SKRIPSI
Oleh :
SKRIPSI
Oleh :
SKRIPSI
Disetujui Oleh :
Pembimbing I : Pembimbing II :
Dr. Sy. Hasyim Azizurrahman, SH., M.Hum. Parulian Siagian, SH., M.Hum.
NIP. 1966102919922001 NIP. 198604132009122005
Disahkan Oleh :
D e k a n,
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
==========================================================
TIM PENGUJI
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena
atas karunia dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
Dalam penyusunan Skripsi ini hingga selesai tidak terlepas dari bantuan,
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan rasa
1. Prof. Dr. H. Garuda Wiko, SH., M.Si., FCB.Arb., selaku Rektor Universitas
Tanjungpura Pontianak.
2. Ibu Dr. Hj. Sri Ismawati, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
3. Bapak Alfonsius Hendri Soa, SH., MH., selaku Dosen Pembimbing Akademik
ini.
i
6. Bapak Dr. H. Aswandi, SH., M.Hum., selaku Dosen Penguji I yang telah
Pontianak.
Pontianak dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu baik
Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan demi
Akhir kata, penulis berharap semoga Skripsi yang sederhana ini dapat
Penulis,
ii
ABSTRAK
Dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran adat baik yang bersifat pidana
maupun perdata, masyarakat suku Dayak Bakati’ di Kecamatan Monterado Kabupaten
Bengkayang menyelesaikannya melalui peradilan adat. Begitu pula dalam menyelesaikan
kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi antara HLM
dan POL di Dusun Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten
Bengkayang. Kasus tindak pidana KDRT yang terjadi antara HLM dan POL di Dusun
Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang diselesaikan
dengan hukum pidana adat yang berlaku pada masyarakat suku Dayak Bakati’ yaitu Adat
Madok (adat memukul orang). Adat Madok terbagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, yakni: adat
madok ringan, adat madok sedang, dan adat madok berat.
Namun penyelesaian perkara tindak pidana KDRT melalui peradilan adat antara
HLM dan POL di Dusun Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten
Bengkayang ternyata diajukan juga ke Pengadilan Negeri Bengkayang. Bahkan, telah
diputus oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Bengkayang melalui Putusan Nomor
13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa HLM dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima belas) hari.
Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang dengan Putusan Nomor
13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dalam penyelesaian perkara tindak pidana KDRT pada
Masyarakat Adat Dayak Bakati di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang yang
telah diputus oleh Peradilan Adat Madok menimbulkan dualisme hukum karena menurut
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15
Mei 1991 : “Seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup
(hukum adat) di daerah tersebut adalah merupakan suatu perbuatan yang melanggar
hukum adat, yaitu “delict adat”. Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi adat
(sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu telah dilaksanakan oleh
terhukum. Terhadap si terhukum yang sudah dijatuhi “reaksi adat” oleh Kepala Adat
tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa
dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang
sama, melanggar hukum adat dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP (Pasal 5 ayat
(3) b Undang-Undang Nomor 1 Drt 1951). Dalam keadaan yang demikian, maka
pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri, harus
dinyatakan “tidak dapat diterima” (Niet Ontvakelijk Verklaard).
Alasan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang menjatuhkan pidana penjara
terhadap Terdakwa tanpa mempertimbangkan sanksi pidana adat yang telah dijatuhkan
terhadap Terdakwa oleh Peradilan Adat dikarenakan (a) Terdakwa HLM Bin JSM sudah
berulang kali melakukan tindak pidana KDRT terhadap istrinya POL Als. MS Binti FG,
walaupun telah dijatuhkan sanksi pidana adat, (b) sanksi pidana adat yang dijatuhkan
terhadap Terdakwa HLM Bin JSM tidak memberikan efek jera, sehingga Terdakwa
HLM Bin JSM mengulangi lagi tindak pidana KDRT terhadap istrinya POL Als. MS
Binti FG, dan (3) penjatuhan pidana penjara terhadap Terdakwa HLM Bin JSM untuk
memenuhi rasa keadilan bagi korban maupun masyarakat dan memberikan efek jera bagi
Terdakwa HLM Bin JSM.
Kata Kunci: Penyelesaian Perkara, KDRT, Peradilan Adat, Peradilan Umum.
iii
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN
iv
BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN
BAB IV P E N U T U P
A. Kesimpulan ............................................................................ 91
B. S a r a n .................................................................................. 92
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
ketentuan yang berlaku selalu berpedoman kepada suatu sistem hukum yang
berlaku secara nasional. Dalam ranah hukum pidana, ketentuan yang berlaku
juga tumbuh dan berkembang suatu sistem hukum yang bersumber dari
dengan sistem hukum lainnya di dunia. Hukum adat adalah hukum yang
yang berlaku di Indonesia seperti: Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 Perubahan
Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law) diikuti
dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke
hukum adat adalah masyarakat suku Dayak yang berada di Kalimantan Barat.
Suku Dayak di Kalimantan Barat terbagi ke dalam sub-sub suku dan masing-
masing sub suku memiliki perbedaan, baik dari segi bahasa, adat istiadat,
Salah satu sub suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat adalah
suku Dayak Bakati’. Suku Dayak Bakati’ merupakan sub suku rumpun Dayak
Monterado.
adat istiadat dan hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat tersebut.
Dewan Adat Dayak (DAD) ini dibentuk mulai dari tingkat Provinsi, tingkat
melalui peradilan adat. Begitu pula dalam menyelesaikan kasus tindak pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi antara HLM dan POL
Bengkayang.
Kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang
terjadi antara HLM dan POL di Dusun Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan
yang berlaku pada masyarakat suku Dayak Bakati’ yaitu Adat Madok (adat
memukul orang) dan HLM telah dijatuhkan sanksi adat Madok Ringan
dengan membayar denda adat sebesar Rp. 2.890.000,- (dua juta delapan ratus
ringan, adat madok sedang, dan adat madok berat. Adat madok ringan adalah
sanksi adat bagi orang yang memukul orang lain dan menyebabkan lebam-
lebam. Kemudian adat madok sedang adalah sanksi adat bagi orang yang
memukul orang lain dan menyebabkan keluar darah. Sedangkan adat madok
berat adalah sanksi adat bagi orang yang memukul orang lain dan
menyebabkan korban tidak sadarkan diri (pingsan) dan harus dirawat di
rumah sakit.
Tangga (KDRT) melalui peradilan adat antara HLM dan POL di Dusun Giri
Terdakwa HLM dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima
belas) hari.
adat melalui peradilan adat, padahal di dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut
“Seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup
melanggar hukum adat, yaitu “delict adat”. Kepala dan para pemuka adat
memberikan reaksi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat
dijatuhi “reaksi adat” oleh Kepala Adat tersebut, maka ia tidak dapat
melanggar hukum adat dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP (Pasal
Verklaard).
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
berikut:
D. Manfaat Penelitian
postif dan hukum pidana adat yang berkaitan dengan terjadinya dualisme
2. Manfaat Praktis
perkara yang telah diputuskan oleh peradilan adat karena memiliki dasar
E. Kerangka Teoritik
1. Tinjauan Pustaka
tertib dan aman. Apabila terjadi hal-hal yang menyimpang, maka peran
tidak ditaati atau dilanggar. Setiap bangsa mempunyai hukum sendiri dan
hidup di dalam masyarakat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar alam
pikiran bangsa Indonesia yang sudah barang tentu berlainan dengan alam
pikiran yang menguasai hukum barat. Dan untuk dapat memahami serta
sadar akan hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran
ilmu hukum. Dalam mengartikan sebuah istilah, tidak selalu harus dengan
1
Hermin Hadiati Koeswadji, Aspek Budaya Dalam Pemidanaan Delik Adat, Makalah
Dalam Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama Terhadap Hukum Pidana, Denpasar, 1957, 17-
19 Maret, h. 6.
2
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta,
1990, h. 68.
yang terhubung dengan negara atau yang mempunyai struktur otoritas
komponen, yaitu:
sistem hukum civil, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam.5
Sistem hukum adat berbeda dengan sistem hukum civil dan sistem
sosial.6
yaitu hukum pidana yang bersumber pada peraturan tidak tertulis ataupun
reaksi adat.8
daerah memiliki Hukum Pidana Adat yang berbeda sesuai dengan adat
istiadat yang ada di daerah tersebut dengan ciri khas tidak tertulis ataupun
terkodifikasikan.9
Hukum pidana adat sebagai satu kesatuan sistem dengan hukum adat,
tidak dapat dilepaskan dengan alam pikiran kosmis yang hidup dalam
6
Laksanto Utomo, Hukum Adat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2017, h. 8.
7
Topo Santoso, Pluralisme Hukum Pidana Indonesia, PT. Ersesco, Jakarta, 1990, h. 5-6.
8
Ibid., h. 9.
9
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka
Cipta, Jakarta, 1997, h. 11.
kenyataan yang masih berlaku dalam kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat.10
berlakunya serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati. Ter Haar terkenal
adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari
pelanggar maka adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat”. Ter Haar
menganggap hukum adat itu adalah hukum yang terdapat dalam keputusan
berlaku bagi orang pribumi dan orang-orang Timur Asing, yang di satu
pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak
10
Dewa Made Suarta, Hukum dan Sanksi Adat, Malang, 2015, Setara Press, h. 1.
11
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 2003, h. 14.
12
Cornelis van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, Djambatan kerjasama
dengan Inkultura Foundation Inc., Jakarta, 1983, h. 14.
Menurut Muladi bahwa hukum pidana adat dilandasi falsafah harmoni
dan communal, bersama dengan itu juga menegaskan hukum pidana adat
Hukum Pidana Adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan
terus hidup selama ada manusia yang berbudaya, ia tidak akan dapat
dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-
undang yang menghapuskannya akan percuma juga, malahan hukum
pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya,
oleh karena Hukum Pidana Adat itu lebih dekat hubungannya dengan
antropologi dan sosiologi dari pada hukum perundang-undangan.14
yaitu:
13
Nyoman Serikat Putra Jaya, “Hukum (Sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 45 No. 2, Edisi April 2016.
14
Hilman Hadikusuma, Op. Cit., h. 10.
3. Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan, karena
4. Atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi
adat.
hukuman apa yang harus dijatuhkan bila terjadi pelanggaran, namun yang
Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya bahwa untuk dapat disebut tindak
masyarakat dilanggar.16
15
Ibid., h. 10.
16
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h. 33.
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
masih hidup dan seseuai dengan perkembangan zaman. Hal itu berarti
Drt/1951:
Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil
ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian:
hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda
17
Rahmat Hj. Abdulah, “Urgensi Hukum Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Vol. 9,
No. 2, 2015, h. 176-177.
dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim
denda lima ratus rupiah. Sedangkan untuk delik hukum adat yang
menerima hukuman
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal
mengadili”.
norma negara. Sepanjang hukum adat tersebut masih hidup dan tumbuh
Hukum Adat Dayak Bakati’ juga adalah hukum yang hidup (living
law) dalam masyarakat adat, bagian dari hukum yang berasal dari adat
dari hukum adat yaitu hukum pidana adat. Setiap pelanggaran adat akan
Sanksi adat dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar adat oleh
musyawarah adat yang dilakukan oleh fungsionaris adat (hakim adat), hal
berikut:
rumah tangga yang dilakukan oleh, dalam dan terhadap “orang dalam
adat. Selain itu, pelakunya juga dikenakan sanksi pidana penjara oleh
peradilan umum.
adat”. Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi adat (sanksi adat)
Kepala Adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua
dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP (Pasal 5 ayat (3) b Undang-
berperkara.23
21
M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim, UII Press, Yogyakarta, 2014, h. 13.
22
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 211.
23
M. Natsir Asnawi, Op. Cit., h. 13.
3. Environmental in-put, faktor lingkungan, sosial budaya yang
mempunyai pengaruh dalam kehidupan seorang hakim, umpamanya
lingkungan organisasi dan seterusnya.24
hukum yang berlaku. Untuk itu, hakim wajib pula mengikuti dan
dengan hukum dan rasa keadilan" yang hidup dalam masyarakat, juga
hukum yang hidup dalam masyarakat. Makna dari ketentuan ini memberi
peran yang luas pada Hakim, bahwa untuk mendapat keadilan bagi si
wajib menggali hukum tidak tertulis, atau hukum yang hidup dalam
masyarakat.26
26
M. Fauzan, Deindividualisasi Putusan Hakim dalam Lembaga Peradilan, MA-RI, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIII No. 270 Mei 2008.
hukum. Dengan kata lain, Putusan itu menjadi kaidah yang mengikat
nurani yang menjadi sikap dan persepsinya dan juga sejalan dengan nilai-
ketertiban umum, moral dan kepentingan para pihak. Dalam hal ini,
2. Kerangka Konsep
suku Dayak sebagai salah satu suku asli di Kalimantan yang memiliki
beragam budaya dan adat istiadat. Suku Dayak ini terbagi lagi ke dalam
sub-sub suku dan masing-masing sub suku memiliki perbedaan, baik dari
segi bahasa, adat istiadat, struktur dan tatanan kehidupan maupun dari sisi
hukum adatnya.
Salah satu sub suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat adalah
suku Dayak Bakati’. Suku Dayak Bakati’ merupakan sub suku rumpun
Kecamatan Monterado.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi antara HLM dan
Kabupaten Bengkayang.
terjadi antara HLM dan POL di Dusun Giri Harja, Desa Beringin,
hukum pidana adat yang berlaku pada masyarakat suku Dayak Bakati’
yaitu Adat Madok (adat memukul orang). Adat Madok terbagi menjadi 3
(tiga) tingkatan, yakni: adat madok ringan, adat madok sedang, dan adat
madok berat.
Tangga (KDRT) melalui peradilan adat antara HLM dan POL di Dusun
Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang
Terdakwa HLM dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima
belas) hari.
perbuatan yang melanggar hukum adat, yaitu “delict adat”. Kepala dan
para pemuka adat memberikan reaksi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku
terhukum yang sudah dijatuhi “reaksi adat” oleh Kepala Adat tersebut,
dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat dan dijatuhi hukuman
Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi antara HLM dan POL di Dusun Giri
sanksi pidana adat melalui peradilan adat karena di dalam surat dakwaan
F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
dihadapi.28
27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2009, h. 32.
28
Ibid., h. 35.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan
2. Bahan Penelitian
yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan
hukum tersier.
Kehakiman.
29
Hardijan Rusli, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas
Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V No. 3 Tahun 2006, h. 50.
30
Ibid., h. 44.
d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
bahan hukum primer, dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu:
perkara pidana.
perkara pidana.
d) Doktrin, pendapat dan kesaksian dari ahli hukum baik yang tertulis
3. Informan Penelitian
a. Bahan hukum primer, sekunder dan tersier akan diperoleh melalui studi
terkait, dan akhirnya semua data tersebut di atas akan disusun secara
deskripsi yaitu menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi
31
Ibid., h. 164-166.
dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum, di mana dalam penelitian
penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau
salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi,
norma dalam suatu aturan hukum yang menjadi kajian dalam penulisan ini
hukum. Dalam mengartikan sebuah istilah, tidak selalu harus dengan cara
subsistem yang merupakan bagian dari sistem hukum itu sendiri yang
terhubung dengan negara atau yang mempunyai struktur otoritas yang bias
komponen, yaitu:
jangka panjang sebagai kerangka yang memberi bentuk dan definisi secara
keseluruhan. Substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku manusia dalam
sistem tersebut dan substansi tersebut tidak terbatas pada hukum tertulis saja,
namun juga hukum yang berlaku di masyarakat (living law). Sedangkan unsur
sistem hukum civil, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam.35
33
Lawrence M. Friedman, American Law, W.W. Norton and Company, New York, 1984, h.
7-12.
34
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, h. 11-13.
35
Zaka Firma Aditya dan Rizkisyabana Yulistyaputri, “Romantisme Sistem Hukum di
Indonesia: Kajian Atas Kontribusi Hukum Adat dan Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum
di Indonesia”, Jurnal Rechtsvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol. 8, No.1, April 2019,
h. 39.
a. Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law)
Civil Law atau Kode Sipil dapat didefinisikan sebagai suatu tradisi
hukum yang berasal dari Hukum Roma yang terkodifikasi dalam Corpus
Juris Civilis Justinian dan tersebar ke seluruh benua Eropa dan seluruh
dunia.36
Civil Law atau Kode Sipil terbagi ke dalam 2 (dua) cabang, yaitu :
sebagai berikut :
Secara singkat, apabila tidak ada hukum umum yang tertulis, dan tidak
sebagai hukum.
Sistem Civil Law diturunkan dari hukum Romawi Kuno, dan pertama
privat yang diaplikasikan kepada warga negara dan di antara warga negara.
Sistem hukum ini juga disebut sebagai Jus Guiritium sebagai lawan sistem
Terjemahan bebas:
1. Salah satu dari dua sistem hukum yang terkemuka di negara Barat,
awalnya diselenggarakan oleh Kerajaan Romawi and masih
mempunyai pengaruh di Eropa Kontinental, Amerika Latin,
Skotlandia, dan Louisiana, dan di beberapa negara di dunia.
2. Hukum Romawi.
komprehensif, dan sistematis yang dimuat dalam Kitab atau Bagian yang
disusun secara logis sesuai dengan hukum terkait. Oleh sebab itu,
peraturan civil law dianggap sebagai sumber hukum utama, dimana semua
39
Bryan A Gardner, Black’s Law Dictionary (Fourth Pocket Edition), West Publishing, United
State of America, 2011, h. 37.
sumber hukum lainnya menjadi subordinatnya, dan sering kali dalam
pada sistem ini adalah tugas utama pengadilan adalah untuk menerapkan
hakim dan oleh penegak hukum lainnya harus mengacu pada Kitab
40
Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum (Common Law, Civil Law and Socialist Law),
Nusa Media, Jakarta, 2013, h. 61-62.
41
Caslav Pejovic, Civil Law and Common Law: Two Different Paths Leading to The Same
Goal, Victoria University of Wellington Law Review, Volume 32, No. 3, August, England, 2001, p.
819.
2) Adanya perbedaan yang tajam antara hukum privat dengan hukum
peradilan itu tidak saja hanya terbatas pada peradilan pidana dan
privat secara prinsipal terdiri dari civil law dalam pengertian hukum
devisi hukum seperti hukum orang dan keluarga, hukum benda, rezim
3) Dalam sistem hukum civil law dikenal perbedaan hukum perdata (civil
Dalam sistem hukum common law tidak ada perbedaan antara hukum
hukum dagang adalah bagian dari hukum perdata, sebagai lawan dari
hukum pidana.42
Sistem hukum adat berbeda dengan sistem hukum civil dan sistem
sosial.45
42
Zainal Asikin Amirudin, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012,
h. 126-128.
43
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 8, Kencana, Jakarta, 2009, h. 286.
44
Ibid., h. 294.
45
Laksanto Utomo, Hukum Adat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2017, h. 8.
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan
menyesuaikan diri dan elastis. Penegak hukum adat adalah pemuka adat
Terdapat 3 (tiga) sifat yang menjadi ciri dari hukum adat, yaitu
sebagai berikut :
Dalam hukum adat, ada 2 (dua) unsur yang harus dipenuhi sehingga
dapat dikatakan sebagai hukum adat dan unsur inilah yang menimbulkan
46
Supriyady, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Lintasan Sejarah”, Addin Vol. 2 No. 1,
Januari-Juli 2008, h. 221.
47
Laksanto Utomo, Op. Cit., h. 8.
2. Unsur psikologis, yaitu bahwa dengan unsur ini maka terdapat
Antara sistem hukum adat dan sistem hukum civil terdapat perbedaaan
“living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
sebagainya.
bernegara. Sejak manusia itu berkeluarga mereka telah mengatur dirinya dan
pribadi itu ditiru orang lain, maka itu akan juga menjadi kebiasaan orang itu.
tadi, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi “adat” dari masyarakat tersebut.
lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi
semua anggota masyarakat, sehingga menjadi “hukum adat.” Jadi hukum adat
49
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h.
55.
bersangkutan. Untuk mempertahankan pelaksanaan hukum adat itu agar tidak
Istilah “hukum adat” berasal dari kata-kata Arab, “Huk’m” dan “Adah”.
adat artinya “kebiasaan”, yaitu perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Jadi,
istilah hukum adat yang merupakan terjemahan dari “adatrecht” berasal dari
keagamaan) dan pada puncak kejayaannya pada abad 19. Jadi, dalam
merupakan perjuangan ajaran Van den Berg yang dengan teorinya reception
in complex, dimana menurut teori ini adat istiadat dan hukum sesuatu
golongan masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh
50
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung, 2009, Alfabeta, h. 40.
51
Lilik Mulyadi, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian
Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya, untuk wilayah Pengadilan Tinggi Banda Aceh,
Medan, Denpasar, Mataram dan Banjarmasin, bulan Juni-Juli 2010, h. 23.
golongan masyarakat itu. Jadi, hukum adat sesuatu golongan masyarakat
merupakan hasil penerimaan bulat-bulat dari hukum agama yang dianut oleh
membedakan antara Hukum Adat dan Adat. Antara kedua istilah itu diartikan
sama saja dan istilah yang banyak digunakan adalah istilah “Adat” bukan kata
Adat”, baik Adat tanpa sanksi maupun Adat yang mempunyai sanksi.53
dianggap sakral karena merupakan kehendak dan warisan nilai budaya dari
nenek moyang dan para leluhur yang dihormati masyarakat dan karena itu
masyarakat. Namun Hukum Adat itu tidak bersifat statis karena sebagai
hukum yang hidup (the living law) di dalam masyarakat dia tumbuh dan
dan karena itu bersifat luwes (flexibel). Sedangkan hukum kebiasaan adalah
law).
52
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, h. 4.
53
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung,
1992, h. 10.
Perbedaannya dengan Hukum Adat terletak pada sifatnya yang tidak
bercorak khas pribumi tetapi timbul akibat terjadinya hubungan dengan dunia
masalah Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan. Hal ini antara lain masih
terlihat di dalam Seminar Hukum Nasional VI di Jakarta bulan Juli 1994. Ada
pendapat bahwa kedua istilah itu identik, tetapi adapula yang berpendapat
tidak identik, karena Hukum Adat itu lebih menunjukkan pada hukum yang
menurut Barda Nawawi Arief secara substansial ada keterjalinan erat antara
pengertian mengenai Hukum Adat baik oleh sarjana barat maupun oleh
54
Purwoto S. Ganda Subrata, Simposium Tentang Integrasi Hukum Adat Kedalam Hukum
Nasional Selama 50 Tahun Terakhir, BPHN, Jakarta, 9–10 Januari 1995, h. 4-5.
55
Barda Nawawi Arief, Permasalahan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Di
Indonesia, Bahan Ceramah Pada Forum Komunikasi Penelitian Bidang Hukum, FH-UNDIP, 5-9
Desember 1994 di Hotel Kencana Bandung, h. 6.
56
Cornelis van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, Djambatan kerjasama
dengan Inkultura Foundation Inc., Jakarta, 1983, h. 14.
b. B. Ter Haar Bzn: Hukum Adat adalah keseluruhan aturan yang
menjelma dari keputusan fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang
mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam
pelaksanaan berlakunya serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati.57
57
Hilman Hadikusuma, Op. Cit., h. 14.
58
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta,
1990, h. 14.
59
R. Soepomo, Kedudukan Hukum Adat di Kemudian Hari, Pustaka Rakyat, Jakarta, 1952, h.
30.
60
Soerjono Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Edisi ke-3, Rajawali, Jakarta, 1981,
h. 18.
g. M.M. Djojodigoeno: Sesungguhnya hukum itu bukanlah suatu
phenomenon yang tegar (statis) seperti halnya rangkaian ugeran,
melainkan karya manusia, suatu hal yang hidup dalam arti berangkap
dua, ia dapat berkembang (berevolusi) dan dapat bervariasi (plastis)
tegasnya dapat menyelesaikan hal yang berbeda di antara hak dan
kewajiban dalam peristiwa yang serupa, itulah yang saya maksud
hukum hidup (living law). Hukum Adat jika dilawan dengan hukum
perundangan (hukum kodifikasi) maka hukum adat itu adalah hukum
yang tidak bersumber pada peraturan.61
yang secara turun temurun telah ditaati oleh para masyarakat tersebut, baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis, tetapi secara keseluruhan masyarakat
61
Hilman Hadikusuma, Op. Cit., h. 21.
62
Soedirman Kartohadiprodjo, Hukum Nasional Beberapa Catatan, Bina Cipta, Bandung,
1974, h. 8.
63
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976, h. 250-251.
Hukum pidana adat menurut Bushar Muhammad adalah suatu perbuatan
keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan berbagai jalan dan
yaitu Adat Delicten Recht atau Hukum Pelanggaran Adat. Istilah yang
Adat adalah hukum yang menunjukkan peristiwa dan perbuatan yang harus
Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang hidup (living law). Hukum
Pidana Adat dijiwai oleh Pancasila, dijiwai oleh sifat-sifat kekeluargaan yang
64
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Cetakan 13, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2006, h.28.
dengan penyelesaian damai yang membawa kerukunan, keselarasan dan
kekeluargaan.
dan communal, bersama dengan itu juga menegaskan hukum pidana adat
Hukum Pidana Adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus
hidup selama ada manusia yang berbudaya, ia tidak akan dapat dihapus
dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-undang
yang menghapuskannya akan percuma juga, malahan hukum pidana
perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya, oleh karena
Hukum Pidana Adat itu lebih dekat hubungannya dengan antropologi dan
sosiologi dari pada hukum perundang-undangan.66
adat sendiri.
65
Nyoman Serikat Putra Jaya, “Hukum (Sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 45 No. 2, Edisi April 2016.
66
Hilman Hadikusuma, Op. Cit., h. 10.
3. Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan, karena
4. Atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi adat.
apa yang harus dijatuhkan bila terjadi pelanggaran, namun yang menjadi
terjadinya pelanggaran.67
Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya bahwa untuk dapat disebut tindak
dilanggar.68
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 B (2) UUD NRI
dalam undang-undang”.
67
Ibid., h. 10.
68
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h. 33.
Berdasarkan rumusan pasal di atas dapat diambil suatu penjelasan bahwa
Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil
pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja
dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap
tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah,
terhukum,
bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi
adalah pidana penjara selama 3 bulan dan atau pidana denda lima
ratus rupiah. Sedangkan untuk delik hukum adat yang sifatnya berat,
selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal
hukum adat yaitu hukum pidana adat. Setiap pelanggaran adat akan
(Obat Adat).70
Sanksi adat dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar adat oleh para
pengurus/penguasa adat. Dalam sistem hukum adat hanya dikenal satu jenis
melalui satu jenis peradilan saja yaitu melalui musyawarah adat yang
70
R. Otje Salman Soemadiningrat, Konseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,
Bandung, 2002, h. 16.
dilakukan oleh fungsionaris adat (hakim adat), hal ini selaras dengan apa
apa yang harus dijatuhkan bila terjadi pelanggaran, namun yang menjadi
terjadinya pelanggaran.72
reaksi adat.73
Pada hukum pidana adat, eksistensi sanksi pidana dan tujuan pemidanaan
mempunyai korelasi yang erat dan penting. Pada asasnya, konsep RUU
KUHP Tahun 2012 merumuskan tujuan pemidanaan. Aspek dan dimensi ini
bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau
diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban dan
74
Lilik Mulyadi, “Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Norma,
Teori, Praktik dan Prosedurnya”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2, Jakarta, 2013,
Juli, h. 234.
75
Ibid., h. 234.
76
Topo Santoso, Op Cit., h. 14.
C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) Menurut Peraturan Perundang-undangan dan Hukum
Adat
dengan hukum dan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, dan tindak
pidana.
yaitu adanya kejadian tertentu dan adanya orang yang berbuat, yang
suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan dapat disebut sebagai
perbuatan pidana apabila perbuatan itu telah masuk dalam ruang lingkup
sebagai berikut:
pengaturan yang jelas dalam arti terdapat kejelasan dari apa yang diatur.
Dan istilah “tindak pidana” mengandung pengertian yang tepat dan jelas
79
Tresna, Asas-asas Hukum Pidana, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1956, h. 28.
80
Satochid Kartanegara, Kumpulan Kuliah dan Pendapat-Pendapat Para Ahli Terkemuka,
Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, tanpa tahun, h. 74.
81
Ibid., h. 84-86.
undangan negara Indonesia sekarang ini pada umumnya menggunakan
berikut:
Istilah tindak pidana tidak sama dengan perbuatan pidana, jika dalam
istilah tersebut termasuk unsur pertanggungjawaban pidana. Namun
demikian, jika istilah tindak pidana terpisah dari unsur
pertanggungjawaban pidana, maka istilah tindak pidana akan sama
artinya secara ilmiah, dan untuk selanjutnya dalam uraian digunakan
istilah tindak pidana.82
82
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana
Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 26.
83
Ibid., h. 26.
untuk menyebut perbuatan yang melanggar larangan undang-undang
tersebut.
1. adanya subjek;
2. adanya unsur kesalahan;
3. perbuatan bersifat melawan hukum;
4. suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-
undang/perundangan dan terhadap yang melanggarnya diancam
pidana;
5. dalam suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu.84
Merujuk pada unsur-unsur tindak pidana di atas, maka E.Y. Kanter
suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang
84
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Storia, Jakarta, 2002, h. 208.
85
Ibid., h. 208.
atau melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
- kekerasan fisik;
- kekerasan psikis;
“Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”.
diartikan sebagai: sakit, cedera, luka, atau cacat pada tubuh seseorang.
Dalam usulan yang dibuat oleh DPR tanggal 6 Mei 2003, kekerasan
oleh DPR tanggal 6 Mei 2003 dijelaskan yang dimaksud dengan rasa
bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada
seseorang”.
termasuk tidak mudah dan tidak setiap orang dapat menilai bahwa
memutuskan kapan dan akankah mempunyai anak, hak untuk hidup, hak
untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk, hak memilih bentuk
a. pelecehan seksual;
c. pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak
disukai;
dalam bentuk tingkah laku, seperti kontak fisik dan cumbu rayuan,
rumah tangga yang dilakukan oleh, dalam dan terhadap “orang dalam
86
Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Dilengkapi dengan Uraian Unsur-unsur Tindak Pidananya), Merkid Press, Yogyakarta, 2008, h.
21.
Sedangkan pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut
Hal ini berbeda dengan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang
aparat penegak hukum yang tanggap dan tangguh (termasuk para hakim yang
87
Benny K. Harman, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jakarta, 1997, h. 5-6.
Selain itu, peranan kekuasaan kehakiman yang sentral dalam negara
hanya mengandalkan integritas moral para hakim dan tenaga-tenaga lain yang
berdasarkan pikiran dan hati nuraninya serta bebas dari campur tangan pihak
bahwa putusan hakim tersebut tidak didasarkan pada pendapat hakim semata
dan rasa keadilan yang subyektif,90 akan tetapi telah diarahkan pada
masyarakat.
88
Sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Serah Terima Jabatan Ketua Pengadilan Tinggi
Yogyakarta, dalam Mahkamah Agung RI, Kumpulan Naskah Pidato Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Jakarta, April 2002, h. 408.
89
Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2012, h. 226.
90
Zainal Asikin Kusumah Atmadja, Hakim Yang Kreatif Untuk Menyelenggarakan
Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Indonesia Yang Sedang Membangun, Makalah
disampaikan dalam Rakernas MA-RI di Jakarta pada tanggal 13-14 Maret 1987, h. 3.
Putusan adalah pernyataan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara di
antara para pihak yang berperkara. Putusan adalah kesimpulan atau ketetapan
untuk itu dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum yang
berperkara.92
Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik peradilan, maka putusan Hakim
itu merupakan:
lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak
91
M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim, UII Press, Yogyakarta, 2014, h. 13.
92
M. Natsir Asnawi, Op. Cit., h. 13.
93
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktek Peradilan,
Mandar Maju, Bandung, 2007, h. 127.
dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di
sidang pengadilan.
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta
Bagaimanapun sebuah putusan bisa disebut adil apabila setiap hakim bisa
dengan standar yang tegas. Proses pembuktian ini biasanya memerlukan ilmu
pengetahuan yang obyektif dan karena itu hasil proses pembuktian dapat diuji
secara ilmiah (obyektif) oleh siapa saja. Sedangkan untuk substantive justice
diktum atau amar putusan adalah suatu kesimpulan dari kegiatan penafsiran
terhadap kaidah hukum (in abstracto) yang dilakukan oleh hakim terhadap
95
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2000,
h. 90.
dengan itu, Bernard Arif Sidharta berpendapat bahwa kewibawaan putusan
yuridis memutus perkara, maka Hakim harus dapat menemukan hukum untuk
haruslah nilai hukum yang tepat sehingga putusan hakim dirasakan sebagai
nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dan karena itu hakim harus
menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
keputusan, yaitu:
96
Abdullah, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Program Pascasarjana Universitas
Sunan Giri, Sidoarjo, 2008, h. 38.
97
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 2008, h.
458.
1. Raw in-put, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan suku, agama,
pendidikan informal dan sebagainya.
2. Instrumental in-put, yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan
dan pendidikan formal.
3. Environmental in-put, faktor lingkungan, sosial budaya yang
mempunyai pengaruh dalam kehidupan seorang hakim, umpamanya
lingkungan organisasi dan seterusnya.98
(hukum) yang dapat memberikan tafsiran atas peraturan hukum yang berlaku.
Untuk itu, hakim wajib pula mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup
pidana bagi pelanggar hukum. Perlu dikemukakan dalam hal ini mengenai
Hakim dalam memberi Putusan yang "sesuai dengan hukum dan rasa
merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat. Makna dari ketentuan ini memberi peran yang luas pada Hakim,
Dengan kata lain, Putusan itu menjadi kaidah yang mengikat Hakim setaraf
mengalami perubahan.
keyakinan untuk membuat Putusan sesuai dengan panggilan suara hati nurani
yang menjadi sikap dan persepsinya dan juga sejalan dengan nilai-nilai yang
itu akan dibatasi oleh proses jalannya perkara, ketertiban umum, moral dan
kepentingan para pihak. Dalam hal ini, peranan Hakim sebagai role playing,
dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang
dijadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dan berkembang
tetapi yang lebih penting lagi itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
hakim. Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat
1. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah keseimbangan
antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan
kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan
perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan
dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.
2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh Hakim merupakan diskresi atau kewenangan
dari Hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan Putusan Hakim
menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap
pelaku tindak pidana, Hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau
penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan
oleh Hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh
insting atau intuisi dari pada pengetahuan dari Hakim.
3. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan
pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian
khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam
rangka menjamin konsistensi dari Putusan Hakim. Pendekatan
keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus
suatu perkara, Hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau
instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum
dan juga wawasan keilmuan Hakim dalam menghadapi suatu perkara
yang harus diputuskannya.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang Hakim merupakan hal yang dapat
membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya
seharihari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang Hakim dapat
mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam
suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun
masyarakat.
5. Teori Ratio Decidendi
100
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1983, h. 64.
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara
yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan
yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar
hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan Hakim harus
didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan
memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.101
selesai tahap pembuktian dan kesimpulan dari para pihak yang berperkara.
BAB III
bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan. Tugas Hakim adalah
101
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, h. 106.
Hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana tentunya menggunakan
Selain mendengar dakwaan dan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, Hakim
pelaku dari tindak pidana dan juga keterangan saksi-saksi, serta fakta hukum
hukum.
Bahwa Terdakwa HLM Bin JSM pada hari Rabu tanggal 26 Desember
2012, sekira pukul 22.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada waktu lain pada
bulan Desember 2012, atau setidak-tidaknya pada waktu lain pada tahun
2012, bertempat di rumah Terdakwa, Dusun Sangkubana, Desa Sabau,
Kecamatan Lembah Bawang, Kabupaten Bengkayang atau setidak-tidaknya
pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah hukum
Pengadilan Negeri Bengkayang, telah melakukan perbuatan kekerasan fisik
dalam lingkup rumah tangganya (istri Terdakwa) yaitu saksi (korban) POL
Als. MS Binti FG, perbuatan tersebut Terdakwa lakukan dengan cara-cara
sebagai berikut:
- Bahwa Terdakwa HLM Bin JSM bersama saksi (korban) POL Als. MS
Binti FG menikah pada tahun 2007 dan telah dikaruniai 2 (dua) orang
anak, mereka tinggal dalam sebuah rumah di Dusun Sangkubana, Desa
Sabau, Kecamatan Lembah Bawang, Kabupaten Bengkayang;
- Bahwa pada waktu dan tempat tersebut di atas, ketika saksi (korban) POL
Als. MS Binti FG sedang mengemaskan barang-barang di rumahnya,
Terdakwa datang untuk minta dikerokin karena Terdakwa masuk angin,
akan tetapi sewaktu saksi (korban) POL Als. MS Binti FG hendak
mengerok tubuh Terdakwa tiba-tiba Terdakwa marah-marah dengan
menuduh bahwa saksi (korban) POL Als. MS Binti FG telah
berselingkuh, karena saksi (korban) POL Als. MS Binti FG merasa hal
tersebut tidak benar, maka dari itu saksi (korban) POL Als. MS Binti FG
menjawab bahwa ia tidak pernah berselingkuh dengan siapapun,
mendengar hal tersebut kemudian Terdakwa langsung emosi dan langsung
memukul dengan tangan terkepal ke arah wajah saksi (korban) POL Als.
MS Binti FG yang selanjutnya mengenai pada bagian pipi sebelah kiri
saksi (korban) POL Als. MS Binti FG hingga hidungnya mengeluarkan
darah dan kemudian setelah itu saksi (korban) POL Als. MS Binti FG
langsung lari ke rumah pamannya yang tidak jauh dari tempat tinggalnya
dan sesampainya di sana saksi (korban) POL Als. MS Binti FG bertemu
dengan orang tuanya yaitu saksi FG dan langsung menceritakan perbuatan
Terdakwa tersebut yang telah memukulnya hingga hidunya mengeluarkan
darah;
- Akibat perbuatan Terdakwa, saksi (korban) POL Als. MS Binti FG
menderita uka bengkak pada bagian pipi kiri dan memar kemerahan pada
bagian hidung, sebagaimana hasil pemeriksaan yang diterangkan dalam
Visum et Repertum Nomor : 331/226/H/RSUD/2013 tangga 28 Desember
2012 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Nurul Khasana, dokter pada
Rumah Sakit Umum Daerah dr. ABDUL AZIZ Singkawang, dengan hasil
pemeriksaan sebagai berikut :
Kesimpulan :
- Bahwa Terdakwa HLM Bin JSM memang sudah sering memukul saksi
(korban) POL Als. MS Binti FG;
- Bahwa yang melaporkan Terdakwa HLM Bin JSM ke pihak Kepolisian
adalah saksi (korban) POL Als. MS Binti FG sendiri;
- Bahwa sebelum kejadian ini, sebenarnya Terdakwa HLM Bin JSM sudah
pernah 2 (dua) kali dikenakan sanksi hukum adat karena melakukan
pemukulan terhadap istrinya, yaitu saksi (korban) POL Als. MS Binti FG;
- Bahwa saksi FG sudah sering menasehati Terdakwa HLM Bin JSM,
namun Terdakwa HLM Bin JSM tidak pernah mau mendengarkan
nasehat saksi FG;
MENGADILI :
1. Menyatakan Terdakwa HLM Bin JSM telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan kekerasan
fisik dalam lingkup rumah tangganya yang dilakukan oleh suami
terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan kegiatan sehari-hari”;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa HLM Bin JSM oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima belas) hari;
3. Menetapkan lamanya masa penangkapan dan penahanan yang telah
dijalani oleh Terdakwa HLM Bin JSM dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar Terdakwa HLM Bin JSM tetap berada di dalam
tahanan;
5. Membebankan Terdakwa HLM Bin JSM untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah);
terlihat dengan jelas bahwa Majelis Hakim dalam perkara aquo tidak
dijatuhkan sanksi pidana adat melalui peradilan adat Madok Ringan dengan
membayar denda adat sebesar Rp. 2.890.000,- (dua juta delapan ratus
Bin JSM menjadikan sanksi hukum adat yang dijatuhkan Terdakwa HLM
102
Hasil wawancara dengan Bapak Timotius Taim, S.H., selaku Ketua Peradilan Adat Dayak
di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang, pada tanggal 10 Desember 2022.
dan Pengadilan Negeri Bengkayang. Selain itu, adanya Putusan Nomor
sistem hukum yakni komponen hukum yang bersifat kultural, dimana kultur
termasuk hukum adat dan peradilan adat seperti Adat Madok pada
tidaklah bersifat mutlak, kebebasan itu akan dibatasi oleh proses jalannya
perkara, ketertiban umum, moral dan kepentingan para pihak. Putusan hakim
harus sesuai dengan panggilan suara hati nurani yang menjadi sikap dan
dan juga bagi pelaku serta keadilan bagi masyarakat setempat. Selain itu,
Putusan Hakim juga harus memperhitungkan dampak yang akan terjadi pada
Hakim tidak dapat berbuat dan menghasilkan putusan yang responsif tanpa
mengaitkan diri pada peran-peran dari berbagai komponen sosial dan
penting dari alur proses beperkara adalah apakah putusan hakim telah
memberikan nilai hukum dan keadilan?105 Artinya, putusan hakim itu sendiri
103
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Gramata Publishing, Bekasi, 2012, h. 16.
104
Abdullah, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Program Pascasarjana Universitas
Sunan Giri, Sidoarjo, 2008, h. 38.
105
Harifin A. Tumpa, Menguak Roh Keadilan Dalam Putusan Hakim Perdata, Tanjung
Agung, Jakarta, 2012, h. 19.
memutus perkara, maka Hakim harus dapat menemukan hukum untuk
haruslah nilai hukum yang tepat sehingga putusan hakim dirasakan sebagai
Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh HLM Bin JSM terhadap
Negeri Bengkayang karena pelakunya sudah dijatuhi sanksi pidana adat. Hal
perbuatan yang melanggar hukum adat, yaitu “delict adat”. Kepala dan para
terhukum yang sudah dijatuhi “reaksi adat” oleh Kepala Adat tersebut, maka
ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam
yang sama, melanggar hukum adat dan dijatuhi hukuman penjara menurut
18 B ayat (2) UUD 1945 Perubahan Amandemen Kedua, Pasal 5 ayat (3) sub
Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, serta Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 50 ayat
Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law) diikuti
dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke
hukum adat adalah masyarakat suku Dayak yang berada di Kalimantan Barat.
Suku Dayak di Kalimantan Barat terbagi ke dalam sub-sub suku dan masing-
masing sub suku memiliki perbedaan, baik dari segi bahasa, adat istiadat,
Salah satu sub suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat adalah
suku Dayak Bakati’. Suku Dayak Bakati’ merupakan sub suku rumpun Dayak
Monterado.
adat istiadat dan hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat tersebut.
melalui peradilan adat. Begitu pula dalam menyelesaikan kasus tindak pidana
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi antara HLM dan POL
Bengkayang.
terjadi antara HLM dan POL di Dusun Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan
yang berlaku pada masyarakat suku Dayak Bakati’ yaitu Adat Madok (adat
memukul orang).106
106
Hasil wawancara dengan Bapak Timotius Taim, S.H., selaku Ketua Peradilan Adat Dayak
di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang, pada tanggal 10 Desember 2022.
Adat Madok terbagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, yakni: adat madok
ringan, adat madok sedang, dan adat madok berat. Adat madok ringan adalah
sanksi adat bagi orang yang memukul orang lain dan menyebabkan lebam-
lebam. Kemudian adat madok sedang adalah sanksi adat bagi orang yang
memukul orang lain dan menyebabkan keluar darah. Sedangkan adat madok
berat adalah sanksi adat bagi orang yang memukul orang lain dan
rumah sakit.107
Rumah Tangga (KDRT) melalui peradilan adat antara HLM dan POL di
kepada Terdakwa HLM dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15
107
Hasil wawancara dengan Bapak Timotius Taim, S.H., selaku Ketua Peradilan Adat Dayak
di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang, pada tanggal 10 Desember 2022.
108
Hasil wawancara dengan Bapak Timotius Taim, S.H., selaku Ketua Peradilan Adat Dayak
di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang, pada tanggal 10 Desember 2022.
telah dijatuhkan sanksi pidana adat melalui peradilan adat, justru Majelis
hukum adat terhadap Terdakwa HLM Bin JSM sebagai hal-hal yang
Binti FG.
Secara yuridis pengakuan hukum adat diatur pada Pasal 18 B ayat (2)
UUD 1945 Perubahan Amandemen Kedua, Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-
Pengadilan-Pengadilan Sipil, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-
telah melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup (hukum adat) di
adat, yaitu “delict adat”. Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi
adat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu telah
“reaksi adat” oleh Kepala Adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi
adat dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP (Pasal 5 ayat (3) b
adat yang telah dijatuhkan terhadap Terdakwa oleh Peradilan Adat sebagai
berikut :
1) Karena Terdakwa HLM Bin JSM sudah berulang kali melakukan tindak
2) Karena sanksi pidana adat yang dijatuhkan terhadap Terdakwa HLM Bin
JSM tidak memberikan efek jera, sehingga Terdakwa HLM Bin JSM
109
Hasil wawancara dengan Bapak Oloan Exodus Hutabarat, S.H., M.H., selaku Ketua
Pengadilan Negeri Bengkayang, pada tanggal 07 Desember 2022.
110
Hasil wawancara dengan Bapak Oloan Exodus Hutabarat, S.H., M.H., selaku Ketua
Pengadilan Negeri Bengkayang, pada tanggal 07 Desember 2022.
111
Hasil wawancara dengan Bapak Oloan Exodus Hutabarat, S.H., M.H., selaku Ketua
Pengadilan Negeri Bengkayang, pada tanggal 07 Desember 2022.
Peranan yang dimainkan oleh Hakim sebagai subsistem peradilan pidana
pidana bagi pelanggar hukum. Perlu dikemukakan dalam hal ini mengenai
Hakim dalam memberi Putusan yang "sesuai dengan hukum dan rasa
tidaklah bersifat mutlak, kebebasan itu akan dibatasi oleh proses jalannya
perkara, ketertiban umum, moral dan kepentingan para pihak. Putusan hakim
harus sesuai dengan panggilan suara hati nurani yang menjadi sikap dan
Dalam hal ini, peranan Hakim sebagai role playing, hendaknya tidak
pidana.
Hakim di sini kita lihat sebagai bagian atau kelanjutan dari pikiran-pikiran
dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, di dalam
menjalankan peranannya itu ia merupakan:
1. Pengembangan nilai-nilai yang dihayati masyarakat;
2. Hasil pembinaan masyarakat (sosialisasi);
3. Sasaran pengaruh lingkungan pada waktu itu.112
hakim.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
112
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, h. 58.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Masyarakat Adat Dayak Bakati di
yaitu “delict adat”. Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi adat
“reaksi adat” oleh Kepala Adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan
Adat dikarenakan (a) Terdakwa HLM Bin JSM sudah berulang kali
sanksi pidana adat, (b) sanksi pidana adat yang dijatuhkan terhadap
FG, dan (3) penjatuhan pidana penjara terhadap Terdakwa HLM Bin
JSM untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban maupun masyarakat dan
B. S a r a n
berikut:
BUKU :
Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.
Dewa Made Suarta, 2015, Hukum dan Sanksi Adat, Setara Press, Malang.
Dewi Wulansari, 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, PT. Refika
Aditama, Bandung.
Guse Prayudi, 2008, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (Dilengkapi dengan Uraian Unsur-unsur Tindak Pidananya),
Merkid Press, Yogyakarta.
----------, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
I Gusti Ketut Sutha, 1995, Peranan Hukum Adat Sebagai Hukum Tidak Tertulis
dalam Pembangunan Masyarakat, dalam Bunga Rampai Pembangunan
Hukum Indonesia, Eresco, Bandung.
I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung.
John Z. Loudoe, 1985, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Cetakan
Pertama, Bina Aksara, Jakarta.
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Topo Santoso, 1990, Pluralisme Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :