Anda di halaman 1dari 124

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

ANALISIS IMPLIKASI HUKUM SUKSESI NEGARA REPUBLIK SUDAN SELATAN

DITINJAU DARI HUKUM INTERNASIONAL

Penulisan Hukum
(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna


Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :
Putri Purbasari Raharningtyas Marditia
NIM. E 0008412

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

commit to user
2012

i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Putri Purbasari Raharningtyas Marditia, E0008412. ANALISIS IMPLIKASI


HUKUM SUKSESI NEGARA REPUBLIK SUDAN SELATAN DITINJAU
DARI HUKUM INTERNASIONAL. Penulisan Hukum (Skripsi). Fakultas
Hukum Universitas Sebelas Maret. 2012.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang implikasi hukum


suksesi negara Republik Sudan Selatan dari Republik Sudan ditinjau dari Hukum
Internasional.

Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif atau doktrinal


yang bersifat deskriptif. Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan undang-
undang (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data adalah
studi kepustakaan. Teknik analisis data adalah metode deduktif.

Hasil penelitian mengenai implikasi hukum suksesi negara Republik


Sudan Selatan dari Republik Sudan terhadap perjanjian internasional didasarkan
pada perjanjian dimasa transisi yaitu Comprehensive Peace Agreement (CPA).
Implikasi hukum terhadap hutang negara adalah masih dalam tahap perundingan
antara Republik Sudan dan Republik Sudan Selatan. Implikasi hukum Suksesi
negara terhadap kewarganegaraan telah mencapai kesepakatan tentang prinsip
'Empat Kebebasan'. Implikasi hukum terhadap arsip negara yang berhubungan
dengan wilayah akan berpindah mengikuti kepemilikan wilayah Republik Sudan
Selatan dan tanpa disertai pembayaran ganti rugi kepada Republik Sudan .
Implikasi hukum terhadap penguasaan public property mengikuti wilayahnya.
Implikasi hukum terhadap penguasaan Privat property adalah dengan
mengeluarkan kebijakan yang mementingkan kepentingan Republik Sudan,
Republik Sudan Selatan dan pihak swasta. Implikasi hukum terhadap keanggotaan
organisasi internasional dilakukan secara terpisah antara Republik Sudan dan
Republik Sudan Selatan . Implikasi hukum terhadap Claims in Tort & Delict
dibebankan kepada presiden Republik Sudan dan dilakukan oleh ICC.

Kata Kunci: Implikasi hukum, Suksesi Negara, Hukum Internasional.

commit to user

v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Putri Purbasari Raharningtyas Marditia, E0008412. AN ANALYSIS ON THE


LEGAL IMPLICATION OF THE REPUBLIC OF SOUTH SUDAN’S
SUCCESSION PURSUANT TO INTERNATIONAL LAW. Thesis. Faculty of
Law of Sebelas Maret University.
This research aims to find out the legal implication of the Republic of
South Sudan‟s Succession Pursuant to International Law. This study is a
normative or a doctrinal legal research which is descriptive in nature. This
research employes both statute approach and conceptual approach. The type of
data used in this research is secondary data. The technique of collecting data is
library study; whilethe technique of analysing data is a deductive method.
The result of research shows that the succession of the Republic of South
Sudan from The Republic Sudan was based on the agreement of transitional
period, namely Comprehensive Peace Agreement (CPA). The legal implication to
the state debt still on going at the reconciliation stage between the Republic of the
Sudan and the Republic of South Sudan. The legal implication of state succession
to citizenship is based on“Four Freedom” principles. The legal implication for
the state‟s archive relating to the territorial jurisdiction is transferred directly to
the Republic of South Sudan‟s territorial paying compensation to the Republic of
the Sudan. The legal implication for public properties is followed the territorial
jurisdiction. The transfer of private properties should consider the best interest of
the two countries and the private parties Following a succesion. The mempership
of the parent state in international organizations is not automatically transferred
to the new state. In addition, the charge of crimes against humanity against the
President of the Republic of the Sudan will not affect the Republic of South Sudan.

Keywords: Legal implication, State Succession, International Law

commit to user

vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO
“Kehidupan adalah suatu pilihan. Apakah kita mau hidup kaya atau miskin,
tergantung atas keputusan dan tindakan kita sepenuhnya.
dan
Kebahagiaan akan timbul dalam diri kita apabila kita melakukan sesuatu yang
benar-benar kita sukai.” (Walter Elias Disney)

Jangan pernah berhenti menjadi pemimpi, karena menjadi pemimpi adalah awal
dari seorang pemimpin (penulis)

commit to user

vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan kepada :


 Tuhan dan Tuhan Yesus for blessing me always;
 Bapakku; who always gave me confidence;
 Ibuku, who taught me to never stop dreaming;
 Saudara kembarku, who always keep and raise my spirits;
 Bangsa dan Tanah Air ku Indonesia.
 Almamater, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

commit to user

viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang serta diiringi rasa syukur penulis panjatkan, sehingga penulisan hukum
(skripsi) dengan judul“ANALISIS IMPLIKASI HUKUM SUKSESI NEGARA
REPUBLIK SUDAN SELATAN DITINJAU DARI HUKUM
INTERNASIONAL.” ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada
waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam setiap proses penyelesaian penulisan
hukum (skripsi) ini tidak akan terlaksana dengan lancar tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih dengan segala
kerendahan hati, dan semoga kebaikan pihak-pihak yang telah membantu akan
dibalas oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Terima kasih saya haturkan terutama
kepada:

1. Prof. Dr.Hartiwiningsih, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum


Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberiizin dan
kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan hokum ini.
2. Bapak Waluyo, S.H., M.Si. selaku Pembimbing Akademik penulis selama
menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dan perhatian kepada
penulis.
3. Ibu Sri Lestari, S.H., M.Hum., Selaku Pembimbing Penulisan Hukum
(skripsi) I dan Ketua Bagian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah dengan sabar memberikan
ilmu, tenaga, dan waktu untuk diskusi, membimbing, dan memotivasi
penulis dalam proses penyelesaian penulisan hukum ini.
4. Ibu Siti Muslimah, S.H., M.H., Selaku Pembimbing Penulisan Hukum
(skripsi) II yang telah dengan sabar memberikan ilmu, tenaga, dan waktu
untuk diskusi, membimbing, dan memotivasi penulis dalam proses
penyelesaian penulisan hukum ini.

commit to user

ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret


Surakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan sehingga dapat
dijadikan dasar dalam penulisan skripsi ini dan semoga dapat penulis
amalkan.
6. Seluruh Staf Tata Usaha dan Karyawan di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta terima kasih atas bantuannya.
7. Bapak, ibu dan saudara kembarku tercinta, terima kasih atas cinta, doa dan
pengorbanannya selama ini hingga sampai detik ini penulis hanya dapat
membalas dengan doa dan hanya mampu berucap terima kasih.
8. Kementrian Luar Negeri khususnya Direktorat Hukum, yang telah
memberikan Penulis banyak pelajaran dan pengalaman yang tidak akan
pernah terlupakan. Terutama terimakasih kepada Bapak Diar Nurbiantoro,
SH, MH , Ibu Levi, Bapak Ricky, Bapak Didit, Mba Lisa , Mba Lea, Mas
Wawan, Mas Wendy, Mas Faisal, Mas Dimas dan Mas Dumas.
9. Kepada Direktorat Timur Tengah Bapak Bambang dan KBRI di Sudan
Bapak Mulyadi terimahkasih atas kerjasamanya dalam pemberian info
seputar kondisi Republik Sudan.
10. Devi Nurmalasari, dan Mas Wasis Susilo yang selalu memberi motivasi
dan memberikan bantuan dalam menyelesaikan segala masalah dalam
penyusunan penulisan ini.
11. Spesial untuk Mba Pradina Kurnia yang selalu setia menjadi teman
seperjuangan disaat susah.
12. Rekan-rekan Magang Kementrian Luar Negeri, Ira, Mohamad Ali, Astri,
Lisa, Rani dan yang lainnya.
13. Semua pihak yang belum disebutkan namanya satu persatu yang telah
membantu dan mengisi hari-hari penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Surakarta,
Penulis

commit to user

x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………. i


HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..…………………... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI............................................ iii
HALAMAN PERNYATAAN……………………………………… iv
ABSTRAK………………………………………………………….. v
ABSTRACT…………………………………………………………... vi

HALAMAN MOTTO.......................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................... viii

KATA PENGANTAR……………………………………….............. ix

DAFTAR ISI………………………………………………………… xi

BAB I. PENDAHULUAN…………………………………………… 1

A. Latar Belakang………..………………………………….. 1

B. Rumusan masalah………………………………………... 4

C. Tujuan Penelitian………………………………………… 4

D. Manfaat Penelitian……………………………………….. 5

E. Metode Penelitian………………………………………… 5

F. Sistematika Penulisan Hukum……………………………. 9

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………... 11

A. Kerangka Teori………..…………………………………... 11

1. Tinjauan Umum Negara…………….............................. 11

2. Tinjauan tentang Suksesi Negara………………............ 26

B. Kerangka Pemikiran………..……………………………… 34

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……………… 36

A. Hasil Penelitian……………………..................................... 36

1. Gambaran Umum Republik Sudan……………………. 36

2. Proses Suksesi Negara Republik Sudan……………….. 39

3. Kondisi Terahkir Republik Sudan Dan Republik


commit to user
Sudan Selatan Sebelum Suksesi Negara Dan Sesudah
Suksesi negara……………………....................……....... 50
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Pembahasan……………………............................................. 83
BAB IV. PENUTUP……………………………………………………. 111
A. Simpulan……………………………………………………. 111
B. Saran………………………………………………………… 112
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………...

commit to user

xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I.
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Negara merupakan salah satu subjek hukum internasional yang pertama dan
utama, baik ditinjau secara historis maupun secara faktual. Secara historis negara
merupakan subjek hukum yang pertama muncul pada awal mula pertumbuhan
hukum internasional, sedangkan secara faktual dalam perkembangannya peranan
negara sebagai subjek hukum internasional melalui hubungan internasional
banyak melahirkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah penting dalam hukum
internasional sehingga menjadikan negara sebagai subjek hukum internasional
yang utama (Huala Adolf, 2010: 3).
Kelebihan negara sebagai subjek hukum internasional dibandingkan dengan
subjek hukum internasional lainnya adalah, negara memiliki kedaulatan atau
sovereignity. Melalui kedaulatan tersebut, membuat negara mampu melakukan
perjanjian internasional, mengirim atau menerima duta besar dan menyatakan
damai atau perang terhadap negara lain. Negara memiliki unsur-unsur yang harus
dipenuhi untuk dapat diklasifikasikan sebagai subjek hukum yang memiliki legal
capacity dalam hukum internasional, yang diatur dalam Pasal 1 Montevideo (Pan
American) Convention on Rights and Duties of State on 1933 unsur-unsur tersebut
(Huala Adolf, 2010: 9) meliputi : a permanent population , a defined territory, a
government; and a capacity to enter into relations with other state.
Eksistensi negara dalam hukum internasional selalu mengalami
pembaharuan. Pembaharuan tersebut terlihat dengan munculnya negara-negara
baru, antara lain melalui suksesi. Suksesi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah suatu proses pergantian kepemimpinan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku (Alvin Hasan dkk, 2003: 300). Sedangkan
menurut Black's Law Dictionary (Garner Bryan, 2009: 940), Succession is The
act of withdrawing from membership in a group berdasarkan pengertian tersebut
Penulis menyimpulkan bahwa suksesi adalah suatu perubahan atau penggantian
subjek hukum oleh subjek hukum commit to user
yang lain.

xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Suksesi negara menurut The Vienna Convention on Succession of State in


Respect of Treaties on 1978, Pasal 2 huruf (b) dinyatakan bahwa perpindahan
suatu tanggung jawab dari satu negara ke negara lain dalam kaitannya dengan
praktek hubungan internasional dari wilayah tersebut, sehingga yang berhubungan
dengan suksesi dapat berupa penggabungan, perpisahan, atau pembentukan negara
baru dimana konsekuensinya adalah perubahan kedaulatan (Malcolm Shaw,
2009: 675). Beberapa contoh negara yang muncul dari suksesi misal Jerman
sebagai akibat penggabungan Jerman Barat dan Jerman Timur pada 9 November
1989 (Angela Stent E, 1998: 75), atau Timor Leste yang memisahankan diri dari
Indonesia pada tahun 1999.
Suksesi dalam prakteknya dibedakan menjadi dua jenis yaitu suksesi
pemerintahan dan suksesi negara (Sefriani, 2011: 294). Suksesi pemerintahan
adalah terjadinya penggantian pemerintah lama oleh pemerintah baru, baik secara
konstitusional atau tidak konstitusional dan bersifat internal dalam suatu negara.
Suksesi negara dapat dibedakan menjadi dua yaitu suksesi negara universal dan
suksesi negara parsial. Suksesi negara menimbulkan dua pihak, yaitu predecessor
state (negara terdahulu/ negara yang tergantikan) dan successor state (negara
baru/ negara yang mengantikan) (Jawahir Thontowi, 2006: 212).
Kenyataannya suksesi negara merupakan casu sui generalis atau suatu
peristiwa yang umum, namun memerlukan penanganan khusus dalam prakteknya,
karena dalam proses suatu suksesi negara memiliki implikasi hukum yang
komplek yang melibatkan perpindahan tanggung jawab suatu predecessor state
kepada successor state (Patrick Dumberry, 2007: 192). Implikasi hukum suksesi
negara meliputi akibat hukum terhadap perjanjian internasional, privat property,
public property, arsip negara, hutang negara, kewarganegaraan, keanggotan
organisasi internasional dan claims in tort & delict (Sefriani, 2011: 296-312).
Suksesi negara dalam hukum internasional diatur dalam Montevideo (Pan
American) Convention on Rights and Duties of State on 1933, The Vienna
Convention on Succession of State in Respect of Treaties on 1978 dan The Vienna
Convention on Succession of State in Respect of State Property, Archive and
commit to
Debst on 1983. Konvensi Montevideo userdimasukan sebagai dasar hukum
1933

xiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

internasional dalam suksesi negara, karena Konvensi Montevideo 1933 dijadikan


sebagai penilaian awal, bagi negara baru tersebut, apakah dapat dikualifikasikan
sebagai subjek hukum yang memiliki legal capacity dalam hukum internasional.
Kasus suksesi negara yang terkait dalam penelitian ini yaitu suksesi negara
Republik Sudan Selatan yang memisahkan diri dari Republik Sudan pada tanggal
9 Juli 2011. Republik Sudan adalah salah satu negara yang terletak di Afrika
Utara (Afrika Timur Laut) sekaligus merupakan negara terbesar di Afrika yang
merdeka pada tahun 1956 dari Mesir dan Inggris (Kedutaan Besar Republik
Indonesia Khartoum. http://www.kemlu.go.id/khartoum/Pages/Embassies
.aspx?IDP=20&l=id [Diakses tanggal 3 Agustus 2011]).
Selama empat dekade kemerdekaan Republik Sudan, Republik Sudan tidak
pernah dalam keadaan politik stabil dan terus diguncang perang saudara. Latar
belakang lahirnya konflik perang saudara di Republik Sudan adalah karena basis
Islam fundamentalis yang ingin diterapkan oleh pemerintah pusat Sudan, yang
ditentang oleh penduduk selatan yang mayoritas Kristen dan Animis yang lebih
menginginkan pemerintahan sekuler (Amir H. Idris, 2005: 11). Reaksi
pertentangan oleh penduduk selatan tersebut diwujudkan dalam sebuah kelompok
pemberontak bernama Sudan People‟s Liberation Movement/Army (SPLM/A).
Dalam perkembangannya ketegangan SPLM/A dan pemerintah lebih didasari
oleh permasalahan ekonomi mengenai perbedaan persepsi tentang kepemilikan
minyak dan mineral di wilayah Sudan Selatan (Scopas S. Poggo, 2009: 157).
Konflik yang berkembang tidak hanya antara pemerintah dan SPLM tetapi
juga konflik antar penduduk muslim di Darfur karena penduduk Darfur merasa
pemerintah Sudan mendiskriminasi penduduk muslim Arab dengan muslim Non
Arab di Darfur antara, dengan menganggap penduduk muslim Non Arab di Darfur
sebagai teroris. Sehingga akhirnya konflik berkembang di Dafur menjadi konflik
ras antara kelompok etnis Fur, Zaghawa, dan Massaleit yang merupakan muslim
Non Arab melawan etnis Arab (Amir H. Idris, 2005: 78).
Berdasarkan pemaparan tersebut, permasalahan yang dibahas lebih lanjut
adalah implikasi hukum yang timbul dari suksesi negara Republik Sudan Selatan
commit to implikasi
dari Republik Sudan. Karena pelaksanaan user hukum suksesi negara yang

xv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip hukum internasional berhubungan


langsung dengan kedaulatan suatu negara. Sehingga Penulis meneliti secara
komprehensif terkait implikasi suksesi negara yang ditimbulkan dari proses
suksesi negara Republik Sudan Selatan dilihat dari Hukum Internasional terutama
pada ketentuan dan prinsip-prinsip Hukum Internasional dengan batas waktu
penelitian hingga 5 Mei 2012. Sehingga Penulis memaparkannya ke dalam suatu
Penulisan hukum yang berjudul : “ANALISIS IMPLIKASI HUKUM SUKSESI
NEGARA REPUBLIK SUDAN SELATAN DITINJAU DARI HUKUM
INTERNASIONAL”.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang Penulis paparkan dan agar
permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan mencapai tujuan yang Penulis
harapkan, maka perlu adanya perumusan masalah. Adapun perumusan masalah
penelitian ini yaitu :
“Bagaimana implikasi hukum suksesi negara Republik Sudan Selatan dari
Republik Sudan ditinjau dari Hukum Internasional?”

C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu: tujuan
obyektif dan tujuan subyektif. Tujuan obyektif merupakan tujuan penelitian itu
sendiri, sedangkan tujuan subyektif berasal dari peneliti. Tujuan obyektif dan
subyektif dalam penelitian ini adalah :
1. Tujuan obyektif
Tujuan obyektif penelitian hukum ini adalah untuk mengetahui sejauh mana
implikasi hukum suksesi negara Republik Sudan Selatan ditinjau dari Hukum
Internasional.
2. Tujuan subjektif
a. Memenuhi persyaratan akademis guna menyelesaikan program studi ilmu
hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
commit to user

xvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Mengetahui pengaturan suksesi negara dalam instrumen-instrumen Hukum


Internasional
c. Memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan Penulis dalam
mengkaji masalah di bidang Hukum Internasional.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Penulisan hukum ini Penulis harapkan mampu memberikan manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan
Hukum Internasional pada khususnya.
b. Memberi sumbangan pemikiran mengenai prosedur dan akibat hukum yang
timbul dari suksesi negara untuk predecessor state dan successor state.
c. Memberi sumbangan pemikiran dalam ranah Hukum Internasional.
2. Manfaat praktis
a. Untuk memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti.
b. Untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir dinamis
sekaligus mengetahui kemampuan Penulis dalam menerapkan ilmu yang
diperoleh.

E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisisnya.
Metode penelitian merupakan suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam
penelitian dan penilaian. Metode penelitian penulisan hukum ini adalah sebagai
berikut :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam Penulisan hukum ini adalah
penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan yaitu penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder
commit
yang terdiri dari bahan hukum to user
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan

xvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

hukum tersier. Bahan-bahan tersebut kemudian disusun secara sistematis,


dikaji, kemudian ditarik kesimpulan dalam hubungannya dalam masalah yang
diteliti yaitu terkait implikasi hukum dalam suksesi negara menurut hukum
internasional.
2. Sifat Penelitian
Penelitian hukum yang dilakukan Penulis bersifat deskriptif. Penelitian
deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu,
keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran
suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala
dengan gejala lain dalam masyarakat (Amiruddin & Zainal Asikin, 2004: 25).
Dalam Penulisan ini, Penulis bertujuan untuk menggambarkan mengenai secara
tepat keadaan pelaksanaan mengenai implikasi hukum dalam suksesi negara
Republik Sudan Selatan dari Republik Sudan yang sesuai menurut hukum
internasional.
3. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute
approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Menurut Peter
Mahmud Marzuki, pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2010: 93).
Sedangkan pendekatan konseptual digunakan untuk membangun konsep untuk
dijadikan acuan di dalam penelitian manakala peneliti tidak beranjak dari
aturan hukum yang ada terkait masalah yang dihadapi (Peter Mahmud
Marzuki, 2010: 137). Pendekatan konseptual digunakan Penulis untuk
mengetahui suksesi negara menurut konsep dan prinsip dasar hukum
internasional. Sedangkan pendekatan perundang-undangan ini digunakan
untuk mengkaji implikasi hukum yang timbul dari suksesi negara Republik
Sudan Selatan dari Republik Sudan.

commit to user

xviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

4. Jenis data dan sumber data


Dalam penelitian ini data yang digunakan Penulis adalah bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan
hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau
risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim
sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi (Peter Mahmud Marzuki, 2010:
141). Adapun bahan hukum primer dan sekunder tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Dalam
penelitian ini, Penulis menggunakan bahan hukum primer berupa :
1) Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of State
on 1933. Konvensi mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban
negara.
2) The Vienna Convention on Succession of State in Respect of Treaties
on 1978. Konvensi mengenai Suksesi Negara dalam Hubungan
dengan Perjanjian Internasional.
3) The Vienna Convention on Succession of State in Respect of State
Property, Archive and Debst on 1983. Konvensi mengenai Suksesi
Negara dalam tanggung jawab terhadap kekayaan negara, arsip negara
dan hutang negara.
b. Bahan hukum sekunder yang Penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
buku-buku, kamus-kamus hukum, jurnal, dan teks mengenai hukum
internasional, khususnya terkait dengan implikasi hukum dalam suksesi
negara menurut hukum internasional. Salah satu jurnal yang digunakan
penulis dalam penelitian ini adalah Secession and Voluntary Return in the
Comprehensive Peace Agreement between Northern and Southern Sudan
by Professor Dr. Issam A.W. Mohamed. Sedangkan kamus hukum yang
digunakan adalah Black Law‟s Dictionary.

commit to user

xix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

5. Teknik pengumpulan data


Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan
teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder diinventarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang
dibahas. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas
dipaparkan, disistemisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan
hukum yang berlaku (Johny Ibrahim, 2006: 296). Teknik studi pustaka yang
digunakan oleh Penulis dengan cara menginventarisasi dan klasifikasi
fenomena dan peristiwa yang terjadi dalam proses suksesi negara Republik
Sudan Selatan dari Republik Sudan dan implikasi hukumnya, ditinjau dari
konvensi-konvensi internasional terkait permasalah yang dibahas.
6. Teknik analisis data
Teknik analisis data yang akan digunakan Penulis dalam penelitian ini
adalah dengan metode deduktif, yaitu cara berpikir berpangkal pada prinsip-
prinsip dasar, kemudian penelitian menghadirkan objek yang akan diteliti yang
akan digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat
khusus. Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasalahan konkret yang dihadapi (Johny Ibrahim, 2006: 393).
Berdasar Teknik analisis bahan hukum dengan metode deduktif, maka
penulis akan berpangkal pada prinsip-prinsip dasar dalam hukum internasional
terkait dengan suksesi negara yang kemudian menghadirkan permasalah konkrit
yaitu suksesi negara negara antara Republik Sudan dan Republik Sudan Selatan
yang akan digunakan untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang
bersifat khusus yakni dalam implikasi hukum suksesi negara baik meliputi
terhadap Perjanjian internasional, hutang negara, kewarganegaraan, arsip negara,
public property, privat property, keanggotaan organisasi internasional, dan
tanggung jawab terhadap claims in tort & delict.

commit to user

xx
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

F. Sistematika Penulisan Hukum


Untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi,
penulisan hukum ini dibagi menjadi empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan
pustaka, hasil penelitian dan pembahasan, serta penutup dengan menggunakan
sistematika sebagai berikut.
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menjelaskan hal yang menjadi latar belakang Penulisan hukum
terkait fenomena suksesi negara Republik Sudan Selatan pada tanggal 9 Juli tahun
2011 dan pelaksanaan implikasi hukum suksesi negara yang sesuai dengan
ketentuan dan prinsip-prinsip hukum internasional tersebut. Bab ini juga
menjelaskan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
dan sistematika Penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan bahan kepustakaan yang digunakan berupa teori-teori
pendukung penelitian dan pembahasan masalah menjadi dasar pijakan Penulis
untuk meneliti masalah agar penelitian ini dapat dipastikan kevaliditasnya terkait
suksesi negara Republik Sudan Selatan menurut perspektif hukum internasional.
Bab ini disajikan menjadi dua sub bab, yaitu pemaparan dalam kerangka teori dan
pemaparan dalam kerangka pemikiran. Kajian teoritis dalam tinjauan pustaka
meliputi, antara lain: (1) Tinjauan umum negara, terdiri dari: pengertian dan
unsur-unsur negara, pengertian self determination, proses terbentuknya negara,
dan hak dan kewajiban negara; (2) Tinjauan tentang suksesi negara, terdiri dari:
pengertian suksesi negara, macam-macam suksesi negara, prinsip-prinsip suksesi
negara, akibat hukum yang timbul dalam suksesi negara.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini menyajikan jawaban dari rumusan masalah berupa hasil penelitian
sekaligus pembahasan terkait suksesi negara Republik Sudan Selatan pada tanggal
9 Juli 2011 dan pelaksanaan implikasi hukum suksesi negara yang sesuai dengan
ketentuan dan prinsip-prinsip hukum internasional.

commit to user

xxi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV PENUTUP
Bab ini menjelaskan simpulan dari hasil penelitian dan pembahasan yang
diperoleh dari analisis yang bersumber pada hukum internasional maupun konsep
dalam hukum internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar pustaka berisi berbagai sumber pustaka yang dikutip dalam
Penulisan hukum ini.

commit to user

xxii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori
1. Tinjauan umum negara
a. Pengertian dan unsur-unsur negara
Negara adalah salah satu subjek hukum internasional dan merupakan
subjek hukum yang pertama dan utama, baik ditinjau secara historis
maupun secara faktual. Dalam United Nations Convention on
Jurisdictional Immunities of States and Their Property tahun 2004 yang
mengatur mengenai hilangnya imunitas negara ketika terjadi pelanggaran
HAM yang berat dalam Pasal 2 paragraf 1 (b) memberikan definisi
mengenai negara, (Gerhard Hafner, 2006: 2) yaitu:
“i. the State and its various organs of government;
ii. constituent units of a federal State or political
subdivisions of the State, which are entitled to perform
acts in the exercise of sovereign authority,and are acting
in that capacity;
iii. agencies or instrumentalities of the State or other
entities, to the extent that they are entitled to perform and
are actually performing acts in the exercise of sovereign
authority of the State;
iv. representatives of the State acting in that capacity;”

Menurut konvensi ini, pengertian bahwa organ dari negara berdaulat


adalah pemerintah. Pemerintah tersebut terdiri dari eksekutif, legislatif dan
yudikatif. Pengertian atau definisi mengenai suksesi negara menurut
Black‟s Law Dictionary adalah The political system of a body of people
who are politically organized; the system of rules by which jurisdiction
and authority are exercised over such a body of people (Garner Bryan,
2009: 1537) definisi ini menyatakan bahwa negara sebagai sebuah
organisasi politik yang memiliki jurisdiksi dan otoritas yang dimiliki
sekelompok orang tertentu yang dikenal dengan istilah pemerintah. Unsur-
unsur negara dalam Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention on
commit to user
Rights and Duties of State on 1933 (Huala Adolf, 2010: 9) meliputi:

xxiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

“ the state as a person of internationallaw should prossess the following


qualification:
a) A permanent population;
b) A defined territory;
c) A government; and
d) A capacity to enter into relation with other states.”

Berikut ini adalah uraian unsur-unsur negara menurut Pasal 1


Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of State on
1933 yaitu:
1) Penduduk tetap
Adanya penduduk tetap artinya sekumpulan manusia yang hidup
bersama di suatu tempat tertentu sehingga merupakan satuan
masyarakat yang diatur oleh suatu tertib hukum nasional.
Dimungkinkan sekumpulan masyarakat tersebut berasal dari keturunan
yang berlainan, kepercayaan dan kepentingan yang berbeda sehingga
dapat saling bertentangan. Penduduk disama artikan sebagai warga
negara merupakan unsur pokok karena suatu wilayah yang tidak
berpenduduk tidak dapat dikatakan sebagai negara, sebab penduduk
menunjukkan adanya kondisi yang berdampingan antara pemerintah
dan masyarakat dengan berdasar eksistensi hukum nasional yang
menunjukan implikasi kedaulatan negara sehingga tercipta situasi yang
stabil. Hukum internasional tidak membatasi jumlah penduduk untuk
dapat mendirikan suatu negara (Huala Adolf, 2010: 68).
2) Wilayah atau daerah tetap
Adanya wilayah yang tetap artinya adalah memiliki batas-batas
wilayah yang jelas dengan wilayah lain. Hal ini berguna menunjukan
sejauh mana kedaulatan suatu negara tersebut dapat dilaksanakan
terhadap wilayahnya. Kemunculan unsur ini tidak terlepas dari
konsepsi negara modern berdasar Perjanjian Wesphalia tahun 1648,
perjanjian ini menyatakan bahwa kedaulatan suatu negara dapat
dilaksanakan hanya dalam batas-batas yang didasarkan pada
commit
kewilayahannya (Jawahir to user2006: 108).
Thontowi,

xxiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kepemilikan wilayah oleh suatu negara selain melalui batas-


batas wilayah dapat pula ditandai dengan adanya kontrol yang efektif
dari pemerintahan negara tersebut (Malcolm N. Shaw, 2009: 410)
pendapat ini kemudian diperkuat oleh pernyataan The German-Polish
Mixed Arbitral Tribunal dalam kasus Deutsche Continentel Gas-
Gesselschaft V. Polish State yang menyatakan bahwa kepemilikan
wilayah suatu negara dapat diketahui dari konsistensi kontol negara
terhadap wilayah tersebut, sekalipun batas wilayahnya belum
ditetapkan secara pasti (Jawahir Thontowi, 2006: 107).
3) Pemerintah yang sah dan berdaulat
Pemerintah adalah seseorang atau beberapa orang yang mewakili
rakyat dan memerintah menurut hukum negaranya. Menurut Bengt
Borms menyebutkan kriteria ini sebagai „organized government‟
(pemerintah yang terorganisasir) (Huala Adolf, 2010: 6). Artinya
sebagai subyek yang dapat memiliki hak dan dibebani kewajiban,
negara memerlukan sejumlah organ untuk mewakili dan menyalurkan
kehendaknya. Sebagai pemilik kekuasaan negara hanya melaksanakan
kekuasaan tersebut melalui organ-organnya dalam menjalankan fungsi
pemerintahan. Munculnya bentuk pemerintahan yang berbeda-beda
karena bergantung pada organ pemerintahannya masing-masing negara
(Jawahir Thontowi, 2006: 109).
Menurut Hans Kelsen, negara yang merdeka bebas dari
penguasaan negara lain adalah negara yang dapat menjalankan
kedaulatan baik di dalam negeri atau diluar batas negaranya.(Hans
Kelsen, 1949: 242). Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi dan bersifat
monopoli atau Summa Potestas atau Supreme Power yang hanya
dimiliki oleh negara (Hans Kelsen, 1949: 216). Kedaulatan teritorial
atau kedaulatan wilayah adalah kedaulatan yang dimiliki negara dalam
melaksanakan yuridiksi eksklusif di wilayahnya (Hans Kelsen, 1949:
212). Kedaulatan teritorial ini sifatnya tidaklah mutlak karena terdapat
commit to user

xxv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pembatasan-pembatasan dalam pelaksanaannya menurut hukum


internasional. Pembatasan tersebut meliputi :
a) Suatu negara tidak dapat menjalankan kedaulatannya diluar
wilayah teritorialnya yang dapat mengganggu kedaulatan negara
lain.
b) Negara yang memiliki kedaulatan teritorial berkewajiban untuk
menghormati kedaulatan teritorial negara lain.
Salah satu yang berkaitan dengan kedaulatan teritorial adalah
(servitude). Hak servitude ini lahir karena ada sifat saling
ketergantungan antar negara-negara. Servitude adalah hak suatu negara
muncul di wilayah hak-hak negara lain. Negara yang menikmati
Servitude, berhak untuk melakukan suatu perbuatan di wilayah negara
lain. Sebaliknya negara yang memiliki beban untuk memberikan
Servitude kepada negara lain berkewajiban untuk tidak menghalangi
hak-hak negara lain. contoh adalah right of innocent passage (hak
lintas damai). Oppenheim membagi servitude menjadi 4 bentuk,
(Huala Adolf, 2010: 131-133) yaitu:
a) Servitude positif : adalah member hak kepada suatu negara untuk
melaksanakan tindakan-tindakan tertentu di wilayah negara lain.
b) Servitude negatif : hak suatu negara untuk meminta Negara lain
untuk tidak melakukan sesuatau di wilayahnya.
c) Servitude militer : hak untuk tujuan-tujuan militer.
d) Servitude ekonomi : hak yang diberikan untuk tujuan perniagaan
e) Servitude untuk kepentingan internasional : hak yang lahir untuk
kepentingan masyarakat internasional.
Menurut hukum internasional kedaulatan pemerintahan
merupakan karakteristik yang dijadikan tolak ukur pembebanan dan
kemampuan pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
internasional, jadi suatu negara dapat memiliki suatu kedaulatan
pemerintahan apabila telah merdeka, karena pemerintahan harus
commit to user

xxvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terlaksana secara independen yang terlepas dari pengaruh negara


lain(Martin Dixon, 1996: 101).
Negara boneka tidak dapat digolongkan sebagai negara yang
memiliki kedaulatan pemerintahan karena pemerintahannya tidak
memiliki kontrol penuh terhadap wilayahnya (Jawahir Thontowi,
2006: 110). Kemungkinan lain adalah kondisi negara kehilangan
kemampuan kontrol secara efektif terhadap wilayahnya karena suatu
alasan tertentu misal terjadi perang saudara di negaranya, yang
menyebabkan negara tersebut kehilangan kemampuan kontrol secara
efektif. Hal ini tidak menyebabkan hilangnya status negara, karena
pemerintahan tetap memiliki kedaulatan, untuk menjalankan fungsi
pemerintahan, baik urusan dalam negeri ataupun luar negeri (Martin
Dixon, 1996: 105).
4) Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain.
Unsur ini ditentukan oleh pemerintah yang berdaulat karena
pemerintah yang berdaulatlah yang dapat menjalankan yuridiksinya
baik permasalahan dalam negeri ataupun permasalahan diluar batas
negaranya (Ian Brownlie, 2009: 221).
Di jelaskan pula dalam Pasal 1 Montevideo (Pan American)
Convention on Rights and Duties of State on 1933 bahwa yang
dimaksud dengan kedaulatan dalam permasalahan diluar batas
negaranya memiliki tiga aspek utama, yaitu:
a) Aspek eksternal terkait dalam kebebasan setiap negara untuk
secara bebas menentukan hubunganya dengan berbagai negara atau
kelompok-kelompok lain tanpa tekanan atau pengawasan dari
negara lain.
b) Aspek internal terkait dengan hak atau wewenang eksklusif suatu
negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja
lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang–undang yang
diiinginkan disertai tindakan-tindakan untuk menegakkannya.
commit to user

xxvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

c) Aspek teritorial adalah kekuasaan penuh dan eksklusif yang


dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang
terdapat di wilayah tersebut.
Munculnya kemampuan berhubungan dengan negara lain selain
berdasar pada kedaulatan, juga berdasar pada pengakuan dari negara
lain. Pengakuan adalah metode untuk menerima situasi-situasi faktual
yang kemudian diikuti oleh konsekuensi hukum (Malcolm N. Shaw,
2009: 208). Pasal 6 Konvensi Montevideo menyebutkan: The
recognition of a state merely signifies that the state which recognizes
it accepts the personality of the other with all the rights and duties
determined by international law. Recognition is unconditional and
irrevocable.
Fungsi dari pengakuan adalah untuk menjadikan negara tersebut
bagian dari masyarakat internasional artinya suatu negara yang telah
menerima pengakuan negara lain harus tunduk dengan hukum
internasional. Selain itu mengikatnya suatu hukum internasional
terhadap suatu negara hanya dapat dilakukan apabila negara tersebut
diakui dan diterima (the binding force of international law derived
from this process of seeking to be recognized and acceptance) (James
Crawford, 2006: 84). Namun, pengakuan dari negara lain tidak dapat
selalu digunakan sebagai kriteria penilaian kemampuan melakukan
hubungan dengan negara lain karena pemberian pengakuan dari
negara lain tersebut melibatkan pertimbangan politis didasarkan
kepentingan negara lain (John O‟brien, 2001: 137).
Teori pengakuan suatu negara dapat dibedakan menjadi dua
macam yaitu teori konstitutif dan teori deklaratif. Teori konstitutif
menyatakan bahwa eksistensi dari suatu negara muncul ketika negara
tersebut diakui oleh negara lain (David Raic, 2002: 31). Teori yang
kedua adalah teori deklaratif atau political act menyatakan pengakuan
dari negara lain tidak menciptakan suatu negara karena lahirnya suatu
commit to user
negara berdasarkan penerimaan fakta keberadaan negara tersebut

xxviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(James Crawford, 2006: 94). Berdasar jenis pengakuan, pengakuan


dibagi menjadi beberapa jenis yakni :
a) Pengakuan secara de facto adalah pengakuan yang diberikan
berdasarkan pertimbangan bahwa menurut negara yang mengakui
organisasi kekuasaan yang diakui, untuk sementara dan dengan
reservasi dikemudian hari, menurut kenyataannya dianggap telah
memenuhi persyaratan untuk ikut serta melakukan hubungan
internasional (Sugeng Istanto F, 1998: 24) Contoh dari pengakuan
de facto ini adalah Soviet Rusia diakui oleh Inggris secara de facto
pada tahun 1921 dan diakui secara de jure pada tahun 1924.
b) Pengakuan de jure adalah pengakuan yang diberikan berdasarkan
pertimbangan bahwa menurut negara yang mengakui organisasi
kekuasaan yang diakui dianggap telah memenuhi persyaratan
hukum untuk ikut serta melakukan hubungan internasional (Sugeng
Istanto F, 1998: 25).
c) Pengakuan prematur adalah pengakuan yang dilakukan sebelum
suatu negara tanpa lengkapnya unsur konstitutifnya (Boer Mauna,
2005: 72).
d) Pengakuan kolektif adalah pengakuan suatu negara yang
diwujudkan dalam suatu perjanjian internasional misalnya Helsinki
Treaty tahun 1976 negara anggota NATO mengakui kedaulatan
Jerman Timur dan sebagai konsekuensinya negara yang tergabung
dalam Pakta Warsawa mengakui kedaulatan Jerman Barat (Boer
Mauna, 2005: 75).
Republik Sudan Selatan menganut Apabila dikaitkan dengan
pengakuan di Republik Sudan Selatan, maka teori pengakuan yang
berlaku adalah teori konstitutif dan jenis pengakuan de jure, hal ini
dapat dibuktikan dengan pengakuan oleh 60 negara termasuk 6
negara non-anggota PBB dan pengakuan dari Republik Sudan pada
tanggal 9 Juli 2011. Pengakuan tersebut tidak dapat ditarik kembali,
karena pengakuan commit
tersebutto user
dinyatakan secara resmi (Tesfa-

xxix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

AlemTekle. http://www.Sudantribune.com/Sudanese-presidency-
recognizes, 39471. [Diakses tanggal 28 Desember 2011]).
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa Republik Sudan
Selatan dapat diklasifikasikan sebagai subyek hukum internasional karena
Republik Sudan Selatan yang memenuhi unsur-unsur seperti yang telah
disebutkan dalam Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention on
Rights and Duties of State on 1933, yakni; Pertama, adalah penduduk
tetap, terdapat 11,000,000–13,000,000 diSudan Selatan (Sudan Tribune,
http://www.sudantribune.com/Sudan-census-committee-say,31005
[Diakses tanggal 28 Desember 2011]). Kedua, adalah wilayah yang tetap,
ditunjukan dengan adanya peta resmi dari Sudan Selatan (Sudan Tribune.
http://www.sudantribune.com/South-Sudan-s-new-official-map,42492. [
Diakses tanggal 5 Mei 2012]) . Ketiga, adalah Pemerintah yang sah dan
berdaulat karena Pemerintah yang sah adalah pemerintah yang dapat
menjalankan kedaulatannya baik di dalam negeri atau diluar batas-batas
negaranya adalah negara yang merdeka bebas dari penguasaan negara lain.
Keempat, adalah Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan
negara lain, dibuktikan dengan pengakuan oleh 60 negara termasuk 6
negara non-anggota PBB dan pengakuan dari Republik Sudan pada
tanggal 9 Juli 2011. Pengakuan tersebut tidak dapat ditarik kembali,
karena pengakuan tersebut dinyatakan secara resmi (Tesfa-AlemTekle.
http://www.Sudantribune.com/Sudanese-presidency-recognizes, 39471.
[Diakses tanggal 28 Desember 2011]).
b. The right to self determination (Hak bangsa untuk menentukan nasibnya
sendiri).
Negara dibentuk berdasarkan suatu hak yang dikenal dengan hak
bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri (self determination). Ungkapan
self determination atau the right to self determination sering dipahami
sebagai hak sebuah kelompok atau bangsa untuk menentukan nasib sendiri
yang pada titik ekstrim sering dikaitkan pada konteks memperjuangkan
commit
kemerdekaan atau kelahiran to user
negara baru dan pemisahan diri dalam hal

xxx
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kewilayahan. Dalam sejarahnya, self determination muncul kepermukaan


didasarkan pada kedaulatan rakyat, yang dimulai dari Deklarasi
Kemerdekaan Amerika tahun 1776 dan Revolusi Perancis tahun 1789,
dimana pada masa itu banyak terjadi penyalahgunaan hak, seperti
menyatakan self determination tidak dimiliki oleh bangsa terjajah ataupun
kaum minoritas (Deon Geldenhuys, 2009: 29).
Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi yang terkait dengan
self determination, yakni Declaration on Granting of Independence to
Colonial Countries and Peoples on 1960. Konvensi tersebut menyatakan
bahwa self determination ditujukan pada negara-negara dan bangsa-bangsa
yang tidak memiliki kedaulatan penuh.Selanjutnya the right of self
determination juga dimuat dalam Pasal 1 The Declaration on Principles
of International Law Concerning Friendly Relations and Co-Operation
Among State in Accordance with The Charter of United Nations on 1970
yang menyatakan bahwa self determination ini tidak hanya meliputi
penjajahan oleh bangsa asing tapi juga meliputi pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) yang dilakukan oleh bangsa yang melakukan pelanggaran
terhadap bangsanya sendiri.Berdasarkan 2 deklarasi tersebut supremasi
self determination dalam hukum internasional adalah sebagai jus cogen
(Jawahir Thontowi, 2006: 145).
Terjadi perbedaan pandangan hukum internasional mengenai arti
dari self determination, setidaknya ada lima jenis penjelasan mengenai
pengertian dari self determination (Marc Weller, 2008: 24) yaitu:
a) Self determination sebagai hak asasi individu
Self determination tidak hanya dipraktekkan oleh sekelompok
orang tapi juga individu, artikan bahwa self determination dapat
dilakukan oleh individu dalam bernegara karena adanya kebebasan
untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial,ekonomi, kebudayaan dan
sistem politik di dalam negaranya. Sebagai contoh adalah hak untuk
memilih penguasa sesuai dengan pilihan individu tersebut.
commit to user

xxxi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b) Self determination sebagai hak kebebasan berserikat dan kebebasan


menentukan nasib serikatnya.
Pengertian dari Self determination sebagai hak kebebasan
berserikat dan kebebasan menentukan nasib serikatnya adalah hak
kaum minoritas untuk dilindungi haknya untuk keberadaaannya,
agamanya, dan kebudayaannya. Artinya bahwa self determination
memberikan pengakuan pada kaum minoritas yang ada di dalam suatu
wilayah negara sehingga dapat memfasilitasi perkembangan identitas
kaum minoritas dan memastikan kaum minoritas berpartisipasi dalam
kehidupan bernegara (effectively participate in all aspects of public life
within the state).
c) Self-determination dan masyarakat adat.
Self-determination, memberikan hak bagi penduduk asli untuk
mengajukan hak otonomi khusus berdasar klaim ikatan sejarah yang
ada sejak jaman dahulu. Misalnya hak otonomi khusus di bekas negara
Yugoslavia seperti Kosovo dimana mayoritas penduduknya adalah
etnis Albania yang beragama Islam.
d) Self-determination dalam perpindahan penguasaan teritorial
Perpindahan penguasaan teritorial dimaksud sebagai perpindahan
penguasaan suatu wilayah negara yang berdaulat ke negara lain, maka
penduduk diwilayah tersebut berhak untuk memutuskan tunduk pada
salah satu hukum negara dengan referendum. Contoh adalah kasus
perpindahan penguasaan Hongkong dari Inggris ke Cina pada tahun
1997, Cina membebaskan pilihan hongkong untuk tetap di bawah
kekuasaan Inggris (Steven Tsang, 2007: 255).
e) Self-determination masyarakat untuk melakukan suksesi negara
Self-determination, memberikan hak bagi masyarakat untuk
melakukan perubahan status wilayahnya berdasar kehendak
penduduk di seluruh wilayah tersebut. Jika poin a hingga d diatas
adalah hak untuk menentukan pilihan dalam bernegara secara individu,
commit to user

xxxii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan hak-hak dalam kelompok atau grup, namun dalam poin e ini
adalah hak untuk memisahkan diri dari predecessor state.
Mengenai realisasi atas the right of self determination ini secara
garis besar terbagi dalam dua kelompok. Pertama, adalah aspek eksternal
yang artinya self-determination secara eksternal terealisasi dalam suatu
bangsa dalam pelaksanaan kekuasaan yang mandiri tanpa adanya campur
tangan bangsa lain atau asing(undue interference). Sebagai contoh adalah
terbebasnya negara dari sistem pemerintah kolonial. Kedua, aspek internal
artinya suatu bangsa atau negara tidak bisa serta-merta mengklaim telah
merealisasi self-determination hanya karena terbebas dari kolonialisme
namun, dituntut pula untuk memberikan sebuah sistem politik yang
menciptakan partisipasi politik yang bebas bagi para warga negaranya.
Sebagai contoh adalah sistem pemerintah yang demokrasi (Jawahir
Thontowi, 2006: 120).
Pelaksanaan self determination tidak boleh bertentangan dengan
prinsip Integritas teritorial artinya adanya pembatasan pelaksanaan self
determination dengan tujuan menjaga persatuan suatu negara dengan
mensyaratkan bahawa pelaksanaan self determination harus disertain
kesepakatan atau persetujuan dari negara yang bersangkutan mengenai
pemberian dan pelaksanaan self determination di negara tersebut (Marc
Weller, 2008: 101).
Kesimpulan dari teori self determination adalah hak yang sangat
fundamental sebagai perwujudan dari hak asasi manusia sehingga
dimungkinkan dilakukan perluasan pengertian yang tidak hanya terbatas
pada individu namun juga kelompok masyarakat dan lingkup negara.
Namun perlu ditegaskan pelaksanaan self determination yang sesuai
dengan prinsip Integritas teritorial adalah apabila negara memberikan
kesempatan bagi warga negaranya untuk pelaksanaan self determination
melalui suksesi negara (Marc Weller, 2008: 101). Seperti dalam kasus
suksesi Republik Sudan Selatan yang diatur dan disepakati dalam
Machakos Protocol bahwacommit to user
Republik Sudan memberikan kesempatan bagi

xxxiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

warga Sudan Selatan untuk melakukan referendum guna menentukan


nasibnya sendiri.
c. Proses terbentuknya negara
Terbentuknya negara berdasar Self determination dewasa ini, dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk misalnya proklamasi kemerdekaan
negara, perjanjian internasional dan plebiscite (Burkina Faso, 1991: 35).
Proklamasi kemerdekaan suatu negara adalah pernyataan sepihak
dari suatu bangsa bahwa dirinya melepaskan diri dari kekuasaan negara
lain dan mengambil penentuan nasibnya ditangannya sendiri. Dengan
proklamasi itu bangsa tersebut membentuk organisasi kekuasaan yang
berdaulat (Istanto, F. Sugeng, 1998: 19) contoh dari proklamasi adalah
negara Republik Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya
pada tanggal 17 Agustus 1945 dari kekuasaan Jepang.
Perjanjian internasional dapat membentuk negara baru.Sebagai
contoh adalah negara-negara di Eropa Barat pasca perang dunia kedua
yang mana wilayahnya ditentukan oleh kebiasaan dimasa lampau yang
terjadi diantara mereka (David Painter.S, 1999: 1).
Plebiscite atau referendum adalah pemungutan suara rakyat di
suatu wilayah tertentu sebagai penyelesaian sengketa antar dua negara atau
lebih tentang kedudukan suatu wilayah tertentu. (Marcelo G. Kohem,
2006: 190). Contoh dari plebiscite adalah pemungutan suara di timor leste
pada 20 Mei tahun 2002 guna melepaskan diri dari Indonesia dan
pemungutan suara di Republik Sudan pada pada tanggal 9 Januari
2011 yang akhirnya menjadikan Republik Sudan Selatan.
d. Hak dan kewajiban negara
Dalam hukum internasional, pembahasan tentang hak dan
kewajiban dasar negara (fundamental rights and duties of states) telah
berlangsung lama.Pada awal abad 17, pembahasan tentang hal yang di
dasarkan pada kontrak sosial, yaitu bahwa hak seseorang dalam
masyarakat berada di luar atau terlepas dari kekuasaan negara. Dasar
commit to userkepada negara, artinya hak suatu
pemikiran ini kemudian dianalogikan

xxxiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

negara tidak dipenuhi atau terlepas dari pengaruh negara lain. Namun ada
juga yang berpendapat bahwa doktrin ini berdasar aliran hukum alam
(natural law doctrine) yang menyatakan bahwa hubungan negara sama
halnya dengan hubungan antar manusia. sehingga aliran ini berpendapat
bahwa hak-hak yang berlaku pada hubungan manusia seperti saling
menghormati, persamaan hak dan kemerdekaan berlaku juga pada
hubungan antara negara (Mohammed Bedjaoui, 1991: 44).
Menurut Schwarzenberger sebagaimana dikutip oleh J.M Ruda
menyatakan hak dan kewajiban adalah dasar atau fundamental apabila
memenuhi 3 syarat (J.M Ruda, 1987: 467) :
1) Hak dan kewajiban tersebut harus benar-benar memiliki arti yang
penting dalam hukum internasional.
2) Hak dan kewajiban tersebut mengalahkan hal-hal lainnya; dan
3) Hak dan kewajiban tersebut membentuk atau menjadi bagian penting
dari sistem yang diketahui atau yang ada sehingga apabila diabaikan
maka akan berakibat pada hilangnya karakteristik hukum
internasional.
Menurut J.G Starke yang termasuk dalam hak-hak dasar negara
adalah sebagai berikut (J.G Starke, 1989: 67) :
1) Kekuasaan untuk mengatur masalah dalam negaranya.
2) Kekuasaan untuk menerima dan mengusir orang lain.
3) Memiliki kekebalan dan hak diplomatik luar negeri;
4) Memiliki yuridiksi terhadap tindakan kriminal dan dilakukan didalam
wilayah negaranya.
Upaya masyarakat internasional dalam membahas hak (dasar)
negara terlihat dari beberapa kesepakatan-kesepakatan internasional yang
muncul (S.Tasrif, 1987: 10) :
1) American Institute of International Law (AIIL) pada tahun 1916
berhasil mengeluarkan „Declaration of The Rights And Duties Of
Nations‟.
commit to user

xxxv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2) Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of State


on 1933.
3) Rancangan Deklarasi Tentang Hak Dan Kewajiban Negara yang
disusun oleh Komisi Hukum Internasional (Internasional Law
Commission atau ILC) PBB pada tahun 1949.
Dalam penentuan hak dan kewajiban negara menemui banyak
kendala dalam hal penerimaan hak dan kewajiban oleh negara-negara.
Alasan yang menjadikan sulitnya penerimaan hak dan kewajiban dasar
oleh negara-negara disebabkan oleh dua alasan (Huala Adolf, 2010: 34) :
1) Sulit untuk menetapkan hak dan kewajiban apa saja yang negara-
negara di dunia milik dalam hubungannya dengan negara lain.
Kesulitan ini semata-mata karena masing-masing negara memiliki
kedaulatan penuh, termasuk kedaulatan untuk menentukan hak dan
kewajibannya sendiri dalam melakukan hubungan dengan negara lain.
2) Penentuan hak dan kewajiban suatu negara, lebih banyak terkait
dengan hubungan-hubungan kontraktual antara suatu negara dengan
negara lainnya (treaty contract daripada law making treaty). Karena
negara-negara lebih menyukai penentuan hak dan kewajiban ini
didasarkan pada perjanjian atau kontrak.
Pada 26 Desember tahun 1933 di Montevideo telah dibentuk suatu
konvensi tentang hak dan kewajiban negara-negara yang lebih dikenal
dengan Montevideo (Pan American) Convention on Rights and Duties of
State on 1933 atau dikenal dengan sebutan Konvensi Montenvideo 1933.
Prinsip-prinsip mengenai hak dan kewajiban negara menurut
Konvensi Montenvideo 1933 adalah sebagai berikut:
1) Hak – hak negara :
a) Hak atas merdeka (Pasal 1);
b) Hak untuk melaksanakan jurisdiksi terhadap wilayah, orang dan
benda yang berada di dalam wilayahnya (Pasal 2);
c) Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan
negara-negara lain commit to dan
(Pasal 5); user

xxxvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d) Hak untuk mejalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal


12).
2) Kewajiban – kewajiban negara:
a) Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-
masalah yang terjadi di negara lain (Pasal 3);
b) Kewajiban untuk tidak menggerakan penggolongan sipil di negara
lain (Pasal 4);
c) Kewajiban untuk memerlukan semua orang yang ada di wilayahnya
dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia (Pasal 6);
d) Kewajiban menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan
perdamaian dan keamanan internasional (Pasal 7);
e) Kewajiban menyelesaikan sengketa secara damai (Pasal 8);
f) Kewajiban tidak menggunakan kekuatan atau ancaman senjata
(Pasal 9 );
g) Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya Pasal diatas;
h) Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh
melalui cara-cara kekerasan (Pasal 12);
i) Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan
otikad baik (Pasal 13); dan
j) Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain
sesuai dengan hukum internasional (Pasal 14).
Dalam menentukan hak dan kewajiban negara-negara diperlukan
suatu prinsip utama dimana hal tersebut oleh O‟brien dirangkum menjadi 5
prinsip utama, diantaranya prinsip-prinsip tersebut (J. O‟brien, 2001: 560)
adalah :
1) Doktrin persamaan antar negara-negara
2) Prinsip kebebasan atau kemerdekaan antar negara-negara
3) Prinsip tidak campur tangan
4) Prisip ko-eksistensi yang damai
5) Prinsip pertahanan diri (self-defence).
commit to user

xxxvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Tinjauan tentang suksesi negara


a. Pengertian suksesi negara
Suksesi negara menurut The Vienna Convention on Succession of
State in Respect of Treaties Tahun 1978, Pasal 2 huruf (b) adalah
perpindahan suatu tanggung jawab dari satu negara ke negara lain dalam
kaitannya dengan praktek hubungan internasional dari wilayah tersebut,
sehingga dapat berupa penggabungan, perpisahan, atau pembentukan
negara baru dimana konsekuensinya adalah perubahan kedaulatan
(Malcolm N. Shaw, 2009: 675).
Dalam beberapa hal persoalan suksesi akan diputus melalui
perjanjian-perjanjian internasional. Bentuk perjanjian internasional
tersebut dapat bermacam-macam seperti perjanjian penyerahan kedaulatan
antara Predecessor state terhadap Successor state atau disebut dengan
devolution agreement (Boer Mauna, 2005: 41). Contoh prakteknya adalah
The Treaty of St. Germain tahun 1919 suatu perjanjian yang mengatur
mengenai pertanggung jawaban atas hutang-hutang public yang dilakukan
kerajaan Austro-Hungaria (O‟Connell, 1976: 178-182).
b. Macam-macam suksesi negara
Secara umum suksesi dibedakan menjadi dua bentuk (Sefriani, 2011:
294-295) yaitu :
1) Suksesi universal
Suksesi universal adalah apabila wilayah suatu negara habis
terbagi-bagi menjadi masing-masing bagian atau menggabungkan
wilayah negara tersebut dengan negara lain, sehingga suksesi dalam
bentuk ini menghilangkan internasional identity dari predecessor state,
karena seluruh wilayah predecessor state hilang menjadi successor
state. Misal wilayah Uni Soviet yang habis terbagi menjadi negara-
negara baru, dimana beberapa negara kecil melebur menjadi satu.
2) Suksesi parsial
Pada suksesi bentuk ini suatu predecessor state masih eksis tetapi
wilayahnya memisahkan commit to user
diri dan menjadi successor state dengan cara

xxxviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

memerdekakan diri atau bergabung dengan negara lain. Contoh kasus


Republik Sudan Selatan yang memutuskan untuk memisahkan diri dari
Republik Sudan. Walaupun Republik Sudan Selatan setelah
memisahkan diri dari Republik Sudan namun eksistensi Republik Sudan
sebagai predecessor state masih ada dan masih memenuhi kapasitas
sebagai subjek hukum internasional.
Menurut J.O‟brien, praktek perubahan terhadap kedaulatan dari suatu
wilayah dalam berbagai cara salah satunya dengan suksesi, dimana suksesi
juga memiliki beberapa variasi (J. O‟brien, 2001: 588) yaitu :
1) Bagian dari negara A bergabung dengan negara B atau menjadi
tergabung ke dalam beberapa negara X, Y, dan Z.
2) Bagian dari negara A menjadi negara baru;
3) Seluruh wilayah dari negara X menjadi bagian dari negara Y;
4) Seluruh wilayah negara A terbagi menjadi beberapa negara baru Y, X,
dan Z;
5) Keseluruhan bagian dari negara X membentuk dasar bagi beberapa
negara baru yang berdaulat.
c. Prinsip-prinsip suksesi negara
Dalam menentukan hak dan kewajiban negara setelah suksesi negara
dikenal beberapa teori (Sefriani,2011: 295) :
1) Common doktrine (universal doctrine)
Teori yang menyatakan setelah terjadi suksesi negara maka dengan
sendirinya hak dan kewajiban predecessor state menjadi milik
successor state.
2) Clean state doctrine
Teori yang menyatakan bahwa saat terjadi suksesi negara successor
state dinilai sebagai lembaran baru dimana segala hak dan kewajiban
dari predecessor state tidak beralih pada successor state kecuali
dikehendakinya (pick & choose).

commit to user

xxxix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3) Teori yang ditentukan The Vienna Convention on Succession of State


in Respect of Treaties on 1978 dan The Vienna Convention on
Succession of State in Respect of State Property, Archive and Debst on
1983 .
Teori yang muncul akibat reaksi keberatan dari 2 teori diatas,
sehingga diputuskan berdasar Konvensi Wina 1978 dalam kaitan
suksesi negara yang terkait dengan perjanjian internasional dan
Konvensi Wina 1983 tentang suksesi yang dikaitkan dengan state
property, arsip negara dan hutang melalui kesepakatan yang
diwujudkan dalam perjanjian peralihan devolution agreement.
d. Akibat hukum yang timbul dalam suksesi negara
1) Akibat suksesi terhadap perjanjian internasional.
Satu aspek terpenting dari suksesi negara adalah pengaruh
pergantian kedaulatan terhadap hak-hak dan kewajiban yang muncul
dari suatu perjanjian (John O‟brien, 2001: 590). Perjanjian
internasional adalah instrumen terpenting dalam pelaksanaan
hubungan internasional.
Dasar hukum untuk Akibat suksesi terhadap perjanjian
internasional adalah The Vienna Convention on Succession of State in
Respect of Treaties on 1978 dan kebiasaan internasional (Malcolm N.
Shaw, 2009: 683).
Konvensi ini mengatur mengenai beberapa konsekuensi
terjadinya suksesi terhadap perjanjian internasional yang tergantung
mengenai substasi perjanjiannya yaitu:
a) Perjanjian mengenai hak atas wilayah atau disebut dispositive
treaty, berlaku mengikuti wilayah, artinya tidak mengikuti
perubahan kekuasaan atau kedaulatan terhadap wilayah sehingga
perjanjian yang substansinya mengenai perbatasan tidak dapat di
ganggu gugat oleh Rebus sic stantibus principle (Pasal 11 dan
Pasal 12 The Vienna Convention on Succession of State in Respect
commit
of Treaties on 1978 to user62 ayat (2) Vienna Convention on
dan Pasal

xl
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

the Law of Treaties on 1969). Rebus sic stantibus principle adalah


adalah doktrin hukum yang menetapkan bahwa apabila timbul
perubahan yang mendasar dalam kenyataan-kenyataan yang ada
pada perjanjian itu diadakan yang mengakibatkan tidak tercapainya
tujuan perjanjian, maka keadaan yang demikian dapat dijadikan
sebagai alasan untuk mengakhiri atau menarik diri dari perjanjian
tersebut (Ian brownlie, 2009: 617). Berlakunya prinsip Rebus sic
stantibus principle harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
(1) Perubahan keadaan tidak ada pada waktu pembentukan
perjanjian.
(2) Perubahan tersebut adalah perihal suatu keadaan yang
fundamental bagi perjanjian tersebut.
(3) Perubahan tersebut tidak dapat diramalkan sebelumnya oleh
para pihak.
(4) Keadaan yang berubah merupakan dasar yang terpenting atas
mana diberikan persetujuan terikat negara peserta.
(5) Akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga merubah
ruang lingkup kewajibannya yang harus dilaksanakan menurut
perjanjian itu.
Praktek pelaksanaan dispositive treaty dalam suksesi Republik
Sudan Selatan berjalan sesuai ketentuan dimana Republik Sudan
Selatan tetap menghormati perjanjian perbatasan wilayah yang
dibuat oleh Republik Sudan dengan negara-negara yang berbatasan
dengan Republik Sudan (Sudan Tribune.
http://www.sudantribune.com/South-Sudan-s-new-official-
map,42492 >[ Diakses tanggal 5 Mei 2012]).
b) Perjanjian internasional yang berhubungan dengan perbatasan
wilayah yang mengikat pihak ketiga dikarenakan proses
dekolonisasi yang berakibat negara ketiga tersebut memiliki
kedaulatan di salah satu wilayah negara yang terikat perjanjian
tersebut. commit to user

xli
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

c) Perjanjian internasional mengenai persahabatan, persekutuan atau


netralisasi tidak mengikat bagi successor state.
d) Perjanjian multilateral tidak diwajibkan bagi successor state untuk
melanjutkan menjadi negara peserta, sedangkan untuk perjanjian
bilateral juga dapat berlanjut apabila kedua belah pihak setuju
untuk meneruskanya.
e) Perjanjian internasional dimana successor state tersebut merupakan
pecahan dari negara peserta atas perjanjian internasional tersebut,
maka perjanjian tersebut tetap berlaku.
f) Perjanjian mengenai HAM bersifat mengikatnya lebih komplek
dimana successor state muncul dari predecessor state yang
merupakan peserta atau pun negara yang menundukkan diri
terhadap perjanjian HAM tersebut, maka successor state hasil
pecahan predecessor state tersebut tetap dianggap sebagai negara
baru yang secara otomatis terikat dalam perjajian HAM.
2) Akibat suksesi terhadap hutang negara.
The Vienna Convention on Succession of State in Respect of
State Property, Archive and Debts on 1983 mengatur mengenai hutang
negara terdahulu terhadap negara selanjutnya. Sebagai berikut:
a) Mengenai perwarisan hutang negara dari predecessor state
menegaskan bahwa suksesi tidak akan menghilangkan kewajiban
predecessor state sebagai kreditor (Pasal 36). Hutang nasional
adalah hutang yang dimiliki pemerintah pusat sedangkan hutang
lokal adalah hutang yang dimiliki pemerintah daerah.
b) Menurut terjadinya transfer sebagai wilayah dari suatu negara
terhadap negara lain maka perhitungan dengan cara mendasarkan
pada keseimbangan atau aquitable propotion (Pasal 37).
c) Terkait dengan munculnya successor state yang menyatakan tidak
ada hutang yang terwaris tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu
antara kedua belah pihak, guna menghindari tindakan yang
commit tosuccessor
merusak prinsip kedaulatan user state tersebut (Pasal 38).

xlii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d) Mengenai masalah penggabungan hutang yang dimana hal tersebut


menjadi tanggungan successor state, asalkan merupakan sebuah
suksesi parsial dimana penghitungan penanggungan hutang oleh
successor state didasarkan pada perhitungan yang adil (Pasal 40
dan Pasal 41).
3) Akibat suksesi terhadap kewarganegaraan.
Akibat hukum terhadap nasionalitas biasanya akan mengikuti
kedaulatan (J.O‟brien, 2001: 597). Sehingga dalam suksesi negara
mengenai masalah kewarganegaraan ditentukan pada tempat
kelahiran juga tempat tinggal sehari-hari kecuali ada penolakan.
Dengan demikian, warga negara predecessor state yang tinggal
diwilayah successor state dapat memperoleh kewarganegaraan
successor state sepanjang mereka tidak menyatakan penolakan sesuai
Versailles Treaty 1919 (Sefriani, 2011: 311).
Dasar hukum lainnya adalah prinsip dalam Deklarasi HAM
Universal 1948 yang menyatakan bahwa setiap orang behak atas
nasionalitas dan Pasal 1 ayat (2) convention on the reduction of the
statelessness on 1961 yang menetapkan bahwa setiap negara
berkewajiban untuk menjamin tidak ada penduduk yang menjadi
stateless sebagai akibat adanya suksesi negara.
4) Akibat suksesi terhadap arsip negara.
The Vienna Convention on Succession of State in Respect of
State Property, Archive and Debts on 1983 mengatur mengenai arsip
negara terdahulu terhadap successor state, selanjutnya, yaitu :
a) Mengenai benda-benda yang terkait dengan nilai budaya suatu
kelompok masyarakat akan jatuh ke successor state (Pasal 29).
b) Perpisahan kepemilikan arsip negara mengikuti kepemilikan
wilayah (Pasal 30).
c) Beda dengan konsekuensi suksesi negara dimana predecessor state
telah bubar maka kepemilikian arsip yang bersifat administrasi
commit
tersebut akan menjadi miliktosuccessor
user state sedangkan, arsip yang

xliii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

yang lain akan diserahkan berdasar pertimbangan keadilan dan


keadaan yang relevan. (Pasal 31).
5) Akibat suksesi terhadap kepemilikan public property .
Secara yuridis, ada dua jenis aset pasca suksesi yakni, aset milik
pemerintah dan aset milik swasta. Pada dasarnya konsekuensi
kepemilikan public property hanya berdasar pada kebiasan
internasional dan The Vienna Convention on Succession of State in
Respect of State Property, Archive and Debts on 1983 yang pada
prinsipnya kepemilikan public property ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara predecessor state dan successor state.
Public property menurut The Vienna Convention on Succession
of State in Respect of State Property, Archive and Debst on 1983
adalah harta-harta yang berada dibawah kepemilikan lembaga-
lembaga negara atau harta negara yang diatur dalam hukum nasional.
Beberapa ketentuan mengenai public property yang diatur
dalam The Vienna Convention on Succession of State in Respect of
State Property, Archive and Debts on 1983 meliputi:
a) Harta-harta yang tak bergerak bagi negara yang baru merdeka
secara langsung akan menjadi milik successor state (Pasal 15 b),
b) Harta-harta yang bergerak yang berguna untuk kepentingan lokal,
maka akan secara langsung menjadi milik successor state (Pasal 17
ayat (1) (c)). Sedangkan untuk harta yang berada diluar wilayah
tersebut maka akan dibagi menurut prinsip keadilan. (Pasal 17
ayat (1) (c)).
6) Akibat suksesi terhadap kepemilikan privat property
Privat property adalah harta benda atau hak-hak milik
perseorangan atau perusahaan yang bukan milik negara berdasarkan
hukum nasional predecessor state (Sefriani, 2011: 305). Pada
prinsipnya suksesi suatu negara yang terjadi tidak akan mempengaruhi
kepemilikan atas privaty property, sehingga hak atas privat property
tidak akan berpindah commit to user state. Apabila successor state
pada successor

xliv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ingin mengambil alih kepemilikian dari privat property harus


memberikan kompensasi kepada pemiliknya.
Beberapa prinsip yang berlaku pada privat property ialah
sebagai berikut :
a) Pada prinsipnya successor state wajib menghormati ketentuan
privat property yang telah diperoleh oleh hukum predecessor state;
b) Kelanjutan hak atas privat property tetap berlaku asalkan belum
ada undang-undang negara successor state yang membatalkan hak
tersebut;
c) Perubahan atas privat property tidak boleh bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban internasional;
d) Dalam pelaksanaan privat property diperlukan pengaturan khusus
karena ruang lingkup privat property yang luas.
7) Akibat suksesi terhadap keanggotaan dalam organisasi internasional.
Ada beberapa prinsip yang diatur oleh The sixth (legal)
Committee yang merupakan bagian dari Majelis Umum PBB mengenai
persoalan suksesi dan keanggotaan organisasian internasional, yang
menyebutkan sebagai berikut:
a) Keanggotaan dari PBB tidak berhenti oleh karena hanya
disebabkan oleh perubahan dan pergantian konstitusi atau
perbatasan, kecuali itu diperlukan pula mengenai personalitas
hukumnya.
b) Dalam hal ini successor state menjadi negara baru maka negara
tersebut diharuskan mengikuti aturan sebagaimana layaknya negara
baru yang ingin menjadi negara anggota kecuali ada izin sesuai
dengan ketentuan yang terdapat dalam piagam.
Keanggotaan Republik Sudan Selatan dalam organisasi
internasional dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Majelis Umum
PBB. Contoh pada saat Republik Sudan Selatan ingin bergabung
menjadi anggota PBB, dimana Republik Sudan Selatan tetap harus
commit to userbaru menurut pengaturan PBB,
menjalani prosedur keanggotaan

xlv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

walaupun predecessor state-nya Republik Sudan telah menjadi negara


anggota PBB.
8) Akibat suksesi terhadap keanggotaan terhadap claims in tort dan delict.
Prinsip yang umum berlaku dalam masalah ini adalah bahwa
successor state dipandang tidak berkewajiban untuk menerima
tanggung jawab akibat Claims In Tort dan Delict yang dilakukan oleh
predecessor state, baik dalam kasus suksesi negara karena penaklukan
(aneksasi) ataupun berintegrasi secara sukarela. Ditambah lagi dalam
pengadilan secara tegas menyatakan bahwa sesuatu negara yang
memperoleh daerah dengan penaklukan, tidak sekali-kali wajib
mengambil tindakan-tindakan tegas untuk memperbaiki suatu
kesalahan yang mungkin telah dilakukan oleh predecessor state-nya.
Misal adalah Putusan pengadilan internasional dalam kasus Robert E.
Brown tahun 1923. Brown adalah warga amerika dan seorang insinyur
yang mengajukan gugatan terhadap instansi di Republik Afrika
Selatan, yang kemudian gugatanya kandas karena Republik Afrika
Selatan menjadi kekuasaan Inggris melalui Boer war (Reports Of
International Arbitral Awards. 2006: 11).

B. Kerangka Pemikiran

Suksesi Negara

General principle dalam


Hukum Internasional

Suksesi Negara Republik Sudan


Selatan dari Republik Sudan

Implikasi
commit toHukum
user

xlvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Keterangan :
Suksesi negara merupakan salah satu cara terbentuknya suatu negara. Proses
suksesi negara merupakan perpindahan suatu tanggung jawab dari satu negara ke
negara lain dalam kaitannya dengan praktek hubungan internasional dari wilayah
tersebut. Sehingga yang berhubungan dengan suksesi dapat berupa penggabungan,
pemisahan, atau pembentukan negara baru dengan konsekuensinya adalah
perubahan kedaulatan.
Dalam hukum internasional pengaturan mengenai suksesi diatur dalam
sumber-sumber hukum internasional, meliputi; Montenvideo Convention on
Rights and Duties of States of 1933 Konvensi mengenai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban Negara, The Vienna Convention on Succession of State in Respect of
Treaties on 1978 Konvensi mengenai Suksesi Negara dalam Hubungan dengan
Perjanjian Internasional dan The Vienna Convention on Succession of State in
Respect of State Property, Archive and Debst on 1983 Konvensi mengenai
Suksesi Negara dalam tanggung jawab terhadap kekayaan negara, arsip negara
dan hutang negara.
Pada tanggal 9 Juli tahun 2011 telah resmi terbentuknya negara baru yakni
Republik Sudan Selatan yang melalui suksesi negara terhadap Republik Sudan
dimana hal ini didasarkan dari hasil referendum. Republik Sudan Selatan pada
saat ini merupakan negara termuda di dunia dan anggota termuda di PBB pada
tanggal 14 Juli tahun 2011.
Republik Sudan Selatan merupakan contoh nyata pembentukan negara
melalui suksesi. Penulis tertarik melakukan penelitian terhadap implikasi hukum
internasional pada Republik Sudan Selatan sebagai sucessor state dan Republik
Sudan sebagai predecessor state sebagai akibat suksesi negara.
Berdasarkan analisis dan pengkajian tersebut bertujuan mengetahui
mengenai implikasi hukum yang ditimbulkan dari suatu proses suksesi negara
antara predecessor state dan sucessor state menurut ketentuan dalam hukum
internasional terhadap perjanjian internasional, hutang negara, kewarganegaraan,
arsip negara, public property, privat property, keanggotaan organisasi
internasional, dan tanggung jawabcommit to claims
terhadap user in tort & delict.

xlvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian
1. Gambaran umum Republik Sudan
Sudan, atau yang memiliki nama resmi Republik Sudan, adalah salah
satu negara yang terletak di Afrika Utara (Afrika Timur Laut). Republik Sudan
merdeka dari Inggris pada tanggal 1 Januari tahun 1956 (LB Lokosang, 2010:
17).
Data mengenai Republik Sudan dari segi geografisnya (Kementrian Luar
Negeri, http://www.kemlu.go.id/khartoum/ Pages/ Country Profile.aspx?
IDP=2&l =id. [Diakses tanggal 12 Agustus 2011]) adalah sebagai berikut :
letak dan luas wilayah Sudan terletak di bagian timur laut benua Afrika,
terbentang antara 4º dan 23º lintang utara, serta 22º dan 38º bujur timur. Sudan
merupakan negara terluas di benua Afrika atau sekitar 1,25% lebih besar dari
wilayah Amerika Serikat. Total wilayah Sudan mencakup 2.505.810 km² ( + 1
juta mil²) dan merupakan 8,3% dari seluruh luas benua Afrika. Luas wilayah
laut dan sungai 129,810 km² dan luas daratan 2.376.000 km². Aliran sungai Nil
Putih dan sungai Nil Biru yang bertemu di kota Khartoum dan melintasi
wilayah Sudan menyediakan sumber air yang tiada henti sepanjang tahun, baik
untuk keperluan air minum, pertanian maupun pembangkit listrik. Ibukota
Republik Sudan terletak di Khartoum. Total Perbatasan Republik Sudan adalah
7,687 km termasuk garis pantai Laut Merah 853 km. Republik Sudan
berbatasan langsung dengan 9 negara, yaitu: Mesir (1.273 km), Libya (383
km), Chad (1.360 km), Republik Afrika Tengah (1.165 km), Republik
Demokrasi Congo (628 km), Uganda (435 km), Kenya (232 Km), Ethiopia
(1.606 km) dan Eritrea (605 km). Dari 9 negara tersebut terdapat 5 negara
land-lock, yaitu Chad, Afrika Tengah, Congo, Uganda, dan Ethiopia.
Data mengenai populasi penduduk, dan sistem pemerintahan Republik
Sudan (CIA The World Fact Book,
commit to user
http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/su.html.

xlviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

[Diakses tanggal 5 Juni 2011]) sebagai berikut: Pada Juli 2008 diperkirakan
sebesar 40.218.455 jiwa Jumlah penduduk Republik Sudan pada tahun 2009
berjumlah 41,381,72141,2 juta jiwa dengan tingkat pertumbuhan populasi rata-
rata 2,14%, tingkat kelahiran 34,53 per 1.000 populasi dan tingkat kematian
8,97 per 1.000 penduduk. Penduduk negara bagian Khartoum sekitar 7 juta
jiwa sedangkan ibukota Khartoum saja sekitar 2,5 juta jiwa. Penduduk
Republik Sudan terdiri atas berbagai kelompok/etnis yaitu etnis Afrika kulit
hitam 52%, Arab 39%, Beja dan Nubian 6%, orang asing 2% dan lain-lain 1%.
Mayoritas penduduk menganut agama Islam aliran Sunni khususnya di wilayah
utara, sedangkan di wilayah Selatan mayoritas menganut Anismisme 25% dan
5% memeluk agama Kristen.
Presiden Republik Sudan adalah pemegang otoritas sistem pemerintahan
eksekutif, yang juga merupakan perdana menteri, kepala pemerintahan, dan
panglima angkatan bersenjata. Badan legislatif Sudan adalah The National
Assembly merupakan majelis rendah yang memiliki 450 anggota. Selain itu
juga ada majelis tinggi, yaitu Council of State, yang terdiri dari dua wakil yang
ditunjuk dari setiap 26 provinsi. Pada bidang peradilan, Republik Sudan
memiliki pengadilan tinggi, Menteri Kehakiman, pengacara umum, dan
pengadilan umum atau khusus. Di bidang divisi sub administratif, tiap provinsi
dikepalai oleh seorang gubernur yang ditunjuk oleh presiden bersama dengan
kabinet negara dan majelis legislatif Negara.
Data mengenai Bahasa Resmi dan Struktur pemerintahan Republik
Sudan untuk periode 2005 – 2011 (Kementrian Luar Negeri,
http://www.kemlu.go.id/khartoum/ Pages/ Country Profile.aspx? IDP=2&l =id.
[Diakses tanggal 12 Agustus 2011]) sebagai berikut: Bahasa resmi yang
digunakan adalah bahasa Arab, dan juga menggunakan bahasa suku mereka
seperti Nubian, Beja, Ta Bedawie, Fur, Nuban, dan juga dialek Nilotic dan
Nilo-Hamitic, disamping itu Bahasa Inggris juga digunakan secara luas di
kalangan pejabat pemerintah, dunia usaha dan akademik, serta di wilayah
Sudan Selatan.
commit to user

xlix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pada periode 2005 – 2011,Sudan menerapkan struktur pemerintahan


adalah federasi dan transisi berdasarkan Konstitusi Transisi yang dibuat sesuai
CPA (Comprehensive Peace Agreement). Pemerintahan ini menganut asas
koalisi demokrasi dan terdiri dari National Congress Party (NCP), Sudan
People's Liberation Movement (SPLM) dan partai-partai politik (di wilayah
utara dan selatan) yang resmi tercatat dalam badan pencatatan partai politik.
CPA dan Konstitusi Transisi merupakan dasar hukum utama bagi seluruh
kebijakan pemerintahan pusat dan daerah. Selama masa transisi, pemerintahan
pusat/ federasi memberikan hak otonomi penuh kepada Sudan Selatan. Sudan
Selatan dikepalai oleh seorang putra daerah sebagai Kepala Pemerintahan. 6
negara bagian di wilayah Sudan selatan kini disatukan selama pemerintahan
transisi. Sudan Selatan diper-kenankan memiliki konstitusi tersendiri yang
berbeda dengan konstitusi di Utara. Sistem perundang-undangan yang berlaku
di Sudan selama masa transisi terdapat dua sistem yaitu di Utara menganut
sistem Islamic Law dan di Sudan Selatan menganut sistem conventional dan
sekularisme. Sistem yang berlaku di ibukota Khartoum sebagai kota nasional
masih menjadi polemik hingga saat ini . Lembaga Eksekutif berdasarkan CPA
dan Konstitusi Transisi terdiri dari dua: pemerintahan pusat/federasi dan
pemerintahan negara bagian. Presiden Omer Hassan Ahmed El Bashir dibantu
oleh dua Wakil Presiden: Ali Osman Mohamed Taha (Wapres dari Utara) dan
Salva Kiir Mayardit (Wapres I dari Selatan). Kabinet terdiri dari menteri-
menteri yang berasal dari Sudan Selatan dan Utara mewakili partai-partai yang
ada. Pembagian jatah dalam lembaga eksekutif dibagi sesuai CPA, 50% untuk
NCP, 30% SPLM dan 20% untuk partai-partai lainnya dari Utara dan Selatan.
Lembaga Legislatif selama masa transisi terdiri dari Parlemen Nasional,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Legislatif di setiap negara bagian.
Parlemen Nasional dan Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga
legislatif tertinggi yang anggotanya berasal dari partai-partai dan kelompok
yang dibagi sesuai CPA dan Konstitusi Transisi. Parlemen Nasional
beranggotakan 450 orang termasuk 50 anggota Dewan Perwakilan Daerah dari
25 negara bagian dan 2 orangcommit to user Abyei daerah perbatasan Sudan
dari wilayah

l
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Utara dengan Sudan Selatan. Pembagian kursi di Parlemen sebagai berikut;


234 kursi untuk NCP (ruling party), 126 SPLM, 63 untuk parpol Utara dan 27
kursi untuk parpol Sudan Selatan. Masa bakti anggota parlemen dimaksud
berlangsung selama 3 tahun dan akan diadakan kembali pemilihan anggota
setelah masa tugas selesai. Anggota Dewan Legislatif negara bagian di Sudan
Selatan dibagi dalam komposisi 65% SPLM dan 35 % NCP.
Sudan merupakan negara yang bergabung dengan berbagai organisasi
internasional (CIA The World Fact Book,
http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/su.html.
[Diakses tanggal 5 Juni 2011]) seperti: UN (United Nations), IMF
(International Monetary Fund), WHO (World Health Organization), WIPO
(World Intellectual Property Organization), WTO (World Trade
Organization), UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees),
UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization),
UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development).
2. Proses suksesi negara Republik Sudan
a. Pemberontakan yang terjadi di Republik Sudan
Kemerdekaan pada tanggal 1 Januari 1956 untuk Sudan ternyata tidak
membawa Sudan pada kesatuan negara yang lebih utuh. Karena setelah
kemerdekaan tersebut muncul suatu gerakan pemberontak warga Sudan
Selatan yang menentang pemerintah pusat Sudan. Gerakan pemberontak
bernama Equatoria Corps yang dikenal sebagai The Torit Mutiny
merupakan pelopor munculnya gerakan pemberontak warga Sudan Selatan
yang menentang pemerintah pusat Sudan.
Awalnya The Torit Mutiny adalah gerakan pemberontakan yang
berskala kecil, dan tidak membawa perubahan yang signifikan di Sudan
sehingga dianggap serangan pemberontakan hanya berlangsung selama
berminggu-minggu saja. Tapi kenyataannya The Torit Mutiny menjadi
gerakan yang telah memberikan inspirasi bagi warga negara Sudan Selatan
untuk ikut serta. The Torit Mutiny telah memberikan gambaran kepada
commit toSudan
pemerintah Sudan bahwa mayoritas user Selatan tidak menyetujui sistem

li
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pemerintahan yang di terapkan saat itu. The Torit Mutiny telah


berkembang menjadi kelompok pemberontak karena besarnya partisipasi
warga Sudan Selatan dalam gerakan ini termasuk para pelajar dari Sudan
Selatan.
Konflik Senjata pertama di Sudan yang disebut perang Anya Nya
pertama terjadi pada tahun 1955-1972. Konflik ini bermula pada The Torit
Mutiny yang membentuk pasukan gerilya yang dinamai Anya Nya. Dalam
Persediaan persenjataan, pasukan gerilya Anya Nya selalu menjarah
bantuan persenjataan yang dikirim oleh negara-negara Arab dan Afrika
untuk mendukung gerakan Simba di Kongo(Scopas Odrande,
http://www.Sudanvisiondaily.com/modules.php?name= News
&file=print&sid=3171. [ Diakses tanggal 24 desember 2011]).Pasukan
gerilya Anya Nya ini telah berlangsung selama beberapa tahun, yakni dari
tahun 1963-1969. Namun, karena dalam perkembangannya, banyak
bermunculan pasukan pemberontak yang tidak mewakili satu suara, maka
menimbulkan kesulitan pada upaya persatuan dan negosiasi. Karena
dalam prakteknya pasukan pemberontak tersebut masih terpengaruh oleh
faktor etnis, budaya dan kepentingan masing-masing kelompok (Douglas
H Johnson, 2003: 35).
Pada Januari 1971, Akhirnya seorang bernama Joseph Lagu yang
merupaka mantan letnan tentara Sudan, mengumpulkan dan menyatukan
semua kelompok gerakan pemberontakan ke dalam sebuah gerakan yang
disebut SSLM (Southern Sudan Liberation Movement). SSLM memiliki
struktur komando yang terstruktur yang ditandai dengan tersedianya
pasukan persenjataan, dan perluasan operasi yang dilaksanakan sebagai
gambaran kekuatan militer, sehingga SSLM diakui sebagai belligerent.
Perkembangannya gerakan ini berhasil melakukan berbagai macam
negosiasi dengan pihak pemerintahan pusat.
Pada tahun 1972, tercapai perjanjian antara pemerintahan pusat dan
SSLM (Southern Sudanese Liberal Movement) yakni The Addis Ababa
commit to user
Agreement on 1972, ditandatangani oleh presiden Sudan saat itu yaitu

lii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Presiden Jafaar Muhammad An-Numeiry dan Joseph Lagu dari Anya Nya,
yang pada akhirnya membawa akhir dari perang sipil pertama di Sudan
(1955-1972). Bargaining power dalam perjanjan ini adalah memberikan
Sudan Selatan otonomi daerah, yaitu otoritas untuk menjalankan
pemerintahan di daerah tersebut. Namun, pada kenyataanya Addis Ababa
Agreement hanya merupakan solusi jangka pendek dari konflik yang telah
berlangsung puluhan tahun.
Banyak pelanggaran Addis Ababa Agreement oleh pemerintah pusat
Sudan karena Intergrasi yang dipaksakan. Pertama mengenai Integrasi unit
militer nasional yang menghasilkan banyak kecurigaan. Dalam Addis
Ababa Agreement, pasukan militer menjadi topik pembahasan utama yaitu
tentara Sudan Utara, Sudan Selatan, serta tentara nasional (yang terdiri dari
pasukan kedua pihak). Diusulkan untuk tetap menjaga keamanan Sudan
Selatan, dari kemungkinan serangan dari Sudan Utara. Usulan tersebut
tidak disepakati oleh kedua belah pihak, maka diterapkanlah suatu
integrasi militer, di kedua wilayah (Sudan Utara dan Sudan Selatan), yang
terdiri dari jumlah pasukan yang seimbang jumlahnya, antara pasukan
Sudan Utara dan Selatan (Alistair Boddy-Evans,
http://africanhistory.about.com/od/glossarya2/g/1972-Addis-Ababa
Agreement.htm. [Diakses tanggal 29 desember 2011]).
Dalam Addis Ababa Agreement, proses integrasi militer ini
berlangsung selama 5 tahun. Setelah 5 tahun, integrasi militer tidak juga
ditemukan. Bisa dilihat bagaimana masih banyak mantan pemberontak
yang tidak diterima ataupun tidak mau menjadi bagian dari pasukan militer
nasional, sehingga mengasingkan diri ke tempat yang tersembunyi.
Kenyataan bahwa beberapa petinggi-petinggi pasukan gerilya mendapat
jabatan yang rendah dalam pasukan militer nasional yang baru saja
terbentuk juga telah mengurangi insentif para gerilya tersebut untuk ikut
serta menjadi bagian dari militer. sehingga sangat jelas bahwa Addis
Ababa Agreement dari segi integrasi militer telah gagal menyelesaikan
masalah. commit to user

liii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kedua adalah hak otonomi daerah untuk Sudan Selatan untuk


mengembangkan perekonomian regionalnya sendiri, serta mendapatkan
bantuan perkembangan berupa insentif finansial untuk Sudan Selatan.
Namun, tidak satupun yang terealisasi (Global Security,
http://www.Globalsecurity.org /military/world/war/Sudan-civil-war1.htm.
[Diakses tanggal 28 Desember 2011]). Ketiga adalah proyek
perkembangan ekonomi yang telah dijanjikan oleh Sudan Utara gagal
diaplikasikan pasca Addis Ababa Agreement. Bahkan selama 11 tahun
otonomi daerah tersebut, Sudan Selatan telah diabaikan oleh Sudan Utara
untuk pemberian kesempatan perkembangan ekonomi yang setara dengan
Sudan Utara.
Kesimpulannya adalah pelaksanaan Addis Ababa Agreement yang
tidak sesuai harapan Southern Sudan Liberal Movement (SSLM). Karena
yang menjadi harapan sebenarnya dari Addis Ababa Agreement oleh
SSLM adalah sistem federalisme sebagai bentuk negara Sudan, sehingga
Sudan Selatan memiliki hak untuk mengembangkan wilayahnya sendiri,
dan menentukan beberapa kebijakan khusus Sudan Selatan untuk
mengatasi kebijakan Sudan Utara yang tidak sepaham dengan Sudan
Selatan, kenyataannya tidak satupun terlaksana (Izzadine Abdul Rasoul,
http://www.Sudantribune.com/At-last-the-NCP-appears-onits,3585 1
#forum96590. [Diakses tanggal 28 Desember 2011]).
Perang sipil kedua di Sudan pecah pada tahun 1983 - 2005. Pada saat
itu pemerintah Sudan di bawah kepemimpinan Jafaar Numeiri. Masa
pemerintahan Numeiri merefleksikan masa kejatuhan ekonomi paling
mengkhawatirkan di Sudan. Hingga akhirnya Jafaar Numeiri di kudeta
tahun 1985 (Human Rights First, http://www. Human rightsfirst.org/our-
work/crimes-against-humanity/Sudan-timeline/. [Diakses tanggal 25 Juni
2011]).
Latar belakang pecahnya perang sipil kedua di Sudan disebabkan oleh
beberapa alasan. Pertama tidak tercapainya integritas militer, otonomi
commitdito Sudan
dalam berbagai bidang esensial user Selatan dan tidak memberikan

liv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

bantuan pengembangan seperti kesepakatan Addis Ababa Agreement.


Kedua kebijakan pemerintahan Numeiri yang menerapkan Islamisasi
(penyebaran agama Islam), termasuk dalam hukum yang disebut
„September law‟. September law merupakan sebuah hukum yang
menyebarluaskan ideologi Islam melalui pengaplikasian Syariah Law/
Hukum Syariah. Hukum syariah ini diaplikasikan bukan hanya di daerah
Sudan Utara yang mayoritas penduduk adalah Islam, tetapi juga di Sudan
Selatan, yang memiliki kepercayaan yang berbeda masalah agama (Peter
Woodward, 1990: 123).
Melalui hukum syariah ini, ribuan hukuman pemukulan, amputasi,
bahkan sampai eksekusi dilakukan oleh pihak yang berwenang, sebab
melakukan kejahatan yang dilarang oleh agama Islam. Pelaksanaan
September law ini mendapatkan banyak protes dari kaum non-Muslim
ataupun komunitas Muslim sekular di Sudan Utara. Namun penerapan
Hukum Syariah ini tidak pernah dihentikan. Bahkan pemerintahan
selanjutnya tidak pernah menghapuskan September law, hanya mengubah
metode pengaplikasian dari September law tersebut (Eric Hooglund,
http://lcweb2.loc.gov/frd/cs/sdtoc.html. [Diakses tanggal 26 september
2011]).
Sebagai Reaksi dari September law, pada tahun 1982 terbentuklah
Southern People‟s Liberation Army/Movement (SPLA/M), yang berada
dalam komando John Garang. SPLA/M membentuk sebuah strategi
dengan cara membuat daftar „keluhan‟, yang terdiri dari kegagalan
pemerintahan pusat, serta Addis Ababa Agreement dalam menyikapi
berbagai permasalahan.Usaha SPLA/M ditujukan untuk menemukan
potensi aliansi di masa perang nantinya, serta dapat mempersatukan
mereka dalam sebuah komando, berdasarkan kesamaan dan kepentingan.
Mengingat bahwa jumlah etnis yang kemungkinan akan bergabung, sangat
beragam (Douglas H Johnson, 2003: 75).
Pemilihan umum tahun 1986, menghasilkan Sadiq Al-Mahdi sebagai
commit
Perdana Menteri. Sejak masa to user Sadiq, faktor eksternal banyak
pemerintahan

lv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

membentuk kebijakan politik dalam negerinya. Dukungan finansial, serta


perangkat militer oleh Libya dan Amerika Serikat terus-menerus berlanjut.
Pasukan militer Sudan berada dalam posisi yang sangat kuat, disebabkan
oleh pemasukan persenjataan dan bantuan finansial tersebut. Namun
bantuan tersebut mengurangi insentif pemerintahan pusat melakukan
negosiasi ataupun perjanjian damai dengan pihak SPLA/M. (BBC News,
http://www.bbc.co.uk/news /world-africa-1409 5300. [Diakses tanggal 25
Juni 2011]).
Dalam pemerintahannya Perdana Menteri Sadiq menunjukkan
dukungannya terhadap gerakan militer/ bersenjata, dari Sudan Barat
(Darfur) dan merupakan kelompok-kelompok radikal, yaitu The Misiriyya
& Rizaiqat Baqqara Murahalin. Murahalin biasa beroperasi di Sudan
Selatan, melakukan pelanggaran hak asasi manusia seperti pembunuhan
dan penculikan. Perdagangan perbudakan saat itu kembali muncul. Wanita
dan anak-anak diculik, lalu dijual di Sudan Utara untuk menjadi budak.
Rizaiqat Baqqara Murahalin adalah salah satu kelompok radikal yang
secara langsung beradu dengan SPLA/M ,dengan memberikan dukungan
penyediaan perangkat persenjataan.
Keadaan tersebut telah melemahkan sistem pertahanan SPLA/M
secara signifikan. Perdana Menteri Sadiq memanfaatkan kondisi
melemahkan sistem pertahanan SPLA/M dengan terus melakukan
negosiasi dengan kelompok pemberontak tersebut. Di tahun 1986, Sadiq
melakukan negosiasi perdamaian dengan SPLA/M yang menghasilkan
beberapa prasyarat gencatan senjata. Diantaranya adalah penghapusan
September law, menghilangkan aliansi militer dengan Libya, serta Mesir,
dan mengadakan konferensi pembentukan konstitusi dasar. (Global
Security, www.globalsecurity.org/military/world/war/Sudan-civil-
war2.htm. [Diakses tanggal 28 Desember 2011]).
Reaksi dari negosiasi yang dilakukan oleh Sadiq adalah hilangnya
banyak dukungannya, termasuk dari pihak militer Sudan. Akibatnya
commit dan
Disintegrasi antara pemerintahan to user
militer menyebabkan kudeta militer

lvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pada Juni 1989, yang menjatuhkan Sadiq dari posisi perdana menteri yang
dipimpin Omar Al-bashiir. Kudeta berakhir dengan Omar Al-bashiir
menjadi presiden Republik Sudan (New World
Encyclopedia,http://www.newworldencyclopedia.org/entry/Sudanesecivil
war. [Diakses tanggal 26 September 2011]).
Masa kepemimpinan Omar Al-Bashiir tergolong keras. Omar, tidak
ingin melakukan rekonsiliasi dengan pihak pemberontak tersebut.
SPLA/M dihadapkan dengan serangan kekuatan militer yang terus
menerus dan razia di berbagai daerah Sudan Selatan. Sejak tahun 1989
sampai 1990, 2000 wanita dan anak-anak diculik saat razia, demi
kepentingan bisnis perbudakan di Sudan Utara (Shamanta Power,
http://www.learntoquestion.com/seevak/groups/2006/sites/Power/SP%28A
frica%29/Sudan/Time%20Line/Africa_Sudan_T/imeline.htm. [Diakses
tanggal 26 september 2011]).
Disisi lain,muncul permasalahan internal dalam SPLA/M bersumber
pada John Garang. John Garang banyak dianggap sebagian seorang
diktator dan melakukan kebijakan yang kontroversial. Ditahun 1990-1991,
mulai mucul gerakan yang mendukung kudeta John Garang yang diketuai
oleh komandan senior Riek Machar, dan lam Akol serata Rencana
menjatuhkan pemimpin SPLA/M saat itu dinamai sebagai the Nasir
Command/ Nasir Faction. Tujuan mereka adalah menjatuhkan John
Garang, sebab organisasi tersebut membutuhkan prosesi akuntabilitas
lebih, serta demokrasi dalam sistem pembuatan kebijakan dalam organisasi
SPLA/M (Korium Tong, http://www.Sudantribune.com/Min ority -tribes-
in-South-Sudan-and,7698. [Diakses tanggal 26 september 2011]).
Tahun 1990-1954, Nasir Faction ini banyak mendapatkan dukungan
dari sesama anggota SPLA/M. Nasir Faction ini bahkan melakukan
peperangan dengan pasukan SPLA/M yang diketuai oleh John Garang.
Terjadi degradasi kekuatan militer SPLA/M dari segi jumlah pasukan,
serta penguasaan wilayah (jatuh di tangan Nasir Faction pada saat
commit
peperangan terjadi). Melihat to user
potensi kekuatan Nasir Faction, yang mampu

lvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

melakukan dampak yang besar terhadap kekuatan SPLA/M, pemerintahan


Omar Al-Bashiir memberikan bantuan perangkat persenjataan kepada
Nasir Faction. Banyak nyawa yang melayang akibat peperangan antar
kedua pihak tersebut. Nasir Faction dikalahkan oleh SPLA/M dibawah
kepemimpinan John Garang. Namun gerakan separatis tersebut telah
menghasilkan berbagai perpecahan dalam kubu SPLA/M, gerakan tersebut
membuka jalan bagi Omar Al-Bashiir untuk melakukan penyerangan
terhadap SPLA/M.
Hingga Tahun 1993, pemimpin dari Ethiopia, Uganda, dan Kenya
berusaha membentuk perjanjian perdamaian dan gencatan sejata antar
kedua pihak, melalui organisasi Intergovernmental Authority for
Development (IGAD). Pada tahun 1994, IGAD berusaha mendorong
prosesi dari Declaration of Principles yang mengidentifikasi elemen-
elemen dasar dalam pembentukan perdamaian di Sudan. Pada awalnya
pemerintahan Sudan tidak menandatangani deklarasi tersebut. Namun
karena Pemerintahan Sudan menghadapi banyak kekalahan di medan
perang dari SPLA/M, maka deklarasi ditandatangan pada tahun 1997.
Deklarasi tersebut bukanlah deklarasi gencatan senjata, ataupun
perjanjian mengikat yang akan mengakhiri perang. Declaration of
Principles tahun 1994 oleh IGAD merupakan fondasi dasar, beberapa
elemen penting dalam perumusan sebuah perjanjian perdamaian di masa
depan. Beberapa poin inti dalam deklarasi tersebut, diantaranya adalah
mengakui bahwa Sudan merupakan negara multi-etnis, sehingga
membutuhkan sistem pemerintahan yang dapat menghargai kenyataan
tersebut melalui implementasi pemerintahan demokratis yang menghargai
perbedaan agama dan etnis (US Department of State,
www.africanhistory.about.com/od/Sudan/p/SudanHist3.htm. [Diakses
tanggal 26 september 2011]).
Tahun 2002, prosesi perdamaian dibawah perlindungan IGAD mulai
terlihat progress yang signifikan. Lebih tepatnya tanggal 20 Juli 2002,
aktor-aktor yang terlibatcommit
dalamto konflik
user perang sipil Sudan kedua

lviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menandatangani sebuah Perjanjian yang dikenal sebagai Machakos


Protocol, di Kenya (Government of Sudan,
http://reliefweb.int/node/106448. [Diakses 26 september 2011]). Disetujui
sebuah kerangka umum pemerintahan. Machakos Protocol terdiri dari
prinsip pemerintahan, proses transisi, serta struktur pemerintahan (United
Nations Mission in the Sudan, www.un.org/en/peacekeeping/missions
/unmis/background.shtml. [Diakses tanggal 27 september 2011])
Dalam Machakos Protocol, memberikan hak kepada Sudan Selatan
untuk menjalani sistem pemerintahan mereka sendiri, tanpa campur tangan
dari Sudan Utara. Memiliki hak untuk mengadakan referendum di masa
yang akan mendatang, untuk menentukan bagaimana nasib Sudan Selatan
nantinya. Mencari solusi yang komprehensif, serta adil dalam, dalam
mengatasi masalah ekonomi sosial yang dihadapi masyarakat Sudan.
Tidak lama setelah itu, pada Agustus 2002, pembahasan mengenai
perjanjian perdamaian dilanjutkan. Akhirnya berakhir pada
penandatanganan Memorandum of Understanding pada 15 Oktober 2002.
Tujuan penandatanganan memorandum tersebut adalah agar terjadi sebuah
situasi yang damai selama prosesi negosiasi dalam proses.
Negosiasi perdamaian terus menerus berlanjut, sampai kepada 19
November 2004. Dimana kedua pihak menandatangani sebuah deklarasi
yang memberikan komitmen kepada kedua pihak untuk melakukan
Comprehensive Peace Agreement (CPA). Januari 2005, sebuah perjanjian
perdamaian yang ditandatangani oleh pemimpin SPLA, John Garang
dengan Ali Osman Taha (wakil presiden Sudan). Perjanjian perdamaian
komprehensif tersebut menyetujui gencatan senjata antar kedua pihak.
Perjanjian tersebut berisi beberapa hal seperti tindak lanjut dari pasukan
militer setiap kubu, otonomi daerah, kekayaan minyak, isu ekonomi,
administrasi, serta pelaksanaan September law. Setelah 6 tahun
pengaplikasian perjanjian tersebut, akan diputuskan kelanjutan negara
Sudan Selatan melalui sebuah referendum pada tahun 2011, sesuai dengan
kesepakatan pada Machakoscommit to user
Protocol .

lix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Perjanjian CPA memberikan Otonomi kepada Sudan Selatan yang


bersifat sementara, sebab masyarakat Sudan Selatan akan dengan
sendirinya memilih, apakah mereka menginginkan otonomi daerah (tetap
sebagai satu negara Sudan), atau mereka ingin merdeka dari Sudan itu
sendiri, membentuk Republik Sudan Selatan. Selama 6 tahun tersebut,
penghasilan dari industry minyak yang ada di Sudan Selatan, akan dibagi
dua.Permasalahan yang paling utama dalam mendapatkan kesepakatan
adalah masalah administratif, serta penerapan hukum di Sudan selama 6
tahun tersebut. Disepakati bahwa sistem administratif akan dibelah
menjadi 70:30 (mayoritas untuk pemerintahan pusat selama pemerintahan
transisi). Kepala negara akan diduduki oleh Omar Al-Bashiir, dengan John
garang sebagai wakil dari kepala negara Sudan. Dalam perjanjian CPA,
pasukan militer dari Sudan Selatan dan utara tetap menjadi unit militer
yang terpisah satu sama lain. Langkah pertama adalah penarikan 91.000
pasukan pemerintahan dari Sudan Selatan selama 2 setengah tahun,
sedangkan pihak SPLA punya waktu 8 bulan untuk menarik pasukannya
dari wilayah Sudan Utara. Dalam perjanjian 2005, masing-masing pihak
tidak diberikan obligasi untuk menghilangkan pasukan militernya hal ini
ditujukan apabila suatu saat jika perang kembali pecah, setiap pihaknya
mampu untuk melindungi diri mereka masing-masing (CNN,
http://articles.cnn.com/2005-01-09/world/ Sudan.signing1rebel-group-
spla-darfur?s=PM:WORLD. [Diakses tanggal 6 Juli 2011]).
Sejak saat itu, perjanjian CPA diterapkan. terdapat beberapa konflik
hampir pecah namun walaupun tidak sempurna, Comrehensive Peace
Agreement telah berhasil mengakhiri perang yang berlangsung selama 21
tahun, yang mengambil 2 juta nyawa rakyat, mayoritas kematian
diakibatkan oleh kelaparan (CNN, http://articles.cnn.com/2005-01-09/
world/Sudan.signing1rebel-group-spla-darfur?s=PM:WORLD. [Diakses
tanggal 6 Juli 2011]).

commit to user

lx
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Proses referendum Republik Sudan


Tahun 2011 Proses referendum di Sudan diselenggarakan seperti yang
diatur dalam Comrehensive Peace Agreement tahun 2005. Dalam
perjanjian tersebut, rakyat Sudan Selatan diberikan 2 pilihan, antara
persatuan, atau perpisahan. Persatuan berarti Sudan Selatan akan tetap
menjadi bagian dari Sudan, diberikan otonomi daerah, serta akan terjadi
integrasi pasukan militer kedua pihak yang lebih intensif. Perpisahan
berarti Sudan Selatan akan membentuk sebuah pemerintahan yang baru,
memiliki otoritas penuh terhadap wilayah mereka, dan kemungkinan besar
tidak akan ada campur tangan apapun oleh pemerintahan pusat.
Referendum yang dilaksanakan pada tanggal 9-15 Januari 2011 oleh
Biro Referendum Sudan Selatan yang diketua oleh Prof. Mohamed
Ibrahim Khalil sebagai tindak lanjut dari protocol self determination yang
terdapat dalam Comprehensive Peace Agreement (CPA) yang tandatangani
oleh Pemerintah Sudan dan kelompok pemberontak dari Sudan Selatan
SPLM di Naivasha, Kenya, tanggal 9 Januari 2011. Hasil referendum
diumumkan pada 30 Januari 2011 oleh Kepala Biro Referendum Sudan
Selatan di Friendship Hall, Khartom, Sudan. Dimana hasilnya menyatakan
kelompok pro kemerdekaan menang dengan perolehan suara sebanyak
3.792.518 atau 98,83% dari total suara sah yang masuk dari seluruh
Daerah Pemilihan (Dapil) di Sudan Selatan, Sudan Utara dan luar negeri
(jumlah suara sah yang masuk ke Komisi adalah sebanyak 3.851.994).
Sementara kelompok pro persatuan hanya memperoleh suara sebanyak
44.888 atau 1,17%, dan sisanya suara yang rusak atau tidak diisi
(Kedutaan Besar Republik Indonesia Khartoum,
http://www.kemlu.go.id/khartoum/Pages/Embassies. aspx?IDP=20&l=id
[Diakses tanggal 3Agustus 2011]).
Deklarasi kemerdekaan dideklarasikan pada tanggal 9 Juli 2011.
Sebelum tanggal tersebut, Sudan Selatan, dan pemerintahan pusat
diharuskan untuk melakukan negosiasi dan berusaha mencapai konsensus
commit
pada pembagian penghasilan to user dan berbagai pemasukan negara
dari minyak,

lxi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lainnya yang melibatkan Sudan Selatan secara teritorial. Latar belakang


mayoritas penduduk Sudan Selatan yang memilih untuk berpisah karena,
salah satunya adalah konflik yang terus berlanjut antar kedua pihak, pasca
CPA di tahun 2005. Konflik berlanjut di tahun 2006, antara kelompok
pemberontak (yang quantitasnya relatif kecil dibandingkan SPLA/M).
Salah satu kasus yang belum diselesaikan adalah Abyei, kota yang terletak
di pertengahan Sudan Utara dan Sudan Selatan, yang dianggap sebagai
kota emas. Sebagai penghasil minyak paling besar di Sudan, Abyei
menjadi target konflik bersenjata di tahun 2008 (BBC,
http://news.bbc.co.uk/2/hi/middleeast/countryprofiles/827425.stm.
[Diakses tanggal 3 Juli 2011])
Warga Sudan Utara di sisi lain membawa reaksi yang berbeda.
Kegagalan untuk membentuk sebuah negara yang multi-etnis,
berkurangnya pemasukan negara dari industri minyak sebesar 75% di
Sudan Selatan, serta kehilangan wilayah negara yang besar mewarnai
pemikiran rakyat Sudan Utara saat deklarasi kemerdekaan
dilakukan(Agencies, http://www.dawn.com/2011 /07/09/ worlds-193rd-
state-is-born-with-Sudans-partition.html. [Diakses tanggal 1 Juli 2011]).
3. Kondisi terakhir Republik Sudan dan Republik Sudan Selatan sebelum
suksesi negara dan sesudah suksesi negara
a. Perjanjian internasional
1) Perjanjian internasional sebelum suksei negara .
a) Comprehensive Peace Agreement (CPA)
Perjanjian Damai Komprehensif ditanda tangani pada tanggal 9
Januri 2005 antara Pemerintah Republik Sudan (GOS) dan SPLA/M
guna mengakhiri perang saudara yang berlangsung di Sudan selama
22 tahun. CPA berisikan mengenai kerangka kerja sebagai
perwujudan perdamaian yang adil dan abadi di Sudan. Dalam
prakteknya pelaksanaan CPA didasarkan pula pada Interim National
Constitution (INC) dan the Interim Constitution of the Southern
Sudan (ICSS), gunacommit to user
menciptakan sistem politik, militer

lxii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dan ekonomi baru berdasarkan nilai-nilai keadilan, demokrasi, dan


hak asasi manusia di Sudan.
Perjanjian Perdamaian Komprehensif (CPA), Interim National
Constitution (INC) dan the Interim Constitution of the Southern
Sudan (ICSS), bersama-sama membentuk dasar hukum bagi resolusi
perang saudara Sudan. Protokol yang (Ministry of Information and
Broadcasting Government of Shouthern Sudan, 2006: 3-27) terdiri
dari :
(1) The Machakos Protocol.
The Machakos Protocol merupakan hasil perundingan pada
20 Juli 2002, hasil perundingan ini dijadikan dasar bagi
perjanjian berikutnya dalam hal penetapan prinsip-prinsip dan
prosedur politik yang mengarah pada referendum di Sudan
selatan tahun 2011. Perjanjian ini berdasar pada tingkat dan
peran pemerintah dan menetapkan kesepakatan yang dicapai
berdasar kepentingan negara dan agama. Dengan komposisi
perjanjian (Ministry of Information and Broadcasting
Government of Shouthern Sudan, 2006: 3) meliputi:
(a) Bagian A - Prinsip Setuju
(i) Kesatuan Sudan, berdasarkan kehendak bebas
seseorang dan pemerintahan yang demokratis yang
baik, adalah menjadi prioritas bagi para pihak;
(ii) Rakyat Sudan Selatan akan mengontrol dan mengatur
urusan wilayah Sudan Selatan serta berpartisipasi
secara adil dalam Pemerintahan Nasional;
(iii) Orang-orang Sudan Selatan berhak untuk penentuan
nasib sendiri melalui referendum, pada akhir Periode
Interim dengan pilihan bergabung dengan Sudan atau
pemisahan diri.
(iv) Orang-orang Sudan setuju untuk bekerja sama untuk,
antara commit
lain: to user

lxiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

 Menetapkan sistem pemerintahan yang demokratis;


 Menemukan solusi yang komprehensif untuk
kerusakan ekonomi dan sosial dari Sudan;
 Menemukan solusi yang menggantikan perang
dengan kedamaian, berdasar keadilan sosial dan
ekonomi, dan hak asasi manusia;
 Merumuskan rekonstruksi dan rencana
pengembangan daerah yang terkena perang;
 Membuat kesepakatan yang disetujui Sudan dan
Sudan Selatan;
(b) Bagian B - Proses Transisi
Pelaksanaan Comprehensive Peace Agreement akan
mencakup dua fase:
(i) Masa Pra-Interim 6 bulan (9 Januari 2005 - 8 Juli 2005),
dan,
(ii) Sebuah Periode Interim 6 tahun (9 Juli 2005 - 8 Juli
2011).
Selama periode Pra-Interim dan terus berlanjut sampai
Periode Interim lembaga dan badan-badan dari pemerintahan
transisi akan dibentuk dalam konteks yang komprehensif, dan
mengenai gencatan senjata akan dilakukan pengawasan oleh
masyarakat internasional. Mekanisme pelaksanaan tugas
lembaga dan badan-badan pemerintahan transisi diatur secara
terperinci dalam perjanjian ini. The Machakos Protocol
menjamin hak penentuan nasib sendiri bagi Sudan Selatan
dengan menyediakan referendum pada akhir Periode Interim,
baik untuk persatuan seperti yang telah dilaksanakan melalui
periode Pra-Interim dan Periode Interim atau untuk
kemerdekaan Sudan Selatan.

commit to user

lxiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(2) The Protocol on Security Arrangements (PSA) .


The Protocol on Security Arrangements (PSA) ditanda
tangani di Naivasha, Kenya pada tanggal 25 September 2003
dan the Permanent Ceasefire and Security Arrangements
Implementation Modalities and Appendices (PCF)
ditandatangani di Naivasha, Kenya pada 31 Desember 2004.
Kedua dokumen ini berisikan pembahasan mengenai
penghentian permusuhan secara permanen antara angkatan
Bersenjata Sudan (SAF) dan tentara pembebasan rakyat sudan
selatan (SPLA/ M), serta menjelaskan struktur dan fungsi
angkatan bersenjata serta pengaturan keamanan selama periode
pra-interim dan Periode interim (Ministry of Information and
Broadcasting Government of Shouthern Sudan, 2006: 6-8).
Pengaturan The Protocol on Security Arrangements (PSA)
meliputi:
(a) Menghormati gencatan senjata dan penyelesaian masalah
melalui dialog dan jalur politik;
(b) Pembinaan dari pemerintahan secara baik, demokrasi dan
secara sipil;
(c) Kebebasan bergerak bagi orang dan jasa di seluruh Sudan,
(d) Kendali gencatan senjata dan penghentian semua
permusuhan.
Masalah-masalah keamanan utama yang tercakup dalam CPA
adalah:
(a) Status Angkatan Bersenjata;
(b) Pengaturan dan pemantauan terhadap Gencatan Senjata,
termasuk perlakuan terhadap Other Armed Groups (OAGs);
(c) Demobilisasi, perlucutan senjata dan re-integrasi angkatan
bersenjata.

commit to user

lxv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

CPA menetapkan tiga sistem dalam angkatan bersenjata yaitu:


(a) The Sudan Armed Forces (SAF);
(b) The Sudan People‟s Liberation Army (SPLA); and,
(c) The Joint Integrated Units (JIUs)
Para SAF dan SPLA akan tetap terpisah selama Periode Pra-
Interim dan Interim, namun akan diperlakukan sama sebagai
Angkatan Bersenjata Nasional Sudan (SNAF). Ketiga angkatan
bersenjata harus teratur, profesional dan non-partisan, dan harus
menghormati aturan hukum, hak asasi manusia dan kehendak
rakyat. Para SAF dan JIUs akan didanai oleh pemerintah Sudan,
sedangkan SPLA oleh pemerintah Sudan selatan.
(3) The Protocol on Wealth Sharing
The Protocol on Wealth Sharing ditandatangani di Naivasha,
Kenya pada tanggal 7 Januari 2004, dan pelaksanaan modalitas
dari Framework Agreement on Wealth Sharing pada 31
Desember 2004 di Naivasha, Kenya. Kedua dokumen ini
mengatur mengenai ketentuan mengenai pembagian kekayaan
umum yang berfungsi untuk memastikan kualitas hidup,
martabat dan kondisi kehidupan dalam keadaan baik untuk
semua warga negara tanpa diskriminasi. Pelaksanaannya
bersandar pada prinsip-prinsip dasar (Ministry of Information
and Broadcasting Government of Shouthern Sudan, 2006: 9-11)
berikut:
(a) Kekayaan Sudan akan dibagi secara adil;
(b) Semua bagian Sudan berhak pengembangan dan pembagian
kekayaan;
(c) Pembagian pendapatan harus menunjukkan komitmen
untuk penyerahan wewenang dan desentralisasi dalam
pengambilan keputusan;
commit
(d) Pengembangan akantotransparan
user dan akuntabilitas;

lxvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(e) Dalam memanfaatkan sumber daya alam dilakukan


dengan cara terbaik .
Isu dalam pelaksanaan CPA mengenai pembagian kekayaan
adalah meliputi:
(a) Penggunaan lahan;
Para pihak dalam CPA setuju untuk menciptakan proses
untuk menyelesaikan konflik tanah dengan mengembangkan
dan mengubah undang-undang yang sesuai dengan hukum
adat dan kebiasaan internasional. Proses ini dilakukan oleh
komisi tanah, komisi tanah akan memiliki wewenang untuk
menengahi dan menyelesaikan permasalahan atas tanah, dan
membuat rekomendasi untuk revisi undang-undang yang
berlaku.
(b) Sumber daya minyak dan pembagian pendapatan minyak;
CPA menetapkan sistem nasional untuk pengelolaan dan
pembagian pendapatan minyak berdasarkan prinsip-prinsip
kepentingan nasional, kepentingan publik, kepentingan
negara yang terkena dampak, dan kebijakan lingkungan
nasional. Tiga proses utama dari sistem nasional guna
mengatasi:
(i) Kontrak minyak yang ada;
Dilakukan berdasar hasil konsultasi Departemen Energi
dan Pertambangan, dengan pembentukan Tim Teknis.
Tim Teknis adalahtim yang diberikan akses ke kontrak
minyak yang ada setelah menandatangani perjanjian
kerahasiaan, dari kontrak-kontrak yang tidak dapat
dinegosiasi ulang. Tim Teknis akan menyiapkan
kesepakatan yang mengutamakan masalah sosial atau
lingkungan dan bagi setiap orang yang haknya pada
kontrak minyak telah dilanggar, dapat menyelesaikan
commit
permasalahan to user
tersebut melalui pengadilan.

lxvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(ii) Pengelolaan sumber daya minyak bumi;


Dilakukan oleh National Petroleum Commission (NPC)
ditetapkan oleh Kepresidenan. NPC akan merumuskan
dan mengawasi kebijakan publik dan pedoman untuk
industri minyak, bernegosiasi dan menyetujui kontrak
minya dan mengembangkan strategi untuk
pengembangan sektor minyak. Pelaksanaan fungsi, NPC
akan mempertimbangkan pencatatan imbalan kepada
masyarakat setempat dari kontrak yang diajukan, dan
sejauh mana pemandangan lokalitas dan negara yang
dimasukkan ke dalam kontrak.
(iii) Pembagian pendapatan minyak antara Sudan Utara dan
Sudan Selatan.
(c) Kebijakan Moneter dan Keuangan
CPA menyediakan untuk membentukan sistem
perbankan berdasar dualitas sistem perbankan di
Sudan. Sistem ini akan terdiri dari:
(i) Central Bank of Sudan (CBO)
CBO baru akan dibentuk berdasar undang-undang baru
dan revisi disahkan oleh Majelis Nasional atas
rekomendasi dari Tim Teknis yang ditunjuk oleh
Kepresidenan segera setelah penandatanganan
CPA. Sebuah Direksi akan ditunjuk oleh Kepresidenan.
Para CBO akan bertanggung jawab untuk pelaksanaan
kebijakan moneter di Utara berdasar syariah islam
(ii) Bank of South Sudan (BOSS)
BOSS sebagai cabang dari Central Bank of Sudan.
BOSS akan dibentuk oleh Dewan Direksi dari
CBO. BOSS akan menjadi jendela CBO yang beroperasi
di Sudan Selatan dan pelaksana kebijakan moneter
nasional commit to user
melalui konvensional (non-Islam). BOSS

lxviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dikelola oleh Wakil Gubernur dari CBO dan akan


bertindak sesuai dengan kebijakan, aturan dan peraturan
dari CBO.
(d) Rekonstruksi dan Pembangunan Dana
The Southern Sudan Reconstruction and Development
Fund (SSRDF) akan menerima dana dari Sudan Selatan dan
pemerintah pusat serta pemerintah asing dan sumbangan dari
multilateral, yang akan digunakan untuk rekonstruksi,
reintegrasi dan pembangunan di Sudan Selatan. Selama pra-
periode interim, Sudan Selatan akan membentuk Komite
Pemantau untuk memulai proses pembentukan yang SSRDF,
dan membangun sistem monitoring dan evaluasi.
(4) Power Sharing Protocol
Power Sharing Protocol ditandatangani di Naivasha, Kenya
pada tanggal 26 Mei 2004, dan Modalitas Pelaksanaan dari the
Machakos Protocol and Power Sharing Protocol ditandatangani
di Naivasha, Kenya pada 31 Desember 2004.
perjanjian Power Sharing Protocols menyediakan sistem
pemerintahan yang terdesentralisasi dan diatur menurut kategori
berikut prinsip-prinsip umum (Ministry of Information and
Broadcasting Government of Shouthern Sudan, 2006: 12-21)
meliputi:
(a) Protokol Machakos;
Protokol Machakos mencakup seperangkat Prinsip
kesepakatan dalam sistem pemerintahan yang akan
didirikan selama Periode Interim.
(b) pemerintah Periode Interim;
Dalam Protokol Sharing Power, para pihak sepakat untuk
menciptakan sistem desentralisasi. Dalam sistem itu, Sudan
utara akan melaksanakan kedaulatan atas seluruh Sudan
commit to user
melalui Government of National Unity (GONU), tetapi

lxix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sistem dari Sudan Selatan melalui Government of the


Republic of South Sudan (GOSS). Semua tingkat
pemerintahan akan menghormati otonomi masing-masing,
menahan diri untuk melanggar batas otonomi satu sama
lain, bekerjasama dan koordinasi.
(c) Hak asasi manusia dan kebabasan;
Hak asasi manusia dan kebebasan, semua tingkat
pemerintahan harus memenuhi semua ketentuan dari semua
perjanjian hak asasi manusia untuk Sudan. Beberapa hak-
hak yang termasuk dalam perjanjian-perjanjian adalah:
(i) Hidup;
(ii) Kemerdekaan pribadi;
(iii) Kebebasan dari perbudakan;
(iv) Kebebasan dari penyiksaan;
(v) Peradilan yang adil;
(vi) Kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama;
(vii)Kebebasan berekspresi;
(viii)Keluarga dan pernikahan;
(ix) Memberikan suara;
(x) Persamaan di muka hukum;
(xi) Kebebasan dari diskriminasi;
(xii) Kebebasan bergerak, serta:
(xiii) Hak Anak, dan,
(xiv)Sama Hak Pria dan Wanita.
(d) Perdamaian
Sebuah proses yang komprehensif pemulihan dan
rekonsiliasi nasional akan dibentuk oleh Kepresidenan
setelah penerapan Konstitusi Nasional Sementara.

(e) Sensus Penduduk, Pemilu dan Keterwakilan


CPA mengatur bahwa sensus dan pemilihan umum di
commit
semua tingkat. to userSensus Penduduk Council akan
Sebuah

lxx
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

dibentuk oleh Presiden, dan akan terdiri dari


perwakilan dari Gonu, Goss, Dewan Serikat,pemerintah
pusat dan Badan Pusat Statistik. Sensus Penduduk Council
akan merencanakan dan menetapkan standar untuk sensus
penuh sesuai Undang-Undang Pemilihan Nasional akan
diadopsi oleh Majelis Nasional, yang mengatur prosedur
untuk mendirikan Komisi Pemilihan Nasional dan nasional
untuk melakukan pemilu. Sebuah Komisi Pemilihan
Nasional (NEC) akan dibangun oleh Kepresidenan berdasar
penerapan UU Pemilihan Nasional. NEC, dengan bantuan
dari masyarakat, internasional akan bertanggung jawab
untuk melakukan pemilihan umum yang bebas dan adil.
(5) Resolution of the Conflict in Southern Kordofan and Blue Nile.
The Protocol on the Resolution of the Conflict in Southern
Kordofan and Blue Nile States ditandatangani di Naivasha,
Kenya pada tanggal 26 Mei 2004, dan Modalitas Pelaksanaan
the Protocol on the resolution of the Conflict in Southern
Kordofan and Blue Nile States ditandatangani di Naivasha,
Kenya pada 31 Desember 2004. Perjanjian ini menetapkan
status khusus untuk Southern Kordofan dan Blue Nile
berdasarkan prinsip-prinsip umum (Ministry of Information and
Broadcasting Government of Shouthern Sudan, 2006: 22-23)
berikut:
(a) Jaminan hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua
individu;
(b) Pengembangan dan perlindungan warisan budaya yang
beragam dan bahasa lokal dari populasi.
(c) Pengembangan sumber daya manusia dan infrastruktur
sebagai tujuan utama dari negara, dan,
(d) Pelaksanaan pembangunan yang sesuai dengan yang paling
commit to user

lxxi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terkenal, transparansi praktek, dan akuntabilitas.


Perjanjian tentang Southern Kordofan dan Blue Nile membahas
masalah-masalah utama sebagai berikut:
(a) Konsultasi populer;
CPA tidak akan menjadi penyelesaian akhir konflik
politik Di selatan Kordofan dan Blue Nile dengan
pemerintahan Sudan utara sampai terlaksana proses jajak
pendapat.
(b) Struktur pemerintahan negara;
Pemerintah Negara Bagian terdiri dari Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif.
(i) Eksekutif negara terdiri dari:
• Sebuah Gubernur Negara terpilih;
• Suatu Dewan perwakilan;
• Menjabat komisaris lokal dan dewan pemerintah
daerah
• Sebuah Komite Keamanan Negara dan,
• Polisi Negara, Penjara, Margasatwa, dan
Fire Brigade.
(ii) Legislatif negara memiliki kekuasaan berikut:
• Untuk memutuskan aturan sendiri, prosedur dan
komite;
• Untuk mengatur untuk Negara;
• Untuk meringankan Gubernur Negara dari kantor pada
suara dengan mayoritas 2/3, dan;
• Lain kekuasaan sebagaimana ditugaskan oleh
konstitusi Negara.
(iii) Peradilan negara akan terdiri dari pengadilan
sebagaimana dapat ditetapkan oleh konstitusi negara,
dan akan menangani kasus-kasus yang timbul dari
commit
negara dan to user
hukum nasional.

lxxii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(c) Pembagian kekayaan nasional bagi negara bagian;


Alokasi Fiskal dan Keuangan dan Komisi Monitoring
dilakukan oleh The Fiscal and Financial Allocation and
Monitoring Commission (FFAMC) yang akan memiliki
perwakilan di masing-masing negara yang dibentuk oleh
Kepresidenan.
(d) State Land Commission;
State Land Commission akan dibentuk untuk setiap
Negara dengan kekuatan yang sama dengan Komisi
Pertanahan Nasional. State Land Commission akan
mengatur hak atas tanah secara bersamaan dengan Komisi
Pertanahan Nasional berdasarkan pertimbangan berikut:
(i) Komisi Tanah Negara harus dapat meninjau kontrak
lahan yang ada dan merekomendasikan langkah-
langkah pemulihan hak atas tanah atau kompensasi.
(ii) Hak tanah yang dimiliki oleh Pemerintah Nasional
harus dilaksanakan melalui tingkat yang sesuai.
(iii) Permasalah yang timbul akan diputuskan oleh
Mahkamah Konstitusi.
(e) Pengaturan Keamanan,
Selama Periode interm, angkatan Bersenjata Sudan
(SAF) akan berada di masing-masing negara dengan jumlah
ditentukan oleh Kepresidenan.
(f) Pengaturan mengenai Perwakilan.
Eksekutif dan Legislatif kedua negara akan dialokasi
kan sebagai berikut:
(i) Partai Kongres Nasional akan memiliki 55% kursi, dan,
(ii) SPLM akan memiliki 45% kursi.
Dalam dua Serikat, setiap pihak melakukan
pengangkatan gubernur. Tidak ada satu pihak akan
commit to
menjabat gubernur user
pada saat yang sama di kedua negara.

lxxiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(6) Resolution of the Abyei Conflict


The Protocol on the Resolution of the Abyei Conflict
ditandatangani di Naivasha, Kenya pada tanggal 26 Mei
2004. Pelaksanaan Modalitas dari the Protocol on the
Resolution of the Abyei Conflict ditandatangani di Naivasha,
Kenya pada 31 Desember 2004. Perjanjian ini mengatur
mengenai status administrasi khusus Abyei, (Ministry of
Information and Broadcasting Government of Shouthern Sudan,
2006: 24-27) meliputi :
(a) Warga Abyei akan menjadi warga negara dari kedua
Kordofan Selatan dan Warap;
(b) Abyei akan dikelola oleh suatu Dewan, Eksekutif lokal
terpilih terdiri dari Kepala sebuah Administrator dan 5
kepala departemen;
(c) Dewan Daerah Abyei terdiri 20 anggota;
(d) Pendapatan bersih dari minyak Abyei akan didistribusikan
melalui enam cara selama Periode Interim.
(e) pemerintah Sudan Utara akan memberikan Abyei bantuan
dalam pengembangan dan urbanisasi, dan,
(f) Internasional monitor akan diturunkan di Abyei untuk
memastikan pelaksanaan perjanjian, dan,
(g) Orang-orang Abyei akan memiliki kesempatan untuk
memilih dalam referendum. Referendum akan dijalankan
secara bersamaan dengan referendum Sudan Selatan, dan
akan menawarkan pilihan yang sama dengan Sudan
Selatan.

commit to user

lxxiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Administrasi Periode Interim


(a) Batas
Kepresidenan akan membentuk Batas Abyei Commission
atau Abyei Boundaries Commission (ABC) untuk
menentukan batas resmi daerah Abyei.Laporan akhir dari
ABC akan mengikat kedua belah pihak.
(b) Tempat Tinggal
Warga yang berada di Abyei akan tetap tinggal di daerah di
Abyei yang sesuai dengan kriteria tinggal ditentukan oleh
Abyei Referendum Commission.
(c) Pengaturan Keamanan:
Segera setelah pembentukan pemerintahan Abyei, Dewan
Eksekutif akan membentuk Komite Keamanan Daerah
Abyei. Komite Keamanan Daerah Abyei akan didampingi
oleh pemantau internasional untuk memastikan
implementasi perjanjian.
(d) Abyei Referendum Commission.
Kepresidenan harus menetapkan Abyei Referendum
Commission bersamaan dengan Sudan Selatan Referendum.
(e) Rekonsiliasi
Kepresidenan memulai rekonsiliasi dan proses perdamaian
untuk Abyei segera setelah Perjanjian Perdamaian
Komprehensif ditandatangani.
b) Perjanjian Republik Sudan dengan gerakan pemberontak selama
masa konflik.
(1) The Nuba Mountains Cease-Fire Agreement, 19 January 2002
Perjanjian antara Pemerintah Sudan dan the Sudan Peoples‟
Liberation Movement/Nuba untuk melakukan gencatan senjata
dalam jangka enam (6) bulan. Perjanjian ini menjamin beberapa
hak meliputi :
commit to user

lxxv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

(a) menjamin pergerakan bebas warga sipil,


(b) kesepakatan penghentian berbagai kegiatan, meliputi:
(i) Permusuhan,
(ii) Semua serangan udara atau tanah,
(iii) Gerakan pasukan,
(iv) Aksi kekerasan kepada atau oleh penduduk sipil,
(v) Pasokan amunisi dan persenjataan,
(vi) Semua propaganda bermusuhan.
(2) Agreement between the Government of Sudan and the National
Democratic Alliance. Ditandatangani antara pemerintah Sudan
(GOS) dan Aliansi Demokratik Nasional (NDA) pada Sabtu, 18
Juni 2005 di Kairo. Mohammed Osman al-Mirghani, yang
memimpin oposisi Aliansi Demokratik Nasional (NDA), dan
Wakil Presiden Sudan Ali Osman Taha. Ada tiga hal yang
menjadi kesepakatan meliputi mekanisme pelaksanaan, integrasi
angkatan bersenjata dan penegakan kesepakatan.
(3) Darfur Peace Agreement,Perjanjian Perdamaian Darfur, juga
dikenal sebagai Perjanjian Abuja , ditandatangani pada 5 Mei
2006 oleh Gerakan Pembebas Sudan yang dipimpin oleh Mini
Menawi , dan Pemerintah Sudan dalam upaya untuk mencapai
perdamaian di Darfur. Perjanjian tersebut mewajibkan
pemerintah Sudan Persatuan Nasional untuk menyelesaikan
perlucutan senjata dan demobilisasi diverifikasi Janjaweed
milisi pada pertengahan Oktober 2006.
(4) East Sudan Peace Agreement, 15 Oktober 2006, Kesepakatan
damai antara Eastern Front dan Pemerintah Sudan (GOS).
Kesepakatan pembagian kekuasaan untuk Eastern Front
meliputi satu jabatan Asisten Presiden, stu jabatan penasihat
Presiden, satu jabatan Menteri Negara , delapan kursi parlemen
di Khartoum dan 10 kursi parlemen di masing-masing tiga
commit to user
negara bagian timur.

lxxvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

c) Perjanjian internasional antara Republik Sudan dengan negara lain


(1) Perjanjian internasional bilateral
(a) Perjanjian Antara Republik Sudan Dan Mesir
Sebuah perjanjian era kolonial antara Mesir dan Sudan
mengenai kontrol atas sebagian besar air sungai Nil. (Ali
Abdalla Ali, http://www.Sudantri bune.com/The-Egyptian-
role-in-Sudan-s,35500. [Diakses tanggal 5 Januari 2012]).
(b) Perjanjian antara Republik Sudan dan China
Perjanjian sudan dan China meliputi perjanjian investasi,
Perjajian pengeboran minyak terbesar yang berada di Sudan
dan perjanjian persenjataan. China adalah dalam kemitraan
yang menguntungkan yang memberikan miliaran dolar
dalam investasi, minyak pendapatan dan senjata . (Sudan
tribune, http://www.Sudantribune.com/China-and-Sudan-
sign -new-oil-gas,33188. [Diakses tanggal 6 Januari 2012]).
(c) Dakar Agreement Between Chad And Sudan
Dakar Agreement Between Chad And Sudan, pada 13 maret
2008, di S Idriss Deby Itno, Presiden Republik Chad dan
Omar Hassan al-Bashir, Presiden Republik Sudan. Sepakat
Untuk mengakhiri perselisihan antara definitif untuk kedua
negara, memulihkan perdamaian dan keamanan. Perjanjian
internasional Sesudah suksesi negara (antara Republik
Sudan, Republik Sudan Selatan, dan Negara lain).
a) Perjanjian antara Republik Sudan dengan Republik Sudan Selatan
(1) Framework Agreement Between Sudan‟s Ruling
Perjanjian antara Pemerintah Sudan dan Gerakan Pembebasan
Rakyat Sudan (Utara) pada kemitraan politik antara NCP dan
SPLM dan Tata politik dan Keamanan di Nil Biru dan Selatan
Kordofa negara, pada 28 Juni 2011. Dokumen ini ditandatangani
oleh Presiden asisten Nafei Nafei Ali yang juga wakil ketua dan
commit to user

lxxvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Malik Gubernur Agaar dari Blue Nile negara dan pemimpin


SPLMN pada Selasa 28 Juni di Addis Ababa.
(2) Memorandum of Understanding on Non aggression and
Cooperation.
Pada tanggal 10 Februari 2011. Kesepakatan yang
ditandatangani oleh kepala biro intelijen Selatan Sudan, Thomas
Douth, dan direktur intelijen nasional dan keamanan Sudan,
Mohammed Atta. perjanjian bertujuan untuk memungkinkan
kedua belah pihak mengembangkannya kerjasama keduabelah
pihak dan menghentikan dukungan terhadap kelompok
pemberontak dari kedua sisi.
(3) Kesepakatan Prinsip Empat Kebebasan
Republik Sudan dan Republik Sudan Selatan menandatangani
perjanjian kerangka kerja mengenai kesepakatan prinsip 'Empat
Kebebasan meliputi : kebebasan tempat tinggal, kebebasan
bergerak, kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi dan
kebebasan untuk memperoleh dan melepas property (Sudan
tribune, http://www.Sudantribune.com/Far-right-group-
slamsgovernment,41914 [Diakses tanggal 15 Maret 2012]).
b) Perjanjian antara Republik Sudan dengan negara lain
(1) Perjanjian antara Republik Sudan dengan Ethiopia
Perjanjian antara Sudan dan Ethiopia untuk membentuk sebuah
bendungan listrik tenaga air pada sungai Blue Nil. (Tesfa-Alem
Tekle, http://www.Sudantribune.com/Sudan-commits-
machineries-to,41135. [Diakses tanggal 5 Januari 2012])..
(2) Perjanjian antara Republik Sudan dengan Qatar
Perjanjian hubungan bilateral , Qatar menyatakan kesediaannya
untuk mengunjungi Sudan dan berjanji untuk membantu
ekonomi. Qatar akan melakukan investasi mencakup pembelian
obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah Sudan dan investasi di
berbagai sektor commit
terutamato pertambangan,
user minyak, pertanian dan

lxxviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

jasa serta Qatar menyerahkan pinjaman sebesar $ 2000000000


(Sudan tribune, http://www.Sudantribune.com/Sudan-may-get-
much-needed-economic,41835. [Diakses tanggal 8 maret
2012]).
c) Perjanjian antara Republik Sudan Selatan dengan negara lain
(1) Perjanjian antara Republik Sudan Selatan dan Kenya
Sudan Selatan dan Kenya telah menandatangani nota
kesepahaman tentang pembangunan sebuah minyak pipa dari
Sudan Selatan ke pelabuhan Lamu Kenya pada tanggal 24
Januari 2012. Perjanjian ini dilakukan empat hari setelah Sudan
Selatan mengeluarkan resolusi di kabinet untuk menutup operasi
pipa minyak Sudan menuju pelabuhan Port Sudan (Ngor Arol
Garang, http://www.Sudantribune. com/South-Sudan-will-
continue-talks,41355.[ Diakses tanggal 13 Januari 2012]).
(2) Perjanjian antara Republik Sudan Selatan dan Uganda
Perjanjian Presiden Sudan Selatan dengan Presiden Uganda pada
20 November 2011. Perjanjian tersebut meliputi integrasi
regional, perdagangan dan hambatan perdagangan, dan
mendirikan komite bersama pada Januari 2012 untuk menangani
masalah perbatasan dan lintas batas kejahatan (Philip Thon Aleu,
http://www.Sudantribune.com/South-Sudan-Uganda-Presidents,
40780 [Diakses tanggal 21 desember 2011).
(3) Perjanjian antara Republik Sudan Selatan dan Ethiopia
Pemerintah Ethiopia dan Sudan Selatan pada 4 Maret 2012
menandatangani delapan nota kesepahaman untuk meningkatkan
hubungan ekonomi dan diplomatik.(Tesfa-Alem Tekle ,
http://www.Sudantribune.Com /South-Sudan-seeks-Ethiopia-
premier,41343, [Diakses tanggal 1 februari 2012]).

commit to user

lxxix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

b. Hutang negara
Republik Sudan adalah negara yang harus berurusan dengan konflik
sosial, perang sipil, dan pada juli 2011 terjadi pemisahan diri dari Republik
Sudan Selatan. Suksesi negara ini berdampak hilangnya tiga perempat
wilayah Republik Sudan yang berpotensi sumber daya miyak yang selama
ini menjadi penompang ekonomi Republik Sudan.
Republik Sudan ekonomi berkembang pesat dikarenakan peningkatan
produksi minyak, harga minyak tinggi, dan arus masuk besar investasi
asing langsung. Pertumbuhan PDB terdaftar lebih dari 10% per tahun pada
2006 dan 2007. Dari tahun 1997 sampai saat ini, Republik Sudan telah
bekerja sama dengan IMF untuk melaksanakan reformasi ekonomi makro,
termasuk pelampung dikelola nilai tukar. Republik Sudan mulai
mengekspor minyak mentah pada kuartal terakhir tahun 1999. Produksi
pertanian tetap penting, karena mempekerjakan 80% tenaga kerja dan
memberikan kontribusi sepertiga dari Produk Domestik Bruto (PDB)
(The world factbook : Republik Sudan.
https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/geos/ su.html
[Diakses tanggal 5 september 2011]). Konflik Darfur, setelah dua dekade
perang sipil di selatan, kurangnya infrastruktur dasar di daerah yang luas,
dan ketergantungan oleh sebagiann besar penduduk pada pertanian
subsisten memastikan sebagiann besar penduduk akan tetap pada atau di
bawah garis kemiskinan untuk tahun meskipun kenaikan yang cepat dalam
rata-rata pendapatan per kapita. .
Republik Sudan yang mengalami perang saudara, ketidakstabilan
politik, cuaca buruk, harga dunia komoditas lemah, penurunan pengiriman
uang dari luar negeri, dan kebijakan ekonomi kontraproduktif. Pendapatan
utama negara adalah kegiatan pertanian dan perdagangan. Pertanian yang
mempekerjakan 80% tenaga kerja, menjadi Industri utama. Kinerja
ekonomi lesu selama dekade terakhir, sebagian besar disebabkan curah
hujan tahunan menurun, yang menyebabkan pendapatan per kapita pada
tingkat rendah. commit to user

lxxx
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sebuah utang luar negeri dan tunggakan besar terus menimbulkan


kesulitan. Pada tahun 1990 IMF mengambil langkah yang tidak biasa
dengan menyatakan Republik Sudan noncooperative karena tidak mampu
membayar tunggakan. Setelah Republik Sudan mundur pada reformasi
yang dijanjikan di 1992-93, IMF mengancam akan mengusir Republik
Sudan dari IMF. Untuk menghindari pengusiran, Republik Sudan setuju
untuk melakukan pembayaran tunggakan untuk IMF, liberalisasi nilai
tukar, dan mengurangi subsidi, tindakan yang telah diimplementasikan
secara parsial. Perang saudara dan isolasi dari masyarakat internasional
terus menghambat pertumbuhan di sektor ekonomi non pertanian selama
tahun 1999. Pemerintah telah bekerja dengan mitra asing untuk
mengembangkan sektor minyak, dan negara ini memproduksi lebih dari
setengah juta barel per hari (John A. Akec. http://www.Republik
Sudantribune.com/IMF-World-Bank-Annual-Meetings,40395. Diakses
tanggal 26 maret 2012 ])
Menjelang referendum pemisahan diri Republik Sudan Selatan, yang
terjadi pada bulan Januari 2011, Republik Sudan melihat mata uangnya
terdepresiasi jauh di pasar gelap dengan kurs resmi Bank Sentral juga
kehilangan nilai. Bank Sentral Republik Sudan melakukan intervensi besar
di pasar mata uang untuk mempertahankan nilai pound dan pemerintah
Republik Sudan memperkenalkan sejumlah tindakan untuk menahan
kelebihan permintaan lokal untuk mata uang, tetapi ketidakpastian tentang
pemisahan diri juga berpengaruh pada devisa negara (CIA The World Fact
Book, http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/
su.html. [Diakses tanggal 5 Juni 2011]).
Hutang Republik Sudan bertambah menjadi $ 1 miliar per tahun.
Hutang eksternal Republik Sudan mendekati $ 38 miliar pada Desember
2010. Hutang eksternal adalah bagian dari total utang di negara, yang
dibayarkan kepada kreditor luar negeri. Debitur mungkin pemerintah,
perusahaan atau rumah tangga pribadi. Hutang termasuk uang berutang
commit to user
kepada bank komersial swasta, pemerintah lain atau lembaga keuangan

lxxxi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

internasional seperti IMF dan Bank Dunia (Donald Rutherford, 2002: 216).
Menurut IMF memproyeksikan pertumbuhan PDB negatif nyata
bagi Republik Sudan; -0,2% di 2011 dan -0,4% di 2012. Sejak wilayah
yang kaya minyak, yaitu Republik Sudan bagian Selatan memisahkan diri
di bulan Juli 2011 lalu, Republik Sudan kehilangan mata uang utama
sumber asing menyebabkan penurunan tajam pada nilai tukar pound
Republik Sudan terhadap mata uang utama. Pada satu titik dolar
diperdagangkan untuk £ 5,2 Republik Sudan yang hampir dua kali tingkat
resmi £ 2,7 Republik Sudan (Sudan tribune, http://www.Sudantribune.
com/spip.php?iframe&page=imprimable&id_article=41691 [Diakses
tanggal 23 Februari 2012]).
Republik Sudan memiliki beberapa hutang internasional yang
tersebar di berbagai negara baik di negara-negara di Afrika, di Eropa dan di
Amerika, yang udah berlangsung sejak tahun 1985. Republik Sudan
berhutang dengan Amerika sebesar $ 38 miliar dan berhutang dengan
Inggris sebesar $ 1,2 miliar dan dengan negara-negara di bagian Teluk
Arab Serikat Arab Saudi dan Kuwait sebesar $ 9 miliar pada tahun 1985
yang berkembang $ 38 miliar (Sudan tribune, http://www.Sudantribune.
com/Sudan-s-finance-minister-says-debt,41192. [ Diakses tanggal 5 Januari
2012] ).
Presiden AS Barack Obama mengajukan proposal anggaran 2013
kepada Kongres AS yang didalamnya termasuk alokasi untuk pembebasan
utang pada Republik Sudan sebesar $ 2,4 miliar, jika Republik Sudan
dapat memenuhi kondisi termasuk implementasi penuh 2005 Perjanjian
Damai Komprehensif (CPA) dan mengikuti persyaratan hukum hak asasi
manusia dalam menyelesaikan konflik terpisah di Darfur , Blue Nile
Selatan dan Kordofan dan memerangi terorisme. Dan pada tahun 2014
Inggris juga akan untuk membatalkan semua hutang Republik Republik
Sudan sebesar $ 1,2 miliar dengan persyaratan yang sama seperti yang
diajukan oleh Amerika kepada Republik Sudan. (Sudan tribune.
commit to user
http://www.Sudan tribune.com/RepublikSudan-rejects-US-conditions-

lxxxii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

for,41664 [ Diakses tanggal 21 Februari2012]). Menteri Keuangan dan


Ekonomi Republik Republik Sudan Ali Mahmood menjelaskan bahwa
Republik Sudan membayar telah melakukan pembayaran hutang sebesar $
600 juta kepada Teluk Arab Serikat Arab Saudi dan Kuwait, dari total
hutang $ 38 milyar dengan bunganya (Sudan tribune, http://www. Sudan
tribune.com/Sudan-rejects-US-conditions-for,41664 [ Diakses tanggal 21
Februari2012]).
Sejak Presiden al-Bashir berkuasa dalam kudeta tahun 1989, rezimnya
telah diakui lebih dari $ 23 miliar utang banyak digunakan untuk
membiayai Pemerintah perang Republik Sudan terhadap Darfur dan
Selatan. Pemerintah juga menggunakan pinjaman untuk mendukung
pembangunan di Khartoum sementara mengabaikan daerah perifer seperti
Darfur, Republik Sudan Timur, dan Selatan. Distribusi utang adalah salah
satu pasca referendum isu yang Republik Sudan Utara dan Republik Sudan
Selatan harus menyelesaikan sebelum tanggal 9 Juli 2011, ketika Selatan
resmi menjadi merdeka. Republik Sudan terus bersikeras bahwa Republik
Sudan Selatan harus menerima sebagian hutang karena beberapa dari itu
hutang juga digunakan untuk mengembangkan infrastruktur minyak yang
terutama dilakukan di wilayah Sudan Selatan sehingga hal tersebut secara
tidak langsung memberi keuntungan pada Republik Sudan Selatan, Namun
Pemerintah Republik Sudan Selatan menolak untuk menerima sebagian
dari hutang.
Republik Sudan dan Republik Sudan Selatan belum menyepakati
pembagian hutang nasional warisan republik Republik Sudan
terdahulu. Pemerintah Republik Sudan Selatan menyatakan bahwa mereka
tidak akan menerima pembagian hutang republik Republik Sudan, dengan
alasan bahwa hutang itu timbul karena digunakan pemerintahan Republik
Sudan untuk membiayai tentara utara untuk melawan pemberontakan
Republik Sudan Selatan dalam perang saudara. Penolakan ini di nyatakan
tegas oleh kementerian perdagangan, industri dan investasi Simon Nyang
Anei bahwa Republik Sudancommit to user
Selatan sekarang menjadi negara berdaulat

lxxxiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

setelah memisahkan diri dari Republik Sudan yang berarti bahwa negara
ini tidak mewarisi sanksi ekonomi Amerika Serikat atas Republik
Sudan karena tuduhan mensponsori terorisme dan untuk pelaksanaan
angkatan bersenjata dan paramiliter dalam menanggapi pemberontakan di
Darfur yang dimulai pada 2003 dan bebas dari hutang negara Republik
Sudan.
Namun, Republik Sudan Selatan tetap memintakan keringanan hutang
untuk Republik Sudan Serta meminta penghapusan sanksi ekonomi
Amerika Serikat terhadap Republik Sudan karena menyadari bahwa kondisi
kekurangan uang negara tetangganya dapat mempengaruhi dalam usaha
mengakhiri perang dengan pemberontak di wilayah Darfur dan negara-
negara yang berada di perbatasan yang pernah bersekutu dengan tentara
pembebasan selatan., sehingga akan memberikan kontribusi untuk
menciptakan lingkungan investasi yang menguntungkan bagi Republik
Sudan yang kiranya akan memudahkan dalam mencari pinjamansumber
permodalan lainnya.
Amerika dan Inggris setuju dengan permohonan Republik Sudan
Selatan dengan mengusulkan untuk melakukan penghapusan hutang
terhadap Republik Sudan pada tahun 2013 dan 2014 dengan ketentuan
bahwa Republik Sudan harus dapat memenuhi kondisi termasuk
implementasi penuh 2005 Perjanjian Damai Komprehensif (CPA) dan
mengikuti persyaratan hukum hak asasi manusia dalam menyelesaikan
konflik terpisah di Darfur , Blue Nile Selatan dan Kordofan dan memerangi
terorisme. Namun, tawaran tersebut ditolak oleh pemerintah Republik
Sudan, dengan alasan bahwa pencabutan Sanksi ekonomi dan penghapusan
hutang tersebut hanya dilakukan Amerika agar Republik Sudan menjadi
salah satu negara pendukung Amerika dalam memerangi terorisme (Sudan
tribune, http://www. Sudan tribune.com/Republik Sudan-rejects-US-
conditions-for,41664 [ Diakses tanggal 21 Februari 2012]).
Untuk menyiasati keadaan ekonomi tersebut dan tanggapan dari
Republik Sudan Tersebut, commit to user
Pemerintah Republik Sudan telah secara sepihak

lxxxiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

merebut minyak dari Republik Sudan Selatan melalui proses pengilangan


di Port milik Republik Sudan di Laut Merah dan menampungnya didalam
kapal. Kementerian kehakiman di Republik Sudan Selatan menerbitkan
daftar tiga kapal yang membawa minyak Republik Sudan Selatan di Port
atas perintah dari Republik Sudan. The "MT Sky Sea" berisi 605.784 barel,
"MT Al Nouf" sekitar 750.000 barel dan "MT Ratna Shradha" sekitar
600.000 barel.
Selain perampasan tersebut ada pula pengenaan biaya perjalanan yang
tinggi. Republik Sudan telah memberlakukan biaya perjalanan untuk semua
minyak Republik Sudan Selatan yang telah dikirimkan ke terminal di
Port Republik Sudan di Laut Merah dan melakukan kenaikan
pemberlakuan biaya perjalanan secara sepihak, yang mulanya $ 32 per
barel minyak mentah kemudian dinaikkan menjadi $ 36 per barel. Kejadian
diatas tersebut membuat Republik Sudan Selatan mengakhiri pengiriman
minyanya ke Port di Republik Sudan (Sudan tribune,
http://www.Sudantribune.com/Bashir-admits-Sudan-s-grim,40388 [Diakses
tanggal 11 Januari 2012]).
c. Kewarganegaraan
Dalam beberapa literature dijelaskan bahwa kolonisme masyarakat di
Republik Sudan telah terjadi sejak lama, jauh sebelum negara tersebut
merdeka. Dimana penduduk Sudan Utara selalu ditempatkan sebagai
penduduk asli, beradap serta sopan dan penganut agama muslim.
Sedangkan penduduk Sudan Selatan adalah bagian dari penduduk dengan
asal-usul yang tidak jelas, hitam serta primitif dan penyembah berhala
(Ruth McCreery, 1946: 252–260). Anggapan ini lah yang membuat warga
Sudan utara lebih mendominasi diberbagai kegiatan yang berlangsung di
Republik Sudan. Dalam menentukan dasar pemerintahan dan pembentukan
hukum selalu disesuaikan dan memprioritaskan kepentingan warga Sudan
Utara (Amir H. Idris, 2005: 14). Di Sudan, baik hukum dan wacana umum
pada kewarganegaraan, di fokus bukan pada warga negara, namun
commit
didasarkan pada keturunan, to user
konsep kebangsaan valorizes etnis, sehingga

lxxxv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

etnis memberikan dasar untuk stratifikasi (Cynthia Morel,


http://www.oecumene. eu/blog/citizenship-in-post-referendum-Sudan.
[Diakses tanggal 6 Juni 2011]).
Berdasar hal tersebut Presiden Sudan Omar al-Bashir, menyatakan
bahwa Republik Sudan tidak akan mengizinkan kewarganegaraan ganda
sebagai akibat suksesi negara. Sehingga bagi warga Republik Sudan
Selatan yang ingin tinggal di Sudan utara harus mendapat izin tinggal
setelah 9 Juli 2011 sejak Republik Sudan selatan resmi merdeka, dan bagi
warga Republik Sudan Selatan yang tidak memiliki izin tinggal akan
dideportsi oleh pihak pemerintah Republik Sudan. Keseriusan pemerintah
Republik Sudan terhadap kebijakan ini terlihat pada tindakan pemerintah
Republik Sudan yang telah menutup perbatasannya dengan Republik
Sudan Selatan, dengan tujuan menghentikan pergerakan komoditas antara
Sudan utara dan Sudan selatan (Egidius Patnistik.http://inter nasional.
kompas.com/read/2011/05/25/14513485/Sudan.Utara.Tak.Mau.Kewargan
egaraan.Ganda. [Diakses tanggal 27 Juli 2011])
Dalam melaksanakan kebijakan tersebut Republik Sudan menghadapi
beberapa kendala (Al Jazeera, http://www.aljazeera.net/analysis/pages/
bb51a9f1-e636-4e0d-9d1f-dad9b6dfc5fd. [Diakses tanggal 27 September
2011]) meliputi :
1) Pemerintah Republik Sudan tidak memiliki dasar hukum untuk
mengidentifikasi subyek sesuai etnis masing-masing dalam Sensus
terakhir;
2) Pengaturan hukum kewarganegaraan Republik Sudan menyatakan
bahwa setiap orang asing yang tinggal di Sudan secara hukum selama
5 tahun berturut-turut memenuhi syarat untuk mengajukan
permohonan kewarganegaraan Sudan. Kenyataannya penduduk Sudan
Selatan yang tinggal di sudan utara telah lebih dari 20 tahun sehingga
telah memenuhi persyarat kewarganegaraan;
3) Pemerintah Republik Sudan menetapkan kriteria seseorang yang
commit todan
terdaftar dalam referendum usertelah membuat keputusan untuk

lxxxvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sudan Selatan berhak untuk mengklaim identitas Sudan Selatan,


namun belum secara terperinci mengenai batasan dan mekanisme
untuk mengklaim identitas Sudan selatan;
4) Terjadi rasisme negara terhadap warga Sudan Selatan yang berada di
wilayah Sudan Utara.
Hingga ahkirnya Pada tanggal 13 Juli 2011 pemerintah Republik
Sudan telah mengesahkan amandemen terhadap Undang-Undang
kewarganegaraan Sudan. Di dalam amandemen tersebut mengatur
mengenai beberapa hal (AFP, http://www.Modernghana.com/news/
339675/1/khartoum-cancels-Sudanese-nationality-of-southerne.html.
[Diakses tanggal 25 Agustus 2011]) meliputi:
1) Pertama, bagi Mereka yang terdaftar untuk memberikan suara dalam
referendum 2011 Januari dan mememilih suksesi negara bagi Sudan
Selatan dianggap oleh pemerintah Republik Sudan menjadi Republik
Sudan Selatan.
2) Pembatalan kebangsaan Sudan secara otomatis untuk setiap orang
yang memperoleh kewarganegaraan dari negara Sudan Selatan
semenjak Sudan Selatan menyatakan kemerdekaanya. Sehingga bagi
warga Sudan Selatan yang ingin bekerja di sektor swasta di Sudan
Utara, harus mendapatkan izin tinggal.
3) Bagi warga Sudan Selatan yang ingin tetap tinggal di utara diberi
waktu periode transisi selama 9 bulan untuk mengurus perizinanan
tersebut, dan bila lewat dari waktu yang telah ditentukan Pemerintah
Sudan akan melakukan deportasi bagi warga Sudan Selatan yang tidak
memilki izin dan izin tinggal.
4) Hukum sipil dan pemberian kartu identitas biometrik bagi warga
negara Republik Sudan, ditujukan agar memudahkan penduduk di
Republik Sudan mengakses hak-hak mereka.
Dalam Praktek pelaksanaan amandemen Undang-Undang
Kewarganegaraan Sudan diketahui banyak terdapat pelanggaran HAM
commityang
terhadap warga Sudan selatan to user
berada di Sudan Utara (Bronwen

lxxxvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Manby, http://blog.soros.org/2011/12/citizenship-and-state-succession-in-
the-Sudans/. [Diakses tanggal 25 Agustus 2011]) hal tersebut meliputi :
1) Aplikasi kartu kartu identitas biometrik baru yang diberlakukan
pemerintah Sudan ditujukan untuk menghalangi warga Sudan selatan
di utara untuk mendapat akses pelayanan sosial.
2) Maraknya pemecatan terhadap warga Sudan selatan di utara dengan
dasar tidak memiliki kartu identitas biometrik baru yang menyatakan
sebagai warga Sudan utara walaupun orang tersebut telah dilengkapi
dengan surat izin tinggal seperti yang diatur dalam amandemen
Undang-Undang Kewarganegaraan Sudan.
3) Banyak terjadi pencabutan kewarganegaraan secara sewenang-
wenang, sehingga terjadi deportasi masal dan paksa oleh pemerintah
Sudan terhadap warga Sudan selatan yang sedang mengurus perijinan
di Sudan Utara.
Di lain pihak Republik Sudan Selatan dalam konstitusinya mengatur
mengenai ketentuan Penentuan kewarganegaraan Sudan Selatan yang
diatur dalam Pasal 45 mengenai Kewarganegaraan dan Hak dan Pasal 46
mengenai Tugas Warga Negara. Di dalamnya menyatakan bahwa seorang
individu akan dianggap sebagai warga negara Sudan Selatan jika
memenuhi salah satu persyaratan sebagai berikut:
1) Setiap orang tua, kakek atau nenek buyut pada garis laki-laki atau
perempuan lahir di Sudan Selatan,
2) Orang tersebut milik salah satu komunitas suku asli Sudan Selatan,
3) Orang tersebut, pada saat RUU ini diberlakukan, telah berdomisili di
Sudan Selatan sejak 1 Januari 1956 [tanggal kemerdekaan], atau
4) Orang tersebut telah mengakuisisi dan mempertahankan status Sudan
Selatan nasional.
Selain itu di Sudan Selatan, seseorang diperbolehkan untuk memiliki
kewarganegaraan ganda untuk menghindari seseorang kehilangan
kewarganegaraannya karena suksesi negara. Tujuan kebijakan Sudan
commit to
Selatan adalah menyeimbangkan user
kebajikan kohesi etnis dan keragaman

lxxxviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

etnis (Bronwen Manby, http://blog.soros.org/2011/12/citizenship-and-


state-succession-in-the-Sudans/ [Diakses tanggal 25 Agustus 2011]).
Undang-Undang Kewarganegaraan Sudan mendapat reaksi negatif
oleh masyarakat internasional. Salah satunya disampaikan secara resmi
dalam nota PBB. Nota PBB tersebut memerintahkan pada pemerintah
Republik Sudan untuk segera melakukan amandemen kembali terhadap
kebijakan kewarganegraannya tersebut, dengan harapan adanya kebijakan
baru yang lebih memperhatikan mengenai jaminan perlindungan HAM.
Yang dimana tidak akan ada tindakan pendiskriminasian yang saling
merugikan terutama warga negara Republik Sudan Selatan.Akhirnya pada
Maret 2012 Republik Sudan dan Republik Sudan Selatan mencapai
kesepakatan mengenai prinsip 'Empat Kebebasan', (Sudan tribune.
http://www. Sudantribune. com/Sudan-VP-downplays-significance-
of,41944. [Diakses tanggal 18 Maret 2012]).
d. Arsip negara
Arsip-arsip berupa dokumen baik secara tertulis maupun visual baik
dalam bentuk foto ataupun video dokumentasi mengenai Republik Sudan
masih tersimpan di Khartoum ibukota Sudan Utara dan sebagian masih
disimpan oleh pemerintah Inggris.
Arsip yang berada di Khartoum merupakan dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan perundingan-perundingan, kerangka perjanjian, dan
pertimbangan-pertimbangan dalam perjanjian-perjanjian yang dilakukan
oleh Republik Sudan atau pun Republik Sudan Selatan sebelum terjadi
suksesi.
Sedangkan dokumen yang disimpan oleh pemerintahan Inggris adalah
dokumen Sudan selama berada di bawah kekuasaan Inggris hingga
dokumen pemberian kemerdekaan oleh Inggris kepada Sudan pada tahun
1956. Untuk peninggalan bersejarah dan situs-situs budaya, penguasaan
setelah suksesi negara dilakukan berdasar wilayah. Hal ini dibuktikan
dengan penguasaan oleh Sudan Selatan terhadap Pitt Rivers Museum yang
commit
didalamnya terdapat koleksi to user
meliputi 1300 artefak dan 5000 foto (Museum

lxxxix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pitt River, http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en%7Cid


&u=http://southernSudan.prm.ox.ac.uk/ [Diakses tanggal 13 Maret 2012]).
Sedangkan situs budaya yang berada di Sudan utara sudah mengalami
privatisasi, yang dimana kepemilikan situs telah menjadi milik masyarakat
umum. Keadaan ini dilatarbelakangi kebutuhan pemerintah Sudan utara
terhadap dana, guna membiayai perang saudara yang terjadi di Sudan
selama beberapa dekade pemerintahan (Wafa 'Abd al-Rahman,
http://www.Sudantribune.com/SHRO-Cairo-Women-Activists,16411.
[Diakses tanggal 28 Juni 2011]).
e. Public property
Public property dapat berwujud gedung-gedung dan tanah milik
negara, alat-alat transportasi milik negara, dana-dana pemerintah yang
tersimpan dalam bank, pelabuhan-pelabuhan dan sebagainya. Public
property dapat dibedakan menjadi benda bergerak dan benda tidak
bergerak (Sefriani, 2011: 303).
Dalam suksesi negara yang terjadi antara Republik Sudan dan
Republik Sudan Selatan pembagian mengenai Public property belum
terjadi pembagian yang jelas dan terperinci dalam suatu perjanjian yang
baru dan masih berdasar pada CPA. Data mengenai kepemilikan dan
kekayaan masing-masing negara juga belum teradministrasi secara resmi
sehingga dalam pengumpulan dana mengenai Public property hanya dapat
dilakukan secara terbatas. Public property yang dapat dibahas hanya
berdasar laporan sementara dari Kedutaan Besar Republik Indonesia Sudan
(Mulyadi. 2012. Laporan Sementara Keadaan Sudan. Kedutaan Besar
Republik Indonesia Sudan) yang meliputi :
1) Kepemilikan dan penyimpanan dana di bank serta tanah dan bangunan.
Kepemilikan dan Penyimpanan Dana di Bank di atur berdasar
kesepakatan terdahulu yaitu The Protocol on Wealth Sharing, yang
menyatakan bahwa dana terbagi menjadi 2 kepemilikan dan tersimpan
di dua bank yang berbeda yaitu :
commit to user

xc
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

a) Dana milik Republik Sudan berada di Central Bank of Sudan


(CBO) ,sedangkan dana milik Republik Sudan Selatan tersimpan di
Bank of Shouth Sudan (BOSS).
b) Mengenai kepemilikan tanah dan bangunan dibagi berdasar
kewilayahan dan di tangani oleh badan kewilayahan masing-
masing negara baik Republik Sudan ataupun Republik Sudan
Selatan.
2) Daerah Administrasi Abyei
Pengaturan mengenai penguasaan Public property di daerah
perbatasan Abyei tercantum dalam Temporary Arrangements for The
Administration and Security of The Abyei Area yang ditandatangani
pada 20 Juni 2011, dimana isinya masih merujuk pada perjanjian
sebelumnya yaitu Resolution of the Abyei Conflict yang ditandatangani
26 Mei 2004. Dalam perjanjian tersebut diatur bahwa penyelesaian
mengenai daerah perbatasan Abyei akan diselesaikan melalui
referendum dan selama masa transisi dalam masalah perbatasan akan
berdasar pada garis imaginer yang ditarik lurus antara Republik Sudan
dan Republik Sudan Selatan.
3) Kilang minyak dan sumber daya minyak
Republik Sudan memiliki kilang minyak yang berada di Port di
Laut Merah, kilang minyak ini lah yang digunakan untuk melakukan
kegiatan pengilangan semasa sebelum suksesi negara. Setelah suksesi
negara Republik Sudan Selatan menguasai tiga perempat dari wilayah
republik Sudan sebelumnya yang merupakan wilayah yang terdapat
sumber daya minyak, sehingga Republik Sudan Selatan adalah negara
yang kaya akan minyak. Namun kendala yang dihadapi Republik Sudan
Selatan adalah tidak memiliki kilang minyak sendiri.
Jadi karena kondisi tersebutlah Republik Sudan Selatan bekerja
sama dengan Republik Sudan dalam melakukan penyulingan terhadap
minyak tersebut. Permasalahan yang muncul adalah Republik Sudan
commit to user

xci
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

memberlakukan biaya untuk jasa tersebut, namun pengenaan biaya


tersebut diberlakukan dengan biaya yang tinggi.
f. Privat property
Privat property yang dimaksud adalah harta benda juga hak-hak milik
perorangan atau perusahaan yang bukan milik negara berdasarkan hukum
nasional Predecessor. Dalam hal terjadi suksesi pada umumnya para ahli
hukum internasional sepakat bahwa privat property ini harus dihormati
atau dilindungi oleh Predecessor state serta tidak dipengaruhi secara
otomatis oleh suksesi negara yang terjadi (Sefriani, 2011: 306).
Berdasarkan laporan sementara dari Kedutaan Besar Republik
Indonesia Sudan (Mulyadi.2012. Laporan Sementara Keadaan Sudan.
Kedutaan Besar Republik Indonesia Sudan) bahwa kebijakan mengenai
pembagian penguasaan privat property sebagai Implikasi Hukum suksesi
negara dilakukan secara terpisah sehingga mengenai pembagian hak-hak
terhadap privat property menjadi tanggungan masing-masing negara baik
Republik Sudan atau pun Republik Sudan Selatan.Namun tidak menutup
kemungkinan terjadi kerjasama antara Republik Sudan, Republik Sudan
Selatan dan perusahaan swasta sebagai kebijakan baru untuk penyelesaian
permasalahan yang timbul karena implikasi hukum suksesi negara
mengenai privat property.
Beberapa pemilik privat property yang berada di Republik Sudan
yaitu; Petrodar Operating Company (PDOC) yang merupakan konsorsium
perusahaan minyak nasional yang sebagiann besar terdiri dari beberapa
negara Cina, Malaysia dan India (Eric Reeves,
http://www.Sudantribune.com/Sudan-Oil-Crisis-Extortion-and,41452.
[Diakses tanggal 30 Januari 2012]).PDOC adalah sebuah perusahaan yang
beroperasi bekerja di industri eksplorasi, pengembangan, produksi dan
transportasi minyak mentah. Beroperasi di blok 3D, 3E dan 7E yang
terletak di tenggara Sudan dengan luas konsesi total 72.420 km
persegi. PDOC didirikan berdasarkan hukum British Virgin Islands dan
memiliki cabang terdaftarcommit to user
di Sudan (http://www.petrodar.com/, [diakses

xcii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

tanggal 30 Januari 2012]). Keadaan ini dipertegas dengan adanya


pengaturan mengenai kepemilikan privat property dalam Pasal 28
Konstitusi Republik Sudan atau pun Republik Sudan Selatan.
g. Keanggotaan organisasi internasional
Sudan merupakan negara yang bergabung dengan berbagai organisasi
internasional seperti: IMF (International Monetary Fund), WHO (World
Health Organization), WIPO (World Intellectual Property Organization),
WTO (World Trade Organization), UNHCR (United Nations High
Commissioner for Refugees), UNESCO (United Nations Educational,
Scientific and Cultural Organization), UNCTAD (United Nations
Conference on Trade and Development). (CIA The World Fact Book,
http://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/su.html.
[Diakses tanggal 5 Juni 2011]).
Keanggotaan Republik Sudan Selatan pada organisasi internasional
Meliputi : Perserikatan bangsa-bangsa (PBB) yang resmi bergabung pada
14 Juli 2011 menjadi negara anggota ke 193 di dalam Organisasi
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB menyambut Sudan Selatan sebagai 193
Negara Anggota" , Un.org.Diperoleh 2011/09/16), Uni Afrika yang resmi
bergabung pada 28 Juli 2011 sebagai negara anggota ke 54 di dalam Uni
Afrika, Liga Arab, Masyarakat Afrika Timur (EAC), IMF resmi bergabung
pada 9 Juli 2011 menjadi negara anggota ke 187 anggota (IMF,
http://www.imf.org/external/np/sec/pr/2011/pr11145.htm. [Diakses tanggal
20 agustus 2011]).
h. Tanggung jawab terhadap claims in tort & delict.
Koflik antara Republik Sudan Utara dengan Republik Sudan Selatan,
terdapat satu konflik lagi yang terjadi di Republik Sudan yaitu konflik
Darfur. Konflik Darfur terjadi sejak Februari 2003 oleh 2 kelompok
bersenjata yang disebut Sudan Liberation Army (SLA) dan Justice and
Equality Movement (JEM).
Pada Januari 2004 sumber PBB melaporkan bahwa sekitar 85 persen
dari 900 ribu orang yangcommit to user
terkena dampak konflik darfur tidak dapat

xciii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengakses bantuan kemanusiaan, karena ketidakamanan. Pada bulan April


2008 PBB melaporkan sekitar 300 ribu orang tewas dalam konflik tersebut
(Tim Youngs, Sudan:Conflict in Darfur, http://www.parliament.uk.
[Diakses tanggal 23 Maret 2011]).
Konflik Sudan mengandung beberapa jenis tindakan pembantaian
yang dapat dijelaskan sebagai tindakan kriminal di Sudan yang meliputi :
Ethnic Cleansing, pergerakan kekuatan militer, pemindahan penduduk,
serta penyerangan. Kejahatan lainya seperti perampokan, pemerkosaan
wanita dan anak-anak dibawah umur, pembakaran rumah dan kampung.
Karena konflik yang terus berlangsung dan korban semakin banyak
berjatuhan, usaha-usaha untuk menciptakan perdamaian juga diupayakan
oleh pihak-pihak penegak hukum serta keadilan internasional.
Konflik Sudan telah masuk dalam ranah internasional karena
menyangkut isu HAM serta stabilitas internasional. Berbagai kejahatan
seperti genosida, kejahatan lain terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang memang merupakan jenis kejahatan yang berskala Internasional.
Selain itu juga masalah Hak Asasi Manusia (HAM) serta genosida
merupakan jenis masalah yang dapat dikategorikan dalam masalah
Transnasional artinya pengadilan serta upaya penyelesaian masalah
tersebut dapat disoroti oleh masyarakat internasional tanpa melihat teritori
wilayah serta tidak dibatasi oleh hukum suatu negara.
Seperti yang diketahui di wilayah Republik Sudan Selatan terdapat
sumber daya alam berupa minyak, gas, dan uranium. Inilah yang membuat
pihak asing, khususnya Negara-negara Barat (AS dan Inggris) dan Cina
ikut campur tangan dalam konflik Sudan tersebut. Pihak asing tersebutlah
yang membuat konflik etnis tersebut tak kunjung usai. Di sini, terjadi
keadaan di mana etnis dijadikan sebuah instrument untuk mencapai
kepentingan asing. Boleh dikatakan konflik Sudan adalah konflik etnis
yang dipolitisi atau konflik etnis yang diboncengi kepentingan asing. Selain
itu kegagalan disebabkan oleh rendahnya motivasi para aktor untuk
menyelesaikan konflik. commit to user

xciv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ICC sebagai organisasi internasional yang berperan dalam menegakan


supremasi hukum internasional, seringkali menemukan jalan buntu dalam
penyelesaian konflik tersebut. Hal ini berkaitan dengan upaya menjamin
stabilitas domestik Sudan. Dalam arti bahwa penangkapan presiden Omar
Al Bashir akan berdampak pada situasi Sudan serta jaminan stabilitas
domestiknya.
Tuduhan ICC atas pelanggaran yang terjadi di Republik Sudan dengan
tegas ditolak oleh Pemerintah Republik Sudan dan menuduh negara-negara
barat menggunakan ICC untuk menstabilisasi Republik Sudan dan
menguasai kekayaan Sudan terutama minyak. Penetapan tersangka
Presiden Republik Sudan oleh ICC ini direspon oleh pemerintah Republik
Sudan, dengan mengusir 13 International Non Governmental Organization
(INGO) dan 3 National Non Governmental Organization (NNGO)
nasional, beberapa jam setelah pengumuman oleh ICC. Mereka dituduh
telah melanggar hukum Sudan dan memberi informasi yang tidak benar
kepada ICC dan diperintahkan untuk meninggalkan Republik Sudan dalam
waktu 24 jam. ICC sebagai sebuah instrument internasional yang bertujuan
untuk menciptakan keadilan global secara khusus dalam menyelesaikan
konflik yang disinyalir terdapat tindakan genosida serta ethnic cleansing.

B. Pembahasan
Istilah suksesi negara selalu terkait akan adanya suatu perpindahan
kekuasaan dari kelompok pertama kepada yang kedua. Sehingga suksesi negara
selalu berhubungan dengan implikasi-implikasi hukum yang timbul akibat
perubahan kedaulatan atas suatu wilayah (Peter Malanczuk, 1997: 157).
Implikasi hukum yang ditimbulkan dari suksesi negara sangat bergantung pada
jenis suksesi apa yang terjadi disuatu negara tersebut. Hal ini dikarena dalam
proses suksesi negara dapat diartikan dalam beberapa bentuk meliputi
penggabungan, pemisahan atau pembentukan sebuah negara baru, yang selalu
terkait dengan perubahan kedaulatan (Malcolm Shaw, 2009: 675).
commit to user

xcv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Referendum di Republik Sudan pada bulan Januari 2011, menghasilkan


keputusan yaitu Sudan Selatan memilih untuk memisahkan diri (Secession)
dari Republik Sudan dan membentuk negara baru yaitu Republik Sudan
Selatan yang dinyatakan dalam deklarasi kemerdekaan Republik Sudan Selatan
pada tanggal 9 Juli 2011. Suksesi negara yang terjadi antara Republik Sudan
dengan Republik Sudan Selatan, disebut dengan suksesi parsial atau suksesi
negara yang berupa pemisahan diri dengan negara sebelumnya dan membentuk
negara baru tanpa menghilangkan eksistensi dari negara sebelumnya.
Suksesi parsial memiliki beberapa teori dalam hal pembagian tanggung
jawab antara Predecessor state dan Successor state yang meliputi; Common
doktrine (universal Doctrine), Clean state doctrine, serta Teori yang ditentukan
The Vienna Convention on Succession of State in Respect of Treaties on 1978
dan The Vienna Convention on Succession of State in Respect of State
Property, Archive and Debst on 1983. Sehingga dimungkinkan terjadinya
modifikasi-modifikasi dalam implikasi hukum yang timbul dalam suksesi
negara, dengan berdasarkan kesepakatan para pihak.
Kajian utama dalam penulisan hukum ini adalah saat implikasi-implikasi
suksesi negara muncul sebagai hal yang disepakati oleh para pihak, maka perlu
dikaji kembali apakah kesepakatan oleh Predecessor state dan Successor state
dalam hal pembagian tanggung jawab dan kewenangan tersebut sudah sesuikah
dengan ketentuan-ketentuan yang diatur oleh konvensi-konvensi internasional
dan kebiasaan hukum internasional. Berikut ini adalah mplikasi hukum akibat
suksesi negara yang terjadi di suksesi Republik Sudan Selatan dari Republik
Sudan.
1. Perjanjian internasional
The Vienna Convention on Succession of State in Respect of Treaties
on 1978 merupakan kodifikasi hukum kebiasaan internasional, yang
mengatur mengenai ketentuan-ketentuan internasional berdasar kebiasaan
internasional mengenai implikasi hukum terhadap perjanjian internasional
yang muncul antara Predecessor state terhadap Successor state dalam
commit to user
masalah suksesi negara. Pengaturan tersebut termuat dalam Pasal 17 dan

xcvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pasal 24 The Vienna Convention on Succession of State in Respect of


Treaties on 1978 yang menetapkan bahwa perjanjian tidak beralih pada
Successor state kecuali ditentukan lain dalam perjanjian penyerahan
kedaulatan antara Predecessor state terhadap Successor state atau disebut
dengan devolution agreement (Boer Mauna, 2005: 41). Ketentuan ini
sejalan dengan apa yang diatur oleh Pasal 34 Vienna Convention on the
Law of Treaties on 1969 yang mengatur mengenai prinsip “pacta tertiis nec
nocunt nec procent” yang artinya perjanjian tidak menimbulkan hak dan
kewajiban kepada pihak ketiga tanpa persetujuannya.
Dalam pengaturannya tidak semua perjanjian dapat ditolak oleh
Successor state, perjanjian tersebut yaitu perjanjian yang terkait dengan
wilayah atau sering disebut sebagai dispositive treaty dan perjanjian yang
terkait dengan perbatasan atau servitude treaty. Hal ini diatur dalam Pasal
11 The Vienna Convention on Succession of State in Respect of Treaties on
1978 menetapkan bahwa suksesi negara tidak akan mempengaruhi
Perjanjian mengenai perbatasan dan kewajiban dan hak yang ditetapkan
oleh perjanjian dan yang berkaitan dengan rezim perbatasan.
Pasal 12 The Vienna Convention on Succession of State in Respect of
Treaties on 1978 menetapkan bahwa suksesi negara tidak akan
membatalkan Servitude Treaties. Perjanjian ini akan muncul ketika
teritorial suatu negara, karena beberapa cara tertentu,digunakan untuk
memenuhi kebutuhan negara lain. Misal perjanjian right of passage, take
water for irrigation, dan free zone.
Pengaturan tersebut, juga dinyatakan dalam Pasal 62 ayat (2) Vienna
Convention on the Law of Treaties on 1969 yang menyatakan bahwa Rebus
sic stantibus tidak dapat diberlakukan pada perjanjian perbatasan, wilayah,
hak lintas, netralisasi, demiliterisasi wilayah tertentu, kesehatan, HAM, dan
narkotika, meskipun ada perubahan wilayah dan kedaulatan (Mieke Komar
Kantaatmadja, 1983: 40). Pengaturan ini dilakukan dengan tujuan
menghormati prinsip integritas teritorial dan upaya pemeliharan keamanan
serta perdamaian dunia. commit to user

xcvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Implikasi hukum suksesi negara antara Republik Sudan dengan


Republik Sudan Selatan mengenai perjanjian internasional belum terdapat
perkembangan yang signifikan. Para pihak masih menggunakan perjanjian
terdahulu, dimasa transisi yaitu CPA (Comprehensive Peace Agreement ).
Pengaturan dalam CPA sangatlah terbatas, terutama mengenai ketentuan
pembagian pemenuhan tanggung jawab terhadap perjanjian internasional
yang disepakati sebelum terjadi suksesi negara, yang akibat dari perjanjian
tersebut masih berlanjut hingga suksesi negara terjadi. Dengan demikian
CPA masih tetap berlaku sebagai perjanjian internasional antara Republik
Sudan dan Republik Sudan selatan.
Salah satu perjanjian internasional tersebut adalah perjanjian
mengenai kerjasama penyediaan sumber daya minyak, misal kerjasama
penyediaan sumber daya minyak dengan China, perjanjian ini telah
disepakati dan berlangsung lama sebelum terjadi suksesi negara antara
Republik Sudan dengan Republik Sudan Selatan. Pada kenyataannya
suksesi negara menyebabkan Republik Sudan kehilangan penguasaan tiga
perempat wilayahnya yang kaya akan sumber daya minyak, hal ini
menyebabkan Republik Sudan mengalami kesulitan dalam melakukan
pemenuhan kewajiban perjanjian internasional tersebut.
Berdasar keadaan tersebut maka, Republik Sudan melakukan beberapa
perundingan dengan Republik Sudan Selatan, bersama dengan para
investor luar negeri yang masih terikat perjanjian internasional tersebut
untuk mendapatkan kesepakatan mengenai mekanisme atau penyelesaian
dalam pemenuhan tanggung jawab perjanjian internasional. Keikutsertaan
Republik Sudan Selatan dalam perundingan ini adalah sebagai pihak ketiga,
karena Republik Sudan Selatan bukanlah bagian dari perjanjian
internasional tersebut. Namun, karena proses suksesi negara menyebabkan
Republik Sudan Selatan memiliki hak menguasai wilayah yang kaya akan
sumber daya minyak tersebut.
Keadaan ini sejalan dengan yang diatur oleh Pasal 34 Vienna
commit
Convention on the Law of to user
Treaties on 1969 yang mengatur mengenai

xcviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

prinsip “pacta tertiis nec nocunt nec procent” yang artinya perjanjian tidak
menimbulkan hak dan kewajiban kepada pihak ketiga tanpa
persetujuannya. Dimana dalam keadaan ini Republik Sudan Selatan adalah
pihak ketiga, sehingga dalam melakukan kebijakan yang menyangkutkan
hak dan kewajiban pihak ketiga maka perlu dilakukan perundingan dan
kesepakatan para pihak dalam bertindak. Ketentuan pasal ini juga di
perkuat dengan pengaturan Pasal 17 dan Pasal 24 The Vienna Convention
on Succession of State in Respect of Treaties on 1978 yang menetapkan
bahwa perjanjian tidak beralih pada Successor state kecuali ditentukan lain
dalam perjanjian penyerahan kedaulatan antara Predecessor state terhadap
Successor state atau disebut dengan devolution agreement. Sehingga jelas
diatur bahwa apabila terjadi peralihan penanggungan tanggung jawab dari
Republik Sudan kepada Republik Sudan Selatan mengenai pemenuhan
kewajiban perjanjian terdahulu sebelum terjadi suksesi negara, perlu
dituangkan dalam suatu perjanjian internasional baru yang disepakati oleh
para pihak.
Sebagai contoh mengenai penerapan implikasi hukum suksesi negara
terhadap perjanjian internasional, adalah suksesi negara di Singapura pada
tahun 1965 mengenai perjanjian ekstradisi. yang dalam kasus ini, meskipun
Pemerintah Hindia Belanda dengan Pemerintah Inggris yang menguasai
Singapura waktu itu sudah membuat perjanjian bilateral mengenai
ekstradisi, namun perjanjian ini tidak bisa digunakan untuk meminta
diekstradisinya Kapten Westerling yang diketahui bersembunyi di
Singapura. Hal ini dikarenakan perjanjian ekstradisi termasuk kategori
perjanjian yang tidak beralih secara otomatis pada Successor state kecuali
ditentukan dengan kesepakatan tersendiri antara Predecessor state terhadap
Successor state.
Kesimpulan yang dapat diambil oleh Penulis mengenai implikasi
hukum suksesi negara antara Republik Sudan Selatan dengan Republik
Sudan adalah bahwa telah memenuhi ketentuan Pasal 34 Vienna
commit toonuser
Convention on the Law of Treaties 1969 dan Pasal 17 dan Pasal 24 The

xcix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Vienna Convention on Succession of State in Respect of Treaties on 1978


dengan melakukan perundingan dengan Republik Sudan Selatan, bersama
dengan para investor luar negeri yang masih terikat perjanjian internasional
tersebut untuk mencapai kesepakatan mengenai mekanisme atau
penyelesaian dalam pemenuhan tanggung jawab perjanjian internasional,
karena perjanjian kerjasama minyak dengan negara lain, tidak termasuk
sebagai perjanjian internasional yang berpindah secara otomatis setelah
terjadi suksesi negara, maka perlu adanya suatu perundingan dan
kesepakatan baru antara para pihak dan pihak ketiga mengenai pemenuhan
kewajiban perjanjian tersebut dan terhadap kemungkinan terjadi peralihan
tanggung jawab kepada pihak ketiga sesuai dengan ketentuan dan
kebiasaan internasional.
2. Hutang negara
Ketentuan mengenai hutang diatur dalam The Vienna Convention on
Succession of State in Respect of State Property, Archive and Debst on
1983 dengan tujuan untuk mendapatkan keseragaman dalam
pengaturannya hal ini dikarenakan permasalahan mengenai tanggung
jawab terhadap hutang negara adalah permasalahan yang sangat sensitif.
Hutang negara dapat dikelompokan menjadi 2 kelompok yakni
hutang pemerintah pusat dan hutang pemerintah daerah dan penyelesaian
hutang dilakukan melalui perjanjian khusus dalam perjanjian peralihan.
Apabila predecessor state masih eksis maka tetap bertanggungjawab
mengenai pengembalian hutang. Adapun yang menyangkut hutang daerah
dan daerah tersebut merupakan daerah yang melepaskan diri, maka
successor state wajib membayar hutang tersebut.
Pasal 36 The Vienna Convention on Succession of State in Respect of
State Property, Archive and Debst on 1983 menyatakan suksesi negara
tidak akan menghilangkan hak dan kewajiban negara sebagai kreditor.
Pasal 40 dan Pasal 41 The Vienna Convention on Succession of State
in Respect of State Property, Archive and Debst on 1983 menyatakan
pembagian hutang antara commit to user
predecessor state dan successor state dilakukan

c
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berdasar prinsip pembagian yang adil equitable proportion. Pembagian


yang adil equitable proportion, pada umumnya dengan menyesuaikan :
Jumlah penduduk, luas wilayah, kekayaan atau sumberdaya alam yang
dimiliki masing-masing wilayah, besarnya pajak pendapatan yang
diperoleh masing-masing wilayah.
Dalam Wealth Sharing Protocol juga diatur dalam Pasal 1 ayat 4
mengenai alokasi kekayaan dari sumber daya alam termasuk didalamnya
adalah hutang harus ditentukan sesuai kualitas hidup, martabat dan kondisi
hidup semua warga negara tanpa diskriminasi dipromosikan atas dasar
gender, ras, agama, afiliasi politik, etnis, bahasa, atau wilayah. Pembagian
dan alokasi kekayaan ini harus didasarkan pada premis bahwa semua
bagian di Sudan berhak untuk pembangunan.
Suksesi negara antara Republik Sudan dan Republik Sudan Selatan
adalah suksesi negara parsial dimana suksesi negara tidak menghilangkan
eksistensi dari predecessor state. Sehingga dalam hal penentuan kewajiban
pembayaran hutang dapat berdasar kesepakatan pembagian tanggung
jawab antara predecessor state dan successor state dalam pelunasannya.
Kreditor dalam suksesi negara ini adalah Republik Sudan. Hutang
negara Republik Sudan telah dimulai sejak tahun 1985 pada negara-negara
di Afrika, Amerika dan Inggris. Hutang timbul dilatar belakangi oleh
kebutuhan pemerintah Republik Sudan untuk memenuhi kebutuhan dalam
perang saudara melawan pemberontakan Sudan selatan. Pemerintah Sudan
menyatakan bahwa uang hutang tidak hanya digunakan untuk membiayai
kebutuhan dalam perang saudara namun juga, untuk meningkatkan
kualitas dari beberapa infrastruktur yang ada di Sudan, dalam hal ini
termasuk wilayah Sudan selatan, yakni peningkatan segala fasilitas
pertambangan minyak dan mesin kilang minyak dengan tujuan
meningkatkan kualitas minyak bumi yang dihasilkan Republik Sudan.
Namun, dalam pernyataannya Republik Sudan Selatan menyangkal
argumentasi Republik Sudan mengenai peningkatan segala fasilitas
pertambangan minyak dancommit
mesin tokilang
user minyak yang berada di wilayah

ci
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Republik Sudan Selatan dan bersikeras menolak tawaran untuk membagi


tanggung jawab pelunasan hutang Republik Sudan.
Pelaksanaan implikasi suksesi mengenai hutang negara negara antara
Republik Sudan dan Republik Sudan Selatan berlangsung tidak sesuai
dengan prinsip-prinsip dalam hukum internasional, hal ini dikarenakan
para pihak baik Republik Sudan maupun Republik Sudan Selatan
mengeluarkan kebijakan sebagai tindak lanjuti hutang negara tersebut
secara sepihak tanpa didasari kesepakatan di kedua belah pihak. Sebagai
contoh adalah adanya kebijakan Republik Sudan untuk menerapkan tarif
perjalanan untuk minyak yang berasal Republik Sudan Selatan yang telah
dikirimkan ke terminal di port milik Republik Sudan di Laut Merah. Tarif
yang ditetapkan secara sepihak oleh Republik Sudan sangat tinggi.
Keadaan lain selain pemberlakuan tarif adalah Pemerintah Republik
Sudan secara sepihak memutuskan untuk mengambil jutaan barel minyak
milik Republik Sudan Selatan yang akan melalui proses pengilangan di
Port milik Republik Sudan di Laut Merah dipindahkan melalui The "MT
Sky Sea" berisi 605.784 barel, "MT Al Nouf" sekitar 750.000 barel dan
"MT Ratna Shradha" sekitar 600.000 barel. Laporan ini diterbitkan oleh
Kementerian kehakiman di Republik Sudan Selatan dan dibenarkan oleh
Petrodar Operating Company (PDOC).
Alasan pemberlakuan kebijakan tarif perjalanan dan mengambil
jutaan barel minyak milik Republik Sudan Selatan oleh Republik Sudan
adalah sebagai reaksi atas penolakan pemerintah republik Sudan selatan
untuk melakukan pembagian hutang negara dan sebagai pemasukan baru
Republik Sudan. Republik Sudan Selatan menolak pembagian hutang
karena yakin hutang tersebut timbul karena kebutuhan pemerintahan
Republik Sudan dalam membiayai tentara utara untuk melawan
pemberontakan Republik Sudan Selatan dalam perang saudara.
Perkembangan selanjutnya adalah Republik Sudan dan Republik
Sudan Selatan telah melakukan perundingan menengenai tindak lanjut
commit
hutang negara tersebut, namun to user
belum menemui kesepakatan.

cii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Perkembangan seperti ini sudah jelas sangat tidak sesuai dengan


ketentuan The Vienna Convention on Succession of State in Respect of
State Property, Archive and Debst on 1983 karena suatu pengaturan
mengenai implikasi hukum suksesi negara ditujukan untuk menghindari
tindakan masing-masing negara yang terkait dalam suksesi negara dari
tindakan yang saling merugikan satu sama lain baik dengan tujuan
memenuhi kebutuhan negara ataupun sebagai tindakan balas dendam.
Dijelaskan sebelumnya bahwa pembagian hutang dilakukan berdasarkan
kesepakatan dan diatur pula dalam Pasal 40 dan Pasal 41 The Vienna
Convention on Succession of State in Respect of State Property, Archive
and Debst on 1983 bahwa kesepakatan dilakukan dengan prinsip equitable
proportion yang ditentukan dengan pertimbangan berdasarkan Jumlah
penduduk, luas wilayah, kekayaan atau sumberdaya alam yang dimiliki
masing-masing wilayah, besarnya pajak pendapatan yang diperoleh
masing-masing wilayah. Alasan Republik Sudan Selatan untuk menolak
pembagian hutang oleh pemerintah Republik Sudan adalah hutang negara
Republik Sudan digunakan membiayai perang saudara melawan
pemberontak Sudan selatan dan tidak digunakan untuk meningkatkan
kesejahteraan negara. Argumentasi tersebut dibantah oleh pemerintah
Republik Sudan, karena hutang yang dimiliki Republik Sudan dilakukan
semata untuk meningkatkan infrastuktur yang ada di Sudan termasuk
kilang minyak yang tersebar di wilayah Sudan Selatan sehingga Republik
Sudan Selatan juga memiliki tanggung jawab dalam menanggung hutang
tersebut. Namun bagi masing-masing argumentasi tersebut harus disertai
dengan pembuktian, dan hal ini yang belum dapat dilakukan masing-
masing negara.
Bila dalam kenyataannya argumentasi ini tidak terbukti oleh Republik
Sudan Selatan maka Republik Sudan Selatan harus menerima tawaran
pembagian hutang, namun guna menghindari perjanjian dan kesepakatan
pembagian hutang yang tidak sesuai dengan konvensi dan kebiasaan
commit to user

ciii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

internasional, maka ada beberepa hal yang perlu menjadi perhatian


sebagai pertimbangan:
a. Pembagian hutang dapat disesuaikan dengan besaran anggaran
hutang yang dilokasikan guna memperdayakan kilang minyak dan
SDA minyak yang tersebar di wilayah Republik Sudan Selatan.
b. Pembagian hutang juga perlu di lakukan dengan memperhatikan
mengenai jumlah penduduk, luas wilayah, dan kekayaan atau
sumberdaya alam yang dimiliki masing-masing wilayah.
Berdasar pertimbangan tersebut, maka Penulis akan memaparkan
beberapa perbandingan kondisi antara Republik Sudan dengan Republik
Sudan selatan. Pertama, mengenai jumlah penduduk Republik Sudan yang
lebih banyak sebesar 30,894,000 (Discontent over Sudan census".
News24. 21 Mai 2009. Retrieved 8 Juli 2011.). Menurut Theories of
Underdevelopment (Kenneth W. Grundy. 2006: 62-75) teori
perkembangan ekonomi berdasar pengaruh sosial menyatakan bahwa
penduduk di negara berkembang banyak berperan sebagai penghambat
dalam proses pembangunan ekonomi, karena dengan melihat kondisi dan
ciri-ciri penduduk yang masih terbelakang, tingginya tingkat
pengangguran, pendapatan perkapita yang rendah, dan kurangnya skill
yang berguna dalam proses pembangunan ekonomi. Kedua, kekayaan
atau sumberdaya alam yang dimiliki masing-masing wilayah, dalam
suksesi ini kekayaan alam Republik Sudan selatan jauh lebih
menguntungkan karena diwilayah Republik Sudan selatan tesebut terdapat
petambangan minyak yang melimpah yang di pemerintahan sebelumnya
merupakan pendapatan utama Republik Sudan. Sedangkan sekarang
kekayaan alam yang dimiliki oleh pemerintah Republik Sudan hanyalah
sebatas pada kekayaan pertanian dan pertambangan emas yang hasilnya
tidak dapat terlalu dapat diharapkan.
Rujukan yang dapat dijadikan pertimbangan mengenai implikasi
suksesi negara terhadap hutang negara adalah proses suksesi negara
commit
Republik Czech dan Slovakia to user
yang terjadi daerah bekas Czechoslovakia

civ
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pada tanggal 1 Januari 1993. Dimana pembagian hutang dilakukan


berdasar kesepakan dari predecessor state dan successor state yang
mengadopsi kriteria dan prinsip-prinsip hukum internasional yang dimana
pengalokasian hutang utang teritorial dan aset akan dialokasikan untuk
successor state dan utang nasional akan dialokasikan dengan dasar prinsip
equitable proportion (ICG, 1997: 12).
Berdasarkan pemaparan dasar hukum dan kebiasaan internasional dan
pemaparan proses suksesi negara Republik Czech dan Slovakia diatas
maka seharusnya Republik Sudan Selatan menerima penawaran
melakukan pembagian hutang berdasar kesepakatan bersama guna
menghindarkan dan menghentikan keadaan ekonomi dan keamanan yang
mengancam baik bagi pemerintah Republik Sudan atau Republik Sudan
Selatan. Serta diharapkan dalam penyelesaian pembagian hutang antara
Republik Sudan dengan Republik Sudan Selatan dapat mengadopsi
pembagian hutang seperti yang dilakukan suksesi negara Republik Czech
dan Slovakia Dimana pembagian hutang dilakukan berdasar kesepakan
dari predecessor state dan successor state yang mengadopsi kriteria dan
prinsip-prinsip hukum internasional yang dimana pengalokasian hutang
teritorial dan aset akan dialokasikan untuk successor state
dan utang nasional akan dialokasikan dengan dasar prinsip equitable
proportion. Penyelesaian ini sesuai dengan kebiasaan internasional dan
The Vienna Convention on Succession of State in Respect of State
Property, Archive and Debst on 1983.
3. Kewarganegaraan
Pengaturan mengenai kewarganegaraan tidak diatur dalam The Vienna
Convention on Succession of State in Respect of Treaties on 1978 dan The
Vienna Convention on Succession of State in Respect of State Property,
Archive and Debst on 1983, hal ini dikarenakan dalam praktiknya bahwa
nasionalitas akan berubah ketika terjadi peralihan kedaulatan atau suksesi
negara, terlebih lagi bahwa pengaturan mengenai nasional menjadi hak
mutlak suatu negara untukcommitmengatur
to user masalah nasionalitas warga

cv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

negaranya dan atau warga negara asing yang berada di wilayah negaranya
(Ian brownlie, 2009: 657). Nationalitas termasuk dalam hal yang
diutamakan dalam proses suksesi negara. Hal ini dikarenakan nasionalitas
seseorang, menunjukan negara mana yang akan berkewajiban menjamin
perlindungan atas orang tersebut. Penyelesaian yang sering digunakan
permasalahan nasionalitas antara Predecessor state dan Successor state
adalah melalui kesepakatan pada sebuah perjanjian atau cukup melalui
instrumen hukum nasional negara masing-masing.
Pendapat ini diperkuat dalam perjanjian Versailess 1919. perjanjian
Versailess 1919 adalah perjanjian damai yang mengakhiri Perang Dunia
I antara Sekutu danKekaisaran Jerman, perjanjian ini menyatakan bahwa
kewarganegaraan seseorang ditentukan berdasar tempat kelahiran dan atau
tempat tinggal sehari-hari, kecuali ada penolakan untuk itu. Dengan
demikian, warga dari Predecessor state yang tinggal di wilayah successor
dapat memperoleh kewarganegaraan dari Successor state sepanjang tidak
ada pernyataan penolakan dari kedua belah pihak. Artinya dimungkinkan
bagi Predecessor state untuk membuat aturan hukum nasional bagi
warganya yang berada di wilayah Successor state tetap berhak atas
nasionalitas dari predecessor state. Predecessor state dan Successor state
harus memberi kebebasan bagi warganya untuk memilih nasionalitas dan
memberi jaminan pada setiap warganya untuk mendapatkan nasionalitas.
Sesuai prinsip dalam Deklarasi HAM Universal 1948 yang menyatakan
bahwa setiap orang behak atas nasionalitas. Serta dalam Pasal 1ayat (2)
convention on the reduction of the statelessness on 1961 yang menetapkan
bahwa setiap negara berkewajiban untuk menjamin tidak ada penduduk
yang menjadi stateless sebagai akibat adanya suksesi negara. Karena
pengaturannya mengenai penentuan kewarganegaraan yang berubah
karena proses suksesi negara, dilakukan dengan mengutamakan HAM.
Dengan menghindari tindakan-tindakan yang menimbulkan seorang
kehilangan kewarganegaraannya yang menyebabkan orang tersebut
commit to user

cvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Statelessness ataupun sebuah tindakan deportasi masal terhadap beberapa


warga negara di suatu wilayah negara
Ketentuan mengenai kewarganegaraan juga diatur dalam CPA, dalam
beberapa perjanjian, meliputi:
a. Power Sharing Protocol
Diatur dalam Pasal 1 ayat 6 angka 2 butir 11 menyatakan bahwa Hak
untuk Memilih, Setiap warga negara memiliki hak dan kesempatan,
tanpa pembedaan dan tidak masuk akal pembatasan, untuk memilih dan
dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, yang harus dengan
universal dan hak pilih yang sama dan harus diselenggarakan dengan
pemungutan suara secara rahasia untuk menjamin kebebasan
menyatakan keinginan pemilih.
b. Resolution of the Abyei Conflict
Diatur dalam Pasal 1 ayat 2 angka 1 menyatakan bahwa Warga Abyei
akan menjadi warga negara dari kedua Barat dan Kordofan Bahrel
Ghazal, dengan perwakilan di lembaga legislatif kedua Negara.
Kemudian dalam Pasal 6 menyatakan 6.1 Penduduk Daerah Abyei
adalah: (a) Anggota ngok Dinka masyarakat dan Sudan lain yang
berada di daerah tersebut; (b) kriteria tempat tinggal harus dikerjakan
oleh Komisi Referendum Abyei. 6.2 Warga Abyei akan menjadi warga
negara dari kedua Barat dan Kordofan Bahr el Ghazal dengan
perwakilan di lembaga legislatif di kedua Negara yang ditetapkan oleh
Komisi Pemilihan Nasional. Namun, sebelum pemilu, Kepresidenan
menentukanperwakilan tersebut.
Republik Sudan memiliki kebijakan kewarganegaraan yang
berlawanan dengan ketentuan Deklarasi HAM Universal 1948 dan Pasal 1
ayat (2) convention on the reduction of the statelessness on 1961. Hal ini
terlihat dari amandeman Undang-Undang kewarganegaraan Republik
Sudan yang mengatur mengenai penentuan kewarganegaraan yang telah
dijelaskan pada hasil pembahasan.
commit to user

cvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Tindakan pemerintah berupa penilaian secara sepihak berdasar hak


pilih dalam referendum dalam menentukan kewarganegaraan seseorang,
serta pemberlakuan pembatalkan kebangsaan Sudan secara otomatis
berdasar penilaian sepihak oleh pemerintah Republik Sudan sangatlah
bertentangan dengan ketentuan perlindungan HAM. Sebab dengan
mengikut sertakan penilaian sepihak oleh pemerintah akan berakibat
menghilangkan jaminan perlindungan terhadap Hak kebebasan untuk
Memberikan suara dan hak kebebasan bergerak.
Selain itu, dalam prakteknya diketahui bahwa ada tindakan
pemerintah Republik Sudan yang berhubungan dengan pemberian kartu
identitas biometrik bagi warga negara Republik Sudan ditujukan untuk
menghalangi warga Sudan Selatan di utara untuk mendapat akses
pelayanan sosial, karena layanan masyarakat yang diberikan Pemerintah
Republik Sudan hanya untuk warga negara yang memiliki kartu identitas
biometrik tersebut. Selain itu kepemilikan kartu identitas biometrik
berdampak juga pada pemecatan terhadap warga Republik Sudan Selatan
di utara, dikarenakan tidak memiliki ID baru yang menyatakan sebagai
warga Republik Sudan Utara walaupun, orang tersebut disaat bersamaan
telah dilengkapi dengan surat izin dan izin tinggal seperti yang diatur
dalam Amandemen undang-undang kewarganegaraan Republik Sudan.
Fakta tersebut menunjukan bahwa kebijakan pemerintah Republik Sudan
mengenai kewarganegaraan tidak menjamin hak warga Republik Sudan
Selatan untuk bebas dari tindakan pendiskriminasian.
Kebijakan Republik Sudan terhadap kewarganegaraan telah menuai
reaksi negatif oleh masyarakat internasional. Salah satunya disampaikan
secara resmi dalam nota PBB. Setelah dikeluarkannya nota PBB akhirnya
pada Maret 2012 Republik Sudan dan Republik Sudan Selatan mencapai
kesepakatan mengenai prinsip 'Empat Kebebasan', Kesepakatan tersebut
meliputi pemahaman kedua belah pihak bahwa warga negara mereka
dapat menikmati kebebasan meliputi (Sudan tribune. http://www.
commit to user

cviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sudantribune. com/Sudan-VP-downplays-significance-of,41944. [Diakses


tanggal 18 Maret 2012]):
a. Kebebasan tempat tinggal,
b. Kebebasan bergerak,
c. Kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi, dan
d. Kebebasan untuk memperoleh dan melepas propert.
Sehingga dengan adanya kesepakatan ini akan menjadi usaha nyata dalam
membangun kepercayaan dan mendukung stabilitas di kedua negara.
4. Arsip negara
The Vienna Convention on Succession of State in Respect of State
Property, Archive and Debst on 1983 Pasal 20 menyatakan yang dimaksud
dengan arsip negara predecessor state adalah dokumen dalam bentuk
perjanjian atau apapun dan baik diproduksi atau diberikan dalam tujuannya
menjalankan fungsi kenegaraan yang diatur dalam hukum internal
predecessor state mengenai kepemilikanya hingga terjadi suksesi negara
tersebut.
Arsip negara yang dimaksudkan dalam Pasal 20 The Vienna
Convention on Succession of State in Respect of State Property, Archive
and Debst on 1983 dapat berupa : dokumen, kumpulan mata uang,
dokumen keagamaan, foto dan film, segala obyek yang menggambarkan
dan mendokumentasikan sejarah, obyek-obyek arkeologi dan prinsip utama
yang digunakan adalah segala arsip negara yang berhubungan dengan
wilayah yang mengalami suksesi negara, akan menjadi milik successor
state dan dilakukan tanpa membayar ganti rugi kepada predecessor state
sesuai dengan Pasal 23 The Vienna Convention on Succession of State in
Respect of State Property, Archive and Debst on 1983. Menurut Pasal 21
The Vienna Convention on Succession of State in Respect of State Property,
Archive and Debst on 1983 menetapkan bahwa dengan berpindahnya
arsip negara kepada successor state menimbulkan hilangnya hak atas
kepemilikan arsip negara tersebut oleh predecessor state.
commit to user

cix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Waktu perpindahan arsip negara kepada successor state diatur dalam


Pasal 22 The Vienna Convention on Succession of State in Respect of State
Property, Archive and Debst on 1983 yang menetapkan bahwa waktu
perpindahan arsip sesuai pada suksesi negara tersebut terjadi, kecuali diatur
lain oleh kesepakatan para pihak dan atau keputusan oleh badan
internasional.Arsip negara yang berhubungan dengan wilayah akan
mengikuti kepemilikan wilayah dijelaskan dalam Pasal 30 The Vienna
Convention on Succession of State in Respect of State Property, Archive
and Debst on 1983.
Implikasi hukum terhadap arsip negara yang terjadi di Sudan antara
Republik Sudan dengan Republik Sudan Selatan berjalan sesuai dengan
ketentuan yang diatur oleh Pasal 30 The Vienna Convention on Succession
of State in Respect of State Property, Archive and Debst on 1983 Arsip
negara yang berhubungan dengan wilayah akan mengikuti kepemilikan
wilayah dimana perpindahan kepemilikan arsip mengikuti pihak yang
menguasainya, dan sesuai Pasal 23 The Vienna Convention on Succession
of State in Respect of State Property, Archive and Debst on 1983 dimana
penyerahan arsip negara dari Republik Sudan selaku predecessor state
kepada Republik Sudan Selatan selaku successor state tidak disertai ganti
rugi.
5. Public property
Prinsip-prinsip suksesi negara dalam kaitannya dengan public
property atau state property ini dikembangkan oleh hukum kebiasaan
internasional yang kemudian dikodifikasi dalam The Vienna Convention on
Succession of State in Respect of State Property, Archive and Debst on
1983.
Pengertian mengenai public property atau state property dirumuskan
dalam Pasal 8 The Vienna Convention on Succession of State in Respect of
State Property, Archive and Debst on 1983 yang menyatakan state property
adalah segala aset, hak dan kepentingan yang pada hari terjadi suksesi atau
commit to user

cx
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kemerdekaan Successor state diatur dalam hukum internal Predecessor


state sebagai milik negara Predecessor state.
Public property atau state property dibedakan menjadi benda
bergerak dan tidak bergerak. Perpindahan penguasaan untuk benda tidak
bergerak dilakukan secara otomatis, yang artinya dengan adanya suksesi
negara maka penguasaan benda tidak bergerak akan berpindah kepada
Successor state berdasar prinsip umum lex situs yang dianut hukum
kebiasaan internasional. Namun bila dalam prakteknya suksesi negara yang
terjadi dan tidak menghilangkan eksistensi dari Predecessor state maka
berdasar Pasal 15 huruf [a] The Vienna Convention on Succession of State
in Respect of State Property, Archive and Debst on 1983 menyatakan
bahwa benda yang tidak bergerak yang merupakan teritorial Predecessor
state dan menjadi daerah berlangsungnya suksesi negara maka harus
diserahkan Successor state.
Pasal 15 huruf [b] The Vienna Convention on Succession of State in
Respect of State Property, Archive and Debst on 1983 menyatakan bahwa
benda yang tidak bergerak yang berada di wilayah yang mana terjadi
suksesi negara, yang berada diluar teritorial Predecessor state dan
merupakan aset negara Predecessor state dalam periode tertentu, maka
harus diserahkan Successor state.
Pasal 15 huruf [c] The Vienna Convention on Succession of State in
Respect of State Property, Archive and Debst on 1983 menyatakan bahwa
benda yang tidak bergerak seperti yang dijelaskan Pasal 15 huruf [b] dan
berada diluar teritorial wilayah yang mana terjadi suksesi negara. Yang
ditujukan untuk memperluas wilayah, harus diberikan kepada Successor
state sebanding dengan sumbangan Successor state terhadap wilayah
tersebut.
Pasal 15 huruf [d] The Vienna Convention on Succession of State in
Respect of State Property, Archive and Debst on 1983 menyatakan bahwa
benda bergerak milik Predecessor state yang berhubungan dengan
commit to user

cxi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pelaksanaan tugas Predecessor state di wilayah yang mana terjadi suksesi


negara, harus diberikan kepada Successor state
Pasal 15 huruf [e] The Vienna Convention on Succession of State in
Respect of State Property, Archive and Debst on 1983 menyatakan bahwa
benda bergerak yang berada di wilayah yang mana terjadi suksesi negara
dan merupakan aset negara Predecessor state dalam jangka waktu tertentu,
harus diserahkan Successor state.
Pasal 15 huruf [f] The Vienna Convention on Succession of State in
Respect of State Property, Archive and Debst on 1983 menyatakan bahwa
benda bergerak seperti dalam subparagraf (d) dan (e), dengan tujuan
memperluas wilayah, harus diberikan kepada Successor state sebanding
dengan sumbangan Successor state terhadap wilayah tersebut.
Peralihan public property atau state property dilakukan dengan prinsip
umum yang diatur dalam Pasal 11 The Vienna Convention on Succession of
State in Respect of State Property, Archive and Debst on 1983 yang
menetapkan bahwa perpindahan kepemilikian public property atau state
property dari Predecessor state kepada Successor state dilakukan berdasar
kesepakatan para pihak atau berdasar putusan pengadilan. Sehingga
beralihnya penguasaan public property atau state property Predecessor
state dari kepada Successor state tanpa disertai kewajiban hukum untuk
membayar ganti rugi aset-aset ataupun mengembalikan kepada Predecessor
state
Implikasi hukum Suksesi negara antara Republik Sudan dengan
Republik Sudan Selatan mengenai perpindahan penguasaan terhadap public
property dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip pada Pasal 15 The
Vienna Convention on Succession of State in Respect of State Property,
Archive and Debst on 1983 yang menyatakan bahwa penguasaan terhadap
public property mengikuti wilayahnya sehingga untuk penguasaan terhadap
public property yang berada di daerah Successor state secara otomatis
menjadi kekuasaan Successor state hal ini terlihat dari tiga perempat
commit
wilayah yang berpotensi sumber to user
daya minyak yang sebelumnya merupakan

cxii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

kekuasaan Republik Sudan, namun karena tiga perempat dari wilayah


tersebut adalah wilayah yang mengalami suksesi negara sehingga
penguasaan dari wilayah tersebut berpindah pada Successor state.
Selain itu, pelaksanaan perpindahan penguasaan terhadap public
property tersebut dilakukan berdasarkan dengan kesepakatan terlebih
dahulu yaitu The Protocol on Wealth Sharing, Perjanjian Sementara
Pengaturan untuk Administrasi dan Keamanan Area dan Resolution of the
Abyei Conflict. Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 The Vienna Convention
on Succession of State in Respect of State Property, Archive and Debst on
1983. Namun ketiga perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang
disepakati jauh sebelum terjadi suksesi negara sehingga akibat yang timbul
adalah pelaksanaan yang tidak sesuai. Hal tersebut terlihat dari pengenaan
jasa penyulingan minyak yang dikenakan kepada setiap minyak dari
Republik Sudan Selatan oleh Republik Sudan. Namun, berlaku secara
retroaktif sehingga hal ini terkesan bahwa penyerahan penguasaan terhadap
public property dari Republik Sudan kepada Republik Sudan Selatan
dilakuan dengan disertai kewajiban untuk membayar ganti rugi aset-aset.
Dalam perkara serupa, Proses suksesi negara Republik Czech
dan Slovakia dapat dijadikan pertimbangan. Dalam proses suksesi negara
ini pembagian Aset dilakukan serupa dengan prinsip pembagian hutang,
yaitu dilakukan berdasar kesepakan dari predecessor state dan successor
state yang mengadopsi kriteria dan prinsip-prinsip hukum internasional
yang dimana pengalokasian hutang utang teritorial dan aset akan
dialokasikan untuk successor state dan utang nasional akan
dialokasikan dengan dasar prinsip equitable proportion. Begitu pula
pembagian aset yang dilakukan dengan mengalokasikan aset teritorial
kepada successor state dan mengenai asat nasional akan dialokasikan
berdasar pada prinsip equitable proportion berdasar kesepakatan bersama
(ICG, 1997: 12).
Sehingga dari analisis dan perbandingan diatas, hal yang dapat
dilakukan antara Republikcommit
Sudan to user Republik Sudan Selatan adalah
dengan

cxiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

membuat suatu perjanjian baru yang mengatur mengenai secara terperinci


mengenai pembagian dan penyerahan penguasaan terhadap public
property dengan berdasar pada kesepakatan bersama yang berlandaskan
prinsip equitable proportion.
6. Privat property
Pada prinsipnya suksesi suatu negara yang terjadi tidak akan
mempengaruhi kepemilikan atas privaty property, sehingga hak atas privat
property tidak akan berpindah pada successor state. Apabila successor
state ingin mengambil alih kepemilikian dari privat property harus
memberikan kompensasi kepada pemiliknya
Beberapa prinsip yang berlaku pada privat property ialah sebagai
berikut :
1) Pada prinsipnya successor state wajib menghormati ketentuan privat
property yang telah diperoleh oleh hukum predecessor state;
2) Kelanjutan hak atas privat property tetap berlaku asalkan belum ada
undang-undang negara successor state yang membatalkan hak
tersebut;
3) Perubahan atas privat property tidak boleh bertentangan dengan
kewajiban-kewajiban internasional;
4) Dalam pelaksanaan privat property diperlukan pengaturan khusus
karena ruang lingkup privat property yang luas.
Implikasi hukum mengenai peralihan penguasaan Privat property
dalam suksesi negara antara Republik Sudan dengan Republik Sudan
Selatan terlaksana sesuai dengan kebiasaan hukum internasional, dengan
mengeluarkan kebijakan yang mementingkan kepentingan semua pihak
sehingga tidak terjadi hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian di
masing-masing pihak baik Republik Sudan, Republik Sudan Selatan atau
pun pihak swasta tersebut. Pengaturan tersebut tercantum dalam Pasal 28
Konstitusi Republik Sudan atau pun Republik Sudan Selatan. Selain itu,
juga adanya suatu negosiasi antara Republik Sudan, Republik Sudan
Selatan atau pun pihakcommit to user
swasta yang dilakukan guna memebahas

cxiv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

penyelesaian masalah pembebanan tanggung jawab yang tidak dapat lagi


dilaksanakan atau dipenuhi oleh Republik Sudan, seperti kemampuan
memenuhi tanggung jawab menyediakan minyak kepada pihak swasta
yang berasal dari luar negeri.
7. Keanggotaan organisasi internasional
Dalam pengaturan mengenai keanggotaan suatu negara di organisasi
internasional maupun regional ditentukan oleh konstitusi masing-masing
organisasi internasional dan pengaturan mengenai keterwakilan negara
dalam organisasi internasional adalah Vienna Convention on the
Representation of States in their Relations with International
Organizations of a Universal Character on 1975.
Pasal yang dapat diterapkan sebagai dasar hukum implikasai hukum
suksesi negara adalah Pasal 82 ayat 1 Convention on the Representation of
States in their Relations with International Organizations of a Universal
Character on 1975 yang menyatakan bahwa hak dan kewajiban dari
negara penerima atau tuan rumah dan negara pengirim yang menghadapi
dan mengadakan konfensi internasional, tidak bisa dipengaruhi oleh
negara-negara yang tidak mengakui satu sama lain. Dan dalam Pasal 82
ayat 2 Convention on the Representation of States in their Relations with
International Organizations of a Universal Character on 1975
menyatakan bahwa pengakuan Organisasi internasional terhadap suatu
negara tidak berpengaruh bagi antara negara anggota. Jadi, suatu
pengakuan dari sebuah Organisasi Internasional tidak dapat disamakan
sebagai pengakuan pula oleh negara-negara anggota organisasi
internasional yang bersangkutan, sehingga walaupun diantara negara
anggota tidak saling mengakui, maka secara resmi negara-negara tersebut
tetap duduk bersama dalam suatu organisasi internasional.Hal itu dapat
diartikan Keanggotaan negara dalam organisasi internasional ditentukan
oleh organisasi internasional tersebut sendiri berdasar dengan Rule of
Procedure organisasi
internasional tersebut (Prof. Dr. Sumaryo
Suryokusuma, 2007: 51) commit to user

cxv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Implikasi hukum suksesi negra terhadap keanggotaan organisasi


internasional antra Republik Sudan dan Republik Sudan Selatan, dilakukan
secara terpisah, artinya bahwa keanggotaan Republik Sudan dalam
organisasi internasional sebelum terjadi suksesi negara tidak di wariskan
pada Republik Sudan Selatan. Contoh pada saat Republik Sudan Selatan
ingin bergabung menjadi anggota PBB, dimana Republik Sudan Selatan
tetap harus menjalani prosedur keanggotaan baru menurut pengaturan
PBB, walaupun predecessor state-nya Republik Sudan telah menjadi
negara anggota PBB
8. Tanggung jawab terhadap Claims in Tort & Delict.
Tindakan penyelesaian sengketa oleh International Criminal Court
(ICC) mengenai permasalahan pelanggaran HAM diawali dengan
Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) mengumumkan rencana
penyelidikan kejahatan perang yang terjadi di Darfur, Sudan Pada Juli
2005 (Abdul Hadi Adnan. www.unpas.ac.id/fisip/website/index...
/Crisis%20in %20DARFUR.pdf> [Diakses tanggal 25 Juli 2012]).
Pengumuman ini disampaikan Luis Moreno Ocampo yakni ketua jaksa
penuntut ICC. Berbeda dengan kasus-kasus yang sedang dan pernah
ditangani ICC, penyelidikan di Darfur dilakukan atas inisiatif lembaga itu
tanpa persetujuan pemerintah Sudan. Menurut Jaksa Ocampo, langkah itu
diambil karena malapetaka Darfur disebut sebagai krisis kemanusiaan
paling mengerikan di abad ini. Krisis kemanusiaan di Darfur inilah yang
kemudian menyebabkan Jaksa ICC mengeluarkan 10 (sepuluh) tuduhan
kejahatan perang terhadap Presiden Sudan Omar Al- Bashir pada tanggal
14 Juli 2008. Kesepuluh tuduhan tersebut terdiri dari tiga tuduhan untuk
genosida, lima tuduhan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan dan dua
tuduhan untuk kejahatan perang. Jaksa ICC menyatakan bahwa Omar Al-
Bashir merupakan dalang dan pelaksana rencana penghancuran tiga
kelompok suku di Darfur berdasar kesukuan mereka yang non arab.
Sebelumnya, Jaksa ICC juga telah mengeluarkan surat penangkapan
terhadap mantan Mentericommit
DalamtoNegeri
user Sudan Ahmed Haroun, yang

cxvi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

sekarang menjabat sebagai Menteri Humaniter Sudan, dan Pimpinan Milisi


Janjaweed Ali Kushavb pada bulan April 2007 dengan tuduhan kejahatan
perang dan kejahatan atas kemanusiaan. Akan tetapi pemerintah Sudan
menolak untuk menyerahkan kedua warga negaranya tersebut ke Den
Haag dengan alasan ICC tidak memilik yurisdiksi atas Republik Sudan
(Matthew. Happold. II. 2008: 219).
Meskipun demikian pada tanggal 4 Maret 2009 ICC kemudian
merespons permintaan Jaksa ICC Luis Moreno-Ocampo berdasarkan
tuduhan pada bulan Juli 2008 untuk menangkap Omar Al-Bashir
menghadapkannya ke depan ICC di Den Haag. Surat penangkapan tersebut
hanya berisi tujuh tuduhan berdasarkan Statuta Roma, yaitu :
a. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dengan lima tuduhan yaitu,
Pembunuhan (Pasal 7 (1)(a)), Pemusnahan (Pasal 7 (1)(b), Pemaksaan
Pengusiran (Pasal 7 (1)(d)), Penyiksaan (Pasal 7 (1)(f)) dan
Pemerkosaan (Pasal 7 (1)(g)),
b. Kejahatan Perang dengan dua tuduhan, yaitu, dengan maksud
melakukan penyerangan terhadap suatu kelompok tertentu atau
melakukan penghasutan kebencian terhadap kelompok tertentu (Pasal
8 ayat (2) huruf (i)) dan penjarahan (Pasal 8 ayat (2) huruf (v)).
Tuduhan sebelumnya yang tidak dimasukkan ke dalam surat
penangkapan yaitu, tuduhan atas kejahatan genosida dinyatakan tidak
mencukupi bukti. Namun hal tersebut dapat dipertimbangkan kembali
untuk dicantumkan sebagai sebuah tuduhan apabila dinyatakan sudah
mencukupi bukti akan terjadinya genosida oleh Omar Al- Bashir.
ICC dalam pertimbangan surat penangkapan tersebut menerangkan
bahwa tidak ada dan dikenal penggunaan alasan hak immunitas dalam hal
pelanggaran HAM berat dan hanya mengenal pertanggunjawaban pidana
individu (Pasal 25 ayat (3) Statuta Roma). Omar Al- Bashir sebagai
presiden Sudan dan panglima angkatan bersenjata Republik Sudan dituduh
telah mengkoordinasikan desain dan pelaksanaan kampanye kontra
commit
pemberontakan di Darfur. to user pula bahwa Omar Al-Bashir
Diketahui

cxvii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

mengontrol semua kegiatan dan para pelaku serta menggunakan


kekuasaannya untuk mengamankan tindakan kampanye kontra
pemberontakan di Darfur.
Surat Penuntutan dan Penangkapan oleh ICC atas Omar Al- Bashir ini
menuai kecaman dari pemerintah Sudan dan organisasi-organisasi
internasional semacam Liga Arab dan UA. Pemerintah Republik Sudan
sendiri memprotes surat penangkapan tersebut dan menyatakan tidak akan
menyerahkan Omar Al- Bashir kepada ICC dengan alasan Republik Sudan
bukan merupakan anggota ICC. Tindakan protes dari pemerintah Republik
Sudan itu sendiri kemudian diikuti dengan tindakan pengusiran tiga belas
nonpemerintah asing dari Republik Sudan. Tindakan yang dianggap justru
akan makin memperparah krisis baik di Darfur maupun di Republik Sudan
sendiri.
ICC menyatakan bahwa alasan Republik Sudan, yang menerangkan
bahwa tindakan Omar Al-Bashir maupun Sudan bukan merupakan
yurisdiksi ICC, bukanlah alasan ya ng tepat untuk menggambarkan sejauh
mana yurisdiksi ICC dalam menindak pelanggaran berat HAM. Yurisdiksi
ICC, dijelaskan dalam Pasal 12 dan 13 Statuta Roma, hanya berlaku
terbatas untuk negara anggotanya, kejahatan yang dilakukan di wilayah
negara anggotanya, dan situasi yang diarahkan oleh Dewan Keamanan
PBB. Dewan Keamanan PBB sendiri mengeluarkan Resolusi DK PBB
1593 sebagai dasar pengusutan pelanggaran berat HAM di Darfur. Alasan
Dewan Keamanan PBB mengenai pelanggaran HAM berat serta Pasal 25
dan 103 Piagam PBB mengenai persetujuan para anggota PBB untuk
menerima dan melaksanakan keputusan Dewan Keamanan yang dijadikan
dasar bagi ICC untuk memaksa Sudan menyerahkan Omar Al-Bashir.
Pemeriksaan terhadap Omar Al-Bashir oleh ICC juga berlandaskan
dari prinsip yurisdiksi universal. Prinsip ini mengkategorikan suatu
kejahatan internasional atau delicta jure gentium dapat diterapkan
kewenangan mengadilinya oleh hukum pidana suatu negara atau
commit to user

cxviii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

masyarakat internasional, terlebih lagi perbuatan kejahatan tersebut


melanggar kepentingan masyarakat internasional.
Dalam hal ini terdapat dua fokus permasalahan yang dihadapi pertama
dasar ICC untuk melaksanakan yurisdiksinya atas Al-Bashir sebagai
kepala negara dan penolakan Republik Sudan, yang kedua adalah
kebiasaan internasional yang memaksakan penangkapan Al-Bashir
mengingat statuta Roma yang melarang peradilan secara in absentia dan
ketergantungan ICC terhadap suatu negara dalam melaksanakan
yurisdiksinya.
Pengaturan dalam Statuta Roma dan Resolusi Dewan Keamanan 1593
memberi kekuatan pada ICC untuk menerapkan yurisdiksinya terhadap
kasus di Republik Sudan. Dalam Pasal 13 Statuta Roma menyebutkan
terdapat 3 hal yang dapat memicu ICC memaksakan yurisdiksinya:
a. Permintaan negara anggota PBB
b. Usulan Dewan Keamanan PBB
c. Ajuan Jaksa ICC untuk melakukan penyelidikan
Dalam kasus Republik Sudan, otoritas ICC dipicu oleh Ajuan Jaksa
ICC untuk melakukan penyelidikan yang dicantumkan dalam Resolusi
Dewan Keamanan 1593 (2005).Yurisdiksi internasional dan imunitas
negara atau orang, akan saling bertentangan, namun demikian :
a. Meski imunitas dibentuk untuk melindungi individu dari yurisdiksi
asing, tapi tujuan itu selalu digunakan untuk melindungi negara dari
proses pngadilan yang tidak mereka inginkan
b. ICC tidak seperti International Criminal Tribunal for the former
Yugoslavia (ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda
(ICTR), yang didirikan melalui perjanjian yang hanya bersifat regional.
Pasal 12 Statuta Roma hanya memberi kewenangan pada ICC untuk
menggunakan yurisdiksinya pada negara anggota atau warga negara
anggota. Namun ICC adalah pengadilan yang khusus, diciptakan melalui
perjanjian, Pasal 13 (b) memungkinkan PBB untuk menggunakan ICC
sebagai alat untuk menjagacommit to user
perdamaian internasional.

cxix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Terdapat pertentangan antara Pasal 27 dan Pasal 98 Statuta Roma.


Dimana Pasal 27 secara tegas menyatakan bahwa baik kepala negara
maupun pemerintah tidak dikecualikan untuk bebas dari
pertanggungjawaban kriminal. Sedangkan dalam Pasal 98 disebutkan
larangan bagi pengadilan untuk menangkap dan menyerahkan negara
pihak ke-3 yang disengketakan, karena akan melanggar kewajiban
internasional untuk menghoramati negara dan kekebalan diplomatik
seseorang. Sehingga perlu dikeluarkan Resolusi Dewan Keamanan untuk
memaksakan yurisdiksi ICC pada negara ke tiga.
Resolusi Dewan Keamanan ini mengacu pada Bab VII Piagam PBB
tentang tindakan yang berhubungan dengan ancaman atas perdamaian,
pelanggaran perdamaian, dan tindakan agresi mengatur bahwa semua
negara anggota PBB wajib melaksanakan keputusan dari Dewan
Keamanan. Resolusi tersebut mewajibkan Republik Sudan, sebagai salah
satu anggota PBB untuk bekerjasama dengan memberikan bantuan yang
dibutuhkan.
Statuta Roma dan Resolusi Dewan Keamanan 1593 (2005) memberi
landasan yuridis ICC untuk mengabaikan kekebalan Al-Bashir Sayangnya
ketergantungan ICC pada proses domestik untuk melaksanakan surat
perintah dan penerobosan batasan oleh Resolusi Dewan Keamanan 1593
(2005) dapat mencegah pelaksanaan penangkapan Al-Bashir. Meski ICC
memiliki kewenangana, tapi jaksa tidak memiliki mekanisme penangkapan
sendiri, sehingga sepenuhnya tergantung pada negara yang bersangkutan,
dimana kehadiran fisik Al-Bashir dalam persidangan sangatlah penting.
Dikemukakan ada 4 cara untuk membuat Al-Bashir muncul di hadapan
hakim ICC (Antonio Cassese, 2006: 436):
a. Al-Bashir bisa menjadi prosecutor, menolak tuduhan terhadapnya
b. Pemerintah Sudan melakukan penangkapan Al-Bashir dan
mengekstradisi Al-Bashir ke Den Haag
c. Bisa ditangkap berdasarkan surat perintah sementara ICC, di wilayah
commit
suatu negara ke 3 kemudian to user ke Den Haag
diekstradisi

cxx
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

d. Ditangkap dan diekstradisi oleh pasukan internasional di Sudan dengan


mandat khusus untuk melakukannya (pasukan PBB//UNAMID di
darfur, yang saat ini mandatnya terbatas pada perlindungan sipil &
menjamin pelaksanaan perjanjian damai)
Lebih lanjut dalam hal ini, Resolusi Dewan Keamanan 1593 (2005)
tidak mewajibkan seluruh negara anggota PBB untuk bekerja sama,
kewajiban terbatas hanya pada Republik Sudan sebagai negara yang
mengalami konflik, sedangkan negara lain hanya sekedar di himbau untuk
membantu.
Kesimpulan yang dari tindakan yang diambil ICC dalam
penyelesaian konflik Republik Sudan terhitung sejak dikeluarkan surat
penangkapan terhadap Presiden Sudan, Omar Hassan Ahmad Al Bashir,
masalah Republik Sudan belum terselesaikan. Hal ini diukur dari belum
ditangkapnya pihak-pihak yang bertanggungjawab dalam masalah
Republik Sudan. Pihak-pihak tersebut adalah Presiden Republik Sudan
serta kroninya, sehingga proses peradilan belum dilakukan. Konflik Sudan
pada prinsipnya adalah konflik intern dalam negeri Republik Sudan,
namun kemudian menjadi suatu yang sangat rumit serta kompleks dalam
penyelesaiannya oleh karena rumitnya persoalan di Republik Sudan, yakni
konflik yang berkepanjangan serta kompleksitas pihak yang
berkepentingan dalam konflik Republik Sudan ini. Kasus Omar Al-Bashir
ini nyatanya menjadi ujian bagi ICC dalam upayanya untuk menegakkan
hukum internasional, khususnya hukum pidana internasional.
Contoh yang menarik dalam penanganan suksesi negara lain misalnya
bisa dirujuk pada persoalan Bosnia-Herzegovina (Michael O‟Flaherty,
dalam Alston 2000). Mekanisme di dalam Human Rights Committee
(badan treaty yang menjalankan enforcement ICCPR) menyediakan
informasi. Proses acara (proceding) tersebut menghasilkan comment. Dari
informasi dan proses acara ini kemudian dilaksanakan special session di
dalam sidang Komisi HAM PBB di tahun 1992 (Untuk proses
commit to user

cxxi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

acara special session, dalam kasus lain, East Timor pernah dijadikan
agenda di tahun 1999) (Henry Simarmata, 2007: 112).
Dari kondisi tersebut maka, kegagalan penyelesaian konflik ini bukan
menjadikan alasan untuk membiarkan Republik Sudan terus dalam situasi
seperti ini, sehingga selain aktor internasional dan pihak-pihak
berwewenang untuk menyelesaikan konflik di Republik Sudan,
diharapkan partisipasi semua pihak yaitu aktor nasional seperti pejabat-
pejabat pemerintah Republik Sudan untuk dapat mendukung partisipasi
penyelesaian konflik di Republik Sudan.
Implikasi hukum mengenai pertanggung jawaban Claims in Tort &
Delict terhadap Republik Sudan selatan sesuai dengan prinsip umum yang
berlaku bahwa succesor state tidak berkewajiban untuk menerima
tanggung jawab akibat tort atau delik yang dilakuan oleh predecessor state
karena tort atau delik sifatnya kesalahan personal. (Sefiani, 2010: 315).

commit to user

cxxii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV
PENUTUP

A. Simpulan
Implikasi hukum suksesi negara antara Republik Sudan dari Republik Sudan
Selatan ditinjau dari Hukum internasional :
1. Implikasi hukum suksesi negara terhadap perjanjian internasional antara
Republik Sudan dengan Republik Sudan Selatan belum terdapat
perkembangan yang signifikan. Para pihak masih menggunakan perjanjian
terdahulu dimasa transisi yaitu CPA (Comprehensive Peace Agreement ).
2. Implikasi hukum suksesi negara terhadap hutang negara adalah masih dalam
tahap perundingan untuk menyelesaikan pemenuhan hutang antara Republik
Sudan dan Republik Sudan Selatan.
3. Implikasi hukum suksesi negara terhadap kewarganegaraan adalah Republik
Sudan dan Republik Sudan Selatan mencapai kesepakatan mengenai prinsip
'Empat Kebebasan' yang meliputi kebebasan tempat tinggal, kebebasan
bergerak, kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi dan kebebasan
untuk memperoleh dan mewariskan properti”.
4. Implikasi hukum suksesi negara terhadap arsip negara adalah berjalan sesuai
dengan prinsip-prinsip The Vienna Convention on Succession of State in
Respect of State Property, Archive and Debst on 1983, dimana arsip negara
Republik Sudan Selatan yang berhubungan dengan wilayah mengikuti
kepemilikan wilayah, yang perpindahan kepemilikan arsip mengikuti pihak
yang meguasainya yaitu Republik Sudan Selatan dan tanpa disertai
pembayaran ganti rugi kepada Republik Sudan.
5. Implikasi hukum suksesi negara terhadap penguasaan public property
dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip The Vienna Convention on
Succession of State in Respect of State Property, Archive and Debst on 1983
yang menyatakan bahwa penguasaan terhadap public property mengikuti
wilayahnya sehingga untuk penguasaan terhadap public property yang
commit to user

cxxiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

berada di daerah Republik Sudan Selatan secara otomatis menjadi


kekuasaan Republik Sudan Selatan.
6. Implikasi hukum suksesi negara terhadap penguasaan privat property adalah
terlaksana sesuai dengan kebiasaan hukum internasional, dengan
mengeluarkan kebijakan yang mementingkan kepentingan semua pihak
sehingga tidak terjadi hal-hal yang dapat menimbulkan kerugian di masing-
masing pihak baik Republik Sudan, Republik Sudan Selatan atau pun pihak
swasta tersebut.
7. Implikasi hukum suksesi negara terhadap keanggotaan organisasi
internasional, dilakukan secara terpisah, artinya bahwa keanggotaan
Republik Sudan dalam organisasi internasional sebelum terjadi suksesi
negara tidak di wariskan pada Republik Sudan Selatan.
8. Implikasi hukum suksesi negara terhadap claims in tort & delict dibebankan
kepada presiden Republik Sudan Omar Al- Bashir selaku panglima
angkatan bersenjata Republik Sudan. Pelaksanaan pertanggung jawaban
dilakukan oleh ICC.

C. Saran
Menyarankan bagi negara-negara yang mengalami suksesi negara dalam
pelaksanaan implikasi suksesi negara kiranya disesuaikan pada ketentuan dan
prinsip-prinsip internasional. Kesadaran bersama dari kedua belah pihak suksesi
negara dalam membuat kesepakatan mengenai pembagian hak dan kewajiban
sebagai warisan dari negara sebelumnya merupakan hal yang paling penting.
Sehingga, dalam implikasi suksesi negara dapat terselenggara tanpa ada tindakan-
tindakan kekerasan atau kebijakan-kebijakan yang saling merugikan pihak lain,
yang bertentangan dengan ketentuan dan prinsip-prinsip Hukum Internasional.

commit to user

cxxiv

Anda mungkin juga menyukai