Anda di halaman 1dari 78

KEAMANAN DAN KETERTIBAN

KEAMANAN DAN KETERTIBAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN BERBASIS HAK ASASI MANUSIA


LEMBAGA PEMASYARAKATAN
BERBASIS HAK ASASI MANUSIA
Penelitian ini merupakan penelitian hak asasi manusia
dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan
teknis analisis diskursus (discourse analysis) dalam kajian ilmu
sosial. Pendekatan tersebut berupaya untuk menjelaskan
objek permasalahan melalui pencarian terhadap deskripsi,

KEAMANAN DAN KETERTIBAN


pemahaman, dan interpretasi. Dalam konteks tersebut, tafsiran
tentang keamanan dan ketertiban yang selama ini dipahami
oleh pihak perumus kebijakan pemasyarakatan akan direposisi
dengan pendekatan hak asasi manusia. Analisis wacara
kritis terhadap sistem pemasyarakatan nasional di Indonesia LEMBAGA PEMASYARAKATAN
BERBASIS HAK ASASI MANUSIA
menyimpulkan beberapa poin penting, meliputi: pertama
ialah wacana pemasyarakatan bersifat ideologis dalam hal
relasi kekuasaan antara institusi penjara dengan narapidana;
kedua ialah hak asasi manusia sebagai wacana pesaing
dalam business process pemasyarakatan telah diperlakukan
hanya sebagai tambahan (accessories) yang dapat
disalahinterpretasikan dan disalahgunakan oleh pemerintah.
Oleh sebab itu menjadi penting adanya bagi negara untuk
pertama-tama mengusung wacana hak asasi manusia ketika
HARISON CITRAWAN DAMANIK
mengurus pemasyarkatan, sebagai contoh dalam pengajuan
perubahan undang-undang pemasyarakatan.
ISBN 602695223-3

ISBN:978-602-6952-23-3
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAM Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
Jl. HR. Rasuna Said Kav. 4-5, Kuningan, Jakarta Selatan
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia
Telp.: (021) 2525015, Fax.: (021) 2526678, 2526438 2016
9 786026 952233
KEAMANAN DAN KETERTIBAN
LEMBAGA PEMASYARAKATAN
BERBASIS HAK ASASI MANUSIA
KEAMANAN DAN KETERTIBAN
LEMBAGA PEMASYARAKATAN
BERBASIS HAK ASASI MANUSIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2014
TENTANG HAK CIPTA

Pasal 1
(1) Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak
ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk
Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau
pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
KEAMANAN DAN KETERTIBAN
LEMBAGA PEMASYARAKATAN
BERBASIS HAK ASASI MANUSIA

Oleh:
HA R IS ON C IT R AWA N D A M A N I K

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia
2016
KEAMANAN DAN KETERTIBAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN
BERBASIS HAK ASASI MANUSIA

copyright©
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
Jl. HR Rasuna Said Kav. 4-5 Kuningan, Jakarta Selatan
Website: www.balitbangham.go.id

Penulis:
Harison Citrawan Damanik

Cetakan Pertama – November 2016

Penata Letak: Panjibudi


Desain Sampul: Panjibudi
Sumber Gambar Sampul: www.smgapc.com

ISBN: 978-602-6952-23-3

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang.


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari Pemegang Hak Cipta.

Pracetak oleh:
Tim Pohon Cahaya

Dicetak oleh:
Percetakan Pohon Cahaya
ABSTRAK

Penelitian ini merupakan penelitian hak asasi manusia


dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknis
analisis diskursus (discourse analysis) dalam kajian ilmu
sosial. Pendekatan tersebut berupaya untuk menjelaskan
objek permasalahan melalui pencarian terhadap deskripsi,
pemahaman, dan interpretasi. Dalam konteks tersebut, tafsiran
tentang keamanan dan ketertiban yang selama ini dipahami
oleh pihak perumus kebijakan pemasyarakatan akan direposisi
dengan pendekatan hak asasi manusia. Analisis wacara
kritis terhadap sistem pemasyarakatan nasional di Indonesia
menyimpulkan beberapa poin penting, meliputi: pertama ialah
wacana pemasyarakatan bersifat ideologis dalam hal relasi
kekuasaan antara institusi penjara dengan narapidana; kedua
ialah hak asasi manusia sebagai wacana pesaing dalam business
process pemasyarakatan telah diperlakukan hanya sebagai
tambahan (accessories) yang dapat disalahinterpretasikan
dan disalahgunakan oleh pemerintah. Oleh sebab itu menjadi
penting adanya bagi negara untuk pertama-tama mengusung
wacana hak asasi manusia ketika mengurus pemasyarkatan,

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
v
sebagai contoh dalam pengajuan perubahan undang-undang
pemasyarakatan.

Kata Kunci: HAM, Pemasyarakatan, Wacana

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


vi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
SAMBUTAN

Secara normatif, sistem pemasyarakatan di Indonesia


mendasarkan pelaksanaannya pada nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila, serta penghormatan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Kandungan nilai
dalam sistem pemasyarakatan tersebut seyogyanya dipahami
sebagai ruh dari setiap peraturan dan kebijakan yang diambil
dan diterapkan dalam pelaksanaan tugas pemasyarakatan.
Dalam konteks tersebut, penelitian yang mengambil analisis
diskursus sebagai pilihan dalam mengkaji problematika
pemasyarakatan ini merupakan upaya yang baik dalam
mendukung tugas dan fungsi pemasyarakatan, khususnya
ketika pemerintah sedang menggagas perubahan tentang
Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Atas nama Badan
Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia,
saya menyambut baik hasil kajian ini dan mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantuk
kelancaran pelaksanaan kajian ini. Diharapkan melalui kajian
ini, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dapat

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
vii
memperoleh basis ilmiah dalam membentuk kebijakan tentang
pemasyarakatan di waktu mendatang.

Jakarta, Oktober 2016


Kepala Badan
Penelitian dan Pengembangan
Hukum dan HAM,

Y. Ambeg Paramarta, SH., M.Si.


NIP. 19650322 198703 1 002

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


viii Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
KATA PENGANTAR

Berdasarkan data yang ada, prevalensi gangguan keamanan


dan ketertiban di Lapas/Rutan di seluruh Indonesia meningkat
setiap tahun. Kondisi tersebut merupakan indikasi awal bahwa
dibutuhkan sebuah kebijakan yang komprehensif dan proaktif
terhadap fenomena gangguan keamanan dan ketertiban,
bukan hanya dalam rangka penanganan yang efektif, namun
juga kebijakan yang dapat menjamin ketidakberulangan
gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas/Rutan. Selain itu
dalam sisi yang lebih luas, jaminan keamanan dan ketertiban
mengisyaratkan adanya perlindungan integritas fisik
narapidana/tahanan, yang secara langsung dapat berkontribusi
dalam upaya negara memasyarakatkan mereka. Analisis wacana
terkait pelaksanaan pemasyarakatan yang dihubungkan
dengan gangguan keamanan dan ketertiban ini diharapkan

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
ix
dapat menjadi sumbangsih dalam proses perumusan kebijakan
di lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Jakarta, Oktober 2016


Kepala Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Hak Asasi Manusia

RR. Risma Indriyani, S.H., M.Hum.


NIP. 19601027 198703 2 001

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


x Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
DAFTAR ISI

ABSTRAK.............................................................................................v
SAMBUTAN ..................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .......................................................................... ix
DAFTAR ISI ....................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1


A. Latar Belakang ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................... 10
C. Rumusan Masalah ........................................................11
D. Tujuan dan Manfaat......................................................11
E. Ruang Lingkup............................................................. 12
F. Metodologi ................................................................... 16
G. Kerangka Pemikiran .................................................... 19
H. Biaya..............................................................................22

BAB II PEMBAHASAN ........................................................... 23


A. Wacana dalam Teks Hukum ...................................... 26
B. Mitos ‘Pemasyarakatan’ sebagai Kontrol Sosial ......... 31
C. Diskursus HAM dalam Pemasyarakatan:
Membingkai Isu .......................................................... 45

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
xi
BAB III PENUTUP .................................................................. 57

DAFTAR PUSTAKA........................................................................... 61

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


xii Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN

[ . . . ] bahwa yang terpenting dalam hal Pemasyarakatan ialah procesnya


yakni proses kegotong-royongan yang sebagaimana telah dapat
disimpulkan dalam uraian-uraian ini, mengandung unsur-unsur social
control (pengendalian sosial), social support (dukungan sosial) dan social
participation (partisipasi sosial), dan bukan programnya.

A. Latar Belakang
Problematika gangguan keamanan dan ketertiban
dalam bentuk kerusuhan dan pembakaran di Lapas/Rutan
perlu dianalisis dari berbagai sisi dalam pelaksanaan fungsi
pemasyarakatan. Secara konseptual, persoalan kekerasan di
Lapas/Rutan, baik yang terjadi dalam skala masif maupun
individual, perlu pertama-tama diletakkan dengan pendekatan
cara berpikir sistem (system thinking). Dengan cara berpikir
demikian, maka para pemangku kebijakan dapat melihat
unsur-unsur (thinks) saling berkorelasi satu dengan yang lain
dan memutuskan bagaimana bentuk intervensi yang tepat.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
1
Gambar 1. Kekerasan dalam Lapas/Rutan
dengan System-Thinking

(Sumber: modifikasi dari Dent et al. 2015)

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


2 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Salah satu bentuk alur early system thinking terlihat pada
Gambar 1.1
Salah satu kekuatan dari teknik model demikian, menurut
Dent, ialah: “its ability to clearly set out the interactions between
system drivers and also identify reinforcing loops.”2 Dalam
konteks ini, reinforcing loops dimaknai sebagai hal (thing)
yang mampu memengaruhi hal lainnya, baik dalam artinya
yang positif maupun negatif. Tanpa menggunakan system-
thinking maka para pelaksana tugas dan pengambil kebijakan
terkait pemasyarakatan cenderung menyederhanakan (over-
simplify) permasalahan. Jadi, dengan pendekatan demikian,
kita akan lebih mengarahkan pandangan terlebih dahulu
untuk menganalisis pada sistem ketimbang melihat symptoms
(gejala).
Berdasarkan data yang ada, prevalensi gangguan keamanan
dan ketertiban di Lapas/Rutan di seluruh Indonesia meningkat
setiap tahun, sebagaimana tersaji dalam tabel berikut:

1 Philip Dent, David Dorrell dan Philip Howard, Understanding Prison Violence
Trends and Correlates, dalam Prison Service Journal, Special Edition Reducing
Prison Violence, September 2015 No. 221 (4-8).
2 Id, hlm. 4.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
3
Tabel 1. Rekapitulasi Gangguan Keamanan dan Ketertiban
2011-2014

Jumlah
Jenis Gangguan
2011 2012 2013 2014 2015
Pelarian 69 122 106 156 260
Penyelundupan Narkoba 98 145 90 213 106
Perkelahian
9 22 20 62 60
Penganiayaan/Kekerasan
Kerusuhan
12 16 25 3 22
Pemberontakan
Lain-Lain 0 0 23 145 55
Jumlah 188 305 264 579 503

Sumber: LAKIP Ditjen Pemasyarakatan 2014 & Kementerian Hukum dan HAM
2015.

Kondisi tersebut merupakan indikasi awal bahwa


dibutuhkan sebuah kebijakan yang komprehensif dan proaktif
terhadap fenomena gangguan keamanan dan ketertiban,
bukan hanya dalam rangka penanganan yang efektif, namun
juga kebijakan yang dapat menjamin ketidakberulangan
gangguan keamanan dan ketertiban di Lapas/Rutan. Selain
itu dalam sisi yang lebih luas, jaminan keamanan dan
ketertiban mengisyaratkan adanya perlindungan integritas
fisik narapidana/tahanan, yang secara langsung dapat
berkontribusi dalam upaya negara memasyarakatkan mereka.
Terkait hal tersebut, sebagai pembanding, secara kategorial

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


4 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
keamanan di dalam Lapas di United Kingdom difokuskan
pada insiden yang berdampak pada integritas fisik, meliputi:
angka kematian di dalam Lapas, melukai diri sendiri (self-
harm), penyerangan (assault), pembunuhan (homicide), serta
hal-hal yang bersumber dari kondisi alam (natural causes).3
Menurut hemat peneliti, upaya penanganan gangguan
keamanan dan ketertiban memerlukan pandangan terkait
faktor-faktor yang berkontribusi terjadinya insiden. Adapun
berdasarkan data yang tersedia pada tahun 2013, gangguan
keamanan dan ketertiban (dalam tujuh jenis bentuk gangguan)
terjadi di 130 UPT (Lapas, Rutan, Cabang Rutan) di seluruh
Indonesia. Apabila dikaitkan dengan over kapasitas pada
Desember 2013, maka grafik yang menggambarkan dua variabel
tersebut adalah sebagai berikut:

Grafik 1. Korelasi antara over kapasitas


dengan gangguan kamtib

3 Lihat Ministry of Justice Statistics Bulletin: Safety in Custody Statistics


England and Wales Update to December 2012, 25 April 2013.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
5
Sedangkan apabila dihubungkan dengan SDM yang tersedia
pada Desember 2013, maka grafik yang menggambarkan dua
variabel (Gangguan dan Jumlah SDM) adalah sebagai berikut:
(catatan: 103 data UPT yang tersedia)

Grafik 2. Korelasi antara jumlah SDM


dengan gangguan kamtib

Berdasarkan dua grafik korelasi yang ada, maka over-


kapasitas memiliki korelasi dengan terjadinya gangguan
keamanan dan ketertiban (0.0241). Temuan yang menarik
ialah korelasi antara SDM dengan gangguan keamanan dan
ketertiban (0.4101) lebih kuat ketimbang korelasi antara over
kapasitas dengan gangguan. Hal tersebut mengisyaratkan
bahwa kuantitas personil lebih memiliki pengaruh terhadap
terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban ketimbang
persoalan over-kapasitas di masing-masing unit pelaksana
teknis.
Terkait hal tersebut, berdasarkan studi yang dilakukan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM,
gangguan keamanan dan ketertiban di dalam Lapas bertalian

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


6 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
erat dengan beberapa elemen sosial yang ada di dalamnya.4
Dari beberapa kasus gangguan keamanan dan ketertiban,
khususnya yang mengandung kerusuhan disertai kekerasan,
dapat dipahami bahwa gangguan bisa terjadi karena ketidak-
harmonisan situasi mulai dari elemen konteks sosial,
kebutuhan, aktor, dan peran para pihak.5 Kegagalan mengelola
empat elemen tersebut berimplikasi pada bagaimana petugas
Lapas dapat menjaga dan memelihara keamanan dan
ketertiban di dalam Lapas.6 Lebih jauh, berdasarkan temuan
lapangan yang ada, kebiijakan terkait manajemen keamanan
dan ketertiban Lapas cenderung bersifat reaktif sehingga
potensi gangguan keamanan dan ketertiban yang ada belum
dikelola dengan optimal.7
Secara konseptual, narasi tersebut dikonstruksikan ke
dalam sebuah cara pandang yang dikenal sebagai dynamic
security (keamanan dinamis); untuk memisahkannya dari
cara pandang konvensional yang fokus pada keamanan fisik
(physical security).8 Cakupan dari keamanan dinamis ini
meliputi: “an alert group of staff who interact with, and who
know, their prisoners; staff developing positive staff-prisoner

4 Harison Citrawan & Denny Zainuddin, Analisis Konflik dalam Pencegahan


Gangguan Keamanan dan Ketertiban di Lapas, Jurnal Legislasi, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: 2015.
5 Ibid.
6 Ibid.
7 Ibid. Lihat juga Y. Ambeg Paramarta, Denny Zainuddin & Harison Citrawan,
Laporan Pendahuluan Gangguan Keamanan dan Ketertiban di Lapas Kelas IIA
Denpasar, Jakarta: Desember 2015 (tidak dipublikasikan).
8 UNODC, Handbook on Dynamic Security and Prison Intelligence, New York,
UN Criminal Justice Handbook Series: 2015, hlm. 9.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
7
relationships; staff who have an awareness of what is going on
in the prison; fair treatment and a sense of “wellbeing” among
prisoners; and staff who make sure that prisoners are kept busy
doing constructive and purposeful activities that contribute
to their future reintegration into society.”9 Dengan demikian,
aspek keamanan dan ketertiban tidak dapat secara serta merta
disandarkan pada sarana fisik dan teknis semata, namun
juga terkait relasi antar subjek serta lingkungan sosial Lapas
secara keseluruhan.10 Sebagai salah satu contoh, Kementerian
Kehakiman Republik Kroasia menjelaskan bahwa konsep
keamanan dinamis didasarkan pada: hubungan; komunikasi,
dan interaksi positif antara petugas dengan narapidana;
profesionalisme; pengumpulan informasi yang relevan;
pemahaman dan pembaruan iklim sosial di dalam Lapas;
ketegasan dan keadilan; pengertian terhadap situasi personal
narapidana; dan komunikasi, hubungan postif dan pertukaran
informasi di antara para petugas.11 Dengan demikian, fokus
yang disasar dari pengembangan strategi keamanan dinamis
tersebut ialah legitimasi petugas terhadap narapidana yang
sedang menjalani proses pembinaan.12 Adapun hemat peneliti,

9 UNODC, Id, hlm. 29.


10 Lih. Roy D. King, Security, Control and the Problems of Containment, dalam
Yvone Jewkes, Handbook on Prisons, Willan Publishing, Devon: 2007 (329-
355), hlm. 347.
11 Prison Administration, Ministry of Justice, Republic of Croatia, Dynamic
Security in Penal Institutions, Presentation at 7th conference of European
Penitentiary Training Academies, 25-27 Juni 2014, Barcelona, Spain, dalam
UNODC, hlm. 30.
12 Lih. Ross Homel & Carleen Thompson, Causes and Prevention of Violence in
Prisons, dalam Sean O’Toole & Simon Eyland (ed.), Corrections Criminology,

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


8 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
legitimasi tersebut sangat erat kaitannya dengan kewajiban
negara dalam melindungi hak asasi manusia, termasuk mereka
yang sedang menjalani proses pembinaan di dalam Lapas.
Dalam paradigma perlindungan hak asasi manusia,
pelaksanaan fungsi pemasyarakatan merupakan salah satu
aspek yang banyak dikritisi dalam beberapa kesempatan
forum pelaporan hak asasi manusia Indonesia di Perserikatan
Bangsa-Bangsa, serta laporan temuan masyarakat sipil terkait
dugaan pelanggaran hak asasi manusia di dalam Lapas.13 Hal
tersebut dapat dipahami sebagai handicap (rintangan) dalam
komitmen negara dalam melindungi hak asasi manusia. Dari
sisi keamanan dan ketertiban, sekurangnya handicap yang ada
dapat dipahami dalam sebuah kerangka kerja pengamanan,
yang meliputi: penilaian dan kategorisasi, kontrol dan audit,
penggeledahan, serta komunikasi dan pengintaian. Dengan
demikian dalam konteks tersebut, penelitian ini memandang
perlu untuk menganalisis lebih mendalam tentang kebijakan
manajemen pelaksanaan tugas keamanan dan ketertiban di
Lapas, khususnya bagaimana menemukan proporsionalitas
antara tindakan berbasis kepentingan keamanan dan ketertiban

(101-108). Sydney: Hawkins Press, 2005.


13 Dalam forum internasional, misalnya terdapat Written statement submitted
by the Asian Legal Resource Centre, a non-governmental organization in
general consultative status to Human Rights Council, 8 September 2015, (A/
HRC/30/NGO/99). Secara khusus, hal yang dikritisi ialah terkait dugaan
penyiksaan di Lapas. Lihat juga Report of the Working Group on the Universal
Periodic Review – Indonesia, 21th session Human Rights Council. 5 July 2012,
(A/HRC/21/7). Di tingkat nasional, rilis terakhir masyarakat sipil, Lih. Kontras,
Laporan Penyiksaan Merusak Hukum: Praktik Penyiksaan dan Perbuatan
Tidak Manusiawi Lainnya di Indonesia 2015-2016, Jakarta: 2016.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
9
di satu sisi, dan perlindungan hak asasi manusia di sisi yang
lain.14
Dalam konteks tersebut, berbagai perangkat telah
diterbitkan oleh Kementerian Hukum dan HAM cq. Direktorat
Jenderal Pemasyarakatan mulai dari yang bersifat makro, seperti
cetak biru pembaharuan pelaksanaan sistem pemasyarakatan,
sampai pada hal yang bersifat teknis, seperti peraturan menteri
dan keputusan direktur jenderal. Terhadap regulasi tersebut,
wacana tentang hak asasi manusia perlu mendapatkan analisis
secara mendalam, khususnya bagaimana hak asasi manusia
dipahami sebagai sebuah bentuk relasi kekuasaan (power),
dalam hal ini antara petugas dengan narapidana.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang ada, penelitian ini
mengidentifikasi beberapa permasalahan: pertama, kebijakan
tentang penanganan gangguan keamanan dan ketertiban di
Lapas/Rutan yang bersifat reaktif cenderung mencederai hak
asasi manusia; kedua, kebijakan teknis yang bersifat evidence-

14 Sekurangnya terdapat tiga instrumen internasional hak asasi manusia yang


terkait, yakni Pasal 10 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik: “All
persons deprived of their liberty shall be treated with humanity and with
respect for the inherent dignity of the human person”; Prinsip 1 Basic Principles
for the Treatment of Prisoners: “All prisoners shall be treated with the respect
due to their inherent dignity and value as human beings”; dan Prinsip 1 Body of
Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or
Imprisonment: “All persons under any form of detention or imprisonment shall
be treated in a humane manner and with respect for the inherent dignity of the
human person.”

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


10 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
based memerlukan data dan analisis yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan; dan ketiga, secara khusus, analisis
secara konseptual tentang keamanan dan ketertiban di dalam
Lapas belum diletakkan dalam rangka menyusun kebijakan
keamanan dan ketertiban yang komprehensif dan proaktif.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, maka perta-
nyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini ialah:
 Bagaimana gambaran wacana Pemasyarakatan sebagai
sebuah sistem perlakuan?
 Bagaimana norma dan prinsip hak asasi manusia sebagai
sebuah wacana diposisikan dalam pelaksanaan sistem
Pemasyarakatan?

D. Tujuan dan Manfaat


Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara
konseptual tentang keamanan dan ketertiban di Lapas dari
sudut pandang hak asasi manusia. Secara lebih spesifik, studi
ini berupaya untuk menganalisis wacana pemasyarakatan
sebagai sebuah knowledge selama ini disebarluaskan melalui
regulasi dan kebijakan pemerintah. Melalui analisis tersebut
diharapkan dalam proses pembentukan perubahan undang-
undang pemasyarakatan proses pewacanaan sebuah diskursus
akan lebih memperoleh basis secara ilmiah dan objektif.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
11
E. Ruang Lingkup
Penelitian ini akan difokuskan pada salah satu bidang
tugas di Lapas, yakni keamanan dan ketertiban. Berdasarkan
data sekunder yang ada, sasaran penyelenggaraan kegiatan di
bidang keamanan dan ketertiban di Lapas dijabarkan ke dalam
empat indikator, yakni:15
(1) Lapas yang memenuhi standar hunian dan keamanan;
(2) Pelanggaran HAM, kasus penyebaran NAPZA,
kejahatan teroganisir dan pelanggaran kode etik petugas
pemasyarakatan;
(3) Pengaduan masyarakat maupun tahanan dan WBP yang
ditindaklanjuti secara tepat dan cepat;
(4) Tindak lanjut pelanggaran HAM, kasus penyebaran
NAPZA, kejahatan teroganisir dan pelanggaran kode etik
petugas pemasyarakatan.

Dari indikator tersebut, konsep pengamanan dan


ketertiban memiliki aspek kerja yang sangat luas. Untuk itu,
penelitian ini pertama-tama membatasi kajian konseptual dari
relasi antara norma perlindungan hak asasi manusia di dalam
Lapas dengan konsep keamanan fisik dan dinamis. Kajian
konseptual tersebut didasarkan pada faktor risiko situasional
keamanan dan ketertiban di Lapas, bentuk-bentuk gangguan
keamanan dan ketertiban, serta dampak gangguan keamanan

15 Lih. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Direktorat Jenderal


Pemasyarakatan Tahun 2014

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


12 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
dan ketertiban di Lapas. Adapun unsur-unsur dari keamanan
dinamis tersebut:
(1) an alert group of staff who interact with, and who know,
their prisoners;
(2) staff developing positive staff-prisoner relationships;
(3) staff who have an awareness of what is going on in the
prison;
(4) fair treatment and a sense of “wellbeing” among prisoners;
dan
(5) staff who make sure that prisoners are kept busy doing
constructive and purposeful activities that contribute to
their future reintegration into society.

Secara manajerial, unsur-unsur keamanan dinamis tersebut


dapat dikategorisasikan ke dalam beberapa bentuk elemen
teknis pelaksanaan tugas keamanan dan ketertiban di dalam
Lapas, yang meliputi: penggunaan upaya paksa (use of force),
klasifikasi keamanan berkas, kontrol sentral, rekaman dan
diseminasi informasi, jumlah populasi, segregasi administratif,
pengawasan narapidana, inspeksi, penggeledahan, masuk
dan keluar sel, pengawalan keamanan, pemindahan darurat,
pengawasan kunci, pengawasan peralatan, barang selundupan
(contraband), pengawasan substans berbahaya, pengawasan
agen senjata kimiawi, pemuatan senjata, sistem perlindungan
kebakaran, insiden luar biasa, dan situasi darurat.16

16 Band. Standar Pencegahan Gangguan Keamanan dan Ketrtiban Lapas dan


Rutan (Lampiran Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan No. PAS-
416.PK.01.04.01 Tahun 2015 tanggal 21 Agustus 2015 & Standar Penindakan

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
13
Ruang lingkup unsur manajerial keamanan dan ketertiban
tersebut perlu dipadu-padankan dengan unsur-unsur hak asasi ma-
nusia dalam masa penghukuman di Lapas, yang meliputi: hak atas
informasi, hak untuk mengajukan keberatan (complaint), hak atas
inspeksi independen, Hak atas kompensasi bila terjadi pelangga-
ran, kunjungan dan persuratan, hak atas privasi dan kerahasiaan,
hak atas bahasa, hak keagamaan, akomodasi, perlindungan dari
penyiksaan, serta perlindungan atas eksekusi. Secara lebih praktis,
ruang lingkup keamanan dan ketertiban di Lapas ini dapat tersaji
dalam gambar sebagai berikut:

Gangguan Keamanan dan Ketertiban Lapas dan Rutan (Lampiran Keputusan


DIrektur Jenderal Pemasyarakatan No. PAS-459.PK.01.04.01 tanggal 17
September 2015). Berdasarkan standar tersebut, terdapat 13 (tiga belas)
tindakan dalam aspek keamanan dan ketertiban, yakni: a. Penjagaan; b.
Pengawalan; c. Penggeledahan; d. Inpeksi; e. Kontrol f. Kegiatan intelijen;
g. Pengendalian peralatan; h. Pengawasan komunikasi i. Pengendalian
lingkungan; j. Penguncian; k. Penempatan dalam rangka pengamanan; l.
Investigasi dan Reka Ulang; dan m. Tindakan Pengamanan;

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


14 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Gambar 2 Ruang Lingkup Penelitian

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
15
F. Metodologi
Penelitian ini merupakan penelitian hak asasi manusia
dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknis
analisis diskursus (discourse analysis) dalam kajian ilmu
sosial.17 Pendekatan tersebut berupaya untuk menjelaskan
objek permasalahan melalui pencarian terhadap deskripsi,
pemahaman, dan interpretasi. Adapun tujuannya adalah
untuk “produce new interpretations about specific objects of
investigation through either uncovering phenomena previously
obscured and undetected by dominant social scientific theories
and approaches” (menghasilkan penafsiran baru tentang objek
khusus yang diselidiki entah melalui penyingkapan fenomena
yang sebelumnya samar dan tidak terdetksi oleh teori sosial dan
pendekatan yang dominan -pen).18 Dalam konteks tersebut,
tafsiran tentang keamanan dan ketertiban yang selama ini
dipahami oleh pihak perumus kebijakan pemasyarakatan akan
direposisi dengan pendekatan hak asasi manusia. Lebih jauh,
penarikan kesimpulan dalam penelitian ini akan didasarkan
keadaan yang khusus untuk diperlakukan secara umum
(induktif) dan analitik terhadap norma dan praktik manajemen
pelaksanaan pengamanan dan ketertiban Lapas.
Teknis analisis wacana pada prinsipnya menekankan
pada tatanan kekuatan yang terjadi pada proses produksi
dan reproduksi makna. Dalam model ini, individu tidak
dianggap sebagai subjek netral yang dapat menafsirkan secara

17 Todd Landman, Studying Human Rights, 2006, hlm. 63.


18 Ibid.

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


16 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
bebas sesuai dengan pemikirannya, melainkan berhubungan
dan dipengaruhi oleh kekutan sosial yang terdapat dalam
masyarakat. Kombinasi antara analisis diskursus dengan
pendekatan kualitatif “allows to shift the emphasis from
behavioural to discursive aspects of the ‘law in action’ and thus
to depart from the classical sociology of law literature and
contemporary studiees influeced by it.”19 Penerapan metodologi
demikian tentu akan menghindarkan penelitian ini dari upaya
generalisasi simpulan pada tingkatan praktis pelaksanaan
tugas di masing-masing Lapas, mengingat terdapat perbedaan
yang mendasar antar masing-masing Lapas berdasarkan
pertimbangan historis dan kontekstual masing-masing
wilayah.
Berdasarkan kerangka metodologi tersebut, peneliti akan
mengumpulkan data berupa:
(1) Data sekunder yang meliputi laporan pelaksanaan tugas terkait
fungsi keamanan dan ketertiban Lapas dalam rentang satu tahun
terakhir,20 perangkat kebijakan dan regulasi terkait keamanan
dan ketertiban di Lapas, serta regulasi yang mengatur tentang

19 Researching Discourse and Behaviour as Elements of Law in Action, dalam


Theory and Method in Socio-Legal Research.
20 Laporan tersebut mencakup: Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Tahun 2015; Laporan
Pelaksanaan Tugas Pengamanan (Pasal 34 Permenkumham No. 33 Tahun 2015
tentang Pengamanan pada Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan
Negara); Laporan Hasil Pengawasan Intern (Pasal 15 Permenkumham No.
M.HH-01.PW.01.01 Tahun 2011 tentang Pengawasan Intern Pemasyarakatan);
Laporan Pelanggaran Kode Etik; Data persentase Lapas yang memenuhi
standar hunian dan keamanan; Data pengaduan masyarakat, tahanan, dan
warga binaan pemasyarakatan, Data gangguan keamanan dan ketertiban

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
17
perlindungan hak asasi manusia di Lapas. Dalam riset ini, data
sekunder tersebut akan dijadikan sumber data utama dalam
menjawab pertanyaan penelitian. Di samping itu, sebagai
penunjang dalam merumuskan basis konseptual penelitian
ini juga akan mengumpulkan data dari jurnal atau karya tulis
ilmiah lainnya, baik nasional maupun internasional, yang
membahas tentang perlindungan hak asasi manusia di Lapas.

Lebih lanjut, dalam menganalisis data yang terkumpul,


peneliti mengunakan pendekatan pendekatan Fairclough, yang
menempatkan teks tidak dalam konteks keterisolasian dari
konteks sosial yang lebih luas. Dalam hal ini, critical discourse
analysis memimiliki model tiga dimensi yang menekankan
pada: (i) the examination of the linguistic features of texts (the
level of the text); (ii) the exploration of processes related to the
production and consumption of texts (the elvel of the discursive
practice); dan (iii) the consideratoin of the wider social and
cultural context to which the text as a “comunicative event”
belongs (the level of the sociocultural practice).
Kerangka kerja analisis untuk critical discourse analysis
(1) Focus upon a social problem which has a semiotic aspect;
(2) Identify obstacles to it being tackled, thorugh analysis of: a)
the network of practices it is located within; b) the relationship
of semiosis to other elements within the particular practice(s)
concerned; c) the discourse (the semiosis itself):

di Lapas; Data aparatur pemasyarakatan yang mengikuti diklat di bidang


keamanan dan ketertiban.

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


18 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
(3) Consider whether the social order (network of practices) in a
sense ‘needs’ the problem;
(4) Identify possible ways past the obstacels;
(5) Relect critically on the analysis

G. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan metodologi yang telah ditentukan sebe-
lumnya, maka asumsi yang dibangun dalam riset ini ialah
bagaimana pelaksanaan keamanan dan ketertiban diletakkan
dalam konteks diskursus yang mengemuka pada suatu
masa. Dalam hal ini, perkembangan diskursus tentang
pemasyarakatan dapat digambarkan dalam lini masa sebagai
berikut:

Gambar 2. Diskursus Pemasyarakatan


dari Periode ke Periode
Resosialisasi Reintegrasi Sosial Perlindungan HAM &
(Paska kemerdekaan) (Konferensi Dinas Akuntabilitas
Kepenjaraan 1964) (Periode transisi
menuju demokrasi)

Berangkat dari lini-masa diskursus tersebut, penelitian


ini akan membatasi diri pada diskursus perlindungan HAM
kontemporer.21 Namun demikian, pandangan terhadap

21 Dalam hal ini, perlu kiranya merujuk pula pada konsep good governance
yang ditafsirkan oleh UNDP, yaitu: “the exercise of economic, political and
administrative authority to manage a country’s affairs at all levels. It comprises
mechanisms, process and institutions thorugh which citizens and froups

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
19
diskursus pada periode-periode sebelumnya tentu akan
menjadi acuan; walaupun perlu dipahami bahwa tinjauan
yang bersifat historis-komparatif bukan merupakan bagian
dalam riset ini. Selanjutnya, analisis diskursus tersebut akan
difokuskan pada bagaimana konten kebijakan pelaksanaan
tugas keamanan dan ketertiban yang telah diterbitkan. Secara
lebih rinci, fokus tersebut akan diuraikan ke dalam tiga elemen
kunci dari keamanan dan ketertiban, yakni: keamanan fisik,
keamanan prosedural, dan keamanan dinamis.22
Semua teks dipandang van Dijk mempunyai suatu aturan
yang dapat dilihat sebagai suatu piramida. Makna global dari
suatu teks didukung oleh kata, kalimat, dan proposisi yang
dipakai. Tema pada level umum didukung oleh kata, kalimat,
atau retorika tertentu. Prinsip ini membantu peneliti untuk
mengamati bagaimana suatu teks terbangun melalui elemen-
elemen yang lebih kecil. Adapun penggambaran struktur teks
sebagai berikut:
 Struktur Makro: makna global dari suatu teks yang dapat
diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh suatu teks.
 Superstruktur: kerangka suatu teks, seperti bagian
pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan.
 Struktur Mikro: Makna lokal dari suatu teks yang dapat
diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai
oleh suatu teks.

articulate their interests, exercise their legal rights, meet their obligaitons and
metidate their differences.”
22 UNODC, Id, Chapter 1 “Prison Security: Framework and Functions”.

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


20 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Menurut van Dijk, analisis wacana kritis dapat dilakukan
terhadap tiga struktur sebagai berikut:23

Struktur Metode
Teks Critical linguistics.

Menganalisis bagaimana strategi wacana yang


dipakai untuk menggambarkan seseorang
atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi
tekstual yang dipakai untuk menyingkirkan atau
memarjinalkan suatu kelompok, gagasan, atau
peristiwa tertentu.
Kognisi Sosial Wawancara
mendalam.
Menganalisis bagaimana kognisi wartawan dalam
memahami seseorang atau peristiwa tertentu
yang akan ditulis.
Analisis Sosial Studi pustaka,
penelusuran
Menganalisis bagaimana teks wacana yang sejarah.
berkembang dalam masyarakat, proses peoduksi
dan reproduksi seseorang atau peristiwa
digambarkan.

Lebih jauh, dari sisi ruang lingkup pembentukan regulasi/


kebijakan terkait pelaksanaan fungsi keamanan dan ketertiban
dalam kerangka kerja pemasyarakatan, maka perlu kiranya
menentukan ruang lingkup pada pergeseran paradigma
pembentukan regulasi, baik dari sisi orientasi, hasil, metode

23 Lihat Teun A. van Dijk, Multidisciplinary CDA: A Plea for Diversity, dalam
Ruth Wodak dan Michael Meyer, Methods of Critical Discourse Analysis,
London: 2001, SAGE Publications (95-120).

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
21
analisis, serta ruang lingkupnya. Secara ringkas, pergeseran
paradigma tersebut diuraikan sebagai berikut:24

No. Perbedaan Paradigma Lama Paradigma Baru


1. Orientasi Negara atau warga negara Negara dan warga negara
2. Hasil Peraturan yang bersifat Konsensus antara
top dow atau bottom up pemerintah dan warga
negara
3. Metode ROCCIPI, fish bone, atau SDER (sustainable,
analisis RIA development, and
engineering regulation)
4. Ruang Pra penyusunan dan Pra penyusunan,
lingkup pengesahan pengesahan, dan
pelaksanaan.

H. Biaya
Biaya pelaksanaan kegiatan penelitian ini akan dibebankan
kepada DIPA Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum
dan HAM tahun 2016.

24 Jazim Hamidi, Paradigma Baru Pembentukan dan Analisis Peraturan Daereah


(Studi atas Perda Pelayanan Publik dan Perda Keterbukan Informasi Publik),
Jurnal Hukum No. 3 Vo. 18 Juli 2011: 336-361, hlm. 353.

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


22 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

Sistem pemasyarakatan Indonesia dapat dianggap sebagai


salah satu lembaga negara yang telah melewati beberapa
momen sejarah dan perubahan rezim bila ditelusuri kembali
dari zaman penjajahan Belanda hingga era ‘post’ reformasi
saat ini. Setelah deklarasi kemerdekaan pada Agustus 1945,
ada kekosongan hukum yang cukup lama dalam mengatur
administrasi penjara, yang kemudian pada tahun 1953
Departemen Kehakiman memutuskan penerapan Gestichten
Reglement (Peraturan Penjara) 1917 untuk mengisi kekosongan.
Di bawah keputusan ini, yang disebut ‘penjara’ administrasi
yang dikelola oleh rezim kolonial Belanda dan Jepang kemudian
ditransfer ke pemerintah Indonesia yang baru merdeka.
Selama masa pemerintahan Presiden Soekarno, sistem
pemasyarakatan nasional adalah bagian utama dari perhatian
negara di kala itu, sebagaimana Presiden sendiri menyatakan
manifesto dalam pelayanan pemasyarakatan. Secara konseptual,
sistem pemasyarakatan dipengaruhi oleh beberapa bentuk
wacana pemidanaan, yaitu retribusi, pencegahan, rehabilitasi,

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
23
dan integrasi sosial.25 Bentuk-bentuk wacana pemidanaan
tersebut namun demikian, tidak terpecah-pecah pada tingkat
praktis, mengingat sistem koreksional harus dipahami sebagai
“akumulasi konsep struktural”.26 Memang patut disadari bahwa
akumulasi konsep tersebut belum diikuti dengan kepekaan
terhadap perubahan rezim di lingkungan pemasyarakatan.
Sejak Konferensi Dinas Pemasyarakatan Tahun 1964, sistem
pemasyarakatan hingga saat UU Pemasyarakatan, sistem
pemasyarakatan dapat dikatakan enggan untuk beranjak dari
rezim ‘tradisional’ wacana pemidanaan, terutama pada sifat
retributifnya.27
Keengganan untuk perubahan rezim mungkin sedikit
banyak berimplikasi pada fektivitas penegakan hukum
pidana. Beberapa gejala yang muncul di permukaan saat ini,
seperti residivisme, meningkatnya tingkat pemenjaraan dan
tingkat kepadatan narapidana, dan beberapa mal-treatment
terhadap narapidana selama menjalani pemasyarakatan, bisa
menjadi prima facie tuntutan yang jelas dan mendesak dalam
menghadapi keengganan terhadap perubahan seperti itu.
Kondisi ini overuse penjara yang ada saat ini, merujuk pada studi
UNODC, menghadapi beberapa tantangan utama termasuk:
“kurangnya komunikasi antar-lembaga, kurangnya sistem
informasi dan perencanaan strategis, kurangnya program

25 Y. Ambeg Paramarta, Sistem Pemasyarakatan: Memulihkan Hubungan Hidup,


Kehidupan, dan Penghidupan, Jakarta: 2014, Lembaga Kajian Pemasyarakatan,
hlm. v.
26 IbIbid. hlm. 62.
27 IbIbid.

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


24 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
reintegrasi sosial dan layanan, pelayanan kesehatan yang buruk,
isolasi -Kurangnya inspeksi dan pemantauan mekanisme,
kurangnya dukungan dari dan informasi bagi masyarakat
sipil, kurangnya sumber daya ekonomi dan manusia, anak
yang berkonflik dengan hukum, perempuan di penjara, dan
tahanan dengan kebutuhan khusus.”28 Terkait hal ini, negara
telah benar-benar mengambil beberapa langkah-langkah
hukum untuk menyelesaikan masalah berkepanjangan yang
ada. Mengingat UU Pemasyarakatan dianggap tidak memadai
dalam memperlakukan pelaku kejahatan di dunia kontemporer,
pemerintah telah memutuskan untuk merumuskan Cetak Biru
Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan tahun 2009
sebagai arah kebijakan fundamental terhadap keberfungsian
pemasyarakatan.
Kajian ini dengan demikian merupakan sebuah upaya
untuk menganalisis secara kritis wacana dalam kebijakan
sistem pemasyarakatan nasional, khususnya terhadap dua
kebijakan: yakni Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan dan Cetak Biru Pembaharuan
Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan tahun 2009. Titik utama
yang menarik untuk peneliti adalah bagaimana sebenarnya
pemasyarakatan telah diterapkan sebagai bentuk kekuasaan
negara untuk mengontrol individu, yang sampai batas tertentu
mengemukakan sebuah opresi pihak pertama terhadap yang
kedua. Akibatnya, hal ini menyiratkan kebutuhan untuk juga

28 UNODC, Concept Note: Prison Reform and Alternatives to Imprisonment,


February 2011, hlm. 6-8.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
25
menganalisis wacana hak narapidana di dalam sistem tersebut
guna menjelaskan jenis ‘perebutan kekuasaan’ di tengah
masyarakat.

A. Wacana dalam Teks Hukum


Penelitian ini menggunakan analisis wacana sebagai
metode sosio-legal. Secara umum analisis wacana “focuses
on how meaning is constructed through various forms of
linguistic exchanges and expressions.” Dalam hal ini, Jäger
mendefinisikan wacana sebagai “the flow of knowledge -and/
or all societal knowledge stored- throughout all time’, which
determines individual and collective doing and/or formative
action that shapes society, thus exercising power.” Berangkat
dari titik pandang konstruksi sosial, Fairclough mendefinisikan
wacana sebagai “a coherent expression or a meaning structure
which constructs reality in a certain way. It does not simply
represent the world but signifies, contitutes and constructs
social identities, (power) relations between people and systems
of knowledge.”29 Hubungan antara ‘sebuah arti struktur’ dan
konstruksi realitas sosial lebih lanjut dielaborasi bahwa:

It should be clear by now that in discourses reality is


not simply reflected, but that discourses live a ‘life of
their own’ in relation to reality, although they impact
and shape and even enable societal reality. . . . This

29 Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge, Polity Press,


1996) 64-66

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


26 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
also means that discourses determine reality, always of
course via intervening active subjects in their societal
contexts as (co-) producers and (co) agents of discourses
and changes to reality. These active subjects conduct
discursive and non-discursive practices. They can do
this because as subjects `knitted into’ the discourses
they have knowledge at their disposal.30

Berdasarkan pemahaman tentang wacana ini, menurut


prinsip-prinsip dasar konstruksionisme sosial, realitas sosial
dibentuk dengan menggunakan bahasa, sementara dipahami
bahwa “bahasa tidak pernah benar-benar objektif.” 31 Pandangan
tersebut sampai batas tertentu menyangkal pembacaan
positivistik pada bahasa, terutama bahasa hukum. Dengan
demikian logika konstruksionisme dapat diteruskan bahwa
“legal reality is thus likewise formed in the use of legal language
and legal language is never objective. If reality is indeed created
through language, one can say that this is even more so in the
field of law since law, in essence, is language.”32 Pada titik ini,
perlu kiranya untuk mengantarkan kemungkinan analisis pada
realitas atau fenomena hukum (legal reality) tertentu melalui
bahasa hukum yang dihasilkan oleh negara.

30 Ibid, p.36.
31 Johanna Niemi-Kiesiläinen, Päivi Honkatukia & Minna Ruuskanen, Legal
Texts as Discourses, dalam Svensson, Gunnarsson dan Davies M. (eds),
Exploiting the Limits of Law. Ashgate 2007 s. 69-88. p.19.
32 IbIbid.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
27
Paradigma demikian membawa kita untuk melakukan
analisis secara ‘kritis’ terhadap wacana sebagai perspektif
teoretis, utamanya dalam “analysing language within broader
analyses of the social process”.33 Terkait hal tersebut, Siegfried
Jäger mendasarkan analisis wacana kritis tentang teori wacana
Foucault yakni: “what knowledge (valid at a certain place at a
certain time) consists of; how this valid knowledge evolves; how it
is passed on; what function it has for the constitution of subjects
and the shaping of society and; what impact this knowledge
has on the overall development society.”34 Dalam pemahaman
ini, ‘pengetahuan’ atau ‘knowledge’ dikategorikan sebagai
“all kinds of contents which make up a consciousness and/or
all kinds of meanings used by respective historical persons to
interpret and shape the surrounding reality.”35 Definisi lain
dari analisis wacana kritis bisa diambil dari Fairclough, yang
mendefinisikan:

. . . analysis which aims to systematically explore often


opaque relationships of causality and determination
between (a) discourse practices, events and texts, and
wider social and cultural structures, relations and
processes; (b) to investigate how such practices, events
and texts arise out of and are ideologically shaped by

33 Norman Fairclough, Critical Discourse Analysis as a Method in Social Scientific


Research, in Ruth Wodak & Michael Meyer, Methods of Critical Discourse
Analysis, (121-136), p.121.
34 Sigfried Jäger, p. 32-33.
35 IbIbid. p. 33.

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


28 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
relations of power and struggles over power; and (c) to
explore how the opacity of these relationships between
discourse and society is itself a factor securing power
and hegemony.

Secara lebih teknis dari perspektif metodologis, Fairclough


menguraikan tiga dimensi analisis wacana kritis termasuk:

Description is the stage which is concerned with formal


properties of the text; Interpretation is concerned with
the relationship between text and interaction –with
seeing the text as the product of a process of production,
and as a resource in the process of interpretation;
notice that I use the term interpretation for both
the interactional process and a stage of analysis [.
. .]; Explanation is concerned with the relationship
between interaction and social context –with the social
determination of the processes of production and
interpretation, and their social effects.36

Dalam menganalisis wacana pada teks-teks hukum,


terdapat dua permulaan yang perlu dilihat untuk mengenali
wacana: pertama adalah pandangan yang diwakili oleh
etnometodologi, fenomenologi dan analisis wacana analitik.
Dalam pandangan ini, “the researcher should approach the

36 Norman Fairclough, Language and Power, p. 26.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
29
texts without preconceived ideas of relevant discourses.”37 Kedua
adalah pendekatan yang berangkat dari analisis wacana kritis.
Hal ini khususnya penting dalam “analysing the abuse of social
power, how dominance and inequality are reproduced and
resisted.”38 Dalam hal ini hubungan kekuasaan di dalam sebuah
wacana hukum memiliki posisi yang lebih strategis mengingat
wacana tersebut “. . . as they have the power of the state behind
them. This status gives legal discourses an exceptional power to
shape social relations and should therefore be of special interest
to social and socio-legal scholars.”39
Berdasarkan pemahaman pada teks hukum sebagai wacana
ini, kehati-hatian tentu perlu dipertimbangkan dalam rangka
melakukan analisis kontekstual pada bahasa hukum Indonesia
yang menggantikan kekuasaan kolonial Belanda terdahulu.
Dalam konteks ini Massier berpendapat bahwa:40

Just as the world of the game is evoked through


rulers and prayers, so jurists, through their texts and
(primarily) lingual acts, create the world in which they
work. It is law’s language game that spawns the legal
community and maintains its cohesion, not so much
because of the geographical places where the game is

37 Johann Niemi- Kiesiläinen et all, p.81


38 IbIbid. p.81.
39 IbIbid. p.84.
40 Massier, The Voice of The Law dalam Transisi (Leiden: KITLV Press, 2008), p
65 dalam Rafiqa Qurrata A’yun, The Voice of Hukum dalam Transisi:. Buku,
ILRev 238-40

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


30 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
played, but because of the ‘social location’ in which it
gives birth to.

B. Mitos ‘Pemasyarakatan’ sebagai Kontrol Sosial


Sebagai bagian dari business process peradilan pidana,
sistem koreksional bisa dilihat sebagai bagian dari kontrol
sosial negara, yang telah dipersempit untuk melawan setiap
kecenderungan menyimpang di masyarakat.41 Secara lebih
spesifik, Cohen mendefinisikan kontrol sosial sebagai, “all
organized responses to crime, delinquency and allied forms
of deviance –whether sponsored directly by the state or by
institutions such as social work and psychiatry, and whether
designated as treatment, prevention, punishment or whatever.”42
Oleh karena itu, sebagai agen kontrol, sistem koreksional
bekerja, dan bisa dikatakan berubah, di dalam konstelasi
ideologi kontrol sosial.
Mengambil perubahan pemasyarakatan dalam masyarakat
industri Barat sebagai titik keberangkatan, Mayr menyebutkan
terdapat empat elemen kunci yang dapat ditandai dalam
perubahan pemasyarakatan:

(1) public punishments involving the infliction of pain


declined and the mind started to repalce the body as the

41 Martin Innes, Understanding Social Control: Deviance, Crime and Social


Order, Berkshire: 2003, Open University Press. (80-94)
42 Christie Andrea Mayr, Prison Discourse Language as a Means of Control and
Resistance, New York: 2004, Palgrave Macmillan. hlm. 50.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
31
object of punishment; (2) a centralized state apparatus
for the control of crime and the care or cure of other
types of deviance emerged; (3) these groups became
increasingly separated into different types, each with
its own experts and professionals; (4) deviants became
increasingly segregated into closed institutions and the
prison emerged as the favored form of punishment and
behaviour modification.

Adapun di sisi lain, menurut Cohen (1983: 105-9)


terdapat tiga model perubahan pemasyarakatan yang muncul
berdasarkan tinjauan historis:

The first, ‘uneven progress’, presents all change as


a record of progress. Although the system is seen as
practically and morally flawed, it is not the system’s
aims that are wrong, but their imperfect realization.
This vision is a modern version of Enlightenment belief
in progress and represents the mainstream of penal
reform rhetoric. The second position, ‘benevolence gone
wrong’, implies that there is a huge, but unintended
gap between rhetoric and reality. . . . Finally, the third
and most radical model is ‘mystification’, according
to which words are mere camouflage, which conceal a
more sinister plan.

Dalam hal ini, Mayr lebih lanjut beranggapan bahwa


pandangan idealis dan materialis kontrol sosial cenderung
lebih signifikan dalam rangka pembahasan kontrol kejahatan

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


32 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
dan, sesuai dengan Cohen, perubahan kedua ‘benevolent gone
wrong’ akan “particularly helpful in understanding correctional
change as it demonstrates that custodial, pragmatic and
managerial goals (convenience) have undermined treatment,
reform and rehabilitation (conscience).”

Sejak bahasan Foucault tentang disiplin dan penghukuman,


penjara telah dianggap sebagai institusi total (total institution),
yakni ketika negara memiliki otoritas tunggal untuk
mengambil tindakan paksaan terhadap para pelanggar hukum.
Berdasarkan lintasan sejarah, Foucault menyatakan: “At turn
of the century, a new legislation defined the power to punish
as a general function of society that was exercised in the same
manner over all its members, and in which each individual was
equally represented: but in making detntion the penalty par
exellence, it introduced procedures of domination characteristic
of a particular type of power.”43 Lebih lanjut terkait hal ini,
berdasarkan pengalaman penting dalam penjara di United
Kingdom, Coyle (Managing Penjara, p.11) berpendapat bahwa:44

Traditionally prison systems have been regarded,


particularly by the staff who work within them, as
static and hierarchical organisations. They are seen as
static in that their objectives are clear and unchanging.

43 Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison, Vintage Books
(1995), hlm. 231.
44 Andrew Coyle, Managing Prisons in a Time of Change, London: 2002,
International Centre for Prison Studies, hlm. 11.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
33
According to this perspective, prisons exist to execute the
sentence of the court, which is that the offender should
be deprived of his or her liberty. The task of prison staff
is to implement that sentence in a decent and humane
manner. In so far as this task never changes, the prison
system can be described as a static organisation.
Secondly, prison systems are hierarchical in that they
are disciplined organisations in which orders are passed
down from above and the responsibility of staff at lower
levels is simply to obey these orders. In a similar manner,
prisoners are expected to obey instructions from staff
without question.

Pada titik ini, analisis dapat dilakukan terhadap sistem


koreksional Indonesia saat ini yang diatur dalam UU
Pemasyaraktan tahun 1995. Salah satu aspek yang harus disorot
ialah dasar filosofis Pemasyarakatan yang termaktub di dalam
penjelasan umum UU tersebut.

Teks 1. Penjelasan Umum UU No. 12 Tahun 1995 tentang


Pemasyarakatan
(1.1) Bagi negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila,
pemikiran-pemikiran baru mengenai fungsi pemidanaan
yang tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan
suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial Warga
Binaan Pemasyarakatan telah melahirkan suatu sistem
pembinaan yang sejak lebih dari tiga puluh tahun yang
lalu dikenal dan dinamakan sistem pemasyarakatan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


34 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
(1.2) Walaupun telah diadakan berbagai perbaikan mengenai
tatanan (stelsel) pemidanaan seperti pranata pidana
bersyarat (Pasal 14 a KUHP), pelepasan bersyarat
(Pasal 15 KUHP),dan pranata khusus penuntutan serta
penghukuman terhadap anak (Pasal 45, 46,dan 47 KUHP),
namun pada dasarnya sifat pemidanaan masih bertolak
dari asas dan sistem pemenjaraan, sistem pemenjaraan
sangat menekankan pada unsur balas dendam dan
penjeraan, sehingga institusi yang dipergunakan sebagai
tempat pembinaan adalah rumah penjara bagi Narapidana
dan rumah pendidikan negara bagi anak yang bersalah.
(1.3) Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada
unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan
lembaga “rumah penjara” secara berangsur-angsur
dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak
sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi
sosial, agar Narapidana menyadari kesalahannya, tidak
lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan
kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung
jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya.
(1.4) Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sejak tahun
1964 sistem pembinaan bagi Narapidana dan Anak
Pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem
kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu
pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan
rumah pendidikan negara berubah menjadi Lembaga
Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala
Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G.8/506 tanggal
17 Juni 1964.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
35
(1.5) Sistem Pemasyarakatan merupakan satu rangkaian
kesatuan penegakan hukum pidana, oleh karena
itu pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari
pengembangan konsepsi umum mengenai pemidanaan.
(1.6) Narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek
yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-
waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang
dapat dikenakan pidana, sehingga tidak harus diberantas.
Yang harus diberantas adalah faktor-faktor yang
dapat menyebabkan Narapidana berbuat hal-hal yang
bertentangan dengan hukum, kesusilaan, agama, atau
kewajiban-kewajiban sosial lain yang dapat dikenakan
pidana. Pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan
Narapidana atau Anak Pidana agar menyesali
perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga
masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung
tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga
tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib, dan
damai.

Patut disadari bahwa berlakunya UU Pemasyarakatan


telah mengisi kekosongan hukum berkepanjangan yang
mengatur program perlakuan terhadap narapidana sejak
Konferensi Dinas Pemasyarakatan tahun 1964. Kendati
demikian, UU Pemasyarakatan tidak bisa lepas dari konteks
politik selama periode tersebut, yakni ketika rezim Orde Baru
menerapkan, atau pada derajat tertentu menyalahgunakan,
Pancasila sebagai satu-satunya ideologi negara atau sebagai

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


36 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
norma fundamental.45 Selain itu, seperti yang tercantum dalam
paragraf (1.1), negara menganggap bahwa rehabilitasi dan sifat
integrasi sosial dari hukuman yang diusulkan berdasarkan
UU Pemasyarakatan berasal terutama dari Pancasila. Terkait
dengan konteks seperti pada masa tahun 1995, penelitian telah
menunjukkan bahwa ideologi negara Pancasila telah sering
disalahgunakan oleh rezim yang berkuasa untuk melestarikan
dan mempertahankan status quo. Sebagai konsekuensi, usulan
sistem koreksional berbasis Pancasila nampak kabur oleh
kekuatan rezim yang berkuasa. Selanjutnya dalam paragraf
(1.2) dipahami oleh negara bahwa sistem pemasyarakatan tidak
dapat dilepaskan dari regulasi yang mengatur tentang hukum
pidana materiil dalam KUHP. Pada posisi tersebut, nampak
bahwa penal reform sesungguhnya dilakukan secara parsial
mengingat bahwa pergeseran paradigma politik pemidanaan
tidak dapat diterapkan melalui sebuah undang-undang
tentang pemasyarakatan semata, melainkan harus secara lebih
komprehensif. Pembenahan normatif secara parsial ini secara
langsung menyumbangkan implikasi ketidakefektifan sistem
peradilan pidana Indonesia.
Dalam kerangka kerja konseptual, sifat sistem kepenjaraan
sebenarnya telah dielaborasi dan diuraikan secara komprehensif
dalam Konferensi Lembang 1964. Pada titik ini, istilah
“Pemasyarakatan” (umumnya dipadankan sebagai corrections
dalam Bahasa Inggris) diperkenalkan dan menggeser
kebijakan hukum negara yang lebih menekankan posisi

45 Lihat Olle Törnquist, Penghancuran PKI, Depok: 2011, Komunitas Bambu.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
37
lembaga pemasyarakatan sebagai “continuum of criminal law
enforcement”. Dengan menyebutkan tujuan pemasyarakatan
sebagai reintegrasi sosial, menyebabkan istilah itu sendiri
sebuah sistem ideologi dalam hal hubungan kekuasaan antara
lembaga penjara dan narapidana. Berangkat dari konsepsi
Gramsci tentang ideologi, Fairclough berpendapat bahwa:46

The relationship . . . refers to ‘a fonn of practical activity’


in which a ‘philosophy is contained as an implicit
theoretical “premiss”, and ‘a conception of the world
that is implicitly manifest in art, in law, in economic
activity and in all manifestations of individual and
collective life’. It is this conception of ideology as an
‘implicit philosophy’ in the practical activities of social
life, backgrounded and taken for granted, that connects
it to ‘common sense’ - a term extensively used by
Gramsci himself in this connection.

Sebagai sebuah sistem ideologi, istilah pemasyarakatan


dapat dianggap sebagai indikasi ‘kind thoughts behind the
kind words’.47 Selain itu, pilihan kata-kata dapat “regarded as
an attempt to hide the basic character of punishment, serving
the ulterior motive of blurring the power relations obtaining

46 Norman Fairclough, Language and Power, New York: 1996, Longman Inc, hlm.
84.
47 Christie Andrea Mayr, Prison Discourse Language as a Means of Control and
Resistance, New York: 2004, Palgrave Macmillan, hlm.80.

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


38 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
between officer and prisoner.”48 Salah satu isu tertentu yang
harus disoroti adalah, berdasarkan paragraf (1.6), pergeseran
paradigma perlakuan negara terhadap narapidana yaitu
dengan menempatkan mereka sebagai subjek yang melakukan
kesalahan atau kelalaian. Dengan begitu, pemasyarakatan
diarahkan untuk mengatasi faktor eksternal pribadi narapidana
yang telah melanggar norma hukum, kesusilaan, agama, atau
kewajiban-kewajiban sosial lain. Patut dipahami bahwa faktor-
faktor yang berkontribusi terhadap terjadinya pelanggaran
norma melibatkan aspek yang sangat luas, yang secara prinsipil
tidak dapat ditangani sendiri oleh sebuah sistem. Untuk itu,
dari sisi tekstual, penempatan narapidana sebagai subjek
dan objek sesungguhnya masih menyisakan berbagai ruang
kosong yang dapat diisi berbagai tafsir yang justru berpotensi
menafikkan gagasan pemasyarakatan itu sendiri.
Hemat peneliti, situasi seperti ini besar kemungkinan
menggambarkan sebuah penerapan konsep ‘power behind
discourse’. Sebagai pihak yang memiliki kekuasaan (powerful)
dalam wacana pemasyarakatan, negara melalui petugas
pemasyarakatan menerapkan tiga jenis constraints (hambatan)
terhadap pihak yang lebih lemah (less powerful), dalam hal ini
narapidana, yang meliputi: kendala pada isi, hubungan, dan
subjek.49 Dalam hal hambatan isi (content constraint) ialah
bahwa narapidana diperlakukan untuk menjadi warga negara
yang baik, taat hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral,

48 Ibid.
49 Norman Fairclough, Ibid., hlm. 74.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
39
sosial dan keagamaan; hambatan pada hubungan (relations
constraint) mengacu pada kondisi narapidana sebagai orang
yang telah melakukan kesalahan dan kelalaian; dan hambatan
subjek (subject constraints) mengacu pada posisi narapidana
baik sebagai subjek dan objek dari sistem koreksional
yang diperlakukan oleh negara. Dengan menempatkan
narapidana sebagai subjek, bukan lagi objek, di bawah sistem
pemasyarakatan, negara berusaha untuk mengalihkan fokus
dari perlakuan yang cenderung bersifat individual menuju
pada konteks yang lebih luas dari tindakan (treatment), yakni
faktor-faktor sosial yang memengaruhi para pelaku kejahatan.
Berdasarkan argumentasi ini, kita dapat melihat bahwa
hambatan diterapkan pada wacana akan berdampak pada efek
struktural jangka panjang, yaitu: pengetahuan dan keyakinan,
hubungan sosial dan identitas sosial dari sebuah institusi.50
Sebagai sebuah ‘power behind discourse’ yang memberikan
efek struktural, praktek sosial pemasyarakatan akan mungkin
dilihat sebagai sebuah mekanisme “mencapai koordinasi dan
kesamaan praktik” terkait dampak. Fairclough menyebutkan
tiga mekanisme untuk mencapai hal ini:51

First, there may be practices and discourse types which


are universally followed and necessarily accepted
because no alternative seems conceivable, which have
built into them coordinated knowledge and beliefs,

50 Ibid.
51 IbIbid. hlm 75.

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


40 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
social relationships, and social identities. Secondly,
coordination can be imposed in the exercise of power, in
a largely hidden fashion . . . Thirdly, coordination can be
arrived at through a process of rational communication
and debate.

Berdasarkan penjelasan ini, diskursus pemasyarakatan


dengan demikian mengisyaratkan sebuah mekanisme
yang dapat dimasukkan ke dalam mekanisme kedua, yakni
“dimotivasi oleh keinginan untuk menciptakan kembali
universalitas dan ‘kealamian’ dari mekanisme pertama di
bawah kondisi pembagian dominasi kelas.” Adapun Fairclough
menyebut mekanisme ini sebagai penanaman atau ‘inculcation’.
Mekanisme penanaman (inculcation) di dalam sistem
pemasyarakatan dapat digambarkan dalam aturan tentang
keamanan dan ketertiban di dalam lembaga pemasyarakatan
sebagai fitur dominan dari ‘penjara’ sebagai lembaga disipliner.
Pemasyarakatan dengan demikian menjadi wacana dominan
yang membentuk pengetahuan masyarakat tentang bagaimana
fungsi kontrol sosial negara melalui hubungan antara petugas
pemasyarakatan dan tahanan. Sebagai sebuah wacana
dominan, diskrsus pemasyarakatan secara inheren mencakup
sistem yang menempatkan sistem pemasyarakatan sebagai
‘kontinum penegakan hukum pidana’; sementara pada saat
yang sama mengecualikan perlindungan hak-hak orang yang
dirampas kemerdekaannya (liberty deprivation).

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
41
Teks 2. Uraian mengenai Permasalahan-permasalahan dalam
Cetak Biru Pemasyarakatan
(2.1) Permasalahan saat ini sangat terkait dengan tingkat
kesiapan petugas dalam menjalankan tugas-tugas
pengamanan. Dalam hal pengamanan awal misalnya,
petugas masih penggunaan pendekatan kekerasan dalam
memperkenalkan lingkungan di UPT. Keadaan di dalam
hunian akhirnya menjadi tempat yang paling tidak aman
dan menyeramkan bagi tahanan, narapidana dan anak
pidana. Tahanan, narapidana, dan anak pidana belum
dianggap sebagai manusia yang harus dilindungi hak
dasarnya. Dengan kondisi yang demikian, pembatasan
ruang gerak sebagai satu-satunya penderitaan justru
diperburuk dengan tindak kekerasan.
(2.2) Persoalan utama munculnya kekerasan adalah, pertama
disebabkan oleh pemahaman petugas yang kurang
tentang sistem pemasyarakatan dan Standard Minimum
Rules for the Treatment of Prisoners. Misalnya pada masa
pengenalan lingkungan (Mapenaling) yang semestinya
lebih kepada orientasi tata tertib, penyampaian hak dan
kewajiban serta orientasi dengan dunia luar telah bergeser
pada pemahaman yang sempit, di mana kekerasan dan
tindakan merendahkan martabat manusia sering terjadi
dan terjadi terus menerus.
(2.3) Selain itu, program-program peningkatan kemampuan
pengamanan yang ada pada saat sekarang masih sebatas
pelatihan kesamaptaan, yang mana lebih mengedepankan
disiplin dan kekuatan fisik dalam melakukan pengamanan.
Untuk kedepan seharusnya perlu dipikirkan adanya suatu

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


42 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
pelatihan pra tugas bagi petugas kemananan yang muatan
pelatihannya berupa ketrampilan teknis dan pemberian
wawasan tugas pokok fungsi Pemasyarakatan. Latihan-
latihan lainnya seperti pengelolaan konflik, pengendalian
massa, penembakan dan lainnya masih terbatas bahkan
tidak ada. Penekanan lain yang perlu diperhatikan
adalah diperlukannya pre service training (pelatihan pra
tugas) bagi petugas keamanan yang hendak berdinas
disetiap UPT. Selain itu, kepemilikan alat pengamanan
dengan menggunakan teknologi masih terbatas, seperti
kebutuhan kamera, senjata, alat detektor, serta kondisi
alat pengamanan lainnya belum dimiliki oleh seluruh
UPT.

Secara konseptual, unsur keamanan penjara dapat dilihat


dalam tiga aspek: (Gunn, p 233-234.) Keamanan fisik yakni
“mencakup semua unsur-unsur lingkungan binaan yang
dirancang untuk mengatur gerak serta mencegah pelarian
(dinding perimeter atau pagar dengan kawat berduri, pintu
masuk yang aman, kunci gembok, gerbang dan akomodasi
yang aman)”, keamanan prosedural yang “terdiri dari berbagai
tindakan yang bertujuan menjamin kontrol populasi, termasuk
pencarian, pemantauan panggilan telepon, pengujian
obat dan pengendalian gerak-gerik”; dan keamanan yang
dinamis mengutip Dunbar, “ditemukan ketika hubungan dan
individualisme datang bersama-sama dalam aktivitas (dan
tujuan) yang terencana, baik itu dalam kondisi keamanan yang
tinggi atau rendah, hasilnya adalah penjara yang santai dan
tertib.” (Dunbar 1985, p. 35).

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
43
Berdasarkan beberapa temuan lapangan, peneliti juga
berpendapat bahwa situasi yang dinamis ini memberikan
kontribusi paling signifikan dalam elemen pengaturan
keamanan penjara di Indonesia, mengingat rasio staf-
narapidana dianggap jauh dari ideal, baik dari segi infrastruktur
dan sumber daya manusia telah menjadi pembenaran utama
untuk terutama melestarikan kondisi aman ketimbang fungsi
pelayanan kebutuhan dasar tahanan. Pada saat yang sama,
dalam analisis situasi yang dinamis, hubungan komunikatif dan
keseharian antar aktor dalam lembaga pemasyarakatan saat ini,
petugas dan narapidana terutama, telah sampai batas tertentu
berdampak pada legitimasi sistem itu sendiri. Fenomena
peningkatan pelanggaran narkoba dan penyelundupan di dalam
fasilitas penjara, suap dan korupsi, dan contrabands lainnya
dapat dianggap sebagai praktik patron-klien berkepanjangan
dalam pemasyarakatan. Logika tersebut sesungguhnya telah
berupaya disasar pada Teks (2.1) yang menyatakan adanya pola
interaksi yang selama ini tidak berjalan manusiawi, yakni:
“pembatasan ruang gerak sebagai satu-satunya penderitaan
justru diperburuk dengan tindak kekerasan.” Lebih lanjut,
Teks (2.2) juga menyatakan fenomena “penyampaian hak dan
kewajiban serta orientasi dengan dunia luar telah bergeser pada
pemahaman yang sempit, di mana kekerasan dan tindakan
merendahkan martabat manusia sering terjadi dan terjadi terus
menerus.” Dengan demikian, frasa ‘pendekatan kekerasan’
dan ‘tindak kekerasan’ dianggap menjadi sebuah fenomena
hubungan relasional yang melanggar hak asasi manusia.
Sementara cetak biru menganggap adanya kebutuhan
untuk perlakuan yang lebih manusiawi terhadap narapidana,

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


44 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
yang cenderung mengesampingkan pendekatan keamanan
dan disiplin, program yang diusulkan justru diuraikan dengan
jenis pelatihan yang relatif bernuansa keamanan seperti Teks
(2.3) “manajemen konflik, pengendalian massa, menembak.”
Terhadap hal ini bisa diasumsikan bahwa keamanan fisik dan
prosedural masih menjadi narasi dominan dalam bisnis proses
keamanan penjara; yang dapat menafikkan upaya perlakuan
yang reintegratif. Selanjutnya, argumen ini didukung pula oleh
‘teknologisasi’ wacana seperti “kamera, senjata, detektor dan
peralatan keamanan lainnya.”

C. Diskursus HAM dalam Pemasyarakatan:


Membingkai Isu
Bagian sebelumnya sampai pada analisis bahwa
pemasyarakatan sebagai ideologi dalam sistem peradilan
pidana yang harus dilihat sebagai wacana dominan dalam
praktek sosial. Namun demikian, dengan munculnya nilai
perlindungan hak asasi manusia tampak menjadi wacana yang
muncul dalam perkembangan hukum nasional; khususnya
dalam pelaksanaan sistem UU Pemasyarakatan. Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang diaksesi
pada tahun 2005 dianggap sebagai sebuah pergeseran politik
pemerintah terhadap perlindungan hak-hak sipil warga negara,
yang disadari sebagai salah satu kondisi yang diabaikan sejak
rezim Orde Baru.
Tidak dapat dimungkiri bahwa hak asasi manusia telah
menjadi wacana yang muncul dalam praktik pemasyarakatan
mengingat secara substansial, meskipun bukan yang utama,

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
45
berkaitan dengan perlindungan orang dalam perampasan
kebebasan sebagaimana tertuan di dalam ICCPR. Dalam
beberapa forum HAM internasional, perlakuan tidak manusiawi
dan merendahkan martabat terhadap tahanan telah menjadi
keprihatinan banyak negara anggota PBB lainnya.52 Dalam
konteks nasional, aktivisme hak asasi manusia juga mengkritik
ketidakmampuan negara dalam melarang penyiksaan yang
diduga terjadi di penjara.53 Situasi seperti itu pada derajat
tertentu berimplikasi secara signifikan terhadap ideologi yang
dinyatakan secara berkepanjangan dalam pemasyarakatan.
Perlu kita pahami bahwa perkembangan nilai hak asasi
manusia telah berubah sifat dari yang sebelumnya berada
dalam tataran forum internasional, menjadi konsep yang
memengaruhi hukum domestik. Tak pelak, situasi seperti ini
akan berdampak pada metode penelitian hukum yang perlu
bergerak ke arah konstruktivisme. Dalam konteks tersebut,
“[c]onstructionist readings cannot take the legal system as
an autonomous system. On the contrary, a constructionist is
interested in and explores the relationship between the legal
discourse and the other normative systems of a society.”54 Selain

52 Sebagai contoh Written statement submitted by the Asian Legal Resource


Centre, a non-governmental organization in general consultative status to
Human Rights Council, 8 September 2015, (A/HRC/30/NGO/99); Report of
the Working Group on the Universal Periodic Review – Indonesia, 21th session
Human Rights Council. 5 July 2012, (A/HRC/21/7).
53 Kontras, Laporan Penyiksaan Merusak Hukum: Praktik Penyiksaan dan
Perbuatan Tidak Manusiawi Lainnya di Indonesia 2015-2016, Jakarta: 2016.
54 Johanna Niemi-Kiesiläinen, Päivi Honkatukia & Minna Ruuskanen, Legal
Texts as Discourses, dalam Svensson, Gunnarsson dan Davies M. (eds),
Exploiting the Limits of Law. Ashgate 2007 s. 69-88.

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


46 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
itu, sebuah pendekatan konstruksionis memandang bahwa
pengetahuan diproduksi dalam dua bentuk-bentuk interaksi
interaksi sehari-hari dan interaksi hukum.
Kontekstualisasi nilai-nilai hak asasi manusia pada
masa akhir-modernitas (late modernity) negara saat ini
telah menyampaikan kepada kita bagaimana wacana hak
asasi manusia di tingkat internasional dapat membentuk
model politik dan ekonomi pada tingkat nasional. Sementara
bentuk negara kesejahteraan modern (welfare modern state)
sebagian besar ditandai dengan peraturan pemerintah dan
integrasi sosial, di negara bagian akhir-modernitas ditandai
dengan deregulasi dan integrasi sistem. Banakar lebih jauh
mempertimbangkan bahwa telah terjadi:

a move from policies designed to promote social


integration through participation and mutual
recognition to one based on cultural assimilation (for
example, in respect to immigrants and ethnic and
religious minorities), social exclusion (reflected, for
example, in the emergence of criminal policies aimed
at prevention, preferring to build more prisons to
house an ever-growing number of inmates for longer
periods instead of attempting to rehabilitate them) and
political neutralization (for example, in respect of the
way that moral issues are politically marginalized).
Assimilation, exclusion and neutralization provide
the bases for developing forms of social control, which
are exercised through an ever-increasing machinery of
surveillance, ultimately motivated by the belief that the

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
47
risk posed by various threats can be calculated and pre-
empted. 55

Bentuk-bentuk kontrol sosial tersebut dipahami sedikit


banyak dipengaruhi oleh normativitas hak asasi manusia.
Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana norma hak asasi
manusia membentuk diskursus dalam praktik pemasyarakatan.
Untuk itu, pertama-tama dalam kerangka normatif, hak-hak
narapidana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan
1995 sebagai berikut:

Teks. 3 Hak Narapidana


Tahanan berhak: a. melakukan ibadah sesuai dengan agama
atau kepercayaannya; b. mendapat perawatan, baik perawatan
rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan
pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan
yang layak; e. menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan
bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak
dilarang; g. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang
dilakukan; h. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum,
atau orang tertentu lainnya; i. mendapatkan pengurangan
masa pidana (remisi); j. mendapatkan kesempatan berasimilasi
termasuk cuti mengunjungi keluarga; k. mendapatkan
pembebasan bersyarat; l. mendapatkan cuti menjelang bebas;

55 Reza Banakar, Law, Rights and Justice in Late Modern Society: A Tentative
Theoretical Framework, in Reza Banakar (ed.), Right in Context: Law and
Justice in Late Modern Society, (Farnham: Ashgate, 2010), p. 23.

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


48 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
dan m. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Analisis tekstual Teks 3 dapat diterapkan khususnya pada


bagaimana narapidana berhak atas sebuah daftar tertutup dari
baik kegiatan dan, dapat dikatakan, hak istimewa. Meskipun
poin terakhir dari daftar tersebut membuka ‘hak-hak lain
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku’,
namun daftar hak tersebut pada dasarnya terdiri dari hak dan
keistimewaan (privilege), atau setidaknya keistimewaan yang
merupakan bagian dari perlakuan (treatment). Sementara
hak untuk ibadah, perawatan spiritual dan fisik, pendidikan,
kesehatan dan makanan, informasi, upah, kehidupan pribadi
wajiab dikategorikan sebagai hak sesuai dengan norma-norma
hak asasi manusia, namun beberapa keistimewaan dapat dilihat
sebagai ‘gangguan’ dari hak-hak individu; sehingga sampai batas
tertentu menempatkan hak narapidana ke dalam situasi yang
bias. ‘Gangguan’ terhadap hak tersebut meliputi keistimewaan
terhadap: mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi);
mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga; mendapatkan pembebasan bersyarat;
dan mendapatkan cuti menjelang bebas. Sebagai konsekuensi,
‘gangguan’ demikian dapat dianggap sebagai upaya untuk
melestarikan kekuasaan negara, sebagai produsen teks, atas
individu sehingga menegaskan kekuasaan di balik wacana hak
asasi manusia di penjara.
Kondisi sosial tersebut dapat didukung oleh fakta,
khususnya, problematika berkepanjangan pengetatan terkait
remisi. Wacana publik tentang remisi telah diisi oleh dua

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
49
sisi yang saling bersaing, pada satu sisi remisi adalah untuk
dianggap sebagai ‘hak’, sementara di sisi lain upaya negara
untuk membatasi hak tersebut terhadap beberapa kejahatan
yang bersifat extra-ordinary sebagai tindakan sah dan legal.
Analisis tekstual pada remisi sebagai bagian dari hak-hak
narapidana ini kemudian menuntut penerapan logika wacana
hak asasi manusia pada kebijakan pembatasan remisi. Wacana
hak asasi manusia kemudian telah disalahgunakan untuk
mengukur kebijakan pembatasan dari perspektif prinsip non-
diskriminasi, yang merupakan salah satu prinsip utama yang
diakui dalam studi hak asasi manusia.56
Secara prinsipil, membawa wacana hak asasi manusia
ke dalam sistem koreksional adalah progresif namun cukup
rentan untuk disalahgunakan. Seperti yang ditunjukkan di
dalam Teks 2, upaya untuk memasukkan hak narapidana di
bawah sistem koreksional nasional menjadi sebuah langkah
‘mistifikasi’, tanpa berangkat dari wacana hak asasi manusia
itu sendiri. Mengingat analisis wacana kritis harus didasarkan
pada pemahaman kontekstual, perubahan rezim pada tahun
1998 sampai batas tertentu menggeser praksis masyarakat dan
negara atas hak asasi manusia. Ditandai dengan keputusan
negara untuk menyetujui Kovenan Internasional tentang

56 Lihat pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Agung No. 51 P/HUM/2013


yang menguji Pasal 34 A ayat (1) huruf (a) dan (b) dan Pasal 36 ayat (2) huruf
(c) angka 3, juncto Pasal 43 A ayat (1) huruf (a), (b), (c), Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Tata Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


50 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Hak Sipil dan Politik pada tahun 2005, upaya ‘internalisasi’
norma hak asasi manusia ke dalam layanan koreksional
telah dilakukan oleh pemerintah. Sikap demikian tak bisa
dilepaskan dari tuntutan atas hak narapidana dan kebebasan
fundamental, yang menyebabkan beberapa penjara gangguan
internal dan kerusuhan. Data terakhir juga menyampaikan
agak sesuai dengan argumentasi kausalitas bahwa telah terjadi
kecenderungan peningkatan jumlah gangguan internal penjara
(Tabel 2).

Tabel 2. Rekapitulasi Gangguan Keamanan dan Ketertiban


2011-2014

Jumlah
Jenis Gangguan
2011 2012 2013 2014 2015
Pelarian 69 122 106 156 260
Penyelundupan
98 145 90 213 106
Narkoba
Perkelahian
Penganiayaan/Ke- 9 22 20 62 60
kerasan
Kerusuhan
12 16 25 3 22
Pemberontakan
Lain-Lain 0 0 23 145 55
Jumlah 188 305 264 579 503
Sumber: LAKIP Ditjen Pemasyarakatan 2014 & Kementerian Hukum dan HAM
2015.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
51
Teks 4.Uraian mengenai Kondisi Obyektif dan Tinjauan
Normatif Sistem Pengamanan
(4.1) Pada konteks tersebut diatas maka keseimbangan antara
keamanan dengan proses integrasi masyarakat, utamanya
kepentingan narapidana dan klien pemasyarakatan
menjadi perspektif yang harus dimiliki petugas.
Diperlukan pula keseimbangan antara keamanan dengan
hak dasar yang tidak boleh dihambat, serta keseimbangan
antara keamanan dengan kebutuhan dasar tahanan
seperti makan, kesehatan, aktivitas, keagamaan dan
lainnya harus berjalan seiring. Keseimbangan dimaksud
tentu tidak mengenyampingkan tata tertib di UPT dan
senantiasa evaluasi dan ditegakkan.
(4.2) Selain itu, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga
memiliki UPT dengan pengamanan maksimum
(Super Maximum Security). Namun, pada prinsipnya
pengamanan maksimum diberikan pula pada tahanan,
atau narapidana dengan kejahatan tertentu. Pengamanan
maksimum yang diberlakukan pada tahanan dan
narapidana salah satunya berupa penempatan pada ruang
khusus, atau penempatan pada ruang isolasi. Namun
demikian, sedapat mungkin pengamanan maksimum
juga diimbangi dengan pemenuhan hak-hak dasar
manusia.
(4.3) Setiap pelanggaran akan dikenai sanksi disiplin, salah
satunya penempatan di ruang isolasi atau tutupan sunyi.
Penjatuhan sanksi ini tidak lepas dari penegakan disiplin
dan pengamanan. Namun demikian harus dikedepankan
rasa keadilan dan tindakan yang tidak sewenang-wenang

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


52 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
dalam penerapannya. Harus dipahami bahwa setiap
orang yang dirampas kebebasannya wajib diperlakukan
secara manusiawi dan dihormati harkat martabatnya.
(4.4) Aspek lainnya adalah persoalan bangunan sangat
menunjang sistem pengamanan, misalnya kekuatan dan
tingginya tembok pembatas, menara, pintu, kekuatan
jeruji besi jendela, pintu kamar, termasuk juga rutinitas
petugas dalam mengunci kamar hunian. Kebutuhan
lainnya adalah sarana seperti kamera, alarm, radio,
dan senjata untuk pengendalian massa yang sangat
menunjang pengamanan di UPT. Perlu pula pengamanan
dengan melibatkan anjing pelacak untuk pencegahan dan
pengungkapan kasus narkotika dan kejahatan lainnya.

Berdasarkan Teks (4.1), argumen dimulai dari tindakan


disipliner sebagai sebuah langkah yang diambil terhadap
pelanggaran keamanan yang dilakukan oleh narapidana
tersebut. Pada akhir paragraf, dalam konteks tindakan disiplin
tampak bahwa hak untuk diperlakukan manusiawi dan
secara bermartabat merupakan sebuah jalan tengah untuk
menyeimbangkan antara kepentingan keamanan dengan
perlindungan hak-hak dasar. Secara teknis lebih lanjut
disebutkan bahwa “keseimbangan antara keamanan dengan
kebutuhan dasar tahanan seperti makan, kesehatan, aktivitas,
keagamaan dan lainnya harus berjalan seiring”. Paradigma yang
dibangun dalam paragraf ini ialah dalam rangka pelaksanaan
sistem pemasyarakata, terdapat dua kepentingan yang inheren
bertentangan antara keamanan dan hak dasar. Penempatan
cara berpikir demikian sesungguhnya sejalan dengan logika

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
53
kognitif sosial tentang kepenjaraan yang berorientasi terhadap
kedisiplinan, yang kemudian mempromosikan ‘keseimbangan’
ketimbang mendorong adanya pewacanaan tentang tindakan
‘proporsional’.
Teks (4.2) juga mengisyaratkan nuansa yang relatif
senada dengan teks (4.1), yakni upaya untuk mendudukkan
keseimbangan antara pengamanan maksimum dengan
pemenuhan hak-hak dasar. Dalam konteks ini, hak-hak dasar
patut dipahami sebagai hak asasi yang tertera di dalam norma/
hukum hak asasi manusia. Untuk itu, pengecualian terhadap
perlakuan terhadap tahanan/narapidana kejahatan tertentu
merupakan keniscayaan dalam kerangka kerja hukum hak
asasi manusia. Namun demikian, sebagaimana pada tinjauan
pada teks (4.1), pewacanaan teks dibangun berdasarkan dua
kepentingan yang inheren berkonflik, antara pengamanan
dengan HAM.
Namun demikian, hemat peneliti bahwa hak tersebut hanya
diletakkan sebagai fitur tambahan dari gagasan utama yakni
tindakan disipliner itu sendiri. Pendekatan yang dilakukan
melalui aspek keamanan di penjara terutama berangkat dari
maksud negara untuk mengontrol individu, sehingga bukan
berasal (derives) dari hak-hak dasar itu sendiri. Lebih jauh,
dalam aspek keamanan dan ketertiban dalam business process
pemasyarakatan, jelas bahwa wacana hak asasi manusia telah
‘termarjinalkan’ oleh pendekatan disiplin belaka. Dalam hal
ini, jelas pula bahwa istilah hak narapidana bisa dilihat sebagai
sesuatu yang dilakukan oleh seorang individu dalam konteks
tertentu, dalam hal ini tempat perampasan kemerdekaan, yang
bukan merupakan sesuatu yang inheren atau melekat atas

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


54 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
seorang individu. Hak asasi manusia dengan demikian, yang
muncul sebagai wacana pesaing, tentu rawan disalahgunakan
sebagaimana ditafsirkan secara sangat longgar untuk
melestarikan hegemoni negara dalam sistem pemasyarakatan.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
55
Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia
56 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
BAB III
PENUTUP

Analisis wacara kritis terhadap sistem pemasyarakatan


nasional di Indonesia menyimpulkan beberapa poin penting,
meliputi: pertama ialah wacana pemasyarakatan bersifat
ideologis dalam hal relasi kekuasaan antara institusi penjara
dengan narapidana. Melalui aturan-aturan hukum, negara
dengan demikian memiliki otoritas untuk memproduksi
wacana dan mendominasi sistem (perlakuan) yang bekerja
terhadap para narapidana dalam rangka menjamin mekanisme
kontrol sosial. Sebagai konsekuensi, pada saat yang sama
dominasi pengetahuan (knowledge) dari pemasyarakatan
mengisyaratkan pendekatan kedisiplinan semata, yang pada
derajat tertentu berkontribusi terhadap keadaan sistem
pemasyarakatan yang tidak efektif (ineffectiveness). Kedua
ialah hak asasi manusia sebagai wacana pesaing dalam
business process pemasyarakatan selama ini diperlakukan
hanya sebagai tambahan (accessories) dari sebuah sistem
kedisiplinan yang dapat disalahtafsirkan dan disalahgunakan
oleh pemerintah. Oleh sebab itu menjadi penting adanya

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
57
bagi negara untuk pertama-tama mengusung wacana hak
asasi manusia ketika mengurus pemasyarakatan, sebagai
contoh ketika proses perubahan undang-undang tentang
pemasyarakatan. Proses pewacanaan perlindungan hak asasi
manusia di dalam perumusan perubahan undang-undang
pemasyarakatan dipahami sebagai sebuah langkah yang
progresif dalam mengintegrasikan norma dan prinsip hak asasi
manusia ke dalam sistem pemasyarakatan. Bentuk tersebut
akan, pada taraf tertentu, mengurangi dan menghindarkan
adanya bentuk-bentuk penyalahgunaan wewenang aparatur
negara terhadap individu yang menjalani masa penghukuman
di dalam lembaga pemasyarakatan. Dengan begitu, masyarakat
Indonesia diharapkan bisa bergerak melampaui narasi dominan
saat ini tentang relasi petugas-narapidana guna menjamin
keberfungsian sistem peradilan pidana.
Beranjak dari simpulan tersebut, kajian ini merumuskan
beberapa rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti, khususnya
dalam proses perumusan perubahan undang-undang
pemasyarakatan:
1. Perlindungan hak asasi manusia perlu dijabarkan
secara detil dan merupakan norma yang mengawali
seluruh pasal-pasal di dalam perubahan undang-
undang pemasyarakatan. Secara khusus, hak yang
menjadi induk dalam konteks perlindungan individu
yang dirampas kebebasannya (baik tahanan maupun
narapidana) adalah hak atas perlakuan manusiawi dan
bermartabat, serta perlindungan dari penyiksaan atau
perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi
atau merendahkan martabat;

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


58 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
2. Perlu dirumuskan pengaturan tentang larangan
hukuman badan serta berbagai hukuman disiplin
lainnya yang termasuk dalam kategori penyiksaan,
serta pengaturan tentang sanksi bagi pihak-pihak
yang melanggar. Selain sebagai bentuk perlindungan hak
asasi manusia, klausul ini merupakan upaya menggeser
pendekatan kedisiplinan yang selama ini menjadi wacara
dominan dalam pelaksanaan tugas pemasyarakatan.
3. Perlu adanya pengaturan tentang kewajiban petugas
pemasyarakatan untuk menciptakan lingkungan
yang aman. Hal ini mengisyaratkan dimensi keamanan
dan ketertiban bukan hanya dari sisi fisik, seperti:
sarana-prasarana pengamanan, infrastruktur bangunan
yang memadai, alat elektronik pemantau, dan lainnya;
tetapi juga mencakup dimensi keamanan dan ketertiban
dinamis, seperti: interaksi atau komunikasi yang harmonis
antara petugas dan tahanan atau narapidana, kewajiban
menghindari hubungan transaksional di dalam UPT
Pemasyarakatan, serta kewajiban pemerintah untuk
mempersiapkan petugas pemasyarakatan yang waspada
serta tanggap terhadap kondisi sosial di dalam UPT.

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
59
Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia
60 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Banakar. Reza, Law, Rights and Justice in Late Modern Society:


A Tentative Theoretical Framework, in Reza Banakar (ed.),
Right in Context: Law and Justice in Late Modern Society,
(Farnham: Ashgate, 2010).
Citrawan. Harison & Denny Zainuddin, Metode Analisis
Konflik dalam Penerapan Regulasi Pencegahan Gangguan
Keamanan dan Ketertiban di Lembaga Pemasyarakatan,
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 12 N0. 1 - Maret 2015 : 1 – 108
(1-12)
Coyle. Andrew, Managing Prisons in a Time of Change, London:
2002, International Centre for Prison Studies.
Fairclough. Norman, Discourse and Social Change (Cambridge,
Polity Press, 1996) 64-66
Fairclough. Norman, Critical Discourse Analysis as a Method
in Social Scientific Research, dalam Ruth Wodak & Michael
Meyer, Methods of Critical Discourse Analysis (121-136).
Fairclough. Norman, Language and Power, New York: 1996,
Longman Inc.
Foucault. Michel, Discipline and Punish: The Birth of the
Prison, Vintage Books (1995).

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
61
Homel. Ross & Carleen Thomson (2005). Causes and prevention
of violence in prisons. dalam Sean O’Toole & Simon Eyland
(Eds.), Corrections criminology (pp. 101-108). Sydney:
Hawkins Press.
Innes. Martin, Understanding Social Control: Deviance, Crime
and Social Order, Berkshire: 2003, Open University Press
Jäger. Sigfried, Discourse and Knowledge: Theoretical and
Methodological Aspects of a Critical Discourse and
Dispositive Analysis, dalam Ruth Wodak & Michael Meyer,
Methods of Critical Discourse Analysis, London: 2001, Sage
Publication (32-62).
Jewkes. Yvone, Handbook on Prisons, Willan Publishing,
Devon: 2007 (329-355),
Kontras, Laporan Penyiksaan Merusak Hukum: Praktik
Penyiksaan dan Perbuatan Tidak Manusiawi Lainnya di
Indonesia 2015-2016, Jakarta: 2016.
Leggett. Kevin & Brian Hirons, Security and Dynamic Security
in a Therapeutic Community Prison, in Michael Parker
(ed.), Dynamic Security: The Democratic Therapeutic
Community in Prison, London: 2007, Jessica Kingsley
Publishers (232-244)
Mayr. Andrea, Prison Discourse Language as a Means of Control
and Resistance, New York: 2004, Palgrave Macmillan.
Niemi-Kiesiläinen. Johanna, Päivi Honkatukia & Minna
Ruuskanen, Legal Texts as Discourses, in Svensson,
Gunnarsson dan Davies M. (eds), Exploiting the Limits of
Law. Ashgate 2007 (69-88).

Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM


62 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Paramarta. Y. Ambeg, Sistem Pemasyarakatan: Memulihkan
Hubungan Hidup, Kehidupan, dan Penghidupan, Jakarta:
2014, Lembaga Kajian Pemasyarakatan.
Report of the Working Group on the Universal Periodic Review
– Indonesia, 21th session Human Rights Council. 5 July
2012, (A/HRC/21/7).
UNODC, Concept Note: Prison Reform and Alternatives to
Imprisonment, February 2011.
Written statement submitted by the Asian Legal Resource
Centre, a non-governmental organization in general
consultative status to Human Rights Council, 8 September
2015, (A/HRC/30/NGO/99).

Keamanan dan Ketertiban Lembaga Pemasyarakatan


Berbasis Hak Asasi Manusia
63
KEAMANAN DAN KETERTIBAN

KEAMANAN DAN KETERTIBAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN BERBASIS HAK ASASI MANUSIA


LEMBAGA PEMASYARAKATAN
BERBASIS HAK ASASI MANUSIA
Penelitian ini merupakan penelitian hak asasi manusia
dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan
teknis analisis diskursus (discourse analysis) dalam kajian ilmu
sosial. Pendekatan tersebut berupaya untuk menjelaskan
objek permasalahan melalui pencarian terhadap deskripsi,

KEAMANAN DAN KETERTIBAN


pemahaman, dan interpretasi. Dalam konteks tersebut, tafsiran
tentang keamanan dan ketertiban yang selama ini dipahami
oleh pihak perumus kebijakan pemasyarakatan akan direposisi
dengan pendekatan hak asasi manusia. Analisis wacara
kritis terhadap sistem pemasyarakatan nasional di Indonesia LEMBAGA PEMASYARAKATAN
BERBASIS HAK ASASI MANUSIA
menyimpulkan beberapa poin penting, meliputi: pertama
ialah wacana pemasyarakatan bersifat ideologis dalam hal
relasi kekuasaan antara institusi penjara dengan narapidana;
kedua ialah hak asasi manusia sebagai wacana pesaing
dalam business process pemasyarakatan telah diperlakukan
hanya sebagai tambahan (accessories) yang dapat
disalahinterpretasikan dan disalahgunakan oleh pemerintah.
Oleh sebab itu menjadi penting adanya bagi negara untuk
pertama-tama mengusung wacana hak asasi manusia ketika
HARISON CITRAWAN DAMANIK
mengurus pemasyarkatan, sebagai contoh dalam pengajuan
perubahan undang-undang pemasyarakatan.
ISBN 602695223-3

ISBN:978-602-6952-23-3
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUKUM DAN HAM Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan HAM
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
Jl. HR. Rasuna Said Kav. 4-5, Kuningan, Jakarta Selatan
Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia
Telp.: (021) 2525015, Fax.: (021) 2526678, 2526438 2016
9 786026 952233

Anda mungkin juga menyukai