Penafsiran Hukum
Hakim Konstitusi
(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air)
Oleh:
Dr. Isharyanto, S.H.,M.Hum.
Aryoko Abdurrachman, S.H.
ii
Penulis:
Dr. Isharyanto, S.H.,M.Hum.
Aryoko Abdurrachman, S.H.
Editor:
Isharyanto
Desain Isi & Sampul:
Tim HalamanMoeka.net
Diterbitkan oleh:
Halaman Moeka Publishing
Griya Taman Banjarwangi B6 No 5. Banjarwangi, Ciawi, Bogor
Jl. Manggis IV No.2 Rt. 07/04 Tanjung Duren Selatan
Grogol Petamburan, Jakarta Barat
www.halamanmoeka.net
iv
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
Bab 1
CATATAN AWAL
putusan hakim atas klaim, bahwa apa yang telah diputus oleh hakim
harus dianggap benar (Res judicata pro veritate habetur).8 Penalaran
hukum (legal reasoning) serta rumusan argumentasi hukum (legal
argumentation) akan menggambarkan kecermatan dan tingkat
intelektualitas hakimnya. Hakim dalam merumuskan putusannya
tidak hanya berkutat pada silogisme formal belaka, bukan juga
sekedar menafsir secara mekanis, melainkan sebagai pekerjaan
intelektual yang membutuhkan analisis dan penafsiran secara
komprehensif9.
Dengan tertib berpikir demikian, maka pertimbangan hukum
putusan hakim, bukan hanya harus logis, rasional, dan ilmiah,
melainkan juga sekaligus intuitif irasional.10 Rasional ilmiah artnya
hakim harus memiliki kemampuan mengenal dan memahami
kenyataan fakta serta aturan yang berlaku serta ilmunya.11 Adapun
logis intelektual berarti menerapkan suatu aturan terhadap kasus
konkrit dengan mengindahkan hukum-hukum logika. Intuitif
rasional bermakna ada kepekaan nurani dan perasaan halus
mendampingi rasio dan logika sehingga melahirkan keadilan.12
Pengembangan peraturan perundang-undangan menjadi
tidak bermakna dan tidak disukai sebagai ciri rule of law manakala
penegakannya tersendat-sendat. Dalam praktik, cara berhukum
yang baik dan cara berhukum yang buruk, didominasi oleh tuntutan
penegakan hukum di lapangan.13 Kinerja pengadilan adalah pilar
8
Sudikno Mertokusumo, 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Liberty. Hal 173
9
Natsir Asnawi, 2014. Hermeneutika Putusan Hakim. Yogyakarta:
UII Press. Hal 8-9
10
dris Rachmawati dan Imam Mulyana, 2012. Penemuan Hukum
Nasional dan Internasional. Bandung: Penerbit Fikahati Aneska. Hal
630
11
Ibid.
12
Ibid.
13
Baca: Utpal Bhattacharya dan Hazem Daouk. 2004. When No Law
is Better than a Good Law. Working Paper. Available at [http://papers.
20
Ni’matul Huda, 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Kelima.
Jakarta: Penerbit Rajawali. Hal 276
21
Rosjidi Ranggawidjaja, 1996. Pengantar Ilmu Perundang-undangan.
Bandung: Mandar Maju. Hal 34
16
22
Tim Peneliti PKK FH Universitas Jenderal Soedirman, 2006: 199
Bab 2
PIJAKAN PUSTAKA
23
Sudikno Mertokusumo & Pitlo, A, 1993. Bab-Bab Tentang
Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal 154
24
Jimly Asshiddiqie, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. Hal 273
25
Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis
dan Sosiologis, Jakarta: Gunung Agung. Hal 146-147
26
R.M. Ananda. B. Kusuma. “Bagaimana Menginterpretasikan
Konstitusi Kita” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 1 No 3: 2005. Hal
157
20
Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2004. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori
45
47
Jimmly Asshiddiqie, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. Hal 45
53
Jimly Asshiddiqie, 2004. Loc.cit, Hal 241
54
Maruarar Siahaan, 2006. Op.cit, Hal 12
46
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Di dalam Pasal 3 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman
dijelaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim
konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Segala campur
tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Di dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Di dalam Pasal 5 ayat ayat
(1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan
Kehakiman dijelaskan bahwa hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Hakim konstitusi harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional,
dan berpengalaman di bidang hukum. Hakim konstitusi wajib
menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Di dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48
tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa tidak seorang pun
dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang
menentukan lain. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali
apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang didakwakan atas dirinya. Di dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa
tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari
48
kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
Di dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 tentang
Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Di dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan
Kehakiman dijelaskan bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan,
dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
Di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 tentang
Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan
susunan majelis sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali
undangundang menentukan lain. Susunan hakim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua
orang hakim anggota. Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara dibantu oleh seorang panitera atau seorang
yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera. Di dalam Pasal
11 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman
dijelaskan bahwa dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang
penuntut umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
Di dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 48 tentang
Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa pengadilan memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran
56
Sudikno Mertokusumo, 2005. Op.cit, Hal 137-138
50
57
Jimmly Asshiddiqie, 2006. Op.cit, Hal 291
58
Jimmly Asshiddiqie, 2006. Op.cit, Hal 291
Bab 3
72
Achmad Ali, 2002. Op.cit, Hal 153-154
73
Sudikno Mertokusumo, 2005. Op.Cit, Hal 169
58
80
(okezone.com/read/2015/02/16/337/1106530/putusan-
praperadilan-bg-hakim-lakukan-penafsiran-hukum, oleh Syamsul
Anwar Khoemani,2015. diakses pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul
22.35 WIB).
81
Ibid. okezone.com
5) Berintegritas tinggi
Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang
utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas
tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan
tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma
yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas
tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang
berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi,
dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu
berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik
untuk mencapai tujuan terbaik.
6) Bertanggungjawab
Bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk
melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang
menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki
keberanian untuk menanggung segala akibat atas
pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.
7) Menjunjung tinggi harga diri
Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia
melekat martabat dan kehormatan yang harus
dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.
Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya
Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang
kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang
senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai
aparatur Peradilan.
8) Berdisiplin tinggi
Disiplin bermakna ketaatan pada norma-
norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai
panggilan luhur untuk mengemban amanah serta
70
“barang” pada Pasal 378 KUHP. Dalam kasus ini, hakim Bismar
melakukan penafsiran ekstensif dengan memperluas makna
“barang” dalam Pasal 378 KUHP, sedangkan oleh Ketua Muda
Pidana Mahkamah Agung pada saat itu, Adi Andojo Soetjipto
sebagai salah satu majelis yang juga memutus kasasi dari putusan
banding hakim Bismar, bahwa keperawanan seorang wanita
tidak bisa diklasifikasikan sebagai apa yang dimaksud dengan
kata “barang” dalam Pasal 378 KUHP84.
Hakim sebagai pemegang kekuasaan yudikatif, ia
berkewajiban memberikan pertimbangan dalam pelaksanaan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai peraturan
umum. Dalam memberikan pertimbangan, ada kalanya hakim
menambah peraturan perundang-undangan, maka hal ini
berarti bahwa hakim memenuhi ruang kosong (leemten)
dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku85.
Penafsiran hakim terhadap suatu perundang-undangan itu
sangatlah penting karena dalam memutus suatu perkara
yang dipimpinnya, hakim mendasarkan putusannya tersebut
terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
perkara yang sedang dipimpinnya. Apabila hakim keliru dalam
menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan perkaranya tersebut maka putusan dari hakim tersebut
bisa merugikan salah satu pihak yang berperkara.
Hal tersebut mengandung kerangka berfikir yang sama
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Paul Scholten yang
mengatakan bahwa hukum merupakan suatu sistem yang
terbuka (open sistem van het recht). Dengan begitu hukum yang
dulunya bersifat rigid, berkembang menjadi dinamis, terus-
menerus mengikuti proses perkembangan kemasyarakatan. Hal
ini mengandung konsekuensi bahwa hakim dapat dan wajib
84
Ibid. hukumonline.com
85
C.S.T. Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal 70
membeda-bedakan orang
f. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
g. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tak
tercela, jujur, adil, profesional dan pengalaman di bidang
hukum
h. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya dan tidak menutup
usaha penyelesaian perkara secara perdamaian.
94
Jon Roland dalam Yance Arizona, 2007. Penafsiran Mahkamah
Konstitusi terhadap Pasal 33 UUD 1945: Perbandingan Putusan
Pengujian UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan
Pengujian UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, Skripsi Sarjana
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Hal 68
b. Historikal
Dalam penafsiran historis atau historical interpretation,
keputusan sedikit sekali didasarkan pada kata-kata yang
aktual dalam undang-undang, melainkan lebih didasarkan
kepada pemahaman yang diungkapkan dari sejarah naskah
dan pengesahan undang-undang tersebut, demikian juga
terhadap konstitusi atau aturan dasar. Kadang-kadang
penafsiran ini disebut sebagai sejarah legislasi, dan untuk
putusan pengadilan disebut sejarah kasus. Suatu analisa
tekstual dari kata-kata yang diartikan bersentuhan dengan
analisa sejarah.
Karena merupakan pendekatan sejarah, historical
interpretation tidak bertitik tolak dari asas-asas hukum
yang abstrak, betapa rasional pun, tetapi bersumber pada
tradisi-tradisi yuridis nasional, yang merupakan gambaran
dari kesadaran nasional bangsa atau jiwa bangsa (volksgeist).
Jiwa ini muncul secara alami ke permukaan di dalam hukum
kebiasaan setiap bangsa.
Historical interpretation mencoba meninjau kembali
konstruksi pemikiran dan semangat masa lalu, kemudian
menggunakan hal tersebut sebagai landasan yang original
dalam memutus perkara aktual. Hal ini dapat dilihat dari
risalah sidang, makalah, buku yang diterbitkan, dan lain-
lain media yang merekam intensi para pembuat undang-
undang serta suasana pada saat undang-undang itu di buat.
c. Fungsional
Dalam penafsiran fungsional (functional) atau
disebut juga struktural, keputusan didasarkan dari struktur
hukum dan bagaimana aturan tersebut diharapkan jelas
keterkaitannya, sebuah sistem yang harmonis. Functional
interpretation melihat hukum sebagai suatu sistem
yang harmonis. Harmonisasi hukum itu dapat berupa
96
Bab 4
CATATAN PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis
dan Sosiologis, Jakarta: Gunung Agung.
Achmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam
Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
Arief Sidharta, 2007. Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum,
Ilmu Hukum: Teori Hukum Dan Filsafat Hukum.
Bandung: Refika Aditama.
Bambang Sutiyoso, 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia – Upaya Membangun Kesadaran
Dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak
Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan Dan
Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
C.S.T. Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Fickar Hadjar, 2003. Pokok-Pokok Pikiran Dan Rancangan Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi. Jakarta: KRHN dan
Kemitraan.
Idris Rachmawati dan Imam Mulyana, 2012. Penemuan Hukum
Nasional dan Internasional. Bandung: Penerbit
Fikahati Aneska
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar Politik
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jurnal
Albert Chen. “The Interpretation Of The Basic Law”. Common Law
And Mainland Chinesse Perspectives. No 1: 2000
Dennis Patterson. “Interpretation In Law”. Departments Of Law And
Philosophy. No 1:2003
Hideki Kanda dan Curtis J. Milhaupt, “Re-examining Legal
Transplants: The Director’s Fiduciary Duty in Japanese
Corporate Law”, American Journal of Comparative
Law, Vol. 51, 2003
Jonathan Wheatley, “Brazil’s Judicial Nightmare Brings Gridlock for
Growth”, FinancialTimes”
Katharine Pistor, Martin Raiser, dan Stanislaw Gelfer, “Law and
Finance in Transition Economies”, Economics of
Transition, Vol. 8, No. 2
Lars P. Feld dan Stefan Voigt, 2004, “Making Judges Independent-
Some Proposals Regarding the Judiciary”, CESifo
Working Paper No. 1260.
R.M. Ananda. B. Kusuma. “Bagaimana Menginterpretasikan
Konstitusi Kita” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 1 No
3: 2005
Roumeen Islam, 2003, “Institutional Reform and the Judiciary:
Which Way Forward”, World Bank Policy Research
Working Paper 3134
114
Skripsi
Yance Arizona, 2007. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap
Pasal 33 UUD 1945: Perbandingan Putusan Pengujian
UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dengan
Putusan Pengujian UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya
Air, Skripsi Sarjana Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang.
Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum
Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik Dan
Pedoman Perilaku Hakim.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/
PMK/2003 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Tingkah
Laku Hakim Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
Internet
hukumonline.com/berita/baca/lt559fba87c3065/putusan-ibonda-i-
yang-mengayun -bismar, oleh penulis, 2015.
oke z on e . c om / re a d / 2 0 1 5 / 0 2 / 1 6 / 3 3 7 / 1 1 0 6 5 3 0 / putu s an -
praperadilan-bg-hakim-laku kan-penafsiran-hukum,
oleh Syamsul Anwar Khoemani, 2015.
Utpal Bhattacharya dan Hazem Daouk. 2004. When No Law is
Better than a Good Law. Working Paper. Available at
[http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_
id=558021]
116
PROFIL PENULIS