Anda di halaman 1dari 124

SKRIPSI

SISTEM BAGI HASIL PUNGGAWA-SAWI


(Studi Kasus Pada Masyarakat Nelayan Desa Topejawa
Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar)

SAMSUDDIN YUNUS

DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
SKRIPSI

SISTEM BAGI HASIL PUNGGAWA-SAWI


(Studi Kasus Pada Masyarakat Nelayan Desa Topejawa
Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar)

Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh


Gelar Sarjana Ekonomi

Disusun dan diajukan oleh

SAMSUDDIN YUNUS
A31114010

kepada

DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021

ii
SKRIPSI

SISTEM BAGI HASIL PUNGGAWA-SAWI


(Studi Kasus Pada Masyarakat Nelayan Desa Topejawa
Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar)

disusun dan diajukan oleh

SAMSUDDIN YUNUS
A31114010

Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji


Makassar, Mei 2021

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Alimuddin, S.E., M.M., Ak. Dr. Syamsuddin, S.E., M.Si., Ak.,CA.
NIP 19591208 198601 1 003 NIP 19670414 199412 1 001

Ketua Departemen Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin

Dr. Hj. Andi Kusumawati, SE, M.Si, Ak., CA


NIP 19660405 199203 2 003

iii
SKRIPSI

SISTEM BAGI HASIL PUNGGAWA-SAWI


(Studi Kasus Pada Masyarakat Nelayan Desa Topejawa
Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar)

disusun dan diajukan oleh

SAMSUDDIN YUNUS
A31114010

telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi


pada tanggal ..... Mei 2021 dan dinyatakan telah
memenuhi syarat kelulusan
Menyetujui,
Panitia Penguji

No. Nama Penguji Jabatan Tanda Tangan

1. Prof. Dr. Alimuddin, S.E., Ak., MM., CPMA Ketua 1 .....................

2. Dr. Syamsuddin, S.E., Ak., M.Si., CA. Sekertaris 2 .....................

3. Prof. Dr. Hj. Mediaty, S.E., M.Si., Ak., CA Anggota 3 .....................

4. Drs. M. Achyar Ibrahim, Ak., M.Si., CA Anggota 4 .....................

Ketua Departemen Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Hasanuddin

Dr. Hj. Andi Kusumawati, SE, M.Si, Ak., CA


NIP 19660405 199203 2 003

iv
PERNYATAAN KEASLIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,


Nama : Samsuddin Yunus
NIM : A31114010
Jurusan/Program Studi : Akuntansi/Strata Satu (S1)

Dengan ini menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul :

SISTEM BAGI HASIL PUNGGAWA-SAWI


(Studi Kasus Pada Masyarakat Nelayan Desa Topejawa Kecamatan
Mangarabombang Kabupaten Takalar)

adalah karya ilmiah saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di dalam
naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan orang lain
untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis dan diterbitkan oleh orang lain, kecuali
yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber
kutipan dan daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan
terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut dan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).

Makassar, Mei 2021


Yang membuat pernyataan,

Samsuddin Yunus

v
PRAKATA

Bismillahirrahmanirrahim…

Puji syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas

kehendak, rahmat, hidayah, dan karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan

skripsi yang merupakan tugas akhir peneliti sebagai mahasiswa. Shalawat dan

salam semoga Allah curahkan kepada Rasulullah saw, keluarga dan para

sahabatnya, serta umatnya yang berpegang teguh pada syariat-Nya.

Skripsi ini diajukan sebagai syarat guna memperoleh gelar Sarjana

Akuntansi pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas

Hasanuddin. Lebih daripada itu, peneliti juga berharap skripsi ini dapat memberi

sedikit kontribusi terhadap upaya penerapan nilai-nilai Islam secara kaffah dalam

seluruh aspek kehidupan manusia.

Peneliti menyadari bahwa penulisan skripsi ini bukanlah sesuatu yang

singkat dan mudah. Peneliti telah banyak memperoleh, dukungan, doa, dan

bantuan baik itu secara langsung maupun tidak langsung dalam setiap proses

penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini ucapan terima

kasih peneliti haturkan kepada:

1. Ibunda peneliti Bimbi Daeng Jintu, yang senantiasa memberikan

dukungan serta doa yang tiada henti-hentinya di setiap perjalanan

hidup peneliti, dan ayahanda peneliti Yunus Daeng Taba yang

menjadi motivasi terbesar peneliti hingga saat ini.

2. Bapak Prof. Dr. Alimuddin, S.E., M.M., Ak. selaku pembimbing I, dan

Bapak Dr. Syamsuddin, S.E., M.Si., Ak., C.A selaku pembimbing II

yang senantiasa memberikan arahan dan bimbingan kepada peneliti

vi
dalam penyelesaian skripsi ini

3. Bapak Prof. Dr. Gagaring Pagalung, M.Si., Ak. selaku penasehat

akademik yang telah memberi arahan kepada peneliti selama

menjalani masa perkuliahan

4. Segenap dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin

atas setiap ilmu yang telah diajarkan kepada peneliti selama

menempuh studi di jurusan Akuntansi

5. Istri tercinta Sukmasari, A.Md.Ab, dan si Sholeh yang sedang

dikandungnya yang telah memberikan semangat dan motivasi

tersendiri dalam penyelesaian skripsi ini.

6. Seluruh pihak yang telah membantu peneliti dalam proses pembuatan

skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah berjasa

dan memberikan dukungan dan doa kepada peneliti baik secara

langsung maupun tidak langsung

Akhir kata, peneliti juga memohon maaf jika terdapat beberapa

kekurangan dalam penulisan skripsi ini karena sesungguhnya kesempurnaan

adalah milik Allah swt, dan kekurangan adalah milik peneliti. Semoga skripsi ini

diridhai oleh Allah SWT dan dapat memberikan manfaat bagi peneliti maupun

seluruh pihak pembaca

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Makassar, Mei 2021

Samsuddin Yunus

vii
ABSTRAK

Sistem Bagi Hasil Punggawa-Sawi


(Studi Kasus Pada Masyarakat Nelayan Desa Topejawa Kecamatan
Mangarabombang Kabupaten Takalar)

Samsuddin Yunus
Alimuddin
Syamsuddin

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan nilai keadilan Islam dalam
sistem bagi hasil usaha perikanan di Desa Topejawa Kecamatan
Mangarabombang Kabupaten Takalar. Metode penelitian ini dilaksanakan
dengan wawancara yang didukung dengan studi pustaka yang berasaskan Al
Qur‟an dan As-Sunnah untuk menentukan apakah sistem bagi hasil yang
diterapkan merupakan sistem bagi hasil berkeadilan yang sesuai dengan syariah
Islam. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
yang dikumpulkan dengan metode wawancara dan dokumentasi. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif dan diukur berdasarkan
elemen-elemen penilaian keadilan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sistem bagi hasil punggawa-sawi yang diterapkan
di Desa Topejawa masih belum sepenuhnya memenuhi kriteria sebagai sistem
bagi hasil usaha berkeadilan dikarenakan terdapat beberapa aspek yang belum
memenuhi elemen keadilan. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa langkah
penyesuaian untuk menjadikan sistem bagi hasil yang diterapkan sebagai sistem
bagi hasil berkeadilan sesuai syariat Islam

Kata kunci: bagi hasil, perikanan, punggawa, sawi, keadilan, elemen penilaian

viii
ABSTRACT

Punggawa-Sawi Profit Sharing System (Case Study in Topejawa Village,


Mangarabombang District, Takalar Regency)

Samsuddin Yunus
Alimuddin
Syamsuddin

This study examines the implementation of Islamic justice value in the system of fisheries
business profit sharing in Topejawa Village, Mangarabombang District, Takalar Regency.
This research method is conducted through interview supported by Al Qur’an and As-
Sunnah to determine whether the profit sharing system applied is a system of fair
sharing in accordance to Islamic shari’a. The data used in this research is primary data
collected by interview and documentation method. The data obtained are then analyzed
descriptively qualitatively and measured based on predetermined elements of judicial
assessment. The result of the research shows that Punggawa-Sawi profit sharing system
applied in Topejawa village does not fulfill the criteria of profit sharing system because it
has several aspects that do not fulfill the requirements. Therefore it takes several
adjustment steps turning the profit sharing system into a system of fair sharing
according to Islamic Shari’a

Keyword : profit sharing, fisheries, punggawa, sawi, justice, assessment element

ix
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................... v
PRAKATA .................................................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTRA TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1


1.1 Latar Belakang ....................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 8
1.4 Kegunaan Penelitian .............................................................. 8
1.5 Ruang Lingkup Penelitian....................................................... 9
1.6 Sistematika Penulisan ............................................................ 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 12


2.1 Pengantar ............................................................................. 12
2.2 Tinjauan Usaha Perikanan Tangkap ..................................... 12
2.3 Gambaran Umum Msyarakat Nelayan ................................... 15
2.4 Konsep Perjanjian Bagi Hasil Perikanan ............................... 17
2.5 Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak yang Terlibat Dalam Usaha
Perikanan .............................................................................. 19
2.6 Konsep Bagi Hasil usaha Perikanan Dalam Islam .................. 21
2.6.1 Definisi Mudharabah ................................................... 21
2.6.2 Landasan Hukum Mudharabah ................................... 23
2.6.3 Jenis-Jenis Mudharabah ............................................ 25
2.6.4 Rukun dan Syarat Sah Mudharabah ........................... 26
2.6.5 Berakhirnya Akad Mudharabah ................................... 28
2.7 Konsep Keadilan ................................................................... 29
2.7.1 Pengertian Keadilan.................................................... 29
2.7.2 Keadilan dalam Sistem Bagi Hasil .............................. 31
2.8 Berbagai Model Kerjasama Bagi Hasil Perikanan .................. 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 36


3.1 Rancangan Penelitian ............................................................ 36
3.2 Kehadiran Peneliti .................................................................. 36
3.3 Lokasi Penelitian .................................................................... 37
3.4 Sumber Data .......................................................................... 37
3.5 Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 38
3.6 Teknik Analisis Data ............................................................... 39

x
BAB IV GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN SISTEM BAGI HASIL
PERIKANAN TANGKAP ............................................................ 45

4.1 Gambaran Umum Desa Topejawa .......................................... 45


4.2 Struktur Kelompok Kerja Punggawa-Sawi Nelayan di Desa
Topejawa ................................................................................ 47
4.3 Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil di Desa Topejawa Kecamatan
Mangrabombang Kabupaten Takalar ...................................... 49
4.3.1 Latar Belakang Penentuan Imbalan Kerja Usaha
Perikanan ................................................................... 49
4.3.2 Bentuk Akad Perjanjian Bagi Hasil .............................. 50
4.3.3 Proses Penentuan Nisbah Bagi Hasil.......................... 52
4.3.4 Biaya Investasi dan Produksi Usaha Perikanan .......... 53
4.3.5 Distribusi Pendapatan Bagi Hasil Usaha Perikanan .... 57

BAB V ANALISIS KEADILAN DALAM SISTEM BAGI HASIL USAHA


PERIKANAN................................................................................. 59

5.1 Transparansi .......................................................................... 60


5.2 Proporsionalitas Nisbah dan Pendapatan Bagi dan
Pendapatan Bagi Hasil Usaha Perikanan ............................... 71
5.3 Konsistensi ............................................................................. 82
5.4 Bergaining Power yang Seimbang ......................................... 84
5.5 Ada Ganti Rugi jika Nelayan Sawi Diberhentikan ................... 85
5.6 Mekanisme Penanggungan Rugi jika Terjadi Kerugian .......... 86
5.7 Sistem Bagi Hasil Berkeadilan pada Usaha Perikanan ........... 89

BAB VI PENUTUP .................................................................................... 96


6.1 Kesimpulan ............................................................................. 96
6.2 Saran ...................................................................................... 97

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 98

xi
DAFTAR TABEL

Tabel
4.1 Rincian Biaya Investasi yang Dikeluarkan dalam Pengadaan Satu
Unit Kapal Penyelam Tembak ......................................................... 55
4.2 Rincian Biaya Produksi yang Ditanggung Bersama Punggawa-
Sawi ................................................................................................ 56
5.1 Nilai Depresiasi Sarana Produksi Perikanan di Desa Topejawa ...... 73
5.2 Persentase Kontribusi Biaya yang Dikeluarkan Masing-Masing
Pihak dalam Akad Bagi Hasil Usaha Perikanan di Desa Topejawa . 74
5.3 Hasil Analisis Keadilan Sistem Bagi Hasil Usaha Perikanan............ 92

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar
4.1 Citra Desa Topejawa ....................................................................... 46
5.1 Nisbah pada Produk BNI Syariah iB Hasanah ................................. 79
5.2 Input Simulasi Pendanaan Produk BNI Deposito iB Hasanah 1
Bulan .............................................................................................. 80
5.2 Output Simulasi Pendanaan Produk BNI Deposito iB Hasanah 1
Bulan .............................................................................................. 80

xiii
DAFTAR ISTILAH

Akad :perjanjian atau perikatan yang dilakukan di antara dua


pihak atau lebih

Bagi Hasil :suatu sistem yang meliputi tatacara pembagian hasil


usaha antara penyedia dana dan pengelola dana

Mudharabah :bentuk perjanjian kerjasama antara dua orang atau


lebih di mana pemilik modal (shahibul maal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola
(mudharib) dengan suatu perjanjian di awal.

Pemilik Kapal :seseorang yang memakai sebuah kapal guna


pelayaran dilaut baik dikemudikan sendiri atau
menyewakan seorang Nahkoda bekerja padanya

Papalele :pemilik kapal sekaligus pemimpin usaha (analogi


manajer)

Punggawa :pemimpin pelayaran dan operasional di laut

Sawi :anak buah (ABK)/anggota biasa yang semata


menyumbangkan tenaga dan pengetahuan teknis
kerja.

xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Data Informan .................................................................................
2. Daftar Pertanyaan Wawancara........................................................
3. Biodata ............................................................................................

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara dengan jumlah pulau terbanyak di dunia yaitu

sebanyak 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik, 2017) serta mempunyai garis

pantai terpanjang kedua setelah Kanada, yaitu 99.093 km (BIG, 2016a). Kondisi

ini menjadikan laut Indonesia memiliki sumber daya laut dan pesisir serta

keanekaragaman hayati yang begitu besar. Tidak heran jika pada tahun 2016

Food and Agriculture Organization (FAO) menempatkan Indonesia sebagai

negara tertinggi kedua dunia yang memiliki produksi perikanan pada perairan

laut dan menjadi negara yang mempunyai produksi perikanan tangkap ketujuh

didunia pada perairan umum. Lebih lanjut, sektor perikanan menjadi salah satu

sektor yang cukup kontributif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.

Pada Tahun 2016, kontribusi sektor perikanan dalam PDB Indonesia mencapai

angka sebesar 19,00 persen (BPS, 2017). Fakta-fakta tersebut semakin

menguatkan bahwa sektor perikanan merupakan mega sektor yang sangat vital

bagi perekonomian Indonesia.

Islam mengajarkan kepada umatnya untuk dapat mengelola atau

memproduksi dan dapat berperan dalam kegiatan ekonomi, perkebunan,

perikanan dan bentuk produksi lainnya. Banyak sekali rahmat Allah yang

dijelaskan dalam Al-Qur‟an dan sebagainya menjelaskan tentang

diperbolehkannya pemanfaatan sumber daya laut, samudera dan sungai-sungai

yang membantu pengembangan perekonomian. Salah satunya terdapat pada

Q.S. An Nahl ayat 14 yang artinya :

1
2

“Dan dialah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat


memakan daging yang segar (ikan) darinya, dan (dari lautan itu) kamu
mengeluarkan perhiasan yang kamu pakai. Kamu (juga) melihat
perahu belayar padanya, dan agar kamu mencari (keuntungan) dari
sebagian karunia-Nya, agar kamu bersyukur.”

Ayat diatas pada dasarnya menggambarkan kepada para penduduk bumi

bahwa Allah SWT menciptakan laut agar umat manusia dapat menggali potensi

laut dan mencari karunia atau rezeki yang Allah hamparkan di tengah laut

dengan maksud agar manusia bersyukur atas nikmat yang diberikan.

Di Indonesia, dukungan pemerintah dalam penguatan sektor perikanan

terus dilakukan melalui berbagai program kebijakan. Salah satu kebijakan yang

tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Nomor 25/PERMEN-KP/2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Kelautan

dan Perikanan Republik Indonesia tahun 2015-2019 adalah peningkatan

pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan dengan langkah operasional

yang akan dilakukan, seperti: (a) penyiapan kelompok masyarakat terhadap

akses permodalan usaha, (b) perluasan akses masyarakat terhadap IPTEK dan

informasi, (c) penguatan kelembagaan dan permodalan perempuan dalam

usaha kelautan dan perikanan. Pemerintah berharap dari serangkaian program

tersebut dapat membantu meningkatkan kesejahteraan nelayan di Indonesia,

khususnya para nelayan kecil.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa nelayan di Indonesia, khususnya

yang masih bekerja secara tradisional merupakan bagian dari masyarakat

dengan kategori miskin (Linrung, 2007:29). Lebih dari itu, kelompok nelayan

tradisional pun sulit mengembangkan diri untuk meningkatkan produktivitasnya,

baik dalam hal peningkatan hasil tangkapan maupun pengolahan hasil

tangkapan yang telah diperoleh. Salah satu penyebab masalah ini disebabkan

oleh problema klasik yang belum terselesaikan hingga saat ini, yaitu masalah
3

permodalan. Sebagai ilustrasi, ketika ia harus menambah jumlah hari kerja maka

ia harus menambah persedian pangan dan bahan bakar kapalnya. Dengan

keterbatasan permodalan, ia pun bukan hanya tidak berani menambah hari

kerjanya, tetapi memang berisiko, terutama kehabisan solar, bahkan kebutuhan

perbekalan. Jika ia memaksakan diri untuk menambah hari kerja maka secara

praktis implikasinya adalah ia harus berhubungan dengan pihak yang memiliki

modal. Dalam hal ini kalangan rentenir menjadi “mitra” utama sekalipun sangat

mencekik. Dan jika harus berhubungan dengan bos tertentu dalam konteks

pinjaman, hal ini tidaklah mudah. Oleh sebab itu salah satu langkahnya adalah

mensub koordinat diri pada tengkulak yang pada kondisi tertentu akan

menciptakan sistem monopoli karena mereka menyediakan modal, faktor-faktor

produksi sampai menentukan pemasaran ikan. Kuatnya cengkraman tengkulak

dalam kegiatan ekonomi perikanan dan hubungan kerjasama ekonomi diantara

kedua belah pihak yang bersifat eksploitatif bagi nelayan dipandang sebagai

penyebab kemiskinan nelayan yang cukup potensial (Astuty, 2008).

Keterbatasan permodalan yang dimiliki kalangan nelayan tradisional

menjadikan mata rantai panjang yang terus memperburuk kaum nelayan selama

ini. Memutus mata rantai ini tentu bukan perkara yang mudah namun jika

dibiarkan begitu saja akan semakin memperbesar masalah yang dihadapi para

nelayan. Maka dari itu dibutuhkan solusi yang mampu menjembatani

kesejahteraan masyarakat nelayan yaitu melalui adanya kerjasama antara

pemilik modal/nelayan pemilik dan nelayan penggarap.

Islam pun memandang pentingnya umat manusia bekerja sama dalam

memenuhi hajat dan kemajuan dalam kehidupannya. Islam mensyariatkan akad

kerjasama untuk memudahkan orang-orang dalam berusaha, sebab sebagian

mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada pula
4

pihak yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola

dan mengembangkannya (Sabiq, 2009:131). Syariat Islam menganjurkan untuk

bekerjasama agar mereka bisa saling mendapatkan manfaat diantara mereka.

Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah: “... Kamilah yang menentukan

penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan

sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar mereka dapat

memanfaatkan sebagian yang lain” (Q.S. Az-Zukhruf [43] : 32). Selain itu anjuran

untuk kerjasama ini diharapkan mampu menciptakan keseimbangan dan

pemerataan distribusi kekayaan yang berkesinambungan, sebab jangan sampai

berputarnya harta kekayaan hanya berada di kalangan orang-orang kaya

sementara orang yang kurang mampu tidak mendapatkan bagian.

Terciptanya keseimbangan dan pemerataan distribusi kekayaan yang

berkesinambungan diharapkan dapat menciptakan lahirnya kesejahteraan dalam

masyarakat. Untuk itu, tentunya perlu ada kesadaran dari masyarakat

khususnya masyarakat yang diberikan kelebihan harta oleh Allah sehingga

dengan harta tersebut mereka dapat memegang peranan penting dalam sektor-

sektor usaha. Sepatutnya masyarakat yang dikaruniakan kelebihan harta

memperhatikan masyarakat miskin di sekitarnya karena perbedaan individu

dalam suatu masyarakat adalah sesuatu yang alamiah, bukan untuk

dipertentangkan namun untuk saling bekerja sama.

Pola kerjasama masyarakat nelayan Indonesia menciptakan suatu strata

sosial, dimana terdapat dua kategori utama berdasarkan kepemilikan modal

yaitu: juragan dan buruh. Strata sosial seperti ini cukup variatif di setiap daerah.

Di Sulawesi Selatan, terdapat kelompok strata sosial masyarakat nelayan, seperti

punggawa lompo (pemilik perahu dan alat produksi), punggawa caddi (pemimpin

pelayaran), dan sawi (nelayan buruh) (Arifin, 2012).


5

Kelompok masyarakat yang tergolong dalam kategori punggawa,

jumlahnya relatif sedikit, umumnya mempunyai status sosial yang tinggi

berdasarkan jumlah aset dan kekayaan yang dimilikinya. Sementara mereka

yang tergolong kategori sawi adalah mereka yang memiliki status sosial rendah

yang ditandai dengan rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan mereka.

Sehingga mereka tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, selain sebagai nelayan

buruh, baik di atas kapal maupun di tempat pendaratan ikan guna mencukupi

kebutuhan hidupnya.

Pola hubungan kerja antara punggawa dan sawi ini dalam penentuan

besarnya pendapatan masing-masing didasarkan pada sistem bagi hasil yang

diberlakukan. Karena itu, pengaturan sistem bagi hasil usaha perikanan harus

menjadi salah satu perhatian, untuk mengurangi timbulnya unsur-unsur

ketidakadilan yang menjadi salah satu penyebab masalah kemiskinan nelayan,

khususnya mereka yang tergolong sawi (nelayan buruh).

Negara telah mengatur landasan hukum mengenai Perjanjian Bagi Hasil

Usaha Perikanan yang termuat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang nomor

16 Tahun 1964 bahwa:

“Jika suatu usaha perikanan diselenggarakan atas dasar perjanjian


bagi hasil maka hasil dari usaha itu kepada nelayan penggarap paling
sedikit harus diberikan bagian sebagai berikut: jika dipergunakan
perahu layar; minimum 75% dari hasil bersih sedangkan jika
dipergunakan kapal motor; minimum 40% dari hasil bersih...”.

Pemerintah memang telah berusaha membuat berbagai kebijakan terkait

penyejahteraan nasib nelayan. Namun, masalah kemiskinan nelayan hingga saat

ini belum mampu teratasi secara signifikan. Hal ini disebabkan penerapan sistem

bagi hasil yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta adanya

penerapan sistem bagi hasil perikanan yang mengikuti adat kebiasaan

masyarakat yang dilakukan secara turun temurun menjadi rawan terjadinya


6

ketidakadilan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Aprilia dalam Rahmadani (2016)

yang menemukan ketidakadilan dalam pembagian hasil usaha perikanan yang

terjadi di Desa Gebangmekar, dimana pendapatan nelayan tergantung pada hasil

kerjanya, apabila hasil yang diperoleh nelayan banyak maka mudah dalam

membagi hasil usahanya artinya ada barang atau hasil usaha yang akan dibagi

kepada juragan dan nelayan. Akan tetapi dalam usaha sebagai nelayan tidak

tentu dan apabila tidak mendapatkan tangkapan sama sekali, maka dalam hal ini

juragan yang rugi dalam uang pembekalan dan bagi nelayan yang

kedudukannya sebagai pekerja (ABK) rugi dalam hal tenaga. Hasil penelitian

lain, menurut Yunawati (2008) di kecamatan Tanjung Balai Provinsi Sumatera

Utara tentang pendapatan dari sistem bagi hasil nelayan bermotor 5 GT dan 5-9

GT menunjukkan bahwa distribusi dari pendapatan yang dibagi hasil itu

sangatlah timpang diterima antara pemilik perahu (pemilik modal) dan nelayan

buruh. Di Beberapa daerah menunjukkan pemilik perahu selain mendapatkan

setengah atau separuh penghasilan juga memperoleh 15% dari jumlah hasil

sebagai cadangan untuk memperbaiki bagan atau alat tangkap. Dengan

demikian pemilik perahu menerima rata-rata 65% dari penghasilan, sedangkan

buruh nelayan menerima 35%.

Hal tersebut membuat para pemilik perahu semakin sejahtera dan di sisi

lain para nelayan buruh hidup dalam keterpurukan lingkaran kemiskinan.

Padahal Islam melarang perolehan harta kekayaan dengan cara yang batil,

sebagaimana firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian

saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. Kecuali dengan

jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian” (Q.S.

An-Nisa‟ [4]: 29).

Bagi hasil merupakan salah satu parktik dan komponen dalam sistem
7

kesejahteraan Islam (Khasanah dalam Zakaria, 2010). Sehingga, bagi sektor-

sektor usaha atau lembaga bisnis yang menerapkan bagi hasil dalam usahanya

agar senantiasa menerapkan prinsip-prinsip bagi hasil sesuai dengan syariat

Islam. . Rohmatin (2008) menyatakan bahwa bagi hasil merupakan usaha yang

mulia apabila dalam pelaksanaannya mengutamakan prinsip keadilan, kejujuran

dan tidak saling merugikan satu sama lain. Apabila pelaksanaan proses bagi

hasil ini benar-benar dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an dan As-

Sunnah, diharapkan mampu menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat sekaligus mengentaskan kemiskinan.

Dari uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian di

“Desa Topejawa, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar”. Dipilihnya

wilayah tersebut sebagai fokus penelitian disebabkan oleh beberapa

pertimbangan. Pertama, besarnya potensi perikanan yang dimiliki kabupaten

Takalar ditunjukkan dengan besarnya kontribusi sektor perikanan terhadap

PDRB kabupaten Takalar tahun 2016, yaitu sebesar 50,32%. Kedua, desa

Topejawa menjadi salah satu kontributor andalan dalam pertumbuhan ekonomi di

kabupaten Takalar pada sektor perikanan. Ketiga, masyarakat nelayan di desa

Topejawa secara turun temurun menggunakan sistem bagi hasil dalam

pembagian hasil tangkapannya. Keempat, tingginya kesenjangan sosial antara

punggawa dan sawi di desa tersebut. Dengan demikian sistem bagi hasil di desa

Topejawa, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar cukup menarik

untuk dijadikan sebagai salah satu indikator dalam upaya memotret kesesuaian

penerapan nilai-nilai Islam pada sistem bagi hasil pada masyarakat nelayan

desa Topejawa. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tergerak untuk

melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul:

“Sistem Bagi Hasil Punggawa-Sawi (Studi Kasus pada Masyarakat


8

Nelayan Desa Topejawa-Kabupaten Takalar)”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian, maka peneliti tertarik

untuk mengkaji bagaimana sistem bagi hasil punggawa sawi dalam usaha

perikanan yang terjadi di desa Topejawa, kecamatan Mangarabombang,

kabupaten Takalar?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian ini

untuk mengetahui sistem bagi hasil punggawa sawi dalam usaha perikanan

yang terjadi di desa Topejawa, kecamatan Mangarabombang, kabupaten

Takalar.

1.4 Kegunaan Penelitian

1. Peneliti

Melalui penelitian ini, peneliti diharapkan dapat memperoleh

pemahaman yang lebih mendalam mengenai konsep bagi hasil berkeadilan

dalam Islam. Dengan demikian peneliti dapat memahami konsep keadilan

terkait bagi hasil punggawa sawi dalam usaha perikanan. Selain itu, peneliti

dapat membandingkan penerapan bagi hasil usaha perikanan yang terjadi di

masyarakat dengan konsep bagi hasil berkeadilan menurut Islam.

2. Pengembangan Ilmu

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap

pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam hal penerapan bagi

hasil berkeadilan pada sistem bagi hasil usaha perikanan, sehingga dapat

menjadi salah satu referensi bagi pengembangan rangkaian penelitian yang


9

terkait.

3. Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran

dan pertimbangan bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang

menjalankan sistem bagi hasil usaha perikanan, baik itu masyarakat yang

bertindak sebagai pemilik tanah maupun petani penggarap mengenai

penerapan sistem bagi hasil berkeadilan sesuai dengan konsep syariah

Islam. Dengan demikian, hal itu diharapkan dapat menciptakan kerja sama

yang berkeadilan dalam aspek bagi hasil usaha untuk mencapai

kesejahteraan.

4. Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan analisis bagi

pemerintah untuk mengembangkan konsep bagi hasil berkeadilan dalam

sistem bagi hasil usaha perikanan yang diyakini dapat menjadi jalan untuk

mencapai keberkahan usaha dalam upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat, khususnya para sawi.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Lingkup penelitian terkait penerapan sistem bagi hasil berkeadilan adalah

sistem bagi hasil yang diterapkan di Desa Topejawa Kecamatan

Mangarabombang Kabupaten Takalar. Adapun komunitas punggawa dan sawi

yang akan diteliti dibatasi hanya pada komunitas punggawa sawi di Desa

Topejawa Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar.


10

1.6 Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri atas enam bab yang tersusun secara sistematis yaitu

sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini memberi uraian mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, kegunaan penelitian, ruang lingkup penelitian dan sistematika

penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini merupakan uraian mengenai landasan teori dari proses peninjauan

pustaka berupa teori-teori yang relevan sebagai landasan dalam penelitian ini,

riset-riset terkait dengan judul penelitian serta kerangka penelitian.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini memuat tentang rancangan penelitian, kehadiran peneliti, lokasi

penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis

data.

BAB IV GAMBARAN UMUM PROSES PRODUKSI DAN SISTEM BAGI HASIL

PUNGGAWA SAWI DALAM USAHA PERIKANAN

Bab ini memuat tentang gambaran umum proses produksi perikanan serta sistem

bagi hasil punggawa-sawi yang diterapkan oleh masyarakat nelayan di Desa

Topejawa Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar

BAB V ANALISIS SISTEM BAGI HASIL PUNGGAWA SAWI DALAM USAHA

PERIKANAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM.

Bab ini memuat tentang penilaian keadilan terhadap sistem bagi hasil punggawa-

sawi yang diterapkan oleh masyarakat nelayan di Desa Topejawa dengan

elemen yang telah ditetapkan sebelumnya.


11

BAB VI PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penilaian keadilan pada sistem

bagi hasil punggawa-sawi yang diterapkan oleh masyarakat nelayan di Desa

Topejawa.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengantar

Sektor perikanan memberikan kontribusi penting pada perekonomian

nasional berupa devisa, penyediaan protein bagi masyarakat, dan penyerapan

lapangan kerja. Namun demikian pelaku perikanan khususnya nelayan masih

dalam kondisi memprihatinkan. Kemiskinan nelayan tersebut diakibatkan oleh

berbagai faktor diantaranya aspek kelembagaan, yakni tentang bagi hasil

perikanan yang berlaku selama ini, belum mampu menciptakan bagi hasil yang

adil antara pemilik dan penggarap.

Untuk mewujudkan hal tersebut, kerjasama bagi hasil usaha perikanan

yang dilakukan harus dilandaskan pada nilai-nilai Islam. Dalam hal ini peneliti

mengangkat nilai keadilan dan transparansi sebagai upaya untuk mewujudkan

kerjasama berkeadilan yang sesuai dengan syariat Islam.

Pada bab ini akan disajikan mengenai tinjauan pustaka tentang kerangka

konsep dan studi literatur yang berhubungan dengan penelitian. Pembahasan

yang ada selanjutnya akan menjadi landasan dasar untuk memahami

permasalahan yang ada. Penelitian mengenai bagi hasil punggawa sawi pada

usaha perikanan akan didasari dengan pemahaman mengenai tinjauan

perikanan secara umum, konsep bagi hasil perikanan, konsep keadilan, serta

konsep transparansi dalam bagi hasil.

2.2 Tinjauan Usaha Perikanan Tangkap

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004,

mendefinisikan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan

12
13

dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya

mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang

dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan.

Kemudian, menurut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik

Indonesia Nomor Per.05/men/2008 pasal 1 mendefinisikan bahwa usaha

perikanan adalah kegiatan yang dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan

yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan dan pemasaran. Aktivitas

perikanan sangat beragam dan berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.

Sebagai primer, perikanan dibedakan ke dalam aktivitas penangkapan (capture

fisheries) dan budidaya (culture fisheries atau aquaculture).

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal (1) ayat (1) Undang-undang Nomor

45 Tahun 2009 tentang Perikanan menyebutkan definisi perikanan tangkap

adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan

dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang

menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,

menangani, mengolah, dan mengawetkannya. Sehingga, dalam pasal tersebut

pula disimpulkan bahwa usaha perikanan tangkap adalah usaha perikanan yang

berbasis pada kegiatan penangkapan ikan.

Perikanan tangkap mempunyai peranan yang cukup penting, terutama

dikaitkan dengan upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi perikanan

yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup nelayan,

menghasilkan protein hewani dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan dan

gizi, meningkatkan ekspor, menyediakan bahan baku industri, memperluas

lapangan kerja dan kesempatan berusaha.

Merujuk pada Mulyadi (2008:56) bahwa perikanan tangkap umumnya

terdiri atas dua macam berdasarkan skala usaha yaitu perikanan skala besar dan
14

perikanan skala kecil. Usaha perikanan skala besar diorganisasikan dengan

cara serupa dengan perusahaan agroindustri yang secara relatif lebih padat

modal dan memberikan pendapatan yang lebih tinggi daripada perikanan

sederhana, baik untuk pemilik perahu maupun awak perahu, serta kebanyakan

menghasilkan ikan berupa ikan kaleng atau ikan beku yang nantinya akan

memasuki pasaran ekspor sedangkan, usaha perikanan skala kecil umumnya

terletak di daerah pedesaan dan pesisir, dekat danau, di pinggir laut dan muara.

Usaha ini tampak khas karena bertumpang tindih dengan kegiatan lain seperti

pertanian, peternakan dan budidaya ikan, biasanya sangat padat karya dan

hanya sedikit menggunakan tenaga mesin, mereka tetap menggunakan teknologi

tradisional untuk penanganan dan pengolahan (beberapa diantaranya

menggunakan es atau fasilitas kamar pendingin) dan akibat yang berarti bagi

panenan usaha perikanan skala kecil ini sungguh berarti, mereka menghasilkan

ikan yang dapat diawetkan dan ikan untuk konsumsi langsung manusia.

Menurut Susilo (2004a: 40), data-data selama ini menunjukkan bahwa

pembangunan perikanan telah mampu meningkatkan produksi, devisa, dan

tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, pembangunan

perikanan nasional masih belum berhasil meningkatkan kesejahteraan nelayan,

terutama nelayan tradisional dan buruh nelayan. Sejalan dengan hal tersebut,

Susilo (2004b: 26) menambahkan bahwa menyelesaikan permasalahan

perikanan tidak harus bertumpu pada sektor perikanan semata, tetapi hendaknya

dilakukan terintegrasi dengan sektor lain. Kalaulah integrase di tingkat birokrasi

sulit dilakukan maka dapat dimulai pada level yang paling bawah, yaitu

masyarakat. Sehingga dalam mendorong keberlangsungan dan keberlanjutan

usaha perikanan serta kesejahteraan nelayan perlu adanya pendekatan

kelembagaan masyarakat.
15

2.3 Gambaran Umum Masyarakat Nelayan

Nelayan adalah orang yang hidup dari mata pencaharian hasil laut

(Sujarno,2008). Kemudian merujuk pada Imran dalam Listianingsih (2008),

nelayan adalah sekelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung pada

hasil laut baik, dengan cara melakukan penangkapan ataupun budidaya.

Sedangkan, masyarakat nelayan adalah masyarakat yang hidup, tumbuh, dan

berkembang di kawasan pesisir, yakni suatu kawasan transisi antara wilayah

darat dan laut (Kusnadi, 2009:27).

Masyarakat nelayan terdiri dari beberapa komunitas atau kelompok

nelayan. Umumnya pengelompokan ini berdasarkan atas status penguasaan

modal, yang terdiri dari nelayan pemilik modal atau juragan dan nelayan buruh.

Menurut Satria (2002:25), nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang

memiliki sarana penangkapan, seperti kapal/perahu,jaring, dan alat tangkap

lainnya. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja

sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan dilaut, atau disebut juga

sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan dilaut, atau disebut juga Anak

Buah Kapal (ABK).

Menurut Tamsil Linrung (2007:25) secara teoritis maupun empiris,

problem kemiskinan nelayan disebabkan beberapa faktor, diantaranya; pertama,

kuatnya tekanan-tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan Pemerintah

Indonesia dalam membangun subsektor perikanan.

Kedua, faktor ketergantungan yang berbentuk hubungan patron client

antara pemilik faktor produksi (kapal, alat tangkap) dengan buruh nelayan.

Penelitian Nasikun bersama rekan-rekannya tahun 1996 di daerah Mancur, Jawa

Timur, Elfiandri tahun 2002 di pantai barat Sumatera Barat dan Iwan tahun 2002

di daerah Kelurahan Nipah I dan II Kabupaten Tanjung Jabung, Jambi


16

mengungkapkan kesimpulan yang substansinya sama bahwa akibat penetrasi

kapitalisme dalam aktivitas nelayan di daerah ini menyebabkan kelompok

nelayan dan buruh nelayan lebih cepat terseret dalam kemiskinan.

Ketiga, terjadinya over eksploitasi terhadap sumber daya perikanan akibat

modernisasi yang tak terkendali. Murbiyanto bersama rekan-rekannya pada

tahun 1984 membuktikan hal ini melalui hasil penelitiannya di dua desa pantai di

Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Mereka menyimpulkan bahwa akibat

beroperasinya kapal-kapal penangkap ikan modern, setiap nelayan mengalami

penurunan hasil tangkapan sampai 58%.

Keempat, terjadinya konflik agraria ,yakni adanya „penyerobotan‟ wilayah

perikanan tradisional yang sejatinya menjadi daerah beroperasinya nelayan

tradisional.Kondisi ini sebenarnya sudah diungkapkan oleh Donald K. Emerson

ketika meneliti kehidupan nelayan tradisional di daerah Pati, Jepara, Rembang,

dan Demak pada tahun 1997. Dimana dampak modernisasi perikanan itu telah

menimbulkan konflik horizontal yang berujung pada pembakaran kapal-kapal

penangkapan ikan modern.

Kelima, adanya fenomena “kompradorisme”. Menurut penelitian

Tinjadjabate pada tahun 2001, intervensi kapitalisasi terhadap komunitas nelayan

mengakibatkan terjadinya fragmentasi kegiatan nelayan yang semula homogen

menjadi beragam (heterogen). Keberagaman ini memunculkan formasi sosial

baru, yaitu adanya buruh nelayan dan punggawa serta perubahan sumber

penghasilan nelayan yang semula diusahakan sendiri menjadi upah yang

diberikan juragan pemilik faktor produksi (alat tangkap).

Keenam, terjadinya paradoks pembangunan di wilayah pesisir yang

disebabkan oleh ketimpangan pembangunan ekonomi dengan pembangunan

yang mengabaikan pendekatan Kawasan. Di satu sisi, kita menyaksikan daerah


17

yang sangat terbelakang dan miskin secara sosial-ekonomi. Disisi lain terdapat

daerah yang relatif maju, ditandai oleh industrialisasi dan kawasan perkotaan

dengan kondisi perekonomian masyarakat mapan.

2.4 Konsep Perjanjian Bagi Hasil Perikanan

Perikanan sebagai bidang yang bergerak di sektor riil, tak luput adanya

prinsip kerjasama bagi hasil. Alasan yang mendasari terjadinya kerjasama ini

adalah minimnya kemampuan maupun modal yang dimiliki nelayan dan

ketidakmampuan pemilik kapal untuk mengembangkan modalnya.

Menurut istilah bahasa, bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata

cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana (Ahmad

Rofiq, 2004; 153). Sedangkan menurut terminology asing (inggris) bagi hasil

dikenal dengan profit sharing. Dalam kamus ekonomi, profit sharing diartikan

pembagian laba.secara definitif profit sharing diartikan: „Distribusi beberapa

bagian dari laba (profit) para pegawai dari suatu perusahaan”. Lebih lanjut

dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang

didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat

berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan (Christopher Pass, 1997: 537).

Undang-Undang No. 2 tahun 1960, tentang perjanjian bagi hasil

mendifinisikan perjanjian bagi-hasil ialah perjanjian yang diadakan dalam usaha

penangkapan atau pemeliharaan ikan antara nelayan pemilik dan nelayan

penggarap atau pemilik tambak dan penggarap tambak, menurut perjanjian

mana mereka masing-masing menerima bagian dari hasil usaha tersebut

menurut imbangan yang telah disetujui sebelumnya.

Dengan demikian, secara umum bagi hasil usaha perikanan tangkap

dapat didefinisikan sebagai bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik
18

kapal/perahu dengan buruh nelayan yang bersepakat untuk melakukan

pembagian hasil menurut imbalan yang telah disetujui sebelumnya.

Masyhuri (1999:143) menyebutkan bahwa dipilihnya sistem bagi hasil

ketimbang mekanisme upah atau gaji dalam menciptakan keadilan berusaha di

bidang perikanan tangkap didasari oleh, yaitu; pertama, adalah kecenderungan

bahwa nelayan memilih sistem bagi hasil dalam menentukan imbalan kerja yang

mereka lakukan; kedua, adalah sifat spekulatif yang kuat dan mengakar dalam

kehidupan nelayan; dan ketiga, adalah hasil tangkapan yang diperoleh dari

usaha rakyat sektor penangkapan ikan masih tidak menentu. Sedangkan alasan

dari juragan yang lebih suka memilih sistem bagi hasil adalah sebagai usaha

untuk menghindari kerugian. Dengan ini, penerapan upah bagi juragan berarti

pengeluaran yang pasti. Padahal, usaha penangkapan ikan di laut tidak

menghasilkan apa-apa dalam waktu yang cukup lama.

Penelitian yang dilakukan Febrianti, Muin dan Dahri (2017:137) di

Kelurahan Lappa Kecamatan Sinjai menunjukkan bahwa pelaksanaan perjanjian

bagi hasil perikanan tangkap hanya berpedoman pada kebiasaan setempat yang

sudah berlaku sejak lama atas kesepakatan dan kepercayaan antara pemilik

kapal dengan nelayan penggarap yang dilakukan secara lisan. Sistem bagi hasil

dari kegiatan penangkapan ikan antara pemilik kapal dengan nelayan penggarap

berbeda berdasarkan jenis alat tangkap yang dipakai oleh nelayan. Sistem

pembagian hasil yang dilakukan masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa

Kecamatan Sinjai Utara Kabupaten Sinjai menunjukkan bahwa pendapatan hasil

bersih setelah dikurangi ongkos serta biaya perawatan. Kemudian hasil bersih

tersebut dibagi dua, 50% untuk pemilik kapal, dan 50% untuk nelayan

penggarap/ABK. Besarnya bagi hasil untuk ABK dibagikan berdasarkan posisi

dan kemampuannya.
19

Sistem bagi hasil yang lebih besar diterima pemilik atau 50%, masih

menjadi keputusan yang memberatkan awak kapal lainnya, terutama ABK.

Karena 50 % masih dibagi dengan nahkoda dan jumlah ABK yang bekerja

(Widihastuti dan Rosyidah, 2018:73).

2.5 Hak dan Kewajiban Pihak-Pihak yang Terlibat dalam Usaha


Perikanan
Dalam setiap kerjasama dari sekumpulan orang memiliki tujuan satu

tujuan yang tentunya akan lebih mudah dicapai apabila dilaksanakan bersama-

sama. kerjasama yang dilakukan dalam usaha perikanan tangkap melibatkan

pihak-pihak seperti: pemilik modal (punggawa), nelayan buruh (sawi). Adapun

hak dan kewajiban masing-masing pihak menurut Mustafa dan Arief (2017:77-

80) adalah sebagai berikut:

a. Hak dan Kewajiban Punggawa

Sebagai seorang punggawa yang menjadi pimpinan dalam suatu kelompok

nelayan di Desa Bontomarannu Kecamatan Galesong Selatan bukan hanya

dapat menjadi pemberi modal dalam pelaksanaan kegiatan penangkapan di laut,

tetapi punggawa harus juga dapat menjamin keberlangsungan hidup para

anggotanya (sawi). Keberlangsungan hidup para sawi bukan hanya mengenai

persoalan ekonomi semata tetapi seorang punggawa juga dapat menjamin

keselamatan kerja mereka serta menjamin keamanan sosial di lingkungan

masyarakat pesisir. Punggawa sebagai figur pemimpin dalam kelompok nelayan

tersebut harus dapat menjadi pemimpin yang mampu menyediakan jasa

peminjaman keuangan saat anggotanya membutuhkan.

Kemampuan seorang punggawa dalam memberikan dan melaksanakan

kewajibannya tersebut sebagai seorang pemimpin dalam kelompok merupakan

daya tarik utama dari sawi untuk bergabung dengan seorang punggawa tersebut.
20

Pelaksanaan kewajiban seorang punggawa akan diikuti dengan apa yang

akan didapatkannya selain mendapatkan bagi hasil dari tangkapan yang

didapatkan anggotanya. Sebagai seorang punggawa, punggawa dapat

menentukan secara sepihak sistem pembagian hasil tanpa meminta persetujuan

dari para sawi. Selain itu punggawa juga dapat memecat para sawinya bahkan

tidak membayarkan dari hasil pembagian untuk menutupi pinjaman-pinjaman dari

para sawi. Seorang punggawa juga memiliki kehormatan yang lebih tinggi

sebagai hak yang mutlak didapatkan di dalam lingkungan pesisir Desa

Bontomarannu.

b. Hak dan Kewajiban Sawi

Menjadi sebagai seorang sawi dari salah satu punggawa atau kelompok

nelayan ikan terbang di Desa Bontomarannu, seorang sawi diharapkan dapat

menyumbangkan tenaganya dalam pelaksanaan proses penangkapan ikan di

laut. Selain itu, seorang sawi memiliki kewajiban lainnya yang dilaksanakan di

darat sebagai salah satu anggota dari punggawa. Dalam menjalankan

kesehariannya sawi harus selalu sedia ketika para punggawanya

membutuhkannya, baik hanya untuk membantu kegiatan keluarga maupun diluar

kegiatan keluarganya.

Kewajiban pelaksanaan diluar dari proses penangkapan ikan merupakan

pekerjaan ang bersifat sukarela dari para sawi tanpa memikirkan mendapatkan

imbalan ataupun gaji yang lebih dari punggawa. Hal ini sebagai bentuk kesetiaan

seorang sawi kepada punggawanya untuk menjaga hubungan yang baik dan

harmonis serta mempertahankan status keanggotaanya dalam kelompok nelayan

tersebut.

Selain melaksanakan kewajibannya sebagai seorang sawi di dalam

kelompok nelayan, sawi berhak mendapatkan bagi hasil dari hasi tangkapan
21

melain. Selain itu, seorang sawi juga mendapatkan pemberian pinjaman baik

dalam bentuk uang maupun bahan makanan dan mendapatkan jaminan

keamanan maupun sosial di lingkungan masyarakat pesisir .

2.6 Konsep Bagi Hasil Usaha Perikanan dalam Islam

Kerjasama atau partnership merupakan karakter dalam masyarakat

ekonomi Islam. Kerjasama ekonomi Islam dilakukan di semua lini kegiatan

ekonomi yaitu, produksi, distribusi barang maupun jasa. Salah satu bentuk

kerjasama dalam bisnis ekonomi Islam adalah qiradh atau mudharabah. Melalui

qiradh atau mudharabah kedua belah pihak yang bermitra tidak akan

mendapatkan bunga, tetapi mendapatkan bagi hail atau profit sharing dari

kegiatan ekonomi yang disepakati.

2.6.1 Pengertian Mudharabah

Menurut Muhammad (2008:36) mudharabah berasal dari kata adh dharb

yang memiliki relevansi antara keduanya, yaitu: Pertama, karena yang

melakukan usaha Yadhrib Fil Ardhi (berjalan dimuka bumi) dengan bepergian

untuk berdagang, maka ia berhak mendapat keuntungan karena usaha dan

kerjanya. Kedua, karena masing-masing orang yang berserikat Yadribu Bisahmin

(mengambil bagian dalam keuntungan). Sedangkan menurut istilah mudharabah

adalah kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal

(investor) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk

digunakan dalam aktivitas perdagangan, dan keuntungan (profit) dibagi antara

investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disetujui Bersama. Dan

apabila terdapat kerugian yang menanggung adalah pihak investor (Saeed,

2008: 91).
22

Adapun pengertian Mudharabah menurut Muhammad (2016:47) dalam

pandangan ulama fiqh antara lain:

a. Mazhab Hanafi: mudharabah adalah suatu akad (kontrak) dan mereka juga

menjelaskan unsur-unsur pentingnya yaitu: berdirinya syarikat ini atas usaha

fisik dari satu pihak atas modal dari pihak yang lain, namun tidak

menjelaskan dalam definisi tersebut cara pembagian keuntungan antara

kedua orang yang berserikat itu. Sebagaimana mereka juga tidak

menyebutkan syarat yang harus dipengaruhi pada masing-masing pihak

yang melakukan kontrak dan syarat yang harus dipenuhi pada modal.

b. Mazhab Hambali: menyebutkan bahwa pembagian keuntungan adalah

kedua orang berserikat menurut yang mereka tentukan, namun ia tidak

menyebutkan persyaratan yang harus dipenuhi dari kedua belah pihak yang

melakukan akad.

c. Mazhab Syafi‟i: kategorisasi mudharabah sebagai suatu akad, namun ia

tidak menyebutkan apa yang harus dipenuhi dari persyaratan kedua belah

pihak yang melakukan akad, sebagaimana ia juga tidak menjelaskan cara

pembagian keuntungan.

d. Mazhab Maliki: telah disebutkan sebagaimana persyaratan dan batasan

yang harus dipenuhi dalam mudharabah dan cara pembagian keuntungan

yaitu dengan bagian yang tertentu jelas sesuai dengan kesepakatan antara

kedua orang yang berserikat. Namun definisi ini menegaskan kategorisasi

mudharabah sebagai suatu akad kontrak, melainkan ia menyebutkan bahwa

mudharabah adalah pembayaran (penyerahan) modal itu sendiri.

Dari beberapa definisi yang representatif mengenai mudharabah diatas,

dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa mudharabah adalah kerjasama atau

kontrak usaha antar dua pihak, salah satu pihak menyediakan modal dan pihak
23

lain menyerahkan tenaganya sebagai andai untuk mencapai tujuan usaha,

kemudian keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha dibagi berdasarkan

kesepakatan kedua belah pihak sedangkan jika terjadi kerugian yang

menanggung adlah pihak penyedia modal.

2.6.2 Landasan Hukum Mudharabah

Menurut Antonio (2001:95), secara umum landasan dasar syariah

mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini

tampak dalam ayat-ayat Al-Qur‟an dan Hadits berikut:

a. Al-Qur’an

Ayat Al-Qur‟an yang dapat dijadikan sebagai landasan hukum

mudharabah khususnya pada anjuran untuk melakukan usaha yaitu firman Allah

dalam surah Al-Baqarah ayat 282-283: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu

bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu

menuliskannya…” dan surah Al-Baqarah ayat 283: “akan tetapi jika sebagian

kamu mempercayai sebagian yang lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu

menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah

Tuhannya”. Kemudian di ayat yang lain dalam surah Al-Muazammil ayat 20: “dan

dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi sebagian mencari karunia Allah

SWT…” yang menjadi wajhud-dialah atau argument dari surah Al-Muzammil :20

adalah adanya kata yadribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang

berarti melakukan suatu perjalanan usaha. Kemudian, ayat lain yang juga

mendorong kaum muslimin untuk melakukan usaha perjalanan usaha yaitu

dalam surah Al-Baqarah ayat 198: “tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk

mencari karunia Tuhanmu…” dan surah Al-Jumuah ayat 10: “apabila telah

ditunaikan sholat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia

Allah SWT…” surah Al-Jumuah ayat 10 dan Al-Baqarah ayat 198 sama-sama
24

mendorong kaum muslimin untuk melakukan upaya perjalanan usaha. Beberapa

ayat tersebut diatas secara umum memperbolehkan mudharabah dengan tujuan

saling membantu antara pemilik modal orang yang memutarkan uang untuk

mengelola usaha dan mendorong kaum musim untuk melakukan upaya

perjalanan usaha.

b. Hadist

Landasan mudharabah dari sisi hadist atau sunnah Rasulullah yaitu

disandarkan pada perjanjian mudharabah yang dilakukan antara Nabi

Muhammad dan Khadijah. Saat itu Nabi Muhammad dipercaya membawa

sebagian barang dagangan Siti Khadijah dari Mekkah ke Negeri Syam. Barang

dagangan itu dijadikan modal usaha oleh Nabi untuk diperdagangkan dan

hasilnya dibelikan barang dagangan lainnya untuk dijual lagi di pasar Bushra di

Negeri Syam. Setelah beberapa lama, Nabi kembali ke Mekkah membawa hasil

usahanya dan dilaporkan kepada Siti Khadijah. Kemudian harta yang telah

dikembangkan kemudian dihitung dan di bandingkan dengan harta semula. Harta

semula di kembalikan kepada yang punya, sedang selisihnya di bagi antara yang

punya harta (rabbul maal) dengan yang mengelola (mudharib) sesuai dengan

kesepakatan semula (Karnaen,1996:12).

Hadist lainnya yang dapat dijadikan sebagai landasan mudharabah yaitu

hadist yang diriwayatkan dari Shalih Bin Radhiyallahu Anhu Rasulullah bersabda,

tiga hal yang terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah dan

tercampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual

(HR.Ibnu Majah No. 2880).


25

c. Ijma’

Diriwayatkan oleh sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang

Mudharib) harrta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorangpun

mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma‟ (Zulhaily,

1989:838).

d. Qiyas

Sutanto dan Umam (2013:213) mengemukakan bahwasanya transaksi

mudharabah yakni penyerahan sejumlah harta (dana,modal) dari satu pihak

(Malik, shahibul maal) kepada pihak lain (mudharib) untuk diperniagakan

(diproduktifkan) dan keuntungan dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan, di

qiyas-kan kepada transaksi musaqah.

Mudharabah lebih mencerminkan ajaran untuk melakukan usaha perekonomian

dengan cara yang benar dan adil sehingga menguntungkan antara dua belah

pihak yang melakukan kerjasama dengan menggunakan akad mudharabah ini.

2.6.3 Jenis-jenis Mudharabah

Menurut Muslich (2015: 371-372), dilihat dari transaksi yang dilakukan

pemilik modal dan pengelola, mudharabah terbagi atas dua jenis, yaitu:

a. Mudharabah mutlaqah merupakan akad mudharabah dimana pemilik modal

memberikan modal „amil (pengelola) tanpa disertai dengan pembatasan

(aqid). Contohnya seperti kata pemilik. “saya berikan modal ini kepada Anda

dengan mudharabah, dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi dua atau

dibagi tiga”. Di dalam akad tersebut tidak ada ketentuan atau pembatasan

mengenai tempat kegiatan usaha, jenis usaha. Barang yang dijadikan objek

usaha, dan ketentuan-ketentuan lainnya.


26

b. Mudharabah muqayyadah adalah suatu akad mudharabah di mana pihak

pemilik modal memberikan ketentuan atau batasan-batasan yang berkaitan

dengan tempat kegiatan usaha, jenis usaha, barang yang menjadi objek

usaha, waktu, dan dari siapa barang tersebut dibeli. Pembatasan waktu dan

orang yang menjadi sumber pembelian barang dibolehkan menurut Abu

Hanifah dan Ahmad, sedangkan menurut Maliki dan Syafi'i tidak

diperbolehkan. Demikian pula menyandarkan akad kepada waktu yang akan

datang diperbolehkan menurut Abu Hanifah dan Achmad, dan tidak

diperbolehkan menurut Imam Maliki dan Syafi‟i.

Selain dua jenis mudharabah di atas, jenis mudharabah lainnya yaitu

mudharabah musytarakah. Mudharabah musytarakah merupakan bentuk

mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam

kerjasama investasi. Kemudian dijelaskan pula dalam PSAK 105, paragraf 32-33

mengenai akad mudharabah musytarakah, jadi pengelola dana (berdasarkan

akad mudharabah) akan menyertakan pula dana dalam investasi Bersama

(berdasarkan akad musyarakah). Kemudian pemilik dana musyarakah akan

memperoleh bagian hasil usaha sesuai dengan kontribusi dana yang disetor.

Pembagian hasil usaha antara pengelola dan pemilik dana dalam mudharabah

adalah sebesar hasil usaha musyarakah setelah dikurangi porsi pemilik dana

musyarakah (yusuf, 2011: 94).

2.6.4 Rukun dan Syarat Mudharabah

Menurut ulama Hanafiah, rukun Mudharabah ialah akad, yaitu ijab dan

Kabul antara pemilik modal dan pengelola. Sedangkan menurut mazhab Maliki,

rukun mudharabah terbagi menjadi lima antara lain: (1) modal; (2) pekerjaan; (3)

keuntungan; (4) dua orang yang melakukan pekerjaan; dan (5) shiqhat (ijab dan

kabul). Hampir semua mazhab Maliki, mazhab Syafi‟I, membagi rukun


27

mudharabah menjadi enam antara lain: (1) pemilik modal; (2) modal yang

diserahkan; (3) orang yang berniaga; (4) perniagaan yang dilakukan; (5) ijab; (6)

qabul (Arfiana, 2008:22).

Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa rukun mudharabah yang

harus dipenuhi antara lain: (1) adanya pelaku akad, yaitu pemodal (shahibul mal)

dan pengelola modal (mudharib); (2) objek akad yaitu modal, kerja/usaha, dan

keuntungan; (3) terjadinya ijab dan qabul.

Sayyid Sabiq (1998:87) mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus

dipenuhi dalam penggunaan sistem mudharabah (qiradh), yaitu;

a. Modal, sebagai syarat mudharabah modal harus diserahkan kepada

mudharib untuk melakukan usaha , modal harus dinyatakan dengan jelas

jumlahnya, jika modal dalam bentuk barang maka harus dihargai dalam

uang. Kemudian modal harus dalam bentuk tunai bukan piutang.

b. Keuntungan, pembagian keuntungan mudharabah harus dinyatakan

dalam persentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti.

Kesepakatan rasio nanti harus dicapai dengan negosiasi dan dituangkan

ke dalam kontrak. Kemudian, pembagian keuntungan baru dapat

dilakukan setelah mudharib mengembalikan seluruh atau sebagian modal

kepada pemilik.

c. Mudharabah ini bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat si

pelaksana (pekerja) untuk berdagang di negeri tetangga atau berdagang

pada waktu tertentu atau bermuamalah pada orang-orang tertentu

dengan syarat-syarat yang sejenis.

Sejalan dengan syarat mudharabah, Ismail Nawawi (2012:143) juga

menerangkan bahwa syarat yang harus dipenuhi dalam mudharabah antara lain:

1) pemilik modal dan pengelola keduanya harus mampu bertindak sebagai


28

pemilik modal dan manajer serta cakap dalam hukum. 2) Ucapan serah terima

kedua belah pihak untuk menunjukkan kemauan mereka dan terdapat kejelasan

tujuan kemauan mereka dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam melakukan

sebuah kontrak/transaksi. 3) modal adalah sejumlah uang diberikan oleh pemilik

modal kepada pengelola untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah. Modal

disyaratkan harus diketahui jumlahnya, jenisnya (mata uang) dan modal harus

disetor tunai kepada mudharib. 4) keuntungan adalah jumlah yang didapat

sebagai kelebihan dari modal, pembagian keuntungan harus jelas dan sesuai

nisbah yang disepakati. Keuntungan adalah tujuan akhir dari mudharabah. 5)

pekerjaan atau usaha perdagangan merupakan kontribusi pengelola dalam

kontrak mudharabah yang disediakan oleh pemilik modal. Pekerjaan dalam

kaitan ini berhubungan dengan manajemen kontrak mudharabah dan ketentuan-

ketentuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak dalam transaksi.

2.6.5. Berakhirnya Akad Mudharabah

Berakhirnya akad mudharabah disebabkan hal-hal berikut ini: (1) masing-

masing pihak menyatakan akad batal, atau pekerja dilarang bertindak hukum

terhadap modal yang diberikan, atau pemilik modal menarik modalnya; (2) salah

seorang berakal gila , karena orang gila tidak cakap bertindak hukum; (3)

seorang yang berakal meninggal dunia; (4) pemilik modal murtad (keluar dari

Islam); (5) modal habis ditangan pemilik sebelum dikelola oleh pekerja. Demikian

juga apabila modal tersebut dibelanjakan oleh pemilik modal sehingga tidak ada

lagi yang bisa dikelola pekerja (Arfiani, 2014:24).


29

2.7 Konsep Keadilan


Prinsip keadilan menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban antara

pemilik modal dan pengelola, sehingga dengan diterapkannya prinsip keadilan,

tidak ada pihak yang akan merasa terpaksa dan dirugikan selama perjanjian bagi

hasil berlangsung. Untuk menerapkan prinsip keadilan yang sesuai dalam

penerapan bagi hasil, tentunya diperlukan pemahaman terhadap konsep

keadilan secara umum maupun dari sudut pandang Islam.

2.7.1 Pengertian Keadilan

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keadilan merupakan kata sifat

yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak,

berpegang kepada kebenaran, proposional. Adil secara etimologi berarti tengah

atau pertengahan. Dalam makna ini pula, kata adil memiliki persamaan kata

dengan kata wasth yang darinya terambil kata pelaku (isim fa‟il) kata wasth yang

diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi “wasit” yang artinya ialah “penengah”

atau “orang yang berdiri di tengah-tengah”, yang mensyaratkan sifat keadilan.

Hasan (2016:39), mengemukakan bahwa konsep atau bahkan nilai keadilan

sering dipengaruhi unsur subjektivitas manusia, sehingga keadilan terkadang

hanya bisa dirasakan oleh pihak-pihak tertentu. Sesuatu yang dirasa adil oleh

seseorang belum tentu dirasakan oleh orang lain atau golongan tertentu.

Menurut Shihab (1996: 144-116), paling tidak ada empat makna keadilan

yakni: pertama, “adl dalam arti sama dan pengertian ini yang paling banyak

terdapat didalam Al-Qur‟an,antara lain pada surah An-nisa (4): 3, 58, dan 19,

Asy-Syura (42): 15; Al-MAidah (5): 8; An-Nalh (16): 76, 90: dan Al-hujurat (49):9.

Kata adl dengan arti sama (persamaan) pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud

adalah persamaan didalam hak. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap

manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini menjadi dasar
30

keadilan didalam ajaran-ajaran ketuhanan; kedua, kata” adl dalam arti –

seimbang pengertian ini ditemukan didalam Al-Qur‟qn surah Al-Maidah (5): 95

dan Al-Infitar (82): 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya dinyatakan

alladhi khalaqak fa sawwak fa” adalak, yang artinya: Allah yang telah

menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan

tubuhmu) seimbang; ketiga, kata “ adl dalam arti – perhatian terhadap hak-hak

individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian inilah

yang didefinisikan dengan – menempatkan sesuatu pada tempatnya atau –

memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat. Lawan dari pengertian ini

adalah – kezaliman yakni pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian

ini disebutkan didalam Al-An‟am (6): 152, wa idha qultum faa‟dilu walaw kana

dha qurba, yang artinya: dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu

berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu. Pengertian adl seperti ini

melahirkan keadilan sosial; keempat, kata “adl yang diartikandengan – yang

dinisbahkan kepada Allah. Adl disini berarti memelihara kewajaran atas

berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan

rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Dalam pengertian ini

yang harus dipahami kandungan Al-Qur‟an Surah Ali-Imran (3): 18, menunjukkan

Allah sebagai qa‟iman bi al-qist yang artinya – menegakkan keadilan.

Penegakan keadilan telah ditekan dalam Al-Qur‟an sebagai misi utama

para Nabi yang telah diutus oleh Allah, termasuk dalam penegakan keadilan

ekonomi dan penghapusan kesenjangan pendapatan, sebagaimana firman Allah

dalam QS Al-Hadid ayat 25 yang artinya: “sesungguhnya kami telah mengutus

rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami

turunkan Bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat

melakssanakan keadilan”. Ayat ini memberikan penekanan pada nilai keadilan


31

yang lebih besar daripada perkara ini, yaitu bahwa Allah mengutus para Rasul-

Nya dan menurunkan kitab-Nya untuk mewujudkan keadilan.

2.7.2 Keadilan dalam Sistem Bagi Hasil

Menurut Khasanah (2010:127) bahwa bagi hasil adalah salah satu skim

yang ada dalam ekonomi Islam merupakan salah satu komponen dalam sistem

kesejahteraan Islam. Keadilan merupakan salah satu prinsip dasar dalam Islam,

Khususnya dalam ekonomi Islam. Dalam menerapkan prinsip keadilan pada

setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan, tentunya pemahaman akan nilai-nilai

keadilan sangat diperlukan. Berdasarkan muatan makna adil yang ada dalam Al-

Qur‟an, dapat diturunkan berbagai nilai turunan yang berasal dari prinsip keadilan

itu sendiri, yaitu sebagai berikut (P3EI UII Yogyakarta, 2008:61):

1. Persamaan Kompensasi

Persamaan kompensasi artinya memberikan kompensasi yang sepadan

kepada pihak lain sesuai dengan pengorbanan yang telah dilakukan.

Pengorbanan yang telah dilakukan inilah yang menimbulkan hak pada

seseorang yang telah melakukan pengorbanan untuk memperoleh

balasan yang seimbang dengan pengorbanannya.

2. Persamaan Hukum

Dalam konteks ekonomi, persamaan hukum dapat diartikan dengan

adanya persamaan perlakuan pada setiap orang dalam setiap aktivitas

maupun transaksi ekonomi.

3. Moderat

Nilai adil dianggap telah diterapkan seseorang jika orang yang

bersangkutan mampu memposisikan dirinya dalam dalam posisi di

tengah. Hal ini memberikan suatu implikasi bahwa seseorang harus


32

mengambil posisi di tengah, dalam arti tidak mengambil keputusan yang

terlalu memberatkan ataupun keputusan yang terlalu meringankan.

4. Proposional

Adil tidak selalu diartikan sebagai kesamaan hak, namun hak ini

disesuaikan dengan ukuran setiap individu atau proporsional, baik dari

sisi tingkat kebutuhan, kemampuan, pengorbanan, tanggung jawab,

ataupun kontribusi yang diberikan oleh seseorang. Seluruh makna adil

yang telah dijabarkan diatas akan terwujud jika setiap orang menjunjung

tinggi nilai kebenaran, kejujuran, keberanian, kelurusan dan kejelasan.

Sebagai salah satu prinsip dasar Islam, nilai keadilan wajib

diimplementasikan dalam setiap aspek kehidupan. dalam aspek ekonomi,

khususnya pada perjanjian bagi hasil, prinsip keadilan selayaknya

menjadi prinsip utama yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan

perjanjian bagi hasil. Hal ini bertujuan agar kedua belah pihak sama-sama

ridho dalam melakukan kerja sama tersebut karena tidak ada pihak yang

akan menzalimi maupun terzalimi.

Sejalan dengan hal tersebut, baidhawi menambahkan bahwa upaya

menjaga – rasa keadilan dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam

rangka menuju kesejahteraan melahirkan sejumlah implikasi dalam

proses pelembagaannya melalui: (1) Penumbuhan nilai-nilai keadilan

sebagai motif bertindak dalam aktivitas ekonomi; (2) perwujudan kebaikan

kewajiban-kewajiban agama dalam aktivitas ekonomi; (3) penegakan

suatu sistem manajemen sosial -ekonomi yang berkeadilan, manusiawi,

dan ramah lingkungan; dan (4) implementasi peran pemerintah dalam

menjalankan sistem politik dan kebajikan yang adil dan mensejahterakan

untuk semua.
33

2.8 Berbagai Model Kerjasama Bagi Hasil Perikanan

Kerjasama bagi hasil perikanan merupakan praktik yang tidak asing bagi

nelayan di berbagai daerah di Indonesia dan telah menjadi kearifan lokal yang

sudah ada sejak lama (Ridwan dan Sugianto, 2015:1). Penelitian yang dilakukan

oleh Widihastuti dan Rosidah (2018 : 5) di Kepulauan Aru dengan menggunakan

Alat Tangkap Pancing Tonda menggambarkan bahwa dalam sistem bagi hasil

yang melibatkan pemilik alat tangkap, nakhoda dan anak buah kapal, proporsi

bagi hasil yang diberlakukan berturut-turut adalah 50%, 30% dan 20%. Sistem

yang diberlakukan turut membawa risiko pada masa paceklik, dimana seringkali

anak buah kapal terlilit utang dengan peminjam informal untuk memenuhi

kebutuhan sehari-sehari sebab rendahnya penghasilan yang sering kali tidak

mencukupi. Di lain sisi, penelitian yang dilakukan oleh Zakaria (2014 : 119) di

Kabupaten Sinjai mencatat bahwa model kerjasama bagi hasil perikanan tangkap

yang diberlakukan UD Aisah memungkinkan anak buah kapal yang berkinerja

baik untuk mampu meningkatkan kesejahteraannya dengan membuka peluang

untuk memiliki kapal melalui skema akad al-ijarah al-muntahia bit-tamlik.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Wati dkk (2017 : 1) mencatat

bahwa dalam kerjasama bagi hasil perikanan antara pemilik kapal dan nelayan di

Desa Parean ditemukan praktik ketidakadilan yang tidak sesuai dengan prinsip

akad mudharabah dan UU No. 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan.

Dalam kerjasama bagi hasil yang memberlakukan proporsi 40% untuk nelayan

dan 60% untuk pemilik kapal ini ditemukan adanya biaya perbekalan yang

bersifat utang dan menjadi tanggungan nelayan. Lebih lanjut, penelitian ini

menemukan pula bahwa terdapat ketidakadilan dalam perhitungan biaya dan

tanpa adanya pengawasan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II sebagaimana

diamanatkan dalam UU No. 16 Tahun 1964 (Wati dkk., 2017 : 5). Penelitian ini
34

sama halnya dengan temuan Multazam (2018 : 48) yang melakukan penelitian

pada sistem bagi hasil Punggawa-Sawi di PPI Lonrae Kabupaten Bone, dimana

skema kerjasama yang diberlakukan tidak sesuai dengan UU No. 16 Tahun

1964.

Di lain sisi, penelitian yang dilakukan oleh Yolanda (2013 : 80) di Desa

Tiku Provinsi Sumatera Barat mencatat bahwa tidak sedikit dalam skema

kerjasama bagi hasil yang diterapkan oleh Induk Semang (pemilik modal) dan

anak buah kapal mengacu pada hukum adat, dimana baik dalam kondisi untung

maupun rugi penghasilan maupun kerugian yang harus ditanggung dibagi

dengan proporsi 50 : 50 antara pemilik modal dan anak buah kapal. Model ini

sama persis dengan skema yang diterapkan oleh pemilik kapal dan nelayan di

Desa Morodemak Kabupaten Demak yang memberlakukan proporsi 50 : 50

tetapi dibarengi dengan kesepakatan sedekah sebesar 1,5% untuk setiap anak

buah kapal (Wardah, 2019 : 110). Sistem bagi hasil antara pemilik bagan dan

buruh nelayan di Kecamatan Kotaagung Kabupaten Tanggamus juga mengikuti

ketentuan adat dengan nisbah 50: 50. Kendati demikian, karena kondisi tertentu

ketentuan dapat berubah sewaktu-waktu sesuai kesepakatan kedua belah pihak

menjadi 60 : 40 (Wati, 2018 : 87).

Berbeda halnya dengan kerjasama bagi hasil antara nelayan dan pemilik

kapal di Pelabuhan Ampera Kabupaten Pacitan. Sari (2018 : 101) mencatat

bahwa sistem yang diterapkan belum sesuai dengan prinsip akad mudharabah.

Pernyataan ini didasarkan pada temuan bahwa apabila terjadi kerugian yang

bukan disebabkan oleh kelalaian nelayan maka tetap dibebankan kepada pihak

nelayan.

Selain yang dikemukakan di atas, Sudaryanto (2009:531-534) juga

menemukan perjanjian bagi hasil perikanan di kalangan nelayan Pandangan


35

Wetan sering menuai sengketa, dimana beberapa ABK merasa bahwa upah

yang mereka terima tidak sesuai dengan perkiraannya. Mereka merasa uang

yang mereka terima lebih sedikit dari apa yang mereka perhitungkan. Masing-

masing ABK tahu dengan pasti berapa bagian upah yang akan diterimanya.

Namun, konflik ini muncul karena masing-masing ABK tidak tahu dengan pasti

pengeluaran untuk belanja perbekalan. Memang belanja perbekalan umumnya

sudah dapat diperkirakan jumlahnya karena bahan-bahan yang dibeli sudah

tetap jumlahnya. Namun, terkadang pengeluaran untuk belanja perbekalan itu

meningkat sehingga bagian upah bagi ABK akan berkurang. Selain itu, ia juga

menemukan adanya korupsi hasil melaut, dimana ABK menjual beberapa basket

(keranjang) ikan di luar sistem pelelangan. ikan-ikan itu kemudian hasilnya dibagi

rata antar ABK. ABK akan mengatakan kepada jurangan bahwa mereka butuh

lawuhan (lauk) bagi keluarganya. Namun, sesungguhnya ikan itu tidak dibawa

pulang bagi keluarganya melainkan hasilnya dibagi dalam bentuk uang.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa dari berbagai

praktek bagi hasil penangkapan ikan yang terjadi di beberapa daerah

menunjukkan bahwa masih adanya unsur gharar, tadlis dan taghrir dalam cara

bagi hasil antara Nelayan dan Juragan, yakni di mana dalam hal kerugian

dibebankan kepada nelayan sebagai pengelola modal. Akibat dari pembagian

hasil seperti ini, nelayan banyak melakukan pencurian ikan sebelum hasil

tangkapannya diserahkan kepada juragan. Oleh karena itu praktik bagi hasil

seperti ini tidak sesuai dengan prinsip ekonomi Islam.


BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif

kualitatif. penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami

fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,

persepsi, motivasi, dan tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi

dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah

dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2014:6).

Penelitian deskriptif kualitatif merupakan bagian dari penelitian kualitatif. Adapun

menurut Khotim (2007:45), penelitian deskriptif kualitatif adalah penelitian yang

berusaha menggambarkan dan menginterpretasikan kondisi hubungan yang ada,

pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat yang

sedang terjadi atau kecenderungan yang sedang berkembang.

Alasan pemilihan metode ini didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai

yaitu untuk memperoleh gambaran yang jelas dan terperinci mengenai sistem

bagi hasil usaha perikanan serta merumuskan konsep bagi hasil usaha

perikanan tangkap menurut perspektif nilai Islam dengan melakukan studi

pustaka berasaskan Al-Qur„an dan As-Sunnah (Hadits), yang didukung oleh

pengamatan lapangan mengenai pelaksanaan bagi hasil usaha perikanan

tangkap tersebut.

36
37

1.2 Kehadiran Peneliti

Dalam penelitian ini, peneliti akan bertindak sebagai pengamat sekaligus

pengumpul data. Kehadiran peneliti sebagai pengamat lapangan akan

diinformasikan kepada pihak objek penelitian sebelum diadakan penelitian.

3.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Topejawa Kecamatan Mangarabombang

Kabupaten Takalar. Dipilihnya lokasi penelitian ini karena. Pertama, besarnya

potensi perikanan yang dimiliki kabupaten Takalar ditunjukkan dengan besarnya

kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB kabupaten Takalar tahun 2016, yaitu

sebesar 50,32%. Kedua, desa Topejawa menjadi salah satu kontributor andalan

dalam pertumbuhan ekonomi di kabupaten Takalar pada sektor perikanan.

Ketiga, masyarakat nelayan di desa Topejawa secara turun temurun

menggunakan sistem bagi hasil dalam pembagian hasil tangkapannya. Keempat,

tingginya kesenjangan sosial antara punggawa dan sawi di desa tersebut.

Kelima, Mayoritas Penduduk menganut agama Islam.

3.4 Sumber Data

Sumber data penelitian merupakan faktor penting yang menjadi

pertimbangan dalam penentuan metode pengumpulan data, ada dua sumber

data yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Data Primer yaitu data yang berasal dari sumber pertama beberapa

laporan tertulis yang diambil dari pemilik kapal dan pengelola/nelayan

yang berada di Desa Topejawa Kecamatan Mangarabombang Kabupaten

Takalar.
38

2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dengan mempelajari berbagai

literatur terkait konsep bagi hasil berkeadilan menurut Islam. Sekaran

(2016:97) mengungkapkan bahwa survei literatur merupakan

dokumentasi dari tinjauan menyeluruh terhadap karya publikasi dan non

publikasi dari sumber sekunder dalam bidang khusus yang peneliti minati.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Sebagaimana dari sumber data di atas, teknik pengumpulan data yang

digunakan peneliti untuk mengumpulkan dan mengolah data adalah sebagai

berikut:

a. Wawancara

Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang menggunakan

pertanyaan secara lisan kepada subjek penelitian (Sangadji, et al., 2010). Dalam

penelitian ini, wawancara akan dilakukan dengan para informan yaitu orang-

orang yang dianggap banyak mengetahui permasalahan nelayan.

Para informan itu terdiri dari pemilik perusahaan serta stakeholder

perusahaan, nelayan pemilik perahu, dan nelayan buruh serta keluarganya.

Teknik wawancara akan dilakukan dengan pewawancara mula-mula

menanyakan serentetan pertanyaan yang telah dipersiapkan, kemudian satu

persatu diperdalam untuk memperoleh keterangan dan data lebih lanjut.

b. Observasi

Observasi adalah pengamatan terhadap suatu objek yang diteliti baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh data yang harus

dikumpulkan dalam penelitian (Satori dan Komariah, 2011:105). Observasi ini

dilakukan untuk melihat kondisi lingkungan daerah penelitian, dan juga melihat

secara langsung aktivitas bagi hasil usaha perikanan di Desa Topejawa

Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar.


39

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan rekaman kejadian masa lalu yang ditulis atau

dicetak dapat berupa catatan, surat, buku harian, dan dokumen-dokumen.

Metode dokumentasi pada penelitian ini diperoleh dari sumber data sekunder

berupa dokumen atau arsip mengenai sistem bagi hasil perikanan di Desa

Topejawa Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar.dan dokumen

lainnya yang berhubungan dengan penelitian.

d. Penelitian Pustaka

Penelitian pustaka yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu berupa

peninjauan pada berbagai pustaka dengan membaca berbagai referensi seperti

Al-Qur‟an, hadits-hadits Rasulullah saw, fiqih, publikasi-publikasi serta referensi

lain yang relevan dengan konsep bagi hasil dalam ekonomi Islam.

3.6 Analisis Data

Untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif. Pada umumnya penelitian

deskriptif merupakan penelitian non hipotesis (Khotim , 2007:65). Dalam

penelitian ini peneliti menggunakan deskriptif yang bersifat eksploratif yaitu

dengan menggambarkan keadaan atau status fenomena yang terjadi.

Penulis akan berusaha untuk memecahkan rumusan masalah dengan

menganalisis, memaparkan, dan menjelaskan data yang terkumpul untuk

menggambarkan mengenai praktik pelaksanaan bagi hasil usaha perikanan

tangkap, kemudian dianalisis dengan teori dalam konsep bagi hasil menurut

perspektif nilai Islam untuk mengetahui sejauh mana praktik bagi hasil tersebut

sejalan dan sesuai dengan konsep nilai Islam.


40

Proses penyajian data peneliti akan melakukan analisis terkait keadilan

dalam sistem bagi hasil yang diterapkan pada objek penelitian. Menurut

Handayani (2013:92) keadilan dalam sistem bagi hasil dapat diukur melalui lima

indikator yakni, proses transparansi di antara kedua belah pihak, penetapan

nisbah bagi hasil yang proporsional, konsistensi dari setiap pihak yang terlibat

dalam perjanjian bagi hasil, keseimbangan bargaining power, serta adanya ganti

rugi jika terjadi pemberhentian kerja sama di tengah akad (Handayani, 2013:92).

Analisis terhadap kelima indikator ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Transparansi

Dalam Islam, konsep transparansi erat kaitannya dengan kejujuran.

Menurut Tapanjeh dalam Khaerany (2013:31), transparansi dalam perspektif

Islam mencakup tiga hal yaitu, 1) adanya keterbukaan informasi dari kedua

belah pihak, 2) pengungkapan informasi secara jujur, lengkap dan meliputi

segala hal yang terkait dengan informasi yang diberikan, serta 3) pemberian

informasi yang dilakukan secara adil kepada pihak yang membutuhkan

informasi.

Nilai transparansi sangat menuntut nilai-nilai kejujuran atas setiap

informasi yang diberikan dari satu pihak ke pihak lain. Sehubungan dengan

kejujuran, dalam Al Qur‟an surah Al Isra‟ ayat 35 Allah berfirman, “dan

sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar dan timbanglah dengan

neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya”. Penekanan akan pentingnya sikap transparan dalam Islam juga

terdapat dalam surah Al Mutaffifin ayat 1-3, ayat tersebut menunjukkan

bahwa Islam sangat menjunjung tinggi sikap jujur dan menentang perbuatan

curang. Pada ayat pertama Allah memerintahkan untuk menyempurnakan


41

takaran dan menimbang dengan neraca yang benar. Secara tidak langsung

ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kita untuk berlaku

jujur dalam segala hal. Selanjutnya, ditegaskan kembali pada surah tersebut

bahwa Allah melaknat orang yang bersikap tidak jujur dan curang dan

menggolongkan mereka sebagai orang-orang yang celaka.

Menegakkan transparansi adalah kewajiban agama yang mulia.

Transparansi memungkinkan seluruh pihak memperoleh informasi yang

sempurna dan dapat menggunakan informasi tersebut dalam proses

pengambilan keputusan, sehingga tidak akan ada pihak yang terzalimi karena

adanya sikap tidak jujur dan tidak terbuka dari salah satu pihak. Dengan

demikian, dalam bermuamalah sikap transparan tidak saja menghantarkan

manusia kepada berbagai kebajikan, tetapi juga menghantarkan pada

terwujudnya keadilan bagi seluruh umat manusia.

Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa proses transparansi di

antara pihak yang terlibat dalam bagi hasil dapat dianalisis berdasarkan ada

atau tidaknya kejujuran serta keterbukaan di antara kedua belah pihak

mengenai hal-hal yang terkait dengan perjanjian bagi hasil tersebut. Adapun

transparansi yang dijadikan indikator dalam hal ini yaitu transparansi mengenai

biaya-biaya yang dikeluarkan, transparansi pendapatan yang diperoleh dari hasil

penangkapan ikan yang akan dijadikan sebagai objek bagi hasil.

b. Proporsionalitas

Pengukuran proporsionalitas pada akad bagi hasil usaha perikanan

didasarkan pada penetapan besaran nisbah bagi hasil antara nelayan pemilik

modal (punggawa) dan buruh nelayan (sawi) serta proporsionalitas penghasilan

yang diperoleh punggawa dan sawi. Nisbah bagi hasil dapat dikatakan
42

proporsional jika nisbah yang ditetapkan sesuai dengan besarnya kontribusi

yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak. Pengukuran nisbah bagi hasil yang

ditetapkan dengan kontribusi yang dikeluarkan dilakukan dengan metode

persentase.

Dengan metode persentase, maka proporsionalitas nisbah bagi hasil

dapat diukur dengan cara mempersentasekan jumlah biaya-biaya yang telah

dikeluarkan oleh masing-masing pihak dengan total seluruh biaya yang telah

dikurangkan, serta mempersentasekan pendapatan bagi hasil yang diterima

oleh masing-masing pihak dengan jumlah pendapatan yang diterima (apabila

menggunakan metode revenue sharing) atau dengan pendapatan bersih yang

telah dikurangi dengan biaya-biaya (jika menggunakan metode profit sharing).

Hasil persentase biaya yang dikeluarkan serta persentase pendapatan bagi

hasil yang diterima tersebut lalu dibandingkan satu sama lain.

Jika persentase bagi hasil yang diterima oleh salah satu pihak lebih kecil

dibandingkan dengan persentase kontribusi biaya yang telah dikeluarkan oleh

pihak tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa nisbah bagi hasil yang

ditetapkan tidak proporsional. Nisbah bagi hasil dapat dikatakan proporsional

jika persentase pendapatan bagi hasil yang diterima oleh masing-masing pihak

lebih besar dari yang kontribusi biaya yang dikeluarkan oleh pihak tersebut

(Irmayanti, 2010:57)

c. Konsistensi

Konsistensi dalam sistem bagi hasil diukur melalui ada atau tidaknya

sikap konsisten di antara pihak yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil

mengenai hal-hal yang telah disepakati di awal akad. Hal-hal seperti penetapan

nisbah bagi hasil, pembagian tanggung jawab jika terjadi kerugian, serta segala
43

hal yang menyangkut hak dan kewajiban setiap pihak selama akad berlangsung

harus sesuai dengan apa yang telah disepakati di awal akad.

d. Keseimbangan bargaining power

Salah satu hal yang memicu terjadinya tindakan zalim dalam suatu akad

kerja sama yaitu ketika salah satu pihak berada di posisi yang lemah. Oleh

karenanya kedua pihak harus saling membutuhkan serta memiliki kekuatan

posisi tawar yang setara. Keseimbangan bargaining power ini dapat diukur

berdasarkan tingkat wawasan serta pengetahuan yang dimiliki oleh pihak yang

terlibat dalam perjanjian bagi hasil.

e. Adanya ganti rugi

Dalam akad bagi hasil, terdapat kemungkinan terjadi pemberhentian

kerja sama di tengah berlangsungnya akad. Jika terjadi hal seperti ini, maka

pihak yang melakukan pemberhentian harus bertanggung jawab atas

pemberhentian yang terjadi, terutama jika pemberhentian tersebut terjadi secara

sepihak. Keadilan dalam hal ini dapat diukur melalui besarnya ganti rugi yang

dikeluarkan oleh pihak yang melakukan pemberhentian, dimana ganti rugi yang

dikeluarkan harus sesuai dengan besarnya biaya maupun tenaga yang telah

dikeluarkan oleh pihak lain selama akad bagi hasil berlangsung.

Berdasarkan data relevan yang telah dikumpulkan dan disajikan,

selanjutnya ditarik satu kesimpulan untuk memperoleh hasil akhir penelitian.

Selain menarik kesimpulan, dalam penelitian ini peneliti juga melakukan

interpretasi data sebagai upaya dalam memperoleh arti dan makna yang lebih

mendalam dan luas terhadap hasil dari penelitian yang sedang dilakukan.

Pembahasan hasil penelitian dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian


44

secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang diperoleh di

lapangan.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PELAKSANAAN SISTEM
BAGI HASIL DI DESA TOPEJAWA KECAMATAN MANGARABOMBANG
KABUPATEN TAKALAR

Dalam bab ini akan dibahas mengenai gambaran umum objek penelitian

serta gambaran sistem bagi hasil perikanan yang diterapkan di Desa Topejawa

Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar. Gambaran tersebut diperoleh

dari hasil wawancara peneliti dengan informan yang merupakan punggawa darat

dan punggawa laut serta sawi di daerah tersebut. Pada bab selanjutnya,

gambaran tersebut akan menjadi dasar untuk menilai penerapan keadilan pada

akad bagi hasil usaha perikanan tangkap di Desa Topejawa Kecamatan

Mangarabombang Kabupaten Takalar berdasarkan indikator keadilan yang telah

ditetapkan dalam penelitian ini.

4.1 Gambaran Umum Desa Topejawa


Desa Topejawa Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar terletak

sejauh ± 5,9 km yang memiliki total luas wilayah ± 319,942 ha yang terdiri atas 4

(empat) dusun yaitu:

1. Dusun Topejawa dengan luas wilayah 234,56 Ha

2. Dusun Kajang dengan luas wilayah 185,94 Ha

3. Dusun Lamangkia dengan luas wilayah 60,53 Ha

4. Dusun Topejawa Lama dengan luas wilayah 40,57 Ha

Adapun batas-batas wilayah Desa Topejawa adalah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara : Desa Banggae

2. Sebelah Timur : Desa Lakatong

3. Sebelah Selatan : Laut Selat

4. Sebelah Barat : Sungai Pappa

45
46

Gambar 4.1. Citra Desa Topejawa

Pada tahun 2019, Desa Topejawa Kecamatan Mangarabombang

Kabupaten Takalar memiliki jumlah penduduk sebanyak 3912 jiwa. Penduduk

laki-laki berjumlah 1945 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 1967 jiwa.

Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah sawi dan nelayan. Pada sektor

perikanan Desa Topejawa memiliki pesisir pantai dengan luas sekitar 46,75 Ha,

dan tanah tubuh air untuk penggunaan tambak seluas 135 Ha. Sedangkan, luas

tanah untuk penggunaan lahan persawahan sekitar 276 Ha, perkebunan seluas

3,85 Ha dan luas lahan ladang/tegalan sekitar 13,89 Ha.

Fasilitas pendidikan Desa Topejawa terdiri atas 2 unit TK/PAUD (Taman

Kanak-kanak/Pendidikan Anak Usia Dini) dan 3 unit SD (Sekolah Dasar).

Sementara fasilitas kesehatan terdiri atas 4 unit Posyandu, 1 unit PUSKESDES

(Pusat Kesehatan Desa), dan 1 unit Puskesmas Pembantu. Adapun sarana

ibadah terdiri dari 7 unit masjid yang tersebar di empat dusun.

Berdasarkan informasi yang diungkapkan oleh H. Sumarlin Dg Se‟re (25

Juli 2020) yang merupakan tokoh agama dan ponggawa lompo di dusun
47

Lamangkia, diketahui bahwa penduduk desa Topejawa seluruhnya beragama

Islam, frekuensi agama yang sangat tinggi di kalangan masyarakat dikarenakan

anak semenjak kecil telah ditanamkan oleh orang tuanya tentang keyakinan

beragama (tauhid) baik secara formal maupun non formal serta masih besarnya

pengaruh tokoh-tokoh agama dalam menjaga dusun tersebut sebagai daerah

para Panrita.

Menurut pengamatan penulis khususnya pada dusun Lamangkia

merupakan daerah pesisir pantai selatan yang masyarakatnya berkiprah sebagai

nelayan, karena sepanjang dusun ini dikelilingi oleh lautan yang menjadikan

penduduknya menjadikan usaha tangkap ikan di laut ini sebagai sumber

pendapatan utama di dusun ini. Selain itu pekerjaan seperti ini sudah lama

dilakukan oleh generasi terdahulu dan hal inilah yang membuat penduduk

Kecamatan Panteraja menekuni usaha tangkap ikan sampai dengan sekarang.

4.2 Struktur Kelompok Kerja Punggawa-Sawi Nelayan Desa Topejawa

Desa Topejawa Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar,

terdapat komunitas-komunitas nelayan dikenal dengan sebutan kelompok-

kelompok punggawa-sawi, yang menurut informan Yakasa Dg Maling yang

mengatakan bahwa sistem kelompok kerja punggawa-sawi ini telah ada dan

bertahan sejak puluhan tahun.

Struktur inti kelompok kerja ini adalah punggawa dan sawi-sawi. Punggawa

atau biasa juga dilafalkan oleh masyarakat Topejawa ponggawa ini berstatus

sebagai pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan berbagai pemilik alat-alat

produksi serta memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan manajerial,


48

sementara sawi hanya memiliki pengetahuan kelautan dan keterampilan

kerja/produksi semata.

Bentuk struktur lain terjadi ketika suatu usaha perikanan ini mengalami

perkembangan unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai ponggawa laut

tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Untuk mengembangkan dan

mempertahankan eksistensi usaha, maka ponggawa laut tidak ikut lagi mengikuti

pelayaran melainkan tetap tinggal di darat mengusahakan perolehan modal,

mengurus biaya-biaya anggotanya yang beroperasi di laut dan lain-lain. Disinilah

pada awalnya muncul status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja

nelayan ini yang disebut sebagai punggawa darat/punggawa lompo.

Berdasarkan hasil observasi penulis di dusun lamangkia ini terdapat

delapan kelompok punggawa-sawi yang dipimpin langsung oleh punggawa

lompo di antaranya Punggawa H. Sumarlin Dg Se‟re, Punggawa H. Muntu,

Punggawa Yusuf Dg Nompo, Punggawa Dg Laja, Punggawa Dg Kila‟, Punggawa

H. Tojeng, Punggawa Dg Bantang, dan Punggawa Indar Tinri.

Untuk memimpin pelayaran dan aktivitas produksi di laut, punggawa

darat/punggawa lompo merekrut punggawa-punggawa baru menggantikan

posisinya memimpin unit-unit usaha yang sedang berkembang/meningkat

jumlahnya. Para punggawa laut ini dalam proses dinamika ini sebagian lainnya

berstatus pemilik, sedangkan sebagian lainnya hanyalah berstatus pemimpin

operasi kelompok nelayan. Para punggawa laut ini merekrut sawi-sawi berbakat

untuk membantu proses penangkapan ikan di laut yang dikenal juga dengan

istilah ponggawa caddi.

Dalam karakteristik fungsional pekerja, dikenal punggawa dan sawi dengan

pembagian peran sebagai berikut:


49

a. Eksportir/bos di Makassar, berstatus sebagai pembeli/penada hasil

tangkapan ikan dari punggawa lompo.

b. Punggawa Lompo, bertugas membeli ikan dari punggawa laut/punggawa

caddi, penyedia modal pinjaman untuk punggawa caddi sekaligus bertugas

sebagai distributor ikan ke eksportir/bos di Makassar atau di desa

Topejawa disebut sebagai papalele.

c. Punggawa Caddi, pemilik modal dan ikut memimpin pelayaran dan aktivitas

penangkapan ikan dilaut.

d. Sawi, bertugas dalam proses menangkap di laut yang dipimpin langsung

oleh punggawa laut/punggawa caddi kemudian menjualnya ke punggawa

darat/punggawa lompo.

4.3 Pelaksanaan Sistem Bagi Hasil di Desa Topejawa Kecamatan


Mengarabombang Kabupaten Takalar

4.3.1 Latar Belakang Penentuan Imbalan Kerja Usaha Perikanan

Praktek yang terjadi di Desa Topejawa Kecamatan Mangarabombang

Kabupaten Takalar dalam menentukkan imbalan kerja dari usaha perikanan yang

mereka lakukan cenderung memilih sistem bagi hasil ketimbang sistem gaji

ataupun sistem upah. Hal ini dikarenakan selain telah menjadi sistem yang

secara turun-temurun dianut oleh masyarakat nelayan di desa Topejawa, juga

dilatarbelakangi ketidakpastian dari hasil usaha pada sektor perikanan, baik

ketidakpastian dari harga ikan yang fluktuatif maupun ketidakpastian terkait

dengan kondisi alam laut yang tidak dapat dihindari oleh para nelayan ketika

melaut misalnya badai, gelombang, dan kondisi alam lainnya yang berisiko

mendatangkan kerugian pada hasil tangkapan. Sehingga bagi punggawa ini

merupakan sebagai usaha untuk menghindari adanya pengeluaran tetap untuk


50

tenaga kerja buruh di tengah ketidakpastian dari hasil usaha perikanan.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu informan bernama Muis Dg

Nya‟la;

“rugi ki‟ kalau ditetapkan gajinya sedangkan mata pencaharian saat ini
sangat tidak menentuki hasilnya, bahkan akhir-akhir ini hanya ongkos
terus yang menumpuk tidak menghasilkan apa-apa” (28 Agustus 2020)

sedangkan, bagi sawi sistem bagi hasil ini dianggap sudah adil, seperti yang

dikemukakan Dorasa Dg Kalu yang menyatakan bahwa “bagi hasil lebih adil,

banyak hasil tangkapan banyak juga bagian untuk sawi dan punggawa, kalau

rugi, punggawa rugi ongkos, sedangkan kita sebagai sawi rugi waktu dan tenaga,

jadi untung-untungan ji tawwa”.

4.3.2 Bentuk Akad Perjanjian Bagi Hasil

Bentuk akad perjanjian bagi hasil yang dilakukan atas kerjasama antara

pihak-pihak yang terlibat dalam usaha perikanan di desa Topejawa hanya

sebatas akad lisan. Proses akad yang dilakukan pun hanya kepada beberapa

orang sawi saja. Sebagaimana hasil wawancara dengan beberapa orang sawi

yang mengakui bahwa tidak ada akad ataupun perjanjian bagi hasil yang

dilakukan sebelumnya. Seperti halnya hasil wawancara dengan Ramli Dg Ngalli

yang berprofesi sebagai sawi, beliau menuturkan bahwa “tidak ada pembicaraan

akad sebelumnya. Saya tahu pembagiannya belajar dari pengalaman saja sejak

ikut menjadi sawi pada kapal milik Nurdin Dg Tobo, yang kebetulan saudara

kandung saya”. Begitupun dengan hasil wawancara yang dilakukan dengan

Kasman yang juga berprofesi sebagai sawi di kapal yang sama mengatakan

“Saya langsung ji ikut saja sebagai sawi tanpa ada perjanjian sebelumnya

mengenai bagi hasilnya, karena bagi hasil yang diperoleh sama saja kalau

menjadi sawi di kapal punggawa yang lain“.


51

Kemudian hasil wawancara dari sawi yang menyatakan bahwa sebelum

terlibat hubungan kerjasama, maka ada pembicaraan terkait bagi hasil yaitu

wawancara dengan Syarifuddin Dg Sarro yang menyatakan bahwa ada

pembicaraan bagi hasil sebelumnya, disitu dibahas tentang berapa tambahan

bagian dari tugasnya sebagai sawi penyelam. Tapi, perjanjiannya hanya lisan,

bukan berupa tulisan.

Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa proses awal terjadinya

bagi hasil untuk sawi dan punggawa dapat dikatakan hanya didasarkan pada

kebiasaan dan tidak dalam bentuk perjanjian tertulis. Dalam kaitan ini, yang

dianggap sebagai awal proses perjanjian, yaitu saat seorang calon sawi

mendatangi seorang punggawa caddi menawarkan diri untuk ikut bekerja di

kapal. Pada saat punggawa caddi menerima tawaran calon sawi tersebut inilah

yang dapat dianggap sebagai awal proses perjanjian bagi hasil. Para pihak tidak

pernah menentukan jangka waktu perjanjian bagi hasil penangkapan ikan

tersebut, waktu perjanjian dapat berakhir jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu hal

yang menyebabkan retaknya hubungan antara pemilik kapal dan pengelola.

Salah satu informan bernama Nurdin Dg Tobo yang merupakan punggawa caddi

mengungkapkan,

“Tidak ada ji perjanjian/sistem kontrak, dia datang menawarkan diri mau


ikut, jika dianggap masih butuh ki sawi maka kita ikutkan, dan tidak ada
ji ada kesepakatan bahwa ikut melaut berapa lama. Terserah dia , kalau
masih mau ikut ya ikut saja kalau mau berhenti, berhenti saja. Tidak
terikat ji.” (28 Agustus 2020)

Kondisi proses kerjasama antara punggawa caddi dengan sawi di Desa

Topejawa didasarkan pada pola kemitraan dengan dasar kepercayaan. Dengan

latar belakang kepentingan saling membutuhkan dan menguntungkan yaitu sawi


52

yang membutuhkan pekerjaan sedangkan punggawa caddi membutuhkan

tenaga untuk membantu dalam melakukan aktivitas penangkapan di laut. Untuk

memenuhi harapan tersebut, maka kerjasama merupakan alternatif yang baik

untuk penunjang pemenuhan kebutuhan ekonomi nelayan.

4.3.3 Proses Penentuan Nisbah Bagi Hasil

Dalam proses kerjasama antara, punggawa lompo/papalele, punggawa

caddi, dan sawi terjalin kontak (lisan) kerjasama, baik sebelum pemberangkatan,

sedang dan setelah pulang dari penangkapan. Terjadinya jalinan ikatan tiga

unsur tersebut sangat terkait dengan pembagian hasil tangkapan.

Kesepakatan dalam sistem perjanjian bagi hasil di Desa Topejawa

umumnya masih berpedoman pada kebiasaan serta adat istiadat yang berlaku di

daerah tersebut. Sebagaimana dalam kesepakatan mengenai nisbah bagi hasil

yang ditetapkan, besaran nisbah ditentukan berdasarkan kebiasaan di daerah

tersebut, sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu informan bernama

Nurdin Dg Tobo,

“Di sini bagi hasilnya dikenal dengan istilah bagi hasil tunga‟-tunggala,
satu bagian kapal, satu bagian untuk mesin kapal,satu bagian untuk
mesin kompresor/alat tangkap, dan satu bagian untuk sejumlah buruh
nelayan dan punggawa laut. Sehingga karena saya dua orang penyelam
dan tiga orang sawi, makanya nanti dibagi delapan ki. Cuman bagian
untuk buruh kapal yang menyelam dan bekerja di atas kapal beda i,
selisih Rp.150.000- Rp. 200.000 dan itu yang selalu dipakai” (28 Agustus
2020)

Dari informasi yang diungkapkan oleh Nurdin Dg Tobo, diperoleh informasi

bahwa nisbah bagi hasil yang digunakan di Desa Topejawa merupakan nisbah

yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan yang berlaku di daerah tersebut, bukan

nisbah hasil kesepakatan antara punggawa dan sawi yang terlibat dalam

perjanjian bagi hasil. Besaran nisbah tersebut dijadikan acuan dan digunakan
53

oleh seluruh punggawa dan sawi yang berada di daerah tersebut dalam

perjanjian bagi hasil yang mereka sepakati.

Hal ini semakin mempersulit sawi dalam mengusahakan nisbah yang adil

atau melakukan tawar menawar terkait besaran nisbah yang akan ditetapkan,

karena ketika sawi meminta adanya nisbah bagi hasil yang berbeda,

kemungkinan besar punggawa akan lebih memilih untuk mempekerjakan sawi

lain yang mau bekerja sesuai dengan nisbah yang berlaku di daerah tersebut.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan bernama Yunus Dg Taba, bahwa

jumlah yang menawarkan diri untuk menjadi sawi di Desa Topejawa jauh lebih

besar dibanding jumlah permintaan, sehingga sangat mudah bagi punggawa jika

ingin melakukan mengganti dan merekrut sawi lain. Oleh karena itu, sawi

cenderung menerima begitu saja ketentuan yang telah berlaku meskipun dirasa

tidak adil dengan alasan takut kehilangan pekerjaan. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa punggawa tetap memiliki kuasa atau posisi tawar yang kuat

dalam hal besarnya pembagian.

4.3.4 Biaya Investasi dan Produksi Usaha Perikanan

Penetapan besarnya pendapatan dari nisbah yang telah ditetapkan tidak

terlepas dari proses produksi usaha perikanan secara teknis menggunakan input

dan output. Input adalah semua yang dimasukkan ke dalam proses produksi,

seperti kapal dan mesin kapal yang digunakan, tenaga kerja, bahan bakar, serta

alat tangkap, sedangkan output adalah hasil tangkapan ikan yang dihasilkan oleh

usaha perikanan. Input dan output ini erat kaitannya dengan biaya dan

pendapatan. Besarnya biaya yang dikeluarkan serta besarnya pendapatan yang

diperoleh dari suatu usaha perikanan sangat penting diketahui untuk menghitung

total laba bersih yang dapat diperoleh nelayan.


54

Pada wawancara penelitian yang telah dilakukan dengan beberapa

nelayan di Desa Topejawa, peneliti memperoleh beberapa informasi yang

berkaitan dengan gambaran besarnya investasi dan besarnya biaya serta

pendapatan yang terjadi di setiap masa pembagian bagi hasil yang umumnya di

daerah tersebut dilakukan setiap pekan. Informasi yang dikumpulkan dengan

menghitung dan menentukan setiap biaya per trip dalam sepekan.

Dalam melakukan proses penangkapan ikan, para nelayan di desa

Topejawa umumnya mengalami kesulitan dalam mengadakan sendiri beberapa

input atau faktor produksi yang nilainya cukup besar seperti untuk pengadaan

kapal, mesin dan alat tangkap. Sehingga disinilah peran dari punggawa

lompo/punggawa darat dalam menyediakan pinjaman modal untuk pengadaan

tersebut. Mengenai nilai investasi yang dibutuhkan dalam pengadaan kapal,

mesin dan alat tangkap, salah satu informan bernama Nurdin Dg Tobo,

mengungkapkan

“Kalau harga kapal itu sekitar Rp30.000,000-, sedangkan mesin harganya


sekitar Rp.10.000.000,-, satu set kompresor selam harganya sekitar
Rp.20.000.000,-, dan tiga unit patte‟/tembak busur harganya sekitar Rp.
450.000,-/unit, tapi semua itu dibayarkan sama bos ji dulu (punggawa
darat/papale), nanti dicicil pembayarannya ” (28 Agustus 2020)

Selain itu salah satu informan bernama Jahar Dg Buang menambahkan,

“kita bersyukur, ada yang bisa bantu berikan pinjaman dan untuk
pembayarannya cicilannya tidak ditentukan ji sampai kapan harus dilunasi
, tetapi selama ada pinjaman kita disitu, semua penjualan ikan kita harus
disetor ke situ. (28 Agustus 2020)

Berdasarkan informasi yang telah dipaparkan pada proses produksi

usaha perikanan, jumlah seluruh biaya produksi yang dikeluarkan oleh punggawa
55

dalam setiap pengadaan kapal dan perlengkapan alat tangkap dapat dirangkum

dalam tabel berikut:

Tabel 4.1 Rincian Biaya Investasi yang Dikeluarkan dalam Pengadaan Satu Unit
Kapal Penyelam Tembak

Harga
Jumlah
No Jenis Investasi Jumlah Satuan Umur

(Rp) (Rp) Ekonomis

1 Kapal Kayu 1 Unit 30.000.000 30.000.000 10 Tahun

Mesin Kubota 24
2 PK 1 Unit 20.000.000 20.000.000 5 Tahun

3 Kompresor Selam 1 Set 10.000.000 10.000.000 3 Tahun

4 Tembak busur 3 Unit 450.000 1.350.000 1 Tahun


Total Investasi Rp 61.350.000
Sumber : Diolah Sendiri dari Hasil Wawancara

Tabel rincian diatas menunjukkan rincian biaya-biaya yang dikeluarkan

dalam pengadaan satu unit kapal penyelam tembak/papatte‟ di Desa Topejawa

sesuai dengan yang telah diuraikan sebelumnya. Berdasarkan tabel tersebut,

diketahui bahwa total seluruh investasi yang dikeluarkan oleh punggawa darat

untuk dipinjamkan ke punggawa laut adalah sebesar Rp. 61.350.000,-.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan perjanjian bagi hasil yang berlaku di

Desa Topejawa, biaya produksi perikanan tidak sepenuhnya ditanggung oleh

punggawa caddi. Terdapat beberapa biaya yang ditanggung masing-masing

buruh nelayan. Informan Nurdin Dg Tobo mengungkapkan

“Kalau masalah biaya itu, yang ditanggung sama punggawa cuman biaya
solar sekitar 10 liter sehari, biaya bensin 5 liter sehari, dan biaya rokok 3
bungkus setiap hari, jadi perkiraannya sekitar Rp. 1.200.000 seminggu
ongkosnya, jadi kalau dapat ki tangkapan ikan sekitar Rp.9.000.000, yang
dibagi itu sisa Rp. 7.800.000 ”
56

Berdasarkan informasi yang diungkapkan oleh Nurdin Dg Tobo, diketahui

bahwa biaya yang ditanggung bersama oleh punggawa dan sawi yaitu biaya

operasional seperti solar, bensin, serta biaya pembelian rokok . Biaya-biaya lain

selain biaya operasional seperti biaya bekal ditanggung sepenuhnya oleh

masing-masing sawi.

Tabel 4.2 Rincian Biaya Produksi yang Ditanggung Bersama Punggawa dan
Sawi

Jumlah Harga
Jenis Biaya Jumlah
No Kebutuhan Satuan
Operasional
Per Pekan (Rp) (Rp)

1 Bahan Bakar Solar 60 liter 9.500 570.000

2 Bahan Bakar Bensin 30 Liter 7.650 229.500

3 Rokok 18 Bungkus 20.000 360.000


Total Biaya Operasional Rp 1.159.500
Sumber : Diolah Sendiri dari Hasil Wawancara

Pada tabel di atas terlihat bahwa jumlah biaya operasional yang menjadi

tanggungan bersama adalah sebesar Rp 1.159.000,-.

Selain biaya operasional, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya

oleh salah satu informan bernama Jahar Dg Buang bahwa pemberian pinjaman

modal dalam hal pengadaan sarana penangkapan (kapal) melahirkan sebuah

konsekuensi adanya keterikatan antara penerima pinjaman (punggawa caddi)

dan pemberi modal pinjaman (punggawa lompo/papalele), dimana muncul

sebuah ketetapan dengan persyaratan yang disepakati bersama antara lain:

Pertama, punggawa caddi atau pihak yang mengusahakan kepemilikan kapal

penangkapan sendiri, akan mengangsur harga pengadaan kapal hingga

mencukupi nilai pengadaan kapal; Kedua, wajib menyetorkan semua hasil

tangkapan ikan kepada punggawa darat/papalle yang telah memberikan


57

pinjaman, dan papalele tersebut akan menerima 10% dari hasil pendapatan

bruto.

4.3.5 Distribusi Pendapatan Bagi Hasil Usaha Perikanan

Berdasarkan hasil perhitungan pada sub bab biaya produksi, total biaya

yang harus dikurangkan sebelum dibagihasilkan adalah Rp. 2.059.000,- dengan

rincian sepuluh persen dari hasil tangkapan ikan atau sebesar Rp.900.000,-

untuk potongan persenan punggawa darat/papalele dan Rp.1.159.000,- untuk

membayar biaya-biaya operasional yang menjadi tanggungan bersama.

Dengan demikian, maka jumlah yang akhirnya menjadi dasar bagi hasil

antara pemilik dan buruh nelayan yaitu sebagai berikut.

Penjualan Hasil Tangkapan Ikan Rp.9.000.000

Potongan Persenan Papalele 10% (900.000)

Penjualan Kotor (Nelayan) 8.100.000

Biaya Opersional (1.159.000)

Dasar Bagi Hasil Rp. 6.941.000

Setelah diperoleh hasil bersih, kemudian hasil tersebut dibagihasilkan

sesuai dengan proporsi bagi hasil yang telah disepakati yakni nisbah 1/n, dengan

“n” adalah sejumlah faktor produksi yang berhak mendapat bagian.

a. Bagi hasil untuk pemilik kapal : 1/8 x Rp. 6.941.000

: Rp. 867.600

b. Bagi hasil untuk pemilik mesin : 1/8 x Rp. 6.900.000

: Rp. 867.600
58

c. Bagi hasil untuk pemilik alat tangkap : 1/8 x Rp. 6.900.00

: Rp. 867.600

d. Bagi hasil yang bekerja sebagai sawi penyelam masing-masing

memperoleh:

( )

e. Bagi hasil yang bekerja sebagai sawi pajama rate masing-masing

memperoleh:

( )

Bagian yang didapatkan untuk punggawa lompo/papalele sebesar

Rp.900.000,- sawi penyelam sebesar Rp. 1.017.600,- dan sawi pajama rate

masing-masing sebesar Rp. 717.600,- per orang. Sedangkan punggawa caddi

sekaligus pemilik kapal, mesin dan alat tangkap mendapatkan bagian sebesar

Rp. 3.618.000,-.

Hal diatas memberikan gambaran bahwa sistem bagi hasil dengan pola seperti
diatas ini memberikan keuntungan yang sangat besar bagi para punggawa yang
ada di desa Topejawa, dikarenakan kebanyakan masyarakat nelayan khususnya
di dusun Lamangkia hanya sebagai sawi karena status kepemilikan kapal, mesin
dan alat tangkap semua dikuasai oleh para punggawa.
BAB V

ANALISIS KEADILAN DALAM SISTEM BAGI HASIL USAHA


PERIKANAN

Islam menghendaki agar dalam segala pelaksanaan muamalah

senantiasa berlandaskan atas ketentuan-ketentuan yang bisa menjamin

pelaksanaannya agar tidak merugikan salah satu pihak, begitu pula halnya

dengan pelaksanaan sistem bagi hasil usaha perikanan. Keadilan merupakan

salah satu prinsip dasar dari Islam. Allah menurunkan Islam sebagai suatu

sistem kehidupan bagi seluruh umat manusia, dan menekankan pentingnya

keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial. Pentingnya

prinsip keadilan dalam Islam terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur‟an yang

menegaskan tentang keadilan. Berdasarkan muatan makna adil dalam Al-Qur‟an,

dapat diturunkan berbagai nilai turunan yang berasal dari prinsip keadilan itu

sendiri yaitu adanya persamaan kompensasi, persamaan hukum, moderat, dan

proporsional (P3EI UII Yogyakarta, 2008:61).

Terdapat lima elemen yang dapat menjadi ukuran tercapainya keadilan

dalam sistem bagi hasil yaitu transparansi yang meliputi transparansi objek bagi

hasil, transparansi pendapatan, serta transparansi biaya nisbah bagi hasil yang

proporsional, konsistensi pihak yang terlibat terhadap perjanjian yang telah

disepakati, keseimbangan bargaining power, serta ada tidaknya ganti rugi ketika

perjanjian dihentikan secara sepihak di tengah berlangsungnya akad (Handayani,

2013:92). Namun dalam penelitian Hasan (2018:89), ia menambahkan satu

elemen penilaian keadilan yaitu penilaian keadilan dalam hal mekanisme

penanggungan kerugian ketika terjadi rugi. Hal ini didasarkan karena dalam

menjalankan proses produksi perikanan, kemungkinan terjadinya untung atau

59
60

rugi akan selalu ada. Oleh karena itu, peneliti ingin meninjau lebih dalam apakah

mekanisme penanggungan kerugian telah memenuhi kriteria keadilan.

Dengan demikian, pola sistem bagi hasil yang diterapkan oleh

masyarakat Desa Topejawa akan dianalisis berdasarkan enam indikator tersebut

untuk menentukan apakah sistem dan penerapan bagi hasil usaha perikanan

yang dilakukan di Desa Topejawa telah sesuai dengan nilai keadilan Islam.

5.1 Transparansi

Transparansi dalam perspektif Islam mencakup tiga hal yaitu, 1) adanya

keterbukaan informasi dari kedua belah pihak, 2) pengungkapan informasi

secara jujur, lengkap dan meliputi segala hal yang terkait dengan informasi yang

diberikan, serta 3) pemberian informasi yang dilakukan secara adil kepada pihak

yang membutuhkan informasi (Tapanjeh, 2009:563). Dalam perspektif Islam,

menegakkan transparansi adalah kewajiban agama yang mulia. Transparansi

memungkinkan seluruh pihak memperoleh informasi yang sempurna dan dapat

menggunakan informasi tersebut dalam proses pengambilan keputusan,

sehingga tidak akan ada pihak yang terzalimi karena adanya sikap tidak jujur dan

tidak terbuka dari salah satu pihak. Dengan demikian, keadilan dalam

transparansi yang diterapkan dalam sistem bagi hasil usaha perikanan juga

harus mencakup adanya keterbukaan informasi baik dari punggawa maupun

sawi mengenai hal-hal terkait akad bagi hasil perikanan tersebut.

Menurut Nurhayati dan Wasilah (2014:129) sebelum menyepakati

perjanjian bagi hasil, terdapat beberapa hal yang harus diungkapkan dengan

jelas di awal perjanjian yaitu tujuan bagi hasil, biaya-biaya yang boleh

dikurangkan dengan pendapatan, hal-hal yang dianggap sebagai kelalaian


61

pengelola, besarnya nisbah bagi hasil, serta jangka waktu berlangsungnya akad.

Hal-hal tersebut wajib diungkapkan untuk menghindari adanya perselisihan di

kemudian hari.

Dengan demikian dalam penelitian ini, penilaian transparansi yang

diterapkan di Desa Topejawa ditinjau dari empat hal, yaitu transparansi

mengenai objek bagi hasil, transparansi jangka waktu perjanjian bagi hasil,

transparansi biaya-biaya yang dikeluarkan, serta transparansi mengenai

pendapatan yang diperoleh. Berikut hasil analisis peneliti mengenai penerapan

keadilan dalam hal transparansi pada bagi hasil usaha perikanan di Desa

Topejawa.

a. Transparansi objek bagi hasil

Ulama Hanafiyah mengungkapkan bahwa salah satu rukun dari akad bagi

hasil usaha yaitu adanya objek bagi hasil. Dalam usaha perikanan ini yang

menjadi objek bagi hasil berupa modal uang dan modal barang berupa sarana

produksi. Sejalan dengan hal tersebut, para ulama berpendapat bahwa modal

yang diberikan untuk dijadikan modal usaha, diistilahkan dengan ra‟s al-mal,

hendaklah berupa uang, tetapi tidaklah mesti uang tunai dari emas dan perak

karena saat ini setiap negara memiliki jenis mata uang yang berbeda-beda.

Kemudian Karim (2002:11) menjelaskan pula bahwa jumlah ra‟s mal mesti

diketahui secara pasti, bukan jumlah yang diperkirakan.

Mengenai transparansi objek bagi hasil antara punggawa darat dan

punggawa laut, salah satu informan bernama Indar Dg Tinri menyatakan bahwa,

dirinya dalam memberikan modal kepada punggawa laut dapat berupa modal

uang tunai maupun dalam bentuk modal barang berupa sarana produksi
62

penangkapan ikan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan yang

berprofesi sebagai punggawa darat tersebut.

“Saya terserah ji kepada yang bersangkutan, ada yang meminta modal


dengan sejumlah uang lalu mereka sendiri yang cari kapal, mesin dan
alat tangkapnya dan itu kita catat sejumlah uang yang dia terima, ada
juga yang dia sendiri pergi cari kapal yang dia inginkan lalu saya diminta
kesana untuk bayar dan kita catat hutangnya itu sejumlah uang yang
kita bayarkan, dan ada juga minta untuk diadakan secara langsung
dalam bentuk barang sehingga sebelum diserahkan barangnya kita
kasih tahu harga perolehan kapal tersebut, tapi lebih banyak yang pakai
model dia sendiri cari kapal yang dia pilih lalu kita kesana yang bayarki ”
(29 Agustus 2020)

Hal yang sama yang diungkapkan oleh Nurdin Dg Tobo, informan yang

berprofesi sebagai punggawa darat.

“Saya waktu itu sama ja boska pergi cari kapal, setelah dapat kapal yang
diinginkan, kemudian boska bayar secara tunai sesuai dengan harga
yang disepakati dengan pemilik kapalnya, dan sejumlah uang yang
dibayarkan tersebut terhitung sebagai pinjaman bagi saya,” (28 Agustus
2020)

Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa di Desa Topejawa masih terdapat

sikap jujur terkait objek bagi hasil antara punggawa darat sebagai pemberi

pinjaman modal dan punggawa laut sebagai penerima pinjaman modal dengan

adanya transparansi di awal perjanjian mengenai jumlah ra‟s mal yang diketahui

secara pasti oleh kedua belah pihak.

Namun, hal yang berbeda terjadi mengenai transparansi antara punggawa

laut dengan sawi. Salah satu informan bernama Ramli yang berprofesi sebagai

sawi mengungkapkan bahwa di awal saat direkrut jadi sawi sama sekali tidak

pernah mendapatkan informasi mengenai kondisi baik dari kapal, mesin ataupun
63

sarana produksi lainnya yang akan digunakan nantinya dalam melakukan proses

penangkapan ikan, ia hanya langsung ikut saat mendapat tawaran menjadi sawi.

Selain itu, Kasman, salah satu informan yang merupakan nelayan sawi

juga menambahkan,

“Biasanya yang sering kita alami itu adalah kerusakan mesin, kondisi
mesin yang seperti ini baru kita tahu setelah kita ikut di atas kapal
tersebut sehingga selain tidak bisa melaut, kita juga harus bergotong
royong bekerja memperbaiki mesin tersebut dan jika ada perkakas mesin
rusak yang harus diganti itu masuk dalam perongkosan yang ditanggung
bersama,” (29 Agustus 2020)

Dari informasi yang diungkapkan oleh Ramli dan Kasman, diketahui bahwa

nelayan sawi sama sekali tidak mendapatkan informasi di awal mengenai kondisi

dari sarana produksi yang akan digunakan, dia pun tidak dapat begitu saja

mengetahui kondisi mesin ataupun sarana produksi lainnya hanya dengan

melihat sekilas kondisi sarana tersebut. Sering rusak ataupun tidaknya mesin

tersebut baru dapat diketahui ketika nelayan sawi mulai digunakan dalam

melakukan proses penangkapan. Dengan demikian keterbukaan dan sikap jujur

dari pihak punggawa memang sangat dibutuhkan dalam hal transparansi

mengenai kondisi dari objek bagi hasil.

Kondisi dari objek bagi hasil yang sering mengalami kerusakan akhirnya

menyebabkan nelayan tidak dapat melakukan proses produksi secara optimal,

bahkan akhirnya dapat menyebabkan kerugian. Kerugian yang dimaksud adalah

seperti yang diungkapkan oleh informan bernama Kasman bahwasanya karena

kondisi mesin yang sering mengalami kerusakan menyebabkan bertambahnya

jumlah dari perongkosan yang menjadi tanggungan bersama sehingga biaya

operasional yang dikeluarkan lebih banyak dan tentunya akan berpengaruh pada
64

berkurangnya jumlah bagi hasil yang nantinya akan diterima. Kondisi-kondisi

tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat adanya informasi yang tidak

sempurna mengenai kondisi sarana produksi yang menjadi objek bagi hasil

dalam sistem bagi hasil usaha perikanan yang diterapkan di Desa Topejawa.

Adanya informasi yang tersembunyi mengindikasikan adanya

ketidakjujuran dari punggawa kepada nelayan sawi. Sedangkan dalam Al Qur‟an

telah disebutkan bahwa sikap jujur merupakan bagian dari perbuatan benar (haq)

dan merupakan landasan bagi keadilan, seperti yang disebutkan dalam surah Al-

A‟raf ayat 159, “Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang memberi

petunjuk (kepada manusia) dengan haq. Dengan yang haq itulah mereka menjalankan

keadilan.” Selain itu, adanya sikap tidak transparan mengenai objek bagi hasil

juga menunjukkan adanya ketidaksesuaian dengan prinsip keadilan yang

menjunjung tinggi nilai kejujuran sebagai aspek penting dan prasyarat dalam

keadilan (P3EI UII Yogyakarta, 2008:61).

Dengan demikian, adanya informasi tersembunyi yang mengindikasikan

adanya ketidakjujuran dari punggawa kepada nelayan sawi pada sistem bagi

hasil usaha perikanan di Desa Topejawa menunjukkan tidak terpenuhinya prinsip

keadilan dalam hal transparansi objek bagi hasil yang mengharuskan adanya

informasi yang sejelas-jelasnya di awal akad (perjanjian) mengenai kondisi objek

bagi hasil perikanan.

b. Transparansi Jangka Waktu Berlangsungnya Akad

Kejelasan di awal akad mengenai jangka waktu berlangsungnya perjanjian

bagi hasil, maka hal tersebut dapat mencegah terjadinya gharar (ketidakjelasan)

dalam pelaksanaan akad bagi hasil perikanan. Selain itu, dengan penetapan

jangka waktu perjanjian di awal akad, hal ini juga dapat mencegah salah satu
65

pihak memberhentikan perjanjian di tengah-tengah berlangsungnya proses

perjanjian bagi hasil usaha perikanan sehingga mencegah terjadinya tindakan

zalim di antara pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil usaha

perikanan. Oleh karena itu keadilan dalam hal transparansi jangka waktu

berlangsungnya akad dapat dicapai ketika masing-masing pihak mengetahui dan

menyepakati di awal perjanjian mengenai jangka waktu berlangsungnya

perjanjian tersebut.

Mengenai transparansi terkait jangka waktu berlangsungnya akad, salah

satu informan bernama Nurdin Dg Tobo yang merupakan punggawa caddi

mengungkapkan,

“Tidak ada ji perjanjian/sistem kontrak, dia datang menawarkan diri mau


ikut, jika dianggap masih butuh ki sawi maka kita ikutkan, dan tidak ada
ji ada kesepakatan bahwa ikut melaut berapa lama. Terserah dia , kalau
masih mau ikut ya ikut saja kalau mau berhenti, berhenti saja. Tidak
terikat ji.” (28 Agustus 2020)

Dari informasi yang diungkapkan oleh Nurdin Dg Tobo, diperoleh informasi

bahwa dalam perjanjian bagi hasil di Desa Topejawa, belum ada kesepakatan

secara khusus di awal akad mengenai jangka waktu berlangsungnya perjanjian

bagi hasil usaha perikanan tersebut. Hal ini menyebabkan salah satu pihak dapat

menghentikan perjanjian berdasarkan kehendaknya sendiri, bukan berdasarkan

kesepakatan dari kedua belah pihak. Sebagaimana yang terjadi di daerah

tersebut, bahwa lamanya perjanjian bagi hasil seringkali hanya ditentukan

sepihak oleh punggawa, sedangkan nelayan sawi hanya bisa menerima begitu

saja jika tiba-tiba diberhentikan oleh nelayan sawi.

Padahal dalam pasal 1601a KUH Perdata menegaskan bahwa “perjanjian

kerja adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, yaitu buruh , mengikatkan
66

diri untuk mengerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan dengan upah

selama waktu tertentu. Tidak pernah ditentukannya jangka waktu perjanjian hasil

penangkapan ikan tersebut karena memang kebiasaan masyarakat dari dahulu

seperti itu. Selain itu ada alasan lainnya yang menyebabkan para pihak tidak

menetukan jangka waktu perjanjian, yaitu ada saling percaya yang mendasari

kedua belah pihak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam

hal transparansi mengenai jangka waktu berlangsungnya akad belum terpenuhi

pada sistem bagi hasil perikanan yang diterapkan di Desa Topejawa.

c. Transparansi Biaya

Usaha perikanan tangkap merupakan serangkaian proses produksi yang

mengolah input berupa faktor-faktor produksi usaha perikanan menjadi output

berupa hasil tangkapan ikan yang bernilai. Keberhasilan dari usaha perikanan

tangkap ini pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan

penerimaan yang diperoleh. Tinggi rendahnya penghasilan bersih yang diperoleh

nelayan dari usaha perikanan tangkap ditentukan dari jumlah produksi yang

diperoleh dari harga hasil produksi yang berlaku serta besarnya biaya produksi

yang dikeluarkan dalam satu waktu tertentu (Ubay, 2012:17)

Oleh karena itu, salah satu hal utama yang perlu disampaikan oleh nelayan

punggawa kepada sawi dalam perjanjian bagi hasil yaitu mengenai biaya-biaya

yang dikeluarkan selama melakukan proses produksi perikanan. Hal terkait

pengungkapan biaya menjadi semakin penting jika terdapat biaya-biaya yang

ditanggung bersama seperti yang terjadi pada penerapan sistem bagi hasil di

Desa Topejawa.
67

Aries (2008) menyebutkan bahwa secara teoritis, transparansi informasi

keuangan umumnya dilakukan dengan penyampaian informasi keuangan melalui

suatu laporan keuangan atau minimal dalam bentuk pencatatan terkait arus

keluar masuk kas. Namun, bagi nelayan sawi pembuatan laporan atau

pencatatan keuangan tentunya merupakan hal yang tidak lumrah dilakukan oleh

nelayan pada umumnya. Apalagi masyarakat nelayan identik dengan tingkat

pendidikan yang sangat rendah sebagaimana yang diungkapkan oleh Dahuri

(2002) bahwa dari empat juta nelayan Indonesia, 85% berpendidikan Sekolah

Dasar (SO) atau buta huruf, 12% berpendidikan Sekolah Lanjutan TIngkat

Pertama (SLTP), 2,97% berpendidikan Sekolah Lanjutan TIngkat Atas (SLTA)

dan 0,03% berpendidikan Diploma, sehingga sangat tidak memungkinkan bagi

nelayan untuk melakukan pembuatan laporan maupun pencatatan keuangan. Hal

ini didukung oleh pernyataan salah satu informan bernama Nurdin Dg Tobo, yang

merupakan punggawa laut

“Tidak pernah ji bikin catatan seperti itu. Biasanya kami hanya menerima
nota (catatan) dari papalele/punggawa darat, yang isinya mengenai
berapa hasil yang diperoleh pada pekan ini, terkait biaya-biaya yang
dikeluarkan juga demikian hanya diminta notanya dari ga‟de (toko
kelontong) tempat kami meminjam rokok, baterai dan kebutuhan lainnya”
(28 Agustus 2020)

Informasi yang diungkapkan oleh Nurdin Dg Tobo kembali menegaskan bahwa

pencatatan keuangan memang jarang dilakukan oleh nelayan punggawa laut

maupun nelayan sawi. Pencatatan hanya dilakukan untuk pihak-pihak tertentu

saja, yaitu punggawa yang tinggal di darat yang melakukan pemasaran secara

langsung dan pemilik toko kelontong yang memberikan pinjaman perbekalan

kepada nelayan. Selain itu, salah satu informan bernama Ramli yang merupakan

nelayan sawi juga menambahkan,


68

“Kita ji juga sebagai sawi yang diminta datang ke toko kelontong untuk
meminta pinjaman perbekalan seperti rokok, baterai serta solar dan nanti
ketika mau pembagian hasil kita sendiri yang diminta untuk datang
mengambil catatan pinjaman perbekalan tersebut. Kami disini cuma
saling percaya saja karena dari dulu sudah begitu,” (03 September 2020)

Berdasarkan informasi yang diungkapkan oleh Nurdin Dg Tobo dan Ramli,

diketahui bahwa selama ini, nelayan sawi di Desa Topejawa tidak pernah

melakukan pencatatan khusus terkait biaya-biaya yang dikeluarkan selama

proses produksi perikanan. Punggawa laut hanya mengandalkan rasa percaya

atas catatan yang dilakukan papalele/punggawa darat dan catatan pinjaman dari

toko kelontong tempat pengambilan pinjaman perbekalan . Rasa kepercayaan

yang besar ini tentunya tidak lahir begitu saja. Kepercayaan yang terjalin antara

papalele, punggawa laut, nelayan sawi serta pemilik toko kelontong lahir dari

sikap yang selalu berusaha menjaga kepercayaan dengan bersikap jujur di

antara mereka. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Markas (2014:165),

bahwa kejujuran merupakan sikap yang akan menuai kepercayaan dan

penghargaan yang tinggi dari orang-orang di sekitar kita.

Contoh sikap jujur yang berbuah pada kepercayaan juga dapat dilihat

dalam kisah Rasulullah saw ketika berdagang. Nabi Muhammad saw di masa

muda sebelum diutus menjadi rasul dikenal sebagai sosok pemuda yang memiliki

kredibilitas tinggi dan kejujuran yang tak tertandingi, terutama dalam hal

berdagang. Beliau mulai berdagang sejak berusia 12 tahun. Rasulullah

berdagang tidak hanya untuk mengejar keuntungan semata, namun juga tetap

menjaga dan menjunjung tinggi kejujuran. Kejujuran inilah yang mengantar

Rasulullah pada kesuksesan hingga diberi gelar Al-Amin yang berarti dapat

dipercaya (Hafidhuddin dan Tanjung, 2000:51)


69

Selain itu, kejujuran juga merupakan usaha dalam memenuhi kewajiban

untuk berbuat adil kepada sesama umat manusia, yaitu dengan memberi hak

orang lain dengan jujur dan benar serta tidak menyakiti dan merugikan orang

lain. Nelayan punggawa telah memenuhi hak sawi untuk memperoleh informasi

yang sebenar-benarnya terkait biaya produksi yang dikeluarkan selama proses

produksi, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam hal

transparansi biaya telah terwujud dalam sistem bagi hasil usaha perikanan di

Desa Topejawa.

d. Transparansi Pendapatan

Keadilan dalam transparansi pendapatan dapat dicapai ketika masing-

masing pihak sama-sama memiliki informasi yang sempurna terkait besarnya

jumlah pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil usaha. Mengenai proses

transparansi pendapatan yang terjadi di Desa Topejawa, seorang informan

bernama Ramli yang berprofesi sebagai sawi mengungkapkan

“Di sini kan bagi hasil itu dilakukan setiap pekan dan umumnya dilakukan
pada setiap hari Jum‟at, kita berkumpul di rumahnya punggawa untuk
melihat langsung proses pembagiannya dan berapa hasil bersih
tangkapan yang akan dibagihasilkan. Biasanya proses bagi hasil
dilakukan ketika semua anggota telah berkumpul, jika ada yang belum
hadir biasanya diantara kami pergi memanggil di rumah bersangkutan,
hal ini dilakukan agar mereka bisa melihat langsung perolehan bagi
hasilnya untuk menghindari kesalahpahaman antara punggawa dan para
sawi” (03 September 2020)

Berdasarkan informasi yang diungkapkan oleh Ramli, umumnya ketika

proses bagi hasil semua anggota kapal tersebut akan menyaksikan langsung

proses pembagian hasil dan memastikan jumlah hasil bersih yang akan dibagi

hasilkan. Selain itu punggawa menunggu para anggota berkumpul sebelum

melakukan proses pembagian dan jika ada yang belum hadir maka nelayan sawi
70

yang lain berinisiatif memanggil anggota untuk menyaksikan langsung proses

pembagian hasil. Dengan demikian, semua anggota yang ikut serta dalam

proses produksi bisa langsung mengetahui berapa jumlah yang akan diperoleh

dari proses bagi hasil.

Selain itu, dalam penentuan harga hasil tangkapan, nelayan sawi dan

punggawa laut mengacu pada harga yang ditentukan oleh papalele/punggawa

darat. Meski demikian, papalele selaku pemberi pinjaman modal tidak

sepenuhnya menjadi penentu harga (price maker), sebagaimana yang

diungkapkan salah satu informan bernama Yusuf Dg Nompo yang berprofesi

sebagai papalele

“Harga yang kita tentukan tergantung dari harga yang ditentukan oleh bos
yang di Makassar, kalau harga ikan naik di Makassar, kita juga naikkan
harga disini” (28 Agustus 2020)

Berdasarkan informasi yang diungkapkan oleh Yusuf Dg Nompo, diketahui

bahwa harga ikan yang berlaku ialah harga yang merupakan kesepakatan antara

pihak papalele dan pihak lainnya yang terlibat, dalam hal ini eksportir yang di

Makassar. Jumlah papalele yang berjumlah tujuh orang di desa Topejawa

membantu punggawa darat maupun sawi untuk dapat menerima informasi

mengenai harga yang dijadikan acuan dalam bagi hasil dengan

membandingkannya dengan harga yang berlaku di beberapa papalele yang lain.

Dengan sikap terbuka dan informasi yang dapat diperoleh para nelayan

mengenai harga jual ikan yang berlaku, maka dapat disimpulkan keadilan dalam

hal transparansi pendapatan telah terjadi pada sistem bagi hasil usaha perikanan

di Desa Topejawa.
71

5.2 Proporsionalitas Nisbah dan Pendapatan Bagi Hasil Usaha Perikanan

Nisbah dan pendapatan bagi hasil yang proporsional menjadi salah satu

elemen utama dalam menilai penerapan keadilan pada bagi hasil usaha

perikanan. Keadilan pada hakikatnya merupakan suatu gagasan tentang

kesetaraan, maka akibatnya orang yang adil itu adalah yang menyetujui

“proporsi” dan “kesepadanan” (kesetaraan), dan siapa saja yang menyetujui

ketidakseimbangan dan ketidaksetaraan dinamakan sebagai seseorang yang

zalim (Khadduri,180:1999).

Dalam Al Qur‟an surah Al Hadid ayat 25, terminologi keadilan disebutkan

dalam berbagai istilah seperti „adl, qisth, mizan, hiss, dan qasd yang

menunjukkan beberapa muatan makna adil, salah satunya persamaan

kompensasi. Persamaan kompensasi artinya seseorang harus memberikan

kompensasi yang sepadan kepada pihak lain sesuai dengan pengorbanan yang

telah dilakukan. Pengorbanan yang telah dilakukan inilah yang menimbulkan hak

bagi seseorang untuk memperoleh balasan yang seimbang dengan

pengorbanannya (P3EI UII Yogyakarta, 2008:59). Mengacu pada hal tersebut,

maka dalam perjanjian bagi hasil usaha perikanan tentunya kompensasi yang

diterima oleh masing-masing pihak harus sesuai dan setara dengan besarnya

pengorbanan yang telah dilakukan.

Dalam sistem bagi hasil, terdapat dua metode yang dapat digunakan

untuk menentukan pendapatan bagi hasil, yaitu profit sharing dan revenue

sharing. Menurut Nurhayati dan Wasilah (2016:134), revenue sharing merupakan

pola bagi hasil yang menggunakan laba bruto atau laba kotor sebagai dasar

pembagian hasil usaha. Sedangkan profit sharing merupakan perhitungan bagi


72

hasil yang didasarkan pada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi

dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.

Berdasarkan analisis peneliti dari hasil wawancara, pola bagi hasil yang

diterapkan di Desa Topejawa menggunakan pola bagi hasil profit sharing. Hal ini

dikarenakan pendapatan yang dibagihasilkan merupakan laba bersih yang telah

dikurangkan dengan seluruh biaya produksi.

Pada penelitian ini, untuk mengukur proporsionalitas nisbah bagi hasil,

peneliti mengukur tingkat proporsionalitas pendapatan bagi hasil yang diterima

punggawa dan nelayan sawi dengan dengan cara mempersentasekan total biaya

yang telah dikeluarkan oleh masing-masing pihak dengan total seluruh biaya

yang dikeluarkan selama proses produksi, serta mempersentasekan pendapatan

bagi hasil yang diterima oleh masing-masing pihak dengan total seluruh

penghasilan yang diterima dari produksi perikanan. Hasil persentase tersebut lalu

dibandingkan satu sama lain untuk menentukan apakah nisbah bagi hasil yang

ditetapkan merupakan nisbah bagi hasil yang proporsional.

Dalam mengukur biaya yang dibebankan kepada pihak punggawa

sebagai pemilik sarana produksi. Maka peneliti melakukan pendekatan dengan

menghitung nilai depresiasi dari setiap aset investasi sarana produksi yang akan

dibebankan sepenuhnya sebagai tanggungan pihak punggawa. Dalam Standar

Akuntansi Keuangan (2007;17.3) menyatakan bahwa „„jumlah yang dapat

disusutkan dialokasikan ke setiap periode akuntansi selama masa manfaat aset

dengan berbagai metode yang sistematis. Metode manapun yang dipilih,

konsistensi dalam penggunaannya adalah perlu, tanpa memandang tingkat

profitabilitas perusahaan dan pertimbangan perpajakan, agar dapat menyediakan

daya banding hasil operasi perusahaan dari periode ke periode.”


73

Peneliti dalam menghitung nilai depresiasi dari sarana produksi berupa

kapal, mesin kapal, serta mesin kompresor memilih menggunakan metode garis

lurus (straight line method). Dengan metode ini harga perolehan dialokasikan

sejalan dengan berjalannya waktu dan mengakui beban periodik yang sama

selama masa manfaat harta. Besarnya biaya depresiasi dapat dihitung dengan

cara mengurangi perolehan nilai sisa dan dibagi taksiran umur pemakaian.

Dalam menggunakan metode ini peneliti mengasumsikan bahwa nilai residu nol,

maka dari itu nilai depresiasi secara pekanan dari setiap sarana produksi

tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 5.1 Nilai Depresiasi Sarana Produksi Perikanan Di Desa Topejawa (Per
Pekan).

Harga Umur Depresiasi Depresiasi


Jenis Sarana
No Perolehan Ekonomis Tahunan Pekanan
Produksi
(Rp) (Tahun) (Rp) (Rp)

1 Kapal Kayu 30.000.000 10 3.000.000 57.692

Mesin Kubota
2 20.000.000 5 4.000.000 76.923
24 PK
Mesin
3 kompresor 10.000.000 3 3.333.333 64.103
Selam

4 Tembak busur 1.350.000 1 1.350.000 25.962

Rp Rp Rp
Total
60.450.000 10.783.333 224.679
Sumber : Diolah Sendiri dari Hasil Wawancara

Tabel rincian diatas menunjukkan rincian biaya depresiasi pada sarana

produksi perikanan di Desa Topejawa. Berdasarkan tabel tersebut, diketahui

bahwa biaya depresiasi kapal Jolloro‟ setiap pekannya sebesar Rp. 57.692.,

depresiasi mesin kapal sebesar Rp. 76.923, dan depresiasi kompresor selam
74

sebesar Rp. 64.103, serta depresiasi tembak busur sebesar Rp. 25.962.

Sehingga total biaya depresiasi sarana produksi perikanan yang menjadi

tanggungan punggawa sebesar Rp. 224.679,- per pekan. Adapun biaya yang

menjadi tanggungan bersama telah dirincikan pada bab sebelumnya (halaman

56) sebesar Rp. 1.159.500.

Dengan demikian, persentase kontribusi biaya yang dikeluarkan serta

pendapatan yang diterima oleh punggawa dan nelayan sawi di Desa Topejawa

dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.2 Persentase Kontribusi Biaya yang Dikeluarkan Masing-Masing Pihak


dalam Akad Bagi Hasil Usaha Perikanan di Desa Topejawa (Per Pekan).

Biaya Biaya
Ditanggung Ditanggung
Uraian Persentase Persentase
Punggawa Total Nilai
Bersama (%) Laut (%)
(Rp) (Rp)

Biaya-biaya :

Biaya bahan bakar


570.000 - 570.000
solar

Biaya bahan bakar


229.500 - 229.500
bensin

Biaya perbekalan
360.000 - 360.000
rokok

Biaya depresiasi kapal


- 57.692 57.692
jolloro‟

Biaya depresiasi
- 76.923 76.923
mesin kapal

Biaya depresiasi
- 64.103 64.103
mesin kompresor

Biaya depresiasi busur


- 25.962 25.962
tembak

Total Biaya 1.159.500 83,77 224.679 16,23 1.384.179

Sumber : Diolah Sendiri dari Hasil Wawancara


75

Pada tabel persentase kontribusi masing-masing pihak pada bagi hasil

usaha perikanan, dapat diketahui bahwa kontribusi biaya dalam akad bagi hasil

perikanan di Desa Topejawa per pekan menunjukkan bahwa biaya yang menjadi

tanggungan bersama menanggung proporsi biaya yang lebih besar, yakni

sebesar Rp 1.159.500 atau 83,77 % dari total biaya. Sedangkan pemilik

kapal/punggawa laut hanya menanggung sebesar Rp 224.679 atau 16,23% dari

total biaya.

Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya, bahwa

proporsi (nisbah) bagi hasil yang digunakan adalah nisbah 1/n, dengan “n”

adalah sejumlah faktor produksi yang berhak mendapat bagian. Artinya jika

melihat contoh kasus seperti yang disajikan pada bab sebelumnya, nelayan sawi

memperoleh 1/8 bagian atau sebesar 12,5% dari total seluruh pendapatan.

Sedangkan, punggawa laut sebagai pemilik 3 faktor produksi (kapal, mesin dan

alat tangkap) serta turut ikut dalam proses produksi memperoleh 4/8 bagian atau

sebesar 50% dari total seluruh pendapatan. Jika menggunakan nisbah 1/n maka

dapat disimpulkan bahwa proporsi pendapatan bagi hasil yang diperoleh tidak

sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Hal ini dikarenakan persentase

pendapatan bagi hasil hanya sebesar 12,5% dari total pendapatan, lebih kecil

dibanding persentase biaya yang menjadi tanggungan bersama, yaitu sebesar

87,33% dari total seluruh biaya. Sedangkan punggawa laut sebagai pemilik

sarana produksi yang hanya berkontribusi sebesar 16,23% dari total seluruh

biaya justru memperoleh hasil yang lebih besar dari jumlah biaya yang

dikeluarkannya.

Selain dari segi nisbah bagi hasil, peneliti juga mencoba untuk

membandingkan pendapatan bersih yang diterima punggawa dan nelayan sawi


76

atas penghasilan bersih yang diperoleh nelayan sawi dan punggawa laut.

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan pada bab sebelumnya, Bagian

yang didapatkan untuk punggawa lompo/papalele sebesar Rp900.000,- sawi

penyelam sebesar Rp1.017.600,- dan sawi pajama rate masing-masing sebesar

Rp 717.600,- per orang. Sedangkan punggawa caddi sekaligus pemilik kapal,

mesin dan alat tangkap mendapatkan bagian sebesar Rp3.618.000,-.

Dari hasil perbandingan di atas, dapat disimpulkan bahwa dari segi

nisbah bagi hasil punggawa menerima proporsi pendapatan yang lebih besar

dibanding proporsi biaya yang dikeluarkannya, sedangkan nelayan sawi justru

menerima proporsi pendapatan yang lebih kecil dibanding proporsi biaya yang

ditanggungnya. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah penghasilan bersih yang

diterima masing-masing pihak, dimana punggawa memperoleh hasil bersih yang

lebih besar dibanding nelayan sawi, dengan selisih sebanyak Rp. 2.900.400.

Selain mengukur proporsionalitas pendapatan dari segi nisbah bagi hasil

dan perbandingan antara penghasilan bersih punggawa dan nelayan sawi,

peneliti juga mengukur proporsionalitas dari segi penghasilan yang diperoleh

punggawa dan nelayan sawi dalam menentukan keadilan sistem bagi hasil usaha

perikanan di Desa Topejawa. Peneliti mengukur proporsionalitas penghasilan

bersih yang diperoleh oleh nelayan punggawa dan sawi melalui analisis

perbandingan dengan standar Upah Minimum Provinsi (UMP) Sulawesi Selatan

yang berlaku saat ini. Berdasarkan Keputusan Gubernur Sulsel Nomor

2877/X/Tahun 2018 tentang penetapan UMP Provinsi Sulsel tahun 2019,

besarnya UMP di Sulawesi Selatan adalah sebesar Rp. 2.860.382,- per bulan.

Upah Minimum Provinsi ini disesuaikan dengan standar jumlah jam kerja yang

telah diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pasal 77 ayat 2 yang
77

menyebutkan bahwa ketentuan waktu kerja yang ditetapkan adalah sebanyak 40

jam dalam satu pekan.

Dikarenakan terdapat perbedaan antara jumlah jam kerja nelayan dengan

jumlah jam kerja standar UMP, peneliti mencoba menyamakan terlebih dahulu

total jam kerja dengan menggunakan total jam kerja nelayan sebagai acuan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah satu informan bernama Nurdin

Dg Tobo mengungkapkan bahwa mereka berangkat melaut pukul 17.00 sore dan

pulang melaut sekitar pukul 07.00 pagi dan itu dilakukan selama 6 hari dalam

sepekan. Sehingga diketahui total jam kerja nelayan dalam satu pekan adalah

sebanyak 84 jam.

Jika dibandingkan dengan standar Upah Minimum Provinsi maka :

- Standar jumlah jam kerja per minggu adalah 40 jam, maka untuk total jam

kerja 84 jam, seharusnya pekerja bekerja selama 2,1 minggu.

- Standar UMP/bulan = Rp2,860.382,-,berarti

Standar UMP/pekan = Rp715.096,-

Maka dalam waktu 2,1 pekan tersebut, standar UMP yang ditetapkan adalah

- Rp715.096,-/minggu x 2,1 minggu Rp 1.501.701,-

Total UMP untuk satu pekan (84 jam kerja) Rp 1.501.701,-

Dari perhitungan di atas terlihat bahwa penghasilan bersih yang diperoleh

nelayan sawi di bawah standar UMP dengan kekurangan sebesar Rp784.101,- di

bawah standar UMP yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan

punggawa yang juga sebagai pemilik sarana produksi perikanan mendapatkan

penghasilan bersih di atas UMP yang telah ditetapkan oleh pemerintah.


78

Dari hasil analisis dan perbandingan di atas, terlihat bahwa punggawa

telah memperoleh pendapatan yang cukup dari penghasilan di bidang usaha

perikanan. Namun peneliti kembali mencoba menganalisis lebih lanjut apakah

penghasilan yang diterima punggawa di sektor perikanan merupakan

pendapatan yang benar-benar potensial.

Ketika punggawa memutuskan untuk mengadakan perjanjian bagi hasil

dengan sawi, berarti punggawa telah berinvestasi sebesar harga pengadaan

sarana produksi perikanan itu, dengan menerima return berupa pendapatan yang

diperoleh dari bagi hasil usaha perikanan. Oleh karena itu, dalam menilai

pendapatan bagi hasil punggawa, peneliti melakukan analisis perbandingan

antara pendapatan yang diperoleh punggawa jika punggawa memilih untuk

menginvestasikan uangnya dalam sistem bagi hasil usaha perikanan, dengan

pendapatan yang bisa diperoleh punggawa jika punggawa memilih untuk

menginvestasikan uangnya di salah satu produk investasi berbasis syariah.

Dalam analisis ini, peneliti menggunakan instrumen deposito syariah.

Deposito syariah merupakan investasi berjangka yang dikelola berdasarkan

prinsip syariah yang ditujukan bagi nasabah perorangan dan perusahaan,

dengan menggunakan akad mudharabah. Deposito syariah tidak menggunakan

bunga melainkan menawarkan nisbah, yaitu sistem bagi hasil. Returnnya

berfluktuasi sesuai tingkat keuntungan dan kinerja bank syariah dalam jangka

waktu tertentu. Ketentuan nisbah ditetapkan pada awal mendaftar deposito,

sebagai contoh 46:54 yang berarti keuntungan diberi kepada nasabah sebesar

46% dan 54% ke pihak bank. Adapun nisbah yang ditawarkan salah satu bank

syariah sebagai berikut:


79

Gambar 5.1 Nisbah pada Produk BNI Syariah iB Hasanah

Sumber: Website bnisyariah.co.id (diakses pada 21 Oktober 2020)

Alasan peneliti memilih deposito syariah sebagai instrumen investasi

pembanding dikarenakan deposito syariah merupakan salah satu produk

investasi syariah yang terjangkau dengan investasi minimum sebesar

Rp1.000.000,-, selain itu prosedur berinvestasi melalui deposito syariah juga

sangat mudah sehingga sangat memungkinkan masyarakat umum untuk turut

berpartisipasi dalam investasi melalui deposito syariah. Berikut perbandingan

pendapatan yang diperoleh pemilik tanah ketika berinvestasi pada bagi hasil

usaha perikanan, dengan pendapatan yang diperoleh pemilik tanah ketika

berinvestasi pada deposito syariah.

a. Berinvestasi pada Bagi Hasil Usaha Perikanan

Berdasarkan informasi yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya (halaman

55) diketahui bahwa jumlah seluruh biaya investasi yang dikeluarkan oleh

punggawa dalam setiap pengadaan kapal dan perlengkapan alat tangkap

sebesar Rp 61.350.000, sebagaimana perhitungan yang telah dilakukan

sebelumnya punggawa dapat memperoleh return sebesar Rp3.618.000 per

pekan yang diperoleh dari penghasilan bersih dari bagi hasil usaha perikanan.
80

b. Berinvestasi pada Deposito syariah

Dengan jumlah investasi yang sama dengan investasi pada bagi hasil usaha

perikanan, tingkat pengembalian deposito syariah dalam satu bulan yaitu sebagai

berikut:

Gambar 5.2 Input Simulasi Pendanaan Produk BNI Deposito iB Hasanah 1 bulan

Sumber: Website bnisyariah.co.id (diakses pada 21 Oktober 2020)

Gambar 5.3 Ouput Simulasi Pendanaan Produk BNI Deposito iB Hasanah 1

bulan

Sumber: Website bnisyariah.co.id (diakses pada 21 Oktober 2020)


81

Pada gambar input dan output simulasi pendanaan produk BNI deposito

iB Hasanah dengan jangka waktu satu bulan yang di akses pada halaman

website BNI Syariah pada 21 Oktober 2020, dapat diketahui bahwa dengan

nominal simpanan deposito sebesar Rp61.350.000 dengan nisbah 46:54, 46%

nisbah untuk nasabah dan 54% untuk pihak bank, maka diperoleh proyeksi bagi

hasil sebesar Rp241.719.- per bulan atau hanya sebesar Rp60.430,- per pekan.

Dari hasil perbandingan investasi pada bagi hasil usaha perikanan

dengan investasi pada deposito syariah, diperoleh hasil bahwa tingkat

pengembalian investasi pada bagi hasil usaha perikanan jauh lebih besar

dibandingkan dengan tingkat pengembalian pada deposito syariah dengan selisih

sebesar Rp3.557.570,- per pekan atau return dari deposito syariah hanya 1,67%

dari total pendapatan punggawa jika berinvestasi pada sektor usaha perikanan.

Dari hasil tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa investasi pada bagi hasil usaha

perikanan rupanya masih kurang menguntungkan bagi pemilik tanah.

Dari analisis tersebut, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masih

terdapat beberapa ketidakadilan dalam hal besarnya proporsi nisbah bagi hasil

yang ditetapkan serta proporsi pendapatan yang diterima oleh masing masing

pihak. Dalam hal proporsi nisbah bagi hasil, ketidakadilan terjadi pada pihak

nelayan sawi karena proporsi biaya yang ditanggung jauh lebih besar dibanding

proporsi pendapatan yang diterimanya.

Selain itu jika dianalisis lebih lanjut, dari segi jumlah pendapatan, jumlah

pendapatan yang diterima oleh nelayan sawi dalam sepakan jauh lebih sedikit

dibanding dengan yang diperoleh punggawa sebagai pemilik sarana produksi.

Jumlah penghasilan nelayan sawi juga masih berada di bawah standar UMP
82

yang telah ditetapkan, berbanding terbalik dengan punggawa telah memiliki

pendapatan yang layak dan berada di atas UMP.

5.3 Konsistensi

Keadilan dalam konsistensi pada akad bagi hasil usaha perikanan

diartikan sebagai adanya ketetapan pada segala hal yang telah disepakati di

awal perjanjian, mulai dari dimulainya akad sampai berakhirnya akad bagi hasil

usaha perikanan.. Jika terdapat salah satu pihak yang tidak konsisten terhadap

perjanjian yang telah disepakati, maka hal itu tentunya akan merugikan pihak lain

yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil tersebut.

Oleh karena itu untuk menghindari adanya sikap tidak konsisten dari

salah satu pihak pada akad bagi hasil, Nurhayati dan Wasilah (2016:129)

menyarankan agar akad atau perjanjian bagi hasil sebaiknya dituangkan secara

tertulis dan dihadiri para saksi. Dalam perjanjian harus mencakup berbagai aspek

antara lain tujuan bagi hasil, nisbah pembagian keuntungan, periode pembagian,

biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari pendapatan, ketentuan pengambilan

modal, hal-hal yang dianggap sebagai kelalaian pengelola dana, dan

sebagainya.

Bentuk perjanjian bagi hasil yang dilakukan di Desa Topejawa atas

kerjasama antara pihak-pihak yang terlibat hanya sebatas akad lisan. Proses

akad yang dilakukan pun hanya kepada punggawa/pemimpin pelayaran dan

beberapa pengelola/nelayan. Sebagaimana hasil wawancara dengan punggawa

dan nelayan yang mengakui bahwa tidak ada akad ataupun perjanjian bagi hasil

yang dilakukan sebelumnya. Seperti halnya hasil wawancara salah satu informan
83

bernama Nurdin Dg Tobo yang merupakan pemilik kapal, beliau menuturkan

bahwa

“Tidak ada pembicaraan akad sebelumnya terkait berapa persen proporsi


bagi hasil tanpa harus dijelaskan dia sudah tahu semua, sudah
pengalaman, yang ada itu persetujuan terkait mau tidaknya ikut melaut.”
(28 Agustus 2020)

Begitupun dengan hasil wawancara yang dilakukan dengan Muis Dg

Nya‟la yang juga berprofesi sebagai punggawa laut, ia mengungkapkan

“Tidak ada perjanjian ataupun kontrak, karena sudah saling percaya


apalagi mereka yang ikut di kami bukan orang lain melainkan masih
berstatus keluarga dekat, jadi tidak mungkin mau dibodohi”. (28 Agustus
2020)

Pernyataan Nurdin Dg Tobo dan Muis Dg Nya‟la mengindikasikan bahwa selama

punggawa dan nelayan sawi melakukan perjanjian bagi hasil, belum pernah

timbul perselisihan yang terjadi akibat salah satu pihak tidak konsisten dalam

menjalankan hal-hal yang telah disepakati di awal perjanjian bagi hasil. Meskipun

perjanjian bagi hasil hanya dilakukan secara lisan dan tidak ada perjanjian tertulis

secara resmi yang dihadiri oleh saksi, namun setiap pihak tetap menjalankan

perjanjian bagi hasil sebagaimana yang telah disepakati. Hal ini dikarenakan

punggawa dan nelayan sawi umumnya masih memiliki hubungan keluarga

sehingga setiap pihak tentunya akan menjaga hubungan kekeluargaan di antara

mereka dan tidak melakukan hal-hal yang dapat mengakibatkan perselisihan di

antara punggawa dan nelayan sawi. Adanya rasa ingin menjaga kepercayaan

dan membina hubungan yang baik antara punggawa dan nelayan sawi secara

tidak langsung telah membuat masing-masing pihak menghindari hal-hal yang

dapat menyebabkan perselisihan di antara mereka, salah satunya dalam hal

menjaga konsistensi perjanjian yang telah disepakati dari awal hingga


84

berakhirnya akad. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam

hal konsistensi masing-masing pihak terhadap perjanjian yang disepakati telah

terjadi pada sistem bagi hasil perikanan di Desa Topejawa.

5.4 Bargaining Power yang Seimbang

Bargaining power dapat diartikan sebagai kekuatan posisi tawar yang

dimiliki oleh nelayan sawi dan punggawa. Keadilan dari sisi bargaining power

berarti adanya kekuatan posisi tawar antara nelayan sawi dan pemilik tanah

yang setara, karena ketidaksetaraan bargaining power akan memicu adanya

tindakan semena-mena dari pihak yang memiliki bargaining power yang lebih

kuat terhadap pihak yang memiliki bargaining power yang lemah. Tindakan

semena-mena tersebut tentunya akan berakibat pada ketidakadilan dalam

perjanjian bagi hasil yang dilakukan.

Salah satu informan informan bernama Yunus Dg Taba mengungkapkan

“Kebanyakan orang tua kami dulu tidak pernah kenalkan namanya


sekolah, karena tidak pernah sekolah akhirnya tidak ada pilihan pekerjaan
selain seputar dunia usaha perikanan, karena ketidakadaan modal juga
akhirnya kebanyakan kita hanya bisa ikut sama punggawa yang ada
modalnya menjadi sawi, menjadi sawi saja demikian susahnya karena
lebih banyak yang mau ikut jadi sawi daripada ketersedian kapal yang
bisa rekrutki, jadi kita yang namanya sawi ikut saja sama punggawa,
punggawa bilang A ya A, kalau dia bilang B ya kita ikut B daripada kita
diberhentikan kalau mau melawan.” (31 Agustus 2020)

Dari pernyataan informan diatas diketahui bahwa jumlah yang menawarkan diri

untuk menjadi sawi di Desa Topejawa jauh lebih besar dibanding jumlah

permintaan, sehingga sangat mudah bagi punggawa jika ingin melakukan

mengganti dan merekrut sawi lain. Oleh karena itu, sawi cenderung menerima

begitu saja ketentuan yang telah berlaku meskipun dirasa tidak adil dengan
85

alasan takut kehilangan pekerjaan. Berlebihnya jumlah penawaran tenaga kerja

sebagai nelayan sawi di Desa Topejawa salah satunya disebabkan taraf

pendidikan masyarakat yang masih rendah.

Rendahnya taraf pendidikan yang dimiliki nelayan sawi tersebut

menjadikan pekerjaan yang mengandalkan kekuatan fisik, seperti nelayan sawi,

kuli batu, buruh bangunan, dsb, sebagai profesi yang sangat diminati oleh

masyarakat. Kondisi ini mengindikasikan lemahnya bargaining power yang

dimiliki oleh nelayan sawi di Desa Topejawa, sehingga nelayan sawi cenderung

menerima begitu saja kesepakatan yang telah ditetapkan.

5.5 Ada Ganti Rugi jika Nelayan Sawi Diberhentikan

Menurut Sabiq (2011:168) ada beberapa hal yang dapat menyebabkan

berakhirnya akad bagi hasil, yaitu 1) dalam hal akad bagi hasil tersebut dibatasi

waktunya, maka akad tersebut berakhir pada waktu yang telah ditentukan, 2)

salah satu pihak mengundurkan diri, 3) salah satu pihak meninggal dunia atau

hilang akal, 4) pengelola dana tidak menjalankan amanahnya sebagai pengelola

usaha untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dituangkan dalam akad, serta

4) modal sudah tidak ada.

Fakhrurrazi dalam Handayani (2013:71) menyebutkan, jika salah satu

pihak ingin menghentikan perjanjian di tengah berlangsungnya akad bagi hasil

maka alasannya harus jelas dan jika terdapat kerugian maka harus ada ganti rugi

yang dibayarkan oleh pihak yang menghentikan akad tersebut.

Salah satu informan bernama Nurdin Dg Tobo yang merupakan nelayan

punggawa laut menyatakan,


86

“Saya selama jadi punggawa belum pernah ada sawi tiba-tiba saya kasih
berhenti. Malah kadang sawi itu sendiri yang menyatakan berhenti ketika
ada masalah dengan sawi lain yang berujung pada permusuhan sesama
mereka sehingga dia tidak mau lagi satu kapal. Jika hal itu terjadi maka
sawi yang berhenti tersebut tetap kita berikan haknya dengan menghitung
berapa hari dia ikut melaut dan selama ikut melaut berapa hasil
tangkapan yang diperoleh yang kemudian dikurangi biaya yang
dikeluarkan pada saat itu.” (28 Agustus 2020)

Pernyataan informan tersebut mengindikasikan bahwa pemberhentian di

tengah-tengah berlangsungnya akad bagi hasil belum pernah dilakukan oleh

Informan bernama Nurdin Dg Tobo. Hal lain yang terjadi ialah malah sawi yang

meminta berhenti disebabkan karenanya adanya masalah dengan sawi yang lain

yang berujung pada permusuhan yang menyebabkan sawi tersebut tidak mau

lagi satu kapal dengan sawi bersangkutan. Ketika sawi tersebut berhenti maka

sawi bersangkutan tetap memperoleh bagian atas haknya secara proporsional

yang dibayarkan ketika hasil perikanan dibagihasilkan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pada sistem bagi hasil

perikanan di Desa Topejawa terdapat ganti rugi bagi sawi yang berhenti maupun

yang diberhentikan. Ganti rugi tersebut dimaksudkan untuk mengganti kontribusi

yang telah dikeluarkan.

5.6 Mekanisme Penanggungan Rugi jika Terjadi Kerugian

Ketidakpastian dari hasil usaha pada sektor perikanan, baik

ketidakpastian dari harga ikan yang fluktuatif maupun ketidakpastian terkait

dengan kondisi alam laut yang tidak dapat dihindari oleh para nelayan ketika

melaut misalnya badai, gelombang, dan kondisi alam lainnya yang berisiko

mendatangkan kerugian pada hasil tangkapan. Ada dua kemungkinan kondisi


87

kerugian, yaitu rugi namun masih terdapat modal yang tersisa atau rugi total

dimana tidak ada lagi modal maupun keuntungan tersisa.

Ibnu Qudamah Al Maqdisi dalam kitab Al Mughni mengungkapkan bahwa

“kerugian pada akad bagi hasil ditanggung harta (modal), sang amil tidak

menanggung kerugian sedikitpun”. Maksudnya adalah, bila pada perjanjian bagi

hasil terjadi kerugian maka prinsipnya yang menanggung adalah pemilik modal

atau dalam hal ini punggawa, bukan pengelola dana. Hal ini dikarenakan sang

amil atau dalam hal ini nelayan sawi telah menderita kerugian dari tenaga dan

waktu yang dikeluarkannya. Bahkan ketika dalam perjanjian telah disepakati

bahwa kerugian yang diderita dibagi dua atau sepertiga ditanggung pihak

pengelola, maka kesepakatan tersebut dianggap bertentangan dengan

Kitabullah. Rasulullah saw pernah mengatakan : “mengapa sejumlah orang

mengajukan syarat-syarat yang tidak ada dalam Kitabullah? barang siapa

mengajukan syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka tidak diterima,

meskipun ia mengajukan seratus syarat” (HR. Bukhari dan Muslim)”

Dalam PSAK 105 yang mengatur tentang akad bagi hasil, juga telah

disebutkan bahwa dalam akad bagi hasil apabila terjadi kerugian maka kerugian

akan ditanggung oleh pemilik dana atau dalam hal ini punggawa sepanjang

kerugian itu tidak diakibatkan oleh kelalaian pengelola dana atau dalam hal ini

nelayan sawi. PSAK 105 par 18 memberikan beberapa contoh bentuk kelalaian

pengelola dana, yaitu : persyaratan yang ditentukan dalam akad tidak dipenuhi,

tidak terdapat kondisi di luar kemampuan (force majeure) yang lazim dan/atau

yang telah ditentukan dalam akad, atau merupakan hasil keputusan dari institusi

yang berwenang.
88

Mengenai mekanisme pembagian risiko ketika terjadi kerugian, salah satu

informan bernama Muis Dg Nya‟la yang merupakan nelayan punggawa laut

mengungkapkan

“Kita sebagai orang yang bekerja di usaha perikanan ya kadang dapat


kadang tidak jadi kadang kita untung kadang juga rugi. Bahkan kadang
kita keluar melaut lebih banyak ongkos ketimbang hasil yang diperoleh,
tapi itu semua resiko yang harus kita terima sebagai nelayan” (28 Agustus
2020)

Selain itu, Informan lain bernama Ramli yang merupakan nelayan sawi

menambahkan

“Iye‟ memang biasa kita alami yang namanya rugi, dimana lebih banyak
ongkos ketimbang hasil yang diperoleh. Kerugian ongkos itu menjadi
kerugian yang harus ditanggung bersama jadi misal pekan ini kita keluar
kemudian kita rugi perongkosan maka jika pekan depan kita untung maka
dikeluarkan dulu biaya ongkos yang lalu, nanti setelah dikeluarkan
barulah sisanya itu dibagi hasilkan” (03 September 2020)

Informasi yang diungkapkan oleh Nurdin Dg Tobo dan Ramli menunjukkan

bahwa dalam berusaha nelayan sering mengalami kerugian. Namun mekanisme

pembagian risiko ketika terjadi kerugian dari pernyataan Ramli diperoleh

informasi bahwa ketika terjadi kerugian maka kerugian tersebut menjadi

tanggungan bersama yang harus dibayarkan terlebih dahulu sebelum dilakukan

pembagian hasil di masa yang akan datang. Kondisi tersebut menunjukkan

adanya ketidaksesuaian antara sistem bagi hasil yang terjadi di Desa Topejawa

dengan ketentuan bagi hasil dalam Islam jika terjadi kerugian, dimana

seharusnya yang menanggung kerugian ketika terjadi kerugian adalah pihak

punggawa. Hal tersebut mengindikasikan adanya ketidakadilan dalam hal

pembagian risiko ketika terjadi kerugian dalam sistem bagi hasil perikanan di

Desa Topejawa.
89

5.7 Sistem Bagi Hasil Berkeadilan pada Usaha Perikanan

Dalam penelitian ini, peneliti menilai sistem bagi hasil yang diterapkan di

Desa Topejawa dalam hal kesesuaiannya dengan keadilan dalam perspektif

Islam. Peneliti menetapkan enam elemen untuk menentukan apakah sistem bagi

hasil yang diterapkan telah memenuhi kriteria sebagai sistem bagi hasil yang

berkeadilan. Elemen-elemen tersebut antara lain penilaian transparansi yang

terdiri dari transparansi objek bagi hasil, transparansi jangka waktu

berlangsungnya akad, transparansi biaya, serta transparansi pendapatan,

proporsionalitas nisbah dan pendapatan bagi hasil, konsistensi, bargaining power

yang seimbang, adanya ganti rugi jika akad diberhentikan, serta mekanisme

penanggungan kerugian jika terjadi rugi.

Pertama, yaitu transparansi yang mencakup transparansi objek bagi hasil,

transparansi jangka waktu berlangsungnya akad, transparansi biaya, serta

transparansi pendapatan. Dari hasil analisis peneliti, transparansi objek bagi hasil

yang diterapkan pada sistem bagi hasil perikanan di Desa Topejawa masih

belum memenuhi kriteria keadilan, dikarenakan informasi mengenai kondisi

sarana produksi yang akan digunakan dalam melakukan proses penangkapan

ikan belum tersampaikan sepenuhnya dari punggawa kepada nelayan sawi.

Begitu pula halnya mengenai transparansi jangka waktu berlangsungnya akad,

dimana pada sistem bagi hasil yang diterapkan belum terdapat kejelasan dan

kesepakatan di awal akad mengenai jangka waktu berlangsungnya perjanjian

tersebut sehingga transparansi mengenai jangka waktu berlangsungnya akad

pada sistem bagi hasil di daerah tersebut juga belum memenuhi kriteria keadilan.

Sedangkan dalam hal transparansi biaya dan pendapatan, sistem bagi

hasil perikanan di Desa Topejawa telah dapat dikatakan memenuhi kriteria


90

keadilan karena nelayan sawi telah menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam

menjalankan amanah dari punggawa sehingga tidak pernah terjadi ketidakjujuran

terkait biaya produksi. Selain itu, adanya kepercayaan yang kuat antara

punggawa dan nelayan sawi juga secara tidak langsung menyebabkan proses

transparansi tersebut berlangsung antara punggawa dan nelayan sawi meskipun

hanya mengandalkan catatan biaya pengeluaran dari toko kelontong tempat

pengambilan pinjaman perbekalan.

Sama halnya dengan transparansi dalam hal pendapatan, sikap terbuka

punggawa kepada sawi dengan mempersilahkan semua anggota kapal

menyaksikan langsung proses pembagian hasil dan memastikan jumlah hasil

bersih yang akan dibagi hasilkan. Selain itu punggawa menunggu para anggota

berkumpul sebelum melakukan proses pembagian dan jika ada yang belum hadir

maka nelayan sawi yang lain berinisiatif memanggil anggota untuk menyaksikan

langsung proses pembagian hasil menunjukkan bahwa keadilan dalam

transparansi pendapatan pada sistem bagi hasil perikanan di Desa Topejawa

telah memenuhi kriteria keadilan.

Kedua, yaitu nisbah dan pendapatan bagi hasil yang proporsional.

Keadilan dalam nisbah bagi hasil ditentukan dengan membandingkan besarnya

kontribusi biaya yang dikeluarkan serta kontribusi pendapatan yang diterima.

Berdasarkan hasil analisis peneliti, nisbah yang ditetapkan masih belum

proporsional karena kontribusi biaya yang dikeluarkan yang menjadi tanggungan

bersama oleh para nelayan sawi lebih besar dari kontribusi pendapatan yang

diterima masing-masing sawi. Selain itu untuk pendapatan, dari sisi nelayan

sawi, penghasilan bersih yang diterima nelayan sawi masih berada jauh di bawah

standar UMP sedangkan dari sisi punggawa, telah memiliki pendapatan yang
91

layak dan berada di atas UMP. Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam sistem

bagi hasil di Desa Topejawa, baik nisbah maupun pendapatan bagi hasil belum

dapat dikatakan memenuhi kriteria keadilan.

Ketiga, yaitu konsistensi. Keadilan dalam konsistensi dapat tercapai

ketika masing-masing pihak konsisten dengan segala perjanjian yang telah

disepakati di awal akad. Berdasarkan hasil penelitian, pada sistem bagi hasil

yang diterapkan di Desa Topejawa masing-masing pihak telah memiliki sikap

konsisten terhadap perjanjian yang telah disepakati di awal. Hal ini didorong oleh

adanya rasa kekeluargaan dan keinginan untuk menjaga hubungan yang baik

antara punggawa dan sawi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

keadilan dalam hal konsistensi terhadap perjanjian yang telah disepakati di awal

telah memenuhi kriteria keadilan.

Keempat, yaitu bargaining power yang seimbang. Keadilan dari sisi

bargaining power dapat dicapai ketika masing-masing pihak memiliki bargaining

power (kekuatan tawar) yang setara sehingga tidak ada pihak yang bertindak

semena-mena. Berdasarkan hasil penelitian, dalam sistem bagi hasil di Desa

Topejawa masih terdapat kesenjangan bargaining power antara punggawa dan

nelayan sawi, yang disebabkan oleh ketidakseimbangan permintaan dan

penawaran tenaga kerja dan rendahnya taraf pendidikan nelayan sawi di daerah

tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keadilan dari sisi

bargaining power pada sistem bagi hasil di Desa Topejawa masih belum

memenuhi kriteria keadilan.

Kelima, yaitu adanya ganti rugi ketika perjanjian diberhentikan di tengah

berlangsungnya akad. Berdasarkan hasil penelitian, pada sistem bagi hasil

perikanan di Desa Topejawa terdapat ganti rugi bagi sawi yang berhenti maupun
92

yang diberhentikan. Ganti rugi tersebut dimaksudkan untuk mengganti kontribusi

yang telah dikeluarkan. Sehingga untuk indikator keadilan ini dapat dikatakan

telah tercapai.

Keenam, yaitu penanggungan risiko ketika terjadi kerugian. Keadilan

dalam hal pembagian risiko ketika terjadi kerugian dapat dicapai ketika

mekanisme pembagian risiko kerugian telah sesuai dengan syariat Islam. Namun

dalam praktiknya, mekanisme penanggungan risiko kerugian masih dibebankan

sebagai biaya yang menjadi tanggungan bersama yang harus dibayarkan terlebih

dahulu sebelum dilakukan pembagian hasil di masa yang akan datang dan hal ini

tidak sesuai dengan syariat Islam. Oleh karena itu, keadilan dalam hal

penanggungan risiko ketika terjadi keadilan belum dapat dikatakan memenuhi

kriteria keadilan

Dari uraian hasil penelitian mengenai pengukuran keadilan berdasarkan

enam elemen yang telah ditetapkan, hasil analisis peneliti dapat dapat dirangkum

dalam tabel berikut :

Tabel 5.4 Hasil Analisis Keadilan Sistem Bagi Hasil Usaha Perikanan

Penilaian
Elemen Penilaian Deskripsi Keterangan
Keadilan

Transparansi Objek Keterbukaan dan Belum adil Belum tersampaikan


Bagi Hasil kejujuran mengenai sepenuhnya infonya
kondisi objek bagi dari punggawa
hasil mengenai kondisi objek
bagi hasil

Transparansi Jangka Keterbukaan dan Belum adil Belum terdapat


Waktu Akad kejelasan mengenai kesepakatan di awal
lamanya perjanjian akad mengenai jangka
berlangsung di awal waktu berlangsungnya
akad perjanjian.
93

Transparansi Biaya Keterbukaan dan Adil Telah terdapat


kejujuran mengenai kejujuran mengenai
biaya produksi biaya produksi dan
adanya kepercayaan
yang kuat antara
punggawa dan nelayan
sawi.

Transparansi Keterbukaan dan Adil Telah terdapat


Pendapatan kejujuran mengenai keterbukaan nelayan
pendapatan dari hasil sawi mengenai jumlah
produksi perikanan hasil tangkap yang
diperoleh.

Nisbah Bagi Hasil Proporsionalitas dari Belum Adil Kontribusi biaya yang
nisbah bagi hasil ditanggung bersama
yang ditetapkan pada para nelayan sawi
akad bagi hasil masih belum sebanding
perikanan dengan proporsi
pendapatan yang
diterimanya.

Konsistensi Masing-masing pihak Adil Didorong oleh adanya


konsisten dengan rasa kekeluargaan dan
segala perjanjian keinginan untuk
yang telah disepakati menjaga hubungan
di awal akad. yang baik,masing-
masing pihak telah
memiliki sikap konsisten

Bargaining power Masing-masing pihak Belum Adil Ketidakseimbangan


yang seimbang memiliki kekuatan permintaan dan
tawar yang setara. penawaran tenaga kerja
dan rendahnya taraf
pendidikan nelayan
94

sawi

Ganti Rugi ketika Ada atau tidaknya Adil Terdapat ganti rugi bagi
Akad Diberhentikan ganti rugi yang sawi yang berhenti
diberikan ketika maupun yang
perjanjian diberhentikan untuk
diberhentikan ketika mengganti kontribusi
proses produksi yang telah dilakukan.
masih berlangsung.

Pembagian risiko Apakah mekanisme Belum Adil Penanggungan resiko


ketika terjadi dalam menanggung ketika terjadi kerugian
kerugian risiko ketika terjadi masih belum sesuai
kerugian sesuai dengan syariat Islam
dengan syariat Islam
Sumber: Diolah Sendiri dari Hasil Wawancara

Berdasarkan tabel hasil analisis keadilan pada sistem bagi hasil usaha

perikanan, dapat dilihat bahwa dari sembilan elemen penilaian keadilan yang

ditetapkan, empat elemen telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, dan

lima elemen belum memenuhi kriteria keadilan yang telah ditetapkan. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem bagi hasil berkeadilan pada usaha

perikanan di Desa Topejawa masih belum sepenuhnya memenuhi kriteria

sebagai sistem bagi hasil yang berkeadilan. Hal ini dikarenakan masih terdapat

beberapa aspek yang belum memenuhi kriteria adil seperti dari aspek

transparansi objek bagi hasil, transparansi jangka waktu akad, proporsionalitas

nisbah bagi hasil yang ditetapkan, serta kesetaraan bargaining power di antara

kedua belah pihak. Salah satu aspek yang menjadi elemen utama dari penilaian

keadilan, yaitu nisbah bagi hasil yang proporsional juga masih belum terpenuhi.

Oleh karena itu, masih dibutuhkan beberapa langkah perbaikan dan penyesuaian

dengan nilai-nilai keadilan dalam Islam pada sistem bagi hasil yang diterapkan
95

agar sistem bagi hasil perikanan di Desa Topejawa dapat menjadi sistem bagi

hasil usaha perikanan yang berkeadilan.


BAB VI
PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti menarik kesimpulan bahwa

sistem bagi hasil di Desa Topejawa belum sepenuhnya mencapai sistem bagi

hasil yang berkeadilan. Penilaian ini didasarkan pada enam elemen yang

ditetapkan yaitu transparansi yang mencakup transparansi objek bagi hasil,

transparansi jangka waktu berlangsungnya akad, transparansi biaya, serta

transparansi pendapatan, nisbah dan pendapatan bagi hasil yang proporsional,

konsistensi, bargaining power yang seimbang, ada tidaknya ganti rugi ketika

akad diberhentikan, serta mekanisme penanggungan risiko jika terjadi kerugian.

Hal ini dikarenakan masih terdapat beberapa aspek yang belum

memenuhi kriteria adil seperti dari aspek transparansi objek bagi hasil,

transparansi jangka waktu bagi hasil, proporsionalitas nisbah bagi hasil yang

ditetapkan, kesetaraan bargaining power di antara kedua belah pihak, serta

mekanisme penanggungan risiko kerugian yang belum sesuai dengan syariat

Islam. Salah satu aspek yang menjadi elemen utama dari penilaian keadilan,

yaitu nisbah bagi hasil yang proporsional juga masih belum terpenuhi. Oleh

karena itu, masih dibutuhkan beberapa langkah perbaikan dan penyesuaian

dengan nilai-nilai keadilan dalam Islam pada sistem bagi hasil yang diterapkan

agar sistem bagi hasil perikanan di Desa Topejawa dapat menjadi sistem bagi

hasil usaha perikanan yang berkeadilan.

96
97

6.2 Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan

sebelumnya, maka terdapat beberapa hal yang masih harus menjadi perhatian

dalam mewujudkan sistem bagi hasil usaha perikanan yang berkeadilan:

Pertama, perlu adanya perhitungan yang lebih mendalam oleh masing-

masing pihak yang terlibat dalam bagi hasil usaha perikanan mengenai nisbah

bagi hasil agar nisbah yang ditetapkan benar-benar proporsional dan tidak

merugikan salah satu pihak

Kedua, pemerintah sebaiknya memberikan perhatian lebih terhadap

sektor perikanan sebagai salah satu megasektor yang dimiliki Indonesia dengan

membuat kebijakan-kebijakan yang pro terhadap nelayan sehingga

kesejahteraan nelayan dapat meningkat dan investor tertarik untuk berinvestasi

di bidang perikanan.

Ketiga, perlu diadakan beberapa kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang

berkelanjutan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dari nelayan

untuk meningkatkan bargaining power nelayan khususnya yang berprofesi

sebagai nelayan sawi.

Keempat, perlunya dilakukan edukasi kepada warga terutama yang

merupakan pemilik faktor produksi mengenai bagaimana seharusnya sistem bagi

hasil perikanan dijalankan menurut perspektif Islam. Sehingga kondisi-kondisi

yang dapat merugikan nelayan akibat bentuk perjanjian yang belum adil dapat

diminimalisir
98

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur‟anul Karim dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI.

Antonio, Muhammad, Syafi‟i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani.

Arfiana. Maria. 2008. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Mudharabah


Hasil Tangkapan Ikan di Desa Morodemak Kecamatan Bonang
Kabupaten Demak. Skripsi. Semarang: Fakultas Syari‟ah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo.

Arifin, A. 2014. Perangkap Kemiskinan dan Kekerasan Struktural di Balik Relasi


Kerja Pinggawa-Sawi. Jakarta: Orbit Publishing Jakarta.

Astuti, P. 2008. Pola Hubungan Patron-Client dalam Upaya Pengelolaan


Sumberdaya Perikanan di Desa Tanjung Luar Kabupaten Lombok Timur
Nusa Tenggara Barat. Semarang: Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan. Universitas Diponegoro.

Dahuri, Rokhmin. 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui


Sektor Perikanan dan Kelautan. LISPI

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Desa Topejawa. 2019. Laporan Pekerjaan Pemetaan Spasial Tematik Desa.


Takalar: Tim Ahli Pemetaan.

Hafidhuddin, Didin, dan Hendri Tanjung. 2003. Manajemen Syari‟ah dalam


Praktik, Jakarta: Gema Insani Press
Handayani, Andi Sri Wahyuni. 2013. Penyesuaian Konsep Bagi Hasil Adat
dengan Syariah; Upaya Penerapan Nilai Keadilan Bagi Petani
Penggarap di Sidenreng Rappang. Skripsi. Makassar: Fakultas Ekonomi
dan Bisnis Universitas Hasanuddin.
Hasan, Putri Purwandari. 2018. Sistem Bagi Hasil Berkeadilan Pada Usaha
Pertanian di Kelurahan Takkalasi, Kecamatan Balusu, Kabupaten Barru.
Skripsi. Makassar: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Hasanuddin.

Ikatan Akuntansi Indonesia. 2007. Standar Akuntansi Keuangan : Per 1


September 2007. Jakarta : Salemba Empat

Ikatan Akuntansi Indonesia. 2019. PSAK 105: Akuntansi Mudharabah.


http://iaiglobal.or.id/v03/standar-akuntansi-keuangan/pernyataan-sas-68-
psak-105-akuntansi-mudharabah. Jakarta (Diakses pada 12 Mei 2020)
Irmayanti. 2010. Sistem Bagi Hasil antara Pemilik Lahan dengan Petani
Penggarap Usahatani Lahan Sawah di Desa Bonto Tallassa,
99

Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros. Seminar Hasil Praktek


Lapangan. Makassar: Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin.

Karnaen, Perwataatmadja, A. 1996. Membumikan Ekonomi Islam Di Indonesia.


Depok: Usaha Kami

Khadduri, Majid. Tanpa Tahun. Teologi Keadilan, Perspektif Islam. Terjemahan


oleh Mochtar Zoerni dan Joko S. Kahhar. 1999. Surabaya: Risalah Gusti

Khasanah, Umrotul. 2010. Sistem Bagi Hasil dalam Syariat Islam. Jurnal Syariah
dan Hukum, (Volume I, Nomor 2): 8.

Karim, Helmi. 2002. Fiqih Muamalah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terjemahan R. Subekti, 2002.

Kusnadi (ed). 2004. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan


Sumberdaya Perikanan. LKIS. Yogyakarta.

Linrung, Tamsil. 2007. Potret Ketertinggalan Nelayan Kita. Jakarta: Hanan Press

Listianingsih, Windi. 2008. Sistem Pemasaran Hasil Perikanan dan Kemiskinan


Nelayan. Skripsi. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut
Pertanian Bogor.

Masyhuri. 1999. Usaha Penangkapan Ikan di Jawa dan Madura: Produktivitas


dan Pendapatan Buruh Nelayan, Masyarakat Indonesia, XXIV, No.1.

Muhammad. 2016. Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syariah. Yogyakarta: UII
Press Yogyakarta.

Muhammad. 2004. Dasar-Dasar Keuangan Islam. Yogyakarta: Ekonisia Kampus


Fakultas Ekonomi UII

Mulyadi S. 2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Muslich, Ahmad, Wardi. Fiqh Muamalah. 2015. Jakarta: Amzah.

Nasikun, Dr. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga. PT. Tiara
Wacana.Yogyakarta.

Nawawi, Ismail. 2012. Perbankan Syariah: Isu-isu Manajemen Fiqh Muamalah


Pengkayaan Teori Menuju Praktik. Jakarta: Dwiputra Pustaka Jaya.

Nurhayati, Sri dan Wasilah. 2016. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta:


Penerbit Salemba Empat

P3EI UII Yogyakarta. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor


Per.05/Men/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap. 2008. Jakarta:
Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
100

Rofiq, Ahmad. 2004. Fiqih Kontekstual. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rohmatin, Anisatur. 2008. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Bagi


Hasil Pengelolaan Lahan Tambak (Studi di Desa Tluwuk Kec.
Wedarijaksa Kab Pati). Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Sabiq, Sayyid. 2011. Fiqih Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara

Saeed, Abdullah. 2008. Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis Interpretasi
Kontemporer tentang Riba dan Bunga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Satria, Arif .2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: PT Pustaka


Cidesindo

Sangadji, Etta, Mamang dan Sopiah. 2010. Metodologi Penelitian Pendekatan


Praktis dalam Penelitian. Yogyakarta: CV Andi Offset.

Shihab, M. Quraish. 1996. Wawasan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan.

Susilo, Edi. 2004a. Membangun Adaptor Sosial Pintu Masuk Mengentaskan


Kemiskinan Nelayan. Dalam Kusnadi (ed.), Polemik Kemiskinan
Nelayan (Hal. 40). Bantul: Pondok Edukasi & Pokja Pembaruan.

Susilo, Edi. 2004b. Perlu Manajemen Perikanan Berkelanjutan di Jawa Timur.


Dalam Kusnadi (ed.), Polemik Kemiskinan Nelayan(Hal. 26). Bantul:
Pondok Edukasi & Pokja Pembaruan.

Sujarno . 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan


Di Kabupaten Langkat,Tesis S2 EP USU. Medan

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil


Perikanan. 1964. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2019 tentang Perikanan.


2004. Jakarta: Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.
(Online). (http://jdih.kkp.go.id/peraturan/uu-2009-45.pdf Diakses pada
tanggal 15 April 2019)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 1960 tentang tentang


perjanjian bagi hasil. 2004. Jakarta: Departemen Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia. (Online). (https://peraturan.bpk.go.id/
Diakses pada tanggal 17 April 2019)

Widiastuti, Retno, dan Latifathul Roshidah. 2008. Sistem Bagi Hasil Pada Usaha
Perikanan Tangkap Di Kepulauan Aru. Jakarta Utara: Balai Besar Riset
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.

Zakaria, Nur Khusnul Khatimah.2014. Analisis Bagi Hasil Usaha Perikanan


Tangkap Dalam Perspektif Nilai Keadilan Islam (Studi Kasus pada UD
101

AISHA di Kabupaten Sinjai). Skripsi. Makassar. Fakultas Ekonomi dan


Bisnis Universitas Hasanuddin.

Zuhaily, Wahbah. 2013. Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 4. Terjemahan Abdul


Hayyie Al-Kattani. Jakarta: Gema Insani Press
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 : DAFTAR INFORMAN

DAFTAR INFORMAN
PEMILIK KAPAN DAN PENGELOLA

a) Daftar Narasumber Kelompok Pemilik Modal / Punggawa Lompo

JUMLAH PUNGGAWA
NO. NAMA UMUR
CA’DI/NAHKODA

1. Yusuf Dg Nompo 43 Tahun 58 Orang

2. H. Sumarlin Dg Se‟re 50 Tahun 25 Orang

3. Indar Dg Tinri 48 Tahun 15 Orang

b) Daftar Narasumber Kelompok Nahkoda Kapal / Punggawa Ca’di

NAMA HUBUNGAN
NO JUMLAH DENGAN
NAMA UMUR PUNGGAWA
. PUNGGAWA
SAWI LOMPO LOMPO
Nurdin Dg
1. 37 6 Orang Yusuf Dg Nompo Sepupu
Tobo
Muis Dg
2. 40 6 Orang Yusuf Dg Nompo Sepupu
Nya‟la

c) Daftar Narasumber Kelompok Anak Buah Kapal / Sawi

HUBUNGAN
N UMUR NAMA PUNGGAWA DENGAN
NAMA
O. PUNGGAWA
75
1. Yakasa Dg Maling Yusuf Dg Nompo Kakek
Tahun
53
2. Dorasa Dg Kalu Indar Dg Tinri -
Tahun
19
3. Ramli Dg Ngalli Nurdin Dg Tobo Saudara
Tahun
37
4. Syarifuddin Dg Sarro Muis Dg Nya‟la -
Tahun
55
5. Yunus Dg Taba Yusuf Dg Nompo Paman
Tahun
54
6. Jahar Dg Buang Nurdin Dg Tobo Ayah
Tahun
20
7. Kasman Nurdin Dg Tobo -
Tahun
LAMPIRAN 2 : DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA

DAFTAR PERTANYAAN KEPADA PUNGGAWA

1. Bagaimana sistem perekrutan nelayan yang Anda lakukan ?

2. Apakah di awal perjanjian sudah ditetapkan terlebih dahulu berapa lama

perjanjian bagi hasil berlangsung ?

3. Apakah perjanjian kerjasama yang dijalankan oleh Anda sebagai pemilik

kapal dengan memberikan seluruh modal, kemudian keuntungan dibagi

bersama sedangkan kerugian ditanggung oleh Anda ?

4. Berapa jumlah investasi dalam pengadaan satu unit kapal?

5. Siapakah yang menanggung seluruh biaya-biaya dan biaya apa saja yang

Anda tanggung ?

6. Menurut Anda sebagai pemilik kapal kerjasama yang dijalankan sudah

dirasa adil, transparan, dan menguntungkan ?

7. Apabila terjadi kerusakan pada perahu, siapakah yang bertanggung jawab,

berapa persen yang Anda terapkan dari hasil yang didapatkan ?

8. Bagaimana mekanisme penentuan bagi hasil yang disepakati ?

9. Bagaimana proporsi nisbah bagi hasil yang Anda terapkan ?

10. Berapa harga jual ikan per kilogramnya ?

11. Jenis kapal apa yang bapak miliki yang digunakan nelayan untuk pergi

melaut?

12. Berapa jumlah nelayan yang pergi melaut ?

13. Apakah Anda mencatat setiap pengeluaran dan pemasukan yang diperoleh

14. Berapakah rata-rata penghasilan yang diperoleh dalam sekali berlayar?


15. Apakah Anda pernah mendapat nelayan Anda yang tidak jujur melaporkan

hasil tangkapannya ?

16. Apakah pernah ada sosialisasi dari Pemerintah tentang UU Bagi Hasil

Perikanan ?

DAFTAR PERTANYAAN KEPADA SAWI

1. Bagaimana awalnya Anda direkrut oleh pemilik kapal ?

2. Apakah ada kesepakatan perjanjian di awal ketika Anda direkrut ?

3. Apakah batas waktu kerjasama ditentukan dalam akad ?

4. Sebagai nelayan dalam bentuk apa saja modal yang Anda berikan ?

5. Apakah menurut Anda sebagai nelayan kerjasama yang dijalankan sudah

dirasa adil dan transparan ?

6. Siapa yang menanggung perbaikan kapal dan berapa persen yang

dikeluarkan dari hasil tangkapan ?

7. Apakah keuntungan yang didapat diketahui secara jelas ?

8. Apakah nisbah bagi hasil di dalam kerjasama ini disepakati bersama dan

menguntungkan Anda tanpa merugikan Anda ?

9. Apakah Anda merasa puas dengan pembagian hasil tangkapan yang

didapatkan ?

10. Bagaimana jika terjadi pelanggaran dalam hal pembagian hasil, atau tidak

sesuai dengan pendapat Anda, apakah Anda melakukan komplain atau

menerima begitu saja ?

11. Sebagai nelayan apakah penghasilan yang diperoleh dari sistem

kerjasama ini mampu memenuhi kebutuhan Anda dan keluarga ?

12. Jika hasil tangkapan ikan yang didapatkan hanya untuk memenuhi

kebutuhan hari itu saja, bagaimanakah sistem bagi hasilnya ?


13. Selain menjadi nelayan, apakah Anda memiliki pekerjaan lain ?

14. Kalau hari itu perahu yang Anda gunakan tidak pergi melaut apakah Anda

ikut melaut di perahu yang lain ?

15. Apakah pernah ada kasus pemilik kapal menghentikan perjanjiannya ?

16. Apakah ada asuransi keselamatan kerja yang diberikan oleh Pemilik

Kapal ?

17. Apakah pernah ada sosialisasi dari Pemerintah tentang UU Bagi Hasil

Perikanan ?

18. Jenis kapal apa yang Anda gunakan dalam melaut ?


LAMPIRAN 3 : BIODATA

BIODATA

IDENTITAS DIRI
Nama : Samsuddin Yunus
Tempat Tanggal Lahir : Takalar, 04 Agustus 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dusun Lamangkia, Desa Topejawa,
Kecamatan Mangarabombang, Takalar.
Telepon : 085244635811
Alamat Email : ampabakery@gmail.com

RIWAYAT PENDIDIKAN
- Pendidikan Formal

1. SD NO.178 Inpres Lamangkia

2. SMP Negeri 1 Mangarabombang

3. SMA Negeri 1 Takalar

- Pendidikan Nonformal

1. Basic Character and Study Skill (BCSS), Universitas Hasanuddin (2014)

2. Diklat Ekonomi Islam (DEI) Forum Studi Ekonomi Islam, Universitas

Hasanuddin (2014)

3. Sharia Economic Leadership Training (SELT) Forum Studi Ekonomi

Islam, Universitas Hasanuddin (2015)

4. Latihan Kepemimpinan (LK) Tk. I Ikatan Mahasiswa Akuntansi,

Universitas Hasanuddin (2015)

5. “Sociopreneur Camp”, Beastudi Etos Dompet Dhuafa (2016)

6. “Business Matching dan Business Coaching”, Badan Ekonomi Kreatif

dan BNI Syariah (2019


- Riwayat Prestasi

1. The Best Participant pada Forum Group Discussion (FGD)

Ekonomi Islam yang diselenggarakan oleh Forum Silaturahmi Studi

Ekonomi Islam (FoSSEI) Sulawesi Selatan.

2. Delegasi Universitas Hasanuddin pada Andalas Accounting

National Events (ACCOUNTS) 2019 yang diselenggarakan oleh

Himpunan Mahasiswa Akuntansi Universitas Andalas Padang.

PENGALAMAN
- Organisasi

1. Ikatan Mahasiswa Akuntansi

- Keluarga Mahasiswa 2014-Sekarang

2. Forum Studi Ekonomi Islam (FoSEI) Universitas Hasanuddin

- Staff Dept. Hubungan Eksternal Periode 2014-2015

- Koordinator Hubungan Eksternal Forum Studi Ekonomi Islam

Universitas Hasanuddin Periode 2015-2016

3. Lembaga Dakwah Mahasiswa (LDM) AL AQSHO Universitas

Hasanuddin

- Koordinator Dept. Hubungan Masyarakat Periode 2016-2017

4. Gema Keadilan Sulawesi-Selatan

- Bendahara Umum Gema Keadilan Sulawesi-Selatan Periode 2020-

Sekarang
- Kerja

1. Tenaga Ahli Fraksi DPRD Kabupaten Takalar (2019-Sekarang)

Demikian biodata ini dibuat dengan sebenarnya.

Takalar, 18 Mei 2021

Samsuddin Yunus

Anda mungkin juga menyukai