Anda di halaman 1dari 115

PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK

DIKETAHUI KEBERADAAN PEMILIKNYA


(STUDI KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KOTA BINJAI)

TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh

DIANA LUBIS
177011083/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Telah Diuji Pada
Tanggal: 23 Januari 2020

TIM PENGUJI TESIS


KETUA : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum
ANGGOTA : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum
2. Prof. Dr. Saidin, SH, M.Hum
3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., M.Hum
4. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG TIDAK DIKETAHUI PEMILIKNYA
(STUDI KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KOTA BINJAI)

ABSTRAK

Tanah merupakan salah satu sumber penghidupan dan mata pencaharian bagi manusia
dan masyarakat sehingga menjadi kebutuhan manusia yang paling mendasar, Urgensi tanah
bagi kehidupan manusia diapresiasi Pemerintah Republik Indonesia melalui kebijkan
nasional pertanahan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor : 5 Tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang juga disingkat UUPA. Adapun landasan utama
dalam hal pengelolaan tanah di Indonesia diatur dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Secara
khusus BPN mempunyai tugas memberikan kepastian hukum pengelolaan tanah oleh warga
negara dalam berbagai jenis hak kepemilikan untuk dapat diberdayagunakan sebagaimana
mestinya. Untuk menghindari sengketa masyarakat harus memahami terlebih dahulu apakah
tanah itu telah ada pemiliknya, ditelantarkan atau tanah itu masih dikuasai oleh negara.
Masyarakat harus memahami kriteria tanah-tanah tersebut menghindari terjadinya sengketa.
Dari latar belakang tersebut rumusan masalahnya adalah, Bagaimana kriteria tanah yang
dapat dikuasai masyarakat, Bagaimana peralihan hak atas tanah yang tidak diketahui
keberadaan pemiliknya, dan Apa peran pemerintah terhadap peralihan hak atas tanah yang
tidak diketahui pemiliknya.
Metode pendekatan penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis. Pendekatan
terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji ketentuan mengenai tanah terlantar.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan pendekatan
yuridis normatif. Menggunakan pendekatan yuridis normatif karena sasaran penelitian ini
adalah hukum atau kaedah (norm) yang dapat dipergunakan sebagai dasar hukum yang
mengatur pertanahan di Indonesia.
Keadaan tidak hadir dan akibat hukumnya menurut Hukum Perdata Indonesia,
dengan kemajuan teknologi akhir-akhir ini sangat pesat, khususnya dibidang telekomunikasi,
tetap saja tidak mencegah terjadinya kasus-kasus dimana seseorang tidak diketahui
keberadaannya atau didalam hukum perdata disebut juga dengan Afwezighed. Dengan tidak
diketahui keadaan seseorang dapat menimbulkan berbagai permasalahan diantaranya akan
mempengaruhi status hukum orang tersebut, harta kekayaannya dan perkawinannya.
Demikian terhadap tanah yang dimiliki seseorang yang dinyatakan hilang atau tidak hadir
(Afwezigheid) , harus dilakukan pernyataan tentang kematiannya oleh Hakim, maka para ahli
waris yang menurut undang-undang berhak mengoper kekuasaan atas segala harta
kekayaannya, dipersilahkan mengurus harta kekayaann yang ditinggalkannya. Jadi, peralihan
terhadap tanah hak milik tersebut akan beralih kepada ahli waris berdasarkan penetapan
orang hilang yang dikeluarkan oleh Hakim di pengadilan setempat. Permohonan peralihan ini
dapat dilakukan pada Badan Pertanahan dengan melampirkan putusan pengadilan dan data
para ahli waris.
Kata Kunci : Peralihan Hak, Tanah, Keberadaan Pemilik.

Universitas Sumatera Utara


TRANSFER OF LAND RIGHTS UNKNOWN OF OWNERS
(STUDY IN THE NATIONAL LAND AGENCY OFFICE IN BINJAI CITY)

ABSTRACT

Land is one of sources of livelihood and subsistence for individuals and society so
that it becomes basic needs of human beings. The urgency of land for humans’ life is
appreciated by Government of the Republic of Indonesia through land national policy by the
issuance of Law Number 5/1960 on the Basic Agrarian Regulations, abbreviated into UUPA.
The primary cornerstone of the land management in Indonesia is regulated in Article 33
Paragraph (3) of the 1945 Constitution stating: “The land, waters and natural riches
contained therein shall be controlled by the State and exploited to the greatest benefit of the
people”. BPN (the National Land Office) is specifically obliged to provide legal certainty to
land management for citizens with various types of ownership rights to be properly used. In
order to avoid any kinds of disputes, the society has to firstly understand whether the land
has already had an owner, is abandoned or is still owned by the State. The society had to
comprehend criteria of land to avoid disputes. The research problems are how about the
criteria of land that can be owned by society, how about the transfer of land title whose
owner is unknown, and what role is played by the Government concerning land title transfer
whose owner is unknown.
This research employed descriptive analysis method. It approaches the problems by
studying everything about abandoned land. This is a normative juridical research with
normative juridical approach. It uses normative juridical approach because the research
target was laws or norms that can be applied as the legal ground to regulate the land in
Indonesia.
Circumstances are not present and the legal consequences according to Indonesian
Civil Law, with technological advances lately very rapidly, especially in the
telecommunications sector, still does not prevent cases where a person is not known to exist
or in civil law is also called Afwezighed. Unknown condition of a person can lead to various
problems including which will affect the legal status of that person, his wealth and marriage.
This is the case with land owned by someone who is declared missing or absent
(Afwezigheid) require ruling on death notification issued by a Judge; thus, all heirs who,
pursuant to the laws, are rightful to transfer all authorities over their properties, are
suggested to organize inherited wealth and property. The land title will then be transferred to
the heirs based on the ruling on missing people issued by the Judge at local court. The
proposal of this transfer can be organized at the land office by enclosing the court ruling and
data of all heirs.

Keywords: Title Transfer, Land, Owners’ Existence.

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kemudahan
sehingga Penulis dapat menyelesaikan penelitian tesis ini yang berjudul “PERALIHAN
HAK ATAS TANAH YANG TIDAK DIKETAHUI KEBERADAAN PEMILIKNYA
(STUDI PADA KANTOR BADAN PERTANAHAN NASIONAL KOTA BINJAI)”
Penulis tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan ucapan
terimakasi yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu SH, M.Hum, selaku Pejabat Rektor Universitas
Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk
mengikuti pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing, atas Pembimbing yang telah
memberikan masukan serta kritik yang membangun kepada Penulis.
3. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar SH, CN, M.hum, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus dosen
penguji yang dengan penuh perhatian memberikan bimbingan dan saran kepada Penulis.
4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H, M.A, selaku Sekretaris Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum, selaku sebagai Dosen Pembimbing
yang telah memberikan masukan serta kritik yang membangun kepada Penulis.
6. Bapak Prof. Dr. Saidin, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan perhatian, dukungan dan masukan serta kritik yang membangun kepada
Penulis.
7. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku dosen penguji saya yang telah memberikan
saran dan kritik yang membangun kepada Penulis.

Universitas Sumatera Utara


8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu staf pengajar serta para pegawai di Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Kepada yang terhormat dan terkasih ibu saya Dra. Muntaina yang dengan penuh
perjuangan telah selalu mendoakan, membesarkan dan mendukung serta mendidik
sedemikian rupa sehingga Penulis dapat sampai pada jenjang ini.
10. Kepada saudara-saudari saya yaitu Nurul Aini Lubis, SH, M.Kn., Windi Arindi Lubis, SE
dan Muhammad Taufik Anwar Lubis, Amd yang telah memberikan semangat serta
bantuan-bantuan lainya kepada Penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini.
11. Kepada rekan kerja di Kantor Notaris/PPAT HJ Fifi Rizani, SH.,Sp.N, M.Kn yaitu Beity
Masdaryani, Sari Ramadhani, M.Dico Triyadi, dan Henny Pratiwi terima kasih atas
segala dukungan, motivasi dan doa kepada Penulis..
12. Kepada keluarga besar mahasiswa-mahasiswi Program Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara Angkatan 2017 terkhusus group E, terima kasih atas
segala dukungan, waktu, motivasi, doa dan selalu hadir dalam seminar-seminar Penulis
sehingga dapat berjalan dengan baik dan semoga kita semua sukses selalu.
13. Seluruh Staf/Pegawai Administrasi Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu dalam proses
administrasi mulai dari penulis masuk kuliah hingga penulis menyelesaikan tesis ini.
Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga Penulis
dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini Penulis menyadari tesis ini masih
jauh dari kesempurna, namun diharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Medan, 23 Januari 2020
Penulis

Diana Lubis
NIM. 177011083

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Diana Lubis

Tempat/Tanggal lahir : Medan/ 25 September 1993

Jenis Kelamin : Perempuan

Status : Belum Menikah

Agama : Islam

Alamat : Jalan Denai Gg. Keluarga Nomor : 168 C

Kelurahan Tegal Sari Mandala III, Kecamatan

Medan Denai

II. IDENTITAS KELUARGA

Nama Ayah : Arwin Lubis (Alm)

Nama Ibu : Dra. Muntaina

III. IDENTITAS PENDIDIKAN

1. SD Negeri Nomor 068084 Medan (1999-2005)

2. SMP Negeri 4 Medan (2005-2008)

3. SMA Negeri 6 Medan (2008-2011)

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan (2011-

2015)

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... i
PERNYATAAN ORISINALITAS
PERSETUJUAN PUBLIKASI
ABSTRAK
ABSTRACT
KATA PENGANTAR
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................ 1
B. Perumusan Masalah ................................................................ 8
C. Tujuan Penulisan .................................................................... 8
D. Manfaat Penulisan .................................................................. 9
E. Keaslian Penelitian ................................................................. 9
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ................................................ 11
1. Kerangka Teori ................................................................ 11
2. Konsepsi .......................................................................... 19
G. Metode Penelitian..................................................................... 21
1. Jenis dan Sifat Penelitian ................................................. 22
2. Sumber Data .................................................................... 22
3. Tehnik Pengumpulan Data .............................................. 23
4. Analisis Data .................................................................... 24
BAB II KRITERIA TANAH YANG TIDAK DIKETAHUI
PEMILIKNYA YANG DAPAT DIKUASAI
MASYARAKAT ........................................................................... 25
A. Kriteria Tanah Yang Tidak Diketahui Pemiliknya ................... 25
B. Regulasi Hukum Tentang Tanah Yang Tidak Diketahui
Pemiliknya.................................................................................. 41

iii

Universitas Sumatera Utara


BAB III PERALIHAN HAK ATAS TANAH .......................................... 55
A. Peralihan Hak Atas Tanah Secara Umum ................................ 54
B. Peralihan Hak Atas Tanah Yang Tidak Diketahui Pemiliknya 69
BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAHAN KOTA BINJAI
MELALUI KANTOR BADAN PERTANAHAN KOTA
BINJAI TERHADAP TANAH YANG TIDAK DIKETAHUI
PEMILIKNYA ............................................................................. 86

A. Gambaran Umum Tanah yang tidak diketahui pemiliknya


atau tanah Terlantar di Kota Binjai Binjai Menurut Badan
Pertanahan Nasional Kota Binjai ............................................. 86
B. Penyelesaian Masalah Khususnya Peralihan Terhadap Tanah
Yang Tidak Diketahui Pemiliknya di Kota Binjai ................... 96
C. Kebijakan Pemko Binjai Melalu Badan Pertanahan Nasional
Kota Binjai Terhadap Tanah Yang Tidak Diketahui
Pemiliknya atau Tanah Terlantar di Kota Binjai...................... 103

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................... 113


A. Kesimpulan .............................................................................. 114
B. Saran ........................................................................................ 114
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 115

iv

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan salah satu sumber penghidupan dan mata pencaharian

bagi manusia dan masyarakat sehingga menjadi kebutuhan manusia yang paling

mendasar, dengan keyakinan betapa sangat dihargai dan bermanfaat tanah untuk

kehidupan manusia, bahkan tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan. Manusia

hidup dan berkembang serta melakukan aktivitas diatas tanah sehingga setiap saat

manusia berhubungan dengan tanah1.

Bertambah padatnya penduduk Indonesia dan bertambah lajunya

pertumbuhan ekonomi Indonesia, tanah akan semakin banyak dibutuhkan

manusia. Padahal persediaan tanah terbatas sehingga akan berpengaruh pada

masalah pertanahan. Hal tersebut berakibat hak atas tanah mempunyai peranan

yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tanah dalam pengertian yuridis

adalah permukaan bumi, hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu dari

permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan

lebar.2

Urgensi tanah bagi kehidupan manusia diapresiasi Pemerintah Republik

Indonesia melalui kebijkan nasional pertanahan dengan dikeluarkannya Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

1
M. P Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori dan Praktek, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2003, h.1.
2
Hendri Tandi Utama, Analisis Yuridis Terhadap Perjanjian Simulasi Dalam
Kepemilikan Tanah Bagi Warga Negara Asing (Putusan Pengadilan Tinggi Nomor
12/Pdt/2014/Pt.Dps), Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
Medan, 2017, h.1

1
Universitas Sumatera Utara
2

yang juga disingkat UUPA. UUPA merupakan tonggak utama kelahiran ketentuan

pertanahan di Indonesia, di dalamnya mengatur berbagai macam hak atas tanah.

Berbagai macam hak atas tanah yang ada, hak milik atas tanah adalah hak atas

tanah yang terkuat, terpenuh dan turun-menurun yang dapat dipunyai orang atas

tanah dan hanya hak milik saja yang tidak dibatasi masa berlakunya oleh Negara

disanding dengan hak atas tanah yang lain.

Adapun landasan utama dalam hal pengelolaan tanah di Indonesia diatur

dalam Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Bumi, air

dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Tanah merupakan

salah satu sumber daya alam yang sangat dekat dengan hak individu, dimana

setiap individu membutuhkan tanah tersebut guna memenuhi kebutuhan pokok,

baik membangun tempat berlindung, mengelola lahan untuk mencari penghasilan

dan lain sebagainya.3

Berbicara mengenai pengelolaan tanah, dari sudut pengertian yaitu

harapan besar yang di bebankan pada sesuatu yang di anggap akan mampu

membawa dampak yang baik atau lebih baik dibidang pengelolaan tanah. Dimana

dampak tersebut akan memberikan kemanfaatan bagi masyarakat apabila hal yang

dimaksud dapat dikelola dengan baik. Sebagaimana diketahui bahwa tanah

memiliki makna yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat dan negara.

Selain sebagai tempat pemukiman, tanah juga merupakan sumber penghidupan

bagi masyarakat yang mencari nafkah melalui usaha pertanian, pertambangan dan

3
Ali Ahmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2002, h.1.

Universitas Sumatera Utara


3

perkebunan. Dalam kehidupan manusia tanah mempunyai nilai yang sangat

tinggi, tidak hanya bernilai ekonomis, tetapi juga menyangkut masalah nilai-nilai

sosial dan politik.

Bagi bangsa Indonesia tanah mempunyai hubungan abadi dan bersifat

religius, yang harus dijaga, dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sebagai

amanah Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Guna menjamin

pengelolaan tanah dengan baik, maka dibutuhkan sebuah lembaga yang

mempunyai wewenang khusus menangani permasalahan pertanahan, maka dari

itu dibentuklah Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Secara khusus BPN mempunyai tugas memberikan kepastian hukum

pengelolaan tanah oleh warga negara dalam berbagai jenis hak kepemilikan untuk

dapat diberdayagunakan sebagaimana mestinya. Eksistensi BPN sendiri telah

diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 berikut aturan pelaksananya.

BPN adalah lembaga pemerintah non kementerian di Indonesia yang mempunyai

tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional,

regional dan sektoral. BPN dahulu dikenal dengan sebutan Kantor Agraria. BPN

diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden

Nomor 85 Tahun 2012.4

UUPA merupakan amanat pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945)

menentukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, yang


4
Zaki Ulya, Eksistensi Badan Pertanahan Aceh Sebagai Perangkat Daerah Di Aceh
Dalam Aspek Kepastian Hukum Bidang Pertanahan, Jurnal Konstitusi, Vol. 12 No. 3, 2015, h..
571.

Universitas Sumatera Utara


4

kemudian dalam Pasal 19 UUPA pengaturan pendaftaran tanah dilaksanakan oleh

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

mengatur bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh

Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi

pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data

fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti

haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas

satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Salah satu tujuan dari pendaftaran tanah adalah memberikan kepastian

hukum hak atas tanah yang dimiliki. Kepastian hukum hak atas tanah dapat

diperoleh pemegang hak atas tanah dengan cara melakukan pendaftaran tanah.

Sasaran dari kepastian hukum hak atas tanah adalah memberikan perlindungan

hukum kepada pemegang hak atas tanah (siapa pemiliknya) dan kepastian

mengenai obyeknya, yaitu letaknya, batas-batasnya dan luasnya serta ada atau

tidaknya bangunan, tanaman diatasnya.5

Pemberian jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan, pertama-tama

memerlukan tersedianya perangkat hukum tertulis lengkap dan jelas yang

dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuannya. Setiap hak

atas tanah yang telah didaftarkan, akan diterbitkan sertifikat oleh Kantor

Pertanahan yang berada di setiap daerah Kabupaten/Kota, kekuatan hukum

5
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan-Peraturan
Pelaksananya, Alumni, Bandung, 1993, h.5.

Universitas Sumatera Utara


5

sertifikat merupakan alat bukti yang kuat, data fisik dan data yuridis yang

tercantum dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar sepanjang data

tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.6

Pendaftaran tanah akan membawa akibat diberikannya surat tanda bukti,

hak atas tanah yang umum disebut dengan Sertifikat tanah kepada pihak yang

bersangkutan dan berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat terhadap Hak Atas

Tanah yang dipegangnya itu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentag Pendaftaran Tanah, ketentuan Pasal 32 ayat (2). ”Dalam hal atas suatu

bidang tanah sudah diterbitkan secara sah atas nama orang atau Badan Hukum

yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara sah nyata

menguasainya, maka tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila

dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya Sertifikat tersebut”.

Sertifikat tanah mempunyai arti dan peranan penting bagi pemegang yang

bersangkutan, juga berfungsi sebagai alat bukti hak atas tanah. Dengan kata lain

pemilik tanah mempunyai alat bukti kuat dengan status jelas akan dijamin

kepastian hukumnya, sehingga akan lebih mudah untuk membuktikan bahwa

tanah tersebut adalah miliknya. Demikian pula pihak lain yang berkepentingan

terhadap tanah bersangkutan akan lebih mudah memperoleh keterangan yang

dapat dipercaya. Akan tetapi meskipun sudah secara tegas diatur dalam Undang-

Undang Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 bahwa

untuk menjamin kepastian hukum pemilikan tanah, tanah tersebut harus

didaftarkan, namun masih banyak masyarakat yang memiliki tanah tetapi tidak
6
Sheila Namira, Perlindungan Hukum Pemegang Sertifikat Hak Guna Usaha Akibat
Kekeliruan Penetapan Batas Tanah, Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Medan, 2017, h.3.

Universitas Sumatera Utara


6

mempunyai sertifikat sebagai alat bukti kepemilikan tanah tersebut, karena tanah

bersangkutan belum didaftarakan sehingga tidak diketahui secara pasti siapa

pemiliknya.

Pada kajian hukum adat terhadap hak penguasaan atas tanah yang tertinggi

adalah hak ulayat. Hak Ulayat merupakan seperangkaian wewenang dan

kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang

terletak dalam lingkungan wilayahnya. Sebagaimana telah diketahui, wewenang

dan kewajiban tersebut ada yang termasuk bidang hukum perdata, yaitu yang

berhubungan dengan hak kepunyaan bersama atas tersebut, ada juga yang

termasuk hukum publik, berupa tugas kewenangan untuk mengelola, mengatur

dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukkan dan penggunaannya7

Hak ulayat meliputi semua tanah yang ada dalam lingkungan wilayah

masyarakat hukum yang bersangkutan, baik yang sudah dihaki oleh seseorang

maupun yang belum. Dalam lingkungan Hak Ulayat tidak ada tanah sebagai “res

nullius.” Hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku kedalam dan ke luar. Kedalam

berhubungan dengan para warganya. Sedang kekuatan berlaku keluar dalam

hubungannya dengan bukan anggota masyarakat hukum adatnya, yang disebut

“orang asing” atau orang luar”.8

Pada hak ulayat penguasa berwenang menunjukkan tanah mana yang

diperbolehkan untuk digunakan masyarakatnya baik diusahakan maupun dikuasai.

Berdasarkan hal tersebut masyarakat harus mengetahui tanah-tanah mana yang

dapat digunakan maupun diusahakan, tetapi sebahagian masyarakat tidak

7
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1995, h.164.
8
Ibid. h.165.

Universitas Sumatera Utara


7

memahami bagaimana hukum yang berlaku terhadap tanah yang dikuasai terus-

menerus tanpa mengetahui keberadaan pemiliknya, hal ini yang dapat

menimbulkan sengketa tanah. Sehingga masyarakat yang telah menguasai tanah

tersebut dengan jangka waktu cukup lama tanpa mengetahui pemiliknya menjadi

enggan untuk pindah maupun sulit memperoleh hak kepemilikannya karena

menguasai tanah tersebut.

Pada Kantor Badan Pertanahan Nasional di Kota Binjai adanya pengajuan

hak atas tanah yang diajukan oleh masyarakat setempat, karena mengaku telah

lama dikelola olehnya. Tanah yang dikelola juga tidak hanya ditempati sebagai

tempat tinggal juga sebagai tempat usaha, namun tanah tersebut tidak diketahui

keberadaan pemiliknya. Untuk itu masyarakat berupaya mengajukan permohonan

kepada BPN agar mendapatkan bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut. Jika

dilihat Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Telantar, ternyata persoalan yang menyangkut tanah

terlantar belum dapat diatasi secara optimal, sehingga dapat dikatakan peraturan

tersebut tidak dapat lagi dijadikan acuan penyelesaian penertiban dan

pendayagunaan tanah terlantar sehingga perlu dilakukan penggantian. Menyadari

hal tersebut Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 11

Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Masyarakat harus memahami terlebih dahulu apakah tanah itu telah ada

pemiliknya, ditelantarkan atau tanah itu masih dikuasai oleh negara agar

menghindari sengketa tanah. Maka jelaslah bahwa pemberian atau penetapan hak

atas tanah dapat dilakukan oleh Negara melalui Pemerintah (dalam hal ini

Universitas Sumatera Utara


8

dilaksanakan oleh instansi Badan Pertanahan Nasional RI), sehingga setiap timbul

permasalahan maupun persengketaan yang mengenai hak-hak atas tanah

merupakan pula sebagian dari tugas Pemerintah untuk menyelesaikannya melalui

mediasi, kecuali apabila para pihak menempuh cara penyelesaian melalui lembaga

lain seperti pengadilan.9

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dikemukakan perumusan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kriteria tanah yang dapat dikuasai masyarakat ?

2. Bagaimana peralihan hak atas tanah yang tidak diketahui keberadaan

pemiliknya melalui kebijakan Pemko Binjai Studi Pada Kantor Badan

Pertanahan Nasional Kota Binjai ?

3. Bagaimanan kebijakan Pemko Binjai melalui BPN terhadap tanah yang

tidak diketahui keberadaan pemiliknya ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang tersebut diatas, maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui kriteria-kriteria tanah yang dapat dikuasai masyarakat

agar terhindar dari sengketa.

2. Untuk mengetahui cara Pejabat yang berwenang terhadap pembuatan suatu

akta peralihan hak atas tanah yang tidak diketahui pemiliknya .

9
Mhd Yamin Lubis, Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah. CV. Mandar Maju,
2010, hal. 3.

Universitas Sumatera Utara


9

3. Untuk mengetahui peran pemerintah terhadap peralihan hak atas tanah

yang tidak diketahui keberadaan pemiliknya.

D. Manfaat Penelitian

Hasil peneltian ini dapat memberikan manfaat baik secara teortitis

maupun secara praktis dibidang hukum waris yaitu :

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat yang berguna

bagi kalangan akademis dan mahasiswa yang mandalami hukum perdata pada

umumnya hukum kenotariatan pada khususnya,tentang akibat hukum penguasaan

tanah yang tidak diketahui keberadaan pemiliknya

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengamat, praktisi, maupun

masyarakat, terutama bagi masyarakat yang ingin mengetahui lebih dalam tentang

penguasaan hak atas tanah.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang peralihan hak atas tanah yang tidak diketahui

keberadaan pemiliknya merupakan penelitian yang asli dan dapat dipertanggung

jawabkan, penulis telah membandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya

yang membahas tentang Hak Penguasaan Atas Tanah . Adapun penelitian yang

mirip dengan penelitian ini antara lain :

Universitas Sumatera Utara


10

1. Prasetyo Kamilla, Nomor Induk Mahasiswa : 137011134 dengan judul tesis

“Tinjauan Yurudis Kedudukan Peralihan Hak Atas Tanah Secara Pinjam

Pakai dan Pendaftarannya” dengan rumusan masalah sebagai berikut :

a. Bagaimanakah peralihan hak atas tanah menurut UUPA?

b. Bagaimanakah Kedudukan Hukum Perjanjian Pinjam Pakai?

c. Bagaimanakah pelaksanaan peralihan hak atas tanah secara pinjam pakai?

2. Ekky Tri Hastaryo, Nomor Induk Mahasiswa : 12213001, dengan judul tesis

“Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Terlantar” dengan

rumusan masalah sebagai berikut :

a. Apa yang menyebabkan adanya tanah terlantar ?

b. Bagaimana kejelasan konsep dan kriteria tanah terlantar dalam hukum

positif di Indonesia?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap masyarakat yang menguasai

secara fisik atas tanah yang diterlantarkan oleh Pemerintah ?

3. Juliani Libertina Nasution, Nomor Induk Mahasiswa : 087011144, dengan

judul tesis “Hak Kepemilikan dan Penguasaan Tanah Di Wilayah Pulau Batam

(studi : di Pulau Sekikir dan Pulau Bulat)” dengan rumusan sebagai berikut

a. Bagaimana status kepemilikan tanah masyarakat di kawasan Pulau Sekikir

dan Pulau Bulat?

b. Bagaimana masyarakat dapat menempati tanah-tanah di areal kawasan

hutan lindung?

c. Bagaimana upaya perlindungan pemerintah dalam menangani penguasaan

tanah masyarakat di kawasan Pulau Sekikir dan Pulau Bulat?

Universitas Sumatera Utara


11

Penelitian tersebut di atas berbeda penulisannya dengan penelitian ini

dimana dalam penelitian ini menekankan pada peralihan hak atas tanah yang tidak

diketahui keberadaan pemiliknya. Tanah mana yang dimaksud telah lama dikuasai

masyarakat setempat namun ditinggalkan pemiliknya, sehingga peralihan hak atas

tanah harus ditegakkan.

Adanya persepsi yang jelas dan tegas mengenai tanah terlantar tersebut,

selain dapat mengurangi atau mencegah timbulnya masalah atau sengketa, kiranya

akan dapat memberikan ketertiban dan kepastian hukum penguasaan tanah oleh

Pemerintah, bahkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi pihak lainnya,

termasuk dalam masalah ini mengenai masyarakat yang secara nyata menguasai

fisik tanah yang bersangkutan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah suatu model yang menerangkan suatu model yang

menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting yang

telah diketahui dalam suatu masalah tertentu. Arti teori adalah sebuah kumpulan

proposisi umum yang saling berkaitan dan digunakan untuk menjelaskan

hubungan yang timbul antara beberapa variable yang diteliti.

Teori merupakan seperangkat kontrak (konsep), definisi, dan proposisi

yang menyajikan gejala (fenomena) secara sistematis, merinci hubungan antara

variabel-variabel, dengan tujuan meramalkan dan menerangkan fenomena/gejala

tersebut. Teori selalu berdasarkan fakta didukung oleh dalil dan proposisi dengan

Universitas Sumatera Utara


12

tujuan untuk menjelaskan dan memprediksikan kenyataan atau realitas. Suatu

penelitian dengan dasar teori yang baik akan membantu mengarahkan si peneliti

dalam upaya menjelaskan fenomena yang diteliti.10

Menurut M.Solly Lubis bahwa kerangka teori merupakan kerangka

pemikiran atau butir-butir, pendapat, teori tesis mengenai kasus atau

permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis, yang mungkin

ia setujui maupun tidak.11 Kerangka Teori merupakan landasan teori atau

dukungan teori dalam membangun dan memperkuat kebenaran dari permasalahan

yang dianalisis.12

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan

penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi

atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan

pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori biasa digunakan untuk menjelaskan

fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi

dan kegunaan teori dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang

peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.

Dasar filosofis dari bentuknya suatu aturan hukum, selain untuk

mengatur dan menertibkan masyarakat, juga yang paling penting adalah

memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Hukum merupakan instrument agar

keadilan bisa dicapai sesuai dengan harapan publik. Namun, proses penegakan

keadilan melalui instrument hukum selalu diterpa dilema yang tak berkesudahan.

10
Kerangka Teoritis,http://liaamami.blogspot.co.id/p/kerangka-teoritis.html, diakses pada
tanggal 21 Januari 2019 .
11
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, PT.Softmedia, Medan, 2012, h.129.
12
Jimly Asshiddihie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta, 2006,
h.61.

Universitas Sumatera Utara


13

Masalah keadilan telah ditelaah sejak zaman Yunani kuno, berasal dari

pemikiran tentang sikap atau perilaku manusia terhadap sesamanya dan terhadap

lingkungannya.13 Keadilan terhadap penguasaan dan pemilikan hak atas tanah

adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai suatu tanah.

Menurut John Rawls guru besar Universitas Harvard bahwa keadilan

adalah kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran

pada sistem pemikiran. Oleh karena itu, untuk memenuhi rasa keadilan maka

pemerintah melalui Undang-Undang Dasar 1945 dan UUPA telah menentukan

Pasal 7 UUPA menjelaskan bahwa “untuk tidak merugikan kepentingan umum

maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak

diperkenankan”, serta berdasarkan Pasal 10 UUPA Ayat 1 menjelaskan bahwa

“setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian

pada azasnya diwajibkan mengerjakan dan mengusahakannya sendiri secara aktif,

dengan mencegah cara-cara pemerasan”.

Pada kenyataannya penyelesaian pendudukan tanah secara tidak sah

tidak gampang dilakukan apalagi penguasaan tersebut telah berlangsung dalam

waktu yang cukup lama. Sebenarnya banyak kasus di beberapa daerah tentang hal

ini tidak dapat diselesaikan dan berujung pada adanya penyelesaian di pengadilan,

malangnya hampir dalam setiap kasus sengketa tanah posisi masyarakat selalu

lemah, atau dilemahkan. Betapa masyarakat yang semestinya dilindungi selalu

berada dalam posisi tidak berdaya, selalu dipersalahkan dan menjadi korban.

Untuk yang dilakukan penggusuran mengakibatkan konflik baru yang berujung

13
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan HAM, Mandar Maju, Bandung, 2011,h.97.

Universitas Sumatera Utara


14

pada konflik sosial. Dengan demikian, perlu adanya suatu penyelesaian yang

dapat diterima oleh semua pihak yakni setiap konflik tak ada yang merasa mutlak

dimenangkan atau dikalahkan.

Secara hukum yang menduduki adalah salah, tetapi disisi lain juga

kewajiban dari pemegang hak tidak dilaksanakan sebagaimana seharusnya.

Musyawarah yang tidak lain adalah kegiatan saling mendengar dan saling

menerima pendapat yang terjadi tanpa tekanan dengan kedudukan sejajar antara

para pihak adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah seperti ini, yang

tentunya penyelesaian perlu mengedepankan pendekatan humanism, pendekatan

persuasif dan menghargai Hak Asasi Manusia.

Adapun asas hukum, konsep hukum dan yurisprudensi-yurisprudensi

yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah asas fungsi

sosial dari tanah, konsep tujuan hukum Gustav Raddbruch dan konsep

perlindungan hukum. Sementara itu, teori-teori yang digunakan yaitu teori

keadilan dan teori kepastian hukum.

Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria yang menegaskan bahwa

“Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Ini berarti bahwa hak atas tanah

apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu

akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan

pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada

haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang

Universitas Sumatera Utara


15

mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. 14 Dengan

adanya asas ini maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus

dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya.

Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau

pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap

orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum

dengan tanah itu, dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan

kepentingan pihak yang ekonomis lemah.

Asas ini digunakan untuk menganalisis peralihan hak atas tanah yang

tidak diketahui keberadaan pemiliknya. Dengan asas fungsi sosial dari tanah

kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling

mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok kemakmuran,

keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.

Keadilan berasal dari kata adil yang artinya menurut kamus besar bahasa

Indonesia adalah tidak memihak atau tidak berat sebelah. Sehingga keadilan dapat

diartikan sebagai suatu perbuatan yang bersifat adil atau perbuatan yang tidak

memihak. Keadilan adalah salah satu dari tujuan hukum selain kemanfaatan dan

kepastian hukum. Perwujudan keadilan dapat dilihat dalam ruang lingkup

kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara.

“Teori keadilan John Rawls, berpendapat bahwa keadilan adalah

kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Akan

tetapi, kebajikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau

14
Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011,h.21

Universitas Sumatera Utara


16

menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan,

khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.”15

Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang

sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang

paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi

ketidaksamaan menjamin maksimum minimum bagi golongan orang yang paling

lemah.16 Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan

untuk yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang

kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbukti bagi semua

orang. Maksudnya, supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama

besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang

berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus

ditolak.

Lebih lanjut John Rawls menegakkan bahwa program penegakan

keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip

keadilan, yaitu pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan

dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua,

mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga

15
Pan Mohamad Faiz, 2009, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi,
Volume 6 Nomor 1, h.139-140.
16
Kebijaksanaan Pemerintah melalui Peraturan Perundang-Undangan dalam Perspektif
Sosiologis Academia Edu, http://www.academia.edu/10691642/pdf Esmi Warassih. Implementasi,
Surabaya: Disertasi Program Pascasarjana Universitas Airlangga, diakses pada tanggal 21 Januari
2019.

Universitas Sumatera Utara


17

dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik bagi setiap orang, baik

mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.17

“Teori Keadilan Hans Kelsen, dalam bukunya general theory of law and

state, berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan

adil apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan

sehingga dapat menemukan kebahagiaan didalamnya.”18

Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang

bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa

suatu tatanan bukan kebahagiaan setiap perorangan, melainkan kebahagiaan

sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni

terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat

hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti

kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia

yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan

menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai,

ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.19

“Teori ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah yaitu untuk

mencari keadilan yang seadil-adilnya terhadap kriteria tanah yang dapat dikuasai

masyarakat. Diharapkan teori ini dapat memberikan rasa adil dalam hal

pertanggungjawaban Notaris untuk membuat akta peralihan hak atas tanah,

17
Ibid.,
18
Hans Kelsen, 2011, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Nusa Media, Bandung, h.7.
19
Ibid, h.12.

Universitas Sumatera Utara


18

sehingga kepercayaan masyarakat akan semakin besar dan membuat masyarakat

merasa aman.

Menurut Sudikno Mertukusumo, kepastian hukum merupakan jaminan

bahwa hukum tersebut dapat dijalankan dengan baik. Sudah tentu kepastian

hukum sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan hal ini lebih diutamakan

untuk norma hukum tertulis. Karena kepastian sendiri hakikatnya merupakan

tujuan utama dari hukum. Kepastian hukum ini menjadi keteraturan masyarakat

berkaitan erat dengan kepastian itu sendiri karena esensi dari keteraturan akan

menyebabkan seseorag hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang

diperlukan untuk aktivitas kehidupan masyarakat itu sendiri. 20

Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan agar

masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa

ada kepastian hukum maka masyarakat tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak

mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang oleh

hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penormaan yang baik dan

jelas dalam suatu Undang-Undang dan akan jelas pula penerapanya.

Kepastian hukum sebagai sarana yang digunakan sesuai dengan situasi

dan kondisi dengan memperhatikan asas manfaat dan efisiensi. Jika dikaitkan

dengan kepastian hukum dalam bidang hukum pertanahan maka sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria, peraturan pelaksanaanya akan diatur dalam peraturan perundang-

undangan yang lain.

20
Sudikno Mertukusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2009, h.21.

Universitas Sumatera Utara


19

Adapun tujuan pokok dari Undang-Undang Pokok Agraria adalah :

a. Untuk meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional.

b. Menjadi dasar dalam mewujudkan kesatuan dan kesederhanaan dalam

hukum pertanahan.

c. Menjadi dasar dalam mewujudkan kepastian hukum mengenai hak-hak atas

tanah bagi seluruh rakyat Indonesia.

Artinya kepastian hukum dalam bidang hukum pertanahan adalah para

pemegang hak harus memperoleh kepastian mengenai haknya dan adanya

instruksi yang jelas bagi pemerintah. Hal ini diwujudkan dengan penyelenggaraan

pendaftaran tanah yang bersifat recht-kadaster, sehingga dapat menjamin

terwujudnya kepastian hukum. Hubungan antara teori kepastian ini dengan

permasalahan yang penulis angkat adalah sudah saatnya Indonesia dalam hal

terjadi sengketa pertanahan menggunakan hukum progresif yaitu ketentuan

pertanahan yang memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan atas tanah, keadilan

substansif dan strategi pembangunan hukum yang responsif, sehingga dapat

membuat terobosan baru terhadap masalah-masalah konkrit sengketa pertanahan,

yakni memberlakukan undang-undang sepanjang itu diyakini memberi rasa

keadilan dan menggali keadilan sendiri dari kehidupan masyarakat jika undang-

undang yang ada tidak memberi rasa keadilan.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep

dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara

Universitas Sumatera Utara


20

abstraksi dan realitas.21 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi

yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus, yang disebut dengan definisi

operasional. Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan

perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang

dipakai.

Tanah yang tidak diketahui keberadaabn pemiliknya, namun telah

dikelola oleh pihak lain dapat dipahami sebagai tanah terlantar. A.P. Parlindungan

menyatakan tanah terlantar adalah tanah yang tidak dipergunakan secara optimal

sesuai dengan kemampuan tanah tersebut. Masalah tanah terlantar juga

merupakan suatu hal yang sangat mengganggu dalam penguasaan atas tanah.

Tanah yang diberikan dasar penguasaan haknya telah berubah bentuk fisiknya

akibat ditelantarkan dalam waktu tertentu, sehingga haknya gugur dan tanah

tersebut kembali kepada penguasaan hak ulayat masyarakat adat.22

Peralihan terhadap tanah tersebut akan penulis bahas di bab selanjutnya,

agar lebih terinci dan mempermudah pembaca untuk memahami isi tesis ini.

Untuk dapat menjawab permasalahan dalam penelitian tesis ini perlu

didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi untuk

dapat menjawab permasalahan penelitian yaitu sebagai berikut :

21
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni,
Bandung,1983, h.19.
22
A.P. Parlindungan, Landreform Di Indonesia Strategi Dan Sasarannya, Bandar Maju,
Bandung, 1991, h.85.

Universitas Sumatera Utara


21

a. Tanah yaitu permukaan bumi, yang dalam penggunaannya meliputi juga

sebagian tubuh bumi yang ada dibawahnya dan sebagian dari ruang yang ada

diatasnya.23

b. Hak penguasaan atas tanah yaitu lembaga hukum dan hubungan hukum

konkret.

c. Peralihan Hak atas tanah yaitu sesuatu hal yang menyebabkan Hak atas tanah

berpindah atau beralih dari seseorang atau badan Hukum kepada orang lain

atau badan Hukum.

d. Kepemilikan tanah yaitu status terhadap suatu tanah yang dimiliki perorangan

atau kelompok-kelompok masyarakat.

G. Metode Penelitian

Istilah “Metodologi” berasal dari kata “Metode” yan berarti “jalan ke”

namun demikian menurut kebiasaan metode dirumuskan dengan kemungkinan-

kemungkinan sebagai berikut :24

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.

2. Suatu tehnik yang umum bagi ilmu pengetahuan.

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

Metode Penelitian adalah cara berfikir dan berbuat yaitu dipersiapkan

dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian dan untuk mencapai suatu tujuan

penelitian.25

23
Isa Darmawijaya, Klasifikasi Tanah, Gadjah Mada Universitas Press, Yogyakarta,
1990,h.9
24
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Masalah
Sosia, Alumni, Bandung, 1982, h.5.

Universitas Sumatera Utara


22

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

pendekatan yang bersifat yuridis normatif yaitu mengkaji permasalahan-

permasalahan hukum yang terjadi kemudian mengolahnya berdasarkan peraturan-

peraturan, doktrin hukum ataupun data-data hukum yang ada.26

Penelitian ini bersifat yuridis normatif atau penelitian hukum doktriner

yang disebut juga sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen, karena

penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang

tertulis atau bahan-bahan hukum lainnya.27 Jadi, ini daripada metodologi dalam

penelitian hukum adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu

penelitian hukum itu harus dilakukan.

2. Sumber Data

Dalam penelitian lazimnya jenis data dibedakan antara data primer dan

data sekunder. Berdasarkan sifat penelitian tersebut diatas, maka data yang

dikumpulkan berasal dari data sekunder. Data sekunder dalam hal ini dibagi

menjadi 3 (tiga) bagian yaitu :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan,

catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan

putusan-putusan hakim.28 Sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka

penelitian ini terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Peraturan

25
Kartini Kartono, Pengantar Metodelogi Riset Sosial, Alumni, Bandung, 2005. h.15.
26
Definisi Undang-Undang,http://artikatacom/arti-3888081-undang-undang. html.
diakses tanggal 21 Januari 2019.
27
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,1996, h.13
28
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, h.47.

Universitas Sumatera Utara


23

Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997

tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang fungsinya memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya, buku-buku yang

berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasil-hasil seminar

atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan-

bahan hukum primer dan hukum sekunder untuk memberikan informasi

tentang bahan-bahan sekunder, misalnya majalah, surat kabar, kamus hukum,

kamus Bahasa Indonesia dan website.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kepustakaan (Library Research). Studi kepustakaan (library research)

adalah serangkaian usaha untuk memperoleh data dengan jalan membaca,

menelaah, mengklarifikasi, mengidentifikasi, dan dilakukan pemahaman terhadap

bahan-bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan serta buku-buku

literatus yang ada relevansinya dengan permasalahan penelitian. Hasil dari

kegiatan pengkajian-pengkajian studi dokumen. Tujuan dari teknik dokumentasi

Universitas Sumatera Utara


24

ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,pendapat-pendatpat atau

penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.29

Selain itu penelitian ini didukung oleh data primer yang diperoleh dari

penelitian lapangan (field research), dalam hal ini penelitian di Kantor Badan

Pertanahan Kota Binjai dengan melakukan wawancara terhadap Pegawai Negeri

Sipil sehingga diperoleh data yang diperlukan sebagai data pendukung yang

digunakan sebagai penunjang dalam penelitian.

4. Analisis Data

Analisis data sangat diperlukan dalam suatu penelitian, hal ini berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data

dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dikarenakan penelitian ini

merupakan analisis data dari hasil penelitian dengan menggunakan norma hukum,

asas hukum dan pengertian hukum, sehingga dapat diperoleh kesimpulan jawaban

yang jelas dan benar.

29
Edi Ikhsan, Mahmul Siregar, Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai Bahan
Ajar, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, h.24

Universitas Sumatera Utara


BAB II

HAK ATAS TANAH YANG DAPAT DIKUASAI MASYARAKAT

A. Dasar Hukum Masyarakat Menguasai Tanah

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, serta salah satu

sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup umat

manusia.Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa kelangsungan hidup

manusia, baik sebaga individu maupun sebagai makhluk sosial senantiasa

memerlukan tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara

melakukan hubungan dan memanfaatkan sumber daya tanah, baik yang

ada diatas maupun yang ada di dalam tanah.

Hubungan manusia dengan tanah, bukan hanya sekedar tempat

hidup bagi manusia tetapi lebih dari itu, tanah memberikan sumber daya

bagi kelangsungan hidup umat manusia berupa kekayaan alam untuk

didayagunakan sedemikian rupa sehingga mampu untuk mencukupi

kebutuhan hidup manusia. Indonesia sebagai negara agraris, tanah

merupakan kebutuhan yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat

terutama masyarakat dipesisir pantai baik sebagai petani kebun

kelapa, nelayan ataupun usaha lainya dalam rangka pemenuhan

kebutuhan hidup dan merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

harus dijaga dan dipelihara kelestariannya.

Hubungan antara manusia dengan tanah sepanjang sejarah terjadi

dalam 3 (tiga) tahap berikut ini :

Tahap pertama, yaitu tahap dimana manusia memperoleh

kehidupannya dengan cara memburu binatang, mencari buah-buahan hasil

25
Universitas Sumatera Utara
26

hutan, mencari ikan di sungai atau di danau, mereka hidup tergantung

dari persediaan hutan, mereka hidup mengembara dari tempat yang satu ke

tempat yang lain.

Tahap kedua yaitu bahwa pada tahap ini manusia sudah mulai

mengenal cara bercocok tanam. Manusia mulai menetap di suatu tempat

tertentu selama menunggu hasil tanaman. Ikatan terhadap tanahpun

semakin erat oleh karena cara beternak yang dikenal manusia dan

bersamaan dengan pengenalan cara bercocok tanam.

Tahap ketiga yaitu tahap dimana manusia mulai menetap di

tempat tertentu dan tidak ada lagi perpindahan periodik. Manusia sudah

mulai terikat pada penggunaan ternak untuk membantu usaha- usaha

pertanian. Untuk kelangsungan hidupnya sudah mulai dari hasil

pertanian dan peternakan. Juga pada tahap ini manusia mulai terjamin

hidupnya dengan mengandalkan hasil-hasil pertanian dan peternakan

daripada hidup mengembara, mulai juga merasakan adanya surplusasil-

hasil produksi, corak pertanian,mengelola sendiri, menunggu hasil

pertanian untuk jangka waktu yang lama. Pada saat ini manusia mulai

menetap dan mengenal pertukangan30.

Selanjutnya keadaan manusia terus berkembang sejalan dengan

perkembangan peradaban umat manusia itu sendiri. Hubungan itu bahkan

menjadi semakin rumit. Sebagai akibat dari pertumbuhan jumlah

penduduk, perpindahan penduduk pesatnya pembangunan seiring dengan

perkembangan zaman. Sedangkan pada sisi lain luas tanah dan kekayaan

30
Djamanat samosir, Hukum Adat Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, h.99

Universitas Sumatera Utara


27

alam yang dikandungnya relatif tetap dan terbatas jika dibandingkan

dengan persentase perpindahan penduduk tinggi dan jumlah penduduk

yang semakin meningkat. Oleh sebab itu perlu adanya aturan hukum

yang mengatur m asalah pertanahan. Yang mana aturan hukum tersebut

bertujuan untuk melindungi kepentingan seluruh umat manusia dan

terjaminnya kepastian hukum di bidang pertanahan.

Konsepsi tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

Pasal 4 adalah permukaan bumi yang kewenangan penggunaannya meliputi

tubuh bumi, air dan ruang yang ada diatasnya. Dalam pengertian ini tanah

meliputi tanah yang sudah ada sesuatu hak yang ada diatasnya maupun

yang dilekati sesuatu hak menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.31

Tanah hanya merupakan salah satu bagian dari bumi32, pembatasan

pengertian tanah dengan permukaan bumi seperti itu juga diatur dalam

penjelasan Pasal Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagaimana

tertuang dalam Pasal 1 bagian II angka I bahwa dimaksud dengan tanah

ialah permukaan bumi. Batasan tentang pengertian tanah berdasarkan apa

yang dimaksud dalam Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria, bahwa

dalam hukum tanah, kata tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu

pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok

Agraria sebagaimana dalam Pasal 4 bahwa hak menguasai dari negara

31
Petunjuk Teknis Direktorat Survei dan Potensi Daerah, Deputi Survei, Pengukuran
dan Pemetaan Badan Pertanahan Nasional RI, 2007, h.6.
32
A.P.Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung,1990,h
90

Universitas Sumatera Utara


28

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut

tanah33.

Dalam sejarah pertanahan di Indonesia, Indonesia telah

memiliki ketentuan khusus yang mengatur tentang pertanahan yaitu

dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA, Sebagai peraturan dasar,

UUPA hanya mengatur asas-asas atau masalah-masalah pokok dalam garis

besarnya berupa hukum pertanahan nasional. UUPA ini merupakan

implementasi dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang memberi landasan

bahwa bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat. Hal ini dipertegas dengan Pasal 2 UUPA mengenai

hak menguasai dari Negara.

Penjelasan umum UUPA secara rinci bertujuan :

1. meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional,

yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan

dan keadilan bagi negara dan rakyat dalam rangka masyarakat adil

dan makmur;

2. meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan

kesederhanaan dalam hukum pertanahan;

3. meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum

mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.34

33
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, Djambatan, Jakarta, 1996, h.18.

Universitas Sumatera Utara


29

Kepastian hukum hak-hak atas tanah, khususnya menyangkut

kepemilikan tanah dan penguasaannya akan memberikan kejelasan

mengenai orang atau badan hukum yang menjadi pemegang hak atas

tanah, maupun kepastian mengenai letak, b a t a s - b a t a s , luasnya dan

sebagainya.

Mengenai kepastian tersebut sangat besar artinya terutama kaitannya

dalam perencanaan pembangunan suatu daerah, pengawasan pemilikan

tanah dan penggunaan tanah. Untuk mencapai tujuan tersebut, berdasar

Pasal 2 ayat (2) UUPA, kewenangan negara dalam bidang pertanahan

mempunyai hak menguasai seluruh wilayah Republik Indonesia terhadap

bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung

didalamnya, dengan wewenang untuk :

1. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan

dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

2. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-

orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

3. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara

orang-orang dan perbuatan yang mengenai bumi, air dan ruang

angkasa. 35

Ketentuan Pasal 2 tersebut di atas merupakan negara dalam

pengertian sebagai suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat untuk

mengatur masalah agraria (pertanahan). Kedudukan negara sebagai

34
Ibid, h.219
35
Suhanan Yosua, Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing) Dalam Sistem Hukum
Pertanahan Indonesia, Restu Agung, Jakarta, 2010, h.38

Universitas Sumatera Utara


30

penguasa (Hak menguasai dari negara) tersebut tidak lain adalah

bertujuan untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam

rangka masyarakat adil dan makmur. Dalam kerangka tersebut negara

diberi kewenangan untuk mengatur mulai dari perencanaan, penggunaan,

menentukan hak-hak yang dapat diberikan kepada seseorang, serta

mengatur hubungan hukum antara orang-orang serta perbuatan-perbuatan

hukum yang berkaitan dengan tanah.36

Secara umum, penguasaan tanah dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu tanah hak dan tanah negara. Tanah Negara adalah tanah yang

telah dikuasai suatu hak atas tanah sesuai dengan peraturan perundangan

yang berlaku (tanah yang belum dihaki dengan hak perorangan), sedang

tanah hak adalah tanah yang dipunyai oleh perorangan atau badan hukum

dengan suatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, hanya

terhadap tanah negara saja yang dapat dimintakan suatu hak untuk

kepentingan tertentu dan berdasar proses tertentu.

Tanah negara yang dapat dimohon menjadi tanah hak dapat berupa :

1. Tanah negara yang masih kosong atau murni, tanah negara

yang dikuasai langsung dan belum dibebani hak suatu apapun.

2. Tanah yang habis jangka waktunya, karena hak guna

bangunan, hak guna usaha, hak pakai mempunyai masa berlaku

yang terbatas, dengan lewatnya jangka waktu berlakunya

maka hak atas tanah tersebut menjadi hapus dan tanahnya

36
Herawan Sauni, Politik Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Kampus USU,
2006, h.125

Universitas Sumatera Utara


31

menjadi tanah negara. Bekas pemegang hak dapat memohon

perpanjangan jangka waktu itu atau memohon hak yang baru

diatas tanah itu.

3. Tanah negara yang berasal dari pelepasan hak oleh pemiliknya

secara sukarela, pemegang hak atas tanah dapat melepaskan

haknya dan dengan dilepaskannya hak itu maka tanah yang

bersangkutan menjadi tanah negara.37

Penjabaran Pasal 33 ayat (3) mengenai hak menguasai tanah oleh

negara diatur lebih lanjut kedalam Pasal 2 UUPA. Kata “menguasai”

mempunyai arti yaitu:

1. Menguasai secara fisik adalah orang yang telah menguasai tanahnya

secara fisik, maka orang tersebut mempunyai hak dan kewajiban

terhadap tanah tersebut, misalkan haknya untuk membangun rumah.

2. Hak menguasai secara yuridis, adalah penguasaan atas tanah

yang didasarkan pada haknya dan secara yuridis dilindungi oleh

hukum. Pertambahan jumlah penduduk akan mempengaruhi

kebutuhan tanah, luas tanah tidak sebanding dengan pertambahan

jumlah penduduk akan berdampak pada perselisihan dalam

menguasai hak penguasaan atas tanah tersebut.

Pasal 4 ayat (1) UUPA memberi wewenang kepada negara

berdasarkan hak menguasai dari negara untuk :

37
Ibid

Universitas Sumatera Utara


32

1. Menentukan macam-macam hak atas tanah

Macam-macam hak atas tanah ini diatur dalam Pasal 16 UUPA.

Menurut Pasal 16 ayat (1) tersebut hak-hak atas tanah tersebut dapat

dibagi menjadi tiga macam yaitu:

1) Hak atas tanah yang bersifat tetap, yaitu: hak milik, hak guna

usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan hak sewa.

2) Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara yang disebut dalam

Pasal 53, yaitu: hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang

dan hak sewa tanah pemerintah.

3) Hak-hak atas tanah yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

2. Memberikan hak atas tanah kepada orang-orang, baik sendiri

maupun bersama dengan orang-orang lain serta badan hukum.

Pasal 4 ayat (1) UUPA tersebut tidak memberi penjelasan tentang

tanah-tanah yang dapat diberikan kepada orang-orang, sehingga

memberikan wewenang yang luas kepada negara untuk mengambil

tanah-tanah kepunyaannya perorangan dan masyarakat hukum adat

untuk selanjutnya diberikan kepada suatu subyek hukum. Agar

dalam pemberian hak atas tanah itu tidak melanggar hak-hak

perorangan atas tanah dan hak ulayat masyarakat hukum adat,

maka wewenang negara harus dibatasi secara ketat yaitu dalam

memberikan hak atas tanah atau hak-hak lainnya, negara dibatasi

oleh rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, yakni tidak boleh

melanggar hak perorangan atas tanah dan hak masyarakat hukum

adat dan tanah-tanah kepunyaan perorangan, tidak boleh diambil oleh

Universitas Sumatera Utara


33

negara untuk selanjutnya diberikan kepada suatu subyek hukum

dengan dalil apapun, kecuali yang dibolehkan oleh ketentuan

hukum yang melalui cara pencabutan hak atas tanah. Tanah yang

dapat diberikan kepada suatu subyek hukum hanyalah terbatas pada

tanah yang belum dilekati dengan suatu hak atas tanah, yaitu

tanah yang bebas dari kepunyaan perorangan/masyarakat hukum

adat. Hak-hak atas tanah yang disebutkan dalam Pasal 16 jo Pasal

53 UUPA tidak bersifat liminatif, artinya disamping hak-hak atas

tanah yang disebutkan dalam UUPA, kelak dimungkinkan lahirnya

hak atas tanah baru yang diatur secara khusus dengan undang-

undang38.

3. Wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai tanah

negara yang diatur dalam Pasal 8 UUPA. Pasal 8 UUPA

berbunyi atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang

dimaksud dalam Pasal 2 diatur pengambilan kekayaan alam yang

terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang ini pun

tidak dibatasi oleh UUPA, sehingga berpotensi melanggar hak-hak

perorangan atas tanah dan hak masyarakat hukum adat atau tanah

ulayatnya. Agar hal ini tidak terjadi, wewenang negara untuk mengatur

pengambilan sumber daya alam harus dibatasi secara ketat, yaitu tidak

boleh melanggar atau meniadakan hak-hak masyarakat hukum adat

dan warga masyarakat untuk mengambil sumber daya alam yang ada

38
Urip Santoso, Hukum Agraria Dan Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media, Cetakan
Ke-2, Edisi 1, Jakarta, Februari 2006, h.89

Universitas Sumatera Utara


34

di wilayah hukumnya yang dilindungi oleh hukum adat setempat.

Pengambilan sumber daya alam yang ada di wilayah suatu masyarakat

hukum adat tertentu, hanya dapat dilakukan oleh negara apabila ada

persetujuan dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Tanpa

persetujuan masyarakat hukum adat, negara dengan dalil apapun tidak

dapat mengambil sumber daya alam di wilayah suatu masyarakat adat.

Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak

menguasai tanah oleh Negara,39 hubungan masyarakat hukum adat

dengan tanah ulayatnya melahirkan hak ulayat, hubungan antara

perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah.

Idealnya hubungan ketiga hak tersebut (hak menguasai tanah oleh

negara, hak ulayat, dan hak perorangan atas tanah) dijalin secara

harmonis dan seimbang. Artinya ketiga hak itu sama kedudukannya

dan kekutannya dan tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-

undangan di Indonesia, memberi kekuasan yang besar dan tidak jelas

batasan-batasannya kepada negara untuk menguasai semua tanah yang ada

di Indonesia. Akibatnya terjadi dominasi hak menguasai tanah oleh negara

terhadap hak ulayat dan hak perorangan atas tanah.

Secara umum tanah dibedakan menjadi 2 yaitu tanah negara dan

tanah hak. Tanah negara adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara.

Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak lain diatas tanah tersebut.

39
Muhammad Bakri, Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Media,
Yogyakarta, 2007, h.6.

Universitas Sumatera Utara


35

Tanah tersebut disebut juga tanah negara bebas. Penggunaan istilah

tanah negara bermula dari jaman Hindia Belanda. Sesuai dengan konsep

hubungan antara pemerintah Hindia Belanda dengan tanah yang berupa

hubungan kepemilikan dengan suatu pernyataan yang dikenal dengan

nama Domein Verklaring yang menyatakan bahwa semua tanah

yang pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak milik adalah

milik negara. Akibat hukum pernyataan tersebut merugikan hak atas

tanah yang dipunyai rakyat sebagai perseorangan serta hak ulayat yang

dipunyai oleh masyarakat hukum adat, karena berbeda dengan tanah-tanah

hak barat, diatas tanah-tanah hak adat tersebut pada umumnya tidak

ada bukti haknya. Adanya konsep domein negara tersebut maka tanah-

tanah hak milik adat disebut tanah negara tidak bebas atau onvrij

landsdomein karena sudah dilekati dengan suatu hak, tetapi diluar itu

semua tanah disebut sebagai tanah negara bebas atau vrij landsdomein.

Demikian yang disebut tanah negara adalah tanah-tanah yang tidak

dilekati dengan suatu hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna

bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak pengelolaan serta tanah

ulayat dan tanah wakaf. Adapun ruang lingkup tanah negara meliputi :

a. Tanah-tanah yang diserahkan secara sukarela oleh pemiliknya

b. Tanah-tanah hak yang berakhir jangka waktunya dan tidak

diperpanjang lagi.

c. Tanah-tanah yang pemegang haknya meninggal dunia tanpa ahli

waris.

d. Tanah-tanah yang ditelantarkan.

Universitas Sumatera Utara


36

Penelantaran tanah lebih mengarah kepada terjadinya peristiwa

hukum karena perbuatan sehingga hak atas tanah menjadi hapus,

contoh untuk perusahaan diberikan Hak Guna Usaha untuk

perkebunan oleh pemerintah, namun hak atas tanah tersebut tidak

dipergunakan dengan baik, maka hal tersebut dapat dijadikan

alasan untuk membatalkan hak yang bersangkutan oleh pejabat

yang berwenang. 40

e. Tanah-tanah yang dibebaskan untuk kepentingan umum.

Tanah yang berstatus tanah negara dapat dimintakan suatu hak untuk

kepentingan tertentu dan menurut prosedur tertentu. Tanah negara

yang dapat dimohon suatu hak atas tanah dapat berupa :

a. Tanah negara yang masih kosong atau murni.

Yang dimaksud tanah negara yang masih murni adalah tanah

negara yang dikuasai dan belum dibebani suatu hak apapun.

b. Tanah hak yang habis jangka waktunya.

Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai

mempunyai jangka waktu yang terbatas. Dengan lewatnya

jangka waktu berlakunya tersebut maka hak atas tanah tersebut

hapus dan belum dibebani suatu hak apapun.

c. Tanah Negara berasal dari pelepasan hak oleh pemilik

secara sukarela.

40
Irwan Haryo Wardani, Perlindungan Hak Atas Penguasaan Tanah Transmigrasi
Yang Di Terlantarkan Dan Di Tinggalkan Oleh Transmigran Di Lahan Usaha Ii Upt Seunaam
Iv Di Provinsi Aceh, Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, Medan, 2016, h.19

Universitas Sumatera Utara


37

Hak menguasai tanah terdapat dalam UUPA, namun ada juga

terdapat dalam UUPA dikenal mengenai hak bangsa atas semua tanah

yang ada di wilayah Indonesia. Hak bangsa dalam UUPA diatur

pada Pasal 1 ayat (1), (2), (3), berbunyi:

(1) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh

rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

(2) Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam

yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia

sebagai karunia tuhan yang maha esa adalah bumi, air dan ruang

angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

(3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang

angkasa termasuk dalam ayat (2) Pasal ini hubungan yang bersifat

abadi9.

Hak-hak penguasaan tanah itu tersusun dalam tata urutan

(hirarki), sebagai berikut:

1. Hak bangsa Indonesia (Pasal 1).

2. Hak menguasi oleh negara atas tanah (Pasal 2).

3. Hak ulayat masyarakat hukum adat (Pasal 3).

4. Hak-hak perorangan terdiri dari:

a. Hak-hak atas tanah (Pasal 4).

- Primer : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, yang

diberikan oleh negara dan hak pakai yang diberikan oleh negara

(Pasal 16)

Universitas Sumatera Utara


38

- Sekunder: hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan

oleh pemilik tanah, hak gadai, hak guna usaha bagi hasil, hak

menumpang, hak sewa (Pasal 37).

b. Wakaf (Pasal 49).

Hak jaminan atas tanah.41


Apabila diuraikan dalam bentuk tabel mengenai ruang lingkup

hak-hak penguasaan atas tanah menurut subyek hukum pemegangnya

yaitu :

Oleh bangsa disebut hak bangsa


Hak-hak penguasaan atas tanah Oleh negara disebut hak menguasai

dari Negara
Oleh masyarakat disebut hak ulayat

(masyarakat hukum adat)

Oleh negara disebut hak Hak milik


Hak-hak penguasaan atas Hak guna usaha
menguasai dari Negara
tanah Hak guna
Hak lain
bangunan
Oleh masyarakat disebut Hak ulayat

Kekuasaan (wewenang) negara yang bersumber pada hak

menguasai tanah oleh negara terhadap tanah yang sudah dipunyai oleh

orang dengan suatu hak (tanah hak), dibatasi oleh isi dari hak itu. Isi

dari hak atas tanah berupa wewenang pemengang hak terhadap tanah

yang dihaki yang diberikan oleh negara. Jadi, wewenang negara yang

bersumber pada hak menguasai tanah oleh negara dibatasi oleh wewenang

pemegang hak atas tanah yang diberikan oleh negara.

41
Boedi Harsono, op cit, h.267

Universitas Sumatera Utara


39

B. Regulasi Hukum Tentang Tanah Yang Tidak Diketahui Keberadaan

Pemiliknya

Penguasaan fisik atas tanah dan bangunan menjadi poin penting

didalam hukum pertanahan. Para pemegang hak atas tanah meskipun tanah

telah bersertipikat tidak boleh mengandalkan sertipikatnya tanpa melakukan

penguasaan fisik, atau membiarkan tanah tanpa sedikitpun melakukan

kegiatan. Tanah yang kosong tentunya mengundang orang lain untuk

menempati dan menduduki tanah tersebut meskipun tanpa didasari suatu

bukti.

Problematika hukum pertanahan yang banyak terjadi salah satunya

disebabkan oleh pemegang hak yang membiarkan tanahnya kosong,

sedangkan orang yang menempati atau mendudukinya selama bertahun-

tahun merasa memiliki hak. Jika pemegang hak asli akan kembali

memanfaatkan tanahnya menghadapi hambatan yang serius dan tidak jarang

kehilangan haknya.

Pemegang hak adalah pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan, atau

pemegang ijin/keputusan/surat dari pejabat yang berwenang yang menjadi

dasar penguasaan atas tanah.42 Hak atas tanah yang tidak diketahui

pemiliknya dapat dialihkan kepada pihak lain berdasarkan daluarsa (jangka

waktu) lamanya tanah ditinggalkan dan pengalihan dilakukan kepada siapa

yang berhak menerima tanah tersebut.

42
Pasal 1 Angka 4, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.

Universitas Sumatera Utara


40

Pada pendaftaran tanah telah dikenal dengan sistem publikasi negatif

yang memiliki kelemahan bahwa pihak yang namanya tercantum dalam

sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu menghadapi

kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu.

Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga

acquisitive verjaring atau adverse possession.43

Pengertian daluarsa atau verjaring sesuai dengan Pasal 1946

KUHPerdata adalah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau

untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan

atas syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam memperoleh

dan atau melepaskan sesuatu hak secara sah telah daluarsa atau waktu yang

disediakan oleh hukum akan tertutup apabila pihak yang seharusnya dapat

memperoleh dan atau melepaskan suatu hak tidak menggunakan batasan

waktu yang telah disediakan oleh hukum sebagaimana mestinya, sehingga

hak yang ada padanya telah hilang secara sah. Jadi dengan lewatnya waktu

batas daluarsa yang ditentukan, secara yuridis seseorang yang seharusnya

mempunyai hak untuk melepaskan sesuatu hak tidak dapat mempergunakan

haknya karena batasan waktu yang diberikan oleh hukum telah lewat,

sehingga daluarsa telah berjalan.

Daluarsa (lewat waktu) berkaitan dengan adanya jangka waktu

tertentu yang dapat mengakibatkan seseorang mendapatkan suatu hak milik

43
Ainuddin Parampasi, Penerapan Asas Rechtsverwerking Dalam Perolehan Hak Atas
Tanah Menurut Hukum Pertanahan Nasional (Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
Nomor 336 PK/Pdt/2015), Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makasar, 2018,h.38

Universitas Sumatera Utara


41

(acquisitive verjaring) atau juga karena lewat waktu menyebabkan

seseorang dibebaskan dari suatu penagihan atau tuntutan hukum (inquisitive

verjaring). Syarat adanya daluarsa ini harus ada itikad baik dari pihak yang

menguasai benda tersebut, seperti dalam Pasal 1963 KUH Perdata :

Seseorang yang dengan itikad baik memperoleh suatu barang tak


bergerak, suatu bunga, atau suatu piutang lain yang tidak harus
dibayar atau tunjuk, dengan suatu besit selama dua puluh tahun,
memperoleh hak milik atasnya dengan jalan lewat waktu.
Seseorang yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama tiga
puluh tahun memperoleh hak milik tanpa dapat dipaksa untuk
menunjukkan alas haknya.

Seorang bezitter yang jujur atas suatu benda yang tidak bergerak

apabila ia dapat menunjukkan suatu hak yang sah dengan daluarsa dua

puluh tahun sejak mulai menguasai benda tersebut lama kelamaan dapat

memperoleh hak milik atas benda. Begitu juga apabila ia tidak dapat

menunjukkan suatu hak yang sah, maka dengan daluarsa tiga puluh tahun

sejak mulai menguasai benda tersebut dapat memperoleh hak milik atas

benda tersebut. Namun, hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat

tidak dapat menggunakan lembaga tersebut karena hukum adat tidak

mengenalnya, tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang dapat

digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem, publikasi negatif dalam

pendaftaran tanah yaitu lembaga rechtsverweking.

Menurut hukum adat lembaga rechtsverweking, dimana hilangnya hak

bukan karena lewatnya waktu tetapi karena sikap atau tindakan seseorang

yang menunjukkan bahwa ia sudah tidak akan mempergunakan suatu hak.

Jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan,

Universitas Sumatera Utara


42

kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan

itikad baik, maka hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah

tersebut.44 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, yang diatur pada Pasal 32 ayat (2) yang menyebutkan bahwa :

Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat


secara sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh
tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata menguasainya,
maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak
dapat lagi menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam
waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu tidak
mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat
dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak
mengajukan gugatan ke Pengadilan mengenai penguasaan tanah
atau penerbitan sertipikat.

Secara subtansi lembaga rechtsverweking adalah lampaunya waktu

yang menyebabkan orang menjadi kehilangan hak atas tanah yang semula

miliknya, untuk mempertahankan kepemilikan tanah yang telah terdaftar

dalam daftar umum, sedangkan adverse possession atau verjaring adalah

lampaunya waktu yang menyebabkan orang menjadi mempunyai hak atas

tanah yang semula dimiliki oleh orang lain, dengan tujuan untuk

memperoleh pendaftarannya dalam daftar umum.45

Sebelum Undang-Undang Pokok Agraria berlaku, untuk menentukan

kadar kepastian hukum suatu hak, digunakan ketentuan mengenai

kadaluwarsa sebagai upaya untuk memperoleh hak milik atas tanah

44
A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan I, Mandar Maju,
Bandung, 1999, h.127
45
Ainuddin Parampasi, Penerapan Asas Rechtsverwerking Dalam Perolehan Hak Atas
Tanah Menurut Hukum Pertanahan Nasional (Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung
Nomor 336 PK/Pdt/2015), Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Hasanuddin, Makasar, 2018,h.47

Universitas Sumatera Utara


43

(acquisitive verjaring), yang terdapat dalam Pasal 610, Pasal 1955 dan Pasal

1963 KUHPerdata. Pasal 610 Buku II KUHPerdata menyatakan bahwa :

Hak milik atas suatu kebendaan diperoleh karena daluwarsa,


apabila seseorang telah memegang kedudukan berkuasa (besitter)
atasnya selama waktu yang ditentukan undang-undang dan
menurut syarat-syarat beserta cara membeda-bedakannya seperti
termaksud dalam Bab VII Buku IV KUHPerdata.

Pasal ini menetapkan bahwa seorang besitter dapat memperoleh hak

milik atas suatu benda karena daluwarsa (Verjaring). Selanjutnya dalam

Pasal Buku IV Bab VII Pasal 1965 KUHPerdata menyatakan bahwa:

untuk memperoleh hak milik atas sesuatu diperlukan bahwa

seseorang harus menguasainya secara terus menerus, tidak

terputus-putus, tidak terganggu, dimuka umum dan secara tegas

sebagai pemilik.

Dalam buku II KUHPerdata sepanjang mengenai bumi, air serta

kekayaan alam yang terkandung didalamnya telah dicabut oleh Undang-

undang Pokok Agraria. Oleh karena itu pasal-pasal tersebut sudah tidak

berlaku lagi sepanjang mengenai agraria (tanah). Hukum tanah kita yang

memakai dasar hukum adat tidak dapat menggunakan lembaga acquisitive

verjaring tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya, namun dalam

hukum adat terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk memberikan

kepastian hukum kepada seseorang atas suatu hak, yaitu lembaga

rechtsverwerking.

Berdasarkan keadaan tertentu dan sifat penguasaan dengan itikad baik

yang berlangsung dalam jangka waktu sekian lama atau secara terus

menerus. Oleh karena lembaga rechtsverwerking tersebut berasal dari

Universitas Sumatera Utara


44

ketentuan hukum adat yang tidak tertulis, maka penerapan dan

pertimbangan mengenai terpenuhinya persyaratan yang bersangkutan dalam

kasus-kasus konkrit ada hakim yang mengadili sengketa, dimana hakim

sebagai pemutus perkara para pihak yang bersengketa, yang menjadikan

tanah yang sudah bersertipikat sebagai obyek perkaranya. 46

Kelemahan sistem publikasi negatif bahwa pihak yang namanya

tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertipikat selalu

menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai

tanah tersebut. Hal tersebut memang ada perbedaannya, yang pertama

karena pengaruh waktu maka hak itu hilang dan kedua seseorang

mempunyai sesuatu hak tetapi tidak mempergunakan haknya. Sehingga

dengan alasan adanya lembaga rechtsverwerking, maka seseorang dapat

memperoleh hak atas suatu bidang tanah yang tidak dimanfaatkan pemilik

yang sesungguhnya47.

46
Ibid.
47
Ibid,h.50

Universitas Sumatera Utara


BAB III
PERALIHAN HAK ATAS TANAH

A. Peralihan Hak Atas Tanah Secara Umum

Tanah merupakan bagian dari permukaan bumi, dimana pada sebelumnya

juga telah dijelaskan ada beberapa macam hak-hak atas tanah, yaitu hak milik, hak

guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan. 48

Peralihan hak atas tanah adalah beralihnya atau berpindahnya hak

kepemilikan sebidang tanah atau beberapa bidang tanah dari pemilik yang semula

kepada pemilik yang baru, karena sesuatu atau perbuatan hukum tertentu. Peralihan

hak tersebut bertujuan untuk memindahkan hak atas tanah kepada pihak lain untuk

selama-lamanya (dalam hal ini subjek hukum memenuhi syarat sebagai pemegang

hak atas tanah).49

Peralihan hak atas tanah bisa merupakan perikatan yang lahir dari Undang-

Undang sebagai akibat perbuatan orang yang menurut hukum misalnya mengurus

kepentingan orang lain secara sukarela, dimana sebagai akibatnya, Undang-Undang

menetapkan beberapa hak dan kewajiban, yang harus mereka perhatikan seperti hak

dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.50

48
Astri Rahmadani Sipahutar, Analisis Yuridis Tentang Izin Peralihan Hak Atas Tanah
Sebelum Pembuatan Akta Ppat Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Bpn Nomor
3 Tahun 1997 (Studi Di Kabupaten Asahan), Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU,
Medan, 2018, h.19.
49
Irene Eka Sihombing, Segi-segi Hukum Nasional dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2005, h.56.

45
Universitas Sumatera Utara
46

Peralihan hak atas tanah terjadi karena pewarisan tanpa wasiat dan karena

adanya perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah, yakni :

a. Pewarisan tanpa wasiat, menurut hukum perdata jika pemegang suatu

hak atas tanah meninggal dunia maka, hak atas tanah tersebut dapat

beralih kepada ahli waris.

b. Pengalihan hak atas tanah, berbeda dengan peralihan hak atas tanah

karena pewarisan tanpa wasiat, yaitu karena adanya peristiwa hukum

dengan pengalihan hak atas tanah kepada pihak lain.

Hak milik dapat dialihkan haknya kepada pihak lain dengan cara jual beli,

hibah, tukar-menukar, pemberian dengan wasiat dan perbuatan yang dibenarkan

oleh hukum yang bertujuan untuk memindahkan hak milik.51

Beberapa macam peralihan hak atas tanah yaitu :

a. Jual Beli

Jual beli tanah menurut Hukum Adat, adalah suatu perbuatan

pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti

perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan kepala

adat, yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan

sahnya perbuatan pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut

51
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendafatarannya, Sinar Grafika, Jakarta,
2010, h 65.

Universitas Sumatera Utara


47

diketahui oleh umum. Tunai maksudnya, bahwa perbuatan pemindahan

hak dan pembayaran harganya dilakukan secara serentak.52

Penjual adalah pihak yang berwenang menjual. Untuk dapat bertindak


sebagai penjual harus dipenuhi syarat tertentu yakni usia harus dewasa
menurut Undang-Undang, artinya cakap melakukan perbuatan hukum
jual beli tanah misalnya:
1) Anak berumur 12 tahun tidak berwenang melakukan jual beli
walaupun ia yang berhak atas tanah itu. Jual beli terlaksana kalau yang
bertindak adalah ayah dari anak itu sebagai orang yang melakukan
kekuasaan orang tua.
2) Sebidang tanah dalam sertifikat atas nama istrinya, sedangkan tanah
itu adalah harta bersama dengan suaminya, maka isteri tidak
berwenang menjual sendiri tanah, melainkan bersama-sama suaminya,
atau suaminya memberi persetujuan tertulis kepada isteri. Demikian
juga, bila isteri yang harus memberi persetujuan kepada suami kalau
suatu tanah sebagai harta bersama secara tertulis atas nama suami.
3) Pembeli adalah pihak yang diperkenankan membeli tanah.53

Jual beli tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria, istilah

jual beli hanya disebutkan dalam Pasal 26 Undang-Undang Pokok

Agraria, yaitu yang menyangkut jual beli hak milik atas tanah. Dalam

pasal-pasal lainnya, tidak ada kata yang menyebutkan jual beli, tetapi

disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan suatu

perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah

kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar, dan hibah

wasiat. Jadi, meskipun dalam pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk

52
Makmur Siahaan, Analisis Yuridis Terhadap Sengketa Tanah TNI AU, CQ LANUD
SUWONDO Yang Dikuasai Oleh Masyarakat Sari Rejo (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor
229.K/Pdt/1991, Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan,
2018, hal.121
53
Harun Al-Rasyid, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Cetakan I Ghalia Indonesia, Jakarta,
1987, h 92.

Universitas Sumatera Utara


48

salah satunya adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah karena

jual beli.

Dokumen yang diserahkan penjual kepada PPAT dalam

pembuatan akta jual beli ini adalah fotokopi kartu tanda penduduk

(KTP), fotokopi kartu keluarga, surat nikah, surat pemberitahuan pajak

terhutang (SPPT) pajak bumi dan bangunan. Dokumen yang diserahkan

pembeli kepada PPAT dalam pembuatan akta jual beli ini adalah

fotokopi kartu tanda penduduk (KTP), fotokopi kartu keluarga, surat

nikah.54 Apabila pemilik sebidang tanah hanya satu orang, maka ia

berhak untuk menjual sendiri tanah itu. Akan tetapi, bila pemilik tanah

adalah dua orang maka yang berhak menjual tanah itu ialah kedua orang

itu bersama-sama. Tidak boleh seorang saja yang bertindak sebagai

penjual.55

Sebelum melakukan proses jual beli, PPAT harus memperhatikan

syarat materiil untuk melakukan jual beli, seperti pihak pembeli sebagai

penerima hak harus memenuhi syarat untuk dapat memiliki tanah yang

akan dibelinya.56 Harus memastikan bahwa tanah tersebut tidak sedang

dalam sengketa atau tanggungan di Bank, dengan melakukan Pengecekan

Sertipikat Hak Atas Tanah. Pengecekan Sertipikat Hak Atas Tanah


54
Urip Santoso, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Cetakan III, Kencana,
Jakarta 2003, h.375
55
Efendi Perangin-angin, Praktik Jual Beli Tanah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1994, h.2
56
A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan II, Mandar Maju,
Bandung, 1990, h.77

Universitas Sumatera Utara


49

merupakan proses penting sebelum dilakukannya transaksi apapun

terhadap sertipikat yang merupakan objek jual beli tersebut. karena

apabila sertipikat tersebut bermasalah maka, tidak diperbolehkan untuk

dipindahtangankan, dan bila terjadi tentunya akan timbul gugatan yang

akan merugikan pembeli. Namun, lain lagi bila menghadapi pembelian

tanah yang belum didaftarkan di kantor pertanahan untuk disertifikatkan.

Sebaiknya, harus diperoleh informasi sedalam-dalamnya pada pejabat

setempat (kelurahan ataupun camat) tentang riwayat dari kepemilikan

tanah tersebut, siapa pemilik terakhirnya, apakah ada bukti-bukti

pembayaran pajak atau bukti pembayaran. Jika tanah tersebut sedang

dalam permasalahan maka Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat

menolak pembuatan Akta Jual Beli yang diajukan. Proses jual beli

memiliki syarat-syarat khusus karena jual beli harus dilakukan dihadapan

pejabat yang berwenang yaitu PPAT. Ada beberapa tahapan yang harus

dilakukan terhadap alas hak atau objek jual beli dalam proses jual beli

yaitu:

1) Perlu dilihat kembali tahun terbitnya sertipikat hak yang menjadi

objek jual beli, jika di bawah tahun 2012 maka wajib dilakukan

plotting, yang bertujuan untuk mengupdate/memperbaharui kembali

titik koordinat dari tanah tersebut.

Universitas Sumatera Utara


50

2) Setelah proses plotting, baru dapat melakukan pengecekan status

sertifikat ke Kantor Menteri Agraria dan Tata Ruang Republik

Indonesia/Badan Pertanahan Nasional.

3) Setelah Pengecekan Sertipikat, Pejabat Pembuat Akta Tanah

Meminta Dokumen untuk keperluan pembuatan akta Jual Beli

kepada para penghadap, dan menyiapkan dokumen lainnya yang

diperlukan untuk proses balik nama.

4) Setelah akta siap dibuat dan dibacakan oleh Pejabat Pembuat Akta

Tanah dihadapan para penghadap selanjutnya, akta beserta dokumen

lainnya di tandatangani oleh para penghadap, saksi dan Pejabat

Pembuat Akta Tanah.

5) sebagai tambahan apabila memasuki awal tahun dan PBB belum

diterbitkan maka ada satu proses yang harus dilakukan yaitu,

melakukan Permohonan Surat Keputusan Nilai Jual Objek Pajak

proses tersebut dapat dilakukan besamaan dengan penyesuaian PBB

dan sertipikat hak atas tanah, dengan syarat-syarat sebagai berikut :

a. Permohonan Surat Keputusan Nilai Jual Objek Pajak yang

ditandatangani oleh pemohon.

b. Permohonan penyesuaian data PBB dan sertipikat hak yang

ditandatangani oleh pemohon.

c. Surat pernyataan pemohon bahwa data yang diisi adalah benar

yang ditandatangani oleh pemohon

Universitas Sumatera Utara


51

d. Fotocopy KTP Pemohon atau Pembeli.

e. Fotocopy Surat Pernyataan Penyerahan Hak atas jual beli

bermaterai cukup yang ditandatangani penjual dan pembeli dan

diketahui oleh PPAT.

f. Fotocopy PBB Terakhir dan bukti Lunas pembayaran PBB.

g. Fotocopy Sertipikat Hak Atas Tanah.

6) Setelah Surat Keputusan Nilai Jual Objek Pajak dan penyesuaian

PBB selesai dilakukan, tahap selanjutnya adalah validasi terhadap

BPHTB ke Badan Pendapatan Daerah dan Validasi PPh ke Kantor

KPP Pratama di Kabupaten/Kota sesuai Domisili objek Pajak berada.

Proses validasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang

akan dikenakan kepada pihak pembeli dan validasi Pajak

Penghasilan yang akan dikenakan terhadap pihak penjual, jika harga

jual beli melebihi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak

yang dapat diperhitungkan berdasarkan Pajak Bumi dan Bangunan

dan nilai transaksi jual beli tersebut. Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan yang diatur dengan Undang-Undang tersendiri Sesuai

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Bea

Perolehan Hak atas Tanah Objek BPHTB adalah perolehan hak atas

tanah dan bangunan. Adapun, perolehan hak atas tanah dan atau

bangunan tersebut meliputi: Jual beli, Tukar-menukar, Hibah, Hibah

wasiat, Waris, Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain,

Universitas Sumatera Utara


52

Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, Penunjukan pembeli

dalam lelang, Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan

hukum tetap, Penggabungan usaha, Peleburan Usaha, Pemekaran

Usaha, dan Hadiah. Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan tersebut dikarenakan adanya jual beli yang dilakukan para

pihak dan dikarenakan para pihak yang melakukan jual beli dinilai

sudah mampu sehingga dikenakan pajak atau dengan kata lain

dengan adanya jual beli para pihak memperoleh nilai ekonomi dari

tanah yang menjadi objek hak atas tanah sehingga, oleh negara diatur

mengenai pengenaan pajak untuk jual beli tersebut. Untuk jual beli,

persyaratannya antara lain sebagai berikut:

a) SSPD BPHTB

b) Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan

c) Fotokopi KTP Wajib Pajak

d) Fotokopi STTS/ Struk ATM Bukti pembayaran PBB untuk 5

Tahun Terakhir (khusus daerah Binjai tidak hanya 5 tahun

terakhir melainkan harus melunasi semua tunggakan pajak).

e) Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertipikat Hak, Akta Jual

Beli, Letter C/ atau Girik).

7) selanjutnya setelah Validasi selesai dilakukan, maka PPAT siap

untuk memproses semua dokumen peralihan hak kepada kantor

Universitas Sumatera Utara


53

Pertanahan Kabupaten/Kota sesuai dengan domisili tanah tersebut

berada, dengan syarat-syarat sebagai berikut :

a) Surat Pengantar Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT);

b) Surat Permohonan Balik Nama;

c) Rincian Berkas Permohonan Balik Nama dari Aplikasi

loketatrbpn.go.id. yang telah di onlinekan oleh PPAT dengan

menggunakan user PPAT.

d) Akta Jual Beli lembar kedua yang dibuat oleh Pejabat Pembuat

Akta Tanah (PPAT);

e) Asli Sertipikat Hak atas Tanah;

f) Surat Pernyataan Absente;

g) Surat Pernyataan telah melakukan validasi BPHTB dan

validasi PPh;

h) Fotokopi sesuai asli Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu

Keluarga (KK) pihak penjual dan pembeli;

i) Bukti Lunas Pembayaran BPHTB dan PPh;

j) Lembar Validasi BPHTB dan Lembar Validasi PPh.

b. Hibah

Penghibahan tanah, hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada

orang lain dengan tidak ada penggantian apa pun dan dilakukan secara

sukarela, tanpa ada kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan

pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup. Inilah

Universitas Sumatera Utara


54

yang berbeda dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan sesudah si

pewasiat meninggal dunia.57

Hibah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah suatu

perjanjian dengan mana si penghibah, diwaktu hidupnya, dengan Cuma-

Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu

benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan

itu.58 dari pengertian tersebut agar suatu tindakan hukum dapat

dikatakan suatu hibah harus memenuhi beberapa unsur yaitu :59

1) Diwaktu hidupnya pemberi hibah

waktu pemberian merupakan suatu pembeda antara pemberian hibah

dengan pemberian yang dilakukan suatu surat wasiat. Hibah dibuat

dengan akta otentik dihadapan pejabat yang berwenang membuat

akta dan dilakukan pemberiannya sewaktu pemberi hibah masih

hidup. sedangkan wasiat, berdasarkan ketentuan Pasal 875 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan pengertian Surat

Wasiat adalah suatu akta yang berisi keterangan pewaris tentang

kemauannya setelah ia meninggal dunia dan akta tersebut dapat

ditarik kembali. Jadi, surat wasiat baru memiliki kekuatan hukum

57
Afrizal, Pelaksanaan Dan Status Hukum Pemberian Orang Tua Kepada Anak
Perempuan Melalui Hareuta Peunulang Di Kabupaten Aceh Besar, Tesis, Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2014, h.29
58
Pasal 1666 ayat 1, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
59
R.Subekti, Aneka Perjanjian, Cet.10, PT. Citra Aditya Bakti, 1995, h 94-95.

Universitas Sumatera Utara


55

dan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Jadi, selama pewaris

masih hidup surat wasiat tersebut dapat ditarik kembali.

2) Dengan Cuma-Cuma

Pemberian hibah hanya ditunjukkan dengan adanya prestasi dari satu

pihak saja sebaga pemberi hibah, sedangkan penerima hibah tidak

memberikan kontra prestasi sebagai imbalan.

3) Hibah tidak dapat ditarik kembali

Sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

mengenai pemberian hibah pada prinsipnya sama dengan perjanjian,

apabila sudah dihibahkan maka, dengan sendirinya tidak dapat

ditarik kembali secara sepihak oleh pemberi hibah, kecuali hibah

dari orang tua kepada anaknya, hal tersebut diatur dalam Pasal 212

Kompilasi Hukum Islam bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali,

kecuali hibah dari orang tua kepada anaknya.60 Hal tersebut

bertujuan agar orang tua memberikan sesuatu kepada anaknya

dengan memperhatikan nilai-nilai keadilan. seorang ayah dapat

menarik kembali pemberian hibah dari anaknya, jika benda yang

diberikan itu masih berada dalam kekuasaan anaknya, apabila benda

tersebut hilang dari kekuasaan anaknya maka, pemberian terhadap

benda tersebut tidak dapat menarik kembali hibahnya.

4) Adanya objek hibah yang diserahkan pemberi hibah.


60
Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Fokusmedia, Bandung, 2010, Pasal 212,.

Universitas Sumatera Utara


56

Objek hibah merupakan suatu benda yang sudah ada, bukan suatu

benda yang baru akan ada dikemudian hari, apabila objek hibah

adalah suatu benda yang baru akan ada dikemudian hari maka hibah

tersebut menjadi batal.

mengenai objek dalam suatu hibah perlu diketahui benda-benda yang

dapat dihibahkan, antara lain :61

a) harta yang sudah dibeli pemberi hibah, tetapi penerimaannya

diserahkan kepeda penerima hibah.

b) panen yang akan datang dari suatu tanaman yang sudah ditanam.

c) bunga uang dari suatu deposito yang sedang berjalan atau utang

yang sudah ada.

Tata cara peralihan hak dengan proses hibah, yaitu hibah dibuat

dihadapan pejabat yang berwenang membuat akta otentik dilihat

dari bentuk dan status yang dimiliki objek hibah tersebut. Apabila

objek tersebut berupa tanah yang memiliki status hak milik dan

memiliki bukti kepemilikan berupa sertipikat hak atas tanah,

maka ada proses yang harus dilakukan kepada instansi yang

berwenang agar pemberian hibah tersebut berlaku secara legal

dan memiliki status yang jelas.

61
Tan Thong Kie, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1994, h 581.

Universitas Sumatera Utara


57

Proses hibah yang dilakukan oleh notaris sebagai Pejabat

Pembuat Akta Tanah yaitu, sipemberi hibah dan penerima hibah

datang menghadap dan memberikan bukti kepemilikan hak yang

akan dijadikan objek hibah untuk proses pengecekan status

sertipikat apabila bersih maka dapat dibuatkan aktanya, disertai

syarat-syarat berupa Bukti identitas diri penghadap, PBB (Pajak

Bumi dan Bangunan) dari objek hibah tersebut. Setelah akta

ditandatangani oleh penghadap, saksi dan pejabat pembuat akta

tanah tersebut maka berkas hibah dapat diproses validasinya

untuk proses selanjutnya ke kantor pertanahan.

c. Pewarisan

Pewarisan tanah, perolehan hak milik atas tanah dapat juga terjadi

karena pewarisan dari pemilik kepada ahli waris sesuai dengan Pasal 26

Undang-Undang Pokok Agraria. Pewarisan dapat terjadi karena

ketentuan undang-undang ataupun karena wasiat dari orang yang

mewasiatkan.62

Beberapa cara peralihan hak atas tanah diatas maka, setiap pengalihan

hak yang terjadi terhadap tanah tergantung pada bentuk alas hak tanah

tersebut dan harus memiliki alas hak yang jelas sesuai dengan ketentuan

hukum yang berlaku.

62
Ibid, h.71

Universitas Sumatera Utara


58

Persyaratan validasi BPHTB untuk hibah, waris atau jual beli waris

sebagai berikut:

1) SSPD BPHTB

2) Fotokopi SPPT PBB untuk tahun yang bersangkutan

Fungsi : untuk mengecek kebenaran Data Nilai Jual Objek Pajak

pada SSPD BPHTB.

3) Fotokopi KTP Wajib Pajak

4) Fotokopi STTS/Struk ATM Bukti pembayaran PBB untuk 5 Tahun

Terakhir (khusus daerah Binjai tidak hanya 5 tahun terakhir

melainkan harus lunas)

Fungsi : untuk mempermudah melakukan penagihan, jika masih ada

piutang PBB, karena Biasanya pembeli tidak mau ditagih pajaknya

sebelum tahun dialihkan.

5) Fotokopi Bukti Kepemilikan Tanah (Sertifikat, Akta Jual Beli, Letter

C/ atau Girik)

Fungsi : untuk mengecek ukuran luas tanah, luas bangunan, tempat/

lokasi tanah dan atau bangunan, dan diketahui status tanah yang akan

dialihkan.

6) Surat Pernyataan Ahli Waris ditandatangani bawah tangan dan

bermaterai cukup, yang diketahui Lurah dan Camat.

7) Fotokopi Surat Keterangan Waris atau Akta Hibah

Universitas Sumatera Utara


59

Fungsi : dibutuhkan untuk memberikan pengurangan pada setiap

transaksi.

8) Fotokopi Kartu Keluarga

Setelah proses validasi selesai maka semua dokumen dapat di proses ke

Kantor Pertanahan untuk di balik nama ke ahli waris.

Proses berkas ke kantor Pertanahan memiliki beberapa prosedur yang

harus dilakukan yaitu :

a. Pejabat Pembuat Akta Tanah melakukan pendaftaran berkas secara online

pada aplikasi Loketatrbpn, dengan membuat janji pengantaran berkas ke

Kantor Pertanahan.

b. Setelah berkas diantar pihak Kantor Pertanahan akan memeriksa kebenaran

dan kelengkapan berkas.

c. Setelah benar dan lengkap pihak Kantor Pertanahan membuat Validasi

Tanda Terima Berkas dan mengeluarkan Perolehan Negara Bukan Pajak

(PNBP) yang harus dibayar oleh pemohon.

d. Setelah pembayaran selesai, maka berkas pun diproses oleh Kantor

Pertanahan.

e. Pada setiap prosesnya Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat melakukan

pengecekan terhadap berkas tersebut pada aplikasi loketatrbpn.go.id

sehingga memudahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk mengetahui

proses peralihan hak tersebut.

Universitas Sumatera Utara


60

f. Selanjutnya sertipikat yang telah di selesai proses tersebut diserahkan

kembali kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah untuk diserahkan kepada

penghadap yang bersangkutan.

B. Peralihan Hak Atas Tanah Yang Tidak Diketahui Keberadaan


Pemiliknya

Pemberian jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah bagi

seluruh rakyat Indonesia merupakan salah satu tujuan pokok dari Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA) yang sudah tidak dapat ditawar lagi, sehingga undang-undang

menginstruksikan kepada Pemerintah untuk mengadakan pendaftaran di seluruh

wilayah Indonesia yang bersifat rechtskadaster artinya yang bertujuan untuk

menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak dalam kepemilikan dan

penggunaan tanahnya. Jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan adalah

memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas serta

dilaksanakan secara konsisten, sesuai dengan ketentuan-ketentuannya.63

Cadastre merupakan alat yang tepat dalam memberikan uraian dan

identifikasi dari tanah dan berfungsi sebagai continuos recording (rekaman yang

berkesinambungan dari hak-hak atas tanah dan juga harus menunjukkan sifat

63
Agusman Rodeka Siregar, Problematika Pendafataran Tanah Adat Menjadi Hak Milik
Tanpa Persetujuan Seluruh Ahli Waris pada Kantor Pertanahan Kabupaten Samosir, Tesis
Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2017, h.71

Universitas Sumatera Utara


61

yang terbuka untuk umum (public record). Hal ini penting, terutama jika

dikaitkan dengan salah satu asas dalam pendaftaran tanah, yaitu asas publisitas.64

Terdapat beberapa misi pokok yang dijabarkan dalam isi Peraturan

Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yaitu antara lain:65

a) Penyederhanaan dalam proses dan tata laksana operasional dari pelaksanaan


pendaftaran tanah;
b) Prioritas penyelesaian pendaftaran tanah bagi tanahtanah eks.B.W tanah-
tanah adat dan tanah-tanah konsesi raja-raja;
c) Antisipasi terjadinya pemalsuan sertipikat hak atas tanah dan sertipikat
ganda;
d) Percepatan pelaksanaan pendaftaran tanah yang disesuaikan dengan target
pemerintah untuk melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh Indonesia.
Dengan adanya perubahan Peraturan Pemerintah tentang pendaftaran tanah
yang yang baru (PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)
diharapkan kepada masyarakat akan lebih terdorong untuk mendaftarkan
tanahnya, karena adanya penyederhanaan tata laksana pendaftaran tanah,
sehingga konsekuensi positif yang nyata, yakni tercapainya target
pendaftaran.

Adanya perubahan Peraturan Pemerintah tentang pendaftaran tanah yang

yang baru (PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah) diharapkan kepada

masyarakat akan lebih terdorong untuk mendaftarkan tanahnya, karena adanya

penyederhanaan tata laksana pendaftaran tanah, sehingga konsekuensi positif

yang nyata, yakni tercapainya target pendaftaran tanah di Indonesia dapat

direalisasikan secara optimal oleh pemerintah secara amanat Pasal 19 ayat (1)

Undang-undang Pokok Agraria.66

64
A.Suriyaman Mustari Pide II, Quo Vadis Pendaftaran Tanah, PUKAP, Makassar, 2009,
h.11
65
Ibid.
66
Ibid,h.12

Universitas Sumatera Utara


62

Pada kedua Peraturan Pemerintah ini, bentuk pelaksanaan Pendaftaran

Tanah dalam rangka pendaftaran tanah yang bertujuan untuk memberikan

kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah dengan alat bukti yang

dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa Buku Tanah dan

Sertipikat yang terdiri dari Salinan Buku Tanah dan Surat Ukur.67

Perubahan pokok dalam pengaturan pendaftaran tanah yang diatur oleh

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 yaitu: 68

1) Pelaksanaannya pendaftaran tanah pertama kali memuat perubahan


mengenai penegasan pengertian pokok-pokok pendaftaran tanah, asas,
dan tujuannya;
2) Penyederhanaan prosedur pengumpulan data dan pengumuman
(lembaga pengumuman dan lembaga kesaksian);
3) Pemanfaatan teknologi baru (Global Positioning System/GPS, Data
Elektronik/ Mikro Film;
4) Lembaga ajudikasi dalam pendaftaran tanah sistematik;
5) Pembukuan tetap dilaksanakan meskipun data belum lengkap/ dalam
sengketa;
6) Diberlakukannya lembaga rechtsverwerking.

Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum adat

merupakan sumber utama untuk memperoleh bahan-bahannya, berupa konsepsi,

asas-asas, dan lembaga hukumnya, untuk dirumuskan menjadi norma-norma

hukum tertulis yang disusun menurut sistem hukum adat. Hukum tanah baru

yang dibentuk dengan menggunakan bahan-bahan dari hukum adat berupa


67
Arie S Hutagalung, Penerapan Lembaga “Rechstverwerking” Untuk mengatasi
Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah,” Jurnal Hukum dan Pembangunan
4 (Oktober-Desember 2000), Universitas Indonesia, h.328-329
68
U.Indrayanto, Perubahan Pokok dalam Peraturan Pendaftaran Tanah Menurut PP
Nomor 10 Tahun 1961 dengan PP Nomor 24 Tahun 1997, Jurnal Hukum dan Pembangunan,
Universitas Indonesia, Tahun Ke-36 No.3 Juli-September 2006, h.303

Universitas Sumatera Utara


63

norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundangundangan

sebagai hukum tanah nasional positif yang tertulis.69

Sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut oleh Undang-Undang

Pokok Agraria adalah sistem publikasi negatif yang tidak murni, melainkan

sistem publikasi negatif yang bertendensi positif. Secara tersirat pembuktian

yang kuat, seperti yang dinyatakan dlam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat

(2), Pasal 32 ayat (2), Pasal 38 ayat (2) UUPA. Sistem publikasi yang negatif

murni tidak akan menggunakan sistem pendaftaran hak.70 Sistem Publikasi

negatif yang tidak murni diuraikan dalam Penjelasan Pasal 32 ayat (2) PP

Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, yaitu:

Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh Undang-


undang Pokok Agraria tidak menggunakan sistem publikasi positif, yang
kebenaran data yang disajikan dijamin oleh negara, melainkan
menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif
negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan, tetapi walau
demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan sistem publikasi
negatif secara murni. Hal tersebut tampak dari perrnyataan dalam Pasal 19
ayat (2) huruf c UUPA, bahwa surat tanda bukti hak yang diterbitkan
berlaku sebagai alat bukti yang kuat dan dalam Pasal 23, Pasal 32, dan Pasal
38 UUPA bahwa pendaftaran sebagai peristiwa hukum merupakan alat
pembuktian yang kuat. Selain itu, dari ketentuan-ketentuan mengenai
prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik
dan data yuridis serta penerbitan sertipikat dalam peraturan pemerintah ini,
tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data
yang benar, karena pendaftaran tanah adalah menjamin kepastian hukum.

UUPA secara tersurat tidak menyebutkan sistem publikasi yang di

gunakan, namun dalam dalam substansinya dapat disimpulkan bahwa sistem

69
A.Suriyaman Mustari Pide I, Op.cit, h.136
70
Urip Santoso II, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media, Jakarta,
2012,h.202

Universitas Sumatera Utara


64

publikasi dalam pendaftaran tanah yang dianutnya adalah sistem publikasi

negatif yang mengandung unsur positif. Bukti bahwa sistem publikasi dalam

pendaftaran tanah yang dianut oleh UUPA adalah sistem publikasi negatif yang

mengandung unsur positif, dapat dijelaskan sebagai berikut:71

a) Pendaftaran tanah menghasilkan surat tanda bukti hak yang berlaku

sebagai alat pembuktian yang kuat, bukan sebagai alat pembuktian yang

mutlak. Kata “kuat” disini merupakan ciri sistem publikasi negatif;

b) Sistem pendaftaran tanah menggunakan sistem pendaftaran hak

(registration of titles), bukan sistem pendaftaran akta (registration of deed).

Sistem pendaftaran hak (registration titles) merupakan ciri sistem publikasi

positif;

c) Negara tidak menjamin kebenaran data fisik dan data yuridis yang

tercantum dalam sertipikat. Hal ini merupakan ciri sistem publikasi negatif;

d) Petugas pendaftaran tanah bersifat aktif meneliti kebenaran data fisik dan

data yuridis. Hal ini merupakan ciri sistem publikasi positif;

e) Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk memberikan jaminan kepastian

hukum. Hal ini merupakan ciri sistem publikasi positif;

f) Pihak lain yang dirugikan atas diterbitkannya sertipikat dapat mengajukan

keberatan kepada penyelenggara pendaftaran tanah untuk membatalkan

sertipikat atau mengajukan gugatan ke pengadilan agar sertipikat

dinyatakan tidak sah. Hal ini merupakan ciri sistem publikasi negatif.
71
Ibid, h.271

Universitas Sumatera Utara


65

Jadi ciri pokok sistem publikasi negatif adalah bahwa pendaftaran tidak

menjamin bahwa nama yang terdaftar dalam buku tanah tidak dapat dibantah

walaupun ia beritikad baik. Haknya tidak dapat dibantah jika nama yang

terdaftar adalah pemilik yang berhak. Hak dari nama yang terdaftar ditentukan

oleh hak dan pembeli hakhak sebelumnya, perolehan hak tersebut merupakan

satu mata rantai.

Kedudukan Hukum Adat di dalam UUPA pada hakikatnya dimaksudkan

untuk menciptakan kesatuan hukum di bidang pertanahan. Apabila dahulu

terdapat dualisme hukum pertanahan, yaitu hukum tanah adat dan hukum tanah

barat, maka dengan dijadikannya hukum adat sebagai dasar hukum pertanahan di

Indonesia, secara otomatis tercipta unifikasi hukum pertanahan di Indonesia.

Pemilihan hukum adat sebagai dasar UUPA dilandaskan pada pemikiran bahwa

hukum adat adalah hukum yang sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia

dan merupakan hukum rakyat Indonesia yang asli. Oleh karena sebagian besar

rakyat Indonesia tunduk pada Hukum Adat, maka UUPA didasarkan pula pada

ketentuan-ketentuan hukum adat yang asli yang disempurnakan dan disesuaikan

dengan kepentingan masyarakat.72

Pengadopsian asas rechtsverwerking ke dalam hukum tanah nasional

sebagai salah satu asas yang dikenal dalam hukum adat dan sebagai jabaran dari

dasar kesatuan yang berdasarkan pada ketentuan Pasal 5 dan Penjelasan Umum

72
Elsa Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan,
Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2012, h.161

Universitas Sumatera Utara


66

III angka 1 UUPA yang ditempatkan sebagai asas yang harus diberlakukan

dalam hukum tanah nasional yang tertulis dan harus dipatuhi oleh semua orang

termasuk aparat penegak hukum seperti para hakim dalam memutuskan

sengketa-sengketa hukum pertanahan.

Secara substansi, asas rechtsverwerking tercakup dalam asas-asas yang

sudah dirumuskan dalam UUPA yaitu semua hak atas tanah mempunyai fungsi

sosial dan asas kewajiban pemeliharaan tanah sebagaimana dirumuskan dalam

Pasal 6 dan Pasal 15. Semua orang mempunyai hubungan hukum dengan tanah

dan kemudian terbentuk hak atas tanah dibebani kewajiban untuk memelihara

tanah tersebut. Kewajiban ini mengandung makna bahwa orang yang

bersangkutan harus menggunakan atau mengusahakan tanahnya secara terus

menerus sehingga tercipta hubungan hukum, apabila kewajiban tersebut tidak

dipenuhi, maka hak yang sudah diperoleh tersebut menjadi hapus.73

Ketentuan Pasal 32 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, sertipikat sebagai tanda bukti hak yang berlaku

sebagai alat pembuktian yang kuat diperoleh pemegang hak atas tanah apabila

dipenuhinya unsur-unsur kumulatif, yaitu :74

1. Sertipikat hak atas tanah nama orang atau badan hukum tersebut
diterbitkan secara sah;
2. Hak atas tanah diperoleh dengan itikad baik;
3. Hak atas tanah dikuasai secara nyata;
4. Dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkan sertipikat hak atas.

73
Nurhasan Ismail, “Rechtsverwerking dan Pengadopsiannya Dalam Hukum Nasional”,
Jurnal Mimbar Hukum Vol.19, Nomor 2, 2007, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
74
Urip Santoso I, Op.cit, h.280-282

Universitas Sumatera Utara


67

Apabila unsur-unsur diatas dipenuhi secara kumulatif oleh pemilik

sertipikat, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak

dapat lagi menuntut pelaksanaan hak atas tanahnya. Ketentuan Pasal 32 ayat (2)

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 ditetapkan dalam rangka untuk

menutupi kelemahan penerapan sistem publikasi negatif dalam pendaftaran

tanah dan mengarah pada sistem publikasi positif.75

Sertipikat hak atas tanah sebagai produk akhir dari pendaftaran tanah

yang diperintahkan oleh hukum yaitu Undang-undang Pokok Agraria dan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, telah

mengikat bagi para Pejabat Badan Pertanahan Nasional untuk menerbitkan

sertipikat sebagai alat pembuktian yang kuat atas pemilikan tanah.76

Secara umum sertipikat hak atas tanah merupakan bukti hak atas tanah.

Kekuatan berlakunya sertipikat telah ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c

dan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah, yakni sertipikat merupakan tanda bukti hak yang berlaku

sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang

termuat didalamnya sepanjang data fisik dan data yuridis sesuai dengan data

yang ada dalam surut ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan. Sertipikat

tanah membuktikan bahwa pemegang hak tanah-tanah yang ada diseluruh

75
Ibid.
76
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


68

Indonesia. Tidak sedikit sertipikat yang cacat hukum yang berupa pemalsuan

sertipikat, dan sertipikat ganda, yang antara lain disebabkan oleh tidak

dilaksanakan UUPA dan peraturan pelaksanaannya secara konsekuen dan

bertanggung jawab, disamping adanya orang yang berusaha untuk memperoleh

keuntungan pribadi. Faktor kecerobohan petugas pendaftaran tanah juga

menyertai lahirnya sertipikat cacat hukum yang disebabkan oleh kecerobohan/

ketidaktelitian dalam menerbitkan sertipikat tanah, artinya petugas tidak meneliti

dengan seksama padahal dokumen tersebut tidak memenuhi persyaratan

sebagaimana ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku.77

Manusia mempunyai hubungan dengan tanah maka berhak untuk

memilikinya. Hak milik atas tanah diatur dalam Pasal 20 ayat 1 Undang-undang

Pokok Agraria, adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuhi yang dapat

dipunyai oleh orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6

Undang-undang Pokok Agraria.

Turun temurun artinya hak milik atas tanah dapat berlangsung terus

selama pemiliknya masih hidup dan bila pemiliknya sudah meninggal dunia,

maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya sepanjang memenuhi

syarat hak milik.

Terkuat artinya hak milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan

hak atas tanah yang lain, tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah

dipertahankan dari gangguan pihak lain dan tidak mudah hangus.


77
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


69

Terpenuhi artinya hak milik atas tanah memberi wewenang kepada

pemiliknya paling luas bila dibandingkan dengan hak atas tanah yang lain, dapat

menjadi induk dengan hak atas tanah yang lain dan tidak berinduk terhadap hak

atas tanah yang lain, dan penggunaan tanah lebih luas bila dibandingkan dengan

hak atas tanah yang lain. Hak milik atas tanah dapat dipunyai oleh perseorangan

warga negara Indonesia dan badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah.

Dalam menggunakan hak milik atas tanah harus memperhatikan fungsi sosial

atas tanah yaitu, dalam menggunakan tanah tidak boleh menimbulkan kerugian

orang lain, penggunanaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat

haknya, adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan

umum, dan tanah harus dipelihara dengan baik agar bertambah kesuburan dan

mencegah kerusakannya.78

Peralihan suatu hak milik terhadap orang tidak diketahui pemiliknya

dapat dilakukan melalui pewarisan karena dianggap orang hilang berdasarkan

penetapan pengadilan orang hilang. Definisi hilang menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia sebagai berikut :

1) Tidak ada lagi, lenyap, tidak kelihatan seseorang itu tiba-tiba tidak ada lagi
tanpa sebeb jelas atau tidak terlihat lagi dari pandangan.
2) Tidak dikenang lagi, tidak diingat lagi, lenyap seseorang dikatakan
mempunyai ketenaran tetapi tidak diketahui kabarnya begitu saja karena
suatu kejadian.
3) Tidak ada, tidak kedengaran lagi seseorang yang sering memperlihatkan
dirinya dilingkungan sekitar, suatu saat tidak lagi terdengar kabarnya

78
H. Aminuddin Salle, dkk, Hukum Agraria, AS Publishing, Makassar, 2011,h. 109

Universitas Sumatera Utara


70

dikarenakan sesuatu hal terjadi padanya, sehingga orang disekitarnya yang


sering mendengar pembicaraannya tidak lagi mendengarnya.79

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad 1847 Nomor 23,

Burgelijk Wetboek Voor Indonesie (BW) di pasal 467-471 telah mencantumkan

ketentuan mengenai miqud/orang hilang KUHPerdata tidak menggunakan istilah

mafqud, akan tetapi menggunakan istilah “Orang yang diperkirakan telah

meninggal dunia”.80

Pasal 467 KUHPerdata menentukan bahwa seseorang yang telah pergi

meninggalkan tempat kediamannya dalam jangka waktu lima tahun, atau telah

lewat waktu lima tahun sejak terakhir didapat berita kejelasan tentang keadaan

orang tersebut, maka pengadilan bisa menetapkan secara hukum bahwa orang itu

telah meninggal, terhitung sejak hari ia meninggalkan tempat tinggalnya, atau

sejak hari berita terakhir mengenai hidupnya. Apabila seseorang meninggalkan

tempat tinggalnya (hilang) dengan tak memberikan kuasa kepada seseorang

untuk mengurus kepentingan-kepentingannya, maka keluarga yang

berkepentingan bisa saja mengajukan langsung permohonan kepada pengadilan

setempat untuk dapat diputuskan pembagian harta warisan dan kepastian

meninggalnya orang yang hilang tersebut oleh Hakim.

79
Joel Canggayuda,dkk, Analisis Yuridis Kedudukan Orang Hilang dalam Hukum
Kewarisan Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,” Jurnal Hukum Edisi 7 Januari-
Juni 2015, Universitas Sebelas Maret Surakarta, h.137
80
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


71

Penetapan pengadilan untuk menyatakan seseorang mungkin sudah

meninggal dunia sangat penting. Pasal 468 BW menegaskan jika atas panggilan

yang ketiga kalinya orang yang mungkin dinyatakan hilang atau kuasanya tidak

datang menghadap, meskipun sudah diiklankan di surat kabar, maka atas

tuntutan kejaksaan, pengadilan boleh menyatakan tentang adanya dugaan hukum

bahwa seseorang telah meninggal dunia semenjak hari ia harus dianggap

meninggalkan tempat tinggalnya, atau semenjak hari kabar terakhir tentang

masih hidupnya, hari mana harus disebutkan dengan jelas dalam putusan.

Dalam Putusan tersebut juga harus dimuat pertimbangan Hakim

mengenai kemungkinan sebab-sebab yang bersangkutan tidak bisa memenuhi

panggilan persidangan, sebab-sebab yang mungkin menghalangi yang

bersangkutan tidak bisa membaca pengumuman panggilan tersebut, dan hal-hal

yang lain berhubungan dengan dugaan kematian. Namun hakim dapat menunda

pengambilan putusan sampai jangka waktu lima tahun lebih atau memerintahkan

panggilan lanjutan jika ada pertimbangan lain dianggap perlu dan penting untuk

diindahkan oleh Hakim, hal ini sangat tergantung kebijaksanaan Hakim dalam

melihat fakta terhadap kenyataan dalam persidangan.81

Kedudukan orang hilang menurut Hukum Waris Perdata,untuk

memutuskan orang hilang, harus mendapatkan keputusan hakim yang

mempunyai kekuatan hukum, dan jika orang tersebut kembali maka hak-hak

dalam warisan harus dikembalikan pada orang yang hilang yang telah kembali
81
Ibid. h.138

Universitas Sumatera Utara


72

tersebut. Tetapi dalam praktek memang belum pernah terjadi tetapi kalaupun

terjadi para hakim di Pengadilan Negeri akan mengacu sesuai dalam

KUHPerdata Penetapan Orang Hilang sebagai Pewaris Menurut Kewarisan

KUHPerdata (BW), menurut Subekti jikalau seseorang meninggalkan tempat

tinggalnya dan tidak memberikan kuasa kepada seseorang untuk mengurus

kepentingan-kepentingan, sedangkan kepentingan-kepentingan itu harus diurus

atau orang itu harus diwakili, maka atas orang yang berkepentingan ataupun atas

permintaan Jaksa, Hakim untuk sementara dapat memerintah Balai Harta

Peninggalan (Weeskamer) untuk mengurus kepentingan-kepentingan orang yang

berpergian itu dan perlu mewakili orang itu.

Jika kekayaan orang yang berpergian itu tidak begitu besar, maka

pengurusannya cukup diserahkan pada anggota-anggota keluarga yang ditunjuk

oleh Hakim. Jika sudah lima tahun lewat terhitung sejak hari keberangkatan

orang yang meninggalkan tempat tinggalnya tanpa memberikan kuasa untuk

mengurus kepentingan-kepentingannya, dan selama itu tidak ada kabar yang

menunjukkan ia masih hidup, maka orang-orang yang bekepentingan, dapat

meminta kepada Hakim supaya dikeluarkan suatu pernyataan yang

menerangkan, bahwa orang yang meninggalkan tempt tinggalnya itu “dianggap

telah meninggal” sebelum hakim mengeluarkan suatu pernyatan yang demikian

itu, harus dilakukan dahulu suatu panggilan umum (antara lain memuat

panggilan itu alam surat-surat kabar) yang diulangi paling sedikit tiga kali

lamanya. Hakim juga mendengar saksi-saksi yang dianggap perlu untuk

Universitas Sumatera Utara


73

mengetahui kedudukan perkaranya mengenai orang yang meninggalkan tempt

tinggalnya itu dan jika dianggapnya perlu ia dapat menunda pengambilan

keputusan hingga lima tahun lagi dengan mengulangi panggilan umum.82

Berdasarkan uraian diatas menurut pendapat Abdulkadir Muhammad dan

J. Satrio didapatkan suatu gambaran bahwa yang dimkasud dengan keadaan

tidak hadir atau Afweigheid harus dalam waktu relatif lama sehingga penentuan

Afweigheid oleh pengadilan menetapkan syarat yang cukup penting bahwa si

tidak hadir harus meninggalkan kediamannya dan tidak diketahui keberadaannya

setelah jangka waktu yang lama atau lebih dari 10 tahun. Maka didapatkan suatu

unsur-unsur yang harus dipenuhi oleh suatu keadaan agar dapat disebut sebagai

keadaan tidak hadir (Afweigheid). Unsur-unsur Afweigheid tersebut adalah

sebagai berikut:83

1. Seseorang;

2. Tidak ada di tempt kediaman;

3. Berpergian atau meninggalkan tempat kediaman;

4. Dengan izin atau tanpa izin;

5. Tak diketahui dimana tempat ia berada ;

6. Dalam jangka waktu yang lama.

Didalam KUHPerdata pengaruh ketidakhadiran ditempat atau Afweigheid

terhadap kedudukan hukum seseorang dapat dibedakan dalam tiga masa, yaitu ;

82
Ibid. h.140-141
83
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Cetakan Ke-3, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, h.53

Universitas Sumatera Utara


74

a. Masa tindakan sementara (Voorlopige Voorzieningen) terdiri atas

pengangkatan Balai Harta Peninggalan sebagai pelaksana pengurusan

(Bewindvoerder) oleh pengadilan. Balai Harta peninggalan selanjutnya

mengurus kepentingan-kepentingannya, hak-haknya dan harta

kekayaannya (Pasal 463 KUHPerdata).

b. Masa mulai dikeluarkannya peraturan persangkaan mati (Vemoedelikj

Overleden), jika seseorang meninggalkan tempat kediamannya dan sudah

beberapa lama ia tidak pulang tanpa memberi kabar sama sekali tentang

keadaannya maka dapatlah hal tersebut dijadikan dasar untuk menyangka

bahwa ia tidak akan pulang kembali oleh karena meninggal dunia.

Pemberian pernyataan sangkaan sudah meninggal tidaklah perlu didahului

oleh tindakan sementara dan cukup kalau sudah beberapa lama ia tidak

pulang.84

Tentang waktu selama beberapa lama itu ditentukan dalam pasal 467 dan

470 KUHPerdata sebagai berikut :

a) lima tahun bila yang tidak hadir tidak mengangkat seorang kuasa
untuk mengurusi kepentingannya atau tidak mengatur
pengurusannya;
b) sepuluh tahun bila yang tidak hadir meninggalkan kuasa atau
mengatur pengurusannya;
c) satu tahun bila yang tidak hadir ternyata merupakan salah seorang
sanak buah atau penumpang kapal yang dinyatakan hilang atau
mengalami kecelakaan.85

84
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Orang dan Keluarga, Alumni, Bandung, h.201
85
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


75

Akibat persangkaan mati itu maka hak-hak orang yang tidak hadir itu

beralih secara sementara kepada ahli warisnya dan peralihan ini ada

batas-batasnya tertentu.

c. Masa peralihan hak kepada ahli waris secara definitive (Devinitive

erfopvolging), dalam hal tahapan peralihan kepada ahli waris secara

definitf persangkaan barangkali meninggal dunia sedemikian kuat,

sehingga terjadi keadaan yang lebih difinitf, keadaan ini mengakibatkan

pewarisan menjadi difinitf. Keadaan difinitif diperoleh apabila diterima

kabar kepastian meninggal dunia orang yang tidak hadir itu (Pasal 485

KUHPerdata), yaitu :

Jika kiranya sebelum saat termaksud dalam pasal yang lalu diterima
kabar tentang benar meninggalnya si tak hadir, maka mereka yang pada
saat meninggal itu karena undang-undang, atau karena surat-surat wasiat
si tak hadir, memperoleh hak-hak atas peninggalannya, seperti pun para
pengganti mereka, diperbolehkan menuntut perhitungan pertanggung-
jawaban dan penyerahan, berdasarkan 476 dan 482KUHPerdata.86

Keadaan pewarisan secara defenitif ini terjadi jika diterimanya kepastian

tentang meninggal dunianya orang yang tidak hadir, sedangkan jika

tidak ada kabar tentang meninggalnya orang yang tidak ada kabar

tentang meninggalnya orang yang tidak hadir maka pewarisan secara

difinitf baru terjadi jika melampaui waktu 30 (tigapuluh) tahun sejak

pernyataan barangkali meninggal dunia sebagaimana penetapan

86
Abdulkadir Muhammad, Op.cit., h.56

Universitas Sumatera Utara


76

pengadilan atau telah melampaui 100 (seratus) tahun sejak kelahiran

orang yang tidak hadir tersebut.

Akibat hukumnya ialah para ahli waris atau orang yang memperoleh hak

berhak menuntut pembagian warisan atas harta kekayaan, dalam penelitian ini

harta kekayaan berupa tanah yang berdasarkan Sertipikat hak milik yang tidak

diketahui keberadaan pemiliknya. Para ahli waris merupakan keluarga dari orang

yang tidak diketahui keberadaanya, maka untuk itu salah satu ahli waris dapat

mengajukan permohonan kepada pengadilan setempat untuk dapat diputuskan

penetapan orang hilang, penetapan ahli waris serta pembagian harta warisan dan

kepastian meninggalnya orang hilang tersebut oleh hakim. Sehingga hal itu

dapat menjadi salah satu bukti agar peralihan tanah dapat dialihkan kepada ahli

waris dari orang hilang.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
KEBIJAKAN PEMERINTAHAN KOTA BINJAI MELALUI KANTOR
BADAN PERTANAHAN KOTA BINJAI TERHADAP TANAH YANG
TIDAK DIKETAHUI KEBERADAAN PEMILIKNYA

A. Gambaran Umum Tanah yang tidak diketahui Keberadaan Pemiliknya


atau Tanah Terlantar di Kota Binjai Menurut Badan Pertanahan
Nasional Kota Binjai

Kota Binjai merupakan salah satu daerah otonom yang berada di

Provinsi Sumatera Utara, posisi Kota Binjai secara geografis terletak pada pada

3º 31' 40” – 3º 40' 2” Lintang Utara dan 98º 32' 32 Bujur Timur dan terletak 28

m di atas permukaan laut. Kedudukan Kota Binjai yang strategis

menjadikannya sebagai Kota Satelit.

Posisi Kota Binjai berbatasan langsung dengan Kabupaten Langkat dan

Deli Serdang di Propinsi Sumatera Utara, yaitu :

1. Sebelah Utara: Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang

2. Sebelah Selatan: Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang

3. Sebelah Barat: Kabupaten Langkat

4. Sebelah Timur: Kabupaten Deli Serdang

Luas wilayah Kota Binjai sebesar 90.23 Km² dari beberapa Kecamatan

yang ada di Kota Binjai Kecamatan Binjai Selatan memiliki wilayah yang

paling luas sebesar 29.96 Km², sedangkan Kecamatan Binjai Kota memiliki

luas wilayah terkecil dengan luas sebesar 4.12 Km².

Sehubungan dengan perkembangan terakhir wilayah kota Binjai,

berdasarkan SK Gubernur Sumatera Utara No. 146/2624/SK/1996 tanggal 7

Agustus 1996 terdiri dari 5 kecamatan yaitu Binjai Selatan, Binjai Kota, Binjai

77

Universitas Sumatera Utara


78

Timur, Binjai Utara, dan Binjai Barat yang terbagi atas 37 kelurahan dan 284

lingkungan. Pemerintahan Kota Binjai dipimpin oleh seorang walikota dengan

rincian sebagai berikut ;87

1. Kecamatan Binjai Kota, yang terdiri atas 7 (tujuh) kelurahan yaitu :

a. Kelurahan Setia

b. Kelurahan Satria

c. Kelurahan Tangsi

d. Kelurahan Binjai

e. Kelurahan Pekan Binjai

f. Kelurahan Berngam

g. Kelurahan Kartini

2. Kecamatan Binjai Barat, yang terdiri-dari atas 6 (enam) kelurahan yaitu

a. Kelurahan Limau Mungkur

b. Kelurahan Suka Ramai

c. Kelurahan Suka Maju

d. .Kelurahan Payaroba

e. Kelurahan Limau Sundai

f. Kelurahan Bandar Senembah

3. Kecamatan Binjai Timur, yang terdiri atas 7 (tujuh) kelurahan yaitu :

a. Kelurahan Timbang Langkat

b. Kelurahan Mencirim

c. Kelurahan Tanah Tinggi

87
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Binjai Tahun 2016-2021.
Tentang Gambaran Umum Kota Binjai, Bab I, h.3.

Universitas Sumatera Utara


79

d. Kelurahan Dataran Tinggi

e. Kelurahan Tunggurono

f. Kelurahan Sumber Mulyo Rejo

g. Kelurahan Sumber Karya

4. Kecamatan Binjai Selatan, yang terdiri atas 8 (delapan) kelurahan yaitu :

a. Kelurahan Rambung Barat

b. Kelurahan Rambung Timur

c. .Kelurahan Rambung Dalam

d. Kelurahan Binjai Estate

e. Kelurahan Tanah Merah

f. Kelurahan Tanah Seribu

g. Kelurahan Pujidadi

h. Kelurahan Bhakti Karya5.

5. Kecamatan Binjai Utara, yang terdiri atas 9 (sembilan) kelurahan yaitu:

a. Kelurahan Jati Negara

b. Kelurahan Jati Karya

c. Kelurahan Jati Makmur

d. Kelurahan Jati Utomo

e. Kelurahan Nangka

f. Kelurahan Pahlawan

g. Kelurahan Kebun Lada

h. Kelurahan Damai

i. Kelurahan Cengkeh Turi

Universitas Sumatera Utara


80

Kota Binjai berada pada ketinggian lahan 3–76.5 m dpl dan tingkat

kelerengan 0-8%. Berdasarkan data keadaan wilayah perencanaan Kota Binjai

mempunyai topografi datar sehingga memiliki tingkat kestabilan lereng yang

sangat tinggi.

Secara keseluruhan lahan yang ada di wilayah penelitian termasuk

dalam kategori tingkat kemudahan pemanfaatan tinggi, dengan kata lain bahwa

wilayah perencanaan mempunyai tingkat kestabilan tinggi dan sangat sesuai

untuk pengembangan kegiatan yang memerlukan pembangunan fisik lahan

sehingga sangat mendukung sekali untuk proses dilaksanakannya

pembangunan kota. Berdasarkan hasil analisis lahan yang layak dikembangkan

berdasarkan tingkat ketinggian dan kelerengan dapat dikembangkan diseluruh

kawasan di Kota Binjai88

Secara garis besar jenis tanah dapat dibedakan ke dalam dua jenis tanah

yaitu Andosol dan Aluvial. Kedua jenis tanah ini menyebar secara merata di

wilayah Kota Binjai. Untuk tanah yang berjenis Andosol terdapat di

Kecamatan Binjai Kota dengan luas 297 Ha, Binjai Selatan dengan luas 2949

Ha, Binjai Timur dengan luas 585 Ha dan Binjai Barat dengan proporsi luas 7

Ha. Jenis tanah ini merupakan jenis tanah mineral yang telah mengalami

perkembangan profil, solum agak tebal, warna agak coklat kekelabuan hingga

hitam, kandungan organik tinggi, tekstur geluh berdebu, struktur remah,

konsistensi gembur dan bersifat licin berminyak (smeary), kadang-kadang

88
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kota Binjai Tahun 2016-2021.
Tentang Gambaran Umum Kota Binjai, Bab II, h.21.

Universitas Sumatera Utara


81

berpadas lunak, agak asam, kejenuhan basa tinggi dan daya absorpsi sedang,

kelembaban tinggi, permeabilitas sedang dan peka terhadap erosi.

Sedangkan untuk jenis tanah Aluvial terdapat di Kecamatan Binjai

Selatan dengan proporsi luas sebesar 47 Ha, Kecamatan Binjai Kota dengan

luas 438 Ha, Kecamatan Binjai Timur dengan luas 1.798 Ha, Kecamatan Binjai

Barat seluas 1.407 Ha, dan Kecamatan Binjai Utara sebesar 2.234 Ha.

Jenis tanah ini masih muda, belum mengalami perkembangan, berasal

dari bahan induk Aluvium, tekstur beranekaragam, belum terbentuk struktur,

konsistensi dalam keadaan basah lekat, PH bermacam-macam, kesuburan

sedang hingga tinggi. Penyebarannya di daerah dataran aluvial sungai, dataran

aluvial pantai dan daerah cekungan (depresi), sehingga baik untuk

pengembangan pertanian karena tersedia cukup mineral yang diperlukan oleh

tumbuh-tumbuhan dan jika digunakan untuk bangunan tanah jenis ini

mempunyai daya tahan yang kuat karena merupakan endapan tanah liat yang

bercampur pasir halus.

Di tempat penelitian dalam hal ini Kota Binjai, menurut data tanah yang

sudah bersertipikat adalah 57.421 bidang dan tanah yang belum bersertipikat

adalah kurang lebih 15.000 bidang.89

Namun, dilapangan ada rumah dan sebidang tanah seluas 110 m2

(seratus sepuluh meter persegi) yang terletak di Kecamatan Binjai Selatan,

yang mana menurut data warga tetanggga setempat sebidang tanah tersebut

sengaja ditinggalkan oleh pemiliknya tanpa alasan apapun serta dibiarkan

89
Hasil Wawancara, Anna Tarigan, Pegawai Badan Pertanahan Nasional Kota Binjai,
pada tanggal 24 Mei 2019.

Universitas Sumatera Utara


82

dikuasai oleh pihak lain. Tanah tersebut telah bersertipikat hak milik yang

diterbitkan pada tahun 1967.90

Hak milik atas tanah merupakan hak yang paling sempurna terhadap

hak kebendaan, karena pemegang hak milik atas tanah diberikan keleluasaan

dan berbuat bebas sepenuhnya terhadap hak kebendaannyaitu sesuai dengan

hak yang dipunyainya. Hal ini mengandung arti bahwa pemegang hak milik

atas tanah dapat menguasai suatu tanah secara mutlak tanpa dapat diganggu

gugat (droit inviolable et sacre) oleh orang lain, termasuk penguasa

sekalipun.91

Hak milik atas tanah yang bersifat mutlak dalam artian tidak dapat

diganggu gugat ini hanya tertuju pada orang lain yang bukan eigenaar

(pemilik), tetapi juga tertuju pada pembentuk undang-undang ataupun

penguasa, dimana mereka itu tidak boleh sewenang-wenang membatasi hak

yang tertentu. Bahkan hak milik atas tanah tidak terbatas, karena mengandung

unsur perlekatan artinya hak milik atas tanah dianggap otomatis meliputi apa

yang ada didalamnya dan melekat diatasnya yang terkenal asas accessie.92

Pandangan liberalisme semua hak milik atas tanah yang dimiliki

seseorang adalah hak mutlak baginya atas dasar pandangan kebebasan individu

sebagai implementasi dari konsep hak asasi manusia (HAM). Kebebasan

individu mendorong manusia berusaha untuk menciptakan suatu metode atau

teknologi produksi yang modern untuk mencapai tujuan yaitu keuntungan dan

pendapatan yang sebesarbesarnya. Konsep kebebasan mutlak individu atas


90
Hasil Wawancara, Nur Aini, Pemilik Tanah di Kota Binjai, pada tanggal 25 Mei 2019.
91
Soebekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, 1996, h.69
92
Rahmadi Usman, Hukum Kebendaan, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 180

Universitas Sumatera Utara


83

tanah miliknya melahirkan masalah yaitu kehilangan orientasi kebermaknaan

kehidupan dalam kaitan antara manusia sebagai individu dan sebagai

masyarakat. John Locke menyatakan bahwa hak milik atas tanah

keberadaannya sudah ada jauh sebelum ada negara dan bebas dari aturan oleh

negara dan sifatnya alamiah.93

Dengan demikian konsep hak milik atas tanah dalam ajaran liberal

adalah menempatkan individu mempunyai kebebasan penuh terhadap hak milik

atas tanahnya, oleh karena itu tanah melekat secara pribadi kepada pemiliknya

sehingga berlaku mutlak. Oleh karena itu hak milik atas tanah yang berlaku

mutlak itu melahirkan anggapan pelanggaran terhadap hak milik atas tanah

bertentangan dengan hak asasi manusia (HAM).

Dalam pandangan sosialis tentang hak milik atas tanah bersifat

komunal, yaitu hak milik itu adalah sifatnya kolektif. Munculnya ajaran

sosialis adalah reaksi atas ajaran individualis, yang serba mementingkan

kepentingan pribadi segala-galanya. Dalam masyarakat individualis melahirkan

kelas-kelas didalamnya, yaitu kelas buruh dan kelas feodal. Kelas yang paling

banyak memeras kaum lemah (buruh) adalah kelas feodal, supaya jangan ada

pemerasan maka hak milik atas tanah harus dihapuskan.94

Frederich Engels dan Karl Max (1818-1883) yang mendeklarasikan

penghapusan hak milik. Ketiadaan pemilikan seperti hak milik atas tanah

adalah menimbulkan kepentingan untuk mengubah kondisi sosial masyarakat,

93
Ridwan, Hak Milik Perspektif Islam, Kapitalis, dan Sosialis, STAIN Press, Purwokerto,
2011, h. 89
94
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


84

akan menciptakan ikatan sosial bagi individu yang tak memilikinya. 95 Gagasan

untuk penghapusan hak milik pribadi dengan argumentasi bahwa keterasingan

manusia akan eksistensinya adalah bahwa dalam sistem hak kepemilikan

pribadi dimana yang bekerja yaitu buruh dalam kekuasaan feodal. Untuk

mengakhiri ini supaya tidak menimbulkan pertentangan maka hak milik

individu lebih baik dihapuskan agar tidak menimbulkan konflik dalam

masyarakat, oleh karena itu hak milik individu lebih baik sebagai hak milik

komunal, yaitu hak milik komunal, yaitu hak milik negara. Para kaum feodal

inilah yang menimbulkan kesenjangan sosial kepada kaum pekerja.

Pendapat Abdul Aziz Al-Badri menyatakan bahwa ajaran sosialis

memiliki 5 (lima) prinsip dasar, yaitu ;96

1) Menciptakan persamaan pekerjaan untuk individu;

2) Menghapus hak milik individu;

3) Penghapusan segala hak waris;

4) Tanah sebagai milik bersama (komunal);

5) Nasionalisasi semua aset negara.

Dalam ruang lingkup Agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang

disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur

tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya,

yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian

dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria,

yaitu:

95
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Penerbit Prenada Jakarta, 2010, h.200
96
Ridwan, Op.cit, 2011, h.102

Universitas Sumatera Utara


85

atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 2 ditentukan adanya macammacam hak atas permukaan bumi
yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang, baik sendiri maupun bersamasama dengan orang lain
serta badan-badan hukum.

Seluruh tanah di Wilayah Negara Indonesia adalah dikuasai oleh

Negara. Apabila diatas tanah itu tidak ada hak pihak tertentu maka tanah

tersebut merupakan tanah yang langsung dikuasai oleh Negara dan apabila

diatas tanah tersebut terdapat hak pihak tertentu tanah tersebut merupakan

tanah hak. Tanah hak merupakan tanah yang dikuasai oleh Negara tetapi

penguasaan tanahnya tidak langsung sebab ada pihak tertentu yang menguasai

diatas tanah tersebut. Apabila hak pihak tertentu tersebut dihapus maka tanah

yang bersangkutan menjadi tanah yang langsung dikuasai oleh Negara. Dalam

kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas

tanah, ada dua macam asas dalam hubungan hukum antara orang dengan

tanah:97

1) Asas Accessie atau Asas Perlekatan

Dalam Asas ini, bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah

merupakan satu kesatuan, bangunan dan tanaman tersebut bagian dari

tanah yang bersangkutan. Hak atas tanah dengan sendirinya, karena

hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatas

tanah yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak

yang membangun atau menanamnya. Perbuatan hukum mengenai

97
Urip Santoso II, Hukum Agraria Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media,
Jakarta, 2012,h.12

Universitas Sumatera Utara


86

tanah dengan sendirinya karena hukum juga meliputi bangunan dan

tanaman yang ada diatasnya;

2) Asas Horizontale Scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal

Dalam Asas ini, bangunan dan tanaman yang ada diatas bagian dari

tanah. Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan

bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.

B. Penyelesaian Masalah Khususnya Peralihan Terhadap Tanah Yang


Tidak Diketahui Pemiliknya di Kota Binjai.

Kesadaran merupakan hal yang sangat mendasar terhadap pemanfaatan

lahan. Kurangnya kesadaran dari para pemegang hak atas tanah untuk

melakukan pengembangan usaha dan pemanfaatan terhadap lahan tersebut

dapat memicu terjadinya penelantaran tanah.98

Salah satu alasan yang mendasari pemegang hak dalam penelitian ini

adalah ahli waris atas tanah tidak memanfaatkan tanah yang dimilikinya, salah

satunya ialah pengalihan bentuk aset kekayaan atau investasi99. Pemilihan

tanah sebagai bentuk pengalihan aset atau investasi karena nilai/harga tanah

cenderung meningkat. Banyaknya pihak yang membutuhkan tanah untuk

mendirikan tempat tinggal atau tempat usaha tidak sebanding dengan

ketersediaan tanah yang semakin berkurang luasnya, hal inilah yang

98
Ikhsan Budiman, Kajian Atas Penentuan Syarat Peralihan Hak Atas Tanah Yang
Bersertifikat Tanpa Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2018.h.106
99
Hasil Wawancara, Sutikno, ahli waris, pada tanggal 15 Juni 2019.

Universitas Sumatera Utara


87

menjadikan alasan pemilik tanah menjadikan tanah sebagai salah satu bentuk

investasi.

Pengalihan bentuk investasi pada tanah tidak dapat dipersalahkan,

karena menjual kembali tanah yang dimiliki kepada pihak manapun merupakan

hak dari si pemegang hak atas tanah. Akan tetapi dalam berjalannya waktu

dirasa sangat disayangkan karena pihak-pihak yang memilih investasi ini

melupakan atau mengabaikan tanggung jawab mereka sebagai pemegang hak.

Pengabaian yang dilakukan pemegang hak dalam hukum adat

mengakibatkan “kehilangan hak untuk menuntut” atau “rechtsverwerking”,

yaitu apabila seseorang mempunyai tanah tetapi selama jangka waktu tertentu

membiarkan tanahnya tidak terurus, dan tanah itu dipergunakan oleh orang lain

dengan itikad baik, dia tidak dapat menuntut lagi pengembalian tanah dari

orang yang menguasainya tersebut, yang mana tanah merupakan milik bersama

masyarakat adat dan harus dipergunakan untuk kepentingan masyarakat/

anggotanya, dan tidak boleh sekedar dimiliki akan tetapi dipergunakan sesuai

dengan peruntukannya. 100

Tuntutan akan penyempurnaan sistem publikasi negatif yang dirasakan

memiliki kelemahan-kelemahan terutama dalam hal kepastian hukum bagi

pemegang hak atas tanah yang namanya terdaftar dalam sertipikat dan pihak
101
yang ketiga yang beritikad baik. Sistem publikasi negatif biasanya diikuti

100
J.Satrio,Pelepasan Hak, Pembebasan Hutang dan Merelakan Hak (Rechtsverwerking),
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, hal. 28
101
Arie S. Hutagalung, “Penerapan Lembaga “Rechstverwerking” Untuk mengatasi
Kelemahan Sistem Publikasi Negatif Dalam Pendaftaran Tanah,” Jurnal Hukum dan
Pembangunan 4 (Oktober-Desember 2000), Universitas Indonesia, hal. 328

Universitas Sumatera Utara


88

dengan lembaga kadaluwarsa dalam peraturan kepemilikan tanah, tetapi

Undangundang Pokok Agraria yang bersumber dari Hukum Adat tidak

mengenal lembaga kadaluwarsa, yang mana berasal dari hukum barat. Norma-

norma hukum adat sebagai hukum tidak tertulis adalah rumusan para ahli

hukum, rumusan tersebut bersumber pada rangkaian kenyataan mengenai sikap

dan tingkah laku para anggota masyarakat hukum adat dalam menerapkan

konsepsi dan asas-asas hukum, yang merupakan perwujudan kesadaran hukum

warga masyarakat hukum adat tersebut dalam menyelesaikan kasus-kasus

konkret yang dihadapi. Namun perlu ditegaskan pula bahwa dalam hal asas-

asas hukum tanah, Undang-undang Pokok Agraria ternyata mengandung

pengulangan asas-asas hukum tanah adat, dengan kata lain bahwa Undang-

undang Pokok Agraria mentransformasikan asas-asas hukum tanah adat

kedalam sistem hukum yang tertulis.102

Dalam kasus-kasus konkrit jika di dalam suatu masyarakat timbul

perkara maka yang mempunyai kompetensi untuk mempertimbangkan dan/atau

menerapkan lembaga rechtsverwerking ada pada hakim yang memeriksa dan

mengadili serta memutus perkaranya. Hakim diwajibkan menggali nilai nilai

yang tumbuh di dalam suatu masyarakat dalam memutus suatu perkara Berikut

ini terdapat beberapa contoh putusan hakim (Mahkamah Agung) yang

mengakui adanya lembaga rechtsverwerking, antara lain sebagai berikut:103

a) Putusan Mahkamah Agung tanggal 10 Januari 1957 Nomor

210/K/Sip/1955 (Kasus di kabupaten Pandeglang, Jawa Barat) Gugatan


102
Suriyaman Mustari Pide I, Hukum Adat Dulu, Kini, dan Akan Datang, Pelita Pustaka,
Jakarta, 2009, h.131
103
Santoso I, Op.cit, h. 278

Universitas Sumatera Utara


89

tidak dapat diterima, oleh karena para penggugat dengan mendiamkan

selama 25 tahun dianggap telah menghilangkan haknya

(rechtsverwerking) ;

b) Putusan Mahkamah Agung tanggal 24 Mei 1958 Nomor 329/K/Sip/1957

(Kasus di Tapanuli Selatan); Pelepasan Hak (rechtsverwerking) di

Tapanuli Selatan apabila sebidang tanah yang diperoleh secara merimba

selama 5 (lima) tahunberturut-turut dibiarkan saja oleh yang

bersangkutan, maka hak atas tanah itu dianggap telah dilepaskan.

c) Putusan Mahkamah Agung tanggal 7 Maret 1959 Nomor 70/K/Sip/1955

(Kasus di Kota Praja Malang); Hak kadaluarsa dalam perkara perdata

tentang tanah, ditolak dengan alasan bahwa penggugat telah berulang

minta dari tergugat untuk menyerahkan tanah itu kepada penggugat.

Dari yurisprudensi Mahkamah Agung ini membuktikan dari sisi akibat,

bahwa daluarsa mempunyai persamaan dengan rechtsverwerking. Daluarsa

mengacu pada lamanya waktu tertentu menyebabkan hapusnya hak disatu

pihak atau diperolehnya hak dipihak lain. Demikian juga rechtsverwerking

sebagaimana dalam hukum adat mengacu pada pelepasan hak yang didasarkan

berlangsungnya jangka waktu yang lama, sementara dipihak lain memperoleh/

menimbulkan sesuatu hak.

Dengan demikian, jika diperhatikan ketentuan rechtsverwerking serta

penetapan orang hilang yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya, ini

artinya saling berkaitan satu dan lainnya, bahwa seseorang yang telah lama

dengan sengaja membiarkan hak miliknya untuk dikuasai pihak lain, maka ia

Universitas Sumatera Utara


90

akan kehilangan hak untuk menuntu, sebagaimana dalam Pasal 1963

KUHPerdata menyatakan bahwa:

Siapa yang dengan itikad baik dan berdasarkan suatu alas hak yang sah,
memperoleh suatu barang tak bergerak, suatu bunga, atausuatu piutang
lain yang tidak harus dibayar atas tunjuk, memperoleh hak milik atasnya
dengan jalan daluwarsa, dengan suatu penguasaan selama dua puluh tahun.
Siapa yang dengan itikad baik menguasai sesuatu selama tiga puluh tahun
memperoleh hak milik dengan tidak dapat dipaksa untuk menunjukkan
alas haknya.

Demikian seseorang yang dinyatakan hilang, harus dilakukan

pernyataan tentanga kematiannya oleh Hakim, maka para ahli waris yang

menurut undang-undang berhak mengoper kekuasaan atas segala harta

kekayaannya, dipersilahkan mengurus harta kekayaann yang ditinggalkannya.

Jadi, peralihan terhadap tanah hak milik tersebut akan beralih kepada ahli waris

berdasarkan penetapan orang hilang yang dikeluarkan oleh Hakim di

pengadilan setempat. Permohonan peralihan ini dapat dilakukan pada Badan

Pertanahan dengan melampirkan putusan pengadilan dan data para ahli waris

yang telah ditetapkan.

C. Kebijakan Pemko Binjai Melalui Badan Pertanahan Nasional Kota Binjai


Terhadap Tanah Yang Tidak Diketahui Pemiliknya di Kota Binjai

Berdasarkan UUPA tentang yang memiliki keterkaitan tentang tanah

berupa Hak Milik seperti uraian diatas adalah Pasal 20 bahwa Hak milik

adalah hak turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang

atas tanah dan Pasal 21 bahwa hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada

pihak lain.

Universitas Sumatera Utara


91

Pasal 33 ayat (3), menyatakan :

" Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat.”

Berdasarkan pasal tersebut bahwa jelas tanah-tanah di seluruh wilayah

Kesatuan Republik Indonesia adalah diperuntukkan bagi kemakmuran dan

kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Sertipikat Hak Milik dapat dihapus

apabila tanah tersebut jatuh ke tangan Negara karena pencabutan hak,

penyerahan sukarela oleh pemiliknya, tanah tersebut ditelantarkan dalam

jangka waktu tertentu, atau tanah tersebut musnah karena bencana alam

sebagaimana dalam Pasal 27 UUPA.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, upaya yang ditempuh pihak Kantor

Badan Pertanahan Nasional Kota Binjai terhadap tanah tanah yang tidak

diketahui keberadaan pemiliknya dapat dilakukan permohonan peralihan

kepada ahli waris berdasarkan penetapan orang hilang yang ditetapkan oleh

Hakim, keterangan ahli waris dan data ahli waris serta melampirkan asli

sertipikat hak milik kepada Badan Pertanahan Nasional Kota Binjai.104

Dalam hal penuntutan hak waris oleh ahli waris yang sebelumnya

dinyatakan hilang sesuai dengan pasal 482 Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata yang pada intinya menjelaskan, apabila orang yang dalam keadaan

tidak hadir atau dinyatakan hilang itu pulang kembali setelah adanya dugaan

hukum bahwa orang tersebut telah meninggal, maka seluruh apa yang menjadi

104
Hasil Wawancara, Anna Tarigan, Pegawai BPN Kota Binjai, pada tanggal 08 Januari
2020

Universitas Sumatera Utara


92

hak-haknya sepanjang berurusan dengan harta kekayaan wajib dikembalikan

oleh mereka yang telah menikmati sebelumnya.

Akan tetapi, penuntutan hak waris oleh ahli waris yang sebelumnya

dinyatakan hilang tersebut tidak berlaku apabila melewati batas waktu yang

ditentukan, yaitu 30 tahun setelah pernyataan adanya dugaan hukum bahwa

ahli waris yang dalam keadaan tidak hadir tersebut meninggal dunia. Pihak

yang merasa hak warisnya dikuasai oleh pihak lain dapat menggugatnya ke

Pengadilan. Dasar hukum Gugatan waris di atur dalam :

1. Pasal 834 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Ahli waris berhak mengajukan gugatan untuk memperoleh warisannya

terhadap semua orang yang memegang besit atas seluruh atau sebagian

warisan itu dengan alas hak ataupun tanpa alas hak, demikian pula

terhadap mereka yang dengan licik telah menghentikan besitnya. (Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata pasal 546). Dia boleh mengajukan

gugatan itu untuk seluruh warisan bila dia adalah satu-satunya ahli waris

atau hanya untuk sebagian bila ada ahli waris lain. Gugatan itu bertujuan

untuk menuntut supaya diserahkan apa saja yang dengan alas hak apapun

dalam warisan itu, beserta segala penghasilan, pendapatan dan ganti rugi,

menurut peraturan- perturan yang termasuk dalam Bab III buku ini

mengenai penuntutan kembali hak milik. (Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata pasal 574 dst, 955, 1334, 1537; Rv.102.)

2. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991

Tentang Pelaksanaan Intruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1

Universitas Sumatera Utara


93

Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 Tentang KHI (Kompilasi Hukum

Islam). Kompilasi Hukum Islam Pasal 188 Para ahli waris baik secara

bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada

ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada

diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang

bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk

dilakukan pembagian warisan.

Dalam permohonan kepengadilan tersebut, pihak yang hak

warisnya dikuasai oleh pihak lain didudukkan sebagai “Penggugat”, atau

apabila lebih dari satu sebagai “Para Penggugat”, sedangkan pihak yang

menguasai objek warisan didudukkan sebagai pihak “Tergugat” atau lebih

dari satu sebagai “Para Tergugat”, jika ada pihak yang tidak mau tahu

urusan itu dan dia tidak menguasai objek warisan tersebut, sedangkan dia

termasuk ahli waris, maka didudukkan sebagai “Turut Tergugat”. Setelah

ada penetapan orang hilang tersebut, maka ahli wais bisa mengajukan

balik nama waris ke Kantor Pertanahan terkait.

Permohonan ke pengadilan tersebut dilakukan dengan cara sebagai

berikut :

1. Pemohon mengajukan permohonan penetapan afwezig bagi orang

yang meninggalkan tempat tinggal, yang ditujukan kepada Ketua

Hakim Pengadilan Negeri dan permohonan ini diterima oleh

Kepaniteraan Perdata Pengadilan Negeri.

Universitas Sumatera Utara


94

2. Membayar biaya panjar perkara melalui Bank ke rekening Pengadilan

(rekening uang pihak ketiga). Selain itu pemohon juga harus

membayar biaya pengumuman di surat kabar sebagai salah satu syarat

pengajuan penetapan afwezig. Adapun yang menentukan dan

menyelenggarakan pengumuman di surat kabar adalah pihak

Pengadilan Negeri.

3. Kepaniteraan Perdata mendaftar permohonan pemohon dalam register

perkara dan menentukan nomor perkara.

4. Ketua Pengadilan Negeri menentukan hakim yang menyidangkan

perkara.

5. Hakim menentukan hari sidang.

6. Jurusita melakukan pemanggilan terhadap para pihak untuk

menghadiri sidang.

7. Pelaksanaan persidangan. Persidangan dimulai dengan beberapa

tahapan yaitu:

a. Hakim memerintahkan untuk memanggil orang yang tidak

ditempat (afwezig) melalui radio atau media massa.

b. Panggilan dilakukan sebanyak tiga kali, panggilan pertama ketika

pertama kali sidang, selanjutnya panggilan diperintahkan dalam

materi sidang, panggilan bisa dilakukan melalui radio atau media

massa, atau keduanya. Jika pemanggilan melalui radio, panggilan

dilakukan sebanyak 4 kali dalam satu bulan atau setiap minggu,

demikian seterusnya pemanggilan dilakukan selama tiga bulan

Universitas Sumatera Utara


95

berturut-turut. Tetapi jika pemanggilan dilakukan melalui media

massa, pemanggilan dilakukan sebulan sekali berturut-turut

selama tiga bulan.

c. Hakim tetap memerintahkan termohon tetap hadir pada

persidangan berikutnya, walaupun kenyataannya termohon tidak

hadir karena tidak ada ditempat.

d. Pada pemanggilan ke tiga, apabila termohon tidak hadir, maka

persidangan dilanjutkan dengan acara verstek.

e. Persidangan dilanjutkan secara terbuka.

f. Dilanjutkan pembacaan permohonan, dalam persidangan ini

pemohon diberi kesempatan untuk merubah, menambah, atau

mengurangi isi permohonan, jika ada perubahan pada isi

permohonan, maka perubahan tersebut langsung disampaikan

dalam persidangan dan hakim akan menuliskan dalam

permohonan dengan cara memberi „catatan sah diganti‟ atau „sah

ditambah‟, atau „sah dicoret‟, kemudian diparaf oleh pemohon dan

hakim.

g. Hakim memerintahkan pada pemohon untuk membuktikan dalil

permohonannya.

h. Pembuktian harus didasarkan pada alat-alat bukti yang sah.

i. Penetapan permohonan oleh hakim.

Universitas Sumatera Utara


96

Permohonan atas sertipikat hak milik yang tidak diketahui keberadaan

pemiliknya dapat diajukan dengan melampirkan penetapan pengadilan yang

dikeluarkan oleh Hakim di Pengadilan, dengan melampirkan :

a. Asli Sertipikat Hak Milik

b. Asli penetapan pengadilan

c. KTP ahli waris yang dilegalisir

d. Surat Keterangan Ahli Waris diketahui Camat dan Lurah

e. Asli PBB

Setelah di lampirkan hal-hal tersebut, maka sertipikat hak milik dengan

atas nama orang yang telah dinyatakan hilang akan dihapuskan dan diterbitkan

sertipikat hak milik yang baru dengan atas nama ahli waris dalam jangka waktu

6 (enam) bulan akan selesai setelah proses permohonan tersebut.105

105
Hasil Wawancara, Anna Tarigan, Pegawai BPN Kota Binjai, pada tanggal 08 Januari
2020

Universitas Sumatera Utara


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Kriteria tanah yang tidak diketahui pemiliknya yang dapat dikuasai

Masyarakat dapat dilihat berdasarkan penguasaan tanah. Penguaaan tanah

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tanah hak dan tanah negara. Tanah

Negara adalah tanah yang telah dikuasai suatu hak atas tanah sesuai dengan

peraturan perundangan yang berlaku (tanah yang belum dihaki dengan hak

perorangan), sedang tanah hak adalah tanah yang dipunyai oleh perorangan

atau badan hukum dengan suatu hak atas tanah sesuai dengan ketentuan

yang berlaku, hanya terhadap tanah negara saja yang dapat dimintakan

suatu hak untuk kepentingan tertentu dan berdasar proses tertentu.

2. Peralihan hak atas tanah tidak diketahui keberadaaan pemiliknya dapat

dilakukan dengan penetapan orang hilang yang ditetapkan oleh Hakim di

Pengadilan, dan beralihnya hak atas tanah tersebut kepada ahli waris yang

telah ditetapkan. Hal ini berkaitan dengan asas rechtsverwerking, maka

seseorang dapat memperoleh hak atas suatu bidang tanah yang tidak

dimanfaatkan pemilik yang sesungguhnya.

3. Kebijakan Pemerintahan Kota Binjai melalui Kantor Badan Pertanahan Kota

Binjai terhadap tanah yang tidak diketahui pemiliknya adalah melakukan

pengalihan berdasarkan pasal 482 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

yang akibat hukumnya ialah para ahli waris atau orang yang memperoleh hak

berhak menuntut pembagian warisan atas harta kekayaan. Sertipikat Hak

97
Universitas Sumatera Utara
98

Milik atas nama orang yang telah ditetapkan hilang akan dihapuskan dan

diterbitkan sertipikat hak milik dengan atas nama ahli waris berdasarkan

penetapan pengadilan, proses penertbitan kembali akan diperkirakn selama 6

(enam) bulan.

B. Saran

1. Terhadap Pemerintah Kota Binjai melalui Kantor Badan Pertanahan Kota

Binjai terhadap tanah-tanah yang telah memperoleh hak, hendaknya

dilakukan pemantauan terhadap penggunaan tanah-tanah tersebut,

berdasarkan apakah diusahakan maupun dikelelola dengan baik.

2. Terhadap penggunaan tanah yang tidak diketahui pemiliknya, seharusnya

Badan Pertanahan Kota Binjai melakukan pemantauan dan pendataan meski

belum terjadi sengketa.

3. Terhadap peralihan hak atas tanah yang tidak diketahui pemiliknya,

diharapkan untuk menertibkan kembali Sertipikat Hak Milik dalam jangka

waktu 3 (tiga) bulan, dikarenakan sertipikat hak milik atas tanah tersebut

pernah terbit dan telah dihapuskan, sehingga sekiranya tidak memerlukan

waktu yang lama.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Abdullah bin Qudᾱmah Al-Muqaddisi, al-Kᾱfi fi Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal,
Cetakan Pertama, Jilid 2, Dᾱrl al-Kutub al-Alamiyah, Beirut, 1994.

Abi Bakr bin Hasan al-Kasynawi, Ashal al-Madᾱrik Syarh Irsyᾱd al-Sᾱlik fi Fiqh
ImamMᾱlik, jilid III, Cetakan II, Beirut: Dᾱrl al-Fikr, 1986.

Abu Bakar bin Mas‟ud al-Kasani, Badᾱ’ Sanᾱi’ fi Tartib al-Syarᾱ’i, jilid VI,
Beirut: Dᾱrl al-Kutub al-Alamiyah, 1986.

Ali, Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.

Al-Rasyid, Harun, Sekilas Tentang Jual Beli Tanah, Cetakan I Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1987.

Apeldoorn, L.J.Van, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita Cetakan 26,


Jakarta, 1996.

Asshiddihie, Jimly, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstitusi Press, Jakarta,
2006.

A. P. Parlindungan, Landreform Di Indonesia Strategi Dan Sasarannya, Bandar


Maju, Bandung, 1991.

_______, Aneka Hukum Agraria, Bandung, Alumni, 1983.

_______, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung, Mardar


Maju, 1993.

_______, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung, 1990.

_______,“Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landereform”, Bandung, 1989.

Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam, Fokusmedia, Bandung, 2010.

Badrulzaman, Marian Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Alumni,


Bandung, 1983.

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta,1995.

Caerudin,H, Filsafat Suatu Ikhtisar, FH UNSUR, Cianjur, 1999.

99
Universitas Sumatera Utara
101

Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform Di Indonesia Dan


Permasalahannya, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2005.

Eka Sihombing, Irene, Segi-segi Hukum Nasional dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2005.

Ikhsan, Mahmul Siregar,Edi Metode Penelitian Dan Penulisan Hukum Sebagai


Bahan Ajar, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009

Ismaya Samun, Pengantar Hukum Agraria, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011.

Jawad Mugniyah, Fiqh Imam Ja’far al- ṡᾱdiq, Cetakan kedua, Jilid 5,6, Iran:
Muassisah al-Anshariyan, 2000.

Kelsen Hans, General Theory of Law and State, Nusa Media, Bandung, 2011.

Kartono, Kartini, Pengantar Metodelogi Riset Sosial, Alumni, Bandung, 2005.

Kie,Tan Thong, Studi Notariat Serba Serbi Praktek Notaris, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, Jakarta, 1994.

Lubis, M.Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, PT. Softmedia, Medan, 2012.

Lubis, Mhd. Yamin, Hukum Pendaftaran Tanah, CV. Mandar Maju, Bandung,
2010.

Mahli Ismail, Fikih Hak Milik Atas Tanah Negara, Kaukaba, Yogyakarta, 2013.

Masyhur, Kahar, Membina Moral dan Akhlak, Kalam Mulia, Jakarta, 1985.

Mertukusomo, Sudikno, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2009.

Muhammad bin Idis As-Syᾱfi‟ie, al-Uum, Cetakan Pertama, Jilid 5. T.tp: Dᾱrl al-
wafak, 2001.

Muljadi, Kartini, dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak-Hak
Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2008.

Siahaan,M.P, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Teori dan Praktek ,
Raja Grafindo, Jakarta, 2003.

Parlindungan, A. P., Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cetakan II, Mandar Maju,


Bandung, 1990.

Prasetyo, Teguh, dan Abdul Halim Bartkatullah, Filsafat, teori, dasn Ilmu
Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 2012.

Universitas Sumatera Utara


102

Perangin-angin, Efendi. Praktik Jual Beli Tanah, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1994.
Santoso, Urip Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2012.

_______, Pendaftaran Dan Peralihan Hak ATAS Tanah, Cetakan III, Kencana,
Jakarta 2003.

Soerjono Soekanto “Hukum Adat Indonesia”, Rajawali, Jakarta, 1981.

Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko “ Hukum Adat Indonesia”, Rajawali,


Jakarta, 1981.

Subekti, R, Aneka Perjanjian, Cet.10, PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

Suhariningsih, “Tanah Terlantar”, Prestasi Pustaka Raya, Jakarta, 2009.

Sulaiman bin Khallaf al-Baji, Al-Muntaqi fi syarh al-Muwatta Imam Malik,


Cetakan Pertama, Jilid 6. T.tp: Dᾱrl al-Kitab al-Islami, 1332 H.

Sutedi, Adrian, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendafatarannya, Sinar Grafika,
Jakarta, 2010.

S.R. Nur, Beberapa Permasalahan Agraria, Lembaga Penerbitan Unhas, Ujung


Pandang, 1986.

Soekanto, Soerjono, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-


Masalah Sosial, Alumni, Bandung, 1982.

Ter. Haar, Azas-Azas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta,
1981.

Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta,


1996.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Pokok Agraria.

Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan


Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Universitas Sumatera Utara


103

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun


1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Petunjuk Teknis Direktorat Survei dan Potensi Daerah, Deputi Survei,


Pengukuran dan Pemetaan Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4


Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar.

C. Tesis

Ginting Yesicha Cristianita, Analisis kasus sengketa keperdataan kepemilikan


tanah yang bersertifikat ganda (Studi Putusan Pengadilan Negeri
Kabanjahe No. 30/Pdt.G/2009/PN.kb)Tesis, Fakultas Hukum,Universitas
Sumatera Utara, 2016.

Kelvin, Penertiban Tanah Terlantar Milik Perorangan Ditinjau dari Peraturan


Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia No. 4 Tahun
2010 Tentang Tatacara Penertiban Tanah Terlantar, Tesis, Fakultas
Hukum, Universitas Sumatera Utara, 2017.

Limbong Dayat “ Tanah Negara, Tanah Terlantar, dan Penertibannya” Tesis,


Fakultas Hukum, Universitas Pembangunan Masyarakat Indonesia,
2017.

Saad Sudirman“Tanah Terlantar Dalam Perspektif Hukum Adat,Hukum Islam


DanYurisprudensi”, Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara,
2001.

Saragih Bambang Dipa, Analisis Yuridis Berlakunya PP No. 11 Tahun 2010 Dan
Permasalahan Yang Ditimbulkan, 2016.

Siahaan Vivi Dumasari, Peralihan Hak Guna Usaha Sekaligus Dilakukan Alih
Fungsi Penggunaan Tanah, 2011.

Siregar Agusman Rodeka, Problematika Pendafataran Tanah Adat Menjadi Hak


Milik Tanpa Persetujuan Seluruh Ahli Waris pada Kantor Pertanahan
Kabupaten Samosir, Tesis Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum,
Universitas Sumatera Utara, 2017

Suci Pratiwi, Kajian Yuridis Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah


Terlantar Dalam Rangka Pelaksanaan Landreform, 2017.

Universitas Sumatera Utara


104

Sukhaimi, “Kepemilikan Tanah Tak Bertuan”,Tesis, Fakultas Hukum,


Universitas Sumatera Utara, 2004.

Supriyanto, “Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundang-undangan


Indonesia”,Tesis, Fakultas Hukum, Universitas Jendral Soedirman, 2010.

D. Jurnal

Pan Mohamad Faiz dan Rendy Octavianus Dumais, Pengaturan Hukum Terhadap
Keberadan Tanah Terlantar di Indonesia, 2009.

Supriyanto, Kriteria Tanah Terlantar Dalam Peraturan Perundangan Indonesia,


Vol. 10 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto, Jawa Tengah, Januari 2010.

Luh Putu Suryani, Tesis : “Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar


Dalam Rangka Penatagunaan Tanah Di Kota Denpasar” Denpasar:
Universitas Udayana, 2011.

E. Internet

Definisi Undang-Undang, http://artikata com/arti-3888081-undang-undang.html.


diakses, pada tanggal 21 Januari 2019.

Kerangka Teoritis,http://liaamami.blogspot.co.id/p/kerangka-teoritis.html, diakses


pada tanggal 21 Januari 2019.

Kebijaksanaan Pemerintah melalui Peraturan Perundang-Undangan dalam


Perspektif Sosiologis Academia Edu, http://www.academia.edu/
10691642/pdf Esmi Warassih. Implementasi, Surabaya: Disertasi
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, diakses pada tanggal 21
Januari 2019.bhgh.

Laporan Akuntabilitas Kinerja Badan Pertanahan Nasional 2012, http://


www.bpn.go.id/ Portals/0/perencanaan /dokumen -publik/lakip 2012.pdf)
diakses pada tanggal 19 Juli 2019.

http://musri-nauli.blogspot.com/2018/08/penanda-tanah_31.html, diakses pada


tanggal 31 Juli 2019.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai