasal 147 KUHPerdata secara tegas dinyatakan bahwa
perjanjian perkawinan tersebut harus dibuat dengan akta notaris, dengan ancaman
kebatalan.Syarat tersebut dimaksudkan agar perjanjian perkawinan dituangkan
dalam suatu akta otentik, yang mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat.54

53
Wahyono Darmabrata Dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia, Cet. I. Jakarta:Rizkita, 2002).

54 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Cet. II, ( Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1993),
hal.153

Universitas Indonesia
53

Sebagai suatu akta otentik, biasanya dalam akta perjanjian perkawinan


(huwelijksvoorwaarden) disebutkan didalamnya jam saat dibuatnya akta, yaitu
pada waktu mana akta itu diresmikan. Hal ini dimaksudkan agar ternyata dengan
jelas bahwa akta itu dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan (Pasal 147
KUHPerdata, yang berbunyi ”Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris
sebelum pernikahan berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara
demikian. Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan,
tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu). 55
Menurut Pasal 1870 KUHPerdata suatu akta otentik memberikan diantara
para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka
suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat didalamnya. Akta otentik
merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam
akta tersebut harus dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar
selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan memberikan suatu bukti yang
sempurna, dalam arti ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian,
dalam arti ia sudah tidak memerlukan suatu alat bukti yang mengikat dan
sempurna.56
Akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum atau notaris
harus merupakan akta yang dibuat karena:
a. Adanya permintaan pihak-pihak yang berkepentingan (dalam hal akta
perjanjian kawin, harus ada permintaan dari calon suami dan istri) yang
menghendaki agar perbuatan hukum mereka itu dinyatakan dalam akta
otentik dan atau
b. Disamping adanya kehendak pihak-pihak yang berkepentingan, dapat juga
undang-undang yang mengharuskan suatu perbuatan hukum dibuat dalam
bentuk (secara) otentik; jika tidak dengan demikian, maka perbuatan
hukum itu batal demi hukum artinya dianggap tidak pernah ada.

55 G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Cet. III (Jakarta:Erlangga, 1996),
hal.186.

56Subekti (e), Hukum Pembuktian, cet. 14, ( Jakarta:Pradnya Paramita, 2003), hal.27

Universitas Indonesia
54

Akta otentik pada dasarnya dapat digolongkan menjadi akta otentik yang
dibuat oleh pejabat umum atau yang disebut sebagai akta pejabat atau akta relaas,
dan akta otentik yang dibuat oleh para pihak di hadapan pejabat umum yang
disebut sebagai akta partij.
Akta pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang
untuk itu, sedangkan yang dimaksud Akta Partij sebagai yang dibuat langsung di
hadapan (ten overstaan) Pejabat Umum. Akta perjanjian kawin yang dibuat oleh
calon suami dan calon isteri dihadapan notaris, merupakan akta yang termasuk
dalam akta partij.
Wewenang seorang notaris selaku pejabat umum, diatur pula dalam Pasal
15 ayat (1) Undang-undang tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang merumuskan
sebagai berikut:
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,
perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan
akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
smuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang”.

Ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUJN ini merupakan peraturan pelaksanaan


dari Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi sebagai berikut:

“Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”.

Sedangkan untuk membuat perjanjian perkawinan dibutuhkan suatu


keahlian khusus, yaitu orang yang membuat perjanjian perkawinan harus orang
yang benar- benar paham akan hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan
semua beding atau syarat-syarat di dalam akta dengan hati-hati dan teliti sekali.
Hal itu berkaitan dengan ketentuan bahwa bentuk harta perkawinan dalam
keluarga menurut KUHPerdata harus tetap sepanjang perkawinan tersebut.57

57 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, Cet. II, ( Bandung:PT. Citra Aditya Bakti, 1993),
hal 153

Universitas Indonesia
55

Sebagai konsekuensinya adalah bahwa suatu kekeliruan dalam merumuskan


beding/syarat dalam perjanjian perkawinan, tidak dapat diperbaiki lagi sepanjang
perkawinan.

Namun demikian dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut,


maka terjadi perubahan ketentuan Pasal 29 UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut
terkait perjanjian perkawinan, yaitu:
a. Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat sebelum atau pada
saat perjanjian perkawinan, sekarang dapat juga dibuat sepanjang
perkawinan;
b. Perjanjian perkawinan yang semula berlaku terhitung sejak perkawinan
dilangsungkan, sekarang dapat juga berlaku mulai saat yang diperjanjikan
oleh suami isteri;
c. Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat diubah oleh kedua belah
pihak, sekarang disamping dapat dapat diubah, juga dapat dicabut oleh
kedua belah pihak.
Perjanjian perkawinan hanya lahir dengan akta Notaris yang mana akta
menjadi syarat lahirnya perjanjian kawin, sehingga perjanjian kawin seperti
penjelasan diatas wajib dibuat dengan akta notaris. Dijelaskan dalam Pasal 38
ayat (3) huruf c Undang-Undang Jabatan Notaris menegaskan bahwa isi akta
merupakan kehendak para penghadap.meskipun isi akta merupakan kehendak dari
para pihak dan akan berlaku sebagaimana undang-undang yang membuatnya,
akan tetapi tetap notaris tidak harus selalu mengabulkan kehendak atau keinginan
para penghadap tersebut jika bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
norma agama, susila, sosial dan kemasyarakatan, serta ketertiban umum.
Namun demikian Notaris tidak serta merta dapat melayani permintaan
pasangan suami isteri untuk membuat perjanjian perkawinan. Masih terdapat
permasalahan yang memerlukan kejelasan dan kepastian sehubungan dengan
pembuatan perjanjian perkawinan tersebut.
Akta notaris tentunya mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna,
apabila semua prosedur atau tata cara dan syarat yang sudah ditentukan dalam
UUJN dipenuhi, dan sebaliknya dapat dibuktikan atas gugatan ataupun putusan

Universitas Indonesia
56

pengadilan maka dapat saja akta dibatalkan. Kemudian dalam perjanjian


perkawinan yang mana dibuatkan sevara tertulis dan disahkan oleh Pegawai
pencatatan perkawina atau notaris. Perjanjian perkawinan tersebut berlaku oleh
pegawai pencatatan perkawinan atau Notaris. Perjanjian perkawinan ini pun
berlangsung sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya, juga berlaku
bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut. Apabila pendaftaran
perjanjian perkawinan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri belum dilakukan,
maka pihak ketiga boleh menganggap suami istri yang bersangkutan
melangsungkan perkawinan dalam percampuran harta kekayaan.58
Untuk terpenuhinya suatu perjanjian yang sah, maka harus memenuhi
syarat sahnya suatu perjanjian yang mana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata
yaitu :
1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3) Suatu hal tertentu;
4) Suatu sebab yang halal.
Intinya apabila perjanjian yang di inginkan para pihak tidak memenuhi
syarat-syarat kesepakatan mereka yang telah mengikatkan dirinya dan/atau tidak
memenuhi kecakapan untuk membuat suatu perikatan, maka perjanjian tersebut
tidak sah. Maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan, apabila tidak
memenuhi syarat-syarat suatu hal tertentu maupun suatu sebab yang halal maka
perjanjian tersebut batal demi hukum.
Perjanjian tentunya tergantung dari para pihak-pihak (calon suami istri)
yang menginginkannya, asal dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan
hukum, undang-undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Dalam kaitannya
dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 yang pada intinya
perjanjian kawin dapat dibuat pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama
dalam ikatan perkawinan.
Dalam hal ini Notaris dalam melaksanakan wewenangnya sebagai
pembuat akta-akta (otentik), tentunya tidak lepas dari beberapa permasalahan

58
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. 30, (Jakarta PT. Intermasa, 2002), hlm. 23.

Universitas Indonesia
57

yang di hadapi. Akibat dari putusan Mahkamah Konstitusi ini yang mana telah
menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum yang baru atau membentuk
hukum yang baru kemudian putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum yang
mengikat sejak diumumkannya.
Terkait dengan pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat sepanjang
perkawinan tentunya harus juga diperhatikan dimana ketika melakukan praktek
ternyata masih adanya hambatan-hambatan teknis di dalam melakukan pencatatan
perjanjian perkawinan, karena ternyata pejabat kantor catatan sipil hanya
berpegang pada petunjuk teknis terkait dengan pencatatan perkawinan, yang
mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ditentukan
terkait dengan pencatatan perjanjian perkawinan. Hambatan yang terjadi karena di
dalam Formulir (Formulir F2.12) yang digunakan untuk melakukan pencatatan
perkawinan tersebut tidak terdapat kolom mengenai perjanjian perkawinan.59
Terhadap pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat pada saat
perkawinan berlangsung pastinya akan menghadapi hambatan yang sama
sepanjang belum dibuatnya ketentuan yang baru untuk mengatur tata cara
pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat pada saat perkawinan telah
berlangsung. Mengatasi hambatan tersebut tentunya Menteri dalam Negeri
harusnya menyegerakan untuk mengeluarkan peraturan terkait dengan pencatatan
perjanjian perkawinan, juga mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang
dibuat sepanjang perkawinan, yang segera diikuti dengan dikeluarkannya perihal
pencatatan perjanjian perkawinan tersebut. Oleh sebab itu jika sepanjang belum
adanya ketentuan mengenai pencatatan perjanjian perkawinan yang dibuat pada
saat perkawinan berlangsung maka tentunya pencatatan belum dapat dilakukan,
dan jika perjanjian perkawinan belum dicatatkan maka perjanjian perkawinan
tersebut tidak mengikat pihak ketiga dan hanya berlaku diantara para pihak.60
Menurut Muhammad Hafidh, hambatan dalam pembuatan perjanjian
perkawinan yaitu misalnya jika para pihak tidak berterus terang atas apa yang

59
Alwesius, Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,
http://alwesius.blogspot.co.id/2016/11/pembuatanperjanjian- perkawinan-pasca.html diakses pada
tanggal 05 Desember 2017

60 Ibid,

Universitas Indonesia
58

dikehendakinya terhadap pembuatan perjanjian perkawinan. Tentang apa isi dari


perjanjian perkawinan maupun data-data yang diberikan oleh para pihak yang
bersangkutan.
Namun pada intinya bahwa akta yang dibuat oleh notaris itu adalah atas
kehendak para pihak yang menginginkan, notaris hanya bertanggung jawab pada
sebatas akta yang dibuat sedangkan isi dari akta yang dibuat tersebut adalah
tanggung jawab para pihak yang menghadap kepada notaris, dan apabila
bertentangan dengan Undang-Undang maka notaris berhak untuk menolaknya.
Perjanjian perkawinan yang dibuat oleh calon pasangan atau pasangan
suami isteri hanya berlaku kepada pasangan suami isteri dan tidak berlaku
terdahap pihak ketiga apabila tidak didaftarkan kepada pegawai pencatat
perkawinan.61 Jika memperhatikan ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUP dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 tersebut diatas, kalimat setelah
frasa “disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau Notaris” adalah “setelah
mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketigantersangkut”. Maka pada perjanjian perkawinan terdapat 2 (dua) kali
pengesahan, yaitu pengesahan berupa penandatanganan perjanjian perkawinan
dan pengesahan berupa pendaftaran perjanjian perkawinan yang mana merupakan
tahapan agar perjanjian perkawinan dapat berlaku kepada pihak ketiga. Sehingga
pada tesis ini kata “disahkan” dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UUP dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 diatas akan diartikan sebagai
“didaftarkan”. Oleh karena itu, maka selanjutnya Penulis akan menyebut kata
“disahkan” dengan kata “didaftarkan” agar tidak terjadi verbal dispute mengenai
arti “disahkan” pada ketentuan tersebut.
Jika meneliti Pasal 15 ayat (1) dan (2) UUJN tidak terdapat kewenangan
Notaris sebagai pihak yang dapat mendaftarkan perjanjian perkawinan. Lebih
lanjut, Pasal 15 ayat (3) UUJN memang menyebutkan bahwa dimungkinkan
adanya kewenangan lain dari Notaris yang diatur pada peraturan
perundangundangan lainnya, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai

61
Farida Prihatini, “Meski Telat, Perjanjian Perkawinan Perlu Didaftarkan”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56a5c53a38ebc/meski-telat--perjanjian-perkawinan
perlu-didaftarkan diunduh 17 Desember 2017 pukul 09.00 WIB

Universitas Indonesia
59

dasar hukum kewenangan Notaris dalam mendaftarkan perjanjian perkawinan


karena Putusan Mahkamah Konstitusi tidak termasuk pada hierarki peraturan
perundangundangan sebagaimana disebutkan pada Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyebutkan bahwa:
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
f. Peraturan Daerah Provinsi; dan
g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Maka apabila Notaris akan diberikan kewenangan untuk mengesahkan
perjanjian perkawinan, haruslah dibuat peraturan perundang-undangannya
terlebih dahulu yang mengatur mengenai hal tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Notaris tidak memiliki kewenangan
untuk mendaftarkan perjanjian perkawinan, Notaris hanya berperan dalam
pembuatan akta perjanjian perkawinan. Pihak yang berperan dalam mendaftarkan
perjanjian perkawinan adalah Kantor Catatan Sipil (bagi pemeluk agama non-
Islam) dan Kantor Urusan Agama (bagi pemeluk agama Islam).
Diketahui bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang amarnya
menyebutkan bahwa “pada waktu sebelum dilangsungkan atau selama dalam
ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan
perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan atau
Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut.
Larangan bagi Notaris dalam membuat perjanjian:62

62

Universitas Indonesia
60

a. Notaris dilarang membuat akta perjanjian yang memihak kepada salah


satu pihak;
b. Notaris dilarang membuat akta perjanjian yang bertentangan dengan
akta yang dibuat sebelumnya;
c. Notaris dilarang membuat akta pencabutan perjanjian pemberi kuasa
secara sepihak dimana akta pemberian kuasa tersebut telah ditanda
tangani oleh kedua belah pihak (pemberi kuasa dan penerima kuasa);
d. Notaris dilarang memberitahukan isi (segala sesuatu mengenai akta
yang dibuatnya) dan segala keterangan yang diperolehnya guna
pembuatan akta;
e. Notaris dilarang untuk tidak membacakan isi akta kepada para pihak,
kecuali para pihak sudah membacanya sendiri, mengerti dan
menyetujui, hal demikian sebagaimana dinyatakan dalam penutup akta
dan tiap halaman di paraf oleh para pihak/para penghadap, para saksi
dan notaris sedangkan halaman terakhir ditanda tangani para pihak,
para saksi dan notaris;
f. Notaris dilarang membuat akta perjanjian yang bertentangan dengan
Undang-Undang, ketertiban umum dan/atau kesusilaan;
g. Notaris dilarang membuat akta simulasi (bohongan) lebih-lebih dalam
hal untuk tujuan yang bertentangan dengan Undang-Undang.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi, maka perjanjian perkawinan
dapat atau boleh dibuat, dengan catatan bahwa Notaris harus benar-benar
memastikan hal-hal sebagai berikut :63
a) Para Pihak memang sudah melakukan ikatan perkawinan sesuai
ketentuan yang berlaku. Akta Perkawinannya dicantumkan dalam
premise Akta Perjanjian Kawin yang akan dibuat tersebut;
b) Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga dicantumkan dalam
Premise Akta;

Mulyoto, Perjanjian Tehnik, Cara Membuat, dan Hukum Perjanjian yang harus dikuasai,
(Yogyakarta: Cakrawala Media, 2012), hlm. 17.
63 Perjanjian Kawin Pasca Berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi RI No.69/PUU-
XIII/2015, Seminar diadakan oleh pengurus wilayah (Pengwil) INI/IPPAT DKI Jakarta, tanggal 23
November 2016, di Hotel Sahid Sudirman, Jakarta

Universitas Indonesia
61

c) Ditentukan bahwa Pisah Harta berlaku sejak tanggal Akta tersebut


disahkan/ dicatatkan dicatatan sipil;
d) Oleh karena itu untuk Perjanjian Kawin perlu minta Pencatatan
Tambahan oleh Catatan Sipil;
e) Organisasi (INI dan IPPAT) perlu mendorong Catatan Sipil untuk
mencapai kesepahaman mengenai tugas pencatatan tersebut;
f) guna menghindari kerugian pihak ketiga sebaiknya diberitahukan/
diumumkan kepada pihak ketiga seperti Bank dan Kreditur (termasuk
dalam Koran/ dalam berita Negara).

E. Kepailitan
1. Pengertian Kepailitan
Didalam lalu-lintas hukum (khususnya hukum perjanjian), setidak-tidaknya
terdapat dua pihak yang terikat oleh hubungan hukum itu, yaitu kreditor (creditor)
dan debitur (debitor).Masing-masing fihak mempunyai hak dan kewajiban yang
lahir dari hubungan hukum itu, yaitu prestasi dan kontra prestasi, memberi,
berbuat dan tidak berbuat sesuatu, atau oleh undang-undang disebut dengan istilah
“onderwerp object”.64
Di dalam hukum Anglo Sakson prestasi itu dikenal dengan istilah
“consideration”. Tidak ada satu definisi pun yang lengkap yang mampu
menggambarkan pengertian consideration itu, sebagai perbandingan, penulis
paparkan pendapat beberapa sarjana sebagai berikut:
Menurut Jesse S. Raphael, AB.LL.B65: “Consideration is not easy to
explain in a single definition. In general, it consistin the giving up of some
legal right by one of the parties in exchange for the promise of the others.”

Lebih jauh lagi, A James Barnes menjelaskan:66

64
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, (Jakarta:
Rajawali Press, 1991) hlm 21
65
Jesse S. Raphael, The Collier Quick and Easy Guide to Law, Collier Books, (Newyork:
NY, 1962) edisi pertama

66 A. James Barnes, A Guide to Bussines Law, Learning Systems Company, Richard D.


Irwin, INC, (Illinois: Home-Wood, 1981)

Universitas Indonesia
62

“Consideration is usually defined as either a detriment to the promise or a


benefit to the promisor, which was bargained for and given in exchange
for the promise.”

Sedangkan Ronald A. Anderson, menggariskan bahwa:67


“Consideration is what a promisor demand and receives as the price for
the promise. Consideration is some thing to which the promisor is not
otherwise entitied and which the promisor spesifies as the price for the
promise.”

Dari ungkapan diatas disarikan, bahwa prestasi (consideration) merupakan


suatu yang diberikan, dijanjikan atau dilakukan secara timbal-balik.Perbuatan,
sikap tidak berbuat atau janji dari masing-masing pihak adalah harga bagi janji
yang telah dibeli oleh pihak lainnya.
Jika dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, maka prestasi
yang hendak dilakukan oleh masing-masing pihak mempunyai beberapa syarat:
a. Pretasi harus tertentu atau dapat ditentukan (pasal 1333-1465);
b. Preatasi harus mungkin dan halal (pasal 1335-1337);
c. Prestasi dapat berupa satu perbuatan atau serentetan perbuatan
(terus-menerus).
Di dalam praktek hukum, acapkali seorang yang berutang (debitur) lalai
memenuhi kewajibannya (prestasinya), bukan disebabkan oleh keadaan memaksa
(overmach).Keadaann yang demikian disebut dengan ingkar janji (wanprestasi).
Dalam hukum perdata dikenal tiga bentuk wanprestasi, yaitu:68
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
2. Terlambat memenuhi prestasi;
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik.

Pada umumnya orang berusaha tidak dengan modalnya sendiri atau tidak
sepenuhnya dengan modal sendiri, untuk dapat memperoleh pinjaman dari pihak
lain adalah dengan modal kepercayaan, bahwa peminjam akan mengembalikan
pinjaman beserta bunganya pada waktu yang ditetapkan atau diperjanjikan. Hal
ini merupakan alasan dalam hal debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya,
dapat diberlakukan suatu perangkat peraturan kepailitan yang efektif.Peraturan

67
Ronald A. Anderson, Business Law, (Nashville: South Western Publishing,Co, 1981)
Edisi Kesebelas, hlm.170

68 R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung; Binacipta, 1979) Cetakan


Kedua, hlm.18

Universitas Indonesia
63

tersebut harus dapat mengembalikan kepada kreditur jumlah kredit yang dipinjam
oleh debitur dengan patut, cepat dan efisien.69
Bila ditelusuri secara lebih mendasar, bahwa istilah pailit dijumpai di dalam
perbendaharaan bahasa Latin, Belanda, Perancis dan Inggris dengan istilah yang
berbeda-beda. Dalam bahasa Belanda Pailit berasal dari istilah “failliet” yang
mempunyai arti ganda, yaitu sebagai kata benda dan kata sifat.Dalam bahasa
Perancis istilah “faillite” artinya pemogokan atau kemacetan dalam melakukan
pembayaran.Oleh sebab itu orang mogok atau macet atau berhenti membayar
utangnya didalam bahasa Prancis disebut lefailli.Kata kerja “failir” berarti gagal.
Dalam bahasa Inggris dikenal kata “to fail”dengan arti yang sama; dalam bahasa
Latin disebut “failure”. Di negara-negara berbahasa Inggris, pengertian pailit dan
kepailitan diwakili dengan kata-kata ‘bankrupt”dan “bankruptcy”.70
Dalam Black’s Law Dictionary Pailit atau Bankrupt adalah “the state or
condition of a person (individual , partnership, corporation, municipality) who is
unable to pay its debt as they are, or became due”. The term includes a person
against who an involuntary petition has been filed, who has filed a voliuntary
petition, or who has been adjugged a bankrupt.71
Dari pengertian yang diberikan dalam Black’s Law Dictionary tersebut,
dapat kita lihat bahwa penertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan
untuk membayar” dari seorang (debitur) atas hutang-hutangnya yang telah jatuh
tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata
untuk mngejukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri,
maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan
pernyataan pailit ke Pengadilan.Maksud dari pengajuan permohonan tersebut
adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan azas “publisitas” dari keadaan tidak
mampu membayar dari seorang debitur. Tanpa adanya permohonan tersebut ke
69
Chatamarrasjid, Menyingkap Tabir Perseroan (Piercing The Corporate Veil) Kapita
Selekta Hukum Perusahaan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2000), hlm 77.
70
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Kepailitan di Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004), hlm 11

71Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, (St.Paul Minn: West Publishing
Co,1979) hlm 100

Universitas Indonesia
64

Pengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu
keadaan tidak mampu membayar dari debitur. Keadaan ini kemudian akan
diperkuat dengan suatu putusan pernyataan pailit oleh Hakim Pengadilan, baik itu
putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohonan kepailitan yang
diajukan.72

72
Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Kepailitan, (Jakarta; PT Grafindo
Persada, 2002) Cetakan ketiga, hlm 1.

Universitas Indonesia
BAB III

AKIBAT HUKUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR


69/PUU-XIII-2015 TERHADAP PEMBUATAN AKTA PERJANJIAN
PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DALAM
PROSES KEPAILITAN

A. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-2015


Terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Dalam
Proses Kepailitan Terhadap Pihak Ketiga

Tabel 1
Fakta Kasus Posisi
Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK 69/2015:
“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan
perkawinan kedua pihak atas persetujuan bersama dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Putusan MK 69/2015 tersebut memberi tafsir konstitusional terhadap


Pasal 29 Ayat (1), (3), dan (4) UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dengan memperluas makna perjanjian perkawinan
sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai
perjanjian yang dibuat sebelum perkawinan (prenuptial agreement)
tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan berlangsung (postnuptial
agreement)

1. Tuan A dan Nyonya B menikah dengan persatuan harta (tanpa perjanjian


kawin) pada tanggal 28 September 2003. Pada tahun 2007 mereka berdua
bersama menjalankan usaha di bidang Pengecetan Kapal, dengan mendirikan
CV. ABC berkedudukan di Jakarta, dengan komposisi mereka berdua sebagai
Pesero Aktif..

Universitas Indonesia
68

2. Pada tanggal 10 Januari 2008 dalam rangka pengembangan usahanya Tuan A


mengajukan Kredit Modal Kerja sebesar Rp 25.000.000.000,- (dua puluh lima
milyar rupiah) kepada Bank X.
3. Pada tanggal 21 Maret 2008 Tuan A kembali mengajukan peminjaman kredit
modal usaha kepada Bank Y sebesar Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh milyar
Rupiah).
4. Dalam perjalanannya usaha Tuan A mengalami kemunduran dikarenakan
faktor ekternal dan internal, sehingga berdampak pada tertunggaknya
kewajiban Tuan A kepada para kreditor termasuk Bank X dan Bank Y.
5. Mengingat Tuan A tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Bank X dan
Bank Y berdasarkan Perjanjian Kredit kemudian Tuan A dimohonkan pailit
oleh salah satu Kreditornya yaitu Bank X pada Pengadilan Niaga Jakarta
Pusat tanggal 15 Desember 2014.
6. Tuan A membuat perjanjian kawin dengan Nyonya B mengenai pemisahan
harta mereka di hadapan Notaris H pada tanggal 20 Desember 2014.
Berdasarkan uraian tersebut diatas kemudian timbul pertanyaan yaitu
apakah dalam hal ini pembuatan perjanjian perkawinan tersebut dibenarkan?
penulis dalam hal ini berpendapat bahwa pembuatan perjanjian perkawinan
tersebut merupakan suatu upaya bentuk penyelundupan hukum.
Penyelundupan hukum terjadi karena kepada kehendak para subjek-subjek
hukum diberikan keleluasaan untuk merubah titik-titik taut yang menentukan
dalam proses pencarian hukum yang harus dipergunakan dalam memecahkan
suatu peristiwa.1 Pada penyelundupan hukum individu yang bersangkutan
mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah dibuatnya sendiri, ia telah membuat
siasat tertentu yang hendak dilaksanakannya agar supaya hukum yang
dikehendakinya dapat diperlakukan.2
Dalam hal ini Tuan A dan Nyonya B bersiasat untuk melepaskan diri dari
keterikatan harta persatuannya dalam boedel pailit. Penulis berpendapat bahwa
Tuan A dan Nyonya B dalam hal ini telah memiliki itikad yang tidak baik.

1 Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid Kedua bagian 4,


(Bandung; ALUMNI, 1992), Hlm. 19.

2 Ibid

Universitas Indonesia
69

Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata menyatakan bahwa "Suatu perjanjian


harus dilaksanakan dengan itikad baik."3 Mengenai hal ini Wirjono Projodikoro
menggunakan istilah kejujuran untuk menjelaskan itikad baik (goede trouw).
Menurutnya itikad baik adaah sebagai berikut:4
...kejujuran terletak pada keadaan jiwa manusia, aka tetap titik beratnya
adalah pada tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak dalam hal
melaksanakan janji. Dalam melaksanakan tindakan inilah kejujuran harus
berjalan dalam hati sanubari seorang manusia berupa selalu mengingat,
bahwa manusia itu sebagai anggota masyarakat harus jauh dari sifat
menipukan pihak lain dengan mempergunakan secara membabi buta kata-
kata yang dipakai pada waktu kedua belah pihak membentuk suatu
persetujuan. Kedua belah pihak harus selalu memperhatikan hal ini dan
tidak bileh mempergunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan
diri pribadi.

Sementara itu Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa, "suatu


perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan
didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-undang".5 Wirjono
Projodikoro menggunakan istilah kepatuhan alih-alih kepatutan, pun demikian
yang dimaksudkan adalah sama yaitu apa yang dimaksud dengan redelijkheid atau
bilijkheid. Untuk hal tersebut ia kemudian menjelaskan bahwa maksud dari pasal
ini adalah:6
...usaha untuk mengadakan keseimbangan dari pelbagai kepentingan yang
ada dalam masyarakat. Dalam suatu tata hukum pada hakekatnya tidak
diperbolehkan suatu kepentingan seorang dipenuhi seluruhnya dengan
akibat, bahwa kepentingan orang lain sama sekali didesak atau diabaikan.

3 Subekti Dan Tjitrosudibio, KItab Undang-Undang Hukum Perdata Cet.40, (Jakarta:


Pradya Paramita, 2009)

4 Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian, (Bandung; Mandar Maju, 2011),


hlm.104.

5 Subekti Dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata..., hlm. 342

6 Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Perjanjian..., hlm. 105

Universitas Indonesia
70

Adapun terhadap suatu peraturan hukum, mengenai hal kepatutan ini


dijelaskan sebagai berikut:7

Bagaimana telitipun orang membuat suatu peraturan hukum pada


umumnya atau suatu peraturan perjanjian pada khususnya, selalu dalam
pelaksanaan nampak sedikit banyak keganjilan. Maka dalam
melaksanakan persetujuan, kedua belah pihak harus memperhatikan tujuan
dari peraturan hukum, supaya ada keseimbangan antara pelbagai
kepentingan yang bersangkutan.

Sementara itu keterkaitan antara itikad baik dan kepatutan adalah sangat
erat sebagaimana dijelaskan8:
...bahwa kedua belah pihak harus jujur dalam melaksanakan perjanjian.
Ada kalanya kejujuran sudah sepenuhnya dilakukan dan diperhatikan,
tetapi pelaksanaan perjanjian masih berada dalam jalan buntu (deadlock).
Disinilah perhatian dituntut ke arah kepatuhan agar suatu peristiwa dapat
diselesaikan secara memuaskan.

Sebagaimana tersebut diatas, bahwa keterkaitan antara itikad baik dan


kepatutan adalah sangat erat, oleh sebab itulah biasanya asas tersebut dikenal
sebagai suatu kesatuan yaitu asas atau prinsip good faith and fairness.
Berkaitan dengan good faith, Samuel W. Buell membahas kasus Market
Street Associates Limited Partnership v. Frey, dimana dalam pembahasan kasus
tersebut dicantumkan penjelasan hakim posner mengenai fungsi itikad baik
sebagai " The duty to act in good faith prevents sharp dealing and opportunistic
behavior"9.
Dalam hal ini Samuel W. Buell mengemukakan bahwa asas itikad baik
sesungguhnya dapat digunakan dalam mengatasi penyelundupan hukum .
Penyelundupan hukum sendiri dijelaskan sebagai berikut "A common
understanding of evasion is that involves something like violating the spirit of the
law"10, hal ini tersebut berarti penyelundupan hukum tidak hanya sekedar
7 Ibid,

8 Ibid

9 Samuel W. Buell, Good Faith and Law Evasion, (UCLA Law Review , 2011), hlm. 629

10 Ibid., Hlm. 622

Universitas Indonesia
71

melakukan pelanggaran redaksional suatu peraturan hukum saja, namun terlebih


adalah pelanggaran terhadap semangat yang terkandung dalam suatu peraturan
hukum.
Menurut Samuel W. Buell, penyelundupan hukum ini dapat dilakukan
dengan cara behavioral redesign11 atau perancangan ulang perilaku yaitu adalah
pelaku melakukan perilaku tertentu agar dapat menghindari kewajiban
sebagaimana ditentukan oleh undang-undang, untuk mencapai tujuan yang sama
pelaku hanya mengubah caranya saja. Untuk itulah kemudian Samuel W. Buell
mengemukakan bahwa "...good faith used in this fashion, is an anti-evasion
device."12
Perjanjian Perkawinan atau sering disebut dengan perjanjian pra nikah
tersebut dikenal dalam KUHPerdata maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh
sepasang calon suami istri dihadapan notaris yang menyatakan bahwa mereka
telah sepakat untuk membuat pemisahan atas harta benda mereka masing-masing
dalam perkawinan mereka kelak, maka setelah dibuatnya perjanjian tersebut maka
semua harta baik yang diperoleh sebelum maupun selama berlangsungnya
perkawinan kelak adalah hak dan tetap menjadi milik mereka masing-masing,
demikian pula dengan hutang-piutang dari masing-masing pihak teresebut kan
tetap menjadi hak dan tanggungjawab dari masing-masing pihak yang memiliki
hutang piutang tersebut.
Perjanjian Perkawinan setelah kawin (posnuptial agreement) sebelumnya
tidak dikenal atau diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, namun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 29 ayat
(1), (3), dan (4) yang menurut Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK)
haruslah dimaknai juga dapat dilakukan pada saat telah berlangsungnya ikatan
perkawinan apabila ada persetujuan bersama antara suami dan istri. Hal ini akan
menjadi permasalahan hukum ketika Putusan MK tersebut dihadapkan dengan
ketentuan Pasal 186 KUHPerdata yang mengatur proses pembuatan Akta

11 Ibid., hlm. 637

12 Ibid, hlm. 630

Universitas Indonesia
72

Perjanjian Kawin setelah kawin (pemisahan harta) yang harus mendapatkan


penetapan pengadilan terlebih dahulu.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam KUHPerdata pada Pasal 139
yang menyebutkan bahwa“dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua
calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari
peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu
tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan
pula segala ketentuan di bawah ini”. Artinya bahwa Perjanjian perkawinan adalah
perjanjian mengenai pengaturan terhadap harta benda suami isteri yang diperoleh
baik sebelum dan selama perkawinan mereka berlangsung, yang merupakan suatu
penyimpangan yang dibenarkan oleh hukum dari asas atau pola yang ditetapkan
oleh undang-undang.
Sebagaimana telah dibahas pada bab terdahulu, Pasal 29 ayat (1) UU
Perkawinan sebelumnya telah membatasi dibuatnya suatu perjanjian perkawinan
pisah harta setelah perkawinan berlangsung karena dipahami bahwa perjanjian
perkawinan haruslah dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.

Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan:

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas


persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan
oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga
terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.”

Namun demikian, dengan adanya Putusan MK 69/PUU-XIII-2015, ketentuan


Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan telah diubah menjadi sebagai berikut:

Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan jo. Putusan MK 69/PUU-XIII-2015:

“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan


kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut.”

Putusan MK 69/PUU-XIII-2015 tersebut memberi tafsir konstitusional


terhadap Pasal 29 Ayat (1), (3), dan (4) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dengan memperluas makna perjanjian perkawinan sehingga perjanjian

Universitas Indonesia
73

perkawinan tak lagi dimaknai hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum
perkawinan (prenuptial agreement) tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan
berlangsung (postnuptial agreement). Hal ini kemudian dapat berdampak pada
dimungkinnya seseorang pasangan suami isteri yang dalam proses kepailitan
untuk membuat perjanjian perkawinan yang kemudian merugikan pihak ketiga.
Berlakunya perjanjian perkawinan bagi pihak ketiga diatur dalam Pasal 152
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Ketentuan yang
tercantum dalam perjanjian perkawinan, yang mengandung penyimpangan dari
persatuan menurut Undang- Undang seluruhnya atau untuk sebagian, tidak akan
berlaku terhadap pihak ketiga, sebelum hari ketentuan-ketentuan itu dilakukan
dalam suatu register umum, yang harus diselenggarakan untuk itu di Kepaniteraan
pada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya perkawinan itu telah
dilangsungkan, atau, jika perkawinan berlangsung di luar negeri, di Kepaniteraan
dimana akta perkawinan dibukukannya”. Dari ketentuan di atas dapat diketahui
bahwa suatu perjanjian perkawinan dapat juga berlaku bagi pihak ketiga, setelah
perjanjian perkawinan tersebut didaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri.
Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan maka pendaftaran atau pencatatan akta perjanjian perkawinan beralih
ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA).
Menurut Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, sebuah perjanjian perkawinan dapat mengikat terhadap pihak ketiga
apabila perjanjian tersebut disahkan atau didaftarkan kepada pegawai pencatat
perkawinan maka dengan sendirinya perjanjian perkawinan tersebut mempunyai
kekuatan yang mengikat terhadap pihak ketiga.
Hal yang sama juga ditegaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal
50 disebutkan perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak
dan pihak ketiga, terhitung mulai tanggal dilangsungkannya perkawinan di
hadapan pegawi pencatat nikah. Maka dengan keadaan tersebut akibat hukumnya
terhadap pihak ketiga adalah pihak ketiga selama perjanjian perkawinan belum
didaftarkan dapat saja menganggap bahwa perkawinan berlangsung dengan harta
persatuan. Sehingga apabila terjadi persangkutan utang dengan suami atau istri,
penyelesainannya dilakukan dengan melibatkan harta bersama.

Universitas Indonesia
74

Sedangkan pembuatan perjanjian perkawinan yang didasarkan penetapan


Pengadilan Negeri yang hubungannya terhadap pihak ketiga akan berlaku sejak
tanggal penetapan Pengadilan Negeri dikeluarkan, sehingga pihak ketiga dalam
hal ini tidak mendapatkan kerugian jika terjadi sesuatu dikemudian hari, karena
sudah ada kesepakatan pemisahan harta sebelumnya, dengan alasan-alasan seperti
yang diajukan di Pengadilan. Namun demikian jika pihak ketiga (kreditur) bisa
membuktikan bahwa yang dijadikan jaminan hutang atau diperjanjikan sebagai
jaminan dalam bentuk apapun diperoleh sebelum atau sudah ada pada saat
dikeluarkan penetapan Pengadilan maka pihak ketiga (kreditur) dapat menuntut
pelunasannya terhadap harta bersama dari suami istri. Sedangkan utang yang
dibuat oleh salah satu pihak suami atau istri setelah penetapan tersebut maka
pihak ketiga dapat ditagih pelunasannya terhadap pihak suami atau pihak istri
yang berhutang.
Akibat hukum pembuatan perjanjian perkawinan setalah kawin terhadap
status harta inheren (berkaitan erat) dengan waktu mulai berlakunya perjanjian
tersebut. Di atas telah diuraikan sebelumnya bahwa untuk perjanjian perkawinan
yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan, sesuai ketentuan Pasal 29
Undang-Undang Perkawinan, perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak
perkawinan dilangsungkan. Lalu bagaimana dengan perjanjian perkawinan yang
dibuat sepanjang perkawinan pasca putusan MK, apakah perjanjian perkawinan
tersebut mulai berlaku sejak pembuatan perjanjian perkawinan atau berlaku surut
sejak tanggal perkawinan.13
Jika melihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
yang dalam amarnya menyebutkan bahwa “Perjanjian tersebut mulai berlaku
sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian
Perkawinan”. Maka jelas bahwa terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat
sepanjang perkawinan juga berlaku mulai terhitung sejak perkawinan
dilangusngkan, kecuali ditentukan lain di dalam perjanjian perkawinan yang
bersangkutan. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Perkawinan yang berbunyi “Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak
13 Eva Dwinopianti, Implikasi dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/Puu-Xiii/2015 terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Setelah Kawin yang Dibuat
di Hadapan Notaris, No. 1 VOL. 2 Lex Renaissance Jurnal, Januari 2017.

Universitas Indonesia
75

perkawinan dilangsungkan.” menurut Mahkamah Konstitusi harus dimaknai


bahwa berbunyi: "Perjanjian perkawinan mulai berlaku sejak perkawinan
dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.”
Dibuatnya perjanjian perkawinan setelah kawin tersebut tanpa dengan
menentukan keberlakuannya maka konsekuensi hukumnya perjanjian tersebut
mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan yang diikuti dengan status harta
bersama menjadi terpisah bila dikehendaki kedua belah pihak dalam perjanjian
tersebut, tanpa harus mendapatkan penetapan pengadilan terkait pemisahan harta.
Karena materi muatan perjanjian yang dibuat oleh para pihak yaitu perjanjian
pemisahan harta yang dalam prinsip kebebasan berkontrak para pihak diberikan
kebebasan untuk menentukan materi muatannya, bila dalam hal ini para pihak
telah menentukan bahwa harta yang tadinya telah berstatus harta bersama menjadi
harta masing-masing pihak, maka secara hukum dapat dibenarkan, sehingga harta
yang demikian itupun yang diperoleh oleh suami-istri selama perkawinan
berlangsung baik sebelum atau setelah dibuatnya perjanjian perkawinan menjadi
milik masing-masing suami istri.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dalam hal ini
tidak saja mengatur mengenai akibat hukum perjanjian perkawinan setelah kawin
terhadap status harta, namun juga mengatur secara implisit akibat hukum terhadap
pihak ketiga. Putusan MK tersebut dalam amarnya menyebutkan bahwa “Pada
waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah
pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang
disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya
berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Dalam hal ini yang menjadi permasalahan yaitu ialah bagaimana caranya
untuk dapat mengetahui adanya pihak ketiga yang dirugikan terkait dengan
pembuatan perjanjian perkawinan. Karena Putusan Mahkamah Konstitusi maupun
Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur mengenai hal tersebut.
Undang-Undang Perkawinan hanya menentukan bahwa apabila perjanjian
perkawinan tersebut telah disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan maka
perjanjian perkawinan tersebut baru dapat mengikat pihak ketiga. Maka terhadap
hal ini sungguh sangat tidak adil bila seandainya terdapat suatu perjanjian

Universitas Indonesia
76

perkawinan yang dibuat sepanjang perkawinan tersebut merugikan pihak ketiga,


kemudian atas perjanjian perkawinan tersebut dilakukan pencatatan di Kantor
Catatan Sipil. Dengan dilakukannya pencatatan pihak ketiga terikat atas perjanjian
perkawinan tersebut, sementara perjanjian perkawinan itu merugikan dirinya.
Berkaitan dengan kasus posisi tersebut diatas, dalam hal ini Tuan A dan
Nyonya B membuat perjanjian Perkawinan pada saat Kreditor (Bank X)
mengajukan permohonan pernyataan pailit di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Dalam hal ini Undang-Undang Kepailitan tidak menganut ketentuan mengenai
berlakunya keadaan diam (standstill atau stay) secara otomatis (berlaku demi
hukum). Dalam hal ini seharusnya Undang-Undang Kepailitan menganut
ketentuan mengenai berlakunya keadaan diam (standstill atau stay) secara
otomatis (berlaku demi hukum), dengan kata lain memberlakukan automatic
standstill atau automatic stay, sejak permohonan pernyataan pailit didaftarkan di
pengadilan. Selama berlakunya keadaan diam terjadi keadaan status quo terhadap
harta kekayaan (asset) Debitor maupun terhadap utang Debitor.14 Ketentuan ini
adalah demi melindungi para Kreditor dari upaya Debitor untuk
"menyembunyikan" atau upaya-upaya Debitor untuk mengalihkan sebagian atau
seluruh harta kekayaan kepada pihak lain yang dapat merugikan Kreditor.15
Tidak berlakunya keadaan diam secara otomatis (automatic standstill atau
automatic stay) sejak permohonan pernyataan pailit didaftarkan di Pengadilan
dalam ketentuan Undang-Undang Kepailitan menurut pendapat penulis
memberikan cukup ruang atau celah hukum bagi pihak-pihak untuk melakukan
siasat atau upaya-upaya untuk menghindar dari kewajibannya yang kemudian
merugikan pihak ketiga. Yang kemudian dalam kasus ini Tuan A dan Nyonya B
menggunakan celah hukum tersebut untuk membuat perjanjian perkawinan atas
pemisahan harta mereka.

14 Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan Memahami Failissementsverordening Juncto


Undang-Undang No.4 Tahun 1998, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002), hlm.53

15 Ibid.

Universitas Indonesia
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan latar belakang masalah dan pembahasan pada bab


sebelumnya, maka dapat disimpulkan mengenai Peranan Notaris dalam
pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII-2015 dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
69/PUU-XIII-2015 Terhadap Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat
Dalam Proses Kepailitan sebagai berikut:

1. Notaris berperan sangat besar dalam pembuatan perjanjian perkawinan di


Indonesia pasca putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
69/PUU-XIII-2015. Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 menyebutkan bahwa
perjanjian perkawinan harus dibuat secara tertulis, sehingga perjanjian
perkawinan dapat dibuat dengan akta otentik maupun dengan akta di bawah
tangan. Namun pada praktiknya, Kantor Catatan Sipil dan Kantor Urusan
Agama hanya dapat memproses perjanjian perkawinan yang dibuat dengan
akta otentik karena keabsahan substansi dari perjanjian perkawinan
diserahkan kepada Notaris dan mereka tidak melakukan pemeriksaan
terhadap substansi perjanjian perkawinan itu sendiri. Ketentuan tersebut
diatur pada Surat Edaran Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor
472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017 tentang pencatatan pelaporan
perjanjian perkawinan yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan yang
didaftarkan adalah perjanjian perkawinan yang dibuat dengan akta otentik.
Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terdapat frasa
bahwa Pasal 29 ayat (1) harus dimaknai “…disahkan oleh pegawai pencatat
79

perkawinan atau Notaris…”. Pada perjanjian perkawinan terdapat 2 (dua)


kali pengesahan, yaitu pengesahan perjanjian perkawinan berupa
penandatanganan perjanjian perkawinan dan pengesahan berupa pendaftaran
perjanjian perkawinan yang mana merupakan tahapan agar perjanjian
perkawinan dapat berlaku kepada pihak ketiga. Yang dimaksud pada
ketentuan tersebut adalah pengesahan dalam arti pendaftaran perjanjian
perkawinan. Walaupun sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan demikian, namun sampai saat ini belum ada pengaturan lanjutan
atau petunjuk pelaksana mengenai pendaftaran perjanjian perkawinan yang
dilakukan oleh Notaris sehingga aturan tersebut belum dapat diberlakukan.
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang menyatakan
tersebut memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 29 Ayat (1), (3), dan (4)
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan memperluas makna
perjanjian perkawinan sehingga perjanjian perkawinan tak lagi dimaknai
hanya sebagai perjanjian yang dibuat sebelum atau pada saat perkawinan
(prenuptial agreement) tetapi juga bisa dibuat setelah perkawinan
berlangsung (postnuptial agreement) sehingga hal ini berdampak pada
dimungkinkannya terjadi penyelundupan hukum dalam hal ini upaya untuk
"menyembunyikan" atau upaya mengalihkan sebagian atau seluruh harta
kekayaan melalui pembuatan perjanjian perkawinan pisah harta suami isteri
yang dalam proses kepailitan rkawinan yang kemudian dapat merugikan
pihak ketiga.

B. Saran
Saran yang dapat Penulis berikan terhadap uraian pada bab sebelumnya
adalah sebagai berikut:
1. Dalam menjalankan tugasnya dan jabatannya diharapkan Notaris selalu taat
serta berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan serta peraturan-peraturan
yang berlaku bagi Notaris. Bersikap hati-hati dan waspada dalam meneliti
dan memeriksa surat-surat atau warkah dan dokumen-dokumen yang
diberikan oleh para penghadap.
2. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015
yang menyatakan bahwa pasangan suami isteri dimungkinkan untuk
membuat perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung (postnuptial

Universitas Indonesia
80

agreement), maka seharusnya pengaturan mengenai pemisahan harta


kekayaan sepanjang perkawinan yang diatur pada KUHPerdata segera
dicabut dan pemerintah segera pula membuat peraturan mengenai prosedur
pembuatan dan pendaftaran postnuptial agreement. Hal ini perlu dilakukan
agar tidak terjadi tumpang tindih pengaturan antara pemisahan harta
kekayaan sepanjang perkawinan yang diatur pada KUHPerdata dengan
postnuptial agreement yang bertujuan sama, yaitu memisahkan kekayaan
antara suami isteri.
3. Pada praktiknya perjanjian perkawinan yang dapat didaftarkan berbentuk
akta otentik, maka sebaiknya dilakukan amandemen terhadap UUP mengenai
bentuk akta perjanjian perkawinan yaitu harus dibuat dengan akta otentik.
Hal ini dikarenakan perjanjian perkawinan yang dibuat dengan akta otentik
akan lebih melindungi para pihak karena Notaris lebih memahami peraturan
mengenai perjanjian perkawinan dan akta yang dibuatnya memiliki kekuatan
pembuktian lahir, formal dan materiil. Lebih lanjut, Pasal 29 ayat (1) UUP
dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUUXIII/2015 menyatakan
bahwa perjanjian perkawinan dapat pula disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan atau Notaris. Agar tidak terjadi verbal dispute mengenai makna
kata “pengesahan” pada ketentuan tersebut, maka hendaknya dilakukan
amandemen terhadap UUP dengan mengganti kata “disahkan oleh” dengan
“didaftarkan kepada” hal ini sangat perlu untuk dilakukan karena
dimungkinkan terjadinya kesalahpahaman sehingga pasangan suami isteri
yang membuat perjanjian perkawinan tidak mendaftarkannya kepada
pegawai pencatat perkawinan karena menganggap dengan dibuatnya
perjanjian perkawinan dengan akta Notaris, maka perjanjian perkawinan itu
sendiri telah dapat mengikat kepada pihak ketiga.

Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

A. PERATURAN

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Amandemen keempat.

__________. Undang-Undang perkawinan UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1


Tahun 1974, TLN No. 3019.

__________. Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 30 Tahun 2004, LN No.


117 Tahun 2004, TLN No. 4432.

__________. Undang-Undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang, UU No. 37 Tahun 2004, LN No. 131 Tahun 2004,
TLN No. 4443.

__________. Undang-Undang Jabatan Notaris, UU No. 2 Tahun 2014, LN No.


182 Tahun 1998, TLN No. 3790.

_________. Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 tentang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, LN No. 12 Tahun
1975, TLN No. 3050.

_________. Kompilasi Hukum Islam, Buku 1 Hukum Perkawinan. Kitab Undang-


Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. Ke-41. Jakarta: Balai Pustaka, 2013.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh


R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. Ke-41. Jakarta: Balai Pustaka, 2013.

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. Surat Edaran Direktorat Jenderal


Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Republik
Indonesia Nomor 472.2/5876/DUKCAPIL, tanggal 19 Mei 2017.
82

B. PUTUSAN:

Mahkamah Kontitusi. Putusan Mahkamah Kontitusi. Putusan MKRI Nomor


69/PUU-XIII/2015.

C. BUKU

Apeldoorn, L.J. Van. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita, 1981.

Ahmad, Baharuddin. Hukum Perkawinan di Indonesia, Studi Historis Metodologi,


Jambi: Syari’ah Press, 2008

Anderson, A. Ronald. Business Law. Nashville: South Western Publishing,Co,


1981

Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia.


Jakarta: Rajawali Press, 1991

Badrulzaman, Mariam Darus. KUHPerdata Buku III: Hukum Perikatan dengan


Penjelasan. Bandung: PT. Alumni, 1996.

Badrulzaman, Mariam Darus. et. all. Kompilasi Hukum Perikatan dengan


Penjelasan. Bandung: Alumni, 1996.

Bakri, et.all. Pengantar Hukum Indonesia Pembidangan dan Asas-Asas Hukum.


Jilid 2. Malang: Universitas Brawijaya Press, 2013.

Barnes, A. James, A Guide to Bussines Law, Learning Systems Company, Richard


D. Irwin, INC. Illinois: Home-Wood, 1981

Budiono, Herlien. Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan.


Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012.

Buell, Samuel W. Good Faith and Law Evasion. UCLA Law Review, 2011.

Universitas Indonesia
83

Darmabrata, Wahyono. Hukum Perkawinan Perdata, Syarat Sahnya Perkawinan,


Hak dan Kewajuban Suami Isteri, Harta Benda Perkawinan. Jilid I.
Jakarta: Rizkita, 2009.

_________. Perbandingan Hukum Perdata. Cet. Ke-4. Jakarta: Gitama Jaya,


2006.

_________. Tijauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,


Beserta Undang-Undang dan Peraturan Pelaksananya. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997.

_________ dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di


Indonesia. Cet. Ke-3. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2015.

Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jilid Kedua bagian


4. Bandung; ALUMNI, 1992.

Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut: Perundangan,


Hukum Adat, Hukum Agam., Bandung: CV. Madar Maju, 2003.

_________. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju, 2007.

Harahap, M. Yahya. Beberapa Permasalahan Hukum Acara pada Peradilan


Agama. Jakarta: Sinar Grafika, 1993.

_________. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,


Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Cet. Ketiga. Jakarta: Sinar Grafika,
2005.

Ibrahim, Johny. Teori dan Metodologi Hukum Normatif. Malang: Bayumedia.


2005.

Jono. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Cet. Ke-7.
Jakarta: Balai Pustaka, 1986.

Universitas Indonesia
84

Khairandy, Ridwan. Itikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak Jakarta: Program


Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004.

Kie, Tan Thong, Studi Notaris, Serba-Serbi Praktek Notaris, Jakarta: Ichtiar Baru
Van Hoeve, 1994

Kolkman, W.D. et all. Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum
Waris di Belanda dan Indonesia. Bali: Pustaka Larasan, 2012.

Mamudji, Sri et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Cet. 2. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Meliala, A.Qirom Syamsudin. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta


Perkembangannya. Yogyakarta: Liberty, 1983.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata di Indonesia. Yogyakarta: Liberty,


1988.

_________. Penemuan Hukum: Senuah Pengantar. Cet. Ke-6. Yogyakarta:


Liberty, 2009.

_________. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty, 1998.

Miru, Ahmadi dan Sakka Pati. Hukum Perikatan, Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW. Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,


1990.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

Prawirohadimidjojo, R. Soetodjo dan Asis Safioedin. Hukum Orang dan


Keluarga. Bandung: Alumni, 1986.

Universitas Indonesia
85

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan


Tertentu. Bandung: Sumur, 1981.

_________. Azas-azas Hukum Perjanjian. Bandung; Mandar Maju, 2011

Puspa, Yan Pramadya. Kamus Hukum. Semarang: CV Aneka Ilmu, 2008.

Raphael, S. Jesse The Collier Quick and Easy Guide to Law, Collier Books,
Newyork: NY, 1962

Sairin, Weinata dan J.M. Pattiasina. Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan


dalam Perspektif Kristen. Cet Ke-2. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1996.

Saleh, K. Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia,


1980.

Satrio, J. Hukum Harta Perkawinan. Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993.

_________. Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995.

Sjahdeni, Sutan Remi. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang


bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta:
Institut Bankir Indonesia, 1993.

Setiawan, R. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. Yogyakarta: Putra Bardin, 1999.

Soemanto, R.B. Hukum dan Sosiologi Hukum. Surakarta: LPP UNS, 2008.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitan Hukum. Cet. Ke-3. Jakarta: Universitas


Indonesia Press, 1986.

_________. Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum Empiris. Cet.Ke-1. Jakarta:


Ind.Hill.Co, 1990.

_________ dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan


Singkat. Cet. Ke-8. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2004.

Universitas Indonesia
86

Soimin, Soedharyo. Hukum Orang dan Keluarga, Perspektif Hukum Perdata


Barat/BW. Hukum Islam dan Hukum Adat. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar
Grafika, 2004.

Subekti. Aneka Perjanjian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

_________. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa, 1994.

_________. Wienarsih Imam dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan
Kekeluargaan Perdata Barat. Cet. Ke-8. Jakarta: Gitama Jaya, 2005.

_________. Dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Cet.40.


Jakarta: Pradya Paramita, 2009.

Taekama, Sanne, et.all. Understanding Dutch Law. Den Haag: Boom Juridische
Uitgevers, 2004.

Thalib, Sayuti. Hukum Keluarga Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia, 2009.

Tobing, G.H.S. Lumban. Peraturan Jabatan Notaris. Cet Ke-3. Jakarta: Erlangga,
1983.

D. TESIS

Victoria Deran, Disa. Perbandingan Pengaturan Postnuptial Agreement Sebelum


dan Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII-
2015 Serta Akibat Hukumnya Terhadap Pihak Ketiga Berdasarkan Hukum
Indonesia dan Belanda", Tesis Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Depok, 2017

Fariza, Nataya. Keabsahan Pemisahan Harta Kekayaan Dalam Perkawinan


Berdasarkan Perjanjian Kawin Yang Dibuat Setelah Perkawinan, Tesis
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok,
2015

Universitas Indonesia
87

D. INTERNET

Anggraini, Rulita. “Solusi bagi Pasangan tanpa Prenuptial Agreement”.


https://americanindonesian.com/2014/09/04/solusi-bagi-pasangan
tanpapre-enuptial-agreement/. Diunduh 22 Juli 2017, pukul 10.30 WIB.
e-kampushukum. “Sejarah Tata Hukum Indonesia Masa Indische Staatsregeling”.
https://e-kampushukum.blogspot.co.id/2016/05/tatahukum-indonesiamasa-
indische.html. Diunduh 19 Desember 2017 pukul 10.13 WIB.
Devita, Irma. PostNuptial Agreement-Kesempatan Kedua bagi yang Sudah
Menikah Tanpa Perjanjian Pisah Harta. http://irmadevita.com/2016/282
4/. Diunduh 19 Desember 2017 pukul 11.57 WIB

Government of the Netherlands. Marriage, registered partnership and


cohabitation agreements. https://www.government.nl/topics/family-law/c
ontents/marriage-registered-partnership-and-cohabitation-agreements.
Diunduh 19 Desember 2017 pukul 20.02 WIB.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. http://kbbi.web.id/. Diunduh 18 Desember 2016


pukul 20.26 WIB. Koninklijke Notariële Beroepsorganisatie. “Areas of
Law”. https://www.knb.nl/english /the-notary/areas-of-law. Diunduh pada
30 Mei 2017 pukul 20.15 WIB.

Legal Akses. “Membuat Perjanjian Perkawinan”. http://www.legalakses.com/


perjanjian-perkawinan/. Diunduh 1 Juli 2017, pukul 10.15 WIB.

Prihatini, Farida. “Meski Telat, Perjanjian Perkawinan Perlu Didaftarkan”,


http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56a5c53a38ebc/meski-telat--
perjanjian-perkawinan-perlu-didaftarkan. Diunduh 17 Juni 2017, pukul
15.00 WIB.

Universitas Indonesia
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai