Anda di halaman 1dari 8

TUGAS RESUME KULIAH

SUMBER HUKUM TATA NEGARA


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Tata Negara
Dosen Pengampu: Martina Male, S.H., M.H.

Disusun oleh:
Salsabila Mareta Rizal (22.74.201.0039)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SANG BUMI RUWA JURAI
2023
SUMBER HUKUM TATA NEGARA

A. PENGERTIAN SUMBER HUKUM TATA NEGARA


Pengertian sumber Hukum Tata Negara secara etimologis berasal dari istilah
“sumber” dan “Hukum Tata Negara”. Sumber berarti tempat/sumber asal usul hukum
positif yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundangan-undangan.
Sumber hukum terdiri dari sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. Sedangkan
Hukum Tata Negara, menurut Logemann adalah hukum yang mengatur organisasi
negara. Jadi, sumber Hukum Tata Negara adalah sumber/asal-usul dari mana Hukum
Tata Negara itu berasal, apakah dari hukum tertulis dan/atau tidak tertulis.
Sumber Hukum Tata Negara menurut Bagir Manan terdiri atas dua yaitu:
1) Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang menentukan sisi
hukum HTN, yang termasuk misalnya: Dasar dan pandangan hidup. Kekuatan
politik yang berpengaruh pada saat perumusan Hukum Tata Negara.
2) Sumber hukum Tata Negara Formal adalah sumber hukum yang dilihat dari segi
bentuknya terdiri dari hukum perundang-undangan ketatanegaraan, hukum adat
ketatanegaran, kebiasaan (konvensi ketatanegaraan), yurisprudensi ketatanegaraan,
hukum perjanjian internasional, dan doktrin ketatanegaraan.

B. MACAM-MACAM SUMBER HUKUM TATA NEGARA


1. Sumber Hukum Tata Negara Materiil
Sumber hukum tata negara dalam arti materiil adalah Pancasila sebagai
sumber dari segala sumber hukum, pandangan hidup, cita-cita hukum dan moral yang
meliputi suasana jiwa, watak bangsa Indonesia. Menurut Jimly Asshiddiqie,
pandangan hidup bangsa Indonesia tercermin dalam perumusan sila-sila Pancasila
yang dijadikan falsafah hidup bernegara. Sebagai sumber hukum materiil, Pancasila
harus dilaksanakan oleh dan dalam setiap peraturan hukum Indonesia. Adapun Pasal
2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan juga menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber segala
sumber hukum negara. Penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm yang
berupa norma dasar bernegara atau sumber dari segala sumber hukum, berarti
menempatkan Pancasila di atas undang-undang dasar. Jika demikian, Pancasila tidak
termasuk dalam pengertian konstitusi, karena berada di atas konstitusi.

2. Sumber Hukum Tata Negara Formil


1) Konstitusi
Konstitusi adalah hukum dasar, norma dasar, dan sekaligus paling tinggi
kedudukannya dalam sistem bernegara. Konstitusi terdiri dari dua macam, yaitu:
a. Konstitusi Tertulis
Konstitusi tertulis dalam arti sempit adalah undang-undang dasar. UUD NRI
Tahun 1945 sebagai sumber hukum merupakan hukum dasar tertulis yang mengatur
masalah kenegaraan dan menjadi landasan hukum bagi ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam peraturan-peraturan di bawahnya.
b. Konstitusi Tidak Tertulis
Konstitusi tidak tertulis dalam arti luas, yang hidup dalam kesadaran hukum
dan praktiknya penyelenggaraan negara yang diidealkan. Prinsip-prinsip dasar yang
tidak tertulis serta nila-nilai moral dan politik yang dianggap ideal juga termasuk ke
dalam pengertian konstitusi yang tidak tertulis.

2) Peraturan Perundang-Undangan
Bagir Manan dan Kuntana Magnar memberikan pengertian peraturan
perundang-undangan ialah setiap putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan
dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat yang mempunyai (menjalankan) fungsi
legislatif sesuai dengan tata cara yang berlaku.
Sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sumber
hukum formal Hukum Tata Negara adalah:
 UUD NRI Tahun 1945;
 Ketetapan MPR RI;
 Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perppu);
 Peraturan Pemerintah (PP);
 Peraturan Presiden (Perpres);
 Peraturan Daerah (Perda) Provinsi;
 Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota.
Adapun pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 juga dijelaskan
bahwa jenis peraturan perundang-undangan mencakup peraturan yang ditetapkan oleh
MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga, atau komisi
yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU, DPRD
Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang
setingkat.

3) Hukum Adat Ketatanegaraan


Hukum adat ketatanegaraan adalah hukum di bidang ketatanegaraan yang
tumbuh dan berkembang di dalam kehidupan sehari-hari dari rakyat yang diakui
berlaku oleh penguasa, baik yang dari zaman dahulu (masa penjajahan dan
sebelumnya) maupun yang timbul dan berkembang di dalam masa kemerdekaan.
Hukum Adat Ketatanegaraan adalah hukum asli bangsa Indonesia di bidang
ketatanegaraan yang tumbuh, berkembang dan dipertahankan masyarakat melalui
putusan penguasa adat.

4) Konvensi Ketatanegaraan
Konvensi (Convention) atau Kebiasaan Ketatanegaraan adalah perbuatan
dalam kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang kali sehingga diterima dan
ditaati dalam praktik ketatanegaraan. Menurut Bagir Manan, konvensi ketatanegaraan
adalah “kaidah (rules) yang tumbuh dalam praktik ketatanegaraan” atau “kebiasaan di
bidang ketatanegaraan”. Sebagai contoh adalah Pidato Kenegaraan Presiden setiap
tanggal 16 Agustus di depan Sidang Paripurna DPR, dan Pidato Presiden sebagai
Pengantar APBN.

5) Yurisprudensi Ketatanegaraan
Yurisprudensi adalah putusan pengadilan yang diikuti secara berulang-ulang
dalam kasus yang sama. Di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, dan Australia
mempunyai pengertian yang lebih luas, dimana yurisprudensi berarti ilmu hukum.
Sedangkan pengertian yurisprudensi di negara-negara Eropa kontinental termasuk
kita di Indonesia yang berdasarkan asas konkordansi juga menganut sistem itu, maka
yuriprudensi hanya berarti putusan pengadilan.
Dalam sistem kontinental seperti di Jerman, Perancis, dan Belanda, putusan
pengadilan dianggap sebagai salah satu saja dari norma hukum yang dipelajari dan
dijadikan sumber hukum. Untuk itu, istilah jurisprudentie di Belanda menunjuk
kepada pengertian putusan pengadilan yang bersifat tetap yang kemudian dijadikan
referensi bagi hakim lain dalam memeriksa perkara serupa di kemudian hari.
Pengertian inilah yang diadopsi ke dalam sistem hukum Indonesia.

6) Hukum Perjanjian Internasional Ketatanegaraan (Traktat)


Traktat atau perjanjian (yaitu perjanjian yang dilakukan oleh dua
negara/bilateral atau lebih/multilateral). Dalam Kamus Hukum Internasional, tidak
dibedakan traktat dan perjanjian. Menurut Bellefroid, kedua hal itu memunyai arti
yang berbeda. Trakrat adalah perjanjian yang terikat pada bentuk tertentu sedangkan
perjanjian tidak selalu terikat pada bentuk tertentu. Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2000 yaitu Undang-Undang tentang Perjanjian
Internasional bahwa Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan
nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Hal ini menegaskan pada
asas Pacta Sunt Servanda yang berarti perjanjian antara pihak-pihak harus ditaati.
7) Doktrin Ketatanegaraan
Doktrin adalah pernyataan atau pendapat para ahli hukum. Dalam kenyataan,
banyak pendapat para ahli hukum yang banyak diikuti orang dan menjadi dasar dan
pertimbangan dalam penetapan hukum, baik oleh para hakim ketika akan memutus
suatu perkara atau oleh pembentuk undang-undang.
Menurut Jimly Asshiddiqie, doktrin atau pendapat para ahli hukum harus
mememuhi persyaratan, yaitu: (i) ilmuwan yang bersangkutan dikenal dan diakui luas
sebagai ilmuwan yang memiliki otoritas dibidangnya dan mempuyai integritas yang
dapat di percaya; (ii) terhadap persoalan yang bersangkutan memang tidak di
temukan dalam peraturan tertulis yang berlaku; (iii) pendapat hukum dimaksud telah
diakui keunggulannya dan diterima oleh umum, khususnya diterima dikalangan
sesama ilmuwan.

C. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


1) Konsep Hierarki Peraturan Perundang-undangan
Menurut Hans Kelsen, pada dasarnya terdapat dua golongan norma dalam
hukum, yakni norma yang bersifat superior dan norma yang bersifat inferior di mana
validitas dari norma yang lebih rendah dapat diuji terhadap norma yang secara
hierarkis berada di posisi lebih tinggi. Karena adanya pengujian validitas terhadap
norma hukum yang lebih tinggi inilah, Kelsen dalam Stufentheorie nya berpendapat
bahwa hukum telah mengatur pembentukan atas dirinya sendiri. Adapun akhir dari
pembentukan hukum (regressus) ini menurutnya akan berujung pada sebuah norma
dasar tertinggi atau lazim disebut dengan Grundnorm.
Pemikiran Hans Kelsen tersebut dirinci secara lebih mendalam oleh Hans
Nawiasky. Menurut Nawiasky, susunan norma hukum tersusun dalam bangunan
hukum berbentuk stupa (Stufenformig) yang terdiri dari bagian-bagian tertentu
(Zwischenstufe). Adapun hierarki bagian tersebut adalah Staatsfundamentalnorm
(norma dasar), Staatsgrundgesetz (norma yang sifatnya dasar dan luas, dapat tersebar
dalam beberapa peraturan), Formellgesetz (bersifat lebih konkret dan terperinci),
Verordnungsatzung (peraturan terlaksana), Autonome satzung (peraturan otonom).

2) Hierarki Peraturan Perundang-undangan Indonesia


Berdasarkan ketentuan pada Pasal 7 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011 dapat
dilihat bahwa hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia yang paling tinggi
adalah UUD NRI Tahun 1945. Kemudian, kekuatan hukum peraturan perundang-
undangan yang disebutkan berlaku sesuai hierarkinya dan peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi. Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan selain
yang dimaksud pada Pasal 7 juga mencakup ketentuan dari peraturan pada isi Pasal 8.

3) Asas-asas Hierarkie Peraturan Perundang-undangan


Adapun terdapat empat asas atau prinsip dalam hierarki peraturan perundang-
undangan, yaitu:
a. Asas legalitas
b. Asas hukum tinggi mengesampingkan hukum rendah (Lex superior derogat legi
inferior)
c. Asas hukum khusus mengesampingkan hukum umum (Lex specialis derogat legi
generali)
d. Asas hukum baru mengesampingkan hukum lama (Lex posterior derogat legi
prior)
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I. Jakarta:


Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

Irfani, N. (2020). Asas Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior: Pemaknaan,
Problematika, dan Penggunaannya dalam Penalaran dan Argumentasi Hukum.
Jurnal Legislasi Indonesia Vol. 16 No. 3, 307-314.

Mujiburohman, D. A. (2017). Pengantar Hukum Tata Negara. Yogyakarta: STPN


Press.

Sati, N. I. (2019). Ketetapan MPR dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan


di Indonesia. Jurnal Hukum & Pembangunan 49 No. 4, 835-839.

Sitabuana, T. H. (2020). Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press.

Yusa, I. G., & dkk. (2016). Hukum Tata Negara Pasca Perubahan UUD NRI 1945.
Malang: Setara Press.

Anda mungkin juga menyukai