Anda di halaman 1dari 72

KAJIAN SIKAP SADAR JENDER POLISI DALAM IMPLEMENTASI

UNDANG UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004


TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA
(Studi Kasus di Polres Sleman)

Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat
Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Oleh :
RATIH PRIMAHANANI
NIM : E.0003033

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2007
PERSETUJUAN

Penulisan hukum (skripsi) ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan


Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret , Surakarta

Dosen Pembimbing Skripsi

Th. Kussunaryatun, S.H


NIP. 130 890 431

ii
PENGESAHAN

Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah diterima dan dipertahankan oleh


Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :
Hari : Kamis
Tanggal : 25 Januari 2007

DEWAN PENGUJI

(1) M. G Sri Wiyarti S.H, M.H ( ............................................)


NIP. 130 543 195 Ketua

(2) Harjono, S.H, M.H (............................................ )


NIP. 131 570 155 Sekretaris

(3) Th. Kussunaryatun, S.H, M.H (.............................................)


NIP. 130 890 431 Anggota

Mengetahui :
Dekan

(Dr. Adi Sulistiyono, S.H, M.H)

iii
MOTTO

“…….Dari kaum perempuanlah manusia itu pertama-tama menerima pendidikan.


Dipangkuan perempuanlah seseorang mulai belajar merasa, berpikir dan berkata-
kata…….
( R.A. Kartini)”

Allah akan menjadikan kemudahan setelah kesukaran ( Q.S. Ath-Thalaq : 7)

Cepat tidak mendahului, tajam tidak melukai dan pintar tidak menggurui

iv
PERSEMBAHAN

Wujud cinta dan kasih nan tulus bagi :


Papa Mama tercinta
Kakak-kakakku dan adikku terkasih
Izar, Atsal dan Zaki,
Sandaran hatiku yang selalu setia
menyayangiku

v
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrohmaanirrohiim

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuhu


Segala puji dan syukur hanya milik Allah SWT Yaa Rahman Yaa Rohim,
Dzat yang menjadi muara segala doa dan damba bagi setiap hamba-Nya, yang
mengganti kepedihan dengan kesenangan, menjadikan kesedihan sebagai awal
kebahagiaan dan menyirnakan rasa takut menjadi rasa tentram. Shalawat serta
salam senantiasa terlimpahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga dan sahabat-sahabatnya serta bagi mereka yang istiqomah di jalan-Nya.
Atas semua limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis berhasil
menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini dengan judul “KAJIAN SIKAP
SADAR JENDER POLISI DALAM IMPLEMENTASI UU NO.23 TAHUN 2004
TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA”
Penulisan hukum ini mengulas tentang pentingnya sikap sadar jender yang
harus dimiliki oleh setiap anggota polisi pada umumnya dan anggota Unit RPK
pada khususnya. Unit RPK adalah suatu unit yang dimiliki Kepolisian untuk
menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga. Untuk itulah penulis mencoba
melihat penerapan sikap sadar jender polisi dalam implementasi UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta adakah
hambatan dalam melaksanakan sikap sadar jender tersebut dan solusi yang dapat
digunakan untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Tentunya selama penyusunan penulisan hukum ini, maupun selama
penulis menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, tidak
sedikit bantuan yang penulis terima baik moril, maupun materiiil dari berbagai
pihak. Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang setulus-
tulusnya kepada :
1. Bapak Dr. Adi Sulistiyono, S.H, M.H selaku dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi ijin dan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

vi
2. Ibu Th. Kussunaryatun, S.H, M.H selaku pembimbing penulisan skripsi yang
telah menyediakan waktu, memberikan bimbingan dan buah pikiran yang
sangat berharga bagi penulis dalam menyusun skripsi ini.
3. Ibu M. Madalina, S.H, M.Hum selaku pembimbing akademis, atas nasehat
dan dukungan bagi penulis selama belajar di Fakultas Hukum UNS.
4. AKP. Pitoyo Agung Yuwono, Sik selaku Kasat Reskrim Polres Sleman yang
telah memberi ijin pada penulis untuk melakukan penelitian di Unit RPK
Sleman.
5. Ipda Novita Ekasari selaku Kepala Unit RPK dan kepada anggota Unit RPK
Briptu Saerisma dan Aiptu Nur Khamid terima kasih atas segala bantuannya.
6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya yang menjadi bekal bagi penulis dalam penulisan skripsi ini
dan semoga dapat penulis amalkan dalam kehidupan masa depan penulis
nanti.
7. Kepada para karyawan Fakultas Hukum UNS Bagian Pengajaran, Bagian
Pendidikan, Bagian Perpustakaan, Bagian Laboratorium, Bagian Transit serta
tak lupa Mas Joko yang telah banyak memberikan bantuannya, terimakasih.
8. Papa Mama tercinta yang menjadi teladan luar biasa mengenai cinta,
kemandirian, tanggung-jawab dan kebijaksanaan yang selalu memberikan
doa, restu, dorongan dan semangat demi terselesaikannya skripsi ini, serta atas
limpahan cinta dan kasih sayang yang menjadi kekuatan bagi penulis.
9. Mas Angga dan Mbak Nuning, Mbak Nenin dan Mas Anto, dan Ricky,
penyangga semua kebahagiaan di hati dan yang telah memberi kehangatan
persaudaraan yang tak kan pernah usai.
10. Mas Ike, anugerah hidup yang berisi cinta dan kasih sayang terimakasih atas
janji setia dan kebahagian yang terlengkapi dengan hadirmu.
11. Idzar, Zaki dan Atsal pelengkap kebahagian yang selalu menghadirkan
keceriaan dan mengusir penat penulis ( nante sayang kalian....).
12. Untuk sahabat-sahabatku Ajeng, Fine, Ivan, Nurul, Mbak Riexa, Mbak Wati,
Nanda “Nandul”, Rina “Rinul” terimakasih untuk dukungan yang tidak pernah
berhenti,juga canda tawa dan tempat penulis berbagi.

vii
13. Keluargaku di “Wisma Kartini” yang selalu “rame” dan mengisi hari ceria
penulis, Ajeng, Ari, Andri, Dinda, Elvi, Ike, Fentin, Krucil Nandul, Krucil
Rina, Krucil Manik, Mbak Rieka, Mbak Vida, dan Mbak Ita semoga
persaudaraan kita selalu abadi...
14. Untuk seluruh keluarga besar angkatan 2003, terimakasih untuk kebersamaan
kita.
15. Semua pihak yang belum penulis sebutkan dalam kesempatan ini, terimakasih
atas segala bantuannya.
Semoga penulisan hukum ini bermanfaat bagi siapapun pembacanya dan
menjadi amal baik bagi penulis. Amin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Surakarta, Januari 2006

RATIH PRIMAHANANI
E.0003033

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………. i
HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………….......... ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………... iii
HALAMAN MOTTO............................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN……………………………………….... v
KATA PENGANTAR…………………………………………………... vi
DAFTAR ISI……………………………………………………….…… ix
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… xi
DAFTAR TABEL………………………………………………………. xii
ABSTRAK................................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1
B. Pembatasan Masalah............................................................. 5
C. Perumusan Masalah.............................................................. 5
D. Tujuan Penelitian.................................................................. 6
E. Manfaat Penelitian................................................................ 7
F. Metode Penelitian................................................................. 7
G. Sistematika Penulisan Hukum.............................................. 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 14
A. Kerangka Teori.................................................................... 14
1. Tinjauan Umum tentang Pengertian Jender.................... 14
a. Pengertian Jender....................................................... 14
b. Pembentukan Jender................................................. 16
c. Jender dan Kehidupan................................................ 17
d. Sikap Sadar Jender..................................................... 19
2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga..................................................... 20
a. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga............. 20

ix
b. Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga................... 22
c. Ruang Lingkup Rumah Tangga................................... 24
3. Sikap Sadar Jender Polisi dalam Menyelesaikan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga..................................................... 25
4. Peran Unit Ruang Pemeriksaan Khusus dalam Penyelesaian
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga........................ 28
5. Hambatan Pelaksanaan Sikap Sadar Jender Polisi dalam
Menangani Kekerasan Dalam Rumah Tangga................ 32
B. Kerangka Pemikiran.............................................................. 34
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN......................... 35
A. Hasil Penelitian.............................................................. 35
1. Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang Diterima
Unit RPK.................................................................. 35
2. Proses Pemeriksaan Kasus Kekerasan Dalam Rumah
Tangga...................................................................... 36
3. Faktor Penyebab Timbulnya Kekerasan Dalam Rumah
Tangga...................................................................... 43
B. Pembahasan.................................................................. 45
1. Sikap Sadar Jender Polisi Dalam Implementasi
UU PKDRT.............................................................. 45
2. Hambatan Dalam Pelaksanaan Sikap Sadar Jender
Polisi......................................................................... 50
3. Solusi Mengatasi Hambatan Pelaksanaan Sikap Sadar
Jender Polisi............................................................. 52
BAB IV PENUTUP................................................................................. 54
A. Kesimpulan..................................................................... 54
B. Saran............................................................................... 54

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 56
LAMPIRAN-LAMPIRAN.......................................................................

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Analisis Data........................................................... 34

xi
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Data Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sepanjang


Tahun 2006........................................................................ 35

xii
ABSTRAK

RATIH PRIMAHANANI, E0003033, KAJIAN SIKAP SADAR JENDER


POLISI DALAM IMPLEMENTASI UNDANG UNDANG NOMOR 23
TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Polres Sleman). Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret. Penulisan Hukum (Skripsi). 2007.

Penelitian dalam penulisan hukum (skripsi) ini, bertujuan untuk


mengetahui tentang kajian sikap sadar jender anggota kepolisian dalam
implementasi Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga, khususnya anggota Unit RPK di Polres
Sleman, serta untuk mengetahui adanya hambatan yang mungkin ditemui dalam
pelaksanaan sikap sadar jender oleh polisi dan solusi yang dapat digunakan untuk
mengatasi hambatan tersebut.
Penelitian ini bersifat deskriptif, dilihat dari tujuannya termasuk penelitian
hukum empiris atau non doktrinal. Lokasi penelitian di unit RPK Polres Sleman,
Yogyakarta. Jenis data yang dipergunakan meliputi data primer dan data
sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan melalui penelitian
lapangan dan penelitian kepustakaan. Data-data yang diperoleh kemudian diolah
dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan model interaktif.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa polisi telah mempunyai sikap
sadar jender dengan memberikan perlindungan pada korban serta memberikan
perhatian dan rasa empati yang tinggi kepada korban. Dalam penanganan kasus
kekerasan dalam rumah tangga dan melaksanakan penerapan Undang Undang
nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Karena pada dasarnya polisi telah bersikap untuk melindungi dan menghormati
wanita dan tidak membedakan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan.
Komitmen polisi untuk melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
diwujudkan dengan pembentukan Unit RPK disetiap wilayah. Dalam hal ini Unit
RPK Polres Sleman yang telah didirikan dengan memenuhi standart baku ruangan
RPK dan peningkatan pelayanan bagi masyarakat. Masih kentalnya budaya
patriarkhi dalam masyarakat, perbedaan persepsi mengenai kekerasan dalam
rumah tangga dan kurangnya pemahaman jender oleh polisi adalah beberapa
hambatan yang seringkali ditemukan dalam pelaksanaan sikap sadar jender.
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah untuk memberikan
sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Hukum dan
Jender, terutama mengenai sikap sadar jender polisi dalam implementasi Undang
Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga.

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945 Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah Negara hukum. Hal ini berarti
Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokrasi berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945, menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, menjamin semua warga
Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak
ada kecualinya. Dengan demikian Negara menjamin bahwa semua warga Negara
akan mendapatkan perlindungan hukum yang sama dan hak serta kewajiban yang
sama menurut hukum.

Dalam Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum yang
intinya adalah keserasian, keselarasan dan keseimbangan serta kemampuan untuk
mengayomi masyarakat, bangsa dan Negara. Hal-hal itu akan terwujud apabila
tercipta keseimbangan peran hak dan kewajiban antara pria dan wanita. Dalam hal
ini adalah kesetaraan dan keadilan jender dalam berbagai bidang kehidupan.

Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa, UUD 1945


sebagai landasan konstitusional, serta berbagai peraturan telah menempatkan
perempuan pada keluhuran kodrat, harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasai 27 ayat (1) “Segala warga negara
bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Namun pada kenyataannya hampir di segala bidang kehidupan, keadaan


perempuan relatif lebih buruk dari laki-laki. Kekerasan terhadap perempuan tidak
hanya berasal dari faktor luar, tetapi justru berasal dari dalam keluarga yang
seharusnya menjadi tempat berlindung.

1
2

Pada tanggal 22 September 2004 telah disahkan berlakunya UU No.23


Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT),
yang terdiri atas 10 Bab dan 56 Pasal. Undang-undang tersebut diharapkan dapat
memberikan perlindungan hukum bagi anggota keluarga, khususnya perempuan,
yang paling banyak menjadi korban kekerasan dalam keluarga. Hal ini adalah
wujud dari komitmen pemerintah untuk melindungi perempuan dalam rangka
menciptakan kesetaraan dan keadilan gender.

Undang-undang PKDRT dilaksanakan berdasarkan asas penghormatan


hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan jender, non diskriminasi dan
perlindungan korban, serta mempunyai tujuan untuk mencegah kekerasan dalam
rumah tangga, melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah
tangga serta memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

Kekerasan yang dialami perempuan adalah sebagai akibat dari faktor


pandangan yang telah lama terbentuk bahwa perempuan adalah sebagai makhluk
sub-ordinat laki-laki, karena pandangan yang seperti itulah seolah kian merugikan
kedudukan perempuan, baik berkaitan dengan perannya di sektor publik maupun
non-publik atau domestik. Contohnya dalam sektor domestik yaitu keluarga,
banyak perempuan yang menderita akibat dari pandangan tersebut. Seorang laki-
laki dalam keluarga yang harusnya ikut berperan dalam mewujudkan kesetaraan
dan keadilan gender, ikut melanggengkan pandangan yang merugikan perempuan.

Perempuan, dalam hal ini istri, dianggap sebagai makhluk yang lemah,
manja, pasif, pasrah dan tak berdaya sehingga dengan sewenang-wenang laki-laki
atau suami mengambil haknya bahkan melakukan kekerasan terhadapnya. Tak
jarang kekerasan ini berakhir dengan maut yang mengancam jiwa sang istri.

Saat ini hampir setiap hari masyarakat mendengar dan melihat berita
mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan suami terhadap istri.
Kekerasan memang tidak hanya dilakukan suami terhadap istri, bahkan seorang
istri ada yang mampu melakukan kekerasan terhadap suaminya. Tetapi menurut
data yang diperoleh prosentase terbesar adalah kekerasan yang dilakukan suami
terhadap istri.
3

Disahkannya Undang Undang PKDRT tidak mengurangi banyaknya


kekerasan yang terjadi dalam lingkungan rumah tangga. Di dalam masyarakat,
kenyataannya kekerasan rumah tangga semakin banyak terjadi. Jumlah kasus
kekerasan dalam rumah tangga seperti “fenomena gunung es”, artinya jumlah
kasus yang terungkap hanya merupakan bagian kecil yang tidak sesuai dengan
jumlah kasus yang sesungguhnya terjadi (Kussunaryatun, 2006: 5). Oleh karena
itu dibutuhkan perangkat hukum dan aparat hukum yang benar-benar mempunyai
komitmen penuh untuk menghapus kekerasan dalam rumah tangga dalam rangka
mewujudkan kesetaraan dan keadilan jender.

Kesetaraan dan keadilan jender dalam penanganan kasus kekerasan dalam


rumah tangga dapat terwujud apabila perangkat hukum dan aparat hukum
mempunyai sikap sadar jender. Dengan sikap sadar jender, maka penanganan
kasus kekerasan dalam rumah tangga dapat mengedepankan perlindungan
terhadap perempuan korban.

Korban kekerasan dalam rumah tangga berhak untuk mendapatkan


perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan
perintah perlindungan dari pengadilan (Kussunaryatun, 2006: 5).

Penderitaan korban semakin bertambah apabila kasus kekerasan yang


dialaminya kurang mendapat respon yang baik dari aparat hukum. Karena akibat
dari budaya patriarkhi, tak jarang aparat menawarkan solusi damai dalam
menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga. Sikap aparat hukum di
Indonesia memang masih dipengaruhi budaya patriarki dan tidak perspektif
jender.

Penderitaan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga benar-


benar berat, karena pada kenyataannya tidak hanya kekerasan fisik yang mereka
alami, tetapi kekerasan psikologis yang dialami adalah masalah yang paling sulit
untuk disembuhkan.
4

Kepolisian sebagai ujung tombak dari peradilan pidana dalam


kewenangannya menangani tindak kekerasan dalam rumah tangga, merupakan
aparat terdepan yang seharusnya mampu memberi jaminan perlindungan dan rasa
aman terutama bagi korban kekerasan. Rasa aman untuk dipercayai informasinya,
rasa aman dari intimidasi dan pembalasan dari pelaku kekerasan, serta dampak
lain yang mungkin timbul dari adanya laporan dan pengaduan korban.

Polisi adalah petugas, yang mungkin lebih dikenal dari sosok seragam.
Polisi mungkin petugas satu-satunya yang dianggap korban dapat dipercaya untuk
memecahan persoalan yang mereka alami. Kekerasan rumah tangga bukan sesuatu
yang baru akan tetapi penanganan hukum akan selalu mengalami benturan keras
antara penerapan UU PKDRT yang telah dibentuk dengan budaya patriarkhi yang
ada dalam masyarakat Indonesia. Budaya yang menganggap apa saja yang terjadi
dalam rumah tangga adalah urusan pribadi. Sesuatu yang tabu jika melaporkan
seorang yang dekat kepada pihak lain, lebih-lebih Kepolisian.

Persepsi, perhatian, sikap dan tindakan polisi yang menangani perkara


kekerasan dalam rumah tangga sangat mempengaruhi hasil akhir penyelesaian
perkara. Persepsi dan sikap penerimaan yang negatif jelas akan semakin
menyudutkan posisi korban, membuat korban semakin berada dalam situasi
tertekan, terhina, dan dilecehkan.

Mengenai budaya yang terdapat dalam masyarakat nampaknya petugas


keamanan juga seharusnya lebih banyak berkomunikasi dengan kaum perempuan
dalam mendorong ketertiban dan keamanan masyarakat. Melayani wanita korban
kekerasan dengan santun, sopan dan menghormati mungkin tradisi yang perlu
dirintis. Pelayanan korban kekerasan dengan suasana penuh simpati dan familiar
dapat membangkitkan kembali harga diri dan kepercayaan korban, sehingga
kerjasama dapat dilakukan dalam penyelesaian perkara. Selain itu pertimbangan
untuk selalu melibatkan pihak ketiga dalam membantu korban seperti pekerja
sosial, psikolog, ahli hukum dan dokter dalam suatu lembaga khusus sangat
penting untuk dilakukan. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari tindakan
kekerasan tidak hanya pada fisik korban, tetapi justru yang lebih serius
5

berpengaruh pada psikis korban. Dalam hal ini mungkin perlu diciptakan standar
baku bagi pelayanan dan bahkan pembinaan korban kekerasan yang dapat
digunakan kepolisian, misalnya pedoman dalam rangka notifikasi kepada korban
dan kejaksaan dalam rangka penanganan perkara dan informasi atas
perkembangan perkara.

Paling utama yang dapat dilakukan adalah bagaimana kepolisian sebagai


aparat yang berwenang dalam proses penanganan kasus kekerasan dalam rumah
tangga dapat segera melindungi perempuan sebagai korban kekerasan. Dengan
aparat penegak hukum yang mampu melindungi perempuan korban dengan sikap
sadar jender yang dimiliki setiap individu maka keadilan dan kesetaraan jender
pun dapat tercipta.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis merasa perlu untuk


mengadakan penelitian di Kepolisian Resort Sleman di Unit RPK yang telah
cukup banyak menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga dan sepanjang
tahun 2006 telah menangani 7 kasus, dengan judul “KAJIAN SIKAP SADAR
JENDER POLISI DALAM IMPLEMENTASI UNDANG UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Polres Sleman) ”

B. Pembatasan Masalah

Guna memberikan gambaran yang terfokus mengenai objek bahasan


penelitian dalam penulisan hukum ini, dan untuk menghindari terjadinya
perluasan dan kekaburan masalah yang diteliti sebagai akibat luasnya ruang
lingkup penelitian, serta mengingat keterbatasan kemampuan, waktu dan biaya
penulis, maka penulis hanya akan membatasi sikap sadar jender pada polisi
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga saja.
6

C. Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian,


karena dengan perumusan masalah berarti seorang peneliti telah
mengidentifikasikan persoalan yang diteliti sehingga sasaran yang hendak dicapai
menjadi jelas, terarah dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan.

Berdasarkan hal tersebut, maka masalah yang hendak diteliti dan dibahas
dalam penelitian ini dapat penulis rumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana sikap sadar jender polisi dengan berlakunya UU.No.23


Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga?

2. Faktor apakah yang menjadi penghambat dalam upaya pelaksanaan


sikap sadar jender?

3. Bagaimanakah solusi untuk mengatasi hambatan dalam upaya


pelaksanaan sikap sadar jender pada polisi?

D. Tujuan Penelitian

Dilakukannya suatu penelitian adalah untuk mencapai tujuan-tujuan


tertentu, begitu pula dalam penelitian ini. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
sebagai berikut :

1. Tujuan Objektif :

a. Untuk mengetahui adanya sikap sadar jender pada polisi dalam


implementasi UU No.23 tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam
Rumah Tangga.

b. Mengetahui faktor penghambat dalam upaya peningkatan sadar


jender polisi, beserta solusi yang akan ditempuh untuk
mengatasinya.

2. Tujuan Subjektif :
7

a. Untuk memperoleh data-data sebagai bahan penyusunan penulisan


hukum guna memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar
kesarjanaan dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.

b. Untuk mengembangkan dan memperluas wacana pemikiran dan


pengetahuan penulis, khususnya dalam bidang ilmu hukum dan
jender.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai
berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangsih pemikiran terhadap perkembangan ilmu


pengetahuan di bidang hukum dan jender khususnya mengenai
sikap sadar jender.

b. Untuk lebih mendalami teori yang diperoleh selama penulis


menuntut ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

2. Manfaat Praktis

a. Untuk dapat memberikan jawaban atas masalah yang diteliti.

b. Untuk lebih mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir


dinamis sekaligus untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh.

F. Metode Penelitian

Dalam mencari data mengenai suatu masalah, diperlukan suatu metode


yang bersifat ilmiah yaitu metode penelitian yang sesuai dengan permasalahan
yang diteliti.
8

Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai suatu


tujuan, untuk mencapai tingkat ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Akan
tetapi dengan mengadakan klarifikasi yang berdasarkan pengalaman, dapat
ditentukan teratur dan terpikirkannya alur yang runtut dan baik untuk mencapai
suatu maksud (Winarno Surahmat, 1982: 131).

Penelitian adalah usaha unutuk menemukan, mengembangkan dan


menguji kebenaran suatu hipotesa, usaha mana dilakukan dengan menggunakan
metode ilmiah.

Dengan demikian pengertian metode penelitian adalah cara yang teratur


dan terpikir secara runtut dan baik dengan menggunakan metode ilmiah yang
bertujuan untuk menemukan, mengembangkan guna menguji kebenaran maupun
ketidakbenaran dari suatu pengetahuan, gejala dan hipotesa.

Adapun metode yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian empiris yang bersifat deskriptif. Menurut


Soerjono Soekanto, penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan dan
gejala lainnya. Maksud dari penelitian ini deskriptif adalah terutama untuk
mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu dalam memperkuat teori-
teori baru ( Soerjono Soekanto, 1998 : 10). Dalam penelitian ini yang akan
dideskripsikan adalah mengenai sikap sadar jender polisi anggota Unit RPK
dalam implementasi UU PKDRT terhadap korban KDRT.

2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Unit RPK Kepolisian


Resort Sleman. Karena di Unit RPK Polres Sleman cukup banyak menerima
laporan kasus KDRT.

3. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
9

a) Data Primer

Data primer merupakan keterangan atau fakta yang diperoleh secara


langsung dari sumber pertama atau melalui penelitian di lapangan. Data
primer ini diperoleh dari keterangan Ipda Novita Ekasari selaku Kanit RPK
Sleman dan 2 anggota Unit RPK Sleman yaitu Aiptu Nur Khamid dan
Briptu Saerisma Juniati.

b) Data Sekunder

Adalah data atau fakta yang diperoleh melalui buku-buku, dokumen-


dokumen, peraturan perundang-undangan, laporan, teori-teori, bahan-bahan
kepustakaan dan sumber-sumber tertulis lainnya yang berkaitan dengan
masalah yang diteliti. Menurut Soerjono Soekanto dalam bukunya Penelitian
Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, data sekunder di bidang hukum
ditinjau dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu :

(1) Bahan Hukum Primer , yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang
terdiri dari :

(a) Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UUD 1945

(b) Peraturan Dasar

i) Batang Tubuh UUD 1945

ii) Ketetapan MPR

(c) Peraturan Perundang-undangan

i) Undang dan peraturan yang setaraf. Dalam penulisan hukum


ini penulis menggunakan Undang Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

ii) Peraturan Pemerintah dan yang setaraf

iii) Keputusan Presiden dan Peraturan yang setaraf

iv) Peraturan-peraturan daerah

(d) Bahan Hukum yang terkodifikasi seperti hukum adat


10

(e) Yurisprudensi dan Berkas Perkara No.Pol : BP /28/III/ 2006/


Reskrim dan Berkas Perkara No.Pol : BP/ 78/ IX/ 2006/ Reskrim,

(f) Traktat

(g) Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih
berlaku seperti, KUHP (yang merupakan terjemahan yang secara
yuridis formal bersifat tidak resmi dari Wetboek Van Strafrecht).

(2) Bahan Hukum Sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai badan


hukum primer, seperti

(a) Rancangan peraturan perundang-undangan

(b) Hasil Ilmiah para Sarjana

(c) Hasil-hasil penelitian

(3) Bahan hukum tersier atau penunjang, yaitu bahan yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, misalnya bahan dari media internet, kamus,
ensiklopedi, indeks kumulatif dan sebagainya (Soerjono Soekanto,
2001:13).

4. Sumber Data

a) Sumber Data Primer

Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai sumber
antara lain dari wawancara dengan anggota polisi yang pernah menangani
kasus kekerasan rumah dalam rumah tangga, khususnya anggota Unit RPK
Sleman. Wawancara dilaksanakan terhadap Ipda Novita Ekasari, selaku
Kanit RPK dan 2 anggota unit RPK Sleman yaitu Aiptu Nur Khamid dan
Briptu Saerisma Juniati.

b) Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah peraturan perundangan, buku-buku, dokumen,


makalah, yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini
11

penulis menggunakan sumber data sekunder Undang Undang Nomor 23


Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
makalah, jurnal Suara Apik, serta berkas perkara No Pol : BP /28/III/ 2006/
Reskrim dan Berkas Perkara No.Pol : BP/ 78/ IX/ 2006/ Reskrim.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah


sebagai berikut :

a) Studi Lapangan

Studi Lapangan adalah teknik pengumpulan data dengan cara terjun


langsung ke tempat objek penelitian untuk memperoleh data yang
dikehendaki. Studi lapangan ini dilakukan di Unit RPK Kepolisian Resort
Sleman dengan menggunakan metode wawancara. Wawancara
dilaksanakan dengan cara komunikasi secara lisan antara peneliti dengan
pihak-pihak yang berkompeten atau responden guna mendapatkan
informasi atau keterangan-keterangan yang berkaitan dengan masalah
yang diteliti. Wawancara dilaksanakan terhadap Ipda Novita Ekasari,
selaku Kanit RPK dan 2 anggota RPK Sleman yaitu Aiptu Nur Khamid
dan Briptu Saerisma Juniati.

b) Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mempelajari


dokumen, buku-buku literatur, putusan hakim, serta peraturan
perundangan-undangan yang berkaitan dengan masalah penelitian dan data
lain yang berhubungan dengan masalah atau hal yang diteliti.

6. Teknik Analisis Data

Dalam proses ini terdapat tiga komponen utama :

a) Reduksi Data
12

Reduksi data merupakan komponen utama dalam analisis yang merupakan


proses seleksi, pemfokusan penyederhanaan dan abstraksi data dari
filednot. Proses ini berlangsung selama penelitian

b) Sajian Data

Sajian data merupakan suatu rakitan organisasi informasi, deskripsi dalam


bentuk narasi yang memungkinkan simpulan penelitian dapat dilakukan.
Sajian data selain dalam bentuk narasi kalimat, juga dapat meliputi bentuk
gambar/skema, jaringan kerja kaitan kegiatan dan juga tabel sebagai
pendukung narasi.

c) Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Kesimpulan akhir tidak akan terjadi sampai pada waktu proses


pengumpulan data berakhir. Kesimpulan perlu diverifikasi agar cukup
mantap dan benar-benar bisa dipertanggung jawabkan.

pengumpulan
data

Reduksi Sajian
data data

Penarikan
simpulan/
verifikasi

Tabel 2 : Skema Analisis Data


13

Keterangan :

Data yang terkumpul direduksi berupa seleksi dan penyederhanaan


data dan kemudian diambil kesimpulan. Tahap-tahap ini tidak harus
urut yang memungkinkan adanya penilaian data kembali setelah ada
gambaran kesimpulan.

Data-data diperoleh dari wawancara terhadap anggota RPK Polres


Sleman yang pernah menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga
yaitu Ipda Novita Ekasari selaku Kanit RPK Polres Sleman, serta
anggota Unit RPK Aiptu Nur Khamid dan Briptu Saerisma Juniati.
Data juga diperoleh dari pembelajaran pada Berkas Berita Acara
Pemeriksaan Perkara juga dari perundang-undangan dari hasil teori
tersebut kemudian dikonfirmasikan terhadap nara sumber mengenai
pelaksanaannya apakah berdasarkan teori yang ada. Dari hasil tersebut
kemudian ditarik kesimpulan.

G. Sistematika Penulisan Hukum

Untuk mempermudah penulisan hukum ini, maka penulis dalam


penelitiannya membagi menjadi empat bab dan tiap-tiap bab dibagi dalam sub-bab
yang disesuaikan dengan luasnya pembahasan.

Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab ini diuraikan tentang Latar Belakang Masalah,


Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Metodelogi Penelitian yang kemudian diakhiri dengan
Sistematika Penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam Bab ini penulis akan menguraikan mengenai kerangka


teori yang berisi Tinjauan Umum Tentang Pengertian Jender,
14

Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang Undang


Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga, Sikap Sadar Jender Polisi Dalam Menyelesaikan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan Peran Unit Ruang
Pemeriksaan Khusus Polres Sleman Dalam Penyelesaian Kasus
Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta Kerangka Pemikiran.

BAB III : HASIL PENELITIAN

Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil penelitian, selain itu bab
ini juga berisi data-data yang diperoleh sebagai hasil penelitian
baik dari hasil wawancara maupun data sekunder.

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai kesimpulan


dan saran mengenai permasalahan yang ada.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Pengertian Jender
a) Pengertian Jender
Istilah Jender dan seks (jenis kelamin) seringkali tumpang tindih,
seks atau jenis kelamin berasal dari “gene” yang diartikan sebagai
plasma pembawa sifat di dalam keturunan. Ann Oakley, seorang ahli
sosiolog Inggris, adalah orang pertama yang melakukan pembedaan
istilah Jender dan seks. Perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciri-
ciri biologis, terutama yang menyangkut prokreasi (hamil, melahirkan,
menyusui). Perbedaan jender adalah perbedaaan simbolis atau sosial
yang berpangkal pada perbedaan seks, tapi tidak identik dengan seks itu
sendiri (Saptari, 1997: 89).

Jender merupakan pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang


diciptakan oleh manusia, dapat ditukar, atau diubah sesuai tempat, waktu
dan lingkungan sosial, sehingga jender dianggap sebagai sesuatu
konstruksi sosial budaya atas seks, menjadi peran dan perilaku sosial
(Margiani dalam Woro, 2002 :35).

Jender pertama kali dirumuskan pengertiannnya oleh Gayle Rubin


(1975) yang merupakan konstruksi sosial dan pembedaan jenis kelamin
berdasarkan hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan ( Kantor
Menteri UPW, 1996 : 27).

Rahardjo berpendapat bahwa Jender merupakan istilah untuk


menerangkan bagaimana pengintepretasian suatu budaya terhadap jenis
kelamin, yaitu dalam memberikan arti bagi seseorang yang lahir sebagai
laki-laki dan yang lahir sebagai perempuan serta segala aturan yang
mengatur hubungan keduanya. Keadaan ini melahirkan stereotip jender
yang berkaitan dengan hal-hal dalam masyarakat, misalnya citra, peran,

15
16

kedudukan, kewajiban dan kegiatan kedua jenis kelamin. Umar


mengemukakan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa jender
adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan dalam
hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-
laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Jender
dipandang sebagai konstruksi sosial dan kodifikasi perbedaan antar seks,
konsep ini menunjuk pada hubungan sosial antara laki-laki dan
perempuan. Jender merupakan rekayasa sosial, tidak bersifat universal
dan memiliki identitas berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, agama, adat istiadat, golongan
juga faktor sejarah, waktu dan tempat serta kemajuan ilmu pengetahuan
dan tekhnologi (Woro, 2002: 36).

Perbedaan antara laki-laki dan perempuan sebenarnya terbatas pada


kondisi biologisnya saja, dengan adanya empat perbedaan mutlak antara
laki-laki dan perempuan, yaitu : laki-laki membuahi sedangkan wanita
mendapat haid, mengandung dan menyusui (Money dalam Eko Setyo,
2005:9). Lebih lanjut dikatakan bahwa perbedaan fisik lain yang penting
dan lebih merupakan kelaziman daripada sesuatu yang mutlak adalah
akibat umum dari keadaan biologis itu.

Jender adalah konstruksi sosial budaya yang mengotak-kotakkan


karakteristik, kegiatan dan peran manusia menjadi kategori feminim dan
maskulin, jender berarti pula segala sesuatu yang dilakukan atau
dipikirkan orang sebagai laki-laki dan perempuan, bukan atas dasar
biologisnya tapi atas dasar fungsi sosialnya (Suratiyah dalam Meisa,
1998: 28). Jender juga dimaksudkan sebagai suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara
sosial maupun kultural dan dapat dipertukarkan (Fakih, 1997: 8-9).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jender adalah


pembedaan jenis kelamin atau stereotip antara laki-laki dan perempuan
yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya, dapat dipertukarkan dan
17

menunjuk pada hubungan sosial antara keduanya yang mengakibatkan


pembedaan dalam hal peran, kedudukan, kewajiban dan kegiatan kedua
jenis kelamin yang dipengaruhi oleh faktor ideologi, politik, ekonomi,
agama, sejarah dan adat istiadat.

b) Pembentukan Jender

Pada awalnya jender dibentuk secara konsepsi yang biasanya


diperluas oleh keluarga atau masyarakat luas pada saat jenis kelamin si
anak diketahui (Fuhrmann dalam Meisa, 1998: 30). Begitu atribut jenis
kelamin kelihatan maka pada saat itu konstruksi budaya mulai terbentuk,
melalui atribut tersebut seseorang akan dipersepsikan sebagai laki-laki
atau perempuan, atribut ini juga senantiasa digunakan untuk menentukan
hubungan relasi jender, seperti pembagian peran, fungsi dan status dalam
masyarakat (Umar dalam Woro, 2002 :37).

Pada dasarnya diajar sejak awal masa kanak-kanak untuk melihat,


berpikir, merasa, dan bertindak sesuai dengan standar yang ditentukan
stereotipe untuk kelompok jenis kelaminnya. Seorang anak apabila dari
lahir sampai dewasa dibentuk dan diberlakukan dengan pengotak-
kotakan atau stereotipe tertentu maka anak itu akan berpikir dan
berperilaku seperti itu. Pengaruh ini diawali dalam keluarga, sekolah,
tempat kerja, media, masyarakat secara luas, dan sistem masyarakat
yang berlaku secara aturan masyarakat bahkan aturan negara (Woro,
2002 :38).

Cara berpikir dan berperilaku seseorang juga dipengaruhi budaya


sekelilingnya. Setiap orang diperkenalkan pada budaya, belajar ikut serta
dalam tugas-tugas yang sudah ditetapkan, menerima pesan dan identitas
yang dibentuk struktur sosialnya (Berger dalam Susilastuti, 1993: 27).
Oleh karena itu, kualitas untuk menentukan pola perilaku yang sesuai
bagi laki-laki dan perempuan tergantung pada apa yang dihargai oleh
kebudayaannya, stereotipe yang menyatakan laki-laki bersifat agresif,
18

mandiri dan tidak emosional, sedangkan perempuan itu ramah, bijaksana


dan lembut, berperan sebagai standar dalam menentukan apakah perilaku
individu itu sesuai atau tidak sesuai dengan jenis kelaminnya dan juga
sesuai dengan norma dan nilai dalam lingkungan sosialnya (Eko Setyo,
2005: 9).

Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa


pembentukan jender bermula secara konsepsi dan sejak awal masa
kanak-kanak yang diperluas oleh keluarga dan masyarakat hingga
individu dewasa, serta mengajarkan individu untuk bertindak sesuai
stereotipenya, yang termanifestasikan pada cara berpikir, berkata,
berperilaku dan cara menilai diri sendiri.

c) Jender dan Kehidupan

Jender sebagai rekayasa sosial dapat menimbulkan kesenjangan


dan ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang lebih
sering merugikan perempuan (Kantor Menteri UPW, 1996 :32). Seperti
halnya pembentukan diskriminasi terhadap perempuan yang
termanifestasikan dalam bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan.
Apabila kodrat merupakan realitas biologis untuk membedakan laki-laki
dan perempuan, maka jender merupakan realitas sosial budaya yang
menentukan status, kegiatan, peranan, hak dan kewajiban serta sifat dan
sebagainya, baik yang nyata maupun yang menjadi harapan masyarakat
pada kurun waktu tertentu yang menyangkut keberadaan laki-laki dan
perempuan, karena dibentuk oleh masyarakat maka peranan jender
berubah bersama waktu dan berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat
yang lain (Bainar dalam Woro, 2002 : 39).

Di dalam keragaman budaya dan tatanan sosial, perbedaan jender


sebenarnya merupakan hal yang wajar, sebab setiap budaya dan
komunitas mempunyai ekspresi yang khas. Masalah perbedaan jender
muncul disebabkan adanya mitos dan citra baku yang mengkaitkan peran
19

perempuan dan laki-laki dengan jenis kelaminnya, serta penilaian secara


sosial budaya yang dilabelkan padanya. Hal tersebut mengakibatkan
peran laki-laki dan perempuan terkotak-kotak. Apabila seseorang
berusaha keluar dari kotak itu berarti masuk ke dalam ketegangan dan
situasi yang dianggap tidak biasa. Masalah yang muncul karena
perbedaan itu mengakibatkan ketimpangan perlakuan dalam masyarakat,
ketidakadilan dalam hak dan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan.

Perbedaan jender (gender differences) sesungguhnya tidak menjadi


masalah sepanjang hal itu tidak menimbulkan ketidakadilan (gender
inequalties). Dalam kenyataan sosial bahwa perbedaan jender telah
menjadi pangkal dari ketidakadilan jender, baik bagi laki-laki dan
terutama bagi perempuan. Illich berpendapat bahwa penindasan terhadap
kaum perempuan sebagai akibat dari perbedaan jender dan menjadi
sangat parah ketika era industrialisasi dihembuskan dan dikembangkan.
Ketidakadilan jender ini termanifestasikan dalam beberapa bentuk,
seperti adanya marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,
subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik,
pembentukan stereotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan
terhadap perempuan, beban kerja yang lebih panjang dan lebih banyak
atau burder, serta sosialisasi ideologi nilai peran jender, kesemuanya
saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Eko Setyo
Utomo, 2006 : 9-12).

Berbagai studi lintas budaya menunjukkan bahwa perempuan


selalu berada dalam posisi tersubordinasi (Moore dalam Woro, 1998:40).
Image tentang laki-laki lebih menguntungkan dibandingkan image
tentang perempuan (Prapti,1993:12 ). Perbedaan jender pada laki-laki
dan perempuan yang mana perempuan diidentifikasikan dengan posisi
yang lebih rendah disosialisasikan melalui mainan, buku, sekolah,
harapan, bahasa, media, dan sebagainya yang mendukung dan
memperkuat pesan pembedaan tersebut sehingga pada saat anak
20

perempuan mencapai masa remajanya ia akan sadar bahwa ia


“perempuan” dan oleh karena itu ia menduga status dan atribut yang
lebih rendah dari laki-laki. (Szirom dan Dowling, 1995).

Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa


jender dan kehidupan mempunyai makna adanya ketimpangan relasi
jender atau ketidakadilan jender yang mengotak-kotakkan peran
perempuan dan laki-laki, yang menimbulkan diskriminasi terhadap
perempuan dan membuat perempuan rentan terhadap kekerasan yang
merugikan perempuan dan bahkan membahayakan jiwa perempuan.

d) Sikap Sadar Jender

Kesadaran jender merupakan suatu upaya untuk menjelaskan


bagaimana perempuan telah dirugikan sehubungan dengan ketimpangan
konstruksi sosial antara laki-laki dan perempuan. Apabila seseorang
mempunyai sikap sadar jender, dia diharapkan dapat menilai lagi apa
yang telah dilakukannya sesuai dengan keadilan jender, tidak
terbelenggu oleh stereotipe budaya atau masyarakat yang timpang
(Hasbianto dalam Meisa, 1998 :27).

Sikap terdiri dari apa yang diketahui terhadap objek, apa yang
dirasakan tentang objek dan apa yang dilakukan terhadap objek. Sikap
sadar jender berarti meliputi apa yang diketahui, apa yang dirasakan dan
apa yang dilakukan terhadap pembedaan laki-laki dan perempuan. Sikap
dapat dipelajari dan dapat diubah, meskipun relatif stabil (Whedall
dalam Woro, 2002 :43)

Individu yang memiliki sikap sadar jender adalah seseorang yang


tidak lagi memegang pandangan yang menilai peran laki-laki lebih tinggi
dibanding perempuan. Mereka mempunyai pandangan baru yang
menyakini peran antara laki-laki dan perempuan adalah sederajat atau
egaliter, sama penting serta menolak pandangan salah satu dapat
mendominasi yang lain (Woro, 2002:43)
21

Mengacu dari pendapat diatas, maka sikap sadar jender diartikan


sebagai totalitas sikap, pendapat dan sensitifitas yang dimiliki individu
atau kelompok yang mencerminkan pola dominan dari representasi
ideologi yang dimilikinya, menyadari dan mengakui bahwa hubungan
seseorang dibentuk karena keberadaannya sebagai perempuan atau laki-
laki dan berusaha untuk menampilkan diri tanpa pembedaan laki-laki
dan perempuan dalam kehidupan atau relasi sosial serta dapat melakukan
kegiatan dan menjalankan kehidupan tanpa terbelenggu strereotipe laki-
laki dan perempuan.

Perubahan cara berpikir yang bertumpu pada kesadaran gender


akan mengubah tatanan sosial yang lebih adil dan manusiawi, termasuk
juga model antara suami dan istri yang saling menghargai harkat dan
martabat, serta antara korban kekerasan dengan aparat yang dengan
sepenuh hati dan kesadaran jender menyelesaikan kasus KDRT. Suatu
gerakan besar yang akan memperbarui kehidupan dan memberi harapan
bagi peradaban manusia.

2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Undang Undang Nomor


23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga

a) Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan secara umum didefinisikan sebagai suatu tindakan yang


bertujuan untuk melukai seseorang atau merusak barang. Kekerasan
diartikan sebagai penggunaan kekuatan fisik untuk melukai manusia atau
merusak barang, serta mencakup pula ancaman dan pemaksaan
kebebasan individu (MacKenzie dalam Purnianti, 2000 : 173).

Secara teoritis kekerasan yang dilakukan sedemikian rupa sehingga


mengakibatkan kerusakan fisik maupun psikis adalah kekerasan yang
bertentangan dengan hukum. Oleh karenanya merupakan kejahatan.
Kadish mengartikan kekerasan (violence) adalah “all tipes of illegal
22

behaviour, either threatened or actual that result in the damage or


destruction of property or in the injure or death of an individual” . dari
definisi diatas dapat dikatakan bahwa untuk dapat digolongkan sebagai
kekerasan ia harus memuat atau merujuk pada unsur-unsur tertentu,
seperti tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, adanya
ancaman atau tindakan nyata dan memiliki akibat kerusakan harta benda,
fisik atau mengakibatkan kematian (Asmarani, 2003 : 4).

Kekerasan sebagai bentuk perilaku yang menimbulkan penderitaan


fisik maupun psikologis pada korban, sedangkan kekerasan terhadap
perempuan adalah diartikan sebagai setiap kekerasan yang diarahkan
kepada perempuan hanya karena mereka perempuan (Schuler dalam
Harkristuti Harkrisnowo, 1995: 3 ). Sedangkan Johan Galtung
memandang konsep kekerasan di dalam pengertian yang lebih luas
meliputi semua tindakan yang dapat menghalangi seseorang untuk
merealisasikan potensi dirinya (self realization) dan mengembangkan
pribadinya (personal growth), yang merupakan dua jenis hak dan nilai
yang asasi. Di dalam rumusan Galtung kekerasan tidak hanya meliputi
dimensi yang bersifat fisik akan tetapi memiliki dimensi yang bersifat
psikologis (Asmarani,2003 : 5).

Pada tahun 1992, PBB mengeluarkan Rekomendasi Umum No.19


yang menyatakan dengan tegas bahwa kekerasan terhadap perempuan
atau kekerasan berbasis jender adalah suatu bentuk diskriminasi yang
secara serius dapat menghambat perempuan untuk menikmati kebebasan
dan hak-haknya setara dengan laki-laki.

Kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah kejahatan dan


pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan merupakan masalah yang
amat serius yang harus ditanggulangi oleh masyarakat, negara dan aparat
hukum.

Secara lebih khusus Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan


Terhadap Perempuan merumuskan bahwa yang dimaksud dengan
23

kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan


perbedaan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan
perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman
tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara
sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam
kehidupan pribadi.

Dalam Undang Undang PKDRT, pada Pasal 1 ayat (1) diuraikan


bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.”

b) Bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan dijelaskan dalam


Pasal 2 Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan:

“Kekerasan terhadap perempuan harus dipahami mencakup, tapi tidak


hanya terbatas pada hal-hal sebagai berikut:

(1) Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi


dalam keluarga, termasuk pemukulan, penyalahgunaan seksual
atas perempuan kanak-kanak dalam keluarga, kekerasan yang
berhubungan dengan mas kawin, perkosaan dalam perkawinan,
pengrusakan alat kelamin perempuan dan praktek-praktek
kekejaman tradisional lain terhadap perempuan, kekerasan di
luar hubungan suami istri dan kekerasan yang berhubungan
dengan eksploitasi.

(2) Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang terjadi


dalam masyarakat luas, termasuk perkosaan, penyalahgunaan
seksual, pelecehan dan ancaman seksual di tempat kerja, dalam
24

lembaga-lembaga pendidikan dan sebagainya, perdagangan


perempuan dan pelacuran paksa.

(3) Kekerasan secara fisik, seksual dan psikologis yang dilakukan


atau dibenarkan oleh negara, dimana pun terjadinya.”

Lahirnya Undang Undang PKDRT, Indonesia telah mengatur


bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan di dalam ruang lingkup
rumah tangga, yaitu:

(1) Kekerasan Fisik : Berdasarkan Pasal 6 disebutkan


pengertian kekerasan fisik adalah
perbuatan yang mengakibatkan rasa
sakit, jatuh sakit atau luka berat. Bentuk-
bentuk kekerasan fisik contohnya
memukul, melempar, mencekik,
menendang, melempar barang,
menginjak, melukai, dan membunuh.

(2) Kekerasan psikis : Berdasarkan Pasal 7 pengertian


kekerasan psikis adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa
percaya diri, hilangnya kemampuan
untuk bertindak, rasa tak berdaya, dan
atau penderitaan psikis berat pada
seseorang. Contoh kekerasan psikologis
yaitu membentak, berteriak-teriak,
menyumpah, mengancam, menguntit,
mematai-matai serta tindakan lain yang
menimbulkan rasa takut atau trauma.

(3) Kekerasan Seksual : Berdasarkan Pasal 8 kekerasan seksual


meliputi:
25

(a) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap


orang yang menetap dalam rumah tangga tersebut.

(b) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam


lingkup rumah tangganya dengan orang lain dengan tujuan
komersil atau tujuan tertentu.

(4) Penelantaran Rumah Tangga : Berdasarkan Pasal 9


Penelantaran Rumah Tangga
meliputi:

(a) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup


rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian, ia wajib
memberikan kehidupan, perawatan dan pemeliharaan
kepada orang tersebut.

(b) Penelantaran sebagaimana disebut pada ayat 1 juga berlaku


bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan
ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga
berada di bawah kendali orang tersebut.

c) Ruang Lingkup Rumah Tangga

Menurut Pasal 2 UU No.23 Tahun 2004, disebutkan bahwa ruang


lingkup kekerasan dalam rumah tangga yaitu :

(1) Lingkup Rumah Tangga dalam Undang Undang ini meliputi :

(a) Suami, Isteri dan Anak.

(b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan


orang sebagaimana dimaksud (suami,isteri dan anak)
karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan dan perwalian.
26

(c) Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf ii


dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu
selama berada dalam rumah tangga bersangkutan.

3. Sikap Sadar Jender Polisi Dalam Menyelesaikan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga

Apabila ditelaah perbedaan jender ( gender differences) antara laki-


laki dan perempuan terjadi melalui proses yang panjang. Terjadinya
perbedaan jender dikarenakan oleh banyak hal yang dikontribusikan secara
sosial dan sruktural. Kontribusi sosial tersebut dibangun oleh masyarakat
sehingga terjadi pembagian (pengkavlingan) bahwa domain bagi kaum
perempuan adalah pada alam domestik dan laki-laki pada publik. Hal
inilah yang menimbulkan dan melahirkan ketidakadilan ( gender in
equalities) bahkan menyebabkan kekerasan terhadap perempuan (Yohana,
2005: 2).

Perempuan seringkali ditempatkan di posisi kedua setelah laki-laki,


sehingga perempuan dianggap tergantung pada laki-laki dan menjadi milik
laki-laki. Hal ini berdampak pada ketidakadilan gender yang salah satunya
terwujud dalam kekerasan berbasis jender (Vera Kartika Giantari, 2006: 1)

Dalam konsiderans deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan


Terhadap Perempuan, dinyatakan bahwa Kekerasan Terhadap perempuan
adalah wujud dari ketimpangan historis hubungan-hubungan kekuasaan di
antara laki-laki dan perempuan yang mengakibatkan dominasi dan
diskriminasi terhadap perempuan oleh laki-laki dan hambatan bagi
kemajuan mereka. Dalam banyak kasus kekerasan terhadap perempuan,
kedudukan dan relasi yang tidak seimbang antar pelaku dan korban telah
menjadi faktor utama penyebab kekerasan terhadap rumah tangga.

Salah satu Deklarasi Konverensi Wina 1993 mencantumkan bahwa


“ Kekerasan berbasis jender dan segala bentuk penyerangan maupun
eksploitasi seksual, termasuk yang merupakan hasil olahan
27

prasangka/anggapan budaya, adalah pelanggaran terhadap harkat dan


martabat kemanusiaan, dan oleh karenanya harus dihapuskan.”

Kekerasan itu muncul sebagai akibat dari adanya bayangan tentang


peran identitas berdasarkan jenis kelamin yang dikaitkan dengan bayangan
mengenai kekuasaan yang dapat dimilikinya. Hal ini membantu
menjelaskan mengapa kekerasan seringkali merupakan hasil dari sebuah
ketakutan yang dipersepsikan oleh pelaku ketimbang ketakutan yang
sebenarnya (Moore, 1994: 66).

Kekerasan terhadap perempuan terjadi karena beberapa sebab


diantaranya karena nilai sosial yang menempatkan perempuan pada posisi
kedua setelah laki-laki (sub-ordinat) atau dibawah kekuasaan dan kontrol
laki-laki (Eko Mulyono, 2006:13).

Kaitannya dengan HAM bahwa kekerasan terhadap perempuan


merupakan rintangan pada pembangunan, sebab kekerasan itu dapat
menimbulkan akibat kumulatif yang tidak sederhana, seperti dapat
berpartisipasi secara penuh dalam kegiatan sosial, menggganggu kesehatan
wanita, mengurangi otonomi wanita baik dalam bidang ekonomi, sosial,
politik dan budaya(Muladi dalam Ani Purwanti, 2005: 6).

Dalam Suara Apik, Radhika Commaraswamy, Special Rapporteur


PBB tentang Kekerasan Terhadap Perempuan juga menguraikan bahwa
kekerasan berbasis jender terjadi karena :

a) Kekerasan terjadi karena korban berjenis kelamin perempuan, oleh


karena itu menjadi objek atau sasaran kekerasan. Kekerasan jenis ini
berakar pada konstruksi masyarakat tentang seksualitas perempuan dan
peran dalam hierarki sosial.

b) Karena relasinya dengan laki-


laki, baik karena perkawinan atau pertalian darah atau relasi intimnya,
seorang perempuan menjadi sangat rentan terhadap kekerasan domestik,
dalam hal ini adalah kekerasan dalam rumah tangga.
28

c) Karena perempuan menjadi anggota dari kelompok sosial tertentu. Pada


saat perang, kerusuhan etnis, agama, kelas atau kasta, kaum perempuan
kerap menjadi sasaran dari kekerasan. Misalnya dalam kasus Mei 1998
terjadi perkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa. Penggunaan
kekerasan ini dimaksudkan sebagai alat untuk menghinakan kelompok
atau komunitas darimana perempuan itu berasal atau menjadi
anggotanya. Persepsi laki-laki terhadap seksualitas perempuan dan
perempuan sebagai milik.

Jelaslah bahwa masalah ketimpangan kekuasaan dan ketimpangan


relasi jender adalah penyebab utama kekerasan terhadap perempuan,
khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan berbasis jender
mengakar pada konteks relasi kekuasaan dalam bidang ekonomi, sosial,
politik dan budaya. Ketimpangan seperti ini juga memberikan legitimasi
terhadap kekerasan yang terjadi.

Dalam penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan


yang terpenting adalah adanya koordinasi dan sinkronisasi antar
komponen peradilan pidana sebagai syarat tercapai penyelesaian kasus
yang lebih efektif. Artinya perlunya kesamaan persepsi dan tindakan
dalam kerangka hak, kewajiban dan kewenangan masing-masing
komponen dalam memandang persoalan yang timbul dari tindakan
kekerasan dalam rumah tangga (Asmarani, 2003:13). Kesamaan persepsi
dan tindakan dalam mewujudkan keadilan dengan didasari sikap sadar
jender, penting untuk membantu dan melindungi korban kekerasan dalam
rumah tangga. Dengan kata lain, polisi sebagai komponen dari Sistem
Peradilan Pidana yang berperan aktif dalam menangani kasus kekerasan
dalam rumah tangga harus mempunyai sikap sadar jender.

Seorang polisi yang mempunyai sikap sadar jender mempunyai


pandangan bahwa peran laki-laki dan perempuan adalah sederajat atau
egaliter, sehingga tercipta keseimbangan hak dan kewajiban antara laki-
laki dan perempuan. Sikap sadar jender polisi berperan penting dalam
29

memberi perlindungan dan pelayanan terhadap korban kekerasan dalam


rumah tangga. Penerimaan laporan dengan bersikap responsif dan simpatik
sebagai cermin sikap sadar jender akan sangat membantu korban (Ipda
Novita, 2006).

4. Peran Unit Ruang Pemeriksaan Khusus Polres Sleman Dalam


Penyelesaian Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan, sekarang


di sejumlah negara dilaksanakan peningkatan peran Sistem Peradilan
Pidana (termasuk polisi) yang antara lain memanfaatkan pedoman PBB
(Purnianti, 2000: 177). POLRI telah menyediakan pelayanan khusus pada
tahun 2000 yaitu Unit Ruang Pelayanan Khusus (RPK) oleh polisi wanita.
Petugas RPK yang beranggotakan polisi wanita diberi pelatihan-pelatihan
khusus sehingga mereka mempunyai kepekaan jender dan tanggap
terhadap para perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga atau
kekerasan umum (Convetion Watch, 2004 : 82).

RPK adalah sebuah ruang tertutup yang nyaman dan aman, tempat
perempuan dan anak korban kekerasan melaporkan dan diperiksa
kasusnya. Dengan mengutamakan perlindungan terhadap korban serta
memenuhi hak-hak korban kekerasan. Dengan fungsi utama RPK adalah
menampung segala keluhan korban beserta permasalahannya (Ipda Novita,
2006).

Di Indonesia, RPK pertama kali didirikan pada tahun 2000


berdasarkan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
maraknya kasus kekerasan terhadap wanita dan anak.. Sedangkan proses
penyidikan yang dilakukan Unit RPK adalah :
a) Membuat dan menerima laporan polisi.
b) Membuat permohonan Visum Et Repertum.
c) Melakukan pemeriksaan korban atau merujuk ke Rumah Sakit.
d) Memberi konseling terhadap korban.
30

e) Melakukan pemeriksaan saksi-saksi.


f) Memberi kepastian kepada korban tentang adanya tindak lanjut dari
laporan atau pengaduan.
g) Memberi rujukan kepada LSM atau Rumah aman sebagai
pendamping.
h) Bertanggung jawab terhadap keamanan dan keselamatan korban.
i) Melakukan pemeriksaan secara psikologis.
j) Pemeriksaan barang bukti secara Laboratoris Kriminalistik
k) Pemberkasan dan pengiriman perkara pada Kejaksaan.

Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga mempunyai hak


untuk melapor dan mendapat perlindungan dari aparat Kepolisian. Hal ini
disebutkan dalam Pasal 10 Undang-undang PKDRT mengenai hak-hak
korban. Dalam menangani tindak kekerasan dalam rumah tangga polisi
tidak hanya berpegang pada KUHP, tetapi dengan disahkannya Undang-
undang PKDRT pelaksanaannya juga mengacu dari peraturan fungsi
Kepolisian yang terdapat dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Indonesia.

Pasal 13 UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara


Indonesia mencantumkan :

“Tugas Pokok Kepolisian adalah fungsi pemerintahan negara di


bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan
hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.”

Dengan adanya fungsi kepolisian sebagaimana dalam Pasal 2,


maka Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan
keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta
terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia (Pasal 4 UU.No.2 Tahun 2002).
31

Fungsi kepolisian yang disebutkan dalam Pasal 2 UU No.2 Tahun


2002, hal ini sesuai dengan kewenangan yang disebutkan dalam Pasal 16
sampai dengan 20, Pasal 26, 27, 35 dan 36 Undang Undang PKDRT.

Pada Pasal 17 Undang Undang PKDRT disebutkan bahwa “Dalam


memberikan perlindungan sementara, kepolisian dapat bekerja sama
dengan tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau
pembibing rohani untuk mendampingi korban.”

Pasal 18 Undang Undang PKDRT “Kepolisian wajib memberikan


keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapatkan
pelayanan dan pendampingan.”

Pasal 20 Undang Undang PKDRT “Kepolisian segera


menyampaikan kepada korban tentang :

a) Identitas petugas untuk pengenalan kepada korban;


b) Kekerasan terhadap rumah tangga adalah kejahatan terhadap
martabat kemanusiaan; dan
c) Kewajiban Kepolisian untuk melindungi korban.

Sedangkan tugas pokok kepolisian adalah memberikan bimbingan


terhadap masyarakat, yang bersifat preventif dan represif. Bimbingan
terhadap masyarakat merupakan upaya untuk menggugah perhatian dan
menanamkan pengertian pada masyarakat untuk melahirkan sikap sadar
mau berperan serta dalam pembinaan keamanan, ketertiban nasional dan
ketaatan hukum. Tugas preventif adalah upaya pencegahan dimana polisi
berkewajiban melindungi negara beserta lembaganya, ketertiban dan
ketaatan umum, masyarakat, dengan cara mencegah perbuatan-perbuatan
yang pada hakekatnya dapat mengancam dan membahayakan ketertiban
umum. Dengan adanya UU PKDRT maka kekerasan dalam rumah tangga
yang dianggap wilayah privat, maka tugas kepolisian yang bersifat
preventif dapat dilakukan dengan cara memberikan sosialisasi kepada
masyarakat tentang KDRT. Sedangkan tugas yang bersifat represif
32

merupakn upaya penindakan apabila ada anggota masyarakat yang


melakukan kejahatan atau tindak pidana.

Dalam KUHAP mengatur secara terperinci kewenangan para


penegak hukum, khususnya Kepolisian dalam menangani kekerasan dalam
rumah tangga. Kepolisian sebagai Penyelidik dan atau Penyidik
berkewajiban karena wewenangnya untuk:
a) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya
tindak pidana.
b) Mencari keterangan dan barang bukti.
c) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta
memeriksa tanda pengenal diri.
d) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
e) Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeladahan dan
penyitaan.
f) Pemeriksaan dan penyitaan surat.
g) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
h) Memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi.
i) Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam kaitannya dengan
pemeriksaan pidana.

Sedangkan di Polres Sleman, RPK berdiri pada tahun 2003. Latar


belakang disediakannya RPK di Polres Sleman adalah banyaknya
kekerasan yang terjadi pada perempuan dan anak yang diperlukan
penanganan khusus oleh negara melalui aparat kepolisian. RPK Polres
Sleman terdiri dari satu orang Kepala Unit dengan tujuh orang anggota
polisi. RPK Polres Sleman dikepalai oleh Ipda. Novita Eka Sari dibawah
Satuan Reskrim Polres Sleman.
33

5. Hambatan Pelaksanaan Sikap Sadar Gender Polisi Dalam Menangani


Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dalam rangka mengungkapkan implementasi UU PKDRT maka


hukum harus dilihat dalam perspektif makro, artinya bekerjanya hukum
harus dilihat sebagai suatu sistem yang utuh, di mana hukum itu hidup
dalam suatu interaksi antara berbagai faktor pendukungnya (Jamin,
2005:3). Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa komponen pendukung
bekerjanya sistem hukum meliputi :

a) Komponen Struktur, ialah kelembagaan yang diciptakan oleh sistem


hukum itu dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka
mendukung bekerjanya sistem hukum. Komponen struktur adalah
berbagai institusi yang bertugas sebagai pelaksana dan penegak
hukum.

b) Komponen Kultur, ialah nilai-nilai yang merupakan pengikat sistem


itu serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah-tengah
masyarakat secara keseluruhan.

c) Komponen Substansi, ialah semua out put dari sistem hukum, yang
meliputi norma-norma, peraturan, doktrin dan sebagainya yang
mengatur kehidupan rakyat.

Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seseorang


pemegang peranan itu diharapkan dapat bertindak. Bagaimana lembaga-
lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan
hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan
kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan sosial,
politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik dari
pemegang peran (Jamin, 2005:4).

Polisi sebagai komponen struktur hukum diharapkan dapat


menerapkan sikap sadar jender dalam menangani kasus kekerasan dalam
rumah tangga. Dalam perspektif sosio-yuridis dapat diidentifikasi
34

beberapa faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan sikap sadar


jender polisi dalam implementasi UU PKDRT, antara lain :

a) Masalah budaya (culture) patriarkhi yang memandang pria lebih


dominan dari wanita dalam berbagai hal. Secara kultural kekerasan
dalam rumah tangga dianggap sebagai kasus domestik atau urusan
pribadi suami-istri yang tidak pantas diketahui masyarakat. Sehingga
dianggap sebagai aib jika dilaporkan pada kepolisian. Kekerasan
terhadap perempuan merupakan produk struktur sosial yang bersifat
patriarkhi dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan
menomor-satukan kepentingan dan perspektif laki-laki, sekaligus
menganggap perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dan
kurang bernilai dibanding laki-laki. Pandangan ini menyatakan
bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu hal yang
cukup umum terjadi sebagi konsekuensi struktur masyarakat yang
mementingkan dan didominasi oleh laki-laki.

b) Masih kurangnya sosialisasi UU PKDRT sehingga masyarakat


secara luas belum memahami arti penting penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
fenomena gunung es yaitu kasus yang sebenarnya terjadi dalam
masyarakat lebih banyak daripada kasus yang dilaporkan pada polisi.

c) Kesadaran dan kepekaan jender anggota polisi masih kurang,


sehingga kadang-kadang korban takut untuk melapor karena korban
justru menjadi obyek. Korban kekerasan memiliki keraguan,
kekhawatiran dan ketakutan untuk melaporkan apa yang dialaminya,
maka sikap sadar jender polisi sangat dibutuhkan untuk mendukung
korban dalam rangka menangani kasus kekerasan dalam rumah
tangga.
35

B. Kerangka Pemikiran

Hukum

KDRT UU No.23 Tahun 2004

Tugas pokok
Polisi dan wewenang

Masalah Jender

Sikap Tidak Sikap Sadar


Sadar Jender Jender

Tabel 1 : Kerangka Pemikiran

Perempuan dan laki-laki adalah dua makhluk Tuhan yang memiliki


kedudukan sama, namun akibat dari adanya suatu pemahaman yang salah
dari budaya patriarkhi, perempuan menjadi makhluk sub-ordinat laki-laki
yang kadang rentan terhadap kekerasan baik yang terjadi dalam rumah
tangga ataupun di lingkungan publik. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
sekarang tidak termasuk dalam ranah domestik tetapi negara telah
mengatur perundangan-undangan mengenai kekerasan yang berbasis
jender ini.

Dalam upaya perlindungan terhadap korban dan menekan angka


index kekerasan dalam rumah tangga diperlukan komitmen penegak
hukum dalam menangani dan memberantasnya. Sikap sadar jender polisi
sebagai aparat sangat berperan penting dalam penerapan UU No.23 Tahun
2004 dalam rangka mewujudkan keadilan dan kesetaraan jender.
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang Diterima Unit RPK


Sejak berdirinya Unit RPK Sleman pada tahun 2003, kasus KDRT
yang pernah diterima sebanyak 12 (duabelas) kasus yang terdiri atas 11
(sebelas) kasus kekerasan fisik dan 2 (dua) kasus penelantaran rumah
tangga. Berikut ini adalah data kasus KDRT khusus sepanjang tahun 2006
yang diterima Unit RPK Sleman :
No Tanggal Laporan Bentuk KDRT
1. 4 Januari 2006 Penganiayaan terhadap istri
2. 8 Januari 2006 Penganiayaan terhadap istri
3. 24 Februari 2006 Penganiayaan terhadap istri
4. 26 Februari 2006 Penganiayaan terhadap istri
5. 10 Februari 2006 Penelantaran rumah tangga
6. 9 Juni 2006 Penganiayaan dalam rumah tangga
7. 5 Agustus 2006 Penelantaran rumah tangga
Tabel 1 : Data Kasus KDRT

Banyaknya kasus KDRT yang pernah diterima Polres Sleman


sebenarnya tidak sebanding dengan kasus yang sebenarnya terjadi dalam
masyarakat. Sedikitnya kasus yang diterima polisi disebabkan masih
adanya anggapan dari sebagian masyarakat bahwa kasus kekerasan yang
terjadi di dalam rumah tangga adalah wilayah privat yang tidak boleh
diketahui umum, apalagi bila sampai dilaporkan pada polisi. Hal ini akan
dianggap aib jika seorang istri tega melaporkan suaminya pada polisi dan
lagi-lagi istrilah yang dianggap bersalah.

Meskipun ada 12 (duabelas) kasus yang pernah diterima dan


diproses oleh Unit RPK tetapi hanya ada satu kasus yang mendapat
putusan dari hakim dan ada 6 (enam) kasus yang dicabut oleh korban.
Korban KDRT kebanyakan mencabut kembali laporannya ketika kasus

36
37

masih dalam proses di kepolisian. Hanya ada satu kasus KDRT yang
sudah mendapat putusan hakim.

Alasan banyaknya korban yang mencabut kembali kasus KDRT


yang dilaporkan disebabkan korban lebih memilih untuk mengajukan cerai
gugat ke Pengadilan Agama daripada meneruskan kasusnya. Jadi laporan
pada polisi hanya digunakan untuk mengajukan cerai gugat pada tersangka
KDRT. Kemungkinan yang terjadi adalah korban tidak bersedia lagi
membina rumah tangga dengan tersangka karena trauma terhadap
kekerasan yang pernah dilakukan tersangka.

2. Proses Penyidikan Kasus KDRT


a) Kasus posisi I berdasarkan pada Berkas Perkara No.Pol :BP /28 /III /
2006 /Reskrim adalah sebagai berikut :
(1) Identitas Subjek yang Berperkara
(a) Identitas korban adalah :
Nama : W. P
Umur : 29 tahun
Tempat,tanggal lahir : Temanggung, 3 Juli 1977
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Kutuasem RT 03/RW 17 Kelurahan
Sinduadi Mlati Sleman.
Agama : Islam

(b) Identitas tersangka adalah :

Nama : JM
Umur : 32 tahun
Tempat, tanggal lahir : Surakarta, 4 Mei 1974
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
38

Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Kutuasem RT 03/RW 17 Kelurahan
Sinduadi Mlati Sleman
Agama : Islam

(2) Duduk Perkara

Telah terjadi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga


yang dilakukan oleh tersangka JM alias GERANDONG terhadap
seorang wanita bernama W.P, dimana antara pelaku dan korban
terdapat hubungan perkawinan sebagai suami istri. Kekerasan
dilakukan dengan cara sewaktu korban sedang membuatkan kopi
untuk tersangka, pada saat itu korban menegur tersangka karena tidak
memiliki pekerjaan dan suka mabuk-mabukan dengan minuman keras,
tetapi tersangka tidak menerima perkataan tersebut, kemudian
melempar korban dengan tahu goreng. Korban pun mengingatkan agar
tersangka bersikap sopan, namun tersangka semakin marah dan
seketika memukul korban dengan tangan kosong mengenai pelipis
serta bibir bagian atas korban dan mengakibatkan luka memar. Pada
saat terjadinya tindak pidana ini terdapat saksi yang ikut melerai
antara tersangka dan korban. Tindak kekerasan dalam rumah tangga
ini dilakukan tersangka pada hari Minggu, 26 Februari 2006 di rumah
kontrakan tersangka dengan alamat Kutuasem RT 03/RW 17
Kelurahan Sinduadi Mlati Sleman. Perkara ini terungkap karena
korban yang ditemani seorang saksi datang melapor ke Kantor Polisi.

(3) Susunan Penyidik


Kasus ini pertama kali dilaporkan pada hari Minggu 26 Februari
2006 oleh korban sendiri. Telah dilaksanakan pemeriksaan atas saksi-
saksi, korban dan tersangka oleh Unit RPK dengan susunan Penyidik :
(a) Aiptu Sutriyono………………..……….....…..Penyidik
(b) Bripka M Widyantoro………...………....……Penyidik Pembantu
(c) Bripda Damas Arifin…………...…...….……..Penyidik Pembantu
39

(d) Aiptu Nur Khamid……………...…...………..Penyidik


(e) Briptu Saerisma Juniati ……..…...…………...Penyidik Pembantu

(4) Pembahasan Penyidik


Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang diperoleh dalam
penyidikan dan dikuatkan dengan keterangan tersangka, maka penyidik
mengambil analisis sebagai berikut :

(a) Korban tidak mau diperlakukan kasar oleh tersangka, karena korban
merasa yang mencari nafkah dalam keluarga. Maka hendaklah
tersangka jangan bersikap kasar dan jangan suka memukul.
(b) Korban juga tidak ingin menjadi pelampiasan kemarahan tersangka,
karena tersangka sering mabuk-mabukan dengan minuman keras
maka ketika memukuli korban, tersangka dalam keadaan tidak
sadar.
(c) Permasalahan ekonomi mengakibatkan dalam keluarga tersebut
sering terjadi pertengkaran sampai akhirnya terjadi pemukulan.
Dengan adanya kejadian itu korban dan anak-anaknya merasa takut
dan terancam jiwanya. Atas kejadian tersebut korban melaporkan
tersangka ke Polres Sleman.

Berdasarkan fakta-fakta diatas dan dari hasil penyidikan dapat


disimpulkan bahwa Tersangka patut diduga telah melakukan tindak pidana
perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 44 Ayat (1) UU PKDRT

Adapun Unsur-unsur Pasal 44 Ayat (1) UU PKDRT adalah


sebagai berikut :
(a) Setiap Orang
(b) Kekerasan Fisik dalam rumah tangga

Penerapan unsur-unsur Pasal 44 Ayat (1) adalah :


40

(a) Setiap Orang


Unsur setiap orang telah terpenuhi, yang dimaksud disini
adalah Sdr. JM, Jenis Kelamin Laki-laki, Agama Islam, Pekerjaan
Swasta, Kewarganegaraan Indonesia, Alamat Tinggal Kutuasem
RT 03/RW 17 Sinduadi Sleman.

(b) Kekerasan Fisik Dalam Rumah Tangga


Unsur ini telah terpenuhi, bahwa tersangka telah melakukan
kekerasan terhadap istrinya sendiri yang telah lama hidup bersama,
yang seharusnya tersangka harus memberikan perlindungan
terhadap istri dan anaknya, yang mengakibatkan istri dan anaknya
merasa takut bila tersangka ada di rumah. Akibat dari kekerasan
fisik tersebut korban mengalami luka memar dan trauma.
(5) Kesimpulan Penyidik
Dari hasil pembahasan yang telah dilakukan maka penyidik
mengambil kesimpulan :
(a) Pada hari Minggu tanggal 26 Februari 2006 Pk.12.00 WIB
tersangka Sdr JM telah melakukan tindak kekerasan dalam rumah
tangga kepada istrinya sendiri dengan cara menonjok menggunakan
tangan kirinya ke arah pelipis sebelah kiri dan mengakibatkan luka
memar.
(b) Tersangka bersikap kasar kepada istrinya, padahal istrinya
menginginkan agar tersangka jangan berbuat kasar karena selama
ini yang mencari nafkah adalah istrinya.
(c) Sdr JM dapat dipersalahkan telah melakukan tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana tersebut dalam Pasal
44 Ayat (1) UU PKDRT.

b) Kasus Posisi II berdasarkan pada Berkas Perkara No. Pol : BP/78/ IX


/2006 /Reskrim adalah sebagai berikut :
41

(1) Identitas Subjek yang Berperkara


(a) Identitas Korban adalah :
Nama : R.H
Umur : 37 tahun
Tempat,tanggal lahir : Sleman, 27 November 1969
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Prayan Kulon Jembatan Merah RT 05/ RW
37 Condong Catur, Depok, Sleman
Agama : Islam
(b) Identitas tersangka adalah :
Nama : Ir.KN
Umur : 39 tahun
Tempat, tanggal lahir : Karanganyar, 31 Mei 1967
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Kebangsaan : Indonesia
Alamat : Prayan Kulon Jembatan Merah RT 05/ RW
37 Condong Catur, Depok, Sleman
Agama : Islam

(2) Duduk Perkara

Telah terjadi tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga


Penelantaran istri dan anak yang dilakukan oleh Sdr. Ir.KN, yang terjadi
sejak bulan April 2006. Tersangka Sdr. Ir. KN menikah dengan korban
R.H pada tanggal 26 Mei 1993, dari pernikahan tersebut dikaruniai satu
orang anak. Pada bulan Juli 2005 tersangka meninggalkan korban, tetapi
masih memberi nafkah lahir berupa uang tunai Rp. 1.100.000,- (satu
juta seratus ribu rupiah). Namun hal itu hanya berjalan selama 2 (dua)
bulan saja dan selama 4 (empat) bulan berikutnya memberi nafkah
42

sebesar Rp. 500.000,- ( lima ratus ribu rupiah) dan 2 (dua) bulan
berikutnya hanya memberi nafkah sebesar Rp.100.000,- (seratus ribu
rupiah) . Mulai bulan April 2006 tersangka tidak pernah lagi memberi
nafkah lahir maupun batin.

(3) Susunan Penyidik


Kasus ini pertama kali dilaporkan pada hari Sabtu 5 Agustus 2006
oleh korban sendiri. Telah dilaksanakan pemeriksaan atas saksi-saksi,
korban dan tersangka oleh Unit RPK dengan susunan Penyidik :
(a) Aiptu Sutriyono..................................................Penyidik
(b) Aiptu Nur Khamid.............................................Penyidik
(c) Briptu Saerisma Juniati......................................Penyidik Pembantu
(d) Briptu Agus Widodo..........................................Penyidik Pembantu
(e) Bripda Suprapti..................................................Penyidik Pembantu
(f) Bripda Dewi Sekarwulan...................................Penyidik Pembantu
(g) Bripda Fausi Ratna Sari.....................................Penyidik Pembantu

(4) Pembahasan Penyidik


Berdasarkan keterangan saksi-saksi yang diperoleh dalam
penyidikan dan dikuatkan dengan keterangan tersangka, maka penyidik
mengambil analisa sebagai berikut :

(a) Semula tersangka dan korban adalah suami istri yang menikah pada
hari Rabu 26 Mei 1993 yang sudah pisah ranjang dari bulan Juli
2005. Dalam pisah ranjang tersebut tersangka berjanji akan
memberikan nafkah kepada korban dan anaknya sebesar Rp.
1.100.000,- untuk tiap bulannya dan berjalan selama 2 (dua) bulan.
(b) Namun sejak bulan April 2006 tersangka tidak memberi nafkah
lahir batin kepada anak dan istrinya, dan tersangka belum
mengajukan cerai talak ke Pengadilan Agama.
(c) Sejak bulan April tersangka tidak lagi memberikan nafkah lahir
batin kepada korban dan anaknya. Dengan kejadian tersebut
43

korban takut dan merasa ditelantarkan oleh tersangka. Oleh karena


itu korban melaporkan tersangka ke Polres Sleman.

Berdasarkan fakta-fakta diatas dan dari hasil penyidikan dapat


disimpulkan bahwa Tersangka patut diduga telah melakukan tindak pidana
Penelantaran Rumah Tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 UU
PKDRT.

Adapun Unsur-unsur Pasal 49 UU PKDRT adalah sebagai berikut :

(a) Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya.


(b) Menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan/
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang tersebut.

Penerapan unsur-unsur Pasal 49 UU PKDRT adalah :


(a) Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya
Unsur ini terpenuhi yaitu Ir. KN, Karanganyar 31 Mei
1967, Jenis Kelamin Laki-laki, Islam, karyawan Hotel Novotel
Yogyakarta, Alamat Prayan Kulon 107 Suropadan RT 05/RW 37
Condong Catur Depok Sleman, sejak bulan April 2006 tidak
memberikan nafkah lahir batin kepada istri dan anaknya.
(b) Menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan/
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau
pemeliharaan kepada orang tersebut.
Unsur ini terpenuh yaitu dulu Ir. KN pernah berjanji akan
tetap memberikan nafkah kepada korban/ istrinya sebesar Rp.
1.100.000,- ( satu juta seratus ribu rupiah) namun sejak bulan
April tersangka tidak pernah lagi memberikan nafkah, padahal
secara hukum korban masih sebagai istri sahnya, karena belum ada
putusan cerai dari Pengadilan Agama dan tersangka belum
mengajukan cerai talak ke Pengadilan Agama.

(5) Kesimpulan Penyidik


44

Dari hasil pembahasan yang telah dilakukan maka penyidik


mengambil kesimpulan :
(a) Korban dan tersangka adalah suami istri yang menikah pada hari
Rabu tanggal 26 Mei 1993 di KUA Kecamatan Depok, Sleman.
(b) Tersangka berjanji akan memberikan nafkah setiap bulannya
sebesar Rp. 1.100.000,- (satu juta seratus ribu rupiah), namun sejak
bulan April 2006 tersangka tidak lagi memberikan nafkah lahir dan
batin kepada korban. Bahkan tersangka selalu menghindar setiap
dicari di kantornya Hotel Novotel Yogyakarta.
(c) Maka kepada Sdr Ir. KN dapat dipersalahkan telah melakukan
tindak pidana perbuatan penelantaran istri dan anak sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 49 UU PKDRT.

3. Faktor Penyebab Timbulnya KDRT


Menurut Aiptu Nur Khamid, terjadinya kasus KDRT disebabkan
oleh banyak hal, yaitu :
a) Faktor Ekonomi
Kebanyakan dari kasus KDRT yang dilaporkan di Unit RPK Sleman
adalah disebabkan karena faktor ekonomi. Menurutnya, masyarakat
miskin rentan terhadap kekerasan, baik yang dilakukan oleh keluarga
sendiri atau lingkungan sekitar. Misalnya pada contoh kasus posisi I
yang diuraikan diatas, keadaan hidup yang miskin membuat seorang
suami stres dan diatasi dengan mabuk-mabukkan. Sehingga dalam
keadaan mabuk seorang suami melakukan kekerasan terhadap istri
bahkan anak-anaknya. Dengan mudahnya seorang suami menjadikan
istrinya sebagai pelampiasan atas kemarahannya pada hidup.

b) Faktor Kecemburuan
Kecemburuan tidak hanya pada masalah hubungan personal suami
istri karena kehadiran pihak lain dalam pernikahan, tapi bisa
disebabkan karena pendapatan atau gaji istri yang lebih tinggi
daripada suami. Mengakibatkan suami menjadi rendah diri lalu
45

melampiaskan kekesalan pada istrinya, karena adanya anggapan


bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan tidak layak untuk
melebihi laki-laki, maka seorang suami yang pendapatannya lebih
rendah daripada istrinya akan merasa tertekan dan marah pada
istrinya.

c) Tidak adanya komunikasi yang sehat dalam keluarga, sehingga


menganggap bahwa kekerasan adalah sebagai jalan keluar suatu
masalah, serta kurangnya pemahaman agama yang baik, sehingga
dengan pemahaman agama yang kurang dapat mendorong seseorang
berlaku di luar kontrol dan dipengaruhi emosi.

Melihat faktor-faktor tersebut menjadi jelas bahwa adanya


ketimpangan dan ketidakadilan jender menjadi sebab utama banyaknya
kekerasan yang dialami wanita, karena masih adanya anggapan bahwa
wanita adalah makhluk yang lemah dan statusnya sebagai makhluk
subsidier laki-laki sehingga dengan sewenang-wenang seorang suami
melakukan kekerasan terhadap istrinya. Ketimpangan jender bukan saja
menciptakan ketergantungan perempuan terhadap laki-laki baik secara
sosial dan ekonomi, tapi juga memberikan legitimasi terhadap kekerasan
yang terjadi.

Menurut Ipda Novita, ketidakadilan gender dapat bersifat:


a) Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan
berlangsung, baik disebabkan perilaku atau sikap, norma atau nilai,
maupun aturan yang berlaku.
b) Tidak langsung, seperti peraturan sama, tapi pelaksanaanya
menguntungkan jenis kelamin tertentu.
c) Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma atau
struktur masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat
membeda-bedakan.
46

B. PEMBAHASAN

Dalam pembahasan ini penulis akan menjawab permasalahan yang telah


dikemukakan dalam rumusan masalah, yaitu :

1. Sikap Sadar Jender Polisi Dalam Implementasi UU PKDRT

a) Analisis Proses Penyidikan

Pada dasarnya setiap polisi menerima laporan tentang adanya suatu


tindak pidana wajib untuk menanggapi dan dengan segera memproses
tindak pidana tersebut. Tidak terkecuali tindak kekerasan dalam rumah
tangga yang dulu dianggap sebagai urusan privat dalam keluarga. Dalam
hal ini, ketika korban melapor pertama kalinya, Polres Sleman langsung
menanggapi dan segera memproses kasus KDRT yang dilaporkan.
Pertama kali yang dilakukan adalah menenangkan korban yang pada saat
itu mengalami trauma. Untuk selanjutnya polisi segera menangkap
tersangka untuk diperiksa dan dimintai keterangannya berkaitan dengan
tindak pidana yang dilakukannya.

Menurut Pasal 16 ayat (1) UU PKDRT disebutkan bahwa dalam


waktu 1 x 24 jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan
kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan
perintah perlindungan sementara kepada korban. Ruangan RPK Sleman
yang didesain khusus memang dibuat sedemikian rupa untuk memberikan
perlindungan sementara agar korban KDRT merasa nyaman dan tenang.

Menurut Pasal 17 UU PKDRT, dalam memberikan perlindungan


sementara, Kepolisian dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping, dan/atau pembimbing rohani untuk
mendampingi korban. Dalam pemeriksaan kasus berdasarkan Berkas
Perkara No.Pol : BP/78/IX/2006/Reskrim dan Berkas Perkara No.Pol
:BP/28/III/2006/Reskrim, polisi menawarkan kepada korban tentang
kesediaannya untuk didampingi tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping atau pembimbing rohani, namun korban menolak dan merasa
47

dirinya sudah lebih baik. Keberadaan pendamping sangat penting terhadap


korban kekerasan dalam rumah tangga. Di dalam Unit RPK, korban yang
merasa tertekan dan takut sehingga menangis akan ditenangkan dahulu di
sebuah ruang yang terpisah dari orang lain dan ditemani salah satu anggota
Unit RPK. Hal ini penting karena untuk mengembalikan lagi kepercayaan
diri korban dan menghilangkan trauma akibat dari kekerasan yang dialami
korban.

Menurut Pasal 18 UU PKDRT, Kepolisian wajib memberikan


keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapat pelayanan
dan pendamping. Dalam proses pemeriksaan, korban KDRT selalu
didampingi oleh salah satu anggota Unit RPK agar ia dapat merasa tenang
dan mengatasi trauma yang dialaminya.

Menurut Pasal 19 UU PKDRT, Kepolisian wajib segera


melakukan penyelidikan setelah mengetahui atau menerima laporan
tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Setelah proses
penyelidikan dilaksanakan, dilanjutkan dengan penyidikan. Pada dasarnya
proses penyidikan kasus KDRT sama dengan tindak pidana lain yang
telah diatur dalam KUHAP. Tindakan yang pertama kali dilakukan
anggota Unit RPK Sleman ketika mendapat laporan adanya kasus KDRT
adalah menenangkan korban KDRT. Apabila korban terlihat shock dan
menangis maka akan dibawa ke ruangan khusus untuk ditenangkan
dengan ditemani polwan anggota Unit RPK. Anggota Unit RPK harus
bersimpati terhadap korban dan berusaha menenangkan korban untuk
menghilangkan trauma atas kekerasan yang dialami.

Setelah korban tenang dan bersedia untuk diperiksa kasusnya,


barulah polisi mengadakan pemeriksaan. Selain melakukan pemeriksaan,
polisi dengan segera menangkap tersangka KDRT dan dilanjutkan dengan
memeriksa tersangka untuk didapat keterangannya.

Pada saat pemeriksaan terhadap korban anggota Unit RPK


berusaha bersikap simpati dan akrab terhadap korban. Sehingga korban
48

tidak malu dan leluasa menceritakan kekerasan yang dialaminya, bahkan


terkadang menggunakan bahasa jawa agar korban tidak canggung dalam
menyampaikan jawaban dari penyidik. Pertanyaan yang disampaikan
diusahakan agar tidak menyinggung harga diri korban karena polisi wajib
menghormati wanita pada umumnya.

Pertanyaan yang diajukan oleh Penyidik kepada korban,


dintaranya adalah :
(1) Kapan dan dimana peristiwa penganiayaan atau kekerasan
dalam rumah tangga tersebut terjadi?
(2) Dengan cara bagaimana suami anda melakukan penganiyaan
terhadap anda?
(3) Pada saat kejadian penganiayaan atau kekerasan dalam rumah
tangga terjadi adakah saksi yang mengetahui selain saudara?
(4) Ceritakan awal mula kejadian penganiayaan atau kekerasan
dalam rumah tangga yang anda alami?
(5) Apakah penganiayaan atau kekerasan dalam rumah tangga
sering dilakukan oleh suami anda terhadap anda?
(6) Apakah keterangan yang anda berikan sudah benar?

Dalam memeriksa wanita korban KDRT pun anggota Unit RPK


menerapkan beberapa teknik pemeriksaan yang meliputi :
(1) Menciptakan suasana nyaman dan bersahabat, dengan tujuan
agar korban dapat merasa terlindungi setelah mengalami
kekerasan. Saat ini ruangan Unit RPK Sleman sedang dalam
tahap renovasi guna memenuhi standart yang telah ditetapkan
untuk ruangan Unit RPK. Ruangan dibuat sedemikian,
sehingga menyerupai taman bermain, dinding yang terbuat dari
kaca dan ruangan yang penuh warna, dan diyakini dapat
membantu memperbaiki kondisi psikologis korban KDRT.

(2) Pertama-tama ditanyakan pada korban tentang kondisi


psikologis pada saat akan memulai pemeriksaan. Apabila
49

korban sudah benar-benar siap untuk diperiksa maka proses


pemeriksaan akan dilaksanakan.

Selain pemeriksaan terhadap korban, salah satu proses yang


paling penting adalah pemeriksaan terhadap tersangka kasus KDRT.
Pemeriksaan dilakukan oleh pejabat polisi yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan pemeriksaan, baik sebagai penyidik atau penyidik
pembantu. Syarat-syarat seorang pemeriksa adalah :

(1) Mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai Hukum Pidana,


Hukum Acara Pidana dan peraturan hukum yang lain. Dalam
kasus KDRT seorang polisi wajib menguasai UU PKDRT.

(2) Mempunyai pengetahuan yang cukup dan mahir melaksanakan


fungsi profesional kepolisian di bidang reserse, terutama untuk
taktik dan tehnik pemeriksaan.

(3) Mempunyai pengetahuan dan menguasai kasus tindak


pidananya baik berdasar laporan kepolisian, laporan hasil
penyelidikan, Berita Acara Pemeriksaan di tempat perkara,
informasi dan data-data lain.

(4) Mempunyai kepribadian :


(a) Percaya diri
(b) Mampu menghadapi orang lain
(c) Tidak cepat terpengaruh
(d) Sabar dan dapat mengendalikan diri
(e) Bisa menilai secara tepat dan obyektif serta bertindak cepat,
khususnya dalam menilai sikap dan gerakan tersangka
waktu diperiksa.
(f) Tekun, ulet dan inisiatif.

b) Sikap Sadar Jender Polisi Dalam Implementasi UU PKDRT


Berdasarkan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, Menteri Sosial dan Kapolri tentang “Pelayanan
50

Terpadu Korban Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Anak”


menunjukkan bahwa pemerintah telah merealisasikan niat baiknya untuk
menangani masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak. Serta
sebagai realisasinya di lingkungan Polri dilaksanakan dengan peningkatan
dan pemberdayaan RPK dalam menangani kasus kekerasan terhadap
perempuan pada umumnya dan kasus KDRT pada khususnya. Tentunya
masih ada banyak tantangan dalam menyamakan persepsi tentang jender
dan isu kekerasan terhadap perempuan.

Menurut Aiptu Nur Khamid, bahwa pada dasarnya sebelum


disahkannya UU PKDRT polisi sudah bersikap untuk melindungi dan
menghormati wanita karena wanita wajib untuk dilindungi. Setiap anggota
Unit RPK wajib untuk memahami tentang UU PKDRT. Namun ketika
penulis konfirmasi pada Briptu Saerisma, karena UU PKDRT termasuk
undang-undang yang baru maka saat ini polisi masih perlu banyak belajar
dan pada saat ini belum memahami sepenuhnya meskipun sudah
melaksanakan Undang-undang ini dalam menangani kasus KDRT.

Pemahaman yang belum sepenuhnya ini disebabkan banyaknya


perbedaan persepsi antara aparat penegak hukum mengenai pengertian-
pengertian yang terdapat dalam UU PKDRT. Hal ini juga disebabkan
karena belum dibentuknya peraturan pelaksanaan UU PKDRT oleh
pemerintah. Meski begitu, pelayanan terhadap wanita korban KDRT tetap
mengutamakan asas penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia yang
salah satunya adalah menghormati kepentingan dan kedudukan wanita.
Pelayanan wanita korban KDRT dengan mengedepankan sikap sadar
jender.

Menurut Ipda Novita, polisi sebagai aparat penegak hukum


terdepan dalam menangani KDRT selayaknya mempunyai sikap sadar
jender. Apabila sikap sadar jender masih sulit untuk dilaksanakan, maka
semakin sulitlah wanita-wanita korban KDRT untuk mendapatkan
perlindungan. Oleh karena itu sebagai wujud pembaruan polisi sebagai
51

mitra masyarakat, pada saat ini sedang digalakkan peningkatan pelayan


publik dan perlindungan masyarakat yang berprespektif jender. Pada
dasarnya polisi menyadari tentang masalah keadilan jender tetapi
pelaksanaannya selalu terbentur pada budaya patriarkhi dalam masyarakat.
Sehingga tidak hanya polisi yang dituntut untuk mempunyai sikap sadar
jender, tetapi masyarakat juga harus memahami permasalahan jender dan
masyarakat pun bisa berperan serta dalam mencegah dan mengurangi
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.

2. Hambatan Dalam Pelaksanaan Sikap Sadar Jender Polisi


Pelaksanaan sikap sadar jender dalam Implementasi UU PKDRT
bukan berarti tidak mengalami hambatan. Namun dengan adanya
hambatan yang timbul dapat memacu polisi untuk memperbaiki dan
meningkatkan pelayanan dalam melaksanakan tugas pokoknya yang telah
disebutkan dalam Pasal 13 UU Pokok Kepolisian. Hambatan-hambatan
yang mungkin timbul, yaitu :

a) Masalah budaya (culture) patriarkhi yang memandang pria lebih


dominan dari wanita dalam berbagai hal. Anggapan dari
sebagian masyarakat bahwa kekerasan dalam rumah tangga
dianggap sebagai kasus domestik atau urusan pribadi suami-istri
yang tidak pantas diketahui masyarakat. Moore ( Moore, 1994:
66) menyebutkan bahwa kekerasan muncul sebagai akibat dari
adanya bayangan tentang peran identitas berdasarkan jenis
kelamin yang dikaitkan dengan bayangan mengenai kekuasaan
yang dapat dimilikinya. Hal ini membantu menjelaskan
mengapa kekerasan seringkali merupakan hasil dari sebuah
ketakutan yang dipersepsikan oleh pelaku daripada ketakutan
yang sebenarnya. Misalnya : Istri yang menjadi korban KDRT
hanya karena suami menganggap gaji istri yang lebih tinggi
suatu saat dapat merubah sikap istri tidak lagi menghargai
suami. Dengan demikian kekerasan sebenarnya lebih
52

merupakan alat kontrol sosial dan secara disadari atau tidak,


memberi dampak yang buruk terhadap wanita korban.
Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga ini semakin
sulit untuk ditangani ketika budaya yang mengakar kuat dalam
suatu masyarakat ikut membenarkan kekerasan yang dilakukan
oleh suami sebagai bagian pendidikan terhadap seorang istri.
Sehingga dianggap sebagai aib jika dilaporkan pada
kepolisian. Oleh karena itu, polisi mengalami kesulitan ketika
korban kekerasan tidak terbuka dalam menceritakan
permasalahannya yang akan dianggap tabu jika
menceritakannya pada orang lain. Kesulitan untuk mendapatkan
keterangan saksi, karena keengganan para saksi untuk terlibat
dalam proses peradilan yang seringkali berbelit-belit, serta
adanya kemungkinan rasa takut yang dialami saksi pada
ancaman tersangka.
b) Beberapa dari korban punya niat atau tujuan lain ketika
melaporkan kasusnya pada polisi yaitu adanya keinginan untuk
mengajukan cerai gugat ke Pengadilan Agama, karena dengan
adanya bukti dari laporan kepolisian dapat mempermudah
proses perceraian. Sehingga proses penyidikan yang sedang
dilakukan polisi terhadap kasus KDRT berhenti di tengah jalan.
c) Sulitnya memperoleh visum et repertum yang seharusnya
dimiliki oleh korban, karena kebanyakan korban tidak langsung
melaporkan kekerasan yang dialaminya dan membuat visum
atas lukanya akibat dari kekerasan yang dialaminya. Hal ini
dikarenakan kurangnya pengetahuan korban terhadap kasus
KDRT yang dialaminya, sehingga tidak tahu apa yang harus
dilakukan ketika mengalami tindak KDRT.

d) Terbatasnya pemahaman dan keahlian aparat hukum dalam


menangani kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga,
apalagi masalah jender adalah suatu hal yang baru bagi
53

kepolisian. Hal inilah yang menyebabkan kurangnya kepekaan


dan sikap sadar jender pada polisi. Namun begitu berkaitan
dengan tugas pokoknya, polisi berkomitmen dan berkewajiban
untuk menghormati setiap korban kekerasan tanpa memandang
jenis kelamin. Menurut Ipda Novita saat ini Polri telah
memasukkan kurikulum baru pada setiap jenjang pendidikan di
lingkungan Polri yang diantaranya adalah kekerasan dalam
rumah tangga dan perspektif jender.

e) Perbedaan persepsi antara penegak hukum. Misalnya adanya


perbedaan persepsi mengenai Penelantaran Rumah Tangga.
Hal ini menyebabkan berhentinya proses hukum yang
disebabkan belum adanya kesamaan pengertian yang terdapat
dalam UU PKDRT antara penegak hukum.

3. Solusi Mengatasi Hambatan Pelaksanaan Sikap Sadar Jender Polisi

Solusi yang dapat diupayakan untuk mengatasi hambatan yang


muncul dalam pelaksanaan sikap sadar jender polisi adalah :

a) Meningkatkan keahlian dan pendidikan polisi dengan cara


memasukkan pendidikan yang berprespektif jender dalam
kurikulum, serta penyuluhan kepada seluruh anggota polisi
tentang pelaksanaan UU PKDRT dan pelayanan yang didasari
dengan sikap sadar jender. Sehingga dalam melaksanakan
tugasnya melayani dan mengayomi masyarakat didasari
dengan sikap sadar jender.

b) Tetap melanjutkan proses pemeriksaan demi terlaksananya UU


PKDRT meskipun niat korban hanya untuk memperoleh bukti
untuk mengajukan gugatan cerai. Kecuali apabila keinginan
mencabut laporan berasal dari korban sendiri.
54

c) Memberikan penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat


tentang pentingnya peran serta untuk menciptakan keadilan dan
kesetaraan jender dengan menerapkan sikap sadar jender dalam
setiap bidang kehidupan dan peningkatan kepedulian terhadap
masalah kekerasan dalam rumah tangga yang telah diatur
dalam UU PKDRT. Sehingga tidak ada lagi masyarakat yang
mengambil sikap blaming the victim dengan menyatakan
bahwa perempuan korban kekerasan memang aneh, memiliki
banyak masalah pribadi atau mungkin sedikit terganggu
sehingga pasangan hidupnya kehilangan kesabaarn
menghadapinya.

d) Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang


pelaksanaan UU PKDRT, sehingga masyarakat tahu tindakan
yang harus dilakukan jika mengetahui atau mengalami KDRT.
Sehingga dapat membantu proses penyidikan, apabila korban
KDRT segera melaporkan KDRT dan membuat visum et
repertum sebagai bukti.

e) Segera dibuat aturan pelaksanaan UU PKDRT sehingga terdapat


kesamaan persepsi tentang pengertian-pengertian yang terdapat
dalam UU PKDRT.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
1. Sikap sadar jender yang ditunjukkan anggota Unit RPK Polres Sleman
dengan memberikan perhatian, perlindungan dan rasa empati yang tinggi
adalah salah satu kewajiban polisi dalam menangani kasus kekerasan
dalam rumah tangga. Pada dasarnya anggota Unit RPK Polres Sleman
telah melindungi wanita dengan berusaha melayani korban sebaik-
baiknya, menampung segala keluhan korban, menyediakan ruang aman
untuk korban dan dengan segera memproses kasus KDRT tersebut. Dalam
proses pemeriksaaan diterapkan teknik tertentu yaitu dengan menciptakan
suasanan nyaman dan bersahabat, serta sebelumnya ditanyakan kesiapan
korban untuk memberikan keterangan.
2. Pelaksanaan sikap sadar jender ini bukan berarti tidak mengalami
hambatan. Beberapa hambatan tersebut adalah :
 Masih kentalnya struktur budaya patriarki dalam masyarakat
sehingga menganggap bahwa kekerasan yang terjadi dalam
lingkup rumah tangga sebagai urusan pribadi keluarga yang
tidak pantas diketahui umum.
 Niat dan tujuan lain korban yaitu untuk memperoleh bukti yang
dapat mempermudah proses perceraian.
 Korban tidak memiliki visum et repertum.
 Terbatasnya pemahaman polisi dalam menangani kasus
kekerasan dalam rumah tangga dan masalah jender.
 Perbedaan persepsi antara penegak hukum tentang pengertian-
pengertian tentang kekerasan dalam rumah tangga.
3. Solusi yang dapat digunakan untk mengatasi hambatan-hambatan dalam
pelaksanaan sikap sadar jender adalah :

55
56

 Meningkatkan keahlian dan pendidikan polisi dengan


memasukkan kurikulum yang berprespektif jender.
 Memberikan penyuluhan kepada masyarakat untuk
menciptakan kaedilan dan kesetaraan jender.
 Tetap melanjutkan proses pemeriksaan demi pelaksanaan UU
PKDRT.
 Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang
pelaksanaan UU PKDRT.
 Segera dibuat aturan pelaksanaan UU PKDRT.

B. Saran
Setelah penulis melakukan pembahasan dan menarik kesimpulan atas
penelitian yang telah penulis lakukan berdasarkan data-data yang penulis
peroleh di Unit RPK Sleman, maka penulis memberikan saran-saran agar
dapat digunakan sebagai masukan dan referensi bagi pihak-pihak yang
bersangkutan, yaitu :
1. Sebaiknya polisi memberikan sosialisasi tentang kekerasan dalam rumah
tangga dan permasalahan jender kepada masyarakat yang meliputi
pentingnya partisipasi masyarakat dalam penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga, tindakan yang harus dilakukan jika mengetahui atau
mengalami kekerasan dalam rumah tangga, serta usaha bersama dalam
mewujudkan keadilan dan kesetaraan jender dengan melaksanakan sikap
sadar jender.
2. Perlunya pelaksanaan dan peningkatan sikap sadar jender bagi seluruh
anggota kepolisian pada umumnya dan anggota RPK pada khususnya,
serta sosialisasi pelaksanaan UU PKDRT.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ani Purwanti. 2005. “Upaya Negara Dalam Melindungi Korban Kekerasan


Terhadap Perempuan”. Makalah : Dalam Temu Karya IV Jenjang
Mitra Convention Watch 12-14 September 2005. Makasar.
Asmarani Soeharso. 2003. Peradilan Pidana Terpadu “Lokomotif Perlindungan
Hukum Bagi Korban Kekerasan Terhadap Perempuan”. Depdiknas
Universitas Tanjungpura Fakultas Hukum.
Chairul Baria H. 2005. “Suatu Kajian Hukum Kekerasan Terhadap Perempuan
Dalam Rumah Tangga Tinjauan Hak Asasi Manusia”. Makalah
Program Pasca Sarjana
Eko Setyo U dan Nono Karsono. 2005. Advokasi Pengarustamaan Gender.
Yogyakarta : Kerjasama Institut Hak Asasi Perempuan dan ACCESS
Harkristuti Harkrisnowo. 2005. “Kekerasan Dalam Rumah Tangga”. Makalah.
Surakarta
Kantor Menteri UPW. 1996. Peningkatan Peranan Wanita Dalam Pembangunan
Bangsa Berwawasan Kemitrasejajara Yang Harmonis antara Pria dan
Wanita dengan Pendekatan Gender. Edisi II 20 Mei 1996. Jakarta
Kelompok Kerja Convention Watch. 2004. Gender dan Hukum. Jakarta :
Kerjasama Fokal Point Gender dan Kejaksaan Agung RI.
Kumpulan Karangan Untuk T.O Ihromi. 2000 . Benih Bertumbuh. Yogyakarta :
Galang Press.
Mansour Fakih. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Meisa. 1998. “Sikap Sadar Jender dan Tingkat Stres Pada Suami Istri Rumah
Tangga Pekerja Ganda”. Skripsi : Tidak diterbitkan. Yogyakarta :
Fakultas Psikologi UGM.
Mohammad Jamin. 2005. “Perspektif Sosiokultural Kendala Implementasi UU
No.23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

57
58

Tangga”. Makalah. Fakultas Hukum UNS, 8 Desember 2005 :


Surakarta.
R. Santosa. 2004. “Kebijakan Pemerintah Dalam Rangka Perlindungan Terhadap
Kaum Wanita”. Makalah
R. Saptarina dan Holzner, B. 1997. Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial.
Jakarta : Grafisi Press.
Saparinah Sadli. 2005. “Kekerasan Terhadap Perempuan”. Makalah. Fakultas
Hukum UNS – Kelompok Kerja Convention Watch, 19-21 April
2005 : Surakarta.
Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press.
Studi HAM Universitas Surabaya dan Pusat Kajian Wanita dan Jender Universitas
Indonesia.
Susilastuti, D.H. 1993. “Gender Ditinjau Dari Perspektif Sosiologi”. Dinamika
Gerakan Perempuan Indonesia. Editor Fauzie Rizal dkk. Yogyakarta :
Tira Wacana.
Thomas Adyan. 2003. “Penanggulangan Kejahatan Terhadap Wanita Melalui
Proses Peradilan Pidana Terpadu”. Makalah. Fakultas Hukum
Universitas Lampung.
T.H Kussunaryatun. 2006. “Problematika Penanganan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga”. Makalah : Dalam Temu Ilmiah Kedua Asosiasi Pengajar Dan
Peminat Hukum Berperspektif Jender Se Indonesia 18-20 September
2006. Surabaya : Kerjasama Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum
Berperspektif Jender, Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Pusat
T.Prapti. 1993. Wanita Dan Perubahan Sosial. Dinamika Gerakan
Perempuan Indonesia. Editor Fauzie Rizal dkk. Yogyakarta : Tira
Wacana.
Vera Kartika Giantari. 2006. “Pendampingan Korban Kekerasan Berbasis
Gender”. Makalah.
Winarno Surakhmad. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Transito
Bandung.
59

Woro, A. P. 1998. Hubungan Antara Kepercayaan Diri Dan Sikap Sadar Dengan
Keputusan Karir Remaja Akhir Perempuan. Skripsi : Tidak
Diterbitkan. Surakarta : Fakultas Psikologi UMS.
Yohana. 2005. “Perempuan Dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga”. Makalah

Perundang-undangan
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Editorial
Suara APIK Edisi 30 Tahun 2006

Anda mungkin juga menyukai