Anda di halaman 1dari 78

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM

PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN

Penulisan Hukum
( Skripsi )

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat


Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Oleh:

HANIF ARYO NUGROHO

NIM. E 0001014

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA

i
2005
PESETUJUAN

Penulisan Hukum ( skripsi ) ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan


Dewan Penguji Penulisan Hukum ( skripsi ) Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret, Surakarta

Dosen Pembimbing Skripsi

W.T. NOVIANTO, S.H, M.Hum


NIP. 131 472 194

ii
PENGESAHAN

Penulisan Hukum ( Skripsi ) ini telah diterima dan dipertahankan


oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum ( skripsi ) Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :
Hari : Selasa, Kamis,
Tanggal : 26, 28 Juli 2005.

DEWAN PENGUJI

1. ...................................................... (Ismunarno,S.H, M.Hum. )


Ketua

2. ........................................................ (Rofikah, S.H, M.Hum.)


Sekretaris

3. ........................................................ (W.T. Novianto,S.H,M.Hum.)


Anggota

Mengetahui :
Dekan

(DR. ADI SULISTYONO,S.H, M.H.)

iii
NIP. 131 793 333

iv
MOTTO

“Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu:”


Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha
Kaya lagi Maha Terpuji”.
(Surat Al Luqman: ayat 12)

“Dia menciptakan langit tanpa tiang yang kamu melihatnya dan Dia
meletakkan gunung-gunung (di permukaan) bumi supaya bumi itu tidak
menggoyangkan kamu: dan memperkembang biakkan padanya segala
macam jenis binatang. Dan Kami turunkan air hujan dari langit, lalu
Kami tumbuhkan padanya segala macam tumbuh-tumbuhan yang baik”
(Surat Al Luqman: ayat 10)

Ubi societas, ibi ius (Cicero 106-43SM) (Disitu ada masyarakat, disitu
ada hukum)

Errare humanum est, turpe in errore perseverare (Membuat kekeliruan


itu manusiawi, namun tidaklah baik untuk mempertahankan terus
kekeliruan)

PERSEMBAHAN:

v
- Bapak dan ibu yang tercinta dan
tersayang,
- Nenek, Bude, Pakde, Om dan Tante
tercinta,
- Almamater tercinta,

KATA PENGANTAR

Puji syukur, penulis panjatkan kehadlirat Allah SWT, penguasa semesta alam. Hanya berkat
hidayah, rahmah dan inayah-Nya maka tulisan hukum (skripsi) yang berjudul “KEBIJAKAN
HUKUM PIDANA DALAM PENAGGULANGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN” ini dapat
terwujud.
Penulisan hukum ini membahas tentang upaya penanggulangan tindak pidana perzinahan. dengan
mempergunakan hukum pidana. Selama ini pasal 284 KUHP yang mengatur tindak pidana perzinahan
dirasa terlalu kurang memadai perumusannya sehingga tertinggal dengan perkembangan kasus yang
terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu perlu diambil langkah kebijakan (hukum pidana) kedepan yang
sekiranya dapat memperluas, sehingga lebih efektif untuk dipergunakan sebagai upaya memberantas
tindak pidana perzinahan yang ada.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, pada kesempatan yang berbahagia ini penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada Yth :
1. Bapak Prof. Dr. dr. M. Syamsulhadi, Sp., KJ., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret
Surakarta,
2. Bapak DR. Adi Sulistyono, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta,
3. Bapak W.T.Novianto, S.H., M.Hum, selaku dosen Pembimbing Penulisan Hukum ini yang
telah dengan sabar dan teliti memberikan petunjuk, nasehat, bimbingan dan dorongan kepada
penulis, sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan,
4. Bapak Ismunarno, S.H., M.Hum, selaku Ketua Jurusan Hukum Pidana, Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan selaku dosen Penguji Penulisan Hukum yang telah
memberikan saran dan ilmunya,

vi
5. Bapak Tuhana, SH, M.Si, selaku dosen Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan
memberikan nasehat kepada penulis selama menempuh perkuliahan di Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta,
6. Bapk dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah
membekali ilmu pengatahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya, sehingga dapat
menjadi bekal penulis dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis amalkan dalam
kehidupan di masa mendatang,
7. Bapak Soehendro, SH, Bapak Bambang Kusmunandar, SH, MH, Bapak J.Setiawan, S.H, para
hakim di Pengadilan Negeri Kelas I Surakarta, yang telah membantu memberikan data,
8. Bapak Sulistyanta, S.H, M.Hum dan Ibu, Maturnuwun atas semua nasihat, saran dan
bantuannya,
9. Teman-teman kongkow and nongkrong yang tidak bisa disebutkan satu persatu, Dhimas,
Dhany, Apri, Catur, Bagas, Rangga, Singgih, Agung, Ana, Rika, Vita, makasih buat semuanya,
10. Fatma Ayu, Sameone Special for me, thanks for Everything,
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan
baik langsung maupun tidak langsung dalam penulisan hukum ini,
Penulis sadari bahwa tulisan hukum ini jauh dari sempurna. Oleh sebab itu segala tegur
sapa, sumbang saran yang bersifat membangun dan memperbaiki kekurang sempurnaan tulisan ini,
penulis terima dengan senang hati.
Akhirnya penulis berharap semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
terutama untuk penulisan, kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat umum.

Surakarta, 15 Juli 2005


Penulis,

Hanif Aryo Nugroho

vii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i
HALAMAN PESETUJUAN……………………………………………………...ii
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN………………………………....iv
KATA PENGANTAR …………………………….……………………………...v
DAFTAR ISI …………………………………….………………………………vii
DAFTAR TABEL …………………………….………………………………….ix
ABSTRAK …………………………………….………………………………….x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang………………………………………………………….1
B. Perumusan Masalah……………………………………………………5
C. Tujuan Penelitian……………..…………………………………………5
D. Manfaat Penelitian……………………………………………………....6
E. Kerangka Pemikiran…… ……………………………………………...7
F. Metode Penelitian………………………………………………………7
G. Sistematika Penulisan Hukum…..…………………………………….11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritik……………………………………………………….13
1.Tinjauan Umum Hukum Pidana……………………………………….13
a. Tinjauan Umum Pengertian Hukum Pidana…………………….......13
b. Tujuan Hukum Pidana………………………………………………14
2. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perzinahan…………………………..15
a. Tinjauan Umum Pengertian Tindak Pidana…….…………………...15
b. Tinjauan Umum Unsur-unsur Tindak Pidana………….……………16
c Tinjauan Umum Pola Perumusan Tindak Pidana…….……………..18
d. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perzinahan…………….…………..19

viii
3. Tinjauan Umum Kebijakan Hukum Pidana……………………………24
a. Tinjauan Umum Pengertian Kebijakan Hukum Pidana……………..24
b. Tinjauan Umum Kebijakan Hukum Pidana - Kriminalisasi…….......26
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian……... …………………………………………….29
1. Fenomena Kasus Perzinahan……………………………………...29
a. Kasus I .……………………………………………………..29
- Putusan P.N Banda Aceh No.51/1971 (S)……………….29
- Putusan P.T Banda Aceh No.28/1971/P.T……………… 32
- Putusan M.A No.93.K/Kr/1976…………………………..32
b. Kasus II……………………………………………………...33
- Putusan P.N Klungkung, Bali No.33/Pid/Sumir/1983……33
- Putusan M.A No.854.K/Pid/1983……………………....... 36
2. Tanggapan/pendapat Hakim Mengenai Pasal 284 KUHP………...38
B. Pembahasan………..…………………………………………………..42
C. Konsep Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan
Tindak Pidana Perzinahan……………………………………………..48
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan….... ……………………………………………………….56
B. Saran-Saran…….….……………………………………………………56

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

ix
DAFTAR TABEL

TABEL 1 Apakah Dalam Pembuktian Terhadap Perkara Perzinahan


Pasal 284 KUHP Hakim Menemui Kesulitan ? ………………… ..38

TABEL 2 Apakah Pola Perumusan Pasal 284 KUHP


Cukup Memadai ? ……………………………………………… ..39

TABEL 3 Apakah Terhadap Perkara Perzinahan Yang Dilakukan Seo-


rang Wanita dan Seorang Laki-laki Dewasa Yang Masing-
MasingTidak Terikat Perkawinan Yang Sah Dapat Diterapkan
Pasal 284 KUHP ? ………………………………………………...39

TABEL 4 Apakah Hakim Responden Setuju Hukum Pidana Adat Men-


jadi Dasar Dalam Putusan Pengadilan Pidana?................................40

TABEL 5 Apakah Terhadap Perkara Perzinahan Seorang Laki-laki Dan


Seorang Wanita Yang Tidak Terikat Perkawinan Yang Sah
Yang Disebut “Kumpul Kebo” Perlu Diberi Sanksi Pidana ?…….41

TABEL 6 Apakah Unsur Agama Perlu Dijadikan Sebagai Bahan Peru-


musan Delik Perzinahan Di masa Mendatang ? …………………41

x
ABSTRAK
HANIF ARYO NUGROHO, NIM E 0001014, KEBIJAKAN HUKUM PIDANA
DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERZINAHAN. Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, Penulisan Hukum ( Skripsi )
2005.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab 2 (dua) persoalan yakni (1). Apakah
kebijakan hukum pidana yang ada sekarang ini dapat menanggulangi tindak pidana
perzinahan ? (2). Bagaimanakah sebaiknya kebijakan hukum pidana yang akan
datang dalam menanggulangi tindak pidana perzinahan ?.
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, dan apabila dilihat
dari tujuannya termasuk penelitian hukum empiris. Lokasi penelitian di PN
Surakarta, data empiris diperoleh dari tanggapan hakim mengenai tindak pidana
perzinahan, sedangkan data sekunder yang berkaitan dengan tindak pidana
perzinahan. diperoleh dari putusan PN/PT/MA hal ini disesuaikan dengan tujuan
penelitian ini.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa dalam hukum formal yang
berlaku saat ini (KUHP) terdapat pasal yang melarang tindak pidana perzinahan yakni
Pasal 284 KUHP. Sebagai hasil rumusan hukum pidana dimasa peninggalan Belanda
Pasal 284 KUHP tsb bernuansa liberal-individualis. Pasal tersebut dirasakan tidak
cocok lagi dengan keadaan masyarakat sekarang. Data kasus I perzinahan yang telah
diputus oleh P.N dan P.T Banda Aceh serta putusan kasasi M.A. dan data kasus II
putusan P.N Klungkung, Bali serta putusan kasasi M.A, menegaskan bahwa pasal
284 KUHP ternyata tidak sepenuhnya cocok dipergunakan sebagai sarana
penanggulangan tindak pidana perzinahan.
Dasar peradilan negara untuk mengadili kedua kasus tersebut adalah UU No. 4
tahun 1970 (dahulu) & UU No. 4 tahun 2004 (sekarang). Ketentuan dalam UU
tersebut melarang hakim untuk menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya
dengan dalih hukumnya tidak ada. Disamping itu hakim diwajibkan untuk menggali
nilai-nilai hukum yang tumbuh di masyarakat. Atas dasar itulah maka hakim tersebut
memutus berdasarkan pada hukum adat (Kasus di P.N Klungkung Bali dan P.N
Banda Aceh). Dasar hukum lainnya adalah pasal 5 ayat 3 b UU No 1 tahun 1951,
yakni apabila terdapat perbuatan yang belum diatur dalam KUHP maka hakim dapat
mencari kesamaan atau kemiripan kasus yang terjadi dengan pasal dalam KUHP, oleh
karena itu M.A dalam memutus kasus Aceh menerapkan Pasal 281 KUHP. Meskipun
demikian pada hakekatnya pasal 284 KUHP ternyata sudah tidak cukup memadai
lagi. Perlunya meninjau kembali rumusan pasal 284 KUHP inipun mendapat respon
dari responden hakim. Bahwa 100 % responden hakim berpendapat perlunya pasal
284 KUHP ditinjau lagi karena sudah tidak memadai. Disamping itu 75 % responden
hakim menghendaki unsur agama perlu dipertimbangkan sebagai bahan dasar
perumusannya. Dalam rancangan konsep KUHP baru (sampai dengan tahun 1993)
merumuskan pasal perzinahan yang lebih diperluas, dimana Pasal 386 (14.10)
mengancam dengan pidana, perzinahan yang dilakukan oleh mereka seorang laki-laki

xi
dan seorang wanita yang telah dewasa namun masing-masing tidak terikat tali
perkawinan yang sah. Pasal 388 (14.10 b) mengancam dengan pidana terhadap
perbuatan “kumpul kebo”. Perbuatan “kumpul kebo” ini sesungguhnya merupakan
perbuatan perzinahan sebab mereka telah menjadi satu rumah tanpa perkawinan yang
sah. Dengan demikian dimasa mendatang diharapkan rumusan tindak pidana tersebut
dapat mengatasi minimal dapat mengurangi tindak pidana perzinahan.

xii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persoalan tindak pidana perzinahan senantiasa menarik. Perluasan
kriminalisasi terhadap perbuatan di bidang seksual ini telah menjadi bahan
perdebatan. Seperti persoalan perlu tidaknya perzinahan dijadikan sebagai delik
aduan absolut atau delik aduan relatif dalam RUU KUHP dimasa mendatang
(Kompas tgl. 2-September 2003).
Pornografi dianggap sebagai pemicu tumbuh kembangnya delik di
bidang seksual seperti perkosaan, percabulan dan perzinahan. Penyebaran
pornografi lebih berkembang lagi seiring dengan perkembangan teknologi
informasi yang penyebarannya dapat mencakup radius yang “tak terhingga”
melalui dunia maya. Penyebaran pornografi yang dapat melewati batas-batas
negara, seperti “cybersex’ atau “cyberporn”, atau pornografi melalui internet.
Menurut Barda Nawawi bahwa “Child pornography” dengan menggunakan
sistem komputer merupakan salah satu modus operandi yang sangat berbahaya
pada saat ini. (Barda Nawawi Arief: 2003, 246),
Hukum pidana sesuai dengan fungsi dan peranannya diharapkan harus
tetap dapat menjaga ketertiban di masyarakat, terutama terhadap kesucian
moralitas seksual ini. Meskipun telah terdapat norma–norma yang melarang
perbuatan perzinahan seperti norma agama, norma kesusilaan, namun norma-
norma tersebut dirasakan kurang. Kelemahan norma selain norma hukum
tersebut lebih pada sanksinya. Oleh sebab itulah norma hukum (pidana) yang
dirasakan perlu diterapkan.
Norma hukum (pidana) mempunyai perangkat sanksi yang lebih tegas dan
tunai. Sanksi tersebut penting dalam menaggulangi delik perzinahan, sebab tanpa
adanya pengekangan dengan ancaman sanksi pidana terhadap perilaku sex bebas

1
2

dan atau perzinahan maka dapat berakibat terjadinya budaya permisif dalam
pergaulan di masyarakat luas. Tidak mustahil dapat terjadi timbulnya perbuatan
“kumpul kebo”, “free sex” atau sex bebas. Dampak dari perbuatan ini dapat
menjadi sarana penyebaran HIV/AIDS dan penyakit kelamin lainnya.
Kondisi tersebut berpotensi untuk dapat menghancurkan peradaban
manusia itu sendiri. Karena rusaknya pola-pola lembaga perkawinan yang sesuai
dengan norma agama dan etika kesusilaan di masyarakat. Generasi muda yang
terjangkit “penyakit” ini dapat menjadi generasi yang lemah dan berakibat
melemahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dampak lainnya
terjadinya keruwetan dalam hukum (perdata) seperti status anak, pewarisan.
Disamping adanya dampak psikologis pada anak yang lahir diluar pernikahan
yang berupa pandangan dimata masyarakat terhadap anak tersebut dengan
sebutan “anak zina” atau “anak jadah”.
Hukum pidana tetap diperlukan untuk mengekang nafsu syahwat yang
tidak terkendali dan yang dilakukan secara tercela tersebut. Pengertian
perzinahan, dapat diartikan dari berbagai sudut pandang seperti menurut norma
agama, norma kesusilaan, dan menurut norma hukum. Satu hal yang penting
adalah bahwa pada prinsipnya terdapat persamaan mengenai larangan
dilakukannya perbuatan perzinahan sebelum adanya perkawinan yang sah,namun
demikian terdapat perbedaan mengenai luas sempitnya cakupan pengertian
perzinahan menurut norma agama dan kesusilaan pada satu pihak dengan
pengertian menurut norma hukum (positif) pada pihak lain.
Pengertian yang luas terdapat pada pemahaman menurut norma agama
dan kesusilaan sedangkan menurut norma hukum (positif) lebih sempit dan lebih
terbatas. Larangan dilakukannya perbuatan perzinahan dapat dilihat pada Bab
XIV KUHP yang mengatur delik kesusilaan. Pada Bab XIV ini disamping
mengatur larangan perzinahan diatur pula delik kesusilaan lainnya. Oleh sebab itu
pengertian titel kesusilaan pada Bab XIV tersebut diartikan secara luas.
3

Kesusilaan dalam arti luas meliputi kesusilaan dalam arti sempit dan
kejahatan dibidang seksual. Hal ini terlihat pada Bab XIV tersebut diatur pula
mengenai delik Perjudian (Pasal 303 KUHP) yang sama sekali tidak berkaitan
dengan persoalan seksual. (Oemar Seno Adji : 1984:6)
Kepentingan hukum yang dilindungi pada Bab XIV tentang delik
Kesusilaan tersebut, pada umumnya sebatas perlindungan terhadap korban anak-
anak yakni anak laki-laki ataupun wanita yang masih di bawah umur. Terhadap
mereka (laki-laki dan wanita) yang telah dewasa relatif tidak secara ketat
diancam sanksi pidana kecuali dilakukan dengan unsur kekerasan dan atau
paksaan, atau dalam keadaan pingsan atau tidak sadar (Pasal 285, 289, 286
KUHP), percabulan terhadap bawahannya dan atau terhadap orang yang harus
diawasinya (Pasal 294 KUHP), serta mucikari (Pasal 296 KUHP).
Khusus mengenai materi perumusan delik perzinahan sebagaimana diatur
dalam Pasal 284 KUHP dipandang terlalu sempit. Dalam pengertian dibatasi
pelaku yang dapat dipidana berdasarkan 284 KUHP tersebut yakni mereka
(pelaku) salah satu atau keduanya telah terikat perkawinan yang sah. Sedangkan
bagi mereka (pelaku) yang tidak terikat perkawinan yang sah dan telah dewasa
maka tidak dapat diterapkan Pasal 284 KUHP ini. Hal tersebut dapat dipahami
mengingat KUHP yang saat ini berlaku merupakan produk Belanda yang berlaku
di Indonesia sejak beberapa abad yang silam berdasarkan asas konkordan dan
bercorak individualistis-liberal. Menurut Roeslan Saleh corak individualistis
liberal adalah memandang hukum itu merupakan jaminan yang sifatnya adalah
lahir (datangnya dari luar). Hal demikian hukum adalah datangnya dari luar, yaitu
dari penguasa, hukum dan moral dua hal yang berbeda dan tak bersangkut paut
mutlak (Roeslan Saleh: 1968, 71).
Pada delik-delik tertentu perlindungan dengan hukum pidana di buat
dalam kerangka perlindungan terhadap individu. Individu pada asasnya adalah
bebas dan karenanya ada lingkaran-lingkaran masing-masing-masing individu.
Tugas hukum adalah menjaga batas-batas lingkaran tersebut agar masing-masing
4

tetap mempunyai kebebasan (Roeslan Saleh: 1968, 68). Dan perzinahan dianggap
sebagai masalah individu menurut pemahaman pembuat KUHP tersebut. Oleh
karena itu wajar pengaturan delik perzinahan dirumuskan sebagai delik aduan
dalam pengertian penuntutannya digantungkan pada kebebasan masing-masing
pihak yang dirugikan. Nampaknya dalam perkembangannya hal ini menjadi
persoalan. Beberapa kasus mengidikasikan munculnya tuntutan terhadap
perubahan perumusan delik perzinahan sebagaimana diatur dalam Pasal 284
KUHP tersebut.
Persoalan yang berkaiatan dengan perumusan delik perzinahan menurut
Pasal 284 KUHP ialah tidak diaturnya perbuatan perzinahan yang dilakukan oleh
mereka yang telah dewasa baik laki-laki maupun wanita namun mereka masing–
masing tidak atau belum terikat perkawinan yang sah. Oleh sebab itu apabila
mereka yang melakukan perzinahan atas dasar suka sama suka telah dewasa
maka hukum pidana positif (baca KUHP) tidak dapat menjangkau. Beberapa
kasus dimasyarakat telah muncul berkaitan dengan “kekosongan” aturan hukum
(pidana):
a. Topik “Hamili Pelajar, Sopir Dilaporkan ke Polisi” (Solo Pos, tgl 27-7-
1999). Kasus seorang wanita pelajar bernama Sri (18 th) melakukan
perzinahan dengan pacarnya seorang laki-laki sopir angkuta bernama
SWS (32 th), sehingga Sri hamil, karena SWS tidak bertangung jawab,
maka orang tua korban melaporkan ke Polresta Surakarta.
b. Topik “Tak Dinikahi Laporkan Polda” (Jawa Pos, tgl 13-4-1999).
Kasus seorang wanita bernama Ana (26 th) melaporkan seorang laki-
laki bernama Ari (31 th) bekas pacarnya ke Polda Jawa Timur
persoalannya, setelah menyuruh menggugurkan kandungannya pelaku
Ari tidak bertanggung jawab.
Meskipun mengenai batasan usia dewasa terdapat perbedaan antara
ketentuan undang-undang yang satu dengan undang undang yang lain seperti,
batasan usia dewasa menurut UU No 1 tahun 1974 berdasarkan Pasal 7 dewasa
5

wanita usia 16 tahun laki-laki 19 tahun, sedangkan menurut UU No 23 tahun


2002 tentang Perlindungan Anak, pada Pasal 1 dikatakan bahwa yang
dikatagorikan anak adalah apabila berusia dibawah 18 tahun. Di dalam KUHP
pada Pasal 45 KUHP dikatakan : “penuntutan pidana terhadap seorang dibawah
umur karena sesuatu perbuatan yang telah dilakukan nya sebelum orang itu
mencapai usia 16 tahun hakim dapat …”(Lamintang:1983: 27). Pada prinsipnya
dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang dianggap dewasa (laki-laki maupun
wanita) apabila telah melampui usia minimal antara 16-17 tahun. Dengan
demikian pada kasus-kasus tersebut diatas pelakunya dianggap telah dewasa.
Menjadi persoalan adalah warga masyarakat yang terlibat pada kasus-
kasus diatas melaporkan ke kepolisian, dengan maksud agar dapat diselesaikan
secara hukum (pidana). Persoalannya adalah apabila hukum pidana itu sendiri
belum atau tidak mengaturnya. Apabila hal ini berlangsung terus menerus dan
warga masyarakat yang terugikan tidak mendapat jalan hukum dan keadilan
sebagaimana mestinya maka tidak tertutup kemungkinan terjadi tindakan main
hakim sendiri (eigenrichting). Justru tindakan seperti inilah yang menimbulkan
persoalan dan dilarang menurut hukum.
Ketertinggalan hukum (pidana) yang tertulis (KUHP) dengan kenyataan
yang terjadi di masyarakat ini sesuai dengan pendapat Barda Nawawi Arief
bahwa sistem hukum pidana yang ada selama ini di beberapa negara yang sering
berasal (diimpor) dari hukum asing semasa zaman kolonial pada umumnya telah
usang dan tidak adil (obsolote and unjust) serta sudah ketinggalan zaman dan
tidak sesuai dengan kenyataan (out moded and unreal) karena berakar pada nilai-
nilai budaya dan bahkan ada “diskrepansi” denan aspirasi masyarakat serta
“tidak responsif” terhadap kebutuhan sosial masa kini (Barda Nawawi Arief:
1994 :8).
Oleh karena itulah penulis memberanikan diri untuk mencoba melakukan
penulisan dengan judul sebagaimana tersebut diatas dengan beberapa persoalan.
6

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat disusun suatu
perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah kebijakan hukum pidana yang ada sekarang ini dapat menanggulangi
tindak pidana perzinahan ?
2. Bagaimanakah sebaiknya kebijakan hukum pidana yang akan datang dalam
menanggulangi tindak pidana perzinahan ?

C. Tujuan Dan Kegunaan


1. Tujuan
Adapun penulisan skripsi ini bertujuan sebagai berikut: :
1. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana yang sekarang ini berkaitan
dengan penanggulangan tindak pidana perzinahan.
2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dimasa mendatang terutama
dalam menanggulangan tindak pidana perzinahan.

2. Kegunaan
Adapun penulisan skripsi ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai
berikut:
1. Manfaat Teoritis:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan landasan teoritis bagi pengembangan disiplin ilmu hukum, khususnya
hukum pidana pidana.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wawasan dan
pengetahuan tentang penelaahan ilmiah serta menambah bahan-bahan
informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan
penulisan ilmiah bidang hukum pidana.
2. Manfaat Praktis,
7

a. Meningkatkan pengetahuan penulis tentang masalah-masalah dan ruang


lingkup hukum pidana.
b. Dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi aparat penegak hukum
agar dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan dan dasar pengambilan
keputusan ataupun kebijakannya.

D. Kerangka Pemikiran

TINDAK PIDANA PERZINAHAN


PASAL 284 KUHP

PUTUSAN P.N/PT/MA

SESUAI TIDAK SESUAI

KONSEP PENAGGULANGAN DIMASA DATANG

E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang dipergunakan oleh manusia
sebagai sarana untuk memperkuat, membina, mengembangkan serta menguji
kebenaran ilmu pengetahuan, baik dan segi teoritis maupun praktis yang
dilakukan secara metodologis dan sistematis, dengan menggunakan mçtode-
metode yang bersifat ilmiah dan sistematis sesuai dengan pedoman atau aturan
yang berlaku dalam pembuatan suatu karya ilmiah (Soerjono Soekanto 1986: 3).
8

Menurut Sutrisno Hadi (Sutrisno Hadi: 1993:30). Penelitian dapat


didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji
kebenaran suatu pengetahuan. Usaha mana dilakukan dengan menggunakan
metode ilmiah
Istilah “metodologi” berasal dan kata “methodos” yang artinya jalan ke.
Menurut Soerjono Soekanto ( Soerjono Soekanto, 1986: 5) metodologi
dirumuskan menjadi:
1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian,
2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan,
3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur .
Metode penelitian adalah cara berpikir, berbuat yang dipersiapkan dengan baik
untuk mengadakan dan mencapai suatu tujuan penelitian. Sehingga penelitian
tidak mungkin dapat merumuskan, menemukan, menganalisa maupun
memecahkan masalah dalam suatu penelitian tanpa metode penelitian.
Dengan demikian masalah pemilihan metode adalah masalah yang sangat
signifikan dalam suatu penelitian ilmiah, karena mutu, nilai, validitas dan hasil
penelitian ilmiah sangat ditentukan oleh pemilihan metodenya.
Adapun metode atau teknis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini merupakan jenis penelitian non doktrinal/empiris
yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data mengenai
ketentuan dalam KUHP yang mengatur delik perzinahan berikutnya melalui
metode pendekatan kasus perzinahan dimungkinan suatu analisis kedepan
langkah kebijakan hukum pidana yang perlu dilakukan. Sebagai suatu
pendekatan kebijakan maka pertimbangan kasus-kasus yang terjadi dapat
merupakan in put bagi langkah kebijakan kedepan.
9

2. Lokasi Penelitian
Penentuan lokasi dalam penelitian ini mengambil sampel Hakim di P.N
Surakarta. Sedangkan kasus-kasus perzinahan yang berupa putusan
P.N/P.T/M.A diambil dari :
(1). Putusan P.N Banda Aceh No.51/1971, Putusan P.T Banda Aceh
No.28/1971/PT serta Putusan M.A No. 93 K/Kr/1976.
(2). Putusan P.N Klungkung, Bali No.33/Pid/Sumir/1983 serta Putusan M.A
No.854.K/Pid/1983.
3. Jenis Data
Data dalam penelitian, dibedakan antara data yang diperolah langsung dari
masyarakat dan dari pustaka Menurut Soerjono Soekanto (Soerjono
Soekanto,1986:11-12) jenis data dibedakan menjadi dua yaitu: Yang pertama
disebut data primer atau data dasar (primary data atau basic data ) yang kedua
dinamakan data sekunder (secondary data ). Data primer diperoleh langsung
dari sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat, me!alui penelitian.
Data sekunder, antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku,
hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, dan seterusnya.
Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data primer
Yang dimaksud dengan data primer adalah data yang diperoleh secara
langsung dari lapangan, yaitu berupa hasil wawancara dengan pihak
terkait, dalam hal ini adalah Hakim di Pengadilan Negeri Surakarta.
b. Data sekunder
Yang dimaksud dengan data sekunder adalah data yang tidak diperoleh
secara langsung dari lapangan, melainkan diperoleh dari studi kepustakaan
yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Biasanya data itu
berupa:
10

1. Dokumen-dokumen dan arsip-arsip putusan atau yurisprudensi delik


perzinahan.
2. Peraturan-perundang-undangan hukum pidana, seperti KUHP, Konsep
RUU KUHP
4. Sumber Data
Menurut Lexy J. Moleong, yang dikutip dari Lotterhand, sumber data yang
utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya
adalah data tambahan seperti dokumen dan buku-buku ilmiah (Lexy J.
Moleong, 1991 : 80).
Berdasarkan jenis datanya, maka yang menjadi sumber data penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Sumber Data Primer
Yang dimaksud dengan sumber data primer adalah sumber data yang
dapat memberikan informasi secara langsung mengenai segala sesuatu
yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, yang diperoleh secara
langsung dari aparat penegak hukum di wilayah kota Surakarta.
b. Sumber Data Sekunder
Yang dimaksud dengan sumber data sekunder adalah sumber data yang
secara tidak langsung memberikan keterangan yang bersifat mendukung
sumber data primer, yang dilakukan dengan mempelajari, membaca dan
mencatat dan buku-buku literature, dokumen-dokumen, laporan ilmiah
serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data maka dilakukan penelitian lapangan dan
kepustakaan. Pada penelitian di lapangan data diperoleh dengan meng
gunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Studi Lapangan (Field Research)
Mengumpulkan data secara langsung pada obyek penelitian. Hal
inidimaksudkan untuk memperoleh data yang valid. Untuk memperoleh
11

data dalam penelitian lapangan digunakan teknik pengumpulan data


dengan cara:
Wawancara (Interview)
Wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang
tidak dapat diperoleh lewat pengamatan, yaitu suatu teknik
pengumpulan dengan cara mendapatkan keterangan atau informasi
secara langsung dari responden, yaitu pihak-pihak yang terkait langsung
dengan objek yang diteliti, sehingga dapat diperoleh data dan informasi
yang dapat dipercaya kebenarannya. Dalam hal ini wawancara dilakukan
dengan mengadakan tanya jawab secara terbuka dan tertutup serta
terpimpin oleh penyusun terhadap pihak pihak yang terkait, dalam hal
ini aparat penegak hukum seperti Jaksa dan Hakim di Kota Surakarta.
b. Studi Kepustakaan (library research)
Metode pengumpulan data ini berguna untuk mendapatkan landasan
teori yang berupa pendapat para ahli mengenai hal yang menjadi objek
penelitian, seperti peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
berkaitan dengan hal-hal yang sedang diteliti, pendapat para ahli, surat
kabar, dan majalah-majalah.
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian merupakan hal yang penting agar data-
data yang sudah terkumpul dengan cara yang dapat dipertanggung
jawabkan, dapat menghasilkan jawaban dan permasalahan. Setelah data
terkumpul langkah selanjutnya adalah analisis data. Analisis data adalah
suatu proses yang mengatur urutan data, mengorganisasikannya kedalam
suatu pola, kategori dan satu uraian dasar (Lexy J Moleong: 1991:178).
Menurut Soerjono Soekanto analisis data pada penelitian hukum,
lazimnya dikerjakan melalui pendekatan kualitatif, yaitu : “Suatu tata cara
penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang
dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya
12

yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai suatu yang utuh”. Dalam
rangka mendapatkan data yang kadar validitasnya tinggi penyusun
mempergunakan metode induktif untuk mengolah data yang didapat di
lapangan. Dengan metode induktif ini maka data yang diperoleh di lapangan
akan disinkronkan dan diselaraskan dengan landasan teori yang telah
disusun sebelumnya, sehingga akan didapat data yang valid.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis kualitatif dengan
model interaktif. Model analisis ini memerlukan tiga komponen yaitu
reduksi data, sajian data, serta penarikan kesimpulan atau verifikasi dengan
menggunakan sistem siklus. Dalam bentuk mi peneliti tetap bergerak
diantara ketiga komponen tadi dengan proses pengumpulan data selama
kegiatan pengumpulan data berlangsung. Setelah pengumpulan data
berakhir, peneliti mengadakan penarikan kesimpulan dengan
memverifikasikannya semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian
data (H.B. Sutopo, 1988 : 40).
Adapun proses analisisnya adalah sebagai berikut:
Langkah pertama mengumpulkan data, setelah data-data terkumpul
kemudian data direduksi, artinya data diseleksi dan disederhanakan.
Kemudian diadakan penyajian data, yaitu rangkaian data yang
memungkinkan untuk ditarik kesimpulan. Apabila kesimpulan yang ditarik
kurang mantap dapat mengulang lagi melalui pengumpulan data. Setelah
data-data terkumpul secara lengkap, kemudian diadakan penyajian data lagi
yang dibuat secara sistematis, sehingga diperoleh kesimpulan yang lebih
mantap.
13

F. Sistematika Penulisan Hukum


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Perumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan Hukum
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Keranhka Teoritik
1.Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana
a. Tinjauan Umum Pengertian Hukum Pidana,
b. Tujuan Hukum Pidana.
2. Tinjauan tentang Tindak Pidana Perzinahan
a. Tinjauan Umum Pengertian Tindak Pidana,
b. Tinjauan Umum Unsur-unsur Tindak Pidana,
c Tinjauan Umum Pola perumusan Tindak Pidana,
d. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perzinahan.
3. Tinjauan Umum kebijakan Hukum Pidana
a. Tinjauan Umum Pengertian Kebijakan Hukum Pidana,
b. Tinjauan Umum Kebijakan Hukum Pidana-Kriminalisasi.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Fenomena kasus-kasus perzinahan
1.1. Kasus I
- Putusan P.N Banda Aceh No.51/1971 (S),
- Putusan P.T Banda Aceh No.28/1971/P.T,
- Putusan M.A No.93.K/Kr/1976,
14

1.2. Kasus II
- Putusan P.N Klungkung, Bali No.33/Pid/Sumir/1983.
- Putusan M.A No.854.K/Pid/1983,
2. Tanggapan/pendapat Hakim mengenai pasal 284 KUHP

B. Pembahasan
C. Konsep Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Perzinahan
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan,
B. Saran-saran.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoritik
1.Tinjauan Umum Hukum Pidana
a. Tinjauan Umum Pengertian Hukum Pidana
Terdapat berberapa pendapat para ahli hukum pidana untuk
mendefinisikan apa yang disebut hukum pidana. Pendapat-pendapat mereka
sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.
Menurut Wirjono Prodjodikoro hukum pidana adalah peraturan hukum
mengenai pidana. kata “pidana” berarti hal yang dipidanakan, yaitu oleh
instansi yang berkuasa, dilimpahkan kepada seorang oknum, sebagai hal
yang tidak enak dirasakan dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
(Wirjono Prodjodikoro: 1981 : 1).
Menurut D. Simons, hukum pidana adalah semua perintah-perintah dan
larangan-larangan yang diadakan oleh negara dan diancam dengan suatu
nestapa bagi barangsiapa yang tidak mentaatinya, kesemuanya aturan aturan
yang menentukan syarat-syarat bagi akibat hukum itu dan kesemuanya
aturan-aturan untuk mengadakan (menjatuhi) dan menjalankan pidana
tersebut. (Sudarto: 1992:2)
Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian dan pada keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan
aturan-aturan untuk:
a. Menetukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh diilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana
tertentu bagi barangsiapa yang melanggar larangan tsb.

15
16

b. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan dan dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka melanggar larangan
tersebut. (Moeljatno:1983:1)
Memperhatikan rumusan diatas maka hukum pidana termasuk kategori
Hukum Publik, karena mengatur kepentingan hukum masyarakat dan
adanya aspek campur tangan negara. Sehingga pembentukan dan
pelaksanaan hukum pidana tersangkut berbagai badan negara, seperti
Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan.
b. Tujuan Hukum Pidana
Hukum pidana mempunyai tujuan sebagaimana hukum lainnya yakni
menciptakan ketertiban dan keadilan dimasyarakat. Namun karena hukum
pidana mempunyai sifat khusus yakni sebagai hukum yang dilengkapi
sanksi pidana maka terdapat tujuan yang khas antara lain untuk
melindungi masyarakat (dari kejahatan) (Tirtaamidjaja: 1954: 18)
Mengenai tujuan hukum pidana untuk melindungi masyarakat dari
kejahatan ini menurut Bambang Poernomo mengandung pengertian
kurang jelas, masih dipertanyakan masyarakat yang mana ? dan
bagaimana cara melindunginya ? serta perlindungan itu darimana ?
terhadap apa dan siapa ?. (Bambang Pornomo: 1977: 8). Oleh karena itu
Bambang Pornomo, membedakan antara tujuan diadakanya Hukum
pidana (Strafrechtscholen), dan tujuan diadakannya Pidana itu sendiri
(Strafrechtstheorieen)(Bambang Pornomo: 1977: 8-9).
Menurut Wirjono Prodjodikoro, tujuan hukum pidana adalah:
a. Menakut nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara
menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara
menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan,
17

agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale


preventie).
b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah
menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang
baik tabiatnya, sehingga bermanfaat bagi masyarakat. (Wirjono
Prodjodikoro:1981: 16)
Tujuan hukum pidana menurut Wirjono Prodjodikoro ini tidak berbeda
jauh dengan tujuan hukum pidana menurut Bassiouni sebagaimana
dikutip Barda Nawawi Arief antara lain :
a. Pemeliharaan tertib masyarakat,
b. Perlindungan terhadap masyarakat dari kejahatan,
c. Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) pelanggar hukum,
d. Memelihara/mempertahankan integritas, martabat kemanusiaan, keadilan
individu serta keadilan sosial. (Barda Nawawi Arief : tanpa tahun : 18)

2. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perzinahan


a. Tinjauan Umum Pengertian Tindak Pidana
Menurut Moeljatno beberapa istilah seperti “peristiwa pidana”,
“tindak pidana” merupakan salinan dari kata “Strafbaar feit” . (Moeljatno:
1983: 56). Pendapat Moeljatno tersebut ada benarnya bahwa istilah
“Strafbaar feit” ini oleh para ahli diterjemahkan secara beragam, seperti
“perbuatan pidana”( dipergunakan oleh Moeljatno: 1983: 54) “peristiwa
pidana” (istilah ini dipergunakan dalam bukunya Mr R. Tresna: 1959: 27),
dan “tindak pidana” (dipergunakan dalam Perundang-undangan yang resmi
dan berlaku saat sekarang ini, seperti UU No 20 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)
Dari beberapa istilah tersebut, istilah yang terakhirlah yang
dipergunakan dalam perumusan undang-undang hukum pidana yang positif
berlaku..
18

Mengenai rumusan pengertian tindak pidana diantara para ahli hukum


pidanapun terdapat perbedaan. Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli
hukum pidana dalam menafsirkan atau dalam menterjemahkan pengertian
“strafbaar feit”.
Dari beberapa istilah tsb penulis mempergunakan istilah tindak pidana
sebagai terjemahan resmi karena telah dipergunakan secara resmi dalam
peraturan perundang-undangan hukum pidana di Indonesia.
Mengenai definisi tindak pidana, menurut D Simon bahwa adalah
kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan
hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang
yang mampu bertanggung jawab. (Moeljatno: 1983: 56)
Menurut van Hamel merumuskan sebagai kelakuan orang (menselyke
gendraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum,
yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. (Moeljatno: 1983: 56)
Sedangkan menurut Moeljatno perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar
larangan tsb. Lebih lanjut dikatakan bahwa dan pengertian perbuatan pidana
diatas ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan yaitu:
a. Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum
dilarang dan diancam pidana (yaitu suatu kejadian atau keadaan yang
ditimbulkan oleh kelakuan tadi)
b. Bahwa pengertian perbuatan tersebut dihubungkan dengan kesalahan
orang yang mengadakan kelakuan tadi. (Moeljatno:1983:54)
Menurut Sudarto perbuatan yang dapat dipidana atau perbuatan jahat harus
dibedakan atas:
a. Perbuatan jahat dalam anti Kriminologis, yakni perbuatan manusia yang
memperkosa/menyalahi norma-norma dasar dan masyarakat dalam
konkreto.
19

b. Perbuatan jahat dalam anti hukum pidana ialah perbuatan sebagaimana


yang terwujud in abstrakto dalam peraturan perundang-undangan
(Sudarto, 1987: 23).
Jadi menurut Sudarto tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis normatif,
berbeda dengan perbuatan jahat dalam arti kriminologis.
Pompe sebagaimana dikutip Sudarto, mengajukan dua pengertian tindak
pidana yakni:
a. Menurut hukum positif, strafbaar feit adalah tidak lain dan pada feit yang
diancam pidana dalam ketentuan undang-undang.
b. Menurut teori, strafbaar feit itu adalah perbuatan yang bersifat melawan
hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam dengan pidana.
(Sudarto, 1987: 22)

b. Tinjauan Umum Unsur-Unsur Tindak Pidana


Sebagai konsekuensi beragamnya perumusan pengertian tindak
pidana (strafbaar feit) yang diberikan oleh para ahli hukum pidana, maka
jelas terdapat perbedaan dalam menguraikan unsur-unsur pengertian tindak
pidana tsb. Namun menurut hemat penulis pada prinsipnya hampir sama
pengertiannya yakni membedakan antara unsur perbuatan pidananya dan
unsur pembuat (orang /pelaku).
Menurut Tirtaamidjaja norma hukum pidana terdiri dari dua bagian
pokok. Yaitu satu bagian pokok lahir atau bagian pokok obyektif dan satu
bagian pokok isi atau bagian pokok subyektif.
Bagian pokok obyektif meliputi :
a. Perbuatan manusia yaitu suatu perbuatan positif (act) atau suatu
perbuatan negatif (omission), oleh karena mana pelanggaran pidana itu
terjadi.
b. Akibat (result) perbuatan manusia itu.
c. Keadaan-keadaannya (the circumstances) :
20

1. Yang terdapat pada waktu melakukan perbuatan itu,


2 Yang timbul sesudah perbuatan itu dilakukan (ini dinamakan syarat-
syarat tambahan bagi dapat dihukumnya perbuatan itu )
d. Sifat melawan hukum (the unlawfulness) dan sifat dapat dihukum
(punishability)
Bagian pokok subyektif meliputi:
Si pelanggar hukum pidana itu, (dengan sengaja ataupun karena
kealpaan/culpa)
(Tirtaamidjaja: 1955: 33)
Menurut Moeljatno menguraikan unsur-unsur dan perbuatan pidana adalah:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan)
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
d. Unsur melawan hukum yang obyektif
e. Unsur melawan hukum yang subyektif. (Moeljatno: 1983 : 63)
Menurut Sudarto dalam menguraikan unsur-unsur perbuatan jahat (tindak
pidana) dapat dijelaskan dari dua segi yaitu:
- Segi perbuatannya yakni:
1. Memenuhi rumusan undang-undang
2. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar)
- Segi orang/pembuatnya yakni:
1. Kemampuan bertanggung jawab
2. Dolus atau culpa (tidak ada alasan pemaaf)
3. Perumusan Tindak Pidana Dalam Undang-Undang. (Sudarto:1987: 47)
Suatu perbuatan disebut tindak pidana apabila ternyata telah memenuhi dan
mencocoki rumusan tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang
hukum pidana. Dengan demikian aturan hukum pidana dapat diterapkan
terhadap perbuatan dan pelaku tsb.
21

c. Tinjauan Umum Pola Perumusan Tindak Pidana


Di dalam KUHP perumusan tindak pidana, itu biasanya dimulai dengan
kata “barangsiapa” dan dilanjutkan dengan lukisan perbuatan yang
“dilarang atau diperintahkan” dalam undang undang (disebut “norma”
hukumnya).
Untuk perumusan norma (dan sanksi) sebagaimana tercantum dalam
undang-undang pidana (KUHP) terdapat 3 (tiga) cara yaitu:
1. Dengan menguraikan atau menyebutkan unsur-unsur perbuatan itu satu
persatu.
Misalnya dalam tindak pidana menurut Pasal 305 KUHP “Barangsiapa
menempatkan anak yang umurnya belum tujuh tahun untuk ditemukan
atau meninggalkan anak itu dengan melepaskan diri dari padanya,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”.
2. Dengan menyebutkan kualitas dari tindak pidana itu tanpa menguraikan
unsur-unsurnya, misalnya Pasal 297 KUHP” Perdagangan wanita dan
perdaganagan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan
pidana penjara paling lama enam tahun”. Pasal 351 KUHP .
3. Dengan cara menggabungkan nomor (1) dan nomor (2) diatas, yakni
disamping menyebutkan unsur-unsurnya (berupa perbuatan, akibat dan
keadaan yang bersangkutan) juga disebut pula kualifikasinya, seperti :
Pasal 124 KUHP: Memberi bantuan kepada musuh.
Pasal 263 KUHP : Memalsukan surat
Pasal 372 KUHP : Penggelapan Pasal 378 KUHP : Penipuan
Pasal 362 KUHP : Pencurian
Pasal 338 KUHP : “Barangsiapa dengan sengaja merampas
nyawa orang lain, di ancam karena
pembunuhan dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun”.
22

d. Tinjauan Umum Tindak Pidana Perzinahan


Perzinahan, berasal dari kata “zina” menurut kamus besar Bahasa
Indonesia artinya (1) perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan
yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan). (2) perbuatan
bersenggama antara seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan
seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang
terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya (Kamus
Besar Bahasa Indonesia: 1990:1018).
Perbuatan perzinahan menurut norma agama dilarang dilakukan antara
lain :
Menurut agama Islam dalam surat Al Isra’ ayat 32 dikatakan “Janganlah
kamu dekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu peruatan yang keji
dan sesuatu jalan yang busuk” ( Al Quran terjemahan: 1971:429)
Menurut agama Kristen dalam Perjanjian Lama dikatakan “Kamu
telah mendengar firman: jangan berzina, tetapi aku berkata kepadamu:
setiap orang yang memandang perempuan dan menginginkannya, sudah
berzina dengan di dalam hatinya” (Matius: 5: 27-28) (Gilbert dan I Reimba:
1996: 61)
Menurut agama Hindu, terdapat bentuk dan jenis perbuatan di bidang
seksual seperti Para Dara : hubungan seks dengan istri orang lain
(perzinahan), Anyolong Smara yaitu laki-laki yang menikmati atau
melakukan hubungan seks dengan seorang wanita tanpa kehendak wanita
tersebut. Didalam Manawa Dharma Sastra Adhyaya VII Sloka 352
menyebutkan hukuman membuang bagi mereka yang berzina dengan wanita
yang bersuami, Sloka 353: amat dilarang bercakap-cakap dengan istri orang
lain dengan cara sembunyi-sembunyi. (Agus Indra Udayana: 1995: 24)
Tindak pidana perzinahan diatur dalam Bab XIV Buku II pada Pasal
284 KUHP yang isinya :
(1). Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan bulan:
23

1. a. Seorang laki-laki yang telah menikah, yang melakukan perzinahan,


sedang ia mengetahui bahwa pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW)
berlaku baginya;
b. Seorang wanita yang telah menikah, yang melakukan perzinahan.
2. a. Seorang laki-laki yang turut melakukan perbuatan tersebut, sedang
ia mengetahui bahwa orang yang turut bersalah telah menikah;
b. Seorang wanita yang belum menikah, yang turut melakukan
perbuatan tersebut, sedang ia mengetahui bahwa orang yang turut
bersalah telah menikah dan pasal 27 Burgerlijk Wetboek/KUHPerd
berlaku baginya.
(2) Tidak dapat dilakukan penuntutan, kecuali ada pengaduan dan suami atau
isteri yang terhina, yang apabila bagi suami-isteri itu berlaku pasal 27
Burgerlijk Wetboek, diikuti dengan suatu gugatan perceraian atau
perceraian dan meja makan dan tempat tidur yang didasarkan pada
peristiwa tersebut dalam waktu tiga bulan.
(3) Bagi gugatan tersebut, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal-
pasal 72, 73 dan 74 tidak dapat diberlakukan.
(4). Gugatan tersebut dapat dicabut kembali selama pemeriksaan di sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-isteri itu berlaku pasal 27 Burgerlijk Wetboek (BW),
pengaduan mereka tidak akan mempunyai kelanjutan selama pernikahan
mereka itu belum diputuskan oleh suatu perceraian atau sebelum
putusan pengadilan tentang perceraian dan meja makan dan tempat tidur
antara mereka mempunyai kekuatan hukum tetap. (Lamintang: 1990:
87)
Unsur-unsur Pasal 284 KUHP antara lain:
Pasal 284 (1)
Ke-1. sub a.
Obyektif : - Laki-laki yang beristeri
24

- Berzinah
Subyektif : - Diketahuinya, bahwa:
- Bagi laki-laki itu berlaku pasal 27 BW/KUHPerd..

Berzinah
Berzinah terdiri atas perbuatan persetubuhan antara orang yang telah
menikah dan seorang yang bukan isterinya atau suaminya, persetubuhan
mana dilakukan dengan secara sukarela. Apabila terjadi paksaan maka
orang yang dipaksa tidak melakukan sesuatu kejahatan, bahkan ia
menjadi obyek dan suatu kejahatan. Pun seorang isteri yang digerakan
oleh suaminya yang menjadi germo (muncikari) untuk bersetubuh dengan
laki-laki lain tidak melakukan perbuatan zinah. apabila isteri itu
melakukan persetubuhan itu.
Perbuatan zinah hanya dapat dilakukan oleh seorang yang telah
meni kah, sedang seorang yang belum menikah hanya dapat dipersalahkan
sebagai perbuatan turut serta melakukan, meskipun orang yang belum
menikah melakukan segala perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
telah menikah.
Tetapi perbuatan persetubuhan oleh 2 orang (perempuan dan laki-
laki) yang masing-masing telah menikah merupakan perbuatan berzinah,
karena perbuatan berzinah dianggap sebagai pelanggaran terhadap
kesetiaan dalam perkawinan. Larangan terhadap perbuatan ini didasarkan
atas pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan.
Dengan uraian tersebut di atas dapat dinyatakan, bahwa perbuatan
persetubuhan di luar perkawinan antara dua orang yang masing- masing
belum menikah tidak dapat dihukum
Akibatnya terjadi hidup bersama (samenleven) di luar perkawinan
antara perempuan dan laki-laki, yang oleh hukum adat maupun oleh
hukum agama dianggap berzinah.
25

Laki-Laki Yang Beristri.


Pelaku adalah seorang laki-laki yang sudah beristeri, sedangkan
laki-laki yang belum beristeri tidak dapat melakukan perbuatan zinah
tetapi hanya turut serta melakukan perbuatan zinah.
Diketahuinya Bahwa Ketentuan-ketentuan Dalam Pasal 27 KUHPerd
Berlaku Baginya
Dalam unsur ini tampak, bahwa perbuatan zinah dihubungkan dengan
ikatan perkawinan berdasarkan pasal 27 KUHPerdata yang menganu
prinsip monogami. Prinsip ini sudah tidak sesuai lagi dengan ketentuan
ketentuan dalam UU Pokok Perkawinan No.1 tahun 1974.
Unsur-unsur.
Pasal 284 (1)
Ke-1 sub b : - Perempuan yang bersuami;
- Berzinah.
Berzinah.
Penjelasan lihat dalam sub a.
Perempuan Yang Bersuami.
Hanya perempuan yang sudah bersuami. dapat melakukan perbuatan zinah
atau bermukah. Perempuan yang belum bersuami tidak dapat melakukan
perbuatan zinah.
Unsur-unsur.
Pasal 284 (1)
Ke-2 sub a.
Obyektif : - Laki-laki;
- Yang turut melakukan zinah;
Subyektif : - Diketahuinya:
- Bahwa yang turut bersalah itu telah bersuami.
Laki- Laki.
26

Disini disebut laki-laki saja, tanpa dinyatakan, telah beristeri, sehingga


dapat disimpulkan, bahwa pelaku hanya terbatas pada seorang lelaki
yang belum rnenikah.
Turut Melakukan Zinah.
Disini ternyata, bahwa laki-laki yang belum menikah tidak dapat
melakukan zinah, tetapi hanya dapat melakukan perbuatan turut
melakukan, meskipun ia melakukan segala perbuatan bersetubuh.
Diketahuinya Bahwa Yang Turut Bersalah itu Telah Bersuami.
Laki-laki itu harus mengetahui bahwa perempuan yang bersalah itu telah
bersuami.
Unsur unsur
Obyektif : - Perempuan yang tidak bersuami;
- Turut melakukan perbuatan zinah;
Subyektif : - Padahal diketahuinya, bahwa :
- Yang turut bersalah itu beristeri;
- Pasal 27 KUHPerd berlaku bagi yang turut bersalah itu.
Disini tampak, bahwa perempuan yang belum bersuami hanya dapat “turut
melakukan perbuatan zinah”.
Pasal 284 (2).
Ayat ke dua ini menentukan, bahwa kejahatan tersebut dalam ayat ke satu
tergolong delik aduan mutlak yang penuntutannya selalu dibutuhkan
pengaduan dari pihak suami atau isteri yang terhina.
Di samping syarat pengaduan ini, terdapat syarat-syarat penuntutan lain :
- Pengaduan harus disusul dengan pengajuan permintaan
- Cerai; atau
- Dibebaskan dan kewajiban berdiam serumah;
- Atas dasar perbuatan zinah.
- Pengaduan harus disusul oleh suami atau isteri, terhadap siapa berlaku
pasal 27 KUHPerdata, dengan pengajuan permintaan :
27

- Cerai; atau
- Dibebaskan dan kewajiban berdiam serumah, berdasarkan perbuatan
yang sama (perbuatan zinah tersebut), dalam jangka waktu tiga bulan
sejak hari pengajuan pengaduan.
Pasal 284 (3).
Ayat tiga ini menetapkan, bahwa ketentuan-ketentuan dalam Pasal 72 dan
73 mengenai orang-orang yang berwenang mengajukan pengaduan;
- Pasal 75 mengenai penarikan kembali pengaduan dalam jangka waktu
tertentu; tidak berlaku bagi kejahatan dalam ayat pertama.
Pasal 284 (4).
Ayat keempat ini menetapkan, bahwa penarikan kembali pengaduan dapat
dilakukan selama belum dimulai pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Ketentuan ini sebagai pengganti ketentuan dalam pasal 75 (jangka waktu
tiga bulan sejak hari pengajuan pengaduan) yang menurut ayat ketiga
tidak dapat diperlakukan lagi untuk pengaduan terhadap kejahatan tersebut
dalam ayat pertama.
Pasal 284 (5).
Ayat kelima ini memuat ketentuan, bahwa pengaduan oleh suami isteri
yang diperlakukan pasal 27 KUHPerd, tidak diindahkan atau diperhatikan
selama
- Perceraian antara suami istri belum diputuskan;
- Keputusan yang membebaskan suami isteri dan kewajiban berdiam
serumah; keputusan-keputusan mana sudah menjadi tetap atau tidak
dapat diubah lagi (Much Anwar : 1981:222).
3. Tinjauan Umum Kebijakan Hukum Pidana
a. Tinjauan Umum Pengertian Kebijakan Hukum Pidana
Istilah Kebijakan diambil dan istilah “Policy” (Inggris) atau
“Politiek” (Belanda). Bertolak dan istilah tersebut maka istilah
“Kebijakan Hukum Pidana” disebut pula dengan istilah “Politik Hukum
28

Pidana”. (Barda Nawawi Arief: tanpa tahun: 5). Politik Hukum Pidana
merupakan bagian dan Politik hukum pada umumnya.
Menurut Sudarto, politik hukum ialah:
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan
keadaan dan situasi pada suatu saat.
2. Kebijakan dan negara dengan perantara badan-badan yang berwenang
untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki, yang
diperkirakan bisa digunakan mengekpresikan apa yang dikandung
dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. (Barda
Nawawi Arief: 1990: 13)
Dengan demikian politik hukum pidana dilihat dari politik hukum
mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan
merumuskan suatu perundang undangan pidana yang baik. Melaksanakan
politik hukum pidana menurut Sudarto berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik
dalam arti memenuhi syarat keadilan, dayaguna. (Sudarto : 1986:153)
Dengan demikian menurut Sudarto melaksanakan “polilik hukum pidana”
berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan yang sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang
akan datang. (Sudarto:1986: 93). Dengan demikian, dilihat sebagai bagian
dan potitk hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang undangan yang baik.
Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada
hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum
(khususnya penegakan hukum pidana). Hal ini berarti bahwa hukum
pidana dalam arti yang luas meliputi pula hukum pidana materiil, hukum
acara pidana dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian dapat
29

dikatakan usaha pembaharuan hukum pidana sudah barang tentu


merupakan pembaharuan ketiga komponen tersebut.
Disamping itu usaha penanggulangan kejahatan dengan sarana
(hukum) pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari
perlindungan masyarakat (Social defence). Perlindungan masyarakat dari
kejahatan merupakan sasaran antara. Oleh karena tujuan akhir dan
kebijakan kriminal (criminal policy) dalam upaya pemberantasan
kejahatan adalah guna mencapai kesejahteraan masyarakat (social
welfare).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakan (politik) hukum
pidana (penal policy) merupakan bagian integral dan kebijakan atau
politik sosial (social policy).
Secara singkat dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari
politik kriminal (criminal policy) ialah perlindungan masyarakat guna
mencapai kesejahteraan masyarakat.
b. Tinjauan Umum Kebijakan Hukum Pidana-Kriminalisasi
Hukum pidana dibuat guna memperkuat perlindungan kepentingan
hukum. Meskipun telah terdapat norma-norma (agama, kesusilaan) yang
melarang perbuatan perzinahan. Namun larangan tersebut dianggap terlalu
“lemah”. Sanksi terhadap perbuatan perzinahan dalam norma agama
“baru” akan dikenakan apabila pelakunya telah meninggal dunia nanti.
Oleh karena itu guna memperkuat pelaksanaan ketentuan norma
tersebut perlu diperkuat dengan norma hukum (pidana). Merumuskan
perbuatan apa saja yang dijadikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana
(Kriminalisasi), dilihat dari perspektif kebijakan hukum pidana merupakan
suatu proses. Salah satu proses tersebut adalah tahap formulasi yaitu
tahap dimana dirumuskan perbuatan apa saja yang selayaknya dijadikan
sebagai tindak pidana sehingga perlu diancam dengan sanksi pidana.
Disini perlu dipertimbangkan perlunya kepentingan hukum (seksual)
30

tersebut patut dan layak untuk dijadikan sebagai tindak pidana. Disamping
itu oleh karena seksual berkaitan dengan persoalan kesusilaan patut
dipertanyakan pula sejauhmana dalam melakukan kriminalisasi perbuatan
seksual dipertimbangkan pula unsur kesusilaan (seksual) dan agama.
Menurut Oemar Senoadji bahwa pemidanaan terhadap delik
kesusilaan (seksual) hendaklah mengacu pada adanya keterkaitan antara
aspek moral dan norma-norma agama di Indonesia (Oemar
Senoadji:1981,10). Pandangan tsb berbeda dengan pandangan yang pada
umumnya dianut di negara Barat yang cenderung membatasi (restriktif)
terhadap delik susila (seksual) bahwa hanya delik kesusilaan yang bersifat
“nuisance”, yang menimbulkan “public sensibilitys” atau “publik
scandal” atau dipandang bersifat ‘nuissance offensive to the public”
yang perlu di lindungi dengan hukum pidana. (Oemar Senoadji: 1981: 10).
Pemahaman terhadap pandangan ini jelas berbeda dengan di Indonesia.
Sebagaimana pernah disinggung oleh Barda Nawawi Arief bahwa
penentuan delik kesusilaan harus berorientasi pada “Nilai-nilai Kesusilaan
Nasional” (NKN) yang telah disepakati bersama yang bersumber nilai-
nilai kesusilaan yang hidup di dalam masyarakat dan moralitas agama.
(Barda Nawawi Arief: 1996: 7). Demikian pula halnya Roeslan Saleh
yang mengisyaratkan bahwa kemungkinan unsur agama di dalam
mengkriminalisasikan delik-delik kesusilaan. (Roeslan Saleh: 1995: 7)
Dari beberapa pemikiran tersebut memunculkan pertanyaan sejauhmana
unsur kesusilaan dan unsur agama tersebut dapat dijadikan landasan dalam
pembentukan “hukum (pidana) positif’ dalam arti dijadikan sumber
“acuan” mengkriminalisasikan perbuatan di bidang seksual.
Mempergunakan hukum pidana dalam mengatur kehidupan seksual
seseorang (masyarakat) berarti memberikan “batasan” hal-hal yang boleh
dan tidak boleh dilakukan. “Tekanan” terhadap aktifitas seksual yang
dilarang ini tentunya dengan kriteria apabila perbuatan tersebut diangap
31

tercela dan bersifat amoral. Menurut Pompe bahwa pada dasarnya tiap
kepentingan dari individu mendapat perhatian untuk jika perlu dilindungi
dengan hukum pidana, yaitu sejauh kepentingan itu secara langsung atau
tidak langsung juga mempunyai arti bagi masyarkat. (Roeslan Saleh:
1988: 74)
Menyangkut campur tangan negara dalam bidang seksual ini
berkaitan pula dengan arti pentingnya kehadiran hukum pidana dalam
mengatur ketertiban sosial dalam masyarakat agar masyarakat tidak
bertindak “main hakim sendiri” (eigenrichting). Sebagaimana
dikemukakan oleh Van Bemmelen bahwa bila kita mendekati hukum
pidana bukan dari sudut pidananya, melainkan dari sudut ketentuan-
ketentuan perintah dan larangan serta dari sudut menegakkan ketentuan
itu, terutama dari sudut hukum acaranya, maka kita tidak lagi begitu
cenderung untuk menghapuskan hukum pidana. Jika kita mendekati dari
sudut peraturan-peraturan dan larangan, dengan mudah kita dapat
mengerti bahwa ada perbuatan tertentu secara melanggar hukum yang
tidak diijinkan sama sekali dapat terjadi di dan oleh masyarakat. Makar
membunuh kepala negara sama sekali tidak diijinkan oleh negara, juga
tidak dapat dibayangkan akan pernah mengijinkan seseorang dengan
sesuka hatinya membunuh orang lain, atau seseorang dengan sengaja
menghancurkan, menghilangkan barang berharga milik orang lain tanpa
seijin pemilik barang. Jadi peraturan hukum pidana tetap harus ada. Juga
akan selalu terjadi pelanggaran terhadap peraturan itu tidak mungkin
diserehkan oleh negara kepada individu-individu masing-masing. Suatu
alasan mengapa hukum pidana tidak dihapuskan ialah karena hukum
pidana menentukan dapat dengan teliti dalam peristiwa-peristiwa man
negara berwenang bertindak terhadap rakyat melalui jalan hukum acara
pidana. (Roeslan Saleh:1988: 22-23)
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN

1. Fenomena Kasus Perzinahan


a. Kasus I :
- Putusan P.N Banda Aceh No.51/1971 (S), tgl. 15-6-1971
- Putusan PT Banda Aceh No.28/1971/PT, tgl. 17-Nopember-1975
- Putusan Mahkamah Agung R.I. No.93.K/Kr/1976,tgl 19
Nopember1976
Paparan kasus : Putusan P.N Banda Aceh No.51/1971 (S), tgl 15-6
1971
Pengadilan Negeri tersebut pada prinsipnya menyatakan bahwa;
Telah mendengar tertuduh-tertuduh dan saksi-saksi, mendengar requisitoir
Jaksa yang pada pokoknya berkesimpulan bahwa perbuatan seperti apa
yang dituduhkan terhadap tertuduh-tertuduh adalah terbukti dan menuntut
agar kepada:
Tertuduh I : Zainabun binti Muhammad dijatuhi hukun penjara 2 (dua)
bulan segera masuk
Tertuduh II : Hasjim bin Hamzah 5 (lima) bulan penjara segera masuk
dipotong tahanan.
Hal-hal penting dari pertimbangan hakim disebutkan antara lain (lihat
lampiran):
1. Bahwa tertuduh I Zainabun binti Muhammad dipersidangan telah
mengaku dengan terus terang akan perbuatan yang dituduhkan
kepadanya dan memberikan keterangan sebagal berikut :

32
33

2. Tertuduh ada melakukan persetubuhan juga atas dasar sama suka


sebanyak kira-kira 6 (enam) kali dengan Hasjim bin Hamzah (tertuduh
II)
3. Tertuduh tidak terikat dalam sesuatu perkawinan,
4. Tertuduh tahu temanya bersetubuh itu juga tidak terikat dalam sesuatu
perkawinan,
5. Bahwa melakukan perbuatan bersetubuh itu adalah pada malam hari
sehabis maghrib, dilakukan didalam pondok kerbau kepunyaan tertuduh
yang letaknya tidak begitu jauh dengan rumah tertuduh,
6. Tertuduh disamping memang senang dengan tertuduh II juga mau
melakukan perbuatan itu disebabkan tertuduh II mengatakan nanti akan
di kawininya,
7. Bahwa akibat dari perbuatan itu tertuduh menjadi hamil dan sekarang
sudah hamil besar dan tertuduh II tidak mau bertanggung jawab atas
perbuatannya itu,
8. Bahwa tertuduh tidak pernah besetubuh dengan orang lain selain dengan
tertuduh II
9. Bahwa tertuduh I berkenalan baik dengan keluarga tertuduh dan tertuduh
II sebelum kejadian ini sering-sering berkunjung kerumah tertuduh,
10. Bahwa tertuduh merasa menyesal dan sadar bahwa perbuatan yang
dilakukannya itu bertentangan adat istiadat dan agama Islam,
11. Tertuduh II didalam persidangan telah mungkir akan perbuatan yang
dituduhkan kepadanya padahal dalam pemeriksaan awal pemeriksaan
pendahuluan menurut berita acara polisi ianya telah dengan terus terang,
dan pada pokoknya memberikan keterangan didalam sidang sebagai
berikut
12. Tertuduh memang kenal baik dengan keluarga tertuduh I tetapi akhir-
akhir ini antara tertuduh dengan saudara laki-laki dan tertuduh I tidak
34

berbaikan lagi karena tertuduh melarangnya untuk memotong rumput


dikebon tertuduh
13. Tertuduh II pada malam seperti yang diceritakan oleh tertuduh didatangi
oleh tertuduh I didalam pondok kepunyaan tertuduh II dimana pada
waktu itu sedang “menginjak:” padi sendirian;
14. Bahwa pada waktu itu tertuduh I minta uang Rp.500,- (lima ratus rupiah)
pada tertuduh, dan atas pertanyaan tertuduh, tertuduh I mengatakan uang
itu perlunya untuk pergi “berjarum” karena tertuduh I telah hamil,
15. Bahwa tertuduh menolak untuk memberiikan uang kepada tertuduh I
jika untuk maksud itu dan tertuduh katakan pada tentuduh I supaya
minta saja pada orang yang menyebabkan ia hamil
16. Bahwa tertuduh belum kawin
17. Menimbang bahwa saksi II Ketjik Nurdin, dibawah sumpah didalam
persidangan ini memberi keterangan sebagai berikut:
Bahwa saksi sudah 20 tahun menjadi Kepala Kampung Nusa dan saksi
tahu bahwa rumah tentuduh tertuduh ini berdekatan,
Bahwa kebiasaan di Kampung lain dalam peristiwa seperti ini biasanya
mereka dikawinkan saja secara rahasia yang tidak diketahui oleh umum,
Bahwa setahu saksi menurut Hukum Islam kalau orang yang sama-sama
belum kawin berzina hukumannya ialah dipukul dengan rotan dan
dikekeluarkan dari negeri,
Bahwa yang saksi tahun selama Negara kita ini berdiri, tidak pernah
mendengar kalau orang yang berzina dihukum dengan rotan,
18. Menimbang bahwa visum et repertum yang dibuat oleh Dokter T.M.A
Chalik Dokter ahli Kebidanan dan Penyakit Kandungan pada Rumah
Sakit Umum Banda Aceh yang dibuat dengan mengangkat Sumpah
jabatan dokter, tertanggal Banda Aceh, 16 Maret 1971
No.11/48/21/RSU/71, atas nama tertuduh I yang dibacakan didalam
35

persidangan ini, berkesimpulan bahwa tertuduh telah hamil lebih kurang


dua belas minggu,
19. Bahwa oleh karna itu sesuai dengan berita acara yang, dibuat oleh
Kepolisian atas nama tertuduh II ternyatalah bahwa tertuduh II telah
melakukan persetubuhan diluar kawin dengan tertuduh I
20. Bahwa oleh sebab itu terbuktilah secara sah dan yang meyakinkan
bahwa tertuduh I dengan tertuduh II telah melakukan perbuatan seperti
apa yang dituduhkan itu dan terhadap mereka harus dijatuhi hukuman
seperti ditentukan dalam amar keputusan ini
21 Bahwa kualifikasi dari perbuatan yang dilakukan oleh tertuduh-tertuduh
itu Pengadilan berpendapat sebagai berikut
Pasal 284 KUHP adalah antara lain ditujukan apabila salah satu pihak
terikat dalam perkawinan yang sah sedang dalam kasus ini tertuduh I
dan tertuduh II masing-masing tidak terikat dalam suatu perkawinan,
dan perbuatan seperti yang mereka lakukan itu adalah juga merupakan
suatu perbuatan pidana menurut Hukum Adat yang hidup dalam
masyarakat. maka Pengadilan mengenai kualifikasi dan perbuatan dalam
perkara ini sesuai dengan keadaan dalam masyarakat didaerah ini, tidak
akan membedakan kualifikasi terhadap tertuduh I dan tertuduh II dan
penunjukan Pasal 284 KUHP hanyalah sekedar pegangan mengenai
ancaman hukuman belaka.
22. Menyatakan bahwa tertuduh 1; Zainabun binti Muhammad dan tertuduh
II Hasjim bin Hamzah, bersalah masing-masing melanggar Pidana Adat
Zinah;
Menghukum tertuduh I dengan hukuman penjara selama 2 (dua) bulan
dan tertuduh II selama 5 (lima) bulan penjara;
Putusan Pengadilan Tingi dan Mahkamah Agung R.I
Terhadap putusan PN Banda Aceh ini, terdakwa mengajukan banding dan
kasasi. Pengadilan banding yakni Pengadilan Tinggi dengan putusannya No
36

23/1971/PT tanggal 19-Nopember-1971 ternyata menguatkan putusan PN


Banda Aceh tersebut. Sedangkan Mahkamah Agung melalui putusan MA
No.93 K/Kr/1976 tanggal 19 Nopember 1971: memperbaiki putusan
Pengadilan Tinggi Banda Aceh No 28/1971/PT tanggal 19-11-1971 dan
amar putusan PN Banda Aceh No. 51/1971 (S) tanggal 15-Januari-1971,
yang menyatakan bahwa: para tertuduh I dan II bersalah melakukan tindak
Pidana adat “Zinah”.
Mahkamah Agung dalam kasasinya memberi pertimbangkan antara lain:
a. Berdasarkan pengetahuannya sendiri Mahkamah Agung berpendapat
perbuatan zinah tersebut pernah diperiksa oleh Pengadilan Adat
dahulu: bahwa delik tersebut, yang merupakan perbuatan terlarang
mengenai hubungan kelamin antara pria dan wanita, terlepas dari
tempat umum atau tidak perbuatan tersebut dilakukan seperti
disyaratkan oleh pasal 281 KUHP ataupun terlepas dari persyaratan
apakah salah satu pihak itu kawin atau tidak seperti dimaksudkan
oleh pasal 284 KUHP:
b. Bahwa dalam perkara ini delik adat zinah yang dituduhkan ini lebih
mendekati pasal 281 KUHP dari pada pasal 284 KUHP, sebagai
bandingannya seperti dirumuskan oleh pasal 5 ayat 3 sub b Undang-
undang No.1 tahun 1951
c. Bahwa dengan demikian Pengadilan Negeri Banda Aceh berwenang
memeriksa, memutus perbuatan yang menurut hukum adat dianggap
sebagai perbuatan yang mempunyai bandingannya dalam KUHP.

b. Kasus II
- Putusan P.N Klungkung, Bali No.33/Pid/Sumir/1983, tgl 31-Oktober-
1983
- Putusan Mahkamah Agung R.I No. 854.K/Pid/1983, tgl. 30-Oktober-
1984
37

Paparan kasus : Putusan P.N Klungkung, Bali No.33/Pid/Sumir/1983.


Pengadilan Negeri Klungkung, Bali, mengadili terdakwa :
Na m a : I Dewa Gede Rai Tapa,
Umur : 20 tahun,
Jenis kelamin : Laki-laki,
Agama : Hindu
Bertempat tinggal : Banjar Tengah, Desa Timuhun, Kecamatan
Banjarangkan, Kabupaten Klungkung, Bali
Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagai berikut:
Primair:
Bahwa ia terdakwa pada tanggal 2 Agustus atau pada waktu yang tidak
ditentukan dengan pasti setidak-tidaknya dalam lingkungan tahun 1982
bertempat di Desa Timuhun, Kecamatan Banjarangkan atau dilain tempat
masih di wilayah hukum Pengadilan Negeri Klungkung dengan maksud
untuk menguntungkan dirinya sendiri dengan melawan hak telah
membujuk Desak Putu Megawati agar disetubuhi, pembujukan mana
dilakukan terdakwa dengan cara-cara dengan karangan perkataan-
perkataan bohong yakni ia tersangka mengatakan dirnya cinta dan ingin
memperistri Desak Putu Megawati dan terakhir ia terdakwa mengucapkan
kata-kata “buktikanlah cintamu” dan karena rangkaian kata-kata bohong
dari terdakwa tersebut diatas Desak Putu Megawati terbujuk karenanya
dan menyerahkan diri untuk disetubuhi yang mengakibatkan kehamilan
serta melahirkan seorang bayi. Melanggar pasal 378 KUHP
Subsidair:
Bahwa ia tersangka pada waktu dan ditempat tersebut dalam dakwaan
primer, telah bersetubuh dengan Desak Putu Megawati sebanyak 3 kali
dalam waktu semalam setidak-tidaknya sekali dengan cara bersetubuh
38

memasukkan kemaluannya ia terdakwa kedalam lubang kemaluan Desak


Putu Megawati, dan menggerak-gerakkan beberapa kali (menarik dan
memasukkan) yang berkesudahan ia terdakwa mengeluarkan air mani,
yang mengakibatkan kehamilan pada Desak Putu Megawati akan tetapi
setelah Desak. Putu Megawati hamil hingga melahirkan seorang bayi ia
terdakwa tidak bersedia mengawini Desak Putu Megawati sebagai istrinya
yang sah.
Melanggar : Logika Sanggeraha dari Paswara Bali dan Lombok yo
UU No.1/Dar/I951 pasal 5 ayat 3 b.
Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Klungkung pada garis besarnya
a.l:
1. Bahwa mengenai dakwaan primer pada hemat Pengadilan tidaklah
terbukti, karena dari unsur-unsur penipuan pasal 378 KUHP tidak
terpenuhi, khususnya unsur tipu muslihat atau karangan perkataan-
perkataan bohong ataupun bujukan, hanyalah seorang saksi saja
yakni Desak Putu Megawati yang mengutarakannya, sehingga
keterangan seorang saksi tanpa alat bukti lain, menurut hukum
bukanlah pembuktian,
2. Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan primair tidak terbukti,
maka seharusnyalah terdakwa dibebaskan dari dakwaan primer
tersebut.
3. Menimbang, bahwa terhadap dakwaan subsidair (Paswara Adat
Logika Sang geraha) perlu kiranya terlebih dahulu diuraikan unsur-
unsurnya, yakni yang terdiri dari:
a. Bersetubuh dengan seorang wanita atau gadis.
b. Mengakibatkan hamil.
c. Tidak mau mengawini sebagai istrinya yang sah.
4. Menimbang, bahwa mengenai unsur ke 2 dan ke 3, berdasarkan
keterangan saksi saksi dan visum Dokter yang terlampir dalam
39

berkas, ternyatalah bahwa saksi Desak Putu Megawati memang


pernah hamil dan telah melahirkan pada tanggal 1 Maret 1983, dan
ternyara pula bahwa terdakwa tidak mau mengawini saksi tersebut
menjadi istrinya yang sah:
5. Menimbang, bahwa tinggalah unsur pertama yang masih harus
dibuktikan adanya, yakni apakah benar terdakawa telah bersetubuh
dengan saksi Desak Putu Megawati yang mengakibatkan kehamilan
saksi tersebut;
6. Menimbang, bahwa dari hasil pemeriksaan saksi-saksi, hanya saksi
Desak Putu Megawati yang menerangkan bahwa diriya telah
disetubuhi oleh terdakwa pada tangga1 2 Agustus 1982 sebanyak tiga
kali dalam semalam, dimana sebelum itu tidak pernah dan
sesudahnyapun tidak pernah lagi. sedangkan saksi-saksi lain hanya
menerangkan bahwa mereka memang mengetahui pada malam itu
yakni dalam rangka penyelenggaraan rangkaian upacara kematian
ayah terdakwa, terdakwa tidur sekamar dengan saksi Desak Putu
Megawati akan tetapi tidak mengetahui adanya persetubuhan ataupun
tanda-tanda yang mencurigakan mengenai perbuatan tersebut, karena
mereka tidur biasa,
7. Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
di atas, dengan keterangan hanya seorang saksi tanpa didukung oleh
alat bukti lain yang meyakinkan maka unsur bersetubuh dengan
seorarg wanita (Desak Putu Megawati) sebagaimana unsur pertama
dari delik adat Logika Sanggeraha yang didakwakan kepada terdakwa
haruslah dinyatakan tidak terbukti;
8. Menimbang, bahwa oleh karenanya maka dakwaan subsidairpun harus
dinyatakan tidak terbukti dan terdakwa harus pula dibebaskan dari
dakwaan tersebut
40

9. Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa tidak terbukti kesalahanya


haruslah dikembalikan nama baiknya (rehabi1itasi) dan selain itu
harus pula dibebaskan dari pembayaran biaya perkara ini
Pasal 378 KUHP serta delik adat Logika Sanggeraha, serta pasat-pasal
185(2) (3), 188 (3) dan 197 (1) (2) KUHAP dan ketentuan-ketentuan lain
yang bersangkutan;
Mengadili:
Menyatakan, bahwa terdakwa tersebut yang bernama : I DEWA GEDE RAI
TAPA, tidak bersalah atas perbuatan yang didakwakan kepadanya, baik
dalam dakwaan primair maupun subsidair. Membebaskan terdakwa dari
semua dak waan tersebut;
Putusan Mahkamah Agung R.I No.854.K/Pid/1983
Pada tahap kasasi ini, Mahkamah Agung R.I dalam Putusannya
menyatakan sebagai berikut: Menimbang bahwa keberatan-kebenatan yang
diajukan oleh pemohon kasasi pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Pengadilan Negeri Klungkung dalam memeriksa perkara ini
telah melakukan kekeliruan yakni dalam cara mengadili tidak
dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang dalam hal menilai
kesaksian hanya menilai kesakasian dari saksi korban Desak Putu
Megawati, sedang saksi-saksi lainnya sama sekali tidak mendapat
pernilaian, karenanya Hakim beranggapan bahwa satu saksi bukan saksi,
sehingga perbuatan terdakwa tidak terbukti;
2. Bahwa menurut pendapat pemohon kasasi saksi-saksi yang lainya
(selain dari saksi korban) seperti: (1) Dewa Pt. Raka (2). Desak Biyang
Indrawati, (3).I Dewa Gde Sudantha, kesaksian mana cukup merupakan
alat bukti yang membuktikan kesalahan terdakwa telah bersetubuh
dengan saksi korban yang mengakibatkan kehamilan, kesaksian dari
para saksi itu dianggap masing-masing berdiri sendiri maupun sebagai
petunjuk dalam hubungannya satu dengan lain saling berhubungan hal
41

ini sesuai dengan pasal 184 (1) yo pasal 185 (4) yo pasal 188 (1) (2)
KUHAP
3. Bahwa menurut anggapan masyarakat Bali pada umumnya dan
masyarakat desa Tunuhun khususnya seorang laki-laki tidur menjadi
satu tempat tidur dengan seorang perempuan dalam sebuah kamar,
apalagi pada waktu malam hari dianggap oleh masyarakat Bali
khususnya desa Timuhun telah melakukan perbuatan persetubuhan.
Anggapan masyarakat yang didukung oleh hukum adat setempat juga
dibenarkan oleh apa yang disebut fiksi hukum;
4. Bahwa keberatan-keberatan tersebut dapat dibenarkan, oleh karena
Pengadilan Negeri telah salah menerapkan hukum, sebab Pengadilan
Negeri tidak mempertimbangkan keterangan saksi-saksi lainnya yang
pada hakekatnya memberi petunjuk tentang kebenaran bahwa terdakwa
telah bersetubuh dengan saksi Desak Putu Megawati, sehingga
pembebasan tersebut didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap
sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan.
5. Menurut yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa kenyataan seorang
laki-laki (terdakwa) terbukti tidur bersama-sama dengan seorang
perempuan dalam satu kamar pada saat tempat tidur, merupakan
petunjuk bahwa lelaki itu telah bersetubuh dengan perempuan tersebut.
6. Berdasankan keterangan saksi Desak Putu Megawati dan adanya
petunjuk-petunjuk tersebut yang dapat disimpulkan dari keterangan
saksi-saksi, I Dewa Putu Raka, Desak Biyang Indrawati dan I Dewa Gde
Sidharta, maka telah terbukti bahwa terdakwa telah bersetubuh dengan
saksi Desak Putu Megawati, sebagaimana dimaksudkan dalam dakwaan
subsidair.
Tentang dakwaan primer tidak terbukti sebab unsur barang dari pasal 378
KUHP. tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, oleh sebab itu
terdakwa dibebaskan dari dakwaan primair;
42

Dengan demikian Jaksa telah dapat membuktikan bahwa putusan Pengadilan


Negeri yang membebaskan terdakwa tersebut adalah merupakan
pembebasan tidak murni, maka karena itu permohonan kasasi Jaksa
dapat diterima;
7. Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Negeri
Klungkung tanggal 31 Oktober 1983 No.33/PN.Klk/Pid/Sumir/1983
tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan
Mahkamah Agung akan mengadili lagi perkara tersebut dengan
menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan atas
dakwaan primair dan menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah atas dakwaan subsidair dan dihukum setimpal dengan
kesalahannya;
Mengadili
Menerima permohonan kasasi dari pemohon kasasi jaksa pada
Kejaksaan Negeri Klungkung tersebut.
Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Klungkung tanggal 31
Oktober 1983 No. 33/PN.Klk/Pid/Sumir/1983;
Mengadili Lagi:
Menyatakan perbuatan terdakwa I DEWA GEDE RAI TAPA terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana adat
“logika sanggraha” Menghukum terdakwa oleh sebab itu dengan
hukuman penjara lamanya 2 (dua) bulan.
43

2. Tanggapan/Pendapat Hakim Mengenai Pasal 284 KUHP


Dari data empiris yang diperoleh penulis berdasarkan hasil wawancara
dengan hakim Pengadilan Negeri Surakarta dapat disajikan sebagai berikut:
Tabel 1
Apakah dalam pembuktian terhadap perkara perzinahan
Pasal 284 KUHP hakim menemui kesulitan ?

No Responden Frekuensi Jawaban


Ya Tidak
1 Hakim - 3 (100%)
Jumlah - 3 (100%)
Sumber data : data empiris diolah
Ketiga responden hakim di pengadilan negeri Surakarta, memberi
jawaban bahwa pembuktian unsur-unsur pasal 284 KUHP tidak menemukan
kesulitan. Apabila dikaitkan dengan tabel 2 berikutnya, akan terlihat bahwa
yang menjadi persoalan bukan pada pembuktian, namun perlunya peninjauan
kembali rumusan pasal 284 KUHP tersebut agar sesuai dengan kenyataan
kasus yang terjadi di masyarakat.
Tabel 2
Apakah pola perumusan Pasal 284 KUHP cukup memadai ?

Responden Frekuensi Jawaban


No Ya Tidak
1 Hakim 1 (25%) 2 (75%)
Jumlah 1(25%) 2 (75%)
Sumber data: data empiris diolah.
Dari tabel 2 diatas nampak bahwa pola perumusan Pasal 284 KUHP
diakui oleh para hakim dianggap kurang memadai, hal ini sesuai dengan 2
44

(dua) kasus perzinahan yang dipaparkan dimuka. Hakim sebagai aparat


penegak hukum yang megadili dan memberi putusan perkara pidana
merasakan perlunya peninjauan kembali perumusan pasal 284 KUHP tersebut.
Tabel 3
Apakah terhadap perzinahan yang dilakukan seorang wanita dan
seorang laki-laki dewasa yang masing-masing tidak terikat perkawinan
yang sah dapat diterapkan Pasal 284 KUHP ?

No Responden Frekuensi Jawaban


Ya Tidak
1 Hakim - 3 (100%)
Jumlah - 3 (100%)
Sumber data: data empiris diolah.

Tabel 4
Apakah hakim responden setuju hukum pidana adat menjadi
dasar hukum dalam putusan pengadilan pidana ?

No Responden Frekuensi Jawaban


Ya Tidak
1 Hakim 3 (100%) -
Jumlah 3 (100%) -
Sumber data: data empiris diolah.
Berdasarkan tabel 3 dan 4 diatas, menegaskan bahwa terdapat kesamaan
pendapat diantara para responden hakim di Pengadilan Negeri Surakarta,
terhadap kasus dimana pelaku seorang wanita dan seorang laki-laki yang
melakukan perzinahan sedangkan masing-masing tidak terikat perkawinan
yang sah tidak dapat diterapkan pasal 284 KUHP. Dengan demikian
terdapat “kekosongan hukum”, apabila terjadi kasus serupa. Meskipun
45

berdasarkan uraian kasus-kasus perzinahan seperti terurai dimuka telah


diadili berdasarkan hukum pidana adat. Namun menurut hemat penulis boleh
dikatakan perlu ditinjau kembali perumusan tersebut, oleh karena itu dapat
disebut terdapat “kekosongan hukum” dalam arti hukum pidana yang formal
dan atau tertulis.
Persetujuan para hakim sebagaimana terdapat pada tabel 4 oleh karena
hakim tetap berpegang pada ketentuan UU No 4 tahun 2004 bahwa hakim
tidak boleh menolak dan wajib mengadili perkara yang dihadapkan
kepadanya, dan hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat, sehingga agar tidak terjadi kekosongan hukum maka hakim
mengadili perkara perzinahan tersebut.
Tabel 5
Apakah terhadap perzinahan seorang wanita dan seorang laki-laki
yang tidak terikat perkawinan yang sah
yang disebut “kumpul kebo” perlu diberi sanksi pidana ?

No Responden Frekuensi Jawaban


Ya Tidak
1 Hakim 3 (100%) -
Jumlah 3(100%) -
Sumber data: data empiris diolah.
Tabel 6
Apakah unsur agama perlu dijadikan sebagai
bahan perumusan delik perzinahan dimasa mendatang ?
No Responden Frekuensi Jawaban
Ya Tidak
1 Hakim 2 (75%) 1 (25%)
Jumlah 2(75%) 1 (25%)
Sumber data: data empiris diolah
46

Menurut hasil wawancara dengan hakim mengenai perlu tidaknya


unsur agama dapat dijadikan dasar perumusan delik perzinahan, pada tabel 6
diatas, terdapat 1 (25%) responden hakim yang menjawab tidak dapat, hal ini
disebabkan karena di Indonesia terdapat bermacam-macam agama. Oleh
karena itu kalau akan dijadikan pedoman maka agama yang mana ?
Sedangkan 2 (75%) responden hakim memberi jawaban bahwa unsur agama
dapat dijadikan dasar perumusan pasal perzinahan. Mengenai apakah semua
agama melarang terhadap perzinahan ?, berdasarkan kajian teoritis
sebagaimana telah ditulis pada Bab II mengenai Tinjauan Pustaka,
menegaskan bahwa semua agama melarang perbuatan zina.
Perlunya unsur agama dalam perumusan pasal perzinahan, nampaknya
sesuai dengan hasil simposium “Pengaruh Agama/Kebudayaan Terhadap
Hukum Pidana” beberapa perbuatan di bidang seksual perlu dan layak untuk
dijadikan sebagai perbuatan yang dapat dipidana seperti, incest, perzinahan
yang dilakukan sama-sama dewasa dan semua belum terikat perkawinan yang
sah, menghamili gadis dan tidak bersedia bertangung jawab, kumpul kebo dsb
yang semuanya belum tercantum dalam hukum positif (KUHP). (Laporan
Simposium, 1973,28-29).
Tabel 5 ditanyakan mengenai “kumpul kebo”, oleh karena perbuatan ini
“identik atau sama” dengan perzinahan dalam arti mereka hidup bersama
tanpa ikatan perkawinan yang sah. Demikian demikian perlu dipertanyakan
hal ini pada responden hakim. Pada tabel 5 tersebut diatas terlihat bahwa
seluruh responden setuju apabila “kumpul kebo” di jadikan tindak pidana dan
diberi sanksi pidana. Dengan alasan bahwa pada hakekatnya “kumpul kebo”
termasuk pula perzinahan, oleh karena mereka berkumpul dan berhubungan
layaknya suami-istri, meskipun belum terikat perkawinan yang sah menurut
hukum agama dan hukum yang positif berlaku.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dari sudut pandang agama dan
adat mempunyai pandangan yang sama dalam hal melarang jenis-jenis
47

perbuatan perzinahan tersebut. Hal yang terpenting disini adalah bahwa


apakah kehadiran hukum pidana dalam kerangka melindungi kepentingan
masyarakat luas tersebut cukup penting ? Hal ini dapat terjawab bahwa salah
satu fungsi hukum pidana adalah sebagai sarana untuk mengatur ketertiban
dalam masyarakat. Hukum pidana yang dimaksud sudah sepantasnya sesuai
dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Marc Ancel yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief bahwa
tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial yaitu seperangkat
peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk hidup
bersama tetapi juga sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada
umumnya. (Muladi dan Nawawi Arief, 1984, 154).

B. PEMBAHASAN
Kedua kasus tersebut diatas menegaskan bahwa delik perzinahan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah dewasa dan
yang mana masing-masing tidak terikat perkawinan dengan orang lain, ternyata
dapat di lakukan penuntutan dan pada akhirnya dapat dijatuhi pidana.
Penerapan pasal 284 dengan segala unsur-unsurnya terhadap kedua kasus
tersebut diatas sesungguhnya tidak mungkin. Oleh karena itulah hakim
pengadilan yang mengadili kedua kasus tersebut mencari jalan terobosan. Hakim
memang diijinkan untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Menurut pasal 16 ayat (1) UU No 4 tahun 2004 i tentang Pokok-pokok
Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan

i
Catatan: menurut UU No 14 tahun 1970 (dahulu) terdapat pada pasal 14 ayat (1). “Pengadilan
tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih
bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”
Sedangkan menurut Pasal 27 ayat (1) UU No 14 tahun 1970 dikatakan: ”Hakim sebagai penegak
hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat”..
48

dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya.
Sedangkan pada Pasal 28 ayat (1) UU No 4 tahun 2004 menyatakan bahwa
Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dimasyarakat.
Berdasarkan pemahaman sebagaiman diamanatkan pasal 16 ayat (1) dan
pasal 28 ayat (1) UU No 4 tahun 2004 tersebut diatas maka kedua kasus tersebut
diatas dapat ditelaah sebagai berikut:
Kasus I : Terdakwa I dan terdakwa II sama-sama telah dewasa dan keduanya
belum terikat perkawinan yang sah dengan orang lain. Oleh sebab itu tidak
memenuhi unsur Pasal 284 ayat (1) KUHP. Dengan demikian sebenarnya Pasal
284 KUHP ini tidak mungkin diterapkan kepada kedua pelaku. Hakim dalam
pertimbangannya oleh karena ia harus mengadili dan memberikan putusan
terhadap perkara tersebut, maka hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh menunjuk
pada delik adat (hukum pidana adat), hal ini sebagaimana terlihat pada
pertimbangan putusannya bahwa :
“ Pasal 284 KUHP antara lain ditujukan apabila salah satu pihak terikat dalam
perkawinan yang sah, sedangkan dalam kasus ini tertuduh I dan tertuduh II
masing-masing tidak terikat dalam suatu perkawinan, dan perbuatan seperti
yang mereka lakukan adalah juga merupakan suatu perbuatan pidana menurut
hukum adat yang masih hidup dalam masyarakat, maka pengadilan mengenai
kualifikasi dari perbuatan dalam perkara ini sesuai dengan keadaan dalam
masyarakat di daerah ini, tidak akan membedakan kualifikasi terhadap tertuduh I
dan tertuduh II dan penunjukan pasal 284 KUHP hanyalah sekedar pegangan
mengenai ancaman hukuman belaka”.
Demikian pula halnya putusan hakim Pengadilan Tinggi, menguatkan apa yang
telah diputus hakim Pengadilan Negeri. Menjadi catatan penulis adalah:
(1). Hakim Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi telah menerapkan hukum
pidana adat.
49

(2). Untuk itu seharusnya diterapkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 b UU No 1 tahun


1951.
Namun dari pertimbangan hakim pengadilan negeri sebagaimana tersebut diatas
yang mengatakan bahwa “… pasal 284 KUHP hanyalah sekedar pegangan
mengenai ancaman hukuman belaka”. Menurut penulis hal ini kurang tepat
mengingat berdasarkan pasal 5 ayat 3 b UU No 1 tahun 1951, sanksi pidana
yang dapat diterapkan telah dibatasi yakni tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan
pidana penjara terhadap pelaku tindak pidana adat yang tiada bandingnya dalam
KUHP.
Menurut Pasal 5 ayat 3 b UU No1 tahun 1951 dikatakan :
“Bahwa hukum materiil sipil dan untuk sementara waktupun hukum materiil
pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja dan
orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk
kaula-kaula dan orang-orang itu, dengan pengertian:
Bahwa satu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,
maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan
penjara (garis miring:pen) dan/atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai
hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh
pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh
hakim dengan besar kesalahan yang terhukum, dan
Bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran hakim
melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud diatas,
maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman nya pengganti setinggi
10 tahun penjara dengan penggantian bahwa hukuman adat yang menurut faham
hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut
diatas dan
Bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap
perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil,
maka dianggap diancam dengan Hukuman yang sama dengan hukuman
bandingnya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu (R.Tresna, 1976 :35)

Isi pasal 5 ayat 3b UU No.1 tahun 1951 tersebut intinya adalah:


a. Bahwa pengadilan adat dan swapraja telah dihapus namun pengadilan negeri
masih dapat menggunakan hukum pidana adat yang masih hidup di
masyarakat.
50

b. Terhadap penerapan hukum pidana adat tersebut apabila kasus yang terjadi
tersebut ada bandingannya atau ada mirip yang ada didalam KUHP maka
dipakailah pasal KUHP yang mirip tersebut.
c. Mengenai sanksi pidananya, apabila tidak ada kemiripan atau
bandingannya dalam KUHP maka diperlakukan hukum pidana adat dengan
ketentuan sanksi pidananya tidak boleh lebih dari 3 (tiga) bulan pidana
penjara dan atau denda Rp 300,- , sedangkan apabila ada kemiripan atau
bandingannya dengan pasal dalam KUHP, maka dapat dijatuhi pidana yang
sama dengan pasal KUHP yang mirip tersebut.
Ternyata sanksi pidana yang dijatuhkan oleh P.N Banda Aceh yang dikuatkan oleh
P.T Banda Aceh adalah tertuduh I 2 (dua) bulan penjara dan tertuduh II 5 (lima)
bulan penjara. Pengenaan sanksi pidana terhadap tertuduh II tersebut jelas
melampaui ketentuan ancaman pidana sebagaimana di sebutkan pada Pasal 5 ayat
3 b UU No 1 tahun 1951.
Hal yang menarik adalah putusan Mahkamah Agung mencari dasar
kesamaan dengan Pasal 281 KUHP yakni melakukan “Pelanggaran Kesusilaan
Dimuka Umum”. Dasar pertimbangan hakim Mahkamah Agung adalah pada pasal
5 ayat 3 b UU N0 1 tahun 1951. Dari pemahaman ini menurut hakim Mahkamah
Agung, perbuatan terdakwa mirip atau sebanding dengan perbuatan yang diatur
dalam Pasal 281 KUHP.
Menurut Pasal 281 KUHP :
Dihukum penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-
banyaknya empat ribu lima ratus rupiah ;
a. Barangsiapa sengaja merusak kesopanan dimuka umum,
b. Barangsiapa sengaja merusakkan kesopanan dimuka orang lain yang hadir
tidak dengan kemauannya sendiri. ( R.Soesilo: 1988: 204)
Nampaknya pertimbangan hakim Mahkamah Agung menegaskan bahwa
perbuatan “perzinahan” adalah sebagai pelanggaran kesusilaan semata.
Menurut hemat penulis ada benarnya namun juga ada tidak benarnya. Alasan
51

penulis, benar oleh karena perbuatan perzinahan adalah melanggar kesusilaan


umum, namun tidak benar oleh karena perzinahan sesungguhnya sudah tidak
sekedar pelanggaran kesusilaan yang bersifat umum saja, namun telah melakukan
perbuatan yang lebih jauh yakni “persetubuhan”. Kesusilaan tidak identik dengan
persetubuhan. Kesusilaan terlalu umum sedangkan persetebuhan lebih bersifat
khusus. Tidaklah berlebihan sebab dalam Bab XIV KUHP tentang Kesusilaan,
sesungguhnya terdapat pasal-pasal yang berawal dari kesusilaan secara umum dan
menjurus pada kejahatan yang bersifat khusus seperti, delik Perzinahan (Pasal 284
KUH), delik Perkosaan (Pasal 285 KUHP) yang mempunyai unsur yang lebih
khusus yakni “persetubuhan”, dan ini harus dibuktikan oleh jaksa penuntut
umum sebagai unsur pasal tersebut. Jadi tidaklah sama pengertian “kesusilaan”
(umum) dengan “perzinahan”(khusus) ii. Padahal dalam kasus tersebut kedua
tertuduh melakukan persetubuhan di kandang kerbau. Sedangkan pertimbangan
hakim M.A sekedar melihat perbuatan tertuduh adal;ah melanggar kesusilaan
dimuka umum atau setidak-tidaknya dapat dilihat oleh umum (di kandang
kerbau). Oleh karena itu M.A menghukum terdakwa dengan dasar hukum Pasal
281 KUHP jo Pasal 5 ayat 3b UU No.1 Tahun 1951 tersebut. Dengan demikian
menurut Mahkamah Agung, perbuatan terdakwa mirip dengan perbuatan yang
diatur dalam Pasal 281 KUHP.
Pada kasus II : mirip dengan kasus I, dimana para pelaku masing-masing masih
bujang, mereka tidak terikat perkawinan yang sah dengan orang lain dan mereka
telah dewasa, mereka melakukan persetubuhan/perzinahan sehingga hamil dan
melahirkan seorang anak. Meskipun telah terjadi perzinahan, namun penerapan
Pasal 284 KUHP tidak dapat dilakukan terhadap kedua pelaku tersebut.
Yang menarik adalah Jaksa Penuntut Umum pada dakwaan Primer
mendakwakan terdakwa telah melanggar Pasal 378 KUHP. Pasal ini merupakan
pasal penipuan. Jaksa menafsirkan unsur-unsur pasal tersebut dengan perbuatan
ii
Zinah : persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan
perempuan atau laki-laki yang bukan istrinya atau suaminya. (Lihat R. Soesilo, KUHP Serta
Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal, Politie, Bogor, 1988,209)
52

terdakwa yang membujuk atau merayu korban.Namun perlu diingat bahwa unsur
Pasal 378 KUHP yakni unusr “barang” tidak akan sama dengan “barang“ milik
perempuan.
Hanya saja pertimbangan hakim PN Klungkung membebaskan terdakwa
dari jeratan tuntutan hukum, dengan dasar putusan disamping tidak terpenuhinya
unsur-unsur Pasal 378 KUHP ini, hal ini terlihat pada tidak dapat dibuktikannya
unsur Pasal 378 KUHP tersebut. Disamping itu hakim tidak yakin terhadap kasus
perzinahan tersebut disebabkan adanya satu saksi. Sehingga hakim mendasarkan
pada asas bahwa satu saksi bukan saksi, oleh karena itu tidak mungkin dijadikan
dasar hakim dalam putusannya.
Namun pada putusan tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat lain
bahwa Pengadilan Negeri Klingkung telah salah dalam menerapkan ketentuan
Undang-Undang. Oleh karena telah terdapat beberapa saksi dalam kasus tersebut,
seperti (1) Dewa Pt Raka, (2).Desak Biyang Indrawati dan (3) I Dewa Gde
Sudhanta. Oleh karena itu asas “Unus Testis Nullus Testis” (satu saksi bukan
saksi) tidak berlaku.
Hal yang penting dalam kasus ini berkaitan dengan masalah penelitian adalah
bahwa perzinahan antara pelaku seorang wanita dengan seorang laki-laki yang
telah dewasa dan masing-masing tidak terikat perkawinan dapat dituntut dimuka
pengadilan. Meskipun demikian pada tataran penegakkan hukum terdapat
persoalan untuk menemukan pasal yang tepat guna di terapkan pada kasus-
kasus tersebut. Sehingga pada kasus I, diterapkan hukum pidana adat jo Pasal
281 KUHP sebagai padanaan jo Pasal 5 ayat 3 b UU No 1 tahun 1951, sedangkan
pada kasus ke II juga mendasarkan pada hukum pidana adat (logika sanggeraha).
Dengan demikian perlu kiranya mencari solusi terhadap persoalan tersebut.
Utamanya dalam kerangka rancangan KUHP baru dimasa mendatang perlu
dipikirkan untuk merumuskan delik perzinahan yang dapat meliputi kasus-kasus
seperti tersebut diatas. Sehingga dapat mencegah warga masyarakat untuk
bertindak main hakim sendiri.
53

Arti pentingnya kehadiran hukum pidana dalam mengatur ketertiban sosial


dalam masyarakat agar masyarakat tidak bertindak “main hakim sendiri”
(eigenrichting). Sebagaimana dikemukakan oleh Van Bemmelen bahwa bila kita
mendekati hukum pidana bukan dari sudut pidananya, melainkan dari sudut
ketentuan-ketentuan perintah dan larangan serta dari sudut menegakkan
ketentuan itu, terutama dari sudut hukum acaranya, maka kita tidak lagi begitu
cenderung untuk menghapuskan hukum pidana. Jika kita mendekati dari sudut
peraturan–peraturan dan larangan, dengan mudah kita dapat mengerti bahwa ada
perbuatan tertentu secara melanggar hukum yang tidak diijinkan sama sekali
dapat terjadi di dan oleh masyarakat. Makar membunuh kepala negara sama
sekali tidak diijinkan oleh negara, juga tidak dapat dibayangkan akan pernah
mengijinkan seseorang dengan sesuka hatinya membunuh orang lain, atau
seseorang dengan sengaja menghancurkan, menghilangkan barang berharga milik
orang lain tanpa seijin pemilik barang. Jadi peraturan hukum pidana tetap harus
ada. Juga akan selalu terjadi pelanggaran terhadap peraturan itu tidak mungkin
diserehkan oleh negara kepada individu-individu masing-masing. Suatu alasan
mengapa hukum pidana tidak dihapuskan ialah karena hukum pidana menentukan
dapat dengan teliti dalam peristiwa-peristiwa man negara berwenang bertindak
terhadap rakyat melalui jalan hukum acara pidana (Bemmelen, 1984, 22-23)

C. KONSEP KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN


TINDAK PIDANA PERZINAHAN
Guna menjawab kekosongan hukum sebagai upaya memberantas kejahatan
perzinahan sebagaimana tersebut diatas, kiranya perlu mengambil langkah
kebijakan hukum pidana. Kebijakan hukum pidana merupakan suatu upaya
menggunakan sanksi pidana (upaya penal) guna menaggulangi kejahatan. Upaya
tersebut dalam kerangka Criminal Policy atau Kebijakan kriminal yang secara
singkat dapat diartikan sebagai usaha rasional guna menanggulangi kejahatan di
masyarakat. (Barda Nawawi Arief: tanpa tahun:3)
54

Menurut Barda Nawawi Arief (Barda Nawawi Arief: 1996: 25) kebijakan
hukum pidana terbagi dalam 3 (tiga) tahapan :
a. Tahap formulasi atau tahap pembuatan undang-undang hukum pidana/tahap
legislasi
b. Tahap aplikasi atau tahap penerapan undang-undang
c. Tahap eksekutif atan tahap pelaksanaan undang-undang.
Tahapan-tahapan diatas merupakan satu kesatuan dan bersifat integral.
Apabila akan diadakan suatu upaya pembaharuan pada hukum pidana maka
keseluruhan materi hukum pidana perlu diubah, keseluruhan materi hukum pidana
terserbut meliputi hukum pidana materiil, hukum acara pidana serta hukum
pelaksanaan pidana.
Tahap formulatif atau legislasi merupakan tahapan yang paling startegis,
sebab pada tahap ini antara lain ditentukan suatu perbuatan dikatagorikan sebagai
perbuatan pidana (proses kriminalisasi).
Dikatakan oleh Barda Nawawi Arief (Barda Nawawi Arief:1996:14) pada
tahapan kebijakan legislatif atau formulatif ini terdapat hal penting yakni:
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana.
b Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar
Kedua permasalahan tersebut merupakan masalah yang tidak mudah untuk
dipecahkan dalam pembaharuan KUHP Nasional Indonesia. Di samping itu kedua
permasalahan tersebut saling kait mengkait satu dengan yang lain.
Upaya kriminalisasi hakekatnya merupakan pengupayaan sanksi pidana
guna menanggulangi kejahatan yang ada. Sebagaimana diketahui kejahatan
senantiasa terus berkembang. Oleh sebab itu penggunaan (hukum) pidana tersebut
sebaiknya mengikuti perkembangan dan atau perubahan-perubahan yang terjadi
di tengah-tengah masyarakat. Sebagai konsekuensinya maka perbuatan yang
dahulu merupakan tindak dapat saja dalam perkembangannya dapat menjadi
bukan merupakan perbuatan pidana atau sebaliknya.
55

Persoalan menentukan perbuatan apa yang dijadikan tindak pidana adalah


menyangkut penentuan perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang serta yang
akan diberi sanksi pidananya. Didalam hukum pidana terdapat asas “Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali” asas ini menyangkut persoalan
bahwa seseorang tidak dapat dipidana atas perbuatannya sebelum perbuatan itu
telah diancam dengan sanksi pidana sebelumnya. Asas ini dinamakan asas
Legalitas.
Asas legalitas ini menetapkan terlebih dahulu perbuatan-perbuatan apa saja
yang tidak boleh dilakukan berikut sanksi pidananya. Asas ini merupakan jaminan
bahwa seseorang tidak dirugikan hak-hak asasinya berupa tindakan sewenang-
wenang.
Berkaitan dengan kriteria kriminalisasi tersebut Sudarto (Sudarto:1986:44-
48) mengetengahkan beberapa pedoman antara lain:
1. Penggunaan Hukum pidana harus memperhatikan tujuan Pembangunan
Nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiil spirituil berdasarkan Pancasila, sehubungan dengan ini maka
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menaggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga
masyarakat.
3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil (Cost and benefit principle)
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai
ada kemampuan beban tugas “overbelasting”.
56

Dua kasus perzinahan sebagaimana telah dipaparkan dimuka menegaskan


bahwa rumusan delik perzinahan yang terdapat dalam pasal 284 KUHP,
dipandang tidak memadai lagi guna menanggulangi tindak pidana perzinahan.
Bahwa hal yang secara in abstrakto atau wujud aturan yang tertulis sebagaimana
dirumusan Pasal 284 KUHP dan hal in conkreto atau realitas yang terjadi di
tengah masyarakat tidak cocok lagi.
Kurang mampunya peran hukum pidana (baca: Pasal 284 KUHP) tersebut
dapat membawa persoalan terutama bidang penegakkan hukum. Penegak hukum
akan kesulitan untuk menindak pelaku yang notabene tidak termasuk perbuatan
yang diancam dalam pasal tersebut. Dari data lapangan (baca:kasus-kasus)
praktek penegakan hukum apabila terjadi kasus-kasus perzinahan hakim mencari
dasar hukum pada delik adat atas dasar Pasal 5 ayat 3b UU No. 1 Tahun 1951 jo
Pasal 16 dan 28 UU No. 4 tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Meskipun dalam kedua putusan tersebut telah terdapat dasar hukumnya,
yakni berdasarkan UU No. 4 tahun 2004 jo Pasal 5 ayat 3 b UU No. 1 tahun 1951,
namun tetap mengadung problema. Problem yang muncul antara lain ancaman
sanksi pidananya. Menurut Pasal 5 ayat 3 b UU No. 1 tahun 1951 hakim hanya
diperkenankan menjatuhkan putusan pidana tidak boleh melebihi 3 (tiga) bulan
pidana penjara. Menurut penulis dilihat dari sudut tujuan pemidanaan, besarnya
acaman pidana ini dapat dikatakan tidak mempunyai daya “penjeraan” (detterent
effect) (prevensi umum) bagi pelaku dan masyarakat.
Terlebih lagi dari paparn kasus yang terjadi menegaskan bahwa perzinahan
yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masing-
masing tidak terikat perkawinan dengan orang lain, pada hakekatnya tidak diatur
dalam KUHP. Padahal menurut norma agama hal tersebut dilarang dilakukan.
Kondisi inipun berpotensi menimbulkan persoalan di masyarakat. Dasar legalitas
hukum adat menurut penulis “sangat ringkih” (sangat tidak kuat), hal ini
mengingat bahwa hukum pidana adat itu sendiri kekuatan berlakunya tidak sama
57

diantara wilayah di Indonesia ini. Terdapat daerah yang hukum adatnya sangat
kuat, namun ada juga daerah yang hukum adatnya lemah bahkan dapat dikatakan
tidak begitu dihiraukan lagi seperti di kota-kota besar atau metropolitan. Oleh
karena itu masyarakatnya menjadi lebih permisif, kontrol sosialnya kurang. Hal
ini berbeda dengan masyarakat yang masih kuat hukum adatnya. Realitas ini
nampaknya perlu diperhitungkan oleh negara. Sehingga mengapa negara tidak
mengambil alih bidang ini untuk di jadikan policy atau kebijakan (hukum pidana)
secara umum dengan membuat regulasi secara formal. Dengan kata lain menjadi
pertanyaan mengapa tidak dilakukan kriminalisasi terhadap perbuatan yag tidak
atau belum diatur dalam hukum pidana positif tersebut ?
Didalam konsep rancangan KUHP baru (sampai dengan tahun 1993) telah
di buat beberapa perumusan delik perzinahan. Menyangkut tindak pidana
perzinahan atau permukahan Pasal 385 (14.09) konsep KUHP baru tersebut
merumuskan sbb:
(1). Dipidana karena permukahan, dengan pidana penjara paling lama lima
tahun:
ke-l. a. Seorang laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan
melakukan persetubuhan dengan Seorang perempuan yang bukan
istrinya;
b. Seorang perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan
melakukan persetubuhan dengan seorang laki-laki yang bukan
suaminya;
ke-2.a. Seorang laki-laki yang melakukan perbuatan tersebut sedangkan
diketahuinya bahwa perempuan yang bersetubuh dengan ía itu
berada dalam ikatan perkawinan;
b. Seorang perempuan yang melakukan perbuatan tersebut
sedangkan diketahuinya bahwa laki-laki yang bersetubuh dengan
dia itu berada dalam ikatan perkawinan.
58

(2).Tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami/istri yang


tercemar.
(3). Terhadap pengaduan ini tidak berilaku Pasal 27,28 dan 108 KUHP,
(4). Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum di mulai.
Nampak bahwa perumusan pasal permukahan (konsep KUHP
mempergunakan istilah Permukahan) atau perzinahan tersebut sudah terjadi
perubahan apabila dibandingkan dengan Pasal 284 KUHP lama. Perubahan
tersebut antara lain seperti tidak disyaratkan tunduk pada Pasal 27 BW yang mana
penuntutan dapat dilakukan dengan persyaratan perceraian. Sedangkan yang tetap
adalah delik tersebut merupakan delik aduan, disamping itu salah satu
pelakunya harus tetap dalam ikatan perkawinan dengan orang lain sebagai istri
atau suami yang sah.
Menariknya dari konsep KUHP baru tersebut terdapat pada berikutnya
yaitu rumusan Pasal 386 (14.10), Pasal 388 (14.10 b) Konsep KUHP baru,
nampak bahwa substansi Pasal 284 KUHP lama telah diperluas.
Pasal 386 (14.10) berbunyi :
(1) Barangsiapa yang melakukan persetubuhan dengan orang lain diluar
perkawinan yang sah, dipidana dengan denda paling banyak kategori I
(2) Tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan keluarga pembuat
sampai derajat ketiga atau oleh kepala adat atau kepala desa setempat.
Pasal 388 (14.10 b) berbunyi :
“Barangsiapa melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan
yang sah dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat,
dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II “
Kedua pasal diatas menegaskan perbuatan apa yang sekiranya dapat
dikenakan sanksi pidana. Pasal 386 (14.10) mengancam pidana terhadap
“barangsiapa yang melakukan perbuatan persetubuhan di luar perkawinan yang
59

sah“ sedangkan Pasal 388 (14.10 b) mengancam pidana terhadap “barangsiapa


yang melakukan hidup bersama sebagai suami-istri di luar perkawinan yang
sah”
Perluasan ini dilihat dari sudut kebijakan kriminal jelas terdapat maksud
perancang KUHP baru tersebut hendak memidana pelaku perzinahan. Upaya
kebijakan hukum pidana dengan merumuskan perbuatan yang tadinya belum
diatur dalam hukum pidana positif disebut kriminalisasi. Tataran ini dalam
kebijakan hukum pidana termasuk strategis.
Perbuatan “persetubuhan” meliputi persetubuhan yang dilakukan oleh
mereka yang tidak terikat sebagai suami yang sah. Pasal-pasal tersebut jelas
bertujuan menampung segala aspirasi masyarakat. Apabila di dalam perumusan
Pasal 284 KUHP lama bersifat limitatip membatasi pelaku yang salah satunya
terikat perkawinan sedangkan dirumuskannnya. pada kedua pasal tersebut,
terhadap mereka yang tidak terikat perkawinan yang sah telah melakukan
persetubuhan dan dipandang bertentangan dengan kesusilaan masyarakat dapat
diancam dengan pidana.
Apabila dibandingkan dengan Pasal 284 KUHP lama, maka perluasan dapat
dipidananya perbuatan “perzinahan”, barangkali sebagai indikasi diterimanya
unsur “agama ke dalam aturan hukum pidana”. Mengingat beberapa ketentuan
ajaran agama apapun melarang perbuatan perzinahan tanpa limitasi atau batasan
seperti terhadap mereka yang salah satu pelakunya terikat perkawinan yang sah
saja. Ketentuan inipun didukung oleh pendapat para hakim di lokasi penelitian
seperti Tabel 6 dimana 75 % responden hakim menghendaki unsur agama
dijadikan dasar perumusan delik perzinahan.
Pasal 386 (14.10) dan Pasal 385 (14.09) merupakan delik aduan absolut dan
relatif sedangkan Pasal 388 (14.l0 b) delik biasa. Ancaman pidananyapun
berbeda, pasal perzinahan mengancam pidana 5 tahun, sedangkan kedua pasal
yang lain relatif “ringan” berupa pidana denda katagori I dan II.
60

Dilihat dari kepentingan hukum yang hendak dilindungi pada hakekatnya


sama yaitu “kesucian perkawinan” dan atau kesucian dalam hubungan sah yang
bertentangan dengan peraturan hukum baik undang-undang (Perkawinan) maupun
rasa kesusilaan didalam masyarakat. Perlindungan terhadap kesucian perkawinan
dapat dilakukan tidak hanya apabila salah satu pasangan perkawinan melakukan
permukahan/perzinahan akan tetapi dapat saja “termasuk dalam pengertian
lembaga perkawinan”. Hal ini dilakukan guna melindungi dari hal-hal yang
bersifat mencemarkan dan atau mengancam eksistensi lembaga perkawinan itu
sendiri seperti’ kumpul kebo.”
Mengenai sifat deliknya, menurut penulis seyogianya sebagai delik aduan.
Delik aduan yang dimaksudkan adalah delik aduan relatif (DAR: memakai istilah
Barda Nawawi Arief). Landasan pemikiran ini dapat berpijak pada konsep DAR
sebagaimana dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief bahwa DAR (delik aduan
relatif) adalah yang menitik beratkan pada aspek kepentingan masyarakat.
Pemahaman DAR dalam kaitannya dengan adalah bahwa siapa-siapa saja
yang dapat mengadukan tindak pidana tersebut seyogianya disebutkan secara
tegas dalam rumusan pasal. Hal ini sebagairnana yang terdapat dalam rumusan
Pasal 386 (14.10).
Oleh karena itu pasal “kumpul kebo” yang dirumuskan sebagai delik biasa
apakah tidak seyogianya dirumuskan sebagai delik aduan relalif dengan titik berat
pada aspek kepentingan masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa
dirumuskannya “kumpul kebo” sebagai delik biasa dengan makaud agar
kecepatan bergerak dalam kerangka “law enforcement” atau penegakan
hukumnya. Dengan dirumuskan sebagai delik biasa maka siapa saja dapat
melaporkan.
Keinginan tindak pidana “kumpul kebo” untuk dirumuskan sebagai delik
aduan relatif didasarkan pada kenyataan bahwa apabila terjadi kasus yang bersifat
rnengganggu “perasaan kesusilaan di masyarakat” di desa-desa di Jawa atau di
61

beberapa daerah lainnya, biasanya warga masyarakat setempat meminta


pertimbangan kepada tokoh tokoh masyarakat (seperti ketua RT, RW. tokoh-
tokoh agama, tua-tua adat). Dengan demikian sekiranya dikampung tempal
tinggal mereka terdapat pasangan “kumpul kebo” dan sikap warga masyarakat
setempat merasa terganggu dan atau risih, apabila mereka menangkap pelaku,
“biasanya mereka akan membawa pelaku-pelaku tersebut kepada tokoh-tokoh
masyarakat, tokoh agama, tua-tua adat tersebut, bahkan tidak sedikit yang
menyelesaikan kasus tersebut pada tingkat ini. Seyogianya diambil jalan tengah
yaitu “kumpul kebo” dirumuskan sebagai delik aduan relatif
Apabila “kumpul kebo” dirumuskan sebagai delik aduan absolut, maka
dipandang tidak logis, hal ini sebagaimana pendapat Barda Nawawi Arief bahwa
apabila “kumpul kebo” dirumuskan sebagai delik aduan absolut maka
menimbulkan pertanyaan, siapa yang akan mengadu ? sebab keduanya merupakan
pelaku delik. (Barda Nawawi Arief: 1996: 35)
Delik aduan relatif merupakan perimbangan aspek kepentingan perorangan
dan kepentingan masyarakat. Kepentingan masyarakat tetap terakomodasi dan
mempunyai hak untuk melakukan kontrol sosial terhadap perbuatan pelanggaran
rasa kesusilaan, di samping itu juga memberi kesempatan bagi mereka yang
terlibat delik untuk dapat melangsungkan perkawinan.
Disini hukum pidana melakukan fungsinya yang bersifat “ultimum
remedium”, Disamping itu masyarakat diberi kesempatan untuk bertindak melalui
pengaduan namun tidak main hakim sendiri.
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan di muka dapat ditarik beberapa


kesimpulan sebagai berikut:
1. Keberadaan Pasal 284 KUHP yang mengatur delik perzinahan ternyata tidak
sesuai sebab realitas yang terjadi di masyarakat. Di masyarakat ternyata telah
mengalami perubahan dan perkembangan terhadap pengertian perzinahan.
Perubahan dan perkembangan pengertian ini yang menuntut adanya
perubahan terhadap pola rumusan pasal 284 KUHP. Dua kasus yang telah
diputus oleh P.N dan P.T Banda Aceh serta M.A RI dan kasus kedua yang
diputus oleh P.N Klungkung Denpasar, Bali dan M.A RI memberikan data
bahwa pada masing-masing badan peradilan negara tersebut meskipun
menangani kasus perzinahan namun tidak menerapkan pasal 284 KUHP.
Untuk menerapan pasal 284 KUHP nampaknya hakim kesulitan dalam
membuktikan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 284 KUHP tersebut
yakni, pelaku perzinahan salah satu atau keduanya telah terikat perkawinan
yang sah dengan orang lain.
2. Kebijakan hukum pidana yang akan datang seyogiayanya lebih memperluas
Pasal 284 KUHP sehingga tidak tertinggal dengan kasus-kasus yang ada di
masyarakat. Hal demikian bertolak dari kesulitan hakim dalam mengadili
kasus perzinahan yang terjadi. Meskipun hakim dapat mengadili dengan
mempergunakan dasar hukum UU No 4 tahun 1970 (dahulu) jo UU No 4
tahun 2004 (sekarang) tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman jo
Pasal 5 ayat 3 b UU No 1 tahun 1951. Namun kiranmya perlu dirumuskan
kembali pasal-pasal yang mengatur tindak pidana perzinahan. Hal ini
sebagaimana nampak dalam Konsep KUHP baru pada Pasal 385 (14.09)

63
64

tentang Permukahan (Perzinahan), Pasal 386 (14.10) tentang Persetubuhan


diluar perkawinan yang sah, dan Pasal 388 (14.10 b) tentang “kumpul kebo”.
B. SARAN-SARAN

1. Perlunya unsur agama dijadikan sebagai dasar konsep perumusan delik


perzinahan dimasa mendatang. Disamping lebih sesuai dengan aspirasi
masyarakat Indonesia yang bersifat religius, hal ini lebih menegaskan bahwa
hukum pidana berfungsi untuk memperkuat penegakkan norma agama dan
norma kesusilaan yang hidup di masyarakat, disamping itu KUHP tidak
mencantumkan sanksi pidna minimal, sehingga terjadi desparitas putusan
hakim.
2. Diharapkan dalam kerangka penanggulangan perzinahan, maka rancangan
konsep KUHP baru yang mengatur delik perzinahan yang lebih luas pola
rumusannya perlu segera diujudkan. Dengan dasar disamping sesuai dengan
aspirasi masyarakat, juga agar tidak terjadi warga masyarakat untuk bertindak
main hakim sendiri (eigenrechting) apabila dipemukimannnya diketemukan
pelaku-pelaku yang melakukan perbuatan perzinahan apakah itu
“perselingkuhan” dan atau “kumpul kebo”, dan sebaiknya kebijakan hukum
pidana minimal dalam upaya mengurangi adanya desparitas putusan hakim.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim,1971, Al Qur’an, Departemen Agama RI, Jakarta.

Anwar Moch (Dading), 1982, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II),
Alumni, Bandung.

Arikunto, Suharsimi, 1993, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka


Cipta, Jakarta.

Bambang Poernomo, 1990, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Barda Nawawi Arief, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya
Bakti Bandung.

________________, Kebijakan Hukum Pidana, Semarang, Tanpa Tahun.

________________, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana, Pidato


Pengukuhan Guru Besar FH UNDIP, tgl 25 Juni 1994, Semarang.

________________, 2003, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra AdityaBakti,


Bandung.

Gilbert dan I Reimba, 1996, Pelacuran Di Balik Seragam Sekolah, Yayasan Andi,
Yogyakarta.

Indra Udayana, Agus, 1995, Kejahatan Kesusilaan dan Pelecehan Seksual Dalam
Perspektif Agama Hindu, dalam Suparman Marzuki dkk (ed), Pelecehan
Seksual, FH UII, Yogyakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,


Balai Pustaka, Jakarta.

Kumpulan Yurisprudensi Indonesia, 1971, Mahkamah Agung Republik Indonesia,


Buku II.

Lamintang, P.A.F, 1990. Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung.

Laporan Simposium, 1973 “Pengaruh Agama/Kebudayaan Terhadap Hukum


Pidana”

65
66

Moeljatno, 1983, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.

Moleong, Lexy, 1990, Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rasda Karya, Bandung.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Hukum Pidana,
Alumni, Bandung.

Roeslan Saleh, 1968, Kemungkinan Hukum Pidana Indonesia, Dalam “Aneka


Persoalan Hukum Indonesia, Jajasan Badan Penerbit Gadjah Mada, Jogjakarta.

____________, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika,


Jakarta, 1988.

___________, 1995, Mengidentifikasi Beberapa Masalah Kejahatan Umumnya,


Kejahatan Kesusilaan Dan Pelecehan Seksual, dalam Suparman Marzuki dkk
(ed) Pelecehan Seksual, FH UII, Yogyakarta.

RUU KUHP sampai dengan 13 Maret 1993, Panitia Penyusun RUU KUHP
1991/1992.

Sudarto, 1987, Hukum Pidana, Yayasan Sudarto, FH UNDIP, Semarang.

___________, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Soesilo, 1998, R. KUHP Serta Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea,
Bogor.

Sutopo. HB, 1990, Metode Penelitian Kualitatif Bagian II, Universitas Sebelas Maret
Press, Surakarta.

Senoadji, Oemar, 1984, Hukum (Acara) Pidana Dalam Prospeksi, Erlangga, Jakarta.

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta.

Tirtaamidjaja, M.H., 1955, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Penerbit Fasco, Jakarta.

Tresna, R, 1959, Azas- Azas Hukum Pidana, PT Tiara Ltd, Djakarta.

________, 1976, Komentar HIR, PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Van Bemmelen, 1984, Hukum Pidana I (terjemahan), Binacipta, Jakarta.

Varia Peradilan, 1987-1988, Majalah Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta.


67

Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Eresco, Bandung.

Harian Kompas, 2 September 2003

Harian Jawa Pos, 27- Juli-1999

Harian Solo Pos, 13-April -1999

Anda mungkin juga menyukai