MUH. RIZAL
DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
SKRIPSI
kepada
DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
ii
SKRIPSI
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Abdul Rahman, MM., Ak., CA Dr. Hj.Andi Kusumawati, SE., M.Si., Ak., CA., CRA., CRP
NIP: 19660110 199203 1 001 NIP: 19660405 199203 2 003
Dr. Hj. Andi Kusumawati, SE., M.Si., Ak., CA., CRA., CRP
NIP: 19660405 199203 2 003
iii
SKRIPSI
Menyetujui,
Panitia Penguji
2. Dr. Hj. Andi Kusumawati, S.E., M.Si., Ak., CA.,CRA.,CRP Sekretaris 2 .....................
Dr. Hj. Andi Kusumawati, SE., M.Si., Ak., CA., CRA., CRP
NIP: 19660405 199203 2 003
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
NIM : A31116018
adalah karya ilmiah saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di dalam
naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain
untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali
yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan
dan daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan
terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut dan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
Muh. Rizal
v
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim
langit dan bumi beserta isinya, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, suri teladan terbaik bagi umat manusia, juga
kepada keluarga dan sahabatnya, tabi’in, atba’ut tabi’in dan orang-orang yang
Penulisan skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik tanpa
dukungan dan bantuan semua pihak baik secara langsung maupun tidak
langsung kepada peneliti. Untuk itu tidaklah berlebihan jika peneliti mengucapkan
1. Kedua orang tua peneliti, Bapak Mail dan Ibu S a i r a h yang senantiasa
2. Dosen Pembimbing, Bapak Drs. H. Abdul Rahman, MM., Ak., CA dan, Ibu
Dr. Hj. Andi Kusumawati, SE., M.Si., Ak., CA., CRA.,CRP. Terima kasih
3. Penasehat Akademik Penulis Ibu Prof. Dr. Hj. Mediaty, SE., M.Si., Ak., CA.
Terima kasih atas bimbingan, motivasi dan nasehat yang diberikan kepada
vi
4. Ketua Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Hasanuddin, Ibu Dr. Hj. Andi Kusumawati, SE., M.Si., Ak., CA., CRA., CRP
M.Si yang telah memberikan bantuan serta arahan kepada peneliti dalam
menyelesaikan skripsi.
9. Saudara Seiman di UKM LDM Darul ‘Ilmi FEB-UH dan UKM LDK MPM
Universitas Hasanuddin.
vii
11. Saudara-saudara Posko Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Barru angkatan
12. Kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan skripsi
terbaik disisi-Nya.
Peneliti menyadari, bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, saran dan kritik dari berbagai pihak sangat peneliti harapkan demi
terwujudnya karya yang lebih baik di masa mendatang. Semoga tulisan ini dapat
Peneliti,
Muh. Rizal
viii
ABSTRAK
Analisis Prinsip Amanah dan Keadilan pada Usaha Bagi Hasil Pertanian
(Studi Kasus di Desa Tampo Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang)
Muh. Rizal
Abdul Rahman
Andi Kusumawati
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan prinsip amanah dan keadilan
pada usaha bagi hasil di Desa Tampo Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang.
Metode penelitian ini dilaksanakan dengan wawancara yang didukung dengan
studi pustaka yang berasaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menentukan
apakah usaha bagi hasil yang diterapkan sudah sesuai dengan syariat Islam.
Sumber data yang digunakan dala penelitian ini adalah data primer yang
dikumpulkan dengan metode wawancara. Data yang diperoleh kemudian
dianalisis secara deskriptif kualitatif dan diukur berdasarkan elemen-elemen
penilaian prinsip amanah dan keadilan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa usaha bagi hasil yang diterapkan di Desa Tampo
sudah sesuai dengan prinsip amanah dan prinsip keadilan namun, masih ada yang
perlu di perkuat terkait salah satu elemen keadilan yaitu transparansi jangka waktu
berlangsungnya akad yang peneliti nilai akad tersebut lemah karena tidak
ditentukan sampai kapan berlangsungnya kerja sama tersebut, dan bargaining
power yang tidak seimbang antara kedua belah pihak. Oleh karena itu, dibutuhkan
beberapa langkah penyesuaian untuk menjadikan usaha bagi hasil pertanian yang
diterapkan sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.
This study aimed to examine the application of the principles of trust and justice in
profit sharing in Tampo Village, Anggeraja District, Enrekang Regency. The
research method was carried out by interviewing supported by literature studies
based on the Qur'an and As-Sunnah to determine whether the profit-sharing
business applied is following Islamic law. The Source of data used in this study is
primary data collected by the interview method. The data obtained were then
analyzed descriptively qualitatively and measured based on the elements of the
assessment of the principles of trust and justice that had been previously
determined. The results of this study show that the profit-sharing business
implemented in Tampo Village was by the principle of trust and the principle of
justice, However, there is still need a new one related to one of the elements of
justice namely transparancy of the period ongoing contract which researchers
value of the contract is weak because it does not determined untill when the
continuation of such cooperation and bargaining power is not balanced between
the two sides.. Therefore, several adjustments are needed to make the business
for agricultural production that is applied by the principles of justice in Islam.
ix
DAFTAR ISI
halaman
HALAMAN SAMPUL ............................................................................................. i
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………….ii
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………………………………...iii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………………….iv
PERNYATAAN KEASLIAN .................................................................................. v
PRAKATA ............................................................................................................ v
ABSTRAK ........................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 10
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 10
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................... 11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian .................................................................... 12
1.6 Sistematika Penulisan ......................................................................... 12
x
2.5 Amanah ............................................................................................... 34
2.5.1 Pengertian Amanah ...................................................................... 34
2.5.2 Konsep Amanah dalam Al-Qur’an dan Hadits ............................... 35
2.5.3 Amanah pada Usaha Bagi Hasil Pertanian ................................... 39
2.6 Konsep Keadilan ................................................................................. 40
2.6.1 Pengertian Keadilan ..................................................................... 40
2.6.2 Keadilan Dalam Pandangan Islam ................................................ 42
2.6.3 Keadilan Ekonomi dalam Pandangan Islam.................................. 44
2.6.4 Keadilan dalam Sistem Bagi Hasil ................................................ 45
2.7 Konsep Transparansi........................................................................... 47
2.7.1 Pengertian Transparansi .............................................................. 48
2.7.2 Transparansi Dalam Islam ............................................................ 49
2.7.3 Transparansi dalam Akad Bagi Hasil ............................................ 51
2.8 Kerangka Penelitian ............................................................................ 53
xi
4.5 Penerapan Prinsip Keadilan dalam Usaha Bagi Hasil Pertanian .......... 78
4.5.1 Transparansi ................................................................................ 78
4.5.2 Nisbah Bagi Hasil yang Proporsional ............................................ 83
4.5.3 Konsistensi ................................................................................... 85
4.5.4 Bargaining Power yang Seimbang ................................................ 87
4.5.5 Ganti Rugi dalam Pemberhentian Akad ........................................ 89
4.5.6 Mekanisme Penanggungan Rugi jika Terjadi Kerugian atau Gagal
Panen ........................................................................................... 91
4.6 Analisis Prinsip Amanah dan Keadilan Pada Usaha Bagi Hasil Pertanian
………………………………………………………………………………...93
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 4. 4 Hasil Analisis Prinsip Amanah dan Keadilan pada Usaha Bagi Hasil
Pertanian ......................................................................................... 96
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
dengan kondisi iklim tropis yang berbeda antara daerah satu dengan daerah yang
terutama masyarakat pedesaan. Pada bulan Agustus 2019, Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat bahwa pertanian menjadi bidang yang paling banyak menyerap
tenaga kerja di Indonesia, yaitu sebesar 36,50 juta orang atau sekitar 27,33% dari
kesejahteraan ekonomi masyarakat terutama yang ada di pedesaan atas izin Allah.
Bercocok tanam atau pertanian juga menjadi anjuran Nabi, karena bernilai
jariyah bagi pelakunya. Dalam suatu hadits riwayat al-Bukhari (2152) dan Ahmad
(12038) disebutkan, “Tidaklah seorang muslim yang berkebun dan bertani, lalu
ada burung, manusia atau hewan yang memakan darinya, kecuali bernilai sedekah
bagi muslim tersebut.” Hadis lain riwayat Ahmad (12512) juga menyebutkan,
1
2
Pertama, pembangunan food estate (di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara)
(CSV) antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan petani. Keempat,
Ecosystem (NLE).
tetapi, tetap saja masih ada masalah yang terjadi. Misalnya, pemilikan dan
pedesaan masih menjadi suatu persoalan yang mesti dicarikan jalan keluarnya.
Semenjak awal abad ke-20 pemerintah Belanda telah menyadari hal ini. Melalui
sensus tani yang dilakukan pada tahun 1903, menunjukkan bahwa hampir separuh
petani menguasai lahan kurang dari 0,50 hektar (Syahyuti, 2002:133). Kondisi ini
tidak banyak berubah, akibat tekanan penduduk yang makin tinggi yang tidak
diimbangi penambahan lahan pertanian. Dapat dilihat pada hasil Survei Pertanian
Antar Sensus (SUTAS) 2018 misalnya, diketahui bahwa petani yang memiliki
lahan kurang dari 0,50 ha masih sebesar 0.59% atau sekitar 16.257.430 Rumah
lahan menganggur dibutuhkan adanya kerja sama antara pemilik tanah dengan
petani penggarap. Perjanjian kerja sama yang umumnya dilakukan dalam bidang
pertanian yaitu perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan penggarap.
Pengertian bagi hasil menurut Scheltema (1985:1) adalah sebagai berikut: “Bagi
pembagian hasil terhadap dua unsur produksi yaitu modal dan kerja, dilaksanakan
menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto tanah tersebut dan pula dalam
Secara umum, prinsip bagi hasil dalam Islam dapat dilakukan dengan
Mudharabah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik usaha/tanah dan
pemodal. Musaqah adalah sebuah bentuk kerja sama antara pemilik kebun dan
petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga
yang mereka buat. Kerja sama dalam bentuk musaqah berbeda dengan
mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil yang diterimanya
adalah bukan upah yang telah pasti ukurannya seperti tukang kebun, melainkan
dari hasil kebun yang belum tentu besarannya (Ghazaly, 2015). Muzara’ah
merupakan perjanjian bagi hasil antara pemilik dan penggarap, yang benihnya
hasil antara pemilik dan penggarap tanah, yang benihnya berasal dari penggarap
Kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap tanah ini dibolehkan dan
dianjurkan dalam Islam, sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “dari Abu Hurairah
4
(barang siapa yang memiliki tanah, maka hendaklah ditanami atau diberikan
faedahnya kepada saudaranya jika ia tidak mau maka boleh ditahan saja tanah
Anjuran melakukan kerja sama bagi hasil muzara’ah juga didukung oleh
“Muzara’ah ini lebih jauh dari kezaliman dan kerugian dari pada ijarah.
Karena dalam ijarah, salah satu pihak sudah pasti mendapatkan
keuntungan. Sedangkan dalam muzara’ah, apabila tanaman tersebut
membuahkan hasil, maka keduanya mendapatkan untung, apabila tidak
menghasilkan buah maka mereka menanggung kerugian bersama.”
(Fauzan, 2005:480).
Selain hadits di atas, terdapat pula banyak riwayat yang menerangkan bahwa para
sahabat telah melakukan praktek muzara’ah dan tidak ada dari mereka yang
dan mukhabarah bisa menjadi haram dalam Islam ketika bentuk kesepakatan dan
pelaksanaannya tidak sesuai dengan prinsip amanah dan keadilan dalam Islam.
diperbolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yaitu, (1) dalam akad
masing dari kedua belah pihak tidak berlaku serakah, (2) terjadi hubungan yang
baik di antara pemilik dan penggarap, yakni masing-masing pihak tidak ingin
merebut bagian yang merupakan hak partner-nya, tidak berkhianat dalam bekerja,
dan kemaslahatan juga tercipta dengan membagi hasil dari apa yang dihasilkan
oleh pengolahan tanam tersebut. Selain itu, dalam perjanjian bagi hasil tidak boleh
terdapat gharar (ketidakjelasan) sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan.
5
Oleh karena itu, seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari
hasil tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya
banyak, maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit,
kedua-duanya pun akan mendapat sedikit pula dan jika tidak menghasilkan apa-
Di Indonesia bagi hasil tanah pertanian antara pemilik tanah dan petani
penggarap juga telah diatur dalam Undang-Undang yaitu UU No. 2 tahun 1960.
Undang-undang tersebut mengatur perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan
petani penggarap dengan pembagian bagi hasil yang adil dengan menegaskan
hak dan kewajiban para pihak yang melakukan perjanjian. Masyarakat petani pada
dalam pelaksanaannya petani masih menggunakan hukum adat yang sudah turun
temurun dilakukan di wilayah tersebut. Salah satu kelemahan perjanjian bagi hasil
yang menggunakan hukum adat adalah perjanjian tersebut tidak dilakukan secara
memberikan kepastian mengenai besarnya bagian serta hak dan kewajiban para
pihak.
besar masyarakat tidak mengenal istilah muzara’ah dan mukhabarah dalam pola
perjanjian bagi hasil pertanian. Masyarakat lebih menggunakan sistem bagi hasil
yang sudah berlaku turun temurun sesuai kebiasaan yang ada. Perjanjian bagi
hasil banyak dilakukan secara lisan dan musyawarah antara pemilik tanah dan
hasil di Indonesia masih menerapkan dua pola yang berbeda, yaitu pola bagi hasil
6
revenue sharing dan profit sharing. Menurut Nurhayati dan Wasilah (2016:134),
revenue sharing merupakan pola bagi hasil yang menggunakan laba bruto atau
laba kotor sebagai dasar pembagian hasil usaha. Sedangkan Profit Sharing
merupakan perhitungan bagi hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi
daerah di Jawa Barat, masih menggunakan pola bagi hasil revenue sharing. Dasar
pengenaan bagi hasil yang digunakan adalah laba bruto atau laba kotor, sehingga
secara tidak langsung seluruh biaya produksi ditanggung oleh petani penggarap.
Hal ini menyebabkan pendapatan yang diterima oleh petani penggarap menjadi
lebih kecil dibandingkan jika pola bagi hasil Profit Sharing. Hasil penelitian dari
dengan pola revenue sharing dengan profit sharing di daerah tersebut dalam
setahun mencapai jumlah yang cukup signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa pola
bagi hasil revenue sharing di daerah tersebut kurang menguntungkan bagi petani
penggarap.
Hasil penelitian tersebut didukung oleh Irmayanti (2010: 64), yang juga
menemukan bahwa sistem bagi hasil yang diterapkan berdasarkan hukum adat di
bagian hasil yang lebih kecil dibandingkan dengan biaya yang dikorbankan dalam
pengelolaan usaha tani pada setiap musim tanam. Hal ini tentunya tidak sejalan
dengan salah satu indikator keadilan pada bagi hasil yang mensyaratkan adanya
nisbah bagi hasil yang proporsional, yaitu sesuai dengan besarnya kontribusi yang
Dalam perjanjian bagi hasil, keterbukaan antara antara pemilik tanah dan
petani penggarap, menjadi hal yang sangat penting untuk menghindari terjadinya
7
ketimpangan informasi antara kedua belah pihak. Hal yang penting untuk
masih sangat minim. Pemilik lahan hanya menerima jumlah biaya yang dipaparkan
oleh petani penggarap melalui catatan atau hanya mengandalkan ingatan petani
semata.
transparansi penggunaan biaya yang seringkali masih bersifat lisan dan hanya
dan pemilik kebun, pada umumnya disebabkan atas adanya mosi tidak percaya
pengurusan kebun serta hasil produksi yang diperoleh dalam setiap kali panen
syarat dalam perjanjian usaha bagi hasil pertanian dalam Islam. Penyimpangan
tersebut tentunya bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut dalam ajaran Islam.
kezaliman dan merupakan ajaran dari beberapa risalah para rasul-Nya yang harus
pulau Sulawesi. Hingga saat ini, provinsi Sulawesi Selatan menempati urutan
Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Jawa Barat dan Sumatera Barat (BPS,
2019). Dengan luas wilayah 46.717,48 km2 (BPS 2016), Sulawesi Selatan memiliki
sumber daya lahan dan iklim (jenis tanah, bahan induk, fisiologi dan bentuk
karakteristik sumber daya lahan dan iklim merupakan potensi untuk memproduksi
Sulawesi Selatan dan saat ini menempati posisi ke-5 nasional, sebagai daerah
Nganjuk, Bima dan Solok. Jumlah produksi bawang merah hingga oktober 2020 di
utara dari Provinsi Sulawesi Selatan. Kondisi bidang pertanian yang menonjol
potensi yang ada seperti luas lahan pertanian dan mata pencaharian sebagian
berbasis pada sumber daya domestik, selain itu juga, kandungan impornya rendah
karena bahan baku yang digunakan umumnya berasal dari dalam negeri, relatif
tukar dan fiskal. Ketangguhan bidang pertanian terbukti pada saat nilai tukar dan
fiskal. Ketangguhan bidang pertanian terbukti pada saat krisis moneter dimana
bidang pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional tidak terlepas
dari sub bidang tanaman bahan makanan, sub bidang tanaman perkebunan, sub
karena merupakan salah satu sumber mata pencaharian pokok petani di sebagian
besar wilayah tersebut. Hal ini dapat diperoleh antara lain sumber daya di berbagai
terkadang dihadapkan dengan harga bibit yang terlalu tinggi. Selain itu, bawang
merah merupakan tanaman yang sangat sensitif sehingga tidak sedikit biaya yang
Enrekang tetap antusias dalam bertani untuk meningkatkan hasil produksi bawang
merah.
hasil dalam hal pengelolaan usaha pertanian khususnya bawang merah. Sistem
bagi hasil telah dikenal dan digunakan sejak lama di Desa Tampo, Kecamatan
bagi hasil yang telah lama digunakan oleh masyarakatnya sebagai sistem
pengolahan bawang merah, maka peneliti tertarik untuk menjadikan Desa Tampo,
konsep bagi hasil yang sesuai dengan prinsip amanah dan keadilan dalam usaha
pertanian.
10
Analisis Prinsip Amanah dan Keadilan Pada Usaha bagi hasil pertanian
2) Apakah akad perjanjian dan penerapan usaha bagi hasil pertanian yang
3) Apakah akad perjanjian dan penerapan usaha bagi hasil pertanian yang
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian ini
1) Peneliti
yang lebih mendalam mengenai konsep bagi hasil yang sesuai dengan prinsip
amanah dan keadilan dalam Islam. Dengan demikian, peneliti dapat memahami
konsep amanah dan keadilan terkait usaha bagi hasil pertanian. Selain itu, peneliti
masyarakat dengan konsep bagi hasil yang sesuai dengan prinsip amanah dan
2) Pengembangan Ilmu
yang sesuai dengan prinsip amanah dan keadilan pada sistem usaha bagi hasil
3) Masyarakat
usaha bagi hasil pertanian, baik itu masyarakat yang bertindak sebagai pemilik
tanah maupun petani penggarap mengenai penerapan bagi hasil yang sesuai
dengan prinsip amanah dan keadilan sesuai dalam lingkup syariat Islam. Dengan
12
demikian, hal itu diharapkan dapat menciptakan kerja sama yang berkeadilan
4) Pemerintah
pemerintah untuk mengembangkan konsep bagi hasil yang sesuai dengan prinsip
amanah dan keadilan dalam usaha pertanian. Sehingga dapat diyakini bahwa
kegiatan tersebut dapat menjadi jalan untuk mencapai keberkahan usaha dalam
usaha usaha bagi hasil pertanian yang diterapkan di Desa Tampo, Kecamatan
pemilik tanah yang akan diteliti dibatasi hanya pada komunitas petani tanaman
Kabupaten Enrekang.
Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (2012), Skripsi ini terdiri dari lima bab
Bab I Pendahuluan
Bab ini memberi uraian mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan.
13
Bab ini merupakan uraian mengenai landasan teori dari proses peninjauan
pustaka berupa teori-teori yang relevan sebagai landasan dalam penelitian ini,
penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis
data.
sistem usaha bagi hasil pertanian yang diterapkan dan penilaian amanah dan
keadilan terhadap sistem usaha bagi hasil pertanian di Desa Tampo, Kecamatan
sebelumnya.
BAB V Penutup
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penilaian prinsip amanah dan
keadilan pada sistem usaha bagi hasil pertanian di Desa Tampo, Kecamatan
TINJAUAN PUSTAKA
merupakan suatu bentuk produksi yang khas, yang didasarkan pada proses
pertumbuhan tanaman dan hewan dalam suatu usaha tani, dimana kegiatan
penting artinya.
arti terbatas dan arti luas. Dalam arti terbatas, definisi pertanian adalah
Sedangkan dalam arti luas, pertanian adalah pengolahan tanaman, ternak, dan
ikan agar memberikan suatu produk. Dari beberapa pengertian di atas, perlu
dipahami bahwa pertanian yang akan dibahas selanjutnya adalah pertanian dalam
tanaman.
Pertanian mempunyai tiga faktor produksi utama yaitu tanah, tanaman dan
petani. Petani merupakan faktor utama dari faktor-faktor produksi yang lain dalam
pengolahan pertanian. Dalam hal ini, yang merupakan faktor utama dalam
pertanian adalah petani. Petani merupakan orang yang terlibat dalam kegiatan
produksi yang berlandaskan pertumbuhan tanaman dan hewan atau orang yang
14
15
terlibat langsung dalam usaha tani (Nadja, 2014:10). Petani berperan dalam
proses biologis dapat lebih baik dan lebih terpantau sehingga dapat memberikan
produksi yang lebih banyak atau lebih tinggi sesuai dengan yang dikehendaki
(Irmayanti, 2010:10). Petani tanaman dapat merupakan petani pemilik atau petani
tentang klasifikasi petani: Petani tanaman dapat merupakan petani pemilik atau
a. Petani Pemilik
Petani pemilik adalah golongan petani yang memiliki tanah dan ia pulalah
produksi, baik berupa tanah, peralatan dan sarana produksi yang digunakan
usaha taninya, tanpa perlu dipengaruhi atau ditentukan oleh orang lain. Golongan
petani yang agak berbeda statusnya adalah yang mengusahakan tanahnya sendiri
dan juga mengusahakan tanah orang lain (part owner operator). Keadaan
semacam ini timbul karena persediaan tenaga kerja dalam keluarganya banyak.
orang lain.
b. Petani Penyewa
lain dengan jalan menyewa karena tidak memiliki tanah sendiri. Besarnya sewa
dapat berbentuk produksi fisik atau sejumlah uang yang sudah ditentukan sebelum
penggarapan dimulai. Lama kontrak sewa ini tergantung pada perjanjian antara
16
pemilik tanah dan penyewa. Jangka waktu dapat terjadi satu musim, satu tahun,
dua tahun atau jangka waktu yang lebih lama. Dalam sistem sewa, risiko usahatani
hanya ditanggung oleh penyewa. Pemilik tanah menerima sewa tanahnya tanpa
c. Petani Penggarap
orang lain dengan sistem bagi hasil. Dalam sistem bagi hasil, risiko usahatani
ditanggung oleh pemilik tanah dan penggarap. Besarnya bagi hasil tidak sama
untuk tiap daerah. Biasanya bagi hasil ini ditentukan oleh tradisi daerah-daerah
besarnya bagi hasil adalah 50% untuk pemilik dan 50% untuk penggarap setelah
Menurut Nadja (2014:14), dalam usaha tani petani juga dapat berperan
keputusan yang harus diambil oleh petani mencakup jenis tanaman atau varietas
yang akan diterima, menggunakan pupuk atau tidak, memilih jenis ternak yang
akan dipelihara, dan penentuan pembagian kerja yang tersedia untuk berbagai
kegiatan yang harus dilakukan pada saat yang sama. Perubahan dan
menjual produksi dan membeli sarana produksi belum menjadi perhatian petani.
Pada usahatani yang lebih berkembang hal ini harus menjadi tugas utama petani.
bertambah dan mempercepat habisnya pangan yang ada di alam sekitar mereka.
Sejak saat itu, mulailah manusia berpikir untuk mengetahui mengapa masalah itu
timbul serta berusaha memecahkannya walaupun dengan cara atau tindakan yang
Arifin (2003;17) menyebutkan bahwa pertanian tumbuh menjadi bidang yang amat
menguasai hajat hidup sebagian besar penduduk, menyerap lebih separuh total
tenaga kerja dan bahkan menjadi katup pengaman pada krisis ekonomi di
Indonesia. Hal ini dibenarkan oleh Salman (1996:12) yang menyatakan bahwa
Indonesia telah melalui beberapa fase. Pada tahap awal atau fase konsolidasi
1967-1968 bidang pertanian hanya tumbuh 3,4% kemudian melonjak sangat tinggi
dan mencapai 5,7%, pada fase tumbuh tinggi (periode 1978-1986), kemudian
kembali melambat 3,4% pada fase dekonstruksi tahun 1986-1997 dan terus
18
Fase dekonstruksi merupakan titik belok yang cukup kritis, terutama karena
dimana indonesia harus mengimpor beras sebanyak 5,7 juta ton (Nugraha, 2006).
Di tengah krisis ekonomi yang berdampak pada hampir semua lini, bidang
kebijakan soal tanah pertanian ternyata tidak memadai. Dampak negatif kebijakan
pro pertumbuhan yang sangat berat sebelah itu tampak maki terdesaknya hak-hak
Tahun 1960 berikut pelbagai peraturan pelaksanaanya. Salah satu strategi yang
dipilih adalah redistribusi tanah pertanian yang berasal dari tanah-tanah kelebihan
batas maksimum, tanah guntai (absentee), tanah swapraja, tanah partikelir, dan
tanah negara. Secara operasional, program itu tidak berjalan lancar karena
kendala yang bersifat politis, teknis, administrasi, dan legal. Setelah hampir 40
tahun, ternyata baru separuh dari tanah obyek land reform itu yang bisa dibagikan.
Selain itu, melihat perbandingan antara luas tanah usaha tani dan obyek land
sangat kecil.
19
baik dari dalam maupun luar. Salah satu masalah yang paling krusial hingga saat
daya beli petani juga rendah, sehingga situasi ini akan mendorong petani petani
manusia, kecilnya skala usaha, serta lahan pertanian yang semakin menyempit
sejak tahun 1999. Di sisi lain, hilirisasi usaha pertanian untuk mendorong
yang telah dirancang berlaku pada pelaku kegiatan. Mayoritas petani, yang
teknologi pertanian. Selain itu, rendahnya skala usaha dan luas lahan yang
Perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara seseorang yang
berhak atas suatu bidang tanah pertanian dan orang lain yang disebut penggarap,
berhak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama,
20
(2014), perjanjian bagi hasil adalah suatu perbuatan hukum di mana pemilik tanah
karena sesuatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya tetapi ingin
mendapatkan hasil atas tanahnya. Oleh karena itu, ia membuat perjanjian bagi
hasil dengan pihak lain dengan persentase bagi hasil yang telah disetujui oleh
Pertanian sebagai bidang yang bergerak di bidang riil, tak luput dari adanya
prinsip kerja sama bagi hasil. Di satu sisi, ada sebagian orang yang mempunyai
tanah, tetapi tidak mampu untuk mengolahnya. Di sisi lain, ada orang yang mampu
untuk bertani dan berkebun, tapi tidak mempunyai lahan pertanian. Sehingga
dengan adanya kerja sama bagi hasil, kedua belah pihak dapat melakukan sebuah
pertanian tersebut.
merupakan bentuk tertua dalam penguasaan tanah di dunia, yang bahkan telah
ditemukan pada lebih kurang 2300 SM. Perjanjian bagi hasil sudah ada sejak
zaman Babilonia, seperti terlihat dalam Kitab Hukum Hammurabi (2300 SM) yang
telah menyebut nyebut perjanjian ini. Munculnya sistem perjanjian bagi hasil yang
telah berlangsung lebih dari dua puluh abad ini, tentunya dipicu oleh berbagai
buruh tani dalam jumlah yang cukup banyak, faktor hukum adat, serta adanya
21
ketergantungan akibat hutang piutang dari petani kecil dan buruh tani kepada
petani besar.
bagi hasil juga muncul karena adanya faktor psikologis manusia yaitu kemalasan,
artinya tidak mau menggarap sendiri dan lebih suka meminta bantuan orang lain.
Dalam kenyataan tentunya ada beberapa faktor lain yang dapat ditambahkan
seperti misalnya pemilik adalah orang yang terlalu tua atau seorang janda yang
terjadinya bagi hasil yaitu adanya persamaan keinginan yang bermotif ekonomi
antara pihak tuan-tuan tanah atau kaum feodal dengan pihak petani penggarap.
Dikatakan bermotif ekonomi karena kaum feodal lama kelamaan menyadari bahwa
faktor produksi yang terbentang luas tidak berproduksi sepanjang masa bilamana
raksasa itu berupa tenaga kerja yang dimilikinya, tidak akan berguna sepanjang
luas, mengingat mereka tidak mempunyai keterampilan lain selain bertani. Adanya
persamaan keinginan yang bermotif ekonomi inilah yang mendorong kedua belah
pihak untuk mengadakan kerja sama, dan bentuk itu mutlak harus didahului oleh
aturan hukum berupa perjanjian atau ikatan. Perjanjian atau ikatan itulah yang kini
oleh beberapa hal seperti, pemilik tanah bersangkutan memang bukan berprofesi
sebagai petani, serta letak tanah yang cukup jauh dari letak rumah pemiliknya.
Akan tetapi, pemilik tanah tersebut tetap ingin supaya tanahnya berpenghasilan
atau berproduksi sehingga tanah tersebut dapat menjadi faktor produksi yang tidak
22
penggarap yang berprofesi petani tetapi tidak memiliki tanah melainkan hanya
memiliki tenaga, kalaupun memiliki tanah pasti tanahnya kurang luas untuk di
produktifkan tanaman jangka pendek. Dengan tenaga tersebut dapat menjadi non
mendapatkan lapangan pekerjaan. Dengan kata lain, kedua belah pihak masing-
masing saling membutuhkan, sehingga terjadilah pertemuan buku dan ruas yang
Bagi hasil merupakan suatu istilah yang sering digunakan oleh orang-orang
dalam melakukan usaha bersama untuk mencari keuntungan yang akan diperoleh
dalam suatu perjanjian (Maula, 1998;15). Menurut istilah, bagi hasil adalah
transaksi pengelolaan bumi dengan upah sebagian hasil yang keluar daripadanya.
Bagi hasil yang dimaksudkan disini adalah pemberian hasil untuk orang yang
mengolah atau menanami tanah dari yang dihasilkan seperti setengah atau
sepertiga, atau lebih dari itu atau lebih rendah sesuai dengan kesepakatan kedua
sebagai berikut “Perjanjian bagi hasil adalah perjanjian dengan nama apapun juga
yang diadakan antara pemilik pada suatu pihak yang dalam undang-undang ini
pemilik, dengan pembagiannya antara kedua pihak. Selain itu, pengertian bagi
hasil menurut Jenny yang dikutip oleh Scheltema (1985:1) adalah sebagai berikut:
“Bagi hasil adalah pertanian merupakan suatu bentuk pemanfaatan tanah, dimana
pembagian hasil terhadap dua unsur produksi, yaitu modal dan kerja yang
dilaksanakan menurut perbandingan tertentu hasil dari bruto tanah tersebut dan
bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik lahan dengan penggarap yang
produksi yang penting, yaitu faktor produksi tanah dan tenaga kerja. Jika kedua
faktor produksi tersebut tidak ada, maka mustahil terjadi perjanjian bagi hasil.
2.3.3 Hak dan Kewajiban Pemilik dan Penggarap dalam Perjanjian Usaha
Secara umum, kewajiban dari pemilik tanah dan penggarap telah diatur
dalam Pasal 8 ayat (1) sampai (4) Undang-Undang No.2 tahun 1960 yang
penggarap maupun pemilik yang lemah. Hak-hak dan kewajiban para pihak yaitu:
yang bersangkutan.
bagian dari hasil tanah sesuai dengan imbangan yang telah ditetapkan.
Dalam istilah fiqih, sistem bagi hasil dalam kerja sama pengelolaan lahan
pengolahan tanah yang telah dilakukan sejak zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi
tanah akan menerima bagian tertentu yang telah ditetapkan dengan hasil produksi,
dalam perjanjian dan umumnya pembayaran diberikan dalam bentuk hasil bumi.
2.4.1 Mudharabah
bahasa Arab, yaitu dari kata al-dharb berarti bepergian atau berjalan. Bisa juga
diambil dari kata al-qard berarti al-qath’u (potongan). Hal ini dikarenakan pemilik
Kata mudharabah biasa dipergunakan oleh penduduk Irak dan kata qiradh atau
adalah akad antara dua pihak yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena
harta diserahkan kepada yang lain dan yang lain punya jasa mengelola harta.
kepada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.
berpendapat pula bahwa mudharabah adalah akad antara dua belah pihak untuk
mudharabah atau qiradh adalah sebuah akad perjanjian antara dua orang atau
lebih yang sepakat untuk mengelola harta pihak lain dan keuntungan dibagi
antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya luas, tidak dibatasi
26
mengenai tujuan, tempat, maupun jenis usahanya. Shahibul maal (Pemilik Modal)
maal dengan mudharib yang menetapkan beberapa syarat tertentu yang harus
dituruti oleh mudharib seperti tujuan, tempat, maupun jenis usahanya (Shomad,
2012:143).
2.4.2 Musaqah
Musaqah diambil dari bahasa Arab, yaitu dari kata al-saqa, artinya
dari hasil yang diurus sebagai imbalan. Pengertian menurut istilah dikemukakan
oleh beberapa ulama, misalnya ulama fikih, musaqah adalah akad penyerahan
memberikan pekerjaan orang yang memiliki Tamar dan Anggur kepada orang lain
dan pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang dihasilkan pohon-pohon
memperoleh hasil dari pepohonan. Menurut Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan
pohon dengan menyiram dan memeliharanya serta hasil yang dirizkikan Allah dari
pohon itu untuk mereka berdua. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka
disimpulkan musaqah adalah sebuah akad antara pemilik pohon dan pekerja untuk
memelihara pohon dan pemberian upah diambil dari pohon yang diurusnya.
27
2.4.3 Muzara’ah
majaz. Sedangkan makna yang kedua adalah makna hakiki. Menurut Hanafiyah,
istilah muzara’ah adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar
dari bumi; Menurut Hanabilah, muzara’ah adalah pemilik tanah yang sebenarnya
menyerahkan tanahnya untuk ditanami dan yang bekerja diberi bibit. Menurut
Syafi’iyah, muzara’ah adalah seorang pekerja menyewa tanah dengan apa yang
pekerja mengelola tanah dengan sebagian apa yang dihasilkan darinya dan modal
(sistem bagi hasil) adalah sistem kerja sama antara pemilik lahan (tanah) dengan
tertentu yang telah ditetapkan dari hasil produksi, bisa ½ (setengah), 1/3
dalam perjanjian dan umumnya pembayaran diberikan dalam bentuk hasil bumi.
kerja sama dalam bidang pertanian di mana pemilik tanah memberikan tanahnya
kepada pihak pengelola dan bibitnya dari pihak pemilik tanah, serta bagi hasilnya
2.4.4 Mukhabarah
mukhabarah adalah akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-apa yang
28
keluar dari bumi, atau menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah
tidak bisa dibedakan. Muzara’ah menggunakan kalimat aqdun ‘ala al-zar’i bi ba’d
al-kharij min al-ard (akad untuk bercocok tanam dengan sebagian yang keluar dari
ba’d ma yakhruju min al-ard (akad untuk bercocok tanam dengan sebagian apa-
apa yang keluar dari bumi). Adanya perbedaan redaksi tersebut menunjukkan
yang sama dan pengertian yang berbeda. Persamaanya terletak pemilik tanah
perbedaannya pada modal, jika modal berasal dari pemilik tanah disebut
sistem bagi hasil adalah perjanjian pengolahan tanah, dengan upah sebagian dari
hasil yang diperoleh dari pengolahan tanah itu. Ahli lain memberikan definisi
bahwa yang dimaksud dengan sistem bagi hasil disebutnya mud}a>rabah, yaitu
satu pihak menyediakan modal dan pihak lain memanfaatkannya untuk tujuan-
akan dibagi menurut bagian yang ditentukan. Bertitik tolak dari beberapa
dengan bagi hasil adalah pembagian keuntungan dari hasil usaha (kebun/tanah)
antara pekerja (petani penggarap) dengan pemodal (pemilik lahan) karena pemilik
29
Mukhabarah
disamping dapat dipahami dari umumnya firman Allah yang menyuruh bertolong-
menolong dalam kebaikan dan taqwa. (Q.S Al-Maidah: 5). Secara khusus, hadits
Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang menyatakan: “Bahwasanya
pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk
tanaman atau buah-buahan”. Dari hadits tersebut dapat dipahami, bahwa apa
yang dilakukan oleh Nabi dengan petani Khibar adalah kerja sama, bukan upah
mengupah dengan pekerja tani dan bukan pula sewa-menyewa (ijarah) tanah
dengan pemilik tanah; karena sewa dalam akad sewa menyewa atau upah dalam
akad upah mengupah (ijarah) harus jelas dan pasti nilainya, bukan dengan hasil
adalah Abu Hanifah dan Zufar, menurutnya hadits yang menjelaskan muamalah
yaitu kewajiban tertentu (pajak) berupa persentase tertentu dari hasil bumi. Pada
prinsipnya zakat dibebankan kepada orang yang mampu, hasil pertanian telah
mencapai batas nishab. Jika dilihat asal benih tanaman, maka dalam Muzara’ah
30
yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dadalah yang menanam,
musaqah. Menurut Imam Abu Dawud berpendapat bahwa yang boleh di musaqah-
kan hanya kurma. Menurut Imam Syafi’iyah yang boleh di musaqah-kan hanyalah
kurma dan anggur saja sedangkan menurut Hanafiyah, semua pohon yang
Maliki dan Imam Hanbali diperbolehkan untuk semua pohon yang memiliki akar
kuat dan berbuah, seperti pohon kurma, pohon tin, pohon zaitun, dan semisalnya.
Dalam pendapat jumhur ulama diatas dapat diketahui bahwa tidak ada
kecuali pendapat Imam Abu Hanifah dan Zufar yang berpendapat bahwa al-
musaqah dengan imbalan yang diambil dari sebagian hasil yang diperoleh
hukumnya batal, karena menurut beliau hal itu termasuk akad sewa menyewa
yang sewanya di bayar dari hasilnya dan hal tersebut dilarang oleh syari’at.
Mukhabarah
mukhabarah adalah akad, (ijab dan qabul antara pemilik dan pekerja). Secara rinci,
jumlah rukun muzara’ah menurut Hanafiyah ada empat, yaitu tanah, perbuatan
pekerja, modal dan alat-alat untuk menanam (Suhendi, 2002:158). Gazaly et al.,
sebagai berikut:
31
2. Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga
di kalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan. Jika
tanah itu tanah tandus dan kering sehingga tidak memungkinkan untuk
tanah itu jelas. c) Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk
panen jauh di bawah itu atau dapat juga jauh melampaui jumlah itu.
5. Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad
panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas. Untuk penentuan
2.4.7 Sistem Bagi Hasil Pertanian pada Masa Rasulullah dan Khalifah
kepada orang Yahudi dengan sistem bagi hasil seperti yang diriwayatkan oleh Ibn
Umar:
sahabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam telah menyewakan tanah dan kebun
mereka dengan sistem bagi hasil, salah satunya yaitu: Diriwayatkan bahwa setiap
pemilik tanah. Abu bakar, Umar, Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah Bin Mas’ud, Umar
bin Abdul Aziz, Qasim dan Urwah pernah menyewakan tanah-tanah mereka
dengan dasar bagi hasil adalah mereka yang bertugas mempertahankan negara,
menyerahkan tanah mereka untuk diolah kepada para petani karena perhatian
antara para pemilik tanah dan petani itu sangat baik dan bersahabat dan tidak ada
hal ini dan tidak membiarkan siapapun hidup dengan memperbudak orang lain,
Sifat dari sistem bagi hasil pada masa kekhalifahan mirip dengan sistem
kerja sama yaitu pemilik tanah dan petani adala ibarat dua orang yang
timbul rasa takut akan adanya penindasan atau pebuatan melampaui batas yang
dilakukan oleh pemilik tanah tersebut terhadap mitra. Karenanya keduanya adalah
pasangan untuk bekerja sama dan menjalankan suatu usaha, maka keduanya
atas hak orang lain. Hal-hal seperti ketakutan akan timbulnya perselisihan di
antara mereka, pemilik tanah memperoleh keuntungan yang lebih tinggi dari mitra
kerjanya, dilarang dan dianggap tidak sah oleh khalifah. Mukhabarah, bibit yang
antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang
mukhabarah hanya terletak pada asal benih atau bibit tanaman, dimana dalam
2008:117).
34
2.5 Amanah
pada dasarnya perintah dan larangan Allah merupakan amanah manusia dan
Karena dengan amang itulah, manusia melakukan aktivitas dari semua perintah
dan larangan Allah sebagaimana yang tercantum dalam terjemahan Q.S Adz-
Dzariyat:56 “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
profesional terhadap apa yang sudah diberikan Allah mencakup semua jenis
profesi yang menempel pada diri manusia. Amanah adalah semua tugas atau
pembebanan agama yang meliputi perkara dunia dan akhirat yang ditujukan
(Warson,1997).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda: “Aku titipkan kepada Allah
agamamu, amanahmu dan akhir dari amalanmu” (H.R Tirmidzi, Abu Dawud dan
Ahmad).
tiga pengertian yaitu 1) sesuatu yang dipercayakan (dititipkan kepada orang lain,
kata amanah dimaksud adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja
amina-ya manu-amman-wa amanatan. Akar kata amanah terdiri dari huruf hamzah,
mim, dan nun, yang berarti aman, tentram, tenang, dan hilangnya rasa takut
adalah pesan, perintah, wejangan. Kata amanah berasal dari bahasa Arab dan
berkaitan dengan sifat seseorang yang dapat dipercaya atau sesuatu yang
dipercayakan. Jika kita memahami amanat, tentu kita sudah menyadari amanah.
sedangkan orang yang imannya lemah, amanah yang ada pada dirinya ikut terkikis.
yang tidak amanah dan tidak sempurna agama orang yang tidak meanunaikan
amanah sebagai tugas atau kewajiban; Q.S Al-Baqarah: 283, amanah sebagai
hutang atau janji yang harus ditunaikan; Q.S An-Nisa:58, amanah sebagai tugas
yang harus disampaikan pada yang berhak; Q.S Al-Anfal:27, tentang menjaga
kehidupan manusia pada aspek vertikal (habl min Allah) dan aspek horizontal (habl
min an-nas).
keselamatan bagi dirinya dan orang lain. Jika manusia yang menunaikan amanah
Allah disebut manusia yang beriman, maka yang tidak menunaikan amanah
terhadap perintah dan larangan Allah disebut khianat. Khianat adalah dosa besar
yang sangat dibenci oleh Allah, sebagaimana dalam firman-Nya dalam Q.S Al-
Anfal ayat 27: “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
sangat luas meliputi perasaan manusia untuk melaksanakan segala sesuatu yang
kepada Allah. Amanah selalu berkaitan dengan lisan dan perbuatan, karena kunci
amanah adalah menjaga dan menyampaikan segala sesuatu yang sudah dititipkan
kepadanya terkait urusan agama maupun umum, urusan dunia ataupun akhirat.
Sebagaimana firma Allah dalam Q.S Al-Mu’minun: 8 dan Q.S Al-Ma’arij 32: “Dan
Pada ayat ini, Ibnu Katsir menafsirkan orang amanah adalah jika mereka
apabila mereka dititipkan sesuatu tidak berkhianat, ketika berjanji tidak melanggar,
jika sebaliknya adalah sifat sifat orang munafik (Ar-Rifa’i, 2000, p.812 [4]). Mereka
37
tidak berkhianat dengan amanah yang dititipkan kepadanya dan mereka tidak
Mereka akan menjaga amanah yang mereka emban serta tidak pernah
membatalkan dan melanggar janji-janji yang mereka buat. (Al-Qarni, 2007, p 426).
Lawan dari sifat amanah adalah sifat khianat dan sifat khianat itu adalah
berbunyi “Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu jika berbicara, ia berdusta,
jika berjanji, ia mengingkari dan jika dipercaya, ia berkhianat. (H.R Bukhari, Muslim,
orang yang mempercayaimu, dan jangan kamu khianat kepada orang yang
tidak selalu dapat menjaga dan menunaikan amanah. Hal itu dapat terlihat dari
Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa hal tersebut mencakup seluruh
amanah yang wajib bagi manusia, berupa hak-hak Allah terhadap para hamba-
Nya, seperti shala, zakat, puasa, kafarat, nazar, dan selain dari itu, yang
lain. Serta amanah yang berupa hak-hak sebagian hamba dengan hamba lainnya,
seperti titipan dan selanjutnya, yang kesemuanya adalah amanah yang dilakukan
tanpa pengawasan saksi. Itulah yang diperintahkan oleh Allah untuk ditunaikan.
ukur keimanan dan derajat manusia. Manusia yang dapat menunaikan amanahnya,
malaikat. Namun, jika manusia tidak dapat menunaikan amanah yang dibebankan
oleh Allah, maka manusia tersebut mempunyai iman yang lemah dan derajatnya
perilaku yang amanah berdasarkan Al-Qur’an dan hadits, serta beberapa sumber
seperti dapat dipercaya, bertanggung jawab dan jujur, dan orang yang mampu
melaksanakan tugas yang diberikan, dan 2) komponen dalam skala amanah yaitu
kepada Allah yang harus dikerjakan sebagai karakter terpuji untuk kebaikan dirinya
maka amanah seorang pemilik yang berkaitan dengan tanah adalah ketika ia
pertama kali memilik tanah tersebut. Amanah dalam mengelola, merawat, dan
menjaganya. Kemudian, karena beberapa faktor yang ada, tanah tersebut tidak
bukan hanya sebatas itu amanahnya, tetapi hasil dari tanah tersebut pun menjadi
konsep amanah dalam Al-Qur’an dan Hadits, seharusnya hasil dari usaha bagi
Amanah bagi seorang penggarap, pertama kali diterima ketika terjadi akad
antara pemilik tanah dan dirinya. Dia dipercayakan oleh pemilik tanah, untuk
mengelola tanah dari pemiliknya. Maka usaha yang dilaksanakan, harus benar-
benar bisa memberikan manfaat kepada dirinya dan orang lain sebagai bentuk
pertanggungjawaban kepada pemilik tanah dan yang paling utama adalah Allah
Azza wa Jalla. Begitu pula dengan hasil dari tanah tersebut, nantinya tetap akan
menjadi amanahnya untuk membelanjakan harta yang ia miliki di jalan yang benar.
40
pertanian baik itu mudharabah, musaqah, muzara’ah, dan musaqah dapat menjadi
haram ketika bentuk kesepakatannya tidak adil. Hal ini menunjukkan bahwa
prinsip keadilan merupakan prinsip fundamental dalam akad kerja sama pertanian.
Prinsip keadilan menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban antara pemilik
tidak akan ada pihak yang terpaksa dan dirugikan selama perjanjian bagi hasil
bagi hasil, tentunya diperlukan pemahaman terhadap konsep keadilan itu sendiri.
Berikut ini akan dijabarkan konsep keadilan secara umum maupun dari sudut
pandang Islam.
Masalah keadilan tidak hanya dibahas dalam wilayah kajian hukum saja, tetapi
perlu juga dikaji dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Keadilan
merupakan tujuan, sedangkan hukum sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Konsep atau bahkan nilai keadilan sering dipengaruhi unsur subjektivitas manusia,
Sesuatu yang dirasa adil oleh seseorang belum tentu dirasakan oleh orang lain
kata sifat menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak
berarti tengah atau pertengahan. Dalam makna ini, kata adil memiliki persamaan
41
kata dengan kata wasath yang darinya terambil kata pelaku (isim fa’il) kata wasith
yang diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi “wasit” yang artinya ialah
keadilan.
hak hidup secara layak, hak menikmati pembangunan dan tidak adanya pihak
yang dirugikan serta adanya keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan (P3EI
deontologis menempatkan keadilan sebagai nilai utama tertinggi, atau yang biasa
disebut dengan the primary of justice. Menurut Rawls dalam Rasuanto (2005:20),
the primary of justice memiliki arti bahwa keadilan bukan merupakan salah satu
prinsip utama di antara prinsip utama yang lain, melainkan sebuah prioritas dan
merumuskan dua prinsip keadilan. Prinsip pertama yaitu setiap orang harus
memiliki hak yang sama bagi semua orang, sedangkan prinsip kedua yaitu
diharapkan memberi keuntungan bagi setiap orang dan semua posisi serta
pendapatnya tentang moral dan teori keadilan, yaitu “these fact suggest the view
42
that law is the best understood as branch of morality of justice and that is
concurrence with the principle of morality or justice rather than its incorporation of
orders and threats is its essence”. Pernyataan Hart tentang hukum dan moralitas
tersebut menyatakan bahwa keadilan hanya akan memiliki nilai dari manfaat jika
terwujud dalam hukum formil dan hukum materiil serta diterapkan dalam
memiliki cakupan yang sangat luas. Penjabaran aktualisasi nilai keadilan dalam
Islam kepada umat manusia adalah prinsip keadilan dan pelaksanaannya dalam
setiap aspek kehidupan manusia. Dalam Islam, semua orang didorong untuk
prinsip persamaan dan keadilan kepada semua orang dan yang tidak hanya tertuju
rasa sama rata”, terdengar bertentangan dengan semangat keadilan dalam Islam.
bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam. Setiap individu perlu dihargai
sesuai karena memiliki kemampuan dan kualitas pada dirinya, artinya setiap orang
43
para nabi yang telah diutus oleh Allah, termasuk dalam penegakan keadilan
bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Alkitab dan
57:25) Ayat ini memberikan penekanan pada nilai keadian yang lebih besar
daripada perkara ini, yaitu bahwa Allah mengutus para Rasul-Nya dan
pentingnya keadilan dalam setiap bidang, baik ekonomi, politik maupun sosial.
Komitmen Al-Qur’an tentang penegakan keadilan sangat jelas. Hal ini terlihat dari
penyebutan kata adil, al-adl (keadilan) di dalam Al Qur’an yang mencapai lebih
dari seribu kali. Hal ini berarti, kata adil merupakan kata yang terbanyak disebut
Salah satu penyebutan keadilan dalam Al Qur’an, antara lain dalam surah
al-Nahl Ayat 90, sebagai berikut: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku
adil dan berbuat kebaikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang
makna yang bertolak belakang, yakni lurus dan sama serta bengkok dan bebeda.
Seorang yang adil adalah yang berjalan lurus dengan sikapnya selalu
44
menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan inilah yang
menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang
berselisih. Sedangkan menurut para ulama lain, kata al-adl didefinisikan dengan
proporsional, pengertian adil adalah memberikan hak melalui jalan terdekat, yaitu
modersi, artinya tidak mengurangi dan juga tidak melebihkan sebagai lawannya
keburukan. Dalam Islam konsep adil juga diterjemahkan yang bermakna “tidak
menzalimi dan tidak dizalimi” (la tazlimuna wa la tuzlamun). Konsep adil sebagai
implementasi tidak menzalimi dan tidak dizalimi, lazim digunakan dalam fiqih
dalamnya gharar (ketidakjelasan), tidak ada maisir (perjudian), dan tidak ada riba
(tambahan).
sesuatu. Jika urusan dunia ditegakkan dengan keadilan, maka dia akan tegak,
meskipun pemiliknya tidak memiliki bagian di akhirat. Akan tetapi jika tidak
ditegakkan dengan keadilan, maka dia tidak akan tegak, meskipun pelakunya
Menurut Hartropp dalam Salle dan Lutfifah (2016:234), terdapat tiga cara
yang berbeda untuk memahami keadilan ekonomi, yaitu hak (rights), kebutuhan
45
(needs), dan ganjaran (desert). Ketiga pemahaman ini memiliki kesamaan makna
sampai pada tingkat tertentu antara satu dengan yang lain, tetapi ketiganya
berbeda secara nyata antara yang satu dengan yang lain boleh dikatakan memiliki
pertentangan antara satu dengan yang lainnya. Dalam pandangan Islam, nilai
tidak adil apabila ada sekelompok orang yang mendapatkan perlakuan khusus
Keadilan ekonomi dalam Islam dengan demikian meliputi keadilan pada diri
sendiri, keadilan pada umat manusia, dan keadilan kepada lingkungan. Keadilan
ekonomi kepada diri sendiri mengandung arti bahwa setiap orang berusaha untuk
melaksanakan rukun Islam (zakat dan haji). Sementara keadilan ekonomi kepada
dalam ekonomi Islam. Dalam menerapkan prinsip keadilan pada setiap kegiatan
diperlukan. Berdasarkan muatan makna adil yang ada dalam Al-Qur’an, dapat
46
diturunkan berbagai nilai turunan yang berasal dari prinsip keadilan itu sendiri,
3. Moderat Nilai adil dianggap telah diterapkan seseorang jika orang yang
4. Proporsional Adil tidak selalu diartikan sebagai kesamaan hak, namun hak
ini disesuaikan dengan ukuran setiap individu atau proporsional, baik dari
yang telah dijabarkan di atas akan terwujud jika setiap orang menjunjung
dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat lima indikator yang dapat
menjadi ukuran tercapainya keadilan dalam sistem bagi hasil. Indikator indikator
2. Penetapan nisbah atau proporsi bagi hasil yang proporsional atau sesuai
dengan kontribusi dari setiap pihak yang terlibat dalam bagi hasil tersebut.
3. Adanya sikap konsisten dari setiap pihak yang terlibat dalam perjanjian
akad.
5. Adanya ganti rugi jika salah satu pihak diberhentikan sebagai salah satu
pelaksanaan perjanjian bagi hasil. Hal ini bertujuan agar kedua belah pihak sama-
sama ridho dalam melakukan kerja sama tersebut karena tidak ada pihak yang
kegiatan produksi di dalam setiap usaha tani merupakan suatu bagian usaha,
dimana biaya dan pendapatan merupakan dua unsur yang paling penting. Dalam
perjanjian bagi hasil pada umumnya, pada saat awal akad (perjanjian) diadakan
hasil yang akan diterima masing-masing pihak nantinya. Perjanjian usaha bagi
hasil pertanian dapat dimaknai sebagai proses penyerahan tanggung jawab atas
tanah yang menjadi objek bagi hasil dari pemilik tanah kepada petani penggarap.
Untuk menciptakan kepercayaan timbal balik antara pemilik tanah dan petani
yang dimaksud disini, tidak hanya terbatas pada biaya maupun pendapatan yang
diungkapkan oleh masing masing pihak seperti kondisi tanah yang akan digunakan
sebagai objek bagi hasil, keterbatasan yang dimiliki oleh petani penggarap, dan
sebagainya.
sifat tembus cahaya, nyata, dan jelas. Transparansi secara kontekstual dapat
bahwa informasi yang disampaikan harus lengkap, benar, dan tepat waktu kepada
benar dan jujur dari satu pihak ke pihak lainnya berdasarkan pertimbangan bahwa
pihak tersebut memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh
mencakup tiga hal, yaiut 1) adanya keterbukaan informasi dari kedua belah pihak
2) pengukapan informasi secara jujur, lengkap dan meliputi segala hal yang terkait
secara adil kepada pihak yang membutuhkan informasi. Nilai transparansi sangat
menuntut nilai-nilai kejujuran atas setiap informasi yang diberikan dari satu pihak
(26) ayat 181-183 Allah berfirman yang artinya, sempurnakanlah takaran dan
dengan timbangan yang lurus (182) dan janganlah kamu merugikan manusia pada
50
kerusakan (183). Dalam surah Al Muthaffifin ayat 1-3, Allah berfirman yang artinya
menerima takaran dari orang-orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila
sikap kejujuran dan menentang perbuatan curang. Pada surah Al-Syu’ara Allah
neraca yang benar. Ayat tersebut menegaskan bahwa Allah memerintahkan kita
untuk berlaku jujur dalam segala hal. Selanjutnya, Allah menegaskan dalam surah
Al-Muthaffifin ayat 1-3 bahwa Allah melaknat orang-orang yang tidak bersikap jujur
transparansi ini dipandang sebagai salah satu kaidah dasar yang harus dipegang
dalam seluruh muamalat, baik sesama kaum muslimin sendiri maupun kaum non
muslim (Zaid, 2004:236). Beliau pula mengungkapkan bahwa tujuan kaidah ini
adalah mengikatkan diri dengan syari’at Islam dalam menjauhi pengelabuan dan
dengan cara yang dapat menimbulkan kesan yang melebihi maknanya akan
mengambil manfaat dari data akuntansi tersebut. Oleh karena itu kaidah
keputusan, sehingga tidak ada pihak yang terzalimi karena adanya sikap tidak jujur
dan tidak terbuka dari salah satu pihak. Dengan demikian, dalam bermuamalah,
sikap transparan akan menghantarkan manusia pada berbagai kebajikan dan juga
tersebut dapat digunakan dalam memahami transparansi pada akad bagi hasil
pertanian. Dalam konteks bagi hasil pertanian, pemerintah dalam hal ini adalah
keuangan dan yang lainnya kepada pemilik tanah. Sedangkan yang dimaksud
dengan informasi adalah mengenai setiap hal yang terkait kerja sama bagi hasil,
baik itu mengenai kondisi objek bagi hasil maupun penerimaan serta penerimaan
khususnya bagi hasil pertanian, kejujuran dimulai saat petani penggarap sebagai
pekerja aktif dan tuan tanah sebagai pemilik saling menyampaikan kekurangan
duanya dapat saling menerima kekurangan telah dibicarakan lebih awal. Hakim
bagi hasil akan menciptakan sistem kontrol yang baik antara dua pihak yaitu
pemilik tanah dan penggarap tanah. Hal inilah yang seharusnya dijadikan oleh
pemilik tanah untuk mengurangi rasa curiga dan ketidakpercayaan terhadap petani
akad, baik sebelum proses dan setelah perikatan berakhir. Selain itu, menurut
bersikap jujur, tidak ada satupun hal yang ditutup-tutupi dari pengetahuan
penerima informasi dalam hal ini, pemilik tanah. Terciptanya transparansi akan
mampu memberikan dampak yang baik bagi pengawasan oleh pemilik tanah
informasi dari pemilik tanah maupun penggarap tanah mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan akad bagi hasil pertanian tersebut, baik itu mengenai kondisi
objek bagi hasil, proses pengelolaan sumber daya, dan sebagainya. Dari sisi
kepada petani penggarap terkait kondisi tanah yang akad digarap oleh petani
penggarapan. Jika sikap transparan telah dimiliki oleh kedua belah pihak, maka
53
proses bagi hasil dapat berjalan dengan sehat dan tidak merugikan salah satu
pihak.
antara pihak yang terlibat, penetapan nisbah bagi hasil yang proporsional,
konsistensi akad, keseimbangan bargaining power, serta adanya ganti rugi jika
dalam menilai keadilan pada sistem usaha bagi hasil pertanian pada penelitian ini
kepercayaan dari satu pihak ke pihak lain dalam sistem bagi hasil, sehingga
antara pihak-pihak yang terlibat dalam sistem bagi hasil tersebut. Transparansi
yang diukur dalam hal ini yaitu transparansi biaya, pendapatan, jangka waktu
dalam keempat hal tersebut, serta kelima elemen lainnya harus terpenuhi dalam
rangka mewujudkan sistem bagi hasil yang sesuai dengan prinsip keadilan dalam
syariat Islam.
maupun kuantitatif bahwa (1) prototipe orang amanah adalah memiliki karakter
positif seperti dapat dipercaya, bertanggung jawab dan jujur, dan orang yang
mampu melaksanakan tugas yang diberikan, dan (2) komponen dalam skala
54
amanah yaitu integritas, melaksanakan tugas dan kebajikan. (Agung & Husni,
2017. Peneliti memilih pendekatan kualitatif karena mengggap itu cocok dengan
Mampu
Melaksanakan
Tugas
Dapat Dipercaya
Amanah
Jujur dan
Bertanggung
Jawab
Usaha
Bagi Hasil Nisbah yang Bagi Hasil
Pertanian Proporsianal Sesuai Al-Qur’an
dan Sunnah
Konsistensi
Keadilan
Keseimbangan
Bargaining Jangka
Power Waktu Akad
Mekanisme
Penanggungan
Rugi Biaya
Transparansi
METODE PENELITIAN
bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, dan tindakan, secara holistik dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat yang sedang
Alasan pemilihan metode ini didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai
penerapan prinsip amanah dan keadilan antara petani penggarap dan pemilik
tanah pada usaha bagi hasil pertanian. Selain itu, untuk merumuskan konsep
prinsip amanah dan keadilan pada usaha bagi hasil pertanian, peneliti akan
oleh pengamatan lapangan agar diperoleh gambaran yang jelas dan terperinci
56
57
ini sebagai lokasi penelitian dikarenakan besarnya potensi yang dimiliki kabupaten
Dalam penelitian ini, data yang dikumpulkan adalah data kualitatif. Menurut
Putra (2014:47) data kualitatif adalah data yang memaparkan dan memberikan
gambaran penjelasan teoritis yang didasarkan pada masalah yang diteliti serta
1. Data primer yaitu data yang diperoleh dari sumber pertama berupa laporan
tertulis yang diambil dari petani penggarap dan pemilik tanah yang ada di
literatur terkait konsep bagi hasil yang sesuai dengan prinsip keadilan
publikasi dan non publikasi dari sumber sekunder dalam bidang khusus
1. Wawancara
jawaban atas pertanyaan itu. Pada penelitian ini pihak yang akan menjadi
adalah petani yang bekerja sebagai petani penggarap di lokasi penelitian yang
telah disebutkan sebelumnya, pemilik tanah dan pemodal. Dalam penelitian ini,
interview dengan membawa pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang
diperdalam.
2. Penelitian Pustaka
referensi lainnya yang berkaitan dengan konsep keadilan maupun usaha bagi hasil
analisis model Miles dan Huberman. Miles dan Huberman dalam Sugiyono
melakukan pemilihan terhadap data yang relevan serta tidak relevan dalam
yang pokok dan penting, serta membuat kategorisasi. Dengan demikian data yang
telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah
diperlukan. Dalam penelitian ini peneliti melakukan data reduction (pemilihan data)
dengan cara abstraksi, yaitu dengan membuat ringkasan, dimana inti, proses, dan
bentuk laporan secara sistematis yang mudah dibaca serta dipahami. Dengan
menyajikan data, maka data akan terorganisasi, tersusun dalam pola hubungan,
sehingga akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi. Dalam
penelitian kualitatif penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk tabel, grafik,
data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
berikut:
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang
berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Tahap ini dilakukan dengan
Tampo dan mengumpulkan, membaca, menelaah berbagai buku, jurnal dan artikel,
61
serta sumber lain yang relevan dengan pembahasan agar lebih memahami teori
HASIL PENELITIAN
Enrekang
Enrekang dengan luas wilayah 7.45 KM2 yang terbagi dalam 2 dusun yaitu dusun
Tampo dan Dusun Manggugu. Adapun batas-batas wilayah Desa Tampo adalah
sebagai berikut:
peretasan laki laki 480 orang dan perempuan 497 orang. Mayoritas mata
yang lebih dominan adalah bawang merah. Fasilitas pendidikan di Desa Tampo
terdiri atas 1 unit SD (Sekolah Dasar) dengan jumlah murid 149 dan guru 11 orang.
62
63
pemberantasan hama, dan penyakit, hingga panen dan pasca panen. Selain itu,
Nadja (2014:41) menambahkan bahwa setiap usaha pertanian tidak lepas dari
adalah semua yang dimasukkan ke dalam proses produksi, seperti tanah yang
pertanian. Sedangkan output adalah hasil tanaman dan ternak yang dihasilkan
oleh usaha tani. Input dan output ini erat kaitannya dengan biaya dan pendapatan.
64
Besarnya biaya yang dikeluarkan serta besarnya pendapatan yang diperoleh dari
suatu usaha pertanian sangat penting untuk diketahui agar mudah dalam
menghitung laba bersih yang diperoleh petani dalam setiap masa panen.
Desa Tampo serta besarnya biaya dan pendapatan yang terjadi pada saat masa
panen. Informasi yang dikumpulkan berdasarkan pada satuan hektar (ha) yaitu
selama 2 bulan 21 hari dan dilakukan sebanyak 2-3 kali panen dalam setahun,
yang terdiri atas 7 hari proses pengelolaan lahan hingga siap untuk ditanami, 2
bulan untuk proses penanaman, pemeliharaan hingga tiba waktu panen dan 14
hari pasca panen hingga persiapan untuk penjualan. Tanah yang di garap di Desa
Tampo menggunakan air sungai dengan komoditas utama adalah bawang merah.
menggunakan beberapa input atau faktor produksi yaitu dompeng (traktor), sekop,
pupuk kandang, bibit, serta tenaga kerja tanam. Sebelum memulai proses
dengan menggunakan traktor atau dompeng. Salah satu informan bernama Imam
“Kalau untuk sewa dompeng biasanya ongkosnya Rp600.000 per hari dan
kemarin prosesnya selama 3 hari itu sudah terhitung orangnya, traktor nya,
sama solarnya. Jadi totalnya Rp1.800.000 dan saya tinggal terima beres
saja” (30 April 2021)
Dan proses selanjutnya dari pra tanam ini adalah tanah di garisi (membuat
Di sisi lain, sembari menyiapkan lahan, petani juga menyiapkan bibit yang
akan ditanam. Bibit untuk lahan berbeda-beda tergantung seberapa luas lahan
“Jadi di samping kita persiapkan lahan, kita juga persiapkan bibit yang akan
di tanam. Jadi bibit saya kemarin modalnya sebanyak Rp. 33.000.000
untuk satu ton bibit. Jadi karyawan untuk mangpejo bibit (proses untuk
membersihkan bibit dengan memangkas akar dan mencabut sebagian
daunnya agar siap untuk tanam). Ongkos untuk mangpejo
Rp25.000/karung dan kemarin ada 40 karung bibitku. Jadi kalau untuk
mangpejo ini, cara mengupahnya dengan melihat berapa jumlah karung
yang dipejoi bukan orangnya. Dan terakhir ada namanya mang servis bibit,
kalau ini dihitung per orang, ongkosnya Rp75.000/orang dan kemarin 2
orang ji yang kerjai” (30 April 2021)
dikeluarkan oleh petani berbeda-beda untuk tiap lahannya. Biaya yang dikeluarkan
66
oleh petani yang menjadi informan dari peneliti selama proses persiapan tanam
bawang merah untuk satu hektar tanah adalah sebesar Rp43.830.000, dengan
rincian biaya sebagai berikut; biaya sewa dompeng sebesar Rp1.800.000, biaya
Setelah proses pra tanam selesai, maka tiba lah waktunya untuk menanam
“Jadi ada dua macam tenaga kerja yang digunakan dalam proses tanam
yaitu borongan yang berasal dari warga lokal dan harian jika tenaga kerja
berasal dari desa lain. Kalau disini yang dihitung adalah jumlah saringan
yang digunakan ketika menanam, untuk biayanya sebesar
Rp25.000/saringan. Dalam 100 kg bibit bawang merah itu, jika dikonversi
menggunakan saringan yakni sebanyak 9 saringan. Per 100 kg, biayanya
Rp225.000, jika dihitung totalnya sebesar Rp2.250.000 untuk 1 ton bibit.
Kalau saya selama ini, menggunakan tenaga kerja borongan karena tidak
ribet. Berbeda kalau harian, karena kita harus mengumpulkan tenaga kerja
dari desa lain. Jadi dalam borongan juga ada yang bertindak sebagai bos
borongan, nanti tinggal saya serahkan uangnya ke dia, diami yang bagi-
bagi ke anggotanya sesuai dengan jumlah bibit dalam saringan yang dia
tanam. Untuk tambahan biayanya, yaitu konsumsi, estimasinya kemarin
kurang lebih Rp 200.000” 1 Mei 2021
besaran biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk menanam satu ton bibit bawang
pembersihan dari gulma yang dapat mengganggu tanaman. Oleh karena itu, pada
digunakan adalah pupuk, bahan bakar untuk mesin semprot dan pestisida, serta
kerja petani penggarap tergantung kondisi dari tanaman bawang merah. Pak Imam
menyampaikan bahwa,
Rp258.000 untuk goldma. Besaran biaya bahan bakar yaitu Rp1.000.000 untuk
bensin dan Rp3.000.000 untuk solar. Biaya listrik Rp500.000, lampu ultraviolet,
68
Untuk penyemprotan pestisida dilakukan 2 hari sekali atau tergantung hama yang
penyemprotan 2 kali dalam sehari yakni pagi dan sore. Pak Ilham mengungkapkan,
dilakukan petani 4-5 kali dalam satu kali musim tanam. Sebagaimana yang
“Kalau untuk pemupukan saya lakukan kemarin sebanyak 5 kali dalam satu
kali musim tanam, ada juga petani yang biasa cuma 4 kali, saya pupuk di
usia 7,14,21,30 dan 38 hari. Setelah itu, fokus perawatan supaya tidak
termakan ulat, atau hama yang lainnya. Karena disini, musuh utama petani
adalah ulat yang bisa menghabiskan daun-daun tanaman sehingga
menghambat pertumbuhan dan bisa juga mengkerdilkan tanaman. Untuk
pestisida yang digunakan ada banyak macamnya karena kemarin biayanya
Rp11.140.000 di luar yang Gramoxone sama Golma begitupun dengan
pupuk, saya menggunakan banyak pupuk juga, biayanya Rp14.000.000”
(1 Mei 2021)
dapat disimpulkan bahwa besaran biaya untuk pupuk Rp 14.000.000 dan biaya
Harga
No Herbisida
Satuan Kuantitas Total
1 Kenrel Rp 150,000 20 botol Rp 3,000,000
2 Eiper Rp 145,000 20 botol Rp 2,900,000
3 Donkey Rp 20,000 bungkus Rp 2,000,000
Fungisida Harga Satuan Total
1 Ziplo Rp 87,000 20 kg Rp 1,740,000
2 Antracol Rp1,500,000 2 dos Rp 3,000,000
3 Ridomilk Rp 150,000 10 Bungkus Rp 1,500,000
Total Biaya Rp 11,140,000
bahwa,
“Kalau sudah masuk musim panen, kami biasa memanggil karyawan untuk
panen bawang. Dan biasanya belum cukup sehari sudah selesai di panen”
(18 April 2021)
Dari penjelasan informan tersebut, dapat dipahami bahwa ketika memasuki musim
panen, petani penggarap biasanya menggunakan tenaga kerja atau dalam hal ini
pengangkut bawang tergantung pada jarak yang harus dilalui. Kisarannya dari
Rp13.000- Rp20.000 untuk satu kali jalan dan biasanya mengangkut dua karung
bawang yang isi per karungnya 40 kg. Sebagaimana yang diungkapkan pak Imam,
“Untuk upah ojek saya kemarin, ada dua macam karena bentuk kebun
persegi panjang, jadi lokasi tenda yang jauh di gaji Rp20.000 satu kali jalan.
4 tenda itu yang lokasinya agak jauh di bawah, jadi ojeknya harus mutar
dulu. Nah itu, 74 kali di angkut, kalau yang 8 tenda, upah ojeknya Rp18.000
satu kali jalan, kemarin di angkut 121 kali. Untuk biaya lainnya, sebesar
Rp1.500.000 disini ada semua mi, konsumsi saat memupuk, mengeringkan
bawang, massari lessuna (packaging bawang) dan biaya kebersihan
Rp100.000 untuk diberikan kepada orang yang membersihkan bekas
tempat bawang ketika sudah dijual. Kalau saya, mau jual bawangku kalau
yang membeli ada uang cashnya, apalagi ini bagi hasil dan jumlahnya
banyak, saya khawatir kalau lambat uangnya cair. Kalau soal harga, inimi
bawang yang harganya cepat sekali naik turunnya. Jadi saya jualkan
kemarin, Rp13.000/kg dikali15.600 kg. Pedagang yang membeli, biasanya
mereka sendiri yang kemas ke dalam karung untuk di angkut ke mobil
karena ada karyawan khususnya mereka” (1 Mei 2021)
input berupa fakto-faktor produksi pertanian menjadi output berupa hasil pertanian
yang bernilai. Pada sub bab mengenai gambaran umum proses produksi pertanian,
71
telah dipaparkan input yang digunakan untuk setiap tahap proses produksi
pertanian seperti dompeng (traktor), bibit, dan tenaga kerja tanam untuk proses
tanaman, serta tenaga kerja panen tanaman bawang untuk proses panen. Setiap
tahap yang dilalui dalam proses pengubahan input menjadi output memerlukan
biaya yang kemudian dihitung sebagai biaya produksi dari usaha pertanian
tersebut.
pertanian, jumlah seluruh biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani penggarap
dikeluarkan oleh petani penggarap untuk satu hektar tanah adalah sebesar
yang dihasilkan/hektar
= Rp100.645.000 : 15.600 kg
= Rp6.451,6/kg
Dengan harga jual bawang merah sebesar Rp13.000 per kg, maka setiap
diasumsikan bahwa petani menjual seluruh hasil pertanian sebelum bagi hasil,
Perjanjian bagi hasil pertanian telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat
Desa Tampo. Salah satu informan yang merupakan pemilik tanah sekaligus
“Disini orang bertani bawang merah sejak tahun 90-an, tetapi pada saat itu
baru sedikit yang bertani bawang, karena dulu disini kekurangan air, jadi
73
banyak dari kami yang mengerjakan tanah di desa sebelah. Barulah tahun
2000-an, banyak warga masyarakat yang terbuka pola pikirnya untuk
menggunakan mesin pompa air, sehingga air bisa sampai ke kebun
mereka. Kalau untuk bagi hasil, disini sudah lama juga diterapkan, karena
banyak yang punya tanah, tapi dia tidak sanggup untuk mengelolanya, ada
juga yang karena sibuk dengan pekerjaan lainnya, sehingga tidak bisa
kerja lahannya, ada juga yang tidak mampu mengelola tanahnya karena
sudah berumur, akhirnya panggil orang untuk kerja tanahnya” (17 April
2021)
bahwa munculnya perjanjian bagi hasil pertanian di Desa Tampo ini dikarenakan
adanya sebagian pemilik lahan yang memiliki lahan pertanian yang banyak dan
luas, sehingga tidak mampu menggarap seluruh lahan pertaniannya sendiri, sibuk
dengan pekerjaan lainnya dan faktor usia yang membuatnya tidak kuat untuk
menggarap tanahnya.
Untuk menjaga agar lahan yang dimilikinya tetap produktif, para pemilik
tanah tersebut umumnya menyerahkan tanah mereka kepada orang lain untuk
digarap dengan sistem bagi hasil. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu
“Beberapa pekerja saya berasal dari keluarga terdekat, karena bisa lebih
di percaya. Daripada menganggur, mending saya panggil untuk kerja
tanahku” (17 April 2021)
Ada berbagai macam bentuk kerja sama bagi hasil di Desa Tampo, seperti
bahwa,
“Disini ada banyak macamnya itu kerja sama, ada yang punya tanah
sekaligus dia yang modali pekerjanya, ada yang punya tanah dia yang
kerja tapi modalnya dari orang lain, ada juga yang punya tanah, tapi
dimodali dan dikerja oleh orang lain” (30 April 2021)
bentuk kerja sama bagi hasil yang ada di Desa Tampo. Ada yang hanya bertindak
sebagai pemodal, ada yang bertindak hanya sebagai pemilik tanah, ada juga yang
74
bertindak sebagai penggarap saja, dan ada yang bertindak sebagai pemodal dan
pemilik tanah.
Proses usaha bagi hasil pertanian di Desa Tampo dimulai dengan adanya
perjanjian antara pemilik tanah, pemodal dan atau petani penggarap untuk
mengelola tanah atau modal yang dimiliki oleh pemilik tanah maupun pemodal.
“Di sini perjanjian bagi hasil cuma secara lisan, tidak pernah hitam diatas
putih, karena sudah menjadi kebiasaan dan adanya saling percaya antar
kedua belah pihak” (17 April 2021)
perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah, pemodal dan atau petani penggarap di
Desa Tampo hanya dilakukan secara lisan. Hal tersebut terjadi dikarenakan
adanya rasa saling percaya antara kedua belah pihak, dan hal tersebut sudah
Perjanjian bagi hasil di Desa Tampo juga tidak disertai dengan adanya
bagi hasil. Berakhirnya perjanjian bagi hasil umumnya dilakukan ketika kedua
belah pihak sudah merasa tidak cocok untuk melanjutkan perjanjian bagi hasil
“Kalau disini, tidak ditentukan sampai kapan ini perjanjian, karena saling
percaya maki satu sama lain, jadi kalo misalnya saya yang sudah merasa
tidak cocok, atau pemodal ku yang sudah tidak bisa melanjutkan kerja
sama, jadi langsung mi dihentikan. Tapi jarang-jarang ji itu yang berhenti
di tengah akad, rata-rata setelah pi bagi hasil panennya meskipun adaji
juga kejadian yang tiba-tiba penggarapnya pergi karena merasa tidak
cocok dengan pemilik tanah, tapi jarang sekali ji yang begitu.” (30 April
2021)
melakukan perjanjian bagi hasil karena tidak ingin mengecewakan pemilik tanah
ataupun pemodal.
75
Adapun untuk besaran proporsi bagi hasil di Desa Tampo, tidak ada yang
bahwa proporsi bagi hasil di Desa Tampo cenderung variatif artinya tergantung
kesepakatan dari kedua belah pihak mau menerapkan proporsi bagi hasil yang
perjanjian bagi hasil di Desa Tampo murni di tanggung oleh pemodal maupun
pemilik tanah. Dalam artian bahwa, tidak ada biaya produksi yang ditanggung
oleh kedua belah pihak sebagai berikut berdasarkan informasi yang diungkapkan
Dikurangi :
Sesuai dengan indikator yang ada pada kerangka penelitian, maka untuk
menentukan apakah pola bagi hasil yang dilakukan oleh masyarakat Desa Tampo
telah sesuai dengan prinsip amanah dalam Islam. Adapun indikatornya adalah
sebagai berikut:
Untuk dapat saling percaya, tentu dimulai dengan saling mengenal terlebih
dahulu atau minimal memiliki track record sebelumnya yang bisa dijadikan acuan
untuk menilai seseorang apakah layak untuk dipercaya atau tidak. Seperti halnya
kedua pihak sudah saling mengenal dan saling percaya satu sama lain. Pemilik
dikelola oleh petani penggarap. Elemen dapat dipercaya sudah terpenuhi dalam
dana ketika dibutuhkan oleh pengelola dana. Dan untuk pencatatnnya, tergantung
bahwa,
“Kalau kami, saya yang mencatat semua pengeluaran karena saya juga
yang pergi beli kebutuhan penggarap. Jadi, penggarap tinggal kerja saja.
Mereka sangat memperhatikan tanah yang dikelola karena merupakan
sumber mata pencaharian mereka. Dan alhamdulillah mereka
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya” (30 April 2021)
benar mencatat biaya-biaya yang dikeluarkan, begitu pula dengan pemodal, harus
dikonsolidasikan diakhir nanti. Ketika bawang merah akan dijual, kedua pihak
harus hadir menyaksikan hal tersebut, agar tidak ada saling curiga antar keduanya
78
terkait dengan harga bawang dan penghasilan yang diperoleh. Terkait hal tersebut,
“Alhamdulillah, kalau untuk setiap pembelian saya, ada notanya dan itu
saya berikan kepada bosku nanti kalau sudah terjual mi bawang, jadi nanti
dicocokkan dengan catatan yang ada di dia dengan catatan yang saya buat,
supaya jelas semuanya. Beliau juga hadir pada saat bawang akan dijual”
(30 April 2021)
Jadi, elemen Jujur dan Bertanggung Jawab sudah terpenuhi dalam usaha bagi
4.5.1 Transparansi
empat hal, yaitu transparansi mengenai objek bagi hasil, transparansi jangka
mengenai penerapan keadilan dalam hal transparansi pada usaha bagi hasil
bagi hasil pertanian yaitu adanya objek bagi hasil berupa tanah yang akan digarap.
tersebut harus memenuhi syarat bahwa tanah tersebut merupakan lahan yang
produktif. Jika tanah pertanian itu adalah lahan yang tandus dan kering sehingga
tidak mungkin dapat ditanami, maka akad bagi hasil tersebut dinyatakan tidak sah.
79
Dalam hal ini, pemilik tanah sebagai pihak yang dianggap paling
mengetahui kondisi tanah yang akan dijadikan sebagai objek bagi hasil
dimilikinya, termasuk jika terdapat kekurangan pada tanah tersebut. Hal ini
diperlukan agar nantinya tidak ada pihak yang dirugikan jika ternyata kondisi objek
informasi yang jelas mengenai tanah yang akad digarap karena beliau diajak oleh
pemilik tanah yang sekaligus menjadi pemodal untuk mengecek terlebih dahulu
“Waktu kemarin saya diajak untuk mengecek atau melihat-lihat dulu kondisi
tanah yang akan saya garap, apalagi sebelum saya, sudah ada yang garap
tanah itu, jadi sudah ditahu bahwa bisa menghasilkan tanah tersebut” (30
April 2021)
menerapkan sikap jujur terkait objek bagi hasil antara pemilik tanah, pemodal, dan
petani penggarap. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa prinsip keadilan usaha
bagi hasil pertanian dalam hal transparansi objek bagi hasil sudah terpenuhi.
perjanjian usaha bagi hasil pertanian harus dijelaskan dalam akad sejak awal,
karena akad muzara’ah (akad bagi hasil pertanian) juga mengandung makna akad
al-ijarah (sewa menyewa atau upah mengupah) dengan imbalan sebagian hasil
80
panen. Oleh sebab itu, jangka waktunya harus jelas dan harus disepakati bersama
Selain itu, dengan adanya penetapan jangka waktu perjanjian di awal akad, hal ini
perjanjian bagi hasil tersebut. Oleh karena itu, keadilan dalam hal transparansi
“Kalau untuk lamanya perjanjian tidak pernah ditentukan, karena kalau pemilik
tanah atau pemodal dan penggarap sudah ingin menghentikan, maka kerja
sama tersebut tidak akan dilanjutkan, tapi jarang-jarang ji yang langsung
berhenti kerja samanya di tengah akad perjanjian. Biasanya itu, setelah pi
menanam, baru lanjut dibicarakan mengenai kelanjutan kerja samanya kalau
misalnya memang tidak bisami salah satu pihak” (30 April 2021)
Dari informasi yang diungkapkan oleh Sunardi, diperoleh informasi bahwa dalam
perjanjian usaha bagi hasil pertanian di Desa Tampo, belum ada kesepakatan
secara khusus di awal akad mengenai jangka waktu berlangsungnya kerja sama
bagi hasil tersebut. Hal ini menyebabkan salah satu pihak dapat menghentikan
dari kedua belah pihak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keadilan
81
terpenuhi pada sistem bagi hasil pertanian yang diterapkan di Desa Tampo.
3. Transparansi Biaya
lapangan pertanian, pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan
lebih tinggi. Tinggi rendahnya penghasilan bersih yang peroleh petani dari
usahataninya ditentukan dari jumlah produksi yang diperoleh dari harga hasil
produksi yang berlaku serta besarnya biaya produksi yang dikeluarkan dalam satu
Oleh karena itu, salah satu hal utama yang perlu disampaikan oleh petani
penggarap kepada pemilik tanah atau pemodal dalam perjanjian bagi hasil yaitu
mengungkapkan bahwa,
“Kalau saya sama bosku, kalau ada keperluanku, tinggal mintaka uang lalu
beliau transfer mi, jadi saya catat mi juga semua pengeluaran-pengeluaran
yang ada. Kemudian bos Cuma mencatat nominal yang di transfer saja,
sehingga nanti di akhir, kalau mau dicocokkan, tinggal saya kasikan nota
nota dan catatan ke bos. Adapun catatan yang saya gunakan sangat
sederhana, tidak pake-pake format begitu tapi pake format yang biasa saja”
(30 April 2021)
Berbeda halnya yang di sampaikan oleh Sunardi yang selaku pemilik tanah
oleh salah satu pihak, ketika satu pihak yang mencatat, itu berarti sudah ada
kepercayaan dari pihak lain bahwa pihak ini bisa dipercaya dalam membuat
sehingga tidak timbul saling curiga dan mudah untuk dikonsolidasikan pasca
panen nantinya. Sikap jujur petani penggarap dalam melaporkan biaya-biaya yang
biaya yang dilakukan oleh petani penggarap kepada pemilik tanah ataupun
pemodal.
adil kepada sesama umat manusia, yaitu dengan memberikan hak orang lain
dengan jujur dan benar serta tidak menyakiti dan merugikan orang lain. Petani
proses produksi, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam hal
transparansi biaya telah terwujud dalam sistem usaha bagi hasil pertanian di Desa
Tampo.
4. Transparansi Pendapatan
Selain biaya, hal lain yang juga penting untuk ditransparansikan pada
perjanjian usaha bagi hasil pertanian adalah pendapatan. Hal ini dikarenakan
terutama jika bagi hasil yang berlaku menggunakan pole revenue sharing. Jumlah
pendapatan yang diperoleh dari usaha tani tersebut. Keadilan dalam transparansi
sempurna terkait besarnya jumlah pendapatan yang diperoleh dari usaha bagi
hasil.
Proses bagi hasil pendapatan bersih dari usaha pertanian yang digarap
oleh petani penggarap dilakukan ketika hasil produksi sudah terjual. Sebagaimana
“Disini bagi hasilnya dilakukan pada saat bawang merah sudah terjual, dan
kalau mau dijual datang ji itu bosku, jadi kalau saya biasanya cari pedagang
yang langsung bayar kontan supaya menghindari hal-hal yang tidak
diinginkan, karena ini uang jumlahnya banyak. Kalau kredit biasanya 1 atau
2 pekan pi baru cair uangnya, kalau begitu saya khawatir karena ini uang
bukan uangku semua. Kalau sudah ada uangnya, saya sama bosku
menghitung mi semua biaya-biaya yang keluarkan, baru pendapatan
bersih yang dibagi hasilkan” (30 April 2021)
langsung oleh pemilik tanah sekaligus pemodalnya. Hal ini menunjukkan adanya
keterbukaan antara kedua belah pihak mengenai pendapatan yang diperoleh dari
usaha bagi hasil pertanian tersebut. Dengan adanya sikap terbuka dari petani
mengenai hasil panen dari usaha pertanian serta informasi yang dapat diperoleh
pemilik tanah mengenai harga jual bawang merah, maka dapat disimpulkan
keadilan dalam hal transparansi pendapatan telah terjadi pada sistem usaha bagi
Nisbah bagi hasil yang proporsional menjadi salah satu elemen utama
dalam menilai penerapan keadilan pada usaha bagi hasil pertanian. Dalam al-
qur’an surah al-Hadid ayat 25, terminologi keadilan disebutkan dalam berbagai
istilah seperti ‘adl, qisth, mizan, hiss, dan qasd yang menunjukkan beberapa
pihak lain sesuai dengan pengorbanan yang telah dilakukan. Pengorbanan yang
telah dilakukan inilah yang menimbulkan hak bagi seseorang untuk memperoleh
seseorang yang adil itu adalah menyetujui “proporsi” dan “kesepadanan” dan siapa
seseorang yang zalim. Mengacu pada tersebut, maka dalam perjanjian usaha bagi
harus sesuai dan setara dengan besarnya pengorbanan yang telah dilakukan.
Dalam sistem bagi hasil, terdapat dua pola yang dapat digunakan untuk
menentukan pendapatan bagi hasil yaitu, profit sharing dan revenue sharing.
Menurut Nurhayati dan Wasilah (2016:134), revenue sharing merupakan pola bagi
hasil yang menggunakan laba bruto atau laba kotor sebagai dasar pembagian
hasil usaha. Sedangkan profit sharing merupakan perhitungan bagi hasil yang
didasarkan pada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan
Berdasarkan analisis peneliti dari hasil wawancara, pola bagi hasil yang
diterapkan di Desa Tampo adalah profit sharing. Hal ini dikarenakan, pendapatan
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada poin 4.3, kita dapat menyimpulkan
85
bahwa elemen nisbah bagi hasil yang proporsional sudah terpenuhi pada usaha
bagi hasil pertanian di Desa Tampo, hal ini didasari karena kedua belah pihak
4.5.3 Konsistensi
Keadilan dalam konsistensi pada akad usaha bagi hasil pertanian diartikan
sebagai adanya ketetapan pada segala hal yang telah disepakati di awal perjanjian,
mulai dari dimulainya akad sampai berakhirnya akad tersebut. Jika terdapat salah
satu pihak yang tidak konsisten terhadap perjanjian yang telah disepakati, maka
hal itu tentunya merugikan pihak lain yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil
tersebut.
Selain itu konsistensi juga erat kaitannya dengan salah satu nilai yang
mencerminkan makna dari keadilan yaitu nilai kelurusan (P3EI UII Yogyakarta,
2008:62). Nilai kelurusan diartikan sebagai taat asas atau konsisten menuju tujuan.
Taat asas disini merupakan suatu kondisi yang harus dipenuhi agar perilaku adil
bisa terwujud. Jika seseorang tidak bisa berperilaku taat asa, maka akan sangat
Oleh karena itu, untuk menghindari adanya sikap tidak konsisten dari salah
satu pihak pada akad bagi hasil, Nurhayati dan Wasilah (2016:129) menyarankan
agar akad atau perjanjian bagi hasil sebaiknya dituangkan secara tertulis dan
dihadiri para saksi. Dalam perjanjian harus mencakup berbagai aspek antara lain
Selain itu, informan bernama Syahril yang merupakan petani penggarap juga
menambahkan,
“Kalau kita ini sebagai petani penggarap tidak berani berbuat yang kurang
baik, karena kita betul-betul menjaga kepercayaan dengan pemilik tanah ataupun
pemodal, karena kalau ditemukan curang, maka bisa saja musim produksi
selanjutnya, dialihkan ke orang lain mi itu tanah” (18 April 2021)
perselisihan antara kedua belah pihak, karena kebanyakan kedua belah pihak
konsisten dalam menjalankan hal-hal yang telah disepakati di awal perjanjian bagi
hasil.
Meskipun perjanjian bagi hasil hanya dilakukan secara lisan dan tidak ada
perjanjian tertulis secara resmi yang dihadiri oleh saksi, namun setiap pihak tetap
menjalankan perjanjian bagi hasil sebagaimana yang telah disepakati. Hal ini
dikarenakan petani penggarap tidak ingin pemilik tanah merasa tidak senang dan
Selain itu, pemilik tanah yang terkadang sekaligus menjadi pemodal juga
setiap pihak tentunya akan menjaga hubungan kekeluargaan di antara mereka dan
tanah dan penggarap. Adanya rasa ingin menjaga kepercayaan dan membina
hubungan yang baik antara kedua belah pihak secara tidak langsung telah
perjanjian yang telah disepakati dari awal hingga berakhirnya akad. Dengan
masing pihak terhadap perjanjian yang disepakati telah terjadi pada sistem bagi
dimiliki oleh petani penggarap, pemodal, dan pemilik tanah. Keadilan dari sisi
bargaining power berarti adanya kekuatan posisi tawar yang setara antara pihak-
tindakan semena-mena dari pihak yang memiliki bargaining power lebih kuat
terhadap pihak yang memiliki bargaining power yang lemah. Tindakan semena-
mena tersebut tentunya akan berakibat pada ketidakadilan dalam perjanjian bagi
SD, SMP, dan SMA sederajat. Rendahnya taraf pendidikan yang dimiliki petani
seperti petani penggarap, karyawan tanam dan karyawan cabut sebagai profesi
bargaining power yang dimiliki oleh petani penggarap di Desa Tampo. Akan tetapi,
ada juga yang background pendidikannya rendah, tetapi sudah bisa mandiri
dikerjakan. Semua itu terjadi tidak begitu saja, tetapi melalui proses yang begitu
“Saya kerja sebagai petani bawang sejak tahun 90an, sampai akhirnya bisa
mandiri seperti sekarang. Kalau mau dibilang kerugian, sudah mencapai
angka miliar pernah saya alami, tetapi tidak langsung berhenti dari situ,
terus mencoba dan mencoba sampai akhirnya bisa membuka lapangan
pekerjaan untuk masyarakat yang lain yang tidak memiliki tanah untuk
dikerjakan atau tidak memiliki modal, alhamdulillah sudah banyak yang
mandiri bertani melalui kerja sama seperti ini dari usaha bagi hasil” (17 April
2021)
Tadjuddin mengatakan,
“Di sini itu rata-rata orang kerja sebagai petani, dan banyak sekali juga
orang yang mau bertani tapi lahan yang kurang, maka dari itu dampang ji
kalau pemilik tanah mau cari orang untuk kerja tanahnya karena banyak
petani yang kadang nganggur, dari situlah banyak kerja sama bagi hasil
seperti ini karena saling membantu dan membutuhkan satu sama lain” (30
April 2021)
petani di Desa Tampo lebih besar dibanding permintaan tenaga kerja petani
yang ingin kerja sebagai petani penggarap, tetapi lahan yang tersedia untuk di
Tampo salah satunya disebabkan taraf pendidikan masyarakat yang masih rendah.
Bahkan ada juga yang sudah sarjana tetapi lebih memilih menjadi petani karena
sudah lelah mencari kerja atau daftar CPNS tetapi belum lolos. Belum lagi,
penghasilan ketika bertani bawang merah lumayan menjanjikan jika harga bawang
tidak anjlok.
masih berpedoman pada kebiasaan serta adat istiadat yang berlaku di daerah
menetapkan nisbah bagi hasil. Akan tetapi, itu tidak menjadi masalah karena
kedua pihak sudah sepakat untuk nisbah bagi hasil tersebut. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa belum sepenuhnya memenuhi kriteria keadilan dari segi
kesetaraan bargaining power pada sistem bagi hasil pertanian di Desa Tampo.
Lamanya kerja sama dalam mudharabah tidak tertentu dan tidak terbatas
tetapi semua pihak berhak untuk menentukan jangka waktu kerja sama dengan
memberitahukan pihak lainnya. Menurut Sabiq (2011:168) ada beberapa hal yang
dapat menyebabkan berakhirnya akad bagi hasil, yaitu 1) dalam hal akad bagi
hasil tersebut dibatasi waktunya, maka akad tersebut berakhir pada waktu yang
ditentukan, 2) salah satu pihak mengundurkan diri, 3) salah satu pihak meninggal
dunia atau hilang akal, 4) pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai
alasannya harus jelas dan jika terdapat kerugian maka harus ada ganti rugi yang
dibayarkan oleh pihak yang menghentikan akad tersebut. Ganti rugi tersebut
menyatakan,
pemilik tanah, karena biasanya yang memberhentikan akad secara sepihak adalah
petani penggarap yang langsung berhenti mengerjakan tanah dari pemilik tanah.
Adapun pemberhentian di tengah akad yang disepakati oleh kedua belah pihak
terjadi apabila tanaman yang ada diprediksi atau diperkirakan tidak akan bisa
mengembalikan modal jika terus dirawat. Maka dari itu, kedua belah pihak sepakat
untuk tidak melanjutkan akad, dan uang kompensasi diberikan oleh pemilik tanah
ataupun pemodal secara sukarela kepada petani penggarap yang tidak pernah
tidaknya ganti rugi ketika terjadi pemberhentian di tengah akad oleh salah satu
pihak pada sistem bagi hasil pertanian di Desa Tampo belum dapat ditentukan
Panen
kemungkinan yang bisa saja terjadi terkait pendapatan bagi hasil. Kemungkinan
pertama yaitu usaha tersebut berhasil dan memperoleh laba. Dalam kondisi
tersebut, maka laba bersih dibagi sesuai dengan nisbah bagi hasil yang disepakati
di awal akad. Kemungkinan kedua, yaitu usaha tersebut mengalami kondisi break
even point (tidak untung dan tidak rugi). Dalam kondisi ini maka pemodal
kerugian.
Ada dua kemungkinan kondisi kerugian, yaitu rugi namun masih terdapat
modal yang tersisa atau rugi total dimana tidak ada lagi modal maupun keuntungan
tersisa. Ketika masih ada modal atau kemungkinan yang tersisa maka kerugian
hanya ditanggung oleh pemilik tanah ataupun pemodal dan hanya mendapatkan
sisa modal yang ada. Sementara petani penggarap tidak mendapatkan apa-apa.
Namun, jika terjadi kerugian maka total kerugian ditanggung oleh pemilik tanah,
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ibnu Qudamah al Maqdisi
dalam kitab Al- Mughni bahwa “kerugian pada akad bagi hasil ditanggung harta
bila pada perjanjian bagi hasil terjadi kerugian maka prinsipnya yang menanggung
kerugian adalah pemilik modal ataupun pemilik tanah bukan pengelola dana. Hal
ini dikarenakan sang amil dalam hal ini petani penggarap telah menderita kerugian
dari tenaga dan waktu yang dikeluarkannya. Bahkan ketika dalam perjanjian telah
disepakati bahwa kerugian yang diderita dibagi dua atau sepertiga ditanggung
92
mengajukan syarat yang tidak ada dalam kitabullah, maka tidak diterima,
Dalam PSAK 105 yang mengatur tentang akad bagi hasil, juga telah
disebutkan bahwa dalam akad bagi hasil apabila terjadi kerugian maka kerugian
akan ditanggung oleh pemilik dana atau dalam hal ini pemilik tanah ataupun
pemodal sepanjang kerugian itu diakibatkan bukan dari kelalaian pengelola dana
atau dalam hal ini petani penggarap. PSAK 105 par 19 memberikan beberapa
contoh bentuk kelalaian pengelola dana, yaitu persyaratan yang ditentukan dalam
akad tidak dipenuhi, tidak terdapat kondisi di luar kemampuan (force majeure)
yang lazim dan atau yang telah ditentukan dalam akad, atau merupakan hasil
keputudan dari institusi yang berwenang. Dengan demikian, ketika terjadi gagal
panen yang disebabkan oleh kondisi alam yang tidak mendukung, seharusnya
“Kalau terjadi gagal panen, biasa disebabkan oleh hama yang menyerang
atau faktor alam lainnya, itu kerugiannya ditanggung pemilik tanah sama
pemodal. Karena kami tidak mengeluarkan dana untuk kerja sama ini,
hanya tenaga, pikiran, dan waktu. Kalau misalnya kurang hasilnya atau
tidak kembali modal, biasa ada uang kompensasi diberikan oleh pemilik
tanah yang sekaligus jadi pemodal kepada kami petani penggarap” (30
April 2021)
antara sistem bagi hasil yang terjadi di Desa Tampo dengan ketentuan bagi hasil
dalam Islam jika terjadi kerugian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
93
sudah terjadi keadilan dalam hal pembagian risiko ketika terjadi kerugian dalam
4.6 Analisis Prinsip Amanah dan Keadilan Pada Usaha Bagi Hasil
Pertanian
Dalam penelitian ini, peneliti menilai sistem bagi hasil yang diterapkan di
Desa Tampo dalam hal kesesuaiannya dengan Prinsip Amanah dan Keadilan
prinsip amanah dan enam elemen prinsip keadilan untuk menentukan apakah
sistem bagi hasil yang diterapkan telah memenuhi prinsip amanah dan keadilan
dalam Islam. Elemen prinsip amanah antara lain dapat dipercaya, mampu
melaksanakan tugas serta jujur dan bertanggung jawab. Elemen prinsip keadilan
antara lain penilaian transparansi yang terdiri dari transparansi objek bagi hasil,
konsistensi, bargaining power yang seimbang, adanya ganti rugi jika akad
gagal panen.
pihak telah saling mengenal satu sama lain, atau sebelumnya memiliki track record
yang bagus. Dari hasil analisis peneliti, dapat dipercaya sudah diterapkan oleh
peneliti, kedua pihak mampu melaksanakan tugas yang telah disepakati dalam
peneliti, kedua pihak telah menerapkan sikap jujur dan bertanggung jawab
transparansi pendapatan. Dari hasil analisis peneliti, transparansi objek bagi hasil
yang diterapkan pada sistem bagi hasil pertanian di Desa Tampo telah memenuhi
kriteria keadilan, karena kedua pihak telah memeriksa dan menyepakati hal-hal
yang nantinya akan menjadi objek bagi hasil. Dalam hal transparansi jangka waktu
sistem bagi hasil pertanian di Desa Tampo telah memenuhi kriteria keadilan
karena kedua belah pihak telah menjunjung tinggi nilai kejujuran sehingga biaya
dalam hal pendapatan, kedua belah pihak memastikan bahwa pada saat proses
dalam hal pendapatan pada sistem bagi hasil pertanian di Desa Tampo telah
Kedua, yaitu nisbah bagi hasil yang proporsional. Keadilan dalam hal ini
sudah terpenuhi karena kedua belah pihak telah sepakat dengan proporsi yang
sepakati di awal akad. Berdasarkan hasil penelitian, pada sistem bagi hasil yang
terhadap perjanjian yang telah disepakati di awal. Hal ini didorong oleh adanya
rasa kekeluargaan yang kuat, saling membutuhkan, dan keinginan untuk menjaga
hubungan yang baik antara pemilik tanah dan petani penggarap. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam hal konsistensi terhadap perjanjian yang
power (kekuatan tawar) yang setara sehingga tidak ada pihak yang bertindak
akad belum pernah terjadi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keadilan
dari sisi ganti rugi ketika terjadi pemberhentian di tengah berlangsungnya akad
hal pembagian risiko ketika terjadi kerugian dapat dicapai ketika mekanisme
pembagian risiko kerugian telah sesuai dengan syariat Islam. Dalam praktiknya,
ataupun pemodal, petani penggarap rugi dari segi waktu, tenaga dan pikiran. Oleh
karena itu, keadilan dalam hal penanggungan risiko ketika terjadi kerugian sudah
Tabel 4. 4 Hasil Analisis Prinsip Amanah dan Keadilan pada Usaha Bagi Hasil
Pertanian
Elemen Keadilan
sudah terjadi keterbukaan
Transparansi Objek Bagi Hasil Adil dari pemilik tanah mengenai
kondisi objek bagi hasil
Belum terdapat kesepakatan
Belum di awal akad mengenai
Transparansi Jangka Waktu Akad
Transparan jangka waktu berlangsungnya
akad
Kedua pihak telah
menjunjung tinggi nilai
Transparansi Biaya Adil kejujuran sehingga biaya
produksi yang dikeluarkan
telah transparan
Kedua pihak telah
memastikan bahwa pada saat
Transparansi Pendapatan Adil panen dan pasca panen
mereka menyaksikan
prosesnya.
Kedua pihak telah
berkontribusi sesuai dengan
Nisbah Bagi Hasil yang Proporsional Adil porsinya dan saling ridho
terhadap proporsi yang telah
disepakati diawal perjanjian
97
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian terhadap sistem bagi hasil usaha pertanian di Desa Tampo
Pertama, proses usaha bagi hasil pertanian di Desa tampo dimulai dengan
adanya perjanjian antar pemilik tanah maupun pemodal dengan petani penggarap
untuk menggarap tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah. Perjanjian tersebut hanya
dilakukan secara lisan dan didasarkan pada rasa saling percaya. Selain itu, tidak
perjanjian.
sumber utama selain hujan. Namun, itu bukan menjadi sesuatu yang masuk
perhitungan dalam bagi hasil, karena yang terhitung adalah bahan bakar yang
digunakan untuk menghidupkan mesin agar bisa memompa air ke lokasi pertanian.
Anggeraja, Kabupaten Enrekang terdiri dari beberapa akad. Ada akad Muzara’ah,
Mukhabarah dan Mudharabah. Akad yang paling banyak digunakan adalah akad
Mudharabah. Persentase nisbah bagi hasil yang digunakan cukup variatif. Ada
yang menggunakan 70:30 persen, 60:40 persen, 55:45 persen, dan 50:50 persen,
semua porsi bagi hasil tersebut sudah disepakati bersama diawal akad perjanjian
bagi hasil.
Ketiga, prinsip amanah yang diterapkan pada bagi hasil pertanian di Desa
Tampo dinilai berdasarkan tiga elemen yaitu Jujur dan bertanggung jawab, dapat
98
99
risiko jika terjadi kerugian. Untuk elemen transparansi terbagi menjadi empat yaitu
transparansi objek bagi hasil, jangka waktu berlangsungnya akad, biaya dan
kesimpulan bahwa belum sepenuhnya adil karena ada dua elemen yang tidak
power yang belum seimbang, dan elemen yang tidak dapat ditentukan adalah ganti
rugi ketika terjadi pemberhentian akad, karena belum pernah terjadi sebelumnya.
Oleh karena itu, masih dibutuhkan beberapa langkah perbaikan dan penyesuaian
dengan nilai-nilai keadilan dalam Islam agar sistem usaha bagi hasil pertanian
yang diterapkan di Desa Tampo sesuai dengan prinsip keadilan dalam Islam.
5.2 Saran
sebelumnya, maka terdapat beberapa hal yang masih harus menjadi perhatian
dalam mewujudkan usaha bagi hasil pertanian yang sesuai dengan prinsip
karena itu, untuk menghindari hal tersebut terjadi, maka jangka waktu
tiba-tiba oleh salah satu pihak, maka kedua pihak tersebut perlu memperperjelas
mengenai pemberian ganti rugi jika terjadi pemberhentian akad secara tiba-tiba
Ketiga, hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem usaha bagi hasil yang
diterapkan di Desa Tampo belum sepenuhnya adil. Oleh karena itu, perlu edukasi
kepada warga terutama yang merupakan pemilik tanah, pemodal maupun petani
atau pihak yang lain akibat bentuk perjanjian yang belum adil dapat diminimalisir.
petani penggarap yang lebih besar dibanding permintaanya. Oleh karena itu, perlu
power mereka.
101
pertimbangan bagi penelitian selanjutnya agar mendapatkan hasil yang lebih baik.
yang diperoleh dari pemilik tanah, pemodal , dan petani penggarap. Oleh karena
mendalam di setiap proses produksi pertanian, mulai dari penyiapan lahan dan
bibit hingga proses pemanenan bawang merah, agar diperoleh hasil yang lebih
penelitian masih berasal dari satu kelompok tani di dusun yang sama, meskipun
sudah ada beberapa perwakilan individu dari tempat yang lainnya, alangkah lebih
baik lagi, jika yang menjadi sampel adalah kelompok tani di setiap tempat yang
berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Sukrisno dan Ardana, I Cenik. 2009. Etika Bisnis dan Profesi. Jakarta:
Salemba Empat.
Darwis, Rizal. 2016. Sistem Bagi Hasil Pertanian Pada Masyarakat Petani
Penggarap di Kabupaten Gorontalo Perspektif Hukum Ekonomi Islam.
Jurnal Al-Mizan (Online). Vol 12, No 1, hal 1-25.
(https://journal.iaingorontalo.ac.id, diakses 7 Februari 2021).
Ghazaly, Ihsan, Shidiq. 2008. Fiqh Muamalat. Jakarta: Prenada Media Group.
Hafidhuddin, Didin dan Tanjung, Hendri. 2003. Manajemen Syariah dalam Praktik.
Jakarta : Gema Insani.
Hamsir. 2011. Teori dan Prospek Sistem Mudharabah pada Perbankan Syariah.
Makassar: Alauddin Press.
102
103
Handayani, Andi Sri Wahyuni. 2013. Penyesuaian Konsep Bagi Hasil Adat dengan
Syariah; Upaya Penerapan Nilai Keadilan Bagi Petani Penggarap di
Sidenreng Rappang. Skripsi. Makassar: Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin.
Hermawan, I., dkk. 2020. Konsep Amanah dalam Perspektif Pendidikan Islam.
Qalamuna-Jurnal Pendidikan, Sosial, dan Agama, (Online), Vol 12, No. 2,
Hal 141-152, (https://ejournal.insuriponorogo.ac.id, diakses 17 Maret 2021).
Herniwati dan Kadir, Syafruddin. 2009. Potensi Iklim, Sumber Daya Lahan dan
Pola Tanam di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Serealia.
Maros.
Indrawati, Ira Roch. 2016. Analisis Pendapatan Petani Penggarap dan Faktor
Faktor yang Mempengaruhi Hasil Muzara’ah (Studi Desa Cimaranten
Kabupaten Kuningan). Skripsi. Bogor: Fakultas Ekonomi dan Manajemen
Institut Pertanian Bogor.
Irmayanti. 2010. Sistem Bagi Hasil antara Pemilik Lahan dengan Petani
Penggarap Usahatani Lahan Sawah di Desa Bontotallasa, Kecamatan
Simbang, Kabupaten Maros. Seminar Hasil Praktek Lapang. Makassar:
Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.
Islahi, Abdul Azim. 1988. Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah. Terjemahan oleh
Anshari Tayib. 1997. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Mustara. A.R. 1993. Perjanjian Bagi Hasil atau “Teseng” di Sulawesi Selatan.
Makassar: Lembaga Percetakan & Penerbitan Universitas Muslim
Indonesaia Ujung Pandang.
104
P3EI UII Yogyakarta. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Pratiwi. 2013. Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Pada Tanaman
Palawija Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960
Tentang Perjanjian Bagi Hasil (Studi Di Kecamatan Robatal Kabupaten
Sampang). Skripsi. Malang: Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.
Qardhawi, Yusuf. 1982. Halal dan Haram dalam Islam. Jakarta: PT. Bina Ilmu.
Rawls, John. 1995. Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Terjemahan oleh Uzair Fauzan dan
Heru Prasetyo. 2011. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Retno, Muh. 2019. Sistem Muzara’ah Petani Bawang Merah Dalam Meningkatkan
Pendapatan Masyarakat Desa Singki, Kecamatan Anggeraja, Kabupaten
Enrekang. Skripsi. Makasssar: Fakultas Agama Islam Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Saputra, Agus Romdlon. 2012. Konsep Keadilan Menurut Al-Qur’an dan Para
Filosof. Jurnal Dialogia (Online). Vol. 10, No. 2,
(http://jurnal.stainponorogo.ac.id, diakses 21 Februari 2021).
Sekaran, Uma. 2011. Research Methods for Business: A Skill Building Approach
5th Ed. United Kingdom: Wiley & Sons.
105
Shihab. M. Quraish. 2004. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-
Quran Vol.5. Jakarta: Lentera Hati.
106
107
Lampiran 1: Biodata
BIODATA
Identitas Diri
Riwayat Pendidikan
Pengalaman Organisasi
Pengalaman Magang
Tahun 2018
Muh. Rizal
109
1. Bagaimana awal mula bisa terjadi kerja sama antara kedua belah pihak?
atau lisan?
10. Adakah perbedaan proporsi bagi hasil untuk setiap musim tanam?
11. Bagaimana jika terjadi gagal panen, atau ada hasil namun sedikit. Apakah
atau pemodal?
18. Bagaimana proses penyerahan modal dari pemilik tanah atau pemodal?
20. Apakah pemilik tanah menginformasikan terkait tanah yang anda akan
garap?
kesejahteraan petani?
26. Apakah hasil dari kerja sama ini cukup untuk membiayai kehidupan
sehari-hari?
28. Jika ada kendala yang anda alami, apakah anda menceritakannya ke
29. Apakah anda mengetahui tentang akad bagi hasil dalam islam?