Penulisan Hukum
( Skripsi )
Oleh:
NIM. E 0001014
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
i
2005
PESETUJUAN
ii
PENGESAHAN
Pada :
Hari : Selasa, Kamis,
Tanggal : 26, 28 Juli 2005.
DEWAN PENGUJI
Mengetahui :
Dekan
iii
NIP. 131 793 333
iv
MOTTO
“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia
meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak
menggoyangkan kamu: dan memperkembang biakkan padanya segala
macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu
Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik”
(Surat Al Luqman: ayat 10)
Ubi societas, ibi ius (Cicero 106-43SM) (Disitu ada masyarakat, disitu
ada hukum)
PERSEMBAHAN:
v
- Bapak dan ibu yang tercinta dan
tersayang,
- Nenek, Bude, Pakde, Om dan Tante
tercinta,
- Almamater tercinta,
KATA PENGANTAR
Puji syukur, penulis panjatkan kehadlirat Allah SWT, penguasa semesta alam. Hanya berkat
hidayah, rahmah dan inayah-Nya maka tulisan hukum (skripsi) yang berjudul “KEBIJAKAN
HUKUM PIDANA DALAM PENAGGULANGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN” ini dapat
terwujud.
Penulisan hukum ini membahas tentang upaya penanggulangan tindak pidana perzinahan. dengan
mempergunakan hukum pidana. Selama ini pasal 284 KUHP yang mengatur tindak pidana perzinahan
dirasa terlalu kurang memadai perumusannya sehingga tertinggal dengan perkembangan kasus yang
terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu perlu diambil langkah kebijakan (hukum pidana) kedepan yang
sekiranya dapat memperluas, sehingga lebih efektif untuk dipergunakan sebagai upaya memberantas
tindak pidana perzinahan yang ada.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, pada kesempatan yang berbahagia ini penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada Yth :
1. Bapak Prof. Dr. dr. M. Syamsulhadi, Sp., KJ., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta,
2. Bapak DR. Adi Sulistyono, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta,
3. Bapak W.T.Novianto, S.H., M.Hum, selaku dosen Pembimbing Penulisan Hukum ini yang
telah dengan sabar dan teliti memberikan petunjuk, nasehat, bimbingan dan dorongan kepada
penulis, sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan,
4. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum, selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana, Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan selaku dosen Penguji Penulisan Hukum yang telah
memberikan saran dan ilmunya,
vi
5. Bapak Tuhana, SH, M.Si, selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan
memberikan nasehat kepada penulis selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta,
6. Bapk dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah
membekali ilmu pengatahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, sehingga dapat
menjadi bekal penulis dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam
kehidupan di masa mendatang,
7. Bapak Soehendro, SH, Bapak Bambang Kusmunandar, SH, MH, Bapak J.Setiawan, S.H, para
hakim di Pengadilan Negeri Kelas I Surakarta, yang telah membantu memberikan data,
8. Bapak Sulistyanta, S.H, M.Hum dan Ibu, Maturnuwun atas semua nasihat, saran dan
bantuannya,
9. Teman-teman kongkow and nongkrong yang tidak bisa disebutkan satu persatu, Dhimas,
Dhany, Apri, Catur, Bagas, Rangga, Singgih, Agung, Ana, Rika, Vita, makasih buat semuanya,
10. Fatma Ayu, Sameone Special for me, thanks for Everything,
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan
baik langsung maupun tidak langsung dalam penulisan hukum ini,
Penulis sadari bahwa tulisan hukum ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu segala tegur
sapa, sumbang saran yang bersifat membangun dan memperbaiki kekurang sempurnaan tulisan ini,
penulis terima dengan senang hati.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama untuk penulisan, kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat umum.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i
HALAMAN PESETUJUAN……………………………………………………...ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN………………………………....iv
KATA PENGANTAR …………………………….……………………………...v
DAFTAR ISI …………………………………….………………………………vii
DAFTAR TABEL …………………………….………………………………….ix
ABSTRAK …………………………………….………………………………….x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………….1
B. Perumusan Masalah……………………………………………………5
C. Tujuan Penelitian……………..…………………………………………5
D. Manfaat Penelitian……………………………………………………....6
E. Kerangka Pemikiran…… ……………………………………………...7
F. Metode Penelitian………………………………………………………7
G. Sistematika Penulisan Hukum…..…………………………………….11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritik……………………………………………………….13
1.Tinjauan Umum Hukum Pidana……………………………………….13
a. Tinjauan Umum Pengertian Hukum Pidana…………………….......13
b. Tujuan Hukum Pidana………………………………………………14
2. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perzinahan…………………………..15
a. Tinjauan Umum Pengertian Tindak Pidana…….…………………...15
b. Tinjauan Umum Unsur-unsur Tindak Pidana………….……………16
c Tinjauan Umum Pola Perumusan Tindak Pidana…….……………..18
d. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perzinahan…………….…………..19
viii
3. Tinjauan Umum Kebijakan Hukum Pidana……………………………24
a. Tinjauan Umum Pengertian Kebijakan Hukum Pidana……………..24
b. Tinjauan Umum Kebijakan Hukum Pidana - Kriminalisasi…….......26
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian……... …………………………………………….29
1. Fenomena Kasus Perzinahan……………………………………...29
a. Kasus I .……………………………………………………..29
- Putusan P.N Banda Aceh No.51/1971 (S)……………….29
- Putusan P.T Banda Aceh No.28/1971/P.T……………… 32
- Putusan M.A No.93.K/Kr/1976…………………………..32
b. Kasus II……………………………………………………...33
- Putusan P.N Klungkung, Bali No.33/Pid/Sumir/1983……33
- Putusan M.A No.854.K/Pid/1983……………………....... 36
2. Tanggapan/pendapat Hakim Mengenai Pasal 284 KUHP………...38
B. Pembahasan………..…………………………………………………..42
C. Konsep Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Perzinahan……………………………………………..48
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan….... ……………………………………………………….56
B. Saran-Saran…….….……………………………………………………56
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
x
ABSTRAK
HANIF ARYO NUGROHO, NIM E 0001014, KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN. Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Penulisan Hukum ( Skripsi )
2005.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab 2 (dua) persoalan yakni (1). Apakah
kebijakan hukum pidana yang ada sekarang ini dapat menanggulangi tindak pidana
perzinahan ? (2). Bagaimanakah sebaiknya kebijakan hukum pidana yang akan
datang dalam menanggulangi tindak pidana perzinahan ?.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, dan apabila dilihat
dari tujuannya termasuk penelitian hukum empiris. Lokasi penelitian di PN
Surakarta, data empiris diperoleh dari tanggapan hakim mengenai tindak pidana
perzinahan, sedangkan data sekunder yang berkaitan dengan tindak pidana
perzinahan. diperoleh dari putusan PN/PT/MA hal ini disesuaikan dengan tujuan
penelitian ini.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalam hukum formal yang
berlaku saat ini (KUHP) terdapat pasal yang melarang tindak pidana perzinahan yakni
Pasal 284 KUHP. Sebagai hasil rumusan hukum pidana dimasa peninggalan Belanda
Pasal 284 KUHP tsb bernuansa liberal-individualis. Pasal tersebut dirasakan tidak
cocok lagi dengan keadaan masyarakat sekarang. Data kasus I perzinahan yang telah
diputus oleh P.N dan P.T Banda Aceh serta putusan kasasi M.A. dan data kasus II
putusan P.N Klungkung, Bali serta putusan kasasi M.A, menegaskan bahwa pasal
284 KUHP ternyata tidak sepenuhnya cocok dipergunakan sebagai sarana
penanggulangan tindak pidana perzinahan.
Dasar peradilan negara untuk mengadili kedua kasus tersebut adalah UU No. 4
tahun 1970 (dahulu) & UU No. 4 tahun 2004 (sekarang). Ketentuan dalam UU
tersebut melarang hakim untuk menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya
dengan dalih hukumnya tidak ada. Disamping itu hakim diwajibkan untuk menggali
nilai-nilai hukum yang tumbuh di masyarakat. Atas dasar itulah maka hakim tersebut
memutus berdasarkan pada hukum adat (Kasus di P.N Klungkung Bali dan P.N
Banda Aceh). Dasar hukum lainnya adalah pasal 5 ayat 3 b UU No 1 tahun 1951,
yakni apabila terdapat perbuatan yang belum diatur dalam KUHP maka hakim dapat
mencari kesamaan atau kemiripan kasus yang terjadi dengan pasal dalam KUHP, oleh
karena itu M.A dalam memutus kasus Aceh menerapkan Pasal 281 KUHP. Meskipun
demikian pada hakekatnya pasal 284 KUHP ternyata sudah tidak cukup memadai
lagi. Perlunya meninjau kembali rumusan pasal 284 KUHP inipun mendapat respon
dari responden hakim. Bahwa 100 % responden hakim berpendapat perlunya pasal
284 KUHP ditinjau lagi karena sudah tidak memadai. Disamping itu 75 % responden
hakim menghendaki unsur agama perlu dipertimbangkan sebagai bahan dasar
perumusannya. Dalam rancangan konsep KUHP baru (sampai dengan tahun 1993)
merumuskan pasal perzinahan yang lebih diperluas, dimana Pasal 386 (14.10)
mengancam dengan pidana, perzinahan yang dilakukan oleh mereka seorang laki-laki
xi
dan seorang wanita yang telah dewasa namun masing-masing tidak terikat tali
perkawinan yang sah. Pasal 388 (14.10 b) mengancam dengan pidana terhadap
perbuatan “kumpul kebo”. Perbuatan “kumpul kebo” ini sesungguhnya merupakan
perbuatan perzinahan sebab mereka telah menjadi satu rumah tanpa perkawinan yang
sah. Dengan demikian dimasa mendatang diharapkan rumusan tindak pidana tersebut
dapat mengatasi minimal dapat mengurangi tindak pidana perzinahan.
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persoalan tindak pidana perzinahan senantiasa menarik. Perluasan
kriminalisasi terhadap perbuatan di bidang seksual ini telah menjadi bahan
perdebatan. Seperti persoalan perlu tidaknya perzinahan dijadikan sebagai delik
aduan absolut atau delik aduan relatif dalam RUU KUHP dimasa mendatang
(Kompas tgl. 2-September 2003).
Pornografi dianggap sebagai pemicu tumbuh kembangnya delik di
bidang seksual seperti perkosaan, percabulan dan perzinahan. Penyebaran
pornografi lebih berkembang lagi seiring dengan perkembangan teknologi
informasi yang penyebarannya dapat mencakup radius yang “tak terhingga”
melalui dunia maya. Penyebaran pornografi yang dapat melewati batas-batas
negara, seperti “cybersex’ atau “cyberporn”, atau pornografi melalui internet.
Menurut Barda Nawawi bahwa “Child pornography” dengan menggunakan
sistem komputer merupakan salah satu modus operandi yang sangat berbahaya
pada saat ini. (Barda Nawawi Arief: 2003, 246),
Hukum pidana sesuai dengan fungsi dan peranannya diharapkan harus
tetap dapat menjaga ketertiban di masyarakat, terutama terhadap kesucian
moralitas seksual ini. Meskipun telah terdapat norma–norma yang melarang
perbuatan perzinahan seperti norma agama, norma kesusilaan, namun norma-
norma tersebut dirasakan kurang. Kelemahan norma selain norma hukum
tersebut lebih pada sanksinya. Oleh sebab itulah norma hukum (pidana) yang
dirasakan perlu diterapkan.
Norma hukum (pidana) mempunyai perangkat sanksi yang lebih tegas dan
tunai. Sanksi tersebut penting dalam menaggulangi delik perzinahan, sebab tanpa
adanya pengekangan dengan ancaman sanksi pidana terhadap perilaku sex bebas
1
2
dan atau perzinahan maka dapat berakibat terjadinya budaya permisif dalam
pergaulan di masyarakat luas. Tidak mustahil dapat terjadi timbulnya perbuatan
“kumpul kebo”, “free sex” atau sex bebas. Dampak dari perbuatan ini dapat
menjadi sarana penyebaran HIV/AIDS dan penyakit kelamin lainnya.
Kondisi tersebut berpotensi untuk dapat menghancurkan peradaban
manusia itu sendiri. Karena rusaknya pola-pola lembaga perkawinan yang sesuai
dengan norma agama dan etika kesusilaan di masyarakat. Generasi muda yang
terjangkit “penyakit” ini dapat menjadi generasi yang lemah dan berakibat
melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampak lainnya
terjadinya keruwetan dalam hukum (perdata) seperti status anak, pewarisan.
Disamping adanya dampak psikologis pada anak yang lahir diluar pernikahan
yang berupa pandangan dimata masyarakat terhadap anak tersebut dengan
sebutan “anak zina” atau “anak jadah”.
Hukum pidana tetap diperlukan untuk mengekang nafsu syahwat yang
tidak terkendali dan yang dilakukan secara tercela tersebut. Pengertian
perzinahan, dapat diartikan dari berbagai sudut pandang seperti menurut norma
agama, norma kesusilaan, dan menurut norma hukum. Satu hal yang penting
adalah bahwa pada prinsipnya terdapat persamaan mengenai larangan
dilakukannya perbuatan perzinahan sebelum adanya perkawinan yang sah,namun
demikian terdapat perbedaan mengenai luas sempitnya cakupan pengertian
perzinahan menurut norma agama dan kesusilaan pada satu pihak dengan
pengertian menurut norma hukum (positif) pada pihak lain.
Pengertian yang luas terdapat pada pemahaman menurut norma agama
dan kesusilaan sedangkan menurut norma hukum (positif) lebih sempit dan lebih
terbatas. Larangan dilakukannya perbuatan perzinahan dapat dilihat pada Bab
XIV KUHP yang mengatur delik kesusilaan. Pada Bab XIV ini disamping
mengatur larangan perzinahan diatur pula delik kesusilaan lainnya. Oleh sebab itu
pengertian titel kesusilaan pada Bab XIV tersebut diartikan secara luas.
3
Kesusilaan dalam arti luas meliputi kesusilaan dalam arti sempit dan
kejahatan dibidang seksual. Hal ini terlihat pada Bab XIV tersebut diatur pula
mengenai delik Perjudian (Pasal 303 KUHP) yang sama sekali tidak berkaitan
dengan persoalan seksual. (Oemar Seno Adji : 1984:6)
Kepentingan hukum yang dilindungi pada Bab XIV tentang delik
Kesusilaan tersebut, pada umumnya sebatas perlindungan terhadap korban anak-
anak yakni anak laki-laki ataupun wanita yang masih di bawah umur. Terhadap
mereka (laki-laki dan wanita) yang telah dewasa relatif tidak secara ketat
diancam sanksi pidana kecuali dilakukan dengan unsur kekerasan dan atau
paksaan, atau dalam keadaan pingsan atau tidak sadar (Pasal 285, 289, 286
KUHP), percabulan terhadap bawahannya dan atau terhadap orang yang harus
diawasinya (Pasal 294 KUHP), serta mucikari (Pasal 296 KUHP).
Khusus mengenai materi perumusan delik perzinahan sebagaimana diatur
dalam Pasal 284 KUHP dipandang terlalu sempit. Dalam pengertian dibatasi
pelaku yang dapat dipidana berdasarkan 284 KUHP tersebut yakni mereka
(pelaku) salah satu atau keduanya telah terikat perkawinan yang sah. Sedangkan
bagi mereka (pelaku) yang tidak terikat perkawinan yang sah dan telah dewasa
maka tidak dapat diterapkan Pasal 284 KUHP ini. Hal tersebut dapat dipahami
mengingat KUHP yang saat ini berlaku merupakan produk Belanda yang berlaku
di Indonesia sejak beberapa abad yang silam berdasarkan asas konkordan dan
bercorak individualistis-liberal. Menurut Roeslan Saleh corak individualistis
liberal adalah memandang hukum itu merupakan jaminan yang sifatnya adalah
lahir (datangnya dari luar). Hal demikian hukum adalah datangnya dari luar, yaitu
dari penguasa, hukum dan moral dua hal yang berbeda dan tak bersangkut paut
mutlak (Roeslan Saleh: 1968, 71).
Pada delik-delik tertentu perlindungan dengan hukum pidana di buat
dalam kerangka perlindungan terhadap individu. Individu pada asasnya adalah
bebas dan karenanya ada lingkaran-lingkaran masing-masing-masing individu.
Tugas hukum adalah menjaga batas-batas lingkaran tersebut agar masing-masing
4
tetap mempunyai kebebasan (Roeslan Saleh: 1968, 68). Dan perzinahan dianggap
sebagai masalah individu menurut pemahaman pembuat KUHP tersebut. Oleh
karena itu wajar pengaturan delik perzinahan dirumuskan sebagai delik aduan
dalam pengertian penuntutannya digantungkan pada kebebasan masing-masing
pihak yang dirugikan. Nampaknya dalam perkembangannya hal ini menjadi
persoalan. Beberapa kasus mengidikasikan munculnya tuntutan terhadap
perubahan perumusan delik perzinahan sebagaimana diatur dalam Pasal 284
KUHP tersebut.
Persoalan yang berkaiatan dengan perumusan delik perzinahan menurut
Pasal 284 KUHP ialah tidak diaturnya perbuatan perzinahan yang dilakukan oleh
mereka yang telah dewasa baik laki-laki maupun wanita namun mereka masing–
masing tidak atau belum terikat perkawinan yang sah. Oleh sebab itu apabila
mereka yang melakukan perzinahan atas dasar suka sama suka telah dewasa
maka hukum pidana positif (baca KUHP) tidak dapat menjangkau. Beberapa
kasus dimasyarakat telah muncul berkaitan dengan “kekosongan” aturan hukum
(pidana):
a. Topik “Hamili Pelajar, Sopir Dilaporkan ke Polisi” (Solo Pos, tgl 27-7-
1999). Kasus seorang wanita pelajar bernama Sri (18 th) melakukan
perzinahan dengan pacarnya seorang laki-laki sopir angkuta bernama
SWS (32 th), sehingga Sri hamil, karena SWS tidak bertangung jawab,
maka orang tua korban melaporkan ke Polresta Surakarta.
b. Topik “Tak Dinikahi Laporkan Polda” (Jawa Pos, tgl 13-4-1999).
Kasus seorang wanita bernama Ana (26 th) melaporkan seorang laki-
laki bernama Ari (31 th) bekas pacarnya ke Polda Jawa Timur
persoalannya, setelah menyuruh menggugurkan kandungannya pelaku
Ari tidak bertanggung jawab.
Meskipun mengenai batasan usia dewasa terdapat perbedaan antara
ketentuan undang-undang yang satu dengan undang undang yang lain seperti,
batasan usia dewasa menurut UU No 1 tahun 1974 berdasarkan Pasal 7 dewasa
5
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat disusun suatu
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah kebijakan hukum pidana yang ada sekarang ini dapat menanggulangi
tindak pidana perzinahan ?
2. Bagaimanakah sebaiknya kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam
menanggulangi tindak pidana perzinahan ?
2. Kegunaan
Adapun penulisan skripsi ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan landasan teoritis bagi pengembangan disiplin ilmu hukum, khususnya
hukum pidana pidana.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan
pengetahuan tentang penelaahan ilmiah serta menambah bahan-bahan
informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan
penulisan ilmiah bidang hukum pidana.
2. Manfaat Praktis,
7
D. Kerangka Pemikiran
PUTUSAN P.N/PT/MA
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang dipergunakan oleh manusia
sebagai sarana untuk memperkuat, membina, mengembangkan serta menguji
kebenaran ilmu pengetahuan, baik dan segi teoritis maupun praktis yang
dilakukan secara metodologis dan sistematis, dengan menggunakan mçtode-
metode yang bersifat ilmiah dan sistematis sesuai dengan pedoman atau aturan
yang berlaku dalam pembuatan suatu karya ilmiah (Soerjono Soekanto 1986: 3).
8
2. Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi dalam penelitian ini mengambil sampel Hakim di P.N
Surakarta. Sedangkan kasus-kasus perzinahan yang berupa putusan
P.N/P.T/M.A diambil dari :
(1). Putusan P.N Banda Aceh No.51/1971, Putusan P.T Banda Aceh
No.28/1971/PT serta Putusan M.A No. 93 K/Kr/1976.
(2). Putusan P.N Klungkung, Bali No.33/Pid/Sumir/1983 serta Putusan M.A
No.854.K/Pid/1983.
3. Jenis Data
Data dalam penelitian, dibedakan antara data yang diperolah langsung dari
masyarakat dan dari pustaka Menurut Soerjono Soekanto (Soerjono
Soekanto,1986:11-12) jenis data dibedakan menjadi dua yaitu: Yang pertama
disebut data primer atau data dasar (primary data atau basic data ) yang kedua
dinamakan data sekunder (secondary data ). Data primer diperoleh langsung
dari sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat, me!alui penelitian.
Data sekunder, antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data primer
Yang dimaksud dengan data primer adalah data yang diperoleh secara
langsung dari lapangan, yaitu berupa hasil wawancara dengan pihak
terkait, dalam hal ini adalah Hakim di Pengadilan Negeri Surakarta.
b. Data sekunder
Yang dimaksud dengan data sekunder adalah data yang tidak diperoleh
secara langsung dari lapangan, melainkan diperoleh dari studi kepustakaan
yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Biasanya data itu
berupa:
10
yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh”. Dalam
rangka mendapatkan data yang kadar validitasnya tinggi penyusun
mempergunakan metode induktif untuk mengolah data yang didapat di
lapangan. Dengan metode induktif ini maka data yang diperoleh di lapangan
akan disinkronkan dan diselaraskan dengan landasan teori yang telah
disusun sebelumnya, sehingga akan didapat data yang valid.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis kualitatif dengan
model interaktif. Model analisis ini memerlukan tiga komponen yaitu
reduksi data, sajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi dengan
menggunakan sistem siklus. Dalam bentuk mi peneliti tetap bergerak
diantara ketiga komponen tadi dengan proses pengumpulan data selama
kegiatan pengumpulan data berlangsung. Setelah pengumpulan data
berakhir, peneliti mengadakan penarikan kesimpulan dengan
memverifikasikannya semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian
data (H.B. Sutopo, 1988 : 40).
Adapun proses analisisnya adalah sebagai berikut:
Langkah pertama mengumpulkan data, setelah data-data terkumpul
kemudian data direduksi, artinya data diseleksi dan disederhanakan.
Kemudian diadakan penyajian data, yaitu rangkaian data yang
memungkinkan untuk ditarik kesimpulan. Apabila kesimpulan yang ditarik
kurang mantap dapat mengulang lagi melalui pengumpulan data. Setelah
data-data terkumpul secara lengkap, kemudian diadakan penyajian data lagi
yang dibuat secara sistematis, sehingga diperoleh kesimpulan yang lebih
mantap.
13
1.2. Kasus II
- Putusan P.N Klungkung, Bali No.33/Pid/Sumir/1983.
- Putusan M.A No.854.K/Pid/1983,
2. Tanggapan/pendapat Hakim mengenai pasal 284 KUHP
B. Pembahasan
C. Konsep Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Perzinahan
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan,
B. Saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritik
1.Tinjauan Umum Hukum Pidana
a. Tinjauan Umum Pengertian Hukum Pidana
Terdapat berberapa pendapat para ahli hukum pidana untuk
mendefinisikan apa yang disebut hukum pidana. Pendapat-pendapat mereka
sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.
Menurut Wirjono Prodjodikoro hukum pidana adalah peraturan hukum
mengenai pidana. kata “pidana” berarti hal yang dipidanakan, yaitu oleh
instansi yang berkuasa, dilimpahkan kepada seorang oknum, sebagai hal
yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
(Wirjono Prodjodikoro: 1981 : 1).
Menurut D. Simons, hukum pidana adalah semua perintah-perintah dan
larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan diancam dengan suatu
nestapa bagi barangsiapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan aturan
yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya
aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana
tersebut. (Sudarto: 1992:2)
Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian dan pada keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk:
a. Menetukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh diilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tsb.
15
16
b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan dan dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka melanggar larangan
tersebut. (Moeljatno:1983:1)
Memperhatikan rumusan diatas maka hukum pidana termasuk kategori
Hukum Publik, karena mengatur kepentingan hukum masyarakat dan
adanya aspek campur tangan negara. Sehingga pembentukan dan
pelaksanaan hukum pidana tersangkut berbagai badan negara, seperti
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan.
b. Tujuan Hukum Pidana
Hukum pidana mempunyai tujuan sebagaimana hukum lainnya yakni
menciptakan ketertiban dan keadilan dimasyarakat. Namun karena hukum
pidana mempunyai sifat khusus yakni sebagai hukum yang dilengkapi
sanksi pidana maka terdapat tujuan yang khas antara lain untuk
melindungi masyarakat (dari kejahatan) (Tirtaamidjaja: 1954: 18)
Mengenai tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat dari
kejahatan ini menurut Bambang Poernomo mengandung pengertian
kurang jelas, masih dipertanyakan masyarakat yang mana ? dan
bagaimana cara melindunginya ? serta perlindungan itu darimana ?
terhadap apa dan siapa ?. (Bambang Pornomo: 1977: 8). Oleh karena itu
Bambang Pornomo, membedakan antara tujuan diadakanya Hukum
pidana (Strafrechtscholen), dan tujuan diadakannya Pidana itu sendiri
(Strafrechtstheorieen)(Bambang Pornomo: 1977: 8-9).
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan hukum pidana adalah:
a. Menakut nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara
menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara
menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan,
17
- Berzinah
Subyektif : - Diketahuinya, bahwa:
- Bagi laki-laki itu berlaku pasal 27 BW/KUHPerd..
Berzinah
Berzinah terdiri atas perbuatan persetubuhan antara orang yang telah
menikah dan seorang yang bukan isterinya atau suaminya, persetubuhan
mana dilakukan dengan secara sukarela. Apabila terjadi paksaan maka
orang yang dipaksa tidak melakukan sesuatu kejahatan, bahkan ia
menjadi obyek dan suatu kejahatan. Pun seorang isteri yang digerakan
oleh suaminya yang menjadi germo (muncikari) untuk bersetubuh dengan
laki-laki lain tidak melakukan perbuatan zinah. apabila isteri itu
melakukan persetubuhan itu.
Perbuatan zinah hanya dapat dilakukan oleh seorang yang telah
meni kah, sedang seorang yang belum menikah hanya dapat dipersalahkan
sebagai perbuatan turut serta melakukan, meskipun orang yang belum
menikah melakukan segala perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
telah menikah.
Tetapi perbuatan persetubuhan oleh 2 orang (perempuan dan laki-
laki) yang masing-masing telah menikah merupakan perbuatan berzinah,
karena perbuatan berzinah dianggap sebagai pelanggaran terhadap
kesetiaan dalam perkawinan. Larangan terhadap perbuatan ini didasarkan
atas pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan.
Dengan uraian tersebut di atas dapat dinyatakan, bahwa perbuatan
persetubuhan di luar perkawinan antara dua orang yang masing- masing
belum menikah tidak dapat dihukum
Akibatnya terjadi hidup bersama (samenleven) di luar perkawinan
antara perempuan dan laki-laki, yang oleh hukum adat maupun oleh
hukum agama dianggap berzinah.
25
- Cerai; atau
- Dibebaskan dan kewajiban berdiam serumah, berdasarkan perbuatan
yang sama (perbuatan zinah tersebut), dalam jangka waktu tiga bulan
sejak hari pengajuan pengaduan.
Pasal 284 (3).
Ayat tiga ini menetapkan, bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 72 dan
73 mengenai orang-orang yang berwenang mengajukan pengaduan;
- Pasal 75 mengenai penarikan kembali pengaduan dalam jangka waktu
tertentu; tidak berlaku bagi kejahatan dalam ayat pertama.
Pasal 284 (4).
Ayat keempat ini menetapkan, bahwa penarikan kembali pengaduan dapat
dilakukan selama belum dimulai pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Ketentuan ini sebagai pengganti ketentuan dalam pasal 75 (jangka waktu
tiga bulan sejak hari pengajuan pengaduan) yang menurut ayat ketiga
tidak dapat diperlakukan lagi untuk pengaduan terhadap kejahatan tersebut
dalam ayat pertama.
Pasal 284 (5).
Ayat kelima ini memuat ketentuan, bahwa pengaduan oleh suami isteri
yang diperlakukan pasal 27 KUHPerd, tidak diindahkan atau diperhatikan
selama
- Perceraian antara suami istri belum diputuskan;
- Keputusan yang membebaskan suami isteri dan kewajiban berdiam
serumah; keputusan-keputusan mana sudah menjadi tetap atau tidak
dapat diubah lagi (Much Anwar : 1981:222).
3. Tinjauan Umum Kebijakan Hukum Pidana
a. Tinjauan Umum Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Istilah Kebijakan diambil dan istilah “Policy” (Inggris) atau
“Politiek” (Belanda). Bertolak dan istilah tersebut maka istilah
“Kebijakan Hukum Pidana” disebut pula dengan istilah “Politik Hukum
28
Pidana”. (Barda Nawawi Arief: tanpa tahun: 5). Politik Hukum Pidana
merupakan bagian dan Politik hukum pada umumnya.
Menurut Sudarto, politik hukum ialah:
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.
2. Kebijakan dan negara dengan perantara badan-badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang
diperkirakan bisa digunakan mengekpresikan apa yang dikandung
dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. (Barda
Nawawi Arief: 1990: 13)
Dengan demikian politik hukum pidana dilihat dari politik hukum
mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan
merumuskan suatu perundang undangan pidana yang baik. Melaksanakan
politik hukum pidana menurut Sudarto berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik
dalam arti memenuhi syarat keadilan, dayaguna. (Sudarto : 1986:153)
Dengan demikian menurut Sudarto melaksanakan “polilik hukum pidana”
berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan yang sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang
akan datang. (Sudarto:1986: 93). Dengan demikian, dilihat sebagai bagian
dan potitk hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang undangan yang baik.
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada
hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum
(khususnya penegakan hukum pidana). Hal ini berarti bahwa hukum
pidana dalam arti yang luas meliputi pula hukum pidana materiil, hukum
acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian dapat
29
tersebut patut dan layak untuk dijadikan sebagai tindak pidana. Disamping
itu oleh karena seksual berkaitan dengan persoalan kesusilaan patut
dipertanyakan pula sejauhmana dalam melakukan kriminalisasi perbuatan
seksual dipertimbangkan pula unsur kesusilaan (seksual) dan agama.
Menurut Oemar Senoadji bahwa pemidanaan terhadap delik
kesusilaan (seksual) hendaklah mengacu pada adanya keterkaitan antara
aspek moral dan norma-norma agama di Indonesia (Oemar
Senoadji:1981,10). Pandangan tsb berbeda dengan pandangan yang pada
umumnya dianut di negara Barat yang cenderung membatasi (restriktif)
terhadap delik susila (seksual) bahwa hanya delik kesusilaan yang bersifat
“nuisance”, yang menimbulkan “public sensibilitys” atau “publik
scandal” atau dipandang bersifat ‘nuissance offensive to the public”
yang perlu di lindungi dengan hukum pidana. (Oemar Senoadji: 1981: 10).
Pemahaman terhadap pandangan ini jelas berbeda dengan di Indonesia.
Sebagaimana pernah disinggung oleh Barda Nawawi Arief bahwa
penentuan delik kesusilaan harus berorientasi pada “Nilai-nilai Kesusilaan
Nasional” (NKN) yang telah disepakati bersama yang bersumber nilai-
nilai kesusilaan yang hidup di dalam masyarakat dan moralitas agama.
(Barda Nawawi Arief: 1996: 7). Demikian pula halnya Roeslan Saleh
yang mengisyaratkan bahwa kemungkinan unsur agama di dalam
mengkriminalisasikan delik-delik kesusilaan. (Roeslan Saleh: 1995: 7)
Dari beberapa pemikiran tersebut memunculkan pertanyaan sejauhmana
unsur kesusilaan dan unsur agama tersebut dapat dijadikan landasan dalam
pembentukan “hukum (pidana) positif’ dalam arti dijadikan sumber
“acuan” mengkriminalisasikan perbuatan di bidang seksual.
Mempergunakan hukum pidana dalam mengatur kehidupan seksual
seseorang (masyarakat) berarti memberikan “batasan” hal-hal yang boleh
dan tidak boleh dilakukan. “Tekanan” terhadap aktifitas seksual yang
dilarang ini tentunya dengan kriteria apabila perbuatan tersebut diangap
31
tercela dan bersifat amoral. Menurut Pompe bahwa pada dasarnya tiap
kepentingan dari individu mendapat perhatian untuk jika perlu dilindungi
dengan hukum pidana, yaitu sejauh kepentingan itu secara langsung atau
tidak langsung juga mempunyai arti bagi masyarkat. (Roeslan Saleh:
1988: 74)
Menyangkut campur tangan negara dalam bidang seksual ini
berkaitan pula dengan arti pentingnya kehadiran hukum pidana dalam
mengatur ketertiban sosial dalam masyarakat agar masyarakat tidak
bertindak “main hakim sendiri” (eigenrichting). Sebagaimana
dikemukakan oleh Van Bemmelen bahwa bila kita mendekati hukum
pidana bukan dari sudut pidananya, melainkan dari sudut ketentuan-
ketentuan perintah dan larangan serta dari sudut menegakkan ketentuan
itu, terutama dari sudut hukum acaranya, maka kita tidak lagi begitu
cenderung untuk menghapuskan hukum pidana. Jika kita mendekati dari
sudut peraturan-peraturan dan larangan, dengan mudah kita dapat
mengerti bahwa ada perbuatan tertentu secara melanggar hukum yang
tidak diijinkan sama sekali dapat terjadi di dan oleh masyarakat. Makar
membunuh kepala negara sama sekali tidak diijinkan oleh negara, juga
tidak dapat dibayangkan akan pernah mengijinkan seseorang dengan
sesuka hatinya membunuh orang lain, atau seseorang dengan sengaja
menghancurkan, menghilangkan barang berharga milik orang lain tanpa
seijin pemilik barang. Jadi peraturan hukum pidana tetap harus ada. Juga
akan selalu terjadi pelanggaran terhadap peraturan itu tidak mungkin
diserehkan oleh negara kepada individu-individu masing-masing. Suatu
alasan mengapa hukum pidana tidak dihapuskan ialah karena hukum
pidana menentukan dapat dengan teliti dalam peristiwa-peristiwa man
negara berwenang bertindak terhadap rakyat melalui jalan hukum acara
pidana. (Roeslan Saleh:1988: 22-23)
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HASIL PENELITIAN
32
33
b. Kasus II
- Putusan P.N Klungkung, Bali No.33/Pid/Sumir/1983, tgl 31-Oktober-
1983
- Putusan Mahkamah Agung R.I No. 854.K/Pid/1983, tgl. 30-Oktober-
1984
37
ini sesuai dengan pasal 184 (1) yo pasal 185 (4) yo pasal 188 (1) (2)
KUHAP
3. Bahwa menurut anggapan masyarakat Bali pada umumnya dan
masyarakat desa Tunuhun khususnya seorang laki-laki tidur menjadi
satu tempat tidur dengan seorang perempuan dalam sebuah kamar,
apalagi pada waktu malam hari dianggap oleh masyarakat Bali
khususnya desa Timuhun telah melakukan perbuatan persetubuhan.
Anggapan masyarakat yang didukung oleh hukum adat setempat juga
dibenarkan oleh apa yang disebut fiksi hukum;
4. Bahwa keberatan-keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena
Pengadilan Negeri telah salah menerapkan hukum, sebab Pengadilan
Negeri tidak mempertimbangkan keterangan saksi-saksi lainnya yang
pada hakekatnya memberi petunjuk tentang kebenaran bahwa terdakwa
telah bersetubuh dengan saksi Desak Putu Megawati, sehingga
pembebasan tersebut didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap
sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan.
5. Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa kenyataan seorang
laki-laki (terdakwa) terbukti tidur bersama-sama dengan seorang
perempuan dalam satu kamar pada saat tempat tidur, merupakan
petunjuk bahwa lelaki itu telah bersetubuh dengan perempuan tersebut.
6. Berdasankan keterangan saksi Desak Putu Megawati dan adanya
petunjuk-petunjuk tersebut yang dapat disimpulkan dari keterangan
saksi-saksi, I Dewa Putu Raka, Desak Biyang Indrawati dan I Dewa Gde
Sidharta, maka telah terbukti bahwa terdakwa telah bersetubuh dengan
saksi Desak Putu Megawati, sebagaimana dimaksudkan dalam dakwaan
subsidair.
Tentang dakwaan primer tidak terbukti sebab unsur barang dari pasal 378
KUHP. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, oleh sebab itu
terdakwa dibebaskan dari dakwaan primair;
42
Tabel 4
Apakah hakim responden setuju hukum pidana adat menjadi
dasar hukum dalam putusan pengadilan pidana ?
B. PEMBAHASAN
Kedua kasus tersebut diatas menegaskan bahwa delik perzinahan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah dewasa dan
yang mana masing-masing tidak terikat perkawinan dengan orang lain, ternyata
dapat di lakukan penuntutan dan pada akhirnya dapat dijatuhi pidana.
Penerapan pasal 284 dengan segala unsur-unsurnya terhadap kedua kasus
tersebut diatas sesungguhnya tidak mungkin. Oleh karena itulah hakim
pengadilan yang mengadili kedua kasus tersebut mencari jalan terobosan. Hakim
memang diijinkan untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Menurut pasal 16 ayat (1) UU No 4 tahun 2004 i tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan
i
Catatan: menurut UU No 14 tahun 1970 (dahulu) terdapat pada pasal 14 ayat (1). “Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”
Sedangkan menurut Pasal 27 ayat (1) UU No 14 tahun 1970 dikatakan: ”Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat”..
48
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
Sedangkan pada Pasal 28 ayat (1) UU No 4 tahun 2004 menyatakan bahwa
Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dimasyarakat.
Berdasarkan pemahaman sebagaiman diamanatkan pasal 16 ayat (1) dan
pasal 28 ayat (1) UU No 4 tahun 2004 tersebut diatas maka kedua kasus tersebut
diatas dapat ditelaah sebagai berikut:
Kasus I : Terdakwa I dan terdakwa II sama-sama telah dewasa dan keduanya
belum terikat perkawinan yang sah dengan orang lain. Oleh sebab itu tidak
memenuhi unsur Pasal 284 ayat (1) KUHP. Dengan demikian sebenarnya Pasal
284 KUHP ini tidak mungkin diterapkan kepada kedua pelaku. Hakim dalam
pertimbangannya oleh karena ia harus mengadili dan memberikan putusan
terhadap perkara tersebut, maka hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh menunjuk
pada delik adat (hukum pidana adat), hal ini sebagaimana terlihat pada
pertimbangan putusannya bahwa :
“ Pasal 284 KUHP antara lain ditujukan apabila salah satu pihak terikat dalam
perkawinan yang sah, sedangkan dalam kasus ini tertuduh I dan tertuduh II
masing-masing tidak terikat dalam suatu perkawinan, dan perbuatan seperti
yang mereka lakukan adalah juga merupakan suatu perbuatan pidana menurut
hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat, maka pengadilan mengenai
kualifikasi dari perbuatan dalam perkara ini sesuai dengan keadaan dalam
masyarakat di daerah ini, tidak akan membedakan kualifikasi terhadap tertuduh I
dan tertuduh II dan penunjukan pasal 284 KUHP hanyalah sekedar pegangan
mengenai ancaman hukuman belaka”.
Demikian pula halnya putusan hakim Pengadilan Tinggi, menguatkan apa yang
telah diputus hakim Pengadilan Negeri. Menjadi catatan penulis adalah:
(1). Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah menerapkan hukum
pidana adat.
49
b. Terhadap penerapan hukum pidana adat tersebut apabila kasus yang terjadi
tersebut ada bandingannya atau ada mirip yang ada didalam KUHP maka
dipakailah pasal KUHP yang mirip tersebut.
c. Mengenai sanksi pidananya, apabila tidak ada kemiripan atau
bandingannya dalam KUHP maka diperlakukan hukum pidana adat dengan
ketentuan sanksi pidananya tidak boleh lebih dari 3 (tiga) bulan pidana
penjara dan atau denda Rp 300,- , sedangkan apabila ada kemiripan atau
bandingannya dengan pasal dalam KUHP, maka dapat dijatuhi pidana yang
sama dengan pasal KUHP yang mirip tersebut.
Ternyata sanksi pidana yang dijatuhkan oleh P.N Banda Aceh yang dikuatkan oleh
P.T Banda Aceh adalah tertuduh I 2 (dua) bulan penjara dan tertuduh II 5 (lima)
bulan penjara. Pengenaan sanksi pidana terhadap tertuduh II tersebut jelas
melampaui ketentuan ancaman pidana sebagaimana di sebutkan pada Pasal 5 ayat
3 b UU No 1 tahun 1951.
Hal yang menarik adalah putusan Mahkamah Agung mencari dasar
kesamaan dengan Pasal 281 KUHP yakni melakukan “Pelanggaran Kesusilaan
Dimuka Umum”. Dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung adalah pada pasal
5 ayat 3 b UU N0 1 tahun 1951. Dari pemahaman ini menurut hakim Mahkamah
Agung, perbuatan terdakwa mirip atau sebanding dengan perbuatan yang diatur
dalam Pasal 281 KUHP.
Menurut Pasal 281 KUHP :
Dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya empat ribu lima ratus rupiah ;
a. Barangsiapa sengaja merusak kesopanan dimuka umum,
b. Barangsiapa sengaja merusakkan kesopanan dimuka orang lain yang hadir
tidak dengan kemauannya sendiri. ( R.Soesilo: 1988: 204)
Nampaknya pertimbangan hakim Mahkamah Agung menegaskan bahwa
perbuatan “perzinahan” adalah sebagai pelanggaran kesusilaan semata.
Menurut hemat penulis ada benarnya namun juga ada tidak benarnya. Alasan
51
terdakwa yang membujuk atau merayu korban.Namun perlu diingat bahwa unsur
Pasal 378 KUHP yakni unusr “barang” tidak akan sama dengan “barang“ milik
perempuan.
Hanya saja pertimbangan hakim PN Klungkung membebaskan terdakwa
dari jeratan tuntutan hukum, dengan dasar putusan disamping tidak terpenuhinya
unsur-unsur Pasal 378 KUHP ini, hal ini terlihat pada tidak dapat dibuktikannya
unsur Pasal 378 KUHP tersebut. Disamping itu hakim tidak yakin terhadap kasus
perzinahan tersebut disebabkan adanya satu saksi. Sehingga hakim mendasarkan
pada asas bahwa satu saksi bukan saksi, oleh karena itu tidak mungkin dijadikan
dasar hakim dalam putusannya.
Namun pada putusan tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat lain
bahwa Pengadilan Negeri Klingkung telah salah dalam menerapkan ketentuan
Undang-Undang. Oleh karena telah terdapat beberapa saksi dalam kasus tersebut,
seperti (1) Dewa Pt Raka, (2).Desak Biyang Indrawati dan (3) I Dewa Gde
Sudhanta. Oleh karena itu asas “Unus Testis Nullus Testis” (satu saksi bukan
saksi) tidak berlaku.
Hal yang penting dalam kasus ini berkaitan dengan masalah penelitian adalah
bahwa perzinahan antara pelaku seorang wanita dengan seorang laki-laki yang
telah dewasa dan masing-masing tidak terikat perkawinan dapat dituntut dimuka
pengadilan. Meskipun demikian pada tataran penegakkan hukum terdapat
persoalan untuk menemukan pasal yang tepat guna di terapkan pada kasus-
kasus tersebut. Sehingga pada kasus I, diterapkan hukum pidana adat jo Pasal
281 KUHP sebagai padanaan jo Pasal 5 ayat 3 b UU No 1 tahun 1951, sedangkan
pada kasus ke II juga mendasarkan pada hukum pidana adat (logika sanggeraha).
Dengan demikian perlu kiranya mencari solusi terhadap persoalan tersebut.
Utamanya dalam kerangka rancangan KUHP baru dimasa mendatang perlu
dipikirkan untuk merumuskan delik perzinahan yang dapat meliputi kasus-kasus
seperti tersebut diatas. Sehingga dapat mencegah warga masyarakat untuk
bertindak main hakim sendiri.
53
Menurut Barda Nawawi Arief (Barda Nawawi Arief: 1996: 25) kebijakan
hukum pidana terbagi dalam 3 (tiga) tahapan :
a. Tahap formulasi atau tahap pembuatan undang-undang hukum pidana/tahap
legislasi
b. Tahap aplikasi atau tahap penerapan undang-undang
c. Tahap eksekutif atan tahap pelaksanaan undang-undang.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan dan bersifat integral.
Apabila akan diadakan suatu upaya pembaharuan pada hukum pidana maka
keseluruhan materi hukum pidana perlu diubah, keseluruhan materi hukum pidana
terserbut meliputi hukum pidana materiil, hukum acara pidana serta hukum
pelaksanaan pidana.
Tahap formulatif atau legislasi merupakan tahapan yang paling startegis,
sebab pada tahap ini antara lain ditentukan suatu perbuatan dikatagorikan sebagai
perbuatan pidana (proses kriminalisasi).
Dikatakan oleh Barda Nawawi Arief (Barda Nawawi Arief:1996:14) pada
tahapan kebijakan legislatif atau formulatif ini terdapat hal penting yakni:
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.
b Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar
Kedua permasalahan tersebut merupakan masalah yang tidak mudah untuk
dipecahkan dalam pembaharuan KUHP Nasional Indonesia. Di samping itu kedua
permasalahan tersebut saling kait mengkait satu dengan yang lain.
Upaya kriminalisasi hakekatnya merupakan pengupayaan sanksi pidana
guna menanggulangi kejahatan yang ada. Sebagaimana diketahui kejahatan
senantiasa terus berkembang. Oleh sebab itu penggunaan (hukum) pidana tersebut
sebaiknya mengikuti perkembangan dan atau perubahan-perubahan yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat. Sebagai konsekuensinya maka perbuatan yang
dahulu merupakan tindak dapat saja dalam perkembangannya dapat menjadi
bukan merupakan perbuatan pidana atau sebaliknya.
55
diantara wilayah di Indonesia ini. Terdapat daerah yang hukum adatnya sangat
kuat, namun ada juga daerah yang hukum adatnya lemah bahkan dapat dikatakan
tidak begitu dihiraukan lagi seperti di kota-kota besar atau metropolitan. Oleh
karena itu masyarakatnya menjadi lebih permisif, kontrol sosialnya kurang. Hal
ini berbeda dengan masyarakat yang masih kuat hukum adatnya. Realitas ini
nampaknya perlu diperhitungkan oleh negara. Sehingga mengapa negara tidak
mengambil alih bidang ini untuk di jadikan policy atau kebijakan (hukum pidana)
secara umum dengan membuat regulasi secara formal. Dengan kata lain menjadi
pertanyaan mengapa tidak dilakukan kriminalisasi terhadap perbuatan yag tidak
atau belum diatur dalam hukum pidana positif tersebut ?
Didalam konsep rancangan KUHP baru (sampai dengan tahun 1993) telah
di buat beberapa perumusan delik perzinahan. Menyangkut tindak pidana
perzinahan atau permukahan Pasal 385 (14.09) konsep KUHP baru tersebut
merumuskan sbb:
(1). Dipidana karena permukahan, dengan pidana penjara paling lama lima
tahun:
ke-l. a. Seorang laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan
melakukan persetubuhan dengan Seorang perempuan yang bukan
istrinya;
b. Seorang perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan
melakukan persetubuhan dengan seorang laki-laki yang bukan
suaminya;
ke-2.a. Seorang laki-laki yang melakukan perbuatan tersebut sedangkan
diketahuinya bahwa perempuan yang bersetubuh dengan ía itu
berada dalam ikatan perkawinan;
b. Seorang perempuan yang melakukan perbuatan tersebut
sedangkan diketahuinya bahwa laki-laki yang bersetubuh dengan
dia itu berada dalam ikatan perkawinan.
58
A. KESIMPULAN
63
64
Anwar Moch (Dading), 1982, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II),
Alumni, Bandung.
Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti Bandung.
Gilbert dan I Reimba, 1996, Pelacuran Di Balik Seragam Sekolah, Yayasan Andi,
Yogyakarta.
Indra Udayana, Agus, 1995, Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual Dalam
Perspektif Agama Hindu, dalam Suparman Marzuki dkk (ed), Pelecehan
Seksual, FH UII, Yogyakarta.
65
66
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana,
Alumni, Bandung.
RUU KUHP sampai dengan 13 Maret 1993, Panitia Penyusun RUU KUHP
1991/1992.
Soesilo, 1998, R. KUHP Serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea,
Bogor.
Sutopo. HB, 1990, Metode Penelitian Kualitatif Bagian II, Universitas Sebelas Maret
Press, Surakarta.
Senoadji, Oemar, 1984, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta.