SAMSUDDIN YUNUS
DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
SKRIPSI
SAMSUDDIN YUNUS
A31114010
kepada
DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
ii
SKRIPSI
SAMSUDDIN YUNUS
A31114010
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Alimuddin, S.E., M.M., Ak. Dr. Syamsuddin, S.E., M.Si., Ak.,CA.
NIP 19591208 198601 1 003 NIP 19670414 199412 1 001
iii
SKRIPSI
SAMSUDDIN YUNUS
A31114010
iv
PERNYATAAN KEASLIAN
adalah karya ilmiah saya sendiri dan sepanjang pengetahuan saya di dalam
naskah skripsi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan orang lain
untuk memperoleh gelar akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis dan diterbitkan oleh orang lain, kecuali
yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber
kutipan dan daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari ternyata di dalam naskah skripsi ini dapat dibuktikan
terdapat unsur-unsur jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut dan diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (UU No. 20 Tahun 2003, pasal 25 ayat 2 dan pasal 70).
Samsuddin Yunus
v
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim…
Puji syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas
skripsi yang merupakan tugas akhir peneliti sebagai mahasiswa. Shalawat dan
salam semoga Allah curahkan kepada Rasulullah saw, keluarga dan para
Hasanuddin. Lebih daripada itu, peneliti juga berharap skripsi ini dapat memberi
sedikit kontribusi terhadap upaya penerapan nilai-nilai Islam secara kaffah dalam
singkat dan mudah. Peneliti telah banyak memperoleh, dukungan, doa, dan
bantuan baik itu secara langsung maupun tidak langsung dalam setiap proses
penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini ucapan terima
2. Bapak Prof. Dr. Alimuddin, S.E., M.M., Ak. selaku pembimbing I, dan
vi
dalam penyelesaian skripsi ini
skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah berjasa
adalah milik Allah swt, dan kekurangan adalah milik peneliti. Semoga skripsi ini
diridhai oleh Allah SWT dan dapat memberikan manfaat bagi peneliti maupun
Samsuddin Yunus
vii
ABSTRAK
Samsuddin Yunus
Alimuddin
Syamsuddin
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan nilai keadilan Islam dalam
sistem bagi hasil usaha perikanan di Desa Topejawa Kecamatan
Mangarabombang Kabupaten Takalar. Metode penelitian ini dilaksanakan
dengan wawancara yang didukung dengan studi pustaka yang berasaskan Al
Qur‟an dan As-Sunnah untuk menentukan apakah sistem bagi hasil yang
diterapkan merupakan sistem bagi hasil berkeadilan yang sesuai dengan syariah
Islam. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer
yang dikumpulkan dengan metode wawancara dan dokumentasi. Data yang
diperoleh kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif dan diukur berdasarkan
elemen-elemen penilaian keadilan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sistem bagi hasil punggawa-sawi yang diterapkan
di Desa Topejawa masih belum sepenuhnya memenuhi kriteria sebagai sistem
bagi hasil usaha berkeadilan dikarenakan terdapat beberapa aspek yang belum
memenuhi elemen keadilan. Oleh karena itu dibutuhkan beberapa langkah
penyesuaian untuk menjadikan sistem bagi hasil yang diterapkan sebagai sistem
bagi hasil berkeadilan sesuai syariat Islam
Kata kunci: bagi hasil, perikanan, punggawa, sawi, keadilan, elemen penilaian
viii
ABSTRACT
Samsuddin Yunus
Alimuddin
Syamsuddin
This study examines the implementation of Islamic justice value in the system of fisheries
business profit sharing in Topejawa Village, Mangarabombang District, Takalar Regency.
This research method is conducted through interview supported by Al Qur’an and As-
Sunnah to determine whether the profit sharing system applied is a system of fair
sharing in accordance to Islamic shari’a. The data used in this research is primary data
collected by interview and documentation method. The data obtained are then analyzed
descriptively qualitatively and measured based on predetermined elements of judicial
assessment. The result of the research shows that Punggawa-Sawi profit sharing system
applied in Topejawa village does not fulfill the criteria of profit sharing system because it
has several aspects that do not fulfill the requirements. Therefore it takes several
adjustment steps turning the profit sharing system into a system of fair sharing
according to Islamic Shari’a
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ iii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................... v
PRAKATA .................................................................................................... vi
ABSTRAK .................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................. ix
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTRA TABEL .......................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xiii
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................ xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
x
BAB IV GAMBARAN UMUM PELAKSANAAN SISTEM BAGI HASIL
PERIKANAN TANGKAP ............................................................ 45
xi
DAFTAR TABEL
Tabel
4.1 Rincian Biaya Investasi yang Dikeluarkan dalam Pengadaan Satu
Unit Kapal Penyelam Tembak ......................................................... 55
4.2 Rincian Biaya Produksi yang Ditanggung Bersama Punggawa-
Sawi ................................................................................................ 56
5.1 Nilai Depresiasi Sarana Produksi Perikanan di Desa Topejawa ...... 73
5.2 Persentase Kontribusi Biaya yang Dikeluarkan Masing-Masing
Pihak dalam Akad Bagi Hasil Usaha Perikanan di Desa Topejawa . 74
5.3 Hasil Analisis Keadilan Sistem Bagi Hasil Usaha Perikanan............ 92
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar
4.1 Citra Desa Topejawa ....................................................................... 46
5.1 Nisbah pada Produk BNI Syariah iB Hasanah ................................. 79
5.2 Input Simulasi Pendanaan Produk BNI Deposito iB Hasanah 1
Bulan .............................................................................................. 80
5.2 Output Simulasi Pendanaan Produk BNI Deposito iB Hasanah 1
Bulan .............................................................................................. 80
xiii
DAFTAR ISTILAH
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Data Informan .................................................................................
2. Daftar Pertanyaan Wawancara........................................................
3. Biodata ............................................................................................
xv
BAB I
PENDAHULUAN
sebanyak 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik, 2017) serta mempunyai garis
pantai terpanjang kedua setelah Kanada, yaitu 99.093 km (BIG, 2016a). Kondisi
ini menjadikan laut Indonesia memiliki sumber daya laut dan pesisir serta
keanekaragaman hayati yang begitu besar. Tidak heran jika pada tahun 2016
negara tertinggi kedua dunia yang memiliki produksi perikanan pada perairan
laut dan menjadi negara yang mempunyai produksi perikanan tangkap ketujuh
didunia pada perairan umum. Lebih lanjut, sektor perikanan menjadi salah satu
sektor yang cukup kontributif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Pada Tahun 2016, kontribusi sektor perikanan dalam PDB Indonesia mencapai
menguatkan bahwa sektor perikanan merupakan mega sektor yang sangat vital
perikanan dan bentuk produksi lainnya. Banyak sekali rahmat Allah yang
1
2
bahwa Allah SWT menciptakan laut agar umat manusia dapat menggali potensi
laut dan mencari karunia atau rezeki yang Allah hamparkan di tengah laut
terus dilakukan melalui berbagai program kebijakan. Salah satu kebijakan yang
akses permodalan usaha, (b) perluasan akses masyarakat terhadap IPTEK dan
dengan kategori miskin (Linrung, 2007:29). Lebih dari itu, kelompok nelayan
tangkapan yang telah diperoleh. Salah satu penyebab masalah ini disebabkan
oleh problema klasik yang belum terselesaikan hingga saat ini, yaitu masalah
3
permodalan. Sebagai ilustrasi, ketika ia harus menambah jumlah hari kerja maka
perbekalan. Jika ia memaksakan diri untuk menambah hari kerja maka secara
modal. Dalam hal ini kalangan rentenir menjadi “mitra” utama sekalipun sangat
mencekik. Dan jika harus berhubungan dengan bos tertentu dalam konteks
pinjaman, hal ini tidaklah mudah. Oleh sebab itu salah satu langkahnya adalah
mensub koordinat diri pada tengkulak yang pada kondisi tertentu akan
kedua belah pihak yang bersifat eksploitatif bagi nelayan dipandang sebagai
menjadikan mata rantai panjang yang terus memperburuk kaum nelayan selama
ini. Memutus mata rantai ini tentu bukan perkara yang mudah namun jika
dibiarkan begitu saja akan semakin memperbesar masalah yang dihadapi para
mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada pula
4
pihak yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola
sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar mereka dapat
memanfaatkan sebagian yang lain” (Q.S. Az-Zukhruf [43] : 32). Selain itu anjuran
dengan harta tersebut mereka dapat memegang peranan penting dalam sektor-
yaitu: juragan dan buruh. Strata sosial seperti ini cukup variatif di setiap daerah.
punggawa lompo (pemilik perahu dan alat produksi), punggawa caddi (pemimpin
yang tergolong kategori sawi adalah mereka yang memiliki status sosial rendah
Sehingga mereka tidak mempunyai pilihan pekerjaan lain, selain sebagai nelayan
buruh, baik di atas kapal maupun di tempat pendaratan ikan guna mencukupi
kebutuhan hidupnya.
Pola hubungan kerja antara punggawa dan sawi ini dalam penentuan
diberlakukan. Karena itu, pengaturan sistem bagi hasil usaha perikanan harus
Usaha Perikanan yang termuat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang nomor
ini belum mampu teratasi secara signifikan. Hal ini disebabkan penerapan sistem
bagi hasil yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, serta adanya
ketidakadilan. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Aprilia dalam Rahmadani (2016)
kerjanya, apabila hasil yang diperoleh nelayan banyak maka mudah dalam
membagi hasil usahanya artinya ada barang atau hasil usaha yang akan dibagi
kepada juragan dan nelayan. Akan tetapi dalam usaha sebagai nelayan tidak
tentu dan apabila tidak mendapatkan tangkapan sama sekali, maka dalam hal ini
juragan yang rugi dalam uang pembekalan dan bagi nelayan yang
kedudukannya sebagai pekerja (ABK) rugi dalam hal tenaga. Hasil penelitian
Utara tentang pendapatan dari sistem bagi hasil nelayan bermotor 5 GT dan 5-9
sangatlah timpang diterima antara pemilik perahu (pemilik modal) dan nelayan
setengah atau separuh penghasilan juga memperoleh 15% dari jumlah hasil
Hal tersebut membuat para pemilik perahu semakin sejahtera dan di sisi
Padahal Islam melarang perolehan harta kekayaan dengan cara yang batil,
saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil. Kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian” (Q.S.
Bagi hasil merupakan salah satu parktik dan komponen dalam sistem
7
sektor usaha atau lembaga bisnis yang menerapkan bagi hasil dalam usahanya
Islam. . Rohmatin (2008) menyatakan bahwa bagi hasil merupakan usaha yang
dan tidak saling merugikan satu sama lain. Apabila pelaksanaan proses bagi
hasil ini benar-benar dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Al-Qur‟an dan As-
PDRB kabupaten Takalar tahun 2016, yaitu sebesar 50,32%. Kedua, desa
punggawa dan sawi di desa tersebut. Dengan demikian sistem bagi hasil di desa
untuk dijadikan sebagai salah satu indikator dalam upaya memotret kesesuaian
penerapan nilai-nilai Islam pada sistem bagi hasil pada masyarakat nelayan
untuk mengkaji bagaimana sistem bagi hasil punggawa sawi dalam usaha
kabupaten Takalar?
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, maka tujuan dari penelitian ini
untuk mengetahui sistem bagi hasil punggawa sawi dalam usaha perikanan
Takalar.
1. Peneliti
terkait bagi hasil punggawa sawi dalam usaha perikanan. Selain itu, peneliti
2. Pengembangan Ilmu
hasil berkeadilan pada sistem bagi hasil usaha perikanan, sehingga dapat
terkait.
3. Masyarakat
menjalankan sistem bagi hasil usaha perikanan, baik itu masyarakat yang
Islam. Dengan demikian, hal itu diharapkan dapat menciptakan kerja sama
kesejahteraan.
4. Pemerintah
sistem bagi hasil usaha perikanan yang diyakini dapat menjadi jalan untuk
yang akan diteliti dibatasi hanya pada komunitas punggawa sawi di Desa
Skripsi ini terdiri atas enam bab yang tersusun secara sistematis yaitu
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini memberi uraian mengenai latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penulisan.
Bab ini merupakan uraian mengenai landasan teori dari proses peninjauan
pustaka berupa teori-teori yang relevan sebagai landasan dalam penelitian ini,
penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, serta teknik analisis
data.
Bab ini memuat tentang gambaran umum proses produksi perikanan serta sistem
Bab ini memuat tentang penilaian keadilan terhadap sistem bagi hasil punggawa-
BAB VI PENUTUP
Bab ini berisi kesimpulan dan saran dari hasil penilaian keadilan pada sistem
Topejawa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengantar
perikanan yang berlaku selama ini, belum mampu menciptakan bagi hasil yang
yang dilakukan harus dilandaskan pada nilai-nilai Islam. Dalam hal ini peneliti
Pada bab ini akan disajikan mengenai tinjauan pustaka tentang kerangka
permasalahan yang ada. Penelitian mengenai bagi hasil punggawa sawi pada
perikanan secara umum, konsep bagi hasil perikanan, konsep keadilan, serta
12
13
perikanan sangat beragam dan berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.
adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
pula disimpulkan bahwa usaha perikanan tangkap adalah usaha perikanan yang
terdiri atas dua macam berdasarkan skala usaha yaitu perikanan skala besar dan
14
cara serupa dengan perusahaan agroindustri yang secara relatif lebih padat
sederhana, baik untuk pemilik perahu maupun awak perahu, serta kebanyakan
menghasilkan ikan berupa ikan kaleng atau ikan beku yang nantinya akan
terletak di daerah pedesaan dan pesisir, dekat danau, di pinggir laut dan muara.
Usaha ini tampak khas karena bertumpang tindih dengan kegiatan lain seperti
pertanian, peternakan dan budidaya ikan, biasanya sangat padat karya dan
menggunakan es atau fasilitas kamar pendingin) dan akibat yang berarti bagi
panenan usaha perikanan skala kecil ini sungguh berarti, mereka menghasilkan
ikan yang dapat diawetkan dan ikan untuk konsumsi langsung manusia.
terutama nelayan tradisional dan buruh nelayan. Sejalan dengan hal tersebut,
perikanan tidak harus bertumpu pada sektor perikanan semata, tetapi hendaknya
sulit dilakukan maka dapat dimulai pada level yang paling bawah, yaitu
kelembagaan masyarakat.
15
Nelayan adalah orang yang hidup dari mata pencaharian hasil laut
modal, yang terdiri dari nelayan pemilik modal atau juragan dan nelayan buruh.
Menurut Satria (2002:25), nelayan pemilik atau juragan adalah orang yang
lainnya. Sementara nelayan buruh adalah orang yang menjual jasa tenaga kerja
sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan dilaut, atau disebut juga
sebagai buruh dalam kegiatan penangkapan ikan dilaut, atau disebut juga Anak
antara pemilik faktor produksi (kapal, alat tangkap) dengan buruh nelayan.
Timur, Elfiandri tahun 2002 di pantai barat Sumatera Barat dan Iwan tahun 2002
tahun 1984 membuktikan hal ini melalui hasil penelitiannya di dua desa pantai di
dan Demak pada tahun 1997. Dimana dampak modernisasi perikanan itu telah
baru, yaitu adanya buruh nelayan dan punggawa serta perubahan sumber
yang sangat terbelakang dan miskin secara sosial-ekonomi. Disisi lain terdapat
daerah yang relatif maju, ditandai oleh industrialisasi dan kawasan perkotaan
Perikanan sebagai bidang yang bergerak di sektor riil, tak luput adanya
prinsip kerjasama bagi hasil. Alasan yang mendasari terjadinya kerjasama ini
Menurut istilah bahasa, bagi hasil adalah suatu sistem yang meliputi tata
cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dan pengelola dana (Ahmad
Rofiq, 2004; 153). Sedangkan menurut terminology asing (inggris) bagi hasil
dikenal dengan profit sharing. Dalam kamus ekonomi, profit sharing diartikan
bagian dari laba (profit) para pegawai dari suatu perusahaan”. Lebih lanjut
dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang
didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat
dapat didefinisikan sebagai bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik
18
bahwa nelayan memilih sistem bagi hasil dalam menentukan imbalan kerja yang
mereka lakukan; kedua, adalah sifat spekulatif yang kuat dan mengakar dalam
kehidupan nelayan; dan ketiga, adalah hasil tangkapan yang diperoleh dari
usaha rakyat sektor penangkapan ikan masih tidak menentu. Sedangkan alasan
dari juragan yang lebih suka memilih sistem bagi hasil adalah sebagai usaha
untuk menghindari kerugian. Dengan ini, penerapan upah bagi juragan berarti
bagi hasil perikanan tangkap hanya berpedoman pada kebiasaan setempat yang
sudah berlaku sejak lama atas kesepakatan dan kepercayaan antara pemilik
kapal dengan nelayan penggarap yang dilakukan secara lisan. Sistem bagi hasil
dari kegiatan penangkapan ikan antara pemilik kapal dengan nelayan penggarap
berbeda berdasarkan jenis alat tangkap yang dipakai oleh nelayan. Sistem
bersih setelah dikurangi ongkos serta biaya perawatan. Kemudian hasil bersih
tersebut dibagi dua, 50% untuk pemilik kapal, dan 50% untuk nelayan
dan kemampuannya.
19
Sistem bagi hasil yang lebih besar diterima pemilik atau 50%, masih
Karena 50 % masih dibagi dengan nahkoda dan jumlah ABK yang bekerja
tujuan yang tentunya akan lebih mudah dicapai apabila dilaksanakan bersama-
hak dan kewajiban masing-masing pihak menurut Mustafa dan Arief (2017:77-
daya tarik utama dari sawi untuk bergabung dengan seorang punggawa tersebut.
20
dari para sawi. Selain itu punggawa juga dapat memecat para sawinya bahkan
para sawi. Seorang punggawa juga memiliki kehormatan yang lebih tinggi
Bontomarannu.
Menjadi sebagai seorang sawi dari salah satu punggawa atau kelompok
laut. Selain itu, seorang sawi memiliki kewajiban lainnya yang dilaksanakan di
kegiatan keluarganya.
pekerjaan ang bersifat sukarela dari para sawi tanpa memikirkan mendapatkan
imbalan ataupun gaji yang lebih dari punggawa. Hal ini sebagai bentuk kesetiaan
seorang sawi kepada punggawanya untuk menjaga hubungan yang baik dan
tersebut.
kelompok nelayan, sawi berhak mendapatkan bagi hasil dari hasi tangkapan
21
melain. Selain itu, seorang sawi juga mendapatkan pemberian pinjaman baik
ekonomi yaitu, produksi, distribusi barang maupun jasa. Salah satu bentuk
kerjasama dalam bisnis ekonomi Islam adalah qiradh atau mudharabah. Melalui
qiradh atau mudharabah kedua belah pihak yang bermitra tidak akan
mendapatkan bunga, tetapi mendapatkan bagi hail atau profit sharing dari
melakukan usaha Yadhrib Fil Ardhi (berjalan dimuka bumi) dengan bepergian
adalah kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal
investor dan mudharib berdasarkan proporsi yang telah disetujui Bersama. Dan
2008: 91).
22
a. Mazhab Hanafi: mudharabah adalah suatu akad (kontrak) dan mereka juga
fisik dari satu pihak atas modal dari pihak yang lain, namun tidak
yang melakukan kontrak dan syarat yang harus dipenuhi pada modal.
menyebutkan persyaratan yang harus dipenuhi dari kedua belah pihak yang
melakukan akad.
tidak menyebutkan apa yang harus dipenuhi dari persyaratan kedua belah
pembagian keuntungan.
yaitu dengan bagian yang tertentu jelas sesuai dengan kesepakatan antara
kontrak usaha antar dua pihak, salah satu pihak menyediakan modal dan pihak
23
a. Al-Qur’an
mudharabah khususnya pada anjuran untuk melakukan usaha yaitu firman Allah
dalam surah Al-Baqarah ayat 282-283: “Hai orang-orang beriman, apabila kamu
bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya…” dan surah Al-Baqarah ayat 283: “akan tetapi jika sebagian
kamu mempercayai sebagian yang lain. Maka hendaklah yang dipercayai itu
Tuhannya”. Kemudian di ayat yang lain dalam surah Al-Muazammil ayat 20: “dan
dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi sebagian mencari karunia Allah
SWT…” yang menjadi wajhud-dialah atau argument dari surah Al-Muzammil :20
adalah adanya kata yadribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang
berarti melakukan suatu perjalanan usaha. Kemudian, ayat lain yang juga
dalam surah Al-Baqarah ayat 198: “tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk
mencari karunia Tuhanmu…” dan surah Al-Jumuah ayat 10: “apabila telah
ditunaikan sholat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia
Allah SWT…” surah Al-Jumuah ayat 10 dan Al-Baqarah ayat 198 sama-sama
24
saling membantu antara pemilik modal orang yang memutarkan uang untuk
perjalanan usaha.
b. Hadist
sebagian barang dagangan Siti Khadijah dari Mekkah ke Negeri Syam. Barang
dagangan itu dijadikan modal usaha oleh Nabi untuk diperdagangkan dan
hasilnya dibelikan barang dagangan lainnya untuk dijual lagi di pasar Bushra di
Negeri Syam. Setelah beberapa lama, Nabi kembali ke Mekkah membawa hasil
usahanya dan dilaporkan kepada Siti Khadijah. Kemudian harta yang telah
semula di kembalikan kepada yang punya, sedang selisihnya di bagi antara yang
punya harta (rabbul maal) dengan yang mengelola (mudharib) sesuai dengan
hadist yang diriwayatkan dari Shalih Bin Radhiyallahu Anhu Rasulullah bersabda,
tiga hal yang terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradhah dan
tercampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah bukan untuk dijual
c. Ijma’
Mudharib) harrta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorangpun
1989:838).
d. Qiyas
dengan cara yang benar dan adil sehingga menguntungkan antara dua belah
pemilik modal dan pengelola, mudharabah terbagi atas dua jenis, yaitu:
(aqid). Contohnya seperti kata pemilik. “saya berikan modal ini kepada Anda
dibagi tiga”. Di dalam akad tersebut tidak ada ketentuan atau pembatasan
mengenai tempat kegiatan usaha, jenis usaha. Barang yang dijadikan objek
dengan tempat kegiatan usaha, jenis usaha, barang yang menjadi objek
usaha, waktu, dan dari siapa barang tersebut dibeli. Pembatasan waktu dan
kerjasama investasi. Kemudian dijelaskan pula dalam PSAK 105, paragraf 32-33
memperoleh bagian hasil usaha sesuai dengan kontribusi dana yang disetor.
Pembagian hasil usaha antara pengelola dan pemilik dana dalam mudharabah
adalah sebesar hasil usaha musyarakah setelah dikurangi porsi pemilik dana
Menurut ulama Hanafiah, rukun Mudharabah ialah akad, yaitu ijab dan
Kabul antara pemilik modal dan pengelola. Sedangkan menurut mazhab Maliki,
rukun mudharabah terbagi menjadi lima antara lain: (1) modal; (2) pekerjaan; (3)
keuntungan; (4) dua orang yang melakukan pekerjaan; dan (5) shiqhat (ijab dan
mudharabah menjadi enam antara lain: (1) pemilik modal; (2) modal yang
diserahkan; (3) orang yang berniaga; (4) perniagaan yang dilakukan; (5) ijab; (6)
harus dipenuhi antara lain: (1) adanya pelaku akad, yaitu pemodal (shahibul mal)
dan pengelola modal (mudharib); (2) objek akad yaitu modal, kerja/usaha, dan
jumlahnya, jika modal dalam bentuk barang maka harus dihargai dalam
kepada pemilik.
menerangkan bahwa syarat yang harus dipenuhi dalam mudharabah antara lain:
pemilik modal dan manajer serta cakap dalam hukum. 2) Ucapan serah terima
kedua belah pihak untuk menunjukkan kemauan mereka dan terdapat kejelasan
tujuan kemauan mereka dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam melakukan
modal kepada pengelola untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah. Modal
disyaratkan harus diketahui jumlahnya, jenisnya (mata uang) dan modal harus
sebagai kelebihan dari modal, pembagian keuntungan harus jelas dan sesuai
ketentuan yang telah ditetapkan oleh kedua belah pihak dalam transaksi.
masing pihak menyatakan akad batal, atau pekerja dilarang bertindak hukum
terhadap modal yang diberikan, atau pemilik modal menarik modalnya; (2) salah
seorang berakal gila , karena orang gila tidak cakap bertindak hukum; (3)
seorang yang berakal meninggal dunia; (4) pemilik modal murtad (keluar dari
Islam); (5) modal habis ditangan pemilik sebelum dikelola oleh pekerja. Demikian
juga apabila modal tersebut dibelanjakan oleh pemilik modal sehingga tidak ada
tidak ada pihak yang akan merasa terpaksa dan dirugikan selama perjanjian bagi
yang menunjukkan perbuatan, perlakuan adil, tidak berat sebelah, tidak berpihak,
atau pertengahan. Dalam makna ini pula, kata adil memiliki persamaan kata
dengan kata wasth yang darinya terambil kata pelaku (isim fa‟il) kata wasth yang
diserap dalam Bahasa Indonesia menjadi “wasit” yang artinya ialah “penengah”
hanya bisa dirasakan oleh pihak-pihak tertentu. Sesuatu yang dirasa adil oleh
seseorang belum tentu dirasakan oleh orang lain atau golongan tertentu.
Menurut Shihab (1996: 144-116), paling tidak ada empat makna keadilan
yakni: pertama, “adl dalam arti sama dan pengertian ini yang paling banyak
terdapat didalam Al-Qur‟an,antara lain pada surah An-nisa (4): 3, 58, dan 19,
Asy-Syura (42): 15; Al-MAidah (5): 8; An-Nalh (16): 76, 90: dan Al-hujurat (49):9.
Kata adl dengan arti sama (persamaan) pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud
adalah persamaan didalam hak. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap
manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini menjadi dasar
30
dan Al-Infitar (82): 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya dinyatakan
alladhi khalaqak fa sawwak fa” adalak, yang artinya: Allah yang telah
tubuhmu) seimbang; ketiga, kata “ adl dalam arti – perhatian terhadap hak-hak
individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya. Pengertian inilah
memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat. Lawan dari pengertian ini
ini disebutkan didalam Al-An‟am (6): 152, wa idha qultum faa‟dilu walaw kana
dha qurba, yang artinya: dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu
berlaku adil kendatipun dia adalah kerabatmu. Pengertian adl seperti ini
rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Dalam pengertian ini
yang harus dipahami kandungan Al-Qur‟an Surah Ali-Imran (3): 18, menunjukkan
para Nabi yang telah diutus oleh Allah, termasuk dalam penegakan keadilan
rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami
turunkan Bersama mereka Alkitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat
yang lebih besar daripada perkara ini, yaitu bahwa Allah mengutus para Rasul-
Menurut Khasanah (2010:127) bahwa bagi hasil adalah salah satu skim
yang ada dalam ekonomi Islam merupakan salah satu komponen dalam sistem
kesejahteraan Islam. Keadilan merupakan salah satu prinsip dasar dalam Islam,
keadilan sangat diperlukan. Berdasarkan muatan makna adil yang ada dalam Al-
Qur‟an, dapat diturunkan berbagai nilai turunan yang berasal dari prinsip keadilan
1. Persamaan Kompensasi
2. Persamaan Hukum
3. Moderat
4. Proposional
Adil tidak selalu diartikan sebagai kesamaan hak, namun hak ini
yang telah dijabarkan diatas akan terwujud jika setiap orang menjunjung
perjanjian bagi hasil. Hal ini bertujuan agar kedua belah pihak sama-sama
ridho dalam melakukan kerja sama tersebut karena tidak ada pihak yang
untuk semua.
33
Kerjasama bagi hasil perikanan merupakan praktik yang tidak asing bagi
nelayan di berbagai daerah di Indonesia dan telah menjadi kearifan lokal yang
sudah ada sejak lama (Ridwan dan Sugianto, 2015:1). Penelitian yang dilakukan
Alat Tangkap Pancing Tonda menggambarkan bahwa dalam sistem bagi hasil
yang melibatkan pemilik alat tangkap, nakhoda dan anak buah kapal, proporsi
bagi hasil yang diberlakukan berturut-turut adalah 50%, 30% dan 20%. Sistem
yang diberlakukan turut membawa risiko pada masa paceklik, dimana seringkali
anak buah kapal terlilit utang dengan peminjam informal untuk memenuhi
mencukupi. Di lain sisi, penelitian yang dilakukan oleh Zakaria (2014 : 119) di
Kabupaten Sinjai mencatat bahwa model kerjasama bagi hasil perikanan tangkap
bahwa dalam kerjasama bagi hasil perikanan antara pemilik kapal dan nelayan di
Desa Parean ditemukan praktik ketidakadilan yang tidak sesuai dengan prinsip
akad mudharabah dan UU No. 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan.
Dalam kerjasama bagi hasil yang memberlakukan proporsi 40% untuk nelayan
dan 60% untuk pemilik kapal ini ditemukan adanya biaya perbekalan yang
bersifat utang dan menjadi tanggungan nelayan. Lebih lanjut, penelitian ini
diamanatkan dalam UU No. 16 Tahun 1964 (Wati dkk., 2017 : 5). Penelitian ini
34
sama halnya dengan temuan Multazam (2018 : 48) yang melakukan penelitian
pada sistem bagi hasil Punggawa-Sawi di PPI Lonrae Kabupaten Bone, dimana
1964.
Di lain sisi, penelitian yang dilakukan oleh Yolanda (2013 : 80) di Desa
Tiku Provinsi Sumatera Barat mencatat bahwa tidak sedikit dalam skema
kerjasama bagi hasil yang diterapkan oleh Induk Semang (pemilik modal) dan
anak buah kapal mengacu pada hukum adat, dimana baik dalam kondisi untung
dengan proporsi 50 : 50 antara pemilik modal dan anak buah kapal. Model ini
sama persis dengan skema yang diterapkan oleh pemilik kapal dan nelayan di
tetapi dibarengi dengan kesepakatan sedekah sebesar 1,5% untuk setiap anak
buah kapal (Wardah, 2019 : 110). Sistem bagi hasil antara pemilik bagan dan
ketentuan adat dengan nisbah 50: 50. Kendati demikian, karena kondisi tertentu
Berbeda halnya dengan kerjasama bagi hasil antara nelayan dan pemilik
bahwa sistem yang diterapkan belum sesuai dengan prinsip akad mudharabah.
Pernyataan ini didasarkan pada temuan bahwa apabila terjadi kerugian yang
bukan disebabkan oleh kelalaian nelayan maka tetap dibebankan kepada pihak
nelayan.
Wetan sering menuai sengketa, dimana beberapa ABK merasa bahwa upah
yang mereka terima tidak sesuai dengan perkiraannya. Mereka merasa uang
yang mereka terima lebih sedikit dari apa yang mereka perhitungkan. Masing-
masing ABK tahu dengan pasti berapa bagian upah yang akan diterimanya.
Namun, konflik ini muncul karena masing-masing ABK tidak tahu dengan pasti
meningkat sehingga bagian upah bagi ABK akan berkurang. Selain itu, ia juga
menemukan adanya korupsi hasil melaut, dimana ABK menjual beberapa basket
(keranjang) ikan di luar sistem pelelangan. ikan-ikan itu kemudian hasilnya dibagi
rata antar ABK. ABK akan mengatakan kepada jurangan bahwa mereka butuh
lawuhan (lauk) bagi keluarganya. Namun, sesungguhnya ikan itu tidak dibawa
menunjukkan bahwa masih adanya unsur gharar, tadlis dan taghrir dalam cara
bagi hasil antara Nelayan dan Juragan, yakni di mana dalam hal kerugian
hasil seperti ini, nelayan banyak melakukan pencurian ikan sebelum hasil
tangkapannya diserahkan kepada juragan. Oleh karena itu praktik bagi hasil
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku,
persepsi, motivasi, dan tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi
dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah
pendapat yang sedang tumbuh, proses yang sedang berlangsung, akibat yang
Alasan pemilihan metode ini didasarkan pada tujuan yang ingin dicapai
yaitu untuk memperoleh gambaran yang jelas dan terperinci mengenai sistem
bagi hasil usaha perikanan serta merumuskan konsep bagi hasil usaha
tangkap tersebut.
36
37
kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB kabupaten Takalar tahun 2016, yaitu
sebesar 50,32%. Kedua, desa Topejawa menjadi salah satu kontributor andalan
1. Data Primer yaitu data yang berasal dari sumber pertama beberapa
Takalar.
38
publikasi dari sumber sekunder dalam bidang khusus yang peneliti minati.
berikut:
a. Wawancara
pertanyaan secara lisan kepada subjek penelitian (Sangadji, et al., 2010). Dalam
penelitian ini, wawancara akan dilakukan dengan para informan yaitu orang-
b. Observasi
secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh data yang harus
dilakukan untuk melihat kondisi lingkungan daerah penelitian, dan juga melihat
c. Dokumentasi
Metode dokumentasi pada penelitian ini diperoleh dari sumber data sekunder
berupa dokumen atau arsip mengenai sistem bagi hasil perikanan di Desa
d. Penelitian Pustaka
lain yang relevan dengan konsep bagi hasil dalam ekonomi Islam.
tangkap, kemudian dianalisis dengan teori dalam konsep bagi hasil menurut
perspektif nilai Islam untuk mengetahui sejauh mana praktik bagi hasil tersebut
dalam sistem bagi hasil yang diterapkan pada objek penelitian. Menurut
Handayani (2013:92) keadilan dalam sistem bagi hasil dapat diukur melalui lima
nisbah bagi hasil yang proporsional, konsistensi dari setiap pihak yang terlibat
dalam perjanjian bagi hasil, keseimbangan bargaining power, serta adanya ganti
rugi jika terjadi pemberhentian kerja sama di tengah akad (Handayani, 2013:92).
a. Transparansi
Islam mencakup tiga hal yaitu, 1) adanya keterbukaan informasi dari kedua
segala hal yang terkait dengan informasi yang diberikan, serta 3) pemberian
informasi.
informasi yang diberikan dari satu pihak ke pihak lain. Sehubungan dengan
neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik
bahwa Islam sangat menjunjung tinggi sikap jujur dan menentang perbuatan
takaran dan menimbang dengan neraca yang benar. Secara tidak langsung
jujur dalam segala hal. Selanjutnya, ditegaskan kembali pada surah tersebut
bahwa Allah melaknat orang yang bersikap tidak jujur dan curang dan
pengambilan keputusan, sehingga tidak akan ada pihak yang terzalimi karena
adanya sikap tidak jujur dan tidak terbuka dari salah satu pihak. Dengan
antara pihak yang terlibat dalam bagi hasil dapat dianalisis berdasarkan ada
mengenai hal-hal yang terkait dengan perjanjian bagi hasil tersebut. Adapun
transparansi yang dijadikan indikator dalam hal ini yaitu transparansi mengenai
b. Proporsionalitas
didasarkan pada penetapan besaran nisbah bagi hasil antara nelayan pemilik
yang diperoleh punggawa dan sawi. Nisbah bagi hasil dapat dikatakan
42
yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak. Pengukuran nisbah bagi hasil yang
persentase.
dikeluarkan oleh masing-masing pihak dengan total seluruh biaya yang telah
Jika persentase bagi hasil yang diterima oleh salah satu pihak lebih kecil
pihak tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa nisbah bagi hasil yang
jika persentase pendapatan bagi hasil yang diterima oleh masing-masing pihak
lebih besar dari yang kontribusi biaya yang dikeluarkan oleh pihak tersebut
(Irmayanti, 2010:57)
c. Konsistensi
Konsistensi dalam sistem bagi hasil diukur melalui ada atau tidaknya
sikap konsisten di antara pihak yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil
mengenai hal-hal yang telah disepakati di awal akad. Hal-hal seperti penetapan
nisbah bagi hasil, pembagian tanggung jawab jika terjadi kerugian, serta segala
43
hal yang menyangkut hak dan kewajiban setiap pihak selama akad berlangsung
Salah satu hal yang memicu terjadinya tindakan zalim dalam suatu akad
kerja sama yaitu ketika salah satu pihak berada di posisi yang lemah. Oleh
posisi tawar yang setara. Keseimbangan bargaining power ini dapat diukur
berdasarkan tingkat wawasan serta pengetahuan yang dimiliki oleh pihak yang
kerja sama di tengah berlangsungnya akad. Jika terjadi hal seperti ini, maka
sepihak. Keadilan dalam hal ini dapat diukur melalui besarnya ganti rugi yang
dikeluarkan oleh pihak yang melakukan pemberhentian, dimana ganti rugi yang
dikeluarkan harus sesuai dengan besarnya biaya maupun tenaga yang telah
interpretasi data sebagai upaya dalam memperoleh arti dan makna yang lebih
mendalam dan luas terhadap hasil dari penelitian yang sedang dilakukan.
secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang diperoleh di
lapangan.
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN PELAKSANAAN SISTEM
BAGI HASIL DI DESA TOPEJAWA KECAMATAN MANGARABOMBANG
KABUPATEN TAKALAR
Dalam bab ini akan dibahas mengenai gambaran umum objek penelitian
serta gambaran sistem bagi hasil perikanan yang diterapkan di Desa Topejawa
dari hasil wawancara peneliti dengan informan yang merupakan punggawa darat
dan punggawa laut serta sawi di daerah tersebut. Pada bab selanjutnya,
gambaran tersebut akan menjadi dasar untuk menilai penerapan keadilan pada
sejauh ± 5,9 km yang memiliki total luas wilayah ± 319,942 ha yang terdiri atas 4
45
46
laki-laki berjumlah 1945 jiwa dan penduduk perempuan berjumlah 1967 jiwa.
Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah sawi dan nelayan. Pada sektor
perikanan Desa Topejawa memiliki pesisir pantai dengan luas sekitar 46,75 Ha,
dan tanah tubuh air untuk penggunaan tambak seluas 135 Ha. Sedangkan, luas
tanah untuk penggunaan lahan persawahan sekitar 276 Ha, perkebunan seluas
Juli 2020) yang merupakan tokoh agama dan ponggawa lompo di dusun
47
anak semenjak kecil telah ditanamkan oleh orang tuanya tentang keyakinan
beragama (tauhid) baik secara formal maupun non formal serta masih besarnya
para Panrita.
nelayan, karena sepanjang dusun ini dikelilingi oleh lautan yang menjadikan
pendapatan utama di dusun ini. Selain itu pekerjaan seperti ini sudah lama
dilakukan oleh generasi terdahulu dan hal inilah yang membuat penduduk
mengatakan bahwa sistem kelompok kerja punggawa-sawi ini telah ada dan
Struktur inti kelompok kerja ini adalah punggawa dan sawi-sawi. Punggawa
atau biasa juga dilafalkan oleh masyarakat Topejawa ponggawa ini berstatus
sebagai pemimpin pelayaran dan aktivitas produksi dan berbagai pemilik alat-alat
kerja/produksi semata.
Bentuk struktur lain terjadi ketika suatu usaha perikanan ini mengalami
perkembangan unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai ponggawa laut
mempertahankan eksistensi usaha, maka ponggawa laut tidak ikut lagi mengikuti
pada awalnya muncul status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja
jumlahnya. Para punggawa laut ini dalam proses dinamika ini sebagian lainnya
operasi kelompok nelayan. Para punggawa laut ini merekrut sawi-sawi berbakat
untuk membantu proses penangkapan ikan di laut yang dikenal juga dengan
c. Punggawa Caddi, pemilik modal dan ikut memimpin pelayaran dan aktivitas
darat/punggawa lompo.
Kabupaten Takalar dalam menentukkan imbalan kerja dari usaha perikanan yang
mereka lakukan cenderung memilih sistem bagi hasil ketimbang sistem gaji
ataupun sistem upah. Hal ini dikarenakan selain telah menjadi sistem yang
dengan kondisi alam laut yang tidak dapat dihindari oleh para nelayan ketika
melaut misalnya badai, gelombang, dan kondisi alam lainnya yang berisiko
Nya‟la;
“rugi ki‟ kalau ditetapkan gajinya sedangkan mata pencaharian saat ini
sangat tidak menentuki hasilnya, bahkan akhir-akhir ini hanya ongkos
terus yang menumpuk tidak menghasilkan apa-apa” (28 Agustus 2020)
sedangkan, bagi sawi sistem bagi hasil ini dianggap sudah adil, seperti yang
dikemukakan Dorasa Dg Kalu yang menyatakan bahwa “bagi hasil lebih adil,
banyak hasil tangkapan banyak juga bagian untuk sawi dan punggawa, kalau
rugi, punggawa rugi ongkos, sedangkan kita sebagai sawi rugi waktu dan tenaga,
Bentuk akad perjanjian bagi hasil yang dilakukan atas kerjasama antara
sebatas akad lisan. Proses akad yang dilakukan pun hanya kepada beberapa
orang sawi saja. Sebagaimana hasil wawancara dengan beberapa orang sawi
yang mengakui bahwa tidak ada akad ataupun perjanjian bagi hasil yang
yang berprofesi sebagai sawi, beliau menuturkan bahwa “tidak ada pembicaraan
akad sebelumnya. Saya tahu pembagiannya belajar dari pengalaman saja sejak
ikut menjadi sawi pada kapal milik Nurdin Dg Tobo, yang kebetulan saudara
Kasman yang juga berprofesi sebagai sawi di kapal yang sama mengatakan
“Saya langsung ji ikut saja sebagai sawi tanpa ada perjanjian sebelumnya
mengenai bagi hasilnya, karena bagi hasil yang diperoleh sama saja kalau
terlibat hubungan kerjasama, maka ada pembicaraan terkait bagi hasil yaitu
bagian dari tugasnya sebagai sawi penyelam. Tapi, perjanjiannya hanya lisan,
Dari hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa proses awal terjadinya
bagi hasil untuk sawi dan punggawa dapat dikatakan hanya didasarkan pada
kebiasaan dan tidak dalam bentuk perjanjian tertulis. Dalam kaitan ini, yang
dianggap sebagai awal proses perjanjian, yaitu saat seorang calon sawi
kapal. Pada saat punggawa caddi menerima tawaran calon sawi tersebut inilah
yang dapat dianggap sebagai awal proses perjanjian bagi hasil. Para pihak tidak
tersebut, waktu perjanjian dapat berakhir jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu hal
Salah satu informan bernama Nurdin Dg Tobo yang merupakan punggawa caddi
mengungkapkan,
caddi, dan sawi terjalin kontak (lisan) kerjasama, baik sebelum pemberangkatan,
sedang dan setelah pulang dari penangkapan. Terjadinya jalinan ikatan tiga
umumnya masih berpedoman pada kebiasaan serta adat istiadat yang berlaku di
Nurdin Dg Tobo,
“Di sini bagi hasilnya dikenal dengan istilah bagi hasil tunga‟-tunggala,
satu bagian kapal, satu bagian untuk mesin kapal,satu bagian untuk
mesin kompresor/alat tangkap, dan satu bagian untuk sejumlah buruh
nelayan dan punggawa laut. Sehingga karena saya dua orang penyelam
dan tiga orang sawi, makanya nanti dibagi delapan ki. Cuman bagian
untuk buruh kapal yang menyelam dan bekerja di atas kapal beda i,
selisih Rp.150.000- Rp. 200.000 dan itu yang selalu dipakai” (28 Agustus
2020)
bahwa nisbah bagi hasil yang digunakan di Desa Topejawa merupakan nisbah
nisbah hasil kesepakatan antara punggawa dan sawi yang terlibat dalam
perjanjian bagi hasil. Besaran nisbah tersebut dijadikan acuan dan digunakan
53
oleh seluruh punggawa dan sawi yang berada di daerah tersebut dalam
Hal ini semakin mempersulit sawi dalam mengusahakan nisbah yang adil
atau melakukan tawar menawar terkait besaran nisbah yang akan ditetapkan,
karena ketika sawi meminta adanya nisbah bagi hasil yang berbeda,
lain yang mau bekerja sesuai dengan nisbah yang berlaku di daerah tersebut.
jumlah yang menawarkan diri untuk menjadi sawi di Desa Topejawa jauh lebih
besar dibanding jumlah permintaan, sehingga sangat mudah bagi punggawa jika
ingin melakukan mengganti dan merekrut sawi lain. Oleh karena itu, sawi
cenderung menerima begitu saja ketentuan yang telah berlaku meskipun dirasa
tidak adil dengan alasan takut kehilangan pekerjaan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa punggawa tetap memiliki kuasa atau posisi tawar yang kuat
terlepas dari proses produksi usaha perikanan secara teknis menggunakan input
dan output. Input adalah semua yang dimasukkan ke dalam proses produksi,
seperti kapal dan mesin kapal yang digunakan, tenaga kerja, bahan bakar, serta
alat tangkap, sedangkan output adalah hasil tangkapan ikan yang dihasilkan oleh
usaha perikanan. Input dan output ini erat kaitannya dengan biaya dan
diperoleh dari suatu usaha perikanan sangat penting diketahui untuk menghitung
pendapatan yang terjadi di setiap masa pembagian bagi hasil yang umumnya di
input atau faktor produksi yang nilainya cukup besar seperti untuk pengadaan
kapal, mesin dan alat tangkap. Sehingga disinilah peran dari punggawa
mesin dan alat tangkap, salah satu informan bernama Nurdin Dg Tobo,
mengungkapkan
“kita bersyukur, ada yang bisa bantu berikan pinjaman dan untuk
pembayarannya cicilannya tidak ditentukan ji sampai kapan harus dilunasi
, tetapi selama ada pinjaman kita disitu, semua penjualan ikan kita harus
disetor ke situ. (28 Agustus 2020)
usaha perikanan, jumlah seluruh biaya produksi yang dikeluarkan oleh punggawa
55
dalam setiap pengadaan kapal dan perlengkapan alat tangkap dapat dirangkum
Tabel 4.1 Rincian Biaya Investasi yang Dikeluarkan dalam Pengadaan Satu Unit
Kapal Penyelam Tembak
Harga
Jumlah
No Jenis Investasi Jumlah Satuan Umur
Mesin Kubota 24
2 PK 1 Unit 20.000.000 20.000.000 5 Tahun
diketahui bahwa total seluruh investasi yang dikeluarkan oleh punggawa darat
“Kalau masalah biaya itu, yang ditanggung sama punggawa cuman biaya
solar sekitar 10 liter sehari, biaya bensin 5 liter sehari, dan biaya rokok 3
bungkus setiap hari, jadi perkiraannya sekitar Rp. 1.200.000 seminggu
ongkosnya, jadi kalau dapat ki tangkapan ikan sekitar Rp.9.000.000, yang
dibagi itu sisa Rp. 7.800.000 ”
56
bahwa biaya yang ditanggung bersama oleh punggawa dan sawi yaitu biaya
operasional seperti solar, bensin, serta biaya pembelian rokok . Biaya-biaya lain
masing-masing sawi.
Tabel 4.2 Rincian Biaya Produksi yang Ditanggung Bersama Punggawa dan
Sawi
Jumlah Harga
Jenis Biaya Jumlah
No Kebutuhan Satuan
Operasional
Per Pekan (Rp) (Rp)
Pada tabel di atas terlihat bahwa jumlah biaya operasional yang menjadi
oleh salah satu informan bernama Jahar Dg Buang bahwa pemberian pinjaman
pinjaman, dan papalele tersebut akan menerima 10% dari hasil pendapatan
bruto.
Berdasarkan hasil perhitungan pada sub bab biaya produksi, total biaya
rincian sepuluh persen dari hasil tangkapan ikan atau sebesar Rp.900.000,-
Dengan demikian, maka jumlah yang akhirnya menjadi dasar bagi hasil
sesuai dengan proporsi bagi hasil yang telah disepakati yakni nisbah 1/n, dengan
: Rp. 867.600
: Rp. 867.600
58
: Rp. 867.600
memperoleh:
( )
memperoleh:
( )
Rp.900.000,- sawi penyelam sebesar Rp. 1.017.600,- dan sawi pajama rate
sekaligus pemilik kapal, mesin dan alat tangkap mendapatkan bagian sebesar
Rp. 3.618.000,-.
Hal diatas memberikan gambaran bahwa sistem bagi hasil dengan pola seperti
diatas ini memberikan keuntungan yang sangat besar bagi para punggawa yang
ada di desa Topejawa, dikarenakan kebanyakan masyarakat nelayan khususnya
di dusun Lamangkia hanya sebagai sawi karena status kepemilikan kapal, mesin
dan alat tangkap semua dikuasai oleh para punggawa.
BAB V
pelaksanaannya agar tidak merugikan salah satu pihak, begitu pula halnya
salah satu prinsip dasar dari Islam. Allah menurunkan Islam sebagai suatu
keadilan dalam setiap sektor, baik ekonomi, politik maupun sosial. Pentingnya
prinsip keadilan dalam Islam terlihat dari banyaknya ayat Al-Qur‟an yang
dapat diturunkan berbagai nilai turunan yang berasal dari prinsip keadilan itu
dalam sistem bagi hasil yaitu transparansi yang meliputi transparansi objek bagi
hasil, transparansi pendapatan, serta transparansi biaya nisbah bagi hasil yang
disepakati, keseimbangan bargaining power, serta ada tidaknya ganti rugi ketika
penanggungan kerugian ketika terjadi rugi. Hal ini didasarkan karena dalam
59
60
rugi akan selalu ada. Oleh karena itu, peneliti ingin meninjau lebih dalam apakah
untuk menentukan apakah sistem dan penerapan bagi hasil usaha perikanan
yang dilakukan di Desa Topejawa telah sesuai dengan nilai keadilan Islam.
5.1 Transparansi
secara jujur, lengkap dan meliputi segala hal yang terkait dengan informasi yang
diberikan, serta 3) pemberian informasi yang dilakukan secara adil kepada pihak
sehingga tidak akan ada pihak yang terzalimi karena adanya sikap tidak jujur dan
tidak terbuka dari salah satu pihak. Dengan demikian, keadilan dalam
transparansi yang diterapkan dalam sistem bagi hasil usaha perikanan juga
perjanjian bagi hasil, terdapat beberapa hal yang harus diungkapkan dengan
jelas di awal perjanjian yaitu tujuan bagi hasil, biaya-biaya yang boleh
pengelola, besarnya nisbah bagi hasil, serta jangka waktu berlangsungnya akad.
kemudian hari.
mengenai objek bagi hasil, transparansi jangka waktu perjanjian bagi hasil,
keadilan dalam hal transparansi pada bagi hasil usaha perikanan di Desa
Topejawa.
Ulama Hanafiyah mengungkapkan bahwa salah satu rukun dari akad bagi
hasil usaha yaitu adanya objek bagi hasil. Dalam usaha perikanan ini yang
menjadi objek bagi hasil berupa modal uang dan modal barang berupa sarana
produksi. Sejalan dengan hal tersebut, para ulama berpendapat bahwa modal
yang diberikan untuk dijadikan modal usaha, diistilahkan dengan ra‟s al-mal,
hendaklah berupa uang, tetapi tidaklah mesti uang tunai dari emas dan perak
karena saat ini setiap negara memiliki jenis mata uang yang berbeda-beda.
Kemudian Karim (2002:11) menjelaskan pula bahwa jumlah ra‟s mal mesti
punggawa laut, salah satu informan bernama Indar Dg Tinri menyatakan bahwa,
dirinya dalam memberikan modal kepada punggawa laut dapat berupa modal
uang tunai maupun dalam bentuk modal barang berupa sarana produksi
62
Hal yang sama yang diungkapkan oleh Nurdin Dg Tobo, informan yang
“Saya waktu itu sama ja boska pergi cari kapal, setelah dapat kapal yang
diinginkan, kemudian boska bayar secara tunai sesuai dengan harga
yang disepakati dengan pemilik kapalnya, dan sejumlah uang yang
dibayarkan tersebut terhitung sebagai pinjaman bagi saya,” (28 Agustus
2020)
sikap jujur terkait objek bagi hasil antara punggawa darat sebagai pemberi
pinjaman modal dan punggawa laut sebagai penerima pinjaman modal dengan
adanya transparansi di awal perjanjian mengenai jumlah ra‟s mal yang diketahui
laut dengan sawi. Salah satu informan bernama Ramli yang berprofesi sebagai
sawi mengungkapkan bahwa di awal saat direkrut jadi sawi sama sekali tidak
pernah mendapatkan informasi mengenai kondisi baik dari kapal, mesin ataupun
63
sarana produksi lainnya yang akan digunakan nantinya dalam melakukan proses
penangkapan ikan, ia hanya langsung ikut saat mendapat tawaran menjadi sawi.
Selain itu, Kasman, salah satu informan yang merupakan nelayan sawi
juga menambahkan,
“Biasanya yang sering kita alami itu adalah kerusakan mesin, kondisi
mesin yang seperti ini baru kita tahu setelah kita ikut di atas kapal
tersebut sehingga selain tidak bisa melaut, kita juga harus bergotong
royong bekerja memperbaiki mesin tersebut dan jika ada perkakas mesin
rusak yang harus diganti itu masuk dalam perongkosan yang ditanggung
bersama,” (29 Agustus 2020)
Dari informasi yang diungkapkan oleh Ramli dan Kasman, diketahui bahwa
nelayan sawi sama sekali tidak mendapatkan informasi di awal mengenai kondisi
dari sarana produksi yang akan digunakan, dia pun tidak dapat begitu saja
melihat sekilas kondisi sarana tersebut. Sering rusak ataupun tidaknya mesin
tersebut baru dapat diketahui ketika nelayan sawi mulai digunakan dalam
Kondisi dari objek bagi hasil yang sering mengalami kerusakan akhirnya
operasional yang dikeluarkan lebih banyak dan tentunya akan berpengaruh pada
64
sempurna mengenai kondisi sarana produksi yang menjadi objek bagi hasil
dalam sistem bagi hasil usaha perikanan yang diterapkan di Desa Topejawa.
telah disebutkan bahwa sikap jujur merupakan bagian dari perbuatan benar (haq)
dan merupakan landasan bagi keadilan, seperti yang disebutkan dalam surah Al-
A‟raf ayat 159, “Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang memberi
petunjuk (kepada manusia) dengan haq. Dengan yang haq itulah mereka menjalankan
keadilan.” Selain itu, adanya sikap tidak transparan mengenai objek bagi hasil
menjunjung tinggi nilai kejujuran sebagai aspek penting dan prasyarat dalam
adanya ketidakjujuran dari punggawa kepada nelayan sawi pada sistem bagi
keadilan dalam hal transparansi objek bagi hasil yang mengharuskan adanya
bagi hasil, maka hal tersebut dapat mencegah terjadinya gharar (ketidakjelasan)
dalam pelaksanaan akad bagi hasil perikanan. Selain itu, dengan penetapan
jangka waktu perjanjian di awal akad, hal ini juga dapat mencegah salah satu
65
zalim di antara pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian bagi hasil usaha
perikanan. Oleh karena itu keadilan dalam hal transparansi jangka waktu
perjanjian tersebut.
mengungkapkan,
bahwa dalam perjanjian bagi hasil di Desa Topejawa, belum ada kesepakatan
bagi hasil usaha perikanan tersebut. Hal ini menyebabkan salah satu pihak dapat
sepihak oleh punggawa, sedangkan nelayan sawi hanya bisa menerima begitu
kerja adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu, yaitu buruh , mengikatkan
66
diri untuk mengerahkan tenaganya kepada pihak lain, yaitu majikan dengan upah
selama waktu tertentu. Tidak pernah ditentukannya jangka waktu perjanjian hasil
seperti itu. Selain itu ada alasan lainnya yang menyebabkan para pihak tidak
menetukan jangka waktu perjanjian, yaitu ada saling percaya yang mendasari
kedua belah pihak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam
c. Transparansi Biaya
berupa hasil tangkapan ikan yang bernilai. Keberhasilan dari usaha perikanan
tangkap ini pada akhirnya akan dinilai dari biaya yang dikeluarkan dan
nelayan dari usaha perikanan tangkap ditentukan dari jumlah produksi yang
diperoleh dari harga hasil produksi yang berlaku serta besarnya biaya produksi
Oleh karena itu, salah satu hal utama yang perlu disampaikan oleh nelayan
punggawa kepada sawi dalam perjanjian bagi hasil yaitu mengenai biaya-biaya
ditanggung bersama seperti yang terjadi pada penerapan sistem bagi hasil di
Desa Topejawa.
67
suatu laporan keuangan atau minimal dalam bentuk pencatatan terkait arus
keluar masuk kas. Namun, bagi nelayan sawi pembuatan laporan atau
pencatatan keuangan tentunya merupakan hal yang tidak lumrah dilakukan oleh
(2002) bahwa dari empat juta nelayan Indonesia, 85% berpendidikan Sekolah
Dasar (SO) atau buta huruf, 12% berpendidikan Sekolah Lanjutan TIngkat
ini didukung oleh pernyataan salah satu informan bernama Nurdin Dg Tobo, yang
“Tidak pernah ji bikin catatan seperti itu. Biasanya kami hanya menerima
nota (catatan) dari papalele/punggawa darat, yang isinya mengenai
berapa hasil yang diperoleh pada pekan ini, terkait biaya-biaya yang
dikeluarkan juga demikian hanya diminta notanya dari ga‟de (toko
kelontong) tempat kami meminjam rokok, baterai dan kebutuhan lainnya”
(28 Agustus 2020)
saja, yaitu punggawa yang tinggal di darat yang melakukan pemasaran secara
kepada nelayan. Selain itu, salah satu informan bernama Ramli yang merupakan
“Kita ji juga sebagai sawi yang diminta datang ke toko kelontong untuk
meminta pinjaman perbekalan seperti rokok, baterai serta solar dan nanti
ketika mau pembagian hasil kita sendiri yang diminta untuk datang
mengambil catatan pinjaman perbekalan tersebut. Kami disini cuma
saling percaya saja karena dari dulu sudah begitu,” (03 September 2020)
diketahui bahwa selama ini, nelayan sawi di Desa Topejawa tidak pernah
atas catatan yang dilakukan papalele/punggawa darat dan catatan pinjaman dari
yang besar ini tentunya tidak lahir begitu saja. Kepercayaan yang terjalin antara
papalele, punggawa laut, nelayan sawi serta pemilik toko kelontong lahir dari
antara mereka. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Markas (2014:165),
Contoh sikap jujur yang berbuah pada kepercayaan juga dapat dilihat
dalam kisah Rasulullah saw ketika berdagang. Nabi Muhammad saw di masa
muda sebelum diutus menjadi rasul dikenal sebagai sosok pemuda yang memiliki
kredibilitas tinggi dan kejujuran yang tak tertandingi, terutama dalam hal
berdagang tidak hanya untuk mengejar keuntungan semata, namun juga tetap
Rasulullah pada kesuksesan hingga diberi gelar Al-Amin yang berarti dapat
untuk berbuat adil kepada sesama umat manusia, yaitu dengan memberi hak
orang lain dengan jujur dan benar serta tidak menyakiti dan merugikan orang
lain. Nelayan punggawa telah memenuhi hak sawi untuk memperoleh informasi
produksi, oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam hal
transparansi biaya telah terwujud dalam sistem bagi hasil usaha perikanan di
Desa Topejawa.
d. Transparansi Pendapatan
jumlah pendapatan yang diperoleh dari bagi hasil usaha. Mengenai proses
“Di sini kan bagi hasil itu dilakukan setiap pekan dan umumnya dilakukan
pada setiap hari Jum‟at, kita berkumpul di rumahnya punggawa untuk
melihat langsung proses pembagiannya dan berapa hasil bersih
tangkapan yang akan dibagihasilkan. Biasanya proses bagi hasil
dilakukan ketika semua anggota telah berkumpul, jika ada yang belum
hadir biasanya diantara kami pergi memanggil di rumah bersangkutan,
hal ini dilakukan agar mereka bisa melihat langsung perolehan bagi
hasilnya untuk menghindari kesalahpahaman antara punggawa dan para
sawi” (03 September 2020)
proses bagi hasil semua anggota kapal tersebut akan menyaksikan langsung
proses pembagian hasil dan memastikan jumlah hasil bersih yang akan dibagi
melakukan proses pembagian dan jika ada yang belum hadir maka nelayan sawi
70
pembagian hasil. Dengan demikian, semua anggota yang ikut serta dalam
proses produksi bisa langsung mengetahui berapa jumlah yang akan diperoleh
Selain itu, dalam penentuan harga hasil tangkapan, nelayan sawi dan
sebagai papalele
“Harga yang kita tentukan tergantung dari harga yang ditentukan oleh bos
yang di Makassar, kalau harga ikan naik di Makassar, kita juga naikkan
harga disini” (28 Agustus 2020)
bahwa harga ikan yang berlaku ialah harga yang merupakan kesepakatan antara
pihak papalele dan pihak lainnya yang terlibat, dalam hal ini eksportir yang di
Dengan sikap terbuka dan informasi yang dapat diperoleh para nelayan
mengenai harga jual ikan yang berlaku, maka dapat disimpulkan keadilan dalam
hal transparansi pendapatan telah terjadi pada sistem bagi hasil usaha perikanan
di Desa Topejawa.
71
Nisbah dan pendapatan bagi hasil yang proporsional menjadi salah satu
elemen utama dalam menilai penerapan keadilan pada bagi hasil usaha
kesetaraan, maka akibatnya orang yang adil itu adalah yang menyetujui
zalim (Khadduri,180:1999).
dalam berbagai istilah seperti „adl, qisth, mizan, hiss, dan qasd yang
kompensasi yang sepadan kepada pihak lain sesuai dengan pengorbanan yang
telah dilakukan. Pengorbanan yang telah dilakukan inilah yang menimbulkan hak
maka dalam perjanjian bagi hasil usaha perikanan tentunya kompensasi yang
diterima oleh masing-masing pihak harus sesuai dan setara dengan besarnya
Dalam sistem bagi hasil, terdapat dua metode yang dapat digunakan
untuk menentukan pendapatan bagi hasil, yaitu profit sharing dan revenue
pola bagi hasil yang menggunakan laba bruto atau laba kotor sebagai dasar
hasil yang didasarkan pada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi
Berdasarkan analisis peneliti dari hasil wawancara, pola bagi hasil yang
diterapkan di Desa Topejawa menggunakan pola bagi hasil profit sharing. Hal ini
punggawa dan nelayan sawi dengan dengan cara mempersentasekan total biaya
yang telah dikeluarkan oleh masing-masing pihak dengan total seluruh biaya
bagi hasil yang diterima oleh masing-masing pihak dengan total seluruh
penghasilan yang diterima dari produksi perikanan. Hasil persentase tersebut lalu
dibandingkan satu sama lain untuk menentukan apakah nisbah bagi hasil yang
menghitung nilai depresiasi dari setiap aset investasi sarana produksi yang akan
kapal, mesin kapal, serta mesin kompresor memilih menggunakan metode garis
lurus (straight line method). Dengan metode ini harga perolehan dialokasikan
sejalan dengan berjalannya waktu dan mengakui beban periodik yang sama
selama masa manfaat harta. Besarnya biaya depresiasi dapat dihitung dengan
cara mengurangi perolehan nilai sisa dan dibagi taksiran umur pemakaian.
Dalam menggunakan metode ini peneliti mengasumsikan bahwa nilai residu nol,
maka dari itu nilai depresiasi secara pekanan dari setiap sarana produksi
Tabel 5.1 Nilai Depresiasi Sarana Produksi Perikanan Di Desa Topejawa (Per
Pekan).
Mesin Kubota
2 20.000.000 5 4.000.000 76.923
24 PK
Mesin
3 kompresor 10.000.000 3 3.333.333 64.103
Selam
Rp Rp Rp
Total
60.450.000 10.783.333 224.679
Sumber : Diolah Sendiri dari Hasil Wawancara
bahwa biaya depresiasi kapal Jolloro‟ setiap pekannya sebesar Rp. 57.692.,
depresiasi mesin kapal sebesar Rp. 76.923, dan depresiasi kompresor selam
74
sebesar Rp. 64.103, serta depresiasi tembak busur sebesar Rp. 25.962.
tanggungan punggawa sebesar Rp. 224.679,- per pekan. Adapun biaya yang
pendapatan yang diterima oleh punggawa dan nelayan sawi di Desa Topejawa
Biaya Biaya
Ditanggung Ditanggung
Uraian Persentase Persentase
Punggawa Total Nilai
Bersama (%) Laut (%)
(Rp) (Rp)
Biaya-biaya :
Biaya perbekalan
360.000 - 360.000
rokok
Biaya depresiasi
- 76.923 76.923
mesin kapal
Biaya depresiasi
- 64.103 64.103
mesin kompresor
usaha perikanan, dapat diketahui bahwa kontribusi biaya dalam akad bagi hasil
perikanan di Desa Topejawa per pekan menunjukkan bahwa biaya yang menjadi
total biaya.
proporsi (nisbah) bagi hasil yang digunakan adalah nisbah 1/n, dengan “n”
adalah sejumlah faktor produksi yang berhak mendapat bagian. Artinya jika
melihat contoh kasus seperti yang disajikan pada bab sebelumnya, nelayan sawi
memperoleh 1/8 bagian atau sebesar 12,5% dari total seluruh pendapatan.
Sedangkan, punggawa laut sebagai pemilik 3 faktor produksi (kapal, mesin dan
alat tangkap) serta turut ikut dalam proses produksi memperoleh 4/8 bagian atau
sebesar 50% dari total seluruh pendapatan. Jika menggunakan nisbah 1/n maka
dapat disimpulkan bahwa proporsi pendapatan bagi hasil yang diperoleh tidak
sebanding dengan biaya yang telah dikeluarkan. Hal ini dikarenakan persentase
pendapatan bagi hasil hanya sebesar 12,5% dari total pendapatan, lebih kecil
87,33% dari total seluruh biaya. Sedangkan punggawa laut sebagai pemilik
sarana produksi yang hanya berkontribusi sebesar 16,23% dari total seluruh
biaya justru memperoleh hasil yang lebih besar dari jumlah biaya yang
dikeluarkannya.
Selain dari segi nisbah bagi hasil, peneliti juga mencoba untuk
atas penghasilan bersih yang diperoleh nelayan sawi dan punggawa laut.
nisbah bagi hasil punggawa menerima proporsi pendapatan yang lebih besar
menerima proporsi pendapatan yang lebih kecil dibanding proporsi biaya yang
ditanggungnya. Hal ini berbanding lurus dengan jumlah penghasilan bersih yang
lebih besar dibanding nelayan sawi, dengan selisih sebanyak Rp. 2.900.400.
punggawa dan nelayan sawi dalam menentukan keadilan sistem bagi hasil usaha
bersih yang diperoleh oleh nelayan punggawa dan sawi melalui analisis
besarnya UMP di Sulawesi Selatan adalah sebesar Rp. 2.860.382,- per bulan.
Upah Minimum Provinsi ini disesuaikan dengan standar jumlah jam kerja yang
telah diatur dalam Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pasal 77 ayat 2 yang
77
jumlah jam kerja standar UMP, peneliti mencoba menyamakan terlebih dahulu
total jam kerja dengan menggunakan total jam kerja nelayan sebagai acuan.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari salah satu informan bernama Nurdin
Dg Tobo mengungkapkan bahwa mereka berangkat melaut pukul 17.00 sore dan
pulang melaut sekitar pukul 07.00 pagi dan itu dilakukan selama 6 hari dalam
sepekan. Sehingga diketahui total jam kerja nelayan dalam satu pekan adalah
sebanyak 84 jam.
- Standar jumlah jam kerja per minggu adalah 40 jam, maka untuk total jam
Maka dalam waktu 2,1 pekan tersebut, standar UMP yang ditetapkan adalah
sarana produksi perikanan itu, dengan menerima return berupa pendapatan yang
diperoleh dari bagi hasil usaha perikanan. Oleh karena itu, dalam menilai
berfluktuasi sesuai tingkat keuntungan dan kinerja bank syariah dalam jangka
sebagai contoh 46:54 yang berarti keuntungan diberi kepada nasabah sebesar
46% dan 54% ke pihak bank. Adapun nisbah yang ditawarkan salah satu bank
pendapatan yang diperoleh pemilik tanah ketika berinvestasi pada bagi hasil
55) diketahui bahwa jumlah seluruh biaya investasi yang dikeluarkan oleh
pekan yang diperoleh dari penghasilan bersih dari bagi hasil usaha perikanan.
80
Dengan jumlah investasi yang sama dengan investasi pada bagi hasil usaha
perikanan, tingkat pengembalian deposito syariah dalam satu bulan yaitu sebagai
berikut:
Gambar 5.2 Input Simulasi Pendanaan Produk BNI Deposito iB Hasanah 1 bulan
bulan
Pada gambar input dan output simulasi pendanaan produk BNI deposito
iB Hasanah dengan jangka waktu satu bulan yang di akses pada halaman
website BNI Syariah pada 21 Oktober 2020, dapat diketahui bahwa dengan
nisbah untuk nasabah dan 54% untuk pihak bank, maka diperoleh proyeksi bagi
hasil sebesar Rp241.719.- per bulan atau hanya sebesar Rp60.430,- per pekan.
pengembalian investasi pada bagi hasil usaha perikanan jauh lebih besar
sebesar Rp3.557.570,- per pekan atau return dari deposito syariah hanya 1,67%
dari total pendapatan punggawa jika berinvestasi pada sektor usaha perikanan.
Dari hasil tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa investasi pada bagi hasil usaha
terdapat beberapa ketidakadilan dalam hal besarnya proporsi nisbah bagi hasil
yang ditetapkan serta proporsi pendapatan yang diterima oleh masing masing
pihak. Dalam hal proporsi nisbah bagi hasil, ketidakadilan terjadi pada pihak
nelayan sawi karena proporsi biaya yang ditanggung jauh lebih besar dibanding
Selain itu jika dianalisis lebih lanjut, dari segi jumlah pendapatan, jumlah
pendapatan yang diterima oleh nelayan sawi dalam sepakan jauh lebih sedikit
Jumlah penghasilan nelayan sawi juga masih berada di bawah standar UMP
82
5.3 Konsistensi
diartikan sebagai adanya ketetapan pada segala hal yang telah disepakati di
awal perjanjian, mulai dari dimulainya akad sampai berakhirnya akad bagi hasil
usaha perikanan.. Jika terdapat salah satu pihak yang tidak konsisten terhadap
perjanjian yang telah disepakati, maka hal itu tentunya akan merugikan pihak lain
Oleh karena itu untuk menghindari adanya sikap tidak konsisten dari
salah satu pihak pada akad bagi hasil, Nurhayati dan Wasilah (2016:129)
menyarankan agar akad atau perjanjian bagi hasil sebaiknya dituangkan secara
tertulis dan dihadiri para saksi. Dalam perjanjian harus mencakup berbagai aspek
antara lain tujuan bagi hasil, nisbah pembagian keuntungan, periode pembagian,
sebagainya.
kerjasama antara pihak-pihak yang terlibat hanya sebatas akad lisan. Proses
dan nelayan yang mengakui bahwa tidak ada akad ataupun perjanjian bagi hasil
yang dilakukan sebelumnya. Seperti halnya hasil wawancara salah satu informan
83
bahwa
punggawa dan nelayan sawi melakukan perjanjian bagi hasil, belum pernah
timbul perselisihan yang terjadi akibat salah satu pihak tidak konsisten dalam
menjalankan hal-hal yang telah disepakati di awal perjanjian bagi hasil. Meskipun
perjanjian bagi hasil hanya dilakukan secara lisan dan tidak ada perjanjian tertulis
secara resmi yang dihadiri oleh saksi, namun setiap pihak tetap menjalankan
perjanjian bagi hasil sebagaimana yang telah disepakati. Hal ini dikarenakan
antara punggawa dan nelayan sawi. Adanya rasa ingin menjaga kepercayaan
dan membina hubungan yang baik antara punggawa dan nelayan sawi secara
dimiliki oleh nelayan sawi dan punggawa. Keadilan dari sisi bargaining power
berarti adanya kekuatan posisi tawar antara nelayan sawi dan pemilik tanah
tindakan semena-mena dari pihak yang memiliki bargaining power yang lebih
kuat terhadap pihak yang memiliki bargaining power yang lemah. Tindakan
Dari pernyataan informan diatas diketahui bahwa jumlah yang menawarkan diri
untuk menjadi sawi di Desa Topejawa jauh lebih besar dibanding jumlah
mengganti dan merekrut sawi lain. Oleh karena itu, sawi cenderung menerima
begitu saja ketentuan yang telah berlaku meskipun dirasa tidak adil dengan
85
kuli batu, buruh bangunan, dsb, sebagai profesi yang sangat diminati oleh
dimiliki oleh nelayan sawi di Desa Topejawa, sehingga nelayan sawi cenderung
berakhirnya akad bagi hasil, yaitu 1) dalam hal akad bagi hasil tersebut dibatasi
waktunya, maka akad tersebut berakhir pada waktu yang telah ditentukan, 2)
salah satu pihak mengundurkan diri, 3) salah satu pihak meninggal dunia atau
usaha untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dituangkan dalam akad, serta
maka alasannya harus jelas dan jika terdapat kerugian maka harus ada ganti rugi
“Saya selama jadi punggawa belum pernah ada sawi tiba-tiba saya kasih
berhenti. Malah kadang sawi itu sendiri yang menyatakan berhenti ketika
ada masalah dengan sawi lain yang berujung pada permusuhan sesama
mereka sehingga dia tidak mau lagi satu kapal. Jika hal itu terjadi maka
sawi yang berhenti tersebut tetap kita berikan haknya dengan menghitung
berapa hari dia ikut melaut dan selama ikut melaut berapa hasil
tangkapan yang diperoleh yang kemudian dikurangi biaya yang
dikeluarkan pada saat itu.” (28 Agustus 2020)
Informan bernama Nurdin Dg Tobo. Hal lain yang terjadi ialah malah sawi yang
meminta berhenti disebabkan karenanya adanya masalah dengan sawi yang lain
yang berujung pada permusuhan yang menyebabkan sawi tersebut tidak mau
lagi satu kapal dengan sawi bersangkutan. Ketika sawi tersebut berhenti maka
perikanan di Desa Topejawa terdapat ganti rugi bagi sawi yang berhenti maupun
dengan kondisi alam laut yang tidak dapat dihindari oleh para nelayan ketika
melaut misalnya badai, gelombang, dan kondisi alam lainnya yang berisiko
kerugian, yaitu rugi namun masih terdapat modal yang tersisa atau rugi total
“kerugian pada akad bagi hasil ditanggung harta (modal), sang amil tidak
hasil terjadi kerugian maka prinsipnya yang menanggung adalah pemilik modal
atau dalam hal ini punggawa, bukan pengelola dana. Hal ini dikarenakan sang
amil atau dalam hal ini nelayan sawi telah menderita kerugian dari tenaga dan
bahwa kerugian yang diderita dibagi dua atau sepertiga ditanggung pihak
mengajukan syarat yang tidak ada dalam Kitabullah, maka tidak diterima,
Dalam PSAK 105 yang mengatur tentang akad bagi hasil, juga telah
disebutkan bahwa dalam akad bagi hasil apabila terjadi kerugian maka kerugian
akan ditanggung oleh pemilik dana atau dalam hal ini punggawa sepanjang
kerugian itu tidak diakibatkan oleh kelalaian pengelola dana atau dalam hal ini
nelayan sawi. PSAK 105 par 18 memberikan beberapa contoh bentuk kelalaian
pengelola dana, yaitu : persyaratan yang ditentukan dalam akad tidak dipenuhi,
tidak terdapat kondisi di luar kemampuan (force majeure) yang lazim dan/atau
yang telah ditentukan dalam akad, atau merupakan hasil keputusan dari institusi
yang berwenang.
88
mengungkapkan
Selain itu, Informan lain bernama Ramli yang merupakan nelayan sawi
menambahkan
“Iye‟ memang biasa kita alami yang namanya rugi, dimana lebih banyak
ongkos ketimbang hasil yang diperoleh. Kerugian ongkos itu menjadi
kerugian yang harus ditanggung bersama jadi misal pekan ini kita keluar
kemudian kita rugi perongkosan maka jika pekan depan kita untung maka
dikeluarkan dulu biaya ongkos yang lalu, nanti setelah dikeluarkan
barulah sisanya itu dibagi hasilkan” (03 September 2020)
adanya ketidaksesuaian antara sistem bagi hasil yang terjadi di Desa Topejawa
dengan ketentuan bagi hasil dalam Islam jika terjadi kerugian, dimana
pembagian risiko ketika terjadi kerugian dalam sistem bagi hasil perikanan di
Desa Topejawa.
89
Dalam penelitian ini, peneliti menilai sistem bagi hasil yang diterapkan di
Islam. Peneliti menetapkan enam elemen untuk menentukan apakah sistem bagi
hasil yang diterapkan telah memenuhi kriteria sebagai sistem bagi hasil yang
yang seimbang, adanya ganti rugi jika akad diberhentikan, serta mekanisme
transparansi pendapatan. Dari hasil analisis peneliti, transparansi objek bagi hasil
yang diterapkan pada sistem bagi hasil perikanan di Desa Topejawa masih
dimana pada sistem bagi hasil yang diterapkan belum terdapat kejelasan dan
pada sistem bagi hasil di daerah tersebut juga belum memenuhi kriteria keadilan.
keadilan karena nelayan sawi telah menjunjung tinggi nilai kejujuran dalam
terkait biaya produksi. Selain itu, adanya kepercayaan yang kuat antara
punggawa dan nelayan sawi juga secara tidak langsung menyebabkan proses
bersih yang akan dibagi hasilkan. Selain itu punggawa menunggu para anggota
berkumpul sebelum melakukan proses pembagian dan jika ada yang belum hadir
maka nelayan sawi yang lain berinisiatif memanggil anggota untuk menyaksikan
bersama oleh para nelayan sawi lebih besar dari kontribusi pendapatan yang
diterima masing-masing sawi. Selain itu untuk pendapatan, dari sisi nelayan
sawi, penghasilan bersih yang diterima nelayan sawi masih berada jauh di bawah
standar UMP sedangkan dari sisi punggawa, telah memiliki pendapatan yang
91
layak dan berada di atas UMP. Demikian dapat disimpulkan bahwa dalam sistem
bagi hasil di Desa Topejawa, baik nisbah maupun pendapatan bagi hasil belum
disepakati di awal akad. Berdasarkan hasil penelitian, pada sistem bagi hasil
konsisten terhadap perjanjian yang telah disepakati di awal. Hal ini didorong oleh
adanya rasa kekeluargaan dan keinginan untuk menjaga hubungan yang baik
keadilan dalam hal konsistensi terhadap perjanjian yang telah disepakati di awal
power (kekuatan tawar) yang setara sehingga tidak ada pihak yang bertindak
penawaran tenaga kerja dan rendahnya taraf pendidikan nelayan sawi di daerah
bargaining power pada sistem bagi hasil di Desa Topejawa masih belum
perikanan di Desa Topejawa terdapat ganti rugi bagi sawi yang berhenti maupun
92
yang telah dikeluarkan. Sehingga untuk indikator keadilan ini dapat dikatakan
telah tercapai.
dalam hal pembagian risiko ketika terjadi kerugian dapat dicapai ketika
mekanisme pembagian risiko kerugian telah sesuai dengan syariat Islam. Namun
sebagai biaya yang menjadi tanggungan bersama yang harus dibayarkan terlebih
dahulu sebelum dilakukan pembagian hasil di masa yang akan datang dan hal ini
tidak sesuai dengan syariat Islam. Oleh karena itu, keadilan dalam hal
kriteria keadilan
enam elemen yang telah ditetapkan, hasil analisis peneliti dapat dapat dirangkum
Tabel 5.4 Hasil Analisis Keadilan Sistem Bagi Hasil Usaha Perikanan
Penilaian
Elemen Penilaian Deskripsi Keterangan
Keadilan
Nisbah Bagi Hasil Proporsionalitas dari Belum Adil Kontribusi biaya yang
nisbah bagi hasil ditanggung bersama
yang ditetapkan pada para nelayan sawi
akad bagi hasil masih belum sebanding
perikanan dengan proporsi
pendapatan yang
diterimanya.
sawi
Ganti Rugi ketika Ada atau tidaknya Adil Terdapat ganti rugi bagi
Akad Diberhentikan ganti rugi yang sawi yang berhenti
diberikan ketika maupun yang
perjanjian diberhentikan untuk
diberhentikan ketika mengganti kontribusi
proses produksi yang telah dilakukan.
masih berlangsung.
Berdasarkan tabel hasil analisis keadilan pada sistem bagi hasil usaha
perikanan, dapat dilihat bahwa dari sembilan elemen penilaian keadilan yang
ditetapkan, empat elemen telah memenuhi kriteria yang telah ditetapkan, dan
lima elemen belum memenuhi kriteria keadilan yang telah ditetapkan. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa sistem bagi hasil berkeadilan pada usaha
sebagai sistem bagi hasil yang berkeadilan. Hal ini dikarenakan masih terdapat
beberapa aspek yang belum memenuhi kriteria adil seperti dari aspek
nisbah bagi hasil yang ditetapkan, serta kesetaraan bargaining power di antara
kedua belah pihak. Salah satu aspek yang menjadi elemen utama dari penilaian
keadilan, yaitu nisbah bagi hasil yang proporsional juga masih belum terpenuhi.
Oleh karena itu, masih dibutuhkan beberapa langkah perbaikan dan penyesuaian
dengan nilai-nilai keadilan dalam Islam pada sistem bagi hasil yang diterapkan
95
agar sistem bagi hasil perikanan di Desa Topejawa dapat menjadi sistem bagi
6.1 Kesimpulan
sistem bagi hasil di Desa Topejawa belum sepenuhnya mencapai sistem bagi
hasil yang berkeadilan. Penilaian ini didasarkan pada enam elemen yang
konsistensi, bargaining power yang seimbang, ada tidaknya ganti rugi ketika
memenuhi kriteria adil seperti dari aspek transparansi objek bagi hasil,
transparansi jangka waktu bagi hasil, proporsionalitas nisbah bagi hasil yang
Islam. Salah satu aspek yang menjadi elemen utama dari penilaian keadilan,
yaitu nisbah bagi hasil yang proporsional juga masih belum terpenuhi. Oleh
dengan nilai-nilai keadilan dalam Islam pada sistem bagi hasil yang diterapkan
agar sistem bagi hasil perikanan di Desa Topejawa dapat menjadi sistem bagi
96
97
6.2 Saran
sebelumnya, maka terdapat beberapa hal yang masih harus menjadi perhatian
masing pihak yang terlibat dalam bagi hasil usaha perikanan mengenai nisbah
bagi hasil agar nisbah yang ditetapkan benar-benar proporsional dan tidak
sektor perikanan sebagai salah satu megasektor yang dimiliki Indonesia dengan
di bidang perikanan.
yang dapat merugikan nelayan akibat bentuk perjanjian yang belum adil dapat
diminimalisir
98
DAFTAR PUSTAKA
Antonio, Muhammad, Syafi‟i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta:
Gema Insani.
Khasanah, Umrotul. 2010. Sistem Bagi Hasil dalam Syariat Islam. Jurnal Syariah
dan Hukum, (Volume I, Nomor 2): 8.
Linrung, Tamsil. 2007. Potret Ketertinggalan Nelayan Kita. Jakarta: Hanan Press
Muhammad. 2016. Sistem Bagi Hasil dan Pricing Bank Syariah. Yogyakarta: UII
Press Yogyakarta.
Nasikun, Dr. 1996. Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga. PT. Tiara
Wacana.Yogyakarta.
P3EI UII Yogyakarta. 2008. Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Saeed, Abdullah. 2008. Bank Islam dan Bunga: Studi Kritis Interpretasi
Kontemporer tentang Riba dan Bunga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widiastuti, Retno, dan Latifathul Roshidah. 2008. Sistem Bagi Hasil Pada Usaha
Perikanan Tangkap Di Kepulauan Aru. Jakarta Utara: Balai Besar Riset
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan.
DAFTAR INFORMAN
PEMILIK KAPAN DAN PENGELOLA
JUMLAH PUNGGAWA
NO. NAMA UMUR
CA’DI/NAHKODA
NAMA HUBUNGAN
NO JUMLAH DENGAN
NAMA UMUR PUNGGAWA
. PUNGGAWA
SAWI LOMPO LOMPO
Nurdin Dg
1. 37 6 Orang Yusuf Dg Nompo Sepupu
Tobo
Muis Dg
2. 40 6 Orang Yusuf Dg Nompo Sepupu
Nya‟la
HUBUNGAN
N UMUR NAMA PUNGGAWA DENGAN
NAMA
O. PUNGGAWA
75
1. Yakasa Dg Maling Yusuf Dg Nompo Kakek
Tahun
53
2. Dorasa Dg Kalu Indar Dg Tinri -
Tahun
19
3. Ramli Dg Ngalli Nurdin Dg Tobo Saudara
Tahun
37
4. Syarifuddin Dg Sarro Muis Dg Nya‟la -
Tahun
55
5. Yunus Dg Taba Yusuf Dg Nompo Paman
Tahun
54
6. Jahar Dg Buang Nurdin Dg Tobo Ayah
Tahun
20
7. Kasman Nurdin Dg Tobo -
Tahun
LAMPIRAN 2 : DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
5. Siapakah yang menanggung seluruh biaya-biaya dan biaya apa saja yang
Anda tanggung ?
11. Jenis kapal apa yang bapak miliki yang digunakan nelayan untuk pergi
melaut?
13. Apakah Anda mencatat setiap pengeluaran dan pemasukan yang diperoleh
hasil tangkapannya ?
16. Apakah pernah ada sosialisasi dari Pemerintah tentang UU Bagi Hasil
Perikanan ?
4. Sebagai nelayan dalam bentuk apa saja modal yang Anda berikan ?
8. Apakah nisbah bagi hasil di dalam kerjasama ini disepakati bersama dan
didapatkan ?
10. Bagaimana jika terjadi pelanggaran dalam hal pembagian hasil, atau tidak
12. Jika hasil tangkapan ikan yang didapatkan hanya untuk memenuhi
14. Kalau hari itu perahu yang Anda gunakan tidak pergi melaut apakah Anda
16. Apakah ada asuransi keselamatan kerja yang diberikan oleh Pemilik
Kapal ?
17. Apakah pernah ada sosialisasi dari Pemerintah tentang UU Bagi Hasil
Perikanan ?
BIODATA
IDENTITAS DIRI
Nama : Samsuddin Yunus
Tempat Tanggal Lahir : Takalar, 04 Agustus 1995
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dusun Lamangkia, Desa Topejawa,
Kecamatan Mangarabombang, Takalar.
Telepon : 085244635811
Alamat Email : ampabakery@gmail.com
RIWAYAT PENDIDIKAN
- Pendidikan Formal
- Pendidikan Nonformal
Hasanuddin (2014)
PENGALAMAN
- Organisasi
Hasanuddin
Sekarang
- Kerja
Samsuddin Yunus