Anda di halaman 1dari 91

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

ANALISIS BENTUK PERAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN


TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN TERHADAP ANAK
DITINJAU DARI VIKTIMOLOGI (STUDI PUTUSAN
NOMOR 92/Pid.Sus/2009/PN.Srg)

Penulisan Hukum (Skripsi)


Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta

Oleh:
DENISYA NUR BUDIASTITI
NIM. E 0007110

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit
2011to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Denisya Nur Budiastiti, E0007110. 2011. ANALISIS BENTUK PERAN DAN


PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN
TERHADAP ANAK DITINJAU DARI VIKTIMOLOGI (STUDI PUTUSAN
NOMOR 92/Pid.Sus/2009/PN.Srg). Fakultas hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk peran
korban terhadap terjadinya tindak pidana persetubuhan terhadap dirinya dan
apakah korban sudah mendapatkan perlindungan hukum yang memadai selama
proses peradilan berlangsung dalam Putusan Nomor 92/Pid.Sus/2009/Pn.Srg yang
ditinjau dari viktimologi.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif yang
bertujuan untuk menemukan fakta hukum tentang bentuk peran korban dan ada
tidaknya perlindungan hukum bagi korban selama proses peradilan dalam Putusan
Nomor 92/Pid.Sus/2009/Pn.Srg. Jenis dan sumber bahan hukum yang digunakan
adalah bahan hukum primer dan sekunder. Teknik pengumpulan bahan hukum
yang digunakan yaitu studi kepustakaan dengan membaca, mempelajari,
mengkaji, dan menganalisis putusan, buku literatur, dan perundang-undangan.
Kemudian dari semua bahan hukum yang terkumpul dilakukan analisa bahan
hukum dengan teknik deduksi dengan metode silogisme.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa pertama bentuk peran
korban terhadap kasus persetubuhan yang diputus dalam Putusan Nomor
92/Pid.Sus/2009/Pn.Srg. adalah peran yang bersifat pasif dikarenakan sifat yang
melekat pada diri korban yaitu perempuan muda yang lemah secara fisik dan
memiliki ketahanan mental yang belum kuat sehingga secara sadar ataupun tidak
telah merangsang pelaku untuk melaksanakan niatnya melakukan tindak pidana
(latent victims) kedua korban sudah mendapatkan perlindungan selama proses
peradilan, tetapi belum memadai. Adapun bentuk perlindungan yang telah
diperoleh antara lain memberikan keterangan di depan penyidik tanpa tekanan
dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP), bebas
dari pertanyaan yang menjerat (Pasal 166 KUHAP), serta memperoleh
pendampingan dari petugas khusus yaitu relawan dari LSM APPS, tetapi sifatnya
hanya sementara yaitu ketika pemeriksaan di tingkat kepolisian (Pasal 64 Ayat (2)
Huruf b Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

Kata kunci: peran, perlindungan, korban, persetubuhan

commit to user

v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Denisya Nur Budiastiti, E0007110. 2011. ANALYSIS THE ROLE SHAPE AND
PROTECTION OF THE VICTIMS IN THE OCCURRENCE OF CRIMINAL ACT
OF SEXUAL INTERCOURSE AGAINST MINORS BY THE TERMS OF
VICTIMOLOGY ( STUDY DECISION NUMBER 92/Pid.Sus/2009/PN.Srg). Law
Faculty of Surakarta Sebelas Maret University.
This legal research aims to determine how the role shape of the victims in the
occurrence of criminal act of sexual intercourse against herself and whether the
victims was getting adequate legal protection during the judicial process takes
place in the Decision Number 92/Pid.Sus/2009/Pn.Srg by the terms of
victimology.
This is a prescriptive normative legal research that aims to find the legal
facts about the role shape of the victims and the presence or absence of legal
protection for victims during court proceedings in Decision Number
92/Pid.Sus/2009/Pn.Srg.
The types of and sources of legal materials used are of primary and
secondary legal materials. Legal material collection techniques used are from
library research by reading, studying, reviewing, and analyzing the decision,
literature books, and legislation. Then from all the legal material collected by
legal material analyzed by the method of syllogistic deduction techniques.
Based on the research results can be seen that the first form of the role of victims
in cases that terminated sexual intercourse in Decision Number
92/Pid.Sus/2009/Pn.Srg. is the passive role due to the inherent nature of the
victim is a young woman who is physically weak and has the mental toughness
that has not been strong so consciously or not to have stimulated the offender to
carry out his intention committing a crime (latent victims), the second, the victims
had the protection for the judicial process, but has not been adequate. The form of
protection that has been gained, among others, provide a statement before the
investigators without any pressure from anybody and or in any form (Article 117
paragraph (1) Criminal Code), free from the trap question (Article 166 Criminal
Code), and obtain assistance from a special officer the volunteers of the APPS
Non Governmental Organisation, but it is only temporary when the examination
at the police (Article 64 Paragraph (2) Point b of Act Number 23 Year 2002
concerning the Protection of Children).

Key words: role, protection, victim, copulation

commit to user

vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah


melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan penulisan hukum ini dengan baik dan lancar.
Terdorong oleh keinginan Penulis untuk mengetahui permasalahan-
permasalahan yang ada di bidang hukum pidana khususnya cabang hukum
viktimologi yang memfokuskan studinya pada korban kejahatan. Penulis dalam
hal ini berusaha menganalisis sebuah putusan yaitu Putusan Pengadilan Negeri
Sragen No 92/Pid.Sus/2009/PN.Srg guna memperoleh gambaran mengenai bentuk
peran korban terhadap terjadinya tindak pidana persetubuhan terhadap anak dan
apakah korban telah memperoleh perlindungan selama proses peradilan pidana.
Selain itu, penulisan hukum merupakan salah satu syarat yang harus
ditempuh dalam rangkaian kurikulum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta dan juga merupakan syarat utama yang harus dipenuhi oleh
setiap mahasiswa Fakultas Hukum dalam menempuh jenjang kesarjanaan S1.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini mustahil terselesaikan tanpa
dukungan dari berbagai pihak. Sehingga pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta dan seluruh jajaran Dekanat Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;
2. R. Ginting, S.H.,MH selaku Ketua Bagian Hukum Pidana;
3. Ismunarno, S.H.,M.Hum selaku Pembimbing I; dan
4. Subekti, S.H., MH selaku Pembimbing II atas segala bimbingan dan
arahannya sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan;
5. Rahayu Subekti, S.H.,M.Hum selaku Pembimbing Akademik penulis selama
menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta;

commit to user

vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

6. Bapak dan Ibu Dosen atas segala ilmu dan bimbingan yang diberikan kepada
penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta serta seluruh karyawan Fakultas Hukum UNS;
7. Bapak dan Ibu tercinta yang selalu medukung dan memberikan kasih sayang
serta do’anya kepada saya serta mama tersayang di surga yang selalu mejadi
motivasi saya untuk terus maju;
8. Kakak dan adik tercinta yang selalu memberi dukungan dan motivasi kepada
saya;
9. Sahabat-sahabatku Rizqa, Raras, Ucik dan Asli untuk semua doa, dukungan
dan motivasinya;
10. Teman-temanku seperjuangan angkatan 2007 khususnya “BJC” (Citra, Yuko,
Fanti, Helza, Chandra, Ardy, Bram, Tuhu ) dan Desi untuk semua doa,
bantuan dan dukungannya;
11. Teman-teman kos “luvely esem” Rere, Ita, Uli, Mbak Ci, Sita, Riri, Nong,
untuk semua semangat dan dukungannya;
12. Serta seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
penulisan hukum ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tak ada gading yang tak retak,
begitu pula penulisan hukum ini masih jauh dari sempurna, tidak luput dari
kekurangan, baik dari segi materi yang disajikan maupun dari segi analisisnya.
Namun penulis berharap bahwa penulisan hukum ini mampu memberikan
manfaat baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembacanya. Dengan lapang dada
penulis menerima segala saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua
pihak untuk kesempurnaan penulisan hukum ini.

Surakarta, 5 Desember 2011

Penulis
commit to user

viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN.............................………………………. iv
ABSTRAK ................................................................................................ v
ABSTRACT .............................................................................................. vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................. ix
DAFTAR BAGAN ................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 7
E. Metode Penelitian................................................................................ 7
1. Jenis Penelitian .............................................................................. 8
2. Sifat Penelitian .............................................................................. 8
3. Pendekatan Penelitian ................................................................... 9
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum .................................................. 10
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................................ 11
6. Teknik Analisis Bahan Hukum ..................................................... 11
F. Sistematika Penulisan Hukum............................................................. 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Kerangka Teori.................................................................................... 14
commit to user

ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

1. Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak dalam Hukum Pidana


Indonesia ....................................................................................... 14
a. Pengklasifikasian Tindak Pidana Persetubuhan Dalam Hukum
Pidana ...................................................................................... 14
b. Pengertian Persetubuhan ......................................................... 14
c. Ketentuan Hukum Yang Mengatur Tindak Pidana Persetubuhan
Terhadap Anak ....................................................................... 19
d. Pengertian Anak Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di
Indonesia ................................................................................. 21
2. Kajian Viktimologis Mengenai Korban Dan Perannya Dalam
Tindak Pidana................................................................................ 22
a. Pengertian Viktimologi ........................................................... 22
b. Ruang Lingkup Viktimologi ................................................... 24
c. Manfaat Studi Viktimologi Bagi Penegakan Hukum pidana... 26
d. Pengertian Korban................................................................... 26
e. Tipologi Korban ...................................................................... 28
f. Hak dan Kewajiban Korban .................................................... 32
g. Peran Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana .................... 38
h. Kedudukan dan Peran Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana 40
3. Perlindungan Terhadap Korban Tindak Pidana dalam Sistem
Hukum di Indonesia ...................................................................... 42
a. Perlindungan Korban .............................................................. 42
b. Perlindungan Khusus Bagi Anak Korban Tindak Pidana ..... 44
B. Kerangka Pemikiran ............................................................................ 46

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Hasil Penelitian
1. Kasus Posisi .................................................................................. 48
2. Identitas Terdakwa ........................................................................ 50
3. Dakwaan ........................................................................................ 50
commit to user
4. Tuntutan ........................................................................................ 51

x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5. Amar Putusan ................................................................................ 52


B. Pembahasan
1. Bentuk Peran Korban Terhadap Terjadinya Tindak Pidana
Persetubuhan Yang Dilakukan Oleh Terdakwa Dalam Putusan
Nomor 92/Pid.Sus/2009/PN. Sragen ............................................. 53
2. Telah Atau Belum Terpenuhinya Perlindungan Terhadap Korban
Sebagaimana Tersebut Dalam Putusan Nomor 92/Pid.Sus/2009/
PN.Sragen Selama Proses Peradilan Pidana ................................. 62
a. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban ............................................. 63
b. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana .......... 66
c. Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
perlindungan Anak .................................................................. 70
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................. 76
B. Saran .................................................................................................... 77

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 79


LAMPIRAN

commit to user

xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR BAGAN

BAGAN
Gambar 1 Kerangka Pemikiran ................................................................. 46

commit to user

xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I Putusan Pengadilan Negeri Kelas IB Sragen Nomor


92/Pid.Sus/2009/PN. Srg Tanggal 6 Agustus 2009 Dalam Perkara
Pidana Atas Nama Terdakwa SULISTYANTO als SULIS bin
Sastro Suparno

commit to user

xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal


1 Ayat (3) menyebutkan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.
Berlandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), menjunjung tinggi hak asasi manusia dan
menjamin seluruh warga negara berkedudukan sama di dalam hukum dan
pemerintahan tanpa terkecuali sehingga dapat mewujudkan masyarakat adil,
makmur dan sejahtera dalam segala aspek kehidupan. Dalam hal ini negara
berkomitmen bahwa setiap warga negara harus diperlakukan baik dan adil
sama kedudukannya di dalam hukum, juga dalam pengertian ia seorang
tersangka atau korban suatu tindak pidana.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan
Sistem Peradilan Pidana, khususnya dalam hal perlindungan terhadap korban
tindak pidana secara nyata belum mencantumkan apa yang diisyaratkan oleh
UUD 1945 dan falsafah negara Pancasila tersebut. Ketentuan yang termuat
dalam hukum pidana formil yang ada di Indonesia, lebih banyak
menitikberatkan perhatian pada pelaku kejahatan daripada korban walaupun
keduanya sama-sama memiliki peran fungsional dalam terjadinya tindak
pidana.
Korban sebenarnya memegang peran yang menentukan timbulnya
tindak pidana sebagai manifestasi dari sikap dan tingkah lakunya sebelum, saat,
dan sesudah kejadian. Pihak korban dapat berperan, baik dalam keadaan sadar
atau tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau bersama-
sama, secara aktif maupun pasif yang bergantung pada situasi dan kondisi
sebelum, saat, dan sesudah kejadian.
commit to user

1
perpustakaan.uns.ac.id 2
digilib.uns.ac.id

Perhatian terhadap korban sebenarnya telah ada sejak dahulu, namun


perhatian tersebut hanya sebatas pada pemahaman bahwa suatu tindak pidana
telah menimbulkan korban. Bagaimanakah nasib korban setelah tindak pidana
itu terjadi belum menjadi perhatian dan mendapat perlindungan.
Diabaikannya eksistensi korban dalam penyelesaian tindak pidana
menurut Arief Gosita terjadi karena beberapa faktor, yaitu:
1. Masalah kejahatan tidak dilihat, dipahami menurut proporsi yang
sebenarnya secara dimensional;
2. Pengatasan, penanggulangan permasalahan kejahatan yang tidak
didasarkan pada konsep, teori etiologi criminal yang rasional,
bertanggung jawab, dan bermanfaat;
3. Pemahaman dan penanggulangan permasalahan kejahatan tidak
didasarkan pada pengertian, citra mengenai manusia yang tepat (tidak
melihat dan menangani manusia pelaku dan manusia korban sebagai
sesama manusia seperti kita).
(Arief Gosita, 1993: 32).

Muncul dan berkembangnya studi viktimologi yang merupakan suatu


studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan
akibat-akibat penimbulan korban yangmerupakan masalah manusia sebagai
suatu kenyataan sosial merupakan salah satu upaya dalam memberikan
perhatian terhadap persoalan korban yang sudah lama terabaikan.
Kajian viktimologi sebagai applied science akan membuat konsep pidana
dan pemidanaan dalam kerangka penegakan hukum pidana yang selama ini
lebih didominasi oleh pertimbangan dari sudut pelaku dapat dibuat lebih
proporsional dan lebih dapat dipertanggung jawabkan. Kejahatan tidak dapat
berdiri sendiri, melainkan ada keterkaitan antara pelaku dengan korban (victim)
sehingga dalam penerapan sanksi perlu pula memperhatikan kepentingan
korban.
Peran dan tanggung jawab fungsional korban dalam tindak pidana
dalam keadaan tertentu dapat dipergunakan sebagai salah satu pertimbangan
aparat penegak hukum, khususnya hakim untuk menentukan jenis dan berat
ringannya pidana yang akan diterapkan pada pelaku bahkan untuk
membebaskan pelaku dari ancaman pidana.
commit to user
Dari sudut korban sendiri adanya pertimbangan-pertimbangan
perpustakaan.uns.ac.id 3
digilib.uns.ac.id

viktimologis dalam pidana dan pemidanaan dapat lebih memberikan rasa


keadilan. Selama ini sanksi pidana lebih merupakan pembayaran atau
penebusan kesalahan pelaku pada negara, padahal yang langsung mengalami
penderitaan atau kerugian akibat tindak pidana itu adalah korbannya. Dengan
mempelajari hakikat korban dan penderitaannya, viktimologi memberikan
dasar pemikiran untuk menggali kemungkinan dirumuskan dan diterapkannya
sanksi yang lebih bersifat pembayaran atau penebusan kesalahan pelaku pada
korbannya, misalnya dengan memberikan ganti kerugian atau santunan dan
perbaikan atas kerusakan yang ditimbulkan sebagai akibat tindak pidana yang
terjadi. Disamping sebagai perwujudan dari tanggung jawab hukum, sanksi
yang demikian itu sedikit banyak juga akan menggugah tanggung jawab moral
pelaku terhadap korbannya.
Salah satu pihak yang rentan (potensial) menjadi korban tindak pidana
adalah remaja (anak) perempuan. Menurut Von Hentig sebagaimana dikutip
oleh G. Widartana dalam bukunya yang berjudul Viktimologi_Perspektif
Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan, perempuan (the female), khusunya
yang muda, berdasarkan pada faktor psikologis, sosial dan biologisnya
biasanya mudah menjadi korban kekerasan seksual dan kejahatan terhadap
harta benda. Mereka sering menjadi target karena dipersepsikan sebagai
manusia yang fisiknya lebih lemah dibanding laki-laki dan mudah diperdaya.
Orang berusia muda atau anak-anak (the young) sangat mudah menjadi target
kejahatan bukan saja karena secara fisik tidak kuat, tetapi juga karena belum
matang kepribadian dan ketahanan moralitasnyasehingga seringkali membuat
mereka tidak mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah,
mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Anak seringkali melakukan suatu
tindakan tanpa memikirkan akibatnya, sehingga seringkali mereka tidak sadar
telah menjadi korban. (G. Widiartana, 2009: 23-24).
Anak (perempuan) sebagai korban juga dapat menjadi partisipan utama
untuk terjadinya viktimisasi kriminal, memainkan berbagai macam peran
tergantung pada situasi dan kondisi saat itu, walaupun dalam kenyataannya
tidak mudah membedakan secaracommit to user
tajam setiap peran yang dimainkan pihak
perpustakaan.uns.ac.id 4
digilib.uns.ac.id

korban. Sikap dan perilaku pihak korban dalam hal ini anak perempuan sebagai
korban dengan didukung oleh situasi dan kondisi tertentu pada saat itu dapat
merangsang pihak pelaku untuk melakukan viktimisasi kriminal terhadap anak
perempuan tersebut. Pihak perempuan sebagai korban dapat tidak melakukan
suatu tindakan, tidak ingin dijadikan korban atau dapat mengatakan tidak
menyangka akan dijadikan korban, tetapi sikap dan perilaku serta keadaan
yang ada pada perempuan seperti fisik perempuan yang dianggap lemah serta
mudah diperdaya karena bodoh dapat merangsang atau mendorong pelaku
untuk melakukan viktimisasi kriminal.
Tindak Pidana Persetubuhan, khususnya yang dilakukan terhadap
anak dapat bermula dari pergaulan antara pria dan wanita yang memiliki
kecenderungan berlangsungnya hubungan seks di luar pernikahan yang sering
salah diartikan sebagai ungkapan rasa sayang. Hal ini dapat dimulai dari
meraba tangan, kemudian meningkat menjadi cium pipi kanan-kiri, kemudian
meningkat lagi menjadi ciuman bibir, lalu berkembang menjadi meraba organ-
organ intim dan berakhir dengan persetubuhan. Anak yang tergolong remaja
seringkali menjadi korban dikarenakan sikap mereka yang masih lugu, mudah
dibujuk dan dirayu oleh pelaku. Apalagi jika pelaku merupakan orang yang
dekat dengannya, bersikap baik dan memberikan perhatian dan kasih sayang
seperti layaknya kakak atau orang tua serta memberikan apa yang mereka
butuhkan. Belum matangnya kepribadian dan ketahanan moralitas sering
membuat anak terbuai dengan kelihaian pelaku sehingga seringkali secara tidak
sadar mereka mau saja melakukan apa yang diminta oleh pelaku, termasuk
melakukan persetubuhan di luar perkawinan.
Ketentuan Pidana untuk tindak pidana persetubuhan terhadap anak telah
diatur secara khusus dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23
Tahun 2002 Pasal 81 yang menyebutkan bahwa:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun
commit
dan denda paling banyak Rpto300.000.000,00
user (tiga ratus juta rupiah)
dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
perpustakaan.uns.ac.id 5
digilib.uns.ac.id

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku


pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu
muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Upaya penegakan hukum, khususnya dalam kasus tindak pidana


persetubuhan terhadap anak memerlukan peran serta korban dalam bentuk
adanya kesadaran untuk melaporkan tindak pidana tersebut kepada aparat
penegak hukum serta menjadi saksi dalam tingkat penyelidikan, penyidikan,
dan pemeriksaan di persidangan. Ini bukan merupakan hal yang mudah
mengingat kondisi korban yang menderita akibat tindak pidana yang
dialaminya. Korban yang merupakan anak harus menanggung beban
penderitaan akibat kejahatan yang dialaminya, menanggung rasa malu,
merasakan penderitaan fisik berupa luka akibat tindakan pelaku dan
penderitaan psikis seperti muculnya rasa takut, gelisah dan cemas bahkan
trauma yang mendalam. Dalam hal ini, peran orang tua korban sangat
diperlukan. Orang tua wajib mendampingi korban dan memberikan dukungan
moril selama berhadapan dengan hukum, baik pada saat melaporkan tindak
pidana, maupun ketika menjadi saksi dalam tingkat penyelidikan, penyidikan,
maupun pemeriksaan di persidangan.
Pihak korban seringkali merasa takut atau bahkan malu melaporkan
tindak pidana yang terjadi karena kejadian tersebut dianggap merupakan aib
bagi korban dan keluarganya. Melaporkannya sama saja dengan menyebarkan
aib yang harusnya ditutupi, selain itu, timbul perasaan takut akan adanya
ancaman dari pelaku serta perlakuan tidak adil dari masyarakat akibat budaya
tabu terhadap hubungan seks di luar nikah . Kedudukan sebagai saksi korban
dalam tingkat penyelidikan, penyidikan sampai persidangan juga mendorong
korban untuk mengingat kembali penderitaan yang dialaminya akibat tindakan
pelaku yang tentunya akan berdampak buruk pada kondisi fisik dan psikis
korban. Oleh karena itu, diperlukan suatu bentuk perlindungan terhadap korban
untuk memulihkan keadaan dirinya dan melindungi korban dari ancaman pihak

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

pelaku serta mencegah terjadinya stigma buruk dari masyarakat.


Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian dengan judul ”ANALISIS BENTUK PERAN DAN
PERLINDUNGAN KORBAN TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN
TERHADAP ANAK DITINJAU DARI VIKTIMOLOGI (STUDI
PUTUSAN NOMOR 92/Pid.Sus/2009/PN.Srg”).

B. Rumusan Masalah:
Dalam kaitannya dengan latar belakang masalah di atas, maka Penulis
merumuskan pokok-pokok masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk peran korban terhadap terjadinya tindak pidana
persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa dalam PUTUSAN NOMOR
92/Pid.Sus/2009/PN.Srg di Pengadilan Negeri Sragen?
2. Apakah korban sebagaimana tersebut dalam PUTUSAN NOMOR
92/Pid.Sus/2009/PN.Srg di Pengadilan Negeri Sragen telah mendapatkan
perlindungan hukum selama proses peradilan pidana?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah hal-hal tetentu yang hendak dicapai dalam suatu
penelitian dan digunakan untuk memberikan arah dalam pelaksanaan
penelitian. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Tujuan Objektif
a. Mengetahui bentuk peran korban anak dalam terjadinya tindak pidana
persetubuhan yang dilakukan terdakwa terhadap dirinya;
b. Mengetahui bentuk-bentuk perlindungan yang telah diberikan terhadap
korban atas tindak pidana persetubuhan yang dialaminya dalam proses
peradilan pidana.
2. Tujuan Subjektif
a. Menambah wawasan, pengetahuan dan kemampuan analitis penulis di
bidang Hukum Pidana, khususnya berkaitan dengan Peran Korban

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak serta bentuk perlindungan


yang telah dan harusnya diberikan kepada korban;

b. Memperoleh bahan dan informasi secara lebih jelas dan lengkap


sebagai bahan untuk menyusun penulisan hukum, guna memenuhi
persyaratan akademis dalam mencapai gelar Sarjana (S1) dalam bidang
Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

D. Manfaat Penelitian

Penulis dalam hal ini berharap bahwa penelitian hukum ini akan
bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain yang terkait dengan penulisan
hukum ini. Adapun manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan
hukum ini antara lain:
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum
pada umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya;
b. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan Hukum Pidana
tentang bentuk peranan dan perlindungan bagi korban tindak pidana
persetubuhan terhadap anak di bawah umur; dan
c. Memberikan hasil yang dapat dijadikan bahan acuan bagi penelitian
yang sama atau sejenis pada tahap selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
pola pikir ilmiah, serta untuk mengetahui kemampuan penulis dalam
menerapkan ilmu yang diperoleh; dan
b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua
pihak yang berkepentingan, khususnya bagi aparat penegak hukum
guna memperoleh jawaban (solusi) dari permasalahan yang diteliti.

E. Metode Penelitian

Penelitian dalam dunia riset merupakan aplikasi atau penerapan metode

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

yang telah ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi
keilmuan yang terjaga sehingga hasil penelitian yang dilakukan memiliki nilai
ilmiah yang dihargai oleh komunitas ilmuwan terkait. Dua syarat utama yang
harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian ilmiah dengan baik dan dapat
dipertanggungjawabkan yakni peneliti harus lebih dulu memahami konsep
dasar ilmu pengetahuan yang berisi sistem dan ilmunya dan metodologi
penelitian disiplin ilmu tersebut (Johny Ibrahim, 2006:26).
Metode penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab
isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan
argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskipsi dalam menyelesaikan
masalah yang dihadapi ( Peter Mahmud Marzuki, 2005:35).
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam menyusun
penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian
hukum kepustakaan karena dalam hal ini penulis menggunakan
studi putusan pengadilan dan mengkajinya dari segi viktimologi.
Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama
dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu penelitian
berdasarkan bahan-bahan hukum (library research) yang fokusnya
pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan
sekunder (Johny Ibrahim, 2006:44).
2. Sifat Penelitian
Sesuai dengan judul dan permasalahan dalam penelitian ini
maka penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian yang bersifat
preskriptif yaitu penelitian ilmu hukum yang mempelajari tujuan
hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep
hukum dan norma norma hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2005:
22) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

3. Pendekatan Penelitian
Dalam buku Penelitian Hukum karangan Peter Mahmud
Marzuki disebutkan bahwa dalam penelitian hukum terdapat
beberapa pendekatan yaitu:
a) Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
b) Pendekatan Kasus (case approach)
c) Pendekatan Historis (histirocal approach)
d) Pendekatan Perbadingan (comparative approach)
e) Pendekatan Konseptual (conceptual approach)
(Peter Mahmud Marzuki, 2005: 93-95).
Sedangkan menurut Johny ibrahim dalam bukunya Teori &
Metodologi Penelitian Hukum Normatif, selain kelima pendekatan
sebagaimana tersebut diatas masih ada beberapa pendekatan lain,
yaitu:
a) Pendekatan Analitis (analyticalapproach) (Johny Ibrahim,
2006: 311);
b) Pendekatan Filsafat (philosophicalapproach) ( (Johny Ibrahim,
2006: 320).
Adapun pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian
ini diantaranya adalah:
a) Pendekatan Kasus (case approach)
Pendekatan dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi
yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap.
Dalam hal ini, penulis mengambil studi putusan Pengadilan
Negeri Sragen No. 92/Pid.Sus/2009/PN.Srg yang telah
diperkuat dengan putusan Mahkamah Agung No. 2700
K/Pid.Sus/2009
b) Pendekatan Perundang-Undangan (statute approach)
Pendekatan dilakukan dengan menelaah semua undang-
commit to user
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

yang sedang ditangani.


Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang diangkat penulis antara lain:
1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
4) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
5) Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002
6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Di dalam penelitian hukum tidak dikenal adanya istilah data,
sehingga digunakan istilah bahan hukum yang terdiri dari bahan
hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer merupakan
bahan hukum yang mempunyai otoritas (bersifat autoratif), terdiri
dari putusan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah di dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan
putusan-putusan pengadilan sedangkan bahan hukum sekunder
berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus
hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan. (Peter Mahmud Marzuki, 2005: 141).
Adapun sumber bahan hukum yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian
normatif ini antara lain:
1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
commit
4) Undang-Undang to user Nomor 1 Tahun 1974;
Perkawinan
perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

5) Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun


2002;
6) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban;
7) Putusan Pengadilan Negeri Sragen Nomor
92/Pid.Sus/2009/PN.Srg.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yang digunakan sebagai pendukung
dalam penelitian ini adalah buku-buku teks yang ditulis para ahli
hukum, jurnal hukum, artikel, dan sumber lainnya yang memiliki
keterkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian
ini.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknikpengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk
memperoleh bahan hukum dalam penelitian dimana dalam
penelitian ini teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung
dan berkaitan dengan pemaparan penulis adalah teknik
pengumpulan bahan hukum dengan studi dokumen atau bahan
pustaka baik dari media cetak maupun elektronik (internet).
Peter Mahmud mengemukakan bahwa studi dokumen adalah
suatu alat pengumpulan bahan hukum yang dilakukan melalui
bahan hukum tertulis dengan mempergunakan content analysis
(Peter Mahmud Marzuki, 2005:21).
Studi dokumen ini berguna untuk mendapatkan landasan teori
dengan mengkaji dan mempelajari buku-buku, peraturan
perundang-undangan, dokumen, laporan, arsip, dan hasil penelitian
yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan teknik analisis bahan hukum
deduksi dengan metode silogisme. Menurut Johny Ibrahim, logika
commit
deduktif merupakan suatutoteknik
user untuk menarik kesimpulan dari
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual


(Johny Ibrahim, 2006:249). Sedangkan Peter Mahmud menjelaskan
metode deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan Aristoteles.
Penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis
major (pernyataan bersifat umum) kemudian diajukan premis
minor (pernyataan bersifat khusus), dari kedua premis itu
kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclussion.Philipus M.
Hadjon sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki
mengemukakan bahwa di dalam logika silogistik untuk penalaran
hukum yang merupakan premis mayor adalah aturan hokum
sedangkan premis minornya adalah fakta hukum. Dari kedua hal
tersebut kemudian dapat ditarik suatu konklusi.(Peter Mahmud
Marzuki, 2005:47).
Jadi, yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum
dengan cara deduktif adalah menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang
sifatnya umum untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dari hal-hal
yang bersifat khusus.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Sistematika penulisan dalam penelitian hukum ini disajikan untuk
memberikan gambaran umum secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum sebagai karya ilmiah yang disesuiakan dengan kaidah-kaidah
baku suatu penulisan karya ilmiah. Adapun sistematika penulisan hukum ini
terdiri dari 4 (empat) bab, dimana masing-masing bab terbagi lagi dalam sub-
sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap
keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan tersebut adalah sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab Pendahuluan menyajikan latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan
sistematika penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

memberikan penjelasan secara teoritik yang bersumber dari bahan hukum


yang penulis gunakan dan doktrin ilmu hukum yang dianut secara universal
mengenai persoalan yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang penulis
teliti. Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang Tindak Pidana
Persetubuhan Terhadap Anak Dalam Hukum Pidana Indonesia, Kajian
Viktimologis Mengenai Korban Dan Perannya Dalam Tindak Pidana,
Perlindungan Terhadap Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Hukum Di
Indonesia. Selain itu, dalam bab ini juga berisi pemaparan kerangka pemikiran
penulisan hukum yang menunjukkan gambaran alur pemikiran penulis berupa
konsep yang akan dijabarkan dalam penelitian ini.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini, penulis hendak menguraikan mengenai pembahasan dan
hasil yang diperoleh dari proses penelitian yang dilakukan.
Berdasarkan pada rumusan masalah yang diteliti, terdapat dua pokok
permasalahan yang akan dibahas dalam bab ini yaitu Bentuk Peran
Korban terhadap terjadinya tindak pidana persetubuhan yang
dilakukan oleh terdakwa dalam Putusan Nomor
92/Pid.Sus/2009/PN.Srg di Pengadilan Negeri Sragen dan telah atau
belum terpenuhinya perlindungan hukum terhadap korban
sebagaimana tersebut dalam Putusan Nomor 92/ Pid.Sus/2009/PN.Srg
di Pengadilan Negeri Sragen selama proses peradilan pidana.
BAB IV PENUTUP
Pada bab ini penulis mengemukakan simpulan dari hasil penelitian
serta memberikan saran yang relevan dengan penelitian terhadap
pihak-pihak yang terkait dengan bahasan penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak dalam Hukum Pidana
Indonesia
a. Pengklasifikasian Tindak Pidana Persetubuhan Dalam Hukum
Pidana
Tindak Pidana persetubuhan dikategorikan dalam tindak pidana
kesusilaan (Buku II Bab XIV KUHP) dalam arti sempit yaitu kejahatan
kesusilaan yang berhubungan dengan seksualitas.
Tidak pidana kesusilaan yang berhubungan dengan seksualitas
dalam KUHP dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana perkosaan
untuk bersetubuh yang diatur dalam pasal 285- 288 KUHP dan tindak
pidana perkosaan untuk berbuat cabul yang diatur dalam pasal 289-296
KUHP, sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, tindak pidana kesusilaan yang
berhubungan dengan seksualitas yang melibatkan anak didalamnya
diatur dalam Pasal 81 (persetubuhan), 82 (pencabulan) dan Pasal 88
(eksploitasi seksual).
Delik kesusilaan banyak menimbulkan kesulitan dalam
penyelesaian baik dalam penyidikan, penuntutan maupun tahap
pengambilan keputusan, selain kesulitan dalam batasan, kesulitan
pembuktian misalnya pemerkosaan atau cabul yang pada umumnya
dilakukan tanpa kehadiran orang lain. Untuk itu, peranan korban sangat
diperlukan bagi kelangsungan proses peradilan.
b. Pengertian Persetubuhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah persetubuhan
berasal dari kata “tubuh” yang berarti keseluruhan jasad manusia atau
binatang yang kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut.
commit toberarti
Sedangkan kata “setubuh” user satu badan, sebadan. Jadi

14
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

persetubuhan itu sendiri berarti hal bersetubuh, hal bersenggama.


Sesuai dengan Arrest Hooge Road 5 Februari 1912 (W. 9292)
sebagaimana tercantum dalam penjelasan KUHP karangan R Soesilo
”persetubuhan berarti peraduan antara anggota kemaluan laki-laki dan
perempuan yang biasa dijalankan untuk mendapatkan anak.” Jadi,
anggota kemaluan laki-laki harus masuk ke dalam anggota kemaluan
perempuan sehingga mengeluarkan air mani (R. Soesilo, 1986: 209).
Persetubuhan (coitus) adalah perpaduan antara 2 (dua) kelamin
yang berlawanan jenisnya untuk memenuhi kebutuhan biologik, yaitu
kebutuhan seksual. Persetubuhan yang lengkap terdiri atas penetrasi
penis kedalam vagina, gesekan-gesekan penis terhadap vagina dan
ejakulasi. Menurut kalangan ahli hukum suatu persetubuhan tidak
harus diahkiri dengan ejakulasi. Bahkan penetrasi yang ringan, yaitu
masuknya kepala zakar diantara kedua bibir luar, sudah dapat dianggap
sebagai tindakan persetubuhan (Stefanus Urip Gembong Suryo
Setiawan, 2010:28).
Persetubuhan sendiri dibedakan menjadi dua macam, yaitu
persetubuhan yang dilakukan secara legal dan persetubuhan yang
dilakukan secara tak legal. Persetubuhan terhadap wanita dianggap
legal jika wanita itu sudah cukup umur, tidak dalam ikatan perkawinan
dengan laki-laki lain dan dilakukan dengan izinnya atau
persetujuannya. Ikatan perkawinan dapat dianggap sebagai persetujuan
atau izin bagi suami untuk melakukan persetubuhan dengan istrinya.
KUHP mengatur juga tentang larangan persetubuhan yang
dilakukan terhadap istrinya sendiri yang belum cukup umur dan
persetubuhan tersebut telah menimbulkan luka-luka (288 KUHP).
Unsur-unsurnya:
1) Barangsiapa: subyek hukum (orang sebagai pribadi) sebagai
pendukung hak dan kewajiban yang mampu bertanggung
jawab atas perbuatannya;
commit to
2) bersetubuh dengan user
isterinya: berhubungan badan dengan
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

perempuan yang terikat perkawinan dengannya;


3) diketahui atau sepatutnya harus diduga: si laki-laki
mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perempuan itu
belum masanya dikawin;
4) jika perbuatan itu mengakibatkan luka: yaitu apabila terdapat
perubahan dalam bentuk badan manusia yang berlainan
daripada bentuk semula. Dalam kaitannya dengan
persetubuhan lebih mengarah pada luka di daerah kemaluan
yang ditandai dengan robeknya selaput dara. Hubungan
seksual dengan perempuan yang belum masanya dikawin
menurut ketentuan ini bukan merupakan tindak pidana jika
tidak mengakibatkan luka. (Steve Cook, 2005:80-81).
Sedangkan persetubuhan diluar perkawinan adalah persetubuhan
yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan wanita yang bukan
istrinya. Dengan kata lain antara laki-laki dan wanita yang melakukan
persetubuhan itu tidak berada dalam ikatan perkawinan. Perbuatan ini
dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1) Persetubuhan yang dilakukan atas persetujuan atau izin dari wanita
yang disetubuhi, misalnya persetubuhan dengan wanita yang belum
cukup umur atas dasar suka sama suka dan perzinahan.
2) Persetubuhan yang dilakukan tanpa persetujuan atau izin dari
wanita yang disetubuhi, misalnya perkosaan (Pasal 285 KUHP)
yang unsur-unsurnya mencakup:
a) Barangsiapa: subyek/pelaku dari peristiwa yang karena
perbuatannya telah disangka melakukan tindak pidana yang
mana terdapat kemampuan pada dirinya untuk bertanggung
jawab secara pidana atau bukan termasuk dalam kategori
sebagaimana disebutkan dalam KUHP sebagai dasar penghapus
dan pembenar tindak pidana (Junaedi, 2005:5);
b) dengan kekerasan atau ancaman kekerasan: haruslah
commit
sedemikian rupa to user
sehingga secara wajar dapat diduga bahwa si
perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

perempuan menyerah dan merelakan diri untuk disetubuhi


karena adanya kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut.
Menurut ketentuan pasal 89 KUHP, kekerasan mencakup juga
perbuatan membuat seseorang menjadi atau berada dalam
keadaan tidak berdaya atau pingsan;
c) memaksa: pelaku melakukan tekanan pada korban yang
menimbulkan rasa takut, sehingga korban itu melakukan
sesuatu yang berlawanan dengan kehendaknya sendiri (di luar
kehendak korban);
d) bersetubuh di luar perkawinan: melakukan hubungan seksual
dengan permpuan yang tidak terikat perkawinan dengannya
(bukan isterinya). Menurut KUHP, memaksa seorang
perempuan berhubungan seksual tidak dikualifikasikan sebagai
perkosaan jika si laki-laki adalah suami si perempuan.
Meskipun demikian, menurut UU PKDRT perkosaan yang
terjadi dalam ikatan perkawinan juga dikualifikasikan sebagai
tindak pidana (marital rape)
(http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2168717-
unsur-unsur-tindak-pidana-perkosaan/#ixzz1Y2NDv3HN, pada
15 September 2011 pukul 23.00 WIB).

dan persetubuhan dengan wanita yang pingsan atau tidak berdaya


(Pasal 286 KUHP) yang unsur-unsurnya meliputi:
a) Barangsiapa: subyek / pelaku dari peristiwa yang karena
perbuatannya telah disangka melakukan tindak pidana yang
mana terdapat kemampuan pada dirinya untuk bertanggung
jawab secara pidana atau bukan termasuk dalam kategori
sebagaimana disebutkan dalam KUHP sebagai dasar penghapus
dan pembenar tindak pidana (Junaedi, 2005:5);
b) bersetubuh di luar perkawinan: melakukan hubungan seksual
dengan permpuan yang tidak terikat perkawinan dengannya
(bukan commit Menurut
isterinya). to user KUHP, memaksa seorang
perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

perempuan berhubungan seksual tidak dikualifikasikan sebagai


perkosaan jika si laki-laki adalah suami si perempuan.
Meskipun demikian, menurut UU PKDRT perkosaan yang
terjadi dalam ikatan perkawinan juga dikualifikasikan sebagai
tindak pidana (marital rape);
c) sedang diketahuinya bahwa perempuan itu pingsan atau tidak
berdaya: laki-laki itu harus mengetahui bahwa perempuan itu
pingsan atau tidak berdaya; pingsan berarti tidak adanya
kesadaran, termasuk juga pada keadaan koma; tidak berdaya
adalah keadaan tidak mampu membela diri yang disebabkan
ketidakmampuan fisik yang dialami korban, dalam keadaan
tidur termasuk juga di dalamnya
(Steve Cook, 2005:77).

Berdasarkan Pasal 287 KUHP yang dimaksud dengan


persetubuhan dengan wanita yang belum cukup umur ialah persetubuhan
dengan wanita bukan istrinya yang umurnya belum genap 15 tahun. Jika
umur wanita itu belum genap 12 tahun termasuk delik biasa dan jika
umurnya sudah genap 12 tahun tetapi belum genap 15 tahun termasuk
delik aduan. Namun, dimungkinkan tidak dibutuhkannya pengaduan
dalam hal hubungan seksual tersebut mengakibatkan luka berat atau
matinya perempuan (Pasal 291 KUHP) atau perempuan itu berada
dalam situasi ketergantungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 294
KUHP yang unsur-unsurnya:
1) barangsiapa: subyek / pelaku (orang sebagai pribadi) dari
peristiwa yang karena perbuatannya telah disangka melakukan
tindak pidana yang mana terdapat kemampuan pada dirinya untuk
bertanggung jawab secara pidana atau bukan termasuk dalam
kategori sebagaimana disebutkan dalam KUHP sebagai dasar
penghapus dan pembenar tindak pidana (Junaedi, 2005:5);
2) melakukan perbuatan cabul merujuk pada kesengajaan dalam
commit to user
segala bentuknya yang berkonotasi dengan tindakan seksual
perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

seperti meraba dada, meraba daerah kemaluan, mempertontonkan


kemaluannya di muka umum, memasukkan kemaluan ke lubang
anus, dan hal-hal lain yang bertentangan/melanggar norma-norma
sosial yang berlaku di dalam masyarakat;
3) belum dewasa dalam ketentuan pasal 290 KUHP, yang dimaksud
dengan anak yang belum dewasa adalah anak yang umurnya di
bawah 15 tahun atau kalau tidak jelas umurnya yang
bersangkutan belum masanya untuk dikawin (Steve Cook,
2005:88).
c. Ketentuan Hukum Yang Mengatur Tindak Pidana Persetubuhan
Terhadap Anak
Pasal 287 Ayat (1) KUHP menyebutkan bahwa:
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar
perkawinan, padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga,
bahwa umurnya belum 15 (lima belas tahun), atau kalau tidak
nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya
untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Unsur-unsurnya:
1) ”Barangsiapa” merupakan suatu istilah bagi subyek/ pelaku
dari peristiwa yang karena perbuatannya telah disangka
melakukan tindak pidana yang mana terdapat kemampuan
pada dirinya untuk bertanggung jawab secara pidana atau
bukan termasuk dalam kategori sebagaimana disebutkan
dalam KUHP sebagai dasar penghapus dan pembenar tindak
pidana;
2) ”Bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan”,
hubungan seksual dilakukan dengan seorang wanita yang
bukan isterinya, tidak ada ikatan perkawinan yang sah antara
pelaku dengan wanita yang disetubuhi (korban);
3) ”Diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa umurnya
belum 15 (lima belas tahun), atau kalau tidak nyata berapa
umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk
kawin”, pelaku harus mengetahui (dolus) atau sepatutnya
menduga (culpa) bahwa perempuan itu belum berusia 15
tahun atau jika tidak jelas umurnya, harus dibuktikan bahwa
pelaku mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa si
perempuan belum waktunya untuk kawin (Junaedi, 2005:5).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 81 tentang


Perlindungan Anak menyebutkan bahwa:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan
dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Unsur-unsurnya:
1) Setiap orang yang berarti subyek atau pelaku yaitu siapa saja
yang karena perbuatannya telah disangka atau didakwa
melakukan tindak pidana yang mana terdapat kemampuan pada
dirinya untuk bertanggung jawab secara pidana atau bukan
termasuk dalam kategori sebagaimana disebutkan dalam KUHP
sebagai dasar penghapus dan pembenar tindak pidana;
2) dengan sengaja: kesengajaan (dolus) adalah kehendak untuk
melaksanakan suatu tindakan yang didorong oleh pemenuhan
nafsu (motif). Untuk mewujudkan tindakannya, ada tiga tahapan
yaitu adanya motif, adanya kehendak, dan adanya tindakan.
Bentuk Kesengajaan sendiri dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)
yaitu kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk
mencapai suatu tujuan yang dekat (dolus directus), kesengajaan
dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau
noodzakkelijkheidbewustzijn), dan kesengajaan dengan sadar
kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet);
3) melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berarti
dalam prosesnya diperlakukan dengan kekuatan badan yang
agak hebat (keras)/mempergunakan tenaga atau kekuatan
jasmani tidak kecil secara tidak sah, misalnya memukul dengan
tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak,
menendang, dan sebagainya Pasal 89 KUHP memperluas
pengertian kekerasan yakni membuat pingsan atau melemahkan
orang, disamakan dengan melakukan kekerasan;
4) memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau
dengan orang lain yang berarti ada suatu pemaksaan dari pelaku
atau orang lain untuk bersetubuh dengan seorang anak (korban)
dimana pelaku melakukan tekanan pada korban, sehingga
korban itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan
kehendaknya sendiri (persetubuhan). diluar kehendak dariwanita
commit to user
itu. Satochid Kartanegara, menyatakan antara lain perbuatan
perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

memaksa itu haruslah ditafsirkan suatu perbuatan sedemikian


rupa sehingga menimbulkan rasa takut orang lain. Pasal 1324
KUH Perdata menyebutkan bahwa paksaan telah terjadi, apabila
perbuatan itu sedemikian rupa hingga dapat menakutkan seorang
yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat
menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau
kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan
nyata; Dalam mempertimbangkan hal itu, harus diperhatikan
usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan “;
5) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan
tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain
yang berarti bahwa perbuatan tersebut dapat dilakukan dengan
cara menipu, merayu, membujuk dan lain sebagainya untuk
menyetubuhi korban
(http://benpayung.blogspot.com/2010/08/contoh-tindak-pidana-
kesusilaan.html, pada 17 September 2011, 23.10).

d. Pengertian Anak Dalam Peraturan Perundang-undangan di


Indonesia
Mengenai batasan usia anak, ada beberapa perbedaan
ketentuan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan di
Indonesia, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 7 menyebutkan bahwa usia anak yang diizinkan kawin
adalah yang telah mencapai usia 19 tahun bagi pria dan 16
tahun bagi wanita. Penyimpangan atas ketentuan yang terdapat
dalam undang-undang ini hanya dapat dilakukan dengan
dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri. Dengan kata
lain, anak menurut undang-undang perkawinan adalah di
bawah 16 tahun bagi perempuan dan di bawah 19 tahun bagi
laki-laki.
2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan
Anak Dalam Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa anak
didefinisikan sebagai seseorang yang belum mencapai umur 21
(dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin
commit toHukum
3) Kitab Undang-Undang user Perdata (KUHPer) memberikan
perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

batasan bahwa orang dikatakan belum dewasa apabila belum


berumur 21 tahun dan belum pernah kawin (pasal 330
KUHPer). Dengan kata lain, yang dimaksud anak menurut
KUHP adalah yang berusia kurang dari 21 tahun dan belum
pernah kawin.
4) Dalam ketentuan pasal 287 KUHP disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan anak dalam kasus persetubuhan di luar
perkawinan adalah anak berusia di bawah 15 tahun, atau kalau
tidak nyata umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya
untuk kawin.
5) Menurut ketentuan Pasal 1 Bab I Undang-Undang
Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002, anak ialah
seseorang yang belum berusia delapan belas (18) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Undang-undang perlindungan anak secara umum akan
berlaku dan mengesampingkan ketentuan-ketentuan lain tentang
batas usia dewasa sesuai dengan asas hukum lex specialis derogat
legi generali yang artinya peraturan atau undang-undang yang
bersifat khusus mengesampingkan peraturan atau undang-undang
yang bersifat umum.
2. Kajian Viktimologis Mengenai Korban dan Perannya Dalam Tindak
Pidana
a. Pengertian Viktimologi
Viktimologi berasal dari bahasa latin victima yang berarti
korban dan logos yang berarti ilmu. Secara terminologi,
viktimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban,
penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban
yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.
Viktimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah/studi yang
mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.


Perumusan ini membawa akibat perlunya pemahaman mengenai
viktimologi sebagai:
1) Suatu permasalahan manusia menurut korporasi yang
sebenarnya secara dimensional;
2) Suatu hasil interaksi akibat adanya suatu interrelasi antara
fenomena yang ada dan saling mempengaruhi;
3) Tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh unsur
struktur sosial tertentu suatu masyarakat tertentu (Arif Gosita,
1993:40).
Viktimologi telah mengalami berbagai perkembangan yang
dapat dibagi dalam tiga fase. Pada tahap pertama, viktimologi
hanya mempelajari korban kejahatan saja, fase ini dikatakan
sebagai penal of special victimologi. Pada fase kedua, viktimologi
tidak hanya mengkaji masalah korban kejahatan, tetapi juga
meliputi korban kecelakaan. Fase ini disebut sebagai general
victimologi. Pada fase ketiga, viktimologi sudah berkembang lebih
luas lagi, yaitu mengkaji permasalahan korban karena
penyalahgunaan kekuasaan dan hak-hak asasi manusia. Fase ini
dikatakan sebagai new victimology (Made Darma Weda, 1995:
200).
Separovic sebagaimana dikutip oleh Rianne Letschert
berpendapat bahwa victimology should extend its definitions to
include victims of human rights abuses [viktimologi perlu
memperluas definisinya meliputi korban penyalahgunaan hak azasi
manusia]. Sedangkan Benjamin Mendelsohn believed that our
subjects of study should include not only victims of crime and
abuse of power, but also victims of accidents, natural disasters and
other acts of God [Benjamin Mendelsohn percaya bahwa pokok
studi kita seharusnya meliputi tidak hanya korban kejahatan dan
penyalahgunaan kekuasaan, tetapi juga korban kecelakaan,
bencana alami dan tindakan-tindakan lain dari Tuhan] (Rianne
Letschert, 2009: 1).commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

b. Ruang Lingkup Viktimologi


Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban seperti:
peran korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara
pelaku dengan korban, rentannya posisi korban dan peran korban
dalam sistem peradilan pidana.Yang menjadi objek pengkajian dari
viktimologi diantaranya adalah pihak-pihak mana saja yang
terlibat/memengaruhi terjadinya suatu viktimisasi (kriminal),
bagaimanakah respon terhadap suatu viktimisasi kriminal, dan
bagaimanakah upaya penanggulangannya.
Menurut Muladi viktimologi merupakan suatu studi yang
bertujuan untuk:
1) Menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban;
2) Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab-musabab
terjadinya viktimisasi;
3) Mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan
manusia (Muladi, 1995: 65).
Aspek yang berkaitan dengan korban mencakup faktor
penyebab munculnya kejahatan, bagaimana seseorang dapat
menjadi korban ,bagaimana upaya menanggulangi terjadinya
korban, serta hak dan kewajiban korban kejahatan.
Beberapa pokok bahasan yang harus mendapat perhatian
dalam membahas mengenai penelitian atau pembelajaran terhadap
korban (victim) dari tindak pidana antara lain meliputi peran
korban dalam terjadinya suatu tindak pidana, hubungan antara
pelaku tindak pidana (dader) dengan korban kejahatan (victim),
sifat mudah diserangnnya korban dan kemungkinannya untuk
menjadi residivis, peran korban kejahatan (victim) dalam sistem
peradilan, ketakutan korban terhadap kejahatan, serta sikap dari
korban kejahatan (victim) terhadap peraturan dan penegakan
hukumnya ( Kriminologi dan Viktimologi http://www.kriminologi-
commit
viktimologi.html [19 to user2011 pukul 19.17]).
September
perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

Sebab-musabab terjadinya viktimisasi sangat beragam,


diantaranya adalah adanya perasaan dendam pelaku terhadap
korban, faktor kebutuhan ekonomi yang sangat mendesak sehingga
membuat pelaku menghalalkan segala cara, dapat juga karena
korban berada di tempat yang rawan seorang diri, adanya
kecemburuan sosial pelaku terhadap korban, kecurigaan pelaku
terhadap korban, penyimpangan perilaku dan lain sebaginya.
Beberapa teori kriminologi mengungkapkan tentang sebab-
sebab mengapa kejahatan dapat terjadi. Salah satu diantaranya teori
biologis yang menganggap bahwa bakat sebagai sesuatu yang
diwariskan oleh nenek moyang merupakan penyebab utama dari
timbulnya kejahatan sehingga kejahatan dianggap sebagai perilaku
yang diwariskan. Teori lain yaitu aliran sosiologis menganggap
bahwa faktor penyebab kejahatan adalah lingkungan. Kejahatan
dapat terjadi karena faktor lingkungan yang buruk. Dalam kondisi
ini, penjahat diibaratkan sedang terkena kuman penyakit yang ada
di sekitarnya.
Selanjutnya pemahaman tentang korban kejahatan ini baik
sebagai penderita sekaligus sebagai faktor/elemen dalam suatu
peristiwa pidana akan sangat bermanfaat dalam upaya-upaya
pencegahan terjadinya tindak pidana itu sendiri (preventif). Oleh
karena itu seorang korban dapat dilihat dari dimensi korban
kejahatanan ataupun sebagai salah satu faktor kriminogen. Selain
itu korban juga dapat dilihat sebagai komponen penegakan hukum
dengan fungsinya sebagai saksi korban atau pelapor.
Menurut J.E Sahetapy, ruang lingkup viktimologi meliputi
bagaimana seseorang dapat menjadi korban yang ditentukan oleh
suatu victimity yang tidak selalu berhubungan dengan masalah
kejahatan (Suryono Ekotama, dkk, 2001: 176).
commit toArif
Sedangkan menurut userGosita sebagaimana dikutip oleh
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

Rena Yulia, objek studi atau ruang lingkup perhatian viktimologi


meliputi:
1) Berbagai macam viktimisasi kriminal atau kriminalitas;
2) Teori-teori etiologi viktimisasi kriminal atau kriminalitas;
3) Para peserta yang terlibat dalam terjadinya atau eksistensi suatu
viktimisasi kriminal atau kriminalitas. Seperti para korban,
pelaku, pengamat, pemnbuat undang-undang, polisi, jaksa,
hakim, pengacara, dan sebagainya;
4) Reaksi terhadap viktimisasi kriminal;
5) Respons terhadap suatu viktimisasi kriminal berupa:
argumentasi kegiatan-kegiatan penyelesaian suatu viktimisasi
atau viktimologi, usaha-usaha prevensi, represi, tindak lanjut
(ganti kerugian), dan pembuatan peraturan hukum yang
berkaitan;
6) Faktor-fator viktimogen/kriminogen (Rena Yulia, 2007: 45-46).

c. Manfaat Studi Viktimologi Bagi Penegakan Hukum Pidana


Menurut Arif Gosita, manfaat studi viktimologi bagi hukum
pidana kususnya dalam penegakan hukumnya adalah:
1) Viktimologi mempelajari tentang hakikat korban, viktimisasi
dan proses viktimisasi. Dengan mempelajari viktimisasi maka
akan diperoleh pemahaman tentang etiologi kriminal, terutama
yang berkaitan dengan penimbulan korban. Hal ini akan sangat
membantu dalam upaya melakukan tindakan preventif dan
represif terhadap kejahatan yang lebih proporsional dan
komprehensif;
2) Kajian viktimologi juga dapat membantu memperjelas peranan
dan kedudukan korban dalam suatu tindak pidana. Hal ini
penting untuk mencegah terjadinya penimbulan korban
berikutnya;
3) Viktimologi dapat memberikan keyakinan dan pemahaman
bahwa tiap orang berhak dan wajib tahu akan bahaya
viktimisasi. Hal ini tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti,
melainkan untuk memberikan pengertian pada tiap orang agar
lebih waspada;
4) Dengan mengupas penderitaan dan kerugian yang dialami oleh
korban, viktimologi dapat memberikan dasar pemikiran untuk
mencari jalan keluar bagi pemberian ganti kerugian pada
korban (Arif Gosita, 1993: 32-34).

d. Pengertian Korban
1) Berdasarkan Deklarasi PBB dalam ”Declaration of Basic
commit to user
Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

1985” pada angka 1 disebutkan bahwa korban kejahatan


adalah:
Victims means person who, individually or collectively,
have suffered harm, including physical or ental injury,
emotional suffering economic loss or substansial
impairment of their fundamental right, through acts or
omissions that are in violation of criminal laws operative
within member state, including those laws proscribing
criminal abuse of power”… through acts or omissions that
do not yet constitute violations of national criminal laws
but of internationally recognized norms relating to human
rights. [Korban adalah orang-orang yang secara individu
atau kolektif telah mengalami penderitaan, meliputi
penderitaan fisik dan mental, penderitaan emosi, kerugian
ekonomis atau pengurangan substansial hak-hak asasi,
melalui perbuatan-perbuatan atau pembiaran-pembiaran
yang melanggar hukum pidana yang berlaku di Negara-
negara anggota yang meliputi juga peraturan hukum yang
melarang] (Arif Gosita, 1993: 46).
2) Arief Gosita memberikan pengertian korban adalah “Mereka
yang menderita jasmani dan rohani sebagai akibat tindakan
orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri
atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak
asasi pihak yang dirugikan“(Arif Gosita, 1993: 63).

3) Sedangkan Muladi mengatakan bahwa:


Korban (Victims) adalah orang-orang yang baik secara
individual maupun kolektif telah menderita kerugian,
termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi,
atau gangguan substansial terhaddap hak-haknya yang
fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang
melanggar hokum pidana di masing-masing Negara,
termasuk penyalahgunaan kekuasaan (Dikdik M Arief
Mansur dan Elisatris Gultom, 2007: 47).
4) Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran
commityang
Hak Asasi Manusia to user
Berat menyebutkan bahwa “Korban
perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

adalah orang perorangan atau kelompok orang yang mengalami


penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari
ancaman, gangguan, terror, dan kekerasan pihak manapun”
(Farhana dan Mimin Mintarsih, 2008: 46-47).
5) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban menyebutkan bahwa “Korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”.

Dari beberapa definisi korban diatas dapat disimpulkan


bahwa yang dimaksud dengan korban adalah perseorangan atau
kelompok yang mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis
akibat perlakuan perseorangan atau kelompok orang yang mencari
pemenuhan kebutuhan diri sendiri yang bertentangan dengan
kepentingan dan hak asasi yang menderita.

e. Tipologi Korban
Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat
untuk lebih memerhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis
korban hingga memunculkan berbagai jenis korban, yaitu sebagai
berikut:
1) Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam
terjadinya kejahatan menurut Ezzatb Abde Fattah:
a) Nonparticipating victims, yaitu mereka yang tidak perduli
terhadap upaya penanggulangan kejahatan;
b) Latent victims, yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter
tertentu sehingga cenderung menjadi korban;
c) Provocative victims, yaitu mereka yang menimbulkan
rangsangan terjadinya kejahatan;
d) Participating victims, yaitu mereka yang dengan
perilakunya memudahkan dirinya menjadi korban;
e) False victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
perbuatan yang dibuatnya sendiri (Lilik Mulyadi,
2007:124).
commit to user
Mereka yang merupakan nonparticipating victims
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut


berpartipasi dalam penanggulangan kejahatan. Sedangkan latent
victims berkolerasi dengan karakter seseorang seperti wanita, anak-
anak, atau lansia yang cenderung lemah sehingga sering menjadi
target kejahatan. Provocative victims merupakan korban yang
menimbulkan atau memicu kejahatan, misalnya dengan jalan
menantang pelaku berkelahi. Mereka yang tergolong dalam
participating victims tidak menyadari atau memiliki perilaku lain
sehingga memudahkan dirinya menjadi korban contohnya wanita
gila yang menjadi korban perkosaan. False victims merupakan
korban yang sekaligus adalah pelaku, seperti pemakai
narkotika/psikotropika, wanita yang menggugurkan kandungannya
(aborsi), orang yang bunuh diri.
2) Ditinjau dari perspektif tanggung jawab korban menurut
Stephen Schafer:
a) Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada
hubungannya sama sekali dengan pelaku, baik emosi
maupun perilaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat.
Dalam kasus ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada
pelaku;
b) Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif
dengan sengaja atau kesadaran mendorong dirinya menjadi
korban (memprovokasi pelaku sehingga terjadi viktimisasi),
misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai
pelaku;
c) Precipitative victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat
akan tetapi dengan sikap dan perilakunya secara tidak
disadari justru mendorong dirinya menjadi korban.
Misalnya seorang perempuan yang memakai perhiasan
secara berlebihan dan tidak pada tempatnya sehingga
menjadi korban penjambretan;
d) Participating victims, yaitu mereka yang menjadi korban
justru karena ikut berperan aktif dalam terjadinya perbuatan
yang menimbulkan korban itu. Misal, wanita hamil yang
meninggal dunia karena aborsi;
e) Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara
commit
biologis atau to user kelemahan yang menyebabkan
fisik memiliki
perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

ia berpotensi menjadi korban. Misal: anak-anak yang


menjadi korban pencabulan. Beberapa ketentuan dalam
KUHP, misal pasal 209 ke-1, secara jelas menunjukkan
bahwa untuk dapat terjadinya tindak pidana tersebut
diperlukan adanya korban yang secara fisik lemah.
Biologically weak victims ini biasanya berkolerasi dengan
usia muda atau jenis kelamin perempuan;
f) Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki
kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan dia
menjadi korban. Misalnya kelompok minoritas seperti etnis
Tionghoa yang menjadi korban pembunuhan dan perkosaan
pada peristiwa bulan Mei 1998 di Jakarta dan para
gelandangan;
g) Political victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena
ada latar belakang politis dalam tindakan pelakunya.
Biasanya orang menjadi political victim karena menganut
keyakinan politik yang berbeda atau berseberangan dengan
pelakunya. Contohnya adalah pembunuhan terhadap orang-
orang yang diduga menjadi anggota Partai Komunis
Indonesia pada tahun 1965-an;
h) Self victimazing victims, yaitu mereka yang menjadi korban
karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya
korban obat bius, judi, aborsi, prostitusi (Lilik Mulyadi,
2007:124-125).
Mereka yang termasuk dalam unrelated victims menjadi korban
karena memang potensial. Provocative victims merupakan korban
yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya
kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri
korban dan pelaku secara bersama-sama. Dalam precipitative
victims aspek pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku.
Ditinjau dari aspek pertanggungjawabannya, biologically weak
victims terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena
tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak
berdaya. Korban socially weak victims tidak diperhatikan oleh
masyarakat bersangkutan dengan kedudukan sosial yang lemah.
Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada
penjahat atau masyarakat. Secara sosiologis, korban political
commit
victims tidak dapat to user
dipertanggungjawabkan kecuali adanya
perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

perubahan konstelasi politik. Self victimizing victims merupakan


korban semu karena menjadi korban kejahatan yang dilakukan
sendiri. Termasuk dalam jenis kejahatan tanpa korban (crime
without victim). Untuk itu, pertanggungjawabannya sepenuhnya
terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan
(Lilik Mulyadi, 2010: 10-11).

3) Von Hentig dalam bukunya yang berjudul The Criminal and his
victim membagi enam kategori korban dilihat dari keadaan
psikologis masing-masing, yaitu:
a) The depressed, who are weak and submissive (Yang
tertekan, yang bersikap tunduk dan lemah);
b) The acquisitive, who succumb to confidence games and
racketeers (Orang tamak yang menyerah pada keyakinan
permainan dan pemeras);
c) The wanton, who seek escampimin forbidden vices (Orang
yang ceroboh yang mencari escampimin melarang sifat
buruk);
d) The lonesome and heart broken, who are susceptible to
theft and fraud (Para kesepian dan patah hati yang rentan
terhadap pencurian dan penipuan);
e) The termentors, who provoke violence (Para termentor yang
memprovokasi kekerasan); and (dan)
f) The blocked and fightings, who are unable to take normal
defensive measures (Para penghalang dan perkelahian yang
tidak mampu untuk mengambil tindakan bertahan yang
normal) (Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom,
2007: 39).
4) John A.Mack menulis ada tiga tipologi keadaan sosial dimana
seseorang dapat menjadi korban kejahatan yaitu:
a) Calon korban sama sekali tidak mengetahui akan terjadi
kejahatan, ia sama sekali tidak ingin jadi korban bahkan
selalu berjaga-jaga atau waspada terhadap kemungkinan
terjadi kejahatan;
b) Calon korban tidak ingin menjadi korban, tetapi tingkah
laku korban atau gerak-geriknya seolah-olah menyetujui
untuk menjadi korban;
c) Calon korban tahu ada kemungkinan terjadi kejahatan, dan
ia sendiri tidak ingin jadi korban tetapi tingkah laku seolah-
olah menunjukkan persetujuannya untuk menjadi korban
(Sagung Putri M.E Purwani, 2008:4).
5) Sedangkan menurut
commit toHerman
user Manntienn yang mengutip
pendapat B. Mendelsohn membedakan lima macam korban
perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

berdasarkan derajat kesalahannya yaitu :


a) Yang sama sekali tidak bersalah;
b) Yang jadi korban karena kelakuannya;
c) Yang sama salahnya dengan pelaku;
d) Yang lebih bersalah dari pelaku;
e) Dimana korban adalah satu-satunya yang bersalah (Arif
Gosita, 1993:44).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengaruh si


korban menentukan timbulnya kejahatan sebagai manifestasi dari
sikap dan tingkah laku korban sebelum, saat, dan sesudah kejadian.
Oleh karena itu, pihak korban dapat berperan dalam keadaan sadar
atau tidak sadar, secara langsung atau tidak langsung, sendiri atau
bersama-sama, secara aktif maupun pasif yang bergantung pada
situasi dan kondisi sebelum saat dan sesudah kejadian berlangsung.
Secara logika tidak akan ada orang yang mau menjadi korban dari
suatu kejahatan, tetapi kondisi-kondisi tertentu dapat menyebabkan
calon korban ikut berperan serta sehingga terjadilah kejahatan dan
dia sendiri yang menjadi korban. Sepintas orang tidak dapat
melihat peranan korban dalam hal terjadinya kejahatan, bahkan si
korban sendiri seringkali tidak menyadari bahwa dirinyalah yang
sebenarnya memegang peranan penting pada saat ia menjadi
korban kajahatan.
f. Hak dan Kewajiban Korban
1) Hak-hak Korban
Hak merupakan sesuatu yang bersifat pilihan (optional),
dapat digunakan ataupun tidak, tergantung kondisi yang
mempengaruhi pada pemegang hak tersebut baik internal
maupun eksternal.
Paul G. Cassell menyebutkan bahwa
The Crime Victims’ Rights Movement developed in the
1970s because of a perceived imbalance in the criminal
justice system. The victims’ absence from criminal
processes conflicted with a public sense of justice keen
enough thatcommit to uservoice in a nationwide ‘victims’
has found
rights’ movement (Pergerakan hak korban kejahatan
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

berkembang pada tahun 1970 oleh karena ketidak


seimbangan yang dirasa di dalam sistem peradilan pidana.
Tidak dilibatkannya korban dalam proses penanganan
kejahatan telah menimbulkan pertentangan dengan suatu
kesadaran hukum publik yang pada gilirannya
menimbulkan suara pergerakan hak korban di seluruh
dunia) (Paul G. Cassell, 2007:6).

Adapun hak-hak korban yang kemudian berkembang dan


dikenal dalam viktimologi antara lain sebagai berikut:
a) Menurut Arief Gosita, hak-hak korban adalah:
(1) Hak untuk memperoleh kompensasi (ganti kerugian)
atas penderitaan yang dialaminya, sesuai dengan
kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban
(pelaku) dan taraf keterlibatan/partisipasi/peranan si
korban dalam terjadinya kejahatan, delikuensi dan
penyimpangan tersebut;
(2) Hak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat
korban (tidak bersedia diberi kompensasi karena tidak
memerlukannya);
(3) Hak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila
si korban meninggal dunia karena tindakan tersebut;
(4) Hak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi;
(5) Hak mendapat kembali hak miliknya;
(6) Hak menolak menjadi saksi, bila hal ini akan
membahayakan dirinya;
(7) Hak mendapat perlindungan dari ancaman pihak
pembuat korban (pelaku), bila melapor dan menjadi
saksi;
(8) Hak untuk mendapatkan bantuan penasehat hukum;
(9) Hak mempergunakan upaya hukum (rechtsmiddelen)
(Arif Gosita, 1993: 53-54).

Pemberian ganti kerugian pada dasarnya dapat


diberikan baik oleh pihak pelaku yang disebut dengan
restitusi ataupun oleh pihak lainnya seperti negara atau
lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani masalah
ganti kerugian yang disebut kompensasi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

Dalam hal korban tidak memerlukan kompensasi dan


pelaku tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi
kompensasi dikarenakan keterbatasan ekonomi , korban
mempunyai hak untuk menolak kompensasi.
Dalam hal korban meninggal dunia akibat tindakan
pelaku, pemberian kompensasi dapat diberikan kepada ahli
waris korban.
Pembinaan dan rehabilitasi diberikan kepada korban
yang mengalami trauma psikis akibat peristiwa pidana yang
dialaminya, sedangkan rehabilitasi bertujuan untuk
mengembalikan nama baik korban agar diterima secara
layak di masyarakat dan terbebas dari stigma buruk.
Korban yang dirampas hak miliknya oleh pelaku berhak
untuk memperoleh kembali hak miliknya yang telah
direnggut, hal ini menjadi tanggung jawab pelaku dan
aparat penegak hukum berkewajiban untuk
mengupayakannya.
Korban yang merasa bahwa dirinya terancam dapat
menolak memberikan kesasksian secara langsung di
persidangan dan atas persetujuan hakim dapat memberikan
kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat
perkara tersebut sedang diperiksa baik secara tertulis yang
disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dengan
membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang
memuat tentang kesaksiannya tersebut atau dapat pula
didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana
elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang
baik melalui telepon ataupun teleconference (Undang-
Undang No. 13 Tahun 2006 tetang Perlindungan Anak
Pasal 9 Ayat (1), (2), (3)).
Aparat commit
penegakto user
hukum berkewajiban memberikan
perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

perlindungan keselamatan bagi korban dari ancaman dan


intimidasi dari pelaku ketika korban melapor dan menjadi
saksi dengan melakukan penjagaan, pendampingan atau
memberikan tempat tinggal sementara bagi korban dan
keluarganya dalam hal korban memerima ancaman yang
sangat besar.
Sebagai orang awam, korban mempunyai hak untuk
mendapatkan bantuan penasehat hukum untuk
mengakomodir kepentingannya dan mengupayakan
pemenuhan keadilan serta hak-hak korban selama proses
peradilan dan dalam setiap jenjang pengadilan.
Korban mempunyai hak untuk mempergunakan upaya
hukum baik banding, kasasi maupun peninjauan kembali
atas kasus yang menempatkannya sebagai korban.
b) Selain hak-hak di atas, ada hak lain yang merupakan hak
umum yang disediakan bagi korban atau keluarganya,
seperti:
(1) Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
(2) Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan
dikeluarkan dari tahanan sementara, atau bila pelaku
buron dari tahanan;
(3) Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan
polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa
korban;
(4) Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti
merahasiakan nomor telepon atau identitas korban
lainnya (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom,
2007: 53).

Hak atas pelayanan medis diberikan kepada korban


yang membutuhkan perawatan akibat luka yang diderita
akibat peristiwa pidana yang dialaminya baik luka fisik
maupun psikis.
Demi menjaga keselamatan korban, aparat
commit
berkewajiban to user
memberitahukan kepada korban dalam hal
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

pelaku akan dikeluarkan dari tahanan sementara atau


pelaku buron.
Transparansi dari aparat berupa pemberian informasi
yang lengkap dan akurat akan sangat berguna bagi korban
untuk menetukan langkah-langkah yang akan diambil
berdasarkan informasi yang memadai. Penyediaan dan
pemberian informasi yang akurat pada tahap awal
penyidikan juga akan memungkinkan korban membangun
hubungan kerjasama yang baik dengan aparat penegak
hukum.
Aparat penegak hukum sedapat mungkin harus
merahasiakan dan menjaga identitas korban untuk menjaga
keselamatan dan memberikan kenyamanan bagi korban dan
keluarganya agar tidak merasa terganggu privasinya.
c) Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006,
mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan
korban, yang meliputi:
(1) Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi,
keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman
yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang,
atau telah diberikannya;
(2) Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan
bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
(3) Memberikan keterangan tanpa tekanan;
(4) Mendapat penerjemah;
(5) Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
(6) Mendapatkan informasi mengenai perkembangan
kasus;
(7) Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
(8) Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
(9) Mendapatkan identitas baru;
(10) Mendapatkan tempat kediaman baru;
(11) Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai
dengan kebutuhan;
(12) Mendapatkan nasihat hukum; dan atau
(13) Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai
commit
batas waktu to user
perlindungan berakhir;
perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

Hak sebagaimana dimaksud diatas diberikan kepada


saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus
tertentu yang mengakibatkan posisi saksi dan korban
dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan
jiwanya seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana
narkotika/psikotropika, tindak pidana terorisme.
d) Deklarasi perserikatan Bangsa-Bangsa No. 40/A/Res/34
Tahun 1985 juga telah menetapkan beberapa hak korban
(saksi) agar lebih mudah memperoleh akses keadilan,
khususnya dalam prosess peradilan, yaitu:
(1) compasssion, respect and recognition (kasih sayang,
rasa hormat dan pengakuan);
(2) receive information and explanation about the progress
of the case (menerima informasi dan penjelasan tentang
kemajuan kasus);
(3) provide information (memberikan informasi);
(4) providing proper assistance (menyediakan bantuan
yang tepat);
(5) protection of privacy and physical safety (perlindungan
privasi dan keamanan fisik);
(6) restitution and compensation restitusi dan kompensasi
(restitusi dan kompensasi);
(7) to acces to the mechanism of justice system (mengakses
mekanisme sistem peradilan);
(Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007:
54).
2) Kewajiban Korban
Eksistensi kewajiban korban diperlukan dalam
penanggulangan kejahatan agar dapat tercapai secara
signifikan. Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari
korban kejahatan, antara lain adalah:
(1) Kewajiban untuk tidak melakukan upaya main hakim
sendiri/balas dendam terhadap pelaku (tindakan
pembalasan);
(2) Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari
kemungkinan terulangnya tindak pidana;
(3) Kewajibancommit
berpartisipasi
to user dengan masyarakat mencegah
pembuatan korban lebih banyak lagi;
perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

(4) Kewajiban untuk memberikan informasi yang memadai


mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang
berwenang;
(5) Kewajiban untuk tidak mengajukan tuntutan yang terlalu
berlebihan kepada pelaku;
(6) Kewajiban untuk tidak meminta kompensasi yang tidak
sesuai dengan kemampuan pembuat korban;
(7) Kewajiban untuk memberi kesempatan kepada pembuat
korban untuk memberi kompensasi pada pihak korban
sesuai dengan kemampuannya (mencicil secara bertahap);
(8) Kewajiban mencegah kehacuran si pembuat korban
(pelaku) baik oleh diri sendiri maupun orang lain;
(9) Ikut serta membina pembuat korban (pelaku);
(10)Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kejahatan yang
menimpa dirinya sepanjang tidak membahayakan bagi
korban dan keluarganya;
(11)Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang
berkepentingan dalam upaya penanggulangan kejahatan;
(12)Kewajiban untuk bersedia dibina atau membina diri sendiri
untuk tidak menjadi korban lagi. (Arif Gosita, 1993: 53).

g. Peran Korban Dalam Terjadinya Tindak Pidana


Dari sisi etiologi kriminil, adanya peran korban dalam
terjadinya tindak pidana dapat dilihat dari rumus kejahatannya
David Abrahamson yang dikutip oleh Lamiyah Moeljanto sebagai
berikut:
K= T+S
R
K= Kriminalitas/Tindak Pidana
T= Tendensi/Niat
S= Situasi/Keadaan
R= Resistensi/Daya Tolak
Keterangan:
1) Tendensi atau niat merupakan faktor subyektif dari tiap-tiap
tindak pidana yang terjadi dimana kemunculannya
dipengaeruhi oleh berbagai hal, baik yang berkaitan dengan
diri pelaku maupun hal-hal di luar diri pelaku, seperti latar
commit
belakang sosial to user
ekonomi, pendidikan dan budaya.
perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

2) Situasi atau keadaan merupakan faktor obyektif yang


menumbuhkan kesempatan pada pelaku untuk melaksanakan
tindak pidananya. Selain situasi atau keadaan lingkungan
tempat kejahatan akan dilakukan, juga keadaan yang ada pada
calon korbannya yang karena sikap dan perilakunya, juga
dapat menciptakan situasi tertentu yang meningkatkan niat
pelaku untuk menjalankan aksinya.
3) Resistensi adalah sikap atau keadaan batin pelaku yang tidak
menginginkan kejahatan itu terjadi. Dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti latar belakang kehidupan sosial,
keadaan ekonomi, keadaan kesehatan jiwa pelaku, dan sikap
serta pandangan pelaku terhadap nilai-nilai kehidupan
bersama. Apabila niat dan situasi lebih besar dari daya tolak
yang ada pada calon pelaku, maka kemungkinan terjadinya
kejahatan akan besar. Sebaliknya jika daya tolak untuk tidak
melakukan kejahatan lebih besar dibanding niat dan
situasinya, maka kemungkinan terjadinya kejahatan akan kecil
(G. Widiartana, 2009: 27-28).
Arif Gosita sebagaimana dikutip oleh Rena Yulia
mengklasifikasikan bentuk-bentuk peranan korban dilihat dari
situasi dan kondisi korban:
1) Situasi dan kondisi korban yang merangsang terjadinya suatu
tindak pidana, contohnya dengan berpakaian tidak senonoh;
2) Situasi dan kondisi korban yang mengundang terjadinya suatu
tindak kejahatan (provocative victims), contohnya bepergian
tanpa mengunci pintu;
3) Mengadakan kontak langsung dengan pelaku baik intensif
maupun tidak, contohnya kejahatan seksual terhadap sekretaris
atau pembantu (Rena Yulia, 2010:77).
Menurut Von Hentig, Korban Dapat Berperan Aktif Dalam
commit
Terjadinya Kejahatan, to user
Meliputi:
perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

1) Kejahatan tersebut terjadi karena memang dikehendaki oleh


korban;
2) Kerugian akibat kejahatan akan dipergunakan sebagai sarana
oleh korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar;
3) Kerugian yang diderita korban mungkin merupakan hasil
kerjasama antara korban dan pelaku;
4) Kerugian yang dialami korban tidak akan terjadi jika tidak ada
provokasi dari korban (G. Widiartana, 2009: 28).
h. Kedudukan dan Peran Korban Dalam Sistem Peradilan
Pidana
Ketika suatu perbuatan dirumuskan sebagai suatu perbuatan
pidana, maka segala reaksi formal yang perlu dilakukan terhadap
perbuatan itu menjadi hak monopoli aparat penegak hukum.
Korban cukup memberikan laporan atau pengaduan, tindakan
selanjutnya diserahkan kepada aparat kepolisian untuk melakukan
tindakan penyelidikan. Dengan demikian, pada tingkat
penyelidikan ini kedudukan dan peran korban sebatas sebagai
pelapor atau pembuat aduan.
Setelah laporan atau pengaduan korban mendapat respon dari
penyidik dengan melakukan tindakan penyidikan, maka peran
korban masih dibutuhkan oleh penyidik untuk memberikan
keterangan sebagai saksi (saksi korban). Dalam hal ini korban
bersikap pasif, yaitu hanya boleh menjelaskan atau menceritakan
apabila diminta.
Keterangan korban tersebut sangat diperlukan oleh penyidik
untuk memperkuat sangkaan mengenai telah dilakukannya tindak
pidana oleh pelaku. Kedudukan dan peran korban ini menjadi lebih
penting manakala tindak pidana yang terjadi sangat minim akan
bukti. Dalam keadaan demikian, diteruskan tidaknya proses pidana
akan sangattergantung pada kesediaan korban untuk
commit
memberikan kesaksian ditodepan
user penyidik. Kedudukan dan
perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

peran korban dalam tingkat penyidikan tersebut akan terus


berlanjut ketika proses pidana berlanjut pada tingkat penuntutan
dan pemeriksaan perkara di depan hakim.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kedudukan dan
peran korban dalam sistem peradilan pidana tidak lebih dari
sekedar sebagai saksi yang bersikap pasif. Ia boleh bahkan wajib
menceritakan kembali kejadian tindak pidana yang dialaminya
apabila diminta oleh aparat penegak hukum (Pengacara, Jaksa
Penuntut Umum, Hakim). Ketika keterangannya dianggap cukup,
maka kedudukan dan peran korban dalam mekanisme peradilan
pidana dianggap sudah selesai.
Setelah perannya dalam peradilan pidana dianggap selesai,
korban hanya bisa bergulat sendiri dengan penderitaan yang
dialaminya akibat tindak pidana yang terjadi pada dirinya. Ia tidak
lagi berhak menentukan sanksi apa dan seberapa beratnya sanksi
yang akan dituntutkan atau dijatuhkan kepada pelaku, karena itu
semua telah menjadi monopoli birokrasi pengadilan.
Kedudukan tidak menguntungkan yang dialami korban dalam
sistem peradilan pidana tidak lepas dari konsekuensi pemisahan
yang tajam antara bidang hukum pidana dan perdata. Dalam
perkara yang terjadi dalam bidang hukum pidana, negara telah
mengambil alih seluruh reaksi yang dapat dilakukan korban
terhadap orang yang telah merugikan atau menderitakan dirinya.
Kerugian atau penderitaan korban telah diabstraksir oleh negara
dan diwujudkan dalam bentuk ancaman sanksi, pidana atau
tindakan terhadap pelakunya.
Dalam banyak hal ancaman sanksi tersebut tidak dapat
mewakili kerugian atau penderitaan korban, dan dengan demikian
tidak dapat mengembalikan kebahagiaan dan kesejahteraan korban
seperti sebelum tindak pidana terjadi, bahkan dalam beberapa
kasus, sikap dancommit to useraparat penegak hukum dalam
tindakan
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

melaksanakan tugasnya tidak memperhatikan dan


mempertimbangkan kondisi korban. Pertanyaan-pertanyaan yang
dilontarkan dalam menangani kasus seringkali justru memojokkan
korban.

3. Perlindungan Terhadap Korban Tindak Pidana dalam Sistem Hukum


di Indonesia

a. Perlindungan Korban
Bentuk perlindungan terhadap korban dalam suatu proses
peradilan pidana menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang perlindungan saksi dan korban meliputi:
1) Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan
tempat perkara tersebut diperiksa dalam hal dirinya merasa
berada dalam ancaman yang sangat besar, dengan persetujuan
dari hakim (Pasal 9 Ayat (1)).
2) Korban tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun
perdata atas laporan ataupun kesaksian yang akan , sedang, atau
telah diberikannya (Pasal 10 Ayat (1)).
Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana juga mengatur
mengenai bentuk perlindungan terhadap korban melalui beberapa
hak yang dapat digunakan oleh korban kejahatan dalam suatu
proses peradilan pidana, yaitu:
1) Hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut
umum
Hak ini berupa hak mengajukan keberatan terhadap
tindakan penghentian penyidikan dan/atau penuntutan dalam
kapasitasnya sebagai pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal
77 jo 80 KUHAP).
Hal ini penting untuk diberikan guna menghindari
adanya upaya dari pihak-pihak tertentu dengan berbagai motif,
yang bermaksud menghentikan proses pemeriksaan
2) Hak korban berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi
Hak ini commit
berupa to user
hak untuk mengundurkan diri sebagai
perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

saksi (pasal 168 KUHAP).


Kesaksian korban sangat penting untuk diperoleh dalam
rangka mencapai suatu kebenaran materiil. Oleh karena itu,
untuk mencegah korban mengundurkan diri sebagai saksi,
diperlukan sikap proaktif dari aparat penegak hukum untuk
memberikan jaminan keamanan bagi korban dan keluarganya
pada saat mengajukan diri sebagai saksi.
3) Hak untuk menuntut ganti rugi akibat suatu tindak
pidana/kejahatan yang menimpa diri korban melalui cara
penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana (Pasal 98
sampai dengan 101 KUHAP)
Hak ini diberikan guna memudahkan korban untuk
menuntut ganti rugi pada tersangka/terdakwa. Permintaan
penggabungan perkara gugatan ganti rugi hanya dapat diajukan
selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan
tuntutan pidana, atau jika penuntut umum tidak hadir,
permintaan tersebut diajukan selambat-lambatnya sebelum
hakim menjatuhkan putusan.
Penggabungan gugatan ganti rugi dapat diajukan apabila
pihak yang dirugikan mengajukan penggabungan ganti rugi
terhadap si terdakwa dalam kasus yang didakwaan kepadanya.
Penggabungan gugatan gati rugi dilaksanakan berdasarkan
hukum acara perdata dan harus diajukan pada tingkat banding.
Berkaitan dengan hak penggabungan perkara, pihak-
pihak yang berkepentingan perlu memerhatikan beberapa hal,
yaitu sebagai berikut:
a) Kerugian yang terjadi harus ditimbulkan oleh tindak
pidana itu sendiri.
b) Kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana atau orang
lain yang menderita kerugian (korban) sebagai akibat
langsung dari tindak pidana tersebut.
c) Gugatan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana
commit to
tadi ditujukan user ”si pelaku tindak pidana”
kepada
perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

(terdakwa).
d) Tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa tadi
digabungkan atau diperiksa dan diputus sekaligus
bersamaan pada pemeriksaan dan putusan perkara pidana
yang didakwakan kepada terdakwa dan dalam bentuk satu
putusan (R.Soeparmono, 2003:83).

4) Hak bagi keluarga korban untuk mengizinkan atau tidak


mengizinkan polisi melakukan otopsi (Pasal 134-136 KUHAP)
Mengizinkan atau tidak mengizinkan polisi melakukan
otopsi juga merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap
korban kejahatan, mengingat bagi beberapa kalangan masalah
otopsi sangat erat kaitannya dengan masalah agama, adat-
istiadat, serta aspek kesusilaan/kesopanan lainnya (Dikdik M.
Arief Mansur dan Ellisatris Gultom, 2007: 95-97).
b. Perlindungan Khusus Bagi Anak Korban Tindak Pidana
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 64 ayat (3)
tentang Perlindungan Anak mengatur tentang perlindungan khusus
bagi anak yang menjadi korban tindak pidana yang dilaksanakan
dengan:
1) Upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar
lembaga;
2) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan untuk menghindari labelisasi;
3) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi
ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan
4) Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi
mengenai perkembangan perkara.
Rehabilitasi dimaksudkan untuk memulihkan keadaan dan
status korban seperti sediakala, menghilangkan rasa trauma akibat
derita psikis yang ditimbulkan oleh peristiwa yang dialami serta
mencegah adanya sigma buruk yang berkembang di masyarakat.

commit to user
Pemberian perlindungan dari pemberitaan identitas di media
perpustakaan.uns.ac.id 45
digilib.uns.ac.id

massa dimaksudkan untuk menjaga keselamatan korban dalam


kedudukannya sebagai saksi korban dan menjaga privasi korban
serta keluarganya agar identitas korban yang mencakup nama,
alamat, foto atau data medis tidak diketahui secara luas sehingga
tidak harus menanggung malu berkepanjangan akibat pemberitaan
tersebut.
Dalam kedudukannya sebagai saksi, korban harus
mendapatkan perlindungan dari aparat untuk menjamin
keselamatannya dari kemungkinan adanya ancaman dan intimidasi
dari pihak pelaku dan keluarganya serta pemberian pelayanan dan
pendampingan bagi korban untuk memperoleh dukungan
emosional.
Pemberian aksesibilitas berupa informasi yang lengkap dan
akurat akan sangat berguna bagi korban untuk menetukan langkah-
langkah yang akan diambil berdasarkan informasi yang memadai.
Penyediaan dan pemberian informasi yang akurat pada tahap awal
penyidikan juga akan memungkinkan korban membangun
hubungan kerjasama yang baik dengan aparat penegak hukum.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

B. Kerangka Pemikiran

Peristiwa Hukum
Tindak Pidana Persetubuhan
Terhadap Anak
Putusan Pengadilan
Isu Hukum Negeri Sragen Nomor

1. Bagaimana bentuk peran korban terhadap


92/Pid.Sus/2009/PN.Srg
terjadinya tindak pidana persetubuhan yang
dialaminya?

2. Apakah korban telah mendapatkan


perlindungan hukum selama proses peradilan
pidana ?

Analisis

Peraturan Perundang-undangan Kajian viktimologis mengenai


1. KUHAP; peran korban dan bentuk
perlindungan terhadap korban

2. Undang-Undang Perlindungan
Anak Nomor 23 Tahun 2002;
3. Undang-Undang Pelindungan
Saksi dan Korban Nomor 13
Tahun 2006.

Simpulan

1. Bentuk peran korban terhadap tindak pidana


persetubuhan yang dialaminya dalam Putusan
Nomor 92/Pid.Sus/2009/PN.Srg ;
2. Telah atau belum terpenuhinya perlindungan
hukum terhadap korban sebagaimana tersebut
commit to user
dalam Putusan Nomor 92/Pid.Sus/2009/PN.Srg
selama proses peradilan pidana
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

Keterangan:
Kerangka pemikiran dalam bentuk skema diatas mencoba memberikan
gambaran mengenai alur pemikiran penulis yang disusun secara sistematis guna
menelaah, menjabarkan dan menemukan jawaban atas rumusan masalah dalam
penelitian hukum ini menyangkut Analisis Bentuk Peran dan Perlindungan
Korban Tindak Pidana Persetubuhan Terhadap Anak Ditinjau Dari Viktimologi
yang dalam hal ini mengambil studi putusan Pengadilan Negeri Sragen No.
92/Pid.Sus/2009/PN.Srg.
Peristiwa hukum yang hendak diangkat penulis adalah tindak pidana
persetubuhan terhadap anak dengan studi putusan Pengadilan Negeri sragen
Nomor 92/Pid.Sus/2009/PN.Srg. Fakta hukumnya bahwa korban adalah anak
berdasarkan ketentuan undang-undang perlindungan anak Nomor 23 Tahun 2002
yaitu di bawah 18 tahun (korban berumur 17 tahun ketika tindak pidana terjadi)
dan fakta hukum yang hendak digali adalah bagaimana bentuk peran korban
dalam tindak pidana persetubuhan yang dialaminya dan apakah korban telah
mendapatkan perlindungan hukum selama proses peradilan pidana. Dalam hal ini
penulis berusaha menganalisis kasus tersebut dengan menggunakan perundang-
undangan terkait yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang
Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 dan Undang-Undang Perlindungan
Saksi dan Korban Nomor 13 Tahun 2006 serta mengaitkan dengan teori-teori
viktimologi berkaitan dengan bentuk peranan korban dalam terjadinya tindak
pidana.
Hasil dari analisis tersebut akan menghasilkan beberapa kesimpulan berkaitan
dengan rumusan masalah, yaitu bentuk peran korban dalam tindak pidana
persetubuhan yang dialaminya serta telah atau belum terpenuhinya perlidungan
hukum terhadap korban selama proses peradilan pidana. Dari analisis dan
simpulan tersebut dapat terlihat apakah keputusan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Negeri Sragen sudah memperhatikan adanya peran korban dalam
terjadinya tindak pidana dan sudah pula memperhatikan terpenuhinya
perlindungan terhadap korban selama proses peradilan pidana berlangsung.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Kasus Posisi
Pada hari Sabtu, tanggal 20 Nopember 2008 sekitar pukul 10.00 WIB
terdakwa Sulistyanto (31 tahun) bertemu dengan korban Dwi Handayani (17
tahun) di perempatan Nguwer Sidoharjo setelah terdakwa dimintai tolong oleh
saksi korban untuk mengambil rapor dikarenakan bapaknya sedang bekerja
dan kemudian mereka pergi ke sekolah saksi korban dengan menggunakan
mobil terdakwa yang bermerk Toyota Kijang Super dengan Nomor Polisi DN.
316-A warna abu-abu sementara sepeda motor saksi korban dititipkan untuk
mengambil rapor dimana saksi korban berjanji akan memberi upah.
Setelah selesai mengambil rapor, terdakwa menelpon kedua temannya
yang bernama Syamsudin dan Bambang untuk diajak makan bersama di
rumah makan ayam gong SIN. Saksi korban tadinya tidak ikut turun, hanya
menunggu di mobil, namun kemudian dipanggil oleh terdakwa dan diajak
makan bersama atas inisiatif saksi yang bernama Syamsudin. Saksi yang
merupakan seorang polisi merasa curiga melihat saksi korban yang mengaku
sebagai keponakan terdakwa terlihat manja dan mesra dengan terdakwa. Saksi
kemudian meperingatkan terdakwa untuk berhati-hati karena anak yang
dibawanya masih dibawah umur dan kalau terjadi apa-apa hukumannya akan
berat.
Seusai makan, saksi korban dan terdakwa berpisah dengan kedua teman
terdakwa (saksi Bambang dan Syamsudin), mereka berjalan-jalan membeli
buah dan kemudian terdakwa mengemudikan mobilnya menuju hotel Palma.
Saksi korban sempat menunggu di dalam mobil namun kemudian setelah
dibujuk oleh terdakwa dengan ditarik tangannya dia bersedia ikut masuk dan
kemudian keduanya masuk ke kamar hotel.
commit to user
48
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

Terdakwa sempat meninggalkan saksi korban untuk membeli makanan


kecil sementara hpnya ditinggal dan diserahkan kepada saksi korban agar
saksi korban tidak merasa bosan. Setelah terdakwa kembali ke kamar
terdakwa menagih janji saksi korban yang akan memberinya upah, dia
kemudian mencium pipi dan bibir saksi korban lalu berniat melakukan
persetubuhan yang diawali dengan membuka baju seragam saksi korban,
saksi korban menolak karena merasa takut kalau terjadi apa-apa, namun
terdakwa meyakinkan dengan mengatakan tidak apa-apa, nanti saya
keluarkan di luar. Selanjutnya terjadi persetubuhan yang dilakukan
terdakwa setelah berhasil membujuk dan merayu saksi korban. Terdakwa
sempat memotret saksi korban dalam keadaan telanjang dan kemudian
saksi korban menyuruhnya untuk menghapus foto tersebut yang kemudian
dihapus oleh terdakwa tanpa sepengetahuan saksi korban.
Usai berpakaian, terdakwa mengantar saksi korban ke tempat
penitipan sepeda motor untuk mengambil motor saksi korban, kemudian
mereka pulang ke rumah masing-masing.
Setelah kejadian itu, terdakwa dan saksi korban masih bertemu dan
saling berkirim sms, bahkan saksi korban sempat dibelikan helm oleh
terdakwa. Beberapa hari kemudian terdakwa melalui sms mengajak saksi
korban untuk melakukan persetubuhan lagi, namun saksi korban menolak
dan kemudian terdakwa mengancam akan menyebarkan foto saksi korban
yang dalam keadaan telanjang ke seluruh desa. Karena merasa takut akan
ancaman terdakwa, saksi korban menceritakan kejadian yang menimpanya
kepada pacarnya saksi Ari Priyanto, selanjutnya saksi melaporkan
kejadian tersebut kepada ayah saksi korban Saksi Sukamto yang kemudian
melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian setelah menanyakan
kebenaran peristiwa tersebut.
Akibat perbuatan terdakwa, saksi merasa malu dan mengalami trauma
yang berkepanjangan dan berdasarkan Visum Et Repertum
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

No.370/01/1/2009 tanggal 8 Januari 2009 yang dibuat oleh Dr. Dian Ika
Putri SpOG dokter pada Rumah Sakit Umum Pemerintah Daerah
Kabupaten Sragen yang menerangkan pemeriksaann daerah kemaluan:
selaput dara robek pada pukul 9 dan pukul 7 sampai dasar. Kesan akibat
perlukaan benda tumpul, kesan luka lama.
2. Identitas Terdakwa:
Nama Lengkap : SULISTYANTO alias SULIS bin SASTRO
SUPARNO
Tempat Lahir : Sragen
Umur/tanggal lahir : 31 tahun/25 Februari 1978
Jenis Kelamin : Laki-laki
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Dagang alat dapur
Tempat tinggal : Dukuh Bulakrejo, Rt.04 Rw.03, Kel.jirapan,
Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen
3. Dakwaan:
Primair:
Bahwa ia Terdakwa SULISTYANTO alias SULIS bin SASTRO SUPARNO
pada hari Sabtu tanggal 20 Nopember 2008 sekitar jam 14.30 WIB. Atau pada
waktu tertentu di dalam bulan Nopember 2008 atau setidak-tidaknya di suatu
tempat tertentu yang masuk dalam Daerah Hukum Pengadilan Negeri Sragen
dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak
perempuan bernama Dwi Handayani binti Sukamto umur 17 tahun untuk
melakukan persetubuhan dengan terdakwa atau dengan orang lain. Perbuatan
terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

Subsidair:
Bahwa ia terdakwa SULISTYANTO alias SULIS bin SASTRO SUPARNO
pada waktu dan di tempat sebagaimana telah diuraikan dalam Dakwaan
Primair tersebut di atas, dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak perempuan bernama DWI HANDAYANI
bin SUKAMTO unur 17 tahun untuk melakukan persetubuhan dengan
terdakwa atau dengan orang lain. Perbuatan terdakwa diancam pidana
sebagaimana diatur dalam Pasal 81 Ayat (2) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Lebih Subsidair:
Bahwa ia terdakwa SULISTYANTO alias SULIS bin SASTRO SUPARNO
pada waktu dan ditempat sebagaimana telah diuraikan dalam Dakwaan
Primair tersebut diatas, dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak perempuan bernama DWI HANDAYANI bin SUKAMTO
unur 17 tahun untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Perbuatan terdakwa diancam pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak.
4. Tuntutan:
1). Menyatakan terdakwa SULISTYANTO alias SULIS bin SASTRO
SUPARNO tidak terbukti secara sah menurut hukum bersalah melakukan
tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya,
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 81 ayat (1,) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor: 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, tersebut dalam Dakwaan Primair Jaksa Penuntut
Umum;
2). Membebaskan terdakwa dari Dakwaan Primair;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

3). Menyatakan terdakwa SULISTYANTO alias SULIS bin SASTRO


SUPARNO terbukti secara sah menurut hukum bersalah melakukan
tindak pidana “Dengan sengaja membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya” sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, tersebut dalam dakwaan
subsidair Jaksa Penuntut Umum;
4). Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa SULISTYANTO alias SULIS
bin SASTRO SUPARNO dengan pidana penjara selama 15 (lima belas)
tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah
terdakwa tetap ditahan;
Membayar denda sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
subsidair 6 (enam) bulan kurungan.
5. Amar Putusan:
1). Menyatakan terdakwa SULISTYANTO bin SASTRO SUPARNO tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana disebutkan dalam dakwaan Primair;
2). Membebaskan terdakwa tersebut di atas oleh karena itu, dari dakwaan
Primair tersebut;
3). Menyatakan terdakwa SULISTYANTO bin SASTRO SUPARNO
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN
PERSETUBUHAN DENGANNYA”;
4). Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut diatas oleh karena itu,
dengan pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda
tersebut tidak dibayar akan diganti dengan hukuman kurungan selama 3
(tiga) bulan;

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

5). Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa


dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6). Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan;
7). Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.500
(dua ribu lima ratus rupiah).

B. Pembahasan
1. Bentuk Peran Korban Terhadap Terjadinya Tindak Pidana Persetubuhan
Yang Dilakukan Oleh Terdakwa dalam PUTUSAN NOMOR
92/Pid.Sus/2009/PN Sragen
Peran korban dalam terjadinya tindak pidana juga patut diperhatikan dan
menjadi salah satu faktor yang penting dalam menentukan berat ringannya
hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku. Arif Gosita mengemukakan bahwa
tindak pidana adalah suatu hasil interaksi karena adanya interrelasi antara
fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Pelaku dan korban
berkedudukan sebagai partisipan yang terlibat secara aktif atau pasif dalam
suatu tindak pidana. Masing-masing memainkan peran yang penting dan
menentukan. Korban membentuk pelaku dengan sengaja atau tidak sengaja
berkaitaan dengan situasi dan kondisi masing-masing (bersifat relatif).
Hubungan antara pelaku dengan korban dalam hal ini dalah hubungan yang
fungsional (Arif Gosita, 1993:117).
Peran yang dimaksud disini adalah sebagai sikap dan keadaan diri
seseorang yang akan menjadi calon korban ataupun sikap dan keadaan yang
dapat memicu seseorang untuk berbuat kejahatan (Chaerudin dan Syarif
Fadillah, 2004: 10-11).
Peran korban antara lain berhubungan dengan apa yang dilakukan oleh
pihak korban, bilamana dilakukan sesuatu, di mana hal tersebut dilakukan.
Keadaan dan sikap tertentu dari calon korban seringkali dapat menjadi faktor

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

stimulan bagi calon pelaku untuk menjalankan niat jahat yang semula
memang sudah ada. Mereka yang menurut pandangan pelaku keadaan mental,
fisik maupun kedudukan sosialnya lemah akan dianggap lebih mudah
dijadikan sasaran kejahatan. Peran korban ini mempunyai akibat dan pengaruh
bagi diri korban serta pihaknya, pihak lain dan lingkungannya. Pihak korban
dapat berperan dalam keadaan sadar atau tidak sadar, secara langsung atau
tidak langsung, sendiri atau bersama-sama, bertanggung jawab atau tidak,
secara aktif atau pasif, dengan motivasi positif maupun negatif. Semuanya
bergantung pada situasi dan kondisi pada saat kejahatan tersebut berlangsung.
Perlunya peran korban dihubungkan dengan set peran korban, yaitu sejumlah
peran yang berkaitan, interdipenden dan komplementer (Arif Gosita, 1993:
103-104).
Menurut John S Carrol sebagaimana dikutip oleh Rena Yulia, untuk
melihat peran, karakteristik pelaku, dan korban kejahatan dilakukan dengan
pendekatan rasional-analitis (mencari penjelasan). Dimana kejahatan adalah
realisasi dari keputusan yang diambil dengan turut mempertimbangkan
beberapa faktor antara lain SU (subjective utility), p(S) (probability of
success), G (gain), p(F) (probability of fail), dan L (loss).
SU= (p(S) x G) – (p(F) x L)
Penjelasan:
SU (subjective utility) berarti seseorang yang akan melakukan kejahatan harus
mempertimbangkan apakah ia akan melaksanakan tindak pidana yang
direncanakannya atau tidak. Secara garis besar keputusan yang dibuat hanya
dalam dua pilihan, akan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan.
Hal-hal yang harus dipertimbangkan adalah (i) faktor p(S), yaitu seberapa
besar kemungkinan berhasilnya rencana kejahatan, (ii) faktor G, yaitu
seberapa besar keuntungan (materi dan kepuasan) yang akan diperoleh, (iii)
faktor p(F), yaitu seberapa besar kemungkinan gagalnya rencana kejahatan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

dan (iv) faktor L, yaitu seberapa besar kerugian yang akan diderita manakala
kejahatan yang direncanakan gagal dan tertangkap.
Jika rumus di atas dianalisis dengan pendekatan perspektif korban,
menunjukkan bahwa faktor p(S) dan p(F) sebagian besar terletak pada korban.
Artinya, berhasil atau gagalnya rencana kejahatan tergantung pada keadaan
diri ataupun tipologi calon korban. Sedangkan faktor G (gain) terlihat pada
sikap korban yang senang dengan gaya hidup mewah dan pamer materi yang
lebih menjurus pada peningkatan daya rangsang, sehingga pelaku kejahatan
secara dini telah dapat memperkirakan besarnya keuntungan yang akan
diperoleh (Rena Yulia, 2010:82).
Dengan mengacu pada teori kejahatan dilihat dari sisi etiologi kriminil
yang dikemukakan David Abrahamson sebagaimana dikutip oleh G.
Widiartana (G. Widiartana 2009: 27-28) dimana K (Kriminalitas) = {T
(Tendensi) + S (Situasi/Keadaan}/R (Resistensi/Daya Tolak), tindak pidana
persetubuhan sebagaimana termuat dalam putusan
No.92/Pid.Sus/2009/PN.Srg dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Tendensi/Niat Pelaku: berdasarkan hasil pemeriksaan terdakwa Sulistyanto
di persidangan, diperoleh keterangan bahwa terdakwa sudah mempunyai
niat untuk menyetubuhi korban Dwi Handayani sejak pulang dari
mengambil rapor di sekolah korban.
b. Situasi/Keadaan: korban bersedia diajak ke hotel tanpa paksaan dan
perlawanan berarti kemudian masuk ke dalam kamar setelah dibujuk oleh
terdakwa, korban dan terdakwa berada di dalam kamar hotel hanya berdua
saja dimana korban sempat ditinggal pergi oleh terdakwa dan dia tidak
merasa takut ataupun berpikiran untuk pergi.
c. Resistensi/Daya Tolak: keadaan batin korban yang tidak menginginkan
kejahatan terjadi tampak pada saat dia menolak untuk disetubuhi
dikarenakan perasaan takut, namun daya tolak korban tersebut terpatahkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

oleh bujuk rayu terdakwa sehingga akhirnya tindak pidana persetubuhan


tersebut terjadi.
Mengacu pada teori John A.Mack yang dikutip oleh Sagung Putri M.E
Purwani (Sagung Putri M.E Purwani, 2008:4) tentang tipologi keadaan sosial
dimana seseorang dapat menjadi korban kejahatan, korban Dwi Handayani
termasuk dalam tipe calon korban yang ke tiga, yaitu calon korban yang tahu
ada kemungkinan terjadi kejahatan dan ia sendiri tidak ingin menjadi korban
tetapi tingkah lakunya seolah-olah menunjukkan persetujuannya untuk
menjadi korban.
Pihak korban sendiri dapat saja tidak melakukan sesuatu, tidak
berkemauan atau pun tidak rela untuk menjadi korban, tetapi situasi atau
kondisi yang ada pada dirinya telah merangsang atau pun mendorong pelaku
untuk menjalankan niatnya melakukan tindak pidana yang dalam kasus ini
berwujud tindakan korban Dwi Handayani menjanjikan upah sebuah ciuman
dan bersedia diajak masuk ke kamar hotel setelah dibujuk oleh pelaku
sehingga pelaku yang sejak pulang mengambil rapor di sekolah korban sudah
mempunyai niat untuk menyetubuhi korban akhirnya semakin terdorong
untuk menjalankan niatnya tersebut akibat adanya rangsangan dari korban.
Korban Dwi Handayani yang telah berusia 17 tahun sepatutnya
mengetahui adanya kemungkinan terjadi kejahatan ketika dirinya diajak ke
hotel dan kemudian berada di dalam kamar hotel hanya berdua dengan pelaku
dan ia sendiri tidak ingin menjadi korban yang terbukti dari penolakannya
ketika diajak bersetubuh oleh pelaku, namun dia tidak memiliki inisiatif dan
berusaha untuk pergi dari kamar hotel ketika ditinggal oleh pelaku beberapa
saat untuk membeli makanan kecil dan ketika pelaku mulai menjalankan
niatnya untuk bersetubuh, korban tidak melakukan perlawanan yang cukup
berarti seperti berteriak minta tolong, memberontak ataupun meronta-ronta
selayaknya orang yang tidak ingin mejadi korban.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

Dari fakta-fakta yang terungkap di persidangan atas kesaksian dari saksi


Rohani, diperoleh keterangan bahwa pada waktu kejadian dirinya sedang
bertugas di tempat kerjanya ‘Hotel Palma’ dimana dia yang ditugasi untuk
membukakan pintu kamar yang dipesan oleh terdakwa. Saksi menerangkan
bahwa terdakwa masuk ke dalam kamar bersama seorang perempuan yang
memakai seragam pramuka dan dia mengetahui pada saat terdakwa keluar
dari kamar bersama-sama dengan perempuan tersebut, mereka dalam keadaan
biasa-biasa saja (tenang). Kesaksian Rohani diperkuat dengan kesaksian
rekannya Nanang Saputra yang menerangkan bahwa pada saat kejadian dia
sedang berada di bagian resepsionis yang letaknya tidak jauh dari kamar yang
dipesan terdakwa, hanya berselang beberapa kamar saja, namun selama
terdakwa bersama korban berada di kamar tersebut saksi tidak mendengar
suara apa-apa ataupun hal-hal yang mencurigakan yang telah menandakan
telah terjadinya suatu kekerasan atau pemaksaan. Ketika terdakwa bersama
korban masuk ke dalam kamar mereka dalam keadaan biasa-biasa saja
(tenang).
Ditinjau dari teori tingkat keterlibatan korban yang dikemukakan oleh
Ezzat Abde Fattah sebagaimana dikutip oleh Lilik Mulyadi (Lilik Mulyadi,
2007:124), korban Dwi Handayani termasuk dalam Latent victims dimana
korban merupakan anak perempuan yang memiliki karakter kepribadian yang
lemah secara fisik dan belum matang kepribadiannya serta ketahanan
moralitasnya yang dengan mudah dibujuk dan dirayu oleh pelaku sehingga
memudahkan pelaku dalam menjalankan niatnya karena korban tidak dapat
atau tidak berani untuk melakukan perlawanan yang memadai sehingga
dengan mudah dimanfaatkan oleh pelaku yang merasa dirinya lebih kuat
untuk dijadikan korban.
Stephen Schafer menyatakan bahwa pada prinsipnya terdapat empat tipe
korban dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, yaitu:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

58

a. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa tetapi tetap menjadi


korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku.
b. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang
merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban
dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga
kesalahan terletak pada pelaku dan korban.
c. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-
anak, orang tua, orang yang cacat secara fisik atau mental, orang miskin,
golongan minoritas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah
menjadi korban. Korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan, tetapi
masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.
d. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. Inilah yang dikatakan sebagai
kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa
kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah
adalah korban karena ia juga sebagai pelaku (Dikdik M. Arif Mansyur &
Elisatris Gultom, 2007:50).
Mengacu pada teori di atas, keadaan biologis korban sebagai perempuan
yang memang cenderung lebih lemah secara fisik dan usianya yang masih
remaja sehingga cenderung belum kuat ketahanan mentalnya inilah yang telah
membuatnya potensial menjadi korban karena mudah untuk dibujuk dan
dirayu oleh pelaku. Korban sendiri tidak dapat dipersalahkan karena dia
merupakan anak yang masih lemah secara fisik dan belum kuat ketahanan
mentalnya sehingga memerlukan adanya bimbingan dan perlindungan dari
orang-orang sekitar.
Menurut Von Hentig sebagaimana dikutip oleh G. Widiartana,
perempuan (the female) khusunya yang muda, berdasarkan pada faktor
psikologis, sosial dan biologisnya biasanya mudah menjadi korban kekerasan
seksual dan kejahatan terhadap harta benda. Mereka sering menjadi target
karena dipersepsikan sebagai manusia yang fisiknya lebih lemah dibanding
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

laki-laki. Orang berusia muda atau anak-anak (the young) sangat mudah
menjadi target kejahatan bukan saja karena secara fisik tidak kuat, tetapi juga
karena belum matang kepribadian dan ketahanan moralitasnya. (G.
Widiartana, 2009: 23-24).
Dilihat dari kualifikasi jenis-jenis korban menurut Sellin dan Wolfgang,
korban Dwi Handayani tergolong dalam Primary victimization karena
merupakan korban individual dimana dia merupakan satu-satunya korban
dalam tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh terdakwa.
Hubungan antara korban dan terdakwa sendiri bersifat personal karena
mereka bertetangga yang tentunya saling mengenal satu sama lain dan
hubungan mereka cukup dekat, terbukti dari tindakan korban yang sering
mengadakan kontak langsung dengan pelaku yang dalam hal ini dilakukan
korban dengan cukup intensif, bahkan korban sering menerima pemberian
dari terdakwa baik berupa barang, uang, maupun pulsa baik atas permintaan
dia maupun inisiatif dari terdakwa sendiri. Hal ini terbukti dengan kesaksian
korban maupun terdakwa dimana terungkap fakta bahwa korban dan terdakwa
mempunyai hubungan yang cukup dekat, dalam keterangannya di persidangan
terdakwa bahkan mengaku bahwa dirinya sudah berpacaran dengan korban
selama kurang lebih 6 (enam) atau 7 (tujuh) bulan. Hal ini menunjukkan
adanya peran fungsional korban sebagai pihak yang terlibat dalam tindak
pidana persetubuhan yang menempatkannya sebagai korban.
Peran korban sebagaimana tersebut diatas apabila dilihat dari klasifikasi
peran korban dilihat dari situasi dan kondisi korban menurut Arief Gosita
sebagaimana dikutip oleh Rena Yulia (Rena Yulia, 2010:77) masuk dalam
bentuk situasi dan kondisi dimana korban mengadakan kontak langsung
dengan pelaku yang dalam hal ini dilakukan dengan intensif.
Dilihat dari teori Von Hentig tentang dapat berperan aktifnya korban
dalam terjadinya kejahatan sebagaimana dikutip oleh G. Widiartana (G.
Widiartana, 2009: 28), korban Dwi Handayani tidak berperan secara aktif
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

dalam terjadinya tindak pidana persetubuhan yang dialaminya. Dia tidak


menghendaki kejahatan tersebut, tidak menggunakan kerugian akibat
kejahatan sebagai sarana untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar,
tidak bekerjasama dengan pelaku, ataupun melakukan provokasi. Tindak
pidana persetubuhan terjadi lebih dikarenakan sikap dan perilaku korban yang
cenderung lemah secara fisik dan mental sehingga mudah diperdaya (dibujuk
dan dirayu) yang telah merangsang atau mendorong terdakwa (pelaku) untuk
melakukan perbuatannya. Korban pada saat kejadian berlangsung dapat
dikatakan berada di tempat yang rawan untuk terjadinya sebuah persetubuhan
karena pada saat itu, korban dan pelaku berada dalam sebuah kamar hotel
hanya berdua. Perlawanan korban tidak memadai untuk mencegah terjadinya
tindak pidana persetubuhan karena penolakan korban untuk melakukan
persetubuhan terpatahkan oleh bujuk rayu pelaku.
Peran korban sendiri tidak hanya mencakup perannya dalam terjadinya
tindak pidana, tetapi juga mencakup peran dalam upaya penegakan hukum
pidana. Peran tersebut antara lain dapat dilakukan dengan memberikan
laporan atau pengaduan atas peristiwa yang dialaminya kepada pihak
kepolisian agar dapat diproses, memberikan informasi yang memadai
mengenai terjadinya kejahatan kepada pihak yang berwenang, serta menjadi
saksi atas suatu kejahatan yang menimpa dirinya sepanjang tidak
membahayakan bagi korban dan keluarganya. Peran korban dalam proses
peradilan pidana bersifat pasif karena semua reaksi formal berkaitan dengan
perkara telah menjadi monopoli aparat penegak hukum. Hal ini membuat
tidak semua kepentingan korban sebagai orang yang mengalami penderitaan
secara langsung akibat tindak pidana yang dialaminya terakomodasi dengan
baik.
Dalam kasus ini, pihak pelapor yang melaporkan tindak pidana
persetubuhan tersebut ke pihak kepolisian adalah bapak korban yaitu Sukamto
yang melaporkan peristiwa pidana yang dialami anaknya setelah mendapatkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

pengaduan dari pacar korban yang bernama Ari Priyanto bahwa korban telah
disetubuhi oleh terdakwa.
Korban Dwi Handayani dengan didampingi orang tuanya memberikan
keterangan mengenai terjadinya tindak pidana yang dialaminya dan menjadi
saksi di persidangan. Yang menarik disini adalah, saksi korban sempat
memberikan kesaksian yang berbeda dengan yang termuat dalam BAP
Penyidik, namun kemudian kesaksian tersebut dicabut kembali dan saksi
korban menerangkan bahwa kesaksian yang benar adalah seperti yang
tercantum dalam BAP Penyidik.
Berdasarkan pemeriksaan di persidangan, terungkap bahwa saksi korban
memberikan kesaksian yang menguntungkan terdakwa dikarenakan
permintaan dari pihak keluarga terdakwa yang mendatanginya di rumah guna
meminta korban memberikan kesaksian sesuai apa yang ditulis oleh keluarga
korban yang bernama Emil Dwi Sapto Rahayu (adik ipar terdakwa) dengan
tujuan untuk meringankan hukuman terdakwa, hal ini dilakukan dengan
alasan bahwa antara pihak keluarga terdakwa dan keluarga korban sudah
terjadi perdamaian dan tertuang dalam surat perjanjian perdamaian dan
ditandatangani bersama. Saksi korban dalam keterangan lanjutan
menerangkan bahwa dirinya bersedia untuk memberikan keterangan sesuai
dengan yang tertulis dalam kertas yang dibawa Emil yang isinya pada intinya
memutar balikkan fakta karena merasa dirinya terancam, dalam dirinya timbul
perasaan takut dirinya akan diapa-apakan apabila tidak menuruti permintaan
keluarga terdakwa.
Keterangan saksi korban sendiri nantinya akan turut menentukan berat-
ringannya hukuman yang akan dijatuhkan kepada terdakwa karena
keterangannya digunakan untuk memperkuat sangkaan mengenai telah
dilakukannya tindak pidana oleh pelaku/terdakwa. Tindakan korban
memberikan keterangan yang meringankan terdakwa karena adanya intimidasi
dari keluarga terdakwa menunjukkan peran korban setelah tindak pidana
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

62

terjadi. Akan tetapi, dalam hal ini saksi korban tidak dapat dipersalahkan
karena dia berada di bawah tekanan akibat intimidasi dari keluarga terdakwa.

2. Telah Atau Belum Terpenuhinya Perlindungan Terhadap Korban


Sebagaimana Tersebut Dalam PUTUSAN NOMOR 92/Pid.Sus
/2009/PN Sragen Selama Proses Peradilan Pidana
Perlindungan menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang nomor 13
Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban adalah segala upaya
pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman
kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau
lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.
Perlunya perlindungan terhadap korban tindak pidana persetubuhan
tidak lepas dari akibat yang dialami korban setelah persetubuhan yang
dialaminya. Korban tidak saja mengalami penderitaan secara fisik tetapi
juga penderitaan secara psikis akibat tindak pidana tersebut.
Dikatakan mengalami penderitaan fisik jika korban mengalami sakit
pada badannya, luka ataua cacat akibat tindak pidana yang dialaminya.
Dari hasil visum pada daerah kemaluan korban menunjukkan bahwa
selaput dara korban robek sampai dasar akibat perlukaan benda tumpul,
kesan luka lama. Hal ini menunjukkan adanya penderitaan fisik korban
akibat tindak pidana pesetubuhan yang dialaminya. Sedangkan yang
dimaksud dengan penderitaan psikis yaitu apabila korban mengalami
perasaan takut, cemas, gelisah atau bahkan merasa trauma dan terguncang
jiwanya akibat tindak pidana persetubuhan yang dialaminya serta akibat
adanya teror dalam bentuk ancaman atau pun intimidasi dari pihak tertentu
ketika dirinya melaporkan kasusnya dan kemudian menjadi saksi. Selain
itu juga termasuk munculnya tekanan batin karena merasa dirinya kotor
atau tidak suci lagi dan tidak punya masa depan sehingga merasa malu dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

63

minder untuk bergaul, khususnya dengan lawan jenis. Belum lagi


kemungkinan stigmatisasi dan labelisasi dari masyarakat sekitar yang
menyudutkan korban akibat aib yang menimpanya. Proses peradilan yang
panjang yang menempatkannya sebagai saksi korban yang harus
menceritakan kembali apa yang telah dialami dan menuntut kehadirannya
setiap kali sidang bukan tidak mungkin akan memunculkan trauma
tersendiri bagi korban yang pada gilirannya cepat atau lambat akan
berpengaruh pada perkembangan psikisnya. Hal-hal semacam inilah yang
mendorong pentingnya perlindungan hukum bagi korban tindak pidana.
Pengaturan tentang perlindungan korban tindak pidana sendiri sudah
ada dan tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Adapun
perwujudan perlindungan bagi korban Dwi Handayani dengan mengacu
pada beberapa peraturan perundang-undangan terkait dapat dikaji sebagi
berikut:
a. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
Bentuk perlindungan terhadap korban dalam suatu proses
peradilan pidana menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang perlindungan saksi dan korban meliputi:
1) Seorang Saksi dan Korban berhak:
a) memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga,
dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan
dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b) ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c) memberikan keterangan tanpa tekanan;
d) mendapat penerjemah;
e) bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f) mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

g) mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;


h) mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i) mendapat identitas baru;
j) mendapatkan tempat kediaman baru;
k) memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
l) mendapat nasihat hukum; dan/atau
m) memperoleh bantuan biaya hidup sementara (Pasal 5 Ayat
(1));
2) Korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, selain
berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, juga berhak
untuk mendapatkan:
a. bantuan medis; dan
b. bantuan rehabilitasi psiko-sosial (Pasal 6);
3) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa:
a. hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran hak asasi manusia
yang berat;
b. hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung
jawab pelaku tindak pidana (Pasal 7 Ayat (1));
4) Memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat
perkara tersebut diperiksa dalam hal dirinya merasa berada dalam
ancaman yang sangat besar, dengan persetujuan dari hakim (Pasal
9 Ayat (1));
5) Korban tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun
perdata atas laporan ataupun kesaksian yang akan, sedang, atau
telah diberikannya (Pasal 10 Ayat (1)).
Pasal 29 Huruf (a) tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan
mensyaratkan bahwa tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 sebagai berikut: Saksi dan/atau Korban yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan


pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara tertulis
kepada LPSK.
Dalam kasus ini, tidak ada inisiatif baik dari aparat penegak
hukum sebagai pejabat berwenang (baik jaksa maupun hakim) ataupun
dari pihak keluarga korban untuk mengajukan permohonan secara
tertulis kepada LPSK guna memperoleh perlindungan sehingga korban
Dwi Handayani tidak mendapatkan perlindungan resmi dari LPSK.
Tidak adanya perlindungan serta komunikasi ataupun pendekatan
yang baik antara aparat penegak hukum dengan pihak korban telah
memberikan celah bagi pihak terdakwa untuk mempengaruhi dan
mengintimidasi korban secara halus agar memberikan keterangan yang
tidak sesuai dengan fakta, bahkan keluarga terdakwa melarang saksi
korban mendatangi setiap persidangan setelah memberikan kesaksian.
Ketika memberikan kesaksian di persidangan, saksi korban (Dwi
Handayani) memberikan keterangan yang berbeda dengan yang
tertulis di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sehingga atas keterangan
saksi korban tersebut, Penuntut Umum mengajukan permintaan agar
Dwi Handayani dihadirkan kembali menjadi saksi untuk memberikan
keterangan lanjutan dimana terungkap bahwa hal tersebut dilakukan
atas permintaan keluarga terdakwa yaitu adik ipar terdakwa yang
bernama Emil Dwi Sapto Rahayu yang sehari sebelumnya mendatangi
korban dan keluarganya di rumah. Tujuan dari Emil adalah untuk
meringankan hukuman bagi terdakwa Sulistyanto dan korban
menerima permintaan tersebut karena takut kalau nanti akan diapa-
apakan (merasa dirinya terancam). Saksi juga menerangkan bahwa
keterangan yang pernah diberikan pada persidangan terdahulu adalah
tidak benar dan yang benar adalah keterangan saksi yang sama dengan
BAP.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

Korban dalam kedudukannya sebagai saksi pada saat akan


memberikan kesaksian seharusnya disertai dengan jaminan bahwa
dirinya terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat dan sesudah
memberikan kesaksian. Jaminan ini penting guna memastikan bahwa
keterangan yang diberikan oleh saksi korban benar-benar murni sesuai
dengan apa yang ia lihat, dengar, dan/atau alami sendiri bukan hasil
rekayasa sebagai akibat dari adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu
seperti yang dialami oleh korban Dwi Handayani.
Atas terungkapnya fakta adanya intimidasi dari keluarga terdakwa,
tidak ada upaya baik dari pihak aparat penegak hukum ataupun pihak
keluarga korban untuk mengupayakan permohonan perlindungan bagi
korban kepada LPSK. Padahal hal ini sangat diperlukan oleh saksi
korban untuk mencegah kemungkinan adanya tidakan teror atau pun
ancaman lanjutan dari pihak keluarga terdakwa yang nantinya dapat
mengancam keselamatan korban.

b. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana


Kitab Undang-Undang hukum Acara Pidana juga mengatur
mengenai bentuk perlindungan terhadap korban melalui beberapa hak
yang dapat digunakan oleh korban kejahatan dalam suatu proses
peradilan pidana, yaitu:
1) Hak untuk melakukan kontrol terhadap penyidik dan penuntut
umum (Pasal 77 jo 80 KUHAP) ;
2) Hak korban berkaitan dengan kedudukannya sebagai saksi (Pasal
168 KUHAP);
3) Hak untuk menuntut ganti rugi akibat suatu tindak
pidana/kejahatan yang menimpa diri korban melalui cara
penggabungan perkara perdata dengan perkara pidana (pasal 98
sampai dengan 101);

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

4) Hak bagi keluarga korban untuk mengizinkan atau tidak


mengizinkan polisi melakukan otopsi (pasal 134-136 KUHAP).
Tidak semua ketentuan mengenai hak korban sebagai bentuk
perlindungan bagi korban dalam KUHAP sebagaimana tersebut diatas
dijalankan dan mampu mengakomodir kepentingan korban dalam
kasus ini.
Tidak ada upaya penghentian penyidikan dan/atau penuntutan
dalam kasus ini. Yang ada adalah upaya dari pihak terdakwa untuk
mempengaruhi saksi korban untuk memberikan keterangan di
persidangan yang tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Upaya intervensi ini dilakukan secara halus oleh Emil Dwi Sapto
Rahayu yang merupakan adik ipar terdakwa dengan mendatangi
keluarga korban sehari sebelum saksi korban memberikan
kesaksiannya di persidangan dan meminta korban nantinya di
persidangan memberikan kesaksian sesuai apa yang telah ditulis oleh
pihak keluarga terdakwa. Adapun tujuannya adalah untuk
meringankan hukuman bagi terdakwa dengan alasn telah terjadi
perdamaian antara Emil selaku wakil dari terdakwa dan ayah korban
yang dituangkan di dalam surat perjanjian perdamaian dan
ditandatangani bersama. Dalam ranah hukum pidana, perdamaian tidak
serta merta menghentikan kasus pidananya, hanya dapat meringankan
hukuman.
Saksi yang dapat mengundurkan diri sebagai saksi adalah mereka
yang mempunyi hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis
lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau
yang bersama-sama menjadi terdakwa (Pasal 168 a); saudara dari
terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau
saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

(Pasal 168 b); suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau
yang bersama-sama sebagai terdakwa (Pasal 168 c). Perkecualian
dalam hal mereka menghendakinya dan penuntut umum serta
terdakwa secara tegas menyetujuinya dapat memberikan keterangan di
bawh sumpah (Pasal 169 Ayat (1)).
Saksi Dwi handayani merupakan saksi korban yang keterangannya
sangat diperlukan guna mencari fakta-fakta hukum dan dalam
kedudukannya sebagai saksi dia telah memenuhi panggilan sidang
untuk memberikan kesaksian.
Upaya perlindungan terhadap korban dalam kedudukannya sebagai
saksi meliputi:
1) Memberikan keterangan di depan penyidik tanpa tekanan dari
siapa pun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1)
KUHAP);
2) Bebas dari pertanyaan yang menjerat (Pasal 166 KUHAP);
3) Berhak mendapatkan penterjemah (Pasal 177 Ayat (1) KUHAP);
4) Berhak untuk mendapatkan penggantian biaya (Pasal 229
KUHAP).
Saksi korban Dwi Handayani tidak mendapatkan tekanan dari
siapapun dan dalam bentuk apapun selama penyidikan. Tekanan dari
keluarga terdakwa terjadi ketika kasus ini telah masuk ke pengadilan
yaitu sebelum saksi korban memberikan keterangan di persidangan.
Tekanan tersebut dilakukan oleh adik ipar terdakwa yang bernama
Emili Dwi Sapto Rahayu yang mendatangi korban dan keluarganya di
rumah bersama dengan istri terdakwa, kemudian membujuk korban
untuk memberikan kesaksian yang meringankan terdakwa dan tidak
usah hadir dalam sidang-sidang selanjutnya sehingga saksi korban
sempat mencabut keterangannya yang tercantum dalam BAP Penyidik

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

serta tidak hadir dalam beberapa kali persidangan hingga akhirnya


dipanggil secara paksa oleh pihak kepolisian.
Dalam data yang diperoleh penulis tidak ada catatan bahwa saksi
korban menerima pertanyaan yang sifatnya menjerat baik dalam
pemeriksaan di tingkat kepolisian, di tingkat penyidik maupun selama
pemeriksaan di persidangan.
Saksi korban merupakan anak sekolah yang mengerti bahasa
Indonesia sehingga dirinya tidak memerlukan penerjemah ketika
diperiksa guna memberikan kesaksian.
Dalam kedudukannya sebagai saksi, korban tidak mendapatkan
penggantian biaya sebagaimana yang diamanatkan dalam KUHAP.
Korban mempunyai hak untuk menuntut ganti rugi akibat suatu
tindak pidana dirinya melalui penggabungan perkara perdata dengan
perkara pidana dalam hal dirinya mengalami kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana yang dialaminya. Tindak pidana yang
dialami oleh korban bukan merupakan suatu tindak pidana yang dapat
diberikan ganti rugi secara materiil. Kerugian yang diderita korban
adalah kerugian yang bersifat imateriil. Persetubuhan yang dialaminya
telah membuat dirinya kehilangan keperawanan dan hal ini tidak dapat
dipulihkan seperti sediakala dengan pemberian ganti rugi sekalipun.
Hal yang mungkin dilakukan adalah memberikan terapi psikologis
(konseling) agar korban tidak mengalami trauma berkepanjangan dan
untuk mengembalikan kepercayaan diri korban.
Otopsi dilakukan dalam hal peristiwa tindak pidana yang
mengakibatkan korbannya meninggal dunia. Korban Dwi Handayani
masih dalam keadaan hidup, tindakan medis yang dapat dilakukan
untuk menunjukkan keadaan dirinya sebagai korban adalah melakukan
visum pada daerah kemaluan, hal ini telah dilakukan pada tanggal 8
Januari 2009 dan tercantum dalam visum et repertum yang dibuat oleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

Dr. Dian Ika Putri. SpOG, dokter pada Rumah Sakit Umum
Pemerintah Daerah Kabupaten Sragen yang menerangkan bahwa
pemeriksaan pada daerah kemaluan menunjukkan selaput dara robek
pada pukul 9 dan pukul 7 sampai dasar akibat perlukaan benda tumpul,
kesan luka lama. Kesimpulan, terdapat luka lama akibat benda tumpul
pada pukul 9 dan pukul 7 di selaput dara.

c. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan


Anak
Penyelenggaran perlindungan anak tidak terlepas dari kewajiban
dan tanggung jawab negara dan pemerintah yang meliputi:
1) Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa
membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik,
budaya dan bahasa, status anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi
fisik dan/atau mental (Pasal 21);
2) Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam
penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22);
3) Menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak
dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau
orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak
dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);
4) Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam
meyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat
kecerdasannya (Pasal 24).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 64 telah mengatur
perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum yang
meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak
pidana (Pasal 64 Ayat (1)). Pasal 64 Ayat (2) menyebutkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum


sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak-hak anak;
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi
anak;
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan
anak yang berhadapan dengan hukum;
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
orang tua atau keluarga; dan
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
Korban Dwi Handayani sebagai anak yang menjadi korban tindak
pidana yang berhadapan dengan hukum berhak mendapatkan
perlindungan ini. Tetapi tidak semua perlindungan yang tercantum
dalam Pasal 64 Ayat (2) tersebut dia peroleh. Pada awalnya dia
memang mendapatkan pendampingan dari petugas khusus yaitu
relawan dari LSM APPS, tetapi sifatnya hanya sementara yaitu ketika
pemeriksaan di tingkat kepolisian. Pendampingan tidak diberikan
setiap saat pada setiap tingkat pemeriksaan dengan alasan bahwa
korban tidak mengalami gangguan mental yang terlalu berat sehingga
tidak harus selalu didampingi, korban juga sempat diperiksa tanpa
pendampingan dari orang tua karena orang tuanya juga ikut diperiksa
pada saat yang bersamaan.
Pemeriksaan terhadap korban tidak dilakukan di ruangan khusus
yang dapat memberikan kenyamanan bagi korban yang
memungkinkan dirinya merasa rileks dan siap memberikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

72

keterangan, pemeriksaan dilakukan di ruang pemeriksaan biasa


bersama dengan pemeriksaan kasus-kasus lain. Perwujudan sarana dan
prasarana khusus yang diberikan adalah pelaksanaan sidang
pemeriksaan yang tertutup untuk umum karena kasusnya menyangkut
tindak pidana kesusilaan (Pasal 153 Ayat (3) KUHAP), hal ini antara
lain juga bertujuan untuk menghindari pemberitaan identitas oleh
media massa dan labelisasi.
Tidak ada pemantauan dan pencatatan terus menerus secara khusus
terhadap perkembangan anak yang dilakukan terhadap korban selama
dirinya berhadapan dengan hukum. Hal ini terbukti ketika aparat
sempat kecolongan waktu korban mendapatkan intimidasi dari pihak
keluarga pelaku sehingga pada saat memberikan kesaksian di
persidangan, kesaksiannya berbeda dengan yang tercatat di BAP
Penyidik dan setelah dilakukan pemeriksaan ulang terungkap bahwa
kesaksian yang diberikannya tersebut atas permintaan dari keluarga
terdakwa (adik ipar terdakwa yang bernama Emil Dwi Sapto Rahayu
beserta istri terdakwa) yang menemuinya di rumah sehari sebelum
jadwal dirinya memberikan kesaksian di persidangan. Korban
memenuhi permintaan keluarga terdakwa karena dirinya merasa takut
dirinya akan diapa-apakan jika tidak memenuhi permintaan tersebut.
Pasal 64 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak juga telah mengatur tentang perlindungan khusus
bagi anak yang menjadi korban tindak pidana yang dilaksanakan
dengan:
1) Upaya rehabilitasi anak, baik dalam lembaga maupun di luar
lembaga.;
2) Upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media
massa dan untuk menghindari labelisasi/stigmatisasi.;

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

3) Pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli,


baik fisik, mental, maupun sosialnya dari ancaman pihak-pihak
tertentu; dan
4) Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
Upaya rehabilitasi yang merupakan suatu usaha yang dilakukan
guna memulihkan kondisi mental, fisik dan lain sebagainya setelah
mengalami trauma yang sangat mendalam akibat suatu peristiwa
pidana yang dialami korban tidak dilakukan dalam kasus ini. Korban
Dwi Handayani sebagai korban tindak pidana persetubuhan hanya
sempat mendapatkan pendampingan dari seorang relawan LSM APPS
yang bernama Sugiarsi ketika diperiksa di kepolisian, namun
pendampingan itu pun hanya bersifat sementara selama pemeriksaan
di kepolisian saja tidak dilajutkan lagi dengan alasan bahwa korban
tidak mengalami gangguan mental yang terlalu berat sehingga tidak
perlu didampingi setiap saat. Setelah itu, tidak ada upaya rehabilitasi
berupa konseling untuk mencegah adanya kemungkinan trauma
berkepanjangan pada diri korban baik atas inisiatif dari aparat penegak
hukum maupun pihak keluarga korban. Padahal korban yang masih
merupakan anak bukan tidak mungkin menyimpan penderitaan batin
seperti merasa dirinya tidak punya masa depan lagi, minder/tidak
percaya diri lagi untuk bergaul karena merasa dirinya kotor, takut
bergaul bahkan timbul perasaan benci pada lawan jenis dan lain
sebagainya. Apalagi korban harus menjalani proses panjang selama
penanganan perkara dimana dia mempunyai kewajiban untuk menjadi
saksi korban sehingga mau tidak mau dia harus meceritakan kembali
penderitaan yang dialaminya ketika menjadi korban tindak pidana
persetubuhan. belum lagi dia harus berhadapan dengan pelaku dan
keluarganya yang secara nyata telah melakukan intimidasi terhadap
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

74

dirinya dengan menyuruhnya memberikan keterangan di persidangan


yang pada intinya bersifat memutar balikkan fakta serta menyuruhnya
untuk tidak hadir pada sidang-sidang selanjutnya. Proses berat yang
harus dihadapi korban akan berdampak pada terganggunya
perkembangan psikologis korban dan seharusnya mendapatkan
perhatian baik dari aparat penegak hukum mapun keluarganya.
Usaha perlindungan identitas korban perlu diupayakan agar
identitas anak yang menjadi korban ataupun keluarga korban tidak
diketahui oleh orang lain dengan tujuan untuk menjaga nama baik
korban dan keluarganya agar tidak tercemar. Karena kasus yang
dialami korban merupakan tindak pidana kesusilaan, maka
pemeriksaan dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 153 Ayat (3)
KUHAP) guna menjaga psikologis anak dan menjaga dari kemugkinan
adanya kata-kata yang tidak layak menjadi konsumsi publik.
Sedangkan upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui
media massa dan untuk menghindari labelisasi/stigmatisasi bisa
dilakukan dengan pemberian nama samaran atau initial ketika
mengangkat kasus ini menjadi sebuah berita sehingga identitas korban
dan keluarga tidak diketahui masyarakat secara luas.
Perlindungan keselamatan saksi korban bertujuan agar proses
perkara dapat berjalan dengan efisien. Perlindungan ini seharusnya
dilaksanakan baik sebelum, selama, dan sesudah proses peradilan
pidana. Segala upaya yang perlu dan mungkin perlu diambil untuk
melindungi korban dari intimidasi, ancaman tindakan balasan atau
tindakan balasan oleh tersangka/terdakwa dan/atau teman-teman
mereka, termasuk tindakan balas dendam (reprisal) dari pihak-pihak
yang terkait dengan kejahatan yang sedang diperiksa di hadapan
pengadilan harus diakomodasi dengan baik.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

75

Jaminan keselamatan bagi saksi korban dalam kasus ini tidak


terakomodasi dengan baik karena korban mendapatkan intimidasi
secara halus dari pihak terdakwa yang membuatnya merasa terancam
sehingga akhirnya memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan
apa yang sebenarnya ketika menjadi saksi di persidangan. Informasi
perkembangan perkara pun terhambat karena pihak korban telah
dipengaruhi oleh keluarga terdakwa untuk tidak hadir di persidangan
sehingga membuat saksi korban beberapa kali tidak hadir di
persidangan tanpa alasan yang jelas, namun pada akhirnya atas
permintaan penuntut umum saksi korban bersedia menghadiri
persidangan setelah diperingatkan oleh polisi.
Pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara bertujuan agar pihak korban dan keluarganya
mengetahui perkembangan proses perkaranya. Hal ini pada gilirannya
akan membantu aparat dalam upaya menciptakan hubungan yang
positif dengan korban sehingga korban dapat bersikap proaktif.
Aksesibilitas korban untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara sempat terhambat ketika dirinya tidak
menghadiri beberapa persidangan tanpa alasan yang jelas setelah
mendapat pengaruh dari keluarga terdakwa, namun aparat penegak
hukum telah berupaya untuk memulihkannya dimana atas permintaan
penuntut umum saksi korban bersedia menghadiri persidangan setelah
diperingatkan oleh polisi. Dengan menghadiri persidangan, saksi
korban akan mengetahui perkembangan kasusnya dan sewaktu-waktu
apabila diperlukan dia bisa memberikan keterangannya guna
menyempurnakan keyakinan hakim.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV
PENUTUP

A. SIMPULAN
Terdapat dua masalah pokok dalam penelitian ini yaitu: (1) tentang bentuk
peran korban Dwi Handayani terhadap terjadinya tindak pidana persetubuhan
yang dilakukan oleh terdakwa, dan (2) apakah korban Dwi Handayani telah
mendapatkan perlindungan hukum selama proses peradilan pidana (STUDI
PUTUSAN No. 92/Pid.Sus/2009/Pn. Srg)
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap dua masalah pokok
di atas maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :
1. Peran korban Dwi Handayani yang merupakan korban individu (primary
victimization) dalam tindak pidana persetubuhan yang dialaminya
merupakan peran yang bersifat pasif. Perannya tersebut lebih dikarenakan
keadaan fisik dan mentalnya yang lemah sebagai perempuan muda (young
female). Korban yang merupakan perempuan mempunyai fisik yang
cenderung lemah. Usianya yang masih remaja membuatnya belum
mempunyai kepribadian yang matang dan ketahanan moralitas sehingga
dengan mudah dibujuk dan dirayu oleh pelaku (Terdakwa Sulistyanto)
sehingga akhirnya terjadilah tindak pidana persetubuhan dimana dia
menjadi korbannya (latent victims).
2. Korban Dwi Handayani telah mendapatkan perlindungan hukum dalam
proses peradilan pidana atas tindak pidana persetubuhan yang dialaminya,
namun perlindungan tersebut masih sangat minim. Belum memadainya
perlindungan hukum terhadap korban Dwi Handayani tampak dari belum
terpenuhinya semua hak korban dan hak-hak tersebut juga belum
diakomodir dengan baik, bahkan perlindungan korban dalam
kedudukannya sebagai saksi sekaligus korban sebagaimana telah diatur
dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban terutama Pasal 5 Ayat
commit (1) tidak terpenuhi karena tidak ada
to user

76
perpustakaan.uns.ac.id 77
digilib.uns.ac.id

pengajuan secara tertulis kepada lembaga terkait yaitu LPSK baik atas
inisiatif dari pejabat yang berwenang (aparat penegak hukum) maupun dari
pihak keluarga korban sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 29 a tentang
Tata Cara Memperoleh Perlindungan. Selain itu, perlindungan khusus bagi
korban sebagai anak yang berhadapan dengan hukum sekaligus sebagai
anak korban tindak pidana yang telah diatur dalam Undang-Undang No.
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 64 Ayat (2) & (3) juga
tidak didapat oleh korban. Adapun beberapa perlindungan yang telah
diperoleh korban antara lain:
a. Memberikan keterangan di depan penyidik tanpa tekanan dari siapa
pun dan atau dalam bentuk apapun (Pasal 117 ayat (1) KUHAP);
b. Bebas dari pertanyaan yang menjerat (Pasal 166 KUHAP);
c. Memperoleh pendampingan dari petugas khusus yaitu relawan dari
LSM APPS, tetapi sifatnya hanya sementara yaitu ketika pemeriksaan
di tingkat kepolisian (Pasal 64 Ayat (2) Huruf b Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
B. SARAN
Berdasarkan permasalahan sebagaimana tersebut di atas, penulis
mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Dalam proses penanganan perkara, aparat penegak hukum harus
memperhatikan pula peran korban dalam terjadinya tindak pidana untuk
mementukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan, karena di
samping pelaku, korban juga merupakan partisipan yang berpengaruh
dalam terjadinya tindak pidana sehingga diharapkan nantinya akan
tercapai keadilan baik bagi korban maupun pelaku (terdakwa);
2.
a. Untuk meningkatkan inisiatif pihak saksi dan/atau korban maupun
pejabat berwenang dalam mengupayakan perlindungan bagi saksi
dan/atau korban perlu adanya sosialisasi mengenai undang-undang
terkait yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban oleh commit to user undang-undang kepada aparat
pembuat
perpustakaan.uns.ac.id 78
digilib.uns.ac.id

penegak hukum sebagai pelaksana agar tidak salah dalam mengartikan


pasal serta mengetahui isinya secara terperinci untuk kemudian
meneruskannya kepada masyarakat agar nantinya bisa meningkatkan
kesadaran hukum serta menegaskan pentingnya perlindungan bagi
saksi dan/atau korban serta langkah-langkah apa yang harus ditempuh
guna mendapatkan perlindungan tersebut;
b. Upaya rehabilitasi sebagai bentuk pelayanan bagi korban Dwi
Handayani yang merupakan anak yang menjadi korban tindak pidana
kesusilaan, yang tentunya sedikit banyak mengalami penderitaan psikis
dan mengalami trauma, seharusnya diupayakan baik oleh aparat
penegak hukum maupun keluarga korban dengan melakukan
kerjasama dengan lembaga swadaya masyarakat ataupun meminta
bantuan kepada KPAI (Komisi perlindungan Anak Indonesia) yang
diwujudkan dengan pemberian konseling sehingga diharapkan korban
yang merupakan anak yang masih mempunyai masa depan.akan
bangkit dari keterpurukan dan terbebas dari trauma berkepanjangan
akibat tindak pidana yang dialaminya serta tidak merasa minder atau
pun dikucilkan oleh masyarakat sekitarnya hingga bisa melanjutkan
hidupnya secara layak tanpa didera perasaan malu dan rendah diri yang
berkepanjangan;
c. Agar perlindungan terhadap saksi dan korban sebagai perwujudan
penegakan hukum dapat berjalan secara efektif dan efisien serta
didukung oleh sarana dan prasarana penunjang seperti adanya ruang
pelayanan khusus bagi saksi korban, pemerintah/negara harus
menyediakan anggaran khusus yang memadai sehingga perlindungan
dapat terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya sesuai dengan
yang diamanatkan Undang-Undang;
.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai