Anda di halaman 1dari 138

PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)

DALAM PEMBUATAN AKTA HAK PAKAI ATAS TANAH

OLEH WARGA NEGARA ASING

TESIS

Oleh :
Septia Nova Ayuningtyas
NIM : 21302000155
Program Studi : Kenotariatan

PROGRAM MAGISTER (S2) KENOTARIATAN (M.Kn)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAMSULTAN AGUNG (UNISSULA)
SEMARANG
2022

i
PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)

DALAM PEMBUATAN AKTA HAK PAKAI ATAS TANAH

OLEH WARGA NEGARA ASING

TESIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian


guna memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.)

Oleh :
Septia Nova Ayuningtyas
NIM : 21302000155
Program Studi : Kenotariatan

PROGRAM MAGISTER (S2) KENOTARIATAN (M.Kn)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAMSULTAN AGUNG (UNISSULA)
SEMARANG
2022

ii
PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)

DALAM PEMBUATAN AKTA HAK PAKAI ATAS TANAH

OLEH WARGA NEGARA ASING

TESIS

Oleh :
Septia Nova Ayuningtyas
NIM : 21302000155
Program Studi : Kenotariatan

Disetujui oleh:

Pembimbing
Tanggal,

Dr. Bambang Tri Bawono, SH., M.H.


NIDN: 06-0707-7601

Mengetahui,
Ketua Program Magister (S2 Kenotariatan (M.Kn)

Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H.


NIDN. 06-2004-6701

iii
PERAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)
DALAM PEMBUATAN AKTA HAK PAKAI ATAS TANAH
OLEH WARGA NEGARA ASING

TESIS

Oleh :
Septia Nova Ayuningtyas
NIM : 21302000155
Program Studi : Kenotariatan

Telah Dipertahankan di Depan Dewan Penguji


Pada Tanggal 30 Agustus 2022
Dan dinyatakan LULUS

Tim Penguji
Ketua,

Prof. Dr. H. Gunarto, S.H.,S.E.,Akt., M.Hum


NIDN: 0605036205
.
Anggota

Dr. Bambang Tri Bawono, S.H., M.H.


NIDN: 0607077601
Anggota

Dr. Soegianto, S.H.,M.Kn.


NIDN. -

Mengetahui,
Ketua Program Magister (S2 Kenotariatan (M.Kn)

Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H.


NIDN. 06-2004-6701

iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Septia Nova Ayuningtyas
NIM. : 21302000155
Program Studi : Magister Kenotariatan
Fakultas / Program : Hukum / Program Magister

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis saya dengan judul


“Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembuatan Akta Hak
Pakai Atas Tanah oleh Warga Negara Asing” benar-benar merupakan hasil
karya saya sendiri, bebas dari peniruan hasil karya orang lain. Kutipan
pendapat dan tulisan orang lain ditunjuk sesuai dengan cara-cara penulisan
karya ilmiah yang berlaku.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan dalam tesis ini
terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap
melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut.

Semarang, 2022

Yang Menyatakan

Septia Nova Ayuningtyas


21302000155

v
PERNYATAAN PERSETUJUAN UNGGAH KARYA
ILMIAH

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Septia Nova Ayuningtyas
NIM. : 21302000155
Program Studi : Magister Kenotariatan
Fakultas / Program : Hukum / Program Magister

Dengan ini menyerahkan karya ilmiah berupa Tugas Akhir/Skripsi/Tesis/


Disertasi* dengan judul :
“Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembuatan Akta Hak
Pakai Atas Tanah oleh Warga Negara Asing”
dan menyetujuinya menjadi hak milik Universitas Islam Sultan Agung serta
memberikan Hak Bebas Royalti Non-ekslusif untuk disimpan,
dialihmediakan, dikelola dalam pangkalan data, dan dipublikasinya di
internet atau media lain untuk kepentingan akademis selama tetap
mencantumkan nama penulis sebagai pemilik Hak Cipta.
Pernyataan ini saya buat dengan sungguh-sungguh. Apabila dikemudian hari
terbukti ada pelanggaran Hak Cipta/Plagiarisme dalam karya ilmiah ini,
maka segala bentuk tuntutan hukum yang timbul akan saya tanggung secara
pribadi tanpa melibatkan pihak Universitas Islam Sultan Agung.

Semarang, 2022

Yang Menyatakan

Septia Nova Ayuningtyas


21302000155

vi
MOTTO

Motto
Jika kita ingin mengetahui kedalaman agama seseorang,
Janganlah lihat dari betapa banyaknya ia shalat dan puasa,
Melainkan lihatlah bagaimana ia memperlakukan orang lain.
(Imam Ja’far Ash Shadiq Ra)

Persembahan

Tesis ini kupersembahkan untuk :


Keluarga tercinta yang selalu
mendoakan dan mencurahkan kasih
sayang sejak lahir sampai sekarang.
SELURUH Sahabat-sahabatku; dan
Almamater tercinta, Universitas
Islam sultan agung.

vii
KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang

Maha Esa karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan tesis dengan judul “Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) dalam Pembuatan Akta Hak Pakai Atas Tanah oleh Warga Negara

Asing”.

Penulis pada kesempatan ini dengan segenap rasa hormat dan

ketulusan serta kerendahan hati, ingin menghaturkan ucapan terimakasih

yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dan memberikan

dukungan, bimbingan saran, serta motivasi dalam penulisan dan penyusunan

tesis ini, yaitu kepada:

1. Prof. Dr. Gunarto, S.H., M.Hum selaku Rektor Universitas Islam

Sultan Agung Semarang.

2. Dr. Bambang Tri Bawono, S.H.,M.H selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Islam Sultan Agung Semarang, sekaligus selaku

pembimbing dalam penulisan tesis ini yang senantiasa meluangkan

waktu untuk memberikan bimbingan, saran dan dorongan kepada

penulis hingga selesainya tesis ini.

3. Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H, selaku Ketua Program Studi Magister

Kenotariatan, Program Pasca Sarjana Universitas Islam Sultan Agung

Semarang.

viii
4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum, khususnya Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan

Agung Semarang yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu,

terima kasih banyak atas ilmu dan bimbingannya yang telah diberikan

kepada penulis selama penulis berkuliah di Fakultas Hukum Islam

Sultan Agung Semarang.

5. Seluruh Bapak dan Ibu staf maupun karyawan di Fakultas Hukum

Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

6. Teman-teman seperjuangan Magister Kenotariatan Universitas Islam

Sultan Agung Semarang.

7. Keluarga dan seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung

penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini, yang nama-namanya

tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih banyak

kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang

membangun. Penulis berharap semoga tesis ini dapat membawa manfaat

bagi penulis maupun bagi para pembaca dan apabila di dalam tesis ini

terdapat kekeliruan, penulis mohon maaf yang sebesar-besamya.

Penulis

ix
ABSTRAK

PPAT diberi tugas dan wewenang sehingga kehadirannya untuk


melayani masyarakat yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum
dengan membuatkan akta peralihan haknya maupun akta pembebanan
hak atas tanahnya. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
dan menganalisa: 1) Implikasi yuridis terhadap kepemilikan hak atas
tanah bagi warga negara asing dalam konsep kepastian hukum. 2) Peran
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pembuatan akta hak pakai
atas tanah oleh warga negara asing.
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
metode pendekatan yuridis empiris. Spesifikasi penelitian yang
dipergunakan adalah penelitian deskriptif analitis. Jenis data menggunakan
data primer dan data sekunder dengan metode pengumpulan studi pustaka
dan wawancara. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah analisis kualitatif.
Hasil penelitian: 1) Implikasi yuridis terhadap kepemilikan hak atas
tanah bagi warga negara asing dalam konsep kepastian hukum dijamin oleh
Peraturan Perundang-undangan. WNA sah memilik hak atas tanah dengan
status hak milik, serta jaminan kepastian hukum mengenai kebolehan WNA
memiliki tanah dengan status hak pakai, sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 42 UUPA. Masa kepemilikan hak pakai diatur dalam Pasal 52
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 bahwa
Hak pakai di atas Tanah Negara dan Tanah hak Pengelolaan dengan jangka
waktu diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun
diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan
diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun. Apabila
dalam jangka waktu yang ditentukan WNA tersebut ternyata wafat, maka
dapat diwariskan kepada seorang WNI ataupun WNA, yaitu dengan status
warisan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 29
Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengalihan Hak
Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing
Yang berkedudukan di Indonesia. 2) Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) dalam pembuatan akta hak pakai atas tanah oleh warga negara asing
adalah membuat perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik.
Sebelum membuat akta tersebut, PPAT harus memastikan bahwa para pihak
telah memenuhi persyaratan dalam Peraturan Perundang-undangan. Dalam
hal kewenangan PPAT membuat akta pemberian hak pakai merupakan
kewenangan atribusi yang terdapat dalam Pasal 2 PP Nomor 24 Tahun 2016
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Kata Kunci: PPAT, Hak pakai, Warga Negara Asing

x
ABSTRACT

PPAT is given the task and authority so that its presence is to serve
the community who carry out legal actions by making a deed of transfer of
their rights and deed of encumbrance of their land rights. The purpose of
this study is to identify and analyze: 1) The juridical implications of
ownership of land rights for foreign citizens in the concept of legal
certainty. 2) The role of the Land Deed Making Official (PPAT) in making
the right of use deed on land by foreign nationals.
The approach method used in this study is an empirical juridical
approach. The research specification used is descriptive analytical
research. This type of data uses primary data and secondary data with
library research and interview collection methods. The data analysis
method used in this research is qualitative analysis.
The results of the study: 1) The juridical implications of ownership of
land rights for foreign nationals in the concept of legal certainty are
guaranteed by laws and regulations. Foreigners legally have land rights
with the status of property rights, as well as guarantees of legal certainty
regarding the permissibility of foreigners to own land with usufructuary
status, as explained in Article 42 of the UUPA. The period of ownership of
the right of use is regulated in Article 52 of the Government Regulation of
the Republic of Indonesia Number 18 of 2021 that the Right of Use on State
Land and Land of Management Rights is granted for a maximum period of
30 years, extended for a maximum period of 20 years, and renewed for
maximum period of 30 years. If within the specified period of time the
foreigner turns out to be dead, then it can be inherited to an Indonesian
citizen or foreigner, namely with inheritance status as stipulated in the
Regulation of the Minister of Agrarian Affairs Number 29 of 2016
concerning Procedures for Granting, Release, or Transfer of Rights to
Ownership of Residential Houses or Residential Homes. Occupancy by
foreigners domiciled in Indonesia. 2) The role of the Land Deed Making
Official (PPAT) in making the right of use deed on land by foreign citizens
is to make an agreement to grant the Right of Use over the Right of
Ownership. Before making the deed, PPAT must ensure that the parties
have complied with the requirements in the laws and regulations. In the
event that the PPAT's authority to make a deed of granting usufructuary
rights is the attribution authority contained in Article 2 of PP Number 24 of
2016 Amendment to Government Regulation Number 37 of 1998 concerning
the Regulation of the Position of the Official Making the Land Deed.
Keywords: PPAT, Right of Use, Foreign Citizen

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ........................................................................... i

HALAMAN JUDUL............................................................................... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................ iii

HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. iv

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ..................................................... v

PERNYATAAN PERSETUJUAN UNGGAH KARYA ILMIAH ........ vi

MOTTO................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ............................................................................ viii

ABSTRAK .............................................................................................. x

ABSTRACT .............................................................................................. xi

DAFTAR ISI ........................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................ 1

B. Perumusan Masalah..................................................................... 8

C. Tujuan Penelitian......................................................................... 8

D. Manfaat Penelitian....................................................................... 9

E. Kerangka Konseptual .................................................................. 10

F. Kerangka Teoritis ........................................................................ 14

1. Teori Kepastian Hukum.......................................................... 16

2. Teori Kewenangan .................................................................. 18

G. Metode Penelitian ........................................................................ 20

1. Metode Pendekatan................................................................. 21

xii
2. Spesifikasi Penelitian.............................................................. 22

3. Jenis dan Sumber Data ........................................................... 22

4. Metode Pengumpulan data ..................................................... 25

5. Metode Analisis Data ............................................................. 27

H. Sistematika Penulisan .................................................................. 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 29

A. Tinjauan Umum Tentang Tanah.................................................. 29

1. Pengertian tanah ..................................................................... 29

2. Hak Atas Tanah ...................................................................... 30

3. Pendaftaran Hak Atas Tanah .................................................. 33

B. Tinjauan Umum Tentang PPAT .................................................. 37

1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah................................ 37

2. Dasar Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ............. 39

3. Macam-Macam Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan

Wilayah Kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) ............ 40

4. Tugas Pokok dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) ......................................................................... 42

5. Kewajiban dan Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta

Tanah (PPAT) ......................................................................... 46

C. Tinjauan Umum Tentang Hak Pakai ........................................... 52

1. Pengertian Hak Pakai.............................................................. 52

2. Subyek Hak Pakai ................................................................... 53

3. Terjadinya Hak Pakai ............................................................. 53

xiii
4. Jangka Waktu Hak Pakai ........................................................ 55

5. Hapusnya Hak Pakai ............................................................... 56

D. Tinjauan Umum Tentang Warga Negara Asing .......................... 58

E. Tinjauan Umum Tentang Hak Atas Tanah Menurut Hukum

Islam ............................................................................................ 60

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................ 64

A. Implikasi Yuridis Terhadap Kepemilikan Hak Atas Tanah Bagi

Warga Negara Asing dalam Konsep Kepastian Hukum ............. 64

B. Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan

Akta Hak Pakai Atas Tanah Oleh Warga Negara Asing ............. 86

BAB IV PENUTUP ................................................................................ 107

A. Simpulan...................................................................................... 107

B. Saran ............................................................................................ 108

Contoh Akta PPAT ................................................................................. 110

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 119

xiv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa bagi setiap umat

manusia yang ada di muka bumi karena tanah memiliki banyak manfaat di

dalamnya, tanah harus dikelola, dimanfaatkan, dan dipelihara sebaik-baiknya

sebagai sumber daya untuk tercapainya tujuan sebagai sebuah negara yang

makmur.1 Tanah dan manusia tidak dapat dipisahkan, manusia tinggal dan

berkembang serta melakukan aktivitas sehari-hari diatas tanah. Manusia

sebagian besar kehidupannya begantung terhadap tanah, karena tanah

merupakan sumber penghidupan maupun mata pencaharian dari manusia.2

Tanah memegang peranan sentral dalam kehidupan dan perekonomian

Indonesia. Maraknya pembangunan di berbagai bidang kehidupan

menyebabkan tanah menjadi komoditi yang mempunyai nilai ekonomi yang

sangat tinggi dan sulit dikendalikan.3 Hal ini menyebabkan banyak orang yang

tertarik untuk berinvestasi dengan membeli tanah, mengingat harganya yang

terus melonjak setiap tahunnya.

Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa bumi, air,

1
Heru Kurniawan, Rekonstruksi Dan Reaktualisasi Literasi Ekologi Sosial Islam, Jurnal
Penelitian Volume 13 Nomor 2 (2016), hal. 201
2
Dyara Radhite Oryza Fea, 2018, Panduan Mengurus Tanah, Rumah dan Perizinannya,
Legality, Yogyakarta, hal.1
3
Adrian Sutedi, 2018, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika,
Jakarta, hal.22

1
2

dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya,

pada tataran yang tertinggi dikuasai oleh negara. Maksud dari negara

menguasai tanah artinya bukan tanahnya dimiliki oleh negara, melainkan

negara memiliki kuasa dalam mengatur distribusi hak atas tanah yang dapat

diberikan serta hubungan hukum yang timbul atas suatu tanah.4

Hak atas tanah merupakan suatu hak untuk menguasai tanah oleh

negara yang diberikan kepada seseorang, sekelompok orang, maupun kepada


5
badan hukum baik warga negara Indonesia maupun warga negara Asing.

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya

(baik perorangan secara sendiri-sendiri, kelompok orang secara bersama-sama

maupun badan hukum) untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan

dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu.6 Pada dasarnya semua

hak atas tanah dapat beralih maupun dialihkan. Beralih adalah pindahnya hak

atas tanah karena hukum, dengan sendirinya, tidak ada perbuatan hukum yang

sengaja untuk mengalihkan hak itu kepada pihak lain. Pindahnya hak atas

tanah ini terjadi karena adanya pewarisan. Sedangkan dialihkan mengandung

makna bahwa pindahnya hak atas tanah itu kepada pihak lain karena adanya

perbuatan hukum yang disengaja agar hak atas tanah itu pindah kepada pihak

lain, seperti jual-beli, hibah, tukar menukar, dan lain-lain. Jadi peralihan hak

atas tanah adalah pindahnya hak atas tanah dari satu pihak kepada pihak lain,

4
Hardianto Djanggih and Salle Salle, Aspek Hukum Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pandecta: Jurnal Penelitian Ilmu Hukum, Volume 12
Nomor 2 (2017), hal. 165
5
Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, hal.87
6
Ibid., hal. 82
3

baik karena adanya perbuatan hukum yang disengaja maupun bukan karena

perbuatan hukum yang sengaja.7

Hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan

permukaan bumi atau tanah yang berhubungan dengan tubuh bumi dan air

serta ruang angkasa yang ada diatasnya, dipergunakan untuk keperluan

langsung berhubungan dengan pengunaan tanah, menurut undang-undang dan

peraturan hukum lain yang lebih tinggi. 8 Hak-hak atas tanah yang diatur dalam

Hukum Agraria Nasional membagi hak atas tanah menjadi dua bentuk.

Pertama, hak atas tanah yang bersifat primer dan kedua, hak atas tanah yang

bersifat sekunder. Hak atas tanah sekunder merupakan hak yang bersifat

sementara, dimana hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), mengatur mengenai

hak-hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu hak gadai, hak usaha bagi

hasil, hak menumpang, hak menyewa atas tanah pertanian. Sedangkan Hak

atas primer merupakan hak yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung

oleh seseorang atau badan hukumyang memiliki waktu lama dan dapat

dipindah tangankan kepada orang lain atau ahli warisnya. Dalam UUPA

terdapat hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak milik atas tanah, hak

guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai .9

7
Erna Sri Wibawanti, R. Murjiyanto, 2013, Hak-Hak Atas Tanah dan Peralihannya, Liberty
Yogyakarta, hal.119.
8
Pasal 24 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria.
9
Supriadi, 2019, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 64
4

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil

dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain,

yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikan atau dalam

perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa

atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan

dengan ketentuan undang undang. Hak Pakai diatur dalam Pasal 41 sampai

pasal 43 UUPA. Hak pakai ini selain dapat digunakan oleh WNI serta Badan

Hukum Indonesia, hak pakai juga dapat digunakan oleh warga negara asing

dengan jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu

yang tidak ditentukan selama tanah tersebut digunakan untuk keperluan

tertentu. Bagi orang asing berlaku larangan kepemilikan atas tanah hak milik

sesuai dengan Pasal 21 Undang Undang Pokok Agraria, serta bagi badan-

badan hukum yang ingin berkedudukan di Indonesia harus memenuhi

syaratsyarat yang ditentukan oleh pemerintah. Hal ini sebagai upaya agar

tanah yang ada di Indonesia tidak dimilikioleh warga negara asing oleh karena

itu hak milik merupakan hak mutlak bagi warga negara Indonesia.10

Asas nasionalitas tersebut didalamnya terdapat jaminan mengenai hak

Warga Negara Indonesia atas kepemilikan tanah maupun yang berhubungan

dengan bumi, air dan ruang angkasa dan kekayaan alam lain yang terkandung

di dalamnya. Dengan demikian Warga Negara Asing atau Badan Hukum

Asing tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah di Indonesia. Hal ini dapat

10
Urip Santoso, Op.cit, hal.84
5

dibuktikan tentang masalah hak dan kewajiban Warga Negara Asing di

Indonesia mengenai kepemilikan tanah yaitu dengan adanya dasar dari

penguasaan tanah oleh Warga Negara Asing dan Badan Hukum Asing yang

mempunyai perwakilan di Indonesia, secara garis besar telah diatur dalam

Pasal 41 dan Pasal 42 UUPA. Berdasarkan peraturan perundang undangan

yang berlaku tersebut, Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia

hanya di berikan Hak Pakai atas tanah. Dengan demikian tidak dibenarkan

Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing memiliki tanah dan bangunan

dengan status hak milik. Dalam Pasal 9 Undang Undang Pokok Agraria

menyatakan bahwa hanya Warga Negara Indonesia sajalah yang dapat

mempunyai hubungan sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang udara

Indonesia. Dalam penjelasannya dikatakan hanya Warga Negara Indonesia

saja yang dapat mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang

asing dilarang sebagaimana yang disebutkan di dalam Pasal 26 ayat (2)

Undang Undang Pokok Agraria, dan pelanggaran terhadap Pasal ini

mengandung sanksi batal demi hukum.11

Warga Negara Asing tidak dapat memiliki/menguasai tanah dan

bangunan dengan status hak milik, akan tetapi masih dapat memiliki tanah dan

bangunan dengan status hak sewa bangunan atau hak pakai. Hal tersebut juga

diperjelas pada Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata

11
Bedita Putri Sa’idah, Nadya Farras Indriati, Peranan PPAT dalam Pembuatan Akta
Perjanjian Hak Pakai Terhadap Warga Negara Asing, Journal : Indonesian Notary, Volume 3
Nomor 2 (2021), hal.148
6

Cara Pemberian, Pelepasan, Atau Pengadilan Hak atas Pemilikan Rumah

Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di

Indonesia, yaitu:

Pasal 3 :
1. Orang Asing pemegang izin tinggal di Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, dapat memiliki rumah
untuk tempat tinggal atau hunian dengan Hak Pakai.
2. Dalam hal Orang Asing meninggal dunia, maka rumah tempat
tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diwariskan.
3. Dalam hal ahli waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
merupakan Orang Asing, maka ahli waris harus mempunyai izin
tinggal di Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 4 :
Rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh
Orang Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) merupakan:
1. Rumah Tunggal, di atas tanah:
a. Hak Pakai;
b. Hak Pakai atas Hak Milik yang dikuasai berdasarkan
perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik dengan akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah; atau
c. Hak Pakai yang berasal dari perubahan Hak Milik atau Hak
Guna Bangunan.
2. Sarusun yang:
a. Dibangun di atas bidang tanah Hak Pakai;
b. Berasal dari perubahan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Permen ATR Nomor 29 Tahun 2016 tersebut juga mengatur batasan

harga minimal atas rumah tempat tinggal atau hunian yang dapat dimiliki oleh

WNA, serta mengatur batasan yaitu satu bidang tanah per-orang/keluarga,

dan tanahnya paling luas 2.000 meter persegi. Namun, dalam keadaan tertentu

yang mempunyai dampak positif luar biasa terhadap ekonomi, pemberian


7

rumah tempat tinggal dapat diberikan dengan luas lebih dari 2.000 meter

persegi dengan izin menteri.12

Warga Negara asing yang dapat memilki tanah atau bangunan dengan

hak pakai harus sesuai dengan ketentuan Perundang-undangan. Hal ini

dijelaskan dalam Pasal 69 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan

Rumah Susun, bahwa Orang Asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal

atau hunian merupakan Orang Asing yang mempunyai dokumen keimigrasian

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pejabat yang berwenang membuat akta perjanjian hak pakai adalah

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). PPAT adalah salah satu lembaga yang

disebutkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang

kewenangannya berhubungan erat dengan pembuatan akta otentik dan

kewenangan lainnnya. Berangkat dari kebutuhan akan suatu alat pembuktian

yang sempurna (volledig bewijs) sesuai dengan Burgelijke Wetboek (BW) atau

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Herzien Inlandsch

Reglement (HIR) atau Hukum Acara Perdata Indonesia selain untuk kebenaran

materiil PPAT juga mempunyai peran dan tugas yang penting serta kedudukan

yang terhormat.13 PPAT diberi tugas dan wewenang sehingga kehadirannya

untuk melayani masyarakat yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum

12
https://www.kompas.com/konsultasihukum/read/2021/09/05/060000480/apakah-warga-
negara-asing-boleh-memiliki-tanah-di-indonesia-, diakses tanggl 27 April 2022
13
Tatik Arjiati, Peran Notaris/Ppat Dalam Pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama
(APHB) Terhadap Pembagian Waris Yang Berbeda Agama Atas Tanah dan Bangunan, Jurnal
Akta, Volume 4 Nomor 1 (2017), Unissula, Semarang, hal.75
8

dengan membuatkan akta peralihan haknya maupun akta pembebanan hak atas

tanahnya.14 Berdasarkan dari uraian diatas, penelitian ini dipilih judul “Peran

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembuatan Akta Hak Pakai Atas

Tanah oleh Warga Negara Asing”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, adapun rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana implikasi yuridis terhadap kepemilikan hak atas tanah bagi

warga negara asing dalam konsep kepastian hukum?

2. Bagaimana peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam

pembuatan akta hak pakai atas tanah oleh warga negara asing?

C. Tujuan Penelitian

Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan

manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan

penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun

tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis implikasi yuridis terhadap

kepemilikan hak atas tanah bagi warga negara asing dalam konsep

kepastian hukum.

14
Denny Suwondo, Ikhsan Saputra, Peran dan Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah
dalam Pelaksanaan Kegiatan Pendaftaran Tanah, Jurnal Hukum Unissula, Volume 35 Nomor 2
(2019), hal.187
9

2. Untuk mengetahui dan menganalisis peran Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) dalam pembuatan akta hak pakai atas tanah oleh warga negara

asing.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun

secara praktis:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangsih pemikiran dan menjadi suatu konsep ilmiah yang dapat

memberikan warna dalam perkembangan ilmu pengetahuan tentang

hukum, khususnya bagi para Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam

menjalankan jabatan maupun profesi sebagai Pejabat Pembuat Akta

Tanah, sehingga setiap menjalankan tugas, fungsi maupun jabatan

sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah mengacu kepada Undang-Undang

hukum yang berlaku di Indonesia.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

manfaat baik kepada pembaca, Pejabat Pembuat Akta Tanah maupun

penulis sendiri. Adapun manfaat yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Manfaat bagi pembaca

Diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu

pengetahuan khususnya tentang Peran Pejabat Pembuat Akta


10

Tanah (PPAT) dalam pembuatan akta hak pakai atas tanah oleh

warga negara asing.

b. Manfaat bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu

pengetahuan khususnya tentang Peran Pejabat Pembuat Akta

Tanah dalam pembuatan akta hak pakai atas tanah oleh warga

negara asing.

c. Manfaat bagi penulis sendiri

Diharapkan disamping memenuhi salah satu syarat

penyelesaian studi Magister Kenotariatan Universitas Islam

Sultan Agung Semarang, juga untuk menambah pengetahuan

serta wawasan dibidang hukum kenotariatan/Pejabat Pembuat

Akta Tanah.

E. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan konsep-konsep dasar yang berkaitan

dengan konsep-konsep yang terkandung dalam judul penelitian yang

dijabarkan dalam permasalahan dan tujuan penelitian. Konsep-konsep dasar

ini akan dijadikan pedoman dalam rangka mengumpulkan data dan bahan-

bahan hukum yang dibutuhkan dalam penelitian ini untuk menjawab

permasalahan dan tujuan penelitian.15 Konsep-konsep dasar lazimnya

diperoleh setelah dilakukan penelusuran bahan-bahan hukum yang dibutuhkan

15
Paulus Hadisoeprapto,dkk, 2009, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, UNDIP,
Semarang, hal. 18
11

dalam penelitian yang berupa kajian pustaka menyangkut permasalahan dan

tujuan dari penelitian ini.16 Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Peran

Peran berarti sesuatu yang dimainkan atau dijalankan.17 Peran

disefinisikan sebagai sebuah aktivitas yang diperankan atau dimainkan

oleh seseorang yang mempunyai kedudukan atau status sosial dalam

organisasi. Peran menurut terminology adalah seperangkat tingkah yang

diharapkan dimiliki oleh yang berkedudukan dimasyarakat. Dalam

bahasa inggris peran disebut “role” yang definisinya adalah “person’s

task or duty in undertaking”. Artinya “tugas atau kewajiban seseorang

dalam suatu usaha atau pekerjaan”. Peran diartikan sebagai perangkat

tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam

masyarakat.18

2. PPAT

Menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun

2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT adalah

pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta

16
Rusdi Malik, 2000, Penemu Agama Dalam Hukum, Trisakti, Jakarta, hal 15
17
Departemen Pendidikan Nasional, 2014, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
18
Syamsir, Torang, 2014, Organisasi & Manajemen (Perilaku, Struktur, Budaya &
Perubahan Organisasi), Alfabeta, Bandung, hal, 86.
12

otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah

atau hak milik atas satuan rumah susun. 19

3. Akta

Kata akta berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti “geschrift”

atau surat, sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibio dalam

kamus hukum, bahwa kata “acta” merupakan bentuk jamak dari kata

“actum” yang berasal dari bahasa latin dan berarti perbuatan-perbuatan.

Menurut A. Pilto, mengatakan akta sebagai surat-surat yang

ditandatangani, dibuat untuk pakai sebagai bukti, dan dipergunakan

oleh orang, untuk keperluan siapa surat itu di buat. Sedangkan menurut

sudikno mertokusumo akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang

memuat peristiwa-peristiwa hukum, yang menjadi dasar dari suatu hak

atau perikatan, yang dibuat sejak semula secara sengaja untuk tujuan

pembuktian .20 Berdasarkan beberapa pendapat diatas, disimpulkan

bahwa akta adalah selembar tulisan yang dibuat untuk dijadikan sebagai

bukti tertulis terhadap suatu peristiwa dan akan ditandatangani oleh

pihak-pihak yang bersangkutan.

4. Hak Pakai Atas Tanah

Ketentuan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria,

bahwa yang dimaksud dengan hak pakai adalah hak untuk

menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai

19
Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2016 tentang tentang Peraturan
Pejabat Pembuat Akta Tanah.
20
Daeng Naja, 2012, Teknik Pembuatan Akta, Pustaka yustisia,Yogyakarta, hal. 1
13

langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi

wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan

pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam

perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa

menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak

bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang.21

5. Warga Negara Asing

Orang asing adalah warga negara asing yang bertempat tinggal

pada suatu negara tertentu. Bahwa orang asing tersebut adalah semua

orang-orang yang bertempat tinggal pada suatu negara tertentu tetapi ia

bukan warga negara dari negara tersebut.22 Sedangkan definisi warga

negara asing, berdasarkan Pasal 1 Ayat (9) Undang-Undang Nomor 6

Tahun 2011 tentang Keimigrasian, adalah orang yang bukan warga

Indonesia. Warga negara asing merupakan seseorang yang tinggal dan

menetap di sebuah negara tertentu namun bukan berasal dari negara

tersebut juga tidak secara resmi terdaftar sebagai warga negara, yang

memiliki tujuan yang beragam, misalnya dalam rangka menempuh

pendidikan, bisnis maupun hal lainnya. Meskipun status seseorang

tersebut adalah warga negara asing di Indonesia, seseorang tersebut

tetap memiliki hak dan juga kewajiban terhadap negara yang di

tinggalinya.

21
Urip Santoso, Op.cit., hal.115
22
Titik Triwulan Tutik, 2018, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka, Jakarta, hal.348
14

F. Kerangka Teoritis

Perkembangan ilmu hukum tidak terlepas dari teori hukum sebagai

landasannya. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa

gejala spesifik atau proses tertentu terjadi dan suatu teori harus diuji dengan

menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan

ketidakbenarannya.23 Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau

dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari

permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka

pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, mengenai suatu kasus atau

permasalahan yang menjadi perbandingan/pegangan teoritis.24

Seiring dengan perkembangan masyarakat hukum yang sifatnya

dinamis mengalami perkembangan dengan perubahan dan perkembangan.

Dalam hubungannya dengan perkembangan tersebut maka timbul teori-teori

yang baru. Suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan pada aktivitas

penelitian yang dijalankan dan memberikan taraf pemahaman tertentu.25

Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,

teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses

tertentu terjadi.26 Jadi teori adalah seperangkat preposisi yang berisi konsep

abstrak atau konsep yang sudah didefenisikan dan saling berhubungan antar

variabel sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang

23
Wuisma, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (Jilid I), Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia, Jakarta, hal. 203
24
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal. 80.
25
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif , Suatu Tinjauan
Singkat,.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 6.
26
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum,. UI Press, Jakarta , hal. 122.
15

digambarkan oleh suatu variabel dan variabel lainnya dan menjelaskan

bagaimana hubungan antar variabel tersebut.27 Sedangkan fungsi teori dalam

penelitian adalah untuk mensistimatiskan penemuan-penemuan penelitian,

membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan

penjelasan yang dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori

merupakan penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan objek yang

dijelaskan dan harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan

benar.28 Secara umum, teori mempunyai tiga fungsi, yaitu untuk menjelaskan

(explanation), meramalkan (prediction), dan pengedalian (control) suatu

gejala. Menurut pendapat Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, teori adalah

suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman

mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian

berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum. 29 Fungsi

teori hukum dalam permasalahan ini digunakan untuk menjelaskan fakta dan

peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi dan

kegunaan teori dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang

peristiwa atau fakta hukum.

Tugas teori hukum adalah untuk menjelaskan nilai-nilai hukum dan

postulat-postulatnya hingga dasar-dasar filsafatnya yang paling dalam.

Sehingga penelitian ini tidak terlepas dari teori-teori ahli hukum yang dibahas

27
Maria S. W. Sumardjono, 1989, Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia, Yogyakarta, hal
12
28
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal. 80.
29
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 134
16

dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri.30 Menurut

pendapat Sudikno Martukusumo kata teori berasal dari kata theoria ,artinya

pandangan atau wawasan, kata teori mempunyai banyak arti dan biasanya

diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa

dihubungkan dengan kegiatan yang bersifat praktis.31

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori

dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang

dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-

butir pendapat, teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak
32
disetujui. Adapun teori yang digunakan untuk membahas permasalahan

dalam tesis ini yaitu:

1. Teori Kepastian Hukum Gustav Radbruch

Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum, seperti

yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch, hukum bertujuan untuk

keadilan, kegunaan dan kepastian.33 Dengan adanya suatu kepastian

hukum, maka tujuan dari hukum yaitu keadilan akan dapat dicapai.

Yang utama dari nilai kepastian hukum adalah adanya peraturan itu

sendiri.34 Secara umum, diartikan bahwa kerangka teori merupakan

garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan

30
Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal. 80
31
Sudikno Martukusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta, hal. 4.
32
Ujun S.Suryasumantri, 1997, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, hal.237
33
H.Chaerudin, 1999, Filsafat Suatu Ikhtisar, FH UNSUR, Cianjur, hal. 19.
34
Gustav Radbruch dalam Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung , hal.9.
17

sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa. Menurut Gustav

Radbruch, terdapat empat hal yang menjadi dasar makna kepastian

hukum diantaranya ialah:

a. Hukum positif yaitu Undang-Undang.

b. Hukum didasarkan pada fakta-fakta atau dasar hukum yang

ditetapkan.

c. Kenyataan fakta harus dirumuskan dengan jelas, sehingga

menghindari kekeliruan pemaknaan dan mudah untuk

dilaksanakan.

d. Hukum positif tidak boleh mudah berubah.

Asas kepastian hukum sudah umum bilamana kepastian sudah

menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk

norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan

kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat

digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian hukum

menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-

undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,

sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat

menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu

peraturan yang harus ditaati. 35

35
Ibid.,hal.9
18

2. Teori Kewenangan Philipus M. Hadjon

Kata kewenangan berasal dari kata dasar wewenang yang

diartikan sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai

untuk melakukan sesuatu. Kewenangan adalah apa yang disebut

kekuasaan formal, kekuasaan berasal dari kekuasaan legislate (diberi

oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administrative.

Kewenangan yang biasanya terdiri dari beberapa wewenang adalah

kekuasaan terhadap segolongan orang tertentu atau kekuasaan terhadap

suatu bidang pemerintahan.36

Philipus M. Hadjon mengemukanan bahwa kewenangan

diperoleh melalui tiga sumber yaitu atribusi, delegasi, mandate.

a. Atribusi Yaitu pemberian kewenangan oleh pembuat undang-

undang sendiri kepada suatu organ pemerintahan, baik yang

sudah ada maupun yang baru sama sekali.37 Artinya kewenangan

itu bersifat melekat terhadap organ pemerintahan tersebut yang

dituju atas jabatan dan kewenangan yang diberikan kepada organ

pemerintahan tersebut.

b. Delegasi adalah penyerahan wewenang yang dipunyai oleh organ

pemerintahan kepada organ yang lain.38 Dalam delegasi

mengandung suatu penyerahan, yaitu apa yang semula

kewenangan orang pertama, untuk selanjutnya menjadi

36
Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara,, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.78
37
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 104
38
Ibid., hal.105
19

kewenangan orang kedua. Kewenangan yang telah diberikan oleh

pemberi delegasi selanjutnya menjadi tanggung jawab penerima

wewenang.

c. Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan.

Pelimpahan itu bermaksud memberi wewenang kepada bawahan

untuk membuat keputusan a/n (atas nama) pejabat Tata Usaha

Negara yang memberi mandat.39 Tanggung jawab tidak berpindah

ke mandataris, melainkan tanggung jawab tetap berada di tangan

pemberi mandat, hal ini dapat dilihat dan kata a.n (atas nama).

Dengan demikian, semua akibat hukum yang ditimbulkan oleh

adanya keputusan yang dikeluarkan oleh mandataris adalah

tanggung jawab dari pemberi mandat

Kewenangan atribusi lazimnya digariskan melalui pembagian

kekuasaan negara oleh Undang-undang Dasar, kewenangan delegasi

dan mandate adalah kewenangan yang berasal dari pelimpahan.40

Bedanya kewenangan delegasi terdapat adanya pemindahan atau

pengalihan kewenangan yang ada, atau dengan kata lain pemindahan

atribusi kepada pejabat dibawahnya dengan dibarengi pemindahan

tanggung jawab. Sedangkan pada kewenangan mandat yaitu dalam hal

ini tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihan

tangan kewenangan, yang ada hanyajanji-janji kerja intern antara

39
Philipus M. Hadjon, Op.cit., hal. 90
40
Philipus M. Hadjon, Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 112
20

penguasa dan pegawai (tidak adanya pemindahan tanggung jawab atau

tanggung jawab tetap pada yang memberi mandat).

Menurut Philipus M. Hadjon, kewenangan membuat keputusan

hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau

dengan delegasi. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu

jabatan. Philipus menambahkan bahwa;

“Berbicara tentang delegasi dalam hal ada


pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada. Apabila
kewenangan itu kurang sempurna, berarti bahwa keputusan
yang berdasarkan kewenangan itu tidak sah menurut hukum”.41

Pernyataan diatas, dapat dipahami bahwa atribusi dan delegasi

merupakan suatu sarana yang digunakan untuk mengetahui apakah

suatu badan berwenang atau tidak dalam melaksanakan kewajiban

kepada masyarakat. Philipus M. Hadjon menyatakan dalam hal mandat

tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalih tanganan

kewenangan. Di sini menyangkut janji-janji kerja intern antara

penguasa dan pengawal. Dalam hal-hal tertentu seorang pegawai

memperoleh kewenangan untuk atas nama si penguasa.42

G. Metode Penelitian

Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan

dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodologis, sistematis,

dan konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu,

41
Philipus M. Hadjon, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Ketujuh,
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal. 110.
42
Ibid, hal. 131.
21

sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak

adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.43 Dalam

penelitian ini penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut:

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

yuridis empiris, yaitu penelitian yang menitikberatkan perilaku individu

atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum. Pendekatan yuridis

(hukum dilihat sebagai norma atau das sollen), karena dalam membahas

permasalahan penelitian ini menggunakan bahan-bahan hukum (baik

hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis atau baik bahan

hukum primer maupun bahan hukum sekunder). Pendekatan empiris

(hukum sebagai kenyataan sosial, kultural atau das sein, karena dalam

penelitian ini digunakan data primer yang diperoleh dari lapangan. Jadi,

pendekatan yuridis empiris dalam penelitian ini maksudnya adalah

bahwa dalam menganalisis permasalahan dilakukan dengan cara

memadukan bahan-bahan hukum (yang merupakan data sekunder)

dengan data primer yang diperoleh di lapangan44, meneliti efektivitas

suatu Undang-Undang dan Penelitian yang ingin mencari hubungan

(korelasi) antara berbagai gejala atau variabel sebagai alat pengumpul

datanya terdiri dari studi dokumen, pengamatan (observasi), dan

43
Soerjono Soekanto, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 275.
44
Soerjono Soekanto dan Sri Mamadji, 2009, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.1
22

wawancara (interview).45 Melalui pendekatan ini pula penulis

melakukan analisis terhadap peran Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) dalam pembuatan akta hak pakai atas tanah oleh warga negara

asing.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu untuk

menggambarkan, menemukan fakta-fakta hukum secara menyeluruh,

dan mengkaji secara sistematis, sehingga tidak hanya melakukan

eksplorasi dan klarifikasi atas fenomena atau kenyataan-kenyataan

sosial melainkan juga mencari hubungan kausalitas dan interaksional

dari semua data terpilih yang berhasil dikumpulkan.46 Penelitian yang

dimaksud diharapkan dapat memberikan data yang seteliti mungkin

dengan memberikan bahasan yang lebih mendalam tentang peran

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pembuatan akta hak pakai

atas tanah oleh warga negara asing.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan

sekunder. Sumber data penelitian ini berasal dari :

a. Data Primer

Sumber data primer merupakan sejumlah keterangan dan

fakta yang secara langsung diperoleh selama penelitian.

45
Amiruddin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta,
hal. 15
46
Sanapiah Faisal, 1995, Format-Format Penelitian Sosial, Rajawali Pers, Jakarta, hal. 25
23

Pengumpulan data primer dilakukan dengan metode wawancara.

Wawancara adalah proses tanya jawab dalam penelitian yang

berlangsung secara lisan dalam mana dua orang atau lebih

bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-

informasi atau keterangan-keterangan.47Jenis wawancara yang

digunakan dalam penelitian ini menggunakan wawancara bebas

terpimpin, adalah merupakan kombinasi antara wawancara bebas

dan terpimpin.48

b. Data Sekunder

Sumber data sekunder ini diperoleh tidak secara langsung

dari yang memberikan atau informasi, akan tetapi sumber data ini

diperoleh melalui studi kepustakaan yang merupakan suatu studi

yang digunakan dalam mengeumpulkan informasi dan data

dengan bantuan berbagai macam material yang ada di

perpustakaan yang memiliki keterkaitan atau pengetahuan terkait

obyek penelitian.49 Beberapa data menggunakan bahan hukum

yaitu sebagai berikut:

1) Bahan Hukum Primer

Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer

adalah bahan hukum yang bersifat otoritas. Di mana dalam hal

ini bahan hukum primer adalah terdiri dari peraturan

47
Ronny Hanitijo Soemitro, Op Cit, hal. 83
48
Ibid , hal. 84
49
Maman, Rahman, 1999, Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian, IKIP Semarang Press.
Semarang, hal.1
24

perundang-undangan, catatan catatan resmi, atau risalah

dalam pembuatan peraturan perundang-undangan.50 Bahan

hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

(a) Undang-undang Dasar 1945.

(b) KUHPerdata .

(c) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).

(d) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah.

(e) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24

Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

(f) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18

Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah,

Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.

(g) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala

Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor

29 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan,

Atau Pengadilan Hak atas Pemilikan Rumah Tempat

Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang

Berkedudukan di Indonesia, dsb.

50
Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia-UI
Press cetakan ke-3, Jakarta, hal. 141
25

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang

mendukung dan memperkuat bahan hukum primer

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang

ada sehingga dapat di lakukan analisa dan pemahaman yang

lebih mendalam sehingga adanya penguatan atas dasar hukum

mengasilkan analisa hukum yang baik.51 Bahan hukum yang

menerangkan bahan hukum primer berupa buku teks, jurnal-

jurnal, pendapat para sarjana, artikel dari koran, majalah,

internet, maupun makalah-makalah yang berhubungan dengan

penelitian

3) Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang

merupakan pelengkap yang sifatnya memberikan petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,

seperti kamus Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, kamus

hukum, ensiklopedia, dan lain-lain.

4. Metode Pengumpulan data

Penulis akan mempergunakan data primer dan data sekunder

yaitu data yang diperoleh dengan cara sebagai berikut :

a. Data Primer

Data Primer merupakan data yang diperoleh melalui studi

51
Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudi, 2003, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan
Singkat, Penerbit, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.23
26

lapangan yang meliputi data perilaku terapan dari ketentuan

normatif terhadap peristiwa hukum in concreto. Untuk

memperoleh data primer tersebut penulis menggunakan

wawancara untuk memperoleh informasi dengan bertanya

langsung pada narasumber. Wawancara yang digunakan dalam

penelitian ini adalah wawancara bebas terpimpin, yaitu dengan

mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan sebagai

pedoman, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya variasi

pertanyaan sesuai dengan situasi ketika wawancara

berlangsung.52

b. Data Sekunder

Data Sekunder merupakan data yang diperoleh dari hasil

penelaahan kepustakaan atau penelaahan terhadap berbagai

literatur atau bahan pustaka yang berkaitan dengan masalah atau

materi penelitian yang sering disebut bahan hukum.53

Pengumpulan data dengan cara mengambil beberapa keterangan

dari literatur dan dokumentasi ataupun peraturan perundang-

undangan lainnya yang ada hubungannya dengan pokok

permasalahan yang dibahas, dan diharapkan dapat memberikan

solusi dari suatu permasalahan.

52
Suharsini Arikunto, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis, Rineka Cipta,
Jakarta, hal, 227
53
Mukti Fajar dan Yulianto, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hal. 156
27

5. Metode Analisis Data

Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian berupa data primer

yang diperoleh dengan melakukan tinjauan lapangan melalui

wawancara serta data sekunder kemudian dikumpulkan melalui studi

kepustakaan kemudian disusun secara teratur untuk dianalisa. Penulis

dalam penulisan tesis ini menggunakan analisa data secara kualitatif

yaitu suatu cara penelitian yang menghasilkan data secara deskriptif,

dalam penelitian kualitatif, semua investigator atau peneliti

memfokuskan diri pada permasalahan yang dikaji, dengan dipandu oleh

kerangka konseptual atau teoritis.54

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih

memudahkan dalam memahami penulisan tesis ini secara keseluruhan.

Sistematika penulisannya sebagai berikut:

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang menguraikan tentang latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, kerangka konseptual, kerangka teori, metode penelitian,

dan sistematika penulisan.

54
Sudarwan Danim dan Darwis, 2003, Metode Penelitian Kebidanan : Prosedur, Kebijakan,
dan Etik. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 262
28

BAB. II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada

pengertian-pengertian umum serta pokok bahasan. Dalam uraian

bab ini lebih bersifat teoritis yang nantinya digunakan sebagai

bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku dengan

kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis besar

dalam bab ini adalah menjelaskan yaitu tinjauan umum tentang

tanah, tinjauan umum tentang PPAT, tinjauan umum tentang hak

pakai; tinjauan umum tentang warga negara asing, dan tinjauan

umum tentang hak pakai atas tanah dalam perspektif Islam.

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait

langsung dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini yaitu implikasi yuridis terhadap kepemilikan hak atas

tanah bagi warga negara asing dalam konsep kepastian hukum serta

peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pembuatan akta

hak pakai atas tanah oleh warga negara asing.

BAB IV PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang

diteliti berupa kesimpulan dari hasil penelitian terhadap

permasalahan yang telah dibahas dan saran.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Tanah

1. Pengertian tanah

Tanah adalah permukaan bumi, hak atas tanah adalah hak atas

sebagian tertentu dari permukaan bumi, yang terbatas, berdimensi dua

dengan ukuran panjang dan lebar.55 Dasar kepastian hukum dalam

peraturanperaturan hukum tertulis sebagai pelaksana Undang-Undang

Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, memungkinkan para pihak-pihak

yang berkepentingan dengan mudah mengetahui hukum yang berlaku

dan wewenang serta kewajiban yang ada atas tanah yang dipunyai.

Tanah dalam pengertian yuridis dapat diartikan sebagai

permukaan bumi. Sedangkan hak atas tanah adalah hak sebagian

tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi, dua dengan

dengan ukuran panjang dan lebar.56 Pasal 1 ayat (2) jo Pasal 4 ayat (1)

UUPA tanah adalah permukaan bumi dan ruang, maksudnya tanah

sama dengan permukaan bumi adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa.

Diartikan sama dengan ruang pada saat menggunakannya karena

termasuk juga tubuh bumi dan air dibawahnya dan ruang angkasa

diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung

55
Effendi Perangin. 1994, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang
Praktisi Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, hal. 17
56
Boedi Harsono, 1994, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Djambatan, Jakarta, hal. 18

29
30

berhubungan dengan penggunaan tanah dalam batas-batas menurut

undangundang ini dan peraturan lain yang lebih tinggi. Tanah adalah

suatu permukaan bumi yang berada diatas sekali. Makna permukaan

bumi sebagai bagian dari tanah yang haknya dapat di miliki oleh setiap

orang atau badan hukum.57

2. Hak Atas Tanah

Tanah Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang

berisikan serangkaian wewenang, kewajiban, dan/atau larangan bagi

pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang

dikehendaki. “Sesuatu” yang boleh, wajib atau dilarang untuk

diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi

kriterium atau tolak pembela antara hak-hak penguasaan atas tanah

yang diatur dalam Hukum Tanah.58 Dengan adanya hak menguasai dari

negara sebagai mana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu

bahwa:

“atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang angkasa,
termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada
tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi
kekuasaan seluruh masyarakat”

Atas dasar ketentuan tersebut, negara berwenang menentukan

hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki oleh dan atau diberikan kepada

perseorangan dan badan hukum yang mernenuhi persyaratan yang

57
Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3.
58
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok, Agraria, Djambatan, Jakarta, hal.24
31

ditentukan. Kewenangan tersebut diatur didalam Pasal 4 ayat (1)

UUPA, yang menyatakan bahwa:

“atas dasar hak menguasai dan negara sebagaimana yang


termaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak
atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri rnaupun
bersama-sarna dengan orang-orang lain serta badan-badan
hukum.”

Sedangkan dalam ayat (2) dinyatakan bahwa:

“Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah yang
bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang
angkasa diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang
langsung berhubungan dengan penatagunaan tanah itu dalam
batas-batas menurut undang-undang ini dan peraturan-peraturan
hukum yang lebih tinggi.”

Berdasarkan bunyi Pasal tersebut, maka negara menentukan hak-

hak atas tanah sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1), yaitu hak

milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak

membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang tidak

termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan

undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana

disebut dalam Pasal 53.

Hak-hak atas lanah tersebut diatas yang bersifat sementara diatur


lebih lanjut dalam Pasal 53 ayat (1) yang menyatakan bahwa :
“Hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (1) huruf h, ialah Hak Gadai, hak Usaha-Bagi-Hasil,
hak Menumpang dan Hak Sewa Tanah Pertanian diatur untuk
rnembatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengang-undang ini
dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang
singkat”
32

Seseorang atau badan hukum yang mempunyai suatu hak atas

tanah, oleh UUPA dibebani kewajiban untuk mengerjakan atau

mengusahakan sendiri secara aktif serta wajib pula memelihara

termasuk menambah kesuburan dan mencegah kerusakan tanah

tersebut. Selain itu, UUPA juga menghendaki supaya hak atas tanah

yang dipunyai oleh seseorang atau badan hukum tidak boleh

dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi dengan

sewenang-wenang tanpa menghiraukan kepentingan masyarakat umum

atau dengan kata lain semua hak atas tanah tersebut mempunyai fungsi

sisial sebagaaimana diatur dalam pasal 6 UUPA yang menyatakan

bahwa “semua hak atas tanah mempnnyai fungsi sosial”.

Pihak yang dapat mempunyai hak atas tanah diatur dalam Pasal 9

ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa:

“tiap-tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun


perempuan mempunyai kesempatan yang sama atas tanah untuk
mendapat manfaat dan hasilnya baik diri sendiri maupun
keluarganya”.

Sedangkan yang bukan warga Negara Indonesia atau badan hukum

asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia sangat dibatasi haknya

hak pakai atau sewa saja. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 42

dan Pasal 45 UUPA. Untuk badan hukum yang didirikan menurut

hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat mempunyai hak

atas tanah kecuali hak milik yang terbatas pada badan-badan hukum

yang diterapkan oleh Pemerintah, sebagaimana diatur dalam Pasal 30

ayat (1) huruf b dan Pasal 36 ayat (1) huruf B UUPA.


33

3. Pendaftaran Hak Atas Tanah

a. Pengertian Pendaftaran Tanah

Pengertian pendaftaran tanah telah diatur didalam Pasal 19

Ayat (2) UUPA yaitu meliputi 3 (tiga) hal sebagai berikut :

1) Pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah

2) Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut

3) Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai

alat pembuktian yang kuat.

Pengertian pendaftaran tanah yang diatur dalam Pasal 19 Ayat

(2) UUPA ini diselenggarakan dengan cara yang sederhana dan

mudah dimengerti karena hanya meliputi pengukuran, perpetaan,

dan pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan

hak-hak tersebut, serta pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.59

Pengertian pendaftaran tanah tersebut diatur lebih lanjut

didalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah

secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi

pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta

pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan

daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun,

termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang

59
Adrian Sutedi, 2011, Sertifikat Hak atas Tanah, Sinar Grafika, Jakarta , hal. 57
34

tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun

serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Pengertian pendaftaran tanah yang merupakan suatu rangkaian

kegiatan yang dilakukan berarti suatu kegiatan yang saling

berkesinambungan dan tidak dapat terputus, yaitu melalui kegiatan

pengumpulan data, pengolahan data, penyajian data, serta

pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan

daftar mengenai bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk

bentuk pemberian surat tanda bukti hak bagi bidang tanah yang

sudah ada haknya.

Pengertian definisi tersebut mengandung aspek teknis dan

yuridis, bahkan apabila definisi tersebut ditinjau lebih mendalam

lagi, ternyata definisi pendaftaran tanah yang terdapat dalam PP

No.24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari pengertian

pendaftaran tanah yang terdapat didalam PP No.10 Tahun 1961

sebagaimana yang dimaksud Pasal 19 ayat (2) UUPA yang hanya

meliputi : pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah,

pendaftaran dan peralihan hak atas tanah, serta pemberian surat

tanda bukti hak atau sertipikat.

Boedi Harsono merumuskan pengertian pendaftaran tanah

sebagai suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan secara teratur dan

terus menerus untuk mengumpulkan, mengolah, menyimpan dan


35

menyajikan data tertentu mengenai bidang-bidang atau tanah-tanah

tertentu yang adandi suatu wilayah tertentu dengan tujuan tertentu.

b. Kegiatan Pendaftaran Tanah

Kegiatan pendaftaran tanah yang diatur dalam Pasal 12 PP No.

24 Tahun 1997 ada dua, yaitu :

1) Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:

a) Pengumpulan dan pengolahan data fisik

b) Pembuktian hak dan pembukuannya

c) Penyajian data fisik dan data yuridis

d) Penyimpanan daftar umum dan dokumen.

2) Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi:

a) Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak;

b) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya

Penyelenggaraan pendaftaran tanah ditinjau dari aspek teknis

dan yuridis, meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali

dan kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah. Kedua kegiatan

tersebut menuntut perhatian dan penanganan yang sama, karena

keduanya sama pentingnya. Apabila salah satu dari keduanya

kurang memperoleh perhatian dan penanganan, maka berpotensi

untuk mendatangkan hal-hal yang tidak diharapkan dikemudian

hari.

Berdasarkan Pasal 1 butir 10 PP No.24 Tahun 1997

menentukan bahwa pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama


36

kali dilaksanakan secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran

tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang

meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam

wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.

Pendaftaran tanah secara sistematik umumnya prakarsa datang

dari pemerintah. Pelaksanaannya dilakukan di wilayah-wilayah

yang ditunjuk oleh Menteri. Sebaliknya di wilayah-wilayah yang

belum ditunjuk sebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik,

pendaftaran tanahnya dilakukan secara sporadik.Berdasarkan Pasal

1 butir 11 PP No.24 Tahun 1997 menentukan bahwa pendaftaran

tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk

pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah

dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa /kelurahan secara

individual atau masal. Pendaftaran tanah secara sporadik umumnya

prakarsa datang dari individual atau massal, yang dilakukan atas

permintaan pemegang atau penerima hak atas tanah yang

bersangkutan.60

Berdasarkan Pasal 1 butir 12 PP No.24 Tahun 1997

menentukan bahwa pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah

kegiatan pendaftaran tanah untuk menyesuaikan data fisik dan data

yuridis dalam peta pendaftaran, daftar tanah, daftar nama, surat

60
Ibid.,hal. 57
37

ukur, buku tanah, dan sertipikat dengan perubahan-perubahan yang

terjadi kemudian.

Kegiatan Pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi

pendaftaran peralihan dan pembebanan hak, dan pendaftaran

perubahan data pendaftaran tanah. Pemeliharaan data pendaftaran

tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data

yuridis obyek pendaftaran tanah khususnya hak milik yang telah

didaftar. Perubahan data fisik yang dimaksud adalah pemisahan,

pemecahan, atau penggabungan bidang-bidang tanah yang sudah

didaftar. Perubahan data yuridis yang dimaksud adalah dapat berupa

haknya, yaitu berakhirnya jangka waktu berlakunya, dibatalkan,

dicabut, atau dibebani hak lainnya. Perubahan juga dapat terjadi

karena perbuatan hukum jual beli. Pada sistem pendaftaran akta

untuk perubahan-perubahan tersebut dibuatkan akta yang

selanjutnya merupakan surat tanda bukti. Sistem pendaftaran hak

perubahannya dicatat pada buku tanah dan sertipikat yang

bersangkutan sebagai surat tanda bukti hak dan alat bukti yang kuat.

B. Tinjauan Umum Tentang PPAT

1. Pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah, Pasal 1 angka 24 menyebutkan definisi dari Pejabat Pembuat

Akta Tanah, yaitu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk

membuat akta-akta tanah tertentu. Menurut Boedi Harsono, yang


38

dimaksud PPAT adalah suatu jabatan (ambt) dalam tata susunan hukum

agraria nasional kita, khususnya hukum yang mengatur pendaftaran

tanah. Dapat diartikan juga “orang” yang menjabat jabatan tersebut.61

Berdasarkan pengertian di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dapat disimpulkan

bahwa, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah “Pejabat Umum”.

Menurut Effendi Perangin, Pejabat Umum adalah orang yang diangkat

oleh instansi yang berwenang dengan tugas melayani masyarakat umum

dibidang kegiatan tertentu.62

Kegiatan tertentu yang dimaksud diatas diantaranya untuk

membuat akta. Menurut Effendi Perangin Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) adalah pejabat yang berwenang membuat akta dari pada

perjanjian-perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah,

memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau

meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan.

Pendapat Effendi Perangin pada saat ini sudah tidak sesuai lagi

dengan peraturan yang ada sekarang, karena fungsi Pejabat Pembuat

akta tanah (PPAT) sekarang tidak mencakup sebagai pejabat yang

61
Boedi Harsono,1990, Makalah, Seminar tentang Pendaftaran Tanah Di bidang Hak
Tanggungan Tanah dan PPAT , Badan Pertanahan Nasional, Deputi Bidang Pengukuran Dan
Pendaftaran, Jakarta, hal. 34
62
Effendi Perangin, 1991, Hukum Agraria Di Indonesia Suatu Telaah Dari Sudut Pandang
Praktisi Hukum, Rajawali Press, Jakarta hal.436
39

menggadaikan tanah atau pejabat yang meminjamkan uang lagi,

sehingga perlu dibuat pemahaman baru terhadap pengertian tersebut.

Apabila sebuah akta itu dibuat oleh Pejabat Umum, bentuknya sesuai

dengan yang ditentukan oleh Undang-Undang dan dibuat didaerah

kewenangannya, maka akta tersebut adalah akta otentik. A.P

Perlindungan menyatakan, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sebagai

suatu lembaga umum yang diangkat oleh Pemerintah dan mempunyai

kekuasaan umum, artinya akta-akta yang diterbitkan merupakan akta

otentik.63

Berdasarkan ketiga pendapat tersebut penulis cenderung

menggunakan pendapat, dimana PPAT mengandung pengertian suatu

jabatan dalam tata susunan hukum agraria nasional, khususnya hukum

yang mengatur pendaftaran tanah, disini PPAT diberi kewenangan

membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

2. Dasar Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Dasar Hukum pengaturan tentang PPAT ditentukan dalam

berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu:

a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan

atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah

disebutkan bahwa : PPAT yang selanjutnya disebut PPAT, adalah

pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta

63
A.P.Parlindungan, 1989, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform, Bagian 1,
Mandar Maju, Bandung, hal. 131
40

pemindahan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa

membebankan Hak Tanggungan menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran

Tanah, pada Pasal 37 ayat (1) disebutkan bahwa : Peralihan hak

atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli,

tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan

perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan

hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan

dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional

Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan

Pejabat Pembuat Akta Tanah.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

3. Macam-Macam Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan

Wilayah Kerja Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang merupakan Pejabat

Umum ada bermacam-macam. Dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah


41

Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah disebutkan ada 3 (tiga) macam :

a. Pejabat Pembuat Akta Tanah (umum) adalah Pejabat Umum yang

diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun.

b. Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara adalah Pejabat

Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan

tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah dengan membuat akta Pejabat

Pembuat Akta Tanah.

c. Pejabat Pembuat Akta Tanah Khusus adalah Pejabat Badan

Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk

melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu

khusus dalam rangka pelaksanaan atau tugas pemerintah tertentu.

Seperti yang telah ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997, maka jabatan PPAT, PPAT Sementara dan PPAT

Khusus adalah memegang peranan yang sangat penting. Oleh karena itu

sudah sewajarnya apabila seseorang yang menjabat jabatan tersebut

diannggap tahu dan tentunya harus mempunyai pengetahuan yang cukup

tentang pendaftaran tanah dan yang berkaitan dengan itu. Selanjutnya

menyangkut wilayah Hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),

Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang


42

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyebutkan bahwa :

a. Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kotamadya.

b. Daerah Kerja PPAT Sementara dan PPAT khusus meliputi

wilayah kerjanya sebagai pejabat pemerintah yang menjadi dasar

penunjukannya.

PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris, konsultan atau

Penasehat Hukum, PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi

sebagai:

a. Pengacara atau Advokat.

b. Pegawai Negeri atau Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah.

Larangan ini dimaksudkan untuk menjaga dan mencegah agar

PPAT dalam menjalankan jabatannya tersebut tidak menimbulkan akibat

yang memberikan kesan bahwa PPAT telah mengganggu keseimbangan

kepentingan para pihak. Ketentuan ini juga dimaksudkan agar PPAT

dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya demi melayani

kepentingan umum agar melaksanakan rasa kemandirian dan tidak

memihak.

4. Tugas Pokok dan Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT)

a. Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Tugas-tugas PPAT antara lain adalah untuk


43

menyelenggarakan suatu daftar dari akta-akta yang dibuatnya antara

lain reporterium (daftar dari akta-akta yang dibuatnya), yang

berisikan nama dari penghadap, sifat aktanya, jual beli, hibah,

tanggal akta dibuatnya dan nomornya, identitasnya dari tanahnya

beserta bangunan yang termasuk (permanen, semi permanen,

darurat) dan tanaman yang ada dan lain-lain keterangan.64

Ketentuan Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 menetap bahwa :

“Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor


Pertanahan dibantu oleh PPAT dan pejabat lain yang
ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu
menurut Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan”.

Pasal 6 ayat (2) ini hanya disebutkan kegiatan-kegiatan

tertentu, tidak disebutkan secara tegas kegiatan-kegiatan apa dalam

pendaftaran tanah yang menjadi tugas PPAT untuk membantu

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Tugas pokok PPAT dalam membantu pelaksanaan pendaftaran

tanah oleh Kepala Kantor Pertanahan ditetapkan dalam Pasal 2

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu:

1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan

pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah

64
Ibid, hal. 42
44

dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas

tanah atau Hak milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan

dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran

tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu.

2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

sebagai berikut :

a) Jual beli

b) Tukar Menukar

c) Hibah

d) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng)

e) Pembagian hak bersama

f) Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah

Hak Milik

g) Pemberian Hak Tanggungan

h) Pemberian Kuasa membenankan Hak Tanggungan.

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan kegiatan

pemeliharaan data pendaftaran tanah sebagaimana ditetapkan dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka kegiatan yang

menjadi tugas utama Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah kegiatan

pemeliharaan data pendaftaran. Kegiatan pemeliharaan data

pendaftaran tanah didalamnya terdapat perbuatan hukum mengenai

hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, berupa

pemindahan hak, pembagian hak bersama, pembebanan hak


45

tanggungan, pemberian Hak Guna Bangunan/ Hak Pakai Atas

Tanah Hak Milik dan pemberian kuasa Membebankan Hak

Tanggungan. Dalam perbuatan hukum mengenai hak atas tanah

atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dibutuhkan bantuan

PPAT untuk membuat aktanya. A.P. Parlindungan menyatakan

tugas PPAT adalah melaksanakan recording of deeds of coveyance,

yaitu suatu perekaman pembuatan akta tanah yang meliputi mutasi

hak, pengikatan jaminan dengan hak atas tanah sebagai Hak

Tanggungan, mendirikan hak baru diatas sebidang tanah (Hak Guna

Bangunan diatas Hak Milik) ditambah memasang surat kuasa

memasang Hak Tanggungan.65 Jadi tugas pokok PPAT adalah

melaksanakan sebagian pendaftaran tanah dengan membuat akta

sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu

mengenai hak atas tanah atau Hak milik Atas Satuan Rumah Susun

yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data

pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu

dalam hal ini khususnya pada proses pendaftaran tanah karena jual

beli.

b. Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Kewenangan PPAT diatur dalam Pasal 3 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan

65
Ibid. hal. 83
46

Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu :

1) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2, seorang PPAT mempunyai kewenangan

membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak

atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang

terletak didaerah kerjanya.

2) PPAT Khusus hanya berwenang membuat akta mengenai

perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam

penunjukannya.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 menetapkan

bahwa perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun yang dibuktikan dengan akta PPAT,

yaitu jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan,

dibuktikan dengan akta PPAT diatur dalam Pasal 37 ayat (1).

5. Kewajiban dan Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT)

a. Kewajiban PPAT

Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 Pasal 40 ayat (1) dan

ayat (2) menyebutkan bahwa :

1) Kewajiban dari PPAT mendaftarkan dokumen selambat-

lambatnya 7 hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta

yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang


47

dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan

kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.

2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai

telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) kepada para pihak yang bersangkutan.

Menurut Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 1 Tahun 2006 Pasal 45 menyebutkan bahwa

PPAT mempunyai kewajiban :

1) Menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,

dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2) Mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan

sebagai PPAT.

3) Menyampaikan laporan bulanan mengenai akta dibuatnya

kepada Kepala Kantor pertanahan, Kepala Kantor Wilayah

dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan

setempat paling lambat tanggal 10bulan berikutnya.

4) Menyerahkan protokol PPAT dalam hal:

a) PPAT yang berhenti menjabat sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) kepada PPAT

didaerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan.

b) PPAT sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara

kepada PPAT Sementara yang menggantikannya atau

kepada kepala Kantor Pertanahan.


48

c) PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT Khusus

kepada PPAT Khusus yang menggantikannya atau kepada

Kepala Kantor Pertanahan.

5) Membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu,

yang dibuktikan secara sah.

6) Membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang

melaksanakan cuti atau hari libur resmi dengan jam kerja

paling kurang sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan

Setempat.

7) Berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja

sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatan

PPAT.

8) Menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan,

contoh paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada

Kepala Kantor Wilayah, Bupati/Walikota, Ketua Pengadilan

Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya

meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu

1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan.

9) Melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan

sumpah jabatan.

10) Memasang papan nama dan menggunakan stempel yang

bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan

Pertanahan Nasional.
49

11) Lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.

Selain itu PPAT wajib merahasiakan isi akta Dalam rangka

penyelenggaraan Pendaftaran Tanah kewajiban PPAT adalah

membuat akta sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan

hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak milik Atas

Satuan Rumah Susun dalam hal ini jual beli tanah, kemudian PPAT

melakukan Pendaftaran balik nama sertipikat dari penjual menjadi

nama pembeli dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak

akta ditandatangani oleh PPAT dan PPAT kemudian menyerahkan

akta tersebut kepada kantor pendaftaran tanah kemudian dalam hal

ini pembeli atau kuasanya atau PPAT, mendapatkan tanda bukti

penerimaan permohonan balik nama dipakai sebagai dasar

pembayaran administrasi, dan pemohon akan menerima tanda bukti

pembayaran permohonan balik nama, maka kantor pertanahan akan

melakukan pencoretan nama pemegang hak lama untuk kemudian

diubah menjadi nama pemegang hak baru, dalam waktu 14 hari

pembeli dapat mengambil sertipikat baru yang sudah jadi dan sudah

beratasnamakan dirinya dikantor pertanahan tersebut menggunakan

tanda bukti pembayaran permohonan balik nama

b. Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

Tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu

dalam membuat dan menerbitkan Akta Peralihan Hak Atas Tanah,

harus sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. Sebelum


50

membuat dan menerbitkan Akta Peralihan Hak Atas Tanah yang

bersangkutan. Tanggung jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah

sebagai berikut :

1) PPAT wajib bersumpah.

2) PPAT wajib segera menyampaikan akta yang telah dibuat dan

diterbitkan serta warkah lainnya yang diperlukan untuk

pembuatan dan penerbitan sebuah akta lainnya kepada Badan

Pertanahan Nasional Kabupaten/Kota setempat untuk

didaftarkan dalam “buku tanah” dan dicantumkan pada

“Sertipikat Hak Atas Tanah” yang bersangkutan.

3) PPAT wajib menyelenggarakan suatu “Daftar Akta” yang

telah dibuat dan diterbitkan, menurut bentuk yang telah

ditentukan dalam peraturan yang berlaku.

4) PPAT wajib menjalankan petunjuk-petunjuk yang telah

diberikan oleh Badan Pertanahan Nasional dan Pejabat yang

mengawasinya.

5) PPAT dalam setiap bulannya wajib menyampaikan “Laporan

Bulanan” yang dibuatnya selama satu bulan kepada kepala

Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten/kota akan

melaporkan hasil pengamatannya kepada Kepala Kantor

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi setempat.

Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun

1997, Pejabat Pembuat Akta Tanah juga memiliki larangan-


51

larangan untuk memuat dan menerbitkan akta Peralihan Hak, yaitu

bagi tanah yang belum jelas status haknya. Dengan kata lain, PPAT

harus menolak pembuatan dan penerbitan Akta Peralihan Hak

apabila :

1) Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik

atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan

sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang

diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada dikantor

pertanahan.

2) Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak

disampaikan :

a) Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24

ayat (1) atau surat keterangan kepala desa/lurah yang

menyatakan yang bersangkutan dalam hal menguasai

bidang tanah tersebut tidak sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 24 ayat (2);

b) Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah

yang bersangkutan belum bersertipkat atau keterangan

bahwa tanah yang letaknya jauh dari kedudukan Kantor

Pertanahan dari yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh

kepala desa/lurah;

c) Salah satu pihak yang akan melakukan perbuatan hukum

yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana


52

dimaksud dalam Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 1997 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat

untuk bertidak demikian.

d) Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar surat

kuasa mutlak (yaitu surat kuasa yang tidak dapat ditarik

kembali dan apabila pihak yang ditunjuk meninggal dunia

tidak bisa dialihkan kepada pihak lain) yang pada

hakekatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.

e) Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam

sengketa mengenai data fisik dan data yuridisnya; atau

f) Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang

ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

C. Tinjauan Umum Tentang Hak Pakai

1. Pengertian Hak Pakai

Hak pakai diatur dalam Pasal 41 – 43 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya

disebut UUPA). Hal-hal yang ditentukan di dalam UUPA tersebut

kemudian dirinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas

Tanah (selanjutnya disebut PP 40/1996). Pasal 41 ayat (1) UUPA

menentukan sebagai berikut:

Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut


hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah
milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang
53

ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang


berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik
tanahnya yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian
pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan
jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

2. Subyek Hak Pakai

Salah satu keistimewaan hak pakai terdapat di subyeknya yang

jauh lebih beragam dibanding hak milik, hak guna usaha dan hak guna

bangunan. Pasal 49 Ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun

2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun,

dan Pendaftaran Tanah, menentukan bahwa yang dapat mempunyai hak

pakai adalah :

a. Warga Negara Indonesia;

b. keagamaan dan sosial Badan hukum yang didirikan menurut

hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;

c. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;

d. Badan; dan

e. Orang Asing.

3. Terjadinya Hak Pakai

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 41 PP40/1996, ada tiga jenis

tanah yang dapat diberikan dengan hak pakai, yaitu:

a. Tanah negara.

b. Tanah hak pengelolaan.

c. Tanah hak milik.


54

Terjadinya hak pakai dijelaskan dalam Pasal 53 Peraturan

Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas

Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah yaitu :

a. Hak pakai di atas Tanah Negara diberikan dengan keputusan

pemberian hak oleh Menteri.

b. Hak pakai di atas Tanah Hak Pengelolaan diberikan dengan

keputusan pemberian hak oleh Menteri berdasarkan persetujuan

pemegang Hak Pengelolaan.

c. Hak pakai di atas Tanah hak milik terjadi melalui pemberian oleh

pemegang hak milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat

Pembuat Akta Tanah.

d. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (21 dan

akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat secara elektronik

Terjadinya hak pakai atas tanah negara adalah melalui keputusan

pemberian hak oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk. Terjadinya hak

pakai atas hak pengelolaan adalah melalui keputusan pemberian hak

oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan usul pemegang hak

pengelolaan. Sedangkan untuk hak pakai atas tanah hak milik terjadi

melalui pemberian tanah oleh pemegang hak milik dengan akta yang

dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Setiap pemberian hak pakai

tersebut wajib didaftarkan dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan.66

66
https://menuruthukum.com, diakses tanggal 10 Juni 2022, pukul 19.00 WIB
55

4. Jangka Waktu Hak Pakai

Jangka waktu hak pakai berdasarkan Pasal 52 Peraturan

Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas

Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah adalah : .

a. Hak pakai di atas Tanah Negara dan Tanah hak Pengelolaan

dengan jangka waktu diberikan untuk jangka waktu paling lama

30 (tiga puluh) tahun diperpanjang untuk jangka waktu paling

lama 20 (dua puluh) tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu

paling lama 30 (tiga puluh) tahun.

b. Hak pakai selama dipergunakan diberikan untuk waktu yang tidak

ditentukan selama dipergunakan dan dimanfaatkan.

c. Hak pakai dengan jangka waktu di atas Tanah hak milik,

diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun

dan dapat diperbarui dengan akta pemberian hak pakai di atas

Tanah hak milik.

d. Setelah jangka waktu pemberian, perpanjangan, dan pembaruan

sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berakhir, Tanah hak pakai

kembali menjadi Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara

atau Tanah Hak Pengelolaan.

e. Tanah yang Dikuasai Langsung oleh Negara sebagaimana

dimaksud pada Ayat (4), penataan kembali penggunaan,

pemanfaatan, dan pemilikan menjadi kewenangan Menteri dan


56

dapat diberikan prioritas kepada bekas pemegang hak dengan

memperhatikan:

1) Tanahnya rnasih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik

sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak.

2) Syarat-syarat pemberian hak dipenuhi dengan baik oleh

pemegang hak.

3) Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang

hak.

4) Tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang.

5) Tidak dipergunakan dan/atau direncanakan untuk

kepentingan umum.

6) Sumber daya alam dan lingkungan hidup.

7) Keadaan Tanah dan masyarakat sekitar.

Setelah jangka waktu hak pakai atau perpanjangannya berakhir,

maka dapat diberikan pembaharuan hak pakai atas tanah yang sama.

Adapun syarat perpanjangan atau pembaharuan hak pakai atas tanah

negara dan hak pakai atas tanah hak pengelolaan adalah sebagai berikut:

5. Hapusnya Hak Pakai

Hak pakai hapus karena Pasal 61 Peraturan Pemerintah Nomor 18

Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah

Susun, dan Pendaftaran Tanah :


57

a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam

keputusan pemberian, perpanjangan, atau pembaruan haknya,

untuk hak pakai dengan jangka waktu;

b. Dibatalkan haknya oleh Menteri sebelum jangka waktunya

berakhir karena:

1) Tidak terpenuhinya ketentuan kewajiban dan/atau larangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 danlatau Pasal 58.

2) Tidak terpenuhinya syarat atau kewajiban yang tertuang

dalam perjanjian pemberian hak pakai antara pemegang hak

pakai dan pemegang hak milik atau pedanjian pemanfaatan

Tanah Hak Pengelolaan.

3) Cacat administrasi.

4) Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.

c. Diubah haknya menjadi Hak Atas Tanah lain

d. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum

jangka waktunya berakhir.

e. Dilepaskan untuk kepentingan umum.

f. Dicabut berdasarkan Undang-Undang.

g. Ditctapkan sebagai Tanah Telantar.

h. Ditetapkan sebagai Tanah Musnah.


58

i. Berakhirnya perjanjian pemberian hak atau perjanjian

pemanfaatan Tanah untuk hak pakai di atas hak milik atau Hak

Pengelolaan.

j. Pemegang hak sudah tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak.

Terhadap tanah yang hak pakainya hapus karena ketentuan

tersebut, maka tanahnya menjadi tanah negara.

D. Tinjauan Umum Tentang Warga Negara Asing

Orang asing adalah warga negara asing yang bertempat tinggal pada

suatu negara tertentu. Bahwa orang asing tersebut adalah semua orang-orang

yang bertempat tinggal pada suatu negara tertentu tetapi ia bukan warga

negara dari negara tersebut.67 Sedangkan definisi warga negara asing,

berdasarkan Pasal 1 Ayat (9) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang

Keimigrasian, adalah orang yang bukan warga Indonesia. Warga negara

asing merupakan seseorang yang tinggal dan menetap di sebuah negara

tertentu namun bukan berasal dari negara tersebut juga tidak secara resmi

terdaftar sebagai warga negara, yang memiliki tujuan yang beragam,

misalnya dalam rangka menempuh pendidikan, bisnis maupun hal lainnya.

Meskipun status seseorang tersebut adalah warga negara asing di Indonesia,

seseorang tersebut tetap memiliki hak dan juga kewajiban terhadap negara

yang di tinggalinya. Seseorang WNA yang tinggal di Indonesia, mempunyai

67
Titik Triwulan Tutik, 2018, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka, Jakarta, hal.348
59

hak dan kewajiban yaitu : 68

1. Berhak atas segala perlindungan terhadap hak-hak asasinya termasuk

hak perlindungan atas diri maupun harta benda yang dimiliki WNA

tersebut, selama dalam proses yang resmi

2. Berkewajiban untuk tunduk serta mematuhi segala ketentuan

perundangan yang berlaku di negara Indonesia.

3. Tidak berhak untuk ikut serta dalam sebuah organisasi politik maupun

instansi pemerintah.

4. Tidak berhak untuk ikut serta dalam sistem pemilu di Indonesia, baik

untuk memilih maupun dipilih.

5. Tidak berkewajiban untuk ikut serta dalam program bela negara.

Pasal 167 PP keimigrasian, izin tinggal terbatas bisa dialihkan status

menjadi izin tinggal tetap. Pengajuan pemindahan pengalihan status diapat

diajukan kepada kepala kantor imigrasi oleh yang menjamin. Terhadap

WNA yang bisa mengalih statuskan seperti orang yang telah bekerja, orang

yang ingin menanam modal, wisatawan yang telah tua, maupun rohaniawan,

suami-istri yang menikah dengan suami atau istri yang memiliki izin tinggal

tetap, anak yang usianya belum dewasa dimana di Indonesia dibataskan

pada umur 18 tahun dan tidak menikah dan dapat menggabungkan dengan

orang tua yang memiliki izin tinggal tetap dan WNA eks warga negara

Indonesia. Pengalihan status bisa di berikan dengan catatan bahwa WNA ini

lama tinggal dan berada di dalam wilayah Indonesia dalam kurun waktu 3

68
https://guruppkn.com/pengertian-warga-negara-asing
60

tahun berturut-turut sejak tanggal dimana dikeluarkannya izin tinggal

terbatas tersebut.69

E. Tinjauan Umum Tentang Hak Atas Tanah Menurut Hukum Islam

Tanah dalam pandangan Islam merupakan anugerah Allah yang harus

dimanfaatkan secara optimal bagi pencapaian kesejahteraan manusia. Tanah

tidak boleh ditelantarkan sebagaimana pula tidak boleh dieksploitasi secara

berlebihan sehingga merusaknya.70 Segala sesuatu yang ada di langit dan

bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman

Allah SWT :

Artinya : “Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada
Allah-lah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur : 42).

Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa

(istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan

hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT:

Artinya: “.....Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah


menjadikan kamu menguasainya.” (QS Al-Hadid: 7).

Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata, Ayat ini adalah dalil

69
I Komang Andi Darmawan, dkk., Proses Permohonan Hak Pakai Atas Tanah Milik Pribadi
Oleh Warga Negara Asing, Jurnal Preferensi Hukum, Volume 1 Nomor 1 – Juli 2020, hal. 55
70
Atok Miftachul Hudha, dkk., 2019, Etika Lingkungan (Teori dan Praktik
Pembelajarannya), UMM Press, Malang, hal.104
61

bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan

bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf)

dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam hukum Islam tidak ada

diatur mengenai kepemilikan tanah yang harus dibuktikan dengan adanya

sertifikat tanah. Tapi Islam hanya mengatur tentang status pemilikan tanah.

Penguasaan tanah dapat dilakukan melalui pemilikan, pemanfaatan,

pemeliharaan, pengaturan dan perlindungan hukum termasuk didalamnya

model dan cara pengelolaannya. Dalam sejarah kekuasaan Islam, tanah yang

telah berhasil dikuasai akan terjadi proses pemilikan, pemanfaatan,

pemeliharaan, pengaturan dan perlindungan hukum tersebut. Dalam kitab

fiqh pengelompokkan status pemilikan atas tanah dibagi dalam tiga bagian,

yaitu:71

1. Tanah dengan Status Milik Khusus/Individu

Islam melindungi berbagai bentuk pemilikan tanah yang ada

pada siapapun juga. Menurut Ziaul Haque dalam buku Hukum Tanah

Islam oleh Iza Hanifuddin pemilik tanah biasa disebut dengan istilah

sahib alard, rabb al-ard atau malik al-ard. Persyaratan bagi pemilik

individu yaitu penggunaan hak milik secara baik dengan

mengutamakan kemaslahatan individu dan umum. Maksudnya, segala

bentuk yang menghalangi pemanfaatan yang wajar dan faedah yang

produktif atas tanah untuk masyarakat pada dasarnya juga telah

melanggar hak individu dan manusia lain yang seharusnya secara

71
Ibid., hal. 39
62

bersama-sama dapat menikmati anugerah Allah melalui pemilikan dan

penggunaan yang sama. Pemilikan individu dalam Islam ada dua,

yaitu milik individu orang tertentu dan milik individu yang

didalamnya terdapat hak umum. Yang kedua ini menunjukkan bahwa

kemaslahatan bersama pada dasarnya erat kaitannya dengan

kemaslahatan pribadi karena kemaslahatan bersama merupakan

kumpulan dari kemaslahatan individu

2. Tanah dengan Status Milik Bersama

Tanah fay’ secara umum menjadi milik bersama dengan status

wakaf untuk kepentingan kaum muslimin. Tanah fay’ bersumber dari

tanah yang ditinggal lari oleh pemiliknya akibat takut peperangan dan

tanah orang kafir yang mati tanpa meninggalkan ahli waris. Tanah

milik bersama dalam fiqh dibagi dalam beberapa bagian, yaitu tanah

bersama milik perusahaan, tanah bersama milik komunitas, tanah

bersama milik kaum muslimin dan tanah bersama milik seluruh

manusi.

3. Tanah dengan Status Hak Milik Negara (Tanah Sawafiyy)

Kategori tanah milik Negara sebenarnya tidak dijelaskan oleh

syariah. Kategori ini muncul karena Negara telah menetapkan pola

perundangan dan pengaturan tanah dengan adanya Undang-undang

administrasi tanah. Umar ibn al-Khattab ialah orang pertama dalam

sejarah Islam yang membuat sistem pemilikan tanah oleh Negara

dengan status wakaf, yaitu pada tanah sawad, Mesopotamia, Mesir


63

dan Syria semasa penaklukan. Tanah dalam kuasa Negara tersebut

diatur pemberiannya kepada pemilik asal dengan kewajiban

membayar kharaj ke atas tanah dan jizyah ke atas diri mereka, dan

tanah tersebut tidak boleh dijual beli demi kemaslahatan umum.

Menurut Afzal Ur-Rahman, dalil pemilikan tanah Negara biasanya

dirujuk dari Al-Qur’an Surat al-Anfal Ayat 1:

Artinya : Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang


(pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta rampasan
perang itu milik Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan
RasulNya), maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan
di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika
kamu orang-orang yang beriman.”

Mekanisme pelaksanaan ayat ini dalam sejarah Islam ada pada

kekuasaan Negara atau pemerintah. Dalam prakteknya, melalui

kekuasaan Negara, tanah rampasan perang ada yang dikembalikan

kepada pemilik asal, ada yang dijadikan untuk kebajikan umum, ada

yang dijadikan tanah Negara dan petani sebagai buruh yang diupah

sehingga semua hasil tanaman merupakan milik Negara, ada yang

diberikan kepada orang-orang tertentu sebagai hadiah, dan ada yang

dibatasi pemilikannya jika didapati membahayakan kepentingan

umum.72

72
Ibid., hal. 47.
BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Implikasi Yuridis Terhadap Kepemilikan Hak Atas Tanah Bagi Warga

Negara Asing dalam Konsep Kepastian Hukum

Setiap warga negara memiliki hak yang sama yaitu hak atas tanah

Indonesia tanpa adanya pembatasan sebagaimana diatur dalam hukum tanah

Indonesia Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), bahwa seluruh wilayah

Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang

bersatu sebagai bangsa Indonesia. Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUPA dapat

disimpulkan bahwa bumi (termasuk tanah), air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya, secara kolektif dimiliki oleh bangsa Indonesia dan

memiliki sifat yang komunalistik religius. 73 Dalam rangka menjamin

kepastian hak dan kepastian hukum atas tanah, UUPA telah menggariskan

adanya keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah diseluruh

indonesia.

Menurut Boedi Harsono pendaftaran tanah sebagai serangkaian

kegiatan yang dilakukan oleh negara atau pemerintah secara terus menerus

dan diatur, berupa pengumpuklan data keterangan atau data tertentu yang

ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian

bagi kepentingan rakyat dalam memberikan kepastian hukum di bidang

73
Martin Roestamy, 2011, Konsep-Konsep Hukum Kepemilikan Properti Bagi Asing
Dihubungkan Dengan Pertanahan, Alumni, Bandung, hal. 52

64
65

pertanhan termasuk bukti dan pemeliharaannya. 74 Dengan

diselenggarakannya pendaftaran tanah, maka pihak-pihak yang bersengketa

dengan mudah dapat mengetahui status atau kedudukan hukum atas dari

pada tanah yang dihadapinya, letak, luas, dan batasan-batasannya, siapa

yang punya dan bebean apa yang ada diatasnya. Sebagaimana diamanatkan

pasal 19 UUPA. Pasal tersebut mencantumkan ketentuan-ketentuan umum

dari pendaftaran tanah di Indonesia, yaitu :

1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan

pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut

ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi:

a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.

b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut

c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat.

3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara

dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta

kemungkinan penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Mentri

Agraria

Peraturan pemerintah mengatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan

pendaftaran termasuk dalam ayat (2) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat

yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

74
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah pembentukan Undang Undang
Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta , hal.72
66

Ketentuan dalam Pasal 19 ayat (1) UUPA tersebut merupakan ketentuan yang

ditujukan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran tanah di

seluruh Indonesia, yang sekaligus juga merupakan dasar hukum bagi

pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka memperoleh jaminan kepastian

hukum berkenaan dengan hak atas tanah yang memberikan kepastian

mengenai:

1. Hak atas tanah : apakah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan,

hak pakai atau hak pengelolaan.

2. Siapa yang mempunyai tanahnya: hal ini penting sekali karena

perbuatan-perbuatan hukum berkenaan dengan tanah tersebut hanyalah

sah jika dilakukan oleh pemegang haknya.

3. Tanah yang dimiliki letak, luas, batas-batasannya hal ini sangat penting

untuk pencegah sengketa.

4. Hukum yang berlaku terhadap tanah tersebut supaya lebih mudah

mengetahui wewenag apa saja serta kewajiban pemegang hak atas

tanah.75

Ketetapan diatas mengandung pengertian bahwa hal-hal yang mengikat

kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah harus diikuti dengan

kegiatan pendaftaran tanah baik yang dimiliki oleh masyarakat maupun oleh

badan hukum ke kantor pertanahan guna mendapatkan kepastian hukum hak

atas tanah yang dikuasainya atau yang dimilikinya.

75
Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Tanah, Alumni,Bandung, hal.80
67

Kepemilikan tanah yang dimiliki masyarakat memiliki hubungan

dengan kesejahteraan seseorang, perkembangan kehidupan dan lingkungan

kelompok. Tanah dapat menunjukan status sosial seseorang. Setiap

warganegara memiliki hak untuk dapat menggunakan dan menguasai

sebagian tanah untuk keperluan pribadinya dan keluarganya, yang

dinamakan hak individual. Setiap jenis hak atas tanah memberi kewenangan

kepada pemegang haknya untuk memakai/ menggunakan tanah. 76

Hak atas tanah merupakan suatu hak yang dimiliki oleh pemegang hak

untuk menggunakan serta mengambil manfaat dari tanah tersebut. Hak atas

tanah yang diatur pada Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria

(UUPA) memberikan hak kepemilikan atas tanah oleh negara kepada orang-

perorang atau badan hukum dengan bentuk tanah hak milik, hak guna usaha

(HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak sewa, hak untuk

membuka tanah, hak memungut hasil hutan. Dalam pasal 53 UUPA

tercantum beberapa hak yang bersifat sementara yang dapat digunakan oleh

orang-perorang atau badan hukum seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil,

hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.77 Hak-hak atas tanah diatur

dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, sebagai berikut:

1. Hak Milik

2. Hak Guna Usaha

3. Hak Guna Bangunan

76
Bedita Putri Sa’idah, Nadya Farras Indriati, Peranan PPAT dalam Pembuatan Akta
Perjanjian Hak Pakai Terhadap Warga Negara Asing, Indonesian Notary, Volume 3 Nomor 2
(2021), hal.154
77
Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung,
hal.85.
68

4. Hak Pakai

5. Hak Sewa

6. Hak Membuka Tanah

7. Hak Memungut Hasil Hutan

8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang

akan ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya

sementara sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

Masyarakat yang tinggal di wilayah negara Indonesia tidak hanya

Warga Negara Indonesia (WNI) saja, akan tetapi banyak juga Warga Negara

Asing (WNA) yang membutuhkan tanah. Dalam kondisi terkini atau akhir-

akhir ini, WNA yang ada di Indonesia makin lama tidak semakin sedikit,

tetapi malah semakin banyak jumlahnya. Ada beberapa alasan penyebab

mengapa banyak sekali WNA di wilayah Indonesia merupakan faktor atau

dampak dari adanya arus global dan modernisasi dan alasan lainnya yaitu,

untuk menambah tingkatan hubungan Indonesia dengan negara lain,

dirasakan perlu untuk memberikan akses kemudahan bagi WNA. 78

Kemudahan yang diberikan bisa dalam bentuk pemberian pembebasan

dari kewajiban memiliki visa kunjungan dengan memperhatikan asas

kemanfaatan dan timbal balik.79 Kegiatan ini juga sudah diterapkan oleh

negara-negara lain terhadap negara Indonesia. Pemikiran tersebut dari hal

78
Ega Permatadani dan Anang Dony Irawan, Kepemilikan Tanah Bagi Warga Negara
Asing Ditinjau Dari Hukum Tanah Indonesi, Khatulistiwa Law Review, Volume 2 Nomor 2,
Oktober 2021, hal. 350
79
Ni Made Adinda Wikan Dewi and Made Subawa, “Penerapan Asas Manfaat Dan Asas
Timbal Balik Dalam Perpres R.I No. 21 Tahun 2016 Tentang Bebas Visa Kunjungan,” Kertha
Negara: Journal Ilmu Hukum, Volume 6, Nomor 4 (2018), hal. 1.
69

yang sebetulnya untuk memberikan sebuah keuntungan yang lebih.

Umumnya untuk meningkatkan ekonomi negara dan meningkatkan animo

jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia.80 Kemudahan visa

kunjungan merupakan cara termudah untuk bisa meningkatkan jumlah

kunjungan wisatawan mancanegara yang masuk ke negara, sehingga bisa

memompa devisa yang diperoleh dari sektor pariwisata.81

Kondisi tersebut boleh jadi memberi dampak pada intensitas WNA

yang berada di Indonesia untuk tinggal dalam jangka waktu lama dan juga

memiliki tempat tinggal atau hunian di negara ini dengan beberapa syarat

yang diberikan oleh pemerintah terhadap WNA. Melihat pada kondisi

tersebut sehingga perlu dilakukan telaah terhadap dapat tidaknya WNA

tinggal dengan bebas di atas tanah Indonesia dan memiliki tanah hak milik

seperti (WNI) dikarenakan mereka (WNA) sudah berada di Indonesia untuk

jangka waktu yang lumayan lama. Oleh karena itu, tulisan ini ingin

mengulas lebih jauh konsep hukum mengenai WNA dan potensi

kepemilikan tanah di Indonesia.82

Pengertian dari WNA berdasarkan pasal 1 ayat (9) Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian yaitu orang yang bukan Warga

80
Syakir Syakir, “Pengaruh Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 Tentang Bebas Visa
Terhadap Keamanan dan Kesejahteraan dalam Perspektif Keimigrasian,” Jurnal Syntax Admiratio,
Volume 1, Nomor 3 (2020), hal.. 278.
81
Yuni Sudarwati, Optimalisasi Kebijakan Bebas Visa Kunjungan Singkat, Jurnal: Info
Singkat, Volume 7 Nomor 6 (2015), hal. 351
82
Ega Permatadani dan Anang Dony Irawan,Op.cit., hal.351
70

Negara Indonesia.83 Warga Negara Asing yang keberadaanya di Indonesia

dapat dibedakan menjadi dua jenis:

1. Warga Negara asing yang berada di dalam wilayah Indonesia secara

tetap (warga negara asing yang ingin memiliki izin tinggal tetap).

2. Warga Negara Asing yang tidak tetap berada didalam wilayah

Indonesia hanya dalam waktu sementara tinggal di Indonesia (dimana

memiliki izin kunjungan/izin imigrasi lainnyayang dalam bentuk

paspor, visa ataupun,dokumen-dokumen lainnya.

Berkaitannya Hak atas tanah bagi para bagi investor dari luar

negeriyang ada di Indonesia, undang- undang pokok agraria disebutkan

bahwa WNA yang bisa mempunyai hak pakai dan hak sewa sebagai hunian

adalah WNA yang telah berada di Indonesia. Walaupun begitu undang-

undang pokok agraria tidak dijelaskannya secara rinci yang mau

dimaksudkan dengan kedudukan WNA yang berada di dalam wilayah


84
Indonesia. Bila di sambungkan pada Pasal 1 Ayat 14 Peraturan

Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas

Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, orang asing adalah

orang yang bukan Warga Negara Indonesia yang keberadaannya

memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di

Indonesia.

83
Isharyanto, 2016, Dinamika Pengaturan Status Hukum Kewarganegaraan Dalam
Perspektif Perundang-Undangan, Absolute Media, Yogyakarta, hal.353
84
Urip Santoso, 2015, Perolehan Hak Atas Tanah. Prenada Media Group, Jakarta, hal. 21
71

WNA yang ingin mempunyai kepemilikan atas tanah di Indonesia

baik hak pakai ataupun hak sewa sebagai pembangunan harusnya WNA

yang dimana telah tinggal dan telah membuka usaha yang dimana bisa di

buktikan dalam mempunyai kartu izin tinggal terbatas atau kartu izin tinggal

tetap. WNA yang memiliki izin menetap di dalam wilayah Indonesia adalah

izin yang hanya dapat diberikan pejabat keimigrasian, atau pejabat dinas

luar negeri kepada warga negara asing yang bertempat tinggal diIndonesia. 85

Pasal 141 Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2016 Tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 Tentang

Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang

Keimigrasian menyebutkan bahwa izin tinggal terbatas diberikan hanya

kepada:

1. Warga negara asing memasuki Indonesia dengan visa tinggal terbatas.

2. Anak-anak yang akan lahir di dalam wilayah Indonesia ayah maupun

ibunya pemegang izin tinggal terbatas.

3. Warga negara asing telah diberikannya status dari izin tinggal

kunjungan.

4. Tenaga ahli, awak kapal, atau nahkoda warga negara asing didalam

instalasi, alat apung, maupun di atas kapal laut, yang dimana

beroprasinya didalam wilayah yurisdiksi dan perairan Indonesia sesuai

dengan kentetuan undang- undang yang berlaku.

85
Wawancara dengan Ibu Rina, Pegawai BPN Kota Semarang, tanggal 6 Mei 2022
72

5. Warga negara asing telah menikah secara sah dengan pasangan warga

asli Indonesia.

6. Anak-anak warga negara asing telah menikahi anak dari warga negara

asing yang menikah secara sah dengan warga negara Indonesia.

WNI yang ingin memiliki izin tinggal terbatas sudah seharusnya

memberikan pengajuan permohonan izin tinggal terbatas kepada pejabat

imgirasi yang telah ada di wilayah kerja orang asing tersebut. Izin-izin

tinggal terbatas yang telah di berikan oleh pejabat imigrasi dalam waktu

yang biasa paling lama dalam waktu dua tahun dan akan di perpanjang jika

tenggang waktunya telah habis. Bila ingin tiap kali menambah masa berlaku

tersebut telah di berikan biasanya akan memakan waktu paling lama dua

tahun dan adanya berbagai ketentuan keseluruhan memiliki waktu tinggal di

Indonesia yang bila dihitungkan dalam waktu enam tahun sebagaimana

telah ada aturan yang jelas dalam Pasal 148 Peraturan Pemerintah

Keimigrasian.86

Izin ingin tinggal menetap tinggal di Indonesia adalah izin yang

dimana akan di berikan kepada warga negara asing tertentu saja yang dapat

tinggal tetap di dalam wilayah Indonesia ingin sebagai warga Indonesia.

Telah jelas pada Pasal 152 Peraturan Pemerintah keimigrasian yang telah

menyebutkan bahwa ingin memiliki perizinan menetap hanya orang-orag

yang memiiki hak telah memiliki izin tinggal terbatas sebagai, pekerja,

86
I Komang Andi Darmawan, dkk., Proses Permohonan Hak Pakai Atas Tanah Milik
Pribadi Oleh Warga Negara Asing, Jurnal Preferensi Hukum, Volume 1 Nomor 1 – Juli 2020, hal.
55
73

investor, lanjut usia, dan rohaniawan, keluarga karena perkawinan

campuran, suami, istri, dan anak dari warga negara asing pemegang izin

tinggal tetap, dan warga negara asing kewarganegaraan Indonesia dan ek

subjek anak kewarganegaraan ganda republik Indonesia. Dalam memohon

izin tinggal menetap dapat diberikan kepada WNA yang berkepentingan

kepada kepala kantor imigrasi telah ada dimana warga asing tersebut

bertempat tinggal. Telah sesuai dalam pasal 155 PP keimigrasian, izin

tinggal tetap yang sudah didapat dalam jangka lima Tahun. Terutama

kepada izin tinggal tetap dapat memperpanjang masa berlakunya dalam

batas waktu tidak terbatas dengan ketentuan izin tinggalnya tidak

dibatalkan.87

Konsep dari warga dan kewargaan dapat dimaknai bahwa konsep

tersebut merupakan sebagai sebuah konsep hukum (legal concept) tentang

pengertian suatu subyek hukum (rechts subject) dalam konteks

perseorangan atau dalam konteks organisasi atau kelembagaan. Persepsi

mengenai warga dan kewargaan yang berperan sebagai subjek hukum

merupakan bagian dari penciptaan hukum tentang subjek yang diberi status

atas pemilik hak dan kewajiban. Artinya, harus dibedakan atau dipisahkan

dari konteks subjek di diluar sebuah komunitas yang di sangkutkan tersebut.

Maka dari itu, status seorang harus dibedakan sebagai warga masyarakat

(dalam komunitas), atau bukan warga masyarakat (di luar komunitas)

87
Ibid., hal.56
74

Bahkan karena adanya perbedaan ini, pada akhirnya perlu dilihat secara

terpisah pula dari statusnya sebagai warga negara.88

Kelebihan status Hak Milik menurut UUPA adalah sifatnya yang

turun-temurun dari generasi sebelumnya ke generasi penerusnya, sehingga

dapat diwariskan pada turunannya tanpa batas generasi dan batas waktu,

dengan kata lain berarti bebas. Sebetulnya WNA bisa memiliki status Hak

Milik yang telah diatur di dalam UUPA dengan melihat ketentuan undang-

undang lainnya. Seseorang Warga Negara Asing dapat memperoleh tanah

yang berasal dari harta bersama setelah adanya pernikahan atau hubungan

dengan istri atau suami yang seorang WNI, atau berasal dari harta waris

yang ditinggalkan oleh seseorang yang sudah bertempat tinggal di Indonesia

dengan ketentuan adanya perjanjian pemisahan harta sebagaimana Pasal 29

ayat (1) UU Perkawinan. Namun, pada kondisi tersebut, akan lebih kuat jika

WNA yang telah melangsungkan perkawinan campuran tetap berupaya

memperoleh status kewarganegaraan WNI sebagaimana Pasal 19 ayat (1)

UU Kewarganegaraan.89

Hubungan hukum antarawarga WNI maupun WNA serta perbuatan

hukum mengenai tanah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang

Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran

88
Isharyanto, 2016, Dinamika Pengaturan Status Hukum Kewarganegaraan Dalam
Perspektif Perundang-Undangan, Absolute Media, Yogyakarta, hal.353
89
Indah Jacinda, Jason Jusuf, and Verlin Ferdina, Penguasaan Tanah Di Indonesia Oleh
Warga Negara Asing Melalui Perkawinan Campuran Dalam Falsafah Hukum, ADIL: Jurnal
Hukum, Volume 9, Nomor 2 (2018), hal. 61–78.
75

Tanah. Secara yuridis, WNA yang berada di Indonesia dapat memperoleh

alas hak atas tanah dengan status Hak Pakai. Walaupun begitu, terdapat

persyaratan bagi WNA yakni harus mengurus Kartu Izin Tinggal Terbatas

(KITAS) ataupun Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP) serta memiliki paspor

sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 43

Tahun 2015 Tentang Prosedur Teknis Ahli Tinggal Kunjungan Menjadi Izin

Tinggal Terbatas Dan Izin Tinggal Terbatas Menjadi Izin Tinggal Tetap.90

Menurut Pasal 41 Ayat (1) UUPA, hak pakai adalah hak untuk

menggunakan dan memungut hasil tanah yang dikuasai langsung oleh

Negara atau hak milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban

yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang

berwenang, memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya

yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah

segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan UUPA. Hak pakai merupakan

hak yang diberikan kepada warga negara Indonesia tunggal, badan hukum

Indonesia, dan warga negara asing yang berkedudukan di Indonesia serta

badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.91

Hak pakai tentu saja memiliki jangka waktu yang terbatas sehingga

berbeda dengan pemegang hak milik yang alas haknya tidak dibatasi kecuali

jika terjadi peralihan hak. Namun, pemegang Hak Pakai masih bisa

menerima manfaat berupa ganti kerugian jika dikemudian hari jangka waktu

90
Megalia Sarah Poeloe, Status Hak Kepemilikan Properti Bagi Orang Asing, Lex Et
Societatis, Volume 2 Nomor 6 (2014), hal. 27
91
Urip Santoso, 2008, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Cet. 4, Kencana, Jakarta,
hal.115
76

Hak Pakai berakhir, sepanjang bangunan atau benda-benda di atasnya masih

diperlukan.92Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan WNA tersebut

ternyata wafat, maka dapat diwariskan kepada seorang WNI ataupun WNA,

yaitu dengan status warisan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri

Agraria Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan,

Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian

Oleh Orang Asing Yang berkedudukan di Indonesia.

Larangan kepemilikan tanah hak milik oleh orang asing tercermin

pada ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan (3), Pasal 26, dan Pasal 27 huruf a

angka 4 UUPA. Semua ketentuan tersebut khususnya Pasal 26 ayat (2)

masih harus didukung oleh seperangkat peraturan dan peraturan pelaksanaan

serta lembaga-lembaga yang diperlukan guna mencapai tujuan. Pengaturan

tersebut dapat diartikan sebagai upaya juga dalam menegakkan ketentuan

Pasal 42 dan 45 UUPA, yaitu upaya pembatasan terhadap akses tanah oleh

orang asing. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia hanya

diperbolehkan memiliki tanah hak pakai dan hak sewa bangunan. Terdapat

dua hal penting terkait hak atas tanah bagi orang asing di Indonesia, jika

ditinjau dari tujuan pembentukan suatu Pemerintahan Negara Indonesia,

yang termuat di dalam alinea ke-4 Pembukaan UUDNRI 1945, yaitu

melindungi segenap bangsa Indonesia, dan melindungi seluruh tumpah

darah Indonesia. Sejalan dengan tujuan pembentukannya, Pemerintahan

Negara Indonesia mempunyai tugas dan tanggungjawab yang harus

92
Dian Aries Mujiburohman, Probelamtika Pengaturan Tanah Negara Bekas Hak Yang
Telah Berakhir, Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan, Volume 2, Nomor 2 (2016), hal. 164.
77

dilaksanakan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia. Tidak boleh sejengkal tanah hak milik di Indonesia

dimiliki orang asing. Berdasarkan dua hal tersebut, UUPA mewujudkannya

dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 21, Pasal 26, dan Pasal 27 huruf a angka 4, dan

telah menyediakan kebutuhan tanah bagi orang asing dengan hak pakai dan

hak sewa untuk bangunan yang tertuang dalam Pasal 42 dan Pasal 44

UUPA.93

Secara yuridis formil orang asing tidak dimungkinkan untuk memiliki

tanah berstatus hak milik.94 Bagi orang asing berlaku larangan kepemilikan

atas tanah hak milik sesuai dengan Pasal 21 UUPA, serta bagi badan-badan

hukum yang ingin berkedudukan di Indonesia harus memenuhi syarat-syarat

yang ditentukan oleh Pemerintah. Dimana orang asing tidak dapat memiliki

hak atas tanah. Namun apabila orang asing mendapatkan hak milik karena

waris atau adanya pencampuran harta pada saat melakukan perkawinan

dengan warga negara Indonesia setelah berlakunya UUPA harus melepaskan

hak miliknya dalam jangka waktu satu tahun saat hak tersebut diperoleh

atau pada saat orang tersebut kehilangan kewarganegaraannya seperti yang

diatur pada Pasal 21 ayat (3) UUPA. Dan jika dalam jangka waktu tersebut

seseorang itu tidak melepaskan hak miliknya, maka hak tersebut hapus

93
FX Sumarja, 2015, Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing (Tinjauan Politik Hukum dan
Perlindungan Warga Negara Indonesia), STPN Press, Sleman, hal. 7
94
Vina Jayanti, Nyoman Wita, Hak Warga Negara Asing Atas Penguasaan Tanah di
Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas Udayana, hal. 2
78

karena hukum dan tanah yang menjadi hak milik orang asing tersebut

dikuasai oleh negara.95

Kepastian hukum merupakan salah satu tujuan hukum, seperti yang

dikemukakan oleh Gustav Radbruch, hukum bertujuan untuk keadilan,

kegunaan dan kepastian.96 Dengan adanya suatu kepastian hukum, maka

tujuan dari hukum yaitu keadilan akan dapat dicapai. Yang utama dari nilai

kepastian hukum adalah adanya peraturan itu sendiri. Secara umum,

diartikan bahwa teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar

pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa.97

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori kepastian hukum Gustav

Radbruch sebagai pisau analisis.

Berdasarkan teori kepastian hukum Gustav Radbruch, jaminan

kepastian hukum kepemilikan tanah dengan status hak pakai bagi Warga

Negara Asing (WNA) adalah sebagai berikut :

1. Hukum positif yaitu Undang-Undang

Berdasarkan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1)

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sudah jelas dan tegas

dinyatakan bahwa Warga Negara Asing tidak dapat menguasai tanah

di seluruh wilayah Indonesia dengan menggunakan hak milik. Namun

Peraturan Perundang-undangan memberikan jaminan kepastian

95
Kadek Rita Listyanti, Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing
Di Indonesia Terkait Dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, Jurnal Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Udayana, hal. 4
96
H.Chaerudin, 1999, Filsafat Suatu Ikhtisar, FH UNSUR, Cianjur, hal. 19.
97
Gustav Radbruch dalam Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal.9.
79

hukum mengenai kebolehan WNA memiliki tanah dengan status hak

pakai, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 42 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

(UUPA) bahwa yang dapat mempunyai hak pakai ialah Warga Negara

Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum

yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia serta badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di

Indonesia. Kepastian hukum ini juga terdapat dalam Pasal 49 Ayat 2

Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak

Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran

Tanah, menentukan bahwa yang dapat mempunyai hak pakai adalah :

a. Warga Negara Indonesia.

b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan

berkedudukan di Indonesia.

c. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia;

d. Badan keagamaan dan sosial.

e. Orang Asing.

2. Hukum didasarkan pada fakta-fakta atau dasar hukum yang

ditetapkan.

WNA tidak dapat memiliki hak milik atas tanah namun masih

dapat memiliki tanah dengan status hak pakai. Berdasarkan Pasal 20

ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria menerangkan bahwa hak milik adalah hak


80

turun-menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas

tanah. Hal ini sebagai upaya agar tanah yang ada di Indonesia, yang

dikuasai oleh negara atau milik orang-perorang dalam masyarakat

tidak habis dibeli oleh orang asing yang ingin bertempat tinggal atau

membuka usaha di Indonesia. Apabila tidak diberlakukan larangan

hak milik kepada orang asing, maka dalam jangka panjang sebagian

besar tanah Indonesia akan dikuasai oleh orang asing baik untuk

membuka usaha seperti hotel, restoran atau lain sebagainya ataupun

membuat tempat tinggal. Dengan demikian wilayah Indonesia dapat

kembali pada sistem penjajahan dan bukan tidak mungkin negara

Indonesia akan berakhir karena tidak mempunyai tanah sebagai syarat

adanya suatu negara dan merupakan lambang dari kedaulatan.

3. Kenyataan fakta harus dirumuskan dengan jelas, sehingga

menghindari kekeliruan pemaknaan dan mudah untuk dilaksanakan.

WNA tidak dapat memiliki hak milik namun dapat memiliki hak

pakai, karena jika diberikan hak milik maka fenomena yang akan

dilihat adalah warga negara Indonesia (WNI) menjadi pekerja pada

usaha-usaha yang dimiliki oleh orang asing, sementara hak milik atas

tanah sudah dikuasai oleh orang asing. Apabila hal itu terjadi maka

kesejahteraan masyarakat akan berkurang, dan bukan tidak mungkin

dalam jangka waktu tertentu orang asing akan mengusai sebagian

wilayah negara Indonesia. Oleh karena itu tanah hak milik negara

maupun WNI tidak diperbolehkan mendapatkan hak milik terhadap


81

orang asing. Selain tidak menghilangkan kepemilikan atas tanah, yang

mempunyai hak milik atas tanah tersebut juga mendapat kontribusi

dari tanah yang digunakan oleh orang asing. Pembatasan hak milik

bagi orang asing ini adalah salah satu asas dalam hukum agraria yaitu

asas nasionalisme.98

4. Hukum positif tidak boleh mudah berubah.

Asas nasionalitas dalam Undang-Undang Pokok Agraria tidak

sepenuhnya melarang orang asing untuk memiliki hak atas tanah,

seperti dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria dan

dalam penerapan pada pasal-pasal yang mengatur hak milik atas

tanah. Ketentuan Pasal 21 ayat (1), pada intinya hanya WNI yang

memiliki Hak Milik. Ketentuan tersebut dipertegas pada Pasal 21 ayat

(3), yang pada intinya mengatur pelepasan hak bagi WNA yang

karena kondisi tertentu memperoleh Hak Milik setelah berlakunya

Undang-Undang Pokok Agraria. Orang asing atau badan hukum asing

hanya dapat memiliki Hak Pakai. 99

Warga Negara Asing dapat memiliki hak atas tanah di Indonesia,

namun dalam sifat kepemilikannya hanya dapat dimiliki secara sementara.

Hak atas tanah yang dapat Warga Negara Asing miliki dan menggunakan

yaitu hak atas tanah hak pakai.100 Pasal 52 Peraturan Pemerintah Republik

98
Ida Bagus Wyasa Putra et. Al., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama,
Bandung, hal.85
99
Martin Roestamy, 2011, Konsep-konsep Hukum Kepemilikan Properti bagi asing
dihubungkan dengan Hukum Pertanahan, Alumni, Bandung, hal.99.
100
Bedita Putri Sa’idah, Nadya Farras Indriati, Op.Cit, hal. 155
82

Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas

Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa :

1. Hak pakai di atas Tanah Negara dan Tanah hak Pengelolaan dengan

jangka waktu diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga

puluh) tahun diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua

puluh) tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga

puluh) tahun.

2. Hak pakai selama dipergunakan diberikan untuk waktu yang tidak

ditentukan selama dipergunakan dan dimanfaatkan.

3. Hak pakai dengan jangka waktu di atas Tanah hak milik, diberikan

untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat

diperbarui dengan akta pemberian hak pakai di atas Tanah hak miiik.

Berdasarkan pada Pasal 52, Warga Negara Asing bisa mendapatkan

hak pakai selama 30 tahun. Jika jangka waktu tersebut telah berakhir dapat

diperpanjang untuk 20 tahun selanjutnya. Kemudian, setelah rentang 50

tahun, Warga Negara Asing tersebut dimungkinkan memperbarui kembali

hak pakainya untuk masa 30 Tahun. Apabila ditotalkan jangka waktu yang

diberikan kepada Warga Negara Asing bisa mencapai 80 tahun.

Berkaitan dengan kepemilikan rumah tempat tinggal atau hunian oleh

orang asing di Indonesia sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 41 Tahun 1996, kemudian diganti dengan peraturan Pemerintah

Nomor 103 tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau

Hunian Oleh Orang asing Yang Berkedudukan Di Indonesia. Yang


83

dimaksud orang asing disini adalah orang yang bukan Warga negara

Indonesia yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha,

bekerja, atau berinvestasi di Indonesia. Menutut Pasal 2 Ayat (1) PP No.

103 Tahun 2015, Orang Asing dapat memiliki rumah untuk tempat tinggal

atau hunian dengan Hak Pakai. Tempat tinggal atau hunian berupa Rumah

Susun yang dapat dimiliki oleh orang asing yaitu Sarusun yang dibangun di

atas tanah Hak Pakai untuk sarusun pembelian unit baru. Selain itu

bersadarkan ketentuan Pasal 6 Permen ATR/ka BPN No. 29 Tahun 2016

tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan, atau Pengalihan Hak Atas

Pemilikan Rumah Tinggal atau Hunian Oleh Orang Asing Berkedudukan Di

Indonesia, Sarusun yang di bangun diatas Hak Guna Bangunan atau Hak

Pengelolaan yang dimiliki oleh Orang Asing karena jual beli, hibah, tukar

menukar, dan lelang, serta cara lain yang dimaksudkan untuk memindahkan

hak, maka Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun langsung diberikan dengan

perubahan menjadi Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun kepada orang

asing yang bersangkutan.101

Pasal 9 ayat (1) Permen ATR/ka BPN No. 29 Tahun 2016

menyebutkan Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun yang diperoleh pertama

kali dari unit Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun baru sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), diberikan untuk jangka waktu 30 (tiga

puluh) tahun, dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20 (dua puluh)

tahun, serta dapat diperbaharui untuk jangka waktu 30 (tiga puluh)

101
Wawancara dengan Ibu Rina, Pegawai BPN Kota Semarang, tanggal 6 Mei 2022
84

tahun.Sedangkan Hak Pakai Atas Satuan Rumah Susun yang perolehannya

berasal dari Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 6 ayat (2) diberikan dengan jangka waktu selama sisa jangka

waktu berlakunya Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dimaksud.102

Peraturan mengenai Pemilikan rumah bagi orang asing dibuat dalam

rangka mendukung pembangunan yang semakin meningkat seiring kerja

sama Indonesia dengan Negara-negara sahabat, dan meningkatnya jumlah

orang asing yang bekerja dan menjalankan usahanya di Indonesia

mengakibatkan permintaan kebutuhan tempat tinggal atau hunian bagi orang

asing semakin meningkat pula, sehingga perlu dibuat kebijakan yang

memberikan kepastian hukum serta kemudahan dalam memberikan

pelayanan maupun izin memperoleh hak atas tanah untuk rumah tempat

tinggal bagi orang asing. Hak atas tanah yang mengandung aspek kepastian

hukum dan keadilan tidak terpisah dari penggunaan dan pemanfaatan tanah

yang mewujudkan kemakmuran. Kepastian dan keadilan saja, tidak bisa

mewujudkan kemakmuran tanpa penggunaan dan pemanfaatan. Sebaliknya

penggunaan dan pemanfaatan saja tanpa kepastian dan keadilan tidak bisa

memberikan kemakmuran yang adil dan berkepastian yang merupakan cita-

cita kemerdekaan.103 Unsur kepastian hukum berkaitan erat dengan

keteraturan masyarakat, karena kepastian hukum merupakan inti dari

keteraturan itu berkepastian, karena dapat melakukan kegiatan-kegiatan

102
Betty Rubiatiati, Kepastian Hukum Pemilikan Rumah Susun Oleh Orang Asing Di
Indonesia Dikaitkan Dengan Prinsip Nasionalitas, LITRA: Jurnal Hukum Lingkungan, Tata Ruang,
dan Agraria, Volume 1, Nomor 1, Oktober 2021, hal.88
103
Soedjarwo Soeromihardjo, 2009, Mengkritisi Undang-Undang Pokok Agraria, Cerdas
Pustaka, Jakarta, hal. 125
85

yang diperlukan dalam kehidupannya bermasyarakat. Jika orang tidak dapat

menyelenggarakan kepentingan-kepentingannya atau kepentingan antara

manusia yang satu berbenturan dengan kepentingan manusia lainnya, maka

tentu tidak ada keteraturan dan pada akhirnya menyebabkan tidak ada

kepastian.104

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa implikasi yuridis

terhadap kepemilikan hak atas tanah bagi warga negara asing dalam konsep

kepastian hukum dijamin oleh Peraturan Perundang-undangan. WNA sah

memilik hak atas tanah dengan status hak milik, serta jaminan kepastian

hukum mengenai kebolehan WNA memiliki tanah dengan status hak pakai,

sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) bahwa yang

dapat mempunyai hak pakai ialah Warga Negara Indonesia, orang asing

yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut

hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia serta badan hukum asing

yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Masa kepemilikan hak pakai

diatur dalam Pasal 52 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18

Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah

Susun, dan Pendaftaran Tanah bahwa Hak pakai di atas Tanah Negara dan

Tanah hak Pengelolaan dengan jangka waktu diberikan untuk jangka waktu

paling lama 30 (tiga puluh) tahun diperpanjang untuk jangka waktu paling

lama 20 (dua puluh) tahun, dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama

104
Kusumaatmadja dan Sidharta dalam Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-prinsip Pembaruan
Agraria Perspektif Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 32
86

30 (tiga puluh) tahun. Pemegang Hak Pakai masih bisa menerima manfaat

berupa ganti kerugian jika dikemudian hari jangka waktu Hak Pakai

berakhir, sepanjang bangunan atau benda-benda di atasnya masih

diperlukan. Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan WNA tersebut

ternyata wafat, maka dapat diwariskan kepada seorang WNI ataupun WNA,

yaitu dengan status warisan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri

Agraria Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian, Pelepasan,

Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian

Oleh Orang Asing Yang berkedudukan di Indonesia.

B. Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Dalam Pembuatan Akta

Hak Pakai Atas Tanah Oleh Warga Negara Asing

Mekanisme perolehan hak atas tanah bagi WNA menurut undang-

undang dilakukan dengan cara jual beli, sewa menyewa atau dengan

perjanjian penurunan hak dari hak milik menjadi hak pakai. WNA dapat

memiliki tanah hak pakai sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan

oleh undang-undang, yaitu dengan melalui proses pelepasan hak atau

penurunan hak berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak

Milik yang dibuat di Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan dilanjutkan

dengan proses permohonan hak pakai kepada Negara.

Proses pelepasan hak atau penurunan hak yang dibuat di hadapan

PPAT merupakan merupakan bentuk pengukuhan untuk adanya kepastian

hukum. PPAT berperan dalam memberikan jaminan kepastian hukum serta


87

perlindungan hukum kepada warga negara baik WNI maupun WNA dalam

mempertahankan hak-haknya. Hak-hak dimaksud adalah hak-hak yang

sempurna yaitu hak-hak yang cakupannya jelas, tetap dan tertentu, yang

ditandai dengan pemenuhan kewajiban yang sempurna.105 Sesuai Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 sebagaimana diubah dengan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 tentang Peraturan

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dalam ketentuan Pasal 2 dijelaskan

bahwa PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran

tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan

hukum tertentu mengenai hak atas tanah. Tanah yang dulunya tidak

mempunyai nilai ekonomis saat terjadi penyerobotan sejengkal tanahnya

untuk kepentingan tertentu, itu tidak pernah dimasalahkan. Tetapi

bagaimana dengan keadaan sekarang ini, dimana sejengkal tanah

mempunyai nilai ekonomis tinggi sehingga sedikit saja terjadi

penyerombotan pasti akan menimbulkan sengketa.106

Definisi lain dari PPAT, yaitu sebagai pejabat umum yang diberi

wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta

pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa membebankan hak

tanggungan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Boedi

Harsono menyebutkan bahwa pejabat umum adalah seseorang yang

diangkat oleh pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan

105
Komar Andasasmita, 2001, Notaris Selayang Pandang, Alumni, Bandung, hal. 2.
106
I Gusti Ayu Mas Maha Dewi, Suatra Putrawan, Pelaksanaan Pp No 24 Tahun 2016
Tentang Peraturan Jabatan PPAT Oleh Notaris Sebagai PPAT, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Udayana, Denpasar, hal. 3
88

pelayanan kepada umum di bidang tertentu.107 Adapun fungsi Akta PPAT

yaitu sebagai alat bukti telah dilakukannya suatu perbuatan hukum dan

dijadikannya dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan hak dan

pembebanan hak yang bersangkutan.108

Akta yang dibuat oleh PPAT merupakan bukti telah dilaksanakannya

perbuatan hukum mengenai hak atas tanah. Akta PPAT juga sebagai

kelengkapan di Kantor Pertanahan dan merupakan akta yang penting dalam

pendaftaran tanah. PPAT dalam melaksanakan jabatannya dilarang untuk

melakukan rangkap jabatan atau profesi. Setiap PPAT memiliki wewenang

untuk membuat akta mengenai hak atas tanah di dalam wilayah

jabatannya.109

Philipus M hadjon, bahwa membagi cara memperoleh wewenang atas

dua cara utama, yaitu atribusi, delegasi dan kadang-kadang juga mandat.110

Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan ( besluit ) yang

langsung bersumber kepada undang-undang dalam arti material. Atribusi ini

dikatakan juga sebagai suatu cara normal untuk memperoleh wewenang

pemerintahan. Dari pengertian tersebut jelas tampak bahwa kewenangan

yang didapat melalui atribusi oleh organ pemerintah adalah kewenangan

asli, karena kewenangan itu di peroleh langsung dari peraturan perundang-

undangan, dengan kata lain dengan atribusi berarti timbulnya kewenangan

107
Salim HS, Teknik Pembuatan Akta Tanah Pejabat Pembuat Akta Tanah, jakarta:
Rajawali Pers, 2016, hal. 87.
108
Ibid, hal. 75.
109
Wawancara dengan Ibu Mulyani, Notaris/PPAT Kota Semarang, tanggal 6 Mei 2022
110
Philipus M Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuursbevoegheid),
Projutistia, Tahun XVI Nomor 1 Januari, hal.91
89

baru yang sebelumnya kewenangan itu tidak dimiliki oleh organ pemerintah

yang bersangkutan. Delegasi diartikan sebagai penyerahan wewenang untuk

membuat besluit oleh pejabat pemerintahan kepada pihak lain tersebut.

Mandat diartikan suatu pelimpahan wewenang kepada bawahan.

Pelimpahan ini bermaksud memberi wewenang kepada bawahan untuk

membuat keputusan atas nama pejabat tata usaha negara yang memberi

mandat.111

Berdasarkan teori kewenangan diatas, berkaitan dengan administrasi

publik di bidang pertanahan, baik PPAT maupun Badan Pertanahan

Nasional (BPN) memiliki berperan untuk mengelola pertanahan. Menurut

Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-

Pokok Agraria (UU No.5 Tahun 1960), pemerintah berkewajiban untuk

mengatur usaha-usaha di bidang lapangan agraria yang bertujuan untuk

meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 2 ayat (3) serta menjamin kesejahteraan bagi setiap Warga

Negara Indonesia sesuai dengan martabat manusia. Dalam rangka mengatur

pemanfaatan ruang agraria, lebih lanjut dalam Pasal 19 UU No. 5 Tahun

1960 menerangkan bahwa, pemerintah mengadakan pendaftaran tanah di

seluruh wilayah Republik Indonesia dalam rangka menjamin kepastian

hukum. Pendaftaran tanah dikatakan sebagai satu-satunya jaminan kepastian

hukum dalam bidang pertanahan dikarenakan, pendaftaran merupakan

bentuk pembuktian dan pendaftaran merupakan syarat sahnya peralihan

111
Ibid., hal. 95
90

hak.112 Secara spesifik pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud di atas

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun 1997). Menurut Pasal 5 PP No.24

Tahun 1997, pendaftaran tanah diselenggarakan oleh BPN. Lebih lanjut

diterangkan dalam Pasal 6 bahwa:

Pasal 6

1. Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 5 tugas pelaksana pendaftaran tanah dilakukan
oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan tertentu
yang oleh Peraturan Pemerintah ini atau perundang-undangan yang
bersangkutan ditugaskan kepada pejabat lain.
2. Dalam melaksanakan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan
dibantu oleh PPAT dan pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan
Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Berdasarkan klausul substansi Pasal 6 ayat (2) PP No.24 Tahun 1997

di atas, diketahui bahwa BPN dapat mendelegasikan sebagian

kewenangannya dalam bidang pendaftaran tanah kepada PPAT dan pejabat

lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pendelegasian

kewenangan tersebut lantas ditindaklanjuti dengan menerbitkan PP No. 24

Tahun 2016 dan PP No. 37 Tahun 1998. Lebih khusus pada Pasal 2 ayat (1)

PP No. 37 Tahun 1998 menegaskan bahwa, PPAT bertugas pokok

melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta

sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak

atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan

112
Boedi Harsono, 2003, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, hal.12.
91

dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan

oleh perbuatan hukum itu.

Pendelegasian sebagian kewenangan pada dasarnya bertujuan untuk

melangsungkan pendaftaran tanah merupakan salah satu bentuk

implementasi bestuur bevoegdheid. Dimana bestuur bevoegdheid yang

dimaksud merupakan wewenang publik atau authority yang dimiliki BPN

selaku organ pemerintahan. BPN memperoleh kewenangan atributif dari UU

No.5 Tahun 1960 untuk mengatur dan mengelola bidang pertanahan. Dalam

rangka menjalankan pengelolaan pemerintahan, BPN mendelegasikan

sebagian kewenangannya di bidang pendaftaran tanah kepada PPAT.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa PPAT memperoleh kewenangan

delegasi dari BPN. Dikatakan memperoleh kewenangan delegasi

dikarenakan kedudukan BPN sebagai badan pemerintahan lebih tinggi

daripada PPAT.

Hal tersebutlah yang kemudian melandasi terjadinya pemisahan

kedudukan jabatan pada pejabat umum. Dimana pemisahan tersebut

berfungsi untuk membedakan pejabat penerima delegasi (delegataris) PNS

dan non-PNS. Kondisi tersebut penting untuk diperhatikan mengingat

pendelegasian kewenangan untuk melakukan pendaftaran tidak hanya

diberikan kepada PPAT, melainkan kepada pejabat lain sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Alasan tersebutlah yang

kemudian memberikan pandangan logis mengenai pengangkatan dan

pemberhentian PPAT oleh Menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat


92

(1) PP No.24 Tahun 1997. Termasuk pula dalam hal ini pemberlakuan cap

lambang garuda pancasila pada akta tanah. Dengan kata lain, PPAT

dikategorikan sebagai pejabat umum dikarenakan memperoleh kewenangan

delegasi dari BPN/Kementerian Agraria dalam bidang pendaftaran tanah.

Perlu digarisbawahi bahwa konsep bestuur bevoegheid terhenti pada

pemberian kewenangan delegasi dari BPN kepada PPAT. Hal ini

dikarenakan kewenangan publik tersebut hanya dimiliki oleh lembaga/badan

pemerintahan sebagaimana diatur dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang

Administrasi Pemerintahan. Dimana telah dengan jelas diuraikan di atas

bahwa PPAT adalah pejabat umum sehingga tidak melekat padanya

kewenangan publik. PPAT hanya dapat bertindak sebagai penerima delegasi

dari kewenangan yang diberikan oleh BPN/Kementerian Agraria.

Berdasarkan teori kewenangan Philipus M. Hadjon, PPAT juga

memiliki kewenangan atribusi yaitu kewenangan berdasarkan perundang-

undangan yang berlaku berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) No.

24 Tahun 2016 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun

1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu :

1. PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran

tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya

perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik

Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi

pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh

perbuatan hukum itu.


93

2. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai

berikut jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam

perusahaan (inbreng), pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna

Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak

Tanggungan, pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan

PPAT sangat berperan dalam persentuhan antara perundang-undangan

dan dunia hukum, sosial, dan ekonomi pratikal. PPAT adalah pejabat umum

(openbaar ambtenaar) yang bertanggung jawab untuk membuat surat

keterangan tertulis yang di maksudkan sebagai alat bukti dari perbuatan-

perbuatan hukum. Dalam hal kewenangan PPAT membuat akta pemberian

hak pakai merupakan kewenangan atribusi yang terdapat dalam Pasal 2

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat

Pembuat Akta Tanah. 113

Tanggung jawab Notaris selaku PPAT sebagai mitra kerja pemerintah

sangatlah berat, sebab disamping produk yang dihasilkan merupakan produk

yang memiliki konsekwensi dibidang hukum.114 Pelaksanaan tanggung

jawab PPAT jika terjadi penyimpangan dalam pembuatan Akta Tanah yaitu

PPAT bertanggung jawab bukan hanya pada saat membuat akta, akan tetapi

bertanggung jawab pada saat pasca penandatanganan akta, PPAT

bertanggung jawab untuk memeriksa syarat-syarat sahnya perbuatan hukum

113
Wawancara dengan Ibu Rina, Pegawai BPN Kota Semarang, tanggal 6 Mei 2022
114
Ronal Ravianto dan Amin Purnawan, Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) Dengan Pendekatan
Self Assessment System, Jurnal Akta, Volume 4 Nomor 4 Desember 2017, Unissula, Semarang,
hal. 571
94

yang bersangkutan dengan antara lain mencocokkan data yang terdapat

dalam sertifikat dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.

Adanya penyimpangan maupun kelalaian dalam pembuatan Akta yang

pembuatannya tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan dalam

perundang-undangan dalam praktek seringkali terjadi. Pada dasarnya

tanggung jawab PPAT secara hukum dapat dikatakan merupakan tanggung

jawab dalam pelaksanaan kewajiban berdasarkan peraturan perundangan

yang berlaku. Terhadap PPAT dapat dijatuhi Sanksi perdata, sanksi

administratif maupun sanksi pidana. PPAT bertanggung jawab atas

pembuatan Akta Jual Beli yang berdasarkan kuasa mutlak. Kerugian

terhadap para pihak atas kelalaian PPAT dibebankan kepada pejabat yang

karena kelalaiannya itu telah menimbulkan kerugian. Akta PPAT tersebut

bertentangan dengan peraturan, yakni Instruksi Menteri Dalam Negeri

Nomor 14 tahun 1982 dan pasal 39 ayat 1 huruf d Peraturan pemerintah

nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, terkait larangan PPAT

untuk membuatkan akta berdasarkan kuasa mutlak maka, hal ini dapat

disamakan dengan bertentangan dengan causa yang halal sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Tidak terpenuhinya syarat

objektif maka perjanjian itu batal demi hukum atau batal dengan sendirinya,

artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian. Tanggung

jawab PPAT harus dibedakan antara tanggung jawabnya sebagai pejabat


95

umum dan tanggung jawabnya sebagai penyimpan dokumen negara,

sehingga PPAT tidak berorientasi bertanggung jawab tanpa batas.115

Akta PPAT merupakan salah satu sumber data bagi pemeliharaan data

pendaftaran tanah. Maka wajib dibuat sedemikian rupa sehingga dapat

dijadikan dasar yang kuat untuk pendaftaran pemindahan dan pembebanan

hak yang bersangkutan. Oleh karena itu PPAT bertanggungjawab untuk

mencocokkan data yang terdapat dalam sertipikat dengan daftar-daftar yang

ada di Kantor Pertanahan. Dalam Peraturan Perundang - Undangan yang

berlaku, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) merupakan pejabat yang

berwenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah serta akta – akta

lainnya yang bentuk aktanya sudah ditetapkan.116 Akta PPAT dibuat sebagai

bukti dilakukannya suatu perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang

terletak di dalam daerah kerjanya masing – masing. Dalam hal ini maka akta

yang dibuat oleh PPAT adalah akta otentik.117

PPAT berperan serta membantu Kantor Pertanahan terhadap

tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas berupa

jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan yang dilaksanakan secara

konsisten sesuai dengan ketentuan-ketentuannya. Sebelum proses

pembuatan akta pelepasan hak atau penurunan hak, PPAT memastikan

115
Saraswati, dkk., Kedudukan Hukum Akta PPAT Setelah Terbitnya Sertipikat Karena
Peralihan Hak Atas Tanah. Acta Comitas, April 2018, hal. 26
116
Setyaningsih, Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT) Terhadap Perjanjian Kredit Antara Kreditur dan Debitur Dengan Jaminan Hak
Tanggungan di Purwokerto, Volume 5, Nomor 1 Tahun 2018, Jurnal Akta Magister Kenotariatan,
Fakultas Hukum, Universitas Unissula, Semarang, hal. 190
117
Satrio J., 2007, Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal.329.
96

bahwa para pihak memenuhi persyaratan seperti yang di tentukan oleh

Undang-undang. Tertuang dalam Pasal 99 Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

Tentang Pendaftaran Tanah (Permenag /Ka.BPN No. 3 Tahun 1997), yaitu

sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah (oleh PPAT),

calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan bahwa

yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi

pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan

tanah dan pemegang hak atas tanah absentee. Apabila pernyataan

sebagaimana dimaksud tidak benar, maka tanah kelebihan dan absentee

tersebut menjadi objek landreform dan bersedia menanggung semua akibat

hukumnya.118

Berdasarkan ketentuan Pasal 93, 94 dan 95 Peraturan Menteri Negara

Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang

Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak

Pengelolaan (Permennag/Ka.BPN No. 9 tahun 1999) mekanisme perolehan

tanah WNA adalah sebagai berikut:119

1. Peralihan Hak Milik atau HGU atau HGB dilakukan terlebih dahulu

kepada WNA atau Hak Milik kepada badan hukum dengan dibuatkan

akta PPAT jika dilakukan melalui pemindahan hak seperti jual beli.

118
Wawancara dengan Ibu Rina, Pegawai BPN Kota Semarang, tanggal 6 Mei 2022
119
FX Sumarja, 2015, Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing (Tinjauan Politik Hukum dan
Perlindungan Warga Negara Indonesia), STPN Press, Sleman, hal. 179
97

Demikian, Hak Milik atas tanah sudah berpindah kepada WNA atau

badan hukum.

2. Setelah itu, bersamaan dengan proses pendaftaran peralihan haknya

diajukan juga permohonan perubahan status Hak Milik menjadi HGB

atau Hak pakai Akta Jual Beli dari PPAT sehingga dalam sertifikatnya

sudah tercantum status hak atas tanah yang baru.

Penyederhanaan mekanisme peralihan hak atas tanah tertentu kepada

pihak yang tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak mensiratkan adanya

kebebasan dalam melakukan peralihan hak. Setiap pemegang Hak Milik

dapat menjualnya kepada siapapun termasuk subjek hak yang tidak

memenuhi syarat atau setiap orang dapat membeli tanah dengan status hak

atas tanah apapun termasuk yang tidak dapat dimilikinya. Syaratnya setelah

akta peralihannya dibuat dan hak atas tanahnya beralih diajukan

permohonan perubahan status hak atas tanah yang sesuai atau yang dapat

dipunyai. Penyederhanaan ini, jelas akan memperlemah ketentuan larangan

pemindahan tanah hak milik kepada orang asing yang termuat dalam Pasal

26 ayat (2) UUPA dan dapat dikategorikan sebagai peralihan hak yang batal

demi hukum. Mengingat peralihan hak tersebut batal demi hukum, maka

perolehan tanahnya juga batal demi hukum. Selain melemahkan ketentuan

Pasal 26 ayat (2) UUPA, penyederhanaan itu berpotensi melanggar

ketentuan Pasal 42 dan 45 UUPA, yaitu hak atas anah bagi orang asing.

WNA yang mengajukan pemohonan hak pakai harus melampirkan

dokumen keimigrasian, seperti yang diatur dalam Pasal 51 ayat (2)


98

Permennag/ Ka.BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan

Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan. Pasal tersebut

mengatur bahwa orang asing yang mengajukan permohonan hak pakai harus

melampirkan foto copy surat izin tinggal tetap atau foto copy surat izin

kunjungan atau izin keimigrasian lainnya yang dimiliki oleh orang asing

yang bersangkutan. Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (2) di atas dengan

tegas diatur syarat pengajuan permohonan hak pakai oleh perorangan WNA,

yaitu adanya izin tinggal tetap, atau izin tinggal sementara/ kunjungan,

tetapi berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan

Pengaturan Pertanahan, dalam pengajuan permohonan hak pakai, orang

asing disyaratkan melampirkan izin tinggal tetap. Peraturan Ka.BPN No.1

Tahun 2010 tidak menyebutkan persyaratan izin tinggal sementara, izin

kunjungan ataupun izin keimigrasian yang lain seperti yang diatur Pasal 51

ayat (2) Permennag/Ka.BPN No. 9 Tahun 1999. Perkataan lain, dua

peraturan itu terjadi inkonsistensi dalam pengaturan tentang syarat bagi

WNA untuk mendapatkan hak pakai.120

Kondisi inskonsisten tersebut dapat dimaklumi, karena tampaknya

peraturan yang terakhir menganut konsepsi orang asing secara sempit.

Artinya pengertian orang asing yang berkedudukan di Indonesia

dikonsepsikan hanya orang asing yang memiliki izin tinggal tetap,

sementara peraturan yang lama menganut konsepsi orang asing secara luas.

120
Ibid., hal. 210
99

Penganut konsepsi orang asing dalam arti luas berpendapat bahwa orang

asing yang dapat menjadi subjek hak pakai atas tanah adalah orang asing

yang berkedudukan di Indonesia dengan tidak harus tinggal tetap (dalam arti

penduduk) tetapi bisa juga orang asing yang sekedar memegang dokumen

keimigrasian berupa izin tinggal sementara, izin kunjungan ataupun izin

keimigrasian lainnya. Berdasarkan peraturan yang terakhir berarti terhadap

orang asing baik yang memiliki izin tinggal sementara, izin kunjungan

maupun izin keimigrasian yang lain tertutup kemungkinannya untuk

memperolah Hak Pakai.

Berdasarkan asas hukum yang berlaku apabila terdapat dua peraturan

yang setingkat mengatur hal yang sama, tetapi isinya berbeda maka

peraturan yang berlaku adalah peraturan yang dikeluarkan kemudian (lex

posterior derogat legi priori). Demikian, terhadap Permennag/Ka.BPN No. 9

Tahun 1999 dan Peraturan Ka.BPN No. 1 Tahun 2010, yang akan diikuti

adalah peraturan terakhir khusus mengenai persyaratan pengajuan hak pakai

bagi perorangan WNA.

Kondisi peraturan perundang-undangan yang demikian mempersukar

orang asing memperoleh hak pakai, dan memicu mereka melakukan

penyelundupan hukum terhadap aturan larangan kepemilikan tanah hak

milik oleh orang asing. Perbuatan hukum untuk mendapatkan tanah hak

milik dilakukannya dengan menggunakan jasa notaris agar aman.

Perjanjian-perjanjian yang dibuat sebagai syarat atau instrumen

mendapatkan tanah hak milik, bisa menggunakan cara pinjam nama, sewa
100

atau menikah dengan WNI. Sebenarnya, Pemerintah telah menjanjikan

untuk memberikan fasilitas mendapatkan hak atas tanah dalam penanaman

modal asing, yaitu melalui ketentuan Undang-undang Nomor 25 Tahun

2007 tentang Penanaman Modal (UUPM). Pasal 21 huruf b UUPM

menyatakan bahwa selain fasilitas, pemerintah memberikan kemudahan

pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk

memperoleh fasilitas pelayanan keimigrasian.121

Pemegang hak atas tanah diharapkan tidak sampai menjual tanah hak

milik kepada orang asing, meskipun dengan harga yang tinggi (bertindak

selektif). Bagi masyarakat umum jangan sampai tergiur bujuk rayu orang

asing untuk dipinjam namanya atau bahkan menawarkan jasanya untuk

mendapatkan tanah hak milik. Notaris/ PPAT diharapkan dalam membuat

perjanjian penguasaan hak atas tanah bagi WNA dan Badan Hukum bisa

memberikan pemahaman/ sosialisasi terhadap kepemilikan hak atas tanah

yang diperkenankan oleh undang-undang. Notaris/ PPAT diharapkan tidak

memfasilitasi orang asing untuk mendapatkan tanah hak milik. Aparat

pemerintah daerah/pusat dalam memenuhi keinginan seseorang untuk

peralihan hak atas tanah harus bertindak cermat agar tanah hak milik tidak

jatuh pada orang asing.122

Hukum tanah nasional telah mengatur bahwa pemindahan hak atas

tanah harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)

121
Ibid., hal.211
122
SF. Marbun, 2001, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang
Baik di Indonesia, dalam Dimens-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press,
Yogyakarta, hal. 214.
101

yang bertujuan untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sah sebagai

syarat untuk dapat melakukan pendaftaran tanah. Beralihnya hak atau

lahirnya hak karena pemindahan hak bukan pada saat didaftarkannya di

Kantor Pertanahan, tetapi pada saat ditandatanganinya akta pemindahan

hak.123

Pendaftaran tanah di sini dimaksudkan sebagai pendaftaran hak atas

tanah yang telah diperolehnya baik melalui jual beli, tukar menukar, hibah,

maupun yang lainnya di Kantor Pertanahan. Pada pendaftaran hak itulah

akan dicatat hak atas tanahnya atas dasar akta PPAT, baik pada buku tanah

maupun pada sertipikat tanahnya. Proses inilah yang sering dikenal dengan

balik nama. Demikianlah ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun

1997, bahwa penindahan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah

susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan

dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak

melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang

dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Pasal 39 ayat (1) PP 24 Tahun 1997 melarang

PPAT membuatkan akta apabila:

1. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas

satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli hak

yang bersangkutan, atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai

dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.

123
FX Sumarja, 2015, Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing (Tinjauan Politik Hukum dan
Perlindungan Warga Negara Indonesia), STPN Press, Sleman, hal. 150
102

2. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak

disampaikan:

a. Surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau

surat keterangankepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa

yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2).

b. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang

bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau

untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan

Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan

dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.

3. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum

yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak

demikian.

4. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa

mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan

hak.

5. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin

Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

6. Objek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam Sengketa

mengenai data fisik dan atau data yuridisnya.


103

7. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan

dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Sahnya perbuatan hukum yang dilakukan ditentukan oleh

terpenuhinya syarat-syarat materiil yang bersangkutan, yaitu kecakapan dan

kewenangan para pihak untuk melakukan perbuatan hukum tersebut, untuk

melakukan perbuatan hukum telah dipenuhi syarat terang, tunai dan riil bagi

perbuatan hukum peralihan hak yang dilakukan.124

PPAT setelah membuatkan akta pelepasan hak atau penurunan hak

berdasarkan perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik, maka proses

pengajuan sertipikat hak pakai oleh WNA di Kantor Badan Pertanahan

Nasional adalah sebagai berikut : 125

1. Syarat dokumen yang harus WNA persiapkan :

a. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani

pemohon atau kuasanya di atas materai cukup.

b. Fotocopy identitas pemohon dan kuasa apabila dikuasakan, Surat

Ijin Tinggal Tetap/Kartu Ijin Menetap (KIM) yang dikeluarkan

oleh Kantor Imigrasi, yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh

petugas loket.

c. Surat Kuasa apabila dikuasakan.

d. Bukti perolehan tanah/Alas Hak.

124
Eko Puji Hartono, Akhmad Khisni, Peranan PPAT dalam Pembuatan Akta Peralihan
Hak Atas Tanah dan/Atau Bangunan Bekas Hak Milik Adat Berkaitan Dengan Pembayaran Bea
Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Jurnal Akta, Vol 5 No 1 Maret 2018, Unissula
Semarang, hal. 163
125
Wawancara dengan Ibu Rina, Pegawai BPN Kota Semarang, tanggal 6 Mei 2022
104

e. Foto copy SPPT PBB Tahun berjalan yang telah dicocokkan

dengan aslinya oleh petugas loket, penyerahan bukti SSB

(BPHTB) dan bukti bayar uang pemasukan (pada saat pendaftaran

hak).

f. Melampirkan bukti SSP/PPh sesuai dengan ketentuan.

2. Setelah menyerah dokumen, pihak BPN akan segera memprosesnya.

Dari mulai disesuaikan dengan data-data yang dimiliki oleh instansi

itu, apabila cocok segera dilanjutkan ke tahapan berikutnya yakni

loket penerimaan pembayaran pengukuran. Pada tahap ini pemohon

akan membayar sejumlah uang berdasarkan aturan yang berlaku..

3. Pengukuran dilakukan oleh staf BPN, kemudian pemohon harus

mendampingi staf itu ketika mengukur tanah yang akan dibuatkan

sertifikat hak pakai. Setelah selesai tahap itu, dilanjutkan dengan

tahapan pembuatan Surat Kerja (SK) untuk pembuatan sertifikat. Pada

tahapan ini, pemohon akan dikenakan beban biaya mencapai sekitar

Rp350 ribu untuk panitia pembuatan SK. Murah atau mahalnya,

tergantung dengan tipe tanah, luas tanah, dan domisili tanah.

Kemudian akan masuk pada tahapan pembukuan yakni sertifikat baru

diterbitkan kemudian yang lama dicoret nomornya.

4. Selanjutnya pemohon dapat mengambil sertifikat tanah yang asli

diloket penyerahan sertifikat. Waktu total dari mulai tahapan awal

hingga jadinya sertifikat diperkirakan akan memakan waktu paling


105

lama 97 hari dari mulai data diserahkan. Berikut klasifikasi waktunya

berdasarkan luas lahan:

a. 38 hari untuk luasan tidak lebih dari 2.000 m2.

b. 57 hari untuk luasan lebih dari 2.000 m2 sampai dengan 150.000

m2.

c. 97 hari untuk luasan lebih dari 150.000 m2.

Perlu diketahui, WNA tidak perlu khawatir dipersulit dalam mengurus

sertifikat hak pakai. Karena perlakuan petugas BPN sama dengan ketika

WNI yang mengurus sertifikat. Jangan lupa ketika mengambil sertifikat

dipastikan pemohon yang bersangkutan dan membawa tanda bukti asli

pembayaran.126 Namun apabila WNA sebagai pemegang Hak Pakai tidak

lagi memenuhi syarat sebagai subyek hak yang berkedudukan di Indonesia,

maka akibat hukumnya adalah WNA tersebut wajib melepaskan atau

mengalihkan haknya kepada pihak lain yang memenuhi syarat dalam jangka

waktu 1 (satu) tahun. Bila dalam jangka waktu satu tahun, haknya tidak

dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum dengan

ketentuan hak-hak pihak lain yang terkait di atas tanah tersebut tetap

diperhatikan. Hak pakai sama sekali bukan lembaga hak atas tanah yang

baru, namun kurang dikenal jika dibandingkan dengan hak milik, hak guna

usaha, atau hak guna bangunan, untuk itu diperlukan pemahaman yang

benar mengenai hak pakai agar dapat menggunakannya secara

bertanggungjawab. Sengketa yang terjadi disebabkan oleh kurangnya

126
Ibid.,
106

pemahaman tentang penggunaan, pengelolaan dan proses-proses dalam

pengurusan hak pakai atas tanah yang berbasis hak milik.127

Berdasarkan uraian diatas maka peran Pejabat Pembuat Akta Tanah

(PPAT) dalam pembuatan akta hak pakai atas tanah oleh warga negara asing

adalah membuat perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik.

Sebelum membuat akta tersebut, PPAT harus memastikan bahwa para pihak

telah memenuhi persyaratan dalam Peraturan Perundang-undangan. PPAT

sangat berperan dalam persentuhan antara perundang-undangan dan dunia

hukum, sosial, dan ekonomi pratikal. PPAT adalah pejabat umum (openbaar

ambtenaar) yang bertanggung jawab untuk membuat surat keterangan

tertulis yang di maksudkan sebagai alat bukti dari perbuatan-perbuatan

hukum. Dalam hal kewenangan PPAT membuat akta pemberian hak pakai

merupakan kewenangan atribusi yang terdapat dalam Pasal 2 Peraturan

Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2016 Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta

Tanah.

127
Suryani Sappe, Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik dan Penyelesaian Sengketa, Batulis:
Civil Law Review, Volume 2 Nomor 1, Mei 2021, hal. 81
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Simpulan penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Implikasi yuridis terhadap kepemilikan hak atas tanah bagi warga

negara asing dalam konsep kepastian hukum dijamin oleh Peraturan

Perundang-undangan. WNA sah memilik hak atas tanah dengan status

hak milik, serta jaminan kepastian hukum mengenai kebolehan WNA

memiliki tanah dengan status hak pakai, sebagaimana dijelaskan

dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Masa kepemilikan

hak pakai diatur dalam Pasal 52 Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas

Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah bahwa Hak

pakai di atas Tanah Negara dan Tanah hak Pengelolaan dengan jangka

waktu diberikan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun

diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun,

dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun.

Pemegang Hak Pakai masih bisa menerima manfaat berupa ganti

kerugian jika dikemudian hari jangka waktu Hak Pakai berakhir,

sepanjang bangunan atau benda-benda di atasnya masih diperlukan.

Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan WNA tersebut ternyata

wafat, maka dapat diwariskan kepada seorang WNI ataupun WNA,

107
108

yaitu dengan status warisan sebagaimana diatur dalam Peraturan

Menteri Agraria Nomor 29 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pemberian,

Pelepasan, Atau Pengalihan Hak Atas Pemilikan Rumah Tempat

Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang berkedudukan di

Indonesia.

2. Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam pembuatan akta

hak pakai atas tanah oleh warga negara asing adalah membuat

perjanjian pemberian Hak Pakai di atas Hak Milik. Sebelum membuat

akta tersebut, PPAT harus memastikan bahwa para pihak telah

memenuhi persyaratan dalam Peraturan Perundang-undangan. PPAT

sangat berperan dalam persentuhan antara perundang-undangan dan

dunia hukum, sosial, dan ekonomi pratikal. PPAT adalah pejabat

umum (openbaar ambtenaar) yang bertanggung jawab untuk membuat

surat keterangan tertulis yang di maksudkan sebagai alat bukti dari

perbuatan-perbuatan hukum. Dalam hal kewenangan PPAT membuat

akta pemberian hak pakai merupakan kewenangan atribusi yang

terdapat dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2016

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang

Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

B. Saran

Saran penulis dalam penelitian ini adalah :

1. Notaris/ PPAT diharapkan dalam membuat perjanjian penguasaan hak

atas tanah bagi WNA dan Badan Hukum bisa memberikan


109

pemahaman/ sosialisasi terhadap kepemilikan hak atas tanah yang

diperkenankan oleh undang-undang. Notaris/ PPAT diharapkan tidak

memfasilitasi orang asing untuk mendapatkan tanah hak milik.

2. Badan Pertanahan Nasional dalam memenuhi keinginan seseorang

untuk peralihan hak atas tanah harus bertindak cermat agar tanah hak

milik tidak jatuh pada orang asing.


110

Contoh Akta PPAT

PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH


(PPAT)
SEPTIA NOVA AYUNINGTYAS, S.H., M.Kn
DAERAH KERJA KOTA SEMARANG
SK. KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR xxx/KEP-17.3/X/2013
Tanggal 21 Oktober 2013
Jalan Majapahit Nomor 18A Pedurungan Kota Semarang
Telp/Fax (024) 76543210/ 081234567890

AKTA PEMBERIAN HAK PAKAI ATAS HAK MILIK


Nomor : 280/2022

-Pada hari ini Kamis, pada tanggal duapuluh delapan Juni

duaribu duapuluhdua (28-06-2022). ----------------------------

hadir dihadapan saya SEPTIA NOVA AYUNINGTYAS

Sarjana Hukum, Magister Kenotariatan, yang

berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan

Nasional tanggal 21 Oktober 2013 Nomor xxx/KEP-

17.3/X/2013 diangkat sebagai Pejabat Pembuat Akta

Tanah, yang dimaksud dalam Pasal 7 Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, dengan daerah kerja Kota Semarang dan berkantor

di Jalan Majapahit Nomor 18A Pedurungan Kota Semarang,

dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang saya, kenal dan akan


111

disebut pada bagian akhir akta ini : -----------------------------

- I. Tuan AHMAD SIREGAR, lahir di Kota Semarang, pada

tanggal tujuh April seribu sembilanratus delapanpuluh tiga

(07-04-1983), Warga Negara Indonesia, Wiraswasta,

bertempat tinggal di Kota Semarang, Tlogosari, Rukun

Tetangga 002, Rukun Warga 001, Kelurahan/Desa

Tlogosari, Kecamatan Pedurungan, Provinsi Jawa Tengah,---

Pemegang Kartu Tanda Penduduk nomor

3322070156430004;------------------------------------------------

-menurut keterangannya untuk melakukan tindakan

hukum dalam akta ini telah mendapatkan persetujuan dari

istrinya yang turut hadir dihadapan Saya, Pejabat yaitu

Nyonya DEWI MULYATI lahir di Kota Semarang, pada

tanggal duapuluh dua April seribu sembilanratus

tujuhpuluh sembilan(22-04-1979), Warga Negara Indonesia,

Wiraswasta, bertempat tinggal sama dengan suaminya

tersebut diatas, Pemegang Kartu Tanda Penduduk Nomor

3322086204790001; -----------------------------------------------

untuk selanjutnya disebut “Pihak Pertama”. ------------------

II. Nyonya DODY SUDRAJAT, lahir di Kabupaten

Semarang, pada tanggal enambelas Februari seribu

sembilanratus sembilanpuluh (16-02-1990), Warga Negara

Indonesia, Karyawan Swasta, bertempat tinggal di Kota


112

Semarang, Rukun Tetangga 003, Rukun Warga 005,

Kelurahan Gebangsari, Kecamatan Genuk, Pemegang Kartu

Tanda Penduduk nomor 3322105265400001; -----------------

-untuk selanjutnya disebut “Pihak Kedua”. --------

-Para Penghadap dikenal oleh saya PPAT dari identitasnya.-

-Pihak Pertama terlebih dahulu menerangkan bahwa

pihaknya adalah pemegang Hak Milik Nomor atas sebidang

tanah sebagaimana diuraikan dalam Surat Ukur/Gambar

Situasi tanggal 15 Mei 2012 Nomor 00069/Tlogosari, seluas

72 M2 (tujuhpuluh dua meter persegi), atas nama AHMAD

SIREGAR, dengan Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB)

09.04.08.05.05885, dan Surat Pemberitahuan Pajak

Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) Nomor

Objek Pajak (NOP) 31.07.030.005.014-4281.0 terletak di ; --

- Provinsi : Jawa Tengah

- Kabupaten/Kota : Semarang

- Kecamatan : Pedurungan

- Desa/Kelurahan : Tlogosari

- Jalan : Jalan Tlogosari Raya Nomor 9

-Selanjutnya Pihak Pertama menerangkan dengan ini

memberikan Hak Pakai kepada Pihak Kedua dan Pihak

Kedua menerangkan dengan ini menerima pemberian Hak

Hak Pakai dari Pihak Pertama, yaitu atas seluruh tanah


113

hak milik sebagaimana diuraikan diatas : ----------------------

-Selanjutnya semua yang diuraikan diatas dalam akta ini

disebut “Objek Pemberian Hak” ; ---------------------------------

- Pihak Pertama dan Pihak Kedua menerangkan bahwa :

a) Pemberian hak ini dilakukan dengan imbalan sebesar

Rp 500.000.000, - lima ratus juta rupiah) ;

b) Pihak Pertama mengaku telah menerima sepenuhnya

uang tersebut diatas dari Pihak Kedua dan untuk

penerimaan uang tersebut akta ini berlaku pula

sebagai tanda tangan penerimaan yang sah (kuitansi) ;

c) Pemberian hak ini dilakukan dengan syarat-syarat

sebagai berikut :

-------------------------------PASAL 1-----------------------------

(1) Hak Pakai ini diberikan untuk jangka waktu 15

(lima belas) tahun dan berakhir pada tanggal 28-

06-2037 (duapuluh delapan Juni duaribu

tigapuluhtujuh);-------------------------------------------

(2) Hak Pakai ini memberi hak kepada Pihak Kedua

khusus untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan diatas tanah yang menjadi Objek

Pemberian Hak sampai berakhirnya jangka waktu

hak yang diuraikan diatas; -----------------------------

(3) Hak Pakai ini tetap membebani hak milik yang


114

bersangkutan walaupun hak milik itu telah beralih

atau dialihkan oleh Pihak Pertama kepada Pihak

lain, dan Pihak Kedua tetap dapat melaksanakan

haknya sampai jangka waktu Hak Pakai Habis ; ---

(4) Dalam melaksanakan Hak Pakai ini Pihak Kedua

tidak diperbolehkan menghilangkan tanda-tanda

batas Objek Pemberian Hak dan tidak

diperbolehkan membangun bangunan yang

melintasi batas Objek Pemberian Hak ;---------------

(5) Dalam melaksanakan pembangunan Pihak Kedua

wajib memenuhi segala ketentuan Peraturan

Perundang-undangan mengenai pendirian

bangunan dan rencana tata ruang wilayah dan

wajib memiliki ijin-ijin yang disyaratkan ; -----------

(6) Pelanggaran ketentuan Perundang-undangan yang

berlaku menjadi tanggungjawab Pihak Kedua

sendiri; -----------------------------------------------------

(7) Pihak Kedua akan memelihara dan mengalola

bangunan termasuk benda-benda serta sarananya

dengan sebaik-baiknya dan apabila ternyata

ditelantarkan maka Pihak Kedua akan

menyerahkan dan memberi kuasa kepada Pihak

Pertama untuk mengelola dan memeliharanya


115

hingga jangka waktu pemberian hak yang

diberikan dengan akta ini berakhir ; ------------------

(8) Pihak Kedua tidak diperkenankan untuk

mengagunkan atau menjual dengan cara apapun

juga Hak Pakai yang diberikan dengan akta ini

tanpa terlebih dahulu memperoleh persetujuan

tertulis dari Pihak Pertama ; ----------------------------

(9) Pihak Kedua wajib :

(a) Mengosongkan bangunan yang ada diatas

Objek Pemberian Hak dan menyerahkannya

kepada Pihak Pertama berikut benda-benda

lain serta sarananya, tanpa pembayaran ganti

rugi berupa apapun juga , atau ; ------------------

(b) Membongkar bangunan yang ada diatas Objek

Pemberian Hak dan menyerahkannya kembali

kepada Pihak Pertama seperti keadaan semula;

-------------------------------PASAL 2-----------------------------

Mulai hari ini Objek Pemberian Hak yang diuraikan

dalam akta ini, oleh Pihak Kedua dapat digunakan untuk

keperluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1

karenanya segala keuntungan yang didapat dari dan

segala kerugian / beban atas Objek Pemberian Hak

tersebut diatas menjadi hak/beban Pihak Kedua ;-------


116

-------------------------------PASAL 3-----------------------------

Pihak Pertama menjamin bahwa Objek Pemberian Hak

tidak tersangkut dalam suatu sengketa, bebas dari

sitaan, tidak terikat sebagai jaminan untuk suatu hutang

yang tidak tercatat dalam sertipikat, dan bebas dari

beban-beban lainnya yang berupa apapun ; ----------------

-------------------------------PASAL 4-----------------------------

Dalam hal ini terdapat perbedaan luas tanah yang

menjadi Objek Pemberian Hak dalam akta ini dengan

hasil pengukuran oleh Instansi Badan Pertanahan

Nasional, maka para pihak akan menerima hasil

pengukuran instansi Badan Pertanahan Nasional

tersebut dan tidak memperhitungkan imbalan yang telah

diberikan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama ; ------

-------------------------------PASAL 5-----------------------------

Kedua belah pihak dalam hal ini dan segala akibatnya

memilik kediaman hukum yang umum dan tidak

berubah pada Kantor Pengadilan Negeri Semarang di

Kota Semarang ; -------------------------------------------------

-------------------------------PASAL 6-----------------------------

Biaya pembuatan akta ini, uang saksi dan segala biaya

mengenai pendaftaran hak ini dibayar oleh Pihak Kedua;-

Akhirnya hadir dihadapan Saya, dengan dihadiri oleh


117

saksi-saksi yang sama dan disebutkan pada akhir akta

ini : ----------------------------------------------------------------

-Nyonya Dewi Mulyati, tersebut telah dikenal oleh saya,

Pejabat yang menerangkan telah mengetahui apa yang

diuraikan diatas dan menyetujui jual beli dalam akta ini;

Demikianlah akta ini dibuat dihadapan para pihak dan :

1. Nyonya VANIA FEBRIANA, Sarjana Hukum lahir di

Kota Semarang, pada tanggal 08 Februari 1988, Warga

Negara Indonesia, Pegawai PPAT, bertempat tinggal di

Tegalsari, Rukun Tetangga 005, Rukun Warga 004,

Kelurahan Wonotingal, Kecamatan Candisari, pemegang

Kartu Tanda Penduduk nomor 337408402880001., -------

2. Nyonya JULIA SARI, Sarjana Hukum, lahir di

Kediri, pada tanggal 08 Juni 1969, Warga Negara

Indonesia, Pegawai PPAT, bertempat tinggal di

Muktiharjo, Rukun Tetangga 003, Rukun Warga 001,

Kelurahan Muktiharjo Lor, Kecamatan Pedurungan,

pemegang Kartu Tanda Penduduk nomor

3322134806690003. --------------------------------------------

-sebagai saksi-saksi, dan setelah dibacakan serta

dijelaskan, maka sebagai bukti kebenaran pernyataan

yang dikemukakan oleh Pihak Pertama dan Pihak Kedua

tersebut di atas, akta ini ditandatangani oleh Pihak


118

Pertama, Pihak Kedua, para saksi dan saya, PPAT,

sebanyak 2 (dua) rangkap asli, yaitu 1 (satu) rangkap

Lembar Pertama disimpan di Kantor saya, PPAT dan 1

(satu) rangkap Lembar Kedua disampaikan kepada

Kepala Kantor Pertanahan Kota Semarang untuk

keperluan pendaftaran peralihan hak akibat jual beli

dalam akta ini. ---------------------------------------------------

Pihak Pertama Pihak Kedua

AHMAD SIREGAR DODY SUDRAJAT

Persetujuan Istri

DEWI MULYATI

Saksi Saksi

VANIA FEBRIANA JULIA SARI

Pejabat Pembuat Akta Tanah

SEPTIA NOVA AYUNINGTYAS S.H., M.Kn


DAFTAR PUSTAKA

A. Al-Qur’an

Al-Qur’an Surah An-Nuur Ayat 42


Al-Qur’an Surah Al-Hadid Ayat 7
Al-Qur’an Surah al-Anfal Ayat 1

B. Buku
A.P.Parlindungan, 1989, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform,
Bagian 1, Mandar Maju, Bandung.
Adrian Sutedi, 2018, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar
Grafika, Jakarta.
Amiruddin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Atok Miftachul Hudha, dkk., 2019, Etika Lingkungan (Teori dan Praktik
Pembelajarannya), UMM Press, Malang.
Bachtiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Tanah, Alumni,Bandung.
Boedi Harsono, 1999, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah pembentukan
Undang Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan,
Jakarta .
___________, 2003, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan
Undang-undang Pokok, Agraria, Djambatan, Jakarta.
Daeng Naja, 2012, Teknik Pembuatan Akta, Pustaka yustisia,Yogyakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2014, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Edisi Keempat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Dyara Radhite Oryza Fea, 2018, Panduan Mengurus Tanah, Rumah dan
Perizinannya, Legality, Yogyakarta.
Effendi Perangin. 1994, Hukum Agraria Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum, Raja Grafindo, Jakarta.
Erna Sri Wibawanti, R. Murjiyanto, 2013, Hak-Hak Atas Tanah dan
Peralihannya, Liberty Yogyakarta.
FX Sumarja, 2015, Hak Atas Tanah Bagi Orang Asing (Tinjauan Politik
Hukum dan Perlindungan Warga Negara Indonesia), STPN Press,
Sleman.
Gustav Radbruch dalam Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung..

119
120

H.Chaerudin, 1999, Filsafat Suatu Ikhtisar, FH UNSUR, Cianjur.


Ida Bagus Wyasa Putra et. Al., 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika
Aditama, Bandung.
Isharyanto, 2016, Dinamika Pengaturan Status Hukum Kewarganegaraan
Dalam Perspektif Perundang-Undangan, Absolute Media, Yogyakarta.
Komar Andasasmita, 2001, Notaris Selayang Pandang, Alumni, Bandung.
Kusumaatmadja dan Sidharta dalam Ida Nurlinda, 2009, Prinsip-prinsip
Pembaruan Agraria Perspektif Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung.
Maman, Rahman, 1999, Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian, IKIP
Semarang Press. Semarang.
Maria S. W. Sumardjono, 1989, Pembuatan Usulan Penelitian, Gramedia,
Yogyakarta.
Martin Roestamy, 2011, Konsep-Konsep Hukum Kepemilikan Properti Bagi
Asing Dihubungkan Dengan Pertanahan, Alumni, Bandung.
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum
Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Paulus Hadisoeprapto,dkk, 2009, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan
Tesis, UNDIP, Semarang.
Philipus M Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan
(bestuursbevoegheid), Projutistia, Tahun XVI Nomor 1 Januari.
____________, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan
Ketujuh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Prajudi Atmosudirjo, 1981, Hukum Administrasi Negara,, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta.
Rusdi Malik, 2000, Penemu Agama Dalam Hukum, Trisakti, Jakarta.
Salim HS, Teknik Pembuatan Akta Tanah Pejabat Pembuat Akta Tanah,
jakarta: Rajawali Pers, 2016.
Sanapiah Faisal, 1995, Format-Format Penelitian Sosial, Rajawali Pers,
Jakarta.
Satrio J., 2007, Hukum Jaminan Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
SF. Marbun, 2001, Menggali dan Menemukan Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang Baik di Indonesia, dalam Dimens-Dimensi
Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta.
121

Soedjarwo Soeromihardjo, 2009, Mengkritisi Undang-Undang Pokok


Agraria, Cerdas Pustaka, Jakarta.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamadji, 2009, Penelitian Hukum Normatif:
Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung.
Sudarwan Danim dan Darwis, 2003, Metode Penelitian Kebidanan :
Prosedur, Kebijakan, dan Etik. Penerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta.
Sudikno Martukusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pusaka,
Yogyakarta.
Suharsini Arikunto, 2006, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis,
Rineka Cipta, Jakarta.
Supriadi, 2010, Hukum Agraria, Cetakan Keempat, Sinar Grafika, Jakarta.
Syamsir, Torang, 2014, Organisasi & Manajemen (Perilaku, Struktur,
Budaya & Perubahan Organisasi), Alfabeta, Bandung.
Titik Triwulan Tutik, 2018, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka, Jakarta.
Ujun S.Suryasumantri, 1997, Filsafat Ilmu sebuah Pengantar Populer,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Urip Santoso, 2010, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana,
Jakarta.
_________, 2015, Perolehan Hak Atas Tanah. Prenada Media Group,
Jakarta.
Wuisma dengan penyunting M. Hisyam, 1996, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial
(Jilid I), Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

C. Jurnal dan Penelitian

Bedita Putri Sa’idah, Nadya Farras Indriati, Peranan PPAT dalam Pembuatan
Akta Perjanjian Hak Pakai Terhadap Warga Negara Asing, Journal :
Indonesian Notary, Volume 3 Nomor 2 (2021).
Betty Rubiatiati, Kepastian Hukum Pemilikan Rumah Susun Oleh Orang
Asing Di Indonesia Dikaitkan Dengan Prinsip Nasionalitas, LITRA:
Jurnal Hukum Lingkungan, Tata Ruang, dan Agraria,Volume 1,
Nomor 1, Oktober 2021
122

Denny Suwondo, Ikhsan Saputra, Peran dan Tanggung Jawab Pejabat


Pembuat Akta Tanah dalam Pelaksanaan Kegiatan Pendaftaran Tanah,
Jurnal Hukum Unissula, Volume 35 Nomor 2 (2019).
Dian Aries Mujiburohman, Probelamtika Pengaturan Tanah Negara Bekas
Hak Yang Telah Berakhir, Bhumi: Jurnal Agraria dan Pertanahan,
Volume 2, Nomor 2 (2016).
Ega Permatadani dan Anang Dony Irawan, Kepemilikan Tanah Bagi Warga
Negara Asing Ditinjau dari Hukum Tanah Indonesia, Journal :
Khatulistiwa Law Review, Volume 2 Nomor 2, Oktober 2021.
Eko Puji Hartono, Akhmad Khisni, Peranan PPAT dalam Pembuatan Akta
Peralihan Hak Atas Tanah dan/Atau Bangunan Bekas Hak Milik Adat
Berkaitan Dengan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan, Jurnal Akta, Vol 5 No 1 Maret 2018, Unissula
Semarang.
Eva Natalia, Kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) DALAM
Perspektif Bestuurs Bevoegdheid, Tesis Hukum, Unissula, Semarang,
Tahun 2020.
Hardianto Djanggih and Salle Salle, Aspek Hukum Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Pandecta:
Jurnal Penelitian Ilmu Hukum, Volume 12 Nomor 2 (2017).
Heru Kurniawan, Rekonstruksi Dan Reaktualisasi Literasi Ekologi Sosial
Islam, Jurnal Penelitian Volume 13 Nomor 2 (2016).
I Gusti Ayu Mas Maha Dewi, Suatra Putrawan, Pelaksanaan Pp No 24 Tahun
2016 Tentang Peraturan Jabatan PPAT Oleh Notaris Sebagai PPAT,
Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
I Komang Andi Darmawan, dkk., Proses Permohonan Hak Pakai Atas Tanah
Milik Pribadi Oleh Warga Negara Asing, Jurnal Preferensi Hukum,
Volume 1 Nomor 1 – Juli 2020.
Indah Jacinda, Jason Jusuf, and Verlin Ferdina, Penguasaan Tanah Di
Indonesia Oleh Warga Negara Asing Melalui Perkawinan Campuran
Dalam Falsafah Hukum, ADIL: Jurnal Hukum, Volume 9, Nomor 2
(2018).
Kadek Rita Listyanti, Ni Made Ari Yuliartini Griadhi, Hak Atas Tanah Bagi
Orang Asing Di Indonesia Terkait Dengan Undang-Undang No. 5
Tahun 1960, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Megalia Sarah Poeloe, Status Hak Kepemilikan Properti Bagi Orang Asing,
Lex Et Societatis, Volume 2 Nomor 6 (2014).
Ni Made Adinda Wikan Dewi and Made Subawa, “Penerapan Asas Manfaat
Dan Asas Timbal Balik Dalam Perpres R.I No. 21 Tahun 2016 Tentang
Bebas Visa Kunjungan,” Kertha Negara: Journal Ilmu Hukum, Volume
6, Nomor 4 (2018).
Ronal Ravianto dan Amin Purnawan, Peran Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) Dalam Pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan
123

Bangunan (BPHTB) Dengan Pendekatan Self Assessment System,


Jurnal Akta, Volume 4 Nomor 4 Desember 2017, Unissula, Semarang.
Saraswati, dkk., Kedudukan Hukum Akta PPAT Setelah Terbitnya Sertipikat
Karena Peralihan Hak Atas Tanah. Acta Comitas, April 2018.
Setyaningsih, Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) Terhadap Perjanjian Kredit Antara Kreditur dan
Debitur Dengan Jaminan Hak Tanggungan di Purwokerto, Volume 5,
Nomor 1 Tahun 2018, Jurnal Akta Magister Kenotariatan, Fakultas
Hukum, Universitas Unissula, Semarang.
Suryani Sappe, Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik dan Penyelesaian Sengketa,
Batulis: Civil Law Review, Volume 2 Nomor 1, Mei 2021
Syakir Syakir, “Pengaruh Peraturan Presiden Nomor 21 Tahun 2016 Tentang
Bebas Visa Terhadap Keamanan dan Kesejahteraan dalam Perspektif
Keimigrasian,” Jurnal Syntax Admiratio, Volume 1, Nomor 3 (2020).
Tatik Arjiati, Peran Notaris/PPAT Dalam Pembuatan Akta Pembagian Hak
Bersama (APHB) Terhadap Pembagian Waris Yang Berbeda Agama
Atas Tanah dan Bangunan, Jurnal Akta, Volume 4. Nomor 1 (2017).
Vina Jayanti, Nyoman Wita, Hak Warga Negara Asing Atas Penguasaan
Tanah di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
Yuni Sudarwati, Optimalisasi Kebijakan Bebas Visa Kunjungan Singkat,
Jurnal: Info Singkat, Volume 7 Nomor 6 (2015).

D. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-undang Dasar 1945


KUHPerdata
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA).
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 Tentang
Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan
Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 Tentang Peraturan
124

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang


Keimigrasian
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Pemberian, Pelepasan, Atau Pengadilan Hak atas Pemilikan Rumah
Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di
Indonesia.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas
Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan,

E. Internet

https://www.kompas.com/konsultasihukum/
https://guruppkn.com/
https://menuruthukum.com

Anda mungkin juga menyukai