Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara Hukum, hal tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat

(3) UUD 1945 amandemen ketiga, yang mana sebelumnya asas Negara

Hukum hanya tersirat dalam penjelasan UUD 19451. Hal ini berarti bahwa

Negara Republik Indonesia meletakkan hukum pada kedudukan yang tertinggi

sekaligus sebagai prinsip dasar yang mengatur penyelenggaraan kehidupan

berbangsa dan bernegara2.

Oleh karena itu, perlu dibuatnya sebuah pengaturan yang dikenal sebagai

konstitusi, atau yang dikenal sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan

pedoman dalam penyelenggaraan hukum di suatu negara. Konstitusi atau yang

dikenal sebagai Undang-Undang Dasar di Indonesia merupakan sebuah

sumber hukum tertinggi berdasarkan kaidah hierarki peraturan perundang-

undangan di negara Indonesia3.

Salah satu aspek dalam kehidupan hukum adalah kepastian, artinya hukum

berkehendak untuk menciptakan kepastian dalam hubungan antar orang dalam

masyarakat. Salah satu hal yang berhubungan erat dengan masalah kepastian

tersebut adalah masalah dari mana hukum tersebut berasal. Kepastian

1
Zaeni Asyhadie, 2015, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
hal.8.
2
Ikhsan Rosyada Daulay, 2006, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya dalam
Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, hal. 1.
3
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1) poin a.
2

mengenai asal atau sumber hukum menjadi penting sejak hukum menjadi

lembaga yang semakin formal. Dalam konteks perkembangan yang demikian

itu pertanyaan mengenai “sumber yang manakah yang dianggap sah?” menjadi

penting.

Sumber hukum dalam pengertiannya adalah “asalnya hukum” ialah berupa

keputusan penguasa yang berwenang untuk memberikan keputusan tersebut,

artinya keputusan itu harusalah dari penguasa yang berwenang untuk itu.

Sumber hukum dalam arti sebagai asalnya hukum, membawa kepada suatu

penyelidikan tentang wewenang, untuk menyelidiki apakah suatu keputusan

berasal dari penguasa yang berwenang atau tidak. Keputusan penguasa yang

berwenang dapat berupa peraturan dapat pula berupa ketetapan. Sumber

hukum yang dalam pengertiannya sebagai “tempat” dikemukakannya

peraturan-peraturan hukum yang berlaku, sumber hukum dalam pengertian ini

membawa hukum dalam penyelidikan tentang macam-macam, jenis-jenis dan

bentuk-bentuk dari peraturan dan ketetapan. Selain itu pengertian sumber

hukum dalam pengertiannya sebagai “hal-hal yang dapat atau seyogianya

mempengaruhi kepada penguasa di dalam menentukan hukumnya”. Misalnya

keyakinan atau hukumnya, rasa keadilan, perasaan akan hukumnya entah dari

penguasa atau rakyatnya, dan juga teori-teori, pendapat-pendapat dan ajaran-

ajaran dari ilmu pengetahuan hukum.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan sumber hukum?

2. Apa saja jenis-jenis sumber hukum di Indonesia?


3

3. Bagaimana kewenangan sumber hukum di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian sumber hukum.

2. Untuk mengetahui jenis sumber hukum di Indonesia.

3. Untuk mengetahui kewenangan sumber hukum di Indonesia.


4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sumber Hukum

Sumber hukum adalah segala apa saja (sesuatu) yang menimbulkan aturan-

aturan yang mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat memaksa, yakni

aturan-aturan yang jika dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata

bagi pelanggarnya.yang dimaksud dengan segala apa saja (sesuatu) yakni

faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya hukum, faktor-faktor yang

merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum secara formal, dari mana

huku itu dapat ditemukan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sumber hukum adalah segala

sesuatu yang berupa tulisan, dokumen, naskah, dan sebagainya yang

digunakan suatu bangsa sebagai pedoman hidup pada masa tertentu.

Sehinggan sumber hukum dapat diartikan sebagai bahan atau materi yang

berisi hukum itu dibuat, dibentuk, proses terbentuknya hukum, dan bentuk

hukum itu sehingga dapat dilihat, dirasakan, dan diketahui.

1. Pengertian sumber hukum menurut para ahli:

1) Prof. Soedikno

Ada beberapa arti sumber hukum:

a. Sebagai asas hukum.

b. Hukum terdahulu yang memberi bahan.

c. Dasar berlakunya.

d. Tempat mengetahui hukum.


5

e. Sebab menimbulkan hukum.

2) Zevenbergen

Sumber hukum adalah sumber terjadinya hukum, atau sumber yang

menimbulkan hukum.

3) Achmad Ali, sumber hukum adalah tempat dimana seseorang

menemukan hukum.

Dalam ilmu hukum, sumber hukum dibedakan menjadi dua pengertian yaitu

Pertama, Sumber Pengenalan Hukum (kenbron van hetevht) adalah sumber

hukum yang mengharuskan untuk menyelidiki asal dan tempat ditemukannya

hukum. Kedua sumber asal nilai-nilai yang menyebabkan timbulnya atau

lahirnya aturan hukum (welborn van het recht) adalah sumber hukum yang

mengharuskan untuk membahas persoalan asal sumber nilai yang

menyebabkan atau menjadi dasar aturan hukum4.

2. Pengertian sumber hukum dalam arti sejarah

Sumber hukum dalam arti sejarah adalah sumber darimana pembentukan

undang-undang memperoleh bahan untuk membentuk undang-undang

dilihat dari aspek sejarah. Sumber hukum dalam arti sejarah memiliki

kaitan erat dengan penafsiran sejarah, khususnya penafsiran sejarah

hukum.

3. Pengertian sumber hukum dalam arti sosiologis

Sumber hukum dalam arti sosiologis adalah faktor-faktor yang

menentukan isi hukum positif, misalnya keadaan-keadaan ekonomi,

4
Usep Ranawidjaya, Hukum Tata Negara, Bandung, Eresca, hal. 51.
6

politik, pandangan agama dan sebagainya yang mempengaruhi

pembentukan undang-undang pada saat pembuatan keputusan.

4. Pengertian sumber hukum dalam arti filosofi

Pengertian sumber hukum dalam artian filosofi menurut L.J VAN

Apeldoorn mempunyai dua arti yaitu:

a. Dalam arti sumber untuk isi hukum yaitu sebagai ukuran untuk

menguji hukum negara dapat mengetahui adakah “hukum (negara)

yang baik”.

b. Dalam arti sebagai sumber kekuatan mengikat dari hukum.

Pada pasal 1 Tap MPR Nomor III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan

Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan menentukan bahwa:

1. Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk menyusun

peraturan perundang-undangan.

2. Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan sumber hukum tidak

tertulis.

3. Sumber hukum dasar nasional adalah:

a. Pancasila sebagaimana tertulis dalam Pembukaan UUD 1945.

b. Batang tubuh UUD 1945 (pasal-pasal dalam UUD 1945)

B. Jenis-Jenis Sumber Hukum

1. Sumber Hukum Materil

Sumber hukum materil adalah tempat darimana materi (isi) hukum

diambil. Seperti KUHP segi materialnya adalah pidana umum, kejahatan

dan pelanggaran. KUHPerdata mengatur masalah orang sebagai subjek


7

hukum, benda sebagai objek, perikatan, perjanjian, pembuktian dan

daluarsa sebagaimana fungsi hukum menurut para ahli.

Sumber hukum yang menentukan isi suatu peraturan atau kaidah hukum

yang mengikat setiap orang. Sumber hukum materil berasal dari perasaan

hukum masyarakat pendapat umum, kondisi sosial-ekonomi, sejarah,

sosiologis, hasil penelitian ilmiah, filsafat tradisi, agama, moral,

perkembangan internasional, geografis, politik hukum, dan lain-lain.

“dalam kata lain sumber hukum materil adalah faktor-faktor masyarakat

yang mempengaruhi pembentukan hukum pengaruh terhadap pembuat

keputusan hakim dan sebagainya”.

Sumber hukum materil ini merupakan faktor yang mempengaruhi materiisi

dari aturan-aturan hukum atau tempat dari mana materi hukum itu diambil

untuk membantu pembentukan sebagai contoh hukum yang mendidik.

Faktor tersebut adalah:

a. Faktor idil

Faktor idil adalah patokan-patokan yang tetap mengenai keadilan yang

harus ditaati oleh para pembentuk ataupun para pembentuk hukum

yang lain dalam melaksanakan tugasnya.

b. faktor kemasyarakatan

faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang benar-benar hidup dalam

masyarakat dan tunduk pada aturan-aturan yang berlaku sebagai

petunjuk hidup masyarakat yang bersangkutan. Contohnya struktur


8

ekonomi, kebiasaan, adat istiadat, dan lain-lain. Faktor kemasyarakatan

yang mempengaruhi pembentukan hukum yaitu:

a) struktural ekonomi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat antar lain

kekayaan alam, susunan geologi, perkembangan-perkembangan

perusahaan, dan pembagian kerja.

b) Kebiasaan yang telah membaku dalam masyarakat yang telah

berkembang dan pada tingkat tertentu ditaati sebagai aturan

tingkah laku yang tetap.

c) Hukum yang berlaku.

d) Tata hukum negara-negara lain.

e) Keyakinan tentang agama dan kesusilaan.

f) Kesadaran hukum.

Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam sumber hukum materil adalah:

1. Nilai agama

Nilai agama adalah peraturan hidup yang harus diterima oleh manusia

sebagai perintah-perintah, larangan-larangan dan ajaran-ajaran yang

bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa.

2. Nilai kesusilaan

Nilai kesusilaan adalah nilai yang berasal dari hati nurani manusia.

Hati nurani manusia dapat mengontrol dan meningkatkan manusia dari

perilaku terpuji. Dan juga norma kesusilaan mengatur kehidupan

manusia tentang perbuatan baik yang harus dilakukan dan perbuatan

buruk yang harus ditinggalkan.


9

3. Nilai kehendak tuhan

Nilai kehendak tuhan adalah nilai yang berasal dari tuhan.

2. Sumber hukum formil

Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang dikenal dan digali

dalam bentuknya (peraturan perundang-undangan). Karena bentuknya

tersebut maka sumber hukum formil diketahui dan ditaati sehingga

memperoleh kekuatan hukum.

Sumber hukum formil terdiri dari:

a. Undang-Undang (Statute)

1) Pengertian Undang-Undang

Undang-undang merupakan suatu peraturan negara yang memiliki

kekuatan hukum yang mengikat, diadakan, dan dipelihara oleh

penguasa negara. Undang-undang memiliki dua pengertian yaitu:

a) Undang-undang dalam arti meterial adalah setiap keputusan

pemerintah yang menurut isinya disebut undang-undang, yaitu

tiap-tiap keputusan pemerintah, yang menetapkan peraturan-

peraturan yang mengikat secara umum atau dengan kata lain

peraturan-peraturan hukum objektif.

b) Undang-undang dalam arti formal adalah keputusan pemerintah

yang memperoleh nama undang-undang karena bentuk, dalam

mana ia timbul. Undang-undang dalam arti formal biasanya

memuat peraturan-peraturan hukum dan biasanya merupakan

undang-undang dalam arti material.


10

Di Indonesia pengertian undang-undang dalam arti formal mengacu

pada ketentuan UUD 1945 yaitu bentuk peraturan yang dibuat oleh

pemerintah bersama-bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat,

sedangkan undang-undang dalam arti material adalah setiap keputusan

pemerintah yang menurut isinya memiliki sifat mengikat secara

langsung bagi setiap penduduk.

Suatu perundang-undangan mengahasilkan peraturan yang memiliki

ciri-ciri:

a. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian

merupakan kebalikan dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas.

b. Bersifat universal, ini diciptakan untuk menghadapi peristiwa-

peristiwa yang akan datang dan yang belum jelas bentuk

kongkritnya. Oleh karena itu tidak dapat dirumuskan untuk

mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja.

c. Memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya

sendiri.

Undang-Undang Dasar adalah dasar hukum tertulis, sedang disamping

UUD ini berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis yang merupakan

sumber hukum, misalnya kebiasaan-kebiasaan (konvensi), traktat dan

sebagainya.

K. Wantjik Saleh mengemukakan bahwa undang-undang dasar adalah

peraturan perundang-undangan yang tertinggi dalam suatu negara yang

menjadi dasar segala peraturan perundang-undangan harus tunduk


11

pada undang-undang dasar atau tidak boleh bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar5.

Dasril Radjab juga mengemukakan pengertian Undang-Undang Dasar

adalah suatu dokumen yang mengandung aturan-aturan dan ketentuan-

ketentuan yang pokok-pokok atau dasar-dasar mengenai

ketatanegaraan daripada suatu negara yang lazim kepadanya diberikan

sifat luhur dan kekal apabila akan mengadakan perubahannya hanya

boleh dilakukan dengan prosedur yang berat kalau dibandingkan

dengan cara pembuatan atau perubahan bentuk-bentuk peraturan dan

ketetapan yang lainnya6.

Beberapa kelebihan dari perundang-undangan dibandingkan dengan

norma lain adalah:

1. Tingkat prediktibilitasnya yang besar, hal ini berhubungan dengan

tingkat prospektif dari peraturan perundangn-undangan yaitu yang

pengaturannya ditunjukkan ke masa depan. Dengan demikian

perundang-undanga dituntut senantiasa untuk memberi tahu secara

pasti terlebih dahulu hal-hal yang diharapkan untuk dilakukan atau

tidak dilakukan oleh anggota masyarakat. Asas-asas hukum seperti

asas tidak berlaku surut memberikan jaminan bahwa kelebihan

yang demikian akan dilaksanakan secara seksama.

2. Kecuali kepastian yang lebih mengarah kepada bentuk formal

diatas, perundang-undangan juga memberikan kepastian mengenai

5
K. Wantjik Saleh, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 118.
6
Dasril Radjab, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 118.
12

nilai yang dipertarukan. Sekali suatu peraturan dibuat, maka

menjadi pastilah nilai yang hendak dilindungi oleh peraturan

tersebut.

Sedangkan kelemahan yang terkandung dalam peraturan perundang-

undangan adalah:

1. Kekakuannya. Kelemahan ini sebetulnya segara tampil sehubungan

dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan

kepastian. Apabila kepastian itu hendak dipenuhi, maka ia harus

membayarnya dengan membuat rumusan-rumusan yang jelas,

terperinci dan tegar resiko yang menjadi norma-norma yang kaku.

2. Keinganan perundang-undangan untuk membuat perumusan-

perumusan yang bersifat umum mengandung resiko bahwa ia

mengabaikan dan dengan demikian menjamahi perbedaan-

perbedaan atau ciri khusus yang tidak dapat disamaratakan begitu

saja, terutama sekali dalam suasana kehidupan modern yang cukup

kompleks dan spesialistis ini tidak mudah membuat perambatan-

perambatan (generatizations).

Beberapa asas berlakunya undang-undang:

1. Undang-undang yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh

bertentangan dengan undang-undang yang kedudukannya lebih

tinggi dalam mengatur hal yang sama.


13

2. Undang-undang yang bersifat khusus mengenyampingkan undang-

undang yang bersifat umum apabila undang-undang tersebut sama

kedudukannya.

3. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-

undang yang terdahulu sejauh undang-undang itu mengatur hal

yang sama.

4. Undang-undang tidak boleh diganggu gugat, artinya undang-

undang tidak boleh diuji apakah isinya bertentangan dengan

peraturan perundangn-undangan yang berkedudukan lebih tinggi.

5. Undang-undang yang telah diundangkan dianggap telah diketahui

oleh setiap orang, karena orang yang melanggar undang-undang

tidak bisa membela dirinya dengan menyatakan tidak mengetahui

undang-undang yang bersangkutan.

2) Cara Pembentukan Undang-Undang

Suatu undang-undang baru ada apabila telah dibentuk oleh yang

bersangkutan. Pelaksanaannya dilimpahkan kepada badan yang

diberi wewenang untuk itu. Cara pembentukan undang-undang dan

badan mana yang diberi wewenang tergantung pada sistem

pemerintahan yang dianut oleh negara yang bersangkutan. Sistem

di Indonesia lain daripada sistem Belanda dan akan berlainan pula

dengan sistem Amerika.

Isi suatu Undang-Undang Dasar pada pokoknya menggambarkan

cita-cita suatu bangsa, garis besar, asas dan tujuan negara,


14

pengaturan tata tertib berbagai lembaga negara, penyebutan hak-

hak asasi manusia, pengaturan tentang perundang-undangan dan

segala sesuatu yang bersifat pengaturan secara dasar, sehingga

merupakan suatu frame work of the nation.

3) Syarat Berlakunya Suatu Undang-Undang

Syarat mutlak berlakunya suatu undang-undang adalah

diundangkan dalam Lembaran Negara (LN) oleh

Menteri/Sekretaris Negara. Adapun tanggal berlakunya suatu

undang-undang adalah sesuai dengan tanggal yang ditentukan di

dalam undang-undang itu sendiri.

Apabila tanggal berlakunya tidak disebutkan dalam undang-

undang, maka undang-undang tersebut mulai berlaku 30 (tiga

puluh) hari sejak diundangkan dalam Lembaran Negara untuk Jawa

dan Madura, sedangkan untuk daerah lain berlaku 100 (seratus)

hari setelah diundangkan dalam Lembaran Negara.

Setelah syarat berlakunya undang-undang terpenuhi, maka

berlakulah fictie hukum, dimana setiap orang dianggap telah

mengetahui adanya suatu undang-undang tersebut, maka tidak

diperkenankan untuk membela atau membebaskan dirinya dengan

alasan tidak tahu-menahu mengenai adanya undang-undang

tersebut.

4) Berakhirnya Kekuatan Berlaku Suatu Undang-Undang


15

Ada beberapa hal yang menyebabkan suatu undang-undang

menjadi tidak berlaku, yaitu:

1. Ditentukan sendiri dalam undang-undang itu.

2. Jangka waktu undang-undang itu sudah lampau.

3. Bertentangan dengan yurisprudensi tetap.

4. Keadaan atau hal dimana undang-undang itu diundangkan

sudah tidak ada lagi.

5. Undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instasi yang

membuat atau instasi yang lebih tinggi.

6. Telah diadakan undang-undang baru yang isinya bertentangan

dengan undang-udang terdahulu berlaku.

7. Undang-undang tersebut isinya bertentangan dengan UUD

1945.

8. Suatu keadaan yang diatur oleh undang-undang sudah tidak ada

lagi. Misalnya undang-undang darurat perang atau keadaan

bahaya mengatur penduduk keluar malam. Setelah perang dan

keadaan bahaya berakhir, maka keluar malam tidak dilarang

meskipun undang-undang darurat perang telah dicabut.

5) Derajat Kedudukan UUD 1945

Adapun derajat kedudukan UUD 1945 yaitu:7

1. Dalam arti materil UUD 1945 mempunyai kedudkan tertinggi

dibandingkan dari undang-undang lainnya, karena UUD 1945

7
R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 132.
16

memuat oragnisasi negara dan jaminan individu atau warga

negara terhadap kewenangan negara.

2. Dalam arti formil UUD 1945 mempunyai derajat lebih tinggi

daripada UU lainnya, karena

a. Dalam hal-hal tertentu secara kasual tergantung padanya.

b. Pada umumnya penyelenggaraan lebih lanjut diletakan pada

asas-asas dalam Undang-Undang 1945.

3. Dari segi pancasila UUD 1945 merupakan grundnormen

(norma dasar) dan sumber dari segala sumber hukum karena

pancasila adalah pandangan hidup bangsa yang perumusannya

terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 dan tidak dapat

digolongkan dalam jenis peraturan.

4. Dari segi undang-undang 1945 sebagai hukum dasar yang

tertulis (TAP MPRS No. XX/1966) serta sebagai pancaran dari

pancasila maka UUD 1945 merupakan grundgesetz (peraturan

dasar) yang merupakan sumber dari arti formil tertinggi.

b. Kebiasaan (Custom)

Kebiasaan adalah perbuatan manusia mengenai hal tertentu yang tetap

dilakukan berulang-ulang dalam rangkaian perbuatan yang sama dan

dalam waktu yang lama. Suatu kebiasaan mempunyai kekuatan

mengikat secara normatif apabila kebiasaan tersebut dilakukan secara

tetap atau ajek dan dilakukan berulang-ulang dalam waktu yang lama,

sehingga menimbulkan hak dan keharusan atau apa yang boleh


17

dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh banyak orang dan

diulang-ulang, sehingga menimbulkan kesadaran atau keyakinan

bahwa perbuatan tersebut memang patut untuk dilakukan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata adat dapat diartikan:

1. Aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau

dilakukan sejak dahulu kala.

2. Cara (kelakukan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan.

3. Wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya,

norma, hukum dan aturan yang satu dengan yang lainnya berkaitan

menjadi satu sistem.

4. Cukai menurut peraturan yang berlaku (di pelabuhan dan

sebagainya).

Istilah adat tersebut kemudian diserap ke dalam bahasa Indonesia

menjadi kebiasaan, sehingga istilah hukum adat seringkali disamakan

dengan istilah hukum kebiasaan. Namun beberapa ahli hukum menilai

kurang tepat apabila hukum adat diartikan sebagai hukum kebiasaan.

Menurut Van Dijk, hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan

hukum yang timbul karena kebiasaan lamanya orang bisa bertingkah

laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu peraturan yang

diterima juga dan juga diinginkan oleh masyarakat.

Lebih lanjut Soerjono Soekanto, menjelaskan bahwa hukum adat

hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang


18

mempunyai akibat hukum (das sein das sollen), sehingga tidak semua

kebiasaan dapat menjadi sumber hukum.

Menurut Sudikno Mertokusumo kebiasaan yang dapat menjadi sumber

hukum harus memenuhi syarat-syarat:

1. Syarat materil, yaitu adanya kebiasaan atau tingkah laku yang tetap

atau diulang, yang merupakan suatu rangkaian perbuatan yang

sama.

2. Syarat intelektual, maksudnya kebiasaan tertentu harus

menimbulkan opinio necessitatis (keyakinan umum) bahwa

perbuatan itu merupakan suatu kewajiban hukum.

3. Adanya akibat hukum apabila hukum kebiasaan tersebut dilanggar.

Adapun persamaan antara hukum kebiasaan dengan undang-undang

adalah:8

1. Keduaa-duanya merupakan penegasan pandangan hukum yang

terdapat dalam masyarakat.

2. Kedua-duanya merupakan perumusan kesadaran hukum suatu

bangsa.

Dan adapun perbedaan antara hukum kebiasaan dengan undang-

undang adalah:

8
R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 156.
19

1. Undang-undang merupakan keputusan pemerintah yang dibebani

kepada semua orang, subjek hukum. Kebiasaan merupakan

peraturan yang timbul dari pergaulan.

2. Undang-undang lebih menjamin kepastian hukum daripada hukum

kebiasaan. Kepastiaan hukum merupakan perlindungan yustiabel

terhadap tindakan sewenang-wenangan yang berarti bahwa juga

dapat diharapkan ditetapkannya hukum dalam hukum yang konkret

dan oleh karenanya menyebabkan timbulnya hasrat untuk mencatat

hukum kebiasaan. Sebagian ketentuan UU berasal dari kebiasan

Ada beberapa kelemahan yang menghambat penegakan hukum

kebiasaan. Yaitu karena hukum kebiasaan bersifat tidak tertulis,

sehingga tidak dapat dirumuskan secara jelas dan sukar untuk

menggantinya. Selain itu hukum kebiasaan juga tidak menjamin

kepastian hukum dan sering menyulitkan dalam beracara karena

kebiasaan sangat beragam.

Peranan kebiasaan dalam kehidupan hukum pada masa sekarang ini

memang sudah banyak merosot. Sebagaimana kebiaasan tidak lagi

merupakan sumber yang penting sejak ia didesak oleh perundang-

undangan dan sejak sistem hukum semakin didasarkan pada hukum

perundang-undangan. Peranan kebiasaan yang besar yaitu pada tatanan

yang pertama adalah pedoman tingkah laku yang dibutuhkan masih

sangat sederhana dan mampu dicakupi oleh norma-norma yang

elementer sifatnya. Sifat elementer ini terlihat baik pada sisi maupun
20

bentuknya. Bagaimanapun juga, yang penting untuk dicatat disini

adalah, bahwa norma-norma pada tatanan seperti itu sangatlah dekat

dengan kenyataan hidup sehari-hari.

Tidak seperti halnya pada perundang-undangan, waktu itu belum

dijumpai usaha yang dilakukan secara sadar untuk membuat pedoman

tingkah laku dalam bentuk yang formal, defentif yaitu suatu negara

telah memakai sistem hukum perundang-undangan. Ini terutama terjadi

apabila tidak melepaskan diri dari pikiran mengenai adanya

masyarakat disamping negara. Sekalipun negara telah menjadi

organisasi yang bersifat nasional, namun berdirinya tidak

mengahapuskan masyarakat, berarti pada waktu yang bersamaan, pada

suatu wilayah dijumpai masyarakat hukum dan masyarakat sosial,

masyarakat hukum diorganisasi oleh perundang-undangan sedangkan

lainnya norma-norma sosial, termasuk didalamnya norma kebiasaan.

“Kebiasaan bagi masyarakat adalah hukum dari negara”.

Sekarang akan melihat bagaimana suatu kebiasaan bisa diterima

dimasyarakat, yang pertama adalah syarat kelayakan atau masuk akal

atau pantas, kebiasaan yang tidak memenuhi syarat harus ditinggalkan.

Ini berarti otoritas kebiasaan tidak mutlak melainkan kondisional,

bergantung dari kesesuaiannya pada ukuran keadilan dan kemanfaatan

umum. Kedua pengakuan akan kebenarannya, ini berarti bahwa

kebiasaan itu hendaknya diikuti secara terbuka oleh masyarakat, tanpa

mendasarkan pada bantuan kekuatan dibelakangnya dan tanpa


21

persetujuan dari dan dikehendaki oleh mereka yang kepentingannya.

Ketiga mempunyai latar belakang sejarah yang tidak dapat dikenali

lagi mulainya.

c. Yurisprudensi/ Keputusan-Keputusan Hakim (Jurisprudence,

Jurisprudentie)

Yurisprudensi berasal dari bahasa latin jurisprudentia yang berarti

pengetahuan hukum, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut

jurisprudence yang artinya ilmu hukum atau ajaran hukum umum atau

teori hukum umum (general theory law).

Pada sistem common law, yurisprudensi diartikan sebagai suatu ilmu

pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan

hukum lain. Sedangkan sistem statute law atau civil law mengartikan

yurisprudensi sebagai putusan-putusan hakim terdahulu yang telah

berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan

peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama.

Yurisprudensi merupakan istilah teknis dalam hukum Indonesia yang

artinya sama dengan jurisprudentie dalam bahasa Belanda atau

jurisprudence dalam bahasa Prancis, yang berarti peradilan tetap atau

hukum peradilan. Kehadiran keputusan hakim atau yurisprudensi

sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia dimulai pada masa

Hindia Belanda. Pada masa tersebut yang menjadi peraturan pokok

adalah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia


22

(ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk

Indonesia) atau yang disingkat AB.

Pasal 23 AB menentukan bahwa hakim yang menolak untuk

menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan

perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau

tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak

untuk mengadili. Dengan demikian seorang hakim berhak untuk

membuat peraturan sendiri demi menyelesaikan suatu perkara.

Singkatnya, apabila undang-undang atau kebiasaan tidak memberi

peraturan yang dapat dipakai untuk menyelesaikan suatu perkara, maka

hakim harus membuat peraturan sendiri.

Menurut Prof. Subekti yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim

atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan

oleh Mahkamah Agung sebagai pengadilan kasasi atau putusan

Mahkamah Agung sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Sehingga tidak semua putusan hakim pada tingkat pertama atau pada

tingkat banding dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi, kecuali

putusan tersebut sudah melalui proses eksaminasi dan notasi oleh

Mahkamah Agung dengan rekomendasi sebagai putusan yang telah

memenuhi standar hukum yurisprudensi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yurisprudensi adalah

keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar

keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama. Ada


23

beberapa hal yang menyebabkan seorang hakim menggunakan putusan

hakim terdahulu:

1. Pertimbangan psikologis.

2. Pertimbangan praktis.

3. Memiliki pendapat yang sama.

Yurisprudensi terbagi menjadi dua macam, yaitu yurisprudensi tetap

dan yurisprudensi tidak tetap. Yurisprudensi tetap berarti putusan

hakim yang terjadi karena rangkaian putusan yang serupa atau sama

dan dijadikan dasar bagi pengadilan (standard arresten) untuk

memutuskan suatu perkara. Sedangkan yurisprudensi tidak tetap

adalah putusan hakim terdahulu yang tidak dijadikan dasar bagi

pengadilan (bukan standard arresten). Yurisprudensi tidak tetap

umumnya berupa yurisprudensi yang menerapkan undang-undang

(hukum materiil) yang tidak pernah digunakan sebagai sumber hukum

oleh hakim-hakim berikut atau di bawahnya.

Asas-asas yurisprudensi antara lain:

1. Asas presedent, dalam asas ini hakim terkait pada putusan-putusan

yang lebih dahulu dari hakim yang sama derajatnya atau dari

hakim yang lebih tinggi. Asas ini dianut oleh negara Inggris dan

AS. Asas presedent berlaku berdasarkan 4 faktor, yaitu:


24

a. Bahwa penerapan peraturan-peraturan yang sama pada kasus

yang sama menghasilkan perlakuan yang sama bagi siapa saja

yang datang menghadap pengadilan.

b. Bahwa mengikuti preseden secara konsisten dapat

menyumbangkan pendapatnya dalam masalah-masalah di

kemudian hari.

c. Bahwa penggunaan kriteria yang mantap untuk menempatkan

masalah-masalah yang baru dapat menghemat waktu dan

tenaga.

d. Bahwa pemakai putusan-putusan yang lebih dahulu

menunjukan adanya kewajiban untuk menghormati

kebijaksanaan dari pengadilan pada generasi sebelumnya.

Preseden ini merupakan satu lembaga yang lebih dikenal dalam sistem

hukum Anglo-Saxon atau common law system. Sejumlah besar jus non

scriptum yang membentuk sistem common law itu hampir seluruhnya

terjadi dari hasil-hasil keputusan pengadilan. Hasil-hasil keputusan

dihimpun kedalam sejumlah sangat besar law reports yang dimulai

sejak akhir abad ke-13. Asas stare decisis artinya “berhenti pada atau

mengikuti keputusan-keputusan”. Apabila muncul situasi atau

serangkaian fakta-fakta seperti pernah terjadi sebelumnya, maka

keputusannya yang akan diberikan oleh pengadilan dapat diharapkan

sama dengan keputusan yang dijatuhkan pada waktu itu.


25

Adapun beberapa hal yang menghapuskan atau melemahkan mengikat

preseden menurut Fitzgerald yaitu:

1. Keputusan-keputusan yang dibatalkan, suatu keputusan tidak lagi

mempunyai kekuatan mengikat, dimana sesudah keputusan itu

dijatuhkan diundangkan suatu peraturan yang bertentangan

dengannya, atau apabila digugurkan oleh keputusan yang lebih

tinggi.

2. Ketidaktahuan mengenai adanya peraturan, suatu preseden tidak

mengiakat apabila dibuat karena ketidaktahuan mengenai suatu

peraturan.

3. Ketiadaan konsisten dengan keputusan pengadilan yang lebih

tinggi.

4. Ketiadaan konsisten antara keputusan-keputusan yang setingkat,

suatu pengadilan tidak terikat pada keputusan yang dibuat

sebelumnya bertentangan satu sama lain.

5. Preseden-preseden yang dibuat subsilentio atau yang tidak

sepenuhnya dipertahankan.

6. Keputusan yang keliru, suatu keputusan bisa juga salah atas dasar

bahwa dilandaskan pada dasar-dasar yang keliru atau bertentangan

dengan asas-asas fundamental dari common law.

a) Asas bebas, asas bebas ini adalah kebalikan dari asas presedent.

Disini petugas peradilan tidak terikat pada keputusan-

keputusan hakim sebelumnya pada tingkatan sejajar maupun


26

hakim yang lebih tinggi. Asas ini dianut oleh bangsa Belanda

dan Perancis. Di dalam praktek seperti di Belanda asas bebas

ini tidak dilakukan secara konsekwen sedikit banyak hakim

yang menggunakan putusan hakim-hakim lain, apalagi

keputusan-keputusan dari hakim yang lebih tinggi dengan

alasan pribadi.

d. Traktat (Treaty)

Apabila ada dua orang yang melakukan konsensus atau kata sepakat

mengenai suatu hal, lalu mereka mengadakan perjanjian, maka mereka

menjadi terikat pada isi perjanjian yang telah disepakati tersebut. Hal

ini disebut asas pacta sunt servanda yang berarti setiap perjanjian

harus ditaati atau ditepati (agreements are to be kept). Dengan kata

lain perjanjian mengikat para pihak yang mengadakannya.

Pada ruang lingkup yang lebih tinggi yaitu negara, asas tersebut juga

berlaku. Seluruh warga negara yang terlibat dalam perjanjian antar

negara harus mentaati isi perjanjian tersebut. Perjanjian yang

dilakukan oleh dua negara atau lebih disebut traktat. Ada beberapa

jenis traktat sesuai dengan jumlah negara yang terlibat di dalamnya,

yaitu:

1. Traktat liberal, adalah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara.

2. Traktat multilateral, adalah perjanjian yang dilakukan oleh lebih

dari dua negara.


27

3. Traktar kolektif, adalah perjanjian antara beberapa negara dan

kemudian terbuka bagi negara-negara lainnya untuk mengikat diri

dalam perjanjian tersebut.

Akibat yang menyangkut orang dimana apabila perjanjian itu

menyangkut hubungan orang dengan orang lain, maka timbul hukum

prifat internasional, sedangkan yang menyangkut banyak orang atau

umum atau negara menimbulkan hukum public internasional.

Bagaimana jika perjanjian itu merupakan perjanjian antar orang secara

individu. Jika perjanjian adalah perjanjian perorangan secara individu

atau badan swasta dengan orang lainnya secara individual atau badan

hukum lainnya, akan menimbulkan perjanjian atau Overeenkomst atau

kontrak biasa. Apabila yang membuat perjanjian adalah subjek

hukumnya negara yang merupakan Rechtspersoon dengan negara lain

juga sebagai rechtspersoon, maka terjadi perjanjian antar negara

perjanjian internasional atau traktat.

Trakat dalam hukum Internasional juga dibedakan menjadi:

1. Treaty, perjanjian yang harus disampaikan kepada DPR untuk

disetujui sebelum diratifikasi oleh kepala negara.

2. Agreement, perjanjian yang diratifikasi terlebih dahulu oleh kepala

negara baru disampaikan kepada DPR untuk diketahui.

Pasal 11 Undang-Undang Dasar menentukan bahwa Presiden dengan

persetujuan DPR menyatakan perang, membuat perdamaian dan


28

perjanjian dengan negara lain. Traktat atau perjanjian yang harus

disampaikan kepada DPR sebelum diratifikasi adalah perjanjian yang

mengandung materi sebagai berikut:

1. Soal-soal politik atau persoalan yang dapat mempengaruhi haluan

politik luar negeri, yaitu mengenai perjanjian perbatasan wilayah,

perjanjian persahabatan, perjanjian ekonomi dan teknis pinjaman

uang.

2. Persoalan yang menurut sistem perundang-undangan harus diatur

dengan undang-undang, yaitu kewarganegaraan dan soal

kehakiman.

Menurut E. Utrecht ada empat fase dalam pembuatan perjanjian antar

negara yaitu:

1. Penetapan (sluiting) oleh delegasi.

2. Persetujuan DPR.

3. Ratifikasi/pengesahan oleh Presiden.

4. Pelantikan/pengumuman (afkondiging)

Bagaimana cara menyelesaikannya atas pelanggaran traktat? Karena

subjek hukum dalam traktat itu beragam maka penyelesainnya pun

juga beragam-beragam.

1. Masalah sengketa dalam hukum perdata (privat), pelanggaran

hukum perdata dilakukan oleh subjek hukum manusia pribadi

(natuurlijk persoon) atau badan hukum privat. Biasanya


29

diselesaikan oleh badan pengadilan (yudikatif) nasional di tempat

terjadinya pelanggaran sesuai dengan dengan asas teritorial.

Misalnya tuntutan atas merek dagang, hak cipta, penanaman modal

oleh satu perusahaan di suatu negara diselesaikan di negara

terjadinya pelanggaran itu. Penyelesaian dengan cara perdamaian

atau perundingan pihak yang merasa bersalah bersedia memberi

ganti rugi atas kesalahannya.

2. Dalam pelanggaran masalah hukum publik, pelanggarannya adalah

subjek hukum badan hukum (rechtspersoon) yaitu negara dan

sanksi yang diberikan oleh badan Yudikatif internasional.

Misalnya, sengeketa wilayah negara, kekayaan alam, isi lautan dan

lain sebagainya untuk itu ditempuh jalan arbitrase atau perwasitan.

Kalau yang melanggar subjek hukum negara maka yang menjadi

wasit adalah negara. Tetapi apabila pelanggaran itu manusia atau

pribadi atau badan hukum maka yang menjadi wasit adalah orang

atau suatu lembaga.

Adapun dasar hukum kekuatan mengikatnya traktat yaitu:

1. Teori kehendak

Teori ini mendasarkan kekuatan mengikatnya perjanjian

internasional adalah kehendak negara itu sendiri, artinya negara lah

yang merupakan segala sumber hukum.

2. Teori hukum alam


30

Teori ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas. Mempunyai

pengaruh yang besar atas hukum internasional. Hukum alam

diartikan sebagai hukum yang ideal yang didasarkan pada hakikat

manusia yang harus taat pada hukum. Demikian juga dengan

negara yang terdiri dari manusia, masyarakat yang terikat dengan

hukum alam harus terikat pula dengan hukum internasional yang

dibuat oleh negara-negara.

3. Pacta Sunt Servanda

Hans Kelsen (Bapak mashab Wiena) berpendapat bahwa asas pacta

sunt servanda merupakan kaidah dasar hukum internasional.

Menurut mashab wiena bahwa kekuatan mengikat hukum

internasional didasarkan pada hukum yang lebih tinggi lagi dan

pada akhirnya akan sampai pada puncaknya.

4. Mahsab prancis

Mashab ini mendasarkan kekuatan berlakunya hukum internasional

adalah faktor-faktor biologis, sosiologis, dan sejarah kehidupan

manusia yang mereka namakan fait social, atau fakta-fakta

kemasyarakatan.

e. Doktrin (Pendapat Serjana Hukum)

Doktrin hukum adalah pendapat para ahli atau sarjana hukum

ternama/terkemuka. Doktrin berkaitan erat dengan yurisprudensi.

Hakim dalam memutus sebuah perkara seringkali mengutip pendapat

para sarjana yang dipandang memiliki kemampuan dalam persoalan


31

yang ditanganinya. Doktrin atau pendapat para sarjana hukum menjadi

dasar keputusan-keputusan yang akan diambil oleh seorang hakim

dalam menyelesaikan suatu perkara.

Pendapat para sarjana hukum yang merupakan doktrin adalah sumber

hukum. Ilmu hukum merupakan sumber hukum, tapi bukan hukum

karena tidak langsung mempunyai kekuatan mengikat seperti undang-

undang. Ilmu hukum tersebut akan mengikat dan mempunyai kekuatan

hukum apabila dijadikan pertimbangan hukum dalam putusan

pengadilan.

Dalam hukum internasional pendapat para sarjana hukum merupakan

sumber hukum yang sangat penting. Pasal 38 ayat 1 Piagam

Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice)

mengakui bahwa dalam menimbang dan memutus suatu perselisihan

dapat menggunakan beberapa pedoman, yaitu:

1. Perjanjian-perjanjian internasional (international conventions).

2. Kebiasaan-kebiasaan internasional (insternational customs).

3. Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab

(the general principles of law recognised by civilised nations).

4. Keputusan hakim (judical decisions) dan pendapat-pendapat

sarjana hukum.

C. Kewenangan Sumber Hukum di Indonesia

Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada

yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang kemudian


32

menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan

di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali

Provinsi Quebec) dan Saxon Serikat (walaupun negara bagian Louisiana

mempergunakan sistem hukum ini bersamaan dengan sistim hukum Eropa.

Selain negara-negara tersebut, beberapa negara lain juga menerapkan sistem

hukum Anglo-Saxon campuran, misalnya Pakistan, India dan Nigeria yang

menerapkan sebagian besar sistem hukum Anglo-Saxon, namun juga

memberlakukan hukum adat dan hukum agama.

Sistem hukum anglo saxon, sebenarnya penerapannya lebih mudah terutama

pada masyarakat pada negara-negara berkembang karena sesuai dengan

perkembangan zaman. Pendapat para ahli dan prakitisi hukum lebih menonjol

digunakan oleh hakim, dalam memutus perkara.

Sistem anglo saxon tidak menjadikan peraturan perundang-undangan sebagai

sendi utama sistemnya. Sendi utamanya adalah pada yurisprudensi. Sistem

hukum anglo saxon berkembang dari kasus-kasus konkret dan dari kasus

konkret tersebut lahir sebagai kaidah dan asas hukum. Karena itu sistem ini

sering disebut sebagai sistem hukum yang berdasarkan kasus (case law

system).

Dalam perkembangannya, yurisprudensi makin penting sebagai sumber

hukum

sistem kontinental. Begitu pula peraturan perundang-undangan pada sistem

anglo saxon makin menduduki tempat yang penting.


33

Sistem hukum Anglo Saxon, mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang

sering disebut sebagai Sistem “ Common Law” dan sistem “Unwritten Law”

(tidak tertulis). Walaupun disebut sebagai unwritten law tetap tidak

sepenuhnya

benar, karena di dalam sistem hukum ini dikenal pula adanya sumber-sumber

hukum yang tertulis (statutes). Sumber hukum dalam sistem hukum Anglo

Saxon ialah “putusan-putusan hakim/pengadilan” (judicial decisions).

Disamping putusan hakim, maka kebiasaan-kebiasaan dan peraturan

perundang-undangan tertulis undang-undang dan peraturan administrasi

negara yang diakui.

Selain itu dalam sistem Anglo Saxon ada “peranan” yang diberikan kepada

hakim yaitu hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk menafsirkan

peraturan hukum yang berlaku dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru

yang akan menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk memutuskan perkara

yang sejenis. Sistem Anglo Saxon menganut suatu doktrin yaitu “the doctrine of

precedent/stare decisis” yang pada hakekatnya menyatakan bahwa dalam

memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan putusannya

kepada prinsip hukum yang sudah di dalam putusan hakim lain dari perkara

sejenis sebelumnya (preseden). Dalam hal tidak ada putusan hakim yang terdahulu

atau ada tetapi tidak sesuai dengan perkembangan, maka hakim

dapat memutuskan perkara berdasarkan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan akal

sehat (common sense) yang dimiliki.


34

Oleh karena prinsip-prinsip hukum sering terjadi karena perkara, maka sistem

Anglo Saxon sering disebut Case law. Sistem hukum Anglo Saxon pengertian

hukum privat ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of

property), hukum tentang orang (law of persons), hukum perjanjian (law of

contract), dan hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of torts) yang

tersebar dalam Undang-Undang, putusan hakim dan hukum kebiasaan.

Indonesia disebut menganut keluarga hukum Eropa kontinental karena:

1. Menggunakan kodifikasi hukum (seperti Kitab Undang-undang Hukum

Pidana).

2. Berdasarkan sistem hukum di Eropa daratan, yaitu Kode Napoleon.

3. Tidak menggunakan prinsip putusan hakim sebelumnya sebagai dasar putusan

hakim-hakim selanjutnya (yang diterapkan keluarga hukum Anglo-Sakson).

Sistem hukum kontinental adalah sistem hukum berdasarkan kodifikasi, yaitu

kumpulan peraturan yang disusun dalam kitab-kitab hukum. Kitab hukum ini

ditetapkan oleh negara melalui undang-undang yang disusun oleh parlemen

(Dewan Perwakilan Rakyat). Sistem hukum ini dianut oleh negara-negara Eropa

daratan (continental Europe), seperti Belanda, Perancis, dan Jerman.

Dari negara-negara ini, sistem hukum kontinental menyebar ke wilayah bekas

jajahan negara Eropa daratan, termasuk Indonesia yang merupakan bekas jajahan

Belanda. Persebaran sistem hukum ini terutama disebabkan oleh penerapan “Kode

Napoleon”.

Undang-Undang Napoleon atau Kode Napoleon (bahasa Perancis: Code

Napoléon) adalah serangkaian hukum yang berasal dari Perancis. Hukum ini
35

disusun atas perintah pemimpin Perancis, Napoleon Bonaparte, yang ditetapkan

pada 21 Maret 1804. Karena masa Perang Napoleon di Eropa (tahun 1803-1815),

hukum Kode Napoleon ini memengaruhi undang-undang hukum di Eropa, karena

banyak negara Eropa menjadi wilayah yang dikuasai Perancis.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

 Pengertian Sumber Hukum

Sumber hukum adalah segala apa saja (sesuatu) yang menimbulkan

aturan-aturan yang mempunyai kekuatan mengikat dan bersifat memaksa,

yakni aturan-aturan yang jika dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas

dan nyata bagi pelanggarnya.yang dimaksud dengan segala apa saja

(sesuatu) yakni faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya

hukum, faktor-faktor yang merupakan sumber kekuatan berlakunya hukum

secara formal, dari mana huku itu dapat ditemukan.

 Jenis-Jenis Sumber Hukum


36

o Sumber hukum materil, Sumber hukum materil adalah tempat

darimana materi (isi) hukum diambil. Seperti KUHP segi materialnya

adalah pidana umum, kejahatan dan pelanggaran. KUHPerdata

mengatur masalah orang sebagai subjek hukum, benda sebagai objek,

perikatan, perjanjian, pembuktian dan daluarsa sebagaimana fungsi

hukum menurut para ahli.

o Sumber hukum formil, Sumber hukum formil adalah sumber hukum

yang dikenal dan digali dalam bentuknya (peraturan perundang-

undangan). Karena bentuknya tersebut maka sumber hukum formil

diketahui dan ditaati sehingga memperoleh kekuatan hukum.

 Kewenangan Sumber Hukum di Indonesia

o Sistem Anglo-Saxon adalah suatu sistem hukum yang didasarkan pada

yurisprudensi, yaitu keputusan-keputusan hakim terdahulu yang

kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim selanjutnya. Sistem

hukum ini diterapkan di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru,

Afrika Selatan, Kanada (kecuali Provinsi Quebec) dan Saxon Serikat

(walaupun negara bagian Louisiana mempergunakan sistem hukum ini

bersamaan dengan sistim hukum Eropa.

o Sistem hukum kontinental adalah sistem hukum berdasarkan

kodifikasi, yaitu kumpulan peraturan yang disusun dalam kitab-kitab

hukum. Kitab hukum ini ditetapkan oleh negara melalui undang-

undang yang disusun oleh parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat).


37

Sistem hukum ini dianut oleh negara-negara Eropa daratan (continental

Europe), seperti Belanda, Perancis, dan Jerman.

B. Saran

Sebagai masyarakat indonesia yang berbudi pekerti luhur hendaklah

memperdalami segala tentang sumber hukum dan kewenangannya di

Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

UNDANG-UNDANG

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1) poin a.

BUKU

Dasril Radjab, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika

Ikhsan Rosyada Daulay, 2006, Mahkamah Konstitusi Memahami Keberadaannya

dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta

K. Wantjik Saleh, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika

R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika

R. Soeroso, 2006, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Sinar Grafika


38

Usep Ranawidjaya, Hukum Tata Negara, Bandung, Eresca

Zaeni Asyhadie, 2015, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo

Persada

Anda mungkin juga menyukai