TESIS
Oleh
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
TESIS
Oleh
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Pembimbing Pembimbing
(Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN,MHum) (Abdul Rahim Lubis, SH, MKn)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang
penting sebagai kebutuhan manusia. Kebutuhan akan tanah untuk daerah yang sedang
berkembang selalu mengalami peningkatan seolah-olah tanah menjadi barang yang
sangat berharga. Penguasaan dan penggunaan tanah oleh Negara diarahkan dengan
mempertahankan Hak Atas Tanah Ulayat, agar terwujud keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Peralihan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa dan atau perbuatan
hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik
kepada pihak lainnya. Peralihan tersebut bisa disengaja olehn karena adanya
perbuatan hukum seperti jual beli, sewa menyewa dan sebagainya, dan juga tidak
disengaja karena adanya peristiwa hukum seperti peralihan karena warisan. Peralihan
hak atas tanah adalah suatu peristiwa atau perbuatan hukum yang mengakibatkan
berpindahnya hak seseorang terhadap tanah ke pihak lain, sehingga menyebabkan
kehilangan kesewenangannya terhadap tanah tersebut. Dalam hukum adat, hak milik
dapat beralih dan dialihkan. Jual beli tanah yang mengakibatkan beralihnya hak milik
tanah kepada pembeli disebut dengan istilah jual lepas. Dengan berubahnya status
tanah adat menjadi hak milik adat, maka hubungan antara masyarakat dengan tanah
tersebut lepas. Lepas disini dalam arti pemilik tanah telah bebas menentukan sendiri
kegunaan tanah tersebut. Sistem jual beli tanah dalam hukum adat menganut sistem
tunai/konkrit/terang/nyata artinya setiap hubungan harus terlihat nyata.hal ini karena
masyarakat adat masih sangat sederhana, sehingga dalam transaksi jual beli tanah
tersebut baru mengikat apabila transaksi tersebut terlihat secara konkrit dan nyata
telah terjadi yaitu dibuktikan dengan adanya pertukaran, berupa penyerahan tanah
sebagai objek dengan sekaligus penyerahan uang secara tunai sebagai pembayaran.
Jual beli tanah di Kecamatan Salak yang masih dilakukan berdasarkan
kebiasaan-kebiasaan masyarakat, dengan melakukan jual beli tanah dihadapan Kepala
Desa dengan dihadiri saksi-saksi dari pihak keluarga terdekat baik dari pihak pembeli
dan penjual juga Sukut Nitalun. Status tanah sebagai objek jual beli di Kecamatan
Salak adalah tanah adat yang telah dikuasai dan diusahai secara turun temurun dan
juga tanah warisan, objek tanah yang diperjual belikn adalah tanah persawahan, tanah
perladangan dan pertapakan perumahan yang telah dikuasai secara turun temurun
maupun yang diperoleh dari warisan serta tanah yang diperoleh dari peralihan hak
dengan jual beli. Jual beli tanah di Kecamatan Salak masih dilakukan dibawah tangan
yaitu hanya dibuat dengan memakai kertas segel atau kertas biasa yang ditempel
materai dan dilakukan dihadapan Kepala Desa.
Land as the bounty of God the Almighty has an important function for human
needs. The need for land for a developing area is rapidly increasing so that land
becomes very expensive. Land control and use by the State is directed by maintaining
the Right of community adat land for the sake of social justice for all Indonesian
people.
Land title transfer is one of the juristic fact and/or legal act which causes the
incidence of land title transfer from its owner to another party. The transfer can be
done intentionally because of a legal act in buy and sell, leasing, etc., and
unintentionally because of juristic fact like inheritance. It is a juristic fact or legal act
which cause the shift of a person’s right to another party so that the former loses his
authority on that land. In the adat law, property rights can be transferred. Land
transact which causes the transfer of land rights to the buyer is called sell outright.
The change in adat land status to become adat property rights makes the relation
between the community and the land ended. It means that the land owner is free to
use the land. The system of land transact in the adat law follows
cash/concrete/transparent system which means that transact should be transparent
since adat community has simple nature so that the transaction should also be
concrete and real in transferring the land and in receiving its payment.
Land transact in Salak Subdistrict is still done according to the custom; land
transact is done before the Village Head, witnessed by the relatives of the seller and
the buyer, and by Sukut Nitalun. Land status as a transact object in Salak Subdistrict
is an adat land which has been used and cultivated from generation to generation
and as an inheritance. The transferred plots of land are wet rice fields, rice fields,
and land to be used for housing which have been controlled from generation to
generation or from inheritance and from land transfer with buy and sell. Land
transact in Salak Subdistrict is usually dine underhandedly; it uses only stamped
paper or any paper with stamp and done it before the Village Head.
ii
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul
“TINJAUAN YURIDIS PERALIHAN HAK YANG BELUM TERDAFTAR
MELALUI JUAL BELI DI KECAMATAN SALAK)”. Tesis ini merupakan
persyaratan akademik untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (MKn) pada
Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini dengan kerendahan hati, Penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tulus kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum, selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan menjadi Mahasiswa Program Studi
Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
sekaligus Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan, dukungan,
perhatian dan masukan kepada Penulis.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum, selaku Sekretaris Program Studi
Magister Keniotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus
Pembimbing yang dengan penuh perhatianmemberikan bimbingan dan saran
kepada Penulis.
iii
iv
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : Sitti Rohaya Hasibuan
Tempat/Tanggal Lahir : Tanjung Baringin, 30 Maret 1977
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Jalan Sikadang Njandi Nomor 108 Salak
Nomor Handphone : 0852 6115 2075
II. KELUARGA
Nama Ayah : Alm. H. L. Hasibuan
Nama Ibu : Hj. Halimah Siregar
Nama Suami : Rahmat Berutu, SE
Nama Abang dan Adik : Drs. Rudi Harton Hasibuan
: M. Sofwan Hasibuan
: Jamilatunnur Hasibuan
III. PENDIDIKAN
SD : SD Negeri Panyabungan (1983-1989)
SMP : MTs Darul Falah Ujung Batu (1989-1992)
SMA : MAN I Padang Sidempuan (1992-1995)
Strata I : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(1995-2001)
vi
Halaman
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vi
DAFTAR ISI........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Perumusan Masalah .................................................................... 19
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 20
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 20
E. Keaslian Penelitian...................................................................... 21
F. Kerangka Teori dan Konsepsi..................................................... 22
1. Kerangka Teori .................................................................... 22
2. Konsepsi............................................................................... 25
G. Metode Penelitian ....................................................................... 27
1. Jenis dan Sifat Penelitian ..................................................... 27
2. Sumber Data......................................................................... 28
3. Tehnik dan Alat Pengmpulan Data ...................................... 29
4. Analisis Data ........................................................................ 30
BAB II STATUS TANAH YANG BELUM TERDAFTAR SEBAGAI
OBJEK JUAL BELI PADA MASYARAKAT PAKPAK
BHARAT DI KECAMATAN SALAK........................................... 32
A. Profil Singkat Kabupaten Pakpak Bharat Dan Masyarakat
Pakpak Bharat ............................................................................ 32
1. Sejarah Singkat Kecamatan Salak........................................ 33
vii
viii
ix
Halaman
Tabel 1 Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT Sementara (Camat)................. 37
Tabel 2 Dusun yang ada di Desa Salak I dan Desa Salak II Kecamatan .......... 39
Tabel 3 Kelompok (Suak) dan Marga Pakpak................................................... 40
Tabel 4 Luas Wilayah Menurut Desa di Kecamatan Salak dan Status Tanah .. 56
xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan kekayaan alam yang mempunyai arti sangat penting dalam
kehidupan manusia. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagian besar dari kehidupan
manusia tergantung pada tanah, oleh sebab tanah merupakan tempat bagi manusia
setiap anggota masyarakat sangat membutuhkan tanah. Begitu pentingnya tanah bagi
kehidupan manusia dan juga bagi suatu negara dibuktikan dengan diaturnya secara
konstitusional dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (3) yang menentukan
bahwa :
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria yang dikenal dengan Undang
Undang Pokok Agraria (UUPA) yang diundangkan pada tanggal 24 September 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria atau lebih dikenal UUPA.1
Selain itu untuk mendapatkan tanah sangatlah sulit, karena tanah mempunyai
nilai ekonomis yang tinggi, disamping nilai kultural atau sosial politik lainnya. Jadi
1
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Cet. I, (Medan, Pustaka
Bangsa Press, 2003), Hlm 30
terjadi perubahan secara fundamental atau mendasar di dalam sistem hukum nasional
seperti dikatakan oleh Boedi Harsono bahwa, UUPA menciptakan hukum agraria
UUPA berdasarkan atas hukum adat tentang tanah, sebagai hukum aslinya sebagian
Hukum tanah di Indonesia didasarkan pada Hukum Adat. Hal ini terdapat
dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu : “Hukum agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat, sepanjang tidak
yang dibakar, diatasnya dijatuhkan bom, tanah tersebut tidak lenyap dan akan
muncul kembali tetap berwujud tanah seperti semula, kalau dilanda banjir
2
Ibid, Hlm. 3
3
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,
(Penerbit Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, 2004), Hlm. 7
misalnya malahan setelah air surut tanah akan muncul kembali sebagai
b. Karena faktanya, yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu merupakan tempat
negara dan rakyat terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan
makmur (ekonomis).
4
Sorojo Wignjodipuro, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta, Gunung Agung,
MCML, XXXII, 1982), Hlm 197
5
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960
tersebut diatur dalam Peraturan Pelaksana dari UUPA yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961 mengenai pendaftaran terhadap tanah yang berasal dari tanah
milik adat, telah diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
seluruh bidang tanah di wilayah Indonesia, termasuk tanah-tanah yang berasal dari
hukum adat yang sudah dimiliki oleh perseorangan yang disebut tanah milik adat.
dari tanah milik adat maka pemohonmengajukan permohonan pegakuan hak atau
konversi dengan melampirkan tanda bukti haknya seperti yang dimaksud dalam
UUPA, Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1970 dan
bulan berturut-turut di Kantor Kepala Desa dan Kantor Camat untuk memberikan
pendaftaran tersebut. Bila dalam jangka waktu yang telah ditentukan telah lewat,
maka permohonan pengukuran hak tersebut diteruskan Kepala Kantor Wilayah Badan
haknya”.6
6
Muhammad Yamin, Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, (Medan, Pustaka Bangsa
Press, 2003), Hlm. 39
Dalam pendftaran tanah tersebut, selain pendaftaran tanah untuk pertama kali,
juga termasuk pendaftaran terhadap peralihan hak atas tanah, terutama jual beli tanah
yang menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menentukan bahwa jual
beli tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT tersebut merupakan Pejabat yang diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri yang tugas pokoknya membuat akta, peralihan dan
pembebanan hak atas tanah. Hak atas tanah dalam hal ini tidak saja terhadap hak yang
terdaftar, tetapi juga terhadap hak atas tanah yang belum terdaftar (hak milik adat).
Peralihan hak atas tanah milik adat, secara materil didasarkan pada hukum
adat dengan syarat “terang dan tunai”, namun secara formal harus dengan Akta
PPAT. Keberadaan PPAT dalam peralihan hak milik adatsebagai pengganti dari
Pengetua Adat atau Kepala Desa yang jual beli tanah adat dibuat dengan syarat
“terang” tersebut.
Tahun 1960 pada tanggal 24 September 1960, jual beli tanah di Indonesia
mempergunakan dua sistem hukum yaitu sistem hukum barat bagi golongan eropa
dan sistem hukum adat bagi golongan bumi putera atau pribumi.7
Jual beli tanah menurut hukum adat pada dasarnya mempunyai syarat terang
dan tunai, maksudnya adalah jual beli dilakukan dihadapan kepala desa dan pembeli
membayar harga tanah secara tunai kepada penjual sesuai dengan kesepakatan antara
7
AP Parlindungan, Op. Cit, Hlm. 40
penjual dengan pembeli. Sehingga dapat dikatakan bahwa jual beli tanah menurut
hukum adat itu bersifat terang, nyata (konkrit) dan bersifat tunai (kontan).8
Boedi Harsono mengatakan bahwa, jual beli tanah itu adalah penyerahan hak
atas tanah yang dijual kepada pembeli yang pada saat yang sama membayar penuh
kepada penjual harga yang telah disetujui bersama, maka jual beli tanah menurut
hukum adat ini pengaturannya termasuk dalam hukum adat.9 Boedi Harsono
menyebutkan bahwa : sebelum berlakunya UUPA dikenal lembaga hukum jual beli
tanah. Ada yang diatur oleh KUH Perdata yang tertulis, dan ada yang diatur oleh
Jual beli tanah pada dasarnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah
kepada pihak lain yaitu dari penjual kepada pembeli dengan sejumlah pembayaran.
Menurut pasal 1457 KUH Perdata, pengertian jual beli yaitu suatu perjanjian dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu hak milik atas
tanah sesuatu barang dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.11
123/K/SIP/70, Jual beli tanah dilakukan menurut sistem hukum adat, yang dikenal
adanya sistem pemindahan hak yang kontan karena pendaftaran hanya merupakan
tindakan administrasi. Dengan demikian dalam hukum adat pemindahan hak atas
8
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1977), Hlm. 30
9
Boedi Harsono I, Op. Cit, Hlm. 29
10
Ibid, Hlm. 27
11
R. Subekti, I, Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet Boek), Jakarta,
Pradnya Paramita, 1996, Hlm. 366
tanah serentak terjadi begitu uang pembayarannya diserahkan pihak pembeli kepada
pihak penjual.12
Hal serupa juga dikemukakan oleh Boedi Harsono, bahwa “dalam hukum adat
jual beli tanah bukan perbuatan hukum yang merupakan apa yang disebut perjanjian
obligatoir. Jual beli tanah dalam hukum adat merupakan perbuatan hukum
pemindahan hak dengan pembayaran tunai, artinya harga yang disetujui bersama
ekonomi tanah semakin tinggi dan menyebabkan status hak atas tanah semakin
penting, sehingga pembuktian hak atas tanah tersebut juga semakin penting untuk
memberikan jaminan atas kepemilikan tanah dan memberikan kepastian hukum bagi
pemilik tanah yang bersangkutan.Pemilikan tanah dapat terjadi antara lain karena
perolehan tanah, baik karena pembukaan tanah pertama kali atau karena peralihan
hak.
Dalam peralihan hak atas tanah lebih sering dilakukan melalui jual beli.
Perkataan jual beli dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan dimana seseorang
melepaskan uang untuk medapatkan barang yang dikehendaki secara suka rela.
disebutkan bahwa jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana penjual mengikatkan
dirinya (artinya berjanji) untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan
12
AP Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, (Bandung, Alumni, 1973), Hlm 30
13
Boedi Harsono I, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok
Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, (Jakarta, Penerbit Djambatan, 2003), Edisi Revisi, Hlm 27
kepada pembeli yang mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual dengan
Disamping itu, lembaga hukum jual beli ada yang diatur dalam hukum adat.
Dalam hukum adat, hak milik dapat beralih maupun dialihkan. Jual beli tanah yang
mengakibatkan beralihnya hak milik atas tanah dari penjual kepada pembeli disebut
dengan istilah jual lepas. Selain jual lepas, dalam hukum adat dikenal juga jual gadai,
Dalam jual beli ada dua subjek yaitu penjual dan pembeli, yang masing-
masing mempunyai hak dan kewajiban, dalam beberapa hal merupakan pihak yang
berwajib dan dalam hal lain merupakan pihak yang berhak. Ini berhubungan dengan
Objek dari jual beli disini adalah hak atas tanah yang akan dijual. Dalam
praktek disebut jual beli tanah. Hak atas tanah yang dijual, bukan tanahnya. Memang
benar dengan tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah
menguasai dan mempergunakan tanah tersebut, tetapi yang dibeli (dijual) bukan
Dengan berubahnya status tanah adat yang semula bersifat komunal (hak
bersama) menjadi hak milik adat, maka hubungan antara masyarakat dengan tanah
tersebut lepas. Lepas artinya pemilik tanah telah bebas menentukan sendiri kegunaan
14
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet Boek)
15
Idris Zainal, Ketentuan Jual Beli Menurut Hukum Perdata, (Medan, Fakultas Hukum USU),
Hlm 36
16
Effendi Perangin-angin, Praktek Jual Beli Tanah, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1994),
Hlm 8
tanah tersebut. Namun Soepomo berpendapat bahwa hak milik atas tanah meliputi
kekuasaan untuk bertindak sebagai yang berhak sepenuhnya atas tanah, dengan
pengertian hak milik di atas bahwa meskipun pemilik tanah berkuasa penuh terhadap
tanahnya, namun masih terikat beberapa hak masyarakat seperti memberikan hak
Setiap hak milik selalu terkandung hak masyarakat sehingga tidak ada
UUPA. Dalam Pasal 20 ayat (1) UUPA menyebutkan : “Hak Milik adalah hak turun
temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan
mengingat ketentuan pasal 6 UUPA”. Dalam pasal tersebut telah mengandung makna
umum (fungsi sosial). Purnadi dan A Ridwan Hakim menyebutkan bahwa hak milik
adat adalah suatu hak atas sebidang tanah tertentu yang dipegang oleh perorangan
yang terletak dalam wilayah hak ulayat suatu masyarakat adat yang bersangkutan,
tanah dikuasai dengan hak milik dalam hukum adat dan beralih secara turun
temurun.18
Peraliahan hak atas tanah merupakan salah satu peristiwa atau perbuatan hukum yang
17
Soepomo, Hukum Perdata Jawa Barat, (Jakarta, Djambatan,1967), Hlm 123
18
Purnadi Purbacaraka dan A Ridwan Hakim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, (Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1993), Hlm 27
mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak
lainnya. Peralihan tersebut bisa disengaja oleh karena adanya perbuatan hukum
seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya, dan juga tidak disengaja karena
tunai/konkrit/terang/nyata artinya setiap hubungan harus terlihat nyata. Hal ini karena
masyarakat adat masih sangat sederhana, sehingga dalam transaksi jual beli tanah
tersebut baru mengikat apabila transaksi tersebut terlihat secara konkrit dan nyata
telah terjadi yaitu dibuktikan dengan adanya pertukaran, berupa penyerahan tanah
“terang” artinya bahwa pengalihan hak atas tanah menurut adat, harus dengan
dukungan (medewerking) Kepala Suku atau Kepala Desa agar perbuatan itu terang
dan sahnya (rechtsgeldigheid) ditanggung Kepala Suku atau Kepala Desa tersebut.
Kepala adat juga harus menjamin agar hak-hak ahli waris, para tetangga (buren recht)
dan hak sesama suku tidak dilanggar apabila tanah hak milik adat tersebut akan
dilepas atau dijual akad.19 Jadi secara keseluruhan transaksi-transaksi di atas tidak
akan dilakukan tanpa dukungan Kepala Suku atau Kepala Desa, bila dilakukan
perbuatan hukum tersebut tidak terang tidak sah dan tidak berlaku bagi pihak ketiga.
bagi pemegang hak milik atas tanah, maka berdasarkan pasal 19 ayat (1) UUPA yang
ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 ayat (1) UUPA
ditujukan kepada pemerintah sebagai suatu instruksi agar diadakan pendaftaran tanah
diseluruh Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat.
yang menentukan bahwa : sebelum dilakukan pendaftaran peralihan hak milik atas
tanah karena jual beli diperlukan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah
20
AP Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung, Mandar Maju, 1994), Hlm. 13
(PPAT) sebagai bukti dan syarat pendaftaran dan peralihan hak milik atas tanah
peralihan hak atas tanah harus dibuat akta oleh atau dihadapan PPAT. Hal ini
para pihak. Bila suatu perjanjian jual beli tidak dilakukan dihadapan PPAT, maka
perjanjian jual beli tersebut tetap sah bagi para pihak, namun bila tanpa akta jual beli,
tanah tersebut tidak dapat didaftarkan atau dibalik namakan atas nama pemilik yang
berfungsi untuk mengetahui status sebidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya,
pendaftaran tanah yang diperintahkan oleh pasal 19 UUPA, yaitu menjamin kepastian
hukum. Salah satu produk pendaftaran tanah adalah dengan diterbitkannya sertifikat
hak milik atas tanah,yang berfungsi agar pemegang hak dengan mudah membuktikan
nama yang tercantum dalam sertifikat sebagai pemegang hak yang bersangkutan.22
Sertifikat berdasarkan pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
21
Chadidjah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan Permasalahannya,
(Medan, FH USU Press, 2000), Hlm. 132
22
Urip Santoso, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta, Prenada Media Grup,
Jakarta, 2010), Hlm 273
merupakan tanda bukti yang kuat artinya selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya
maka data fisik dan data yuridis yang tercantum pada sertifikat harus diterima sebagai
pendaftaran tanah adalah pemerintah menjamin bahwa pemegang hak (subyek) benar-
dengan adanya pembukuan data yuridis dan data fisik bidang tanah yang diterima
sebagai data yang benar dan didukung dengan tersedianya peta hasil pengukuran
secara kadasteral, daftar umum bidang-bidang tanah yang terdaftar dan terpeliharanya
daftar umum tersebut dengan data yang mutaakhir serta kepada pemegang hak
diberikan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat yang lazim
Kepastian hukum yang menjadi tujuan dari pendaftaran tanah adalah kepastian
mengenai subyeknya, obyek dan haknya. Hak-hak atas tanah yang ada dalam UUPA
hingga saat ini yang dilakukan pendaftarannya adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha,
Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Wakaf. Disamping masih
23
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Penerbit
CV.Mandar Maju,2010), Hlm. 175
24
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, OP. Cit, Hlm. 176
ada hak-hak lainnya seperti Hak Milik Adat yang belum terdaftar tetapi tetap diakui
Sedangkan hak-hak yang dapat beralih dan dialihkan adalah hak-hak yang
bersifat privat, seperti Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak
Pakai, sementara Hak Pengelolaan dan Hak Wakaf yang bersifat publik tidak bisa
dialihkan.
Peralihan hak-hak atas tanah yang sudah terdaftar, harus dibuat dalam akta
yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997, sedangkan peralihan hak milik adat, juga dapat dibuat dengan akta
PPAT, sungguhpun dalam praktek peralihan hak atas tanah yang tidak terdaftar
1. Surat Bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) tentang
belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di
daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang
Tahun 1998 adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak milik atas tanah dan hak milik atas satuan
rumah susun.
diketahui dengan jelas telah terjadi peralihan haknya. Jadi jual beli hak milik atas
tanah harus dilakukan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah ( PPAT), hal demikian
sebagai bukti bahwa telah terjadi jual beli sesuatu hak atas tanah dan selanjutnya
(PPAT) membuat Akta Jual Belinya yang kemudian diikuti dengan pendaftarannya
pada Kantor Pertanahan setempat sesuai dengan lokasi tanah. Dengan terdaftarnya
peralihan hak (jual beli) tersebut, maka diperolehlah kepastian hukum bagi para
pihak, dan terjagalah kepentingan hukum para pihak dan masyarakat atas kepemilikan
tanahnya.
Bahwa hukum mempunyai tugas untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam
masyarakat.26 Untuk menjamin bahwa suatu jual beli itu sah, maka harus dilakukan
secara terang, suatu perbuatan hukum jual beli dilakukan secara terang, jika
25
Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, OP. Cit, Hlm. 496
26
CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta,
2002), Hlm. 44-45
sekaligus bertindak sebagai saksi dan menjamin sahnya perbuatan hukum jual beli
tersebut.
dalam tata cara jual beli tanah,bukan unsur subjektif atau objektif tetapi terlaksana
dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada kesepakatan (bulat mufakat) tunai dan
tidak tercela, yang dimaksud tidak tercela yaitu masyarakat lingkungannya tidak ada
yang mempersoalkan, tidak ada yang merasakan terjadinya perjanjian itu tidak baik.
Sebaliknya walaupun perjanjian itu dibuat dihadapan Kepala Desa jika masyarakat
mempersoalkan, menganggap hal itu tidak baik, maka perjanjian itu sebenarnya tidak
sah.27
Berdasarkan sistem dan tata cara jual beli menurut hukum adat dapat
disimpulkan bahwa syarat-syarat sahnya suatu perbuatan hukum jual beli tanah
menurut hukum adat yaitu adanya objek dari pada jual beli berupa tanah dan uang
atau harga, adanya kata sepakat para pihak yaitu pejual dan pembeli, dan adanya
Menurut Saleh Adiwinata mengatakan bahwa : bila kita perhatikan jual beli
menurut UUPA dengan membandingkan caranya dengan jual beli sesuai dengan
hukum adat sebelun berlaku UUPA, maka dari saat terjadinya persetujuan jual beli
sampai si pembeli menjadi pemilik hak atas tanah berbeda sekali, juga formalitas
27
Hilman Hadikusumah, Hukum Perjanjian Adat, Bandung, (Alumni, 1982), Hlm. 129
lainnya lebih mirip kepada jual beli tanah eigendom dulu dari pada jual beli tanah
hanya dilakukan dihadapan Kepala Desa, maka menurut Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 10 Tahun 1961, sebagaimana juga menurut Pasal 37 ayat (2) Peraturan
mendaftarkan pemindahan hak atas sebidang tanah hak milik, yang dilakukan
diantara perorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan akta yang tidak
bahwa : “dalam memenuhi kebutuhan masyarakat modern yang terbuka, lembaga jual
sebagai perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya
secara tunai, serta sifatnya dan cirinya sebagai perbuatan yang riil dan terang”.30
Mengenai hubungan jual beli dalam UUPA dengan hukum adat, Harun Al-
Rasyid mengatakan bahwa : “jual beli dalam UUPA adalah jual beli yang sesuai
dengn hukum adat yaitu dibayar tunai, karena tanpa dilakukan pembayaran tersebut,
maka tidak akan terjadi jual beli dihadapan PPAT dan tidak akan memperoleh akta
28
Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA, (Bandung, Alumni, 1976), Hlm. 36
29
Boedi Harsono I, Op. Cit, Hlm. 539
30
Ibid, Hlm. 208
jual beli dari PPAT yang berarti tidak adanya pemindahan hak atas tanah secara
mengatakan bahwa : “ tidak mungkin hak itu kita anggap berpindah ke pembeli pada
waktu akta dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Peralihan haknya
hanya masih disetujui oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk juga setelah pembeli
mendapat izin, hak atas tanah dapat dianggap telah beralih,namun peralihannya itu
berpendapat bahwa : “dilihat dari sistem pemindahan hak dalam UUPA, saat lahir hak
wilayah Provinsi Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Provinsi Nangroe
Aceh Darussalam yaitu kabupaten Aceh Singkil dan Pemerintah Kota Subulussalam.
Di Kabupaten Pakpak Bharat tersebut telah terjadi perkembangan yang sangat pesat,
seperti pembangunan Bank, swalayan, dealer kenderaan bermotor roda dua, dan lain
masyarakat yang melakukan peralihan hak milik atas tanah melalui jual beli dengan
31
Harun Al Rasyid, Sekitar Tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-peraturannya),
(Jakarta, Ghalia Indonesia,, 1987), Hlm. 36
32
Saleh Adiwinata, Loc. Cit, Hlm. 36
33
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-bab Tentang Hipotik, (Bandung, Alumni, 1980), Hlm. 41
menghadap langsung kepada Kepala Desa saja, karena dianggap tahu tentang hukum
untuk menyatakan jual beli tersebut atau jual beli dibawah tangan.
Tata cara transaksi jual beli tanah yang dilakukan di Kecamatan Salak sesuai
dengan ketentuan hukum adat yaitu pihak penjual dan pihak pembeli sepakat terhadap
harga jual beli tanah dan mereka menghadap Kepala Desa untuk jual beli tersebut.
Sebagai tanda telah terjadi jual beli tanah, maka dibuatlah Surat Jual Beli dalam
bentuk segel yang dibuat oleh pihak penjual, ditandatangani oleh pihak penjual, pihak
pembeli, dua orang saksi, dan diketahui oleh Kepala Desa dimana tanah tersebut
berada.
pengembangan penelitian lebih jauh akan hal tersebut dan menuliskan hasilnya dalam
bentuk karya tulis ilmiah dengan judul : “Tinjauan Yuridis Peralihan Hak Milik Yang
B. Perumusan Masalah
permasalahan yang akan dikaji lebih lanjut antara lain sebagai berikut :
1. Bagaimana status tanah yang belum terdaftar sebagai objek jual beli di
Kecamatan Salak?
2. Bagaimana kekuatan hukum jual beli tanah yang belum terdaftar yang
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui status tanah yang belum terdaftar sebagai objek jual
2. Untuk mengetahui ketentuan hukum jual beli tanah yang belum terdaftar
Bharat.
D. Manfaat Penelitian
teoritis maupun secara praktis seperti yang akan dijabarkan lebih lanjut sebagai
berikut :
1. Secara Teoritis
serta saran dalam ilmu pengetahuan dibidang hukum pada umumnya yang
peralihan hak milik atas tanah yang belum terdaftar melalui jual beli tersebut,
berwenang.
2. Secara Praktis
kepada masyarakat dalam rangka pelaksanaan jual beli tanah yang belum
atau konflik dalam pelaksanaan pemindahan hak atas tanah dalam jual beli
tanah sesuai dengan prosedur yang benar menurut hukum dan mempunyai
kepastian hukum.
E. Keaslian Penelitian
penulis lakukan telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai peralihan hak
milik atas tanah, namun sejauh ini berdasarkan informasi dan penelusuran
dan Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum ada penelitian
sebelumnya dengan judul : “Tinjauan Yuridis Peralihan Hak Milik Adat Pakpak Yang
Belum Terdaftar Melalui Jual Beli Di Kecamatan Salak”. Sehingga tesis ini dapat
mengangkat masalah jual beli tanah namun permasalahan dan bidang kajiannya
sangat berbeda :
a. Nama : Husna
NIM : 002111020
Judul Tesis : Analisis Hukum Terhadap Sengketa Akibat Peralihan Hak Atas
Tanah (Studi Mengenai Akta Yang Dibuat PPAT Di Kota Banda Aceh).
NIM : 047011052
Judul Tesis : Pelaksanaan Peralihan Hak Atas Tanah Lahan Kelapa Sawit
Pada Perkebunan Inti Rakyat Cot Girek Kabupaten Aceh Utara (Periode
Tahun 1990-2006).
1. Kerangka Teori
menjadi syarat penting, dalam hal ini Teori adalah untuk menerangkan dan
terjadi atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan
Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis
34
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Universitas Indonesia
Press,Jakarta,1986), Hlm.122
35
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (PT. Sofmedia, Medan, 2012), Hlm. 80
butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan (problem)
yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin
disetujui atau tidak disetujuinya, yang dijadikan masukan eksternal dalam membuat
Bagi suatu penelitian, teori merupakan alat dari ilmu (tool of science), dilain
pihak teori juga merupakan alat penolong teori, sebagai alat dari ilmu teori
dihubung-hubungkan;
36
Ibid, Hlm. 127
37
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988), Hlm. 22
Dalam penulisan tesis ini, teori yang dipakai adalah menggunakan teori
Kepastian Hukum yang oleh Roscue Pound mengatakan bahwa adanya kepastian
hukum mengandung dua pengertian yaitu : pertama adanya aturan yang bersifat
umum membuat indivividu mengetahui apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap
individu.39
hukum masyarakat tidak mengetahui apa yang akan diperbuatnya sehingga akhirnya
timbul keresahan dalam masyarakat, tetapi jika terlalu menitik beratkan pada
kepastian hukum dan terlalu ketat mentaati peraturan hukum maka akibatnya akan
kaku serta menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya tetap
seperti demikian, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan. Undang-undang itu sering
terasa kejam apabila dilaksanakan secara ketat (lex dura seatamen scripta) yaitu
38
Pieter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Penerbit Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, 2009), Hlm. 158
39
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Kencana Pranada Media, Jakarta, 2008),
Hlm. 158
40
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Liberty,Yogyakarta, 1999),
Hlm. 136
Hukum itu sendiri memiliki tujuan untuk mencari keadilan, kepastian hukum
dan ketertiban.41 Sedangkan menurut ajaran Dogmatis tujuan hukum tidak lain dari
sekedar menjamin kepastian hukum, yang diwujudkan oleh hukum dengan sifatnya
Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arah serta
menjelaskan gejala yang diamati, karenanya penelitian ini diarahkan pada ilmu
hukum neo pasitif yang berlaku yaitu tentang adanya hukum tanah dan transaksi
2. Konsepsi
Perlu diketahui bahwa konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori,
Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori, konsepsi diterjemahkan
sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang
41
Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum Studi
Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, (Yogyakarta, 2006), Hlm. 6
42
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, (Jakarta, Institut Bankir Indonesia, 1977),
Hlm.10
43
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, (Disertasi, PPs-USU, Medan, 2002), Hlm. 35
Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini harus
1. Tanah adalah bagian permukaan bumi yang merupakan suatu bidang yang
terbatas.
2. Hak Atas Tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang
tersebut.
peruntukan atas tanah yang dilakukan dengan jual beli, tukar menukar, hibah,
Dari berbagai bentuk peralihan hak atas tanah yang disebut di atas maka yang
menjadi pokok bahasan tesis ini adalah peralihan hak atas tanah melalui jual
beli.
5. Tanah Yang Belum Terdaftar adalah tanah yang sama sekali belum pernah
pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data
yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan
satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda bukti
haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas
satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya. (Pasal 1 ayat
pemegang hak dan kepastian hukum objek hak (letak, batas-batas dan luas
bidang tanah).
persekutuan sebagai ketua sebagai keluarga besar, dia adalah pemimpin dalam
pergaulan persekutuan.45
G. Metode Penelitian
metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu
45
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta,Pradyna Paramita, 1979), Hlm. 45
Jenis Penelitian Hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini bersifat deskriptif analisis
yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan tentang fakta dan kondisi serta
gejala yang terjadi dilapangan. Yaitu suatu penulisan yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala
peraturan pertanahan yang berlaku.47 Selanjutnya dilakukan analisis kritis dalam arti
memberikan penjelasan-penjelasan terhadap fakta dan gejala yang terjadi baik dalam
2. Sumber Data
Untuk memperoleh data yang akurat dan objektif, maka dalam penelitian ini
dilakukan dua cara pengumpulan data yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum
skunder serta bahan hukum tertier. Bahan hukum tersebut dapat diperoleh melalui :
1. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri
dari
46
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Cetakan ke 3, UI Press, Jakarta, 1984),
Hlm. 43
47
Soerjono Soekanto, Op. Cit, Hlm. 10
48
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988),Hlm. 64
pokok Agraria.
Tanah (PPAT).
2. Bahan HukumSekunder yaitu : buku, makalah, dan artikel dari internet yang
berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum sekunder diperoleh melalui buku-
buku yang berkaitan dengan judul tulisan, artikel, makalah, surat kabar dan
informasi dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
materi yang menjadi objek penelitian antara lain instansi terkait dengan
4. Analisis Data
pola, kategari, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat
mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari lapangan menurut kualitas
49
Lexy J Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, Remaja Rosda Karya, 1994),
Hlm. 103
metode deduktif yaitu dari hal yang bersifat umum menuju hal yang bersifat khusus.50
50
Rony Hanitiji Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan jurimetri, (Jakarta, Ghalia
Indonesia,1998), Hlm 57
BAB II
pada ketinggian 250-1400 M di atas permukaan laut. Kabupaten Pakpak Bharat juga
Kabupaten Dairi.
mengambil 3 (tiga) kecamatan dari Kabupaten Dairi mengambil sub wilayah suku
Urang Jehe, Kecamatan Tinada, Kecamatan Siempat Rube, Kecamatan Sitellu Tali
32
Luas wilayah Kabupaten Pakpak Bharat sekitar 1.218,30 KM2 (121.830 Ha)
atau 1,76% dari luas Provinsi Sumatera Utara. Dari luas wilayah tersebut 63.974 Ha
diantaranya merupakan lahan yang efektif dan 53.156 Ha merupakan lahan yang
belum dioptimalkan yang beriklim sedang, dengan rata-rata suhu 280C dengan curah
umumnya mereka tinggal di daerah pedesaan dan mata pencaharian utamanya adalah
dengan bertani, dan merupakan Kabupaten yang memiliki penduduk paling sedikit
Kabupaten Tapanuli Utara setelah melarikan diri dari Salak. Pada tahun itu juga
terbuka hubungan jalan bagi pedagang-pedagang ke Salak, mereka ada yang datang
dari Barus (Kabupaten Tapanuli Tengah) dan dari Singkil (Aceh) untuk membeli
Bentuk pemerintahan pada waktu itu adalah Onder Districk atau disebut
Onder Districk Simsim dan berkedudukan di Salak dan terbagi atas beberapa
51
Hasil Wawancara dengan Bapak Akhyar M. Siagian, S.Sos, Kepala Seksi Tata
Pemerintahan Kecamatan Salak, (Salak, 7 Nopember 2016)
kenegerian yang dipimpin Kepala Negeri. Pada tahun 1945 bentuk pemerintahan
diganti menjadi urung kecil yang terdiri atas Ketua, Sekretaris, Bendahara dan
Anggota. Pada saat itu namanya adalah Komite Nasional Urung Kecil Simsim dan
berkedudukan di Salak.
Pada tahun 1947 bentuk pemerintahan berubah lagi menjadi kewedanan yakni
Kewedanan Simsim. Kewedanan Simsim terdiri dari atas 2 Asisten Kewedanan yaitu
Kerajaan dan Salak. Hingga tahun 1979 bentuk Pemerintahan Kewedanan diubah
Pada tahun 2003 Kabupaten Dairi dimekarkan menjadi dua Kabupaten yaitu
Kabupaten Pakpak Bharat sebagai hasil pemekaran terdiri dari tiga Kecamatan yaitu
Kecamatan Salak, Kecamatan Kerajaan dan Kecamatan Sitellu Tali Urang Jehe.
empat Kecamatan yaitu Kecamatan Salak, Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu,
Pakpak Bharat yang terletak antara 20 LU 980 BT, mempunyai luas wilayah sekitar
c. Sebelah Timur : Kecamatan Sitellu Tali Urang Julu dan Kecamatan Siempat
Rube.
Pada umumnya Kecamatan Salak berada pada ketinggian rata-rata antara 700-
1.200 meter di atas permukaan laut. Dilihat dari kemiringan Lerengnya, Kecamatan
Salak memiliki keadaan lereng yang bervariasi yaitu mulai dari datar, berombak,
bergelombang, curam hingga terjal. Wilayah yang memiliki kemiringan lereng datar
sekitar 15% (38,83 Ha), berombak sekitar 8% (19,68 Ha), bergelombang sekitar 52%
bermacam-macam jenis tanah. Jenis tanah yang ada umumnya merupakan jenis tanah
Liparit yang merupakan hasil peletusan Gunung Toba. Jenis tanah lainnya yaitu :
Permo Karbon, Palaegon, Gabro Diabase, Sepentin dan jenis tanah Juva. Tanah jenis
ini sesuai untuk komoditi perkebunan seperti gambir, jeruk, kopi, dan tanaman
perkebunan lainnya.
Kecamatan Salak sebagian besar terdiri atas wilayah dengan tofografi yang
oleh karena itu Kecamatan Salak beriklim tropis. Kecamatan Salak juga memiliki
udara sejuk yang dipengaruhi oleh iklim pegunungan. Suhu udara rata-rata berkisar
antara 180 sampai 280 C. Kelembaban udara relatif rata-rata berkisar antara 86%-
92%.
Kecamatan Salak memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim
kemarau. Musim hujan biasanya terjadi pada bulan September hingga Desember,
sedangkan musim kemarau biasanya terjadi pada bulan Mei hingga Juli. Rata-rata
curah hujan pertahun adalah sekitar 3.161 mm atau rata-rata sekitar 19,27 mm tiap
bulannya.
Sungai atau disebut Lae yang mengalir di Kecamatan Salak antara lain : Lae
Ordi, Lae Sibintoha, Lae Sikesuk, Lae Serdang, Lae Silimbatu dan Lae Sigarap.
Gunung atau disebut Delleng yang ada di Kecamatan Salak antara lain : Delleng
Raja, Delleng Sibarteng, Delleng Sindeka, dan gunung lainnya. Jumlah penduduk
Kecamatan Salakper 31 Mei 2016 adalah sebanyak 10.140 jiwa yang terdiri dari laki-
dilakukan di daerah Kabupaten Pakpak Bharat, hal ini jelas terlihat di ibukota
Kabupaten Pakpak Bharat yaitu Kota Salak, dan kebutuhan akan tanah di daerah ini
pemerintahan yang berasal dari luar daerah Kabupaten Pakpak Bharat dan
kebanyakan mereka berdomisili di Kota Salak, selain faktor itu juga banyak dari
pihak luar daerah Kabupaten Pakpak Bharat yang sengaja datang ke daerah ini untuk
berusaha dan membangun sarana dan prasarana yang turut membantu perkembangan
daerah ini misalnya : Bank, Perkantoran, Hotel, Rumah Makan, dan sebagainya. Oleh
karena pembangunan inilah praktek jual beli tanah (pelepasan hak) banyak terjadi
terutama di Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat yaitu mencakup Desa Salak I
dan Desa Salak II. Menurut keterangan Kepala Desa Salak sampai tahun 2016 sudah
banyak terjadi jual beli tanah (pelepasan hak) sedangkan di Desa Salak I dan Desa
Menurut Bapak Ishak Simon Maibang, S.Sos, Camat Salak yang berdasarkan
Surat Keputusan BPN Propinsi Sumatera Utara tanggal 3 Juli 2013 nomor
(PPAT) Sementara daerah kerja Kecamatan Salak dan berkantor di Jalan Sikadang
Njandi, Salak Kabupaten Pakpak Bharat. Sejak bertugas menjadi PPAT Sementara di
Kecamatan Salak mulai tahun 2013 sampai 2016 ada 36 Akta Jual Beli yang
dikeluarkan oleh Bapak Camat Salak sebagai PPAT Sementara tetapi tidak sampai
Tabel 1 : Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT Sementara (Camat)
52
Wawancara Kepala Desa Salak I Bapak Drs. Ramly Boangmanalu (12 Oktober 2016)
53
Wawancara dengan Bapak Ishak Simon Maibang, S.Sos yaitu Bapak Camat Salak (Kamis,
15 Desember 2016)
Sedangkan di desa lain yang ada di Kecamatan Salak jarang sekali dilakukan
praktek jual beli tanah tanpa sertifikat ini dikarenakan jaraknya yang jauh dari pusat
kota salak dan susahnya transportasi sehingga tidak banyak yang berminat. Oleh
karena itu untuk sampel penelitian ini hanya dilakukan di dua desa tersebut yaitu
adalah Ibukota Kabupaten Pakpak Bharat Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 6
berikut: Desa Salak I, Desa Salak II, Desa Boangmanalu, Desa Binanga Boang, Desa
Dari ke enam desa ini yang paling banyak melakukan praktek jual beli tanah
tanpa sertifikat yaitu Desa Salak I dan Desa Salak II atau dalam pelaksanaannya di
daerah ini lebih sering disebut dengan Pelepasan Hak.54 Sebab di kedua desa ini
merupakan jantung Kota Salak dan pembangunannya sangat persat sekali. Adapun
luas wilayah kota ini seluas 730 Ha (tujuh ratus tiga puluh hektar) kepadatan
penduduk yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Desa Salak I dan Desa Salak II
54
Wawancara Kepala Desa Salak I dan Kepala Desa Salak II N. Br Padang (12 Oktober 2016)
Tabel 2 : Dusun yang ada di Desa Salak I dan Desa Salak II Kecamatan
Salak
No Desa Salak I Desa Salak II
dimanfaatkan secara maksimal terbukti masih banyak tanah yang menjadi lahan tidur
dan ditumbuhi semak belukar dan tanah yang bergunung terjal yang merupakan tanah
Suku (marga) di Pakpak Bharat terdiri atas 5 (lima) suku yaitu Pakpak
Simsim, Pakpak Keppas, Pakpak Pegagan, Pakpak Boang dan Pakpak Kelasen,
Mungkur
Sambo
Sumber : Hasil Wawancara dengan Kepala Adat Marga Banurea yaitu Bapak M.
Di bawah suak terdapat kuta (kampung) yang dipimpin oleh Pertaki atau
Kappung (kepala Kampung). Pada umumnya pertaki atau kappung (kepala kampung)
juga merupakan raja adat sekaligus sebagai panutan di kampungnya, di samping itu
Pertaki atau Kappung (kepala Kampung) mempunyai tugas dan wewenang yang
disiplin. Disetiap kuta ada Sulang Silima sebagai pembantu pertaki yang terdiri dari
(anak paling kecil), perpunya ndiadep (anak perempuan) dan perbetekken teman satu
marga).
Meski struktur pemerintahan seperti ini sudah tidak dipakai lagi karena
Undang Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pemerintahan Desa, yang sudah mengatur
secara tegas mengenai desa, kelurahan, dusun dan lingkungan dan semuanya tidak
berdasarkan hukum adat pakpak, tetapi dalam masyarakat masih tetap dipertahankan
(Sembilan puluh persen) penduduk di wilayah Pakpak Bharat beretnis Pakpak, maka
administratif, tetapi secara geografi tidak terpisah satu sama lain karena berbatasan
kecuali Kabupaten Pakpak Bharat menjadi sentra utama masyarakat suku pakpak.
Kesatuan komunitas terkecil yang umum dikenal hingga saat ini disebut
Lebbuh dan Kuta. Lebbuh merupakan bagian dari Kuta yang dihuni oleh klan kecil,
sementara kuta adalah gabungan dari lebbuh-lebbuh yang dihuni oleh suatu klan
besar (marga) tertentu. Jadi setiap Lebbuh dan Kuta dimiliki oleh klan atau marga
tertentu dan dianggap sebagai penduduk asli, sementara marga tertentu dikategorikan
sebagai pendatang. Selain itu orang pakpak menganut Prinsip Patrilineal dalam sistem
garis keturunan (kelompok kekerabatan atau menurut garis ayah) yang disebut marga.
Kota Salak yang dulunya saat masih menjadi bagian dari Kabupaten Dairi
hanyalah sebuah desa kecil yang mana tanahnya merupakan hak ulayat dari marga
Banurea. Setelah Pakpak Bharat memisahkan diri dari Kabupaten Dairi maka Desa
Salak ini yang sangat mempunyai potensi sebagai Ibukota Kabupaten Pakpak Bharat.
Kota Salak sekarang bukanlah seperti pada saat menjadi desa dan luas wilayahnya
pun bertambah yang dulunya hanya dimiliki oleh tanah ulayat marga Banurea tetapi
juga ada tanah ulayat marga Boangmanalu dan marga Bancin. Meskipun demikian
80% dari luas Kota Salak sekarang adalah tanah marga Banurea berada di Desa Salak
I dan Desa Salak II, oleh karena itu praktek Jual Beli atau Peralihan Hak atas tanah
kota.
Jadi dapat dilihat bahwa seluruh suku Pakpak di Kabupaten Pakpak Bharat
sendiri yang dipimpin oleh Pertaki atau Kappung ( Kepala Desa) dan memiliki hak
masyarakat hukum adat yang para anggotanya merasa bersatu dan oleh sebab itu
adanya ikatan para mereka masing-masing dengan tanah tempat tinggal mereka.
hukum adat yang strukturnya bersifat territorial adalah ikatan orang dan anggota
bentuk marga dengan adanya keterikatan dengan tanah tempat tinggal mereka sejak
tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat hukum adat Pakpak sebagai
masyarakat hukum adat yang bersifat geneologis yang masih memperdulikan hak-
hak atas pemerintahan adat dalam kehidupan sehari-hari dan masih mempertahankan
nilai-nilai leluhur.
Lembaga adat dalam Suku Pakpak Bharat dipimpim oleh Kepala Adat,
Pengertian Kepala Adat Menurut Soepomo, adalah bapak masyarakat, dia mengetuai
persekutuan sebagai ketua suatu keluarga besar, dia adalah pemimpin pergaulan
hidup hukum di dalam persekutuan, menjaga supaya hukum dapat berjalan dengan
55
Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, (Bandung, Bina Cipta,
1988), Hlm 33
56
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta, Pradnya Paramita, 1979), Hlm 45
tidak ada satu lapangan pergaulan hidup di dalam persekutuan yang tertutup bagi
Kepala Adat untuk ikut campur bilamana diperlukan untuk memelihara ketentraman,
mestinya.
Kepala Adat dalam segala tindakannya dan dalam memegang adat selalu
pimpinan dan pengawasan Kepala Adat yang sangat penting adalah pekerjaan di
lapangan atau sebagai hakim perdamaian desa. Apabila ada perselisihan atau
suasana desa serta memulihkan hukum. Dalam masyarakat adat Pakpak yang masih
sangat dipengaruhi oleh hukum adat, Kepala Adat sebagai pimpinan dari suatu
Lebbuh atau Kuta dari marga-marga yang ada di Pakpak Bharat mempunyai peranan
57
Ibid, Hlm 66
yang sangat penting dalam melaksanakan aturan-aturan adat yang ada pada
Dulunya Kepala Adat di Pakpak Bharat disebut dengan Pertaki dan Kappung
(Kepala Kampung) dialah yang menjadi pimpinan dan penanggungjawab dari suatu
lebbuh atau kuta dengan Sulang Silima sebagai pelaksana tugasnya. Seiring
menghilang keberadaannya dan Sulang Silima yang dianggap sebagai Ketua Adatnya.
Lambat laut Sulang Silima yang tadinya terdiri dari 5 (lima) unsur yaitu : Perisang-
isang (anak paling besar), perekur-ekur(anak paling bungsu), pertulang tengah (anak
tengah), perpunya ndiadep (anak boru) dan perbetekken (teman satu marga) juga
Sulang Silima yang menjadi penentu dan pembuat keputusan dan sumber dari
segala sumber hukum adat Pakpak yang menyangkut hukum pertanahan, hukum
masyarakat Pakpak, dimana dalam pelaksanaannya diluar dari kelima unsur yang ada
dalam Sulang Silima diangkatlah satu orang dengan marga yang sama sebagai Kepala
Adat. Fungsi Kepala Adat hanyalah sebagai perantara masyarakat dengan kelima
unsur Sulang Silima. Kepala Adat disini tidak berhak untuk mengambil keputusan
dalam pelaksanaan adat, Kepala Adat ini hanya berfungsi dengan baik pada saat acara
adat saja, sedang peranan dari Sulang Silima sama dengan peranan Pertaki atau
Kappung (Kepala Kampung) sebelumnya. Kelima unsur yang ada dalam Sulang
Silima bukan satu ketetapan yang mana isi dari kelima unsur tersebut masih
Sulang Silima yang sekarang dikenal di Pakpak Bharat dan masih dianggap
keberadaannya adalah Lembaga Adat Sulang Silima yang dibentuk dan anggotanya
dipilih sendiri oleh para marganya. Walaupun Sulang Silima ini menjadi satu
kesatuan, tetapi di dalam pembentukannya juga masih berdasarkan kelima unsur yang
diharuskan tetapi sudah menjadi satu kesatuan bukan lagi berdasarkan keturunan
Adapun peranan Sulang Silima pada saat ini sangat terlihat dalam usaha untuk
sendiri Sulang Silima merupakan lembaga adat tertinggi, bilamana ada perubahan-
diserahkan kepada Sulang Silima sebagai Lembaga Adat Tertinggi suku Pakpak di
1. Hak Ulayat, yaitu hak atas tanah yang dipegang oleh seluruh anggota
58
Purnadi Purbacaraka, Ridwan Halim, Sendi-Sendi Hukum Agraria, (Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1993), Hlm 25
atau bersama. Adapun hak anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang
a. Hak meramu atau mengumpulkan hasil hutan yang ada diwilayahnya atau
sebagian dari objek penguasaan hak ulayat tersebut secara tertentu agar
Hak Milik Atas Tanah Adat adalah suatu hak atas tanah yang dipegang oleh
adat yang bersangkutan. Hak Pakai Adat Atas Tanah adalah suatu hak atas
tanah menurut hukum adat yang telah diberikan kepada seseorang tertentu
dipakai dalam hukum adat dengan dasar hak pakai, dan biasanya terhadap
tanah sawah dan ladang. Disini dibatasi hak untuk menarik keuntungan dari
hidup keluarga dan diri sendiri, jadi hak yang melampaui batas terhadap tanah
perdagangan.
a. Hak Milik Adat (inland bezitrecht) adalah hak perorangan atas tanah,
walaupun telah kokoh dan sempurna namun dapat dibatalkan kembali bila
bekas atau tanda-tanda itu kembali menjadi belukar. Kedua, Tidak ada
persekutuan hukum.
saja, sedangkan kekuasaan atas tanah yang berada pada persekutuan, hak
c. Hak Menarik Hasil adalah suatu hak yang diperbuat dengan suatu
sebidang tanah untuk satu atau dua kali panen. Hak menarik hasil juga
dapat diperoleh hak milik atas tanah tersebut. Kedua, Habis Waktunya,
Dari penjelasan di atas jelaslah bagi kita bahwa jenis-jenis hak atas tanah adat
didasarkan kepada hubungan antara anggota persekutuan dengan tanah dan hubungan
itu tidak terlepas dari pengawasan persekutuan atau masyarakat hukum adat.
bahwa status tanah yang ada di Pakpak Bharat merupakan tanah dalam status tanah
adat, sebagian besar dari bidang tanah tersebut masih bersifat pemilikan bersama
(komunal) yang disebut tanah marga, tanah marga yang dimiliki secara bersama-sama
terdapat sekitar 80% (delapan puluh persen) dari kepemilikan tanah yang ada di
Kabupaten Pakpak Bharat sisanya sekitar 20% (dua puluh persen) adalah tanah milik
adat yang masih dimiliki satu keluarga, tanah ini masuk kedalam tanah warisan
keluargan dan masih dalam sistem kekeluargaan yang sangat erat, maka
pembagiannya tidak dilakukan secara jelas hanya secara lisan saja. Luas tanah adat
yang ada di Kabupaten Pakpak Bharat seluas 35.670 hektar yang dikuasai oleh marga
pakpak yaitu : marga Berutu, marga Bancin, marga Padang, marga Solin, marga
Sinamo, marga Manik, marga Cibro, marga Banurea, marga Boangmanalu, marga
Lembeng, marga Sitakar, marga Kabeaken, marga Tinendung, marga Munthe, marga
Tanah Adat adalah satu kesatuan dengan kehidupan masyarakat pakpak atau
tanah menentukan hidup matinya masyarakat tersebut. Tanah dikuasai oleh marga
berikut :
tidak pernah dikunjungi orang), Tanah “Kayu Ntua” (tanah yang luas penuh
dengan pohon-pohon tua yang besar), Tanah “Talin Tua” (tanah pekuburan untuk
selama-lamanya), Tanah “Balik Batang” (tanah bekas ladang yang tidak diusahai
lagi) dan Rambah Keddep (Jempalan) (lapangan yang luas dan subur tempat
kerbau makan).
subur yang tidak diketahui siapa pemilik tanah tersebut dan boleh digarap).
d. Tanah Sembahen adalah tanah yang dijadikan tempat untuk melakukan ritual
khusus menyembah nenek moyang yang mempunyai sifat magis (keramat), pada
saat ini tanah tersebut sudah tidak dipergunakan lagi dan dijadikan tempat untuk
berladang.
e. Tanah Persediaan adalah tanah cadangan dimana tanah ini tetap hak marga,
tanah yang dijaga oleh Permangmang (orang yang sangat dihormati) dan tidak
boleh diganggu.
Dalam hal pengalihan tanah adat atau pergeseran tanah tidak ada dalam hukum
adat Pakpak, kecuali tanah Rading Berru (tanah yang diberikan kepada anak
perempuan atau menantu sepanjang masih dipakai) dan apabila tidak dipakai lagi
harus dikembalikan kepada Sulang Silima tetapi dengan persyaratan bahwa anak
laki-laki dari pihak berru tersebut harus mengambil anak perempuan (berru) dari
dengan pesat serta kebutuhan akan tanah dan kepentingan akan uang pengalihan
tanah atau pergeseran tanah yang dikatakan tidak ada tersebut dapat dikesampingkan
asal sesuai dengan tata cara adat dan telah mendapat izin dari Sulang Silima, disinilah
undang pertanahan yaitu hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum barat (BW)
dan yang tunduk kepada hukum adat. Tanah-tanah yang tunduk kepada hukum adat
tersebut menurut ketetapan Domein Verklaring masih tergolong kepada tanah milik
negara yang tidak bebas. Ketentuan mengenai tanah tersebut dicantumkan dalam
suatu undang-undang yang disebut dengan Agrarischewet dengan Stb. 1870 No. 55
59
Hasil Wawancara dengan Bapak A Boangmanalu, Sukutt Nitalun (Selasa, 6 Desember
2016)
60
M. Banurea, Wawancara dengan Kepala Adat Banurea, (Salak, 15 Nopember 2016)
tanah yang tidak dapat dibuktikan ada hak eigendom di atasnya, maka tanah tersebut
merupakan domein negara (milik negara), sementara tanah yang dikuasai oleh rakyat
pribumi (tanah adat) tidak pernah mendapat hak eigendom yang sah. Sesuai dengan
asas domein negara tersebut, maka keadaan tanah di Indonesia saat itu dikenal dengan
tanah domein negara yang bebas atau tanah domein negara yang tidak bebas. Adapun
b. Tanah Domein Negara Yang Tidak Bebas, yaitu tanah-tanah yang tidak
dikuasai langsung oleh Pemerintah Belanda, tetapi dipakai dengan sesuatu hak
yang diberikan pemerintah dengan suatu perjanjian atau peraturan akan tetapi
masih dianggap milik Belanda, seperti tanah yang didiami oleh penduduk
Dilihat dari pembagian tanah tersebut di atas, maka jelaslah bahwa kedudukan
tanah adat termasuk dalam domein negara yang dalam arti tidak tunduk kepada
hukum adat. Pernyataan domein tersebut menegaskan bahwa tanah negara ialah
semua tanah yang seseorang itu tidak dapat membuktikan bahwa tanah tersebut
adalah hak miliknya, sebaliknya tanah adat itu adalah tanah yang tidak tunduk kepada
aturan-aturan eigendom (hak milik) atau tanah adat adalah tanah yang tidak dimiliki
mempergunakan hukum adat sepanjang hukum adat itu tidak bertentangan dengan
Dengan demikian dualisme dalam hukum pertanahan yang kita kenal pada
zaman Hindia Belanda tersebut tidak sama derajatnya dan yang lebih diakui adalah
hak eigendom. Hal tersebut terbukti dari pernyataan politik yang tertuang dalam
pernyataan tersebut yaitu bahwa segala tanah yang tidak dibuktikan dengan sesuatu
Jual beli tanah sebagai suatu lembaga hukum tidak secara tegas dan terperinci
diatur dalam UUPA, bahkan sampai sekarang belum ada peraturan yang mengatur
khusus mengenai pelaksanaan jual beli tanah. Menurut Hukum Adat, Jual Beli Tanah
adalah suatu pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang
artinya perbuatan pemindahan hak tersebut harus dilakukan dihadapan Kepala Adat,
yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan
pemindahan hak tersebut sehingga perbuatan tersebut diketahui oleh umum. Tunai
Dalam hukum adat, jual beli tanah dimasukkan ke dalam hukum benda,
khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah, tidak dalam hukum perikatan
1. Jual beli tanah menurut hukum adat bukan merupakan suatu perjanjian
sehingga tidak mewajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut.
2. Jual beli tanah menurut hukum adat menimbulkan hak dan kewajiban yang
ada hanya pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi apabila pembeli
baru membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka
penjual tidak dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tersebut.61
memindahkan hak milik untuk selama-lamanya disebut Jual Lepas. Jual Lepas adalah
perbuatan penyerahan dengan demikian tidak sama dengan levering menurut hukum
barat, karena pemindahan hak miliknya dilakukan secara tunai, oleh karena hukum
adat tidak memisahkan pengertian jual dengan penyerahan sebagaimana hukum barat,
sehingga dikatakan jual lepas dikarenakan tanah itu diserahkan untuk selama-
lamanya.
tanah tidak semudah transaksi barang lainnya, dimana dalam hukum adat melakukan
transaksi tanah kepada orang lain merupakan suatu perbuatan yang paling pantang
Kemungkinan akan batalnya jual lepas atas tanah dikarenakan masih kuatnya
lembaga hak terdahulu yaitu “hak kerabat” atau “hak tetangga”, adanya larangan
menjual hak milik tanah kepada bukan anggota kerabat atau kepada orang asing yang
61
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, (Rajawali, 1983) Hlm 221
bukan warga adat yang bersangkutan. Di lingkungan persekutuan hukum adat dimana
hak terdahulu, hak kerabat atau hak tetangga masih kuat, perjanjian jual lepas yang
dilakukan oleh anggota persekutuan dengan orang diluar persekutuan dapat
dibatalkan oleh Ketua Adat. Begitu pula dengan perjanjian yang terjadi antara
anggota kerabat dengan bukan anggota kerabat dapat berakibat dibatalkannya
perjanjian itu oleh para pemuka adat.62
Oleh karena itu salah satu syarat yang paling mendasar dalam jual lepas
adalah mengutamakan hak terdahulu yaitu “hak kerabat” atau “hak tetangga” dan
didasarkan pada kemufakatan musyawarah anggota persekutuan.
Bagi masyarakat hukum adat yang penting dalam pelaksanaan perjanjian
bukan unsur subjektif atau objektif, tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu
dalam masyarakat lingkungannya tidak ada yang mempersoalkannya, tidak ada yang
merasakan perjanjian itu tidak baik. Sebaliknya walaupun perjanjian itu dibuat
dihadapan kepala kampung, jika masyarakat mempersoalkannya menganggap hal itu
tidak baik maka sebenarnya perjanjian tersebut tidak sah.
Ter Haar berpendapat bahwa tanpa ikut sertanya kepala adat atau tanpa
bantuannya maka perjanjianitu tidak berlaku terhadap pihak ketiga. Jadi jika kepala
adat menolak untuk membantu perjanjian itu , maka perjanjian itu tidak sah. Pada
masa sekarang yang harus diperhatikan ialah siapa yang disebut kepala persekutuan.
62
Imam Sudiyat, Op Cit, Hlm 127
sedangkan kesaksian kepala adat diperlukan untuk tetap memelihara kerukunan dan
kedamaian dilingkungan masyarakat adat.
Soepomo menyatakan ikut sertanya pengurus desa dalam pembelian tanah
adalah untuk mendapatkan lebih banyak jaminan hukum (kepastian hukum) bagi
pembeli dan karena itu pembeli memperoleh hak untuk mendapatkan perlindungan
hukum sepenuhnya.63
F. Status Tanah Yang Belum Terdaftar Sebagai Objek Jual Beli Di Kecamatan
Salak
Untuk mengkaji status tanah di Kabupaten Pakpak Bharat, maka akan dibatasi
pada lokasi penelitian yaitu Kecamatan Salak. Kota salak yang merupakan pusat
Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari 6 (enam) desa yang ada di Kecamatan
Salak. Adapun ke enam desa yang ada di kecamatan salak sebagai berikut :
63
Soepomo, Ibid, Hlm 88
Belanda tanah adat berada dalam posisi yang sangat lemah sekali karena
kedudukannya sebagai tanah negara tidak bebas atau paling tidak diarahkan kepada
hak-hak yang mirip dengan hak eigendom BW. Pemerintah Hindia Belanda sama
sekali tidak berusaha untuk mengembangkan hak adat itu untuk menjadi suatu sistem
hukum tanah adat, dalam arti kata bahwa pihak Belanda tetap menganaktirikan hak-
hak tanah adat, sehingga dengan demikian hak-hak tanah adat tidak diakui begitu saja
oleh pihak Belanda kecuali dimintakan oleh yang bersangkutan dengan sesuatu hak
eigendom.
Tanah dalam masyarakat adat Pakpak Bharat sangat penting dan mempunyai
fungsi sosial yang sangat besar. Hal ini tercermin dari kehidupan masyarakat Suku
Salak, dimana masyarakat hidup dari hasil pertanian dan perkebunan. Adapun tanah
yang mereka usahakan tersebut adalah merupakan tanah warisan ataupun tanah adat
yang telah dikuasai dan diusahai secara turun temurun. Pembuktian secara hukum
atas kepemilikan tanah berupa sertifikat ataupun Surat Keterangan Camat sangat
minim sekali, karena masyarakat Kecamatan Salak khususnya di Desa Salak I dan
Desa Salak II dalam hal jual beli tanah masih melakukan jual beli dihadapan Kepala
Desa. Status tanah sebagai objek jual beli di Kecamatan Salak adalah tanah adat
yaitu tanah persawahan, tanah perladangan dan tanah pertapakan perumahan yang
karena jual beli maupun dengan peralihan hak lainnya, khusus untuk jual beli
dengan dihadiri oleh saksi-saksi, yang biasanya saksi-saksi ini adalah orang-orang
berbatasan dengan tanah yang akan dijual. Biasanya perjanjian jual beli ini
dituangkan dalam surat yang berbentuk segel yang ditandatangani oleh para pihak
terlebih dahulu diadakan musyawarah dengan keluarga terdekat, dan biasanya tanah
yang akan diperjual belikan itu terlebih dahulu ditawarkan kepada keluarga terdekat
dengan tujuan agar keberadaan tanah tersebut tidak berpindah kepada orang lain.
Namun demikian, status tanah yang belum terdaftar baik pendaftaran pertama
kali maupun pendaftaran peralihan haknya terutama karena jual beli, masih
merupakan tanah adat yang didasarkan kepada penguasaan secara fisik oleh pemilik
tanah secara turun temurun atau dari warisan atau dari jual beli tanah yang dilakukan
64
Hasil wawancara dengan Bapak Drs. Ishak Simon, Camat Kecamatan Salak ( Salak, 15
Nopember 2016)
BAB III
Seperti telah disebut sebelumnya bahwa pada hakekatnya hukum adat adalah
dasar daripada Hukum Agraria Indonesia, hal ini secara jelas disebutkan dalam Pasal
5 UUPA. Namun perlu diperhatikan secara seksama hukum adat yang bagaimana
yang dimaksudkan oleh Pasal 5 UUPA ini. Perlu kita kaji bagaimana posisi hukum
adat sebagai dasar Hukum Agraria Nasional atau bagaimana kedudukan hukum adat
“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum
adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara,
yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatunya dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Dari ketentuan Pasal 5 UUPA dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang
59
persatuan bangsa bahwa ketentuan hukum adat mengenai agraria tidak boleh
adat adalah sejalan dengan perkembangan zaman dan perkembangan itu dipengaruhi
oleh berbagai faktor, termasuk faktor politik kekuasaan pemerintah dan perundang-
undangan. Hukum adat disini adalah hukum adat yang sudah dimodernisir karena
sudah ditingkatkan kedeudukannya, namun hukum adat yang sudah dimodernisir ini
yaitu tidak lain dari keseluruhan asas hukum yang ditarik daripada hukum adat yang
berlaku diseluruh Indonesia, yang telah diolah dan dirumuskan dalam sistem UUPA.
Perubahan ini adalah berupa usaha untuk menserasikan asas hukum dengan prinsip
dasar yang terkandung dalam UUPA, tidak semua hukum adat dipakai menjadi dasar
Hukum Agraria Nasional, hanya hukum adat yang selaras dengan prinsip hukum
65
Boedi Harsono, Agraria, Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, (Bagian Pertama,
Jilid Kedua, Penerbit Jambatan), Hlm 168
Jadi apabila hukum adat itu tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan
dalam UUPA maka hukum adat itu tidak dapat digunakan, oleh karena itu dapat
dikatakan UUPA itu merupakan lex specialis dari hukum adat yang merupakan lex
generalis.
Hukum adat sebagai dasar pembentukan UUPA, yaitu sebagai dasar utama
dan pelengkap. Sebagai dasar utama yaitu asas-asas, lembaga hukum adat dan sistem
hukum adat, sedangkan sebagai pelengkap, sifat hukum adat adalah melengkapi
ketentuan-ketentuan yang tidak atau belum terdapat dalam UUPA agar tidak terjadi
3. Selainhak adat ulayat dikenal pula hak perorangan atas tanah (Pasal 4 jo
pasal 16 UUPA).
yang mampu terhadap yang tidak mampu (Pasal 12 ayat (1) UUPA).
66
Soedikno Mertokusumo, Op. Cit, Hlm 76
c. Sistematik hukum adat hubungan manusia dengan tanah, yaitu hak ulayat
Pengakuan yang diberikan oleh UUPA terhadap hak ulayat masyarakat hukum
adat dengan syarat sebatas tidak bertentangan dengan kepentingan negara dan bangsa,
menjadi tolak awal adanya bentuk perlindungan hukum terhadap hak ulayat, hal
masalah hak ulayat masyarakat hukum adat. Dalam UUPA terdapat beberapa prinsip-
prinsip dan asas, bahwa setiap tanah diwilayah negara Indonesia mempunyai fungsi
sosial, selain itu adanya hak menguasai negara yang dipersamakan dengan hak ulayat,
67
Philipus Mandiri Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya, Bina
Ilmu, Surabaya, 1978), Hlm 79
kedua prinsip inilah yang memberikan kewenangan atas negara terhadap tanah-tanah
yang telah memiliki hak atas tanah. Manifestasi kedua prinsip tersebut diakomodir
oleh UUPA dan peraturan pelaksana. Pada hak atas tanah masyarakat hukum adat
yaitu hak ulayat maka hal tersebut diatur dalam Penjelasan Umum Angka II nomor 3,
yang istilahnya pelepasan hak ulayat dengan recognitie. Sedangkan hak atas tanah
yang bukan hak ulayat adalah dengan pelepasan hak atau dengan pencabutan dengan
ganti rugi (Pasal 18 UUPA). Dalam kebijakan nasional terhadap bidang pertanahan
kewenangan pemerintah pusat yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah kota atau
hukum adat di wilayah Pemerintah Kota atau Kabupaten. Penggantian tanah ulayat
Sesudah hak ulayat tersebut beralih kepada negara maka secara hukum status
tanah tersebut menjadi tanah negara. Peralihan hak ulayat tersebut melalui recognitie
68
adat, yaitu tanda pengakuan secara adat. Pada prakteknya sering diberikan dalam
bentuk uang, hal inilah yang menyebabkan persepsi penerima mengira sebagai “uang
ganti rugi”. Pada dunia investasi, investor yang membutuhkan sumber daya yang di
dalamnya terdapat hak ulayat juga berkewajiban menyerahkan recognitie atas tanah
pengalihan hak oleh negara kepada investor untuk membayar, inilah yang sering
menimbulkan konflik. Untuk penggunaan tanah ulayat apabila waktu yang diberikan
habis, maka tanah tersebut kembali pada masyarakat hukum adat dan tidak menjadi
tanah negara, hal ini pulalah yang tidak jelas. Alasannya tanah yang telah dilepas
negara, dan apabila tanah tersebut dikembalikan kepada masyarakat adat mereka
dapat memungut atau memperoleh penghasilan dari tanah tersebut, karena konsep
tanah negara adalah tanah terlantar yang tidak ada penguasaan hak atas tanah
tersebut.69
seperti asas gotong- royong, asas fungsi sosial, asas persetujuan sebagai dasar
Tanah hak milik menurut hukum adat ,maupun menurut Pasal 20 ayat (2)
UUPA dapat beralih dan dapat dialihkan kepada pihak lain. Hak milik atas tanah
beralih misalnya melalui pewarisan dari pemilik tanah (pewaris) kepada ahli
69
Sri Hajati, Upaya Pembaharuan Hukum Agraria Nasional Dalam Menunjang Investasi,
(Yuridika Vol. 15 No. 6 Nopember-Desember 2000), Hlm 21
warisnya, dan dapat dialihkan apabila tanah tersebut dijual lepas, dihibahkan,
Dalam hukum adat, jual beli tanah yang menyebabkan beralihnya hak milik
atas tanah dari penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya disebut jual lepas.
Beberapa sarjana yang dikutip oleh Hilman Hadikusuma memberikan pengertian jual
1. Van Vollenhoven : “Jual Lepas dari sebidang tanah atau perairan adalah
pembayaran sejumlah uang secara tunai, tanpa hak menebus kembali, jadi
4. Liliek Istiqomah mengutip pendapat Van Dijk : “Jual lepas adalah penyerahan
tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat, jadi untuk seterusnya atau
70
Hilman Hadikusuma, Hukum Perjanjian Adat, (Bandung, Alumni,1982), Hlm 120-121
71
Liliek Istiqomah, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria Nasional,
(Surabaya, Usaha Nasional, 1982), Hlm 58
dengan penerimaan sejumlah uang secara tunai dan terang untuk selama-
lamanya. Jadi pada jual lepas ini terjadi peralihan hak milik”.72
Dari berbagai pendapat yang telah diuraikan di atas dapat diketahui bahwa
menurut hukum adat, jual beli tanah adalah suatu perbuatan hukum yang berupa
saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada penjual. Dengan dilakukan
jual beli tanah, hak milik atas tanah beralih kepada pembeli dan sejak itu menurut
hukum pembeli telah menjadi pemilik yang baru. Persetujuan dan penyerahan tanah
terjadi pada saat yang sama dan tidak dipisahkan karena hukum adat tidak
pengertian hukum adat , disini mempunyai arti tersendiri yang oleh Symposium
UUPA dan kedudukan tanah-tanah adat dewasa ini bukan lagi sebagai hukum adat
yang selama ini diperkenalkan oleh Van Vollenhoven atau Ter Haar, sekalipun masih
adanya kelainan penafsiran tentang pengertian tersebut. Hukum adat menurut UUPA
adalah hukum adat yang sudah disaneer, atau hukum adat yang sudah
72
Djaren Saragih, Pengantar Hukum Adat Indonesia, (Bandung, Tarsito,1980), Hlm 10
73
Boedi Harsono, Hukum Agraria, Bagian Pertama, (Jakarta, Jembatan,1975), Hlm 8
74
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang Undang Pokok Agraria, (Bandung, Alumni, 1973),
Hlm 6
Dalam konteks hukum adat, berbicara tentang jual beli tanah berarti
membicarakan tentang transaksi tanah yang merupakan bagian dari ruang lingkup
sistem hukum adat. Maka dalam hal ini penulis meninjau tentang transaksi-transaksi
tanah yang terdiri dari 2 (dua) macam, yaitu transaksi tanah yang bersifat perbuatan
hukum sepihak dan transaksi tanah bersifat perbuatan hukum dua pihak.
Menurut Hilman, pengertian transaksi tanah yang sepihak dan transaksi tanah
pemilikan tanah dengan membuka sebidang tanah untuk didiami dan diusahai
oleh kelompok orang atau seorang individu. Perbuatan ini hanya melibatkan
satu pihak bukan dua pihak seperti transaksi yang biasa kita kenal misalnya
jual beli. Jadi pihak kedua tidak ada dan kalau pun ada pihak ini diam saja
seseorang membuka tanah hutan yang tidak ada pemiliknya atau seseorang
terjadilah hubungan hukum dan sekaligus juga hubungan religius magis antara
yang ia kerjakan tersebut. Perbuatan ini berakibat timbulnya hak bagi warga
3) Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak merupakan suatu
perbuatan hukum yang mana ada dua pihak yang berperan dalam transaksi ini,
dalam transaksi ini, sesuai dengan transaksi tanah yang dimaksud. Inti dari
pada transaksi ini adalah pengoperan atau pun penyerahan tanah disertai
pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga, dalam hal ini ada dua
pihak yang melakukan transaksi ini yaitu pihak pertama yang melakukan
(pembeli). Di dalam hukum tanah adat perbuatan ini disebut “transaksi jual”
Pada dasarnya dahulu masyarakat Pakpak Bharat tidak mengenal jual beli
tanah, tanah tidak pernah diperjual belikan karena hal ini merupakan perbuatan yang
memalukan menyangkut status harga diri dalam keluarga. Apabila terjadi pengalihan
hak atas tanah, hal ini terjadi akibat peristiwa adat yang berlaku, misalnya pemberian
orang tua kepada anak laki-laki dan anak perempuan yang telah kawin atau karena
menghormati pimpinannya yang dahulu disebut dengan Pertaki (Kepala Desa), yaitu
orang yang diangkat sebagai pimpinan bagi mereka baik itu untuk urusan
76
Soekanto,Meninjau Hukum Adat Indonesia, (Jakarta : Rajawali, 1983), Hlm. 72
itu mempunyai suatu hak atau kekuasaan untuk memberikan tanah garapan kepada
masyarakatnya dan tanah-tanah garapan ini tidak boleh dijual kepada orang lain.
Apabila si penggarap meninggalkan tanahnya dan tidak mengolahnya lagi maka tanah
ekonomi yang semakin tinggi dan tidak dapat dipungkiri lagi jual beli tanah sudah
dikenal dan telah sering dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal dan
juga untuk memperluas tanah pertanian masyarakat. Jual beli ini dilakukan
baik dalam kertas segel maupun kertas biasa yang ditempel materai.
Seperti diketahui bahwa pada saat ini, dibidang hukum agraria yang berlaku
terjadi dualisme dalam bidang hukum agraria, yakni hukum adat disatu pihak dan
tersebut. Unifikasi hukum agraria dalam arti bahwa hukum agraria di Indonesia
Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 5 UUPA antara lain menetapkan
hukum agraria yang berlaku terhadap bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum
agraria yang baru tersebut akan didasarkan pada ketentuan hukum adat, sebagai
dalam negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia Internasional”.
diterima hukum adat seperti yang dikatakan oleh Boedi Harsono, hukum adat yang
disaneer, atau oleh Sudargo Gautama disebutkan sebagai hukum adat yang diretool.
penjelasan mengenai apa yang dimaksudkan tentang pengertian jual beli tanah.
Melalui ketentuan pasal 5 UUPA dan penjelasan umum UUPA tersebut, maka
berkenaan dengan pengertian jual beli tanah yang dianut dalam UUPA adalah
pengertian jual beli tanah yang didasarkan kepada hukum adat yaitu sebagai
perbuatan hukum yang bersifat kontan (tunai) dan terang. Kontan (tunai) berarti
penyerahan hak atas tanah dan pembayaran harga atas tanah yang menjadi objek
perbuatan hukum jual beli tersebut dilakukan pada saat yang sama. Terang berarti jual
beli itu dilakukan dengan sepengetahuan Kepala Desa dengan dihadiri saksi-saksi.
77
AP Parlindungan, Komentar Atas Undang Undang Pokok Agraria, (Bandung, Mandar
Maju, 1998), Hlm 57
Dengan berlakunya UUPA, PP No. 24 Tahun 1997 dan PP No. 37 Tahun 1998
serta Peraturan Pelaksananya, maka jual beli tanah haruslah dilakukan dihadapan
pejabat yang berwenang (PPAT) dan setelah selesainya pembuatan akta jual beli
tersebut beralihlah hak atas tanah dari pejual kepada pembeli. Dengan demikian
terpenuhi unsur kontan (tunai) dan terang dari sifat jual beli menurut hukum adat.
Dari uaraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa perbuatan hukum jual beli
tanah sesudah berlakunya UUPA merupakan suatu perbuatan pemindahan hak atas
tanah.
Dalam hubungannya dengan peralihan hak atas tanah termasuk mengenai jual
beli tanah, konsep yang diambil UUPA adalah konsep hukum adat. Hal ini
Indikasi yang menunjukkan bahwa konsep jual beli tanah yang diambil UUPA
yaitu konsep hukum adat adalah bahwa jual beli tanah telah selesai dengan sempurna
dan hak telah beralih kepada pembeli setelah selesai ditandatanganinya akta PPAT.
Pencatatan peralihan hak di Kantor Pertanahan. Seksi Pendaftaran tanah hanya untuk
memperoleh alat pembuktian yang kuat mengenai sahnya peralihan hak (Pasal 23
UUPA).
78
Mahkamah Agung RI, Kasus-Kasus Pengadaan Tanah Dalam Putusan Pengadilan, (Suatu
Tinjauan Yuridis, 1998), Hlm 60
UUPA, yang menyatakan bahwa : “Pendaftaran itu meliputi pemberian surat tanda
Sesuai dengan sistem publikasi yang dianut oleh Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 yaitu sistem negatif yang bertendensi positif, diberikan sertifikat
sebagai alat bukti yang kuat. Dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada
para pemegang hak atas tanah diberikan penegasan tentang sejauh mana kekuatan
pembuktian sertifikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat. Untuk itu
selama belum dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan
dalam sertifikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum
sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan sepanjang data data tersebut sesuai
dengan yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanahnya. Tidak dapat menuntut
tanah yang bersertifikat atas nama orang lain atau badan hukum lain jika setelah 5
Oleh karena itu pendaftaran hanya bersifat administratif, proses jual belinya
sendiri sudah selesai semenjak dibuatnya akta PPAT. Dan semenjak saat itu tanah
telah beralih kepada pembeli. Hal demikian adalah sesuai dengan asas hukum adat
yang dianut UUPA. Dengan demikian jual beli hak atas tanah yang dikehendaki oleh
UUPA adalah jual beli yang dilakukan atau dibuat dihadapan PPAT.
Dalam praktek jual beli hak atas tanah yang belum memenuhi ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang jangka waktu hak atas tanahnya
telah habis dilakukan dihadapan notaris dengan menggunakan judul akta perikatan
atau persetujuan jual beli. Terselenggaranya suatu pendaftaran tanah (legal Cadaster)
yang efisien dan efektif adalah merupakan jaminan kepastian hukum dibidang
pertanahan.
Berlakunya UUPA pada prinsipnya telah berlaku pula sebuah unifikasi hukum
Agraria yang bertujuan mengakhiri suasana dualisme hukum antara hukum barat
disatu sisi dan hukum adat disisi lain dibidang hukum agraria.
Berkenaan dengan jual beli tanah milik adat yang berlaku adalah hukum adat
untuk hukum agraria dengan ketentuan bahwa hukum adat tersebut tidak boleh
persatuan bangsa, sosialisme Indonesia, ketentuan UUPA dan peraturan lain dibidang
Hal tersebut secara eksplisit terdapat dalam konsideran UUPA maupun Pasal
5 UUPA yang menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa adalah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
Dalam ketentuan UUPA, jual beli hak milik adat merupakan bagian dari
peralihan hak atas tanah. Boedi Harsono menyebutkan bahwa pada dasarnya
peralihan hak atas tanah dapat terjadi karena 2 (dua) sebab yaitu :
1. Pewarisan tanpa wasiat yakni peralihan hak atas tanah karena pemegang suatu
hak atas tanah meninggal dunia, dengan kata lain hak tersebut beralih kepada ahli
79
Iman Soetikno, Politik Agraria Nasional, (gadjah Mada Universitas Press, Yogyakarta,
1985) Hlm 61
2. Pemindahan hak yakni hak atas tanah tersebut sengaja dialihkan kepada pihak
lain. Bentuk pemindahan hak bisa berupa jual beli, sewa menyewa, hibah,
pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau inbreng dan juga
Jadi dapat dijelaskan bahwa pengertian beralih dan dapat dialihkan dalam hal ini
mempunyai suatu hak meninggal dunia, sehingga dengan sendirinya hak itu
beralih menjadi milik ahli warisnya dalam hal ini peralihan hak masyarakat
karena warisan terjadi hukum adat pada saat pemengang hak yang
bersangkutan meninggal dunia. Sejak saat itu ahli waris menjadi pemegang
2. Dialihkan adalah suatu peralihan hak yang dilakukan dengan sengaja supaya
hak tersebut terlepas dari pemilik semula. Dengan kata lain peralihan ini
terjadi karena adanya perbuatan hukum tertentu seperti : Jual beli, sewa
80
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, (Djambatan, Jakarta,1982), Hlm 318
81
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, (Mandar Madja, Bandung, 1999), Hlm 140
Peralihan hak atas tanah merupakan suatu peristiwa dan/atau perbuatan hukum
yang mengakibatkan terjadinya pemindahan hak atas tanah dari pemilik kepada pihak
lain. Peralihan tersebut meliputi jual beli, hibah, tukar menukar, pewarisn, pemberian
dengan wasiat dan perbuatan hukum lain yang bertujuan atau bermaksud
memindahkan hak kepemilikan tanah, tetapi peralihan yang banyak terjadi dalam
Peralihan hak atas tanah sebelum berlakunya UUPA yang terdapat dualisme
hukum, yakni status tanah adat tunduk pada hukum adat dan status tanah barat tunduk
pada hukum barat. Di dalam ketentuan hukum tanah barat prinsip nasionalitas tidak
dianut, dalam artian bahwa setiap orang boleh saja memiliki hak eigendom asal saja
mengawasi pemindahan hak atas tanah bagi yang tunduk pada hukum Barat yakni
setiap peralihan hak terhadap tanah dan barang-barang tetap lainnya hanya dapat
dilakukan bila telah mendapat izin dari Menteri Kehakiman dan bila tetap dilakukan
ke tangan orang-orang dan badan hukum asing.83 Karana sebelum ketentuan tersebut
82
Ibid, Hlm 129
83
Boedi Harsono, Op.Cit, Hlm 105-106
dikeluarkan banyak non pribumi selain bisa memiliki tanah hak adat walaupun
diperoleh dengan cara-cara tertentu, karena pada kenyataannya tanah hak adat tidak
Sehubungan hal tersebut di atas, Boedi Harsono dalam hal ini mengartikan
tanah secara langsung atau tidak langsung bersumber pada tanah bersama. Hukum
tanah adat yang mengandung unsur kebersamaan tersebut dikenal dengan hak ulayat.
pedesaan.84
Ketentuan yang sangat dominan dalam pelaksanaan peralihan hak atas tanah
hak atas tanah memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau
meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan harus dibuktikan dengan
suatu akte yang dibuat oleh atau dihadapan PPAT, dimana akta tersebut dapat
84
Boedi Harsono, Op. Cit, Hlm 110
berfungsi sebagai alat pembuktian untuk melakukan pendaftaran hak atas tanah atas
Seperti yang telah disebutkan penulis dalam Bab sebelumnya pada Pasal 27
Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yang
menyebutkan “Peralihan hak atas tanah melalui jual beli, sewa menyewa, hibah,
pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, hanya
dapat didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat PPAT yang
berwenang sesuai ketentutan yang berlaku”. Dari pasal tersebut di atas dapat
dikatakan bahwa pada prinsipnya segala bentuk mutasi hak dan sebagainya harus
pertanggungjawaban petugas PPAT lebih terarah pada pejabat umum dan bersifat
administrasi saja artinya dalam hal ini dia hanya merupakan Pejabat Agraria yang
membantu Menteri Agraria membuat akta dalam hal pemindahan hak atas tanah,
pemberian suatu hak baru atas tanah, penggadaian tanah dan pemberian hak
permohonan izin pemindahan hak atas tanah dan mengirimkannya kepada instansi
85
J.Kartini Soedjendro, Perjanjian Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, (Kanisius,
Yogyakarta, 2001) Hlm. 16
konversi hak-hak adat di Indonesia atas tanah dan pendaftaran hak-hak berkas
konversi.
adat Pakpak Bharat pada khususnya, perbuatan hukum jual beli tanah adat seringkali
dilakukan tanpa menggunakan akta otentik dihadapan PPAT, hal ini dikarenakan
menurut masyarakat adat bahwa yang paling berperan dan yang paling diperlukan
keterangannya adalah dari pihak Sulang Silima yang dianggap sebagai penentu dalam
segala jenis transaksi tanah dan pelindung tanah marga yang ada di Pakpak Bharat.
perjanjian mengenai tanah yang bermaksud memindahkan hak atas tanah tidak lagi
dibuat dihadapan Kepala Desa, tetapi harus dibuat oleh atau dihadapan PPAT. Dilihat
dijelaskan bahwa PPAT bertugas pokok melaksanakan pembuatan akta sebagai bukti
telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah, perbuatan-
Untuk melaksanakan jual beli tanah pada awalnya telah tersedia akta yang
dicetak secara standar oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Akan tetapi saat ini
berdasarkan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 8 Tahun 2012 yaitu :
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dapat membuat akta sendiri tanpa
menurut Abdul Kadir Muhammad yaitu, “Kekuatan bukti lahir, Kekuatan bukti
Kekuatan bukti lahir menyangkut syarat-syarat formil bagi suatu akta otentik
itu dipenuhi atau tidak. Jika syarat itu dipenuhi maka syarat yang tampaknya dari luar
secara lahiriyah sebagai akta otentik, dianggap akta otentik sepanjang tidak terbukti
sebaliknya. Kekuatan bukti formil menyangkut soal kebenaran dari peristiwa yang
disebutkan dalam akta otentik itu, artinya apakah benar bahwa yang tercantum dalam
Agar suatu akta PPAT mempunyai nilai juridis dalam arti mempunyai
kekuatan hukum pembuktian yang sempurna, maka akta PPAT tersebut harus
1. Syarat subyek yaitu para pihak yang melakukan perbuatan hukum adalah
2. Syarat obyek yaitu tanah yang dijadikan sebagai objek peralihan hak atas
tanah dibolehkan secara hukum atau tidak sengketa, tidak menjadi jaminan
3. Syarat yuridis formal yaitu pejabat umum yang membuat akta peralihan hak
atas tanah adalah pejabat yang berwenang, ada 2 (dua) orang saksi yang sudah
86
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung, Alumni, 1986),
Hlm 136
dewasa, disetujui oleh ahli warisnya, dalam hal hibah dan akta PPAT
perundang-undangan.87
Dalam hukum adat, hubungan antara manusia dan tanah bertalian sangat erat.
berkebun. Kepemilikan tanah diperoleh oleh masyarakat Kecamatan Salak dari tanah
turun temurun yang merupakan warisan. Hal ini dapat dilihat dari proses terjadinya
menjadi hak milik daerah Jawa Barat, dikarenakan dahulu penduduk desa diijinkan
menggarap tanah bersama, dengan syarat harus dipenuhi hal-hal tertentu seperti
pelaksanaan tugas ronda, perbaikan jalan, memelihara makam desa, ikut serta dalam
disebut gogol, sikep atau kuli. Apabila akan menggarap harus mendapatkan izin dari
masyarakat desa.88
dapat membuka dan menggarap hutan yang diusahai secara turun temurun sehingga
akhirnya tanah tersebut menjadi hak milik. Namun sebelum tanah hutan atau belukar
digarap, warga desa harus memberitahukan atau meminta izin terlebih dahulu kepada
Kepala Adat atau Kepala Desa tentang rencana membuka tanah tersebut, hal ini
87
Ibid, Hlm 120
88
Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Hukum Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup,
(Semarang, Chandra Pranata, 1995), Hlm 79
dimaksudkan untuk mengetahui apakah tanah yang akan digarap tersebut sudah ada
yang menguasai atau memiliki tanah tersebut atau belum, tapi pada saat ini hal
Menurut hukum adat berbagai cara untuk mendapatkan hak milik atas tanah
misalnya : dengan membuka hutan atau belukar, mewarisi, penerimaan tanah secara
waktu (verjaring).90
adat karena pembukaan hutan, pewarisan, hibah dan sebagainya. Namun pada
dasarnya setiap kepemilikan hak milik atas tanah adat dimulai dari pembukaan hutan
atau semak belukar, kemudian setelah hak membuka hutan didapat dan tanah tersebut
benar-benar telah menjadi miliknya maka baru dapat dialihkan baik kepada ahli
warisnya atau dihibahkan kepada orang lain, ataupun berdasarkan hak yang
perseorangan atas tanah adat, maka timbullah berbagai cara peralihan hak atas tanah
diantaranya : pewarisan, hibah, ganti rugi, gadai dan wakaf. Salah satu bentuk
Kabupaten Pakpak Bharat. Kecamatan Salak ini terdiri dari 6 (enam) desa, namun
dalam penelitian ini lokasi yang dipilih hanya 2 (dua) desa yaitu Desa Salak I dan
89
Hasil Wawancara dengan Bapak A Boangmanalu, Tokoh Adat Desa Salak I, (Salak, 16
Nopember 2016)
90
Wiryono Prodjodikoro, Ibid, Hlm 141
Desa Salak II. Pemilihan kedua desa ini karena kedua desa tersebut adalah desa yang
paling banyak penduduknya, dan dari segi perekonomian sudah lebih maju
kebanyakan masih tanah adat dengan tanda bukti kepemilikan berupa memakai surat
jual beli yang mempergunakan kertas segel yang lama dan bahkan ada yang tidak
setempat.
Dalam pelaksanaan jual beli tanah di Kecamatan Salak, masih melakukan jual
beli tanah baik tanah persawahan, tanah perladangan (kebun), ataupun pertapakan
rumah, dilakukan dengan jual beli dibawah tangan. Jual beli tanah dilakukan melalui
Kepala Desa atau Kepala Kampung hanya dengan memakai kertas segel atau dengan
memakai kertas mempergunakan materai yang ditempel di atas surat jual beli
tersebut. Surat jual beli dibawah tangan tersebut hanya ditandatangani oleh pihak
penjual dan oleh pihak pembeli serta Kepala Desa atau Kepala Kampung. Hal ini
dilakukan karena jual beli melalui Kepala Desa atau Kepala Kampung merupakan hal
yang lazim dilakukan di daerah ini. Masyarakat menganggap bahwa Kepala Desa
atau Kepala Kampung adalah orang yang benar-benar mengetahui asal usul tanah
sebagai objek jual beli tersebut. Disamping itu jual beli tanah melalui Kepala Desa
atau Kepala Kampung tidak mengalami proses yang berbelit-belit, murah dan cepat.91
91
Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. Ramly Boangmanalu, Kepala Desa Salak I, (Salak,
17 Nopember 2016)
batang pohon yang terletak paling ujung dari tanah tersebut. Misalnya keluarga si
pemilik tanah pada waktu itu ada menanam pohon durian atau pohon mangga sebagai
batas tanah miliknya, pohon inilah yang dijadikan sebagai patokan batas tanah.92
memakai jual beli dibawah tangan dengan memakai kertas segel dan dilakukan hanya
di hadapan Kepala Desa atau Kepala Kampung sebagai saksi atas perbuatan hukum
tersebut. Kepala Desa dalam hal ini sifatnya hanya sebagai pihak yang mengetahui
adanya jual beli tersebut. Bukan mengetahui sejarah tanah ataupun asal usul
melakukan jual beli hak atas tanah melalui Akta Camat. Untuk jual beli tanah yang
belum bersertifikat pihak Kecamatan sudah menyiapkan format asli yang dibuat oleh
Pemerintah. Masyarakat menganggap jual beli tanah melalui Camat harus melalui
Pada masyarakat Pakpak, dengan adanya jual beli yang dihadiri oleh saksi-
saksi sudah mengikat pada pihak ketiga karena pada umumnya warga masyarakat
desa tersebut sudah mengetahuinya kalau tanah tersebut sudah diperjual belikan dan
Adapun fungsi kehadiran Kepala Desa atau Kepala Kampung dalam hal
menangani jual beli tanah yang dilakukan masyarakat adat Pakpak merupakan suatu
92
Hasil Wawancara dengan Ibu N Boru Padang, Kepala Desa Salak II, (Salak, 19 Nopember 2016
93
Hasil Wawancara dengan Ibu N Boru Padang, Kepala Desa Salak II, pada tanggal 19
Nopember 2016
keharusan agar setiap peralihan hak atas tanah dapat diketahui Pemerintah dan
masyarakat. Dengan dilakukannya jual beli tanah dihadapan Kepala Desa atau
Kepala Kampung itu telah menunjukkan iktikad baik dari para pihak, suatu asas yang
F. Kekuatan Hukum Jual Beli Tanah Yang Belum Terdaftar Menurut Hukum
Adat
Seperti kita ketahui bahwa suku Pakpak adalah salah satu suku dari sekian
banyak suku bangsa di Indonesia yang mempunyai identitas tersendiri dalam hal
teknis pelaksanaan jual beli terutama sekali jual beli tanah. Demikian juga halnya
pada masyarakat adat suku Pakpak yang tinggal di Kecamatan Salak Kabupaten
Pakpak Bharat. Tanah masyarakat di Kabupaten tersebut masih sangat sedikit yang
berupa surat jual beli dibawah tangan berupa surat segel, penguasaan atas tanah
merupakan hak turun temurun dan warisan serta peralihan hak melalui jual beli. 95
Kekuatan hukum jual beli tanah yang belum terdaftar yang dilakukan menurut
hukum adat, sepanjang dilakukan secara terang dan tunai, maka jual beli tersebut
telah sah dan berlaku bagi pihak ketiga. Namun pada umumnya tanah yang diperjual
belikan hanya dalam lingkungan keluarga dan kerabat serta masyarakat yang ada di
94
Hasil Wawancara dengan Kepala Desa Salak I Bapak Drs. Ramly Boangmanalu (Selasa, 22
Nopember 2016)
95
Hasil Wawancara dengan Bapak Ali Suman Boangmanalu, Bapak Wardi Banurea dan
Bapak Wenta Banurea Warga Salak I (Salak, 23 Nopember 2016)
Kabupaten Pakpak Bharat masih dilakukan secara dibawah tangan. Jual beli tanah
tersebut hanya dibuat dengan memakai kertas segel atau kertas biasa yang ditempel
materai sebagai surat jual beli yang ditandatangani oleh pemilik tanah sebagai
penjual dan pembeli serta saksi-saksi dihadapan Kepala Desa. Adapun saksi-saksi
biasanya diambil dari para kerabat si penjual dan pembeli yang mengetahui sejarah
tanah yang akan dijual tersebut yaitu : Sepanganen, Berru dan Kula-Kula dari pemilik
tanah.96
Jual beli tanah yang dilakukan dihadapan Kepala Desa tersebut tetap
dianggap sah, karena Kepala Desa juga merupakan perangkat desa ataupun pejabat
desa, dan sudah ada diatur dalam suatu perundang-undangan. Jual beli tanah di
Kecamatan Salak harus diketahui dan disetujui oleh Sukut Nitalun (Pembuka
Kampung) sebagai saksi kunci atau orang yang sangat mengetahui asal usul tanah
dari desa tersebut dan menjadi syarat sahnya perbuatan hukum jual beli tanah
tersebut.97
Peralihan hak atas tanah yang dilakukan dengan cara jual beli dibawah tangan
yang biasa dilakukan oleh masyarakat adat pakpak diakui dan diterima oleh
masyarakat, dan perbuatan hukum tersebut tidak pernah menjadi permasalahan atau
sengketa di dalam masyarakat adat Pakpak di Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak
Bharat.98
96
Hasil Wawancara dengan Bapak Drs. Ishak Simon Camat Salak, (Salak, 17 Nopember
2016)
97
Hasil Wawancara dengan Bapak A Boangmanalu, Sukut Nitalun Desa Salak I, (Salak, 21
Nopember 2016)
98
Hasil Wawancara dengan Ibu Nur Hasanah Boru Manik, Ibu Rosma Boru Padang dan Ibu
Diana Boru Berutu, Warga Salak II, (Salak, 28 Nopember 2016)
modal kerja, surat jual beli tersebut dapat dipergunakan sebagai akta yang sah. Hanya
saja dalam hal ini pemilik tanah harus melengkapi surat-surat tanahnya dengan surat-
surat seperti : Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah, Surat Pernyataan
Pengakuan, Surat Keterangan tidak silang sengketa. Ketiga surat tersebut adalah
format bakunya yang berupa suatu formulir. Formulir tersebut ditandatangani oleh
pemilik tanah dan juga Kepala Desa sebagai pihak yang mengetahui dilegalisir oleh
Camat. Dengan adanya kelengkapan surat ini maka pemilik tanah ataupun masyarakat
1998 serta Peraturan Pelaksanaanya, maka jual beli tanah haruslah dilakukan
dihadapan pejabat yang berwenang (PPAT) dan setelah selesainya pembuatan akta
jual beli tersebut beralihlah hak atas tanah dari penjual kepada pembeli.
99
Hasil Wawancara dengan Bapak Ishak Simon Maibang, S.Sos, Camat Salak, (Rabu, 23
Nopember 2016)
100
Boedi Harsono, UUPA, Sejarah Penyusunan dan Pelaksanaan Hukum Agraria, (Bagian
Pertama, Jilid Kedua, Djambatan, Jakarta, 1971), Hlm 198
BAB IV
pendaftaran termaksud dalam ayat (1) di atas, dengan ketentuan bahwa rakyat
87
masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan pendaftaran tanah sesuai Pasal 23,
1. Pasal 23 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa : Hak Milik demikian pula setiap
yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan
2. Pasal 32 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa : Hak Guna Usaha termasuk
dalam pasal 19 ayat (2) UUPA : Pendaftaran termasuk dalam ayat (1)
merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya Hak
Guna Usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhir.
3. Pasal 38 ayat (1) UUPA, menyatakan bahwa : Hak Guna Bangunan, termasuk
pasal 19 ayat (2) : Pendaftaran termasuk dalam ayat (1) merupakan alat
pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya
peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya
berakhir.
ini dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan tuntutan akan
kepastian hukum hak atas tanah, sehingga diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah pada tanaggal 8 Oktober b1997,
Istilah Pendaftaran Tanah berasal dari kata “Cadastre” dalam bahasa Belanda
merupakan istilah teknis untuk suatu yang menunjukkan pada luas, nilai dan
kepemilikan (atau lain-lain alas hak) terhadap suatu bidang tanah. Sedangkan kata
“Cadastre” berasal dari bahasa latin yaitu “Capitastrum” yang berarti suatu register
atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah romawi (Capotation
Terrens).101
Pendaftaran Tanah berasal dari kata Cadastre, yang dalam bahasa Belanda disebut
Kadaster. Cadastre adalah suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman) yang
menunjukkan kepada luas, nilai dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terhadap
suatu bidang tanah.102 Kata Cadaster berasal dari bahasa Latin Capistrum, yang yang
berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi
101
AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Cetakan I, Mandar Maju, Bandung,
1999), Hlm 18
102
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Kencana Perdana Media,
Jakarta, 2010), Hlm 12
103
Urip Santoso, Ibid, Hlm 12
104
Urip Santoso, Ibid, Hlm 12
4. Secara teratur
penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berurutan, saling berkaitan satu sama lain
dan merupakan satu kesatuan untuk memperoleh apa yang disebut sertifikat. Kegiatan
pendaftaran tanah tidak hanya diadakan sekali tetapi untuk seterusnya apabila terjadi
sebagai berikut :
105
Urip Santoso, Ibid, Hlm 14
106
Erpinka Aprini, Kepastian Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Kaitannya Dengan
Ketentuan Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah, Tesis, UNDIP, Semarang, 2007, Hlm 8-9
peralihan dan pembebanan hak, dan juga apabila terjadi perubahan data pendaftaran
Pembuatan dan penerbitan sertifikat hak atas tanah merupakan produk dari
UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tanhun 1997, yang bertujuan untuk
menjamin kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah dengan memberikan tanda
bukti hak yang kuat. Disamping itu dengan dilakukannya pendaftaran tanah secara
tertib dan teratur akan merupakan salah satu perwujudan dari pada pelaksanaan Catur
Tertib Pertanahan.108
pertanahan dengan sistem publikasinya yaitu sistem negatif bertendensi positif atau
107
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi Dan
Pelaksanaannya (Jilid I), (Djambatan, Jakarta 1999), Hlm 74
108
Ilhamsyah, Pendaftaran Tanah Hak Milik Adat Untuk Pertama Kali Oleh Masyarakat Di
Kota Sawah Lunto, Tesis, 2005, Hlm 3-4
menjamin kebenaran data yang disajikan, sehingga sertifikat merupakan alat bukti
yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun juga.
bukti yang mutlak, melainkan sebagai alat bukti yang kuat dalam arti bahwa nama
seseorang atau badan hukum sudah didaftar sebagai pemegang hak, belum tentu
sebagai pemilik yang sah karena masih terbuka kemungkinan pihak lain untuk
Peradilan.
sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat, bukan mutlak.109 Hal ini diperkuat
untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua obyek
pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam suatu wilayah atau bagian wilayah
109
Engkos Koswara, Analisis Yuridis Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Secara Sistematis di
Kecamatan Cilincing Wilayah Kotamadya Jakarta Utara, Hlm 6
suatu desa atau kelurahan, dengan kata lain pendaftaran tanah tersebut didasarkan
pada suatu rencana dan dilaksanakan disuatu wilayah dengan inisiatif pelaksanaan
prakarsa Pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja panjang dan tahunan serta
Kepala BPN. Dalam hal suatu desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah
tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah
dalam suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual
atau massal. Pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak
yang berkepentingan yaitu pihak yang berhak atas objek Pendaftaran tanah yang
bersangkutan atau kuasanya. Dengan kata lain pendaftaran tanah tersebut hanya atas
satu bidang tanah yang dilakukan atas permintaan pihak yang berkepentingan.111
bahwa kegiatan atau pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali secara
110
Boedi Harsono, Op .Cit, Hlm 455
111
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 138-139
3) Penerbitan sertifikat
a. Pendekatan sitematis, yang meliputi satu desa atau kelurahan atas prakarsa
ini pada dasarnya adalah program “jemput bola” yang dilaksanakan oleh
Kantor Pertanahan.113
adalah : “Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara
112
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Djambatan, Jakarta, 2007), Hlm 487
113
Dasawarsa Bhumibhakti Adhiguna, Op. Cit, Hlm 183
serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam
sering mengkaitkan dengan istilah ajudikasi. Kata ajudikasi adalah istilah teknis
dalam pendaftaran tanah yang mempunyai pengertian : kegiatan dan proses dalam
rangka pendaftaran tanah untuk pertama kali secara sistematik, berupa pengumpulan
dan pemastian kebenaran data fisik dan data yuridis mengenai sebidang tanah atau
2. Pendaftaran tanah secara sistematik didasarkan pada suatu rencana kerja dan
3. Dalam hal suatu Desa atau Kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah
berkepentingan.115
114
AP Parlindungan, Op. Cit, Hlm 460
115
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 418
Pendaftaran tanah untuk pertama kali dibagi ke dalam dua cara yang berbeda
atas prakarsa Pemerintah dan kegiatan tersebut didasarkan pada suatu rencana kerja
yang ditetapkan oleh Menteri dan pendaftaran tanah secara sporadik dilaksanakan
oleh pihak yang berhak atas bidang tanah yang bersangkutan atau kuasanya.
untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek
pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu Desa
atau Kelurahan, yang dibiayai dari anggaran Pemerintah Pusat atau Daerah atau
secara swadaya oleh masyarakat dengan persetujuan Menteri, dengan kata lain
yang didasarkan pada suatu rencana kerja yang ditetapkan oleh Menteri. 116
sampai dengan pasal 72 Peraturan Menteri Negara Agraria /Kepala BPN Nomor 3
dalam pasal 1 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran
116
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 423
117
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 423
tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual
adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa
obyek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau
kelurahan secara individual atau massal, yang dilakukan atas permintaan pemegang
Pendaftaran tanah secara sistematik lebih diutamakan, karena melalui cara ini
akan dipercepat perolehan data mengenai bidang-bidang tanah yang akan didaftar
datang dari pemerintah, diperlukan waktu untuk memenuhi tenaga dan peralatan yang
diperlukan. Maka pelaksanaannya harus didasarkan pada suatu rencana kerja yang
meliputi jangka waktu agak panjang dan rencana pelaksanaan tahunan yang
berkelanjutan melalui uji kelayakan agar berjalan lancar. Uji kelayakan itu untuk
pertama kali diselenggarakan di daerah Depok, Bekasi, dan Karawang Jawa Barat.
Selain pendaftaran tanah secara sistematik ada juga Pendaftaran tanah secara
secara individual dan massal yang diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan, yang
118
Engkos Koswara, Analisis Yuridis Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Secara Sistematis di
Kecamatan Cilincing Wilayah Kotamadya Jakarta Utara, Hlm 6
119
Engkos Koswara, Ibid, Hlm 6
120
Boedi Harsono, Op.Cit, Hlm 461
Pendaftaran tanah ini sangat penting, dan tanah tersebut didaftarkan untuk
terhadap tanah, sehingga akan terlihat pemanfaatan dari tanah tersebut. Pendaftaran
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 adalah untuk pendaftaran tanah, baik terhadap
status tanah maupun pendaftaran tanah terhadap hak tanggungan demi kepentingan
perpajakan.
ditetapkan dalam pasal 19 UUPA. Yaitu bahwa pendaftaran tanah merupakan tugas
pertanahan suatu “rech cadaster” atau “legal cadaster”, rincian tentang tujuan
pendaftaran tanah diatur lebih lanjut dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24
untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah, pelaksanaan pendaftaran tanah pertama
kali diatur dalam Bab III Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,
sedangkan yang berlaku pada saat sekarang ini, diatur dalam Pasal 11 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah
data fisik dan yuridisnya termasuk satuan rumah susun. Informasi tersebut
bersifat terbuka untuk umum artinya dapat memberikan informasi apa saja
ynang diperlukan atas sebidang tanah atau bangunan yang ada.
c. Sehingga untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal
yang wajar.
tanah dan pendaftaran hak-hak atas tanah tersebut. Hal ini juga dalam rangka turut
anggapan yang keliru oleh karena keterangan-keterangan atau data pertanahan yang
dihimpun dalam pendaftaran tersebut adalah merupakan suatu mata rantai kegiatan
dan agar dengan mudah membuktikan haknya maka diberikanlah sertifikat hak atas
mudah mencari data fisik dan data yuridis tentang suatu budang tanah yang sudah
tidak hanya dilakukan sekali tapi secara terus menerus mengikuti perbuatan hukum
dan peristiwa hukum yang mengakibatkan data fisik maupun data yuridis pada suatu
122
Erpinka Aprini, Kepastian HukumSertifikat Hak Atas Tanah Kaitannya Dengan Ketentuan
Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Tesis,
UNDIP, Semarang, 2007, Hlm 8-9
Jadi dengan pendaftaran tanah akan diperoleh kepastian hukum tentang hak-
hak atas tanah yang diakui di Indonesia dan untuk si pemegang hak akan diterbitkan
sertifikat sebagai alat bukti kuat sebagai pemegang hak atas tanah.
123
J.B Soesanto, Hukum Agraria I, Semarang, Penerbit Fakultas Hukum Universitas 17
Agustus 1945, Semarang, Hlm 90
peralihan, pembebanan hak atas tanah hak milik dan hak milik atas
satuan rumah susun wajib didaftar.
alat bukti yang kuat bahwa ia sebagai pemegang hak atas tanah, kemudian akan
melalui suatu ketentuan yang sangat teliti dan terarah, sehingga tidak mungkin asal
saja, lebih-lebih lagi bukan tujuan pendaftaran tanah tersebut untuk sekedar
hal ini adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional
yang mempunyai tugas pokok dengan tujuan sebagai berikut : (lihat Perpres No. 17
hukum atas tanah dengan melaksanakan pendaftaran hak atas tanah meliputi
124
AP Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia Berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997,
(Mandar Maju, Bandung, 1999), Hlm 8
kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah, dengan
alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tersebut berupa buku tanah
dan sertifikat yang terdiri dari buku tanah dan surat ukur.125
kepada Pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan tunggal
yaitu untuk menjamin kepastian hukum. Menurut penjelasan dari UUPA pelaksanaan
menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht Cadaster, artinya untuk kepentingan
pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa
berfungsi untuk mengetahui status bidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya,
pihak yang bersangkutan dengan mudah mengetahui status dan kedudukan hukum
dari tanah-tanah tertentu yang dihadapinya, tempat, luas dan batasnya, siapa yang
memiliki dan beban hak atas tanah. Sehubungan dengan itu dibidang administrasi
pertanahan, masalah utama yang dihadapi adalah belum tersedianya data pertanahan
125
Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Sinar Grafika, Jakarta,
2007), Hlm 112
126
Chadijah Dalimunthe, Pelaksanaan Landreform Di Indonesia dan Permasalahannya, (FH
USU Press, Medan, 2000), Hlm 132
yang lengkap dan menyeluruh baik mengenai kepemilikan, penguasaan hak maupun
pendaftarannya.127
bersertifikat yang berasal dari tanah-tanah adat yang belum dikonversi dan pelepasan
hak yang dibuat oleh Camat dan bentuk perbuatan lainnya tunduk kepada hukum
adat. Kesemuanya itu masih dapat ditolerir berlakunya sepanjang belum ditentukan
secara tegas batas waktu pendaftaran tanah dan sanksi yang diberikan. Oleh karena
itu untuk menghindari resiko atau paling tidak meminimalkan terjadinya resiko
sebagai akibat perbuatan hukum jual beli tanah, jual beli tanah utamanya tanah hak
Sesuai dengan apa yang dikehendaki undang-undang, jual beli tanah hak dilakukan
dihadapan PPAT, walaupun hak atas tanahnya belum terdaftar (tanah adat).
Dari berbagai Keputusan Mahkamah Agung ternyata bahwa jual beli tanah
yang dilakukan dihadapan Kepala Desa atau saksi-saksi tetap sah sepanjang hal
Dalam peristiwa jual beli, peralihan hak dari si penjual kepada si pembeli
hanya diketahui kedua belah pihak dan pihak ketiga tidak diharapkan mengetahui jual
beli tersebut. Agar pihak ketiga mengetahuinya, peralihan hak tersebut perlu
didaftarkan agar memperoleh sertifikat sebagai tanda bukti hak yang kuat. Dengan
memiliki sertifikat, maka kepastian hukum berkenaan dengan jenis hak atas tanahnya,
127
Boedi Harsono, Op. Cit, Hlm 462
128
Maria SW Somardjono, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
(Jakarta, Penerbit Buku Kompas, 2001), Hlm 120
subjek hak, dan objek haknya menjadi nyata. Walaupun bukan berarti dengan adanya
sertifikat tidak mungkin timbul masalah, tetapi paling tidak akan mengurangi masalah
Jual beli tanah hak yang tidak didaftarkan, dapat membuka peluang bagi orang
yang beriktikad buruk untuk menjual kembali tanah tersebut kepada pihak lain.
Apalagi tidak ada sanksi hukum yang tegas terhadap tindakan jual beli tanah hak
yang dibuat tanpa dihadapan PPAT. Sanksi yang diberikan hanyalah sebatas sanksi
administrasi yaitu jual beli dibawah tangan tersebut tidak dapat didaftarkan, karena
untuk mendaftarkan harus tetap dibuktikan dengan akta PPAT (Pasal 37 ayat (1) PP
Baik sebagai Peraturan Pelaksana dari Undang-Undang Nomor 5 Thun 1960, maupun
sebagai produk hukum baru dibidang hukum pertanahan guna memenuhi kebutuhan
untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah, pelaksanaan pendaftaran tanah pertama
kali diatur dalam Bab III Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961,
sedangkan yang berlaku pada saat sekarang ini diatur dalam Pasal 11 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, dan untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah
129
Urip Santoso, Op. Cit, Hlm 19
yang memerlukan.
dengan tuntutan masyarakat, kondisi pemegang hak atas tanah serta memperhatikan
kerja bagi setiap aparat pelaksana dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah.
130
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Edisi
Revisi, Mandar Maju, Bandung, 2012), Hlm 394-395
131
Urip Santoso, Op. Cit, Hlm 16-17
mengetahui data yuridis tentang subyek hak, nama hak atas tanah, peralihan
hak, dan pembebanan hak atas tanah yang ada di Kantor Pertanahan, termasuk
Peralihan Hak Atas Tanah dapat ditafsirkan sebagai suatu perbuatan hukum
yang dikuatkan dengan akta otentik yang diperbuat oleh dan dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah kepada
pihak lain.132
Apabila ada kehendak yang sengaja dan disepakati atas sebidang tanah milik,
maka didalamnya ada pengalihan hak atas tanah tersebut. Bila pengalihan tersebut
dipaksakan oleh kewenangan dan kekuasaan negara maka disebut dicabut atau
Tahun 1997 dapat dilakukan melalui perbuatan hukum seperti : jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum lainnya yang
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Sedangkan dalam
Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang PPAT dan Pasal 95
132
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 276
Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
Tahun 1997 ditentukan jenis akta yang dapat dibuat oleh PPAT antara lain :
perbuatan hukum mengenai Jual Beli, Tukar Menukar, Hibah, Pemasukan kedalam
atau Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, Pemberian Hak Tanggungan, dan Pemberian
Dalam kaitan dengan peralihan hak atas tanah tersebut maka yang termasuk
1. Jual Beli;
2. Tukar Menukar;
3. Hibah;
peralihan hak tersebut dengan bentuk, isi dan cara pembuatannya sebagaimana yang
133
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 277
134
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 277
Tahun 2006 dan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan
Dalam perbuatan hukum peralihan hak atas tanah ini, diatur ketentuan
Pertanahan; atau
disampaikan :
(1). Surat Bukti Hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 24 ayat (1) atau
c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang
tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau
d. Salah satu pihak atau para pihak bertindakatas dasar suatu surat kuasa
hak; atau
Setelah tidak ada halangan untuk pembuatan akta dari perbuatan hukum
sebagai berikut :
136
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 279
didaftar.
disampaikannya akta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada para pihak
yang bersangkutan.
PPAT dan disampaikan ke Kantor Pertanahan, diatur dalam Pasal 105 Peraturan
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997,
yakni pencatatan peralihan hak dalam buku tanah, sertifikat dan daftar lainnya
a. Nama pemegang hak lama didalam buku tanah dicoret dengan tinta hitam dan
dibubuhkan paraf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk;
b. Nama atau nama-nama pemegang hak yang baru dituliskan pada halaman dan
kolom yang ada dalam buku tanahnya dan dibubuhi tanggal pencatatan dan
besarnya bagian setiap pemegang hak dalam hal penerima hak beberapa orang
Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk dan cap dinas Kantor
Pertanahan;
c. Yang tersebut pada huruf a dan b juga dilakukan pada sertifikat hak yang
bersangkutan dan daftar-daftar umum lain yang memuat nama pemegang hak
lama;
d. Nomor hak dan identitas lain dari tanah yang dialihkan dicoret dari daftar
nama pemegang hak lama dan nomor hak dan identitas tersebut dituliskan
atau kuasanya. Hanya saja di Kecamatan Salak Kabupaten Pakpak Bharat yang ada
hanya PPAT Sementara yaitu Camat tetapi Camat hanya membuat Akta Jual Beli saja
dan belum pernah sampai pada pendaftaran tanah untuk Sertifikat tanah tersebut,
membuat Surat Jual Beli di bawah tangan atas tanah milik adat yang belum terdaftar
dan Akta Jual Beli tanah dari Camat sebagai PPAT Sementara dan belum sampai ke
dari:138
bahwa jual beli hak atas tanah yang belum terdaftar tersebut harus dilakukan
137
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 281
138
Hasil Wawancara dengan Bapak Nurdin Nasution, S.SiT, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah (HTPT) Kabupaten Pakpak Bharat
tanah yang dilakukan melalui jual beli dan juga kurangnya penyuluhan hukum
b. Hambatan yang berasal dari PPAT Sementara yaitu : apabila ada masyarakat
yang melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah melalui jual beli
peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang dilakukan terhadap tanah adat
kepastian hukum pendaftaran tanah tersebut belum dapat dirasakan oleh masyarakat.
Artinya dalam kenyataan sepanjang hidup kita ini, masih dianggap tidak ada
kepastian hukum dari adanya pendaftaran tanah di Negara ini, sebab sertifikat belum
BPN atau Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting agar segara
masyarakat atas bukti hak itu sendiri karena dianggap tidak dapat melindungi hak-hak
tanah masyarakat. Apalagi bagi sebagian orang, sertifikat tanah masih dianggap
hanya dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu saja sehingga masyarakat masa
139
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op. Cit, Hlm 178
140
Muhammad Yamin Lubis dan Abdul Rahim Lubis, Op.Cit, Hlm. 177 - 182
kepada pembeli sebagai pemilik yang baru dari tanah milik adat yang diperoleh
melalui jual beli, pemilik yang baru atau pembeli yang sudah memiliki surat jual
suatu bukti pemilikan hak atas tanah berupa sertifikat hak milik atas tanah
dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional harus melakukan sosialisasi kepada
masyarakat tentang pentingnya pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT sekaligus
141
Dasawarsa BhumiBhakti Adhiguna, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta, 1988-1998,
Hlm 182
142
Hasil Wawancara dengan Ibu Rosalina Tamba, SH, Plt. Kepala BPN Kabupaten Pakpak
Bharat, (Salak, 10 Nopember 2016)
peran BPN tersebut belum maksimal, karena PPAT Sementara atau Camat belum
bekerja aktif atau belum bekerja semaksimal mungkin memberikan himbauan dan
tentang pentingnya pendaftaran tanah dan pendaftaran peralihan atas tanah untuk
menjamin kepastian hukum kepemilikan tanah tersebut dan BPN juga tidak
mendorong agar Camat atau Kepala Desa yang diangkat menjadi PPAT Sementara di
hukum dan perlindungan hukum dalam bidang pertanahan, pemerintah yakni Badan
tentang betapa pentingnya pendaftaran tanah agar jaminan kepastian hukum dalam
dengan tanahnya (obyeknya), dibuktikan dengan adanya data yuridis dan data fisik
bidang tanah yang diterima sebagai data yang benar dan didukung dengan tersedianya
peta hasil pengukuran secara kadasteral, daftar umum bidang-bidang tanah yang
terdaftar dan terpeliharanya daftar umum tersebut dengan data mutaakhir serta kepada
pemegang hak diberikan tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
143
Hasil Wawancara dengan Bapak Nurdin Nasution, S.SiT, Kepala Seksi Hak Tanah dan
Pendaftaran Tanah (HTPT) Kabupaten Pakpak Bharat, (Salak, 10 Nopember 2016)
BAB V
A. Kesimpulan
1. Status tanah yang belum terdaftar sebagai objek jual beli di Kecamatan Salak
Kabupaten Pakpak Bharat adalah tanah milik adat yang telah dikuasai dan
diusahai secara turun temurun sehingga telah menjadi hak milik perseorangan
dan tanah warisan yang dimiliki satu keluarga, tanah adat dapat dilaksanakan
dengan cara jual beli menurut kebiasaan masyarakat dimana tanah itu dengan
syarat terang dan tunai. objek tanah yang diperjual belikan adalah tanah
adat tersebut diakui oleh Pengetua Adat atau Kepala Desa setempat, sekalipun
belum terdaftar.
2. Kekuatan Hukum Jual beli tanah yang belum terdaftar yang dilakukan menurut
hukum adat, sepanjang dilakukan dengan syarat terang dan tunai, maka jual beli
tersebut telah sah dan berlaku bagi pihak ketiga, tanah yang diperjual belikan
hanya dalam lingkungan keluarga dan kerabat serta masyarakat yang ada di
diambil dari para kerabat si penjual dan pembeli yaitu orang yang mengetahui
sejarah tanah tersebut yakni Sepanganen, Berru, ataupun Kula-kula dari pemilik
tanah serta Sukut Nitalun (Pembuka Kampung) sebagai saksi kunci agar jual beli
tanah tersebut dapat dilaksanakan. Jual beli tanah di Kecamatan Salak masih
119
dilakukan di bawah tangan dibuat dengan memakai kertas segel atau kertas biasa
yang ditempel materai dilakukan di hadapan Kepala Desa. Pengalihan hak atas
tanah dengan cara jual beli tanah yang dilakukan masyarakat adat diakui dan
dalam masyarakat.
terhadap peralihan hak milik yang belum terdaftar sangat penting yaitu BPN
harus melakukan sosialisasi agar setiap perbuatan hukum jual beli tanah dibuat
Dalam praktek jual beli tanah belum terdaftar tidak menggunakan PPAT cukup
B. Saran
1. Agar status tanah sebagai objek jual beli memperoleh kepastian hukum,
diharapkan kepada pembeli sebagai pemilik yang baru dari perbuatan hukum jual
mendapatkan suatu bukti pemilikan hak atas tanah berupa sertifikat hak milik
hukum jual beli hak milik atas tanah yang dilakukan di bawah tangan, maka jual
beli tanah haruslah dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang yaitu Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau PPAT Sementara (Camat) dengan akta jual
beli agar peralihan hak atas tanah tersebut menjadi sah sesuai ketentuan
pendaftaran tanah, dan agar BPN melakukan sosialisasi kepada Camat dan
Kepala Desa supaya aktif bekerja menjalankan tugas-tugas pembuatan akta jual
pendaftaran haknya.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
Lubis, Muhammad Solly, 2012, Filsafat Ilmu dan Penelitian, PT. Sofmedia, Medan
Hadjon, Philipus Mandiri, 1978, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina
Ilmu, Surabaya
Hajati, Sri, 2000, Upaya Pembaharuan Hukum Agraria Nasional Dalam Menunjang
Investasi, Yuridika, Vol. 15 No. 6 Nopember-Desember
122
Istiqomah, Liliek, 1982, Hak Gadai Atas Tanah Sesudah Berlakunya Hukum Agraria
Nasional, Usaha Nasional, Surabaya
I, R. Subekti, 1996, Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wet Boek),
Pradnya Paramita, Jakarta
Kansil, CST, 2002, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai
Pustaka, Jakarta
Lubis, Mhd. Yamin, Lubis, Abdul Rahim, 2010, Hukum Pendaftaran Tanah, Penerbit
CV.Mandar Maju, Bandung
Marzuki, Pieter Mahmud, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media,
Jakarta
Moeleong, Lexy J., 1994, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya,
Bandung
Muhammad, Bushar, 1988, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Bina Cipta,
Bandung
Prasetyo, Teguh, Barkatullah, Abdul Hakim, 2006, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum
Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Yogyakarta
Perangin-angin, Effendi, 1994, Praktek Jual Beli Tanah, Raja Grafindo Persada,
Jakarta
Rasyid, Harun Al, 1987, Sekitar Tentang Jual Beli Tanah (Berikut Peraturan-
peraturannya), Ghalia Indonesia, Jakarta
Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut UUPA, Bandung, Alumni, 1976
Saleh, K. Wantjik, 1977, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia, Jakarta
Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta, Prenada
Media Grup, Jakarta
Soemitro, Rony Hanitiji, 1998, Metode Penelitian Hukum dan jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta
Soetikno, Iman, 1985, Politik Agraria Nasional, gadjah Mada Universitas Press,
Yogyakarta
Wignjodipuro, Sorojo, 1982, Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung,
MCML, XXXII, Jakarta
Zainal, Idris, Ketentuan Jual Beli Menurut Hukum Perdata, Fakultas Hukum USU,
Medan
B. TESIS/BAHAN HUKUM
Aprini, Erpinka, Kepastian Hukum Sertifikat Hak Atas Tanah Kaitannya Dengan
Ketentuan Pasal 32 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
Tentang Pendaftaran Tanah, Tesis, UNDIP, Semarang, 2007
Dasarwarsa Bhumibhakti Adhiguna, Badan Pertanahan Nasional, Jakarta 1988
Ilhamsyah, Pendaftaran Tanah Hak Milik Adat Untuk Pertama Kali Oleh Masyarakat
di Kota Sawahlunto, Tesis, 2005
Koswara, Engkos, Analisis Yuridis Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Secara
Sistematis di Kecamatan Cilincing Wilayah Kotamadya Jakarta Utara.
C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN