Anda di halaman 1dari 81

AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP HARTA WARISAN

DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004


TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN
KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

FAISAL LUBIS
070200069
Departemen : Hukum Keperdataan
Program Kekhususan :HukumPerdata BW

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
AKIBAT HUKUM KEPAILITAN TERHADAP HARTA WARISAN DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG NO. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN
DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan


Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :
FAISAL LUBIS
070200069

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

DR. Hasim Purba, SH, M.Hum


NIP. 196603031985081001

Pembimbing I Pembimbing II

Ramli Siregar, SH, M.Hum Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum


NIP. 195303121983031002 NIP. 195902051986012001

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011
ABSTRAK

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada tanggal 18
November 2004 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, tampaknya diiringi
dengan harapan terwujudnya wacana baru yang berhubungan dengan kepailitan
terhadap kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang
secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara
lain adalah Asas keseimbangan, Asas kelangsungan Usaha, Asas Keadilan dan
Asas Integrasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam skripsi ini akan di bahas 3
(tiga) permasalahan yaitu: Apakah akibat hukum pernyataan pailit terhadap ahli
waris debitur pailit, bagaimanakah pertanggung jawaban ahli waris debitur
terhadap putusan pailit dan bagaimanakah kedudukan hukum ahli waris debitur
terhadap putusan pailit.
Dari Penyusunan skripsi ini dengan menggunakan metode kepustakaan
(library research) yaitu dengan mendasarkan kepada bahan kepustakaan baik
berupa pendapat para ahli hukum dan juga ketentuan perundang-undangan yang
ada kaitan dengan masalah tersebut diatas.
Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sesuai dengan
ketentuan Pasal 207 UUK-PKPU, harta kekayaan orang yang meninggal harus
dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila dua atau beberapa kreditor mengajukan
permohonan untuk itu dan secara singkat dapat membuktikan bahwa : Utang
orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau pada saat
meninggalnya orang tersebut harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar
utangnya.
Menurut Pasal 40 ayat (1) UUK-PKPU, warisan yang selama kepailitan
jatuh kepada debitor pailit, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila
menguntungkan harta pailit. Logika ketentuan-ketentuan Pasal 40 ayat (1) dapat
dimengerti karena tidak mustahil debitor pailit bukan menerima warisan berupa
piutang tetapi menerima warisan utang. Apabila debitor pailit menerima warisan
berupa piutang (tagihan) maka warisan tersebut akan menguntungkan harta pailit.
Akan tetapi, apabila debitor pailit menerima warisan berupa utang, maka warisan
tersebut akan membebani harta pailit. Sudah tentu hal tersebut bukan saja debitor
pailit, tetapi juga para kreditornya.
Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut Putusan pernyataan pailit
berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari
harta kekayaan ahli warisnya. Sehingga pertanggung jawaban ahli waris debitor
terhadap putusan pailit demi hukum sudah dipisahkan dari harta kekayaan orang
yang meninggal oleh UU No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

i
KATA PENGANTAR

Dengan segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas segala kemurahan dan rahmatNya yang diberikan kepada penulis,

sehingga peulis dapat mengikuti perkuliahan dan dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk

meraih gelar Sarjana Hukum di Universitas Sumatra Utara, dimana hal tersebut

merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan

perkuliahannya.

Adapun judul skripsi yang penulis kemukakan AKIBAT HUKUM

KEPAILITAN TERHADAP HARTA WARISAN DITINJAU DARI

UNDANG-UNDANG No. 37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN

PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Skripsi ini

membahas tentang akibat hukum pernyataan pailit terhadap ahli waris debitor

pailit.

Penulis telah mencurahkan segenap hati, pikiran dan kerja keras dalam

penyusunan skripsi ini. Namun penulis menyadari bahwa di dalam penulisan

skripsi ini masih banyak kekurangannya, baik isi maupun kalimatnya. Oleh sebab

itu skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Di dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih

kepada :

ii
5

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Iniversitas Sumatera Utara .

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ramli Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I sekaligus

Dosen Wali yang telah banyak meluangkan waktunya dalam memberikan

bantuan, bimbingan dan arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan

skripsi ini.

4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah

banyak meluangkan waktunya dalam memberikan bantuan, bimbingan dan

arahan-arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu penulis

selama menjalani perkuliahan.

6. Teristimewa kepada Orangtua tercinta, Ayahanda (Alm.) H. Mhd. Fauzi Lubis

dan Ibunda Hj. Mawar Diana Dalimunthe yang telah membesarkan dan

mendidik Penulis dengan kasih sayang yang tak hentinya memberikan

motivasi, semangat dan mendoakan setiap langkah Penulis dalam mencapai

cita-cita.

7. Keluarga Besar Prof. Dr. Darwin Dalimunthe yang telah banyak membantu

penulis dalam memberikan moril maupun materil terhadap penulis.

8. Kepada Abangku Mhd. Fiza Saktia Lubis dan Kakakku Melza Lubis yang

telah memberikan motivasi, semangat serta doa kepada Penulis.

iii
6

9. Kepada sahabat-sahabat Penulis : Khairun Naim, Firman Hermawan

Simorangkir, Heru Adenin, Aulia Rizky Harahap, Muammar Zia Nasution,

Christian Pranata, Irveb Imanuel Tarigan, Adhy Iswara Sinaga, Danisyahputra

Sembiring dan Dian Mayasari.

10. Teman-teman seangkatan 2007 Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara

yang tidak bias disebutin satu persatu.

12. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini yang tidak

dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan dan masih

jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik

yang membangun dan menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis

mengharapkan semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan Rahmat dan KaruniaNya

kepada kita semua. Amin.

Medan, Mei 2011

Penulis

Faisal Lubis

iv
DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN......................................................................... 1

A. Latar Belakang ......................................................................... 1

B. Perumusan Masalah .................................................................. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ................................................. 6

D. Tinjauan Kepustakaan .............................................................. 7

E. Keaslian Penulisan .................................................................... 8

F. Metode Penelitian ..................................................................... 9

G. Sistematika Penulisan ............................................................... 9

BAB II TINJAUAN HUKUM KEPAILITAN ........................................ 12

A. Pengertian Umum Kepailitan ................................................... 12

B. Pihak-Pihak Yang Dapat Meminta Pailit ................................ 17

C. Prosedur Permohonan Pailit ................................................... 19

D. Akibat Hukum Kepailitan ...................................................... 21

E. Berakhirnya Kepailitan .......................................................... 24

F. Keberadaan Dan Kompetensi Pengadilan Niaga ................... 34

G. Penundaan Kewajiban Dan Pembayaran Utang (PKPU) ....... 41

BAB III TINJAUAN HUKUM WARISAN .............................................. 45

A. Terbukanya Warisan .............................................................. 48

B. Hak Mewarisi Menurut Undang-Undang KUH Perdata ....... 49

C. Yang Termasuk Ahli Waris ................................................... 54

v
8

D. Yang Tidak Patut Menjadi Ahli Waris ................................... 56

BAB IV ASPEK HUKUM DALAM PAILIT TERHADAP HARTA

WARISAN .................................................................................... 50

A. Akibat Hukum Pernyataan Pailit Terhadap Ahli Waris

Debitur Pailit .......................................................................... 60

B. Kedudukan Ahli Waris Terhadap Putusan Pailit ................... 63

C. Pertanggungjawaban Ahli Waris Debitor Terhadap Putusan

Pailit ........................................................................................ 66

BAB V PENUTUP ..................................................................................... 69

A. Kesimpulan ............................................................................. 69

B. Saran ....................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 71

vi
ABSTRAK

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang pada tanggal 18
November 2004 oleh Presiden Megawati Soekarno Putri, tampaknya diiringi
dengan harapan terwujudnya wacana baru yang berhubungan dengan kepailitan
terhadap kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang
secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang ini didasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara
lain adalah Asas keseimbangan, Asas kelangsungan Usaha, Asas Keadilan dan
Asas Integrasi.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka dalam skripsi ini akan di bahas 3
(tiga) permasalahan yaitu: Apakah akibat hukum pernyataan pailit terhadap ahli
waris debitur pailit, bagaimanakah pertanggung jawaban ahli waris debitur
terhadap putusan pailit dan bagaimanakah kedudukan hukum ahli waris debitur
terhadap putusan pailit.
Dari Penyusunan skripsi ini dengan menggunakan metode kepustakaan
(library research) yaitu dengan mendasarkan kepada bahan kepustakaan baik
berupa pendapat para ahli hukum dan juga ketentuan perundang-undangan yang
ada kaitan dengan masalah tersebut diatas.
Adapun kesimpulan yang dapat dikemukakan adalah sesuai dengan
ketentuan Pasal 207 UUK-PKPU, harta kekayaan orang yang meninggal harus
dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila dua atau beberapa kreditor mengajukan
permohonan untuk itu dan secara singkat dapat membuktikan bahwa : Utang
orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau pada saat
meninggalnya orang tersebut harta peninggalannya tidak cukup untuk membayar
utangnya.
Menurut Pasal 40 ayat (1) UUK-PKPU, warisan yang selama kepailitan
jatuh kepada debitor pailit, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila
menguntungkan harta pailit. Logika ketentuan-ketentuan Pasal 40 ayat (1) dapat
dimengerti karena tidak mustahil debitor pailit bukan menerima warisan berupa
piutang tetapi menerima warisan utang. Apabila debitor pailit menerima warisan
berupa piutang (tagihan) maka warisan tersebut akan menguntungkan harta pailit.
Akan tetapi, apabila debitor pailit menerima warisan berupa utang, maka warisan
tersebut akan membebani harta pailit. Sudah tentu hal tersebut bukan saja debitor
pailit, tetapi juga para kreditornya.
Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004
Tentang UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut Putusan pernyataan pailit
berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari
harta kekayaan ahli warisnya. Sehingga pertanggung jawaban ahli waris debitor
terhadap putusan pailit demi hukum sudah dipisahkan dari harta kekayaan orang
yang meninggal oleh UU No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.

i
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan hukum nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat adil

dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945 diarahkan pada terwujudnya sistem hukum nasional, yang

dilakukan dengan pembentukan hukum baru, khususnya produk hukum yang

dibutuhkan untuk pembanguan perekonomian nasional.

Produk hukum nasional yang menjamin kepastian, ketertiban,

penegakan,danperlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran

diharapkan mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan perekonomian

nasional, serta mengamankan dan mendukung hasil pembangunan nasional. 1

Salah satu sarana hukum yang diperlukan dalam menunjang pembangunan

perekonomian nasional adalah peraturan tentang kepailitan termasuk peraturan

tentang penundaan kewajiban pembayaran utang yang semula diatur dalam

Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissements-verordening Staatsblad

190:217 juncto Staatsblad 1906:348).

Perkembangan perekonomian dan perdagangan serta pengaruh globalisasi

yang melanda dunia usaha dewasa ini, dan mengingat modal yang dimiliki oleh

para pengusaha pada umumnya sebagian besar merupakan pinjaman yang berasal

dari berbagai sumber, baik dari bank, penanaman modal, penerbitan obligasi

1
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di Indonesia,
(Jakarta:Rajawali Press,1991), hal 10.

1
2

maupun cara lain yang diperbolehkan, telah menimbulkan banyak permasalahan

penyelesaian utang piutang dalam masyarakat.

Bahwa krisis moneter yang melanda Negara Asia termasuk Indonesia sejak

pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap

perekonomian dan perdagangan nasional.Kemampuan dunia usaha dalam

mengembangkan usaha sangat terganggu, bahkan untuk mempertahankan

kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah, hal tersebut sangat

mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utang.

Keadaan tersebut berakibat timbulnya masalah-masalah yang berantai, yang

apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, antara lain hilangnya

lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya. 2

Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang

secara adil, cepat, terbuka, dan efektif,sangatdiperlukanperangkat hukum yang

mendukungnya. Pada tanggal 22 April 1998 berdasarkan Pasal 22 ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 4

Tahun 1998. Perubahan dilakukan oleh karena Undang-Undang tentang

Kepailitan (Faillisements-verordenirng, Statsblad 1905:217 juncto Staatsblad

1906:348)yang merupakan peraturan perundang-undangan peninggalan

pemerintahan Hindia Belanda, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan

perkembangan hukum masyarakat untuk penyelesaian utang piutang.

2
Ibid, hal. 12.
3

Perubahan terhadap Undang-Undang tentang kepailitan tersebut di atas yang

dilakukan dengan memperbaiki, menambah, dan meniadakan ketentuan-ketentuan

yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan

hukum dalam masyarakat, jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih

terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Putusan pernyataan pailit

mengubah status hukum seseorang menjadi tidak cakap untuk melakukan

perbuatan hukum, menguasai dan mengurus harta kekayaan sejak putusan

pernyataan pailit diucapkan. 3

Syarat utama untuk dapat dinyatakan pailit adalah bahwa seorang Debitor

mempunyai paling sedikit 2(dua) kreditor dan tidak membayar lunas salah satu

utangnya yang sudah jatuh tempo.Dalam pengaturan pembayaran ini, tersangkut

baik kepentingan debitor sendiri, maupun kepentingan para kreditonya.Dengan

adanya putusan pernyataan pailit tersebut, diharapkan agar harta pailit debitor

dapat digunakan untuk membayar kembali seluruh uang debitor secara adil dan

merata serta seimbang. Pernyataan pailit dapat dimohon oleh salah seorang atau

lebih kreditor, debitor, atau jaksa umum untuk kepentingan umum.Kepailitan

tidak membebaskan seorang yang dinyatakan pailit dari kewajiban untuk

membayar utang-utangnya. 4

Ada beberapa faktor perlunya peraturan mengenai kepailitan dan penundaan

kewajiban pembayaran utang :

Pertama, untuk menghindari perebutan harta debitor apabila dalam waktu


yang samaadabeberapa kreditor yang menagih piutangnya dari debitor.
Kedua, untuk menghindari adanya kreditor pemegang hak jaminan
kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual barang milik

3
Mohamad Chaidir Ali, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,(Bandung:Mandar Maju,
1995),hal 25
4
Ibid. hal. 27.
4

debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor


lainnya.
Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-kecurangan yang dilakukan
oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.Misalnya, debitor berusaha
untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor
tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan curang
dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan untuk
melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.Bertitik tolak dari
dasar pemikiran tersebut diatas, perlu dibentuk undang-undang baru
tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, yang
merupakan produk hukum nasional, yang sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan hukum masyarakat. 5

Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang ini di dasarkan pada beberapa asas. Asas-asas tersebut antara lain adalah:

1. Asas Keseimbangan

Undang-undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan

perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu disatu pihak, terdapat ketentuan

yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga

kepailitan oleh debitor yang tidak jujur, dilain pihak, terdapat ketentuan

yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pratana dan lembaga

kepailitan oleh kreditor yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha.

Dalam Undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan

perusahaan debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan

mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang

berkepentingan.Asas keadilan ini untuk mencegah para pihak yang

berkepentingan.Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-


5
Munir Fuady, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Citra Aditya Bakti,
1999), hal. 105.
5

wenangan penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-

masing terhadap debitor, dengan tidak memperdulikan kreditor lainnya.

4. Asas Integrasi

Asas Integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa

sistem hukum formil dan hukum materilnya merupakan satu kesatuan

yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Undang-undang baru tentang kepailitan dan penundaan kewajiban

pembayaran utang mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi

norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang piutang.

Cakupan yang lebih luas tersebut diperlukan, karena adanya

perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat sedangkan

ketentuan yang selama ini berlaku belum memadai sebagai sarana hukum

untuk menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat, terbuka dan

efektif.

Dengan ketentuan Pasal 40 dan 41 Undang-Undang tentang kepailitan dan

penundaan kewajiban pembayaran utang No 37 Tahun 2004, maka aspek hukum

pernyataan pailit terhadap harta warisan telah diatur di dalam kasanah hukum

kepailitan di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berkaitan dengan uraian tersebut diatas, dirasakan perlu untuk

mengadakan penelitian tentang aspek hukum pernyataan pailit terhadap harta

warisan. Hasil penelitian akan dituliskan dalam karya ilmiah berbentuk skripsi

dengan judul ASPEK HUKUM PERNYATAAN PAILIT TERHADAP HARTA

WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NO 37 TAHUN 2004 .


6

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, ada beberapa pokok

masalah yang akan dirumuskan dalam penulisan skripsi ini, yaitu:

1. Apakah akibat hukum pernyataan pailit terhadap ahli waris debitor

pailit ?

2. Bagaimanakah pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap

putusan pailit ?

3. Bagaimanakah kedudukan hukum ahli waris debitor terhadap

putusan pailit ?

C. Tujuan dan manfaat penulisan

Tujuan Penulisan

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini, antara

lain, yaitu:

1. Untuk mengetahui akibat hukum pernyataan pailit terhadap ahli

waris debitor pailit.

2. Untuk mengetahui pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap

putusan pailit.

3. Untuk mengetahui kedudukan hukum ahli waris debitor terhadap

putusan pailit.
7

Manfaat Penulisan ini adalah :

1. Secara teoretis

Pembahasan masalah dari penulisan skripsi ini akan memberikan

pemahaman dan sikap kritis dalam menghadapi pengetahuan tentang aspek

hukum pernyataan pailit terhadap harta warisan ditinjau dari Undang-

Undang No 37 Tahun 2004, selanjutnya hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai bahan referensi dalam kajian mengenai aspek hukum

pernyataan pailit terhadap harta warisan, serta untuk menambah wawasan

bagi mahasiswa Fakultas Hukum.

2. Secara Praktis

Diharapkan agar tulisan ini dapat menjadi masukan bagi para pembaca,

baik dikalangan akademisi maupun peneliti yang mengkaji masalah yang

sejenis ke dalam suatu pemahaman yang komprehensif tentang akibat

hukum pernyataan pailit terhadap ahli waris debitor pailit, pertanggung

jawaban ahli waris debitor terhadap putusan pailit dan kedudukan hukum

ahli waris debitor terhadap putusan pailit yang diharapkan dapat

menambah wawasan Aspek Hukum pernyataan pailit terhadap harta

warisan ditinjau dari Undang-Undang No 37 Tahun 2004.

D. Tinjauan Kepustakaan

Pengertian aspek dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu segi

dalam pemandangan terhadap kajian sesuatu hal. 6 Pengertian lain dari hukum

menurut Immanuel Kant, hukum ialah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini

6
Frista Artmanda W., Kamus Lengkap Bahasa Indonesia,(Jakarta:Lintas Media, 2004),
hal 747.
8

kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak

bebas dari orang lain, menurut peraturan hukum tentang kemerdekaan. 7

Selanjutnya pengertian dari aspek hukum yaitu suatu segi dalam pemandangan

terhadap kajian yang berhubungan dengan peraturan hukum. 8 Pengertian pailit

adalah debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar

sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit

dengan putusan pengadilan yang berwewenang, baik atas permohonan sendiri

maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. 9 Sedangkan pengertian

harta warisan adalah kekayaan yang berupa keseluruhan aktiva dan pasiva yang

ditinggalkan pewaris dan berpindah kepada para ahli waris. Keseluruhan

kekayaan yang berupa aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama ahli waris

disebut Boedel. 10

E. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini sudah pernah ada dibahas oleh orang lain tetapi saya

mencoba menulis skripsi ini dengan permasalah yang berbeda. Dengan ini penulis

dapat bertanggung jawab atas keaslian penulisan skripsi ini. Oleh karena itu,

penulis berkeyakinan bahwa penulisan ini adalah jauh dari unsur plagiat. Dalam

penulisan ini dipakai pendapat-pendapat para sarjana yang diambil atau dikutip

berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan

7
W.J.S Poerwardaminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 2006),
hal 612.
8
Subekti, Kamus Hukum,(Jakarta:Pradnya Paramita, 1980), hal 60.
9
W.J.S. Poerwadarminta, op cit, hal 85.
10
Wahyono Darmabrata, Azas-Asas Hukum Waris( Jakarta:Cetakan Pertama, 1994),
hal 62.
9

masalah dan pembahasan yang disajikan, baik berupa karya ilmiah, pasal-pasal

dalam Undang-Undang Kepailitan, maupun pasal-pasal dalam KUH Perdata.

F. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan data guna menguraikan penulisan skripsi yang

berjudul aspek hukum pernyataan pailit terhadap harta warisan, maka jenis

penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

hukum normaltif. Menurut Bagir Manan, penelitian normaltif adalah penelitian

terhadap kaidah dan asas hukum yang ada.

Untuk memperoleh suatu yang baik dari suatu karya ilmiah, maka didukung

oleh bukti dan fakta atau data yang akurat. Dalam melakukan penulisan ini,

penelitian yang dilakukan prinsipnya bertendansi kepada penelitian keputusan

(library research) dan penelitianlapangan (field research) sebagai data

pendukung.

Penelitian kepustakan (library research) adalah penelitian yang berkenaan

dengan bacaan yang berisikan peraturan perundang-undangan, buku,

majalah,makalah seminar yang berhubungan dengan topik dijadikan sebagai

landasan guna menguatkan argumentasi di dalam penyusunan penulisan ini.

G. Sistematika Penulisan

Secara sistematis penulis membagi skripsi ini dalam beberapa bab dan tiap-

tiap bab dibagi atas sub bab yang terperinci sebagai berikut:
10

Bab I : Pendahuluan

Bab ini menguraikan tentang latar belakang, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian

dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Hukum Kepailitan

Bab ini menguraikan tentang pengertian umum kepailitan, pihak

yang dapat meminta pailit, prosedur permohonan pailit, akibat

hukum Kepailitan.Kemudian pengertian berakhirnya kepailitan,

insolvensi atau pemberesan harta pailit, rehabilitasi. Lalu pengertian

keberadaan dan kompetensi pengadilan niaga, kedudukan dan

pembentukan pengadilan niaga, kompetensi pengadilan niaga, dan

hakim pengadilan niaga. Selanjutnya pengertian penundaan

kewajiban dan pembayaran utang (PKPU).

Bab III : Tinjauan Hukum Warisan

Bab ini menguraikan tentang pengertian terbukanya warisan, hak

mewarisi menurut undang-undang, yang termaksud ahli waris, dan

yang tidak patut menjadi ahli waris.

Bab IV : Aspek Hukum dalam Pailit terhadap harta warisan ditinjau dari

Undang-Undang No 37 Tahun 2004

Bab ini menguraikan tentang akibat hukum pernyataan pailit

terhadap ahli waris debitor pailit, pengertian debitor dan kreditor

menurut UUK-PKPU, dan kepalitan orang mati. Selanjutnya

kedudukan ahli waris debitor terhadap putusan pailit, sikap ahli

waris terhadap warisan menurut KUH Perdata, terhadap warisan


11

menurut UUK-PKPU dan pertanggung jawaban ahli waris debitor

terhadap putusan pailit.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Merupakan bab terakhir yang menguraikan tentang kesimpulan dan

saran.
BAB II

TINJAUAN HUKUM KEPAILITAN

A. Pengertian Umum Kepailitan

Kepailitan adalah suatu kenyataan bahwa kegiatan usaha global seperti

sekarang ini tidak mungkinterisolir dari masalah-masalah lain. Suatu perusahaan

yang dinyatakan pailit pada saat ini akan mempunyai imbas dan pengaruh buruk

bukan hanya perusahaan itu saja melainkan berakibat global. Sebagai contoh,

ketika Dirut Yamaichi Securities pada tanggal 1 Desember 1995 mengumumkan

kebangkrutan perusahaannya pada suatu konferensi pers di Tokyo, Jepang laksana

diguncang bom atom lagi. Bahkan dampaknya bersifat mengglobal. Dari kasus ini

dapat dilihat banyak yang akan jadi korban bila perusahaan itu dinyatakan pailit.

Oleh sebab itu, lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok

di dalam aktivitas bisnis karenaadanya status pailit merupakan salah satu sebab

pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak mampu lagi

untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar. Di dalam hal seperti

inilah kemudian lembaga kepailtan itu berperan. 21

Pandangan seperti itu memang secara ekonomis dapat diterima, bila

dikemas di dalam peraturan hukum maka peraturan itu secara tepat kepentingan

yangdilihat dari sudut pandang ekonomis namun hal seperti ini jelas tidak sesuai

dengan era global seperti sekarang ini. Menurut Peter, aturan main bentuk

perangkat hukum di dalam kegiatan bisnis meliputi 3 hal yaitu:

21
Sudargo Gautama, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Untuk Indonesia,(Bandung:Citra
Aditya Bakti,1998), hal 205.

12
13

1. Aturan hukum yang memberi landasan hukum bagi keberadaan

lembaga-lembaga yang mewadahi bisnis dalam arena pasar (substantive

legal rules).

2. Aturan hukum yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku bisnis

dalam melaksanakan setiap transaksi bisnis, dan

3. Aturan hukum yang memungkinkan pelaku keluar dari pasar. Kata

pailit berasal dari bahasa Perancis failite berarti kemacetan

pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah failite. Sedang

dalam hukum Anglo America, undang-undangnya dikenal dengan

Bankcrupty Act. Dalam pengertian kita, merujuk aturan lama yaitu pasal

1 ayat (1) Peraturan Kepailitan Faillisement Verordening S. 1990-217

jo 1905-348 menyatakan : Setiap berutang (debitor) yang ada dalam

keadaan berhenti membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas

permohonan seseorang atau lebih berpiutang (kreditor), dengan putusan

hakim dinyatakan dalam keadaan pailit . 22

Ketentuan yang baru yaitu dalam lampiran UU No.4 Th.1998 pasal 1

ayat (1), yang menyebutkan : Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor

dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat

ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas permohonan sendiri, maupun atas

permintaan seorang atau lebih kreditor. 23

22
Sri Rejeki Hartono, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan Modern,(Jakarta:
Majalah Hukum Nasional, 2000), hal 81.
23
Sri Sumantri Hartono, Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,
(Yogyakarta:Liberty, 1981), hal 42.
14

Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan dipengadilan

setelah memenuhi pesyaratan di dalam pengajuan permohonan. Keterbatasan

pengetahuan perihal ilmu hukum khususnya hukum kepailitan yang berasal dari

hukum asing, juga istilah pailit yang jarang sekali dikenal oleh masyarakat

kalangan bawah maupun pedesaan yang lebih akrab dengan hukum adatnya,

istilah bangkrut lebih kenal. Masyarakat desa tidak berpikir untuk memohon ke

pengadilan agar dirinya dinyatakan pailit. Para pedagang kecil jika ia sudah tidak

dapat berdagang lagi, karena modalnya habis dan ia tidak dapat membayar utang-

utangnya, laluia mengatakan bahwa dirinya sudah bangkrut. Tidak demikian

halnya bagi perusahaan/pedagang besar, pengertian istilah kebangkrutan maupun

pailit telah mereka ketahui.

Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut diatas

maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai sita umum atas

harta kekayaan debitor baik yang pada waktu pernyataan pailit maupun yang

diperoleh selama kepailitan berlangsung untuk kepentingan semua kreditor yang

pada waktu kreditor dinyatakan pailit mempunyai hutang, yang dilakukan dengan

pengawasan pihak yang berwajib. 24

Akan tetapi dikecualikan dari kepailitan adalah:

1. Semua hasil pendapatan debitor pailit selama kepailitan tersebut dari

pekerjaan sendiri, gaji suatu jabatan/ jasa, upah pensiun, uang tunggu/

uang tunjangan, sekedar atau sejauh hal itu diterapkan oleh hakim.

24
Khairandy, Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan,(Jakarta:Jurnal Hukum
Bisnis, 2002),hal 94.
15

2. Uang yang diberikan kepada debitor pailit untuk memenuhi kewajiban

pemberian nafkahnya menurut peraturan perundang-undangan (pasal 213,

225, 321 KUHPerdata).

3. Sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim pengawasan dari pendapatan

hak nikmat hasil seperti dimaksud dalam (pasal 311 KUHPerdata).

4. Tunjangan dari pendapatan anak-anaknya yang diterima oleh debitor pailit

berdasarkan pasal 318 KUHPerdata.

Apabila seorang debitor (yang utang) dalam kesulitan keuangan, tentu saja

para kreditor akan berusaha untuk menempuh jalan untuk menyelamatkan

piutangnya dengan jalan mengajukan gugatan perdata kepada debitor

kepengadilan dengan disertai sita jaminan atas harta si debitor atau menempuh

jalan yaitu kreditor mengajukan permohonan ke pengadilan agar si debitor

dinyatakan pailit. 25

Jika kreditor menempuh jalan yang pertama yaitu melalui gugatan perdata,

maka hanya kepentingan kreditor/si penggugat saja yang dicukupi dengan harta si

debitor yang disita dan kemudian dieksekusi pemenuhan piutang dari kreditor,

kreditor lain yang tidak melakukan gugatan tidak dilindungi kepentingannya.

Adalah lain halnya apabila kreditor-kreditor memohon agar pengadilan

menyatakan debitor pailit, maka dengan persyaratan pailit tersebut, maka jatuhlah

sita umum atas semua harta kekayaan debitor dan sejak itu pula semua sita yang

telah dilakukan sebelumnya bila ada menjadi gugur. 26

Dikatakan sita umum, karena sita tadi untuk kepentingan seorang atau

beberapa orang kreditor, melainkan untuk semua kreditor atau dengan kata lain

25
Ibid, hal 108.
26
Ibid, hal 115.
16

untuk mencegah penyitaan dari eksekusi yang dimintakan oleh kreditor secara

perorangan. Hal lain yang perlu dimengerti bahwa kepailitan hanya mengenai

harta benda debitor, bukan pribadinya. Jadi ia tetap cakap untuk melakukan

perbuatan hukum di luar hukum kekayaan misalnya hak sebagai keluarga, hak

yang timbul dari kedudukan sebagai orang tua, ibu misalnya. Jadi demikian

sebenarnya esensi kepailitan.

Menurut Retonowulan Sutianto kepailitan adalah eksekusi massal yang

ditetapkan dengan putusan hakim, yang berlaku serta, dengan melakukan

penyitaan umum atas semua harta orang yang kepentingan semua kreditor yang

dilakukan dengan pihak yang berwajib. Ketidakmampuan tersebut harus disertai

dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, maupun atas permintaan pihak

ketiga di luar debitor, suatu permohonan pernyataan pailit kepengadilan. Keadaan

ini kemudian akan diperkuat dengan suatu pernyataan pailit oleh hakim

pengadilan, baik itu yang merupakan putusan yang mengabulkan ataupun

menolak permohonan kepailitan yang telah diajukan. Jika kita baca rumusan yang

dalam Pasal 1 UU No. 4 Tahun 1998 dapat kita ketahui bahwa pernyataan pailit

oleh pengadilan, debitor tidak dapat dinyatakan berada dalam keadaan pailit.

Dengan adanya pengumuman putusan pernyataan pailit tersebut, maka

berlakulah ketentuan pasal 113 kitab Undang-Undang Hukum Perdata atas

seluruh harta kekayaan debitor pailit, yang berlaku umum bagi semua kreditor

konkuren dalam kepailitan, tanpa terkecuali untuk memperoleh pembayaran atas

seluruh piutang-piutang konkuren mereka. Yang dapat dinyatakan pailit adalah :

1. Orang Perseorang baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah

maupun belum menikah. Jika permohonan pernyataaan pailit tersebut


17

diajukan oleh debitor perseorang yang telah menikah, maka permohonan

tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami, kecuali antara suami

isteri tersebut tidak ada pencampuran harta.

2. Perserikat-perserikatan atau perkumpulan tidak berbadan hukum lainnya

Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma harus membuat nama

dan tempat kediaman masing-masing persero yang secara tanggung renteng

terikat untuk seluruh utang firma.

3. Perseroan-perseoran, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan

yang berbadan hukum sebagaimana diatur dalamanggaran dasarnya.

B. Pihak-Pihak Yang Dapat Meminta Pailit

Adanya putusan kepailitan dari pengadilan lebih menjamin kepastian

hukum dan adanya penyelesaian yang adil sehingga mengikat, oleh karena akan

diberikan kewenangan oleh pengadilan kepada kurator atau hakim pengawasan

untuk menilai apakah benar-benar tidak mampu membayar hutang-hutangnya.

Kemudian guna melindungi kepentingan kreditor agar kekayaan atau harta

benda si debitor kepada pihak lain, maka setiap kreditor dapat mengajukan

permohonan kepada pengadilan sebelum ditetapkan seperti tercantum pada pasal 7

ayat (7) sub a dan b Undang-undang No. 4 Tahun 1998 untuk:

a. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruhnya kekayaan

debitor, atau

b. Menunjukkan kurator sementara untuk:

1. Megawasi pengelola usaha debitor.


18

2. Megawasi pembayaran kepada kreditor, yang dalam rangka kepailitan

memerlukan kurator. 27

Disamping itu diharapkan dengan lahirnya Undang-undang No. 4 Tahun

1998 tentang kepailitan bermaksud memberikan kesempatan kepada pihak

kreditor ataupun debitor untuk mengupayakan penyelesaian yang adil dan

mengikat serta sesuai dengan putusan pengadilan terhadap utang piutang mereka.

Ketentuan pasal 1 UU No. 4 Tahun 1998 menyebutkan pihak-pihak yang meminta

pailit yaitu:

1. Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan membayar

sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo yang dapat ditagih,

dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang

sebagaimana yang dimaksud pada pasal 2, baik atas permohonannya

sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditor.

2. Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 dapat juga

diajukan kejaksaan untuk kepentingan umum.

3. Menyangkut debitor yang merupakan Bank, permohonan pernyataan

pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

4. Dalam hal menyangkut debitor merupakan perusahaan efek,

permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan

Pengawasan Pasar Modal (BAPEPAM) 28

27
J. Djohansyah, Pengadilan Niaga,(Bandung,: Alumni, 2001),hal 21.
28
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan,(Bogor: Ghalia Indonesia, 2009),hal 73.
19

C. Prosedur Permohonan Pailit

Kalau diperhatikan prosedur untuk memohon pernyataan pailit bagi

sidebitor ada disebutkan dalam Pasal 4 Undang-undang No. 4 Tahun 1998

berbunyi sebagai berikut:

1. Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada pengadilan niaga

melalui panitera.

2. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal

permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon

diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan

tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.

3. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua

Pengadilan Niaga dengan jangka waktu paling lambat 1x 24 jam

terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan,

pengadilan mempelajari

4. Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit

diselenggarakan dalam waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak

tanggal pemohonan didaftarkan.

5. Atas permohonan debitor dan berdasarkan alasan yang cukup,

pengadilan dapat menunda permohonan dan menetapkan hari sidang.

6. Penyelenggaraan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak

tanggal permohonan didaftarkan.

7. Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma. 29

29
Ibid, hal 80.
20

Sedangkan demi melindungi kepentingan kreditor tersebut pasal 7 ayat (1)

sub a Undang-undang No. 4 Tahun 1998, menegaskan bahwa kreditor dapat

mengajukan permohonan pailit terhadap debitor yang ditetapkan oleh pengadilan

niaga.

Hal ini dilakukan kreditor untuk menjaga itikad tidak baik debitor dalam

berhubungandengan pemberesan dan pengurusan hartanya.Selanjutnya juga dalam

putusan pernyataan pailit ataupun setiap saat setelah putusan dijatuhkan, atas usul

hakim pengawasan atau permintaan kurator atau salah seorang debitor atau lebih

maka pengadilan boleh memerintahkan agar debitor pailit dimasukkan dalam

tahanan baik dalam penjara maupun dalam rumah debitor sendiri dibawah

pengawasan seorang pejabat dari kekuasaan umum dan pemerintah untuk

melakukan penahanan dijalankan oleh kejaksaan. Hal ini dilakukan oleh

pengadilan atas dasar debitor pailit dengan sengaja tanpa dasar yang sah, hal ini

sesuai dengan Pasal 88, 101 dan 122 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998. 30

Jika kreditor yang memohonkan pernyataan pailit maka kreditor tersebut

harus dapat membuktikan bahwa tuntutannya terhadap pembayaran piutangnya

kepada debitor dilengkapi dengan bukti-bukti tagihan yang cukup, kalau tidak

kreditor tersebut tidak akan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap

diri si debitor.

Jaksa atau penuntut umum dapat memohon kepailitan seorang debitor

bilamana dipenuhi syarat-syarat adanya keadaan berhenti membayar utang dari

yang bersangkutan dengan alasan kepentingan umum. Jadi bila tidak ada lagi

kepentingan perseorangan maka jaksa dapat berperan untuk mengajukan

30
Munir Fuady, op. cit, hal 32.
21

permohonan pernyataan pailit atas si debitor, tetapi bila bukan demi kepentingan

umum jaksa tidak berhak mengajukan permohonan pailit. 31

D. Akibat Hukum Kepailitan

Putusan kepailitan membawa akibat bagi sipailit atau debitor sendiri

maupun harta kekayaannya, sejak dibacakan putusan kepailitan oleh pengadilan

niaga, sipailit (debitor) kehilangan hak pengurusan dan penguasaan atas budel.Ia

menjadi pemilik dari budel itu, tetapi ia tidak boleh lagi mengurus dan

meguasainya. Pengurusan dan penguasaan itu beralih kepada hakim pengawasan

dan kurator yang ditunjuk dari pengadilan niaga, sementara dalam

hal kreditor dan debitor tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada

pengadilan maka Balai Harta Peninggalan (BPH) bertindak sebagai kurator. 32

Pengurusan dan pengusaan harta kekayaan tersebut pindah kepada Balai

Harta Peninggalan (BPH) dimana terhadap seluruh harta kekayaan yang sudah ada

maupun yang diperoleh selama berjalannya kepailitan kecuali yang dengan

undang-undang dengan tegas dikeluarkan dari kepailitan. Adapun akibat putusan

pengadilan niaga terhadap pailitnya debitor mempunyai pengaruh hukum baik

terhadap debitor maupun terhadap kreditor, hal ini antara lain :

a. Pengaruh putusan kepailitan atas tuntutan-tuntutan tertentu, pengaruh

putusan kepailitan dalam tuntutan tersebut ada dua jenis yaitu:

1. Tuntutan yang berpokok hak-hak dan kewajiban masuk budel pailit

2. Tuntutan-tuntutan yang bertujuan untuk dipenuhinya suatu perikatan

dalam budel

31
Zainal Asikin, op.cit, hal 18.
32
Mohamad Chaidir Ali, op.cit, hal 102.
22

b. Pengaruh terhadap perbuatan sipailit (debitor) terhadap perbuatan sipailit

yang merupakan para kreditor, Balai Harta Pengadilan atau kurator dapat

mengemukakan pembatalan dari perbuatan tersebut. Perbuatan sipailit

yang merugikan kreditor pada pokoknya adalah perbuatan yang berakibat

berkurangnya budel, sehingga dianggap tidak pernah ada. Konsekuensinya

adalah bilamana dikarenakan perbuatan tersebut ada bagian-bagian harta

kekayaan dikeluarkan dari budel, maka bagian-bagian dari harta kekayaan

tersebut oleh Balai Harta Peninggalan dituntut untuk dikembalikan

kedalam budel.

c. Pengaruh terhadap pelaksanaan hukum atas harta kekayaan debitor/

sipailit, terhadap pelaksanaan hukum atas sesuatu bagian dari harta

kekayaan debitor yang dimulai sebelum adanya putusan kepailitan, maka

dengan adanya putusan kepailitan itu berakhir dengan pelaksanan hukum

tersebut. Pelaksanaan hukum yang dimaksud diatas yakni penyitaan, uang

paksa, hukum badan (sandera), penjualan barang untuk pelunasan utang,

perbaikan nama baik dan harta tanggungan serta lampau waktu.

d. Pengaruh terhadap perjanjian timbal balik pasal 36 sampai pasal 39

Undang-undang No. 4 Tahun 1998 mengatur putusan kepailitan terhadap

perjanjian timbal balik, dalam hal ini dibedakan antara perjanjian timbal

balik dalam tahap pelaksanaan tertentu atau dalam tahap tidak

dilaksanakan dengan beberapa perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian

kerja (perjanjian perburuhan). Untuk perjanjian-perjanjian umum dalam

pasal 36 menegaskan dalam butiran ayatnya sebagai berikut:


23

Ayat (1), dalam hal pada saat putusan pernyataan pailit ditetapkan

terhadap perjanjian timbal balik yang belum atau sebagiannya dipenuhi

maka pihak dengan siapa debitor mengadakan perjanjian tersebut dapat

diminta kepada kurator untuk memberi kepastian tentang kelanjutan

perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator

kemudian.

Ayat (4), apabila kurator menyatakan kesanggupan, maka pihak

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dapat meminta kurator untuk

memberikan jaminan atas kesanggupannya melaksanakan perjanjian

tersebut.

Kemudian perjanjian timbal balik yang terkena pengaruh pailit dalam hal

ini, perjanjian sewa-menyewa dan perjanjian kerja dapat kita lihat dalam

Pasal 38 dan Pasal 39 Undang-Undang Kepailitan No.4 Tahun 1998 yang

menegaskan sebagai berikut:

Untuk perjanjian kerja pasal 39 menentukan bahwa pekerja-pekerja yang

dalam ikatan kerja dengan sipailit dapat menghentikan hubungan kerja

dan kepada mereka secara timbal balik hubungan-hubungan kerja itu

dapat dihentikan oleh Balai Harta Peninggalan dengan mengindahkan isi

yang diperjanjian atau menurut undang-undang, akan tetapi dengan

pengertian bahwa setiap hal hubungan kerja dapat diakhiri oleh

penghentian dengan tenggang waktu 6 (enam) minggu. Semenjak hari

pernyataan pailit itu upah buruh menjadi utang budel.

e. Akibat putusan pailit terhadap kewenangan berbuat sipailit dalam bidang

harta kekayaan, Undang-Undang, No 4 Tahun 1998 menegaskan bahwa


24

sipailit (debitor) tidak mempunyai kewenangan baik sebagian maupun

seluruhnya terhadap harta kekayaan setelah pernyataan putusan pailit oleh

pengadilan niaga. Hal ini dikarenakan untuk menghindari kemungkinan

berkurangnya aset debitor atau sipailit dalam melakukan proses

pemberesan utang-utang kreditor.

Selanjutnya terhadap ketentuan lain yang berhubungan dengan pembatalan

perjanjian adalah apa yang dikenal dengan Actio Pauliana (gugatan

pembatalan dari pihak kreditor yang ditujukan kepada debitor karena

perbuatan itu dianggap curang dan sangat merugikan kreditor) ini dapat

dikatakan terobosan terhadap sifat dasar perjanjian yang berlaku yang

mengikat diantara pihak-pihak yang membuatnya, hal ini didasari pada

pasal 1340 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Terobosan

yang diatur dalam ketentuan pasal 1341 ayat (1) KUH Perdata ini

memberikan hak kepada kreditor untuk menganjurkan pembatalan atas

setiap tindakan hukum yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh debitor,

dengan nama apapun juga yang merugikan kreditor. 33

E. Berakhirnya Kepailitan

Akur atau Perdamaian

Perdamaian dalam kepailitan adalah perjanjian antara debitor pailit

dengan para kreditor dimana menawarkan pembayaran sebagian dari

utangnya dengan syarat bahwa setelah melakukan pembayaran tersebut, ia

dibebaskan dari sisa utangnya, sehingga ia tidak mempunyai utang lagi.

33
Sudargo Gautama, op.cit, hal 48.
25

Kepailitan yang berakhir melalui akur disebut juga berakhir perantaraan

hakim (pengadilan).

Akur lazimnya berisi kemungkinan seperti di bawah ini:

1. Si pailit menawarkan kepada kreditor-kreditornya untuk membayar

sesuatu presentase dan sisa dianggap lunas.

2. Si pailit menyediakan budelnya bagi para kreditor dengan mengangkat

seorang pemberes untuk menjual budel itu dan hasilnya dibagi antara

para pembebasan untuk sisanya. Akur semacam ini disebut akur

likuidasi (liquidatieaccoord).

3. Debitor minta penundaan pembayaran dan minta diperbolehkan

mengangsur utang. Ini tidak lazim terjadi.

4. Debitor menawarkan pembayaran tunai 100% ini jarang terjadi. 34

Selengkapnya mengenai akur perdamai diatur dalam lampiran UU

Kepailitan pasal-pasal 134 s/d 167 (pasal ini tidak mengalami perubahan),

sebagai berikut:

Menurut pasal 134 UUK, debitor pailit berhak untuk menawarkan

suatu perdamaian kepada semua kreditor secara bersama. Apabila

penawaran itu diterima dan telah disahkan oleh hakim pengawas, maka

kepailitan akan berakhir.

Perdamaian dalam kepailitan ini akan mengikat semua kreditor

termasuk kreditor yang tidak memberikan suara bahkan kreditor yang tidak

menyetujuinya. Karena itu menurut pasal 141 UUK, recana perdamaian

diterima, apabila disetujui dalam rapat kreditor oleh lebih dari setengah

34
Wahyono Darmabrata, op.cit, hal 67.
26

jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan haknya sedikit 2/3 dari

jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara

diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat

tersebut. 35

Selanjutnya pasal 142 UUK menyebutkan bahwa, apabila dari

setengah jumlah kreditor yang hadir dalam rapat kreditor dan wakil paling

sedikit setengah dari jumlah piutang para kreditor yang mempunyai hak

suara, menyetujui untuk menerima rencana perdamaian, maka dalam jangka

waktu paling lama 8 hari terhitung sejak pemungutan suara pertama

diadakan, diselenggarakan pemungutan suara kedua, tanpa diperlukan

pemanggilan. Pada pemungutan suara kedua, para kreditor tidak terikat pada

suara yang dikeluarkannya pada pemungutan suara pertama. Bila

perdamaian diterima, pengadilan akan memutuskan pengesahan perdamaian

tersebut dan sidang diadakan paling cepat 8 hari atau selambat-lambatnya 14

hari setelah persetujuan perdamaian tercapai (146 UUK).

Berita acara rapat tentang perdamaian berisi:

1. Isi perdamaian.

2. Nama para kreditor yang berhak memberikan suara tentang kehadirannya

dalam rapat.

3. Suara yang diberikan oleh masing-masing.

4. Hasil pemungutan suara dan lain-lain yang dibicarakan dalam rapat.

5. Berita acara rapat ditandatangani oleh hakim pengawas dan panitera.

35
Rudhy. A. Lontoh, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit,(Bandung: Alumni,
2001),hal 3.
27

Walaupun telah ada perdamaian, para kreditor tetap mempunyai hak-hak

mereka terhadap para penanggung dan semua kawan-kawan debitornya (pasal 155

ayat (1)) Hak-hak yang boleh dilakukan terhadap benda pihak ketiga tetap

dimiliki, seolah-olah tidak ada suatu perdamaian (pasal 155 ayat (2)).

Tentang penolakan pengesahan perdamaian apabila perdamaian ditolak,

maka akan diberikan ketetapan oleh hakim disertai dengan alasan-alasannya.

Menurut ketentuan pasal 149 ayat (2) UUK, pengadilan harus menolak

pengesahan perdamaian apabila:

1. Kekayaan harta pailit, termasuk di dalamya segala barang yang

terhadapnya berlaku hak menahan barang (hak retensi), melebihi jumlah

yang dijanjikan dalam perdamaian.

2. Perdamaian tersebut tidak terjamin penuh.

3. Perdamaian tercapai karena penipuan yang menguntungkan secara tidak

wajar seorang kreditor atau beberapa kreditor, atau karena penggunaan

cara lain yang tidak jujur dengan tidak memperdulikan apakah dalam hal

ini debitor pailit turut atau tidak melakukannya.

Bila pengesahan perdamaian ditolak oleh hakim, dalam waktu 8 hari setelah

penetapan, para kreditor yang mendukung pengesahan perdamaian maupun

debitor itu sendiri, dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung mengenai

penetapan itu (pasal 150 UUK). Sebaliknya bila pengesahan perdamaian

dikabulkan oleh hakim, para kreditor yang menolak perdamaian atau tidak hadir

dalam pemungutan suara dapat mengajukan kasasi dalam waktu 8 hari setelah

penetapan.
28

Para kreditor yang piutang dijamin dengan hak tanggungan, gadai atau hak

istimewa berada di luar perdamaian. Mereka tidak berhak mengeluarkan suara dan

perdamaian tersebut juga tidak mengikat mereka (lihat pasal 139,152 UKK).

Dengan tetap memperhatikan kententuan pasal 128, apabila terdapat bantahan

terhadap hak para kreditor pemegang hak tanggungan, gadai ataupun hak agunan

atas kebendaan lainnya pemegang hak agunan dan kreditor yang diistimewakan,

termasuk para kreditor yang haknya didahulukan, para kreditor tersebut tidak

boleh mengeluarkan suara berkenaan dengan rencana perdamaian, kecuali apabila

mereka telah melepaskan haknya untuk didahulukan demi kepentingan harta pailit

sebelum diadakan pemungutan suara tentang rencana perdamaian tersebut. 36

Menurut pasal 152 UUK, perdamaian yang telah disahkan berlaku bagi

semua kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan tanpa kecuali,

dengan tidak memperdulikan apakah mereka mengajukan diri atas kepailitan

tersebut.

Bila debitor pailit menyampaikan rencana perdamaian dalam waktu

selambat-lambatnya 8 hari sebelum diadakannya rapat pencocokan utang piutang

dan telah diumumkan oleh pengadilan, maka rencana tersebut setelah rapat

pencocokan utang piutang harus dibicarakan dan diputuskan, kecuali:

a) Bila dalam rapat yang sedang diselenggarakan itu diangkat suatu panitia tetap

para kreditor yang anggotanya bukan berasal dari panitia sementara,

sedangkan jumlah terbanyak dari kreditor menghendaki panitia yang tetap itu

suatu nasehat tertulis mengenai rencana perdamaian yang diusulkan;

36
Ibid, hal 4.
29

b) Bila rencana perdamaian tidak diumumkan ditempat tertentu oleh panitera

maupun kurator dalam waktu yang ditentukan dan sebagian besar kreditor

yang hadir menghendaki rapat tersebut ditunda.

Dalam hal-hal tersebut, rapat untuk membicarakan dan mengambil

keputusan rencana perdamaian harus ditunda sampai rapat berikutnya, yang harus

ditentukan paling lambat tiga minggu kemudian oleh hakim pengawas.

Menurut pasal 168 UKK, apabila rencana perdamaian dilakukan pada rapat

pencocokan piutang dan ditolak, maka harta pailit demi hukum berada dalam

keadaan tidak mampu membayar. Dan apabila perdamaian atau pengesahan

perdamaian ditolak, maka debitor pailit tersebut tidak boleh menawarkan lagi

perdamaian baru (pasal 153 UUK). 37

Apabila pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan pasti,

kepailitan berakhir (pasal 156 UUK). Karena itu kurator wajib melakukan

perhitungan dan pertanggungjawaban kepada debitor pailit dihadapan hakim

pengawasan. Bila dalam perdamaian tidak ditetapkan lain, kurator harus

mengembalikan semua barang, uang, buku dan surat yang termasuk harta pailit

kepada debitor pailit. 38

Menurut pasal 160 UUK, perdamaian yang telah disahkan dapat dituntut

pembatalan oleh setiap kreditor dengan alasan debitor lalai memenuhi isi

perdamaian. Dan dalam ayat (2) mengatakan apabila ada permohonan pembatalan

perdamaian, maka debitor pailit yang harus membuktikan bahwa ia telah

memenuhi isi perdamaian itu. Selanjutnya dalam ayat (3), Hakim karena jabatan

37
Ibid, hal 125.
38
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, UMM Press, (Malang: 2008,) hal 175.
30

berwenang penuh untuk memberikan keleluasaan kepada debitor pailit untuk

memenuhi kewajiban itu sampai waktu selambat-lambatnya dalam satu bulan.39

Apabila perdamaian dibatalkan, maka kepailitan dibuka kembali seperti

semula. Akibatnya, semua perbuatan yang dilakukan debitor dalam waktu antara

pengesahan perdamaian dan pembukaan kembali kepailitan, akan mengikat harta

pailit (bandingkan pasal 41 dan 164 UUK). Selanjutnya setelah kepailitan dibuka

kembali, maka tidak dapat ditawarkan perdamaian atau akur untuk kedua kalinya

(pasal 165 UUK).

1. Insolvensi atau Pemberesan Harta Pailit

Insolvensi terjadi bilamana dalam suatu kepailitan tidak ditawarkan akur/

perdamaian atau akur dipecahkan karena tidak dipenuhi sebagaimana yang telah

disetujui. Menurut pasal 168 UUK, bila dalam rapat pencocokan utang piutang

tidak ditawarkan perdamaian atau bila perdamaian yang telah ditolak denganpasti

maka demi hukum, harta pailit berada dalam keadaan tak mampu setengah

membayar (insolvensi).

Menurut pasal 168 a ayat (1), bila dalam rapat pencocokan utang piutang

tidak ditawarkan perdamaian, atau bila perdamaian yang ditawarkan telah ditolak,

maka kurator atau seorang kreditor yang hadir dalam rapat tersebut dapat

mengusulkan agar perusahaan debitor pailit dilanjutkan. Atas permintaan kurator

dan seorang kreditor yang hadir dalam rapat tersebut sampai pada rapat yang

ditentukan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari kemudian. Usulan

tersebut harus diterima bila jumlah kreditor yang mewakili lebih dari setengah

39
Ibid, hal 198.
31

dari semua piutang yang diakui dan diterima dengan bersyarat dan tidak dijamin

dengan hak tanggungan atau gadai, menyokong usulan tersebut.

Bila dalam waktu 8 hari setelah pengesahan perdamaian secara pasti telah

ditolak, kurator atau seorang kreditor yang hadir dapat mengusulkan kepada

hakim pengawas untuk melanjutkan perusahaan debitor pailit. Untuk itu hakim

pengawas harus mengadakan rapat untuk merundingkan usul tersebut dan

mengambil keputusan. 40

Pemanggilan terhadap kreditor oleh kurator harus dilakukan minimal 10 hari

sebelum rapat diadakan. Atas permohonan seorang kreditor atau kurator, hakim

pengawas dapat memerintahkan agar kelanjutan perusahaan dihentikan. Dalam hal

ini kurator harus memulai pemberesan dan menjual semua harta pailit tanpa perlu

memperoleh persetujuan atau bantuan debitor apabila:

a) Usul untuk mengurus perusahan debitor tidak diajukan dalam jangka

waktu diatur dalam undang-undang ini atau usul tersebut telah diajukan

tetapi ditolak atau;

b) Pengurusan terhadap perusahaan debitor dihentikan.

Pasal 170 ayat 2 UUK mengatur tentang pemberian perabot rumah tangga

yang ditunjuk oleh hakim pengawas untuk keperluan debitor pailit. Semua barang

harus dijual dihadapan umum atau secara dibawah tangan, izin dibawah tangan

tanpa izin hakim pengawasan akan mempengaruhi jual beli tersebut.

Menurut pasal 70 UUK, hal itu tidak mempengaruhi keabsahan jual beli

yang hanya dipertanggungjawabkan kepada debitor pailit dan para kreditor.

Kemudian dalam pasal 174, pada setiap waktu, bila menurut hakim pengawas

40
Ibid, hal 125.
32

tersedia cukup uang tunai, maka ia memerintahkan suatu pembagian kepada para

kreditor yang piutangnya telah mendapatkan pencocokan. Hal ini berarti setelah

kepailitan selesai, debitor pailit dapat ditagih kembali apabila ia mempunyai uang

yang cukup. Kurator selalu wajib membuat suatu daftar pembayaran untuk

disahkan oleh hakim pengawas.

Daftar tersebut berisi:

a) Pertelaan tentang penerimaan dan pengeluaran (di dalamnya termasuk

upah kurator);

b) Nama para kreditor;

c) Jumlah pencocokan tiap piutang;

d) Pembagian yang harus diterima oleh setiap piutang tersebut.

Seorang kreditor yang piutangnya tidak dicocokkan, juga seorang kreditor

yang piutangnya dicocokkan untuk jumlah yang terlalu rendah menurut

laporannya sendiri, boleh mengajukan perlawanan selanjutnya dalam sidang

umum.

Piutang atau bagian piutang yang tidak dicocokkan tadi disampaikan

kepada kurator, satu salinannya dilampirkan pada surat keberatan dan dalam surat

keberatan ini diajukan pula permohonan untuk mencocokkan piutang tersebut.

Terhadap ketetapan pengadilan tersebut, kurator atau setiap kreditor dapat

mengajukan kasasi dalam waktu 8 hari setelah ketetapan tersebut diambil.

Mahkamah Agung dapat memanggil kurator atau para kreditor untuk didengar.

Menurut ketentuan pasal 182 ayat (4) UUK, karena lewatnya tenggang

waktu yang tersebut dalam pasal 178 UUK, atau apabila telah dimajukan
33

perlawanan dan perlawanan tersebut telah memperoleh kekuatan hukum yang

pasti, maka daftar pembagian tersebut mengikat demi hukum. Selanjutnya kurator

wajib segera melaksanakan pembayaran yang telah ditetapkan, kecuali bagi

kreditor yang diterima dengan syarat, tidak dapat diberikan pembayaran sepanjang

belum ada keputusan mengenai piutangnya (pasal 184 UUK). Bila pada akhirnya

ternyata ia tidak mempunyai suatu tagihan atau tagihannya kurang dari yang telah

diterima, maka uang yang semula diperuntukkan bagi mereka seluruhnya atau

sebagian menjadi keuntungan parakreditor lainnya.

Kepailitan berakhir apabila seluruh kreditor yang piutangnya telah

dicocokkan dibayar penuh atau segera setelah daftar penutup memperoleh

kekuatan hukum yang pasti.

2. Rehabilitasi

Dalam pasal 205 UUK ditentukan bahwa, debitor pailit atau para ahli

waris berhak untuk mengajukan permohonan rehabilitasi kepada pengadilan yang

semula memeriksa kepailitan yang bersangkutan.

Permohonan rehabilitasi akan diterima apabila pemohon dapat

melampirkan bukti yang menyatakan bahwa para kreditor yang diakui sudah

menerima pembayaran piutang seluruhnya. Permohonan tersebut harus diiklankan

dalam berita negara dan surat kabar yang ditunjuk oleh hakim. Dalam waktu 2

bulan setelah dilakukan pengiklanan dalam berita negara, setiap kreditoryang

diakui boleh mengajukan perlawanan terhadap permohonan itu kepada panitera

dengan menyampaikan surat keberatan dengan disertai alasan-alasannya. 41

41
Ibid, hal 186.
34

Setelah berakhirnya waktu 2 (dua) bulan, pengadilan harus mengabulkan

permohonan tersebut sekalipun tidak ada perlawanan. Terhadap putusan

pengadilan ini tidak boleh diajukan kasasi.

Putusan mengenai pengabulan rehabilitasi harus diucapkan dalam sidang

terbuka umum dan dicatat dalam register umum yang memuat:

a. Ikhtisar putusan pengadilan;

b. Uraian singkat mengenai isi putusan;

c. Rehabilitasi; 42

F. KEBERADAAN DAN KOMPETENSI PENGADILAN NIAGA

Dalam Pasal 13 Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (yang telah diganti dengan UU No. 4

Tahun 2004) dimungkinkan dibentuknya badanbadan peradilan khusus di

samping badan-badan peradilan yang sudah ada dengan cara diatur dalam undang-

undang. Demikian juga dalam pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) diberikan peluang dibentuknya

pengadilan khusus. Bunyi Pasal 15 UU Kekuasan Kehakiman sebagai berikut:

Pasal 15

1) Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam satu lingkungan peradilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang-

undang.

42
Rudhy. A. Lontoh, op.cit, hal 11.
35

2) Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nangroe Aceh Darrusalam merupakan

pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang

kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan

merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum

sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

Dalam Pasal 10 UU Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang

berada dibawahnya (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan

peradilan tata usaha negara) dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 15 ayat

(2) UU Kekuasaan Kehakiman yang mengatur mengenai peradilan syariah Islam

di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam merupakan suatu bentuk contoh nyata

dari pengadilan khusus. Ada beberapa bentuk pengadilan khusus lainnya, antara

lain:

1. Pengadilan Hubungan Industrial yang ditetapkan dengan Undang-

undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial, yang berada di bawah lingkup peradilan umum.

2. Pengadilan Anak yang telah ditetapkan dengan Undang-undang No. 3

Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, yang berada di bawah lingkup

peradilan umum. 43

Dalam Pasal 8 UU No. 2 Tahun 1986 yang telah diubah dengan UU No.8

Tahun 2004 tentang Pengadilan Umum, secara tegas juga dinyatakan :

Dilingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang diatur dengan

undang-undang.

43
Denny Kailimang, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau PKPU,(Bandung:
Alumni, 2001),hal 22.
36

Krisis moneter yang melanda Indonesia dipertengahan tahun 1997

menyebabkan banyaknya perusahaan yang collapse dan terlilit utang. Atas

tekanan International Monetary Fund (IMF) melakukan revisi terhadap Undang-

Undang Kepailitan (Fallisements-verordening staatsblad Tahun 1905 Nomor 217

juncto staatsblad Tahun 1906 Nomor 348). IMF merasa bahwa peraturan

kepilitan merupakan warisan pemerintah kolonial Belanda selama itu kurang

memadai dan kurang dapat memenuhi tuntutan zaman. Oleh karena itu, akhirnya

pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1

Tahun 1998 (Perpu No. 1 Tahun 1998) dan kemudian dengan Undang-Undang

No. 4 Tahun 1998, Perpu tersebut ditetapkan sebagai Undang-undang. Dengan

Perpu No.1 Tahun 1998 jo. UU No. 4 Tahun 1998 tersebut, pengadilan niaga

untuk pertama kali sebagaimana yang dinyatakan secara tegas dalam pasal 281

ayat (1) Perpu No. 1 Tahun 1998 jo .UU No.1 Tahun 1998 yang berbunyi sebagai

berikut: Untuk pertama kali dengan undang-undang ini, pengadilan niaga dibentuk

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dengan demikian, pembentukan

pengadilan niaga tersebut merupakan suatu implementasi dari bentuk pengadilan

khusus yang berada di bawah lingkungan peradilan umum.

1. Kedudukan Dan Pembentukan Pengadilan Niaga

Pengadilan niaga yang pertama kalinya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

berdasarkan Pasal 281 ayat (1) Perpu No.1 Tahun 1998 jo. UU No. 1 Tahun

1998 kemudian dinyatakan tetap berwenang memeriksa dan memutuskan

perkara yang menjadi lingkup pengadilan niaga sebagaimana dalam bagian

Ketentuan Penutup Bab VII Pasal 306 UU Kepailitan yang bunyinya sebagai

berikut:
37

Pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang dibentuk


berdasarkan ketentuan Pasal 281 ayat (1) Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tentang Kepailitan sebagaimana telah ditetapkan menjadi
Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1998, dinyatakan tetap berwenang
memeriksa memutus perkara yang menjadi ruang lingkup tugas pengadilan
niaga.

Pengadilan niaga pertama kali dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat yang mana pengadilan niaga tersebut berwenang untuk menerima

permohonan kepailitan dan PKPU yang meliputi lingkup seluruh wilayah

Indonesia. Dalam pasal 281 ayat (2) Perpu No.1 Tahun 1998 jo. UU No.1

1998. Tegas bahwa pembentukan pengadilan niaga selain sebagaimana

dimaksud dalam ayat 1 dilakukan secara bertahap dengan Keputusan Presiden,

dengan memperhatikan kebutuhan dan kesiapan sumber daya yang diperlukan.

Kemudian dengan Keputusan Presiden No 97 Tahun 1999, pemerintah

membentuk pengadilan niaga pada empat wilayah pengadilan negeri lainnya,

yaitu di Pengadilan Negeri Ujung Padang, Pengadilan Negeri Medan,

Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang. Dengan

dibentuknya empat Pengadilan niaga tersebut, pembagian wilayah yurisdiksi

relative bagi perkara yang diajukan kepada pengadilan niaga menjadi sebagai

berikut :

1. Daerah hukum pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Padang

meliputi wilayah provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi

Tengah, Sulawesi Utara, Maluku dan Irian Jaya.

2. Daerah hukum pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Medan meliputi

provinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, dan

Daerah Istimewa Aceh.


38

3. Daerah hukum pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya

meliputi Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah,

Kalimantan Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan

Timor Timur.

4. Daerah hukum pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Semarang,

meliputi provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. 44

Dengan pembagian kewenangan tersebut, kewenangan pengadilan niaga

pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat hanya terbatas daerah hukumnya yang

meliputi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatera

Selatan, dan Kalimantan Barat. Untuk mengatasi masalah peralihan

kewenangan antara pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

dengan pengandilan niaga pada pengadilan negeri lainnya, dalam pasal 4

Keppres No. 97 Tahun 1999 ditentukan sebagai berikut :

1. Sengketa dibidang perniagaan yang termasuk lingkup kewenangan

pengadilan niaga pada pengadilan-pengadilan negeri sebagaimana

dimaksud dalam pasal 1 pada saat Keputusan Presiden ini ditetapkan telah

diperiksa, tetapi belum diputus oleh pengadilan niaga pada Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat.

2. Sengketa dibidang perniagaan yang termasuk lingkup kewenangan

pengadilan-pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 pada

saat Keputusan Presiden ini ditetapkan telah diajukan tetapi belum

diperiksa oleh pengadilan niaga. 45

44
Ibid, hal 24.
45
Ibid, hal 26.
39

2. Kompetensi Pengadilan Niaga

Dalam Pasal 300 ayat (1) UU Kepailitan secara tegas dinyatakan :

Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain

memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan penundaan

kewajiban pembayaran utang, berwenang pula memeriksa dan memutus

perkara lain dibidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan

undang-undang.

Hal ini berarti pengadilan niaga selain mempunyai kewenangan

absolut untuk memeriksa setiap permohonan pernyataan pailit dan PKPU,

juga berwenang untuk memeriksa perkara lain yang ditetapkan dengan

undang-undang. Salah satu contoh bidang perniagaan yang juga menjadi

kewenangan pengadilan niaga saat ini adalah persoalan Hak atas Kekayaan

Intelektual. 46

Selain itu, UU Kepailitan juga mempertegas kewenangan

Pengadilan Niaga yang terkait dengan perjanjian yang memuat klausul

arbitrase, yaitu pada Pasal 303 UU Kepailitan berbunyi:

Pengendalian tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan


permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian
yang memuat klausal arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar
permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini.

46
Ibid, hal 35.
40

3. Hakim Pengadilan Niaga

Pengadilan niaga dalam memeriksa dan memutus perkara

kepailitan atau PKPU pada tingkat pertama dilakukan oleh hakim majelis.

Dalam hal menyangkut perkara lain dibidang perniagaan. 47

Hakim pengadilan niaga diangkat melalui Keputusan Ketua

Mahkamah Agung. Syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai hakim

pengadilan niaga antara lain:

a. Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan peradilan

umum;

b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan dibidang masalah-

masalah yang menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga;

c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan

d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim

pada pengadilan. 48

Dilihat dari syarat-syarat untuk menjadi hakim pengadilan niaga

sebagaimanadimaksud di atas (khusus poin 1), sudah dapat dipastikan

haruslah hakim karier. Namun demikian, ternyata UU Kepailitan ini

memberikan peluang dimana dimungkinkannya adanya syarat-syarat

berikut:

a. Mempunyai keahlian;

b. Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan dibidang masalah-

masalah yang menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga;

c. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; dan

47
Ibid, hal 37.
48
Ibid, hal 39.
41

d. Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim

pada pengadilan.

Berbeda dengan hakim karier, pengangkatan hakim ad hoc tersebut

berdasarkan Keputusan Presiden atau usul Ketua Mahkamah Agung baik pada

pengadilan tingkat pertama, kasasi maupun pada peninjauan kembali.Dalam

menjalankan tugasnya, hakim pengadilan niaga dibantu oleh seorang panitera atau

seorang panitera pengganti dan juru sita.

G. Penundaan Kewajiban Dan Pembayaran Utang (PKPU)

Tentang pengunduran pembayaran atau penundaan pembayaran yang

diatur dalam bab kedua peraturan kepailitan yang lama ada perubahan judul

menjadi penundaan kewajiban yang lama ada perubahan judul menjadi Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diatur dalam bab kedua Perpu

Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan Nomor 4 Tahun 1998, mulai dari

pasal 212-279.

Sementara itu dalam UUK yang baru yaitu UU Kepailitan No.37 Tahun 2004

mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagaimana diatur

dalam yang terdiri dari dua bagian, yakni: Bagian Kesatu tentang Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang dan akibatnya (Pasal 222-pasal 264) dan bagian

kedua : tentang Perdamaian (pasal 265-pasal 294)

a) Maksud dan Tujuan

Pasal 212 Perpu Nomor 1 Tahun 1998 yang telah ditetapkan

menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 menyebutkan bahwa:

debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat
42

melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat

ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan

maksud pada umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang

meliputi tawaran pembayaran seluruh atau sebagaian utang kreditor

konkuren. Maksud penundaan kewajiban pembayaran utang, pada

umumnya untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran

pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. 49

Dalam UUK No. 37 Tahun 2004 pasal 222 ayat (2) dan (3) pada

prinsipnya mengatur hal yang sama dengan UUK 1998, hanya dalam UUK

No. 4 Tahun 1998 langsung menunjuk kreditor saja. Menurut penjelasan

pasal 222 ayat (2) yang dimaksud dengan kreditor adalah setiap kreditor

baik konkuren maupun kreditor yang didahulukan, berarti termasuk

Kreditor Preferen maupun Kreditor Separatis. Tujuan penundaan

kewajiban pembayaran utang pembayaran utang adalah untuk

memungkinkan seorang debitor meneruskan usahanya meskipun ada

kesukaran pembayaran dan untuk menghindari kepailitan.

b) Yang Berhak Meminta Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Yang dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang

adalah debitor yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat

melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jauh waktu dan dapat

ditagih (lampiran pasal 213 UUK). Akan tetapi berdasarkan ketentuan

pasal 222 ayat (1) UUK No. 37 Tahun 2004, PKPU dapat diajukan oleh

Debitor maupun oleh kreditor. Dalam hal debitor adalah bank, perusahan

49
Ibid, hal 165.
43

efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan

dan penyelesaian, perusahan asuransi, perusahan reasuransi, dana pensiun,

dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak dibidang kepentingan

publik, maka yang dapat mengajukan permohonan penundaan kewajiban

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) ayat (4), ayat (5).

Permohonan PKPU sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 222

UUK harus diajukan debitor kepada pengadilan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 3 UUK yang ditanda tangani oleh debitor sendiri dan oleh

pemohon advokatnya (dalam UUK 1998 oleh penasehat hukumnya) atau

disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang debitor serta

surat bukti secukupnya. 50

Dalam hal pemohon adalah kreditor, pengadilan wajib memanggil

debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh)

hari sebelum sidang. Dan pada sidang sebagaimana tersebut di atas,

debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang dan utang

debitor beserta surat bukti secukupnya dan bila ada, rencana perdamaian

(ayat 3 dan 4).

Menurut pasal 224 ayat (5) UUK 2004 (hal ini sebelumnya diatur

dalam pasal 213 ayat 2 UUK 1998), bahwa pada surat permohonan.

Permohonan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dapat dilampirkan

rencana perdamaian. Dalam ayat (6), pasal 224 UUK 2004 disebutkan,

bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1), ayat (2),

ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) berlaku mutatis mutandis sebagai tata cara

50
Ibid, hal 235.
44

pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang. Dalam

hal debitor adalah Perseroan Terbatas (PT) maka permohonan penundaan

kewajiban pembayaran utang atas prakarsanya sendiri hanya dapat

diajukan setelah mendapat persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham

(RUPS) dengan kuorum kehadiran dan sahnya keputusan sama dengan

yang diperlukan untukmengajukan permohonan pailit.


BAB III

TINJAUAN HUKUM WARISAN

Hukum waris merupakan peraturan atau ketentuan-ketentuan yang

didalamnya mengatur proses beralihnya hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan

seseorang, baik berupa barang-barang harta benda yang berwujud, maupun yang

tidak berwujud pada waktu wafatnya kepada orang lain yang masih hidup. Dalam

kehidupan masyarakat yang masih teguh memegang adat istiadat, peralihan hak

dan kewajiban tersebut dalam proses peralihannya dan kepada siapa dialihkan,

serta kapan dan bagaimana cara pengalihannya diatur berdasarkan hukum waris

adat.

Ter Haar dalam Baginselen en stelsel van het adat recht (Soerojo

Wignjodipoero) menyatakan bahwa hukum adat waris meliputi peraturan-

peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses yang sangat mengesankan

serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan pengoperan kekayaan

materiel dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.

Selanjutnya, Soerojo Wignjodipoero memperjelas bahwa hukum adat

waris meliputi norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan baik yang

materiil maupun yang immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat

diserahkan kepada keturunannya serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara dan

proses peralihannya.Sebenarnya hukum waris adat tidak semata-mata hanya

mengatur tentang warisan dalam hubungannya dengan ahli waris tetapi lebih luas

dari itu. Hilman Hadikusuma mengemukakan hukum waris adat adalah hukum

adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum

45
46

waris, tentang harta warisan, pewaris, dan ahli waris serta cara bagaimana harta

warisan itu dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.

Dalam hal ini kelihatan adanya kaidah-kaidah yang mengatur proses

penerusan harta, baik material maupun non material dari suatu generasi kepada

keturunannya. Dijelaskan juga, dari pandangan hukum adat pada kenyataannya

sudah dapat terjadi pengalihan harta kekayaan kepada waris sebelum pewaris

wafat dalam bentuk penunjukan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan

pemilikan atas bendanya oleh pewaris kepada waris. Berdasarkan batasan-batasan

di atas, pada prinsipnya dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah warisan

memiliki tiga unsur penting yaitu (1) adanya seseorang yang mempunyai harta

peninggalan atau harta warisan yang wafat, yang disebut dengan si pewaris, (2)

adanya seseorang atau beberapa orang yang berhak menerima harta peninggalan

atau harta warisan, yang disebut waris atau ahli waris, (3) adanya harta

peninggalan atau harta warisan yang ditinggalkan pewaris, yang harus beralih

penguasaan atau pemilikannya. Bila dilihat dalam pelaksanaan, proses penerusan

warisan kepada ahli waris sehubungan dengan unsur di atas sering menimbulkan

persoalan, seperti (a) bagaimana dan sampai dimana hubungan seseorang

peninggal warisan dengan kekayaannya yang dalam hal ini banyak dipengaruhi

sifat lingkungan kekeluargaan dimana si peninggal warisan itu berada, (b)

bagaimana dan harus sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara peninggal

warisan dan ahli waris, (c) bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang

beralih itu dipengaruhi sifat lingkungan kekeluargaan dimana si peninggal

warisan dan si ahli waris bersama-sama berada. Sebelum membahas masalah

pewarisan lebih lanjut, perlu mengetahui terlebih dahulu beberapa hal pokok
47

diantaranya adalah sistem pewarisan, bentuk dan asal harta warisan, para ahli

waris dan proses pewarisan.

Di dalam sistimatika Hukum Perdata Barat yang berlaku sekarang, hukum

waris dimuat dalam buku II. Dengan demikian, maka hak waris dianggap sebagai

hak kebendaan.

Menurut Pitlo, sebabnya hukum waris dimuat dalam buku yang mengatur

hak kebendaan,terjadi karena ada simpang siur dua prinsip.

Menurut hukum Romawi, warisan dipandang sebagai benda yang tak

bertubuh sebagai suatu barang yang berdiri sendiri, terhadap mana para warisan

mempunyai kebendaan. Lain daripada itu para ahli waris mempunyai hak milik

bersama yang bebas (vrij medeeigendom).Sebaliknya dalam hukum Jermania

kuno, orang tidak mengenal suatu waris benda yang berdiri sendiri.Juga tidak

dikenal hak kebendaan khusus bagi para ahli waris. Dan diantara para ahli waris

terdapat hak milik bersama yang terikat (gebonden medeeigendom). Dengan

demikian, ada perbedaan yang sangat prinsipil, antara Hukum Romawi dan

Hukum Jermanis kuno yang mengenal hukum waris. 81

Adapun hukum waris sebagaimana ditentukan dalam hukum perdata barat

yang sekarang berlaku, pada dasarnya lebih menyerupai hukum Jermanis kuno.

Pengaruh Hukum Jermanis atas susunan hukum waris positif kita, jelas

terlihat pada deretan ketentuan-ketentuan, yaitu hukum yang berdasarkan

kematian saja yang membuka warisan. Tetapi dengan demikian, hukum waris

yang berdasarkan wasiat merupakan pelanggaran yang dibolehkan.

81
Lukman Hakim ,Pembahasan Atas Kerja Tentang Kaitan Undang-Undang Perkawinan
Dengan Penyusunan Hukum Waris, Simposium Hukum Waris Nasional,( Jakarta:2000),hal 80.
48

A. Terbukanya Warisan

Pasal 830 KUHPerdata menyatakan: Pewarisan hanya berlangsung karena

kematian. Ini berarti seseorang yang masih hidup tidak berhak/tidak

diperkenalkan untuk mewariskan hartanya. Demikian pula halnya seperti yang

diatur pada pasal 1334 KUHPerdata :

Tetapi tidaklah diperkenalkan untuk terbuka, ataupun untuk meminta

diperjanjikan suatu hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya

orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok persetujuan

itu.

Dalam pasal 474 KUHPerdata ada dinyatakan sebagai berikut:

Segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia, adalah

kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang sekedar terhadap itu

dengan surat wasiat telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah.

Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan

hukum kekayaan/ harta benda saja yang dapat diwariskan. Tetapi ada beberapa

kekecualiaan, misalnya: hak seseorang bapak untuk menyangkal sahnya anaknya

dan hak seorang anak untuk menuntut supaya ia dinyatakan sebagai anak sah dari

bapak atau ibunya ( kedua hak itu adalah dalam lapangan hukum kekeluargaan),

dinyatakan oleh undang-undang diwaris oleh warisnya. 82 Untuk jelasnya harta

peninggalan baru terbuka, apa bila sipeninggal waris meninggal dunia.

82
Ibid, hal 85.
49

B. Hak Mewarisi Menurut Undang-Undang KUH Perdata

Di dalam KUHPerdata, suatu warisan mungkin saja untuk sebagian

berdasarkan undang-undang dan untuk sebagian berdasarkan wasiat (testament).

Dan meskipun tidak dikatakan dengan tegas akan tetapi dapat disimpulkan dari

pasal tersebut, bahwa pengaturan pewarisan berdasarkan undang-undang untuk

bagian terbesar bersifat hukum perlengkapan (aanvullend recht) dan bersifat

hukum memaksa (dwingen recht).

Selama ada anak-anak, tidak ada pihak lain manapun yang berhak atas

peninggalan itu.

Menurut undang-undang yang menjadi ahli waris ialah : para keluarga

sedarah baik sah maupun luar kawin dan si suami atau si istri yang hidup terlama.

Untuk lebih jelasnya, yang menjadi ahli waris sebagaimana disebutkan di

atas, adalah:

1) Keluarga sedarah, ialah keluarga atau kerabat yang pertaliannya

dengan si peninggal waris melalui darah.

2) Keluarga semenda, yaitu keluarga yang pertalian dengan si mati karena

perkawinan.

Pewarisan karena adanya hubungan perkawinan maksudnya, ialah antara

suami dan istri yang hidup terlama. Dalam pewarisan karena undang-undang,

berlaku ketentuan, bahwa dengan tidak adanya surat wasiat, maka harta warisan

jatuh pada ahli waris keluarga sedarah. Keluarga sedarah mewarisi bukan secara

keseluruhan, tetapi melalui tingkatan, umpamanya yang pertama ialah : anak, bila
50

tidak ada anak, maka yang maju cucu, kemudian baru kakek dan saudara-

saudara. 83

Menurut undang-undang, ahli waris karena kematian dibagi menjadi

empat bagian, yakni :

1. Anak- anak dan keturunannya beserta suami istri

2. Orang tua dengan saudara-saudara dan keturunannya

3. Golongan dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu, yaitu kakek

dan nenek, baik dari garis ibu maupun dari garis bapak.

4. Keluarga kesamping sampai derajat keenam maupun dari sisi ayah juga

dari sisi ibu. 84

Menentukan derajat keenam, derajat adalah kelahiran yang memisahkan

antara pewaris dengan waris.Setiap kelahiran dianggap satu derajat.

Contoh : Ayah dengan anak dihitung satu derajat; Nenek dengan cucu di

hitung dua derajat; Nenek dengan cicitnya dihitung tiga derajat; demikian dengan

seterusnya.

Setelah menyatakan apa yang dianggap perlu yang berhubungan dengan

seorang pewaris terhadap harta bendanya, maka sekarang akan dibicarakan segala

sesuatunya yang berkaitan dengan seorang waris terhadap harta peninggalan

seorang pewaris.

Ketentuan-ketentuan umum mengenai hal tersebut terdapat dalam pasal-

pasal berikut ini:

Pasal 874 KUHPerdata : Segala peninggalan adalah kepunyaan ahli waris,

sekedar terhadap itu tidak ada ketetapan dalam suatu surat-surat wasiat .

83
Efendi Perangin-angin, Hukum Waris,(jakarta: Universitas Indonesia, 1995),hal 43.
84
Ibid, hal 50.
51

Sehubungan dengan hak mewarisi menurut Undang-undang, perlu kita

tinjau pasal-pasal berikut ini:

Pasal 852 a KUHPerdata; yang mengatur bahwa dalam hal mengenai

seorang suami atau yang suami atau istri yang meninggal terlebih dahulu,

si istri atau suami yang hidup terlama, dalam melakukan ketentuan-

ketentuan di dalam bab ini, dipersamakan dengan seorang anak yang sah

dari si meninggal, dengan pengertian bahwa: Jika perkawinan, suami/istri

itu adalah untuk kedua kalinya atau selanjutnya dan dari perkawinan yang

dulu ada anak-anak atau keturunan anak-anak itu, si istri atau suami yang

baru tak akan mendapat bagian warisan yang lebih besar daripada bagian

warisan terkecil yang akan diterima oleh salah seorang anak tadi, atau

dalam hal bila mana anak itu telah meninggal terlebih dahulu, oleh

sekalian keturunan penggantinya, sedangkan dalam hal bagaimanapun

juga, tak bolehlah bagian, si istri atau suami itu lebih dari seperempat harta

peninggalan si meninggal.

Pasal 875 ini dihubungkan dengan pasal 874, yang menyatakan :Segala

harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan

sekalian ahli warisnya menurut Undang-Undang, sekedar untuk itu dengan

surat wasiat tidak telah diambil suatu ketetapan yang sah.

Yang dimaksud dalam pasal 874 KUHPerdata tersebut bahwa prinsipnya

yang berlaku terhadap suatu warisan ialah hukum waris tanpa wasiat.

Adapun yang dimaksud dengan pewaris dari jenis berdasarkan wasiat

sebagaimana disebutkan di atas, adalah merupakan penyimpangan dari ketentuan-

ketentuan pewaris yang diatur menurut undang-undang.


52

Alasan untuk mengadakan hukum waris testamentair, berpangkal pada

pikiran, kekayaan seseorang itu pada hakekatnya adalah hasil dari jerih payahnya

selama hidup, dan dapat diterima sebagai hal yang wajar, jika ia dapat

memberikan sebagaian dari peninggalannya kepada orang yang ia sukai.

Berkaitan dengan hal wasiat (testamen) ini ada diatur dalam pasal 875

KUHPerdata sebagai berikut : Adapun yag dinamakan surat wasiat atau

(testamen), ialah suatuakta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang

dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat

dicabut kembali .

Pada waktu membuat wasiat (baik yang lisan maupun yang tertulis) itu,

harus dihadiri tujuh orang saksi.

Dimana pada wasiat satu testamen tertulis para saksi harus ikut

menandatangani surat yang memuat kehendak terakhir dari si pewaris itu.

Sedangkan pada wasiat testamen lisan, para saksi cukup mendengarkan saja apa

yang diterangkan oleh sipewaris. 85

Syarat-syarat yang diperlukan untuk membuat suatu testamen dikehendaki

juga untuk membatalkan atau mencabut testamen melakukan tindakan yang

sangat pribadi dan tidak menjadi soal apakah tindakan pembatalan itu dengan

testamen atau naskah istimewa.

Dari uraian-uraian di atas, dapat dilihat bahwa sipewaris dapat membuat

surat-surat wasiat (testamen), dapat juga meminta pembatalan atau

pencabutannya, baik yang dilakukan dengan testamen maupun dengan naskah

85
Ibid, hal 55.
53

khusus, hal ini dilakukan dengan sendirinya dan tidak dapat mewakilinya pada

orang lain, baik wakil menurut undang-undang maupun berdasarkan persetujuan.

Sebagaimana telah diterangkan sebelumnya, bahwa alasan untuk

mengadakan hukum waris testamenter berpangkal pada pikiran bahwa harta

kekayaan seseorang itu pada hakekatnya adalah hasil dari jerih payahnya selama

hidupnya dan dapat diterima sebagai sesuatu yang wajar, jika leluasa memberikan

sebagian, dari peninggalannya kepada orang yang ia sukai. Namun demikian

untuk menjaga kelangsungan hidup dari para ahli warisnya, maka sipewaris

dibatasi kebebasannya untuk mewasiatkan harta kekayaannya. Jadi, dengan

demikian undang-undang bertujuan untuk melindungi ahli waris dari perbuatan

sewenang-wenang dari sipeninggal warisan mengenai harta yang diwasiatkannya,

yang kadangkala dapat mengakibatkan ahli waris terlantar hidupnya dan tidak

mendapatkan apa-apa dari harta orang tuanya.

Berdasarkan uraian diatas, dapatlah diambil kesimpulan, bahwa ahli waris

menurut undang-undang ialah ahli waris tanpa wasiat yang disebut ahli waris ab

intestaat. Disebut ahli waris ab intestaat, adalah karena kedudukan mereka

sebagai ahli waris berdasarkan penunjukan undang-undang, artinya mereka

menjadi ahli waris, karena ditunjuk oleh undang-undang. Sedangkan ahli waris

menurut wasiat (testamenter) adalah karena mereka mewaris didasarkan

penunjukannya secara surat wasiat dari yang meninggal dunia. Dengan kata lain

mereka sedemikian itu karena ditunjuk surat wasiat.


54

C. Yang Termasuk Ahli Waris

Jika si meninggal meninggalkan anak-anak luar kawin yang telah diakui

dengan sah, maka warisan harus di bagi dengan cara yang ditentukan dalam empat

pasal berikut ini.

Pasal 863 KUHPerdata :

Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang

suami atau istri, anak-anak luar kawin mewaris sepertiga dari bagian yang

mereka sedianya harus mendapatnya andaikata mereka anak-anak yang

sah; jika si menikah meninggalkan keturunan maupun suami atau istri,

akan tetapi meninggalkan keluaraga sedarah, dalam garis ke atas, ataupun

saudara laki-laki dan perempuan atau keturunan mereka,maka mereka

mewaris setengah dari warisan; dan jika ada sanak saudara dalam derajat

yang lebih seperempat. 86

Pasal 864 KUHPerdata :

Dalam segala hal termasuk dalam pasal yang lalu, warisan selebihnya

harus dibagi antara para waris yang sah, dengan cara seperti ditentukan

dalam bagian kedua dalam bab ini

Pasal 866 KUHPerdata :

Jika seorang anak luar kawin meninggal dunia lebih dahulu, maka

sekalian anak dari keturunannya yang sah, berhak menuntut bagian yang

diberikan kepada mereka menurut pasal 863 dan 865.

Secara logika pasal-pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan sebagai

berikut:

86
Wiryono Prodjodikoro, Hukum warisan di Indonesia,(Bandung: Sumur , 1983),hal 79.
55

Pasal 863 KUHPerdata :

Jika yang meninggal meninggalkan keturunan yang sah atau seorang

suami atau isteri, maka anak-anak luar kawin mewaris sepertiga dari

bagian yang mereka sedianya harus mendapatnya andai kata mereka anak-

anak yang sah. Jika si meninggal tak meninggalkan keturunan maupun

suami atau isteri, akan tetapi meninggalkan keluarga saudara, dalam garis

keatas, ataupun saudara laki dan perempuan atau keturunan mereka, maka

mereka mewaris setengah dari warisan dan jika hanya ada sanak saudara

dalam derajat yang lebih jauh, tiga perempat.

Jika para waris yang sah dengan si meninggal bertalian keluarga dan lain-

lain perderajatan, maka si yang terdekat derajatnya dalam garis yang satu,

pun terhadap mereka yang dalam garis yang lainnya, menentukan besarnya

bagian yang harus diberikan kepada si anak luar kawin.

Pasal 865 :

Jika si meninggal sama sekali tidak meninggalkan ahli waris yang sah,

maka anak luar kawin mendapat seluruh warisan.

Pasal 866 :

Jika anak luar kawin itu meninggal terlebih dahulu, maka ia dapat

digantikan oleh anak-anak.

Jadi, yang termasuk ahli waris berdasarkan undang-undang (ab-intestato),

adalah terbatas, yaitu hanya mereka yang termasuk dalam golongan keluarga

sedarah dari yang meninggal dunia, ditambah, suami atau istri yang hidup

terlama.
56

Disamping ahli waris ab-intestato yang berdasarkan keluarga sedarah,

masih ada keluarga semenda, adalah mereka yang karena pertaliannya didasarkan

pada hubungan melalui jalur perkawinan. Keluarga semenda tidak termasuk

golongan waris berdasarkan undang-undang, akan tetapi mereka berhak menerima

warisan jika pewaris menunjuk, mereka sebagai pewaris berdasarkan wasiat.

Yang menjadi ahli waris dalam ahli waris berdasarkan surat wasiat (testament),

adalah orang yang ditunjuk oleh si pewaris. 87

D. Yang Tidak Patut Menjadi Ahli Waris

Orang-orang yang tidak dibolehkan mewarisi warisan karena tidak patut,

tetapi sebagai ahli waris pura-pura telah berkesempatan untuk menguasai semua

harta peninggalan itu atau sebagian dari padanya serta telah menikmati hasil dan

pendapatannya, berkewajiban untuk mengembalikan hasil dan pendapatannya

tersebut.

Pada dasarnya semua orang dapat menjadi ahli waris menurut undang-

undang baik melalui ab-intestato maupun secara testamenter, tetapi ada sebagian

ahli waris yang tidak berhak menerima warisan.Mereka ini adalah orang-orang

yang mempunyai pertalian darah dengan pewaris, tetapi karena perbuatannya

dianggap tidak patut waris. 88

Adapun perbedaan antara cakap dan patut adalah sebagai berikut:cakap

termasuk dalam bidang hukum waris testamentair; patut masuk hukum waris

menurut undang-undang (tanpa testament, kecuali pasal 912 yang masuk hukum

waris testamentair) kalau tidak cakap, maka pembatalan harus dituntut. Apabila

87
J. Satrio, Hukum Waris,(Bandung: Alumni, 1992), hal 97.
88
Ibid, hal 101.
57

tidak patut, maka hal tersebut dengan sendirinya menjadi batal. Siapa-siapa orang

yang punya pertalian darah dengan pewaris dianggap tidak patut menjadi waris,

dimuat dalam pasal 838 KUHPerdata :

Yang dianggap tak patut menjadi waris dan karenanyapun dikecualikan

dari pewarisan ialah:

1) Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh,

atau mencoba membunuh si yang meninggal;

2) Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan karena

secara fitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pada si yang

meninggal, ialah suatu pengaduan telah melakukan sesuatu kejahatan

yang terancam dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau

hukuman yang lebih berat;

3) Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang

meninggal untuk mencabut surat wasiatnya.

4) Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau melakukan surat

wasiat si yang meninggal.

Pasal 912 KUHPerdata :

Mereka yang telah dihukum karena membunuh si yang mewariskan,

lagipun mereka yang menggelapkan, membinasakan dan memalsukan

surat wasiatnya, dan akhirnyapun mereka yang dengan paksaan atau

kekerasan telah mencegah si yang mewariskan tadi, akan mencabut atau

mengubah surat wasiatnya, tiap-tiap mereka itu, sepertipun tiap-tiap istri

atau suami dan anak-anak mereka, tak diperbolehkan menarik sesuatu

keuntungan dari surat wasiat yang mewariskan.


58

Setelah memperhatikan pasal-pasal maupun uraian-uraian tersebut di atas,

sekarang timbul pertanyaan, dapatkah keturunan (anak) orang yang tidak patut

menjadi ahli waris itu mengajukan dirinya sebagai waris?

Menurut undang-undang ada dua hal jenis pewarisan karena kematian,

yaitu: untuk penggantian. Yang mewarisi untuk diri sendiri adalah orang yang

mempunyai kedudukan sebagai ahli waris dalam harta peninggalan sedangkan

orang yang mewarisi karena penggantian, adalah orang yang muncul dalam harta

peninggalan untuk orang lain. Orang lain itu, haruslah terlebih dahulu meninggal

sebelum peninggal warisan (pewaris meninggal dunia). 89

Mengenai hal penggantian ini, terdapat dalam pasal 841 KUHPerdata :

Pergantian adalah suatu hak yang diberikan kepada seseorang, untuk

menggantikan seorang lain, untuk bertindak sebagai penggantiannya di dalam

derajat dan dalam hak orang yang digantikannya.

Sebagai contoh : Apabila A mempunyai dua orang anak yaitu B dan C. B

dan A ini masing-masing mempunyai anak. B dan C telah membunuh

ayahnya, dan karena itu telah dihukum, maka cucu dari A mewarisi harta

peninggalan dari A untuk diri sendiri. Bahwa ayah mereka adalah orang

yang tidak patut menjadi ahli waris untuk menerima warisan dan tidak

menghalangi hal ini. Pembuat undang-undang telah menjaga juga sehingga

ayah yang tidak patut menjadi ahli waris itupun tidak dapat menerima

nikmat dengan jalan tidak langsung dari harta peninggalan itu, dan karena

itu kepada mereka tidak diberikan hak orang tua untuk menikmati hasil

dari barang-barang yang diwarisi oleh anak mereka dari ayahnya. Disini

89
Ibid, hal 103.
59

dapat ditambahkan bahwa pengganti itu tidaklah bertindak sebagai wakil

orang tua yang digantikannya. Bahwa orang yang digantikan itu tidak

dapat bertindak sebagai ahli waris, tidaklah mengandung arti bahwa

keturunannya tidak dapat bertindak dengan penggantian. 90

Untuk selanjutnya undang-udang tidak membicarakan pengaruh dari hal

tidak patut seseorang atau beberapa orang ahli waris menerima warisan karena

kematian. Oleh karena peristiwa ini serupa dengan penolakan oleh seorang atau

beberapa orang ahli waris sehingga banyak alasan untuk memakaikan akibat

penolakan secara analogis pada akibat dari masalah tidak patut. Penolakan adalah

lain sama sekali daripada alasan tidak patut. Penolakan adalah suatu perbuatan

yang dilakukan dengan sukarela oleh para ahli waris misalnya: tetapi tidak patut,

adalah dipaksakan oleh undang-undang kepada seseorang. Dengan demikian

memang ada kemungkinan, bahwa dalam keadaan tertentu, pelaksanaan atas hal

tidak patut dari suatu aturan penolakan tertentu, akan mengakibatkan hal-hal yang

tidak diterima.

Undang-Undang tidak dapat menghalangi dan juga tidak mencoba

melakukannya, bahwa seorang yang tidak patut dengan jalan berputar-putar dapat

memperoleh kedudukan berkuasa (bezit) atas harta peninggalan itu. Apabila B

tidak patut menjadi ahli waris dalam harta peninggalan dari A, dan C menerima

harta peninggalan si A itu.

90
Ibid, hal 104.
BAB IV

ASPEK HUKUM DALAM PAILIT TERHADAP HARTA WARISAN

A. Akibat Hukum Pernyataan Pailit Terhadap Ahli Waris Debitor Pailit

1. Pengertian Debitor dan Kreditor Menurut UU NO 37 TAHUN 2004

Sebagaimana ditentukan oleh pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU, debitor yang

mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang

yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, (dapat) dinyatakan pailit dengan putusan

pengadilan. Berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK-PKPU di atas,

perlu diketahui siapa saja yang disebut kreditor, dan siapa saja yang disebut

debitor. Bab ini membicarakan mengenai pengertian-pengertian kedua istilah

tersebut.

Menurut ketentuan pasal 1 angka 1 UUK-PKPU yang dimaksud dengan

debitor adalah sebagai berikut:

Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-

undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan. 101

Sementara itu, yang dimaksud dengan kreditor diberikan pengertiannya di

dalam pasal 1 angka 1 sebagai berikut:

Kreditor adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau

undang-undang yang dapat ditagih di muka pengadilan. 102

Dalam KUH Perdata tidak dapat dipakai isitilah debitor dan Kreditor,

tetapi dipakai istilah si berutang (schuldenaar) dan si berpiutang (schuldeischer).

Menurut Pasal 1235 KUH Perdata dihubungkan dengan Pasal 1234 KUH Perdata,
101
Victor. M. Situmorang, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia,(Jakarta: Rineka
Cipta, 1994),hal 83.
102
Ibid, hal 85.

60
61

dan Pasal 1239 KUH Perdata, si berutang adalah pihak yang wajib memberikan,

berbuat atau tidak berbuat sesuatu berkenaan dengan perikatannya, baik perikatan

itu timbul karena perjanjian maupun karena undang-undang. Dalam pustaka-

pustaka hukum dan kehidupan masyarakat sehari-hari, schuldenaar disebut

debitor, sedangkan schuldeiser disebut kreditor.

2. Kepailitan Orang Mati

Apakah seorang yang telah meninggalkan dunia dan sewaktu hidupnya

yang bersangkutan memiliki utang-utang dapat diajukan terhadapnya

permohononan pernyataan pailit. UUK-PKPU menentukan bahwa hal yang

demikian dapat dilakukan oleh para kreditor dari almarhum. Dalam bab ini

dibicarakan ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan pengajuan permohonan

pernyataan pailit terhadap seseorang yang telah meninggal dunia dan mengenai

status hukum dari harta warisan dalam hal pewaris tersebut dinyatakan sebagai

debitor pailit berkenaan dengan pengajuan permohonan pernyatan pailit yang

diajukan setelah yang bersangkutan meninggal dunia. 103

Sesuai dengan ketentuan Pasal 207 UUK-PKPU, harta kekayaan orang

yang meninggal harus dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila dua atau beberapa

kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan secara singkat dapat

membuktikan bahwa :

Utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak dibayar lunas; atau

Pada saat meninggalnya orang tersebut, harta peninggalannya tidak cukup

untuk membayar utangnya.

103
Sutan Remi Sjademi, Hukum Kepailitan ,(jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2002),hal 118.
62

Menurut ketentuanpasal 208 ayat (1) UUK-PKPU, permohonan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 207 harus diajukan kepada pengadilan yang

daerah hukumnya meliputtempat tinggal terakhir debitor yang meninggal.

Ahli waris harus dipanggil untuk didengar mengenai permohonan tersebut

dengan juru sita.Hal itu sesuai dengan Pasal 208 ayat (2) UUK-PKPU. Menurut

Pasal 208 ayat (3), surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus

disampaikan di tempat tinggal terakhir debitor yang meninggal, tanpakeharusan

menyebutkan nama masing-masing ahli waris, kecuali nama mereka itu dikenal.

Berdasarkan ketentuan Pasal 209 UUK-PKPU, pernyataan pailit

mengakibatkan harta kekayaan orang yang meninggal dunia demi hukum

dipisahkan dari harta kekayaan pribadi para ahli warisnya.Berkaitan dengan

meninggalnya seorang debitor, perlu dicermati ketentuan Pasal 1107

KUHPerdata.Menurut Pasal 1107 KUHPerdata, setiap kreditor dari orang yang

meninggal dan setiap penerima hibah wasiat dapat menuntut para kreditor ahli

warisnya agar harta peninggalan orang yang meninggal itu dipisahkan dari harta

kekayaan ahli waris yang bersangkutan. 104

Permohonan pernyataan pailit terhadap harta pailit debitor yang

meninggal, menurut Pasal 210 UUK-PKPU, harus diajukan kepada pengadilan

paling lambat 90 hari setelah meninggal. Menurut Pasal 211 UKK-PKPU,

ketentuan mengenai perdamaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 sampai

dengan Pasal 177, tidak berlaku terhadap kepailitan harta peninggalan, kecuali

apabila warisannya telah diterima oleh ahli waris secara murni (zuivere

aanvaarding). 105

104
Ibid, hal 121.
105
Wahyono Darmabrata, op.cit, hal 51.
63

B. Kedudukan Ahli Waris Debitor Terhadap Putusan Pailit

1) Sikap Ahli Waris Terhadap Warisan Menurut KUH Perdata

Harta warisan seseorang yang meninggal dunia, menurut hukum adat dan

hukumIslam yang beralih pada hakikatnya hanya sisa dari harta warisan setelah

dikurangi dengan utang-utang dari si peninggal warisan.

Berbeda dengan pengaturan menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (Burgerlijk Wetbook), yang beralih pada hakikatnya adalah semua harta

warisan yang meliputi juga utang-utang si peninggal warisan.

Hukum waris menurut KUH Perdata mempunyai sifat individual dan

bilateral, dasar pokok hukumnya adalah pandangan individualistis. Ketentuan

hukum yang bernafaskan semangat mengutamakan kepentingan perorangan atas

benda itu mudah menimbulkan sengketa para ahli waris sepeninggal si pewaris,

sebab pada hakikatnya semua harta peninggalan, baik aktiva maupun pasivanya

beralih kepada ahli waris. Menurut KUH Perdata yang diwarisi adalah aktiva dan

pasiva, sedangkan menurut hukum adat dan hukum Islam yang diwarisi adalah

budel.Budel adalah suatu saldo atau apa yang dari kekayaan si meninggal tersisa

setelah dibayar semua utang dari si meninggal dan semua hibah wasiat diberikan

kepada yang berhak, jadi mungkin yang diwarisi itu suatu minus. 106

Dengan adanya ketentuan sebagaimana tersebut diatas, maka para waris

itu dapat memilih satu diantara 3 sikap yaitu:

a. Menerima secara keseluruhan, jadi inklusif utang pewaris;

106
Ibid, hal 52.
64

b. Menerima dengan syarat: warisan diterima secara terperinci, sedangkan

utangnya si pewaris akan dibayar berdasarkan harta benda yang diterima si

ahli waris;

c. Menolak si waris tidak mau tahu tentang pengurusan penyelesaian

warisan tersebut.

Sikap ahli waris terhadap warisan yang ditinggalkan oleh pewaris, masing-

masing memberikan konsekuensi terhadap pilihannya. Apabila seseorang

menerima secara keseluruhan atau menerima secara murni, maka ia

bertanggungjawab dengan segala kekayaannya untuk bagiannya yang sebanding

dalam utang harta peninggalan. Sedangkan apabila ia menolak, maka ia tidak akan

menerima apa-apa. Jalan tengah adalah menerima secara benefisier.Menerima

benefesier ini berarti menerima dengan syarat. Apabila harta peninggalan

memperlihatkan saldo merugikan (nadelig saldo), maka ia akan membayar utang

harta peninggalan sebanyak nilai aktiva dari harta peninggalan. Jika ada saldo

yang menguntungkan, maka itu adalah untuk ahli waris. 107

Bagi ahli waris diberikan suatu jangka waktu untuk menyelidiki mana

yang lebih menguntungkan bagi ahli waris untuk menentukan sikapnya,

sebagaimana diatur dalam pasal 1023 KUH Perdata mengatakan bahwa si ahli

waris berhak untuk meminta agar kalau dianggap perlu warisan pewaris didaftar

dulu, baru nanti sesudah ia melihat keadaan warisan, menentukan sikap dan hak

waris ini dijamin oleh undang-undang dan Pewaris tidak boleh membatasi hak

waris yang bersangkutan untuk itu.

107
Ibid, hal 54.
65

Pasal 1025 jo. Pasal 1089 KUH Perdata mengatakan bahwa ahli waris yang

bersangkutan selama waktu berpikir tak boleh dipaksa untuk menentukan

sikapnya terhadap warisan. Semua perkara dan pelaksanaan keputusan

pengadilan, yang mengenai orang dalam kualitasnya sebagai ahli waris yang

sedang menggunakan haknya untuk berpikir, harus ditangguhkan dulu, demikian

ditegaskan dalam pasal 1025 KUH Perdata. 108

2) Terhadap Warisan Menurut UUK-PKPU

Menurut Pasal 40 ayat (1) UUK-PKPU, warisan yang selama kepailitan

jatuh kepada debitor pailit, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila

menguntungkan harta pailit. Logika ketentuan-ketentuan pasal 40 ayat (1) dapat

dimengerti karena tidak mustahil debitor pailit bukan menerima warisan berupa

piutang tetapi menerima warisan utang. Apabila debitor pailit menerima warisan

berupa piutang (tagihan) maka warisan tersebut akan menguntungkan harta pailit.

Akan tetapi, apabila debitor pailit menerima warisan berupa utang, maka warisan

tersebut akan membebani harta pailit. Sudah tentu hal tersebut bukan saja

merugikan debitor pailit, tetapi juga para kreditornya. 109

Sementara itu, pasal 40 ayat (2) menentukan bahwa untuk tidak menerima

suatu warisan, kurator memerlukan izin dari hakim pengawas. Ketentuan Pasal

40 ayat (2) terkesan kontradiktif dengan ketentuan Pasal 40 ayat (1). Disatu pihak

Pasal 40 ayat (1) menentukan, kurator tidak boleh menerima warisan yang jatuh

kepada debitor pailit (dengan kata lain kurator harus menolak) selama debitor

berada dalam kepailitan (kecuali warisan tersebut menguntungkan harta pailit)

namun dipihak lain untuk tidak menerima suatu warisan (dengan demikian berarti
108
Ibid, hal 57.
109
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan,(jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, 2007),hal 278.
66

menolak), kurator memerlukan izin dari hakim pengawas. Apakah ketentuan

pasal 40 ayat (2) memungkinkan bagi hakim pengawas untuk menolak

permohonan kurator untuk tidak menerima warisan yang merugikan harta pailit?

Apabila tujuan ketentuan Pasal 40 ayat (2) adalah untuk memastikan tindakan

kurator tidak merugikan harta pailit, sebaiknya bukan saja dalam hal kurator tidak

menerima (menolak) tetapi juga apabila kurator menerima suatu warisan yang

jatuh kepada debitor pailit. Dengan demikian baik penolakan atau penerimaan

warisan yang dilakukan kurator itu tidak sampai merugikan harta pailit karena

kekeliruan pertimbangan kurator atau karena kurator beritikad tidak baik. 110

C. Pertanggungjawaban Ahli Waris Debitor Terhadap Putusan Pailit

Menurut Wirjono Prodjodikoro, SH menyatakan: Bahwa soal Pertanggung

jawaban atas perbuatan orang lain adalah hal yang agak penting dalam hukum

perdata, jika masing-masing pihak melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai

dengan yang telah di atur dalam kesepakatan yang mereka perbuatan yang segala

sesuatunya akan berjalan sesuai dengan yang mereka inginkan. 111

Namun bila timbul dimana salah satu pihak tidak melakukan sesuatu yang

telah menjadi kewajibannya sehingga timbul kerumitan yang semuanya mengarah

sampai kepada pihak yang tidak melaksanakan prestasi itu dapat diminta

pertanggung jawabannya. Adalah suatu hal yang wajar bila seseorang yang telah

melakukan prestasi kepada orang lain dengan tujuan agar orang lain mendapatkan

prestasi tersebut melakukan kontra prestasi dilindungi dari hal-hal yang tidak

110
Ibid, hal 280.
111
Ibid, hal 283.
67

dapat dipertanggung jawabkan, dimana mengakibatkan tidak terciptanya kontra

prestasi yang diinginkan. Hal ini sejalan dengan Prinsip kedudukan seimbang

yang dianut oleh hukum itu sendiri.

Secara mendasar pengertian pertanggung jawaban diartikan dengan suatu

kondisi dimana ada suatu pihak yang harus mempertanggungjawabkan

perbuatannya (baik perbuatan maupun tidak berbuat), pertanggungjawaban mana

disebabkan adanya kerugian yang dialami seseorang baik dari segi materil

maupun sprituil. Pertanggung jawaban atas perbuatan orang lain biasanya praktis

baru ada apabila orang lain itu melakukan perbuatan melawan hukum

(Onrechtmatige daad). Memang sudah selayaknya bilamana orang yang karena

perbuatan hukum yang dilakukannya memikul sendiri kerugian yang dideritanya.

Persoalan pertanggung jawaban tidak terlepas atu tidak terlepas dari masalah

ganti rugi. Masalah ganti rugi ini dalam Buku III KUH Perdata bervariasi, jika

ganti rugi disandarkan kepada adanya wanpretasi maka bentuk ganti ruginya

ditekankan pada nilai uang, sementara bila perbuatan melawan hukum yang

menjadi sandaran maka ganti ruginya bisa bermacam-macam, antara lain:

a. Ganti rugi dalam bentuk uang

b. Ganti kerugiaan dalam bentuk natural dan pengembalian kepada bentuk

semula

c. Pertanyaan bahwa perbuatan yang dilakukan adalah bersifat melawan

hukum

d. Meniadakan sesuatu yang diadakan secara melawan hukum

e. Pengumuman daripada keputusan atau dari suatu yang telah diperbaiki.


68

Di dalam penyelesaian harta peninggalan yang dinyatakan pailit sebetulnya

tidak ada perbedaan dengan suatu penerimaan warisan dengan hak pendaftaran.

Bedanya di dalam penerimaan dengan hak pendataran, seoarang waris sendiri

yang pekerjaan dilakukan oleh seorang pengampu (curator). 112

Adapun sebab mengapa masih diadakan kemungkinan untuk menyatakan

pailit sesuatu warisan, sedangkan sudah ada cara penyelesaian segala urusan

dengan suatu penerimaan oleh waris dengan hak pendaftaran ialah : para crediteur

dari pewaris diberi kemungkinan untuk menuntut pailit terhadap suatu warisan,

jika timbul keragu-raguan tentang kejujuran waris yang menerima warisan dengan

hak pendaftaran barang peninggalan.

Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

Tentang UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut Putusan pernyataan pailit

berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal dari

harta kekayaan ahli warisnya. Sehingga pertanggung jawaban ahli waris debitor

terhadap putusan pailit demi hukum sudah dipisahkan dari harta kekayaan orang

yang meninggal oleh UU No 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang.

Untuk memastikan pertanggung jawaban ahli waris debitor terhadap putusan

pailit tidak bertentangan dengan UUK-PKPU maka fungsi Check List sebaiknya

digunakan untuk memudahkan, mengenali adanya kekurangan yang terjadi.

112
Ibid, hal 284.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat dikemukan dalam skripsi ini adalah

sebagai berikut:

1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 207 UUK-PKPU, harta kekayaan orang yang

meninggal harus dinyatakan dalam keadaan pailit, apabila dua atau beberapa

kreditor mengajukan permohonan untuk itu dan secara singkat dapat

membuktikan bahwa : Utang orang yang meninggal, semasa hidupnya tidak

dibayar lunas; atau pada saat meninggalnya orang tersebut, harta

peninggalannya tidak cukup untuk membayar utangnya.

2. Menurut Pasal 40 ayat (1) UUK-PKPU, warisan yang selamakepailitanjatuh

kepada debitor pailit, oleh kurator tidak boleh diterima, kecuali apabila

menguntungkan harta pailit. Logika ketentuan-ketentuan pasal 40 ayat (1)

dapat dimengerti karena tidak mustahil debitor pailit bukan menerima warisan

berupa piutang tetapi menerima warisan utang. Apabila debitor pailit

menerima warisan berupa piutang (tagihan) maka warisan tersebut akan

menguntungkan harta pailit. Akan tetapi, apabila debitor pailit menerima

warisan berupa utang, maka warisan tersebut akan membebani harta pailit.

Sudah tentu hal tersebut bukan saja merugikan debitor pailit, tetapi juga para

kreditornya.

3. Bila merujuk pada pasal 209 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang

UUK-PKPU yang bunyinya sebagai berikut Putusan pernyataan pailit

69
70

berakibat demi hukum dipisahkannya harta kekayaan orang yang meninggal

dari harta kekayaan ahli warisnya. Sehingga pertanggungjawaban ahli waris

debitor terhadap putusan pailit demi hukum sudah dipisahkan dari harta

kekayaan orang yang meninggal oleh UU No. 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

B. Saran

Sebelum diakhiri penulisan skripsi ini akan dicoba saran yang

dianggap perlu, sebagai berikut :

1. Untuk menghindari terjadinya benturan keadilan sebaiknya para kreditor

pailit tidak mengajukan kepailitan terhadap ahli waris debitor pailit ke

pengadilan niaga dan sebaiknya mengajukan gugatan secara perdata.

2. Apabila gugatan pailit para kreditor diterima oleh pengadilan negeri niaga

sebaiknya para debitor waris mengajukan PKPU atau penundaan

kewajiban pembayaran utang.

3. Untuk memastikan pertanggungjawaban ahli waris debitor terhadap

putusan pailit tidak bertentangan dengan UUK-PKPU maka fungsi Check

List sebaiknya digunakan untuk memudahkan, mengenali adanya

kekurangan yang terjadi.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mohamad Chidir, Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran, Bandung,


Penerbit Mundur Maju, 1995.

Artmanda W, Frista, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Lintas Media, 2004.

Asikin, Zainal, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran di


Indonesia, Jakarta, Penerbit Rajawali Pers, 1991.

Darmabrata, Wahyono, Asas-Asas Hukum Waris, Jakarta, Cetakan Pertama, 1994.

Djohansyah, J, Pengadilan Niaga, Bandung, Alumni, 2001.

Fuady, Munir, Hukum Pailit Dalam Teori Dan Praktek, Bandung, Citra Aditya
Bakti, 1999.

Gautama, Sudargo, Komentar Atas Peraturan Kepailitan Baru Untuk Indonesia,


Bandung, Citra Aditya Bakti, 1998.

Hakim, Lukman, Pembahasan Atas Kerja Tentang Kaitan Undang-Undang


Perkawinan Dengan Penyusunan Hukum Waris, Jakarta, Simposium
Hukum Waris Nasional, 2000.

Hartini, Rahayu, Hukum Kepailitan, Malang, UMM Press, 2008.

Hartono, Sri Rejeki, Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern,
Jakarta, Majalah Hukum Nasional, 1981.

Hartono, Sri Sumantri, Pengantar Hukum Kepailitan Dan Penundaan


Pembayaran, Yogyakarta, Liberty, 1981.

Kailiamang, Denny, Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau PKPU,


Bandung, Penerbit Alumni, 2001.

Khairandy, Perlindungan Dalam UU Kepailitan, Jakarta, Jurnal Hukum Bisnis,


2002.

Lontoh, A. Rudhy, Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit, Penerbit Alumni,


2001.

Perangin-angin, Efendi, Hukum Waris, Jakarta, Universitas Indonesia, 1995.

Poerwardaminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka,


2006.

71
72

Prodjodikoro, Wiryono, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung, Sumur Bandung,


1983.

Satrio, J, Hukum Waris, Bandung, Alumni, 1992.

Shubhan, Hadi. M, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, Dan Praktik di Peradilan,


Jakarta, Kencana Prenada, 2007.

Situmorang, M. Victor, Pengantar Hukum Kepailitan di Indonesia, Jakarta,


Rineka Cipta, 1994.

Sjadeni, Sutan Remi, Hukum Kepailitan, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 2002.

Subekti, Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1980.

Sutedi, Andrian, Hukum Kepailitan, Bogor Ghalia Indonesia, 2009.

Anda mungkin juga menyukai