Anda di halaman 1dari 125

SKRIPSI

ANALISIS PRINSIP AMANAH DAN KEADILAN PADA


USAHA BAGI HASIL PERTANIAN
(Studi Kasus di Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja,
Kabupaten Enrekang)

MUH. RIZAL

DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
SKRIPSI

ANALISIS PRINSIP AMANAH DAN KEADILAN PADA


USAHA BAGI HASIL PERTANIAN
(Studi Kasus di Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja,
Kabupaten Enrekang)

sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh


gelar Sarjana Ekonomi

disusun dan diajukan oleh


MUH. RIZAL
A31116018

kepada

DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

ii
SKRIPSI

ANALISIS PRINSIP AMANAH DAN KEADILAN PADA


USAHA BAGI HASIL PERTANIAN
(Studi Kasus di Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja,
Kabupaten Enrekang)

disusun dan diajukan oleh


MUH. RIZAL
A31116018

telah diperiksa dan disetujui untuk diuji

Makassar, 19 Juli 2021

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Abdul Rahman, MM., Ak., CA Dr. Hj.Andi Kusumawati, SE., M.Si., Ak., CA., CRA., CRP
NIP: 19660110 199203 1 001 NIP: 19660405 199203 2 003

Ketua Departemen Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin

Dr. Hj. Andi Kusumawati, SE., M.Si., Ak., CA., CRA., CRP
NIP: 19660405 199203 2 003

iii
SKRIPSI

ANALISIS PRINSIP AMANAH DAN KEADILAN PADA


USAHA BAGI HASIL PERTANIAN
(Studi Kasus di Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja,
Kabupaten Enrekang))

disusun dan diajukan oleh


MUH. RIZAL
A31116018

telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi


pada tanggal 30 September 2021 dan
dinyatakan telah memenuhi syarat kelulusan

Menyetujui,

Panitia Penguji

No. Nama Penguji Jabatan Tanda Tangan

1. Drs. H. Abdul Rahman, Ak., MM Ketua 1 .....................

2. Dr. Hj. Andi Kusumawati, S.E., M.Si., Ak., CA.,CRA.,CRP Sekretaris 2 .....................

3. Prof. Dr. H. Abdul Hamid Habbe, S.E., M.Si Anggota 3 .....................

4. Hermita Arif, S.E., CIFP., M.Com Anggota 4 .....................

Ketua Departemen Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin

Dr. Hj. Andi Kusumawati, SE., M.Si., Ak., CA., CRA., CRP
NIP: 19660405 199203 2 003

iv
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

nama : MUH. RIZAL

NIM : A31116018

departemen / program studi : Akuntansi

dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul

ANALISIS PRINSIP AMANAH DAN KEADILAN PADA


USAHA BAGI HASIL PERTANIAN
(Studi Kasus di Desa Tampo Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang)

adalah karya ilmiah saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di dalam
naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain
untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali
yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan
dan daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan
terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut dan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).

Makassar, 11 Oktober 2021

Yang membuat pernyataan

Muh. Rizal

v
PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Penguasa

langit dan bumi beserta isinya, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya

kepada setiap manusia yang dikehendaki-Nya.

Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad

Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, suri teladan terbaik bagi umat manusia, juga

kepada keluarga dan sahabatnya, tabi’in, atba’ut tabi’in dan orang-orang yang

senantiasa istiqomah diatas sunnahnya.

Penulisan skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik tanpa

dukungan dan bantuan semua pihak baik secara langsung maupun tidak

langsung kepada peneliti. Untuk itu tidaklah berlebihan jika peneliti mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Kedua orang tua peneliti, Bapak Mail dan Ibu S a i r a h yang senantiasa

memberikan segala yang terbaik untuk anak-anaknya selama menempuh

pendidikan. Kepada Adik Zulkarnain, Muhammad Imran dan Rasyad

Ramadhan serta semua sanak keluarga yang memberikan dukungan baik

berupa materi maupun non materi selama peneliti kuliah.

2. Dosen Pembimbing, Bapak Drs. H. Abdul Rahman, MM., Ak., CA dan, Ibu

Dr. Hj. Andi Kusumawati, SE., M.Si., Ak., CA., CRA.,CRP. Terima kasih

atas waktu yang telah diluangkan untuk membimbing dan senantiasa

memberikan motivasi kepada peneliti.

3. Penasehat Akademik Penulis Ibu Prof. Dr. Hj. Mediaty, SE., M.Si., Ak., CA.

Terima kasih atas bimbingan, motivasi dan nasehat yang diberikan kepada

peneliti selama kuliah.

vi
4. Ketua Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Hasanuddin, Ibu Dr. Hj. Andi Kusumawati, SE., M.Si., Ak., CA., CRA., CRP

dan Sekretaris Departemen Akuntansi Bapak Dr. Syarifuddin Rasyid, SE.,

M.Si yang telah memberikan bantuan serta arahan kepada peneliti dalam

menyelesaikan skripsi.

5. Segenap Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin yang

telah memberikan ilmu kepada peneliti selama berkuliah khususnya bapak

dan ibu Dosen Departemen Akuntansi.

6. Segenap Pegawai dan Staff Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Hasanuddin yang telah memberikan bantuan, kemudahan, serta pelayanan

yang baik kepada peneliti.

7. Bapak Marzuki sebagai kepala Desa Tampo, Kelompok Tani, dan

masyarakat Desa Tampo yang telah mengizinkan dan memberikan

informasi serta data selama proses penelitian.

8. Dompet Dhuafa yang telah mengizinkan peneliti untuk menjadi penerima

beasiswa Etos ID sehingga memudahkan peneliti untuk belajar banyak hal

selama perkuliahan baik dilalam maupun diluar kampus.

9. Saudara Seiman di UKM LDM Darul ‘Ilmi FEB-UH dan UKM LDK MPM

UNHAS yang senantiasa memberikan nasehat, motivasi dan pengalaman

selama perkuliahan serta semangat dalam menyelesaikan tugas akhir.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhoi dan memberikan

keistiqomahan dalam meniti jalan dakwah di kampus Merah.

10. Kawan-kawan mahasiswa Akuntansi angkatan 2016, ( Fam16lia) yang

selalu membersamai selama kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Hasanuddin.

vii
11. Saudara-saudara Posko Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Barru angkatan

104, terima kasih atas pengalaman yang mengesankan bagi peneliti.

12. Kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan skripsi

ini, peneliti ucapkan syukran wa jazaakumullahu khairan wa barakallahu

fikum jamii’an. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan yang

terbaik disisi-Nya.

Peneliti menyadari, bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak sangat peneliti harapkan demi

terwujudnya karya yang lebih baik di masa mendatang. Semoga tulisan ini dapat

bermanfaat bagi pembaca.

Makassar, 11 Oktober 2021

Peneliti,

Muh. Rizal

viii
ABSTRAK

Analisis Prinsip Amanah dan Keadilan pada Usaha Bagi Hasil Pertanian
(Studi Kasus di Desa Tampo Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang)

Analysis of the Principles of Trust and Justice in Agricultural Product


Sharing Business
(Case Study in Tampo Village, Anggeraja District, Enrekang Regency)

Muh. Rizal
Abdul Rahman
Andi Kusumawati
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan prinsip amanah dan keadilan
pada usaha bagi hasil di Desa Tampo Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang.
Metode penelitian ini dilaksanakan dengan wawancara yang didukung dengan
studi pustaka yang berasaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menentukan
apakah usaha bagi hasil yang diterapkan sudah sesuai dengan syariat Islam.
Sumber data yang digunakan dala penelitian ini adalah data primer yang
dikumpulkan dengan metode wawancara. Data yang diperoleh kemudian
dianalisis secara deskriptif kualitatif dan diukur berdasarkan elemen-elemen
penilaian prinsip amanah dan keadilan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa usaha bagi hasil yang diterapkan di Desa Tampo
sudah sesuai dengan prinsip amanah dan prinsip keadilan namun, masih ada yang
perlu di perkuat terkait salah satu elemen keadilan yaitu transparansi jangka waktu
berlangsungnya akad yang peneliti nilai akad tersebut lemah karena tidak
ditentukan sampai kapan berlangsungnya kerja sama tersebut, dan bargaining
power yang tidak seimbang antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, dibutuhkan
beberapa langkah penyesuaian untuk menjadikan usaha bagi hasil pertanian yang
diterapkan sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.

Kata Kunci: Bagi Hasil, Pertanian, Amanah, Keadilan

This study aimed to examine the application of the principles of trust and justice in
profit sharing in Tampo Village, Anggeraja District, Enrekang Regency. The
research method was carried out by interviewing supported by literature studies
based on the Qur'an and As-Sunnah to determine whether the profit-sharing
business applied is following Islamic law. The Source of data used in this study is
primary data collected by the interview method. The data obtained were then
analyzed descriptively qualitatively and measured based on the elements of the
assessment of the principles of trust and justice that had been previously
determined. The results of this study show that the profit-sharing business
implemented in Tampo Village was by the principle of trust and the principle of
justice, However, there is still need a new one related to one of the elements of
justice namely transparancy of the period ongoing contract which researchers
value of the contract is weak because it does not determined untill when the
continuation of such cooperation and bargaining power is not balanced between
the two sides.. Therefore, several adjustments are needed to make the business
for agricultural production that is applied by the principles of justice in Islam.

Keywords: Profit Sharing, Agriculture, Trust, Justice

ix
DAFTAR ISI

halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................................. i
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………….ii
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………………………...iii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………………….iv
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................................. v
PRAKATA ............................................................................................................ v
ABSTRAK ........................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xiv

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 10
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 10
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 12
1.6 Sistematika Penulisan ......................................................................... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 14


2.1 Tinjauan Umum Usaha Pertanian ........................................................ 14
2.2 Perkembangan Bidang Pertanian di Indonesia .................................... 17
2.3 Konsep Perjanjian Usaha bagi hasil pertanian ..................................... 19
2.3.1 Latar Belakang Munculnya Usaha Bagi Hasil pertanian................ 20
2.3.2 Pengertian Usaha bagi hasil pertanian ......................................... 22
2.3.3 Hak dan Kewajiban Pemilik dan Penggarap dalam Perjanjian
Usaha Bagi Hasil Pertanian. ......................................................... 23
2.4 Konsep Usaha Bagi Hasil Pertanian Dalam Islam ............................... 24
2.4.1 Mudharabah ................................................................................. 24
2.4.2 Musaqah....................................................................................... 26
2.4.3 Muzara’ah..................................................................................... 27
2.4.4 Mukhabarah ................................................................................. 27
2.4.5 Landasan Hukum Mudharabah, Musaqah, Muzara’ah, dan
Mukhabarah ................................................................................. 29
2.4.6 Rukun dan Syarat Akad Mudharabah, Musaqah, Muzara’ah dan
Mukhabarah ................................................................................. 30
2.4.7 Sistem Bagi Hasil Pertanian pada Masa Rasulullah dan Khalifah . 32

x
2.5 Amanah ............................................................................................... 34
2.5.1 Pengertian Amanah ...................................................................... 34
2.5.2 Konsep Amanah dalam Al-Qur’an dan Hadits ............................... 35
2.5.3 Amanah pada Usaha Bagi Hasil Pertanian ................................... 39
2.6 Konsep Keadilan ................................................................................. 40
2.6.1 Pengertian Keadilan ..................................................................... 40
2.6.2 Keadilan Dalam Pandangan Islam ................................................ 42
2.6.3 Keadilan Ekonomi dalam Pandangan Islam.................................. 44
2.6.4 Keadilan dalam Sistem Bagi Hasil ................................................ 45
2.7 Konsep Transparansi........................................................................... 47
2.7.1 Pengertian Transparansi .............................................................. 48
2.7.2 Transparansi Dalam Islam ............................................................ 49
2.7.3 Transparansi dalam Akad Bagi Hasil ............................................ 51
2.8 Kerangka Penelitian ............................................................................ 53

BAB III METODE PENELITIAN.......................................................................... 56


3.1 Rancangan Penelitian.......................................................................... 56
3.2 Kehadiran Peneliti ............................................................................... 56
3.3 Lokasi Penelitian ................................................................................. 57
3.4 Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 57
3.5 Teknik Pengumpulan Data................................................................... 58
3.6 Teknik Analisis Data ............................................................................ 59
3.7 Pengecekan Validitas Data .................................................................. 60
3.8 Tahap - Tahap Penelitian .................................................................... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN ............................................................................. 62


4.1 Gambaran Umum Desa Tampo Kecamatan Anggeraja Kabupaten
Enrekang ............................................................................................. 62
4.2 Gambaran Umum Proses Produksi Pertanian ..................................... 63
4.2.1 Proses Pra Tanam Bawang Merah ............................................... 64
4.2.2 Proses Penanaman Bawang Merah ............................................. 66
4.2.3 Proses Pemeliharaan Tanaman Bawang Merah ........................... 67
4.2.4 Proses Pemanenan Tanaman Bawang Merah ............................. 69
4.2.5 Proses Pasca Panen Tanaman Bawang Merah............................ 70
4.2.6 Biaya Produksi Usaha Pertanian .................................................. 70
4.3 Penerapan Sistem Bagi Hasil Pertanian .............................................. 72
4.4 Penerapan Prinsip Amanah dalam Usaha Bagi Hasil Pertanian .......... 76
4.4.1 Dapat Dipercaya ........................................................................... 76
4.4.2 Mampu Melaksanakan Tugas ....................................................... 77
4.4.3 Jujur dan Bertanggung Jawab ...................................................... 77

xi
4.5 Penerapan Prinsip Keadilan dalam Usaha Bagi Hasil Pertanian .......... 78
4.5.1 Transparansi ................................................................................ 78
4.5.2 Nisbah Bagi Hasil yang Proporsional ............................................ 83
4.5.3 Konsistensi ................................................................................... 85
4.5.4 Bargaining Power yang Seimbang ................................................ 87
4.5.5 Ganti Rugi dalam Pemberhentian Akad ........................................ 89
4.5.6 Mekanisme Penanggungan Rugi jika Terjadi Kerugian atau Gagal
Panen ........................................................................................... 91
4.6 Analisis Prinsip Amanah dan Keadilan Pada Usaha Bagi Hasil Pertanian
………………………………………………………………………………...93

BAB V PENUTUP ............................................................................................. 98


5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 98
5.2 Saran ................................................................................................... 99
5.3 Keterbatasan Penelitian..................................................................... 101

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 102

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 4. 1 Daftar Informan yang Terlibat dalam Penelitian ................................ 63

Tabel 4. 2 Daftar Pestisida yang Digunakan ...................................................... 69

Tabel 4. 3 Biaya Produksi Selama Satu Musim Tanam ..................................... 71

Tabel 4. 4 Hasil Analisis Prinsip Amanah dan Keadilan pada Usaha Bagi Hasil
Pertanian ......................................................................................... 96

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Kerangka Penelitian ..................................................................... 55

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki tanah subur dengan

berbagai macam tumbuhan, sayuran maupun varietas lainnya yang didukung

dengan kondisi iklim tropis yang berbeda antara daerah satu dengan daerah yang

lain. Mayoritas penduduk Indonesia bermata pencaharian pada bidang pertanian

terutama masyarakat pedesaan. Pada bulan Agustus 2019, Badan Pusat Statistik

(BPS) mencatat bahwa pertanian menjadi bidang yang paling banyak menyerap

tenaga kerja di Indonesia, yaitu sebesar 36,50 juta orang atau sekitar 27,33% dari

total angkatan kerja. Pertanian merupakan bidang yang memiliki peranan

signifikan bagi perekonomian Indonesia. Pada tahun 2020, kontribusi bidang

pertanian terhadap PDB Indonesia mencapai angka 13,45% (BPS,2020). Fakta-

fakta tersebut menguatkan pertanian sebagai bidang yang penting bagi

perekonomian Indonesia. Dengan pertumbuhan bidang pertanian yang pesat

semoga dapat meningkatkan perekonomian dan menjadi asbab untuk

kesejahteraan ekonomi masyarakat terutama yang ada di pedesaan atas izin Allah.

Bercocok tanam atau pertanian juga menjadi anjuran Nabi, karena bernilai

jariyah bagi pelakunya. Dalam suatu hadits riwayat al-Bukhari (2152) dan Ahmad

(12038) disebutkan, “Tidaklah seorang muslim yang berkebun dan bertani, lalu

ada burung, manusia atau hewan yang memakan darinya, kecuali bernilai sedekah

bagi muslim tersebut.” Hadis lain riwayat Ahmad (12512) juga menyebutkan,

“Kalaupun kiamat datang, lalu di tangan seorang muslim tergenggam sebatang

tunas tanaman, maka hendaklah ia menanamnya selagi sempat, karena demikian

itu terhitung pahala baginya.”

1
2

Di Indonesia, dukungan pemerintah terhadap penguatan bidang pertanian

terus dilakukan dengan berbagai program kebijakan pemerintah diantaranya:

Pertama, pembangunan food estate (di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara)

berbasis korporasi dalam kerangka penguatan sistem pangan nasional. Kedua,

pengembangan klaster bisnis padi menggunakan pendekatan pengelolaan lahan

yang awalnya tersegmentasi menjadi satu area. Ketiga, pengembangan kawasan

hortikultura berorientasi ekspor dengan model kemitraan Creating Shared Value

(CSV) antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan petani. Keempat,

kemitraan inklusif Closed Loop pada komoditas hortikultura sebagai bentuk

implementasi sinergi antara akademisi, bisnis, pemerintah, dan komunitas (ABGC).

Pemerintah juga mengupayakan pemulihan ekonomi melalui simplifikasi ekspor

dan sinkronisasi ekspor-impor dengan mengembangkan National Logistics

Ecosystem (NLE).

Meskipun sudah ada beberapa penguatan yang dilakukan pemerintah

tetapi, tetap saja masih ada masalah yang terjadi. Misalnya, pemilikan dan

penguasaan lahan pertanian yang sempit dan timpang di Indonesia, khususnya di

pedesaan masih menjadi suatu persoalan yang mesti dicarikan jalan keluarnya.

Semenjak awal abad ke-20 pemerintah Belanda telah menyadari hal ini. Melalui

sensus tani yang dilakukan pada tahun 1903, menunjukkan bahwa hampir separuh

petani menguasai lahan kurang dari 0,50 hektar (Syahyuti, 2002:133). Kondisi ini

tidak banyak berubah, akibat tekanan penduduk yang makin tinggi yang tidak

diimbangi penambahan lahan pertanian. Dapat dilihat pada hasil Survei Pertanian

Antar Sensus (SUTAS) 2018 misalnya, diketahui bahwa petani yang memiliki

lahan kurang dari 0,50 ha masih sebesar 0.59% atau sekitar 16.257.430 Rumah

Tangga (BPS, 2018).


3

Untuk mencegah terjadinya ketimpangan dan menghindarkan adanya

lahan menganggur dibutuhkan adanya kerja sama antara pemilik tanah dengan

petani penggarap. Perjanjian kerja sama yang umumnya dilakukan dalam bidang

pertanian yaitu perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap.

Pengertian bagi hasil menurut Scheltema (1985:1) adalah sebagai berikut: “Bagi

hasil dalam pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana

pembagian hasil terhadap dua unsur produksi yaitu modal dan kerja, dilaksanakan

menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto tanah tersebut dan pula dalam

bentuk natura sesuai dengan perkembangan usaha tani.”

Secara umum, prinsip bagi hasil dalam Islam dapat dilakukan dengan

beberapa akad utama yaitu mudharabah, musaqah, muzara’ah dan mukhabarah.

Mudharabah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik usaha/tanah dan

pemodal. Musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan

petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga

memberikan hasil yang maksimal, kemudian hasil tersebut sebagian menjadi

bagian (upah) bagi penggarap yang mengurusnya sesuai dengan kesepakatan

yang mereka buat. Kerja sama dalam bentuk musaqah berbeda dengan

mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya

adalah bukan upah yang telah pasti ukurannya seperti tukang kebun, melainkan

dari hasil kebun yang belum tentu besarannya (Ghazaly, 2015). Muzara’ah

merupakan perjanjian bagi hasil antara pemilik dan penggarap, yang benihnya

berasal dari pemilik tanah, sedangkan mukhabarah merupakan perjanjian bagi

hasil antara pemilik dan penggarap tanah, yang benihnya berasal dari penggarap

tanah (Ghazaly, 2015).

Kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap tanah ini dibolehkan dan

dianjurkan dalam Islam, sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “dari Abu Hurairah
4

radhiallahu anhu berkata: Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam

(barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanami atau diberikan

faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah

itu.” (H.R Muslim).

Anjuran melakukan kerja sama bagi hasil muzara’ah juga didukung oleh

pendapat Imam Ibnul Qayyim yang berkata:

“Muzara’ah ini lebih jauh dari kezaliman dan kerugian dari pada ijarah.
Karena dalam ijarah, salah satu pihak sudah pasti mendapatkan
keuntungan. Sedangkan dalam muzara’ah, apabila tanaman tersebut
membuahkan hasil, maka keduanya mendapatkan untung, apabila tidak
menghasilkan buah maka mereka menanggung kerugian bersama.”
(Fauzan, 2005:480).

Selain hadits di atas, terdapat pula banyak riwayat yang menerangkan bahwa para

sahabat telah melakukan praktek muzara’ah dan tidak ada dari mereka yang

mengingkari kebolehannya (Irsyid, 2007:151). Namun demikian, praktik muzara’ah

dan mukhabarah bisa menjadi haram dalam Islam ketika bentuk kesepakatan dan

pelaksanaannya tidak sesuai dengan prinsip amanah dan keadilan dalam Islam.

Menurut Al- Jazairy (2005:19) muzara’ah dan mukhabarah dalam Islam

diperbolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yaitu, (1) dalam akad

(perjanjian) yang dilakukan harus terdapat persamaan dalam keuntungan

berdasarkan nisbah (persentase) pengorbanan kedua belah pihak, baik itu

pengorbanan berupa pekerjaan, lahan, atau yang lainnya, sehingga masing-

masing dari kedua belah pihak tidak berlaku serakah, (2) terjadi hubungan yang

baik di antara pemilik dan penggarap, yakni masing-masing pihak tidak ingin

merebut bagian yang merupakan hak partner-nya, tidak berkhianat dalam bekerja,

dan kemaslahatan juga tercipta dengan membagi hasil dari apa yang dihasilkan

oleh pengolahan tanam tersebut. Selain itu, dalam perjanjian bagi hasil tidak boleh

terdapat gharar (ketidakjelasan) sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan.
5

Oleh karena itu, seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari

hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya

banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit,

kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula dan jika tidak menghasilkan apa-

apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian.

Di Indonesia bagi hasil tanah pertanian antara pemilik tanah dan petani

penggarap juga telah diatur dalam Undang-Undang yaitu UU No. 2 tahun 1960.

Undang-undang tersebut mengatur perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan

petani penggarap dengan pembagian bagi hasil yang adil dengan menegaskan

hak dan kewajiban para pihak yang melakukan perjanjian. Masyarakat petani pada

umumnya masih awam terhadap undang-undang bagi hasil tersebut sehingga

dalam pelaksanaannya petani masih menggunakan hukum adat yang sudah turun

temurun dilakukan di wilayah tersebut. Salah satu kelemahan perjanjian bagi hasil

yang menggunakan hukum adat adalah perjanjian tersebut tidak dilakukan secara

tertulis melainkan berdasarkan kesepakatan para pihak sehingga tidak

memberikan kepastian mengenai besarnya bagian serta hak dan kewajiban para

pihak.

Furqan (2016), dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa sebagian

besar masyarakat tidak mengenal istilah muzara’ah dan mukhabarah dalam pola

perjanjian bagi hasil pertanian. Masyarakat lebih menggunakan sistem bagi hasil

yang sudah berlaku turun temurun sesuai kebiasaan yang ada. Perjanjian bagi

hasil banyak dilakukan secara lisan dan musyawarah antara pemilik tanah dan

petani penggarap, tetapi sebetulnya pengaruh prinsip muzara’ah dan mukhabarah

hampir sama dengan adat kebiasaan perjanjian bagi hasil di masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu juga diketahui bahwa sistem bagi

hasil di Indonesia masih menerapkan dua pola yang berbeda, yaitu pola bagi hasil
6

revenue sharing dan profit sharing. Menurut Nurhayati dan Wasilah (2016:134),

revenue sharing merupakan pola bagi hasil yang menggunakan laba bruto atau

laba kotor sebagai dasar pembagian hasil usaha. Sedangkan Profit Sharing

merupakan perhitungan bagi hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi

dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Pada penelitian lain, Indrawati (2016:32) menemukan bahwa salah satu

daerah di Jawa Barat, masih menggunakan pola bagi hasil revenue sharing. Dasar

pengenaan bagi hasil yang digunakan adalah laba bruto atau laba kotor, sehingga

secara tidak langsung seluruh biaya produksi ditanggung oleh petani penggarap.

Hal ini menyebabkan pendapatan yang diterima oleh petani penggarap menjadi

lebih kecil dibandingkan jika pola bagi hasil Profit Sharing. Hasil penelitian dari

Indrawati (2016:33) menunjukan, bahwa selisih pendapatan petani penggarap

dengan pola revenue sharing dengan profit sharing di daerah tersebut dalam

setahun mencapai jumlah yang cukup signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa pola

bagi hasil revenue sharing di daerah tersebut kurang menguntungkan bagi petani

penggarap.

Hasil penelitian tersebut didukung oleh Irmayanti (2010: 64), yang juga

menemukan bahwa sistem bagi hasil yang diterapkan berdasarkan hukum adat di

suatu daerah masih belum proporsional, dimana petani penggarap memperoleh

bagian hasil yang lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang dikorbankan dalam

pengelolaan usaha tani pada setiap musim tanam. Hal ini tentunya tidak sejalan

dengan salah satu indikator keadilan pada bagi hasil yang mensyaratkan adanya

nisbah bagi hasil yang proporsional, yaitu sesuai dengan besarnya kontribusi yang

dikeluarkan oleh masing-masing pihak (Handayani, 2013:64).

Dalam perjanjian bagi hasil, keterbukaan antara antara pemilik tanah dan

petani penggarap, menjadi hal yang sangat penting untuk menghindari terjadinya
7

ketimpangan informasi antara kedua belah pihak. Hal yang penting untuk

disampaikan oleh petani penggarap adalah mengenai biaya-biaya yang

dikeluarkan. Penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2013:63), menunjukkan

bahwa transparansi mengenai biaya yang dikeluarkan oleh petani penggarap

masih sangat minim. Pemilik lahan hanya menerima jumlah biaya yang dipaparkan

oleh petani penggarap melalui catatan atau hanya mengandalkan ingatan petani

semata.

Hasil penelitian serupa juga diungkapkan oleh Darwis (2016:17) terkait

transparansi penggunaan biaya yang seringkali masih bersifat lisan dan hanya

didasarkan kepercayaan. Hal ini dapat berujung pada terjadinya perselisihan

antara petani penggarap dan pemilik tanah. Darwis (2016:18) menambahkan,

terjadinya perselisihan pada kegiatan pertanian khususnya bagi petani penggarap

dan pemilik kebun, pada umumnya disebabkan atas adanya mosi tidak percaya

pada petani penggarap terutama mengenai biaya-biaya yang dibutuhkan dalam

pengurusan kebun serta hasil produksi yang diperoleh dalam setiap kali panen

sehingga timbul kecurigaan pada diri petani penggarap.

Permasalahan yang telah diuraikan di atas menunjukkan adanya

penyimpangan - penyimpangan dari nilai amanah dan keadilan yang menjadi

syarat dalam perjanjian usaha bagi hasil pertanian dalam Islam. Penyimpangan

tersebut tentunya bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut dalam ajaran Islam.

Selain itu, menunaikan amanah, menegakkan keadilan, dan memberantas

kezaliman dan merupakan ajaran dari beberapa risalah para rasul-Nya yang harus

terus menerus ditegakkan.

Provinsi Sulawesi Selatan merupakan sentra penghasil bawang merah di

pulau Sulawesi. Hingga saat ini, provinsi Sulawesi Selatan menempati urutan

keenam sebagai penghasil bawang merah terbesar di Indonesia setelah Jawa


8

Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan Sumatera Barat (BPS,

2019). Dengan luas wilayah 46.717,48 km2 (BPS 2016), Sulawesi Selatan memiliki

sumber daya lahan dan iklim (jenis tanah, bahan induk, fisiologi dan bentuk

wilayah, ketinggian tempat, dan iklim) yang sangat bervariasi. Keragaman

karakteristik sumber daya lahan dan iklim merupakan potensi untuk memproduksi

komoditas pertanian unggulan di masing-masing wilayah sesuai dengan kondisi

agroekosistemnya (Herniwati dan Kadir, 2009:219).

Kabupaten Enrekang merupakan penghasil bawang merah terbesar di

Sulawesi Selatan dan saat ini menempati posisi ke-5 nasional, sebagai daerah

penghasil bawang merah terbesar di Indonesia setelah Kabupaten Brebes,

Nganjuk, Bima dan Solok. Jumlah produksi bawang merah hingga oktober 2020 di

Kabupaten Enrekang sudah mencapai 100.000 ton.

Kabupaten Enrekang adalah salah satu kabupaten yang terletak di sebelah

utara dari Provinsi Sulawesi Selatan. Kondisi bidang pertanian yang menonjol

dalam struktur ekonomi Kabupaten Enrekang sangat relevan apabila bidang

pertanian dikembangkan sebagai bidang unggulan yang dapat memberikan

kontribusi positif bagi pengembangan ekonomi daerah. Dengan memperhatikan

potensi yang ada seperti luas lahan pertanian dan mata pencaharian sebagian

besar penduduk adalah bertani. Keunggulan bidang pertanian dibandingkan

dengan bidang-bidang lain di dalam perekonomian yaitu produksi petanian yang

berbasis pada sumber daya domestik, selain itu juga, kandungan impornya rendah

karena bahan baku yang digunakan umumnya berasal dari dalam negeri, relatif

lebih tangguh menghadapi gejolak perekonomian misalnya gejolak moneter, nilai

tukar dan fiskal. Ketangguhan bidang pertanian terbukti pada saat nilai tukar dan

fiskal. Ketangguhan bidang pertanian terbukti pada saat krisis moneter dimana

bidang ini merupakan penyumbang devisa yang terbesar. Besarnya kontribusi


9

bidang pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional tidak terlepas

dari sub bidang tanaman bahan makanan, sub bidang tanaman perkebunan, sub

bidang peternakan, sub bidang kehutanan dan sub bidang perikanan.

Kabupaten Enrekang sangat potensial dengan produksi bawang merah

karena merupakan salah satu sumber mata pencaharian pokok petani di sebagian

besar wilayah tersebut. Hal ini dapat diperoleh antara lain sumber daya di berbagai

daerah cukup besar jumlahnya dan budidaya bawang merah memberikan

kontribusi yang sangat besar terhadap perekonomian masyarakat. Meskipun

terkadang dihadapkan dengan harga bibit yang terlalu tinggi. Selain itu, bawang

merah merupakan tanaman yang sangat sensitif sehingga tidak sedikit biaya yang

akan dikeluarkan mulai dari proses pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan,

pengendalian hama maupun penyakit, panen, hingga pasca panen. Walaupun

begitu, petani bawang merah di Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten

Enrekang tetap antusias dalam bertani untuk meningkatkan hasil produksi bawang

merah.

Masyarakat di daerah tersebut juga telah lama menggunakan sistem bagi

hasil dalam hal pengelolaan usaha pertanian khususnya bawang merah. Sistem

bagi hasil telah dikenal dan digunakan sejak lama di Desa Tampo, Kecamatan

Anggeraja, Kabupaten Enrekang yang awalnya dikenal dengan istilah

mangrampah. Dengan melihat besarnya potensi yang dimiliki Desa Tampo,

Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang pada bidang pertanian dan sistem

bagi hasil yang telah lama digunakan oleh masyarakatnya sebagai sistem

pengolahan bawang merah, maka peneliti tertarik untuk menjadikan Desa Tampo,

Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang sebagai lokasi penelitian mengenai

konsep bagi hasil yang sesuai dengan prinsip amanah dan keadilan dalam usaha

pertanian.
10

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, maka kemudian peneliti memilih judul:

Analisis Prinsip Amanah dan Keadilan Pada Usaha bagi hasil pertanian

(Studi Kasus di Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian, maka dalam penelitian

ini dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1) Bagaimana sistem bagi hasil yang terjadi di Desa Tampo, Kecamatan

Anggeraja, Kabupaten Enrekang?

2) Apakah akad perjanjian dan penerapan usaha bagi hasil pertanian yang

dilakukan di Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang

telah sesuai dengan prinsip amanah dalam Islam?

3) Apakah akad perjanjian dan penerapan usaha bagi hasil pertanian yang

dilakukan di Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang

telah sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1) Mengetahui sistem bagi hasil pertanian yang terjadi di Desa Tampo,

Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang.

2) Mengidentifikasi kesesuaian akad perjanjian dan penerapan usaha bagi

hasil pertanian yang diterapkan di Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja,

Kabupaten Enrekang dengan prinsip amanah dalam Islam.


11

3) Mengidentifikasi kesesuaian akad perjanjian dan penerapan usaha bagi

hasil pertanian yang diterapkan di Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja,

Kabupaten Enrekang dengan prinsip keadilan dalam Islam.

1.4 Manfaat Penelitian

1) Peneliti

Melalui penelitian ini, diharapkan peneliti dapat memperoleh pemahaman

yang lebih mendalam mengenai konsep bagi hasil yang sesuai dengan prinsip

amanah dan keadilan dalam Islam. Dengan demikian, peneliti dapat memahami

konsep amanah dan keadilan terkait usaha bagi hasil pertanian. Selain itu, peneliti

dapat membandingkan penerapan usaha bagi hasil pertanian yang terjadi di

masyarakat dengan konsep bagi hasil yang sesuai dengan prinsip amanah dan

keadilan menurut Islam.

2) Pengembangan Ilmu

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal penerapan bagi hasil

yang sesuai dengan prinsip amanah dan keadilan pada sistem usaha bagi hasil

pertanian, sehingga dapat menjadi salah satu referensi bagi pengembangan

rangkaian penelitian yang terkait.

3) Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dan

pertimbangan bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang menjalankan sistem

usaha bagi hasil pertanian, baik itu masyarakat yang bertindak sebagai pemilik

tanah maupun petani penggarap mengenai penerapan bagi hasil yang sesuai

dengan prinsip amanah dan keadilan sesuai dalam lingkup syariat Islam. Dengan
12

demikian, hal itu diharapkan dapat menciptakan kerja sama yang berkeadilan

dalam aspek bagi hasil usaha untuk mencapai kesejahteraan.

4) Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan analisis bagi

pemerintah untuk mengembangkan konsep bagi hasil yang sesuai dengan prinsip

amanah dan keadilan dalam usaha pertanian. Sehingga dapat diyakini bahwa

kegiatan tersebut dapat menjadi jalan untuk mencapai keberkahan usaha dalam

upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya petani penggarap.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian terkait penerapan prinsip amanah dan keadilan pada

usaha usaha bagi hasil pertanian yang diterapkan di Desa Tampo, Kecamatan

Anggeraja, Kabupaten Enrekang. Adapun komunitas petani penggarap dan

pemilik tanah yang akan diteliti dibatasi hanya pada komunitas petani tanaman

bawang yang memproduksi bawang merah di Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja,

Kabupaten Enrekang.

1.6 Sistematika Penulisan

Dengan bersumber pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Dakultas

Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (2012), Skripsi ini terdiri dari lima bab

yang tersusun secara sistematis yaitu sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan

Bab ini memberi uraian mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, ruang lingkup penelitian dan sistematika

penulisan.
13

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab ini merupakan uraian mengenai landasan teori dari proses peninjauan

pustaka berupa teori-teori yang relevan sebagai landasan dalam penelitian ini,

riset-riset terkait dengan judul penelitian serta kerangka penelitian.

Bab III Metode Penelitian

Bab ini memuat tentang rancangan penelitian, kehadiran peneliti, lokasi

penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis

data.

Bab IV Hasil Penelitian

Bab ini memuat tentang gambaran umum proses produksi pertanian,

sistem usaha bagi hasil pertanian yang diterapkan dan penilaian amanah dan

keadilan terhadap sistem usaha bagi hasil pertanian di Desa Tampo, Kecamatan

Anggeraja, Kabupaten Enrekang berdasarkan elemen yang telah ditetapkan

sebelumnya.

BAB V Penutup

Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penilaian prinsip amanah dan

keadilan pada sistem usaha bagi hasil pertanian di Desa Tampo, Kecamatan

Anggeraja, Kabupaten Enrekang.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Usaha Pertanian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pertanian didefinisikan

sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan tanam-menanam (pengusahaan

tanah dan sebagainya). Sedangkan menurut Mosher (1968:19), pertanian

merupakan suatu bentuk produksi yang khas, yang didasarkan pada proses

pertumbuhan tanaman dan hewan. Petani mengelola dan merangsang

pertumbuhan tanaman dan hewan dalam suatu usaha tani, dimana kegiatan

produksi merupakan bisnis, sehingga pengeluaran dan pendapatan sangat

penting artinya.

Kemudian, Nadja (2014:2) mengemukakan bahwa pertanian dapat diberi

arti terbatas dan arti luas. Dalam arti terbatas, definisi pertanian adalah

pengolahan tanaman dan lingkungannya agar memberikan suatu produk.

Sedangkan dalam arti luas, pertanian adalah pengolahan tanaman, ternak, dan

ikan agar memberikan suatu produk. Dari beberapa pengertian di atas, perlu

dipahami bahwa pertanian yang akan dibahas selanjutnya adalah pertanian dalam

arti sempit, yaitu terbatas pada kegiatan tanam-menanam atau pengolahan

tanaman.

Pertanian mempunyai tiga faktor produksi utama yaitu tanah, tanaman dan

petani. Petani merupakan faktor utama dari faktor-faktor produksi yang lain dalam

pengolahan pertanian. Dalam hal ini, yang merupakan faktor utama dalam

pertanian adalah petani. Petani merupakan orang yang terlibat dalam kegiatan

produksi yang berlandaskan pertumbuhan tanaman dan hewan atau orang yang

14
15

terlibat langsung dalam usaha tani (Nadja, 2014:10). Petani berperan dalam

mengatur dan mengawasi perkembangan tanaman maupun hewan yang tumbuh

di atas sebidang tanah. Dengan demikian, keberadaan petani dapat membuat

proses biologis dapat lebih baik dan lebih terpantau sehingga dapat memberikan

produksi yang lebih banyak atau lebih tinggi sesuai dengan yang dikehendaki

(Irmayanti, 2010:10). Petani tanaman dapat merupakan petani pemilik atau petani

penggarap sesuai dengan yang dikemukakan Patong dalam Irmayanti (2010:10)

tentang klasifikasi petani: Petani tanaman dapat merupakan petani pemilik atau

petani penggarap sesuai dengan yang dikemukakan Patong dalam Irmayanti

(2010:10) tentang klasifikasi petani:

a. Petani Pemilik

Petani pemilik adalah golongan petani yang memiliki tanah dan ia pulalah

yang secara langsung mengusahakan dan menggarapnya. Semua faktor-faktor

produksi, baik berupa tanah, peralatan dan sarana produksi yang digunakan

adalah milik petani sendiri. Dengan demikian ia bebas menentukan kebijaksanaan

usaha taninya, tanpa perlu dipengaruhi atau ditentukan oleh orang lain. Golongan

petani yang agak berbeda statusnya adalah yang mengusahakan tanahnya sendiri

dan juga mengusahakan tanah orang lain (part owner operator). Keadaan

semacam ini timbul karena persediaan tenaga kerja dalam keluarganya banyak.

Untuk mengaktifkan seluruh persediaan tenaga kerja ini, ia mengusahakan tanah

orang lain.

b. Petani Penyewa

Petani penyewa adalah golongan petani yang mengusahakan tanah orang

lain dengan jalan menyewa karena tidak memiliki tanah sendiri. Besarnya sewa

dapat berbentuk produksi fisik atau sejumlah uang yang sudah ditentukan sebelum

penggarapan dimulai. Lama kontrak sewa ini tergantung pada perjanjian antara
16

pemilik tanah dan penyewa. Jangka waktu dapat terjadi satu musim, satu tahun,

dua tahun atau jangka waktu yang lebih lama. Dalam sistem sewa, risiko usahatani

hanya ditanggung oleh penyewa. Pemilik tanah menerima sewa tanahnya tanpa

dipengaruhi oleh risiko usahatani yang mungkin terjadi.

c. Petani Penggarap

Petani penggarap adalah golongan petani yang mengusahakan tanah

orang lain dengan sistem bagi hasil. Dalam sistem bagi hasil, risiko usahatani

ditanggung oleh pemilik tanah dan penggarap. Besarnya bagi hasil tidak sama

untuk tiap daerah. Biasanya bagi hasil ini ditentukan oleh tradisi daerah-daerah

masing-masing, kelas tanah, kesuburan tanah, banyaknya permintaan dan

penawaran, dan peraturan negara yang berlaku. Menurut peraturan pemerintah,

besarnya bagi hasil adalah 50% untuk pemilik dan 50% untuk penggarap setelah

dikurangi dengan biaya produksi yang berbentuk sarana. Di samping kewajiban

terhadap usaha taninya, di beberapa daerah terdapat pula kewajiban tambahan

bagi penggarap, misalnya membantu pekerjaan di rumah pemilik tanah dan

kewajiban-kewajiban lain berupa materi.

Menurut Nadja (2014:14), dalam usaha tani petani juga dapat berperan

sebagai “manajer”. Keterampilan sebagai penggarap, umumnya adalah

keterampilan tangan, otot, dan mata. Keterampilan sebagai manajer dalam

menjalankan usahanya, menyangkut kegiatan otak yang didorong oleh keinginan

dalam pengambilan keputusan atau pemilihan alternatif tanaman. Keputusan-

keputusan yang harus diambil oleh petani mencakup jenis tanaman atau varietas

yang akan diterima, menggunakan pupuk atau tidak, memilih jenis ternak yang

akan dipelihara, dan penentuan pembagian kerja yang tersedia untuk berbagai

kegiatan yang harus dilakukan pada saat yang sama. Perubahan dan

perkembangan usaha tani menuntut adanya tambahan tugas dan keterampilan


17

petani. Pada usahatani yang bertujuan mencukupi kebutuhan keluarga, tugas

menjual produksi dan membeli sarana produksi belum menjadi perhatian petani.

Pada usahatani yang lebih berkembang hal ini harus menjadi tugas utama petani.

Tugas tambahan diperlukan di bidang pemupukan, penterasan, serta pembuatan

saluran air, guna mendapatkan produksi yang memuaskan diperlukan

kemampuan fisik dan keterampilan petani.

2.2 Perkembangan Bidang Pertanian di Indonesia

Pertanian mulai ada ketika manusia memiliki kebutuhan untuk

mempertahankan hidup dan keturunan, sedangkan jumlah manusia semakin

bertambah dan mempercepat habisnya pangan yang ada di alam sekitar mereka.

Sejak saat itu, mulailah manusia berpikir untuk mengetahui mengapa masalah itu

timbul serta berusaha memecahkannya walaupun dengan cara atau tindakan yang

menurut ukuran sangat sederhana (Nadja, 2014:3). Seiring perkembangannya,

Arifin (2003;17) menyebutkan bahwa pertanian tumbuh menjadi bidang yang amat

strategis bagi Indonesia, yang merupakan basis ekonomi rakyat di pedesaan,

menguasai hajat hidup sebagian besar penduduk, menyerap lebih separuh total

tenaga kerja dan bahkan menjadi katup pengaman pada krisis ekonomi di

Indonesia. Hal ini dibenarkan oleh Salman (1996:12) yang menyatakan bahwa

pertanian merupakan leading sector yang tampil sebagai penyedia pangan,

penyerap tenaga kerja atau penghasil devisa.

Arifin (2004:4) menuliskan bahwa perjalanan ekonomi pertanian di

Indonesia telah melalui beberapa fase. Pada tahap awal atau fase konsolidasi

1967-1968 bidang pertanian hanya tumbuh 3,4% kemudian melonjak sangat tinggi

dan mencapai 5,7%, pada fase tumbuh tinggi (periode 1978-1986), kemudian

kembali melambat 3,4% pada fase dekonstruksi tahun 1986-1997 dan terus
18

melambat 1,6% sampai periode terjadinya krisis ekonomi (periode 1997-2001).

Fase dekonstruksi merupakan titik belok yang cukup kritis, terutama karena

perlambatan pada subbidang tanaman pangan yang berpengaruh signifikan pada

kinerja bidang pertanian secara keseluruhan. Puncaknya adalah tahun 1997

dimana indonesia harus mengimpor beras sebanyak 5,7 juta ton (Nugraha, 2006).

Di tengah krisis ekonomi yang berdampak pada hampir semua lini, bidang

pertanian justru memberikan secercah harapan. Namun, saat dukungan untuk

memperkuat posisi penguasaan atau pemilikan tanah pertanian diperlukan,

kebijakan soal tanah pertanian ternyata tidak memadai. Dampak negatif kebijakan

pro pertumbuhan yang sangat berat sebelah itu tampak maki terdesaknya hak-hak

petani, dengan semakin menyusutnya areal tanah pertanian akibat pertambahan

jumlah penduduk dan alih fungsi tanah pertanian (Sumardjono, 2006:50).

Selanjutnya, Sumardjono juga mengungkapkan bahwa program land

reform sebagai strategi untuk mencapai keadilan dalam perolehan dan

pemanfaatan tanah pertanian telah diawali dengan penerbitan UU No.56 Prp

Tahun 1960 berikut pelbagai peraturan pelaksanaanya. Salah satu strategi yang

dipilih adalah redistribusi tanah pertanian yang berasal dari tanah-tanah kelebihan

batas maksimum, tanah guntai (absentee), tanah swapraja, tanah partikelir, dan

tanah negara. Secara operasional, program itu tidak berjalan lancar karena

kendala yang bersifat politis, teknis, administrasi, dan legal. Setelah hampir 40

tahun, ternyata baru separuh dari tanah obyek land reform itu yang bisa dibagikan.

Selain itu, melihat perbandingan antara luas tanah usaha tani dan obyek land

reform, persentase keluarga petani yang menerima redistribusi di Indonesia masih

sangat kecil.
19

Hingga kini, pertanian Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan

baik dari dalam maupun luar. Salah satu masalah yang paling krusial hingga saat

ini adalah rendahnya kesejahteraan petani. Rendahnya produktivitas di bidang

pertanian berimplikasi pada rendahnya pendapatan petani. Salah satu

penyebabnya adalah keterbatasan lahan yang dikuasai rumah tangga. Akibatnya

daya beli petani juga rendah, sehingga situasi ini akan mendorong petani petani

pada kemiskinan (BPS, 2018).

Selanjutnya, hasil analisis pencacahan sensus pertanian 2013

menyebutkan bahwa untuk mengoptimalkan usaha pertanian masih terkendala

berbagai persoalan. Diantaranya adalah, rendahnya kualitas sumber daya

manusia, kecilnya skala usaha, serta lahan pertanian yang semakin menyempit

sejak tahun 1999. Di sisi lain, hilirisasi usaha pertanian untuk mendorong

penciptaan nilai tambah pun masih terbatas. Optimalisasi usaha pertanian

tentunya memerlukan dukungan dari berbagai faktor diantaranya yaitu pelaku,

kebijakan, ketersediaan lahan, dan skala usaha, efektivitas pelaksanaan kebijakan

yang telah dirancang berlaku pada pelaku kegiatan. Mayoritas petani, yang

berpendidikan rendah, menjadi salah satu kendala yang menghambat penerapan

teknologi pertanian. Selain itu, rendahnya skala usaha dan luas lahan yang

dikuasai juga menjadi hambatan dalam upaya optimalisasi usaha pertanian.

2.3 Konsep Perjanjian Usaha bagi hasil pertanian

Perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara seseorang yang

berhak atas suatu bidang tanah pertanian dan orang lain yang disebut penggarap,

berdasarkan perjanjian dimana penggarap diperkenankan mengusahakan tanah

yang bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap dan yang

berhak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama,
20

misalnya masing-masing mendapat seperdua (maro) atau penggarap

mendapatkan sepertiga bagian (mertelu) (Boedi, 2008).

Menurut Departemen Penerangan dan Dirjen Agraria Depdagri dalam Urip

(2014), perjanjian bagi hasil adalah suatu perbuatan hukum di mana pemilik tanah

karena sesuatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya tetapi ingin

mendapatkan hasil atas tanahnya. Oleh karena itu, ia membuat perjanjian bagi

hasil dengan pihak lain dengan persentase bagi hasil yang telah disetujui oleh

kedua belah pihak.

Pertanian sebagai bidang yang bergerak di bidang riil, tak luput dari adanya

prinsip kerja sama bagi hasil. Di satu sisi, ada sebagian orang yang mempunyai

tanah, tetapi tidak mampu untuk mengolahnya. Di sisi lain, ada orang yang mampu

untuk bertani dan berkebun, tapi tidak mempunyai lahan pertanian. Sehingga

dengan adanya kerja sama bagi hasil, kedua belah pihak dapat melakukan sebuah

sistem kerja sama yang saling menguntungkan dengan memberdayakan lahan

pertanian tersebut.

2.3.1 Latar Belakang Munculnya Usaha Bagi Hasil pertanian

Scheltema (1985: xxix) menuliskan bahwa bagi hasil (deelbouw),

merupakan bentuk tertua dalam penguasaan tanah di dunia, yang bahkan telah

ditemukan pada lebih kurang 2300 SM. Perjanjian bagi hasil sudah ada sejak

zaman Babilonia, seperti terlihat dalam Kitab Hukum Hammurabi (2300 SM) yang

telah menyebut nyebut perjanjian ini. Munculnya sistem perjanjian bagi hasil yang

telah berlangsung lebih dari dua puluh abad ini, tentunya dipicu oleh berbagai

faktor. Tjoendronegoro (1985: xvii) menyebutkan bahwa perjanjian bagi hasil

ditimbulkan oleh beberapa faktor, seperti kekurangan modal dan tersedianya

buruh tani dalam jumlah yang cukup banyak, faktor hukum adat, serta adanya
21

ketergantungan akibat hutang piutang dari petani kecil dan buruh tani kepada

petani besar.

Scheltema dalam Tjondronegoro (1985: xvii) juga menambahkan bahwa

bagi hasil juga muncul karena adanya faktor psikologis manusia yaitu kemalasan,

artinya tidak mau menggarap sendiri dan lebih suka meminta bantuan orang lain.

Dalam kenyataan tentunya ada beberapa faktor lain yang dapat ditambahkan

seperti misalnya pemilik adalah orang yang terlalu tua atau seorang janda yang

tidak dapat menggarap sendiri. Sedangkan menurut Mustara (1993:9), penyebab

terjadinya bagi hasil yaitu adanya persamaan keinginan yang bermotif ekonomi

antara pihak tuan-tuan tanah atau kaum feodal dengan pihak petani penggarap.

Dikatakan bermotif ekonomi karena kaum feodal lama kelamaan menyadari bahwa

faktor produksi yang terbentang luas tidak berproduksi sepanjang masa bilamana

tidak diproduktifkan. Sebaliknya, para petani penggarap yang mempunyai potensi

raksasa itu berupa tenaga kerja yang dimilikinya, tidak akan berguna sepanjang

masa bilamana tidak dimanfaatkan untuk mengolah lahan-lahan yang terbentang

luas, mengingat mereka tidak mempunyai keterampilan lain selain bertani. Adanya

persamaan keinginan yang bermotif ekonomi inilah yang mendorong kedua belah

pihak untuk mengadakan kerja sama, dan bentuk itu mutlak harus didahului oleh

aturan hukum berupa perjanjian atau ikatan. Perjanjian atau ikatan itulah yang kini

dikenal dengan istilah bagi hasil.

Bagi hasil di masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya terjadi karena

ketidaksanggupan para pemilik tanah mengerjakan tanahnya yang disebabkan

oleh beberapa hal seperti, pemilik tanah bersangkutan memang bukan berprofesi

sebagai petani, serta letak tanah yang cukup jauh dari letak rumah pemiliknya.

Akan tetapi, pemilik tanah tersebut tetap ingin supaya tanahnya berpenghasilan

atau berproduksi sehingga tanah tersebut dapat menjadi faktor produksi yang tidak
22

berguna apabila tidak dikerjakan oleh penggarap lain. Sebaliknya, banyak

penggarap yang berprofesi petani tetapi tidak memiliki tanah melainkan hanya

memiliki tenaga, kalaupun memiliki tanah pasti tanahnya kurang luas untuk di

produktifkan tanaman jangka pendek. Dengan tenaga tersebut dapat menjadi non

produktif apabila tidak mengerjakan tanah orang lain.

Dengan demikian, pemilik tanah membutuhkan tenaga kerja penggarap,

sedangkan petani penggarap membutuhkan tanah untuk dikerjakan guna

mendapatkan lapangan pekerjaan. Dengan kata lain, kedua belah pihak masing-

masing saling membutuhkan, sehingga terjadilah pertemuan buku dan ruas yang

melahirkan perjanjian di bidang pertanian.

2.3.2 Pengertian Usaha bagi hasil pertanian

Bagi hasil merupakan suatu istilah yang sering digunakan oleh orang-orang

dalam melakukan usaha bersama untuk mencari keuntungan yang akan diperoleh

berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang mengikatkan dirinya

dalam suatu perjanjian (Maula, 1998;15). Menurut istilah, bagi hasil adalah

transaksi pengelolaan bumi dengan upah sebagian hasil yang keluar daripadanya.

Bagi hasil yang dimaksudkan disini adalah pemberian hasil untuk orang yang

mengolah atau menanami tanah dari yang dihasilkan seperti setengah atau

sepertiga, atau lebih dari itu atau lebih rendah sesuai dengan kesepakatan kedua

belah pihak. (Sabiq dalam Maula, 2011:15).

Dalam Undang-Undang No.2 tahun 1960 perjanjian bagi hasil didefinisikan

sebagai berikut “Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga

yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak yang dalam undang-undang ini

disebut penggarap, berdasarkan perjanjian dimana penggarap diperkenankan

oleh pemilik tersebut untuk menyelenggarakan usaha pertanian di atas tanah


23

pemilik, dengan pembagiannya antara kedua pihak. Selain itu, pengertian bagi

hasil menurut Jenny yang dikutip oleh Scheltema (1985:1) adalah sebagai berikut:

“Bagi hasil adalah pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana

pembagian hasil terhadap dua unsur produksi, yaitu modal dan kerja yang

dilaksanakan menurut perbandingan tertentu hasil dari bruto tanah tersebut dan

dalam bentuk natura sesuai dengan perkembangan usaha tani.

Dengan demikian, secara umum bagi hasil dapat didefinisikan sebagai

bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik lahan dengan penggarap yang

bersepakat untuk melakukan pembagian asil disebabkan adanya dua faktor

produksi yang penting, yaitu faktor produksi tanah dan tenaga kerja. Jika kedua

faktor produksi tersebut tidak ada, maka mustahil terjadi perjanjian bagi hasil.

2.3.3 Hak dan Kewajiban Pemilik dan Penggarap dalam Perjanjian Usaha

Bagi Hasil Pertanian.

Secara umum, kewajiban dari pemilik tanah dan penggarap telah diatur

dalam Pasal 8 ayat (1) sampai (4) Undang-Undang No.2 tahun 1960 yang

diadakan pula ketentuan-ketentuan yang melarang sistem ijon untuk melindungi

penggarap maupun pemilik yang lemah. Hak-hak dan kewajiban para pihak yaitu:

1. Hak dan kewajiban pemilik tanah

a. Pemilik tanah memiliki hak:

 Bagi hasil ditetapkan menurut besarnya imbangan yang telah

ditetapkan bagi tiap-tiap daerah oleh Bupati atau Kepala Daerah

yang bersangkutan.

 Menerima kembali tanahnya dari penggarap bila jangka waktu

pertanian bagi hasil telah berakhir.


24

b. Kewajiban pemilik tanah

 Menyerahkan tanah yang di bagi hasilkan untuk diusahakan oleh

penggarapnya serta membayar pajak atas tanah tersebut.

2. Hak dan kewajiban penggarap

a. Hak penggarap. Selama waktu perjanjian berlangsung, penggarap

berhak mengusahakan tanah yang bersangkutan dan menerima

bagian dari hasil tanah sesuai dengan imbangan yang telah ditetapkan.

b. Kewajiban Penggarap. Menyerahkan bagian yang menjadi hak milik

pemilik tanah kepadanya dan mengembalikan tanah pemilik apabila

jangka waktu perjanjian bagi hasil berakhir, dalam keadaan baik.

2.4 Konsep Usaha Bagi Hasil Pertanian Dalam Islam

Dalam istilah fiqih, sistem bagi hasil dalam kerja sama pengelolaan lahan

pertanian dikenal dengan berbagai istilah mudharabah, musaqah, muzara’ah dan

mukhabarah. Sistem bagi hasil pertanian merupakan salah satu bentuk

pengolahan tanah yang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi

wasallam (Rahman 1995:260). Dalam pengolahan dengan sistem ini, pemilik

tanah akan menerima bagian tertentu yang telah ditetapkan dengan hasil produksi,

bisa setengah, sepertiga, atau seperempat dari petani berdasarkan kesepakatan

dalam perjanjian dan umumnya pembayaran diberikan dalam bentuk hasil bumi.

2.4.1 Mudharabah

Pengertian secara bahasa, kata mudharabah atau qiradh berasal dari

bahasa Arab, yaitu dari kata al-dharb berarti bepergian atau berjalan. Bisa juga

diambil dari kata al-qard berarti al-qath’u (potongan). Hal ini dikarenakan pemilik

memotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian


25

keuntungannya. Selain itu, ada juga menyebut mudharabah dengan muamalah.

Kata mudharabah biasa dipergunakan oleh penduduk Irak dan kata qiradh atau

muqaradhah dipergunakan oleh penduduk Hijaz.

Ada beberapa pengertian mudharabah atau qiradh menurut istilah yang

telah dikemukakan oleh para ulama, seperti: Menurut Hanafiyah, mudharabah

adalah akad antara dua pihak yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena

harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta.

Menurut Malikiyah, mudharabah adalah akad perwakilan, di mana pemilik harta

mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan

pembayaran yang ditentukan (emas dan perak). Menurut Imam Hanabilah,

mudharabah adalah pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu

kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.

Menurut Ulama Syafi’iyah, mudharabah adalah akad yang menentukan seseorang

menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk diijarahkan. Sayyid Sabiq

berpendapat pula bahwa mudharabah adalah akad antara dua belah pihak untuk

salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan

syarat keuntungan dibagi sesuai dengan perjanjian. Imam Taqiyuddin

mengemukakan pula bahwa mudharabah adalah akad keuangan untuk dikelola

dan dikerjakan dengan perdagangan.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa

mudharabah atau qiradh adalah sebuah akad perjanjian antara dua orang atau

lebih yang sepakat untuk mengelola harta pihak lain dan keuntungan dibagi

bersama sesuai kesepakatan. Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada

pengelola, mudharabah dibagi menjadi dua yaitu mudharabah muthlaqah dan

mudharabah muqayyadah. Mudharabah muthlaqah merupakan bentuk kerja sama

antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya luas, tidak dibatasi
26

mengenai tujuan, tempat, maupun jenis usahanya. Shahibul maal (Pemilik Modal)

memberi kewenangan penuh kepada mudharib (Pengelola) dalam pengelolaan

modal. Mudharabah muqayyadah merupakan bentuk kerja sama antara shahibul

maal dengan mudharib yang menetapkan beberapa syarat tertentu yang harus

dituruti oleh mudharib seperti tujuan, tempat, maupun jenis usahanya (Shomad,

2012:143).

2.4.2 Musaqah

Musaqah diambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata al-saqa, artinya

seseorang bekerja mengelolah pohon Tamar dan Anggur, atau pohon-pohon

lainnya supaya mendatangkan kemaslahatan dan mendapatkan bagian tertentu

dari hasil yang diurus sebagai imbalan. Pengertian menurut istilah dikemukakan

oleh beberapa ulama, misalnya ulama fikih, musaqah adalah akad penyerahan

kebun (pohon-pohonan) kepada petani untuk digarap dengan ketentuan bahwa

buah buahan (hasilnya) dimiliki berdua (pemilik dan petani).Menurut Malikiyah,

musaqah adalah sesuatu yang tumbuh. Menurut Syafi’iyah, Musaqah adalah

memberikan pekerjaan orang yang memiliki Tamar dan Anggur kepada orang lain

untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara, dan menjaganya,

dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon

tersebut. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, musaqah adalah syarikat pertanian untuk

memperoleh hasil dari pepohonan. Menurut Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan

Syaikh Umairah, musaqah adalah mempekerjakan manusia untuk mengurus

pohon dengan menyiram dan memeliharanya serta hasil yang dirizkikan Allah dari

pohon itu untuk mereka berdua. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka

disimpulkan musaqah adalah sebuah akad antara pemilik pohon dan pekerja untuk

memelihara pohon dan pemberian upah diambil dari pohon yang diurusnya.
27

2.4.3 Muzara’ah

Menurut bahasa, muzara’ah memiliki dua arti, yaitu tarh al-zur’ah

(melemparkan tanaman), maksudnya modal (al-hazar). Makna ini adalah makna

majaz. Sedangkan makna yang kedua adalah makna hakiki. Menurut Hanafiyah,

istilah muzara’ah adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar

dari bumi; Menurut Hanabilah, muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya

menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit. Menurut

Malikiyah, muzara’ah adalah bersekutu dalam akad atau menjadikan harga

sewaan tanah dari uang, hewan, atau barang-barang perdagangan; Menurut

Syafi’iyah, muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang

dihasilkan dari tanah tersebut; Menurut Ibrahim al-Banjuri, muzara’ah adalah

pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal

dari pemilik tanah. Menurut Afzalur Rahman, mengemukakan bahwa muzara’ah

(sistem bagi hasil) adalah sistem kerja sama antara pemilik lahan (tanah) dengan

petani penggarap (pekerja) dengan ketentuan pemilik lahan menerima bagian

tertentu yang telah ditetapkan dari hasil produksi, bisa ½ (setengah), 1/3

(sepertiga) atau ¼ (seperempat) dari petani penggarap berdasarkan kesepakatan

dalam perjanjian dan umumnya pembayaran diberikan dalam bentuk hasil bumi.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas diketahui bahwa muzara’ah adalah akad

kerja sama dalam bidang pertanian di mana pemilik tanah memberikan tanahnya

kepada pihak pengelola dan bibitnya dari pihak pemilik tanah, serta bagi hasilnya

sesuai kesepakatan kedua belah pihak.

2.4.4 Mukhabarah

Kata mukhabarah biasa digunakan oleh orang Irak. Menurut Syafi’iyah,

mukhabarah adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang
28

keluar dari bumi, atau menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah

tersebut. Menurut ulama Hanafiyah, definisi mukhabarah dan muzara’ah hampir

tidak bisa dibedakan. Muzara’ah menggunakan kalimat aqdun ‘ala al-zar’i bi ba’d

al-kharij min al-ard (akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari

bumi), sedangkan dalam mukhabarah menggunakan kalimat aqdun ‘ala al-zar’i bi

ba’d ma yakhruju min al-ard (akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-

apa yang keluar dari bumi). Adanya perbedaan redaksi tersebut menunjukkan

adanya perbedaan, namun perbedaan tersebut belum diketahui berdasarkan

pemikiran Hanafiyah. Al-Rafi’i dan al-Nawawi berpendapat bahwa muzara’ah dan

mukhabarah memiliki makna yang berbeda. Sedangkan menurut al-Qadhi Abu

Thayib, muzara’ah dan mukhabarah merupakan satu pengertian. Ketika

mencermati pengertian antara muzara’ah dan mukhabarah terdapat pengertian

yang sama dan pengertian yang berbeda. Persamaanya terletak pemilik tanah

menyerahkan tanahnya kepada pihak lain untuk dikelola. Sedangkan

perbedaannya pada modal, jika modal berasal dari pemilik tanah disebut

muzara’ah, dan jika modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah.

Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan

sistem bagi hasil adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari

hasil yang diperoleh dari pengolahan tanah itu. Ahli lain memberikan definisi

bahwa yang dimaksud dengan sistem bagi hasil disebutnya mud}a>rabah, yaitu

satu pihak menyediakan modal dan pihak lain memanfaatkannya untuk tujuan-

tujuan usaha, berdasarkan kesepakatan bahwa keuntungan dari usaha tersebut

akan dibagi menurut bagian yang ditentukan. Bertitik tolak dari beberapa

pandangan yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud

dengan bagi hasil adalah pembagian keuntungan dari hasil usaha (kebun/tanah)

antara pekerja (petani penggarap) dengan pemodal (pemilik lahan) karena pemilik
29

lahan tidak memiliki kemampuan memproduktifkan lahannya, sehingga ia

memberikan lahannya kepada orang lain untuk diproduktifkan dengan ketentuan

bagi hasil atau mudharabah.

2.4.5 Landasan Hukum Mudharabah, Musaqah, Muzara’ah, dan

Mukhabarah

Dasar hukum mudharabah, musaqah, muzara’ah, dan mukhabarah

menurut mayoritas ulama hukumnya adalah boleh. Dasar kebolehannya itu,

disamping dapat dipahami dari umumnya firman Allah yang menyuruh bertolong-

menolong dalam kebaikan dan taqwa. (Q.S Al-Maidah: 5). Secara khusus, hadits

Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang menyatakan: “Bahwasanya

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mempekerjakan penduduk Khaibar (dalam

pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk

tanaman atau buah-buahan”. Dari hadits tersebut dapat dipahami, bahwa apa

yang dilakukan oleh Nabi dengan petani Khibar adalah kerja sama, bukan upah

mengupah dengan pekerja tani dan bukan pula sewa-menyewa (ijarah) tanah

dengan pemilik tanah; karena sewa dalam akad sewa menyewa atau upah dalam

akad upah mengupah (ijarah) harus jelas dan pasti nilainya, bukan dengan hasil

yang belum pasti.

Ulama yang mengatakan tidak boleh muamalah dalam bentuk muzara’ah,

adalah Abu Hanifah dan Zufar, menurutnya hadits yang menjelaskan muamalah

yang dilakukan Nabi dengan penduduk Khaibar, sebenarnya bukan merupakan

kerja sama dengan menggunakan akad muzara’ah, melainkan kharaj musaqamah,

yaitu kewajiban tertentu (pajak) berupa persentase tertentu dari hasil bumi. Pada

prinsipnya zakat dibebankan kepada orang yang mampu, hasil pertanian telah

mencapai batas nishab. Jika dilihat asal benih tanaman, maka dalam Muzara’ah
30

yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dadalah yang menanam,

sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.

Para ulama berbeda pendapat dalam masalah yang diperbolehkan dalam

musaqah. Menurut Imam Abu Dawud berpendapat bahwa yang boleh di musaqah-

kan hanya kurma. Menurut Imam Syafi’iyah yang boleh di musaqah-kan hanyalah

kurma dan anggur saja sedangkan menurut Hanafiyah, semua pohon yang

mempunyai akar ke dasar bumi dapat di musaqah-kan. Menurut pendapat Imam

Maliki dan Imam Hanbali diperbolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar

kuat dan berbuah, seperti pohon kurma, pohon tin, pohon zaitun, dan semisalnya.

Dalam pendapat jumhur ulama diatas dapat diketahui bahwa tidak ada

larangan melakukan akad musaqah atau transaksi dalam bidang perkebunan,

kecuali pendapat Imam Abu Hanifah dan Zufar yang berpendapat bahwa al-

musaqah dengan imbalan yang diambil dari sebagian hasil yang diperoleh

hukumnya batal, karena menurut beliau hal itu termasuk akad sewa menyewa

yang sewanya di bayar dari hasilnya dan hal tersebut dilarang oleh syari’at.

2.4.6 Rukun dan Syarat Akad Mudharabah, Musaqah, Muzara’ah dan

Mukhabarah

Menurut ulama Hanafiyah, rukun mudharabah, musaqah, muzara’a, dan

mukhabarah adalah akad, (ijab dan qabul antara pemilik dan pekerja). Secara rinci,

jumlah rukun muzara’ah menurut Hanafiyah ada empat, yaitu tanah, perbuatan

pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam (Suhendi, 2002:158). Gazaly et al.,

(2011:116) mengungkapkan syarat-syarat muzara’ah menurut jumhur ulama yaitu

sebagai berikut:
31

1. Syarat yang menyangkut orang yang berakad : keduanya harus sudah

baligh dan berakal

2. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga

benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan

3. Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut : a) Menurut adat

di kalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika

tanah itu tanah tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk

dijadikan tanah pertanian, maka akadnya menjadi tidak sah. b) Batas-batas

tanah itu jelas. c) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk

digarap. Apabila disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut mengolah pertanian

itu maka akad tidak sah.

4. Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen sebagai berikut:

a. Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.

b. Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa

boleh ada pengkhususan.

c. Pembagian hasil panen itu ditentukan: setengah, sepertiga, atau

seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul

perselisihan di kemudian hari dan penentuannya tidak boleh

berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak, seperti satu kwintal

untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan seluruh hasil

panen jauh di bawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.

5. Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad

sejak semula, karena akad muzara’ah mengandung makna akad al-ijarah

(sewa menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil


32

panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan

jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat setempat.

2.4.7 Sistem Bagi Hasil Pertanian pada Masa Rasulullah dan Khalifah

Sistem bagi hasil pertanian telah dijalankan sejak masa Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika beliau memberikan tanah di Khaibar

kepada orang Yahudi dengan sistem bagi hasil seperti yang diriwayatkan oleh Ibn

Umar:

“Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tanah Khaibar kepada


orang-orang Yahudi dengan syarat mereka mau mengerjakan dan
mengolahnya dengan mengambil sebahagian dari hasilnya.”

Perjanjian ini dilanjutkan sampai masa khalifah Umar tetapi tidak

dilanjutkan lagi oleh beliau manakala orang-orang Yahudi melanggar syarat-syarat

perjanjian tersebut. Ada beberapa hadits yang memperlihatkan bahwa para

sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam telah menyewakan tanah dan kebun

mereka dengan sistem bagi hasil, salah satunya yaitu: Diriwayatkan bahwa setiap

keluarga di Madinah pernah menyewa tanah berdasarkan bagi hasil dengan

pemilik tanah. Abu bakar, Umar, Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah Bin Mas’ud, Umar

bin Abdul Aziz, Qasim dan Urwah pernah menyewakan tanah-tanah mereka

dengan dasar sistem bagi hasil.

Suatu penelitian sejarah pada awal masa kekhalifahan menunjukkan

sebagian besar masyarakat yang menyerahkan tanah mereka untuk digarap

dengan dasar bagi hasil adalah mereka yang bertugas mempertahankan negara,

mempunyai tugas kemasyarakatan lainnya atau pekerja sosial. Mereka

menyerahkan tanah mereka untuk diolah kepada para petani karena perhatian

mereka tercurah sepenuhnya dalam melayani masyarakat sehingga mereka tidak

dapat mengolahnya sendiri. Terdapat banyak bukti yang menunjukkan hubungan


33

antara para pemilik tanah dan petani itu sangat baik dan bersahabat dan tidak ada

unsur-unsur pemerasan di dalamnya. Di samping itu, khalifah sangat tegas dalam

hal ini dan tidak membiarkan siapapun hidup dengan memperbudak orang lain,

tidak juga memberi kesempatan kepada siapapun untuk melakukan pemerasan

sewenang- wenang kepada orang lain.

Sifat dari sistem bagi hasil pada masa kekhalifahan mirip dengan sistem

kerja sama yaitu pemilik tanah dan petani adala ibarat dua orang yang

berpasangan, tidak terdapat pelanggaran hak-hak berbagai pihak, tidak juga

timbul rasa takut akan adanya penindasan atau pebuatan melampaui batas yang

dilakukan oleh pemilik tanah tersebut terhadap mitra. Karenanya keduanya adalah

pasangan untuk bekerja sama dan menjalankan suatu usaha, maka keduanya

terikat dalam perjanjian pengolahan. Inilah sebabnya mengapa bentuk-bentuk

pengolahan yang dilakukan dengan sistem seperti ini meminimalkan pelanggaran

atas hak orang lain. Hal-hal seperti ketakutan akan timbulnya perselisihan di

antara mereka, pemilik tanah memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dari mitra

kerjanya, dilarang dan dianggap tidak sah oleh khalifah. Mukhabarah, bibit yang

akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam muzara’ah,

bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.

Berdasarkan beberapa definisi yang telah disebutkan, maka dapat

disimpulkan bahwa muzara’ah dan mukhabarah merupakan bentuk kerja sama

antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang

jumlahnya menurut kesepakatan bersama. Perbedaan antara muzara’ah dan

mukhabarah hanya terletak pada asal benih atau bibit tanaman, dimana dalam

muzara’ah benih tanaman berasal dari pemilik tanah, sedangkan dalam

mukhabarah, benih tanaman berasal dari pihak penggarap (Gazaly et al.,

2008:117).
34

2.5 Amanah

Amanah merupakan permasalahan yang sentral dalam Al-Qur’an, karena

pada dasarnya perintah dan larangan Allah merupakan amanah manusia dan

seluruh makhluk ciptaan-Nya. Amanah merupakan dasar utama dari segala

aktivitas ibadah maupun muamalah dalam penghambaan diri kepada Allah.

Karena dengan amang itulah, manusia melakukan aktivitas dari semua perintah

dan larangan Allah sebagaimana yang tercantum dalam terjemahan Q.S Adz-

Dzariyat:56 “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya

mereka beribadah (mengabdi) kepada-Ku”.

Amanah bisa dikatakan sebagai bentuk keharusan untuk bersikap

profesional terhadap apa yang sudah diberikan Allah mencakup semua jenis

profesi yang menempel pada diri manusia. Amanah adalah semua tugas atau

pembebanan agama yang meliputi perkara dunia dan akhirat yang ditujukan

kepada manusia atau segala yang diperintahkan Allah kepada hambanya

(Warson,1997).

Untuk menegaskan dan meyakinkan bahwa begitu pentingnya amanah,

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: “Aku titipkan kepada Allah

agamamu, amanahmu dan akhir dari amalanmu” (H.R Tirmidzi, Abu Dawud dan

Ahmad).

2.5.1 Pengertian Amanah

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata amanah mempunyai

tiga pengertian yaitu 1) sesuatu yang dipercayakan (dititipkan kepada orang lain,

2) keamanan; ketenteraman, dan 3) dapat dipercaya (boleh dipercaya); setia

(Pusat Bahasa Kemendikbud, 2011). Sedangkan dalam Ensiklopedi Al-Qur’an,


35

kata amanah dimaksud adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja

amina-ya manu-amman-wa amanatan. Akar kata amanah terdiri dari huruf hamzah,

mim, dan nun, yang berarti aman, tentram, tenang, dan hilangnya rasa takut

(Shihab, 2007). Amanah adalah sesuatu yang dipercaya, sedangkan amanat

adalah pesan, perintah, wejangan. Kata amanah berasal dari bahasa Arab dan

berkaitan dengan sifat seseorang yang dapat dipercaya atau sesuatu yang

dipercayakan. Jika kita memahami amanat, tentu kita sudah menyadari amanah.

Amanah dapat menjadi indikator dari kekuatan iman seorang manusia,

karena orang beriman akan dapat menjaga amanah dengan sebaik-baiknya,

sedangkan orang yang imannya lemah, amanah yang ada pada dirinya ikut terkikis.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tidak sempurna iman seseorang

yang tidak amanah dan tidak sempurna agama orang yang tidak meanunaikan

janji” (H.R Ahmad).

2.5.2 Konsep Amanah dalam Al-Qur’an dan Hadits

Dalam Al-Qur’an terdapat enam kata amanah, yaitu Q.Al-Ahzab:72,

amanah sebagai tugas atau kewajiban; Q.S Al-Baqarah: 283, amanah sebagai

hutang atau janji yang harus ditunaikan; Q.S An-Nisa:58, amanah sebagai tugas

yang harus disampaikan pada yang berhak; Q.S Al-Anfal:27, tentang menjaga

amanah; Q.S Al-Mukminun: 8, anjuran memelihara amanah; dan Q.S Al-Ma’arij:

31, anjuran memelihara amanah.

Sikap bertanggung jawab dan dapat dipercaya merupakan komponen-

komponen amanah yang dapat terlihat dalam kehidupan seseorang dalam

bermasyarakat. Amanah dapat menunjukkan kualitas dan derajat keimanan

seseorang. Amanah merupakan prebuatan yang paling substansif dalam

kehidupan beragama Islam, karena amanah adalah implementasi dari Iman


36

(keyakinan), Islam (keselamatan), dan Ihsan (Kebaikan) yang tertuang dalam

kehidupan manusia pada aspek vertikal (habl min Allah) dan aspek horizontal (habl

min an-nas).

Dengan mengimplementasikan amanah yang sesuai dengan klausul

perintah dan larangan dari Allah, maka manusia akan terselamatkan

kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat, karena dia telah membawa

keselamatan bagi dirinya dan orang lain. Jika manusia yang menunaikan amanah

Allah disebut manusia yang beriman, maka yang tidak menunaikan amanah

terhadap perintah dan larangan Allah disebut khianat. Khianat adalah dosa besar

yang sangat dibenci oleh Allah, sebagaimana dalam firman-Nya dalam Q.S Al-

Anfal ayat 27: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah

dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat

yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui’.

Dalam pandangan syari’at Islam, amanah mengandung makna yang

sangat luas meliputi perasaan manusia untuk melaksanakan segala sesuatu yang

dibebankan kepadanya berdasarkan kesadaran dan tanggung jawab dirinya

kepada Allah. Amanah selalu berkaitan dengan lisan dan perbuatan, karena kunci

amanah adalah menjaga dan menyampaikan segala sesuatu yang sudah dititipkan

kepadanya terkait urusan agama maupun umum, urusan dunia ataupun akhirat.

Sebagaimana firma Allah dalam Q.S Al-Mu’minun: 8 dan Q.S Al-Ma’arij 32: “Dan

orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya”.

Pada ayat ini, Ibnu Katsir menafsirkan orang amanah adalah jika mereka

diberi kepercayaan, maka mereka tidak mengkhianatinya tetapi mereka

menunaikan kepada yang berhak (Al-Syaikh,2005, p.527[5}). Orang amanah

apabila mereka dititipkan sesuatu tidak berkhianat, ketika berjanji tidak melanggar,

jika sebaliknya adalah sifat sifat orang munafik (Ar-Rifa’i, 2000, p.812 [4]). Mereka
37

tidak berkhianat dengan amanah yang dititipkan kepadanya dan mereka tidak

mengingkari janji yang sudah diucapkannya (Al-maraghi, 1989, p 128 [129]).

Mereka akan menjaga amanah yang mereka emban serta tidak pernah

membatalkan dan melanggar janji-janji yang mereka buat. (Al-Qarni, 2007, p 426).

Lawan dari sifat amanah adalah sifat khianat dan sifat khianat itu adalah

termasuk perbuatan orang-orang munafik, sebagaimana sabda Rasulullah yang

berbunyi “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu jika berbicara, ia berdusta,

jika berjanji, ia mengingkari dan jika dipercaya, ia berkhianat. (H.R Bukhari, Muslim,

Tirmidzi dan Nasa’i)

Dalam hadits yang lain, Rasulullah memberikan penegasan tentang

amanah dan pengkhianatan. Rasulullah bersabda “Tunaikanlah amanah kepada

orang yang mempercayaimu, dan jangan kamu khianat kepada orang yang

mengkhianatimu.” (H.R. Abu Daud)

Manusia sebagai makhluk yang dibebani amanah, dalam kenyataanya

tidak selalu dapat menjaga dan menunaikan amanah. Hal itu dapat terlihat dari

banyaknya penyelewengan, seperti korupsi, kolusi, manipulasi, suap, tidak

bertanggungjawab, dan menyia nyiakan kepercayaan. Pemandangan seperti itu

seolah menjadi biasa di mata manusia, seakan-akan hal tersebut bukanlah

pelanggaran amanah, padahal kemampuan untuk menjaga amanah tetaplah

bersumber dari hidayah dan bimbingan Allah.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada

yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum

diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah

memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah

maha mendengar lagi maha melihat”. (Q.S An-Nisa: 58).


38

Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa hal tersebut mencakup seluruh

amanah yang wajib bagi manusia, berupa hak-hak Allah terhadap para hamba-

Nya, seperti shala, zakat, puasa, kafarat, nazar, dan selain dari itu, yang

kesemuanya adalah amanah yang diberikan tanpa pengawasan hamba-Nya yang

lain. Serta amanah yang berupa hak-hak sebagian hamba dengan hamba lainnya,

seperti titipan dan selanjutnya, yang kesemuanya adalah amanah yang dilakukan

tanpa pengawasan saksi. Itulah yang diperintahkan oleh Allah untuk ditunaikan.

Barang siapa tidak melakukan di dunia ini, maka akan dimintai

pertanggungjawabannya di akhirat (Al-Sheikh, 2005, p 336 [2]).

Tujuan Allah membebankan amanah kepada manusia adalah sebagai alat

ukur keimanan dan derajat manusia. Manusia yang dapat menunaikan amanahnya,

maka derajatnya lebih tinggi daripada makhluk-makhluk yang lain termasuk

malaikat. Namun, jika manusia tidak dapat menunaikan amanah yang dibebankan

oleh Allah, maka manusia tersebut mempunyai iman yang lemah dan derajatnya

lebih rendah daripada binatang.

Berdasarkan penelaahan konseptual, diperoleh karakteristik sifat dan

perilaku yang amanah berdasarkan Al-Qur’an dan hadits, serta beberapa sumber

rujukan lainnya. Amanah dapat diukur berdasarkan pendekatan kualitatif maupun

kuantitatif bahwa 1) prototipe orang amanah adalah memiliki karakter positif

seperti dapat dipercaya, bertanggung jawab dan jujur, dan orang yang mampu

melaksanakan tugas yang diberikan, dan 2) komponen dalam skala amanah yaitu

integritas, melaksanakan tugas dan kebajikan. (Agung & Husni, 2017).

Dengan demikian, amanah dapat dirumuskan sebagai kewajiban hamba

kepada Allah yang harus dikerjakan sebagai karakter terpuji untuk kebaikan dirinya

sendiri, orang lain dan alam sekitarnya.


39

2.5.3 Amanah pada Usaha Bagi Hasil Pertanian

1. Amanah bagi Pemilik Tanah

Sebagaimana yang telah di jelaskan sebelumnya terkait dengan amanah,

maka amanah seorang pemilik yang berkaitan dengan tanah adalah ketika ia

pertama kali memilik tanah tersebut. Amanah dalam mengelola, merawat, dan

menjaganya. Kemudian, karena beberapa faktor yang ada, tanah tersebut tidak

dikelolah dengan baik, sehingga tanah tersebut akhirnya di tawarkan sebagai

upaya untuk memaksimalkan potensi tanahnya. Bagi seorang pemilik tanah,

bukan hanya sebatas itu amanahnya, tetapi hasil dari tanah tersebut pun menjadi

amanah baginya. Apakah ia membelanjakan hartanya di jalan Allah Azza Wa Jalla

sebagai bentuk pertanggungjawaban harta yang dimilikinya kepada Allah, atau

malah membelanjakannya di jalan yang di murkai oleh Allah. Sebagaimana

konsep amanah dalam Al-Qur’an dan Hadits, seharusnya hasil dari usaha bagi

hasil pertanian tersebut digunakana sebagai sarana untuk meningkatkan

ketakwaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

2. Amanah bagi Penggarap

Amanah bagi seorang penggarap, pertama kali diterima ketika terjadi akad

antara pemilik tanah dan dirinya. Dia dipercayakan oleh pemilik tanah, untuk

mengelola tanah dari pemiliknya. Maka usaha yang dilaksanakan, harus benar-

benar bisa memberikan manfaat kepada dirinya dan orang lain sebagai bentuk

pertanggungjawaban kepada pemilik tanah dan yang paling utama adalah Allah

Azza wa Jalla. Begitu pula dengan hasil dari tanah tersebut, nantinya tetap akan

menjadi amanahnya untuk membelanjakan harta yang ia miliki di jalan yang benar.
40

2.6 Konsep Keadilan

Haroen (2000:279) menyatakan bahwa dalam Islam, sistem bagi hasil

pertanian baik itu mudharabah, musaqah, muzara’ah, dan musaqah dapat menjadi

haram ketika bentuk kesepakatannya tidak adil. Hal ini menunjukkan bahwa

prinsip keadilan merupakan prinsip fundamental dalam akad kerja sama pertanian.

Prinsip keadilan menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban antara pemilik

tanah dan penggarap tanah, sehingga dengan diterapkannya prinsip keadilan,

tidak akan ada pihak yang terpaksa dan dirugikan selama perjanjian bagi hasil

berlangsung. Untuk menerapkan prinsip keadilan yang sesuai dalam penerapan

bagi hasil, tentunya diperlukan pemahaman terhadap konsep keadilan itu sendiri.

Berikut ini akan dijabarkan konsep keadilan secara umum maupun dari sudut

pandang Islam.

2.6.1 Pengertian Keadilan

Keadilan merupakan suatu konsep yang penting dalam kehidupan manusia.

Masalah keadilan tidak hanya dibahas dalam wilayah kajian hukum saja, tetapi

perlu juga dikaji dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Keadilan

merupakan tujuan, sedangkan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut.

Konsep atau bahkan nilai keadilan sering dipengaruhi unsur subjektivitas manusia,

sehingga keadilan terkadang hanya bisa dirasakan oleh pihak-pihak tertentu.

Sesuatu yang dirasa adil oleh seseorang belum tentu dirasakan oleh orang lain

atau golongan tertentu (Saputra, 2012).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mendefinisikan keadilan sebagai

kata sifat menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak

berpihak, berpegang kepada kebenaran, dan proporsional. Adil secara etimologis

berarti tengah atau pertengahan. Dalam makna ini, kata adil memiliki persamaan
41

kata dengan kata wasath yang darinya terambil kata pelaku (isim fa’il) kata wasith

yang diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi “wasit” yang artinya ialah

penengah” atau “orang yang berdiri di tengah-tengah”, yang mensyaratkan sikap

keadilan.

Secara garis besar, keadilan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di

mana terdapat kesamaan perlakuan di mata hukum, kesamaan hak kompensasi,

hak hidup secara layak, hak menikmati pembangunan dan tidak adanya pihak

yang dirugikan serta adanya keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan (P3EI

UII Yogyakarta, 2008:59). Rasuanto (2005:20) menyebutkan bahwa pandangan

deontologis menempatkan keadilan sebagai nilai utama tertinggi, atau yang biasa

disebut dengan the primary of justice. Menurut Rawls dalam Rasuanto (2005:20),

the primary of justice memiliki arti bahwa keadilan bukan merupakan salah satu

prinsip utama di antara prinsip utama yang lain, melainkan sebuah prioritas dan

sekaligus harus dipandang sebagai instansi pertama yang menetapkan standar

dengan mana aspek-aspek distributif struktur masyarakat itu dinilai.

Rawls (2011:33), menyebut cara pandangnya terhadap prinsip keadilan

dengan justice as fairness yang merupakan kritikan terhadap ulitarianisme. Rawls

merumuskan dua prinsip keadilan. Prinsip pertama yaitu setiap orang harus

memiliki hak yang sama bagi semua orang, sedangkan prinsip kedua yaitu

ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga,

diharapkan memberi keuntungan bagi setiap orang dan semua posisi serta

jabatan terbuka bagi semua orang. Artinya, kebebasan dan kesamaan

seharusnya tidak dikorbankan demi manfaat sosial atau ekonomi, berapapun

besarnya manfaat yang dapat diperoleh.

Selain pendapat Rawls di atas, Hart (1979:7) juga mengemukakan

pendapatnya tentang moral dan teori keadilan, yaitu “these fact suggest the view
42

that law is the best understood as branch of morality of justice and that is

concurrence with the principle of morality or justice rather than its incorporation of

orders and threats is its essence”. Pernyataan Hart tentang hukum dan moralitas

tersebut menyatakan bahwa keadilan hanya akan memiliki nilai dari manfaat jika

terwujud dalam hukum formil dan hukum materiil serta diterapkan dalam

kehidupan masyarakat. Menurut Hamsir (2011:90), aktualisasi nilai keadilan ini

memiliki cakupan yang sangat luas. Penjabaran aktualisasi nilai keadilan dalam

prinsip-prinsipnya, serta indikator negatifnya dapat terlacak. Sebab nilai keadilan

dalam aktualisasinya antara lain berupa keadilan itu sendiri, persamaan,

pemerataan, hak serta kewajiban. Adapun indikator negatif atau yang

berseberangan, adalah hal-hal mengenai kezaliman, sentralisme, dan diskriminasi.

2.6.2 Keadilan Dalam Pandangan Islam

Rahman (1995:74) menyebutkan bahwa salah satu sumbangan terbesar

Islam kepada umat manusia adalah prinsip keadilan dan pelaksanaannya dalam

setiap aspek kehidupan manusia. Dalam Islam, semua orang didorong untuk

bekerja bersama-sama dalam menyusun suatu sistem ekonomi yang berdasarkan

prinsip persamaan dan keadilan kepada semua orang dan yang tidak hanya tertuju

kepada individu atau pihak tertentu saja dalam masyarakat.

Berbeda halnya dengan keadilan dalam sistem sosialis, Hidayat dan

Urbaningrum (2011:231), menjelaskan bahwa sistem sosialis menyebutkan “sama

rasa sama rata”, terdengar bertentangan dengan semangat keadilan dalam Islam.

Sistem ekonomi sosialis berupaya menyamakan, sedangkan dalam hal tersebut

bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Setiap individu perlu dihargai

sesuai karena memiliki kemampuan dan kualitas pada dirinya, artinya setiap orang
43

berhak menerima bagian menurut kesungguhan dan usaha kerasnya untuk

memperoleh penghargaan atas pekerjaan dan tanggung jawabnya.

Penegakan keadilan telah ditekankan dalam Al-Qur’an sebagai misi utama

para nabi yang telah diutus oleh Allah, termasuk dalam penegakan keadilan

ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan. Al Qur’an menjadikan

keadilan di antara manusia sebagai tujuan risalah samawi, sebagaimana firman

Allah “sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa

bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan

neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan”. (QS Al-Hadid

57:25) Ayat ini memberikan penekanan pada nilai keadian yang lebih besar

daripada perkara ini, yaitu bahwa Allah mengutus para Rasul-Nya dan

menurunkan kitab-Nya untuk mewujudkan keadilan. Allah menurunkan Islam

sebagai suatu sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, menekankan

pentingnya keadilan dalam setiap bidang, baik ekonomi, politik maupun sosial.

Komitmen Al-Qur’an tentang penegakan keadilan sangat jelas. Hal ini terlihat dari

penyebutan kata adil, al-adl (keadilan) di dalam Al Qur’an yang mencapai lebih

dari seribu kali. Hal ini berarti, kata adil merupakan kata yang terbanyak disebut

dalam Al-Qur’an setelah kata Allah dan ‘Ilm.

Salah satu penyebutan keadilan dalam Al Qur’an, antara lain dalam surah

al-Nahl Ayat 90, sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku

adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang

perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran

kepadamu agar kamu dapat memberi pelajaran”.

Shihab (2004:324), menjelaskan bahwa kata al-adl mengandung dua

makna yang bertolak belakang, yakni lurus dan sama serta bengkok dan bebeda.

Seorang yang adil adalah yang berjalan lurus dengan sikapnya selalu
44

menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan inilah yang

menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang

berselisih. Sedangkan menurut para ulama lain, kata al-adl didefinisikan dengan

makna menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Hal ini

mengantarkan pada kondisi “persamaan”. Artinya dalam konteks kualitas dan

proporsional, pengertian adil adalah memberikan hak melalui jalan terdekat, yaitu

memberikan hak kepada orang tanpa menunda-nunda, karena penundaan utang

seseorang padahal ia mampu adalah penganiayaan (Hamsir, 2011:87).

Selanjutnya, Hamsir (2011:88) juga menjabarkan bahwa Al-Adl juga diartikan

modersi, artinya tidak mengurangi dan juga tidak melebihkan sebagai lawannya

adalah berlebih-lebihan yang dapat membuat kezaliman, penganiayaan dan

keburukan. Dalam Islam konsep adil juga diterjemahkan yang bermakna “tidak

menzalimi dan tidak dizalimi” (la tazlimuna wa la tuzlamun). Konsep adil sebagai

implementasi tidak menzalimi dan tidak dizalimi, lazim digunakan dalam fiqih

muamalah berupa pengertian tidak ada mafsadah (kerusakan), tidak terdapat di

dalamnya gharar (ketidakjelasan), tidak ada maisir (perjudian), dan tidak ada riba

(tambahan).

Ibnu Taimiyah mengungkapkan bahwa, keadilan merupakan sistem segala

sesuatu. Jika urusan dunia ditegakkan dengan keadilan, maka dia akan tegak,

meskipun pemiliknya tidak memiliki bagian di akhirat. Akan tetapi jika tidak

ditegakkan dengan keadilan, maka dia tidak akan tegak, meskipun pelakunya

memiliki iman yang mendapat balasan di akhirat (Islahi, 1997).

2.6.3 Keadilan Ekonomi dalam Pandangan Islam

Menurut Hartropp dalam Salle dan Lutfifah (2016:234), terdapat tiga cara

yang berbeda untuk memahami keadilan ekonomi, yaitu hak (rights), kebutuhan
45

(needs), dan ganjaran (desert). Ketiga pemahaman ini memiliki kesamaan makna

sampai pada tingkat tertentu antara satu dengan yang lain, tetapi ketiganya

berbeda secara nyata antara yang satu dengan yang lain boleh dikatakan memiliki

pertentangan antara satu dengan yang lainnya. Dalam pandangan Islam, nilai

keadilan mengandung makna menempatkan atau mendistribusikan sesuatu

sesuai dengan konteksnya (Shihab, 2006). Keadilan dalam berorganisasi, apabila

semua stakeholder merasakan perlakuaan yang adil di antara mereka. Dikatakan

tidak adil apabila ada sekelompok orang yang mendapatkan perlakuan khusus

dibanding kelompok lainnya.

Keadilan ekonomi dalam Islam dengan demikian meliputi keadilan pada diri

sendiri, keadilan pada umat manusia, dan keadilan kepada lingkungan. Keadilan

ekonomi kepada diri sendiri mengandung arti bahwa setiap orang berusaha untuk

dapat memenuhi kebutuhan pokoknya. Kebutuhan pokok yang dimaksud adalah

kebutuhan dalam menjalankan aktivitas di dunia dan kebutuhan untuk

melaksanakan rukun Islam (zakat dan haji). Sementara keadilan ekonomi kepada

umat manusia melalui pemberian kesempatan kepada setiap individu untuk

memenuhi kebutuhan pokoknya. Sedangkan keadilan ekonomi kepada lingkungan

mengharuskan setiap manusia melakukan perlindungan, penjagaan, dan

pemeliharaan lingkungan sehingga menjadi pembangunan berkesinambungan

dengan generasi yang akan datang (Salle dan Lutfifah, 2016:235).

2.6.4 Keadilan dalam Sistem Bagi Hasil

Keadilan merupakan salah satu prinsip dasar dalam Islam, khususnya

dalam ekonomi Islam. Dalam menerapkan prinsip keadilan pada setiap kegiatan

ekonomi yang dilakukan, tentunya pemahaman akan nilai-nilai keadilan sangat

diperlukan. Berdasarkan muatan makna adil yang ada dalam Al-Qur’an, dapat
46

diturunkan berbagai nilai turunan yang berasal dari prinsip keadilan itu sendiri,

yaitu sebagai berikut (P3EI UII Yogyakarta, 2008:61):

1. Persamaan kompensasi artinya memberikan kompensasi yang sepadan

kepada pihak lain sesuai dengan pengorbanan yang telah dilakukan.

Pengorbanan yang telah dilakukan menimbulkan hak pada seseorang

yang telah melakukan pengorbanan untuk memperoleh balasan yang

seimbang dengan pengorbanannya.

2. Persamaan hukum dalam konteks ekonomi, persamaan hukum dapat

diartikan dengan adanya persamaan perlakuan pada setiap orang dalam

setiap aktivitas maupun transaksi ekonomi.

3. Moderat Nilai adil dianggap telah diterapkan seseorang jika orang yang

bersangkutan mampu memposisikan dirinya dalam posisi di tengah. Hal ini

memberikan suatu implikasi bahwa seseorang harus mengambil posisi di

tengah, dalam arti tidak mengambil keputusan yang terlalu memberatkan

ataupun keputusan yang terlalu meringankan.

4. Proporsional Adil tidak selalu diartikan sebagai kesamaan hak, namun hak

ini disesuaikan dengan ukuran setiap individu atau proporsional, baik dari

sisi tingkat kebutuhan, kemampuan, pengorbanan, tanggung jawab,

ataupun kontribusi yang diberikan oleh seseorang. Seluruh makna adil

yang telah dijabarkan di atas akan terwujud jika setiap orang menjunjung

tinggi nilai kebenaran, kejujuran, keberanian, kelurusan dan kejelasan.

Terkhusus pada perjanjian bagi hasil pertanian, Handayani (2013:92)

dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat lima indikator yang dapat

menjadi ukuran tercapainya keadilan dalam sistem bagi hasil. Indikator indikator

tersebut antara lain sebagai berikut:


47

1. Adanya transparansi, yaitu adanya keterbukaan antara kedua belah pihak

selama proses kerja sama tersebut berlangsung.

2. Penetapan nisbah atau proporsi bagi hasil yang proporsional atau sesuai

dengan kontribusi dari setiap pihak yang terlibat dalam bagi hasil tersebut.

3. Adanya sikap konsisten dari setiap pihak yang terlibat dalam perjanjian

bagi hasil mengenai kesepakatan yang telah disepakati bersama di awal

akad.

4. Adanya bargaining power yang seimbang di antara kedua pihak yang

terlibat dalam perjanjian bagi hasil.

5. Adanya ganti rugi jika salah satu pihak diberhentikan sebagai salah satu

prinsip dasar dalam Islam, nilai keadilan wajib diimplementasikan dalam

setiap aspek kehidupan.

Dalam aspek ekonomi, khususnya pada perjanjian bagi hasil, prinsip

keadilan selayaknya menjadi prinsip utama yang harus diperhatikan dalam

pelaksanaan perjanjian bagi hasil. Hal ini bertujuan agar kedua belah pihak sama-

sama ridho dalam melakukan kerja sama tersebut karena tidak ada pihak yang

akan menzalimi maupun terzalimi.

2.7 Konsep Transparansi

Mosher (1986:19) mendefinisikan pertanian sebagai proses produksi khas

yang didasarkan atas proses pertumbuhan tanaman maupun hewan. Kegiatan-

kegiatan produksi di dalam setiap usaha tani merupakan suatu bagian usaha,

dimana biaya dan pendapatan merupakan dua unsur yang paling penting. Dalam

perjanjian bagi hasil pada umumnya, pada saat awal akad (perjanjian) diadakan

kesepakatan terlebih dahulu mengenai pembagian tanggung jawab terhadap

biaya yang dikeluarkan maupun pembagian proporsi pendapatan (nisbah) bagi


48

hasil yang akan diterima masing-masing pihak nantinya. Perjanjian usaha bagi

hasil pertanian dapat dimaknai sebagai proses penyerahan tanggung jawab atas

tanah yang menjadi objek bagi hasil dari pemilik tanah kepada petani penggarap.

Untuk menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemilik tanah dan petani

penggarap tentunya keterbukaan (transparansi) dari satu pihak ke pihak lainnya

sangat dibutuhkan dalam perjanjian bagi hasil. Keterbukaan atau transparansi

yang dimaksud disini, tidak hanya terbatas pada biaya maupun pendapatan yang

terjadi selama proses pertanian, melainkan seluruh informasi yang wajib

diungkapkan oleh masing masing pihak seperti kondisi tanah yang akan digunakan

sebagai objek bagi hasil, keterbatasan yang dimiliki oleh petani penggarap, dan

sebagainya.

2.7.1 Pengertian Transparansi

Kata transparansi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti

sifat tembus cahaya, nyata, dan jelas. Transparansi secara kontekstual dapat

diartikan sebagai sesuatu yang mudah dimengerti secara jelas sehingga

kebenaran dibaliknya mudah kelihatan, sesuatu yang tidak mengandung

kesalahan dan keraguan atau keterbukaan dalam melaksanakan proses

pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi

materiil dan relevan.

Menurut Agoes dan Ardana (2009:104), transparansi dapat didefinisikan

sebagai berikut: “Transparansi artinya kewajiban bagi para pengelola untuk

menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses keputusan dan penyampaian

informasi. Keterbukaan dalam menyampaikan informasi juga mengandung arti

bahwa informasi yang disampaikan harus lengkap, benar, dan tepat waktu kepada

semua pemangku kepentingan. Tidak boleh ada hal yang dirahasiakan,


49

disembunyikan, ditutup-tutupi, atau ditunda-tunda pengungkapannya. Sedangkan

menurut Mardiasmo (2006:18), Transparansi berarti keterbukaan pemerintah

dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber

daya publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Selanjutnya,

Hasan (2011:93) mengungkapkan bahwa transparansi adalah penyampaian

laporan kepada semua pihak secara terbuka, terkait pengoperasian suatu

pengelolaan dengan mengikutsertakan semua unsur sebagai landasan

pengambilan keputusan dan proses pelaksanaan kegiatan.

Dari beberapa definisi yang telah disebutkan sebelumnya, maka secara

umum transparansi dapat diartikan sebagai keterbukaan atas informasi yang

benar dan jujur dari satu pihak ke pihak lainnya berdasarkan pertimbangan bahwa

pihak tersebut memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh

atas pertanggungjawaban dalam mengelola sumber daya yang dipercayakan.

2.7.2 Transparansi Dalam Islam

Dalam Islam, konsep transparansi erat kaitannya dengan kejujuran.

Menurut Tapanjeh dalam Khaerany (2013:31), transparansi dalam perspektif Islam

mencakup tiga hal, yaiut 1) adanya keterbukaan informasi dari kedua belah pihak

2) pengukapan informasi secara jujur, lengkap dan meliputi segala hal yang terkait

dengan informasi yang diberikan dan 3) pemberian informasi yang dilakukan

secara adil kepada pihak yang membutuhkan informasi. Nilai transparansi sangat

menuntut nilai-nilai kejujuran atas setiap informasi yang diberikan dari satu pihak

ke pihak lain. Sehubungan dengan kejujuran, dalam al qur’an surah Al-Syu’ara

(26) ayat 181-183 Allah berfirman yang artinya, sempurnakanlah takaran dan

janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan (181), dan timbanglah

dengan timbangan yang lurus (182) dan janganlah kamu merugikan manusia pada
50

hak-haknya dan janganlah kamu merajalelad muka bumi dengan membuat

kerusakan (183). Dalam surah Al Muthaffifin ayat 1-3, Allah berfirman yang artinya

“Kecelakaan besarlah orang-orang yang curang (yaitu) orang-orang yang apabila

menerima takaran dari orang-orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila

mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”

Kedua ayat di atas menunjukkan bahawa Islam sangat menjunjung tinggi

sikap kejujuran dan menentang perbuatan curang. Pada surah Al-Syu’ara Allah

memerintahkan kita untuk menyempurnakan takaran dan menimbang dengan

neraca yang benar. Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah memerintahkan kita

untuk berlaku jujur dalam segala hal. Selanjutnya, Allah menegaskan dalam surah

Al-Muthaffifin ayat 1-3 bahwa Allah melaknat orang-orang yang tidak bersikap jujur

dan curang serta menggolongkan mereka sebagai orang yang celaka.

Pentingnya penerapan sikap transparan dalam Islam juga dapat dilihat

melalui penerapannya dalam ilmu akuntasi syariah. Dalam akuntansi syariah,

kaidah transparansi diartikan sebagai penggambaran data-data akuntansi secara

amanah, tanpa menyembunyikan satu bagian pun darinya serta tidak

menampakkannya dalam bentuk yang tidak sesungguhnya, atau yang

menimbulkan kesan melebihi makna data data akuntansi tersebut. Kaidah

transparansi ini dipandang sebagai salah satu kaidah dasar yang harus dipegang

dalam seluruh muamalat, baik sesama kaum muslimin sendiri maupun kaum non

muslim (Zaid, 2004:236). Beliau pula mengungkapkan bahwa tujuan kaidah ini

adalah mengikatkan diri dengan syari’at Islam dalam menjauhi pengelabuan dan

kecurangan. Sebab, menyembunyikan sebagian informasi atau

menggambarkannya dengan cara yang tidak sesuai dengan kenyataannya atau

dengan cara yang dapat menimbulkan kesan yang melebihi maknanya akan

menyebabkan pengambilan keputusan yang keliru oleh pihak yang hendak


51

mengambil manfaat dari data akuntansi tersebut. Oleh karena itu kaidah

transparansi punya andil dalam mewujudkan prinsip legitimasi muamalat dan

prinsip kontinuitas (2004:237).

Dalam perspektif Islam, menegakkan transparansi adalah perbuatan yang

mulia. Transparansi memungkinkan seluruh pihak memproleh informasi yang

sempurna dan dapat menggunakan informasi tersebut dalam proses pengambilan

keputusan, sehingga tidak ada pihak yang terzalimi karena adanya sikap tidak jujur

dan tidak terbuka dari salah satu pihak. Dengan demikian, dalam bermuamalah,

sikap transparan akan menghantarkan manusia pada berbagai kebajikan dan juga

bisa mewujudkan keadilan bagi selurh umat manusia.

2.7.3 Transparansi dalam Akad Bagi Hasil

Menurut Mardiasmo (2006:18), transparansi mengandung arti keterbukaan

pemerintah dalam menyampaikan informasi kepada pihak-pihak yang

membutuhkan atas suatu aktivitas pengelolaan sumber daya publik. Definisi

tersebut dapat digunakan dalam memahami transparansi pada akad bagi hasil

pertanian. Dalam konteks bagi hasil pertanian, pemerintah dalam hal ini adalah

petani penggarap yang menyampaikan informasi pengelolaanya baik itu

keuangan dan yang lainnya kepada pemilik tanah. Sedangkan yang dimaksud

dengan informasi adalah mengenai setiap hal yang terkait kerja sama bagi hasil,

baik itu mengenai kondisi objek bagi hasil maupun penerimaan serta penerimaan

yang terjadi dalam proses bagi hasil.

Handayani (2013:60) mengungkapkan bahwa dalam sistem bagi hasil,

khususnya bagi hasil pertanian, kejujuran dimulai saat petani penggarap sebagai

pekerja aktif dan tuan tanah sebagai pemilik saling menyampaikan kekurangan

dan kelebihan masing-masing sehingga dalam proses penggarapan kedua-


52

duanya dapat saling menerima kekurangan telah dibicarakan lebih awal. Hakim

(2014:30) mengemukakan bahwa membangun transparansi dalam pengelolaan

bagi hasil akan menciptakan sistem kontrol yang baik antara dua pihak yaitu

pemilik tanah dan penggarap tanah. Hal inilah yang seharusnya dijadikan oleh

pemilik tanah untuk mengurangi rasa curiga dan ketidakpercayaan terhadap petani

penggarap dapat diminimalisasi. Transparansi ini akan sangat mempengaruhi

akad, baik sebelum proses dan setelah perikatan berakhir. Selain itu, menurut

Handayani (2013:39), salah satu indikator untuk mengidentifikasi apakah transaksi

bagi hasil itu adil atau zalim adalah dengan transparansi.

Hakim (2014:30), dalam menyampaikan informasi, petani penggarap harus

bersikap jujur, tidak ada satupun hal yang ditutup-tutupi dari pengetahuan

penerima informasi dalam hal ini, pemilik tanah. Terciptanya transparansi akan

mampu memberikan dampak yang baik bagi pengawasan oleh pemilik tanah

terhadap petani penggarap.

Dengan demikian, pada konteks pembahasan transparansi dalam akad

bagi hasil pertanian, transparansi dapat diartikan sebagai adanya keterbukaan

informasi dari pemilik tanah maupun penggarap tanah mengenai hal-hal yang

berkaitan dengan akad bagi hasil pertanian tersebut, baik itu mengenai kondisi

objek bagi hasil, proses pengelolaan sumber daya, dan sebagainya. Dari sisi

pemilik tanah, pemilik tanah wajib memberikan informasi yang sebenar-benarnya

kepada petani penggarap terkait kondisi tanah yang akad digarap oleh petani

penggarap. Sedangkan dari sisi petani penggarap, petani penggarap wajib

memberikan informasi yang sebenar-benarnya kepada pemilik tanah terkait

proses penggarapan tanah, misalnya biaya yang dikeluarkan selama proses

penggarapan. Jika sikap transparan telah dimiliki oleh kedua belah pihak, maka
53

proses bagi hasil dapat berjalan dengan sehat dan tidak merugikan salah satu

pihak.

2.8 Kerangka Penelitian

Menurut Handayani (2013:92), dalam sistem usaha bagi hasil pertanian,

keadilan dapat diukur berdasarkan lima elemen yaitu, proses transparansi di

antara pihak yang terlibat, penetapan nisbah bagi hasil yang proporsional,

konsistensi akad, keseimbangan bargaining power, serta adanya ganti rugi jika

terjadi pemberhentian di tengah akad. Dalam penelitian ini, peneliti menambahkan

mekanisme penanggungan rugi sebagai salah satu elemen penilaian keadilan.

Di antara keenam elemen tersebut, elemen utama ditekankan peneliti

dalam menilai keadilan pada sistem usaha bagi hasil pertanian pada penelitian ini

adalah indikator transparansi. Hal ini didasarkan pada adanya pemberian

kepercayaan dari satu pihak ke pihak lain dalam sistem bagi hasil, sehingga

transparansi menjadi hal yang sangat penting dalam menjaga kepercayaan di

antara pihak-pihak yang terlibat dalam sistem bagi hasil tersebut. Transparansi

yang diukur dalam hal ini yaitu transparansi biaya, pendapatan, jangka waktu

berlangsungnya akad, serta mengenai kondisi objek bagi hasil. Transparansi

dalam keempat hal tersebut, serta kelima elemen lainnya harus terpenuhi dalam

rangka mewujudkan sistem bagi hasil yang sesuai dengan prinsip keadilan dalam

syariat Islam.

Selanjutnya, Amanah dapat diukur berdasarkan pendekatan kualitatif

maupun kuantitatif bahwa (1) prototipe orang amanah adalah memiliki karakter

positif seperti dapat dipercaya, bertanggung jawab dan jujur, dan orang yang

mampu melaksanakan tugas yang diberikan, dan (2) komponen dalam skala
54

amanah yaitu integritas, melaksanakan tugas dan kebajikan. (Agung & Husni,

2017. Peneliti memilih pendekatan kualitatif karena mengggap itu cocok dengan

objek penelitian dari peneliti.


55

Rancangan penelitian ini digambarkan dalam tampilan sebagai berikut:

Mampu
Melaksanakan
Tugas

Dapat Dipercaya

Amanah
Jujur dan
Bertanggung
Jawab

Usaha
Bagi Hasil Nisbah yang Bagi Hasil
Pertanian Proporsianal Sesuai Al-Qur’an
dan Sunnah

Konsistensi
Keadilan

Keseimbangan
Bargaining Jangka
Power Waktu Akad

Ganti Rugi Objek Bagi


ketika Hasil
Pemberhentian
Akad
Pendapatan

Mekanisme
Penanggungan
Rugi Biaya

Transparansi

Gambar 2. 1 Kerangka Penelitian


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif. Menurut Moleong (2014:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang

bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan, secara holistik dan

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Penelitian deskriptif kualitatif merupakan bagian dari penelitian kualitatif. Menurut

Arikunto (2020:126), penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang berusaha

menggambarkan dan menginterpretasikan kondisi hubungan yang ada, pendapat

yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang

terjadi, atau kecenderungan yang sedang berkembang.

Alasan pemilihan metode ini didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai

yaitu untuk memperoleh gambaran secara sistematis dan tepat mengenai

penerapan prinsip amanah dan keadilan antara petani penggarap dan pemilik

tanah pada usaha bagi hasil pertanian. Selain itu, untuk merumuskan konsep

prinsip amanah dan keadilan pada usaha bagi hasil pertanian, peneliti akan

melakukan studi pustaka berasaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang didukung

oleh pengamatan lapangan agar diperoleh gambaran yang jelas dan terperinci

mengenai pelaksanaan usaha bagi hasil pertanian.

3.2 Kehadiran Peneliti

56
57

Dalam penelitian ini, peneliti akan bertindak sebagai instrumen pengamat

sekaligus pengumpul data. Kehadiran peneliti sebagai pengamat lapangan akan

diinformasikan kepada subjek sebelum diadakan penelitian.

3.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di salah satu daerah di Sulawesi Selatan, tepatnya

di Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang. Pemilihan daerah

ini sebagai lokasi penelitian dikarenakan besarnya potensi yang dimiliki kabupaten

Enrekang sebagai kabupaten penyangga dan pendukung surplus bawang merah

di Sulawesi Selatan, dimana masyarakatnya sebagian besar bermata pencaharian

sebagai petani bawang merah.

3.4 Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Menurut

Putra (2014:47) data kualitatif adalah data yang memaparkan dan memberikan

gambaran penjelasan teoritis yang didasarkan pada masalah yang diteliti serta

mengeksplorasi ke dalam bentuk laporan.

Adapun sumber data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama berupa laporan

tertulis yang diambil dari petani penggarap dan pemilik tanah yang ada di

Desa Tampo, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten Enrekang.

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan mempelajari berbagai

literatur terkait konsep bagi hasil yang sesuai dengan prinsip keadilan

dalam Islam. Sekaran (2016:97) mengungkapkan bahwa survei literatur

merupakan dokumentasi dari tinjauan menyeluruh terhadap karya


58

publikasi dan non publikasi dari sumber sekunder dalam bidang khusus

yang peneliti minati.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan oleh peneliti untuk

mengumpulkan dan mengelola data adalah sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara merupakan percakapan dengan maksud tertentu, dimana

percakapan tersebut dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer)

yang mengajukan pertanyaan, dan terwawancara (interviewee) yang memberikan

jawaban atas pertanyaan itu. Pada penelitian ini pihak yang akan menjadi

pewawancara adalah peneliti, sedangkan pihak yang menjadi terwawancara

adalah petani yang bekerja sebagai petani penggarap di lokasi penelitian yang

telah disebutkan sebelumnya, pemilik tanah dan pemodal. Dalam penelitian ini,

peneliti menggunakan metode interview dalam bentuk interview bebas terpimpin.

Menurut Arikunto (2002:132), interview bebas terpimpin adalah melakukan

interview dengan membawa pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang

hal-hal yang akan ditanyakan untuk selanjutnya pertanyaan- pertanyaan tersebut

diperdalam.

2. Penelitian Pustaka

Metode penelitian pustaka dalam penelitian ini dilakukan dengan cara

mengadakan peninjauan pada berbagai pustaka dengan membaca berbagai

referensi seperti Al Qur’an, Sunnah Rasulullah saw, fiqh, publikasi-publikasi serta

referensi lainnya yang berkaitan dengan konsep keadilan maupun usaha bagi hasil

pertanian dalam Islam.


59

3.6 Teknik Analisis Data

Peneliti menggunakan teknik analisis data yang dikenal dengan teknik

analisis model Miles dan Huberman. Miles dan Huberman dalam Sugiyono

(2010:430) menyebutkan bahwa teknik analisis data penelitian kualitatif dapat

dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:

1. Collecting data (pengumpulan data)

Pada penelitian ini, peneliti melakukan pengumpulan data-data yang

diperlukan melalui wawancara, observasi, serta penelitian pustaka.

2. Data reduction (pemilihan data)

Sugiyono (2010:431) menyatakan bahwa mereduksi data artinya

melakukan pemilihan terhadap data yang relevan serta tidak relevan dalam

penelitian. Dalam melakukan pemilihan data, peneliti merangkum, mengambil data

yang pokok dan penting, serta membuat kategorisasi. Dengan demikian data yang

telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah

peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila

diperlukan. Dalam penelitian ini peneliti melakukan data reduction (pemilihan data)

dengan cara abstraksi, yaitu dengan membuat ringkasan, dimana inti, proses, dan

persyaratan yang berasal dari responden tetap dijaga.

3. Data display (penyajian data)

Setelah mereduksi data, maka selanjutnya peneliti menyajikan data dalam

bentuk laporan secara sistematis yang mudah dibaca serta dipahami. Dengan

menyajikan data, maka data akan terorganisasi, tersusun dalam pola hubungan,

sehingga akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi. Dalam

penelitian kualitatif penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik,

pictogram, dan sejenisnya. Namun, Miles dan Huberman dalam Sugiyono


60

(2010:434) menyatakan bahwa yang paling sering digunakan untuk menyajikan

data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

3.7 Pengecekan Validitas Data

Untuk menguji keabsahan data yang diperoleh, digunakan teknik

triangulasi sumber. Triangulasi sumber adalah membandingkan dan mengecek

balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat

yang berbeda (Meleong, 2005:330)

Menurut Moleong, teknik triangulasi sumber dapat dicapai dengan jalan

berikut:

1. Membandingkan hasil pengamatan dengan data hasil wawancara

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang

dikatakannya secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang -orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan dengan perspektif seseorang dengan berbagai

pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang berpendidikan

menengah atau tinggi, orang berada dan pemerintah.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

3.8 Tahap - Tahap Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama

yakni pra penelitian dengan tujuan untuk mengumpulkan informasi-informasi

berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Tahap ini dilakukan dengan

melakukan wawancara langsung dengan pemilik tanah dan penggarap di Desa

Tampo dan mengumpulkan, membaca, menelaah berbagai buku, jurnal dan artikel,
61

serta sumber lain yang relevan dengan pembahasan agar lebih memahami teori

dan konsep sehingga mampu dalam pembahasan masalah penelitian.

Tahapan kedua merupakan penelitian inti. Metode penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan

pendekatan fenomenologi. Peneliti melakukan wawancara dengan Pemilik Tanah

dan Petani Penggarap, serta pihak yang dianggap berkompeten untuk

memberikan informasi yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti

menggunakan metode dokumentasi, observasi, dan wanwacara.

Tahapan ketiga merupakan tahapan terakhir. Peneliti akan menuliskan

kesimpulan, saran, dan keterbatasan dari hasil penelitian.


BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Gambaran Umum Desa Tampo Kecamatan Anggeraja Kabupaten

Enrekang

Desa Tampo terletak sejauh 29 km sebelah utara ibukota kabupaten

Enrekang dengan luas wilayah 7.45 KM2 yang terbagi dalam 2 dusun yaitu dusun

Tampo dan Dusun Manggugu. Adapun batas-batas wilayah Desa Tampo adalah

sebagai berikut:

1. Sebelah Utara : Desa Bolang

2. Sebelah Timur : Kelurahan Lakawan

3. Sebelah Selatan : Desan Bubun Lamba

4. Sebelah Barat : Desa Dulang

Jumlah penduduk Desa Tampo adalah sebanyak 976 orang dengan

peretasan laki laki 480 orang dan perempuan 497 orang. Mayoritas mata

pencaharian penduduk adalah petani dengan berbagai macam tanaman tetapi

yang lebih dominan adalah bawang merah. Fasilitas pendidikan di Desa Tampo

terdiri atas 1 unit SD (Sekolah Dasar) dengan jumlah murid 149 dan guru 11 orang.

Sementara fasilitas kesehatan berupa puskesmas pembantu sebanyak 1 unit.

62
63

Tabel 4. 1 Daftar Informan yang Terlibat dalam Penelitian

No Nama Alamat Status Informan


1 Imam Nur Iman Dusun Tampo Petani Penggarap
2 Sunardi Dusun Tampo Pemilik Tanah dan Pemodal
3 Muhammad Rahmat Dusun Manggugu Petani Penggarap
4 Rais Dusun Manggugu Petani Penggarap
5 Yusuf Muchtar Dusun Manggugu Pemilik Tanah dan Pemodal
6 Syahril Dusun Manggugu Petani Penggarap
7 Sri Wahyuni Dusun Manggugu Pemilik Tanah
8 Yulfiana Dusun Manggugu Petani Penggarap
9 Umar Dusun Manggugu Petani Penggarap dan Pemilik Tanah
10 Ramadhan Dusun Manggugu Petani Penggarap
11 Tadjuddin Dusun Tampo Petani Penggarap
12 Syahril Dusun Tampo Petani Penggarap
13 Nunung Muhammad Dusun Tampo Petani Penggarap
14 Muh. Ridwan Dusun Tampo Pemilik Tanah dan Pemodal
15 Ilham Dusun Tampo Pemilik Tanah dan Penggarap
16 Ammar Dusun Tampo Petani Penggarap

4.2 Gambaran Umum Proses Produksi Pertanian

Nadja (2014:2) mengemukakan bahwa pertanian merupakan suatu

kegiatan pengolahan tanaman dan lingkungannya, agar menghasilkan suatu

produk, dalam pengelolaannya terdapat proses-proses produksi yang dimulai dari

pemilihan bibit, pengolahan tanah, tanaman, penyiangan pemupukan,

pemberantasan hama, dan penyakit, hingga panen dan pasca panen. Selain itu,

Nadja (2014:41) menambahkan bahwa setiap usaha pertanian tidak lepas dari

hasil produksi pertanian.

Produksi pertanian secara teknis menggunakan input dan output. Input

adalah semua yang dimasukkan ke dalam proses produksi, seperti tanah yang

digunakan, tenaga kerja, pupul, insektisida, pestisida, fungisida serta alat

pertanian. Sedangkan output adalah hasil tanaman dan ternak yang dihasilkan

oleh usaha tani. Input dan output ini erat kaitannya dengan biaya dan pendapatan.
64

Besarnya biaya yang dikeluarkan serta besarnya pendapatan yang diperoleh dari

suatu usaha pertanian sangat penting untuk diketahui agar mudah dalam

menghitung laba bersih yang diperoleh petani dalam setiap masa panen.

Pada wawancara penelitian yang telah dilakukan dengan beberapa petani

penggarap dan pemilik tanah serta pemodal, peneliti memperoleh beberapa

informasi berkaitan dengan gambaran proses usaha pertanian yang dilakukan di

Desa Tampo serta besarnya biaya dan pendapatan yang terjadi pada saat masa

panen. Informasi yang dikumpulkan berdasarkan pada satuan hektar (ha) yaitu

dengan menggunakan luas 1 ha untuk menghitung dan menentukan setiap biaya

maupun hasil dalam satu musim pertanian bawang merah.

Menurut Sunardi, di Desa Tampo umumnya proses pertanian berlangsung

selama 2 bulan 21 hari dan dilakukan sebanyak 2-3 kali panen dalam setahun,

yang terdiri atas 7 hari proses pengelolaan lahan hingga siap untuk ditanami, 2

bulan untuk proses penanaman, pemeliharaan hingga tiba waktu panen dan 14

hari pasca panen hingga persiapan untuk penjualan. Tanah yang di garap di Desa

Tampo menggunakan air sungai dengan komoditas utama adalah bawang merah.

4.2.1 Proses Pra Tanam Bawang Merah

Dalam melakukan proses penanaman bawang merah, petani penggarap

menggunakan beberapa input atau faktor produksi yaitu dompeng (traktor), sekop,

pupuk kandang, bibit, serta tenaga kerja tanam. Sebelum memulai proses

penanaman bawang merah, petani penggarap melakukan beberapa persiapan

sebelum proses tanam di mulai. Untuk menggemburkan tanah caranya adalah

dengan menggunakan traktor atau dompeng. Salah satu informan bernama Imam

yang merupakan petani penggarap mengungkapkan.


65

“Kalau untuk sewa dompeng biasanya ongkosnya Rp600.000 per hari dan
kemarin prosesnya selama 3 hari itu sudah terhitung orangnya, traktor nya,
sama solarnya. Jadi totalnya Rp1.800.000 dan saya tinggal terima beres
saja” (30 April 2021)

Proses selanjutnya setelah tanah digemburkan menggunakan traktor,

adalah dengan mentaburi pupuk kandang. Pak Imam kembali mengungkapkan,

“Setelah selesai di dompeng, kemudian ditaburi pupuk kandang dan yang


saya gunakan kemarin sebanyak 400 karung dengan harga per karungnya
sebesar Rp. 13.000 jadi totalnya Rp5.200.000” 30 April 2021

Kemudian, proses selanjutnya adalah dengan membedeng tanah

(membuat petak-petak tanah). Pak Imam kembali menambahkan,

“Langkah selanjutnya adalah mahbedeng (proses membentuk petak petak


tanah) dan ini dikerjakan oleh 20 orang dengan ongkos
Rp110.000/orang/hari. Jadi mereka kerja dari jam 08.00-15.30 WITA, tapi
biasa lebih cepat dari itu” (30 April 2021)

Dan proses selanjutnya dari pra tanam ini adalah tanah di garisi (membuat

garis-garis di atas petak tanah agar mudah ditanami bawang).

”Kalau sudah mi di bedeng selanjutnya di Manggarisi (Caplak atau proses


membentuk garis-garis diatas petak tanah agar mudah di tanami bawang),
kemarin ongkos yang saya keluarkan sebanyak Rp480.000 dengan rincian
4 orang karyawan dikali Rp120.000/orang dan jam kerjanya seperti
biasanya yaitu 08.00-15.30 WITA” ungkap pak Imam” (30 April 2021)

Di sisi lain, sembari menyiapkan lahan, petani juga menyiapkan bibit yang

akan ditanam. Bibit untuk lahan berbeda-beda tergantung seberapa luas lahan

yang akan digunakan. Pak Imam mengungkapkan bahwa,

“Jadi di samping kita persiapkan lahan, kita juga persiapkan bibit yang akan
di tanam. Jadi bibit saya kemarin modalnya sebanyak Rp. 33.000.000
untuk satu ton bibit. Jadi karyawan untuk mangpejo bibit (proses untuk
membersihkan bibit dengan memangkas akar dan mencabut sebagian
daunnya agar siap untuk tanam). Ongkos untuk mangpejo
Rp25.000/karung dan kemarin ada 40 karung bibitku. Jadi kalau untuk
mangpejo ini, cara mengupahnya dengan melihat berapa jumlah karung
yang dipejoi bukan orangnya. Dan terakhir ada namanya mang servis bibit,
kalau ini dihitung per orang, ongkosnya Rp75.000/orang dan kemarin 2
orang ji yang kerjai” (30 April 2021)

Berdasarkan informasi tersebut di atas, maka besaran biaya yang

dikeluarkan oleh petani berbeda-beda untuk tiap lahannya. Biaya yang dikeluarkan
66

oleh petani yang menjadi informan dari peneliti selama proses persiapan tanam

bawang merah untuk satu hektar tanah adalah sebesar Rp43.830.000, dengan

rincian biaya sebagai berikut; biaya sewa dompeng sebesar Rp1.800.000, biaya

pupuk kandang sebesar Rp5.200.000, biaya mahbedeng sebesar Rp2.200.000,

biaya manggarisi sebesar Rp480.000, biaya bibit sebesar Rp33.000.000,

mangpejo bibit sebesar Rp1.0000.000 dan servis bibit sebesar Rp150.000.

4.2.2 Proses Penanaman Bawang Merah

Setelah proses pra tanam selesai, maka tiba lah waktunya untuk menanam

bibit bawang merah yang telah dipersiapkan sebelumnya. Ketika peneliti

mewawancarai pak Imam sebagai informan, beliau mengungkapkan terkait biaya-

biaya yang dikeluarkan selama proses penanaman bawang merah.

“Jadi ada dua macam tenaga kerja yang digunakan dalam proses tanam
yaitu borongan yang berasal dari warga lokal dan harian jika tenaga kerja
berasal dari desa lain. Kalau disini yang dihitung adalah jumlah saringan
yang digunakan ketika menanam, untuk biayanya sebesar
Rp25.000/saringan. Dalam 100 kg bibit bawang merah itu, jika dikonversi
menggunakan saringan yakni sebanyak 9 saringan. Per 100 kg, biayanya
Rp225.000, jika dihitung totalnya sebesar Rp2.250.000 untuk 1 ton bibit.
Kalau saya selama ini, menggunakan tenaga kerja borongan karena tidak
ribet. Berbeda kalau harian, karena kita harus mengumpulkan tenaga kerja
dari desa lain. Jadi dalam borongan juga ada yang bertindak sebagai bos
borongan, nanti tinggal saya serahkan uangnya ke dia, diami yang bagi-
bagi ke anggotanya sesuai dengan jumlah bibit dalam saringan yang dia
tanam. Untuk tambahan biayanya, yaitu konsumsi, estimasinya kemarin
kurang lebih Rp 200.000” 1 Mei 2021

Berdasarkan informasi yang diungkapkan oleh informan tersebut maka

besaran biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk menanam satu ton bibit bawang

merah adalah sebesar Rp2.450.000, dengan rincian Rp2.250.000 untuk tenaga

kerja tanam dan Rp200.000 untuk konsumsi dalam menanam.


67

4.2.3 Proses Pemeliharaan Tanaman Bawang Merah

Setelah bibit ditanam, selanjutnya dilakukan proses pemeliharaan tanaman.

Proses pemeliharaan tanaman meliputi pemupukan, pemberian pestisida pada

tanaman, dan penerangan yang berfungsi sebagai perangkap hama, serta

pembersihan dari gulma yang dapat mengganggu tanaman. Oleh karena itu, pada

proses pemeliharaan tanaman bawang merah umumnya faktor produksi yang

digunakan adalah pupuk, bahan bakar untuk mesin semprot dan pestisida, serta

listrik, lampu ultraviolet dan ember.

Salah seorang informan bernama Syahril mengungkapkan bahwa

“Kalau sudah di tanam mi bawang, petani tidak selalu ji ke kebun, biasa 2


hari sekali baru ke kebun. Apalagi bawang di pupuknya ada yang umur 7
hari pi, ada juga yang umur 10 hari pi untuk pupuk pertamanya” (30 April
2021)

Berdasarkan informasi yang disampaikan informan tersebut, intensitas

kerja petani penggarap tergantung kondisi dari tanaman bawang merah. Pak Imam

menyampaikan bahwa,

“Kalau saya di hari pertama setelah menanam, ku semprot memang mi


pake anti gulma. Kemarin saya pake racun gramoxone 4 botol dan golma
6 botol. Harga gramoxone Rp 60.000/botol kalau golma Rp 43.000/botol.
Mesin semprot yang saya gunakan itu yang pake mesin otomatis dan
bahan bakarnya bensin dan karena seringka menyemprot jadi banyak juga
bensin na pake, cost ku kemarin untuk bensin Rp 1.000.000, siram
tanamannya pake mesin, bahan bakarnya solar, dan costnya kemarin Rp.
3.000.000 selama satu musim panen, selain pupuk dan pestisida, kami
juga menggunakan lampu sebagai pengendali hama. Biaya lampu
ultraviolet+ember+pittingnya (Tempat Pasang Lampu) sebanyak 25 buah
di kali Rp 80.000 jadi totalnya Rp2.000.000, lampu kuning+pittingnya
sebanyak 15 buah dikali Rp 75.000 jadi totalnya Rp 1.125.000, listriknya
Rp500.000 untuk 2 bulan, kabel telpon per roll Rp800.000 dikali 3 roll, jadi
Rp 2.400.000” (1 Mei 2021)

Berdasarkan infromasi tersebut diatas, maka besaran biaya untuk

perawatan di hari pertama adalah sebesar Rp240.000 untuk gramaxon dan

Rp258.000 untuk goldma. Besaran biaya bahan bakar yaitu Rp1.000.000 untuk

bensin dan Rp3.000.000 untuk solar. Biaya listrik Rp500.000, lampu ultraviolet,
68

ember, dan pittingnya Rp2.000.000, lampu kuning dan pittingnya Rp1.125.000.

Untuk penyemprotan pestisida dilakukan 2 hari sekali atau tergantung hama yang

menyerang tanaman, jika hamanya banyak, maka petani biasa melakukan

penyemprotan 2 kali dalam sehari yakni pagi dan sore. Pak Ilham mengungkapkan,

“Kalau untuk penyemprotan pestisida, rata-rata petani disini melakukannya


dua hari sekali, tapi kalau lagi banyak hama, biasa dua kali dalam sehari,
yakni pagi dan sore hari” (1 Mei 2021)

Berbeda dengan penyemprotan pestisida, pemupukan tanaman merah

dilakukan petani 4-5 kali dalam satu kali musim tanam. Sebagaimana yang

diungkapkan pak Imam bahwa:

“Kalau untuk pemupukan saya lakukan kemarin sebanyak 5 kali dalam satu
kali musim tanam, ada juga petani yang biasa cuma 4 kali, saya pupuk di
usia 7,14,21,30 dan 38 hari. Setelah itu, fokus perawatan supaya tidak
termakan ulat, atau hama yang lainnya. Karena disini, musuh utama petani
adalah ulat yang bisa menghabiskan daun-daun tanaman sehingga
menghambat pertumbuhan dan bisa juga mengkerdilkan tanaman. Untuk
pestisida yang digunakan ada banyak macamnya karena kemarin biayanya
Rp11.140.000 di luar yang Gramoxone sama Golma begitupun dengan
pupuk, saya menggunakan banyak pupuk juga, biayanya Rp14.000.000”
(1 Mei 2021)

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh informan tersebut, maka

dapat disimpulkan bahwa besaran biaya untuk pupuk Rp 14.000.000 dan biaya

untuk pestisida Rp11.140.000. Maka total biaya keseluruhan untuk perawatan

tanaman bawang merah selama satu musim tanam adalah Rp35.523.000


69

Tabel 4. 2 Daftar Pestisida yang Digunakan

Harga
No Herbisida
Satuan Kuantitas Total
1 Kenrel Rp 150,000 20 botol Rp 3,000,000
2 Eiper Rp 145,000 20 botol Rp 2,900,000
3 Donkey Rp 20,000 bungkus Rp 2,000,000
Fungisida Harga Satuan Total
1 Ziplo Rp 87,000 20 kg Rp 1,740,000
2 Antracol Rp1,500,000 2 dos Rp 3,000,000
3 Ridomilk Rp 150,000 10 Bungkus Rp 1,500,000
Total Biaya Rp 11,140,000

4.2.4 Proses Pemanenan Tanaman Bawang Merah

Dalam proses panen, petani penggarap menggunakan tenaga kerja panen

sebagai faktor produksinya. Salah satu informan bernama Umar mengatakan

bahwa,

“Kalau sudah masuk musim panen, kami biasa memanggil karyawan untuk
panen bawang. Dan biasanya belum cukup sehari sudah selesai di panen”
(18 April 2021)

Dari penjelasan informan tersebut, dapat dipahami bahwa ketika memasuki musim

panen, petani penggarap biasanya menggunakan tenaga kerja atau dalam hal ini

karyawan untuk memanen bawang. Pak Imam mengungkapkan bahwa,

“Waktu mencabut bawang ka kemarin, saya panggil 80 orang karyawan


tapi ada juga yang relawan, digaji Rp60.000/orang dikali 80 jadi
Rp4.800.000, konsumsi 150 porsi dikali 15.000 jadi Rp2.250.000, snack
Rp500.000, karet 30 bungkus harganya Rp650.000, dan air minum
Rp200.000”. Kalau sudah dicabut begitu, tidak langsung na angkat ke
tenda itu karyawan yang mencabut, jadi ada lagi karyawan untuk angkat
masuk ke tenda, biasanya laki-laki semua. Kemarin 6 orang, digaji
Rp120.000/orang, jadi Rp720.000. Karena karyawannya dari desa lain,
jadi ada juga transportasinya, kemarin ada 2 mobil, karena dari 2 desa.
Satu mobil pick up disewa Rp200.000, satunya lagi mobil ¾ disewa
Rp300.000. dan yang terakhir karyawan mangandik (mengeratkan ikatan
bawang agar tidak mudah lepas dan mudah di jemur). Kalau ini digaji per
tenda, kemarin ada 12 tenda dikali Rp300.000, jadi Rp3.600.000. Tali rafia
12 roll dikali Rp 27.000, jadi Rp324.000” (1 Mei 2021)

Berdasarkan informasi tersebut diatas, maka besaran biaya untuk

pemanenan bawang merah adalah sebesar Rp13.544.000 dengan rincian

Rp4.800.000 untuk karyawan cabut bawang, transportasi karyawan Rp500.000,


70

konsumsi Rp2.250.000, snack Rp500.000, air minum Rp200.000, karet

Rp650.000, karyawan angkat bawang ke tenda Rp720.000, mangngandik

Rp3.600.000 dan tali rafia Rp324.000.

4.2.5 Proses Pasca Panen Tanaman Bawang Merah

Setelah proses panen selesai, petani menggunakan jasa pengangkut

gabah untuk mengangkut bawang dari kebun ke kolong rumah. Pengangkutan

tersebut dilakukan dengan menggunakan sepeda motor oleh masyarakat disebut

dengan ojek. Motor yang digunakan, dimodifikasi sedemikian rupa, agar

mempermudah untuk mengangkut bawang. Upah yang diberikan kepada

pengangkut bawang tergantung pada jarak yang harus dilalui. Kisarannya dari

Rp13.000- Rp20.000 untuk satu kali jalan dan biasanya mengangkut dua karung

bawang yang isi per karungnya 40 kg. Sebagaimana yang diungkapkan pak Imam,

“Untuk upah ojek saya kemarin, ada dua macam karena bentuk kebun
persegi panjang, jadi lokasi tenda yang jauh di gaji Rp20.000 satu kali jalan.
4 tenda itu yang lokasinya agak jauh di bawah, jadi ojeknya harus mutar
dulu. Nah itu, 74 kali di angkut, kalau yang 8 tenda, upah ojeknya Rp18.000
satu kali jalan, kemarin di angkut 121 kali. Untuk biaya lainnya, sebesar
Rp1.500.000 disini ada semua mi, konsumsi saat memupuk, mengeringkan
bawang, massari lessuna (packaging bawang) dan biaya kebersihan
Rp100.000 untuk diberikan kepada orang yang membersihkan bekas
tempat bawang ketika sudah dijual. Kalau saya, mau jual bawangku kalau
yang membeli ada uang cashnya, apalagi ini bagi hasil dan jumlahnya
banyak, saya khawatir kalau lambat uangnya cair. Kalau soal harga, inimi
bawang yang harganya cepat sekali naik turunnya. Jadi saya jualkan
kemarin, Rp13.000/kg dikali15.600 kg. Pedagang yang membeli, biasanya
mereka sendiri yang kemas ke dalam karung untuk di angkut ke mobil
karena ada karyawan khususnya mereka” (1 Mei 2021)

4.2.6 Biaya Produksi Usaha Pertanian

Proses pertanian merupakan serangkaian proses produksi yang mengolah

input berupa fakto-faktor produksi pertanian menjadi output berupa hasil pertanian

yang bernilai. Pada sub bab mengenai gambaran umum proses produksi pertanian,
71

telah dipaparkan input yang digunakan untuk setiap tahap proses produksi

pertanian seperti dompeng (traktor), bibit, dan tenaga kerja tanam untuk proses

penanaman, pupuk, pestisida, lampu dan listrik untuk proses pemeliharaan

tanaman, serta tenaga kerja panen tanaman bawang untuk proses panen. Setiap

tahap yang dilalui dalam proses pengubahan input menjadi output memerlukan

biaya yang kemudian dihitung sebagai biaya produksi dari usaha pertanian

tersebut.

Berdasarkan informasi yang telah dipaparkan pada proses produksi usaha

pertanian, jumlah seluruh biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani penggarap

dalam setiap masa panen dapat dirangkum dalam tabel berikut.

Tabel 4. 3 Biaya Produksi Selama Satu Musim Tanam

No Jenis Biaya Biaya Satuan Kuantitas Total Biaya


1 Sewa Dompeng / Traktor+Tenaga Rp600.000 3 Hari Rp1.800.000
Kerja
2 Pupuk Kandang Rp13.000 400 Rp5.200.000
Karung
3 Tenaga Kerja Bedeng Rp110.000 20 Orang Rp2.200.000
4 Tenaga Kerja Manggarisi/caplak Rp120.000 4 Orang Rp480.000
5 Bibit Rp33.000 1000 Kg Rp33.000.000
6 Tenaga Kerja Bersihkan Bibit Rp25.000 40 Orang Rp1.000.000
7 Servis Bibit Rp75.000 2 Orang Rp150.000
8 Tenaga Kerja Tanam Rp25.000 90 Rp2.250.000
Saringan
9 Konsumsi Menanam Bawang Rp200.000 - Rp200.000
Merah
10 Pestisida Rp11.638.000 - Rp11.638.000
11 Biaya Listrik Rp250.000 2 Bulan Rp500.000
12 Pupuk Rp14.000.000 - Rp14,000,000
13 Lampu Ultraviolet Rp80.000 25 Buah Rp2.000.000
14 Lampu kuning Rp75.000 15 Buah Rp1.125.000
15 Kabel telpon Rp800.000 3 Roll Rp2.400.000
16 Bensin Rp1.000.000 - Rp1.000.000
17 Solar Rp3.000.000 - Rp3.000.000
18 Tenaga Kerja Cabut Bawang Rp60.000 80 Orang Rp4.800.000
19 Konsumsi Mencabut Bawang Rp15.000 150 Porsi Rp2.250.000
72

20 Snack Rp500.000 - Rp500.000


21 Karet @30 bungkus Rp650.000 - Rp650.000
22 Air Minum Rp200.000 - Rp200.000
23 Tenaga Kerja Angkat Bawang Ke Rp120.000 6 Orang Rp720.000
Tenda
24 Transportasi Rp250.000 2 Mobil Rp500.000
25 Tenaga Kerja Mangandik Rp300.000 12 Tenda Rp3.600.000
26 Tali Rapia Rp27.000 12 Roll Rp324.000
27 Ojek Pengangkut Bawang 4 tenda Rp20.000 74 Kali Rp1.480.000
28 Ojek Pengangkut Bawang 8 tenda Rp18.000 121 Kali Rp2.178.000
29 Biaya Lainnya Rp1.500.000 - Rp1.500.000
Total Biaya Rp100.645.000
Sumber: Diolah Sendiri dari Hasil Wawancara

Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa total biaya produksi yang

dikeluarkan oleh petani penggarap untuk satu hektar tanah adalah sebesar

Rp100.645.010. Dengan rincian biaya tersebut, maka harga pokok untuk 1 kg

bawang merah dapat dihitung seperti berikut:

Harga Pokok Bawang Merah/kg= Total biaya/hektar: Jumlah Bawang Merah

yang dihasilkan/hektar

= Rp100.645.000 : 15.600 kg

= Rp6.451,6/kg

Dengan harga jual bawang merah sebesar Rp13.000 per kg, maka setiap

1 kg bawang merah dapat memperoleh keuntungan sebesar Rp6.548,4. Jika

diasumsikan bahwa petani menjual seluruh hasil pertanian sebelum bagi hasil,

maka total keuntungan yang dapat diperoleh adalah sebesar Rp102.155.040

4.3 Penerapan Sistem Bagi Hasil Pertanian

Perjanjian bagi hasil pertanian telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat

Desa Tampo. Salah satu informan yang merupakan pemilik tanah sekaligus

pemodal bernama Yusuf Muchtar mengungkapkan,

“Disini orang bertani bawang merah sejak tahun 90-an, tetapi pada saat itu
baru sedikit yang bertani bawang, karena dulu disini kekurangan air, jadi
73

banyak dari kami yang mengerjakan tanah di desa sebelah. Barulah tahun
2000-an, banyak warga masyarakat yang terbuka pola pikirnya untuk
menggunakan mesin pompa air, sehingga air bisa sampai ke kebun
mereka. Kalau untuk bagi hasil, disini sudah lama juga diterapkan, karena
banyak yang punya tanah, tapi dia tidak sanggup untuk mengelolanya, ada
juga yang karena sibuk dengan pekerjaan lainnya, sehingga tidak bisa
kerja lahannya, ada juga yang tidak mampu mengelola tanahnya karena
sudah berumur, akhirnya panggil orang untuk kerja tanahnya” (17 April
2021)

Berdasarkan informasi yang diungkapkan oleh Yusuf Muchtar, diketahui

bahwa munculnya perjanjian bagi hasil pertanian di Desa Tampo ini dikarenakan

adanya sebagian pemilik lahan yang memiliki lahan pertanian yang banyak dan

luas, sehingga tidak mampu menggarap seluruh lahan pertaniannya sendiri, sibuk

dengan pekerjaan lainnya dan faktor usia yang membuatnya tidak kuat untuk

menggarap tanahnya.

Untuk menjaga agar lahan yang dimilikinya tetap produktif, para pemilik

tanah tersebut umumnya menyerahkan tanah mereka kepada orang lain untuk

digarap dengan sistem bagi hasil. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu

informan bernama Yusuf Muchtar yang merupakan pemilik tanah,

“Beberapa pekerja saya berasal dari keluarga terdekat, karena bisa lebih
di percaya. Daripada menganggur, mending saya panggil untuk kerja
tanahku” (17 April 2021)

Ada berbagai macam bentuk kerja sama bagi hasil di Desa Tampo, seperti

yang di ungkapkan oleh seorang informan bernama Ridwan, beliau menyebutkan

bahwa,

“Disini ada banyak macamnya itu kerja sama, ada yang punya tanah
sekaligus dia yang modali pekerjanya, ada yang punya tanah dia yang
kerja tapi modalnya dari orang lain, ada juga yang punya tanah, tapi
dimodali dan dikerja oleh orang lain” (30 April 2021)

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Ridwan bahwa ada banyak

bentuk kerja sama bagi hasil yang ada di Desa Tampo. Ada yang hanya bertindak

sebagai pemodal, ada yang bertindak hanya sebagai pemilik tanah, ada juga yang
74

bertindak sebagai penggarap saja, dan ada yang bertindak sebagai pemodal dan

pemilik tanah.

Proses usaha bagi hasil pertanian di Desa Tampo dimulai dengan adanya

perjanjian antara pemilik tanah, pemodal dan atau petani penggarap untuk

mengelola tanah atau modal yang dimiliki oleh pemilik tanah maupun pemodal.

Salah satu informan bernama Syahril mengungkapkan,

“Di sini perjanjian bagi hasil cuma secara lisan, tidak pernah hitam diatas
putih, karena sudah menjadi kebiasaan dan adanya saling percaya antar
kedua belah pihak” (17 April 2021)

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Syahril diketahui bahwa

perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah, pemodal dan atau petani penggarap di

Desa Tampo hanya dilakukan secara lisan. Hal tersebut terjadi dikarenakan

adanya rasa saling percaya antara kedua belah pihak, dan hal tersebut sudah

menjadi kebiasaan masyarakat pada umumnya di desa tersebut.

Perjanjian bagi hasil di Desa Tampo juga tidak disertai dengan adanya

kesepakatan di awal perjanjian mengenai jangka waktu berlangsungnya perjanjian

bagi hasil. Berakhirnya perjanjian bagi hasil umumnya dilakukan ketika kedua

belah pihak sudah merasa tidak cocok untuk melanjutkan perjanjian bagi hasil

tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ilham

“Kalau disini, tidak ditentukan sampai kapan ini perjanjian, karena saling
percaya maki satu sama lain, jadi kalo misalnya saya yang sudah merasa
tidak cocok, atau pemodal ku yang sudah tidak bisa melanjutkan kerja
sama, jadi langsung mi dihentikan. Tapi jarang-jarang ji itu yang berhenti
di tengah akad, rata-rata setelah pi bagi hasil panennya meskipun adaji
juga kejadian yang tiba-tiba penggarapnya pergi karena merasa tidak
cocok dengan pemilik tanah, tapi jarang sekali ji yang begitu.” (30 April
2021)

Berdasarkan informasi yang diungkapkan oleh Ilham, juga dapat diketahui

bahwa petani penggarap senantiasa mengedepankan sikap jujur dalam

melakukan perjanjian bagi hasil karena tidak ingin mengecewakan pemilik tanah

ataupun pemodal.
75

Adapun untuk besaran proporsi bagi hasil di Desa Tampo, tidak ada yang

ditetapkan khusus, karena tergantung kesepakatan dari masing-masing pihak dan

proporsi bagi hasilnya cenderung variatif. Sebagaimana yang diungkapkan Imam,

“Proporsi bagi hasil usaha pertanian yang ditetapkan di Desa Tampo


masih mengikuti kebiasaan turun temurun dan cenderung variatif dan disini
tidak ada dibilang beda pembagian nya kalau musim hujan ataupun
kemarau, sama saja. Jadi pembagian bagi hasilnya, ada yang 25%:75%,
ada yang 30%:70%, ada yang 35%:65%, ada yang 40%:60%, ada yang
45%:55% ada juga yang 50%:50%. Kalau 50%:%50% ini banyak di dusun
Manggugu, kalau kami di dusun Tampo, karena kami menilai tanah itu
sangat berharga, jadi ada porsi untuk itu, makanya pemilik tanah
mendapatkan proporsi yang banyak, apalagi jika dia juga yang modali” (30
April 2021)

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Imam, dapat diketahui

bahwa proporsi bagi hasil di Desa Tampo cenderung variatif artinya tergantung

kesepakatan dari kedua belah pihak mau menerapkan proporsi bagi hasil yang

mana. Perlu diketahui bahwa biaya produksi selama proses pelaksanaan

perjanjian bagi hasil di Desa Tampo murni di tanggung oleh pemodal maupun

pemilik tanah. Dalam artian bahwa, tidak ada biaya produksi yang ditanggung

bersama serta yang dibagihasilkan adalah pendapatan bersih yang diperoleh

setelah dikurangi biaya produksi.

Dengan demikian, kita dapat menghitung penghasilan yang dibagihasilkan

oleh kedua belah pihak sebagai berikut berdasarkan informasi yang diungkapkan

oleh Imam sebagai berikut:

“Proporsi bagi hasil ku dengan bosku (pemilik tanah sekaligus pemodal)


yaitu saya 40% dan 60% untuk bosku” (30 April 2021)

Penjualan 15.600 kg dikali 13.000 = Rp202.800.000

Dikurangi :

Biaya Produksi = Rp100.645.000

Penghasilan Bersih = Rp102.155.000


76

Berdasarkan perhitungan tersebut diatas maka hasil pertanian bawang

merah yang dibagihasilkan adalah sebesar Rp102.155.000. Sesuai yang

disampaikan oleh informan Imam, bahwa proporsi yang digunakan adalah

40%:60%, maka penghasilan yang didapatkan oleh Petani Penggarap adalah

sebesar Rp40.862.000 dan pemilik tanah sekaligus pemodal memperoleh

penghasilan sebesar Rp61.293.000.

4.4 Penerapan Prinsip Amanah dalam Usaha Bagi Hasil Pertanian

Sesuai dengan indikator yang ada pada kerangka penelitian, maka untuk

menentukan apakah pola bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tampo

telah sesuai dengan prinsip amanah dalam Islam. Adapun indikatornya adalah

sebagai berikut:

4.4.1 Dapat Dipercaya

Untuk dapat saling percaya, tentu dimulai dengan saling mengenal terlebih

dahulu atau minimal memiliki track record sebelumnya yang bisa dijadikan acuan

untuk menilai seseorang apakah layak untuk dipercaya atau tidak. Seperti halnya

yang disampaikan oleh salah seorang informan bernama Imam bahwa,

“Sebelum melaksanakan akad dengan bosku, saya sebelumnya sudah


pernah bertani bawang dan bosku itu adalah paman dari istri saya. Beliau
pada saat itu membutuhkan orang untuk mengerjakan tanahnya yang
menganggur. Saya sudah 3 tahun kerja sama beliau, dalam proses
pelaksanaan akadnya, beliau mempercayakan dananya kepada saya
untuk dikelola, jadi beliau memberikan uang atau modal diawal, Diakhir
nanti beliau juga tinggal menerima uang hasil pembagian hasilnya” (30
April 2021)

Berdasarkan penyampaian informan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

kedua pihak sudah saling mengenal dan saling percaya satu sama lain. Pemilik

tanah yang sekaligus pemodal, mempercayakan modal dan tanahnya untuk


77

dikelola oleh petani penggarap. Elemen dapat dipercaya sudah terpenuhi dalam

usaha bagi hasil pertanian di Desa Tampo.

4.4.2 Mampu Melaksanakan Tugas

Tugas dari pemilik tanah dan pemodal adalah memastikan tersedianya

dana ketika dibutuhkan oleh pengelola dana. Dan untuk pencatatnnya, tergantung

dari kesepakatan bersama. Ada yang sepenuhnya dibebankan ke pengelola,

adapula yang masing-masing pihak mencatat pengeluaran yang diguanakan

selama musim produksi. Sunardi yang merupakan pemodal mengungkapkan

bahwa,

“Kalau kami, saya yang mencatat semua pengeluaran karena saya juga
yang pergi beli kebutuhan penggarap. Jadi, penggarap tinggal kerja saja.
Mereka sangat memperhatikan tanah yang dikelola karena merupakan
sumber mata pencaharian mereka. Dan alhamdulillah mereka
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya” (30 April 2021)

Berdasarkan penyampaian informan tersebut diatas, kita dapat memahami

bahwa kedua pihak masing-masing menjalankan tugasnya dengan baik sehingga

dapat disimpulkan bahwa elemen mampu melaksanakan tugas sudah terpenuhi

dalam usaha bagi hasil pertanian di Desa Tampo.

4.4.3 Jujur dan Bertanggung Jawab

Dalam mengelola dana dari pemodal, tentunya penggarap harus benar-

benar mencatat biaya-biaya yang dikeluarkan, begitu pula dengan pemodal, harus

mencatat berapa dana yang diberikan kepada pengelola sehingga bisa

dikonsolidasikan diakhir nanti. Ketika bawang merah akan dijual, kedua pihak

harus hadir menyaksikan hal tersebut, agar tidak ada saling curiga antar keduanya
78

terkait dengan harga bawang dan penghasilan yang diperoleh. Terkait hal tersebut,

informan bernama Imam menceritakan bahwa,

“Alhamdulillah, kalau untuk setiap pembelian saya, ada notanya dan itu
saya berikan kepada bosku nanti kalau sudah terjual mi bawang, jadi nanti
dicocokkan dengan catatan yang ada di dia dengan catatan yang saya buat,
supaya jelas semuanya. Beliau juga hadir pada saat bawang akan dijual”
(30 April 2021)

Berdasarkan informasi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kedua

pihak saling jujur dan bertanggung jawab terhadap amanahnya masing-masing.

Jadi, elemen Jujur dan Bertanggung Jawab sudah terpenuhi dalam usaha bagi

hasil pertanian di Desa Tampo.

4.5 Penerapan Prinsip Keadilan dalam Usaha Bagi Hasil Pertanian

4.5.1 Transparansi

Penilaian transparansi yang diterapkan di Desa Tampo dapat ditinjau dari

empat hal, yaitu transparansi mengenai objek bagi hasil, transparansi jangka

waktu perjanjian bagi hasil, transparansi biaya-biaya yang dikeluarkan dan

transparansi mengenai pendapatan yang diperoleh. Berikut hasil analisis peneliti

mengenai penerapan keadilan dalam hal transparansi pada usaha bagi hasil

pertanian di Desa Tampo.

1. Transparansi Objek Bagi Hasil

Ulama Hanafiyah mengungkapkan bahwa salah satu rukun akad usaha

bagi hasil pertanian yaitu adanya objek bagi hasil berupa tanah yang akan digarap.

Menurut Burhanuddin (2009:122). Agar dapat digarap maka tanah pertanian

tersebut harus memenuhi syarat bahwa tanah tersebut merupakan lahan yang

produktif. Jika tanah pertanian itu adalah lahan yang tandus dan kering sehingga

tidak mungkin dapat ditanami, maka akad bagi hasil tersebut dinyatakan tidak sah.
79

Dalam hal ini, pemilik tanah sebagai pihak yang dianggap paling

mengetahui kondisi tanah yang akan dijadikan sebagai objek bagi hasil

seharusnya memberi informasi yang sejujur-jujurnya terkait kondisi tanah yang

dimilikinya, termasuk jika terdapat kekurangan pada tanah tersebut. Hal ini

diperlukan agar nantinya tidak ada pihak yang dirugikan jika ternyata kondisi objek

bagi hasil tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Mengenai transparansi objek bagi hasil usaha, salah satu informan

bernama Imam menyatakan bahwa sebelum memulai akad, dirinya memperoleh

informasi yang jelas mengenai tanah yang akad digarap karena beliau diajak oleh

pemilik tanah yang sekaligus menjadi pemodal untuk mengecek terlebih dahulu

tanah yang akan digarap. Beliau mengungkapkan bahwa,

“Waktu kemarin saya diajak untuk mengecek atau melihat-lihat dulu kondisi
tanah yang akan saya garap, apalagi sebelum saya, sudah ada yang garap
tanah itu, jadi sudah ditahu bahwa bisa menghasilkan tanah tersebut” (30
April 2021)

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa di Desa Tampo, sudah

menerapkan sikap jujur terkait objek bagi hasil antara pemilik tanah, pemodal, dan

petani penggarap. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa prinsip keadilan usaha

bagi hasil pertanian dalam hal transparansi objek bagi hasil sudah terpenuhi.

2. Transparansi Jangka Waktu Berlangsungnya Akad

Gazaly et al., (2011:116) mengungkapkan bahwa salah satu syarat

muzara’ah menurut jumhur ulama adalah syarat mengenai jangka waktu

berlangsungnya akad. Menurut Gazaly, jangka waktu berlangsungnya akad dalam

perjanjian usaha bagi hasil pertanian harus dijelaskan dalam akad sejak awal,

karena akad muzara’ah (akad bagi hasil pertanian) juga mengandung makna akad

al-ijarah (sewa menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil
80

panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas dan harus disepakati bersama

oleh kedua belah pihak di awal perjanjian.

Dengan adanya kejelasan di awal akad mengenai jangka waktu

berlangsungnya perjanjian bagi hasil, maka hal tersebut dapat mencegah

terjadinya gharar (ketidakjelasan) dalam pelaksanaan akad bagi hasil pertanian.

Selain itu, dengan adanya penetapan jangka waktu perjanjian di awal akad, hal ini

juga dapat mencegah salah satu pihak memberhentikan perjanjian di tengah-

tengah berlangsungnya proses perjanjian usaha bagi hasil pertanian sehingga

mencegah terjadinya tindakan zalim di antara pihak-pihak yang terlibat dalam

perjanjian bagi hasil tersebut. Oleh karena itu, keadilan dalam hal transparansi

jangka waktu berlangsungnya akad dapat dicapai ketika masing-masing pihak

mengetahui dan menyepakati di awal perjanjian mengenai jangka waktu

berlangsungnya perjanjian tersebut.

Mengenai transparansi terkait jangka waktu berlangsungnya akad, salah

satu informan bernama Sunardi mengungkapkan bahwa,

“Kalau untuk lamanya perjanjian tidak pernah ditentukan, karena kalau pemilik
tanah atau pemodal dan penggarap sudah ingin menghentikan, maka kerja
sama tersebut tidak akan dilanjutkan, tapi jarang-jarang ji yang langsung
berhenti kerja samanya di tengah akad perjanjian. Biasanya itu, setelah pi
menanam, baru lanjut dibicarakan mengenai kelanjutan kerja samanya kalau
misalnya memang tidak bisami salah satu pihak” (30 April 2021)

Dari informasi yang diungkapkan oleh Sunardi, diperoleh informasi bahwa dalam

perjanjian usaha bagi hasil pertanian di Desa Tampo, belum ada kesepakatan

secara khusus di awal akad mengenai jangka waktu berlangsungnya kerja sama

bagi hasil tersebut. Hal ini menyebabkan salah satu pihak dapat menghentikan

perjanjian berdasarkan kehendaknya sendiri, bukan berdasarkan kesepakatan

dari kedua belah pihak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keadilan
81

dalam hal transparansi mengenai jangka waktu berlangsungnya akad belum

terpenuhi pada sistem bagi hasil pertanian yang diterapkan di Desa Tampo.

3. Transparansi Biaya

Berusaha tani sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh produksi di

lapangan pertanian, pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan

penerimaan yang diperoleh. Dalam mengelola usaha taninya, selain untuk

kebutuhan subsisten petani, juga bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang

lebih tinggi. Tinggi rendahnya penghasilan bersih yang peroleh petani dari

usahataninya ditentukan dari jumlah produksi yang diperoleh dari harga hasil

produksi yang berlaku serta besarnya biaya produksi yang dikeluarkan dalam satu

waktu tertentu. (Irmayanti, 2010:54)

Oleh karena itu, salah satu hal utama yang perlu disampaikan oleh petani

penggarap kepada pemilik tanah atau pemodal dalam perjanjian bagi hasil yaitu

mengenai biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani penggarap selama melakukan

proses produksi pertanian.

Seperti yang dilakukan oleh informan yang bernama Imam, beliau

mengungkapkan bahwa,

“Kalau saya sama bosku, kalau ada keperluanku, tinggal mintaka uang lalu
beliau transfer mi, jadi saya catat mi juga semua pengeluaran-pengeluaran
yang ada. Kemudian bos Cuma mencatat nominal yang di transfer saja,
sehingga nanti di akhir, kalau mau dicocokkan, tinggal saya kasikan nota
nota dan catatan ke bos. Adapun catatan yang saya gunakan sangat
sederhana, tidak pake-pake format begitu tapi pake format yang biasa saja”
(30 April 2021)

Berbeda halnya yang di sampaikan oleh Sunardi yang selaku pemilik tanah

sekaligus pemodal, beliau mengungkapkan bahwa,

“Kalau saya biasanya, untuk biaya-biayanya saya sendiri yang mencatat,


jadi saya juga yang pergi belikan pestisida, pupuk, dan kebutuhan lainnya,
makanya agak tinggi bagianku, mereka pun mempercayakannya (catatan itu) ke
saya, jad petaniku tinggal kerja saja” (30 April 2021)
82

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh kedua informan tersebut,

dapat disimpulkan bahwa di Desa Tampo, tidak sepenuhnya pencatatan di lakukan

oleh salah satu pihak, ketika satu pihak yang mencatat, itu berarti sudah ada

kepercayaan dari pihak lain bahwa pihak ini bisa dipercaya dalam membuat

catatan keuangan. Ada juga yang masing-masing mencatat untuk biaya-biayanya

sehingga tidak timbul saling curiga dan mudah untuk dikonsolidasikan pasca

panen nantinya. Sikap jujur petani penggarap dalam melaporkan biaya-biaya yang

dikeluarkan selama proses produksi pertanian merupakan bentuk transparansi

biaya yang dilakukan oleh petani penggarap kepada pemilik tanah ataupun

pemodal.

Kejujuran merupakan usaha dalam memenuhi kewajiban untuk berbuat

adil kepada sesama umat manusia, yaitu dengan memberikan hak orang lain

dengan jujur dan benar serta tidak menyakiti dan merugikan orang lain. Petani

penggarap telah memenuhi hak pemilik ataupun pemodal untuk memperoleh

informasi yang sebenar-benarnya terkait biaya produksi yang dikeluarkan selama

proses produksi, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam hal

transparansi biaya telah terwujud dalam sistem usaha bagi hasil pertanian di Desa

Tampo.

4. Transparansi Pendapatan

Selain biaya, hal lain yang juga penting untuk ditransparansikan pada

perjanjian usaha bagi hasil pertanian adalah pendapatan. Hal ini dikarenakan

pendapatan merupakan dasar yang digunakan dalam melakukan bagi hasil,

terutama jika bagi hasil yang berlaku menggunakan pole revenue sharing. Jumlah

pendapatan yang dibagihasilkan harus benar-benar sesuai dengan jumlah

pendapatan yang diperoleh dari usaha tani tersebut. Keadilan dalam transparansi

pendapatan dapat dicapai ketika masing-masing pihak memiliki informasi yang


83

sempurna terkait besarnya jumlah pendapatan yang diperoleh dari usaha bagi

hasil.

Proses bagi hasil pendapatan bersih dari usaha pertanian yang digarap

oleh petani penggarap dilakukan ketika hasil produksi sudah terjual. Sebagaimana

yang diungkapkan oleh informan bernama Imam,

“Disini bagi hasilnya dilakukan pada saat bawang merah sudah terjual, dan
kalau mau dijual datang ji itu bosku, jadi kalau saya biasanya cari pedagang
yang langsung bayar kontan supaya menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan, karena ini uang jumlahnya banyak. Kalau kredit biasanya 1 atau
2 pekan pi baru cair uangnya, kalau begitu saya khawatir karena ini uang
bukan uangku semua. Kalau sudah ada uangnya, saya sama bosku
menghitung mi semua biaya-biaya yang keluarkan, baru pendapatan
bersih yang dibagi hasilkan” (30 April 2021)

Berdasarkan informasi yang diungkapkan oleh Imam, terlihat bahwa petani

penggarap begitu hati-hati ketika menjual hasil pertaniannya, dan disaksikan

langsung oleh pemilik tanah sekaligus pemodalnya. Hal ini menunjukkan adanya

keterbukaan antara kedua belah pihak mengenai pendapatan yang diperoleh dari

usaha bagi hasil pertanian tersebut. Dengan adanya sikap terbuka dari petani

mengenai hasil panen dari usaha pertanian serta informasi yang dapat diperoleh

pemilik tanah mengenai harga jual bawang merah, maka dapat disimpulkan

keadilan dalam hal transparansi pendapatan telah terjadi pada sistem usaha bagi

hasil pertanian di Desa Tampo.

4.5.2 Nisbah Bagi Hasil yang Proporsional

Nisbah bagi hasil yang proporsional menjadi salah satu elemen utama

dalam menilai penerapan keadilan pada usaha bagi hasil pertanian. Dalam al-

qur’an surah al-Hadid ayat 25, terminologi keadilan disebutkan dalam berbagai

istilah seperti ‘adl, qisth, mizan, hiss, dan qasd yang menunjukkan beberapa

muatan makan adil, salah satunya adalah persamaan kompensasi. Persamaan


84

kompensasi artinya seseorang harus memberikan kompensasi sepadan kepada

pihak lain sesuai dengan pengorbanan yang telah dilakukan. Pengorbanan yang

telah dilakukan inilah yang menimbulkan hak bagi seseorang untuk memperoleh

balasan yang seimbang dengan pengorbanannya (P3EI UII Yogyakarta, 2008:59).

Selain itu, Khadduri (1999:180) juga menyebutkan bahwa keadilan pada

hakikatnya merupakan suatu gagasan tentang kesetaraan, maka akibatnya

seseorang yang adil itu adalah menyetujui “proporsi” dan “kesepadanan” dan siapa

saja yang menyetujui ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan dinamakan sebagai

seseorang yang zalim. Mengacu pada tersebut, maka dalam perjanjian usaha bagi

hasil pertanian tentunya kompensasi yang diterima oleh masing-masing pihak

harus sesuai dan setara dengan besarnya pengorbanan yang telah dilakukan.

Dalam sistem bagi hasil, terdapat dua pola yang dapat digunakan untuk

menentukan pendapatan bagi hasil yaitu, profit sharing dan revenue sharing.

Menurut Nurhayati dan Wasilah (2016:134), revenue sharing merupakan pola bagi

hasil yang menggunakan laba bruto atau laba kotor sebagai dasar pembagian

hasil usaha. Sedangkan profit sharing merupakan perhitungan bagi hasil yang

didasarkan pada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan

biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Berdasarkan analisis peneliti dari hasil wawancara, pola bagi hasil yang

diterapkan di Desa Tampo adalah profit sharing. Hal ini dikarenakan, pendapatan

yang dibagihasilkan adalah pendapatan yang setelah dikurangi seluruh biaya-

biaya yang dikeluarkan.

Petani berkontribusi waktu, tenaga, dan pikiran sedangkan pemilik tanah

maupun pemodal berkontribusi dari segi penyediaan dana. Dan peneliti

menganggap hal tersebut telah sesuai dengan porsinya masing-masing.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada poin 4.3, kita dapat menyimpulkan
85

bahwa elemen nisbah bagi hasil yang proporsional sudah terpenuhi pada usaha

bagi hasil pertanian di Desa Tampo, hal ini didasari karena kedua belah pihak

sudah saling ridho dengan proporsi yang telah disepakati bersama.

4.5.3 Konsistensi

Keadilan dalam konsistensi pada akad usaha bagi hasil pertanian diartikan

sebagai adanya ketetapan pada segala hal yang telah disepakati di awal perjanjian,

mulai dari dimulainya akad sampai berakhirnya akad tersebut. Jika terdapat salah

satu pihak yang tidak konsisten terhadap perjanjian yang telah disepakati, maka

hal itu tentunya merugikan pihak lain yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil

tersebut.

Selain itu konsistensi juga erat kaitannya dengan salah satu nilai yang

mencerminkan makna dari keadilan yaitu nilai kelurusan (P3EI UII Yogyakarta,

2008:62). Nilai kelurusan diartikan sebagai taat asas atau konsisten menuju tujuan.

Taat asas disini merupakan suatu kondisi yang harus dipenuhi agar perilaku adil

bisa terwujud. Jika seseorang tidak bisa berperilaku taat asa, maka akan sangat

terbuka kemungkinan untuk melakukan kezaliman.

Oleh karena itu, untuk menghindari adanya sikap tidak konsisten dari salah

satu pihak pada akad bagi hasil, Nurhayati dan Wasilah (2016:129) menyarankan

agar akad atau perjanjian bagi hasil sebaiknya dituangkan secara tertulis dan

dihadiri para saksi. Dalam perjanjian harus mencakup berbagai aspek antara lain

tujuan bagi hasil, nisbah pembagian keuntungan, periode pembagian, biaya-biaya

yang boleh dikurangkan dari pendapatan, ketentuan pengambilan modal, hal-hal

yang dianggap sebagai kelalaian pengelola dan dan sebagainya.

Salah satu informan bernama Yusuf Muchtar yang merupakan pemilik

tanah sekaligus pemodal menyatakan,


86

“Disini jarang ada masalah antara pemilik dan penggarap, karena


kebanyakan yang kerja tanahku itu dari keluarga dekat ji juga. Meskipun
ada ji juga yang tiba-tiba berhenti garap tanah bosnya, karena beberapa
faktor, merasa mi itu penggarap kurang cocok dengan bosnya, tapi kalau
untuk saya tidak ada yang seperti itu. Dan Alhamdulillah, tidak ada
perubahan kesepakatan dari awal perjanjian sampai selesai ini kerja sama”
(18 April 2021)

Selain itu, informan bernama Syahril yang merupakan petani penggarap juga

menambahkan,

“Kalau kita ini sebagai petani penggarap tidak berani berbuat yang kurang
baik, karena kita betul-betul menjaga kepercayaan dengan pemilik tanah ataupun
pemodal, karena kalau ditemukan curang, maka bisa saja musim produksi
selanjutnya, dialihkan ke orang lain mi itu tanah” (18 April 2021)

Pernyataan Yusuf dan Syahril mengindikasikan bahwa sangat jarang ditemukan

perselisihan antara kedua belah pihak, karena kebanyakan kedua belah pihak

konsisten dalam menjalankan hal-hal yang telah disepakati di awal perjanjian bagi

hasil.

Meskipun perjanjian bagi hasil hanya dilakukan secara lisan dan tidak ada

perjanjian tertulis secara resmi yang dihadiri oleh saksi, namun setiap pihak tetap

menjalankan perjanjian bagi hasil sebagaimana yang telah disepakati. Hal ini

dikarenakan petani penggarap tidak ingin pemilik tanah merasa tidak senang dan

akhirnya mengalihkan tanahnya kepada orang lain.

Selain itu, pemilik tanah yang terkadang sekaligus menjadi pemodal juga

dan petani penggarap umumnya masih memiliki hubungan kekerabatan sehingga

setiap pihak tentunya akan menjaga hubungan kekeluargaan di antara mereka dan

tidak melakukan hal-hal yang dapat mengakibatkan perselisihan di antara pemilik

tanah dan penggarap. Adanya rasa ingin menjaga kepercayaan dan membina

hubungan yang baik antara kedua belah pihak secara tidak langsung telah

membuat masing-masing pihak menghindari hal-hal yang dapat menyebabkan

perselisihan di antara mereka, salah satunya dalam hal menjaga konsistensi


87

perjanjian yang telah disepakati dari awal hingga berakhirnya akad. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam hal konsistensi masing-

masing pihak terhadap perjanjian yang disepakati telah terjadi pada sistem bagi

hasil pertanian di Desa Tampo.

4.5.4 Bargaining Power yang Seimbang

Bargaining power dapat diartikan sebagai kekuatan posisi tawar yang

dimiliki oleh petani penggarap, pemodal, dan pemilik tanah. Keadilan dari sisi

bargaining power berarti adanya kekuatan posisi tawar yang setara antara pihak-

pihak tersebut. Karena ketidaksetaraan bargaining power akan memicu adanya

tindakan semena-mena dari pihak yang memiliki bargaining power lebih kuat

terhadap pihak yang memiliki bargaining power yang lemah. Tindakan semena-

mena tersebut tentunya akan berakibat pada ketidakadilan dalam perjanjian bagi

hasil yang dilakukan.

Berdasarkan data informan yang dimiliki peneliti, rata rata petani

penggarap merupakan orang yang pernah mengenyam pendidikan baik di bangku

SD, SMP, dan SMA sederajat. Rendahnya taraf pendidikan yang dimiliki petani

penggarap tersebut menjadikan pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik

seperti petani penggarap, karyawan tanam dan karyawan cabut sebagai profesi

yang sangat diminati oleh masyarakat. Kondisi ini mengindikasikan lemahnya

bargaining power yang dimiliki oleh petani penggarap di Desa Tampo. Akan tetapi,

ada juga yang background pendidikannya rendah, tetapi sudah bisa mandiri

sebagai pemodal dan menginvestasikan tanahnya kepada orang lain untuk

dikerjakan. Semua itu terjadi tidak begitu saja, tetapi melalui proses yang begitu

panjang. Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan bernama Yusuf Muchtar,


88

“Saya kerja sebagai petani bawang sejak tahun 90an, sampai akhirnya bisa
mandiri seperti sekarang. Kalau mau dibilang kerugian, sudah mencapai
angka miliar pernah saya alami, tetapi tidak langsung berhenti dari situ,
terus mencoba dan mencoba sampai akhirnya bisa membuka lapangan
pekerjaan untuk masyarakat yang lain yang tidak memiliki tanah untuk
dikerjakan atau tidak memiliki modal, alhamdulillah sudah banyak yang
mandiri bertani melalui kerja sama seperti ini dari usaha bagi hasil” (17 April
2021)

Salah satu informan yang merupakan petani penggarap bernama

Tadjuddin mengatakan,

“Di sini itu rata-rata orang kerja sebagai petani, dan banyak sekali juga
orang yang mau bertani tapi lahan yang kurang, maka dari itu dampang ji
kalau pemilik tanah mau cari orang untuk kerja tanahnya karena banyak
petani yang kadang nganggur, dari situlah banyak kerja sama bagi hasil
seperti ini karena saling membantu dan membutuhkan satu sama lain” (30
April 2021)

Dari pernyataan tersebut diperoleh informasi bahwa penawaran tenaga kerja

petani di Desa Tampo lebih besar dibanding permintaan tenaga kerja petani

penggarap yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan karena banyaknya masyarakat

yang ingin kerja sebagai petani penggarap, tetapi lahan yang tersedia untuk di

garap tidak sebanyak jumlah penawaran tenaga kerja petani penggarap.

Berlebihnya jumlah penawaran tenaga kerja sebagai petani penggarap di Desa

Tampo salah satunya disebabkan taraf pendidikan masyarakat yang masih rendah.

Bahkan ada juga yang sudah sarjana tetapi lebih memilih menjadi petani karena

sudah lelah mencari kerja atau daftar CPNS tetapi belum lolos. Belum lagi,

penghasilan ketika bertani bawang merah lumayan menjanjikan jika harga bawang

tidak anjlok.

Kesepakatan dalam sistem perjanjian bagi hasil di Desa Tampo umumnya

masih berpedoman pada kebiasaan serta adat istiadat yang berlaku di daerah

tersebut. Sebagaimana dalam kesepakatan mengenai nisbah bagi hasil yang

ditetapkan, besaran nisbah ditentukan berdasarkan kebiasaan di daerah tersebut,

sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu informan bernama Imam,


89

“Kalau di dusun kami, dusun Tampo, biasa pemilik tanah mendapatkan


lebih banyak ketika dia juga yang modali, karena di daerah sini, kami
menilai tanah dengan sangat berharga jadi contohnya kayak saya 60%
berbanding 40%, jadi 20% itu terhitung untuk tanahnya. Berbeda kalau di
dusun Manggugu mereka sudah banyak yang menerapkan porsi
50%:50%”. Jadi masing-masing pihak sudah sepakat untuk proporsi
tersebut. (30 April 2021)

Berdasarkan informasi tersebut, bahwa ada perbedaan di tiap dusun dalam

menetapkan nisbah bagi hasil. Akan tetapi, itu tidak menjadi masalah karena

kedua pihak sudah sepakat untuk nisbah bagi hasil tersebut. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa belum sepenuhnya memenuhi kriteria keadilan dari segi

kesetaraan bargaining power pada sistem bagi hasil pertanian di Desa Tampo.

4.5.5 Ganti Rugi dalam Pemberhentian Akad

Lamanya kerja sama dalam mudharabah tidak tertentu dan tidak terbatas

tetapi semua pihak berhak untuk menentukan jangka waktu kerja sama dengan

memberitahukan pihak lainnya. Menurut Sabiq (2011:168) ada beberapa hal yang

dapat menyebabkan berakhirnya akad bagi hasil, yaitu 1) dalam hal akad bagi

hasil tersebut dibatasi waktunya, maka akad tersebut berakhir pada waktu yang

ditentukan, 2) salah satu pihak mengundurkan diri, 3) salah satu pihak meninggal

dunia atau hilang akal, 4) pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai

pengelolal usaha untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dituangkan dalam

akad, serta 5) modal sudah tidak ada.

Fakhrurrazi dan Handayani (2013:71) menyebutkan, jika salah satu pihak

ingin menghentikan perjanjian di tengah berlangsungnya akad bagi hasil maka

alasannya harus jelas dan jika terdapat kerugian maka harus ada ganti rugi yang

dibayarkan oleh pihak yang menghentikan akad tersebut. Ganti rugi tersebut

dimaksudkan untuk mengganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan.


90

Salah satu informan bernama Rahmat yang merupakan petani penggarap

menyatakan,

“Belum pernah terjadi pemilik tanah tiba-tiba kasih berhenti petani


penggarap di saat perjanjian sedang berlangsung. Yang ada, biasa tiba-
tiba petani penggarap yang langsung kabur karena beberapa faktor, ada
juga yang biasa dihentikan di tengah akad karena dianggap tanamannya
sudah tidak bisa sampai panen karena hama yang menyerang, jadi ketika
dilanjutkan, maka kerugian bisa semakin besar. Kalau kondisi seperti itu,
ada dibilang uang kompensasi, itupun sebenarnya diberikan secara
sukarela oleh pemilik tanah ataupun pemodal. Tetapi yang paling banyak
terjadi adalah, ketika sudah selesai panen dan salah satu pihak merasa
kurang cocok, maka dihentikanlah kerja sama tersebut. (18 April 2021)

Pernyataan informan tersebut mengindikasikan bahwa pemberhentian di

tengah-tengah berlangsungnya akad sangat jarang terjadi, apalagi dari pihak

pemilik tanah, karena biasanya yang memberhentikan akad secara sepihak adalah

petani penggarap yang langsung berhenti mengerjakan tanah dari pemilik tanah.

Adapun pemberhentian di tengah akad yang disepakati oleh kedua belah pihak

terjadi apabila tanaman yang ada diprediksi atau diperkirakan tidak akan bisa

mengembalikan modal jika terus dirawat. Maka dari itu, kedua belah pihak sepakat

untuk tidak melanjutkan akad, dan uang kompensasi diberikan oleh pemilik tanah

ataupun pemodal secara sukarela kepada petani penggarap yang tidak pernah

disepakati di awal perjanjian akad bagi hasil tersebut.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam hal ada

tidaknya ganti rugi ketika terjadi pemberhentian di tengah akad oleh salah satu

pihak pada sistem bagi hasil pertanian di Desa Tampo belum dapat ditentukan

karena belum pernah terjadi sebelumnya.


91

4.5.6 Mekanisme Penanggungan Rugi jika Terjadi Kerugian atau Gagal

Panen

Dalam melakukan perjanjian bagi hasil usaha pertanian terdapat beberapa

kemungkinan yang bisa saja terjadi terkait pendapatan bagi hasil. Kemungkinan

pertama yaitu usaha tersebut berhasil dan memperoleh laba. Dalam kondisi

tersebut, maka laba bersih dibagi sesuai dengan nisbah bagi hasil yang disepakati

di awal akad. Kemungkinan kedua, yaitu usaha tersebut mengalami kondisi break

even point (tidak untung dan tidak rugi). Dalam kondisi ini maka pemodal

mendapatkan kembali modalnya sedangkan petani penggarap sebagai pihak yang

mengelola dana tidak mendapatkan apa-apa. Kemungkinan ketiga, yaitu terjadi

kerugian.

Ada dua kemungkinan kondisi kerugian, yaitu rugi namun masih terdapat

modal yang tersisa atau rugi total dimana tidak ada lagi modal maupun keuntungan

tersisa. Ketika masih ada modal atau kemungkinan yang tersisa maka kerugian

hanya ditanggung oleh pemilik tanah ataupun pemodal dan hanya mendapatkan

sisa modal yang ada. Sementara petani penggarap tidak mendapatkan apa-apa.

Namun, jika terjadi kerugian maka total kerugian ditanggung oleh pemilik tanah,

sedangkan petani penggarap tidak memperoleh apa-apa. (darussalaf.or.id)

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ibnu Qudamah al Maqdisi

dalam kitab Al- Mughni bahwa “kerugian pada akad bagi hasil ditanggung harta

(modal), sang amil tidak menanggung kerugian sedikitpun”. Maksudnya adalah,

bila pada perjanjian bagi hasil terjadi kerugian maka prinsipnya yang menanggung

kerugian adalah pemilik modal ataupun pemilik tanah bukan pengelola dana. Hal

ini dikarenakan sang amil dalam hal ini petani penggarap telah menderita kerugian

dari tenaga dan waktu yang dikeluarkannya. Bahkan ketika dalam perjanjian telah

disepakati bahwa kerugian yang diderita dibagi dua atau sepertiga ditanggung
92

pihak pengelola, maka kesepakatan tersebut dianggap bertentangan dengan

hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau bersabda ”mengapa sejumlah

orang mengajukan syarat-syarat yang tidak ada dalam kitabullah? Barangsiapa

mengajukan syarat yang tidak ada dalam kitabullah, maka tidak diterima,

meskipun ia mengajukan seratus syarat.” (H.R Bukhari dan Muslim).

Dalam PSAK 105 yang mengatur tentang akad bagi hasil, juga telah

disebutkan bahwa dalam akad bagi hasil apabila terjadi kerugian maka kerugian

akan ditanggung oleh pemilik dana atau dalam hal ini pemilik tanah ataupun

pemodal sepanjang kerugian itu diakibatkan bukan dari kelalaian pengelola dana

atau dalam hal ini petani penggarap. PSAK 105 par 19 memberikan beberapa

contoh bentuk kelalaian pengelola dana, yaitu persyaratan yang ditentukan dalam

akad tidak dipenuhi, tidak terdapat kondisi di luar kemampuan (force majeure)

yang lazim dan atau yang telah ditentukan dalam akad, atau merupakan hasil

keputudan dari institusi yang berwenang. Dengan demikian, ketika terjadi gagal

panen yang disebabkan oleh kondisi alam yang tidak mendukung, seharusnya

yang menanggung kerugian adalah pemilik tanah.

Mengenai mekanisme pembagian risiko ketika terjadi kerugian, salah satu

informan bernama Imam yang merupakan petani penggarap mengungkapkan,

“Kalau terjadi gagal panen, biasa disebabkan oleh hama yang menyerang
atau faktor alam lainnya, itu kerugiannya ditanggung pemilik tanah sama
pemodal. Karena kami tidak mengeluarkan dana untuk kerja sama ini,
hanya tenaga, pikiran, dan waktu. Kalau misalnya kurang hasilnya atau
tidak kembali modal, biasa ada uang kompensasi diberikan oleh pemilik
tanah yang sekaligus jadi pemodal kepada kami petani penggarap” (30
April 2021)

Informasi yang diungkapkan oleh Imam menunjukkan adanya kesesuaian

antara sistem bagi hasil yang terjadi di Desa Tampo dengan ketentuan bagi hasil

dalam Islam jika terjadi kerugian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
93

sudah terjadi keadilan dalam hal pembagian risiko ketika terjadi kerugian dalam

sistem bagi hasil pertanian di Desa Tampo.

4.6 Analisis Prinsip Amanah dan Keadilan Pada Usaha Bagi Hasil

Pertanian

Dalam penelitian ini, peneliti menilai sistem bagi hasil yang diterapkan di

Desa Tampo dalam hal kesesuaiannya dengan Prinsip Amanah dan Keadilan

dalam perspektif Islam. Peneliti menggunakan sembilan elemen, tiga elemen

prinsip amanah dan enam elemen prinsip keadilan untuk menentukan apakah

sistem bagi hasil yang diterapkan telah memenuhi prinsip amanah dan keadilan

dalam Islam. Elemen prinsip amanah antara lain dapat dipercaya, mampu

melaksanakan tugas serta jujur dan bertanggung jawab. Elemen prinsip keadilan

antara lain penilaian transparansi yang terdiri dari transparansi objek bagi hasil,

transparansi jangka waktu berlangsungnya akad, transparansi biaya, dan

transparansi pendapatan, proporsionalitas nisbah dan pendapatan bagi hasil,

konsistensi, bargaining power yang seimbang, adanya ganti rugi jika akad

diberhentikan, serta mekanisme penanggungan kerugian jika terjadi rugi atau

gagal panen.

 Elemen - Elemen Prinsip Amanah antara lain yaitu;

Pertama, yaitu dapat dipercaya, kepercayaan akan muncul ketika kedua

pihak telah saling mengenal satu sama lain, atau sebelumnya memiliki track record

yang bagus. Dari hasil analisis peneliti, dapat dipercaya sudah diterapkan oleh

kedua pihak dalam usaha bagi hasil pertanian di Desa Tampo.

Kedua, yaitu Mampu Melaksanakan Tugas. Berdasarkan hasil analisis

peneliti, kedua pihak mampu melaksanakan tugas yang telah disepakati dalam

usaha bagi hasil pertanian di Desa Tampo.


94

Ketiga, yaitu Jujur dan Bertanggung Jawab. Berdasarkan hasil analisis

peneliti, kedua pihak telah menerapkan sikap jujur dan bertanggung jawab

terhadap amanah yang diberikan kepada mereka.

 Elemen - Elemen Prinsip Keadilan antara lain yaitu;

Pertama, yaitu transparansi yang mencakup transparansi objek bagi hasil,

transparansi jangka waktu berlangsungnya akad, transparansi biaya, dan

transparansi pendapatan. Dari hasil analisis peneliti, transparansi objek bagi hasil

yang diterapkan pada sistem bagi hasil pertanian di Desa Tampo telah memenuhi

kriteria keadilan, karena kedua pihak telah memeriksa dan menyepakati hal-hal

yang nantinya akan menjadi objek bagi hasil. Dalam hal transparansi jangka waktu

berlangsungnya akad, peneliti menyimpulkan bahwa belum sesuai dengan prinsip

keadilan dikarenakan tidak disepakati di awal mengenai jangka waktu

berlangsungnya akad tersebut. Dalam hal transparansi biaya dan pendapatan,

sistem bagi hasil pertanian di Desa Tampo telah memenuhi kriteria keadilan

karena kedua belah pihak telah menjunjung tinggi nilai kejujuran sehingga biaya

produksi yang dikeluarkan telah transparan. Sama halnya dengan transparansi

dalam hal pendapatan, kedua belah pihak memastikan bahwa pada saat proses

panen dan pasca panen, mereka menyaksikan prosesnya, sehingga transparansi

dalam hal pendapatan pada sistem bagi hasil pertanian di Desa Tampo telah

memenuhi kriteria keadilan.

Kedua, yaitu nisbah bagi hasil yang proporsional. Keadilan dalam hal ini

sudah terpenuhi karena kedua belah pihak telah sepakat dengan proporsi yang

telah ditetapkan sebelumnya diawal perjanjian bagi hasil.

Ketiga, yaitu konsistensi. Keadilan dalam hal konsistensi dapat tercapai

ketika masing-masing pihak konsisten dengan segala perjanjian yang telah di


95

sepakati di awal akad. Berdasarkan hasil penelitian, pada sistem bagi hasil yang

diterapkan di Desa Tampo, masing-masing pihak telah memiliki sikap konsisten

terhadap perjanjian yang telah disepakati di awal. Hal ini didorong oleh adanya

rasa kekeluargaan yang kuat, saling membutuhkan, dan keinginan untuk menjaga

hubungan yang baik antara pemilik tanah dan petani penggarap. Dengan demikian,

dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam hal konsistensi terhadap perjanjian yang

telah disepakati di awal telah memenuhi kriteria keadilan.

Keempat, yaitu bargaining power yang seimbang. Keadilan dalam sisi

bargaining power dapat tercapai ketika masing-masing pihak memiliki bargaining

power (kekuatan tawar) yang setara sehingga tidak ada pihak yang bertindak

semena-mena. Berdasarkan hasil penelitian, dalam sistem bagi hasil di Desa

Tampo belum sepenuhnya terjadi keadilan dari segi bargaining power.

Kelima, yaitu adanya ganti rugi ketika perjanjian diberhentikan di tengah

berlangsungnya akad. Berdasarkan hasil penelitian, pemberhentian akad dari

pihak pemodal ataupun pemilik tanah serta penggarap di tengah berlangsungnya

akad belum pernah terjadi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keadilan

dari sisi ganti rugi ketika terjadi pemberhentian di tengah berlangsungnya akad

belum dapat ditentukan.

Keenam, yaitu penanggungan risiko ketika terjadi kerugian. Keadilan dalam

hal pembagian risiko ketika terjadi kerugian dapat dicapai ketika mekanisme

pembagian risiko kerugian telah sesuai dengan syariat Islam. Dalam praktiknya,

mekanisme penanggungan risiko kerugian dibebankan kepada pemilik tanah

ataupun pemodal, petani penggarap rugi dari segi waktu, tenaga dan pikiran. Oleh

karena itu, keadilan dalam hal penanggungan risiko ketika terjadi kerugian sudah

memenuhi kriteria keadilan.


96

Tabel 4. 4 Hasil Analisis Prinsip Amanah dan Keadilan pada Usaha Bagi Hasil
Pertanian

Elemen Penilaian Penilaian


Keterangan
Elemen Amanah
Kedua pihak saling mengenal
Dapat Dipercaya Amanah dan mengetahui track record
sebelumnya
Kedua pihak telah
Mampu Melaksanakan Tugas Amanah melaksanakan tugas yang
telah disepakati
Kedua pihak telah
menerapkan sikap jujur dan
Jujur dan Beranggung Jawab Amanah bertanggung jawab terhadap
amanah yang diberikan
kepada mereka

Elemen Keadilan
sudah terjadi keterbukaan
Transparansi Objek Bagi Hasil Adil dari pemilik tanah mengenai
kondisi objek bagi hasil
Belum terdapat kesepakatan
Belum di awal akad mengenai
Transparansi Jangka Waktu Akad
Transparan jangka waktu berlangsungnya
akad
Kedua pihak telah
menjunjung tinggi nilai
Transparansi Biaya Adil kejujuran sehingga biaya
produksi yang dikeluarkan
telah transparan
Kedua pihak telah
memastikan bahwa pada saat
Transparansi Pendapatan Adil panen dan pasca panen
mereka menyaksikan
prosesnya.
Kedua pihak telah
berkontribusi sesuai dengan
Nisbah Bagi Hasil yang Proporsional Adil porsinya dan saling ridho
terhadap proporsi yang telah
disepakati diawal perjanjian
97

Kedua pihak memilik Sikap


konsisten terhadap perjanjian
yang telah disepakati di awal.
Hal ini didorong oleh adanya
Konsistensi Adil
rasa kekeluargaan yang kuat,
saling membutuhkan, dan
keinginan untuk menjaga
hubungan yang baik.
Bargaining Power dari
Pemilik tanah maupun
Bargaining Power yang Seimbang Belum Adil
pemodal lebih tinggi dari
petani penggarap

Belum Belum pernah terjadi


Ganti Rugi dalam Pemberhentian
dapat pemberhentian akad secara
Akad
ditentukan sepihak

Pemilik tanah maupun


pemodal menanggung semua
Mekanisme Penanggungan Rugi jika kerugian dari segi dana
Adil
Terjadi Kerugian atau Gagal Panen sedangkan petani penggarap
rugi dari segi waktu, tenaga
dan pikiran.
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Hasil penelitian terhadap sistem bagi hasil usaha pertanian di Desa Tampo

menunjukkan beberapa hal yang dapat ditarik kesimpulan antara lain:

Pertama, proses usaha bagi hasil pertanian di Desa tampo dimulai dengan

adanya perjanjian antar pemilik tanah maupun pemodal dengan petani penggarap

untuk menggarap tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah. Perjanjian tersebut hanya

dilakukan secara lisan dan didasarkan pada rasa saling percaya. Selain itu, tidak

terdapat kesepakatan di awal akad mengenai jangka waktu berlangsungnya akad

perjanjian.

Pertanian yang ada di Desa Tampo mengandalkan air sungai sebagai

sumber utama selain hujan. Namun, itu bukan menjadi sesuatu yang masuk

perhitungan dalam bagi hasil, karena yang terhitung adalah bahan bakar yang

digunakan untuk menghidupkan mesin agar bisa memompa air ke lokasi pertanian.

Kedua, praktik bagi hasil yang dilakukan di Desa Tampo, kecamatan

Anggeraja, Kabupaten Enrekang terdiri dari beberapa akad. Ada akad Muzara’ah,

Mukhabarah dan Mudharabah. Akad yang paling banyak digunakan adalah akad

Mudharabah. Persentase nisbah bagi hasil yang digunakan cukup variatif. Ada

yang menggunakan 70:30 persen, 60:40 persen, 55:45 persen, dan 50:50 persen,

semua porsi bagi hasil tersebut sudah disepakati bersama diawal akad perjanjian

bagi hasil.

Ketiga, prinsip amanah yang diterapkan pada bagi hasil pertanian di Desa

Tampo dinilai berdasarkan tiga elemen yaitu Jujur dan bertanggung jawab, dapat

98
99

dipercaya, dan mampu melaksanakan tugas. Berdasarkan penilaian atas elemen

amanah, maka peneliti menarik kesimpulan bahwa prinsip amanah sudah

diterapkan oleh kedua belah pihak

Keempat, prinsip keadilan dalam sistem bagi hasil pertanian yang

diterapkan di Desa Tampo dinilai berdasarkan enam elemen yaitu transparansi,

nisbah yang proporsional, konsistensi, bargaining power yang seimbang, ada

tidaknya ganti rugi ketika pemberhentian akad, serta mekanisme penanggungan

risiko jika terjadi kerugian. Untuk elemen transparansi terbagi menjadi empat yaitu

transparansi objek bagi hasil, jangka waktu berlangsungnya akad, biaya dan

pendapatan. Berdasarkan penilaian atas elemen keadilan, maka peneliti menarik

kesimpulan bahwa belum sepenuhnya adil karena ada dua elemen yang tidak

tercapai dan satu yang tidak dapat ditentukan

Dari hasil analisis peneliti, elemen yang belum tercapai tersebut

diantaranya adalah transparansi jangka waktu berlangsungnya akad, bargaining

power yang belum seimbang, dan elemen yang tidak dapat ditentukan adalah ganti

rugi ketika terjadi pemberhentian akad, karena belum pernah terjadi sebelumnya.

Oleh karena itu, masih dibutuhkan beberapa langkah perbaikan dan penyesuaian

dengan nilai-nilai keadilan dalam Islam agar sistem usaha bagi hasil pertanian

yang diterapkan di Desa Tampo sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.

5.2 Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan

sebelumnya, maka terdapat beberapa hal yang masih harus menjadi perhatian

dalam mewujudkan usaha bagi hasil pertanian yang sesuai dengan prinsip

amanah dan keadilan:


100

Pertama, perjanjian usaha bagi hasil di Desa Tampo tidak menetapkan

jangka waktu berlangsungnya perjanjian di awal akad sehingga berpotensi

menimbulkan gharar (ketidakjelasan) dan pemberhentian secara sepihak. Oleh

karena itu, untuk menghindari hal tersebut terjadi, maka jangka waktu

berlangsungnya akad perjanjian harus diperjelas dan disepakati sebelum

perjanjian bagi hasil tersebut dimulai.

Kedua, untuk mengantisipasi kasus terjadi pemberhentian akad secara

tiba-tiba oleh salah satu pihak, maka kedua pihak tersebut perlu memperperjelas

mengenai pemberian ganti rugi jika terjadi pemberhentian akad secara tiba-tiba

tanpa kesepakatan bersama.

Ketiga, hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem usaha bagi hasil yang

diterapkan di Desa Tampo belum sepenuhnya adil. Oleh karena itu, perlu edukasi

kepada warga terutama yang merupakan pemilik tanah, pemodal maupun petani

penggarap mengenai bagaimana seharusnya sistem bagi hasil pertanian yang

dijalankan perspektif Islam. Sehingga kondisi-kondisi yang dapat merugikan petani

atau pihak yang lain akibat bentuk perjanjian yang belum adil dapat diminimalisir.

Keempat, hasil penelitian menunjukkan bahwa bargaining power petani

penggarap di Desa Tampo masih tergolong lemah dikarenakan rendahnya taraf

pendidikan petani penggarap, serta jumlah penawaran tenaga kerja sebagai

petani penggarap yang lebih besar dibanding permintaanya. Oleh karena itu, perlu

edukasi berupa kegiatan penyuluhan secara rutin untuk meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan petani penggarap guna meningkatkan bargaining

power mereka.
101

5.3 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini masih memilik keterbatasan yang dapat dijadikan bahan

pertimbangan bagi penelitian selanjutnya agar mendapatkan hasil yang lebih baik.

Dalam penelitian ini, keterbatasan peneliti terletak pada:

Pertama, waktu penelitian. Penelitian dilakukan setelah proses panen

selesai, sehingga peneliti tidak dapat melakukan observasi secara langsung

terhadap seluruh proses produksi pertanian dan hanya menggunakan informasi

yang diperoleh dari pemilik tanah, pemodal , dan petani penggarap. Oleh karena

itu, penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan observasi secara

mendalam di setiap proses produksi pertanian, mulai dari penyiapan lahan dan

bibit hingga proses pemanenan bawang merah, agar diperoleh hasil yang lebih

akurat dan terpercaya.

Kedua, sampel penelitian. Informan yang digunakan sebagai sampel

penelitian masih berasal dari satu kelompok tani di dusun yang sama, meskipun

sudah ada beberapa perwakilan individu dari tempat yang lainnya, alangkah lebih

baik lagi, jika yang menjadi sampel adalah kelompok tani di setiap tempat yang

berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, Sukrisno dan Ardana, I Cenik. 2009. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta:
Salemba Empat.

Al-Fauzan, Saleh. 2005, Fiqih Sehari-Hari. Jakarta: Gema Insani.

Al-Qur’anul Karim dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI.

Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Ekonomi Pertanian Indonesia. Jakarta: PT Kompas


Media Nusantara.

Arikunto, S. 2012. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


Penerbit Rineka Cipta.

Badan Pusat Statistik (https://www.bps.go.id, diakses 3 Februari 2021)

Burhanuddin. 2009. Hukum Kontrak Syariah. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Darwis, Rizal. 2016. Sistem Bagi Hasil Pertanian Pada Masyarakat Petani
Penggarap di Kabupaten Gorontalo Perspektif Hukum Ekonomi Islam.
Jurnal Al-Mizan (Online). Vol 12, No 1, hal 1-25.
(https://journal.iaingorontalo.ac.id, diakses 7 Februari 2021).

Dewan Pengurus Nasional Fordebi&ADeSy. 2016. Akuntansi Syariah Seri Konsep


dan Aplikasi Ekonomi dan Bisnis Islam. Depok: Rajawali Press.

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin. 2012. Pedoman Penulisan


Skripsi. Makassar.

Furqan, Muhammad. 2016. Pengaruh Prinsip Al Muzara’ah dan Al-Mukhabarah


Terhadap Perjanjian Bagi Hasil Pertanian (Studi di Kecamatan Semadam
Kabupaten Aceh Tenggara). Premise Law Jurnal (Online).
(https://jurnal.usu.ac.id, diakses 7 Februari 2021).

Ghazaly, Ihsan, Shidiq. 2008. Fiqh Muamalat. Jakarta: Prenada Media Group.

Hafidhuddin, Didin dan Tanjung, Hendri. 2003. Manajemen Syariah dalam Praktik.
Jakarta : Gema Insani.

Hakim, Muhammad Munirul. 2014. Pengaruh Transparansi dan Akuntabilitas


Pengelolaan Zakat terhadap Minat Muzakki di Rumah Zakat Cabang
Semarang. Tesis. Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam IAIN Walisongo.

Hamsir. 2011. Teori dan Prospek Sistem Mudharabah pada Perbankan Syariah.
Makassar: Alauddin Press.

102
103

Handayani, Andi Sri Wahyuni. 2013. Penyesuaian Konsep Bagi Hasil Adat dengan
Syariah; Upaya Penerapan Nilai Keadilan Bagi Petani Penggarap di
Sidenreng Rappang. Skripsi. Makassar: Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin.

Haroen, Nasrun H. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Hasan, Muhammad. 2011. Manajemen Zakat. Yogyakarta: Idea Press.

Hermawan, I., dkk. 2020. Konsep Amanah dalam Perspektif Pendidikan Islam.
Qalamuna-Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama, (Online), Vol 12, No. 2,
Hal 141-152, (https://ejournal.insuriponorogo.ac.id, diakses 17 Maret 2021).

Herniwati dan Kadir, Syafruddin. 2009. Potensi Iklim, Sumber Daya Lahan dan
Pola Tanam di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Serealia.
Maros.

Indrawati, Ira Roch. 2016. Analisis Pendapatan Petani Penggarap dan Faktor
Faktor yang Mempengaruhi Hasil Muzara’ah (Studi Desa Cimaranten
Kabupaten Kuningan). Skripsi. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor.

Irmayanti. 2010. Sistem Bagi Hasil antara Pemilik Lahan dengan Petani
Penggarap Usahatani Lahan Sawah di Desa Bontotallasa, Kecamatan
Simbang, Kabupaten Maros. Seminar Hasil Praktek Lapang. Makassar:
Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.

Irsyid, Muhammad Abdul Karim Ahmad. 2007. Al Syamil Fi Muamalat Wa


Amaliyyat Al-Masharif Al Islamiyyah. Yordania: Dar an-Nafais.

Islahi, Abdul Azim. 1988. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Terjemahan oleh
Anshari Tayib. 1997. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Khadduri, Majid. Tanpa Tahun. Teologi Keadilan, Perspektif Islam. Terjemahan


oleh Mochtar Zoerni dan Joko S. Kahhar. 1999. Surabaya: Risalah Gusti.

Mardiasmo. 2006. Akuntansi Bidang Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi

Moleong, Lexy J. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


Rosdakary.

Mosher, A.T. 1968. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Jakarta: Jayaguna.

Mustara. A.R. 1993. Perjanjian Bagi Hasil atau “Teseng” di Sulawesi Selatan.
Makassar: Lembaga Percetakan & Penerbitan Universitas Muslim
Indonesaia Ujung Pandang.
104

Nadja, Rahmawati A. 2014. Pengantar Ilmu Pertanian. Makassar: Badan Penerbit


Universitas Negeri Makassar.

Nugraha, Jefri Putri. 2016. Sistem Muzara’ah Sebagai Alternatif Pembiayaan


Pertanian di Indonesia. Jurnal Iqtishodia (Online). Vol. 1, No. 2
(moraref.or.id, diakses 15 Februari 2021).

Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2016. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta:


Penerbit Salemba Empat.

P3EI UII Yogyakarta. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Pratiwi. 2013. Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Pada Tanaman
Palawija Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960
Tentang Perjanjian Bagi Hasil (Studi Di Kecamatan Robatal Kabupaten
Sampang). Skripsi. Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Qardhawi, Yusuf. 1982. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: PT. Bina Ilmu.

Rahman, Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: PT Dana Bhakti


Wakaf.

Rasuanto, Bur. 2005. Keadilan Sosial : Pandangan Deontologis Rawls Dan


Habermas Dua Teori Filsafat Politik Modern. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

Rawls, John. 1995. Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Terjemahan oleh Uzair Fauzan dan
Heru Prasetyo. 2011. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Retno, Muh. 2019. Sistem Muzara’ah Petani Bawang Merah Dalam Meningkatkan
Pendapatan Masyarakat Desa Singki, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten
Enrekang. Skripsi. Makasssar: Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Makassar.

Sabiq, Sayyid. 2011. Fiqih Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara.

Saputra, Agus Romdlon. 2012. Konsep Keadilan Menurut Al-Qur’an dan Para
Filosof. Jurnal Dialogia (Online). Vol. 10, No. 2,
(http://jurnal.stainponorogo.ac.id, diakses 21 Februari 2021).

Scheltma, A.M.P.A. 1931. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Terjemahan oleh


Marwan.1985. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sekaran, Uma. 2011. Research Methods for Business: A Skill Building Approach
5th Ed. United Kingdom: Wiley & Sons.
105

Shihab. M. Quraish. 2004. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Quran Vol.5. Jakarta: Lentera Hati.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis. Bandung: Alfabeta.

Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sumardjono, Maria S. 2006. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan


Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
LAMPIRAN

106
107

Lampiran 1: Biodata

BIODATA

Identitas Diri

Nama : Muh. Rizal

Tempat, Tanggal Lahir : Lapin, 28 Juli 1998

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat Rumah : Lapin, Desa Tobalu, Kabupaten Enrekang

No. Hp : +62822 9380 8237

Alamat E-Mail : rizalmuh.ms@gmail.com

Riwayat Pendidikan

1. SDN 97 Tobalu (2014-2010)

2. MTsN 3 Enrekang (2010-2013)

3. MAN Enrekang (2013-2016)

4. S1 Akuntansi Universitas Hasanuddin (2016-2021)

Pengalaman Organisasi

1. Ketua Umum UKM LDM Darul ‘Ilmi FEB-UH periode 2019-2020

2. Bendahara Umum UKM LDK MPM Unhas periode 1441-1442H /2020 M

3. Desa Produktif Beastudi Etos periode 2017-2019

4. Keluarga Mahasiswa Ikatan Mahasiswa Akuntansi (IMA) FEB-UH

5. Ikatan Mahasiswa Tobalu (IMT)


108

Pengalaman Magang

1. Badan Pemeriksa Keuangan RI Perwakilan Provinsi Sulawesi Selatan

Tahun 2018

Demikian biodata ini dibuat dengan sebenar-benarnya.

Makassar, 25 Agustus 2021

Muh. Rizal
109

Lampiran 2: Daftar Pertanyaan Wawancara

Daftar Pertanyaan Wawancara

1. Bagaimana awal mula bisa terjadi kerja sama antara kedua belah pihak?

2. Apakah kesepakatan terkait kerja samanya, apakah dalam bentuk tulisan

atau lisan?

3. Berapa luas tanah yang digarap oleh petani penggarap?

4. Berapa hasil yang diperoleh dari tanah tersebut? (ton)

5. Berapa harga jual bawang saat itu?

6. Berapa harga jual bawang saat ini?

7. Berapa proporsi bagi hasil anatara kedua belah pihak?

8. Biaya apa saja yang ditanggung oleh masing-masing pihak? Rincikan!

9. Berapa kali panen dalam satu tahun?'

10. Adakah perbedaan proporsi bagi hasil untuk setiap musim tanam?

11. Bagaimana jika terjadi gagal panen, atau ada hasil namun sedikit. Apakah

tetap di bagi hasilkan?

12. Apakah pemilik tanah pernah mengalihkan tanahnya ke orang lain?

13. Apakah ada pekerjaan lain selain menggarap tanah ini?

14. Bagaimana anda menginformasikan kepada pemodal atau pemilik tanah

terkait hasil panen?


110

15. Bagaimana proses penyampaian anda tekait biaya biaya yang

dikeluarkan kepada pemilik atau pemodal?

16. Apakah nota-nota (bukti transaksi pembelian diperlihatkan kepada pemilik

atau pemodal?

17. Apa hambatan yang dirasakan selama ini?

18. Bagaimana proses penyerahan modal dari pemilik tanah atau pemodal?

19. Bagaimana kondisi tanah yang anda garap?

20. Apakah pemilik tanah menginformasikan terkait tanah yang anda akan

garap?

21. Apakah pernah terjadi pemberhentian akad pada saat pelaksanaan

perjanjian sedang berlangsung?

22. Untuk proses penggarapan selanjutnya, bagaimana mekanismenya,

apakah di buatkan akad baru?

23. Apakah ada kontribusi pemerintah setempat untuk menunjang

kesejahteraan petani?

24. Apakah anda tahu tentang zakat pertanian?

25. Apakah anda pernah mengeluarkan zakat pertanian?

26. Apakah hasil dari kerja sama ini cukup untuk membiayai kehidupan

sehari-hari?

27. Jika dana tersebut ada lebihnya, anda alokasikan kemana?


111

28. Jika ada kendala yang anda alami, apakah anda menceritakannya ke

pemilik atau pemodal?

29. Apakah anda mengetahui tentang akad bagi hasil dalam islam?

Anda mungkin juga menyukai