Anda di halaman 1dari 133

TESIS

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH AYAHAN DESA DI


DESA ADAT UMANYAR KABUPATEN KARANGASEM

Oleh:

NAMA : I NYOMAN NGURAH ALIT


NIM : 0195016010

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS DWIJENDRA
DENPASAR
2021
TESIS

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH AYAHAN DESA DI


DESA ADAT UMANYAR KABUPATEN KARANGASEM

Oleh:

NAMA : I NYOMAN NGURAH ALIT


NIM : 0195016010

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS DWIJENDRA
DENPASAR
2021

i
HALAMAN PERSETUJUAN

Tesis Ini Telah Disetujui Oleh Dosen Pembimbing, Pada Hari Kamis Tanggal 19
Agustus 2021

Menyetujui,
Dosen Pembimbing I

(Dr. I Ketut Sudantra, S.H., M.H.)


NIP: 19601003 198503 1 003

Dosen Pembimbing II

(Dr. Nyoman Satia Negara, S.H., M.H)


NIP: 9908002785

Mengetahui,
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Dwijendra

(Dr. A. A, Sagung Ngurah Indradewi, S.H., M.H.)


NIK. 530 707 094

ii
TESIS INI SUDAH DIUJI DAN DISAHKAN
OLEH DOSEN PENGUJI

HARI/TANGGAL : KAMIS, 26 AGUSTUS 2021


TEMPAT : RUANG SIDANG UNIVERSITAS DWIJENDRA
JALAN KAMBOJA NOMOR 17 DENPASAR
JUDUL : PENYELESAIAN SENGKETA TANAH AYAHAN
DESA DI DESA ADAT UMANYAR KABUPATEN
KARANGASEM

NAMA : I Nyoman Ngurah Alit


NIM : 0195016010

KETUA SEKRETARIS

(Dr. I Ketut Sudantra, S.H., M.H.) (Dr. Nyoman Satia Negara, S.H., M.H)
NIP: 19601003 198503 1 003 NIP: 9908002785

ANGGOTA I

(Dr. A. A, Sagung Ngurah Indradewi, S.H., M.H.)


NIK. 530 707 094

ANGGOTA II

(Dr. I Wayan Arka, S.H. M.H.)


NIP: 19600105 198603 1 004

iii
SURAT PERNYATAAN ORIGINAL TESIS
Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : I Nyoman Ngurah Alit

NIM : 0195016010

Fakultas : Hukum

Program Studi : Magister Ilmu Hukum

Universitas : Dwijendra

Judul Tesis : PENYELESAIAN SENGKETA TANAH


AYAHAN DESA DI DESA ADAT
UMANYAR KABUPATEN KARANGASEM

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa penulisan tesis ini berdasarkan


hasil penelitian, pemikiran dan pemaparan asli dari saya sendiri, kecuali berbagai
referensi dan rujukan di dalamnya. Apabila di kemudian hari terdapat
penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena
karya tulis ini dan sanksi lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan dalam

keadaan sehat tanpa paksaan dari pihak manapun.

Denpasar, Juli 2021

I Nyoman Ngurah Alit

iv
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atau

Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka tesis ini dapat diselesaikan dengan baik

karena proposal ini merupakan salah satu syarat guna menyelesaikan studi

magister hukum di fakultas Hukum Universitas Dwijendra Denpasar.ko

Penulis menyadari sepenuhnya karya ilmiah ini tidak mungkin bisa

diselesaikan dengan baik tanpa mendapatkan bimbingan, arahan, bantuan dan

dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan banyak

terima kasih kepada :

1. Bapak Dr .Ir. Gede Sedana, M.sc., MMA selaku Rektor Universitas

Dwijendra dan segenap jajarannya atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan

di Universitas Dwijendra.

2. Ibu Dr. A. A. Sagung Ngurah Indradewi S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Dwijendra.

3. Ibu Sang Ayu Made Ary Kusumawardhani S.H., M.H Wakil Dekan

Fakultas Hukum Universitas Dwijendra Denpasar.

4. Bapak Dr. I Wayan Arka ,S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Dwijendra Denpasar.

5. Bapak I Ketut Sudantra, S.H. M.H., sebagai pembimbing I yang selalu

mengarahkan dengan jelas dan selalu memberi masukan yang positif dan

membimbing dengan sepenuh hati.

v
6. Bapak Dr. Nyoman Satia Negara, S.H., M.H sebagai pembimbing II yang

telah membimbing dan mengarahkan selama proses penyusunan proposal

ini

7. Orang tua serta seluruh anggota keluarga dan semua pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah memberi dukungan,

motivasi, sumbangan pemikiran, bantuan materi maupun non materi

sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan penelitian ini masih banyak

terdapat kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman, oleh

karena itu kritik dan saran sangat diharapkan dan penulis terima dengan lapang

dada demi kesempurnaan tulisan ini, akhir kata penulis haturkan terima kasih.

Denpasar,

Penulis

vi
ABSTRAK
Mengingat pentingnya fungsi tanah bagi masyarakat Bali, maka tidak jarang
pemanfatan tanah adat menimbulkan berbagai permasalahan yang bermuara pada
sengketa tanah adat. Penting sekali diidentifikasi kedudukan hukum dalam penyelesaian
sengketa tanah ayahan desa adat beserta kewenangan penyelesaian sengketa tanah ayahan
desa adat yang terjadi di Kabupaten Karangasem, sehingga berdasarkan latar belakang
tersebut penulis menemukan rumusan masalah yaitu Apa bentuk-bentuk sengketa yang
terjadi berkaitan dengan tanah ayahan desa di desa Adat Umanyar Kabupaten
Karangasem? Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa berkaitan dengan tanah
ayahan desa yang terjadi Desa Adat Umanyar Kabupaten Karangasem?
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah jenis penelitian hukum empiris yang
mana penelitian lapangan menjadi hal utama dalam kegiatan atau proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun pendapat-pendapat hukum
guna menjawab permasalahan hukum yang dihadapi yang tentu saja berfokus pada
perilaku masyarakat hukum (law in action). Dimana dalam menjawab rumusan masalah
dalam penelitian ini menggunakan beberapa teori diantaranya Teori kewenangan, Teori
kepastian hukum, Teori Utilitarianisme, Teori Efektivitas Hukum, dan Teori Keadilan
Bentuk sengketa tanah di desa Adat Umanyar Kabupaten Karangasem yaitu
Sengketa Hak Milik Atas Tanah Ayahan Desa dimana Biasanya para pihak yang
bersengketa merasa bahwa tanah yang menjadi obyek sengketa merupakan tanah
miliknya yang dimana tak jarang ada pihak yang melakukan pengakuan hak milik tanah
tanpa adanya sertifikat tanah tersebut contohnya sengketa tanah plaba pura dan Sengketa
Hak Guna Atas Tanah Ayahan Desa Biasanya para pihak yang bersengketa merasa pihak
lainnya telah telah menguasai dan mengerjakan tanah milik orang lain yang menjadi
obyek sengketa tanpa alas hak dan dasar hukum yang sah contohnya sengketa tanah
perkebunan. Proses penyelesaian sengketa tanah berdasarkan Awig-Awig Di Desa Adat
Umanyar Kabupaten Karangasem adalah berdasarkan pawos 23 ayat (5) awig-awig desa
adat Umanyar dimana Tidak diperkenankan menjual atau mengesahkan kepemilikan desa
jika tidak disetujui oleh masyarakat desa sehingga dalam hal terjadinya sengketa maka
perlu untuk dilakukan upaya muswarah desa dengan prajuru desa menjadi mediator dalam
upaya mediasi untuk menyelesaikan sengketa akan tetapi jika para pihak yang
bersengketa tidak menemukan penyelesaian sengketa dalam musawarah desa tersebut
maka penyelesaian sengketa juga bisa diselesaikan melalui jalur hukum jika para pihak
yang bersengketa tidak puas dengan hasil mediasi keputusan desa adat dan jika para pihak
yang bersengketa memang menginginkannya
Kata Kunci : Sengketa, Tanah Ayahan Desa, Desa Adat

vii
ABSTRACT

Given the importance of the function of land for the Balinese people, it is
not uncommon for the use of customary land to cause various problems that lead
to customary land disputes. It is very important to identify the legal position in the
settlement of customary village father land disputes along with the authority for
resolving customary village father land disputes that occurred in Karangasem
Regency, so that based on this background the author finds the problem
formulation, namely What are the forms of disputes that occur related to village
father land in the village Umanyar custom of Karangasem Regency? How is the
dispute resolution process related to the village father land that occurred in the
Umanyar Traditional Village, Karangasem Regency?
The type of research used is an empirical legal research type in which
field research is the main thing in the activity or process to find the rule of law,
legal principles and legal opinions in order to answer the legal problems faced
which of course focus on the behavior of the legal community (law law). in
action). Where in answering the formulation of the problem in this study, several
theories are used including the theory of authority, the theory of legal certainty,
the theory of Utilitarianism, Theory of Legal Effectiveness, and Theory of Justice.
The form of land disputes in the Umanyar Traditional Village,
Karangasem Regency, namely the Dispute on Ownership of the Land of Ayahan
Desa where usually the disputing parties feel that the land that is the object of the
dispute is their land, which is not uncommon for parties to recognize land
ownership rights without the land certificate. For example, the Plaba Pura land
dispute and the Use Rights Dispute on Ayahan Desa Land. Usually the parties to
the dispute feel that the other party has controlled and worked on the land
belonging to another person which is the object of the dispute without a legal
basis for rights and legal basis, for example plantation land disputes. The process
of resolving land disputes based on Awig-Awig in the Umanyar Traditional
Village, Karangasem Regency is based on Pawos 23 paragraph (5) awig-awig in
the Umanyar traditional village where it is not allowed to sell or ratify village
ownership if it is not approved by the village community so that in the event of a
dispute it is necessary to village deliberation efforts are carried out with village
officials as mediators in mediation efforts to resolve disputes, but if the disputing
parties do not find a dispute resolution in the village deliberation, dispute
resolution can also be resolved through legal channels if the disputing parties are
not satisfied with the results of the mediation decision. customary village and if
the disputing parties want it
Keywords: Dispute, village land , indigenous villages

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN

HALAMAN SAMPUL DALAM..................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iii

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................... iv

KATA PENGANTAR ...................................................................................... v

ABSTRAK ........................................................................................................ vii

ABSTRACT .................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 10

1.3 Ruang Lingkup Masalah ............................................................. 10

1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................... 11

1.4.1 Tujuan Umum ................................................................... 11

1.4.2 Tujuan Khusus ................................................................... 11

1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................... 11

1.5.1 Manfaat Teoritis .............................................................. 11

1.5.2 Manfaat Praktis ................................................................ 12

1.6 Orisinalitas Penelitian ................................................................... 12

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir .................................. 18

1.7.1 Landasan Teoritis ............................................................ 22

ix
1.7.2 Kerangka Berpikir ........................................................... 39

1.8 Hipotesis ...................................................................................... 40

1.9 Metode Penelitian ...................................................................... 40

1.9.1 Jenis Penelitian ............................................................... 40

1.9.2 Sifat Penelitian ................................................................ 41

1.9.3 Data dan Sumber Data ................................................... 41

1.9.4 Teknik Pengumpulan Data ............................................. 41

1.9.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ............................ 42

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN

BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA

2.1 Gambaran Umum Desa Adat Umayar ....................................... 43

2.1.1 Letak dan Luas Wilayah Desa Adat Umayar .................. 43

2.1.2 Sistem Keanggotaan Desa Adat Umanyar ..................... 44

2.1.3 Sistem Pemerintahan Desa Adat Umanyar .................... 46

2.1.4 Awig-awig Desa Adat Umayar ...................................... 55

2.2 Gambaran Umum mengenai Bentuk-bentuk Penyelesaian

Sengketa.................................................................................. 61

2.2.1 Pengertrian sengketa ....................................................... 61

2.2.2 Betuk-bentuk penyelesaian sengketa ............................. 67

BAB III BENTUK-BENTUK SENGKETA TANAH AYAHAN DESA

DI DESA ADAT UMANYAR KABUPATEN

KARANGASEM

x
3.1 Kasus-kasus Sengketa Yang Mneyangkut Tanah Ayahan

Desa di Desa Adat Umanyar .................................................. 80

3.1.1 Kasus Sengketa Yang Menyangkut Tanah Ayahan

Desa di Desa Adat Umanyar .......................................... 87

3.2 Analiais mengenai Bentuk Sengketa Tanah Di Desa Adat

Umanyar Kabupaten Karangasem .......................................... 91

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA TANAH AYAHAN DESA DI

DESA ADAT UMANYAR

4.1 Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Adat Bali .............. 97

4.2 Penyelesaian Sengketa Menurut Awig-awig Desa Umanya .. 101

4.3 Penyelesaisan Sengketa Tanah Yang Berkaitan dengan

tanah Ayahan Desa di Desa Adat Umanyar. .......................... 104

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ................................................................................. 111

5.2 Saran............................................................................................ 112

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN

xi
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia Nomor 276/KEP-

19.2/X/2017 tentang Penunjukan Desa Adat di Provinsi Bali Sebagai Subyek Hak

Pemilikan Bersama (Komunal) Atas Tanah (selanjutnya disebut Kepmen.

ATR.Ka.BPN Tahun 2017), maka kedudukan tanah-tanah milik desa adat menjadi

jelas. Berdasarkan Kepmen ATR/Ka.BPN di atas, desa adat dapat menjadi subyek

hak milik atas tanah. Dengan demikian, kedudukan tamnah milik desa adat adalah

berstatus sebagai Hak Milik Bersama (Hak Komunal) dari desa adat. Walaupun

demikian, implementasi Kepmen. ATR/Ka.BPN tersebut masih perlu dievaluasi.

Perlu diteliti lagi mengenai apakah norma dalam Kepmen ATR/Ka, BPN Tahun

2017 tersebut sudah diimplementasikan dalam pengaturan tanah adat di Bali, baik

dalam pengaturan oleh Pemerintah melalui Peraturan Daerah atau pun dalam

pengaturan oleh desa adat melalui awig-awig desa adat dan/atau pararem.

Implementasi norma dalam Kepmen. ATR/Ka BPN Tahun 2017 itu dalam

pengaturan di tingkat lokal (peraturan daerah dan/atau awig-awig desa adat sangat

penting di evaluasi karena kedudukan dan fungsi tanah, khususnya tanah adat itu

di Bali sangatlah penting. Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang

sangat mendasar, karena masyarakat hidup dan berkembang di atas tanah.

Hubungan manusia dengan tanah merupakan hubungan magis religius yang

1
2

sedikit banyak mengandung unsur kekuatan gaib (mistik) sebagai suatu

perwujudan manusia dengan alam sekitarnya. Semua makhluk hidup memerlukan

tanah, karena tanah dapat menumbuhkan berbagai macam tanaman yang sangat

dibutuhkan oleh manusia ataupun makhluk hidup lainnya.

Dalam arti hukum, tanah mempunyai peranan yang sangat penting, karena

merupakan sumber kehidupan dan penghidupan manusia itu sendiri, semua

kegiatan yang dilakukan manusia, selalu dan pasti memerlukan tanah sebagai

penopang kegiatan dalam hidupnya.1 Menurut Herma Yulis, tanah dalam

kehidupan manusia mempunyai arti penting karena berfungsi ganda, yaitu sebagai

social asset dan capital asset.2 Sebagai social asset tanah merupakan sarana

pengikat kesatuan sosial di kalangan masyarakat Indonesia untuk hidup dan

kehidupan, sedangkan sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam

pembangunan. Oleh karena itu tanah tumbuh sebagai benda ekonomi yang sangat

penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan objek spekulasi.

Menurut Surojo Wignjodipuro, ada dua hal yang menyebabkan tanah itu

memiliki kedudukan yang sangat penting yaitu, pertama, karena sifatnya, yakni

merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meskipun mengalami keadaan

bagaimanapun juga masih tetap dalam keadaannya, bahkan kadang malah menjadi

lebih menguntungkan. Kedua, karena fakta yaitu, merupakan suatu kenyataan,

bahwa tanah itu menjadi tempat tinggal persekutuan, memberikan penghidupan

kepada persekutuan, sebagai tempat para warga persekutuan yang meninggal

1
Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan kedua, Pradnya
Paramita, Jakarta, hlm. 108.
2
Rubaie, H. Achmad, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,
Cetakan Pertama, Kerja sama Pusderankum dan Bayumedia, Malang, hlm. 1.
3

dunia dikebumikan, dan sebagai tempat tinggal dayang-dayang pelindung

persekutuan dan roh para leluhur. 3

Adanya pertalian hukum (rechtsbetrekking) antara umat manusia dan

tanah dalam Hukum Adat didasarkan pada pandangan alam pikiran serba

berpasangan. Berdasarkan pandangan ini manusia tidak dapat lepas dari tanah

oleh karena tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat,

memberikan kehidupan, tempat warga yang meninggal dikuburkan dan dipercaya

merupakan tempat tinggal dewa-dewa pelindung dan tempat roh leluhur

bersemayam.4

Kehidupan masyarakat Bali sangat religius, dengan pengaruh agama

Hindu yang sangat kuat terhadap kehidupan masyarakat Bali menyebabkan

hukum adat Bali dapat bersumber dari adat (tradisi, kebiasaan-kebiasaan

masyarakat) dan dapat pula bersumber dari ajaran agama Hindu. Tujuan hukum

dalam konsep masyarakat Bali terlihat dari adanya suatu konsep keharmonisan

hubungan manusia dengan sesamanya, dengan Tuhan, dan dengan lingkungannya.

Konsep inilah yang dalam masyarakat Bali kemudian dibingkai dalam filosofi tri

hita karana, yang menghendaki adanya keseimbangan hubungan antara manusia

dengan sesamanya (pawongan), keseimbangan hubungan antara manusia dengan

3
Surojo Wignjodipuro, 2000, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (cetakan ke-7),
CV. Hajimasagung, Jakarta, hlm. 197.
4
Ter Haar, B., 1973, Arti Kontras Antara Berpikir Secara Berpartisipasi dan Berpikir
Secara Kritis Serta Peradilan Menurut Hukum Adat, terjemahan oleh LIPI dan KITLV, Bhratara,
Jakarta, hlm. 10
4

alam lingkungannya (palemahan), dan keseimbangan hubungan antara manusia

dengan Tuhan Sang Maha Pencipta (parahyangan).5

Pengakuan hukum adat dalam Undang-Undang Pokok Agraria dapat

dicermati sejak awal, yaitu melalui Konsiderans dinyatakan , bahwa perlu adanya

hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah. Lebih

lanjut dalam Pasal 5 Undang-Undang Pokok Agraria ditemukan adanya

pernyataan, bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa

ialah hukum adat.6

Masyarakat Bali mengenal adanya dua bentuk desa, yaitu desa dinas dan

desa adat (dulu disebut Desa Adat). Desa dinas didefinisikan sebagai sebuah

kelompok masyarakat yang secara struktural dan teritorial berkaitan dengan tugas-

tugas pemerintah pusat. 7 Sedangkan desa adat diartikan sebagai suatu kelompok

masyarakat yang menjalankan aturan pemerintahannya secara otonom,

demokratis, mencakup wilayah tertentu (hak ulayat) yang jelas batas-batasnya,

memiliki pemimpin, peraturan (awig-awig) untuk warganya, memiliki kekayaan

dan secara hirarkis tidak berada di bawah satu kekuasaan yang lebih tinggi. 8

Awig-awig adalah aturan yang dibuat oleh krama Desa Adat dan atau

banjar pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita

Karana sesuai dengan desa mawacara dan dharma agama di Desa Adat/banjar

pakraman masing-masing.

5
Wayan P Windia, Ketut Sudantra, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Udayana, Denpasar, hlm.11
6
Made Suwitra, 2010. Eksintensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat di
Bali.Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Majalah Logoz Publising, Bandung, hlm. 1
7
I Gede Parimartha, 2013, Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Udayana
University Press, Denpasar, hlm. 24
8
Ibid, hlm. 44
5

Keseluruhan dari proses lahir, hidup dan mati dalam masyarakat Bali yang

beragama Hindu, diatur dalam bentuk aturan-aturan khusus yang berlaku bagi

suatu komunitas masyarakat dalam sebuahdesa adat. Aturan-aturan tersebut

dikenal dengan sebutan awig-awig desa adat. Awig-awig dibuat secara bersama-

sama oleh masyarakat, sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam

masyarakat desa bersangkutan, dengan bersumberkan pada ajaran Agama Hindu,

sesuai dengan filsafat Tri Hita karana.

Menurut I Gusti Ketut Kaler, Tri Hita Karana berarti tiga buah unsur yang

merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan, yang

terdiri dari unsur (atman), unsur tenaga (prana), dan unsur badan wadag (sarira).

Dalam persepsi filosofi hukum adat Bali, ketiga sumber kesejahteraan yang

terkandung dalam konsep Tri Hita Karana, dituangkan kedalam tiga pola

hubungan, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan,

hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia, dan hubungan

harmonis antara manusia dengan alam. 9

Menurut Made Suasthawa Dharmayuda, tanah desa atau druwe desa di

Bali dapat dibedakan menjadi tanah desa atau druwe desa dalam artian luas dan

dalam artian sempit.10 Dalam artian yang luastanah adat ini meliputi tanah-tanah:

1) Tanah Desa meliputi:

a. Tanah pasar, yaitu tanah yang dipergunakan untuk pasar;

9
Koti Cantika, I Wayan dan Made Suasthawa Dharma Yudha, 1999 . Filsafat Adat Bali,
Cet . IV . Upada Sastra, Denpasar, hlm. 8
10
Suasthawa Dharmayuda I Md, 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali Setelah
Berlakunya UUPA. CV Kayu Mas Agung Denpasar. hlm. 136
6

b. Tanah lapang, yaitu tanah yang dipakai untuk lapangan maupun

kegiatan lainnya;

c. Tanah kuburan/setra, yaitu tanah yang dipergunakan untuk

kuburan atau menguburkan atau membakar mayat;

d. Tanah bukti, yaitu tanah-tanah pertanian (sawah, ladang) yang

diberikan pada perangkat pejabat atau pengurus desa. Tanah

bukti ini mirip dengan tanah bengkok di Jawa.

2) Tanah Laba Pura adalah tanah-tanah yang dulunya milik desa (dikuasai

oleh desa) yang khusus dipergunakan untuk kepentingan pura. Tanah

Laba Pura atau Pelaba Pura ini ada dua macam yaitu:

a. Tanah yang khusus untuk tempat pembangunan pura, dan

b. Tanah yang diperuntukkan guna pembiayaan keperluan Pura,

misalnya untuk keperluan biaya rutin dan biaya perbaikan pura.

3) Tanah Pekarangan Desa (PKD) adalah merupakan tanah yang dikuasai

oleh desa yang diberikan kepada warga desa (krama desa) untuk

mendirikan perumahan yang lazimnya dengan ukuran luas tertentu

yang hampir sama bagi setiap keluarga. Kewajiban yang melekat lebih

dikenal dengan "ayahan" pada krama desa yang menempati tanah

tersebut adalah adanya beban berupa tenaga maupun materi yang

diwajibkan oleh Desa Adat.

4) Tanah Ayahan Desa (AyDs) adalah merupakan tanah-tanah yang

dikuasai oleh desa yang penggarapannya diserahkan kepada masing-

masing krama desa dengan hak untuk menikmati dengan kewajiban


7

memberikan "ayahan" berupa tenaga maupun materi kepada Desa

Adat.

Tanah Ayahan Desa Adat atau selanjutnya disebut sebagai AYDS, terdiri

dari kata ayahan berasal dari kata ngayahyang berarti melakukan pekerjaan tanpa

upah, ngayah merupakan kewajiaban sosial masyarakat bali yang dilaksanakan

secara gotong royong dengan hati yang tulus ikhlas baik di banjar maupun

ditempat suci. AYDS merupakan tanah yang diberikan pemerintah kepada desa

adat yang kemudian tanah tersebut diberikan kepada warga setempat untuk

dikelola bersama-sama. Setiap warga yang menempati tanah AYDS tidak dapat

menguasai tanah itu sebagai hak milik melainkan hanya sebatas hak pakai saja.

Sehingga tidak dapat dilakukan penyertifikatan bagi AYDS karena bukan hak

milik perorangan oleh karena itu AYDS tidak dapat di jual belikan kepada orang

lain karena AYDS dianggap sebagai tanah milik desa adat. Untuk tanah adat yang

dikuasai oleh perseorangan (krama desa) yaitu tanah pekarangan desa (PKD) dan

tanah ayahan desa (AyDs) secara bersama-sama sering disebut "tanah ayah".

Untuk tanah ayah ini ikatan adat tetap ada yakni berupa kewajiban untuk desa

ataupun pura. Kewajiban ini sering disebut dengan istilah "ayahan". Ayahan inilah

yang mengekang atau mengikat tanah ayah tersebut, sehingga menjadi hak milik

terkekang. Adapun tujuan dari pengekangan ini pada hakekatnya membatasi

kebebasan usaha atau kebebasan gerak para anggota Desa Adat secara

perseorangan. Pengekangan ini dilakukan demi kepentingan Desa Adat karena


8

tanah ayah ini merupakan Beschikkingssgebied (wilayah kekuasaan) dari Desa

Adat.11

Desa Adat sebagai persekutuan hukum adat, yang mendasarkan satu

kesatuan territorialnya mempunyai wewenang dan kewajiban untuk menguasai,

mengatur dan mengurus semua tanah milik Desa Adat yang berada dalam

lingkungan wilayah Desa Adat tersebut sebagai hak ulayat, baik yang berupa

tanah desa, tanah laba desa, tanah ayahan desa, tanah karang desa. Tanah-tanah

tersebut merupakan tanah yang terikat pada Desa Adat.

Tanah-tanah adat terikat pada Desa Adat karena tanah Desa Adat memiliki

karakter umum, adalah sebagai berikut:

1. Masyarakat dan anggota-anggotanya dapat menggunakan tanah

sebagai dasar bagi kehidupannya.

2. Orang bukan warga masyarakat hukum adat tidak dapat menggunakan

hak itu, kecuali mendapatkan ijin dari masyarakat hukum adat yang

bersangkutan.

3. Orang lain yang menggunakan hak itu harus membayar sesuatu kepada

masyarakat hukum adat.

4. Masyarakat hukum adat bertanggungjawab terhadap segala perbuatan

hukum yang terjadi di atas tanah tersebut.

5. Masyarakat hukum adat tidak boleh mengasingkan atau

memindahtangankan kepada siapapun untuk selama-lamanya.

11
Ibid, hlm. 136
9

6. Masyarakat hukum adat dapat mencampuri terhadap penggunaan tanah

yang telah digarap oleh anggotanya, agar dimanfaatkan secara wajar

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tanah adat memiliki fungsi yang sangat penting bagi masyarakat adat di

Bali. Menurut Suasthawa, tanah adat di Bali memiliki 3 (tiga) fungsi, yaitu: fungsi

ekonomis, fungsi sosial dan fungsi keagamaan. Fungsi ekonomis maksudnya

adalah bahwa tanah adat itu diperuntukkan untuk menunjang kehidupan ekonomis

atau kerumah tanggaan dari warga desa adat. Tanah adat mempunyai fungsi sosial

maksudnya adalah bahwa tanah tersebut dalam pemanfatannya tidak boleh

merugikan kepentingan umum. Fungsi keagamaan maksudnya adalah bahwa

tanah adat tersebut berkaitan dengan ayahan (kewajiban) keagamaan dari

pemegang tanah adat tersebut kepada desa adat, terutrama ayahan berkaitan

dengan pura atau kahyangan desa12 .

Mengingat pentingnya fungsi tanah bagi masyarakat Bali, maka tidak

jarang pemanfatan tanah adat menimbulkan berbagai permasalahan yang

bermuara pada sengketa tanah adat. Penting sekali diidentifikasi permasalahan-

permasalahan yang terjadi berkaitan dengan pemanfaatan tanah adat, khususnya di

kabupaten Karangasem. Berkaitan dengan permasalahan-permasalahan yang

berujung pada sengkata tanah adat, maka sangat penting pula diteliti pola-pola

penyelesaian sengketa tanah adat yang terjadi di Kabupaten Karangasem.

Penelitian dilakukan dengan studi kasus di Desa Adat Umanyar Kabupaten

Karangasem. Aloasan pemilihan kasus di Desa Adat Umanyar karena di desa adat

12
Ibid, hlm. 68.
10

ini ditemukan kasus sengketa tanah adat, dalam hal ini sengketa yang berkaitan

dengan tanah ayahan desa. Identifikasi permasalahan dan identifikasi pola-pola

penyelesaian sengketa itu penting diteliti untuk dijadikan pegangan dalam

pengaturan pemanfatan tanah adat supaya permasalahan-permasalahan serupa

dapat dihindari sebelum terjadi ataupun dapat diselesaikan dengan baik apabila

sudah terjadi permasalahan.

Berdasarkan karakter umum tanah adat tersebut, sangat jelas ditentukan

bahwa orang yang bukan warga masyarakat adat tidak dapat menggunakan hak

atas tanah tersebut, kecuali mendapat ijin dari masyarakat hukum adat tersebut,

dan orang lain yang menggunakan hak tersebut harus membayar sesuatu kepada

masyarakat hukum adat. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik

melakukan penelitian dengan judul: “Penyelesaian Sengketa Tanah Ayahan

Desa Di Desa Adat Umanyar Kabupaten Karangasem”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang diuraikan diatas, maka

penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa bentuk-bentuk sengketa yang terjadi berkaitan dengan tanah

ayahan desa di desa Adat Umanyar Kabupaten Karangasem?

2. Bagaimanakah proses penyelesaian sengketa berkaitan dengan tanah

ayahan desa yang terjadi Desa Adat Umanyar Kabupaten

Karangasem?
11

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Mengingat begitu luasnya permasalahan yang dapat dijelaskan maka

penulis memandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah

yang akan dibahas agar tidak melebar dan bahkan lepas dari pembahasan

permasalahan yang sebenarnya. Ruang Lingkup permasalahan dari penelitian ini

berfokus pada bentuk sengketa tanah dan proses penyelesaian sengketa tanah

berdasarkan Awig-Awig di desa Adat Umanyar Desa Bhuana Giri Kabupaten

Karangasem.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Secara umum dapat dikemukakan bahwa tujuan penelitian ini adalah

untuk mengkaji secara ilmiah mengenai pengaturan dan penyelesaian sengketa

tanah adat di Kabupaten Karangasem.

1.4.2 Tujuan Khusus

Setiap penelitian memiliki tujuan khusus. Penelitian ini memiliki tujuan

khusus, sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk-bentuk sengketa yang

berkaitan dengan tanah ayahan desa di desa Adat Umanyar Kabupaten

Karangasem.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis proses penyelesaian sengketa

yang berkaitan dengan tanah ayahan desa yang terjadi di desa Adat

Umanyar Kabupaten Karangasem.


12

1.5 Manfaat penelitian

1.5.1 Manfaat teoritis

1. Penelitian ini diharapkan untuk dapat memberikan manfaat dalam ilmu

pengetahuan perkembangan ilmu hukum.

2. Sebagai masukan untuk menambah ilmu pengetahuan bagi para

pembaca atau masyarakat pada umumnya dan penulis pada khususnya.

1.5.2 Manfaat praktis

1. Memberikan jawaban terhadap rumusan masalah melalui penelitian

yang akan dilakukan.

2. Memberikan gambaran dan penjelasan mengenai bentuk sengketa

tanah di desa Adat Umanyar Kabupaten Karangasem.

3. Memberikan dan menjabarkan proses penyelesaian sengketa tanah

berdasarkan Awig-Awig di desa Adat Umanyar Kabupaten

Karangasem.

4. Memberikan dan menjabarkan pengaturan terhadap peneyelesaian

sengketa tanah adat kepada pemerintah.

1.6 Orisinalitas Penelitian.

Demi menjamin keaslian tulisan dalam penelitian tesis ini, maka perlu

penulis lampirkan beberapa judul-judul penelitian ilmiah atau tesis yang dilakukan

penulis lainnya yang berkaitan atau mendekati dari tesis yang penulis angkat. Dari
13

hasil penelusuran Analisis Pemanfaatan Tanah Ayahan Desa Berdasarkan Dengan

Awig-awig Desa di Kabupaten Karangasem.

Adapun karya ilmiah atau tesis tersebut antara lain:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Luh Putu Arya Stiti, dengan judul

“Pemanfaatan Tanah Setra Dalam Perspektif Hukum Adat” dengan

rumusan masalah:

1) Bagaimanakah prosedur pemanfaatan tanah setra oleh umat non Hindu

ditinjau dari awig-awig?

2) Bagaimana implikasi konflik hukum terhadap pemanfaatan tanah setra

desa adat?

Penelitian diatas membahas tentang bagaimana Pemanfaatan Tanah Setra

Dalam Perspektif Hukum Adat, jenis penelitian diatas merupakan penelitian

empiris, yang memuat 2 kesimpulan untuk menjawab 2 rumusan masalah tersebut

dimana kesimpulan pertama digunakan untuk menjawab rumusan masalah

pertama yaitu bahwa prosedur pemanfaatan tanah setra oleh umat non Hindu

ditinjau dari awig-awig adalah diawali dari warga tersebut tinggal di wilayah

Desa Adat dan menjadi warga Desa Adat tersebut, beragama Hindu, umat non

Hindu diawali dengan menghindukan dulu (Sudi Widani), baru kemudian

dilanjutkan upakara/upacara sesuai dengan awig-awigDesa Adat yang

bersangkutan. Adapun implikasi konflik hukum terhadap pemanfaatan tanah setra

serta Desa Adat, memang sering terjadi tapi masih di dalam batas wajar, pada

umumnya konflik terhadap pemanfaatan tanah setra Desa Adat yang terjadi

disebabkan karena beberapa hal seperti tidak ikut membanjar, kurang aktif
14

dibanjarnya, sudah kesepekang (kanorahang) dan ini terjadi terhadap umat Hindu,

sedangkan terhadap umat non Hindu belum pernah terjadi.

Kesimpulan kedua digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua

dimana Impilikasi konflik tersebut telah ada jalan keluarnya seperti terhadap

krama tersebut dikenai penanjung batu sejenis sanksi adat yang ringan tanpa

memberati warga/krama terlalu berat, seperti dikenai biaya lebih dari krama yang

lain berupa uang rupiah biasa atau uang kepeng dan lain-lain, sedangkan implikasi

kedua yaitu dengan memanfaatan setra pengalu yang ada di desa adat

berdekatan.13

2. Penelitian yang dilakukan oleh I Gusti Agung Ngurah Putra Ambara, SH.,

M.Kn. dengan judul “Eksistensi Tanah-Tanah Milik Pura Desa Adat Di

Kota Denpasar” dengan rumusan masalah :

1) Bagaimanakah eksistensi dari tanah-tanah milik pura di Desa Adat di

Kota Denpasar pada saat ini?

2) Upaya-upaya apa yang dilakukan para pengurus dari Desa Adat untuk

menjaga eksistensi tanah milik pura (tanah pelaba pura)?

Penelitian diatas membahas tentang bagaimana Eksistensi Tanah-

Tanah Milik Pura Desa Adat Di Kota Denpasar, jenis penelitian atau tesis diatas

adalah penelitian empiris, yang memuat 2 kesimpulan untuk menjawab 2 rumusan

masalah tersebut dimana kesimpulan pertama untuk menjawab rumusan masalah

pertama yaitu Eksistensi dari Tanah-tanah milik pura pada saat ini sudah memiliki

dasar hukum yang jelas yaitu dengan adanya Surat Keputusan Menteri Dalam

13
Luh Putu Arya Stiti, 2014, “Pemanfaatan Tanah Setra Dalam Perspektif Hukum Adat”,
Universitas Hasanudin
15

Negeri RI SK/556/DJA/1986 Tentang Penunjukan Pura Sebagai Badan Hukum

Keagamaan Yang Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah, sehingga dengan

adanya keputusan tersebut pura sudah merupakan subyek hak milik atas tanah dan

dapat memiliki tanah dengan status hak milik. Saat ini tanah-tanah milik pura

sudah dapat didaftarkan dengan atas nama pura yang bersangkutan sendiri,

sehingga sekarang ini tanah-tanah milik pura sudah mendapat kepastian dan

perlindungan hukum. Sebelum berlakunya UUPA maupun setelah adanya UUPA

tanah milik pura merupakan tanah hak ulayat, karena hanya merupakan hak ulayat

maka terhadap tanah milik pura tersebut tidak memiliki bukti tertulis.

Kesimpulan kedua digunakan untuk menjawab rumusan masalah

kedua dimana .Upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga eksistensi dari tanah-

tanah milik pura tersebut yaitu para prajuru dari masing-masing Desa Adat sudah

melalukan usaha-usaha untuk memelihara dan menjaga tanah milik pura tersebut,

usaha-usaha tersebut adalah para pengurus pura mulai mendata tanah-tanah yang

dimilik oleh pura kemudian mendaftarkan tanah tersebut dengan atas nama pura

pada Kantor Pertanahan sehingga tanah milik pura tersebut memiliki jaminan

kepastian dan perlindungan hukum, dan untuk tanah-tanah yang tidak dapat

ditanami lagi karena di sekitar tanah tersebut sudah menjadi areal perumahan

maka tanah tersebut di kontrakan atau dijual yang kemudian dicari tanah

penggantinya. Pemerintah Daerah Provinsi Bali juga sudah ikut mendukung

eksistensi dari tanah milik pura, yaitu dengan mengadakan program pendaftaran

tanah-tanah milik pura yang dilakukan setiap tahun, program ini dimulai pada
16

tahun 2001 dan penjualan terhadap tanah milik pura juga harus memenuhi

persyaratan-persyaran tertentu.14

3. Penelitian yang dilakukan oleh Budi Kresna Aryawan, SH. M.Kn. dengan

judul “Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran Awig-Awig Desa Adat

Oleh Krama Desa Di Desa Adat Mengwi Kecamatan Mengwi Kabupaten

Badung Propinsi Bali” dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1) Bagaimana penerapan sanksi awig-awig Desa Adat Mengwi terhadap

pelanggaran yang dilakukan oleh Krama Desa Adat Mengwi?

2) Bagaimanakah hambatan-hambatnnya dalam penerapan sanksi awig-

awig Desa Adat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Krama

Desa Adat Mengwi?

Penelitian diatas membahas tentang bagaimana Penerapan Sanksi

Terhadap Pelanggaran Awig-Awig Desa Adat Oleh Krama Desa Di Desa Adat

Mengwi Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Propinsi Bali, jenis penelitian

diatas adalah penelitian empiris, yang memuat 2 kesimpulan untuk menjawab 2

rumusan masalah tersebut dimana kesimpulan pertama untuk menjawab rumusan

masalah pertama yaitu Penerapan sanski Awig-awig Desa Adat terhadap

pelanggaran yang dilakukakan oleh Krama Desa (Warga Desa) di Desa Adat

Mengwi, diterapkan atau dilaksanakan sesuai dengan apa yang tercantum dan

termuat di dalam awig-awig (peraturan) desa, hal mana pelanggaran yang

dilakukakan oleh krama desa disesuaikan dengan berat dan ringannya pelanggaran

yang dilakukan, serta sanksi yang akan diterima ada yang berupa denda, baik itu

14
I Gusti Agung Ngurah Putra Ambara, SH., M.Kn, 2006, “Eksistensi Tanah-Tanah Milik
Pura Desa Adat Di Kota Denpasar”, Universitas Diponogoro
17

denda berupa fisik atau tenaga dan denda arta kekayaan berupa pembayaran uang.

Penerapan terhadap pelanggaran yang dilakukakan oleh krama desa dilakukan

melalui suatu sangkep atau rapat desa, dimana semua masyarakat desa dan prajuru

desa (prangkat desa) hadir untuk mengadakan suatu musyawarah guna

menentukan sanksi yang akan diberikan kepada krama desa yang melanggar awig-

awig desa tersebut. Didalam menjatuhkan sanksi terhadap krama desa yang

melanggar dilandasi asas keadilan dan kekeluargaan baik yang bersifat kriminal

dan non kriminal, diselesaikan melalui kelembagaan Tradisional (Hakim

Perdamaian Desa) melalui sangkepan (rapat) desa dengan selalu menempuh upaya

perdamaian untuk mencerminkan rasa keadilan.

Kesimpulan kedua digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua

dimana Penerapan sanski Awig-awig Desa Adat terhadap pelanggaran yang

dilakukakan oleh Krama Desa (Warga Desa) di Desa Adat Mengwi, diterapkan

atau dilaksanakan sesuai dengan apa yang tercantum dan termuat di dalam awig-

awig (peraturan) desa, hal mana pelanggaran yang dilakukakan oleh krama desa

disesuaikan dengan berat dan ringannya pelanggaran yang dilakukan, serta sanksi

yang akan diterima ada yang berupa denda, baik itu denda berupa fisik atau tenaga

dan denda arta kekayaan berupa pembayaran uang. Penerapan terhadap

pelanggaran yang dilakukakan oleh krama desa dilakukan melalui suatu sangkep

atau rapat desa, dimana semua masyarakat desa dan prajuru desa (prangkat desa)

hadir untuk mengadakan suatu musyawarah guna menentukan sanksi yang akan

diberikan kepada krama desa yang melanggar awig-awig desa tersebut. Didalam

menjatuhkan sanksi terhadap krama desa yang melanggar dilandasi asas keadilan
18

dan kekeluargaan baik yang bersifat kriminal dan non kriminal, diselesaikan

melalui kelembagaan Tradisional (Hakim Perdamaian Desa) melalui sangkepan

(rapat) desa dengan selalu menempuh upaya perdamaian untuk mencerminkan

rasa keadilan.15

Ketiga penelitian dan tulisan tersebut diatas berbeda dengan penelitian

yang penulis lakukan, dimana penelitian yang penulis teliti mengangkat pokok

permasalahan tentang Analisis Pemanfaatan Tanah Ayahan Desa Berdasarkan

Dengan Awig-awig Desa di Kabupaten Karangasem.

Berdasarkan referensi ketiga penelitian diatas yang mana berbeda dengan

apa yang penulis teliti, maka dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa

penelitian yang penullis lakukan dan sepanjang pengetahuan penulis, penelitian

yang berkaitan dengan Analisis Pemanfaatan Tanah Ayahan Desa Berdasarkan

Dengan Awig-awig Desa di Kabupaten Karangasem.

1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir

1. Pengertian Sengketa

Menurut Nurnaningsih Amriani, sengketa merupakan perselisihan yang

terjadi antara para pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi yang

dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut. 16 Sedangkan menurut

Takdir Rahmadi, sengketa adalah situasi dan kondisi dimana orang-orang saling

mengalami perselisihan yang bersifat factual maupun perselisihan menurut

15
Budi Kresna Aryawan, SH. M.Kn, 2006, “Penerapan Sanksi Terhadap Pelanggaran
Awig-Awig Desa Adat Oleh Krama Desa Di Desa Adat Mengwi Kecamatan Mengwi Kabupaten
Badung Propinsi Bali”, Universitas Diponogoro
16
Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan. Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 13.
19

persepsi mereka saja.17 Dengan demikian ada tiga unsur pokok dalam suatu

sengketa Ketiga unsur pokok tersebut adalah:

1) Adanya dua atau lebih pihak yang terlibat;

2) Adanya perbedaan kehendak/ pendapat/kepentingan

3) Adanya ketidaksediaan dari salah satu pihak untuk menanggapi

secara positip atau melakukan kehendak (prestasi) yang diinginkan

oleh pihak lainnya (wanprestasi). 18

Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor

tersebut dapat digolongkan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

internal berkaitan dengan kepentingan dan karakter dari para pihak yang

bersengketa, Faktor internal berkaitan dengan internal individu atau pihak-pihak

yang bersengketa yang berupa kepentingan atau kebutuhan dari individu atau

pihak yang bersangkutan yang diperlukan pemenuhannya. Secara individual suatu

sengketa dapat terjadi karena adanya kebutuhan-kebutuhan dari individu yang

dirasa perlu untuk dipenuhi namun di sisi lainnya upaya untuk memenuhi

kebutuhannya itu berbenturan dengan kebutuhan individu yang lainnya. Demikian

pulalah halnya dengan kelompok individu sebagai pihak yang bersengketa yang

memiliki kepentingan tertentu yang berhadapan dengan kepentingan dari

kelompok individu lainnya, di mana masing-masing pihak berebut untuk

pemenuhannya.

17
Takdir Rahmadi. 2017. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.
Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. hal. 1.
18
Komar Kantaatmadja, 2001, Beberapa Hal Tentang Arbitrase, Bandung, Citra Aditya
Bakri, hlm. 3.
20

Faktor eksternal berkaitan dengan komponen-konponen atau unsur-unsur

yang ada disekitar para pihak yang bersangkutan. Penyebab konflik yang bersifat

eksternal antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Owens, R.G. adalah karena

adanya aturan-aturan dan prosedur baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang

diberlakukan secara kaku dan keras.19 Penerapan aturan dan prosedur secara kaku

dan keras menyebabkan seseorang tidak dapat bebas bergerak ataupun bertindak,

dan sebagai akibatnya aturan atau prosedur tersebut merupakan satu penghalang.

Faktor eksternal lainnya dapat pula berupa kebijakan yang diambil oleh

kekuasaan tertentu yang eksesnya menyentuh kepentingan dari kelompok-

kelompok masyarakat yang pada akhirnya melahirkan sengketa.

2. Pengertian Tanah

Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat penting dalam

kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan dan kelangsungan

hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu maupun dampak bagi

orang lain. Didalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang dimaksud dengan tanah adalah

permukaan bumi. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa “Atas dasar hak menguasai

dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-

macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan

kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun bersama-sama dengan

orang-orang lain serta badan-badan hukum”.

19
Wahyudi, 2008, Manajemen Konflik : Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner,
Alfabeta Bandung, Cet.Ke 3, h. 35.
21

3. Pengertian Desa Adat

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 Tentang Desa, yang menentukan bahwa: Desa adalah desa dan desa adat

atau yang disebut dengan nama lain, yang selanjutnya disebut Desa, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan prakarsa mayarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang

diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Sistem pemerintahan dalam ketatanegaraan Indonesia mengakui eksistensi

desa adat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyebutkan:

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dan bentuk susunan

pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang dengan memandang dan

mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan hak-

hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”

Dengan memperhatikan bunyi ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta penjelasannya, maka dilihat

bahwa otonomi dari persekutuan hukum yang berupa desa adat di Bali, tetap

dihormati sebagai suatu persekutuan yang asli.

4. Pengertian Awig-Awig

Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di

Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya

dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang
22

bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku

yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan

rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan.

Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019

disebutkan bahwa hukum adat (awig-awig dan pararem) adalah hukum adat bali

yang hidup dalam masyarakat Bali yang bersumber dari catur Dresta serta dijiwai

oleh agama Hindu bali. Catur Dresta yakni ajaran-ajaran agama, kuna dresta

yakni nilai-nilai budaya, loka dresta yakni pandangan hidup dan Desa Dresta

yakni adat-istiadat setempat. Awig-awig mempunyai peranan yang sangat penting,

karena merupakan landasan utama dan pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita

Karana yaitu: Parhyangan hubungan yang harmonis antara manusia (krama desa)

dengan Sang Pencipta / Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Pawongan yaitu hubungan

yang harmonis antar manusia dengan manusia (antar karma desa). Palemahan

hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungan

1.7.1 Landasan Teoritis

Landasan teoritis adalah teori yang relevan yang digunakan untuk

menjelaskan tentang asas-asas, konsep, doktrin, yurisprudensi, serta teori-teori

variabel yang akan diteliti dan sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara

terhadap rumusan masalah yang diajukan (hipotesis), dan penyusunan instrumen

penelitian. Teori yang digunakan bukan sekedar pendapat dari pengarang atau

pendapat lain, tetapi teori yang benar-benar telah teruji kebenarannya.


23

Berkaitan dengan landasan teoritis dari penelitian ini peneliti

menggunakan beberapa teori hukum sebagai pisau analisis dari setiap

permasalahan yang ada, diantaranya yaitu : Teori Kewenangan, Teori Kepastian

Hukum, Teori Utilitarianisme, Teori Efektivitas Penegakan Hukum, dan Teori

Keadilan.

1. Teori Kewenangan

Kewenangan adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenan dengan

perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh subjek hukum publik di

dalam hubungan hukum publik. 20 Kewenangan atau wewenang memiliki

kedudukan penting dalam kajian hukum tata negara dan hukum administrasi.

Sebegitu pentingnya kewenangan ini sehingga F.A.M. Stroink dan J.G Steenbeek

menyatakan: “Het Begrip bevoegdheid is dan ook een kembegrip in he staats-

enadministratief recht”.21 Dari pernyataan ini dapat ditarik suatu pengertian

bahwa wewenang merupakan konsep inti dari hukum tata negara dan hukum

administrasi.

Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan

memiliki makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki

oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan

merupakan unsur esensial dari suatu negara dalam proses penyelenggaraan

pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu :

a. hukum;

20
Ridwan HR. 2008, Hukum Administrasi Negara. Jakarta. Raja Grafindo Persada, hlm
110.
21
Nur Basuki Winanrno, 2008, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi,
Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hlm. 65
24

b. kewenangan (wewenang);

c. keadilan;

d. kejujuran;

e. kebijakbestarian; dan

f. kebajikan.22

Seperti di kemukakan di atas, bahwa dalam hukum publik wewenang

berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan

wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh eksekutif, legislatif dan yudisial

adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan unsur esensial dari suatu negara

dalam proses penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan merupakan suatu

kemampuan individu atau kelompok untuk melaksanakan kemauannya meskipun

menghadapi pihak lain yang menentangnya.23

Teori kewenangan dalam hukum administrasi negara berkaitan dengan

asas legalitas, dimana asas ini merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan

sebagai bahan dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintah dan kenegaraan di

setiap negara hukum terutama bagi negara-negara hukum yang menganut sistem

hukum eropa kontinental. Asas ini dinamakan juga kekuasaan undang-undang (de

heerschappij van de wet). Asas ini dikenal juga didalam hukum pidana (nullum

delictum sine previalege peonale) yang berarti tidak ada hukuman tanpa undang-

undang).24 Didalam hukum administrasi Negara asas legalitas ini mempunyai

22
Rusadi Kantaprawira, 1998, Hukum dan Kekuasaan”, Makalah, Universitas Islam
Indonesia, Jogjakarta, hlm. 37-38
23
Peter Mahmud Marzuki, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana
Pranadamedia Groub, Jakarta, cet-ke 6, hlm.73
24
Eny Kusdarini, 2011, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara Dan Asas-Asas
UmumPemerintahan Yang Baik, UNY Press, Yogyakarta, hlm. 89.
25

makna dathet bestuur aan wet is onderworpnen, yakni bahwa pemerintah tunduk

kepada undang-undang. Asas ini merupakan sebuah prinsip dalam negara hukum.

Asas legalitas menjadi prinsip utama dalam setiap Negara hukum. Telah

disebutkan bahwa asas legalitas merupakan dasar dalam setiap penyelenggaraan

kenegaraan dan pemerintahan. Dengan kata lain, setiap penyelenggaraan

kenegaraan dan pemerintahan harus memilikilegitimasi, yaitu kewenangan yang

diberikan oleh Undang-undang. Dengan demikian substansi dari asas legalitas

adalah wewenang, yakni kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum

tertentu.

2. Teori Kepastian Hukum

Negara Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), artinya

setiapkegiatanpenyelenggaraannegara harus berdasarkan hukum. Menurut

Sudargo Gautama mengatakan bahwa paham negara hukum berasal dari ajaran

kedaulatan hukum, ia memberikan pengertian tentang negara hukum

sebagainegara dimana alat-alat negaranya tunduk pada aturan hukum. 25

Kepastian adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan.

Hukum secara hakiki harus pasti dan adil dimana kepastian sebagai pedoman

kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan

yang dinilai wajar, dan hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti

hukum dapat menjalankan fungsinya dimana kepastian hukum merupakan

pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. 26

25
Bahder Johan Nasution, 2014, Pengaturan Hak Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja Di
Indonesia, Surabaya, hlm. 360.
26
Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,
Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hlm. 59.
26

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma dan norma adalah

pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan

menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. 27 Norma-

norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang

berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu

bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama

individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu

menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan

terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut

menimbulkan kepastian hukum.

Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu:

a. Adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan,

b. Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah

karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat

mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh

Negara terhadap individu.28

Kepastian hukum merupakan jaminan mengenai hukum yang berisi

keadilan. Norma-norma yang memajukan keadilan harus sungguh-sungguh

berfungsi sebagi peraturan yang ditaati. Keadilan dan kepastian hukum

merupakan bagian-bagian yang tetap dari hukum. Beliau berpendapat bahwa

keadilan dan kepastian hukum harus diperhatikan, kepastian hukum harus dijaga
27
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., hlm. 158.
28
Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm. 23.
27

demi keamanan dan ketertiban suatu negara. Akhirnya hukum positif harus selalu

ditaati. Berdasarkan teori kepastian hukum dan nilai yang ingin dicapai yaitu nilai

keadilan dan kebahagiaan

3. Teori Utilitarianisme

Teori Utilitarianisme sebagai teori sistematis pertama kali dipaparkan oleh

Jeremi Bentham, Utilitiarisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat

bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah dan bermanfaat, sebaliknya

yang jahat atau yang buruk adalah yang tidak bermanfaat, tak berfaedah, dan

merugikan, karena itu baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi

berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak. Dasar yang paling objektif

dalam menilai baik buruknya kebijakan itu berlaku adalah dengan melihat apakah

suatu tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau

sebaliknya kerugian bagi orang-orang terkait.29

Menurut Satjipto Raharjo, teori kemanfaatan (kegunaan hukum) bisa

dilihat sebagai perengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan

keteraturan. Oleh karena itu ia bekerja untuk memberikan petunjuk tentang

tingkah laku berupa norma (aturan-aturan hukum).30 Pada dasarnya peraturan

hukum yang mendatangkan kemanfaatan dan kegunaan hukum ialah untuk

terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat karena

adanya tertib hukum. Semua opini akan berubah saat ketika manfaatnya bisa

dirasakan, semakin hukum itu berjalan dengan prinsip manfaat maka semakin

nyata kemungkinan bahwa hukum itu bermanfaat.


29
Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta,
hlm. 93-94
30
Satjipto Raharjo, 1991, Ilmu Hukum, Cet. III, Alumni, Badung, hlm. 13
28

Kemanfaatan hukum dirasakan perlu dalam kehidupan bermasyarakat,

karena berlakunya hukum dalam mengatur suatu masyarakat harus memberikan

manfaat kepada masyarakat itu sendiri. Hukum ditegakkan tidak hanya untuk

keadilan semata namun juga harus memperhatikan keadilan bagi masyarakat yang

tunduk pada aturan hukum tersebut. Kemanfaatan hukum dalam kajian ini

dikaitkan dengan Pemanfaatan Tanah Ayahan Desa Berdasarkan Dengan Awig-

awig Desa di Kabupaten Karangasem, apakah memberikan manfaat kepada

masyarakat Desa Adat maupun Desa Adat tersebut.

4. Teori Efektivitas Hukum

Efektivikasi hukum merupakan proses yang bertujuan agar supaya hukum

berlaku efektif. Ketika kita ingin mengetahui sejauh mana efektivitas dari hukum,

maka kita pertama-tama harus dapat mengukur sejauh mana hukum itu ditaati oleh

sebagian besar target yang menjadi sasaran ketaatannya, kita akan mengatakan

bahwa aturan hukum yang bersangkutan adalah efektif. Namun demikian,

sekalipun dikatakan aturan yang ditaati itu efektif, tetapi kita tetap masih dapat

mempertanyakan lebih jauh derajat efektivitasnya karena seseorang menaati atau

tidak suatu aturan hukum tergantung pada kepentingannya.31

Soerjono Soekanto mengatakan bahwa efektif adalah taraf sejauh mana

suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika

terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya

dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi

perilaku hukum. Sehubungan dengan persoalan efektivitas hukum, pengidentikkan


31
Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence). Penerbit Kencana.
Jakarta, hlm. 375.
29

hukum tidak hanya dengan unsur paksaan eksternal namun juga dengan proses

pengadilan. Ancaman paksaan pun merupakan unsur yang mutlak ada agar suatu

kaidah dapat dikategorikan sebagai hukum, maka tentu saja unsur paksaan inipun

erat kaitannya dengan efektif atau tidaknya suatu ketentuan atau aturan hukum. 32

Teori efektivitas hukum menurut Soerjono Soekanto adalah bahwa efektif atau

tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5 (lima) faktor, yaitu : 33

1. Faktor hukumnya sendiri (undang-undang)

Ukuran efektivitas pada faktor ini adalah Peraturan yang ada mengenai

bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sistematis, Peraturan yang ada

mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, secara hierarki

dan horizontal tidak ada pertentangan.

Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang mengatur

bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi; dan Penerbitan peraturan-

peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada. 34

2. Faktor penegak hukum

Pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. Dalam

hubungan ini dikehendaki adanya aparatur yang handal sehingga aparat tersebut

dapat melakukan tugasnya dengan baik. Kehandalan dalam kaitannya disini

adalah meliputi keterampilan profesional dan mempunyai mental yang baik.

3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum

32
Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV. Ramadja
Karya, Bandung, hlm. 80.
33
Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 8.
34
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, hlm. 80.
30

Tersedianya fasilitas yang berwujud sarana dan prasarana bagi aparat

pelaksana di dalam melakukan tugasnya. Sarana dan prasarana yang dimaksud

adalah prasarana atau fasilitas yang digunakan sebagai alat untuk mencapai

efektivitas hukum.

4. Faktor masyarakat

Lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Terdapat

beberapa elemen pengukur efektivitas yang tergantung dari kondisi masyarakat,

yaitu: Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi aturan walaupun peraturan

yang baik, Faktor penyebab masyarakat tidak mematuhi peraturan walaupun

peraturan sangat baik dan aparat sudah sangat berwibawa, dan Faktor penyebab

masyarakat tidak mematuhi peraturan baik, petugas atau aparat berwibawa serta

fasilitas mencukupi.

5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang

didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Dalam kebudayaan sehari-hari, orang begitu sering membicarakan soal

kebudayaan. Kebudayaan menurut Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang

sangat besar bagi manusia dan masyarakat, yaitu mengatur agar manusia dapat

mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat, dan menentukan sikapnya

kalau mereka berhubungan dengan orang lain. 35 Dengan demikian, kebudayaan

adalah suatu garis pokok tentang perikelakuan yang menetapkan peraturan

mengenai apa yang harus dilakukan, dan apa yang dilarang.

35
Ibid, hlm. 82
31

Kelima faktor di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada

efektivitas penegakan hukum. Pada elemen pertama, yang menentukan dapat

berfungsinya hukum tertulis tersebut dengan baik atau tidak adalah tergantung

dari aturan hukum itu sendiri.

5. Teori Keadilan

Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap

mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam

mengutamakan “the search for justice”.36 Berbagai macam teori mengenai

keadilan dan masyarakat yang adil.

Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang kekuasaan,

pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut: teori keadilan

Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan teori keadilan sosial John

Rawl dalam bukunya a theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans

Kelsen dalam bukunya general theory of law and state.

a. Teori Keadilan Aritoteles

Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya

nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku

nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang,

berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat

Carl Joachim Friedrich, 2004. “Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan
36

Nusamedia. Bandung. hlm. 24


32

hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan

keadilan”.37

Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian hak

persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan hak persamaanya

sesuai dengan hak proposional. Kesamaan hak dipandangan manusia sebagai

suatu unit atau wadah yang sama. Inilah yang dapat dipahami bahwa semua orang

atau setiap warga negara dihadapan hukum sama. Kesamaan proposional memberi

tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang

telah dilakukanya.

Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles dibagi kedalam dua

macam keadilan, keadilan “distributief” dan keadilan “commutatief”. Keadilan

distributif ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang porsi menurut

pretasinya. Keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada setiap

orang tanpa membeda-bedakan prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan

peranan tukar menukar barang dan jasa. 38

Daripembagian macam keadilan ini Aristoteles mendapatkan banyak

kontroversi dan perdebatan. Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus

pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa

didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian”

matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi

kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan

37
L. J. Van Apeldoorn, 1996. “Pengantar Ilmu Hukum”, cetakan kedua puluh enam
Pradnya Paramita, Jakarta. Hlm. 11-12
38
Carl Joachim Friedrich Op.Cit, Hlm. 25
33

warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan

nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat. 39

b. Teori Keadilan John Rawls

Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir

abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan The

Law of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap

diskursus nilai-nilai keadilan.40

John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of

social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya

institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh

masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari

setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah

pencari keadilan.41

Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-

prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaanya yang dikenal

dengan “posisi asali” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil of

ignorance).42

Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat

antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status,

39
Pan Mohamad Faiz, 2009. “Teori Keadilan John Rawls”, dalam Jurnal Konstitusi,
Volume 6 Nomor 1 , Hal. 135.
40
Ibid, Hlm. 139
41
Ibid Hlm. 140
42
Ibid
34

kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya,

sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang,

itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asasli” yang bertumpu pada

pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality),

kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar

masyarakat (basic structure of society).

Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John

Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan

tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu,

sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang

tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk

memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice

as fairness”.43

Dalam pandangan John Rawls terhadap konsep “posisi asasli” terdapat

prinsip-prinsip keadilan yang utama, diantaranya prinsip persamaan, yakni setiap

orang sama atas kebebasan yang bersifat universal, hakiki dan kompitabel dan

ketidaksamaan atas kebutuhan sosial, ekonomi pada diri masing-masing individu.

Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip kebebasan yang sama

(equal liberty principle), seperti kebebasan beragama (freedom of religion),

kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan

mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression), sedangkan prinsip

43
John Rawls, 2006. “A Theory of Justice, London: Oxford University press”, yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, ,
Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hlm. 90
35

kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference principle), yang

menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal oppotunity

principle).

Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan

bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah

memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan

kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan

yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan

sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat

timbal balik.44

Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar

masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal

utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-

orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus

diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap

kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-

institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan

harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-

kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.

c. Teori Keadilan Hans Kelsen

44
Hans Kelsen, 2011. “General Theory of Law and State”, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Bandung, Nusa Media. Hlm. 7
36

Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state,

berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil

apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan

sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya. 45

Lebih lanjut Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan

nilai yang bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan

bahwa suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian

sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni

terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat

hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti

kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia

yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan

menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai,

ditentukan oleh faktor- faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat subjektif.46

Sebagai aliran posiitivisme Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan

mutlak berasal dari alam, yakni lahir dari hakikat suatu benda atau hakikat

manusia, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan. Pemikiran tersebut

diesensikan sebagai doktrin yang disebut hukum alam. Doktrin hukum alam

beranggapan bahwa ada suatu keteraturan hubungan-hubungan manusia yang

45
Ibid, Hlm. 9
46
Ibid, Hlm. 12
37

berbeda dari hukum positif, yang lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil,

karena berasal dari alam, dari penalaran manusia atau kehendak Tuhan.47

Pemikiran tentang konsep keadilan, Hans Kelsen yang menganut aliran

positifisme, mengakui juga kebenaran dari hukum alam. Sehingga pemikirannya

terhadap konsep keadilan menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum

alam. Menurut Hans Kelsen:

“Dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan karakteristik


dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia realitas dan
dunia ide model Plato. Inti dari fislafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia
ide. Yang mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang
yang berbeda : yang pertama adalah dunia kasat mata yang dapa itangkap melalui
indera yang disebut realitas; yang kedua dunia ide yang tidak tampak.” 48

Pandangan Hans Kelsen ini pandangan yang bersifat positifisme, nilai-

nilai keadilan individu dapat diketahui dengan aturan-aturan hukum yang

mengakomodir nilai-nialai umum, namun tetap pemenuhan rasa keadilan dan

kebahagian diperuntukan tiap individu. Dua hal lagi konsep keadilan yang

dikemukakan oleh Hans Kelsen: pertama tentang keadilan dan perdamaian.

Keadilan yang bersumber dari cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui

pengetahuan yang dapat berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada

akhirnya menimbulkan suatu konflik kepentingan. Penyelesaian atas konflik

kepentingan tersebut dapat dicapai melalui suatu tatatanan yang memuaskan salah

satu kepentingan dengan mengorbankan kepentingan yang lain atau dengan

47
Ibid, hlm. 14
48
Ibid
38

berusaha mencapai suatu kompromi menuju suatu perdamaian bagi semua

kepentingan.49

Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar

suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen

pengertian “Keadilan” bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum adalah

“adil” jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan umum adalah

“tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain

yang serupa.50 Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum

nasional bangsa Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional

dapat dijadikan sebagai payung hukum (law unbrella) bagi peraturan peraturan

hukum nasional lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu

memiliki daya ikat terhadap materi-materi yang dimuat (materi muatan) dalam

peraturan hukum tersebut.51

49
Kahar Masyhur, 1985. “Membina Moral dan Akhlak”, Kalam Mulia, Jakarta. Hlm. 68
50
Ibid, hlm. 71
51
Suhrawardi K. Lunis, 2000. “Etika Profesi Hukum”, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,
Jakarta. Hlm. 50.
39

1.7.2 Kerangka Berpikir

LATAR
RUMUSAN TEORI METODE
BELAKANG KESIMPULAN
MASALAH
MASALAH HUKUM PENELITIAN
Aspek Filosofis 1. Bagaiman 1.Teor 1. Jenis 1) Bentuk sengketa tanah di desa
bahwa Desa Adat a bentuk i Penelitian Adat Umanyar Kabupaten
yang tumbuh sengketa Efekti Hukum Karangasem yaitu Sengketa Hak
berkembang selama tanah di vitas Empiris. Milik Atas Tanah Ayahan Desa
berabad-abad serta desa Adat Huku dimana Biasanya para pihak yang
memiliki hak asal Umanyar m 2. Sifat bersengketa merasa bahwa tanah
Kabupaten Penelitian
usul, hak tradisional, yang menjadi obyek sengketa
Karangase 2.Teo
dan hak otonomi asli merupakan tanah miliknya yang
m? ri Deskriptif.
mengatur rumah Utilit dimana tak jarang ada pihak yang
tangganya sendiri, ariani 3. Data melakukan pengakuan hak milik
telah memberikan sme dan tanah tanpa adanya sertifikat tanah
kontribusi sangat Sumber tersebut contohnya sengketa tanah
besar terhadap 2. Bagaima Data: plaba pura dan Sengketa Hak Guna
kelangsungan nakah Data Atas Tanah Ayahan Desa Biasanya
kehidupan proses Primer dan para pihak yang bersengketa
masyarakat dalam penyeles Data merasa pihak lainnya telah telah
berbangsa dan aian Sekunder. menguasai dan mengerjakan tanah
bernegara; sengketa 1.Teor milik orang lain yang menjadi
Aspek Yuridis tanah i 4. Teknik obyek sengketa tanpa alas hak dan
berdasar Kepast
Awig-awig dibuat dasar hukum yang sah contohnya
kan ian Pengumpu
secara bersama- Awig- Huku lan sengketa tanah perkebunan.
sama oleh Awig Di m Data 2) Proses penyelesaian sengketa tanah
masyarakat, sesuai Desa adalah berdasarkan Awig-Awig Di Desa
dengan norma- Adat 2.Teor dengan Adat Umanyar Kabupaten
norma yang berlaku Umanya i teknik Karangasem adalah berdasarkan
dalam masyarakat r Kewe pawos 23 ayat (5) awig-awig desa
desa bersangkutan, Kabupat nanga Wawancar adat Umanyar dalam hal terjadinya
dengan en n a dan sengketa maka perlu untuk
bersumberkan pada Karanga Studi dilakukan upaya muswarah desa
ajaran Agama sem? 3.Teor Dokumen. dengan prajuru desa menjadi
Hindu, sesuai i mediator dalam upaya mediasi
Keadli 5.
dengan filsafat Tri untuk menyelesaikan sengketa
an Pengolaha
Hita karana. akan tetapi jika para pihak yang
n Data
Aspek Sosiologis dan bersengketa tidak menemukan
secara sosiologis Analisis penyelesaian sengketa dalam
pemerintah dan desa Data musawarah desa tersebut maka
adat memiliki hak dengan penyelesaian sengketa juga bisa
dalam mengelola Deskriptif diselesaikan melalui jalur hukum
sebuah tanah yang Kualitatif. jika para pihak yang bersengketa
dalam kuasanya tidak puas dengan hasil mediasi
kemudian hal ini keputusan desa adat dan jika para
juga menimbulkan pihak yang bersengketa memang
kewajiban tersendiri menginginkannya
40

1.8 Hipotesis

1) Bentuk sengketa tanah di desa Adat Umanyar Kabupaten Karangasem

yaitu berupa perkara yang dilakukan antara salah satu pihak dengan

pihak yang lainnya yang berkaitan dengann tanah ayahan desa,

contohnya adalah tanah pelaba pura dan tanah milik desa.

2) Proses penyelesaian sengketa tanah berdasarkan Awig-Awig Di Desa

Adat Umanyar Kabupaten Karangasem adalah dengan upaya yang

dilakukan diawal berupa mediasi antara pihak yang bersengketa dan

ditengahi oleh pihak ketiga diluar pihak bersengketa jika belum

ketemu penyelesaian sengketanya maka permasalahan tanah adat ini

akan dibawa ke pengadilan.

1.9 Metode Penelitian

Berkaitan dengan metode penelitian yang penulis gunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.9.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah jenis penelitian hukum empiris

yang mana penelitian lapangan menjadi hal utama dalam kegiatan atau proses

untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun pendapat-

pendapat hukum guna menjawab permasalahan hukum yang dihadapi yang tentu

saja berfokus pada perilaku masyarakat hukum (law in action) yang memerlukan

data data sekunder yang berupa bahan hukum dari kepustakaan sebagai data

penunjang dari penelitian lapangan yang penulis lakukan.


41

1.9.2 Sifat penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian ini memaparkan secara

tepat sifat-sifat, gejala dengan gejala lain di dalam masyarakat mengenai

permasalahan yang telah penulis lampirkan, mengamati secara langsung

1.9.3 Data dan sumber data

Sumber data berasal dari data primer dan sekunder:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari lokasi penelitian

yang menjadi landasan ide penelitian ini dan data ini juga di dapat dari

sumber pertama dari individu atau perorangan seperti hasil wawancara.

Dalam hal ini, sumber data primer merupakan data yang diperoleh secara

langsung di lokasi penelitian dari pihak yang berwenang dalam memberikan

keterangan secara langsung mengenai permasalahan yang diteliti.

2. Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari

masyarakat melainkan dari bahan dokumen, peraturan perundang-undangan,

laporan, arsip, literatur, dan hasil penelitian lainnya yang mendukung sumber

data primer.

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang diperoleh

dari ketentuan perundang-undangan, seperti:

a. Undang-undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tahun 1945
42

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan

Dasar Pokok-Pokok Agraria

c. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

d. Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Republik Indonesia Nomor 276/KEP-19.2/X/2017

tentang Penunjukan Desa Adat di Provinsi Bali

e. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan

f. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang

Desa Adat Di Bali

2. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum sekunder diartikan sebagai bahan hukum yang

tidak mengikat tetapi menjelaskan mengenai bahan hukum primer

yang merupakan hasil olahan pendapat atau pikiran para pakar atau

ahli yang mempelajari suatu bidang tertentu secara khusus yang akan

memberikan petunjuk ke mana peneliti akan mengarah. 52 Bahan

sekunder adalah kajian-kajian yang ada didalam buku, jurnal hukum,

dan internet terkait permasalahan sengketa tanah ayahan di desa adat

Umanyar Kabupaten Karangasem

3. Bahan hukum tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang mendukung

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan

52 Ibid, hlm 151


43

pemahaman dan pengertian atas bahan hukum lainnya. Bahan hukum

yang dipergunakan oleh penulis adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia

dan Kamus Hukum

1.9.4 Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian ini

adalah dengan menggunakan metode bola salju (snowball method). Adapun yang

dimaksud dengan metode bola salju adalah menggelinding terus menerus dengan

mengacu kepada wawancara di lapangan, pengumpulan peraturan perundang-

undangan dan buku-buku hukum sesuai daftar pustaka. Pengumpulan data hukum

primer, data hukum sekunder dan data hukum tersier di inventarisasi dan

diklarifikasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang di bahas dalam

penelitian ini.

Pengklasifikasian bahan hukum ini penulis harapkan akan mempermudah

untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dengan cara melakukan

analisa data - data pustaka yang terkait dengan permasalahan yang dikaji atau

obyek penelitian, dengan mengkolaborasikan data - data hukum baik bersumber

dari data hukum primer, data sekunder maupun data tersier. Sehingga

mendapatkan jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian terhadap

responden atau informan ini.

1.9.5 Teknik Pengolahan dan analisa data

Penelitian ini menggunakan teknik pengolahan data yang dilakukan

dengan cara mensistematika bahan-bahan hukum yang ada dan sistematisasi

dalam hal ini berarti membuat klasifikasi terhadap data hukum primer, sekunder
44

maupun tersier untuk memudahkan pekerjaan analisis. Data yang diperoleh di

analisis secara deskriptif kualitatif yaitu dengan menjelaskan, menguraikan, dan

menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang erat kaitannya dengan

penelitian ini.
45

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN BENTUK-BENTUK

PENYELESAIAN SENGKETA

2.1 Gambaran Umum Desa Adat Umayar

2.1.1 Letak dan Luas Wilayah Desa Adat Umayar

Desa Adat Umanyar berada di wilayah perbekelan Bhuana Giri Kecamatan

Bebandem dengan luas wilayah 3000 M2. Secara geografis batas – batas desa :

a. Sebelah Utara : Desa Tanah Aron

b. Sebelah Selatan : Desa Budakeling

c. Sebelah Barat : Desa Komala

d. Sebelah Timur : Desa Ababi

Berpenduduk sekitar 500 Jiwa (150 kepala keluarga (KK)) dengan masing

– masing jumlah penduduk laki – laki sebanyak 245 jiwa dan perempuan 255 jiwa

dengan sebagian penduduknya bermata pencaharian sebagai Petani, Pedagang,

PNS, TNI/Polri dan swasta. Masyarakat mengelola lahan pertanian dan

perkebunan. Di bidang pertanian dengan tanaman unggulan palawija, sedangkan

di bidang perkebunan berupa kelapa.

Lazimnya Desa Adat memiliki parhyangan yang diempon oleh Desa Adat

Umanyar seperti Pura Puseh, Pura Bale Agung, Pura Desa maupun Pura Dalem

yang diselenggarakan Aci/Upacara Agama pada setiap piodalannnya.

45
46

Pada Kehidupan adat, budaya dan agama masyarakat Desa Adat Umanyar

masih kental melaksanakan adat istiadat yang diatur dalam awig – awig desa

2.1.2 Sistem Keanggotaan Desa Adat Umanyar

Dengan mengutip pandangan Van Vollenhoven dalam orasinya pada

tanggal 2 Oktober 1901, Soepomo menyatakan bahwa: "...untuk mengetahui

hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki buat waktu apabilapun dan di

daerah manapun jugapun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum,

dimana orang-orang yang dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari"46, Bushar

Muhammad juga mengemukakan bahwa siapapun yang ingin mengetahui tentang

berbagai lembaga hukum yang ada dalam suatu masyarakat, seperti lembaga

hukum tentang perkawinan, warisan, jual beli, tanah, dan lain-lain, harus

mengetahui struktur masyarakat yang bersangkutan. Struktur masyarakat

menentukan sistem (struktur) hukum yang berlaku di masyarakat yang

bersangkutan. Dengan dmikian, pemahaman mengenai masyarakat hukum adat di

Bali sangatpenting untuk dapat memahami hukum adat Bali. 53

Dengan mengutip pendapat B.ter Haar, Bushar Muhammad kemudian

mengemukakan bahwa masyarakat hukum (persekutuan hukum) adalah: 1)

kesatuan masyarakat teratur, 2) menetap di satu daerah tertentu, 3) mempunyai

penguasa-penguasa, 4) mempunyai kekayaan yang berwujud ataupun tidak

berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing mengalami kehidupan

dalam masyarakat, sebagai hal yang wajar, menurut kodrat alam, dan tidak

seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecendrungan

53
Wayan P. Windia, I Ketut Sudantara, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali Cetakan
Kedua, Swasta Nulus, Denpasar, hlm. 49
47

untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh, itu, atau meninggalkannya, dalam

arti, melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.

Masyarakat hukum adat (persekutuan hukum adat) dapat digolongkan

menjadi dua, yaitu: didasarkan atas azas kedaerahan atau teritorial dan didasarkan

atas azas genealogis atau keturunan. Di Bali, desa dapat digolongkan sebagai

persekutuan hukum adat yang didasarkan atas azas kedaerahan atau teritorial,

sedangkan contoh masyarakat hukum adat geneologis di Bali adalah sekeha dadia.

Disamping masyarakat hukum yang dilandasi oleh ikatan teritorial dan

geneologis, di Bali juga dikenal masyarakat hukum yang dilandasi oleh

kepentingan bersama, seperti subak yang bergerak dibidang tata guna air. 54

Secara umum, kata "desa" mengandung beberapa pengertian. "Desa" dapat

berarti suatu wilayah pemukiman penduduk yang beragama Hindu. Seperti

misalnya, Desa Peliatan, Desa Penestanan, dll. "desa" juga dapat berarti "situasi"

dalam kaitannya dengan tempat, waktu dan keadaan, seperti dalam ungkapan

"desa, kala, patra". Tetapi dalam ungkapan jelema desa atau desa sajan, bukan

berarti "orang berasal dari desa", melainkan menunjuk kepada suatu keadaan atau

perilaku yang sangat terkebelakang atau lebih dikenal dengan sebutan

"kampungan". Soetardjo Kartohadikoesoemo" mengemukakan bahwa kata "desa"

seperti halnya kata "negara", "negeri" dan "nagari", berasal dari bahasa

Sansakerta, yang artinya tanah air, tanah asal dan tanah kelahiran. Hal senada juga

dapat diketahui dari Soepemo dan Wayan Surpha", yang pada prinsipnya

54
Ibid, hlm 50
48

mengemukakan bahwa "desa" berasal dari bahasa Sansekerta yang lasim

dipergunakan oleh kalangan umat Hindu di Bali sejak jaman dahulu.55

2.1.3 Sistem Pemerintahan Desa Adat Umanyar

Dalam Provinsi Bali dikenal ada dua bentuk (pemerintahan) desa yang

masing-masing mempunyai fungsi, sistem atau struktur organisasi berbeda. Dua

bentuk desa yang lazim disebut dualisme desa di Bali itu adalah: (1) Desa dinas

(desa dan kelurahan), dan (2) Desa Adat atau desa adat. Pengertian Desa Adat

mencakup dua hal yaitu: Desa Adatnya sendiri sebagai suatu wadah dan adat

istiadatnya sebagai isi dari wadahnya itu lebih lanjut dapat dijabarkan bahwa desa

adat merupakan suatu lembaga tradisional yang mewadahi kegiatan sosial, budaya

dan keagamaan masyarakat umat Hindu di Bali yang telah menjadi tradisi

kemasyarakatan secara mantap sebagai warisan dari pada budaya bangsa.

Desa adat tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan sosial, budaya dan

keagamaan masyarakat umat Hindu di Bali karena merupakan satu kesatuan. Desa

adat adalah merupakan kesatuan masyarakat dimana rasa kesatuan sebagai warga

desa adat terikat oleh wilayah tertentu (karang desa) dengan batas-batas yang jelas

dan terikat pula oleh satu sistem tempat persembahyangan yang disebut

kahyangan tiga yang terdiri dari Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem. 56

Desa Adat sebagai Desa dresta adalah kesatuan masyarakat hukum adat di

propinsi Daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata

krama pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam

55
Ibid, hlm 51
56
Widya Satya Dharma, 2009, Jurnal Kajian Hindu Budaya dan Pembangunan Vol. 5
No.2, Edisi Puputan STIE, Singaraja, hal. 23
49

ikatan khayangan tiga yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan

sendiri, hal ini menegaskan bahwa desa adat merupakan satu kesatuan masyarakat

hukum adat dalam ikatan khayangan tiga yang bersipat otonom, ini berarti desa

adat merupakan subyek hukum yang boleh mempunyai hak milik dan berhak

mengatur rumah tangganya sendiri. 57

Beberapa peraturan daerah yang mengatur terkait desa adat di provinsi

Bali diantaranya sebagai berikut

1) Peraturan Daerah Tingkat I Bali Nomor 6 Tahun 1986 Tentang

Keududukan Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan

masyarakat Hukum Adat Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali,

bahwa Desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di propinsi

daerah Tingkat I Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata

krama pergaulan hidup masyarkat umat Hindu secara turun temurun

dalam ikatan kahyangan tiga (kahyangan desa) yang mempunyai

wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus

rumah tangganya sendiri.

2) Berdasarkan Pasal 1 Angka 8 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4

Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali memuat Desa Adat adalah

kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah,

kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri,

tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun

dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas

57
I Ketut Rindjin, 2009, Depoiltaisasi dan Politisasi Desa Adat Dalam Persepektif HAM,
Denpasar, hlm. 5
50

dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri

3) Berdasasrkan pasal 1 angka 11 Peraturan Gubernur Bali Nomor 4

Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor

4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali memuat Desa Adat adalah

kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah,

kedudukan, susunan asli, hak tradisional, harta kekayaan sendiri,

tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun

dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas

dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya

sendiri.

Desa adat merupakan suatu kesatuan wilayah dimana para warganya

secara bersama-sama mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara

keagamaan untuk memelihara kesucian desa. Rasa kesatuan sebagai warga desa

adat terkait oleh karena adanya karang desa (wilayah teritorial desa), awig-awig

desa adat, (sistem aturan desa dengan peraturan pelaksanaanya), dan pura

kahyangan tiga (tiga pura desa sebagai suatu sistem tempat persembahyangan

bagi warga desa adat). 58

Berdasarkan hal ini Ketut Sukadana menyebutkan unsur-unsur dari desa

adat sebagai masyarkat hukum adat sebagi berikut:

b. Menunjukan bentuk suatu kesatuan wilayah. Dengan batas-batas desa

sebagai perwujudan wilayah desa adat.

58
I Gusti Gede Raka, 2005, Desa Adat Dalam Arus Administrasi, Lembaga Pengkajian
Budaya Bali, Denpasar, hal. 19
51

c. Mewujudkan satu kesatuan kekerabatan berupa Krama Desa, dan

terhimpun dalam banjar-banjar sebagai himpunan kekerabatan terkecil,

yang tidak terpisahkan dari kegiatan desa adat.

d. Merupakan satu kesatuan pemujaan Kahyangan Tiga

e. Sebagai wujud kesatuan kegiatan dalam kebersamaan berupa ayahan

kedesa (Tugas dan kewajiban sebagai krama desa).

f. Memiliki struktur pemerintahan:

a) Awig-awig (peraturan) kesepakatan yang mengikat warga (krama

desa), pemimpin (pengurus) desa yang disebut prajuru desa

b) Milik Desa (druwe desa) yang berupa sarana dan prasarana serta

harta kekayaan desa.

c) Memiliki batas-batas ngatur desa, sebagai wilayah desa adat secara

nyata yang berbatasan dengan wilayah desa adat lainnya.59

Tugas dan wewenang Desa Adat Menurut I Wayan Surpha, secara garis

besarnya kewajban warga desa adat meliputi:

1. Melaksanakan ayahan desa (tugas-tugas krama desa) Ayahan desa

berupa: kerja bakti memperbaiki atau membangun pura milik desa

adat, menyelenggarakan upacara Dewa Yajna (ngodalin) di pura

milik desa, menyelenggarakan Bhuta Yajna (mecaru) di desa setiap

tilem kesanga, melaksanakan upacara makiyis, menyelenggarakn

pembangunan-pembangunan untuk kepentingan desa adat, dan

melaksanakan tugas-tugas lainnya bagi desa adat.

59
I Ketut Sukadana, 2000, Pola Hubungan Desa Adat dengan Desa, Kertha Wicaksana
Th VI No 10 Pebruari 2000, hal. 52
52

2. Wajib tunduk dan mentaati peraturan-peraturan yang berlaku bagi

desa adat yaitu: awig-awig baik tertulis maupun tidak tertulis,

paswara dan sima yang telah berlaku. Selain itu warga desa adat

berkewajiban pula menjaga keamanan dan ketentraman bersama,

menjaga nama baik desanya dan melaksanakan suka-duka (gotong

royong) antara sesamanya.60

Dilihat dari sistem pemerintahan desa adat, terdapat tiga jenis sistem

pemerintahan desa adat, yaitu:

1. Sistem pemerintahan tunggal, yaitu desa adat yang dalam sistem

pemerintahannya hanya terdapat satu orang pejabat puncak, yang

disebut Bendesa Adat atau sebutan lain;

2. Sistem pemerintahan kembar, yaitu sistem pemerintahan desa adat yang

dalam sistem pemerintahannya terdapat dua orang pejabat puncak; dan

3. Sistem pemerintahan kolektif, yaitu: sistem pemerimntahan desa adat

dimana terdapat lebih dari 2 (dua) orang pejabat puncak dalam struktur

pemerintahannya

Sistem pemerintahan yang dianut oleh Desa Adat Umanyar adalah sistem

pemerintahan tunggal, dimana hanya terdapat satu pejabat puncak dalam struktur

pemerintahannya. Struktur pemerintahan di Desa Adat Umanyar disebut Prajuru,

yang dipimpin oleh seorang Bendesa Adat. Selengkapnya, struktur prajuru Desa

Adat Umanyar tampak seperti dalam bagan sebagai berikut :

60
I Wayan Surpha, 2003, Eksistensi Desa Adat di Bali, penerbit PT. Upada Sastra,
Denpasar, hal. 56
53
54

Bagan 1
Struktur Prajuru Desa Adat Umanyar

Bendesa Adat

Penyarikan Pangliman Pasedahan

Bage Pawongan Bage Parahyangan Bage Palemahan

Kesinoman

Pemucuk Pecalang Kepala Pasar Sari Pemucuk Widya Sabha

Berdasarkan Pasal 1 Angka 15 Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4

Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali menjelaskan bahwa Prajuru Desa Adat
55

adalah Pengurus Desa Adat. Dimana dalam hal ini struktur prajuru merupakan

struktur pengurus desa adat yang meliputi bendesa adat sebagai ketua pengurus

adat, penyarikan sebagai juru catat, pangliman sebagai pengawas subak,

pasedahan sebagai badan pendapatan daerah, bage pawongan sebagai pengurus

kegiatan masyarakat di desa, bage prahayangan sebagai pengawas tempat suci di

desa, bage pelemahan sebagai pengawas lingkungan desa, kesinoman sebagai

humas desa, pecalang sebagai pengawas keamanan desa, Kepala Pasar Sari

sebagai pengawas pasar di desa, dan Pemucuk widya Sabha sebagai Lembaga

mitra kerja prajuru desa.

Dalam menjalankan fungsinya prajuru memiliki beberapa Tugas dan

wewenang dimana tugas prajuru berdasarkan pasal 30 Peraturan Daerah Provinsi

Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali meliputi:

a. menyusun rencana strategis dan program pembangunan Desa Adat;

b. menyusun rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Adat;

c. melaksanakan program pembangunan Desa Adat sebagaimana

dimaksud pada huruf a dan huruf b melalui kegiatan Parahyangan,

Pawongan, dan Palemahan;

d. melaksanakan Awig-Awig dan/atau Pararem Desa Adat;

e. menyelesaikan perkara adat/wicara yang terjadi dalam Wewidangan

Desa Adat;

f. mengatur penyelenggaraan kegiatan sosial dan keagamaan dalam

Wewidangan Desa Adat sesuai dengan susastra agama dan tradisi

masing-masing;
56

g. melaporkan hasil pelaksanaan program sebagaimana dimaksud pada

huruf b dan huruf c dalam Paruman Desa Adat.

Sedangkan kewenagan dari prajuru adalah sebagai berikut:

1. Bendesa Adat yang tugasnya menjaga hubungan eksternal maupun

internal seperti yang tercantum dalam awigawig Desa Adat, juga hal-

hal yang berkaitan dengan kerukunan dan kerharmonisan, pelaksanaan

upacara-upacara agama, adat dan lainnya

2. Penyarikan yang tugasnya mencatat segala hal mengenai kegiatan-

kegaitan dari Krama Desa

3. Pangliman yang tugasnya menjaga dan melaksanakan segala kegiatan

di sawah (Subak)

4. Pasedahan yang tugasnya merupakan sebagai badan pendapatan daerah

yang mengurus terkait jual beli tanah (pertanahan) di desa.

5. Bage Pawonangan yang tugasnya membantu untuk melaksanakan

kegaitan gotong royong di desa

6. Bage prahayangan yang tugasnya menjaga kesucian tempat suci (pura)

sekaligus mengurus segala keperluan di tempat suci (Pura)

7. Bage Palemahan yang tugasnya menjaga sekaligus melestarikan

lingkungan alam di desa

8. Kesinoman yang tugasnya sebagai pemberi informasi sekaligus sebagai

pengarah dalam segala kegiatan desa

9. Pecalang yang tugasnya dalam bidang keamanan, ketentraman, dan

ketertiban masyarakat dalam Wewidangan Desa Adat


57

10. Kepala Pasar Sari yang tugasnya sebagai pengatur dan perancangan

segala kebijakan perdagangan di Pasar desa Adat

Pemucuk widya Sabha yang tugasnya adalah lembaga mitra kerja Prajuru

Desa Adat yang melaksanakan fungsi pertimbangan dalam pengelolaan

Desa Adat

2.1.4 Awig-awig Desa Adat Umayar

Sama halnya didalam sebuah negara yang memiliki undang-undang atau

hukum dasar yang mengatur kehidupan warganya dan sebuah organisasi yang

memiliki anggaran dasar rumah tangga yang digunakan sebagai pedoman dalam

menjalankan organisasinya. Begitu juga dengan Desa Adat yang merupakan

sebuah lembaga adat juga mempunyai hal serupa. Desa Adat di Bali memiliki

sebuah aturan adat yang digunakan sebagai aturan khusus untuk mengatur

kehidupan masyarakat adat dalam wilayah kehidupan Desa Adat diluar kehidupan

Desa Dinas yang berpedoman pada hukum nasional/negara.

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 disebutkan

bahwa hukum adat (awig-awig dan pararem) adalah hukum adat bali yang hidup

dalam masyarakat Bali yang bersumber dari catur Dresta serta dijiwai oleh agama

Hindu bali. Catur Dresta yakni ajaran-ajaran agama, kuna dresta yakni nilai-nilai

budaya, loka dresta yakni pandangan hidup dan Desa Dresta yakni adat-istiadat

setempat. Karakteristik yang dapat ditemui dalam awig-awig diantaranya adalah :

a) Bersifat sosial religius, yang tampak pada berbagai tembang-tembang,

sesonggan dan pepatah-petitih. Untuk membuat sebuah awig-awig harus


58

menentukan hari baik, waktu, tempat dan orang suci yang akan

membuatnya, hal ini dimaksudkan agar awig-awig itu memiliki kharisma

dan jiwa/taksu. Awig-awig yang ada di desa adat tidak saja mengatur

masalah bhuwana alit (kehidupan sosial) tapi juga mengatur bhuwana

agung (kehidupan alam semesta). Hal inilah yang mendorong masyarakat

Bali sangat percaya dan yakin bahwa awig-awig ataupun pararem tidak

saja menimbulkan sanksi sekala (lahir) juga sanksi niskala (batin)

b) Bersifat konkret dan jelas artinya disini hukum adat mengandung prinsip

yang serba konkret, nyata, jelas dan bersifat luwes. kaedah-kaedah hukum

adat dibangun berdasarkan asas-asas pokok saja, sedangkan pengaturan

yang bersifat detail diserahkan pada pengolahan asas-asas pokok itu

dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat. Jadi dari sini akan

muncul peraturan adat lain seperti pararem sebagai aturan tambahan yang

berisi petunjuk pelaksana, aturan tambahan dan juga bisa saja sanksi

tambahan yang belum ada, sudah tidak efektif atau belum jelas

pengaturannya dalam awig-awig.

c) Bersifat dinamis, hukum adat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

Ketika masyarakat berubah karena perkembangan jaman, hukum adat ikut

berkembang agar mampu mengayomi warga masyarakat dalam melakukan

hubungan hukum dengan sesamanya

d) Bersifat kebersamaan atau komunal. Dalam hukum adat Bali tidak

mengenal yang namanya Hakim menang kalah, namun yang ada adalah
59

hakim perdamaian. Karena Hukum Adat Bali lebih mementeingkan rasa

persauadaraan dan kekeluargaan.

e) Karakteristik lainnya dari awig-awig yakni tidak seperti hukum nasional

atau hukum barat yang jarang mengakomodir dimensi sosiologis, hukum

adat sebaliknya lebih mengakomodir dimensi sosiologis.

Awig-awig yang hidup dalam masyarakat tidak hanya membedakan hak

dan kewajiban melainkan juga memberikan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi

denda, fisik maupun psikologi dan yang bersifat spiritual. Jenis-jenis sanksi adat

yang yang diatur dalam awig-awig maupun pararem antara lain :

a. Mengaksama (minta maaf)

b. Dedosaan (denda uang)

c. Kerampang (disita harta bendanya)

d. Kasepekang (tidak diajak bicara) dalam waktu tertentu

e. Kaselong (diusir dari desanya)

f. Upacara prayascita (upacara bersih desa)

Upaya mewujudkan tujuan bersama seperti tersebut di atas masyarakat

adat mempunyai tugas melaksanakan awig-awig dan ikut serta dalam mengambil

kebijaksanaan-kebijaksanaan melalui paruman (rapat) yang bertujuan untuk

menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan krama desanya, dengan tetap

mengusahakan keseimbangan yang harmonis di desanya berlandaskan konsep Tri

Hita Karana, sehingga bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan yang

telah disepakati (awig-awig) akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan

atau disharmonis skala niskal (dunia ahkirat). Untuk itu perlu adanya pemulihan
60

terhadap ketidak seimbangan itu. Pemulihan ini juga dilaksanakan secara sekala

dan niskala (dunia dan akhirat).

Sehingga awig-awig desa adat adalah kesatuan peraturan desa adat yang

tumbuh dari desa adat yang mengatur tata cara desa adat dalam keseharian yang

disertai dengan sanksi-sanksi dan aturan pelaksanaanya yang juga digunakan

sebagai pedoman oleh prajuru (perangkat) desa dalam mengatur dan melindungi

kepentingan warga atau anggota desa adat dalam seluruh sisi kehidupan warga

desa adat yang juga merupakan hukum adat yang berlaku di wilayah desa adat.

Oleh karena itu membicarakan awig-awig desa adat maka desa adat tersebut

merupakan teritorial atau wilayah yang di dalamnya sebagai dasar pengikatnya

diperlukannya awig-awig desa adat. Maka desa adat itu merupakan persekutuan

masyarakat yang bersifat tetap dan mempunyai kekuasaan sendiri, baik kelihatan

maupun yang tidak kelihatan. Masing-masing anggota merasa dirinya terikat

turun temurun, ada anggota tertentu berkuasa untuk bertindak untuk kesatuan

keseluruhannya, dari adat desa yang bersangkutan serta tidak terlepas dari konsep

Tri Hita Karana.

Sebagaimana desa-desa adat lainnya di Bali, Desa Adat Umanyar sudah

memiliki awig-awig desa adat. Dalam awig-awig tersebut terdapat pengaturan

terkait hal-hal yang merupakan kepemilikan desa adat yaitu pada pawos 21 dan

kewenangan prajuru desa pada pawos 23 yaitu sebagai berikut :

Pawos 21

Druen desa sekadi ring sor:


61

(1) Kahyangan desa luire: Pura Desa, Pura Bukit, Pura Dalem, lan Pura

Mengening.

(2) Tanah tegalan merupa:

a. Telajakan Pura Bukit + …..are.

b. Telajakan Pura Desa sampun keanggen genah bale banjar

dinas, linggah + …..are

c. Tanah setra, linggah ipun + ……are

(3) Lelanguan luire: Gong gede abarung, bleganjur.

(4) Piranti-piranti mekadi:

a. Pretima lanang istri ring Pura Desa miwah Pura Mengening.

b. Keris asiki.

c. Bjra asiki

Artinya:

Pasal 21

Hal yang menjadi kepimilikan desa adalah sebagai berikut:

1. Kahyangan desa diantaranya: pura desa, pura bukit, pura dalem, dan pura

mengening.

2. Pekarangan berupa:

a. Wilayah pura bukit +- ... are

b. Wilayah pura desa sudah dipakai sebagai tempat balai banjar

dinas seluas +-... are

c. Tanah kuburan seluas +-...are


62

3. Hiburan/kesenian diantaranya: sepaket gong gede, bleganjur

4. Alat alat antara lain:

a. Pratima laki perempuan di pura desa dan pura mengening

b. Keris satu buah

c. Bajra satu buah

Pawos 23

(1) Prajuru desa wenang ngetangang pamupon duen desa lan duwen desa

sane lianan.

(2) Pikolih lan pamupon keanggen prabea piodalan saha wewangunan di

pura.

(3) Nyabran sangkepan desa, dulu pengemong drue ngawentenang

preindik nunjuk lungsuring padrue ring krama desa.

(4) Saluir druen desa patut wenten ilikitanya.

(5) Tan kalugra ngadol utawi ngesahang padruen desa yan tan

kasungkemin antuk krama.

Artinya :

Pasal 23 :

1. Pengurus desa berwenang mengurus hasil panen wilayah milik desa dan

desa yang lainnya

2. Pemasukan dan hasil panen digunakan untuk biaya upacara dan

pembangunan di pura
63

3. Setiap rapat desa, apartaur desa mengeluarkan tentang himbauan atau

kebijakan kepada masyarakat desa

4. Seluruh hak kepimilikan desa harus ada dasar kaitannya

5. Tidak diperkenankan menjual atau mengesahkan kepemilikan desa jika

tidak disetujui oleh masyarakat desa

2.2 Gambaran Umum mengenai Bentuk-bentuk Penyelesaian Sengketa

2.2.1 Pengertrian Sengketa

Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat

terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok,

antara kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan,

antara perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan

sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat

keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun

internasional.

Pengertian Sengketa dan Konflik saling berdekatan maknanya, maka

untuk memperoleh pemahaman secara menyeluruh harus mengetahui arti dari

istilah Sengketa dan Konflik. Menurut Kamus Besar Indonesia, Sengketa

adalah segala sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian, dan

perbantahan. Sedangkan Konflik adalah percecokan atau perselisihan.

Menurut Rachamadi Usman, suatu konflik tidak akan berkembang

menjadi suatu sengketa apabila pihak yang dirugikan hanya memendam


64

perasaan tidak puas atau keprihatinanya.61 Sebuah Konflik akan berkembang

menjadi sengketa bila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan tidak

puas atau keprihatinnanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut Suyud Margono, Sengketa biasanya bermula dari suatu

situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang diawali

oleh perasaan tidak puas yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini

dapat dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan Proses sengketa

terjadi karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa.

Secara potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian atau pendapat yang

berbeda berpotensi beranjak ke situasi sengketa. 62

Pertentangan atau konflik yang terjadi antara individu-individu atau

kelompok-kelompok yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama

atas suatu objek kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu

dengan yang lain.63 Sengketa adalah suatu perkara yang terjadi antara para

pihak yang bersengketa di dalamnya mengandung sengketa yang harus

diselesaikan oleh kedua belah pihak.

Menurut Nurnaningsih Amriani, sengketa merupakan perselisihan

yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi

yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut. 64

61
Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Bandung,
PT Mitra Aditya Bakti, hlm 1.
62
Suyud Margono, 2000, Alternative Dispute Resulution dan Arbitrase, Jakarta, Ghalia
Indonesia, hlm. 34.
63
Winardi, Managemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan), Mandar Maju,
Bandung, 2007, hlm. 1.
64
Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan. Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 13.
65

Sedangkan menurut Takdir Rahmadi, sengketa adalah situasi dan kondisi

dimana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat factual

maupun perselisihan menurut persepsi mereka saja. 65

Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat macam-macam

penyelesaian sengketa pada awalnya, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa

yang dipergunakan selalu berorientasi pada bagaimana supaya memperoleh

kemenangan (seperti peperangan, perkelahian bahkan lembaga pengadilan).

Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para Sengketa adalah

pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang

berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan

akibat hukum bagi keduanya. Berdasarkan kedua pendapat di atas maka dapat

dikatakan bahwa sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau

lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi

sanksi hukum bagi salah satu diantara keduanya. 66

Dengan demikian ada tiga unsur pokok dalam suatu sengketa Ketiga

unsur pokok tersebut adalah:

1) Adanya dua atau lebih pihak yang terlibat;

2) Adanya perbedaan kehendak/ pendapat/kepentingan;

65
Takdir Rahmadi. 2017. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.
Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. hal. 1.
66
Ali. Achmad Chomzah, 2003, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak
Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta :
Prestasi Pustaka), hal 14.
66

3) Adanya ketidaksediaan dari salah satu pihak untuk menanggapi

secara positip atau melakukan kehendak (prestasi) yang diinginkan

oleh pihak lainnya (wanprestasi). 67

Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Faktor-

faktor tersebut dapat digolongkan ke dalam faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal berkaitan dengan kepentingan dan karakter dari

para pihak yang bersengketa, Faktor internal berkaitan dengan internal

individu atau pihak-pihak yang bersengketa yang berupa kepentingan atau

kebutuhan dari individu atau pihak yang bersangkutan yang diperlukan

pemenuhannya. Secara individual suatu sengketa dapat terjadi karena

adanya kebutuhan-kebutuhan dari individu yang dirasa perlu untuk

dipenuhi namun di sisi lainnya upaya untuk memenuhi kebutuhannya itu

berbenturan dengan kebutuhan individu yang lainnya. Demikian pulalah

halnya dengan kelompok individu sebagai pihak yang bersengketa yang

memiliki kepentingan tertentu yang berhadapan dengan kepentingan dari

kelompok individu lainnya, di mana masing-masing pihak berebut untuk

pemenuhannya.

Faktor eksternal berkaitan dengan komponen-konponen atau

unsur-unsur yang ada disekitar para pihak yang bersangkutan. Penyebab

konflik yang bersifat eksternal antara lain sebagaimana dikemukakan oleh

Owens, R.G. adalah karena adanya aturan-aturan dan prosedur baik yang

67
Komar Kantaatmadja, 2001, Beberapa Hal Tentang Arbitrase, Bandung, Citra Aditya
Bakri, hlm. 3.
67

tertulis maupun tidak tertulis yang diberlakukan secara kaku dan keras. 68

Penerapan aturan dan prosedur secara kaku dan keras menyebabkan

seseorang tidak dapat bebas bergerak ataupun bertindak, dan sebagai

akibatnya aturan atau prosedur tersebut merupakan satu penghalang.

Faktor eksternal lainnya dapat pula berupa kebijakan yang diambil oleh

kekuasaan tertentu yang eksesnya menyentuh kepentingan dari kelompok-

kelompok masyarakat yang pada akhirnya melahirkan sengketa.

Alo Liliweri, mengemukakan bahwa konflik dapat terjadi internal

antar anggota kelompok dan juga antar kelompok. Konflik internal antara

anggota kelompok dapat terjadi karena: kohesi berkurang, lebih

berorientasi pada tugas, telalu mengutamakan organisasi, dan pemimpin

sangat otoriter. Sedangkan konflik antar kelompok dapat terjadi karena:

kekerasan meningkat, stereoti yang negatif, komunikasi memburuk dan

antivitas kelompok lain yang tertutup. 69

Sengketa merupakan bagian dari konflik yang muncul sebagai satu

perselisihan antara dua atau lebih subyek hukum yang berisikan tuntutan

pemenuhan hak dan kewajiban berkenaan dengan satu obyek atau satu

prestasi tertentu. Pengertian konflik lebih luas dari sengketa, oleh karena

di dalam konflik dapat dilihat adanya perselisihan baik yang kelihatan

maupun tidak kelihatan, sedangkan sengketa menunjukkan konflik yang

telah muncul keluar dalam bentuk tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban

68
Wahyudi, 2008, Manajemen Konflik : Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner,
Alfabeta Bandung, Cet.Ke 3, h. 35.
69
Alo Liliweri, 2005, Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur, LkiS, Yogyakkarta, Cet.I, h. 335-336.
68

tertentu. Dengan demikian maka dalam konflik tidak selalu ada upaya

penyelesaian, karena sering dibiarkan dalam keadaan terpendam,

sedangkan dalam sengketa diperlukan satu penyelesaian karena telah

menampakkan diri sebagai bagian dari tuntutan hukum yang harus

dipenuhi. Kalau tidak, akan menjadi sengketa yang berkepanjangan, atau

hal-hal yang tidak diinginkan.

Demikian pulalah halnya dengan sengketa adat yang merupakan

bagian dari konflik adat, yang belakangan ini cukup marak terjadi

dilingkungan masyarakat adat di Bali, baik subyeknya berupa orang

perorangan ataupun kelompok orang sebagai satu komunitas yang dikenal

dengan masyarakat adat dalam bentuk banjar adat atau desa adat (Desa

adat). Sengketa adat ini tentunya diawali oleh adanya ketidakpuassan salah

satu pihak yang disebabkan oleh tindakan dari pihak lainnya yang

dipandang merugikan atau tidak menghargai dirinya, sehingga timbul

reaksi baik dalam bentuk “pembelaan diri” maupun tuntutan atas kerugian

yang ada. Sering pula terjadi bahwa sengketa muncul dalam bentuk

bentrokan fisik antar pihak yang bersangkutan yang apabila ditelusuri

lebih jauh didasari oleh konflik berkepanjangan yang tidak kunjung

teratasi sehingga mengakibatkan ketegangan yang terpendam dan pada

akhirnya muncul dalam bentuk tindak kekerasan. Oleh karena itu

persoalan sengketa adat tidak dapat dilepaskan dari faktor yang

mendasarinya dalam bentuk konflik-konflik awal yang mendahuluinya.


69

Sengketa atau konflik dapat diartikan sebagai suatu perselisihan

yang terjadi antara dua pihak karena adanya perbenturan kepentingan yang

diperjuangkan pemenuhannya oleh masing-masing pihak menurut

kehendaknya sendiri. Schuyt mengemukakan bahwa konflik adalah suatu

situasi yang didalamnya terdapat dua pihak atau lebih yang mengejar

tujuan-tujuan yang satu dengan yang lain tidak dapat diserasikan dan

mereka dengan daya upaya mencoba dengan sadar menentang tujuan-

tujuan pihak lain.70 Konflik terjadi karena masing-masing pihak bersaing

untuk mencapai tujuannya masing-masing dan dalam persaingan itu

tentunya akan ada upaya untuk mengalahkan pihak lain dan dengan

demikian salah satu pihak meraih kemenangan. Di dalam persaingan ini

mungkin pula muncul persaingan yang tidak sehat yang menimbulkan

kerugian pada pihak lain yang akhirnya melahirkan sengketa. 71

2.2.2 Bentuk-Bentuk Penyelesaian Sengketa

Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dan biasanya dilakukan

menggunakan dengan dua cara yaitu penyelesaian sengketa melalui

Lembaga litigasi (melalui pengadilan) dan penyelesaian sengketa melalui

non-litigasi (di luar pengadilan).

1) Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi

70
B.R. Rijkschroeff, 2001, Sosiologi, Hukum, dan Sosiologi Hukum, Mandar Maju,
Bandung, cet. ke 1, h. 183.
71
Jimmy Joses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan
(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, & Arbitrase), Visimedia, Jakarta, Cet.Pertama, h. 5.
70

Apabila para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa melalui

musyawarah mufakat, para pihak dapat menyelesaikan melalui badan

peradilan, yaitu diajukan ke Pengadilan Negeri secara perdata. Gugatan

perdata yang diajukan dapat berupa sengketa kepemilikan hak atas tanah

atau penguasaan hak atas tanah oleh orang lain

Dalam peraturan perundang-undangan tidak ada yang memberikan

definisi mengenai litigasi, namun dapat dilihat di dalam Pasal 6 ayat 1

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang pada

intinya mengatakan bahwa sengketa dalam bidang perdata dapat

diselesaikan para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang

dilandasi itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara

litigasi di Pengadilan Negeri.

Menurut Frans Hendra Winarta, dalam bukunya yang berjudul

Hukum Penyelesaian Sengketa mengatakan bahwa litigasi merupakan

penyelesaian sengketa secara konvensional dalam dunia bisnis seperti

dalam bidang perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan

gas, energi, infrastruktur, dan sebagainya. Proses litigasi menempatkan

para pihak saling berlawanan satu sama lain. Selain itu, penyelesaian

sengketa secara litigasi merupakan sarana akhir (ultimum remidium)

setelah upaya-upaya alternatif penyelesaian sengketa tidak membuahkan

hasil.72

72
Frans Hendra Winarta. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional. Jakarta. Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 1 dan 2
71

Litigasi adalah gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan

untuk menggantikan konflik sesungguhnya dimana para pihak

memberikan kepada seorang pengambilan keputusan dua pilihan yang

bertentangan.

Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal (very

formalistic) dan sangat teknis (very technical). Seperti yang dikatakan J.

David Reitzel “there is a long wait for litigants to get trial”, jangankan

untuk mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap, untuk

menyelesaikan pada satu instansi peradilan saja, harus antri menunggu. 73

2) Penyelesaian Sengketa Secara Non-Litigasi

Rachmadi Usman, mengatakan bahwa selain melalui

litigasi (pengadilan), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan

melalui jalur non-litigasi (di luar pengadilan), yang biasanya disebut

dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) di Amerika, di Indonesia

biasanya disebut dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya

disebut APS).74 Terhadap penyelesaian sengketa di luar pengadilan (di

Indonesia dikenal dengan nama APS) telah memiliki landasan hukum yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase.

Jenis penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar pengadilan yaitu:

73
Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 233.
74
Rachmadi Usmani. 2012. Mediasi di Pengadilan : Dalam Teori dan Praktik. Jakarta.
Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 8.
72

a. Konsultasi

Konsultasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan

dengan bantuan pihak ketiga yang disebut konsiliator.

b. Mediasi

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari dari

bahasa Latin, mediare yang berarti berada di tengah. Makna ini

menunjukan pada peran yang ditampakkan pihak ketiga sebagai

mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan

menyelesaikan sengketa antar pihak. ‘Berada di tengah’ juga

bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak

memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu

menjaga kepentingan pihak yang bersengketa secara

adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari

pihak yang bersengketa.75

Banyak pihak yang mengakui bahwa mediasi adalah

proses untuk menyelesaikan sengketa dengan bantuan pihak

ketiga. Peranan pihak ketiga tersebut adalah dengan melibatkan

diri untuk membantu para pihak mengidentifikasi masalah-

masalah yang disengketakan dengan mengembangkan sebuah

75
Syahrizal Abbas, 2011, Mediasi dalam Hukum Syariah Hukum Adat dan Hukum
Nasional,
Kencana, Jakarta, hlm. 2.
73

proposal. Proposal tersebut diharapkan dapat digunakan

sebagai acuan untuk menyelesaikan sengketa tersebut.76

Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian

sengketa yang lebih cepat dan murah, serta dapat memberikan

akses yang lebih besar kepada para pihak penemu penyelesaian

yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.

Menurut Pasal 1 angka (1) Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

(selanjutnya disebut PERMA 1/2016) bahwa mediasi

merupakan cara penyelesaian sengketa melalui proses

perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak

dengan dibantu oleh Mediator.

Pengaturan mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan

Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase bahwa terhadap sengketa yang tidak

dapat diselesaikan melalui negosiasi, maka penyelesaian

sengketa diselesaikan melalui bantuan seorang atau

lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Mediasi

pada dasarnya adalah negosiasi yang melibatkan pihak ketiga

yang memiliki keahlian mengenai prosedur mediasi yang

efektif, sehingga dapat membantu dalam situasi konflik untuk

mengkoordinasikan aktivitas mereka sehingga dapat lebih

76
Gatot Sumartono, 2006, Undang-Undang Tentang Arbitrase dan Mediasi di Indonesia,
Gramedia, Jakarta, hlm. 119.
74

efektif dalam proses tawar menawar. Mediasi juga dapat

diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak

dengan kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap

netral dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para

pihak tetapi menunjang sebagai fasilitator untuk terlaksananya

dialog antar pihak dengan suasana keterbukaan, kejujuran dan

tukar pendapat untuk tercapainya mufakat.

c. Arbitrase

Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa dimana

para pihak yang bersengketa menyerahkan pertikaian mereka

kepada pihak lain yang netral guna mendapatkan keputusan

yang menyelesaikan sengketa. 77 Landasan hukum mengenai

arbitrase dapat dilihat dalam beberapa peraturan perundang-

undangan di Indonesia. Arbitrase diatur dalam Pasal 59 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman (selanjutnya disebut UU 48/2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman) bahwa arbitrase merupakan cara

penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan yang

didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis

oleh para pihak yang bersengketa. Pasal 1 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase menjelaskan

bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa perdata di

77
Agnes Wynona, 2013, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Jurnal Beraja Niti,
Vol. 2 No.8
75

luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian

arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa.

Arbitrase digunakan untuk mengantisipasi perselisihan

yang mungkin terjadi maupun yang sedang mengalami

perselisihan yang tidak dapat diselesaikan secara negosiasi atau

konsultasi maupun melalui pihak ketiga serta untuk

menghindari penyelesaian sengketa melalui Lembaga peradilan

yang selama ini dirasakan memerlukan waktu yang lama.

d. Negosiasi

Negosiasi adalah perundingan yang diadakan secara

langsung antara para pihak dengan tujuan untuk mencari

penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga. 78

Pengertian negosiasi tidak diatur secara eksplisit dalam

Undang-Undang, namun dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

bahwa pada dasarnya para pihak dapat dan berhak untuk

menyelesaikan sendiri sengketa yang timbul dalam pertemuan

langsung dan hasil kesepakatan tersebut dituangkan dalam

bentuk tertulis yang disetujui para pihak. Menurut Ficher dan

Ury sebagaimana dikutip oleh Nurnaningsih Amriani, negosiasi

merupakan komunikasi dua arah yang dirancang untuk

78
Huala Adolf, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta, Sinar
Grafika, hlm 26
76

mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki

berbagai kepentingan yang sama meupun yang berbeda.79 Hal

ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh Susanti Adi

Nugroho bahwa negosiasi adalah proses tawar menawar untuk

mencapai kesepakatan dengan pihak lain melalui proses

interaksi, komunikasi yang dinamis dengan tujuan untuk

mendapatkan penyelesian atau jalan keluar dari permasalahan

yang sedang dihadapi oleh kedua belah pihak. 80

Negosiasi adalah proses bekerja untuk mencapai suatu

perjanjian dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan

komunikasi yang sama dinamis dan variasinya, serta

harus dan bernuansa sebagaimana keadaan atau yang dapat

dicapai orang81

e. Konsiliasi

Pengertian mengenai konsiliasi tidak diatur secara

eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase. Namun penyebutan konsiliasi sebagai salah satu

Lembaga alternatif penyelesaian sengketa dapat ditemukan

dalam ketentuan Pasal 1 angka (10) dan Alinea ke-9 (Sembilan)

dalam penjelasan umum.

79
Nurnaningsih Amriani. 2012. Op. Cit, Hal. 23.
80
Susanti Adi Nugroho. 2009. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Jakarta. Penerbit : Telaga Ilmu Indonesia. Hal. 21.
81
Garry Goodpaster, 2009, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Jakarta, Proyek ELIPS, hlm.
13.
77

Konsiliasi merupakan lanjutan dari mediasi. Mediator

berubah fungsi menjadi konsiliator, dalam hal ini konsiliator

menjalankan fungsi yang lebih aktif dalam mencari bentuk-

bentuk penyelesaian sengketa dan menawarkannya kepada para

pihak apabila para pihak dapat menyetujui, solusi yang dibuat

konsiliator akan menjadi resolution. Kesepakatan yang terjadi

akan bersifat final dan mengikat para pihak. Apabila pihak

yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan

dan pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa.

Konsiliasi memiliki kesamaan dengan mediasi, kedua cara ini

melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa secara

damai.82

f. Penilaian Ahli

Pendapat ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan

sesuai dengan bidang keahliannya. Dan mempunyai

kewenangan untuk memberikan rekomendasi tentang cara

penyelesaian sengketa yang bersangkutan.83

Sebagaimana dapat diambil kesimpulan atas pengertian

Alternatif Penyelesaian Sengketa dalam Pasal 1 Angka (10)

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

bahwa Penilaian Ahli merupakan salah satu cara menyelesaikan

82
Sri Hajati, Sri Winarsi, dkk. 2011, Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Surabaya.
Penerbit : Airlangga University Press. Hal. 434
83
Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
hlm 287
78

sengketa di luar pengadilan. Penilaian ahli merupakan cara

penyelesian sengketa oleh para pihak dengan meminta

pendapat atau penilaian ahli terhadap perselisihan yang sedang

terjadi.

Novri Susan mengemukakan adanya dua model dalam

penyelesaian konflik (sengketa) yang disebutnya sebagai tata

kelola konflik yaitu :

1. Conflict Management. Merupakan bagian dari tata kelola

konflik sebagai usaha untuk mengubah perilaku negatif dari

mereka yang terlibat konflik menjadi perilaku positif yang

menciptakan perdamaian. Conflict Management bertujuan

mencegah konflik menghasilkan bentuk-bentuk kekerasan, baik

langsung dan struktural. Conflict Management adalah

pencegahan konflik dari kekerasan tanpa harus mencapai

pemecahan masalah. Dalam model ini terlihat adanya

penggunaan kekuasaan untuk menekan pihak-pihak yang

bersengketa agar menerima penyelesaian yang ditawarkan. 84

2. Democratic Conflict Governance, sebagai suatu dinamisasi

hubungan antara berbagai aktor dan lembaga dalam tata kelola

unsur-unsur konflik yang ditandai oleh aktivitas memersuasi,

memusyawarahkan, dan mengimplementasikan kebijakan

perdamaian yang telah tercapai yang merupakan hasil

84
Novri Susan, 2010, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 136-139.
79

musyawarah pihak-pihak yang terlibat konflik, yang harus

diimplementasikan oleh seluruh pihak yang terlibat. 85

Jelas dalam pandangan di atas penyelesaian konflik yang

sebenar-benarnya dalam arti yang betul-betul menyelesaikan

masalahnya seyogyanya mengikuti model democratic conflict

governance karena kepentingan para pihak akan dapat terpenuhi

secara optimal sesuai dengan posisinya masing-masing. Pandangan

N. Susan inipun lebih menggambarkan model penyelesaian

sengketa di luar pengadilan, dan lebih cenderung merupakan

bagian dari proses penyelesaian sengketa dengan menggunakan

model mediasi atau konsiliasi.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa apabila terjadi

konflik atau sengketa diperlukan langkah-langkah untuk

menyelesaikannya, melalui satu bentuk penyelesaian yang

dipandang memadai. Dalam perkembangannya pola penyelesaian

sengketa dalam kehidupan masyarakat dapat dibagi dalam dua

kelompok besar yaitu:

1. Pola penyelesaian sengketa melalui proses ajudikasi atau

litigasi yaitu melalui proses peradilan yang dikenal sesuai

sistem hukum yang ada. Di Indonesia dilakukan melalui badan-

badan peradilan menurut ketentuan perundang-undangan yang

berlaku seperti peradilan umum, peradilan militer, peradilan

85
Ibid, hlm. 139-140
80

agama dan peradilan tata usaha negara. Dasar hukum dari

peradilan dalam sistem hukum di Indonesia ini dapat

ditemukan dalam Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang

Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman

2. Pola penyelesaian non-ajudikasi atau non-litigasi yaitu

penyelesaian diluar proses peradilan. Pola ini dikenal pula

dengan penyelesaian sengketa alter natif (alternative dispute

resolution disingkat ADR). Pola penyelesaian

sengketa alternatif ini meliputi: negosiasi, mediasi, konsiliasi

dan arbitrase. 86 Pola ini dapat ditemukan dasar hukumnya

dalam Undang-Undang No. 30 tahun 1999, tentang Arbitrase

dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam undang-undang

ini, sesuai namanya yaitu Undang-Undang tentang

Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Arbitrase

dipisahkan dari Alternatif Penyelesaian Sengketa. Yang

dimaksud dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah

lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat

melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian

di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,

konsiliasi atau penilaian ahli (pasal 1 angka 10 UU No. 30

tahun 1999).

86
Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 39.
81

Antara kedua jenis pola penyelesaian sengketa di atas

terkandung perbedaan-perbedaan yang prinsipiil yaitu:

1. Penyelesaian secara litigasi merupakan satu paksaan dari salah

satu pihak untuk menyelesaikan sengketanya lewat badan

peradilan, sedangkan penyelesaian alternatif tergantung pada

kesepakatan bersama.

2. Penyelesaian sengketa litigasi memiliki sifat eksekutorial

dalam arti dapat dipaksakan pemenuhannya sedangkan

penyelesaian alternatif tidak dapat dipaksakan melainkan

tergantung pada itikad baik para pihak

3. Biaya untuk penyelesaian litigasi relatif lebih mahal

dibandingkan dengan penyelesaian alternatif terutama

manakala harus menyewa pengacara

4. Penyelesaian sengketa litigasi mengikuti prosedur formal

sedangkan penyelesaian alternatif tidak.

5. Penyelesaian litigasi bersifat terbuka, sedangkan penyelesaian

alternatif biasanya bersifat tertutup (rahasia). 87

87
Jimmy Joses Sembiring, op.cit. h. 9-10.
82

BAB III

BENTUK-BENTUK SENGKETA TANAH AYAHAN DESA DI DESA

ADAT UMANYAR KABUPATEN KARANGASEM

3.1 Kasus-kasus Sengketa Yang Mneyangkut Tanah Ayahan Desa di Desa

Adat Umanyar

Pengaturan pertanahan di Bali pasti berkaitan dengan hukum adat yang

berada di Bali, terlepas dari aturan manapun, aturan di hukum adat memang lebih

terstruktur karena aturan tersebut sudah ada sejak dahulu dikenal dengan istilah

tanah adat, atau tanah druwen desa (tanah milik desa). Tanah ini bisa kita kaitkan

dengan struktur kepustakaan hukum adat Bali yang di sebut “hak ulayat”. Hak

ulayat merupakan serangkain wewenang dan kewajiban masyarakat hukum adat,

yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya

merupakan pendukung utama penghidupan dan kehidupan masyarakat yang

bersangkutan sepanjang masa, yaitu yang berhubungan dengan hak bersama

kepunyaan atas tanah tersebut, adapun termasuk hukum public, berupa tugas dan

wewenang untuk mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan dan

penguasaan serta pemeliharaannya

Penguasaan tanah secara yuridis dilandasi oleh hak, yang dilindungi oleh

hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk

menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) telah diatur dan

ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum

Tanah Nasional:

80
83

1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam pasal 1, sebagai hak

penguasaan atas tanah yang tertinggi, beraspek perdata dan publik.

2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam pasal 2, semata-

mata beraspek publik.

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam pasal 3,

beraspek perdata dan publik.

4. Hak-hak perorangan/individual, semuanya beraspek perdata, terdiri

atas :

a. Hak-hak atas tanah sebagai hak-hak individual yang

semuanya secara langsung ataupun tidak langsung

bersumber pada Hak Bangsa, yang disebut dalam pasal

16 dan 53`

b. Wakaf, yaitu Hak Milik yang sudah diwakafkan, pasal

49.

c. Hak Jaminan atas tanah yang disebut “Hak tanggungan”

dalam pasal 25,33,39 dan 51.

Perlu di ketahui juga bahwa tanah di Bali ini mempunyai jenis dan fungsi

yang berbeda, diantaranya sebagai berikut:

1. Tanah Desa, merupakan tanah yang di jaga oleh masyarakat desa yang

nantinya dapat digunakan usaha untuk pembelian maupun usaha apapun.

2. Tanah Laba Pura, ialah tanah yang dulu milik desa namun didirikan

sebuah kawasan tempat suci yang di gunakan untuk keperluan kegiatan

keupacaraan Pura tersebut.


84

3. Tanah Pekarangan Desa (PKD), adalah tanah yang di pegang atau di

kuasai sepenuhnya oleh desa kepada krama desa yang didirikan untuk

perumahan yang umumnya dalam tapak atau batasan tertentu yang hampir

sama dalam setiap keluarga

4. Tanah Ayahan Desa (AYDS), adalah tanah yang dimana dikuasi oleh

masyarakat desa yang pengerjaannya diberikan atau di persembahkan

kepada para krama desa dinikmati hasilnya dan mendapatkan haknya. 88

Sebagaian tanah adat adalah berpilah menjadi hak kepunyaan bersamaan

dari suatu sekumpulan masyarakat hukum adat dilihat sebagai tanah bersama

yang diistilahkan “pemberian atau anugerah” oleh sebuah kekuatan gaib, dan oleh

sebab itu apabila hak perorangan bersumber dari tanah yang bersama. Di sebutkan

bahwa tanah ada tersebut seperti Pekarangan Desa (PKD), AYDS, dikuasai oleh

individu yang dalamnya terkandung konsep Tri Hita Karana, yang berupa Mrajan

(sebuah kepercayaan/believe system) yang di ambil dari konsep Parhyangan,

kemudian Palemahan yang diartikan sebagai wujud wilayah rumah tersebut

(artefact system), dan yang terakhir adalah konteks Pawongan yang kita tau

“wong” itu artinya manusia, jadi berwujud sebagai keluarga tersebut (social

system), yang merupakan konteks dari pada krama banjar adat tersebut dan sudah

diatur oleh awig-awig.89

Sengketa dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor

tersebut dapat digolongkan ke dalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor

88
Suasthawa Dharmayuda, I. M. (2001). Desa Adat, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
Bali di Propinsi Bali. Upada Sastra. Hlm. 19
89
Suwitra, I. M. (2009). Eksistensi Hak Penguasaan Dan Pemilikan Atas Tanah Adat Di
Bali Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional. Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang. Hlm. 10
85

internal berkaitan dengan kepentingan dan karakter dari para pihak yang

bersengketa, Faktor internal berkaitan dengan internal individu atau pihak-pihak

yang bersengketa yang berupa kepentingan atau kebutuhan dari individu atau

pihak yang bersangkutan yang diperlukan pemenuhannya. Secara individual suatu

sengketa dapat terjadi karena adanya kebutuhan-kebutuhan dari individu yang

dirasa perlu untuk dipenuhi namun di sisi lainnya upaya untuk memenuhi

kebutuhannya itu berbenturan dengan kebutuhan individu yang lainnya. Demikian

pulalah halnya dengan kelompok individu sebagai pihak yang bersengketa yang

memiliki kepentingan tertentu yang berhadapan dengan kepentingan dari

kelompok individu lainnya, di mana masing-masing pihak berebut untuk

pemenuhannya.

Faktor eksternal berkaitan dengan komponen-konponen atau unsur-unsur

yang ada disekitar para pihak yang bersangkutan. Penyebab konflik yang bersifat

eksternal antara lain sebagaimana dikemukakan oleh Owens, R.G. adalah karena

adanya aturan-aturan dan prosedur baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang

diberlakukan secara kaku dan keras.90 Penerapan aturan dan prosedur secara kaku

dan keras menyebabkan seseorang tidak dapat bebas bergerak ataupun bertindak,

dan sebagai akibatnya aturan atau prosedur tersebut merupakan satu penghalang.

Faktor eksternal lainnya dapat pula berupa kebijakan yang diambil oleh

kekuasaan tertentu yang eksesnya menyentuh kepentingan dari kelompok-

kelompok masyarakat yang pada akhirnya melahirkan sengketa.

90
Wahyudi, 2008, Manajemen Konflik : Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner,
Alfabeta Bandung, Cet.Ke 3, h. 35.
86

Alo Liliweri, mengemukakan bahwa konflik dapat terjadi internal antar

anggota kelompok dan juga antar kelompok. Konflik internal antara anggota

kelompok dapat terjadi karena: kohesi berkurang, lebih berorientasi pada tugas,

telalu mengutamakan organisasi, dan pemimpin sangat otoriter. Sedangkan

konflik antar kelompok dapat terjadi karena: kekerasan meningkat, stereoti yang

negatif, komunikasi memburuk dan antivitas kelompok lain yang tertutup. 91

Berdasarkan wawancara dengan bapak I Gede Putu Selaku Bendesa Desa

Adat Umanyar beliau menjelaskan bahwa terdapat beberapa Faktor Penyebab

Terjadinya Sengketa Tanah Di Desa Adat Umanyar Kabupaten Karangasem

dimana faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :

1) Adanya kesimpangsiuran silsilah keluarga

Minimnya pengetahuan terkait silsilah keluarga kadang dapat

menyebabkan permasalahan sengketa tanah, dimana tanah biasanya

akan menjadi obyek waris sehingga jika terjadi kesimpangseriuran

terkait silsilah keluarga akan membuat kejelasan status kepemilikikan

tanah tersebut juga menjadi simpangsiur hal tersebutlah yang sering

menjadi penyebab terjadinya sengketa tanah yang diakibatkan para

pihak yang bersengketa merasa sama-sama berhak atas tanah yang

dirasa merupakan warisan dari keluarganya.

2) Kurangnya pemahaman masyarakat desa adat umanyar akan sistem

serta pola pewarisan adat

91
Alo Liliweri, 2005, Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur, LkiS, Yogyakkarta, Cet.I, h. 335-336.
87

Kurangnya perhatian masyarakat terkait sisten dan pola pewarisan

adat membuat masyarakat tidak mengetahui bagaimana tata cara

pewarisan yang benar atau apakah obyek waris dalam hal ini tanah

bisa diwariskan atau tidak sehingga kurangnya pemahaman

masyarakat terkait system dan pola pewarisan adat ini juga sering

menjadi penyebab sengketa tanah di desa adat Umanyar.

3) Keberadaan data lama yang masih diragukan keasliannya oleh

sebagian orang.

Data merupakan faktor penting dari pembuktian kepemilikan sebuah

tanah sehingga data memiliki peran yang penting akan tetapi jika data

tersebut merupakan data lama maka tak jarang ada yang meragukan

keasliannya mengingat kejelasan data tersebut juga susah untuk

dibuktikan sehingga hal ini tak jarang menjadi penyebab terjadinya

sengketa tanah di desa adat Umanyar. 92

Pendapat Bapak I Gede Putu juga ditambahkan oleh bapak I Made

Suardana dimana berdasarkan wawancara dengan Bapak I Made Suardana selaku

Saba Desa Desa Adat Umanyar beliau menjelaskan bahwa selain faktor yang di

jelaskan sebelumnya oleh Bapak I Gede Putu juga terdapat faktor-faktor lain yang

menjadi Penyebab Terjadinya Sengketa Tanah Di Desa Adat Umanyar Kabupaten

Karangasem dimana faktor-faktor tersebut diantaranya adalah :

1) Proses administrasi pertanahan yang kurang jelas

92
Wawancara dengan I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar pada hari senin 9
Agustus 2021 Pada Pukul 11.00 Wita.
88

Dalam hal ini proses administrasi pertanahan yang kurang jelas tak

jarang mengakibatkan terjadinya sertifikat kepemilikan ganda yang

dimana secara otomatis hal ini bisa menyebabkan sengketa dimana

para pihak merasa memiliki sertifikat kepimilikan atas tanah yang

menjadi obyek sengketa tersebut.

2) Kurangnya pemahaman masyarakat tentang regulasi pertanahan

nasional.

Kurangnya edukasi kepada masyarakat terkait regulasi pertanahan

nasional membuat banyak masyarakat yang kurang paham tentang

tata cara regulasi pertanahan secara nasional seperti tata cara

pembuatan sertifikat atas tanah yang dimiliki yang membuat banyak

tanah tanpa sertifikat yang tak jarang menjadi obyek sengketa tanah di

desa adat Umanyar karena tidak ada pembuktian yang jelas atas

kepemilikan tanah tersebut. 93

Analisis penulis terkait jawaban yang diberikan informan jika dilihat dari

teori efektivitas hukum dimana Teori efektivitas hukum menurut Soerjono

Soekanto adalah bahwa efektif atau tidaknya suatu hukum ditentukan oleh 5

(lima) faktor, yaitu Faktor hukumnya sendiri, Faktor penegak hukum , Faktor

sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, Faktor masyarakat, dan

Faktor kebudayaan maka Faktor Penyebab Terjadinya Sengketa Tanah Di Desa

Adat Umanyar Kabupaten Karangasem terdiri dari beberapa faktor yaitu faktor

93
Wawancara dengan Bapak I Made Suardana selaku Saba Desa Desa Adat Umanyar
pada hari senin 9 Juni Pukul 12.00 Wita
89

hukumnya itu sendiri dimana Proses administrasi pertanahan yang kurang jelas,

faktor penegak hukum dimana Keberadaan data lama yang masih diragukan

keasliannya oleh sebagian orang yang dimana ini merupakan kesalahan penegak

hukum dalam hal ini pemerintah desa adat tidak melakukan pembaharuan data

kepemilikan atas tanah di desa adat umanyar, faktor masyarakat dimana Adanya

kesimpangsiuran silsilah keluarga, Kurangnya pemahaman masyarakat desa adat

umanyar akan sistem serta pola pewarisan adat dan Kurangnya pemahaman

masyarakat tentang regulasi pertanahan nasional,

3.1.1 Kasus Sengketa Yang Menyangkut Tanah Ayahan Desa di Desa

Adat Umanyar

Menurut Nurnaningsih Amriani, sengketa merupakan perselisihan

yang terjadi antara para pihak dalam perjanjian karena adanya wanprestasi

yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam perjanjian tersebut. 94

Sedangkan menurut Takdir Rahmadi, sengketa adalah situasi dan kondisi

dimana orang-orang saling mengalami perselisihan yang bersifat factual

maupun perselisihan menurut persepsi mereka saja. 95

Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat macam-macam

penyelesaian sengketa pada awalnya, bentuk-bentuk penyelesaian sengketa

yang dipergunakan selalu berorientasi pada bagaimana supaya memperoleh

kemenangan (seperti peperangan, perkelahian bahkan lembaga pengadilan).

94
Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan. Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 13.
95
Takdir Rahmadi. 2017. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.
Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. hal. 1.
90

Oleh karena kemenangan yang menjadi tujuan utama, para Sengketa adalah

pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang

berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan

akibat hukum bagi keduanya.

Berdasarkan kedua pendapat di atas maka dapat dikatakan bahwa

sengketa adalah perilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang

dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sanksi

hukum bagi salah satu diantara keduanya. 96 Dengan demikian ada tiga unsur

pokok dalam suatu sengketa Ketiga unsur pokok tersebut adalah:

1) Adanya dua atau lebih pihak yang terlibat;

2) Adanya perbedaan kehendak/ pendapat/kepentingan;

3) Adanya ketidaksediaan dari salah satu pihak untuk menanggapi

secara positip atau melakukan kehendak (prestasi) yang diinginkan

oleh pihak lainnya (wanprestasi). 97

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Pokok-Pokok Dasar Agraria (UUPA) yang dimaksud dengan

tanah adalah permukaan bumi. Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa “Atas

dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2

ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut

tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik

sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan

96
Ali. Achmad Chomzah, 2003, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak
Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta :
Prestasi Pustaka), hal 14.
97
Komar Kantaatmadja, 2001, Beberapa Hal Tentang Arbitrase, Bandung, Citra Aditya
Bakri, hlm. 3.
91

hukum”. Sehingga Tanah dalam arti hukum memiliki peranan yang sangat

penting dalam kehidupan manusia karena dapat menentukan keberadaan

dan kelangsungan hubungan dan perbuatan hukum, baik dari segi individu

maupun dampak bagi orang lain maka tak jarang tanah menjadi obyek yang

disengketakan.

Berdasarkan wawancara dengan Bapak I Nyoman Ngurah Oka

selaku pecalang di desa adat Umanyar beliau menjelaskan bahwa di Desa

Adat Umanyar kasus Sengketa Tanah ayahan desa yang terjadi di desa adat

umanyar adalah

1) Sengketa Hak Milik Atas Tanah Ayahan Desa

Biasanya para pihak yang bersengketa merasa bahwa tanah yang

menjadi obyek sengketa merupakan tanah miliknya yang dimana tak

jarang ada pihak yang melakukan pengakuan hak milik tanah tanpa

adanya sertifikat tanah tersebut. Contohnya sengketa tanah plaba pura

1) Sengketa Hak Guna Atas Tanah Ayahan Desa

Biasanya para pihak yang bersengketa merasa pihak lainnya telah telah

menguasai dan mengerjakan tanah milik orang lain yang menjadi

obyek sengketa tanpa alas hak dan dasar hukum yang sah. Contohnya

sengketa tanah perkebunan.98

Berdasarkan wawancara dengan I Gede Putu Selaku Bendesa Desa

Adat Umanyar beliau menjelaskan bahwa salah satu contoh kasus yang
98
wawancara dengan Bapak I Nyoman Ngurah Oka selaku pecalang di desa adat
Umanyar Pada hari senin 9 Agustus pukul 10.00 Wita
92

pernah terjadi di desa adat umanyar adalah sengketa tanah I Ketut Deden, I

Wayan Sila, dan I Nengah Dipayana melawan pihak tergugat yaitu I

Komang Alit Adnyana, dan I Wayan Daniasa. Dimana dalam sengketa

tersebut telah di upayakan upaya mediasi oleh pihak desa akan tetapi para

pihak yang bersengketa tidak puas dan memilih menyelesaikan sengketa

melalui jalur pengadilan. 99 Sengketa tanah I Ketut Deden, I Wayan Sila,

dan I Nengah Dipayana melawan pihak tergugat yaitu I Komang Alit

Adnyana, dan I Wayan Daniasa sebelumnya teleh selesai dan mendapat

putusan pengadilan yaitu putusan Nomor 96/Pdt.G/2019/PN

Analisis terkait jawaban yang diberikan informan jika dilihat

berdasarkan teori Utilitarianisme dimana Menurut Satjipto Raharjo, teori

kemanfaatan (kegunaan hukum) bisa dilihat sebagai perengkapan

masyarakat untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan. Oleh karena itu

ia bekerja untuk memberikan petunjuk tentang tingkah laku berupa norma

(aturan-aturan hukum) maka bentuk sengketa tanah di desa adat Umanyar

Kabupaten Karangasem merupakan tidak kemanfaatan hukum disini

diarasa belum maksimal dimana masih adanya sengketa tanah di desa adat

Umanyar sehingga hal ini membuktikan bahwa perengkapan masyarakat

untuk menciptakan ketertiban dan keteraturan belum terlaksana dengan

baik

99
Wawancara dengan I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar pada hari senin 9
Agustus 2021 Pada Pukul 11.00 Wita.
93

3.2 Analiais mengenai Bentuk Sengketa Tanah Di Desa Adat Umanyar

Kabupaten Karangasem

Pada putusan Nomor 96/Pdt.G/2019/PN Amp. Dimana dalam kasus

tersebut terdapat sengketa tanah dengan obyek sengketa berupa Sebidang tanah

yang terletak di Desa Bhuana Giri Kecamatan Bebandem, Pipil Nomor : 39,

Kelas : III, Luas : 0,170 Ha, Surat Padol Nomor : 117/1958, SPPT Nomor :

51.07.010.012.000.0267.7 atas nama : I Sentana (alm). Pihak yang bersengketa

dalam kasus sengketa ini adalah pihak penggugat adalah I Ketut Deden, I Wayan

Sila, dan I Nengah Dipayana melawan pihak tergugat yaitu I Komang Alit

Adnyana, dan I Wayan Daniasa.

Duduk perkara dalam putusan Nomor 96/Pdt.G/2019/PN Amp adalah

secara fakta dan hukum obyek sengketa adalah sah milik alm. I Nengah Sentana,

karena tanah tersebut sampai sekarang masih atas nama alm. I Nengah Sentana

dan Para Penggugat masih tetap membayar pajak atas obyek sengketa yang

dimana Para Penggugat adalah anak kandung dari alm. I Nengah Sentana, yang

secara hukum Para Penggugat patut dan sah untuk mewarisi dan menguasai tanah

sengketa sebagai tanah peninggalan alm. I Nengah Sentana. Sedangkan perbuatan

hukum dari Tergugat I yang tidak mau mengembalikan obyek sengketa kepada

Para Penggugat, serta memberikan Tergugat II untuk menggarap dan memetik

hasil dari tanah sengketa, yang karenanya perbuatan hukum Tergugat I dan II

adalah merupakan perbuatan melawan hak dan melawan hukum, karena telah

menguasai dan mengerjakan tanah milik orang lain tanpa alas hak dan dasar

hukum yang sah dan dengan Tergugat I telah menguasai dan menghasili obyek
94

sengketa, selanjutnya diberikan kepada Tergugat II untuk menggarap tanpa alas

hak yang sah, serta sebagai perbuatan melawan hukum, maka Para Penggugat

telah merasa dirugikan secara materiil.

Pada putusan Nomor 96/Pdt.G/2019/PN Amp hal yang penjadi

pertimbangan hakim dalam mengadili sengketa tanah tersebut adalah sebagai

berikut :

1) Menimbang, bahwa Para Penggugat adalah anak yang sah dari alm. I

Nengah Sentana, oleh karena itu berhak mewarisi obyek sengketa, yang

saat ini dikuasai oleh Para Tergugat;

2) Menimbang, bahwa oleh karena itu perbuatan Para Tergugat menguasai

obyek sengketa adalah suatu Perbuatan Melawan Hukum;

3) Menimbang, bahwa terhadap dalil Para Penggugat tersebut Para Tergugat

membantah dengan dalil pada pokoknya, bahwa tanah obyek sengketa

merupakan tanah Ayahan Desa (AYDS) yaitu tanah yang dimiliki oleh

Desa, dan pengelolaannya diberikan kepada warga Desa berdasarkan

persetujuan oleh Prajuru/Pengurus Desa Adat Umanyar, yang dalam hal

ini Objek Sengketa telah diserahkan/dilakukan melaisang/pengoperan

Tanah Ayahan Desa (AYDS) dari orang tua Para Penggugat kepada orang

tua Tergugat I yang bernama Pak Megeng. Dengan demikian Para

Tergugat mempunyai alas hak untuk menguasai obyek sengketa;

4) Menimbang, bahwa berdasarkan jawab menjawab dan keterangan para

saksi yang telah diakui atau setidak-tidaknya tidak disangkal para pihak,

maka menurut hukum harus dianggap terbukti hal-hal sebagai berikut:


95

a) Bahwa obyek sengketa merupakan tanah Ayahan Desa

(AYDS) yang berdasarkan Awig-Awig Desa Umanyar yaitu

status suatu tanah milik Desa yang penguasaannya dapat

dimiliki oleh warga Desa Umanyar dan dapat dialihkan

melalui proses jual beli/ pelaisan berdasarkan persetujuan

Pengurus Desa, dimana pengelola atau yang menguasai tanah

AYDS tersebut mempunyai kewajiban untuk ngayah atau

membiayai kegiatan di Desa yang jumlah dan waktunya

diatur menurut ketentuan Awig-Awig tersebut;

b) -Bahwa tanah AYDS tersebut dapat disertifikatkan ke atas

nama warga Desa akan tetapi tidak bisa dijual keluar warga

Desa;

5) Menimbang, bahwa yang menjadi persengketaan antara kedua belah pihak

adalah mengenai siapakah pemilik obyek sengketa tersebut;

6) Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 163 HIR/283 RBg Para Penggugat

berkewajiban untuk membuktikan hal tersebut di at as;

7) Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalilnya Para Penggugat telah

mengajukan bukti berupa bukti P-1 sampai dengan P-15 dan 5 (lima)

orang Saksi yaitu I Ketut Penpen, I Nengah Tamiasa, I Nengah Ramia, I

Komang Marna, dan I Komang Widiasih;

8) Menimbang, bahwa dari alat-alat bukti yang diajukan oleh Penggugat

yaitu alat bukti surat P-4 tentang fotokopi Surat Padol Nomor : 117/1958,

tanggal 28 Oktober 1958, diketahui obyek sengketa telah dibeli oleh I


96

Sentana dari pengelola sebelumnya yaitu I Rajeg, dan P-5 s/d P-11yaitu

berupa SPPT pajak serta keterangan Saksi I Ketut Penpen dan I Nengah

Tamiasa yang pada pokoknya menerangkan obyek sengketa telah

dibeli/dipelaisan (hak pengelolaannya) oleh I Sentana dari I Rajeg;

9) Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil sangkalannya Para Tergugat

telah mengajukan bukti surat berupa bukti T-1 sampai dengan T-11 dan

mengajukan 3 (tiga) orang Saksi yaitu I Wayan Berata, I Ketut Astika, dan

I Made Gama;

Sehingga berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut hakim

mengadili sengketa tanah dalam putusan Nomor 96/Pdt.G/2019/PN pokok-pokok

putusan dari hakim adalah sebagai berikut :

1. Menyatakan hokum, Objek Sengketa adalah tanah Ayahan

Desa (AYDS) milik Desa Adat Umanyar, Desa Bhuana Giri

Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem ;

2. Menyatakan hukum, Putusan Desa Adat Pempatan Putusan

Nomor: 01/SK/DPP/2019 tentang Penetapan Hak Pengelolaan

Sebidang Tanah Ayahan Desa (Ayds) Di Desa Adat Umanyar

Adalah Sah;

3. Menyatakan hukum, hak pengelolaan Objek Sengketa dibagi 2

(dua) antara Penggugat I Rekonvensi/Tergugat I Konvensi dan

Para Tergugat Rekonvensi/Para Penggugat Konvensi;


97

4. Menyatakan Para Penggugat dalam Konvensi/Para Tergugat

dalam Rekonvensi telah melakukan Perbuatan Melawan

Hukum (Onrechtmatige Daad) ;

5. Dan Menghukum Para Penggugat Konvensi/Para Tergugat

Rekonvensi secara tanggung renteng untuk membayar biaya

perkara sejumlah Rp1.811.000,- (satu juta delapan ratus sebelas

ribu rupiah);

Berdasarkan wawancara dengan I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat

Umanyar beliau menjelaskan bahwa Dalam putusan Nomor 96/Pdt.G/2019/PN

Amp. Dimana dalam kasus tersebut terdapat sengketa tanah dengan obyek

sengketa berupa Sebidang tanah yang terletak di Desa Bhuana Giri Kecamatan

Bebandem, Pipil Nomor : 39, Kelas : III, Luas : 0,170 Ha, Surat Padol Nomor :

117/1958, SPPT Nomor : 51.07.010.012.000.0267.7 atas nama : I Sentana (alm).

Pihak yang bersengketa dalam kasus sengketa ini adalah pihak penggugat adalah I

Ketut Deden, I Wayan Sila, dan I Nengah Dipayana melawan pihak tergugat yaitu

I Komang Alit Adnyana, dan I Wayan Daniasa merupakan salah satu bentuk

penyelesaian sengketa terkait tanah ayahan desa di desa adat umanyar melalui

jalur litigasi atau lewat pengadilan. Dalam penyelesaian sengketa terkait tanah

ayahan desa di desa adat Umanyar sendiri bisa melalui dua upaya dimana upaya

litgasi sebperti kasus dalam putusan Nomor 96/Pdt.G/2019/PN Amp atau melaui
98

jalur non litigasi yaitu melalui muswarah desa adat dengan upaya mediasi antar

paa pihak yang bersengkata. 100

100Wawancara dengan I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar pada hari senin
9 Agustus 2021 Pada Pukul 11.00 Wita.
99

BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA TANAH AYAHAN DESA DI DESA ADAT

UMANYAR

4.1 Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Adat Bali

Pada dasarnya penyelesaian sengketa dapat dan biasanya dilakukan

menggunakan dengan dua cara yaitu penyelesaian sengketa melalui Lembaga

litigasi (melalui pengadilan) dan penyelesaian sengketa melalui non-litigasi (di

luar pengadilan).

1) Penyelesaian Sengketa Secara Litigasi

Apabila para pihak tidak dapat menyelesaikan sengketa melalui

musyawarah mufakat, para pihak dapat menyelesaikan melalui badan peradilan,

yaitu diajukan ke Pengadilan Negeri secara perdata. Gugatan perdata yang

diajukan dapat berupa sengketa kepemilikan hak atas tanah atau penguasaan hak

atas tanah oleh orang lain

Pada peraturan perundang-undangan tidak ada yang memberikan definisi

mengenai litigasi, namun dapat dilihat di dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase yang pada intinya mengatakan bahwa

sengketa dalam bidang perdata dapat diselesaikan para pihak melalui alternatif

penyelesaian sengketa yang dilandasi itikad baik dengan mengesampingkan

penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.

Menurut Frans Hendra Winarta, dalam bukunya yang berjudul Hukum

Penyelesaian Sengketa mengatakan bahwa litigasi merupakan penyelesaian

sengketa secara konvensional dalam dunia bisnis seperti dalam bidang

97
100

perdagangan, perbankan, proyek pertambangan, minyak dan gas, energi,

infrastruktur, dan sebagainya. Proses litigasi menempatkan para pihak saling

berlawanan satu sama lain. Selain itu, penyelesaian sengketa secara litigasi

merupakan sarana akhir (ultimum remidium) setelah upaya-upaya alternatif

penyelesaian sengketa tidak membuahkan hasil. 101

Litigasi adalah gugatan atas suatu konflik yang diritualisasikan untuk

menggantikan konflik sesungguhnya dimana para pihak memberikan kepada

seorang pengambilan keputusan dua pilihan yang bertentangan.

Prosedur dalam jalur litigasi ini sifatnya lebih formal (very formalistic)

dan sangat teknis (very technical). Seperti yang dikatakan J. David Reitzel “there

is a long wait for litigants to get trial”, jangankan untuk mendapat putusan yang

berkekuatan hukum tetap, untuk menyelesaikan pada satu instansi peradilan saja,

harus antri menunggu.102

2) Penyelesaian Sengketa Secara Non-Litigasi

Rachmadi Usman, mengatakan bahwa selain melalui

litigasi (pengadilan), penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan

melalui jalur non-litigasi (di luar pengadilan), yang biasanya disebut dengan

Alternative Dispute Resolution (ADR) di Amerika, di Indonesia biasanya disebut

dengan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut APS). 103 Terhadap

penyelesaian sengketa di luar pengadilan (di Indonesia dikenal dengan nama APS)

101
Frans Hendra Winarta. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional
Indonesia dan Internasional. Jakarta. Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 1 dan 2
102
Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 233.
103
Rachmadi Usmani. 2012. Mediasi di Pengadilan : Dalam Teori dan Praktik. Jakarta.
Penerbit : Sinar Grafika. Hal. 8.
101

telah memiliki landasan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30

Tahun 1999 tentang Arbitrase. Jenis penyelesaian sengketa yang dilakukan di luar

pengadilan yaitu Konsultasi, Mediasi, Arbitrase, Negosiasi, Konsiliasi, dan

Penilaian Ahli

Sesungguhnya kewenangan desa adat dalam membuat awig-awig

mempunyai landasan hukum yang kuat, disamping karena bersumber dari

kodratnya sendiri (otonomi asli) juga bersumber pada kekuasaan Negara.

Berdasarkan otonomi desa pakaraman, sejak awal lahirnya atau terbentuknya desa

adat telah berwenang mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk membuat

peraturan-peraturan yang berlaku bagi warga desa adat yang bersangkutan Dalam

struktur kenegaraan RI, keberadaan desa adat mendapat pengakuan secara yuridis

berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan sebagai berikut:

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat

beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang

diatur dalam undang-undang”

Pada dasarya hukum adat bali yaitu Awig-awig adalah patokan-patokan

tingkah laku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang dibuat oleh masyarakat

yang bersangkutan, berdasarkan rasa keadilan dan kepatuhan yang hidup dalam

masyarakat, dalam hubungan antara krama (anggota desa adat/adat) dengan

Tuhan, antar sesama krama, maupun krama dengan lingkungannya. 104

104
Windia, P. Wayan. 2006. Pengantar Hukum Adat Bali. Lembaga Dokumentasi dan
Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, hlm. 55
102

Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di

Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya

dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang

bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku

yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan

rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan sehingga dalam

penyelesaian sengketa pada umumnya diselesaikan dengan musyawarah melalui

proses mediasi.105

Sehingga jika dilihat berdasarkan teori kepastian hukum dimana Menurut

Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu adanya aturan yang

bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak

boleh dilakukan dan Berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan

pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat

mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap

individu sehingga dalam hal Pengaturan Hukum Terkait Diakuinya Hukum Adat

maka sudah terlihat jelas bahwa hukum adat diakui dengan dasar Pasal 18B ayat

(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

menyatakan sebagai berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-

kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Sehingga aturan hukum

adat dapat juga di berlakukan dan diakui sebagai Hukum di Indonesia

105
Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana, hlm. 19
103

4.2 Penyelesaian Sengketa Menurut Awig-awig Desa Umanyar

Sama halnya didalam sebuah negara yang memiliki undang-undang atau

hukum dasar yang mengatur kehidupan warganya dan sebuah organisasi yang

memiliki anggaran dasar rumah tangga yang digunakan sebagai pedoman dalam

menjalankan organisasinya. Begitu juga dengan Desa Adat yang merupakan

sebuah lembaga adat juga mempunyai hal serupa. Desa Adat di Bali memiliki

sebuah aturan adat yang digunakan sebagai aturan khusus untuk mengatur

kehidupan masyarakat adat dalam wilayah kehidupan Desa Adat diluar kehidupan

Desa Dinas yang berpedoman pada hukum nasional/negara.

Sehingga awig-awig desa adat adalah kesatuan peraturan desa adat yang

tumbuh dari desa adat yang mengatur tata cara desa adat dalam keseharian yang

disertai dengan sanksi-sanksi dan aturan pelaksanaanya yang juga digunakan

sebagai pedoman oleh prajuru (perangkat) desa dalam mengatur dan melindungi

kepentingan warga atau anggota desa adat dalam seluruh sisi kehidupan warga

desa adat yang juga merupakan hukum adat yang berlaku di wilayah desa adat.

Oleh karena itu membicarakan awig-awig desa adat maka desa adat tersebut

merupakan teritorial atau wilayah yang di dalamnya sebagai dasar pengikatnya

diperlukannya awig-awig desa adat. Maka desa adat itu merupakan persekutuan

masyarakat yang bersifat tetap dan mempunyai kekuasaan sendiri, baik kelihatan

maupun yang tidak kelihatan. Masing-masing anggota merasa dirinya terikat

turun temurun, ada anggota tertentu berkuasa untuk bertindak untuk kesatuan

keseluruhannya, dari adat desa yang bersangkutan serta tidak terlepas dari konsep

Tri Hita Karana


104

Berdasarkan wawancara dengan bapak I Gede Putu Selaku Bendesa Desa

Adat Umanyar beliau menjelaskan bahwa dalam penyelesaian sengketa di desa

adat Umanyar berpatokan pada awig-awig desa adat Umanyar yaitu penyelesaian

sengketa berdasarkan asas kekeluargaan dan musyawarah.106 Dimana pernyataan

Bapak I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar selaras dengan

kewenangan prajuru desa adat dalam pawos 23 awig-awig desa Adat Umanyar

yang memuat:

Pawos 23

(1) Prajuru desa wenang ngetangang pamupon duen desa lan duwen desa

sane lianan.

(2) Pikolih lan pamupon keanggen prabea piodalan saha wewangunan di

pura.

(3) Nyabran sangkepan desa, dulu pengemong drue ngawentenang

preindik nunjuk lungsuring padrue ring krama desa.

(4) Saluir druen desa patut wenten ilikitanya.

(5) Tan kalugra ngadol utawi ngesahang padruen desa yan tan

kasungkemin antuk krama.

Artinya :

Pasal 23 :

(1) Pengurus desa berwenang mengurus hasil panen wilayah milik desa dan

desa yang lainnya

106
Wawancara dengan I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar pada hari senin
9 Agustus 2021 Pada Pukul 11.00 Wita.
105

(2) Pemasukan dan hasil panen digunakan untuk biaya upacara dan

pembangunan di pura

(3) Setiap rapat desa, apartaur desa mengeluarkan tentang himbauan atau

kebijakan kepada masyarakat desa

(4) Seluruh hak kepimilikan desa harus ada dasar kaitannya

(5) Tidak diperkenankan menjual atau mengesahkan kepemilikan desa jika

tidak disetujui oleh masyarakat desa

Pendapat bapak I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar juga di

tambahkan oleh bapak I Made Suardana dimana berdasarkan wawancara dengan

Bapak I Made Suardana selaku Saba Desa Desa Adat Umanyar beliau

menjelaskan bahwa tanah ayahan desa yang dalam hal ini merupakan kepimilikan

desa sehingga berdasarkan pawos 23 ayat (5) dimana Tidak diperkenankan

menjual atau mengesahkan kepemilikan desa jika tidak disetujui oleh masyarakat

desa sehingga dalam hal terjadinya sengketa maka perlu untuk dilakukan upaya

muswarah desa untuk menyelesaikan sengketa akan tetapi jika para pihak yang

bersengketa tidak menemukan penyelesaian sengketa dalam musawarah desa

tersebut maka penyelesaian sengketa juga bisa diselesaikan melalui jalur hukum

jika para pihak yang bersengketa tidak puas dengan hasil mediasi keputusan desa

adat dan jika para pihak yang bersengketa memang menginginkannya. 107

Analisis Penulis terkait jawaban yang diberikan informan jika dilihat

berdasarkan teori kewenangan dimana kewenangan adalah keseluruhan aturan-

107
Wawancara dengan Bapak I Made Suardana selaku Saba Desa Desa Adat Umanyar
pada hari senin 9 Juni Pukul 12.00 Wita
106

aturan yang berkenan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah

oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum public maka prajuru desa

adat yang dalam hal ini Bendesa adat memiliki kewenangan sebagai mediator

dalam Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Berdasarkan Awig-Awig Di Desa

Adat Umanyar Kabupaten Karangasem.

Selanjutnya jika dilihat berdasarkan teori keadilan dimana menurut John

Rawls bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah

memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan

kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan

yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan

sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat

timbal balik. Sehingga dalam hal Proses Penyelesaian Sengketa Tanah

Berdasarkan Awig-Awig Di Desa Adat Umanyar Kabupaten Karangasem dirasa

sudah bisa menciptakan keadilan dimana para pihak memiliki kesempata dan hak

yang sama dalam proses mediasi terkait sengketa tanah dan jika memang setelah

berakhirnya proses mediasi diantara para pihak masih ada pihak yang merasa

keberatan dengan hasil mediasi tersebut maka pihak yang merasa keberatan dapat

mengajukan penyelesaian sengketa melalui pengadilan

4.3 Penyelesaisan Sengketa Tanah Yang Berkaitan dengan tanah

Ayahan Desa di Desa Adat Umanyar.

Sengketa dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sengketa dapat

terjadi antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok, antara

kelompok dengan kelompok, antara perusahaan dengan perusahaan, antara


107

perusahaan dengan negara, antara negara satu dengan yang lainnya, dan

sebagainya. Dengan kata lain, sengketa dapat bersifat publik maupun bersifat

keperdataan dan dapat terjadi baik dalam lingkup lokal, nasional maupun

internasional.

Pengertian Sengketa dan Konflik saling berdekatan maknanya, maka

untuk memperoleh pemahaman secara menyeluruh harus mengetahui arti dari

istilah Sengketa dan Konflik. Menurut Kamus Besar Indonesia, Sengketa adalah

segala sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian, dan

perbantahan. Sedangkan Konflik adalah percecokan atau perselisihan.

Menurut Rachamadi Usman, suatu konflik tidak akan berkembang

menjadi suatu sengketa apabila pihak yang dirugikan hanya memendam perasaan

tidak puas atau keprihatinanya.108 Sebuah Konflik akan berkembang menjadi

sengketa bila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan tidak puas atau

keprihatinnanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Menurut Suyud Margono, Sengketa biasanya bermula dari suatu

situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang diawali oleh

perasaan tidak puas yang bersifat subyektif dan tertutup. Kejadian ini dapat

dialami oleh perorangan maupun kelompok. Perasaan Proses sengketa terjadi

karena tidak adanya titik temu antara pihak-pihak yang bersengketa. Secara

potensial, dua pihak yang mempunyai pendirian atau pendapat yang berbeda

berpotensi beranjak ke situasi sengketa. 109

108
Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,
Bandung, PT Mitra Aditya Bakti, hlm 1.
109
Suyud Margono, 2000, Alternative Dispute Resulution dan Arbitrase, Jakarta, Ghalia
Indonesia, hlm. 34.
108

Berdasarkan otonomi desa pakaraman, sejak awal lahirnya atau

terbentuknya desa adat telah berwenang mengurus rumah tangganya sendiri,

termasuk membuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi warga desa adat yang

bersangkutan Dalam struktur kenegaraan RI, keberadaan desa adat mendapat

pengakuan secara yuridis berdasarkan konstitusi, yaitu melalui Pasal 18B ayat (2)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan

sebagai berikut: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan

sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”

Berdasarkan aturan itu Negara Indonesia melalui instrumen hukum yang

ada Negara memberikan pengakuan hukum dan penghormatan secara konstitusi

keberadaan “kesatuan masyarakat hukum adat” termasuk di dalamnya

kewenangan/hak-hak tradisional yang dimiliki tetapi dengan syarat masih tetap

hidup dan memiliki eksistensi sesuai dengan dinamika masyarakat serta sesuai

dengan nilai-nilai kesatuan dan persatuan Indonesia. Selain itu dalam Konstitusi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang di atur pada

“Pasal 28 I ayat (3) disebutkan Identitas budaya dan hak masyarakat tra-disional

dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Demikian juga

“Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 menegaskan, Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati

selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.


109

Awig-awig adalah suatu produk hukum dari suatu organisasi tradisional di

Bali, yang umumnya dibuat secara musyawarah mufakat oleh seluruh anggotanya

dan berlaku sebagai pedoman bertingkah laku dari anggota organisasi yang

bersangkutan. Dengan demikian, awig-awig adalah patokan-patokan tingkah laku

yang dibuat oleh masyarakat yang bersangkutan berdasarkan rasa keadilan dan

rasa kepatutan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Awig-awig juga

mempunyai peranan yang sangat penting, karena merupakan landasan utama dan

pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana yaitu: Parhyangan hubungan yang

harmonis antara manusia (krama desa) dengan Sang Pencipta / Ida Sang Hyang

Widhi Wasa, Pawongan yaitu hubungan yang harmonis antar manusia dengan

manusia (antar karma desa). Palemahan hubungan yang harmonis antara manusia

dengan lingkungan.

Pada dasarnya penyelesaian sengketa berdasarkan hukum positif di

Indonesia dapat dan biasanya dilakukan menggunakan dengan dua cara yaitu

penyelesaian sengketa melalui Lembaga litigasi (melalui pengadilan) dan

penyelesaian sengketa melalui non-litigasi (di luar pengadilan). Berdasarkan

wawancara dengan bapak I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar beliau

menjelaskan bahwa Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Berdasarkan Awig-

Awig Di Desa Adat Umanyar Kabupaten Karangasem adalah dilakukan secara

kekeluargaan melalui mediasi dengan para pihak yang bersengketa dimana pihak-

pihak prajuru desa adat memiliki peran sebagai mediator dan melakukan upaya

mediasi kepada para pihak yang bersengketa. 110

110
Wawancara dengan I Gede Putu Selaku Bendesa Desa Adat Umanyar pada hari senin
9 Agustus 2021 Pada Pukul 11.00 Wita.
110

Selanjutnya Pendapat Bapak I Gede Putu juga ditambahkan oleh bapak I

Made Suardana dimana berdasarkan wawancara dengan Bapak I Made Suardana

selaku Saba Desa Desa Adat Umanyar beliau menjelaskan bahwa proses

pelaksanaan mediasi yang diakukan oleh Prajuru Desa Adat Umanyar terdiri dari

beberapa tahapan dalam pelaksanaan mediasi untuk menyelesaikan sengketa tanah

yang terjadi di Desa Adat Umanyar yaitu:

1) Pelaksanaan mediasi dilakukan oleh Bendesa Desa Adat Umanyar apabila

adanya laporan dari pihak yang merasa dirugikan.

2) Setelah adanya laporan masuk dari pihak yang merasa dirugikan,

kemudian laporan tersebut diperiksa oleh pihak Bendesa Desa Adat

Umanyar untuk mengetahui apakah benar terjadi sengketa sesuai dengan

apa yang telah dilaporkan.

3) Laporan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan tidak hanya

berupa laporan secara lisan saja, tetapi harus dilengkapi oleh surat yang

dibuat oleh pihak pelapor yang ditujukan kepada Kelian Desa Adat

Umanyar

4) Setelah itu Desa Adat Umanyar membentuk tim (Kerta Desa), untuk

memeriksa dan menindaklanjuti laporan yang telah masuk.

5) Kemudian Kerta Desa melakukan perencanaan untuk menyelesaikan

masalah itu (nepasin wicara) berdasarkan awig-awig yang berlaku di Desa

Adat Umanyar.
111

6) Dibuatkan surat pemanggilan untuk kedua belah pihak yang bersengketa

beserta saksi-saksi yang akan memberikan keterangan dan surat-surat

seperti sertifikat untuk dijadikan bukti kepemilikan tanah.

7) Kemudian dilakukan Paruman (mediasi) yang dilakukan oleh Kerta Desa

yang dihadiri oleh Prajuru Desa Adat Umanyar, Kerta Desa, saksi-saksi

dan kedua belah pihak yang bersengketa.

8) Setelah dilakukannya Paruman (mediasi) maka selanjutnya para Kerta

Desa akan memberikan keputusan atas permasalahan yang terjadi. Dasar-

dasar pertimbangan bagi Kerta Desa dalam memberikan keputusan yaitu

awig-awig yang berlaku di Desa Adat Umanyar. Bila masih ada waktu

maka pada hari itu juga akan diputuskan, tetapi apabila karena tidak cukup

waktu maka data-data yang ada akan dikaji dahulu oleh Kerta Desa

kemudian akan dicarikan waktu untuk mengadakan Paruman (mediasi)

kembali.

9) Kemudian kerta Desa memberikan keputusan atas permasalahan yang

terjadi. Apabila keputusan yang dikeluarkan oleh Kerta Desa tersebut tidak

diterima oleh kedua belah pihak yang bersengketa, maka akan dilakukan

Paruman (mediasi) ulang untuk memberikan putusan yang baru.

10) Setelah diberikan keputusan yang baru oleh Kerta Desa, apabila masih

tidak diterima oleh para pihak yang bersengketa maka, pihak Prajuru Desa

Adat Umanyar akan menyerahkan Kembali kepada para pihak yang

bersengketa dan akan diselesaikan berdasarkan hukum positif.


112

Pada bagian akhir isi putusan yang dikeluarkan oleh Bendesa Desa Adat

Umanyar yaitu bapak I Gede Putu berisi ketentuan: "Bilamana bagi para pihak

yang bersengketa tidak puas akan Putusan Desa Adat ini dapat dilanjutkan melalui

pengadilan dan dalam pelaksanaan mediasi dihadiri oleh perbekel sebagai saksi

dari unsur pemerintah (kedinasan)".111

111
Wawancara dengan Bapak I Made Suardana selaku Saba Desa Desa Adat Umanyar
pada hari senin 9 Juni Pukul 12.00 Wita
113

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1) Bentuk sengketa tanah di desa Adat Umanyar Kabupaten Karangasem

yaitu Sengketa Hak Milik Atas Tanah Ayahan Desa dimana Biasanya

para pihak yang bersengketa merasa bahwa tanah yang menjadi obyek

sengketa merupakan tanah miliknya yang dimana tak jarang ada pihak

yang melakukan pengakuan hak milik tanah tanpa adanya sertifikat

tanah tersebut contohnya sengketa tanah plaba pura dan Sengketa Hak

Guna Atas Tanah Ayahan Desa Biasanya para pihak yang bersengketa

merasa pihak lainnya telah telah menguasai dan mengerjakan tanah

milik orang lain yang menjadi obyek sengketa tanpa alas hak dan dasar

hukum yang sah contohnya sengketa tanah perkebunan.

2) Proses penyelesaian sengketa tanah berdasarkan Awig-Awig Di Desa

Adat Umanyar Kabupaten Karangasem adalah berdasarkan pawos 23

ayat (5) awig-awig desa adat Umanyar dimana Tidak diperkenankan

menjual atau mengesahkan kepemilikan desa jika tidak disetujui oleh

masyarakat desa sehingga dalam hal terjadinya sengketa maka perlu

untuk dilakukan upaya muswarah desa dengan prajuru desa menjadi

mediator dalam upaya mediasi untuk menyelesaikan sengketa akan

tetapi jika para pihak yang bersengketa tidak menemukan penyelesaian

sengketa dalam musawarah desa tersebut maka penyelesaian sengketa

juga bisa diselesaikan melalui jalur hukum jika para pihak yang

111
114

bersengketa tidak puas dengan hasil mediasi keputusan desa adat dan

jika para pihak yang bersengketa memang menginginkannya

5.2 Saran

1) Disarankapan kepada pemerinta desa adat Umanyar agar lebih

mensosialisasikan terkait aturan mengenai tanah ayahan desa kepada

masyarakat desa sehingga diharapkan dengan dengan pahamnya

masyarakat desa terkait aturan tanah ayahan desa dapat menimalisir

terjadinya sengketa tanah ayahan desa.

2) Disarankan kepada masyarakat desa adat Umanyar agar dalam upaya

penyelesaian sengketa diharuskan untuk melakukan upaya mediasi

terlebih dahulu sehingga diharapkan dalam penyelesaian sengketa bisa

selesai secara kekeluargaan dan musyawarah.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Achmad Ali. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang
(Legisprudence). Penerbit Kencana. Jakarta

Achmad, Ali. Chomzah, 2003, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa
Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi
Pemerintah, Prestasi Pustaka, Jakarta

Agnes Wynona, 2013, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Jurnal Beraja


Niti, Vol. 2 No.8

Alo Liliweri, 2005, Prasangka & Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur, LkiS, Yogyakkarta

Astiti, Tjok Istri Putra, 2005, Pemberdayaan Awig-awig Menuju Ajeg Bali,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Hukum Universitas Udayana,
Denpasar

B.R. Rijkschroeff, 2001, Sosiologi, Hukum, dan Sosiologi Hukum, Mandar Maju,
Bandung,

B.ter Haar, 1973, Arti Kontras Antara Berpikir Secara Berpartisipasi dan Berpikir
Secara Kritis Serta Peradilan Menurut Hukum Adat, terjemahan oleh LIPI
dan KITLV, Bhratara, Jakarta,

Bahder Johan Nasution, 2014, Pengaturan Hak Kebebasan Berserikat Bagi


Pekerja Di Indonesia, Surabaya

Bahder Johan Nasution, 2014, Pengaturan Hak Kebebasan Berserikat Bagi


Pekerja Di Indonesia, Surabaya

Bushar Muhammad, 1983, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan kedua, Pradnya


Paramita, Jakarta

Bushar Muhammad, 2000, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita. Jakarta,

Carl Joachim Friedrich, 2004. “Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan
Nusamedia. Bandung.

Didik Sukrino, 2012, Pembaharuan Hukum Pemerintahan Desa, Setara Press,


Malang

Djamanat Samosir, 2013, Hukum Adat Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung


Dominikus Rato, 2010, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami
Hukum, Laksbang Pressindo, Yogyakarta

Eny Kusdarini, 2011, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara Dan Asas-Asas


UmumPemerintahan Yang Baik, UNY Press, Yogyakarta

Frans Hendra Winarta. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional


Indonesia dan Internasional. Penerbit : Sinar Grafika. Jakarta

Garry Goodpaster, 2009, Panduan Negosiasi dan Mediasi, Proyek ELIPS, Jakarta

Gatot Sumartono, 2006, Undang-Undang Tentang Arbitrase dan Mediasi di


Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,

Hans Kelsen, 2011. “General Theory of Law and State”, diterjemahkan oleh
Rasisul Muttaqien, Nusa Media, Bandung

Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit


Mandar Maju, Bandung

Huala Adolf, 2004, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika,


Jakarta

I Gede Parimartha, 2013, Silang Pandang Desa Adat dan Desa Dinas di Bali,
Udayana University Press, Denpasar

I Ketut Sudantra, 2007, Pelaksanaan Fungsi Hakim Perdamaian Desa dalam


Kondisi Dualisme Pemerintahan Desa di Bali, Tesis Program Pasca
Sarjana Universitas Udayana, Denpasar,

I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat Dan Desa Dinas di Bali, Pustaka
Bali Post, Denpasar

Jimmy Joses Sembiring, 2011, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan


(Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, & Arbitrase), Visimedia, Jakarta,

John Rawls, 2006. “A Theory of Justice, London: Oxford University press”, yang
sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru
Prasetyo, Teori Keadilan, , Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Joni Emirzon, 2001, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT


Gramedia, Jakarta,

Kahar Masyhur, 1985. “Membina Moral dan Akhlak”, Kalam Mulia, Jakarta.

Ketut Sudantra, Wayan P Windia, 2006, Pengantar Hukum Adat Bali, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Udayana, Denpasar
Komar Kantaatmadja, 2001, Beberapa Hal Tentang Arbitrase, Citra Aditya Bakri,
Bandung

Koti Cantika, I Wayan dan Made Suasthawa Dharma Yudha, 1999 . Filsafat Adat
Bali, Cet . IV . Upada Sastra, Denpasar

L. J. Van Apeldoorn, 1996. “Pengantar Ilmu Hukum”, cetakan kedua puluh enam
Pradnya Paramita, Jakarta.

Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum


Adat di Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar

Made Suwitra, 2010. Eksintensi Hak Penguasaan dan Pemilikan Atas Tanah Adat
di Bali.Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional, Majalah Logoz
Publising, Bandung

Novri Susan, 2010, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik


Kontemporer, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Nur Basuki Winanrno, 2008, Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana


Korupsi, Laksbang Mediatama, Yogyakarta

Nurnaningsih Amriani. 2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di


Pengadilan. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta

Peter Mahmud Marzuki, 2014, Pengantar Ilmu Hukum Edisi Revisi, Kencana
Pranadamedia Groub, Jakarta, cet-ke 6

Purnomo, Joko, 2016, Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Infest, Yogyakarta,

Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT


Mitra Aditya Bakti, Bandung,

Riduan Syahrani, 1999, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung

Ridwan HR. 2008, Hukum Administrasi Negara. Jakarta. Raja Grafindo Persada,

Rubaie, H. Achmad, 2007, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum,


Cetakan Pertama, Kerja sama Pusderankum dan Bayumedia, Malang

Rusadi Kantaprawira, 1998, Hukum dan Kekuasaan”, Makalah, Universitas Islam


Indonesia, Jogjakarta

Satjipto Raharjo, 1991, Ilmu Hukum, Cet. III, Alumni, Badung

Sonny Keraf, 1998, Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya, Kanisius,


Yogyakarta
Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung

_______________, 1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV. Ramadja


Karya, Bandung

_______________, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Sri Hajati, Sri Winarsi, dkk. 2011, Buku Ajar Politik Hukum Pertanahan. Penerbit
: Airlangga University Press. Surabaya

Suasthawa Dharmayuda I Md, 1987. Status dan Fungsi Tanah Adat di Bali
Setelah Berlakunya UUPA. CV Kayu Mas Agung, Denpasar

Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di


Propinsi Bali, Upada Sastra, Denpasar

Suathawa Dharmayudha, 2004, Sekitar Hubungan Antara Desa adat Dengan Desa
Dinas, Universitas Udayana, Denpasar

Sudjito, 2014, Ilmu Hukum Holistik: Studi untuk Memahami Kompleksitas dan
Pengaturan Pengelolaan Irigasi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta

Suhrawardi K. Lunis, 2000. “Etika Profesi Hukum”, Cetakan Kedua, Sinar


Grafika, Jakarta

Surojo Wignjodipuro, 2000, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (cetakan ke-
7), CV. Hajimasagung, Jakarta

Susanti Adi Nugroho. 2009. Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa.


Jakarta. Penerbit : Telaga Ilmu Indonesia. Hal. 21.

Suwitra, I. M. (2009). Eksistensi Hak Penguasaan Dan Pemilikan Atas Tanah


Adat Di Bali Dalam Perspektif Hukum Agraria Nasional. Disertasi,
Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang

Suyud Margono, 2000, Alternative Dispute Resulution dan Arbitrase, Jakarta,


Ghalia Indonesia

Syahrizal Abbas, 2011, Mediasi dalam Hukum Syariah Hukum Adat dan Hukum
Nasional, Kencana, Jakarta

Takdir Rahmadi, 2011, Hukum Lingkungan Indonesia, Raja Grafindo Persada,


Jakarta
Takdir Rahmadi. 2017. Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan
Mufakat. Jakarta. Penerbit : PT. Raja Grafindo Persada.

Ter Haar, B., 1973, Arti Kontras Antara Berpikir Secara Berpartisipasi dan
Berpikir Secara Kritis Serta Peradilan Menurut Hukum Adat, terjemahan
oleh LIPI dan KITLV, Bhratara, Jakarta

Wahyudi, 2008, Manajemen Konflik : Pedoman Praktis Bagi Pemimpin Visioner,


Cet.Ke 3, Alfabeta Bandung,

Wayan P Windia, 2010, Bali Mawacara Menuju Bali Shanti, UdayanaUniversity


Press, Denpasar

Wayan P. Windia, I Ketut Sudantara, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali Cetakan
Kedua, Swasta Nulus, Denpasar,

Wijaya, HAW, 2003, Otonomi Desa; merupakan otonomi yang asli, bulat dan
utuh, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

Winardi, 2007, Managemen Konflik (Konflik Perubahan dan Pengembangan),


Mandar Maju, Bandung,

Yahya Harahap, 2009, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,


Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta

JURNAL

Budi Kresna Aryawan, SH. M.Kn, 2006, “Penerapan Sanksi Terhadap


Pelanggaran Awig-Awig Desa Adat Oleh Krama Desa Di Desa Adat
Mengwi Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung Propinsi Bali”,
Universitas Diponogoro

I Gusti Agung Ngurah Putra Ambara, SH., M.Kn, 2006, “Eksistensi Tanah-Tanah
Milik Pura Desa Adat Di Kota Denpasar”, Universitas Diponogoro.

Luh Putu Arya Stiti, 2014, “Pemanfaatan Tanah Setra Dalam Perspektif Hukum
Adat”, Universitas Hasanudin

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok


Agraria
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Republik


Indonesia Nomor 276/KEP-19.2/X/2017 tentang Penunjukan Desa Adat di
Provinsi Bali

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di


Pengadilan

Peraturan Daerah Tingkat I Bali Nomor 6 Tahun 1986 Tentang Keududukan


Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan masyarakat Hukum Adat
Dalam Propinsi Daerah Tingkat I Bali

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali

Peraturan Gubernur Bali Nomor 4 Tahun 2020 Tentang Peraturan Pelaksanaan


Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat
DAFTAR INFORMAN

1. NAMA : I GEDE PUTU

TTL : UMANYAR, 31 DESEMBER 1969

JABATAN : BENDESA ADAT

INSTANSI : DESA ADAT UMANYAR

ALAMAT : BR. DINAS UMANYAR

2. NAMA : I MADE SUARDANA

TTL : UMANYAR, 5 APRIL 1984

JABATAN : SABA DESA

INSTANSI : DESA ADAT UMANYAR

ALAMAT : BR. DINAS UMANYAR

3. NAMA : I NYOMAN NGURAH OKA

TTL : UMANYAR, 30 JUNI 1974

JABATAN : PECALANG DESA

INSTANSI : DESA ADAT UMANYAR

ALAMAT : BR. DINAS UMANYAR

Anda mungkin juga menyukai