Oleh:
Oleh:
i
HALAMAN PERSETUJUAN
Tesis Ini Telah Disetujui Oleh Dosen Pembimbing, Pada Hari Kamis Tanggal 19
Agustus 2021
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Dwijendra
ii
TESIS INI SUDAH DIUJI DAN DISAHKAN
OLEH DOSEN PENGUJI
KETUA SEKRETARIS
(Dr. I Ketut Sudantra, S.H., M.H.) (Dr. Nyoman Satia Negara, S.H., M.H)
NIP: 19601003 198503 1 003 NIP: 9908002785
ANGGOTA I
ANGGOTA II
iii
SURAT PERNYATAAN ORIGINAL TESIS
Yang bertandatangan di bawah ini :
NIM : 0195016010
Fakultas : Hukum
Universitas : Dwijendra
iv
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atau
Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka tesis ini dapat diselesaikan dengan baik
karena proposal ini merupakan salah satu syarat guna menyelesaikan studi
dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak
di Universitas Dwijendra.
2. Ibu Dr. A. A. Sagung Ngurah Indradewi S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas
3. Ibu Sang Ayu Made Ary Kusumawardhani S.H., M.H Wakil Dekan
4. Bapak Dr. I Wayan Arka ,S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi
mengarahkan dengan jelas dan selalu memberi masukan yang positif dan
v
6. Bapak Dr. Nyoman Satia Negara, S.H., M.H sebagai pembimbing II yang
ini
7. Orang tua serta seluruh anggota keluarga dan semua pihak yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberi dukungan,
karena itu kritik dan saran sangat diharapkan dan penulis terima dengan lapang
dada demi kesempurnaan tulisan ini, akhir kata penulis haturkan terima kasih.
Denpasar,
Penulis
vi
ABSTRAK
Mengingat pentingnya fungsi tanah bagi masyarakat Bali, maka tidak jarang
pemanfatan tanah adat menimbulkan berbagai permasalahan yang bermuara pada
sengketa tanah adat. Penting sekali diidentifikasi kedudukan hukum dalam penyelesaian
sengketa tanah ayahan desa adat beserta kewenangan penyelesaian sengketa tanah ayahan
desa adat yang terjadi di Kabupaten Karangasem, sehingga berdasarkan latar belakang
tersebut penulis menemukan rumusan masalah yaitu Apa bentuk-bentuk sengketa yang
terjadi berkaitan dengan tanah ayahan desa di desa Adat Umanyar Kabupaten
Karangasem? Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa berkaitan dengan tanah
ayahan desa yang terjadi Desa Adat Umanyar Kabupaten Karangasem?
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah jenis penelitian hukum empiris yang
mana penelitian lapangan menjadi hal utama dalam kegiatan atau proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun pendapat-pendapat hukum
guna menjawab permasalahan hukum yang dihadapi yang tentu saja berfokus pada
perilaku masyarakat hukum (law in action). Dimana dalam menjawab rumusan masalah
dalam penelitian ini menggunakan beberapa teori diantaranya Teori kewenangan, Teori
kepastian hukum, Teori Utilitarianisme, Teori Efektivitas Hukum, dan Teori Keadilan
Bentuk sengketa tanah di desa Adat Umanyar Kabupaten Karangasem yaitu
Sengketa Hak Milik Atas Tanah Ayahan Desa dimana Biasanya para pihak yang
bersengketa merasa bahwa tanah yang menjadi obyek sengketa merupakan tanah
miliknya yang dimana tak jarang ada pihak yang melakukan pengakuan hak milik tanah
tanpa adanya sertifikat tanah tersebut contohnya sengketa tanah plaba pura dan Sengketa
Hak Guna Atas Tanah Ayahan Desa Biasanya para pihak yang bersengketa merasa pihak
lainnya telah telah menguasai dan mengerjakan tanah milik orang lain yang menjadi
obyek sengketa tanpa alas hak dan dasar hukum yang sah contohnya sengketa tanah
perkebunan. Proses penyelesaian sengketa tanah berdasarkan Awig-Awig Di Desa Adat
Umanyar Kabupaten Karangasem adalah berdasarkan pawos 23 ayat (5) awig-awig desa
adat Umanyar dimana Tidak diperkenankan menjual atau mengesahkan kepemilikan desa
jika tidak disetujui oleh masyarakat desa sehingga dalam hal terjadinya sengketa maka
perlu untuk dilakukan upaya muswarah desa dengan prajuru desa menjadi mediator dalam
upaya mediasi untuk menyelesaikan sengketa akan tetapi jika para pihak yang
bersengketa tidak menemukan penyelesaian sengketa dalam musawarah desa tersebut
maka penyelesaian sengketa juga bisa diselesaikan melalui jalur hukum jika para pihak
yang bersengketa tidak puas dengan hasil mediasi keputusan desa adat dan jika para pihak
yang bersengketa memang menginginkannya
Kata Kunci : Sengketa, Tanah Ayahan Desa, Desa Adat
vii
ABSTRACT
Given the importance of the function of land for the Balinese people, it is
not uncommon for the use of customary land to cause various problems that lead
to customary land disputes. It is very important to identify the legal position in the
settlement of customary village father land disputes along with the authority for
resolving customary village father land disputes that occurred in Karangasem
Regency, so that based on this background the author finds the problem
formulation, namely What are the forms of disputes that occur related to village
father land in the village Umanyar custom of Karangasem Regency? How is the
dispute resolution process related to the village father land that occurred in the
Umanyar Traditional Village, Karangasem Regency?
The type of research used is an empirical legal research type in which
field research is the main thing in the activity or process to find the rule of law,
legal principles and legal opinions in order to answer the legal problems faced
which of course focus on the behavior of the legal community (law law). in
action). Where in answering the formulation of the problem in this study, several
theories are used including the theory of authority, the theory of legal certainty,
the theory of Utilitarianism, Theory of Legal Effectiveness, and Theory of Justice.
The form of land disputes in the Umanyar Traditional Village,
Karangasem Regency, namely the Dispute on Ownership of the Land of Ayahan
Desa where usually the disputing parties feel that the land that is the object of the
dispute is their land, which is not uncommon for parties to recognize land
ownership rights without the land certificate. For example, the Plaba Pura land
dispute and the Use Rights Dispute on Ayahan Desa Land. Usually the parties to
the dispute feel that the other party has controlled and worked on the land
belonging to another person which is the object of the dispute without a legal
basis for rights and legal basis, for example plantation land disputes. The process
of resolving land disputes based on Awig-Awig in the Umanyar Traditional
Village, Karangasem Regency is based on Pawos 23 paragraph (5) awig-awig in
the Umanyar traditional village where it is not allowed to sell or ratify village
ownership if it is not approved by the village community so that in the event of a
dispute it is necessary to village deliberation efforts are carried out with village
officials as mediators in mediation efforts to resolve disputes, but if the disputing
parties do not find a dispute resolution in the village deliberation, dispute
resolution can also be resolved through legal channels if the disputing parties are
not satisfied with the results of the mediation decision. customary village and if
the disputing parties want it
Keywords: Dispute, village land , indigenous villages
viii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
ix
1.7.2 Kerangka Berpikir ........................................................... 39
Sengketa.................................................................................. 61
KARANGASEM
x
3.1 Kasus-kasus Sengketa Yang Mneyangkut Tanah Ayahan
BAB V PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
xi
BAB I
PENDAHULUAN
19.2/X/2017 tentang Penunjukan Desa Adat di Provinsi Bali Sebagai Subyek Hak
ATR.Ka.BPN Tahun 2017), maka kedudukan tanah-tanah milik desa adat menjadi
jelas. Berdasarkan Kepmen ATR/Ka.BPN di atas, desa adat dapat menjadi subyek
hak milik atas tanah. Dengan demikian, kedudukan tamnah milik desa adat adalah
berstatus sebagai Hak Milik Bersama (Hak Komunal) dari desa adat. Walaupun
Perlu diteliti lagi mengenai apakah norma dalam Kepmen ATR/Ka, BPN Tahun
2017 tersebut sudah diimplementasikan dalam pengaturan tanah adat di Bali, baik
dalam pengaturan oleh Pemerintah melalui Peraturan Daerah atau pun dalam
pengaturan oleh desa adat melalui awig-awig desa adat dan/atau pararem.
Implementasi norma dalam Kepmen. ATR/Ka BPN Tahun 2017 itu dalam
pengaturan di tingkat lokal (peraturan daerah dan/atau awig-awig desa adat sangat
penting di evaluasi karena kedudukan dan fungsi tanah, khususnya tanah adat itu
1
2
tanah, karena tanah dapat menumbuhkan berbagai macam tanaman yang sangat
Dalam arti hukum, tanah mempunyai peranan yang sangat penting, karena
kegiatan yang dilakukan manusia, selalu dan pasti memerlukan tanah sebagai
kehidupan manusia mempunyai arti penting karena berfungsi ganda, yaitu sebagai
social asset dan capital asset.2 Sebagai social asset tanah merupakan sarana
kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam
pembangunan. Oleh karena itu tanah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat
Menurut Surojo Wignjodipuro, ada dua hal yang menyebabkan tanah itu
memiliki kedudukan yang sangat penting yaitu, pertama, karena sifatnya, yakni
bagaimanapun juga masih tetap dalam keadaannya, bahkan kadang malah menjadi
1
Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan kedua, Pradnya
Paramita, Jakarta, hlm. 108.
2
Rubaie, H. Achmad, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Cetakan Pertama, Kerja sama Pusderankum dan Bayumedia, Malang, hlm. 1.
3
tanah dalam Hukum Adat didasarkan pada pandangan alam pikiran serba
berpasangan. Berdasarkan pandangan ini manusia tidak dapat lepas dari tanah
bersemayam.4
masyarakat) dan dapat pula bersumber dari ajaran agama Hindu. Tujuan hukum
dalam konsep masyarakat Bali terlihat dari adanya suatu konsep keharmonisan
Konsep inilah yang dalam masyarakat Bali kemudian dibingkai dalam filosofi tri
3
Surojo Wignjodipuro, 2000, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (cetakan ke-7),
CV. Hajimasagung, Jakarta, hlm. 197.
4
Ter Haar, B., 1973, Arti Kontras Antara Berpikir Secara Berpartisipasi dan Berpikir
Secara Kritis Serta Peradilan Menurut Hukum Adat, terjemahan oleh LIPI dan KITLV, Bhratara,
Jakarta, hlm. 10
4
dicermati sejak awal, yaitu melalui Konsiderans dinyatakan , bahwa perlu adanya
hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah. Lebih
pernyataan, bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
Masyarakat Bali mengenal adanya dua bentuk desa, yaitu desa dinas dan
desa adat (dulu disebut Desa Adat). Desa dinas didefinisikan sebagai sebuah
kelompok masyarakat yang secara struktural dan teritorial berkaitan dengan tugas-
tugas pemerintah pusat. 7 Sedangkan desa adat diartikan sebagai suatu kelompok
dan secara hirarkis tidak berada di bawah satu kekuasaan yang lebih tinggi. 8
Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama Desa Adat dan atau
banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita
Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di Desa Adat/banjar
pakraman masing-masing.
5
Wayan P Windia, Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Udayana, Denpasar, hlm.11
6
Made Suwitra, 2010. Eksintensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di
Bali.Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Majalah Logoz Publising, Bandung, hlm. 1
7
I Gede Parimartha, 2013, Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Udayana
University Press, Denpasar, hlm. 24
8
Ibid, hlm. 44
5
Keseluruhan dari proses lahir, hidup dan mati dalam masyarakat Bali yang
beragama Hindu, diatur dalam bentuk aturan-aturan khusus yang berlaku bagi
dikenal dengan sebutan awig-awig desa adat. Awig-awig dibuat secara bersama-
Menurut I Gusti Ketut Kaler, Tri Hita Karana berarti tiga buah unsur yang
terdiri dari unsur (atman), unsur tenaga (prana), dan unsur badan wadag (sarira).
Dalam persepsi filosofi hukum adat Bali, ketiga sumber kesejahteraan yang
terkandung dalam konsep Tri Hita Karana, dituangkan kedalam tiga pola
Bali dapat dibedakan menjadi tanah desa atau druwe desa dalam artian luas dan
dalam artian sempit.10 Dalam artian yang luastanah adat ini meliputi tanah-tanah:
9
Koti Cantika, I Wayan dan Made Suasthawa Dharma Yudha, 1999 . Filsafat Adat Bali,
Cet . IV . Upada Sastra, Denpasar, hlm. 8
10
Suasthawa Dharmayuda I Md, 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali Setelah
Berlakunya UUPA. CV Kayu Mas Agung Denpasar. hlm. 136
6
kegiatan lainnya;
2) Tanah Laba Pura adalah tanah-tanah yang dulunya milik desa (dikuasai
Laba Pura atau Pelaba Pura ini ada dua macam yaitu:
oleh desa yang diberikan kepada warga desa (krama desa) untuk
yang hampir sama bagi setiap keluarga. Kewajiban yang melekat lebih
Adat.
Tanah Ayahan Desa Adat atau selanjutnya disebut sebagai AYDS, terdiri
dari kata ayahan berasal dari kata ngayahyang berarti melakukan pekerjaan tanpa
secara gotong royong dengan hati yang tulus ikhlas baik di banjar maupun
ditempat suci. AYDS merupakan tanah yang diberikan pemerintah kepada desa
adat yang kemudian tanah tersebut diberikan kepada warga setempat untuk
dikelola bersama-sama. Setiap warga yang menempati tanah AYDS tidak dapat
menguasai tanah itu sebagai hak milik melainkan hanya sebatas hak pakai saja.
Sehingga tidak dapat dilakukan penyertifikatan bagi AYDS karena bukan hak
milik perorangan oleh karena itu AYDS tidak dapat di jual belikan kepada orang
lain karena AYDS dianggap sebagai tanah milik desa adat. Untuk tanah adat yang
dikuasai oleh perseorangan (krama desa) yaitu tanah pekarangan desa (PKD) dan
tanah ayahan desa (AyDs) secara bersama-sama sering disebut "tanah ayah".
Untuk tanah ayah ini ikatan adat tetap ada yakni berupa kewajiban untuk desa
ataupun pura. Kewajiban ini sering disebut dengan istilah "ayahan". Ayahan inilah
yang mengekang atau mengikat tanah ayah tersebut, sehingga menjadi hak milik
kebebasan usaha atau kebebasan gerak para anggota Desa Adat secara
Adat.11
mengatur dan mengurus semua tanah milik Desa Adat yang berada dalam
lingkungan wilayah Desa Adat tersebut sebagai hak ulayat, baik yang berupa
tanah desa, tanah laba desa, tanah ayahan desa, tanah karang desa. Tanah-tanah
Tanah-tanah adat terikat pada Desa Adat karena tanah Desa Adat memiliki
hak itu, kecuali mendapatkan ijin dari masyarakat hukum adat yang
bersangkutan.
3. Orang lain yang menggunakan hak itu harus membayar sesuatu kepada
11
Ibid, hlm. 136
9
Tanah adat memiliki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat adat di
Bali. Menurut Suasthawa, tanah adat di Bali memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu: fungsi
adalah bahwa tanah adat itu diperuntukkan untuk menunjang kehidupan ekonomis
atau kerumah tanggaan dari warga desa adat. Tanah adat mempunyai fungsi sosial
pemegang tanah adat tersebut kepada desa adat, terutrama ayahan berkaitan
berujung pada sengkata tanah adat, maka sangat penting pula diteliti pola-pola
Karangasem. Aloasan pemilihan kasus di Desa Adat Umanyar karena di desa adat
12
Ibid, hlm. 68.
10
ini ditemukan kasus sengketa tanah adat, dalam hal ini sengketa yang berkaitan
dapat dihindari sebelum terjadi ataupun dapat diselesaikan dengan baik apabila
bahwa orang yang bukan warga masyarakat adat tidak dapat menggunakan hak
atas tanah tersebut, kecuali mendapat ijin dari masyarakat hukum adat tersebut,
dan orang lain yang menggunakan hak tersebut harus membayar sesuatu kepada
masyarakat hukum adat. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik
Karangasem?
11
yang akan dibahas agar tidak melebar dan bahkan lepas dari pembahasan
berfokus pada bentuk sengketa tanah dan proses penyelesaian sengketa tanah
Karangasem.
Karangasem.
yang berkaitan dengan tanah ayahan desa yang terjadi di desa Adat
Karangasem.
Demi menjamin keaslian tulisan dalam penelitian tesis ini, maka perlu
penulis lampirkan beberapa judul-judul penelitian ilmiah atau tesis yang dilakukan
penulis lainnya yang berkaitan atau mendekati dari tesis yang penulis angkat. Dari
13
1. Penelitian yang dilakukan oleh Luh Putu Arya Stiti, dengan judul
rumusan masalah:
desa adat?
pertama yaitu bahwa prosedur pemanfaatan tanah setra oleh umat non Hindu
ditinjau dari awig-awig adalah diawali dari warga tersebut tinggal di wilayah
Desa Adat dan menjadi warga Desa Adat tersebut, beragama Hindu, umat non
serta Desa Adat, memang sering terjadi tapi masih di dalam batas wajar, pada
umumnya konflik terhadap pemanfaatan tanah setra Desa Adat yang terjadi
disebabkan karena beberapa hal seperti tidak ikut membanjar, kurang aktif
14
dibanjarnya, sudah kesepekang (kanorahang) dan ini terjadi terhadap umat Hindu,
dimana Impilikasi konflik tersebut telah ada jalan keluarnya seperti terhadap
krama tersebut dikenai penanjung batu sejenis sanksi adat yang ringan tanpa
memberati warga/krama terlalu berat, seperti dikenai biaya lebih dari krama yang
lain berupa uang rupiah biasa atau uang kepeng dan lain-lain, sedangkan implikasi
kedua yaitu dengan memanfaatan setra pengalu yang ada di desa adat
berdekatan.13
2. Penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Agung Ngurah Putra Ambara, SH.,
2) Upaya-upaya apa yang dilakukan para pengurus dari Desa Adat untuk
Tanah Milik Pura Desa Adat Di Kota Denpasar, jenis penelitian atau tesis diatas
pertama yaitu Eksistensi dari Tanah-tanah milik pura pada saat ini sudah memiliki
dasar hukum yang jelas yaitu dengan adanya Surat Keputusan Menteri Dalam
13
Luh Putu Arya Stiti, 2014, “Pemanfaatan Tanah Setra Dalam Perspektif Hukum Adat”,
Universitas Hasanudin
15
Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, sehingga dengan
adanya keputusan tersebut pura sudah merupakan subyek hak milik atas tanah dan
dapat memiliki tanah dengan status hak milik. Saat ini tanah-tanah milik pura
sudah dapat didaftarkan dengan atas nama pura yang bersangkutan sendiri,
sehingga sekarang ini tanah-tanah milik pura sudah mendapat kepastian dan
tanah milik pura merupakan tanah hak ulayat, karena hanya merupakan hak ulayat
maka terhadap tanah milik pura tersebut tidak memiliki bukti tertulis.
kedua dimana .Upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga eksistensi dari tanah-
tanah milik pura tersebut yaitu para prajuru dari masing-masing Desa Adat sudah
melalukan usaha-usaha untuk memelihara dan menjaga tanah milik pura tersebut,
usaha-usaha tersebut adalah para pengurus pura mulai mendata tanah-tanah yang
dimilik oleh pura kemudian mendaftarkan tanah tersebut dengan atas nama pura
pada Kantor Pertanahan sehingga tanah milik pura tersebut memiliki jaminan
kepastian dan perlindungan hukum, dan untuk tanah-tanah yang tidak dapat
ditanami lagi karena di sekitar tanah tersebut sudah menjadi areal perumahan
maka tanah tersebut di kontrakan atau dijual yang kemudian dicari tanah
eksistensi dari tanah milik pura, yaitu dengan mengadakan program pendaftaran
tanah-tanah milik pura yang dilakukan setiap tahun, program ini dimulai pada
16
tahun 2001 dan penjualan terhadap tanah milik pura juga harus memenuhi
persyaratan-persyaran tertentu.14
3. Penelitian yang dilakukan oleh Budi Kresna Aryawan, SH. M.Kn. dengan
Terhadap Pelanggaran Awig-Awig Desa Adat Oleh Krama Desa Di Desa Adat
pelanggaran yang dilakukakan oleh Krama Desa (Warga Desa) di Desa Adat
Mengwi, diterapkan atau dilaksanakan sesuai dengan apa yang tercantum dan
dilakukakan oleh krama desa disesuaikan dengan berat dan ringannya pelanggaran
yang dilakukan, serta sanksi yang akan diterima ada yang berupa denda, baik itu
14
I Gusti Agung Ngurah Putra Ambara, SH., M.Kn, 2006, “Eksistensi Tanah-Tanah Milik
Pura Desa Adat Di Kota Denpasar”, Universitas Diponogoro
17
denda berupa fisik atau tenaga dan denda arta kekayaan berupa pembayaran uang.
melalui suatu sangkep atau rapat desa, dimana semua masyarakat desa dan prajuru
menentukan sanksi yang akan diberikan kepada krama desa yang melanggar awig-
awig desa tersebut. Didalam menjatuhkan sanksi terhadap krama desa yang
melanggar dilandasi asas keadilan dan kekeluargaan baik yang bersifat kriminal
Perdamaian Desa) melalui sangkepan (rapat) desa dengan selalu menempuh upaya
dilakukakan oleh Krama Desa (Warga Desa) di Desa Adat Mengwi, diterapkan
atau dilaksanakan sesuai dengan apa yang tercantum dan termuat di dalam awig-
awig (peraturan) desa, hal mana pelanggaran yang dilakukakan oleh krama desa
disesuaikan dengan berat dan ringannya pelanggaran yang dilakukan, serta sanksi
yang akan diterima ada yang berupa denda, baik itu denda berupa fisik atau tenaga
pelanggaran yang dilakukakan oleh krama desa dilakukan melalui suatu sangkep
atau rapat desa, dimana semua masyarakat desa dan prajuru desa (prangkat desa)
hadir untuk mengadakan suatu musyawarah guna menentukan sanksi yang akan
diberikan kepada krama desa yang melanggar awig-awig desa tersebut. Didalam
menjatuhkan sanksi terhadap krama desa yang melanggar dilandasi asas keadilan
18
dan kekeluargaan baik yang bersifat kriminal dan non kriminal, diselesaikan
rasa keadilan.15
yang penulis lakukan, dimana penelitian yang penulis teliti mengangkat pokok
apa yang penulis teliti, maka dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa
1. Pengertian Sengketa
terjadi antara para pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang
dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut. 16 Sedangkan menurut
Takdir Rahmadi, sengketa adalah situasi dan kondisi dimana orang-orang saling
15
Budi Kresna Aryawan, SH. M.Kn, 2006, “Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran
Awig-Awig Desa Adat Oleh Krama Desa Di Desa Adat Mengwi Kecamatan Mengwi Kabupaten
Badung Propinsi Bali”, Universitas Diponogoro
16
Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan. Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 13.
19
persepsi mereka saja.17 Dengan demikian ada tiga unsur pokok dalam suatu
tersebut dapat digolongkan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
internal berkaitan dengan kepentingan dan karakter dari para pihak yang
yang bersengketa yang berupa kepentingan atau kebutuhan dari individu atau
dirasa perlu untuk dipenuhi namun di sisi lainnya upaya untuk memenuhi
pulalah halnya dengan kelompok individu sebagai pihak yang bersengketa yang
pemenuhannya.
17
Takdir Rahmadi. 2017. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.
Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. hal. 1.
18
Komar Kantaatmadja, 2001, Beberapa Hal Tentang Arbitrase, Bandung, Citra Aditya
Bakri, hlm. 3.
20
yang ada disekitar para pihak yang bersangkutan. Penyebab konflik yang bersifat
eksternal antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Owens, R.G. adalah karena
adanya aturan-aturan dan prosedur baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang
diberlakukan secara kaku dan keras.19 Penerapan aturan dan prosedur secara kaku
dan keras menyebabkan seseorang tidak dapat bebas bergerak ataupun bertindak,
dan sebagai akibatnya aturan atau prosedur tersebut merupakan satu penghalang.
Faktor eksternal lainnya dapat pula berupa kebijakan yang diambil oleh
2. Pengertian Tanah
Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam
hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi
permukaan bumi. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa “Atas dasar hak menguasai
dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-
macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan
19
Wahyudi, 2008, Manajemen Konflik : Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner,
Alfabeta Bandung, Cet.Ke 3, h. 35.
21
2014 Tentang Desa, yang menentukan bahwa: Desa adalah desa dan desa adat
atau yang disebut dengan nama lain, yang selanjutnya disebut Desa, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk
berdasarkan prakarsa mayarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang
Indonesia.
desa adat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyebutkan:
“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dan bentuk susunan
bahwa otonomi dari persekutuan hukum yang berupa desa adat di Bali, tetap
4. Pengertian Awig-Awig
Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya
dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang
22
yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan
disebutkan bahwa hukum adat (awig-awig dan pararem) adalah hukum adat bali
yang hidup dalam masyarakat Bali yang bersumber dari catur Dresta serta dijiwai
oleh agama Hindu bali. Catur Dresta yakni ajaran-ajaran agama, kuna dresta
yakni nilai-nilai budaya, loka dresta yakni pandangan hidup dan Desa Dresta
karena merupakan landasan utama dan pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita
Karana yaitu: Parhyangan hubungan yang harmonis antara manusia (krama desa)
dengan Sang Pencipta / Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Pawongan yaitu hubungan
yang harmonis antar manusia dengan manusia (antar karma desa). Palemahan
variabel yang akan diteliti dan sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara
penelitian. Teori yang digunakan bukan sekedar pendapat dari pengarang atau
Keadilan.
1. Teori Kewenangan
kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi.
Sebegitu pentingnya kewenangan ini sehingga F.A.M. Stroink dan J.G Steenbeek
bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum
administrasi.
memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki
a. hukum;
20
Ridwan HR. 2008, Hukum Administrasi Negara. Jakarta. Raja Grafindo Persada, hlm
110.
21
Nur Basuki Winanrno, 2008, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi,
Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 65
24
b. kewenangan (wewenang);
c. keadilan;
d. kejujuran;
e. kebijakbestarian; dan
f. kebajikan.22
wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif, legislatif dan yudisial
adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu negara
asas legalitas, dimana asas ini merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan
setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum yang menganut sistem
hukum eropa kontinental. Asas ini dinamakan juga kekuasaan undang-undang (de
heerschappij van de wet). Asas ini dikenal juga didalam hukum pidana (nullum
delictum sine previalege peonale) yang berarti tidak ada hukuman tanpa undang-
22
Rusadi Kantaprawira, 1998, Hukum dan Kekuasaan”, Makalah, Universitas Islam
Indonesia, Jogjakarta, hlm. 37-38
23
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana
Pranadamedia Groub, Jakarta, cet-ke 6, hlm.73
24
Eny Kusdarini, 2011, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara Dan Asas-Asas
UmumPemerintahan Yang Baik, UNY Press, Yogyakarta, hlm. 89.
25
makna dathet bestuur aan wet is onderworpnen, yakni bahwa pemerintah tunduk
kepada undang-undang. Asas ini merupakan sebuah prinsip dalam negara hukum.
Asas legalitas menjadi prinsip utama dalam setiap Negara hukum. Telah
tertentu.
Sudargo Gautama mengatakan bahwa paham negara hukum berasal dari ajaran
Hukum secara hakiki harus pasti dan adil dimana kepastian sebagai pedoman
kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan
yang dinilai wajar, dan hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti
25
Bahder Johan Nasution, 2014, Pengaturan Hak Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja Di
Indonesia, Surabaya, hlm. 360.
26
Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 59.
26
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma dan norma adalah
norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang
karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
keadilan dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga
27
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hlm. 158.
28
Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 23.
27
demi keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu
ditaati. Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai
3. Teori Utilitarianisme
bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah dan bermanfaat, sebaliknya
yang jahat atau yang buruk adalah yang tidak bermanfaat, tak berfaedah, dan
merugikan, karena itu baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi
berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dasar yang paling objektif
dalam menilai baik buruknya kebijakan itu berlaku adalah dengan melihat apakah
suatu tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau
adanya tertib hukum. Semua opini akan berubah saat ketika manfaatnya bisa
dirasakan, semakin hukum itu berjalan dengan prinsip manfaat maka semakin
manfaat kepada masyarakat itu sendiri. Hukum ditegakkan tidak hanya untuk
keadilan semata namun juga harus memperhatikan keadilan bagi masyarakat yang
tunduk pada aturan hukum tersebut. Kemanfaatan hukum dalam kajian ini
berlaku efektif. Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum,
maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana hukum itu ditaati oleh
sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan mengatakan
sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi kita tetap masih dapat
suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika
terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya
hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses
pengadilan. Ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu
kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun
erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. 32
Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau
Ukuran efektivitas pada faktor ini adalah Peraturan yang ada mengenai
hubungan ini dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut
32
Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV. Ramadja
Karya, Bandung, hlm. 80.
33
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 8.
34
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, hlm. 80.
30
adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai alat untuk mencapai
efektivitas hukum.
4. Faktor masyarakat
peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa, dan Faktor penyebab
masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas atau aparat berwibawa serta
fasilitas mencukupi.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat
35
Ibid, hlm. 82
31
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung
5. Teori Keadilan
pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan
Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John
Rawl dalam bukunya a theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans
berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat
Carl Joachim Friedrich, 2004. “Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan
36
keadilan”.37
suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang
atau setiap warga negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi
tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang
telah dilakukanya.
distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut
pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa
matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi
kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan
37
L. J. Van Apeldoorn, 1996. “Pengantar Ilmu Hukum”, cetakan kedua puluh enam
Pradnya Paramita, Jakarta. Hlm. 11-12
38
Carl Joachim Friedrich Op.Cit, Hlm. 25
33
warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan
abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The
social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya
setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah
pencari keadilan.41
ignorance).42
39
Pan Mohamad Faiz, 2009. “Teori Keadilan John Rawls”, dalam Jurnal Konstitusi,
Volume 6 Nomor 1 , Hal. 135.
40
Ibid, Hlm. 139
41
Ibid Hlm. 140
42
Ibid
34
kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya,
sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang,
itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasli” yang bertumpu pada
Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan
tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu,
memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice
as fairness”.43
orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan
43
John Rawls, 2006. “A Theory of Justice, London: Oxford University press”, yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, ,
Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hlm. 90
35
principle).
kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan
yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan
sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat
timbal balik.44
orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus
diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap
institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan
44
Hans Kelsen, 2011. “General Theory of Law and State”, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Bandung, Nusa Media. Hlm. 7
36
berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil
nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan
yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan
ditentukan oleh faktor- faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.46
mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat
diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam
45
Ibid, Hlm. 9
46
Ibid, Hlm. 12
37
berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil,
karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.47
terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum
kebahagian diperuntukan tiap individu. Dua hal lagi konsep keadilan yang
kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah
47
Ibid, hlm. 14
48
Ibid
38
kepentingan.49
suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen
“adil” jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah
“tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain
yang serupa.50 Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum
dapat dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan
hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu
memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam
49
Kahar Masyhur, 1985. “Membina Moral dan Akhlak”, Kalam Mulia, Jakarta. Hlm. 68
50
Ibid, hlm. 71
51
Suhrawardi K. Lunis, 2000. “Etika Profesi Hukum”, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta. Hlm. 50.
39
LATAR
RUMUSAN TEORI METODE
BELAKANG KESIMPULAN
MASALAH
MASALAH HUKUM PENELITIAN
Aspek Filosofis 1. Bagaiman 1.Teor 1. Jenis 1) Bentuk sengketa tanah di desa
bahwa Desa Adat a bentuk i Penelitian Adat Umanyar Kabupaten
yang tumbuh sengketa Efekti Hukum Karangasem yaitu Sengketa Hak
berkembang selama tanah di vitas Empiris. Milik Atas Tanah Ayahan Desa
berabad-abad serta desa Adat Huku dimana Biasanya para pihak yang
memiliki hak asal Umanyar m 2. Sifat bersengketa merasa bahwa tanah
Kabupaten Penelitian
usul, hak tradisional, yang menjadi obyek sengketa
Karangase 2.Teo
dan hak otonomi asli merupakan tanah miliknya yang
m? ri Deskriptif.
mengatur rumah Utilit dimana tak jarang ada pihak yang
tangganya sendiri, ariani 3. Data melakukan pengakuan hak milik
telah memberikan sme dan tanah tanpa adanya sertifikat tanah
kontribusi sangat Sumber tersebut contohnya sengketa tanah
besar terhadap 2. Bagaima Data: plaba pura dan Sengketa Hak Guna
kelangsungan nakah Data Atas Tanah Ayahan Desa Biasanya
kehidupan proses Primer dan para pihak yang bersengketa
masyarakat dalam penyeles Data merasa pihak lainnya telah telah
berbangsa dan aian Sekunder. menguasai dan mengerjakan tanah
bernegara; sengketa 1.Teor milik orang lain yang menjadi
Aspek Yuridis tanah i 4. Teknik obyek sengketa tanpa alas hak dan
berdasar Kepast
Awig-awig dibuat dasar hukum yang sah contohnya
kan ian Pengumpu
secara bersama- Awig- Huku lan sengketa tanah perkebunan.
sama oleh Awig Di m Data 2) Proses penyelesaian sengketa tanah
masyarakat, sesuai Desa adalah berdasarkan Awig-Awig Di Desa
dengan norma- Adat 2.Teor dengan Adat Umanyar Kabupaten
norma yang berlaku Umanya i teknik Karangasem adalah berdasarkan
dalam masyarakat r Kewe pawos 23 ayat (5) awig-awig desa
desa bersangkutan, Kabupat nanga Wawancar adat Umanyar dalam hal terjadinya
dengan en n a dan sengketa maka perlu untuk
bersumberkan pada Karanga Studi dilakukan upaya muswarah desa
ajaran Agama sem? 3.Teor Dokumen. dengan prajuru desa menjadi
Hindu, sesuai i mediator dalam upaya mediasi
Keadli 5.
dengan filsafat Tri untuk menyelesaikan sengketa
an Pengolaha
Hita karana. akan tetapi jika para pihak yang
n Data
Aspek Sosiologis dan bersengketa tidak menemukan
secara sosiologis Analisis penyelesaian sengketa dalam
pemerintah dan desa Data musawarah desa tersebut maka
adat memiliki hak dengan penyelesaian sengketa juga bisa
dalam mengelola Deskriptif diselesaikan melalui jalur hukum
sebuah tanah yang Kualitatif. jika para pihak yang bersengketa
dalam kuasanya tidak puas dengan hasil mediasi
kemudian hal ini keputusan desa adat dan jika para
juga menimbulkan pihak yang bersengketa memang
kewajiban tersendiri menginginkannya
40
1.8 Hipotesis
yaitu berupa perkara yang dilakukan antara salah satu pihak dengan
yang mana penelitian lapangan menjadi hal utama dalam kegiatan atau proses
pendapat hukum guna menjawab permasalahan hukum yang dihadapi yang tentu
saja berfokus pada perilaku masyarakat hukum (law in action) yang memerlukan
data data sekunder yang berupa bahan hukum dari kepustakaan sebagai data
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian
yang menjadi landasan ide penelitian ini dan data ini juga di dapat dari
Dalam hal ini, sumber data primer merupakan data yang diperoleh secara
2. Data Sekunder
Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari
laporan, arsip, literatur, dan hasil penelitian lainnya yang mendukung sumber
data primer.
Tahun 1945
42
yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau
ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan
adalah dengan menggunakan metode bola salju (snowball method). Adapun yang
dimaksud dengan metode bola salju adalah menggelinding terus menerus dengan
undangan dan buku-buku hukum sesuai daftar pustaka. Pengumpulan data hukum
primer, data hukum sekunder dan data hukum tersier di inventarisasi dan
penelitian ini.
analisa data - data pustaka yang terkait dengan permasalahan yang dikaji atau
dari data hukum primer, data sekunder maupun data tersier. Sehingga
dalam hal ini berarti membuat klasifikasi terhadap data hukum primer, sekunder
44
penelitian ini.
45
BAB II
PENYELESAIAN SENGKETA
Bebandem dengan luas wilayah 3000 M2. Secara geografis batas – batas desa :
Berpenduduk sekitar 500 Jiwa (150 kepala keluarga (KK)) dengan masing
– masing jumlah penduduk laki – laki sebanyak 245 jiwa dan perempuan 255 jiwa
Lazimnya Desa Adat memiliki parhyangan yang diempon oleh Desa Adat
Umanyar seperti Pura Puseh, Pura Bale Agung, Pura Desa maupun Pura Dalem
45
46
Pada Kehidupan adat, budaya dan agama masyarakat Desa Adat Umanyar
masih kental melaksanakan adat istiadat yang diatur dalam awig – awig desa
hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di
dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari"46, Bushar
berbagai lembaga hukum yang ada dalam suatu masyarakat, seperti lembaga
hukum tentang perkawinan, warisan, jual beli, tanah, dan lain-lain, harus
dalam masyarakat, sebagai hal yang wajar, menurut kodrat alam, dan tidak
53
Wayan P. Windia, I Ketut Sudantara, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali Cetakan
Kedua, Swasta Nulus, Denpasar, hlm. 49
47
untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh, itu, atau meninggalkannya, dalam
menjadi dua, yaitu: didasarkan atas azas kedaerahan atau teritorial dan didasarkan
atas azas genealogis atau keturunan. Di Bali, desa dapat digolongkan sebagai
persekutuan hukum adat yang didasarkan atas azas kedaerahan atau teritorial,
sedangkan contoh masyarakat hukum adat geneologis di Bali adalah sekeha dadia.
kepentingan bersama, seperti subak yang bergerak dibidang tata guna air. 54
misalnya, Desa Peliatan, Desa Penestanan, dll. "desa" juga dapat berarti "situasi"
dalam kaitannya dengan tempat, waktu dan keadaan, seperti dalam ungkapan
"desa, kala, patra". Tetapi dalam ungkapan jelema desa atau desa sajan, bukan
berarti "orang berasal dari desa", melainkan menunjuk kepada suatu keadaan atau
seperti halnya kata "negara", "negeri" dan "nagari", berasal dari bahasa
Sansakerta, yang artinya tanah air, tanah asal dan tanah kelahiran. Hal senada juga
dapat diketahui dari Soepemo dan Wayan Surpha", yang pada prinsipnya
54
Ibid, hlm 50
48
Dalam Provinsi Bali dikenal ada dua bentuk (pemerintahan) desa yang
bentuk desa yang lazim disebut dualisme desa di Bali itu adalah: (1) Desa dinas
(desa dan kelurahan), dan (2) Desa Adat atau desa adat. Pengertian Desa Adat
mencakup dua hal yaitu: Desa Adatnya sendiri sebagai suatu wadah dan adat
istiadatnya sebagai isi dari wadahnya itu lebih lanjut dapat dijabarkan bahwa desa
adat merupakan suatu lembaga tradisional yang mewadahi kegiatan sosial, budaya
dan keagamaan masyarakat umat Hindu di Bali yang telah menjadi tradisi
Desa adat tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sosial, budaya dan
keagamaan masyarakat umat Hindu di Bali karena merupakan satu kesatuan. Desa
adat adalah merupakan kesatuan masyarakat dimana rasa kesatuan sebagai warga
desa adat terikat oleh wilayah tertentu (karang desa) dengan batas-batas yang jelas
dan terikat pula oleh satu sistem tempat persembahyangan yang disebut
kahyangan tiga yang terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem. 56
Desa Adat sebagai Desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di
propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
55
Ibid, hlm 51
56
Widya Satya Dharma, 2009, Jurnal Kajian Hindu Budaya dan Pembangunan Vol. 5
No.2, Edisi Puputan STIE, Singaraja, hal. 23
49
ikatan khayangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan
sendiri, hal ini menegaskan bahwa desa adat merupakan satu kesatuan masyarakat
hukum adat dalam ikatan khayangan tiga yang bersipat otonom, ini berarti desa
adat merupakan subyek hukum yang boleh mempunyai hak milik dan berhak
daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata
Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali memuat Desa Adat adalah
dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas
57
I Ketut Rindjin, 2009, Depoiltaisasi dan Politisasi Desa Adat Dalam Persepektif HAM,
Denpasar, hlm. 5
50
sendiri
4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali memuat Desa Adat adalah
dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas
sendiri.
keagamaan untuk memelihara kesucian desa. Rasa kesatuan sebagai warga desa
adat terkait oleh karena adanya karang desa (wilayah teritorial desa), awig-awig
desa adat, (sistem aturan desa dengan peraturan pelaksanaanya), dan pura
kahyangan tiga (tiga pura desa sebagai suatu sistem tempat persembahyangan
58
I Gusti Gede Raka, 2005, Desa Adat Dalam Arus Administrasi, Lembaga Pengkajian
Budaya Bali, Denpasar, hal. 19
51
b) Milik Desa (druwe desa) yang berupa sarana dan prasarana serta
Tugas dan wewenang Desa Adat Menurut I Wayan Surpha, secara garis
59
I Ketut Sukadana, 2000, Pola Hubungan Desa Adat dengan Desa, Kertha Wicaksana
Th VI No 10 Pebruari 2000, hal. 52
52
paswara dan sima yang telah berlaku. Selain itu warga desa adat
Dilihat dari sistem pemerintahan desa adat, terdapat tiga jenis sistem
dimana terdapat lebih dari 2 (dua) orang pejabat puncak dalam struktur
pemerintahannya
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Desa Adat Umanyar adalah sistem
pemerintahan tunggal, dimana hanya terdapat satu pejabat puncak dalam struktur
yang dipimpin oleh seorang Bendesa Adat. Selengkapnya, struktur prajuru Desa
60
I Wayan Surpha, 2003, Eksistensi Desa Adat di Bali, penerbit PT. Upada Sastra,
Denpasar, hal. 56
53
54
Bagan 1
Struktur Prajuru Desa Adat Umanyar
Bendesa Adat
Kesinoman
Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali menjelaskan bahwa Prajuru Desa Adat
55
adalah Pengurus Desa Adat. Dimana dalam hal ini struktur prajuru merupakan
struktur pengurus desa adat yang meliputi bendesa adat sebagai ketua pengurus
humas desa, pecalang sebagai pengawas keamanan desa, Kepala Pasar Sari
sebagai pengawas pasar di desa, dan Pemucuk widya Sabha sebagai Lembaga
Desa Adat;
masing-masing;
56
internal seperti yang tercantum dalam awigawig Desa Adat, juga hal-
di sawah (Subak)
10. Kepala Pasar Sari yang tugasnya sebagai pengatur dan perancangan
Pemucuk widya Sabha yang tugasnya adalah lembaga mitra kerja Prajuru
Desa Adat
hukum dasar yang mengatur kehidupan warganya dan sebuah organisasi yang
memiliki anggaran dasar rumah tangga yang digunakan sebagai pedoman dalam
sebuah lembaga adat juga mempunyai hal serupa. Desa Adat di Bali memiliki
sebuah aturan adat yang digunakan sebagai aturan khusus untuk mengatur
kehidupan masyarakat adat dalam wilayah kehidupan Desa Adat diluar kehidupan
bahwa hukum adat (awig-awig dan pararem) adalah hukum adat bali yang hidup
dalam masyarakat Bali yang bersumber dari catur Dresta serta dijiwai oleh agama
Hindu bali. Catur Dresta yakni ajaran-ajaran agama, kuna dresta yakni nilai-nilai
budaya, loka dresta yakni pandangan hidup dan Desa Dresta yakni adat-istiadat
menentukan hari baik, waktu, tempat dan orang suci yang akan
dan jiwa/taksu. Awig-awig yang ada di desa adat tidak saja mengatur
Bali sangat percaya dan yakin bahwa awig-awig ataupun pararem tidak
b) Bersifat konkret dan jelas artinya disini hukum adat mengandung prinsip
yang serba konkret, nyata, jelas dan bersifat luwes. kaedah-kaedah hukum
dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Jadi dari sini akan
muncul peraturan adat lain seperti pararem sebagai aturan tambahan yang
berisi petunjuk pelaksana, aturan tambahan dan juga bisa saja sanksi
tambahan yang belum ada, sudah tidak efektif atau belum jelas
mengenal yang namanya Hakim menang kalah, namun yang ada adalah
59
dan kewajiban melainkan juga memberikan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi
denda, fisik maupun psikologi dan yang bersifat spiritual. Jenis-jenis sanksi adat
adat mempunyai tugas melaksanakan awig-awig dan ikut serta dalam mengambil
atau disharmonis skala niskal (dunia ahkirat). Untuk itu perlu adanya pemulihan
60
terhadap ketidak seimbangan itu. Pemulihan ini juga dilaksanakan secara sekala
Sehingga awig-awig desa adat adalah kesatuan peraturan desa adat yang
tumbuh dari desa adat yang mengatur tata cara desa adat dalam keseharian yang
sebagai pedoman oleh prajuru (perangkat) desa dalam mengatur dan melindungi
kepentingan warga atau anggota desa adat dalam seluruh sisi kehidupan warga
desa adat yang juga merupakan hukum adat yang berlaku di wilayah desa adat.
Oleh karena itu membicarakan awig-awig desa adat maka desa adat tersebut
diperlukannya awig-awig desa adat. Maka desa adat itu merupakan persekutuan
masyarakat yang bersifat tetap dan mempunyai kekuasaan sendiri, baik kelihatan
turun temurun, ada anggota tertentu berkuasa untuk bertindak untuk kesatuan
keseluruhannya, dari adat desa yang bersangkutan serta tidak terlepas dari konsep
terkait hal-hal yang merupakan kepemilikan desa adat yaitu pada pawos 21 dan
Pawos 21
(1) Kahyangan desa luire: Pura Desa, Pura Bukit, Pura Dalem, lan Pura
Mengening.
b. Keris asiki.
c. Bjra asiki
Artinya:
Pasal 21
1. Kahyangan desa diantaranya: pura desa, pura bukit, pura dalem, dan pura
mengening.
2. Pekarangan berupa:
Pawos 23
(1) Prajuru desa wenang ngetangang pamupon duen desa lan duwen desa
sane lianan.
pura.
(5) Tan kalugra ngadol utawi ngesahang padruen desa yan tan
Artinya :
Pasal 23 :
1. Pengurus desa berwenang mengurus hasil panen wilayah milik desa dan
pembangunan di pura
63
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat
antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan
sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat
keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun
internasional.
menjadi sengketa bila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan tidak
situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang diawali
oleh perasaan tidak puas yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini
terjadi karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa.
Secara potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian atau pendapat yang
atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu
dengan yang lain.63 Sengketa adalah suatu perkara yang terjadi antara para
yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi
61
Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung,
PT Mitra Aditya Bakti, hlm 1.
62
Suyud Margono, 2000, Alternative Dispute Resulution dan Arbitrase, Jakarta, Ghalia
Indonesia, hlm. 34.
63
Winardi, Managemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), Mandar Maju,
Bandung, 2007, hlm. 1.
64
Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan. Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 13.
65
Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para Sengketa adalah
pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan
akibat hukum bagi keduanya. Berdasarkan kedua pendapat di atas maka dapat
dikatakan bahwa sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau
lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi
Dengan demikian ada tiga unsur pokok dalam suatu sengketa Ketiga
65
Takdir Rahmadi. 2017. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.
Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. hal. 1.
66
Ali. Achmad Chomzah, 2003, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak
Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta :
Prestasi Pustaka), hal 14.
66
pemenuhannya.
Owens, R.G. adalah karena adanya aturan-aturan dan prosedur baik yang
67
Komar Kantaatmadja, 2001, Beberapa Hal Tentang Arbitrase, Bandung, Citra Aditya
Bakri, hlm. 3.
67
tertulis maupun tidak tertulis yang diberlakukan secara kaku dan keras. 68
Faktor eksternal lainnya dapat pula berupa kebijakan yang diambil oleh
antar anggota kelompok dan juga antar kelompok. Konflik internal antara
perselisihan antara dua atau lebih subyek hukum yang berisikan tuntutan
pemenuhan hak dan kewajiban berkenaan dengan satu obyek atau satu
prestasi tertentu. Pengertian konflik lebih luas dari sengketa, oleh karena
telah muncul keluar dalam bentuk tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban
68
Wahyudi, 2008, Manajemen Konflik : Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner,
Alfabeta Bandung, Cet.Ke 3, h. 35.
69
Alo Liliweri, 2005, Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur, LkiS, Yogyakkarta, Cet.I, h. 335-336.
68
tertentu. Dengan demikian maka dalam konflik tidak selalu ada upaya
bagian dari konflik adat, yang belakangan ini cukup marak terjadi
dengan masyarakat adat dalam bentuk banjar adat atau desa adat (Desa
adat). Sengketa adat ini tentunya diawali oleh adanya ketidakpuassan salah
satu pihak yang disebabkan oleh tindakan dari pihak lainnya yang
reaksi baik dalam bentuk “pembelaan diri” maupun tuntutan atas kerugian
yang ada. Sering pula terjadi bahwa sengketa muncul dalam bentuk
yang terjadi antara dua pihak karena adanya perbenturan kepentingan yang
situasi yang didalamnya terdapat dua pihak atau lebih yang mengejar
tujuan-tujuan yang satu dengan yang lain tidak dapat diserasikan dan
tentunya akan ada upaya untuk mengalahkan pihak lain dan dengan
70
B.R. Rijkschroeff, 2001, Sosiologi, Hukum, dan Sosiologi Hukum, Mandar Maju,
Bandung, cet. ke 1, h. 183.
71
Jimmy Joses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan
(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, & Arbitrase), Visimedia, Jakarta, Cet.Pertama, h. 5.
70
perdata yang diajukan dapat berupa sengketa kepemilikan hak atas tanah
para pihak saling berlawanan satu sama lain. Selain itu, penyelesaian
hasil.72
72
Frans Hendra Winarta. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional. Jakarta. Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 1 dan 2
71
bertentangan.
David Reitzel “there is a long wait for litigants to get trial”, jangankan
Indonesia dikenal dengan nama APS) telah memiliki landasan hukum yang
73
Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 233.
74
Rachmadi Usmani. 2012. Mediasi di Pengadilan : Dalam Teori dan Praktik. Jakarta.
Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 8.
72
a. Konsultasi
b. Mediasi
75
Syahrizal Abbas, 2011, Mediasi dalam Hukum Syariah Hukum Adat dan Hukum
Nasional,
Kencana, Jakarta, hlm. 2.
73
76
Gatot Sumartono, 2006, Undang-Undang Tentang Arbitrase dan Mediasi di Indonesia,
Gramedia, Jakarta, hlm. 119.
74
c. Arbitrase
77
Agnes Wynona, 2013, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Jurnal Beraja Niti,
Vol. 2 No.8
75
bersengketa.
d. Negosiasi
78
Huala Adolf, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar
Grafika, hlm 26
76
dicapai orang81
e. Konsiliasi
79
Nurnaningsih Amriani. 2012. Op. Cit, Hal. 23.
80
Susanti Adi Nugroho. 2009. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Jakarta. Penerbit : Telaga Ilmu Indonesia. Hal. 21.
81
Garry Goodpaster, 2009, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Jakarta, Proyek ELIPS, hlm.
13.
77
damai.82
f. Penilaian Ahli
82
Sri Hajati, Sri Winarsi, dkk. 2011, Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Surabaya.
Penerbit : Airlangga University Press. Hal. 434
83
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
hlm 287
78
terjadi.
84
Novri Susan, 2010, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 136-139.
79
85
Ibid, hlm. 139-140
80
tahun 1999).
86
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 39.
81
kesepakatan bersama.
87
Jimmy Joses Sembiring, op.cit. h. 9-10.
82
BAB III
Adat Umanyar
berada di Bali, terlepas dari aturan manapun, aturan di hukum adat memang lebih
terstruktur karena aturan tersebut sudah ada sejak dahulu dikenal dengan istilah
tanah adat, atau tanah druwen desa (tanah milik desa). Tanah ini bisa kita kaitkan
dengan struktur kepustakaan hukum adat Bali yang di sebut “hak ulayat”. Hak
kepunyaan atas tanah tersebut, adapun termasuk hukum public, berupa tugas dan
Penguasaan tanah secara yuridis dilandasi oleh hak, yang dilindungi oleh
menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) telah diatur dan
ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum
Tanah Nasional:
80
83
atas :
16 dan 53`
49.
Perlu di ketahui juga bahwa tanah di Bali ini mempunyai jenis dan fungsi
1. Tanah Desa, merupakan tanah yang di jaga oleh masyarakat desa yang
2. Tanah Laba Pura, ialah tanah yang dulu milik desa namun didirikan
kuasai sepenuhnya oleh desa kepada krama desa yang didirikan untuk
perumahan yang umumnya dalam tapak atau batasan tertentu yang hampir
4. Tanah Ayahan Desa (AYDS), adalah tanah yang dimana dikuasi oleh
dari suatu sekumpulan masyarakat hukum adat dilihat sebagai tanah bersama
yang diistilahkan “pemberian atau anugerah” oleh sebuah kekuatan gaib, dan oleh
sebab itu apabila hak perorangan bersumber dari tanah yang bersama. Di sebutkan
bahwa tanah ada tersebut seperti Pekarangan Desa (PKD), AYDS, dikuasai oleh
individu yang dalamnya terkandung konsep Tri Hita Karana, yang berupa Mrajan
(artefact system), dan yang terakhir adalah konteks Pawongan yang kita tau
“wong” itu artinya manusia, jadi berwujud sebagai keluarga tersebut (social
system), yang merupakan konteks dari pada krama banjar adat tersebut dan sudah
tersebut dapat digolongkan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor
88
Suasthawa Dharmayuda, I. M. (2001). Desa Adat, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Bali di Propinsi Bali. Upada Sastra. Hlm. 19
89
Suwitra, I. M. (2009). Eksistensi Hak Penguasaan Dan Pemilikan Atas Tanah Adat Di
Bali Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional. Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang. Hlm. 10
85
internal berkaitan dengan kepentingan dan karakter dari para pihak yang
yang bersengketa yang berupa kepentingan atau kebutuhan dari individu atau
dirasa perlu untuk dipenuhi namun di sisi lainnya upaya untuk memenuhi
pulalah halnya dengan kelompok individu sebagai pihak yang bersengketa yang
pemenuhannya.
yang ada disekitar para pihak yang bersangkutan. Penyebab konflik yang bersifat
eksternal antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Owens, R.G. adalah karena
adanya aturan-aturan dan prosedur baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang
diberlakukan secara kaku dan keras.90 Penerapan aturan dan prosedur secara kaku
dan keras menyebabkan seseorang tidak dapat bebas bergerak ataupun bertindak,
dan sebagai akibatnya aturan atau prosedur tersebut merupakan satu penghalang.
Faktor eksternal lainnya dapat pula berupa kebijakan yang diambil oleh
90
Wahyudi, 2008, Manajemen Konflik : Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner,
Alfabeta Bandung, Cet.Ke 3, h. 35.
86
anggota kelompok dan juga antar kelompok. Konflik internal antara anggota
kelompok dapat terjadi karena: kohesi berkurang, lebih berorientasi pada tugas,
konflik antar kelompok dapat terjadi karena: kekerasan meningkat, stereoti yang
91
Alo Liliweri, 2005, Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur, LkiS, Yogyakkarta, Cet.I, h. 335-336.
87
pewarisan yang benar atau apakah obyek waris dalam hal ini tanah
masyarakat terkait system dan pola pewarisan adat ini juga sering
sebagian orang.
tanah sehingga data memiliki peran yang penting akan tetapi jika data
tersebut merupakan data lama maka tak jarang ada yang meragukan
Saba Desa Desa Adat Umanyar beliau menjelaskan bahwa selain faktor yang di
jelaskan sebelumnya oleh Bapak I Gede Putu juga terdapat faktor-faktor lain yang
92
Wawancara dengan I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar pada hari senin 9
Agustus 2021 Pada Pukul 11.00 Wita.
88
Dalam hal ini proses administrasi pertanahan yang kurang jelas tak
nasional.
tanah tanpa sertifikat yang tak jarang menjadi obyek sengketa tanah di
desa adat Umanyar karena tidak ada pembuktian yang jelas atas
Analisis penulis terkait jawaban yang diberikan informan jika dilihat dari
Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5
(lima) faktor, yaitu Faktor hukumnya sendiri, Faktor penegak hukum , Faktor
sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat, dan
Adat Umanyar Kabupaten Karangasem terdiri dari beberapa faktor yaitu faktor
93
Wawancara dengan Bapak I Made Suardana selaku Saba Desa Desa Adat Umanyar
pada hari senin 9 Juni Pukul 12.00 Wita
89
hukumnya itu sendiri dimana Proses administrasi pertanahan yang kurang jelas,
faktor penegak hukum dimana Keberadaan data lama yang masih diragukan
keasliannya oleh sebagian orang yang dimana ini merupakan kesalahan penegak
hukum dalam hal ini pemerintah desa adat tidak melakukan pembaharuan data
kepemilikan atas tanah di desa adat umanyar, faktor masyarakat dimana Adanya
umanyar akan sistem serta pola pewarisan adat dan Kurangnya pemahaman
Adat Umanyar
yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi
94
Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan. Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 13.
95
Takdir Rahmadi. 2017. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.
Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. hal. 1.
90
Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para Sengketa adalah
pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan
sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang
dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sanksi
hukum bagi salah satu diantara keduanya. 96 Dengan demikian ada tiga unsur
tanah adalah permukaan bumi. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa “Atas
dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2
tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik
96
Ali. Achmad Chomzah, 2003, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak
Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta :
Prestasi Pustaka), hal 14.
97
Komar Kantaatmadja, 2001, Beberapa Hal Tentang Arbitrase, Bandung, Citra Aditya
Bakri, hlm. 3.
91
hukum”. Sehingga Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat
dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu
maupun dampak bagi orang lain maka tak jarang tanah menjadi obyek yang
disengketakan.
Adat Umanyar kasus Sengketa Tanah ayahan desa yang terjadi di desa adat
umanyar adalah
jarang ada pihak yang melakukan pengakuan hak milik tanah tanpa
Biasanya para pihak yang bersengketa merasa pihak lainnya telah telah
obyek sengketa tanpa alas hak dan dasar hukum yang sah. Contohnya
Adat Umanyar beliau menjelaskan bahwa salah satu contoh kasus yang
98
wawancara dengan Bapak I Nyoman Ngurah Oka selaku pecalang di desa adat
Umanyar Pada hari senin 9 Agustus pukul 10.00 Wita
92
pernah terjadi di desa adat umanyar adalah sengketa tanah I Ketut Deden, I
tersebut telah di upayakan upaya mediasi oleh pihak desa akan tetapi para
diarasa belum maksimal dimana masih adanya sengketa tanah di desa adat
baik
99
Wawancara dengan I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar pada hari senin 9
Agustus 2021 Pada Pukul 11.00 Wita.
93
Kabupaten Karangasem
tersebut terdapat sengketa tanah dengan obyek sengketa berupa Sebidang tanah
yang terletak di Desa Bhuana Giri Kecamatan Bebandem, Pipil Nomor : 39,
Kelas : III, Luas : 0,170 Ha, Surat Padol Nomor : 117/1958, SPPT Nomor :
dalam kasus sengketa ini adalah pihak penggugat adalah I Ketut Deden, I Wayan
Sila, dan I Nengah Dipayana melawan pihak tergugat yaitu I Komang Alit
secara fakta dan hukum obyek sengketa adalah sah milik alm. I Nengah Sentana,
karena tanah tersebut sampai sekarang masih atas nama alm. I Nengah Sentana
dan Para Penggugat masih tetap membayar pajak atas obyek sengketa yang
dimana Para Penggugat adalah anak kandung dari alm. I Nengah Sentana, yang
secara hukum Para Penggugat patut dan sah untuk mewarisi dan menguasai tanah
hukum dari Tergugat I yang tidak mau mengembalikan obyek sengketa kepada
hasil dari tanah sengketa, yang karenanya perbuatan hukum Tergugat I dan II
adalah merupakan perbuatan melawan hak dan melawan hukum, karena telah
menguasai dan mengerjakan tanah milik orang lain tanpa alas hak dan dasar
hukum yang sah dan dengan Tergugat I telah menguasai dan menghasili obyek
94
hak yang sah, serta sebagai perbuatan melawan hukum, maka Para Penggugat
berikut :
1) Menimbang, bahwa Para Penggugat adalah anak yang sah dari alm. I
Nengah Sentana, oleh karena itu berhak mewarisi obyek sengketa, yang
merupakan tanah Ayahan Desa (AYDS) yaitu tanah yang dimiliki oleh
Tanah Ayahan Desa (AYDS) dari orang tua Para Penggugat kepada orang
saksi yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal para pihak,
nama warga Desa akan tetapi tidak bisa dijual keluar warga
Desa;
mengajukan bukti berupa bukti P-1 sampai dengan P-15 dan 5 (lima)
yaitu alat bukti surat P-4 tentang fotokopi Surat Padol Nomor : 117/1958,
Sentana dari pengelola sebelumnya yaitu I Rajeg, dan P-5 s/d P-11yaitu
berupa SPPT pajak serta keterangan Saksi I Ketut Penpen dan I Nengah
telah mengajukan bukti surat berupa bukti T-1 sampai dengan T-11 dan
mengajukan 3 (tiga) orang Saksi yaitu I Wayan Berata, I Ketut Astika, dan
I Made Gama;
Adalah Sah;
ribu rupiah);
Amp. Dimana dalam kasus tersebut terdapat sengketa tanah dengan obyek
sengketa berupa Sebidang tanah yang terletak di Desa Bhuana Giri Kecamatan
Bebandem, Pipil Nomor : 39, Kelas : III, Luas : 0,170 Ha, Surat Padol Nomor :
Pihak yang bersengketa dalam kasus sengketa ini adalah pihak penggugat adalah I
Ketut Deden, I Wayan Sila, dan I Nengah Dipayana melawan pihak tergugat yaitu
I Komang Alit Adnyana, dan I Wayan Daniasa merupakan salah satu bentuk
penyelesaian sengketa terkait tanah ayahan desa di desa adat umanyar melalui
jalur litigasi atau lewat pengadilan. Dalam penyelesaian sengketa terkait tanah
ayahan desa di desa adat Umanyar sendiri bisa melalui dua upaya dimana upaya
litgasi sebperti kasus dalam putusan Nomor 96/Pdt.G/2019/PN Amp atau melaui
98
jalur non litigasi yaitu melalui muswarah desa adat dengan upaya mediasi antar
100Wawancara dengan I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar pada hari senin
9 Agustus 2021 Pada Pukul 11.00 Wita.
99
BAB IV
UMANYAR
luar pengadilan).
diajukan dapat berupa sengketa kepemilikan hak atas tanah atau penguasaan hak
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang pada intinya mengatakan bahwa
sengketa dalam bidang perdata dapat diselesaikan para pihak melalui alternatif
97
100
berlawanan satu sama lain. Selain itu, penyelesaian sengketa secara litigasi
Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal (very formalistic)
dan sangat teknis (very technical). Seperti yang dikatakan J. David Reitzel “there
is a long wait for litigants to get trial”, jangankan untuk mendapat putusan yang
berkekuatan hukum tetap, untuk menyelesaikan pada satu instansi peradilan saja,
melalui jalur non-litigasi (di luar pengadilan), yang biasanya disebut dengan
penyelesaian sengketa di luar pengadilan (di Indonesia dikenal dengan nama APS)
101
Frans Hendra Winarta. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional. Jakarta. Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 1 dan 2
102
Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 233.
103
Rachmadi Usmani. 2012. Mediasi di Pengadilan : Dalam Teori dan Praktik. Jakarta.
Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 8.
101
Tahun 1999 tentang Arbitrase. Jenis penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar
Penilaian Ahli
Berdasarkan otonomi desa pakaraman, sejak awal lahirnya atau terbentuknya desa
peraturan-peraturan yang berlaku bagi warga desa adat yang bersangkutan Dalam
struktur kenegaraan RI, keberadaan desa adat mendapat pengakuan secara yuridis
berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar
tingkah laku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat
yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan kepatuhan yang hidup dalam
104
Windia, P. Wayan. 2006. Pengantar Hukum Adat Bali. Lembaga Dokumentasi dan
Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm. 55
102
Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya
dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang
yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan
rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan sehingga dalam
proses mediasi.105
Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan dan Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap
individu sehingga dalam hal Pengaturan Hukum Terkait Diakuinya Hukum Adat
maka sudah terlihat jelas bahwa hukum adat diakui dengan dasar Pasal 18B ayat
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
105
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana, hlm. 19
103
hukum dasar yang mengatur kehidupan warganya dan sebuah organisasi yang
memiliki anggaran dasar rumah tangga yang digunakan sebagai pedoman dalam
sebuah lembaga adat juga mempunyai hal serupa. Desa Adat di Bali memiliki
sebuah aturan adat yang digunakan sebagai aturan khusus untuk mengatur
kehidupan masyarakat adat dalam wilayah kehidupan Desa Adat diluar kehidupan
Sehingga awig-awig desa adat adalah kesatuan peraturan desa adat yang
tumbuh dari desa adat yang mengatur tata cara desa adat dalam keseharian yang
sebagai pedoman oleh prajuru (perangkat) desa dalam mengatur dan melindungi
kepentingan warga atau anggota desa adat dalam seluruh sisi kehidupan warga
desa adat yang juga merupakan hukum adat yang berlaku di wilayah desa adat.
Oleh karena itu membicarakan awig-awig desa adat maka desa adat tersebut
diperlukannya awig-awig desa adat. Maka desa adat itu merupakan persekutuan
masyarakat yang bersifat tetap dan mempunyai kekuasaan sendiri, baik kelihatan
turun temurun, ada anggota tertentu berkuasa untuk bertindak untuk kesatuan
keseluruhannya, dari adat desa yang bersangkutan serta tidak terlepas dari konsep
adat Umanyar berpatokan pada awig-awig desa adat Umanyar yaitu penyelesaian
Bapak I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar selaras dengan
kewenangan prajuru desa adat dalam pawos 23 awig-awig desa Adat Umanyar
yang memuat:
Pawos 23
(1) Prajuru desa wenang ngetangang pamupon duen desa lan duwen desa
sane lianan.
pura.
(5) Tan kalugra ngadol utawi ngesahang padruen desa yan tan
Artinya :
Pasal 23 :
(1) Pengurus desa berwenang mengurus hasil panen wilayah milik desa dan
106
Wawancara dengan I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar pada hari senin
9 Agustus 2021 Pada Pukul 11.00 Wita.
105
(2) Pemasukan dan hasil panen digunakan untuk biaya upacara dan
pembangunan di pura
(3) Setiap rapat desa, apartaur desa mengeluarkan tentang himbauan atau
Pendapat bapak I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar juga di
Bapak I Made Suardana selaku Saba Desa Desa Adat Umanyar beliau
menjelaskan bahwa tanah ayahan desa yang dalam hal ini merupakan kepimilikan
menjual atau mengesahkan kepemilikan desa jika tidak disetujui oleh masyarakat
desa sehingga dalam hal terjadinya sengketa maka perlu untuk dilakukan upaya
muswarah desa untuk menyelesaikan sengketa akan tetapi jika para pihak yang
tersebut maka penyelesaian sengketa juga bisa diselesaikan melalui jalur hukum
jika para pihak yang bersengketa tidak puas dengan hasil mediasi keputusan desa
adat dan jika para pihak yang bersengketa memang menginginkannya. 107
107
Wawancara dengan Bapak I Made Suardana selaku Saba Desa Desa Adat Umanyar
pada hari senin 9 Juni Pukul 12.00 Wita
106
oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum public maka prajuru desa
adat yang dalam hal ini Bendesa adat memiliki kewenangan sebagai mediator
kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan
yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan
sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat
sudah bisa menciptakan keadilan dimana para pihak memiliki kesempata dan hak
yang sama dalam proses mediasi terkait sengketa tanah dan jika memang setelah
berakhirnya proses mediasi diantara para pihak masih ada pihak yang merasa
keberatan dengan hasil mediasi tersebut maka pihak yang merasa keberatan dapat
Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat
terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara
perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan
sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat
keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun
internasional.
istilah Sengketa dan Konflik. Menurut Kamus Besar Indonesia, Sengketa adalah
menjadi suatu sengketa apabila pihak yang dirugikan hanya memendam perasaan
sengketa bila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan tidak puas atau
situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang diawali oleh
perasaan tidak puas yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat
karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa. Secara
potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian atau pendapat yang berbeda
108
Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
Bandung, PT Mitra Aditya Bakti, hlm 1.
109
Suyud Margono, 2000, Alternative Dispute Resulution dan Arbitrase, Jakarta, Ghalia
Indonesia, hlm. 34.
108
termasuk membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi warga desa adat yang
pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal 18B ayat (2)
masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
hidup dan memiliki eksistensi sesuai dengan dinamika masyarakat serta sesuai
dengan nilai-nilai kesatuan dan persatuan Indonesia. Selain itu dalam Konstitusi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di atur pada
“Pasal 28 I ayat (3) disebutkan Identitas budaya dan hak masyarakat tra-disional
“Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya
dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang
yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan
rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Awig-awig juga
mempunyai peranan yang sangat penting, karena merupakan landasan utama dan
pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana yaitu: Parhyangan hubungan yang
harmonis antara manusia (krama desa) dengan Sang Pencipta / Ida Sang Hyang
Widhi Wasa, Pawongan yaitu hubungan yang harmonis antar manusia dengan
manusia (antar karma desa). Palemahan hubungan yang harmonis antara manusia
dengan lingkungan.
Indonesia dapat dan biasanya dilakukan menggunakan dengan dua cara yaitu
wawancara dengan bapak I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar beliau
kekeluargaan melalui mediasi dengan para pihak yang bersengketa dimana pihak-
pihak prajuru desa adat memiliki peran sebagai mediator dan melakukan upaya
110
Wawancara dengan I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar pada hari senin
9 Agustus 2021 Pada Pukul 11.00 Wita.
110
selaku Saba Desa Desa Adat Umanyar beliau menjelaskan bahwa proses
pelaksanaan mediasi yang diakukan oleh Prajuru Desa Adat Umanyar terdiri dari
3) Laporan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan tidak hanya
berupa laporan secara lisan saja, tetapi harus dilengkapi oleh surat yang
dibuat oleh pihak pelapor yang ditujukan kepada Kelian Desa Adat
Umanyar
4) Setelah itu Desa Adat Umanyar membentuk tim (Kerta Desa), untuk
Adat Umanyar.
111
yang dihadiri oleh Prajuru Desa Adat Umanyar, Kerta Desa, saksi-saksi
awig-awig yang berlaku di Desa Adat Umanyar. Bila masih ada waktu
maka pada hari itu juga akan diputuskan, tetapi apabila karena tidak cukup
waktu maka data-data yang ada akan dikaji dahulu oleh Kerta Desa
kembali.
terjadi. Apabila keputusan yang dikeluarkan oleh Kerta Desa tersebut tidak
diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa, maka akan dilakukan
10) Setelah diberikan keputusan yang baru oleh Kerta Desa, apabila masih
tidak diterima oleh para pihak yang bersengketa maka, pihak Prajuru Desa
Pada bagian akhir isi putusan yang dikeluarkan oleh Bendesa Desa Adat
Umanyar yaitu bapak I Gede Putu berisi ketentuan: "Bilamana bagi para pihak
yang bersengketa tidak puas akan Putusan Desa Adat ini dapat dilanjutkan melalui
pengadilan dan dalam pelaksanaan mediasi dihadiri oleh perbekel sebagai saksi
111
Wawancara dengan Bapak I Made Suardana selaku Saba Desa Desa Adat Umanyar
pada hari senin 9 Juni Pukul 12.00 Wita
113
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
yaitu Sengketa Hak Milik Atas Tanah Ayahan Desa dimana Biasanya
para pihak yang bersengketa merasa bahwa tanah yang menjadi obyek
sengketa merupakan tanah miliknya yang dimana tak jarang ada pihak
tanah tersebut contohnya sengketa tanah plaba pura dan Sengketa Hak
Guna Atas Tanah Ayahan Desa Biasanya para pihak yang bersengketa
milik orang lain yang menjadi obyek sengketa tanpa alas hak dan dasar
juga bisa diselesaikan melalui jalur hukum jika para pihak yang
111
114
bersengketa tidak puas dengan hasil mediasi keputusan desa adat dan
5.2 Saran
BUKU
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence). Penerbit Kencana. Jakarta
Achmad, Ali. Chomzah, 2003, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa
Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi
Pemerintah, Prestasi Pustaka, Jakarta
Alo Liliweri, 2005, Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur, LkiS, Yogyakkarta
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana,
Denpasar
B.R. Rijkschroeff, 2001, Sosiologi, Hukum, dan Sosiologi Hukum, Mandar Maju,
Bandung,
B.ter Haar, 1973, Arti Kontras Antara Berpikir Secara Berpartisipasi dan Berpikir
Secara Kritis Serta Peradilan Menurut Hukum Adat, terjemahan oleh LIPI
dan KITLV, Bhratara, Jakarta,
Carl Joachim Friedrich, 2004. “Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan
Nusamedia. Bandung.
Garry Goodpaster, 2009, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Proyek ELIPS, Jakarta
Hans Kelsen, 2011. “General Theory of Law and State”, diterjemahkan oleh
Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung
I Gede Parimartha, 2013, Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali,
Udayana University Press, Denpasar
I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat Dan Desa Dinas di Bali, Pustaka
Bali Post, Denpasar
John Rawls, 2006. “A Theory of Justice, London: Oxford University press”, yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo, Teori Keadilan, , Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Kahar Masyhur, 1985. “Membina Moral dan Akhlak”, Kalam Mulia, Jakarta.
Ketut Sudantra, Wayan P Windia, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Udayana, Denpasar
Komar Kantaatmadja, 2001, Beberapa Hal Tentang Arbitrase, Citra Aditya Bakri,
Bandung
Koti Cantika, I Wayan dan Made Suasthawa Dharma Yudha, 1999 . Filsafat Adat
Bali, Cet . IV . Upada Sastra, Denpasar
L. J. Van Apeldoorn, 1996. “Pengantar Ilmu Hukum”, cetakan kedua puluh enam
Pradnya Paramita, Jakarta.
Made Suwitra, 2010. Eksintensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat
di Bali.Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Majalah Logoz
Publising, Bandung
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana
Pranadamedia Groub, Jakarta, cet-ke 6
Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung
Ridwan HR. 2008, Hukum Administrasi Negara. Jakarta. Raja Grafindo Persada,
Sri Hajati, Sri Winarsi, dkk. 2011, Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Penerbit
: Airlangga University Press. Surabaya
Suasthawa Dharmayuda I Md, 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali
Setelah Berlakunya UUPA. CV Kayu Mas Agung, Denpasar
Suathawa Dharmayudha, 2004, Sekitar Hubungan Antara Desa adat Dengan Desa
Dinas, Universitas Udayana, Denpasar
Sudjito, 2014, Ilmu Hukum Holistik: Studi untuk Memahami Kompleksitas dan
Pengaturan Pengelolaan Irigasi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta
Surojo Wignjodipuro, 2000, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (cetakan ke-
7), CV. Hajimasagung, Jakarta
Syahrizal Abbas, 2011, Mediasi dalam Hukum Syariah Hukum Adat dan Hukum
Nasional, Kencana, Jakarta
Ter Haar, B., 1973, Arti Kontras Antara Berpikir Secara Berpartisipasi dan
Berpikir Secara Kritis Serta Peradilan Menurut Hukum Adat, terjemahan
oleh LIPI dan KITLV, Bhratara, Jakarta
Wayan P. Windia, I Ketut Sudantara, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali Cetakan
Kedua, Swasta Nulus, Denpasar,
Wijaya, HAW, 2003, Otonomi Desa; merupakan otonomi yang asli, bulat dan
utuh, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
JURNAL
I Gusti Agung Ngurah Putra Ambara, SH., M.Kn, 2006, “Eksistensi Tanah-Tanah
Milik Pura Desa Adat Di Kota Denpasar”, Universitas Diponogoro.
Luh Putu Arya Stiti, 2014, “Pemanfaatan Tanah Setra Dalam Perspektif Hukum
Adat”, Universitas Hasanudin
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali