Anda di halaman 1dari 131

HALAMAN JUDUL

IMPLIKASI HUKUM PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH


DAN/ATAU BANGUNAN (BPHTB) PADA PEMBUATAN HIBAH WASIAT
TERHADAP PEROLEHAN HAK

TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi
Magister Kenotariatan

Disusun dan diajukan oleh:


MUHAMMAD REINDRA PARANI
P3600214001

Kepada

SEKOLAH PASCA SARJANA


MAGISTER KENOTARIATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
LEMBAR PERSETUJUAN
IMPLIKASI HUKUM PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH
DAN/ATAU BANGUNAN (BPHTB) PADA PEMBUATAN HIBAH WASIAT
TERHADAP PEROLEHAN HAK

Disusun dan Diajukan Oleh :


MUHAMMAD REINDRA PARANI
P3600214001

Untuk Tahap UJIAN AKHIR MAGISTER


pada tanggal

Menyetujui
Komisi Penasehat :
Ketua

Sekretaris

Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H


NIP. 19601008 198703 1 001

Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H.


NIP. 19641123 199002 2 001

Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan

Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si


NIP. 19600621 198601 2 001

PE R N YAT AAN

Nama

: Muhammad Reindra Parani

NIM

: P3600214001

Menyatakan

dengan

sesungguhya

bahwa

tesis

yang

berjudul IMPLIKASI HUKUM PEMBAYARAN BEA PEROLEHAN

HAK

ATAS

TANAH

DAN/ATAU

BANGUNAN

(BPHTB)

PADA

PEMBUATAN HIBAH WASIAT TERHADAP PEROLEHAN HAK,

adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal yang bukan karya


saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan
dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya di atas
tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik, yang
berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya telah peroleh dari
tesis tersebut.
Makassar,

Nopember

2016
Yang membuat pernyataan

Muhammad

Reindra

Parani

ABSTRAK
Muhammad Reindra Parani, P3600214001, Implikasi Hukum
Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan
(BPHTB) Pada Pembuatan Hibah Wasiat Terhadap Perolehan Hak , di
bawah bimbingan Anwar Borahima dan Sri Susyanti Nur.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui saat terjadinya
perolehan hak atas tanah pada hibah wasiat dan untuk mengetahui
perlindungan hukum kepada penerima hibah wasiat yang telah membayar
pajak BPHTB jika wasiat dicabut.

Tipe penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah


normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif. Setiap data yang diperoleh
dianalisis secara kualitatif dengan cara menguraikan dalam bentuk
kalimat-kalimat yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perolehan hak atas tanah dan
bangunan pada hibah wasiat baru dapat dilakukan setelah si pemberi
hibah wasiat meninggal dunia walaupun saat terhutangnya pajak BPHTB
pada hibah wasiat yaitu saat dibuat dan ditandatanganinya akta karena
pembayaran pajak hanya merupakan salah satu syarat formal pada
pembuatan akta hibah wasiat agar terhindar dari sanksi dan denda yang
telah ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perlindungan hukum kepada
penerima hibah wasiat yang telah membayar pajak BPHTB jika wasiat
dicabut dapat ditempuh dengan melalui perlindungan hukum represif
dalam pajak seperti mengajukan keberatan, banding, gugatan dan
peninjauan kembali, serta melalui restitusi pajak.
Kata kunci: BPHTB, Hibah Wasiat, Perlindungan Hukum.

ABSTRACT
Muhammad Reindra Parani, P3600214001, Legal Implications
Payment of Tax on Acquisition of Land and / or Building (BPHTB) On
Making Grant Wills Against Acquisition, under the guidance of Anwar
Borahima and Sri Susyanti Nur.
The purpose of this study was to determine the time of the
acquisition of land on the grant will and to determine the legal
protection to the grantee will have to pay taxes BPHTB if a will is
revoked.
This type of research used in this research is normative. This
research is descriptive. Any data obtained were analyzed

qualitatively by breaking in the form of sentences that correspond to


the problems studied.
The results showed that the acquisition of land and buildings on the
grant will only be done after the grantor will die even when the tax
becomes due BPHTB at Grants will namely when created and signed
the deed for the payment of taxes is only one formal requirement in
the deed grants testament to avoid penalties and fines which were
set out in Law No. 28 Year 2009 on Regional Taxes and Levies. Legal
protection to the grantee will have to pay taxes BPHTB if a will is
revoked can be reached via repressive legal protection in such taxes
raise objections, appeals, lawsuits and reconsideration, as well as
through tax refunds.
Keywords: BPHTB, Grant Wills, Legal Protection.

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang patut penulis ucapkan selain puji dan syukur atas
kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNya lah sehingga
penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa apa yang dikemukakan dalam tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan yang merupakan sebagai akibat dari keterbatasan

kemampuan serta berbagai kesulitan yang penuis hadapi dalam


penyusunan tesis ini.
Keberhasilan penulis menyusun tesis ini tidak lepas dari bantuan
berbagai pihak baik yang bersifat moril maupun materil. Oleh karena itu,
penulis memanjatkan doa kepada Allah SWT agar memberikan
rahmatNya kepada pihak yang banyak membantu dalam penyelesaian
tesis ini.
Maka, sudah sewajarnyalah apabila pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Kedua Orang Tua penulis, Ayahanda H. Hilal Razak, S.H., M.H. dan
Ibunda Hj. Siti Aisyah Hilal yang telah melahirkan, memelihara,
mengasuh dan senantiasa mendoakan penulis dengan harapan
dapat menjadi manusia yang berguna bagi agama, bangsa, dan
Negara.
2. Bapak Prof. Dr. Anwar Borahima, S.H., M.H. selaku Ketua Komisi
Penasehat dan Ibu Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H. selaku
Sekretaris Komisi Penasehat yang telah membimbing serta
mengarahkan penulis dengan sungguh-sungguh dalam penulisan
dan penyelesaian tesis ini.
3. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, S.Sos., MA. Selaku Rektor
Universitas Hasanuddin beserta para Wakil Rektor dan jajarannya.
4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Ali, S.E., M.M. selaku Dekan Sekolah
Pascasarjana.

5. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Unhas beserta para Wakil Dekan dan jajarannya.
6. Ibu Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si. selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotaritan Fakultas Hukum Unhas.
7. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.S., Bapak Prof. Dr. Ir. Abrar
Saleng, S.H., M.H., dan Ibu Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si.
selaku penguji dalam ujian tesis penulis atas segala masukannya.
8. Para staf akademik program studi Magister Kenotarian khususnya
Ibu Eppy dan Pak Aksa yang telah memberikan bantuannya selama
penulis di bangku kuliah.
9. Seluruh keluarga besar penulis, terkhusus kepada Kakanda
Septian Prima Razak, S.H. sekeluarga atas segala bantuan dan
dukungannya selama ini.
10. Hijriah Maulani Nanda Syaputri, S.H., atas segala motivasi yang
diberikan kepada penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir
11.

tesis ini.
Seluruh teman-teman seperjuangan kuliah di Kenotariatan
terkhusus pada angkatan 2014 yang nama-namanya tidak bisa
disebutkan satu per satu atas segala bantuannya.
Penulis mendoakan semoga Allah SWT membalas semua amal

kebaikan dari Bapak/Ibu semua dengan pahala berlipat ganda atas segala
amal perbuatan dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis.
Aamiin.

Makassar,

Nopember 2016

Muhammad Reindra Parani

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS........................................................
ABSTRAK.................................................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................
C. Tujuan Penelitian........................................................................................
D. Manfaat Penelitian.....................................................................................
E. Orisinalitas Penelitian.................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perolehan Hak Atas Tanah Pada Hibah Wasiat
1. Jenis-jenis Hak Atas Tanah................................................................
2. Cara Memperoleh Hak Milik..............................................................
3. Peralihan Hak Atas Tanah..................................................................
4. Pengertian Wasiat dan Hibah Wasiat................................................
5. Bentuk-bentuk Wasiat........................................................................
6. Pihak yang Memberi dan Menerima Hibah.......................................
7. Pencabutan dan Gugurnya Hibah Wasiat.........................................
8. Pelaksanaan Hibah Wasiat................................................................

B. Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan


(BPHTB)
1. Pengertian pajak BPHTB...................................................................
2. Wajib Pajak BPHTB...........................................................................
3. Objek Pajak BPHTB...........................................................................
4. Prinsip Pemungutan Pajak BPHTB...................................................
5. Perolehan Hak yang Menjadi Dasar Objek BPHTB..........................
6. Sanksi bagi Wajib Pajak yang Mengabaikan Pembayaran
BPHTB...............................................................................................
C. Landasan Teori
1. Teori Penyerahan...............................................................................
2. Teori Perlindungan Hukum................................................................
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian..........................................................................................
B. Pendekatan Penelitian..............................................................................
C. Bahan Hukum...........................................................................................
D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum........................................................
E. Analisis Bahan Hukum..............................................................................
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Saat Terjadinya Perolehan Hak Atas Tanah Pada Hibah Wasiat.............
B. Perlindungan Hukum Kepada Penerima Hibah Wasiat
Yang Telah Membayar Pajak BPHTB Jika Wasiat
Dicabut......................................................................................................
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................
B. Saran......................................................................................................

10

Daftar Pustaka.......................................................................................................

11

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan atas hukum

sesuai amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun


1945. Hukum tidak pernah lepas dari sendi kehidupan manusia di setiap
Negara manapun di dunia. Hukum mengatur hampir seluruh segi
kehidupan manusia, mulai dari sebelum manusia dilahirkan sampai
sesudah manusia meninggal dunia.
Perlindungan yang paling nyata oleh hukum terhadap seorang yang
telah meninggal dunia adalah dalam melaksanakan keinginan orang
tersebut pada waktu masih hidup, yaitu berupa pemberian wasiat
testamenter. Apa yang dituliskannya pada waktu ia masih hidup tetap
mempunyai

kekuatan

untuk

mengatur

harta

kekayaan

yang

ditinggalkannya.1
Peristiwa hukum pada hakikatnya adalah kejadian, keadaan atau
perbuatan orang yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum.
Termasuk kejadian adalah kelahiran dan kematian, sedangkan yang
merupakan keadaan misalnya adalah umur, yang menyebabkan orang
memperoleh kedewasaan. Kelahiran seorang anak akan menimbulkan
akibat hukum bagi anak yang dilahirkan itu. Kelahiran tidak hanya
menyebabkan seseorang memperoleh kedudukan sebagai subjek hukum,
1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 69.

tetapi menimbulkan juga hubungan hukum antara orang tua dan anak.
Kematian seseorang akan menyebabkan putusnya hubungan hukum dan
menyebabkan ahli waris dapat mewarisi harta kekayaannya. 2
Secara garis besar, dalam Burgerlijk Wetboek (BW) membedakan
ahli waris atas 2 (dua) yaitu ahli waris ab intestato dan ahli waris
testamenter. Ahli waris ab intestato ini adalah ahli waris menurut atau
berdasarkan undang-undang dan mereka secara otomatis menjadi ahli
waris jika terjadi kematian, sedangkan apabila ada orang-orang tertentu
yang dikehendaki oleh pewaris agar juga memiliki harta peninggalannya
dengan bagian-bagian yang telah ditentukan oleh pewaris maka kehendak
ini dapat dituangkan dalam suatu akta yang disebut wasiat dan ahli waris
yang ditentukan dalam wasiat tersebut adalah ahli waris testamenter.3
Salah satu jenis testamen yang dikenal di masyarakat yaitu wasiat
yang berisi hibah wasiat (legaat). Pengertian hibah wasiat ada dalam
Pasal 957 BW yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana
si yang mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan beberapa
barang-barangnya dari suatu jenis tertentu seperti misalnya segala
barang-barangnya bergerak atau tak bergerak atau memberikan hak pakai
hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya. Hibah wasiat yang

2 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta:


Liberty, 1988, hal. 42.
3 Padma D. Liman, Hukum Waris: Pewarisan Ahli Waris AB Intestato Menurut
Burgerlijk Wetboek (BW), Malang: Wineka Media, 2011, hal. 25.

paling sering dibuat oleh si yang mewariskan adalah berisikan pemberian


tanah dan atau bangunan.
Pembuatan hibah wasiat dapat dilakukan dengan suatu akta yang
dibuat di hadapan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang
membuat akta autentik atau dengan dibuat di bawah tangan yang ditulis
sendiri

atau

ditulis

oleh

orang

lain

atau

diketik

kemudian

ditandatanganinya dan selanjutnya diserahkan kepada notaris untuk


disimpan dan selanjutnya untuk penyimpanan tersebut notaris akan
membuat akta penyimpanan. Pembuatan wasiat tersebut atau akta
penyimpanan harus sesuai dengan tertib acara yang diatur di dalam BW.4
Sebagai benda yang penting bagi manusia, tanah dan bangunan
menjadi lebih bernilai karena dapat beralih dan dialihkan oleh pemiliknya
kepada orang lain. Peralihan pemilikan tanah dan bangunan berhubungan
erat dengan ketentuan hukum untuk memberikan kepastian hak bagi
seseorang yang memperoleh tanah dan bangunan. Peralihan hak terjadi
karena seorang pemilik tanah dan bangunan meninggal dunia sehingga
pemilikan tanah dan bangunan tersebut dengan sendirinya beralih
menjadi milik ahli warisnya. Dengan kata lain, peralihan hak itu terjadi
dengan tidak sengaja melalui suatu peristiwa hukum. Sebaliknya,
pemilikan hak atas tanah dan bangunan yang dialihkan dilakukan dengan
sengaja supaya pemilikan atas tanah dan bangunan tersebut terlepas dari
pemegangnya yang semula dan menjadi milik pihak lain. Dengan kata

4 http://alwesius.blogspot.co.id/2011/07/pengenaan-bphtb-terhadap-hibahwasiat.html diakses pada tanggal 20 desember 2015 pukul 19.00 wita.

lain, peralihan pemilikan terjadi melalui suatu perbuatan hukum tertentu,


misalnya jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat dan hadiah. 5
Peralihan hak atas tanah dan bangunan berkaitan erat dengan
aspek pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB)
sebagai salah satu sumber penerimaan pemerintah daerah. Orang yang
memperoleh hak atas tanah dan bangunan baik beralih maupun dialihkan
harus menyerahkan sebagian kecil nilai ekonomi yang diperolehnya
kepada

pemerintah

kota/kabupaten

melalui

pembayaran

pajak,

dikarenakan subjek pajak yang memperoleh hak atas tanah dan


bangunan mendapat keuntungan ekonomis dari pemilikan suatu tanah
dan bangunan.6
Pembuatan akta wasiat yang berisikan hibah wasiat menimbulkan
permasalahan di kalangan notaris semenjak berlakunya Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
terutama jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 90 ayat (1) huruf d yang
mengatur bahwa saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan ditetapkan untuk hibah wasiat adalah sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta.
BPHTB atas perbuatan atau peristiwa hukum tersebut di atas,
pajak yang terutangnya harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak
tersebut dengan ditandatangani akta yang bersangkutan atau didaftarkan
5 Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Teori
dan Praktik, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005, hal. 5.
6 Ibid., hal. 8.

haknya atau sejak tanggal keputusan atau sejak putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pembayaran BPHTB pada hibah wasiat perlu dikaji secara lebih
mendalam dikarenakan pembayaran BPHTB harus dibayar sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta, karena telah menyimpang dari kaidah
atau prinsip hibah wasiat.
Hibah wasiat dapat dilaksanakan oleh pelaksana wasiat untuk
diberikan kepada penerima hibah setelah pemberi hibah wasiat meninggal
dunia artinya bahwa beralihnya hak milik atas tanah adalah pada saat
meninggalnya pemberi hibah wasiat, bukan pada saat hibah wasiat di
tanda tangani, sehingga sebenarnya hak untuk penerima hibah wasiat
akan

berlaku

kemudian,

bukan

pada

saat

akta

hibah

wasiat

ditandatangani. Hal ini sudah merupakan kaidah dari hibah wasiat,


sehingga kalau kaidah ini dikaitkan dengan saat terutangnya BPHTB
untuk hibah wasiat menjadi tidak tepat.
Dikatakan tidak tepat secara hukum hibah wasiat dikenakan
BPHTB pada saat penandatangan akta hibah wasiat, jika kemudian atas
hibah wasiat masih dapat dicabut atau dijual oleh pemberi wasiat,
seharusnya BPHTB dibayar pada saat hibah wasiat ditindak lanjuti
dengan pendaftarannya ke kantor Pertanahan setempat.
Berdasarkan

ketentuan

tersebut,

maka

menimbulkan

permasalahan penentuan waktu terjadinya perolehan hak dari pemberi


hibah wasiat meninggal dunia dan wasiat bisa dicabut oleh pembuat

wasiat serta perlindungannya terhadap penerima hibah wasiat yang telah


membayar BPHTB.

B.

Rumusan Masalah
Dari uraian dalam latar belakang di atas, maka masalah yang akan

dicari jawabannya oleh penulis adalah:


1. Kapankah saat terjadinya perolehan hak atas tanah pada hibah
wasiat?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum kepada penerima hibah wasiat
yang telah membayar pajak BPHTB jika wasiat dicabut?
C.

Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui saat terjadinya perolehan hak atas
tanah pada hibah wasiat.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum kepada penerima
hibah wasiat yang telah membayar pajak BPHTB.

D.

Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis.
Hasil

penelitian

ini

diharapkan

bermanfaat

bagi

perkembangan ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu


hukum pada khususnya, terutama bagi yang berminat meneliti

lebih lanjut tentang implikasi hukum pembayaran BPHTB pada


pembuatan hibah wasiat terhadap perolehan hak atas tanah.
2. Manfaat Praktis.
Hasil

penelitian

ini

diharapkan

mampu

memberikan

masukan dan umpan balik bagi Notaris/PPAT, Badan Pertanahan


Nasional, dan Dinas Pendapatan Daerah setempat serta pihakpihak lain yang berkompeten.
E.

Orisinalitas Penelitian
Permasalahan tentang pengenaan BPHTB atas hibah wasiat

memang telah dibahas dalam beberapa penelitian, tetapi penelitian


terhadap permasalahan ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lainnya,
sebagaimana dapat dilihat dari penelusuran yang dilakukan oleh penulis
sebagai berikut:
1. Tesis yang ditulis Dyah Purworini Widhyarsi (NIM B4B006170),
yang telah diuji pada tahun 2008, merupakan mahasiswa Program
Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas
Diponegoro,

yang

berjudul

Pelaksanaan

Pemungutan

Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) atas


Hibah Wasiat di Jakarta Barat, kesimpulan dari permasalahan
yang diangkat dalam penelitian tesisnya adalah:
1) Dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB terdapat beberapa
tahapan

yang

dilalui,

yaitu

tahap

saat

pajak

terutang,

perhitungan besarnya BPHTB yang harus dibayar dan cara


perhitungannya.

2) Dalam pelaksanaan pemungutan BPHTB terdapat beberapa


kendala diantaraya adalah kendala yang berhubungan dengan
wajib pajak, seperti ketidaktahuan wajib pajak tentang BPHTB
dan perhitungan BPHTB hibah wasiat.
3) Penyelesaian terhadap kendala-kendala tersebut, pegawai
pajak seharusnya lebih mensosialisasikan tentang berbagai
macam pajak yang ada atau kantor pajak dapat menyediakan
sarana yang lebih mudah dalam menghitung BPHTB atas hibah
wasiat.
2. Tesis yang ditulis Ayu Hapsari Mufti, yang telah diuji pada tahun
2013, merupakan mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, dengan tesis berjudul Tinjauan Yuridis
Terhadap Pasal 90 Ayat (1) Huruf d dan Pasal 91 Ayat (1) Undangundang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah serta Implikasinya dalam Pembuatan Akta Hibah Wasiat
oleh Notaris dan PPAT, kesimpulan dari permasalahan yang
diangkat dalam tesisnya adalah:
1) Redaksi Pasal 90 Ayat (1) huruf d UU PDRD, seharusnya bukan
menunjuk pada akta hibah wasiat yang dibuat notaris, melainkan
pada akta hibah yang dibuat PPAT karena PPAT merupakan
pejabat yang berwenang membuat akta pengalihan hak yang
menimbulkan adanya kewajiban membayar pajak.
2) Bagi PPAT/Notaris yang menandatangani akta terlebih dahulu
sebelum pajak dibayarkan, tidak menyebabkan akta yang dibuat

oleh PPAT/Notaris menjadi batal, melainkan hanya dikenakan


denda administrasi sebanyak Rp. 7.500.000.
3. Tesis yang ditulis I Gusti Agung Putra Wiryawan, yang telah diuji
pada tahun 2015, merupakan mahasiswa Magister Kenotariatan
Program

Pascasarjana

Universitas

Udayana,

yang

berjudul

Pengaturan Tentang Pengenaan Pajak Bea Perolehan Hak Atas


Tanah

dan/atau

Bangunan

(BPHTB)

Atas

Hibah

Wasiat,

kesimpulan permasalahan yang diangkat dalam tesisnya adalah:


1) Pengaturan tentang pajak hibah wasiat pada BPHTB di Kab.
Badung dalam Peraturan Daerah Nomor 27 Tahun 2013 tentang
perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2010
mengenai waris dan hibah wasiat yang tidak dikenakan pajak
BPHTB bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2) Tentunya dengan adanya pertentangan dengan norma tersebut,
menimbulkan

kendala-kendala

bagi

masyarakat

yang

melakukan transaksi waris atau hibah wasiat di Kab. Badung.


Permasalahan yang dikaji oleh penulis dalam tesis ini tentunya
berbeda dengan ketiga tesis tersebut diatas. Tujuan dari dicantumkannya
ketiga tesis tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa tesis yang ditulis
oleh penulis tidak sama dengan tesis-tesis sebelumnya yang juga
membahas tentang pajak BPHTB.

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perolehan Hak Atas Tanah Pada Hibah Wasiat
1. Jenis-Jenis Hak Atas Tanah
Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4
ayat (1) dan (2) UUPA, yaitu:
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai dimaksud
dalam Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang
yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu
dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturanperaturan hukum yang lebih tinggi.
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari Negara atas
tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga Negara Indonesia
maupun warga Negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama,
dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik. 7
Menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip Urip Santoso 8,
wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap
tanahnya dibagi menjadi dua, yaitu:
7 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2013,
hal. 89.
8 Ibid.

11

a. Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya,
termasuk juga tubuh bumi dan air dan ruang yang ada di
atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batasbatas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain
yang lebih tinggi.
b. Wewenang khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya
sesuai

dengan

macam

hak

atas

tanahnya,

misalnya

wewenang pada tanah hak milik adalah dapat untuk


kepentingan
wewenang

pertanian
pada

tanah

dan/atau
hak

mendirikan

guna

bangunan,

bangunan

adalah

menggunakan tanah hanya untuk mendirikan dan memiliki


bangunan di atas tanah yang bukan miliknya, wewenang pada
tanah hak guna usaha adalah menggunakan tanah hanya
untuk kepentingan perusahaan di bidang pertanian, perikanan,
peternakan, atau perkebunan.
Hak-hak atas tanah yang dimaksudkan dalam Pasal 4 di atas
ditentukan dalam Pasal 16 ayat 1 UUPA yaitu:
1. Hak Milik

12

Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang


dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik atas tanah dapat
dipunyai oleh perseorangan warga Negara Indonesia dan
badan-badan

hukum

yang

ditunjuk

pemerintah.

Dalam

menggunakan hak milik atas tanah harus memerhatikan fungsi


sosial atas tanah, yaitu dalam menggunakan tanah tidak boleh
menimbulkan kerugian bagi orang lain, penggunaan tanah
harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat haknya, adanya
keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan
umum, dan tanah harus dipelihara dengan baik agar bertambah
kesuburan dan mencegah kerusakannya. Hak milik dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Beralih artinya
berpindahnya hak milik atas tanah dari pemiliknya kepada pihak
lain dikarenakan suatu peristiwa hukum seperti meninggalnya
pemilik tanah sehingga berpindah kepada ahli warisnya.
Dialihkan hak artinya berpindahnya hak milik atas tanah dari
pemiliknya kepada pihak lain dikarenakan adanya suatu
perbuatan hukum, contohnya jual beli, tukar-menukar, hibah,
penyertaan dalam modal perusahaan, dan lelang. 9
2. Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu tertentu
guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. Hak
Guna Usaha dapat dipunyai oleh perseorangan warga Negara
9 Ibid., hal. 94.

13

Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum


Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak guna usaha
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak guna usaha
dapat beralih dengan cara pewarisan dan dialihkan kepada
pihak lain yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak guna
usaha seperti jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam
modal perusahaan, dan lelang.10
3. Hak Guna Bangunan
Hak Guna

Bangunan

yaitu

hak untuk mendirikan

dan

mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri


dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan bisa
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun serta
yang dapat mempunyai hak guna bangunan adalah warga
Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut
hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak guna
bangunan dapat beralih dengan cara pewarisan yang harus
dibuktikan dengan adanya surat wasiat atau surat keterangan
sebagai ahli waris yang dibuat oleh pejabat yang berwenang
dan dialihkan kepada pihak lain melalui jual beli, tukar-menukar,
hibah, penyertaan dalam modal perusahaan, dan lelang. 11
4. Hak Pakai
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah
10 Ibid., hal. 106.
11 Ibid., hal. 114.

14

milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang


ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan
pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan UUPA. Hak pakai
dapat dipunyai oleh warga Negara Indonesia, orang asing yang
berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan
menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dan
badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
Hak pakai yang diberikan atas Negara untuk jangka waktu
tertentu dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Hak pakai atas tanah
hak milik hanya dapat dialihkan apabila hak pakai tersebut
dimungkinkan dalam perjanjian pemberian hak pakai atas tanah
hak milik yang bersangkutan. Hak pakai atas tanah Negara
yang diberikan untuk jangka waktu yang ditentukan selama
digunakan untuk keperluan tertentu tidak dapat dialihkan
kepada pihak lain. Hak Pakai dapat beralih dengan cara
pewarisan yang harus dibuktikan dengan adanya surat wasiat
atau surat keterangan sebagai ahli waris yang dibuat oleh
pejabat yang berwenang dan dialihkan kepada pihak lain
melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, penyertaan dalam modal
perusahaan, dan lelang.12
12 Ibid., hal. 126.

15

5. Hak Sewa
Hak sewa untuk bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang
atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan
di atas tanah hak milik orang lain dengan membayar sejumlah
uang sewa tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan
pemegang hak sewa untuk bangunan. Dalam hak sewa untuk
bangunan,

pemilik

tanah

menyerahkan

tanahnya

dalam

keadaan kosong kepada penyewa dengan maksud agar


penyewa dapat mendirikan bangunan di atas tanah tersebut.
Bangunan itu menurut hukum menjadi milik penyewa, kecuali
ada perjanjian lain. Hak sewa untuk bangunan dapat dipunyai
oleh warga Negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan
di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum
Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dan badan hukum
asing

yang

dasarnya,

mempunyai

pemegang

perwakilan

hak

sewa

di

untuk

Indonesia.

Pada

bangunan

tidak

diperbolehkan mengalihkan hak sewanya kepada pihak lain


tanpa izin dari pemlik tanah. Pelanggaran terhadap larangan ini
dapat berakibat terputusnya hubungan sewa menyewa antara
pemegang hak sewa untuk bangunan dengan pemilik tanah.

13

Pada hak atas tanah di dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA tersebut di
atas sebenarnya masih ada dua hak yang belum disebutkan yaitu hak
membuka tanah dan hak memungut hasil hutan tetapi keduanya bukanlah
hak atas tanah dikarenakan keduanya tidak memberikan wewenang
13 Ibid., hal. 134.

16

kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil


manfaat dari tanah yang dihakinya. Namun, sekadar menyesuaikan
dengan sistematika hukum adat, maka kedua hak tersebut dicantumkan
juga ke dalam hak atas tanah yang bersifat tetap. Sebenarnya kedua hak
tersebut merupakan pengejawantahan dari hak ulayat masyarakat
hukum adat.14
2. Cara Memperoleh Hak Milik
Mengenai macam-macam cara memperoleh hak milik itu diatur di
dalam Pasal 584 BW. Di mana di Pasal itu, macam-macam cara
memperoleh hak milik itu disebut satu per satu secara limitatif, jadi seolaholah menggambarkan pengaturan perolehan hak milik secara limitatif. 15
Pasal 584 BW mengatur 5 (lima) cara untuk memperoleh hak milik
atas benda, yaitu:
1. Pemilikan/pendakuan (Toeeigening)
Pendakuan diatur dalam Pasal 585 BW, yaitu tentang pemilikan
dari barang-barang bergerak yang belum ada pemiliknya/tidak ada
pemiliknya (Res Nullius). Pada Pasal 586 BW, pendakuan dari
binatang-binatang liar dalam hutan-hutan, pendakuan dari ikan di
sungai-sungai dan lain-lain dan Pasal 587 BW, menentukan bahwa
hak milik atas sesuatu harta karun adalah pada orang yang
menemukannya di tanah miliknya sendiri. Apabila harta karun itu
14 Ibid., hal. 91.
15 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty,
2004, hal. 62.

17

ditemukan di tanah milik orang lain, maka setengahnya adalah milik


orang yang menemukan dan setengah lain milik si pemilik tanah.
Harta karun yang dimaksud adalah segala kebendaan tersembunyi
atau terpendam, yang tiada seorang pun dapat membuktikan hak
miik terhadapnya dan ditemukan karena kebetulan semata-mata. 16
2. Perlekatan (Natrekking)
Diatur dalam Pasal 500 sampai dengan 502 BW dan Pasal 586
sampai dengan Pasal 609 BW, yaitu memperoleh benda itu karena
benda itu mengikuti benda yang lain. Misalnya: hak atas tanamtanaman, mengikuti tanah yang sudah menjadi milik dari orang
yang menanami itu.17
3. Lampau Waktu/Kedaluwarsa (Verjaring)
Diatur dalam Pasal 610 BW dan lebih lanjut diatur dalam Buku IV
BW Pasal 1955 jo. Pasal 1963 BW dan Pasal 1967 BW. Pasal 610
BW mengatur tentang hak milik atas sesuatu kebendaan diperoleh
karena

kedaluwarsa,

apabila

seseorang

telah

memegang

kedudukan berkuasa atasnya selama waktu yang ditentukan


undang-undang dan menurut syarat-syarat serta cara membedabedakannya seperti termaktub dalam bab ketujuh buku keempat
kitab ini. Berdasarkan Pasal 1946 BW, ada 2 (dua) macam
kedaluwarsa, yaitu:18
16 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum
Perikatan, Bandung: Nuansa Aulia, 2015, hal. 16.
17 Ibid.
18 Ibid. hal. 17.

18

1. Acquisitieve verjaring, kedaluwarsa untuk memperoleh sesuatu


(hak milik).
2. Extinctieve verjaring, kedaluwarsa untuk dibebaskan dari suatu
kewajiban.
Jadi, memperoleh hak milik dengan kedaluwarsa di sini yang
dimaksudkan ialah acquisitieve verjaring. Arti pentingnya dari
lembaga acquisitieve verjaring itu terutama bukanlah sebagai cara
untuk memperoleh hak milik, melainkan untuk pembuktian yaitu
untuk dipakai sebagai bukti bahwa orang adalah pemilik, jadi ini
perlu untuk kepastian hukum. Siapakah yang sebenarnya pemilik
benda itu.19 Semenjak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria,
maka ketentuan tentang kedaluwarsa ini sudah tidak berlaku lagi.
Kedaluwarsa ini menentukan tenggang waktu 20 tahun dengan
rechtstitel (misalnya: jual-beli, hibah, dan lain-lain) dan 30 tahun
tanpa alas hak, sedangkan Pasal 1967 BW menentukan tenggang
waktu 30 tahun. Sebenarnya di dalam Buku IV BW, dikenal satu
macam lagi kedaluwarsa yang disebut korteverjaring (kedaluwarsa
pendek) diatur dalam Pasal 1968 sampai dengan 1975 BW,
tenggang waktunya antara satu sampai lima tahun.20
4. Pewarisan (Erfopvolging)
Berdasarkan Pasal 611 BW bahwa cara memperoleh hak milik
karena pewarisan menurut undang-undang atau menurut surat
19 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit., hal. 64.
20 Djaja S. Meliala, Loc. Cit.

19

wasiat, akan dibicarakan dalam bab kedua belas dan bab


ketigabelas buku II BW.21
5. Penyerahan (Levering)
Penyerahan adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas
namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh
hak milik atas benda itu. Hak milik atas barang itu baru berpindah
setelah adanya penyerahan. Jadi, penyerahan disini adalah
merupakan perbuatan yuridis dalam arti transferring of ownership.
Bentuk-bentuk cara penyerahan dari benda itu dibedakan sesuai
dengan sifat benda yaitu:22
1. Benda bergerak.
2. Benda tak bergerak.
Benda bergerak masih dibedakan atas benda bergerak yang
berwujud dan benda bergerak yang tak berwujud. Penyerahan dari
benda bergerak yang berwujud dilakukan dengan cara penyerahan
nyata (feitelijke levering) atau penyerahan dari tangan ke tangan.
Adakalanya penyerahan terhadap benda-benda bergerak yang
berwujud itu pada peralihan hak tak perlu dilakukan yaitu dalam hal
benda yang akan diserahkan itu telah berada dalam tangan orang
yang hendak menerimanya berdasarkan atas hak yang lain.

21 Ibid.
22 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit., hal. 68.

20

Mengenai hal ini, ada 3 (tiga) bentuk figuur penyerahan yang


disebut:23
1) Traditio brevi manu (penyerahan dengan tangan pendek).
Penyerahan secara tangan pendek ini dapat terjadi, misalnya
seorang penyewa yang telah menguasai kebendaan yang
diperjualbelikan, kemudian membeli kebendaan yang semula
disewa olehnya tersebut.
2) Traditio longa manu (penyerahan dengan tangan panjang).
Dalam penyerahan ini, kebendaan yang diperjualbelikan berada
di tangan seorang pihak ketiga, yang dengan tercapainya
kesepakatan mengenai kebendaan dan harga kebendaan yang
dijual itu akan menyerahkannya kepada pembeli.24
3) Constitutum pessessorium (penyerahan dengan melanjutkan
penguasaan atas bendanya).
Penyerahan dari benda bergerak yang tidak berwujud ini dapat
dibedakan sebagai berikut:25
1) Penyerahan dari surat piutang aan toonder (atas bawa)
dilakukan dengan penyerahan surat tagihan yang bersangkutan.

23 Ibid., hal. 69.


24 Djaja S. Meliala, Op. Cit., hal. 18.
25 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan , Loc. Cit.

21

2) Penyerahan surat tagihan aan order (atas unjuk) dilakukan


dengan

penyerahan

surat

tagihannya

disertai

dengan

endossement.
3) Penyerahan dari piutang op naam (atas nama) termasuk hak
atas benda tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan membuat
akta cessie.
Dalam hukum adat, perbuatan penyerahan tidak sama maksudnya
dengan levering menurut hukum barat dalam hal jual beli tanah
oleh karena hukum adat tidak memisahkan pengertian jual dengan
penyerahan sebagaimana hukum barat, dimana jual beli itu
memerlukan penyerahan.26
Menurut Hilman Hadikusuma 27, kata sepakat di dalam suatu
perjanjian merupakan perbuatan pendahuluan untuk melaksanakan apa
yang telah disepakati itu. Jadi dengan janji perkataan saja belum
mengikat, ia akan mengikat jika diperkuat dengan pemberian (panjar)
sebagai tanda akan memenuhi janji dan walaupun sudah diberi panjar
belum berarti mewajibkan penjual menyerahkan barangnya. Oleh karena
penjualan benda tidak bergerak adalah penyerahan benda itu dengan
harga tertentu dan bukan merupakan suatu perjanjian yang menjelmakan
kewajiban

untuk

menyerahkan.

Dapat

dikatakan

bahwa

menurut

pengertian hukum adat, penjualan dan penyerahan itu adalah satu.


Berlakunya hak pembeli atas barang yang dibelinya pada saat dilakukan
26 Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1990, hal. 109.
27 Ibid., hal. 110.

22

ijab kabul (serah terima) di hadapan ketua adat atau cukup apabila
dinyatakan dihadapan para saksi kerabat tetangga, terutama yang penting
ialah mereka yang berbatasan tanah.
Dengan demikian mengenai penyerahan di dalam jual beli tanah di
dalam hukum adat tidak dipersoalkan dan tidak dipisahkan dari perbuatan
jualnya. Perbuatan jual dan serah terima itu satu rangkaian perbuatan dan
perbuatan itu terang dihadapan saksi-saksi. 28
Menurut Soerjono Soekanto29, mengenai hibah wasiat dalam
hukum adat penyerahan dan pelaksanaannya merupakan peristiwa
hukum yang baru akan berlaku setelah orang tua meninggal dunia. Pada
keadaan tertentu hibah wasiat itu dibuat secara tertulis melalui
perantaraan seorang notaris. Tetapi menurut Soepomo 30, meskipun hibah
wasiat itu berbentuk akta notaris, sah atau tidaknya isi hibah wasiat itu
dikuasai oleh hukum adat. Misalnya, tidak akan sah suatu pemberian
sawah kasikepan kepada seorang waris yang bukan teman sedesa.
Menurut ketentuan BW bahwa hak milik atas barang yang dijual
tidak berpindah kepada pembeli selama penyerahannya (levering) belum
dilakukan yaitu sebelum didaftarkan di dalam register umum sebagaimana
dimaksud Pasal-pasal 612, 613, dan 616 BW, namun berbeda halnya di
dalam UUPA yang berdasarkan hukum adat, maka hak milik secara
28 Ibid., hal. 113.
29 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2002, hal. 271.
30 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977,
hal. 89.

23

hukum dengan asas nyata dan tunai (konkrit dan kontan) telah beralih
pada saat disepakati dan dibuat serta ditandatanganinya akta PPAT.
Pendaftarannya pada Kantor Pertanahan adalah untuk memberikan alat
bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya daripada akta
PPAT yang membuktikan telah terjadinya pemindahan hak yang
dilakukan. Dengan kata lain, dilakukannya jual beli tersebut di dalam
hukum tanah nasional, timbulnya hak dan kewajiban para pihak telah
serta merta berlangsung pada saat akad dan ditandatanganinya akta di
depan PPAT. 31
3. Peralihan Hak Atas Tanah
Menurut Boedi Harsono32, peralihan hak atas tanah bisa terjadi
karena:
a. Pewarisan tanpa wasiat.
b. Perbuatan hukum pemindahan hak.
a. Pewarisan tanpa wasiat
Berdasarkan hukum perdata jika pemegang sesuatu hak atas tanah
meninggal dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli
warisnya. Peralihan hak tersebut kepada para ahli waris, yaitu siapa-siapa
yang termasuk ahli waris, berapa bagian masing-masing dan cara
pembagiannya, diatur oleh hukum waris almarhum pemegang hak yang
31 Rusmadi Murad, Administrasi Pertanahan, Bandung: CV. Mandar Maju, 2013,
hal. 306.
32 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2003, hal.
332.

24

bersangkutan, bukan oleh hukum tanah. Hukum tanah memberikan


ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan
hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya oleh para ahli
waris.33
Namun demikian, guna menjaga agar tata usaha pendaftaran tanah
jangan menjadi kewajiban, maka ada kewajiban dari para ahli warisnya
untuk meminta pendaftaran tanah peralihan hak atas tanah dalam waktu
enam bulan setelah pewaris meniggal dunia. Keharusan untuk meminta
pendaftaran peralihan hak atas tanah, karena warisan ini berlaku baik
terhadap tanah-tanah yang sudah maupun yang belum dibukukan. 34
Dengan jatuhnya tanah kepada para ahli waris, terjadilah pemilikan
bersama tanah hak milik jika tanah tersebut hanya satu-satunya. Akan
tetapi jika, pewaris memiliki tanah tersebut sesuai dengan jumah ahli waris
dan telah dibuatkan surat wasiat, maka tanah dimaksud telah menjadi
milik masing-masing ahli waris. Untuk memperoleh kekuatan pembuktian
tanah dari dari hasil pewarisan, maka surat keterangan waris sangat
diperlukan di samping sebagai dasar untuk pendaftaran tanahnya. 35
b. Perbuatan Hukum Pemindahan Hak

33 Ibid.
34 Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid 2, Jakarta:
Prestasi Pustakaraya, 2004, hal. 49.
35 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007, hal. 102.

25

Pemindahan hak atas tanah menyebabkan hak atas tanah beralih


dari seseorang kepada orang lain. Jadi, pemindahan adalah perbuatan
hukum yang sengaja dilakukan dengan tujuan agar hak atas tanah
berpindah dari yang mengalihkan kepada yang menerima pengalihan. 36
Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa
wasiat yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pemegang hak,
dalam perbuatan hukum pemindahan hak, bentuk pemindahan haknya
bisa:37
a. Jual-beli;
b. Tukar-menukar;
c. Hibah;
d. Pemberian menurut adat;
e. Pemasukan dalam perusahaan atau inbreng dan
f. Hibah wasiat atau legaat.
g. Lelang di muka umum atas tanah
Perbuatan-perbuatan tersebut, dilakukan pada waktu pemegang
haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak
yang bersifat tunai, kecuali hibah wasiat. Artinya, bahwa dengan
dilakukannya

perbuatan

hukum

tersebut,

hak

atas

tanah

yang

bersangkutan berpindah kepada pihak lain. Dalam hibah wasiat hak atas

36 Effendi Perangin, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut


Pandang Praktisi Hukum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994, hal. 1 .
37 Boedi Harsono, Op. Cit., hal. 333.

26

tanah yang bersangkutan beralih kepada penerima hibah wasiat pada


saat pemegang haknya meninggal dunia.38
Jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut hukum adat
dan pemasukan dalam perusahaan, demikian juga pelaksanaan hibah
wasiat, dilakukan oleh para pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) yang bertugas membuat aktanya. Dilakukannya perbuatan
hukum yang bersangkutan di hadapan PPAT maka akta tersebut
membuktikan, bahwa benar telah dilakukan perbuatan hukum yang
bersangkutan karena perbuatan hukum yang dilakukan merupakan
perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut secara implisit
juga membuktikan, bahwa penerima hak sudah menjadi pemegang
haknya yang baru. Tetapi hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga
baru mengikat para pihak dan ahli warisnya karena administrasi PPAT
sifatnya tertutup bagi umum.39
4. Pengertian Wasiat dan Hibah Wasiat
Pengertian wasiat dapat diketahui dari Pasal 875 BW, yang
menetapkan bahwa, surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang
dibuat oleh pewaris yang berisikan tentang apa yang dikehendakinya akan
terjadi tentang pengaturan harta kekayaan yang ditinggalkannya setelah ia
meninggal dunia dan yang olehnya dapat dicabut kembali. Pengertian
wasiat dalam Pasal 875 BW ini hanya menyebutkan atau menentukan
besarnya bagian-bagian yang akan diberikan kepada ahli waris tetapi
38 Ibid.
39 Ibid., hal. 334.

27

tidak menyebutkan barang apa yang akan diberikan, sehingga semua


harta yang ditinggalkan oleh pewaris merupakan pula milik ahli waris
testamenter (sebesar yang ditentukan dalam wasiat). 40
Menurut Pitlo41, untuk istilah wasiat dapat juga dipergunakan kata
kehendak terakhir. Kehendak terakhir dipergunakan dalam arti, apa
yang dikehendaki seseorang akan berlaku sesudah ia meninggal dunia
sesuai dengan apa yang ia tetapkan karena itu ada kehendak terakhir
dalam arti materil dan ada dalam arti formil. Pembuat undang-undang
memakai kata-kata tersebut kali ini dalam arti yang satu dan berikutnya
dalam arti yang lain. Hal ini sesungguhnya tidak merupakan persoalan
karena

dari

hubungan

kalimatnya

dapat

diketahui

apa

yang

dimaksudkannya.
Dari pengertian ini didapatkan bahwa ciri-ciri surat wasiat adalah
merupakan

perbuatan

sepihak

yang

dapat

dicabut

kembali

dan

merupakan kehendak terakhir dan mempunyai kekuatan hukum setelah


pewaris meninggal dunia. Dengan melihat ketentuan tersebut, maka
terdapat suatu larangan untuk membuat wasiat yang dilakukan oleh dua
orang atau lebih secara bersama-sama untuk menguntungkan satu

40 Padma D. Liman, Op. Cit., hal. 3.


41 A. Pitlo, Hukum Waris Menurut Undang-Undang Hukum Perdata Belanda
diterjemahkan oleh M.Isa Arief dari judul asli: Het Erfrecht Naar Het Nederlands
Burgerlijk Wetboek, Jilid 1, Jakarta: Intermasa, 1979, hal. 59.

28

dengan yang lainnya maupun untuk kepentingan pihak ketiga dalam suatu
akta (Pasal 930 BW). 42
Dalam Pasal 957 BW, undang-undang menguraikan hibah wasiat
sebagai suatu ketetapan khusus, yang didalamnya pewaris menyatakan
memberikan barang-barang tertentu atau (semua) barang-barang jenis
tertentu kepada seseorang atau lebih, seperti misalnya seluruh barangbarang bergeraknya atau yang tidak bergerak atau hak pakai hasil dari
seluruh atau sebagian barang-barangnya. Pemberian ini dinamakan
khusus oleh karena merupakan lawan dari penunjukan waris (erfstelling)
yang merupakan pemberian bersifat umum. Jikalau ahli waris tersebut
adalah penerima hak dengan alas hak umum, maka legataris adalah
penerima hak dengan alas hak khusus. Hal yang disebut terakhir ini tidak
melanjutkan pribadi pewaris. Ia adalah penerima hak, seperti halnya
seorang pembeli adalah juga penerima hak.43
5. Bentuk-bentuk Wasiat
Burgerlijk Wetboek mengenal tiga macam bentuk cara pembuatan
surat wasiat, yaitu:
a. Wasiat Olografis
Ciri yang terpenting dari wasiat olografis yaitu seluruhnya ditulis
dengan tangan dan ditandatangani pewaris sendiri. Kemudian surat

42 Henny Tanuwidjaja, Hukum Waris Menurut BW, Bandung: Refika Aditama,


2012, hal. 51.
43 Gregor van der Burght, Hukum Waris Buku Kesatu, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1995, hal. 397.

29

wasiat tersebut harus diserahkan untuk disimpan pada seorang notaris


dan penyerahan kepada notaris ada dua cara, yaitu bisa diserahkan
dalam keadaan terbuka bisa juga dalam keadaan tertutup. Kedua cara
penyerahan dan penyimpanan pada notaris itu mempunyai akibat hukum
yang satu sama lain berbeda, yaitu44:
1) Apabila surat wasiat diserahkan dalam keadaan terbuka maka
dibuatlah

akta

notaris

tentang

penyerahan

itu

yang

ditandatangani oleh pewaris, sakis-saksi, dan juga notaris. Akta


penyimpanan tersebut ditulis di kaki surat wasiat tersbut, jika
tidak ada tempat kosong pada kaki surat wasiat tersebut, maka
amanat ditulis lagi pada sehelai kertas yang lain.
2) Apabila surat wasiat diserahkan kepada notaris dalam keadaan
tertutup, maka pewaris harus menuliskan kembali pada sampul
dokumen itu bahwa surat tersebut berisikan wasiatnya dan
harus menandatangani keterangan itu dihadapan notaris dan
saksi-saksi.

Setelah

itu

pewaris

harus

membuat

akta

penyimpanan surat wasiat pada kertas yang berbeda.


Surat wasiat yang disimpan pada seorang notaris kekuatannya
sama dengan surat wasiat yang dibuat dengan akta umum. Jika pewaris
meninggal dunia dan wasiat diserahkan kepada notaris dalam keadaan
terbuka, maka segera penetapan dalam surat wasiat dapat dilaksanakan
sebab notaris mengetahui isi surat wasiat tersebut. Sebaliknya, jika surat
wasiat diserahkan dalam keadaan tertutup, maka pada saat pewaris
44 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan
BW, Bandung: Refika Aditama, 2011, hal. 98-99.

30

meninggal dunia surat wasiat tidak dapat segera dilaksanakan sebab isi
surat wasiat itu tidak dapat diketahui notaris, sedangkan notaris dilarang
membuka sendiri surat wasiat tersebut, maka untuk kepentingan itu surat
wasiat harus derahkan terlebih dahulu kepada Balai Harta Peninggalan
untuk membukanya.45
Menurut Pitlo46 , bahwa jika wasiat olografis hanya merupakan akta
di bawah tangan, maka beban pembuktian yang bertumpu pada pihak
yang diberi keuntungan oleh wasiat sangat berat dikarenakan para ahli
waris akan dapat mengingkari keaslian tulisan pewaris, sedangkan pihakpihak yang diberi keuntungan oleh wasiat tersebut haruslah berusaha
membuktikan keaslian tulisan tersebut.
b. Wasiat Umum (Openbaar Testament)
Mengenai surat wasiat ini diatur dalam Pasal 938 dan seterusnya
dari Burgerlijk Wetboek. Pasal 938 BW menetapkan wasiat umum wajib
dibuat dihadapan seorang notaris dengan mengajukan dua orang saksi.
Pembuat surat wasiat harus menyampaikan sendiri kehendaknya itu
dihadapan saksi-saksi. Hal itu dapat dilakukan dengan perantaraan orang
lain, baik anggota keluarganya maupun notaris yang bersangkutan. 47
Surat wasiat harus dibuat dalam bahasa yang dipergunakan oleh
pewaris ketika menyampaikan kehendaknya, dengan syarat bahwa notaris
45 Ibid.
46 A. Pitlo, Op. Cit., hal. 174.
47 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,
2012, hal. 102-103.

31

dan saksi-saksi juga mengerti bahasa tersebut. Hal ini mengingat


kesalahan dalam surat wasiat, biasanya tidak dapat diperbaiki lagi sebab
hal itu baru diketahui setelah pewaris meninggal dunia. Jadi sedapat
mungkin kesalahan formalitas itu harus diperkecil. 48
Ada perbedaan pendapat mengenai masalah apakah keterangan
dari orang yang meninggalkan warisan harus secara lisan, tertulis atau
dengan cara praktek langsung (gebaren). Asser-Meyers berpendapat,
bahwa pernyataan ini secara lisan, oleh karena hanya dengan demikian
dapat dikatakan, bahwa pernyataan ini dilakukan dengan dihadiri oleh dua
orang saksi dan lazimnyalah wasiat umum ini sejak dahulu kala
dinamakan wasiat lisan.49
Berbeda

dengan

Asser-Meyers,

R.

Wirjono

Prodjodikoro

berpendapat bahwa yang perlu dalam hal ini adalah seorang notaris
mengerti apa yang dinyatakan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Pernyataan tersebut sesuai jika dinyatakan dengan lisan, tetapi juga
sering seorang yang meninggalkan warisan itu terserang flu sehingga
tidak dapat membaca dan yang bersangkutan lalu mencatat di atas kertas.
Jika

orang

yang

meninggalkan

warisan

sesudah

mendengarkan

pembacaan ini menganggukkan kepalanya, maka cara pernyataan ini


sudah cukup.50

48 Eman Suparman, Op. Cit., hal 100.


49 Oemarsalim, Op. Cit., hal. 103.
50 Ibid.

32

Setelah itu akta notaris tersebut di tandatangani oleh notaris,


pewaris dan saksi-saksi. Seandainya pewaris tidak dapat menandatangani
atau berhalangan datang, maka keadaan ini harus dijelaskan pada akta
notaris dengan terperinci. Di samping itu harus pula dijelaskan bahwa
pada akta notaris ketentuan-ketentuan selengkapnya yang dibutuhkan ini
telah dilakukan semuanya.51

c. Wasiat Rahasia
Lain halnya dengan yang berlaku pada wasiat olografis, maka pada
wasiat rahasia, pewaris tidak perlu menulis ketetapan-ketetapannya
sendiri. Tetapi ia harus menandatanganinya. Kertas yang diatasnya ditulis
ketetapan-ketetapan tersebut atau kertas yang dipakai sebagai sampul,
harus tertutup dan disegel.52
Syarat-syarat pembuatan surat wasiat rahasia ini diatur dalam
Pasal 940 dan 941 BW. Pembuatan surat wasiat rahasia haruslah dibuat
sendiri dan ditanda tanganinya dan dimasukkan dalam sampul yang
disegel untuk selanjutnya diserahkan kepada notaris dengan dihadiri oleh
empat orang saksi. Oleh notaris kemudian dibuatkan akta superscriptie
yang dapat dituliskan pada sampul surat wasiat atau pada kertas
tersendiri dan ditandatangani oleh pewaris, notaris, dan saksi-saksi. 53

51 Ibid., hal. 104.


52 Gregor van der Burght, Op. Cit., hal. 362.
53 Henny Tanuwidjaja, Op. Cit., hal. 53.

33

Jika si penghibah wasiat meninggal dunia, maka yang berkewajiban


memberitahukan kepada mereka yang berkepentingan adalah notaris, hal
ini berdasarkan Pasal 943 BW. Pemberitahuan yang dimaksud di sini
adalah tentang adanya wasiat-wasiat.54
6. Pihak yang Memberi dan Menerima Hibah
Berdasarkan Pasal 1666 BW, penghibahan (schenking) adalah
suatu perjanjian dengan mana si penghibah, di waktu hidupnya, dengan
cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu
barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan
itu.55
Penghibahan ini digolongkan pada apa yang dinamakan perjanjian
dengan cuma-cuma, dimana perkataan dengan cuma-cuma itu
ditujukan pada hanya adanya prestasi dari satu pihak saja, sedangkan
pihak yang lainnya tidak usah memberikan kontra-prestasi sebagai
imbalan. Perjanjian yang demikian juga dinamakan perjanjian sepihak
sebagai lawan dari perjanjian bertimbal-balik. Perjanjian yang banyak
tentunya adalah bertimbal-balik, karena yang lazim adalah bahwa orang
menyanggupi suatu prestasi karena ia akan menerima suatu kontraprestasi.56

54 Oemarsalim, Op. Cit., hal. 105.


55 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 94.
56 Ibid., hal. 95.

34

Untuk menghibahkan, seorang, selainnya bahwa ia harus sehat


pikirannya, harus sudah dewasa. Diadakan kekecualian dalam halnya
seorang yang belum mencapai usia genap 21 tahun, menikah dan pada
kesempatan itu memberikan sesuatu dalam suatu perjanjian perkawinan.
Orang yang belum mencapai usia genap 21 tahun itu diperkenankan
membuat perjanjian perkawinan asal ia dibantu oleh orangtuanya atau
orang yang harus memberikan izin kepadanya untuk melangsungkan
perkawinan. Dengan istilah dibantu dimaksudkan bahwa orang yang
belum dewasa itu membuat sendiri perjanjiannya (sebagai pihak) namun
ia didampingi oleh orangtuanya itu.57
Untuk menerima suatu hibah, dibolehkan orang itu belum dewasa,
tetapi ia harus diwakili oleh orangtua atau wali. Undang-undang hanya
memberikan pembatasan dalam Pasal 1679 BW, yaitu menetapkan
bahwa orang yang menerima hibah itu harus sudah ada (artinya: sudah
dilahirkan)

pada

saat

dilakukannya

penghibahan,

dengan

pula

mengindahkan ketentuan Pasal 2 BW yang menetapkan bahwa anak


yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan manakala
kepentingan si anak itu menghendakinya.58
Pasal 1678 BW melarang penghibahan antara suami dan isteri
selama perkawinan. Namun, ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiahhadiah atau pemberian-pemberian barang-barang bergerak yang bertubuh
yang harganya tidak terlampau tinggi, mengingat kemampuan si
57 Ibid. hal. 100.
58 Ibid.

35

penghibah. Ketentuan tersebut hanya mempunyai arti kalau suami-isteri


itu kawin dengan (perjanjian) perpisahan kekayaan, sebab kalau mereka
itu kawin dalam percampuran kekayaan, maka kekayaan kedua belah
pihak dicampur menjadi satu, baik kekayaan yang dibawanya kedalam
perkawinan maupun kekayaan yang diperoleh masing-masing selama
perkawinan. Ketentuan (larangan penghibahan antara suami-isteri) ini
dimaksudkan

untuk

melindungi

orang-orang

pihak

ketiga

yang

mengadakan transaksi-transaksi dengan si suami atau si isteri dimana


mereka tentunya menyandarkan kepercayaan mereka kepada keadaan
kekayaan si suami atau si isteri itu. Dalam hukum perkawinan juga kita
lihat

adanya

suatu

larangan

untuk

mengubah

suatu

perjanjian

perkawinan.59
Penghibahan-penghibahan kepada lembaga-lembaga umum atau
lembaga-lembaga keagamaan, tidak mempunyai akibat, selain sekadar
oleh Presiden atau penguasa-penguasa yang ditunjuk olehnya telah
diberikan kekuasaan kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut,
untuk menerima pemberian-pemberian itu. 60
Akhirnya oleh Pasal 1681 BW dinyatakan berlakunya beberapa
pasal dari Buku II BW terhadap penghibahan. Jika dilihat pasal-pasal itu,
ternyata

bahwa

ketentuan-ketentuan

itu

mengandung

larangan

memberikan hibah wasiat kepada beberapa orang tertentu dengan siapa


si pemberi mempunyai hubungan yang begitu khusus sehingga dianggap
59 Ibid. hal. 101.
60 Ibid.

36

tidak pantas kalau orang-orang tersebut menerima suatu pemberian


darinya. Misalnya, dilarang pemberian hibah wasiat kepada walinya si
pemberi, kepada dokter yang merawat si pemberi sewaktu ia sakit yang
mengakibatkan matinya si pemberi ini, kepada notaris yang membuat
testament tentang hibah wasiat yang dibuat oleh si pemberi hibah itu, dan
lain-lain.61
7. Pencabutan dan Gugurnya Hibah Wasiat
a. Pencabutan Hibah Wasiat
Hibah wasiat pada umumnya bisa dicabut. Hal itu selaras dengan
sifat hibah wasiat yang merupakan kehendak terakhir. Jadi, jika hibah
wasiat dicabut oleh si penghibah, jelaslah bahwa hal itu bukanlah
merupakan keinginan terakhir. Pencabutan hibah wasiat tersebut dapat
dilaksanakan dengan cara yaitu:62
1) Pencabutan Secara Tegas
Pencabutan secara tegas diatur dalam Pasal 992 dan 993 BW.
Berdasarkan ketentuan Pasal 992 BW, pencabutan hibah wasiat
secara tegas ini dapat dilakukan dengan:63
a. Dalam suatu hibah wasiat baru yang dibuat menurut PasalPasal dari BW.
b. Dalam suatu akta Notaris khusus (bijzondere notarieleakte).

61 Ibid.
62 Oemar Salim, Op. Cit., hal. 130.
63 Henny Tanuwidjaja, Op. Cit., hal. 62.

37

Tentang apa yang dimaksud khusus pada ketentuan ini dalam


arti yang sempit tersebut berarti bahwa suatu hibah wasiat hanya
bisa dicabut dengan suatu akta notaris biasa, yang hanya
memuat pencabutan ini saja, sedangkan dalam arti luas berarti
bahwa suatu testamen juga dapat dicabut dengan suatu akta
notaris biasa, di mana tidak hanya sekadar berisi pencabutan
saja, tetapi juga memuat penetapan-penetapan hal tentang
keinginan terakhir dari si peninggal warisan. 64
2) Pencabutan Secara Diam-Diam
Pada ketentuan-ketentuan BW tentang pencabutan secara diamdiam ini ada 3 (tiga) bentuk yaitu:65
a) Jika seseorang peninggal warisan membuat wasiat lebih dari
satu yang isinya berbeda satu dengan yang lainnya saling
bertentangan. Dalam hal ini, Pasal 994 BW, menetapkan
bahwa jika ada dua surat wasiat yang berurutan berbeda
dengan yang lainnya, maka dianggap pencabutan dari ayatayatnya, dikemukakan bahwa pencabutan secara diam-diam
ini dianggap tidak pernah ada jika surat wasiat yang kedua
tidak memenuhi ketentuan acara-acara yang ditentukan oleh
BW.
b) Ketentuan dari Pasal 966 BW, menetapkan bahwa jika terjadi
suatu barang yang dihibahkan, namun oleh pewaris, sebelum
64 Oemarsalim, Op. Cit., hal. 131-132.
65 Henny Tanuwidjaja, Op. Cit., hal. 61-62.

38

meninggal dunia barang tersebut kemudian dijual atau


ditukarkan, maka hal ini pun dianggap telah ada pencabutan.
c) Pasal 934 BW menetapkan jika terjadi suatu surat wasiat
olografis yang diminta kembali oleh si pembuat surat wasiat
tersebut dari notaris, maka hal inipun dianggap telah terjadi
pencabutan surat wasiat tersebut.
b. Gugurnya Hibah Wasiat
Menurut R. Soetojo Pramirohamidjojo 66, jika suatu pemberian
testamenter dibuat dengan syarat penundaan, maka bagi orang yang
diuntungkan ada suatu syarat, tidak hanya ia hidup pada saat pewaris
meninggal dunia tetapi juga bahwa hal ini demikian halnya pada waktu
syarat itu dipenuhi. Jika waris yang ditentukan atau legataris meninggal
sebelum saat itu, maka pemberian itu hapus. Sebaliknya, jika hibah wasiat
ditentukan tidak tergantung dari suatu syarat, tetapi hanya suatu
ketentuan saja yang ditambahkannya, maka pemberian tidak hapus
dengan meninggalnya orang yang diuntungkan sebelum saat yang
ditentukan dan haknya beralih pada orang-orang yang memperoleh hak.
Pada Pasal 999 sampai dengan Pasal 1001 BW, menetapkan
bahwa dua hal yang menyebabkan gugurnya hibah wasiat yaitu: 67
1) Tidak adanya benda yang dihibah wasiatkan

66 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Surabaya: Airlangga


University Press, 2000, hal. 275.
67 A. Pitlo, Op. Cit., hal. 263.

39

Suatu hibah wasiat akan gugur apabila sebelum meninggalnya


pewasiat benda yang dihibah wasiatkan itu musnah. Apabila
benda itu musnah sebagian, maka hibah itu tetap berlaku untuk
bagian yang masih tersisa. Hibah wasiat itu juga akan gugur,
apabila benda yang dihibahkan itu musnah di luar kesalahan
ahli waris, bilamana ahli waris tetap lalai menyerahkan benda
yang dihibah wasiatkan itu, juga bilamana benda tersebut
musnah dalam tangan legataris. Dalam hal benda yang
bersangkutan itu musnah tidak ada pemberian ganti rugi. Akan
tetapi pewasiat dapat menetapkan dalam wasiatnya, bahwa
kalau benda yang diberikan itu musnah, legataris berhak atas
ganti rugi.
Legataris akan berhak atas sisa-sisa kapal, tetapi tidak atas
sisa-sisa kapal setelah dibongkar/dirombak. Demikian halnya
dengan legataris dari sebuah rumah dengan pekarangan,
berhak atas reruntuhan setelah rumah itu roboh, tetapi tidak
atas bongkaran, jika tidak diperuntukkan bagi pembangunan
kembali. Legataris yang berhak atas sisa, menurut KlaassenEggens, umumnya juga berhak untuk menuntut uang jaminan
yang telah diterima oleh para ahli waris dan juga dapat
diterapkan kemungkinan adanya ganti rugi karena kerugian
perang bisa mengganti apa yang di dihibahwasiatkan. 68
2) Tidak adanya orang yang diuntungkan

68 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Op. Cit., hal. 277.

40

Berdasarkan Pasal 1001 BW Ayat (1) menentukan bahwa suatu


wasiat gugur apabila orang yang diberi keuntungan menolak
atau dinyatakan tidak cakap untuk menikmati. Tidak cakap
berarti juga tidak patut (oonwaardigheid) dan meninggal lebih
dahulu. Penggantian tempat tidak dikenal dalam perolehan
dengan wasiat (kecuali peristiwa pada Pasal 975 BW). Dengan
sendirinya pewasiat dapat menetapkan, bahwa kalau orang
yang diuntungkan tidak ada, maka para ahli warisnya atau
orang ketiga dapat menggantikannya.
Kekuatan dari Pasal itu terutama terletak dalam ayat kedua
yang berisi bahwa keuntungan yang mungkin dijanjikan dalam
pemberian kepada pihak ketiga dalam hal ini tidak hapus tetapi
harus dibayar oleh orang yang berhak atas warisan atau legaat,
kecuali wewenang dari orang ini untuk keperluan orang yang
dijanjikan keuntungan harus melepaskan warisan atau legaat
dalam keadaan tidak cacat dan tidak bersyarat. Tetapi ketentuan
ini dapat diterapkan, jika keuntungan yang dijanjikan oleh pihak
ketiga

mengenai

dilaksanakan

oleh

kewajiban-kewajiban
orang

lain

yang

daripada

juga

dapat

orang

yang

ditugaskannya, seperti tugas untuk membayar benda-benda


yang dapat diganti. Sebaliknya, tugas yang dibebankan kepada
ahli waris atau legataris untuk membayarkan rumahnya atau
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang
untuk itu hanya orang tertentu saja yang mampu tidak beralih

41

kepada orang yang akan memperoleh hak atas hibah wasiat


itu.69
Gugurnya dari surat-surat wasiat masih dapat dianggap sebagai
akibat dari suatu pernyataan batal. Berdasarkan Pasal 1004 Ayat (1) BW
hal ini dapat diminta karena tidak melaksanakan tugas/beban. Dengan
syarat yang sesungguhnya, suatu pernyataan batal dinyatakan tidak
sesuai. Jika hibah wasiat disertai dengan syarat penundaan, maka hibah
wasiat tidak akan berlangsung sebelum syarat itu dipenuhi. Pemenuhan
ini harus dibuktikan oleh ahli waris atau legataris, sebaliknya jika
dibebankan suatu tugas maka hibah wasiat segera dilaksanakan. Jika
pemenuhan yang pertama membatalkan pemberian karena hukum dan
dengan tidak dipenuhinya tugas, maka harus dituntut pernyataan batal.
Jika ini tidak terjadi, maka hibah wasiat tetap bertahan. Hak untuk
menuntut pernyataan batal diberikan kepada mereka yang mempunyai
kepentingan dengan pernyataan batal itu, dengan tidak dipenuhinya tugas
oleh waris testamenter tunggal, pernyataan batal harus diminta oleh waris
pengganti dengan tidak dipenuhinya oleh legataris tuntutan harus
dilakukan oleh orang yang ditugaskan dengan pembayaran dari legaat. 70

8. Pelaksanaan Hibah Wasiat


Pewaris dapat menunjuk seseorang yang diberi tugas untuk
melaksanakan apa yang merupakan kehendak terakhirnya. Orang ini

69 Ibid., hal. 278.


70 Ibid., hal. 279.

42

disebut pelaksana wasiat. Pelaksana wasiat diberikan tugas untuk


melakukan tindakan-tindakan yang, bila tidak diangkat pelaksana wasiat,
dilakukan oleh para ahli waris. Pelaksanaan yang dibebankan kepada
satu orang, lebih menjamin pelaksanaan daripada harus ditangani oleh
beberapa orang. Hal tersebut dapat terjadi, di mana tidak jarang terjadi
para ahli waris satu sama lainnya mempunyai kepentingan yang
bertentangan. Meskipun ahli waris hanya seorang tetap dapat diangkat
pelaksana wasiat, karena kepentingan yang berbeda antara ahli waris dan
legataris. Dalam praktek sering orang mempergunakan kewenangan
untuk mengangkat seorang pelaksana wasiat. Pada umumnya yang
diangkat sebagai pelaksana wasiat adalah salah seorang dari ahli waris
(misalnya suami/istri yang hidup paling lama yang mewaris bersama anakanaknya).71
Adapun cara pemilihan pelaksana wasiat menurut Pasal 1005 BW
adalah:72
1. Dalam wasiat.
2. Dengan akta dibawah tangan, yang ditulis dan diberi tanggal
serta ditandatangani oleh orang yang meninggalkan harta
warisan, yang tercantum dalam Pasal 925 BW dan yang
disebut kondisi.
3. Dengan suatu akta notaris istimewa.
Istilah istimewa tidak berarti, bahwa dalam akta notaris itu tidak
bisa dimuat hal lain daripada pemilihan seorang yang menjalankan
testamen. Menurut Meyers, istilah istimewa mesti diartikan lebih luas
71 Gregor van der Burght, Hukum Waris Buku Kedua, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1996, hal. 1-2.

72 Oemarsalim, Op. Cit., hal. 168.

43

yaitu bahwa dalam akta notaris juga bisa dibuat hal-hal lain, tetapi
terbatas pada hal-hal yang oleh orang yang meninggalkan harta warisan
ditetapkan mesti dikerjakan setelah ia meninggal dunia. Jadi tidak boleh
penunjukan pelaksana wasiat dalam suatu perjanjian jual beli. 73
Pada Pasal 1006 BW ditentukan tentang siapa saja yang tidak
boleh dipilih menjadi pelaksana wasiat yaitu: 74
1. Wanita yang bersuami kecuali dengan bantuan suaminya.
2. Orang yang belum dewasa.
3. Orang yang berada di bawah pengampuan.
4. Orang-orang yang menurut hukum dianggap tidak cakap
bertindak.
Perlu diperhatikan, bahwa Pasal 1006 BW menetapkan orang yang
tidak bisa menjadi pelaksana wasiat. Tetapi tidak dijelaskan bahwa
mereka tidak boleh dipilih sebagai pelaksana wasiat. Oleh sebab itu, tidak
ada larangan seorang pria sebagai peninggal warisan memilih istrinya
sebagai seorang pelaksana wasiat, maka setelah ia meninggal, istrinya
dengan sendirinya tidak lagi mempunyai suami dan bilamana janda ini
kemudian menikah lagi, maka mulai saat itulah ia tidak boleh lagi
bertindak sebagai pelaksana wasiat. Demikian pula, seorang belum
dewasa boleh dipilih sebagai pelaksana wasiat, asalkan pada waktu
wasiat nanti dijalankan, orang tersebut telah dewasa. 75

73 Ibid.
74 Henny Tanuwidjaja, Op. Cit., hal. 92.

44

Dari istilah yang dipakai, yaitu pelaksana wasiat, maka dapat


disimpulkan dari ketentuan Pasal 1011 BW yang menetapkan bahwa
pelaksana wasiat harus berusaha agar wasiat dilaksanakan, dan jika
terjadi perselisihan, maka ia berkuasa untuk mempertahankan sahnya
perselisihan di muka Hakim. Kekuasaan si pelaksana wasiat ini, jika tidak
diikuti oleh kekuasaan terhadap barang-barang dari harta peninggalan,
maka ia hanya berkuasa untuk memperingatkan para ahli waris untuk
memenuhi kewajibannya serta memperingatkan para legataris akan
haknya.76
B. Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
(BPHTB)
1. Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan (BPHTB)
adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Pada dasarnya, BPHTB
dikenakan atas setiap perolehan hak yang diterima oleh orang atau badan
dan terjadi dalam wilayah hukum Negara Indonesia. BPHTB merupakan
pajak yang terutang dan harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu
hak atas tanah dan bangunan agar akta atau risalah lelang, atau surat
keputusan pemberian hak dapat dibuat dan ditandatangani oleh pejabat
yang berwenang. Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah
perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak
75 Oemarsalim, Op. Cit., hal. 170.
76 Henny Tanuwidjaja, Op. Cit., hal. 93.

45

atas tanah dan atau bangunan oleh pribadi atau badan. Pada dasarnya
perolehan hak merupakan hasil dari suatu peralihan hak dari suatu pihak
yang memiliki atau menguasai suatu tanah dan bangunan kepada pihak
lain yang menerima hak atas tanah dan bangunan tersebut. 77
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dapat terjadi karena
dua hal, yaitu peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Perolehan hak
karena peristiwa hukum merupakan perolehan hak yang diperoleh oleh
seseorang karena adanya suatu peristiwa hukum, misalnya pewarisan,
yang mengakibatkan hak atas tanah tersebut berpindah dari pemilik tanah
dan bangunan sebelumnya (pewaris) kepada ahli waris yang berhak.
Perolehan hak karena pewarisan ini hanya terjadi apabila terjadi peristiwa
hukum, yaitu meninggalnya si pewaris. Apabila si pewaris tidak meninggal
dunia, tidak akan ada pewarisan yang mengakibatkan hak atas tanah dan
bangunan beralih dari pewaris kepada ahli waris. Cara perolehan hak
yang kedua adalah melalui perbuatan hukum mengalihkan hak atas tanah
dan bangunan miliknya kepada pihak lain yang akan menerima peralihan
hak tersebut. Contoh perolehan hak karena perbuatan hukum antara lain
jual beli, hibah, hibah wasiat dan lelang.78
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah,
termasuk Hak Pengelolaan, termasuk bangunan di atasnya, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2011 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang77 Marihot Pahala Siahaan, Op. Cit., hal. 40.
78 Ibid., hal. 41.

46

undangan lain yang berlaku. Hal ini berarti BPHTB hanya boleh dikenakan
atas perolehan hak yang diatur dalam UUPA, Undang-Undang Rumah
Susun, dan Hak Pengelolaan. Perolehan hak-hak atas tanah lain yang
berkembang di masyarakat adat tetapi tidak diakui oleh UUPA tidak boleh
dikenakan BPHTB. 79
2. Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Hukum pajak tidak berbeda dengan hukum lainnya yang memiliki
subjek hukum selaku pendukung kewajiban dan hak. Dalam hukum pajak,
bukan subjek pajak sebagai pendukung hak dan kewajiban dan hak
melainkan adalah wajib pajak. Secara hukum, subjek pajak dengan wajib
pajak memiliki perbedaan karena subjek pajak bukan subjek hukum
melainkan hanya wajib pajak sebagai subjek hukum. Mengingat, subjek
pajak tidak memenuhi syarat-syarat, baik syarat-syarat subjektif atau
syarat-syarat objektif untuk dikenakan pajak sehingga bukan subjek
hukum. Sebaliknya, wajib pajak pada awalnya berasal dari subjek pajak
yang dikenakan pajak karena memenuhi syarat-syarat subjektif dan
objektif yang telah ditentukan. Dengan demikian, ada keterkaitan antara
subjek pajak dengan wajib pajak, walaupun keduanya dapat dibedakan
secara hukum karena keberadaan wajib pajak bermula dari subjek pajak. 80
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, wajib
pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
79 Ibid.
80 Muhammad Djafar Saidi, Pembaruan Hukum Pajak, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2014, hal. 33.

47

perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban


perpajakan, termasuk pemungutan atau pemotongan pajak tertentu. Pada
hakikatnya, wajib pajak tidak boleh terlepas dari konteks perorangan agar
tidak terlepas dari kedudukannya sebagai orang pribadi. Sementara itu,
badan sebagai wajib pajak, dapat berupa badan tidak berstatus badan
hukum, dan badan yang berstatus badan hukum, baik yang tunduk pada
hukum privat maupun yang tunduk pada hukum publik. Kalau dikaji secara
mendalam pengertian wajib pajak tersebut, ternyata wajib pajak hanya
untuk melaksanakan kewajiban perpajakan dengan tidak memiliki hak
perpajakan. Wajib pajak sebagai subjek hukum tidak hanya untuk memiliki
kewajiban perpajakan, tetapi memiliki pula hak di bidang perpajakan,
digunakan atau tidak hak tersebut bergantung pada wajib pajak yang
bersangkutan.81
Semula bea perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan
salah satu jenis pajak pusat, tetapi berdasarkan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD)
telah dilimpahkan kepada daerah kabupaten/kota sebagai salah satu jenis
pajak yang dapat dipungut. Sebenarnya bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan dilimpahkan kepada daerah kabupaten/kota karena daerah
kabupaten/kota merupakan kunci kesuksesan pelaksanaan otonomi
daerah. Pelimpahan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan kepada

81 Ibid., hal. 34.

48

daerah

kabupaten/kota

dalam

pelaksanaan otonomi daerah.

rangka

mendukung

pembiayaan

82

Perolehan hak atas tanah dan bangunan dikenakan bea perolehan


hak atas tanah dan bangunan, meliputi pemindahan hak dan pemberian
hak baru kepada wajib pajak. Berdasarkan ketentuan Pasal 90 UU PDRD
yang menetapkan:
1) Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan ditetapkan untuk:
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
b. tukar-menukar sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
c. hibah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. hibah wasiat sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
e. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan
peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan.
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari
pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak;
j. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak
tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
l. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
m. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
n. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
o. Lelang adalah sejak tanggal penunjukkan pemenang lelang.
2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya
perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat 1.
82 Ibid., hal. 45.

49

Menurut Muhammad Djafar Saidi 83, saat bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan yang terutang belum terbayar lunas, perolehan hak
atas tanah dan bangunan dapat tertunda karena pejabat yang berwenang
tidak memberi pengesahan perolehan hak tersebut. Sebenarnya,
pelunasan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang
menentukan proses perolehan hak atas tanah dan bangunan bagi wajib
pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Setelah terjadi
pelunasan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, berarti tidak ada
hambatan atau kendala hukum yang memengaruhi proses peralihan hak.
3. Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Objek pajak merupakan bagian terpenting yang dibicarakan atau
dipersoalkan dalam hukum pajak materiil. Objek pajak dikatakan sebagai
bagian terpenting karena wajib pajak tidak dikenakan pajak kalau tidak
memiliki, menguasasi, atau menikmati objek pajak yang tergolong sebagai
objek kena pajak sebagai syarat-syarat objektif dalam pengenaan pajak.
Objek yang dikenakan pajak dalam masyarakat sangat beraneka ragam
bergantung pada kebijakan pembuat undang-undang untuk menjaringnya
sebagai objek pajak. Objek pajak adalah segala sesuatu karena undangundang sehingga dapat dikenakan pajak. Kata dapat dikenakan pajak
mengandung makna bahwa objek pajak, boleh atau tidak boleh kena
pajak. Pengenaan pajak terhadap suatu objek harus dipertimbangkan

83 Ibid., hal. 46.

50

secara

maksimal

agar

tidak

menimbulkan

permasalahan

dalam

masyarakat.84
Menurut Bohari85, meskipun segala sesuatu yang ada dalam
masyarakat

dapat

dijadikan

objek

yang

dapat

dikenakan

pajak

(tatsbestand), namun dalam menentukan objek tersebut pemungut pajak


(fiscus) harus jeli jangan sampai menimbulkan kerugian bagi wajib pajak
karena suatu objek seharusnya tidak dapat dikenakan pajak, justru
berubah menjadi objek yang dapat dikenakan pajak.
Hal ini dipertegas Rochmat Soemitro86, bahwa yang dapat dijadikan
objek pajak banyak sekali macamnya. Segala sesuatu yang ada dalam
masyarakat dapat dijadikan sasaran atau objek pajak, baik keadaan,
perbuatan, maupun peristiwa. Dalam bahasa Jerman disebut sebagai
tatsbestand, misalnya sebagai berikut:
1. Keadaan, misalnya kekayaan seseorang pada suatu saat
tertentu, memiliki kendaraan bermotor, radio, televisi, memiliki
tanah atau barang tak bergerak lainnya, menempati rumah
tertentu.
2. Perbuatan, misalnya melakukan penyerahan barang karena
perjanjian, mendirikan rumah atau gedung, mengadakan
84 Ibid., hal. 55.
85 Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010,
hal. 67.
86 Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan I, Bandung: PT. Eresco,
1986, hal. 99.

51

pertunjukan

atau

keramaian,

memperoleh

penghasilan,

bepergian ke luar negeri.


3. Peristiwa, misalnya kematian, keuntungan yang diperoleh
secara mendadak, anugerah yang diperoleh karena secara tak
terduga, pokoknya segala sesuatu yang terjadi di luar kehendak
manusia.
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan pajak
yang dikenakan terhadap perbuatan atau peristiwa hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan. Bea
perolehan hak atas dan bangunan berbeda dengan pajak bumi dan
bangunan pedesaan dan perkotaan, walaupun keduanya menggunakan
istilah tanah (bumi) dan bangunan sebagai objek yang boleh dikenakan
pajak. 87
Objek pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan telah
tertuang dalam Pasal 85 UU PDRD yang menetapkan bahwa:
1) Objek pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
2) Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Pemindahan hak karena:
1) Jual beli;
2) Tukar menukar;
3) Hibah;
4) Hibah wasiat;
5) Waris;
6) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8) Penunjukan pembeli dalam lelang;
9) Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap;
10)Penggabungan usaha;
87 Muhammad Djafar Saidi, Op. Cit., hal. 84.

52

11) Peleburan usaha;


12)Pemekaran usaha; atau
13)Hadiah.
b. Pemberian hak baru karena:
1) Kelanjutan pelepasan hak; atau
2) Di luar pelepasan hak.
3) Hak atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. Hak Milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
4) Objek pajak yang tidak dikenakan bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:
a. perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas
perlakuan timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau
untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. badan atau perwakilan lembaga internasional yang
ditetapkan dengan peraturan menteri keuangan dengan
syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut;
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena
perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan
nama;
e. orang pribadi atau badan karena wakaf; dan
f. orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan
ibadah.
Menurut Muhammad Djafar Saidi88, walaupun objek pajak tersebut
ada yang tidak dikenakan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan,
tetapi berdasarkan perkembangan ke depan dapat dikenakan pajak.
Pengenaan pajak bergantung pada kebijakan pemerintah daerah
kabupaten/kota karena tidak sesuai lagi dengan tujuannya. Hal ini
dimaksudkan agar pemerintah daerah kabupaten/kota tetap melakukan

88 Ibid., hal. 86

53

pengawasan terhadap objek pajak yang tidak dikenakan bea perolehan


hak atas tanah dan bangunan.
4. Prinsip Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan
Pemungutan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan di
Indonesia dilakukan dengan berpegang pada empat prinsip yaitu sebagai
berikut:89
1. Pemenuhan kewajiban bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan adalah berdasarkan sistem self assessment, yaitu
wajib pajak menghitung dan membayar sendiri utang pajaknya.
Sistem

self

Indonesia

assessment

yang

merupakan

diterapkan

sejak

sistem

dilakukannya

perpajakan
reformasi

perpajakan. Pada sistem ini, wajib pajak diberi kepercayaan


untuk

menghitung,

memperhitungkan,

membayar,

dan

melaporkan sendiri besarnya pajak yang terutang. Petugas


pajak hanya berfungsi untuk melakukan pelayanan dan
pemeriksaan agar wajib pajak melakukan kewajiban pajaknya
secara benar. Dengan sistem self assessment ini, khususnya
pada BPHTB, diharapkan masyarakat dapat dengan mudah
memenuhi kewajiban pajaknya dan meningkatkan kesadaran
pajak masyarakat, terutama pajak yang timbul pada saat
terjadinya perolehan hak atas tanah dan bangunan.
2. Agar pelaksanaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
dapat berlaku secara efektif, wajib pajak dan pejabat umum
89 Marihot Pahala Siahaan, Op. Cit., hal. 43.

54

yang

melanggar

ketentuan

atau

tidak

melaksanakan

kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh undang-undang


akan dikenakan sanksi menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Hal ini memang diperlukan untuk menjamin
kepastian

hukum

dalam

pelaksanaan

pemungutan

bea

perolehan hak atas tanah dan bangunan sehingga wajib pajak


dan

pejabat

umum

yang

berwenang

tidak

melakukan

penyimpangan dalam pemenuhan kewajiban pajak.


3. Hasil penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
merupakan

penerimaan

Negara

yang

keseluruhannya

diserahkan kepada pemerintah daerah, untuk meningkatkan


pendapatan

daerah

guna

membiayai

penyelenggaraan

pemerintah daerah dan dalam rangka memantapkan otonomi


daerah.
4. Semua pungutan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan
di luar ketentuan UU PDRD tidak diperkenankan. Dengan
berlakunya undang-undang tersebut maka bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan di Indonesia sehingga segala
pungutan yang ada kaitannya dengan perolehan hak (kecuali
biaya resmi yang berkaitan dengan pembuatan akta dan
pendaftaran hak atas tanah dan bangunan yang telah
ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku) tidak boleh
dilakukan oleh pihak mana pun. Hal ini penting diatur agar
masyarakat tidak dibebani pungutan yang tidak sesuai dengan

55

ketentuan berkaitan dengan perolehan hak atas tanah dan


bangunan yang diterimanya.
5. Perolehan Hak yang Menjadi Dasar Objek Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan
a. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Jual Beli.
Sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-undang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), yang menjadi objek pajak adalah
perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak ini bisa karena
pemindahan hak, yang salah satunya adalah jual beli. Jual beli merupakan
satu cara pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang paling banyak
dilakukan oleh masyarakat. Berdasarkan Pasal 1457 BW, jual beli adalah
suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu (penjual) mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan (hak milik atas) suatu benda dan pihak yang
lain (pembeli) untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Harga ini
harus berupa uang, sebab kalau harga itu berupa suatu barang maka
tidak terjadi jual beli melainkan tukar-menukar.90
Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa jual beli merupakan
perjanjian timbal balik, artinya masing-masing pihak mempunyai hak dan
kewajiban sebagai akibat perjanjian yang dibuatnya. Hal ini berarti penjual
wajib menyerahkan barang yang telah dijualnya dan sekaligus berhak pula
atas pembayaran yang diberikan si pembeli. Sebaliknya pembeli wajib

90 Effendi Perangin, Op. Cit., hal. 14.

56

membayar harga barang yang diterimanya dari penjual dan sekaligus pula
berhak atas barang yang diserahkan oleh si penjual. 91
Pasal 1458 BW menetapkan, bahwa jual beli itu dianggap telah
terjadi antara ke dua belah pihak pada saat mereka mencapai kata
sepakat mengenai benda yang dijualbelikan itu serta harganya, biarpun
benda tersebut belum diserahkan dan harganya pun belum terbayar.
Dengan terjadinya jual beli itu saja hak milik atas benda yang
bersangkutan belumlah beralih kepada pembelinya, sungguhpun misalnya
harganya sudah dibayar dan kalau jual beli tersebut mengenai tanah,
tanahnya sudah diserahkan ke dalam kekuasaan yang membeli. Hak milik
atas tanah tersebut baru beralih kepada pembelinya jika telah dilakukan
apa yang disebut penyerahan yuridis (juridische levering), yang wajib
diselenggarakan dengan pembuatan akta di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) dan didaftarkan pada instansi yang berwenang. 92
Perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dimaksudkan dalam
Undang-undang PDRD adalah perolehan hak yang memenuhi ketentuan
UUPA, Undang-undang Rumah Susun dan peraturan tentang Hak
Pengelolaan. Peralihan hak atas tanah sesuai UUPA menghendaki
dipenuhinya ketentuan dibuat dan disahkan oleh pejabat yang berwenang,
yaitu notaris atau camat yang ditunjuk sebagai PPAT. Dengan demikian,
transaksi jual beli tanah dan bangunan harus dibuat dengan akta autentik
oleh PPAT. Hal ini menentukan bahwa yang menjadi objek BPHTB
hanyalah transaksi jual beli tanah dan bangunan yang dibuat dengan akta
91 Marihot Pahala Siahaan, Op. cit., hal. 79.
92 Effendi Perangin, Loc. cit.

57

jual beli autentik oleh camat atau notaris selaku PPAT. BPHTB terutang
pada saat ditandatanganinya akta autentik itu oleh penjual dan pembeli,
para saksi, serta PPAT, yang menandakan pada saat penandatanganan
akta jual beli, secara hukum telah terjadi peralihan hak atas tanah dan
bangunan dari penjual kepada pembeli.93
b. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Tukar
Menukar
Berdasarkan ketentuan hukum perdata, tukar menukar merupakan
suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya
untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai
gantinya barang lain. Dalam tukar menukar masing-masing pihak
mempunyai hak dan kewajiban. Pihak yang satu berhak atas suatu barang
milik pihak lain yang diperjanjikan untuk dipertukarkan, dan begitu pula
sebaliknya. Di samping itu, setiap pihak memiliki kewajiban menyerahkan
barang miliknya yang menjadi objek perjanjian tukar menukar kepada
pihak lain yang menjadi mitra perjanjiannya. Perjanjian tukar menukar ini
disebut sebagai perjanjian yang bersifat obligatoir, yaitu persetujuan yang
menimbulkan hak dan kewajiban. Selain itu, tukar menukar juga bersifat
konsensual, artinya perjanjian tukar menukar itu sudah terjadi sejak
tercapainya kata sepakat di antara para pihak. Maksudnya adalah telah
mengikat para pihak sejak tercapainya kata sepakat dari para pihak yang
berjanji.94

93 Marihot Pahal Siahaan, Op. Cit., hal. 86.


94 Ibid., hal. 87.

58

Hak atas tanah dapat juga berpindah karena tanah kepunyaan


seseorang ditukar dengan tanah kepunyaan orang lain. Sebagaimana
halnya dengan jual beli, maka tukar menukar tanah bukan diartikan
sebagai suatu perjanjian dalam mana seorang pemilik tanah berjanji akan
menyerahkannya kepada pihak lain, tetapi merupakan perbuatan hukum
yang berupa peralihan hak milik atas tanah yang bersangkutan kepada
pihak yang menukarnya. Oleh sebab itu, tidak diatur dalam hukum
perjanjian, tetapi dalam hukum tanah. Berdasarkan ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tukar
menukar tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh dan di
hadapan seorang PPAT. 95
Sesuai dengan ketentuan BPHTB, perolehan hak karena suatu
perbuatan hukum terjadi pada saat ditandatanganinya akta yang berkaitan
dengan perolehan oleh para pihak, para saksi, dan pejabat yang
berwenang. Pada saat dilakukan tukar menukar tanah dan bangunan
yang dibuktikan dengan suatu akta autentik, masing-masing pihak
memperoleh hak atas tanah dan bangunan milik pihak lain, yang dijadikan
objek tukar menukar, karena kedua belah pihak memperoleh hak atas
tanah dan bangunan, pada saat yang bersamaan keduanya menjadi
subjek pajak. Sesuai dengan ketentuan, kedua belah pihak harus
melunasi BPHTB terutang yang menjadi kewajibannya pada saat
ditandatanganinya akta tukar menukar di hadapan PPAT.96
95 Effendi Perangin, Op. Cit., hal. 33.
96 Marihot Pahala Siahaan, Op. Cit., hal. 89.

59

c. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Hibah


Pengertian hibah adalah pemberian sesorang kepada orang lain
orang lain dengan tidak ada penggantian apapun. Dengan kata lain, hibah
adalah pemberian dengan cuma-cuma dan tidak bersyarat. Dalam hibah
hak kepemilikan atas tanah dan bangunan, orang yang mempunyai hak
atas tanah dan bangunan menyerahkan hak kepemilikan atas tanah dan
atau bangunannya untuk selama-lamanya kepada seseorang dan sejak itu
hak atas dan bangunan tersebut telah berpindah kepada yang menerima
hibah tersebut, sama halnya dengan jual beli dan tukar menukar.
Penghibahan hak milik atas tanah harus dilakukan di hadapan PPAT
dengan suatu akta hibah dan selanjutnya didaftarkan kepada Kantor
Pertanahan untuk mendapatkan sertipikat hak atas tanah. Selain kepada
orang pribadi, hibah dapat pula diberikan kepada badan hukum. 97

d. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Hibah Wasiat


Hibah wasiat merupakan suatu penetapan wasiat yang khusus,
dengan mana pewasiat kepada seseorang atau lebih memberikan
beberapa barang atau harta kekayaannya dari jenis tertentu, seperti
misalnya memberikan semua barang bergerak atau semua barang tak
bergerak atau memberikan hak pakai hasil atas seluruh atau sebagian
harta peninggalannya. Pelaksanaan hibah wasiat baru berlangsung

97 Ibid., hal. 89.

60

setelah pewasiat meninggal dunia. Selama orang yang memberi itu masih
hidup, ia dapat menarik kembali hibah wasiatnya. 98
Bila pemberi hibah wasiat tidak meninggal dunia, tidak akan terjadi
hibah wasiat. Hibah wasiat merupakan perbuatan hukum yang dilakukan
dengan membuat akta hibah wasiat. Berhubung hal ini merupakan soal
pewarisan, maka hibah wasiat itu berhubungan dengan hak milik atas
tanah itu tidak perlu dilakukan di hadapan PPAT. Akan tetapi, peralihan
hak karena hibah wasiat tetap harus didaftarkan ke Kantor Pertahanan
tempat tanah dan bangunan dihibahkan berada. Sesuai Undang-Undang
PDRD, saat terutangnya pajak BPHTB terhadap hibah wasiat adalah pada
saat pembuatan akta. 99
e. Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Waris
Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris merupakan
suatu akibat peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seorang pewaris
sehingga hak pewaris atas suatu tanah dan bangunan beralih kepada ahli
warisnya yang berhak. Perolehan hak oleh ahli waris terjadi setelah
meninggalnya pewaris dan dikuatkan oleh surat keterangan waris yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang.100
Walaupun secara hukum perolehan telah terjadi setelah pewaris
meninggal dunia, pada saat itu belum ada BPTHB yang terutang. Sesuai
98 Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum
Perdata BW, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, hal. 98.
99 Marihot Pahala Siahaan, Op. Cit., hal. 90.
100 Ibid., hal. 91.

61

dengan ketentuan BPHTB, saat perolehan hak atas tanah dan bangunan
yang menjadi objek pajak adalah pada saat pendaftaran hak tersebut
dilakukan oleh ahli waris ke Kantor Pertanahan setempat.

101

f. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Pemasukan


dalam Perseroan atau Badan Hukum Lainnya
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau
badan kepada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya sebagai
penyertaan modal pada perseroan terbatas atau badan hukum lainnya.
Maksud dari pengalihan hak ini adalah sebagai penyertaan modal pada
perseroan terbatas atau badan hukum lainnya tersebut, baik sebagai
modal awal maupun penambahan modal. Pemasukan tanah dan
bangunan ke dalam perseroan atau badan hukum lainnya membawa
konsekuensi hukum tanah dan bangunan tersebut menjadi milik perseroan
atau badan hukum tersebut. Perolehan hak oleh perseroan atau badan
hukum lainnya tersebut dibuktikan dengan akta otentik. 102

g. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Pemisahan


Hak yang Mengakibatkan Peralihan
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak adalah
pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
101 Ibid., hal. 92.
102 Marihot Pahala Siahaan, Loc.cit.

62

Pemisahan hak atas tanah dan bangunan yang mengakibatkan peralihan


terjadi ketika pihak-pihak yang semula memiliki hak atas tanah dan
bangunan melepaskan haknya tersebut dan mengalihkan haknya kepada
pihak lain yang juga ikut memiliki hak atas tanah dan bangunan tersebut.
Dengan demikian pihak yang diserahi hak oleh pihak lain akan memiliki
bagian hak yang lebih besar sehingga memiliki wewenang yang lebih
besar atas tanah dan bangunan tersebut. Pemisahan hak ini bisa terjadi
antara orang-orang yang memiliki hak bersama atas suatu tanah dan
bangunan maupun antara orang dan badan yang memiliki hak bersama
atas suatu tanah dan bangunan.103
h. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Penunjukan
Pembeli dalam Lelang
Pada lelang atas suatu tanah dan bangunan, pembeli yang berhak
atas tanah dan bangunan yang dilelang ditentukan dengan penunjukan
pembeli oleh pejabat yang berwenang. Pada dasarnya perolehan hak atas
tanah dan bangunan karena lelang adalah sama dengan perolehan hak
karena jual beli. Hanya saja proses jual beli yang terjadi adalah melaluli
lelang yang sering juga disebut jual paksa. Perolehan hak oleh pihak yang
membeli tanah dan bangunan melalui lelang dibuktikan dengan risalah
lelang yang memuat keterangan tentang pihak yang menjadi pemenang
lelang. Risalah lelang berfungsi sebagai akta autentik yang mempunyai
kekuatan eksekutorial. Pada saat diumumkannya

pemenang dan

103 Ibid., hal. 93.

63

dibuatnya risalah lelang ada BPHTB terutang yang harus dibayar oleh
pembeli yang dinyatakan sebagai pemenang lelang. 104
i. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Pelaksanaan
Putusan Hakim yang Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagai pelaksanaan dari
putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap terjadi karena
adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah
satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan hukum pihak yang ditunjuk dalam putusan
hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap memperoleh hak
atas tanah dan bangunan yang telah ditetapkan dalam putusan hakim
tersebut. Perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terjadi sebagai
pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan salah satu jenis
perolehan hak yang ditetapkan sebagai objek BPHTB sehingga terutang
BPHTB.105
j. Perolehan

Hak

atas

Tanah

dan

Bangunan

karena

Penggabungan Usaha
Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha
atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu
badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya. Penggabungan usaha
merupakan salah satu upaya pengembangan badan usaha yang sudah
ada. Pengembangan ini terjadi karena beberapa perusahaan yang
104 Ibid., hal. 101.
105 Ibid., hal. 102.

64

bergabung, tetapi salah satunya tetap berdiri sementara yang lainnya


dibuat bubar karena dilebur ke dalam perusahaan yang masih ada.
Penggabungan usaha ini lebih kenal dengan istilah merger. Dengan
penggabungan usaha maka terjadi peralihan hak atas aktiva dan pasiva
dari badan usaha yang dilebur kepada badan usaha yang tetap berdiri.
Salah satu aktiva yang beralih adalah tanah dan bangunan milik badan
usaha yang dilebur sehingga harus dibuat akta peralihan hak atas tanah
dan bangunan tersebut oleh pejabat yang berwenang. Perolehan hak atas
tanah dan bangunan oleh badan usaha baru dari badan usaha lama yang
bergabung dibuktikan oleh akta peralihan hak atas tanah dari badan
usaha lama kepada badan usaha baru hasil penggabungan. Secara
hukum perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh badan usaha baru
tersebut terjadi pada saat dibuatnya akta peralihan hak atas tanah dan
bangunan dimaksud dan merupakan objek BPHTB sehingga terutang
BPHTB.106
k. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Peleburan
Usaha
Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan
usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badanbadan

usaha

yang

bergabung

tersebut.

Sebagaimana

pada

penggabungan usaha, dengan adanya peleburan usaha maka terjadi


peralihan hak atas aktiva dan pasiva dari setiap badan usaha yang dilebur
kepada badan usaha baru yang didirikan. Salah satu aktiva yang beralih
106 Ibid., hal. 103.

65

adalah tanah dan bangunan milik badan usaha yang dilebur sehingga
harus dibuat akta peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut oleh
pejabat yang berwenang. Perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh
badan usaha baru hasil peleburan dari badan usaha yang dilebur
dibuktikan dengan akta peralihan hak atas tanah dari badan usaha yang
dilebur kepada badan usaha hasil peleburan. Secara hukum perolehan
hak atas tanah dan bangunan oleh badan usaha baru terjadi pada saat
dibuatnya akta peralihan hak dan merupakan objek BPHTB, sehingga
terutang BPHTB.107
l. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Pemekaran
Usaha
Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi
dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru
dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru
tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
Seperti juga penggabungan dan peleburan usaha, pada pemekaran usaha
maka terjadi peralihan hak atas aktiva dan pasiva dari badan usaha lama
kepada badan usaha baru hasil pemekaran. Salah satu aktiva yang
beralih adalah tanah dan bangunan milik badan usaha lama sehingga
harus dibuat akta peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut oleh
pejabat yang berwenang. Perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh
badan usaha baru hasil pemekaran usaha dari badan usaha lama yang
dimekarkan dibuktikan dengan akta peralihan hak atas tanah dari badan
107 Ibid., hal. 105.

66

usaha lama kepada badan usaha baru hasil pemekaran. Secara hukum
perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh badan usaha baru tersebut
terjadi pada saat dibuatnya akta peralihan hak dan merupakan objek
BPHTB, sehingga terutang BPHTB.108
m. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Hadiah
Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hadiah adalah
suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak atas tanah dan atau
bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada
penerima hadiah. Sebagai bukti telah beralihnya hak atas tanah dan
bangunan yang menjadi hadiah kepada orang yang berhak, maka harus
dibuat akta peralihan hak oleh pejabat yang berwenang. Diumumkan atau
diserahkannya hadiah berupa tanah dan bangunan tersebut secara
hukum tidak mengakibtkan perolehan hak kepada penerima hadiah
sehingga belum mengakibatkan adanya kewajiban pemenuhan BPHTB.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan yang diperoleh sebagai hadiah
terjadi pada saat dibuatnya akta peralihan hak atas tanah dan bangunan
dari pemberi hadiah kepada penerima hadiah sehingga menjadi objek
BPHTB dan terutang BPHTB.109

n. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian


Hak Baru karena Kelanjutan Pelepasan Hak

108 Ibid., hal. 106.


109 Ibid., hal. 107.

67

Pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak merupakan


pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara
atas tanah yang berasal dari pelepasan hak. Sesuai dengan ketentuan
UUPA orang atau badan hukum dapat mengajukan permohonan untuk
mendapatkan suatu hak atas tanah kepada Negara. Pemberian hak baru
sebagai kelanjutan pelepasan hak biasanya diberikan kepada orang atau
badan yang menurut ketentuan UUPA tidak dapat memiliki tanah dengan
Hak Milik. Pada saat diterbitkan surat keputusan pemberian hak baru
sebagai kelanjutan pelepasan hak maka secara hukum pihak yang
disebutkan dalam surat keputusan tersebut memperoleh hak atas tanah
yang dimohonkannya dan dengan demikian terutang BPHTB atas
perolehan hak tersebut.110
o. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian
Hak Baru di Luar Pelepasan Hak
Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak
baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau
dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pada dasarnya proses pemberian hak baru di luar pelepasan hak
mirip dengan pemberian hak baru sebagai kelanjutan pelepasan hak.
Hanya pemberian hak baru tersebut diberikan atas tanah Negara yang
tidak dikuasai oleh pihak manapun dan atas tanah hak milik yang dimiliki
oleh orang pribadi. Seperti halnya pemberian hak baru karena kelanjutan
pelepasan hak, pada pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan
hak kepada orang atau badan harus dituangkan dalam bentuk surat
110 Ibid., hal. 109.

68

keputusan pemberian hak yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang.


Pada saat diterbitkan surat keputusan pemberian hak baru sebagai
kelanjutan pelepasan hak maka secara hukum pihak yang disebutkan
dalam surat keputusan tersebut memperoleh hak atas tanah yang
dimohonkannya dan dengan demikian terutang BPHTB atas perolehan
hak tersebut.111
6. Sanksi bagi Wajib Pajak yang Mengabaikan Pembayaran
BPHTB
Wajib pajak BPHTB yang memperoleh hak atas tanah dan atau
bangunan wajib melaporkan kepada Bupati/Walikota atau pejabat yang
ditunjuk tentang penghitungan dan pembayaran BPHTB yang terutang
dalam jangka waktu tertentu, misalnya duapuluh hari sejak akhir masa
pajak, dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah
(SPTPD). SPTPD harus diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan
ditandatangani serta disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui pejabat
yang ditunjuk dalam jangka waktu yang ditentukan dalam peraturan
daerah tentang BPHTB.112
SPTPD dianggap tidak dimasukkan jika wajib pajak tidak
melaksanakan atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan pengisian
dan penyampaian SPTPD yang telah ditetapkan. Apabila wajib pajak tidak
melaporkan atau melaporkan tapi tidak sesuai dengan batas waktu yang

111 Ibid., hal. 110.


112 Marihot Pahala Siahaan (Untuk selanjutnya disebut Marihot Pahala Siahaan
II), Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2013, hal. 596.

69

telah ditentukan akan dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan


atau denda sebesar 2% setiap bulan.113
Bupati/Walikota dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah
(STPD) apabila:
1. BPHTB dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
2. Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran
pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
3. Wajib pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan
atau denda.
Sanksi administratif berupa bunga dikenakan kepada wajib pajak
yang tidak atau kurang membayar pajak yang terutang sedangkan sanksi
administratif berupa denda dikenakan karena tidak dipenuhinya ketentuan
formal, misalnya tidak atau terlambat menyampaikan SPTPD. 114
Apabila pajak yang terutang tidak dilunasi setelah jatuh tempo
pembayaran maka Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk akan
melakukan tindakan penagihan pajak. Penagihan pajak dilakukan dengan
terlebih dahulu memberikan surat teguran atau surat peringatan sebagai
awal tindakan penagihan pajak. Jika jumlah pajak terutang yang masih
harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu yang ditentukan dalam
surat teguran akan ditagih dengan surat paksa. Tindakan penagihan pajak
dengan surat paksa dapat dilanjutkan dengan tindakan penyitaan,

113 Ibid.
114 Ibid., hal. 599.

70

pelelangan, pencegahan, dan penyanderaan apabila wajib pajak tetap


tidak mau melunasi utang pajaknya sebagaimana mestinya. 115
Wajib pajak BPHTB yang karena sengaja atau karena kealpaannya
tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak
lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
merugikan

keuangan

daerah

dapat

dipidana

dengan

pidana

penjara/kurungan dan atau denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dituntut setelah
melampaui jangka waktu lima tahun sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak atau berakhirnya bagian tahun pajak atau
berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Sanksi pidana kurungan dan
atau denda juga dikenakan terhadap pejabat yang karena kealpaannya
tidak memenuhi kewajiban merahasiakan keterangan tentang wajib pajak
yang disampaikan kepadanya. Ketentuan pidana ini dimaksudkan agar
baik wajib pajak maupun fiskus menjalankan hak dan kewajibannya
dengan benar.116
C. Landasan Teori
1. Teori Penyerahan

115 Ibid., hal. 601.


116 Ibid., hal. 614.

71

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan 117, menyatakan bahwa yang


dimaksud penyerahan adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau
atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak
milik atas benda itu. Hak milik atas barang itu baru berpindah setelah
adanya penyerahan. Jadi, penyerahan disini adalah merupakan perbuatan
yuridis dalam arti transferring of ownership.
Bentuk-bentuk cara penyerahan dari benda itu dibedakan sesuai
dengan sifat benda yaitu:118
1. Benda bergerak.
2. Benda tak bergerak.
Benda bergerak masih dibedakan atas benda bergerak yang
berwujud dan benda bergerak yang tak berwujud. Penyerahan dari benda
bergerak yang berwujud dilakukan dengan cara penyerahan nyata
(feitelijke levering) atau penyerahan dari tangan ke tangan. Adakalanya
penyerahan terhadap benda-benda bergerak yang berwujud itu pada
peralihan hak tak perlu dilakukan yaitu dalam hal benda yang akan
diserahkan

itu

telah

berada

dalam

tangan

orang

yang

hendak

menerimanya berdasarkan atas hak yang lain. Mengenai hal ini, ada 3
(tiga) bentuk figuur penyerahan yang disebut:119

117 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta:
Liberty, 2004, hal. 67

118 Ibid., hal. 68.


119 Ibid., hal. 69.

72

a. Traditio brevi manu (penyerahan dengan tangan pendek).


Penyerahan secara tangan pendek ini dapat terjadi, misalnya
seorang penyewa yang telah menguasai kebendaan yang
diperjualbelikan, kemudian membeli kebendaan yang semula
disewa olehnya tersebut.
b. Traditio longa manu (penyerahan dengan tangan panjang).
Dalam penyerahan ini, kebendaan yang diperjualbelikan berada
di tangan seorang pihak ketiga, yang dengan tercapainya
kesepakatan mengenai kebendaan dan harga kebendaan yang
dijual itu akan menyerahkannya kepada pembeli.120
c. Constitutum pessessorium (penyerahan dengan melanjutkan
penguasaan atas bendanya).
Penyerahan dari benda bergerak yang tidak berwujud ini dapat
dibedakan sebagai berikut:121
a. Penyerahan dari surat piutang aan toonder (atas bawa)
dilakukan dengan penyerahan surat tagihan yang bersangkutan.
b. Penyerahan surat tagihan aan order (atas unjuk) dilakukan
dengan

penyerahan

surat

tagihannya

disertai

dengan

endossement.
c. Penyerahan dari piutang op naam (atas nama) termasuk hak
atas benda tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan membuat
akta cessie.
120 Djaja S. Meliala, Loc. Cit.
121 Ibid.

73

Dalam hukum adat, perbuatan penyerahan tidak sama maksudnya


dengan levering menurut hukum barat dalam hal jual beli tanah oleh
karena hukum adat tidak memisahkan pengertian jual dengan penyerahan
sebagaimana

hukum

barat,

dimana

jual

beli

itu

memerlukan

penyerahan.122
Menurut Hilman Hadikusuma123, kata sepakat di dalam suatu
perjanjian merupakan perbuatan pendahuluan untuk melaksanakan apa
yang telah disepakati itu. Jadi dengan janji perkataan saja belum
mengikat, ia akan mengikat jika diperkuat dengan pemberian (panjer)
sebagai tanda akan memenuhi janji dan walaupun sudah diberi panjer
belum berarti mewajibkan penjual menyerahkan barangnya. Oleh karena
penjualan benda tidak bergerak adalah penyerahan benda itu dengan
harga tertentu dan bukan merupakan suatu perjanjian yang menjelmakan
kewajiban

untuk

menyerahkan.

Dapat

dikatakan

bahwa

menurut

pengertian hukum adat, penjualan dan penyerahan itu adalah satu.


Berlakunya hak pembeli atas barang yang dibelinya pada saat dilakukan
ijab kabul (serah terima) di hadapan ketua adat atau cukup apabila
dinyatakan dihadapan para saksi kerabat tetangga, terutama yang penting
ialah mereka yang berbatasan tanah.
Dengan demikian mengenai penyerahan di dalam jual beli tanah di
dalam hukum adat tidak dipersoalkan dan tidak dipisahkan dari perbuatan

122 Hilman Hadikusuma, Loc. Cit.


123 Ibid., hal. 110.

74

jualnya. Perbuatan jual dan serah terima itu satu rangkaian perbuatan dan
perbuatan itu terang dihadapan saksi-saksi. 124
Menurut Soerjono Soekanto125, mengenai hibah wasiat dalam
hukum adat penyerahan dan pelaksanaannya merupakan peristiwa
hukum yang baru akan berlaku setelah orang tua meninggal dunia. Pada
keadaan tertentu hibah wasiat itu dibuat secara tertulis melalui
perantaraan seorang notaris. Tetapi menurut Soepomo 126, meskipun hibah
wasiat itu berbentuk akta notaris, sah atau tidaknya isi hibah wasiat itu
dikuasai oleh hukum adat. Misalnya, tidak akan sah suatu pemberian
sawah kasikepan kepada seorang waris yang bukan teman sedesa.
Menurut ketentuan BW bahwa hak milik atas barang yang dijual
tidak berpindah kepada pembeli selama penyerahannya (levering) belum
dilakukan yaitu sebelum didaftarkan di dalam register umum sebagaimana
dimaksud Pasal-pasal 612, 613, dan 616 BW, namun berbeda halnya di
dalam UUPA yang berdasarkan hukum adat, maka hak milik secara
hukum dengan asas nyata dan tunai (konkrit dan kontan) telah beralih
pada saat disepakati dan dibuat serta ditandatanganinya akta PPAT.
Pendaftarannya pada Kantor Pertanahan adalah untuk memberikan alat
bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya daripada akta
PPAT yang membuktikan telah terjadinya pemindahan hak yang
124 Ibid., hal. 113.
125 Soerjono Soekanto, Loc. Cit.
126 Soepomo, Loc. Cit.

75

dilakukan. Dengan kata lain, dilakukannya jual beli tersebut di dalam


hukum tanah nasional, timbulnya hak dan kewajiban para pihak telah
serta merta berlangsung pada saat akad dan ditandatanganinya akta di
depan PPAT. 127
2. Teori Perlindungan Hukum
Philipus M. Hadjon128, menyatakan bahwa secara teoritis, bentuk
perlindungan hukum dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:
1. Perlindungan yang bersifat preventif; dan
2. Perlindungan represif.
Perlindungan hukum yang preventif merupakan perlindungan
hukum yang sifatnya pencegahan. Perlindungan memberikan kesempatan
kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas pendapatnya
sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif.
Sehingga, perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa dan sangat besar artinya bagi tindak pemerintah yang
didasarkan pada kebebasan bertindak, dan dengan adanya perlindungan
hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam
mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan
rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai
rencana keputusan tersebut.129

127 Rusmadi Murad, Loc. Cit.


128 H. Salim H. S. & Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian
Tesis Dan Disertasi, Cetakan Pertama, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2013, hal.
264.

76

Perlindungan hukum yang represif berfungsi untuk menyelesaikan


apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan
yang secara parsial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang
dikelompokkan menjadi dua badan, yaitu:
1. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum; dan
2. Instansi

Pemerintah

yang

merupakan

lembaga

banding

administrasi.
Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi
pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah
permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang
merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah
yang berwenang untuk mengubah bahkan dapat membatalkan tindakan
pemerintah tersebut.130
Menurut Muhammad Djafar Saidi 131, Perlindungan hukum dalam
hukum pajak diperlukan karena tidak semata-mata pelanggaran pajak
tersebut merupakan kesalahan wajib pajak. Untuk itu, wajib pajak
diberikan upaya hukum sebagai bagian dari perlindungan hukum, yaitu
seperti:
a. Keberatan
129 Ibid.
130 Ibid., hal. 265.
131 Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dan
Penyelesaian Sengketa Pajak, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hal.
167.

77

Keberatan merupakan upaya hukum biasa yang diperuntukkan bagi


wajib pajak untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran terhadap
perbuatan hukum yang dilakukan oleh pejabat pajak dalam melakukan
penagihan pajak. Untuk pajak daerah, yang berhak untuk memeriksa,
memutuskan dan menyelesaikannya adalah Kepala Daerah yang
bersangkutan.
b. Banding
Upaya hukum banding merupakan kelanjutan dari upaya hukum
keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum melalui keberatan
karena yang diajukan banding adalah surat keputusan keberatan sebagai
bentuk penyelesain pajak. Banding sebagai upaya hukum hanya bersifat
upaya hukum biasa yang memberi peluang untuk mempersoalkan surat
keputusan keberatan di tingkat Pengadilan Pajak.

c. Gugatan
Hukum acara peradilan pajak tidak hanya mengenal keberatan dan
banding sebagai upaya hukum biasa, tetapi termasuk pula gugatan untuk
melawan kebijakan pejabat pajak yang terkait dengan penagihan pajak,
seperti terbitnya surat tagihan pajak dan penagihan secara paksa.
Gugatan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak
terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang
dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
d. Peninjauan Kembali

78

Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa yang dapat


digunakan oleh para pihak yang bersengketa untuk melawan putusan
Pengadilan Pajak yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht
van gewjsde). Pengajuan peninjauan kembali putusan Pengadilan Pajak
kepada Mahkamah Agung sebagai konsekuensi dari kedudukannya yang
berwenang melakukan pengawasan terhadap pengadilan rendahan,
termasuk pengadilan pajak.

79

BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif
yang menganalisis dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang
mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistem hukum, penelitian terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah
hukum, dan penelitian perbandingan hukum.
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual.
Pendekatan

perundangan-undangan

(statue

approach)

merupakan

pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dari


regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Bagi

penelitian

pendekatan

undang-undang

ini

akan

membuka

kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan


kesesuain antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya
atau antara undang-undang dan Undang-Undang Dasar atau antara
regulasi dan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu
argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi. Oleh karena itu, dalam
pendekatan perundang-undangan peneliti bukan saja melihat kepada
bentuk peraturan perundang-undangan, melainkan juga menelaah materi
muatannya.

Pendekatan

konseptual

merupakan

pendekatan

yang

80

digunakan dengan menelaah pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin


yang berkembang di dalam ilmu hukum. Bagi penelitian pendekatan
konseptual akan memberikan peneliti untuk menemukan ide-ide yang
melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan
asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman
akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan
sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu argumentasi hukum
dalam memecahkan isu yang dihadapi.
C. Bahan Hukum
Dalam melakukan penelitian ini, bahan hukum yang digunakan
penulis yaitu:
1. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi
atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan
putusan-putusan hakim.
2. Bahan hukum sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum
yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi
tentang hukum meliputi buku-buku, kamus hukum, jurnal
hukum, dan bahan tertulis lainnya yang relevan dengan topik
penelitian.

81

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum


Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan di
dasarkan pada kebutuhan analisis dan pengkajian dengan studi dokumen,
baik terhadap bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.
Penelusuran bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan dengan
membaca, melihat, mendengarkan, maupun yang sekarang ini banyak
dilakukan yaitu penelusuran bahan hukum tersebut dengan melalui media
internet yang bersumber dari situs-situs resmi pemerintah agar tidak
mengurangi tingkat kredibilitas bahan hukum yang diperoleh.
E. Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh disusun secara sistematis untuk
mencapai kejelasan, kemudian dilakukan analisis untuk mencari dan
menentukan hubungan antara bahan hukum yang diperoleh dari penelitian
dengan landasan teori yang dipakai sehingga memberikan gambarangambaran konstruktif mengenai permasalahan yang diteliti. Dalam kajian
ini, pembahasannya akan disajikan secara analisis deskriptif yaitu
memaparkan hasil temuan yang diperoleh dari bahan-bahan hukum,
kemudian disusun secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan
yang objektif.

82

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Saat Terjadinya Perolehan Hak atas Tanah pada Hibah Wasiat
Di Indonesia adakalanya pewaris mempunyai kehendak agar kelak
ada orang-orang tertentu juga memiliki harta peninggalannya dengan
suatu bagian-bagian yang telah ditentukan oleh pewaris semasa
hidupnya. Kehendak ini dapat dituangkan dalam suatu akta yang disebut
wasiat. Salah satu jenis wasiat yang sering dibuat yaitu wasiat yang berisi
hibah wasiat (legaat) berupa pemberian tanah dan/atau bangunan.
Menurut A. Pitlo132, bahwa hibah wasiat itu sebagai suatu
penetapan yang khusus yang di dalamnya pewaris menyatakan
memberikan barang-barang tertentu kepada seorang atau beberapa orang
ataupun barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti semua barang
yang bergerak atau yang tidak bergerak atau hak pakai hasil dari segala
barang-barangnya atau sebagian daripadanya. Pemberian ini dinamakan
khusus oleh karena merupakan lawan dari penunjukan waris (erfstelling)
yang berupa pemberian bersifat umum. Jika ahli waris selaku penerima
hak menurut hukum dengan alas hak umum, maka legataris merupakan
penerima menurut hukum dengan alas hak khusus. Penerima hibah
wasiat (legataris) tidak meneruskan diri dari pewaris tetapi merupakan
penerima yang memperoleh hak, seperti halnya dengan seorang pembeli.

132 A. Pitlo, Op. Cit., hal. 201.

83

Perbuatan

hukum

tersebut

merupakan

bagian

dari

hukum

kewarisan yang ada baik di dalam hukum adat, hukum islam, maupun
hukum perdata. Dalam hukum adat dan hukum islam, hibah wasiat
biasanya dilakukan secara lisan walaupun ada juga dilakukan secara
tertulis dan hukum perdata hanya dilakukan secara tertulis. Pada
pemberian hibah wasiat tanpa akta notaris atau secara lisan, maka harus
disaksikan oleh beberapa orang saksi pada saat pemberi hibah wasiat
mengucapkan hibah wasiatnya tetapi belum jelas tentang pengaturan
pemungutan pajaknya.
Di dalam BW mengenal 3 (tiga) macam bentuk cara pembuatan
wasiat, yaitu:
1. Wasiat Olografis, yaitu seluruhnya ditulis dengan tangan dan
ditandatangani pewaris sendiri. Kemudian surat wasiat tersebut
harus diserahkan untuk disimpan pada seorang notaris.
2. Wasiat Umum (Openbaar Testament), yaitu wasiat umum wajib
dibuat dihadapan seorang notaris dengan mengajukan dua
orang saksi. Pembuat surat wasiat harus menyampaikan sendiri
kehendaknya itu dihadapan saksi-saksi. Hal itu dapat dilakukan
dengan perantaraan orang lain, baik anggota keluarganya
maupun notaris yang bersangkutan.
3. Wasiat Rahasia, yaitu harus dibuat sendiri oleh pewaris dan
ditandatanganinya dan dimasukkan dalam sampul yang disegel
untuk selanjutnya diserahkan kepada notaris dengan dihadiri
oleh empat orang saksi. Oleh notaris kemudian dibuatkan akta

84

superscriptie yang dapat dituliskan pada sampul surat wasiat


atau pada kertas tersendiri dan ditandatangani oleh pewaris,
notaris, dan saksi-saksi.
Dari ketiga jenis wasiat tersebut di atas, wasiat umum (Openbaar
Testament) yang sekarang banyak dibuat dan digunakan oleh pemberi
hibah wasiat dengan mendatangi kantor notaris sebagai pejabat umum
yang berwenang membuat akta otentik.
Setiap pembuatan hibah wasiat berupa pemberian tanah dan atau
bangunan dikenakan pemungutan pajak daerah yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Penerima hibah wasiat memikul pajak
yang dibebankan oleh Negara atas hibah wasiat. Peraturan ini khusus
berlaku untuk penerima hibah wasiat, yaitu pajak yang dipungut oleh
Negara melalui pemerintah daerah berdasarkan UU PDRD karena
perolehan dengan cuma-cuma dari seorang pemberi wasiat yang telah
meninggal dunia dan wasiatnya telah dilaksanakan. Apabila kewajiban
yang demikian itu diberatkan kepada beberapa orang legataris bersamasama, maka tiap-tiap legataris itu berkewajiban untuk ikut memikul
menurut perbandingan perolehannya.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan di Indonesia berkaitan
erat dengan aspek pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan sebagai salah satu sumber penerimaan pemerintahan daerah.
Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur serta
mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada

85

masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, tiap daerah


berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat berupa pajak yang
didasarkan undang-undang. Pajak merupakan pungutan langsung dari
masyarakat kepada pemerintah yang bersifat memaksa dan terutang oleh
yang wajib membayarnya dengan tidak mendapat balas jasa secara
langsung yang hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran Negara
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Pembayaran
wajib dilakukan dan tidak dapat dihindari bagi yang berkewajiban dan bagi
yang tidak mau membayar pajak dapat dilakukan paksaan.
Satu hal yang sangat menentukan untuk dapat dilakukan
pemungutan pajak atas suatu objek pajak adalah saat pajak terutang.
Berdasarkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) Pasal 90 Ayat (1)
telah mengatur bahwa:
(1) Saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan ditetapkan untuk:
a. Jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
b. Tukar menukar adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
c. Hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
d. Hibah wasiat adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
e. Waris
adalah
sejak
tanggal
yang
bersangkutan
mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang
pertanahan;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak adalah
sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
h. Putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

86

i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari


pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat
keputusan pemberian hak;
j. Pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak
tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k. Penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
l. Peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
m. Pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan
ditandatanganinya akta;
n. Hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya
akta;
o. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang.
Dari peraturan tersebut di atas, menurut hemat penulis bahwa
kegunaan saat pajak terutang akan memberi konsekuensi dan ketentuan
perolehan hak yang berbeda tiap objek pajak. Oleh karena itu, terdapat
saat pajak terutang yang berbeda antar masing-masing jenis perolehan
hak atas tanah dan bangunan. Pada hibah wasiat saat terutangnya pajak
adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. Aturan tersebut
akan memberi konsekuensi sehingga perolehan hak bisa terjadi pada saat
dibuat dan ditandatanganinya akta.
Menurut Muhammad Djafar Saidi133, bahwa pelunasan bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang menentukan
proses perolehan hak atas tanah dan bangunan bagi wajib pajak yang
memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Setelah terjadi pelunasan bea
perolehan hak atas tanah dan bangunan, berarti tidak ada hambatan atau
kendala hukum yang memengaruhi proses peralihan hak.

133 Muhammad Djafar Saidi, Loc. Cit.

87

Penulis menganggap pendapat tersebut tidak dapat diterapkan jika


dikaitkan dengan UU PDRD yang mengatur bahwa saat terutangnya pajak
BPHTB pada hibah wasiat adalah saat ditandatanganinya akta. Hal
tersebut bertentangan dengan kaidah hibah wasiat yaitu :
1. Hibah wasiat masih bisa dicabut oleh pemberi hibah wasiat
kapan saja selama pemberi hibah wasiat masih hidup.
2. Pemberi hibah wasiat masih mempunyai kesempatan untuk
menjual dan menjaminkan objek yang dihibahwasiatkan selama
pemberi hibah wasiat masih hidup.
3. Penerima hibah wasiat bisa saja meninggal terlebih dahulu
daripada pemberi hibah wasiat.
Pembayaran

pajak

BPHTB

hibah

wasiat

pada

saat

ditandatanganinya akta menimbulkan pertanyaan apakah pembuat


undang-undang menganggap hibah wasiat itu memberikan suatu hak
kebendaan ataukah suatu hak perorangan.
Ajaran

umum

(communis

opinio

peradilan

dan

doktrin)

menganggap hibah wasiat itu sebagai hak perorangan. Artinya, hanya


dengan meninggalnya pewasiat saja, legataris belum menjadi pemilik dari
benda yang dihibahkan kepadanya, akan tetapi hanya menjadi kreditur
saja. Dengan kata lain, hibah wasiat bukanlah suatu cara memperoleh hak
milik, akan tetapi sebagaimana halnya dengan perjanjian jual-beli, tukarmenukar, atau hibah, hanyalah berupa alas hak untuk penyerahan hak
milik. Oleh sebab itu, berdasarkan hibah wasiat ahli waris harus
menyerahkan benda yang bersangkutan kepada legataris. Penyerahan ini

88

terjadi dengan cara yang biasa, barang bergerak oleh penyerahan dari
tangan ke tangan, barang tidak bergerak dengan pendaftaran akta dari
Notaris/PPAT di kantor pertanahan, dan hibah wasiat dari suatu tagihan
atas nama dengan akta cessie.134
Ada pula yang pendapat lain dalam hal ini jurisprudensi Hoge Raad
(H.R.) tanggal 4 Maret 1881 yang menganggap hibah wasiat itu sebagai
suatu cara memperoleh hak milik. Pendapat ini tidak mengakui akan
adanya penyerahan dari ahli waris kepada legataris. Artinya, bahwa
legataris menjadi pemilik pada saat kematian, hanya disebabkan oleh
kematian saja. Dengan demikian, maka legataris mempunyai hak
kebendaan sejak meninggalnya pewaris. Ia dapat mengajukan hak
kepemilikan (revindicatie) terhadap ahli waris. Ajaran ini berhubungan
dengan hibah wasiat barang tidak bergerak. Dapat dimengerti bahwa
ajaran ini tidak dapat dilaksanakan atas hibah wasiat benda yang dapat
diganti, seperti hibah wasiat pemberian berupa uang tunai. Pada
pemberian benda yang dapat diganti, orang tidak dapat menunjukkan
benda yang mana yang dibuat berdiri sendiri, sehingga tidak dapat
ditafsirkan akan adanya suatu cara perolehan hak milik. 135
Berdasarkan hal tersebut, ajaran dari communis opinio peradilan
dan doktrin lebih dapat diterima dan dipakai hingga sekarang daripada
ajaran H.R. karena berdasarkan Pasal 584 BW telah mengatur bahwa
cara memperoleh hak milik ada 5 (lima), yaitu:
134 Ibid., hal. 212.
135 Ibid.

89

1. Pemilikan/pendakuan (Toeeigening)
Pendakuan yaitu tentang pemilikan dari barang-barang bergerak
yang belum ada pemiliknya/tidak ada pemiliknya (Res Nullius).
2. Perlekatan (Natrekking)
Perlekatan yaitu memperoleh benda itu karena benda itu
mengikuti benda yang lain.
3. Lampau Waktu/Kedaluwarsa (Verjaring)
Lampau waktu/Kedaluwarsa yaitu apabila seseorang telah
memegang kedudukan berkuasa atasnya selama waktu yang
ditentukan undang-undang dan menurut syarat-syarat serta cara
membeda-bedakannya.
4. Pewarisan (Erfopvolging)
Pewarisan yaitu cara memperoleh hak milik karena pewarisan
menurut undang-undang atau menurut surat wasiat.
5. Penyerahan (Levering)
Penyerahan adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau
atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini
memperoleh hak milik atas benda itu
Dari beberapa cara memperoleh hak milik di atas, menurut penulis
hibah wasiat tidak secara tegas tertulis sehingga tidak termasuk di dalam
cara memperoleh hak milik yang telah ditetapkan secara langsung
berdasarkan peraturan perundang-undangan.

90

Berdasarkan ketentuan Pasal 958 BW yang memberikan hak


kepada legataris untuk menuntut benda dan Pasal 959 BW yang
menentukan permintaan penyerahan benda, juga mendukung pendapat
communis opinio peradilan dan doktrin yang mengatur bahwa hibah
wasiat memberikan hak perseorangan yang menetapkan bahwa legataris
dapat meminta penyerahan yang menunjukkan adanya kedudukan
kreditur. Dalam hal penerimaan secara benefisier, legataris baru dapat
menuntut pemenuhan hibahnya sesudah kreditur dari harta peninggalan
dipenuhi semuanya.
Peraturan tersebut di atas tidak sesuai dengan ajaran H.R., jika
dikaitkan bahwa legataris sejak saat pewasiat meninggal dunia sudah
menjadi pemilik. Legataris harus meminta penyerahan dari ahli waris dan
pelaksana wasiat. Jika legataris dari benda tidak bergerak menjadi pemilik
secara

langsung

dengan

tidak

mendaftarkan

aktanya

di

kantor

pertanahan, maka akan bertentangan dengan azas terbuka pada


Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
yaitu bahwa data-data tanah yang ada di kantor pertanahan bersifat
terbuka untuk umum dan masyarakat dapat memperoleh keterangan
mengenai data yang benar.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah wasiat
merupakan perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi
atau badan dari pemberi hibah wasiat yang berlaku setelah pemberi hibah
wasiat meninggal dunia. Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena
hibah wasiat terjadi, sebagai bentuk pelaksanaan dari hibah wasiat yang

91

dibuat oleh pemberi hibah wasiat sewaktu ia masih hidup. Pelaksanaan


ketentuan yang terdapat pada suatu akta hibah wasiat, baru dapat
dilakukan setelah si pemberi hibah wasiat meninggal dunia dan
dilaksanakan oleh pelaksana wasiat. Apabila pemberi hibah wasiat belum
meninggal dunia, maka hibah wasiat tidak dapat dilaksanakan. Penerima
hibah wasiat hanya mempunyai hak pribadi terhadap ahli waris dan baru
memperoleh hak milik dari apa yang dihibahwasiatkan kepadanya karena
penyerahan dari pelaksana wasiat.
Pada umumnya yang diangkat sebagai pelaksana wasiat adalah
salah seorang dari ahli waris (misalnya suami/istri yang hidup paling lama
yang mewaris bersama anak-anaknya). Adapun cara pemilihan pelaksana
wasiat menurut Pasal 1005 BW adalah:
1. Dalam wasiat.
2. Dengan akta dibawah tangan, yang ditulis dan diberi tanggal
serta ditandatangani oleh orang yang meninggalkan harta
warisan, yang tercantum dalam Pasal 925 BW dan yang disebut
kondisi.
3. Dengan suatu akta notaris istimewa.
Menurut Boedi Harsono136, dalam hibah wasiat hak atas tanah yang
bersangkutan dapat dialihkan kepada penerima wasiat pada saat
pemegang haknya meninggal dunia dan wasiat telah dilaksanakan oleh
pelaksana wasiat dan penerima hibah wasiat mendaftarkan peralihan
haknya di kantor pertanahan. Artinya, bahwa dengan dilakukannya
136 Boedi Harsono, Loc. Cit.

92

perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah


kepada pihak lain. Hal ini sejalan dengan konsep teori penyerahan yang
dikemukakan Sri Soedewi Masjchoen Sofwan yang menyatakan bahwa
penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada orang
lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu. Hak
milik atas barang itu baru berpindah setelah adanya penyerahan. Jadi,
penyerahan disini adalah merupakan perbuatan yuridis dalam arti
transferring of ownership.
Menurut Aminuddin Salle, dkk.,137 pemindahan hak dalam hibah
wasiat tidak terjadi secara langsung menurut kehendak terakhir dari si
pemberi hibah wasiat tetapi dengan syarat sesudah ia mati baru terjadi
pemindahan haknya. Itu pun tidaklah sedemikian mudah dan masih
diperlukan perbuatan hukum yang lain dimana pelaksanaannya harus
melalui pelaksana wasiat kepada si penerima hibah wasiat tersebut.
Selain itu syarat-syarat subjek hak pun harus dipenuhi. Jika subjek selaku
calon penerima hak tidak memenuhi syarat-syarat subjek hak atas tanah
yang akan dipindahkan kepadanya sebagaimana telah ditentukan dalam
UUPA tentu saja akan batal demi hukum.
Menurut hemat penulis, perbuatan hukum lain yang dimaksud di
atas dalam hal objek hibah wasiat berupa tanah dan atau bangunan
adalah pembuatan akta otentik yang dibuat dihadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah oleh pelaksana wasiat kepada penerima wasiat sebagai bukti
137 Aminuddin Salle, dkk., Hukum Agraria, Makassar: ASPublishing, 2011, hal.
193.

93

peralihan haknya dengan berdasarkan akta hibah wasiat sebagai alas hak
khusus.
Berdasarkan Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur bahwa peralihan hak
atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya
dapat di daftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bahwa PPAT memiliki tugas pokok melaksanakan sebagian
kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak
milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh
perbuatan hukum itu.
Perbuatan hukum oleh PPAT yang dimaksud tersebut adalah
pembuatan akta otentik pada wilayah kerjanya yang telah ditentukan yaitu:
1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Hibah;
4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. Pembagian Hak Bersama;
6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak
Milik;

94

7. Pemberian Hak Tanggungan;


8. Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.
Berdasarkan hal itu, dalam hibah wasiat perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan terjadi pada saat ditandatanganinya akta hibah di
hadapan PPAT oleh pelaksana wasiat kepada penerima wasiat. Dengan
berdasarkan UUPA yang berlandaskan hukum adat, maka hak milik
secara hukum telah beralih pada saat disepakati dan dibuat serta
ditandatanganinya akta hibah yang dibuat di hadapan PPAT tempat objek
hibah wasiat berada. Tanpa adanya akta otentik tersebut maka secara
hukum perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah dan
atau bangunan belum sah. Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian
sempurna maka tidak perlu lagi dibuktikan dengan alat-alat bukti lain
sehingga memberikan kepastian hukum yang kuat dan mempertahankan
haknya tersebut dari gugatan pihak manapun. Pendaftarannya pada
Kantor Pertanahan adalah untuk memberikan alat bukti yang lebih kuat
dan

lebih

luas

daya

pembuktiannya

daripada

akta

PPAT yang

membuktikan telah terjadinya pemindahan hak yang dilakukan. Dengan


kata lain, dilakukannya perbuatan hukum tersebut di dalam hukum tanah
nasional, hak dan kewajiban para pihak telah serta merta berlangsung
pada saat akad dan ditandatanganinya akta di hadapan PPAT.
Analisis penulis, dalam UU PDRD telah ditetapkan bahwa saat
terutangnya pajak pada hibah wasiat adalah saat ditandatanganinya akta.
Kelemahan dari aturan tersebut bahwa di satu sisi wajib pajak harus
melunasi pajak terutang sebagai kewajiban dan diwajibkan untuk
membayar pajak terutang dengan tidak mendasarkan pada ada atau

95

tidaknya surat ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh fiskus karena sistem
pemungutan BPHTB yang menggunakan self assessment, yaitu wajib
pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak
yang terutang sehingga apabila mengabaikan pembayaran BPHTB, maka
akan menimbulkan risiko bagi wajib pajak dan pejabat pajak berupa
pengenaan denda dan atau bunga.
Bagi wajib pajak yang mengabaikan pembayaran BPHTB maka
akan dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan atau denda
sebesar 2% setiap bulan. Apabila pajak yang terutang tidak dilunasi
setelah jatuh tempo pembayaran maka Bupati/Walikota atau pejabat yang
ditunjuk akan melakukan tindakan penagihan pajak. Penagihan pajak
dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan surat teguran atau surat
peringatan sebagai awal tindakan penagihan pajak. Jika jumlah pajak
terutang yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu yang
ditentukan dalam surat teguran akan ditagih dengan surat paksa.
Tindakan penagihan pajak dengan surat paksa dapat dilanjutkan dengan
tindakan penyitaan, pelelangan, pencegahan, dan penyanderaan apabila
wajib pajak tetap tidak mau melunasi utang pajaknya sebagaimana
mestinya.
Wajib pajak BPHTB yang karena sengaja atau karena kealpaannya
tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak
lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
merugikan

keuangan

daerah

dapat

dipidana

dengan

pidana

penjara/kurungan dan atau denda sesuai dengan ketentuan yang berlaku.


Tindak pidana di bidang perpajakan daerah tidak dituntut setelah

96

melampaui jangka waktu lima tahun sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak atau berakhirnya bagian tahun pajak atau
berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Sanksi pidana kurungan dan
atau denda juga dikenakan terhadap pejabat yang karena kealpaannya
tidak memenuhi kewajiban merahasiakan keterangan tentang wajib pajak
yang disampaikan kepadanya. Ketentuan pidana ini dimaksudkan agar
baik wajib pajak maupun fiskus menjalankan hak dan kewajibannya
dengan benar.
Bagi Pejabat Pajak diberi kewenangan untuk memeriksa apakah
BPHTB terutang sudah dibayar oleh pihak yang memperoleh hak sebelum
ia menandatangani dokumen yang berkenaan dengan perolehan hak
dimaksud.

Ketentuan

ini

harus

dipatuhi

karena

apabila

terjadi

pelanggaran, maka kepada pejabat bersangkutan diberi sanksi sesuai


dengan ketentuan yang berlaku.
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang Negara, yang melanggar ketentuan
penandatanganan akta sebelum BPHTB dibayar oleh wajib pajak
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp. 7.500.000,00
(tujuh juta limaratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran. Khusus
terhadap kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan
pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah
setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak dikenakan
sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau

97

risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada
kepala daerah paling lambat pada tanggal sepuluh bulan berikutnya. Tata
cara pelaporan bagi pejabat dimaksud diatur dengan peraturan kepala
daerah. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang Negara, yang melanggar ketentuan
pelaporan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp. 250.000,00 (duaratus limapuluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
Di sisi yang lain, perolehan hak belum terjadi karena hibah wasiat
belum bisa dilaksanakan karena pemberi hibah wasiat belum meninggal
dunia walaupun pembayaran pajak telah dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan karena pembayaran pajak hanya merupakan salah
satu syarat formil untuk penandatanganan akta hibah wasiat agar
terhindar dari sanksi dan denda yang telah diatur dalam perundangundangan. Hal ini tampaknya menjadi kelemahan UU PDRD khususnya
yang berkaitan dengan aturan BPHTB mengenai hibah wasiat yang
kurang diantisipasi oleh pembuat undang-undang.
B. Perlindungan Hukum Bagi Penerima Hibah Wasiat yang Telah
Membayar Pajak BPHTB jika Wasiat Dicabut
Perlindungan

hukum

yang

dimaksudkan

disini

adalah

mempertahankan dan menggunakan hak-haknya sebagai penerima hibah


wasiat yang telah membayar pajak BPHTB jika wasiat dicabut oleh
pemberi hibah wasiat karena Indonesia merupakan Negara hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

98

Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM)
dan menjamin segala hak warga Negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Perlindungan

hukum

dalam

pajak

bersifat

penting

untuk

memastikan bahwa kepentingan perorangan dari wajib pajak terlindungi


sehingga mereka tidak melupakan kewajibannya di bidang perpajakan.
Pemenuhan kewajiban perpajakan dari wajib pajak adalah penting bagi
kepentingan publik, yaitu bagi kelangsungan hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara karena pajak menjadi sumber penerimaan
Negara yang utama.
Perlindungan hukum di bidang pajak merupakan bagian dari
perlindungan hukum bagi rakyat, khususnya yang berkaitan dengan
persoalan pajak. Perlindungan hukum bagi rakyat dapat didefinisikan
sebagai perlindungan yang diberikan kepada rakyat secara individual
ketika mereka berhadapan dengan pemerintah. Khusus untuk bidang
pajak, perlindungan rakyat dapat didefinisikan sebagai perlindungan
hukum kepada rakyat secara individual sebagai wajib pajak atau
penanggung pajak berkaitan dengan keputusan pemerintah di bidang
pajak.138
Perlindungan hukum di bidang pajak diperlukan untuk melindungi
kepentingan wajib pajak dan penanggung pajak ketika yang bersangkutan
138 Y. Sri Pudyatmoko, Penegakan dan Perlindungan Hukum Di Bidang Pajak,
Jakarta: Salemba Empat, 2007, hal. 154.

99

berhadapan dengan fiskus yang memiliki kewenangan istimewa. Artinya,


bahwa fiskus mempunyai kewenangan hukum publik, di mana yang
bersangkutan dapat mengambil keputusan secara sepihak. Kewenangan
tersebut, apabila tidak hati-hati dapat saja disalahgunakan sehingga
merugikan kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dibutuhkan ketentuan
yang jelas sebagai pedoman dan dasar bagi wajib pajak dan penanggung
pajak dalam menghadapi fiskus. Perlindungan hukum bagi wajib pajak
dan penanggung pajak merupakan perlindungan kepentingan perorangan
yang terganggu dengan adanya penggunaan kewenangan pemerintah. 139
Pajak merupakan kontribusi wajib kepada Negara yang terutang
oleh orang pribadi atau badan hukum yang bersifat memaksa berdasarkan
undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting sabagai salah satu
sumber pendapatan Negara terbesar, khususnya di dalam pelaksanaan
pembangunan karena pajak merupakan sumber pendapatan Negara
untuk membiayai berbagai pengeluaran Negara termasuk pengeluaran
pembangunan.140
Undang-Undang dengan jelas mengatur misalnya: objek pajak,
subjek pajak, tarif pajak, dan dan sanksi pajak. Keempat unsur ini yang
139 Ibid.
140 Fidel, Tindak Pidana Perpajakan & Amandemen Undang-Undang KUP,
PPh, PPN, Pengadilan Pajak, Jakarta: PT. Carofin Media, 2015, hal. 169.

100

paling penting diatur dalam undang-undang. Jika tidak ada empat unsur
ini, maka tidak ada pajak, sebab pajak itu sendiri ada di keempat unsur
tersebut.
Secara umum, hukum pajak terdiri atas 2 (dua) yaitu: 141
1. Hukum Pajak Materiil
Hukum

pajak

materiil

memuat

norma-norma

yang

menerangkan:
a. Keadaan, perbuatan, dan peristiwa hukum yang harus
dikenai pajak (objek pajak/taatsbestand) atau sasaran yang
akan dikenai pajak.
b. Siapa yang harus dikenai pajak (subjek pajak).
c. Berapa besar pajaknya.
Dengan kata lain, Hukum Pajak Materiil adalah norma-norma
yang menerangkan objek pajak, subjek pajak dan besarnya
pajak yang terutang, juga termasuk didalamnya peraturan yang
memuat tentang bunga, kenaikan, dan denda. Peraturan
tentang

hukuman

terhadap

pelanggar

ketentuan

pajak,

peraturan tentang cara pembebasan dan pengembalian pajak


dan peraturan tentang hak mendahulu fiskus.
2. Hukum Pajak Formil
Hukum pajak formil adalah norma-norma mengenai tata cara
untuk menjalankan hukum pajak materiil menjadi suatu
kenyataan, yang memuat ketentuan-ketentuan:
141 Ibid., hal. 24.

101

a. Tentang kewajiban para wajib pajak.


b. Tentang kerahasiaan keterangan yang sudah disampaikan
oleh wajib pajak kepada petugas pajak.
c. Tentang tata cara pemungutan dan pembayaran pajak.
d. Tentang pengawasan yang harus dilakukan oleh aparat
pajak agar pajak uang terutang dibayar.
Jadi, tujuan hukum pajak formil adalah untuk melindungi baik
fiskus maupun wajib pajak. Untuk memberi jaminan bahwa
hukum

pajak

materilnya

akan

dapat

diselenggarakan

secepatnya.
Sebagai subjek hukum, wajib pajak diwajibkan untuk memenuhi
kewajiban yang tersebar dalam Undang-undang Pajak yang memuat
ketentuan-ketentuan yang bersifat formil. Apabila kewajiban yang
dibebankan kepada wajib pajak tidak dilaksanakan, dapat dikenakan
sanksi hukum, yang meliputi sanksi administrasi berupa bunga, denda,
atau kenaikan serta sanksi pidana yang terdapat dalam Undang-undang
Pajak.142
Kepentingan perorangan yang diwakili oleh kepentingan wajib pajak
harus dilindungi karena mempunyai kedudukan yang lemah. Hal ini
disebabkan karena tidak seperti fiskus yang dengan kewenangan hukum
publiknya dapat menentukan secara sepihak, wajib pajak tidak memiliki
kewenangan semacam itu. Padahal, kewenangan untuk menentukan
secara sepihak yang dimiliki oleh fiskus tersebut membuka peluang
142 Muhammad Djafar Saidi, Op. Cit., hal. 47.

102

terjadinya penyalahgunaan wewenang sehingga merugikan wajib pajak.


Oleh karena itu, adalah hal wajar apabila hak wajib pajak untuk
memperoleh perlakuan yang adil dan seimbang dilindungi. Dengan
demikian wajib pajak tidak hanya dituntut untuk memenuhi kewajibannya
di bidang perpajakan, tetapi hak mereka juga dilindungi oleh hukum. 143
Kewajiban wajib pajak yang tunduk pada pajak daerah dan harus
dipatuhi sebagaimana yang ditentukan, antara lain sebagai berikut: 144
1. Membayar atau menyetor pajak di tempat yang telah ditentukan
oleh undang-undang. Utang pajak harus dibayar atau disetor
pada kas daerah atau tempat pembayaran lain yang ditetapkan
oleh kepala daerah.
2. Pajak yang terutang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak
dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan
pajak.
3. Memberi kesempatan kepada pemeriksa pajak melakukan
pemeriksaan untuk memasuki tempat atau ruangan yang
dianggap perlu.
4. Menunjuk wakil bagi wajib pajak badan yang bertanggung jawab
tentang pelaksanaan kewajiban perpajakan.
Menurut Rochmat Soemitro145, bahwa berdampingan dengan
kewajiban adalah hak. Wajib pajak mempunyai hak yang wajib diindahkan
143 Y. Sri Pudyatmoko, Op. Cit., hal. 155.
144 Ibid., hal. 49.
145 Rochmat Soemitro, Op. Cit., hal. 91

103

oleh pihak administrasi pajak. Hak-hak wajib pajak dapat digunakan atau
dimanfaatkan pada saat-saat tertentu. Jika hak-haknya dilanggar oleh
pihak administrasi pajak, wajib pajak dapat mengajukan masalah ini
kehadapan pejabat atasan orang yang melanggar haknya, atau bila perlu
mengajukannya ke hadapan lembaga peradilan pajak.
Hak wajib pajak dapat dikelompokkan sebagai wajib pajak pusat
maupun sebagai wajib pajak daerah. Pengelompokkan ini didasarkan
bahwa terdapat perbedaan hak yang dimiliki oleh wajib pajak pusat
dengan hak yang dimiliki oleh wajib pajak daerah. Perbedaan itu
disebabkan karena ketentuan tentang pemenuhan hak antara wajib pajak
pusat dengan wajib pajak daerah. Pemenuhan hak wajib pajak pusat
diatur dalam UU KUP yang berbeda pemenuhan hak wajib pajak daerah
yang diatur dalam UU PDRD.146
Hak wajib pajak yang tunduk pada pajak daerah sebagaimana yang
ditentukan, antara lain sebagai berikut:147
1. Mengajukan

permohonan

angsuran

atau

penundaan

pembayaran pajak sesuai dengan

kemampuannya. Jika

permohonan

pajak

itu

dikabulkan,

wajib

daerah

diberi

kesempatan untuk mengangsur atau menunda pembayaran


pajak termasuk kekurangan pembayaran, paling lama dua
belas

bulan

yang

pelaksanaannya

ditetapkan

dengan

keputusan pejabat pajak.


146 Muhammad Djafar Saidi, Op. Cit., hal. 50.
147 Ibid., hal. 52.

104

2. Menerima tanda bukti setoran pajak sebagai bukti telah


membayar lunas pajak yang terutang.
3. Mengajukan permohonan perhitungan atau pengembalian
kelebihan pembayaran pajak serta memperoleh kepastian
ditetapkannya surat keputusan pengembalian kelebihan pajak.
4. Mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah
hitung yang terdapat dalam surat ketetapan pajak dalam
penerapan UU PDRD. Atas permohonan tersebut, pejabat
pajak dalam jangka waktu dua belas bulan sejak tanggal
permohonan

diterima,

harus

memberi

keputusan

atas

permohonan pembetulan. Jika batas waktu tersebut terlampaui,


pejabat pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan
pembetulan yang diajukan dianggap diterima.
5. Mengajukan permohonan pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan.
6. Menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk
memenuhi

kewajiban

dan menjalankan haknya

menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.


7. Mengajukan surat keberatan dan mohon kepastian terbitnya
surat keputusan atas surat keberatannya. Keberatan wajib
pajak daerah mutlak ada surat keputusan keberatan yang
diterbitkan oleh pejabat pajak untuk memberi kepastian hukum
berupa diterima atau ditolak keberatan tersebut.

105

8. Mengajukan permohonan banding atas surat keputusan


keberatan pada Pengadilan Pajak. Jika surat keputusan
keberatan itu memuat materi yang merugikan wajib pajak, surat
keputusan

keberatan

Pengadilan

Pajak

itu

untuk

dapat

diajukan

memohon

banding

keadilan

pada

mengenai

sengketanya.
9. Mengajukan gugatan terhadap tindakan pejabat pajak seperti
menerbitkan surat tagihan pajak, dan lain-lain pada Pengadilan
Pajak untuk memohon keadilan atas kesewenang-wenangan
dalam

menjalankan

peraturan

perundang-undangan

perpajakan.
10. Menunjuk kuasa hukum untuk mewakili dalam persidangan,
baik di Lembaga Keberatan, Pengadilan Pajak, maupun
Mahkamah Agung.
Sebenarnya hak-hak wajib pajak melekat pada diri wajib pajak
sehingga tidak boleh diabaikan atau dikesampingkan dalam rangka
penegakan hukum pajak. Ketika hak-hak wajib pajak terlanggar, berarti
pejabat pajak telah melakukan perbuatan melanggar hukum atas tidak
dipenuhinya hak-hak wajib pajak sehingga boleh dipersoalkan di lembaga
peradilan pajak untuk meperoleh perlindungan hukum atas hak-hak yang
dimilikinya.148
1. Perlindungan Hukum Preventif dalam Pajak

148 Ibid., hal. 53.

106

Perlindungan
pencegahan

agar

hukum
tidak

preventif

terjadi

dilakukan

benturan

sebagai

kepentingan.

upaya
Benturan

kepentingan yang dimaksud, misalnya, adalah benturan kepentingan


antara wajib pajak di satu pihak dengan publik di pihak lain. Oleh karena
itu, perlindungan hukum preventif merupakan sesuatu yang sangat
penting untuk dilakukan, sehingga harus mendapatkan perhatian penuh.
Sedapat

mungkin,

benturan

kepentingan

sekecil

apapun

harus

dihindarkan.149
Upaya pencegahan tersebut di atas dapat dilakukan antara lain
melalui peran serta masyarakat dalam penyusunan peraturan perundangundangan. Penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pajak
merupakan proses yang sangat strategis guna meminimalkan terjadinya
benturan kepentingan semacam itu.150
Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 23 A yang mengatur bahwa semua pajak
harus ditetapkan dengan undang-undang. Maka, pengenaan pajak yang
ada di Indonesia ini harus dan wajib berdasarkan undang-undang
termasuk pajak BPHTB yang telah diatur dalam UU PDRD. Sehingga jika
ada pengenaan pajak yang tidak berdasarkan undang-undang, maka
menurut hemat penulis tidak tepat.
Dengan demikian, setiap undang-undang harus ditetapkan dengan
persetujuan dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan wakil
149 Y. Sri Pudyatmoko, Op. Cit., hal. 156.
150 Ibid.

107

rakyat. Persetujuan yang diberikan dianggap mewakili persetujuan dari


rakyat, termasuk wajib pajak. Hal ini perlu disadari sebagai kelemahan
dari sistem demokrasi perwakilan seperti yang digunakan di Indonesia.
Oleh karena itu, kepekaan dan kemampuan anggota Dewan Perwakilan
Rakyat untuk menyerap aspirasi dan keinginan rakyat serta mendalami
kehidupan mereka mutlak diperlukan.
Menurut Y. Sri Pudyatmoko151, penyusunan ketentuan di bidang
perpajakan seharusnya diinformasikan kepada masyarakat. Selain itu,
elemen-elemen

masyarakat

juga

perlu

diberikan

peluang

menyampaikan masukannya, misalnya melalui public hearing.

untuk
Artinya,

aspirasi rakyat termasuk wajib pajak akan dapat diserap dengan lebih baik
oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Penggunaan sistem self assessment untuk beberapa jenis pajak
dan kecenderungan pemerintah untuk memperluas penggunaan sistem
tersebut untuk jenis-jenis pajak yang lain, dalam konteks yuridis,
merupakan perlindungan hukum preventif di bidang pajak bagi wajib
karena dalam sistem tersebut wajib pajaklah yang menghitung dan
menetapkan sendiri besarnya utang pajak yang merupakan dasar bagi
pembayaran pajak. Dengan demikian, peluang wajib diperlakukan tidak
adil oleh fiskus menjadi semakin kecil.
2. Perlindungan Hukum Represif dalam Pajak
Berbeda dengan perlindungan hukum preventif yang bersifat
mencegah kemungkinan terjadinya benturan kepentingan, perlindungan
151 Ibid., hal. 157.

108

hukum represif merupakan instrumen di bidang hukum yang diperlukan


untuk mencari penyelesaian sengketa. Dalam bidang pajak, sengketa
dapat terjadi antara lain karena perbedaan penafsiran dan pendapat
antara wajib pajak dengan fiskus mengenai ketentuan perpajakan. Jika
sengketa pajak terjadi, wajib pajak cenderung bersikap pasif, padahal
sebenarnya wajib pajak memiliki perlindungan hukum. Perlindungan
hukum ini diperlukan karena tidak semata-mata pelanggaran pajak
tersebut merupakan kesalahan wajib pajak. Untuk itu, wajib pajak
diberikan perlindungan hukum, yaitu seperti:
1. Keberatan
Keberatan merupakan upaya hukum biasa yang diperuntukkan
bagi wajib pajak untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran
terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh pejabat pajak
dalam melakukan penagihan pajak. Untuk pajak daerah, yang
berhak untuk memeriksa, memutuskan dan menyelesaikannya
adalah Kepala Daerah yang bersangkutan. 152
2. Banding
Upaya hukum banding merupakan kelanjutan dari upaya hukum
keberatan. Dalam arti, tidak ada banding sebelum melalui
keberatan

karena

yang

diajukan

banding

adalah

surat

keputusan keberatan sebagai bentuk penyelesain pajak.


Banding sebagai upaya hukum hanya bersifat upaya hukum
152 Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dan
Penyelesaian Sengketa Pajak, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hal.
167.

109

biasa yang memberi peluang untuk mempersoalkan surat


keputusan keberatan di tingkat Pengadilan Pajak. 153
3. Gugatan
Hukum acara peradilan pajak tidak hanya mengenal keberatan
dan banding sebagai upaya hukum biasa, tetapi termasuk pula
gugatan untuk melawan kebijakan pejabat pajak yang terkait
dengan penagihan pajak, seperti terbitnya surat tagihan pajak
dan penagihan secara paksa. Gugatan merupakan upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak terhadap
pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang
dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku.154
4. Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali adalah upaya hukum luar biasa yang dapat
digunakan oleh para pihak yang bersengketa untuk melawan
putusan Pengadilan Pajak yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap (inkracht van gewjsde). Pengajuan peninjauan
kembali putusan Pengadilan Pajak kepada Mahkamah Agung
sebagai konsekuensi dari kedudukannya yang berwenang
melakukan

pengawasan

terhadap

pengadilan

rendahan,

termasuk pengadilan pajak.155


153 Ibid., hal. 172.
154 Ibid., hal. 183.
155 Ibid., hal. 193.

110

3. Restitusi Pajak
Restitusi pajak secara umum berkaitan dengan hak wajib pajak
untuk mendapatkan pengembalian uang pajak yang telah dibayarkan.
Pengembalian uang pajak tersebut terjadi karena adanya pajak yang lebih
dibayar atau pajak yang tidak terutang, tetapi sudah terlanjur dibayar atau
pengembalian pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang
yang diekspor. Dengan demikian, restitusi terjadi bukan hanya untuk PPN
saja, akan tetapi juga dapat terjadi pada jenis pajak lain yang jelas terjadi
kelebihan pembayaran pajak, atau pemungutan pajak dan oleh karenanya
wajib pajak berhak menerima pengembalian kelebihan pembayaran
tersebut. Sesuai dengan asas keadilan, bahwa bila wajib pajak kurang
dalam membayar pajak akan dikenakan penagihan dan denda, maka
sebaliknya bila terjadi kelebihan pembayaran pajak, harus dikembalikan. 156
Proses pengenaan dan pemungutan pajak daerah memungkinkan
terjadi kelebihan pembayaran BPHTB, apabila ternyata wajib pajak
membayar pajak, tetapi sebenarnya tidak ada pajak yang terutang,
dikabulkannya

permohonan

keberatan

atau

banding

wajib

pajak

sementara wajib pajak telah melunasi utang pajak tersebut, ataupun


sebab lainnya.157
Menurut Samsiani158, bahwa pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dapat dilakukan terhadap semua pajak daerah termasuk pajak Bea
156 Y. Sri Pudyatmoko, Op. Cit., hal. 186.
157 Marihot Pahala Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 609.

111

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tetapi harus melalui


pemeriksaan

pajak

daerah

yang

dilakukan

oleh

pegawai

Dinas

Pendapatan Daerah. Kalau dalam pemeriksaan pajak daerah disetujui


untuk pengembalian kelebihan pembayaran pajak terhadap wajib pajak,
maka akan dikembalikan sesuai permohonan wajib pajak.
Bahwa pengembalian kelebihan pembayaran Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan/atau Bangunan dapat terjadi karena:
a. BPHTB yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya
terutang;
b. Pembayaran

BPHTB

telah

dilakukan

sebelum

akta

ditandatangani, namun perolehan hak atas tanah dan/atau


bangunan batal dilaksanakan;
c. Adanya putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap yang membatalkan perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang BPHTB telah dibayar.
Dalam hal tersebut, kelebihan pembayaran pajak BPHTB yang
telah dilakukan oleh wajib pajak tidak hilang melainkan tetap menjadi hak
wajib pajak. Apabila diinginkannya, wajib pajak meminta kelebihan
pembayaran

pajak

tersebut

dikembalikan

dengan

mengajukan

permohonan pengembalian kelebihan pembayaran kepada Kepala


Daerah berdasarkan Pasal 165 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Permohonan pengembalian

158 Wawancara Pejabat Pajak Dinas Pendapatan Daerah Kota Makassar,


tanggal 16 Agustus 2016 jam 10.30 WITA.

112

kelebihan pembayaran

pajak harus diajukan secara tertulis dan

ditandatangani oleh wajib pajak, dengan sekurang-kurangnya memuat:


1. Bukti setoran pajak (SPPD);
2. Bukti SPTPD
3. Dokumen atau keterangan yang menjadi dasar pembayaran
pajak; dan
4. Perhitungan pembayaran pajak menurut wajib pajak.
Apabila wajib pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan
pembayaran pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih
dahulu utang pajak tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dilakukan dalam jangka waktu paling lama dua bulan. 159
Pada prinsipnya, kelebihan pembayaran BPHTB merupakan hak
wajib pajak yang harus dikembalikan oleh pemerintah. Kelebihan
pembayaran BPHTB dapat diperhitungkan dengan utang pajak lainnya,
dikembalikan, atau disumbangkan kepada Negara. Dengan adanya
pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan oleh
wajib pajak maka terjadi keseimbangan antara kewajiban pembayaran
pajak dan hak wajib pajak atas kelebihan pembayaran pajak yang telah
dilakukannya.
Sehingga menurut hemat penulis, Notaris/PPAT tidak perlu untuk
mengenyampingkan aturan dalam membuat dan memungut pajak BPHTB
pada akta hibah wasiat karena wajib pajak telah dilindungi oleh hukum
serta ada sanksi untuk Notaris/PPAT yang menandatangani akta tetapi
wajib pajak belum menyerahkan bukti pembayaran pajak, sebagaimana
159 Ibid., hal. 148.

113

ditegaskan dalam Pasal 93 ayat (1) dan (2) UU PDRD yang mengatur
bahwa:
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang Negara, yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan
ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta limaratus ribu rupiah) untuk setiap
pelanggaran.
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang Negara, yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.
250.000,00 (duaratus limapuluh ribu rupiah) untuk setiap
laporan.

114

BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan analisis data dalam Bab IV, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada hibah wasiat
baru dapat dilaksanakan setelah si pemberi hibah wasiat meninggal
dunia walaupun saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) pada hibah wasiat yaitu saat
dibuat dan ditandatanganinya akta karena pembayaran pajak
hanya merupakan salah satu syarat formal pada pembuatan akta
hibah wasiat agar terhindar dari sanksi dan denda yang telah
ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Perlindungan hukum kepada penerima hibah wasiat yang telah

membayar pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau


Bangunan (BPHTB) jika wasiat dicabut oleh pemberi hibah wasiat
dapat ditempuh melalui perlindungan hukum represif dalam pajak
seperti mengajukan keberatan yang merupakan upaya hukum
biasa bagi wajib pajak untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran
yang dilakukan oleh pejabat pajak dalam melakukan penagihan
pajak,

banding

mempersoalkan

yang
surat

merupakan
keputusan

upaya

keberatan,

hukum

untuk

gugatan

untuk

115

melawan kebijakan pejabat pajak yang terkait dengan penagihan


pajak dan peninjauan kembali yang merupakan upaya hukum luar
biasa yang dapat digunakan oleh para pihak yang bersengketa
untuk melawan putusan Pengadilan Pajak yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjsde), serta melalui restitusi
pajak untuk mendapatkan pengembalian uang pajak yang telah
dibayarkan dikarenakan BPHTB yang dibayar ternyata lebih besar
dari yang seharusnya terutang, Perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan batal dilaksanakan dan adanya putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap yang membatalkan perolehan hak
atas tanah dan/atau bangunan yang BPHTB telah dibayar.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan tersebut di atas, maka penulis dapat
mengajukan saran, yaitu sebagai berikut:
1. Perlunya untuk dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
khususnya pada Pasal 90 Ayat (1) huruf d yang berkaitan dengan
saat terutangnya pajak pada hibah wasiat yaitu saat dibuat dan
ditandatanganinya akta sehingga tidak bertentangan dengan kaidah
hibah wasiat yang berlaku di dalam BW dan tidak bertentangan
dengan

Undang-Undang

Pokok

Agraria

(UUPA)

mengenai

perolehan hak atas tanah karena perolehan hak atas tanah belum

116

terjadi tetapi sudah terlebih dahulu pajak harus dibayar pada saat
pembuatan hibah wasiat.
2. Perlunya petugas pajak untuk sering mengadakan sosialisasi
kepada

masyarakat

khususnya

terhadap

notaris

tentang

perlindungan hukum kepada wajib pajak sehingga wajib pajak


mengetahui apa saja hak dan kewajibannya sebagai wajib pajak
sehingga peraturan perpajakan yang ada di Indonesia dapat
disosialisasikan dengan baik.

117

DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Pitlo. 1979. Hukum Waris Menurut Undang-Undang Hukum Perdata
Belanda diterjemahkan oleh M.Isa Arief dari judul asli: Het
Erfrecht Naar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Jilid 1.
Intermasa: Jakarta.
Adrian Sutedi. 2007. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya.
Sinar Grafika: Jakarta.
Ali Achmad Chomzah. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid
2. Prestasi Pustakarya: Jakarta.
Aminuddin Salle, dkk. 2011. Hukum Agraria, ASPublishing: Makassar.
Anisitus Amanat. 2003. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal
Hukum Perdata BW. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Boedi Harsono. 2003 Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya.
Djambatan: Jakarta.
Bohari. 2010. Pengantar Hukum Pajak. PT. RajaGrafindo Persada:
Jakarta.
Djaja S. Meliala. 2015. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda
dan Hukum Perikatan. Nuansa Aulia: Bandung.
Effendi Perangin. 1994. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari
Sudut Pandang Praktisi Hukum. PT. RajaGrafindo Persada:
Jakarta.
Eman Suparman. 2011. Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam,
Adat, dan BW. Refika Aditama: Bandung.
Fidel. 2015. Tindak Pidana Perpajakan & Amandemen Undang-Undang
KUP, PPh, PPN, Pengadilan Pajak. PT. Carofin Media: Jakarta.
Gregor van der Burght. 1995. Hukum Waris Buku Kesatu. PT. Citra Aditya
Bakti: Bandung.
__________. 1996. Hukum Waris Buku Kedua. PT. Citra Aditya Bakti:
Bandung.
H. Salim H. S. & Erlies Septiana Nurbani. 2013. Penerapan Teori Hukum
Pada Penelitian Tesis Dan Desertasi, Cetakan Pertama. PT.
Rajagrafindo Persada: Jakarta.
118

Henny Tanuwidjaja. 2012. Hukum Waris Menurut BW. Refika Aditama:


Bandung.
Hilman Hadikusuma. 1990. Hukum Perjanjian Adat. PT. Citra Aditya Bakti:
Bandung.
Marihot Pahala Siahaan. 2005. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan Teori dan Praktik. PT. RajaGrafindo Persada:
Jakarta.
__________. 2013. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. PT RajaGrafindo
Persada: Jakarta.
Muhammad Djafar Saidi. 2012. Pembaruan
RajaGrafindo Persada: Jakarta.

Hukum

Pajak.

PT.

__________. 2008. Perlindungan Hukum Wajib Pajak dan Penyelesaian


Sengketa Pajak. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Oemarsalim. 2012. Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia. Rineka Cipta:
Jakarta.
Padma D. Liman. 2011. Hukum Waris: Pewarisan Ahli Waris AB Intestato
Menurut Burgerlijk Wetboek (BW). Wineka Media: Malang.
R. Soetojo Prawirohamidjojo. 2000. Hukum Waris Kodifikasi. Airlangga
University Press. Surabaya.
R. Subekti. 1992. Aneka Perjanjian. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. 2004. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Burgerlijk Wetboek. Pradnya Paramita: Jakarta.
R. Wirjono Prodjodikoro. 1983. Hukum Warisan di Indoneisa. Sumur
Bandung: Bandung.
Rochmat Soemitro. 1986. Asas dan Dasar Perpajakan I. PT. Eresco
Bandung.
Rusmadi Murad. 2013. Administrasi Pertanahan. CV. Mandar Maju:
Bandung.
Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. PT. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Soepomo. 1977. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Pradnya Paramita:
Jakarta.
Soerjono Soekanto. 2002. Hukum Adat Indonesia. PT. RajaGrafindo
Persada: Jakarta.

119

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan. 2004. Hukum Perdata: Hukum Benda.


Liberty: Yogyakarta.
Sudikno Mertokusumo. 1988. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty:
Yogyakarta.
Urip Santoso. 2013. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Kencana:
Jakarta.
Y. Sri Pudyatmoko. 2007. Penegakan dan Perlindungan Hukum Di Bidang
Pajak. Salemba Empat: Jakarta
Undang-Undang
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta: Penerbit SL Media,
2010.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan.
Internet
http://alwesius.blogspot.co.id/2011/07/pengenaan-bphtb-terhadap-hibahwasiat.html

120

Anda mungkin juga menyukai