TESIS
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi
Magister Kenotariatan
Kepada
Menyetujui
Komisi Penasehat :
Ketua
Sekretaris
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
PE R N YAT AAN
Nama
NIM
: P3600214001
Menyatakan
dengan
sesungguhya
bahwa
tesis
yang
HAK
ATAS
TANAH
DAN/ATAU
BANGUNAN
(BPHTB)
PADA
Nopember
2016
Yang membuat pernyataan
Muhammad
Reindra
Parani
ABSTRAK
Muhammad Reindra Parani, P3600214001, Implikasi Hukum
Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan
(BPHTB) Pada Pembuatan Hibah Wasiat Terhadap Perolehan Hak , di
bawah bimbingan Anwar Borahima dan Sri Susyanti Nur.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui saat terjadinya
perolehan hak atas tanah pada hibah wasiat dan untuk mengetahui
perlindungan hukum kepada penerima hibah wasiat yang telah membayar
pajak BPHTB jika wasiat dicabut.
ABSTRACT
Muhammad Reindra Parani, P3600214001, Legal Implications
Payment of Tax on Acquisition of Land and / or Building (BPHTB) On
Making Grant Wills Against Acquisition, under the guidance of Anwar
Borahima and Sri Susyanti Nur.
The purpose of this study was to determine the time of the
acquisition of land on the grant will and to determine the legal
protection to the grantee will have to pay taxes BPHTB if a will is
revoked.
This type of research used in this research is normative. This
research is descriptive. Any data obtained were analyzed
KATA PENGANTAR
Tiada kata yang patut penulis ucapkan selain puji dan syukur atas
kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNya lah sehingga
penulis dapat menyusun dan menyelesaikan tesis ini. Penulis menyadari
sepenuhnya bahwa apa yang dikemukakan dalam tesis ini masih jauh dari
kesempurnaan yang merupakan sebagai akibat dari keterbatasan
5. Ibu Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum Unhas beserta para Wakil Dekan dan jajarannya.
6. Ibu Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si. selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotaritan Fakultas Hukum Unhas.
7. Bapak Prof. Dr. Ahmadi Miru, S.H., M.S., Bapak Prof. Dr. Ir. Abrar
Saleng, S.H., M.H., dan Ibu Dr. Nurfaidah Said, S.H., M.H., M.Si.
selaku penguji dalam ujian tesis penulis atas segala masukannya.
8. Para staf akademik program studi Magister Kenotarian khususnya
Ibu Eppy dan Pak Aksa yang telah memberikan bantuannya selama
penulis di bangku kuliah.
9. Seluruh keluarga besar penulis, terkhusus kepada Kakanda
Septian Prima Razak, S.H. sekeluarga atas segala bantuan dan
dukungannya selama ini.
10. Hijriah Maulani Nanda Syaputri, S.H., atas segala motivasi yang
diberikan kepada penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir
11.
tesis ini.
Seluruh teman-teman seperjuangan kuliah di Kenotariatan
terkhusus pada angkatan 2014 yang nama-namanya tidak bisa
disebutkan satu per satu atas segala bantuannya.
Penulis mendoakan semoga Allah SWT membalas semua amal
kebaikan dari Bapak/Ibu semua dengan pahala berlipat ganda atas segala
amal perbuatan dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis.
Aamiin.
Makassar,
Nopember 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................................
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................................
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TESIS........................................................
ABSTRAK.................................................................................................................
KATA PENGANTAR..................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................
B. Rumusan Masalah.....................................................................................
C. Tujuan Penelitian........................................................................................
D. Manfaat Penelitian.....................................................................................
E. Orisinalitas Penelitian.................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perolehan Hak Atas Tanah Pada Hibah Wasiat
1. Jenis-jenis Hak Atas Tanah................................................................
2. Cara Memperoleh Hak Milik..............................................................
3. Peralihan Hak Atas Tanah..................................................................
4. Pengertian Wasiat dan Hibah Wasiat................................................
5. Bentuk-bentuk Wasiat........................................................................
6. Pihak yang Memberi dan Menerima Hibah.......................................
7. Pencabutan dan Gugurnya Hibah Wasiat.........................................
8. Pelaksanaan Hibah Wasiat................................................................
10
Daftar Pustaka.......................................................................................................
11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
kekuatan
untuk
mengatur
harta
kekayaan
yang
ditinggalkannya.1
Peristiwa hukum pada hakikatnya adalah kejadian, keadaan atau
perbuatan orang yang oleh hukum dihubungkan dengan akibat hukum.
Termasuk kejadian adalah kelahiran dan kematian, sedangkan yang
merupakan keadaan misalnya adalah umur, yang menyebabkan orang
memperoleh kedewasaan. Kelahiran seorang anak akan menimbulkan
akibat hukum bagi anak yang dilahirkan itu. Kelahiran tidak hanya
menyebabkan seseorang memperoleh kedudukan sebagai subjek hukum,
1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hal. 69.
tetapi menimbulkan juga hubungan hukum antara orang tua dan anak.
Kematian seseorang akan menyebabkan putusnya hubungan hukum dan
menyebabkan ahli waris dapat mewarisi harta kekayaannya. 2
Secara garis besar, dalam Burgerlijk Wetboek (BW) membedakan
ahli waris atas 2 (dua) yaitu ahli waris ab intestato dan ahli waris
testamenter. Ahli waris ab intestato ini adalah ahli waris menurut atau
berdasarkan undang-undang dan mereka secara otomatis menjadi ahli
waris jika terjadi kematian, sedangkan apabila ada orang-orang tertentu
yang dikehendaki oleh pewaris agar juga memiliki harta peninggalannya
dengan bagian-bagian yang telah ditentukan oleh pewaris maka kehendak
ini dapat dituangkan dalam suatu akta yang disebut wasiat dan ahli waris
yang ditentukan dalam wasiat tersebut adalah ahli waris testamenter.3
Salah satu jenis testamen yang dikenal di masyarakat yaitu wasiat
yang berisi hibah wasiat (legaat). Pengertian hibah wasiat ada dalam
Pasal 957 BW yaitu suatu penetapan wasiat yang khusus, dengan mana
si yang mewariskan kepada seseorang atau lebih memberikan beberapa
barang-barangnya dari suatu jenis tertentu seperti misalnya segala
barang-barangnya bergerak atau tak bergerak atau memberikan hak pakai
hasil atas seluruh atau sebagian harta peninggalannya. Hibah wasiat yang
atau
ditulis
oleh
orang
lain
atau
diketik
kemudian
pemerintah
kota/kabupaten
melalui
pembayaran
pajak,
haknya atau sejak tanggal keputusan atau sejak putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pembayaran BPHTB pada hibah wasiat perlu dikaji secara lebih
mendalam dikarenakan pembayaran BPHTB harus dibayar sejak tanggal
dibuat dan ditandatanganinya akta, karena telah menyimpang dari kaidah
atau prinsip hibah wasiat.
Hibah wasiat dapat dilaksanakan oleh pelaksana wasiat untuk
diberikan kepada penerima hibah setelah pemberi hibah wasiat meninggal
dunia artinya bahwa beralihnya hak milik atas tanah adalah pada saat
meninggalnya pemberi hibah wasiat, bukan pada saat hibah wasiat di
tanda tangani, sehingga sebenarnya hak untuk penerima hibah wasiat
akan
berlaku
kemudian,
bukan
pada
saat
akta
hibah
wasiat
ketentuan
tersebut,
maka
menimbulkan
B.
Rumusan Masalah
Dari uraian dalam latar belakang di atas, maka masalah yang akan
Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui saat terjadinya perolehan hak atas
tanah pada hibah wasiat.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum kepada penerima
hibah wasiat yang telah membayar pajak BPHTB.
D.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademis.
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
bermanfaat
bagi
penelitian
ini
diharapkan
mampu
memberikan
Orisinalitas Penelitian
Permasalahan tentang pengenaan BPHTB atas hibah wasiat
yang
berjudul
Pelaksanaan
Pemungutan
Bea
yang
dilalui,
yaitu
tahap
saat
pajak
terutang,
Pascasarjana
Universitas
Udayana,
yang
berjudul
dan/atau
Bangunan
(BPHTB)
Atas
Hibah
Wasiat,
kendala-kendala
bagi
masyarakat
yang
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perolehan Hak Atas Tanah Pada Hibah Wasiat
1. Jenis-Jenis Hak Atas Tanah
Dasar hukum ketentuan hak-hak atas tanah diatur dalam Pasal 4
ayat (1) dan (2) UUPA, yaitu:
(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai dimaksud
dalam Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas
permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum.
(2) Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 Pasal ini
memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang
yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan
yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu
dalam batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturanperaturan hukum yang lebih tinggi.
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari Negara atas
tanah dapat diberikan kepada perseorangan baik warga Negara Indonesia
maupun warga Negara asing, sekelompok orang secara bersama-sama,
dan badan hukum baik badan hukum privat maupun badan hukum publik. 7
Menurut Sudikno Mertokusumo sebagaimana dikutip Urip Santoso 8,
wewenang yang dipunyai oleh pemegang hak atas tanah terhadap
tanahnya dibagi menjadi dua, yaitu:
7 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Jakarta: Kencana, 2013,
hal. 89.
8 Ibid.
11
a. Wewenang umum
Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya,
termasuk juga tubuh bumi dan air dan ruang yang ada di
atasnya sekadar diperlukan untuk kepentingan yang langsung
berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batasbatas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain
yang lebih tinggi.
b. Wewenang khusus
Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas
tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya
sesuai
dengan
macam
hak
atas
tanahnya,
misalnya
pertanian
pada
tanah
dan/atau
hak
mendirikan
guna
bangunan,
bangunan
adalah
12
hukum
yang
ditunjuk
pemerintah.
Dalam
13
Bangunan
yaitu
dan
14
15
5. Hak Sewa
Hak sewa untuk bangunan adalah hak yang dimiliki seseorang
atau badan hukum untuk mendirikan dan mempunyai bangunan
di atas tanah hak milik orang lain dengan membayar sejumlah
uang sewa tertentu yang disepakati oleh pemilik tanah dengan
pemegang hak sewa untuk bangunan. Dalam hak sewa untuk
bangunan,
pemilik
tanah
menyerahkan
tanahnya
dalam
yang
dasarnya,
mempunyai
pemegang
perwakilan
hak
sewa
di
untuk
Indonesia.
Pada
bangunan
tidak
13
Pada hak atas tanah di dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA tersebut di
atas sebenarnya masih ada dua hak yang belum disebutkan yaitu hak
membuka tanah dan hak memungut hasil hutan tetapi keduanya bukanlah
hak atas tanah dikarenakan keduanya tidak memberikan wewenang
13 Ibid., hal. 134.
16
17
kedaluwarsa,
apabila
seseorang
telah
memegang
18
19
21 Ibid.
22 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op. Cit., hal. 68.
20
21
penyerahan
surat
tagihannya
disertai
dengan
endossement.
3) Penyerahan dari piutang op naam (atas nama) termasuk hak
atas benda tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan membuat
akta cessie.
Dalam hukum adat, perbuatan penyerahan tidak sama maksudnya
dengan levering menurut hukum barat dalam hal jual beli tanah
oleh karena hukum adat tidak memisahkan pengertian jual dengan
penyerahan sebagaimana hukum barat, dimana jual beli itu
memerlukan penyerahan.26
Menurut Hilman Hadikusuma 27, kata sepakat di dalam suatu
perjanjian merupakan perbuatan pendahuluan untuk melaksanakan apa
yang telah disepakati itu. Jadi dengan janji perkataan saja belum
mengikat, ia akan mengikat jika diperkuat dengan pemberian (panjar)
sebagai tanda akan memenuhi janji dan walaupun sudah diberi panjar
belum berarti mewajibkan penjual menyerahkan barangnya. Oleh karena
penjualan benda tidak bergerak adalah penyerahan benda itu dengan
harga tertentu dan bukan merupakan suatu perjanjian yang menjelmakan
kewajiban
untuk
menyerahkan.
Dapat
dikatakan
bahwa
menurut
22
ijab kabul (serah terima) di hadapan ketua adat atau cukup apabila
dinyatakan dihadapan para saksi kerabat tetangga, terutama yang penting
ialah mereka yang berbatasan tanah.
Dengan demikian mengenai penyerahan di dalam jual beli tanah di
dalam hukum adat tidak dipersoalkan dan tidak dipisahkan dari perbuatan
jualnya. Perbuatan jual dan serah terima itu satu rangkaian perbuatan dan
perbuatan itu terang dihadapan saksi-saksi. 28
Menurut Soerjono Soekanto29, mengenai hibah wasiat dalam
hukum adat penyerahan dan pelaksanaannya merupakan peristiwa
hukum yang baru akan berlaku setelah orang tua meninggal dunia. Pada
keadaan tertentu hibah wasiat itu dibuat secara tertulis melalui
perantaraan seorang notaris. Tetapi menurut Soepomo 30, meskipun hibah
wasiat itu berbentuk akta notaris, sah atau tidaknya isi hibah wasiat itu
dikuasai oleh hukum adat. Misalnya, tidak akan sah suatu pemberian
sawah kasikepan kepada seorang waris yang bukan teman sedesa.
Menurut ketentuan BW bahwa hak milik atas barang yang dijual
tidak berpindah kepada pembeli selama penyerahannya (levering) belum
dilakukan yaitu sebelum didaftarkan di dalam register umum sebagaimana
dimaksud Pasal-pasal 612, 613, dan 616 BW, namun berbeda halnya di
dalam UUPA yang berdasarkan hukum adat, maka hak milik secara
28 Ibid., hal. 113.
29 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2002, hal. 271.
30 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1977,
hal. 89.
23
hukum dengan asas nyata dan tunai (konkrit dan kontan) telah beralih
pada saat disepakati dan dibuat serta ditandatanganinya akta PPAT.
Pendaftarannya pada Kantor Pertanahan adalah untuk memberikan alat
bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya daripada akta
PPAT yang membuktikan telah terjadinya pemindahan hak yang
dilakukan. Dengan kata lain, dilakukannya jual beli tersebut di dalam
hukum tanah nasional, timbulnya hak dan kewajiban para pihak telah
serta merta berlangsung pada saat akad dan ditandatanganinya akta di
depan PPAT. 31
3. Peralihan Hak Atas Tanah
Menurut Boedi Harsono32, peralihan hak atas tanah bisa terjadi
karena:
a. Pewarisan tanpa wasiat.
b. Perbuatan hukum pemindahan hak.
a. Pewarisan tanpa wasiat
Berdasarkan hukum perdata jika pemegang sesuatu hak atas tanah
meninggal dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli
warisnya. Peralihan hak tersebut kepada para ahli waris, yaitu siapa-siapa
yang termasuk ahli waris, berapa bagian masing-masing dan cara
pembagiannya, diatur oleh hukum waris almarhum pemegang hak yang
31 Rusmadi Murad, Administrasi Pertanahan, Bandung: CV. Mandar Maju, 2013,
hal. 306.
32 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UndangUndang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2003, hal.
332.
24
33 Ibid.
34 Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid 2, Jakarta:
Prestasi Pustakaraya, 2004, hal. 49.
35 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar
Grafika, 2007, hal. 102.
25
perbuatan
hukum
tersebut,
hak
atas
tanah
yang
bersangkutan berpindah kepada pihak lain. Dalam hibah wasiat hak atas
26
27
dari
hubungan
kalimatnya
dapat
diketahui
apa
yang
dimaksudkannya.
Dari pengertian ini didapatkan bahwa ciri-ciri surat wasiat adalah
merupakan
perbuatan
sepihak
yang
dapat
dicabut
kembali
dan
28
dengan yang lainnya maupun untuk kepentingan pihak ketiga dalam suatu
akta (Pasal 930 BW). 42
Dalam Pasal 957 BW, undang-undang menguraikan hibah wasiat
sebagai suatu ketetapan khusus, yang didalamnya pewaris menyatakan
memberikan barang-barang tertentu atau (semua) barang-barang jenis
tertentu kepada seseorang atau lebih, seperti misalnya seluruh barangbarang bergeraknya atau yang tidak bergerak atau hak pakai hasil dari
seluruh atau sebagian barang-barangnya. Pemberian ini dinamakan
khusus oleh karena merupakan lawan dari penunjukan waris (erfstelling)
yang merupakan pemberian bersifat umum. Jikalau ahli waris tersebut
adalah penerima hak dengan alas hak umum, maka legataris adalah
penerima hak dengan alas hak khusus. Hal yang disebut terakhir ini tidak
melanjutkan pribadi pewaris. Ia adalah penerima hak, seperti halnya
seorang pembeli adalah juga penerima hak.43
5. Bentuk-bentuk Wasiat
Burgerlijk Wetboek mengenal tiga macam bentuk cara pembuatan
surat wasiat, yaitu:
a. Wasiat Olografis
Ciri yang terpenting dari wasiat olografis yaitu seluruhnya ditulis
dengan tangan dan ditandatangani pewaris sendiri. Kemudian surat
29
akta
notaris
tentang
penyerahan
itu
yang
Setelah
itu
pewaris
harus
membuat
akta
30
meninggal dunia surat wasiat tidak dapat segera dilaksanakan sebab isi
surat wasiat itu tidak dapat diketahui notaris, sedangkan notaris dilarang
membuka sendiri surat wasiat tersebut, maka untuk kepentingan itu surat
wasiat harus derahkan terlebih dahulu kepada Balai Harta Peninggalan
untuk membukanya.45
Menurut Pitlo46 , bahwa jika wasiat olografis hanya merupakan akta
di bawah tangan, maka beban pembuktian yang bertumpu pada pihak
yang diberi keuntungan oleh wasiat sangat berat dikarenakan para ahli
waris akan dapat mengingkari keaslian tulisan pewaris, sedangkan pihakpihak yang diberi keuntungan oleh wasiat tersebut haruslah berusaha
membuktikan keaslian tulisan tersebut.
b. Wasiat Umum (Openbaar Testament)
Mengenai surat wasiat ini diatur dalam Pasal 938 dan seterusnya
dari Burgerlijk Wetboek. Pasal 938 BW menetapkan wasiat umum wajib
dibuat dihadapan seorang notaris dengan mengajukan dua orang saksi.
Pembuat surat wasiat harus menyampaikan sendiri kehendaknya itu
dihadapan saksi-saksi. Hal itu dapat dilakukan dengan perantaraan orang
lain, baik anggota keluarganya maupun notaris yang bersangkutan. 47
Surat wasiat harus dibuat dalam bahasa yang dipergunakan oleh
pewaris ketika menyampaikan kehendaknya, dengan syarat bahwa notaris
45 Ibid.
46 A. Pitlo, Op. Cit., hal. 174.
47 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta,
2012, hal. 102-103.
31
dengan
Asser-Meyers,
R.
Wirjono
Prodjodikoro
berpendapat bahwa yang perlu dalam hal ini adalah seorang notaris
mengerti apa yang dinyatakan oleh orang yang meninggalkan warisan.
Pernyataan tersebut sesuai jika dinyatakan dengan lisan, tetapi juga
sering seorang yang meninggalkan warisan itu terserang flu sehingga
tidak dapat membaca dan yang bersangkutan lalu mencatat di atas kertas.
Jika
orang
yang
meninggalkan
warisan
sesudah
mendengarkan
32
c. Wasiat Rahasia
Lain halnya dengan yang berlaku pada wasiat olografis, maka pada
wasiat rahasia, pewaris tidak perlu menulis ketetapan-ketetapannya
sendiri. Tetapi ia harus menandatanganinya. Kertas yang diatasnya ditulis
ketetapan-ketetapan tersebut atau kertas yang dipakai sebagai sampul,
harus tertutup dan disegel.52
Syarat-syarat pembuatan surat wasiat rahasia ini diatur dalam
Pasal 940 dan 941 BW. Pembuatan surat wasiat rahasia haruslah dibuat
sendiri dan ditanda tanganinya dan dimasukkan dalam sampul yang
disegel untuk selanjutnya diserahkan kepada notaris dengan dihadiri oleh
empat orang saksi. Oleh notaris kemudian dibuatkan akta superscriptie
yang dapat dituliskan pada sampul surat wasiat atau pada kertas
tersendiri dan ditandatangani oleh pewaris, notaris, dan saksi-saksi. 53
33
34
pada
saat
dilakukannya
penghibahan,
dengan
pula
35
untuk
melindungi
orang-orang
pihak
ketiga
yang
adanya
suatu
larangan
untuk
mengubah
suatu
perjanjian
perkawinan.59
Penghibahan-penghibahan kepada lembaga-lembaga umum atau
lembaga-lembaga keagamaan, tidak mempunyai akibat, selain sekadar
oleh Presiden atau penguasa-penguasa yang ditunjuk olehnya telah
diberikan kekuasaan kepada para pengurus lembaga-lembaga tersebut,
untuk menerima pemberian-pemberian itu. 60
Akhirnya oleh Pasal 1681 BW dinyatakan berlakunya beberapa
pasal dari Buku II BW terhadap penghibahan. Jika dilihat pasal-pasal itu,
ternyata
bahwa
ketentuan-ketentuan
itu
mengandung
larangan
36
61 Ibid.
62 Oemar Salim, Op. Cit., hal. 130.
63 Henny Tanuwidjaja, Op. Cit., hal. 62.
37
38
39
40
mengenai
dilaksanakan
oleh
kewajiban-kewajiban
orang
lain
yang
daripada
juga
dapat
orang
yang
41
42
43
yaitu bahwa dalam akta notaris juga bisa dibuat hal-hal lain, tetapi
terbatas pada hal-hal yang oleh orang yang meninggalkan harta warisan
ditetapkan mesti dikerjakan setelah ia meninggal dunia. Jadi tidak boleh
penunjukan pelaksana wasiat dalam suatu perjanjian jual beli. 73
Pada Pasal 1006 BW ditentukan tentang siapa saja yang tidak
boleh dipilih menjadi pelaksana wasiat yaitu: 74
1. Wanita yang bersuami kecuali dengan bantuan suaminya.
2. Orang yang belum dewasa.
3. Orang yang berada di bawah pengampuan.
4. Orang-orang yang menurut hukum dianggap tidak cakap
bertindak.
Perlu diperhatikan, bahwa Pasal 1006 BW menetapkan orang yang
tidak bisa menjadi pelaksana wasiat. Tetapi tidak dijelaskan bahwa
mereka tidak boleh dipilih sebagai pelaksana wasiat. Oleh sebab itu, tidak
ada larangan seorang pria sebagai peninggal warisan memilih istrinya
sebagai seorang pelaksana wasiat, maka setelah ia meninggal, istrinya
dengan sendirinya tidak lagi mempunyai suami dan bilamana janda ini
kemudian menikah lagi, maka mulai saat itulah ia tidak boleh lagi
bertindak sebagai pelaksana wasiat. Demikian pula, seorang belum
dewasa boleh dipilih sebagai pelaksana wasiat, asalkan pada waktu
wasiat nanti dijalankan, orang tersebut telah dewasa. 75
73 Ibid.
74 Henny Tanuwidjaja, Op. Cit., hal. 92.
44
45
atas tanah dan atau bangunan oleh pribadi atau badan. Pada dasarnya
perolehan hak merupakan hasil dari suatu peralihan hak dari suatu pihak
yang memiliki atau menguasai suatu tanah dan bangunan kepada pihak
lain yang menerima hak atas tanah dan bangunan tersebut. 77
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan dapat terjadi karena
dua hal, yaitu peristiwa hukum dan perbuatan hukum. Perolehan hak
karena peristiwa hukum merupakan perolehan hak yang diperoleh oleh
seseorang karena adanya suatu peristiwa hukum, misalnya pewarisan,
yang mengakibatkan hak atas tanah tersebut berpindah dari pemilik tanah
dan bangunan sebelumnya (pewaris) kepada ahli waris yang berhak.
Perolehan hak karena pewarisan ini hanya terjadi apabila terjadi peristiwa
hukum, yaitu meninggalnya si pewaris. Apabila si pewaris tidak meninggal
dunia, tidak akan ada pewarisan yang mengakibatkan hak atas tanah dan
bangunan beralih dari pewaris kepada ahli waris. Cara perolehan hak
yang kedua adalah melalui perbuatan hukum mengalihkan hak atas tanah
dan bangunan miliknya kepada pihak lain yang akan menerima peralihan
hak tersebut. Contoh perolehan hak karena perbuatan hukum antara lain
jual beli, hibah, hibah wasiat dan lelang.78
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah,
termasuk Hak Pengelolaan, termasuk bangunan di atasnya, sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2011 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang77 Marihot Pahala Siahaan, Op. Cit., hal. 40.
78 Ibid., hal. 41.
46
undangan lain yang berlaku. Hal ini berarti BPHTB hanya boleh dikenakan
atas perolehan hak yang diatur dalam UUPA, Undang-Undang Rumah
Susun, dan Hak Pengelolaan. Perolehan hak-hak atas tanah lain yang
berkembang di masyarakat adat tetapi tidak diakui oleh UUPA tidak boleh
dikenakan BPHTB. 79
2. Wajib Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Hukum pajak tidak berbeda dengan hukum lainnya yang memiliki
subjek hukum selaku pendukung kewajiban dan hak. Dalam hukum pajak,
bukan subjek pajak sebagai pendukung hak dan kewajiban dan hak
melainkan adalah wajib pajak. Secara hukum, subjek pajak dengan wajib
pajak memiliki perbedaan karena subjek pajak bukan subjek hukum
melainkan hanya wajib pajak sebagai subjek hukum. Mengingat, subjek
pajak tidak memenuhi syarat-syarat, baik syarat-syarat subjektif atau
syarat-syarat objektif untuk dikenakan pajak sehingga bukan subjek
hukum. Sebaliknya, wajib pajak pada awalnya berasal dari subjek pajak
yang dikenakan pajak karena memenuhi syarat-syarat subjektif dan
objektif yang telah ditentukan. Dengan demikian, ada keterkaitan antara
subjek pajak dengan wajib pajak, walaupun keduanya dapat dibedakan
secara hukum karena keberadaan wajib pajak bermula dari subjek pajak. 80
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 28
Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, wajib
pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan
79 Ibid.
80 Muhammad Djafar Saidi, Pembaruan Hukum Pajak, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2014, hal. 33.
47
48
daerah
kabupaten/kota
dalam
rangka
mendukung
pembiayaan
82
49
Menurut Muhammad Djafar Saidi 83, saat bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan yang terutang belum terbayar lunas, perolehan hak
atas tanah dan bangunan dapat tertunda karena pejabat yang berwenang
tidak memberi pengesahan perolehan hak tersebut. Sebenarnya,
pelunasan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terutang
menentukan proses perolehan hak atas tanah dan bangunan bagi wajib
pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Setelah terjadi
pelunasan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, berarti tidak ada
hambatan atau kendala hukum yang memengaruhi proses peralihan hak.
3. Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Objek pajak merupakan bagian terpenting yang dibicarakan atau
dipersoalkan dalam hukum pajak materiil. Objek pajak dikatakan sebagai
bagian terpenting karena wajib pajak tidak dikenakan pajak kalau tidak
memiliki, menguasasi, atau menikmati objek pajak yang tergolong sebagai
objek kena pajak sebagai syarat-syarat objektif dalam pengenaan pajak.
Objek yang dikenakan pajak dalam masyarakat sangat beraneka ragam
bergantung pada kebijakan pembuat undang-undang untuk menjaringnya
sebagai objek pajak. Objek pajak adalah segala sesuatu karena undangundang sehingga dapat dikenakan pajak. Kata dapat dikenakan pajak
mengandung makna bahwa objek pajak, boleh atau tidak boleh kena
pajak. Pengenaan pajak terhadap suatu objek harus dipertimbangkan
50
secara
maksimal
agar
tidak
menimbulkan
permasalahan
dalam
masyarakat.84
Menurut Bohari85, meskipun segala sesuatu yang ada dalam
masyarakat
dapat
dijadikan
objek
yang
dapat
dikenakan
pajak
51
pertunjukan
atau
keramaian,
memperoleh
penghasilan,
52
88 Ibid., hal. 86
53
self
Indonesia
assessment
yang
merupakan
diterapkan
sejak
sistem
dilakukannya
perpajakan
reformasi
menghitung,
memperhitungkan,
membayar,
dan
54
yang
melanggar
ketentuan
atau
tidak
melaksanakan
hukum
dalam
pelaksanaan
pemungutan
bea
pejabat
umum
yang
berwenang
tidak
melakukan
penerimaan
Negara
yang
keseluruhannya
daerah
guna
membiayai
penyelenggaraan
55
56
membayar harga barang yang diterimanya dari penjual dan sekaligus pula
berhak atas barang yang diserahkan oleh si penjual. 91
Pasal 1458 BW menetapkan, bahwa jual beli itu dianggap telah
terjadi antara ke dua belah pihak pada saat mereka mencapai kata
sepakat mengenai benda yang dijualbelikan itu serta harganya, biarpun
benda tersebut belum diserahkan dan harganya pun belum terbayar.
Dengan terjadinya jual beli itu saja hak milik atas benda yang
bersangkutan belumlah beralih kepada pembelinya, sungguhpun misalnya
harganya sudah dibayar dan kalau jual beli tersebut mengenai tanah,
tanahnya sudah diserahkan ke dalam kekuasaan yang membeli. Hak milik
atas tanah tersebut baru beralih kepada pembelinya jika telah dilakukan
apa yang disebut penyerahan yuridis (juridische levering), yang wajib
diselenggarakan dengan pembuatan akta di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Tanah (PPAT) dan didaftarkan pada instansi yang berwenang. 92
Perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dimaksudkan dalam
Undang-undang PDRD adalah perolehan hak yang memenuhi ketentuan
UUPA, Undang-undang Rumah Susun dan peraturan tentang Hak
Pengelolaan. Peralihan hak atas tanah sesuai UUPA menghendaki
dipenuhinya ketentuan dibuat dan disahkan oleh pejabat yang berwenang,
yaitu notaris atau camat yang ditunjuk sebagai PPAT. Dengan demikian,
transaksi jual beli tanah dan bangunan harus dibuat dengan akta autentik
oleh PPAT. Hal ini menentukan bahwa yang menjadi objek BPHTB
hanyalah transaksi jual beli tanah dan bangunan yang dibuat dengan akta
91 Marihot Pahala Siahaan, Op. cit., hal. 79.
92 Effendi Perangin, Loc. cit.
57
jual beli autentik oleh camat atau notaris selaku PPAT. BPHTB terutang
pada saat ditandatanganinya akta autentik itu oleh penjual dan pembeli,
para saksi, serta PPAT, yang menandakan pada saat penandatanganan
akta jual beli, secara hukum telah terjadi peralihan hak atas tanah dan
bangunan dari penjual kepada pembeli.93
b. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Tukar
Menukar
Berdasarkan ketentuan hukum perdata, tukar menukar merupakan
suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya
untuk saling memberikan suatu barang secara timbal balik sebagai
gantinya barang lain. Dalam tukar menukar masing-masing pihak
mempunyai hak dan kewajiban. Pihak yang satu berhak atas suatu barang
milik pihak lain yang diperjanjikan untuk dipertukarkan, dan begitu pula
sebaliknya. Di samping itu, setiap pihak memiliki kewajiban menyerahkan
barang miliknya yang menjadi objek perjanjian tukar menukar kepada
pihak lain yang menjadi mitra perjanjiannya. Perjanjian tukar menukar ini
disebut sebagai perjanjian yang bersifat obligatoir, yaitu persetujuan yang
menimbulkan hak dan kewajiban. Selain itu, tukar menukar juga bersifat
konsensual, artinya perjanjian tukar menukar itu sudah terjadi sejak
tercapainya kata sepakat di antara para pihak. Maksudnya adalah telah
mengikat para pihak sejak tercapainya kata sepakat dari para pihak yang
berjanji.94
58
59
60
setelah pewasiat meninggal dunia. Selama orang yang memberi itu masih
hidup, ia dapat menarik kembali hibah wasiatnya. 98
Bila pemberi hibah wasiat tidak meninggal dunia, tidak akan terjadi
hibah wasiat. Hibah wasiat merupakan perbuatan hukum yang dilakukan
dengan membuat akta hibah wasiat. Berhubung hal ini merupakan soal
pewarisan, maka hibah wasiat itu berhubungan dengan hak milik atas
tanah itu tidak perlu dilakukan di hadapan PPAT. Akan tetapi, peralihan
hak karena hibah wasiat tetap harus didaftarkan ke Kantor Pertahanan
tempat tanah dan bangunan dihibahkan berada. Sesuai Undang-Undang
PDRD, saat terutangnya pajak BPHTB terhadap hibah wasiat adalah pada
saat pembuatan akta. 99
e. Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan karena Waris
Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris merupakan
suatu akibat peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seorang pewaris
sehingga hak pewaris atas suatu tanah dan bangunan beralih kepada ahli
warisnya yang berhak. Perolehan hak oleh ahli waris terjadi setelah
meninggalnya pewaris dan dikuatkan oleh surat keterangan waris yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang.100
Walaupun secara hukum perolehan telah terjadi setelah pewaris
meninggal dunia, pada saat itu belum ada BPTHB yang terutang. Sesuai
98 Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum
Perdata BW, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003, hal. 98.
99 Marihot Pahala Siahaan, Op. Cit., hal. 90.
100 Ibid., hal. 91.
61
dengan ketentuan BPHTB, saat perolehan hak atas tanah dan bangunan
yang menjadi objek pajak adalah pada saat pendaftaran hak tersebut
dilakukan oleh ahli waris ke Kantor Pertanahan setempat.
101
62
pemenang dan
63
dibuatnya risalah lelang ada BPHTB terutang yang harus dibayar oleh
pembeli yang dinyatakan sebagai pemenang lelang. 104
i. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Pelaksanaan
Putusan Hakim yang Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap
Perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagai pelaksanaan dari
putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum tetap terjadi karena
adanya peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah
satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
Dengan demikian, berdasarkan hukum pihak yang ditunjuk dalam putusan
hakim yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap memperoleh hak
atas tanah dan bangunan yang telah ditetapkan dalam putusan hakim
tersebut. Perolehan hak atas tanah dan bangunan yang terjadi sebagai
pelaksanaan putusan hakim tersebut merupakan salah satu jenis
perolehan hak yang ditetapkan sebagai objek BPHTB sehingga terutang
BPHTB.105
j. Perolehan
Hak
atas
Tanah
dan
Bangunan
karena
Penggabungan Usaha
Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha
atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu
badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya. Penggabungan usaha
merupakan salah satu upaya pengembangan badan usaha yang sudah
ada. Pengembangan ini terjadi karena beberapa perusahaan yang
104 Ibid., hal. 101.
105 Ibid., hal. 102.
64
usaha
yang
bergabung
tersebut.
Sebagaimana
pada
65
adalah tanah dan bangunan milik badan usaha yang dilebur sehingga
harus dibuat akta peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut oleh
pejabat yang berwenang. Perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh
badan usaha baru hasil peleburan dari badan usaha yang dilebur
dibuktikan dengan akta peralihan hak atas tanah dari badan usaha yang
dilebur kepada badan usaha hasil peleburan. Secara hukum perolehan
hak atas tanah dan bangunan oleh badan usaha baru terjadi pada saat
dibuatnya akta peralihan hak dan merupakan objek BPHTB, sehingga
terutang BPHTB.107
l. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Pemekaran
Usaha
Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi
dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru
dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru
tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
Seperti juga penggabungan dan peleburan usaha, pada pemekaran usaha
maka terjadi peralihan hak atas aktiva dan pasiva dari badan usaha lama
kepada badan usaha baru hasil pemekaran. Salah satu aktiva yang
beralih adalah tanah dan bangunan milik badan usaha lama sehingga
harus dibuat akta peralihan hak atas tanah dan bangunan tersebut oleh
pejabat yang berwenang. Perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh
badan usaha baru hasil pemekaran usaha dari badan usaha lama yang
dimekarkan dibuktikan dengan akta peralihan hak atas tanah dari badan
107 Ibid., hal. 105.
66
usaha lama kepada badan usaha baru hasil pemekaran. Secara hukum
perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh badan usaha baru tersebut
terjadi pada saat dibuatnya akta peralihan hak dan merupakan objek
BPHTB, sehingga terutang BPHTB.108
m. Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Hadiah
Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hadiah adalah
suatu perbuatan hukum yang berupa penyerahan hak atas tanah dan atau
bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada
penerima hadiah. Sebagai bukti telah beralihnya hak atas tanah dan
bangunan yang menjadi hadiah kepada orang yang berhak, maka harus
dibuat akta peralihan hak oleh pejabat yang berwenang. Diumumkan atau
diserahkannya hadiah berupa tanah dan bangunan tersebut secara
hukum tidak mengakibtkan perolehan hak kepada penerima hadiah
sehingga belum mengakibatkan adanya kewajiban pemenuhan BPHTB.
Perolehan hak atas tanah dan bangunan yang diperoleh sebagai hadiah
terjadi pada saat dibuatnya akta peralihan hak atas tanah dan bangunan
dari pemberi hadiah kepada penerima hadiah sehingga menjadi objek
BPHTB dan terutang BPHTB.109
67
68
69
113 Ibid.
114 Ibid., hal. 599.
70
keuangan
daerah
dapat
dipidana
dengan
pidana
71
itu
telah
berada
dalam
tangan
orang
yang
hendak
menerimanya berdasarkan atas hak yang lain. Mengenai hal ini, ada 3
(tiga) bentuk figuur penyerahan yang disebut:119
117 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata: Hukum Benda, Yogyakarta:
Liberty, 2004, hal. 67
72
penyerahan
surat
tagihannya
disertai
dengan
endossement.
c. Penyerahan dari piutang op naam (atas nama) termasuk hak
atas benda tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan membuat
akta cessie.
120 Djaja S. Meliala, Loc. Cit.
121 Ibid.
73
hukum
barat,
dimana
jual
beli
itu
memerlukan
penyerahan.122
Menurut Hilman Hadikusuma123, kata sepakat di dalam suatu
perjanjian merupakan perbuatan pendahuluan untuk melaksanakan apa
yang telah disepakati itu. Jadi dengan janji perkataan saja belum
mengikat, ia akan mengikat jika diperkuat dengan pemberian (panjer)
sebagai tanda akan memenuhi janji dan walaupun sudah diberi panjer
belum berarti mewajibkan penjual menyerahkan barangnya. Oleh karena
penjualan benda tidak bergerak adalah penyerahan benda itu dengan
harga tertentu dan bukan merupakan suatu perjanjian yang menjelmakan
kewajiban
untuk
menyerahkan.
Dapat
dikatakan
bahwa
menurut
74
jualnya. Perbuatan jual dan serah terima itu satu rangkaian perbuatan dan
perbuatan itu terang dihadapan saksi-saksi. 124
Menurut Soerjono Soekanto125, mengenai hibah wasiat dalam
hukum adat penyerahan dan pelaksanaannya merupakan peristiwa
hukum yang baru akan berlaku setelah orang tua meninggal dunia. Pada
keadaan tertentu hibah wasiat itu dibuat secara tertulis melalui
perantaraan seorang notaris. Tetapi menurut Soepomo 126, meskipun hibah
wasiat itu berbentuk akta notaris, sah atau tidaknya isi hibah wasiat itu
dikuasai oleh hukum adat. Misalnya, tidak akan sah suatu pemberian
sawah kasikepan kepada seorang waris yang bukan teman sedesa.
Menurut ketentuan BW bahwa hak milik atas barang yang dijual
tidak berpindah kepada pembeli selama penyerahannya (levering) belum
dilakukan yaitu sebelum didaftarkan di dalam register umum sebagaimana
dimaksud Pasal-pasal 612, 613, dan 616 BW, namun berbeda halnya di
dalam UUPA yang berdasarkan hukum adat, maka hak milik secara
hukum dengan asas nyata dan tunai (konkrit dan kontan) telah beralih
pada saat disepakati dan dibuat serta ditandatanganinya akta PPAT.
Pendaftarannya pada Kantor Pertanahan adalah untuk memberikan alat
bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya pembuktiannya daripada akta
PPAT yang membuktikan telah terjadinya pemindahan hak yang
124 Ibid., hal. 113.
125 Soerjono Soekanto, Loc. Cit.
126 Soepomo, Loc. Cit.
75
76
Pemerintah
yang
merupakan
lembaga
banding
administrasi.
Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi
pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah
permintaan banding terhadap suatu tindak pemerintah oleh pihak yang
merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah
yang berwenang untuk mengubah bahkan dapat membatalkan tindakan
pemerintah tersebut.130
Menurut Muhammad Djafar Saidi 131, Perlindungan hukum dalam
hukum pajak diperlukan karena tidak semata-mata pelanggaran pajak
tersebut merupakan kesalahan wajib pajak. Untuk itu, wajib pajak
diberikan upaya hukum sebagai bagian dari perlindungan hukum, yaitu
seperti:
a. Keberatan
129 Ibid.
130 Ibid., hal. 265.
131 Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dan
Penyelesaian Sengketa Pajak, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008, hal.
167.
77
c. Gugatan
Hukum acara peradilan pajak tidak hanya mengenal keberatan dan
banding sebagai upaya hukum biasa, tetapi termasuk pula gugatan untuk
melawan kebijakan pejabat pajak yang terkait dengan penagihan pajak,
seperti terbitnya surat tagihan pajak dan penagihan secara paksa.
Gugatan merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh wajib pajak
terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang
dapat diajukan gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.
d. Peninjauan Kembali
78
79
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Tipe Penelitian
Tipe penelitian ini menggunakan tipe penelitian hukum normatif
yang menganalisis dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang
mencakup penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap
sistem hukum, penelitian terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah
hukum, dan penelitian perbandingan hukum.
B. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pendekatan
perundang-undangan (statue approach) dan pendekatan konseptual.
Pendekatan
perundangan-undangan
(statue
approach)
merupakan
penelitian
pendekatan
undang-undang
ini
akan
membuka
Pendekatan
konseptual
merupakan
pendekatan
yang
80
81
82
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Saat Terjadinya Perolehan Hak atas Tanah pada Hibah Wasiat
Di Indonesia adakalanya pewaris mempunyai kehendak agar kelak
ada orang-orang tertentu juga memiliki harta peninggalannya dengan
suatu bagian-bagian yang telah ditentukan oleh pewaris semasa
hidupnya. Kehendak ini dapat dituangkan dalam suatu akta yang disebut
wasiat. Salah satu jenis wasiat yang sering dibuat yaitu wasiat yang berisi
hibah wasiat (legaat) berupa pemberian tanah dan/atau bangunan.
Menurut A. Pitlo132, bahwa hibah wasiat itu sebagai suatu
penetapan yang khusus yang di dalamnya pewaris menyatakan
memberikan barang-barang tertentu kepada seorang atau beberapa orang
ataupun barang-barangnya dari suatu jenis tertentu, seperti semua barang
yang bergerak atau yang tidak bergerak atau hak pakai hasil dari segala
barang-barangnya atau sebagian daripadanya. Pemberian ini dinamakan
khusus oleh karena merupakan lawan dari penunjukan waris (erfstelling)
yang berupa pemberian bersifat umum. Jika ahli waris selaku penerima
hak menurut hukum dengan alas hak umum, maka legataris merupakan
penerima menurut hukum dengan alas hak khusus. Penerima hibah
wasiat (legataris) tidak meneruskan diri dari pewaris tetapi merupakan
penerima yang memperoleh hak, seperti halnya dengan seorang pembeli.
83
Perbuatan
hukum
tersebut
merupakan
bagian
dari
hukum
kewarisan yang ada baik di dalam hukum adat, hukum islam, maupun
hukum perdata. Dalam hukum adat dan hukum islam, hibah wasiat
biasanya dilakukan secara lisan walaupun ada juga dilakukan secara
tertulis dan hukum perdata hanya dilakukan secara tertulis. Pada
pemberian hibah wasiat tanpa akta notaris atau secara lisan, maka harus
disaksikan oleh beberapa orang saksi pada saat pemberi hibah wasiat
mengucapkan hibah wasiatnya tetapi belum jelas tentang pengaturan
pemungutan pajaknya.
Di dalam BW mengenal 3 (tiga) macam bentuk cara pembuatan
wasiat, yaitu:
1. Wasiat Olografis, yaitu seluruhnya ditulis dengan tangan dan
ditandatangani pewaris sendiri. Kemudian surat wasiat tersebut
harus diserahkan untuk disimpan pada seorang notaris.
2. Wasiat Umum (Openbaar Testament), yaitu wasiat umum wajib
dibuat dihadapan seorang notaris dengan mengajukan dua
orang saksi. Pembuat surat wasiat harus menyampaikan sendiri
kehendaknya itu dihadapan saksi-saksi. Hal itu dapat dilakukan
dengan perantaraan orang lain, baik anggota keluarganya
maupun notaris yang bersangkutan.
3. Wasiat Rahasia, yaitu harus dibuat sendiri oleh pewaris dan
ditandatanganinya dan dimasukkan dalam sampul yang disegel
untuk selanjutnya diserahkan kepada notaris dengan dihadiri
oleh empat orang saksi. Oleh notaris kemudian dibuatkan akta
84
85
86
87
pajak
BPHTB
hibah
wasiat
pada
saat
umum
(communis
opinio
peradilan
dan
doktrin)
88
terjadi dengan cara yang biasa, barang bergerak oleh penyerahan dari
tangan ke tangan, barang tidak bergerak dengan pendaftaran akta dari
Notaris/PPAT di kantor pertanahan, dan hibah wasiat dari suatu tagihan
atas nama dengan akta cessie.134
Ada pula yang pendapat lain dalam hal ini jurisprudensi Hoge Raad
(H.R.) tanggal 4 Maret 1881 yang menganggap hibah wasiat itu sebagai
suatu cara memperoleh hak milik. Pendapat ini tidak mengakui akan
adanya penyerahan dari ahli waris kepada legataris. Artinya, bahwa
legataris menjadi pemilik pada saat kematian, hanya disebabkan oleh
kematian saja. Dengan demikian, maka legataris mempunyai hak
kebendaan sejak meninggalnya pewaris. Ia dapat mengajukan hak
kepemilikan (revindicatie) terhadap ahli waris. Ajaran ini berhubungan
dengan hibah wasiat barang tidak bergerak. Dapat dimengerti bahwa
ajaran ini tidak dapat dilaksanakan atas hibah wasiat benda yang dapat
diganti, seperti hibah wasiat pemberian berupa uang tunai. Pada
pemberian benda yang dapat diganti, orang tidak dapat menunjukkan
benda yang mana yang dibuat berdiri sendiri, sehingga tidak dapat
ditafsirkan akan adanya suatu cara perolehan hak milik. 135
Berdasarkan hal tersebut, ajaran dari communis opinio peradilan
dan doktrin lebih dapat diterima dan dipakai hingga sekarang daripada
ajaran H.R. karena berdasarkan Pasal 584 BW telah mengatur bahwa
cara memperoleh hak milik ada 5 (lima), yaitu:
134 Ibid., hal. 212.
135 Ibid.
89
1. Pemilikan/pendakuan (Toeeigening)
Pendakuan yaitu tentang pemilikan dari barang-barang bergerak
yang belum ada pemiliknya/tidak ada pemiliknya (Res Nullius).
2. Perlekatan (Natrekking)
Perlekatan yaitu memperoleh benda itu karena benda itu
mengikuti benda yang lain.
3. Lampau Waktu/Kedaluwarsa (Verjaring)
Lampau waktu/Kedaluwarsa yaitu apabila seseorang telah
memegang kedudukan berkuasa atasnya selama waktu yang
ditentukan undang-undang dan menurut syarat-syarat serta cara
membeda-bedakannya.
4. Pewarisan (Erfopvolging)
Pewarisan yaitu cara memperoleh hak milik karena pewarisan
menurut undang-undang atau menurut surat wasiat.
5. Penyerahan (Levering)
Penyerahan adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau
atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain ini
memperoleh hak milik atas benda itu
Dari beberapa cara memperoleh hak milik di atas, menurut penulis
hibah wasiat tidak secara tegas tertulis sehingga tidak termasuk di dalam
cara memperoleh hak milik yang telah ditetapkan secara langsung
berdasarkan peraturan perundang-undangan.
90
langsung
dengan
tidak
mendaftarkan
aktanya
di
kantor
91
92
93
peralihan haknya dengan berdasarkan akta hibah wasiat sebagai alas hak
khusus.
Berdasarkan Pasal 37 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur bahwa peralihan hak
atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya
dapat di daftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT
yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Bahwa PPAT memiliki tugas pokok melaksanakan sebagian
kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah
dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan hak
milik atas satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar bagi
pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh
perbuatan hukum itu.
Perbuatan hukum oleh PPAT yang dimaksud tersebut adalah
pembuatan akta otentik pada wilayah kerjanya yang telah ditentukan yaitu:
1. Jual beli;
2. Tukar menukar;
3. Hibah;
4. Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5. Pembagian Hak Bersama;
6. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak
Milik;
94
lebih
luas
daya
pembuktiannya
daripada
akta
PPAT yang
95
tidaknya surat ketetapan pajak yang dikeluarkan oleh fiskus karena sistem
pemungutan BPHTB yang menggunakan self assessment, yaitu wajib
pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak
yang terutang sehingga apabila mengabaikan pembayaran BPHTB, maka
akan menimbulkan risiko bagi wajib pajak dan pejabat pajak berupa
pengenaan denda dan atau bunga.
Bagi wajib pajak yang mengabaikan pembayaran BPHTB maka
akan dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan atau denda
sebesar 2% setiap bulan. Apabila pajak yang terutang tidak dilunasi
setelah jatuh tempo pembayaran maka Bupati/Walikota atau pejabat yang
ditunjuk akan melakukan tindakan penagihan pajak. Penagihan pajak
dilakukan dengan terlebih dahulu memberikan surat teguran atau surat
peringatan sebagai awal tindakan penagihan pajak. Jika jumlah pajak
terutang yang masih harus dibayar tidak dilunasi dalam jangka waktu yang
ditentukan dalam surat teguran akan ditagih dengan surat paksa.
Tindakan penagihan pajak dengan surat paksa dapat dilanjutkan dengan
tindakan penyitaan, pelelangan, pencegahan, dan penyanderaan apabila
wajib pajak tetap tidak mau melunasi utang pajaknya sebagaimana
mestinya.
Wajib pajak BPHTB yang karena sengaja atau karena kealpaannya
tidak menyampaikan SPTPD atau mengisi dengan tidak benar atau tidak
lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga
merugikan
keuangan
daerah
dapat
dipidana
dengan
pidana
96
melampaui jangka waktu lima tahun sejak saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak atau berakhirnya bagian tahun pajak atau
berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Sanksi pidana kurungan dan
atau denda juga dikenakan terhadap pejabat yang karena kealpaannya
tidak memenuhi kewajiban merahasiakan keterangan tentang wajib pajak
yang disampaikan kepadanya. Ketentuan pidana ini dimaksudkan agar
baik wajib pajak maupun fiskus menjalankan hak dan kewajibannya
dengan benar.
Bagi Pejabat Pajak diberi kewenangan untuk memeriksa apakah
BPHTB terutang sudah dibayar oleh pihak yang memperoleh hak sebelum
ia menandatangani dokumen yang berkenaan dengan perolehan hak
dimaksud.
Ketentuan
ini
harus
dipatuhi
karena
apabila
terjadi
97
risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada
kepala daerah paling lambat pada tanggal sepuluh bulan berikutnya. Tata
cara pelaporan bagi pejabat dimaksud diatur dengan peraturan kepala
daerah. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang Negara, yang melanggar ketentuan
pelaporan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah
dan atau bangunan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp. 250.000,00 (duaratus limapuluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
Di sisi yang lain, perolehan hak belum terjadi karena hibah wasiat
belum bisa dilaksanakan karena pemberi hibah wasiat belum meninggal
dunia walaupun pembayaran pajak telah dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan karena pembayaran pajak hanya merupakan salah
satu syarat formil untuk penandatanganan akta hibah wasiat agar
terhindar dari sanksi dan denda yang telah diatur dalam perundangundangan. Hal ini tampaknya menjadi kelemahan UU PDRD khususnya
yang berkaitan dengan aturan BPHTB mengenai hibah wasiat yang
kurang diantisipasi oleh pembuat undang-undang.
B. Perlindungan Hukum Bagi Penerima Hibah Wasiat yang Telah
Membayar Pajak BPHTB jika Wasiat Dicabut
Perlindungan
hukum
yang
dimaksudkan
disini
adalah
98
Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM)
dan menjamin segala hak warga Negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung tinggi hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Perlindungan
hukum
dalam
pajak
bersifat
penting
untuk
99
100
paling penting diatur dalam undang-undang. Jika tidak ada empat unsur
ini, maka tidak ada pajak, sebab pajak itu sendiri ada di keempat unsur
tersebut.
Secara umum, hukum pajak terdiri atas 2 (dua) yaitu: 141
1. Hukum Pajak Materiil
Hukum
pajak
materiil
memuat
norma-norma
yang
menerangkan:
a. Keadaan, perbuatan, dan peristiwa hukum yang harus
dikenai pajak (objek pajak/taatsbestand) atau sasaran yang
akan dikenai pajak.
b. Siapa yang harus dikenai pajak (subjek pajak).
c. Berapa besar pajaknya.
Dengan kata lain, Hukum Pajak Materiil adalah norma-norma
yang menerangkan objek pajak, subjek pajak dan besarnya
pajak yang terutang, juga termasuk didalamnya peraturan yang
memuat tentang bunga, kenaikan, dan denda. Peraturan
tentang
hukuman
terhadap
pelanggar
ketentuan
pajak,
101
pajak
materilnya
akan
dapat
diselenggarakan
secepatnya.
Sebagai subjek hukum, wajib pajak diwajibkan untuk memenuhi
kewajiban yang tersebar dalam Undang-undang Pajak yang memuat
ketentuan-ketentuan yang bersifat formil. Apabila kewajiban yang
dibebankan kepada wajib pajak tidak dilaksanakan, dapat dikenakan
sanksi hukum, yang meliputi sanksi administrasi berupa bunga, denda,
atau kenaikan serta sanksi pidana yang terdapat dalam Undang-undang
Pajak.142
Kepentingan perorangan yang diwakili oleh kepentingan wajib pajak
harus dilindungi karena mempunyai kedudukan yang lemah. Hal ini
disebabkan karena tidak seperti fiskus yang dengan kewenangan hukum
publiknya dapat menentukan secara sepihak, wajib pajak tidak memiliki
kewenangan semacam itu. Padahal, kewenangan untuk menentukan
secara sepihak yang dimiliki oleh fiskus tersebut membuka peluang
142 Muhammad Djafar Saidi, Op. Cit., hal. 47.
102
103
oleh pihak administrasi pajak. Hak-hak wajib pajak dapat digunakan atau
dimanfaatkan pada saat-saat tertentu. Jika hak-haknya dilanggar oleh
pihak administrasi pajak, wajib pajak dapat mengajukan masalah ini
kehadapan pejabat atasan orang yang melanggar haknya, atau bila perlu
mengajukannya ke hadapan lembaga peradilan pajak.
Hak wajib pajak dapat dikelompokkan sebagai wajib pajak pusat
maupun sebagai wajib pajak daerah. Pengelompokkan ini didasarkan
bahwa terdapat perbedaan hak yang dimiliki oleh wajib pajak pusat
dengan hak yang dimiliki oleh wajib pajak daerah. Perbedaan itu
disebabkan karena ketentuan tentang pemenuhan hak antara wajib pajak
pusat dengan wajib pajak daerah. Pemenuhan hak wajib pajak pusat
diatur dalam UU KUP yang berbeda pemenuhan hak wajib pajak daerah
yang diatur dalam UU PDRD.146
Hak wajib pajak yang tunduk pada pajak daerah sebagaimana yang
ditentukan, antara lain sebagai berikut:147
1. Mengajukan
permohonan
angsuran
atau
penundaan
kemampuannya. Jika
permohonan
pajak
itu
dikabulkan,
wajib
daerah
diberi
bulan
yang
pelaksanaannya
ditetapkan
dengan
104
diterima,
harus
memberi
keputusan
atas
kewajiban
menurut
105
keberatan
Pengadilan
Pajak
itu
untuk
dapat
diajukan
memohon
banding
keadilan
pada
mengenai
sengketanya.
9. Mengajukan gugatan terhadap tindakan pejabat pajak seperti
menerbitkan surat tagihan pajak, dan lain-lain pada Pengadilan
Pajak untuk memohon keadilan atas kesewenang-wenangan
dalam
menjalankan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan.
10. Menunjuk kuasa hukum untuk mewakili dalam persidangan,
baik di Lembaga Keberatan, Pengadilan Pajak, maupun
Mahkamah Agung.
Sebenarnya hak-hak wajib pajak melekat pada diri wajib pajak
sehingga tidak boleh diabaikan atau dikesampingkan dalam rangka
penegakan hukum pajak. Ketika hak-hak wajib pajak terlanggar, berarti
pejabat pajak telah melakukan perbuatan melanggar hukum atas tidak
dipenuhinya hak-hak wajib pajak sehingga boleh dipersoalkan di lembaga
peradilan pajak untuk meperoleh perlindungan hukum atas hak-hak yang
dimilikinya.148
1. Perlindungan Hukum Preventif dalam Pajak
106
Perlindungan
pencegahan
agar
hukum
tidak
preventif
terjadi
dilakukan
benturan
sebagai
kepentingan.
upaya
Benturan
mungkin,
benturan
kepentingan
sekecil
apapun
harus
dihindarkan.149
Upaya pencegahan tersebut di atas dapat dilakukan antara lain
melalui peran serta masyarakat dalam penyusunan peraturan perundangundangan. Penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pajak
merupakan proses yang sangat strategis guna meminimalkan terjadinya
benturan kepentingan semacam itu.150
Berdasarkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 Pasal 23 A yang mengatur bahwa semua pajak
harus ditetapkan dengan undang-undang. Maka, pengenaan pajak yang
ada di Indonesia ini harus dan wajib berdasarkan undang-undang
termasuk pajak BPHTB yang telah diatur dalam UU PDRD. Sehingga jika
ada pengenaan pajak yang tidak berdasarkan undang-undang, maka
menurut hemat penulis tidak tepat.
Dengan demikian, setiap undang-undang harus ditetapkan dengan
persetujuan dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan wakil
149 Y. Sri Pudyatmoko, Op. Cit., hal. 156.
150 Ibid.
107
masyarakat
juga
perlu
diberikan
peluang
untuk
Artinya,
aspirasi rakyat termasuk wajib pajak akan dapat diserap dengan lebih baik
oleh para anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Penggunaan sistem self assessment untuk beberapa jenis pajak
dan kecenderungan pemerintah untuk memperluas penggunaan sistem
tersebut untuk jenis-jenis pajak yang lain, dalam konteks yuridis,
merupakan perlindungan hukum preventif di bidang pajak bagi wajib
karena dalam sistem tersebut wajib pajaklah yang menghitung dan
menetapkan sendiri besarnya utang pajak yang merupakan dasar bagi
pembayaran pajak. Dengan demikian, peluang wajib diperlakukan tidak
adil oleh fiskus menjadi semakin kecil.
2. Perlindungan Hukum Represif dalam Pajak
Berbeda dengan perlindungan hukum preventif yang bersifat
mencegah kemungkinan terjadinya benturan kepentingan, perlindungan
151 Ibid., hal. 157.
108
karena
yang
diajukan
banding
adalah
surat
109
pengawasan
terhadap
pengadilan
rendahan,
110
3. Restitusi Pajak
Restitusi pajak secara umum berkaitan dengan hak wajib pajak
untuk mendapatkan pengembalian uang pajak yang telah dibayarkan.
Pengembalian uang pajak tersebut terjadi karena adanya pajak yang lebih
dibayar atau pajak yang tidak terutang, tetapi sudah terlanjur dibayar atau
pengembalian pembayaran Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang
yang diekspor. Dengan demikian, restitusi terjadi bukan hanya untuk PPN
saja, akan tetapi juga dapat terjadi pada jenis pajak lain yang jelas terjadi
kelebihan pembayaran pajak, atau pemungutan pajak dan oleh karenanya
wajib pajak berhak menerima pengembalian kelebihan pembayaran
tersebut. Sesuai dengan asas keadilan, bahwa bila wajib pajak kurang
dalam membayar pajak akan dikenakan penagihan dan denda, maka
sebaliknya bila terjadi kelebihan pembayaran pajak, harus dikembalikan. 156
Proses pengenaan dan pemungutan pajak daerah memungkinkan
terjadi kelebihan pembayaran BPHTB, apabila ternyata wajib pajak
membayar pajak, tetapi sebenarnya tidak ada pajak yang terutang,
dikabulkannya
permohonan
keberatan
atau
banding
wajib
pajak
111
pajak
daerah
yang
dilakukan
oleh
pegawai
Dinas
BPHTB
telah
dilakukan
sebelum
akta
pajak
tersebut
dikembalikan
dengan
mengajukan
112
kelebihan pembayaran
113
ditegaskan dalam Pasal 93 ayat (1) dan (2) UU PDRD yang mengatur
bahwa:
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang Negara, yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dan
ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar
Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta limaratus ribu rupiah) untuk setiap
pelanggaran.
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang Negara, yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)
dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.
250.000,00 (duaratus limapuluh ribu rupiah) untuk setiap
laporan.
114
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah dilakukan analisis data dalam Bab IV, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada hibah wasiat
baru dapat dilaksanakan setelah si pemberi hibah wasiat meninggal
dunia walaupun saat terutangnya pajak Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB) pada hibah wasiat yaitu saat
dibuat dan ditandatanganinya akta karena pembayaran pajak
hanya merupakan salah satu syarat formal pada pembuatan akta
hibah wasiat agar terhindar dari sanksi dan denda yang telah
ditetapkan di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Perlindungan hukum kepada penerima hibah wasiat yang telah
banding
mempersoalkan
yang
surat
merupakan
keputusan
upaya
keberatan,
hukum
untuk
gugatan
untuk
115
Undang-Undang
Pokok
Agraria
(UUPA)
mengenai
perolehan hak atas tanah karena perolehan hak atas tanah belum
116
terjadi tetapi sudah terlebih dahulu pajak harus dibayar pada saat
pembuatan hibah wasiat.
2. Perlunya petugas pajak untuk sering mengadakan sosialisasi
kepada
masyarakat
khususnya
terhadap
notaris
tentang
117
DAFTAR PUSTAKA
Buku
A. Pitlo. 1979. Hukum Waris Menurut Undang-Undang Hukum Perdata
Belanda diterjemahkan oleh M.Isa Arief dari judul asli: Het
Erfrecht Naar Het Nederlands Burgerlijk Wetboek, Jilid 1.
Intermasa: Jakarta.
Adrian Sutedi. 2007. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya.
Sinar Grafika: Jakarta.
Ali Achmad Chomzah. 2004. Hukum Agraria (Pertanahan) Indonesia Jilid
2. Prestasi Pustakarya: Jakarta.
Aminuddin Salle, dkk. 2011. Hukum Agraria, ASPublishing: Makassar.
Anisitus Amanat. 2003. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal
Hukum Perdata BW. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Boedi Harsono. 2003 Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya.
Djambatan: Jakarta.
Bohari. 2010. Pengantar Hukum Pajak. PT. RajaGrafindo Persada:
Jakarta.
Djaja S. Meliala. 2015. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda
dan Hukum Perikatan. Nuansa Aulia: Bandung.
Effendi Perangin. 1994. Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari
Sudut Pandang Praktisi Hukum. PT. RajaGrafindo Persada:
Jakarta.
Eman Suparman. 2011. Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam,
Adat, dan BW. Refika Aditama: Bandung.
Fidel. 2015. Tindak Pidana Perpajakan & Amandemen Undang-Undang
KUP, PPh, PPN, Pengadilan Pajak. PT. Carofin Media: Jakarta.
Gregor van der Burght. 1995. Hukum Waris Buku Kesatu. PT. Citra Aditya
Bakti: Bandung.
__________. 1996. Hukum Waris Buku Kedua. PT. Citra Aditya Bakti:
Bandung.
H. Salim H. S. & Erlies Septiana Nurbani. 2013. Penerapan Teori Hukum
Pada Penelitian Tesis Dan Desertasi, Cetakan Pertama. PT.
Rajagrafindo Persada: Jakarta.
118
Hukum
Pajak.
PT.
119
120