Anda di halaman 1dari 142

TINJAUAN YURIDIS PERALIHAN HAK MILIK ADAT PAKPAK

YANG BELUM TERDAFTAR MELALUI JUAL BELI


DI KECAMATAN SALAK

TESIS

Oleh

SITTI ROHAYA HASIBUAN


147011197/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017

Universitas Sumatera Utara


TINJAUAN YURIDIS PERALIHAN HAK MILIK ADAT
PAKPAK YANG BELUM TERDAFTAR MELALUI JUAL BELI
DI KECAMATAN SALAK

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada


Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh

SITTI ROHAYA HASIBUAN


147011197/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS PERALIHAN HAK MILIK
ADAT PAKPAK YANG BELUM TERDAFTAR
MELALUI JUAL BELI DI KECAMATAN SALAK
Nama Mahasiswa : SITTI ROHAYA HASIBUAN
Nomor Pokok : 147011197
Program Studi : KENOTARIATAN

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN,MHum) (Abdul Rahim Lubis, SH, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH,MHum)

Tanggal lulus : 02 February 2017

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji pada
Tanggal : 02 February 2017

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
2. Abdul Rahim Lubis, SH, MKn
3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum

Universitas Sumatera Utara


SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : SITTI ROHAYA HASIBUAN
Nim : 147011197
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS PERALIHAN HAK MILIK
ADAT PAKPAK YANG BELUM TERDAFTAR
MELALUI JUAL BELI DI KECAMATAN SALAK

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.

Medan,
Yang membuat Pernyataan

Nama : SITTI ROHAYA HASIBUAN


Nim : 147011197

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang
penting sebagai kebutuhan manusia. Kebutuhan akan tanah untuk daerah yang sedang
berkembang selalu mengalami peningkatan seolah-olah tanah menjadi barang yang
sangat berharga. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh Negara diarahkan dengan
mempertahankan Hak Atas Tanah Ulayat, agar terwujud keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa dan atau perbuatan
hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik
kepada pihak lainnya. Peralihan tersebut bisa disengaja olehn karena adanya
perbuatan hukum seperti jual beli, sewa menyewa dan sebagainya, dan juga tidak
disengaja karena adanya peristiwa hukum seperti peralihan karena warisan. Peralihan
hak atas tanah adalah suatu peristiwa atau perbuatan hukum yang mengakibatkan
berpindahnya hak seseorang terhadap tanah ke pihak lain, sehingga menyebabkan
kehilangan kesewenangannya terhadap tanah tersebut. Dalam hukum adat, hak milik
dapat beralih dan dialihkan. Jual beli tanah yang mengakibatkan beralihnya hak milik
tanah kepada pembeli disebut dengan istilah jual lepas. Dengan berubahnya status
tanah adat menjadi hak milik adat, maka hubungan antara masyarakat dengan tanah
tersebut lepas. Lepas disini dalam arti pemilik tanah telah bebas menentukan sendiri
kegunaan tanah tersebut. Sistem jual beli tanah dalam hukum adat menganut sistem
tunai/konkrit/terang/nyata artinya setiap hubungan harus terlihat nyata.hal ini karena
masyarakat adat masih sangat sederhana, sehingga dalam transaksi jual beli tanah
tersebut baru mengikat apabila transaksi tersebut terlihat secara konkrit dan nyata
telah terjadi yaitu dibuktikan dengan adanya pertukaran, berupa penyerahan tanah
sebagai objek dengan sekaligus penyerahan uang secara tunai sebagai pembayaran.
Jual beli tanah di Kecamatan Salak yang masih dilakukan berdasarkan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat, dengan melakukan jual beli tanah dihadapan Kepala
Desa dengan dihadiri saksi-saksi dari pihak keluarga terdekat baik dari pihak pembeli
dan penjual juga Sukut Nitalun. Status tanah sebagai objek jual beli di Kecamatan
Salak adalah tanah adat yang telah dikuasai dan diusahai secara turun temurun dan
juga tanah warisan, objek tanah yang diperjual belikn adalah tanah persawahan, tanah
perladangan dan pertapakan perumahan yang telah dikuasai secara turun temurun
maupun yang diperoleh dari warisan serta tanah yang diperoleh dari peralihan hak
dengan jual beli. Jual beli tanah di Kecamatan Salak masih dilakukan dibawah tangan
yaitu hanya dibuat dengan memakai kertas segel atau kertas biasa yang ditempel
materai dan dilakukan dihadapan Kepala Desa.

Kata Kunci : Jual Beli Tanah Adat, Masyarakat Pakpak.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Land as the bounty of God the Almighty has an important function for human
needs. The need for land for a developing area is rapidly increasing so that land
becomes very expensive. Land control and use by the State is directed by maintaining
the Right of community adat land for the sake of social justice for all Indonesian
people.
Land title transfer is one of the juristic fact and/or legal act which causes the
incidence of land title transfer from its owner to another party. The transfer can be
done intentionally because of a legal act in buy and sell, leasing, etc., and
unintentionally because of juristic fact like inheritance. It is a juristic fact or legal act
which cause the shift of a person’s right to another party so that the former loses his
authority on that land. In the adat law, property rights can be transferred. Land
transact which causes the transfer of land rights to the buyer is called sell outright.
The change in adat land status to become adat property rights makes the relation
between the community and the land ended. It means that the land owner is free to
use the land. The system of land transact in the adat law follows
cash/concrete/transparent system which means that transact should be transparent
since adat community has simple nature so that the transaction should also be
concrete and real in transferring the land and in receiving its payment.
Land transact in Salak Subdistrict is still done according to the custom; land
transact is done before the Village Head, witnessed by the relatives of the seller and
the buyer, and by Sukut Nitalun. Land status as a transact object in Salak Subdistrict
is an adat land which has been used and cultivated from generation to generation
and as an inheritance. The transferred plots of land are wet rice fields, rice fields,
and land to be used for housing which have been controlled from generation to
generation or from inheritance and from land transfer with buy and sell. Land
transact in Salak Subdistrict is usually dine underhandedly; it uses only stamped
paper or any paper with stamp and done it before the Village Head.

Keywords: Adat Land Transact, Pakpak Community

ii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul
“TINJAUAN YURIDIS PERALIHAN HAK YANG BELUM TERDAFTAR
MELALUI JUAL BELI DI KECAMATAN SALAK)”. Tesis ini merupakan
persyaratan akademik untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi Mahasiswa Program Studi
Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
sekaligus Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan, dukungan,
perhatian dan masukan kepada Penulis.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi
Magister Keniotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus
Pembimbing yang dengan penuh perhatianmemberikan bimbingan dan saran
kepada Penulis.

iii

Universitas Sumatera Utara


5. Bapak Abdul Rahim, SH, MKn, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
telah meluangkan waktunya dan menyumbangkan fikiran serta memberikan
petunjuk dalam pengarahan materi Ilmiah.
6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS, selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan kritik dan masukan yang sangat membangun kepada Penulis.
7. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, selaku Dosen Penguji yang telah
memberikan kritik dan masukan yang sangat membangun kepada Penulis.
8. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Staf Pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu
kepada Penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Seluruh Staf Pegawai Administrasi di Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, selaku para pihak yang selalu
membantu selama penulis menuntut ilmu di Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10. Kepada yang terhormat dan terkasih kedua orang tua Penulis Hj. Siti Asoh
Siregar dan Ayahanda serta yang tersayang suami tercinta Rahmat Berutu, SE
dan kedua Mertua Penulis yang telah memberikan segala perhatian, kasih sayang
dan dukungan baik moril maupun materil yang sangat luar biasa kepada Penulis.
11. Buat Saudaraku tersayang : Drs. Rudy Hartono Hasibuan, Muhammad
Sofwan Hasibuan, dan Jamilatunnur Hasibuan buat semangat dan dukungan
yang diberikan dan tempat Penulis berbagi cerita.
12. Buat Abang dan Adik-adikku : Kasiman Berutu, SE, Msi, dan Elok Berutu,
ST, Samudera Berutu, SKom, Rahim Berutu, Ssi serta Abdul Manan
Berutu, SSi.
13. Buat Anak-anakku tersayang : Syafura Atika Majidah R. Berutu, Qeysa
Yumna Salsabila R. Berutu dan Nabila As-Syifa Luthfiyah R. Berutu serta
Risnawati Kaban, SE yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang

iv

Universitas Sumatera Utara


kepada Penulis untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
14. Buat teman-teman yang selalu melewati hari bersama sama : Heni Fitria, Merry
Helrina, Indra Hermawan, Agustian dan Habib Muhammad yusuf dan Bang
Neilman Ginting
15. Rekan-rekan satu angkatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan dukungan moral
kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
16. Keluarga Besar Mahasiswa di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya
sehingga Penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tesis ini masih terdapat banyak
kekurangan baik segi penulisan maupun substansi yang masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun demi penyempurnaan tesis ini.
Akhir kata Penulis mengharapkan semoga hasil penelitian ini dapat
bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan juga bagi pembaca pada umumnya.

Medan, Februari 2017


Penulis,

Sitti Rohaya Hasibuan

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Sitti Rohaya Hasibuan
Tempat/Tanggal Lahir : Tanjung Baringin, 30 Maret 1977
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jalan Sikadang Njandi Nomor 108 Salak
Nomor Handphone : 0852 6115 2075

II. KELUARGA
Nama Ayah : Alm. H. L. Hasibuan
Nama Ibu : Hj. Halimah Siregar
Nama Suami : Rahmat Berutu, SE
Nama Abang dan Adik : Drs. Rudi Harton Hasibuan
: M. Sofwan Hasibuan
: Jamilatunnur Hasibuan

III. PENDIDIKAN
SD : SD Negeri Panyabungan (1983-1989)
SMP : MTs Darul Falah Ujung Batu (1989-1992)
SMA : MAN I Padang Sidempuan (1992-1995)
Strata I : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(1995-2001)

Strata II : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum


Universitas Sumatera Utara (2014-2017)

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vi
DAFTAR ISI........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Perumusan Masalah .................................................................... 19
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 20
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 20
E. Keaslian Penelitian...................................................................... 21
F. Kerangka Teori dan Konsepsi..................................................... 22
1. Kerangka Teori .................................................................... 22
2. Konsepsi............................................................................... 25
G. Metode Penelitian ....................................................................... 27
1. Jenis dan Sifat Penelitian ..................................................... 27
2. Sumber Data......................................................................... 28
3. Tehnik dan Alat Pengmpulan Data ...................................... 29
4. Analisis Data ........................................................................ 30
BAB II STATUS TANAH YANG BELUM TERDAFTAR SEBAGAI
OBJEK JUAL BELI PADA MASYARAKAT PAKPAK
BHARAT DI KECAMATAN SALAK........................................... 32
A. Profil Singkat Kabupaten Pakpak Bharat Dan Masyarakat
Pakpak Bharat ............................................................................ 32
1. Sejarah Singkat Kecamatan Salak........................................ 33

vii

Universitas Sumatera Utara


2. Keadaan Masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat ................ 39
3. Peranan Lembaga Adat Sulang Silima Suku Pakpak
Bharat .................................................................................. 43
B. Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat ................... 46
C. Status Kepemilikan Tanah di Kabupaten Pakpak Bharat .......... 49
D. Kedudukan Tanah Adat di Kabupaten Pakpak Bharat ............... 51
E. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat ....................................... 53
F. Status Tanah Yang Belum Terdaftar Sebagai Objek Jual Beli
Di Kecamatan Salak ................................................................... 56

BAB III KEKUATAN HUKUM JUAL BELI TANAH YANG BELUM


TERDAFTAR YANG DILAKUKAN MENURUT HUKUM
ADAT ................................................................................................ 59

A. Hukum Adat Dalam UUPA ....................................................... 59


B. Azas Hukum Adat Sebagai Pembentukan UUPA ...................... 61
C. Pengertian Jual Beli Tanah ......................................................... 64
D. Jual Beli Tanah Menurut UUPA ................................................ 73
E. Pelaksanaan Jual Beli Tanah di Kecamatan Salak ..................... 78
F. Kekuatan Hukum Jual Beli Tanah Yang Belum Terdaftar
Menurut Hukum Adat ................................................................ 84

BAB IV PERAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL (BPN) DALAM


MEMBERIKAN KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PERALIHAN
HAK MILIK YANG BELUM TERDAFTAR DI KABUPATEN
PAKPAK BHARAT............................................................................ 87

A. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah .............................................. 87


B. Pengertian Pendaftaran Tanah .................................................... 89
C. Tujuan Pendaftaran Tanah ......................................................... 99
D. Azas Pendaftaran Tanah ............................................................. 107
E. Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah ...................................... 109
F. Hambatan-hambatan dalam Pendaftaran Peralihan Hak Atas
Tanah .......................................................................................... 114

viii

Universitas Sumatera Utara


G. Peranan BPN dalam memberikan kepastian hukum terhadap
peralihan hak milik yang belum terdaftar di Kabupaten Pakpak
Bharat ......................................................................................... 116

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 119


A. Kesimpulan ................................................................................ 119
B. Saran............................................................................................ 120
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 122

ix

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1 Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT Sementara (Camat)................. 37
Tabel 2 Dusun yang ada di Desa Salak I dan Desa Salak II Kecamatan .......... 39
Tabel 3 Kelompok (Suak) dan Marga Pakpak................................................... 40
Tabel 4 Luas Wilayah Menurut Desa di Kecamatan Salak dan Status Tanah .. 56

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISTILAH

Beschikkingsrecht : Hubungan antara persekutuan dan tanah itu


sendiri.
Geneologis : Keturunan
Territoria : Wilayah atau Daerah
Religio Magis : hubungan ini bukan antara individu dengan
tanah saja tetapi juga antara sekelompok anggota
masyarakat suatu persekutuan Hukum adat
Hak Ulayat : Hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh
sesuatu persekutuan hukum (desa atau suku)
Tanah Marga : Istilah tanah ulayat di Kabupaten Pakpak Bharat
Sulang Silima : Lembaga adat suku Pakpak
Komunal : Dikuasai bersama atau persekutuan
Lebbuh atau Kuta : Kampung atau desa
Perbetteken : Teman satu marga
Pertaki : Kepala Kampung atau Kepala Desa
Perisang-isang : Anak paling besar
Pertulang tengah : Anak tengah
Perekur-ekur : Anak paling bungsu
Perpunya ndiadep : Anak Boru
Sukut Nitalun : Pembuka Kampung
Sepanganen : Saudara Kandung

xi

Universitas Sumatera Utara


1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan kekayaan alam yang mempunyai arti sangat penting dalam

kehidupan manusia. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar dari kehidupan

manusia tergantung pada tanah, oleh sebab tanah merupakan tempat bagi manusia

untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Dalam berbagai aspek kehidupan

setiap anggota masyarakat sangat membutuhkan tanah. Begitu pentingnya tanah bagi

kehidupan manusia dan juga bagi suatu negara dibuktikan dengan diaturnya secara

konstitusional dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yang menentukan

bahwa :

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Ketentuan pasal ini menjadi landasan filosofis terhadap pengaturan tanah di

Indonesia yang secara yuridis kemudian dikeluarkan Undang Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang dikenal dengan Undang

Undang Pokok Agraria (UUPA) yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria atau lebih dikenal UUPA.1

Selain itu untuk mendapatkan tanah sangatlah sulit, karena tanah mempunyai

nilai ekonomis yang tinggi, disamping nilai kultural atau sosial politik lainnya. Jadi

tidak mengherankan bahwa persoalan tanah selalu terjadi dalam masyarakat.

1
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Cet. I, (Medan, Pustaka
Bangsa Press, 2003), Hlm 30

Universitas Sumatera Utara


2

AP Parlindungan menyebutkan bahwa : dengan berlakunya UUPA, maka

terjadi perubahan secara fundamental atau mendasar di dalam sistem hukum nasional

seperti dikatakan oleh Boedi Harsono bahwa, UUPA menciptakan hukum agraria

nasional berstruktur tunggal, seperti dinyatakan dalam bagian penjelasan umum

UUPA berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, sebagai hukum aslinya sebagian

terbesar rakyat Indonesia.2

Hukum tanah di Indonesia didasarkan pada Hukum Adat. Hal ini terdapat

dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu : “Hukum agraria yang

berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak

bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas

persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang

tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala

sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasarkan pada Hukum Agama”.3

Menurut Sorojo Wignjodipuro, ada dua sebab tanah mempunyai kedudukan

yang sangat erat dalam hukum adat yaitu :

a. Karena sifatnya, tanah merupakan satu-satunya harta kekayaan meskipun

mengalami keadaan yang bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam

keadaannya, bahkan kadang lebih menguntungkan. Contoh sebidang tanah

yang dibakar, diatasnya dijatuhkan bom, tanah tersebut tidak lenyap dan akan

muncul kembali tetap berwujud tanah seperti semula, kalau dilanda banjir

2
Ibid, Hlm. 3
3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,
(Penerbit Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, 2004), Hlm. 7

Universitas Sumatera Utara


3

misalnya malahan setelah air surut tanah akan muncul kembali sebagai

sebidang tanah yang lebih subur dari semula.

b. Karena faktanya, yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu merupakan tempat

tinggal persekutuan, memberikan penghidupan kepada persekutuan, warga

persekutuanyang meninggal dunia dikebumikan dan merupakan pola tempat

tinggal dayang-dayang pelindung persekutuan dan roh para leluhur. 4

Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 memberikan dasar-dasar paling

penting dalam bidang agraria dan diharapkan Undang-undang tersebut memberikan

jaminan kepastian hukum bagi masyarakat dalam memanfaatkan tanah. Secara

terperinci tujuan UUPA tertuang dalam penjelasannya yaitu :

a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang

merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan

negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan

makmur (ekonomis).

b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan

dalam hukum pertanahan (politis).

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-

hak tanah bagi seluruh rakyat (hukum).5

Dalam rangka memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak tanah seluruh

rakyat dilakukan melalui pendaftaran tanah. Ketentuan kegiatan pendaftaran tanah

4
Sorojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta, Gunung Agung,
MCML, XXXII, 1982), Hlm 197
5
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

Universitas Sumatera Utara


4

tersebut diatur dalam Peraturan Pelaksana dari UUPA yaitu Peraturan Pemerintah

Nomor 10 Tahun 1961 mengenai pendaftaran terhadap tanah yang berasal dari tanah

milik adat, telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah. Kegiatan pendaftaran tanah tersebut dilakukan terhadap

seluruh bidang tanah di wilayah Indonesia, termasuk tanah-tanah yang berasal dari

hukum adat yang sudah dimiliki oleh perseorangan yang disebut tanah milik adat.

Mengenai pendaftaran terhadap tanahyang berasal dari tanah milik adat,

Muhammad Yamin menyebutkan bahwa : “ Khusus pendaftaran tanah yang berasal

dari tanah milik adat maka pemohonmengajukan permohonan pegakuan hak atau

konversi dengan melampirkan tanda bukti haknya seperti yang dimaksud dalam

UUPA, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1970 dan

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 26/DDA/1996 kemudian oleh Kepala

Pertanahan Kabupaten/kotamadya permohonan tersebut diumumkan selama dua

bulan berturut-turut di Kantor Kepala Desa dan Kantor Camat untuk memberikan

kemungkinan pihak lain mengajukan keberatan-keberatan atas permohonan

pendaftaran tersebut. Bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan telah lewat,

maka permohonan pengukuran hak tersebut diteruskan Kepala Kantor Wilayah Badan

Pertanahan Nasional Provinsi untuk diterbitkan Surat Keputusan pengakuan

haknya”.6

6
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, (Medan, Pustaka Bangsa
Press, 2003), Hlm. 39

Universitas Sumatera Utara


5

Dalam pendftaran tanah tersebut, selain pendaftaran tanah untuk pertama kali,

juga termasuk pendaftaran terhadap peralihan hak atas tanah, terutama jual beli tanah

yang menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa jual

beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT tersebut merupakan Pejabat yang diangkat dan

diberhentikan oleh Menteri yang tugas pokoknya membuat akta, peralihan dan

pembebanan hak atas tanah. Hak atas tanah dalam hal ini tidak saja terhadap hak yang

terdaftar, tetapi juga terhadap hak atas tanah yang belum terdaftar (hak milik adat).

Peralihan hak atas tanah milik adat, secara materil didasarkan pada hukum

adat dengan syarat “terang dan tunai”, namun secara formal harus dengan Akta

PPAT. Keberadaan PPAT dalam peralihan hak milik adatsebagai pengganti dari

Pengetua Adat atau Kepala Desa yang jual beli tanah adat dibuat dengan syarat

“terang” tersebut.

Sebelum berlakunya UUPA yaitu Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5

Tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960, jual beli tanah di Indonesia

mempergunakan dua sistem hukum yaitu sistem hukum barat bagi golongan eropa

dan sistem hukum adat bagi golongan bumi putera atau pribumi.7

Jual beli tanah menurut hukum adat pada dasarnya mempunyai syarat terang

dan tunai, maksudnya adalah jual beli dilakukan dihadapan kepala desa dan pembeli

membayar harga tanah secara tunai kepada penjual sesuai dengan kesepakatan antara

7
AP Parlindungan, Op. Cit, Hlm. 40

Universitas Sumatera Utara


6

penjual dengan pembeli. Sehingga dapat dikatakan bahwa jual beli tanah menurut

hukum adat itu bersifat terang, nyata (konkrit) dan bersifat tunai (kontan).8

Boedi Harsono mengatakan bahwa, jual beli tanah itu adalah penyerahan hak

atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada saat yang sama membayar penuh

kepada penjual harga yang telah disetujui bersama, maka jual beli tanah menurut

hukum adat ini pengaturannya termasuk dalam hukum adat.9 Boedi Harsono

menyebutkan bahwa : sebelum berlakunya UUPA dikenal lembaga hukum jual beli

tanah. Ada yang diatur oleh KUH Perdata yang tertulis, dan ada yang diatur oleh

hukum adat yang tidak tertulis.10

Jual beli tanah pada dasarnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah

kepada pihak lain yaitu dari penjual kepada pembeli dengan sejumlah pembayaran.

Menurut pasal 1457 KUH Perdata, pengertian jual beli yaitu suatu perjanjian dengan

mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu hak milik atas

tanah sesuatu barang dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.11

Menurut Putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 29 Agustus 1970 Nomor

123/K/SIP/70, Jual beli tanah dilakukan menurut sistem hukum adat, yang dikenal

adanya sistem pemindahan hak yang kontan karena pendaftaran hanya merupakan

tindakan administrasi. Dengan demikian dalam hukum adat pemindahan hak atas

8
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1977), Hlm. 30
9
Boedi Harsono I, Op. Cit, Hlm. 29
10
Ibid, Hlm. 27
11
R. Subekti, I, Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet Boek), Jakarta,
Pradnya Paramita, 1996, Hlm. 366

Universitas Sumatera Utara


7

tanah serentak terjadi begitu uang pembayarannya diserahkan pihak pembeli kepada

pihak penjual.12

Hal serupa juga dikemukakan oleh Boedi Harsono, bahwa “dalam hukum adat

jual beli tanah bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut perjanjian

obligatoir. Jual beli tanah dalam hukum adat merupakan perbuatan hukum

pemindahan hak dengan pembayaran tunai, artinya harga yang disetujui bersama

dibayar penuh pada saat dilakukan jual beli yang bersangkutan.”13

Pesatnya perkembangan ekonomi masyarakat dewasa ini menyebabkan nilai

ekonomi tanah semakin tinggi dan menyebabkan status hak atas tanah semakin

penting, sehingga pembuktian hak atas tanah tersebut juga semakin penting untuk

memberikan jaminan atas kepemilikan tanah dan memberikan kepastian hukum bagi

pemilik tanah yang bersangkutan.Pemilikan tanah dapat terjadi antara lain karena

perolehan tanah, baik karena pembukaan tanah pertama kali atau karena peralihan

hak.

Dalam peralihan hak atas tanah lebih sering dilakukan melalui jual beli.

Perkataan jual beli dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan dimana seseorang

melepaskan uang untuk medapatkan barang yang dikehendaki secara suka rela.

Kemudian menurut Pasal 1457 Kitab Undang Undang Hukum Perdata

disebutkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana penjual mengikatkan

dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan

12
AP Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, (Bandung, Alumni, 1973), Hlm 30
13
Boedi Harsono I, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, (Jakarta, Penerbit Djambatan, 2003), Edisi Revisi, Hlm 27

Universitas Sumatera Utara


8

kepada pembeli yang mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual dengan

harga yang telah disepakatinya.14

Disamping itu, lembaga hukum jual beli ada yang diatur dalam hukum adat.

Dalam hukum adat, hak milik dapat beralih maupun dialihkan. Jual beli tanah yang

mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli disebut

dengan istilah jual lepas. Selain jual lepas, dalam hukum adat dikenal juga jual gadai,

dan jual membeli kembali.

Dalam jual beli ada dua subjek yaitu penjual dan pembeli, yang masing-

masing mempunyai hak dan kewajiban, dalam beberapa hal merupakan pihak yang

berwajib dan dalam hal lain merupakan pihak yang berhak. Ini berhubungan dengan

sifat timbal balik dari persetujuan jual beli (Werdering overenkomst).15

Objek dari jual beli disini adalah hak atas tanah yang akan dijual. Dalam

praktek disebut jual beli tanah. Hak atas tanah yang dijual, bukan tanahnya. Memang

benar dengan tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah

menguasai dan mempergunakan tanah tersebut, tetapi yang dibeli (dijual) bukan

tanahnya, tetapi hak atas tanahnya.16

Dengan berubahnya status tanah adat yang semula bersifat komunal (hak

bersama) menjadi hak milik adat, maka hubungan antara masyarakat dengan tanah

tersebut lepas. Lepas artinya pemilik tanah telah bebas menentukan sendiri kegunaan

14
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet Boek)
15
Idris Zainal, Ketentuan Jual Beli Menurut Hukum Perdata, (Medan, Fakultas Hukum USU),
Hlm 36
16
Effendi Perangin-angin, Praktek Jual Beli Tanah, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994),
Hlm 8

Universitas Sumatera Utara


9

tanah tersebut. Namun Soepomo berpendapat bahwa hak milik atas tanah meliputi

kekuasaan untuk bertindak sebagai yang berhak sepenuhnya atas tanah, dengan

mengingat beberapa kewajiban terhadap masyarakat yang harus diperhatikan.17 Dari

pengertian hak milik di atas bahwa meskipun pemilik tanah berkuasa penuh terhadap

tanahnya, namun masih terikat beberapa hak masyarakat seperti memberikan hak

penggembalaan ternak atau membolehkan sedikit tanahnya dibuat jalan yang

semuanya merupakan untuk kepentingan umum.

Setiap hak milik selalu terkandung hak masyarakat sehingga tidak ada

kemutlakan hak sebagaimana terdapat dalam hak eigendom sebelum berlakunya

UUPA. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA menyebutkan : “Hak Milik adalah hak turun

temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan

mengingat ketentuan pasal 6 UUPA”. Dalam pasal tersebut telah mengandung makna

seseorang dalam memiliki dan mempergunakan tanah harus mengingat kepentingan

umum (fungsi sosial). Purnadi dan A Ridwan Hakim menyebutkan bahwa hak milik

adat adalah suatu hak atas sebidang tanah tertentu yang dipegang oleh perorangan

yang terletak dalam wilayah hak ulayat suatu masyarakat adat yang bersangkutan,

tanah dikuasai dengan hak milik dalam hukum adat dan beralih secara turun

temurun.18

Hal tersebut di atas sesuai dengan ketentuan dalam UUPA, menyebutkan

Peraliahan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa atau perbuatan hukum yang

17
Soepomo, Hukum Perdata Jawa Barat, (Jakarta, Djambatan,1967), Hlm 123
18
Purnadi Purbacaraka dan A Ridwan Hakim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1993), Hlm 27

Universitas Sumatera Utara


10

mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak

lainnya. Peralihan tersebut bisa disengaja oleh karena adanya perbuatan hukum

seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya, dan juga tidak disengaja karena

adanya peristiwa hukum seperti peralihan karena warisan.

Sistem jual beli tanah dalam hukum adat menganut sistem

tunai/konkrit/terang/nyata artinya setiap hubungan harus terlihat nyata. Hal ini karena

masyarakat adat masih sangat sederhana, sehingga dalam transaksi jual beli tanah

tersebut baru mengikat apabila transaksi tersebut terlihat secara konkrit dan nyata

telah terjadi yaitu dibuktikan dengan adanya pertukaran, berupa penyerahan tanah

sebagai objek sekaligus penyerahan uang secara tunai sebagai pembayaran.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Imam Soetikno memberi pengertian

“terang” artinya bahwa pengalihan hak atas tanah menurut adat, harus dengan

dukungan (medewerking) Kepala Suku atau Kepala Desa agar perbuatan itu terang

dan sahnya (rechtsgeldigheid) ditanggung Kepala Suku atau Kepala Desa tersebut.

Kepala adat juga harus menjamin agar hak-hak ahli waris, para tetangga (buren recht)

dan hak sesama suku tidak dilanggar apabila tanah hak milik adat tersebut akan

dilepas atau dijual akad.19 Jadi secara keseluruhan transaksi-transaksi di atas tidak

akan dilakukan tanpa dukungan Kepala Suku atau Kepala Desa, bila dilakukan

perbuatan hukum tersebut tidak terang tidak sah dan tidak berlaku bagi pihak ketiga.

Semenjak diundangkannya UUPA, maka pengertian jual beli tanah

merupakan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya yang bersifat


19
Imam Soetikno, Op.Cit, Hlm 61

Universitas Sumatera Utara


11

tunai dan, pemindahan hak tersebut diharuskan didaftarkan, sehingga pendaftaran,

pemindahan hak tersebut merupakan bagian dari kegiatan Pendaftaran Tanah.

Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melaksanakan dan

menyelenggarakan pendaftaran tanah untuk memberikan jaminan kepastian hukum

bagi pemegang hak milik atas tanah, maka berdasarkan pasal 19 ayat (1) UUPA yang

menentukan bahwa untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan

pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-

ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 ayat (1) UUPA

ditujukan kepada pemerintah sebagai suatu instruksi agar diadakan pendaftaran tanah

diseluruh Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat

rechtscadaster. Rechtscadaster artinya untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan

hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk

kepentingan lain seperti perpajakan.20

Kemudian ayat (2) disebutkan bahwa pendaftaran tanah meliputi :

a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; dan

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian

yang kuat.

Berdasarkan pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998,

yang menentukan bahwa : sebelum dilakukan pendaftaran peralihan hak milik atas

tanah karena jual beli diperlukan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
20
AP Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung, Mandar Maju, 1994), Hlm. 13

Universitas Sumatera Utara


12

(PPAT) sebagai bukti dan syarat pendaftaran dan peralihan hak milik atas tanah

karena jual beli.

Dari ketentuan di atas, dapat ditarik pengertian bahwa setiap dilakukan

peralihan hak atas tanah harus dibuat akta oleh atau dihadapan PPAT. Hal ini

dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi

para pihak. Bila suatu perjanjian jual beli tidak dilakukan dihadapan PPAT, maka

perjanjian jual beli tersebut tetap sah bagi para pihak, namun bila tanpa akta jual beli,

tanah tersebut tidak dapat didaftarkan atau dibalik namakan atas nama pemilik yang

baru di Kantor Pertanahan.

Pendaftaran tanah selain berfungsi untuk melindungi si pemilik, juga

berfungsi untuk mengetahui status sebidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya,

berapa luasnya, untuk apa dipergunakan dan sebagainya.21

Berdasarkan pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, salah satu

tujuan pendaftaran tanah sebagaimana tercantum pada huruf a merupakan tujuan

pendaftaran tanah yang diperintahkan oleh pasal 19 UUPA, yaitu menjamin kepastian

hukum. Salah satu produk pendaftaran tanah adalah dengan diterbitkannya sertifikat

hak milik atas tanah,yang berfungsi agar pemegang hak dengan mudah membuktikan

nama yang tercantum dalam sertifikat sebagai pemegang hak yang bersangkutan.22

Sertifikat berdasarkan pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

21
Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya,
(Medan, FH USU Press, 2000), Hlm. 132
22
Urip Santoso, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta, Prenada Media Grup,
Jakarta, 2010), Hlm 273

Universitas Sumatera Utara


13

merupakan tanda bukti yang kuat artinya selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya

maka data fisik dan data yuridis yang tercantum pada sertifikat harus diterima sebagai

data yang benar.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jaminan kepastian hukum dalam

pendaftaran tanah adalah pemerintah menjamin bahwa pemegang hak (subyek) benar-

benar berhak atau mempunyai hubungan dengan tanah (obyeknya), dibuktikan

dengan adanya pembukuan data yuridis dan data fisik bidang tanah yang diterima

sebagai data yang benar dan didukung dengan tersedianya peta hasil pengukuran

secara kadasteral, daftar umum bidang-bidang tanah yang terdaftar dan terpeliharanya

daftar umum tersebut dengan data yang mutaakhir serta kepada pemegang hak

diberikan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat yang lazim

disebut sertifikat tanah.23

Dengan terdaftarnya bidang-bidang tanah sebenarnya tidak semata-mata akan

terwujudnya jaminan keamanan akan kepemilikannya dalam menuju kepastian

hukum, bahkan seseorang pemilik akan mendapatkan kesempurnaan dari haknya.24

Kepastian hukum yang menjadi tujuan dari pendaftaran tanah adalah kepastian

mengenai subyeknya, obyek dan haknya. Hak-hak atas tanah yang ada dalam UUPA

hingga saat ini yang dilakukan pendaftarannya adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha,

Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Wakaf. Disamping masih

23
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Penerbit
CV.Mandar Maju,2010), Hlm. 175
24
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, OP. Cit, Hlm. 176

Universitas Sumatera Utara


14

ada hak-hak lainnya seperti Hak Milik Adat yang belum terdaftar tetapi tetap diakui

keberadaannya sesuai Pasal 3 dan pasal 5 UUPA.

Sedangkan hak-hak yang dapat beralih dan dialihkan adalah hak-hak yang

bersifat privat, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak

Pakai, sementara Hak Pengelolaan dan Hak Wakaf yang bersifat publik tidak bisa

dialihkan.

Peralihan hak-hak atas tanah yang sudah terdaftar, harus dibuat dalam akta

yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997, sedangkan peralihan hak milik adat, juga dapat dibuat dengan akta

PPAT, sungguhpun dalam praktek peralihan hak atas tanah yang tidak terdaftar

dilakukan menurut hukum adat atau kebiasaan.

Seharusnya menurut Pasal 39 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997, mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, PPAT

menolakmemberikan akta, jika kepadanya tidak disampaikan :

1. Surat Bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) tentang

Pembuktian Hak Lama atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang

menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut.

2. Surat Keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan

belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di

Universitas Sumatera Utara


15

daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang

bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.25

Akta PPAT berdasarkan pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah Nomor 37

Tahun 1998 adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya

perbuatan hukum tertentu mengenai hak milik atas tanah dan hak milik atas satuan

rumah susun.

Dengan dilaksanakannya pendaftaran peralihan hakatas tanah maka akan

diketahui dengan jelas telah terjadi peralihan haknya. Jadi jual beli hak milik atas

tanah harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT), hal demikian

sebagai bukti bahwa telah terjadi jual beli sesuatu hak atas tanah dan selanjutnya

(PPAT) membuat Akta Jual Belinya yang kemudian diikuti dengan pendaftarannya

pada Kantor Pertanahan setempat sesuai dengan lokasi tanah. Dengan terdaftarnya

peralihan hak (jual beli) tersebut, maka diperolehlah kepastian hukum bagi para

pihak, dan terjagalah kepentingan hukum para pihak dan masyarakat atas kepemilikan

tanahnya.

Menurut Van Kant mengatakan bahwa : hukum bertujuan untuk menjaga

kepentingan tiap-tiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak diganggu.

Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam

masyarakat.26 Untuk menjamin bahwa suatu jual beli itu sah, maka harus dilakukan

secara terang, suatu perbuatan hukum jual beli dilakukan secara terang, jika

25
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, OP. Cit, Hlm. 496
26
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta,
2002), Hlm. 44-45

Universitas Sumatera Utara


16

dilaksanakan dengan sepengetahuan pimpinan persekutuan atau kepala desa yang

sekaligus bertindak sebagai saksi dan menjamin sahnya perbuatan hukum jual beli

tersebut.

Menurut Hilman Hadikusuma mengatakan bahwa : bagi masyarakat adat

dalam tata cara jual beli tanah,bukan unsur subjektif atau objektif tetapi terlaksana

dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada kesepakatan (bulat mufakat) tunai dan

tidak tercela, yang dimaksud tidak tercela yaitu masyarakat lingkungannya tidak ada

yang mempersoalkan, tidak ada yang merasakan terjadinya perjanjian itu tidak baik.

Sebaliknya walaupun perjanjian itu dibuat dihadapan Kepala Desa jika masyarakat

mempersoalkan, menganggap hal itu tidak baik, maka perjanjian itu sebenarnya tidak

sah.27

Berdasarkan sistem dan tata cara jual beli menurut hukum adat dapat

disimpulkan bahwa syarat-syarat sahnya suatu perbuatan hukum jual beli tanah

menurut hukum adat yaitu adanya objek dari pada jual beli berupa tanah dan uang

atau harga, adanya kata sepakat para pihak yaitu pejual dan pembeli, dan adanya

saksi-saksi yang menyaksikan perbuatan hukum jual beli tersebut.

Menurut Saleh Adiwinata mengatakan bahwa : bila kita perhatikan jual beli

menurut UUPA dengan membandingkan caranya dengan jual beli sesuai dengan

hukum adat sebelun berlaku UUPA, maka dari saat terjadinya persetujuan jual beli

sampai si pembeli menjadi pemilik hak atas tanah berbeda sekali, juga formalitas

27
Hilman Hadikusumah, Hukum Perjanjian Adat, Bandung, (Alumni, 1982), Hlm. 129

Universitas Sumatera Utara


17

lainnya lebih mirip kepada jual beli tanah eigendom dulu dari pada jual beli tanah

dengan hak milik di Indonesia.28

Pernyataan di atas disebabkan kalau sebelum berlakunya UUPA, jual beli

hanya dilakukan dihadapan Kepala Desa, maka menurut Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 10 Tahun 1961, sebagaimana juga menurut Pasal 37 ayat (2) Peraturan

Pemmerintah Nomor 24 Tahun 1997, kecuali ada keadaan-keadaan tertentu

sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala Kantor Pertanahan dapat

mendaftarkan pemindahan hak atas sebidang tanah hak milik, yang dilakukan

diantara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak

dibuat oleh PPAT.29

Berbeda dengan pendapat Saleh Adiwinata juga pendapat Boedi Harsono

bahwa : “dalam memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang terbuka, lembaga jual

beli misalnya, mengalami modernisasi dan penyesuaian, tanpa mengubah hakikatnya

sebagai perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya

secara tunai, serta sifatnya dan cirinya sebagai perbuatan yang riil dan terang”.30

Mengenai hubungan jual beli dalam UUPA dengan hukum adat, Harun Al-

Rasyid mengatakan bahwa : “jual beli dalam UUPA adalah jual beli yang sesuai

dengn hukum adat yaitu dibayar tunai, karena tanpa dilakukan pembayaran tersebut,

maka tidak akan terjadi jual beli dihadapan PPAT dan tidak akan memperoleh akta

28
Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA, (Bandung, Alumni, 1976), Hlm. 36
29
Boedi Harsono I, Op. Cit, Hlm. 539
30
Ibid, Hlm. 208

Universitas Sumatera Utara


18

jual beli dari PPAT yang berarti tidak adanya pemindahan hak atas tanah secara

hukum menurut ketentuan yang berlaku”.31

Berbeda dengan pendapat di atas adalah pernyataan Saleh Adiwinata

mengatakan bahwa : “ tidak mungkin hak itu kita anggap berpindah ke pembeli pada

waktu akta dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Peralihan haknya

hanya masih disetujui oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk juga setelah pembeli

mendapat izin, hak atas tanah dapat dianggap telah beralih,namun peralihannya itu

belumlah berlaku pada pihak ketiga”.32

Senada dengan pendapat Saleh Adiwinata adalah Mariam Darus Badrulzaman

berpendapat bahwa : “dilihat dari sistem pemindahan hak dalam UUPA, saat lahir hak

(kebendaan) adalah pada saat pendaftaran”.33

Kabupaten Pakpak Bharat merupakan salah satu kabupaten yang berada di

wilayah Provinsi Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Provinsi Nangroe

Aceh Darussalam yaitu kabupaten Aceh Singkil dan Pemerintah Kota Subulussalam.

Di Kabupaten Pakpak Bharat tersebut telah terjadi perkembangan yang sangat pesat,

seperti pembangunan Bank, swalayan, dealer kenderaan bermotor roda dua, dan lain

sebagainya. Pembangunan tersebut memerlukan tanah sehingga banyak anggota

masyarakat yang melakukan peralihan hak milik atas tanah melalui jual beli dengan

31
Harun Al Rasyid, Sekitar Tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya),
(Jakarta, Ghalia Indonesia,, 1987), Hlm. 36
32
Saleh Adiwinata, Loc. Cit, Hlm. 36
33
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Hipotik, (Bandung, Alumni, 1980), Hlm. 41

Universitas Sumatera Utara


19

menghadap langsung kepada Kepala Desa saja, karena dianggap tahu tentang hukum

untuk menyatakan jual beli tersebut atau jual beli dibawah tangan.

Tata cara transaksi jual beli tanah yang dilakukan di Kecamatan Salak sesuai

dengan ketentuan hukum adat yaitu pihak penjual dan pihak pembeli sepakat terhadap

harga jual beli tanah dan mereka menghadap Kepala Desa untuk jual beli tersebut.

Sebagai tanda telah terjadi jual beli tanah, maka dibuatlah Surat Jual Beli dalam

bentuk segel yang dibuat oleh pihak penjual, ditandatangani oleh pihak penjual, pihak

pembeli, dua orang saksi, dan diketahui oleh Kepala Desa dimana tanah tersebut

berada.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, untuk itu perlu diadakan

pengembangan penelitian lebih jauh akan hal tersebut dan menuliskan hasilnya dalam

bentuk karya tulis ilmiah dengan judul : “Tinjauan Yuridis Peralihan Hak Milik Yang

Belum Terdaftar Melalui Jual Beli Di Kecamatan Salak”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan beberapa

permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut :

1. Bagaimana status tanah yang belum terdaftar sebagai objek jual beli di

Kecamatan Salak?

2. Bagaimana kekuatan hukum jual beli tanah yang belum terdaftar yang

dilakukan menurut Hukum Adat?

3. Bagaimana peran BPN dalam memberikan kepastian hukum terhadap

peralihan hak milik yang belum terdaftar di Kabupaten Pakpak Bharat?

Universitas Sumatera Utara


20

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui status tanah yang belum terdaftar sebagai objek jual

beli di Kecamatan Salak.

2. Untuk mengetahui ketentuan hukum jual beli tanah yang belum terdaftar

yang dilakukan menurut hukum adat.

3. Untuk mengetahui peran BPN dalam memberikan kepastian hukum

terhadap peralihan hak milik yang belum terdaftar di Kabupaten Pakpak

Bharat.

D. Manfaat Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara

teoritis maupun secara praktis seperti yang akan dijabarkan lebih lanjut sebagai

berikut :

1. Secara Teoritis

Bahwa dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menyumbangkan pemikiran

serta saran dalam ilmu pengetahuan dibidang hukum pada umumnya yang

akan mengembangkan disiplin ilmu hukum pertanahan pada khususnya serta

untuk mengetahui secara langsung penerapan hukum terutama mengenai

peralihan hak milik atas tanah yang belum terdaftar melalui jual beli tersebut,

baik ditinjau dari sudut pandang masyarakat maupun instansi yang

berwenang.

Universitas Sumatera Utara


21

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan serta pengetahuan

kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan jual beli tanah yang belum

terdaftar yang dilakukan dibawah tangan, agar tidak menimbulkan masalah

atau konflik dalam pelaksanaan pemindahan hak atas tanah dalam jual beli

tanah sesuai dengan prosedur yang benar menurut hukum dan mempunyai

kepastian hukum.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran hasil kepustakaan dan pemeriksaan yang telah

penulis lakukan telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai peralihan hak

milik atas tanah, namun sejauh ini berdasarkan informasi dan penelusuran

kepustakaan khususnya dilingkungan Sekolah Pasca Sarjana Magister Kenotariatan

dan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian

sebelumnya dengan judul : “Tinjauan Yuridis Peralihan Hak Milik Adat Pakpak Yang

Belum Terdaftar Melalui Jual Beli Di Kecamatan Salak”. Sehingga tesis ini dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan keasliannya. Namun dalam penelusuran

kepustakaan, penulis ada menemukan beberapa tesis karya mahasiswa yang

mengangkat masalah jual beli tanah namun permasalahan dan bidang kajiannya

sangat berbeda :

a. Nama : Husna

NIM : 002111020

Program Studi: Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara


22

Judul Tesis : Analisis Hukum Terhadap Sengketa Akibat Peralihan Hak Atas

Tanah (Studi Mengenai Akta Yang Dibuat PPAT Di Kota Banda Aceh).

b. Nama : Nyak Ratna Sar

NIM : 047011052

Program Studi : Magister Kenotariatan

Judul Tesis : Pelaksanaan Peralihan Hak Atas Tanah Lahan Kelapa Sawit

Pada Perkebunan Inti Rakyat Cot Girek Kabupaten Aceh Utara (Periode

Tahun 1990-2006).

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam penelitian hukum, adanya kerangka teoritis dan kerangka konsepsional

menjadi syarat penting, dalam hal ini Teori adalah untuk menerangkan dan

menjelaskan gejala spesifikasi untuk proses tertentu.34

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan mengapa gejala spesifik

terjadi atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan

menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis

mengenai suatu kasus atau permasalahan ( problem ) yang menjadi bahan

perbandingan, pegangan teoritis.35

34
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Universitas Indonesia
Press,Jakarta,1986), Hlm.122
35
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (PT. Sofmedia, Medan, 2012), Hlm. 80

Universitas Sumatera Utara


23

Menurut M. Solly Lubis, Kerangka teori merupakan kerangka pemikiran atau

butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem)

yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin

disetujui atau tidak disetujuinya, yang dijadikan masukan eksternal dalam membuat

kerangka berfikir dalam penulisan.36

Bagi suatu penelitian, teori merupakan alat dari ilmu (tool of science), dilain

pihak teori juga merupakan alat penolong teori, sebagai alat dari ilmu teori

mempunyai peranan sebagai berikut :

a. Teori mendefenisikan orientasi utama dari ilmu dengan cara memberikan

defenisi terhadap jenis-jenis data yang akan dibuat abstraksinya;

b. Teori memberikan rencana ( scheme ) konseptual, dengan rencana mana

fenomena-fenomena yang relevan disistematikkan, diklasifikasikan dan

dihubung-hubungkan;

c. Teori memberikan ringkasan terhadap fakta dalam bentuk generalisasi yuridis

dan sistem generalisasi;

d. Teori memberikan prediksi terhadap fakta.37

Teori menguraikan jalan fikiran menurut kerangka yang logis artinya

mendudukkan masalah yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang

relevan, yang mampu menerangkan masalah-masalah tersebut.

36
Ibid, Hlm. 127
37
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988), Hlm. 22

Universitas Sumatera Utara


24

Dalam penulisan tesis ini, teori yang dipakai adalah menggunakan teori

Kepastian Hukum yang oleh Roscue Pound mengatakan bahwa adanya kepastian

hukum memungkinkan adanya “Predictability”.38 Dengan demikian teori kepastian

hukum mengandung dua pengertian yaitu : pertama adanya aturan yang bersifat

umum membuat indivividu mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh

dilakukan, dan kedua berupa pengamanan bagi individu dari kesewenangan

pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum individu dapat

mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap

individu.39

Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya

kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan

kepastian hukum karena bertujuan untuk menertibkan masyarakat. Tanpa kepastian

hukum masyarakat tidak mengetahui apa yang akan diperbuatnya sehingga akhirnya

timbul keresahan dalam masyarakat, tetapi jika terlalu menitik beratkan pada

kepastian hukum dan terlalu ketat mentaati peraturan hukum maka akibatnya akan

kaku serta menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya tetap

seperti demikian, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan. Undang-undang itu sering

terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura seatamen scripta) yaitu

undang-undang itu kejam, tetapi memang demikian bunyinya.40

38
Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Penerbit Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2009), Hlm. 158
39
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Kencana Pranada Media, Jakarta, 2008),
Hlm. 158
40
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Liberty,Yogyakarta, 1999),
Hlm. 136

Universitas Sumatera Utara


25

Hukum itu sendiri memiliki tujuan untuk mencari keadilan, kepastian hukum

dan ketertiban.41 Sedangkan menurut ajaran Dogmatis tujuan hukum tidak lain dari

sekedar menjamin kepastian hukum, yang diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya

yang membuktikan suatu aturan hukum semata-mata untuk kepastian hukum.

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arah serta

menjelaskan gejala yang diamati, karenanya penelitian ini diarahkan pada ilmu

hukum neo pasitif yang berlaku yaitu tentang adanya hukum tanah dan transaksi

tanah yang berlaku dalam masyarakat.

2. Konsepsi

Perlu diketahui bahwa konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori,

karena konsep merupakan penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya

hanya baru ada dalam pikiran.

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori, konsepsi diterjemahkan

sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang

disebut dengan operation defenition.42Pentingnya defenisi operasional adalah untuk

menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu

istilah yang dipakai.43

41
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum Studi
Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, (Yogyakarta, 2006), Hlm. 6
42
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, (Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1977),
Hlm.10
43
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, (Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002), Hlm. 35

Universitas Sumatera Utara


26

Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus

didefenisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil

penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :

1. Tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan suatu bidang yang

terbatas.

2. Hak Atas Tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang

mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah

tersebut.

3. Tanah Ulayat merupakan tanah wilayah masyarakat hukum adat tertentu.

4. Peralihan Hak Atas Tanah adalah perubahan suatu kepemilikan, penguasaan,

peruntukan atas tanah yang dilakukan dengan jual beli, tukar menukar, hibah,

pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya.

Dari berbagai bentuk peralihan hak atas tanah yang disebut di atas maka yang

menjadi pokok bahasan tesis ini adalah peralihan hak atas tanah melalui jual

beli.

5. Tanah Yang Belum Terdaftar adalah tanah yang sama sekali belum pernah

didaftarkan di Kantor Pertanahan, namun tanah tersebut secara nyata (de

facto)berada di dalam kekuasaan pemilik tanah, seperti ada rumah di atasnya

atau yang ditanami dengan tanaman.

6. Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah

secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pemgumpulan,

pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data

Universitas Sumatera Utara


27

yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan

satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti

haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas

satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. (Pasal 1 ayat

(1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997).44

7. Tujuan Pendaftaran Tanah adalah terciptanya kepastian hukum yang

dimaksud adalah kepastian hukum menyangkut bidang keagrariaan, khusus

mengenai pemilikan dan penguasaan tanah. Kepastian hukum itu harus

meliputi : kepastian mengenai orang atau badan hukum yang menjadi

pemegang hak dan kepastian hukum objek hak (letak, batas-batas dan luas

bidang tanah).

8. Kepala Adat menurut Soepomo adalah bapak masyarakat, dia mengetahui

persekutuan sebagai ketua sebagai keluarga besar, dia adalah pemimpin dalam

pergaulan persekutuan.45

9. Jual Beli merupakan suatu perbuatan pemindahan dan penyerahan suatu

bidang tanah beserta hak-haknya untuk selama-lamanya kepada pembeli

dengan cara yang konkrit.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada

metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu

atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.46

45
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta,Pradyna Paramita, 1979), Hlm. 45

Universitas Sumatera Utara


28

Jenis Penelitian Hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah Penelitian

Yuridis Normatif. Dimana pendekatan yuridis disini menekankan dari segi

perundang-undangan dan peraturan-peraturan serta norma-norma hukum yang

relevan dengan permasalahan ini yang bersumber pada data skunder.

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini bersifat deskriptif analisis

yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan tentang fakta dan kondisi serta

gejala yang terjadi dilapangan. Yaitu suatu penulisan yang dimaksudkan untuk

memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala

lainnya yang dan dilakukan analisis yang dimaksudkan untuk menggambarkan

peraturan pertanahan yang berlaku.47 Selanjutnya dilakukan analisis kritis dalam arti

memberikan penjelasan-penjelasan terhadap fakta dan gejala yang terjadi baik dalam

kerangka sistematis maupun sinkronisasi yang menunjukkan pada aspek yuridis.48

2. Sumber Data

Untuk memperoleh data yang akurat dan objektif, maka dalam penelitian ini

dilakukan dua cara pengumpulan data yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum

skunder serta bahan hukum tertier. Bahan hukum tersebut dapat diperoleh melalui :

1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri

dari

a. Undang Undang Dasar 1945

46
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Cetakan ke 3, UI Press, Jakarta, 1984),
Hlm. 43
47
Soerjono Soekanto, Op. Cit, Hlm. 10
48
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988),Hlm. 64

Universitas Sumatera Utara


29

b. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP)

c. Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-

pokok Agraria.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

e. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 diubah dengan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT).

f. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006

tentang petentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016.

2. Bahan HukumSekunder yaitu : buku, makalah, dan artikel dari internet yang

berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum sekunder diperoleh melalui buku-

buku yang berkaitan dengan judul tulisan, artikel, makalah, surat kabar dan

artikel yang diperoleh melalui internet.

3. Bahan Hukum Tertier yaitu : bahan-bahan hukum yang memberikan tambahan

informasi dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder seperti : kamus hukum, kamus bahasa dan ensiklopedia.

3. Tehnik dan Alat Pengmpulan Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya

serta dapat dipertanggungjawabkan hasilnya, maka dalam penelitian ini diperoleh

dengan kumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara yaitu :

Universitas Sumatera Utara


30

a. Studi Kepustakaan (Library Research) yaitu pengumpulan data dengan

melakukan penelaahan kepada bahan pustaka atau data sekunder yang

meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tertier. Yaitu dengan cara membaca, mempelajari dan menganalisis literatur

atau buku-buku, peraturan perundang-undangan serta mengklasifikasikan data

yang berkaitan dengan permasalahan yang dijadikan pokok bahasan.

b. Studi Lapangan yang dilakukan dengan wawancara dengan nara sumber,

wawancara dengan para pihak yang dianggap berkompeten dalam bidang

pertanahan dan berwenang untuk memberikan penjelasan berkaitan dengan

materi yang menjadi objek penelitian antara lain instansi terkait dengan

masalah tanah yang belum terdaftar seperti Kantor Badan Pertanahan

Kabupaten Pakpak Bharat dan masyarakat itu sendiri.

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikandan mengurut data ke dalam

pola, kategari, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.49

Data yang dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun penelitian

lapangan selanjutnya dianalisis secara kualitatif, yaitu metode analisis yang

mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari lapangan menurut kualitas

dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari

49
Lexy J Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1994),
Hlm. 103

Universitas Sumatera Utara


31

kepustakaan, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan.

Kemudian berdasarkan analisa tersebut ditarik kesimpulan dengan menggunakan

metode deduktif yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.50

50
Rony Hanitiji Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan jurimetri, (Jakarta, Ghalia
Indonesia,1998), Hlm 57

Universitas Sumatera Utara


32

BAB II

STATUS TANAH YANG BELUM TERDAFTAR SEBAGAI OBJEK JUAL


BELI PADA MASYARAKAT PAKPAK BHARAT DI KECAMATAN SALAK

A. Profil Singkat Kabupaten Pakpak Bharat Dan Masyarakat Pakpak Bharat

Kabupaten Pakpak Bharat sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Dairi

terletak di Pantai Barat Sumatera yaitu 2,00-3,00 LU 96,00-98,30 BT dan berada

pada ketinggian 250-1400 M di atas permukaan laut. Kabupaten Pakpak Bharat juga

memiliki batas wilayah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Kecamatan Silima Pungga-pungga, Lae Parira, Sidikalang

Kabupaten Dairi.

b. Sebelah Selatan : Kecamatan Tara Bintang, Kabupaten Humbang Hasundutan

dan Kecamatan Manduamas Kabupaten Tapanuli Tengah.

c. Sebelah Timur : Kecamatan Perbuluan Kabupaten Dairi dan Kecamatan

Harian Kecamatan Toba Samosir (Tobasa).

d. Sebelah Barat : Kabupaten Aceh Singkil Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Kabupaten Pakpak Bharat bukanlah wilayah baru yaitu kabupaten yang

mengambil 3 (tiga) kecamatan dari Kabupaten Dairi mengambil sub wilayah suku

pakpak. Kabupaten Pakpak Bharat secara administratif memiliki 8 (delapan)

kecamatan yaitu : Kecamatan Salak, Kecamatan Kerajaan, Kecamatan Sitellu Tali

Urang Jehe, Kecamatan Tinada, Kecamatan Siempat Rube, Kecamatan Sitellu Tali

Urang Julu, Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut dan Kecamatan Pagindar.

32

Universitas Sumatera Utara


33

Luas wilayah Kabupaten Pakpak Bharat sekitar 1.218,30 KM2 (121.830 Ha)

atau 1,76% dari luas Provinsi Sumatera Utara. Dari luas wilayah tersebut 63.974 Ha

diantaranya merupakan lahan yang efektif dan 53.156 Ha merupakan lahan yang

belum dioptimalkan yang beriklim sedang, dengan rata-rata suhu 280C dengan curah

hujan pertahun sebesar 311 MM.51

Penduduk Kabupaten Pakpak Bharat berjumlah kurang lebih 45.000 jiwa,pada

umumnya mereka tinggal di daerah pedesaan dan mata pencaharian utamanya adalah

dengan bertani, dan merupakan Kabupaten yang memiliki penduduk paling sedikit

dari seluruh Kabupaten/Kota di Provinsi Sumatera Utara.

1. Sejarah Singkat Kecamatan Salak

Pada tahun 1904 pasukan Belanda tiba di Salak untuk mencari

Sisingamangaraja ke-XII. Belanda terus melakukan pencarian sampai pada tahun

1907 Sisingamangaraja ke-XII dibunuh oleh pasukan Belanda di Pearaja Kelasen

Kabupaten Tapanuli Utara setelah melarikan diri dari Salak. Pada tahun itu juga

terbuka hubungan jalan bagi pedagang-pedagang ke Salak, mereka ada yang datang

dari Barus (Kabupaten Tapanuli Tengah) dan dari Singkil (Aceh) untuk membeli

kemenyan, juga pedagang-pedagang dari Toba (Tapanuli Utara) yang membawa

dagangan seperti ulos (sarung) dan cangkul.

Bentuk pemerintahan pada waktu itu adalah Onder Districk atau disebut

Onder Districk Simsim dan berkedudukan di Salak dan terbagi atas beberapa

51
Hasil Wawancara dengan Bapak Akhyar M. Siagian, S.Sos, Kepala Seksi Tata
Pemerintahan Kecamatan Salak, (Salak, 7 Nopember 2016)

Universitas Sumatera Utara


34

kenegerian yang dipimpin Kepala Negeri. Pada tahun 1945 bentuk pemerintahan

diganti menjadi urung kecil yang terdiri atas Ketua, Sekretaris, Bendahara dan

Anggota. Pada saat itu namanya adalah Komite Nasional Urung Kecil Simsim dan

berkedudukan di Salak.

Pada tahun 1947 bentuk pemerintahan berubah lagi menjadi kewedanan yakni

Kewedanan Simsim. Kewedanan Simsim terdiri dari atas 2 Asisten Kewedanan yaitu

Kerajaan dan Salak. Hingga tahun 1979 bentuk Pemerintahan Kewedanan diubah

menjadi Kecamatan yang dipimpin oleh seorang Camat.

Pada tahun 2003 Kabupaten Dairi dimekarkan menjadi dua Kabupaten yaitu

Kabupaten Dairi dan Kabupaten Pakpak Bharat. Pemekaran ini berdasarkan UU

Nomor 9 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten

Pakpak Bharat dan Kabupaten Humbang Hasundutan di Provinsi Sumatera Utara.

Kabupaten Pakpak Bharat sebagai hasil pemekaran terdiri dari tiga Kecamatan yaitu

Kecamatan Salak, Kecamatan Kerajaan dan Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe.

Pada tanggal 28 Desember 2005, Kecamatan Salak dimekarkan menjadi

empat Kecamatan yaitu Kecamatan Salak, Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu,

Kecamatan Pagindar dan Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut, dan Salak

merupakan Ibukota Kabupaten Pakpak Bharat.

Kecamatan Salak adalah salah satu dari 8 (delapan) kecamatan di Kabupaten

Pakpak Bharat yang terletak antara 20 LU 980 BT, mempunyai luas wilayah sekitar

245,57 km. batas-batas wilayah Kecamatan Salak adalah sebagai berikut :

a. Sebelah Utara : Kecamatan Tinada dan Kecamatan Siempat Rube.

Universitas Sumatera Utara


35

b. Sebelah Selatan : Kabupaten Humbang Hasundutan

c. Sebelah Timur : Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu dan Kecamatan Siempat

Rube.

d. Sebelah Barat : Kecamatan Pergetteng-getteng Sengkut.

Pada umumnya Kecamatan Salak berada pada ketinggian rata-rata antara 700-

1.200 meter di atas permukaan laut. Dilihat dari kemiringan Lerengnya, Kecamatan

Salak memiliki keadaan lereng yang bervariasi yaitu mulai dari datar, berombak,

bergelombang, curam hingga terjal. Wilayah yang memiliki kemiringan lereng datar

sekitar 15% (38,83 Ha), berombak sekitar 8% (19,68 Ha), bergelombang sekitar 52%

(127, 69 Ha), dan curam sampai terjal sekitar 25% (61,38Ha).

Kecamatan Salak yang wilayahnya merupakan dataran tinggi memiliki

bermacam-macam jenis tanah. Jenis tanah yang ada umumnya merupakan jenis tanah

Liparit yang merupakan hasil peletusan Gunung Toba. Jenis tanah lainnya yaitu :

Permo Karbon, Palaegon, Gabro Diabase, Sepentin dan jenis tanah Juva. Tanah jenis

ini sesuai untuk komoditi perkebunan seperti gambir, jeruk, kopi, dan tanaman

perkebunan lainnya.

Kecamatan Salak sebagian besar terdiri atas wilayah dengan tofografi yang

bergunung-gunung dan berbukit-bukit dengan kemiringan lereng yang bervariasi,

oleh karena itu Kecamatan Salak beriklim tropis. Kecamatan Salak juga memiliki

udara sejuk yang dipengaruhi oleh iklim pegunungan. Suhu udara rata-rata berkisar

antara 180 sampai 280 C. Kelembaban udara relatif rata-rata berkisar antara 86%-

92%.

Universitas Sumatera Utara


36

Kecamatan Salak memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim

kemarau. Musim hujan biasanya terjadi pada bulan September hingga Desember,

sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Mei hingga Juli. Rata-rata

curah hujan pertahun adalah sekitar 3.161 mm atau rata-rata sekitar 19,27 mm tiap

bulannya.

Sungai atau disebut Lae yang mengalir di Kecamatan Salak antara lain : Lae

Ordi, Lae Sibintoha, Lae Sikesuk, Lae Serdang, Lae Silimbatu dan Lae Sigarap.

Gunung atau disebut Delleng yang ada di Kecamatan Salak antara lain : Delleng

Raja, Delleng Sibarteng, Delleng Sindeka, dan gunung lainnya. Jumlah penduduk

Kecamatan Salakper 31 Mei 2016 adalah sebanyak 10.140 jiwa yang terdiri dari laki-

laki dan perempuan.

Sebagai Kabupaten yang sedang berkembang banyak pembangunan yang

dilakukan di daerah Kabupaten Pakpak Bharat, hal ini jelas terlihat di ibukota

Kabupaten Pakpak Bharat yaitu Kota Salak, dan kebutuhan akan tanah di daerah ini

semakin tinggi baik dipergunakan untuk perkantoran seperti Komplek Perkantoran

untuk pemerintahan yaitu Komplek Panorama Indah Sindeka maupun dipergunakan

untuk keperluan masyarakat setempat seperti tanah untuk rumah pegawai

pemerintahan yang berasal dari luar daerah Kabupaten Pakpak Bharat dan

kebanyakan mereka berdomisili di Kota Salak, selain faktor itu juga banyak dari

pihak luar daerah Kabupaten Pakpak Bharat yang sengaja datang ke daerah ini untuk

berusaha dan membangun sarana dan prasarana yang turut membantu perkembangan

daerah ini misalnya : Bank, Perkantoran, Hotel, Rumah Makan, dan sebagainya. Oleh

Universitas Sumatera Utara


37

karena pembangunan inilah praktek jual beli tanah (pelepasan hak) banyak terjadi

terutama di Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat yaitu mencakup Desa Salak I

dan Desa Salak II. Menurut keterangan Kepala Desa Salak sampai tahun 2016 sudah

banyak terjadi jual beli tanah (pelepasan hak) sedangkan di Desa Salak I dan Desa

Salak II ada 150 jual beli tanah (pelepasan hak).52

Menurut Bapak Ishak Simon Maibang, S.Sos, Camat Salak yang berdasarkan

Surat Keputusan BPN Propinsi Sumatera Utara tanggal 3 Juli 2013 nomor

123/KEP.12/VII/2013 diangkat/ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) Sementara daerah kerja Kecamatan Salak dan berkantor di Jalan Sikadang

Njandi, Salak Kabupaten Pakpak Bharat. Sejak bertugas menjadi PPAT Sementara di

Kecamatan Salak mulai tahun 2013 sampai 2016 ada 36 Akta Jual Beli yang

dikeluarkan oleh Bapak Camat Salak sebagai PPAT Sementara tetapi tidak sampai

pada Sertifikat Tanah. 53

Tabel 1 : Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT Sementara (Camat)

No. Tahun Jenis Akta Jumlah Akta

1. 2013 Akta Jual Beli dari Camat -

2. 2014 Akta Jual Beli dari Camat 3

3. 2015 Akta Jual Beli dari Camat 17

4. 2016 Akta Jual Beli dari Camat 16

Sumber : Seksi Tata Pemerintahan Kecamatan Salak

52
Wawancara Kepala Desa Salak I Bapak Drs. Ramly Boangmanalu (12 Oktober 2016)
53
Wawancara dengan Bapak Ishak Simon Maibang, S.Sos yaitu Bapak Camat Salak (Kamis,
15 Desember 2016)

Universitas Sumatera Utara


38

Sedangkan di desa lain yang ada di Kecamatan Salak jarang sekali dilakukan

praktek jual beli tanah tanpa sertifikat ini dikarenakan jaraknya yang jauh dari pusat

kota salak dan susahnya transportasi sehingga tidak banyak yang berminat. Oleh

karena itu untuk sampel penelitian ini hanya dilakukan di dua desa tersebut yaitu

Desa Salak I dan Desa Salak II yang terdapat di Kecamatan Salak.

Kota Salak yang merupakan pusat pemerintahan terdapat di Kecamatan Salak

adalah Ibukota Kabupaten Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 6

(enam) desa yang ada di Kecamatan Salak.

Adapun ke 6 (enam) desa yang ada di Kecamatan Salak adalah sebagai

berikut: Desa Salak I, Desa Salak II, Desa Boangmanalu, Desa Binanga Boang, Desa

Kuta Tinggi dan Desa Sibongkaras.

Dari ke enam desa ini yang paling banyak melakukan praktek jual beli tanah

tanpa sertifikat yaitu Desa Salak I dan Desa Salak II atau dalam pelaksanaannya di

daerah ini lebih sering disebut dengan Pelepasan Hak.54 Sebab di kedua desa ini

merupakan jantung Kota Salak dan pembangunannya sangat persat sekali. Adapun

luas wilayah kota ini seluas 730 Ha (tujuh ratus tiga puluh hektar) kepadatan

penduduk yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Desa Salak I dan Desa Salak II

masing-masing memiliki 5 (lima) dusun yaitu :

54
Wawancara Kepala Desa Salak I dan Kepala Desa Salak II N. Br Padang (12 Oktober 2016)

Universitas Sumatera Utara


39

Tabel 2 : Dusun yang ada di Desa Salak I dan Desa Salak II Kecamatan
Salak
No Desa Salak I Desa Salak II

1. Dusun Sosor Dusun Pasar Salak

2. Dusun Napasengkut Dusun Barisan

3. Dusun Pemangu Dusun Kuta Kettang

4. Dusun Lae Cilum Dusun Persabahen

5. Dusun Gunung Meriah Dusun Pea Lagat

Sumber : Seksi Tata Pemerintahan Kecamatan Salak

Walaupun di Kabupaten Pakpak Bharat pada saat ini sedang melaksanakan

pembangunan tetapi pembangunan tersebut belum merata dapat dilihat bahwa

pembangunan terpusat di Kota Salak, sehingga banyak tanah yang belum

dimanfaatkan secara maksimal terbukti masih banyak tanah yang menjadi lahan tidur

dan ditumbuhi semak belukar dan tanah yang bergunung terjal yang merupakan tanah

hak ulayat masyarakat hukum Kabupaten Pakpak Bharat.

2. Keadaan Masyarakat Kabupaten Pakpak Bharat

Suku (marga) di Pakpak Bharat terdiri atas 5 (lima) suku yaitu Pakpak

Simsim, Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Boang dan Pakpak Kelasen,

masing-masing marga ini dibedakan berdasarkan hak ulayatnya.

Universitas Sumatera Utara


40

Tabel 3. Kelompok (Suak) dan Marga Pakpak

No Kelompok (Suak) Marga Pakpak

1 Pakpak Simsim Marga Berutu, Marga Padang, Marga Bancin, Marga

Manik, Marga Sitakar, Marga Kabeaken. Marga

Lembeng, Marga Cibro, Marga Boangmanalu, Marga

Padang Batanghari dan Marga Solin, Marga Bancin

dan Marga Banurea.

2 Pakpak Keppas Marga Ujung, Marga Angkat, Marga Bintang, Marga

Capah, Marga Kudadiri, Marga Brampu, Marga

Maha, Marga Sinamo dan Marga Pardosi

3 Pakpak Pegagan Marga Tumangger, Marga Tinambunen, Marga

Kasogihen, Marga Meka, Marga Maharaja, Marga

Gajah, Marga Brasa, Marga Sikettang dan Marga

Mungkur

4 Pakpak Boang Marga Saraan, Marga Anak Ampun dan Marga

Sambo

5 Pakpak Kelasen Marga Lingga, Marga Mataniari, dan Marga Manik

Sumber : Hasil Wawancara dengan Kepala Adat Marga Banurea yaitu Bapak M.

Banurea (Salak 12 Oktober 2016)

Di bawah suak terdapat kuta (kampung) yang dipimpin oleh Pertaki atau

Kappung (kepala Kampung). Pada umumnya pertaki atau kappung (kepala kampung)

Universitas Sumatera Utara


41

juga merupakan raja adat sekaligus sebagai panutan di kampungnya, di samping itu

Pertaki atau Kappung (kepala Kampung) mempunyai tugas dan wewenang yang

berkaitan dengan pengolahan kuta (kampung), penegakan hukum, ketertiban dan

disiplin. Disetiap kuta ada Sulang Silima sebagai pembantu pertaki yang terdiri dari

perisang-isang (anak paling besar), perekur-ekur (anak tengah), pertulang tengah

(anak paling kecil), perpunya ndiadep (anak perempuan) dan perbetekken teman satu

marga).

Meski struktur pemerintahan seperti ini sudah tidak dipakai lagi karena

dianggap tidak relevan karena peraturan daerah termasuk desa-desa di seluruh

Indonesia sudah diatur secara nasional melalui perundang-undangan, yaitu Undang

Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pemerintahan Desa, yang sudah mengatur

secara tegas mengenai desa, kelurahan, dusun dan lingkungan dan semuanya tidak

berdasarkan hukum adat pakpak, tetapi dalam masyarakat masih tetap dipertahankan

sebagai sumber hukum adat budaya Pakpak Bharat.

Secara tradisional wilayah komunitasnya disebut Tanah Pakpak, hampir 90%

(Sembilan puluh persen) penduduk di wilayah Pakpak Bharat beretnis Pakpak, maka

penduduknya bisa dikategorikan homogen. Walaupun tanah pakpak terpisah secara

administratif, tetapi secara geografi tidak terpisah satu sama lain karena berbatasan

langsung walaupun hanya bagian-bagian kecil dari wilayah kabupaten tertentu,

kecuali Kabupaten Pakpak Bharat menjadi sentra utama masyarakat suku pakpak.

Kesatuan komunitas terkecil yang umum dikenal hingga saat ini disebut

Lebbuh dan Kuta. Lebbuh merupakan bagian dari Kuta yang dihuni oleh klan kecil,

Universitas Sumatera Utara


42

sementara kuta adalah gabungan dari lebbuh-lebbuh yang dihuni oleh suatu klan

besar (marga) tertentu. Jadi setiap Lebbuh dan Kuta dimiliki oleh klan atau marga

tertentu dan dianggap sebagai penduduk asli, sementara marga tertentu dikategorikan

sebagai pendatang. Selain itu orang pakpak menganut Prinsip Patrilineal dalam sistem

garis keturunan (kelompok kekerabatan atau menurut garis ayah) yang disebut marga.

Kota Salak yang dulunya saat masih menjadi bagian dari Kabupaten Dairi

hanyalah sebuah desa kecil yang mana tanahnya merupakan hak ulayat dari marga

Banurea. Setelah Pakpak Bharat memisahkan diri dari Kabupaten Dairi maka Desa

Salak ini yang sangat mempunyai potensi sebagai Ibukota Kabupaten Pakpak Bharat.

Kota Salak sekarang bukanlah seperti pada saat menjadi desa dan luas wilayahnya

pun bertambah yang dulunya hanya dimiliki oleh tanah ulayat marga Banurea tetapi

juga ada tanah ulayat marga Boangmanalu dan marga Bancin. Meskipun demikian

80% dari luas Kota Salak sekarang adalah tanah marga Banurea berada di Desa Salak

I dan Desa Salak II, oleh karena itu praktek Jual Beli atau Peralihan Hak atas tanah

sangat banyak dilakukan disebabkan banyaknya pembangunan untuk pengembangan

kota.

Jadi dapat dilihat bahwa seluruh suku Pakpak di Kabupaten Pakpak Bharat

merupakan anggota masyarakat hukum adat yang mempunyai kekayaan wilayah

sendiri yang dipimpin oleh Pertaki atau Kappung ( Kepala Desa) dan memiliki hak

dan kewajiban yang sama dalam Persekutuan Hukum Adat.

Bushar Muhammad menjelaskan bahwa masyarakat hukum adat yang bersifat

geneologis adalah : masyarakat yang disusun berdasarkan lingkungan daerah adalah

Universitas Sumatera Utara


43

masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu dan oleh sebab itu

merasa bersama-sama merupakan kesatuan dalam hubungan kekerabatan karena

adanya ikatan para mereka masing-masing dengan tanah tempat tinggal mereka.

Landasan-landasan yang akan mempersatukan mereka para anggota masyarakat

hukum adat yang strukturnya bersifat territorial adalah ikatan orang dan anggota

masyarakat masing-masing dengan tanah yang didiaminya sejak kelahirannya.55

Masyarakat hukum adat Pakpak mempunyai hubungan kekerabatan dalam

bentuk marga dengan adanya keterikatan dengan tanah tempat tinggal mereka sejak

kelahirannya bersama-sama membentuk suatu kesatuan atas lingkungan daerah

tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum adat Pakpak sebagai

masyarakat hukum adat yang bersifat geneologis yang masih memperdulikan hak-

hak atas pemerintahan adat dalam kehidupan sehari-hari dan masih mempertahankan

nilai-nilai leluhur.

3. Peranan Lembaga Adat Sulang Silima Suku Pakpak Bharat

Lembaga adat dalam Suku Pakpak Bharat dipimpim oleh Kepala Adat,

Pengertian Kepala Adat Menurut Soepomo, adalah bapak masyarakat, dia mengetuai

persekutuan sebagai ketua suatu keluarga besar, dia adalah pemimpin pergaulan

hidup dalam persekutuan.56 Dengan demikian Kepala Adat bertugas memelihara

hidup hukum di dalam persekutuan, menjaga supaya hukum dapat berjalan dengan

selayaknya. Aktivitas Kepala Adat sehari-hari meliputi seluruh lapangan masyarakat,

55
Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, (Bandung, Bina Cipta,
1988), Hlm 33
56
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1979), Hlm 45

Universitas Sumatera Utara


44

tidak ada satu lapangan pergaulan hidup di dalam persekutuan yang tertutup bagi

Kepala Adat untuk ikut campur bilamana diperlukan untuk memelihara ketentraman,

perdamaian, keseimbangan lahir bathin untuk menegakkan hukum dalam lembaga

adat di wilayah hukum adatnya.

Adapun aktivitas Kepala Adat dapat dibagi 3 (tiga) bagian :

1. Tindakan mengenai urusan tanah berhubungan dengan adanya pertalian erat

antara tanah persekutuan (golongan manusia) yang menguasai tanah.

2. Penyelesaian hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran

hukum (Preventieve Rechstzorg) supaya hukum dapat berjalan sebagaimana

mestinya.

3. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu

dilanggar (Repseive Rechstzorg).57

Kepala Adat dalam segala tindakannya dan dalam memegang adat selalu

memperhatikan perubahan-perubahan. Adanya pertumbuhan hukum di bawah

pimpinan dan pengawasan Kepala Adat yang sangat penting adalah pekerjaan di

lapangan atau sebagai hakim perdamaian desa. Apabila ada perselisihan atau

perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat, maka Kepala Adat

bertindak untuk memulihkan perdamaian adat, memulihkan keseimbangan di dalam

suasana desa serta memulihkan hukum. Dalam masyarakat adat Pakpak yang masih

sangat dipengaruhi oleh hukum adat, Kepala Adat sebagai pimpinan dari suatu

Lebbuh atau Kuta dari marga-marga yang ada di Pakpak Bharat mempunyai peranan
57
Ibid, Hlm 66

Universitas Sumatera Utara


45

yang sangat penting dalam melaksanakan aturan-aturan adat yang ada pada

masyarakat Pakpak Bharat.

Dulunya Kepala Adat di Pakpak Bharat disebut dengan Pertaki dan Kappung

(Kepala Kampung) dialah yang menjadi pimpinan dan penanggungjawab dari suatu

lebbuh atau kuta dengan Sulang Silima sebagai pelaksana tugasnya. Seiring

perkembangan zaman dan perkembangan daerah istilah pertaki ini perlahan-lahan

menghilang keberadaannya dan Sulang Silima yang dianggap sebagai Ketua Adatnya.

Lambat laut Sulang Silima yang tadinya terdiri dari 5 (lima) unsur yaitu : Perisang-

isang (anak paling besar), perekur-ekur(anak paling bungsu), pertulang tengah (anak

tengah), perpunya ndiadep (anak boru) dan perbetekken (teman satu marga) juga

mengalami perubahan, Sulang Silima yang sekarang hanya beranggotakan dari

marga-marga Pakpak yang ada.

Sulang Silima yang menjadi penentu dan pembuat keputusan dan sumber dari

segala sumber hukum adat Pakpak yang menyangkut hukum pertanahan, hukum

perkawinan, hukum pewarisan dan juga mengatur tentang kekerabatan pada

masyarakat Pakpak, dimana dalam pelaksanaannya diluar dari kelima unsur yang ada

dalam Sulang Silima diangkatlah satu orang dengan marga yang sama sebagai Kepala

Adat. Fungsi Kepala Adat hanyalah sebagai perantara masyarakat dengan kelima

unsur Sulang Silima. Kepala Adat disini tidak berhak untuk mengambil keputusan

dalam pelaksanaan adat, Kepala Adat ini hanya berfungsi dengan baik pada saat acara

adat saja, sedang peranan dari Sulang Silima sama dengan peranan Pertaki atau

Kappung (Kepala Kampung) sebelumnya. Kelima unsur yang ada dalam Sulang

Universitas Sumatera Utara


46

Silima bukan satu ketetapan yang mana isi dari kelima unsur tersebut masih

merupakan satu keluarga dari satu garis keturunan.

Sulang Silima yang sekarang dikenal di Pakpak Bharat dan masih dianggap

keberadaannya adalah Lembaga Adat Sulang Silima yang dibentuk dan anggotanya

dipilih sendiri oleh para marganya. Walaupun Sulang Silima ini menjadi satu

kesatuan, tetapi di dalam pembentukannya juga masih berdasarkan kelima unsur yang

diharuskan tetapi sudah menjadi satu kesatuan bukan lagi berdasarkan keturunan

keluarga satu empung (kakek).

Adapun peranan Sulang Silima pada saat ini sangat terlihat dalam usaha untuk

pengamanan amanah atau warisan tanah ulayat marganya. Dalam pelaksanaannya

sendiri Sulang Silima merupakan lembaga adat tertinggi, bilamana ada perubahan-

perubahan hukum serta permasalahan mengenai tanah marga, maka penyelesaiannya

diserahkan kepada Sulang Silima sebagai Lembaga Adat Tertinggi suku Pakpak di

Pakpak Bharat pada masa sekarang ini.

B. Jenis-Jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Ridwan Hakim mengemukakan bahwa hak

atas tanah adat adat dapat dibedakan atas : 58

1. Hak Ulayat, yaitu hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota

masyarakat hukum adat secara bersama-sama. Dengan hak ini masyarakat

hukum adat yang bersangkutan menguasai tanah tersebut secara menyeluruh

58
Purnadi Purbacaraka, Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, (Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1993), Hlm 25

Universitas Sumatera Utara


47

atau bersama. Adapun hak anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang

berwujud hak ulayat pada dasarnya :

a. Hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada diwilayahnya atau

wewenang masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

b. Hak untuk berburu dalam batas wilayah wewenang hukum masyarakat

mereka. Tetapi dalam konsekwensinya hak ulayat yang bersifat komunal

ini pada hakekatnya terdapat pula hak perorangan untuk menguasai

sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut secara tertentu agar

diketahui oleh para anggota lainnya dalam waktu tertentu pula.

2. Hak Milik dan Hak Pakai

Hak Milik Atas Tanah Adat adalah suatu hak atas tanah yang dipegang oleh

perseorangan atas sebidang tanah tertentu dalam wilayah masyarakat hukum

adat yang bersangkutan. Hak Pakai Adat Atas Tanah adalah suatu hak atas

tanah menurut hukum adat yang telah diberikan kepada seseorang tertentu

untuk memakai sebidang tanah bagi kepentingannya, biasanya tanah yang

dipakai dalam hukum adat dengan dasar hak pakai, dan biasanya terhadap

tanah sawah dan ladang. Disini dibatasi hak untuk menarik keuntungan dari

tanah adat dan hanya diperbolehkan sekedar dipergunakan untuk keperluan

hidup keluarga dan diri sendiri, jadi hak yang melampaui batas terhadap tanah

adat tidak diakui sepanjang bertujuan untuk persediaan bagi usaha

perdagangan.

3. Hak Perseorangan atas tanah adat terdiri dari :

Universitas Sumatera Utara


48

a. Hak Milik Adat (inland bezitrecht) adalah hak perorangan atas tanah,

dimana yang bersangkutan tenaga dan usahanya telah terus menerus

ditanamnya pada tanah tersebut, sehingga kekuatannya semakin nyata dan

diakui oleh anggota lainnya, dan kekuasaan kaum/persekutuan semakin

menipis, dan kekuasaan perorangan semakin kuat. Hak milik ini

walaupun telah kokoh dan sempurna namun dapat dibatalkan kembali bila

: pertama, tidak diusahakan terus menerus, sehingga telah hilang bekas-

bekas atau tanda-tanda itu kembali menjadi belukar. Kedua, Tidak ada

yang berhak atas tanah, karena pemiliknya pergi meninggalkan tanah

tersebut. Ketiga, Tidak dipenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan

persekutuan hukum.

b. Hak Memungut Hasil (genotrecht) adalah suatu hak pribadi yang

mempunyai kekuatan tertentu, yaitu tentang menikmati hasil tanahnya

saja, sedangkan kekuasaan atas tanah yang berada pada persekutuan, hak

ini mempunyai kekuatan sementara.

c. Hak Menarik Hasil adalah suatu hak yang diperbuat dengan suatu

persetujuan para pemimpin persekutuan dengan orang yang mengelola

sebidang tanah untuk satu atau dua kali panen. Hak menarik hasil juga

berakhir apabila : Pertama, Tanah itu diolah lebih sempurna, sehingga

dapat diperoleh hak milik atas tanah tersebut. Kedua, Habis Waktunya,

jika diberikan jangka waktu tertentu. Ketiga, Tidak dipenuhinya

kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh persekutuan.

Universitas Sumatera Utara


49

Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa jenis-jenis hak atas tanah adat

didasarkan kepada hubungan antara anggota persekutuan dengan tanah dan hubungan

itu tidak terlepas dari pengawasan persekutuan atau masyarakat hukum adat.

C. Status Kepemilikan Tanah di Kabupaten Pakpak Bharat

Dari hasil penelitian yang diperoleh melalui hasil wawancara responden

bahwa status tanah yang ada di Pakpak Bharat merupakan tanah dalam status tanah

adat, sebagian besar dari bidang tanah tersebut masih bersifat pemilikan bersama

(komunal) yang disebut tanah marga, tanah marga yang dimiliki secara bersama-sama

terdapat sekitar 80% (delapan puluh persen) dari kepemilikan tanah yang ada di

Kabupaten Pakpak Bharat sisanya sekitar 20% (dua puluh persen) adalah tanah milik

adat yang masih dimiliki satu keluarga, tanah ini masuk kedalam tanah warisan

keluargan dan masih dalam sistem kekeluargaan yang sangat erat, maka

pembagiannya tidak dilakukan secara jelas hanya secara lisan saja. Luas tanah adat

yang ada di Kabupaten Pakpak Bharat seluas 35.670 hektar yang dikuasai oleh marga

pakpak yaitu : marga Berutu, marga Bancin, marga Padang, marga Solin, marga

Sinamo, marga Manik, marga Cibro, marga Banurea, marga Boangmanalu, marga

Lembeng, marga Sitakar, marga Kabeaken, marga Tinendung, marga Munthe, marga

Ujung, marga Kudadiri, marga Mataniari, dan marga Siketang.

Tanah Adat adalah satu kesatuan dengan kehidupan masyarakat pakpak atau

menunjukkan identitas tentang keberadaan anggota masyarakat tersebut sehingga

tanah menentukan hidup matinya masyarakat tersebut. Tanah dikuasai oleh marga

sebagai pemilik tanah ulayat tersebut.

Universitas Sumatera Utara


50

Adapun bentuk-bentuk penguasaan tanah adat di Pakpak Bharat sebagai

berikut :

a. Tanah Tidak diusahai adalah tanah “Karangan Longo-longon” (hutan yang

tidak pernah dikunjungi orang), Tanah “Kayu Ntua” (tanah yang luas penuh

dengan pohon-pohon tua yang besar), Tanah “Talin Tua” (tanah pekuburan untuk

selama-lamanya), Tanah “Balik Batang” (tanah bekas ladang yang tidak diusahai

lagi) dan Rambah Keddep (Jempalan) (lapangan yang luas dan subur tempat

kerbau makan).

b. Tanah Yang Diusahai adalah “Tahuma Pargadongen” (ladang ubi),

“Perkemenjenen” (ladang kemenyan), dan “Bungus” (tanah luas dan banyak

terdapat tanaman tua).

c. Tanah Perpulungen adalah “Embal-embal” (warisan) dan Jalangan (tanah yang

subur yang tidak diketahui siapa pemilik tanah tersebut dan boleh digarap).

d. Tanah Sembahen adalah tanah yang dijadikan tempat untuk melakukan ritual

khusus menyembah nenek moyang yang mempunyai sifat magis (keramat), pada

saat ini tanah tersebut sudah tidak dipergunakan lagi dan dijadikan tempat untuk

berladang.

e. Tanah Persediaan adalah tanah cadangan dimana tanah ini tetap hak marga,

tanah yang dijaga oleh Permangmang (orang yang sangat dihormati) dan tidak

boleh diganggu.

Universitas Sumatera Utara


51

f. Lebbuh adalah tanah perkampungan untuk setiap marga bermukim.59

Dalam hal pengalihan tanah adat atau pergeseran tanah tidak ada dalam hukum

adat Pakpak, kecuali tanah Rading Berru (tanah yang diberikan kepada anak

perempuan atau menantu sepanjang masih dipakai) dan apabila tidak dipakai lagi

harus dikembalikan kepada Sulang Silima tetapi dengan persyaratan bahwa anak

laki-laki dari pihak berru tersebut harus mengambil anak perempuan (berru) dari

kula-kulanya tersebut dan juga tanah ladang dan persawahan.60

Tetapi dalam perkembangannya Kabupaten Pakpak Bharat yang berkembang

dengan pesat serta kebutuhan akan tanah dan kepentingan akan uang pengalihan

tanah atau pergeseran tanah yang dikatakan tidak ada tersebut dapat dikesampingkan

asal sesuai dengan tata cara adat dan telah mendapat izin dari Sulang Silima, disinilah

peran serta pentingnya Sulang Silima sebagai Kepala Adat.

D. Kedudukan Tanah Adat di Kabupaten Pakpak Bharat

Sebelum lahirnya UUPA, maka di Indonesia pernah berlaku suatu undang-

undang pertanahan yaitu hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum barat (BW)

dan yang tunduk kepada hukum adat. Tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat

tersebut menurut ketetapan Domein Verklaring masih tergolong kepada tanah milik

negara yang tidak bebas. Ketentuan mengenai tanah tersebut dicantumkan dalam

suatu undang-undang yang disebut dengan Agrarischewet dengan Stb. 1870 No. 55

yang mana sebagai asas pokoknya adalah Domein Negara.

59
Hasil Wawancara dengan Bapak A Boangmanalu, Sukutt Nitalun (Selasa, 6 Desember
2016)
60
M. Banurea, Wawancara dengan Kepala Adat Banurea, (Salak, 15 Nopember 2016)

Universitas Sumatera Utara


52

Dalam peraturan pelaksana undang-undang tersebut ditetapkan bahwa semua

tanah yang tidak dapat dibuktikan ada hak eigendom di atasnya, maka tanah tersebut

merupakan domein negara (milik negara), sementara tanah yang dikuasai oleh rakyat

pribumi (tanah adat) tidak pernah mendapat hak eigendom yang sah. Sesuai dengan

asas domein negara tersebut, maka keadaan tanah di Indonesia saat itu dikenal dengan

tanah domein negara yang bebas atau tanah domein negara yang tidak bebas. Adapun

pembagian tanah tersebut yaitu :

a. Tanah Domein Negara Bebas, yaitu tanah-tanah yang dikuasai langsung

oleh Pemerintah Belanda seperti : pelabuhan, pasar-pasar, tanah-tanah instansi

dan lain sebagainya.

b. Tanah Domein Negara Yang Tidak Bebas, yaitu tanah-tanah yang tidak

dikuasai langsung oleh Pemerintah Belanda, tetapi dipakai dengan sesuatu hak

yang diberikan pemerintah dengan suatu perjanjian atau peraturan akan tetapi

masih dianggap milik Belanda, seperti tanah yang didiami oleh penduduk

Bumi Putera yang disebut dengan tanah adat.

Dilihat dari pembagian tanah tersebut di atas, maka jelaslah bahwa kedudukan

tanah adat termasuk dalam domein negara yang dalam arti tidak tunduk kepada

hukum adat. Pernyataan domein tersebut menegaskan bahwa tanah negara ialah

semua tanah yang seseorang itu tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut

adalah hak miliknya, sebaliknya tanah adat itu adalah tanah yang tidak tunduk kepada

aturan-aturan eigendom (hak milik) atau tanah adat adalah tanah yang tidak dimiliki

oleh seseorang dengan hak eigendom.

Universitas Sumatera Utara


53

Di dalam Pasal 75 RR (lama) dikatakan bahwa para Hakim dapat

mempergunakan hukum adat sepanjang hukum adat itu tidak bertentangan dengan

dasar-dasar umum yang diakui tentang kepatutan dan keadilan.

Dengan demikian dualisme dalam hukum pertanahan yang kita kenal pada

zaman Hindia Belanda tersebut tidak sama derajatnya dan yang lebih diakui adalah

hak eigendom. Hal tersebut terbukti dari pernyataan politik yang tertuang dalam

pernyataan tersebut yaitu bahwa segala tanah yang tidak dibuktikan dengan sesuatu

hak eigendom adalah domein negara (milik negara).

E. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat

Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum tidak secara tegas dan terperinci

diatur dalam UUPA, bahkan sampai sekarang belum ada peraturan yang mengatur

khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah. Menurut Hukum Adat, Jual Beli Tanah

adalah suatu pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang

artinya perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan Kepala Adat,

yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan

pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai

maksudnya bahwa peraturan pemindahan hak dan pembayaran harga tanahnya

dilakukan secara kontan.

Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukkan ke dalam hukum benda,

khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum perikatan

khususnya hukum perjanjian, hal ini dikarenakan :

Universitas Sumatera Utara


54

1. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan suatu perjanjian

sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut.

2. Jual beli tanah menurut hukum adat menimbulkan hak dan kewajiban yang

ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi apabila pembeli

baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka

penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tersebut.61

Bentuk-bentuk pemindahan hak milik menurut sistem hukum adat yang

memindahkan hak milik untuk selama-lamanya disebut Jual Lepas. Jual Lepas adalah

perbuatan penyerahan dengan demikian tidak sama dengan levering menurut hukum

barat, karena pemindahan hak miliknya dilakukan secara tunai, oleh karena hukum

adat tidak memisahkan pengertian jual dengan penyerahan sebagaimana hukum barat,

sehingga dikatakan jual lepas dikarenakan tanah itu diserahkan untuk selama-

lamanya.

Partisipasi manusia terhadap tanah demikian akrabnya, sehingga transaksi

tanah tidak semudah transaksi barang lainnya, dimana dalam hukum adat melakukan

transaksi tanah kepada orang lain merupakan suatu perbuatan yang paling pantang

karena menurut mereka hal tersebut merupakan kehormatan dan kedudukan

kerabatnya oleh karena itu tidak mudah dialihtangankan.

Kemungkinan akan batalnya jual lepas atas tanah dikarenakan masih kuatnya
lembaga hak terdahulu yaitu “hak kerabat” atau “hak tetangga”, adanya larangan
menjual hak milik tanah kepada bukan anggota kerabat atau kepada orang asing yang

61
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Rajawali, 1983) Hlm 221

Universitas Sumatera Utara


55

bukan warga adat yang bersangkutan. Di lingkungan persekutuan hukum adat dimana
hak terdahulu, hak kerabat atau hak tetangga masih kuat, perjanjian jual lepas yang
dilakukan oleh anggota persekutuan dengan orang diluar persekutuan dapat
dibatalkan oleh Ketua Adat. Begitu pula dengan perjanjian yang terjadi antara
anggota kerabat dengan bukan anggota kerabat dapat berakibat dibatalkannya
perjanjian itu oleh para pemuka adat.62
Oleh karena itu salah satu syarat yang paling mendasar dalam jual lepas
adalah mengutamakan hak terdahulu yaitu “hak kerabat” atau “hak tetangga” dan
didasarkan pada kemufakatan musyawarah anggota persekutuan.
Bagi masyarakat hukum adat yang penting dalam pelaksanaan perjanjian
bukan unsur subjektif atau objektif, tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu
dalam masyarakat lingkungannya tidak ada yang mempersoalkannya, tidak ada yang
merasakan perjanjian itu tidak baik. Sebaliknya walaupun perjanjian itu dibuat
dihadapan kepala kampung, jika masyarakat mempersoalkannya menganggap hal itu
tidak baik maka sebenarnya perjanjian tersebut tidak sah.
Ter Haar berpendapat bahwa tanpa ikut sertanya kepala adat atau tanpa

bantuannya maka perjanjianitu tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Jadi jika kepala

adat menolak untuk membantu perjanjian itu , maka perjanjian itu tidak sah. Pada

masa sekarang yang harus diperhatikan ialah siapa yang disebut kepala persekutuan.

Di desa-desa yang masyarakatnya geneologis kekerabatan, maka persekutuan harus

dibedakan antara kepala kampung dengan kepala adat.

Perlunya mengetahui perbedaan kedudukan kepala kampung adalah bahwa


kesaksian kepala adat diperlukan untuk pihak ketiga dan urusan pemerintah,

62
Imam Sudiyat, Op Cit, Hlm 127

Universitas Sumatera Utara


56

sedangkan kesaksian kepala adat diperlukan untuk tetap memelihara kerukunan dan
kedamaian dilingkungan masyarakat adat.
Soepomo menyatakan ikut sertanya pengurus desa dalam pembelian tanah
adalah untuk mendapatkan lebih banyak jaminan hukum (kepastian hukum) bagi
pembeli dan karena itu pembeli memperoleh hak untuk mendapatkan perlindungan
hukum sepenuhnya.63
F. Status Tanah Yang Belum Terdaftar Sebagai Objek Jual Beli Di Kecamatan
Salak

Untuk mengkaji status tanah di Kabupaten Pakpak Bharat, maka akan dibatasi

pada lokasi penelitian yaitu Kecamatan Salak. Kota salak yang merupakan pusat

pemerintahan terdapat di kecamatan salak yaitu Ibukota Kabupaten Pakpak Bharat

Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 6 (enam) desa yang ada di Kecamatan

Salak. Adapun ke enam desa yang ada di kecamatan salak sebagai berikut :

Tabel 4 : Luas Wilayah Menurut Desa di Kecamatan Salak dan Status


Tanah
No Nama Desa Luas (km2) Status Tanah

1. Desa Salak I 3 Tanah Adat


2. Desa Salak II 3 Tanah Adat
3. Desa Boangmanalu 3,15 Tanah Adat
4. Desa Binangaboang 12,17 Tanah Adat
5. Desa Kuta Tinggi 48 Tanah Adat

6. Desa Sibongkaras 176,25 Tanah Adat


Sumber : Seksi Tata Pemerintahan Kecamatan Salak

63
Soepomo, Ibid, Hlm 88

Universitas Sumatera Utara


57

Sebagaimana diketahui bahwa sebelum kemerdekaan atau zaman penjajahan

Belanda tanah adat berada dalam posisi yang sangat lemah sekali karena

kedudukannya sebagai tanah negara tidak bebas atau paling tidak diarahkan kepada

hak-hak yang mirip dengan hak eigendom BW. Pemerintah Hindia Belanda sama

sekali tidak berusaha untuk mengembangkan hak adat itu untuk menjadi suatu sistem

hukum tanah adat, dalam arti kata bahwa pihak Belanda tetap menganaktirikan hak-

hak tanah adat, sehingga dengan demikian hak-hak tanah adat tidak diakui begitu saja

oleh pihak Belanda kecuali dimintakan oleh yang bersangkutan dengan sesuatu hak

eigendom.

Tanah dalam masyarakat adat Pakpak Bharat sangat penting dan mempunyai

fungsi sosial yang sangat besar. Hal ini tercermin dari kehidupan masyarakat Suku

Pakpak Bharat pada umumnya, dimana kehidupan masyarakatnya sehari-hari adalah

bertani dan berkebun. Demikian juga dengan kehidupan masyarakat di Kecamatan

Salak, dimana masyarakat hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. Adapun tanah

yang mereka usahakan tersebut adalah merupakan tanah warisan ataupun tanah adat

yang telah dikuasai dan diusahai secara turun temurun. Pembuktian secara hukum

atas kepemilikan tanah berupa sertifikat ataupun Surat Keterangan Camat sangat

minim sekali, karena masyarakat Kecamatan Salak khususnya di Desa Salak I dan

Desa Salak II dalam hal jual beli tanah masih melakukan jual beli dihadapan Kepala

Desa. Status tanah sebagai objek jual beli di Kecamatan Salak adalah tanah adat

Universitas Sumatera Utara


58

yaitu tanah persawahan, tanah perladangan dan tanah pertapakan perumahan yang

telah dikuasai secara turun temurun dan tanah warisan.64

Tanah-tanah ini kemudian dalam perkembangannya banyak beralih baik

karena jual beli maupun dengan peralihan hak lainnya, khusus untuk jual beli

biasanya dilakukan dibawah tangan berdasarkan kesepakatan antara para pihak

dengan dihadiri oleh saksi-saksi, yang biasanya saksi-saksi ini adalah orang-orang

terdekat yang mempunyai hubungan kekeluargaan serta saksi-saksi yang tanahnya

berbatasan dengan tanah yang akan dijual. Biasanya perjanjian jual beli ini

dituangkan dalam surat yang berbentuk segel yang ditandatangani oleh para pihak

dihadapan Kepala Desa.

Apabila salah seorang anggota masyarakat ingin menjual tanahnya maka

terlebih dahulu diadakan musyawarah dengan keluarga terdekat, dan biasanya tanah

yang akan diperjual belikan itu terlebih dahulu ditawarkan kepada keluarga terdekat

dengan tujuan agar keberadaan tanah tersebut tidak berpindah kepada orang lain.

Namun demikian, status tanah yang belum terdaftar baik pendaftaran pertama

kali maupun pendaftaran peralihan haknya terutama karena jual beli, masih

merupakan tanah adat yang didasarkan kepada penguasaan secara fisik oleh pemilik

tanah secara turun temurun atau dari warisan atau dari jual beli tanah yang dilakukan

secara di bawah tangan.

64
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Ishak Simon, Camat Kecamatan Salak ( Salak, 15
Nopember 2016)

Universitas Sumatera Utara


59

BAB III

KEKUATAN HUKUM JUAL BELI TANAH YANG BELUM TERDAFTAR


YANG DILAKUKAN MENURUT HUKUM ADAT

A. Hukum Adat Dalam UUPA

Seperti telah disebut sebelumnya bahwa pada hakekatnya hukum adat adalah

dasar daripada Hukum Agraria Indonesia, hal ini secara jelas disebutkan dalam Pasal

5 UUPA. Namun perlu diperhatikan secara seksama hukum adat yang bagaimana

yang dimaksudkan oleh Pasal 5 UUPA ini. Perlu kita kaji bagaimana posisi hukum

adat sebagai dasar Hukum Agraria Nasional atau bagaimana kedudukan hukum adat

sebenarnya dalam sistem Hukum Agraria Nasional.

Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa :

“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatunya dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Dari ketentuan Pasal 5 UUPA dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang

merupakan dasar Hukum Agraria itu haruslah hukum adat yang :

a. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan

atas persatuan bangsa.

b. Tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia.

c. Tidak bertentangan dengan UUPA.

d. Mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

59

Universitas Sumatera Utara


60

Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan

persatuan bangsa bahwa ketentuan hukum adat mengenai agraria tidak boleh

bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara.

Sehubungan dengan itu Boedi Harsono mengemukakan bahwa :

“…..Hukum Agraria adatpun mengandung cacat pula, hukum adat sebagai


hukum yang tidak luput dari pengaruh masyarakat lingkungan tempat berlakunya
dan bertumbuhnya hukum yaitu masyarakat jajahan liberal individualistis dan
masyarakat feodal. Jadi biarpun hukum agraria adat pada umumnya dan pada
dasarnya sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yaitu gotong royong dan
kekeluargaan, namun tidak lagi seluruhnya memenuhi syarat sebagai sarana
untuk membentuk masyarakat Pancasila. Hukum Agraria adatpun perlu
dibersihkan dari cacatnya yang tidak asli”.65

Dengan dasar pemikiran tersebut di atas maka diperlukan usaha untuk

menyaring dan membersihkan hukum adat dari cacatnya. Berkembangnya hukum

adat adalah sejalan dengan perkembangan zaman dan perkembangan itu dipengaruhi

oleh berbagai faktor, termasuk faktor politik kekuasaan pemerintah dan perundang-

undangan. Hukum adat disini adalah hukum adat yang sudah dimodernisir karena

sudah ditingkatkan kedeudukannya, namun hukum adat yang sudah dimodernisir ini

yaitu tidak lain dari keseluruhan asas hukum yang ditarik daripada hukum adat yang

berlaku diseluruh Indonesia, yang telah diolah dan dirumuskan dalam sistem UUPA.

Perubahan ini adalah berupa usaha untuk menserasikan asas hukum dengan prinsip

dasar yang terkandung dalam UUPA, tidak semua hukum adat dipakai menjadi dasar

Hukum Agraria Nasional, hanya hukum adat yang selaras dengan prinsip hukum

dasar UUPA saja yang dipakai.

65
Boedi Harsono, Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, (Bagian Pertama,
Jilid Kedua, Penerbit Jambatan), Hlm 168

Universitas Sumatera Utara


61

Jadi apabila hukum adat itu tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan

dalam UUPA maka hukum adat itu tidak dapat digunakan, oleh karena itu dapat

dikatakan UUPA itu merupakan lex specialis dari hukum adat yang merupakan lex

generalis.

B. Azas Hukum Adat Sebagai Pembentukan UUPA

Hukum adat sebagai dasar pembentukan UUPA, yaitu sebagai dasar utama

dan pelengkap. Sebagai dasar utama yaitu asas-asas, lembaga hukum adat dan sistem

hukum adat, sedangkan sebagai pelengkap, sifat hukum adat adalah melengkapi

ketentuan-ketentuan yang tidak atau belum terdapat dalam UUPA agar tidak terjadi

kekosongan hukum. Menurut Soedikno Mertokusumo, hukum adat sebagai dasar

utama dijabarkan terkait dengan : 66

a. Asas-asas hukum adat yang diambil sebagai dasar :

1. Konsep hukum adat, bahwa hubungan manusia dengan kekayaan alam

bersifat religio magis (Pasal 1 ayat (2) UUPA).

2. Dilingkungan masyarakat dikenal hak ulayat, yaitu hak wewenang,

kewajiban, menggunakan dan memelihara kekayaan alam yang ada

dilingkungan wilayah masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 3 UUPA).

3. Selainhak adat ulayat dikenal pula hak perorangan atas tanah (Pasal 4 jo

pasal 16 UUPA).

4. Asas gotong royong mencegah persaingan dan pemerasan antar golongan

yang mampu terhadap yang tidak mampu (Pasal 12 ayat (1) UUPA).
66
Soedikno Mertokusumo, Op. Cit, Hlm 76

Universitas Sumatera Utara


62

5. Perbedaan warga masyarakat adat dan asing dalam kaitan penggunaan,

penguasaan kekayaan alam (Pasal 9 UUPA).

b. Lembaga hukum adat (Pasal 16 UUPA).

c. Sistematik hukum adat hubungan manusia dengan tanah, yaitu hak ulayat

mengandung 2 (dua) unsur, pertama kepunyaan, yaitu semua anggota

masyarakat mempunyai hak untuk menggunakan dan kedua, unsur

kewenangan yaitu mengatur, merencanakan dan memimpin penggunaannya.

Perlindungan hukum terdiri dari bentuk perlindungan preventif dan represif.

Yang dimaksud preventif adalah bentuk perlindungan yang diberikan kepada

masyarakat untuk memberikan kesempatan mengajukan keberatan atas

putusan tersebut sebelum definitif artinya untuk mencegah sengketa, dan

represif adalah bentuk perlindungan untuk menyelesaikan sengketa.67

Pengakuan yang diberikan oleh UUPA terhadap hak ulayat masyarakat hukum

adat dengan syarat sebatas tidak bertentangan dengan kepentingan negara dan bangsa,

menjadi tolak awal adanya bentuk perlindungan hukum terhadap hak ulayat, hal

tersebut diakomodir dengan dikeluarkannya ketentuan Permen Negara

Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, yang menjadi pedoman penyelesaian

masalah hak ulayat masyarakat hukum adat. Dalam UUPA terdapat beberapa prinsip-

prinsip dan asas, bahwa setiap tanah diwilayah negara Indonesia mempunyai fungsi

sosial, selain itu adanya hak menguasai negara yang dipersamakan dengan hak ulayat,

67
Philipus Mandiri Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya, Bina
Ilmu, Surabaya, 1978), Hlm 79

Universitas Sumatera Utara


63

kedua prinsip inilah yang memberikan kewenangan atas negara terhadap tanah-tanah

yang telah memiliki hak atas tanah. Manifestasi kedua prinsip tersebut diakomodir

oleh UUPA dan peraturan pelaksana. Pada hak atas tanah masyarakat hukum adat

yaitu hak ulayat maka hal tersebut diatur dalam Penjelasan Umum Angka II nomor 3,

yang istilahnya pelepasan hak ulayat dengan recognitie. Sedangkan hak atas tanah

yang bukan hak ulayat adalah dengan pelepasan hak atau dengan pencabutan dengan

ganti rugi (Pasal 18 UUPA). Dalam kebijakan nasional terhadap bidang pertanahan

ditentukan pendelegasian wewenang pemerintah atas bidang pertanahan melalui

Keppres No. 34 Tahun 2003, Pasal 2 menyebutkan bahwa adanya sembilan

kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah kota atau

kabupaten diantaranya : penetapan dan penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat

hukum adat di wilayah Pemerintah Kota atau Kabupaten. Penggantian tanah ulayat

yang terkena pengadaan tanah oleh pemerintah disebutkan dalam Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2012.

Sesudah hak ulayat tersebut beralih kepada negara maka secara hukum status

tanah tersebut menjadi tanah negara. Peralihan hak ulayat tersebut melalui recognitie
68
adat, yaitu tanda pengakuan secara adat. Pada prakteknya sering diberikan dalam

bentuk uang, hal inilah yang menyebabkan persepsi penerima mengira sebagai “uang

ganti rugi”. Pada dunia investasi, investor yang membutuhkan sumber daya yang di

dalamnya terdapat hak ulayat juga berkewajiban menyerahkan recognitie atas tanah

ulayatyang digunakan, dimana proses penggunaan tanah dengan mengajukan


68
Philipus Mandiri Hadjon, Ibid, Hlm 85

Universitas Sumatera Utara


64

permohonan kepada negara. Investor mengambil alih kewajiban negara menyediakan

dan menyerahkan kepada pemilik tanah, sebab-sebab tidak transparansinya

pengalihan hak oleh negara kepada investor untuk membayar, inilah yang sering

menimbulkan konflik. Untuk penggunaan tanah ulayat apabila waktu yang diberikan

habis, maka tanah tersebut kembali pada masyarakat hukum adat dan tidak menjadi

tanah negara, hal ini pulalah yang tidak jelas. Alasannya tanah yang telah dilepas

dengan kompensasi pembangunan di wilayah masyarakat adat adalah kewajiban

negara, dan apabila tanah tersebut dikembalikan kepada masyarakat adat mereka

dapat memungut atau memperoleh penghasilan dari tanah tersebut, karena konsep

tanah negara adalah tanah terlantar yang tidak ada penguasaan hak atas tanah

tersebut.69

Di dalam hukum adat menunjukkan di dalam dirinya ada nilai-nilai universal

seperti asas gotong- royong, asas fungsi sosial, asas persetujuan sebagai dasar

kekuasaan umum, asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan

yang disebut “anasir-anasir yang kuat dari kebudayaan Indonesia”.

C. Pengertian Jual Beli Tanah

1. Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat

Tanah hak milik menurut hukum adat ,maupun menurut Pasal 20 ayat (2)

UUPA dapat beralih dan dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak milik atas tanah

beralih misalnya melalui pewarisan dari pemilik tanah (pewaris) kepada ahli

69
Sri Hajati, Upaya Pembaharuan Hukum Agraria Nasional Dalam Menunjang Investasi,
(Yuridika Vol. 15 No. 6 Nopember-Desember 2000), Hlm 21

Universitas Sumatera Utara


65

warisnya, dan dapat dialihkan apabila tanah tersebut dijual lepas, dihibahkan,

diwakafkan dan sebagainya.

Dalam hukum adat, jual beli tanah yang menyebabkan beralihnya hak milik

atas tanah dari penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya disebut jual lepas.

Beberapa sarjana yang dikutip oleh Hilman Hadikusuma memberikan pengertian jual

beli tanah (jual Lepas) sebagai berikut :

1. Van Vollenhoven : “Jual Lepas dari sebidang tanah atau perairan adalah

penyerahan dari benda itu dihadapan petugas-petugas hukum adat dengan

pembayaran sejumlah uang pada saat itu atau kemudian”.

2. S. A. Hakim : “Penyerahan sebidang tanah (termasuk air) untuk selama-

lamanya dengan penerimaan uang tunai (atau dibayar dahulu untuk

sebahagian), uang mana disebut uang pembelian”.

3. Iman Sudiyat : “Menjual lepas (Indonesia), adol plas, runtumuran,pati-bogor

(Jawa), menjual jaja (Kalimantan), yaitu menyerahkan tanah untuk menerima

pembayaran sejumlah uang secara tunai, tanpa hak menebus kembali, jadi

penyerahan itu berlangsung untuk seterusnya atau selamanya”.70

4. Liliek Istiqomah mengutip pendapat Van Dijk : “Jual lepas adalah penyerahan

tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk seterusnya atau

selamanya, oleh pembayaran dan perpindahan itu si pembeli memperoleh hak

milik penuh atas tanah itu”.71

70
Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung, Alumni,1982), Hlm 120-121
71
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional,
(Surabaya, Usaha Nasional, 1982), Hlm 58

Universitas Sumatera Utara


66

5. Djaren Saragih menyebutkan : “Jual lepas adalah penyerahan sebidang tanah

dengan penerimaan sejumlah uang secara tunai dan terang untuk selama-

lamanya. Jadi pada jual lepas ini terjadi peralihan hak milik”.72

Dari berbagai pendapat yang telah diuraikan di atas dapat diketahui bahwa

menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan hukum yang berupa

penyerahan tanah yang bersangkutan kepada pembeli untuk sekama-lamanya pada

saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Dengan dilakukan

jual beli tanah, hak milik atas tanah beralih kepada pembeli dan sejak itu menurut

hukum pembeli telah menjadi pemilik yang baru. Persetujuan dan penyerahan tanah

terjadi pada saat yang sama dan tidak dipisahkan karena hukum adat tidak

memisahkan pengertian jual dengan penyerahan.

Hukum tanah adat harus mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada

pengertian hukum adat , disini mempunyai arti tersendiri yang oleh Symposium

UUPA dan kedudukan tanah-tanah adat dewasa ini bukan lagi sebagai hukum adat

yang selama ini diperkenalkan oleh Van Vollenhoven atau Ter Haar, sekalipun masih

adanya kelainan penafsiran tentang pengertian tersebut. Hukum adat menurut UUPA

adalah hukum adat yang sudah disaneer, atau hukum adat yang sudah

disempurnakan73, atau hukum adat yang bertumbuh dan berubah.74

72
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung, Tarsito,1980), Hlm 10
73
Boedi Harsono, Hukum Agraria, Bagian Pertama, (Jakarta, Jembatan,1975), Hlm 8
74
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang Undang Pokok Agraria, (Bandung, Alumni, 1973),
Hlm 6

Universitas Sumatera Utara


67

Dalam konteks hukum adat, berbicara tentang jual beli tanah berarti

membicarakan tentang transaksi tanah yang merupakan bagian dari ruang lingkup

sistem hukum adat. Maka dalam hal ini penulis meninjau tentang transaksi-transaksi

tanah yang terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu transaksi tanah yang bersifat perbuatan

hukum sepihak dan transaksi tanah bersifat perbuatan hukum dua pihak.

Menurut Hilman, pengertian transaksi tanah yang sepihak dan transaksi tanah

yang bersifat perbuatan hukum 2 (dua) pihak yaitu :75

1) Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum sepihak adalah perbuatan

pemilikan tanah dengan membuka sebidang tanah untuk didiami dan diusahai

oleh kelompok orang atau seorang individu. Perbuatan ini hanya melibatkan

satu pihak bukan dua pihak seperti transaksi yang biasa kita kenal misalnya

jual beli. Jadi pihak kedua tidak ada dan kalau pun ada pihak ini diam saja

maksudnya ia tidak akan menerima prestasi ataupun contraprestasi atas

prestasi yang dilakukan pihak tersebut. Misalnya sekelompok orang atau

seseorang membuka tanah hutan yang tidak ada pemiliknya atau seseorang

individu atau kelompok orang membuka sebidang tanah yang merupakan

suatu hak ulayat masyarakat adat yang ditelantarkan atau diusahai.

2) Apabila seseorang individu warga persekutuan dengan izin kepala

persekutuan membuka tanah di wilayah persekutuan, maka dengan tanah itu

terjadilah hubungan hukum dan sekaligus juga hubungan religius magis antara

warga tersebut dengan tanah dimaksud. Lazimnya warga yang membuka


75
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hlm. 116

Universitas Sumatera Utara


68

tanah tersebut kemudian menempatkan tanda-tanda pelarangan pada tanah

yang ia kerjakan tersebut. Perbuatan ini berakibat timbulnya hak bagi warga

yang membuka tanah tersebut.

3) Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak merupakan suatu

perbuatan hukum yang mana ada dua pihak yang berperan dalam transaksi ini,

masing-masing melakukan suatu perbuatan tertentu untuk tercapainya maksud

dalam transaksi ini, sesuai dengan transaksi tanah yang dimaksud. Inti dari

pada transaksi ini adalah pengoperan atau pun penyerahan tanah disertai

pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga, dalam hal ini ada dua

pihak yang melakukan transaksi ini yaitu pihak pertama yang melakukan

penyerahan tanah (penjual) dan pihak lainnya membayar harga tersebut

(pembeli). Di dalam hukum tanah adat perbuatan ini disebut “transaksi jual”

di suku Jawa disebut “adol” atau “sade”, di suku batak “manggadis”76.

Pada dasarnya dahulu masyarakat Pakpak Bharat tidak mengenal jual beli

tanah, tanah tidak pernah diperjual belikan karena hal ini merupakan perbuatan yang

memalukan menyangkut status harga diri dalam keluarga. Apabila terjadi pengalihan

hak atas tanah, hal ini terjadi akibat peristiwa adat yang berlaku, misalnya pemberian

orang tua kepada anak laki-laki dan anak perempuan yang telah kawin atau karena

pewarisan. Masyarakat Pakpak Bharat yang berdasarkan geneologis sangat

menghormati pimpinannya yang dahulu disebut dengan Pertaki (Kepala Desa), yaitu

orang yang diangkat sebagai pimpinan bagi mereka baik itu untuk urusan
76
Soekanto,Meninjau Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Rajawali, 1983), Hlm. 72

Universitas Sumatera Utara


69

pemerintahan maupun penyelesaian hal-hal terdapat di masyarakat itu sendiri. Pertaki

itu mempunyai suatu hak atau kekuasaan untuk memberikan tanah garapan kepada

masyarakatnya dan tanah-tanah garapan ini tidak boleh dijual kepada orang lain.

Apabila si penggarap meninggalkan tanahnya dan tidak mengolahnya lagi maka tanah

tersebut akan kembali ke masyarakat persekutuan hukum. Apabila tanah yang

ditinggalkannya tersebut telah ditanami dengan tanaman-tanaman keras maka si

penggarap semula datang kembali ia berhak untuk memungut hasilnya.

Dengan perkembangan kehidupan masyarakat tanah mempunyai nilai

ekonomi yang semakin tinggi dan tidak dapat dipungkiri lagi jual beli tanah sudah

dikenal dan telah sering dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan

juga untuk memperluas tanah pertanian masyarakat. Jual beli ini dilakukan

berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat, dengan membuat surat di bawah tangan

baik dalam kertas segel maupun kertas biasa yang ditempel materai.

3. Pengertian Jual Beli Tanah Menurut Hukum Agraria

Seperti diketahui bahwa pada saat ini, dibidang hukum agraria yang berlaku

hanyalah UUPA dan Peraturan Pelaksananya. Sebelum berlakunya UUPA, telah

terjadi dualisme dalam bidang hukum agraria, yakni hukum adat disatu pihak dan

KUH Perdata dilain pihak. Dengan UUPA, pembuat Undang-undang telah

memilihjalan kesatuan hukum (unifikasi) dan mengakhiri sistem dualisme hukum

tersebut. Unifikasi hukum agraria dalam arti bahwa hukum agraria di Indonesia

adalah berdasar pada satu sistem hukum yaitu hukum adat.

Universitas Sumatera Utara


70

Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 5 UUPA antara lain menetapkan

hukum agraria yang berlaku terhadap bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum

adat. Selanjutnya dalam penjelasan umum III angka(1)UUPA menentukan : “hukum

agraria yang baru tersebut akan didasarkan pada ketentuan hukum adat, sebagai

hukum asli yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat

dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia Internasional”.

Sehubungan dengan itu AP Parlindungan menyatakan : seyogyanya dapat

diterima hukum adat seperti yang dikatakan oleh Boedi Harsono, hukum adat yang

disaneer, atau oleh Sudargo Gautama disebutkan sebagai hukum adat yang diretool.

Namun setidak-tidaknya adalah hukum adat yang telah dihilangkan sifat-sifatnya

yang khusus daerah dan diberi sifat nasional.77

Dalam UUPA maupun dalam Peraturan pelaksananya tidak memberi

penjelasan mengenai apa yang dimaksudkan tentang pengertian jual beli tanah.

Melalui ketentuan pasal 5 UUPA dan penjelasan umum UUPA tersebut, maka

berkenaan dengan pengertian jual beli tanah yang dianut dalam UUPA adalah

pengertian jual beli tanah yang didasarkan kepada hukum adat yaitu sebagai

perbuatan hukum yang bersifat kontan (tunai) dan terang. Kontan (tunai) berarti

penyerahan hak atas tanah dan pembayaran harga atas tanah yang menjadi objek

perbuatan hukum jual beli tersebut dilakukan pada saat yang sama. Terang berarti jual

beli itu dilakukan dengan sepengetahuan Kepala Desa dengan dihadiri saksi-saksi.

77
AP Parlindungan, Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, (Bandung, Mandar
Maju, 1998), Hlm 57

Universitas Sumatera Utara


71

Dengan berlakunya UUPA, PP No. 24 Tahun 1997 dan PP No. 37 Tahun 1998

serta Peraturan Pelaksananya, maka jual beli tanah haruslah dilakukan dihadapan

pejabat yang berwenang (PPAT) dan setelah selesainya pembuatan akta jual beli

tersebut beralihlah hak atas tanah dari pejual kepada pembeli. Dengan demikian

terpenuhi unsur kontan (tunai) dan terang dari sifat jual beli menurut hukum adat.

Dari uaraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perbuatan hukum jual beli

tanah sesudah berlakunya UUPA merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas

tanah.

Dalam hubungannya dengan peralihan hak atas tanah termasuk mengenai jual

beli tanah, konsep yang diambil UUPA adalah konsep hukum adat. Hal ini

merupakan konsekuwensi logis, karena dasar pembentukan hukum tanah nasional

adalah hukum adat sebagaimana dapat ditemukan penjabarannya dalam berbagai

pasal UUPA secara eksplisit maupun implisit.78

Indikasi yang menunjukkan bahwa konsep jual beli tanah yang diambil UUPA

yaitu konsep hukum adat adalah bahwa jual beli tanah telah selesai dengan sempurna

dan hak telah beralih kepada pembeli setelah selesai ditandatanganinya akta PPAT.

Pencatatan peralihan hak di Kantor Pertanahan. Seksi Pendaftaran tanah hanya untuk

memperoleh alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan hak (Pasal 23

UUPA).

78
Mahkamah Agung RI, Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan, (Suatu
Tinjauan Yuridis, 1998), Hlm 60

Universitas Sumatera Utara


72

Apabila pasal 23 UUPA dihubungkan dengan pasal 19 ayat (2) huruf c

UUPA, yang menyatakan bahwa : “Pendaftaran itu meliputi pemberian surat tanda

bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat”.

Sesuai dengan sistem publikasi yang dianut oleh Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 yaitu sistem negatif yang bertendensi positif, diberikan sertifikat

sebagai alat bukti yang kuat. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada

para pemegang hak atas tanah diberikan penegasan tentang sejauh mana kekuatan

pembuktian sertifikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat. Untuk itu

selama belum dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan

dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum

sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan sepanjang data data tersebut sesuai

dengan yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanahnya. Tidak dapat menuntut

tanah yang bersertifikat atas nama orang lain atau badan hukum lain jika setelah 5

(lima) tahun sejak dikeluarkannya sertifikat tersebut.

Oleh karena itu pendaftaran hanya bersifat administratif, proses jual belinya

sendiri sudah selesai semenjak dibuatnya akta PPAT. Dan semenjak saat itu tanah

telah beralih kepada pembeli. Hal demikian adalah sesuai dengan asas hukum adat

yang dianut UUPA. Dengan demikian jual beli hak atas tanah yang dikehendaki oleh

UUPA adalah jual beli yang dilakukan atau dibuat dihadapan PPAT.

Dalam praktek jual beli hak atas tanah yang belum memenuhi ketentuan

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang jangka waktu hak atas tanahnya

telah habis dilakukan dihadapan notaris dengan menggunakan judul akta perikatan

Universitas Sumatera Utara


73

atau persetujuan jual beli. Terselenggaranya suatu pendaftaran tanah (legal Cadaster)

yang efisien dan efektif adalah merupakan jaminan kepastian hukum dibidang

pertanahan.

D. Jual Beli Tanah Menurut UUPA

Berlakunya UUPA pada prinsipnya telah berlaku pula sebuah unifikasi hukum

Agraria yang bertujuan mengakhiri suasana dualisme hukum antara hukum barat

disatu sisi dan hukum adat disisi lain dibidang hukum agraria.

Berkenaan dengan jual beli tanah milik adat yang berlaku adalah hukum adat

untuk hukum agraria dengan ketentuan bahwa hukum adat tersebut tidak boleh

bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas

persatuan bangsa, sosialisme Indonesia, ketentuan UUPA dan peraturan lain dibidang

agraria dan unsur agama.79

Hal tersebut secara eksplisit terdapat dalam konsideran UUPA maupun Pasal

5 UUPA yang menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan

ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan

nasional dan negara.

Dalam ketentuan UUPA, jual beli hak milik adat merupakan bagian dari

peralihan hak atas tanah. Boedi Harsono menyebutkan bahwa pada dasarnya

peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena 2 (dua) sebab yaitu :

1. Pewarisan tanpa wasiat yakni peralihan hak atas tanah karena pemegang suatu

hak atas tanah meninggal dunia, dengan kata lain hak tersebut beralih kepada ahli

79
Iman Soetikno, Politik Agraria Nasional, (gadjah Mada Universitas Press, Yogyakarta,
1985) Hlm 61

Universitas Sumatera Utara


74

warisnya, sementara siapa ahli warisnya dan berapa bagian masing-masing

ditentukan berdasarkan hukum waris pemegang hak yang bersangkkutan.

2. Pemindahan hak yakni hak atas tanah tersebut sengaja dialihkan kepada pihak

lain. Bentuk pemindahan hak bisa berupa jual beli, sewa menyewa, hibah,

pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau inbreng dan juga

termasuk hibah wasiat.80

Jadi dapat dijelaskan bahwa pengertian beralih dan dapat dialihkan dalam hal ini

mempunyai arti sebagai berikut :

1. Beralih adalah suatu peralihan hak yang dikarenakan seseorang yang

mempunyai suatu hak meninggal dunia, sehingga dengan sendirinya hak itu

beralih menjadi milik ahli warisnya dalam hal ini peralihan hak masyarakat

peristiwa hukum. Ketentuan mengenai peralihan karena warisan terdapat

dalam Pasal 42 PP Nomor 24 Tahun 1997 yang berbunyi peralihan hak

karena warisan terjadi hukum adat pada saat pemengang hak yang

bersangkutan meninggal dunia. Sejak saat itu ahli waris menjadi pemegang

hak yang baru.81

2. Dialihkan adalah suatu peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya

hak tersebut terlepas dari pemilik semula. Dengan kata lain peralihan ini

terjadi karena adanya perbuatan hukum tertentu seperti : Jual beli, sewa

menyewa, hibah wasiat dan sebagainya.

80
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, (Djambatan, Jakarta,1982), Hlm 318
81
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, (Mandar Madja, Bandung, 1999), Hlm 140

Universitas Sumatera Utara


75

Peralihan hak atas tanah merupakan suatu peristiwa dan/atau perbuatan hukum

yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak

lain. Peralihan tersebut meliputi jual beli, hibah, tukar menukar, pewarisn, pemberian

dengan wasiat dan perbuatan hukum lain yang bertujuan atau bermaksud

memindahkan hak kepemilikan tanah, tetapi peralihan yang banyak terjadi dalam

mesyarakat adalah peralihan dalam bentuk transaksi jual-beli.

Peralihan hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA yang terdapat dualisme

hukum, yakni status tanah adat tunduk pada hukum adat dan status tanah barat tunduk

pada hukum barat. Di dalam ketentuan hukum tanah barat prinsip nasionalitas tidak

dianut, dalam artian bahwa setiap orang boleh saja memiliki hak eigendom asal saja

mau tunduk pada ketentutan-ketentuan penundukan diri pada KUHPerdata Barat82

sehingga karena hal tersebut di atas pemerintah mengeluarkan ketentuan untuk

mengawasi pemindahan hak atas tanah bagi yang tunduk pada hukum Barat yakni

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1954 yang memuat tentang ketentuan bahwa

setiap peralihan hak terhadap tanah dan barang-barang tetap lainnya hanya dapat

dilakukan bila telah mendapat izin dari Menteri Kehakiman dan bila tetap dilakukan

maka peralihan tesebut batal demi hukum.

Bagi pemerintah langkah ini dilakukan bertujuan untuk mengurangi jatuhnya

kemungkinan tanah-tanah tersebut berikut rumah dan bangunan-bangunan diatasnya

ke tangan orang-orang dan badan hukum asing.83 Karana sebelum ketentuan tersebut

82
Ibid, Hlm 129
83
Boedi Harsono, Op.Cit, Hlm 105-106

Universitas Sumatera Utara


76

dikeluarkan banyak non pribumi selain bisa memiliki tanah hak adat walaupun

diperoleh dengan cara-cara tertentu, karena pada kenyataannya tanah hak adat tidak

dipasarkan dengan bebas dan tidak diperjual belikan.

Sehubungan hal tersebut di atas, Boedi Harsono dalam hal ini mengartikan

bahwa hukum tanah adat berkonsepsi komunalistik, yang mewujudkan semangat

gotong-royong, kekeluargaan dan diliputi suasana religius. Tanah merupakan tanah

bersama kelompok teritorial dan geneologic, sehingga hak-hak perseorangan terhadap

tanah secara langsung atau tidak langsung bersumber pada tanah bersama. Hukum

tanah adat yang mengandung unsur kebersamaan tersebut dikenal dengan hak ulayat.

Ketentuan ini masih berlangsung di sebagian wilayah di Indonesia terutama di

pedesaan.84

Ketentuan yang sangat dominan dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah

tersebut adalah PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yang

didukung dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Agraria RI Nomor 3 Tahun 1997

Tentang Peraturan Pelaksana PP Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Pokok Agraria. Peraturan tersebut di atas

secara singkat menerangkan bahwa setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan

hak atas tanah memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau

meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan

suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan PPAT, dimana akta tersebut dapat

84
Boedi Harsono, Op. Cit, Hlm 110

Universitas Sumatera Utara


77

berfungsi sebagai alat pembuktian untuk melakukan pendaftaran hak atas tanah atas

kepemilikan tanah pada kantor pertanahan.

Seperti yang telah disebutkan penulis dalam Bab sebelumnya pada Pasal 27

Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang

menyebutkan “Peralihan hak atas tanah melalui jual beli, sewa menyewa, hibah,

pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, hanya

dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang

berwenang sesuai ketentutan yang berlaku”. Dari pasal tersebut di atas dapat

dikatakan bahwa pada prinsipnya segala bentuk mutasi hak dan sebagainya harus

melalui seorang PPAT.

Dalam hal ini J Kartini Soedjendro menyatakan bahwa sistem

pertanggungjawaban petugas PPAT lebih terarah pada pejabat umum dan bersifat

administrasi saja artinya dalam hal ini dia hanya merupakan Pejabat Agraria yang

membantu Menteri Agraria membuat akta dalam hal pemindahan hak atas tanah,

pemberian suatu hak baru atas tanah, penggadaian tanah dan pemberian hak

tanggungan atas tanah.85

PPAT juga sebagai pelaksana tugas diantaranya membantu mengisi formulir

permohonan izin pemindahan hak atas tanah dan mengirimkannya kepada instansi

agraria yang berwenang kemudian membantu membuat surat permohonan penegasan

85
J.Kartini Soedjendro, Perjanjian Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, (Kanisius,
Yogyakarta, 2001) Hlm. 16

Universitas Sumatera Utara


78

konversi hak-hak adat di Indonesia atas tanah dan pendaftaran hak-hak berkas

konversi.

Mengingat faktor keterbatasan masyarakat pada umumnya dan masyarakat

adat Pakpak Bharat pada khususnya, perbuatan hukum jual beli tanah adat seringkali

dilakukan tanpa menggunakan akta otentik dihadapan PPAT, hal ini dikarenakan

menurut masyarakat adat bahwa yang paling berperan dan yang paling diperlukan

keterangannya adalah dari pihak Sulang Silima yang dianggap sebagai penentu dalam

segala jenis transaksi tanah dan pelindung tanah marga yang ada di Pakpak Bharat.

E. Pelaksanaan Jual Beli Tanah di Kecamatan Salak

Dalam rangka meningkatkan kualitas akta jual beli tanah, perjanjian-

perjanjian mengenai tanah yang bermaksud memindahkan hak atas tanah tidak lagi

dibuat dihadapan Kepala Desa, tetapi harus dibuat oleh atau dihadapan PPAT. Dilihat

dari beberapa ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dapat

dijelaskan bahwa PPAT bertugas pokok melaksanakan pembuatan akta sebagai bukti

telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah, perbuatan-

perbuatan hukum tersebut antara lain adalah jual beli tanah.

Untuk melaksanakan jual beli tanah pada awalnya telah tersedia akta yang

dicetak secara standar oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Akan tetapi saat ini

berdasarkan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 8 Tahun 2012 yaitu :

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat membuat akta sendiri tanpa

menggunakan blanko lagi.

Universitas Sumatera Utara


79

Untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sempurna, suatu akta otentik

harus mengandung adanya tiga macam pembuktian. Kekuatan pembuktian tersebut

menurut Abdul Kadir Muhammad yaitu, “Kekuatan bukti lahir, Kekuatan bukti

formil, Kekuatan bukti materil”.86

Kekuatan bukti lahir menyangkut syarat-syarat formil bagi suatu akta otentik

itu dipenuhi atau tidak. Jika syarat itu dipenuhi maka syarat yang tampaknya dari luar

secara lahiriyah sebagai akta otentik, dianggap akta otentik sepanjang tidak terbukti

sebaliknya. Kekuatan bukti formil menyangkut soal kebenaran dari peristiwa yang

disebutkan dalam akta otentik itu, artinya apakah benar bahwa yang tercantum dalam

akta otentik itu sesuai menurut kenyataannya.

Agar suatu akta PPAT mempunyai nilai juridis dalam arti mempunyai

kekuatan hukum pembuktian yang sempurna, maka akta PPAT tersebut harus

memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu :

1. Syarat subyek yaitu para pihak yang melakukan perbuatan hukum adalah

pihak yang berhak atau berwenang.

2. Syarat obyek yaitu tanah yang dijadikan sebagai objek peralihan hak atas

tanah dibolehkan secara hukum atau tidak sengketa, tidak menjadi jaminan

hutang, dan lain-lain.

3. Syarat yuridis formal yaitu pejabat umum yang membuat akta peralihan hak

atas tanah adalah pejabat yang berwenang, ada 2 (dua) orang saksi yang sudah

86
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung, Alumni, 1986),
Hlm 136

Universitas Sumatera Utara


80

dewasa, disetujui oleh ahli warisnya, dalam hal hibah dan akta PPAT

merupakan akta otentik standar khusus yang ditetapkan berdasarkan peraturan

perundang-undangan.87

Dalam hukum adat, hubungan antara manusia dan tanah bertalian sangat erat.

Masyarakat di Kecamatan Salak menggantungkan hidupnya dari pertanian ataupun

berkebun. Kepemilikan tanah diperoleh oleh masyarakat Kecamatan Salak dari tanah

turun temurun yang merupakan warisan. Hal ini dapat dilihat dari proses terjadinya

hak milik adat itu sendiri.

Erman Rajagukguk dalam pendapatnya mengenai terjadinya tanah adat

menjadi hak milik daerah Jawa Barat, dikarenakan dahulu penduduk desa diijinkan

menggarap tanah bersama, dengan syarat harus dipenuhi hal-hal tertentu seperti

pelaksanaan tugas ronda, perbaikan jalan, memelihara makam desa, ikut serta dalam

pembangunan desa dan sebagainya. Orang-orang yang mendapatkan tanah tersebut

disebut gogol, sikep atau kuli. Apabila akan menggarap harus mendapatkan izin dari

masyarakat desa.88

Pada masyarakat Pakpak, berdasarkan hak adat yang melekat , masyarakat

dapat membuka dan menggarap hutan yang diusahai secara turun temurun sehingga

akhirnya tanah tersebut menjadi hak milik. Namun sebelum tanah hutan atau belukar

digarap, warga desa harus memberitahukan atau meminta izin terlebih dahulu kepada

Kepala Adat atau Kepala Desa tentang rencana membuka tanah tersebut, hal ini

87
Ibid, Hlm 120
88
Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Hukum Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup,
(Semarang, Chandra Pranata, 1995), Hlm 79

Universitas Sumatera Utara


81

dimaksudkan untuk mengetahui apakah tanah yang akan digarap tersebut sudah ada

yang menguasai atau memiliki tanah tersebut atau belum, tapi pada saat ini hal

tersebut di atas tidak dijumpai lagi.89

Menurut hukum adat berbagai cara untuk mendapatkan hak milik atas tanah

misalnya : dengan membuka hutan atau belukar, mewarisi, penerimaan tanah secara

pembelian, penukaran, penerimaan hadiah, mendapatkan hak milik karena lampaunya

waktu (verjaring).90

Berdasarkan ketentuan di atas, secara umum diperolehnya suatu hak milik

adat karena pembukaan hutan, pewarisan, hibah dan sebagainya. Namun pada

dasarnya setiap kepemilikan hak milik atas tanah adat dimulai dari pembukaan hutan

atau semak belukar, kemudian setelah hak membuka hutan didapat dan tanah tersebut

benar-benar telah menjadi miliknya maka baru dapat dialihkan baik kepada ahli

warisnya atau dihibahkan kepada orang lain, ataupun berdasarkan hak yang

dimilikinya tanah tersebut dapat diperjual belikan. Dengan adanya hak-hak

perseorangan atas tanah adat, maka timbullah berbagai cara peralihan hak atas tanah

diantaranya : pewarisan, hibah, ganti rugi, gadai dan wakaf. Salah satu bentuk

peralihan hak atas tanah tersebut adalah melalui jual beli.

Kecamatan Salak adalah salah satu Kecamatan yang terletak di wilayah

Kabupaten Pakpak Bharat. Kecamatan Salak ini terdiri dari 6 (enam) desa, namun

dalam penelitian ini lokasi yang dipilih hanya 2 (dua) desa yaitu Desa Salak I dan

89
Hasil Wawancara dengan Bapak A Boangmanalu, Tokoh Adat Desa Salak I, (Salak, 16
Nopember 2016)
90
Wiryono Prodjodikoro, Ibid, Hlm 141

Universitas Sumatera Utara


82

Desa Salak II. Pemilihan kedua desa ini karena kedua desa tersebut adalah desa yang

paling banyak penduduknya, dan dari segi perekonomian sudah lebih maju

dibandingkan dengan desa-desa lainnya yang terdapat di Kecamatan Salak

Kabupaten Pakpak Bharat. Status tanah yang berada di Kecamatan tersebut

kebanyakan masih tanah adat dengan tanda bukti kepemilikan berupa memakai surat

jual beli yang mempergunakan kertas segel yang lama dan bahkan ada yang tidak

mempunyai surat-surat sama sekali, namun kepemilikannya diakui oleh masyarakat

setempat.

Dalam pelaksanaan jual beli tanah di Kecamatan Salak, masih melakukan jual

beli tanah baik tanah persawahan, tanah perladangan (kebun), ataupun pertapakan

rumah, dilakukan dengan jual beli dibawah tangan. Jual beli tanah dilakukan melalui

Kepala Desa atau Kepala Kampung hanya dengan memakai kertas segel atau dengan

memakai kertas mempergunakan materai yang ditempel di atas surat jual beli

tersebut. Surat jual beli dibawah tangan tersebut hanya ditandatangani oleh pihak

penjual dan oleh pihak pembeli serta Kepala Desa atau Kepala Kampung. Hal ini

dilakukan karena jual beli melalui Kepala Desa atau Kepala Kampung merupakan hal

yang lazim dilakukan di daerah ini. Masyarakat menganggap bahwa Kepala Desa

atau Kepala Kampung adalah orang yang benar-benar mengetahui asal usul tanah

sebagai objek jual beli tersebut. Disamping itu jual beli tanah melalui Kepala Desa

atau Kepala Kampung tidak mengalami proses yang berbelit-belit, murah dan cepat.91

91
Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. Ramly Boangmanalu, Kepala Desa Salak I, (Salak,
17 Nopember 2016)

Universitas Sumatera Utara


83

Pembuktian batas-batas tanah yang akan dijual hanya melalui penunjukan

batang pohon yang terletak paling ujung dari tanah tersebut. Misalnya keluarga si

pemilik tanah pada waktu itu ada menanam pohon durian atau pohon mangga sebagai

batas tanah miliknya, pohon inilah yang dijadikan sebagai patokan batas tanah.92

Jual beli tanah di Kecamatan Salak hampir rata-rata dilakukan dengan

memakai jual beli dibawah tangan dengan memakai kertas segel dan dilakukan hanya

di hadapan Kepala Desa atau Kepala Kampung sebagai saksi atas perbuatan hukum

tersebut. Kepala Desa dalam hal ini sifatnya hanya sebagai pihak yang mengetahui

adanya jual beli tersebut. Bukan mengetahui sejarah tanah ataupun asal usul

kepemilikan tanah yang diperjual belikan tersebut. Sangat jarang masyarakat

melakukan jual beli hak atas tanah melalui Akta Camat. Untuk jual beli tanah yang

belum bersertifikat pihak Kecamatan sudah menyiapkan format asli yang dibuat oleh

Pemerintah. Masyarakat menganggap jual beli tanah melalui Camat harus melalui

birokrasi yang berbelit-belit, dan biaya tinggi (mahal).93

Pada masyarakat Pakpak, dengan adanya jual beli yang dihadiri oleh saksi-

saksi sudah mengikat pada pihak ketiga karena pada umumnya warga masyarakat

desa tersebut sudah mengetahuinya kalau tanah tersebut sudah diperjual belikan dan

sudah beralih haknya kepada pihak pembeli.

Adapun fungsi kehadiran Kepala Desa atau Kepala Kampung dalam hal

menangani jual beli tanah yang dilakukan masyarakat adat Pakpak merupakan suatu

92
Hasil Wawancara dengan Ibu N Boru Padang, Kepala Desa Salak II, (Salak, 19 Nopember 2016
93
Hasil Wawancara dengan Ibu N Boru Padang, Kepala Desa Salak II, pada tanggal 19
Nopember 2016

Universitas Sumatera Utara


84

keharusan agar setiap peralihan hak atas tanah dapat diketahui Pemerintah dan

masyarakat. Dengan dilakukannya jual beli tanah dihadapan Kepala Desa atau

Kepala Kampung itu telah menunjukkan iktikad baik dari para pihak, suatu asas yang

dijunjung tinggi dalam hukum adat.94

F. Kekuatan Hukum Jual Beli Tanah Yang Belum Terdaftar Menurut Hukum
Adat

Seperti kita ketahui bahwa suku Pakpak adalah salah satu suku dari sekian

banyak suku bangsa di Indonesia yang mempunyai identitas tersendiri dalam hal

teknis pelaksanaan jual beli terutama sekali jual beli tanah. Demikian juga halnya

pada masyarakat adat suku Pakpak yang tinggal di Kecamatan Salak Kabupaten

Pakpak Bharat. Tanah masyarakat di Kabupaten tersebut masih sangat sedikit yang

memiliki sertifikat. Dimana kepemilikan tanah yang dikuasai masyarakat hanya

berupa surat jual beli dibawah tangan berupa surat segel, penguasaan atas tanah

merupakan hak turun temurun dan warisan serta peralihan hak melalui jual beli. 95

Kekuatan hukum jual beli tanah yang belum terdaftar yang dilakukan menurut

hukum adat, sepanjang dilakukan secara terang dan tunai, maka jual beli tersebut

telah sah dan berlaku bagi pihak ketiga. Namun pada umumnya tanah yang diperjual

belikan hanya dalam lingkungan keluarga dan kerabat serta masyarakat yang ada di

Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat.

94
Hasil Wawancara dengan Kepala Desa Salak I Bapak Drs. Ramly Boangmanalu (Selasa, 22
Nopember 2016)
95
Hasil Wawancara dengan Bapak Ali Suman Boangmanalu, Bapak Wardi Banurea dan
Bapak Wenta Banurea Warga Salak I (Salak, 23 Nopember 2016)

Universitas Sumatera Utara


85

Jual beli tanah yang dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Salak

Kabupaten Pakpak Bharat masih dilakukan secara dibawah tangan. Jual beli tanah

tersebut hanya dibuat dengan memakai kertas segel atau kertas biasa yang ditempel

materai sebagai surat jual beli yang ditandatangani oleh pemilik tanah sebagai

penjual dan pembeli serta saksi-saksi dihadapan Kepala Desa. Adapun saksi-saksi

biasanya diambil dari para kerabat si penjual dan pembeli yang mengetahui sejarah

tanah yang akan dijual tersebut yaitu : Sepanganen, Berru dan Kula-Kula dari pemilik

tanah.96

Jual beli tanah yang dilakukan dihadapan Kepala Desa tersebut tetap
dianggap sah, karena Kepala Desa juga merupakan perangkat desa ataupun pejabat
desa, dan sudah ada diatur dalam suatu perundang-undangan. Jual beli tanah di
Kecamatan Salak harus diketahui dan disetujui oleh Sukut Nitalun (Pembuka
Kampung) sebagai saksi kunci atau orang yang sangat mengetahui asal usul tanah
dari desa tersebut dan menjadi syarat sahnya perbuatan hukum jual beli tanah
tersebut.97
Peralihan hak atas tanah yang dilakukan dengan cara jual beli dibawah tangan
yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat pakpak diakui dan diterima oleh
masyarakat, dan perbuatan hukum tersebut tidak pernah menjadi permasalahan atau
sengketa di dalam masyarakat adat Pakpak di Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak
Bharat.98

96
Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. Ishak Simon Camat Salak, (Salak, 17 Nopember
2016)
97
Hasil Wawancara dengan Bapak A Boangmanalu, Sukut Nitalun Desa Salak I, (Salak, 21
Nopember 2016)
98
Hasil Wawancara dengan Ibu Nur Hasanah Boru Manik, Ibu Rosma Boru Padang dan Ibu
Diana Boru Berutu, Warga Salak II, (Salak, 28 Nopember 2016)

Universitas Sumatera Utara


86

Apabila pemilik tanah hendak meminjam uang ke Bank sebagai tambahan

modal kerja, surat jual beli tersebut dapat dipergunakan sebagai akta yang sah. Hanya

saja dalam hal ini pemilik tanah harus melengkapi surat-surat tanahnya dengan surat-

surat seperti : Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah, Surat Pernyataan

Pengakuan, Surat Keterangan tidak silang sengketa. Ketiga surat tersebut adalah

format bakunya yang berupa suatu formulir. Formulir tersebut ditandatangani oleh

pemilik tanah dan juga Kepala Desa sebagai pihak yang mengetahui dilegalisir oleh

Camat. Dengan adanya kelengkapan surat ini maka pemilik tanah ataupun masyarakat

dapat mengajukan permohonan kredit ke Bank.99

Dengan berlakunya UUPA, PP No. 24 Tahun 1997, dan PP No. 37 Tahun

1998 serta Peraturan Pelaksanaanya, maka jual beli tanah haruslah dilakukan

dihadapan pejabat yang berwenang (PPAT) dan setelah selesainya pembuatan akta

jual beli tersebut beralihlah hak atas tanah dari penjual kepada pembeli.

Boedi Harsono, menyatakan :


“Bahwa peralihan hak atas tanah kepada pembeli didasarkan pada pasal 5
UUPA adalah hukum adat. Sehingga ditafsirkan sebagai hukum adat yang sistemnya
masih konkrit atau tunai (kontan). Berpatokan pada tunai maka peralihan hak atas
tanah di kantor pendaftaran tanah merupakan persyaratan administratif belaka”.100
Pendapat Boedi Harsono ini sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung Nomor
237/Sip/1968 tanggal 20 Juli 1968 tentang jual beli dibawah tangan yang dilakukan
dihadapan Kepala Desa.

99
Hasil Wawancara dengan Bapak Ishak Simon Maibang, S.Sos, Camat Salak, (Rabu, 23
Nopember 2016)
100
Boedi Harsono, UUPA, Sejarah Penyusunan dan Pelaksanaan Hukum Agraria, (Bagian
Pertama, Jilid Kedua, Djambatan, Jakarta, 1971), Hlm 198

Universitas Sumatera Utara


87

BAB IV

PERAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL (BPN) DALAM MEMBERIKAN


KEPASTIAN HUKUM TERHADAP PERALIHAN HAK MILIK YANG BELUM
TERDAFTAR DI KABUPATEN PAKPAK BHARAT

A. Dasar Hukum Pendaftaran Tanah

Berdasarkan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menentukan bahwa :

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran

tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan

yang diatur dengan Peranturan Pemerintah.

2. Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi :

a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan

masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan

penyelenggaraan, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan

pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat

yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

87

Universitas Sumatera Utara


88

Disamping kewajiban pemerintah untuk melakukan pendaftaran tanah,

masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah sesuai Pasal 23,

Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut :

1. Pasal 23 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa : Hak Milik demikian pula setiap

peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus

didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19

UUPA : Pendaftaran termasuk dalam ayat (2) merupakan alat pembuktian

yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan

pembebanan hak tersebut.

2. Pasal 32 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa : Hak Guna Usaha termasuk

syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan

hak tersebut,harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud

dalam pasal 19 ayat (2) UUPA : Pendaftaran termasuk dalam ayat (1)

merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya Hak

Guna Usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya

berakhir.

3. Pasal 38 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa : Hak Guna Bangunan, termasuk

syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak

tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam

pasal 19 ayat (2) : Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat

pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya

Universitas Sumatera Utara


89

peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya

berakhir.

Sebagai implementasi dari Pasal 19 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5

Tahun 1960, maka diterbitkanlah beberapa peraturan-peraturan diantaranya :

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Peraturan

ini dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan tuntutan akan

kepastian hukum hak atas tanah, sehingga diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada tanaggal 8 Oktober b1997,

dengan Peraturan Pelaksananya antara lain : Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997.

Walaupun Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sudah tidak berlaku

lagi, namun peraturan pelaksana yang menyertainya tetap dinyatakan berlaku

sepanjang tidak bertentangan, diubah atau diganti dengan Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 1997.

B. Pengertian Pendaftaran Tanah

Istilah Pendaftaran Tanah berasal dari kata “Cadastre” dalam bahasa Belanda

merupakan istilah teknis untuk suatu yang menunjukkan pada luas, nilai dan

kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Sedangkan kata

“Cadastre” berasal dari bahasa latin yaitu “Capitastrum” yang berarti suatu register

Universitas Sumatera Utara


90

atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi (Capotation

Terrens).101

Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 terdapat

rumusan mengenai pengertian Pendaftaran Tanah yaitu :

Pendaftaran Tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah


secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-
satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti
haknya bagi bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk
pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah
yang terdaftar haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak
tertentu yang membebaninya.

Menurut AP. Parlindungan, sebagaimana dikutip oleh Urip Santoso,

Pendaftaran Tanah berasal dari kata Cadastre, yang dalam bahasa Belanda disebut

Kadaster. Cadastre adalah suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman) yang

menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap

suatu bidang tanah.102 Kata Cadaster berasal dari bahasa Latin Capistrum, yang yang

berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi

(Capitatio Torrens).103 Selain berfungsi untuk memberikan uraian dan identifikasi

dari sebidang tanah, Cadaster juga berfungsi sebagai rekaman yang

berkesinambungan dari suatu hak atas tanah.104

101
AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Cetakan I, Mandar Maju, Bandung,
1999), Hlm 18
102
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Kencana Perdana Media,
Jakarta, 2010), Hlm 12
103
Urip Santoso, Ibid, Hlm 12
104
Urip Santoso, Ibid, Hlm 12

Universitas Sumatera Utara


91

Berdasarkan pengertian pendaftaran tanah yang terdapat dalam Pasal 1 angka

1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Pendaftran Tanah dapat diuraikan

beberapa unsur pendaftaran tanah, yaitu :

1. Adanya serangkaian kegiatan

2. Dilakukan oleh Pemerintah

3. Secara terus menerus dan berkesinambungan

4. Secara teratur

5. Bidang tanah dan satuan rumah susun

6. Pemberian surat tanda bukti hak

7. Hak-hak tertentu yang membebaninya.105

Pengertian di atas menunjukkan bahwa ada berbagai macam kegiatan dalam

penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berurutan, saling berkaitan satu sama lain

dan merupakan satu kesatuan untuk memperoleh apa yang disebut sertifikat. Kegiatan

pendaftaran tanah tidak hanya diadakan sekali tetapi untuk seterusnya apabila terjadi

perubahan terhadap tanah maupun pemegang haknya.106

Pengertian dari pendaftaran tanah meliputi 2 (dua) kegiatan, antara lain

sebagai berikut :

a. Pendaftaran tanah untuk pertama kali

b. Pemeliharaan data pendaftaran tanah.

105
Urip Santoso, Ibid, Hlm 14
106
Erpinka Aprini, Kepastian Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Kaitannya Dengan
Ketentuan Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah, Tesis, UNDIP, Semarang, 2007, Hlm 8-9

Universitas Sumatera Utara


92

Pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration), menurut Boedi

Harsono107 meliputi 3 (tiga) bidang kegiatan, yaitu :

1) Bidang fisik atau “teknis kadastral”;

2) Bidang yuridis; dan

3) Penerbitan dokumen tanda bukti hak.

Sedangakan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi pendaftaran

peralihan dan pembebanan hak, dan juga apabila terjadi perubahan data pendaftaran

tanah baik data yuridis maupun data fisik.

Pembuatan dan penerbitan sertifikat hak atas tanah merupakan produk dari

kegiatan pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia sebagaimana diatur dalam

UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tanhun 1997, yang bertujuan untuk

menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah dengan memberikan tanda

bukti hak yang kuat. Disamping itu dengan dilakukannya pendaftaran tanah secara

tertib dan teratur akan merupakan salah satu perwujudan dari pada pelaksanaan Catur

Tertib Pertanahan.108

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa pendaftaran

tanah itu diselenggarakan untuk memberikan jaminan kepastian hukum dibidang

pertanahan dengan sistem publikasinya yaitu sistem negatif bertendensi positif atau

sistem negatif yang mengandung positif.

107
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi Dan
Pelaksanaannya (Jilid I), (Djambatan, Jakarta 1999), Hlm 74
108
Ilhamsyah, Pendaftaran Tanah Hak Milik Adat Untuk Pertama Kali Oleh Masyarakat Di
Kota Sawah Lunto, Tesis, 2005, Hlm 3-4

Universitas Sumatera Utara


93

Dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah dikenal sistem publikasi positif dan

sistem publikasi negatif. Sistem publikasi positif dapat diartikan : pemerintah

menjamin kebenaran data yang disajikan, sehingga sertifikat merupakan alat bukti

yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga.

Sedangkan dalam sistem publikasi negatif, sertifikat bukan merupakan alat

bukti yang mutlak, melainkan sebagai alat bukti yang kuat dalam arti bahwa nama

seseorang atau badan hukum sudah didaftar sebagai pemegang hak, belum tentu

sebagai pemilik yang sah karena masih terbuka kemungkinan pihak lain untuk

membuktikan kepemilikannya yang sebenarnya melalui gugatan di lembaga

Peradilan.

Di Indonesia, sistem publikasi pendaftaran tanah yang digunakan adalah

sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif. Artinya pendaftaran

sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat, bukan mutlak.109 Hal ini diperkuat

dalam ketentuan Pasal 32 (a) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Pendaftaran Tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui :

1. pendaftaran tanah secara sistematik dan

2. pendaftaran tanah secara periodik.

Pendaftaran tanah secara sistematis merupakan kegiatan pendaftaran tanah

untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek

pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam suatu wilayah atau bagian wilayah

109
Engkos Koswara, Analisis Yuridis Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Secara Sistematis di
Kecamatan Cilincing Wilayah Kotamadya Jakarta Utara, Hlm 6

Universitas Sumatera Utara


94

suatu desa atau kelurahan, dengan kata lain pendaftaran tanah tersebut didasarkan

pada suatu rencana dan dilaksanakan disuatu wilayah dengan inisiatif pelaksanaan

berasal dari Pemerintah. Pendaftaran tanah secara sistematik diselenggarakan atas

prakarsa Pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja panjang dan tahunan serta

dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri Negara Agraria atau

Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah

pendaftaran tanah secara sistematik, Pendaftaran tanah-tanah akan dilaksanankan

secara sporadik. 110

Sedangkan pendaftaran tanah secara sporadis merupakan kegiatan pendaftaran

tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah

dalam suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual

atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak

yang berkepentingan yaitu pihak yang berhak atas objek Pendaftaran tanah yang

bersangkutan atau kuasanya. Dengan kata lain pendaftaran tanah tersebut hanya atas

satu bidang tanah yang dilakukan atas permintaan pihak yang berkepentingan.111

Dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menyebutkan

bahwa kegiatan atau pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara

sistimatik dan sporadik ini meliputi :

1) Pengumpulan dan pengolahan data fisik

2) Pembuktian hak dan pembukuannya

110
Boedi Harsono, Op .Cit, Hlm 455
111
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 138-139

Universitas Sumatera Utara


95

3) Penerbitan sertifikat

4) Penyajian data fisik dan data yuridis dan

5) Penyimpanan daftar umum dan dokumen.112

Pendapat yang sama tentang pendaftaran tanah pertama kali dengan

menyebutkan pendaftaran tanah dilaksanakan dengan dua pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan sitematis, yang meliputi satu desa atau kelurahan atas prakarsa

Pemerintah. Kegiatan ini meliputi ajudikasi sistematis, survei kadaster,

penyediaan fasilitas dan peralatan kantor pertanahan dan penyebaran

informasi tentang manfaat pendaftaran tanah melalui penyuluhan. Pendekatan

ini pada dasarnya adalah program “jemput bola” yang dilaksanakan oleh

Panitia Ajudikasi. Dalam operasionalnya, pendaftaran tanah sistematis dikenal

dengan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP) yang dibiayai Bank Dunia.

b. Pendekatan sporadis, meliputi bidang-bidang tanah atas permintaan pemegang

atau penerima hak yang bersangkutan, secara individual ataupun massal.

Dalam pendekatan ini, inisiatif ada ditangan masyarakat atau pemohon

sertifikat tanah. Kegiatan ini adalah kegiatan sehari-hari yang tampak di

Kantor Pertanahan.113

Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud dengan pendaftaran tanah sistematik

adalah : “Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara

112
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Djambatan, Jakarta, 2007), Hlm 487
113
Dasawarsa Bhumibhakti Adhiguna, Op. Cit, Hlm 183

Universitas Sumatera Utara


96

serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam

wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan”. 114

Pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik dalam implementasinya

sering mengkaitkan dengan istilah ajudikasi. Kata ajudikasi adalah istilah teknis

dalam pendaftaran tanah yang mempunyai pengertian : kegiatan dan proses dalam

rangka pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sistematik, berupa pengumpulan

dan pemastian kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai sebidang tanah atau

lebih untuk keperluan pendaftarannya.

Pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pada pasal 13 yaitu :

1. Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah

secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik.

2. Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan

dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri.

3. Dalam hal suatu Desa atau Kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah

pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana dimaksud pada ayat (2),

pendaftarannya dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sporadik.

4. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang

berkepentingan.115

114
AP Parlindungan, Op. Cit, Hlm 460
115
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 418

Universitas Sumatera Utara


97

Pendaftaran tanah untuk pertama kali dibagi ke dalam dua cara yang berbeda

syarat dan mekanismenya yakni pendaftaran tanah secara sistematik dilaksanakan

atas prakarsa Pemerintah dan kegiatan tersebut didasarkan pada suatu rencana kerja

yang ditetapkan oleh Menteri dan pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan

oleh pihak yang berhak atas bidang tanah yang bersangkutan atau kuasanya.

Pendaftaran tanah secara sistematik sebagaimana dijelaskan pada Pasal 1 butir

10 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah kegiatan pendaftaran tanah

untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek

pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu Desa

atau Kelurahan, yang dibiayai dari anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah atau

secara swadaya oleh masyarakat dengan persetujuan Menteri, dengan kata lain

pendaftaran tanah tersebut dilaksanakan atas prakarsa Pemerintah dengan kegiatan

yang didasarkan pada suatu rencana kerja yang ditetapkan oleh Menteri. 116

Adapun ketentuan formal yang mengatur secara teknis mengenai tahapan

kegiatan pendaftaran tanah secara sistematis tersebut tercantum dalam pasal 46

sampai dengan pasal 72 Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala BPN Nomor 3

Tahun 1997. 117

Sementara itu pendaftaran tanah secara sporadis sebagaimana diterangkan

dalam pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah kegiatan

pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran

116
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 423
117
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 423

Universitas Sumatera Utara


98

tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual

atau massal. 118

Maksudnya menurut Boedi Harsono, “Pendaftaran tanah secara sporadik

adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa

obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau

kelurahan secara individual atau massal, yang dilakukan atas permintaan pemegang

atau penerima hak atas tanah yang bersangkutan”. 119

Pendaftaran tanah secara sistematik lebih diutamakan, karena melalui cara ini

akan dipercepat perolehan data mengenai bidang-bidang tanah yang akan didaftar

daripada melalui pendaftaran tanah secara sporadik. Tetapi karena prakarsanya

datang dari pemerintah, diperlukan waktu untuk memenuhi tenaga dan peralatan yang

diperlukan. Maka pelaksanaannya harus didasarkan pada suatu rencana kerja yang

meliputi jangka waktu agak panjang dan rencana pelaksanaan tahunan yang

berkelanjutan melalui uji kelayakan agar berjalan lancar. Uji kelayakan itu untuk

pertama kali diselenggarakan di daerah Depok, Bekasi, dan Karawang Jawa Barat.

Selain pendaftaran tanah secara sistematik ada juga Pendaftaran tanah secara

sporadik yang akan ditingkatkan pelaksanaannya, karena dalam kenyataannya akan

bertambah banyak permintaan dari masyarakat untuk melakukan pendaftaran tanah

secara individual dan massal yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, yang

akan meningkat kegiatannya, demikian dikemukakan dalam penjelasan umum. 120

118
Engkos Koswara, Analisis Yuridis Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Secara Sistematis di
Kecamatan Cilincing Wilayah Kotamadya Jakarta Utara, Hlm 6
119
Engkos Koswara, Ibid, Hlm 6
120
Boedi Harsono, Op.Cit, Hlm 461

Universitas Sumatera Utara


99

Pendaftaran tanah ini sangat penting, dan tanah tersebut didaftarkan untuk

kepentingan ekonomi atau pendaftaran dilakukan untuk kepentingan dari penggunaan

terhadap tanah, sehingga akan terlihat pemanfaatan dari tanah tersebut. Pendaftaran

Tanah adalah untuk memberikan kejelasan atau keterangan supaya tidak

menimbulkan suatu permasalahan dalam bidang pertanahan. Berlakunya Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah untuk pendaftaran tanah, baik terhadap

status tanah maupun pendaftaran tanah terhadap hak tanggungan demi kepentingan

perpajakan.

C. Tujuan Pendaftaran Tanah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, tetap dipertahankan

tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah sebagai yang pada hakikatnya sudah

ditetapkan dalam pasal 19 UUPA. Yaitu bahwa pendaftaran tanah merupakan tugas

pemerintah, yang diselenggarakan dalam rangka menjamin kepastian hukum dibidang

pertanahan suatu “rech cadaster” atau “legal cadaster”, rincian tentang tujuan

pendaftaran tanah diatur lebih lanjut dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997, yang menentukan bahwa :

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada


pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain
yang terdaftar agar dengan mudah dapat dibuktikan dirinya sebagai pemegang
hak yang bersangkutan. Pemberian kepastian hukum dan perlindungan hukum
tersebut dilakukan dengan cara memberikan sertifikat hak atas tanah kepada
pemegang hak yang bersangkutan. Adapun jaminan kepastian hukum yang
menjadi tujuan pendaftaran tanah adalah kepastian mengenai status tanah yang
didaftar, kepastian mengenai subyek hak dan kepastian mengenai obyek hak.
Untuk itu kepada pemegang haknya diberikan sertifikat sebagai surat tanda
buktinya (pasal 4 ayat 1).

Universitas Sumatera Utara


100

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan,


termasuk pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yanh sudah terdaftar. Wujud dari
pelaksanaan fungsi informasi ini adalah data fisik dan data yuridis dari bidang
tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk umum.
Untuk penyajian data tersebut diselenggarakan oleh Kantor
PertanahanKabupaten atau Kota, tata usaha pendaftaran tanah dalam apa yang
dikenal sebagai daftar umum, yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah,
surat ukur, buku tanah dan daftar nama.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Hal ini dilakukan
dengan pendaftaran setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk
pendaftaran apabila terjadi peralihan, pembebanan dan hapusnya hak tersebut.
Terselenggaranya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan
perwujudan tertib administrasi pertanahan, setiap bidang tanah dan satuan
rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan, dan hapusnya wajib didaftar.
Demikian ditentukan dalam pasal 4 ayat (3).

Tujuan pendaftaran tanah meliputi pendaftaran untuk pertama kali, maupun

untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah, pelaksanaan pendaftaran tanah pertama

kali diatur dalam Bab III Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,

sedangkan yang berlaku pada saat sekarang ini, diatur dalam Pasal 11 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah

diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.121

Dengan demikian Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini telah

menjelaskan lebih lanjut mengenai ketentuan pasal 19 UUPA, antara lain :

a. Dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah maka kepada pemiliknya


diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum.
b. Di zaman reformasi ini, Kantor Pertanahan sebagai kantor digaris depan harus
terpelihara dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk sesuatu bidang
tanah, baik untuk Pemerintah sendiri sehingga dapat merencanakan
pembangunan negara dan juga bagi masyarakat sendiri informasi itu penting
untuk dapat memutuskan sesuatu yang diperlukan dimana terlibat tanah, yaitu
121
Urip Santoso, Op. Cit, Hlm 19

Universitas Sumatera Utara


101

data fisik dan yuridisnya termasuk satuan rumah susun. Informasi tersebut
bersifat terbuka untuk umum artinya dapat memberikan informasi apa saja
ynang diperlukan atas sebidang tanah atau bangunan yang ada.
c. Sehingga untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal
yang wajar.

Dari uraian di atas dapat diketahui betapa pentingnya pelaksanaan pendaftaran

tanah dan pendaftaran hak-hak atas tanah tersebut. Hal ini juga dalam rangka turut

serta memperlancar pembangunan. Anggapan masyarakat yang mengatakan bahwa

pendaftaran tanah intinya hanya memperoleh sertifikat tanah saja, merupakan

anggapan yang keliru oleh karena keterangan-keterangan atau data pertanahan yang

dihimpun dalam pendaftaran tersebut adalah merupakan suatu mata rantai kegiatan

yang tiada henti-hentinya dari pelaksanaan pendaftaran tanah dengan tujuan

menjamin adanya kepastian hukum terhadap hak atas tanah.

Untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang hak yang bersangkutan

dan agar dengan mudah membuktikan haknya maka diberikanlah sertifikat hak atas

tanah. Untuk menyediakan informasi sebagaimana dalam Pasal 3 huruf b Kantor

Pertanahanbersifat terbuka, sehingga pihak-pihak yang berkepentingan dapat dengan

mudah mencari data fisik dan data yuridis tentang suatu budang tanah yang sudah

terdaftar. Sedangkan untuk tertib administrasi pertanahan, maka pendaftaran tanah

tidak hanya dilakukan sekali tapi secara terus menerus mengikuti perbuatan hukum

dan peristiwa hukum yang mengakibatkan data fisik maupun data yuridis pada suatu

bidang tanah mengalami suatu perubahan.122

122
Erpinka Aprini, Kepastian HukumSertifikat Hak Atas Tanah Kaitannya Dengan Ketentuan
Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Tesis,
UNDIP, Semarang, 2007, Hlm 8-9

Universitas Sumatera Utara


102

Menurut J.B. Soetanto, dalam diktatnya Hukum Agraria I menyatakan bahwa

tujuan pendaftaran tanah adalah :123

a. Memberikan kepastian hukum, yaitu kepastian mengenai bidang teknis


(kepastian mengenai letak, luas dan batas-batas tanah yang bersangkutan). Hal
ini diperlukan untuk menghindarkan sengketa dikemudian hari, baik dengn
pihak yang menyerahkan maupun pihak-pihak yang mempunyai tanah.
b. Memberikan kepastian hak, yaitu ditinjau dari segi yuridis mengenai status
hukum, siapa yang berhak atasnya (siapa yang mempunyai), dan ada tidaknya
hak-hak dan kepentingan pihak lain (pihak ketiga). Kepastian mengenai status
hukum dari tanah yang bersangkutan diperlukan, karena dikenal tanah-tanah
dengan bermacam-macam status hukum, yang masing-masing memberikan
wewenang dan meletakkan kewajiban-kewajiban yang berlainan kepada pihak
yang mempunyai hal mana akan terpengaruh pada harga tanah.
c. Memberikan kepastian subyek, yaitu kepastian mengenai siapa yang
mempunyai diperlukan untuk mengetahui dengan siapakita harus
berhubungan untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum secara sah
mengenai ada atau tidak adanya hak-hak dan kepentingan pihak
ketigadiperlukan untuk mengetahui perlu atau tidaknya diadakan tindakan-
tindakan tertentu untuk menjamin penguasaan dan penggunaan tanah yang
bersangkutan secara efektif dan aman.

Jadi dengan pendaftaran tanah akan diperoleh kepastian hukum tentang hak-

hak atas tanah yang diakui di Indonesia dan untuk si pemegang hak akan diterbitkan

sertifikat sebagai alat bukti kuat sebagai pemegang hak atas tanah.

Pasal Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat bertujuan :

1) Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum, sebagaimana


dimaksud pada Pasal 3 huruf a yaitu kepada si pemegang hak atas tanah
yang bersangkutan diberikan Sertifikat Hak Atas Tanah.
2) Untuk melaksanakan fungsi informasi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf b yaitu data fisik dan data yuridis bidang tanah terdaftar
terbuka untuk umum.
3) Untuk mencapai tertib administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf c yaitu setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk

123
J.B Soesanto, Hukum Agraria I, Semarang, Penerbit Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945, Semarang, Hlm 90

Universitas Sumatera Utara


103

peralihan, pembebanan hak atas tanah hak milik dan hak milik atas
satuan rumah susun wajib didaftar.

Jadi dengan pendaftaran tanah pemegang hak memperoleh sertifikat sebagai

alat bukti yang kuat bahwa ia sebagai pemegang hak atas tanah, kemudian akan

tercapai tertib administrasi dalam bidang pertanahan sehingga orang yang

berkepentingan akan mudah memperoleh informasi yang benar.

Selanjutnya AP Parlindungan mengatakan bahwa : “Pendaftaran tanah ini

melalui suatu ketentuan yang sangat teliti dan terarah, sehingga tidak mungkin asal

saja, lebih-lebih lagi bukan tujuan pendaftaran tanah tersebut untuk sekedar

diterbitkannya bukti pendaftaran tanah saja (sertifikat hak atas tanah)”.124

Penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan tugas dari Pemerintah dalam

hal ini adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional

yang mempunyai tugas pokok dengan tujuan sebagai berikut : (lihat Perpres No. 17

Tahun 2015 dan Perpres No. 20 Tahun 2015)

1. Melaksanakan inventarisasi pertanahan lengkap di seluruh Wilayah Republik

Indonesia dengan melaksanakan pengukuran desa demi desa.

2. Menyelenggarakan pemberian tanda bukti hak sebagai jaminan kepastian

hukum atas tanah dengan melaksanakan pendaftaran hak atas tanah meliputi

setiap peralihannya, penghapusannya dan pembebanannya jika ada dengan

memberikan tanda bukti berupa sertifikat tanah.

3. Pemasukan keuangan negara dengan memungut biaya pendaftaran tanah.

124
AP Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997,
(Mandar Maju, Bandung, 1999), Hlm 8

Universitas Sumatera Utara


104

Pendaftaran tanah dalam rangka Rectht Cadaster yang bertujuan memberikan

kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan

alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tersebut berupa buku tanah

dan sertifikat yang terdiri dari buku tanah dan surat ukur.125

Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dibebankan

kepada Pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan tunggal

yaitu untuk menjamin kepastian hukum. Menurut penjelasan dari UUPA pelaksanaan

kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban dari pemerintah bertujuan

menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht Cadaster, artinya untuk kepentingan

pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa

pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti perpajakan.

Pendaftaran tanah selain berfungsi untuk melindungi si pemilik, juga

berfungsi untuk mengetahui status bidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya,

berapa luasnya, untuk apa dipergunakan dan sebagainya.126

Menurut Boedi Harsono, dengan diadakan pendaftaran tanah maka pihak-

pihak yang bersangkutan dengan mudah mengetahui status dan kedudukan hukum

dari tanah-tanah tertentu yang dihadapinya, tempat, luas dan batasnya, siapa yang

memiliki dan beban hak atas tanah. Sehubungan dengan itu dibidang administrasi

pertanahan, masalah utama yang dihadapi adalah belum tersedianya data pertanahan

125
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Sinar Grafika, Jakarta,
2007), Hlm 112
126
Chadijah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform Di Indonesia dan Permasalahannya, (FH
USU Press, Medan, 2000), Hlm 132

Universitas Sumatera Utara


105

yang lengkap dan menyeluruh baik mengenai kepemilikan, penguasaan hak maupun

pendaftarannya.127

Jika melihat keadaan sekarang masih banyak tanah-tanah yang belum

bersertifikat yang berasal dari tanah-tanah adat yang belum dikonversi dan pelepasan

hak yang dibuat oleh Camat dan bentuk perbuatan lainnya tunduk kepada hukum

adat. Kesemuanya itu masih dapat ditolerir berlakunya sepanjang belum ditentukan

secara tegas batas waktu pendaftaran tanah dan sanksi yang diberikan. Oleh karena

itu untuk menghindari resiko atau paling tidak meminimalkan terjadinya resiko

sebagai akibat perbuatan hukum jual beli tanah, jual beli tanah utamanya tanah hak

harus sesuai dengan prosedur dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sesuai dengan apa yang dikehendaki undang-undang, jual beli tanah hak dilakukan

dihadapan PPAT, walaupun hak atas tanahnya belum terdaftar (tanah adat).

Dari berbagai Keputusan Mahkamah Agung ternyata bahwa jual beli tanah

yang dilakukan dihadapan Kepala Desa atau saksi-saksi tetap sah sepanjang hal

tersebut diikuti dengan perbuatan penguasaan tanahnya oleh pembeli. 128

Dalam peristiwa jual beli, peralihan hak dari si penjual kepada si pembeli

hanya diketahui kedua belah pihak dan pihak ketiga tidak diharapkan mengetahui jual

beli tersebut. Agar pihak ketiga mengetahuinya, peralihan hak tersebut perlu

didaftarkan agar memperoleh sertifikat sebagai tanda bukti hak yang kuat. Dengan

memiliki sertifikat, maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanahnya,

127
Boedi Harsono, Op. Cit, Hlm 462
128
Maria SW Somardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
(Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001), Hlm 120

Universitas Sumatera Utara


106

subjek hak, dan objek haknya menjadi nyata. Walaupun bukan berarti dengan adanya

sertifikat tidak mungkin timbul masalah, tetapi paling tidak akan mengurangi masalah

tersebut. Dengan demikian penataan masalah pertanahan dapat dikendalikan dan

diawasi oleh Negara.

Jual beli tanah hak yang tidak didaftarkan, dapat membuka peluang bagi orang

yang beriktikad buruk untuk menjual kembali tanah tersebut kepada pihak lain.

Apalagi tidak ada sanksi hukum yang tegas terhadap tindakan jual beli tanah hak

yang dibuat tanpa dihadapan PPAT. Sanksi yang diberikan hanyalah sebatas sanksi

administrasi yaitu jual beli dibawah tangan tersebut tidak dapat didaftarkan, karena

untuk mendaftarkan harus tetap dibuktikan dengan akta PPAT (Pasal 37 ayat (1) PP

Nomor 24 Tahun 1997).

Undang-Undang Nomor 5 Thun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria yang berlaku sejak tanggal 24 September 1960 merupakan undang-undang

Nasional tentang agraria yang secara fundamental mengadakan perombakan terhadap

hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia. Rentang waktu sejak diundangkannya

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tersebut, pemerintahn Indonesia telah

mengeluarkan berbagai peraturan tertulis atau regulasi dibidang hukum pertanahan.

Baik sebagai Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 5 Thun 1960, maupun

sebagai produk hukum baru dibidang hukum pertanahan guna memenuhi kebutuhan

hukum masyarakat, sejalan dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan akan

jaminan adanya kepastian hukum dibidang pertanahan.

Universitas Sumatera Utara


107

Tujuan pendaftaran tanah meliputi pendaftaran untuk pertama kali, maupun

untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah, pelaksanaan pendaftaran tanah pertama

kali diatur dalam Bab III Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,

sedangkan yang berlaku pada saat sekarang ini diatur dalam Pasal 11 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah

diatur dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.129

D. Azas Pendaftaran Tanah

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, asas Pendaftaran tanah

diatur dalam pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dilaksanakan

berdasarkan asas sebagai berikut :

a. Asas sederhana yaitu pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-

ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh

pihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pe

b. megang hak atas tanah.

c. Asas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu

diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan

jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.

d. Asas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang

memerlukan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan

golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka

129
Urip Santoso, Op. Cit, Hlm 19

Universitas Sumatera Utara


108

menyelenggarakan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak

yang memerlukan.

e. Asas mutaakhir yaitu kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan

kesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus

menunjukkan keadaan yang mutaakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban

mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari.

Asas mutaakhir menuntut dipeliharanya data pendaftaran tanah secara terus

menerus dan berkesinambungan, sehingga data yang tersimpan di Kantor

Pertanahan selalu sesuai dengan keadaan nyata dilapangan.

f. Asas terbuka dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh keterangan

mengenai data pendaftaran tanah yang benar setiap saat.130

Berdasarkan uraian di atas bahwa asas pendaftaran tanah tersebut disesuaikan

dengan tuntutan masyarakat, kondisi pemegang hak atas tanah serta memperhatikan

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang berfungsi sebagai pedoman

kerja bagi setiap aparat pelaksana dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah.

Menurut Soedikno Mertokusumo131, mengatakan bahwa : dalam pendaftaran

tanah dikenal dua macam asas, yaitu :

1. Asas Specialiteit, artinya pelaksanaan pendaftaran tanah diselenggarakan atas

dasar peraturan perundang-undangan tertentu yang secara teknis menyangkut

masalah pengukuran, pemetaan, dan pendaftaran peralihannya.

130
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Edisi
Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2012), Hlm 394-395
131
Urip Santoso, Op. Cit, Hlm 16-17

Universitas Sumatera Utara


109

2. Asas Opernbaarheid (asas publisitas),artinya setiap orang berhak untuk

mengetahui data yuridis tentang subyek hak, nama hak atas tanah, peralihan

hak, dan pembebanan hak atas tanah yang ada di Kantor Pertanahan, termasuk

mengajukan keberatan sebelum diterbitkannya sertifikat, sertifikat pengganti,

sertifikat yang hilang atau sertifikat yang rusak.

E. Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah

Peralihan Hak Atas Tanah dapat ditafsirkan sebagai suatu perbuatan hukum

yang dikuatkan dengan akta otentik yang diperbuat oleh dan dihadapan Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah kepada

pihak lain.132

Apabila ada kehendak yang sengaja dan disepakati atas sebidang tanah milik,

maka didalamnya ada pengalihan hak atas tanah tersebut. Bila pengalihan tersebut

dipaksakan oleh kewenangan dan kekuasaan negara maka disebut dicabut atau

mungkin dinasionalisasikan, dan inipun harus dengan menempuh persyaratan, sebab

terjadi pemutusan hubungan hukum kepemilikan didalamnya.

Peralihan Hak Atas Tanah menurut pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 dapat dilakukan melalui perbuatan hukum seperti : jual beli, tukar

menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum lainnya yang

dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Sedangkan dalam

Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PPAT dan Pasal 95

132
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 276

Universitas Sumatera Utara


110

Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3

Tahun 1997 ditentukan jenis akta yang dapat dibuat oleh PPAT antara lain :

perbuatan hukum mengenai Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan kedalam

Perusahaan (inbreng), Pembagian Hak Bersama, Pemberian Hak Guna Bangunan,

atau Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, Pemberian Hak Tanggungan, dan Pemberian

Kuasa Membebankan Hak Tanggungan.133

Dalam kaitan dengan peralihan hak atas tanah tersebut maka yang termasuk

disini adalah perbuatan hukum berupa :

1. Jual Beli;

2. Tukar Menukar;

3. Hibah;

4. Pemasukan dalam Perusahaan; dan

5. Pembagian Hak Bersama;

6. Penggabungan atau Peleburan Perseroan atau Koperasi yang didahului dengan

Likuidasi (Pasal 43 ayat (2)).134

Sebagai ketentuan formalnya, PPAT membuat akta dari perbuatan hukum

peralihan hak tersebut dengan bentuk, isi dan cara pembuatannya sebagaimana yang

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 yo Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1

133
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 277
134
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 277

Universitas Sumatera Utara


111

Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 3 Tahun 1997.135

Dalam perbuatan hukum peralihan hak atas tanah ini, diatur ketentuan

pembuatan aktanya sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 sebagai berikut :

1. PPAT menolak membuat akta jika :

a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar kepadanya tidak

disampaikan sertifikat asli hak yang bersangkutan atau sertifikat yang

diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor

Pertanahan; atau

b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak

disampaikan :

(1). Surat Bukti Hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) atau

Surat Keterangan Kepala Desa atau Kelurahan yang menyatakan

bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut

sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (2); dan

(2). Surat Keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang

bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan atau untuk

tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor

Pertanahan dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan

oleh Kepala Desa/Kelurahan; atau


135
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 278

Universitas Sumatera Utara


112

c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang

bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 38

tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau

d. Salah satu pihak atau para pihak bertindakatas dasar suatu surat kuasa

mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan

hak; atau

e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin

pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau

f. Objek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa

mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau

g. Tidak dipenuhinya syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Penolakan untuk membuat akta tersebut diberitahukan secara tertulis kepada

pihak-pihak yang bersangkutan disertai alasannya.

Setelah tidak ada halangan untuk pembuatan akta dari perbuatan hukum

sebagaimana diatur di atas, maka dialanjutkan dengan pembuatan akta peralihan

haknya oleh PPAT.136

Selanjutnya Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 diatur

sebagai berikut :

136
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 279

Universitas Sumatera Utara


113

a. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta

yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut

dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk

didaftar.

b. PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah

disampaikannya akta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada para pihak

yang bersangkutan.

Selanjutnya prosedur pendaftaran peralihan haknya setelah dibuatkan akta

PPAT dan disampaikan ke Kantor Pertanahan, diatur dalam Pasal 105 Peraturan

Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997,

yakni pencatatan peralihan hak dalam buku tanah, sertifikat dan daftar lainnya

dilakukan sebagai berikut :

a. Nama pemegang hak lama didalam buku tanah dicoret dengan tinta hitam dan

dibubuhkan paraf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk;

b. Nama atau nama-nama pemegang hak yang baru dituliskan pada halaman dan

kolom yang ada dalam buku tanahnya dan dibubuhi tanggal pencatatan dan

besarnya bagian setiap pemegang hak dalam hal penerima hak beberapa orang

dan sebenarnya bagian ditentukan, dan kemudian ditandatangani oleh Kepala

Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk dan cap dinas Kantor

Pertanahan;

Universitas Sumatera Utara


114

c. Yang tersebut pada huruf a dan b juga dilakukan pada sertifikat hak yang

bersangkutan dan daftar-daftar umum lain yang memuat nama pemegang hak

lama;

d. Nomor hak dan identitas lain dari tanah yang dialihkan dicoret dari daftar

nama pemegang hak lama dan nomor hak dan identitas tersebut dituliskan

pada daftar nama penerima hak.137

Selanjutnya sertifikat yang dialihkan diserahkan kepada pemegang hak baru

atau kuasanya. Hanya saja di Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat yang ada

hanya PPAT Sementara yaitu Camat tetapi Camat hanya membuat Akta Jual Beli saja

dan belum pernah sampai pada pendaftaran tanah untuk Sertifikat tanah tersebut,

sehingga tidak dapat dilaksanakan ketentuan tersebut di atas, masyarakat hanya

membuat Surat Jual Beli di bawah tangan atas tanah milik adat yang belum terdaftar

dan Akta Jual Beli tanah dari Camat sebagai PPAT Sementara dan belum sampai ke

pensertifikatan tanah tersebut.

F. Hambatan-hambatan dalam Pendaftaran Peralihan Hak Atas Tanah

Hambatan-hambatan dalam pendaftaran peralihan hak adat yaitu hambatan

dari:138

a. Hambatan yang berasal dari masyarakat yaitu masyarakat tidak mengerti

bahwa jual beli hak atas tanah yang belum terdaftar tersebut harus dilakukan

137
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 281
138
Hasil Wawancara dengan Bapak Nurdin Nasution, S.SiT, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah (HTPT) Kabupaten Pakpak Bharat

Universitas Sumatera Utara


115

dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), hal tersebut dikarenakan

kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap pendaftaran peralihan hak atas

tanah yang dilakukan melalui jual beli dan juga kurangnya penyuluhan hukum

yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten Pakpak Bharat

dan di Kecamatan Salak khususnya terhadap pentingnya pendaftaran

peralihan hak atas tanah dilakukan demi mendapatkan jaminan kepastian

hukum atas pemegang hak atas tanah tersebut.

b. Hambatan yang berasal dari PPAT Sementara yaitu : apabila ada masyarakat

yang melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah melalui jual beli

hak atas tanah, kemungkinan PPAT Sementara tidak menyampaikan peralihan

hak atas tanah tersebut ke Badan Pertanahan Nasional setempat untuk

mendaftarkan akta yang telah dibuatnya. Sementara di Kabupaten Pakpak

Bharat khususnya di Kecamatan Salak, PPAT Sementara (Camat) belum

bekerja aktif menghimbau masyarakat tentang pentingnya pendaftaran

peralihan hak atas tanah tersebut.

c. Hambatan yang berasal dari Badan Pertanahan Nasional yaitu Badan

Pertanahan Nasional (BPN) tidak melakukan sosialisasi atau penyuluhan

hukum juga himbauan kepada masyarakat tentang pentingnya pendaftaran

peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang dilakukan terhadap tanah adat

tersebut harus dibuat di hadapan PPAT dan harus didaftarkan serta

disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional demi untuk menjamin kepastian

pemegang hak atas tanah tersebut.

Universitas Sumatera Utara


116

G. Peranan BPN dalam memberikan kepastian hukum terhadap peralihan hak


milik yang belum terdaftar di Kabupaten Pakpak Bharat

Secara yuridis teknis, tujuan utama pendaftaran tanah untuk menciptakan

kepastian hukum dan menjamin perlindungan hukum. Tetapi pada kenyataannya,

kepastian hukum pendaftaran tanah tersebut belum dapat dirasakan oleh masyarakat.

Artinya dalam kenyataan sepanjang hidup kita ini, masih dianggap tidak ada

kepastian hukum dari adanya pendaftaran tanah di Negara ini, sebab sertifikat belum

menjamin sepenuhnya hak atas tanah seseorang.139

BPN atau Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting agar segara

mensosialisasikan apa dan bagaimana pendaftaran tanah serta tujuan dilakukannya

pendaftaran tanah tersebut. Bila dibiarkan akan mendorong tidak yakinnya

masyarakat atas bukti hak itu sendiri karena dianggap tidak dapat melindungi hak-hak

tanah masyarakat. Apalagi bagi sebagian orang, sertifikat tanah masih dianggap

hanya dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu saja sehingga masyarakat masa

bodoh atas pendaftaran tanah di Negara ini.140

Jaminan kepastian hukum memiliki beberapa manfaat, diantaranya :

a) Memajukan perekonomian nasional (karena sertifikat hak atas tanah dapat

dijadikan agunan untuk memperoleh kredit perbankan)

b) Melestarikan lingkungan (karena hubungan yang pasti antara pemegang

hak dengn obyek hak memberikan motivasi pemegang hak untuk

melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup)

139
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 178
140
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op.Cit, Hlm. 177 - 182

Universitas Sumatera Utara


117

c) Meningkatkan penerimaan negara (karena pendaftaran tanah

memungkinkan adanya penertiban administrasi peralihan hak dan itu

memungkinkan adanya pemasukan dari bea balik nama)

d) Melindungi kepentingan masyarakat terutama golongan ekonomi lemah

(karena jika tanah pemegang hak dibebaskan untuk kepentingan tertentu,

pemegang hak akan memperoleh kompensasi yang wajar)

e) Mencegah atau mengurangi sengketa pertanahan dan

f) Mendukung perencanaan tata ruang untuk pembangunan.141

Untuk mewujudkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum

kepada pembeli sebagai pemilik yang baru dari tanah milik adat yang diperoleh

melalui jual beli, pemilik yang baru atau pembeli yang sudah memiliki surat jual

belinya agar segera melaksanakan permohonan penegasan/pengakuan hak dan

pendaftarannya kepada Kantor Pertanahan, sehingga pembeli akan mendapatkan

suatu bukti pemilikan hak atas tanah berupa sertifikat hak milik atas tanah

sebagaimana ditentukan oleh peratuan perundang-undangan.142

Dalam rangka menjamin kepastian hukum dibidang pertanahan pemerintah

dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional harus melakukan sosialisasi kepada

masyarakat tentang pentingnya pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT sekaligus

mempercepat dilaksanakannya pensertifikatan tanah-tanah penduduk yang belum

141
Dasawarsa BhumiBhakti Adhiguna, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 1988-1998,
Hlm 182
142
Hasil Wawancara dengan Ibu Rosalina Tamba, SH, Plt. Kepala BPN Kabupaten Pakpak
Bharat, (Salak, 10 Nopember 2016)

Universitas Sumatera Utara


118

disertifikatkan di wilayah Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat. Akan tetapi

peran BPN tersebut belum maksimal, karena PPAT Sementara atau Camat belum

bekerja aktif atau belum bekerja semaksimal mungkin memberikan himbauan dan

pengetahuan kepada masyarakat di Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat

tentang pentingnya pendaftaran tanah dan pendaftaran peralihan atas tanah untuk

menjamin kepastian hukum kepemilikan tanah tersebut dan BPN juga tidak

mendorong agar Camat atau Kepala Desa yang diangkat menjadi PPAT Sementara di

wilayah kerjanya agar bekerja lebih aktif lagi.

BPN mempunyai peranan yang sangat penting untuk menjamin kepastian

hukum dan perlindungan hukum dalam bidang pertanahan, pemerintah yakni Badan

Pertanahan Nasional agar secara intensif melakukan himbauan kepada masyarakat

tentang betapa pentingnya pendaftaran tanah agar jaminan kepastian hukum dalam

pendaftaran tanah segera dilaksanakan gunanya agar pemerintah menjamin bahwa

pemegang hak (subyek) benar-benar berhak atau mempunyai hubungan hukum

dengan tanahnya (obyeknya), dibuktikan dengan adanya data yuridis dan data fisik

bidang tanah yang diterima sebagai data yang benar dan didukung dengan tersedianya

peta hasil pengukuran secara kadasteral, daftar umum bidang-bidang tanah yang

terdaftar dan terpeliharanya daftar umum tersebut dengan data mutaakhir serta kepada

pemegang hak diberikan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang

kuat yang lazim disebut sertifikat tanah.143

143
Hasil Wawancara dengan Bapak Nurdin Nasution, S.SiT, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah (HTPT) Kabupaten Pakpak Bharat, (Salak, 10 Nopember 2016)

Universitas Sumatera Utara


119

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Status tanah yang belum terdaftar sebagai objek jual beli di Kecamatan Salak

Kabupaten Pakpak Bharat adalah tanah milik adat yang telah dikuasai dan

diusahai secara turun temurun sehingga telah menjadi hak milik perseorangan

dan tanah warisan yang dimiliki satu keluarga, tanah adat dapat dilaksanakan

dengan cara jual beli menurut kebiasaan masyarakat dimana tanah itu dengan

syarat terang dan tunai. objek tanah yang diperjual belikan adalah tanah

persawahan, tanah perladangan dan tanah pertapakan perumahan, tanah milik

adat tersebut diakui oleh Pengetua Adat atau Kepala Desa setempat, sekalipun

belum terdaftar.

2. Kekuatan Hukum Jual beli tanah yang belum terdaftar yang dilakukan menurut

hukum adat, sepanjang dilakukan dengan syarat terang dan tunai, maka jual beli

tersebut telah sah dan berlaku bagi pihak ketiga, tanah yang diperjual belikan

hanya dalam lingkungan keluarga dan kerabat serta masyarakat yang ada di

Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat. Adapun saksi-saksi biasanya

diambil dari para kerabat si penjual dan pembeli yaitu orang yang mengetahui

sejarah tanah tersebut yakni Sepanganen, Berru, ataupun Kula-kula dari pemilik

tanah serta Sukut Nitalun (Pembuka Kampung) sebagai saksi kunci agar jual beli

tanah tersebut dapat dilaksanakan. Jual beli tanah di Kecamatan Salak masih

119

Universitas Sumatera Utara


120

dilakukan di bawah tangan dibuat dengan memakai kertas segel atau kertas biasa

yang ditempel materai dilakukan di hadapan Kepala Desa. Pengalihan hak atas

tanah dengan cara jual beli tanah yang dilakukan masyarakat adat diakui dan

diterima masyarakat, perbuatan hukum tersebut tidak pernah menjadi sengketa di

dalam masyarakat.

3. Peran Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam memberikan kepastian hukum

terhadap peralihan hak milik yang belum terdaftar sangat penting yaitu BPN

harus melakukan sosialisasi agar setiap perbuatan hukum jual beli tanah dibuat

dengan akta Camat sebagai PPAT Sementara sekaligus diajukan pendaftarannya

ke Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) sesuai dengan Pasal 19 UUPA.

Dalam praktek jual beli tanah belum terdaftar tidak menggunakan PPAT cukup

Kepala Desa dan Camat saja.

B. Saran

1. Agar status tanah sebagai objek jual beli memperoleh kepastian hukum,

diharapkan kepada pembeli sebagai pemilik yang baru dari perbuatan hukum jual

beli, agar segera melaksanakan permohonan penegasan/pengakuan hak dan

pendaftaran peralihannya ke Kantor Pertanahan, sehingga pembeli akan

mendapatkan suatu bukti pemilikan hak atas tanah berupa sertifikat hak milik

atas tanah sebagaimana ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Universitas Sumatera Utara


121

2. Agar dapat mewujudkan kepastian dan perlindungan hukum mengenai kekuatan

hukum jual beli hak milik atas tanah yang dilakukan di bawah tangan, maka jual

beli tanah haruslah dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang yaitu Pejabat

Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau PPAT Sementara (Camat) dengan akta jual

beli agar peralihan hak atas tanah tersebut menjadi sah sesuai ketentuan

Peraturan yang berlaku kemudian didaftarkan ke BPN.

3. Untuk menjamin kepastian hukum dibidang pertanahan seharusnya Pemerintah

yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar melakukan sosialisasi juga

himbauan dan penyuluhan hukum kepada masyarakat tentang pentingnya

pendaftaran tanah, dan agar BPN melakukan sosialisasi kepada Camat dan

Kepala Desa supaya aktif bekerja menjalankan tugas-tugas pembuatan akta jual

beli atas tanah yang belum terdaftar sekaligus mengajukan permohonan

pendaftaran haknya.

Universitas Sumatera Utara


122

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Badrulzaman, Mariam Darus, 1980, Bab-bab Tentang Hipotik, Alumni, Bandung

Boedi, Harsono, 2004, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan


Hukum Tanah, Edisi Revisi, Penerbit Djambatan, Jakarta

Dalimunthe, Chadidjah, 2000, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan


Permasalahannya, FH USU Press, Medan

Gautama, Sudargo, 1973, Tafsiran Undang Undang Pokok Agraria, Alumni,


Bandung

Hadikusumah, Hilman, 1982, Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung

Lubis, Muhammad Solly, 2012, Filsafat Ilmu dan Penelitian, PT. Sofmedia, Medan

Hadikusuma, Hilman, 1982, Hukum Perjanjian Adat, Alumni, Bandung

Hadjon, Philipus Mandiri, 1978, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina
Ilmu, Surabaya

Hajati, Sri, 2000, Upaya Pembaharuan Hukum Agraria Nasional Dalam Menunjang
Investasi, Yuridika, Vol. 15 No. 6 Nopember-Desember

Harsono, Boedi, 1971, UUPA, Sejarah Penyusunan dan Pelaksanaan Hukum


Agraria, Bagian Pertama, Jilid Kedua, Djambatan, Jakarta

_____________, 1975, Hukum Agraria, Bagian Pertama, Jembatan, Jakarta

_____________, Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, Bagian


Pertama, Jilid Kedua, Jambatan, Jakarta

_____________, 1982, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-


Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta

122

Universitas Sumatera Utara


123

_____________, 2003, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-


undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Edisi Revisi, Djambatan,
Jakarta

Istiqomah, Liliek, 1982, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya

I, R. Subekti, 1996, Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet Boek),
Pradnya Paramita, Jakarta

Kansil, CST, 2002, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta

Kamelo, Tan, 2002, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan


Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, PPs-USU,
Medan

Lubis, Mhd. Yamin, Lubis, Abdul Rahim, 2010, Hukum Pendaftaran Tanah, Penerbit
CV.Mandar Maju, Bandung

___________________________________, 2012, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi


Revisi, Mandar Maju, Bandung

Marzuki, Pieter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media,
Jakarta

Mertokusumo, Sudikno, 1999, Mengenal Hukum Suatu Pengantar,


Liberty,Yogyakarta

Mahkamah Agung RI, Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan,


(Suatu Tinjauan Yuridis, 1998)

Moeleong, Lexy J., 1994, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya,
Bandung

Moh. Nazir, 1988, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta

__________________, 2009, Pengantar Ilmu Hukum, Penerbit Kencana Prenada


Media Group, Jakarta

Universitas Sumatera Utara


124

Muhammad, Bushar, 1988, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Bina Cipta,
Bandung

________________, 1991, Asas-Asas Hukum Adat, PT. Pradnya Paramitha, Jakarta

Nazir, Muhammad, 1988, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta

Prasetyo, Teguh, Barkatullah, Abdul Hakim, 2006, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum
Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Yogyakarta

Parlindungan, AP., 1973, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, Alumni, Bandung

_____________, 1994, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Mandar Maju, Bandung

_____________, 1998, Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, Mandar


Maju, Bandung

______________, 1999, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Madja, Bandung

Perangin-angin, Effendi, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada,
Jakarta

Purbacaraka, Purnadi, Halim, Ridwan, 1993, Sendi-Sendi Hukum Agraria, Ghalia


Indonesia, Jakarta

Rasyid, Harun Al, 1987, Sekitar Tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-
peraturannya), Ghalia Indonesia, Jakarta

Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA, Bandung, Alumni, 1976

Saleh, K. Wantjik, 1977, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta

Saragih, Djaren, 1980, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung

Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta, Prenada
Media Grup, Jakarta

Sjahdeini, Sutan Remy, 1977, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang


Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institut
Bankir Indonesia, Jakarta

Universitas Sumatera Utara


125

Soemitro, Rony Hanitiji, 1998, Metode Penelitian Hukum dan jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta

Soekanto, 1983, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta

Soekanto, Soerjono, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke 3, UI Press,


Jakarta

Soepomo, 1967, Hukum Perdata Jawa Barat, Djambatan, Jakarta

_____________, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta

Soetikno, Iman, 1985, Politik Agraria Nasional, gadjah Mada Universitas Press,
Yogyakarta

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,


Jakarta

Wignjodipuro, Sorojo, 1982, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung,
MCML, XXXII, Jakarta

Yamin, Muhammad, 2003, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Pustaka


Bangsa Press, Medan

Zainal, Idris, Ketentuan Jual Beli Menurut Hukum Perdata, Fakultas Hukum USU,
Medan

B. TESIS/BAHAN HUKUM

Aprini, Erpinka, Kepastian Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Kaitannya Dengan
Ketentuan Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah, Tesis, UNDIP, Semarang, 2007
Dasarwarsa Bhumibhakti Adhiguna, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta 1988
Ilhamsyah, Pendaftaran Tanah Hak Milik Adat Untuk Pertama Kali Oleh Masyarakat
di Kota Sawahlunto, Tesis, 2005
Koswara, Engkos, Analisis Yuridis Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Secara
Sistematis di Kecamatan Cilincing Wilayah Kotamadya Jakarta Utara.

Universitas Sumatera Utara


126

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar 1945


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 jo Peraturan Pemerintah Nomor 24


Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3


Tahun 1999 Tentang Pelaksana Peraturan

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai