Anda di halaman 1dari 158

SKRIPSI

ANALISIS YURIDIS TERHADAP HAK KEBEBASAN


BERSERIKAT DAN BERKUMPUL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR
16 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN PROSEDUR PEMBUBARAN
ORGANISASI KEMASYARAKATAN
(Studi Kasus Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia)

Disusun dan diajukan oleh:

Tanto Saputra

B11116411

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2023
HALAMAN JUDUL

ANALISIS YURIDIS TERHADAP HAK KEBEBASAN BERSERIKAT


DAN BERKUMPUL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN
2017 TENTANG PERUBAHAN PROSEDUR PEMBUBARAN
ORGANISASI KEMASYARAKATAN
(Studi Kasus Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia)

OLEH

TANTO SAPUTRA

B1116411

SKRIPSI

Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana pada

Departemen Hukum Tata Negara Program Studi Ilmu Hukum

PEMINATAN HUKUM TATA NEGARA


DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2023
HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa Skripsi mahasiswa:

Nomor Pokok : B111 16 411

Bagian : Hukum Tata Negara

Judul : Analisis Yuridis Terhadap Hak Kebebasan Berserikat


dan Berkumpul dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2017 Tentang Perubahan Prosedur
Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan (Studi
Kasus Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia)

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam ujian skripsi.

Makassar, Juni 2023

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Prof. Dr. Aminuddin Ilmar S.H., M.Hum. Eka Merdekawati Djafar, S.H., M.H.
NIP. 19640910 198903 1 004 NIP.19820513 200912 2 001

iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Tanto Saputra

NIM : B1116411

Program Studi : Ilmu Hukum

Jenjang : S1

Menyatakan dengan ini bahwa skripsi dengan judul “ANALISIS YURIDIS

TERHADAP HAK KEBEBASAN BERSERIKAT DAN BERKUMPUL

DALAM UU NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN

PROSEDUR PEMBUBARAN ORMAS (Studi Kasus Pembubaran Hizbut

Tahrir Indonesia” adalah karya saya sendiri dan tidak melanggar hak cipta

pihak lain. Apabila dikemudian hari Skripsi saya ini terbukti bahwa sebagian

atau seluruhnya adalah hasil karya orang lain yang saya pergunakan

dengan cara melanggar hak cipta pihak lain, maka saya bersedia menerima

sanksi.

Makassar, Juni 2023

Tanto Saputra

iv
ABSTRAK

Tanto Saputra (B11116411) dengan Judul “Analisis Yuridis Terhadap


Hak Kebebasan Berserikat dan Berkumpul Dalam Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Perubahan Prosedur Pembubaran
Organisasi Kemasyarakatan (Studi Kasus Pembubaran Hizbut Tahrir
Indonesia)”. Dibawah bimbingan Ilmar Aminuddin sebagai Pembimbing I
dan Eka Merdekawati Djafar sebagai Pembimbing II.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui substansi perubahan pengaturan


pembubaran ormas dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang
Organisasi Kemasyarakatan dan kesesuaiannya dengan prinsip hak atas
kebebasan berserikat dan berkumpul serta prinsip kepastian hukum
dengan menggunakan studi kasus pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Hukum Normatif melalui


teknik pengumpulan bahan hukum Kepustakaan (Library Research) serta
berdasarkan Pendekatan Perundang-Undangan dan Konseptual. Bahan
hukum yang berhasil dihimpun kemudian penulis analisis secara Kualitatif
Deskriptif.

Adapun hasil penelitian ini menemukan bahwa keputusan pemerintah untuk


mengubah mekanisme pembubaran ormas memiliki kelemahan secara
substansial karena tidak bersesuaian dengan nilai-nilai kepastian hukum
dan prinsip pengaturan terhadap pembatasan hak atas kebebasan
berserikat dan berkumpul. Pertama, perubahan prosedur pembubaran
ormas akibat berlakunya asas contrarius actus serta berubahnya politik
hukum pemerintah setidaknya berimplikasi pada hilangnya mekanisme
peradilan, pemangkasan proses penjatuhan sanksi berjenjang dan klaim
proses hukum yang hanya menjadi kewenangan pemerintah. Kedua,
keputusan untuk membubarkan HTI yang didasarkan pada
pertentangannya dengan Pancasila dan UUD 1945, tidak adanya kontribusi
positif dalam upaya pembangunan nasional, serta mengganggu keamanan
dan ketertiban umum telah sesuai dengan perubahan prosedur
pembubaran dalam Undang-Undang Ormas tetapi belum memenuhi aspek
kepastian hukum sehingga perlu didasarkan pada ukuran-ukuran objektif
sebagaimana kriteria pembatasan derogable rights dalam Konstitusi RI
Pasal 28 J maupun dalam ketentuan norma hukum internasional.

Kata Kunci: Organisasi Kemasyarakatan, Hak Kebebasan Berserikat dan


Berkumpul, Hizbut Tahrir Indonesia.

v
ABSTRACT

Tanto Saputra (B11116411) with the title "Juridical Analysis of the


Right to Freedom of Association and Assembly in Law Number 16 of
2017 concerning Amendments to the Procedure for Dissolution of
Community Organizations (Case Study of the Dissolution of Hizbut
Tahrir Indonesia)". Under the guidance of Aminuddin Ilmar as Supervisor
I and Eka Merdekawati Djafar as Supervisor II.

This study aims to determine the substance of changes in the regulation of


the dissolution of mass organizations in Law Number 16 of 2017 concerning
Community Organizations and its suitability with the principle of the right to
freedom of association and assembly and the principle of legal certainty by
using a case study of the dissolution of Hizbut Tahrir Indonesia.

This research uses Normative Legal research methods through Library


Research legal material collection techniques and based on Legislation and
Conceptual Approaches. The legal materials collected then the author
analyzes qualitatively descriptive.

The results of this study found that the government's decision to change the
mechanism for dissolving mass organizations has substantial weaknesses
because it is not in accordance with the values of legal certainty and the
principle of regulation of restrictions on the rights to freedom of association
and assembly. First, the change in the procedure for dissolving mass
organizations due to the application of the principle of contrarius actus and
the change in government legal politics at least has implications for the loss
of the judicial mechanism, the trimming of the process of imposing tiered
sanctions and the claim that the legal process is only the authority of the
government. Second, the decision to dissolve HTI based on its opposition
to Pancasila and the 1945 Constitution, the absence of positive
contributions to national development efforts, and disturbing security and
public order has been in accordance with changes in the dissolution
procedure in the Ormas Law but has not fulfilled the aspect of legal certainty
so that it needs to be based on objective measures as the criteria for limiting
derogable rights in the Indonesian Constitution Article 28 J and in the
provisions of international legal norms.

Keywords: Mass Organization, Right to Freedom of Association and


Assembly, Hizbut Tahrir Indonesia.

vi
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Bismillah, Alhamdulillah Wassalatu Wassalamu ‘Ala Rasuulillah, puji

syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta'ala atas seluruh kepemilikan Ilmu

yang bermanfaat bagi manusia sehingga dengan-Nya penulis mendapat

bagian untuk menyelesaikan skripsi berjudul “Analisis Yuridis Terhadap

Hak Kebebasan Berserikat Dan Berkumpul Dalam UU Nomor 16

TAHUN 2017 Tentang Perubahan UU Organisasi Kemasyarakatan

(Studi Kasus Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia”. Sholawat serta

salam juga semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu

‘Alaihi Wasallam dan kepada orang-orang yang beliau cintai.

Suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis untuk menyelesaikan

tulisan ini sebagai salah satu syarat kelulusan menempuh pendidikan

jenjang Strata 1 (S1) di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Tidak ada

gading yang tak retak begitupun diri pribadi sebagai manusia yang tak luput

dari keterbatasan dan kesalahan. Atas dasar itu pula, penulisan skripsi ini

masih jauh dari nilai-nilai kebaikan dan kebenaran sehingga memerlukan

lebih banyak orang untuk membaca, memberikan perhatian, dan masukan

pada tema yang penulis coba angkat berupa isu kebebasan berserikat dan

berkumpul di Indonesia.

Melalui kesempatan ini secara khusus dan yang paling utama,

penulis menghaturkan salam dan doa-doa baik kepada kedua orang tua

vii
atas seluruh dukungan materi dan moril/immateril yang tak ternilai dan tak

mungkin berbalas. Dalam pengantar ini pula, penulis meminta permohonan

maaf yang sebesar-tulusnya kepada bapak La Toinda S.Pd.i dan Ibu Wa

Ode Harida karena terlambat selesainya masa studi, semoga bisa lebih

membahagiakan kedepan. Maka Yaa Allah, Rabbighfir li, wa li walidayya,

warhamhuma kama rabbayani saghira.

Dengan seluruh kerendahan hati, penulis juga ingin menyampaikan

ungkapan Terima Kasih Banyak kepada seluruh pihak yang terlibat dalam

proses penyelesaian skripsi ini, terutama:

1. Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa. M. Sc selaku Rektor Universitas

Hasanuddin serta seluruh jajaran di Rektorat;

2. Prof. Dr. Hamzah Halim., S.H., M.H, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin dan seluruh jajaran Dekanat;

3. Prof. Dr. Aminuddin Ilmar S.H., M.Hum. sebagai Pembimbing I dan Ketua

Departemen Hukum Tata Negara;

4. Eka Merdekawati Djafar, S.H., M.H. sebagai pembimbing II dan atas

pemenuhan perhatian kepada para mahasiswa;

5. Dr. Naswar, S.H., M.H. sebagai Penguji I;

6. Dr. Zulfan Hakim S.H., M.H. sebagai Penguji II;

7. Dr. Muhammad Ilham Arisaputra, S.H., M.Kn. selaku Ketua Program

Studi Ilmu Hukum;

8. Ibu Dian Utami Mas Bakar, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing

Akademik dan sebelumnya menjadi Pembimbing II;

viii
9. Segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin atas seluruh

bentuk pelajaran berupa ilmu yang berkenan dibagikan kepada kami

selaku mahasiswa. Berikutnya, kami juga sekaligus memohon maaf

karena belum maksimal menyerap ilmu yang diberikan.

10. Seluruh Pegawai dan Staff Akademik yang telah banyak membantu

melayani urusan administrasi dan bantuan lainnya selama menuntut ilmu

sampai akhirnya menyelesaikan skripsi.

11. Senior-Kawan-junior yang membersamai Angkatan 2016;

12. UKM LD Asy-Syariah sebagai tempat awal berorganisasi di kampus dan

semoga semakin banyak kader;

13. UKM garda Tipikor dengan seluruh keromantisan yang ada didalamnya;

14. Seluruh Organisasi Eksternal Kampus yang Penulis sempat tergabung

di dalam organisasi dan ke-organisasiannya;

15. Teman-teman karib penulis yang mendampingi selama masa awal

sebagai mahasiswa hingga akhirnya akan dinyatakan lulus, semoga

Allah memperberat hubungan baik dan persaudaraan ini hingga saling

dapat memberikan manfaat ke Syurganya;

Akhirnya, terimakasih diri sendiri atas niat untuk menyelesaikan dan kerja

keras yang terlambat, semoga skripsi ini dapat menjadi kebaikan untuk

penulis secara pribadi dan untuk pembaca yang berkenan secara umum.

Makassar, Juni 2023

Tanto Saptra

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN PEMBIMBING i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI iv
ABSTRAK v
ABSTRACT vi
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 9
C. Tujuan Penelitian 10
D. Kegunaan Penelitian 10
E. Keaslian Penelitian 11
F Metode Penelitian 15
1. Jenis Penelitian 15
2. Bahan Hukum 16
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 19
4. Pendekatan Penelitian 19
5. Analisis Bahan Hukum 21
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS PERMASALAHAN
PERTAMA 24
A. Organisasi Kemasyarakatan 24
1. Sejarah Awal 24
2. Pengertian Ormas 26
3. Pengaturan Pembubaran Ormas di Indonesia 29
4. Pengaturan Ormas di Indonesia 37
B. HAK ASASI MANUSIA 41
1. Konsep Dasar dan Hakikat HAM 41
2. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia 45
3. Prinsip-Prinsip Kebebasan Berserika dan Berkumpul 54
4. Prinsip Derogasi Hak Atas Kebebasan Berserikat dan
Berkumpul 55

x
C. Pembahasan Pengaturan Pembubaran Ormas dalam Undang-
undang Nomor 16 Tahun 2017 terhadap Kesesuaiannya dengan
Prinsip Hak atas Kebebasan Berserikat dan Berkumpul serta Asas
Kepastian Hukum 63
BAB III TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS PERMASALAHAN
KEDUA 90
A. Postulat Hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
dalam Kerangka Hukum Nasional 89
1. Sejarah dan Perkembangan Perppu 89
2. Kedudukan Perppu 93
3. Tafsir Kegentingan yang Memaksa 97
B. Organisasi Masyarakat Hizbut Tahrir 103
1. Sejarah Pembentukan dan Masuknya Hizbut Tahrir di
Indonesia 103
2. Gagasan Hizbut Tahrir 106
3. Strategi Dakwah Hizbut Tahrir 108
C. Pembahasan Prosedur dan Tata Cara Pembubaran Organisasi
Kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia melalui Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017 111
BAB IV 138
PENUTUP 138
A. Kesimpulan 138
B. Saran 140
DAFTAR PUSTAKA 140

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai ide dasar terselenggaranya suatu

negara hukum pada intinya sudah selesai dan final dalam tatanan konsep

bernegara. Hakikat dan nilai filosofis hak ini adalah keberadaannya yang

merupakan pemberian Tuhan Yang Maha Esa, sehingga menjadikan

Negara bukan sebagai pemilik dan pemberi hak tersebut tetapi justru

berkewajiban untuk melindungi hak asasi itu sebagai konsekuensi

penerimaan mandat kedaulatan rakyat. Keadaannya yang menjadi

prasyarat terbentuknya entitas negara hukum juga seharusnya dipahami

sebagai alat bantu untuk mencapai tujuan-tujuan negara.1

Meskipun begitu, sampai hari ini masih banyak negara di dunia yang

warga dan pemerintahnya dihadapkan pada isu pelanggaran HAM,

termasuk di Indonesia yang salah satu perdebatannya masih menyangkut

pengaturan ideologi organisasi. Isu ini seringkali menimbulkan konflik dalam

negara karena secara langsung bersinggungan dengan hak atas

kebebasan berserikat (Freedom of Association).

1
Miriam Budiarjo, 2008, Edisi Revisi: Dasar-dasar Ilmu Pilitik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
hlm. 113.

1
Kebijakan untuk melindungi dan mengarahkan kegiatan masyarakat

agar bersesuaian dengan ideologi negara memang benar diperlukan

pemerintah. Apalagi berkaitan dengan organisasi masyarakat sipil yang

secara hak dapat direstriksi atas dasar kepentingan umum dan menyangkut

hak asasi orang lain. Namun disisi lain pengambilan keputusan dan

tindakan oleh pemerintah terhadap pengaturan organisasi menuntut kehati-

hatian karena riskan disalahgunakan. Apalagi jika yang diatur adalah hak

warga negara yang memiliki potensi konflik dengan pemerintah jika tidak

terpenuhi.

Salah satu masalah hukum yang mengemuka sampai hari ini adalah

keputusan pemerintah karena menerbitkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (PERPPU) Nomor 2 Tahun 2017 atas

perubahan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan. Peraturan ini diajukan dan ditandatangani oleh Presiden

pada tanggal 10 Juli 2017.2 Melalui Rapat Paripurna pada tanggal 24

Oktober 2017, DPR kemudian mengesahkan Perppu ini menjadi Undang-

Undang Nomor 16 tahun 2017.

Pemerintah berpandangan bahwa undang-undang nomor 17 tahun

2013 belum secara komprehensif mengatur kedudukan Ormas yang

bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945 sehingga dapat dikatakan

2
Harian Kompas, “ Wiranto; Perppu bukan Tindakan yang Sewenang-wenang dari Pemerintah”,
diakses pada tanggal 18 juni 2022 melalui laman
https://nasional.kompas.com/read/2017/07/12/12232051/ini-tiga-pertimbangan-pemerintah-
menerbitkan-perppu-ormas

2
terjadi kekosongan hukum. 3 Pada peraturan ormas sebelumnya juga belum

menganut asas Contrarius Actus yang membuat pemerintah harus

menghadapi serangkain proses peradilan terlebih dahulu untuk membuat

keputusan hukum berupa sanksi administratif bagi ormas yang terbukti

melanggar aturan.4 Adanya asas ini menjadikan pemerintah memiliki

kewenangan untuk memberi izin dan mencabut status badan hukum

ormas.5

Secara umum materi perubahan dalam undang-undang ormas

terbaru ini tidak banyak mengalami perbedaan dengan peraturan ormas

sebelumnya. Hanya saja secara substansi terdapat penekanan mengenai

kewajiban menyandarkan tujuan organisasi agar bersesuaian dengan UUD

1945.6 Frase “paham lain” bahkan ditambahkan oleh pemerintah untuk

memperluas makna pasal berupa larangan terhadap ormas yang

menyimpangi Pancasila.7

Pokok materi lain yang signifikan berubah adalah tidak adanya lagi

kewajiban bagi pemerintah untuk merujuk atau sekedar menimbang dan

meminta suatu keputusan hukum kepada lembaga peradilan terlebih

3
Konsideran peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 pada bagian
Menimbang huruf (c) tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
organisasi Kemasyarakatan.
4
Ibid, Huruf (e).
5
Moh. Jatim dan Levina Yustitianingtyas, “Analisis Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan
dalam Perspektif Asas Contrarius Actus”, Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, Vol. 6 Tahun
2021, hlm. 64.
6
Perubahan Pasal 1 Angka (1) UU Nomor 17 Tahun 2013.
7
Ibid, Pasal 59 Ayat (4) Huruf c.

3
dahulu terhadap pelanggaran yang lazimnya memerlukan keterlibatan

lembaga yudikatif.8 Ini merupakan implikasi dari penerapan Asas Contrarius

Actus yang membuat pemerintah dapat secara bebas memilih instansi

mana yang dapat terlibat dalam menjatuhkan sanksi administratif kepada

ormas.9

Polemik tentang perluasan pengaturan norma dan mekanisme

pembubaran organisasi masyarakat ini lalu berkembang dan menjelma

menjadi diskursus baru sebab masyarakat khawatir akan munculnya

kembali intervensi dan dominasi pemerintah terhadap isu kebebasan

berserikat. Apalagi jika motifnya hanya didasari kepentingan politik

pemerintah dengan mengabaikan kaidah hukum sebagaimana terjadi pada

masa Orde Baru.10 Konstruksi peraturan ini kemudian menjadi perhatian

serius dari masyarakat utamanya mereka yang terafiliasi dalam kelompok

masyarakat sipil untuk terus melakukan pengujian terhadap undang-

undang ormas ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap menyalahi Hak

atas Kebebasan Berserikat dan Berorganisasi 11 maupun prinsip Due

8
Karena berbeda dari pengaturan dalam Perppu Ormas, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985
(Pasal 22 PP Nomor 18 Tahun 1986) dan Perubahannya melalui Undang-undang nomor 17 Tahun
2013 (pasal 65 dan 67) tentang ormas telah sama-sama mengatur mengenai adanya peran
lembaga peradilan dalam proses pemberian sanksi hukum melalui mekanisme administratif
terhadap pelanggaran yang dilakukan ormas.
9
Pasal 61 ayat 4 Perppu Ormas.
10
Victor Imanuel Nalle, “Asas Contrarius Actus pada Perppu Ormas: Kritik dalam Perspektif
Hukum Administrasi Negara dan Hak Asasi Manusia”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4
Tahun 2017, hlm. 255.
11
Keputusan sidang paripurna Komnas HAM tentang Penyusunan Standar Norma dan Setting
Kebebasan berkumpul dan Berorganisasi atas dasar kebutuhan pemaknaan, penilaian, dan
petunjuk atas kaidah-kaidah dan peristiwa HAM sebagai respon terhadap semakin banyaknya
tindakan represif dari Negara dan aktor non-negara yang mengancam kebebasan berkumpul dan

4
Process of Law dengan menyederhanakan mekanisme pemberian sanksi

dan mengeliminasi peran peradilan.12

Salah satu organisasi yang terdampak akibat adanya perubahan

pengaturan ormas melalui Perppu ini adalah dicabutnya status Badan

Hukum Publik (BHP) milik Organisasi Kemasyarakatan Hizbut Tahrir

Indonesia (HTI) melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor

AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri

hukum dan HAM Nomor AHU-0028.60.10.2014 atas Pengesahan Pendirian

Badan Hukum Perkumpulan HTI.13

Sebelum adanya perppu ormas, pemerintah pada dasarnya telah

mengakui HTI sebagai organisasi yang boleh berada di Indonesia. Namun

setelah adanya Perppu Ormas melalui ketentuan pasal 59 ayat (4) huruf C

mengenai perluasan tafsir terhadap norma yang bertentangan dengan

ideologi negara maka secara resmi pemerintah mencabut status badan

hukum organisasi HTI sekaligus mengafirmasi pembubaran terhadap

organisasi ini sebagaimana ketentuan pada pasal 80 A.14

berorganisasi, diunduh pada tanggal 27 Desember 2019 melalui laman Website :


www.komnasham.go.id
12
Laman Berita MKRI, disampaikan oleh Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Indra
Perwira selaku ahli pemohon dalam sidang pengujian Perppu Ormas, diakses pada tanggal 23 Juni
2022 melalui: https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=14364.
13
Situs Hukumonline.com, diakses pada tanggal 25 Juni 2022 melalui:
https://www.hukumonline.com/berita/a/kemenkumham-cabut-status-badan-hukum-hti-
lt596f08d298b25
14
Bahwa pencabutan status badan hukum ormas oleh pemerintah sekaligus dinyatakan bubar
berdasarkan Perppu ini.

5
Selain asas dan paham yang menurut pemerintah bertentangan

dengan pancasila yang menjadi ideologi negara, organisasi ini juga

dianggap tidak memiliki kontribusi positif dalam upaya pembangunan

nasional serta menimbulkan benturan dalam masyarakat yang secara

langsung mengancam keamanan negara.15 Atas dasar itulah pemerintah

memandang layak agar organisasi ini dibubarkan.

Dinamika pengaturan organisasi masyarakat ini pada prinsipnya

memang akan selalu berhadapan dengan kepentingan dan tuntutan

kebebasan publik. Bahkan pengaturan apapun yang menyangkut hak atas

kebebasan oleh sebagian masyarakat justru bermakna pembatasan akan

kebebasan itu sendiri. Asumsi ini dilatarbelakangi oleh fakta bahwa

peraturan mengenai ormas di Indonesia sejak awal telah memicu banyak

polemik.

Gugatan publik tersebut paling tidak dimulai dari berlakunya UU

Nomor 8 Tahun 1985 yang dianggap terlalu memaksakan asas tunggal

Pancasila.16 Belum lagi cara yang digunakan oleh pemerintah dalam proses

implementasinya yang kental dengan pendekatan politik-keamanan

berwujud kontrol dan represi.17 Bahkan tidak lama setelah peraturan ini

15
Berita Online dalam Harian Kompas, diakses pada tanggal 17 Mei 2021 melalui laman:
https://nasional.kompas.com/read/2017/05/08/14382891/ini.alasan.pemerintah.bubarkan.hizbu
t.tahrir.indonesia
16
Tirto.id, diakses pada tanggal 26 Juni 2022 melalui laman online: https://tirto.id/sejarah-dan-
penerapan-pancasila-masa-orde-baru-soeharto-1966-1998-ghNK
17
Eryanto Nugroho, “Sengkarut Hukum Pembubaran Ormas”, Pusat Studi hukum dan Kebijakan,
27 Juni 2022, (Opini), diakses dari: https://www.pshk.or.id/blog-id/sengkarut-hukum-
pembubaran-ormas/

6
diundangkan, banyak organisasi yang akhirnya dibubarkan oleh pemerintah

dengan dalih tidak sejalan dan tidak menyesuaikan diri dengan UU Ormas

yang telah sahkan.18

Begitupun dengan ketentuan UU Nomor 17 Tahun 2013 sebelum

adanya perppu ormas yang salah satu kritiknya adalah adanya syarat

administratif bagi organisasi jika ingin mendapat pengakuan oleh negara.

Karena sifatnya yang subjektif peraturan ini oleh masyarakat dan pemerhati

HAM pada masa itu juga dianggap hanya sebagai cara pemerintah untuk

membatasi kebebasan berkumpul dan berserikat warga negara. 19

Meskipun demikian, UU ormas ini melibatkan lembaga peradilan dengan

mekanisme yang solid sebelum menjatuhkan sanksi untuk mencegah

kesewenang-wenangan pemerintah dalam membubarkan ormas.

Berbeda dengan pengaturan pembubaran ormas dalam Undang-

undang nomor 17 tahun 2013 yang mengharuskan pembubaran melalui

proses peradilan, dalam UU Nomor 16 Tahun 2017 ini sudah tidak lagi

menyertakan ketentuan bahwa kekuasaan kehakiman menjadi lembaga

rujukan utama untuk menilai boleh tidaknya suatu ormas dapat dibubarkan.

Maka sangat wajar jika timbul anasir dari berbagai pihak bahwa kebijakan

untuk merubah undang-undang ormas ini menjadi langkah mundur dalam

praktik hukum dan kebebasan di Indonesia. Sebab penghapusan

18
Ibid.
19
Veronica Agnes Sianipar, (dkk), “Tinjauan yuridis Perlindungan Hukum Hak Asasi Manusia
dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan”, Journal
Lentera Hukum, April 2014, hlm. 67.

7
mekanisme peradilan sejatinya bertentangan dengan dasar pemikiran

bahwa peradilan seharusnya dapat menjadi pelindung bagi keputusan

pemerintah yang memiliki potensi pelanggaran terhadap hak-hak asasi

manusia.

Belajar dari konflik yang dimunculkan pengaturan ormas

sebelumnya, pemerintah seharusnya dapat lebih matang dalam meregulasi

aturan yang bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia utamanya yang

berkaitan dengan kebebasan berserikat dan berorganisasi. Jangan sampai

upaya perlindungan terhadap negara melalui UU ormas ini justru menjadi

bumerang bagi pemerintah sendiri dengan melanggar batas-batas norma

hukum yang ada. Karena diskursus lain yang muncul dalam ruang publik

adalah materi muatan peraturan yang rentan disalahgunakan sehingga

berpotensi pada tindakan represi yang sewaktu-waktu bisa digunakan oleh

pemerintah sebagai manuver dan konfrontasi terhadap lawan politik. 20

Sudah seharusnya pula warga negara merasa memiliki kepentingan

untuk konsisten menguji dan mengawasi tindakan pemerintah agar

senantiasa cermat menempatkan kewenangan yang dimilikinya. Kesadaran

untuk peduli pada kebijakan tersebut berfungsi untuk menghindarkan

masyarakat sendiri dari kerugian yang mungkin timbul. Sedangkan bagi

pemerintah, reaksi dari masyarakat dapat digunakan sebagai batasan

untuk mengukur kebaikan dan kebenaran atas suatu kebijakan. Munculnya

20
Victor Imanuel, Op. Cit, hlm. 255.

8
konsep agar pemerintah bertindak berdasarkan hukum (rechtmatigheid van

bestuur) sesungguhnya mengafirmasi pula pentingnya menguji tindakan

pemerintah untuk mencapai implementasi asas-asas umum

penyelenggaraan pemerintahan yang baik.21

Maka atas dasar uraian tersebut, dengan merujuk pada kasus

pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia menjadi penting bagi penulis untuk

mendudukkan kembali urgensi yang memaksa pemerintah mengadakan

perubahan terhadap pengaturan pembubaran ormas berkenaan dengan

hak atas kebebasan berserikat dan berorganisasi beserta implikasi

perubahan UU melalui Perppu tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengaturan pembubaran ormas dalam Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2017 telah memuat prinsip kepastian hukum dan

sesuai dengan prinsip hak atas kebebasan berserikat dan

berkumpul?

2. Bagaimana tata cara atau prosedur pembubaran ormas Hizbut Tahrir

Indonesia oleh pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2017?

21
Aminuddin Ilmar, Cet. Ke-3, 2018, Hukum Tata Pemerintahan, Prenada Media Group, Jakarta,
hlm. 191.

9
C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini disusun untuk dapat mengetahui fenomena hukum

terutama yang berkaitan dengan hak atas kebebasan berserikat dalam

berbagai aspek yang melekat pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017

yang implikasi pengaturannya berakibat pada pembubaran Organisasi

Hizbut Tahrir Indonesia dalam perspektif hukum Indonesia. Adapun tujuan

dari penelitian ini adalah untuk dapat:

1. Mengetahui muatan asas kepastian hukum dan kesesuaian

pengaturan pembubaran ormas dalam undang-Undang Nomor 16

Tahun 2017 dengan prinsip hak atas kebebasan berserikat dan

berkumpul.

2. Mengetahui dan memberikan tinjauan kritis penulis tentang

bagaimana pemerintah melalui UU Nomor 16 Tahun 2017

membubarkan Ormas HTI.

D. Kegunaan Penelitian

Secara teoritis, penulis berharap penelitian ini dapat digunakan

sebagai media untuk memperkaya wawasan keilmuan dan referensi

pengetahuan baru oleh mereka yang menaruh minat dan perhatian pada

Hukum Ketatanegaraan yang secara khusus berkaitan dengan Penerapan

Undang Undang Nomor 16 Tahun 2017 sehubungan dengan pengaturan

pembubaran Ormas terhadap jaminan hak atas kebebasan berserikat dan

10
implikasi yang menyertai pelaksanaan pembubaran salah satu ormas Islam

yaitu HTI.

Adapun secara praktis, penulis berharap penelitian ini dapat

mengambil peran untuk menggugah nalar kritis para pembacanya agar

secara aktif dan berani bersama-sama mengawal setiap kebijakan

pemerintah untuk tetap berada pada jalur Cita-Cita dan Cita Negara Hukum.

E. Keaslian Penelitian

Keaslian penelitian dimaksudkan untuk menjamin tidak adanya

plagiarisme yang dilakukan oleh Penulis. Adapun penelitian berjudul

“Analisis Yuridis terhadap Kebebasan Berserikat dalam Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2017 atas Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017

tentang Ormas” dengan substansi masalah yang telah dirangkum diatas ini

adalah asli penelitian yang penulis susun sendiri, yang dalam lingkup

Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Secara Khusus dan skala

Perguruan Tinggi Nasional secara umum, belum dilakukan penelitian

dengan substansi rumusan yang sama.

Adapun kemiripan dalam suatu karya ilmiah adalah wajar sebab

sangat mungkin dalam suatu penelitian memiliki objek bahasan yang sama.

Begitupun dengan objek penelitian penulis yang memiliki kemiripan dengan

penelitian-penelitian yang telah diadakan sebelumnya tetapi tentu dengan

substansi dan kajian masalah yang berbeda.

11
Pertama, Skripsi dari Muhammad Abdul Ra’up, S.H. konsentrasi

Hukum Tata Negara Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga dengan judul

“Tinjauan Maslahah Mursalah Terhadap Asas Contrarius Actus dalam

Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan”. Penelitian ini menaruh

perhatian dengan fokus kajian pada penerapan asas Contrarius Actus

dalam Perppu Nomor 2 Tahun 2017 dengan menggunakan sudut tinjauan

teori Maslahah sebagai bagian dari kajian ushul fiqh.

Adapun temuan dari penelitian ini adalah claim bahwa secara

prinsipil UU Nomor 17 Tahun 2013 telah menerapkan asas Contrarius Actus

dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mencabut

Status Badan Hukum Ormas. Selanjutnya dalam penelitian ini ditarik

kesimpulan bahwa dari perspektif teori Maslahah Mursalah menunjukkan

penerapan asas Contrarius Actus dengan disertai asas Due Process of Law

untuk membubarkan ormas melalui proses peradilan sebagaimana terdapat

dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 lebih maslahat/baik daripada penerapan

asas serupa pada UU Nomor 2 Tahun 2017 tanpa disertai asas Due

Process of Law.

Kedua, skripsi dari Widia Wati, S.H. yang berasal dari Fakultas

Hukum Universitas Parahyangan dengan judul penelitian “Pembubaran

Organisasi Kemasyarakatan Melalui Jalur Pengadilan sebagai Upaya

Penegakan Prinsip Due Process of Law dalam Negara Hukum”. Penelitian

ini meletakkan objek kajiannya dengan jabaran bahasan tentang

12
bagaimana seharusnya negara hukum menempatkan ormas sebagai

subjek hukum yang sama didepan Hukum melalui implementasi prinsip Due

Process of Law sehingga terhadap pembubarannya juga harus tetap

melalui jalur pengadilan.

Penelitian itu mengungkap bahwa pembubaran Ormas tanpa melalui

proses peradilan melalui pengaturan UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang

Penetapan Perppu Nomor 2 tahun 2017 adalah bentuk pengabaian negara

terhadap prinsip Due Process of Law yang berakibat pada tidak adanya

supremasi hukum, hilangnya jaminan atas HAM, dan adanya tendensi

untuk mengintervensi peradilan yang mandiri dan bebas merdeka.

Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Prandy Arthayoga Louk Fanggi,

S.H. yang terbit pada tahun 2018 dari Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin yang berjudul “Tinjauan Yuridis Pengawasan Pemerintah

Terhadap Pelaksanaan Fungsi Organisasi Kemasyarakatan Bidang

Keagamaan”. Secara khusus, penelitian ini menyoroti efektifitas

pengawasan ormas keagamaan dalam lingkup wilayah Kota Makassar.

Dalam penelitian ini diperoleh hasil analisis bahwa pemerintah

daerah belum optimal melakukan pengawasan terhadap ormas karena

mekanisme pengawasan yang tidak sistematis dan efektif karena

implementasi tugas yang masih mengacu pada Permendagri Nomor 33

Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran Ormas di Lingkungan

Kemendagri dan Pemda. Peraturan tersebut bahkan telah dinyatakan tidak

13
berlaku akibat terbitnya Permendagri Nomor 56 Tahun 2017 tentang

Pengawasan Ormas. Olehnya, Pemda Makassar perlu mengubah

pedoman peraturan jika ingin mencapai efektivitas pengawasan terhadap

ormas dengan membentuk “Tim Terpadu” sebagaimana amanat

Permendagri terakhir tersebut.

Keempat, sebuah penelitian pada tahun 2022 ini dalam Alauddin

Law Development journal yang ditulis oleh Supardi dan Andi Safriani

dengan judul “Antinomi Asas Contrarius Actus dengan Asas Due Process

of Law dalam Pembubaran Organisasi Masyarakat Tanpa Melalui Proses

Peradilan”. Para peneliti ini merumuskan bahwa meskipun Asas contrarius

Actus legal dan sah secara normatif tetapi keberadaannya yang

menguasakan pemerintah secara sepihak dapat membubarkan ormas

menjadikannya bertentangan dengan asas due process of law.

Sementara dalam penelitian ini, fokus kajian penulis tidak sedang

mengkomparasikan UU Ormas mana yang lebih baik dengan adanya

penerapan asas Contrarius Actus seperti halnya penelitian yang dilakukan

oleh Muhammad Abdul Ra’up, S.H. Penelitian ini juga tidak secara parsial

menganalisa penerapan Perppu Ormas dari sudut pandang prinsip hukum

Equality Before the Law dan Due Process of Law untuk menghasilkan

berbagai konsekuensi dan akibat hukum seperti skripsi Widia Wati, S.H.

Begitupun dengan penelitian yang dilakukan oleh Prandy Arthayoga Louk

14
Fanggi, S.H. dan penelitian bersama antara Supardi dan Andi Safriani yang

menurut penulis berbeda secara lingkup dan spesifikasi kajian.

Adapun penelitian saya ini secara sengaja mencoba melakukan

Studi Hukum yang secara konsep dirancang untuk menganalisa suatu

fenomena hukum dari berbagai variabel masalah dan beragam aspek

hukum terutama yang meliputi penerapan Undang-Undang Nomor 16

Tahun 2017 dalam ranah pengaturan pembubaran ormas berdasarkan

dimensi hak atas kebebasan berserikat sampai secara konkrit dan spesifik

menelaah aktualisasinya terhadap pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia

dalam kedudukannya sebagai Organisasi Kemasyarakatan.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian pada pokoknya adalah serangkaian cara dan

strategi yang dapat digunakan penulis untuk mencari, memperoleh,

mengumpulkan, mengolah, dan menganalisis data yang diperlukan

sehingga mencapai tujuan penelitian agar dapat dipertanggung jawabkan

secara ilmiah. Adapun penelitian hukum ini menggunakan metode:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang berfokus pada kaidah-

kaidah atau asas-asas dalam arti hukum dikonsepkan sebagai norma yang

bersumber dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan,

15
ataupun doktrin dari para pakar hukum.22 Adapun karakteristik penelitian ini

adalah sebagai berikut:23

1) Berfokus pada doktrin melalui analisis kaidah hukum yang ditemukan

melalui hukum formal (law in book);

2) Sumber datanya adalah data sekunder;

3) Sifatnya murni hukum dan sarat nilai sehingga memerlukan

kerangka konsepsional;

4) A priori, penalaran silogisme deduktif, dan metode interpretasi untuk

menjelaskan suatu gejala hukum;

5) Tidak diperlukan hipotesis; dan

6) Hendak menemukan kebenaran yang koheren, yaitu adanya

kesesuaian antara aturan/tindakan hukum dengan norma/prinsip

hukum.

2. Bahan Hukum

Rujukan data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder.

Data sekunder berarti data yang diperoleh dari hasil kepustakaan dan

berbagai literatur hukum yang berkaitan dengan masalah penelitian. 24 Data

yang penulis gunakan untuk menelaah masalah ini terdiri dari:25

22
Bachtiar, 2018, Metode penelitian Hukum, Unpam Press, Tangerang, hlm. 59-60.
23
Ibid, hlm. 59-60.
24
Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad, 2015, Dualisme Penelitian Hukum Normatif-Empiris, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, hlm. 34.
25
Kornelius Benuf dan Muhammad Azhar, “Metodologi Penelitian Hukum sebagai Instrumen
Mengurai Permasalahan Hukum Kontemporer”, Jurnal Gema Keadilan, Vol. 7. Tahun 2020, hlm.
26.

16
1. Bahan hukum primer, yaitu aturan tertulis yang ditegakkan oleh

negara yang dapat ditemukan dalam berbagai putusan pengadilan

yang telah berkekuatan hukum tetap, UU yang disahkan Parlemen,

serta keputusan para agen administrasi yang jika diuraikan terdiri

atas Norma Dasar Pancasila, Peraturan Dasar, Batang tubuh UUD

1945, Tap MPR, Peraturan Perundang-undangan, yurisprudensi,

traktat, serta bahan hukum tidak dikodifikasikan. Bahan hukum yang

diperlukan penulis dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut:

1) Pancasila

2) Pasal 12, pasal 22, pasal 28, pasal 28C ayat (2), pasal 28E,

pasal 28J, pasal 29, pasal 37 ayat (5) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi

Undang-Undang;

4) Pasal 59, pasal 60, pasal 61, pasal 62, pasal 80A , dan

Konsideran Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan;

5) Bab XVI dan Bab XII Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013

tentang Organisasi Kemasyarakatan;

17
6) Pasal 22, pasal 23, pasal 24 Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 tentang Hak Asasi Manusia;

7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009

mengenai parameter yang dapat dijadikan dasar penetapan

Perppu;

8) Pasal 2 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;

9) Pasal 18, pasal 21, pasal 22 Kovenan Internasional Hak Sipil

dan Hak Politik;

10) Bahan hukum primer lain yang terkait dan ditemukan pada

saat proses pelaksanaan penelitian.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang berfungsi untuk

membantu dan memperkuat data penelitian dari bahan hukum

primer yang sifatnya bukan dokumen-dokumen resmi negara,

contohnya adalah karya ilmiah para sarjana hukum terkemuka, buku-

buku, jurnal, ataupun hasil-hasil penelitian dari berbagai platform

penyedia informasi yang berisi materi tentang hukum.

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang berfungsi

memberikan informasi penjelas berupa keterangan-keterangan yang

biasanya disajikan secara definitif terhadap istilah-istilah hukum dan

non hukum berdasarkan temuan ketika mengolah bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder. Contohnya seperti kamus

hukum, kamus bahasa, dan bibliografi.

18
3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum dalam penelitian ini dikumpulkan dengan teknik studi

kepustakaan (library research). Adapun studi kepustakaan adalah proses

pengumpulan data terhadap berbagai macam dokumen dan bahan pustaka

hukum yang dianggap dapat memberikan keterangan yang dibutuhkan

untuk menjawab masalah yang diajukan dalam suatu penelitian.26

Sebagaimana telah disebutkan diatas tentang bahan-bahan hukum

yang akan menjadi rujukan penelitian, dalam hal ini penulis berusaha

menginventarisasi dan mengelompokkan bahan-bahan hukum yang

dibutuhkan berkaitan dengan objek bahasan penelitian dari berbagai

sumber yang valid, baik dari berbagai dokumen kepustakaan maupun

bahan hukum lain dari media elektronik dengan orientasi agar dapat

dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

4. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan

Perundang-undangan dan pendekatan Konseptual. Merujuk pada buku

Johnny Ibrahim berjudul “Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif”,

bahwa dalam suatu penelitian normatif pasti menggunakan pendekatan

perundang-undangan karena objek kajian penelitian selalu berangkat dari

berbagai aturan hukum sebagai fokus dan tema sentral. Sementara

pendekatan lain berfungsi untuk membuat analisis penelitian dapat lebih

26
M. Syamsudin, 2007, Operasionalisasi Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 101.

19
akurat dan membantu memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum

penulis yang dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual.27

Pendekatan perundang-undangan (statute approach) berarti

menelaah keseluruhan perundangan dan regulasi yang berkaitan dengan

objek hukum yang sedang dikaji.28 Sehingga fokus peneliti melalui

pendekatan ini adalah mampu menemukan norma hukum menyangkut hak

kebebasan berserikat dalam berorganisasi baik pengaturannya dalam

lingkup hukum nasional maupun berdasarkan hukum internasional atau

sebagaimana yang telah diratifikasi agar kesesuaiannya dapat diuji dengan

asas, prinsip, dan doktrin hukum yang berkembang melalui penerapannya

dalam perppu ormas. Pendekatan ini juga akan membantu membuktikan

apakah pemerintah sepenuhnya mengabaikan mekanisme kontrol lembaga

peradilan

Sedangkan pendekatan konseptual (conceptual approach) penulis

gunakan untuk menganalisa norma baru yang diterapkan pemerintah

tentang pengaturan kebebasan berserikat dalam UU Nomor 16 Tahun 2017

berikut batasan dan subjektifitas yang dimiliki pemerintah ketika akan

menjatuhkan sanksi pada ormas. Selain itu, karena dalam penelitian ini

penulis menjadikan Organisasi HTI sebagai dasar tinjauan studi kasus,

maka pendekatan ini juga berfungsi untuk menelaah berbagai sumber data

27
Irwansyah, 2015, Metode Penelitian Hukum, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Makassar, hlm. 302-305.
28
Peter Mahmud Marzuki, Edisi Revisi, 2014, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hlm. 133.

20
sekunder tentang bagaimana pemerintah melalui regulasi dalam Perppu

Ormas menganggap organisasi ini layak dibubarkan.29

5. Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan dalam

penelitian ini akan dikaji menggunakan metode analisis hukum kualitatif

deskriptif. Artinya, analisis bahan hukum akan tampak eksploratoris dan

doktrinal terhadap objek penelitian yang sedang dikaji dengan bahasan

penjelasan secara deskriptif. Metode analisis ini juga bersifat preskriptif

karena membahas kondisi hukum secara intrinsik yang memandang hukum

sebagai suatu sistem nilai dan norma sosial.

Penulis terlebih dahulu akan mengadakan kajian terhadap salah satu

bahan hukum primer yaitu UU Nomor 17 Tahun 2013 sebagai regulasi yang

menggantikan pengaturan ormas sebelumnya yaitu UU nomor 8 Tahun

1985 yang berlaku pada masa orde baru. Kajian ini dimaksudkan untuk

memahami semangat konstitusi dan konstruksi hukum yang dibangun

dalam pembentukan peraturan tersebut.

Setelah memahami struktur norma UU diatas, penulis akan lanjut

mengkaji substansi aturan yang terdapat pada UU Nomor 16 Tahun 2017.

Disini akan dilakukan pendalaman materi peraturan dengan menelaah

maksud dan politik hukum yang melatar belakangi pemerintah mengadakan

perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013. Upaya penelaahan ini akan

29
Bachtiar, Op. Cit, hlm. 84.

21
sekaligus untuk mengetahui perubahan apa saja yang terjadi dalam

pengaturan pembubaran Ormas dan perihal apa yang menjadi implikasi

hukum terhadap norma baru yang diterapkan pemerintah dalam perubahan

UU tentang Ormas ini.

Dalam upaya untuk memahami UU nomor 17 Tahun 2013 dan

perubahannya, akan dikaji pula ketentuan hukum positif lain yang memuat

tentang Organisasi Kemasyarakatan ataupun berbagai ketentuan lain

berkaitan dengan kebebasan berserikat dan berkumpul yang sifatnya

relevan baik dalam segi hierarki perundangan maupun Ratio Legis suatu

asas dan norma yang terdapat dalam bahan hukum yang dikaji.

Metode deduktif kemudian akan digunakan dengan menetapkan

prinsip, konsep, dan nilai yang lazim dikenal dalam praktik negara hukum

untuk disandingkan dengan proses dan muatan perubahan dalam

pembentukan UU Ormas, sehingga secara objektif penulis dapat

mendeskripsikan secara utuh hal-hal yang tidak bersesuaian dengan

ketentuan umum tersebut kedalam unsur-unsur khusus dari berbagai aspek

hukum yang sebagaimana telah disebutkan dalam rumusan masalah.

Setelah menemukan perbedaan mekanisme perubahan pengaturan

pembubaran Ormas dari berbagai ketentuan norma hukum, selanjutnya

penulis akan menganalisis dan berinterpretasi mengenai implementasi

hukum pemerintah yang menjadikan perppu ormas sebagai dasar untuk

membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia.

22
Akhirnya, penulis berharap dapat mencapai suatu kesimpulan

mengenai apakah dengan meregulasi ulang peraturan ormas dan

membubarkan ormas HTI menggunakan dasar hukum tersebut adalah

suatu bentuk pelanggaran terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul

bagi ormas atau justru ketentuannya telah memenuhi unsur preskriptif

pengaturan hukum.

23
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS PERMASALAHAN PERTAMA

A. Organisasi Kemasyarakatan

1. Sejarah Awal

Awal mula munculnya organisasi masa di dunia berawal dari

keberadaan civil society (organisasi masyarakat sipil). Sedangkan konsep

dari civil society sendiri dalam perkembangannya jika dirunut berasal dari

Cicero, bahkan mungkin sampai kepada Aristoteles. Adapun yang pertama

kali menggunakan istilah “civil society” adalah Cicero dalam filsafat

politiknya dengan sebutan “societies civils”.30 Dalam tradisi Eropa ketika itu,

istilah civil society masih diidentikkan dengan pengertian negara (state).

Baru kemudian pada paruh abad ke-18, istilah ini mengalami

pergeseran makna sebagai dua entitas yang berbeda seiring dengan

proses pembentukan sosial dan pembaharuan struktur politik di Eropa

akibat pengaruh “zaman pencerahan” dan modernisasi.31 Pada masa ini,

organisasi masyarakat sipil juga sempat dipahami secara radikal dengan

penekanan pada kemandirian dan posisinya sebagai organ yang

independen dari negara, sehingga bisa dipahami bahwa civil society adalah

antitesa dari negara itu sendiri.

30
Fauzan Ali Rasyid dan Agun Gunandjar Sudarsa, “Masyarakat Madani dalam Bingkai NKRI”,
Jurnal Majelis., Vol.1 Tahun 2021, hlm. 96.
31
Ibid.

24
Pemikiran ini ditentang oleh Hegel dan Marx yang mengedepankan

untuk tetap diadakannya kontrol dari negara terhadap keberadaan civil

society sebagai justifikasi terakhir pemilik ide universal.32 Tapi kembali disisi

lain, gagasan Hegelian dan marxis ini masih dianggap kurang tepat karena

mengabaikan independensi dari civil society, salah seorang tokoh yang

mengkritisi hal ini adalah Antonio Gramsci.33

Dari berbagai perdebatan ini, Ernest Gellner kemudian membuat

rumusan mengenai civil society sebagai suatu organ institusi non

pemerintah yang dalam menjalankan fungsinya bertindak sebagai

penyeimbang terhadap negara, dan secara bersamaan tidak menghalangi

negara dalam melaksanakan perannya dalam menjaga perdamaian

maupun sebagai arbitrator terhadap segala macam kepentingan.34

Menurut pandangan filosofis Hannah Arendt dan Jurgen Habermas

bahwa Civil Society pada hakikatnya “mendemonstrasikan” mengenai

pentingnya wacana publik sekaligus mengisyaratkan urgennya jaminan

keberadaan ruang publik yang bebas, kedua elemen tersebut adalah

makna yang sangat esensial dari organ sipil kemasyarakatan. Melalui

instrumen ini pula, secara normatif akan dicapai adanya kesetaraan dalam

32
Suparman Marzuki, “Gerakan Menuju Masyarakat Sipil: Membaca Gerakan Bantuan Hukum
LBH”, Jurnal Hukum, Nomor 17 Vol. 8 Tahun 2001, hlm. 121.
33
Ibid.
34
Ahmad Furqon, “Civil Society Vis a Vis Masyarakat Madani”, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 1
Tahun 2022, hlm. 5.

25
bernegara, transaksi beragam wacana, dan praktik kebebasan tanpa

mengalami distorsi dan kekhawatiran.35

2. Pengertian Ormas

Sejak awal terbentuknya UU Nomor 8 Tahun 1985 yang mengatur

secara khusus tentang keormasan di indonesia sampai dengan

perubahannya yang terakhir melalui UU Nomor 16 tahun 2017,

pendefinisian mengenai ormas selalu berangkat dari paradigma yang relatif

sama. Pengertian ormas tetap pada konsep awalnya sebagaimana

dijelaskan dalam UU Ormas pasal 1 ayat (1), bahwa:

Ormas adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh


masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi,
kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk
berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan NKRI
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kesamaan pengertian menyangkut ormas ini tidak terlepas dari

momentum bertemunya kesadaran antara pemerintah dan masyarakat

terhadap pentingnya jaminan hak atas kebebasan berserikat dan

berkumpul. Meskipun sempat terjadi distorsi mengenai cara pandang dan

bagaimana memperlakukan ormas pada masa-masa awal terbentuknya

regulasi, nyatanya peraturan ormas pada Era Soeharto tetap menjadi

tonggak sejarah yang diusahakan untuk terus mengalami perbaikan hingga

hari ini.

35
Suparman Marzuki, Op.Cit, hlm. 122.

26
Sehingga meskipun telah terjadi dua kali perubahan pengaturan

ormas, termasuk didalamnya diselingi pembentukan UU Nomor 39 tahun

1999 tentang HAM, beragam ratifikasi internasional berkaitan dengan hak

kebebasan berserikat dan berkumpul, bahkan peristiwa reformasi dan

empat kali amandemen UUD 1945, pengertian ormas tetap pada

pemahaman semula yang menitikberatkan pada adanya proses partisipasi

warga negara secara sukarela dalam upaya pembangunan nasional guna

mewujudkan tujuan-tujuan negara berdasarkan pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945.

Kesukarelaan yang dimaksud dalam definisi tersebut tentu salah

satunya mengacu kepada sifat dasar ormas yang seharusnya tidak

berorientasi kepada keuntungan para anggota, melainkan untuk

memberikan sumbangsih perbaikan kepada negara dengan sifat

kekhususan masing-masing. Atas dasar pengertian tersebut pula, maka

sudah sepatutnya menjadi kewajiban bagi negara untuk mengakomodasi

ruang gerak dan memberikan hak-hak kebebasan berserikat dan

berkumpul kepada ormas.

Adapun hal lain yang merupakan penekanan dalam setiap pendirian

ormas daripada sekedar partisipasinya pada pembangunan nasional

adalah perlunya mendasarkan gerakan pada pancasila dan UUD 1945.

Ketentuan tersebut bagi pemerintah adalah mutlak dan wajib dijunjung

tinggi bagi setiap warga negara yang hendak berpartisipasi melalui ormas.

27
Pemerintah bahkan selalu menyisipkan sanksi yang tegas dalam

muatan peraturan berupa pembubaran dan larangan bagi ormas yang

dianggap tidak memenuhi ketentuan tersebut. Hanya saja, jika menilik

sejarah terhadap implementasi penerapan sanksi tersebut, kepentingan

pemerintah untuk menindak atas nama negara masih sangat memerlukan

kehati-hatian karena kewenangan yang besar untuk dapat serta merta

membubarkan ormas tersebut disisi lain mengandung potensi kesewenang-

wenangan yang besar pula.

Terlepas dari pengertian ormas yang memiliki kesamaan sepanjang

sejarah pengundangan, dalam perkembangan pengaturannya yang

dinamis menjadikan UU ormas mengklasifikasi dua macam bentuk ormas,

yaitu ormas berbadan hukum dan tidak berbadan hukum.36 Jika berbentuk

badan hukum, maka ormas tersebut dapat dikualifikasikan sebagai

perkumpulan jika berbasis anggota dan akan berupa yayasan jika tidak

berbasis anggota.37

Berkaitan dengan pendaftaran, ormas berbadan hukum baru

dinyatakan terdaftar setelah mendapatkan pengesahan badan hukum oleh

Menteri Hukum dan HAM. 38 Sedangkan ormas yang tidak berbadan hukum

baru dikatakan terdaftar setelah mendapatkan surat keterangan terdaftar

36
Pasal 10 Ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan
37
Ibid, Pasal 11 Ayat (2) dan (3).
38
Ibid, Pasal 12 Ayat (2).

28
(SKT) dari Menteri dalam Negeri.39 Adapun ormas yang tidak terdaftar tidak

serta merta dinyatakan tidak boleh berdiri atau terlarang, disamping tidak

ada kewajiban dalam ketentuan perundangan, pendaftaran ormas juga

pada intinya hanya bertujuan untuk memfasilitasi pendaftaran agar mudah

diberdayakan.40

3. Pengaturan Pembubaran Ormas di Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa perumusan pengaturan ormas di

Indonesia telah dilakukan sebanyak tiga kali pada masa periode

kepemimpinan yang berbeda. Dimana yang pertama kali diinisiasi

pembentukannya adalah masa sebelum reformasi di era Soeharto

sedangkan dua perubahan setelahnya dibuat pasca reformasi. Ada banyak

perbedaan substantif yang terjadi setiap kali undang-undang ormas

diadakan perubahan termasuk didalamnya menyoal pasal-pasal yang

berkaitan dengan mekanisme pembubarannya.

1) Pembubaran Ormas Berdasarkan undang-Undang Nomor 8 Tahun

1985

Rumusan mengenai pembubaran ormas dalam undang-undang ini

diatur pada Bab VII bersamaan dan didahului dengan tindakan pembekuan

oleh pemerintah. Artinya terhadap setiap tindakan pembubaran organisasi

39
Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2016 tentang Pelaksanaan UU nomor 17 tahun
2013.
40
Erizka Permatasari, dalam hukumonline.com dengan judul “Ormas Tidak Terdaftar = Ormas
Terlarang, Benarkah?” yang terbit pada tanggal 18 Februari 2021, diakses pada tanggal 23
Januari 2023 melalui laman : https://www.hukumonline.com/klinik/a/ormas-tidak-terdaftar-
ormas-terlarang--benarkah-lt602e31eb1593d

29
oleh pemerintah akan didahului dengan pembekuan kegiatan ormasnya

terlebih dahulu. Pembekuan terhadap ormas sendiri dapat terjadi apabila

organisasi mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau

menerima bantuan asing tanpa persetujuan pemerintah pusat, dan/atau

ormas yang sebaliknya memberikan bantuan kepada pihak asing sehingga

merugikan kepentingan negara.41

Mengenai ciri dan jenis kegiatan ormas yang dianggap mengganggu

keamanan dan ketertiban umum, bantuan dari pihak asing kepada ormas,

serta bantuan dari ormas kepada pihak asing secara berturut-turut diatur

dalam pasal 19, 20, dan 21 dalam undang-undang era orba ini. Adapun

pemberian sanksi ini tidak serta merta langsung terjadi pembekuan ormas

melainkan berjenjang sebagaimana kaidah dalam hukum administrasi,

dimulai dari teguran sampai dengan pembekuan ormas sebagaimana diatur

dalam pasal 22 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986.

Dalam pasal 22 undang-undang ormas ini juga memuat kewajiban

bahwa perlu adanya pertimbangan lembaga lain selain Pemerintah

Pusat/Pemda sendiri dalam proses putusan penjatuhan sanksi pembekuan,

yaitu Mahkamah Agung untuk organisasi yang skalanya nasional serta

instansi daerah terkait dan Kementerian Dalam Negeri untuk organisasi

41
Pasal 18 Ayat (1) PP Nomor 18 Tahun 1986 tentang Peraturan Pelaksana UU Nomor 8 Tahun
1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

30
yang sifatnya lokal/daerah. Adapun organisasi yang tetap melakukan

kegiatan setelah dibekukan, maka akan dibubarkan oleh pemerintah.42

Apabila mengacu pada pasal 15, maka ormas dapat saja dibubarkan

oleh pemerintah jika tidak memenuhi sejumlah ketentuan. Pertama, tidak

menjadikan pancasila sebagai satu-satunya asas.43 Kedua, tidak

menetapkan tujuan organisasi dengan sifat kekhususan untuk mencapai

tujuan nasional sebagaimana terdapat dalam UUD 1945. 44 Ketiga, tidak

mencantumkan asas tunggal pancasila sebagai satu-satunya asas

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 peraturan ormas ini.45 Keempat,

tidak mempunyai anggaran dasar, tidak menghayati dan menerapkan

Pancasila dan UUD 1945, serta tidak memelihara persatuan dan kesatuan

bangsa.46

Secara terpisah, ada semacam penegasan dari pemerintah untuk

dapat pula membubarkan organisasi yang menganut, mengembangan, dan

menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-leninisme serta

hal lain yang dapat pula berupa ajaran, paham dan ideologi lain yang

bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945. 47

Dalam muatan peraturan ini pada intinya terdapat sejumlah pasal

yang berisi penekanan mengenai kewajiban menggunakan pancasila

42
Pasal 14 UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat.
43
Ibid, Pasal 2.
44
Ibid, Pasal 3.
45
Ibid, Pasal 4.
46
Ibid, Pasal 7.
47
Ibid, Pasal 16

31
sebagai asas tunggal organisasi. Terlepas dari segala dominasi orde baru

dan konflik politik yang terjadi pada saat peraturan ini diundangkan, tetap

saja ormas-ormas yang ada pada saat itu tidak punya pilihan lain selain

merubah dan mencantumkan pancasila sebagai asas tunggal dalam

anggaran dasarnya. Hal ini juga bermakna larangan terhadap penambahan

asas lain terhadap anggaran dasar organisasi sebagaimana yang terjadi

pada proses implementasinya yang juga diatur dalam undang-undang

Partai Politik yang pengundangannya ditahun yang sama. 48

2) Pembubaran Ormas Berdasarkan Undang-Undang nomor 17 tahun

2013

Di era pasca reformasi, ketika telah terjadi amandemen terhadap

konstitusi dan transformasi tata kelola kenegaraan, telah secara langsung

mendorong pula organ negara untuk beradaptasi dengan nilai-nilai

demokrasi dan praktik negara hukum. Termasuk perubahan yang paling

substantif didalamnya adalah merevisi produk-produk hukum melalui peran

lembaga legislasi, tak terkecuali perubahan terhadap regulasi ormas. Hal

ini merupakan respon dari gejala semakin kuatnya partisipasi masyarakat

untuk mengorganisasi dan melibatkan diri dalam memperjuangkan

kepentingannya di ruang-ruang publik.

48
Oom Komala Sandy, “Etnonasionalisme Paguyuban Pasundan dalam Asas Tunggal Pancasila
1980-1990 (Dari Pergerakan Politik ke Sosial Budaya), Avatara e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol.
6 Tahun 2018, hlm. 195.

32
Perubahan pertama terhadap regulasi ormas diatur dalam UU

Nomor 17 Tahun 2013 yang menggantikan UU Nomor 5 tahun 1985.

Diantara perubahan yang nampak adalah jumlah pasal yang terdapat dalam

peraturan ini yakni sebanyak 87 pasal dari sebelumnya yang hanya 20

pasal. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa pengaturan terhadap ormas jauh

lebih lengkap dan komprehensif jika dibandingkan dengan undang-undang

sebelumnya. Adapun hal lain yang sifatnya krusial dalam perubahan

peraturan ini adalah mengenai larangan dan mekanisme penjatuhan sanksi

karena peran lembaga peradilan yang lebih dominan dalam hal

pembubaran ormas dibanding peraturan sebelumnya.

Pembubaran ormas sendiri dapat dilakukan jika telah memenuhi

sejumlah proses hukum yang ada, termasuk diantaranya terjadi setelah

tidak diindahkannya sanksi administratif dan adanya putusan berkekuatan

hukum tetap terhadap ormas oleh lembaga peradilan. Perihal pemberian

sanksi administratif dalam peraturan ini dilaksanakan secara berjenjang

sebagaimana yang diatur dalam pasal 61, yaitu berupa peringatan tertulis,

penghentian bantuan dan/atau dana hibah, penghentian sementara

kegiatan,sampai kepada pencabutan surat keterangan terdaftar atau

pencabutan status badan hukum.

Mekanisme pembubaran ormas dalam peraturan ini dimulai dengan

permintaan tertulis mengenai permohonan pembubaran ormas oleh menteri

hukum dan HAM kepada kejaksaan untuk diajukan kepada pengadilan

33
negeri.49 Permohonan ini harus disertai dengan bukti penjatuhan sanksi

administratif oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah terhadap ormas

yang bersangkutan agar selanjutnya diputus oleh pengadilan negeri dalam

jangka waktu paling lama 60 hari sejak permohonan dibuat.50 Maka setelah

keluarnya putusan terhadap pembubaran ormas yang berkekuatan hukum

tetap, baru kemudian pemerintah dapat memberikan sanksi pencabutan

status badan hukum.

Dalam proses hukum yang terjadi diatas, dalam peraturan ini diatur

pula sejumlah ketentuan mengenai jangka dan tambakan waktu yang

diberikan kepada lembaga peradilan untuk memutus satu perkara. Selain

itu, diberikan pula hak kepada ormas untuk membela diri dalam proses

persidangan melalui keterangan dan menyertakan bukti.51 Adapun ketika

ormas tidak terima dengan putusan pengadilan negeri, undang-undang ini

memberikan kesempatan kepada ormas yang bersangkutan untuk

mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.52

3) Pembubaran Ormas Berdasarkan Perppu nomor 2 tahun 2017/ UU

Nomor 16 Tahun 2017

Berbeda dengan dua peraturan sebelumnya yang sejak awal

terbitnya berbentuk undang-undang, regulasi pengaturan ormas terakhir ini

dimuat dalam bentuk Perppu. Oleh karena itu dalam proses

49
Pasal 70 ayat (1) dan (2) UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.
50
Ibid, Pasal 70 Ayat (3) dan Pasal 71 Ayat (1)
51
Ibid, Pasal 70 Ayat (7)
52
Ibid, Pasal 73 Ayat (1)

34
perancangannya melekat sifat, ciri, dan jenis dari model peraturan ini.

Diantara yang termasuk didalamnya adalah inisiasi pembentukannya dari

pihak eksekutif pemerintah dan dibuat karena adanya situasi genting dan

memaksa dalam negara.

Perppu Ormas Nomor 2 Tahun 2017 ini ditandatangani oleh presiden

Joko Widodo pada 10 juli 2017. Artinya hanya selang empat tahun dari

perubahan pertama terhadap Undang-undang Nomor 17 Tahun 2013

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1985. Pemerintah

beralasan sebagaimana termuat dalam konsideran pertimbangan peraturan

ini bahwa undang-undang yang ada belum cukup untuk secara

komprehensif mengatur ormas yang bertentangan dengan pancasila dan

UUD 1945. Selain itu, UU Nomor 17 tahun 2013 belum menggunakan asas

contrarius actus sehingga dalam rangka penegakan aturan dianggap tidak

efektif untuk menerapkan sanksi terhadap ormas yang memiliki ajaran dan

paham selain pancasila dan UUD 1945.

Menimbang itu semua, pemerintah merasa perlu mempertegas

kembali mengenai definisi ormas, orientasi gerakannya, larangan-larangan,

sampai dengan menyederhanakan dan mempercepat proses penjatuhan

sanksi kepada ormas. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya 5 pasal yang

berubah dari perppu ormas dan penghapusan sebanyak 18 pasal yang

mengatur perihal mekanisme pemberian sanksi termasuk didalamnya tata

cara pembubaran ormas.

35
Perppu ormas mengenal dua macam sanksi, yaitu sanksi

administratif yang implementasi sanksinya berjenjang dan sanksi pidana

dengan kategori sebagaimana disebutkan pada pasal 82 A dengan isi

kriminalisasi terhadap orang yang melanggar ketentuan pasal 59 ayat (3)

dan (4). Adapun sanksi administrasi dijatuhkan secara bertahap yang

dimulai dari peringatan tertulis, pemberhentian kegiatan ormas yang

bersangkutan, dan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan

status badan hukum.53

Sanksi berupa peringatan tertulis yang dijatuhkan kepada ormas

dalam undang-undang ini hanya diberikan 1 kali dalam jangka waktu 7 hari

kerja sejak tanggal diterbitkannya peringatan.54 Selanjutnya, ketika ormas

yang bersangkutan tidak mematuhi peringatan tertulis, maka menteri yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum dan HAM dapat

langsung menghentikan kegiatan.55 Adapun ormas yang masih tidak

mengindahkan peringatan dan tetap melaksanakan kegiatan berdasarkan

ketentuan sanksi administrasi dalam peraturan ini, maka menteri yang

berwenang dapat mencabut surat keterangan terdaftar atau mencabut

status badan hukum ormas yang menyalahi aturan tersebut.56

53
Pasal 61 Ayat (1) PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU nomor 17 Tahun
2013 tentang Ormas.
54
Ibid, Pasal 62 Ayat (!)
55
Ibid, Pasal 62 Ayat (2)
56
Ibid, Pasal 62 Ayat (3)

36
4. Pengaturan Ormas di Indonesia

Organisasi masyarakat di Indonesia jika ditelusuri berasal dari

gejolak sosial ekonomi yang terjadi pada masa kolonial Belanda melalui

kapitalisme merkantilis. Kondisi itu turut mendorong terjadinya proses

pembentukan sosial semacam industrialisasi, urbanisasi, sampai

pendidikan modern. Salah satu dampaknya kemudian adalah lahirnya

kesadaran yang didahului oleh kaum elit pribumi (sebagai kaum yang

memiliki privilege untuk mengenyam pendidikan) untuk membentuk

organisasi-organisasi sosial modern di awal abad ke-20.

Pada masa awal kemerdekaan, civil society di Indonesia sebenarnya

sempat mengalami kemajuan karena masifnya pembentukan organisasi-

organisasi sosial dan politik yang mendapat sambutan baik dari

masyarakat. Hanya saja dalam perkembangannya atau ketika Indonesia

berada pada fase sistem demokrasi terpimpin, civil societies ini mengalami

distorsi pergerakan karena sistem politik yang seolah hanya menjadikan

basis masa dari organisasi sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan

politiknya.

Selanjutnya pada masa orde baru, akselerasi pembangunan ke arah

industrialisasi mendorong terjadinya perubahan struktur sosial dalam

masyarakat. Haluan politik kekuasaan orde baru yang ingin memperkuat

posisi negara berdampak pada tereduksinya kemandirian dan partisipasi

politik warga negara.

37
Sejarah pengaturan perkumpulan berbadan hukum di Indonesia,

dimulai ketika dikeluarkannya Staatsblad Nomor 64 Tahun 1870 tentang

Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum yang berisikan 11 pasal.

Peraturan ini berlaku cukup lama dan tidak mengalami perubahan yang

berarti dalam dinamisasi politik kenegaraan sampai kemudian lahir undang-

undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.57

Adapun jika kita mau merunut sejarah umum pembentukan

pengaturan hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul hingga

terbentuknya UU Ormas, maka tahapannya sebagai berikut:58

1. Pada tahun 1854, pemerintah Hindia Belanda mengundangkan

Burgerlijk wetboek atau selanjutnya dikenal di Indonesia dengan

Kitab Undang-Undang hukum Perdata (KUHPer). Secara normatif

aturan ini memberikan ruang dan hak kepada masyarakat untuk

membentuk perkumpulan-perkumpulan dalam bentuk

keorganisasian yang sekaligus berfungsi sebagai wadah aspirasi

politik. Pemerintah dalam hal ini memberikan pengakuan hukum

pada perkumpulan dengan syarat mematuhi ketertiban umum atau

berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2. Pada tanggal 18 maret 1870, Pemerintah Hindia Belanda kembali

mengeluarkan Staatsblad Nomor 64 tahun 1870 yang mengatur

57
Ali dan Sut, dalam hukumonline.com dengan Judul “UU Ormas, Riwayatmu Kini” yang terbit
pada 10 Juni 2008, diakses pada tanggal 6 April 2021 melalui Laman:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19452/uu-ormas-riwayatmukini-/
58
Komnas HAM, Standar Setting Kebebasan Berkumpul dan Berorganisasi, Op. Cit, hlm. 3.

38
tentang perkumpulan badan hukum (rechtspersoonlijkheid van

verenigingen) seperti firma,PT, dan koperasi. Selain itu, dalam

pengaturan ini juga mengenal perkumpulan yang tidak berbadan

hukum (veregening). Secara substansi peraturan ini menegasikan

peran pemerintah yang terbagi atas dua unsur penting, yaitu

keterlibatannya dalam memberikan pengakuan hukum berdasarkan

kepentingan umum dan dapat melakukan pembubaran suatu

perkumpulan melalui mekanisme peradilan.

3. Pada masa Orde Lama, pengaturan tentang kebebasan berserikat

dan berkumpul tidak mengalami perubahan signifikan, dan

cenderung masih menggunakan aturan yang berlaku pada zaman

kolonial Belanda. Sementara pada masa Orde Baru, pemerintah

mulai menyusun peraturan untuk mengendalikan organisasi

masyarakat sipil dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pengesahan ini

merupakan fenomena dan entitas baru di Indonesia dalam aspek

kebebasan berserikat dan berkumpul karena pranata dan istilah

Ormas yang belum dikenal sebelumnya. Sayangnya dalam

peraturan ini mengaburkan batas antara negara dan masyarakat

dalam ruang-ruang publik karena kooptasi negara pada masyarakat.

Akibat munculnya ketentuan ini melalui kewajiban asas tunggal

Pancasila, pemerintah membekukan kegiatan Pelajar Islam

39
Indonesia (PII) melalui SK Menteri Dalam Negeri Nomor 120 dan 121

tanggal 10 Desember 1987.

4. Pada masa perkembangan selanjutnya, apalagi pasca reformasi

kebebasan berkumpul dan berorganisasi mendapat perhatian

khusus dari pemerintah sehingga menjadikan pengaturannya

berjalan amat dinamis. Perhatian tersebut terwujud pada banyaknya

jenis undang-undang yang lahir, seperti UU No. 9 Tahun 1998

tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU

No. 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 16

Tahun 2001 Yayasan dengan perubahan melalui UU No. 28 Tahun

2004, UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

yang diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017 tentang Penetapan

Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun

2013.

Pada dasarnya, sebagai suatu negara hukum dan memiliki

pengakuan atas kedaulatan rakyat, sudah menjadi keniscayaan bagi

Indonesia untuk menyelenggarakan negara demokratis dengan

memberikan hak dan kebebasan kepada warga negara untuk membentuk

perkumpulan atau berorganisasi. Olehnya dalam rangka mewujudkan

keadilan sosial dan perikemanusiaan itu dalam konstitusi diatur secara

eksplisit mengenai hak atas pembentukan organisasi dan perkumpulan

40
tersebut, yaitu termanifestasikan dalam pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan

pasal 28 C ayat (2).59

Pengaturan mengenai hak atas kebebasan berorganisasi di

Indonesia masih menjadikan registrasi kepada pemerintah untuk mendapat

pengakuan dan keabsahan dalam rangka memperoleh surat keterangan

terdaftar atau berbadan hukum. Adapun bagi mereka yang tidak berbadan

hukum biasanya tidak akan mendapatkan akses akan sumber daya negara

bahkan sering didapati adanya stigma illegal bagi organisasi yang tidak

berbadan hukum.60 Hal ini tentu masih harus menjadi perhatian bagi

pemerintah sebagai eksekutif untuk tetap menjaga adanya kebebasan bagi

mereka yang memilih jalur “kemandirian” terhadap perjuangan aktualisasi

visi dan kemurnian keorganisasian dari intervensi pemerintah.

B. HAK ASASI MANUSIA

1. Konsep Dasar dan Hakikat HAM

Hak asasi manusia secara definitif adalah hak alamiah dan murni

milik manusia yang keberadaannya bukan merupakan pemberian

masyarakat atau dari hukum positif yang berlaku melainkan semata-mata

karena martabatnya sebagai manusia.61 Artinya, segala bentuk perbedaan

berupa warna kulit, jenis kelamin, budaya, ataupun kewarganegaraan dan

lain lain tidak mengurangi eksistensinya untuk memiliki hak-hak tersebut.

59
Ibid.
60
Ibid.
61
Suparman Marzuki, 2017, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia
Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 3.

41
Inilah alasan mengapa HAM itu disebut memiliki sifat universal, selain itu

ketentuannya juga tidak dapat dicabut (Inalienable). Maksudnya adalah

hak-hak itu melekat pada diri setiap manusia sebagai insani tanpa peduli

seberapapun bengisnya perlakuan seseorang. 62

Gagasan mengenai hak asasi manusia berasal dari teori hak kodrati

(natural right theory). Sedangkan teori kodrati sendiri jika ditelusuri bermula

dari teori hukum kodrati (natural law theory), informasi ini bisa dirunut dari

zaman kuno era filsafat Stoika hingga pada masa modern melalui tulisan

Santo Thomas Aquinas tentang tulisan hukum kodratnya.63 Grotius

kemudian mengembangkan teori ini dengan memutus asal-usul teistiknya

dan mengubahnya menjadi pemikiran sekuler yang rasional. Dengan

landasan ini kemudian John Locke mengajukan teori tentang hak-hak

kodrati yang saking berpengaruhnya memunculkan Revolusi Hak di Inggris,

Amerika Serikat, dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18.64

John Locke menuangkan pemikiran dalam buku klasiknya berjudul,

“The Second Treatise of Civil government and a Letter Concerning

Toleration” dengan mengajukan kerangka berpikir bahwa semua individu

dikaruniai alam semesta berupa hak yang melekat atas hidup, kebebasan

dan kepemilikan, yang merupakan milik pribadi mereka dn tidak dapat

62
Rhona K.M. Smith, (dkk.), Cet. Pertama, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta, Yogyakarta, hlm. 1.
63
Thomas Aquinas dalam teori hukum kodrati berpandangan bahwa thomistik yang
mempostulasi hukum kodrati sebagai bagian dari hukum Tuhan dan nalar manusia dapat
digunakan untuk mengetahuinya.
64
Rhona K.M. Smith, (dkk.), Op. Cit., hlm. 12.

42
dicabut atau dikurangi bahkan oleh Negara.65 Ketentuan ini atas dasar

adanya ‘kontrak sosial’ (Social Contract), Locke melanjutkan, bahwa

apabila pemerintah mengabaikan kontrak sosial ini maka Rakyat di negara

itu dapat secara bebas menurunkan penguasa dan dapat pula mengajukan

pergantian dengan merekomendasikan seseorang yang dapat memenuhi

kewajiban menghormati hak-hak individu tersebut.

Ide tentang hak asasi manusia atas dasar hukum kodrati ini tidak

serta merta diterima dengan sukarela oleh filsuf lain, antara lain kritik keras

melalui Edmund Burke dan Jeremy Bentham. 66 Burke menyoroti tentang

teori hak-hak kodrati yang mengilhami kejadian revolusi prancis dengan

menyebut bahwa ide itu tidak benar dan hanya berdasar pada harapan

yang sia-sia pada manusia.67 Sedangkan Benthem yang merupakan

seorang filsuf utilitarian asal Inggris mengkritik bahwa teori hak-hak kodrati

itu pada akhirnya tidak dapat dikonfirmasi dan dibuktikan kebenarannya.

Menurutnya, hak adalah sesuatu yang lahir pada saat hukum difungsikan,

atau dengan kata lain hak ada karena ada hukum. Lebih lanjut ia

menyebutkan bahwa teori tentang Hak-hak kodrati ini tidak lebih dari

sekedar omong kosong. John Austin dengan Mazhab Positivismenya juga

memperkuat argument Benthem tersebut dengan berpendapat bahwa

65
Ibid.
66
A. Widiada Gunakaya, 2017, Hukum Hak Asasi Manusia, Penerbit Andi, Yogyakarta, hlm. 13.
67
Ibid.

43
eksistensi dan isi hak tidak dapat diperoleh kecuali melalui Hukum Negara

yang artinya Hak-hak kodrati itu tidak datang dari alam.68

Menurut Scott Davidson, setelah kebiadaban menjelang dan selama

Perang Dunia II, muncullah gerakan-gerakan untuk menghidupkan kembali

hak kodrati sehingga mendorong terselenggaranya perancangan gagasan

instrumen Internasional utama mengenai hak asasi manusia. Hal ini

dimungkinkan menyusul terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa pada

tahun 1945. Meski mendapat kritik tajam, ide tentang hak-hak kodrati tetap

mendapatkan perhatian dengan masifnya tuntutan dari negara-negara di

dunia untuk membentuk peraturan HAM yang bersifat universal. Gerakan

inilah yang kemudian mengilhami PBB untuk membentuk Human Right

Committee.69 Bidang ini pula yang kemudian dalam perkembangannya

menginisiasi beragam deklarasi dan perjanjian internasional tentang hak

asasi manusia seperti universal Declaration of Human Rights (1948) serta

International Covenant on Civil and Political Rights dan International

Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. .

Dari sinilah dimulai gagasan Internasional tentang hak asasi

manusia dengan menegaskan kembali melalui pembukaan Piagam PBB

untuk membangun kepercayaan terhadap HAM, terhadap martabat

manusia, dan terhadap kesetaraan. Hak asasi manusia pada masa ini telah

68
Muhammad Ashri, 2018, Hak Asasi Manusia: Filosofi, Teori, dan Instrumen Dasar, CV.Social
Politic Genius, Makassar, hlm. 35.
69
Hendrawan, “Pemulihan Hak Politik Melalui Mekanisme Konstitusional”, Halu Oleo Law
Review, Vol. 2 Tahun 2018, hlm. 406.

44
dipandang sebagai parameter pencapaian bersama bagi semua rakyat dan

bangsa. Hal ini juga ditandai dengan adanya pengakuan oleh masyarakat

Internasional melalui PBB dengan pembentukan suatu rezim hukum hak

asasi internasional yang dikenal dengan International Bill of Human Right.70

Adapun konteks Hak Asasi Manusia dewasa ini telah jauh

melampaui substansi hak-hak kodrati sebagaimana dirumuskan oleh John

Locke. Alasannya adalah kandungan hak asasi sekarang tidak bisa lagi

hanya sekedar mencakup hak-hak sipil dan politik, tapi juga dituntut untuk

selalu relevan dengan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Meski begitu,

tidak dapat dipungkiri bahwa konsep dan hakikat hak-hak kodrati ini menjadi

pelopor terselenggaranya pengakuan Internasional terhadap keberadaan

hak asasi manusia hari-hari ini.71

2. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia

Pada masa awal kemerdekaan telah terjadi silang pendapat antara

para tokoh pendiri bangsa, yaitu antara Soekarno-Soepomo dengan M.

Hatta-Muhammad Yamin tentang perlu atau tidaknya pengaturan tentang

hak asasi manusia dimasukkan dalam UUD RI. Soekarno pada pokoknya

berpendapat bahwa pencantuman hak dalam Konstitusi RI akan merujuk

pada paham individualisme dan liberalisasi sebagaimana terdapat di

70
Rhona K.M. Smith, (dkk.), Op.Cit, hlm. 14.
71
Ibid.

45
Prancis, hal ini ia nilai sama sekali tidak mencerminkan ciri bangsa

Indonesia.

Menurut Soekarno Grondwet yang diklaim sebagai “right of the

citizen” itu tidak akan menghilangkan kelaparan pada orang miskin,

Soekarno meyakini bahwa pencantuman hak asasi dalam konstitusi itu

belum perlu karena Indonesia pada dasarnya telah memiliki paham

kekeluargaan, tolong menolong, gotong-royong dan keadilan sosial.72

Adapun Soepomo juga menolak dimasukkannya ketentuan

mengenai hak dalam Undang-Undang Dasar 1945 tetapi dengan sedikit

perspektif yang berbeda. Penolakan ini didasarkan pada idenya tentang

Negara Integralistik.73 Ciri negara integralistik (staatsidee Integralistik)

adalah menjamin tidak adanya pertentangan antara susunan hukum negara

dan susunan hukum individu, karena individu dalam hal ini diartikan sebagai

bagian organik dari Negara. Paham ini dia yakini sudah mampu untuk

mengayomi golongan-golongan yang ada di Indonesia dengan pikiran dan

prinsip “ketimuran”. Maka beliau menyatakan bahwa dengan ketentuan itu

Hak Individu tidak lagi relevan dalam negara integralistik, yang ada adalah

negara menjamin keselamatan hidup warga negara.

Adapun Hatta-Yamin di sisi yang lain juga bersikeras untuk tetap

mencantumkan ketentuan hak asasi dalam UUD 1945. Hatta menyebut

72
R.M. A.B. Kusuma, 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 352.
73
Fajlurrahman Jurdi, 2016, Teori Negara Hukum, Setara Press, Malang, hlm. 65-67.

46
dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada Soekarno dan Soepomo,

bahwa dia pada dasarnya juga setuju dan melakukan penolakan pada

paham individualisme dan liberalisme, tetapi yang dia khawatirkan adalah

kekuasaan yang tidak terbatas pada negara, menjadikan pemerintah

terjebak dalam kubangan otoritarianisme.74

Sedangkan Muhammad Yamin dengan latar belakang pendidikan

sarjana hukum Belanda dengan keras melawan argumen kepada pihak-

pihak yang menolak dicantumkannya ketentuan hak warga negara dalam

Undang-Undang Dasar 1945. Beliau menganggap bahwa dengan memuat

ketentuan mengenai hak warga tersebut tidak serta merta membuat

Indonesia berpaham liberalisme, melainkan itu hanya sebagai keharusan

dalam rangka upaya perlindungan terhadap kemerdekaan yang telah

dicapai, sehingga sangat pantas agar ketentuan mengenai hak asasi itu

dicantumkan dalam konstitusi Negara.75

Pada akhirnya, perdebatan ini berakhir dengan disertakannya

ketentuan pasal tentang kebebasan berserikat dan berkumpul dengan

memperhatikan batasan dari undang-undang, selain itu keterbatasan ini

juga mencakup wilayah konseptual. Konsep dalam UUD 1945 masih

menggunakan istilah Hak Warga Negara (Rights of the Citizen) bukan Hak

Asasi Manusia (Human Rights). Implikasi dari penggunaan konsep ini

74
Muhammad Amin Putra, “Perkembangan Muatan HAM dalam Konstitusi di Indonesia”, Fiat
Justitia, Vol. 9 Tahun 2015, hlm. 210.
75
R.M. A.B. Kusuma, Op. Cit, hlm. 380.

47
adalah belum diakuinya prinsip natural rights yang mempercayai bahwa hak

yang dimiliki manusia telah ada semenja ia dilahirkan. Konsekuensi lainnya

adalah negara dalam hal pengaturan hak asasi hanya memiliki kedudukan

sebagai regulator of rights dan bukan sebagai the guardian of human rights

sebagaimana rujukan dalam rumusan sistem Perlindungan Internasional

Hak Asasi Manusia.76

Jika mengacu pada sejarah, maka konstitusi RIS 1949 dan UUDS

1950 (1949-1959) justru telah memuat pasal-pasal tentang HAM yang

lebih banyak dibandingkan dengan muatan HAM dalam rumusan UUD

1945. Bahkan rumusan dan materi yang tercantum dalam kedua rumusan

undang-undang dasar tersebut telah merujuk pada muatan dan ketentuan

sebagaimana terdapat dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(universal Declaration of Human right).77

Pada sidang konstituante yang diadakan antara tahun 1957-1959

memunculkan kembali perdebatan sengit tentang muatan konstitusi

menyangkut Hak Asasi Manusia sebagai usaha untuk mengoreksi

kelemahan UU 1945. Diskusi tentang ketentuan HAM dalam sidang

konstituante ini sudah jauh lebih terbuka dan progresif karena atensi dan

kesadaran yang besar dari para peserta sidang terhadap pentingnya

76
Rhona K.M. Smith, (dkk.), Op. Cit, hlm. 240.
77
Majda el Muhtaj, Edisi Kedua-Cet. Ke-5, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia:
Dari UUD 1945 sampai dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 200”, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hlm. 9.

48
menyertakan HAM dalam konstitusi.78 Berbeda dengan sidang pada masa

BPUPKI dahulu, pembahasan dalam majelis konstituante ini relatif

menempatkan Hak Asasi Manusia dalam Pengertian Natural Rights dan

menganggapnya sebagai bagian dari substansi UUD.

Dalam sidang konstituante itu sebenarnya telah diperoleh

kesepakatan sejumlah 24 macam ketentuan yang mengatur tentang

persoalan hak asasi manusia.Tetapi kemudian, Dewan Konstituante ini

dibubarkan secara sepihak oleh Pemerintahan Soekarno, akibatnya segala

macam keputusan yang dicapai didalamnya juga dikesampingkan,

termasuk diantaranya adalah pengaturan hak asasi manusia. Hal ini juga

ditandai dengan keluarnya “Dekrit 5 Juli 1959”.

Babak baru dalam perkembangan hak asasi manusia dalam

konstitusi RI selanjutnya adalah Keputusan Presiden Soekarno untuk

kembali kepada UUD 1945. Keputusan ini dituangkan melalui Keppres

nomor 150 Tahun 1959 dengan inti pernyataan bahwa Undang-Undang

Dasar 1945 akan berlaku kembali.79 Keppres ini sekaligus menjadi

pernyataan bahwa segala ketentuan berkenaan dengan Hak Asasi Manusia

yang berlaku dalam konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 ditiadakan dan

78
R. Herlambang Perdana Wiratman, “Kebebasan Berekspresi, Penelusuran Pemikiran dalam
Konstitusi di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 6 Tahun 2009, hlm. 120.
79
Danang Risdiarto, “Legalitas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Pengaruhnya Bagi Perkembangan
Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Legislasi Nasional, Vol. 15 Tahun 2018, hlm. 66.

49
akan berlaku kembali sebagaimana tercantum dalam rumusan Konstitusi

UUD 1945.80

Setelah jatuhnya rezim orde lama, diskusi tentang hak asasi manusia

kembali mencuat ke permukaan. Kemudian memasuki Periodisasi awal

rezim Presiden Soeharto, Majelis Permusyawaratan Rakyat sementara

(MPRS) merancang dokumen dengan sebutan “Piagam Hak-Hak Asasi

Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara”. Namun, jika mau

menilik sejarah dengan berbagai gejolak politik pada masa itu menjadikan

piagam ini tidak pernah diberlakukan. Menurut Sekjen MPRS, Abdulkadir

Besar, penyebab gagal berlakunya kedua piagam tersebut adalah berawal

dari keinginan Presiden Soeharto agar secepatnya dilantik menjadi

presiden penuh.81

Adapun pada masa itu posisi Soeharto juga adalah Presiden

Republik Indonesia. Abdulkadir menyatakan keinginan Soeharto tersebut

dilandasi oleh kemauannya untuk mengikuti sidang Inter-Governmental

Group on Indonesia (IGGI) yang akan diselenggarakan pertama kali di

Tokyo. Pada akhirnya atas berbagai desakan yang terjadi, oleh MPRS atas

pimpinan A.H. Nasution melantik Soeharto sebagai Presiden penuh.82

Pada masa awal kepemimpinan Soeharto, pemerintah sering

mengkampanyekan slogan penegakkan dan perlindungan HAM melalui

80
R. Herlambang Perdana Wiratman, Op. Cit, Hlm. 121-122.
81
Rhona K.M. smith, (dkk.), Op. Cit, hlm. 249.
82
Ibid.

50
berbagai macam seminar untuk sekedar meyakinkan masyarakat tentang

jaminan HAM di Indonesia. Mulai dengan adanya rekomendasi

pembentukan pengadilan dan Komisi HAM di kawasan Asia, sampai

dengan rekomendasi untuk segera dilakukannya uji materil terhadap

perlindungan kebebasan dasar manusia.83 Namun tidak bisa dipungkiri,

pada masa ini juga masih terdapat gejolak dan ketakutan dari pemerintah

untuk mengadopsi paham HAM dalam sistem perundang-undangan karena

citra liberalisme dan individualisme yang dianggap melekat pada negara

imperialis dan tidak sesuai dengan kultur di Indonesia.

Indonesia dalam perkembangannya pada masa orba juga ikut

meratifikasi beberapa konvensi HAM seperti masalah diskriminasi terhadap

perempuan, apartheid dalam olahraga, dan konvensi hak anak. 84 Namun

jika menilik sejarah, nilai-nilai ideal HAM yang coba digalakkan oleh

pemerintah masih jauh dari implementasi akibat banyaknya fakta

pelanggaran HAM. Baru kemudian pada tahun 1993, masyarakat Indonesia

seolah mendapat titik terang dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak

Asasi Manusia melalui Keppres Nomor 50 Tahun 1993. Begitupun dengan

konsep pemahaman pemerintah yang mulai bergeser tentang HAM dari

yang semula partikularisme ke arah universal.85

83
Gita Ramaida Hamada, Makalah: “Dinamika Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia”,
Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, 2019, hlm. 2.
84
Dede Kania, 2018, Hak Asasi Manusia dalam Realita Global, Manggu makmur Tanjung Lestari,
Bandung, hlm. 43.
85
Asror Nawawi, “Komnas HAM: Suatu Upaya Penegakan HAM di Indonesia”, Jurnal Hukum
Progresif, Vol. 11 Tahun 2017, hlm. 1873.

51
Sampai pada akhirnya rezim era Soeharto tumbang dan

memunculkan arus besar gerakan bernama “Reformasi” yang secara

‘paksa’ membuka keran diskusi menyangkut wacana baru pembentukan

peraturan yang menyoal hak asasi manusia secara menyeluruh. Pada

masa ini, MPR sebagai organ tertinggi negara pada tanggal 13 November

1998 memberlakukan ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak

Asasi Manusia.

Inti ketetapan ini berisikan perintah berupa penugasan kepada

lembaga-lembaga tinggi negara, dan seluruh lingkup aparatur pemerintah,

untuk menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman

berkaitan dengan hak asasi manusia kepada masyarakat. Ketetapan ini

secara langsung juga memuat penegasan kepada Presiden dan DPR agar

segera melakukan ratifikasi terhadap berbagai instrumen PBB tentang hak

Asasi Manusia dengan memperhatikan Pancasila dan UUD 1945.86

Sebelum adanya Ketetapan oleh MPR tersebut, pada tanggal 15

agustus 1998 Presiden B.J Habibie sebenarnya telah memberlakukan

Keppres Nomor 129 Tahun 1998 tentang Rancangan Aksi Nasional Hak

Asasi Manusia 1998-2003 yang biasa dikenal dengan sebutan singkat

RANHAM. Keppres ini memuat sejumlah ketentuan dengan penegasan

86
Ibid, hlm. 1876.

52
bahwa RANHAM akan dilaksanakan secara berkesinambungan yang akan

ditinjau dan coba disempurnakan setiap 5 (lima) tahun.87

Baru kemudian sebagai wujud komitmen diadakannya reformasi

1998 berkaitan dengan penegakan HAM di Indonesia, pemerintah

menetapkan Perubahan Kedua UUD 1945 dalam Sidang Tahunan MPR

yang pertama (7-18 Agustus 2000). Babakan ini dianggap sebagai

perubahan besar karena dalam sidang ini diatur tentang “Hak Asasi

Manusia” secara khusus yang dimuat dalam Bab tersendiri, yaitu Bab XA.

Secara umum Bab ini hendak memperluas ketentuan yang terdapat pada

Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 dari yang semula hanya terdiri dari

satu (1) pasal dan satu(1) ayat, menjadi beberapa ketentuan sebagaimana

yang terdapat diantara pasal 28A sampai pasal 28J. Meskipun bisa

dikatakan terjadi perubahan signifikan dalam hal regulasi pengaturan hak

asasi manusia, disisi lain pemerintah tetap masih harus terus melakukan

perbaikan-perbaikan dalam Pengaturan dan Penegakan HAM.

Sebenarnya jika mengelompokkan hak dalam UUD 1945, maka

jaminan tentang pengaturan hak konstitusional warga negara, tidak hanya

terbatas dan terdapat pada Bab X mengenai Hak Asasi Manusia, melainkan

juga mencakup hak-hak lain yang terdiri atas hak politik, kultural, ekonomi,

hak kolektif, hak atas pembangunan dan lain-lain.

87
Republik Indonesia, 1998, Keputusan Presiden tentang Rencana Hak Asasi Manusia Indonesia,
Pasal 1 ayat (3).

53
Perumusan hak asasi manusia dalam UUD 1945 secara umum dapat

dipahami dengan beberapa catatan.88 Pertama, ketentuan hak yang

terdapat dalam konstitusi ini secara fundamental diformulasikan sebagai

hak setiap orang (individual right). Kedua, Jika memperhatikan prinsip

universalitas HAM maka perbedaan perumusan mengenai hak asasi

manusia dalam posisinya sebagai hak individual berimplikasi pada akan

adanya pemberian jaminan terhadap setiap orang dalam sistem hukum

manapun. Ketiga, pelaksanaan hak konstitusional tertentu dapat saling

terkait dengan hubungan konstitusional warga negara dengan elemen

konstitusi dan negara (constitutional and political relation).

3. Prinsip-Prinsip Kebebasan Berserika dan Berkumpul

Keberadaan prinsip terhadap penegakan dan akselerasi peraturan

pemerintah memiliki urgensi yang teramat penting untuk memelihara nilai-

nilai kebebasan berkumpul dan berorganisasi di Indonesia. Ada dua prinsip

utama yang bisa dijadikan acuan terkait kebebasan berkumpul dan

berorganisasi tersebut yaitu prinsip non-diskriminasi dan prinsip

proporsionalitas.89

Prinsip non-diskriminasi artinya setiap warga negara berhak untuk

membentuk suatu perkumpulan dan organisasi berdasarkan perlakuan

yang sama dihadapan hukum. Prinsip ini tidak menghendaki segala

tindakan yang mengarah pada diskriminasi baik secara langsung maupun

88
Rhona K.M. smith, (dkk.), Op.Cit, hlm. 281.
89
The International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR), Pasal 14.

54
tidak langsung, sehingga negara dalam hal ini memiliki kewajiban untuk

memberikan perlindungan hukum pada warga negara untuk menjamin hak

atas kebebasan berorganisasinya.

Prinsip non-diskriminasi juga menghendaki agar negara dan

instrumen hukumnya dapat bertindak secara adil berkenaan dengan

pengaturan keoragnisasian, mulai dari pendirian, pendaftaran, dan

kegiatannya. Perlakuan berbeda terhadap organisasi dari sisi penerapan

hukum akan berimplikasi pada perlakuan diskriminatif. Maka penting bagi

Indonesia sebagai negara hukum untuk memberikan penekanan pada

aktualisasi pemberlakuan asas kesetaraan dihadapan hukum.

Sedangkan prinsip proporsionalitas penekanannya pada peran

pemerintah untuk memastikan keterlibatannya dalam pengaturan dan

pengendalian hak atas kebebasan berkumpul dan berorganisasi sesuai

dengan batas-batas kebutuhan masyarakat dalam tataran demokratis,

selain itu segala tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka

menegakkan hukum seharusnya bersifat melayani atau paling tidak

membuat masyarakat satu sama lain merasa nyaman menjalankan

kebebasan berserikatmya. Sikap bijak pemerintah untuk mengambil

tindakan yang menyeimbangkan antara berbagai kepentingan yang

berlawanan juga menjadi tuntunan utama dalam prinsip ini untuk mengelola

hak-hak atas kebebasan tersebut.

55
4. Prinsip Derogasi Hak Atas Kebebasan Berserikat dan Berkumpul

Setelah Perang Dunia II selesai, muncul keinginan negara-negara di

dunia untuk membentuk suatu rumusan perlindungan terhadap Hak Asasi

Manusia yang dapat diakui seluruh dunia dengan standar prinsip yang

bersifat universal pada perilaku manusia. Inisiasi awal dalam wacana

perumusannya adalah dengan membentuk dewan Komisi Hak Asasi

Manusia (Commission on Human Right) dalam tubuh keorganisasian PBB.

Komisi hak asasi manusia ini melaksanakan sidang dengan materi

pembahasan yang didominasi oleh hak-hak dalam aspek politik bernegara,

adapun hal lain menjadi perhatian adalah menyangkut hak-hak asasi dalam

bidang ekonomi. Kedua jenis HAM ini menjadi prioritas utama karena

dianggap paling terdampak pasca Perang Dunia II. Sidang yang diadakan

tahun 1948 ini menghasilkan “Universal Declaration of human Right” yang

diterima sebanyak 48 negara anggota PBB, sementara delapan (8) negara

lain termasuk diantaranya Uni soviet memilih tidak memberikan suaranya

(abstain).90

Sidang pembahasan dalam badan PBB ini termasuk cepat dalam

merumuskan ketentuan perlindungan hak asasi manusia yang akan berlaku

karena hanya memerlukan waktu dua tahun. Salah satu alasan deklarasi

universal ini dapat dirumuskan dalam waktu singkat adalah sifatnya yang

“tidak mengikat secara yuridis”.

90
Miriam Budiarjo, Op. Cit, hlm. 218.

56
Deklarasi hak asasi manusia ini pada dasarnya dibentuk dengan

tujuan menciptakan norma yang dapat berperan sebagai pedoman umum

penegakan HAM di dunia. Implikasi dengan pengaturan norma hukum

tersebut menjadikan rumusan tentang hak dan kebebasan diatur dalam

pengertian yang luas sehingga terkesan bebas nilai dan tanpa batasan

norma. Satu-satunya pembatasan yang ada dalam rumusan ini terdapat

pada pasal 29 yaitu:

Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakatnya dan


bahwa dalam pelaksanaan hak-hak dan kekuasaan-kekuasaannya
setiap orang hanya dapat dibatasi oleh hukum yang semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang layak atas
hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dalam rangka
memenuhi persyaratan-persyaratan yang adil dalam hal moralitas,
kesusilaan, ketertiban umum, kesejahteraan umum yang adil dalam
masyarakat yang demokratis.91

Walaupun deklarasi universal tentang hak asasi manusia ini

dikatakan tidak mengikat secara yuridis, tetapi secara moral, politik, dan

eduktif sangat berpengaruh secara signifikan. Buktinya adalah rumusan ini

selalu dijadikan patokan dalam perumusan perundang-undangan terhadap

hak asasi manusia di berbagai negara di dunia.

Jika dalam deklarasi HAM sebelumnya masih dianggap tidak

berisikan ketentuan yang mengikat secara yurisdiksi, maka tahapan yang

diupayakan selanjutnya oleh komisi hak asasi PBB ini adalah membentuk

91
Pasal 29 ayat (1) dan (2) Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia

57
semacam Perjanjian Internasional dengan menyertakan substansi hukum

yang mengikat (something more legally binding than a mere declaration).

Rumusan ini juga memuat secara rinci kedudukan aparatur

pelaksana dan bagaimana mekanisme pengawasan terhadap penegakan

HAM, ditambah lagi dengan hak-hak yang akan dijelaskan implikasinya.

Pada akhirnya tercapailah kesepakatan untuk membentuk dua kovenan,

yaitu International Covenant on civil and Political Rights (ICCPR) dan

Internasional Covenant on Economics, Social and Cultural Rights).92

Dalam proses pemberlakuan, ternyata kovenan internasional hak

sipil dan politik mengalami kendala dalam implementasinya, hal ini

dipengaruhi oleh tuntutan sistem hukum internasional yang sifatnya rumit,

seperti kedudukan individu sebagai subjek hukum internasional, prinsip

kedaulatan suatu negara masing-masing, sampai dengan persoalan

yurisdiksi domestik.

Pasal 2 Piagam PBB mengatur ketentuan bahwa komisi hak asasi

manusia tidak memiliki wewenang untuk terlibat dalam yurisdiksi domestik

negara, sebagaimana dinyatakan:

Nothing contained in the present Chapter shall authorize the United


Nations to intervene in matters which are essentially within the
domestic jurisdiction of any state (Tiada dalam piagam ini yang
memberi wewenang kepada PBB untuk campur tangan dalam hal-
hal yang pada hakikatnya termasuk yurisdiksi setiap negara.

92
Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik telah diratifikasi di Indonesia melalui
UU Nomor 12 Tahun 2004. Sedangkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya diratifikasi lewat UU Nomor 11 Tahun 2005.

58
Pasal ini secara implisit mengurangi bobot hukum hak politik karena

pelaksanaannya yang harus menyesuaikan dengan sistem perundang-

undangan dari negara yang bersangkutan. Pengaturan hak asasi manusia

dalam deklarasi 1948 yang tanpa batasan atau restriksi membuat negara-

negara yang mau meratifikasi merasa khawatir terhadap stabilitas nasional

karena substansinya yang berpotensi menyelewengi perundang-undangan.

Oleh sebab itu, pengaturan ketentuannya sangat hati-hati agar tidak ada

hukum domestik yang dilanggar. Perdebatan perihal “pembatasan” ini

bahkan memakan waktu yang cukup lama, sebab jika tidak dimuat maka

akan membuat banyak negara menolak untuk meratifikasi konvensi

tersebut.93

Pada akhirnya, ketentuan mengenai hak asasi dalam kovenan

internasional mengatur pembatasan hak untuk mempermudah proses

implementasinya. Adapun secara umum ketentuan hak asasi dalam

kovenan ini memiliki sifat-sifat sebagai berikut:94

a. Umumnya pada hak asasi tidak mengandung restriksi (batasan).

b. Dimungkinkan melakukan restriksi dalam keadaan darurat.

c. Hak asasi yang boleh di restriksi oleh Undang-Undang terdiri dari:

pasal 19 (kebebasan berpendapat), pasal 21 (kebebasan berkumpul

secara damai), pasal 22 (kebebasan berserikat).

93
Miriam Budiarjo, Op.Cit, hlm. 218-224.
94
Ibid.

59
d. Jenis pengaturan Hak asasi yang tidak dapat di restriksi dalam

keadaan apapun (non-derogable rights): pasal 6 (hak atas hidup),

pasal 7 (hak untuk tidak disiksa), pasal 8 (hak untuk tidak

diperbudak), pasal 15 (kadaluarsa kasus kriminal atau non-

retroaktif), pasal 16 (persamaan dimuka hukum), pasal 18 (hak untuk

berpikir, berkeyakinan, dan beragama).

Klasifikasi diatas menunjukkan bahwa hukum internasional melalui

ICCPR mengatur ketentuan tentang hak berserikat sebagai derogable

rights (hak yang dapat dibatasi). Hanya saja pembatasan tersebut haruslah

memenuhi beberapa ketentuan, yaitu atas dasar kepentingan keamanan

nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan

kesehatan dan moral masyarakat, serta untuk melindungi hak dan

kebebasan orang lain.95

Adapun kondisi lain yang mengatur dibolehkannya pembatasan

terhadap hak sipil dan politik adalah pada saat terjadi keadaan darurat. 96

Praktiknya pun harus disertai dengan syarat untuk tidak mendiskriminasi

ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal usul sosial. Karena

kondisi darurat dilakukan dengan mengenyampingkan hak sipil dan politik,

maka pemberlakuannya bersifat sementara dan harus dengan jangan

waktu yang jelas. Dalam proses pembatasan hak tersebut, pemerintah juga

95
Pasal 21 dan Pasal 22 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
96
Ibid, Pasal 4 Ayat (1).

60
dituntut untuk memberikan pengumuman dan pernyataan resmi terlebih

dahulu kepada publik.

Adanya sejumlah ketentuan yang harus terpenuhi terlebih dahulu

sebelum dilakukannya pembatasan terhadap hak sipil dan politik

menunjukkan bahwa pemerintah tidak boleh sembarangan dalam

mengurangi dan membatasi hak warga negara bahkan dalam

kedudukannya sebagai hak yang dapat di restriksi. Hal ini juga didasari oleh

hukum Internasional sendiri yang mengatur ketentuan pembatasan dan

pengurangan hak dalam ICCPR berdasarkan prinsip Siracusa (Siracusa

Principles).97

Prinsip ini menyatakan bahwa pembatasan terhadap hak sipil dan

politik (termasuk hak berserikat) hanya dapat terlaksana jika diperlukan dan

memenuhi beberapa kriteria. Pertama, bisa dibenarkan dalam kovenan.

Kedua merespon kebutuhan sosial. Ketiga, mencapai tujuan yang sah.

Keempat, proporsional pada tujuan.98

Dalam sistem hukum nasional sendiri, sebenarnya sebelum

pemerintah meratifikasi ICCPR melalui UU Nomor 5 Tahun 2005, pada

dasarnya UUD 1945 setelah amandemen telah memberikan klasifikasi

mengenai sejumlah hak yang tidak dapat diberikan pembatasan dalam

pemenuhannya, termasuk kriteria (keadaan) dibolehkannya pembatasan

97
Prinsip ini dihasilkan oleh sekelompok ahli hukum internasional pada Mei 1984 di siracusa,
Italia.
98
Victor Imanuel W. Nalle, Op. Cit, hlm. 257.

61
tersebut dan instrumen hukum apa yang seyogyanya digunakan

pemerintah ketika akan melakukan pembatasan. Hak-hak yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun tersebut sebagaimana dicantumkan

dalam pasal 28I ayat (1) UUD.99

Sedangkan hak-hak diluar pasal tersebut boleh dibatasi

pemenuhannya dengan beberapa ketentuan sebagaimana terdapat pada

pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yaitu atas dasar pengakuan dan

penghormatan terhadap hak asasi orang lain, memenuhi tuntutan yang adil

terhadap pertimbangan moral, kepatuhan terhadap nilai-nilai agama,

keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis. Pada

pasal ini pula dinyatakan bahwa instrumen hukum yang bisa dipakai

pemerintah untuk dapat melakukan pembatasan sesuai ketentuan

konstitusi termasuk dalam hal ini kebebasan berserikat dan berkumpul

adalah melalui undang-undang.

Hal ini juga diamini oleh European Commission for Democracy

through Law (Venice Commission) ketika memberikan opini tentang

perlindungan hak asasi manusia dalam keadaan darurat. Menurutnya,

pembatasan HAM bisa dilakukan oleh pemerintah sepanjang negara

tersebut dalam situasi darurat atau keadaan bahaya. Prasyarat tersebut

diikuti dengan anjuran agar sebaiknya pengaturan mengenai pembatasan

99
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan
hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

62
terhadap hak tersebut dinyatakan dalam konstitusi. Senada dengan

ketentuan Konstitusi Indonesia, Komisi ini sekaligus juga menyatakan

bahwa sudah seharusnya keputusan terhadap pembatasan tersebut dimuat

dalam undang-undang. 100

Idealnya dalam suatu pembatasan hak asasi manusia sudah

seharusnya dicantumkan dalam sistem hukum nasional. Alasannya adalah

agar seluruh warga negara mengetahui adanya pembatasan tertentu dalam

HAM dan agar secara bersama-sama mengawasi pemerintah supaya

dalam pelaksanaan pembatasan dan pengurangan hak tersebut tidak

bertindak sewenang-wenang. Selain itu penetapan tujuan negara dalam

memberlakukan pembatasan hak dan kebebasan harus jelas, karena

pembatasan pada dasarnya hanya diperlukan untuk memenuhi tujuan yang

telah ditentukan secara sah tersebut.101

C. Pembahasan Pengaturan Pembubaran Ormas dalam Undang-undang

Nomor 16 Tahun 2017 terhadap Kesesuaiannya dengan Prinsip Hak

atas Kebebasan Berserikat dan Berkumpul serta Asas Kepastian

Hukum

Organisasi Kemasyarakatan (ormas) dalam kerangka gerakan civil

society telah sejak lama berkiprah dalam sejarah kekuasaan dan sudah

terbukti memiliki peran yang strategis dalam membersamai proses

100
Victor Imanuel dalam European Commission for Democracy through Law (Venice Commission), Opinion
on the Protection of Human rights in Emergency Situation, 2016, Council of Europe, Strasbourg, hlm. 13.
101
Rhona K.M. Smith, (dkk.), Op.Cit, hlm. 51.

63
perjuangan kemerdekaan Indonesia. Jimly Asshiddiqie pernah menyatakan

bahwa dalam suatu negara yang menghendaki kehidupan demokratis,

terdapat nilai yang sama besar antara negara, civil society, dan pasar.102

Pendapat tersebut mengisyaratkan pentingnya keberadaan peran-peran

yang dimiliki civil society termasuk ormas dengan segala macam

kekhususan bentuk dan orientasi organisasinya dalam konfigurasi

bernegara.

Hanya saja secara normatif, regulasi ormas sendiri baru

diundangkan pada masa orde baru yakni melalui Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU No. 8/1985).

Sebelum berlakunya peraturan ini, praktis yang menjadi acuan negara

dalam ranah implementasi terhadap hak-hak untuk berserikat dan

berkumpul utamanya bagi organisasi berbadan hukum adalah norma umum

dalam Konstitusi dan produk kolonial Belanda berupa Staatsblad Nomor 64

Tahun 1870 tentang Perkumpulan-Perkumpulan Berbadan Hukum

(rechtspersoonlijkheid van verenigingen). Adapun peraturan lain yang

mengatur perihal perkumpulan baru dibentuk terakhir kali dalam Staatsblad

Nomor 570 Tahun 1939 tentang Perkumpulan Indonesia pada wilayah Jawa

dan Madura, sebelum akhirnya disempurnakan melalui Staatsblad 1942

Nomor 13 Junto Nomor 14. Meski begitu, norma hukum dalam dua

102
Jimly Asshiddiqie ketika memberikan ceramah pada acara Pelantikan Majelis Nasional Korps
Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), 2008.

64
peraturan tersebut belum mengatur secara tegas perihal definisi

perserikatan dan perkumpulan.103

Salah satu aspek yang menarik untuk diperhatikan dalam Staatblaad

1870 adalah kedudukannya yang secara substansi telah melibatkan organ

lain berdasarkan aspek-aspek kepentingan umum malalui peradilan dalam

proses penyelesaian perkara.104 Begitupun alur hukum dalam proses

mencapai keputusan untuk menjatuhkan sanksi terhadap suatu

perkumpulan, maka proses penanganan perkaranya harus melalui muka

pengadilan. Artinya, hukum yang dibentuk pada masa penjajahan ini

bahkan telah memperhatikan urgensi peran peradilan dalam

mengakomodasi pengaturan kebebasan berserikat dan berkumpul

kendatipun kita menyaksikan dalam proses sejarah dan implementasinya

masih belum maksimal dan sangat amat politis mengikuti konflik dan

dinamika kebangsaan.

Meskipun pengaturan perkumpulan dalam staatblaad itu sebenarnya

merujuk pada bentuk-bentuk badan hukum seperti Perseroan Terbatas,

Firma, atau Koperasi, dan bukan meng-konotasi pengertian ormas dalam

kerangka kebebasan berserikat dan berkumpul sebagaimana objek

bahasan penulis, tetap saja cikal bakal keberadaan peraturan tersebut

103
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perkumpulan, Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI, 2016.
104
Pasal 6 dalam Staatblaad ini menjelaskan tentang diberikannya kewenangan kepada
kejaksaan untuk menuntut perkumpulan berbadan hukum yang menyimpangi statuta Gubernur
Jenderal pada masa itu di depan hakim perdata (lembaga peradilan),

65
telah digunakan sebagai patokan lahirnya UU Ormas. Keterlibatan proses

peradilan dalam regulasi yang bahkan diatur pada masa pendudukan

kolonial dan pra kemerdekaan ini juga secara langsung menunjukkan peran

mutlak terhadap perlunya keterlibatan lembaga hukum untuk menjamin

pokok-pokok hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul dalam upaya

mencegah kesewenang-wenangan penguasa.

Dalam perkembangannya pula, harus diakui dan telah menjadi

catatan sejarah bahwa UU No. 8/1985 masih jauh dari jaminan terhadap

perlindungan hak-hak kebebasan berserikat dan berkumpul. Pembentukan

dan penerapan aturan ini bahkan sengaja dirancang untuk melegalkan

politisasi daripada berdasarkan sudut pandang hukum substansial yang

seyogyanya ditegakkan pemerintah. Pernyataan ini dapat ditemukan dalam

risalah rapat undang-undang tersebut pada saat proses pembahasan,

dimana setidaknya terdapat tiga pendekatan yang digunakan untuk

merealisasikan peraturan ormas itu.105

Pertama, menjadikan pancasila sebagai asas tunggal baik kepada

ormas maupun kepada partai politik. Kedua, berusaha untuk menghapus

ideologi komunis. Ketiga, membuat organisasi dengan sifat kekhususan

sejenis menjadi satu wadah seperti organisasi-organisasi wartawan yang

digabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Adapun

105
Eryanto Nugroho, Ketua Yayasan Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia dalam keterangannya
melalui artikel hukum “UU Ormas, Riwayatmu Kini” melalui laman :
https://www.hukumonline.com/berita/a/uu-ormas-riwayatmu-kini--hol19452?page=1

66
pelaksanaan UU Ormas era Soeharto ini dapat diketahui dari

penggambaran Jimly Ashiddiqie yang menyatakan bahwa pada saat itu

ormas hanya ditempatkan sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah,

diantaranya sebagai alat untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan.106 Selain

itu, absennya norma mengenai keterlibatan peradilan dalam mekanisme

pemberian sanksi dan dominannya peran penguasa membuat proses

penegakan hukum secara substantif hanya dimiliki oleh pemerintah.107

Situasi ini berimplikasi pada rentannya keputusan untuk mengkriminalisasi

dan membubarkan ormas yang berseberangan dengan kepentingan

penguasa. Fakta ini menjadikan pengaturan ormas semakin jauh dari

prinsip dan nilai-nilai kepastian hukum.108

Pada masanya, UU Ormas orde baru kemudian direduksi

paradigmanya seiring dengan datangnya arus reformasi yang bertitik

singgung pada menguatnya kesadaran terhadap prinsip keterbukaan,

akuntabilitas, maupun kondisi sosial politik yang berbasis kebebasan.

Pentingnya keberadaan legal-formal terhadap nilai-nilai hak universal inilah

yang pada akhirnya mendorong lahirnya UU Nomor 17 tahun 2013 tentang

106
Orasi Ilmiah Jimly Ashiddiqie saat Pelantikan Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan
Mahasiswa Islam, Maret 2008.
107
Praktis satu-satunya lembaga hukum yang terlibat sebagaimana termuat dalam UU Nomor 18
Tahun 1985 tentang Pelaksanaan UU Nomor 8 Tahun 1985 adalah Mahkamah Agung. Itupun
tugasnya hanya sebagai pihak yang dimintai pertimbangan oleh pemerintah sebelum melakukan
pembekuan (Pasal 22 Ayat 4) dan pembubaran (Pasal 26 Ayat 4) terhadap Ormas.
108
Di Antara ormas yang sempat dilarang keberadaannya akibat berlakunya UU Ormas 1985 ini
adalah Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen melalui Surat Keputusan
Kementerian Dalam Negeri Soepardjo Rustam No.120 dan No.121/1987. Penyebab keluarnya
putusan ini sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya kewajiban bagi setiap organisasi untuk
menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal, termasuk kepada para Partai Politik yang
termanifestasi dalam UU Nomor 5 Tahun 1985.

67
Organisasi Kemasyarakatan (UU No. 17/2013). Maka sebagai bentuk

pengharapan dan refleksi dari peraturan ormas sebelumnya, terbentuklah

suatu regulasi yang muatan normanya sengaja dibuat sebagai respon atas

relevansi terselenggaranya negara hukum yang demokratis berkaitan

dengan perlindungan hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul dari

banyak sisi secara substantif.

Setidaknya terdapat beberapa poin perubahan mendasar dalam UU

Nomor 17 Tahun 2013 yang mereformasi peraturan ormas sebelumnya,

yaitu:109

1. Pancasila tidak lagi diposisikan sebagai asas tunggal.

2. Adanya diversifikasi dan pilihan yang memudahkan masyarakat untuk

mengasosiasikan diri dalam struktur pemerintahan, seperti ormas

berbadan hukum dan tidak berbadan hukum.

3. Mereformulasi kembali pengaturan hak-hak, kewajiban dan larangan

serta batasan interaksi dalam ruang publik.

4. Mekanisme penyelesaian sengketa meliputi internal ormas, proses

mediasi oleh pemerintah, dan melalui pengadilan,

109
Catur Wibowo dan Herman Harefa, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian dalam
Negeri, “Urgensi Pengawasan Organisasi Kemasyarakatan Oleh Pemerintah”, Jurnal Bina Praja,
Maret 2015, hlm. 14.

68
5. Keputusan untuk memberikan sanksi berupa pembubaran tidak lagi

menjadi kewenangan subjektif pemerintah, melainkan harus didahului

oleh putusan pengadilan.

6. Kebijakan terhadap ormas yang berorientasi elite political base dengan

ciri dan model kenegaraan yang sentralistik menjadi community base

dengan basis demokratis.

Secara keseluruhan, pengaturan kebebasan berserikat dan

berkumpul dalam UU Ormas 2013 ini telah jauh berkembang dibanding

regulasi sebelumnya, tentu saja hal ini sangat banyak dipengaruhi oleh

dinamika kehidupan bernegara yang semakin menuntut terakomodasinya

prinsip-prinsip hukum dan nilai-nilai kebebasan itu sendiri. Regulasi ini juga

telah secara eksplisit menempatkan hakikat ormas dalam domain utamanya

yaitu pada fungsi partisipatif dalam rangka pembangunan nasional. Namun,

meskipun telah dirancang sedemikian rupa dengan mempertimbangkan

nilai-nilai kebebasan berserikat dan berkumpul yang terkandung dalam

berbagai instrumen pengaturan hak asasi manusia, UU No. 17/2013 ini

tetap tidak luput dari kritik berbagai elemen masyarakat, diantaranya datang

dari salah satu ormas Islam terbesar di indonesia yakni Muhammadiyah.

Hasil judicial review yang diajukan oleh Tim Majelis hukum dan HAM

Pimpinan Pusat Muhammadiyah tersebut tertuang dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi No.82/PUU-XI/2013 dengan amar putusan yang

mengabulkan sebagian permohonan dan menolak sebagian. Adapun

69
pasal-pasal yang berisi inkonstitusional itu dapat dilihat melalui tabel

sebagai berikut.

Pasal Substansi Tafsir atas putusan


Pengaturan
Pasal 8 Tujuan Ormas Inkonstitusional Bersyarat.
Rumusan baru dapat
berlaku jika bersifat
kumulatif dan/atau
alternatif.
Pasal 16 (3), 17, 18 SKT dan pendaftaran Inkonstitusional. Sangat
berjenjang dari tingkat teknis, padahal bisa diatur
pemerintahan dalam peraturan
dibawahnya
Pasal 23, 24, 25 Persentase struktur Inkonstitusional.
organisasi yang berjenjang Pembatasan ormas
berdasar tingkat berdasar struktur
pemerintahan organisasi dan ruang
lingkup
Pasal Substansi Tafsir atas putusan
Pengaturan
Pasal 34 Hak dan kewajiban Inkonstitusional. Intervensi
anggota ormas pemerintah terlalu jauh
terhadap kemerdekaan
berserikat dan berkumpul
Pasal 40 (1) Pemberdayaan ormas oleh Inkonstitusional,
pemerintah dan/atau Pembatasan terhadap
pemerintah daerah hakikat ormas yang lahir,
tumbuh, dan mandiri dari
masyarakat.
Pasal 59 (1) huruf a Larangan menggunakan Inkonstitusional.
bendera atau lambang Yurisprudensi, Putusan MK
yang sama dengan negara Nomor 4/PUU-X/2012.

Jika memperhatikan tabel diatas, kritik yang muncul selalu saja

berkutat pada persoalan pengaturan yang dianggap tidak sesuai dengan

prinsip proporsionalitas. Pandangan masyarakat mengenai intervensi

pemerintah terhadap gerakan masyarakat sipil seperti ormas secara

simultan akan selalu berakibat pada tarik ulur kepentingan antara

kewenangan pemerintah untuk mengatur wilayah publik dan kepentingan

masyarakat untuk menuntut pemenuhan hak atas kebebasan berserikat

70
dan berkumpul secara adil. Kondisi ini akan selamanya menjadi isu sensitif

bagi masyarakat akibat adanya traumatik sejarah berupa pelanggaran HAM

oleh penguasa yang sebelumnya terjadi di indonesia. Begitupun ketika akan

muncul peraturan-peraturan baru yang mencoba memperbaiki dengan

meregulasi ulang pengaturan kebebasan berserikat dan berkumpul dalam

lingkup keormasan.

Maka melalui regulasi Undang-undang Nomor 16 tahun 2017

tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 tahun 2013 tentang

Organisasi Kemasyarakatan, ekspektasi masyarakat akan tunainya prinsip-

prinsip kebebasan berserikat dan berkumpul semakin tinggi kepada

pemerintah. Harapan akan semakin baiknya muatan norma yang

terkandung dalam peraturan ini tidak terlepas dari sudah semakin

meratanya awareness masyarakat terhadap pemahaman akan pentingnya

kebebasan berserikat dan berkumpul dalam postur negara hukum, apalagi

telah ada rumusan peraturan “hasil reformasi” sebelumnya melalui UU No.

17/2013 untuk menjadi acuan dan bahkan telah diuji melalui proses-proses

Judicial Review agar pemerintah tidak sekali lagi melakukan “kesalahan

formulasi pengaturan”. Terlebih peraturan sebelumnya juga dapat berfungsi

sebagai bahan evaluasi dan perbaikan bagi peraturan ormas setelahnya

agar memenuhi seluas-luasnya hak warga negara dengan batasan-batasan

dan penghormatan terhadap hak asasi manusia orang lain berdasarkan

ketentuan perundang-undangan.

71
Adapun UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas (UU No. 16/2017)

terbit dengan memuat beberapa pokok perubahan dari peraturan ormas

sebelumnya, mulai dari norma tentang pengertian ormas yang sedikit

mengalami perubahan dengan penegasan landasan dan tujuan berdirinya

ormas,110 rincian sanksi dan larangan-larangan ormas, 111 pemangkasan

dan penghapusan sistem peradilan dalam mekanisme pemberian sanksi, 112

serta tambahan BAB XVIIA berupa muatan norma berisi ketentuan pidana

yang secara langsung dapat memenjarakan setiap orang jika didakwa

melakukan pelanggaran terhadap beberapa kriteria larangan sebagaimana

diatur dalam Pasal 82A UU Ormas baru ini. Namun sebagaimana menjadi

fokus bahasan penulis, penelitian ini akan mengarah kepada cara

pemerintah menyusun mekanisme pemberian sanksi kepada ormas

utamanya berkaitan dengan norma hukum yang digunakan pemerintah

untuk sampai pada keputusan pembubaran ormas.

Dalam regulasi ini, pengaturan pembubaran ormas terdapat pada

pasal 61 ayat (1) dengan skema pemberian sanksi secara berjenjang, yaitu:

a. Peringatan tertulis.
b. Penghentian kegiatan.
c. Pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status
badan hukum.

Jika diperhatikan, salah satu bentuk perubahan dalam pasal ini

adalah terhapusnya sanksi penghentian batuan dan/atau hibah setelah

110
Pasal 1 UU Nomor 16 Tahun 2017.
111
Ibid. Pasal 59 dan Pasal 60.
112
Ibid. Pasal 61-62 dan Pasal 63-80.

72
sebelumnya dicantumkan dalam pasal 61 Ayat (1) huruf b UU Nomor 17

Tahun 2013 (UU No. 17/2013). Berdasarkan penjelasan pasalnya, maka

yang dimaksud dengan berhentinya bantuan dan/atau hibah adalah khusus

berupa akses sumber keuangan ormas yang berasal dari pemerintah dalam

bentuk anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) atau belanja

daerah (APBD). Bantuan kepada ormas menurut Pasal 37 Ayat (1) dalam

UU No. 16/2017 dapat berupa sumbangan dari masyarakat dan/atau orang

atau lembaga asing. Adapun hibah secara terpisah diatur melalui Peraturan

Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 123 Tahun 2018 tentang

Perubahan Keempat Aturan Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 tentang

Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari

APBD.

Ketentuan mengenai hibah tersebut dapat diberikan pemerintah

kepada ormas bersamaan dengan badan atau lembaga yang bersifat

nirlaba, sukarela, dan perkumpulan sosial kemasyarakatan lainnya dengan

syarat keberadaannya telah diakui oleh pemerintah melalui pengesahan

dan penetapan dari pimpinan instansi vertikal atau kepala satuan kerja

perangkat daerah sesuai dengan proporsi kewenangannya. 113 Dalam

peraturan permendagri ini juga disebutkan secara khusus bahwa hibah

kepada ormas berbadan hukum diberikan kepada yayasan dan

113
Pasal 6 Ayat (5) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 123 tahun 2018 tentang Pedoman
Pemberian Hibah dan bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD.

73
perkumpulan sebagaimana kriteria dan ketentuan bagi organisasi berbadan

hukum yang disebutkan dalam UU No. 16/2017 tentang Ormas. 114

Berkaitan dengan pengaturan sanksi penghentian bantuan dan/atau

hibah kepada ormas yang dihapuskan, sebenarnya tidak akan terlalu

berdampak buruk pada keuangan dan aktivitas ormas. Hal ini disebabkan

karena sumber keuangan ormas tidak hanya bergantung pada bantuan

dan/atau hibah pemerintah lewat anggaran APBN dan APBD.

Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 37 Ayat (1) UU No.

16/2017 bahwa keuangan ormas dapat bersumber dari:

a. Iuran anggota
b. Bantuan/sumbangan masyarakat
c. Hasil usaha ormas
d. Bantuan/sumbangan dari orang asing/lembaga asing
e. Kegiatan lain yang sah menurut hukum
f. Anggaran pendapatan belanja negara dan/atau anggaran pendapatn
belanja daerah.

Kebijakan pemerintah untuk menghapus penghentian bantuan

dan/atau hibah sebagai salah satu sanksi kepada ormas dalam struktur

pengaturan sanksi ini pada faktanya memang tidak terlalu dipermasalahkan

dari sisi substansi pengaturan sanksi, meskipun sekilas disisi lain dapat

sedikit berguna bagi ormas untuk “mengulur” waktu agar bisa berbenah dan

menyesuaikan diri terhadap pelanggaran yang diputuskan oleh pemerintah

sebelum beralih pada sanksi yang lebih berat mengingat sifatnya yang

berjenjang dan terdapat interval waktu pada setiap jenis pemberian sanksi.

114
Ibid. Pasal 4 Ayat (2),

74
Berbeda halnya dengan pengaturan norma yang terdapat pada

Pasal 61 Ayat (1) huruf c yang mengatur tentang pemberian sanksi berupa

pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan

hukum ormas, meskipun kelihatannya dari segi redaksi kalimat tidak

terdapat perubahan dari pengaturan sebelumnya melalui UU NO. 17 /2013,

tetapi secara substansi sebenarnya mengubah seluruh isi implikasi

hukumnya. Hal ini dikarenakan dalam UU No. 16/2017 menyatakan bahwa

pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan

hukum tersebut berarti memiliki makna pembubaran terhadap ormas yang

bersangkutan sebagaimana diafirmasi dalam pasal 80A, bahwa:

Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 61 Ayat (1) huruf c dan Ayat (3) huruf b sekaligus
dinyatakan bubar.

Perubahan muatan norma dalam pasal 61 undang-undang ormas ini

bersamaan dengan penghapusan 15 pasal lain yang mengatur tahapan

pemberian sanksi berjenjang sampai pada proses pembubaran ormas. 115

Termasuk didalamnya adalah menegasikan peran lembaga peradilan yang

seyogyanya menjadi prasyarat bagi pemerintah sebelum mengambil

keputusan pembubaran kepada ormas. Pengaturan keterlibatan lembaga

peradilan untuk dapat dicapainya keputusan pembubaran ormas oleh

pemerintah tersebut sebelumnya tercantum dalam pasal 68 UU No.

17/2013 bahwa:

115
Melalui UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang
Ormas , pemerintah menghapus pasal 63 sampai pasal 78 .

75
1. Dalam hal ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi
penghentian sementara kegiatan, pemerintah menjatuhkan sanksi
pencabutan status badan hukum.
2. Sanksi pencabutan status badan hukum dijatuhkan setelah
adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap mengenai pembubaran ormas berbadan hukum.
3. Sanksi pencabutan status badan hukum dilaksanakan oleh
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
hukum dan hak asasi manusia.

Pasal ini menggambarkan tentang bagaimana pembentuk peraturan

ormas sebelumnya menempatkan peran lembaga peradilan secara

“sejajar” dengan pemerintah sebagai eksekutif dengan menjadikan

keputusan pengadilan sebagai syarat yang mendahului keputusan

pemerintah sendiri untuk membubarkan ormas. Norma hukum ini tentunya

dilandasi oleh pandangan mengenai independennya peran peradilan dalam

suatu negara hukum yang dapat menjadi “verifikator” untuk mencegah

potensi kesewenang-wenangan pemerintah dari membubarkan ormas.

Dengan kata lain, untuk menjamin terselenggaranya sistem pemberian

sanksi yang adil dan objektif apalagi berkaitan dengan hak atas kebebasan

berserikat dan berkumpul warga negara, maka sudah seharusnya pula

kebijakan pemerintah untuk membubarkan ormas tersebut dilaksanakan

bersamaan dengan keputusan dari lembaga hukum.

Dalam bukunya yang berjudul the Spirit of the Law, Montesquieu

menjelaskan betapa pentingnya pemisahan kekuasaan (separation of

power) untuk menjaga netralitas dan independensi keputusan peradilan.

Begitupun dengan apa yang ditegaskan oleh salah seorang pengacara

konstitusi Jerman, Friedrich Julius Stahl mengenai pentingnya pemisahan

76
lembaga peradilan dalam suatu konsep negara hukum karena akan linear

dengan upaya-upaya warga negara untuk mencapai penegakan dan

pengakuan hak asasi manusia. Oleh karena pemisahaan cabang-cabang

kekuasan ini pula yang kemudian membuat Bagir Manan berpandangan

bahwa lembaga peradilan merupakan organ yang dapat menjadi akses bagi

rakyat untuk mencapai kebebasan politik (political liberty) termasuk

didalamnya adalah jaminan terhadap hak atas kebebasan berserikat dan

berkumpul.116 Konsep pemisahan kekuasaan ini juga yang pada akhirnya

membuat lembaga peradilan dapat dipercaya oleh rakyat yang hendak

mendapatkan keadilan dan kepastian hukum dari potensi-potensi

pembubaran yang sekarang hanya menjadi hak prerogatif pemerintah.

Akan tetapi dalam UU No. 16/2017, peran strategis peradilan

tersebut disikapi berbeda oleh pemerintah dengan terhapus dan lahirnya

norma baru yang mengatur mekanisme pembubaran ormas. Absennya

lembaga peradilan dengan penghapusan pasal 68 dan afirmasi

pembubaran dengan pencabutan surat keterangan terdaftar dan

pencabutan status badan hukum, berarti secara langsung memberikan

keleluasaan kewenangan kepada pemerintah untuk membubarkan ormas

secara sepihak tanpa proteksi dan proses verifikasi dari peradilan yang

116
Ismail Ramadhan, “Peran Lembaga Peradilan Sebagai Institusi Penegak Hukum Dalam
Menegakkan Keadilan Bagi terwujudnya Perdamaian”, Jurnal RechtsVinding, Vol. 6, April 2017,
hlm. 75.

77
tidak lain membahayakan eksistensi dan melanggar norma dasar negara

hukum dan prinsip-prinsip umum demokrasi.

Lembaga peradilan pada pokoknya memiliki peran-peran penting

dalam proses implementasi konsep negara hukum, apalagi kedudukannya

merupakan penanda masa-masa transisi dari sistem politik yang otoriter

menuju pemerintahan demokratis dengan kebijakan berdasarkan hukum

(Supremacy of Law). Keberadaan lembaga ini sedari awal diniatkan

sebagai pelaksana konstitusi dalam wilayah kekuasaan kehakiman dan

untuk menjamin tetap adanya penerapan prosedur-prosedur yang

memberikan keadilan dan kepastian hukum. Atas dasar alasan ini pula

keberadaan pengadilan menjadi sangat penting dalam struktur pengaturan

dan mekanisme pemberian sanksi bagi ormas.

The International of Jurist dewasa ini juga telah memasukkan prinsip

peradilan bebas dan tidak memihak (independence and impartiality) dalam

suatu konstruksi negara hukum modern bersamaan dengan prinsip lainnya

tentang peran negara dalam menjalankan kekuasaan dengan kewajiban

untuk tunduk pada hukum dan menghormati hak-hak individu. Artinya

rumusan ini juga menghendaki keberadaan peradilan sebagai bagian tak

terpisahkan dari perlindungan hak-hak atas kebebasan berserikat dan

berkumpul.117 Sudah menjadi prinsip kekuasaan dalam negara hukum

117
Jimly Asshiddiqie, Makalah, Gagasan Negara Hukum Indonesia, diakses pada tanggal 8 april
melalui laman :
https://www.pngunungsitoli.go.id/assets/image/files/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf

78
bahwa pelaksanaannya harus melalui organ-organ negara yang berbeda

sehingga kita mengenal istilah distinct hand (tangan-tangan kekuasaan

yang berbeda) dalam praktik konstitusi modern, sedangkan konstitusi

modern sendiri salah satu semangatnya adalah terwujudnya fungsi

pengadilan yang bebas dari pengawasan pengaruh dan campur tangan

kekuasaan lain.

Padahal kita telah lama sama-sama menyaksikan realita dari

ungkapan terkenal seorang ahli sejarah bernama Lord Dalberg Acton,

bahwa “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely”.

Besarnya kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dalam membubarkan

ormas ini sangat mungkin disalahgunakan sehingga sama sekali tidak

bersesuaian dengan prinsip-prinsip negara hukum yang seharusnya

mencegah negara dari pembentukan dan penerapan norma hukum yang

mengancam hak asasi manusia khususnya dalam hal ini kebebasan

berserikat dan berkumpul. Oleh sebab itu, penting untuk mengaktifkan

kembali peran peradilan dalam upaya merealisasi pilar-pilar negara hukum

untuk membatasi dominannya peran pemerintah dalam mengambil

keputusan hukum di wilayah hak asasi manusia.

Penjatuhan sanksi administrasi dalam proses keputusan untuk

membubarkan ormas dalam UU 16/2017 juga secara keseluruhan telah

menjadi kewenangan subjektif pemerintah dan sama sekali menyingkirkan

lembaga kekuasaan kehakiman dari aspek campur tangan kelembagaan.

79
Padahal sebelumnya menurut pasal 65 Ayat (1) dan pasal 67 Ayat (1) UU

17/2013 menyatakan:

Pasal 65 Ayat (1)

“Dalam hal penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan


terhadap Ormas lingkup nasional, Pemerintah wajib meminta
pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung.”
Pasal 67 Ayat (1)

Dalam hal Ormas tidak berbadan hukum tidak mematuhi sanksi


penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat
menjatuhkan sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar.

Pasal-pasal di atas secara eksplisit menjelaskan alur penjatuhan

sanksi yang seharusnya ditempuh oleh pemerintah dengan meminta

pertimbangan terlebih dahulu kepada Mahkamah Agung dalam tahapan

pemberian sanksi penghentian sementara kegiatan atau pencabutan surat

keterangan terdaftar dan pencabutan status badan hukum. Salah satu

pertimbangan tersebut menurut ketentuan ini bahkan memiliki derajat

hukum “wajib” sebelum pemerintah memberikan keputusan. Namun dalam

peraturan UU No. 16/2017 pemerintah kemudian mengganti tahapan

pertimbangan kepada Mahkamah Agung tersebut menjadi hanya melalui

Kementerian/Lembaga dibawah koordinasi Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia (Kemenkumham). 118 Artinya, pertimbangan yang dilakukan oleh

pemerintah hanya berkutat pada internal kelembagaan saja, disamping itu

118
Penjelasan Pasal 61 Ayat (4) UU Nomor 17 tahun 2013

80
lembaga terkait yang dimaksud secara vertikal juga berada dibawah

kekuasaan pemerintah sendiri.

Penyederhanaan proses pembubaran ormas dalam ketentuan

sejumlah pasal UU No. 16/2017 oleh pemerintah dipandang sebagai

kebutuhan hukum dalam rangka menghadapi ormas yang secara asas dan

kegiatan nyata-nyata mengancam kedaulatan negara. Jadi ketika negara

berada dalam keadaan tersebut, pemerintah merasa punya cukup alasan

hukum untuk mengambil tindakan yang langsung dan segera.119 Akhirnya,

untuk mengakomodasi kehendak tersebut agar benar dalam struktur dan

mekanisme hukum, maka pemerintah menggunakan asas Contrarius Actus

sebagai alas dan dasar hukum yang memfasilitasi lahirnya norma-norma

baru tersebut dalam bentuk hak yang dimiliki pemerintah untuk

membubarkan ormas dengan menghapus keterlibatan lembaga pengadilan

dalam proses pembubaran dan memangkas jenjang hukum pemberian

sanksi.

Dalam banyak bagian struktur proposal ini, penulis telah

menjelaskan betapa powerfullnya pemerintah melalui penerapan asas

Contrarius Actus dalam membentuk norma hukum baru pembubaran

ormas. Asas ini sendiri sebenarnya bukan hal baru dalam sistem

perundang-undangan Indonesia, bahkan secara hakikat ia melekat pada

lingkup kewenangan pejabat pemerintah sendiri termasuk ketika membuat

119
Penjelasan Pasal 61 Ayat (3) UU Nomor 16 tahun 2017 tentang Organisasi Masyarakat.

81
kebijakan, sehingga tidak perlu ditegaskan kembali dalam suatu peraturan

hukum dalam hal ini adalah UU No. 16/2017 tentang Ormas. Ketentuan

tersebut sebagaimana tercantum dalam pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi

Pemerintahan), bahwa:

Pencabutan Keputusan atau penghentian Tindakan sebagaimana


dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan oleh:120

a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mengeluarkan


Keputusan dan/atau Tindakan; atau
b. Atasan Badan dan/atau Atasan Pejabat yang mengeluarkan
Keputusan dan/atau Tindakan apabila pada tahap penyelesaian
Upaya Administratif.

UU Administrasi Pemerintahan juga secara terang menyebutkan

kriteria dan kondisi yang menentukan Badan dan/atau Pejabat

pemerintahan dapat menggunakan kewenangan untuk mencabut

Keputusan dan/atau menghentikan Tindakan terhadap keputusan

administrasi sebagaimana tertera dalam pasal 64 Ayat (1),121 bahwa:

Keputusan hanya dapat dilakukan pencabutan apabila terdapat


cacat:

a. Wewenang.
b. Prosedur
c. Substansi.

120
Pasal 32 Ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa: Keputusan dan/atau
Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
berwenang tetap berlaku hingga berakhir atau dicabutnya Keputusan atau dihentikannya
Tindakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang.
121
Victor Imanuel W. Nalle, Op. Cit., hlm. 255.

82
Sejumlah ketentuan diatas seharusnya masih relevan untuk dapat

menjadi rujukan dari pemerintah dalam mengambil tindakan terhadap

pengaturan ormas, bukannya malah menjadikan alasan ketidakberadaan

suatu asas dalam hal ini contrarius actus sebagai salah satu alasan pokok

diterbitkannya peraturan perubahan undang-undang ormas dengan dasar

belum efektifnya penerapan sanksi hukum. 122 Bahkan terhadap organisasi

yang secara asas dan kegiatan disebutkan menganut, mengembangan,

serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan

Pancasila dan UUD 1945 seharusnya tetap dapat diselesaikan dengan

menggunakan norma ini dalam proses hukumnya, apalagi juga telah

digolongkan jenis dan kriteria alasan pencabutan keputusan administrasi

yang dapat diputus atau dihentikan tindakannya oleh pemerintah tersebut.

Alasan hukum yang membuat asas contrarius actus berada dalam

pengaturan UU No. 16/2017 justru menurut penulis semakin

memperlihatkan prioritas dan kepentingan pemerintah agar dapat

mengambil tindakan hukum sendiri terhadap ormas. Mulai dari politik

hukum pembentukan ormas yang dinilai belum memuat secara

komprehensif ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945

padahal sejak awal ketentuan tersebut selalu menjadi “primadona” dalam

setiap pengundangan peraturan ormas, terbukti dari beberapa pasal dalam

UU No. 17/2013 yang memuat dengan jelas tidak bolehnya suatu ormas

122
Konsideran Menimbang huruf e UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu Ormas.

83
bertentangan dengan Pancasila yang dimuat dalam pasal 2 dan pasal 59

Ayat (4). Apalagi jika berbicara tentang penegakan Pancasila pada masa

orde baru melalui UU No. 8/1985 yang bahkan menjadi kewajiban bagi

setiap ormas untuk menyatakannya sebagai satu-satunya asas.

Lebih lanjut, jika asas ini dimengerti sebagai asas yang

memungkinkan Badan dan/atau Pejabat yang membuat suatu keputusan

berarti dapat pula membatalkannya, maka seharusnya dalam UU No.

17/2013 juga telah memuat ketentuan tersebut seperti dinyatakan dalam

pasal 67 Ayat (1) dan pasal 68 yang masing-masing memuat kewenangan

pemerintah untuk mencabut surat keterangan terdaftar dan status badan

hukum ormas. Begitupun dalam beberapa peraturan lain yang menyiratkan

eksistensi keberadaan asas ini, seperti dalam Pasal 97 ayat (8) dan (9) UU

Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara serta Pasal 4 ayat (3) dan Pasal

44 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun

2008 tentang Partai Politik.123

Persoalan paling fundamental sejak awal dalam kasus penerapan

asas contrarius actus adalah kewenangan yang dimiliki pemerintah untuk

mengesahkan dan memberikan status badan hukum ormas juga dapat

secara otomatis membubarkan ormas yang bersangkutan ketika surat

123
Irmanputra Sidin ketika memberikan keterangan dalam kapasitas sebagai saksi ahli dalam
permohonan uji formil dan materil Perppu Ormas Nomor 2 Tahun 2017 sebagaimana telah
ditetapkan melalui UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas.

84
keterangan terdaftar atau status badan hukumnya dicabut. Padahal dalam

beberapa pasal perundang-undangan yang penulis coba sebutkan di atas

selalu mengisyaratkan peran peradilan dalam proses dan mekanisme

penyelesaian kasus. Dalam UU Administrasi Negara Pasal 64 ayat (3) huruf

c misalnya telah mengatur bahwa salah satu cara yang bisa dilakukan untuk

mencabut keputusan Badan dan/atau Pejabat Administrasi adalah melalui

perintah pengadilan.

Belum lagi, lama waktu yang dibutuhkan untuk menjatuhkan sanksi

kepada ormas yang semakin singkat ketika ditentukan perubahannya

dalam pasal 62 UU No. 16/2017, bahwa:

(1) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat


(1) huruf a diberikan hanya 1 (satu) kali dalam jangka waktu 7
(tujuh) hari kerja sejak tanggal diterbitkan peringatan.
(2) Dalam hal Ormas tidak mematuhi peringatan tertulis dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dan menteri
yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum
dan hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya
menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan.
(3) Dalam hal Ormas tidak mematuhi sanksi penghentian kegiatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan
hak asasi manusia sesuai dengan kewenangannya melakukan
pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status
badan hukum.

Keberadaan pasal-pasal ini pada intinya hanya semakin

menunjukkan posisi pemerintah dalam menempatkan prioritas pengaturan

kebebasan berserikat dan berkumpul pada subjektifitas pemerintah dengan

pembenaran implikasi berlakunya asas contrarius actus. Penting untuk

diperhatikan bahwa meskipun kebebasan berserikat dan berkumpul sendiri

85
merupakan jenis hak asasi yang dapat dibatasi (derogable right), namun hal

tersebut tidak boleh menjadikan pemerintah serta-merta dapat

membubarkan ormas dengan mudah atau dengan proses dan mekanisme

penjatuhan sanksi hukum yang sengaja disederhanakan.

Oleh karena dalam struktur norma nasional maupun sistem hukum

internasional sudah mengkategorikan kedudukan hak atas berserikat dan

berkumpul sebagai jenis hak yang dapat dibatasi, maka seharusnya

substansi pemberian sanksinya tidak boleh secara mandiri diserahkan

kepada pemerintah, apalagi menyangkut persoalan perlindungan hak

asasi. Lagipula, konteks ‘melindungi’ dalam bahasan hak asasi manusia

lebih dimaksudkan kepada tugas negara sebagai sebuah institusi dengan

segala instrumen kelembagaannya. Maka disinilah peran negara melalui

organ peradilan untuk menegakkan hak tersebut dengan sifat independen

dan objektif yang melekat pada lembaganya, bukan kepada pemerintah

yang diselubungi oleh maksud-maksud politis.

Fakta telah adanya pemahaman terhadap nilai-nilai demokratis dan

negara hukum ditengah-tengah masyarakat juga akan selalu menyisakan

ruang ketidakpercayaan publik jika kebebasan berserikat dan berkumpul

hanya dikelola secara subjektif oleh pemerintah. Dalam konteks peraturan

ormas, kewenangan untuk membubarkan yang dimiliki pemerintah dalam

UU Ormas menurut penulis bagian dari subjektifitas yang menghalangi

tercapainya nilai dasar hukum berupa prinsip kepastian. Hal ini merupakan

bagian dari implikasi substansi pengaturan karena kendali atas pengakuan

86
dan pembubaran ormas melalui UU No. 16/2017 telah menjadi kewenangan

pemerintah secara penuh.

Kepastian hukum sebagai suatu nilai dasar hukum dapat bertindak

sebagai pelindung dari penegakan hukum yang sewenang-wenang oleh

aparat penegak hukum karena memberikan kejelasan mengenai

interpretasi hak dan kewajiban warga negara, sehingga konsekuensi

keputusan hukum yang terbit setelahnya adalah jenis hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan negara.124 Lord Lloyd juga berpendapat mengenai

pentingnya eksistensi kepastian hukum dalam suatu lalu lintas hukum

kenegaraan, dia menyatakan bahwa:

“…law seems to require a certain minimum degree of regularity and


certainty, for without that it would be impossible to assert that what
was operating in a given territory amounted to a legal system.”

Pendapat tersebut dapat dipahami sebagai penekanan bahwa

segala macam peraturan hukum harus memperhatikan prinsip kepastian

agar masyarakat mengetahui dan mendapati jaminan negara akan

kepemilikan hak dan mengerti batasan implementasi kebebasan berserikat

dan berkumpul tersebut. Tanpa kepastian hukum, maka akan muncul

ketidakpastian (uncertainty) dan ketidakpercayaan (distrust) kepada

124
Yohanes Suhardin, “Peranan Hukum Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat”, Jurnal
Hukum Pro Justitia, Vol. 25 Tahun 2007, hlm. 271.

87
pemerintah yang lambat laun akan memicu konflik karena tidak adanya

kejelasan sistem hukum dari pemerintah.125

Disisi lain, masyarakat memerlukan mekanisme penjatuhan sanksi

hukum yang menghalangi potensi penilain subjektif pemerintah untuk

mencapai kepastian hukum. Begitupun dengan sifat ‘dapat direstriksi’ yang

melekat pada ormas, tidak boleh suatu norma memberikan akses kepada

pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang dalam menjatuhkan sanksi.

Kondisi ini menjadikan peran peradilan menjadi relevan karena posisinya

yang meminimalisasi tindakan-tindakan yang tidak berdasarkan prinsip-

prinsip negara hukum. Sebaliknya, ormas memerlukan perlindungan dari

kelembagaan badan kekuasaan kehakiman untuk menegakkan hak

berserikat dan berkumpul sekaligus untuk mencapai implementasi prinsip

kepastian hukum dalam UU Ormas untuk membentuk norma yang konkret

memberikan perlindungan dan keamanan hukum bagi mereka sebagai

yustisiabel.

125
Mirza Satria Buana, 2010, Hubungan Tarik-Menarik Antara Asas Kepastian Hukum (Legal
Certainty) Dengan Asas Keadilan (Substantial Justice) Dalam Putusan-Putusan Mahkamah
Konstitusi, Tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 34.

88
89
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA DAN ANALISIS PERMASALAHAN KEDUA

A. Postulat Hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang


dalam Kerangka Hukum Nasional

1. Sejarah dan Perkembangan Perppu

Menurut Daniel Yusmic P Foekh, istilah Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (PERPPU) telah ada sejak tahun 1942 berkat

pemikiran Soepomo, bersama Ahmad Soebarjo dan Alexander Andries

Maramis ketika merumuskan draf rancangan undang-undang dasar untuk

kelak digunakan sebagai konstitusi negara Indonesia.126

Draf UUD yang disusun oleh ketiga tokoh tersebut dibentuk pada

tanggal 4 April 1942 dengan nama awal “ Rantjangan Permulaan dari

Undang-Undang Dasar Negeri Indonesia” yang terdiri atas 11 BAB dan 74

Pasal, termasuk didalamnya adalah aturan-aturan perantaraan

(overgangsbepalingen). Hal ini sebagaimana termuat dalam naskah

peninggalan Prof. Dr. Mr. R. Soepomo. Ketentuan mengenai Perppu

sebagaimana yang dikenal sekarang dalam pasal 22 UUD 1945

dicantumkan pada pasal 5 (Lima) draf rancangan UUD persiapan

kemerdekaan dengan redaksi kalimat:

Djika ada keperluan mendesak untuk mendjaga keselamatan umum


atau mentjegah kekatjauan umum dan djika Dewan Perwakilan

126
Daniel Yusmic P. Foekh, 2011, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU)
Suatu Kajian dari Perspektif Hukum Tata Negara Normal dan Hukum Tata Negara Darurat”, tidak
diterbitkan, Universitas Indonesia, Jakarta.

90
Rakjat tidak bersidang, Kepala Negeri jang membuat aturan-aturan
pemerintah sebagai gantinya undang-undang127

Dalam perkembangannya, pada April 1945, pendudukan Jepang

membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) yang diketuai oleh Dr. KRT. Radjiman wedyodiningrat dengan

tujuan agar Indonesia dapat membentuk undang-undang dasarnya sendiri.

Pada masa tugasnya BPUPKI membentuk Panitia Hukum Dasar yang

dipimpin oleh ir. Soekarno dalam rangka merumuskan Rancangan Batang

Tubuh UUD. Oleh Panitia Hukum Dasar, kembali dibentuk suatu

kepanitiaan kecil (Panitia Kecil) dengan menunjuk Soepomo sebagai

ketuanya. Soepomo dipilih sebagai Ketua karena dianggap sudah memiliki

gambaran tentang bagaimana nanti merumuskan draf UUD berbekal

pengalaman sebelumnya bersama Soebardjo dan Maramis. 128

Soepomo dalam posisinya sebagai Ketua Panitia Kecil kemudian

mengajukan laporannya pada tanggal 13 Agustus 1945 melalui forum

dalam Rapat Panitia Hukum Dasar.129 Dalam rapat ini dicapai kesepakatan

tentang draf rancangan Undang-Undang Dasar untuk selanjutnya

diserahkan kepada panitia penghalus bahasa yang salah satu anggotanya

adalah Soepomo sendiri. Rancangan UUD ini menempatkan rumusan

mengenai Perppu pada pasal 23 yang berisikan 3 (tiga) ayat, yaitu:130

127
Naskah Persiapan UUD 1945 dengan Catatan oleh Prof. Mr. H. Muhammad Yamin.
128
Ibid.
129
Risalah Sidang BPUPKI-PPKI Tanggal 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 yang diterbitkan oleh
Sekretariat Negara RI Tahun 1995.
130
Ibid.

91
(1) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-
undang
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR
dalam persidangan yang berikut
(3) Jika persetujuan tidak terdapat, peraturan pemerintah itu harus
dicabut.

Selanjutnya, Rancangan UUD ini menjadi bahasan utama dalam

sidang BPUPKI tanggal 15 Juli 1945, Soepomo atas persetujuan anggota

sidang kemudian mengubah istilah “Hukum Dasar” menjadi Undang-

Undang Dasar. Adapun Rancangan Naskah UUD ini diterima pada sidang

BPUPKI yang dilaksanakan pada hari selanjutnya, yaitu tanggal 16 Juli

1945.

Setelah dirasa telah tercapai tujuan pembentukan BPUPKI,

pemerintahan Jepang kemudian membentuk Panitia Persiapan

Kemerdekaan Republik Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno.

Dalam rapat besar yang diadakan PPKI tanggal 18 agustus, Soekarno

menyodorkan pasal-pasal dalam draf rancangan UUD untuk dibahas.

Akhirnya sampai pada pembahasan pasal yang mengatur tentang Perppu

dan mendapat tanggapan dari Otto Iskandaria. Beliau menyatakan:

Jadi, peraturan pemerintah dalam itu harus mendapat persetujuan


DPR dalam sidangnya. Dalam praktiknya, presiden akan ditunjuk.
Nanti Presiden harus mengadakan peraturan yang harus disahkan
oleh Dewan Perwakilan yang belum kita tunjuk, bagaimana dengan
hal ini?

Pertanyaan dari Otto Iskandaria ini secara langsung dijawab oleh

Soepomo, dengan mengatakan bahwa ketentuan mengenai hal tersebut

92
sudah termasuk dalam bagian aturan peralihan.131 Sampai dengan

selesainya sidang, meskipun terjadi beberapa kali perdebatan dalam forum,

tidak ada perubahan berarti dalam rumusan pasal mengenai Perppu.

Adapun perubahan itu hanya terdapat pada tata letaknya, yaitu dari pasal

23 menjadi pasal 22. Maka diperoleh kesepakatan untuk mengesahkan

UUD 1945 dengan Soekarno dan Hatta sebagai Presiden dan wakil

Presiden Republik Indonesia.132

Pada periode pemerintahan 1949 (RIS) dan 1950 (UUDS), Indonesia

sempat tidak mengenal istilah Perppu dalam konstitusinya, karena

digantikan oleh undang-Undang Darurat. Adapun Daniel Yusmic

berpendapat bahwa perubahan istilah ini juga atas inisiasi dari Soepomo

sendiri berangkat dari kesadaran akan adanya kelaziman yang dikenal

dalam dunia Internasional. Baru kemudian setelah dikeluarkan Dekrit

Presiden oleh Soekarno pada tanggal 5 juli 1959, Indonesia kembali

menganut istilah Perppu dalam undang-Undang Dasarnya.133 Sampai hari

ini, meskipun konstitusi Indonesia telah mengalami amandemen sebanyak

4 (empat) kali, tidak ada perubahan dalam pengaturan Perppu.

131
Ibid.
132
Novrieza Rahmi dalam hukumonline.com yang diterbitkan pada tanggal 2 September 2017
dengan judul artikel online “Sejarah Munculnya Istilah Perppu dan ‘Cermin’ Subjektifitas
Presiden”, diakses pada tanggal 14 Maret 2021 dari:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59a860340566c/sejarah-munculnya-istilah-
perppu-dan-cermin-subjektivitas-presiden/
133
Daniel yusmic P Foekh, dalam wawancara dengan hukumonline.com yang diterbitkan secara
online pada tanggal 5 Juli 2017, diakses pada tanggal 14 Maret 2021 dari laman website resmi:
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt595cb74e1f3fe/berbincang-seputar-seluk-beluk-
perppu-dengan-daniel-yusmic/

93
2. Kedudukan Perppu

Dari sudut pandang teori mengenai jenjang norma hukum

(Stufentheorie) dari Hans Kelsen, bahwa norma-norma hukum itu dalam

wujud idealnya berjenjang dan berlapis-lapis membentuk suatu susunan

yang hierarkis.134 Begitupun dalam sistem hukum Indonesia juga mengenal

tata aturan ketatanegaraan yang sifatnya hierarkis sebagaimana terdapat

dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011).

UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah bentuk turunan hukum dari pasal

22A UUD 1945 yang memuat bahwa “ketentuan lebih lanjut tentang tata

cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”,

Sementara dari sisi aturan pelaksanaan dibentuklah Peraturan Presiden

Nomor 87 Tahun 2014.135 Stufentheorie yang terdapat dalam undang-

undang ini juga berarti bahwa peraturan yang lebih rendah berpijak pada

norma hukum yang lebih tinggi, begitu seterusnya sampai mendapati norma

hukum dasar (grundnorm).136 Maka sebagai salah satu jenis perundang-

undangan di Indonesia, perppu juga harus bersumber dari Pancasila dan

UUD 1945.

134
Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,
Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
135
Achmad Edi Subiyanto, “Menguji Konstitusionalitas peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang”, Lex Jurnalica, Vol. 11, Nomor 1 April 2014, hlm. 11.
136
Maria Farida Indrawati, Loc.Cit.

94
Dalam praktik sistem perundang-undangan di Indonesia, perppu

adalah jenis peraturan perundang-undangan yang diatur secara parsial.

Alasan mengapa ia dibedakan dengan peraturan ketatanegaraan yang lain

adalah karena fungsi dan waktu berlakunya yang berbeda. Menurut pasal

22 ayat (3) UUD 1945, perppu pada dasarnya adalah peraturan pemerintah,

hanya saja ia ditetapkan dalam hal “ikhwal kegentingan yang memaksa”.

Hal ini salah satunya mengacu pada redaksi kalimat yang ada pada tubuh

perppu itu sendiri.137

Secara prosedural, Konstitusi negara memberikan hak prerogatif

kepada Presiden untuk membentuk perppu, kemudian diserahkan kepada

DPR untuk disetujui atau ditolak sebagai undang-undang. Idealnya, suatu

peraturan perundang-undangan memiliki beberapa tahapan dalam

pembentukannya, seperti perencanaan, penyusunan, pengesahan atau

penetapan, dan pengundangan. Tetapi dalam uraian Pasal 58 Peraturan

Presiden Nomor 87 Tahun 2014 menghilangkan unsur perencanaan, sebab

waktu pemberlakuan peraturannya yang tidak terduga dan tidak mungkin

direncanakan karena sifatnya yang “genting”. Adapun yang mendapat

penekanan dalam ketentuan ini adalah sifat keadaan dan kegentingan yang

memaksa itu sendiri.138

137
Bagir Manan, 2006, Lembaga Kepresidenan, FH UII Press, Jakarta, hlm. 150., Lihat juga Jimly
Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 55.
138
Anonim, “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dari Masa ke Masa”, Kementrian
Hukum dan Hak Asasi Manusia, di akses pada tanggal 17 Maret 2021 melalui laman:
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3000:pe
raturan-pemerintah-pengganti-undang-undang-dari-masa-ke-masa&catid=100&Itemid=180

95
Pada saat ini, melalui Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011,

kedudukan Perppu secara hierarkis diatur sejajar dengan Undang-Undang.

Tetapi jika menelisik sejarah perkembangannya, sebagaimana hasil kajian

dari Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dan Kementerian Hukum

dan Hak Asasi Manusia pada Tahun 2010, maka akan ditemukan bahwa

pengaturan mengenai Perppu pernah berada dibawah Undang-Undang.

Bahkan pada masa tertentu, Kedudukan Perppu pernah berada “di bawah”

Peraturan Pemerintah, yaitu melalui Surat Presiden kepada Ketua Dewan

Perwakilan Gotong Royong (DPR-GR) tanggal 20 Agustus 1959 Nomor

2262/HK/59 tentang Bentuk Peraturan Negara. 139

Hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia menurut

sejarah dimulai pada masa pemerintahan orde baru melalui ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor XX/MPRS/1966

tentang memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik

Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Dalam

Ketetapan MPRS ini Perppu telah diberikan kedudukan yang sama dengan

Undang-Undang dan dibawah UUD 1945 dan Ketetapan MPR (MPR

sebagai lembaga tertinggi negara pada masa itu) .140

Kemudian pada perubahan selanjutnya, sebagai respon adanya

reformasi dan sistem otonomi daerah pada masa itu, pemerintah Indonesia

merasa perlu memasukkan Peraturan Daerah dalam tata urutan peraturan

139
Novrieza Rahmi dalam hukumonline.com. Loc.Cit.
140
Achmad Edi Subiyanto, Loc. Cit.

96
perundang-undangan. Peraturan tersebut bahkan menempatkan Perppu di

bawah Undang-Undang, perubahan kedua ini terjadi berdasarkan

ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/2000 tentang

Sumber Hukum dan Tata urutan Peraturan Perundang-Undangan.

Perubahan Ketiga terjadi melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Perubahan tata

urutan perundang-undangan ini juga sebagai langkah awal iklim demokrasi

yang baru, karena UUD 1945 telah diamandemen yang ke-4 dan tidak lagi

memuat TAP MPR dalam sistem peraturan hierarkinya. Adapun Perppu

pada masa ini kembali disejajarkan dengan Undang-Undang dan dibawah

UUD 1945.141

Sedangkan perubahan terakhir dalam hierarki peraturan perundang-

undangan ini terjadi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Melalui peraturan ini,

Perppu tetap disejajarkan dengan Undang-undang, hanya saja ada

penempatan kembali Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP

MPR) diatasnya. Tindakan pembaharuan peraturan melalui perubahan tata

urutan peraturan perundang-undangan ini menandakan adanya kemajuan

signifikan dari yang semula konservatif kearah negara hukum yang lebih

demokratis.142

141
Ibid, hlm. 12.
142
Ibid.

97
Menurut Daniel Yusmic P Foekh, meskipun antara undang-undang

dan perppu ditempatkan secara sejajar dalam hierarki perundang-

undangan, kondisi ini tetap tidak menjadikan Perppu dapat diuji oleh

Mahkamah Konstitusi, sebab perppu adalah jenis peraturan yang hanya

bisa diterapkan dalam kondisi darurat.143

3. Tafsir Kegentingan yang Memaksa

Dalam suatu sistem ketatanegaraan yang baik, sudah sepantasnya

negara-negara yang mengakui supremasi hukum sebagai unsur yang

berdaulat dalam negara, menyelesaikan seluruh persoalan kebangsaannya

dengan instrumen hukum yang berlaku. Upaya penyelesaian masalah

melalui instrumen hukum yang ada tersebut akan selalu dipandang baik

karena dianggap konstitusional yang melindungi kepentingan seluruh

rakyat.

Tetapi tidak bisa dipungkiri, bahwa dalam beberapa keadaan,

serangkaian instrumen hukum nasional dianggap tidak memadai untuk

menyelesaikan suatu peristiwa dan fenomena hukum yang terjadi, atau

dengan kata lain ada peristiwa baru yang ketentuannya belum diatur dalam

sistem perundang-undangan nasional, di sisi lain peristiwa tersebut

membutuhkan respon yang cepat dari negara untuk menanganinya. Kondisi

ini dalam sistem hukum nasional disebut sebagai Keadaan Darurat,

143
Novrieza Rahmi, Loc. Cit.

98
sedangkan istilah instrumen hukum yang.digunakan adalah Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU).

Berdasarkan UUD 1945, ketentuan mengenai keadaan darurat

diatur dalam 2 (dua) pasal yaitu:144

1. Pasal 12, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat


dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-
undang.”
2. Pasal 22 Ayat (1), “Dalam hal ikhwal kegentingan yang
memaksa, presiden berhak menentukan Peraturan Pemerintah
sebagai Pengganti Undang-Undang”.

Dari kedua ketentuan ini didapati dua istilah hukum yang berbeda,

yaitu apa yang disebut sebagai kondisi negara dalam ‘Keadaan Bahaya’,

dan cara menyikapi kondisi negara darurat ‘dalam hal ihwal kegentingan

yang memaksa’.

Menurut Jimly Asshiddiqie, pasal 12 dan pasal 22 ayat (1) dalam

UUD 1945 berbeda dan masing-masing dapat diimplementasikan dalam

keadaan berbeda. Istilah “keadaan bahaya” menurutnya boleh saja

disamakan dengan keadaan darurat (state of emergency), tetapi dalam

frase kalimat “hal ihwal” sebagaimana terdapat dalam pasal 22 tidak bisa

diidentikkan dengan frase “keadaan bahaya”. Alasannya, karena dalam “hal

ikhwal” yang dimaksud adalah isinya, sedangkan makna kata “keadaan”

144
Jimly Asshiddiqie, 2007, Hukum Tata Negara Darurat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
205.

99
berkaitan dengan strukturnya. Namun secara praktik, kadangkala keduanya

dapat dikatakan memiliki makna yang sama. 145

Pendapat lain yang berbeda diutarakan oleh Daniel yusmic P Foekh,

menurutnya antara pasal 12 dan pasal 22 ayat (1) itu tidak dapat

dipisahkan. Oleh karena secara harfiah frase kata “genting” sama dengan

makna kata “berbahaya” dalam bahasa Melayu yang lazim digunakan.

Bahkan ia menilai bahwa kedudukan “kegentingan yang memaksa” lebih

tinggi daripada “keadaan bahaya”. Faktanya dapatnya dibuktikan dengan

menilik banyaknya perppu yang diterbitkan oleh pemerintah dengan

melanggar UUD 1945, sebagai contoh adalah perppu tentang Terorisme

pada tahun 2002 yang menerapkan asas retroaktif untuk peristiwa bom

Bali.146

Pernyataan dari Daniel Yusmic P Foekh ini didukung oleh

pernyataan guru Besar lain, yaitu Derman Sihombing. Menurutnya, makna

dari “kegentingan yang memaksa” dan keadaan bahaya” pada intinya

adalah sama. Lebih lanjut ia menjelaskan, bahwa Pasal 22 ayat (1) dapat

diimplementasikan dalam keadaan yang lebih genting dan sangat terpaksa,

sehingga dengan tanpa memperhatikan langkah-langkah pembentukan

undang-undang lagi (bentuk dan isi perppu sama dengan perumusan UU),

145
Ibid, hlm. 206.
146
Novrieza Rahmi dalam hukumonline.com.

100
Presiden sudah memiliki hak untuk menerbitkan Perppu sekaligus

mendeklarasikan suatu keadaan bahaya.

Masih sebagaimana pendapat Daniel, Herman Sihombing juga

meyakini bahwa keadaan darurat dalam suatu negara memiliki masa waktu,

sehingga ketika kondisi negara sudah tidak dalam keadaan darurat, Perppu

yang semula dibentuk itu bisa tidak berlaku lagi. Implikasi hukum seperti ini

untuk menekan kesewenang-wenangan pemerintah dalam menggunakan

perppu, dan untuk menghindari adanya konflik kepentingan. Setelah negara

dianggap tidak dalam kondisi darurat lagi, Perppu ini selanjutnya diajukan

ke DPR untuk disetujui atau ditolak.147

Dalam hal pembentukan perppu mengenai aspek kegentingan yang

memaksa, Bagir Manan berpendapat bahwa setidaknya ketentuan itu harus

bisa memenuhi 2 (dua) ciri umum, yaitu Krisis (crisis), dan ada faktor yang

mendesak (emergency).148 Menurutnya, krisis adalah suatu keadaan yang

ditimbulkan oleh kegentingan dan bersifat mendadak (a grave and sudden

disturbance), sedangkan keadaan mendesak dikatakan dapat terjadi jika

ada suatu kondisi yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menghendaki

untuk segera mengambil tindakan tanpa perlu musyawarah terlebih dahulu.

Berkaitan dengan keadaan bahaya dan hal ihwal kegentingan yang

memaksa, melalui bukunya Jimli Ashiddique menguraikan paling tidak

147
Ibid.
148
Bagir Manan, Op. Cit, hlm. 158-159.

101
terdapat 3 (tiga) macam perbedaan yang dikandung dalam pasal 12 dan

pasal 22 ayat (1) UUD 1945.149 Pertama, pasal 12 yang menyangkut

keadaan bahaya lebih mengenai kewenangan presiden dalam posisinya

sebagai kepala negara (head of state), sedangkan pada pasal 22

sebenarnya pengaturannya berada dalam wilayah kekuasaan legislatif,

hanya saja dikecualikan karena ada kegentingan yang memaksa dan tidak

memungkinkan untuk membentuk undang-undang dalam keadaan normal.

Kedua, pasal 12 yang berisi ketentuan mengenai keadaan yang

“membahayakan” akan selalu bersifat genting dan memaksa untuk

membentuk suatu aturan, sementara pembentukan peraturan melalui pasal

22 mengenai “kegentingan yang memaksa” belum tentu pada kondisi itu

negara benar-benar dalam keadaan bahaya. Ketiga, pasal 12 lebih

memberikan penekanan kepada keadaan yang membahayakan,

sedangkan pada pasal 22 lebih condong pada aspek kebutuhan hukum

yang mendesak. Keempat, pasal 12 menghendaki adanya syarat-syarat

objektif yang meliputi pemberlakuan, pengawasan dan pengakhiran

keadaan bahaya, adapun pasal 22 sepenuhnya menjadi hak prerogatif

presiden melalui pertimbangan keadaan yang memaksa.

Jimly Asshiddqie kemudian membuat beberapa kriteria penting yang

secara bersama-sama memiliki pengertian berupa keadaan bahaya yang

menciptakan keadaan yang memaksa, yakni:

149
Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Op. Cit, hlm. 206-208.

102
1. Ancaman yang membahayakan (dangerous threats);

2. Kebutuhan hukum (reasonable necessity); dan

3. Keterbatasan waktu (limited time).

Selain beberapa pendapat ahli diatas, pada pokoknya Mahkamah

Konstitusi juga memberikan beberapa indikator mengenai “kegentingan

yang memaksa” dalam ketentuan Perppu. Preseden ini tertuang dalam

putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 tentang Permohonan Pengujian

Perppu Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi terhadap UUD 1945 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka,

yaitu:

1. Adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah


hukum secara cepat berdasarkan undang-undang;
2. Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada
(kekosongan hukum) atau ada undang-undang tetapi tidak
memadai; dan
3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan
membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan
membutuhkan waktu yang lama.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini menurut Susi Dwi Haryanti harus

disikapi secara berbeda karena putusan MK pada dasarnya melalui

keputusannya dapat mengandung norma baru untuk dipatuhi secara umum

sebagai hukum. Dosen Hukum Tata Negara di Universitas Padjajaran ini

kemudian berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bisa saja

berubah sewaktu-waktu. Artinya, bisa saja yang menjadi acuan dalam

103
penafsiran pada pasal 22 UUD 1945 ini setiap saat dapat berubah sejalan

dengan penemuan peristiwa hukum baru. 150

B. Organisasi Masyarakat Hizbut Tahrir

1. Sejarah Pembentukan dan Masuknya Hizbut Tahrir di Indonesia

Hizbut Tahrir (HT) didirikan di suatu kampung di daerah Haifa,

Palestina oleh seorang ulama bernama Taqiyuddin Al-Nabhani pada tahun

1953 Masehi.151 Hizbut Tahrir dalam pembentukannya adalah sebagai

sebuah partai politik yang berideologi Islam. Hizbut Tahrir sebagai partai

dengan ideologi Islam menjadikannya sebagai gerakan keorganisasian

bersifat transnasional yang tidak mengenal batas-batas geografis dan

teritorial. Hal tersebut menjadikan organisasi Hizbut Tahrir berkembang di

berbagai negara.152

Alasan dibentuknya Hizbut Tahrir ini secara garis besar dilandasi

oleh 3 (tiga) macam persoalan pokok153. Pertama, dari aspek teologis umat

Islam, bahwa Hizbut Tahrir didirikan untuk semata-mata menjalankan

perintah dan aktualisasi petunjuk dari Yang Maha Kuasa melalui rujukan

dalil sebagaimana terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah serta dari

pendapat para ulama. Salah satu ayat dalam Al-Quran yang menjadi basis

berpikir dari aspek ini adalah Ali ‘Imran ayat 104 yang artinya:154

150
Novrieza Rahmi dalam hukumonline.com.
151
Muhammad Muhsin Rodhi, 2012, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan
Negara Khilafah, Al-Azhar Fresh Zone Publishing, Bogor, hlm. 23.
152
Ibid, hlm. 3.
153
Ibid, hlm. 32-35.
154
Q.S. Ali ‘Imran [3]: 104.

104
“Artinya: Dan hendaknya ada diantara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah kepada yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung.”

Secara khusus ayat ini mengandung dua pengertian, bahwa golongan

orang-orang yang beruntung dalam perspektif Islam adalah mereka yang

menyeru kepada kebajikan yang terdapat dalam nilai-nilai Islam, dan

mereka yang mengajak kepada yang ma’ruf (kebaikan) dan mencegah

kepada yang munkar (keburukan).

Kedua, pembentukan organisasi ini dilatarbelakangi oleh

keprihatinan tentang kemerosotan dan kemunduran dalam sisi-sisi yang

melingkupi pribadi dan persatuan kaum muslimin. Kemerosotan dan

kemunduran yang dimaksud dalam hal ini adalah memahami dan

menyampaikan Islam dalam posisinya sebagai pegangan hidup. Kejadian

mengenai goyahnya pemahaman umat Islam mengenai keislamannya

sendiri dimulai semenjak pertengahan abad 18M.

Ketiga, yaitu motif untuk mendirikan Khilafah (negara Islam).

Menurut Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, khilafah

adalah sebuah sistem kepemimpinan yang memiliki kedudukan untuk

mengganti kenabian dalam hal perawatan (menjaga) agama dan mengatur

politik keduniaan. Sebagai sistem kenegaraan Islam yang terakhir,

Runtuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani pada tanggal 3 Maret 1924 dinilai

menjadi cikal bakal tercerai-berainya persatuan dan kekuatan umat Islam.

105
Menurut keyakinan Hizbut Tahrir, hukum Islam tidak mungkin dapat

diterapkan secara sempurna tanpa melalui sistem khilafah dan seorang

khalifah (pemimpin). Hukum Islam disini adalah segala ketentuan dan

aturan-aturan yang terdapat dalam al-quran dan hadis untuk menghukumi

perbuatan manusia dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam

dimensi kenegaraan. Gagasan untuk kembali dalam kehidupan Islam

melalui sebuah institusi kenegaraan yang menjamin implementasi hukum-

hukum Islam adalah tujuan berdirinya Hizbut Tahrir155

Hizbut Tahrir sendiri mulai masuk ke Indonesia pada tahun 1983 oleh

salah seorang anggotanya yang berasal dari Yordania bernama

Abdurrahman Al-Baghdadi.156 Semenjak datangnya ke Indonesia, aktivitas

HT tergolong masih tertutup, bahkan sampai memasuki dekade pertama.

Hal ini disebabkan oleh Presiden Soeharto yang dalam jabatannya sebagai

pemimpin Indonesia pada masa itu melarang segala bentuk kegiatan yang

berideologi selain Pancasila.

Baru kemudian pasca reformasi Hizbut Tahrir bisa melakukan

aktivitasnya secara lebih terbuka yang ditandai dengan diadakannya

diskusi-diskusi di berbagai wilayah Indonesia, seperti di Sumatera,

Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam perkembangannya mereka juga bergerak

di wilayah perguruan tinggi melalui jaringan lembaga dakwah. Namun

demikian, perkembangan Hizbut Tahrir masih dalam sebatas

155
Muhammad Muhsin Ridho, Op. Cit, hlm. 30-31.
156
Afadlal, (dkk.), 2004, Islam dan Radikalisme di Indonesia, LIPI Press, Jakarta, hlm. 266.

106
pengembangan kader dan pembinaan umat dalam rangka memperkuat

tubuh organisasi.157

2. Gagasan Hizbut Tahrir

Postulat pembentukan organisasi Hizbut Tahrir (HT) adalah partai

politik yang dalam melaksanakan aktivitas kelembagaan tidak hanya

berlaku di sekitar domestik kenegaraan, melainkan di seluruh dunia dengan

berupaya agar nilai-nilai ideologis yang diyakininya dapat dijadikan dasar

bagi umat Islam agar mau kembali dan berjuang untuk mendirikan sebuah

institusi kenegaraan yang menaungi seluruh umat islam. Meskipun

bentuknya adalah partai politik, tidak lantas menjadikan Hizbut Tahrir

mengambil jalur politik praktis dalam menjalankan visi keorganisasiannya.

Berbeda dari partai politik yang lazim dikenal di dunia, HT lebih memilih

mengkampanyekan ide-ide Islam pada khalayak tanpa bergabung dalam

tubuh pemerintahan itu sendiri.158

Gagasan Hizbut Tahrir sejak awal perkembangannya mampu

diterima dan menyebar di berbagai wilayah Islam, termasuk di Indonesia.

Dalam konteks keindonesiaan, keberadaan organisasi Hizbut Tahrir dapat

dikatakan berbeda dengan pola gerakan dan nilai-nilai yang diusung oleh

organisasi Islam yang lain, sebut saja Nahdlatul Ulama (NU) dan

Muhammadiyah. Meskipun kedua organisasi ini juga mengusung gerakan

157
Saifuddin, 2012, khilafah Vis a Vis Nation State: Telaah Atas Pemikiran Politik HTI, Mahameru,
Yogyakarta, hlm. 48.
158
Mohammad Rafiuddin, “Mengenal Hizbut Tahrir (Studi Analisis Ideologi Hizbut Tahrir Vis a Vis
NU)”, Jurnal isalamuna, Vol. 2. , Juni 2015, hlm. 32.

107
transnasionalisasi di berbagai negara, tetap saja secara substansial

berbeda dengan Hizbut Tahrir. Apalagi jika melihatnya dari sisi dimensi

tujuan umum, maka NU dan Muhammadiyah lebih mengaksentuasi “Islam

versi Indonesia”.159

Sedangkan ideologi transnasionalisme Hizbut Tahrir merefleksikan

pergerakan “sentrifugalisme” islam dengan visi politiknya adalah

menyatukan identitas-identitas Islam Nasional dan Lokal yang terpisah-

pisah di seluruh dunia di bawah otoritas kepemimpinan sebuah institusi

khilafah Islamiyah.160

Hizbut Tahrir menekankan mengenai pentingnya suatu sistem

pemerintahan Islam berdasarkan Al-Quran dan Hadis, serta menetapkan

kembali kewajiban bagi para pengikutnya untuk dapat menyebarkan risalah

melalui dakwah ke seluruh dunia.161 Aturan ini berarti secara langsung

mengajak umat Islam untuk membentuk dan kembali menjalani hidup

secara Islami dalam sistem negara Islam.

Dalam pokok kerangka keyakinan organisasi Hizbut Tahrir, tidak

adanya khilafah sebagai struktur kenegaraan yang berhukum berdasar Al-

Quran dan Hadis akan menimbulkan setidaknya 3 (tiga) masalah darurat.

Pertama, kehilangan kepemimpinan umum (charismatic leader) ditengah

159
Masdar Hilmy, “Akar-Akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir Indonesia”, Jurnal Islamica,
Vol. 6, September 2011, hlm. 1-2.
160
Ibid.
161
Taqi al-Din al-Nabhani, Daulah Islam, diterjemahkan oleh Yahya A.R., 2008, Struktur negara
khilafah (Pemerintahan dan Administrasi), HTI Press, Jakarta, hlm. 14.

108
masyarakat yang secara langsung menjadikan umat Islam terpecah

menjadi bangsa-bangsa yang kecil dan tak punya kekuatan politik dominan.

Kedua, kelalaian terhadap penerapan hukum Islam secara menyeluruh

akibat tidak adanya suatu institusi legal sebagai eksekutifnya. Ketiga,

negara akan lalai dalam menjalankan perkara pokok dalam agamanya,

misalnya mengemban dakwah ke seluruh dunia.162

3. Strategi Dakwah Hizbut Tahrir

Gerakan Hizbut Tahrir bermanifestasi dalam berbagai unsur yang

melingkupinya, begitupun bahwa kerangka dasar yang menjadi basis

pergerakan termasuk didalamnya gagasan besar tentang Khilafah adalah

kristalisasi dari berbagai resepsi terhadap ayat Al-Qur’an dan Hadis.163

Seluruh gerakan Hizbut Tahrir pada akhirnya berorientasi pada cita-cita

mengembalikan khilafah islamiyah agar dapat mengimplementasikan

hukum Islam secara keseluruhan pula.

Dalam menyebarluaskan gerakannya, Hizbut Tahrir menggunakan

dakwah berjenjang. Secara garis besar, tahapan yang ditempuh dalam

pergerakan dakwah hizbut Tahrir adalah sebagai berikut:164

1. Pembinaan dan kaderisasi (marhalah al-tasqif), yaitu untuk

membentuk kader dengan loyalitas kepada organisasi Hizbut Tahrir

dalam rangka pembentukan tubuh partai.

162
Mohammad Rafiuddin, Op. Cit, hlm. 34.
163
Nilda Hayati, “Konsep Khilafah Islamiyah Hizbut Tahrir Indonesia (Kajian Living al-Qur’an
Perspektif Komunikasi)”, Jurnal Episteme, Vol. 12, Juni 2017, hlm. 178.
164
Saifuddin, Op. Cit, hlm. 50-51.

109
2. Tahapan interaksi (tafa’ul), yaitu hubungan yang dibangun antara

anggota HT dengan masyarakat setempat untuk memahamkan

mengenai pentingnya ideologi dan penerapan hukum Islam.

3. Tahapan untuk menempati kekuasaan pemerintahan melalui

dukungan umat untuk menerapkan hukum Islam secara menyeluruh

dan mendakwahkannya ke seluruh dunia.

Sedangkan secara khusus, ada langkah-langkah yang ditempuh

oleh organisasi Hizbut Tahrir untuk memperoleh kader pejuang visi

organisasinya. Hal ini terbagi atas 2 (dua) tahapan utama, yaitu tahap

pembentukan gerakan, dan tahap berinteraksi dengan masyarakat.165

Dalam membentuk gerakan organisasi, Hizbut Tahrir merekrut kader

dalam menyebarluaskan pemahamannya dengan pembinaan intensif

sampai mereka menyatu dengan ide-ide Islam. Ketika mereka sampai pada

tahap memiliki kepribadian Islam, lambat laun mereka akan turut

menerapkan pola pemikiran (aqliyah islamiyah) dan jiwa islami (nafsiyah

islamiyah). Tahap ini secara metode dinilai mirip dengan cara awal Nabi

menyebarluaskan Islam.

Setelah membentuk karakter islami yang solid dengan pemahaman

yang selalu berdasarkan nilai Al-Quran dan Sunnah diantara para kader

Hizbut tahrir secara internal, tibalah saatnya untuk berinteraksi dengan

masyarakat, hal ini dilakukan agar kewajiban menerapkan Islam menjadi

165
Anonim, Metode Dakwah Hizbut Tahrir, Manhaj Hizbut Tahrir Fi Taghyir, hlm. 1-4.

110
masalah utama ditengah-tengah masyarakat. Pada tahap ini Hizbut Tahrir

melakukan langkah-langkah sebagai berikut:166

1. Pembinaan Tsaqafah Muraqqazah (intensif), yaitu dengan

melakukan diskusi-diskusi secara intens.

2. Pembinaan Tsaqafah Jama’iyah bagi masyarakat dengan

menyampaikan ide-ide dan hukum-hukum Islam melalui berbagai

media, baik cetak maupun elektronik.

3. Ash-Shira’ul Fikri untuk menentang ideologi yang bukan berasal dari

Islam, sembari menawarkan bagaimana Islam juga mempunyai

ideologi yang sama baiknya.

4. Al-kifahus Siyasi (perjuangan politik) yaitu metode perjuangan

dengan mewujudkan kekuasaan pemerintahan negara Islam

(Khilafah).

Hizbut tahrir ingin menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis

dari aktivitas bernegara. HT ingin merubah citra Islam yang lebih dari

sekedar ritual peribadatan, dengan masuk kepada wilayah-wilayah yang

sifatnya politik kenegaraan. Hizbut Tahrir pula ingin menghadapkan Islam

dengan realita sosial dan perilaku politik (political behavior) serta budaya

politik (political culture) diantara negara dan bangsa-bangsa. Oleh sebab

itu, Khilafah dianggap sebagai satu-satunya cara untuk memperoleh

166
Ibid.

111
kejayaan Islam berdasarkan keyakinan akan adanya janji Allah dan

Rasulnya.167

C. Pembahasan Prosedur dan Tata Cara Pembubaran Organisasi

Kemasyarakatan Hizbut Tahrir Indonesia melalui Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2017

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2017 (UU No. 16/2017) adalah

peraturan ormas yang terbit sebagai penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 (UU No. 17/2013)

tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pemerintah mendasarkan perubahan

peraturan ormas tersebut berdasarkan proposisi bahwa ketentuan dalam

pengaturan HAM yang dikenal dalam norma hukum nasional maupun

internasional telah membenarkan pemerintah untuk melakukan

pembatasan terhadap hak warga negara dalam keadaan genting (state of

emergency). Begitupun dengan syarat-syarat yang dianggap telah

terpenuhi untuk mengadakan perubahan UU Ormas sebagaimana amar

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Maka sesuai

dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, pemerintah menggunakan

kewenangannya untuk membentuk Perppu Ormas.

167
Afdal, (dkk.), Op.Cit, hlm. 7.

112
Setidaknya, terdapat lima dasar politik hukum pemerintah ketika

memutuskan untuk melakukan perubahan pada UU Ormas, yaitu”168

1. Melindungi kedaulatan negara.

2. Adanya ormas-ormas yang secara nyata melakukan pelanggaran

terhadap asas dan tujuan organisasi kemasyarakatan.

3. UU No. 17/2013 tentang peraturan ormas sebelumnya belum

mengatur secara komprehensif jenis ormas yang bertentangan

dengan Pancasila dan UUD 1945.

4. Asas yang dijalankan ormas tidak sesuai dengan yang didaftarkan

dan disahkan pemerintah.

5. UU Ormas sebelumnya belum menganut asas contrarius actus.

Peraturan perubahan UU Ormas tersebut pada akhirnya

mengantarkan pada keputusan pemerintah untuk membubarkan Ormas

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Perppu Ormas berlaku pada tanggal 10 Juni

2019 sementara keputusan untuk membubarkan HTI dilaksanakan 9 hari

pasca pengumuman berlakunya UU Ormas yaitu melalui Surat Keputusan

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun

2017 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia (Menkumham) Nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang

Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan HTI.

168
Konsideran Menimbang Perppu ormas

113
Sebelumnya, perlu penulis tegaskan kembali bahwa kewenangan

Presiden untuk menerbitkan perppu disertai dengan syarat-syarat yang

menuntut kondisi khusus sebagaimana ditentukan kriterianya dalam

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009. Begitupun

dengan pemahaman para ahli hukum ketika menginterpretasikan perppu

yang hanya bisa digunakan dalam situasi genting dan memaksa, seperti

yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie mengenai harus adanya

ancaman yang membahayakan (dangerous threats), kebutuhan hukum

(reasonable necessity), dan keterbatasan waktu (limited time).

Dalam putusan 138/PUU-VII/2009 turut pula disebutkan bahwa

penentuan terpenuhinya syarat pembentukan perppu adalah subjektif milik

presiden dengan sifat kewenangan atributif (attributie van wet weggeven de

macht). Sifat subjektif dengan makna dapat ditentukan sendiri oleh

pemerintah tersebut diberikan konstitusi dengan dasar pemahaman bahwa

Presiden memiliki kebijaksanaan yang seharusnya dimiliki oleh seorang

kepala negara dan kepala pemerintahan terhadap rakyatnya. Maka dalam

konteks ini, keputusan pemerintah untuk membentuk Perppu Ormas

sebagaimana telah diubah melalui UU No. 16/2017 berarti seharusnya

diambil karena negara berada dalam kondisi darurat (state of emergency)

atau sebab lain yang menimbulkan keadaan genting yang memaksa. 169

169
Muhammad Syarif Nuh, Hakikat Keadaan Darurat Negara (State of Emergency) Sebagai Dasar
Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM,
Vol. 18 Tahun 2011, hlm. 238.

114
Pembentukan Perppu akan sangat membantu keputusan

pemerintah ketika berhadapan dengan kondisi-kondisi darurat dengan

kebutuhan sistem regulasi yang cepat. Sebaliknya, perppu justru bisa

menjadi instrumen hukum yang berbahaya bagi eksistensi negara jika

pemerintah menyimpangi syarat-syarat objektif yang sebelumnya telah

ditetapkan melalui putusan MK atau menurut banyak doktrin hukum.

Potensi penyalahgunaan perppu sewaktu-waktu dapat terjadi karena

melingkupi kelengkapan hukum kekuasaan pada wilayah yang sifatnya

subjektif. Hal ini turut menjadi penekanan dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014, bahwa:

“…Pembentukan Perppu tidak boleh disalahgunakan, mengingat


sebenarnya materi Perppu adalah materi Undang-Undang yang
tidak dapat diputuskan sendiri oleh presiden.”

Diantara kekuatan perppu yang paling dominan dalam sistem

perundang-undangan nasional adalah kedudukannya yang dapat dibentuk

sendiri oleh pemerintah tanpa melalui proses legislasi di DPR, dapat

langsung berlaku setelah diterbitkan sebagaimana keputusan untuk

membubarkan HTI, dan dapat menjadi undang-undang untuk seterusnya

dapat berlaku sebagai hukum positif. Oleh karena besarnya akibat hukum

yang ditimbulkan melalui perppu, maka makna “kegentingan yang

memaksa” memang sudah sepantasnya menjadi penekanan yang

menyertai keputusan pembentukannya.

115
Meskipun ada ketentuan dalam pasal 22 ayat (2) dan (3) yang

menyatakan bahwa DPR dapat menerima atau menolak perppu dengan

dasar argumentasi bahwa lembaga ini dapat menggugurkan norma yang

bermasalah, tetap saja tidak bisa menjaminan bahwa perpu yang dibentuk

bebas dari tindakan penyalahgunaan, karena DPR tidak diberikan

kewenangan oleh konstitusi untuk mengoreksi atau merubah substansi

perppu. Disamping itu, konsep state of emergency yang diadopsi di

Indonesia berbeda dari kebanyakan negara lain, karena prinsip kedaruratan

yang dituangkan dalam Perppu bisa menjadi Undang-Undang dan berlaku

tanpa batasan waktu. Hal ini menjadikan pembentukan Perppu Ormas tidak

hanya berkorelasi dengan pembubaran HTI, tetapi lebih jauh juga

menyangkut hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul ormas yang lain

ketika sudah disahkan dalam bentuk UU Ormas.

Pembubaran HTI dilakukan sebelum penetapan Perppu Ormas

menjadi UU No. 16/2017. Tetapi meskipun atribut hukum yang digunakan

pemerintah adalah perppu, pembubarannya tidak segera langsung

dilaksanakan pasca diterbitkannya, melainkan berselang sembilan hari bagi

pemerintah untuk membubarkan HTI. 170 Artinya, terdapat tenggang waktu

dari awal pemberlakuan Perppu Ormas hingga pemerintah sampai pada

keputusan untuk membubarkan organisasi tersebut. Padahal dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 menyatakan

170
Perppu Ormas berlaku pada tanggal 10 Juni 2017, sedangkan pembubaran Ormas HTI terjadi
pada tanggal 19 Juli 2017.

116
bahwa “Perppu harus mempunyai akibat prompt immediately” dengan

konsekuensi bahwa perppu ormas seharusnya digunakan oleh pemerintah

untuk merespon keadaan genting yang ditimbulkan oleh ormas HTI, tetapi

kemudian yang terjadi adalah pemerintah menangguhkan waktu

pembubaran sehingga memberi kesan bahwa organisasi tersebut

sebenarnya tidak sebegitu mengancam untuk dilakukan tindakan yang

“sesegera mungkin” melalui perppu ormas.

Penulis paham bahwa peristiwa pembubaran suatu ormas tidak serta

merta merupakan tindakan sewenang-wenang yang merenggut hak atas

kebebasan berserikat dan berkumpul warga negara. Hanya saja, setiap

tindakan pembatasan oleh pemerintah sudah seharusnya berdasarkan

prasyarat yang ditentukan dan dibenarkan dalam norma hukum yang

berlaku, mengingat kedudukannya pada lingkup hak asasi manusia dalam

pemahaman dasarnya harus terpenuhi oleh negara yang membuatnya

selalu menjadi isu sensitif.171

Ormas HTI sendiri dibubarkan oleh pemerintah dengan tiga alasan,

yaitu menimbulkan benturan dalam masyarakat yang secara langsung

mengancam keamanan negara, ditemukannya indikasi kuat mengenai

tujuan, asas dan ciri organisasi yang bertentangan dengan pancasila

sebagai ideologi negara dan UUD 1945, serta dianggap sebagai organisasi

yang tidak memiliki kontribusi positif dalam upaya pembangunan

171
Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights. Frequently Asked
Questions on A Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, 2006, hal. 2.

117
nasional.172 Maka pemerintah kemudian mencabut status badan hukum HTI

sebagai pernyataan pembubaran sebagaimana termaktub dalam ketentuan

pasal 80A UU Ormas.173

Berkaitan dengan pemerintah yang berkesimpulan bahwa HTI

mengganggu keamanan negara sebagai salah satu sebab pembubaran,

maka secara normatif dapat dikatakan sudah sesuai dengan kriteria yang

dibolehkan dalam norma hukum positif. Sisa persoalannya hanya tinggal

membuktikan bahwa keputusan pembubaran tersebut benar-benar telah

berdasarkan pertimbangan yang dapat diukur objektivitasnya menurut

perundang-undangan yang berlaku. Adapun alasan keamanan negara an

sich dapat dijadikan faktor pembubaran ormas karena secara hukum

merupakan salah satu kriteria yang memperbolehkan pemerintah untuk

dapat melakukan pembatasan terhadap hak atas kebebasan berserikat dan

berkumpul.

Beberapa pasal yang menunjukkan ketentuan bolehnya pembatasan

karena alasan keamanan negara dengan penekanan mengenai pentingnya

penghormatan hak asasi orang lain dapat ditemukan dalam beberapa

ketentuan hukum berikut ini.

172
Berita Online dalam Harian Kompas, diakses pada tanggal 19 Mei 2023 melalui laman:
https://nasional.kompas.com/read/2017/05/08/14382891/ini.alasan.pemerintah.bubarkan.hizbu
t.tahrir.indonesia
173
Pernyataan pembubaran diwakili oleh Menkopolhukam (Wiranto) bersama dengan Mendagri
(Cahyo Kumolo) dan Menkumham (Yasonna Laoly).

118
Pasal 29 ayat 1 dan 2 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

(DUHAM) menyatakan bahwa:

Everyone has duties to the community and everyone shall be subject


only to such limitations as are determined by law solely for the
purpose of securing due recognition and respect for the rights and
freedoms of others and of meeting the just requirements of morality,
public order and the general welfare in a democratic society.

Pasal 21 dan 22 International Convention on Civil and Political Rights

(ICCPR), bahwa:

Pembatasan terhadap pelaksanaan hak atas kebebasan berserikat


dan berkumpul hanya dapat dikenakan berdasarkan aturan hukum,
dalam rangka kepentingan keamanan nasional dan keselamatan
publik, ketertiban hukum, perlindungan terhadap kesehatan atau
moral umum, dan perlindungan terhadap hak dan kebebasan orang
lain.

UUD 1945 dalam Pasal 28 J, bahwa:

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban
umum dalam suatu masyarakat demokratis.

UU HAM No. 39/1999 dalam Pasal 69 ayat (1), bahwa:

Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain,


moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.

119
Adapun dalam Pasal 19 PP Nomor 18 tahun 1986 tentang Peraturan

Pelaksanaan UU Ormas No. 8 Tahun 1985 mengkualifikasi kegiatan-

kegiatan ormas yang dianggap termasuk mengganggu keamanan dan

ketertiban umum, yaitu:

a. Menyebarluaskan permusuhan antar suku, agama, ras, dan antar


golongan.
b. Memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
c. Merongrong kewibawaan dan/atau mendiskreditkan Pemerintah
d. Menghambat pelaksanaan program pembangunan
e. Kegiatan lain yang dapat mengganggu stabilitas politik dan
keamanan.

Pasal-pasal tersebut selain secara garis besar ingin menyirat itikad

negara dalam menghindari potensi konflik yang mungkin timbul dalam

proses penerapan hak atas berserikat dan berkumpul juga sekaligus

memberikan kuasa kepada pemerintah untuk menindak warga negara yang

melampaui batas ketika menggunakan hak tersebut dalam ranah publik,

termasuk dalam hal ini juga menyangkut aktualisasi kebebasan ormas.

Dengan logika tersebut, berarti pemerintah secara normatif dapat

menggunakan instrumen hukum apapun untuk membatasi kebebasan

ormas sebagai subjek hukum sepanjang sesuai dengan ketentuan hukum.

Namun perlu menjadi perhatian bahwa pemerintah membatasi hak untuk

berserikat dan berkumpul dengan menggunakan perppu untuk

membubarkan ormas HTI, sehingga selain membuktikan bahwa

pemerintah tidak sewenang-wenang dalam kasus ini, pemerintah juga

dibebani tanggung jawab untuk memiliki argumen hukum bahwa situasi

darurat yang memaksa negara untuk membatasi sementara hak tersebut,

120
termasuk merilis bahwa HTI memiliki potensi kedaruratan keamanan yang

dimaksud.

Jika merefleksi pergerakan HTI, penting untuk mendudukkan bahwa

organisasi ini dikenal masyarakat dengan cirinya yang mendakwahkan

Khilafah sebagai suatu sistem bernegara. Dalam suatu audiensi di DPR,

Ismail Yusanto sebagai Jubir HTI menjelaskan tentang perlunya pemerintah

melihat organisasi HTI sebagai organisasi dakwah biasa sebagaimana

lazimnya organisasi keagamaan yang lain. Adapun perihal visi

keorganisasian dengan orientasi berupa sistem negara Islam adalah bagian

tak terpisahkan dari dakwah itu sendiri, dan sepenuhnya terpisah dari upaya

membenturkan diri dengan ideologi negara.174

Namun bagi pemerintah, aktivitas HTI dinilai bukan lagi hanya

menyangkut persoalan keagamaan dengan sifat kekhususan yang

dibenarkan dalam UU Ormas, melainkan telah jauh menyentuh pada aspek-

aspek yang bahkan mengancam ranah kedaulatan bernegara. HTI

dianggap sebagai organisasi yang memiliki pemahaman dasar penolakan

terhadap demokrasi sebagai sebuah sistem, berlawanan dengan Konstitusi

Negara Indonesia sendiri yang mencantumkan ciri negara demokrasi dalam

pasal 1 ayat (2) UUD 1945 bahwa “kedaulatan berada ditangan rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

174
Rapat Dengar Pendapat antara Pengurus Pusat HTI dengan anggota Komisi II DPR RI pada
tanggal 20 oktober 2017 pasca putusan pembubaran HTI.

121
Dalam pengertian tersebut dapat dipahami bahwa HTI membawa visi

keagamaan dengan maksud menyandarkan hukum negara pada hukum

Islam dengan sistem Khilafah. Sedangkan pemerintah memahami bahwa

cara menjalankan negara adalah berdasarkan konstitusi yang memuat

kehendak rakyat secara eksplisit, bahwa Indonesia adalah negara

berdasarkan hukum, berkedaulatan rakyat sesuai nilai demokrasi, dan

menganut Sistem Konstitusional.175 Jimly Asshiddiqie juga menjelaskan

bahwa Konstitusi mengkategorikan Indonesia sebagai negara hukum

dengan prinsip demokrasi (democratische rechtsstaat), sehingga memiliki

implikasi pada pengakuan bahwa Indonesia menganut demokrasi

berdasarkan hukum (constitutional democracy).176

Selain itu, sifat perjuangan ormas HTI yang mengarah pada gerakan

transnasional sebagai buah dari konsep Kekhilafahan juga dianggap

berlawanan dengan makna Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Negara

Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”. Begitupun

ketika dipertegas dalam Pasal 37 Konstitusi bahwa “khusus mengenai

bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan

perubahan”.

Dua faktor diatas merupakan sedikit dari alasan pemerintah

mendakwa HTI sebagai organisasi yang memiliki asas dan ciri yang nyata-

175
Miriam Budiarjo, Op. Cit., hlm. 106.
176
Jimly Asshiddiqie, Makalah:”Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan Keempat
UUD 1945”, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII dengan Tema
Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Hukum Berkelanjutan, Denpasar, 2003, Hlm. 3.

122
nyata disebutkan bertentangan dengan UUD 1945. Adapun berkaitan

dengan pancasila, sangat erat kaitannya dengan pemahaman atas

posisinya sebagai Ideologi Negara, sehingga tidak dimungkinkan

keberadaan ideologi lain, termasuk dalam hal ini adalah paham penerapan

Ideologi Islam secara menyeluruh sebagaimana yang diemban HTI.

Pada dasarnya hingga saat ini belum ada tafsir resmi mengenai

Pancasila dalam peraturan perundang-undanganan apapun kecuali

citranya yang selalu dilekatkan dengan Ideologi Negara. Menurut Hamid S.

Attamimi, pancasila yang dinyatakan dalam UUD 1945 adalah Cita Hukum

yang menempati ruang gagasan, rasa, cipta, dan pikiran sebenarnya yang

dimiliki bangsa Indonesia, serta terimplikasi dalam hukum dasar tertulis

maupun yang tidak tertulis.177 Mahfud MD juga menjelaskan bahwa

Pancasila menjadi bingkai khas sistem hukum Indonesia dengan

karakteristik sebagai berikut:178

1. Berasaskan kekeluargaan dengan mengakomodasi hak-hak individu

tetapi tetap dengan mengutamakan kepentingan Nasional.

2. Memiliki kepastian hukum dan mampu membuat keadilan.

3. Beralaskan Nilai keagamaan (Religious Nation State).

4. Hukum sebagai rekayasa sosial dan refleksi budaya masyarakat.

5. Pembentukan hukum yang Netral dan Universal.

177
Ibid.
178
Moh, Mahfud MD, Ceramah: “Negara hukum Indonesia Kemana Akan Melangkah”, Konferensi
dan Dialog Nasional, Jakarta, 2012.

123
Meskipun terdapat banyak ahli hukum yang mengemukakan

pendapat tentang definisi dan sudut pandang yang seharusnya digunakan

negara untuk menilai pancasila, pada akhirnya ketika berada pada wilayah

hukum maka penerapannya menjadi subjektivitas pemerintah. Keragaman

tafsir terhadap pancasila tersebut membuat pemerintah menerjemahkan

sendiri kebijakan yang menyertai persinggungannya dengan aspek-aspek

kebangsaan yang lain termasuk hubungannya dengan kebebasan

berserikat dan berkumpul bagi ormas.

Pengaturan kebebasan berserikat dan berkumpul sudah sepatutnya

bebas dari kooptasi kepentingan politik. Namun sepanjang sejarah

pengaturan hak sipil dan politik, pancasila seringkali dijadikan sebagai alat

politik pemerintah atas nama stabilisasi kekuasaan. Sayangnya disisi lain

pemerintah menggunakan kekuasaan dan hukum itu sendiri untuk

membatasi hak-hak dasar warga negara. Presiden Soeharto pada masa-

masa awal transisi kekuasaan Orde Baru pernah menuduh Pemerintah

Orde Lama telah menyimpang dari pancasila, padahal Presiden Soekarno

sendiri adalah salah satu perumus dari Pancasila.

Begitupun pada masa pemerintahan Soekarno, salah satu

konsepnya adalah ketika dirinya mencetuskan Nasakom. Khusus dalam

hubungannya dengan pembentukan dan penegakkan ormas yang dimulai

sejak terbentuknya UU No. 8 Tahun 1985, Presiden Soeharto jelas terlibat

langsung secara historis dalam mengamputasi laju hak atas kebebasan

berserikat dan berkumpul bagi ormas termasuk aspek HAM yang lain,

124
sebaliknya isu hak asasi manusia justru digunakan sendiri oleh para tokoh

pergerakan reformasi untuk membenamkan era Orde Lama.

HTI dalam kapasitasnya sebagai ormas telah sejak lama berada di

Indonesia. Bahkan keberadaannya sempat terdaftar sebagai ormas yang

memiliki badan hukum ketika telah disahkannya UU Ormas Nomor 17

Tahun 2013 melalui Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-

0028.60.10.201. Artinya, HTI yang dibubarkan pada saat berlakunya

perppu No. 2 Tahun 2017 era kepemimpinan Presiden Jokowi adalah

Ormas yang sebelumnya telah diakui eksistensinya di masa pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.179

Norma hukum yang menempatkan HTI sebagai bagian dari ormas

yang harus dibubarkan adalah Pasal 59 ayat (4) huruf c, bahwa “ormas

dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau

paham yang bertentangan dengan Pancasila.” Semula ayat ini berisikan

penjelasan spesifik bahwa ajaran atau paham yang dimaksud adalah

Ateisme, Komunisme/Marxisme-Leninisme,180 tetapi semenjak dirubah

melalui UU No. 16/2017, penjelasan tersebut juga ikut mengalami

perubahan dengan claim perluasan makna, menjadi:

“Ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila” antara


lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham
lain yang bertujuan mengganti/mengubah pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

179
Penulis tidak bermaksud menarik pembahasannya ke arah politis, melainkan hanya sebagai
bentuk penegasan alur argumentasi mengenai kedudukan pancasila yang bisa ditafsir berbeda.
180
UU Nomor 17 Tahun 2013.

125
Alasan pemerintah mengadakan perubahan tentang maksud pasal

dapat kita pahami sebagai langkah untuk merekonstruksi spektrum ideologi

yang sebelumnya dianggap gagal mengakomodasi kebutuhan penegakan

hukum terhadap ormas yang secara faktual mengancam kedaulatan

negara. Tetapi disisi lain pengaturan yang demikian luas dengan

menambahkan frasa “paham lain” justru menimbulkan lebih banyak

ketidakjelasan tafsir yang secara langsung menyinggung aspek kepastian

hukum pada tahapan implementasinya di kemudian hari. Terlepas dari

pembatasan yang dapat dilakukan pemerintah terhadap jenis hak

berserikat dan berkumpul, konstitusi jelas memuat penekanan-penekanan

mengenai perlunya pelaksanaan prinsip kepastian dalam penegakan HAM.

Seperti terdapat dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, bahwa:

Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan


kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum

Atau sebagaimana disebutkan dalam produk hukum turunannya melalui UU

Nomor 12 Tahun 2011 pada Pasal 6 ayat (1) huruf i mengenai “materi

muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas

kepastian hukum.”

Penulis memahami betul pendapat Van Eikema Hommes bahwa

prinsip kepastian hukum sebagai sebuah asas tidak dapat dituangkan

secara eksplisit dalam norma hukum positif apalagi digunakan untuk

126
menyelesaikan sengketa hukum. 181 Tetapi pemerintah seperti kesulitan

dalam mengkualifikasi ormas yang secara nyata termasuk dalam kategori

“ajaran atau paham yang bertentangan dengan pancasila”. Terbukti dari

kerumitan kehendak untuk disatu sisi membuat norma hukum yang lebih

fleksibel untuk merespon dan menjaring Ormas yang bertentangan dengan

Pancasila tetapi disisi lain menambahkan frase “paham lain” yang justru

menciptakan ruang ketidakpastian hukum dalam penegakannya.

Sedangkan ketidakpastian hukum berarti membuka ruang gelap lain

dengan mempersilahkan pemerintah untuk bertindak sewenang-wenang

terhadap hak berserikat dan berkumpul kepada ormas.

Kesulitan untuk mengkonstruksi pasal yang bertentangan dengan

pancasila tersebut semakin sulit diterapkan sebagai norma hukum dalam

UU Ormas karena pemahaman konsep para ahli hukum sendiri yang

memandang pancasila dari berbagai macam perspektif yang berbeda.

Salah satu diantaranya adalah sebutan pancasila sebagai

Staatsfundamentalnorm (norma dasar negara) dalam konsep negara

hukum Indonesia. Konsep norma dasar bernegara yang dikemukakan oleh

Hans Nawiasky tersebut diartikan sebagai suatu landasan umum dalam

tatanan hukum Undang-Undang Dasar negara.182

181
Sidharta dalam Mario Juliano dan Aditya Yuli Sulistyawan, Pemahaman terhadap Asas
Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum, Jurnal Crepido, Vol. 01 Tahun
2019, hlm. 15.
182
Jazim Hamidi, 2006. Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan dan Implikasi Hukum
Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Konstitusi Press, Jakarta,
hlm. 68.

127
Jazim Hamidi menjelaskan bahwa staatsfundamentalnorm memiliki

beberapa karakteristik, yaitu:183

1. Staatsfundamentalnorm merupakan norma hukum tertinggi dalam


suatu negara yang merupakan bagian dari rezim hukum positif;
2. Norma hukum tertinggi tersebut dapat berubah;
3. Staatsfundamentalnorm merupakan norma yang menjadi dasar
pembentukan suatu konstitusi;
4. Staats Fundamental Norm merupakan konstitusi berbentuk; dan
5. Staats Fundamental Norm berbentuk tertulis.

Maria Farida Indrati ketika menukil pendapat Hamid Attamimi

menjelaskan bahwa ketentuan dalam pokok-pokok pikiran pembukaan

Undang-Undang Dasar yang dalam hal ini adalah Pancasila merupakan

norma fundamental bernegara sekaligus merupakan cita hukum (recht

idee).184 Namun tidak bisa ditampikkan bahwa terdapat sebagian ahli

hukum lain seperti Jimly Asshiddiqie dan Ali Syafaat yang tidak setuju

dengan pemahaman tersebut dan lebih berkenan menyebut Proklamasi 17

Agustus 1945 sebagai norma dasar bernegara. 185

Selain itu, dalam tataran konsep juga dikenal istilah Grundnorm

sebagai teori yang diajukan oleh Hans Kelsen untuk menggambarkan

norma hukum tertinggi dalam suatu negara yang dijadikan dasar untuk

membentuk Konstitusi dan peraturan yang berada di bawahnya secara

hierarkis. Achmad Ali ketika menjelaskan Stufenbau Theorie dari Kelsen

mengumpamakan norma hukum tertinggi layaknya puncak piramida yang

183
Ibid, hlm. 70-71.
184
Maria Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan 2: Proses dan Teknik Pembentukannya,
Kanisius, Yogyakarta, hlm. 236.
185
Jimly Asshiddiqie dan Ali Syafaat, 2011, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press,
Jakarta, hlm. 162.

128
semakin kebawah semakin konkrit, sedangkan puncak teratasnya terdiri

atas nilai-nilai yang bersifat abstrak.186 Ciri tersebut pada akhirnya

menimbulkan diskursus lain karena wujud pancasila yang dinilai tidak cocok

disebut sebagai norma yang abstrak.

Dalam sistem perundang-undangan nasional sendiri, pancasila

disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum ketika mulai diberikan

landasan yuridis dalam Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 Junto

Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 Junto Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978.

Begitupun pasca reformasi, baik melalui Ketetapan MPR No. III/MPR/2000

sampai dengan perubahan terakhir Undang-Undang tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan secara eksplisit disebutkan bahwa

pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. 187 Roesman Saleh

dalam bukunya yang berjudul Penjabaran Pancasila dan UUD 1945

menjelaskan bahwa pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum

memiliki arti sebagai ideologi hukum Indonesia.188

Bagian-bagian perbedaan pendapat pada tataran konsep seperti

menerjemahkan pancasila sebagai ideologi, atau menyebutnya hanya

sebagai Philosophie Grondslag, menganggapnya sebagai norma hukum

186
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum dan Peradilan, Vol 1 Pemahaman Awal, Kencana
Premedia Grup, Jakarta, hlm. 62.
187
UU Nomor 15 Tahun 2019
188
Roesman Saleh dalam Andi Al Hakim, diakses dari website Kemenkeu melalui laman:
https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/13144/Pancasila-Sebagai-Philosopische-
Grondslag-Dan-Kedudukan-Pancasila-Dikaitkan-Dengan-Theorie-Von-Stafenufbau-Der-
Rechtsordnung.html#:~:text=Kesimpulan-
,Pancasila%20sebagai%20philosopische%20grondslag%20atau%20pandangan%20hidup%20bang
sa,besifat%20tetap%2C%20tidak%20dapat%20diubah.

129
tertinggi sebagai sumber hukum perundang-undangan nasional, tetapi

disisi lain juga dapat diubah dalam karakteristiknya sebagai

staatsfundamentalnorm ini yang menurut penulis semakin sulit mencapai

kesamaan persepsi antara warga negara dan pemerintah ketika

menafsirkan maksud paham lain yang bertentangan dengan pancasila

dalam UU Ormas. Pada kondisi ini implementasi hukumnya menjadi

semakin kabur dan wajar jika penulis turut berpendapat bahwa redaksi

kalimat dalam pasal tersebut jauh dari nilai-nilai kepastian hukum terhadap

terhadap hak berserikat dan berkumpul bagi ormas.

Terakhir, persoalan HTI dianggap tidak berkontribusi dalam upaya

pembangunan nasional merupakan aspek yang sangat tergantung pula

pada perspektif pemerintah dalam memandang organisasi ini. Jika

mengembalikan pengertian pembangunan nasional pada definisi awal

pembentukan ormas, maka maksud dari pemerintah membubarkan HTI

dalam alasan ini adalah karena organisasi tersebut tidak mengamalkan

Pancasila. Adapun aspek-aspek pengamalan pancasila tersebut meliputi

peran aktif warga negara dan sifat yang merujuk pada kesetiaan terhadap

pancasila itu sendiri.189 Sedangkan jika kita menafsirkan bahwa

pembangunan nasional berarti menyangkut tujuan ormas sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 5 UU Ormas, maka pemerintah seharusnya bisa

menyertakan penjelasan pada bagian mana organisasi HTI melakukan

pelanggaran dan pengingkaran terhadap tujuan ormas. Apalagi jika salah

189
Penjelasan Umum UU Ormas Nomor 8 Tahun 1985.

130
satu tujuan ormasnya sendiri justru menyebabkan perlunya menjaga nilai

agama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang maha Esa.

HTI merupakan ormas Islam yang sejak awal didirikan bergerak

pada bidang-bidang yang sifatnya keagamaan. Ciri keagamaan tersebut

pula yang mengantarkan pemahaman bahwa orientasi pergerakannya akan

selalu mendorong aspek-aspek ketuhanan, termasuk pandangan HTI yang

menyangkut sistem kenegaraan. Dalam kasus ini berarti pemerintah perlu

memberikan definisi batasan terhadap ormas yang berlandaskan keyakinan

beragama untuk tidak terlalu jauh menyampaikan pikiran dan aktualisasi

pemahaman organisasinya. Jangan sampai perdebatan yang menyangkut

persoalan keyakinan beragama akhirnya tergantung pada tafsir pemerintah

yang berkuasa pada masa itu, karena bagaimanapun HTI dalam

pengaturan UU Ormas No. 17/2013 sebelumnya tidak dipermasalahkan

keberadaannya bahkan diakui melalui pengesahan badan hukum

organisasinya. Artinya, hanya berselang sekitar 4 tahun dari periode

pemerintahan sebelumnya untuk menyatakan HTI sebagai organisasi yang

harus dibubarkan.

Maka kepastian hukum mengenai pembatasan hak berserikat dan

berkumpul bagi ormas yang bercirikan keagamaan menjadi penting karena

hak untuk beragama juga diatur secara eksplisit dalam banyak norma

hukum, diantaranya sebagai berikut.

131
Pasal 28E UUD Tahun 1945, bahwa:

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut


agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
(3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.

Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM:

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan


untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya
dan kepercayaannya itu.

Pasal 18 ayat (1) tentang ratifikasi ICCPR juga menyebutkan bahwa:

Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, bernurani dan


beragama. Hal ini mencakup kebebasan untuk menganut atau
memilih agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan
kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk
mengejawantahkan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan
ibadah, penataan, pengamatan dan pengajaran.
Beberapa ketentuan diatas menunjukkan bahwa keyakinan

beragama dijamin dalam konstitusi maupun dalam hukum internasional.

Bahkan dalam Pasal 28I ayat (1) UU 1945 dinyatakan bahwa kebebasan

beragama merupakan bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right). Selain

implementasinya tidak dapat dikurangi, secara umum kebebasan

beragama dan berkeyakinan memiliki beberapa inti elemen normatif, yaitu

kebebasan internal (forum internum), kebebasan eksternal (forum

132
eksternum), tidak diskriminatif, tidak ada paksaan, hak dari orang tua wali,

kebebasan lembaga dan status legal, dan pembatasan yang diizinkan. 190

Tetapi meskipun tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun,

pengakuan kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam praktik

kenegaraan tetap dapat dikecualikan ketika ritualnya memasuki ruang-

ruang publik. Hal ini dapat terjadi karena defenisi ‘tidak dapat dikurangi’

yang dikandung dalam hak tersebut diartikan hanya sebatas pada ranah

pengakuan batin seorang individu (forum eksternum) yang

memungkinkannya tidak dapat diintervensi oleh individu atau entitas lain.

Sedangkan doktrin forum eksternum menyatakan bahwa praktek beragama

dalam konteks ini tunduk pada norma hukum publik sebagaimana

disebutkan beberapa kondisi pengecualiannya dalam Pasal 28J ayat (3)

UUD 1945, yaitu pembatasan boleh dilakukan dalam rangka keamanan,

ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak dan kebebasan

mendasar orang lain.

Pasal 4 ICCPR

In time of public emergency which threatens the life of the nation and
the existence of which is officially proclaim, the States Parties to the
present Covenant may take measures derogating from their
obligations under the present Covenant to the extent strictly required
by the exigencies of the situation, provided that such measures are
not inconsistent with their other obligations under international law
and do not involve discrimination solely on the ground of race, color,
sex, language, religion or social origin

190
Suparman Marzuki, Politik hukum Hak Asasi Manusia Tentang Kebebasan Beragama Pasca
Orde baru, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 26 tahun 2019, hlm. 222-223.

133
Pasal ini memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk dapat

melakukan tindakan yang menyimpangi kewajiban negara menurut

konvenan sipil dan politik termasuk hak atas kebebasan beragama maupun

hak berserikat dan berkumpul dengan ketentuan bahwa mutlak negara

tersebut sedang menghadapi kondisi darurat umum yang mengancam

kehidupan bangsa. Maka ketika pemerintah memutuskan untuk

mengadakan perubahan UU Ormas melalui Perppu karena terjadi kondisi

darurat yang ditimbulkan organisasi semacam HTI, maka secara normatif

dapat dibenarkan karena sifat subjektif dalam pembentukan perppu itu

sendiri. Tetapi perlu diperhatikan bahwa kondisi tersebut mensyaratkan

negara untuk memberikan pengumuman kedaruratan secara resmi

sebagaimana juga syarat yang dimaksudkan untuk membentuk perppu.

Kondisi yang mengancam kehidupan bangsa tersebut juga

seharusnya tidak menjadikan pemerintah dengan mudah membentuk

perppu dengan alasan adanya ormas-ormas yang menimbulkan

kedaruratan tapi disisi lain tidak pernah menyatakan sifat dan level

kedaruratan yang dimaksud. Adapun HTI sebagai organisasi juga tidak

pernah dipanggil untuk dimintai keterangan sebelum pencabutan status

badan hukum (pembubarannya) dengan alasan telah melakukan perbuatan

yang sangat tercela dalam pandangan moralitas Indonesia.191 Padahal jika

191
Rorry Erry Saputra, sebagai salah satu hakim PTUN dalam kasus Gugatan Pembubaran HTI
oleh Pemerintah, diakses pada tanggal 3 Juni 2023 melalui laman:
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44026822

134
melihat general comment Pasal 18 ayat (3) ICCPR, pembatasan yang

dilakukan harus dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut.192

a. Diatur oleh hukum, dan perlu untuk melindungi keamanan


masyarakat, ketertiban umum, kesehatan atau moral, atau hak
dan kebebasan orang lain yang fundamental.
b. Pembatasan harus dihubungkan dan proporsional dengan
kebutuhan yang spesifik.
c. Pembatasan tidak boleh dengan maksud dan cara-cara yang
diskriminatif.
d. Pembatasan atas dasar melindungi moral tidak boleh didasarkan
secara eksklusif atas dasar moral tunggal.
e. Pembatasan akan permissible apabila didasarkan hukum yang
tidak diskriminatif (Pasal 2, 3 dan 26 Kovenan Hak Sipol), dan
tidak menegasikan hak-hak yang diakui oleh Pasal 18 Kovenan
Hak Sipol.
f. Pembatasan yang ada di dalam Pasal 18 ayat (3) harus ditafsirkan
secara sensu stricto (terbatas).

Merujuk pada ketentuan diatas, jika memang pemerintah

mendasarkan pemberian sanksi atas dasar nilai ideologi yang dijunjung

oleh suatu organisasi seperti HTI, maka penting untuk menuangkannya

dalam suatu peraturan hukum dengan temuan dan penjelasan. Begitupun

ketika memberikan pandangan mengenai pelanggaran moral yang

dilakukan organisasi HTI yang seharusnya tidak boleh ditafsirkan secara

eksklusif dengan moral tunggal dan tidak terbatas. Ketentuan hukum

tersebut menjadi penting untuk tujuan memberikan definisi dan menjamin

kepastian hukum kepada ormas yang perlu dibatasi kebebasan berserikat

dan berkumpulnya.

192
Suparman Marzuki, Op. Cit., 224.

135
Bahkan meskipun pemerintah tetap menyediakan berbagai

mekanisme hukum untuk menganulir norma hukum yang terkandung dalam

UU Ormas (termasuk ketika masih berbentuk perppu) atau menyediakan

akses ke Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggugat keputusan

penjatuhan sanksi dari badan dan/atau pejabat administrasi, struktur norma

hukum pemberian sanksinya tetap harus dinilai parsial dalam perspektif

HAM. Argumentasi latar belakang pembatasan HAM ini pula yang

menjadikan teori keadilan yang dikemukakan oleh Bedder dan Vel

mengenai masih adanya sistem hukum yang dibutuhkan oleh pencari

keadilan menjadi tidak relevan karena pengabaian aspek yang sangat

mendasar dengan menganggap status badan hukum ormas hanya sebagai

keabsahan administratif padahal keputusan pendirian ormas

sesungguhnya membentuk subyek hukum baru yang menuntut perlakuan

setara dengan subyek hukum lain.

136
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Bagi penulis, keputusan pemerintah untuk mengatur perubahan UU

Ormas melalui Perppu, mempercepat proses pemberian sanksi

berjenjang, menghapus pasal perihal langkah-langkah persuasif

sebagai alternatif yang bisa ditempuh pemerintah sebelum

menjatuhkan sanksi kepada ormas, merubah mekanisme

pembubaran ormas dengan menghapus proses peradilan dan

dibentuk agar keputusan untuk membubarkan ormas menjadi hanya

kewenangan pemerintah dengan cukup mencabut status badan

hukum atau surat keterangan terdaftarnya, serta dapat menafsirkan

sendiri perubahan substansi “paham atau ajaran yang bertentangan

dengan Pancasila” dengan menambahkan frase “paham lain” pada

bagian penjelasan Pasal 59 ayat (4) huruf c, membuat terang bahwa

pengaturan pembubaran ormas justru tidak bersesuaian dengan

tujuan penegakkan Hak Asasi Manusia yang seharusnya

memberikan kepastian hukum terhadap penghormatan (to respect),

perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak atas

kebebasan berserikat dan berkumpul bagi Organisasi

Kemasyarakatan. Lama waktu yang dibutuhkan untuk menjatuhkan

sanksi kepada ormas juga seharusnya tidak menjadi isu urgen untuk

137
melakukan perubahan pengaturan norma secara signifikan.

Perubahan norma hukum pembubaran ormas melalui Perppu dan

keberlakuannya sebagai Undang-Undang hanya mengkondisikan

negara untuk selalu berada dalam situasi genting ketika akan

menjatuhkan sanksi, belum lagi proses pembubaran ormas yang

hanya melalui produk administratif. Serangkaian mekanisme yang

justru memudahkan pemberian sanksi tersebut akan berakibat pada

rentannya tindakan sewenang-wenang.

2. Bahwa keputusan pemerintah untuk membubarkan HTI dapat

dibenarkan secara normatif jika berdasarkan kriteria pembatasan

pasal 28 J. Namun yang menjadi masalah dalam kasus ini adalah

tidak hadirnya prinsip kepastian hukum akibat keputusan yang hanya

menyandarkan alasan pembubaran pada prinsip-prinsip yang

sifatnya subjektif dan sulit diverifikasi. Alasan yang menyatakan

bahwa HTI berbenturan dengan masyarakat sehingga dianggap

mengganggu keamanan, asas dan ciri organisasi yang bertentangan

dengan pancasila, dan tidak adanya kontribusi positif dalam

pembangunan nasional adalah ranah pertimbangan yang terlalu

pribadi untuk diputuskan sendiri oleh pemerintah. Cara membatasi

HAM dengan model pengambilan keputusan yang subjektif jelas

memberikan ruang pelanggaran kebebasan berserikat dan

berkumpul bagi pemerintah untuk menyalahgunakan kewenangan.

138
B. Saran

1. Mengembalikan sistem peradilan untuk memeriksa keputusan

pemerintah sebelum menjatuhkan sanksi kepada ormas. Karena

masalahnya bukan seberapa cepat akselerasi pemberian sanksi,

tetapi tentang pembentukan struktur hukum yang dapat secara adil

menjamin terlaksananya perlindungan, pemajuan, penegakan dan

pemenuhan hak asasi manusia. Peran institusi kekuasaan

kehakiman merupakan suatu konsekuensi logis dari amanat

konstitusi, maka tidak boleh lagi hanya dipandang sebagai bentuk

yang parsial dari kewajiban negara, melainkan harus dipandang

sebagai syarat penyelenggaraan prinsip hak atas kebebasan

berserikat dan berkumpul dengan jaminan kepastian hukum.

2. Mengklasifikasi jenis asas atau ciri ormas yang bertentangan dengan

Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana UU Ormas sebelumnya

mengecualikan ajaran Ateisme, Komunisme/Marxisme, dan

Leninisme. Hal ini guna memberikan batasan tafsir mengenai frasa

“paham lain” agar tidak disalahgunakan oleh pemerintah sekaligus

dalam rangka memenuhi prinsip kepastian hukum. Selain itu, faktor

pembubaran ormas karena alasan tidak adanya kontribusi positif dan

mengganggu keamanan negara sebagai pertimbangan jatuhnya

sanksi masih memerlukan penjelasan yang lebih objektif dan dapat

diverifikasi jika pemerintah tidak mengehendaki preseden buruk

penegakan hak kebebasan berserikat dan berkumpul.

139
DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Aminuddin Ilmar, Cet. Ke-3, 2018, Hukum Tata Pemerintahan, Prenada


Media Group, Jakarta.

A Widiada Gunakaya. 2017. Hukum Hak Asasi Manusia. Penerbit Andi.


Yogyakarta.

Bachtiar. 2018. Metode penelitian Hukum, Unpam Press. Tangerang.

Bagir Manan. 2006. Lembaga Kepresidenan. FH UII Press. Jakarta.

Dede Kania. 2018. Hak Asasi Manusia dalam Realita Global. Manggu
Makmur Tanjung Lestari. Bandung.

Fajlurrahman Jurdi. 2016. Teori Negara Hukum. Setara Press. Malang.

Indroharto. 2002. Usaha memahami Peradilan Tata Usaha Negara.


Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

Irwansyah. 2015. Metode Penelitian Hukum. Fakultas Hukum Universitas


Hasanuddin. Makassar.

Jimly Asshiddiqie. 2007. Hukum Tata Negara Darurat. PT Raja Grafindo


Persada. Jakarta.

--------------- 2010. Perihal Undang-Undang. PT Raja Grafindo Persada.


Jakarta.

Jimly Asshiddiqie dan Ali Syafaat. 2011. Teori Hans Kelsen Tentang
Hukum. Konstitusi Press. Jakarta.

Majda el Muhtaj. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia: Dari
UUD 1945 sampai dengan Perubahan UUD 1945 Tahun 200”.
Edisi Kedua-Cet. 5. Kencana Prenada Media Group. Jakarta.

Maria Farida Indrati. 2007. Ilmu Perundang-undangan, Jenis, Fungsi, dan


Materi Muatan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

--------------- 2007. Ilmu Perundang-Undangan 2: Proses dan Teknik


Pembentukannya. Kanisius. Yogyakarta.

140
Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.

Mirza Satria Buana. 2010. Hubungan Tarik-Menarik Antara Asas Kepastian


Hukum (Legal Certainty) Dengan Asas Keadilan (Substantial
Justice) Dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi. Tesis
Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta.

Muhammad Ashri. 2018. Hak Asasi Manusia: Filosofi, Teori, dan Instrumen
Dasar. CV.Social Politic Genius. Makassar.

Muhammad Muhsin Rodhi. 2012. Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir


dalam Mendirikan Negara Khilafah. Al-Azhar Fresh Zone
Publishing. Bogor.

Mukti Fajar dan Yulianto Ahmad. 2015. Dualisme Penelitian Hukum


Normatif-Empiris. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

M. Syamsudin. 2007. Operasionalisasi Penelitian Hukum. Raja Grafindo.


Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki. 2014. Penelitian Hukum, Edisi Revisi. Kencana.


Jakarta.

Rhona K.M. Smith et al. 2008, Hukum Hak Asasi Manusia Cetakan
Pertama, Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam
Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta, Yogyakarta.

R.M. A.B. Kusuma. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945. Badan


Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.

Saifuddin. 2012. Khilafah Vis a Vis Nation State: Telaah Atas Pemikiran
Politik HTI. Mahameru. Yogyakarta.

Suparman Marzuki. 2017. Hukum Hak Asasi Manusia. Pusat Studi Hak
Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII)
Yogyakarta. Yogyakarta,

Yahya A.R.. 2008. Struktur negara khilafah (Pemerintahan dan


Administrasi). HTI Press. Jakarta.

II. Jurnal

Achmad Edi Subiyanto. “Menguji Konstitusionalitas peraturan Pemerintah


Pengganti Undang-Undang”. Lex Jurnalica, Vol. 11 Tahun 2014.

141
Ahmad Furqon, “Civil Society Vis a Vis Masyarakat Madani” Jurnal
Pemikiran Islam, Vol 1 Tahun 2022.

Asror Nawawi, “Komnas HAM: Suatu Upaya Penegakan HAM di Indonesia”,


Jurnal Hukum Progresif, Vol. 11 Tahun 2017.

Catur Wibowo dan Herman Harefa, “Badan Penelitian dan Pengembangan


Kementerian dalam Negeri, “Urgensi Pengawasan Organisasi
Kemasyarakatan Oleh Pemerintah”, Jurnal Bina Praja, Maret
2015.

Cora Elly Novianti, “Demokrasi dan Sistem Pemerintahan”. Jurnal


Konstitusi, Vol. 10. Nomor 2 Juni 2013.

Danang Risdiarto, “Legalitas Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Pengaruhnya


Bagi Perkembangan Demokrasi di Indonesia”, Jurnal Legislasi
Nasional, Vol. 15 Tahun 2018.

Dian Kus Pratiwi, “Implikasi Yuridis Peraturan Pemerintah pengganti


Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan di Indonesia”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum,
Vol. 4 Tahun 2017.

Hendrawan, “Pemulihan Hak Politik Melalui Mekanisme Konstitusional”,


Halu Oleo Law Review, Vol. 2 Tahun 2018.

Ismail Ramadhan, “Peran Lembaga Peradilan Sebagai Institusi Penegak


Hukum Dalam Menegakkan Keadilan Bagi terwujudnya
Perdamaian”, Jurnal RechtsVinding, Vol. 6, April 2017.

Kornelius Benuf dan Muhammad Azhar, “Metodologi Penelitian Hukum


sebagai Instrumen Mengurai Permasalahan Hukum
Kontemporer”, Jurnal Gema Keadilan, Vol. 7. Tahun 2020.

Lukman Hakim, “Kewenangan Organ Negara dalam Penyelenggaraan


Pemerintahan”, Jurnal Konstitusi, Vol. 4 Juni 2011.

Mario Juliano dan Aditya Yuli Sulistyawan, “Pemahaman terhadap Asas


Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme
Hukum”, Jurnal Crepido, Vol. 01 Tahun 2019.

Masdar Hilmy, “Akar-Akar Transnasionalisme Islam Hizbut Tahrir


Indonesia”, Jurnal Islamica, Vol. 6, September 2011.

142
Mohammad Jatim dan Levina Yustitianingtyas, “Analisis Pembubaran
Organisasi Kemasyarakatan dalam Perspektif Asas Contrarius
Actus”, Jurnal Paradigma Hukum Pembangunan, Vol. 6 Tahun
2021.

Mohammad Rafiuddin, “Mengenal Hizbut Tahrir (Studi Analisis Ideologi


Hizbut Tahrir Vis a Vis NU)”, Jurnal isalamuna, Vol. 2 Tahun
2015.

Muhammad Amin Putra, “Perkembangan Muatan HAM dalam Konstitusi di


Indonesia”, Fiat Justitia, Vol. 9 Tahun 2015.

Muhammad Syarif Nuh, “Hakikat Keadaan Darurat Negara (State of


Emergency) Sebagai Dasar Pembentukan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang”, Jurnal Hukum IUS
QUIA IUSTUM, Vol. 18 Tahun 2011.

Nilda Hayati, “Konsep Khilafah Islamiyah Hizbut Tahrir Indonesia (Kajian


Living al-Qur’an Perspektif Komunikasi)”, Jurnal Episteme, Vol.
12 Tahun 2017.

Oom Komala Sandy, “Etnonasionalisme Paguyuban Pasundan dalam Asas


Tunggal Pancasila 1980-1990 (Dari Pergerakan Politik ke Sosial
Budaya), Avatara e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 6 Tahun
2018.

Ratna Kumalasari dan Sapto Budoyo, “Perkembangan Pengaturan Hak


Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum di Indonesia”, Jurnal Meta-
Yuridis, Vol. 2 Tahun 2019.

R. Herlambang Perdana Wiratman, “Kebebasan Berekspresi, Penelusuran


Pemikiran dalam Konstitusi di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol.
6 Tahun 2009.

Shandi Patria Airlangga, “Hakikat penguasa dalam Negara Hukum


Demokratis”, Jurnal Capelo, Vol. 3. Tahun 2019.

Suparman Marzuki, “Gerakan Menuju Masyarakat Sipil: Membaca Gerakan


Bantuan Hukum LBH”, Jurnal Hukum, Nomor 17 Vol. 8 Tahun
2001.

--------------- “Politik hukum Hak Asasi Manusia Tentang Kebebasan


Beragama Pasca Orde baru”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,
Vol. 26 tahun 2019.

143
Veronica Agnes Sianipar, (dkk.), “Tinjauan yuridis Perlindungan Hukum Hak
Asasi Manusia dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013
tentang Organisasi Kemasyarakatan”, Journal Lentera Hukum,
April 2014.

Victor Imanuel Nalle, “Asas Contrarius Actus pada Perppu Ormas: Kritik
dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara dan Hak Asasi
Manusia”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 Tahun 2017.

Yeni Handayani, “Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi


Indonesia dan Konstitusi Amerika Serikat”, Jurnal Rechtsvinding,
Tahun 2014.

Yohanes Suhardin, “Peranan Hukum Dalam Mewujudkan Kesejahteraan


Masyarakat”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Vol. 25 Tahun 2007.

III. Makalah

Gita Ramaida Hamada. 2019. Dinamika Perkembangan Hak Asasi Manusia


di Indonesia. Makalah. Digital Library Sunan Gunung Djati.
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati.
Bandung.

IV. Ceramah

Moh. Mahfud MD. Negara hukum Indonesia Kemana Akan Melangkah.


Konferensi dan Dialog Nasional. Jakarta.

Jimly Asshiddiqie. 2003. Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah


perubahan Keempat UUD 1945. Seminar Pembangunan Hukum
Nasional VIII dengan Tema Penegakan Hukum dalam Era
Pembangunan Hukum Berkelanjutan. Denpasar.

V. Tesis

Mirza Satria Buana. 2010. Hubungan Tarik-Menarik Antara Asas Kepastian


Hukum (Legal Certainty) Dengan Asas Keadilan (Substantial
Justice) Dalam Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi. Tesis
Magister, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
Yogyakarta.

144
VI. Kamus

David Moeljadi et al. Apk. 2023. Kamus Besar Bahasa Indonesia V 0.5.0.
Beta (40). Badan Pengembangan Bahasa dan Pembukuan,
kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

VII. Berita Online, Artikel & Website

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt595cb74e1f3fe/berbincang-
seputar-seluk-beluk-perppu-dengan-daniel-yusmic/ diakses
pada tanggal 14 Maret 2021.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19452/uu-ormas-
riwayatmukini/ diakses pada 6 April 2021.

https://www.komnasham.go.id diakses pada tanggal 27 desember 2019.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59a860340566c/sejarah-
munculnya-istilah-perppu-dan-cermin-subjektivitas-presiden/
diakses pada tanggal 14 Maret 2021.

https://www.hukumonline.com/berita/a/kemenkumham-cabut-status-
badan-hukum-hti-lt596f08d298b25 diakses pada tanggal 25
Juni 2022.

https://www.mkri.id/index.hp?page=web.Berita&id=14364 diakses pada


tanggal 23 Juni 2022.

https://tirto.id/sejarah-dan-penerapan-pancasila-masa-orde-baru-soeharto-
1966-1998-ghNK diakses pada tanggal 26 Juni 2022.

https://nasional.kompas.com/read/2017/05/08/14382891/ini.alasan.pemeri
ntah.bubarkan.hizbut.tahrir.indonesia diakses pada tanggal 17
Mei 2021.

https://nasional.kompas.com/read/2017/07/12/12232051/ini-tiga-
pertimbangan-pemerintah-menerbitkan-perppu-ormas diakses
pada tanggal 18 Juni 2022.

https://www.pshk.or.id/blog-id/sengkarut-hukum-pembubaran-ormas/
diakses pada tanggal 27 juni 2022.

145
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44026822

https://nasional.kompas.com/read/2017/05/08/14382891/ini.alasan.pemeri
ntah.bubarkan.hizbut.tahrir.indonesia

https://www.pngunungsitoli.go.id/assets/image/files/Konsep_Negara_Huku
m_Indonesia

https://www.hukumonline.com/berita/a/uu-ormas-riwayatmu-kini--
hol19452?page=1

VIII. Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar NRI Tahun1945

XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas


Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata
Usaha Negara

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Undang-Undang nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan sebagaimana telah diubah melalui UU
Nomor 15 Tahun 2019

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi


Kemasyarakatan

UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan PERPPU Nomor 2 tahun


2017

PERPPU Nomor 2 Tahun 2017 atas perubahan Undang-Undang Nomor 17


Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan

Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 tentang Kembali Kepada


undang-Undang Dasar 1945.

Keputusan Presiden tentang Rencana Hak Asasi Manusia Indonesia Tahun


1998-2003.

146

Anda mungkin juga menyukai