Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Indonesia adalah negara hukum, semua perilaku masyarakat Indonesia diatur
oleh hukum. Hukum mempunyai relevansi yang erat dengan keadilan. Bahkan ada orang
yang berpandangan bahwa hukum harus digabungkan dengan keadilan, supaya sungguh-
sungguh berarti sebagai hukum. Hanya melalui suatu tata hukum yang adil orang dapat
hidup dengan damai menuju kebahagiaan. Hakikat hukum adalah membawa aturan yang
adil dalam masyarakat. Hukum harus mengadakan peraturan yang adil tentang kehidupan
masyarakat, sebagaimana dicita-citakan. Hukum mengandung suatu tuntutan keadilan.
Diharapkan seluruh ketentuan yang mengatur segala perilaku atau keadaan manusia dalam
kehidupan mencerminkan rasa keadilan.
Berkaitan dengan hukum tata negara, masyarakat sendiri tidak banyak yang faham apa
yang dimaksud dengan hukum tata negara. Maka dari itu, makalah ini ditulis untuk
memberikan pemahaman agar mengetahui apa yang dimaksud dengan Hukum Tata
Negara.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Sumber Hukum Tata Negara?
2. Apa sajakah Sumber Hukum Tata Negara Indonesia?
3. Apakah yang dimaksud dengan Konvensi Ketatanegaraan?
C. Tujuan
1. Mendefinisikan menjelaskan pengertian sumber hukum tata negara
2. Menyebutkan dan menjelaskan macam-macam sumber hukum tatanegara Indonesia
3. Menjelaskan perihal dimaksud Konvensi Ketatanegaraan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber Hukum Tata Negara


1. Pengertian Sumber Hukum
Sumber hukum memilki istilah yang berbeda-beda, tergantung sudut pandang mana
sumber hukum itu dilihat. Paton George Whitecross, dalam bukunya Textbook of
Jurisprudence mengatakan bahwa istilah sumber hukum itu mempunyai banyak arti
yang sering menimbulkan kesalahan-kesalahan kecuali kalau diteliti dengan seksama
mengenai arti tertentu yang diberikan kepadanya dalam pokok pembicaraan (sudut
pandang) tertentu.
Utrecht sendiri mengatakan, bahwa kebanyakan para ahli memberikan istilah sumber
hukum berdasarkan sudut pandang keilmuannya. Pertama, sumber hukum ditinjau dari
sudut pandang ahli sejarah, sumber hukum memiliki arti; (1) sumber hukum dalam arti
pengenalan hukum, (2) sumber hukum dalam arti sumber dari mana pembentukan
ikatan hukum memperoleh bahan dan dalam arti sistem-sistem hukum dari mana
tumbuh hukum positif suatu negara. Sumber hukum ini berfungsi untuk menyelidiki
perkembangan hukum dari masa ke masa sehingga akan diketahui perkembangan,
pertumbuhan, dan perubahan-perubahan antara hukum yang berlaku di suatu negara.[1]
Kedua, sumber hukum ditinjau dari sudut para ahli filsafat. Menurut ahli filsafat
sumber hukum diartikan sebagai; (1) Sumber hukum untuk menentukan isi hukum,
apakah isi hukum itu sudah benar, adil sebagaimana mestinya ataukah masih terdapat
kepincangan dan tidak ada rasa keadilan, (2) Sumber untuk mengetahui kekuatan
mengikat hukum, yaitu untuk mengetahui mengapa orang taat kepada hukum.[2]
Ketiga, sumber hukum ditinjau dari sudut pandang sosiolog dan Antropolog budaya.
Menurut ahli ini yang dianggap sebagai sumber hukum adalah keadaan masyarakat itu
sendiri dengan segala lembaga sosial yang ada didalamnya, bagaimana kehidupan
sosial budayanya suatu lembaga-lembaga sosial didalamnya.[3]
Keempat, sumber hukum ditinjau dari sudut pandang keagamaan (religius). Menurut
sudut pandang agama, yang merupakan sumber hukum adalah kitab-kitab suci atau
ajaran agama itu.
Kelima, sumber hukum ditinjau dari sudut ahli ekonomi, yang menjadi sumber
hukum adalah apa yang tampak di lapangan ekonomi.
Keenam, sumber hukum ditinjau dari sudut para ahli hukum. Menurut ahli hukum
sumber hukum memiliki arti; (1) Sumber hukum formal, yaitu sumber hukum yang
dikenal dalam bentuknya. Karena bentuknya itulah sumber hukum formal diketahu dan
ditaati sehingga hukum berlaku. Misalnya undang-undang, kebiasaan, traktat,
yurisprudensi, dan pendapat ahli hukum (doktrin). (2) Sumber hukum materil, yaitu
sumber hukum yang menentukan isi hukum. Sumber hukum materil diperlukan ketika
akan menyelidiki asal usul hukum dan menentukan isi hukum.[4]
Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.[5]
Dalam ilmu pengetahuan hukum, pengertian sumber hukum digunakan dalam
beberapa pengertian oleh para ahli dan penulis. Pertama, sumber hukum dalam
pengertian sebagai asalnya hukum ialah berupa keputusan penguasa yang berwenang

1
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, hlm.
35.
2
Ibid. Hlm. 36
3
Ibid.
4
Ibid.
5
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, hlm. 46.
untuk memberikan keputusan tersebut. Artinya keputusan itu haruslah berasal dari
penguasa yang berwenang untuk itu. Kedua, sumber hukum dalam pengertian sebagai
tempat ditemukannya peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Bentuknya berupa
undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi atau doktrin dan terdapatnya dalam
UUD 1945, ketetapan MPR, UU, Perpu, PP, Kepres dan lainnya. Ketiga, sumber
hukum dalam pengertian sebagai hal-hal yang dapat atau seyogyanya memengaruhi
kepada penguasa didalam menentukan hukumnya. Misalnya keyakinan akan
hukumnya, rasa keadilan, ataupun perasaan akan hukum.[6]
2. Sumber Hukum Tata Negara Indonesia
Menurut pasal 1 Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan menentukan, bahwa:
a. Sumber Hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk menyusun peraturan
perundang-undangan.
b. Sumber Hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak tertulis.
c. Sumber Hukum dasar nasional,
 Pancasila sebagaimana tertulis dalam pembukaan UUD 1945.
 Batang tubuh UUD 1945 (Pasal-pasal dalam UUD 1945).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tersebut setidaknya
terdapat tiga subtansi dasar yang diatur. Pertama, mengenai pengertian sumber hukum
adalah sumber yang menjadi bahan dalam penyusunan aturan-aturan hukum (peraturan
perundang-undangan). Kedua, mengenai jenis sumber hukum dasar nasional Indonesia
yang meliputi Pancasila dan Pasal-pasal dalam UUD 1945.[7]
Secara umum sumber hukum tata negara Indonesia dikelompokkan menjadi dua
jenis, yaitu Sumber Hukum Materil dan Sumber Hukum Formal.
1. Sumber Hukum Materil
Sumber hukum materil adalah sumber hukum hukum yang menentukan isi
hukum. Sumber ini diperlukan ketika akan menyelidiki asal-usul hukum dan
menentukan isi hukum. Misalnya, pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia yang kemudian menjadi falsafah negara merupakan sumber hukum dalam
arti materil yang tidak saja menjiwai bahkan dilaksanakan oleh setiap peraturan
hukum. Karena pancasila merupakan alat penguji untuk setiap peraturan hukum
yang berlaku, apakah ia bertentangan atau tidak dengan pancasila, sehingga
peraturan hukum yang bertentangan dengan pancasila tidak boleh berlaku.[8]
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum juga mengandung
pengertian, bahwa semua sumber hukum yang berlaku di Indonesia (baik formal
maupun materil) selurunhya bersumber pada Pancasila.
Menurut Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum mewujudkan dirinya dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD Proklamasi dan Supersemar 11 Maret 1966.
Di dalam sistem norma hukum negara Indonesia Pancasila merupakan norma
fundamental hukum (Staatsfundamentalnorm) yang merupakan norma hukum yang
tertinggi, yang kemudian berturut-turut diikuti oleh norma hukum dibawahnya.
Ada beberapa alasan mengenai Pancasila sebagai sumber dari segala sumber
hukum dalam arti materiil:
a. Pancasila merupakan isi dari sumber hukum.
b. Pancasila merupakan pandangan hidup dan falsafah negara.

6
Joenarto, Selayang Pandang tentang Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia, hlm. 3.
7
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Op. Cit., hlm. 39.
8
Ibid.
c. Pancasila merupakan jiwa dari setiap peraturan yang dibuat, diberlakukan, segala
sesuatu peraturan perundang-undangan atau hukum apa pun yang bertentangan
dengan jiwa Pancasila harus dicabut dan dinyatakan.[9]
2. Sumber Hukum Formal
Sumber hukum formal adalah sumber hukum yang dikenal dalam bentuknya.
Karena bentuknya itulah sumber hukum formal diketahui dan ditaati sehingga
hukum berlaku umum. Selama belum mempunyai bentuk, suatu hukum baru
merupakan perasaan hukum dalam masyarakat atau baru merupakan cita-cita
hukum, oleh karenanya belum mempunyai kekuatan mengikat.[10]
Sumber-sumber hukum formal meliputi: (1) Peraturan Perundang-undangan
(aturan hukum), (2) Kebiasaan (Costum) dan adat, (3) Perjanjian antarnegara
(traktat), (4) Keputusan-keputusan hakim (Yurisprudensi), dan (5) Pendapat atau
pandangan ahlu hukum (doktrin).
a. Undang-undang
Istilah undang-undang disini berbeda dengan istilah undang-undang dalam
undang-undang yang disebutkan dalam hukum tata negara Indonesia. Karena
undang-undang dalam hukum tata negara Indonesia adalah produk legislatif
presiden (pemerintah) bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat. Seperti
ditetapkan Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 20 UUD 1945 yang mengikat diadakan dan
dipelihara oleh penguasa negara.
Undang-undang disini dalam arti luas atau dalam istilah Belanda disebut wet.
Wet dalam hukum tata negara Belanda, dibedakan dalam dua pengertian, yaitu
wet in formelle zin dan wet in materiele zin. Hal yang sama dikemukakan T. J.
Buys, bahwa undang-undang mempunyai dua arti antara lain, Pertama undang-
undang dalam arti formal, ialah setiap keputusan pemerintah yang merupakan
undang-undang karena cara pembuatannya (terjadinya). Misalnya, pengertian
undang-undang, menurut ketentuan UUD 1945 hasil amandemen adalah bentuk
peraturan yang dibuat oleh pemerintah bersama-sama DPR.
Kedua, undang-undang dalam arti materiil ialah setiap keputusan pemerintah
yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.
Sistem dan Tata Urutan Perundangan Republik Indonesia telah diatur dalam
Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, yang oleh Tap MPR No. V/MPR/1973
dinyatakan tetap berlaku. Sumber-sumber hukum formal tersebut adalah UUD
1945, dengan tata urutan peraturan perundang-undangan meliputi: (1) Undang-
Undang Dasar 1945 (UUD 1945), (2) Ketetapan MPRS/MPR, (3) Undang-
Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu), (4)
Peraturan Pemerintah (PP), (5) Keputusan Presiden (Kepres), (6) Peraturan-
peraturan pelaksana lainnya seperti: Peraturan Menteri, Instruksi Menteri,
Peraturan Daerah (Perda), dan sebagainya.[11]
b. Kebiasaan
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang
dalam hal yang sama. Apabila kebiasaan tertentu diterima masyarakat dan
kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga
tindakan yang perlawanan dengannya dianggap sebagai pelanggaran perasaan
hukum, dengan begitu timbullah suatu kebiasaan hukum, yang selanjutnya
dianggap sebagai hukum.
c. Traktat

9
Ibid. Hlm. 40.
10
E. Utrecht dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily ibrahim, Op. Cit., hlm. 45.
11
Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H., Op. Cit., hlm. 42-43.
Traktat pada dasarnya adalah perjanjian antar dua negara atau lebih.
Berdasarkan negara yang melakukan perjanjian traktat terdiri traktat bilateral dan
traktat multilateral.
Traktat sebagai bentuk perjanjian antar negara merupakan sumber hukum
formal hukum tata negara walaupun ia termasuk dalam hukum internasional,
mempunyai kekuatan mengikat bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian
itu. Isi perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian atau terkait
perjanjian. Perjanjian antarnegara juga dapat merupakan bagian dari hukum tata
negara, apabila menyangkut ketatanegaraan dan telah mempunyai kekuatan
mengikat. Traktat yang telah mempunyai kekuatan mengikat adalah traktat yang
telah diratifikasi oleh pemerintah dari negara yang mengadakan perjanjian.[12]
d. Doktrin
Doktrin adalah pernyataan atau pendapat para ahli hukum. Dalam kenyataanya
pendapat ahli banyak diikuti orang, dan menjadi dasar atau bahkan pertimbangan
dalam penetapan hukum, baik oleh para hakim ketika akan memutuskan suatu
perkara maupun oleh pembentuk undang-undang. Misalnya dengan mengutip
pendapatnya, sehingga putusan pengadilan terasa menjadi lebih berwibawa. [13]
B. Konvensi Ketatanegaraan
Istilah konvensi berasal dari bahasa Inggris convention. Secara akademis seringkali
istilah convention digabungkan dengan perkataan constitution atau contitusional seperti
convention of the constitution.[14] Pengertian atau definisi Konvensi Ketatanegaraan
pertama kali dikemukan oleh Dicey, yang mengemukakan Konvensi Ketatanegaraan
adalah konvensi-konvensi (Conventions of the Constitution) yang berlaku dan dihormati
dalam kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat dipaksakan oleh pengadilan apabila
terjadi pelanggaran terhadapnya.
Konvensi atau (hukum) kebiasaan ketatanegaraan adalah (hukum) yang tumbuh dalam
praktek penyelenggaraan negara, untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan
(mendinamisasi) kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat
ketatanegaraan. [15]
Bagir Manan merinci Konvensi Ketatanegraan yang dikemukakan oleh Dicey sebagai
berikut :[16]
a. Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan (konstitusi) yang tumbuh, diikuti
dan ditaati dalam praktek penyelenggaraan negara.
b. Konvensi sebagai bagian dari konstiusi yang tidak dapat dipaksakan oleh (melalui)
pengadilan.
c. Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tutunan etika, akhlak atau politik dalam
penyelengaraan negara.
d. Konvensi adalah ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaiknya)
discretionory  powers dilaksanakan.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat diketahui bahwa konvensi itu
berkembang karena kebutuhan dalam praktek penyelenggaraan Negara. Konvensi atau
hukum Kebiasaan Ketatanegaraan merupakan salah satu sumber Hukum Tata Negara
dalam arti formal. Konvensi merupakan faktor dinamika sistem ketatanegaraan suatu
negara, terutama pada negara-negara demokrasi. Bukan saja berfungsi melengkapi kaidah-
kaidah hukum ketatanegaraan yang ada, melainkan untuk menjadikan kaidah-kaidah
hukum terutama Undang-Undang Dasar dapat berjalan sesuai dengan perkembangan
zaman.

12
Ibid. hlm. 56-57.
13
Ibid. hlm. 59.
14
Dahlan Thaib, dkk, 2008. Konvensi Dan Konstitusi Dalam Praktik Ketatanegaraan Di Indonesia.
15
Bagir Manan, 1987, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung : Armico. Hal. 15
16
Ibid,  Hal. 28
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sumber hukum adalah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber hukum harus terdiri paling tidak dari dua macam berikut, 1). Sumber hukum
tertulis (UUD, PP, Perda, Permen, UU, dll), dan; 2). Sumber hukum tidak tertulis
(Konstitusi). Sumber hukum dasar nasional (Indonesia) terdiri dari Pancasila dan Batang
Tubuh UUD tahun 1945. Adapun secara garis besar, sumber hukum di Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Sumber hukum materiil
2. Sumber hukum formal
a. Uundang-undang
b. Adat/kebiasaan
c. Traktat
d. Doktrin
Konvensi atau (hukum) kebiasaan ketatanegaraan adalah (hukum) yang tumbuh dalam
praktek penyelenggaraan negara, untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan
(mendinamisasi) kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat
ketatanegaraan.
B. Saran
Demikianlah makalah tentang Rukun dan Syarat sah pernikahan yang telah kami
paparkan. Kami menyadari makalah jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang
membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan makalah ini. Harapan
pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi
kita semua.

DAFTAR REFERENSI
Thaib, Dahlan, 2009, Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitusional, Yogyakarta :
Total Media

Bagir Manan, 1987, Konvensi Ketatanegaraan, Bandung : Armico

Tutik, Titik troiwulan.2010. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia.Jakarta: Kencana


Prenada Media Group.

Kusnardi. 1981. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: C.V. Sinar Bakti.

Anda mungkin juga menyukai