TESIS
Oleh
TESIS
Oleh
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH.MS.CN)
Ketua
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
ABSTRAK
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
ABSTRACT
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Besar dan Pengasih,
karena berkat dan kasihNya Penulis diberi kesehatan, kekuatan, dan kesabaran serta
DELI SERDANG.”
berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini
Penulis tidak lupa menyampaikan penghargaan serta terimakasih yang tulus kepada
semua pihak yang telah turut memberikan bantuan kepada penulis baik secara
langsung maupun tidak langsung sejak awal Penulis menjalani perkuliahan hingga
Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung SH.M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
3. Bapak Abdul Rahim Lubis, SH. M.Kn, selaku Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang dan Bapak
Drs. Aman Tarigan, selaku Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Pertanahan,
yang telah bersedia penulis wawancarai dan memberikan informasi serta telah
4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH. MS. CN selaku Ketua Program
Pembimbing Utama, yang telah begitu terbuka dan penuh perhatian memberi
bimbingan, arahan dan dorongan sehingga Penulis selalu terdorong untuk menjadi
Penulis;
6. Ibu Hj. Chadidjah Dalimunthe, SH. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing III yang
Penulis;
7. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, S.H, CN, M.Hum selaku Sekretaris Program
Penguji dalam penulisan ini yang telah memberi masukan kepada Penulis;
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
8. Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku Dosen Penguji yang telah
atas jasa mereka yang telah mencurahkan ilmu pengetahuannya dan mendidik
perkuliahan;
11. Kepada yang terhormat dan terkasih (Alm) Papa R.J.S Siburian, SH dan Mama R
Penulis dengan penuh pengorbanan, sabar dan tabah dalam segala hal dari dulu,
sekarang, esok dan seterusnya yang menjadi bagian dalam hidup Penulis serta
12. Kepada kakakku Ir.Roselyne Siburian dan H Sitorus SE, abang-abangku: Ir.
Willfried Siburian dan Dr. Imelda Simbolon serta Andreas Siburian, SH dan Lina
Carla, Josephine, Jeremia, dan Gabriela terimakasih yang tulus buat doa,
semangat serta motivasi yang tiada hentinya kepada Penulis untuk melanjutkan
13. Kepada Bang Sopar Siburian, SH. SpN. M.H, yang telah memberikan dukungan,
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Program Studi Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Bang Pendi, Diana, Armaini, Anna, Freddy, Juni di Kantor Notaris Sopar
hentinya;
Utara angkatan 2007. To my best friends: Juliana, Lisbeth, Novi, Lenny, Afni,
Juni Surbakti, thanks for your kindness. Juga untuk kelas B dan C, special kelas
A yang tidak bisa Penulis sebutkan satu persatu, thanks atas kekompakannya
selama ini dan yang selalu memotivasi serta memberikan semangat dalam
15. Rekan-rekan pada Magister Kenotariatan yang tidak dapat penulis sebutkan satu
16. Special untuk Keluarga Besar Inangtua Sipahutar yang telah memberikan tempat
17. Kepada semua pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa melimpahkan Rahmat-Nya kepada
kita semua dan penulis menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun
Penulis,
ARTHA SIBURIAN
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
RIWAYAT HIDUP
I. Identitas Pribadi
III. Pendidikan
1997.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ........................................................................................... i
ABSTRACT ......................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................ v
RIWAYAT HIDUP ............................................................................. x
DAFTAR ISI ....................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xiii
A. Landreform ................................................................ 30
B. Kepemilikan Tanah Secara Latifundia ...................... 52
C. Kepemilikan Tanah Secara Absentee (Guntai) ........ 63
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB III LARANGAN KEPEMILIKAN TANAH
LATIFUNDIA DAN ABSENTEE (GUNTAI)
DI KABUPATEN DELI SERDANG ........................... 73
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
DAFTAR LAMPIRAN
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
petani penggarap tanah maupun sebagai buruh tani. Oleh karena itu tanah sebagai
tempat berusaha merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
masyarakat. Setiap orang membutuhkan tanah karena tidak ada aktivitas atau kegiatan
orang yang tidak membutuhkan tanah. 1 Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia
ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah.
Mereka hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara
2
mendayagunakan tanah.
Arti penting tanah tersebut dapat dilihat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
yang menyatakan “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
Jelas, bahwa tanah sebagai tempat berusaha, yang merupakan bagian dari permukaan
1
Tampil Anshari Siregar, Mempertahankan Hak Atas Tanah, (Medan: Multi Grafik Medan,
2005), hlm. 2.
2
G. Kartasapoetra, R.G. Kartasapoetra, A.G. Kartasapoetra, A. Setiady, Hukum Tanah
Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 1
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
yang tidak proporsional, kebutuhan tanah pertanian yang meningkat terus serta
sebagai negara merdeka yang berdaulat penuh berusaha untuk mengatur kehidupan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang semula tidak memiliki lahan olahan
atau garapan untuk memiliki atau mempunyai lahan. Berbagai upaya telah dilakukan
dan diawali pada tahun 1945 dengan penghapusan hak-hak istimewa di desa Perdikan
tanah partikulir 4 yang semula dijual kepada warga negara Inggris, Arab dan Cina oleh
Pemerintahan Kolonial Belanda, selama masa kesulitan ekonomi pada awal abad ke
19. 5 Dan berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Tanah Partikulir,
terhadap pemilik tanah diberikan pilihan untuk menjual tanahnya baik secara
langsung kepada petani atau pemerintah untuk dibagi-bagikan. Dan pada saat yang
3
Desa Perdikan adalah desa yang mempunyai hak istimewa berupa pembebasan dari
pembayaran pajak tanah, karena jasa-jasa tertentu pendirinya kepada Raja atau Sultan yang berkuasa.
Para pendiri desa diangkat sebagai kepala desa dengan jabatan yang bersifat turun temurun. Para
kepala desa menganggap bahwa diri mereka adalah pemilik tanah-tanah luas yang dikerjakan dan
digarap oleh penduduk asli sebagai penyakap atau penggarap bagi hasil. (Boedi Harsono, Hukum
Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Jilid I. (Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 1999), hlm. 90.
4
Tanah Partikulir adalah tanah eigendom di atas mana pemiliknya sebelum UU ini berlaku
mempunyai hak-hak pertuanan. (Lihat Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1958). Hak-hak pertuanan yang ada
pada tanah partikulir itu adalah: (1) Hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilihan serta
memberhentikan kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum; (2) Hak untuk menuntut kerja
paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa dari penduduk; (3) hak untuk mengadakan
pungutan-pungutan baik yang berupa uang atau hasil tanah dari penduduk; (4) hak-hak yang menurut
peraturan-peraturan lain dan atau adat setempat sederajat dengan hak pertuanan; (5) Hak-hak untuk
mendirikan pasar, memungut biaya pemakaian jalan dan penyeberangan. (Chadidjah Dalimunthe,
Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya, Medan: USU, 2005, hlm. 32)
5
Erman Rajagukguk, Hukum Agraria Pola Penguasaan Tanah Dan Kebutuhan Hidup.
(Jakarta: Chandra Pratama, 1995), hlm. 2.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
bersamaan diusahakan untuk menyusun ketentuan hukum agraria yang baru, ditandai
yang diatur dalam Agrarische Wet Tahun 1870. Dimulai dari Panitia Agraria Yogya
Setelah melewati jalan panjang dan berliku, Bangsa Indonesia sepakat untuk
perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dengan dikeluarkannya Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya
1960. Salah satu aspek hukum penting dengan diundangkannya UUPA adalah
adalah : 11
6
Panitia ini bertemu di Yogyakarta, dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948 dan diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo.
7
Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1951 tanggal 19 Maret
1951, Panitia Agraria Yogya dibubarkan dan dibentuk panitia baru agrarian, yang berkedudukan di
Jakarta dan diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo dengan wakil ketua Sadjarwo.
8
Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1956 tanggal 14 Januari
1956, Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan diganti dengan panitia baru, dan diketuai oleh Soewahjo
Soemodilogo.
9
Rancangan Undang-undang Agraria diselesaikan oleh Panitia Soewahjo pada tanggal 6
Pebruari 1958 namun kemudian diganti dengan rancangan yang baru. Dikenal dengan Rancangan
Soenarjo yang menjabat sebagai Menteri Agraria pada waktu itu. Rancangan ini diajukan ke Parlemen
pada tanggal 24 April 1958.
10
Berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 5 Juli 1959, Rancangan Undang-undang yang
telah dimajukan sekali lagi diubah. Rancangan yang baru dinamakan Rancangan Sadjarwo dan
dimajukan pada Parlemen tanggal 1 Agustus 1960.( Erman Rajagukguk, Ibid)
11
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 203.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
c. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah
yang terkena larangan absentee, tanah-tanah bekas swapraja dan tanah-tanah
negara;
d. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang
digadaikan;
e. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian;
f. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan untuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan
tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.
haknya atas tanah, melakukan pembagian hasil yang adil dan mengolah tanahnya
demi kemakmuran. Tetapi kenyataannya dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah
masih banyak ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat, dimana ada sekelompok
kecil masyarakat memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan dan melampaui
batas dan di lain pihak kelompok terbesar dari masyarakat mempunyai tanah dalam
jumlah yang sangat terbatas, bahkan banyak pula yang tidak mempunyai tanah sama
sekali dan terpaksa hidup sebagai buruh tani, yang berarti sangat bertentangan dari
penguasaan tanah yang ada sedemikian rupa agar benar-benar bermanfaat bagi
seluruh bangsa Indonesia. GBHN Tahun 1988 menyatakan sebagaimana yang dikutip
12
oleh M. Yamin:
12
Muhammad Yamin, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa
Press, 2004), hlm. 94.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
penggunaan dan penguasaan dan pemilikan tanah termasuk pengalihan hak atas
tanah.”
landreform diatur dalam Pasal 7, 10, 17 UUPA. Pasal 7 UUPA berbunyi “Untuk tidak
melampaui batas tidak diperkenankan”. Dalam pasal ini melarang apa yang
melampaui batas atau disebut juga dengan istilah latifundia. Larangan pemilikan
tuan-tuan tanah dan banyak hal-hal negatif yang mungkin terjadi seperti tidak naiknya
produksi, petani penggarap selalu akan menyewa dan uang sewa akan selalu
dari masyarakat akan terus merosot dan condong tuan-tuan tanah memaksa para
penyewanya untuk memberikan suara pada pemilu bagi golongan yang akan
dan kemiskinan sudah tidak terelakkan lagi. 14 Hal ini akan menyebabkan semakin
sempitnya atau hilangnya sama sekali kemungkinan bagi petani untuk memiliki tanah
sendiri.
13
Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 354
14
A.P. Parlindungan, Bunga Rampai Hukum Agraria serta Landreform, Bagian I, (Bandung:
Mandar Maju, 1989), hlm. 23-24.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Menurut taksiran pada waktu itu 60% dari jumlah petani adalah petani tidak
bertanah. 15 Sebagian dari mereka merupakan buruh tani dan sebagian lainnya adalah
mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap dalam perjanjian bagi
hasil. Jumlah petani yang tidak bertanah semakin lama akan semakin bertambah. Ini
berarti bahwa syarat untuk mendapatkan tanah garapan akan semakin berat
orang-orang yang mempunyai tanah banyak makin lama tanahnya akan semakin
bertambah baik yang dimiliki maupun yang dikuasainya dalam hubungan gadai atau
jual tahunan. Dengan demikian maka pembagian hasil pertanian menjadi tidak
merata.
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 7 UUPA tersebut secara substansi tidak
berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Masih ada tanah-tanah hak milik yang luas
dikuasai oleh satu orang atas nama beberapa pemilik dengan status hak milik, padahal
hal menurut PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian telah memberikan batasan atas tanah pertanian. 16 Seperti
juga yang disinyalir oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
17
bergerak dibidang Pembaharuan Hukum Agraria bahwa:
15
Boedi Harsono, Op. Cit, hlm. 354
16
M. Yamin, Beberapa Dimensi Filosophis Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press,
2003), hlm. 10.
17
“Majalah Forum Keadilan” Nomor 27 tanggal 20 Oktober 2002, seperti yang dikutip dalam
buku Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 204.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tetapi juga perusahaan-perusahaan yang mendapat konsesi pertambangan atau
kontrak kerja pertambangan. Selain itu, perusahaan-perusahaan besar yang
berbisnis dibidang perkebunan atau agrobisnis juga menguasai lahan yang tidak
sedikit.
diantara perusahaan perkebunan yang juga dimiliki oleh para pengusaha papan atas.
Selain itu penumpukan penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum oleh
Dari hal tersebut jelas terlihat adanya ketimpangan pemilikan dan penguasaan
tanah yang terjadi antara petani dan pengusaha-pengusaha papan atas. Untuk itu perlu
adanya penetapan luas maksimum tanah pertanian agar tidak terjadi penumpukan
tanah pertanian pada segelintir orang. Karena jika terjadi penumpukan pada segelintir
orang, maka akan merugikan para petani yang menjadikan sawah sebagai alat
penguasaan tanah yang melampaui batas maka dalam Pasal 17 UUPA diatur luas
18
Ibid.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
maksimum dan atau minimum yang boleh dimiliki oleh satu keluarga baik dengan
Dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam
produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, dan demikian pembagian
hasilnya akan lebih merata pula. Tindakan itu diharapkan akan merupakan pula
pendorong ke arah kenaikan produksi pertanian, karena akan menambah
kegairahaan bekerja para petani penggarap tanah yang bersangkutan, yang telah
menjadi pemiliknya. 19
Penetapan luas tanah pertanian yang harus dimiliki oleh seseorang diatur
dalam Pasal 1 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 yang menyatakan seorang atau
hanya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik milik sendiri atau kepunyaan
19
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 355.
20
UU Prp 56 Tahun 1960 ini dikeluarkan Pemerintah pada tanggal 29 Desember 1960, dan
dinyatakan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1961, tepat pada hari dilangsungkannya apa yang disebut
“Upacara Pengayunan Cangkul Pertama Pembangunan Nasional Semesta Berencana”.
21
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 356.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
orang lain atau dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah,
tanah kering, maupun sawah dan tanah kering dan dengan mengingat keadaan daerah
yang sangat khusus, Menteri Agraria dapat menambah luas maksimum 20 hektar
tersebut dengan paling banyak 5 hektar. Melalui Undang-undang ini luas tanah
langkah awal untuk melaksanakan program landreform dibidang tanah pertanian yang
ini juga setiap orang yang mempunyai tanah pertanian yang melampaui batas
mengalihkan tanah tersebut langsung kepada pihak lain tanpa memperoleh izin dari
Kepala Kantor Pertanahan. Kepada pihak yang menjual atau tidak melaporkan
kelebihan tanahnya diancam dengan pidana kurungan tiga bulan atau denda
Rp.10.000.23 Kelebihan tanah tersebut diambil oleh negara dengan memberikan ganti
22
Undang-Undang Nomor 56/Prp/1960, Pasal 3.
23
Ketentuan Pidana ini diatur dalam Pasal 11 UU No.56/Prp/1960 tentang Penetapan Luas
Pertanian.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
rugi dan selanjutnya diredistribusikan kepada petani yang tidak punya tanah dengan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Selain mengatur tentang redistribusi tanah,
absentee dimana dalam Pasal 3 disebutkan bahwa pemilik tanah yang bertempat
tinggal di luar kecamatan tempat tanah itu terletak dalam jangka waktu 6 bulan wajib
mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanahnya
itu atau pindah ke kecamatan tempat letak tanahnya berada. Ketentuan ini selanjutnya
dalam Pasal 3(a) yaitu tentang kewajiban melapor bagi pemilik tanah yang
24
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan
Pemberian Ganti Kerugian, Pasal 8.
Tanah kelebihan tersebut terlebih dahulu diberikan kepada: a. Petani yang mempunyai ikatan
keluarga sejauh tidak lebih dari derajat kedua dengan bekas pemiliknya dengan ketentuan sebanyak-
banyaknya 5 orang; b. Petani yang terdaftar sebagai veteran; c. Petani janda pejuang kemerdekaan
yang gugur; d. Petani yang menjadi korban kekacauan.
Kemudian lagi dapat dibagikan kepada para petani menurut prioritas sebagai berikut:
a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan; b. Buruh tani pada bekas pemilik, yang
mengerjakan tanah yang bersangkutan; c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;
d. Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan; e. Penggarap yang
mengerjakan tanah pemilik; f. Penggarap tanah-tanah yang oleh Pemerintah diberi peruntukan lain
berdasarkan Pasal 4 ayat (2 ) dan (3); g. Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 hektar; h.
Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 hektar; i. Petani atau buruh tani. (A.P.Parlindungan,
Landreform di Indonesia, Strategi dan Sasarannya, Bandung: Alumni, 1990, hlm. 48)
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tanah melaporkan kepada pejabat yang berwenang, maka pemilik tanah
mendapatkan perpanjangan jangka waktu 1 (satu) tahun lagi untuk memindahkan hak
milik atas tanahnya pada orang lain dimana tanah itu berada dan apabila pemilik
tanah tidak melaporkannya, maka dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak ia
kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan letak tanah tersebut. Dalam
Pasal 3(b) tentang Pegawai Negeri dan Angkatan Bersenjata yang telah berhenti
menjalankan tugas negara dalam jangka waktu 1 (satu) tahun harus mengakhiri
dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan
tanah pertanian secara guntai (absentee) bagi para pensiunan pegawai negeri.
Dalam Pasal 6 diatur bagi para pegawai negeri, pensiunan pegawai negeri, janda
pegawai negeri, dan janda pensiun pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan
seorang bukan pegawai negeri atau pensiunan pegawai negeri dibenarkan mempunyai
diperbolehkan memiliki tanah pertanian secara absentee (guntai) seluas 2/5 dari batas
pemiliknya berada di luar kecamatan yang berbeda dengan lokasi tanah pertanian
dimaksud. Pemilikan tanah seperti ini dilarang oleh undang-undang, karena dianggap
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tidak efektif sebab pemilik tanah berada di luar kecamatan letak tanah tersebut
merupakan gambaran situasi pada waktu ketentuan tersebut dibuat, yang didasarkan
pada keadaan teknologi yang belum maju seperti sekarang ini. Tetapi larangan
tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang
berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan, asal jarak
tempat tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan dari Panitia
tersebut letaknya di desa sedang mereka yang memiliki tanah absentee umumnya
bertempat tinggal di kota. Tujuan melarang pemilikan tanah absentee adalah agar
hasil yang diperoleh dari penguasaan tanah itu sebagian besar dapat dinikmati oleh
masyarakat pedesaan di tempat letak tanah yang bersangkutan, karena pemilik tanah
tanah absentee merupakan jawaban agar para petani mengerjakan sendiri tanahnya
secara aktif dan harus bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah pertaniannya
terletak.
diwujudkan dalam Pasal 10 UUPA yang berbunyi: “Setiap orang dan badan hukum
yang mempunyai sesuatu hak atas tanah-tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuannya atau
a. Pemilikan tanah yang terlampau luas atau pemilikan tanah secara absentee
yang mengakibatkan pemegang hak tidak mampu untuk membangun dan
memanfaatkan tanahnya;
b. Adanya resesi ekonomi yang menimbulkan perubahan struktur pemasaran
atau sebab-sebab lain, sehingga pemegang hak merasa tidak akan memperoleh
keuntungan untuk melanjutkan usahanya dan memutuskan untuk tidak
mengolah tanahnya;
c. Pemegang hak sulit untuk mengusahakan tanahnya sesuai dengan sifat dan
tujuannya, karena adanya penggarapan liar;
d. Spekulasi tanah yang mengharapkan keuntungan secara tidak wajar. 26
Maka untuk mengantispasi agar tidak terjadi tanah-tanah terlantar karena kecil
kemungkinan tanah tersebut dapat dikerjakan sendiri oleh pemiliknya, maka UUPA
inilah yang melemahkan isi pasal itu sendiri karena banyak petani zaman sekarang
adalah petani berdasi atau pejabat yang berspekulasi dan manipulasi tanah sehingga
terjadi petani yang tidak mampu mengerjakan pekerjaan bertani dan tinggal pula di
luar kecamatan tempat tanah tersebut. Dengan fakta realitas demikian sebenarnya
sudah boleh disebutkan bahwa pasal-pasal yang membela rakyat ini atas penguasaan
25
Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya,
(Medan: USU, 2005), hlm. 121.
26
Ibid, hlm. 119
27
M. Yamin, Op. Cit., hlm. 11.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Pada umumnya timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee
banyak terjadi di daerah pedesaan yang tanahnya masih belum terdaftar pada Kantor
Pertanahan. Meskipun sudah ada ketentuan bahwa setiap tanah harus dilaporkan atau
didaftarkan namun banyak pemilik tanah yang belum melaksanakan hal tersebut. Hal
ini dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu karena ketidaktahuan masyarakat atas
kepemilikan tanah tersebut dan atau adanya ketidakpatuhan tiap-tiap individu untuk
pelosok-pelosok daerah jadi apabila dilakukan jual beli atas sebidang tanah biasanya
hanya dilakukan melalui kepala desa. Otomatis kepemilikan atas tanah tersebut
hanya diketahui oleh aparat desa, pihak pembeli dan penjual. Hal-hal seperti inilah
Yang banyak terjadi dalam praktek adalah adanya sebidang tanah pertanian
yang dimiliki oleh seseorang yang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi
karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar
kecamatan letak tanah tersebut. Hal ini dapat terjadi melalui dua cara, yaitu cara
ketentuan tentang tanah absentee dan cara kedua yaitu melalui upaya pemindahan hak
28
Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi.
(Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 21.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa yang
tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi
pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa sehingga pada
hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas
undangan. Memiliki KTP ganda tidak mudah untuk diketahui karena secara yuridis
kalau tanah sudah bersertipikat maka sertipikat atas nama pemilik semula dan surat
dilaksanakan sejak tahun 1960 ternyata prinsip tanah pertanian untuk petani dan
dengan baik. Tanah pertanian masih dijadikan sebagai objek spekulasi yang
Selain itu untuk larangan kepemilikan tanah secara absentee tidak diatur dalam
peraturan tersendiri. Hanya dijadikan salah satu materi muatan dari peraturan
redistribusi tanah. Dan dalam peraturan tersebut tidak secara tegas disebut larangan
tetapi disebut sebagai kewajiban untuk mengalihkan atau kewajiban untuk pindah
lokasi tanah. Untuk itu, aspirasi dalam menegakkan supremasi hukum sudah
dijadikan salah satu prioritas dalam pembangunan nasional. Dalam hal inilah program
landreform terhadap larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee perlu
absentee (guntai)?
(guntai) tersebut?
C. Tujuan Penelitian
(guntai) tersebut.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
D. Manfaat Penelitian
para praktisi maupun bagi para pihak mengenai larangan kepemilikan tanah
E. Keaslian Penelitian
Pertanahan Kabupaten Deli Serdang belum ada yang membahasnya sehingga tesis
1. Kerangka Teori
teori, tesis, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan. 29 Dalam
adanya hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan,
pengolahan, analisa dan konstruksi data. 30 Rianto Adi menyatakan: “Kerangka teori
merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran yang sistematis mengenai
masalah yang akan diteliti. Teori itu masih bersifat sementara yang akan dibuktikan
membawa akibat negatif kepada produktivitas tanah pertanian. Karena pemilik tanah
yang bersangkutan tidak dapat mengusahakan sendiri tanah pertaniannya. Selain itu
juga memberikan kemungkinan bagi orang-orang kaya (uang dan pengetahuan) untuk
menguasai tanah pertanian yang sangat luas dan menjadikannya sarana eksploitasi
terhadap masyarakat petani yang dianggap miskin dan bodoh. Kelanjutannya pun
sudah pasti yakni terhimpunnya tanah pertanian dalam kekuasaan tuan-tuan tanah
Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 menyatakan bahwa bumi, air dan segala
kekayaan yang terkandung didalamnya adalah dikuasai oleh negara dan diusahakan
penguasaan tanah pertanian oleh kalangan tertentu saja, apalagi bukan oleh petani
29
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.
30
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hlm.122.
31
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum, (Jakarta: Granit, 2004), hlm. 29.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tidak diperbolehkan. Jadi secara konstitusional penguasaan tanah pertanian wajib
sebagai berikut : 32
peraturan, yaitu: 33
32
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), hlm. 15.
33
Abdurahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan. (Jakarta: Akademika Pressindo,
1985), hlm. 3.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Faktor-faktor tersebut di atas saling berkaitan erat satu sama lain, sebab merupakan
esensi dari penegakan hukum juga merupakan tolak ukur dari efektifitas berlakunya
Keempat faktor tersebut dapat dikaji berdasarkan teori sistem hukum dari
Lawrence Meir Friedman yang menyatakan: untuk menilai bekerjanya hukum sebagai
suatu proses ada 3 komponen yang harus diperhatikan, yaitu : (a) Legal structure
(struktur hukum); (b) Legal subtance (substansi hukum); dan (c) Legal culture
(budaya hukum). 34
dan orang-orang yang terlibat didalamnya (aparat hukum). Struktur hukum adalah
Unsur substansi hukum adalah aturan, norma dan perilaku nyata manusia yang berada
di dalam sistem itu. Substansi ini merupakan keadaan faktual yang dihasilkan oleh
sistem hukum. Dan unsur kultur hukum adalah suasana pikiran sosial dan kekuatan
Komponen ini terdiri dari nilai-nilai dan sikap warga masyarakat yang merupakan
pengikat sistem hukum serta menentukan tempat sistem hukum itu di tengah-tengah
34
Lawrence M. Friedman seperti yang dikutip dalam buku Ediwarman, Perlindungan Hukum
Bagi Korban Kasus-kasus Pertanahan.(Medan: Pustaka Bangsa Press, 2003), hlm. 76.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
menggambarkan ketiga unsur sistem hukum itu adalah dengan mengibaratkan
struktur hukum sebagai mesin, substansi hukum adalah apa yang dihasilkan atau
dikerjakan oleh mesin itu, dan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang
satu sama lainnya tersebut, maka dapat dikaji bagaimana bekerjanya hukum dalam
praktek sehari-hari. Hukum merupakan budaya masyarakat oleh karena itu tidak
mungkin mengkaji hukum secara satu atau dua sistem hukum saja tanpa
Suatu Peraturan Pemerintah haruslah dijalankan oleh organ atau struktur yang
benar, akan tetapi itu semua akan berjalan dengan efektif apabila didukung oleh
budaya hukumnya. Dengan demikian teori sistem hukum ini menganalisa masalah-
masalah terhadap penerapan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum.
eksistensi larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee. Sehingga dapat
kepentingan para petani yang relatif lemah jika berhadapan dengan para pemilik
modal yang melihat tanah sebagai faktor produksi semata. Perlindungan ini
35
Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah. (Jakarta: Republika,
2008), hlm. 80.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
diimplementasikan dalam UUPA dan dijadikan salah satu asas dalam rangka
bisa dimiliki seseorang. Patokan ini juga berlaku sebagai parameter untuk
menentukan luas tanah pertanian yang dapat dimiliki secara absentee. Untuk
peraturan yang berhubungan dengan larangan pemilikan tanah secara latifundia dan
Pertanian;
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Rugi yang juga dikenal dengan
Redistribusi);
36
Undang-undang Nomor 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian Pasal 10 jo
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 Pasal 19.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian namun salah satu
materi muatan yang diatur adalah larangan kepemilikan tanah secara absentee.
Mengenai tanah absentee dikatakan bahwa “pemilik tanah pertanian yang bertempat
tinggal diluar kecamatan tempat letaknya tanah wajib mengalihkan tanahnya kepada
pihak lain, atau pemilik tanah pindah ke tempat dimana tanah berada.”
1. Pemilikan tanah secara absentee masih diperbolehkan apabila tanah pertanian dan
pemiliknya berada dalam kecamatan yang berbatasan karena hal itu masih
memungkinkan pemiliknya mengerjakan tanahnya secara aktif;
2. Kalangan tertentu masih diperbolehkan memiliki tanah secara absentee karena
mereka berada di tempat lain untuk melaksanakan kewajiban negara dan agama.
37
Ibid
38
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian, Pasal 3.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
2. Konsepsi
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi sesuatu yang konkrit.
Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya perbedaan tentang konsep yang
guna. 42
39
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif. Suatu Tinjauan Singkat.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 7.
40
Tan Kamelo, ”Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia: Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara”, Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002, hlm. 35.
41
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm.253.
42
Ibid, hlm. 250.
43
Ibid, hlm. 655.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tanah agar masyarakat adil dan makmur dapat terselenggara khususnya taraf
hidup petani. 44
f. Ceiling adalah batas maksimun dan minimum pemilikan tanah pertanian yang
h. Tanah garapan adalah sebidang tanah yang sudah ada atau belum dilekati
dengan sesuatu hak yang dikerjakan atau dimanfaatkan oleh pihak lain baik
dengan persetujuan yang berhak dengan atau tanpa jangka waktu tertentu. 47
yang dikuasai secara absentee, tanah swapraja, atau bekas swapraja dan tanah
negara lainnya kepada para petani yang belum mempunyai tanah pertanian
44
Boedi Harsono, Op.Cit, hlm 350
45
A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-undang Pokok Agraria., (Bandung: Mandar
Maju, 1998), hlm. 72.
46
Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003.
47
Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar Mekanisme
Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah Dibidang PertanahanYang Dilaksanakan Oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
j. Petani adalah orang, yang mata pencaharian pokoknya adalah bertani, baik
sendiri secara aktif tanah yang bukan miliknya dengan memikul seluruh atau
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
menjelaskan dan menganalisis hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek
pelaksanaan dari hasil penelitian di lapangan, 50 dalam hal ini pelaksanaan larangan
Serdang.
peraturan yang berlaku mengenai larangan kepemilikan tanah secara latifundia dan
48
Hermat Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah
Pemda, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. 185
49
Ibid, hlm. 186.
50
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum., Op. Cit., hlm. 63.
51
Ibid, hlm. 44.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
2. Sumber Data
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari nara sumber, yaitu
penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah. pendapat para
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
kamus hukum, kamus Indonesia, majalah, surat kabar, jurnal ilmiah,
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier;
Alat pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan
cara:
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
narasumber, 52 yang terlebih dahulu dibuat daftar pertanyaan. Penelitian
5. Analisis Data
Analisis data terhadap data primer dan data sekunder dilakukan setelah
sehingga diketahui validitasnya, lalu dianalisis secara kualitatif dan kemudian diolah
52
Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 21.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB II
A. Landreform
1. Pengertian Landreform
yang amat penting di mana setiap kegiatan pembangunan selalu memerlukan tanah.
penguasaan, pemilikan serta pengalihan hak atas tanah untuk menunjang berbagai
Indonesia.
Agraria sebagai implementasi dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 53, maka terciptalah
hukum pada masa kolonial dimana peraturan yang berlaku didasarkan pada hukum
adat dan hukum barat. UUPA selain merupakan politik hukum pertanahan yang baru
bagi bangsa Indonesia juga merupakan suatu titik tolak perombakan struktur
54
pertanahan yang disebut landreform di Indonesia.
Upaya pengaturan landreform telah dimulai pada tahun 1948 yang ditandai
53
“Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
54
Hustiati, Agrarian Reform di Philipina dan Perbandingannya dengan Landreform di
Indonesia., (Bandung,: Mandar Maju, 1990), hlm. 28.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
1. Panitia Agraria Yogyakarta yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo.
Oleh panitia ini diusulkan beberapa asas yang merupakan dasar hukum agraria
yang baru yaitu perlu diadakan penetapan luas minimum dan maksimum tanah
diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut
hektar untuk petani yang berada di Pulau Jawa. Buat daerah-daerah luar Jawa
dipandang perlu untuk mengadakan penyelidikan lebih lanjut serta perlu diadakan
Beberapa hal penting dari hasil panitia ini adalah mengadakan batas minimum
dan maksimum tanah pertanian. Oleh panitia ini ditentukan minimum 2 hektar
diusulkan antara lain adalah perlunya diadakan penetapan batas maksimum dan
minimum luas tanah yang boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum dan
tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan secara sendiri oleh
pemiliknya.
4. Rancangan Soenarjo.
Hasil panitia Soenarjo ini pada dasarnya tidak berbeda dengan panitia Soewahjo
dan pada masa Menteri Soenarjo inilah Rancangan Undang-undang Agraria pada
tanggal 1 April 1958 resmi diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
panitia ini asas-asas landreform merupakan suatu hal yang penting diatur dalam
5. Rancangan Sadjarwo.
sebagai UUPA yang jika dipelajari banyak memuat asas-asas landreform bahkan
Dari uraian di atas, jelas bahwa program landreform tersebut penting bagi
bangsa yang corak perekonomiannya bersifat agraris seperti Indonesia. Oleh sebab itu
jika konsisten dengan konsep landreform dan dalam hubungannya dengan UUPA
maka UUPA selain merupakan politik hukum pertanahan yang baru bagi bangsa
Indonesia juga merupakan suatu titik tolak perombakan struktur pertanahan baik
Indonesia. 56
UUPA merupakan induk dari landreform Indonesia, hal mana terbukti dari
ini berarti bahwa berbagai undang-undang atau peraturan lain yang berkaitan dengan
pelaksanaan landreform tidak boleh keluar dari sitematika yang telah dikembangkan
oleh UUPA. 58
55
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 125-130.
56
Hustiati, Op.Cit., hlm. 28
57
A.P Parlindungan, Op. Cit., hlm. 7.
58
Hustiati, Op.Cit., hlm. 28.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Dalam kepustakaan agraria sering dijumpai istilah agrarian reform dan
agraria (istilah resmi sebagaimana tercantum dalam TAP MPR Nomor IX Tahun
2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam), Pasal 2
menyebutkan bahwa:
Dalam pasal 2 tersebut, ada empat poin penting yang dinyatakan secara tegas
bagaimana sebidang tanah dimanfaatkan, apakah akan ditanami padi, singkong, karet
ataukah dibangun rumah atau mungkin dibiarkan saja menjadi hutan. Dengan
demikian pembaruan agraria dapat dipilah dalam dua sisi yaitu (1) sisi penguasaan
dan pemilikan yang biasa disebut dengan landreform dalam arti sempit, yaitu
penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah; (2) sisi penggunaan dan
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
mengintroduksikan teknologi baru, menyediakan infra struktur, memberi bantuan
Yang perlu dipahami sebelum sampai kepada apa yang dimaksud dengan
agrarian reform dan landreform adalah tentang batasan “agraria”. Dalam Pasal 1 ayat
(2) dan Pasal 2 ayat (1) UUPA, yang dimaksud dengan agraria adalah “Seluruh bumi,
air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya....”
Pengertian ini sejalan dengan yang tercantum pada TAP MPR Nomor IX Tahun 2001
pada bagian “Menimbang” butir (a) yaitu: “Bahwa sumber daya agraria/sumber daya
alam meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya”. Meskipun tanah hanyalah salah satu objek agraria namun tanah
merupakan objek pokok yang dicakup dalam pengertian agraria. Selanjutnya dalam
permasalahan “tanah” juga ditemui dalam TAP MPR No. IX Tahun 2001 Pasal 6
59
Makalah “Permasalahan Konseptual dan Implementasi Dalam Pembaruan Agraria di
Indonesia” oleh Sahyuti, Peneliti pada Pusat Penelitian Pengembangan Sosek Pertanian, Bogor. Di
akses terakhir tanggal 13 April 2009.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan
masyarakat yang paling erat kaitannya dengan apa yang dibicarakan dalam agraria,
termasuk ketika membicarakan reforma agraria. Hal ini karena pertanian merupakan
sektor yang paling banyak bersentuhan dengan pengolahan tanah. Secara faktual
pembangunan pertanian.
ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA seharusnya digunakan istilah agrarian reform,
61
dimana di dalamnya terdapat landreform, water reform, dan air reform.”
Dengan demikian yang diadakan perombakan tidak hanya hubungan manusia dengan
tanah saja tetapi juga penataan dengan air dan ruang angkasa. Karena itu jika melihat
ruang lingkup Pasal 1 dan Pasal 2 UUPA lebih tepat digunakan istilah agrarian
reform. 62
60
Makalah ”Land Reform di Indonesia” oleh ALSA KLI UGM, Di akses terakhir tanggal 13
April 2009.
61
A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Bandung, Mandar
Maju, 1998), hlm. 79.
62
Boedy Harsono, Op.Cit., hlm 3-4.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
4. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-
hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam
mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan.
5. Perencanaan, persediaan, dan penggunaan bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya serta penggunaannya secara terencana sesuai dengan daya
dan kesanggupan serta kemampuannya. 63
landreform. Maka dikenal sebutan “landreform dalam arti luas dan landreform dalam
arti sempit”. 64 Berkaitan dengan hal tersebut, Boedy Harsono secara tegas
membedakan antara landreform dalam arti sempit dan landreform dalam arti luas.
penguasaan tanah. Sedangkan landreform dalam arti luas disebut sebagai agrarian
65
reform”
Inggris yang terdiri dari kata “land” dan “reform”. Land artinya tanah dan reform
struktur pertanahan akan tetapi yang dimaksud bukan hanya perombakan terhadap
manusia dengan tanah, hubungan manusia dengan manusia berkenaan dengan tanah
63
Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria , (Jogjakarta: Liberty, 1997), hlm. 66.
64
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 3-4.
65
Boedi Harsono, Ibid
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
guna meningkatkan penghasilan petani. 66 Para ahli pun memiliki pandangan yang
berikut:
Pengambilalihan luas tanah secara paksa yang biasanya dilakukan oleh negara
dari pemilik-pemilik tanah yang dengan ganti rugi sebagian. Dan penguasaan
tanah sedemikian rupa sehingga manfaat dari hubungan antara manusia dengan
tanah dapat tersebar lebih merata daripada sebelum pengambilalihan. 67
Dalam definisi tersebut landreform mengandung dua makna yaitu pada satu
sisi negara dapat mengambil tanah-tanah yang dikuasai oleh perorangan kemudian
membagi-bagikan tanah tersebut kepada perorangan dan keluarga dalam unit yang
kecil dan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Pada sisi yang lain tanah-
tanah yang telah diambil alih tersebut diusahakan bersama secara kolektif dalam
kembali tatanan dan prosedur-prosedur yang berlaku sebagai usaha untuk membuat
keseluruhan dari pembangunan ekonomi. 68 Pandangan seperti ini bertitik tolak dari
suatu pemikiran bahwa tatanan yang berlaku dalam sistem penguasaan tanah pada
66
Hustiati, Op.Cit., hlm. 32.
67
Michael Lipton, Towards A Theory Of Landreform, dalam David Lehmann,ed, Agrarian
Reform and Agrarian Reformism, London, Feber and Faber, 1974, P. 269-281, sebagaimana dikutip
oleh Soediono MP Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah di Jawa dan
Madura dari Masa ke Masa, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984), hlm. 314-315.
68
Peter Doner, Land Reform and Economic Development, Penguin Books Australia, Ltd.
1972, hlm. 17-17, sebagaimana dikutip oleh Gunawan Wiradi dalam Soediono MP. Tjondronegoro dan
Gunawan Wiradi, Ibid
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
suatu kondisi tertentu ditinjau dari perspektif pembangunan ekonomi sudah tidak
memadai lagi. Oleh karena itu perlu diadakan perubahan (reformasi). Pandangan ini
pemilikan dan pengawasan terhadap tanah, air dan sumber daya lainnya. Sedangkan
agrarian reform dimaksudkan untuk mengatasi semua aspek yang berkaitan dengan
69
Pendastaren Tarigan, Arah Negara Hukum Demokratis Memperkuat Posisi Pemerintah
Dengan Delegasi Pengaturan dan Pengawasan Tindakan Pemerintah Dalam Bidang Pertanahan,
(Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 287.
70
Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Land Reform Di Indonesia Dan Permasalahannya,
(Medan: USU, 2005), hlm. 40.
71
Ibid
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
hubungan lembaganya. 72 Pendapat berikutnya dikemukakan oleh Gunawan Wiradi
penguasaan tanah demi kepentingan petani kecil, penyakap (tenants), buruh tani tak
bertanah”. 73
dengan hal tersebut Gunawan Wiradi menyatakan bahwa, “Di dalam suatu
sumber dasar dari perekonomian dan politik.” Disisi lain sistem penguasaan tanah
sosial. Kenyataan ini dan keadaan politik ekonomi dan sosial budaya pada umumnya
dari suatu negara serta kemauan politik pemerintahnya menentukan pula corak reform
yang dilakukan. Artinya program agraria dapat dilancarkan dengan titik berat yang
berbeda-beda. Ada yang titik beratnya pada pembangunan ekonomi (dalam hal ini
soal redistribusi tanah tidak begitu difokuskan) dan ada yang menitik beratkan pada
perombakan struktur sosial dan asas pemerataan, maka soal redistribusi tanah
72
Ibid
73
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Dalam Perspektif Transisi Agraris, “Makalah”,
Bandung, 1998, hlm. 14-15.
74
Gunawan Wiradi, Pola Penguasaan Tanah Dan Reforma Agraria, Dalam Dua Abad
Penguasaan Tanah di Jawa Dan Madura Dari Masa Ke Masa, Soediono MP Tjondronegoro dan
Gunawan Wiradi, (Jakarta: PT. Gramedia, 1984), hlm. 314.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Selain itu landreform juga diartikan sebagai perubahan dasar (perombakan)
struktur pertanahan yang berarti bukan sekedar tambal sulam, landreform meliputi
program untuk melakukan tindakan-tindakan yang saling berhubungan satu sama lain
pertanahan. 75
atas dipakai secara terpisah. Istilah landreform dipakai dalam rangka redistribusi
tanah sedangkan agraria reform digunakan untuk tujuan yang lebih komprehensif
sebab tidak hanya menyangkut masalah redistribusi saja tetapi juga menyangkut
tindak lanjut dari redistribusi tersebut. 76 Kegiatan redistribusi tidak terhenti hanya
sampai tanah dibagikan. Jika hanya sampai di tanah dibagikan para petani penerima
tanah cenderung menjual tanah yang telah diterima masing-masing. Oleh karena itu
pembibitan, manajemen, dan teknologi. 77 Para petani kecil harus mempunyai akses
terhadap kredit dengan bunga rendah dan mudah dijangkau, penyediaan infrastruktur
pendukung, memiliki akses pasar dan memperoleh harga yang adil, serta mendapat
75
Chadidjah Dalimunthe, Op. Cit., hlm, 39
76
Pendastaren, Op.Cit., hlm. 288-289.
77
Disampaikan oleh Kepala BPN, Luthfi I Nasoetion pada acara
penyerahan 500 sertifikat tanah pola ajudikasi secara swadaya untuk petani di Kota Gajah, Lampung
Tengah, tanggal 27 Juni 2003, diakses dari http://www.mediaindo.co.id tanggal 6 Agustus 2009.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dukungan teknis untuk mengembangkan sistem produksi pertanian-pangan yang
berkelanjutan.
mencerabut hak-hak rakyat atas tanah dan sumber-sumber agraria lainnya. Penguatan
di Indonesia. Agar Pembaharuan Agraria dapat berjalan dengan baik maka harus ada
berlahan sempit (petani gurem) dan terutama petani penggarap yang tidak memiliki
79
tanah.
bukan sekedar membagi-bagikan ataupun bersifat politis akan tetapi adalah suatu
78
Landreform secara universal/internasional dipahami sebagai bagian dari agrarian reform
dan bukan kegiatan parsial apalagi bersifat proyek “bagi-bagi tanah”, melainkan menuju ke arah
perombakan struktur penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menghilangkan hambatan-
hambatan yang mengganjal para petani menuju kesejahteraan sosial dan ekonominya. (Herman
Hermit, Program Landreform dan Relevansinya dalam Pembangunan di Indonesia”, (Jatinangor:
Fakultas Teknik UNWIM, 2001), hlm. 13.
79
Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan Tanah
Pemda, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. 183.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
usaha untuk reformasi hubungan antara manusia dengan tanah yang lebih manusiawi.
disediakan terlebih dahulu sebelum adanya pembangunan. Hal ini jika mengacu pada
dipergunakan tidak sesuai lagi dengan pengunaan tanah tersebut seperti tanah
hanya warga negara Indonesia saja yang boleh memiliki hak milik atas tanah,
bagaimana ketentuan badan hukum atau apakah warga negara asing boleh memiliki
hak milik atas tanah. Demikian juga halnya dengan masalah peralihan hak atas tanah
yang memerlukan alat yang mutakhir dari sistem pendaftaran tanah yang baik
sehingga tidak mungkin terjadi adanya peralihan hak atas tanah yang berdampak
80
A.P Parlindungan , Aneka Hukum Agraria, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 8.
81
Affan Mukti, Pokok-pokok Bahasan Hukum Agraria, (Medan, USU Press, 2006), hlm. 25.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
kepada sistem pendaftaran yang dapat menimbulkan atau adanya sertipikat asli tapi
palsu dan juga ada sertipikat tetapi tidak ada tanah/lahan. Hal-hal inilah yang perlu
ditata sehingga masyarakat yang akan berhubungan dengan kantor pertanahan dalam
hal ini seksi pendaftaran/pengukuran tanah dapat lebih cepat untuk mengetahui
pemilikan dan penguasaan tanah. Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil
Cohen, agrarian reform adalah sebagai upaya yang luas dari pemerintah yang
ekonomi juga bermakna sebagai suatu program politik untuk merubah struktur
agraria lainnya yang telah dikuasai dalam skala besar atau melebihi batas maksimum
82
Dokumen Kelompok Studi Pembaruan Agraria, “Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan
Agraria sebagai Komitmen Negara Menggerakkan Perubahan Menuju Indonesia yang Lebih Baik”
disampaikan kepada Badan Pekerja MPR RI pada tanggal 21 Mei 2001.
83
Suardi, Hukum Agraria, (Jakarta: Badan Penerbit IBLAM, 2005), hlm. 105.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
yang diambil dari penguasaan rakyat sebelumnya menjadi suatu program penting
Akan tetapi bila UUPA dipelajari secara mendalam maka dijumpai asas-asas atau
prinsip-prinsip tentang landreform, hal ini dapat dipelajari baik dari pasal-pasalnya
pokok landreform itu dijumpai dalam UUPA 85. Sedangkan A.P Parlindungan
pokok mengenai landreform. Yang lebih tegas lagi Abdurrahman menyatakan bahwa
tetapi dapat disepakati bahwa pada dasarnya landreform dan/atau agrarian reform
adalah suatu penataan proses perubahan alokasi dan realokasi, distribusi dan
redistribusi pemilikan atau penguasaan sumber daya pertanahan terutama bagi petani
84
Gouw Giok Siong, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria (Jakarta: 1960), hlm. 22.
85
Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 350
86
A.P Parlindungan, Landreform Indonesia, Suatu Studi Perbandingan, (Bandung: Alumni,
1991), hlm. 10.
87
Abdurrahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Pembebasan Tanah Di
Indonesia, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 47.
88
Pendastaren Tarigan, Op. Cit. , hlm. 291
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Di Indonesia pelaksanaan landreform berlandaskan kepada Pancasila dan
UUD 1945 yang terwujud di dalam suatu rangkaian kegiatan dalam bidang
2. Tujuan Landreform
banyak sekali petani di bawah suatu ikatan tertentu terhadap pemilik tanah, hal ini
disebabkan karena distribusi tanah yang tidak merata. Pada satu sisi terdapat orang
yang menguasai tanah yang sangat luas sementara pada sisi yang lain banyak orang
(petani) menguasai tanah yang sangat sempit bahkan tidak mempunyai tanah sama
sekali (tuna kisma), yang terakhir ini kehidupannya sangat tergantung kepada pemilik
belakang terbentuknya UUPA serta beberapa pendapat yang akan diuraikan berikut
ini. Dewan Pertimbangan Agung (DPA) salah satu lembaga yang ikut mengusulkan
tentang perombakan hak atas tanah dan penggunaan tanah menyatakan bahwa tujuan
makmur khususnya meningkatkan taraf hidup para petani. Kedua, adalah untuk
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
memperkuat dan memperluas pemilikan tanah bagi seluruh rakyat Indonesia terutama
kaum petani. 89
sidang Pleno DPR-GR tanggal 12 September 1960 antara lain menyatakan bahwa:
nasional terjalin erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan
rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan feodalisme 90 atas tanah
dan pemerasan kaum modal asing. 91 Itulah sebabnya maka landreform di Indonesia
1. Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani
yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil,
dengan merombak struktur pertanahan sama sekali secara revolusioner 92 guna
merealisir keadilan sosial;
2. Untuk melaksanakan prinsip tanah untuk petani, agar tidak terjadi lagi tanah
sebagai objek spekulasi dan alat pemerasan;
3. Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga
negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan yang berfungsi sosial.
Suatu pengakuan dan perlindungan bagi privat bezit, yaitu hak milik sebagai
hak yang terkuat, bersifat perseorangan dan turun temurun, tetapi berfungsi
sosial;
4. Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan dan
penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan
89
Boedi Harsono, ibid, hlm. 350
90
Feodalisme adalah sistem sosial di Eropa pada abad pertengahan yang ditandai oleh
kekuasaan yang besar ditangan tuan tanah.
91
Ibid, hlm. 351
92
Revolusioner adalah perubahan secara menyeluruh dan mendasar.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga.
Sebagai kepala keluarga (dalam hubungannya dengan tanah) dapat seorang
laki-laki atau seorang perempuan. Dengan demikian mengikis pula sistem
liberalisme 93 dan kapitalisme 94 atas tanah dan memberikan perlindungan
terhadap golongan yang ekonomis lemah;
5. Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya
pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan
bentuk gotong royong lainnya, untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan
adil, dibarengi dengan sistem perkreditan yang khusus ditujukan kepada
golongan petani. 95
Indonesia. Revolusi Indonesia tanpa landreform adalah sama saja dengan gedung
tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang atau pun sama saja dengan omong
menyatakan:
93
Liberalisme adalah aliran ekonomi yang menghendaki kebebasan pribadi untuk berusaha
dan berniaga (pemerintah tidak boleh ikut campur).
94
Kapitalisme adalah sistem dan paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya
(penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal-modal
perusahaan swasta dengan ciri persaingan di pasar bebas.
95
Boedi Harsono, Ibid., hlm. 351
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
menghalangi tingkat hidup si petani kecil dan buruh pertanian, dan menghambat
kemajuan ekonomi). 96
mempunyai tujuan:
“Untuk meningkatkan penghasilan dan taraf hidup para petani terutama petani
kecil dan petani penggarap tanah, sebagai landasan atau prasyarat untuk
menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan
makmur berdasarkan Pancasila.” 97
disesuaikan dengan UUPA itu sendiri, karena UUPA adalah sebagai induk dari
landreform. Oleh karena itu apa yang menjadi tujuan UUPA juga merupakan tujuan
landreform, yaitu:
negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam kerangka masyarakat yang adil dan
makmur;
96
Affan Mukti, Op.Cit., hlm. 29.
97
Boedy Harsono, Op.Cit., hlm. 352.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Secara umum:
Tujuan landreform adalah mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani
penggarap sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila. 98
Secara khusus:
Dengan berlandaskan pada tujuan secara umum di atas maka landreform di Indonesia
diarahkan agar dapat mencapai 3 (tiga) aspek sekaligus sebagaimana yang dinyatakan
oleh Hustiati, 99I Nyoman Budi Jaya 100 dan Chadidjah Dalimunthe, 101 yaitu:
Atas dasar itu maka sasaran yang akan dicapai adalah memberikan
hukum dan kepastian hak dengan cara memberikan hak milik atas tanah yang telah
digarapnya. Sebagai pengakuan adanya hak milik perseorangan atas tanah maka
98
Ibid, hlm.353.
99
Hustiati, Op.Cit., hlm. 36.
100
I Nyoman Budi Jaya, Tinjauan Yuridis Tentang Redistribusi Tanah Pertanian Dalam
Rangka Pelaksanaan landreform, ( Yogyakarta: Liberty, 1989), hlm. 11.
101
Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hlm. 43-44.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Tujuan landreform sebagaimana tersebut di atas apabila dikaitkan dengan
1945 yaitu untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila,
jelas sangat mendukung. Kaitan itu nampak pula dari ketentuan Pasal 33 ayat (3)
pokok landreform.
102
Asas-asas landreform yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Asas penghapusan tuan-tuan tanah besar. Asas ini dimuat dalam Pasal 7 UUPA;
2. Asas pembatasan luas maksimum dan/atau minimum tanah. Setiap orang atau
badan hukum dilarang memiliki, menguasai tanah pertanian yang menyebabkan
terjadinya monopoli pemilikan tanah pertanian. ( Pasal 17 UUPA);
3. Asas pemerasan orang oleh orang lain. Perlu diadakan perlindungan bagi
golongan warga negara yang lemah terhadap sesama warga-warga yang kuat
kedudukan ekonominya. Asas ini dimuat dalam Pasal 11 UUPA;
4. Asas kewajiban mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif tanah
miliknya. Agar tidak terjadinya tanah-tanah terlantar dan penggunaan tanah
yang tidak efisien. Asas ini dimuat dalam Pasal 10 UUPA.
adalah:
1. Untuk memberikan tanah bagi para petani yang selama ini telah nyata-nyata
hukum terhadap hak atas tanah bagi para petani penggarap yang sah;
102
Y.W Sunindhia dan Ninik Widiyanti, Pembaharan Hukum Agraria (Beberapa Pemikiran),
(Jakarta: Bina Aksara, 1988), hlm.127-129.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3. Kepastian hukum tersebut akan memberikan dampak ketentraman kerja dan
kepastian berusaha bagi para petani karena tanah merupakan faktor produksi
4. Adanya ikatan yang lebih kuat antara para petani dengan tanah yang akan
3. Program Landreform
sehingga bumi, air dan ruang angkasa sesuai dengan asas adil dan merata.
Sejalan dengan hal tersebut di atas, M Yamin menyatakan bagi negara-negara yang
Sesuai dengan tujuan tersebut di atas dan mengingat situasi dan kondisi
103
Bumi Bhakti Adiguna III, 1996, Media Komunikasi Pertanahan , Edisi xii, Nomor 12.
104
M. Yamin dalam “Jawaban Singkat Pertanyaan-pertanyaan Dalam Komentar Atas
Undang Undang Pokok Agraria, A.P Parlindungan”, (Medan: Pustaka Bangsa, 2004), hlm. 13.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3. Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah
negara;
digadaikan;
penataan penguasaan tanah pertanian yan melebihi batas maksimum pemilikan tanah
secara absentee, tanah-tanah bekas swapraja, eks tanah partikelir, tanah-tanah bekas
sangat kecil dan penggunaan tanah pertanian menjadi non pertanian dilarang
Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
Yang Maha Esa adalah dimiliki oleh masyarakat Indonesia dan dipergunakan
105
Chadidjah Dalimunthe, Op. Cit., hlm. 45.
106
Ibid.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
sebesar-besarnya demi kesejahteraan Bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan
makmur dan juga seluruhnya adalah merupakan kekayan alam sesuai dengan fungsi
sosial hak atas tanah yang diatur dalam Pasal 6 UUPA dan juga dalam Pasal (3) UUD
1945 serta Pasal 2 dan Pasal 3 UUPA kepada setiap keluarga diberi batasan tentang
luas tanah yang boleh dikuasai. Maka dalam rangka membangun masyarakat adil dan
dalam Pasal 7 bahwa supaya tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan
dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. 107 Latar belakang
timbulnya ketentuan ini didasarkan pada kondisi objektif pada saat berlakunya
UUPA, bahwa kenyataan menunjukkan 80% rakyat Indonesia pada waktu itu
menggantungkan hidupnya dari usaha pertanian. Pada waktu itu kurang lebih 60 %
dari seluruh petani adalah petani tak bertanah (tuna kisma) dan petani bertanah rata-
rata hanya memiliki 0,6 hektar sawah atau 0,5 hektar tanah kering setiap keluarga
yang nyata-nyata tidak cukup untuk hidup layak pada saat itu. Tetapi di Jawa,
Madura, Sulawesi Selatan, Bali dan Lombok pada saat itu (1960) tercatat 5.400
orang yang mempunyai sawah lebih dari 10 hektar, (1.000 orang diantaranya lebih
dari 20 hektar) dan 11.000 orang mempunyai tanah kering lebih dari 10 hektar (2.700
orang diantaranya lebih dari 20 hektar). 108 Hal itu menggambarkan suatu keadaan
yang akan berdampak negatif, karena tidak ada pemerataan dan ketidakadilan
107
Lihat Penjelasan Umum angka 1 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960.
108
Ibid
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas khususnya di daerah-
daerah yang tingkat kepadatan penduduknya cukup tinggi berarti dapat mengurangi
akses petani dalam memiliki dan menguasai tanah sendiri akibatnya bukan saja terjadi
sebagian orang mempunyai tanah yang berlebih-lebihan sedang yang sebagian besar
lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya, hal ini jelas bertentangan
dengan asas sosialisme Indonesia yang menghendaki pembagian yang merata atas
Maka sesuai dengan tujuan landreform, salah satu upaya untuk mewujudkan
larangan penguasaan tanah yang luas sekali sehingga ada batasan maksimum
seseorang boleh mempunyai tanah terutama tanah pertanian. 109 Untuk membatasi
pemilikan tanah yang melampaui batas maka ditetapkanlah batas maksimum dan
batas minimum pemilikan tanah. Batas maksimum ini disebut juga dengan ceiling.
Tanah kelebihan yang juga disebut surplus akan diambil oleh pemerintah dan
109
A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, Op. Cit., hlm. 72.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dibagikan kepada para petani yang tidak mempunyai tanah (tuna kisma) juga disebut
landless farmers ataupun kepada petani gurem 110 juga disebut near landless farmers.
Indonesia 111 yang menghendaki pembagian yang merata atas sumber penghidupan
rakyat tani yang berupa tanah sehingga akan tercapai rasa keadilan. Seperti tanah
tanah. Hak-hak pertuanan yang ada pada tanah partikulir itu adalah:
Tahun 1958 tanah partikulir ini telah dihapuskan. Dan terhadap tanah partikulir
pemberian ganti rugi kepada pemiliknya dan hanya diberikan kepada tanah-tanah
110
Petani gurem adalah petani yang mempunyai tanah pertanian tetapi dalam jumlah yang
sedikit.
111
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-undang Pokok Agraria, (Bandung: Alumni, 1981),
hlm. 270.
112
A.P. Parlindungan, Land reform di Indonesia, Suatu Studi Perbandingan, (Bandung: Maju,
1991), hlm. 65.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Dalam GBHN, Ekonomi, I, Pertanian, dikatakan bahwa:
Pembangunan pertanian perlu didukung oleh tata ruang dan tata guna tanah
sehingga penggunaan, penguasaan, pemilikan dan pengalihan hak atas tanah dapat
menjamin kemudahan dan kelancaran usaha-usaha pertanian serta benar-benar
sesuai dengan asas adil dan merata. Sehubungan dengan itu, perlu dicegah
pemilikan tanah oleh perseorangan secara berlebihan, serta pembagian tanah
menjadi sangat kecil, sehingga tidak menjadi sumber kehidupan yang layak.
Jelas bahwa GBHN kembali mempertegas larangan latifundia ini. 113
Pemilikan dan penguasaan tanah yang luas oleh segelintir petani membuka
peluang terjadinya pemerasan oleh petani bertanah luas terhadap petani bertanah
sempit atau bahkan tidak memiliki tanah. Pemerasan dapat dikemas dalam bentuk
gadai dan bagi hasil pertanian. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk
memberi tanah pertanian yang cukup luas dengan jalan membuka tanah secara besar-
besaran. Upaya ini juga harus dibarengi dengan adanya batas maksimum tanah
pertanian yang boleh dikuasai satu keluarga, baik dengan hak milik maupun dengan
Selanjutnya yang dilarang dalam Pasal 7 UUPA tersebut bukan saja pada
pemilikan tanah yang melampaui batas tetapi juga pada penguasaannya. Pengertian
istilah pemilikan mempunyai arti yang berbeda dengan istilah penguasaan tanah
pertanian. Pengertian penguasaan tanah pertanian secara yuridis dapat dilihat pada
Pasal 1 UU Nomor 56 Tahun 1960 yang berbunyi “seseorang atau orang-orang yang
menguasai tanah pertanian baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain atau
113
Hustiati, Op. Cit., hlm. 71
114
Lihat Penjelasan Umum Angka 3 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dikuasainya tidak boleh lebih dari 20 hektar, baik sawah, tanah kering maupun sawah
dan tanah kering.” Seandainya seseorang yang mempunyai tanah atas hak milik atau
gadai, menyewakan atau dibagi hasilkan kepada orang lain termasuk dalam
pengertian orang yang menguasai tanah tersebut. Jadi pengertian menguasai itu harus
diartikan baik menguasai secara langsung atau tidak langsung. Begitu pula yang
singkat (Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUPA). Tanah-tanah yang merupakan kelebihan
dari luas maksimum itu diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian untuk
maka pemilikan tanah pertanian selanjutnya dapat lebih merata dan adil. Selain
memenuhi syarat keadilan maka tindakan tersebut akan berakibat pula bertambahnya
produksi karena para penggarap tanah-tanah itu yang telah menjadi pemiliknya akan
lebih giat dalam mengerjakan usaha pertaniannya. Selain luas maksimum perlu juga
diadakan penetapan luas minimum dengan tujuan supaya tiap keluarga petani
mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai taraf penghidupan yang
artinya akan diselenggarakan taraf demi taraf. Dan untuk pertama kali akan dicegah
115
Lihat Penjelasan UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
pemecahan lahan-lahan karena hal itu akan menjauhkan dari usaha untuk
kelebihan tanah oleh pemerintah dengan ganti rugi dan pendistribusiannya kembali
maka pemilikan tanah akan menjadi lebih adil dan merata, yang kemudian akan
menumpuknya tanah ditangan golongan orang tertentu maka pemerintah pertama kali
UU Landrefom ini mengatur tiga masalah pokok yaitu: a) Penetapan luas maksimum
pemecahan tanah yang terlampau kecil; dan c) Pengembalian dan penebusan tanah
Luas maksimum tanah pertanian yang dapat dimiliki oleh keluarga petani
jenis dan kesuburan tanah; besarnya usaha tanah yang baik serta kemajuan teknologi
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
pertanian. 116 Untuk itu diadakan perbedaan antara daerah yang padat (sangat padat,
cukup padat, dan kurang padat) dengan daerah yang tidak padat serta dibedakan pula
jenis tanahnya, antara tanah sawah dengan tanah kering. Lebih jelasnya dapat dilihat
Selanjutnya yang menentukan apakah luas maksimum itu dilampaui atau tidak
pertanian yang dikuasainya, jadi termasuk juga tanah-tanah kepunyaan orang lain
yang dikuasainya dalam hubungan gadai, sewa (jual tahunan) dan sebagainya. Tetapi
tanah-tanah yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat
sementara dan terbatas yang diperoleh dari pemerintah (misalnya tanah hak pakai,
tanah bengkok/jabatan) serta tanah-tanah pertanian yang dikuasai oleh badan hukum
116
Pendastaren Tarigan, Arah Negara Hukum Demokratis Memperkuat Posisi Pemerintah
Dengan delegasi Legislasi Namun Terkendali, (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 307.
117
Ibid, hlm. 308
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Dalam UUPA juga diatur tentang perlunya ditetapkan batas minimum agar
tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai
taraf penghidupan yang layak. Luas minimum tanah pertanian yang dimiliki keluarga
petani oleh UU Nomor 56 Tahun 1960 ditetapkan seluas 2 hektar baik untuk tanah
sawah maupun tanah kering. Konsepsi luas minimum ini akan diupayakan
pencapaiannya secara bertahap, yang juga dilengkapi dengan upaya-upaya lain seperti
maka luas maksimum yang dimaksud dalam UU Nomor 56 Tahun 1960 ditetapkan
sebagai berikut:
118
Lihat Penjelasan Pasal 8 U Nomor 56 Tahun 1960
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Yang dimaksud dengan “daerah” ialah Daerah Tingkat II. 119 Jika tanah yang
dimiliki atau dikuasai itu berada di berbagai daerah maka ketentuan yang
diberlakukan atasnya adalah larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee. 120
Semua kotapraja ditetapkan sebagai daerah yang sangat padat karena pada umumnya
tanah kelebihannya akan diambil oleh pemerintah dengan memberi ganti kerugian
kepada bekas pemilik tanah. Para pemilik lama dilarang menguasai ataupun
memindahkan tanah kelebihan kepada pihak lain dari maksimum yang diperbolehkan.
Hanya negara yang berhak menguasai dan memindahkan tanah kelebihan tersebut
kepada orang lain. Pemilik asal tidak berhak untuk menentukan kepada siapa tanah
itu harus diberikan. Ia hanya dapat memilih dari tanah yang dimilikinya mana yang
ingin tetap dikuasainya dan mana yang akan diserahkan kepada negara. 121 Tanah
kelebihan tersebut kemudian dibagi-bagikan kepada para petani, terutama yang tidak
yang menguasai tanah-tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum
wajib melaporkan kepada Kantor Pertanahan atas kelebihan tanah yang dimilikinya.
Kewajiban lapor itu disertai sanksi, berupa kurungan selama-lamanya 3 bulan dan
119
Boedy Harsono,Op.Cit., hlm. 357
120
Lihat PP Nomor 224 Tahun 1961.
121
Lihat Pasal 4 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
atau denda sebanyak-banyaknya Rp10.000,- apabila kelebihan tersebut tidak
dilaporkan. Selain sanksi pidana ditentukan pula, bahwa jika terjadi tindak pidana
yang berupa pelanggaran Pasal 3 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 tersebut maka tanah
yang selebihnya dari batas maksimum jatuh kepada negara tanpa ganti rugi berupa
apapun, yaitu jika tanah yang bersangkutan semuanya milik terhukum dan/atau
anggota-anggota keluarganya.
keinginannya mengenai bagian tanah yang mana yang akan diambil oleh negara.
Jatuhnya tanah tersebut kepada negara berlaku karena hukum, artinya tidak
memerlukan putusan hakim yaitu setelah ada keputusan pengadilan yang mempunyai
kekuasaan untuk dijalankan, yang menyatakan bahwa benar telah terjadi tindak
berlakunya PMDN ini 122 dan selambat-lambatnya dalam waktu 1 tahun sejak
122
PMDN Nomor 15 Tahun 1974 berlaku sejak tanggal 8 Oktober 1974.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
2. Pengajuan permohonan hak baru yang dibenarkan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan peruntukkan dan
penggunaannya. 123
penetapan luas maksimum tersebut maka dilarang untuk memindahkan hak miliknya
atas seluruh atau sebagian tanah tersebut kecuali dengan izin Kepala Kantor
perbuatan yang sengaja ditujukan untuk beralihnya hak milik yang bersangkutan.
Larangan tersebut hanya berlaku selama belum ada penegasan tanah mana yang akan
diambil oleh pemerintah dan mana yang akan tetap dikuasai oleh yang bersangkutan.
Sementara itu perlu diadakan peraturan izin pemindahan hak untuk mencegah jangan
sampai yang dipindahkan bagian-bagian tanah yang sebenarnya akan diambil oleh
pemerintah.
agar setiap orang mempunyai tanah atau lahan pertanian dengan melarang adanya
pemilikan tanah yang melampaui batas. Maka hal pertama yang dilakukan adalah
123
Chadidjah Dlimunthe,”Politik Hukum Agraria Nasional Terhadap Hak-Hak Atas Tanah,
(Medan: Yayasan Pencerahan Mandailing, 2008), hlm. 76.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
tanahnya secara aktif. 124 Diadakannya ketentuan ini untuk menghapuskan penguasaan
tanah pertanian secara apa yang disebut “absentee” atau dalam bahasa Sunda disebut
dengan “guntai”, yaitu pemilikan tanah yang letak tanahnya berada di luar daerah
tempat tinggal yang mempunyai tanah. (“Absent” artinya tidak hadir, tidak ada di
tempat) 125 atau tanah absentee (guntai) adalah tanah pertanian yang dimiliki oleh
orang perorangan dan keluarga, di mana letak pertanian itu di luar wilayah kecamatan
tanah tersebut berada di luar kecamatan yang berbeda dengan tempat tinggal pemilik
tanah sehingga tidak dapat mengerjakan tanahnya secara aktif. Tetapi larangan
tersebut tidak berlaku terhadap pemilik yang bertempat tinggal di kecamatan yang
berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan asal jarak tempat
tinggal pemilik itu dan tanahnya menurut pertimbangan pada waktu itu masih
ketentuan tersebut merupakan gambaran situasi pada waktu itu yang didasarkan pada
Selain itu tujuan melarang pemilikan tanah secara absentee adalah untuk
tuan tanah agar hasil yang diperoleh dari penguasaan tanah itu sebagian besar dapat
124
Lihat pembahasan Pasal 10 UUPA.
125
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 371.
126
Lihat Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961 dan Pasal 1 PP Nomor 41 Tahun 1964 (tambahan
Pasal 3a sampai dengan Pasal 3e).
127
Lihat Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 224 Tahun 1961.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dinikmati oleh masyarakat pedesaan tempat letak tanah yang bersangkutan, karena
pemilik tanah akan bertempat tinggal di daerah penghasil. Jika pemilik tanah berada
tanah tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya secara aktif, akibatnya terpaksa
dibagi hasilkan kepada petani penggarap di tempat letaknya tanah. Jika penggarap
hanya mempunyai hubungan bagi hasil dengan tanahnya apa yang menjadi tujuan
Larangan absentee lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 224
Tahun 1961 tentang pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. Dalam Pasal 3
peraturan ini antara lain ditentukan bahwa bagi pemilik tanah pertanian yang
bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya diberikan dua pilihan,
yaitu: pertama, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya
kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan atau kedua
kepada pemilik tanah tersebut diwajibkan untuk pindah dalam satu kecamatan dengan
tanah tersebut. 129 Untuk mencegah usaha-usaha yang bertujuan menghindarkan diri
dari ketentuan tersebut di atas dijelaskan “pindah ke kecamatan letak tanah yang
baru sehingga memungkinkan penggarapan tanah miliknya secara efisien. 130 Dengan
128
Chadidjah Dalimunthe, Op.Cit., hlm. 42.
129
Lihat Pasal 3 UU Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian ganti Kerugian.
130
Boedi Harsono, Op.Cit., hlm. 371.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
demikian belumlah cukup jika seseorang telah mempunyai kartu penduduk di tempat
yang baru padahal menurut kenyataannya sehari-hari ia masih tetap berada di tempat
Dalam pasal tersebut juga disebutkan bahwa jika pemilik tanah pertanian
letak tanah itu selama 2 (dua) tahun berturut-turut sedang ia melaporkan kepada
pejabat setempat yang berwenang, maka dalam waktu 1 (satu) tahun kemudian
setelah berakhirnya jangka waktu 2 (dua) tahun tersebut maka kepada pemiliknya
diwajibkan untuk mengalihkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang
letak tanah tersebut. 131 Sedangkan pemilik tanah pertanian absentee yang telah
pindah tempat atau meninggalkan kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah
itu selama 2 (dua) tahun berturut-turut maka wajib memindahkan hak atas tanahnnya
kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan tersebut atau kembali pindah
ke kecamatan tempat letak tanah tersebut. 132 Selanjutnya pemilik tanah pertanian
absentee yang diperoleh dari warisan dalam waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak si
bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah itu terletak atau dia pindah ke
131
Lihat Pasal 3a ayat 1 PP Nomor 41 Tahun 1964.
132
Lihat Pasal 3a ayat 2 PP Nomor 41 Tahun 1964.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
kecamatan letak tanah itu. Dalam hal tertentu dengan alasan yang wajar dapat
dipenuhi maka tanah yang bersangkutan dikuasai oleh pemerintah dan kepada
pemilik tanah diberikan ganti kerugian. Untuk selanjutnya tanah tersebut dijadikan
sebagai tanah objek landreform yang akan diredistribusikan menurut hukum yang
berlaku.
Terhadap larangan absentee ini tidak berlaku bagi pemilik tanah pertanian
yang sedang menjalankan tugas negara seperti pegawai negeri, pejabat militer atau
letak tanah di maksud dengan ketentuan bahwa luas tanah yang dimiliki tersebut tidak
boleh melebihi 2/5 dari ketentuan luas maksimum pemilikan tanah pertanian yang
dengan mereka berhenti dalam menjalankan tugas negara (misalnya: pensiun) dan
mempunyai hak milik atas tanah pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya dalam
waktu satu (1) tahun terhitung sejak ia mengakhiri tugasnya tersebut diwajibkan
pindah ke kecamatan letak tanah itu atau memindahkan hak milik atas tanahnya
kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan dimana tanah itu terletak. Dan
133
Lihat Pasal 3c PP Nomor 41 Tahun 1964
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
dalam hal-hal tertentu jangka waktu tersebut dapat diperpanjang oleh Menteri Agraria
jika ada alasan yang wajar. Pertimbangan tersebut didasarkan kepada perlunya
mengusahakan sendiri secara aktif dan mencegah cara-cara pemerasan. 134 Dalam
usaha dibidang pertanian tidak boleh ada pemerasan tidak boleh terjadi apa yang
manusia lain. 135 Dalam penjelasan umum UUPA (II.7) antara lain disebutkan dalam
ketentuan Pasal 10 ayat (1) adalah suatu asas yang pelaksanaannya masih
memerlukan pengaturan lebih lanjut. Dalam peraturan pelaksanaan itu nanti kiranya
yang seperti itu harus dilakukan menurut ketentuan yang berlaku sehingga tidak
dilakukan oleh pihak-pihak atas syarat-syarat yang ditentukan sendiri tetapi harus
ditetapkan oleh pihak yang berwenang jadi tidak dibenarkan adanya exploitation de
134
Lihat Konsiderans PP Nomor 41 Tahun 1964
135
Pasal 11 ayat (1) UUPA, menyebutkan hubungan hukum antara orang termasuk badan
hukum dengan bumi, air, dan ruang angkasa serta wewenang yang bersumber dari hubungan hukum
itu akan diatur, harus memperhatikan kepentingan orang lain dan dicegah penguasaan atas kehidupan
dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas. Selanjutnya pada ayat (2), bahwa perbedaan hukum
golongan atau masyarakat bila perlu harus diperhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap
ekonomi lemah.
136
Dalam penjelasan tersebut dicontohkan seorang pegawai negeri yang untuk persediaan hari
tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan pekerjaannya tidak mungkin dapat
mengusahakannya sendiri, kiranya harus dimungkinkan untuk memiliki tanah tersebut. Selama itu
tanahnya boleh diserahkan kepada orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian sewa, bagi hasil dan
lain sebagainya. Tetapi setelah ia tidak bekerja lagi sebagai pegawai negeri (misalnya pensiun) tanah
itu harus dikerjakannya sendiri secara aktif.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah
Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri dinyatakan
seorang pegawai negeri dalam waktu 2 tahun menjelang masa pensiun, diperbolehkan
membeli tanah pertanian secara guntai (absentee) seluas sampai 2/5 dari batas
maksimum penguasaan tanah untuk Daerah Tingkat II yang bersangkutan. 138 Dasar
pertimbangan dari ketentuan tersebut adalah bahwa dewasa ini umumnya sukar bagi
para pensiunan tersebut untuk berpindah ke tempat letak tanah itu meskipun
pemilikan tanah itu dimaksudkan untuk jaminan di hari tua setelah pensiun. 139
Dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang ini dan juga di masa yang akan
datang adanya ketentuan tentang pengecualian ini, kiranya sudah saatnya untuk
dipikirkan lagi relevansinya. Sebab bukan saja jumlah pegawai negeri dan
137
Lihat PP Nomor 4 Tahun 1977
138
Lihat Pasal 6 PP Nomor 4 Tahun 1977
139
Lihat Konsideran PP Nomor 4 Tahun 1977.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Guntai Bagi
Para Pensiunan Pegawai Negeri diartikan juga janda pegawai negeri dan janda
pensiunan pegawai negeri selama tidak menikah lagi dengan seorang bukan pegawai
negeri atau pensiunan pegawai negeri yang tentunya akan menambah jumlah orang
yang dikecualikan dalam memiliki tanah absentee, sementara tanah pertanian dapat
dipastikan tidak akan bertambah. Kalau demikian akan bertambah banyak pula
jumlah orang yang mempunyai tanah absentee baik yang dilarang maupun yang
hidupnya semata-mata dari pertanian (petani) saja kondisi tanah pertaniannya sudah
sangat sempit.
penguasaan tanah oleh sekelompok orang yang dapat merugikan rakyat tidak
dibenarkan, hal ini telah diatur dalam penetapan batas maksimum penguasaan tanah
pertanian dan kepemilikan tanah absentee. Namun, didalam praktek masih dijumpai
tanah (present land tenure) dan penggunaan tanah (present land use) mengakibatkan
usaha pemerintah untuk melaksanakan pembagian yang adil atas tanah dan hasil yang
adil pula tidak berhasil dengan baik. 140 Banyak masyarakat yang mempunyai tanah
yang cukup luas dan yang tidak mempunyai tanah sama sekali, banyak tanah yang
Hal itu disebabkan karena tanah-tanah tersebut tidak terdaftar di Kantor Pertanahan
sehingga dapat dengan mudah terjadi peralihan hak secara terus menerus tanpa
melalui instansi yang berwenang. Hal inilah yang dapat menimbulkan kepemilikan
absentee adalah kemudahan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Yang
banyak terjadi dalam praktek adalah adanya sebidang tanah pertanian yang dimiliki
oleh seseorang dalam kenyataannya sudah tidak dikuasainya lagi karena telah beralih
secara diam-diam ke tangan orang lain yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah
memiliki tanah absentee umumnya bertempat tinggal di kota. Hal ini dapat terjadi
tentang tanah absentee dan faktor yang lain melalui upaya pemindahan hak yang
Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa yang
tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi
pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa sehingga pada
hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas
141
Maria SW Sumardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi Dan Implementasi.
(Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 21.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
merupakan penyelundupan hukum melanggar ketentuan peraturan perundang-
undangan. Memiliki KTP ganda tidak mudah untuk diketahui karena secara yuridis
kalau tanah sudah bersertipikat, maka sertipikat atas nama pemilik semula dan surat
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB III
UUPA membuktikan hal ini. Beberapa pasal UUPA yang memuat objektif
Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat
mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian
sifat daripada haknya hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan
dengan fungsi sosialnya maka adalah suatu hal yang wajar bahwa tanah itu harus
Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau
pemegang haknya melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan-hukum
atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah itu
142
Hustiati, Op.Cit., hlm. 37.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
(Pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan
2. Pasal 7 UUPA :
tanah yang melampau batas tidak diperkenankan”. Dalam masalah land reform
3. Pasal 10 UUPA :
(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah
pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.
(2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat (1) ini akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengecualian terhadap asas tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam
peraturan perundangan.
dikembangkan dengan slogan “tanah untuk petani” (land to the tiller). 144
4. Pasal 11 UUPA :
(1) Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air
dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada
hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam
pasal 2 ayat (3) dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang
lain yang melampaui batas.
(2) Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan
rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan
golongan yang ekonomi lemah.
143
A.P. Parlindungan, Aneka Hukum Agraria, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 8.
144
Ibid.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
5. Pasal 13 UUPA :
(1) Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur
sedemikian rupa sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat
sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap
warga-negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia,
baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.
(2) Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari
organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
6. Pasal 17 UUPA :
(1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau
minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam
Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.
(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan
dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat.
(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud
dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian,
untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut
ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan
ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-
angsur.
yang mengatur secara garis besarnya saja dan untuk melaksanakannya diperlukan
yang dibentuk ini tidak boleh bertentangan dengan sistematika yang telah ditetapkan
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Adapun yang dimaksud dengan pembaharuan agraria mencakup suatu proses
Undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 7 dan 17 UUPA.
pertama, pada saat ini lebih kurang dari 60 % petani di Indonesia adalah petani
tak bertanah, sebagian dari mereka adalah buruh tani dan sebagian lagi
mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap dalam hubungan
bagi hasil. Sedangkan petani yang mempunyai tanah hanya menguasai tanah rata-
rata 0,6 hektar sawah atau 0,5 hektar tanah kering. Disamping petani-petani yang
tidak mempunyai tanah pada sisi yang kontradiktif terdapat sebagian kecil petani
menguasai tanah yang luasnya berpuluh-puluh hektar atau sampai ribuan hektar.
Perlu diketahui tanah-tanah itu tidak semuanya dipunyai mereka dengan hak
sedang yang sebagian besar lainnya tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya
pembagian yang merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
itu, agar ada pembagian yang adil pula atas hasil tanah-tanah tersebut. Oleh
karena itu perlu ditetapkan luas maksimum dan minimum tanah pertanian.
tahun bahkan sampai pada ahli warisnya karena penggadai tidak mampu untuk
menebus tanahnya.
Pasal 1 PP Nomor 224 Tahun 1961 antara lain mengatur tentang tanah-tanah yang
tanah-tanah guntai yang diambil oleh pemerintah, tanah-tanah swapraja dan bekas
swapraja yang telah beralih kepada negara, dan tanah-tanah lain yang dikuasai
langsung oleh negara 146 untuk selanjutnya tanah-tanah tersebut akan dibagikan
145
Pasal 3 Peraturan ini telah diubah dan ditambah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41
Tahun 1964, yaitu tentang pengecualian Pasal 3 bagi Pegawai Negeri Sipil dan ABRI, dan PP Nomor 4
Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah Secara Guntai bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.
146
Tanah-tanah lain yang dikuasai lagsung oleh negara menurut ketentuan pasal 1 huruf d
tersebut antara lain tanah-tanah bekas partikelir, tanah-tanah dengan hak guna usaha yang telah
berakhir jangka waktunya, dihentikan atau dibatalkan, tanah-tanah kehutanan yang diserahkan kembali
penguasaannya oleh jawatan yang bersangkutan kepada negara dan lain-lain. Dari penjelasan tersebut
terlihat bahwa ketentuan pasal 1 huruf d tersebut bersifat unlimitatif, artinya terbuka kemungkinan
kepada pemerintah untuk menentukan tanah sebagai objek landreform.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
pertanian. Dari ketentuan tersebut di atas adanya pengaturan lembaga-lembaga
melainkan juga mengatur tentang tindak lanjut dari pembagian tanah tersebut,
sehingga tujuannya tidak hanya pemerataan tetapi yang paling penting adalah
7. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak
penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum dan belum dikuasai oleh
Selanjutnya kepada pihak yang menguasai tanah yang melebihi batas maksimum
Ketentuan ini berlaku juga terhadap tanah-tanah yang dimiliki secara guntai.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Seiring dengan perkembangan zaman sekarang ini dan kebutuhan atas tanah
absentee tersebut masih eksis berlangsung atau perlu dikaji kembali. Banyak
digunakan. Dengan melihat kondisi tanah yang tersedia dan perkembangan zaman
peraturan yang khusus mengatur tentang tanah tanah absentee. Dasar penetapannya
masih berpedoman kepada petunjuk Pasal 1 dan Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961.
letak tanah miliknya menjadikan tanah pertanian tersebut masuk kategori tanah
absentee. Batas daerah kecamatan dijadikan sebagai patokan karena jarak antara
secara efektif. 147 Didalam kenyataannya selalu ditemukan keadaan jarak antara
tempat tinggal pemilik dengan tanah pertaniannya yang berada di luar kecamatan dan
tidak berbatasan dengan kecamatan tempat tinggalnya, lebih dekat daripada tanah
lain yang berbatasan. Hal ini diperkirakan akan semakin meluas di masa datang
147
Lihat, Penjelasan Pasal 3 PP Nomor 224 Tahun 1961.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Kepemilikam tanah absentee yang membedakan antara seseorang dengan
Badan Hukum, dimana seseorang dilarang memiliki tanah absentee sementara banyak
penguasaan tanah sajapun akan dapat memberikan kesempatan bagi penduduk yang
hidupnya pada kegiataan pertanian untuk meningkatkan taraf hidup sehingga dapat
dipersamakan dengan mereka perlu direvisi ulang, karena fasilitas untuk dapat
memiliki lahan pertanian di luar kecamatan tempat tinggalnya sebesar 2/5 dari batas
maksimum di Daerah Tingkat II setempat pada saat sekarang ini sudah terlampau
besar. Penempatan pegawai negeri pada posisi istimewa semacam itu pada tingkat
kepemilikan tanah secara latifundia, dalam Pasal 2 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960
menentukan luas maksimum tanah pertanian yang dimiliki didasarkan pada jumlah
terjadinya kelebihan anggota keluarga serta luas tanah yang dimiliki kiranya juga
ekonomis agar dapat menunjang kehidupan yang layak bagi petani beserta
148
M. Yamin, “Revitalisasi Penggunaan Tanah”, Makalah, Disampaikan pada Seminar
Masalah Pertanahan di Sumatera Utara yang diadakan oleh DPRD Prop. Sumatera Utara di Garuda
Plaza Hotel Medan, tanggal 17 Oktober 2005)
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
keluarganya yang bervariasi sesuai dengan kondisi daerahnya saat ini serta perkiraan
dijadikan dasar adalah hanya terbatas pada tanah-tanah pertanian yang mempunyai
dasar pemilikan dan atau penguasaan dengan hak milik, baik hak milik yang dapat
dibuktikan dengan sertipikat yang sudah didaftarkan pada Kantor Pertanahan ataupun
belum didaftarkan (tanah adat). Padahal dalam perkembangan penguasaan tanah saat
ini yang menjadi dasar penguasaan tanah tidak hanya terbatas pada hak milik tetapi
juga terjadi dalam hubungan sewa menyewa ataupun gadai, meskipun hal tersebut
terbatas pada perorangan. Padahal yang menguasai tanah yang sangat luas
sesungguhnya bukan terletak pada petani perorangan sebagaimana yang diatur dalam
peraturan ini, melainkan kebanyakan dikuasai oleh badan-badan usaha baik swasta
kelebihan harus melaporkan tanah lebihnya tersebut dalam jangka waktu 3 bulan.
tidak melapor akan kelebihan tanahnya tersebut. Menurut Arie Sukanti Hutagalung
pada akhirnya tidak dapat terlaksana karena bergantung pada kepatuhan individu
Selain itu mengenai batas minimum kepemilikan tanah 150 juga dianggap tidak
efektif lagi dalam penegakannya, karena jumlah petani sudah semakin besar
sementara areal tanah pertanian yang tersedia semakin sempit. Dan juga kenyataan
pertanian pun sudah jauh lebih meningkat dibanding pada saat berlakunya UU No. 56
apabila dilaksanakan dengan baik sesuai dengan ketentuannya tidak akan ditemukan
lagi masyarakat yang tidak memiliki tanah, khususnya para petani yang tidak
mempunyai tanah. Hal ini disebabkan karena Pemerintah masih setengah hati dalam
menerapkan peraturan tersebut, hal ini dapat dilihat dari kebanyakan pemilik tanah
yang melampaui batas maksimum dan tanah absentee (guntai) adalah para pengusaha
(birokrasi) itu sendiri sehingga secara psikologis para aparat Kantor Pertanahan tidak
mengenai jumlah masyarakat yang memiliki tanah yang melampaui batas dan tanah
149
Sumber: Http://www.antara.co.id, ”Penetapan Luas Tanah Pertanian Dianggap Tidak
Efektif, tanggal 30 Juli 2007. Diakses tanggal 04 Mei 2009.
150
Pasal 8 UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 menyebutkan ”Pemerintah mengadakan usaha-
usaha agar setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
B. Efektifitas Larangan Kepemilikan Tanah Pertanian Secara Latifundia Dan
peraturan tersebut memenuhi tiga syarat yaitu: peraturan itu dibuat sesuai dengan
filosofi bangsa yang bersangkutan; peraturan itu dibentuk sesuai dengan norma
hukum yang berlaku untuk itu; serta sesuai dengan nilai dan kesadaran hukum yang
hidup dalam masyarakat. Ketiga syarat tersebut tidak bersifat statis tetapi dinamis,
tahun 1960 pada saat itu corak ekonomi dari bangsa Indonesia masih agraris dengan
struktur pemilikan tanah yang tidak seimbang dan dilatarbelakangi oleh dualisme
hukum tanah. Sebagai bangsa agraris, maka para petani memandang tanah sebagai
kemanusiaan yang utama, maka secara filosofis tanah pertanian mempunyai nilai
yang sangat tinggi. Dengan demikian, pembentukan UUPA pada tahun 1960 sudah
memenuhi syarat. Hal ini terlihat jelas dalam program land reform Indonesia yang
berkeinginan untuk merombak struktur pemilikan atas tanah pertanian yang tidak
151
Ady Kusnadi’ Cs, Penelitian tentang Efektifitas Peraturan Perundang-undangan
Larangan Tanah Absentee, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
Hak Asasi Manusia RI, 2001), hlm. 69.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
hukum pertanahan yang didasarkan pada hukum adat (hukum yang hidup dalam
masyarakat).
Sebagai negara agraris diinginkan agar konsep tanah pertanian untuk petani
pertanian itu maka yang mengolahnya pun haruslah orang yang memahami seluk
beluk pertanian. Manakala tanah pertanian dikuasai oleh para tuan tanah (landlord),
tanah itu akan dijadikan sebagai sarana eksploitasi terhadap penggarap tanah. Kalau
tidak demikian maka tanah pertanian akan ditelantarkan (hanya sebagai sarana
investasi saja) yang berakibat tidak baik terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa. Hal
seperti itu adalah bertentangan dengan filosofi negara agraris yang memandang tanah
sebagai sumber kehidupan. Karena itulah, hal tersebut akan diakhiri melalui
batas maksimum dan minimum serta melarang pemilikan tanah secara absente.
(guntai) dalam UUPA tidak secara khusus ditemukan istilah absentee. Akan tetapi
dalam Pasal 10 UUPA, dikatakan bahwa setiap orang dan badan hukum yang
memiliki suatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau
penjelasan umumnya dikatakan, bahwa asas ini telah dijadikan dasar perubahan
struktur pertanahan hampir diseluruh dunia. Dan untuk melaksanakan asas ini perlu
diwujudkan batas maksimum dan minimum luas tanah pertanian yang boleh dimiliki
yang disebut masyarakat industri. Hilangnya areal pertanian yang subur telah
membawa bangsa Indonesia ke dalam krisis pangan. Bangsa Indonesia harus kembali
mengimpor beras karena areal pertanian sudah berubah menjadi perumahan mewah
dan bangunan pabrik. Artinya masyarakat Indonesia masih tetap merupakan negara
agraris tetapi negara agraris yang tidak mempunyai tanah pertanian yang cukup untuk
para petani. Akibatnya para petani masuk ke kota-kota besar untuk mencari sesuap
nasi tanpa sebuah harapan di masa depan dan menjadi beban berat bagi pemerintah
kota. Pada dekade tahun 60-an melalui UUPA dengan program landreform telah
diberikan janji kepada para petani yang mempunyai lahan kecil dan petani penggarap,
bahwa mereka akan mempunyai tanah pertanian sendiri yang diperoleh melalui
redistribusi tanah pertanian. Tanah-tanah yang akan dibagikan itu berasal dari tuan-
tuan tanah yang melebihi batas maksimum, tanah absentee yang diambil oleh
pemerintah, ditambah lagi dengan tanah swapraja dan bekas swapraja yang
diserahkan kepada pemerintah serta tanah negara yang dikuasai oleh pemerintah.
tanah secara latifundia dan absentee, apakah hal ini sudah sesuai dengan nilai yang
hidup dalam kesadaran hukum masyarakat. Seorang petani yang memandang tanah
pertanian sebagai sumber kehidupan pribadi dan keluarganya tentunya tidak berpikir
memiliki tanah sampai ratusan hektar tersebut adalah orang-orang kota yang
152
mempunyai uang, untuk dijual kembali dengan harga yang mahal.
tetapi dibeli sebagai sarana investasi dan dijual kembali setelah harganya tinggi. Sifat
hedonis 153 yang kental pada orang kota mengakibatkan tanah digunakan sebagai
sarana spekulasi dan eksploitasi hanya untuk meraih keuntungan semata. Dengan
pandangan yang demikian tentunya orang kota khususnya secara ekonomis mampu
secara absentee.
Dengan demikian dilihat dari nilai yang hidup di dalam masyarakat, para
petani hampir semua mengatakan konsep tanah pertanian untuk petani dan wajib
diolah sendiri harus ditegakkan. Tanah pertanian banyak yang terlantar dan tidak
diolah dengan semestinya karena pemiliknya bukan keluarga petani dan tinggal di
daerah lain yang umumnya di perkotaan dan telah mempunyai sumber penghidupan
yang lain.
sewaktu UU Nomor 224 Tahun 1961 dikeluarkan masyarakat petani banyak yang
152
Wawancara dengan Bapak Aman Tarigan, Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan Tanah
pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 11 Juni 2009.
153
Hedonis adalah pengikut aliran hedonisme, yaitu mempunyai suatu pandangan hidup yang
menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan materi adalah tujuan utama dalam hidup. (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, 1999, hlm. 345)
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
mengharapkan adanya ganti rugi dari pemerintah. Tetapi sesuai dengan
kelebihan tanahnya karena menganggap bahwa ganti rugi yang di berikan oleh
pemerintah lebih kecil dibandingkan apabila mereka menjualnya sendiri. Hal inilah
yang menyebabkan Kantor Pertanahan sulit untuk mengontrol kepemilikan hak atas
Operandi pembelian tanah oleh orang kota dilakukan dengan berbagai cara.
Ada yang menggunakan Kartu Tanda Penduduk Asli Tetapi Palsu (KTP Aspal). Asli,
karena KTP itu benar-benar asli dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Palsu,
Berdasarkan KTP Aspal tersebutlah dilakukan jual beli tanah pertanian. Selain itu ada
juga yang menggunakan jasa calo yang mampu mengurus jual beli tanah itu sampai
memperoleh Akta Jual Beli yang dilakukan dihadapan Notaris atau Camat.
adalah perubahan kebijakan pertanahan oleh penguasa. Dalam kaitan ini dikutip
pengakuan Menteri Kehakiman pada era Kabinet Reformasi, yaitu Prof. Muladi,
S.H 155 mengatakan semenjak tahun 1970-an dengan jargon pertumbuhan ekonomi
yang diharapkan akan tercapai pemerataan, maka arah kebijakan pertanahan yang
154
Wawancara dengan Drs. Aman Tarigan, Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan
Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 11 Juni 2009
155
Muladi, Seminar Reformasi Kebijakan di Bidang Pertanahan, Jakarta, 2000 (di akses
melalui internet, pada bulan Maret 2009)
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
digariskan oleh UUPA itu telah bergeser dari cirinya yang populis ke arah pemberian
yang secara ekonomi dan politik mempunyai kedudukan dan posisi tawar yang kuat.
Pergeseran kebijakan ini juga berdampak pada pemilikan dan penguasaan tanah
secara absentee, dimana secara jelas terlihat sebagian kecil masyarakat menguasai
begitu luas tanah dan sebagian besar (petani) hanya menguasai sebagian kecil tanah
pertanian.
dan absentee selalu berhubungan dengan redistribusi tanah pertanian yang dilakukan
dahulu harus mengambil tanah-tanah yang kelebihan melebihi batas maksimum dan
tanah yang dimiliki secara absentee dengan memberikan ganti rugi yang ditetapkan
landreform selama ini hampir sama dengan membangunkan singa tidur. Bila salah
akhirnya memunculkan:
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
1. Penguasaan pemilikan tanah yang melampaui batas (ceiling);
2. Pemberdayaan hak-hak tanah rakyat yang tidak proporsional dan
menyimpangi asas tanah untuk petani (land to the tillers);
3. Keberpihakkan pemerintah kepada dunia usaha yangmembutuhkan tanah,
tanpa memperhatikan dan menghormati hak-hak rakyat yang telah ada;
4. Penyerobotan tanah yang melanggar peraturan yang ada;
5. Tidak transparannya pengambil kebijakan serta pelaksana kebijakan
pertanahan, sehigga tanah menjadi menarik digunakan sebagai ajang spekulasi
dan manipulasi, yang berakibat bahwa yang punya uang adalah pemenang
mutlak sekalipun berhadapan dengan hukum. 156
memperburuk ketimpangan penguasaan tanah. Jika pada tahun 1960-an dikenal tuan-
tuan tanah yang menguasai ribuan hektar tanah dalam wilayah-wilayah tertentu
sekarang akumulasinya semakin bertambah puluhan ribu hektar dan dikuasai oleh
absentee sudah tidak efektif untuk dilaksanakan. Untuk tanah absentee, batasan yang
dibuat oleh undang-undang itu adalah dengan memakai ruang lingkup wilayah
kecamatan, sementara dengan zaman yang sudah berkembang ini sarana transportasi
sehingga batasan itu seharusnya antar kabupaten, bukan antar lingkup kecamatan lagi.
156
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum
Agraria,( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hlm.110
157
Faryadi, “Land reform, Jawaban Bagi Ketimpangan Penguasaan Tanah di Jawa Barat,
(Jakarta: 2000), hlm. 507
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
adanya pemekaran terhadap daerah-daerah, wilayah yang sebelumnya sangat luas jadi
dipersempit menjadi antar kecamatan sehingga semakin sempitlah ruang gerak dari
wilayah kecamatan tersebut. Tetapi khusus untuk kriteria luas maksimum bidang
tanah pertanian dianggap masih tetap relevan dan dapat dipertahankan. Karena
dengan pembatasan ruang lingkup tersebut dapat diharapkan tercipta keadilan dan
pemerataan dalam pemilikan dan penguasaan tanah pertanian dan mencegah orang-
orang yang akan menguasai tanah melebihi luas maksimum tersebut. 158
tidak berjalan seperti yang diharapkan, masih banyak masyarakat yang tidak
pertanian; 159 selain itu juga kurangnya sosialisasi dari kantor pertanahan terhadap
kepemilikan atas tanah tersebut disebabkan karena tidak adanya program dari
Pemerintah. Dari pihak Kantor Pertanahan sendiri tidak ada keinginan untuk
menjalankan program itu sendiri dengan alasan untuk menjalankan program tersebut
disamping itu peraturannya sudah tidak sesuai lagi dengan kesadaran hukum yang
158
Wawancara dengan Bapak Abdul Rahman Lubis, SH, MKn, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 05 Juni 2009.
159
Wawancara dengan Bapak Abdul Rahman Lubis, SH, MKn, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 05 Juni 2009.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Ketentuan-ketentuan landreform dalam UUPA (Pasal 7,10,17) masih bersifat
lips servive atau dilaksanakan dengan parsial-parsial dan sekedar formalitas yang
Namun secara keseluruhan belum merupakan peningkatan yang berarti atas akses
tanah masyarakat. Sebaliknya yang dapat dilihat contoh objektif landreform yang
mendesak segera diatur adalah batas ceiling yang tentunya dalam PP Nomor 224
Tahun 1961 sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi ceiling saat ini.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB IV
Peraturan Presiden ini adalah bahwa tanah merupakan perekat Negara Kesatuan
Republik Indonesia sehingga perlu diatur dan dikelola secara nasional untuk menjaga
bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Sebelumnya lembaga ini berada di
160
Arie Sukanti Hutagalung dan Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 88.
161
Indonesia, Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional,
Pasal 2.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
atas tanah; reformasi agraria; pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan
Dengan penetapan tugas pokok dan fungsi BPN sebagaimana tersebut di atas,
maka Perpres Nomor 10 Tahun 2006 ini memiliki beberapa signifikasi yang
Perpres No. 10 ini mengangkat dan menekankan kembali acuan nilai yang telah
ditegaskan dalam UUPA No. 5/1960 mengenai kesatuan hubungan abadi antara
bangsa dan tanah air Indonesia. Kedua, Perpres ini juga menegaskan lagi kedudukan
tanah sebagai perekat kesatuan bangsa dan fungsi sosialnya sebagai landasan untuk
memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, dalam Perpres ini juga dinyatakan bahwa
kebijakan pertanahan harus bersifat nasional dan tidak boleh terkotak-kotak oleh
BPN untuk menjalankan fungsi-fungsi yang telah diperluas di antaranya adalah untuk
melaksanakan reforma agraria dan menangani sengketa, konflik dan perkara agraria.
Kelima, dalam fungsi dan struktur BPN RI yang baru juga ada penekanan mengenai
162
Yusup Napiri , Moh. Sohibuddin, Iwan Nurdin, Syahyuti, “Reforma Agraria, Kepastian
Yang Harus Dijaga”, (Bogor: Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan/KRKP, 2006), hlm. 33-34.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Selanjutnya dalam hal kebijakan pertanahan nasional, perlu juga ditambah
sepanjang itu menyangkut hukum, pedoman dan kebijakan nasional yang secara rinci
Peppres Nomor 10 juga menyebutkan salah satu tugas dari pada BPN yaitu
informasi dan manajemen pertanahan yang mencakup berbagai kegiatan yang salah
satunya adalah penyusunan basis data. Penyusunan basis data ini sebagai bahan
perencanaan untuk meningkatkan pola penyusunan dan pemilikan yang lebih adil
163
Arie Sukanti Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta:
Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hlm. 74-76
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Pelayanan pertanahan pada Kantor Pertanahan pada prinsipnya adalah
pelayanan data dan informasi pertanahan. Data yang tersimpan di Kantor Pertanahan
merupakan data yang diperoleh dan diolah melalui proses yang rumit dan panjang
mengikuti aturan yang tertuang pada Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun 2005
data selalu dilakukan apabila terjadi perubahan pada subyek atau obyek hak atas
tanah. Karena yang sifatnya yang sangat dinamis, maka data pertanahan mempunyai
tingkat pengambilan (retrievel) dan pembaruan (up dated) yang cukup tinggi. Di satu
merupakan proses yang dengan sangat mudah dilakukan teknologi informasi dengan
maka semua proses pelayanan data pertanahan disetiap kantor pertanahan dapat
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
serta membangun dan mengembangkan sistem informasi pertanahan nasional
(Simtanas).
2003) terletak pada posisi 020 57’ sampai dengan 30 16’ Lintang Utara dan 980 33’ s/d
990 27’ Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Deli Serdang terletak di wilayah pantai
timur Propinsi Sumatera Utara dan dapat dilihat dalam tabel berikut ini:
Karakteristik Penjelasan
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Luas wilayah Kabupaten Deli Serdang pada saat awal terbentuknya yakni
pada awal kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 adalah sekitar 6.589,65
km2. Selanjutnya, pada tahun 2003 Kabupaten Deli Serdang mengalami pemekaran
menjadi 2 (dua) wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten
Serdang Bedagai, sehingga luas Kabupaten Deli Serdang saat ini tinggal 2.497,72
yakni meliputi perubahan penggunaan lahan (land use), kondisi topografi wilayah,
dan perkebunan rakyat) dan luas permukiman terus berkembang dari waktu-kewaktu
sedangkan luas sawah (tadah hujan dan irigasi) dan tegalan/kebun campuran hampir
lahan untuk permukiman meningkat dari waktu ke waktu dimana pada tahun 1995
tercatat seluas 12.135 ha dan pada tahun 2005 menjadi 26.252 ha atau meningkat
sebesar 4.186 ha dalam 9 tahun atau bertambah rata-rata 465 ha per tahun.
sehingga luas tanah pertanian yang dapat diberikan pada seseorang seluas 6 hektar
untuk tanah kering dan 5 hektar untuk tanah sawah dengan jumlah kepadatan
penduduknya rata-rata 652 tiap kilometer persegi. Dan pemberian batas luas
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
perkembangan zaman sekarang dan memperhatikan jumlah penduduk yang kian
bertambah.
dilaksanakan oleh Kantor pertanahan Deli Serdang sejak tahun 1960-an, sejak
peraturan UU Nomor 56 Tahun 1960 dan PP Nomor 224 Tahun 1961 diberlakukan
dibuktikan dengan adanya pemberian hak atas tanah negara maupun yang berasal dari
tanah objek landreform dan diberikan sesuai dengan luas yang telah ditetapkan
berdasarkan pada peraturan yang berlaku dan subjek penerimanya tetap disyaratkan
harus bertempat tinggal di kecamatan letak tanah yang dimohonkan. Apabila ada
persyaratan yang tidak memenuhi pemberian hak tersebut maka akan ditolak atau
tidak akan diproses dan berkasnya akan dikembalikan kepada pemohon. 164
Dari data sekunder yang didapat pada kantor pertanahan Deli Serdang dapat
absentee (guntai) tersebut di atas tidak berlaku efektif. Hal ini dapat dilihat dari data
laporan pelaksanaan landreform yang masuk pada kantor pertanahan dalam setiap
tahun maupun dari hasil berbagai penelitian bahwa tanah kelebihan maksimum
(latifundia) tidak terdata dan untuk tanah absentee tidak efektif lagi pelaksanaannya.
Alasannya adalah dalam praktek di lapangan banyak terlihat tanah-tanah baik secara
langsung maupun tidak langsung dinyatakan sebagai tanah yang dimiliki oleh
164
Wawancara dengan Bapak Abdul Rahim Lubis, SH, MKn, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertahanan Kabupaten Deli Serdang.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
penduduk yang berasal dari luar kecamatan letak tanah tersebut. Akibatnya pendataan
dan latifundia yang dimiliki oleh masyarakat setempat tidak ada. Banyak masyarakat
yang tidak melaporkan atas kepemilikan tanahnya dengan alasan bahwa kewajiban
untuk mendaftarkan tanah tersebut sesuai dengan Pasal 19 UUPA adalah kewajiban
ini belum bisa melakukan pendaftaran terhadap sebidang tanah di seluruh Indonesia.
ketidaktauannya banyak masyarakat yang belum mendaftarkan hak atas tanah yang
bahwa suatu bidang tanah dikategorikan tanah latifundia dan tanah absentee.. Hal ini
pula yang menyebabkan hasil sensus pertanian tidak dapat mengungkapkan bahwa
165
secara faktual tanah itu absentee akan tetapi secara yuridis tidak.
Hal ini disebabkan juga karena sangat mudah untuk mendapatkan KTP di
Indonesia. Seseorang yang tinggal di Jakarta mudah sekali untuk mendapat identitas
KTP di Lubuk Pakam. Kantor Pertanahan tidak mempunyai hak uji material.
Sehingga dalam memproses sertipikat tanah itu kalau sudah sesuai dengan prosedur
maka sertipikatnya dikeluarkan. KTP tidak bisa diuji benar atau palsu oleh BPN.
165
Ibid
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Sehingga banyak masyarakat kota yang memiliki tanah di daerah. Maka terjadilah
Penggunaan dan Pemanfaatan tanah (P4T) yang dilakukan pada wilayah desa
didata berdasarkan alamat atau tempat tinggal pemilik tanah di desa Sukamandi Hulu,
yaitu pemilik tanah yang bertempat tinggal di luar kecamatan Pagar Merbau
(kecamatan tempat letak tanah). Tempat tinggal para pemilik tanah tersebut tersebar
Galang, serta kota Medan.. Luas pemilikan tanah absentee ini tercatat seluas
adanya tertib administrasi pertanahan yang baik sesuai ketentuan yang berlaku. Hal
ini dapat dilihat dari data pertanahan yang ada, dimana bukti kepemilikan atas tanah
masih berupa surat jual beli dibawah tangan dan peralihan-peralihannya juga hanya
dibuat berdasarkan rasa saling percaya antara pemilik tanah dengan pembeli (tanpa
dibuat dalam akta). Disamping itu masih terdapat tanah-tanah yang tidak mempunyai
166
Wawancara dengan Drs. Aman Tarigan, Kepala Seksi Pengaturan dan Penataan
Pertanahan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, pada tanggal 11 Juni 2009.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
bukti hak sama sekali yang sebagian besar berasal dari tanah garapan. Penguasaan
tanah dengan cara sewa dan bagi hasil juga belum dilaksanakan sesuai dengan
tanah pertanian yang diperoleh secara absentee di kecamatan tersebut berasal dari jual
beli yang pemiliknya rata-rata tidak tinggal di daerah letak tanah tersebut. Jelas dalam
hal ini, sistem administrasi pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang
dengan ketentuan yang berlaku karena untuk mengetahui kepemilikan atas tanah
latifundia dan absentee pun tidak ada datanya. Belum adanya sistem pelayanan
sosialisasi dari Aparat Pemerintah. Padahal fenomena tanah absentee dan kelebihan
fenomena yang biasa terlihat atau terdengar dan secara terbatas diketahui oleh
penduduk atau warga setempat. Jadi pada umumnya masyarakat yang melakukan jual
beli tanah sebatas hanya kepada pihak penjual dan disaksikan oleh Camat dan tidak
ada sanksinya kepada pihak penerima tanah yang tidak mendaftarkan tanahnya ke
BPN sehingga pola jual beli sebagaimana yang dilakukan di atas mengakibatkan
administrasi pertanahan menjadi tidak tertib dan untuk mencari data-data yang
salah satu tugas dan tanggung jawabnya Kantor Pertanahan memberikan penyuluhan-
administrasi pertanahan karena belum seluruhnya Daftar Nama orang yang memiliki
tanah di Kabupaten Deli Serdang terdaftar. Daftar nama diperlukan sebagai instrumen
untuk melakukan kontrol dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Yang telah ada
saat ini adalah daftar buku tanah dan surat ukur. Jadi kalau data-data yang diperlukan
oleh BPN telah lengkap seperti buku tanah, daftar nama, surat ukur maka sangat
mudah untuk melihat siapa-siapa saja yang menguasai tanah lebih dan mempunyai
salah satu kunci utama dalam pencapaian bentuk pelayanan yanag menjadi harapan
masyarakat. Karena dalam praktek di lapangan sering terjadi bahwa ada sebidang
tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya sudah tidak
dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain yang
167
Wawancara dengan Bapak Abdul Rahim Lubis, SH, MKn, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah pada Kantor Pertahanan Kabupaten Deli Serdang.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
berdomisili di luar kecamatan letak tanah tersebut. Hal ini biasa karena adanya
tentang tanah absentee dan melalui upaya pemindahan hak terselubung yang dikenal
dengan pemberian kuasa mutlak. Melalui kuasa mutlak, maka pemberi kuasa
(penjual) memberikan kuasa yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa
segala perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas merupakan
penyelundupan hukum.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
BAB V
A. Kesimpulan
1. Latar belakang timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee yaitu
penggunaan kuasa mutlak. Yang banyak terjadi dalam praktek adalah adanya
sebidang tanah pertanian yang dimiliki oleh seseorang dalam kenyataannya sudah
tidak dikuasainya lagi karena telah beralih secara diam-diam ke tangan orang lain
menyebabkan banyak orang kota atau orang yang mempunyai uang banyak
membeli tanah pertanian untuk usaha atau hanya untuk investasi masa depan. Hal
komputerisasi belum terlaksana dengan baik. Jadi siapa saja bisa dengan mudah
untuk mempunyai lebih dari satu KTP. Memiliki KTP ganda tidak mudah untuk
diketahui karena secara yuridis kalau tanah sudah bersertipikat maka sertipikat
atas nama pemilik semula dan surat kuasa hanya diketahui oleh kedua belah pihak
saja.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Selain itu melalui kuasa mutlak maka pemberi kuasa (penjual) memberikan kuasa
yang tidak dapat ditarik kembali kepada penerima kuasa (pembeli) yang diberi
pemindahan hak atas tanah yang menjadi objek pemberian kuasa, sehingga pada
hakekatnya merupakan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah. Hal ini jelas
undangan. Selain itu timbulnya kepemilikan tanah secara latifundia dan absentee
karena tanahnya masih belum terdaftar pada Kantor Pertanahan. Meskipun sudah
ada ketentuan bahwa setiap tanah harus dilaporkan atau didaftarkan namun masih
banyak pemilik tanah yang belum melaksanakan hal tersebut. Hal ini dapat
yang dimilikinya.
tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sekarang ini sehingga banyak
larangan kepemilikan tanah absentee belum ada peraturan yang khusus mengatur
tentang tanah absentee. Selain itu ukuran batas kecamatan sebagai dasar
penetapan tanah absentee perlu dikaji ulang. Hal ini berkaitan dengan semakin
majunya sarana transportasi serta adanya pemekaran kecamatan yang satu dengan
di luar kecamatan tempat tinggalnya sebesar 2/5 dari batas maksimum di Daerah
Tingkat II setempat pada saat sekarang ini sudah terlampau besar. Berkaitan
keluarga serta luas tanah yang dimiliki kiranya perlu juga diadakan peninjauan
kembali. Selanjutnya jangka waktu melapor dalam waktu 3 bulan atas kelebihan
tanahnya perlu dikaji ulang, dan juga mengenai batas minimum kepemilikan
tanah juga dianggap tidak efektif lagi dalam penegakkannya karena jumlah petani
sudah semakin banyak sementara areal tanah pertanian yang tersedia semakin
sempit.
pendaftaran tanah yang efektif dan efisien sebagai upaya dalam memberikan
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pemegang hak atas
tanah. Dengan didaftarkannya hak atas tanah tersebut nantinya dapat diketahui
siapa-siapa saja yang menguasai tanah lebih dan yang mempunyai tanah yang
berada di luar kecamatan dan terhadap tanah kelebihan (latifundia) dan tanah
absentee tersebut akan diberikan ganti rugi oleh Kantor Pertanahan kepada
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
pemilik awal dan selanjutnya diberikan kepada petani yang tidak mempunyai
tanah.
B. Saran
mendapatkan KTP ganda sudah tidak bisa lagi. Dan penggunaan Surat Kuasa
Mutlak dibidang pertanahan perlu pula segera diatur bagi Para Pejabat di bidang
pertanahan, Camat, Kepala Desa yang melayani penyelesaian status hak atas
direvisi ulang atau diganti karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
dan kebutuhan penduduk saat ini, misalnya penetapan tentang luas batas
maksimum dan minimum pemilikan tanah (ceiling) sudah tidak relevan lagi
karena jumlah petani sudah semakin besar sementara areal tanah pertanian yang
memberi dampak positif terhadap para petani dan pembangunan pertanian dan
dapat terlaksana dengan baik selain itu partisipasi aktif dari para petani dan rakyat
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
3. Perlu pengawasan yang ketat dari aparat kantor pertanahan terhadap tanah-tanah
terhadap tanah-tanah pertanian agar lebih ditingkatkan lagi dan sistem informasi
mereka yang akan mendaftarkan tanahnya dapat diproses dengan cepat dan
mudah.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial Dan Hukum. Jakarta: Granit, 2004.
Hermit, Herman., Cara Memperoleh Sertifikat Tanah Hak Milik, Tanah Negara dan
Tanah Pemda, Bandung: Mandar Maju, 2004.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Hutagalung, Arie Sukanti, Program Redistribusi Tanah di Indonesia; Suatu Sarana
Ke Arah Pemecahan Masalah Penguasaan Tanah dan Pemilikan Tanah,
Jakarta: Rajawali, 1985.
Lubis, M. Solly, Filsafat Ilmu Dan Penelitian. Bandung: Mandar Maju, 1994.
Mukti, Affan., Pokok-pokok Bahasan Hukum Agraria. Medan: USU Press, 2006.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Rajagukguk, Erman, Hukum Agraria Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup,
Jakarta: Chandra Pratama, 1995.
Salindeho, John, Masalah Tanah Dalam Pembangunan, Jakarta : Sinar Grafika, 1988.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Tjondronegoro, Soediono MP dan Gunawan Wiradi, Dua Abad Penguasaan Tanah di
Jawa dan Madura dari Masa ke Masa, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1984.
Wahid, Muchtar, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik atas Tanah, Jakarta:
Republika, 2008.
Yamin, Muhammad dan Abdul Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum
Agraria. Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004.
B. Peraturan Perundang-undangan
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak
Lanjut Pelaksanaan Land Reform.
Keputusan Kepala BPN Nomor 2 Tahun 2003 tentang Norma dan Standar
Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah Dibidang Pertanahan
yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
Media Komunikasi Pertanahan, Bumi Bhakti Adiguna III, Edisi xii, Nomor 12.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.
Artha Rumondang Siburian : Eksistensi Larangan Kepemilikan Tanah Secara Latifundia Dan Absentee (Guntai):
Studi Di Kantor Pertanahan Kabupaten Deli Serdang, 2010.