Anda di halaman 1dari 131

EKSISTENSI LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA

LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI): STUDI DI KANTOR


PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

Oleh

ARTHA RUMONDANG SIBURIAN


077011006/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
EKSISTENSI LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA
LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI): STUDI DI KANTOR
PERTANAHAN KABUPATEN DELI SERDANG

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan
Dalam Program Studi Kenotariatan Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh

ARTHA RUMONDANG SIBURIAN


077011006/M.Kn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Judul Tesis : EKSISTENSI LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH
SECARA LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI);
STUDI DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN
DELI SERDANG
Nama Mahasiswa : Artha Rumondang Siburian
Nomor Pokok : 077011006
Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH.MS.CN)
Ketua

(Notaris Syafnil Gani,SH.M.Hum) (Hj.Chadidjah Dalimunthe,SH.M.Hum)


Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH.MS.CN) (Prof.Dr.Runtung,SH.M.Hum)

Tanggal lulus : 08 September 2009


Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Telah diuji pada

Tanggal : 08 September 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS. CN

Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, SH. M.Hum

2. Hj.Chadidjah Dalimunthe, SH. M.Hum

3. Dr. T.Keizerina Devi Azwar, SH. CN. M.Hum

4. Chairani Bustami, SH. SpN. M.Kn

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
ABSTRAK

Indonesia merupakan sebuah negara agraris, dimana penduduknya sebagian


besar bermatapencaharian dengan pertanian. Oleh karena itu tanah merupakan faktor
yang sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia. UU Nomor 5 Tahun 1960
yang dikenal dengan UUPA menyatakan bahwa tanah diperuntukkan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat/Bangsa Indonesia, oleh karena itu penguasaan tanah
yang melampaui batas oleh segelintir orang tidak diperkenankan. Larangan
kepemilikan tanah secara latifundia adalah larangan penguasaan tanah pertanian luas
yang melampaui batas maksimum, sedangkan larangan tanah absentee (guntai)
adalah larangan kepemilikan tanah pertanian yang letaknya di luar wilayah
kecamatan tempat tinggal pemilik tanah. Larangan kepemilikan tanah secara
latifundia dan absentee (guntai) merupakan program dari landreform yang bertujuan
untuk memperbaharui struktur keagrariaan terutama terhadap tanah pertanian yang
dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur dan
memperkuat serta memperluas pemilikan tanah, terutama kaum petani. Peraturan
pelaksanaannya adalah pasal 7, 10, 17 UUPA dan selain itu Pemerintah menerbitkan
UU No. 56 Prp Tahun 1960, PP No. 224 Tahun 1961, PP No. 41 Tahun 1964 dan PP
No. 4 Tahun 1977. Seiring dengan berjalannya waktu program landreform sejak
diterbitkannya UU No 56 Tahun 1960 dan berbagai peraturan pelaksanaannya hingga
saat ini tidak berjalan lancar, hal tersebut dikarenakan adanya indikasi ketimpangan
penguasaan tanah akibatnya banyak petani miskin yang tidak memiliki tanah
pertanian ditambah lagi dengan pertambahan penduduk berakibat menurunnya
kesejahteraan petani dan bertambahnya tuna kisma. Ketentuan peraturan perundang-
undangan tentang landreform yang ada sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi
sekarang.
Oleh karena itu perlu dikaji bagaimana latar belakang timbulnya kepemilikan
tanah tersebut dan apakah peraturan-peraturan tersebut masih efektif
dioperasionalkan serta bagaimana peran dari Kantor Pertanahan Kabupaten Deli
Serdang terhadap pelaksanaan larangan kepemilikan tanah tersebut. Penelitian ini
bersifat deskriptif analitis, yaitu bertujuan untuk mengumpulkan serta menganalisis
data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat sehingga ditemukan
gambaran yang jelas mengenai eksistensi larangan kepemilikan tanah secara
latifundia dan absentee di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang. Metode
pendekatannya yaitu yuridis normatif dan empiris. Sumber data berasal dari data
primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari narasumber yaitu Pejabat Kantor
Pertanahan Kabupaten Deli Serdang serta data sekunder yaitu dengan mempelajari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier.
Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan yaitu menghimpun data
dengan melakukan penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder dan dengan
studi lapangan yang dilakukan untuk menghimpun data primer dengan cara
wawancara. Selanjutnya data dianalisis secara kualitatif.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Dari hasil penelitian ini disimpulkan bahwa yang menjadi latar belakang
timbulnya pemilikan tanah secara latifundia dan absentee yaitu adanya kemudahan
dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP), adanya penggunaan kuasa mutlak
sehingga terjadi penyelundupan hukum, serta banyaknya tanah-tanah yang tidak
terdaftar membuat jangkauan pelaksanaan landreform tidak sampai kepada sasaran.
Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi dari peraturan tersebut sudah tidak efektif lagi.
Sehingga perlu pengawasan yang ketat dari aparat Kantor Pertanahan terhadap tanah-
tanah yang sudah diredistribusikan ataupun belum dan juga sistem informasi
pertanahan melalui komputerisasi kantor pertanahan segera di lakukan agar untuk
pemilik tanah yang ingin mendaftarkan tanahnya dapat diproses dengan cepat dan
mudah.

Kata Kunci : Eksistensi, Latifundia, Absentee (Guntai)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
ABSTRACT

Indonesia is an agrarian country, in which majority of the population live in


an earning in agriculture. There fore, land is a significantly important factor for the
life of Indonesian nation. The Agrarian law No. 5/1960 which is also well known as
UUPA that land is used as great as possible for welfare of the people/ nation of
Indonesia, therefore over possession of land by some persons is not allowed.
The prohibition to own land by latifundia is the prohibition to own an agricultural
land with exceeding maximun size, while the prohibition to own absentee (guntai)
land is the prohibition to own an agricultural land located outside of the sub-district
where the land owner’s domicile. The prohibition to own latifundia and absentee
(guntai) land is the program of the landreform intended to renew the structure of
agrarian matters especially for the agriculture land to improve the welfare of the just
and prosperous society and to strengthen and to expand the ownership of land
especially for the farmer’s community. The regulation of implementation of this
program is found in Article 7,10, 17 of Agrarian Law and Law No. 56 Prp/1960,
Government Regulation No. 224/1961, Government Regulation No. 41/1964,
Government Regulation No. 4/1977. From the issuance of law No. 56/1960 and its
various regulations of implementation to present, the landreform program has not yet
gone smoothly because of the indication of the imbalance of land ownership resulted
consequently a great number of the farmers became poorer and even they failed to
own their agriculture land, in addition the increased population resulted in their
welfare decreased and the number of farmers increased. The regulations of
legislation on land reform does not go any more with the current condition.
Therefore, it needs to study the background of the incident of the land
ownership and whether or not the regulations are still effective to be operated and
how the Land Office plays its role in implementing the prohibition of land ownership.
The purpose of this analytical descriptive study with normative and empirical
juridical approach is to collect and analyze the factual and accurate data
systematically obtained to find out a clear description of the existence of the
prohibition to own latifunfia and absentee (guntai) lands in the Land Office, Deli
Serdang District. The primary data the for this study were obtained through directly
interviewing the officers of the Land Office, Deli Serdang District and the secondary
data for this study were collected through library research by studying the primary,
secondary, and tertiary legal materials. The data obtained were then qualitatively
analyzed.
The result of this study shows that the incident of owning latifundia and
absentee (guntai) lands was caused by the simplicity of making the identification card
for the residents, the use of absolute power that resulted in law infiltration, and the
great number of unregistered lands that the implementation of landreform could
reach the person targeted. This condition shows that the existence of the regulation is
not effective any more that a strict control from the apparatuses of Land Office on
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
the lands which have been or have not been redistributed and computers should be
installed in the Land Office for the land information system that the land owner who
wants to register his land can be easily and quickly processed.

Key words: Existence, Latifundia, Absentee (Guntai)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Besar dan Pengasih,

karena berkat dan kasihNya Penulis diberi kesehatan, kekuatan, dan kesabaran serta

khidmat, sehingga dapat menyelesaikan tesis ini sebagai persyaratan untuk

memperoleh gelar MAGISTER KENOTARIATAN pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara. Adapun judul tesis Penulis adalah “EKSISTENSI

LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH SECARA LATIFUNDIA DAN

ABSENTEE (GUNTAI): STUDI DI KANTOR PERTANAHAN KABUPATEN

DELI SERDANG.”

Dalam menyelesaikan tesis ini, Penulis banyak memperoleh bantuan baik

berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini

Penulis tidak lupa menyampaikan penghargaan serta terimakasih yang tulus kepada

semua pihak yang telah turut memberikan bantuan kepada penulis baik secara

langsung maupun tidak langsung sejak awal Penulis menjalani perkuliahan hingga

penyusunan tesis ini dan penyelesaiannya.

Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan

ucapan terimakasih yang tulus dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, SpA(K), selaku Rektor Universitas

Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis

untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan;

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara.

3. Bapak Abdul Rahim Lubis, SH. M.Kn, selaku Kepala Seksi Hak Tanah dan

Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dan Bapak

Drs. Aman Tarigan, selaku Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan,

yang telah bersedia penulis wawancarai dan memberikan informasi serta telah

menjawab seluruh pertanyaan sehubungan dengan penulisan tesis ini;

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH. MS. CN selaku Ketua Program

Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus

Pembimbing Utama, yang telah begitu terbuka dan penuh perhatian memberi

bimbingan, arahan dan dorongan sehingga Penulis selalu terdorong untuk menjadi

lebih baik lagi. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya;

5. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II

yang selalu memberikan bimbingan, perhatian, dorongan dan arahan kepada

Penulis;

6. Ibu Hj. Chadidjah Dalimunthe, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III yang

telah banyak memberikan masukan dan arahan dalam penyempurnaan tesis

Penulis;

7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program

Studi Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen

Penguji dalam penulisan ini yang telah memberi masukan kepada Penulis;

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
8. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan masukan serta kritik yang membangun kepada Penulis;

9. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Kenotariatan Universitas Sumatera Utara

atas jasa mereka yang telah mencurahkan ilmu pengetahuannya dan mendidik

Penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ini;

10. Seluruh Staf Administrasi Program Studi Kenotariatan Universitas Sumatera

Utara yang senantiasa memberikan bantuannya kepada Penulis selama masa

perkuliahan;

11. Kepada yang terhormat dan terkasih (Alm) Papa R.J.S Siburian, SH dan Mama R

Aritonang sebagai orang tua terbaik yang selalu mendoakan, membesarkan

Penulis dengan penuh pengorbanan, sabar dan tabah dalam segala hal dari dulu,

sekarang, esok dan seterusnya yang menjadi bagian dalam hidup Penulis serta

memotivasi untuk melanjutkan pendidikan S2;

12. Kepada kakakku Ir.Roselyne Siburian dan H Sitorus SE, abang-abangku: Ir.

Willfried Siburian dan Dr. Imelda Simbolon serta Andreas Siburian, SH dan Lina

Manurung, Amd.AK serta keponakan-keponakanku: Yohannes Christian, Yohana

Carla, Josephine, Jeremia, dan Gabriela terimakasih yang tulus buat doa,

semangat serta motivasi yang tiada hentinya kepada Penulis untuk melanjutkan

pendidikan. I love u All ................

13. Kepada Bang Sopar Siburian, SH. SpN. M.H, yang telah memberikan dukungan,

nasehat yang tiada hentinya sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Program Studi Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Serta untuk semua teman-temanku: Monalisa Simatupang, SH.M.Kn, Kak Rani,

Bang Pendi, Diana, Armaini, Anna, Freddy, Juni di Kantor Notaris Sopar

Siburian,SH,SpN,M.H, terimakasih atas dukungan dan motivasi yang tiada

hentinya;

14. Teman-teman mahasiswa Program Studi Kenotariatan Universitas Sumatera

Utara angkatan 2007. To my best friends: Juliana, Lisbeth, Novi, Lenny, Afni,

Juni Surbakti, thanks for your kindness. Juga untuk kelas B dan C, special kelas

A yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, thanks atas kekompakannya

selama ini dan yang selalu memotivasi serta memberikan semangat dalam

menyelesaikan tesis ini;

15. Rekan-rekan pada Magister Kenotariatan yang tidak dapat penulis sebutkan satu

persatu yang telah memberikan bantuan semangat, dorongan, motivasi kepada

penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini;

16. Special untuk Keluarga Besar Inangtua Sipahutar yang telah memberikan tempat

tinggal untuk Penulis tempati selama menyelesaikan pendidikan Kenotariatan di

Universitas Sumatera Utara;

17. Kepada semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah

memberikan bantuan dan perhatiannya sehingga Penulis dapat menyelesaikan

perkuliahan dan penulisan tesis ini.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan Rahmat-Nya kepada

kita semua dan penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun

diharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, Oktober 2009

Penulis,

ARTHA SIBURIAN

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
RIWAYAT HIDUP

I. Identitas Pribadi

Nama : Artha Siburian

Tempat/Tanggal lahir : Tg. Balai Karimun, 16 Juli 1974

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Malaka II Nomor 126. Klender

Jakarta Timur. (13460)

II. Orang Tua

Nama Ayah : (Alm) RJS Siburian, SH

Nama Ibu : R Aritonang

III. Pendidikan

1. SDN Malaka 09 Pagi, Jakarta Timur, lulus tahun 1986

2. SMPN 165 Jakarta Timur, lulus tahun 1989

3. SMAN 59 Jakarta Timur, lulus tahun 1992

4. Sarjana Hukum Universitas Cenderawasih Jayapura, Irian Jaya, lulus tahun

1997.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ........................................................................................... i
ABSTRACT ......................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................ v
RIWAYAT HIDUP ............................................................................. x
DAFTAR ISI ....................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xiii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................... 1


B. Perumusan Masalah ................................................... 16
C. Tujuan Penelitian ....................................................... 16
D. Manfaat Penelitian ..................................................... 17
E. Keaslian Penelitian .................................................... 17
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ................................... 17
G. Metode Penelitian ...................................................... 26

BAB II LANDREFORM DAN KEPEMILIKAN TANAH


SECARA LATIFUNDIA DAN ABSENTEE
(GUNTAI) ..................................................................... 30

A. Landreform ................................................................ 30
B. Kepemilikan Tanah Secara Latifundia ...................... 52
C. Kepemilikan Tanah Secara Absentee (Guntai) ........ 63

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB III LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH
LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI)
DI KABUPATEN DELI SERDANG ........................... 73

A. Pelaksanaan Peraturan Kepemilikan Tanah


Latifundia dan Absentee (Guntai) ............................ 73
B. Efektifitas Larangan Kepemilikan Tanah Latifundia
dan Absentee (Guntai) ............................................... 83

BAB IV PERAN DAN TANGGUNG JAWAB KANTOR


PERTANAHAN TERHADAP TANAH LATIFUNDIA
DAN ABSENTEE (GUNTAI) DI KABUPATEN
DELI SERDANG .......................................................... 92
A. Kebijakan Pertanahan Berdasarkan Peraturan

Presiden Nomor 10 Tahun 2006 ............................... 92

B. Peran dan Tanggung Jawab Kantor Pertanahan

Kabupaten Deli Serdang Terhadap Kepemilikan

Tanah Secara Latifundia dan Absentee (guntai) ........ 96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ...................................... 104


A. Kesimpulan ................................................................ 104
B. Saran .......................................................................... 107

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 109

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Surat balasan riset dari Kantor Pertanahan 114

Kabupaten Deli Serdang

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia adalah negara agraris dimana penduduknya sebagian besar

bermatapencaharian dibidang pertanian (agraris) baik sebagai petani pemilik tanah,

petani penggarap tanah maupun sebagai buruh tani. Oleh karena itu tanah sebagai

tempat berusaha merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup

masyarakat. Setiap orang membutuhkan tanah karena tidak ada aktivitas atau kegiatan

orang yang tidak membutuhkan tanah. 1 Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia

ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah.

Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara
2
mendayagunakan tanah.

Arti penting tanah tersebut dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945

yang menyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Jelas, bahwa tanah sebagai tempat berusaha, yang merupakan bagian dari permukaan

bumi harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Setelah kemerdekaan, pada tahun 1945 Indonesia menghadapi masalah

mendasar dibidang hukum pertanahan, yaitu terdapatnya masalah kepemilikan tanah

1
Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, (Medan: Multi Grafik Medan,
2005), hlm. 2.
2
G. Kartasapoetra, R.G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, A. Setiady, Hukum Tanah
Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 1
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
yang tidak proporsional, kebutuhan tanah pertanian yang meningkat terus serta

didorong oleh jumlah pertambahan penduduk. Dalam mengatasi masalah tersebut

sebagai negara merdeka yang berdaulat penuh berusaha untuk mengatur kehidupan

bernegara dengan mewujudkan hukum agraris nasional.

Pembaharuan struktur keagrariaan terutama pada tanah pertanian dilakukan

untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang semula tidak memiliki lahan olahan

atau garapan untuk memiliki atau mempunyai lahan. Berbagai upaya telah dilakukan

dan diawali pada tahun 1945 dengan penghapusan hak-hak istimewa di desa Perdikan

(desa-desa bebas). 3 Selanjutnya pada Tahun 1958, Pemerintah menghapuskan tanah-

tanah partikulir 4 yang semula dijual kepada warga negara Inggris, Arab dan Cina oleh

Pemerintahan Kolonial Belanda, selama masa kesulitan ekonomi pada awal abad ke

19. 5 Dan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Tanah Partikulir,

terhadap pemilik tanah diberikan pilihan untuk menjual tanahnya baik secara

langsung kepada petani atau pemerintah untuk dibagi-bagikan. Dan pada saat yang
3
Desa Perdikan adalah desa yang mempunyai hak istimewa berupa pembebasan dari
pembayaran pajak tanah, karena jasa-jasa tertentu pendirinya kepada Raja atau Sultan yang berkuasa.
Para pendiri desa diangkat sebagai kepala desa dengan jabatan yang bersifat turun temurun. Para
kepala desa menganggap bahwa diri mereka adalah pemilik tanah-tanah luas yang dikerjakan dan
digarap oleh penduduk asli sebagai penyakap atau penggarap bagi hasil. (Boedi Harsono, Hukum
Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Jilid I. (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 1999), hlm. 90.
4
Tanah Partikulir adalah tanah eigendom di atas mana pemiliknya sebelum UU ini berlaku
mempunyai hak-hak pertuanan. (Lihat Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1958). Hak-hak pertuanan yang ada
pada tanah partikulir itu adalah: (1) Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilihan serta
memberhentikan kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum; (2) Hak untuk menuntut kerja
paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk; (3) hak untuk mengadakan
pungutan-pungutan baik yang berupa uang atau hasil tanah dari penduduk; (4) hak-hak yang menurut
peraturan-peraturan lain dan atau adat setempat sederajat dengan hak pertuanan; (5) Hak-hak untuk
mendirikan pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan. (Chadidjah Dalimunthe,
Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, Medan: USU, 2005, hlm. 32)
5
Erman Rajagukguk, Hukum Agraria Pola Penguasaan Tanah Dan Kebutuhan Hidup.
(Jakarta: Chandra Pratama, 1995), hlm. 2.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
bersamaan diusahakan untuk menyusun ketentuan hukum agraria yang baru, ditandai

dengan dibentuknya berbagai kepanitiaan dengan maksud untuk merombak ketentuan

yang diatur dalam Agrarische Wet Tahun 1870. Dimulai dari Panitia Agraria Yogya

(1948)6, Panitia Agraria Jakarta (1951) 7, Panitia Soewahjo (1956)8, Rancangan

Soenarjo (1958) 9 dan Rancangan Sadjarwo (1960). 10

Setelah melewati jalan panjang dan berliku, Bangsa Indonesia sepakat untuk

melakukan pembaharuan dibidang keagrarian pada periode tahun 1960-an sebagai

perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan dikeluarkannya Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya

disebut dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September

1960. Salah satu aspek hukum penting dengan diundangkannya UUPA adalah

dicanangkannya program landreform di Indonesia. Program dari landreform tersebut

adalah : 11

a. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;


b. Larangan pemilikan tanah secara absentee (guntai);

6
Panitia ini bertemu di Yogyakarta, dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948 dan diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo.
7
Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1951 tanggal 19 Maret
1951, Panitia Agraria Yogya dibubarkan dan dibentuk panitia baru agrarian, yang berkedudukan di
Jakarta dan diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo dengan wakil ketua Sadjarwo.
8
Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1956 tanggal 14 Januari
1956, Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan diganti dengan panitia baru, dan diketuai oleh Soewahjo
Soemodilogo.
9
Rancangan Undang-undang Agraria diselesaikan oleh Panitia Soewahjo pada tanggal 6
Pebruari 1958 namun kemudian diganti dengan rancangan yang baru. Dikenal dengan Rancangan
Soenarjo yang menjabat sebagai Menteri Agraria pada waktu itu. Rancangan ini diajukan ke Parlemen
pada tanggal 24 April 1958.
10
Berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 5 Juli 1959, Rancangan Undang-undang yang
telah dimajukan sekali lagi diubah. Rancangan yang baru dinamakan Rancangan Sadjarwo dan
dimajukan pada Parlemen tanggal 1 Agustus 1960.( Erman Rajagukguk, Ibid)
11
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 203.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
c. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah
yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah
negara;
d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan;
e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;
f. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan
tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

Sejak itu rakyat petani mempunyai kekuatan hukum untuk memperjuangkan

haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya

demi kemakmuran. Tetapi kenyataannya dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah

masih banyak ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, dimana ada sekelompok

kecil masyarakat memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan dan melampaui

batas dan di lain pihak kelompok terbesar dari masyarakat mempunyai tanah dalam

jumlah yang sangat terbatas, bahkan banyak pula yang tidak mempunyai tanah sama

sekali dan terpaksa hidup sebagai buruh tani, yang berarti sangat bertentangan dari

prinsip keadilan sosial.

Keadaan ini mengharuskan Pemerintah untuk mengatur pemilikan dan

penguasaan tanah yang ada sedemikian rupa agar benar-benar bermanfaat bagi

seluruh bangsa Indonesia. GBHN Tahun 1988 menyatakan sebagaimana yang dikutip
12
oleh M. Yamin:

“ Pemanfaatan tanah harus sungguh-sungguh membantu usaha meningkatkan


kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial. Sehubungan
dengan itu perlu dilanjutkan dan makin ditingkatkan penataan kembali

12
Muhammad Yamin, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2004), hlm. 94.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
penggunaan dan penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas
tanah.”

Pengaturan pemilikan dan penguasaan tanah yang menjadi program

landreform diatur dalam Pasal 7, 10, 17 UUPA. Pasal 7 UUPA berbunyi “Untuk tidak

merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang

melampaui batas tidak diperkenankan”. Dalam pasal ini melarang apa yang

dinamakan dengan groot grondbezitter 13 yaitu larangan pemilikan tanah yang

melampaui batas atau disebut juga dengan istilah latifundia. Larangan pemilikan

tanah secara latifundia dimaksudkan untuk mengakhiri dan mencegah bertumpuknya

tanah ditangan golongan-golongan dan orang-orang tertentu saja. Pemilikan dan

penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum, menciptakan

tuan-tuan tanah dan banyak hal-hal negatif yang mungkin terjadi seperti tidak naiknya

produksi, petani penggarap selalu akan menyewa dan uang sewa akan selalu

meningkat sehingga pendapatan mereka akan terus berkurang. Kesejahteraan sosial

dari masyarakat akan terus merosot dan condong tuan-tuan tanah memaksa para

penyewanya untuk memberikan suara pada pemilu bagi golongan yang akan

mempertahankan posisinya. Rakyat yang memerlukan tanah akan terus bertambah

dan kemiskinan sudah tidak terelakkan lagi. 14 Hal ini akan menyebabkan semakin

sempitnya atau hilangnya sama sekali kemungkinan bagi petani untuk memiliki tanah

sendiri.

13
Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 354
14
A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, Bagian I, (Bandung:
Mandar Maju, 1989), hlm. 23-24.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Menurut taksiran pada waktu itu 60% dari jumlah petani adalah petani tidak

bertanah. 15 Sebagian dari mereka merupakan buruh tani dan sebagian lainnya adalah

mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap dalam perjanjian bagi

hasil. Jumlah petani yang tidak bertanah semakin lama akan semakin bertambah. Ini

berarti bahwa syarat untuk mendapatkan tanah garapan akan semakin berat

disebabkan bertambahnya petani yang memerlukan tanah garapan. Dan biasanya

orang-orang yang mempunyai tanah banyak makin lama tanahnya akan semakin

bertambah baik yang dimiliki maupun yang dikuasainya dalam hubungan gadai atau

jual tahunan. Dengan demikian maka pembagian hasil pertanian menjadi tidak

merata.

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 7 UUPA tersebut secara substansi tidak

berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Masih ada tanah-tanah hak milik yang luas

dikuasai oleh satu orang atas nama beberapa pemilik dengan status hak milik, padahal

hal menurut PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan

Pemberian Ganti Kerugian telah memberikan batasan atas tanah pertanian. 16 Seperti

juga yang disinyalir oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
17
bergerak dibidang Pembaharuan Hukum Agraria bahwa:

Jika ditelusuri dari berbagai kebijakan pemerintah, penguasaan lahan dalam


jumlah besar agaknya bermula pada tahun 1980-an. Sebagian besar penguasaan
tanah tidak hanya berada di tangan perusahaan HPH (Hak Pengelolaan Hutan),

15
Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 354
16
M. Yamin, Beberapa Dimensi Filosophis Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press,
2003), hlm. 10.
17
“Majalah Forum Keadilan” Nomor 27 tanggal 20 Oktober 2002, seperti yang dikutip dalam
buku Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 204.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tetapi juga perusahaan-perusahaan yang mendapat konsesi pertambangan atau
kontrak kerja pertambangan. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar yang
berbisnis dibidang perkebunan atau agrobisnis juga menguasai lahan yang tidak
sedikit.

Selain para perusahaan pertambangan yang mendapat konsesi dari pemerintah

pusat berdasarkan kontrak kerja tersebut, banyak juga perusahaan-perusahaan lain

yang mendapatkan kemudahan dalam penguasaan atas tanah tersebut. Banyak

diantara perusahaan perkebunan yang juga dimiliki oleh para pengusaha papan atas.

Selain itu penumpukan penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum oleh

segelintir orang pun terjadi di kota-kota besar. Seperti adanya pembangunan

perumahan mewah yang ekslusif di wilayah Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tanggerang,

dan Bekasi), pemberian pembukaan lahan untuk keperluan perkebunan,

pertambangan, lapangan golf dan lain-lain. 18

Dari hal tersebut jelas terlihat adanya ketimpangan pemilikan dan penguasaan

tanah yang terjadi antara petani dan pengusaha-pengusaha papan atas. Untuk itu perlu

adanya penetapan luas maksimum tanah pertanian agar tidak terjadi penumpukan

tanah pertanian pada segelintir orang. Karena jika terjadi penumpukan pada segelintir

orang, maka akan merugikan para petani yang menjadikan sawah sebagai alat

produksi dan sumber mata pencaharian.

Sebagai konsekwensi dari Pasal 7 UUPA yang tidak memperkenankan

penguasaan tanah yang melampaui batas maka dalam Pasal 17 UUPA diatur luas

18
Ibid.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
maksimum dan atau minimum yang boleh dimiliki oleh satu keluarga baik dengan

hak milik atau dengan hak yang lain.

Sejalan dengan Pasal 17 UUPA, Boedi Harsono mengatakan:

Dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam
produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, dan demikian pembagian
hasilnya akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan merupakan pula
pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah
kegairahaan bekerja para petani penggarap tanah yang bersangkutan, yang telah
menjadi pemiliknya. 19

Mengacu pada ketentuan Pasal 17 UUPA, Pemerintah mengeluarkan

peraturan pelaksanaannya berupa Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang

Penetapan Luas Tanah Pertanian dan undang-undang ini merupakan induk

pelaksanaan landreform di Indonesia. 20 Undang-undang ini mengatur 3 masalah

yang pokok, yaitu mengenai:

1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian;


2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan
tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil;
3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. 21

Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang diatur

dalam Pasal 1 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang menyatakan seorang atau

orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama

hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri atau kepunyaan

19
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 355.
20
UU Prp 56 Tahun 1960 ini dikeluarkan Pemerintah pada tanggal 29 Desember 1960, dan
dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1961, tepat pada hari dilangsungkannya apa yang disebut
“Upacara Pengayunan Cangkul Pertama Pembangunan Nasional Semesta Berencana”.
21
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 356.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
orang lain atau dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah,

tanah kering, maupun sawah dan tanah kering dan dengan mengingat keadaan daerah

yang sangat khusus, Menteri Agraria dapat menambah luas maksimum 20 hektar

tersebut dengan paling banyak 5 hektar. Melalui Undang-undang ini luas tanah

maksimum yang bisa dikuasai seseorang diatur secara rinci dengan

mempertimbangkan tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi, kepadatan

penduduk dan kesuburan tanah pertanian.

Penetapan luas maksimum dan minimum kepemilikan tanah merupakan

langkah awal untuk melaksanakan program landreform dibidang tanah pertanian yang

kemudian menjadi acuan untuk menentukan apakah seseorang mempunyai tanah

pertanian yang melampaui batas atau kecil. Berdasarkan Undang-undang Landreform

ini juga setiap orang yang mempunyai tanah pertanian yang melampaui batas

maksimum diwajibkan untuk melaporkannya kepada Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota.22 Setiap orang yang mempunyai tanah lebih tidak boleh

mengalihkan tanah tersebut langsung kepada pihak lain tanpa memperoleh izin dari

Kepala Kantor Pertanahan. Kepada pihak yang menjual atau tidak melaporkan

kelebihan tanahnya diancam dengan pidana kurungan tiga bulan atau denda

Rp.10.000.23 Kelebihan tanah tersebut diambil oleh negara dengan memberikan ganti

22
Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960, Pasal 3.
23
Ketentuan Pidana ini diatur dalam Pasal 11 UU No.56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas
Pertanian.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
rugi dan selanjutnya diredistribusikan kepada petani yang tidak punya tanah dengan

menetapkan skala prioritas penerima. 24

Pelaksanaan redistribusi tanah pertanian yang diambil oleh Pemerintah diatur

dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian

Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Selain mengatur tentang redistribusi tanah,

dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga mengatur mengenai kepemilikan tanah

absentee dimana dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pemilik tanah yang bertempat

tinggal di luar kecamatan tempat tanah itu terletak dalam jangka waktu 6 bulan wajib

mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanahnya

itu atau pindah ke kecamatan tempat letak tanahnya berada. Ketentuan ini selanjutnya

dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang

Perubahan dan Tambahan PP Nomor 224 Tahun 1961. Penambahannya terdapat

dalam Pasal 3(a) yaitu tentang kewajiban melapor bagi pemilik tanah yang

meninggalkan tempat kediamannya selama 2 tahun berturut-turut, apabila pemilik

24
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan
Pemberian Ganti Kerugian, Pasal 8.
Tanah kelebihan tersebut terlebih dahulu diberikan kepada: a. Petani yang mempunyai ikatan
keluarga sejauh tidak lebih dari derajat kedua dengan bekas pemiliknya dengan ketentuan sebanyak-
banyaknya 5 orang; b. Petani yang terdaftar sebagai veteran; c. Petani janda pejuang kemerdekaan
yang gugur; d. Petani yang menjadi korban kekacauan.
Kemudian lagi dapat dibagikan kepada para petani menurut prioritas sebagai berikut:
a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan; b. Buruh tani pada bekas pemilik, yang
mengerjakan tanah yang bersangkutan; c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;
d. Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan; e. Penggarap yang
mengerjakan tanah pemilik; f. Penggarap tanah-tanah yang oleh Pemerintah diberi peruntukan lain
berdasarkan Pasal 4 ayat (2 ) dan (3); g. Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar; h.
Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar; i. Petani atau buruh tani. (A.P.Parlindungan,
Landreform di Indonesia, Strategi dan Sasarannya, Bandung: Alumni, 1990, hlm. 48)

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tanah melaporkan kepada pejabat yang berwenang, maka pemilik tanah

mendapatkan perpanjangan jangka waktu 1 (satu) tahun lagi untuk memindahkan hak

milik atas tanahnya pada orang lain dimana tanah itu berada dan apabila pemilik

tanah tidak melaporkannya, maka dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak ia

meninggalkan tempat kediamannya itu diwajibkan untuk memindahkan hak miliknya

kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanah tersebut. Dalam

Pasal 3(b) tentang Pegawai Negeri dan Angkatan Bersenjata yang telah berhenti

menjalankan tugas negara dalam jangka waktu 1 (satu) tahun harus mengakhiri

penguasaan tanahnya secara absentee.

Selanjutnya ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tersebut

dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan

tanah pertanian secara guntai (absentee) bagi para pensiunan pegawai negeri.

Dalam Pasal 6 diatur bagi para pegawai negeri, pensiunan pegawai negeri, janda

pegawai negeri, dan janda pensiun pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan

seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri dibenarkan mempunyai

tanah absentee. Bahkan dalam waktu 2 tahun menjelang masa pensiunnya

diperbolehkan memiliki tanah pertanian secara absentee (guntai) seluas 2/5 dari batas

maksimum penguasaan tanah untuk Daerah Tingkat II di daerah yang bersangkutan.

Pemilikan tanah secara absentee adalah pemilikan tanah pertanian yang

pemiliknya berada di luar kecamatan yang berbeda dengan lokasi tanah pertanian

dimaksud. Pemilikan tanah seperti ini dilarang oleh undang-undang, karena dianggap

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tidak efektif sebab pemilik tanah berada di luar kecamatan letak tanah tersebut

sehingga tidak dapat mengerjakan tanahnya secara aktif. Ketentuan tersebut

merupakan gambaran situasi pada waktu ketentuan tersebut dibuat, yang didasarkan

pada keadaan teknologi yang belum maju seperti sekarang ini. Tetapi larangan

tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang

berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak

tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan dari Panitia

Landreform Tingkat II (sekarang Kantor Pertanahan) masih memungkinkan pemilik

tanah untuk mengerjakan tanahnya tersebut secara efisien. Tanah-tanah pertanian

tersebut letaknya di desa sedang mereka yang memiliki tanah absentee umumnya

bertempat tinggal di kota. Tujuan melarang pemilikan tanah absentee adalah agar

hasil yang diperoleh dari penguasaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh

masyarakat pedesaan di tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah

akan bertempat tinggal di daerah penghasil. Dengan demikian larangan pemilikan

tanah absentee merupakan jawaban agar para petani mengerjakan sendiri tanahnya

secara aktif dan harus bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah pertaniannya

terletak.

Secara normatif, asas mengerjakan sendiri tanah pertanian tersebut

diwujudkan dalam Pasal 10 UUPA yang berbunyi: “Setiap orang dan badan hukum

yang mempunyai sesuatu hak atas tanah-tanah pertanian pada asasnya diwajibkan

mengerjakan atau mengusahakannya sendiri tanahnya secara aktif dengan mencegah

cara-cara pemerasan.” Larangan absentee ini juga ditujukan untuk mencegah


Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
terjadinya tanah terlantar. Tanah terlantar adalah tanah yang dengan sengaja tidak

dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuannya atau

tidak dipelihara dengan baik. 25 Tanah terlantar disebabkan karena:

a. Pemilikan tanah yang terlampau luas atau pemilikan tanah secara absentee
yang mengakibatkan pemegang hak tidak mampu untuk membangun dan
memanfaatkan tanahnya;
b. Adanya resesi ekonomi yang menimbulkan perubahan struktur pemasaran
atau sebab-sebab lain, sehingga pemegang hak merasa tidak akan memperoleh
keuntungan untuk melanjutkan usahanya dan memutuskan untuk tidak
mengolah tanahnya;
c. Pemegang hak sulit untuk mengusahakan tanahnya sesuai dengan sifat dan
tujuannya, karena adanya penggarapan liar;
d. Spekulasi tanah yang mengharapkan keuntungan secara tidak wajar. 26

Maka untuk mengantispasi agar tidak terjadi tanah-tanah terlantar karena kecil

kemungkinan tanah tersebut dapat dikerjakan sendiri oleh pemiliknya, maka UUPA

mengembangkan ketentuan bagi hasil yang telah diatur dengan UU No.2/1960.

Walaupun pada asasnya tanah absentee wajib dikerjakan sendiri, ternyata

inilah yang melemahkan isi pasal itu sendiri karena banyak petani zaman sekarang

adalah petani berdasi atau pejabat yang berspekulasi dan manipulasi tanah sehingga

terjadi petani yang tidak mampu mengerjakan pekerjaan bertani dan tinggal pula di

luar kecamatan tempat tanah tersebut. Dengan fakta realitas demikian sebenarnya

sudah boleh disebutkan bahwa pasal-pasal yang membela rakyat ini atas penguasaan

dan penggunaan tanah ini masih jauh dari harapan. 27

25
Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya,
(Medan: USU, 2005), hlm. 121.
26
Ibid, hlm. 119
27
M. Yamin, Op. Cit., hlm. 11.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Pada umumnya timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee

banyak terjadi di daerah pedesaan yang tanahnya masih belum terdaftar pada Kantor

Pertanahan. Meskipun sudah ada ketentuan bahwa setiap tanah harus dilaporkan atau

didaftarkan namun banyak pemilik tanah yang belum melaksanakan hal tersebut. Hal

ini dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu karena ketidaktahuan masyarakat atas

kepemilikan tanah tersebut dan atau adanya ketidakpatuhan tiap-tiap individu untuk

melaporkan kelebihan tanah yang dimilikinya.

Kantor pertanahan pun belum menjangkau semua desa-desa yang berada di

pelosok-pelosok daerah jadi apabila dilakukan jual beli atas sebidang tanah biasanya

hanya dilakukan melalui kepala desa. Otomatis kepemilikan atas tanah tersebut

hanya diketahui oleh aparat desa, pihak pembeli dan penjual. Hal-hal seperti inilah

yang bisa menjadi tanah latifundia dan absentee.

Yang banyak terjadi dalam praktek adalah adanya sebidang tanah pertanian

yang dimiliki oleh seseorang yang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi

karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar

kecamatan letak tanah tersebut. Hal ini dapat terjadi melalui dua cara, yaitu cara

pertama dengan memiliki KTP ganda yang memungkinkan orang menyelundupi

ketentuan tentang tanah absentee dan cara kedua yaitu melalui upaya pemindahan hak

yang terkenal dengan cara pemberian kuasa mutlak. 28

28
Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi.
(Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 21.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa yang

tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi

kewenangan untuk menguasai, menggunakan dan melakukan perbuatan hukum

pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa sehingga pada

hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas

merupakan penyelundupan hukum melanggar ketentuan peraturan perundang-

undangan. Memiliki KTP ganda tidak mudah untuk diketahui karena secara yuridis

kalau tanah sudah bersertipikat maka sertipikat atas nama pemilik semula dan surat

kuasa hanya diketahui oleh kedua belah pihak saja.

Fenomena yang terjadi sekarang ini, walaupun program landreform telah

dilaksanakan sejak tahun 1960 ternyata prinsip tanah pertanian untuk petani dan

pemiliknya wajib mengusahakan sendiri tanah pertaniannya belum dapat di kerjakan

dengan baik. Tanah pertanian masih dijadikan sebagai objek spekulasi yang

mengakibatkan luas tanah pertanian semakin berkurang karena dialih fungsikan.

Selain itu untuk larangan kepemilikan tanah secara absentee tidak diatur dalam

peraturan tersendiri. Hanya dijadikan salah satu materi muatan dari peraturan

redistribusi tanah. Dan dalam peraturan tersebut tidak secara tegas disebut larangan

tetapi disebut sebagai kewajiban untuk mengalihkan atau kewajiban untuk pindah

lokasi tanah. Untuk itu, aspirasi dalam menegakkan supremasi hukum sudah

dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Dalam hal inilah program

landreform terhadap larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee perlu

direvitalisasi kembali dan dikaji ulang.


Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
B. Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang permasalahan tersebut di atas,

maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana latar belakang timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia dan

absentee (guntai)?

2. Apakah pelaksanaan peraturan larangan kepemilikan tanah latifundia dan

absentee (guntai) masih efektif dioperasionalkan dalam pelaksanaan

restrukturisasi pemilikan tanah pertanian di Kabupaten Deli Serdang?

3. Bagaimana peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang terhadap

pelaksanaan larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee

(guntai) tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang

hendak dicapai adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang timbulnya kepemilikan tanah secara

latifundia dan absentee (guntai);

2. Untuk mengetahui pelaksanaan peraturan larangan kepemilikan tanah secara

latifundia dan absentee dalam pelaksanaan restrukturisasi pemilikan tanah

pertanian di Kabupaten Deli Serdang..

3. Untuk mengetahui peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang

terhadap pelaksanaan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee

(guntai) tersebut.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis

maupun secara praktis, yaitu:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi perkembangan hukum pertanahan khususnya mengenai larangan

kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee (guntai).

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi

para praktisi maupun bagi para pihak mengenai larangan kepemilikan tanah

secara latifundia dan absentee (guntai).

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas

Sumatera Utara, khususnya pada sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Eksistensi Larangan Kepemilikan

Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai)”: Studi Pada Kantor

Pertanahan Kabupaten Deli Serdang belum ada yang membahasnya sehingga tesis

ini dapat dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,

teori, tesis, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan

perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan. 29 Dalam

setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis oleh karena

adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan,

pengolahan, analisa dan konstruksi data. 30 Rianto Adi menyatakan: “Kerangka teori

merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran yang sistematis mengenai

masalah yang akan diteliti. Teori itu masih bersifat sementara yang akan dibuktikan

kebenarannya dengan cara meneliti dalam realitas. 31

Secara teoritis penguasaan tanah secara latifundia dan absentee akan

membawa akibat negatif kepada produktivitas tanah pertanian. Karena pemilik tanah

yang bersangkutan tidak dapat mengusahakan sendiri tanah pertaniannya. Selain itu

juga memberikan kemungkinan bagi orang-orang kaya (uang dan pengetahuan) untuk

menguasai tanah pertanian yang sangat luas dan menjadikannya sarana eksploitasi

terhadap masyarakat petani yang dianggap miskin dan bodoh. Kelanjutannya pun

sudah pasti yakni terhimpunnya tanah pertanian dalam kekuasaan tuan-tuan tanah

(landlord). Hal inilah yang dapat menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial

dibidang penguasaan tanah pertanian.

Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan segala

kekayaan yang terkandung didalamnya adalah dikuasai oleh negara dan diusahakan

sebesar-besarnya guna meningkatkan kemakmuran masyarakat banyak. Artinya

penguasaan tanah pertanian oleh kalangan tertentu saja, apalagi bukan oleh petani

29
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm.122.
31
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hlm. 29.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tidak diperbolehkan. Jadi secara konstitusional penguasaan tanah pertanian wajib

diatur oleh pemerintahan negara agar tercipta keadilan sosial.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa untuk dapat terlaksananya suatu

peraturan perundang-undangan secara efektif, dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu

sebagai berikut : 32

a. Faktor hukumnya sendiri;


b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk hukum
menegakkan hukum;
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak hukum;
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan;
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.

Abdurahman senada dengan Soerjono Soekanto yang mengemukakan bahwa

ada beberapa faktor yang mempengaruhi keefektifan berlakunya undang-undang atau

peraturan, yaitu: 33

a. Faktor peraturan hukumnya sendiri baik yang menyangkut sistem peraturannya


dalam arti sinkronisasi antara peraturan yang satu dengan yang lainnya,
peraturan yang mendukung pelaksanaan peraturan yang bersangkutan dan
substansi atau isi dari peraturan tersebut.
b. Faktor pelaksana dan penegak hukum yang diserahi tugas untuk melaksanakan
peraturan tersebut.
c. Faktor sarana dan prasarana yang mencakup berbagai fasilitas yang diperlukan
untuk mendukung pelaksanaan peraturan tersebut.
d. Faktor masyarakat dan budaya setempat banyak mempengaruhi pelaksanaan
undang-undang atau peraturan yang bersangkutan.

32
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 15.
33
Abdurahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan. (Jakarta: Akademika Pressindo,
1985), hlm. 3.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Faktor-faktor tersebut di atas saling berkaitan erat satu sama lain, sebab merupakan

esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur dari efektifitas berlakunya

undang-undang atau peraturan.

Keempat faktor tersebut dapat dikaji berdasarkan teori sistem hukum dari

Lawrence Meir Friedman yang menyatakan: untuk menilai bekerjanya hukum sebagai

suatu proses ada 3 komponen yang harus diperhatikan, yaitu : (a) Legal structure

(struktur hukum); (b) Legal subtance (substansi hukum); dan (c) Legal culture

(budaya hukum). 34

Struktur hukum merupakan kerangka atau rangkanya hukum mencakup

pranata-pranata penegakan hukum, prosedur-prosedur hukum, jurisdiksi pengadilan

dan orang-orang yang terlibat didalamnya (aparat hukum). Struktur hukum adalah

pola yang memperlihatkan bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-

ketentuan formalnya oleh institusi-institusi hukum atau aparat penegak hukum.

Unsur substansi hukum adalah aturan, norma dan perilaku nyata manusia yang berada

di dalam sistem itu. Substansi ini merupakan keadaan faktual yang dihasilkan oleh

sistem hukum. Dan unsur kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan

sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan dihindari atau disalahgunakan.

Komponen ini terdiri dari nilai-nilai dan sikap warga masyarakat yang merupakan

pengikat sistem hukum serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah-tengah

kultur bangsa sebagai keseluruhan. Friedman mengemukakan cara lain untuk

34
Lawrence M. Friedman seperti yang dikutip dalam buku Ediwarman, Perlindungan Hukum
Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan.(Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 76.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan

struktur hukum sebagai mesin, substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau

dikerjakan oleh mesin itu, dan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang

memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. 35

Dari ketiga komponen-komponen dalam sistem yang saling mempengaruhi

satu sama lainnya tersebut, maka dapat dikaji bagaimana bekerjanya hukum dalam

praktek sehari-hari. Hukum merupakan budaya masyarakat oleh karena itu tidak

mungkin mengkaji hukum secara satu atau dua sistem hukum saja tanpa

memperhatikan kekuatan-kekuatan sistem yang ada dalam masyarakat.

Suatu Peraturan Pemerintah haruslah dijalankan oleh organ atau struktur yang

benar, akan tetapi itu semua akan berjalan dengan efektif apabila didukung oleh

budaya hukumnya. Dengan demikian teori sistem hukum ini menganalisa masalah-

masalah terhadap penerapan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.

Ketiga komponen-komponen inilah yang harus dapat dilaksanakan di dalam

eksistensi larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee. Sehingga dapat

diketahui bahwa timbulnya larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan

absentee (guntai) secara filosofis merupakan suatu perlindungan hukum terhadap

kepentingan para petani yang relatif lemah jika berhadapan dengan para pemilik

modal yang melihat tanah sebagai faktor produksi semata. Perlindungan ini

35
Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. (Jakarta: Republika,
2008), hlm. 80.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
diimplementasikan dalam UUPA dan dijadikan salah satu asas dalam rangka

mengadakan strukturisasi pemilikan tanah pertanian.

Sebagai patokan untuk melakukan perombakan pemilikan tanah telah

dikeluarkan UU Landreform yang menetapkan luas maksimum tanah pertanian yang

bisa dimiliki seseorang. Patokan ini juga berlaku sebagai parameter untuk

menentukan luas tanah pertanian yang dapat dimiliki secara absentee. Untuk

mengendalikan restrukturisasi pemilikan tanah pertanian kepada orang yang memiliki

kelebihan tanah pertanian dilarang mengalihkannya secara langsung kepada pihak

lain dengan ancaman pidana 36.

Berkenaan dengan hal tersebut di atas, Pemerintah telah mengeluarkan

peraturan yang berhubungan dengan larangan pemilikan tanah secara latifundia dan

absentee (guntai), yaitu :

1. Undang-undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah

Pertanian;

2. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan

Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi yang juga dikenal dengan

Peraturan Redistribusi (selanjutnya disebut dengan Undang-undang

Redistribusi);

36
Undang-undang Nomor 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Pasal 10 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Pasal 19.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan

Tambahan PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah

dan Pemberian Ganti Kerugian;

4. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah

Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiun Pegawai Negeri.

Walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 membahas tentang

Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian namun salah satu

materi muatan yang diatur adalah larangan kepemilikan tanah secara absentee.

Mengenai tanah absentee dikatakan bahwa “pemilik tanah pertanian yang bertempat

tinggal diluar kecamatan tempat letaknya tanah wajib mengalihkan tanahnya kepada

pihak lain, atau pemilik tanah pindah ke tempat dimana tanah berada.”

Dalam larangan pemilikan tanah secara absentee, masih dimungkinkan

adanya dua macam pengecualian, yaitu: 37

1. Pemilikan tanah secara absentee masih diperbolehkan apabila tanah pertanian dan
pemiliknya berada dalam kecamatan yang berbatasan karena hal itu masih
memungkinkan pemiliknya mengerjakan tanahnya secara aktif;
2. Kalangan tertentu masih diperbolehkan memiliki tanah secara absentee karena
mereka berada di tempat lain untuk melaksanakan kewajiban negara dan agama.

Dalam peraturan pelaksanaannya, daerah yang menjadi ukuran pemilikan secara

absentee adalah wilayah kecamatan 38.

37
Ibid
38
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian, Pasal 3.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
2. Konsepsi

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian

yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. 39 Konsepsi diterjemahkan

sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit.

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian

atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 40

Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbedaan tentang konsep yang

dipakai dalam penelitian ini, maka diperlukan penjelasan mengenai pengertian

konsep yang dipakai tersebut sebagaimana dikemukakan sebagai berikut:

a. Eksistensi adalah adanya, keberadaan. 41

b. Efektif adalah ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya, kesannya); mulai berlaku

(tentang undang-undang atau peraturan); dapat membawa hasil atau berhasil

guna. 42

c. Kepemilikan adalah proses, perbuatan, cara memiliki . 43

d. Landreform adalah perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah

serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan

39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 7.
40
Tan Kamelo, ”Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara”, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hlm. 35.
41
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm.253.
42
Ibid, hlm. 250.
43
Ibid, hlm. 655.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tanah agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara khususnya taraf

hidup petani. 44

e. Larangan latifundia adalah larangan penguasaan tanah yang luas sekali

sehingga ada batas maksimum seseorang boleh mempunyai tanah terutama

tanah pertanian (ceiling atas kepemilikan tanah). 45

f. Ceiling adalah batas maksimun dan minimum pemilikan tanah pertanian yang

boleh dimiliki sehingga setiap kelebihan harus diserahkan kepada Pemerintah

untuk dibagikan kepada petani tanpa tanah atau petani gurem.

g. Tanah absentee adalah tanah pertanian dimana pemiliknya berdomisili di luar

kecamatan letak tanahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 (satu)

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961. 46

h. Tanah garapan adalah sebidang tanah yang sudah ada atau belum dilekati

dengan sesuatu hak yang dikerjakan atau dimanfaatkan oleh pihak lain baik

dengan persetujuan yang berhak dengan atau tanpa jangka waktu tertentu. 47

i. Redistribusi adalah pembagian tanah yang melebihi batas maksimum, tanah

yang dikuasai secara absentee, tanah swapraja, atau bekas swapraja dan tanah

negara lainnya kepada para petani yang belum mempunyai tanah pertanian

yang diambil oleh Pemerintah.

44
Boedi Harsono, Op.Cit, hlm 350
45
A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria., (Bandung: Mandar
Maju, 1998), hlm. 72.
46
Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003.
47
Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme
Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah Dibidang PertanahanYang Dilaksanakan Oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
j. Petani adalah orang, yang mata pencaharian pokoknya adalah bertani, baik

yang mempunyai maupun tidak mempunyai sawah/ tanah sendiri. 48

k. Penggarap adalah petani yang secara sah mengerjakan atau mengusahakan

sendiri secara aktif tanah yang bukan miliknya dengan memikul seluruh atau

sebagian dari resiko produksinya. 49

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif analitis,

maksudnya penelitian ini merupakan penelitian yang menggambarkan, menelaah,

menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek

pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan, 50 dalam hal ini pelaksanaan larangan

kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee (guntai) di Kabupaten Deli

Serdang.

Dalam melakukan penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif

dan empiris, 51 dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan

mengkaji berbagai aspek hukum baik dari segi ketentuan-ketentuan peraturan-

peraturan yang berlaku mengenai larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan

absentee serta meneliti atau menelaahnya dari segi pelaksanaannya.

48
Hermat Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah
Pemda, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. 185
49
Ibid, hlm. 186.
50
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum., Op. Cit., hlm. 63.
51
Ibid, hlm. 44.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa:

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari nara sumber, yaitu

Pejabat Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang;

b. Data sekunder, yang terdiri dari:

1) Bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan penelitian ini, yaitu:

a. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria;

b. Undang-undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas

Maksimum Tanah Pertanian;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan

Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian;

d. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan

Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961;

e. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah

Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Pensiunan Pegawai Negeri.

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer berupa hasil-hasil penelitian, hasil-hasil

penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah. pendapat para

pakar hukum yang berkaitan dengan permasalahan;

3) Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberi petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
kamus hukum, kamus Indonesia, majalah, surat kabar, jurnal ilmiah,

internet, dan sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan:

1) Studi kepustakaan (library research), yaitu menghimpun data dengan

melakukan penelahaan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier;

2) Studi lapangan (field research), yaitu dilakukan untuk menghimpun data

primer dengan cara wawancara, dilakukan secara langsung kepada

narasumber dengan mempergunakan daftar pertanyaan sebagai pedoman

wawancara dan dilakukan secara bebas dan terarah agar mendapatkan

informasi yang lebih fokus dengan masalah yang diteliti.

4. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan

cara:

1) Studi dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder, dengan

membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data

sekunder yang berkaitan dengan penelitian;

2) Wawancara yang dilakukan secara langsung dengan menggunakan pedoman

wawancara, berupa wawancara terarah dan sistematis yang ditujukan kepada

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
narasumber, 52 yang terlebih dahulu dibuat daftar pertanyaan. Penelitian

dilakukan di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang. Wawancara

dilakukan kepada 2 (dua) orang nara sumber, yaitu:

a. Kepala Seksi Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah;

b. Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan.

5. Analisis Data

Analisis data terhadap data primer dan data sekunder dilakukan setelah

diadakan terlebih dahulu pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan, dan dievaluasi

sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis secara kualitatif dan kemudian diolah

dengan penggunaan metode deduktif dan terakhir dilakukan pembahasan untuk

menjawab permasalahan yang ada.

52
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 21.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB II

LANDREFORM DAN KEPEMILIKAN TANAH


SECARA LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI)

A. Landreform

1. Pengertian Landreform

Dalam kehidupan masyarakat Indonesia tanah mempunyai arti dan kedudukan

yang amat penting di mana setiap kegiatan pembangunan selalu memerlukan tanah.

Berbagai upaya telah ditempuh selama ini untuk mengendalikan penggunaan,

penguasaan, pemilikan serta pengalihan hak atas tanah untuk menunjang berbagai

kegiatan pembangunan dan memberikan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat

Indonesia.

Dengan lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1960 mengenai Undang-undang Pokok

Agraria sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 53, maka terciptalah

unifikasi dalam bidang hukum agraria di Indonesia dan menghapuskan dualisme

hukum pada masa kolonial dimana peraturan yang berlaku didasarkan pada hukum

adat dan hukum barat. UUPA selain merupakan politik hukum pertanahan yang baru

bagi bangsa Indonesia juga merupakan suatu titik tolak perombakan struktur
54
pertanahan yang disebut landreform di Indonesia.

Upaya pengaturan landreform telah dimulai pada tahun 1948 yang ditandai

dengan terbentuknya beberapa panitia, yaitu :

53
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
54
Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya dengan Landreform di
Indonesia., (Bandung,: Mandar Maju, 1990), hlm. 28.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
1. Panitia Agraria Yogyakarta yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo.

Oleh panitia ini diusulkan beberapa asas yang merupakan dasar hukum agraria

yang baru yaitu perlu diadakan penetapan luas minimum dan maksimum tanah

diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut

sekalipun sederhana. Untuk itu diusulkan minimum 2 hektar dan maksimum 10

hektar untuk petani yang berada di Pulau Jawa. Buat daerah-daerah luar Jawa

dipandang perlu untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut serta perlu diadakan

registrasi (pendaftaran) tanah.

2. Panitia Agraria Jakarta yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo.

Beberapa hal penting dari hasil panitia ini adalah mengadakan batas minimum

dan maksimum tanah pertanian. Oleh panitia ini ditentukan minimum 2 hektar

dan maksimum 25 hektar untuk setiap keluarga.

3. Panitia Soewahjo yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo.

Adapun pokok-pokok pikiran yang penting dalam rancangan UUPA yang

diusulkan antara lain adalah perlunya diadakan penetapan batas maksimum dan

minimum luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum dan

tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan secara sendiri oleh

pemiliknya.

4. Rancangan Soenarjo.

Hasil panitia Soenarjo ini pada dasarnya tidak berbeda dengan panitia Soewahjo

dan pada masa Menteri Soenarjo inilah Rancangan Undang-undang Agraria pada

tanggal 1 April 1958 resmi diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
panitia ini asas-asas landreform merupakan suatu hal yang penting diatur dalam

hukum agraria yang baru.

5. Rancangan Sadjarwo.

Sebagaimana diketahui bahwa rancangan Sadjarwo ini kemudian disahkan

sebagai UUPA yang jika dipelajari banyak memuat asas-asas landreform bahkan

ada sebagian ahli hukum menyatakan sebagai Undang Undang Landreform. 55

Dari uraian di atas, jelas bahwa program landreform tersebut penting bagi

bangsa yang corak perekonomiannya bersifat agraris seperti Indonesia. Oleh sebab itu

jika konsisten dengan konsep landreform dan dalam hubungannya dengan UUPA

maka UUPA selain merupakan politik hukum pertanahan yang baru bagi bangsa

Indonesia juga merupakan suatu titik tolak perombakan struktur pertanahan baik

menyangkut penguasaan ataupun pemilikan tanah serta dalam kerangka memperbaiki

hubungan hukum mengenai penguasaan tanah yang disebut landreform di

Indonesia. 56

UUPA merupakan induk dari landreform Indonesia, hal mana terbukti dari

ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konsiderans hingga Pasal 19 UUPA. 57 Hal

ini berarti bahwa berbagai undang-undang atau peraturan lain yang berkaitan dengan

pelaksanaan landreform tidak boleh keluar dari sitematika yang telah dikembangkan

oleh UUPA. 58

55
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 125-130.
56
Hustiati, Op.Cit., hlm. 28
57
A.P Parlindungan, Op. Cit., hlm. 7.
58
Hustiati, Op.Cit., hlm. 28.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Dalam kepustakaan agraria sering dijumpai istilah agrarian reform dan

landreform. Agrarian reform (pembaharuan agraria) atau adakalanya disebut reforma

agraria (istilah resmi sebagaimana tercantum dalam TAP MPR Nomor IX Tahun

2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam), Pasal 2

menyebutkan bahwa:

Pembaharuan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan


dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
sumber daya agrarian dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia.

Dalam pasal 2 tersebut, ada empat poin penting yang dinyatakan secara tegas

yaitu penguasaan, pemilikan, pengunaan, dan pemanfaatan. “Penguasaan dan

Pemilikan” adalah bagaimana hubungan hukum antara seseorang (badan) dengan

sebidang tanah. Sedangkan “penggunaan dan pemanfaatan” berkenaan dengan

bagaimana sebidang tanah dimanfaatkan, apakah akan ditanami padi, singkong, karet

ataukah dibangun rumah atau mungkin dibiarkan saja menjadi hutan. Dengan

demikian pembaruan agraria dapat dipilah dalam dua sisi yaitu (1) sisi penguasaan

dan pemilikan yang biasa disebut dengan landreform dalam arti sempit, yaitu

penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah; (2) sisi penggunaan dan

pemanfaatan, yang biasa disebut dengan non-landreform, yaitu bagaimana

menciptakan nilai ekonomi dari sebidang tanah yaitu dengan mengolahnya,

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
mengintroduksikan teknologi baru, menyediakan infra struktur, memberi bantuan

kredit, dukungan penyuluhan pertanian dan lain-lain. 59

Yang perlu dipahami sebelum sampai kepada apa yang dimaksud dengan

agrarian reform dan landreform adalah tentang batasan “agraria”. Dalam Pasal 1 ayat

(2) dan Pasal 2 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan agraria adalah “Seluruh bumi,

air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya....”

Pengertian ini sejalan dengan yang tercantum pada TAP MPR Nomor IX Tahun 2001

pada bagian “Menimbang” butir (a) yaitu: “Bahwa sumber daya agraria/sumber daya

alam meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya”. Meskipun tanah hanyalah salah satu objek agraria namun tanah

merupakan objek pokok yang dicakup dalam pengertian agraria. Selanjutnya dalam

UU Nomor 5 Tahun 1960 pada bagian “Berpendapat” butir (d) disebutkan:

“ ... mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin

penggunaannya hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.......”. Begitu besarnya esensi

permasalahan “tanah” juga ditemui dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 Pasal 6

butir (b) yaitu “Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan

59
Makalah “Permasalahan Konseptual dan Implementasi Dalam Pembaruan Agraria di
Indonesia” oleh Sahyuti, Peneliti pada Pusat Penelitian Pengembangan Sosek Pertanian, Bogor. Di
akses terakhir tanggal 13 April 2009.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan

kepemilikan tanah untuk rakyat...”.60

Pentingnya posisi “tanah” dalam pengertian agraria tersebut secara tidak

langsung memberi makna bahwa kegiatan pertanian merupakan bentuk aktifitas

masyarakat yang paling erat kaitannya dengan apa yang dibicarakan dalam agraria,

termasuk ketika membicarakan reforma agraria. Hal ini karena pertanian merupakan

sektor yang paling banyak bersentuhan dengan pengolahan tanah. Secara faktual

terlihat bahwa landreform merupakan langkah yang tak terpisahkan dalam

pembangunan pertanian.

A.P Parlindungan menyatakan, “kalaulah mau konsekuen dengan bunyi

ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA seharusnya digunakan istilah agrarian reform,
61
dimana di dalamnya terdapat landreform, water reform, dan air reform.”

Dengan demikian yang diadakan perombakan tidak hanya hubungan manusia dengan

tanah saja tetapi juga penataan dengan air dan ruang angkasa. Karena itu jika melihat

ruang lingkup Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA lebih tepat digunakan istilah agrarian

reform. 62

Agrarian Reform meliputi 5 program (Panca Program) yaitu :

1. Perombakan hukum agraria melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional


dan pemberian jaminan kepastian hukum;
2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;

60
Makalah ”Land Reform di Indonesia” oleh ALSA KLI UGM, Di akses terakhir tanggal 13
April 2009.
61
A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung, Mandar
Maju, 1998), hlm. 79.
62
Boedy Harsono, Op.Cit., hlm 3-4.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
4. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-
hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam
mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.
5. Perencanaan, persediaan, dan penggunaan bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya serta penggunaannya secara terencana sesuai dengan daya
dan kesanggupan serta kemampuannya. 63

Program yang keempat lazim disebut program landreform. Bahkan

keseluruhan program agrarian reform tersebut seringkali disebut program

landreform. Maka dikenal sebutan “landreform dalam arti luas dan landreform dalam

arti sempit”. 64 Berkaitan dengan hal tersebut, Boedy Harsono secara tegas

membedakan antara landreform dalam arti sempit dan landreform dalam arti luas.

Landreform dalam arti sempit merupakan serangkaian tindakan dalam rangka

agrarian reform Indonesia yang meliputi perombakan mengenai pemilikan dan

penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan

penguasaan tanah. Sedangkan landreform dalam arti luas disebut sebagai agrarian
65
reform”

Secara harafiah perkataan landreform berasal dari kata-kata dalam bahasa

Inggris yang terdiri dari kata “land” dan “reform”. Land artinya tanah dan reform

artinya perubahan atau perombakan. Jadi landreform berarti perombakan terhadap

struktur pertanahan akan tetapi yang dimaksud bukan hanya perombakan terhadap

struktur penguasaan pertanahan saja melainkan perombakan terhadap hubungan

manusia dengan tanah, hubungan manusia dengan manusia berkenaan dengan tanah

63
Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria , (Jogjakarta: Liberty, 1997), hlm. 66.
64
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 3-4.
65
Boedi Harsono, Ibid
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
guna meningkatkan penghasilan petani. 66 Para ahli pun memiliki pandangan yang

berbeda-beda mengenai konsep landreform.

Lipton dalam salah satu tulisannya mendefinisikan konsep landreform sebagai

berikut:

Pengambilalihan luas tanah secara paksa yang biasanya dilakukan oleh negara
dari pemilik-pemilik tanah yang dengan ganti rugi sebagian. Dan penguasaan
tanah sedemikian rupa sehingga manfaat dari hubungan antara manusia dengan
tanah dapat tersebar lebih merata daripada sebelum pengambilalihan. 67

Dalam definisi tersebut landreform mengandung dua makna yaitu pada satu

sisi negara dapat mengambil tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan kemudian

membagi-bagikan tanah tersebut kepada perorangan dan keluarga dalam unit yang

kecil dan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Pada sisi yang lain tanah-

tanah yang telah diambil alih tersebut diusahakan bersama secara kolektif dalam

bentuk usaha bersama seperti koperasi atau usaha tani lainnya.

Dari segi lain, pengertian landreform adalah mengubah dan menyusun

kembali tatanan dan prosedur-prosedur yang berlaku sebagai usaha untuk membuat

sistem penguasaan tanah itu lebih konsisten dengan persyaratan-persyaratan secara

keseluruhan dari pembangunan ekonomi. 68 Pandangan seperti ini bertitik tolak dari

suatu pemikiran bahwa tatanan yang berlaku dalam sistem penguasaan tanah pada

66
Hustiati, Op.Cit., hlm. 32.
67
Michael Lipton, Towards A Theory Of Landreform, dalam David Lehmann,ed, Agrarian
Reform and Agrarian Reformism, London, Feber and Faber, 1974, P. 269-281, sebagaimana dikutip
oleh Soediono MP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah di Jawa dan
Madura dari Masa ke Masa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), hlm. 314-315.
68
Peter Doner, Land Reform and Economic Development, Penguin Books Australia, Ltd.
1972, hlm. 17-17, sebagaimana dikutip oleh Gunawan Wiradi dalam Soediono MP. Tjondronegoro dan
Gunawan Wiradi, Ibid
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
suatu kondisi tertentu ditinjau dari perspektif pembangunan ekonomi sudah tidak

memadai lagi. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan (reformasi). Pandangan ini

melihat landreform berorientasi pada aspek ekonomi. 69

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengartikan landreform dan agrarian

reform sebagai berikut:

Landreform refers to integral reform of the tenure, production and supporting


services structure to eliminate obstacles to economic and social development a
rising out defects in the agrarian structure by redistribution of wealth,
opportunity and power, as menifest in the ownership and control of land, water
and other resources. 70

Sedangkan agrarian reform diartikan sebagai berikut:

Agrarian reform is mean to cover all aspects institutional development including


land reform. Tenure production and supporting services structure and relate
institutions, such as local government, public administration in rural areas, rural
education and rural social welfare intitution and so forth.71

Dari uraian tersebut di atas, PBB membedakan pengertian antara landreform

dan agrarian reform. Landreform dimaksudkan untuk menghilangkan penghalang-

penghalang terhadap perkembangan pembangunan ekonomi sosial dengan jalan

redistribusi di bidang kekayaan kesempatan dan kekuasaan sebagai manifestasi dari

pemilikan dan pengawasan terhadap tanah, air dan sumber daya lainnya. Sedangkan

agrarian reform dimaksudkan untuk mengatasi semua aspek yang berkaitan dengan

pembangunan termasuk landreform. Penghasilan produksi dan pelayanan termasuk

69
Pendastaren Tarigan, Arah Negara Hukum Demokratis Memperkuat Posisi Pemerintah
Dengan Delegasi Pengaturan dan Pengawasan Tindakan Pemerintah Dalam Bidang Pertanahan,
(Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 287.
70
Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Land Reform Di Indonesia Dan Permasalahannya,
(Medan: USU, 2005), hlm. 40.
71
Ibid
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
hubungan lembaganya. 72 Pendapat berikutnya dikemukakan oleh Gunawan Wiradi

yang menyatakan bahwa landreform mengacu kepada “penataan kembali susunan

penguasaan tanah demi kepentingan petani kecil, penyakap (tenants), buruh tani tak

bertanah”. 73

Istilah landreform dan agraria reform selalu dipergunakan secara bergantian

dalam diskusi-diskusi yang menyangkut perbaikan-perbaikan dan perubahan-

perubahan dalam kebijakan pemerintah mengenai tanah pertanian. Sehubungan

dengan hal tersebut Gunawan Wiradi menyatakan bahwa, “Di dalam suatu

masyarakat non-industri, tanah mencerminkan bentuk dasar dari kemakmuran dan

sumber dasar dari perekonomian dan politik.” Disisi lain sistem penguasaan tanah

mencerminkan pula hubungan-hubungan dan susunan-susunan pengelompokan

sosial. Kenyataan ini dan keadaan politik ekonomi dan sosial budaya pada umumnya

dari suatu negara serta kemauan politik pemerintahnya menentukan pula corak reform

yang dilakukan. Artinya program agraria dapat dilancarkan dengan titik berat yang

berbeda-beda. Ada yang titik beratnya pada pembangunan ekonomi (dalam hal ini

soal redistribusi tanah tidak begitu difokuskan) dan ada yang menitik beratkan pada

perombakan struktur sosial dan asas pemerataan, maka soal redistribusi tanah

merupakan sasaran utama. 74

72
Ibid
73
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Dalam Perspektif Transisi Agraris, “Makalah”,
Bandung, 1998, hlm. 14-15.
74
Gunawan Wiradi, Pola Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria, Dalam Dua Abad
Penguasaan Tanah di Jawa Dan Madura Dari Masa Ke Masa, Soediono MP Tjondronegoro dan
Gunawan Wiradi, (Jakarta: PT. Gramedia, 1984), hlm. 314.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Selain itu landreform juga diartikan sebagai perubahan dasar (perombakan)

struktur pertanahan yang berarti bukan sekedar tambal sulam, landreform meliputi

program untuk melakukan tindakan-tindakan yang saling berhubungan satu sama lain

yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang-penghalang dibidang sosial

ekonomi yang timbul dari kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam struktur

pertanahan. 75

Pandangan yang berbeda itulah yang membedakan kedua istilah tersebut di

atas dipakai secara terpisah. Istilah landreform dipakai dalam rangka redistribusi

tanah sedangkan agraria reform digunakan untuk tujuan yang lebih komprehensif

sebab tidak hanya menyangkut masalah redistribusi saja tetapi juga menyangkut

tindak lanjut dari redistribusi tersebut. 76 Kegiatan redistribusi tidak terhenti hanya

sampai tanah dibagikan. Jika hanya sampai di tanah dibagikan para petani penerima

tanah cenderung menjual tanah yang telah diterima masing-masing. Oleh karena itu

dibutuhkan tindak lanjut berupa landreform by leverage yang menyempatkan petani

memperoleh bantuan seperti kredit bersyarat ringan, pemasaran, pelatihan,

pembibitan, manajemen, dan teknologi. 77 Para petani kecil harus mempunyai akses

terhadap kredit dengan bunga rendah dan mudah dijangkau, penyediaan infrastruktur

pendukung, memiliki akses pasar dan memperoleh harga yang adil, serta mendapat

75
Chadidjah Dalimunthe, Op. Cit., hlm, 39
76
Pendastaren, Op.Cit., hlm. 288-289.
77
Disampaikan oleh Kepala BPN, Luthfi I Nasoetion pada acara
penyerahan 500 sertifikat tanah pola ajudikasi secara swadaya untuk petani di Kota Gajah, Lampung
Tengah, tanggal 27 Juni 2003, diakses dari http://www.mediaindo.co.id tanggal 6 Agustus 2009.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dukungan teknis untuk mengembangkan sistem produksi pertanian-pangan yang

berkelanjutan.

Landreform by leverage atau pembaharuan agraria yang didasarkan pada

kekuataan rakyat merupakan jawaban terhadap ketidakadilan agraria yang dibangun

dalam kerangka pembangunan nasional yang selama ini memarjinalkan dan

mencerabut hak-hak rakyat atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Penguatan

organisasi rakyat merupakan prioritas utama dalam perjuangan pembaharuan agraria

di Indonesia. Agar Pembaharuan Agraria dapat berjalan dengan baik maka harus ada

inisistif bersama antara masyarakat dengan pemerintah.

Program landreform atau lebih populer dengan redistribusi tanah pertanian

negara secara singkat dapat didefinisikan 78 sebagai kebijakan dan kegiatan

pemerintah meredistribusikan tanah-tanah pertanian negara kepada para petani

berlahan sempit (petani gurem) dan terutama petani penggarap yang tidak memiliki
79
tanah.

Selanjutnya A.P Parlindungan berpendapat bahwa landreform di Indonesia

bukan sekedar membagi-bagikan ataupun bersifat politis akan tetapi adalah suatu

78
Landreform secara universal/internasional dipahami sebagai bagian dari agrarian reform
dan bukan kegiatan parsial apalagi bersifat proyek “bagi-bagi tanah”, melainkan menuju ke arah
perombakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menghilangkan hambatan-
hambatan yang mengganjal para petani menuju kesejahteraan sosial dan ekonominya. (Herman
Hermit, Program Landreform dan Relevansinya dalam Pembangunan di Indonesia”, (Jatinangor:
Fakultas Teknik UNWIM, 2001), hlm. 13.
79
Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah
Pemda, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. 183.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
usaha untuk reformasi hubungan antara manusia dengan tanah yang lebih manusiawi.

Di dunia internasional landreform itu mempunyai makna sebagai : 80

a. Perubahan hubungan antara manusia dengan tanah;


b. Perubahan dan perlindungan petani penggarap dari tuan-tuan tanah atau
penghapusan pertuanan tanah;
c. Larangan pemilikan tanah yang luas disebut juga dengan larangan latifundia;
d. Larangan absentee atau guntai;
e. Penerapan suatu ceiling bagi pemilikan tanah.

Pengertian lain landreform adalah menata kembali sistem pertanahan baik

peruntukkan, persediaan, penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah serta peralihan

haknya. 81 Dalam pengertian tersebut penataan mengenai peruntukkan adalah apakah

telah sesuai dengan peruntukkannya, misalnya tanah tersebut digunakan untuk

pertanian. Mengenai persediaan yaitu apakah juga dibenarkan tanah-tanah tersebut

disediakan terlebih dahulu sebelum adanya pembangunan. Hal ini jika mengacu pada

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1998 tentang Tanah Terlantar tentu

bertentangan. Demikian juga tentang penggunaan tanah banyak tanah yang

dipergunakan tidak sesuai lagi dengan pengunaan tanah tersebut seperti tanah

pertanian dipergunakan untuk pemukiman. Penataan tentang kepemilikan juga apakah

hanya warga negara Indonesia saja yang boleh memiliki hak milik atas tanah,

bagaimana ketentuan badan hukum atau apakah warga negara asing boleh memiliki

hak milik atas tanah. Demikian juga halnya dengan masalah peralihan hak atas tanah

yang memerlukan alat yang mutakhir dari sistem pendaftaran tanah yang baik

sehingga tidak mungkin terjadi adanya peralihan hak atas tanah yang berdampak

80
A.P Parlindungan , Aneka Hukum Agraria, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 8.
81
Affan Mukti, Pokok-pokok Bahasan Hukum Agraria, (Medan, USU Press, 2006), hlm. 25.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
kepada sistem pendaftaran yang dapat menimbulkan atau adanya sertipikat asli tapi

palsu dan juga ada sertipikat tetapi tidak ada tanah/lahan. Hal-hal inilah yang perlu

ditata sehingga masyarakat yang akan berhubungan dengan kantor pertanahan dalam

hal ini seksi pendaftaran/pengukuran tanah dapat lebih cepat untuk mengetahui

perkembangan sistem pertanahan di Indonesia.

Inti dari agrarian reform adalah landreform dalam pengertian redistribusi

pemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil

jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan, perkreditan,

penyuluhan, pendidikan, pemasaran dan sebagainya. 82 Seperti yang diungkapkan oleh

Cohen, agrarian reform adalah sebagai upaya yang luas dari pemerintah yang

mencakup berbagai kebijakan pembangunan melalui redistribusi tanah berupa

peningkatan produksi, kredit kelembagaan, pajak pertanahan, kebijakan penyakapan

dan upah, pemindahan dan pembukaan tanah baru. 83

Jadi reforma agraria selain merupakan bagian dari program pembangunan

ekonomi juga bermakna sebagai suatu program politik untuk merubah struktur

kekuasaan dalam lapangan agraria. Dimana redistribusi tanah dan sumber-sumber

agraria lainnya yang telah dikuasai dalam skala besar atau melebihi batas maksimum

yang ditentukan dan pengembalian tanah-tanah dan sumber-sumber agraria lainya

82
Dokumen Kelompok Studi Pembaruan Agraria, “Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan
Agraria sebagai Komitmen Negara Menggerakkan Perubahan Menuju Indonesia yang Lebih Baik”
disampaikan kepada Badan Pekerja MPR RI pada tanggal 21 Mei 2001.
83
Suardi, Hukum Agraria, (Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005), hlm. 105.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
yang diambil dari penguasaan rakyat sebelumnya menjadi suatu program penting

dalam rangka merombak struktur penguasaan tanah.

Mengenai istilah landreform secara tegas tidak terdapat di dalam UUPA.

Akan tetapi bila UUPA dipelajari secara mendalam maka dijumpai asas-asas atau

prinsip-prinsip tentang landreform, hal ini dapat dipelajari baik dari pasal-pasalnya

maupun penjelasan dari UUPA itu sendiri.

Gouw Giok Siong 84 menyatakan bahwa di dalam UUPA terdapat prinsip-

prinsip landreform. Boedi Harsono menyatakan asas-asas dan ketentuan-ketentuan

pokok landreform itu dijumpai dalam UUPA 85. Sedangkan A.P Parlindungan

menyatakan bahwa UUPA tersebut sebagai induk landreform Indonesia. 86 Pandangan

yang demikian didasarkan pada kenyataan bahwa UUPA mengandung ketentuan

pokok mengenai landreform. Yang lebih tegas lagi Abdurrahman menyatakan bahwa

UUPA sebagai Undang Undang Landreform Indonesia. 87

Dari uraian di atas, meskipun dirumuskan dengan kalimat yang berbeda-beda

tetapi dapat disepakati bahwa pada dasarnya landreform dan/atau agrarian reform

adalah suatu penataan proses perubahan alokasi dan realokasi, distribusi dan

redistribusi pemilikan atau penguasaan sumber daya pertanahan terutama bagi petani

“gurem” atau petani kecil yang kurang memiliki lahan pertanian. 88

84
Gouw Giok Siong, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (Jakarta: 1960), hlm. 22.
85
Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 350
86
A.P Parlindungan, Landreform Indonesia, Suatu Studi Perbandingan, (Bandung: Alumni,
1991), hlm. 10.
87
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah Di
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 47.
88
Pendastaren Tarigan, Op. Cit. , hlm. 291
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Di Indonesia pelaksanaan landreform berlandaskan kepada Pancasila dan

UUD 1945 yang terwujud di dalam suatu rangkaian kegiatan dalam bidang

pertanahan yang bersifat menyeluruh, terarah, terpadu dan berkesinambungan di

dalam penataan, pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan peralihannya sehingga

dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi

rakyat secara adil dan merata.

2. Tujuan Landreform

Secara umum landreform mempunyai tujuan memperbaiki situasi di mana

banyak sekali petani di bawah suatu ikatan tertentu terhadap pemilik tanah, hal ini

disebabkan karena distribusi tanah yang tidak merata. Pada satu sisi terdapat orang

yang menguasai tanah yang sangat luas sementara pada sisi yang lain banyak orang

(petani) menguasai tanah yang sangat sempit bahkan tidak mempunyai tanah sama

sekali (tuna kisma), yang terakhir ini kehidupannya sangat tergantung kepada pemilik

tanah dan hidup sebagai penyakap.

Di Indonesia, tujuan land reform dapat dipahami dengan menelusuri latar

belakang terbentuknya UUPA serta beberapa pendapat yang akan diuraikan berikut

ini. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) salah satu lembaga yang ikut mengusulkan

tentang perombakan hak atas tanah dan penggunaan tanah menyatakan bahwa tujuan

landreform Indonesia adalah: Pertama, untuk menyelenggarakan masyarakat adil dan

makmur khususnya meningkatkan taraf hidup para petani. Kedua, adalah untuk

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
memperkuat dan memperluas pemilikan tanah bagi seluruh rakyat Indonesia terutama

kaum petani. 89

Selanjutnya Sadjarwo dalam kedudukannya sebagai Menteri Agraria pada

pidatonya yang mengantarkan Rencana Undang Undang Pokok Agraria dihadapan

sidang Pleno DPR-GR tanggal 12 September 1960 antara lain menyatakan bahwa:

“Perjuangan perombakan hukum agraria kolonial dan penyusunan hukum agraria

nasional terjalin erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan

diri dari cengkeraman, pengaruh, dan sisa-sisa penjajahan, khususnya perjuangan

rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan feodalisme 90 atas tanah

dan pemerasan kaum modal asing. 91 Itulah sebabnya maka landreform di Indonesia

tidak dapat dipisahkan dengan revolusi nasional Indonesia. Oleh karenanya

landreform Indonesia mempunyai tujuan:

1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani
yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil,
dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner 92 guna
merealisir keadilan sosial;
2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, agar tidak terjadi lagi tanah
sebagai objek spekulasi dan alat pemerasan;
3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga
negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan yang berfungsi sosial.
Suatu pengakuan dan perlindungan bagi privat bezit, yaitu hak milik sebagai
hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun temurun, tetapi berfungsi
sosial;
4. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan
penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan

89
Boedi Harsono, ibid, hlm. 350
90
Feodalisme adalah sistem sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh
kekuasaan yang besar ditangan tuan tanah.
91
Ibid, hlm. 351
92
Revolusioner adalah perubahan secara menyeluruh dan mendasar.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga.
Sebagai kepala keluarga (dalam hubungannya dengan tanah) dapat seorang
laki-laki atau seorang perempuan. Dengan demikian mengikis pula sistem
liberalisme 93 dan kapitalisme 94 atas tanah dan memberikan perlindungan
terhadap golongan yang ekonomis lemah;
5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya
pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan
bentuk gotong royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan
adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada
golongan petani. 95

Selanjutnya Presiden Soekarno pada pidatonya tanggal 17 Agustus 1960 yang

terkenal dengan “Pidato JAREK (Jalannya Revolusi Kita)” menyatakan bahwa

“Melaksanakan landreform berarti melaksanakan suatu bagian mutlak dari revolusi

Indonesia. Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung

tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang atau pun sama saja dengan omong

besar tanpa isi”. Kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa betapa pentingnya

landreform tersebut bagi Indonesia. Program landreform adalah program yang

sifatnya mendasar dalam rangka memperbaiki struktur penguasaan tanah di

Indonesia. Menyitir pernyataan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Soekarno

menyatakan:

“Defects in agrarian structure, and in particular system of land tenure, prevent a


rise in the standard of living of small farmers and agricultural labourers and
impede economic development” (Keburukan-keburukan dalam struktur
pertanahan, terutama sekali keburukan-keburukan dalam cara pengelolaannya,

93
Liberalisme adalah aliran ekonomi yang menghendaki kebebasan pribadi untuk berusaha
dan berniaga (pemerintah tidak boleh ikut campur).
94
Kapitalisme adalah sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya
(penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal-modal
perusahaan swasta dengan ciri persaingan di pasar bebas.
95
Boedi Harsono, Ibid., hlm. 351
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
menghalangi tingkat hidup si petani kecil dan buruh pertanian, dan menghambat
kemajuan ekonomi). 96

Boedi Harsono menyatakan bahwa penyelenggaraan landreform di Indonesia

mempunyai tujuan:

“Untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup para petani terutama petani
kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk
menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.” 97

A.P Parlindungan menyatakan bahwa tujuan landreform Indonesia haruslah

disesuaikan dengan UUPA itu sendiri, karena UUPA adalah sebagai induk dari

landreform. Oleh karena itu apa yang menjadi tujuan UUPA juga merupakan tujuan

landreform, yaitu:

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang

merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi

negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam kerangka masyarakat yang adil dan

makmur;

2. Meletakkan dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum;

3. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kepastian hukum mengenai hak-hak

atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Mengenai tujuan diadakannya program landreform di Indonesia dapat

diklasifikasikan menjadi 2 (dua) bagian yaitu:

96
Affan Mukti, Op.Cit., hlm. 29.
97
Boedy Harsono, Op.Cit., hlm. 352.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Secara umum:
Tujuan landreform adalah mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani
penggarap sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. 98

Secara khusus:
Dengan berlandaskan pada tujuan secara umum di atas maka landreform di Indonesia
diarahkan agar dapat mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus sebagaimana yang dinyatakan
oleh Hustiati, 99I Nyoman Budi Jaya 100 dan Chadidjah Dalimunthe, 101 yaitu:

1. Tujuan Sosial Ekonomis:


a) Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat, dengan memperkuat hak milik
serta memberi isi dan fungsi sosial pada hak milik;
b) Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna
mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat.
2. Tujuan Sosial Politis:
a) Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas;
b) Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat
tani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula.
3. Tujuan Mental Psikologis:
a) Meningkatkan kegairahaan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan
memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah;
b) Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.

Atas dasar itu maka sasaran yang akan dicapai adalah memberikan

pengayoman kepada para petani penggarap dalam usaha memberikan kepastian

hukum dan kepastian hak dengan cara memberikan hak milik atas tanah yang telah

digarapnya. Sebagai pengakuan adanya hak milik perseorangan atas tanah maka

kepada pemilik yang tanah-tanahnya diambil oleh pemerintah diberikan ganti

kerugian menurut ketentuan yang berlaku.

98
Ibid, hlm.353.
99
Hustiati, Op.Cit., hlm. 36.
100
I Nyoman Budi Jaya, Tinjauan Yuridis Tentang Redistribusi Tanah Pertanian Dalam
Rangka Pelaksanaan landreform, ( Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 11.
101
Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hlm. 43-44.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Tujuan landreform sebagaimana tersebut di atas apabila dikaitkan dengan

tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD

1945 yaitu untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila,

jelas sangat mendukung. Kaitan itu nampak pula dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)

Undang-undang Dasar 1945 sebagai sumber pengaturan soal keagrariaan (sumber

UUPA), dimana dalam UUPA sendiri dimuat asas-asas dan ketentuan-ketentuan

pokok landreform.
102
Asas-asas landreform yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Asas penghapusan tuan-tuan tanah besar. Asas ini dimuat dalam Pasal 7 UUPA;
2. Asas pembatasan luas maksimum dan/atau minimum tanah. Setiap orang atau
badan hukum dilarang memiliki, menguasai tanah pertanian yang menyebabkan
terjadinya monopoli pemilikan tanah pertanian. ( Pasal 17 UUPA);
3. Asas pemerasan orang oleh orang lain. Perlu diadakan perlindungan bagi
golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warga-warga yang kuat
kedudukan ekonominya. Asas ini dimuat dalam Pasal 11 UUPA;
4. Asas kewajiban mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah
miliknya. Agar tidak terjadinya tanah-tanah terlantar dan penggunaan tanah
yang tidak efisien. Asas ini dimuat dalam Pasal 10 UUPA.

Selanjutnya tujuan diadakannya program landreform di daerah pertanian

adalah:

1. Untuk memberikan tanah bagi para petani yang selama ini telah nyata-nyata

menggarap secara sah di lokasi yang telah memenuhi persyaratan untuk

ditetapkan sebagai objek landreform;

2. Pembagian tanah pertanian tersebut dimaksudkan untuk memberikan kepastian

hukum terhadap hak atas tanah bagi para petani penggarap yang sah;

102
Y.W Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Pembaharan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran),
(Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm.127-129.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3. Kepastian hukum tersebut akan memberikan dampak ketentraman kerja dan

kepastian berusaha bagi para petani karena tanah merupakan faktor produksi

utama bagi mereka dalam mengembangkan basis perekonomian;

4. Adanya ikatan yang lebih kuat antara para petani dengan tanah yang akan

memberikan motivasi yang lebih mendasar bagi mereka untuk melaksanakan

kegiatan menyuburkan dan mengolah tanahnya dengan baik. 103

3. Program Landreform

Pembangunan pertanian harus merupakan usaha yang terpadu dengan

pembangunan daerah dan pedesaan. Dalam hubungan ini diperlukan langkah-langkah

mengendalikan secara efektif masalah penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah

sehingga bumi, air dan ruang angkasa sesuai dengan asas adil dan merata.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, M Yamin menyatakan bagi negara-negara yang

sedang berkembang program landreform sangat diperlukan sebab pada umumnya di

negara-negara berkembang tanah merupakan sumber daya yang utama bagi

peningkatan perekonomian. 104

Sesuai dengan tujuan tersebut di atas dan mengingat situasi dan kondisi

agraria di Indonesia pada waktu itu maka program landreform meliputi :

1. Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah;

2. Larangan pemilikan tanah secara absentee, atau guntai;

103
Bumi Bhakti Adiguna III, 1996, Media Komunikasi Pertanahan , Edisi xii, Nomor 12.
104
M. Yamin dalam “Jawaban Singkat Pertanyaan-pertanyaan Dalam Komentar Atas
Undang Undang Pokok Agraria, A.P Parlindungan”, (Medan: Pustaka Bangsa, 2004), hlm. 13.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah

yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah

negara;

4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang

digadaikan;

5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;

6. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk

melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan

tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

Pelaksanaan landreform bertujuan melakukan penertiban dan pengaturan serta

penataan penguasaan tanah pertanian yan melebihi batas maksimum pemilikan tanah

secara absentee, tanah-tanah bekas swapraja, eks tanah partikelir, tanah-tanah bekas

perkebunan dan tanah-tanah negara yang digarap rakyat. 105

Untuk mencegah semakin banyaknya petani yang mempunyai tanah yang

sangat kecil dan penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian dilarang

mengalihkan tanah pertanian tanpa izin. 106

B. Kepemilikan Tanah Secara Latifundia

Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan

Yang Maha Esa adalah dimiliki oleh masyarakat Indonesia dan dipergunakan

105
Chadidjah Dalimunthe, Op. Cit., hlm. 45.
106
Ibid.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
sebesar-besarnya demi kesejahteraan Bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan

makmur dan juga seluruhnya adalah merupakan kekayan alam sesuai dengan fungsi

sosial hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 6 UUPA dan juga dalam Pasal (3) UUD

1945 serta Pasal 2 dan Pasal 3 UUPA kepada setiap keluarga diberi batasan tentang

luas tanah yang boleh dikuasai. Maka dalam rangka membangun masyarakat adil dan

makmur berdasarkan Pancasila, Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) menetapkan

dalam Pasal 7 bahwa supaya tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan

dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. 107 Latar belakang

timbulnya ketentuan ini didasarkan pada kondisi objektif pada saat berlakunya

UUPA, bahwa kenyataan menunjukkan 80% rakyat Indonesia pada waktu itu

menggantungkan hidupnya dari usaha pertanian. Pada waktu itu kurang lebih 60 %

dari seluruh petani adalah petani tak bertanah (tuna kisma) dan petani bertanah rata-

rata hanya memiliki 0,6 hektar sawah atau 0,5 hektar tanah kering setiap keluarga

yang nyata-nyata tidak cukup untuk hidup layak pada saat itu. Tetapi di Jawa,

Madura, Sulawesi Selatan, Bali dan Lombok pada saat itu (1960) tercatat 5.400

orang yang mempunyai sawah lebih dari 10 hektar, (1.000 orang diantaranya lebih

dari 20 hektar) dan 11.000 orang mempunyai tanah kering lebih dari 10 hektar (2.700

orang diantaranya lebih dari 20 hektar). 108 Hal itu menggambarkan suatu keadaan

yang akan berdampak negatif, karena tidak ada pemerataan dan ketidakadilan

pemilikan dan penguasaan atas tanah pertanian dimaksud.

107
Lihat Penjelasan Umum angka 1 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960.
108
Ibid
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas khususnya di daerah-

daerah yang tingkat kepadatan penduduknya cukup tinggi berarti dapat mengurangi

akses petani dalam memiliki dan menguasai tanah sendiri akibatnya bukan saja terjadi

ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah tetapi juga menyebabkan terjadinya

ketimpangan pendapatan diantara pemilik tanah itu sendiri.

Ketimpangan terhadap luas tanah yang dimiliki dan diusahakan mengakibatkan

sebagian orang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan sedang yang sebagian besar

lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya, hal ini jelas bertentangan

dengan asas sosialisme Indonesia yang menghendaki pembagian yang merata atas

sumber daya penghidupan rakyat tani yang berupa tanah itu.

Maka sesuai dengan tujuan landreform, salah satu upaya untuk mewujudkan

landreform adalah dengan melarang pemilikan tanah yang melampaui batas

(latifundia). Pengertian larangan pemilikan tanah pertanian secara latifundia adalah

larangan penguasaan tanah yang luas sekali sehingga ada batasan maksimum

seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian. 109 Untuk membatasi

pemilikan tanah yang melampaui batas maka ditetapkanlah batas maksimum dan

batas minimum pemilikan tanah. Batas maksimum ini disebut juga dengan ceiling.

Tanah kelebihan yang juga disebut surplus akan diambil oleh pemerintah dan

109
A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, Op. Cit., hlm. 72.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dibagikan kepada para petani yang tidak mempunyai tanah (tuna kisma) juga disebut

landless farmers ataupun kepada petani gurem 110 juga disebut near landless farmers.

Pemilikan tanah yang sangat luas bertentangan dengan prinsip sosialisme

Indonesia 111 yang menghendaki pembagian yang merata atas sumber penghidupan

rakyat tani yang berupa tanah sehingga akan tercapai rasa keadilan. Seperti tanah

partikulir dengan hak pertuanan di atasnya yang hanya menguntungkan tuan-tuan

tanah. Hak-hak pertuanan yang ada pada tanah partikulir itu adalah:

1. Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilihan serta memberhentikan


kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum;
2. Hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa
dari penduduk;
3. Hak untuk mengadakan pungutan-pungutan baik yang berupa uang atau hasil
tanah dari penduduk;
4. Hak-hak yang menurut peraturan-peraturan lain dan atau adat setempat,
sederajat. 112

Hak-hak inilah yang hanya menguntungkan tuan tanah dan merupakan

demonstrasi perbudakan di Indonesia sehingga dengan Undang-undang Nomor 1

Tahun 1958 tanah partikulir ini telah dihapuskan. Dan terhadap tanah partikulir

tersebut sesuai dengan Pasal 8 UU Nomor 1 Tahun 1958 dilaksanakan dengan

pemberian ganti rugi kepada pemiliknya dan hanya diberikan kepada tanah-tanah

yang memang diusahakan.

110
Petani gurem adalah petani yang mempunyai tanah pertanian tetapi dalam jumlah yang
sedikit.
111
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, (Bandung: Alumni, 1981),
hlm. 270.
112
A.P. Parlindungan, Land reform di Indonesia, Suatu Studi Perbandingan, (Bandung: Maju,
1991), hlm. 65.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Dalam GBHN, Ekonomi, I, Pertanian, dikatakan bahwa:

Pembangunan pertanian perlu didukung oleh tata ruang dan tata guna tanah
sehingga penggunaan, penguasaan, pemilikan dan pengalihan hak atas tanah dapat
menjamin kemudahan dan kelancaran usaha-usaha pertanian serta benar-benar
sesuai dengan asas adil dan merata. Sehubungan dengan itu, perlu dicegah
pemilikan tanah oleh perseorangan secara berlebihan, serta pembagian tanah
menjadi sangat kecil, sehingga tidak menjadi sumber kehidupan yang layak.
Jelas bahwa GBHN kembali mempertegas larangan latifundia ini. 113

Pemilikan dan penguasaan tanah yang luas oleh segelintir petani membuka

peluang terjadinya pemerasan oleh petani bertanah luas terhadap petani bertanah

sempit atau bahkan tidak memiliki tanah. Pemerasan dapat dikemas dalam bentuk

gadai dan bagi hasil pertanian. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk

memberi tanah pertanian yang cukup luas dengan jalan membuka tanah secara besar-

besaran. Upaya ini juga harus dibarengi dengan adanya batas maksimum tanah

pertanian yang boleh dikuasai satu keluarga, baik dengan hak milik maupun dengan

hak yang lain. 114

Selanjutnya yang dilarang dalam Pasal 7 UUPA tersebut bukan saja pada

pemilikan tanah yang melampaui batas tetapi juga pada penguasaannya. Pengertian

istilah pemilikan mempunyai arti yang berbeda dengan istilah penguasaan tanah

pertanian. Pengertian penguasaan tanah pertanian secara yuridis dapat dilihat pada

Pasal 1 UU Nomor 56 Tahun 1960 yang berbunyi “seseorang atau orang-orang yang

dalam penghidupannya merupakan satu keluarga bersama-sama hanya diperbolehkan

menguasai tanah pertanian baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain atau

113
Hustiati, Op. Cit., hlm. 71
114
Lihat Penjelasan Umum Angka 3 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dikuasainya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering maupun sawah

dan tanah kering.” Seandainya seseorang yang mempunyai tanah atas hak milik atau

gadai, menyewakan atau dibagi hasilkan kepada orang lain termasuk dalam

pengertian orang yang menguasai tanah tersebut. Jadi pengertian menguasai itu harus

diartikan baik menguasai secara langsung atau tidak langsung. Begitu pula yang

menyewakan tanah termasuk dalam pengertian menguasai. 115

Selanjutnya dalam Pasal 17 UUPA dipertegas tentang luas maksimum

dan/atau minimum tanah dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang

singkat (Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUPA). Tanah-tanah yang merupakan kelebihan

dari luas maksimum itu diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian untuk

selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-

ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 17 ayat 3 UUPA). Dengan demikian

maka pemilikan tanah pertanian selanjutnya dapat lebih merata dan adil. Selain

memenuhi syarat keadilan maka tindakan tersebut akan berakibat pula bertambahnya

produksi karena para penggarap tanah-tanah itu yang telah menjadi pemiliknya akan

lebih giat dalam mengerjakan usaha pertaniannya. Selain luas maksimum perlu juga

diadakan penetapan luas minimum dengan tujuan supaya tiap keluarga petani

mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai taraf penghidupan yang

layak. Tercapainya batas minimum yang akan ditetapkan dengan peraturan

perundangan akan dilaksanakan secara berangsur-angsur (Pasal 17 ayat 4 UUPA)

artinya akan diselenggarakan taraf demi taraf. Dan untuk pertama kali akan dicegah
115
Lihat Penjelasan UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
pemecahan lahan-lahan karena hal itu akan menjauhkan dari usaha untuk

mempertinggi taraf hidup petani.

Penentuan batas maksimum pemilikan tanah pertanian, pengambilan

kelebihan tanah oleh pemerintah dengan ganti rugi dan pendistribusiannya kembali

kepada petani harus diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian

maka pemilikan tanah akan menjadi lebih adil dan merata, yang kemudian akan

mendorong bertambahnya produksi.

Untuk merealisasikan kebijakan nasional dibidang pertanahan yang ditetapkan

dalam UUPA, khusus untuk melaksanakan program landreform yang membatasi

menumpuknya tanah ditangan golongan orang tertentu maka pemerintah pertama kali

mengundangkan Undang-undang Nomor 56/Prp/ 1960 tentang Penetapan Luas

Tanah Pertanian yang lebih dikenal dengan Undang-undang Landreform Indonesia.

UU Landrefom ini mengatur tiga masalah pokok yaitu: a) Penetapan luas maksimum

pemilikan dan penguasaan tanah pertanian; b) Penetapan luas minimum pemilikan

tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan

pemecahan tanah yang terlampau kecil; dan c) Pengembalian dan penebusan tanah

pertanian yang digadaikan.

Luas maksimum tanah pertanian yang dapat dimiliki oleh keluarga petani

ditetapkan untuk tiap-tiap kabupaten/ kota dengan memperhatikan keadaan daerah

masing-masing dan faktor-faktor seperti: ketersediaan tanah; kepadatan penduduk;

jenis dan kesuburan tanah; besarnya usaha tanah yang baik serta kemajuan teknologi

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
pertanian. 116 Untuk itu diadakan perbedaan antara daerah yang padat (sangat padat,

cukup padat, dan kurang padat) dengan daerah yang tidak padat serta dibedakan pula

jenis tanahnya, antara tanah sawah dengan tanah kering. Lebih jelasnya dapat dilihat

dalam tabel 1 berikut ini:

Tabel 1: Kriteria Kepadatan Penduduk dan Golongan Daerah.

Kepadatan penduduk tiap Penggolongan daerah


kilometer persegi

> 50 Tidak Padat


51 – 250 Kurang Padat
251 – 400 Cukup Padat
< 401 Sangat Padat
Sumber : UU Nomor 56 Prp Tahun 1960.

Selanjutnya yang menentukan apakah luas maksimum itu dilampaui atau tidak

bukanlah terbatas pada tanah-tanah miliknya sendiri melainkan keseluruhan tanah

pertanian yang dikuasainya, jadi termasuk juga tanah-tanah kepunyaan orang lain

yang dikuasainya dalam hubungan gadai, sewa (jual tahunan) dan sebagainya. Tetapi

tanah-tanah yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat

sementara dan terbatas yang diperoleh dari pemerintah (misalnya tanah hak pakai,

tanah bengkok/jabatan) serta tanah-tanah pertanian yang dikuasai oleh badan hukum

tidak terkena ketentuan mengenai luas maksimum tersebut. 117

116
Pendastaren Tarigan, Arah Negara Hukum Demokratis Memperkuat Posisi Pemerintah
Dengan delegasi Legislasi Namun Terkendali, (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 307.
117
Ibid, hlm. 308
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Dalam UUPA juga diatur tentang perlunya ditetapkan batas minimum agar

tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai

taraf penghidupan yang layak. Luas minimum tanah pertanian yang dimiliki keluarga

petani oleh UU Nomor 56 Tahun 1960 ditetapkan seluas 2 hektar baik untuk tanah

sawah maupun tanah kering. Konsepsi luas minimum ini akan diupayakan

pencapaiannya secara bertahap, yang juga dilengkapi dengan upaya-upaya lain seperti

pembukaaan tanah pertanian baru (ekstensifikasi), transmigrasi, industrialisasi,

meningkatkan produktivitas tanah pertanian yang ada (intensifikasi) dan pemberian

kredit pertanian. 118

Dengan memperhatikan kepadatan penduduk, luas daerah dan faktor lainnya,

maka luas maksimum yang dimaksud dalam UU Nomor 56 Tahun 1960 ditetapkan

sebagai berikut:

Tabel 2 : Kepadatan Penduduk dan Luas Maksimum Pemilikan


atau Penguasaan Tanah Pertanian
No Di daerah-daerah yang : Jenis Tanah

Sawah Tanah Kering


(ha) (ha)
1. Tidak Padat 15 20
2. Padat :
i. Kurang padat 10 12
ii. Cukup Padat 7,5 9
iii. Sangat padat 5 6
Sumber : UU Nomor 56 Prp Tahun 1960.

118
Lihat Penjelasan Pasal 8 U Nomor 56 Tahun 1960
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Yang dimaksud dengan “daerah” ialah Daerah Tingkat II. 119 Jika tanah yang

dimiliki atau dikuasai itu berada di berbagai daerah maka ketentuan yang

diberlakukan atasnya adalah larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. 120

Semua kotapraja ditetapkan sebagai daerah yang sangat padat karena pada umumnya

keadaannya memang demikian. Perekonomian kota harus diarahkan kepada

berkembangnya industri dan bukan kepada usaha pertanian.

Apabila seseorang memiliki tanah yang melampaui batas maksimum, maka

tanah kelebihannya akan diambil oleh pemerintah dengan memberi ganti kerugian

kepada bekas pemilik tanah. Para pemilik lama dilarang menguasai ataupun

memindahkan tanah kelebihan kepada pihak lain dari maksimum yang diperbolehkan.

Hanya negara yang berhak menguasai dan memindahkan tanah kelebihan tersebut

kepada orang lain. Pemilik asal tidak berhak untuk menentukan kepada siapa tanah

itu harus diberikan. Ia hanya dapat memilih dari tanah yang dimilikinya mana yang

ingin tetap dikuasainya dan mana yang akan diserahkan kepada negara. 121 Tanah

kelebihan tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada para petani, terutama yang tidak

mempunyai lahan pertanian ataupun yang mempunyai lahan yang sempit.

Orang-orang dan kepala-kepala keluarga yang anggota-anggota keluarganya

yang menguasai tanah-tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum

wajib melaporkan kepada Kantor Pertanahan atas kelebihan tanah yang dimilikinya.

Kewajiban lapor itu disertai sanksi, berupa kurungan selama-lamanya 3 bulan dan

119
Boedy Harsono,Op.Cit., hlm. 357
120
Lihat PP Nomor 224 Tahun 1961.
121
Lihat Pasal 4 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
atau denda sebanyak-banyaknya Rp10.000,- apabila kelebihan tersebut tidak

dilaporkan. Selain sanksi pidana ditentukan pula, bahwa jika terjadi tindak pidana

yang berupa pelanggaran Pasal 3 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut maka tanah

yang selebihnya dari batas maksimum jatuh kepada negara tanpa ganti rugi berupa

apapun, yaitu jika tanah yang bersangkutan semuanya milik terhukum dan/atau

anggota-anggota keluarganya.

Selain itu pemilik tanah diberi kesempatan untuk mengemukakan

keinginannya mengenai bagian tanah yang mana yang akan diambil oleh negara.

Jatuhnya tanah tersebut kepada negara berlaku karena hukum, artinya tidak

memerlukan putusan hakim yaitu setelah ada keputusan pengadilan yang mempunyai

kekuasaan untuk dijalankan, yang menyatakan bahwa benar telah terjadi tindak

pidana yang merupakan pelanggaran Pasal 3 tersebut.

Selanjutnya dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974

tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform menyebutkan antara lain,

bahwa kewajiban melapor kelebihan maksimum tersebut menjadi 6 bulan sejak

berlakunya PMDN ini 122 dan selambat-lambatnya dalam waktu 1 tahun sejak

berlakunya peraturan ini harus mengakhiri penguasaan tanah kelebihan maksimum

tersebut dengan cara:

1. Memindahkan baik penguasaan ataupun hak atas tanah kelebihan tersebut


kepada pihak yang memenuhi syarat;

122
PMDN Nomor 15 Tahun 1974 berlaku sejak tanggal 8 Oktober 1974.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
2. Pengajuan permohonan hak baru yang dibenarkan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan peruntukkan dan
penggunaannya. 123

Untuk mencegah jangan sampai orang menghindarkan diri dari akibat

penetapan luas maksimum tersebut maka dilarang untuk memindahkan hak miliknya

atas seluruh atau sebagian tanah tersebut kecuali dengan izin Kepala Kantor

Pertanahan yang bersangkutan.

Peralihan karena pewarisan tanpa wasiat tidak termasuk dalam pengertian

“memindahkan hak milik”, karena pengertian “memindahkan” memerlukan

perbuatan yang sengaja ditujukan untuk beralihnya hak milik yang bersangkutan.

Larangan tersebut hanya berlaku selama belum ada penegasan tanah mana yang akan

diambil oleh pemerintah dan mana yang akan tetap dikuasai oleh yang bersangkutan.

Sementara itu perlu diadakan peraturan izin pemindahan hak untuk mencegah jangan

sampai yang dipindahkan bagian-bagian tanah yang sebenarnya akan diambil oleh

pemerintah.

C. Kepemilikan Tanah Secara Absentee (Guntai)

Dalam melakukan reforma hubungan manusia dengan tanah telah diupayakan

agar setiap orang mempunyai tanah atau lahan pertanian dengan melarang adanya

pemilikan tanah yang melampaui batas. Maka hal pertama yang dilakukan adalah

bagi pemilik tanah pertanian agar mengerjakan atau mengusahakannya sendiri

123
Chadidjah Dlimunthe,”Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah,
(Medan: Yayasan Pencerahan Mandailing, 2008), hlm. 76.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tanahnya secara aktif. 124 Diadakannya ketentuan ini untuk menghapuskan penguasaan

tanah pertanian secara apa yang disebut “absentee” atau dalam bahasa Sunda disebut

dengan “guntai”, yaitu pemilikan tanah yang letak tanahnya berada di luar daerah

tempat tinggal yang mempunyai tanah. (“Absent” artinya tidak hadir, tidak ada di

tempat) 125 atau tanah absentee (guntai) adalah tanah pertanian yang dimiliki oleh

orang perorangan dan keluarga, di mana letak pertanian itu di luar wilayah kecamatan

tempat kedudukan (domisili) pemilik tanah. 126

Pemilikan tanah secara absentee dilarang oleh undang-undang karena letak

tanah tersebut berada di luar kecamatan yang berbeda dengan tempat tinggal pemilik

tanah sehingga tidak dapat mengerjakan tanahnya secara aktif. Tetapi larangan

tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang

berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan asal jarak tempat

tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih

memungkinkannya untuk mengerjakan tanah tersebut secara efisien. 127 Ketentuan-

ketentuan tersebut merupakan gambaran situasi pada waktu itu yang didasarkan pada

keadaan teknologi yang belum maju seperti sekarang.

Selain itu tujuan melarang pemilikan tanah secara absentee adalah untuk

menghilangkan sistem pemerasan dan penumpukan tanah di tangan segelintir tuan-

tuan tanah agar hasil yang diperoleh dari penguasaan tanah itu sebagian besar dapat

124
Lihat pembahasan Pasal 10 UUPA.
125
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 371.
126
Lihat Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961 dan Pasal 1 PP Nomor 41 Tahun 1964 (tambahan
Pasal 3a sampai dengan Pasal 3e).
127
Lihat Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 224 Tahun 1961.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena

pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil. Jika pemilik tanah berada

di perkotaan sementara tanahnya berada di pedesaan kemungkinan besar pemilik

tanah tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif, akibatnya terpaksa

dibagi hasilkan kepada petani penggarap di tempat letaknya tanah. Jika penggarap

hanya mempunyai hubungan bagi hasil dengan tanahnya apa yang menjadi tujuan

landreform dalam bidang mental psikologis tidak akan tercapai128

Larangan absentee lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224

Tahun 1961 tentang pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. Dalam Pasal 3

peraturan ini antara lain ditentukan bahwa bagi pemilik tanah pertanian yang

bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya diberikan dua pilihan,

yaitu: pertama, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya

kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan atau kedua

kepada pemilik tanah tersebut diwajibkan untuk pindah dalam satu kecamatan dengan

tanah tersebut. 129 Untuk mencegah usaha-usaha yang bertujuan menghindarkan diri

dari ketentuan tersebut di atas dijelaskan “pindah ke kecamatan letak tanah yang

bersangkutan” diartikan bahwa mereka benar-benar berumah tangga dan menjalankan

kegiatan-kegiatan hidup bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari di tempat yang

baru sehingga memungkinkan penggarapan tanah miliknya secara efisien. 130 Dengan

128
Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hlm. 42.
129
Lihat Pasal 3 UU Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian ganti Kerugian.
130
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 371.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
demikian belumlah cukup jika seseorang telah mempunyai kartu penduduk di tempat

yang baru padahal menurut kenyataannya sehari-hari ia masih tetap berada di tempat

tinggalnya yang lain.

Dalam pasal tersebut juga disebutkan bahwa jika pemilik tanah pertanian

absentee berpindah tempat atau meninggalkan kediamannya keluar kecamatan tempat

letak tanah itu selama 2 (dua) tahun berturut-turut sedang ia melaporkan kepada

pejabat setempat yang berwenang, maka dalam waktu 1 (satu) tahun kemudian

setelah berakhirnya jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut maka kepada pemiliknya

diwajibkan untuk mengalihkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang

bertempat tinggal di kecamatan tersebut atau kembali pindah ke kecamatan tempat

letak tanah tersebut. 131 Sedangkan pemilik tanah pertanian absentee yang telah

pindah tempat atau meninggalkan kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah

itu selama 2 (dua) tahun berturut-turut maka wajib memindahkan hak atas tanahnnya

kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut atau kembali pindah

ke kecamatan tempat letak tanah tersebut. 132 Selanjutnya pemilik tanah pertanian

absentee yang diperoleh dari warisan dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak si

pewaris meninggal diwajibkan untuk memindahkannya kepada orang lain yang

bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah itu terletak atau dia pindah ke

131
Lihat Pasal 3a ayat 1 PP Nomor 41 Tahun 1964.
132
Lihat Pasal 3a ayat 2 PP Nomor 41 Tahun 1964.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
kecamatan letak tanah itu. Dalam hal tertentu dengan alasan yang wajar dapat

diperpanjang waktunya oleh Badan Pertanahan Nasional. 133

Apabila kewajiban-kewajiban sebagaimana yang disebutkan di atas tidak

dipenuhi maka tanah yang bersangkutan dikuasai oleh pemerintah dan kepada

pemilik tanah diberikan ganti kerugian. Untuk selanjutnya tanah tersebut dijadikan

sebagai tanah objek landreform yang akan diredistribusikan menurut hukum yang

berlaku.

Terhadap larangan absentee ini tidak berlaku bagi pemilik tanah pertanian

yang sedang menjalankan tugas negara seperti pegawai negeri, pejabat militer atau

yang dipersamakan dengan mereka. Artinya kepada mereka dimungkinkan adanya

pemilikan tanah pertanian meskipun tidak bertempat tinggal di kecamatan tempat

letak tanah di maksud dengan ketentuan bahwa luas tanah yang dimiliki tersebut tidak

boleh melebihi 2/5 dari ketentuan luas maksimum pemilikan tanah pertanian yang

ditentukan untuk daerah yang bersangkutan. Adanya ketentuan ini merupakan

pengecualian dari larangan pemilikan tanah secara absentee.

Tetapi sewaktu-waktu seorang pegawai negeri atau yang dipersamakan

dengan mereka berhenti dalam menjalankan tugas negara (misalnya: pensiun) dan

mempunyai hak milik atas tanah pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya dalam

waktu satu (1) tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya tersebut diwajibkan

pindah ke kecamatan letak tanah itu atau memindahkan hak milik atas tanahnya

kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah itu terletak. Dan
133
Lihat Pasal 3c PP Nomor 41 Tahun 1964
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dalam hal-hal tertentu jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria

jika ada alasan yang wajar. Pertimbangan tersebut didasarkan kepada perlunya

dilaksanakan prinsip bahwa pemilik tanah pertanian wajib mengerjakan atau

mengusahakan sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan. 134 Dalam

usaha dibidang pertanian tidak boleh ada pemerasan tidak boleh terjadi apa yang

disebut exploitation de l’homme par l’homme, yaitu penindasan manusia terhadap

manusia lain. 135 Dalam penjelasan umum UUPA (II.7) antara lain disebutkan dalam

ketentuan Pasal 10 ayat (1) adalah suatu asas yang pelaksanaannya masih

memerlukan pengaturan lebih lanjut. Dalam peraturan pelaksanaan itu nanti kiranya

masih perlu membuka adanya pengecualian (dispensasi). 136 Hubungan-hubungan

yang seperti itu harus dilakukan menurut ketentuan yang berlaku sehingga tidak

terjadi penindasan terhadap golongan ekonomi lemah. Perjanjian tidak dibenarkan

dilakukan oleh pihak-pihak atas syarat-syarat yang ditentukan sendiri tetapi harus

ditetapkan oleh pihak yang berwenang jadi tidak dibenarkan adanya exploitation de

l’homme par l’homme.

134
Lihat Konsiderans PP Nomor 41 Tahun 1964
135
Pasal 11 ayat (1) UUPA, menyebutkan hubungan hukum antara orang termasuk badan
hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta wewenang yang bersumber dari hubungan hukum
itu akan diatur, harus memperhatikan kepentingan orang lain dan dicegah penguasaan atas kehidupan
dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas. Selanjutnya pada ayat (2), bahwa perbedaan hukum
golongan atau masyarakat bila perlu harus diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap
ekonomi lemah.
136
Dalam penjelasan tersebut dicontohkan seorang pegawai negeri yang untuk persediaan hari
tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat
mengusahakannya sendiri, kiranya harus dimungkinkan untuk memiliki tanah tersebut. Selama itu
tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi hasil dan
lain sebagainya. Tetapi setelah ia tidak bekerja lagi sebagai pegawai negeri (misalnya pensiun) tanah
itu harus dikerjakannya sendiri secara aktif.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah

Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri dinyatakan

bahwa pengecualian yang diberikan kepada pegawai negeri sipil tersebut

diberlakukan juga kepada:

a. Pensiunan pegawai negeri;


b. Janda pegawai negeri dan janda pensiunan pegawai negeri selama tidak
menikah lagi dengan seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai
negeri;
c. Karyawan dan pensiunan karyawan yang sebelum berlakunya UU Nomor 8
Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian sudah memiliki tanah
pertanian secara guntai
d. Janda dari yang disebut pada huruf (c) selama ia tidak menikah lagi dengan
seseorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri. 137

Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga mengatur tentang

seorang pegawai negeri dalam waktu 2 tahun menjelang masa pensiun, diperbolehkan

membeli tanah pertanian secara guntai (absentee) seluas sampai 2/5 dari batas

maksimum penguasaan tanah untuk Daerah Tingkat II yang bersangkutan. 138 Dasar

pertimbangan dari ketentuan tersebut adalah bahwa dewasa ini umumnya sukar bagi

para pensiunan tersebut untuk berpindah ke tempat letak tanah itu meskipun

pemilikan tanah itu dimaksudkan untuk jaminan di hari tua setelah pensiun. 139

Dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang ini dan juga di masa yang akan

datang adanya ketentuan tentang pengecualian ini, kiranya sudah saatnya untuk

dipikirkan lagi relevansinya. Sebab bukan saja jumlah pegawai negeri dan

keluarganya semakin lama semakin bertambah. Apalagi dengan adanya ketentuan

137
Lihat PP Nomor 4 Tahun 1977
138
Lihat Pasal 6 PP Nomor 4 Tahun 1977
139
Lihat Konsideran PP Nomor 4 Tahun 1977.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Guntai Bagi

Para Pensiunan Pegawai Negeri diartikan juga janda pegawai negeri dan janda

pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai

negeri atau pensiunan pegawai negeri yang tentunya akan menambah jumlah orang

yang dikecualikan dalam memiliki tanah absentee, sementara tanah pertanian dapat

dipastikan tidak akan bertambah. Kalau demikian akan bertambah banyak pula

jumlah orang yang mempunyai tanah absentee baik yang dilarang maupun yang

dibolehkan. Sementara bagi orang-orang yang pada saat ini menggantungkan

hidupnya semata-mata dari pertanian (petani) saja kondisi tanah pertaniannya sudah

sangat sempit.

Jadi sesuai dengan tujuan landreform di Indonesia maka pemusatan

penguasaan tanah oleh sekelompok orang yang dapat merugikan rakyat tidak

dibenarkan, hal ini telah diatur dalam penetapan batas maksimum penguasaan tanah

pertanian dan kepemilikan tanah absentee. Namun, didalam praktek masih dijumpai

berbagai masalah terutama dalam penguasaan tanahnya. Banyak tanah-tanah yang

masih tidak jelas kepemilikan dan penggunaanya. Ketidakjelasan tentang penguasaan

tanah (present land tenure) dan penggunaan tanah (present land use) mengakibatkan

usaha pemerintah untuk melaksanakan pembagian yang adil atas tanah dan hasil yang

adil pula tidak berhasil dengan baik. 140 Banyak masyarakat yang mempunyai tanah

yang cukup luas dan yang tidak mempunyai tanah sama sekali, banyak tanah yang

statusnya absentee namun pemilik yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa


140
Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hlm.168.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
pemilikan tersebut dilarang atau pemiliknya tidak tahu dengan peraturan yang ada.

Hal itu disebabkan karena tanah-tanah tersebut tidak terdaftar di Kantor Pertanahan

sehingga dapat dengan mudah terjadi peralihan hak secara terus menerus tanpa

melalui instansi yang berwenang. Hal inilah yang dapat menimbulkan kepemilikan

tanah yang melebihi batas maksimum.

Disamping itu, yang menimbulkan kepemilikan tanah secara latifundia dan

absentee adalah kemudahan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Yang

banyak terjadi dalam praktek adalah adanya sebidang tanah pertanian yang dimiliki

oleh seseorang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi karena telah beralih

secara diam-diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah

tersebut. Tanah-tanah pertanian tersebut letaknya di desa sedangkan mereka yang

memiliki tanah absentee umumnya bertempat tinggal di kota. Hal ini dapat terjadi

dengan memiliki KTP ganda yang memungkinkan orang menyelundupi ketentuan

tentang tanah absentee dan faktor yang lain melalui upaya pemindahan hak yang

terkenal dengan cara pemberian kuasa mutlak. 141

Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa yang

tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi

kewenangan untuk menguasai, menggunakan dan melakukan perbuatan hukum

pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa sehingga pada

hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas

141
Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi.
(Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 21.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
merupakan penyelundupan hukum melanggar ketentuan peraturan perundang-

undangan. Memiliki KTP ganda tidak mudah untuk diketahui karena secara yuridis

kalau tanah sudah bersertipikat, maka sertipikat atas nama pemilik semula dan surat

kuasa hanya diketahui oleh kedua belah pihak saja.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB III

LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH LATIFUNDIA


DAN ABSENTEE (GUNTAI) DI KABUPATEN DELI SERDANG

A. Pelaksanaan Peraturan Kepemilikan Tanah Latifundia Dan Absentee


(Guntai)
Pengaturan landreform yang terdapat dalam UUPA merupakan induk

landreform Indonesia. Ketentuan-ketentuan dalam Konsiderans hingga Pasal 19

UUPA membuktikan hal ini. Beberapa pasal UUPA yang memuat objektif

landreform antara lain: 142

1. Pasal 6 UUPA : Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”

Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat

dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan/ tidak dipergunakan semata-

mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian

bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya dan

sifat daripada haknya hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan

pemiliknya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Berhubung

dengan fungsi sosialnya maka adalah suatu hal yang wajar bahwa tanah itu harus

dipelihara dengan baik agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya.

Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau

pemegang haknya melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan-hukum

atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu

142
Hustiati, Op.Cit., hlm. 37.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
(Pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan

pihak yang ekonomis lemah.

2. Pasal 7 UUPA :

“Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan

tanah yang melampau batas tidak diperkenankan”. Dalam masalah land reform

dikenal dengan istilah groot grondbezitter atau latifundio. 143

3. Pasal 10 UUPA :

(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah
pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
(2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat (1) ini akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam
peraturan perundangan.

Dalam landreform dikenal dengan istilah absenteeisme (guntai) atau sering

dikembangkan dengan slogan “tanah untuk petani” (land to the tiller). 144

4. Pasal 11 UUPA :

(1) Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air
dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada
hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam
pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang
lain yang melampaui batas.
(2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan
rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan
golongan yang ekonomi lemah.

143
A.P. Parlindungan, Aneka Hukum Agraria, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 8.
144
Ibid.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
5. Pasal 13 UUPA :

(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur
sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat
sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap
warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia,
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari
organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.

6. Pasal 17 UUPA :

(1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam
Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan
dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat.
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud
dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian,
untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan
ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-
angsur.

Ketentuan-ketentuan dalam UUPA ini hanyalah merupakan ketentuan pokok

yang mengatur secara garis besarnya saja dan untuk melaksanakannya diperlukan

peraturan pelaksanaan baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan

menteri ataupun peraturan pelaksanaan lainnya dengan ketentuan bahwa peraturan

yang dibentuk ini tidak boleh bertentangan dengan sistematika yang telah ditetapkan

oleh UUPA. Peraturan-peraturan pelaksanaan landreform ini antara lain:

1. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan

Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Adapun yang dimaksud dengan pembaharuan agraria mencakup suatu proses

yang berkesinambungan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,

penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka

tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran

bagi seluruh rakyat.

2. UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.

Undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 7 dan 17 UUPA.

Berdasarkan penjelasan umum undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa

perlunya penetapan luas tanah pertanian tersebut didasarkan pada kenyataan:

pertama, pada saat ini lebih kurang dari 60 % petani di Indonesia adalah petani

tak bertanah, sebagian dari mereka adalah buruh tani dan sebagian lagi

mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap dalam hubungan

bagi hasil. Sedangkan petani yang mempunyai tanah hanya menguasai tanah rata-

rata 0,6 hektar sawah atau 0,5 hektar tanah kering. Disamping petani-petani yang

tidak mempunyai tanah pada sisi yang kontradiktif terdapat sebagian kecil petani

menguasai tanah yang luasnya berpuluh-puluh hektar atau sampai ribuan hektar.

Perlu diketahui tanah-tanah itu tidak semuanya dipunyai mereka dengan hak

milik, tetapi kebanyakan dikuasainya dengan hak gadai atau sewa.

Kedua, bahwa ada orang-orang yang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan

sedang yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya

adalah terang bertentangan dengan asas sosialisme Indonesia yang menghendaki

pembagian yang merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
itu, agar ada pembagian yang adil pula atas hasil tanah-tanah tersebut. Oleh

karena itu perlu ditetapkan luas maksimum dan minimum tanah pertanian.

Ketiga, banyak gadai yang telah berlangsung bertahun-tahun, berpuluh-puluh

tahun bahkan sampai pada ahli warisnya karena penggadai tidak mampu untuk

menebus tanahnya.

4. PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan

Pemberian Ganti Kerugian. 145

Pasal 1 PP Nomor 224 Tahun 1961 antara lain mengatur tentang tanah-tanah yang

menjadi objek landreform yang meliputi, tanah-tanah yang melebihi batas

maksimum sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 56 Prp Tahun 1960,

tanah-tanah guntai yang diambil oleh pemerintah, tanah-tanah swapraja dan bekas

swapraja yang telah beralih kepada negara, dan tanah-tanah lain yang dikuasai

langsung oleh negara 146 untuk selanjutnya tanah-tanah tersebut akan dibagikan

kepada petani. Selain itu mengatur tentang lembaga-lembaga pendukung

landreform seperti koperasi pertanian. Keberadaan koperasi ini ditujukan untuk

mengatur tentang penguasaan tanahnya, membantu penggarapannya,

mengusahakan kredit, dan memberikan pembinaan dalam mengelola tanah

145
Pasal 3 Peraturan ini telah diubah dan ditambah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 1964, yaitu tentang pengecualian Pasal 3 bagi Pegawai Negeri Sipil dan ABRI, dan PP Nomor 4
Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Secara Guntai bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.
146
Tanah-tanah lain yang dikuasai lagsung oleh negara menurut ketentuan pasal 1 huruf d
tersebut antara lain tanah-tanah bekas partikelir, tanah-tanah dengan hak guna usaha yang telah
berakhir jangka waktunya, dihentikan atau dibatalkan, tanah-tanah kehutanan yang diserahkan kembali
penguasaannya oleh jawatan yang bersangkutan kepada negara dan lain-lain. Dari penjelasan tersebut
terlihat bahwa ketentuan pasal 1 huruf d tersebut bersifat unlimitatif, artinya terbuka kemungkinan
kepada pemerintah untuk menentukan tanah sebagai objek landreform.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
pertanian. Dari ketentuan tersebut di atas adanya pengaturan lembaga-lembaga

pendukung (instituional supporting) landreform membuktikan bahwa program

landreform Indonesia bukan hanya redistribusi tanah semata-mata kepada petani,

melainkan juga mengatur tentang tindak lanjut dari pembagian tanah tersebut,

sehingga tujuannya tidak hanya pemerataan tetapi yang paling penting adalah

peningkatan kesejahteraan para petani.

5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan

PP Nomor 224 Tahun 1961 beserta penjelasannya.

6. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian

secara Guntai (Absentee) bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.

7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak

Lanjut Pelaksanaan Landreform.

Dalam ketentuan Pasal 2 peraturan tersebut antara lain disebutkan bahwa

penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum dan belum dikuasai oleh

pemerintah wajib dilaporkan oleh pihak yang menguasainya dalam waktu 6

(enam) bulan terhitung sejak berlakunya peraturan ini kepada Bupati/Walikota cq

Kepala Sub Direktorat Agraria (sekarang pada Kantor Pertanahan setempat).

Selanjutnya kepada pihak yang menguasai tanah yang melebihi batas maksimum

tersebut di atas selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya

peraturan ini diharuskan mengakhiri penguasaan tanah kelebihan tersebut.

Ketentuan ini berlaku juga terhadap tanah-tanah yang dimiliki secara guntai.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Seiring dengan perkembangan zaman sekarang ini dan kebutuhan atas tanah

yang semakin meningkat perlu di pertimbangkan kembali apakah ketentuan

peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kepemilikan tanah secara latifundia dan

absentee tersebut masih eksis berlangsung atau perlu dikaji kembali. Banyak

peraturan-peraturan tersebut yang keberadaannya sudah tidak relevan lagi untuk

digunakan. Dengan melihat kondisi tanah yang tersedia dan perkembangan zaman

kiranya sudah saatnya peraturan-peraturan tersebut ditinjau kembali.

Berkaitan dengan peraturan larangan pemilikan tanah absentee, belum adanya

peraturan yang khusus mengatur tentang tanah tanah absentee. Dasar penetapannya

masih berpedoman kepada petunjuk Pasal 1 dan Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961.

Selanjutnya, pasal yang menetapkan perbedaan kecamatan antara pemilik dengan

letak tanah miliknya menjadikan tanah pertanian tersebut masuk kategori tanah

absentee. Batas daerah kecamatan dijadikan sebagai patokan karena jarak antara

tempat dalam satu kecamatan dipandang masih memungkinkan pengolahan lahan

secara efektif. 147 Didalam kenyataannya selalu ditemukan keadaan jarak antara

tempat tinggal pemilik dengan tanah pertaniannya yang berada di luar kecamatan dan

tidak berbatasan dengan kecamatan tempat tinggalnya, lebih dekat daripada tanah

pertaniannya di dalam kecamatan yang sama atau tanah pertaniannya di kecamatan

lain yang berbatasan. Hal ini diperkirakan akan semakin meluas di masa datang

karena pemekaran kecamatan akan berlangsung terus.

147
Lihat, Penjelasan Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Kepemilikam tanah absentee yang membedakan antara seseorang dengan

Badan Hukum, dimana seseorang dilarang memiliki tanah absentee sementara banyak

Badan Hukum memiliki tanah absentee. Padahal dengan penataan struktur

penguasaan tanah sajapun akan dapat memberikan kesempatan bagi penduduk yang

menggantungkan hidupnya pada kegiatan pertanian untuk meningkatkan taraf

hidupnya pada kegiataan pertanian untuk meningkatkan taraf hidup sehingga dapat

memperkokoh pembangunan ekonomi dan sosial masyarakat. 148

Pengecualian terhadap pegawai negeri, pensiunan, janda pensiunan dan yang

dipersamakan dengan mereka perlu direvisi ulang, karena fasilitas untuk dapat

memiliki lahan pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya sebesar 2/5 dari batas

maksimum di Daerah Tingkat II setempat pada saat sekarang ini sudah terlampau

besar. Penempatan pegawai negeri pada posisi istimewa semacam itu pada tingkat

kesejahteraan pegawai negeri sekarang ini akan menumbuhkan antipati dan

kecemburuan sosial dikalangan masyarakat tani. Berkaitan dengan larangan

kepemilikan tanah secara latifundia, dalam Pasal 2 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960

menentukan luas maksimum tanah pertanian yang dimiliki didasarkan pada jumlah

anggota keluarga sebanyak 7 (tujuh) orang yang disertai dengan kemungkinan

terjadinya kelebihan anggota keluarga serta luas tanah yang dimiliki kiranya juga

perlu diadakan peninjauan kembali. Hendaknya disesuaikan dengan perhitungan

ekonomis agar dapat menunjang kehidupan yang layak bagi petani beserta

148
M. Yamin, “Revitalisasi Penggunaan Tanah”, Makalah, Disampaikan pada Seminar
Masalah Pertanahan di Sumatera Utara yang diadakan oleh DPRD Prop. Sumatera Utara di Garuda
Plaza Hotel Medan, tanggal 17 Oktober 2005)
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
keluarganya yang bervariasi sesuai dengan kondisi daerahnya saat ini serta perkiraan

di masa yang akan datang.

Selanjutnya dalam ketentuan tersebut di atas luas penguasaan tanah yang

dijadikan dasar adalah hanya terbatas pada tanah-tanah pertanian yang mempunyai

dasar pemilikan dan atau penguasaan dengan hak milik, baik hak milik yang dapat

dibuktikan dengan sertipikat yang sudah didaftarkan pada Kantor Pertanahan ataupun

belum didaftarkan (tanah adat). Padahal dalam perkembangan penguasaan tanah saat

ini yang menjadi dasar penguasaan tanah tidak hanya terbatas pada hak milik tetapi

juga terjadi dalam hubungan sewa menyewa ataupun gadai, meskipun hal tersebut

sudah dilarang tetapi kenyataannnya didalam masyarakat hal tersebut masih

dilakukan, terutama di daerah-daerah pedesaaan. Demikian juga subjeknya hanya

terbatas pada perorangan. Padahal yang menguasai tanah yang sangat luas

sesungguhnya bukan terletak pada petani perorangan sebagaimana yang diatur dalam

peraturan ini, melainkan kebanyakan dikuasai oleh badan-badan usaha baik swasta

maupun badan usaha yang dimiliki oleh pemerintah.

Selanjutnya dalam Pasal 3 UU tersebut bagi pemilik yang mempunyai tanah

kelebihan harus melaporkan tanah lebihnya tersebut dalam jangka waktu 3 bulan.

Dalam pelaksanaannya peraturan tersebut tidak dijalankan, banyak masyarakat yang

tidak melapor akan kelebihan tanahnya tersebut. Menurut Arie Sukanti Hutagalung

Ketentuan pemberian tenggang waktu 3 bulan untuk melapor kelebihan tanah

dimanfaatkan untuk mengalihkan tanah kepemilikan mereka kepada anak, menantu

atau saudaranya dan tidak menyerahkan kepada pemerintah. Pelaksanaan reformasi


Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
agraria yang dimaksud oleh penetapan luas tanah maksimum oleh perorangan itu,

pada akhirnya tidak dapat terlaksana karena bergantung pada kepatuhan individu

untuk melaporkan kelebihan tanah yang dimilikinya. 149

Selain itu mengenai batas minimum kepemilikan tanah 150 juga dianggap tidak

efektif lagi dalam penegakannya, karena jumlah petani sudah semakin besar

sementara areal tanah pertanian yang tersedia semakin sempit. Dan juga kenyataan

menunjukkan bahwa dengan penerapan teknologi pertanian yang maju, hasil

pertanian pun sudah jauh lebih meningkat dibanding pada saat berlakunya UU No. 56

Prp Tahun 1960.

Mencermati dengan seksama eksistensi dari peraturan-peraturan tersebut

apabila dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuannya tidak akan ditemukan

lagi masyarakat yang tidak memiliki tanah, khususnya para petani yang tidak

mempunyai tanah. Hal ini disebabkan karena Pemerintah masih setengah hati dalam

menerapkan peraturan tersebut, hal ini dapat dilihat dari kebanyakan pemilik tanah

yang melampaui batas maksimum dan tanah absentee (guntai) adalah para pengusaha

(birokrasi) itu sendiri sehingga secara psikologis para aparat Kantor Pertanahan tidak

mampu untuk melakukannya, selain itu data administrasi di Kantor Pertanahan

mengenai jumlah masyarakat yang memiliki tanah yang melampaui batas dan tanah

absentee tidak terdaftar.

149
Sumber: Http://www.antara.co.id, ”Penetapan Luas Tanah Pertanian Dianggap Tidak
Efektif, tanggal 30 Juli 2007. Diakses tanggal 04 Mei 2009.
150
Pasal 8 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 menyebutkan ”Pemerintah mengadakan usaha-
usaha agar setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
B. Efektifitas Larangan Kepemilikan Tanah Pertanian Secara Latifundia Dan

Absentee (Guntai) di Kabupaten Deli Serdang

Suatu peraturan dikatakan dapat berlaku efektif dalam masyarakat apabila

peraturan tersebut memenuhi tiga syarat yaitu: peraturan itu dibuat sesuai dengan

filosofi bangsa yang bersangkutan; peraturan itu dibentuk sesuai dengan norma

hukum yang berlaku untuk itu; serta sesuai dengan nilai dan kesadaran hukum yang

hidup dalam masyarakat. Ketiga syarat tersebut tidak bersifat statis tetapi dinamis,

karena dapat saja berubah sewaktu-waktu sesuai dengan perubahan kehidupan di


151
masyarakat yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi.

Berdasarkan pembahasan sebelumnya bahwa landreform dicanangkan pada

tahun 1960 pada saat itu corak ekonomi dari bangsa Indonesia masih agraris dengan

struktur pemilikan tanah yang tidak seimbang dan dilatarbelakangi oleh dualisme

hukum tanah. Sebagai bangsa agraris, maka para petani memandang tanah sebagai

sumber kehidupan. Memiliki tanah pertanian merupakan lambang eksistensi

kemanusiaan yang utama, maka secara filosofis tanah pertanian mempunyai nilai

yang sangat tinggi. Dengan demikian, pembentukan UUPA pada tahun 1960 sudah

memenuhi syarat. Hal ini terlihat jelas dalam program land reform Indonesia yang

berkeinginan untuk merombak struktur pemilikan atas tanah pertanian yang tidak

proporsional dan sekaligus menghilangkan dualisme hukum, membentuk lembaga

151
Ady Kusnadi’ Cs, Penelitian tentang Efektifitas Peraturan Perundang-undangan
Larangan Tanah Absentee, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia RI, 2001), hlm. 69.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
hukum pertanahan yang didasarkan pada hukum adat (hukum yang hidup dalam

masyarakat).

Sebagai negara agraris diinginkan agar konsep tanah pertanian untuk petani

dilaksanakan dengan pemikiran bahwa untuk meningkatkan produktivitas tanah

pertanian itu maka yang mengolahnya pun haruslah orang yang memahami seluk

beluk pertanian. Manakala tanah pertanian dikuasai oleh para tuan tanah (landlord),

tanah itu akan dijadikan sebagai sarana eksploitasi terhadap penggarap tanah. Kalau

tidak demikian maka tanah pertanian akan ditelantarkan (hanya sebagai sarana

investasi saja) yang berakibat tidak baik terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa. Hal

seperti itu adalah bertentangan dengan filosofi negara agraris yang memandang tanah

sebagai sumber kehidupan. Karena itulah, hal tersebut akan diakhiri melalui

restrukturisasi pemilikan tanah pertanian yang tidak proporsional dengan menetapkan

batas maksimum dan minimum serta melarang pemilikan tanah secara absente.

Berkenaan dengan larangan pemilikan tanah secara latifundia dan absentee

(guntai) dalam UUPA tidak secara khusus ditemukan istilah absentee. Akan tetapi

dalam Pasal 10 UUPA, dikatakan bahwa setiap orang dan badan hukum yang

memiliki suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau

mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan. Dalam

penjelasan umumnya dikatakan, bahwa asas ini telah dijadikan dasar perubahan

struktur pertanahan hampir diseluruh dunia. Dan untuk melaksanakan asas ini perlu

diwujudkan batas maksimum dan minimum luas tanah pertanian yang boleh dimiliki

oleh seorang petani agar dapat hidup layak.


Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Kondisi atau struktur masyarakat tahun 1960, sudah tentu mengalami

perubahan dibandingkan dengan struktur masyarakat desa dewasa ini. Namun

demikian perubahan tersebut belum bisa membawa masyarakat Indonesia ke tingkat

yang disebut masyarakat industri. Hilangnya areal pertanian yang subur telah

membawa bangsa Indonesia ke dalam krisis pangan. Bangsa Indonesia harus kembali

mengimpor beras karena areal pertanian sudah berubah menjadi perumahan mewah

dan bangunan pabrik. Artinya masyarakat Indonesia masih tetap merupakan negara

agraris tetapi negara agraris yang tidak mempunyai tanah pertanian yang cukup untuk

para petani. Akibatnya para petani masuk ke kota-kota besar untuk mencari sesuap

nasi tanpa sebuah harapan di masa depan dan menjadi beban berat bagi pemerintah

kota. Pada dekade tahun 60-an melalui UUPA dengan program landreform telah

diberikan janji kepada para petani yang mempunyai lahan kecil dan petani penggarap,

bahwa mereka akan mempunyai tanah pertanian sendiri yang diperoleh melalui

redistribusi tanah pertanian. Tanah-tanah yang akan dibagikan itu berasal dari tuan-

tuan tanah yang melebihi batas maksimum, tanah absentee yang diambil oleh

pemerintah, ditambah lagi dengan tanah swapraja dan bekas swapraja yang

diserahkan kepada pemerintah serta tanah negara yang dikuasai oleh pemerintah.

Terlepas dari janji pemerintah tersebut khusus mengenai larangan pemilikan

tanah secara latifundia dan absentee, apakah hal ini sudah sesuai dengan nilai yang

hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Seorang petani yang memandang tanah

pertanian sebagai sumber kehidupan pribadi dan keluarganya tentunya tidak berpikir

untuk meninggalkannya. Kenyataannya di lapangan bahwa pemilikan tanah tersebut


Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
bukan dilakukan oleh para petani yang betul-betul petani, tetapi yang banyak

memiliki tanah sampai ratusan hektar tersebut adalah orang-orang kota yang
152
mempunyai uang, untuk dijual kembali dengan harga yang mahal.

Tanah itu dibeli bukan untuk diolah sebagaimana peruntukkan tanahnya,

tetapi dibeli sebagai sarana investasi dan dijual kembali setelah harganya tinggi. Sifat

hedonis 153 yang kental pada orang kota mengakibatkan tanah digunakan sebagai

sarana spekulasi dan eksploitasi hanya untuk meraih keuntungan semata. Dengan

pandangan yang demikian tentunya orang kota khususnya secara ekonomis mampu

dan mempunyai kekuasaan potensial menghambat terlaksananya kepemilikan tanah

secara absentee.

Dengan demikian dilihat dari nilai yang hidup di dalam masyarakat, para

petani hampir semua mengatakan konsep tanah pertanian untuk petani dan wajib

diolah sendiri harus ditegakkan. Tanah pertanian banyak yang terlantar dan tidak

diolah dengan semestinya karena pemiliknya bukan keluarga petani dan tinggal di

daerah lain yang umumnya di perkotaan dan telah mempunyai sumber penghidupan

yang lain.

Berdasarkan penelitian di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang,

sewaktu UU Nomor 224 Tahun 1961 dikeluarkan masyarakat petani banyak yang

melaporkan kelebihan batas maksimum atas tanah pertaniannya karena mereka

152
Wawancara dengan Bapak Aman Tarigan, Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Tanah
pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 11 Juni 2009.
153
Hedonis adalah pengikut aliran hedonisme, yaitu mempunyai suatu pandangan hidup yang
menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama dalam hidup. (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1999, hlm. 345)
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
mengharapkan adanya ganti rugi dari pemerintah. Tetapi sesuai dengan

perkembangan zaman sekarang ini masyarakat tidak mau untuk melaporkan

kelebihan tanahnya karena menganggap bahwa ganti rugi yang di berikan oleh

pemerintah lebih kecil dibandingkan apabila mereka menjualnya sendiri. Hal inilah

yang menyebabkan Kantor Pertanahan sulit untuk mengontrol kepemilikan hak atas

tanah tersebut. 154

Operandi pembelian tanah oleh orang kota dilakukan dengan berbagai cara.

Ada yang menggunakan Kartu Tanda Penduduk Asli Tetapi Palsu (KTP Aspal). Asli,

karena KTP itu benar-benar asli dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Palsu,

karena sebenarnya orang tersebut tidak tinggal di kecamatan letaknya tanah.

Berdasarkan KTP Aspal tersebutlah dilakukan jual beli tanah pertanian. Selain itu ada

juga yang menggunakan jasa calo yang mampu mengurus jual beli tanah itu sampai

memperoleh Akta Jual Beli yang dilakukan dihadapan Notaris atau Camat.

Terdapat berbagai ragam aspek dalam mengimplementasikan ketentuan

larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee (guntai), diantaranya

adalah perubahan kebijakan pertanahan oleh penguasa. Dalam kaitan ini dikutip

pengakuan Menteri Kehakiman pada era Kabinet Reformasi, yaitu Prof. Muladi,

S.H 155 mengatakan semenjak tahun 1970-an dengan jargon pertumbuhan ekonomi

yang diharapkan akan tercapai pemerataan, maka arah kebijakan pertanahan yang

154
Wawancara dengan Drs. Aman Tarigan, Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan
Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 11 Juni 2009
155
Muladi, Seminar Reformasi Kebijakan di Bidang Pertanahan, Jakarta, 2000 (di akses
melalui internet, pada bulan Maret 2009)
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
digariskan oleh UUPA itu telah bergeser dari cirinya yang populis ke arah pemberian

konsesi yang berpihak terhadap kepentingan sebagian kecil kelompok masyarakat

yang secara ekonomi dan politik mempunyai kedudukan dan posisi tawar yang kuat.

Pergeseran kebijakan ini juga berdampak pada pemilikan dan penguasaan tanah

secara absentee, dimana secara jelas terlihat sebagian kecil masyarakat menguasai

begitu luas tanah dan sebagian besar (petani) hanya menguasai sebagian kecil tanah

pertanian.

Berkenaan dengan pelaksanaan larangan pemilikan tanah secara latifundia

dan absentee selalu berhubungan dengan redistribusi tanah pertanian yang dilakukan

oleh pemerintah. Sebelum melaksanakan redistribusi tanah, pemerintah terlebih

dahulu harus mengambil tanah-tanah yang kelebihan melebihi batas maksimum dan

tanah yang dimiliki secara absentee dengan memberikan ganti rugi yang ditetapkan

oleh Panitia Landreform Tingkat II (sekarang Pemerintah Daerah dan Kota).

Sekalipun dengan mewujudkan landreform masih akan menimbulkan masalah

sebagaimana kelompok pemerhati sering menyebutkan bahwa mewujudkan

landreform selama ini hampir sama dengan membangunkan singa tidur. Bila salah

membangunkan akan menambah persoalan baru, namun bila tepat

membangunkannya akan dapat meningkatkan penghasilan dengan baik. Ini terjadi

karena pandangan mewujudkan landreform belum komprehensif dan tuntas, sehingga

masih banyak penyelewengan penggunaan program pertanahan tersebut yang

akhirnya memunculkan:

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
1. Penguasaan pemilikan tanah yang melampaui batas (ceiling);
2. Pemberdayaan hak-hak tanah rakyat yang tidak proporsional dan
menyimpangi asas tanah untuk petani (land to the tillers);
3. Keberpihakkan pemerintah kepada dunia usaha yangmembutuhkan tanah,
tanpa memperhatikan dan menghormati hak-hak rakyat yang telah ada;
4. Penyerobotan tanah yang melanggar peraturan yang ada;
5. Tidak transparannya pengambil kebijakan serta pelaksana kebijakan
pertanahan, sehigga tanah menjadi menarik digunakan sebagai ajang spekulasi
dan manipulasi, yang berakibat bahwa yang punya uang adalah pemenang
mutlak sekalipun berhadapan dengan hukum. 156

Berhubungan dengan hal tersebut, sebagai contoh di daerah Jawa Barat

pemilikan tanah secara absentee semakin menjadi-jadi yang menjadikan semakin

memperburuk ketimpangan penguasaan tanah. Jika pada tahun 1960-an dikenal tuan-

tuan tanah yang menguasai ribuan hektar tanah dalam wilayah-wilayah tertentu

sekarang akumulasinya semakin bertambah puluhan ribu hektar dan dikuasai oleh

satu kelompok bahkan terkadang oleh satu orang. 157

Berdasarkan wawancara pada kantor pertanahan Kabupaten Deli Serdang,

penerapan peraturan mengenai larangan pemilikan tanah secara latifundia dan

absentee sudah tidak efektif untuk dilaksanakan. Untuk tanah absentee, batasan yang

dibuat oleh undang-undang itu adalah dengan memakai ruang lingkup wilayah

kecamatan, sementara dengan zaman yang sudah berkembang ini sarana transportasi

dan infra struktur yang tersedia memungkinkan mobilitas penduduk meningkat,

sehingga batasan itu seharusnya antar kabupaten, bukan antar lingkup kecamatan lagi.

Terlebih-lebih lagi dengan adanya pemekaran pada daerah-daerah. Sehingga dengan

156
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum
Agraria,( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm.110
157
Faryadi, “Land reform, Jawaban Bagi Ketimpangan Penguasaan Tanah di Jawa Barat,
(Jakarta: 2000), hlm. 507
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
adanya pemekaran terhadap daerah-daerah, wilayah yang sebelumnya sangat luas jadi

dipersempit menjadi antar kecamatan sehingga semakin sempitlah ruang gerak dari

wilayah kecamatan tersebut. Tetapi khusus untuk kriteria luas maksimum bidang

tanah pertanian dianggap masih tetap relevan dan dapat dipertahankan. Karena

dengan pembatasan ruang lingkup tersebut dapat diharapkan tercipta keadilan dan

pemerataan dalam pemilikan dan penguasaan tanah pertanian dan mencegah orang-

orang yang akan menguasai tanah melebihi luas maksimum tersebut. 158

Selain itu pelaksanaan pembatasan luas maksimum pemilikan tanah pertanian

tidak berjalan seperti yang diharapkan, masih banyak masyarakat yang tidak

melaporkan kepemilikan tanahnya dikarenakan karena ketidaktauan mereka tentang

masalah tersebut dan adanya ketidakmampuan (masalah dana) mereka untuk

mendaftarkan hak atas tanah yang dikuasainya, terutama terhadap tanah-tanah

pertanian; 159 selain itu juga kurangnya sosialisasi dari kantor pertanahan terhadap

kepemilikan atas tanah tersebut disebabkan karena tidak adanya program dari

Pemerintah. Dari pihak Kantor Pertanahan sendiri tidak ada keinginan untuk

menjalankan program itu sendiri dengan alasan untuk menjalankan program tersebut

membutuhkan sebuah kelembagaan, dana dan sarana/prasarana yang sangat besar,

disamping itu peraturannya sudah tidak sesuai lagi dengan kesadaran hukum yang

hidup dalam masyarakat.

158
Wawancara dengan Bapak Abdul Rahman Lubis, SH, MKn, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 05 Juni 2009.
159
Wawancara dengan Bapak Abdul Rahman Lubis, SH, MKn, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 05 Juni 2009.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Ketentuan-ketentuan landreform dalam UUPA (Pasal 7,10,17) masih bersifat

lips servive atau dilaksanakan dengan parsial-parsial dan sekedar formalitas yang

belum menyentuh tujuan sebenarnya dalam mensejahterahkan rakyat tani. Kantor

Pertanahan Kabupaten Deli Serdang pun telah melakukan program-pogram

landreform di masyarakat seperti redistribusi tanah, prona dan konsolidasi tanah.

Namun secara keseluruhan belum merupakan peningkatan yang berarti atas akses

tanah masyarakat. Sebaliknya yang dapat dilihat contoh objektif landreform yang

mendesak segera diatur adalah batas ceiling yang tentunya dalam PP Nomor 224

Tahun 1961 sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi ceiling saat ini.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB IV

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB KANTOR PERTANAHAN


TERHADAP TANAH LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI)
DI KABUPATEN DELI SERDANG

A. Kebijakan Pertanahan Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun

2006 tentang Badan Pertanahan Nasional

Eksistensi Badan Pertanahan Nasional yang memiliki tugas dan kewajiban

dibidang pertanahan dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006

tentang Badan Pertanahan Nasional. Dalam salah satu pertimbangan terbitnya

Peraturan Presiden ini adalah bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan

Republik Indonesia sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga

keberlanjutan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. 160

Berdasarkan pertimbangan itu, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006

menempatkan BPN sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen yang berada di

bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sebelumnya lembaga ini berada di

bawah koordinasi Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya Badan Pertanahan Nasional

melaksanakan tugas pemerintah di bidang pertanahan secara nasional, regional dan

sektoral. 161 Sedangkan fungsinya mencakup 21 fungsi, beberapa di antaranya adalah:

perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; koordinasi kebijakan,

perencanaan dan program di bidang pertanahan; pengaturan dan penetapan hak-hak

160
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 88.
161
Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional,
Pasal 2.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
atas tanah; reformasi agraria; pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan

tanah; pemberdayaan masyarakat dibidang pertanahan; dan pengkajian dan

penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik dibidang pertanahan.

Dengan penetapan tugas pokok dan fungsi BPN sebagaimana tersebut di atas,

maka Perpres Nomor 10 Tahun 2006 ini memiliki beberapa signifikasi yang

mendasar dalam konteks pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia. Pertama,

Perpres No. 10 ini mengangkat dan menekankan kembali acuan nilai yang telah

ditegaskan dalam UUPA No. 5/1960 mengenai kesatuan hubungan abadi antara

bangsa dan tanah air Indonesia. Kedua, Perpres ini juga menegaskan lagi kedudukan

tanah sebagai perekat kesatuan bangsa dan fungsi sosialnya sebagai landasan untuk

memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, dalam Perpres ini juga dinyatakan bahwa

kebijakan pertanahan harus bersifat nasional dan tidak boleh terkotak-kotak oleh

sekat-sekat sektoral dan regional. Keempat, Perpres ini merevitalisasi kelembagaan

BPN untuk menjalankan fungsi-fungsi yang telah diperluas di antaranya adalah untuk

melaksanakan reforma agraria dan menangani sengketa, konflik dan perkara agraria.

Kelima, dalam fungsi dan struktur BPN RI yang baru juga ada penekanan mengenai

fungsi pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan yang membuka ruang bagi

dilaksanakannya program dukungan pasca redistribusi tanah sebagai kesatuan paket

reforma agraria. 162

162
Yusup Napiri , Moh. Sohibuddin, Iwan Nurdin, Syahyuti, “Reforma Agraria, Kepastian
Yang Harus Dijaga”, (Bogor: Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan/KRKP, 2006), hlm. 33-34.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Selanjutnya dalam hal kebijakan pertanahan nasional, perlu juga ditambah

sepanjang itu menyangkut hukum, pedoman dan kebijakan nasional yang secara rinci

dapat diusulkan sebagai berikut: 163

1. Pengaturan penyelenggaraan peruntukkan, penggunaan, persediaan dan


pemeliharaan tanah:
2. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan
tanah diantaranya tentang pengaturan penguasaan, pengawasan, pengendalian,
penetapan pedoman untuk melaksanakan objek landreform dalam pemilikan
tanah; Perumusan kebijakan teknis serta pelaksanaan penataan penguasaan tanah
partikelir, tanah kelebihan maksimum, tanah absentee, tanah-tanah bekas
swapraja, tanah-tanah bekas swapraja serta tanah-tanah negara lainnya;
Perumusan kebijaksanaan teknis dan penetapan ganti rugi tanah partikelir, tanah
kelebihan maksimum dan tanah absentee serta penyelesaian masalah tanah objek
pengaturan penguasaan tanah; Penghimpunan, pengolahan, dan penyajian data
serta melakukan dokumentasi dan pelaporan data penguasaan tanah; penegasan
tanah objek landreform; Ganti rugi tanah kelebihan maksimum/absentee dan
tanah partikelir serta penetapan kebijakan konsolidasi;
3. Pengurusan hak atas tanah;
4. Penetapan dan pengaturan hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan hukum dengan tanah.
Hal-hal di atas harus menjadi acuan atau mekanisme kontrol atas pengelolaan
pertanahan di tanah air.

Peppres Nomor 10 juga menyebutkan salah satu tugas dari pada BPN yaitu

pengelolaan data dan informasi dibidang pertanahan yaitu membangun sistem

informasi dan manajemen pertanahan yang mencakup berbagai kegiatan yang salah

satunya adalah penyusunan basis data. Penyusunan basis data ini sebagai bahan

perencanaan untuk meningkatkan pola penyusunan dan pemilikan yang lebih adil

serta penggunaan dan pemanfaatan tanah yang optimal dan serasi.

163
Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta:
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hlm. 74-76
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Pelayanan pertanahan pada Kantor Pertanahan pada prinsipnya adalah

pelayanan data dan informasi pertanahan. Data yang tersimpan di Kantor Pertanahan

merupakan data yang diperoleh dan diolah melalui proses yang rumit dan panjang

mengikuti aturan yang tertuang pada Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun 2005

tentang Standar Prosedur Operasional Pelayanan Pertanahan (SPOPP). Pembaruan

data selalu dilakukan apabila terjadi perubahan pada subyek atau obyek hak atas

tanah. Karena yang sifatnya yang sangat dinamis, maka data pertanahan mempunyai

tingkat pengambilan (retrievel) dan pembaruan (up dated) yang cukup tinggi. Di satu

sisi membutuhkan kecepatan dengan standar yang sudah ditetapkan dalam

menarik/mengambil data dan di sisi lain membutuhkan persyaratan dalam

penyimpanan data (storage) yang dapat mendukung proses pengambilan data

tersebut. Proses pengambilan, penyimpanan, pengolahan dan penyajian data

merupakan proses yang dengan sangat mudah dilakukan teknologi informasi dengan

mudah dan cepat.

Dengan demikian dapat dibayangkan apabila data pertanahan disimpan dalam

suatu database sedangkan pengolahan dilakukan dengan kecanggihan komputerisasi

maka semua proses pelayanan data pertanahan disetiap kantor pertanahan dapat

dilakukan secara cepat dan tepat.

Pengelolaan data dan informasi dibidang pertanahan ditindaklanjuti dengan

dibentuknya Pusat Data dan Informasi Pertanahan (Pusdatin) yang tugasnya

melaksanakan pengumpulan, pengolahan, penyajian data dan informasi pertanahan

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
serta membangun dan mengembangkan sistem informasi pertanahan nasional

(Simtanas).

B. Peran dan Tanggung Jawab Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang


Terhadap Kepemilikan Tanah Secara Latifundia dan Absentee (Guntai).

Secara geografis Kabupaten Deli Serdang (setelah dimekarkan, pada tahun

2003) terletak pada posisi 020 57’ sampai dengan 30 16’ Lintang Utara dan 980 33’ s/d

990 27’ Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Deli Serdang terletak di wilayah pantai

timur Propinsi Sumatera Utara dan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

Tabel 3 : Batas-batas dan luas wilayah per-kecamatan

Karakteristik Penjelasan

Letak 20 57” Lintang Utara


30 16” Lintang Selatan
90 33” – 990 27” Bujur Timur
Luas Wilayah 2.497,72 Km2/ 249.772 Ha

Letak di atas permukaan laut 0-500 M


Batas-batas Utara : Kabupaten Langkat dan Selat
Malaka
Selatan : Kabupaten Karo dan Kab. Simalungun
Barat : Kabupaten Langkat dan Kab. Karo
Timur : Kabupaten Serdang Bedagai
Daerah Administratif Terdiri dari 22 Kecamatan dan 403 Desa/
Kelurahan yang semuanya telah definitif
Sumber Data : Situs Pemerintahan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2009

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Luas wilayah Kabupaten Deli Serdang pada saat awal terbentuknya yakni

pada awal kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 adalah sekitar 6.589,65

km2. Selanjutnya, pada tahun 2003 Kabupaten Deli Serdang mengalami pemekaran

menjadi 2 (dua) wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten

Serdang Bedagai, sehingga luas Kabupaten Deli Serdang saat ini tinggal 2.497,72

km2 atau 249.772 hektar.

Kondisi geomorfologi (evolusi tanah) pada wilayah kabupaten Deli Serdang,

yakni meliputi perubahan penggunaan lahan (land use), kondisi topografi wilayah,

distribusi struktur dan jenis tanah. Komposisi penggunaan lahan di wilayah

Kabupaten Deli Serdang memperlihatkan bahwa luas perkebunan (perkebunan besar

dan perkebunan rakyat) dan luas permukiman terus berkembang dari waktu-kewaktu

sedangkan luas sawah (tadah hujan dan irigasi) dan tegalan/kebun campuran hampir

tidak bertambah dan ada indikasi/kecenderungan menurun. Sementara penggunaan

lahan untuk permukiman meningkat dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1995

tercatat seluas 12.135 ha dan pada tahun 2005 menjadi 26.252 ha atau meningkat

sebesar 4.186 ha dalam 9 tahun atau bertambah rata-rata 465 ha per tahun.

Kabupaten Deli Serdang termasuk dalam golongan daerah yang padat

sehingga luas tanah pertanian yang dapat diberikan pada seseorang seluas 6 hektar

untuk tanah kering dan 5 hektar untuk tanah sawah dengan jumlah kepadatan

penduduknya rata-rata 652 tiap kilometer persegi. Dan pemberian batas luas

maksimum tanah pertanian untuk setiap daerah adalah disesuaikan dengan

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
perkembangan zaman sekarang dan memperhatikan jumlah penduduk yang kian

bertambah.

Pelaksanaan pemilikan tanah secara latifundia dan absentee telah

dilaksanakan oleh Kantor pertanahan Deli Serdang sejak tahun 1960-an, sejak

peraturan UU Nomor 56 Tahun 1960 dan PP Nomor 224 Tahun 1961 diberlakukan

dibuktikan dengan adanya pemberian hak atas tanah negara maupun yang berasal dari

tanah objek landreform dan diberikan sesuai dengan luas yang telah ditetapkan

berdasarkan pada peraturan yang berlaku dan subjek penerimanya tetap disyaratkan

harus bertempat tinggal di kecamatan letak tanah yang dimohonkan. Apabila ada

persyaratan yang tidak memenuhi pemberian hak tersebut maka akan ditolak atau

tidak akan diproses dan berkasnya akan dikembalikan kepada pemohon. 164

Dari data sekunder yang didapat pada kantor pertanahan Deli Serdang dapat

dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan larangan pemilikan tanah secara latifundia dan

absentee (guntai) tersebut di atas tidak berlaku efektif. Hal ini dapat dilihat dari data

laporan pelaksanaan landreform yang masuk pada kantor pertanahan dalam setiap

tahun maupun dari hasil berbagai penelitian bahwa tanah kelebihan maksimum

(latifundia) tidak terdata dan untuk tanah absentee tidak efektif lagi pelaksanaannya.

Alasannya adalah dalam praktek di lapangan banyak terlihat tanah-tanah baik secara

langsung maupun tidak langsung dinyatakan sebagai tanah yang dimiliki oleh

164
Wawancara dengan Bapak Abdul Rahim Lubis, SH, MKn, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertahanan Kabupaten Deli Serdang.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
penduduk yang berasal dari luar kecamatan letak tanah tersebut. Akibatnya pendataan

di kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang terhadap kepemilikan tanah absentee

dan latifundia yang dimiliki oleh masyarakat setempat tidak ada. Banyak masyarakat

yang tidak melaporkan atas kepemilikan tanahnya dengan alasan bahwa kewajiban

untuk mendaftarkan tanah tersebut sesuai dengan Pasal 19 UUPA adalah kewajiban

pemerintah tetapi karena ketidakmampuan atau keterbatasan pemerintah untuk saat

ini belum bisa melakukan pendaftaran terhadap sebidang tanah di seluruh Indonesia.

Otomatis dengan kondisi masyarakat baik karena ketidakmampuan atau

ketidaktauannya banyak masyarakat yang belum mendaftarkan hak atas tanah yang

dikuasainya terutama terhadap tanah-tanah pertanian. Secara hukum sulit dinyatakan

bahwa suatu bidang tanah dikategorikan tanah latifundia dan tanah absentee.. Hal ini

pula yang menyebabkan hasil sensus pertanian tidak dapat mengungkapkan bahwa
165
secara faktual tanah itu absentee akan tetapi secara yuridis tidak.

Hal ini disebabkan juga karena sangat mudah untuk mendapatkan KTP di

Indonesia. Seseorang yang tinggal di Jakarta mudah sekali untuk mendapat identitas

KTP di Lubuk Pakam. Kantor Pertanahan tidak mempunyai hak uji material.

Sehingga dalam memproses sertipikat tanah itu kalau sudah sesuai dengan prosedur

maka sertipikatnya dikeluarkan. KTP tidak bisa diuji benar atau palsu oleh BPN.

165
Ibid
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Sehingga banyak masyarakat kota yang memiliki tanah di daerah. Maka terjadilah

ketimpangan dalam pemilikan tanah. 166

Selanjutnya Berdasarkan data yang di dapat dari kantor wilayah pertanahan

Kota Medan dalam pelaksanaan kegiatan inventarisasi Data Penguasaan, Pemilikan,

Penggunaan dan Pemanfaatan tanah (P4T) yang dilakukan pada wilayah desa

Sukamandi Hulu, Kecamatan Pagar Merbau, Kabupaten Deli Serdang terdapat

beberapa pemilikan tanah secara absentee. Kepemilikan tanah absentee tersebut

didata berdasarkan alamat atau tempat tinggal pemilik tanah di desa Sukamandi Hulu,

yaitu pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan Pagar Merbau

(kecamatan tempat letak tanah). Tempat tinggal para pemilik tanah tersebut tersebar

dibeberapa kecamatan seperti Lubuk Pakam, kecamatan Perbaungan, Kecamatan

Galang, serta kota Medan.. Luas pemilikan tanah absentee ini tercatat seluas

169.132,80 M2 dengan jenis penggunaan tanah sawah sebanyak 47 bidang, rumah

dan pekarangan 1 bidang, serta rumah dan sawah 1 bidang.

Administrasi pertanahan di desa Sukamandi Hulu belum menggambarkan

adanya tertib administrasi pertanahan yang baik sesuai ketentuan yang berlaku. Hal

ini dapat dilihat dari data pertanahan yang ada, dimana bukti kepemilikan atas tanah

masih berupa surat jual beli dibawah tangan dan peralihan-peralihannya juga hanya

dibuat berdasarkan rasa saling percaya antara pemilik tanah dengan pembeli (tanpa

dibuat dalam akta). Disamping itu masih terdapat tanah-tanah yang tidak mempunyai

166
Wawancara dengan Drs. Aman Tarigan, Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan
Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 11 Juni 2009.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
bukti hak sama sekali yang sebagian besar berasal dari tanah garapan. Penguasaan

tanah dengan cara sewa dan bagi hasil juga belum dilaksanakan sesuai dengan

administrasi pertanahan dan ketentuan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 2 Tahun

1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (tanah pertanian).

Dengan adanya pelaksanaan kegiatan P4T tersebut dapat terlihat pemilikan

tanah pertanian yang diperoleh secara absentee di kecamatan tersebut berasal dari jual

beli yang pemiliknya rata-rata tidak tinggal di daerah letak tanah tersebut. Jelas dalam

hal ini, sistem administrasi pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang

belum menggambarkan adanya tertib administrasi pertanahan yang baik sesuai

dengan ketentuan yang berlaku karena untuk mengetahui kepemilikan atas tanah

latifundia dan absentee pun tidak ada datanya. Belum adanya sistem pelayanan

pertanahan tentang informasi atau database di kantor tersebut untuk disampaikan,

dilegitimasi oleh pejabat yang berwenang sehingga masyarakat mempunyai kepastian

terhadap suatu aset yang dimilikinya.

Tidak seluruh masyarakat Deli Serdang mengetahui tentang kepemilikan

kelebihan tanah maksimum (latifundia) dan absentee tersebut dikarenakan kurangnya

sosialisasi dari Aparat Pemerintah. Padahal fenomena tanah absentee dan kelebihan

tanah maksimum (latifundia) yang dipergunakan untuk tanah pertanian merupakan

fenomena yang biasa terlihat atau terdengar dan secara terbatas diketahui oleh

penduduk atau warga setempat. Jadi pada umumnya masyarakat yang melakukan jual

beli tanah sebatas hanya kepada pihak penjual dan disaksikan oleh Camat dan tidak

dilanjuti dengan proses pendaftarannya di Kantor Pertanahan, akibatnya tanah


Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tersebut tidak tercatat pada kantor Pertanahan. Selain itu tidak dilakukan atau tidak

ada sanksinya kepada pihak penerima tanah yang tidak mendaftarkan tanahnya ke

BPN sehingga pola jual beli sebagaimana yang dilakukan di atas mengakibatkan

administrasi pertanahan menjadi tidak tertib dan untuk mencari data-data yang

diperlukan di kantor pertanahan sangatlah sulit. Selanjutnya untuk melaksanakan

salah satu tugas dan tanggung jawabnya Kantor Pertanahan memberikan penyuluhan-

penyuluhan pada masyarakat di desa-desa tentang pentingnya bagi pemilik tanah

untuk mendaftarkan tanahnya agar Kantor Pertanahan dapat melakukan penertiban

administrasi pertanahan karena belum seluruhnya Daftar Nama orang yang memiliki

tanah di Kabupaten Deli Serdang terdaftar. Daftar nama diperlukan sebagai instrumen

untuk melakukan kontrol dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Yang telah ada

saat ini adalah daftar buku tanah dan surat ukur. Jadi kalau data-data yang diperlukan

oleh BPN telah lengkap seperti buku tanah, daftar nama, surat ukur maka sangat

mudah untuk melihat siapa-siapa saja yang menguasai tanah lebih dan mempunyai

tanah yang berada di luar kecamatan tempat tinggalnya. 167

Selain itu kejelasan, kelengkapan dan transparansi data pertanahan merupakan

salah satu kunci utama dalam pencapaian bentuk pelayanan yanag menjadi harapan

masyarakat. Karena dalam praktek di lapangan sering terjadi bahwa ada sebidang

tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya sudah tidak

dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang

167
Wawancara dengan Bapak Abdul Rahim Lubis, SH, MKn, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertahanan Kabupaten Deli Serdang.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Hal ini biasa karena adanya

pemilikan KTP ganda yang memungkinkan seseorang menyelundupi ketentuan

tentang tanah absentee dan melalui upaya pemindahan hak terselubung yang dikenal

dengan pemberian kuasa mutlak. Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa

(penjual) memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa

(pembeli) yang diberi kewenangan untuk menguasai, menggunakan dan melakukan

segala perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas merupakan

penyelundupan hukum.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka

dapat ditarik kesimpulan dan saran sebagai berikut :

A. Kesimpulan

1. Latar belakang timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee yaitu

mudahnya untuk mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan adanya

penggunaan kuasa mutlak. Yang banyak terjadi dalam praktek adalah adanya

sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya sudah

tidak dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain

yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Tanah-tanah pertanian

tersebut letaknya di desa sedangkan mereka yang memiliki tanah absentee

umumnya bertempat tinggal di kota. Kemudahan dalam pembuatan KTP

menyebabkan banyak orang kota atau orang yang mempunyai uang banyak

membeli tanah pertanian untuk usaha atau hanya untuk investasi masa depan. Hal

ini disebabkan karena sistem administrasi kependudukan secara online melalui

komputerisasi belum terlaksana dengan baik. Jadi siapa saja bisa dengan mudah

untuk mempunyai lebih dari satu KTP. Memiliki KTP ganda tidak mudah untuk

diketahui karena secara yuridis kalau tanah sudah bersertipikat maka sertipikat

atas nama pemilik semula dan surat kuasa hanya diketahui oleh kedua belah pihak

saja.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Selain itu melalui kuasa mutlak maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa

yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi

kewenangan untuk menguasai, menggunakan dan melakukan perbuatan hukum

pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa, sehingga pada

hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas

merupakan penyelundupan hukum, melanggar ketentuan peraturan perundang-

undangan. Selain itu timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee

karena tanahnya masih belum terdaftar pada Kantor Pertanahan. Meskipun sudah

ada ketentuan bahwa setiap tanah harus dilaporkan atau didaftarkan namun masih

banyak pemilik tanah yang belum melaksanakan hal tersebut. Hal ini dapat

disebabkan karena ketidaktauan masyarakat atas kepemilikan tanah tersebut dan

atau adanya ketidakpatuhan tiap-tiap individu untuk melaporkan kelebihan tanah

yang dimilikinya.

2. Pelaksanaan peraturan tentang kepemilikan tanah latifundia dan absentee sudah

tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sekarang ini sehingga banyak

peraturan-peraturan yang perlu direvisi atau diganti. Berkaitan dengan peraturan

larangan kepemilikan tanah absentee belum ada peraturan yang khusus mengatur

tentang tanah absentee. Selain itu ukuran batas kecamatan sebagai dasar

penetapan tanah absentee perlu dikaji ulang. Hal ini berkaitan dengan semakin

majunya sarana transportasi serta adanya pemekaran kecamatan yang satu dengan

yang lainnya semakin pendek dan mudah dijangkau. Pengecualian terhadap

pegawai negeri, pensiunan, janda pensiunan dan yang dipersamakan dengan


Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
mereka perlu direvisi ulang karena fasilitas untuk dapat memiliki lahan pertanian

di luar kecamatan tempat tinggalnya sebesar 2/5 dari batas maksimum di Daerah

Tingkat II setempat pada saat sekarang ini sudah terlampau besar. Berkaitan

dengan larangan kepemilikan tanah secara latifundia, luas maksimum tanah

pertanian yang dimiliki berdasarkan pada jumlah anggota keluarga sebanyak 7

(tujuh) orang yang disertai dengan kemungkinan terjadinya kelebihan anggota

keluarga serta luas tanah yang dimiliki kiranya perlu juga diadakan peninjauan

kembali. Selanjutnya jangka waktu melapor dalam waktu 3 bulan atas kelebihan

tanahnya perlu dikaji ulang, dan juga mengenai batas minimum kepemilikan

tanah juga dianggap tidak efektif lagi dalam penegakkannya karena jumlah petani

sudah semakin banyak sementara areal tanah pertanian yang tersedia semakin

sempit.

3. Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang hanya sekedar dalam memberikan

kontribusi terhadap larangan pemilikan tanah secara latifundia dan absentee

(guntai) dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya

pendaftaran tanah yang efektif dan efisien sebagai upaya dalam memberikan

jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas

tanah. Dengan didaftarkannya hak atas tanah tersebut nantinya dapat diketahui

siapa-siapa saja yang menguasai tanah lebih dan yang mempunyai tanah yang

berada di luar kecamatan dan terhadap tanah kelebihan (latifundia) dan tanah

absentee tersebut akan diberikan ganti rugi oleh Kantor Pertanahan kepada

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
pemilik awal dan selanjutnya diberikan kepada petani yang tidak mempunyai

tanah.

B. Saran

1. Perlu adanya sistem komputerisasi online administrasi kependudukan. Jadi untuk

mendapatkan KTP ganda sudah tidak bisa lagi. Dan penggunaan Surat Kuasa

Mutlak dibidang pertanahan perlu pula segera diatur bagi Para Pejabat di bidang

pertanahan, Camat, Kepala Desa yang melayani penyelesaian status hak atas

tanah yang menggunakan surat kuasa mutlak sebagai bahan pembuktian

pemindahan hak atas tanah hendaknya diberi sanksi yang seberat-beratnya.

2. Pelaksanaan peraturan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee agar

direvisi ulang atau diganti karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan

dan kebutuhan penduduk saat ini, misalnya penetapan tentang luas batas

maksimum dan minimum pemilikan tanah (ceiling) sudah tidak relevan lagi

karena jumlah petani sudah semakin besar sementara areal tanah pertanian yang

tersedia semakin sempit, dan juga kenyataan menunjukkan bahwa dengan

penerapan teknologi pertanian yang maju hasil pertanianpun jauh lebih

meningkat. Kerjasama yang baik antara Kantor Pertanahan dan Aparat di

pedesaan harus ditingkatkan agar tidak menimbulkan kesimpangsiuran dan dapat

memberi dampak positif terhadap para petani dan pembangunan pertanian dan

dapat terlaksana dengan baik selain itu partisipasi aktif dari para petani dan rakyat

juga harus ditingkatkan.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3. Perlu pengawasan yang ketat dari aparat kantor pertanahan terhadap tanah-tanah

yang sudah diredistribusikan ataupun belum dalam penguasaan dan pemilikan

terhadap tanah-tanah pertanian agar lebih ditingkatkan lagi dan sistem informasi

pertanahan melalui komputerisasi kantor pertanahan segera dilakukan agar untuk

mereka yang akan mendaftarkan tanahnya dapat diproses dengan cepat dan

mudah.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan, Jakarta: Akademika


Pressindo, 1985.

, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah di


Indonesia, Bandung: Alumni, 1983.

Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum. Jakarta: Granit, 2004.

Dalimunthe, Chadidjah, Pelaksaaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya.


Medan: USU, 2005.

, Politik Hukum Agraria Terhadap Hak-hak Atas Tanah.


Yayasan Pencerahan Mandailing, 2008.

Ediwarman., Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan, Medan:


Pustaka Bangsa Press, 2003.

Faryadi, Landreform, Jawaban Bagi Ketimpangan Penguasaan tanah Di Jawa Barat,


Jakarta: 2000.

Gautama, Sudargo, Tafsiran Undang Undang Pokok Agraria, Bandung: Alumni,


1981.

Harsono, Boedi., Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang


Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I. Jakarta: Djambatan, 1999.

Hermit, Herman., Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan
Tanah Pemda, Bandung: Mandar Maju, 2004.

---------------------, Program Landreform dan Relevansinya Dalam Pembangunan di


Indonesia, Jati Nangor: Fakultas Teknik UNWIM, 2001.

Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya dengan Landreform di


Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1990.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Hutagalung, Arie Sukanti, Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu Sarana
Ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah dan Pemilikan Tanah,
Jakarta: Rajawali, 1985.

, Tebaran Pemikiran Seputar masalah Hukum Tanah,


(Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005).

Jaya, I Nyoman Budi., Tinjauan Yuridis Tentang Redistribusi Tanah Pertanian


Dalam Rangka Pelaksanaan landreform, Yogyakarta: Liberty, 1989.

Kartasapoetra G, R.G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, A.Setiady, Hukum Tanah


Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, Jakarta: Bina
Aksara, 1985.

Kusnadi, Ady’Cs, Penelitian Tentang Efektifitas Peraturan Perundang-undangan


Larangan Tanah Absentee. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia RI, 2001.

Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu Dan Penelitian. Bandung: Mandar Maju, 1994.

Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria. Jogjakarta: Liberty, 1997.

Mukti, Affan., Pokok-pokok Bahasan Hukum Agraria. Medan: USU Press, 2006.

Napiri, Yusup, Moh. Sohibuddin, Iwan Nurdin, Syahyuti, “Reforma Agraria,


Kepastian Yang Harus Dijaga”, Bogor: Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan
Pangan/KRKP, 2006.

Parlindungan, A.P, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria. Bandung:


Mandar Maju, 1998.

_______________, Landreform di Indonesia, Suatu Studi Perbandingan. Bandung,


Alumni, 1991.

_______________, Aneka Hukum Agraria, Bandung: Alumni, 1986.

_______________, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, Bandung:


Mandar maju, 1989.

Perangin-angin, Effendi, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut


Pandang Praktisi Hukum, Jakarta: Rajawali Press, 1986.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Rajagukguk, Erman, Hukum Agraria Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup,
Jakarta: Chandra Pratama, 1995.

Salindeho, John, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta : Sinar Grafika, 1988.

Siong, Gouw Giok, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, Jakarta: 1960

Siregar, Tampil Anshari., Pendalaman Lanjutan UUPA. Medan : Pustaka Bangsa


Press, 2005.

____________________, Mempertahankan Hak Atas Tanah, Medan: Multi Grafik,


2005.

____________________, Undang-undang Pokok Agraria Dalam Bagan, Medan: FH


USU, 2006.

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 1986.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta:


Raja Grafindo Persada, 2002.

Suardi, Hukum Agraria, Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005.

Sumardjono, Maria S.W, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi,


Jakarta: Kompas, 2001.

Sunindia, Y.W dan Ninik Widiyanti., Pembaharuan Hukum Agraria (Beberapa


Pemikiran), Jakarta: Bina Aksara, 1988.

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,


1997.
Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.

Tarigan, Pendastaren, Arah Negara Hukum Demokratis Memperkuat Posisi


Pemerintah Dengan Delegasi Legislasi Namun Terkendali, Dengan Delegasi
Pengaturan dan Pengawasan Tindakan Pemerintah Dalam Bidang
Pertanahan, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Tjondronegoro, Soediono MP dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah di
Jawa dan Madura dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1984.

Wahid, Muchtar, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik atas Tanah, Jakarta:
Republika, 2008.

Yamin, Muhammad dan Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum
Agraria. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.

Yamin, Muhammad, Beberapa Dimensi Filosophis Hukum Agraria, Medan: Pustaka


Bangsa Press, 2004.

________________, Jawaban Singkat Pertanyaan-pertanyaan Dalam Komentar


UUPA A.P Parlindungan. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 2003, tentang Kebijakan Nasional Di Bidang


Pertanahan.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria.

Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Maksimum


Tanah Pertanian.

Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian


Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan


Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Ganti Kerugian.

Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Pertanian


Secara Guntai (Absentee) Bagi Pensiunan Pegawai Negeri.

Peraturan Presiden Nomor 10 tahun 2006, tentang Badan Pertanahan Nasional.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak
Lanjut Pelaksanaan Land Reform.

Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar
Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah Dibidang Pertanahan
yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kabupaten/Kota

C. Makalah, Artikel, Majalah, Internet

Dokumen Kelompok Studi Pembaruan Agraria, “Ketetapan MPR RI Tentang


Pembaruan Agraria Sebagai Komitmen Negara Menggerakkan Perubahan
Menuju Indonesia Yang Lebih Baik” disampaikan kepada Badan Pekerja
MPR RI pada tanggal 21 Mei 2001.

Gunawan Wiradi, “Reforma Agraria Dalam Perspektif Transisi Agraria”, Bandung,


1998.

Kamelo, Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan


Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs – USU, Medan,
2002.

Muladi, Seminar Reformasi Kebijakan Di Bidang Pertanahan, Jakarta, 2000, di


akses pada bulan Maret 2009.

M. Yamin, “ Revitalisasi Penggunaan Tanah”, tanggal 17 Oktober 2005.

Makalah “Landreform Di Indonesia”, oleh ALSA KLI UGM.

Media Komunikasi Pertanahan, Bumi Bhakti Adiguna III, Edisi xii, Nomor 12.

Sayuti, “Permasalahan Konseptual dan Implementasi Dalam Pembaruan Agraria di


Indonesia”, Peneliti pada Puslitbang Sosek Pertanian, Bogor. Akses Internet
tanggal 13 April 2009.

Http://www.antara.co.id, Penetapan Luas Tanah Pertanian Dianggap Tidak Efektif Lagi,


diakses terakhir tanggal 4 Mei 2009.

Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.

Anda mungkin juga menyukai