Anda di halaman 1dari 127

i

Penafsiran Hukum
Hakim Konstitusi
(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air)

Oleh:
Dr. Isharyanto, S.H.,M.Hum.
Aryoko Abdurrachman, S.H.
ii

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
iii

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air)

Penulis:
Dr. Isharyanto, S.H.,M.Hum.
Aryoko Abdurrachman, S.H.

Editor:
Isharyanto
Desain Isi & Sampul:
Tim HalamanMoeka.net

Jakarta, September 2016


ISBN: 978-602-269-183-9

Diterbitkan oleh:
Halaman Moeka Publishing
Griya Taman Banjarwangi B6 No 5. Banjarwangi, Ciawi, Bogor
Jl. Manggis IV No.2 Rt. 07/04 Tanjung Duren Selatan
Grogol Petamburan, Jakarta Barat
www.halamanmoeka.net
iv

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
v

KATA PENGANTAR

Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang
merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi
dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi
menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan
masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan
menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua
komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di
tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi
berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan
mawarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat
Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagai
lembaga yudikatif yang dibangun berdasarkan Pasal 24 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah suatu
lembaga yang bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan lembaga
negara lain guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. Sebagaimana telah diformulasikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini kemudian diatur
dalam BAB III bagian ketiga Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan
vi

khusus untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang


putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar.
Dalam praktek penyelenggaraan praktik peradilan, putusan
adalah muara dari suatu perkara. Putusan sebagai mahkota hakim
dalam pemahaman yang artifisial dapat dimaknai sebagai, harga
diri seorang hakim dan wibawa seorang hakim dapat dilihat dan
dinilai dari putusannya. Kualitas suatu putusan hakim serta tingkat
kecerdasan dan intelektual yang dimilikinya akan direfleksikan
sekaligus dipertaruhkan pada bagaimana hakim merumuskan ratio
decendi dalam putusannya. Penalaran hukum (legal reasoning)
serta rumusan argumentasi hukum (legal argumentation) akan
menggambarkan kecermatan dan tingkat intelektualitas hakimnya.
Hakim dalam merumuskan putusannya tidak hanya berkutat pada
silogisme formal belaka, bukan juga sekedar menafsir secara mekanis,
melainkan sebagai pekerjaan intelektual yang membutuhkan analisis
dan penafsiran secara komprehensif.
Buku ini dimaksudkan untuk mengupas isu-isu yang
berhubungan dengan narasi di atas. Penyampaian pesan dilakukan
dengan menyajikan telaah teoritis dalam isu-isu yang berhubungan
dengan penafsiran hukum pada praktik peradilan. Akan tetapi, tidak
seluruh isu dan fakta penafsiran hukum pada praktik peradilan
tuntas dibahas. Buku ini memiliki keterbatasan tersebut, namun
tidak mengurangi semangat untuk menyajikan secara komprehensif
pilihan isu yang dipilih. Diharapkan buku ini mampu menjadi
sekotak wacana untuk menjadi rintisan referensi guna mendorong
karya-karya identik di masa-masa yang akan datang.

Surakarta, Februari 2016


Penulis

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum.


Aryoko Abdurrachman, S.H.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
vii

DAFTAR ISI

Bab I Catatan Awal


Penafsiran Hukum dalam Konsep Negara Hukum _____ 1

BAB II PIJAKAN PUSTAKA


1. Tinjauan Tentang Penafsiran Hukum____________ 17
2. Tinjauan Tentang Kekuasaan Kehakiman_________ 27
3. Tinjauan Tentang Asas-Asas Penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman________________________ 46

BAB III WEWENANG HAKIM KONSTITUSI DALAM


MENAFSIRKAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
1. Kewenangan Hakim Konstitusi Dalam Menafsirkan
Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009__________ 51
2. Penerapan Asas-Asas Penyelenggaraan Kekuasaan
Kehakiman Pada Putusan Mahkamah Konstitusi
Perkara____________________________________ 78

BAB IV CATATAN PENUTUP________________________ 107


DAFTAR PUSTAKA_________________________________ 110
PROFIL PENULIS__________________________________ 117
viii

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
1

Bab 1

CATATAN AWAL

A. Penafsiran Hukum dalam Konsep Negara Hukum


Negara Hukum merupakan terjemahan yang tepat dari
istilah rechtsstaat. Istilah rechsstaat banyak dianut di negara-negara
Eropa Kontinental yang bertumpu pada sistem civil law. Konsep
rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid kemudian menjadi
rechtmatigheid1. Friedrich Julius Stahl merupakan salah satu ahli
yang patut dirujuk pendapatnya ketika membicarakan topik Negara
Hukum (rechtsstaat) dalam tradisi Eropa Kontinental. Menurutnya
unsur-unsur yang ada pada Negara Hukum dalam pengertian
rechtsstaat, yaitu:2
1. Pengakuan hak-hak asasi manusia (grondrechten).
2. Pemisahan kekuasaan (scheiding van machten).
3. Pemerintah berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van
het bestuur).
4. Peradilan administrasi (administrative rechtpraak).
Sesuai dengan unsur-unsur Negara Hukum yang dikemukakan
oleh Friedrich Julius Stahl diatas, sebagai Negara Hukum, Indonesia
yang menganut sistem Eropa Kontinental dan bertumpu pada
sistem civil law, juga menganut asas-asas pemisahan kekuasaan
yang diantaranya terdiri dari kekuasaan eksekutif, kekuasaan
1
Mahfud MD, 1999. Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi
Tata Negara. Jakarta: UI Press. Hal 126-127
2
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar Politik
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal 49
2

legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Untuk kekuasaan eksekutif di


dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 diatur dalam BAB III yang mengatur tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara, untuk kekuasaan legislatif diatur dalam BAB
VII yang mengatur tentang Dewan Perwakilan Rakyat serta BAB
VII A yang mengatur tentang Dewan Perwakilan Daerah, dan untuk
kekuasaan yudikatif diatur dalam BAB IX yang mengatur tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Kekuasaan kehakiman telah menjadi bagian dari sejarah
ketatanegaraan Indonesia dan bahkan telah berjalan sebelum
terbentuknya republik ini. Dalam khasanah praktik dan literatur, pada
umumnya pengertian peradilan pada umumnya yang berjenjang
mulai dari peradilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri, peradilan
tingkat banding di Pengadilan Tinggi sampai peradilan tingkat kasasi
ke Mahkamah Agung. Sebelum Indonesia merdeka, ketiga jenjang
peradilan tersebut bermula dari badan-badan peradilan yang sudah
eksis dalam sistem peradilan Hindia Belanda, yaitu “Landraad” yang
dijadikan Pengadilan Negeri, “Raad van Justitie” yang menjadi
Pengadilan Tinggi, dan “Hogeraad” yang dkembangkan menjadi
Mahkamah Agung. Karena itu, semua pengadilan di luar lingkungan
peradilan biasa pada umumnya tersebut di atas disebut Pengadilan
Khusus, seperti Pengadilan Agama yang berasal dari “Priesterraad”
dan lain-lain. Sesudah Indonesia merdeka, muncul pula pemikiran
untuk mengadopsi perkembangan pengertian tentang negara
hukum (rechtsstaat) di Eropa Barat yang mengharuskan adanya
peradilan tata usaha negara.
Karena itu, pada mulanya, seperti tercermin dalam Penjelasan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, dikenal adanya 3 (tiga)
macam peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam Undang-Undang Nomor
19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
3

ini, peradilan agama dianggap termasuk ke dalam pengertian


pengadilan khusus. Pengertian demikian ini dikoreksi pada masa
Orde Baru sehingga dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
peradilan agama itu dianggap merupakan lingkungan peradilan
yang tersendiri di samping peradilan umum, peradilan militer dan
peradilan tata usaha negara.3
Selain pengertian pengadilan agama dan pengadilan militer
yang kemudian dikembangkan sebagai lingkungan peradilan yang
tersendiri seperti dikemukakan tersebut di atas, dapat dikatakan
bahwa pengadilan khusus pertama yang pernah dibentuk di
Indonesia adalah Pengadilan Ekonomi pada tahun 1955. Pengadilan
Ekonomi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Darurat Nomor 7
Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan Dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi untuk mengadili perkara tindak pidana di bidang
perekonomian. Kemudian dibentuk pula Pengadilan Landreform
untuk mengadili perkara-perkara pidana, perdata, dan tata-usaha
negara yang timbul dalam pelaksanaan kebijakan land-reform.4
Pengadilan Ekonomi dan Pengadilan Land-reform tersebut di
atas termasuk ke dalam pengertian Peradilan Umum, sedangkan yang
dimaksud dengan Peradilan Khusus adalah Pengadilan Agama dan
Pengadilan Militer. Sementara itu, yang dimaksud dengan Peradilan
Tata Usaha Negara adalah peradilan sebagaimana disebut dalam
Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 sebagai peradilan administratif.
Di dalamnya tercakup juga pengertian peradilan administratif
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 18
Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepegawaian.
Peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara
ini baru diperlakukan sebagai lingkungan peradilan sendiri yang
3
Jimly Asshiddiqie, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Reformasi. Jakarta: BIP-Gramedia. Hal 526
4
Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
4

setara dengan peradilan umum dengan dicantumkannya ketentuan


mengenai keempat lingkungan peradilan itu dalam Undang-
Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Dengan demikian, pengertian pengadilan khusus
ditiadakan dan diganti dengan pengertian lingkungan peradilan.
Namun, sebelum dibentuknya Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman ini, di masa awal
Orde Baru, meskipun bentuk-bentuk pengadilan khusus, seperti
Pengadilan Ekonomi dan Pengadilan Land-Reform tersebut di atas
sudah tidak ada lagi.
Perkembangan demikian ini terus berlangsung sampai
kemudian dilakukan konsolidasi dan penataan struktural terhadap
sistem peradilan nasional pada tahun 1970 dengan dibentuknya
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Produk legislatif ini memperkenalkan
pengelompokan peradilan ke dalam 4 (empat) lingkungan peradilan,
yaitu: (i) Peradilan Umum; (ii) Peradilan Agama; (iii) Peradilan Tata
Usaha Negara; dan (iv) Peradilan Militer.
Karena besarnya pengaruh sistem peradilan militer melalui
Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) mulai tahun 1965,
struktur peradilan militer itu dimuat dalam Undang-Undang Pokok-
Pokok Kekuasaan Kehakiman itu sebagai salah satu lingkungan
peradilan yang tersendiri, di samping peradilan umum, peradilan
agama, dan peradilan tata-usaha negara, yang masing-masing dapat
dikatakan mempunyai latar belakarang ide dan sejarahnya sendiri-
sendiri. Seharusnya, peradilan militer tidak perlu dimasukkan
ke dalam rezim hukum peradilan biasa, karena fungsinya terkait
dengan hukum keadaan darurat, bukan hukum dalam keadaan
normal. Dalam keadaan normal, peradilan militer itu seharusnya
hanya dikaitkan dengan fungsi peradilan disiplin internal prajurit
dan perwira militer. Pengadilan Militer dapat berfungsi, baik sebagai
peradilan sipil maupun sebagai peradilan militer secara bersama-

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
5

sama hanya dalam kondisi negara dalam keadaan darurat perang


atau keadaan darurat militer.
Karena itu, keberadaan pengadilan militer seharusnya hanya
tidak diperlakukan sebagai lingkungan peradilan yang tersendiri,
melainkan cukuplah dipandang sebagai salah satu bentuk pengadilan
khusus, yaitu bersifat internal militer ketika kondisi negara berada
dalam keadaan normal, dan bersifat eksternal dengan kemungkinan
menjalankan fungsi peradilan sipil manakala fungsi-fungsi peradilan
sipil tidak dapat menjalankan tugas konstitusionalnya berhubungan
kondisi negara berada dalam keadaan darurat perang atau darurat
militer. Dengan demikian, keadilan tidak malah dicampur-adukkan
antara kondisi negara dalam keadaan normal dan keadaan tidak
normal.
Sayangnya, ketika reformasi, ketentuan mengenai keempat
lingkungan peradilan menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun
1964 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman itu diadopsi
begitu saja dalam rangka Perubahan Keempat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2002.
Hal itu dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu: “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”.
Pada akhir masa Orde Baru, dibentuk satu pengadilan
khusus, yaitu Pengadilan Anak berdasarkan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Setelah reformasi,
desentralisasi pemerintahan dan diversifikasi fungsi-fungsi
kekuasaan negara berkembang luas bersamaan dengan gerakan
liberalisasi dan demokratisasi di segala bidang kehidupan. Karena itu,
lembaga peradilan yang bersifat khusus semakin banyak didirikan
6

oleh Pemerintah. Pada tahun 1998, dengan Perpu Nomor 1 Tahun


1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan
yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentaang Perubahan Atas
Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, kita
mendirikan Pengadilan Niaga yang pertama kali. Selanjutnya, pada
tahun 2000 dan tahun 2002, kita membentuk Pengadilan Hak Asasi
Manusia (HAM) dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (TIPIKOR) dengan Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, telah pula dibentuk Pengadilan Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, dan
Pengadilan Perikanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan, dan banyak lagi lainnya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman pada BAB IX
menjamin diselenggarakannya kekuasaan kehakiman di Indonesia
sesuai dengan apa yang tertulis pada BAB IX Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah
membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan, khususnya
dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Perubahan tersebut
antara lain menegaskan bahwa:
1. Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
2. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
7

kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah


undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
3. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan bahwa
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sejalan
dengan ketentuan konstitusi negara Indonesia tersebut maka salah
satu prinsip penting dari Negara Hukum adalah adanya jaminan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari
pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Pasal 24 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan.
Semangat Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 ini kemudian diturunkan ke
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Di dalam BAB III Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur tentang pelaku
kekuasaan kehakiman, dimana di Pasal 18 termaktub bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.
8

Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagai


lembaga yudikatif yang dibangun berdasarkan Pasal 24 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah suatu
lembaga yang bebas dan merdeka dari pengaruh kekuasaan lembaga
negara lain guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. Sebagaimana telah diformulasikan oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 19455. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi ini kemudian diatur dalam BAB III bagian
ketiga Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman,
Mahkamah Konstitusi diberi kewenangan khusus untuk mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Hal yang tidak kalah penting yang diatur dalam Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
adalah adanya bab tersendiri yang membahas tentang aas-asas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni di dalam BAB II
Pasal 2 sampai dengan Pasal 17, termasuk di dalamnya asas-asas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terkait dengan hakim
konstitusi yang termaktub di Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim konstitusi sesuai
dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
Hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Hal ini termaktub dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sebagai pejabat negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman, tolak ukur hakim konstitusi
dalam mempertanggungjawabkan jaminan diimplementasikannya
asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dapat dilihat
5 Jimly Asshiddiqie, 2004. Format Kelembagaan Negara Dan
Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 45. Yogyakarta: UII Press. Hal
241

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
9

dari putusan yang dibuatnya. Penafsiran hakim konstitusi terhadap


peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perkara yang
sedang diadilinya sangatlah penting karena dari penafsiran hakim
tersebutlah yang akan menentukan putusan yang akan dibuat oleh
hakim konstitusi.
Putusan adalah mahkota hakim merupakan jargon yang sering
didengar, tidak hanya di kalangan yuris dan akademisi, namun juga
masyarakat awam sangat memahami jargon ini. Putusan sebagai
mahkota hakim dalam pemahaman yang artifisial dapat dimaknai
sebagai, harga diri dan wibawa seorang hakim dapat dilihat dan
dinilai dari putusannya. Kualitas suatu putusan hakim serta tingkat
kecerdasan dan intelektual yang dimilikinya akan direfleksikan
sekaligus dipertaruhkan pada bagaimana hakim merumuskan ratio
decendi dalam putusannya.
Dengan demikian, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
kualitas putusan hakim amat erat kaitannya dengan profesionalisme
hakim. Penanda penting dari profesionalisme tersebut termasuk (i)
asas-asas hukum yang berkaitan dengan norma hukum positif; (ii)
kemahiran yuridis dan kemampuan berfikir aksiomatik; dan (iii)
problematik atau berpikir ekstra yuridis yang dibangun melalui
penalaran hukum yang tercermin dalam pertimbangan hukum
putusannya.6 Pertimbangan hukum tersebut merupakan mahkota
bagi hakim yang harus dipertimbangkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa, kepada pencari keadilan, dan masyarakat. Hakim bertanggung
jawab atas putusan dan penetapan yang dibuatnya, bertanggung
jawab membawa perubahan dalam suatu fenomena ketidakpercayaan
masyarakat menjadi percaya kepada lembaga peradilan.7 Sudikno
Mertokusumo berujar bahwa tinggi rendahnya kepercayaan
masyarakat, sangat ditentukan seberapa jauh argumentatifnya
6
Syarif Mappiasse, 2015. Logika Hukum Pertimbangan Putusan
Hakim. Jakarta: Kencana. Hal 10
7
Lihat tuntutan ini dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
10

putusan hakim atas klaim, bahwa apa yang telah diputus oleh hakim
harus dianggap benar (Res judicata pro veritate habetur).8 Penalaran
hukum (legal reasoning) serta rumusan argumentasi hukum (legal
argumentation) akan menggambarkan kecermatan dan tingkat
intelektualitas hakimnya. Hakim dalam merumuskan putusannya
tidak hanya berkutat pada silogisme formal belaka, bukan juga
sekedar menafsir secara mekanis, melainkan sebagai pekerjaan
intelektual yang membutuhkan analisis dan penafsiran secara
komprehensif9.
Dengan tertib berpikir demikian, maka pertimbangan hukum
putusan hakim, bukan hanya harus logis, rasional, dan ilmiah,
melainkan juga sekaligus intuitif irasional.10 Rasional ilmiah artnya
hakim harus memiliki kemampuan mengenal dan memahami
kenyataan fakta serta aturan yang berlaku serta ilmunya.11 Adapun
logis intelektual berarti menerapkan suatu aturan terhadap kasus
konkrit dengan mengindahkan hukum-hukum logika. Intuitif
rasional bermakna ada kepekaan nurani dan perasaan halus
mendampingi rasio dan logika sehingga melahirkan keadilan.12
Pengembangan peraturan perundang-undangan menjadi
tidak bermakna dan tidak disukai sebagai ciri rule of law manakala
penegakannya tersendat-sendat. Dalam praktik, cara berhukum
yang baik dan cara berhukum yang buruk, didominasi oleh tuntutan
penegakan hukum di lapangan.13 Kinerja pengadilan adalah pilar
8
Sudikno Mertokusumo, 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Liberty. Hal 173
9
Natsir Asnawi, 2014. Hermeneutika Putusan Hakim. Yogyakarta:
UII Press. Hal 8-9
10
dris Rachmawati dan Imam Mulyana, 2012. Penemuan Hukum
Nasional dan Internasional. Bandung: Penerbit Fikahati Aneska. Hal
630
11
Ibid.
12
Ibid.
13
Baca: Utpal Bhattacharya dan Hazem Daouk. 2004. When No Law
is Better than a Good Law. Working Paper. Available at [http://papers.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
11

negara hukum. Bisa jadi, sejumlah norma hukum ditegakkan


dengan kaidah-kaidah hukum admistrasi, akan tetapi perlindungan
kepemilikan dan penegakan kontrak, membutuhkan pengadilan
sebagai sarana penyelesaian perselisihan diantara para pihak.
Penghadapan dengan negara menjadi lebih mudah bagi pengadilan,
manakala disertai dengan wewenang perlindungan warganegara
dalam konstitusi maupun undang-undang.
Sejumlah sarjana telah meyakinkan pentingnya independensi
pengadilan. Derajat independensi itu akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan ekonomi.14 Kinerja pengadilan yang bagus akan
mendorong gerak pasar keuangan. Peran pengadilan yang baik akan
mendorong pertumbuhan usaha kecil dan menengah setara dengan
pertumbuhan korporasi-korporasi besar.15
Hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting
bukanlah hukumnya karena hakim dianggap tahu hukumnya
(ius curia novit), melainkan mengetahui secara objektif fakta atau
peristiwanya sebagai duduk perkara yang sebenarnya yang nantinya
dijadikan dasar putusannya, bukan secara a priori langsung
menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu
duduk perkara yang sebenarnya. Untuk dapat memberikan putusan
pengadilan yang benar-benar menciptakan kepastian hukum dan
mencerminkan keadilan, hakim yang melaksanakan peradilan
harus benar-benar mengetahui duduk perkara yang sebenarnya
dan peraturan hukum yang akan diterapkan.16 Proses peradilan
harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sarnpai
ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=558021].
14
Lars P. Feld dan Stefan Voigt, 2004, “Making Judges Independent—
Some Proposals Regarding the Judiciary”, CESifo Working Paper No.
1260.
15
Roumeen Islam, 2003. “Institutional Reform and the Judiciary:
Which Way Forward”, World Bank Policy Research Working Paper
3134.
16
Riduan Syahrani, 2000. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata.
Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal 117
12

pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan


atau memilih potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan
yang koersif dari Negara. Memegang teguh doktrin legal audit
yaitu seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya
dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang
memiliki kewenangan untuk tugas itu. Dalam lapangan hukum
acara pidana misalnya, seseorang tidak dapat dianggap bersalah
sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum
yang diberikan undang-undang kepada orang yang bersangkutan
tidak efektif. Penetapan kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan
oleh pengadilan yang tidak memihak. Gagasan persamaan di muka
hukum lebih diutamakan. Lebih mengutamakan kesusilaan dan
kegunaan sanksi pidana.
Dalam memeriksa dan memutus perkara Hakim memiliki
kebebasan, namun, kebebasan Hakim tersebut dipengaruhi oleh
banyak faktor seperti sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan
sebagainya. Kebebasan hakim tersebut diberikan dalam rangka
mengemban tugas untuk menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari
dasar-dasar serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-
perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya
mencerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia.
Dengan kata lain, kebebasan Hakim berarti harus memperhatikan
Pancasila, undang-undang, kepentingan para pihak dan ketertiban
umum. Hakim dapat mengambil kesimpulan dari adanya premis
mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya).
Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor
yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan. Sebagai salah satu pilar untuk
menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan
menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
13

Konsekuensi sebagai pejabat negara yang melakukan


kekuasaan kehakiman, hakim honstitusi dalam melaksanakan
fungsi, tugas, dan wewenangnya haruslah berpedoman kepada
undang-undang. Tugas hakim pada dasarnya dalam penegakan
hukum akan sangat berkait erat dengan persoalan filsafat hukum
sebagaimana dikatakan Roscoe Pound, bahwa salah satu objek
filsafat hukum adalah ”The application of law”. Oleh karena itu,
tugas hakim secara kongkret adalah mengadili perkara, yang pada
dasarnya atau pada hakikatnya adalah melakukan penafsiran
terhadap realitas, yang sering disebut sebagai penemuan hukum.17
Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagai umbrella act kekuasaan kehakiman
di Indonesia ada untuk mengatur keberadaan hakim konstitusi
sekaligus mengatur apa saja fungsi, tugas, dan wewenang yang
dibebankan kepada hakim konstitusi sebagai pejabat negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman di Indonesia, sehingga apapun
tindakan hakim konstitusi haruslah berdasar pada aturan jelas
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman guna menjamin terlaksananya asas-asas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman seperti yang dicita-citakan
oleh Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Kewenangan menafsirkan itu sesungguhnya timbul dari
sebuah tafsir pula, misalnya Pasal 24C Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Mahkamah
Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang
Dasar” sebagai ketentuan pemberian kewenangan constitutional
review kepada Mahkamah Konstitusi, ketentuan tersebut tidak
mengandung kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan
penafsiran terhadap konstitusi, namun sangatlah tidak mungkin
dapat melakukan penilaian pertentangan norma sebuah undang-
17
Lihat: Otje Salman, 2009. Filsafat Hukum (Perkembangan dan
Dinamika Masalah). Bandung: Penerbit Refika Aditama.
14

undang apabila tidak menggunakan penafsiran konstitusi, dalam


hal ini Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir sah terhadap undang-
undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the
constitution).
Senada dengan pandangan tersebut dikemukakan oleh
Jimly Asshiddiqie18 bahwa fungsi hakim dalam menjalankan dan
menerapkan hukum (the statute law) dapat dibedakan menjadi 2
(dua) macam, yaitu: (i) untuk menemukan fakta-fakta yang terjadi
dalam suatu kasus tertentu, dan kemudian (ii) untuk menemukan
pengertian mengenai apa yang dikehendaki oleh pembentuk
undang-undang agar dilakukan hakim dalam menangani kasus
semacam itu.
Menurut Rosjidi Ranggawidjaja19 yang mengutip pendapat
Kleintjes bahwa tersimpul adanya wewenang untuk menyelidiki
dan menilai isi peraturan perundang-undangan yang diuji maupun
peraturan perundang-undangan yang menjadi batu pengujinya.
Dalam hal suatu peraturan perundang-undangan dinyatakan
isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka di dalam tata urutan
perundang-undangan yang ada harus diartikan bahwa peraturan
yang lenih tinggi derajatnya tersebut oleh penguji telah dilakukan
penafsiran. Dalam melakukan pengujian lembaga yang berwenang
juga mempunyai wewenang untuk menafsirkan karena menguji
isi peraturan perundang-undangan berarti membandingkan dan
di dalamnya termasuk “process of discovering and expounding
the meaning of the articles of laws and the constitution”. Dengan
demikian lewat wewenang melakukan pengujian materiil, lembaga
peradilan juga mempunyai wewenang untuk menafsirkan ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
18
Jimly Asshiddiqie, 2011. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.
Jakarta. Sinar Grafika: Hal 175
19
Rosjidi Ranggawidjaja, 1996. Pengantar Ilmu Perundang-undangan.
Bandung: Mandar Maju. Hal: 47

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
15

Ni’matul Huda justru mempertanyakan benarkah Mahkamah


Konstitusi lembaga penafsir konstitusi dan sejauhmana kewenangan
Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan konstitusi, ketentuan ini
tidak jelas sehingga diperlukan rambu-rambu yang tegas dan jelas.20
Menurut Mahfud MD bahwa ketidakjelasan tolok ukur
dalam memaknai pertentangan norma hukum yang berdasarkan
pada pemaknaan, kriteria, penggunaan penafsiran original intent
sebagai metode penafsiran dalam pengujian norma hukum, hal ini
terkait dengan teori apa yang menjadi dasar dan semanggat dalam
perumusan konstitusi maupun pembentukan peraturan perundang-
undangan. Hakim boleh menggunakan original intent suatu produk
hukum, hal ini berdasarkan fakta bahwa secara teoritis pengujian
norma hukum tersebut bertujuan untuk mengetahui makna atau
maksud utama/ maksud sebenarnya dari isi konstitusi atau peraturan
perundang-undangan.
Menafsirkan konstitusi berarti memberikan arti atau makna
dari suatu istilah atau kumpulan istilah dalam rumusan pasal atau
ayat. Biasanya dilakukan dengan cara menguraikan atau menjelaskan
maksud dari sesuatu hal yang dianggap belum jelas. Selain itu,
menafsirkan konstitusi atau undang-undang berarti memberikan
keterangan atau penjelasan agar dapat dipahami maksud atau
artinya.21 Penafsiran secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua
yaitu: pertama, penafsiran harfiah, yaitu semata-mata menggunakan
kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangannya dan tidak keluar
dari litera legis. Kedua, fungsional atau biasa diartikan interpretasi
bebas yaitu interpretasi yang tidak mengikatkan diri sepenuhnya
pada kalimat-kalimat dari peraturan sebagai pegangannya
melainkan mencoba untuk memahami maksud sebenarnya dari

20
Ni’matul Huda, 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Kelima.
Jakarta: Penerbit Rajawali. Hal 276
21
Rosjidi Ranggawidjaja, 1996. Pengantar Ilmu Perundang-undangan.
Bandung: Mandar Maju. Hal 34
16

suatu peraturan dengan berbagai sumber lain yang dianggap bisa


memberikan penjelasan yang lebih memuaskan.22
Pada tanggal 18 Februari 2015, Mahkamah Konstitusi baru saja
menjalankan wewenang yang diamanatkan konstitusi dan undang-
undang terkait kepadanya yaitu memberikan putusan terhadap
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial
Review). Dalam hal ini Undang-Undang yang dimaksud adalah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini menarik karena hakim konstitusi
memberikan penafsiran terhadap Pasal-pasal yang dianggap sebagai
privatisasi terselubung terhadap pengelolaan sumber daya air yang
mempunyai potensi untuk dilakukannya komersialisasi sumber
daya air di Indonesia. Komersialisasi yang dimaksud dalam hal ini
adalah keterlibatan pihak asing dalam mengelola sumber daya air
yang ada di Indonesia, dimana para pihak asing yang mengelola
sumber daya air di Indonesia tersebut menekankan profit oriented
dalam mengelola sumber daya air yang ada di Indonesia.

22
Tim Peneliti PKK FH Universitas Jenderal Soedirman, 2006: 199

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
17

Bab 2

PIJAKAN PUSTAKA

1. Tinjauan Tentang Penafsiran Hukum


a. Pengertian Penafsiran Hukum
Penafsiran hukum (legal interpretation) senantiasa diperlukan
dalam penerapan hukum tertulis untuk menemukan dan membentuk
hukum. Penemuan hukum merupakan kegiatan untuk memperjelas
tentang ketentuan-ketentuan hukum tertulis yang sudah ada,
yang dapat diberlakukan bagi suatu aspek kehidupan tertentu.
Pembentukan hukum bertujuan untuk membentuk, menyusun atau
membangun hukum bagi aspek kehidupan tertentu yang belum ada
hukumnya. Penafsiran hukum hendaknya diikuti dengan penalaran
hukum (legal reasoning), yaitu upaya yang dilakukan untuk
memberi alasan dan penjelasan hukum agar hasil penafsiran hukum
masuk akal dan dapat dipahami secara logik. Hasil penafsiran dan
penalaran hukum tersebut disampaikan dengan menggunakan
argumentasi hukum yang rasional agar kepastian hukum, keadilan,
dan kebenaran dapat ditegakkan.
Kehendak hukum adalah kehendak peraturan perundang-
undangan yang secara nyata tertulis secara “hitam-putih” di
dalam ketentuan-ketentuan hukumnya. Penekanan pada hukum
tertulis tersebut dikarenakan pengaruh dari aliran legisme terhadap
sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system) yang beriaku di
Indonesia, yang menyatakan bahwa hanya hukum tertulis saja yang
merupakan hukum. Ketentuan hukum tertulis yang dipahami oleh
18

orang awam sebagai apa yang tertera secara “hitam-putih” di dalam


peraturan perundang-undangan menunjukan bahwa kehendak
hukum tersebut adalah tegaknya kepastian hukum.
Kesesuaian hasil penafsiran hukum dengan kehendak
masyarakat maksudnya adalah bahwa hasil penafsiran tersebut hams
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena rasa keadilan
dari berbagai masyarakat itu bermacam-macam, maka penyerasian
rasa keadilan tersebut perlu mengacu kepada kepastian hukum
yang secara “hitam-putih” tertera di dalam peraturan perundang-
undangan. Disamping itu, hasil penafsiran juga harus selaras dengan
kehendak moral, yaitu kebenaran. Jadi, hasil penafsiran hukum
yang masuk akal atau sesuai dengan “nalar” adalah hasil penafsiran
hukum yang dapat menegakkan kepastian hukum, memenuhi rasa
keadilan masyarakat, dan mencerminkan kebenaran.
Dalam sistem hokum tertulis, kehendak hukum (kepastian
hukum) harus dicari atau diketemukan terlebih dahulu, baru
setelah itu kehendak masyarakat (keadilan) dan kehendak moral
(kebenaran). Setelah kita tahu kehendak hukum yang sebenarnya,
barulah kehendak hukum tersebut dikombinasikan dengan
kehendak masyarakat dan kehendak moral. Kehendak masyarakat
dan kehendak moral tersebut dapat diketemukan di dalam
kebiasaan hidup sosial kemasyarakatan. Nilai-nilai yang terkandung
di dalam ketiga kehendak tersebut dapat dipahami dari sikap dan
perilaku anggota masyarakat terhadap hukum tertulis dan tak
tertulis. Penyatuan ketiga kehendak dengan mengacu kepada
sistem hukum yang berlaku, mempertimbangkan dampak hukum
yang timbul, memperhatikan kendala dan hambatan hukum yang
dihadapi, serta mempertimbangkan keberadaan ius constitutum dan
ius contituendum merupakan arah dari kegiatan penafsiran hukum.
Padanan kata dari penafsiran adalah interpretasi. Bila dikaitkan
dengan ilmu hukum, maka penafsiran hukum merupakan kegiatan
yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan dalam memberikan

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
19

kesan atau makna dari suatu norma hukum. Penafsiran merupakan


salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang
gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah
dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu.23
Penafsiran merupakan kegiatan penting dalam hukum dan
ilmu hukum. Penafsiran merupakan metode untuk memahami
makna yang terkandung di dalam teks-teks hukum untuk dipakai
menyelesaikan kasus-kasus atau mengambil keputusan atas hal-
hal yang dihadapi secara konkret.24 Bahkan teks undang-undang
itu tidak pernah jelas dan selalu membutuhkan penafsiran. Barang
siapa yang mengatakan bahwa teks undang-undang sudah sangat
jelas, sehingga tidak membutuhkan interpretasi lagi, sebenarnya
yang menyatakan demikian, sudah melakukan interpretasi sendiri.
Pernyataannya tentang jelasnya teks, sudah merupakan hasil
interpretasinya terhadap teks tersebut.25
Pentingnya penafsiran hukum dalam ilmu hukum dan
dampaknya yang dapat bersifat luas karena dapat menjadi
sarana pengubah, penambah, atau pengurang makna konstitusi,
mengharuskan penafsiran hukum dilakukan secara bijaksana dan
mempertimbangkan berbagai faktor baik di dalam maupun dari
luar hukum. Bila kita akan melakukan penafsiran hukum maka yang
pertama-tama harus dilakukan adalah meneliti apa niat (intensi)
dari penyusunnya26. Penafsiran hukum merupakan kegiatan yang

23
Sudikno Mertokusumo & Pitlo, A, 1993. Bab-Bab Tentang
Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal 154
24
Jimly Asshiddiqie, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. Hal 273
25
Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis
dan Sosiologis, Jakarta: Gunung Agung. Hal 146-147
26
R.M. Ananda. B. Kusuma. “Bagaimana Menginterpretasikan
Konstitusi Kita” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 1 No 3: 2005. Hal
157
20

sering dilakukan oleh kalangan yuris. Pernyataan ini sesuai dengan


pendapat Patterson yang menyatakan bahwa:27
“Interpretation is a familiar feature of law and legal practice.
For some legal theorists, interpretation is a central even
foundational aspect of law”.
Interpretasi hukum terjadi, apabila terdapat ketentuan undang-
undang yang secara langsung dapat diterapkan pada kasus konkret
yang dihadapi, atau metode ini dilakukan dalam hal peraturannya
sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa
konkret atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan
suatu makna ganda, norma yang kabur (vage normen), konflik
antar norma hukum (antinomy normen), dan ketidakpastian dari
suatu peraturan perundang-undangan. Interpretasi terhadap tek
peraturan perundang-undangannya pun masih tetap berpegang
pada bunyi teks tersebut28.
Menurut Dharma Pratap sebagaimana dikutip oleh Yudha
Bhakti Ardiwisastra29, Interpretasi merupakan penjelasan setiap
istilah dari suatu perjanjian apabila terdapat pengertian ganda atau
tidak jelas dan para pihak memberikan pengertian yang berbeda
terhadap istilah yang sama atau tidak dapat memberikan arti apa
pun terhadap istilah tersebut. Tujuan utama interpretasi adalah
menjelaskan maksud sebenarnya dari para pihak atau meruapakan
suatu kewajiban memberikan penjelasan mengenai maksud para
pihak seperti dinyatakan dalam kata-kata yang digunakan oleh para
pihak dilihat dari keadaan-keadaan yang mengelilinginya.
Menurut Sudikno Mertokusumo, Interpretasi atau penafsiran
27
Dennis Patterson. “Interpretation In Law”. Departments Of Law
And Philosophy. No 1:2003. Hal 2
28
Jazim Hamidi, 2005. Hermeneutika Hukum – Sejarah Filsafat Dan
Metode Tafsir. Malang: UB Press. Hal 52
29
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Dibalik Putusan Hakim, Kajian
Psikologi Hukum Dalam Perkara Pidana. Sidoarjo: Citramedia. Hal
19

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
21

merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberikan


penjelasan gambling tentang teks undang-undang, agar ruang
lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan
pada peristiwa hukum tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan
penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat
diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap
peristiwa yang konkret. Tujuan akhir penjelasan dan penafsiran
aturan tersebut untuk merealisasikan fungsi agar hukum positif itu
berlaku30.
Penafsiran hukum (dilihat dari bentuk hukumnya atau
rechtsvorm) dapat bermakna luas, baik itu penafsiran terhadap
hukum yang tertulis (geschreven recht) maupun hukum yang tidak
tertulis (ongeschreven recht). Akan tetapi dalam praktik, pembedaan
antara penafsiran konstitusi atau penafsiran hukum itu tidak dapat
ditarik secara tegas, karena ketika hakim menafsirkan konstitusi, ia
tidak dapat dibatasi hanya dengan melakukan penafsiran terhadap
norma-norma hukum tertulisnya saja atau sesuai dengan rumusan
teks-nya saja, melainkan dapat saja ia melakukan penafsiran
terhadap norma-norma hukum konstitusi yang tidak tertulis, seperti
asas-asas hukum umum (elgemene rechtsbeginselen) yang berada di
belakang rumusan norma-norma hukum tertulis itu. Dalam ilmu
hukum dan konstitusi, interpretasi atau penafsiran adalah metode
penemuan hukum (rechtsvinding) dalam hal peraturannya ada tetapi
tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.
Dalam studi ilmu hukum tata negara, penafsiran suatu naskah
hukum (konstitusi dan dokumen hukum lainnya) merupakan suatu
hal yang niscaya, karena gagasan dan semangat yang terkandung
dalam suatu naskah hukum terkait dengan ruang dan waktu, dalam
arti erat kaitannya dengan situasi dimana dan ketika naskah hukum
itu diterapkan. Kebutuhan akan penafsiran tersebut timbul karena
konstitusi tidak memuat semua ketentuan normatif yang diperlukan

30 Sudikno Mertokusumo & Pitlo, A, 1993. Op.cit, Hal 13


22

dalam rangka penataan kehidupan bernegara. Untuk melakukan


penafsiran konstitusi diperlukan metode dan teknik tertentu yang
dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan ilmiah, sehingga
upaya menegakkan konstitusi sesuai dengan tuntutan perkembangan
zaman yang ada dan tidak bertentangan dengan semangat rumusan
konstitusi yang lazim digunakan dalam rumusan normatif31.
Dalam kaitannya dengan interpretasi, menarik disimak
mengenai prinsip contextualism dalam interpretasi, seperti yang
dikemukakan oleh Ian Mcleod, yang mengemukakan adanya 3 (tiga)
asas-asas dalam contextualism, yaitu sebagai berikut:32
1) Asas Noscitur a Sociis, yaitu suatu hal yang diketahui dari
associated nya, yang berarti suatu kata harus diartikan dalam
rangkaiannya.
2) Asas Ejusdem Generis, yang berarti sesuai genusnya, yaitu
kata dibatasi makna secara khusus dalam kelompoknya.
3) Asas Expressio Unius Exclusio Alterius, yaitu kalau satu
konsep digunakan untuk satu hal, maka berarti tidak berlaku
untuk hal yang lainnya.
Pada awalnya metode interpretasi oleh Bruggink
dikelompokkan dalam 4 (empat) kelompok, yaitu:33
1) Interpretasi Bahasa/Gramatikal (de taalkundige
interpretative).
2) Interpretasi Historis Undang-Undang (de wetshistorische
interpretatie).
3) Interpretasi Sistematis (de sistematische interpretative).
4) Interpretasi Kemasyarakatan atau Interpretasi Teleologis /
Sosiologis (de maatshappelijke interpretatie).
Selanjutnya dikenal pula interpretasi komparatif dan
31
Jimly Asshiddiqie, 1998. Teori Dan Aliran Penafsiran Konstitusi,
Jakarta: Ind-hill,co. hal 16
32
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005. Argumentasi
Hukum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal 26-27
33
Ibid, Hal 26

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
23

antisipatif atau futuristic. Sementara itu metode interpretasi


yang dianut dikenal di Indonesia saat ini selain keenam metode
Interpretasi tersebut, juga ada interpretasi restriktif dan ekstensif.
Selain itu menurut Yudha Bhakti Ardiwisastra dikenal pula adanya
interpretasi autentik, interdisipliner, dan multidisipliner34.

b. Penafsiran Hukum dalam Penemuan Hukum


Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode
penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang
mengenai teks Undang-Undang agar ruang lingkup kaidah dapat
ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran
oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada
pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai
peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini
adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna Undang-Undang.
Pembenarannya terletak pada kegunaan untuk melaksanakan
ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode itu
sendiri35.
Istilah penemuan hukum dalam praktik di pengadilan sering
diperbandingkan dengan beberapa istilah seperti pelakssanaan
hukum, penerapan hukum, penciptaan hukum, atau pembentukan
hukum, padahal masing-masing istilah tersebut tidaklah sama
karena mempunyai perbedaan-perbedaan. Sudikno Mertokusumo,
memberikan pengertian dari beberapa istilah tersebut, yaitu sebagai
berikut:36
1) Pelaksanaan hukum dapat berarti menjalankan hukum
tanpa adanya sengketa atau pelanggaran, seperti
pelaksanaan hukum oleh setiap warga negara dalam
kehidupannya sehari-hari seperti menyeberang di jembatan
34
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Op.cit, Hal 11-12
35
Sudikno Mertokusumo & Pitlo, A, 1993. Loc.cit, Hal 13
36
Sudikno Mertokusumo, 2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar.
Yogyakarta: Liberty. Hal 36-37
24

penyeberangan, berjalan di trotoar, dan lain-lain ataupun


yang juga dilaksanakan oleh aparat Negara, seperti petugas
polisi yang mengatur lalu-lintas. Selain itu, pelaksanaan
hukum terjadi pada sengketa, seperti pekerjaan hakim yang
mengadili suatu sengketa di persidangan. Hal ini sekaligus
pula merupakan penegakkan hukum (law enforcement).
2) Penerapan hukum, yang berarti menerapkan (peraturan)
hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya, sehingga
tidak mungkin secara langsung menerapkan peraturan
hukum pada peristiwa konkret, jadi terlebih dahulu
peristiwa konkret dijadikan peristiwa hukum agar peraturan
hukumnya dapat diterapkan. Dalam pandangan kaum
positivis, dikatakan hakim adalah corong undang-undang
karena kewajibannya hanya menerapkan undang-undang,
hakim adalah subsumptive automaat.
3) Pembentukan hukum adalah merumuskan peraturan-
peraturan umum yang berlaku umum bagi setiap orang.
Lazimnya pembentukan hukum dilakukan oleh pembentuk
undang-undang. Tetapi hakim dimungkinkan pula
membentuk hukum, jikalau hasil putusannya merupakan
penemuan hukum yang di kemudian hari menjadi
yurisprudensi tetap yang diikuti oleh para hakim selanjutnya
dan menjadi pediman bagi masyarakat, yaitu putusan hakim
yang mengandung 2 (dua) unsur sekaligus, yaitu merupakan
penyelesaian atau pemecahan suatu peristiwa konkret dan
merupakan peraturan hukum untuk waktu mendatang.
4) Penciptaan hukum, merupakan istilah yang dipandang
kurang tepat karena memberi kesan bahwa hukumnya
itu sama sekali tidak ada, yang kemudian diciptakan, atau
dari tidak ada menjadi ada. Padahal hukum itu bukanlah
selalu berupa kaidah baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, tetapi dapat pula berupa perilaku atau peristiwa dan

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
25

di dalam perilaku itulah terdapat hukumnya, yang harus


diketemukan atau digali kaidah atau hukumnya.
Paul Scholten menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
penemuan hukum adalah sesuatu yang lain daripada hanya
penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-
kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya
harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan
jalan analogi ataupun rechsvervijning (penghalusan/penkronketan
hukum)37. Penemuan hukum menurut Mauwissen, merupakan
pengembangan hukum (rechtsboefening) adalah kegiatan manusia
berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di masyarakat,
yang meliputi kegiatan membentuk, melaksanakan, merupakan,
menemukan, menafsirkan secara sistematis, mempelajari, dan
mengajarkan hukum38.
Amir Syamsudin seorang praktisi hukum yang bergiat
sebagai advokat, memberikan pengertian bahwa penemuan hukum
merupakan proses pembentukan hukum oleh hakim dalam upaya
menerapkan peraturan hukum umum terhadap peristiwanya
berdasarkan kaidah-kaidah atau metode-metode tertentu, yang
digunakan agar penerapan hukumnya terhadap peristiwa tersebut
dapat dilakukan secara tepat dan relevan menurut hukum,
sehingga hasil yuang diperoleh dari proses itu dapat diterima dan
dipertanggungjawabkan dalam ilmu hukum39.
Penemuan hukum mempunyai cakupan wilayah kerja
hukum yang sangat luas, karena dapat dilakukan oleh siapa saja,
baik itu perorangan (individu), ilmuwan/peneliti hukum, para
penegak hukum (hakim, jaksa, polisi, advokat), dosen, notaris,
37
Achmad Ali, 2002. Loc.cit, Hal 146
38
Arief Sidharta, 2007. Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum,
Ilmu Hukum: Teori Hukum Dan Filsafat Hukum. Bandung: Refika
Aditama. Hal 61-63
39
Sudikno Mertokusumo, 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Liberty. Hal 37
26

dan lainnya40. Problematika yang berhubungan dengan penemuan


hukum umumnya dipusatkan di sekitar hakim dan pembentuk
undang-undang. Namun, dalam kenyataannya, beberapa profesi
dapat saja menemukan hukum, sebagaimana tersebut diatas. Profesi
yang terutama sekali melakukan penemuan hukum adalah hakim,
karena setiap harinya hakim dihadapkan pada peristiwa konkret
atau konflik yang harus diselesaikannya41.
Penemuan hukum terutama dilakukan oleh hakim dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara. Penemuan hukum oleh
hakim ini dianggap yang mempunyai wibawa. Ilmuwan hukum pun
mengadakan penemuan h ukum. Hanya kalau hasil penemuan
hukum oleh hakim itu adalah hukum, maka hasil penemuan hukum
oleh ilmuwan hukum bukanlah hukum melainkan ilmu atau
doktrin. Sekalipun yang dihasilkan itu bukanlah hukum, namun
disini digunakan istilah penemuan hukum juga oleh karena doktrin
ini kalau diikuti dan diambil alih oleh hakim dalam putusannya,
menjadi hukum. Doktrin bukanlah hukum melainkan sumber
hukum42.
Menurut Utrecht43 apabila terjadi suatu peraturan perundang-
undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus
bertindak bersdasarkan inisiatifnya sendiri untuk menyelesaikan
perkara tersebut. Dalam hal ini hakim harus berperan untuk
menentukan apa yang merupakan hukum, sekalipun peraturan
perundang-undangan tidak dapat membantunya. Tindakan hakim
inilah yang dinamakan dengan penemuan hukum. Penemuan
hukum oleh hakim dilakukan dalam rangka tugas dan kewenangan
dari hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara yang
dihadapka kepadanya. Penemuan hukum oleh hakim dianggap
40
Jazim Hamidi, 2005. Op.cit, Hal 51
41
Sudikno Mertokusumo, 2001. Op.cit, Hal 38
42
Sudikno Mertokusumo, 2005. Op.cit, Hal 163
43
Utrecht, 1986. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar
hal 248

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
27

yang mempunyai wibawa. Hasil penemuan oleh hakim merupakan


hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum karena
dituangkan dalam bentuk putusan44.

2. Tinjauan Tentang Kekuasaan Kehakiman


a. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
Dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat).
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang sangat menentukan
isi dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif. Kekuasaan
kehakiman diwujudkan dalam tindakan pemeriksaan, penilaian
dan penetapan nilai perilaku manusia tertentu serta menentukan
nilai situasi konkret dan menyelesaikan persoalan atau konflik yang
ditimbulkan secara imparsial berdasarkan hukum sebagai patokan
objektif.45
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas
legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa
segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-
undangan tertulis tersebut harus ada dan berlaku lebih dulu atau
mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan.
Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi
harus didasarkan atas aturan atau “rules and procedures” (regels).
Prinsip normatif demikian nampaknya seperti sangat kaku dan
dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Oleh karena itu,
untuk menjamin ruang gerak bagi para pejabat administrasi negara
dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui
pula adanya prinsip “frijsermessen”’ yang memungkinkan para
pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan
sendiri “beleid­regels” atau “policy rules” yang berlaku internal secara

Sudikno Mertokusumo & Pitlo A, 1993. Op.cit, Hal 5


44

Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2004. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori
45

Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal 93


28

bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang


dibebankan oleh peraturan yang sah.
Hukum pada pokoknya adalah produk pengambilan
keputusan yang ditetapkan oleh fungsi-fungsi kekuasaan negara
yang mengikat subjek hukum dengan hak-hak dan kewajiban
hukum berupa larangan (prohibere), atau keharusan (obligatere),
ataupun kebolehan (permittere). Hukum negara adalah hukum
yang ditetapkan dengan keputusan kekuasaan negara sebagai hasil
tindakan pengaturan, penetapan, atau pengadilan.
Oleh sebab itu, legitimasi hukum adalah kehendak rakyat yang
tertinggi. Tidak mengherankan bahwa tujuan ini sejak awal menjadi
cita-cita pendiri negara Indonesia. Ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD
1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 ini menunjukkan bahwa kedaulatan tertinggi berada di
tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilihan umum,
rakyat langsung memilih siapa yang dikehendakinya. Besarnya
suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang
diperoleh oleh para calon legislatif. Sebaliknya, rendahnya perolehan
suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang
bersangkutan. Pemngutan suara itu akan menghasilkan lembaga
negara yang diberi kekuasaan untuk membentuk undang-undang.
Kekuasaan itu pada hakikatnya berasal dari rakyat, dikelola
oleh rakyat, dan untuk kepentingan seluruh rakyat itu sendiri.
Jargon yang kemudian dikembangkan sehubungan dengan ini
adalah “kekuasaan itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.
Bahkan, dalam sistem ‘participatory democracy’, dikembangkan
pula tambahan “bersama rakyat”, sehingga menjadi “kekuasaan
pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan
bersama rakyat”.
Dalam hubungan dengan lingkup kegiatannya, ide
kedaulatan rakyat meliputi proses pengambilan keputusan, baik

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
29

di bidang legislatif maupun di bidang eksekutif. Artinya, rakyat


mempunyai otoritas tertinggi untuk menetapkan berlaku tidaknya
suatu ketentuan hukum dan mempunyai otoritas tertinggi untuk
menjalankan dan mengawasi pelaksanaan ketentuan hukum itu.
Dengan perkataan lain, rakyat berdaulat, baik dalam perencanaan,
penetapan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasan
terhadap pelaksanaan produk hukum yang mengatur proses
pengambilan keputusan dalam dinamika penyelenggaraan negara
dan pemerintahan yang berkaitan dengan nasib dan masa depan
mereka sendiri sebagai rakyat negara yang bersangkutan. Dalam
paham kedaulatan rakyat, yang didaulat dari segi politik tentu saja
bukanlah person rakyat itu sendiri, melainkan proses kehidupan
kenegaraan sebagai keseluruhan. Hubungan kedaulatan bukan
lagi terjadi antara Raja dengan Rakyatnya, tetapi antara rakyat
dengan proses pengambilan keputusan dalam negara itu sebagai
keseluruhan. Oleh sebab itu, tidak lagi relevan untuk memisahkan
kedua konsep “imperium” versus “dominium” itu secara diametral.
Rakyat menurut paham modern sekarang, berdaulat baik di lapangan
politik maupun di lapangan perekonomian. Dengan demikian,
sebagaimana kekuasaan Raja dalam paham Kedaulatan Raja yang
meliputi aspek politik dan ekonomi, maka kedua aspek politik dan
ekonomi ini tetap tercakup dalam konsep kekuasaan tertinggi yang
berada di tangan rakyat dalam paham Kedaulatan Rakyat. Artinya,
baik dalam bidang politik maupun di bidang ekonomi, rakyatlah
yang berperan sebagai pengambil keputusan tertinggi. Karena
itu, dalam hubungannya dengan “subject and sovereign”, kedua
pengertian kekuasaan di bidang politik dan di bidang ekonomi
tidak dapat dipisahkan. Kedaulatan rakyat di bidang politik disebut
demokrasi politik, sedangkan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi
disebut demokrasi ekonomi.
Pengertian mengenai kekuasaan tertinggi itu sendiri, tidak
perlu dipahami bersifat monistik dan mutlak dalam arti tidak
30

terbatas, karena sudah dengan sendirinya kekuasaan tertinggi di


tangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang mereka tentukan
sendiri secara bersama-sama yang dituangkan dalam rumusan
konstitusi yang mereka susun dan sahkan bersama, terutama
mereka mendirikan negara yang bersangkutan. Inilah yang
disebut dengan “kontrak sosial” antara warga masyarakat yang
tercermin dalam konstitusi. Konstitusi itulah yang membatasi dan
mengatur bagaimana kedaulatan rakyat itu disalurkan, dijalankan
dan diselenggarakan dalam kegiatan kenegaraan dan kegiatan
berpemerintahan sehari-hari.
Pada hakikatnya, dalam ide kedaulatan rakyat itu, tetap
harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara
dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi
kekuasaan negara, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun
yudisial. Rakyatlah yang berwenang merencanakan, mengatur,
melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta penilaian
terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu. Bahkan lebih
jauh lagi, untuk kemanfaatan bagi rakyatlah sesungguhnya segala
kegiatan ditujukan dan diperuntukkannya segala manfaat yang
didapat dari adanya dan berfungsinya kegiatan bernegara itu. Inilah
gagasan kedaulatan rakyat atau demokrasi yang bersifat “total” dari
rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama rakyat. Hanya saja,
karena kebutuhan yang bersifat praktis, gagasan demokrasi ini
dianggap perlu dilakukan melalui prosedur perwakilan. Dari sinilah
munculnya ide lembaga perwakilan atau lembaga parlemen dalam
sejarah. Dalam sistem “representative democracy” ini tentu ada saja
usaha untuk mengebiri pengertian kedaulatan rakyat itu.
Dalam rangka perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, maka dalam Perubahan Ketiga
pada tahun 2001, konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat”
yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945,
dirumuskan dengan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan,

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
31

“Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Dalam konsep Negara


Hukum itu, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam
dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik
ataupun ekonomi. Karena itu, jargon yang biasa digunakan dalam
bahasa Inggeris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the
rule of law, not of man’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya
adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya
bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.
Semula gagasan Negara Hukum terdapat dalam penjelasan
UUD 1945. Soepomo selaku perancang utamanya, menulis bahwa
Indonesia adalah “rechtsstaat” bukan “machtsstaat.” Hampir lima
tahun kemudian, Indonesia mengadopsi konstitusi baru, yang
juga dirancang oleh Soepomo, dan di dalam Konstitusi Republik
Indonesia Serikat itu sekali lagi ditekankan bahwa Indonesia
Merdeka adalah negara hukum. Lebih eksplisit lagi, UUD Sementara
1950 dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa Republik Indonesia adalah
negara-hukum yang demokratis, seperti yang juga diamanatkan
dalam Perubahan Ketiga atas UUD 1945, yang berlaku lagi sejak
tahun 1959.
Dari posisi khusus negara hukum dalam UUD Indonesia,
dapat ditarik kesimpulan bahwa istilah ini menempati posisi yang
istimewa dalam pemikiran hukum tata negara Indonesia. Anehnya,
istilah ini sangat berbeda terjemahannya dalam institusi tata negara
yang diciptakan oleh masing-masing Konstitusi tersebut. Walaupun
semuanya menyatakan bentuk negara Indonesia adalah negara
hukum, institusi dan hak yang mereka definisikan sangat berbeda.
Sehingga menjadi wajar jika pertanyaan apa yang dimaksud
dengan istilah negara hukum terus muncul dalam perdebatan para
pakar hukum tata negara maupun di diskusi politik dan bahkan di
media massa. Sekarang ini, banyak pakar di Indonesia tidak ingin
menggunakan istilah negara hukum lagi karena maknanya yang
kontroversial.
32

Gagasan Negara Hukum itu dibangun dengan


mengembangkan perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem
yang fungsional dan berkeadilan, dikembangkan dengan menata
supra struktur dan infra struktur kelembagaan politik, ekonomi
dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun
budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Demi mempermudah, istilah negara hukum dalam tulisan
ini akan digunakan untuk menyebutkan rule of law Inggris dan
Amerika, rechtsstaat Jerman dan Belanda, negara hukum Indonesia,
dan lain-lain. Keputusan ini mungkin menyiratkan bahwa tulisan
ini memperlakukan negara hukum sebagai suatu yang nonesensialis
atau konsep “kosong.” Akan tetapi, memang sudah ada sebuah
pendasaran umum yang kokoh untuk mengawali penyelidikan
terhadap negara hukum. Kendati ada ketidaksepakatan mengenai
definisi-definisi negara hukum, namun hampir semua pihak sepakat
pada dua fungsi yang diberikan oleh negara hukum.
Yang pertama adalah membatasi kesewenang-wenangan dan
penggunaan yang tidak semestinya dari kekuasaan negara. Negara
hukum adalah konsep payung bagi beberapa instrumen hukum dan
kelembagaan demi melindungi warga negara dari kekuasaan negara.
Fungsi negara hukum ini pertama kali diajukan oleh Plato dan
Aristoteles, namun lenyap selama lebih dari seribu tahun, kemudian
“ditemukan kembali” dan dielaborasi oleh ahli-ahli keagamaan,
khususnya Thomas Aquinas, sepanjang Abad Pertengahan. Inti
gagasannya adalah kedaulatan dibatasi oleh hukum, gagasan yang
semenjak itu dielaborasi dengan beragam cara. Fungsi kedua
tidak mengacu balik pada filsafat Yunani, tetapi masuk melalui
“pintu belakang” pada masa Pencerahan. Fungsinya adalah untuk
melindungi kepemilikan dan keselamatan warga dari pelanggaran
dan serangan warga lainnya.
Walaupun demikian, ada alasan-alasan yang kuat untuk

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
33

tetap membiarkan fungsi kedua ini. Pertama adalah bahwa fungsi


perlindungan kepemilikan warga ini menjadi sentral pada banyak
diskusi terkini yang memberi perhatian pada negara hukum.
Membuangnya akan menghilangkan pokok-pokok dari perdebatan-
perdebatan yang tergantung di tiang pancang negara hukum. Alasan
tambahan yang bisa diberikan adalah posisi sentral bahwa hak asasi
manusia yang menurut pertimbangan banyak orang menjadi bagian
integral dari negara hukum, telah semakin dimanfaatkan sebagai
standar utama dalam hubungan antara warga dan warga lainnya;
bukan hanya di antara negara dengan warga negaranya. Isunya tidak
lagi sekadar bagaimana negara memperlakukan warganya, namun
juga bagaimana warga memperlakukan sesama warga.
Hal ini mempunyai implikasi penting bagi negara, yang harus
mencegah warga negaranya melanggar hak asasi sesama warga
negara. Sejak banyak penulis mendiskusikan isu-isu ini dalam istilah
negara hukum, menjadi masuk akal bila kita menimbang fungsi
kedua sebagai isu sentral dari negara hukum juga.
Penting pula untuk melihat bahwa fungsi-fungsi ini cenderung
bertentangan. Stephen Holmes secara meyakinkan berpendapat
bahwa pembatasan kekuasaan negara sesungguhnya mening- katkan
keefektifan dari kekuasaan itu. Negara kerap merasa bahwa mereka
memerlukan kekuasaan yang lebih besar dengan dalih bahwa
mereka perlu melindungi warga dari sesamanya. Ketegangan antara
pengelolaan negara (governability) dan tujuan negara hukum untuk
membatasi kekuasaan adalah suatu masalah yang selalu muncul
dalam perdebatan-perdebatan mengenai upaya mempromosikan
negara hukum.
Untuk itu, sistem hukum itu perlu dibangun (law making)
dan ditegakkan (law enforcing) sebagaimana mestinya, dimulai
dengan konstitusi sebagai hukum yang paling tinggi kedudukannya.
Untuk menjamin tegaknya konstitusi itu sebagai hukum dasar yang
berkedudukan tertinggi (the supreme law of the land), dibentuk pula
34

sebuah Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai “the guardian”


dan sekaligus “the ultimate interpreter of the constitution.”
Dalam kepustakaan berbahasa Indonesia telah populer dengan
istilah “negara hukum”. Ada pendapat yang mengatakan istilah
negara hukum merupakan terjemahan dari istilah “rechtsstaat” atau
“Rule of Law”, sehingga menyamakan pengertian negara hukum
dengan rechtsstaat atau rule of law.
Menurut Philipus Hadjon dari segi konsepnya negara
hukum tidak dapat disamakan dengan rechtsstaat dan Rule of law.
Menurutnya Rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang
absolutisme, yakni kekuasaan dari raja yang sewenang-wenang
untuk mewujudkan negara yang didasarkan pada peraturan
perundang-undangan, atau sifatnya revolusioner. Lain halnya
dengan rule of law berkembang secara evolusioner. Selanjutnya
konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum Kontinental (civil
law), sedangkan konsep rule of law bertumpu pada sistem hukum
common law. Dengan demikian istilah Rechtsstaat dan Rule of law
tidak bisa disamakan begitu saja dengan negara hukum (Pancasila).
Meskipun berbeda konsep antara rechtsstaat dan Rule of law, namun
keduanya mengarahkan dirinya pada satu sasaran yang utama yaitu
“pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia”,
dengan sistem hukumnya sendiri (berbeda).
Jika melihat sejumlah literatur hukum tata negara, di kalangan
kebanyakan ahli hukum masih sering terpaku kepada unsur-unsur
pengertian sebagaimana dikembangkan pada abad ke-19 dan abad ke-
20. Sebagai contoh, tatkala merinci unsur-unsur pengertian Negara
Hukum (Rechtsstaat), para ahli selalu saja mengemukakan empat
unsur “rechtsstaat,” di mana unsurnya yang keempat adalah adanya
“administratieve rechtspraak” atau peradilan tata usaha Negara
sebagai ciri pokok Negara Hukum. Tidak ada yang mengaitkan
unsur pengertian Negara Hukum Modern itu dengan keharusan
adanya kelembagaan atau setidak-tidaknya fungsi Mahkamah

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
35

Konstitusi sebagai lembaga pengadilan tata Negara. Jawabannya


ialah karena konsepsi Negara Hukum (Rechtsstaat) sebagaimana
banyak dibahas oleh para ahli sampai sekarang adalah hasil inovasi
intelektual hukum pada abad ke 19 ketika Pengadilan Administrasi
Negara itu sendiri pada mulanya dikembangkan; sedangkan
Mahkamah Konstitusi baru dikembangkan sebagai lembaga
tersendiri di samping Mahkamah Agung atas jasa Professor Hans
Kelsen pada tahun 1919, dan baru dibentuk pertama kali di Austria
pada tahun 1920. Oleh karena itu, jika pengadilan tata usaha Negara
merupakan fenomena abad ke-19, maka pengadilan tata negara
adalah fenomena abad ke-20 yang belum dipertimbangkan menjadi
salah satu ciri utama Negara Hukum kontemporer. Oleh karena itu,
patut kiranya dipertimbangkan kembali untuk merumuskan secara
baru konsepsi Negara Hukum modern itu sendiri untuk kebutuhan
praktek ketatanegaraan pada abad ke-21 sekarang ini.
Negara hukum Indonesia yang dapat juga diistilahkan
sebagai negara hukum Pancasila, memiliki latar belakang kelahiran
yang berbeda dengan konsep negara hukum yang dikenal di Barat
walaupun negara hukum sebagai genus begrip yang tertuang dalam
penjelasan UUD 1945 terinspirasi oleh konsep negara hukum yang
dikenal di Barat. Jika membaca dan memahami apa yang dibayangkan
oleh Soepomo ketika menulis penjelasan UUD 1945 jelas merujuk
pada konsep rechtstaat. Karena negara hukum dipahami sebagai
konsep Barat, Satjipto Raharjo46 sampai pada kesimpulan bahwa
negara hukum adalah konsep moderen yang tidak tumbuh dari
dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi “barang impor”. Negara
hukum adalah bangunan yang “dipaksakan dari luar”. Lebih lanjut
menurut Satjipto, proses menjadi negara hukum bukan menjadi
bagian dari sejarah sosial politik bangsa kita di masa lalu seperti
terjadi di Eropa.
Kekuasaan kehakiman dikenal dengan istilah kekuasaan
46
Satjipto Rahardjo, 2006, Op.Cit, Hal 48
36

yudikatif. Sebagai bagian dari pemisahan kekuasaan, kekuasaan


kehakiman diatur dalam Undang Undang Dasar 1945, dalam Pasal
24 ayat (1) yang berbunyi:
“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan”.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimaksud dengan
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia. Menurut John Alder, dalam
sistem negara modern, cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary
merupakan cabang yang diorganisasikan secara tersendiri47. Prinsip
pemisahan kekuasaan juga terkait erat dengan independensi
peradilan, dimana hakim dapat bekerja secara independen dari
pengaruh kekuasaan legislatif maupun eksekutif.
Suatu peradilan yang independen adalah bagian dari seluruh
definisi tentang negara hukum, kecuali definisi yang diberlakukan
dalam negara-negara otoriter, seperti Vietnam atau Tiongkok.
Definisi-definisi yang terdapat pada negara-negara tersebut
berargumentasi bahwa peradilan harus senantiasa melayani
kepentingan negara, yang tujuannya tidak berbeda dari negara-
negara nonotoriter, namun negara- negara otoriter tersebut
kemudian berasumsi bahwa negara sama artinya dengan eksekutif.
Meskipun demikian, selain dari pandangan tersebut, suatu peradilan
yang independen secara umum dianggap sebagai elemen yang
esensial dari negara hukum.

47
Jimmly Asshiddiqie, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. Hal 45

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
37

Fakta bahwa definisi selalu berbicara tentang independensi


peradilan daripada ketidakberpihakannya (impartiality)
mencerminkan bahwa prioritas sebagian besar definisi tentang
negara hukum masih dihubungkan dengan perlindungan atas warga
negara terhadap eksekutif (dan terhadap badan legislatif walaupun
tidak sejauh seperti terhadap badan eksekutif). Independensi adalah
cara-cara untuk mencapai ketidakberpihakan, suatu konsep yang
secara mengejutkan tidak banyak dibahas dalam literatur teoretis.
Meskipun sebagian besar literatur tersebut membahas pengadilan-
pengadilan, beberapa dari literatur tersebut memperhatikan
masalah independensi yang berkaitan dengan mediasi dan bentuk-
bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, yang biasanya
menghasilkan peringatan-peringatan tentang adanya perbedaan
kekuasaan antara pihak yang bersengketa.
Untuk menjadi efektif, peradilan tidak hanya harus
independen namun juga harus mudah diperoleh, suatu kualitas
kedua yang disyaratkan oleh elemen ini. Hal ini berarti bahwa
keseluruhan per- debatan tentang akses terhadap peradilan dan
bagaimana hal tersebut dapat dicapai memang relevan dengan
konteks negara hukum. Oleh karena sebagian besar literatur memang
terkait dengan akses terhadap pengadilan, hal ini menjadi wajar.
Perkembangan terakhir yang menjadikan akses terhadap keadilan
sebagai akses terhadap ragam lembaga yang lebih luas, termasuk
lembaga-lembaga nonpemerintah, menunjuk pada dua masalah
yang relevan dengan pembahasan ini: pertama, bahwa peradilan
tidak memiliki monopoli atas keadilan, dan kedua, bahwa relasi
antara peradilan dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya juga
relevan dengan perdebatan tentang negara hukum. Meskipun
demikian, hanya sedikit yang berpendapat bahwa pada akhirnya
suatu lembaga peradilan yang independen dapat dikesampingkan.
Di sisi lain, konstitusionalisme sering disandingkan dengan
negara hukum (rule of law). Akibatnya, membawa pada makna
38

yang agak negatif terhadapnya. Sesungguhnya, konstitusionalisme


menyiratkan bahwa negara mempunyai hukum sebagai senjata
yang dahsyat tanpa jadi sasaran dari segala pembatasan yang secara
inheren terkandung di dalamnya.48 Walau demikian, jika kita
membayangkan bahwa pemerintah memerintah dengan hanya
keputusan individual sehingga jelaslah bahwa persyaratan rule
of law adalah vital. Negara semacam Tiongkok sudah hampir
mengakui versi paling sempit ini dari negara hukum dan tidak
sulit untuk melihat kelebihannya ketika kita membandingkannya
dengan situasi pada masa Revolusi Kebudayaan. Konstitusionalisme
lebih jauh lagi menganjurkan bahwa hukum pada prinsipnya harus
bersifat umum dalam muatannya dan harus diketahui. Keperluan
bagi hukum yang bersifat umum menjadi sangat jelas dari kritik
terhadap rezim yang “memerintah dengan pengecualian” (rule
by exception). Dalam situasi ini hukum-hukum yang bersifat
umum disisihkan untuk memberi jalan bagi keputusan individual,
yang menyingkirkan jaminan pada kepastian yang ada di dalam
persyaratan dari pemerintahan dengan hukum. Tindakan yang
dilakukan dalam “pemerintahan dengan pengecualian” menyiratkan
bahwa konstitusionalisme dapat dikurangi dengan cara-cara legal.
Mirip dengan itu, Shapiro telah mengungkap bagaimana
dalam penyelesaian perselisihan, kesepakatan para pihak mengenai
aturan yang akan diterapkan dan kesepakatan tentang pihak
ketiga yang akan memutus sengketa telah tergantikan oleh hukum
dan jabatan. Tindakan ini harus dilakukan pemerintah agar dapat
mengendalikan masyarakat dengan memutus sengketa sesuai aturan
yang telah dibuat oleh pemerintah. Hal ini juga menyiratkan
bahwa segala bentuk kewenangan yang tersentralisasi akan
berhadapan, pada derajat tertentu, dengan negara hukum.
Pengertian kekuasaan kehakiman menurut Muladi,
mengandung pengertian tidak hanya otoritas hukum tetapi juga

48 Tamanaha, Op.Cit., Hal. 92.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
39

kewajiban hukum yang merupakan kekuasaan yang melekat pada


hakim dan pengadilan untuk melaksanakan fungsi pemerintahan
berupa mengadili dan memutus. Adjudikasi tersebut secara luas
mencakup tiga hal:49
1) Tanggungjawab administratif (manajemen perkara).
2) Tanggungjawab prosedural (manajemen peradilan atas
dasar hukum acara yang berlaku).
3) Tanggungjawab substantif (yang berkaitan dengan
pengkaitan antara fakta dengan hukum yang berlaku).
Sebagai salah satu kekuasaan yang ada di Indonesia,
kekuasaan kehakiman tidak dapat dilaksanakan tanpa instrumen
yang melengkapinya. Instrumen kekuasaan kehakiman dapat
diartikan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, atau dengan kata
lain alat kelengkapan negara yang melakukan kekuasaan kehakiman
di Indonesia. Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman mengatur pelaku kekuasaan kehakiman
dalam Pasal 18 yang berbunyi:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Sehingga berdasar Pasal tersebut pelaku kekuasaan kehakiman


terdiri dari Mahkamah Agung dan peradilan yang berada dalam
lingkungannya, kemudian oleh Mahkmah Konstitusi. Selain itu
Komisi Yudisial yang bukan pelaksana kekuasaan kehakiman akan
tetapi keberadaannya diatur dalam UUD 1945 BAB IX tentang
Kekuasaan Kehakiman, sehingga keberadaanyya tidak dapat
dipisahkan dari kekuasaan kehakiman.

Muladi, 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, Dan Reformasi


49

Hukum DI Indonesia. Jakarta: The Habibie Center. Hal 224


40

Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan
yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan. Penegakkan hukum atau
pemberian sanksi adalah monopoli penguasa. Perorangan tidak
diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum
(menghakimi sendiri), tindakan menghakimi sendiri tidak lain
merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak
sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan pihak lain
yang berkepentingan50.
Definisi kekuasaan kehakiman, dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia. Menurut John Alder, dalam sistem negara modern,
cabang kekuasaan kehakiman atau judiciary merupakan cabang
yang diorganisasikan secara tersendiri51.

b. Pelaku Kekuasaan Kehakiman


Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pelaku kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
50
Sudikno Mertokusumo, 2005. Op.cit, Hal 23
51
Jimmly asshiddiqie, 2006. Loc.cit, Hal 45

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
41

Konstitusi. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi


dari semua lingkungan badan peradilan, yang dalam melaksanakan
tugasnya bebas dari intervensi sesuai yang diamanatkan Pasal 24A
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung adalah
sebagaimana diuraikan dibawah ini:
1) Badan Peradilan Umum
Badan Peradilan Umum sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 adalah lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung yang menjalankan
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada
umumnya.
2) Badan Peradilan Agama.
Badan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 adalah lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata
tertentu yang diatur dalam undang-undang.
3) Badan Peradilan Militer
Badan Peradilan Militer sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 adalah lingkungan
peradilan di bawah Mahkamah Agung yang melaksanakan
kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang
berkaitan dengan tindak pidana militer.
4) Badan Peradilan Tata Usaha Negara
Badan Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 adalah
lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara.
Mahkamah Agung adalah lembaga tinggi negara dalam
42

sistem ketatanegaraan Indonesia memegang kekuasaan kehakiman


bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi
agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan
negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga sebagai
penafsir akhir konstitusi. Di berbagai negara Mahkamah Konstitusi
juga menjadi pelindung (protector) konstitusi. Sejak di-inkorporasi-
kannya hak-hak asasi manusia dalam Undang Undang Dasar 1945,
bahwa fungsi pelindung konstitusi dalam arti melindungi hak-hak
asasi manusia (fundamental rights) juga benar adanya52.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia sebagai
lembaga yudikatif yang dibangun berdasarkan Pasal 24 UUD
Negara RI adalah suatu lembaga yang bebas dan merdeka dari
pengaruh kekuasaan lembaga Negara lain guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia. Sebagaimana telah diformulasikan
oleh UUD Negara RI, meskipun kekuasaan kehakiman bebas dan
merdeka, tetapi mempunyai hubungan kekuasaan dengan lembaga
Negara lain.
Pada tingkat implementasi pelaksanaan kekuasaan negara
baik dalam pembentukan undang-undang, pengujian undang-
undang maupun pelaksanaan wewenang lembaga-lembaga negara
dengan dasar prinsip konstitusionalisme harus selalu merujuk pada
ketentuan-ketentuan konstitusi. Karena pasal-pasal konstitusi tidak
mungkin mengatur segala hal mengenai kehidupan negara yang
sangat dinamis, maka pelaksanaan dan penafsiran konstitusi dalam
tingkat implementatif harus dilihat pada kerangka dasar konsep dan
elemen-elemen negara hukum Indonesia yang terkandung pada
Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya mengandung Pancasila.
Sehingga pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 menjadi
lebih hidup dan dinamis. Pembentuk undang-undang maupun
52
Maruarar Siahaan, 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press. Hal 11

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
43

Mahkamah Konstitusi memliki ruang penafsiran yang luas terhadap


pasal-pasal UUD 1945 dalam frame prinsip-prinsip negara hukum
Indonesia yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Pengujian konstitusional dalam UUD 1945 sebenarnya sudah
menjadi perdebatan dalam tahap awal pembentukan republik.
Dalam sidang BPUPK, isu itu mempertemukan secara diametral
antara Soepomo dan Muhammad Yamin. Yamin dikenal sebagai
tokoh yang menggagas pentingnya judicial review, sedangkan
Soepomo sebaliknya. Ia menolak gagasan Yamin. Soepomo
beralasan saat itu pengujian undang-undang hasil kerja legislatif
belum layak karena jumlah ahli hukum di Indonesia masih sedikit.
Soepomo juga beralasan panitia penyusun konstitusi sudah sepakat
sistem ketatangaraan yang akan dianut bukan pemisahan kekuasaan
ala Montesquieu, sehingga tak mungkin memberikan kewenangan
kepada satu cabang kekuasaan untuk membatalkan produk cabang
kekuasaan lain. Yamin melihat pentingnya checks and balances antar
lembaga negara. Karena itu ia mengusulkan agar Balai Agung tak
hanya melaksanakan kekuasaan kehakiman belaka. Balai Agung juga
harus bisa membanding undang-undang produk DPR jika undang-
undang itu melanggar konstitusi. Balai Agung yang dimaksud Yamin
adalah Mahkamah Agung.
Sebaliknya, Soepomo khawatir jika diberi wewenang
pengujian itu akan muncul kesan Balai Agung lebih tinggi dibanding
legislatif dan yudikatif. Padahal sistem ketatanegaraan yang sudah
disepakati para pendiri negara, eksekutif, legislatif, dan yudikatif
sama-sama lembaga tinggi negara. Kedaulatan tertinggi ada di
tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR. Gagasan Yamin itu
pada akhirnya memang tidak mendapat tempat dalam konstitusi
UUD 1945. Balai Agung (Mahkamah Agung) tak diberi wewenang
“membanding undang-undang” produk DPR.
Jika diamati, pemikiran Soepomo tidak statis, tetapi terus
berkembang sesuai kebutuhan zamannya. Dalam soal hak asasi
44

manusia, misalnya. Dulu ia berdebat dengan Yamin perlu tidaknya


masuk pasal-pasal HAM dalam konstitusi. Gagasan Yamin tentang
HAM memang tak sepenuhnya mentok karena penolakan Soepomo.
Ada kompromi. Tetapi pada fase berikutnya perjalanan Soepomo,
ketika ia ditunjuk jadi panitia perancangan konstitusi pasca
kemerdekaan, Soepomo malah mengakomodasi isu-isu HAM. Saldi
Isra menunjuk bukti, UUD RIS dan UUD 1950, yang ikut disusun
Soepomo, bertabur dengan pasal-pasal HAM.
Barangkali alasan utama untuk memasukkan hak asasi
manusia ke dalam kerangka negara hukum adalah karena ranah
ini telah menjadi tema pengarah sentral dari kerja sama dalam
pembangunan dan secara bertahap menjadi jelas bahwa dalam
rangka mencapai perbaikan apapun untuk mewujudkan hak
asasi manusia diperlukan suatu sistem hukum yang efektif untuk
mencapai hal tersebut. Bersatunya hak azasi manusia dengan sistem
yang efektif dalam satu konsep bermanfaat untuk menunjukkan
secara singkat kepada kesejahteraan manusia dan kerangka hukum
yang diperlukan untuk mencapai hal tersebut.
Catatan akhirnya bahwa secara akademik tidak harus
meragukan manfaat konstitusionalisme bagi seorang penguasa.
Konstitusionalisme adalah langkah pertama menuju legitimasi
yang berbasis pada pemerintahan legal-rasional. Menggunakan
peraturan yang bersifat umum adalah lebih krusial untuk
sebuah pemerintahan atas sejumlah besar orang dalam rangka
menciptakan kejelasan dan stabilitas di mana regulasi-mandiri
(self-regulation) tidak diinginkan atau dikesampingkan. Tiap
kasus mengenai pengembangan negara pada titik tertentu
mensyaratkan pengintroduksian pemerintahan dengan hukum, tak
peduli seberapa memihak atau canggungnya upaya ini dilihat dari
perspektif kontemporer.
Perubahan UUD Negara RI menerapkan prinsip pembagian
kekuasaan antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
45

Dengan fungsi checks and balances dalam upaya kontrol dan


keseimbangan antara organ-organ lembaga yang satu dengan yang
lain. Keberadaan lembaga Mahkamah Konstitusi dalam sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia merupakan sesuatu yang baru.
Mahkamah Konstitusi dalam kewenangannya untuk judicial review
dalam rangka munguji konstitusionalitas materi suatu undang-
undang tidak berdiri sendiri melainkan dikaitkan langsung dengan
kewenangan Mahkamah Agung53.
Dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi
dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi
menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan
masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan
menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua
komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di
tengah kelemahan sistem konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi
berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan
mawarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat54.
Berdirinya Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari
lembaga kekuasaan kehakiman, Mahkamah Konstitusi sebagai
tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung yang mengemban
tugas khusus merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum
negara kebangsaan modern (modern state) yang pada dasarnya
menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma
hukum yang lebih tinggi. Mahkamah Konstitusi dibentuk atas dasar
asumsi adanya supremasi konstitusi, dimana Mahkamah Konstitusi
memiliki tugas utama sebagai pengawal konstitusi, yaitu menjaga
agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan konstitusi dalam
penyelenggaraan negara. Asumsi berpandangan bahwa “konstitusi
adalah hukum tertinggi yang mendasari atau melandasi kegiatan
negara serta sebagai parameter untuk mencegah negara bertindak

53
Jimly Asshiddiqie, 2004. Loc.cit, Hal 241
54
Maruarar Siahaan, 2006. Op.cit, Hal 12
46

secara tidak konstitusional”55.


Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh MK adalah
melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang
berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar...” Selanjutnya
Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: a. menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.”
Dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mengatur
secara hierarki kedudukan UUD 1945 sebagai Groundnorms
kedudukannya lebih tinggi dari Undang-Undang. Dengan demikian
setiap ketentuan Undang- Undang tidak boleh bertentangan
dengan UUD 1945, maka dalam hal suatu Undang-Undang diduga
dan terindikasi bertentangan dengan UUD 1945, pengujiannya
diiakukan oleh Mahkamah Konstitusi.

3. Tinjauan Tentang Asas-Asas Penyelenggaraan Kekuasaan


Kehakiman
Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan mengenai
asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Di dalam Pasal 2
ayat (1), (2), (3), dan (4) menjelaskan bahwa Peradilan dilakukan
demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, dan semua
peradilan negara diatur dengan undang-undang untuk menerapkan
dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
Fickar Hadjar, 2003. Pokok-Pokok Pikiran Dan Rancangan Undang-
55

Undang Mahkamah Konstitusi. Jakarta: KRHN dan Kemitraan. Hal 5

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
47

dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Di dalam Pasal 3 ayat (1)
dan (2) Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman
dijelaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim
konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Segala campur
tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan
kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Di dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa pengadilan
mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Di dalam Pasal 5 ayat ayat
(1), (2), dan (3) Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan
Kehakiman dijelaskan bahwa hakim konstitusi wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Hakim konstitusi harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional,
dan berpengalaman di bidang hukum. Hakim konstitusi wajib
menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Di dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48
tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa tidak seorang pun
dapat dihadapkan di depan pengadilan, kecuali undang-undang
menentukan lain. Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali
apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut
undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan
yang didakwakan atas dirinya. Di dalam Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa
tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari
48

kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang.
Di dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 48 tentang
Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum
tetap. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim
wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
Di dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan
Kehakiman dijelaskan bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan,
dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
Di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 tentang
Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa pengadilan dilarang
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dengan
susunan majelis sekurang-kurangnya tiga orang hakim, kecuali
undangundang menentukan lain. Susunan hakim sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri dari seorang hakim ketua dan dua
orang hakim anggota. Hakim dalam memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara dibantu oleh seorang panitera atau seorang
yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera. Di dalam Pasal
11 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman
dijelaskan bahwa dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang
penuntut umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
Di dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 48 tentang
Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa pengadilan memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara pidana dengan kehadiran

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
49

terdakwa, kecuali undang-undang menentukan lain. Dalam hal


terdakwa tidak hadir, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah
selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa. Di dalam
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman
dijelaskan bahwa semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah
terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam siding terbuka untuk umum.
Di dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 48 tentang
Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa putusan diambil
berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Di dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 48 tentang Kekuasaan
Kehakiman dijelaskan bahwa pengadilan wajib saling memberi
bantuan yang diminta untuk kepentingan peradilan.
Di dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 48 tentang
Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa tindak pidana yang
dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali
dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah
Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer. Di dalam Pasal 17 Undang-Undang
Nomor 48 tentang Kekuasaan Kehakiman dijelaskan bahwa pihak
yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili
perkaranya.
Asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman menurut
Soedikno diantaranya adalah.56

56
Sudikno Mertokusumo, 2005. Op.cit, Hal 137-138
50

a. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya


ringan.
b. Asas equality before the law atau asas mengadili menurut
hukum tanpa membedakan orang.
c. Asas hakim pasif artinya jika tidak ada perkara yang diajukan
kepada hakim maka hakim bersifat menunggu datangnya
perkara yang diajukan kepadanya.
d. Asas hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan
mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukumnya tidak atau kurang jelas.
e. Asas hakim dianggap tahu akan hukum (ius curia novit).
f. Asas terbuka untuk umum, asas ini dimaksudkan untuk
lebih menjamin objektivitas kekuasaan kehakiman kecuali
apabila undangundang menentukan lain.
Beberapa prinsip pokok dalam penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman menurut Jimly Ashiddiqie, yaitu:57
a. The Principle of Judicial Independence.
b. The Principle of Judicial Imparciality.
Kedua pokok prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok
sistem di semua Negara yang disebut hukum modern atau modern
constitutional state. Selain prinsip diatas, dari perspektif hakim
sendiri berkembang pula prinsip-prinsip yang lain, yang dihasilkan
dalam konferensi internasional di Bangalore, India, antara lain58
a. Mandiri.
b. Ketidakberpihakan.
c. Integritas.
d. Kepantasan dan Kesopanan.
e. Kesetaraan.
f. Kecakapan dan Keseksamaan.

57
Jimmly Asshiddiqie, 2006. Op.cit, Hal 291
58
Jimmly Asshiddiqie, 2006. Op.cit, Hal 291

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
51

Bab 3

WEWENANG HAKIM KONSTITUSI


DALAM MENAFSIRKAN
PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN
A. Kewenangan Hakim Konstitusi Dalam Menafsirkan
Peraturan Perundang-Undangan Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009
1. Penafsiran Hukum Terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Oleh Hakim Konstitusi
Kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang
merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan
umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan59. Mahkamah Agung beserta
peradilan dibawahnya dan Mahkamah Konstitusi merupakan
perwujudan instrumen negara dalam hal kekuasaan kehakiman,
yakni melaksanakan peradilan dalam sebuah lembaga yudikatif
yang bernama pengadilan.
Pengadilan sebagai lembaga yudikatif dalam struktur
ketatanegaraan Indonesia memiliki fungsi dan peran strategis dalam
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa yang terjadi
diantara anggota masyarakat maupun antara masyarakat dengan
lembaga, baik lembaga pemerintah maupun non pemerintah60.
59
­Sudikno Mertokusumo, 2005. Op.cit, Hal 23
60
M. Natsir Asnawi, 2014. Op.cit, Hal 3
52

Fungsi pengadilan diselenggarakan di atas koridor independensi


peradilan yang merdeka dari segala bentuk intervensi pihak
manapun. Hal ini diamanatkan secara tegas dalam Pasal 3 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan:
“Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain
di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945”.
Berbicara mengenai independensi peradilan yang merdeka
dari segala bentuk intervensi pihak manapun, maka muara dari
proses peradilan yang independen seperti disebutkan diatas
adalah lahirnya putusan. Putusan merupakan produk peradilan
yang pertama dan utama karena merupakan jawaban akhir dari
persengketaan yang diajukan oleh para pihak serta hasil dari proses
peradilan yang telah dijalankan. Putusan sebagai produk peradilan
sejatinya lahir dari proses yang penuh kecermatan dan kehati-hatian
dari seorang hakim.
Pengadilan yang timpang hanya menghalang-halangi tujuan
bernegara. Brazil menjadi contoh untuk hal ini. Kritik yang terpapar
di Financial Times dalam kepala berita “Pengadilan Brazil menjadi
mimpi buruk bagi pertumbuhan” menunjukkan hal itu. Dalam
artikel itu dinyatakan bahwa banyak gugatan yang terdaftar di
pengadilan berurusan dengan pemerintah. Para jaksa menganggap
wanprestasi sebagai utang pemerintah. Jika pengadilan tersendat-
sendat, maka jajaran pemerintahan di lingkungan federal, provinsi,
dan lokal hanya akan menghadapi ancaman kebangkrutan secara
massif.61
Walaupun pengadilan telah berkinerja bagus, akan tetapi
kultur bisa jadi penghambat terjadinya transplantasi hukum asing
61
Jonathan Wheatley, “Brazil’s Judicial Nightmare Brings Gridlock
for Growth”, FinancialTimes”, 24 Mei 2005, hlm. 18.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
53

kepada sistem hukum nasional. Kitab Undang-Undang Hukum


Dagang Jepang (1950) mengkonfirmasi hal ini. Ia tidak terlalu
diperhatikan para hakim dalam perselisihan bisnis. Padahal,
undang-undang yang ditransplantasi langsung dari Amerika Serikat
untuk memastikan tata kelola perusahaan yang baik tersebut, telah
diundangkan lebih dari setengah abad.62
Manakala institusi hukum seperti pengadilan tidak bekerja
secara efektif, maka usaha-usaha perbaikan undang-undang hanya
akan memberikan efek yang sedikit. Sebuah studi di negara-negara
Eropa Timur dan bekas Uni Soviet dalam transisi demokrasi
mengkonfirmasikan hal tersebut. Dalam kurun waktu 1992-1998,
sejumlah reformasi hukum korporasi dan kepailitan, tidak segera
memberikan dampak untuk meyakinkan pasar, karena mereka
menuntut peran pengadilan secara lebih baik lagi.63
Setiap sarjana hukum akan mampu menunjukkan kelemahan-
kelemahan dalam sistem hukum di negara masing-masing. Kondisi
pengadilan di negara-negara berkembang jauh berbeda dengan
kondisi di negara-negara maju. Oleh sebab itu, dalam waktu-
waktu belakangan telah sering dicoba menyediakan instrumen-
isntrumen pengukuran yang bersifat lintas negara. Sebuah proyek
ambisius telah dimulai pada 2002, the World Development Report of
2002, mendeskripsikan efektifitas pengadilan sehubungan dengan
kemampuan menyelesaikan kasus-kasus di seluruh dunia.
Putusan hakim merupakan cerminan kemampuan seorang
hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Putusan
yang baik harus disusun dari fakta peristiwa dan fakta hukum yang
62
Lihat: Hideki Kanda dan Curtis J. Milhaupt, “Re-examining Legal
Transplants: The Director’s Fiduciary Duty in Japanese Corporate
Law”, American Journal of Comparative Law, Vol. 51, 2003, hlm. 887–
901.
63
Katharine Pistor, Martin Raiser, dan Stanislaw Gelfer, “Law and
Finance in Transition Economies”, Economics of Transition, Vol. 8,
No. 2, hlm. 325–368.
54

lengkap, rinci, jelas dan akurat yang diperoleh dalam persidangan


yang termuat dalam Berita Acara Persidangan (BAP). Putusan
yang disusun secara runtut dan sistematis dengan bahasa yang baik
dan benar berisi argumentasi hukum yang jelas, tepat dan benar
mencerminkan keprofesionalan seorang hakim, putusan demikian
setidaknya dapat memberikan informasi yang jelas dan akurat dan
memberikan kepuasan kepada para pihak.
Tugas penting dari hakim adalah menyesuaikan peraturan
perundang-undangan dengan hal-hal nyata di masyarakat. Apabila
peraturan perundang-undangan tidak dapat dijalankan menurut
arti katanya, hakim harus menafsirkannya64. Dalam hal menafsirkan
ini, selain memperhatikan unsur kepastian dari putusan yang akan
dibuatnya, hakim juga harus tetap memperhatikan unsur rasa
keadilan di masyarakat. Hakim dalam memutus suatu perkara
senantiasa dituntut untuk mendayagunakan segenap potensi yang
dimilikinya untuk mengkonstatir (menemukan fakta-fakta hukum),
mengkualifisir (menemukan dan mengklasifikasikan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok perkara), serta
mengkonstituir (menetapkan hukum dari perkara tersebut)65.
Dalam putusan hakim harus dipertimbangkan segala aspek
yang bersifat yuridis, sosiologis, dan filosofis, sehingga keadilan
yang ingin dicapai, diwujudkan, dan dipertanggungjawabkan dalam
putussan hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan
hukum (legal justice), keadilan masyarakat (social justice), dan
keadilan moral (moral justice)66. Penafsiran hukum merupakan
kegiatan yang dilakukan oleh ahli hukum atau pengadilan
64
Bambang Sutiyoso, 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia – Upaya Membangun Kesadaran Dan Pemahaman
Kepada Publik Akan Hak-Hak Konstitusionalnya Yang Dapat
Diperjuangkan Dan Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi.
Bandung: Citra Aditya Bakti. Hal 70
65
M. Natsir Asnawi, 2014. Op.cit, Hal 4-5
66
Lilik Mulyadi, 2005. Hukum Acara Perdata Menurut Teori Dan
Praktik Peradilan Indonesia. Jakarta: Djambatan. Hal 21

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
55

dalam memberikan kesan atau makna dari suatu norma hukum.


Penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang
memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang
agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan
peristiwa tertentu67.
Menurut Ridwan Halim, penafsiran hukum ialah suatu upaya
yang pada dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan,
baik dalam arti memperluas maupun membatasi atau mempersempit
pengertian hukum yang ada, dalam rangka penggunaannya untuk
memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi68.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat dinyatakan bahwa penafsiran
atau interpretasi hukum sangat dibutuhkan, mengingat isi undang-
undang kadang-kadang tidak jelas susunan katanya, juga tidak
jarang mempunyai lebih dari satu arti, atau bahkan sudah tidak
relevan lagi dengan perkembangan dan dinamika yang hidup di
dalam masyarakat. Oleh karena itu, penafsiran atau interpretasi
terhadap undang-undang dipandang perlu.
Menafsirkan peraturan perundang-undangan adalah
kewajiban hukum dari hakim. Sekalipun penafsiran merupakan
kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa pembatasan mengenai
kemerdekaan hakim untuk menafsirkan peraturan perundang-
undangan. Hakim harus tunduk kepada pembuat undang-undang.
Dalam hal kehendak itu tidak dapat dibaca begitu saja dari kata-
kata peraturan perundang-undangan, hakim harus mencarinya
dalam kata-kata tersebut. Hakim wajib mencari kehendak pembuat
undang-undang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak
sesuai dengan kehendak pembuat undang-undang. Atas dasar itu
hakim tidak diperkenankan menafsirkan undang-undang secara
sewenang-wenang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaidah yang

Sudikno Mertokusumo & Pitlo, A, 1993. Loc.cit, Hal 154


67

Ridwan Halim, 2005. Hukum Acara Perdata Dalam Tanya Jawab.


68

Bogor: Ghalia Indonesia. Hal 81


56

mengikat, kecuali hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud


pembuat undang-undang saja yang menjadi tafsiran yang tepat69.
Satjipto Rahardjo mengemukakan, salah satu sifat yang
melekat pada perundang-undangan atau hukum tertulis adalah sifat
otoritatif dari rumusan-rumusan peraturannya. Namun demikian,
pengutaraan dalam bentuk tulisan atau litera scripta itu sesungguhnya
hanyalah bentuk saja dari usaha untuk menyampaikan sesuatu ide
atau pikiran. Ide atau pikiran yang hendak dikemukakan itu ada
yang menyebutnya sebagai semangat dari suatu peraturan. Usaha
untuk menggali semangat itu dengan sendirinya merupakan bagian
dari keharusan yang melekat khusus pada hukum perundang-
undangan yang bersifat tertulis. Usaha tersebut akan dilakukan oleh
kekuasaan pengadilan dalam bentuk interpretasi atau konstruksi.
Interpretasi atau konstruksi ini adalah suatu proses yang ditempuh
oleh pengadilan dalam rangka mendapatkan kepastian mengenai
arti dari hukum perundang-undangan70.
Hukum yang tidak atau kurang jelas tidak dapat dijadikan
alasan penolakan bagi hakim terhadap suatu perkara yang diajukan
pencari keadilan. Asas ini dikenal dengan istilah Ius Curia Novit
atau hakim dianggap mengetahui akan hukumnya71. Sebagai pejabat
negara yang melakukan fungsi kekuasaan kehakiman di Indonesia,
menafsirkan peraturan perundang-undangan sudah menjadi hal
yang tidak bisa dilepaskan dari hakim. Akan tetapi terhadap suatu
peraturan perundang-undangan yang sama, antara hakim yang satu
dengan yang lainnya menfasirkan peraturan perundang-undangan
tersebut secara berbeda.
Pembentuk undang-undang tidak mungkin mengatur
seluruh kegiatan kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas.
Kemampuan pembentuk undang-undang terbatas. Ada kalanya
69
Bambang Sutiyoso, 2006. Loc.Cit, Hal 70
70
Satjipto Rahardjo, 2006. Membelah Hukum Progresif. Jakarta:
Kompas. Hal 94-95
71
Jazim Hamidi, 2005. Loc.cit, Hal 101

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
57

pembentuk undang-undang tidak sempat, tidak terpikirkan, atau


tidak menduga sebelumnya sebuah kejadian atau peristiwa sehingga
tidak memasukkannya ke dalam peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, hakim konstitusi wajib menggali, megikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di
dalam masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar putusan hakim
konstitusi sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di masyarakat
guna terciptanya penegakkan hukum dan keadilan yang nantinya
akan dirasakan oleh masyarakat.
Pembentuk Undang-Undang mempunyai kemampuan
terbatas, sehingga Undang-Undang yang dibuatnya tidak lengkap
dan sempurna. Untuk itu, maka tidak ada peraturan perundang-
undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya atau jelas sejelas-
jelasnya. Karena undang-undang tidak lengkap dan tidak jelas,
maka harus dicari dan ditemukan hukumnya, dengan memberi
penjelasan, penafsiran atau melengkapi peraturan perundang-
undangannya72.
Boleh dikatakan bahwa setiap ketentuan undang-undang
perlu dijelaskan, perlu ditafsirkan terlebih dahulu untuk dapat
diterapkan pada peristiwanya. Interpretasi atau penafsiran
merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi
penjelasan gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang
lingkup kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa
tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus
menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat
mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode
interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk mengetahui makna
undang-undang. Pembenarannya terletak pada kegunaannya untuk
melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan
metode itu sendiri73.

72
Achmad Ali, 2002. Op.cit, Hal 153-154
73
Sudikno Mertokusumo, 2005. Op.Cit, Hal 169
58

Penafsiran menjadi bagian tidak terpisahkan dari kerja


intelektual yang dilakukan oleh hakim. Dalam konteks memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara, penafsiran yang dilakukan
oleh hakim bermacam-macam. Bentuk-bentuk penafsiran tersebut
adalah sebagai berikut74:
a. Interpratasi Substansif
Interpretasi substansif adalah penafsiran hukum
dengan menetapkan suatu teks undang-undang terhadap
suatu perkara. Dalam pengertian lain, penafsiran substansif
merupakan penafsiran dengan memasukkan (subsumpsi)
aturan atau teks undang-undang ke dalam perkara yang
sedang diadili.
b. Interpretasi Gramatikal
Interpretasi gramatikal adalah penafsiran teks atau
peraturan perundang-undangan menurut bahasa sehari-
hari. Metode penafsiran ini melibatkan penafsiran secara
etimologis dan terminologis dan merupakan bentuk paling
sederhana dalam menafsirkan suatu teks.
c. Interpretasi Sistematis
Interpretasi sistematis adalah penafsiran teks undang-
undang dengan menghubungkan makna dan teksnya dengan
perundang-undangan lain. Dalam penafsiran sistematis,
hukum dipandang secara utuh sebagai sistem, karenanya
dalam model penafsiran ini hakim akan melibatkan atau
mengimplementasikan beberapa perundang-undangan
bahkan mungkin sumber hukum lain di luar perundang-
undangan, termasuk yurisprudensi, doktrin, dan the living
law.
d. Interpretasi Historis
Interpretasi historis adalah penafsiran hakim dengan
74
M. Natsir Asnawi, 2014. Op.cit, Hal 21-23

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
59

melihat latar belakang atau sejarah pembentukan suatu


undang-undang. Interpretasi historis terbagi menjadi dua,
yaitu:
1) Interpretasi menurut sejarah Undang-Undang
Interpretasi menurut sejarah undang-undang
(wetshistorisch) adalah penafsiran dengan mencari
maksud atau tujaun dibuatnya suatu undang-undang.
Aspek utama yang diamati disini adalah maksud
pembuat undang-undang. Dalam studi hukum (legal
drafting), dikenal istilah naskah akademik yang
memuat landasan filosofis, sosiologis dan historis suatu
rancangan undang-undang. Hal demikian yang dapat
memberikan petunjuk kepada hakim untuk mengetahui
secara jelas maksud pembuat undang-undang.
2) Interpretasi menurut sejarah hukum
Interpretasi menurut sejarah hukum
(rechtshistorisch) adalah penafsiran dengan memahami
dan menganalisis undang-undang dalam konteks
seluruh ajaran hukum. Interpretasi ini tidak hanya
menganalisis dan memhami sejarah dari undang-
undang itu sendiri, melainkan juga keseluruhan dimensi
historis dari proses kelahiran dan perkembangan
hukum yang mendahuluinya.
e. Interpretasi Teleologis
Interpretasi Teleologis adalah penafsiran undang-
undang dengan mengacu pada tujuan atau ekspektasi
kemasyarakatan. Undang-Undang ditafsirkan tidak hanya
dari segi teks semata, melainkan juga tujuan dari dibentuknya
undang-undang tersebut. Undang-undang merupakan
entitas yang statis, dan hakim disini berperan penting dalam
memberikan ruh agar undang-undang tersebut dapat selaras
60

dengan perkembangan masyarakat. undang-undang yang


sudah tidak relevan (out to date) disesuaikan penerapannya
dengan situasi dan perkembangan dinamika di masyarakat.
f. Interpretasi Komparatif
Interpretasi komparatif adalah penafsiran dengan
membandingkan berbagai sistem hukum yang ada. Metode
penafsiran ini sebagian besar digunakan hakim dalam
perkara yang berkaitan dengan perjanjian internasional.
Penafsiran komparatif juga dapat digunakan dalam
mengadili perkara perdata biasa, misalnya dalam perkara
tentang kontrak atau transaksi elektronik. Perkembangan
sistem hukum di Negara maju mengenai kontrak atau
transaksi elektronik dapat menjadi pembanding dalam
menerapkan hukum terhadap perkara tersebut.
g. Interpretasi Restriktif
Interpretasi restriktif adalah penafsiran dengan
membatasi makna teks dalam undang-undang. Penafsiran
restriktif dalam praktek lebih banyak berkaitan dengan
penafsiran undang-undang yang termuat dalam bab
penjelasan undang-undang tersebut. Penafsiran yang dapat
dipakai adalah penjelasan umum maupun penafsiran Pasal
demi Pasal.
h. Interpretasi Ekstensif
Interpretasi ekstensif adalah penafsiran dengan
memperluas makna teks undang-undang. Teks dalam
undang-undang tidak hanya ditafsirkan secara gramatikal,
melainkan diperluas maknanya sesuai dengan konteks
undang-undang tersebut, juga konteks kasus yang sedang
diadili.
i. Interpretasi Futuristik
Interpretasi futuristik adalah penafsiran undang-undang yang

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
61

bersifat antisipatif dengan berpedoman pada undang-undang yang


belum mempunyai kekuatan hukum (ius constituendum, hukum
yang dicitakan). Penafsiran futuristik adalah penafsiran hakim
dengan maksud mengantisipasi perubahan dinamika hukum pada
masa yang akan datang. Dalam konteks ini, prediktabilitas dinamika
hukum pada masa yang akan datang merupakan patronase utama
hakim dalam menafsir undang-undang.
Hakim dalam menafsirkan peraturan terkait perkara yang
sedang diadilinya dapat berpijak kepada beberapa macam interpretasi
hukum seperti diatas. Dalam penggunaannya, interpretasi hukum
yang dilakukan oleh hakim sering kali melahirkan suatu hukum yang
baru. Penemuan hukum (rechtsvinding) sering terjadi pada perkara
yang tergolong baru dan belum ada peraturan jelas yang mengatur
tentang hal tersebut atau dengan kata lain perkara yang mendahului
hukum. Undang-undang tidak memberi petunjuk bagaimana
menafsirkan. Dalam menemukan hukum tidak ada prioritas pada
salah satu metode interpretasi atau penafsiran.
Penemuan hukum di Indonesia sudah mendapatkan tempat
dalam peraturan perundang-undangan. Undang-undang kekuasaan
kehakiman mengatur secara substansial beberapa ketentuan yang
memungkinkan kegiatan penemuan hukum itu dilakukan. Apabila
dicermati dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman terdapat ketentuan yang bisa menjadi dasar
hukum positif dari penemuan hukum. Hal ini tampak pada Pasal
10 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman tersebut yang berbunyi:
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”.
Penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses
pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum
lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-
62

peristiwa hukum yang konkrit. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa


penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi
peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat
akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu75.
Dalam literatur lain disebutkan, melalui putusannya yang
menjadi yurisprudensi kuat, hakim juga membuat hukum. Hal itu
dalam praktik penyelesaian sengketa tidak dapat dihindari manakala
terminologi yang digunakan oleh undang-undang tidak jelas,
undang-undang tidak mengatur masalah yang dihadapi atau undang-
undang yang ada bertentangan dengan situasi yang dihadapi. Oleh
karena itulah hakim dalam hal ini melakukan pembentukan hukum
(rechtsvorming), analogi (rechtsanalogie), penghalusan hukum
(rechtsvervijning), ataaru penafsiran (interpretatie), kegiatan-
kegiatan semacam itu dalam hukum continental disebut sebagai
penemuan hukum (rechtsvinding)76. Ada 2 (dua) teori penemuan
hukum, yaitu penemuan hukum heteronom dan penemuan hukum
otonom77:
a. Penemuan Hukum Heteronom
Penemuan hukum heteronom terjadi pada saat hakim
dalam memutus perkara dan menetapkan hukum menganggap
dirinya terikat pada kaidah-kaidah hukum yang disodorkan dari
luar dirinya. Diandaikan bahwa makna atau isi dari kaidah pada
prinsipnya dapat ditemukan dan ditetapkan secara objektif, atau
setidaknya dapat ditetapkan dengan cara yang sama oleh setiap
orang.
Contoh kasus dari penemuan hukum heteronom
ini adalah kasus Tindak Pidana Penipuan Pasal 378 Kitab
Undang-Undnag Hukum Pidana (KUHP) dengan terdakwa
75
Sudikno Mertokusumo, 2005. Loc.cit, Hal 37-38
76
Peter Mahmud Marzuki, 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Hal 333
77
J.A. Pontier, 2008. Penemuan Hukum. Bandung: Jendela Mas
Pustaka. Hal 94

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
63

M.R. Sidabutar. Putusan Nomor 144/Pid/1983/PT-Mdn yang


dipimpin oleh hakim Bismar Siregar menuai kontroversi karena
hakim Bismar melakukan perluasan makna penafsiran kata
“barang” pada Pasal 378 KUHP dengan cara mengklasifikasikan
keperawanan seorang wanita ke dalam kata barang pada Pasal
378 KUHP tersebut78.
Penemuan hukum dengan memperluas makna barang
pada Pasal 378 KUHP tersebut dilakukan oleh Bismar Siregar
dengan penafsiran ekstensif dikarenakan hakim Bismar
menganggap apa yang dilakukan oleh terdakwa M.R. Sidabutar
termasuk penipuan karena terdakwa menjanjikan menikahi
saksi korban apabila saksi korban mau bersenggama dengan
terdakwa. Peristiwa penipuan seperti apa yang dihadapkan
kepada hakim Bismar memang belum jelas diatur dalam KUHP,
apakah termasuk dalam Pasal 378 KUHP atau tidak. Akan
tetapi, dengan cara memperluas makna “barang” pada Pasal 378
KUHP, maka hakim Bismar dapat mengklasifikasikannya ke
dalam Pasal 378 KUHP dan dapat menghukum terdakwa79.
b. Penemuan Hukum Otonom
Penemuan hukum otonom artinya menunjuk pada
kontribusi pemikiran hakim. Hakim dapat memberikan masukan
atau kontribusi melalui metode-metode interpretasi yang sesuai
dengan model penemuan hukum legistik atau melalui metode-
metode interpretasi yang baru seperti metode interpretasi
teleologikal dan evolutif-dinamikal di mana hakim menetapkan
apa tujuan, rentang jangkauan atau fungsi dari suatu kaidah
hukum, kepentingan-kepentingan apa yang hendak dilindungi
oleh kaidah hukum itu, dan apakah kepentingan tersebut benar
terlindungi apabila kaidah hukum itu diterapkan ke dalam suatu
78
(hukumonline.com/berita/baca/lt559fba87c3065/putusan-ibonda-
i-yang-mengayun-bismar, oleh penulis,2015. Diakses pada tanggal
15 Oktober 2015 pukul 20.50 WIB)
79
Ibid. hukumonline.com
64

kasus konkret dalam konteks kemasyarakatan yang aktual.


Metode interpretasi teleologikal dan evolutif-dinamikal ini
juga memberikan kepada hakim alternatif kemungkinan untuk
menelaah apakah makna yang pada suatu saat secara umum
selalu diberikan pada suatu kaidah hukum tertentu masih sesuai
dengan perkembangan aktual masyarakat.
Contoh kasus dari penemuan hukum otonom ini adalah kasus
pra peradilan Budi Gunawan yang dipimpin oleh Sarpin Rizaldi.
Hakim Sarpin menambahkan penetapan tersangka sebagai objek pra
peradilan. Hakim Sarpin menganggap putusannya terkait gugatan
penetapan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah penemuan hukum
yang dikaji secara keilmuan80.
Hakim Sarpin menyimpulkan segala tindakan penyidik yang
belum diatur dalam Pasal 77, Pasal 82, Pasal 95 KUHAP ditetapkan
sebagai objek pra81. Pernyataan hakim Sarpin tersebut merupakan
pernyataan yang merujuk pada penemuan hukum otonom karena
memaksa hakim pra peradilan untuk menemukan hukum tanpa
terikat pada kaidah-kaidah hukum yang disodorkan dari luar
dirinya.
Dalam teori hukum, keseluruhan pandangan yang
merumuskan secara eksplisit kebebasan hakim untuk menetapkan
putusannya dinamakan Freirechtsbewegung (gerakan hukum bebas).
Aliran pemikiran ini menolak pandangan sempit tentang proses
penemuan hukum, mengakui sumbangan (kontribusi) atau masukan
dari hakim yang menilai (waarderende inbreng) ke dalam proses
tersebut dan memperjuangkan pengakuan terhadap kedudukan

80
(okezone.com/read/2015/02/16/337/1106530/putusan-
praperadilan-bg-hakim-lakukan-penafsiran-hukum, oleh Syamsul
Anwar Khoemani,2015. diakses pada tanggal 15 Oktober 2015 pukul
22.35 WIB).
81
Ibid. okezone.com

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
65

mandiri dari peradilan berhadapan dengan Undang-Undang dan


sistem hukum82.
Aliran Freirechtsbewegung ini banyak mendapat kritik, karena
terlalu memberi kebebasan yang teramat besar kepada hakim
dalam mengambil keputusan, sehingga dapat mengakibatkan
ketidakpastian. Di samping itu aliran pemikiran hukum bebas ini
tidak didukung oleh suatu wawasan metodologikal yang memadai.
Dengan cara bagaimanakah hakim harus menilai dan menimbang-
nimbang berbagai kepentingan yang berhasil diungkap yang satu
terhadap yang lainnya, ukuran atau standar penilaian apakah yang
menjadi landasan pijaknya, dan metode interpretasi manakah
yang harus dipilih. Tanpa metode yang tegar dari teori legistik,
yang berkenaan dengannya diterima bahwa metode tersebut dapat
menjamin objektivitas, bebas nilai dan rasionalitas dari putusan,
maka penemuan hukum itu mungkin saja terjerumus ke dalam
kesewenang-wenangan hakim83.
Sebelum menyinggung peraturan terkait penafsiran di
dalam undang-undang Kekuasaan Kehakiman, berikut sistematika
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman:
Tabel 1: Sistematika UU No 48 Tahun 2009
Bab Isi Ketentuan Pasal
I Ketentuan Umum 1
II Asas-asas Penyelenggaraan kekuasaan 2-17
kehakiman
III Pelaku kekuasaan kehakiman 18-29
IV Pengangkatan dan pemberhentian hakim 30-37
konstitusi
V Badan-badan lain yang fungsinya berhubungan 38
dengan kekuasaan kehakiman
VI Pengawasan hakim konstitusi 39-44
82
J.A. Pontier, 2008. Op.cit, Hal 73-74
83
J.A. Pontier, 2008. Op.cit Hal 73-74
66

VII Pejabat peradilan 45-47


VIII Jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim 48-49
IX Putusan pengadilan 50-53
X Pelaksaaan putusan 54-55
XI Bantuan hukum 56-57
XII Penyelesaian sengketa di luar pengadilan 58-61
XIII Ketentuan penutup 62-64

2. Peraturan Terkait Penafsiran Di Dalam Undang-Undang


Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang adalah suatu bentuk peraturan tertulis yang
dijadikan pedoman bagi pihak yang telah diatur didalamnya untuk
bertindak sesuai dengan apa yang tertulis di dalam undang-undang
tersebut. Dalam hal kekuasaan kehakiman di Indonesia, maka
peraturan tertulis yang mengatur adalah Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Undang-
Undang ini juga diatur tentang siapa pelaku kekuasaan kehakiman
dan pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman
beserta kewenangan dan kekuasaan yang diberikan padanya, yang
termaktub pada Pasal 18 dan Pasal 19.
Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman sudah jelas menyebutkan bahwa
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah
Agung beserta badan peradilan yang ada di bawahnya dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi. Pejabat negara yang melakukan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia adalah Hakim konstitusi,
dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ujung tombak penegakkan
hukum yang melakukan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia adalah
Hakim konstitusi
Apabila diuraikan, sistematika dari UU No 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimulai dari Bab II yang
berisi tentang asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
mengkokohkan asas-asas hukum sebagai jantung dari aturan hukum

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
67

sebagai dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Kemudian


selanjutnya dalam Bab III Pelaku Kekuasaan Kehakiman, yang
merupakan derivikasi dari Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, secara tegas
menjelaskan lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
(dan juga melaksanakan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman).
Adapun kode etik dan pedoman berperilaku hakim konstitusi
diatur dalam suatu peraturan tertentu. Untuk kode etik dan
pedoman berperilaku hakim agung dan seluruh hakim dibawah
mahkamah agung diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB)
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/
IV/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik Dan
Pedoman Perilaku Hakim. Sedangkan untuk kode etik dan pedoman
berperilaku hakim konstitusi diatur dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/PMK/2003 Tentang Kode
Etik Dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi. Isi kedua
peraturan tersebut diantaranya adalah:
a. Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik Dan Pedoman
Perilaku Hakim yang berisi prinsip-prinsip dasar kode etik
dan pedoman perilaku hakim yang diimplementasikan
dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut:
1) Berperilaku adil
Adil bermakna menempatkan sesuatu pada
tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang
didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama
kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian,
tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah
memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang
sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh
karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau
68

profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung


jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus
selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan
orang.
2) Berperilaku jujur
Kejujuran bermakna dapat dan berani menyatakan
bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah
salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang
kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang
hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud
sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang
baik dalam persidangan maupun diluar persidangan.
3) Berperilaku arif dan bijaksana
Arif dan bijaksana bermakna mampu bertindak
sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam
masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma
keagamaan, kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan
dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada
saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat
dari tindakannya. Perilaku yang arif dan bijaksana
mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan
luas, mempunyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap
hati-hati, sabar dan santun.
4) Bersikap mandiri
Mandiri bermakna mampu bertindak sendiri
tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan
siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap
mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang
tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan
atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan
hukum yang berlaku.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
69

5) Berintegritas tinggi
Integritas bermakna sikap dan kepribadian yang
utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Integritas
tinggi pada hakekatnya terwujud pada sikap setia dan
tangguh berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma
yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Integritas
tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang
berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi,
dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan serta selalu
berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik
untuk mencapai tujuan terbaik.
6) Bertanggungjawab
Bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk
melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang
menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki
keberanian untuk menanggung segala akibat atas
pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.
7) Menjunjung tinggi harga diri
Harga diri bermakna bahwa pada diri manusia
melekat martabat dan kehormatan yang harus
dipertahankan dan dijunjung tinggi oleh setiap orang.
Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya
Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang
kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang
senantiasa menjaga kehormatan dan martabat sebagai
aparatur Peradilan.
8) Berdisiplin tinggi
Disiplin bermakna ketaatan pada norma-
norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai
panggilan luhur untuk mengemban amanah serta
70

kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Disiplin


tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang
tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam
pengabdian dan berusaha untuk menjadi teladan dalam
lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah
yang dipercayakan kepadanya.
9) Berperilaku rendah hati
Rendah hati bermakna kesadaran akan
keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan
dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Rendah
hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau
membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat
orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang
rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa
syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas.
10) Bersikap professional
Profesional bermakna suatu sikap moral yang
dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan
yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung
oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan
dan wawasan luas. Sikap profesional akan mendorong
terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan
mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk
meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga
tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif
dan efisien.
b. Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
Nomor 02/PMK/2003 Tentang Kode Etik Dan Pedoman
Tingkah Laku Hakim Konstitusi dalam BAB II tentang Kode
Etik Hakim Konstitusi di dalam Pasal 2 dan BAB III tentang
Pedoman Tingkah Laku di dalam Pasal 3 yang isinya:

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
71

1) BAB II tentang Kode Etik Hakim Konstitusi di dalam


Pasal 2 yang berbunyi:
Pasal 2
1. Menjunjung tinggi dan mematuhi sumpah jabatan
yang telah diucapkan, serta melaksanakan tugas
dengan jujur dan adil, penuh pengabdian dan
penuh rasa tanggung jawab kepada diri sendiri,
masyarakat, bangsa, negara, dan Tuhan Yang Maha
Esa.
2. Menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan menjaga
wibawa selaku negarawan pengawal konstitusi,
yang bebas dari pengaruh manapun (independen),
arif dan bijaksana, serta tidak memihak (imparsial)
dalam menegakkan hukum dan keadilan.
3. Memperdalam dan memperluas penguasaan ilmu
pengetahuan, khususnya yang berkaitan dengan
tugas sebagai Hakim Konstitusi, untuk digunakan
dalam proses penyelesaian perkara dengan
setepat-tepatnya dan seadiladilnya sesuai dengan
kewenangan dan kewajiban yang diamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
4. Memelihara hubungan kerjasama, memupuk
kesetiakawanan, menjaga martabat dan nama baik,
serta saling menghargai dan mengingatkan antar
sesama teman sejawat.
2) BAB III tentang Pedoman Tingkah Laku di dalam Pasal
3 yang bunyinya:
Pasal 3
(1) Dalam Penyelesaian Perkara, Hakim Konstitusi:
a. Bersikap dan bertindak menurut ketentuang yang
72

digariskan dalam hukum acara.


b. Memperlakukan semua pihak yang berperkara
secara berimbang, tidak diskriminatif dan tidak
memihak (imparsial).
c. Menjatuhkan putusan secara obyektif
didasarkan kepada fakta dan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan guna menjamin rasa
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum
yang optimal
d. Menjaga jarak untuk tidak berhubungan langsung
ataupun tidak langsung, baik dengan pihak
yang berperkara maupun dengan pihak lain
dan tidak mengadakan kolusi dengan siapapun
yang berkaitan atau dapat diduga berkaitan
dengan perkara yang akan atau sedang ditangani,
sehingga dapat mempengaruhi obyektivitas atau
citra mengenai obyektivitas putusan yang akan
dijatuhkan.
e. Tidak menerima sesuatu pemberian atau janji dari
pihak yang berperkara, baik langsung maupun
tidak langsung.
f. Tidak mengeluarkan pendapat atau pernyataan
di luar persidangan atas sesuatu perkara yang
sedang ditanganinya mendahului putusan.
(2) Terhadap Teman Sejawat, Hakim Konstitusi:
a. Memelihara hubungan kerjasama, saling
membantu dalam meningkatkan profesionalisme,
saling mengingatkan, memupuk kesetiakawanan,
tenggang rasa, serta menjaga martabat dan nama
baik sesama teman sejawat.
b. Tidak sekali-kali melecehkan teman sejawat.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
73

c. Tidak memberikan komentar terbuka atas


pendapat teman sejawat yang berbeda (dissenting
opinion), kecuali dilakukan dalam rangka
pengkajian ilmiah.
(3) Terhadap Masayarakat, Hakim Konstitusi:
a. Berperilaku sederhana, rendah hati, serta
menghormati dan menghargai orang lain.
b. Berupaya menjadi contoh teladan dalam
kepatuhan kepada hukum dan norma-norma
lainnya.
(4) Terhadap Keluarga, Hakim Konstitusi:
a. Berupaya menjaga keluarga dari perbuatan tercela
menurut norma hukum dan kesusilaan.
b. Berupaya menjaga ketentraman dan keutuhan
keluarga.
Konsekuensi sebagai pejabat negara yang melakukan
kekuasaan kehakiman, hakim konstitusi dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya haruslah berpedoman kepada Undang-
Undang dan peraturan lain yang mengaturnya. Permasalahan
terjadi ketika di dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya
itu ada hal substansial yang belum diatur secara jelas di dalam
undang-undang dan peraturan terkait. Salah satu yang menjadi
permasalahan pada saat ini adalah pedoman hakim dalam
menafsirkan peraturan perundang-undangan. Sering terjadi
perbedaan antara penafsiran hakim yang satu dengan hakim
yang lainnya terhadap suatu perundang-undangan yang sama
sekalipun.
Contoh perbedaan pendapat antara hakim yang satu
dengan hakim yang lainnya terhaap peraturan perundang-
undangan yang sama adalah pada kasus Tindak Pidana
Penipuan dengan terdakwa M.R. Sidabutar terkait penafsiran
74

“barang” pada Pasal 378 KUHP. Dalam kasus ini, hakim Bismar
melakukan penafsiran ekstensif dengan memperluas makna
“barang” dalam Pasal 378 KUHP, sedangkan oleh Ketua Muda
Pidana Mahkamah Agung pada saat itu, Adi Andojo Soetjipto
sebagai salah satu majelis yang juga memutus kasasi dari putusan
banding hakim Bismar, bahwa keperawanan seorang wanita
tidak bisa diklasifikasikan sebagai apa yang dimaksud dengan
kata “barang” dalam Pasal 378 KUHP84.
Hakim sebagai pemegang kekuasaan yudikatif, ia
berkewajiban memberikan pertimbangan dalam pelaksanaan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai peraturan
umum. Dalam memberikan pertimbangan, ada kalanya hakim
menambah peraturan perundang-undangan, maka hal ini
berarti bahwa hakim memenuhi ruang kosong (leemten)
dalam sistem hukum formal dari tata hukum yang berlaku85.
Penafsiran hakim terhadap suatu perundang-undangan itu
sangatlah penting karena dalam memutus suatu perkara
yang dipimpinnya, hakim mendasarkan putusannya tersebut
terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
perkara yang sedang dipimpinnya. Apabila hakim keliru dalam
menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan perkaranya tersebut maka putusan dari hakim tersebut
bisa merugikan salah satu pihak yang berperkara.
Hal tersebut mengandung kerangka berfikir yang sama
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Paul Scholten yang
mengatakan bahwa hukum merupakan suatu sistem yang
terbuka (open sistem van het recht). Dengan begitu hukum yang
dulunya bersifat rigid, berkembang menjadi dinamis, terus-
menerus mengikuti proses perkembangan kemasyarakatan. Hal
ini mengandung konsekuensi bahwa hakim dapat dan wajib
84
Ibid. hukumonline.com
85
C.S.T. Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Hal 70

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
75

memenuhi kekosongan yang terjadi dalam sistem hukum,


dengan catatan bahwa penambahan tersebut tidaklah membawa
perubahan yang mendasar (prinsipil) pada sistem hukum yang
berlaku. Sebelum itu sistem hukum dianggap sebagai kesatuan
yang lengkap dan tertutup, di luar undang-undang tidak ada
hukum dan hakim tidak boleh melaksanakan hukum yang tidak
disebutkan di dalam undang-undang (aliran legisme)86.
Pembuat Undang-undang tidak menetapkan suatu
sistem tertentu yang harus dijadikan pedoman bagi hakim
dalam menafsirkan undang-undang. Oleh karenanya hakim
bebas dalam melakukan penafsiran. Dalam melaksanakan
penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-tama
selalu dilakukan penafsiran gramatikal, karena pada hakikatnya
untuk memahami teks peraturan perundang-undangan harus
dimengerti lebih dahulu arti kata-katanya. Apabila perlu
dilanjutkan dengan penafsiran otentik atau penafsiran resmi
yang ditafsirkan oleh pembuat undang-undang itu sendiri,
kemudian dilanjutkan dengan metode penafsiran lainnya yang
dianggap perlu dilakukan oleh hakim dan relevan dengan apa
yang hakim butuhkan pada saat hendak menafsirkan peraturan
perundang-undangan.
Sedapat mungkin semua metode penafsiran supaya
dilakukan, agar didapat makna-makna yang tepat. Apabila
semua metode tersebut tidak menghadilkan makna yang sama,
maka wajib diambil metode penafsiran yang membawa keadilan
yang setinggi-tingginya sesuai dengan harkat dan martabat
manusia, karena memang keadilan itulah yang dijadikan sasaran
pembuat undang-undang pada waktu mewujudkan undang-
undang yang bersangkutan
Pada kenyataannya penyusunan undang-undang
86
Soeroso, 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika. Hal
110
76

memerlukan waktu yang relatif lama, sehingga pada waktu


undang-undang itu dinyatakan berlaku, perihal atau keadaan
yang hendak diatur oleh undang-undang tersebut telah
mengalami perubahan; adakalanya terbentuknya suatu
peraturan perundang-undangan senantiasa terbelakang
dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa yang berkembang
dalam masyarakat. Berkaitan dengan fenomena tersebut, dimana
peraturan perundang-undang yang statis dan masyarakat yang
dinamis, maka hakim dituntut untuk memperbaiki undang-
undang tersebut, agar sesuai dengan kondisi riil (kenyataan)
kehidupan yang berkembang dalam masyarakat. Mengingat
hukum positif peraturan perundang-undangan yang berlaku
dalam suatu negara dalam suatu waktu tertentu merupakan
suatu sistem yang formal, yang sulit untuk mengubah dan
mencabutnya walaupun sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan masyarakat yang harus diatur oleh peraturan
perundang-undangan tersebut.
Fenomena ini pada akhirnya memaksa hakim konstitusi
untuk melakukan penafsiran pada setiap perkara yang
dihadapkan kepadanya. Akan tetapi sebagai pejabat negara yang
melakukan kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam
undang-undang, maka hakim konstitusi dalam setiap hal yang
dilakukannya terkait penegakkan hukum dan keadilan haruslah
bertumpu pada ketentuan-ketentuan yang sudah diatur
dalam undang-undang tanpa terkecuali dalam hal melakukan
penafsiran.
Landasan yuridis yang memberikan kewenangan kepada
hakim untuk melakukan penafsiran hukum adalah ketentuan
yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menolak perkara
yang dihadapkan kepadanya dan hakim wajib menggali nilai-
nilai yang hidup di dalam masyarakat. Hal tersebut tergambar
dalam beberapa ketentuan antara lain:

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
77

a. Dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang


Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 5 ayat (1) disebutkan:
“Hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.”
b. Kemudian Pasal 10 ayat (1) yang berbunyi “Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.”
Jika dimaknai kata menggali pada Pasal 5 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dapat diasumsikan bahwa sebenarnya hukumnya itu sudah ada
, tetapi masih tersembunyi, sehingga untuk menemukannya
hakim harus berusaha mencarinya dengan menggali nilai-nilai
hukum yang hidup di dalam masyarakat, kemudian mengikuti
dan selanjutnya memahaminya agar putusan sesuai dengan rasa
keadilan yang hidup di dalam masyarakat87. Kemudian ketentuan
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman mengisyaratkan kepada hakim
bahwa apabila terjadi suatu peraturan perundang-undangan
yang belum jelas atau belum mengatur peristiwa hukumnya,
maka hakim harus bertindak berdasarkan inisiatifnya sendiri
untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dalam hal ini hakim
harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan
hukum, sekalipun peraturan perundang-undangan tidak dapat
membantunya88.
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

87 Achmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim


Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 7
88 Utrecht, 1986. Loc.Cit, Hal 248
78

mempunyai makna bahwa apapun perkara yang dihadapkan


pada pengadilan, maka hakim konstitusi sebagai pejabat negara
yang melakukan kekuasaan kehakiman di pengadilan tidak boleh
menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tersebut. Jelas atau tidaknya hukum yang mengatur tentang
perkara tersebut, hakim konstitusi tetap harus mengali nilai-
nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam measyarakat,
oleh karena itulah dalam setiap perkara yang dihadapkan
kepadanya hakim konstitusi akan tetap melakukan penafsiran
demi terwujudnya tujuan kekuasaan kehakiman di Indonesia
yaitu penegakkan hukum dan keadilan.

B. Penerapan Asas-Asas Penyelenggaraan Kekuasaan


Kehakiman Pada Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara
Judicial Review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
Tentang Sumber Daya Air
1. Peranan Hakim Konstitusi Dalam Asas-Asas Penyelenggaraan
Kekuasaan Kehakiman Pada Putusan Judicial Review Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sejalan
dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting Negara
Hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Semangat kekuasaan kehakiman yang tercantum di
konstitusi ini diwujudkan dalam sebuah undang-undang yakni
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
79

Kehakiman. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 adalah bentuk


penyempurnaan dari Undang-Undang yang mengatur kekuasaan
kehakiman sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Salah satu penyempurnaan undang-
undang kekuasaan kehakiman ini adalah adanya bab tersendiri
mengenai asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
Penyempurnaan undang-undang kekuasaan kehakiman
dengan menambahkan adanya bab tersendiri yang mengatur tentang
asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman ini menunjukkan
bahwa asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
merupakan elemen penting dalam mewujudkan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Korelasi penyempurnaan undang-undang
kekuasaan kehakiman dengan adanya bab tersendiri yang mengatur
tentang asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman terkait
penegakkan hukum dan keadilan yang tertera pada Pasal 5 ayat (1)
yang berbunyi:
“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat”.
Apabila diuraikan, sistematika dari UU No 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, yang dimulai dari Bab II yang
berisi tentang asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
mengkokohkan asas-asas hukum sebagai jantung dari aturan hukum
sebagai dasar penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Kemudian
selanjutnya dalam Bab III Pelaku Kekuasaan Kehakiman, yang
merupakan derivikasi dari Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, secara tegas
menjelaskan lembaga yang melaksanakan kekuasaan kehakiman
(dan juga melaksanakan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman). Dalam Bab III juga dijelaskan siapa pejabat negara yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pejabat negara yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia dalam Undang-
Undang Kekuasaan Kehakiman ini adalah hakim hakim konstitusi.
80

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan


Kehakiman sebagai umbrella act kekuasaan kehakiman di Indonesia
menjadi rujukan bagi instrumen kekuasaan kehakiman di Indonesia
untuk menegakkan hukum dan keadilan, tidak terlepas bagi hakim
konstitusi. Sebagai pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan
kehakiman di Indonesia, dalam berperan menegakkan hukum
dan keadilan, hakim konstitusi merujuk pada apa yang telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman terutama dalam hal memberikan putusan sebagai akhir
dari sebuah perkara yang diajukan ke pengadilan.
Pada prinsipnya peran merupakan dua sisi yang tak terpisahkan
dengan fungsi dan kewenangan, yakni peran merupakan limpahan
dari fungsi dan kewenangan, oleh karena itu berbicara mengenai
peran sekaligus berbicara tentang fungsi dan kewenangan. Peranan
hakim konstitusi dalam melaksanakan kekuasaan kehakimn melalui
badan peradilan, tidak lain daripada melaksanakan fungsi peradilan
sesuai dengan batas-batas kewenangan yang disebutkan undang-
undang. Pasal 2 ayat (2 dan 4), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1), Pasal
5 ayat (1 dan 2) dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 menyebutkan beberapa asas, bahwa89:
a. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa
b. Peradilan menerapkan dan menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila
c. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya
ringan
d. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya h a k i m
wajib menjaga kemandirian peradilan
e. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
89 Nurcholis Syamsudin, 2012. Prospektif Peran Hakim
Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman. Semarang:
Aneka Ilmu. Hal 4

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
81

membeda-bedakan orang
f. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
g. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tak
tercela, jujur, adil, profesional dan pengalaman di bidang
hukum
h. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya dan tidak menutup
usaha penyelesaian perkara secara perdamaian.

Bertitik tolak dari segi tujuan melaksanakan fungsi dan


kewenangan peradilan dari asas-asas di atas, peran hakim
konstitusi secara umum dapat diuraikan sebagai berikut90:
a. Menegakkan kebenaran dan keadilan
Menegakkan kebenaran dan keadilan bukan
menegakkan peraturan perundang-undangan dalam arti
sempit, yakni hakim tidak berperan menjadi mulut undang-
undang dan hakim tidak boleh berperan mengidentikkan
kebenaran dan keadilan itu sama dengan rumusan peraturan
perundang-undangan. Dalam hal inilah dituntut peran
hakim:
1) Harus mampu menafsir undang-undang secara aktual
Agar hukum yang diterapkan dilenturkan sesuai
dengan kebutuhan perkembangan kondisi, waktu dan
tempat, maka hukum yang diterapkan itu sesuai dengan
kepentingan umum dan kemasalahatan masyarakat
masa kini, namun demikian pada setiap kegiatan peran
hakim menafsir dan menentukan undang-undang
mesti tetap beranjak dari landasan cita-cita umum yang
90 Ibid, Hal 5-9
82

terdapat dalam falsafah bangsa dan tujuan peraturan


undang-undang yang bersangkutan
2) Harus berani berperan menciptakan hukum baru atau
sebagai pembentuk hukum.
Dalam hal ketentuan peraturan undang-undang
tidak mengatur sesuatu permasalahan tentang suatu
kasus konkreto, hakim harus berperan menciptakan
hukum baru disesuaikan dengan kesadaran
perkembangan dan kebutuhan masyarakat, hal itu dapat
diwujudkan hakim dengan jalan menyelami kesadaran
kehidupan masyarakat dan dari pengalaman tersebut
hakim berusaha menemukan dasar-dasar atau asas-asas
hukum baru, akan tetapi dalam hal inipun harus tetap
beranjak dari cita-cita umum falsafah bangsa dan tujuan
peraturan undang-undang yang bersangkutan.
3) Harus berani berperan melakukan contra legem
Dalam hal ini hakim harus berani menyingkirkan
ketentuan pasal undang-undang tertentu, dilakukan
setelah hakim menguji dan mengkaji bahwa ketentuan
pasal tersebut bertentangan dengan ketertiban,
kepentingan dan kemasalahatan umum, maka dalam
keadaan seperti ini kesampingkan pasal tersebut dan
berbarengan dengan boleh mencipta hukum baru atau
mempertahankan yurisprudensi yang sudah bersifat
stare decesis, tapi hal inipun harus tetap beranjak dari
cita-cita umum.
4) Harus mampu berperan mengadili secara kasuistik
Pada prinsipnya setiap kasus mengandung
particular reason, maka dalam kenyataan tidak ada
perkara yang persis mirip, oleh karena itu hakim harus
mampu berperan mengadili perkara case by case,

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
83

tidak dibenarkan sekedar membabi buta mengikuti


putusan yang telah ada tanpa menilai keadaan khusus
(particular reason) yang terkandung dalam perkara
yang bersangkutan dan menerapkannya secara
kasuistik sesuai dengan keadaan konkreto perkara
yang diperiksa.
b. Memberi edukasi, koreksi, prepensi dan represip
Memberi Edukasi, hakim melalui produk putusan
yang dijatuhkan harus mampu memberi pendidikan dan
pelajaran kepada yang berperkara dan masyarakat. Dari
putusan yang dijatuhkan, anggota masyarakat harus dapat
memetik pelajaran dan pengalaman bahwa berbuat seperti
itu adalah salah dan keliru. Memberi Koreksi, bahwa putusan
hakim harus jelas dan tegas memperbaiki dan meluruskan
setiap kesalahan yang dilakukan seseorang.
Memberi prepensi, makna dan tujuan prepensi
ini berkaitan dengan edukasi dan koreksi putusan yang
dijatuhkan, hakim harus mampu memberi pengertian
kepada masyarakat, mana yang benar dan mana yang salah.
Pengertian yang demikian akan menanamkan kesadaran
bagi mereka untuk tidak melakukan perbuatan yang seperti
itu. Memberi represif, bahwa putusan hakim harus tegas
membenarkan yang benar dan menghukum yang salah.
Ketegasan yang demikian akan berperan menegakkan
kepastian hukum pada satu segi serta menegakkan
kebenaran dan keadilan pada segi lain. Ketegasan memberi
hukuman kepada yang salah sangat luas dampaknya,
masyarakat merasa dilindungi dan mereka merasa tenteram
serta citra wibawa pengadilan akan tegak sebagai lembaga
pencari kebenaran dan keadilan.
Dalam kerangka edukasi, koreksi, prepensi dan
represip, peran hakim baru dapat memberi makna apabila
84

putusan-putusan yang dijatuhkan dilakukan melalui proses


persidangan yang:
1) Didukung oleh integritas dan profesionalisme yang
solid
Memang diakui bahwa hakim bukan manusia
yang bersifat ultimate, juga tidak absolut kemampuan
dan kesempurnaannya, hakim memiliki kekurangan
dan kelebihan, namun demikian pada diri hakim
dituntut sifat dan sikap manusia tipe ideal dalam bentuk:
a) Memegang teguh disiplin, yakni harus menepati
ketentuan aturan persidangan, jika sidang ditetapkan
pada hari dan jam tertentu, tepati dengan patuh.
b) Kwalitas moral yang tinggi dan mantap, yakni tidak
ragu-ragu dan terombang-ambing, tidak dapat
dipengaruhi apa dan siapapun, kokoh memegang
prinsip kejujuran.
c) Berwawasan luas, yakni cakap dan trampil,
menguasai dengan baik teknis justisial, memiliki
dinamika antisipasi yang luwes secara efektif,
maupun memodifikasi nilai-nilai yang segar
secara analitis dan konstruktif, sehingga putusan
yang dijatuhkan mengandung nilai-nilai hukum,
kebenaran dan keadilan yang berbobot hukum yang
matang (the maturity of law), yaitu yang rasional,
praktis dan aktual.
2) Didukung oleh sikap arif dan manusiawi
Hakim sebagai pejabat yang dianugerahi Negara
Hukum memimpin persidangan, mutlak dituntut
kearifan, yakni berbudi luhur yang tulus dan ikhlas
sebagai seorang manusia sopan dan santun, mampu
menempatkan diri sebagai agent of service tidak ubahnya

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
85

sebagai pelayan yang mengabdi kepada keadilan,


menjauhkan sikap dan perilaku arogansi (kecongkakan
kekuasaan) dan instrument of power dan menjunjung
tinggi harkat martabat orang yang berperkara.
3) Menegakkan asas-asas imperialitas dan audi et alturam
partem
Hakim tidak bertindak berat sebelah, maka
hakim harus memberi kesempatan yang sama dan
seimbang kepada para pihak dalam membela dan
mempertahankan hak dan kepentingan mereka. Dengan
demikian proses persidangan benar-benar menegakkan
prinsip equality before the law, equal protection of the
law, equal justice under the law, tidak boleh bersikap
diskriminatif, baik yang bersifat normatif dan kategoris
berdasar jenis kelamin, etnis, golongan dan status sosial.
4) Menegakkan asas-asas peradilan sederhana, cepat dan
biaya ringan
Asas-asas ini jangan hanya rumusan mati dalam
Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009,
tapi benar-benar diwujudkan jika ingin menampilkan
putusan yang mengandung edukasi, koreksi, prepensi
dan represip. Proses persidangan yang panjang dan
bertele-tele mengakibatkan kebenaran dan keadilan
hancur ditelan masa, menimbulkan kebingungan dan
keresahan yang berkepanjangan bagi yang berperkara
dan berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat atas
lembaga peradilan.
c. Proyeksi tatanan masa datang
Baik dari segi doktrin maupun politik hukum, salah
satu tujuan penegakan hukum melalui putusan hakim,
bertujuan memproyeksikan tatanan masyarakat pada masa
86

yang akan datang. Penegakan hukum melalui putusan


hakim bukan sekedar memberi kepastian hukum masa kini,
tapi sekaligus harus mampu merekayasa tatanan masyarakat
pada masa yang akan datang, dalam hal ini paling tidak pada
bidang kehidupan tertentu, peran hakim harus mampu
memproyeksikan rekayasa atau menjadi bagian rekayasa
tatanan masyarakat yang lebih baik dan lebih tertib di masa
yang akan datang.
d. Harus berperan mendamaikan
Bahwa hakim tidak semata-mata berperan dan
berfungsi untuk memeriksa dan memutus perkara, tapi
sesuai Pasal 130 HIR dan atau Pasal 154 RBg, undang-
undang memberi para hakim untuk mendamaikan.
Peran mendamaikan lebih utama dari fungsi memutus
perkara, upaya mendamaikan merupakan prioritas utama,
sedangkan fungsi mengadili merupakan kegiatan dan
tindak lanjut atas kegagalan upaya mendamaikan. PERMA
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Mediasi, menegaskan bahwa
dalam perkara perdata, khususnya yang sifatnya contentius,
mediasi adalah suatu hal yang imperatif, bahkan menurut
Pasal 2 ayat (3) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tersebut,
tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan peraturan
ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130
HIR dan atau Pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan
batal demi hukum.
e. Ikut berperan membina law standard
Penegakkan hukum melalui badan peradilan (hakim)
memerlukan terwujudnya unified legal framework dan
unified legal opinion, yakni perlu terwujudnya keseragaman
landasan hukum dan keseragaman pandangan hukum
diantara para hakim, agar tidak berkembang putusan-
putusan yang yang bersifat fluktuasis dan yang bercorak

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
87

disparitas tinggi. Law standard dapat terbina dan terwujud,


para hakim harus meneliti putusan-putusan yang telah
menjadi stare decesis, yakni putusan yang mengandung
nilai judge made law, berupa putusan yang aktual yang
bermakna pembaharuan dari pembangunan hukum,
isinya mengandung perlindungan kepentingan umum
atau maslahat umum atau putusan tersebut mengandung
common basic idie tatanan hukum masa yang akan datang
dan putusan dimaksud bersifat konstan, yaitu selalu diikuti
dalam kasus yang sama dari jumlahnya sudah banyak, maka
putusan yang demikian dikualifikasi sebagai yurisprudensi.
Akan tetapi azas terikat mengikuti yurisprudensi,
harus bersifat dinamik dengan acuan, Pertama, hakim tetap
bebas menjatuhkan putusan yang bersifat variabel dalam
kasus yang sama, berarti boleh menjatuhkan putusan yang
menyimpang dari yurisprudensi, tetapi penyimpangan
ini tidak bercorak fundamental hanya bersifat variabel,
Kedua, hakim tetap bebas mencipta putusan baru, tetap
dimungkinkan menyimpang secara keseluruhan dari
putusan yurisprudensi yang telah bersifat stare decesis
bilamana yurisprudensi tersebut tidak aktual lagi atau
yurisprusensi itu bertentangan dengan kepentingan,
ketertiban atau kemasalahatan umum.
Pengujian konstitusional (judicial review) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebenarnya
sudah pernah dilakukan sebelumnya bahkan sudah sampai pada
tahap putusan. Judicial Review kembali Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air ini karena Mahkamah
mempertimbangkan dalam putusan perkara nomor 008/PUU-
III/2005, bertanggal 19 Juli 2005, di halaman 495, yaitu:
“Apabila undang-undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan
lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan
88

mahkamah diatas, maka terhadap undang-undang a quo tidak


tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali
(conditionally constitutional)”.
Dalam putusan judicial review Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang pertama, Mahkamah
Konstitusi memberikan persyaratan bahwa dalam pelaksanaan
Undang-Undang tersebut, Pemerintah harus memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Konstitusi. Peraturan pelaksana yang
dimaksud, meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit, adalah
peraturan yang levelnya di bawah Undang-Undang, baik Peratuarn
Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan peraturan
lainnya yang berada dibawah cabang kekuasaan eksekutif. Dalam
praktiknya, Pemerintah tidak mengindahkan syarat konstiusional
yang disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi di dalam putusan
judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air. Hal ini terlihat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan
Air Minum. Pada Pasal 64 ayat (3) dan ayat (5) yang memberikan
peluang keterlibatan swasta dalam penyediaan sumberdaya air
melalui hubungan hukum perjanjian dengan Pemerintah atau
Pemerintah Daerah.
Permohonan pengujian sejumlah Pasal dalam Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang
diajukan oleh para pemohon dilakukan kembali karena pasal-pasal
itu dinilai membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pihak
swasta atas pengelolaan sumber daya air yang merugikan masyarakat
Indonesia sebagai pengguna air. Meski mengakui keterlibatan swasta
dijamin dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 008/
PUU-III/2005 yang mengakui peran swasta dan telah mewajibkan
pemerintah memenuhi hak atas air sebagai kebutuhan pokok,
di luar hak guna air.  Namun, penafsiran Mahkamah Konstitusi

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
89

itu telah diselewengkan secara normatif yang berdampak teknis


pelaksanaannya. 
Buktinya, dapat dilihat pada Pasal 1 angka 9  Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005    tentang Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum yang menyebut penyelenggara
pengembangan sistem penyediaan air minum adalah Badan Usaha
Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan
usaha swasta, atau kelompok masyarakat. Padahal, Pasal 40 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
sudah dinyatakan pengembangan sistem pengembangan air minum
adalah tanggung jawab pemerintah pusatatau pemerintah daerah.
Ini artinya, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 merupakan
swastanisasi terselubung dan pengingkaran tafsir konstitusional
Mahkamah Konstitusi.
Kondisi yang demikian telah melahirkan pola pikir pengelola
air yang selalu profit oriented dengan keuntungan maksimum bagi
pemegang sahamnya. Hal ini sudah sangat jelas bahwa pasal-pasal
privatisasi itu bertentangan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga harus dinyatakan
dibatalkan. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi
menyatakan sebagai unsur yang menguasai hajat hidup orang
banyak, air sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 haruslah dikuasai
negara. Sehingga, dalam pengusahaan air harus ada pembatasan
ketat sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada perkara judicial review
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
apabila dilihat dari asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
terutama pada Pasal 5 ayat (1) haruslah merefleksikan penegakan
hukum dan keadilan. Dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara
judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang
90

Sumber Daya Air yang dibacakan pada tanggal 18 Februari 2015


oleh ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat, di salah satu
amar putusannya hakim konstitusi mengabulkan permohonan
dari pemohon untuk seluruhnya. Hal ini karena Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air melukai prinsip
keadilan yang ada di dalam Pasal 33 Undang-Undang Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 karena dianggap merampas hak
konstitusionalitas warga negara Indonesia untuk mendapatkan air
yang ada di tanah airnya sendiri.
Putusan Mahkamah Kontitusi dalam perkara judicial review
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
menyatakan bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Dalam pertimbangannya, Mahkamah
Konstitusi menyatakan sebagai unsur yang menguasai hajat hidup
orang banyak, air sesuai Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) haruslah dikuasai
negara. Sehingga, dalam pengusahaan air harus ada pembatasan
ketat sebagai upaya menjaga kelestarian dan ketersediaan air bagi
kehidupan. Berikut beberapa poin pembatasan yang ditegaskan
Mahkamah Konstitusi dalam hal pembatasan pengelolaan air:
a. Setiap pengusahaan air tidak boleh mengganggu dan
meniadakan hak rakyat, karena selain dikuasai negara, air
ditujukan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.
b. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air sebagai salah
satu hak asasi manusia yang berdasarkan Pasal 28I ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 adalah tanggung jawab pemerintah.
c. Pengelolaan air harus mengingat kelestarian lingkungan.
d. Air harus dalam pengawasan dan pengendalian negara
secara mutlak sesuai dengan Pasal 33 ayat (2) Undang-

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
91

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


karena air merupakan cabang produksi yang penting dan
menguasai hajat hidup orang banyak.
e. Hak pengelolaan air mutlak milik negara, maka prioritas
utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah Badan
Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.
Mahkamah Konstitusi menghapus keberadaan seluruh
Pasal dalam  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004  tentang
Sumber Daya Air yang diajukan para pemohon, karena
dianggap belum menjamin pembatasan pengelolaan air oleh
pihak swasta, sehingga dinilai bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.  Dengan
dibatalkan keberadaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004
tentang Sumber Daya Air, Mahkamah Konstitusi menghidupkan
kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974  tentang
Pengairan untuk mencegah kekosongan hukum hingga adanya
pembentukkan undang-undang baru. Karenanya, segala bentuk
pengelolaan air tidak lagi berdasar pada Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, tetapi Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan. 

2. Penafsiran Konstitusi Perkara Judicial Review Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
Penafsiran konstitusi atau constitutional interpretation
merupakan penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam konstitusi atau undang-undang dasar, atau
interpretation of the basic law91. Penafsiran konstitusi merupakan
hal yang tidak terpisahkan dari aktivitas judicial review. Chen
menyatakan92:
91
Albert Chen. “The Interpretation Of The Basic Law”. Common Law
And Mainland Chinesse Perspectives. No 1: 2000. Page 1
92
Ibid, Page 2
92

“The American experience demonstrates that constitutional


interpretation is inseparable from judicial review of the
constitutionality of governmental actions, particularly
legislative enactments”.
Terdapat pandangan yang mengemukakan, bahwa
penafsiran konstitusi atau undang-undang dasar, tidaklah sama
dengan penafsiran hukum. Bertumpu dari pengertian konstitusi
atau undang-undang dasar di satu sisi, dan pengertian hukum
di sisi lain jelaslah memang pengertian konstitusi atau undang-
undang dasar itu tidak sama. Jika konstitusi diartikan sebagai
undang-undang dasar atau hukum dasar yang tertulis, maka
penafsiran konstitusi atau undang-undang dasar hanyalah
merupakan salah satu bagian saja dari penafsiran hukum. Akan
tetapi dalam praktik, pembedaan antara penafsiran konstitusi
atau penafsiran hukum itu tidak dapat ditarik secara tegas, karena
ketika hakim konstitusi menafsirkan konstitusi, ia tidak dapat
dibatasi hanya dengan melakukan penafsiran terhadap norma-
norma hukum tertulisnya saja atau sesuai dengan rumusan teks
nya saja, melainkan dapat saja ia melakukan penafsiran terhadap
norma-norma hukum konstitusi yang tidak tertulis, seperti asas-
asas hukum umum (elgemene rechtsbeginselen) yang berada di
belakang rumusan norma-norma hukum tertulis itu.
Penafsiran konstitusi yang dimaksud di sini adalah
penafsiran yang digunakan sebagai suatu metode dalam
penemuan hukum (rechstvinding) berdasarkan konstitusi atau
undang-undang dasar yang digunakan atau berkembang dalam
praktik peradilan Mahkamah Konstitusi. Metode penafsiran
diperlukan karena peraturan perundang-undangan tidak
seluruhnya dapat disusun dalam bentuk yang jelas dan tidak
membuka penafsiran lagi. Mengenai ukuran kejelasan dalam
peraturan perundang-undangan (termasuk konstitusi atau
undang-undang dasar), Montesquieu mengajukan kriteria

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
93

untuk menyusun peraturan perundang-undangan sebagai


berikut93:
a. Gaya penuturannya hendaknya padat dan sederhana. Ini
mengandung arti bahwa pengutaraan dengan menggunakan
ungkapan-ungkapan kebesaran (grandiose) dan retorik
hanyalah mubasir dan menyesatkan. Ini mengandung arti
bahwa pengutaraan dengan menggunakan ungkapan-
ungkapan kebesaran (grandiose) dan retorik hanyalah
mubasir dan menyesatkan.
b. Peraturan-peraturan hendaknya membatasi dirinya pada
hal-hal yang nyata dan aktual dengan menghindari hal-hal
yang bersifat metaforis dan hipotesis.
c. Peraturan-peraturan hendaknya jangan terlampau tinggi,
oleh karena ia ditujukan untuk orang-orang dengan
kecerdasan tengah-tengah saja; peraturan itu bukan latihan
dalam penggunaan logika, melainkan hanya penalaran
sederhana yang bisa dilakukan oleh orang-orang biasa.
d. Janganlah masalah pokoknya dikacaukan dengan
kekecualian, pembatasan atau modifikasi, kecuali dalam
hal-hal yang sangat diperlukan.
e. Peraturan tidak boleh mengandung argumentasi; adalah
berbahaya untuk memberikan alasan terperinci bagi suatu
peraturan, oleh karena yang demikian itu hanya akan
membuka pintu untuk pertentangan pendapat.
f. Akhirnya, di atas itu semua, ia harus dipertimbangkan
dengan penuh kematangan dan mempunyai kegunaan
praktis dan jangan hendaknya ia mengguncangkan hal-
hal yang elementer dalam penalaran dan keadilan serta la
nature des choices. Peraturan-peraturan yang lemah, yang
tidak perlu dan tidak adil akan menyebabkan orang tidak
menghormati perundang-undangan dan menghancurkan
otoritas negara.
93
Satjipto Rahardjo, 2006. Loc.CIt, Hal 94-95
94

Jon Roland, salah seorang senator Amerika Serikat yang


memiliki intensi yang tinggi terhadap hukum konstitusi telah
mengemukakan prinsip-prinsip mengenai penafsiran konstitusi
(Principles of Constitutional Interpretation) yang dibedakannya
menjadi beberapa prinsip, yaitu94:
a. Tekstual
Penafsiran tekstual didasarkan pada kata-kata yang
aktual dari hukum tertulis, jika makna dari kata-kata
tersebut tidak ambigu. Karena pada dasarnya hukum adalah
sebuah perintah, maka ia harus diartikan seperti apa makna
yang dimaksud pembuat hukum (tertulis). Dan jika maksud
kata digunakan dalam suatu peristiwa, maka analisis tekstual
dari kata-kata harus seperti pemahaman yang diinginkan
pembuat undang-undang, yang mana untuk konstitusi
dapat dipahami dari persetujuan yang disahkan, jika hal
tersebut tidak jelas, maka dicari dari pembuat naskah.
Penafsiran tekstual adalah penafsiran yang tidak lari
dari teks atau naskah hukum tertulis. Penafsiran ini bersifat
restriktif karena membatasi penafsiran pada ketentuan yang
telah ada dari teks tertulis yang akan ditafsirkan. Disamping
penafsiran restriktif, penafsiran letterlijk atau harfiah, arti
kata atau istliah, penafsiran gramatikal, bahkan penafsiran
otentik dapat dimasukkan sebagai bagian dari penafsiran
tekstual. salah satu cara penerapan penafsiran tekstual
dapat dilakukan dengan cara subsumptif, yaitu dengan
menggunakan logika silogisme.

94
Jon Roland dalam Yance Arizona, 2007. Penafsiran Mahkamah
Konstitusi terhadap Pasal 33 UUD 1945: Perbandingan Putusan
Pengujian UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dengan Putusan
Pengujian UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, Skripsi Sarjana
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang. Hal 68

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
95

b. Historikal
Dalam penafsiran historis atau historical interpretation,
keputusan sedikit sekali didasarkan pada kata-kata yang
aktual dalam undang-undang, melainkan lebih didasarkan
kepada pemahaman yang diungkapkan dari sejarah naskah
dan pengesahan undang-undang tersebut, demikian juga
terhadap konstitusi atau aturan dasar. Kadang-kadang
penafsiran ini disebut sebagai sejarah legislasi, dan untuk
putusan pengadilan disebut sejarah kasus. Suatu analisa
tekstual dari kata-kata yang diartikan bersentuhan dengan
analisa sejarah.
Karena merupakan pendekatan sejarah, historical
interpretation tidak bertitik tolak dari asas-asas hukum
yang abstrak, betapa rasional pun, tetapi bersumber pada
tradisi-tradisi yuridis nasional, yang merupakan gambaran
dari kesadaran nasional bangsa atau jiwa bangsa (volksgeist).
Jiwa ini muncul secara alami ke permukaan di dalam hukum
kebiasaan setiap bangsa.
Historical interpretation mencoba meninjau kembali
konstruksi pemikiran dan semangat masa lalu, kemudian
menggunakan hal tersebut sebagai landasan yang original
dalam memutus perkara aktual. Hal ini dapat dilihat dari
risalah sidang, makalah, buku yang diterbitkan, dan lain-
lain media yang merekam intensi para pembuat undang-
undang serta suasana pada saat undang-undang itu di buat.
c. Fungsional
Dalam penafsiran fungsional (functional) atau
disebut juga struktural, keputusan didasarkan dari struktur
hukum dan bagaimana aturan tersebut diharapkan jelas
keterkaitannya, sebuah sistem yang harmonis. Functional
interpretation melihat hukum sebagai suatu sistem
yang harmonis. Harmonisasi hukum itu dapat berupa
96

keterkaitan secara horizontal, sesama undang-undang,


maupun yang bersifat vertikal. Disamping meninjau
keterkaitan antara norma hukum, functional interpretation
juga mempertimbangkan bagaimana kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi dalam operasionalisasi suatu
undang-undang. Jadi, ia juga bersifat antisipatif, tetapi
antisipatif yang dimaksud di sini adalah antisipatif yang
terikat pada penerapan suatu norma hukum dengan aturan
hukum dibawahnya, bukan norma hukum itu sendiri yang
bersifat antisipatif.
d. Doktrinal
Dalam Penafsiran Doktrinal, keputusan didasarkan
kepada praktik yang berlaku atau pendapat hukum dari ahli
hukum, terutama legislatif, eksekutif, atau yurisprudensi
pengadilan, yang dijadikan sebagai prinsip untuk digunakan
bagi keputusan pengadilan, yaitu tidak sebagai suatu
nasehat belaka tetapi bersifat normatif. Disamping pendapat
atau putusan dari lembaga-lembaga hukum, Doctrinal
interpretation juga dapat bersumber dari pendapat-pendapat
ahli dari bidang ilmu lain seperti ekonomi, sosial, dan lain
sebagainnya.
Doctrinal interpretation melakukan penafsiran
berdasarkan sumber-sumber hukum, yaitu dari sesuatu
yang dianggap sebagai sebuah doktrin. Doktrin-doktrin
tersebut lahir pada masa lalu, namun hal tersebut harus
dibedakan dengan penafsiran berdasarkan sejarah
(historical interpretation) karena doktrin-doktrin tidak
dimaknai sebagai sumber hukum yang berdasarkan waktu
kelahirannya (tempus), melainkan dari kaidah-kaidahnya
yang berlaku lama.
e. Prudensial
Keputusan berdasar pada faktor di luar hukum

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
97

atau kepentingan para pihak (masyarakat) dalam perkara,


seperti memberi batas waktu yang harus dipenuhi pejabat
publik, efisiensi kinerja pemerintah, menghindarkan dari
pengaruh banyak hal, atau dari tekanan politis. seperti satu
pertimbangan, menghindari mengganggu suatu kegiatan
suatu lembaga, juga motivasi yang utama untuk metoda
yang berkenaan dengan doktrin. juga meliputi seperti
pertimbangan apakah suatu kasus adalah “siap” diputuskan,
atau apakah perbaikan yang administratif menjelang
diambil keputusan. Prudential interpretation berorientasi
kepada kebijaksanaan yang dilahirkan dari sebuah putusan.
Ia berupaya menciptakan kondisi terbaik untuk memutus
suatu perkara.
f. Ekuitabel
Penafsiran Ekuitabel atau equitable interpretation bisa
juga disebut penafsiran etis. Dimana keputusan didasarkan
pada perasaan keadilan, keseimbangan kepentingan dari para
pihak, dan apa yang baik dan buruk, tanpa memperhatikan
apa hukum (tertulis). Sering kali ditempatkan pada kasus di
mana fakta tidak cukup untuk mengantisipasi atau memadai
dari pembuat undang-undang. Beberapa sarjana menaruh
berbagai ukuran keseimbangan dari kepentingan dan nilai-
nilai dalam kategori kebijaksanaan. Tetapi tindakan itu lebih
baik digunakan untuk membedakan kebijaksanaan sebagai
keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai dalam
sistem hukum dari pada kepatutan (equitable) sebagai
keseimbangan antara kepentingan dan nilai-nilai antara
para pihak.
Ciri pokok dari equitable interpretation adalah adanya
dua atau lebih variabel yang dipertimbangkan oleh hakim.
Dua atau lebih variabel itu diakomodasi secara proposional.
Hal ini berbeda dengan penafsiran perbandingan
98

(comparative interpretation), bila comparative interpretation


hanya memaparkan dua atau lebih variabel secara deskriptif,
maka equitable interpretation melihat variabel-variabel yang
ada sebagai hal yang dihimpun secara proporsional
g. Natural
Dalam penafsiran natural, keputusan didasarkan
pada apa yang diwajibkan atau anjuran dari hukum yang
alamiah, atau barang kali dari sifat-sifat dasar manusia,
dan pada apa yang bersifat jasmaniah atau secara ekonomis
mungkin atau dapat dilakukan, atau pikiran yang bersifat
aktual. Penafsiran yang bersifat natural ini dapat dilihat dari
putusan-putusan hakim yang memaparkan benda-benda
secara alamiah, baik itu perilaku manusia maupun kejadian
alam.
Hukum positif nampaknya belum dapat menentukan,
bahwa dari sekian banyak macam metode interpretasi
konstitusi yang ada atau berkembang dalam praktik peradilan
di Mahkamah Konstitusi baik yang digunakan oleh pemohon,
termohon, pihak terkait, saksi, ahli, maupun hakim konstitusi,
hanya metode interpretasi konstitusi tertentu saja yang boleh
dipilih dan digunakan oleh hakim konstitusi. Hakim konstitusi
juga memiliki kebebasan untuk memilih dan menggunakan
metode-metode penafsiran konstitusi mana yang diyakininya
benar. Dengan demikian hakim konstitusi memiliki kebebasan
untuk memilih dan menggunakan metode-metode penafsiran
atau interpretasi itu. Mengenai hal ini, Mahkamah Konstitusi
dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang permohonan
pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang
Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman, pernah mengemukakan
pandangan hukumnya sebagai berikut:

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
99

“Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga


penafsir undang-undang dasar (the sole judicial interpreter
of the constitution), tidak boleh hanya semata-mata terpaku
kepada metode penafsiran originalisme dengan mendasarkan
diri hanya kepada original intent perumusan Pasal UUD
1945, terutama apabila penafsiran demikian justru
menyebabkan tidak bekerjanya ketentuan-ketentuan UUD
1945 sebagai suatu sistem dan/atau bertentangan dengan
gagasan utama yang melandasi Undang-Undang Dasar
itu sendiri secara keseluruhan berkait dengan tujuan yang
hendak diwujudkan. Mahkamah Konstitusi harus memahami
UUD 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang
terkandung di dalamnya guna membangun kehidupan
ketatanegaraan yang lebih tepat dalam upaya mencapai cita
negara (staatsideé), yaitu mewujudkan Negara Hukum yang
demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum,
yang merupakan penjabaran pokok pikiran yang terkandung
dalam Pembukaan UUD 1945”.

Jadi, terkait dengan prinsip independensi dan kebebasan


hakim, hingga kini tidak ada ketentuan atau aturan yang
mengharuskan hakim konstitusi hanya menggunakan salah satu
metode penafsiran tertentu saja. Pemilihan dan penggunaan
metode interpretasi merupakan kemerdekaan hakim konstitusi
dalam penemuan hukum. Terkait dengan hal ini, Mahkamah
Konstitusi Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004
tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juga mengemukakan:
“Kemerdekaan dimaksud juga diartikan bahwa hakim bebas
memutus sesuai dengan nilai yang diyakininya melalui
penafsiran hukum, walaupun putusan yang didasarkan pada
penafsiran dan keyakinan demikian mungkin berlawanan
100

dengan mereka yang mempunyai kekuasaan politik dan


administrasi”.

Dalam pertimbangan yang dimuat dalam putusan


Mahkamah Konstitusi pada perkara judicial review Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air,
hakim konstitusi memberikan penafsiran pada Pasal-pasal
yang dianggap pemohon sebagai komersialisasi terselubung.
Hal ini tidak terlepas dari permohonan pemohon judicial
review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air yang meminta hakim konstitusi untuk menguji
konstitusionalitas Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagaimana disebutkan
lengkap dalam bagian duduk perkara yang dapat dikelompokkan
ke dalam pokok permasalahan sebagai berikut:
a. Pengelolaan air dengan menggunakan instrumen pemberian
hak guna air, sebagaimana diatur dalam Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.
b. Pendayagunaan sumber daya air, termasuk pengusahaan
air, sebagaimana diatur dalam Pasal 26, Pasal 29, Pasal 45,
Pasal 46, Pasal 48, dan Pasal 49.
c. Pembiayaan sebagaimana diatur dalam Pasal 80.
d. Gugatan masyarakat dan organisasi, sebagaimana diatur
dalam Pasal 90, Pasal 91, dan Pasal 92.
Guna mempertimbangkan permasalahan permohonan
para pemohon, di dalam salah satu pertimbangannya, hakim
konstitusi menggunakan penafsiran fungsional. Dalam
kategori penafsiran konstitusi yang digariskan oleh Jon
Roland, konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)
merupakan bentuk dari penafsiran fungsional (functional
interpretation), Penafsiran fungsional melihat hukum sebagai

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
101

suatu sistem yang harmonis. Harmonisasi hukum itu dapat


berupa keterkaitan secara horizontal, sesama undang-
undang, maupun yang bersifat vertikal. Disamping meninjau
keterkaitan antara norma hukum, penafsiran fungsional juga
mempertimbangkan bagaimana kemungkinan-kemungkinan
yang terjadi dalam operasionalisasi suatu undang-undang.
Jadi dia juga melihat bagaimana suatu perundang-undangan
dijalankan sebagai suatu sistem yang lintas institusi.
Penafsiran fungsional pada putusan judicial review
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air sangat mempengaruhi pertimbangan mahkamah. Salah
satu contoh penafsiran fungsional pada putusan judicial review
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air dapat dilihat pertimbangan mahkamah, berikut:
“Apabila undang-undang a quo dalam pelaksanaan ditafsirkan
lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan
mahkamah diatas, maka terhadap undang-undang a quo tidak
tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali
(conditionally constitutional)”.
Selain penafsiran fungsional yang paling mempengaruhi
putusan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perkara judicial
review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air, terdapat beberapa penafsiran lain yang dilakukan
oleh hakim konstitusi salah satunya adalah penafsiran historis.
Dalam salinan putusan, mahkamah mempertimbangkan bahwa:
“Sejarah menjadi saksi bahwa sejak dahulu kala, sebelum
masyarakat mengikatkan diri sebagai suatu bangsa dan
negara, hingga saat ini, air merupakan kebutuhan dasar
manusia yang dikaruniakan oleh Allah Subhanahuwata’ala
Tuhan Yang Maha Esa, sehingga air menjadi hak publik (res
commune), yaitu suatu hak yang dimiliki oleh masyarakat
secara bersama-sama”.
102

Pandangan sebagaimana diuraikan diatas secara


konstitusional dirumuskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menjadi salah satu pertimbangan mahkamah dibatalkannya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air. Selanjutnya, mahkamah menggunakan penafsiran doktrinal
yang mana pendapat hukum yang digunakan oleh mahkamah
adalah pendapat hukum komite Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) untuk hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya terhadap
komentar umum mengenai hat atas kesehatan sebagaimana
dikutip oleh mahkamah sebagai berikut:
“komentar umum tersebut menafsirkan hak inklusif yang
meliputi tidak saja pelayanan kesehatan yang terus menerus
dan layak tetapi juga meliputi faktor-faktor yang menentukan
kesehatan yang baik, termasuk salah satu didalamnya adalah
akses kepada air minum yang aman”.

Mahkamah pun kemudian menegaskan bahwa sebagai


bagian dari hak asasi, maka negara wajib menghormati,
melindungi, dan memenuhinya. Pada saat yang sama mahkamah
menekankan bahwa aspek hak asasi tersebut, tidak hanya
menyangkut kebutuhan sekarang tetapi juga harus dijamin
kesinambungannya untuk masa depan karena menyangkut
eksistensi manusia. Kemudian, mahkamah membatasi
pengertian pihak yang berhak melakukan pengelolaan terhadap
air dalam hal ini pihak swasta beserta keleluasaannya mengolah
air dengan menggunakan penafsiran tekstual dan prudensial
secara bersamaan yang sifatnya restriktif atau membatasi apa
yang tertulis di dalam undang-undang sebagaimana berikut:
“hak guna usaha air merupakan instrumen dalam sistem
perizinan yang digunakan pemerintah untuk membatasi
jumlah atau volume air yang dapat doperoleh atau diusahakan

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
103

oleh yang berhak sehingga dalam konteks ini, izin harus


dijadikan instrumen pengendalian, bukan instrumen
penguasaan. Dengan demikian, swasta tidak boleh melakukan
penguasaan atas sumber air atau sumber daya air tetapi hanya
dapat melakukan penguasaan dalam jumlah atau alokasi
tertentu saja sesuai dengan alokasi yang ditentukan dalam
izin yang diberikan negara secara ketat.

Dibatalkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 2004


tentang Sumber Daya Air memang secara otomatis juga
mengakhiri konsep privatisasi pemanfaatan sumber daya
air hujan melalui penyelenggaraan modifikasi cuaca
sebagaimana sebelumnya di atur dalam Pasal 38 ayat (2).
Namun, permasalahan hukum yang baru timbul dari Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut. Di berlakukanya kembali
Undang-Undang Pengairan oleh Mahkamah Konstitusi
untuk mengisi kekosongan hukum pengelolaan sumber daya
air ternyata justru menimbulkan kekosongan hukum dalam
pengaturan pemanfaatan sumber daya air hujan. Undang-
Undang Pengairan tidak mengatur tentang pemanfaatan
sumber daya air hujan, khususnya melalui penyelenggaraan
modifikasi cuaca. Mahkamah Konstitusi tidak sepenuhnya
melarang pihak swasta untuk ikut melakukan pemanfaatan
sumber daya air. Mahkamah Konstitusi mengamanatkan
bahwa penggunaan istrumen Hak Guna Usaha Air tidak
boleh dimaksudkan sebagai pemberian hak penguasaan
atas sumber air, sungai, danau, atau rawa, melainkan sebagai
instrument perizinan sehingga dapat dijadikan pengendalian
kegiatan pengusahaan sumber air oleh pemerintah. Swasta
tidak boleh melakukan penguasaan atas sumber air atau
sumber daya air tetapi hanya dapat melakukan pengusahaan
dalam jumlah atau alokasi yang ditentukan dalam izin yang
104

diberikan oleh negara secara ketat. Konklusi yang ditetapkan


Mahkamah Konstitusi tersebut dapat diartikan bahwa swasta
masih dapat melakukan pengusahaan sumber daya air hujan
melalui penyelenggaraan modifikasi cuaca. namun dengan
sistem perizinan dan batasan yang ketat dari pemerintah.
Masalahnya adalah Undang-Undang Pengairan tidak
mengatur tentang itu, apalagi aturan pelaksanaannya.
Artinya terdapat kekosongan hukum dalam pengaturan
penyelenggaraan modifikasi cuaca oleh swasta. Dapat
saja dalam praktik dilapangan terjadi kecurangan untuk
menguasai kembali penyelenggaraan modifikasi cuaca oleh
swasta. Dengan demikian mengancam hak petani atas akses
air.
Praktik privatisasi ini telah mengancam dan
menghalangi hak petani atas akses air irigasi. Secara hukum
Pasal 38 ayat (2) yang memberikan kewenangan swasta dalam
penyelenggaraan modifikasi melanggar ketentuan hukum
yang menjamin hak-hak petani atas air irigasi sebagaimana
diatur dalam Pasal 27 ayat (2),Pasal 28 H ayat (1), Pasal 33
ayat (3) UUD NRI 1945, Pasal 2 Ayat (1) UUPA, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
Pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia alinea
ke 5, Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan
Covenan Internasioanal Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya.
Praktik privatisasi sumber daya air hujan melalui
penyelenggaraan modifikasi cuaca oleh swasta yang
menghalangi pemenuhan hak petani atas akses air tersebut
di atas menjadi salah satu alasan dikeluarkannya Putusan

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
105

Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU- XI/2013 yang


membatalkan seluruh ketentuan dalam Undang-Undang SDA.
Politik hukum yang digunakan Mahkamah Konstitusi dalam
putusannya Nomor 85/PUU-XI/2013 mengacu pada cita-
cita bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur
serta tujuan negara Melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan
umum. Hak atas air dan akses atas air merupakan hak setiap
warga negara negara dimana negara harus menghormati,
melindungi dan memenuhinya. Oleh karena itu sudah tepat
apabila Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 85/
PUU-XI/2013 membatalkan keberlakuan Undang-undang
SDA dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Air yang pada hakikatnya merupakan hak asasi petani
kemudian berubah menjadi komoditas dagang Oleh karena
itu MK melalui Putusan Nomor 85/PUU- XI/2013 telah
menegaskan kembali bahwa air merupakan hak dasar manusia
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu
pemanfaatan sumber daya air hujan melalui penyelenggaraan
modifikasi cuaca tidak boleh melanggar hak atas air dan
hak atas akses air bagi petani. Penyelenggaraan modifikasi
cuaca sebagaimana sebelumnya diatur pada Pasal 38 ayat
(2) Undang-undang Sumber Daya Air merupakan tangung
jawab negara sebagai bentuk penghormatan, perlindungan
dan pemenuhan hak petani atas air dan akses atas air.
Melihat pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang
menggunakan lebih dari satu metode penafsiran konstitusi
dalam memutus judicial review Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, menegaskan bahwa tidak
ada pembatasan bagi hakim konstitusi untuk menggunakan
metode penafsiran di dalam menghadapi peristiwa konkret
106

yang dihadapkan kepadanya, hanya dalam kasus judicial


review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber
Daya Air ini, penafsiran yang paling memberikan kontribusi
terhadap putusan adalah penafsiran fungsional. Dengan
penafsiran fungsional inilah, hakim konstitusi bisa untuk
menerima pengujian kembali judicial review Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dengan melihat
implementasinya pada peraturan yang mengikuti Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum yang ternyata
tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
107

Bab 4

CATATAN PENUTUP

Kewenangan hakim konstitusi dalam menafsirkan peraturan


perundang-undangan berdasarkan Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dapat dilihat dari
Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Kemudian Pasal 10 ayat (1)
yang berbunyi: “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.”
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mempunyai makna
bahwa apapun perkara yang dihadapkan pada pengadilan, maka
hakim konstitusi sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan
kehakiman di pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara tersebut. Jelas atau tidaknya
hukum yang mengatur tentang perkara tersebut, hakim konstitusi
tetap harus mengali nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam measyarakat, oleh karena itulah dalam setiap perkara yang
dihadapkan kepadanya hakim konstitusi akan tetap melakukan
penafsiran demi terwujudnya tujuan kekuasaan kehakiman di
Indonesia yaitu penegakkan hukum dan keadilan.
108

Putusan perkara judicial review Undang-Undang Nomor


7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, hakim konstitusi sudah
menerapkan asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang
dapat dilihat dari putusan hakim konstitusi dengan membatalkan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 karena tidak mencerminkan
keadilan bagi masyarakat. Putusan ini apabila dilihat dari asas-asas
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman pada Pasal 5 ayat (1), sudah
memenuhi unsur menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dilaksanakannya asas-asas penyelenggaraan kekuasaan
kehakiman oleh hakim konstitusi dalam putusan judicial review
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air dapat dilihat dari cara hakim konstitusi menggali nilai-nilai
keadilan di dalam masyarakat dengan menggunakan beberapa
metode penafsiran konstitusi. Beberapa metode penafsiran
konstitusi tersebut adalah metode penafsiran tekstual, historikal,
fungsional, doktrinal, dan prudensial. Namun diantara beberapa
metode penafsiran konstitusi yang digunakan, yang paling
mempengaruhi putusan judicial review Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah metode penafsiran
fungsional. Dalam penafsiran fungsional keputusan didasarkan dari
struktur hukum dan bagaimana aturan tersebut diharapkan jelas
keterkaitannya sebagai sebuah sistem yang harmonis. Penafsiran
fungsional dalam perkara judicial review Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2004 dapat dilihat dari cara hakim konstitusi yang melihat
penerapan Undang-Undang ini dalam ketentuan pelaksanaannya.
Hakim konstitusi tidak boleh ragu untuk melakukan penafiran
hukum terhadap peraturan perundang-undangan terkait perkara
yang dihadapkan kepadanya karena sebagai salah satu ujung tombak
kekuasaan kehakiman di Indonesia hakim konstitusi haruslah terus

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
109

mengikuti rasa keadilan yang ada di dalam masyarakat dalam


setiap putusannya. Hakim konstitusi hendaknya lebih konsisten
lagi mengeluarkan putusan yang mencerminkan rasa keadilan yang
ada di dalam masyarakat seperti putusan judicial review Undang-
Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman agar
tujuan dari kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu penegakkan
hukum dan keadilan dapat menjadi tradisi yang dapat konsisten
dilakukan oleh hakim konstitusi dan selanjutnya akan diikuti pula
oleh seluruh instrumen kekuasaan kehakiman lainnya di Indonesia.
Dalam hal pengelolaan sumber daya air di Indonesia,
hendaknya pihak swasta tidak melakukan monopoli sumber daya
air yang menyebabkan kerugian konstitusionalitas rakyat Indonesia.
Pengelolaan sumber daya air seyogyanya dilakukan dengan prinsip
keadilan, dimana setiap warga negara Indonesia dapat memperoleh
hak konstitusionalnya untuk mendapatkan air di tanah airnya
sendiri.
110

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Achmad Ali, 2002. Menguak Tabir Hukum: Suatu Tinjauan Filosofis
dan Sosiologis, Jakarta: Gunung Agung.
Achmad Rifai, 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam
Perspektif Hukum Progresif. Jakarta: Sinar Grafika.
Arief Sidharta, 2007. Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum,
Ilmu Hukum: Teori Hukum Dan Filsafat Hukum.
Bandung: Refika Aditama.
Bambang Sutiyoso, 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia – Upaya Membangun Kesadaran
Dan Pemahaman Kepada Publik Akan Hak-Hak
Konstitusionalnya Yang Dapat Diperjuangkan Dan
Dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
C.S.T. Kansil, 1989. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Fickar Hadjar, 2003. Pokok-Pokok Pikiran Dan Rancangan Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi. Jakarta: KRHN dan
Kemitraan.
Idris Rachmawati dan Imam Mulyana, 2012. Penemuan Hukum
Nasional dan Internasional. Bandung: Penerbit
Fikahati Aneska
Imam Syaukani dan Ahsin Thohari, 2004. Dasar-Dasar Politik
Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
111

J.A. Pontier, 2008. Penemuan Hukum. Bandung: Jendela Mas


Pustaka.
Jazim Hamidi, 2005. Hermeneutika Hukum – Sejarah Filsafat Dan
Metode Tafsir. Malang: UB Press.
Jimly Asshiddiqie, 1998. Teori Dan Aliran Penafsiran Konstitusi,
Jakarta: Ind-hill,co.
______, 2004. Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran
Kekuasaan Dalam UUD 45. Yogyakarta: UII Press.
, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia.
______, 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi. Jakarta: BIP-Gramedia.
______, 2011. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta:
Sinar Grafika.
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2004. Dasar-Dasar Filsafat dan
Teori Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Lilik Mulyadi, 2005. Hukum Acara Perdata Menurut Teori Dan
Praktik Peradilan Indonesia. Jakarta: Djambatan.
M. Natsir Asnawi, 2014. Hermeneutika Putusan Hakim. Yogyakarta:
UII Press.
Mahfud MD, 1999. Amandemen Konstitusi Dalam Rangka Reformasi
Tata Negara. Jakarta: UI Press.
Maruarar Siahaan, 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.
Muladi, 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, Dan Reformasi
Hukum DI Indonesia. Jakarta: The Habibie Center.
Ni’matul Huda, 2008. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Kelima.
Jakarta: Penerbit Rajawali.
112

Nurcholis Syamsudin, 2012. Prospektif Peran Hakim Dalam


Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman. Semarang:
Aneka Ilmu.
Otje Salman, 2009. Filsafat Hukum (Perkembangan dan Dinamika
Masalah). Bandung: Penerbit Refika Aditama.
Peter Mahmud Marzuki, 2009. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
_____, 2014. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group
Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005. Argumentasi
Hukum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, 2004. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori
Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Riduan Syahrani, 2000. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Ridwan Halim, 2005. Hukum Acara Perdata Dalam Tanya Jawab.
Bogor: Ghalia Indonesia.
Rosjidi Ranggawidjaja, 1996. Pengantar Ilmu Perundang-undangan.
Bandung: Mandar Maju.
Satjipto Rahardjo, 2006. Membelah Hukum Progresif. Jakarta:
Kompas.
Soeroso, 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Sudikno Mertokusumo, 1982. Hukum Acara Perdata Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Liberty
______, 2001. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta:
Liberty.
­­______, 2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta:
Liberty.
Sudikno Mertokusumo & Pitlo, A, 1993. Bab-Bab Tentang Penemuan
Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
113

Syarif Mappiasse, 2015. Logika Hukum Pertimbangan Putusan


Hakim. Jakarta: Kencana
Tim Peneliti PKK FH Universitas Jenderal Soedirman, 2006
Utrecht, 1986. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Ichtiar.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2000. Dibalik Putusan Hakim, Kajian
Psikologi Hukum Dalam Perkara Pidana. Sidoarjo:
Citramedia.

Jurnal
Albert Chen. “The Interpretation Of The Basic Law”. Common Law
And Mainland Chinesse Perspectives. No 1: 2000
Dennis Patterson. “Interpretation In Law”. Departments Of Law And
Philosophy. No 1:2003
Hideki Kanda dan Curtis J. Milhaupt, “Re-examining Legal
Transplants: The Director’s Fiduciary Duty in Japanese
Corporate Law”, American Journal of Comparative
Law, Vol. 51, 2003
Jonathan Wheatley, “Brazil’s Judicial Nightmare Brings Gridlock for
Growth”, FinancialTimes”
Katharine Pistor, Martin Raiser, dan Stanislaw Gelfer, “Law and
Finance in Transition Economies”, Economics of
Transition, Vol. 8, No. 2
Lars P. Feld dan Stefan Voigt, 2004, “Making Judges Independent-
Some Proposals Regarding the Judiciary”, CESifo
Working Paper No. 1260.
R.M. Ananda. B. Kusuma. “Bagaimana Menginterpretasikan
Konstitusi Kita” dalam Jurnal Konstitusi, Volume 1 No
3: 2005
Roumeen Islam, 2003, “Institutional Reform and the Judiciary:
Which Way Forward”, World Bank Policy Research
Working Paper 3134
114

Skripsi
Yance Arizona, 2007. Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap
Pasal 33 UUD 1945: Perbandingan Putusan Pengujian
UU No. 20/2002 tentang Ketenagalistrikan dengan
Putusan Pengujian UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya
Air, Skripsi Sarjana Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Andalas, Padang.

Peraturan Perundang-Undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005  tentang Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum
Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik Dan
Pedoman Perilaku Hakim.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/
PMK/2003 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Tingkah
Laku Hakim Konstitusi.
Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang pengujian Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi
Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
115

Putusan Nomor 058/PUU-II/2004, 059/PUU-II/2004, 060/PUU-


II/2004, 063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-II/2005
tentang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air.
Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang pengujian Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air.

Internet
hukumonline.com/berita/baca/lt559fba87c3065/putusan-ibonda-i-
yang-mengayun -bismar, oleh penulis, 2015.
oke z on e . c om / re a d / 2 0 1 5 / 0 2 / 1 6 / 3 3 7 / 1 1 0 6 5 3 0 / putu s an -
praperadilan-bg-hakim-laku kan-penafsiran-hukum,
oleh Syamsul Anwar Khoemani, 2015.
Utpal Bhattacharya dan Hazem Daouk. 2004. When No Law is
Better than a Good Law. Working Paper. Available at
[http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_
id=558021]
116

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
117

PROFIL PENULIS

Dr. Isharyanto, S.H., M.Hum. Lahir di


Gunung Kidul, 1 Mei 1978. Merupakan
Dosen Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret sejak
2004. Menyelesaikan pendidikan sarjana
pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada (2001), Magister Hukum Universitas
Gadjah Mada (2003), dan Doktor Ilmu
Hukum Universitas Sebelas Maret (2014).
Pernah menempuh Sandwich Like Program di School of Economics,
Law, and Governemnt Utrecht University, Netherland (2012) untuk
memperdalam riset hukum dan penulisan jurnal internasional.
Pernah menjabat sebagai Sekretaris Badan Mediasi dan Bantuan
Hukum Universitas Sebelas Maret (2004-2011), Kepala Pusat
Penelitian Konstitusi dan Hak Asasi Manusia LPPM Universitas
Sebelas Maret (2010-2012), dan Koordinator Tenaga Ahli Rektor
Bidang Hukum (2015-sekarang). Aktif melakukan penelitian antara
lain Hibah Kajian Wanita (2005), Hibah Strategi Nasional Dirjen
Dikti (2012 dan 2013), Hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi
(2015), dan Hibah Prioritas Nasional MP3EI Dirjen Dikti (2016),
serta penelitian yang dibiayai oleh PNBP Universitas Sebelas Maret
(2013 dan 2015). Ia juga aktif menulis di media nasional dan lokal
untuk isu-isu hukum dan politik serta berpengalaman melakukan
advokasi kebijakan publik dan menjadi mentor dalam bimbingan
teknis pengembangan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan.
118

Aryoko Abdurrachman, S.H. Lahir di


Jakarta, 25 September 1993. Merupakan
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta dengan Konsentrasi Hukum
Kesehatan. Menyelesaikan pendidikan
sarjana di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta pada tahun 2015
dengan konsentrasi Hukum Tata Negara.
Aktif menjadi asisten dosen dan asisten
peneliti di kampusnya. Minat utamanya adalah mengkaji isu-
isu kekuasaan kehakiman dalam hukum tata negara dan isu-isu
penyelenggaraan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Penafsiran Hukum Hakim Konstitusi


(Studi terhadap Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air)
119

Anda mungkin juga menyukai