Anda di halaman 1dari 106

PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN

DALAM RUMAH TANGGA PADA MASYARAKAT ADAT


DAYAK BAKATI DI KECAMATAN MONTERADO
KABUPATEN BENGKAYANG MELALUI
PERADILAN ADAT DAN PERADILAN
NEGERI BENGKAYANG
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor
13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dan Putusan Adat Madok)

SKRIPSI

Oleh :

CHEALSEA MAJIHUD MANUGAK


NIM. A1012191026

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2023
PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA PADA MASYARAKAT ADAT
DAYAK BAKATI DI KECAMATAN MONTERADO
KABUPATEN BENGKAYANG MELALUI
PERADILAN ADAT DAN PERADILAN
NEGERI BENGKAYANG
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor
13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dan Putusan Adat Madok)

SKRIPSI

Oleh :

CHEALSEA MAJIHUD MANUGAK


NIM. A1012191026

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk


Menempuh Ujian Sarjana Hukum

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PONTIANAK
2023
PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN
DALAM RUMAH TANGGA PADA MASYARAKAT ADAT
DAYAK BAKATI DI KECAMATAN MONTERADO
KABUPATEN BENGKAYANG MELALUI
PERADILAN ADAT DAN PERADILAN
NEGERI BENGKAYANG
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor
13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dan Putusan Adat Madok)

SKRIPSI

Tanggung Jawab Yuridis Pada :

Chealsea Majihud Manugak


NIM. A1012191026

Disetujui Oleh :

Pembimbing I : Pembimbing II :

Dr. Sy. Hasyim Azizurrahman, SH., M.Hum. Parulian Siagian, SH., M.Hum.
NIP. 1966102919922001 NIP. 198604132009122005

Disahkan Oleh :

D e k a n,

Dr. Hj. Sri Ismawati, SH., M.Hum.


NIP. 1966102919922001

Tanggal Lulus : 10 Februari 2023


KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN,

RISET DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

FAKULTAS HUKUM

PONTIANAK

==========================================================

TIM PENGUJI

JABATAN NAMA PANGKAT / TANDA


GOL. TANGAN
Ketua Dr. Sy. Hasyim Azizurrahman, SH., M.Hum. Pembina Utama
Penguji NIP. 196305131988101001 Muda / IVc
.............................
Sekretaris Parulian Siagian, SH., M.Hum. Penata Tingkat I /
Penguji NIP. 196109061992021001 IIId
.............................
Penguji I Dr. H. Aswandi, SH. M. Hum. Pembina Tingkat
NIP. 196202011989031003 I / IVb
...........................
Penguji II Alfonsius Hendri Soa, SH., MH. Penata Tingkat I/
NIP. 199208182022031010 IIIb
...........................

BERDASARKAN SURAT KEPUTUSAN DEKAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK

NOMOR : 946 / UN22.1 / TD.06 / 2023

TANGGAL : 06 FEBRUARI 2023


PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Chealsea Majihud Manugak.


NIM : A1012191026.
Bagian : Hukum Pidana.
Program Studi : Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura.
Judul Skripsi : PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PADA
MASYARAKAT ADAT DAYAK BAKATI DI
KECAMATAN MONTERADO KABUPATEN
BENGKAYANG MELALUI PERADILAN ADAT DAN
PERADILAN NEGERI BENGKAYANG (Studi Kasus
Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor
13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dan Putusan Adat Madok).

Menyatakan dengan benar bahwa :


1. Bahwa dalam melaksanakan otonomi keilmuan dan kebebasan akademik,
mahasiswa wajib menjunjung tinggi nilai kejujuran dan etika akademik,
terutama larangan untuk melakukan plagiat dalam menghasilkan karya ilmiah,
sehingga kreativitas di bidang akademik dapat tumbuh dan berkembang.
2. Oleh karena itu, jika di kemudian hari terbukti hasil penulisan Skripsi/Tugas
Akhir ini ternyata merupakan hasil dari jiplakan/pengambilalihan tulisan atau
buah pemikiran milik orang lain (hasil plagiat), maka saya bersedia menerima
sanksi akademik sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Pontianak, 10 Februari 2023


Yang Membuat Pernyataan,

Chealsea Majihud Manugak


NIM. A1012191026
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, karena

atas karunia dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

Dalam penyusunan Skripsi ini hingga selesai tidak terlepas dari bantuan,

bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun

tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis mengucapkan rasa

terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. Garuda Wiko, SH., M.Si., FCB.Arb., selaku Rektor Universitas

Tanjungpura Pontianak.

2. Ibu Dr. Hj. Sri Ismawati, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Tanjungpura Pontianak.

3. Bapak Alfonsius Hendri Soa, SH., MH., selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama mengikuti

perkuliahan dan sekaligus sebagai Dosen Penguji II yang telah banyak

memberikan masukan, saran dan pengarahan dalam Skripsi ini.

4. Bapak Dr. Syarif Hasyim Azizurrahman, SH., M.Hum., selaku Dosen

Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan

dalam penulisan Skripsi ini

5. Bapak Parulian Siagian, SH., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang

telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan Skripsi

ini.

i
6. Bapak Dr. H. Aswandi, SH., M.Hum., selaku Dosen Penguji I yang telah

banyak memberikan masukan, saran dan pengarahan dalam Skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura

Pontianak.

8. Karyawan dan karyawati serta seluruh Civitas Akademika di lingkungan

Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak.

9. Seluruh Mahasiswa di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura

Pontianak dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu baik

secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan bantuan dalam

penulisan Skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena

itu kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan demi

perbaikan dan kesempurnaan Skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga Skripsi yang sederhana ini dapat

bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum pidana.

Pontianak, 10 Februari 2023

Penulis,

Chealsea Majihud Manugak


NIM. A1012191026

ii
ABSTRAK

Dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran adat baik yang bersifat pidana
maupun perdata, masyarakat suku Dayak Bakati’ di Kecamatan Monterado Kabupaten
Bengkayang menyelesaikannya melalui peradilan adat. Begitu pula dalam menyelesaikan
kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi antara HLM
dan POL di Dusun Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten
Bengkayang. Kasus tindak pidana KDRT yang terjadi antara HLM dan POL di Dusun
Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang diselesaikan
dengan hukum pidana adat yang berlaku pada masyarakat suku Dayak Bakati’ yaitu Adat
Madok (adat memukul orang). Adat Madok terbagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, yakni: adat
madok ringan, adat madok sedang, dan adat madok berat.
Namun penyelesaian perkara tindak pidana KDRT melalui peradilan adat antara
HLM dan POL di Dusun Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten
Bengkayang ternyata diajukan juga ke Pengadilan Negeri Bengkayang. Bahkan, telah
diputus oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Bengkayang melalui Putusan Nomor
13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa HLM dengan pidana
penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima belas) hari.
Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang dengan Putusan Nomor
13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dalam penyelesaian perkara tindak pidana KDRT pada
Masyarakat Adat Dayak Bakati di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang yang
telah diputus oleh Peradilan Adat Madok menimbulkan dualisme hukum karena menurut
Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15
Mei 1991 : “Seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup
(hukum adat) di daerah tersebut adalah merupakan suatu perbuatan yang melanggar
hukum adat, yaitu “delict adat”. Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi adat
(sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu telah dilaksanakan oleh
terhukum. Terhadap si terhukum yang sudah dijatuhi “reaksi adat” oleh Kepala Adat
tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa
dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang
sama, melanggar hukum adat dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP (Pasal 5 ayat
(3) b Undang-Undang Nomor 1 Drt 1951). Dalam keadaan yang demikian, maka
pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri, harus
dinyatakan “tidak dapat diterima” (Niet Ontvakelijk Verklaard).
Alasan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang menjatuhkan pidana penjara
terhadap Terdakwa tanpa mempertimbangkan sanksi pidana adat yang telah dijatuhkan
terhadap Terdakwa oleh Peradilan Adat dikarenakan (a) Terdakwa HLM Bin JSM sudah
berulang kali melakukan tindak pidana KDRT terhadap istrinya POL Als. MS Binti FG,
walaupun telah dijatuhkan sanksi pidana adat, (b) sanksi pidana adat yang dijatuhkan
terhadap Terdakwa HLM Bin JSM tidak memberikan efek jera, sehingga Terdakwa
HLM Bin JSM mengulangi lagi tindak pidana KDRT terhadap istrinya POL Als. MS
Binti FG, dan (3) penjatuhan pidana penjara terhadap Terdakwa HLM Bin JSM untuk
memenuhi rasa keadilan bagi korban maupun masyarakat dan memberikan efek jera bagi
Terdakwa HLM Bin JSM.
Kata Kunci: Penyelesaian Perkara, KDRT, Peradilan Adat, Peradilan Umum.

iii
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

ABSTRAK .................................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................. iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1

B. Rumusan Masalah .................................................................. 6

C. Tujuan Penelitian ................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian ................................................................. 7

E. Kerangka Pemikiran .............................................................. 8

1. Tinjauan Pustaka ............................................................... 8

2. Kerangka Konsep .............................................................. 24

F. Metode Penelitian .................................................................. 27

BAB II PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN


DALAM RUMAH TANGGA PADA MASYARAKAT ADAT
DAYAK MELALUI PERADILAN ADAT DAN PERADILAN
NEGERI

A. Tinjauan Umum Tentang Sistem Hukum .............................. 32

B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Adat dan Hukum Pidana


Adat ........................................................................................ 41

C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam


Rumah Tangga (KDRT) Menurut Peraturan Perundang-
Undangan dan Hukum Adat .................................................. 55
D. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim ............................. 66

iv
BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang


Dengan Putusan Nomor 13/Pid.Sus/2013/PN.Bky Dalam
Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Kekerasan Dalam
Rumah Tangga Pada Masyarakat Adat Dayak Bakati di
Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang Yang
Telah Diputus Oleh Peradilan Adat Madok ......................... 76

B. Analisis Alasan Majelis Hakim Pengadilan Negeri


Bengkayang Menjatuhkan Pidana Penjara Terhadap
Terdakwa Tanpa Mempertimbangkan Sanksi Pidana
Adat Yang Telah Dijatuhkan Terhadap Terdakwa Oleh
Peradilan Adat ....................................................................... 84

BAB IV P E N U T U P

A. Kesimpulan ............................................................................ 91

B. S a r a n .................................................................................. 92

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

v
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah sebuah negara hukum (rechtsaat), dimana setiap

ketentuan yang berlaku selalu berpedoman kepada suatu sistem hukum yang

berlaku secara nasional. Dalam ranah hukum pidana, ketentuan yang berlaku

berpedoman pada sumber hukum pidana materiil yaitu Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang yang bersifat khusus,

sedangkan sumber hukum pidana formil adalah Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Namun di samping berlakunya hukum nasional di tengah masyarakat,

juga tumbuh dan berkembang suatu sistem hukum yang bersumber dari

kebiasaan yang ada di dalam masyarakat. Kebiasaan inilah yang akhirnya

berkembang menjadi suatu ketentuan yang disebut dengan hukum adat.

Hukum adat adalah sistem hukum yang menunjukkan perbedaan

dengan sistem hukum lainnya di dunia. Hukum adat adalah hukum yang

mencerminkan jiwa, kepribadian masyarakat Indonesia dan merupakan salah

satu aspek harta budaya bangsa dalam bidang hukum.

Hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat termasuk

sanksi-sanksi adatnya mendapat kedudukan dalam hukum pidana nasional.


Secara yuridis pengaturan terhadap pidana adat mendapatkan pengakuan dari

pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan sumber-sumber hukum

yang berlaku di Indonesia seperti: Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 Perubahan

Amandemen Kedua, Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Drt

Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan

Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, serta

Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman.

Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law) diikuti

dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap tata tertib tersebut dipandang dapat

menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu

keseimbangan kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, bagi si pelanggar diberi

sanksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adat.

Salah satu masyarakat di Indonesia yang masih memegang teguh

hukum adat adalah masyarakat suku Dayak yang berada di Kalimantan Barat.

Suku Dayak di Kalimantan Barat terbagi ke dalam sub-sub suku dan masing-

masing sub suku memiliki perbedaan, baik dari segi bahasa, adat istiadat,

struktur dan tatanan kehidupan maupun dari sisi hukum adatnya.

Salah satu sub suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat adalah

suku Dayak Bakati’. Suku Dayak Bakati’ merupakan sub suku rumpun Dayak

Kanayatn yang berada di Kabupaten Bengkayang. Penyebaran suku Dayak


Bakati’ di Kabupaten Bengkayang sebagian terdapat di wilayah Kecamatan

Monterado.

Dalam menjalankan kehidupannya, masyarakat Dayak Bakati’ di

Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang masih berpegang teguh pada

adat istiadat dan hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat tersebut.

Alam pemikiran masyarakat Dayak Bakati’ mewarisi nilai-nilai leluhur nenek

moyangnya yang masih mengandung unsur-unsur religius magis. Selain itu,

dalam kehidupan masyarakat adat Dayak Bakati’ juga masih mengandung

unsur komunal, di mana gotong-royong (tolong menolong), rasa kekeluargaan

dan persaudaraan masih tertanam kuat dalam pergaulan hidup mereka.

Dalam masyarakat adat Dayak Bakati’ dibentuk Dewan Adat Dayak

(DAD) yang merupakan lembaga adat yang bertugas untuk menyelesaikan

semua permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat adat Dayak Bakati’.

Dewan Adat Dayak (DAD) ini dibentuk mulai dari tingkat Provinsi, tingkat

Kota/Kabupaten, dan tingkat Kelurahan/Desa.

Dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran adat baik yang

bersifat pidana maupun perdata, masyarakat suku Dayak Bakati’ di

Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang akan menyelesaikannya

melalui peradilan adat. Begitu pula dalam menyelesaikan kasus tindak pidana

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi antara HLM dan POL

di Dusun Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten

Bengkayang.
Kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang

terjadi antara HLM dan POL di Dusun Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan

Monterado, Kabupaten Bengkayang diselesaikan dengan hukum pidana adat

yang berlaku pada masyarakat suku Dayak Bakati’ yaitu Adat Madok (adat

memukul orang) dan HLM telah dijatuhkan sanksi adat Madok Ringan

dengan membayar denda adat sebesar Rp. 2.890.000,- (dua juta delapan ratus

sembilan puluh ribu rupiah) dengan rincian sebagai berikut:

a. Lipet Kunyit 3½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 367.500,-


b. Mandoh Buat Adat 5½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 577.500,-
c. Mangkok Nyabak 1½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 157.500,-
d. Siap Kapung Are 2 kg x Rp. 70.000,- = Rp. 140.000,-
e. Bia Buis 3½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 367.500,-
f. Pentek dan Pangadap 1½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 157.500,-
g. Pansilo dan Pangadap 1½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 157.500,-
h. Alak Tuak Botol ½ kg x Rp. 40.000,- = Rp. 20.000,-
i. Sangkotop 1½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 157.500,-
j. Basi Pagar Samadat 3 buah x Rp. 70.000,- = Rp. 210.000,-
k. Panabe Pasang Bangse 5½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 577.500,-
Jumlah = Rp. 2.890.000,-

Adat Madok terbagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, yakni: adat madok

ringan, adat madok sedang, dan adat madok berat. Adat madok ringan adalah

sanksi adat bagi orang yang memukul orang lain dan menyebabkan lebam-

lebam. Kemudian adat madok sedang adalah sanksi adat bagi orang yang

memukul orang lain dan menyebabkan keluar darah. Sedangkan adat madok

berat adalah sanksi adat bagi orang yang memukul orang lain dan
menyebabkan korban tidak sadarkan diri (pingsan) dan harus dirawat di

rumah sakit.

Namun penyelesaian perkara tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT) melalui peradilan adat antara HLM dan POL di Dusun Giri

Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang,

ternyata diajukan juga ke Pengadilan Negeri Bengkayang. Bahkan, telah

diputus oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Bengkayang melalui

Putusan Nomor 13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dan menjatuhkan pidana kepada

Terdakwa HLM dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima

belas) hari.

Dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang tersebut tidak

mempertimbangkan bahwa Terdakwa HLM telah dijatuhkan sanksi pidana

adat melalui peradilan adat, padahal di dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut

Umum telah dicantumkan bahwa Terdakwa HLM telah dijatuhkan sanksi

pidana adat melalui peradilan adat.

Melihat hal tersebut, maka telah terjadi dualisme dalam penyelesaian

perkara tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tersebut,

dimana penyelesaiannya melalui peradilan adat dan Pengadilan Negeri

Bengkayang. Padahal di dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, menyatakan bahwa:

“Seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup

(hukum adat) di daerah tersebut adalah merupakan suatu perbuatan yang

melanggar hukum adat, yaitu “delict adat”. Kepala dan para pemuka adat
memberikan reaksi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat

itu telah dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si terhukum yang sudah

dijatuhi “reaksi adat” oleh Kepala Adat tersebut, maka ia tidak dapat

diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan

Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama,

melanggar hukum adat dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP (Pasal

5 ayat (3) b Undang-Undang Nomor 1 Drt 1951). Dalam keadaan yang

demikian, maka pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di

Pengadilan Negeri, harus dinyatakan “tidak dapat diterima” (Niet Ontvakelijk

Verklaard).

Adanya permasalahan tersebut di atas, menarik minat penulis untuk

melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tulisan ilmiah (Skripsi)

dengan judul: “PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PADA MASYARAKAT

ADAT DAYAK BAKATI DI KECAMATAN MONTERADO

KABUPATEN BENGKAYANG MELALUI PERADILAN ADAT DAN

PERADILAN NEGERI BENGKAYANG (Studi Kasus Putusan

Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor 13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dan

Putusan Adat Madok)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi

permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:


“Mengapa Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga Pada Masyarakat Adat Dayak Bakati Di

Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang Dilakukan Melalui

Peradilan Adat Madok dan Pengadilan Negeri Bengkayang Dengan

Putusan Nomor 13/Pid.Sus/2013/PN.Bky ?”

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengungkapkan dan menganalisis Putusan Hakim Pengadilan

Negeri Bengkayang dengan Putusan Nomor 13/Pid.Sus/2013/PN.Bky

dalam penyelesaian perkara tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga pada Masyarakat Adat Dayak Bakati di Kecamatan Monterado

Kabupaten Bengkayang yang telah diputus oleh Peradilan Adat Madok.

2. Untuk mengungkapkan dan menganalisis alasan Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Bengkayang menjatuhkan pidana penjara terhadap

Terdakwa tanpa mempertimbangkan sanksi pidana adat yang telah

dijatuhkan terhadap Terdakwa oleh Peradilan Adat.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik yang bersifat

teoritis maupun yang bersifat praktis.


1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai

sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana

postif dan hukum pidana adat yang berkaitan dengan terjadinya dualisme

dalam penyelesaian perkara tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT) melalui Peradilan Adat dan Peradilan Umum.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai bahan

masukan atau rekomendasi bagi hakim peradilan umum agar menolak

pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan terhadap pengajuan

perkara yang telah diputuskan oleh peradilan adat karena memiliki dasar

hukum yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991.

E. Kerangka Teoritik

1. Tinjauan Pustaka

Hubungan antara hukum dengan kehidupan masyarakat memang

berkaitan erat, hukum berperan besar dalam mewujudkan kehidupan yang

tertib dan aman. Apabila terjadi hal-hal yang menyimpang, maka peran

hukum dapat dilihat secara lebih konkrit.


Hukum atau norma hukum sebagai pedoman bagi manusia untuk

berbuat atau tidak berbuat, mempunyai akibat hukum apabila normanya

tidak ditaati atau dilanggar. Setiap bangsa mempunyai hukum sendiri dan

sebagaimana halnya dengan bahasa, maka hukum hidup dan diciptakan

masyarakat, karena hukum merupakan kehidupan dari bangsa itu sendiri.1

Menurut Soerojo Wignjodipoero, bahwa tiap hukum merupakan

sistem, artinya kompleks norma-normanya itu merupakan satu kebulatan

sebagai wujud pengejawantahan dari pada kesatuan alam pikiran yang

hidup di dalam masyarakat. Sistem hukum adat bersendi atas dasar alam

pikiran bangsa Indonesia yang sudah barang tentu berlainan dengan alam

pikiran yang menguasai hukum barat. Dan untuk dapat memahami serta

sadar akan hukum adat orang harus menyelami dasar-dasar alam pikiran

yang hidup di dalam masyarakat Indonesia.2

Istilah sistem hukum mengandung pengertian yang spesifik dalam

ilmu hukum. Dalam mengartikan sebuah istilah, tidak selalu harus dengan

cara menggabungkan pengertian sistem dan pengertian hukum secara apa

adanya. Lawrence M. Friedman tidak memberikan definisi riil mengenai

sistem hukum, namun dalam sebuah sistem hukum tersebut terdapat

subsistem-subsistem yang merupakan bagian dari sistem hukum itu sendiri

1
Hermin Hadiati Koeswadji, Aspek Budaya Dalam Pemidanaan Delik Adat, Makalah
Dalam Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama Terhadap Hukum Pidana, Denpasar, 1957, 17-
19 Maret, h. 6.
2
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta,
1990, h. 68.
yang terhubung dengan negara atau yang mempunyai struktur otoritas

yang bias dianalogikan dengan perilaku negara.3

Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum terdiri atas 3 (tiga)

komponen, yaitu:

1. Komponen yang disebut dengan struktur. Ia adalah kelembagaan


yang diciptakan oleh sistem hukum seperti pengadilan negeri,
pengadilan administrasi yang mempunyai fungsi untuk mendukung
bekerjanya sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini
memungkinkan pemberian pelayanan dan penggarapan hukum
secara teratur.
2. Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan sebagainya yang
semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh
mereka yang diatur.
3. Komponen hukum yang bersifat kultural. Ia terdiri dari ide-ide,
sikap-sikap, harapan dan pendapat tentang hukum. Kultur hukum ini
dibedakan antara internal legal culture, yakni kultur hukumnya
lawyers dan judged’s, dan external legal culture yakni kultur hukum
masyarakat pada umumnya.4

Ketiga komponen tersebut saling menentukan satu sama lainnya, demikian

juga saling berpengaruh satu sama lainnya.

Indonesia menganut 3 (tiga) sistem hukum sekaligus yang hidup dan

berkembang dalam kehidupan masyarakat maupun ketatanegaraan, yakni:

sistem hukum civil, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam.5

Sistem hukum adat berbeda dengan sistem hukum civil dan sistem

hukum Islam. Sistem hukum adat bersifat pragmatism-realisme artinya

mampu memberikan kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional


3
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung,
2013, h. 12.
4
Lawrence M. Friedman, American Law, W.W. Norton and Company, New York, 1984, h. 7-
12.
5
Zaka Firma Aditya dan Rizkisyabana Yulistyaputri, “Romantisme Sistem Hukum di
Indonesia: Kajian Atas Kontribusi Hukum Adat dan Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum
di Indonesia”, Jurnal Rechtsvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol. 8, No.1, April 2019,
h. 39.
religius, sehingga hukum adat mempunyai fungsi sosial atau keadilan

sosial.6

Dalam sistem hukum adat, terdapat pula lapangan hukum pidana,

yaitu hukum pidana yang bersumber pada peraturan tidak tertulis ataupun

kebiasaan yaitu Hukum Pidana Adat.7

Hukum pidana adat mengatur tindakan yang melanggar perasaan

keadilan dan kepatutan yang hidup di tengah masyarakat, sehingga

menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat.

Untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut, maka terjadi

reaksi adat.8

Keberadaan Hukum Pidana Adat pada masyarakat merupakan

pencerminan kehidupan masyarakat tersebut dan pada masing-masing

daerah memiliki Hukum Pidana Adat yang berbeda sesuai dengan adat

istiadat yang ada di daerah tersebut dengan ciri khas tidak tertulis ataupun

terkodifikasikan.9

Hukum pidana adat sebagai satu kesatuan sistem dengan hukum adat,

tidak dapat dilepaskan dengan alam pikiran kosmis yang hidup dalam

masyarakat Indonesia yang sangat berbeda dengan alam fikiran yang

menguasai sistem hukum barat. Walaupun politik hukum nasional sedang

mengarah kepada unifikasi hukum, namun hukum adat merupakan suatu

6
Laksanto Utomo, Hukum Adat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2017, h. 8.
7
Topo Santoso, Pluralisme Hukum Pidana Indonesia, PT. Ersesco, Jakarta, 1990, h. 5-6.
8
Ibid., h. 9.
9
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, Rineka
Cipta, Jakarta, 1997, h. 11.
kenyataan yang masih berlaku dalam kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat.10

Sehubungan dengan hukum adat, B. Ter Haar Bzn, memberikan

pengertian hukum adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari

keputusan fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai

kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaan

berlakunya serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati. Ter Haar terkenal

dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu

adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari

sikap penguasa masyarakat hukum terhadap si pelanggar peraturan adat

istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap si

pelanggar maka adat istiadat itu sudah merupakan hukum adat”. Ter Haar

menganggap hukum adat itu adalah hukum yang terdapat dalam keputusan

para petugas hukum adat, baik keputusan karena berupa perselisihan

maupun karena masalah adat isinya.11

Sedangkan Cornelis van Vollenhoven memberikan pengertian hukum

adat sebagai berikut: “Hukum Adat adalah aturan-aturan prilaku yang

berlaku bagi orang pribumi dan orang-orang Timur Asing, yang di satu

pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak

dikodifikasi (maka dikatakan Adat)”.12

10
Dewa Made Suarta, Hukum dan Sanksi Adat, Malang, 2015, Setara Press, h. 1.
11
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 2003, h. 14.
12
Cornelis van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, Djambatan kerjasama
dengan Inkultura Foundation Inc., Jakarta, 1983, h. 14.
Menurut Muladi bahwa hukum pidana adat dilandasi falsafah harmoni

dan communal, bersama dengan itu juga menegaskan hukum pidana adat

apabila akan mencakup “law making” dan “law enforcement” setidaknya

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Tidak semata-mata untuk tujuan pembalasan dalam arti tidak bersifat


ad hoc.
b. Harus menimbulkan kerugian atau korban yang jelas (bisa aktual
dalam delik materiil dan bisa potensial dalam delik formal).
c. Apabila masih ada cara yang lain yang lebih baik dan lebih efektif
jangan digunakan hukum pidana.
d. Kerugian yang ditimbulkan karena pemidanaan harus lebih kecil
daripada akibat kejahatan.
e. Harus didukung masyarakat.
f. Harus dapat diterapkan secara efektif.13

Selanjutnya Hilman Hadikusuma, menyatakan bahwa:

Hukum Pidana Adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan
terus hidup selama ada manusia yang berbudaya, ia tidak akan dapat
dihapus dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-
undang yang menghapuskannya akan percuma juga, malahan hukum
pidana perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya,
oleh karena Hukum Pidana Adat itu lebih dekat hubungannya dengan
antropologi dan sosiologi dari pada hukum perundang-undangan.14

Berdasarkan uraian beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan

bahwa Hukum Pidana Adat tersebut mengandung beberapa pengertian,

yaitu:

1. Ada perbuatan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok atau

pengurus adat sendiri.

2. Perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma Adat.

13
Nyoman Serikat Putra Jaya, “Hukum (Sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 45 No. 2, Edisi April 2016.
14
Hilman Hadikusuma, Op. Cit., h. 10.
3. Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan, karena

menganggu keseimbangan dalam masyarakat.

4. Atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi

adat.

Hukum Pidana Adat tidak bermaksud menunjukkan hukum dan

hukuman apa yang harus dijatuhkan bila terjadi pelanggaran, namun yang

menjadi tujuannya adalah memulihkan kembali hukum yang pincang

sebagai akibat terjadinya pelanggaran.15

Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya bahwa untuk dapat disebut tindak

pidana adat, perbuatan itu harus mengakibatkan kegoncangan dalam

neraca keseimbangan masyarakat. Kegoncangan itu tidak hanya terdapat

apabila peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi juga

apabila norma-norma kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun dalam

masyarakat dilanggar.16

Secara yuridis pengaturan terhadap hukum pidana adat mendapatkan

pengakuan dari pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan sumber-

sumber hukum yang berlaku di Indonesia, seperti:

1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 B (2) UUD

NRI Tahun 1945 Perubahan Amandemen Kedua: ”Negara mengakui

dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta

hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

15
Ibid., h. 10.
16
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h. 33.
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Berdasarkan rumusan pasal di atas dapat diambil suatu penjelasan

bahwa keberadaan hukum adat mendapatkan pengakuan sepanjang

masih hidup dan seseuai dengan perkembangan zaman. Hal itu berarti

segala penerapan sanksi pidana adat yang tertuang di dalam hukum

adat mendapatkan suatu kepastian hukum.17

2) UU No. 1 Drt Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara

Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara

Pengadilan-Pengadilan Sipil Pasal 5 ayat (3) sub b UU No. 1

Drt/1951:

Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil

pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah

Swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat,

ada tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian:

- bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus

dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam

Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan

hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda

lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana

hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum

17
Rahmat Hj. Abdulah, “Urgensi Hukum Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Vol. 9,
No. 2, 2015, h. 176-177.
dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh hakim

dengan besar kesalahan yang terhukum,

- bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran

hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda

yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat

dikenakan hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara,

dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut faham

hakim tidak selaras lagi dengan zaman senantiasa mesti diganti

seperti tersebut di atas, dan

- bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus

dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab

Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman

yang sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada

perbuatan pidana itu. Mengacu pada rumusan tersebut, dapat

dikemukakan bahwa pidana adat yang tidak ada pengaturannya

dalam KUHP dan tergolong tindak pidana ringan, maka ancaman

pidananya adalah pidana penjara selama 3 bulan dan atau pidana

denda lima ratus rupiah. Sedangkan untuk delik hukum adat yang

sifatnya berat, ancaman pidananya adalah sepuluh tahun, sebagai

pengganti hukuman adat yang tidak dijalani oleh pelaku yang

menerima hukuman

3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) :


- Pasal 5 (1) UU Kekuasaan Kehakiman ”Hakim dan hakim

konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

- Pasal 10 (1) UU Kekuasaan Kehakiman: ”Pengadilan dilarang

menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara

yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang

jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

- Pasal 50 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman: ”Putusan pengadilan

selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal

tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan

atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili”.

Berdasarkan sumber-sumber hukum di atas dapat disimpulkan bahwa

kedudukan pidana adat di Indonesia telah mendapatkan pengakuan,

sehingga penerapan sanksi adat yang diberlakukan kepada pelaku yang

melakukan pelanggaran adat tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah

norma negara. Sepanjang hukum adat tersebut masih hidup dan tumbuh

berkembang di tengah lapisan masyarakat adat.

Hukum Adat Dayak Bakati’ juga adalah hukum yang hidup (living

law) dalam masyarakat adat, bagian dari hukum yang berasal dari adat

istiadat Dayak, yakni kaidah-kaidah sosial yang dibuat dan dipertahankan

oleh para fungsionaris hukum (penguasa yang berwibawa) dan berlaku

serta dimaksudkan untuk mengatur hubungan-hubungan hukum dalam


masyarakat hukum yang bersangkutan, termasuk pengaturan-pengaturan

sanksi adat bagi pelanggarnya atau pelaku delik adat.

Suatu delik adat merupakan tindakan pelanggaran terhadap bagian

dari hukum adat yaitu hukum pidana adat. Setiap pelanggaran adat akan

mengakibatkan ketidakseimbangan pada masyarakat. Oleh karena itu,

sanksi adat berfungsi sebagai sarana untuk pengembalian rusaknya

keseimbangan (Obat Adat).18

Sanksi adat dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar adat oleh

para pengurus/penguasa adat. Dalam sistem hukum adat hanya dikenal

satu jenis pelanggaran saja, yaitu pelanggaran hukum adat dan

penyelesaiannya hanya melalui satu jenis peradilan saja yaitu melalui

musyawarah adat yang dilakukan oleh fungsionaris adat (hakim adat), hal

ini selaras dengan apa yang diungkapkan oleh R. Soepomo, bahwa:

Hukum adat tidak mengadakan pemisahan antara pelanggaran hukum


yang mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum didalam
lapangan hukum pidana (di muka hakim pidana), dan pelanggaran
hukum yang hanya dapat dituntut di lapangan hukum perdata (di muka
hakim perdata)”.19

Dalam kaitannya penjatuhan sanksi pidana adat bagi pelakunya

diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban

dan masyarakat adat itu sendiri.

Salah satu delik adat adalah perbuatan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT). Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

terdapat di dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004


18
R. Otje Salman Soemadiningrat, Konseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung,
2002, Alumni, h. 16.
19
R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, h. 14.
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, adalah sebagai

berikut:

Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap


seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumah tangga.

Menurut Guse Prayudi yang dinamakan “Tindak Pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga” adalah setiap perbuatan berupa melakukan

kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran

rumah tangga yang dilakukan oleh, dalam dan terhadap “orang dalam

lingkup rumah tangga”.20

Sedangkan larangan untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga

diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang menentukan, bahwa:

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga


terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; atau
d. penelantaran rumah tangga

Tindakan kekerasan dalam rumah tangga dikualifisir sebagai tindak

pidana dan pelakunya dapat dijatuhkan hukuman/pidana. Dalam

penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT) dalam kenyataannya dilakukan melalui peradilan adat

atau peradilan umum.


20
Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Dilengkapi dengan Uraian Unsur-unsur Tindak Pidananya), Merkid Press, Yogyakarta, 2008, h.
21.
Dalam konteks terjadinya tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT) pada masyarakat adat Dayak Bakati’ diselesaikan dengan

hukum pidana adat. Penyelesaian perkara tindak pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (KDRT) pada masyarakat adat Dayak Bakati’ diselesaikan

melalui Adat Madok dan terhadap pelakunya dijatuhkan pidana denda

adat. Selain itu, pelakunya juga dikenakan sanksi pidana penjara oleh

peradilan umum.

Sebenarnya penjatuhan sanksi pidana adat dianggap telah memenuhi

rasa keadilan, sehingga pelakunya tidak perlu diajukan lagi ke Peradilan

Umum. Hal ini diperkuat dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, yang

menyatakan bahwa: “Seseorang yang telah melakukan perbuatan yang

menurut hukum yang hidup (hukum adat) di daerah tersebut adalah

merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum adat, yaitu “delict

adat”. Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi adat (sanksi adat)

terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu telah dilaksanakan oleh

terhukum. Terhadap si terhukum yang sudah dijatuhi “reaksi adat” oleh

Kepala Adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua

kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara

(Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat

dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP (Pasal 5 ayat (3) b Undang-

Undang Nomor 1 Drt 1951). Dalam keadaan yang demikian, maka


pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri,

harus dinyatakan “tidak dapat diterima” (Niet Ontvakelijk Verklaard).

Putusan hakim adalah pernyataan hakim untuk menyelesaikan suatu

perkara di antara para pihak yang berperkara. Putusan adalah kesimpulan

atau ketetapan hakim untuk mengakhiri suatu perkara yang diperhadapkan

kepadanya.21 Putusan hakim adalah putusan akhir dari suatu pemeriksaan

persidangan di pengadilan dalam suatu perkara.22 Sudikno Mertokusumo

memberikan definisi putusan sebagai pernyataan hakim dalam

kedudukannya sebagai pejabat Negara yang diberi kewenangan untuk itu

dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum yang

bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di antara pihak-pihak yang

berperkara.23

Bagaimanapun sebuah putusan bisa disebut adil apabila setiap hakim

bisa menggunakan haknya untuk mengungkapkan pandangannya secara

bebas, terbuka dan jujur dengan menggunakan pertimbangan hukum

sampai dihasilkan satu putusan kolektif.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam

mengambil keputusan, yaitu:

1. Raw in-put, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan suku,


agama, pendidikan informal dan sebagainya.
2. Instrumental in-put, yakni faktor yang berhubungan dengan
pekerjaan dan pendidikan formal.

21
M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim, UII Press, Yogyakarta, 2014, h. 13.
22
Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, h. 211.
23
M. Natsir Asnawi, Op. Cit., h. 13.
3. Environmental in-put, faktor lingkungan, sosial budaya yang
mempunyai pengaruh dalam kehidupan seorang hakim, umpamanya
lingkungan organisasi dan seterusnya.24

Apabila diperinci, maka faktor-faktor tersebut dibagi atas faktor

subjektif dan faktor objektif.

Pertama, faktor subjektif yaitu:


1. Sikap perilaku yang apriori, adaya sikap seorang hakim yang sejak
semula sudah menganggap bahwa terdakwa yang diperiksa dan
diadili adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus
dipidana.
2. Sikap perilaku emosional, putusan pengadilan akan mempengaruhi
sifat seorang hakim. Hakim yang mempunyai sifat mudah
tersinggung akan berbeda dengan sifat seorang hakim yang tidak
mudah tersinggung. Demikian pula dengan putusan dari seorang
hakim yang mudah marah dan pendendam akan berbeda dengan
putusan seorang hakim yang sabar.
3. Sikap arrogance power, sikap lain yang mempengaruhi suatu
putusan adalah kecongkakan kekuasaan. Di sini hakim merasa
dirinya berkuasa dan pintar melebihi orang lain (Jaksa, Pembela
apalagi Terdakwa).
4. Moral, moral seorang hakim sangat berpengaruh karena
bagaimanapun juga pribadi seorang hakim diliputi oleh tingkah laku
yang didasari oleh moral pribadi hakim tersebut terlebih dalam
memeriksa serta memutuskan suatu perkara.

Kedua, faktor objektif yaitu:


1. Latar belakang budaya, kebudayaan, agama, pendidikan seorang
hakim tentu ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Meskipun
latar belakang hidup budaya tidak bersifat determinis, tetapi faktor
tersebut setidak-tidaknya mempengaruhi hakim dalam mengambil
suatu keputusan.
2. Profesionalisme, kecerdasan serta profesionalisme seorang hakim
ikut mempengaruhi keputusannya. Perbedaan suatu pengadilan
sering dipengaruhi oleh profesionalisme hakim tersebut.25

Tujuan penegakan hukum dan keadilan menuntut kepada Hakim

supaya wajib mengadili dan memeriksa setiap perkara yang diajukan

kepadanya; ia tidak boleh menolak memeriksa perkara. Hakim adalah


24
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h.116.
25
Ibid., h. 116-117.
tempat pencari keadilan meminta keadilan. Hakim dianggap “corong”

undang-undang (hukum) yang dapat memberikan tafsiran atas peraturan

hukum yang berlaku. Untuk itu, hakim wajib pula mengikuti dan

memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Putusan-putusan

Hakim, yang telah mempunyai kekuatan pasti, harus dilaksanakan dengan

baik, bahkan ia wajib mengawasinya.

Peranan yang dimainkan oleh Hakim sebagai subsistem peradilan

pidana dalam usahanya untuk menanggulangi kejahatan adalah dengan

memberikan pidana bagi pelanggar hukum. Perlu dikemukakan dalam hal

ini mengenai peranan Hakim selain sebagai pemberi pidana

(straftoemeter) yaitu peran Hakim dalam memberi Putusan yang "sesuai

dengan hukum dan rasa keadilan" yang hidup dalam masyarakat, juga

melakukan penemuan hukum. Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hal ini dinyatakan dengan

tegas, bahwa Hakim merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai

hukum yang hidup dalam masyarakat. Makna dari ketentuan ini memberi

peran yang luas pada Hakim, bahwa untuk mendapat keadilan bagi si

pencari keadilan andaikata Hakim tidak menemukan hukum tertulis, ia

wajib menggali hukum tidak tertulis, atau hukum yang hidup dalam

masyarakat.26

Berarti dalam memberikan Putusan (vonis), Hakim harus bertanya

pada diri sendiri apakah Putusannya dapat digunakan sebagai kaidah

26
M. Fauzan, Deindividualisasi Putusan Hakim dalam Lembaga Peradilan, MA-RI, Varia
Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIII No. 270 Mei 2008.
hukum. Dengan kata lain, Putusan itu menjadi kaidah yang mengikat

Hakim setaraf dengan Undang-undang dan peradilan yang umum diakui,

setelah pengulangan berkali-kali dan meyakinkan, walaupun ada

kemungkinan akan mengalami perubahan.

Meskipun kebebasan seorang Hakim terletak pada dirinya yaitu pada

keyakinan untuk membuat Putusan sesuai dengan panggilan suara hati

nurani yang menjadi sikap dan persepsinya dan juga sejalan dengan nilai-

nilai yang dianut masyarakat namun kebebasan itu tidaklah bersifat

mutlak, kebebasan itu akan dibatasi oleh proses jalannya perkara,

ketertiban umum, moral dan kepentingan para pihak. Dalam hal ini,

peranan Hakim sebagai role playing, hendaklah tidak membuat dan

menjadikan Putusannya dianggap kontroversial. Pemikiran itu hendaklah

menjadikan Putusan Pengadilan yang rasional dalam perkara pidana.

2. Kerangka Konsep

Negara Indonesia memiliki beraneka ragam budaya, bahasa, agama

maupun adat istiadat. Keanekaragaman tersebut menjadikan konsep

pluralisme dalam kehidupan berbangsa yang sampai sekarang ini masih

dipertahankan dan dilestarikan sebagai kekayaan dan aset budaya bangsa.

Di antara keanekaragaman masyarakat Indonesia, terdapat masyarakat

suku Dayak sebagai salah satu suku asli di Kalimantan yang memiliki

beragam budaya dan adat istiadat. Suku Dayak ini terbagi lagi ke dalam

sub-sub suku dan masing-masing sub suku memiliki perbedaan, baik dari
segi bahasa, adat istiadat, struktur dan tatanan kehidupan maupun dari sisi

hukum adatnya.

Salah satu sub suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat adalah

suku Dayak Bakati’. Suku Dayak Bakati’ merupakan sub suku rumpun

Dayak Kanayatn yang berada di Kabupaten Bengkayang. Penyebaran suku

Dayak Bakati’ di Kabupaten Bengkayang sebagian terdapat di wilayah

Kecamatan Monterado.

Dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran adat baik yang

bersifat pidana maupun perdata, masyarakat suku Dayak Bakati’ di

Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang menyelesaikannya melalui

peradilan adat. Begitu pula dalam menyelesaikan kasus tindak pidana

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi antara HLM dan

POL di Dusun Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado,

Kabupaten Bengkayang.

Kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang

terjadi antara HLM dan POL di Dusun Giri Harja, Desa Beringin,

Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang diselesaikan dengan

hukum pidana adat yang berlaku pada masyarakat suku Dayak Bakati’

yaitu Adat Madok (adat memukul orang). Adat Madok terbagi menjadi 3

(tiga) tingkatan, yakni: adat madok ringan, adat madok sedang, dan adat

madok berat.

Namun penyelesaian perkara tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah

Tangga (KDRT) melalui peradilan adat antara HLM dan POL di Dusun
Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang

ternyata diajukan juga ke Pengadilan Negeri Bengkayang. Bahkan, telah

diputus oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Bengkayang melalui

Putusan Nomor 13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dan menjatuhkan pidana kepada

Terdakwa HLM dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima

belas) hari.

Oleh karena itu, terjadi dualisme dalam penyelesaian perkara tindak

pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tersebut, dimana

penyelesaiannya melalui peradilan adat dan Pengadilan Negeri

Bengkayang. Padahal di dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, menyatakan

bahwa: “Seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menurut hukum

yang hidup (hukum adat) di daerah tersebut adalah merupakan suatu

perbuatan yang melanggar hukum adat, yaitu “delict adat”. Kepala dan

para pemuka adat memberikan reaksi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku

tersebut. Sanksi adat itu telah dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si

terhukum yang sudah dijatuhi “reaksi adat” oleh Kepala Adat tersebut,

maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai

terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri)

dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat dan dijatuhi hukuman

penjara menurut KUHP (Pasal 5 ayat (3) b Undang-Undang Nomor 1 Drt

1951). Dalam keadaan yang demikian, maka pelimpahan berkas perkara


serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri, harus dinyatakan “tidak

dapat diterima” (Niet Ontvakelijk Verklaard).

Menurut penulis, seharusnya perkara tindak pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi antara HLM dan POL di Dusun Giri

Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten Bengkayang

tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan Negeri Bengkayang karena

pelakunya sudah dijatuhkan sanksi pidana adat.

Di samping itu, Majelis Hakim yang mengadili perkara aquo

seharusnya mempertimbangkan bahwa Terdakwa HLM telah dijatuhkan

sanksi pidana adat melalui peradilan adat karena di dalam surat dakwaan

Jaksa Penuntut Umum telah dicantumkan bahwa Terdakwa HLM telah

dijatuhkan sanksi pidana adat melalui peradilan adat.

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian merupakan suatu sarana atau upaya pencarian untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara

menemukan dan mengemukakan suatu kebenaran dengan melakukan suatu

analisis.27 Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahwa: “penelitian hukum

adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip

hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dihadapi.28
27
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
2009, h. 32.
28
Ibid., h. 35.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan

yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang berdasarkan pada penelitian

kepustakaan guna memperoleh data sekunder di bidang hukum.

Tahapan pertama penelitian hukum normatif adalah penelitian yang

ditujukan untuk mendapatkan hukum obyektif (norma hukum), yaitu

dengan mengadakan penelitian terhadap masalah hukum. Tahapan kedua

penelitian hukum normatif adalah penelitian yang ditujukan untuk

mendapatkan hukum subjektif (hak dan kewajiban).29

2. Bahan Penelitian

Untuk mendapatkan bahan penelitian tersebut, maka penelitian ini

akan dilakukan dengan studi pustaka yang mengkaji bahan hukum. 30

Bahan hukum sebagai bahan penelitian diambil dari bahan kepustakaan

yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan

hukum tersier.

1) Bahan hukum primer, merupakan bahan pustaka yang berisikan

peraturan perundang-undangan yang terdiri dari:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

b) Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1951 Tentang Tindakan-

Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan

Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.

c) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.
29
Hardijan Rusli, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law Review Fakultas
Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V  No. 3 Tahun 2006,  h. 50.
30
Ibid., h. 44.
d) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

e) Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991.

f) Putusan Nomor 13/Pid.Sus/2013/PN.Bky.

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan

bahan hukum primer, dan dapat membantu untuk proses analisis, yaitu:

a) Buku-buku ilmiah yang berkaitan dengan tindak pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (KDRT), hukum pidana adat, dan proses

perkara pidana.

b) Hasil penelitian yang berkaitan dengan tindak pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (KDRT), hukum pidana adat, dan proses

perkara pidana.

c) Makalah Seminar dan Jurnal yang yang berkaitan dengan tindak

pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hukum pidana

adat, dan proses perkara pidana.

d) Doktrin, pendapat dan kesaksian dari ahli hukum baik yang tertulis

maupun tidak tertulis.

3) Bahan hukum tersier, yaitu berupa kamus dan ensiklopedi.

3. Informan Penelitian

Walaupun penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis

normatif, namun untuk mendukung data penelitian maka penulis juga

melakukan penelitian dengan menghubungi informan yakni Ketua


Peradilan Adat Dayak di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang

dan Ketua Pengadilan Negeri Bengkayang.

4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

a. Bahan hukum primer, sekunder dan tersier akan diperoleh melalui studi

kepustakaan dengan cara menghimpun semua peraturan perundang-

undangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku serta jurnal

ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan. Selanjutnya untuk

peraturan perundang-undangan maupun dokumen yang ada akan

diambil pengertian pokok atau kaidah hukumnya dari masing-masing

isi pasalnya yang terkait dengan permasalahan, sementara untuk buku,

makalah dan jurnal ilmiah akan diambil teori, maupun pernyataan yang

terkait, dan akhirnya semua data tersebut di atas akan disusun secara

sistematis agar memudahkan proses analisis.

b. Bahan hukum sekunder yang merupakan pendapat dari ahli hukum

yang terkait dengan penelitian cara pengambilannya dengan

menggunakan metode wawancara secara tertulis.31

5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

setelah bahan-bahan hukum yang terkait dengan permasalahan yang dikaji

dikumpulkan, kemudian diolah dan dianalisis secara hukum. Dalam

menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dalam penelitian

ini digunakan beberapa teknik analisis bahan hukum yaitu: Teknik

deskripsi yaitu menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi
31
Ibid., h. 164-166.
dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum, di mana dalam penelitian

ini menguraikan ketentuan pasal-pasal yang inkonsistensi yang disertai

dengan fakta hukum yang ada.

Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap rumusan pasal-pasal

tersebut dengan menggunakan teknik evaluasi. Teknik evaluasi adalah

penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau

salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap suatu pandangan, proposisi,

pernyataan rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam bahan

hukum primer maupun dalam bahan hukum sekunder. Analisis bahan

hukum selanjutnya yang digunakan adalah teknik argumentasi. Teknik

argumentasi tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena penilaian

harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

Dalam pembahasan permasalahan hukum makin banyak argumen makin

menunjukkan kedalaman penalaran hukum. Berdasarkan teknik

argumentasi tersebut, maka setelah dilakukan penilaian terhadap rumusan

norma dalam suatu aturan hukum yang menjadi kajian dalam penulisan ini

kemudian dilanjutkan dengan memberikan argumentasi-argumentasi

hukum untuk mendapatkan suatu kesimpulan atas pokok permasalahan

dalam skripsi ini.


BAB II

PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM


RUMAH TANGGA PADA MASYARAKAT ADAT DAYAK MELALUI
PERADILAN ADAT DAN PERADILAN NEGERI

A. Tinjauan Umum Tentang Sistem Hukum

Istilah sistem hukum mengandung pengertian yang spesifik dalam ilmu

hukum. Dalam mengartikan sebuah istilah, tidak selalu harus dengan cara

menggabungkan pengertian sistem dan pengertian hukum secara apa adanya.

Lawrence M. Friedman tidak memberikan definisi riil mengenai sistem

hukum, namun dalam sebuah sistem hukum tersebut terdapat subsistem-

subsistem yang merupakan bagian dari sistem hukum itu sendiri yang

terhubung dengan negara atau yang mempunyai struktur otoritas yang bias

dianalogikan dengan perilaku negara.32

Menurut Lawrence M. Friedman, sistem hukum terdiri atas 3 (tiga)

komponen, yaitu:

1. Komponen yang disebut dengan struktur. Ia adalah kelembagaan yang


diciptakan oleh sistem hukum seperti pengadilan negeri, pengadilan
administrasi yang mempunyai fungsi untuk mendukung bekerjanya
sistem hukum itu sendiri. Komponen struktur ini memungkinkan
pemberian pelayanan dan penggarapan hukum secara teratur.
2. Komponen substansi yaitu berupa norma-norma hukum, baik itu
peraturan-peraturan, keputusan-keputusan dan sebagainya yang
semuanya dipergunakan oleh para penegak hukum maupun oleh mereka
yang diatur.
32
Lawrence M. Friedman, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, Nusa Media, Bandung,
2013, h. 12.
3. Komponen hukum yang bersifat kultural. Ia terdiri dari ide-ide, sikap-
sikap, harapan dan pendapat tentang hukum. Kultur hukum ini
dibedakan antara internal legal culture, yakni kultur hukumnya lawyers
dan judged’s, dan external legal culture yakni kultur hukum masyarakat
pada umumnya.33

Ketiga komponen tersebut saling menentukan satu sama lainnya, demikian

juga saling berpengaruh satu sama lainnya.

Struktur hukum atau legal structure merupakan institusionalisasi ke


32
dalam entitas-entitas hukum yang berubah secara konstan, persisten dan

jangka panjang sebagai kerangka yang memberi bentuk dan definisi secara

keseluruhan. Substansi adalah aturan, norma dan pola perilaku manusia dalam

sistem tersebut dan substansi tersebut tidak terbatas pada hukum tertulis saja,

namun juga hukum yang berlaku di masyarakat (living law). Sedangkan unsur

budaya hukum adalah sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan

hukum, tingkah laku, dan lembaga-lembaganya.34

Indonesia menganut 3 (tiga) sistem hukum sekaligus yang hidup dan

berkembang dalam kehidupan masyarakat maupun ketatanegaraan, yakni:

sistem hukum civil, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam.35

Dalam penulisan hukum ini hanya difokuskan pada membahas mengenai

sistem hukum civil law dan sistem hukum adat.

33
Lawrence M. Friedman, American Law, W.W. Norton and Company, New York, 1984, h.
7-12.
34
Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, h. 11-13.
35
Zaka Firma Aditya dan Rizkisyabana Yulistyaputri, “Romantisme Sistem Hukum di
Indonesia: Kajian Atas Kontribusi Hukum Adat dan Hukum Islam Terhadap Pembangunan Hukum
di Indonesia”, Jurnal Rechtsvinding, Media Pembinaan Hukum Nasional, Vol. 8, No.1, April 2019,
h. 39.
a. Sistem Hukum Eropa Kontinental (Civil Law)

Civil Law atau Kode Sipil dapat didefinisikan sebagai suatu tradisi

hukum yang berasal dari Hukum Roma yang terkodifikasi dalam Corpus

Juris Civilis Justinian dan tersebar ke seluruh benua Eropa dan seluruh

dunia.36

Civil Law atau Kode Sipil terbagi ke dalam 2 (dua) cabang, yaitu :

1) Hukum Romawi yang terkodifikasi (Kode Sipil Prancis 1804) dan


daerah lainnya di benua Eropa yang mengadopsinya (Quebec dan
Lousiana); dan
2) Hukum Romawi yang tidak dikodifikasi (Skotlandia dan Afrika
Selatan). Hukum kode sipil sangat sistematistis, terstruktur yang
berdasarkan deklarasi para dewan, prinsip-prinsip umum, dan sering
menghindari hal-hal yang detail.37

Hugo Grotius mengungkapkan pendapatnya tentang Hukum Romawi

sebagai berikut :

When no general written laws, preveleges, by laws or customs were


found touching the matter in hand, the judges were from times of old
admonished by oath to follow the path of reason according to their
knowledge and disrection. But since the roman laws particulary as
codified under Justinian, were consider by men of understanding to be
full of wisdom and equity, these were first receive of patterns of wisdom
and equity and in course of time by custom as law.38

Secara singkat, apabila tidak ada hukum umum yang tertulis, dan tidak

ditemukan hukum kebiasaan dalam menangani perkara, hakim dari zaman

old admonish (peradilan sistem lama dalam mengadili perkara)

berdasarkan sumpah mengikuti alur logika menurut ilmu pengetahuan dan

diskresi. Namun sejak hukum Romawi, khususnya sebagai hukum

terkodifikasi oleh Justinian dapat dipertimbangkan oleh semua orang


36
Ibid., h. 57.
37
Ibid., h. 58.
38
Ibid., h. 59.
untuk memperoleh kebijaksanaan dan keadilan dalam periode kebiasaan

sebagai hukum.

Sistem Civil Law diturunkan dari hukum Romawi Kuno, dan pertama

kali diterapkan di Eropa berdasarkan Jus Civile Romawi, yaitu hukum

privat yang diaplikasikan kepada warga negara dan di antara warga negara.

Sistem hukum ini juga disebut sebagai Jus Guiritium sebagai lawan sistem

Jus Gentium untuk diaplikasikan secara internasional, yakni antar negara.

Dalam perjalanan waktu, hukum Romawi tersebut kemudian

dikompilasikan bahkan kemudian dikodifikasikan.

Menurut Black’s Law Dictionary, Civil Law adalah:

1. One of the two prominent legal system in the Western world,


originally administered in the Roman Empire and still influential in
continental Europe, Latin America, Scotland, and Louisiana, among
other parts of the world.
2. Roman Law.39

Terjemahan bebas:
1. Salah satu dari dua sistem hukum yang terkemuka di negara Barat,
awalnya diselenggarakan oleh Kerajaan Romawi and masih
mempunyai pengaruh di Eropa Kontinental, Amerika Latin,
Skotlandia, dan Louisiana, dan di beberapa negara di dunia.
2. Hukum Romawi.

Sistem hukum civil law menggunakan istilah “code” (undang-undang)

yaitu sekumpulan klasula dan prinsip hukum umum yang otoritatif,

komprehensif, dan sistematis yang dimuat dalam Kitab atau Bagian yang

disusun secara logis sesuai dengan hukum terkait. Oleh sebab itu,

peraturan civil law dianggap sebagai sumber hukum utama, dimana semua

39
Bryan A Gardner, Black’s Law Dictionary (Fourth Pocket Edition), West Publishing, United
State of America, 2011, h. 37.
sumber hukum lainnya menjadi subordinatnya, dan sering kali dalam

masalah hukum tertentu satu-satunya menjadi sumber hukumnya.

Dalam perkembangannya, banyak pengamat menyebut bahwa Civil

Law sebagai hukum yang terkodifikasi yang paling utama di mana

yurisdiksinya adalah Romano-Germanik (warisan hukum Romawi dan

kontribusi ilmu hukum Jerman). Negara-negara Civil Law biasanya adalah

negara-negara yang memperhatikan sumber-sumber hukumnya (peraturan,

undang-undang, dan legislasi utama yang berlaku), karakteristik mode

pemikirannya berkenaan dengan masalah hukum, institusi hukumnya

berbeda (yudisial, eksekutif, dan legislatif, dan ideologi fundamentalnya). 40

Sistem Civil Law diklasifikasikan, berstruktur dan memuat sebagian besar

aturan-aturan dan asas-asas umum yang kurang rinci. Karakteristik utama

pada sistem ini adalah tugas utama pengadilan adalah untuk menerapkan

dan menafsirkan hukum yang termuat dalam kitab undang-undang, atau

undang-undang pada fakta-fakta kasus.41

Terdapat beberapa karakter dalam sistem hukum Civil Law, yaitu:

1) Adanya kodifikasi hukum sehingga pengambilan keputusan oleh

hakim dan oleh penegak hukum lainnya harus mengacu pada Kitab

Undang-Undang atau Perundang-undangan, sehingga undang-undang

menjadi sumber hukum yang utama atau sebaliknya hakim tidak

terikat pada preseden atau yurisprudensi.

40
Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum (Common Law, Civil Law and Socialist Law),
Nusa Media, Jakarta, 2013, h. 61-62.
41
Caslav Pejovic, Civil Law and Common Law: Two Different Paths Leading to The Same
Goal, Victoria University of Wellington Law Review, Volume 32, No. 3, August, England, 2001, p.
819.
2) Adanya perbedaan yang tajam antara hukum privat dengan hukum

publik. Meskipun secara konseptual sistem hukum common law

maupun civil law mengakui bahwa hukum privat mengatur hubungan

antara warga negara dan antar perusahaan, sedangkan hukum publik

mengatur hubungan antara warga negara dengan negara. Tapi

perbedaannya dalam civil law membawa implikasi praktis yang lebih

mendalam. Karena perbedaan pada civil law kemudian muncul 2 (dua)

macam hierarki pengadilan, yaitu peradilan perdata dan peradilan

pidana. Bahkan pada karakter civil law seperti di Indonesia, perbedaan

peradilan itu tidak saja hanya terbatas pada peradilan pidana dan

perdata, tetapi muncul pula Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan

Niaga untuk penyelesaian persoalan Kepailitan, Peradilan Pajak,

Mahkamah Konstitusi, Peradilan Militer, dan Peradilan khusus untuk

tindak pidana korupsi (TIPIKOR). Dalam sistem hukum common law

tidak ada pengadilan tersendiri berkenaan dengan perselisihan hukum

publik. Di dalam sistem hukum civil law kumpulan substansi hukum

privat secara prinsipal terdiri dari civil law dalam pengertian hukum

perdata yang selanjutnya dipecah ke dalam beberapa subbab atau

devisi hukum seperti hukum orang dan keluarga, hukum benda, rezim

hukum kepemilikan, hukum perjanjian atau kontrak.

3) Dalam sistem hukum civil law dikenal perbedaan hukum perdata (civil

law) dengan hukum dagang (commercial law). Hukum dagang

menjadi bagian hukum perdata, tetapi diatur dalam kumpulan hukum


yang berbeda yang dimuat dalam Kitab Undang-Undang tersendiri.

Dalam sistem hukum common law tidak ada perbedaan antara hukum

perdata dengan hukum dagang dengan alasan yang sederhana bahwa

hukum dagang adalah bagian dari hukum perdata, sebagai lawan dari

hukum pidana.42

4) Selain ketiga karakteristik yang telah disebutkan sebelumnya, sisetem

hukum civil law juga memiliki karakteristik dimana sistem peradilan

bersifat inkuisitorial.43 Lawrence M. Friedman menyatakan bahwa, di

dalam sistem tersebut hakim mempunyai peranan yang besar dalam

mengarahkan dan memutus perkara; hakim aktif dalam menemukan

fakta dan ceermat dalam menilai alat bukti. Menurut pengamatan

Friedman, hakim di dalam sistem civil law berusaha untuk

mendapatkan gambaran lengkap dari peristiwa yang dihadapinya sejak

awal, sistem ini mengandalkan profesionalisme dan kejujuran hakim.44

b. Sistem Hukum Adat

Sistem hukum adat berbeda dengan sistem hukum civil dan sistem

hukum Islam. Sistem hukum adat bersifat pragmatism-realisme artinya

mampu memberikan kebutuhan masyarakat yang bersifat fungsional

religius, sehingga hukum adat mempunyai fungsi sosial atau keadilan

sosial.45

42
Zainal Asikin Amirudin, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012,
h. 126-128.
43
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. 8, Kencana, Jakarta, 2009, h. 286.
44
Ibid., h. 294.
45
Laksanto Utomo, Hukum Adat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2017, h. 8.
Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan

kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti

Jepang, India, dan Tiongkok. Sumbernya adalah peraturan-peraturan

hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan

dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Peraturan-peraturan ini tidak

tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan

menyesuaikan diri dan elastis. Penegak hukum adat adalah pemuka adat

sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam

lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.46

Terdapat 3 (tiga) sifat yang menjadi ciri dari hukum adat, yaitu

sebagai berikut :

1. Communal atau komunal atau kekeluargaan: masyarakat lebih


penting daripada individu;
2. Contant atau tunai yaitu perbuatan hukum dalam hukum adat sah
bila dilakukan secara tunai, sebagai dasar mengikatnya suatu
perbuatan hukum;
3. Concrete atau nyata atau real, yaitu perbuatan hukum yang
dinyatakan sah bila dilakukan secara konkret bentuk perbuatan
hukumnya.47

Dalam hukum adat, ada 2 (dua) unsur yang harus dipenuhi sehingga

dapat dikatakan sebagai hukum adat dan unsur inilah yang menimbulkan

adanya kewajiban hukum, yaitu :

1. Unsur kenyataan yang menyatakan bahwa adat itu dalam keadaan

yang sama selalu diindahkan oleh rakyat

46
Supriyady, “Kedudukan Hukum Adat Dalam Lintasan Sejarah”, Addin Vol. 2 No. 1,
Januari-Juli 2008, h. 221.
47
Laksanto Utomo, Op. Cit., h. 8.
2. Unsur psikologis, yaitu bahwa dengan unsur ini maka terdapat

adanya keyakinan pada rakyat bahwa adat yang dimaksud

mempunyai kekuatan hukum.

Antara sistem hukum adat dan sistem hukum civil terdapat perbedaaan

yang fundamental, yaitu sebagai berikut :

1. Sistem Hukum Civil mengenal “zakelijke rechten” dan “persoonlijke


rechten”. “Zakelijke rechten” adalah hak atas suatu barang, yang
bersifat zakelijk, yaitu yang berlaku terhadap tiap-tiap orang.
Sedangkan “persoonlijke rechten” adalah hak seseorang atas suatu
objek yang hanya berlaku terhadap barang tertentu.
Sistem hukum adat tidak mengenal pembagian hak-hak seperti yang
tersebut dalam sistem hukum civil itu. Perlindungan hak-hak dalam
sistem hukum adat adalah di tangan hakim (kepala adat). Di dalam
persengketaan di Pengadilan, hakim akan menimbang berat
ringannya kepentingan-kepentingan hukum yang saling
bertentangan. Misalnya apabila seseorang bukan si pemilik sawah
kemudian dia menjual sawah itu kepada orang lain dan kemudian si
pemilik sawah menuntut si pembeli sawah untuk sawah itu
dikembalikan kepadanya, maka hakim akan menimbang kepentingan
si pembeli tersebut.
2. Sistem Hukum Civil mengenal perbedaan antara public recht
(hukum umum) dan privat recht (hukum privat). Sistem hukum adat
tidak mengenal perbedaaan yang demikian dan jika ingin
mengadakan perbedaan antara hukum-hukum tersebut yaitu hukum
adat yang bersifat publik dan yang bersifat privat, maka batas batas
antara kedua lapangan itu di dalam hukum adat adalah berbeda
dengan batas-batas yang ditentukan pada sistem hukum civil.
3. Pelanggaran-pelanggaran hukum menurut sistem hukum civil,
dibagi-bagi dalam golongan pelanggaran yang bersifat pidana dan
harus diperiksa oleh hakim pidana dan pelanggaran-pelanggaran
yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan perdata, pelanggaran
itu harus diadili oleh hakim perdata.
Sistem hukum adat tidak mengenal perbedaaan tersebut karena
setiap pelanggaran hukum adat akan membutuhkan pembetulan
hukum kembali dan kepala adat memutuskan agar adat apa yang
harus digunakan untuk membetulkan adat yang dilanggar itu.48

B. Tinjauan Umum Tentang Hukum Adat dan Hukum Pidana Adat


48
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta,
1990, h. 70.
Terminologi hukum adat dikaji dari perspektif asas, norma, teoritis dan

praktik dikenal dengan istilah, “hukum yang hidup dalam masyarakat”,

“living law”, “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat”, “hukum tidak tertulis”, “hukum kebiasaan”, dan lain

sebagainya.

Menurut Soerjono Soekanto menyatakan bahwa jika diselidiki adat

istiadat ini, maka terdapatlah peraturan-peraturan yang bersanksi, yaitu

kaidah-kaidah yang apabila dilanggar ada akibatnya dan mereka yang

melanggar dapat dituntut dan kemudian dihukum.49

Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup

bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan Tuhan ke muka bumi, maka ia

memulai hidupnya berkeluarga, kemudian bermasyarakat, dan kemudian

bernegara. Sejak manusia itu berkeluarga mereka telah mengatur dirinya dan

anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka. Perilaku yang terus menerus

dilakukan perorangan menimbulkan kebiasaan pribadi. Apabila kebiasaan

pribadi itu ditiru orang lain, maka itu akan juga menjadi kebiasaan orang itu.

Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat melakukan perilaku kebiasaan

tadi, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi “adat” dari masyarakat tersebut.

Jadi, adat adalah kebiasaan masyarakat dan kelompok-kelompok masyarakat

lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi

semua anggota masyarakat, sehingga menjadi “hukum adat.” Jadi hukum adat

adalah hukum yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat

49
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, h.
55.
bersangkutan. Untuk mempertahankan pelaksanaan hukum adat itu agar tidak

terjadi penyimpangan atau pelanggaran, maka di anggota masyarakat diberi

tugas mengawasinya. Dengan demikian lambat laun petugas-petugas adat

menjadi kepala adat.50

Istilah “hukum adat” berasal dari kata-kata Arab, “Huk’m” dan “Adah”.

Huk’m (jamaknya: Ahkam) artinya “suruhan” atau ”ketentuan.” Adah atau

adat artinya “kebiasaan”, yaitu perilaku masyarakat yang selalu terjadi. Jadi,

Hukum Adat adalah hukum kebiasaan.51

Unsur-unsur pembentukan hukum adat sekitar abad ke-19, kita jumpai

istilah hukum adat yang merupakan terjemahan dari “adatrecht” berasal dari

bahasa Belanda. Istilah “adatrecht” pertama kali dipakai oleh Snouck

Hurgronje, yang kemudian dikutip dan dipakai selajutnya oleh Van

Vollenhoven sebagai istilah teknis-yuridis. Namun, yang lebih dikenal dalam

perundang-undangan pada abad tersebut di antaranya; “godsdientige wetten,

volksinstellingen en gebruiken” (Pasal 11 AB) yang kesemuanya itu

merupakan istilah dalam hukum adat (Undang-undang ataupun peraturan

keagamaan) dan pada puncak kejayaannya pada abad 19. Jadi, dalam

pengerian hukum adat dipakai istilah peraturan keagamaan. Hal ini

merupakan perjuangan ajaran Van den Berg yang dengan teorinya reception

in complex, dimana menurut teori ini adat istiadat dan hukum sesuatu

golongan masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang dianut oleh

50
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung, 2009, Alfabeta, h. 40.
51
Lilik Mulyadi, Makalah Penelitian Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian
Asas, Teori, Norma, Praktik dan Prosedurnya, untuk wilayah Pengadilan Tinggi Banda Aceh,
Medan, Denpasar, Mataram dan Banjarmasin, bulan Juni-Juli 2010, h. 23.
golongan masyarakat itu. Jadi, hukum adat sesuatu golongan masyarakat

merupakan hasil penerimaan bulat-bulat dari hukum agama yang dianut oleh

golongan masyarakat itu.52

Pada umumnya di kalangan masyarakat daerah (masyarakat awam), tidak

membedakan antara Hukum Adat dan Adat. Antara kedua istilah itu diartikan

sama saja dan istilah yang banyak digunakan adalah istilah “Adat” bukan kata

“Hukum Adat”. Jadi dengan mengatakan Adat berarti meliputi “Hukum

Adat”, baik Adat tanpa sanksi maupun Adat yang mempunyai sanksi.53

Hukum Adat merupakan hukum kebiasaan yang bersifat tradisional dan

dianggap sakral karena merupakan kehendak dan warisan nilai budaya dari

nenek moyang dan para leluhur yang dihormati masyarakat dan karena itu

ditaati dan dipertahankan oleh para penguasa dan pemuka-pemuka

masyarakat. Namun Hukum Adat itu tidak bersifat statis karena sebagai

hukum yang hidup (the living law) di dalam masyarakat dia tumbuh dan

berkembang seirama dengan adat kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat

dan karena itu bersifat luwes (flexibel). Sedangkan hukum kebiasaan adalah

kebiasaan yang diakui masyarakat dan pengambil keputusan (decision

maker). Sehingga lambat laun menjadi hukum (gewoonte recht, customary

law).

52
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 1993, h. 4.
53
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung,
1992, h. 10.
Perbedaannya dengan Hukum Adat terletak pada sifatnya yang tidak

bercorak khas pribumi tetapi timbul akibat terjadinya hubungan dengan dunia

luar dengan bertemunya kebudayaan timur dan barat.54

Sampai saat ini tampaknya belum ada kesepakatan mengenai pengertian

masalah Hukum Adat dan Hukum Kebiasaan. Hal ini antara lain masih

terlihat di dalam Seminar Hukum Nasional VI di Jakarta bulan Juli 1994. Ada

pendapat bahwa kedua istilah itu identik, tetapi adapula yang berpendapat

tidak identik, karena Hukum Adat itu lebih menunjukkan pada hukum yang

berlaku dalam Masyarakat Etnis dan lingkunggan Hukum Adat (sebelum

proklamasi kemerdekaan) sedangkan hukum kebiasaan lebih merupakan

hukum yang berkembang setelah proklamasi kemerdekaan. Walaupun

mungkin ada perbedaan pengertian kedua istilah tersebut di atas, namun

menurut Barda Nawawi Arief secara substansial ada keterjalinan erat antara

berbagai istilah itu.55

Semenjak Hukum Adat menjadi ilmu pengetahuan muncullah beberapa

pengertian mengenai Hukum Adat baik oleh sarjana barat maupun oleh

sarjana Indonesia, antara lain sebagai berikut:

a. Cornelis van Vollenhoven: Hukum Adat adalah aturan-aturan prilaku


yang berlaku bagi orang pribumi dan orang-orang Timur Asing, yang di
satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain
pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan Adat).56

54
Purwoto S. Ganda Subrata, Simposium Tentang Integrasi Hukum Adat Kedalam Hukum
Nasional Selama 50 Tahun Terakhir, BPHN, Jakarta, 9–10 Januari 1995, h. 4-5.
55
Barda Nawawi Arief, Permasalahan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Di
Indonesia, Bahan Ceramah Pada Forum Komunikasi Penelitian Bidang Hukum, FH-UNDIP, 5-9
Desember 1994 di Hotel Kencana Bandung, h. 6.
56
Cornelis van Vollenhoven, Orientasi dalam Hukum Adat Indonesia, Djambatan kerjasama
dengan Inkultura Foundation Inc., Jakarta, 1983, h. 14.
b. B. Ter Haar Bzn: Hukum Adat adalah keseluruhan aturan yang
menjelma dari keputusan fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang
mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam
pelaksanaan berlakunya serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati.57

c. J.H.P. Bellefroid: Hukum adat adalah peraturan hidup yang meskipun


tidak diundangkan oleh penguasa tapi dihormati dan ditaati oleh rakyat
dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai
hukum.58

d. R. Soepomo: Hukum Adat adalah sinonim dari hukum yang tidak


tertulis di dalam peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai
konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Propinsi,
dan sebagainya), hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang
dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-
desa.59

e. Soerjono Soekanto mengemukakan, dilihat dari mata seorang ahli


hukum yang memegang teguh kitab undang-undang (wetboekjurist)
memang hukum keseluruhannya di Indonesia tidak teratur, tidak
sempurna, tidak tegas, akan tetapi apabila mereka sungguh
memperdalam pengatahuannya mengenai hukum adat tidak hanya
dengan pikiran (rechtsbegrif, rechtsvertand) tetapi dengan penuh
perasaan (rechtsgevole) pula, mereka melihat suatu sumber yang
mengagumkan, Adat istiadat dahulu dan sekarang, Adat istiadat yang
hidup, Adat istiadat yang berkembang, Adat istiadat yang berirama
(poezie van hetrecht). Jika kita menyelidiki Adat Istiadat ini terdapat
peraturan-peraturan yang bersanksi, kaidah-kaidah yang apabila
dilanggar ada akibatnya dan mereka yang melanggar dapat dituntut dan
di hukum. Kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak
dikitabkan, tidak dikodifikasi (ongecodifiseerd) dan bersifat paksaan
(dwang) mempunyai akibat hukum (rechtgevolg), kompleks ini disebut
Hukum Adat (Adat Recht)”.60

f. Hazairin: Adat adalah endapan kesusilaan dalam masyarakat, yaitu


bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang
kebenarannya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat itu.

57
Hilman Hadikusuma, Op. Cit., h. 14.
58
Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji Masagung, Jakarta,
1990, h. 14.
59
R. Soepomo, Kedudukan Hukum Adat di Kemudian Hari, Pustaka Rakyat, Jakarta, 1952, h.
30.
60
Soerjono Soekanto, Meninjau Hukum Adat Indonesia, Edisi ke-3, Rajawali, Jakarta, 1981,
h. 18.
g. M.M. Djojodigoeno: Sesungguhnya hukum itu bukanlah suatu
phenomenon yang tegar (statis) seperti halnya rangkaian ugeran,
melainkan karya manusia, suatu hal yang hidup dalam arti berangkap
dua, ia dapat berkembang (berevolusi) dan dapat bervariasi (plastis)
tegasnya dapat menyelesaikan hal yang berbeda di antara hak dan
kewajiban dalam peristiwa yang serupa, itulah yang saya maksud
hukum hidup (living law). Hukum Adat jika dilawan dengan hukum
perundangan (hukum kodifikasi) maka hukum adat itu adalah hukum
yang tidak bersumber pada peraturan.61

h. Soedirman Kartohadiprodjo: Hukum Adat berbeda dengan hukum


tidak tertulis. Memang Hukum Adat itu tidak berbentuk tidak tertulis
tetapi tidak dapat dilupakan bahwa dunia pemikiran (denkstructuur)
yang menjadi dasar Hukum Adat adalah jumlah berlainan dari hukum
tidak tertulis atau hukum kebiasaan sebagaimana terdapat dalam Pasal
15 AB. Istilah Hukum Adat tidak tertulis lebih luas artinya dari Hukum
Adat, oleh karena Hukum Adat adalah suatu jenis hukum tidak tertulis
yang tertentu yang mempunyai dasar pemikiran yang khas, yang
prinsipil berbeda dari hukum tertulis lainnya. Hukum Adat bukan
Hukum Adat karena tersusun dengan dasar pemikiran tertentu yang
prinsipil berbeda dari pikiran Hukum Barat.62

i. Menurut kesimpulan hasil “Seminar Hukum Adat dan


Pembangunan Hukum Nasional”
Hukum adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis
dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-
sini mengandung unsur agama.63

Di dalam penerapannya, hukum adat berpedoman pada aturan-aturan

yang secara turun temurun telah ditaati oleh para masyarakat tersebut, baik

yang tertulis maupun yang tidak tertulis, tetapi secara keseluruhan masyarakat

memahami betul keberadaan aturan tersebut. Kepatuhan dan ketaatan kepada

aturan-aturan tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran yang tulus, dan

masyarakat menyadari betul bahwa tatanan adat atau aturan-aturan hukum

adat tersebut dapat berjalan secara normal, harmonis dan aman.

61
Hilman Hadikusuma, Op. Cit., h. 21.
62
Soedirman Kartohadiprodjo, Hukum Nasional Beberapa Catatan, Bina Cipta, Bandung,
1974, h. 8.
63
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum
Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976, h. 250-251.
Hukum pidana adat menurut Bushar Muhammad adalah suatu perbuatan

sepihak dari seorang atau kumpulan perorangan, mengancam atau

menyinggung atau mengganggu keseimbangan dalam kehidupan persekutuan,

bersifat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap

masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian

mengakibatkan suatu reaksi adat yang dipercayai dapat memulihkan

keseimbangan yang telah terganggu, antara lain dengan berbagai jalan dan

cara, dengan pembayaran adat berupa barang, uang, mengadakan selamatan,

memotong hewan dan lain-lain.64

Istilah Hukum Pidana Adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda

yaitu Adat Delicten Recht atau Hukum Pelanggaran Adat. Istilah yang

demikian tidak dikenal di kalangan masyarakat adat. Mereka menggunakan

istilah lain seperti Salah (Lampung), Sumbang (Sumatera Selatan) untuk

menyatakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat. Hukum Pidana

Adat adalah hukum yang menunjukkan peristiwa dan perbuatan yang harus

diselesaikan (dihukum) dikarenakan peristiwa dan perbuatan tersebut

mengganggu keseimbangan masyarakat.

Hukum Pidana Adat merupakan hukum yang hidup (living law). Hukum

Pidana Adat dijiwai oleh Pancasila, dijiwai oleh sifat-sifat kekeluargaan yang

magis religius, dimana yang diutamakan bukanlah rasa keadilan perorangan

melainkan rasa keadilan kekeluargaan sehingga cara penyelesaiannya adalah

64
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Cetakan 13, Pradnya
Paramita, Jakarta, 2006, h.28.
dengan penyelesaian damai yang membawa kerukunan, keselarasan dan

kekeluargaan.

Menurut Muladi bahwa hukum pidana adat dilandasi falsafah harmoni

dan communal, bersama dengan itu juga menegaskan hukum pidana adat

apabila akan mencakup “law making” dan “law enforcement” setidaknya

memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Tidak semata-mata untuk tujuan pembalasan dalam arti tidak bersifat ad


hoc.
b. Harus menimbulkan kerugian atau korban yang jelas (bisa aktual dalam
delik materiil dan bisa potensial dalam delik formal).
c. Apabila masih ada cara yang lain yang lebih baik dan lebih efektif
jangan digunakan hukum pidana.
d. Kerugian yang ditimbulkan karena pemidanaan harus lebih kecil
daripada akibat kejahatan.
e. Harus didukung masyarakat.
f. Harus dapat diterapkan secara efektif.65

Selanjutnya Hilman Hadikusuma, menyatakan bahwa:

Hukum Pidana Adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus
hidup selama ada manusia yang berbudaya, ia tidak akan dapat dihapus
dengan perundang-undangan. Andaikata diadakan juga undang-undang
yang menghapuskannya akan percuma juga, malahan hukum pidana
perundang-undangan akan kehilangan sumber kekayaannya, oleh karena
Hukum Pidana Adat itu lebih dekat hubungannya dengan antropologi dan
sosiologi dari pada hukum perundang-undangan.66

Berdasarkan uraian beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

Hukum Pidana Adat tersebut mengandung beberapa pengertian, yaitu:

1. Ada perbuatan yang dilakukan oleh perorangan, kelompok atau pengurus

adat sendiri.

2. Perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma Adat.

65
Nyoman Serikat Putra Jaya, “Hukum (Sanksi) Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional”, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 45 No. 2, Edisi April 2016.
66
Hilman Hadikusuma, Op. Cit., h. 10.
3. Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan, karena

menganggu keseimbangan dalam masyarakat.

4. Atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi adat.

Hukum Pidana Adat tidak bermaksud menunjukkan hukum dan hukuman

apa yang harus dijatuhkan bila terjadi pelanggaran, namun yang menjadi

tujuannya adalah memulihkan kembali hukum yang pincang sebagai akibat

terjadinya pelanggaran.67

Menurut Nyoman Serikat Putra Jaya bahwa untuk dapat disebut tindak

pidana adat, perbuatan itu harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca

keseimbangan masyarakat. Kegoncangan itu tidak hanya terdapat apabila

peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, tetapi juga apabila

norma-norma kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun dalam masyarakat

dilanggar.68

Secara yuridis pengaturan terhadap hukum pidana adat mendapatkan

pengakuan dari pemerintah. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan sumber-

sumber hukum yang berlaku di Indonesia, seperti:

1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 B (2) UUD NRI

Tahun 1945 Perubahan Amandemen Kedua: ”Negara mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur

dalam undang-undang”.
67
Ibid., h. 10.
68
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum
Pidana Nasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, h. 33.
Berdasarkan rumusan pasal di atas dapat diambil suatu penjelasan bahwa

keberadaan hukum adat mendapatkan pengakuan sepanjang masih hidup

dan seseuai dengan perkembangan zaman. Hal itu berarti segala

penerapan sanksi pidana adat yang tertuang di dalam hukum adat

mendapatkan suatu kepastian hukum.69

2) UU No. 1 Drt Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Sementara Untuk

Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-

Pengadilan Sipil Pasal 5 ayat (3) sub b UU No. 1 Drt/1951:

Hukum materiil sipil dan untuk sementara waktu pun hukum materiil

pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah Swapraja

dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap

berlaku untuk kaula-kaula dan orang itu, dengan pengertian:

- bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus

dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab

Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang

tidak lebih dari tiga bulan penjara dan/atau denda lima ratus rupiah,

yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang

dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak terhukum dan penggantian yang

dimaksud dianggap sepadan oleh hakim dengan besar kesalahan yang

terhukum,

- bahwa, bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut fikiran

hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda


69
Rahmat Hj. Abdulah, “Urgensi Hukum Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Nasional”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Vol. 9,
No. 2, 2015, h. 176-177.
yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan

hukumannya pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian

bahwa hukuman adat yang menurut faham hakim tidak selaras lagi

dengan zaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan

- bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus

dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingnya dalam Kitab

Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang

sama dengan hukuman bandingnya yang paling mirip kepada

perbuatan pidana itu. Mengacu pada rumusan tersebut, dapat

dikemukakan bahwa pidana adat yang tidak ada pengaturannya dalam

KUHP dan tergolong tindak pidana ringan, maka ancaman pidananya

adalah pidana penjara selama 3 bulan dan atau pidana denda lima

ratus rupiah. Sedangkan untuk delik hukum adat yang sifatnya berat,

ancaman pidananya adalah sepuluh tahun, sebagai pengganti hukuman

adat yang tidak dijalani oleh pelaku yang menerima hukuman.

3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman

(UU Kekuasaan Kehakiman) :

- Pasal 5 (1) UU Kekuasaan Kehakiman ”Hakim dan hakim konstitusi

wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

- Pasal 10 (1) UU Kekuasaan Kehakiman: ”Pengadilan dilarang

menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara


yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,

melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

- Pasal 50 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman: ”Putusan pengadilan

selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal

tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau

sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Berdasarkan sumber-sumber hukum di atas dapat disimpulkan bahwa

kedudukan pidana adat di Indonesia telah mendapatkan pengakuan, sehingga

penerapan sanksi adat yang diberlakukan kepada pelaku yang melakukan

pelanggaran adat tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah norma negara.

Sepanjang hukum adat tersebut masih hidup dan tumbuh berkembang di

tengah lapisan masyarakat adat.

Suatu delik adat merupakan tindakan pelanggaran terhadap bagian dari

hukum adat yaitu hukum pidana adat. Setiap pelanggaran adat akan

mengakibatkan ketidakseimbangan pada masyarakat. Oleh karena itu, sanksi

adat berfungsi sebagai sarana untuk pengembalian rusaknya keseimbangan

(Obat Adat).70

Sanksi adat dijatuhkan kepada siapa saja yang melanggar adat oleh para

pengurus/penguasa adat. Dalam sistem hukum adat hanya dikenal satu jenis

pelanggaran saja, yaitu pelanggaran hukum adat dan penyelesaiannya hanya

melalui satu jenis peradilan saja yaitu melalui musyawarah adat yang

70
R. Otje Salman Soemadiningrat, Konseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni,
Bandung, 2002, h. 16.
dilakukan oleh fungsionaris adat (hakim adat), hal ini selaras dengan apa

yang diungkapkan oleh R. Soepomo, bahwa:

Hukum adat tidak mengadakan pemisahan antara pelanggaran hukum yang


mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum didalam lapangan
hukum pidana (di muka hakim pidana), dan pelanggaran hukum yang
hanya dapat dituntut di lapangan hukum perdata (di muka hakim
perdata)”.71

Hukum Pidana Adat tidak bermaksud menunjukkan hukum dan hukuman

apa yang harus dijatuhkan bila terjadi pelanggaran, namun yang menjadi

tujuannya adalah memulihkan kembali hukum yang pincang sebagai akibat

terjadinya pelanggaran.72

Hukum pidana adat mengatur tindakan yang melanggar perasaan

keadilan dan kepatutan yang hidup di tengah masyarakat, sehingga

menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat.

Untuk memulihkan ketentraman dan keseimbangan tersebut, maka terjadi

reaksi adat.73

Pada hukum pidana adat, eksistensi sanksi pidana dan tujuan pemidanaan

mempunyai korelasi yang erat dan penting. Pada asasnya, konsep RUU

KUHP Tahun 2012 merumuskan tujuan pemidanaan. Aspek dan dimensi ini

merupakan sebuah kemajuan yang cukup representatif dalam hukum pidana

Indonesia. Ketentuan Pasal 54 ayat (1) huruf c RUU KUHP menentukan

bahwa: “pemidanaan bertujuan menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh

tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai

dalam masyarakat”. Dimensi ini harus diperhatikan hakim dalam


71
R. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, h. 14.
72
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 2003, h. 10.
73
Topo Santoso, Pluralisme Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco, Bandung, 1990, h. 9.
menjatuhkan putusan sehingga secara menyeluruh putusan hakim mempunyai

dimensi legal justice, moral justice dan social justice.74

Tegasnya, agar dapat terpenuhinya dimensi ini secara konkrit pada

praktik penegakan hukum telah ditentukan pula adanya eksistensi pidana

tambahan sebagaimana ketentuan Pasal 67 ayat (1) huruf e berupa,

“pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang

hidup dalam masyarakat”. Pada dasarnya, pidana tambahan dapat dijatuhkan

bersama-sama dengan pidana pokok, sebagai pidana yang berdiri sendiri atau

dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain. Konsepsi

pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban

menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dapat dijatuhkan walaupun

tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. Eksistensi adanya

penjatuhan pidana tambahan dimaksudkan untuk menambah pidana pokok

yang dijatuhkan dan pada dasarnya bersifat fakultatif.75

Di dalam hukum adat, sanksi tidak hanya dapat dikenakan pada si

pelakunya, tapi dapat juga dikenakan pada kerabat/keluarga bahkan mungkin

juga dibebankan kepada masyarakat yang bersangkutan. Misalnya saja

dengan jalan upacara selamatan desa dan lain-lain.76

Dalam kaitannya penjatuhan sanksi pidana adat bagi pelakunya

diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban dan

masyarakat adat itu sendiri.

74
Lilik Mulyadi, “Eksistensi Hukum Pidana Adat di Indonesia: Pengkajian Asas, Norma,
Teori, Praktik dan Prosedurnya”, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2, Jakarta, 2013,
Juli, h. 234.
75
Ibid., h. 234.
76
Topo Santoso, Op Cit., h. 14.
C. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT) Menurut Peraturan Perundang-undangan dan Hukum
Adat

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam

hukum pidana yang dipakai sebagai pengganti atau dimaksudkan sebagai

terjemahan dari bahasa Belanda yaitu Strafbaarfeit. Dalam perundang-

undangan negara kita, dapat ditemukan istilah-istilah yang maksudnya

sama dengan strafbaarfeit, antara lain peristiwa pidana, perbuatan

pidana, perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum, hal-hal yang diancam

dengan hukum dan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, dan tindak

pidana.

Menurut Moeljatno, istilah strafbaarfeit diterjemahkan dengan

perbutan pidana77, perbuatan itu adalah keadan yang dibuat oleh

seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan. Perbuatan tersebut

menunjuk kepada akibat maupun yang menimbulkan akibat. Jadi

mempunyai makna abstrak yakni menunjukkan dua keadaan konkrit

yaitu adanya kejadian tertentu dan adanya orang yang berbuat, yang

menimbulkan kejadian itu.78

Sedangkan Tresna menggunakan istilah peristiwa pidana sebagai

terjemahan dari strafbaarfeit dan mendefinisikannya sebagai suatu

perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan


77
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, h. 54.
78
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, PT. Sinar Baru, Bandung, 1990,
h. 35.
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya terhadap

perbuatan mana diadakan penghukuman.79

Menurut Satochid Kartanegara yang dimaksudkan dengan perbuatan

pidana adalah: “perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman

oleh undang-undang”.80 Ini berarti bahwa perbuatan tersebut merupakan

suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum dan dapat dicela. Oleh

karena itu dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan dapat disebut sebagai

perbuatan pidana apabila perbuatan itu telah masuk dalam ruang lingkup

rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dapat dicela.

Selanjutnya Satochid Kartanegara menyatakan bahwa suatu tindakan

dapat disebut sebagai tindak pidana jika telah memenuhi unsur-unsur

sebagai berikut:

1. Unsur objektif, yang terdiri dari:


a. suatu tindak tanduk, jadi suatu tindakan
b. suatu akibat tertentu
c. keadaan
2. Unsur subyektif, yang terdiri dari:
a. dapat dipertanggungjawabkan
b. adanya kesalahan.81

Adanya perbedaan pemakaian istilah itu sebenarnya tidak menjadi

persoalan apabila dalam suatu perumusan tindak pidana terdapat

pengaturan yang jelas dalam arti terdapat kejelasan dari apa yang diatur.

Dan istilah “tindak pidana” mengandung pengertian yang tepat dan jelas

dengan istilah hukum. Di samping itu, di dalam peraturan perundang-

79
Tresna, Asas-asas Hukum Pidana, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1956, h. 28.
80
Satochid Kartanegara, Kumpulan Kuliah dan Pendapat-Pendapat Para Ahli Terkemuka,
Balai Lektur Mahasiswa, Jakarta, tanpa tahun, h. 74.
81
Ibid., h. 84-86.
undangan negara Indonesia sekarang ini pada umumnya menggunakan

istilah tindak pidana.

Berkenaan dengan penggunaan istilah tindak pidana, maka di sini

dapat dikutip pendapat Romli Atmasasmita yang menjelaskan sebagai

berikut:

Istilah tindak pidana tidak sama dengan perbuatan pidana, jika dalam
istilah tersebut termasuk unsur pertanggungjawaban pidana. Namun
demikian, jika istilah tindak pidana terpisah dari unsur
pertanggungjawaban pidana, maka istilah tindak pidana akan sama
artinya secara ilmiah, dan untuk selanjutnya dalam uraian digunakan
istilah tindak pidana.82

Peristilahan tersebut sudah baku dan telah dipergunakan oleh tim

penerjemah KUHP pada Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)

Departemen Kehakiman Republik Indonesia, yang sama dalam

penjelasan tim penerjemah antara lain menegaskan:

Di samping itu, agar tercipta dan tercapai suatu konsistensi dalam


pengerjaan KUHP ini, maka beberapa langkah kebijakan telah
ditempuh. Pertama; istilah “tindak pidana” telah dipakai sebagai
terjemahan dari istilah “strafbaarfeit”. Penggunaan istilah tindak
pidana dipakai oleh karena jika ditinjau dari sosio-yuridis, hampir
semua peraturan perundang-undangan pidana memakai istilah tindak
pidana. Kedua; semua instansi penegak hukum dan hampir seluruhnya
penegak hukum mempergunakan istilah tindak pidana. Ketiga;
meskipun dipergunakan istilah tindak pidana (actus reus) harus
dibedakan dan dipisahkan dari pertanggungjawaban pidana (mens
rea).83

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga, istilah “tindak pidana” juga digunakan

82
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana
Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 26.
83
Ibid., h. 26.
untuk menyebut perbuatan yang melanggar larangan undang-undang

tersebut.

Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, secara ringkas unsur-

unsur tindak pidana, adalah sebagai berikut: 

1. adanya subjek;
2. adanya unsur kesalahan;
3. perbuatan bersifat melawan hukum;
4. suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-
undang/perundangan dan terhadap yang melanggarnya diancam
pidana;
5. dalam suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu.84
 
Merujuk pada unsur-unsur tindak pidana di atas, maka E.Y. Kanter

dan S.R. Sianturi merumuskan pengertian dari tindak pidana sebagai

suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang

(atau melanggar keharusan) dan diancam dengan pidana oleh undang-

undang serta bersifat melawan hukum dan mengandung unsur kesalahan

yang dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.85

2. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Menurut Peraturan


Perundang-undangan dan Hukum Adat

Pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut Pasal 1 Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga sebenarnya adalah:

Setiap perbuatan terhadap seseorang perempuan, yang berakibat


timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,
psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman

84
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Storia, Jakarta, 2002, h. 208.
85
Ibid., h. 208.
atau melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Akibat dari kekerasan tersebut tentunya akan menimbulkan korban,

yakni orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan

dalam lingkup rumah tangga.

Sedangkan menurut draft Usulan Perbaikan atas Rancangan Undang-

Undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh

Badan Legislatif DPR tanggal 6 Mei 2003, dalam Pasal 1 angka 1

disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah:

Setiap perbuatan terhadap seseorang perempuan dan pihak yang


tersubordinasi lainnya, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, ekonomi, dan atau psikologis,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang dalam lingkup
rumah tangga.

Apabila pengertian “Kekerasan dalam Rumah Tangga” tersebut

dihubungkan dengan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,

maka tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga terwujud dalam 4

(empat) jenis, yakni:

- kekerasan fisik;

- kekerasan psikis;

- kekerasan seksual; atau

- penelantaran rumah tangga.


Kekerasan fisik menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:

“Perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat”.

Jika dibandingkan dengan draft Rancangan Undang-Undang

Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dibuat oleh Lembaga Bantuan

Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan, kekerasan fisik

diartikan sebagai: sakit, cedera, luka, atau cacat pada tubuh seseorang.

Dalam usulan yang dibuat oleh DPR tanggal 6 Mei 2003, kekerasan

fisik yang dimaksud adalah: “Setiap perbuatan yang mengakibatkan rasa

sakit, cedera, luka, atau cacat pada tubuh seseorang, gugurnya

kandungan, pingsan, dan atau menyebabkan kematian”.

Berdasarkan tiga definisi tadi terdapat perbedaan-perbedaan, seperti

tidak disebutkannya cedera, cacat, pingsan, gugurnya kandungan, dan

kematian dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga. Bahkan, dalam penjelasannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga hanya

menyebutkan cukup jelas. Dalam penjelasan Pasal 3 usulan yang dibuat

oleh DPR tanggal 6 Mei 2003 dijelaskan yang dimaksud dengan rasa

sakit adalah: kondisi seseorang mengalami penderitaan dan menjadi tidak

berdaya paling singkat dalam waktu 1 x 24 jam.

Kemudian, yang dimaksud dengan kekerasan psikis menurut Pasal 7

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

dalam Rumah Tangga adalah: “Perbuatan yang mengakibatkan


ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk

bertindak, rasa tidak berdaya, dan atau penderitaan psikis berat pada

seseorang”.

Penjelasan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tidak memberikan

penjelasan lebih jauh mengenai kondisi seseorang yang mengalami

kekerasan psikis berat. Sementara itu, di dalam Usulan Perbaikan atas

Rancangan Undang-Undang Anti Kekerasan dalam Rumah Tangga yng

diusulkan oleh Badan Legislatif DPR tanggal 6 Mei 2003, penjelasan

Pasal 4 b tentang psikis berat adalah:

Kondisi yang menunjuk pada terhambatnya kemampuan untuk


menikmati hidup, mengembangkan konsepsi positif tentang diri dan
orang lain, kegagalan menjalankan fungsi-fungsi manusiawi, sampai
pada dihayatinya masalah-masalah psikis serius, misalnya depresi,
gangguan trauma, destruksi diri, bahkan hilangnya kontak dengan
realitas.

Penjelasan ini penting karena untuk membuktikan kekerasan psikis

termasuk tidak mudah dan tidak setiap orang dapat menilai bahwa

seseorang mengalami kekerasan psikis, termasuk hakim. Untuk

mengatasi kesulitan pembuktian ini Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga memberikan

terobosan dengan cara mengajukan visum psikiatrium yang dilakukan

oleh mereka yang ahli di bidangnya.

Contoh-contoh perbuatan yang dapat dikategorikan kekerasan psikis

adalah sebagai berikut: menghina, mengancam, atau menakut-nakuti

sebagai sarana untuk memaksakan kehendak, mengisolasi istri dari dunia


luar. Bahkan, menurut Pusat Komunikasi Kesehatan Berperspektif

Gender, kekerasan psikis meliputi juga membatasi istri dalam

melaksanakan program keluarga berencana dan mempertahankan hak-

hak reproduksinya sebagai perempuan.

Hak-hak perempuan, misalnya hak untuk mendapatkan informasi

dan pendidikan, hak untuk mendapatkan pelayanan dan perlindungan

kesehatan, hak untuk mendapatkan kebebasan berpikir, hak untuk

memutuskan kapan dan akankah mempunyai anak, hak untuk hidup, hak

untuk bebas dari penganiayaan dan perlakuan buruk, hak memilih bentuk

keluarga, hak untuk membangun dan merencanakan keluarga.

Selanjutnya, yang dimaksud dengan kekerasan seksual menurut

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan

Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang


menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam
lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu.

Sebelumnya di dalam draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan

dalam Rumah Tangga dari Pusat Komunikasi Kesehatan Berperspektif

Gender menyebutkan bahwa kekerasan seksual adalah:

Setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada


memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa
persetujuan korban atau di saat korban tidak menghendaki (istri
sedang sakit atau menstruasi); dan atau melakukan hubungan seksual
dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai korban; dan atau
menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan seksualnya, memaksa
istri berhubungan seks dengan orang lain, memaksa istri menjadi
pelacur.
Berikutnya, dari usulan perbaikan atas Rancangan Undang-Undang

Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh Badan

Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat, tanggal 6 Mei 2003, di dalam Pasal

5 disebutkan macam-macam kekerasan seksual yang dilarang, yakni:

a. pelecehan seksual;

b. pemaksaan hubungan seksual;

c. pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan atau tidak

disukai;

d. pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan

komersial dan atau tujuan tertentu; atau

e. perusakan organ reproduksi perempuan.

Dari definisi rancangan tersebut tampak bahwa pengertian

kekerasan seksual yang diajukan DPR dan Pusat Komunikasi Kesehatan

Berperspektif Gender lebih luas daripada yang ada di dalam Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam

Rumah Tangga karena mencakup juga pelecehan seksual dan perusakan

organ reproduksi perempuan yang sebenarnya juga sering terjadi di

dalam rumah tangga.

Dalam usulan perbaikan atas Rancangan Undang-Undang Anti

Kekerasan dalam Rumah Tangga yang diusulkan oleh Badan Legislatif

Dewan Perwakilan Rakyat, tanggal 6 Mei 2003, disebutkan dalam Pasal

1 angka 7 bahwa pelecehan seksual adalah:


Setiap perbuatan berupa: menyampaikan gurauan tidak senonoh pada
seseorang yang dirasakan sangat menyakitkan hati dan membuat
malu, mengajukan pertanyaan tentang kehidupan seksual atau
kehidupan pribadi seseorang, menyenggol, meraba, atau memegang
bagian tubuh seseorang tanpa seizin yang bersangkutan dalam
berbagai cara dan kesempatan tanpa kerelaannya.

Ketentuan ini sebenarnya cukup penting karena pelecehan seksual

merupakan tindakan yang mengganggu kenyamanan seseorang dan

menimbulkan ancaman bagi seseorang karena hal tersebut dapat

mengarah pada terjadinya kekerasan seksual. Oleh karena itu, menurut

Rekomendasi Umum PBB Nomor 19 tentang Kekerasan Terhadap

Perempuan dalam Sidang ke-11 Tahun 1992 tentang Penghapusan Segala

Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, diakui bahwa pelecehan

seksual termasuk perbuatan yang tidak menyenangkan yang dilakukan

dalam bentuk tingkah laku, seperti kontak fisik dan cumbu rayuan,

memperlihatkan gambar porno dan tuntutan seks, baik dengan kata-kata

maupun tindakan, yang harus ditiadakan karena dapat menimbulkan

masalah keamanan dan kesehatan.

Dengan demikian yang dinamakan “Tindak Pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga” adalah setiap perbuatan berupa melakukan

kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual atau penelantaran

rumah tangga yang dilakukan oleh, dalam dan terhadap “orang dalam

lingkup rumah tangga”.86

86
Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(Dilengkapi dengan Uraian Unsur-unsur Tindak Pidananya), Merkid Press, Yogyakarta, 2008, h.
21.
Sedangkan pengertian kekerasan dalam rumah tangga menurut

hukum adat tidak dijelaskan secara eksplisit, tetapi hanya

menitikberatkan pada suatu perbuatan atau tindakan kekerasan terhadap

fisik/badan yang dilakukan oleh orang dalam lingkup rumah tangga.

Bentuk perbuatan atau tindakan kekerasan terhadap fisik/badan yang

dimaksud berupa pemukulan dan penganiayaan.

Hal ini berbeda dengan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang

disebutkan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, dimana bentuk

kekerasan dapat berupa kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan

seksual dan penelantaran rumah tangga.

D. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim

Dalam kehidupan negara hukum harus menempatkan hukum dalam peran

sentral kehidupan orang perseorangan, kehidupan bermasyarakat, maupun

kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsekuensi dari pemberian peranan

sentral atas hukum, maka diperlukan pembinaan terhadap hukum nasional

yang dilakukan secara terencana. Secara operasional, pembinaan hukum

nasional tersebut haruslah bertumpu pada 3 (tiga) komponen pokok yakni

norma hukum dan perundang-undangan, kesadaran hukum masyarakat dan

aparat penegak hukum yang tanggap dan tangguh (termasuk para hakim yang

diberi mandat untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman).87

87
Benny K. Harman, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Jakarta, 1997, h. 5-6.
Selain itu, peranan kekuasaan kehakiman yang sentral dalam negara

hukum harus mendapat jaminan dalam kedudukannya yang bebas. Jaminan

tersebut dibutuhkan karena kekuasaan peradilan adalah cabang kekuasaan

yang terlemah dibandingkan cabang-cabang kekuasaan lainnya. Kekuasaan

peradilan tidak memiliki kekuatan riil untuk melaksanakan kekuasaannya dan

hanya mengandalkan integritas moral para hakim dan tenaga-tenaga lain yang

ada di lingkungan peradilan.88

Dalam menjalankan peranan di bidang litigasi guna memberikan

keadilan, hakim harus diberikan kebebasan untuk mengadili perkara yang

dihadapkan padanya yaitu kebebasan untuk mengadili sesuai dengan

keyakinannya tanpa dipengaruhi oleh siapapun, bebas memutuskan perkara

berdasarkan pikiran dan hati nuraninya serta bebas dari campur tangan pihak

ekstra yudisial.89 Kebebasan yang diberikan tersebut adalah kebebasan

bertanggung jawab yaitu kebebasan dalam keterikatan koridor hukum dan

kode etik hakim. Dengan demikian, putusan hakim dalam bentuk

menciptakan sesuatu yang tidak/belum diatur undang-undang harus dimaknai

bahwa putusan hakim tersebut tidak didasarkan pada pendapat hakim semata

dan rasa keadilan yang subyektif,90 akan tetapi telah diarahkan pada

penyesuaian dengan nilai-nilai kepatutan dan kelayakan yang hidup dalam

masyarakat.
88
Sambutan Ketua Mahkamah Agung pada Serah Terima Jabatan Ketua Pengadilan Tinggi
Yogyakarta, dalam Mahkamah Agung RI, Kumpulan Naskah Pidato Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Jakarta, April 2002, h. 408.
89
Syamsudin, Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim Berbasis Hukum Progresif, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2012, h. 226.
90
Zainal Asikin Kusumah Atmadja, Hakim Yang Kreatif Untuk Menyelenggarakan
Perlindungan Hukum Bagi Masyarakat Indonesia Yang Sedang Membangun, Makalah
disampaikan dalam Rakernas MA-RI di Jakarta pada tanggal 13-14 Maret 1987, h. 3.
Putusan adalah pernyataan hakim untuk menyelesaikan suatu perkara di

antara para pihak yang berperkara. Putusan adalah kesimpulan atau ketetapan

hakim untuk mengakhiri suatu perkara yang diperhadapkan kepadanya. 91

Sudikno Mertokusumo memberikan definisi putusan sebagai pernyataan

hakim dalam kedudukannya sebagai pejabat Negara yang diberi kewenangan

untuk itu dan diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum yang

bertujuan untuk menyelesaikan sengketa di antara pihak-pihak yang

berperkara.92

Putusan Hakim merupakan tindakan akhir dari Hakim di dalam

persidangan, menentukan apakah di hukum atau tidak si pelaku, jadi putusan

Hakim adalah pernyataan dari seorang hakim dalam memutuskan suatu

perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum tetap.

Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik peradilan, maka putusan Hakim

itu merupakan:

“Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam


persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melalui
proses dan prosedural hukum acara pidana pada umumnya berisikan amar
pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat
dalam bentuk tertulis dengan tujuan menyelesaikan perkara”.93

Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum,

yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap

peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum Pengertian

lain mengenai putusan hakim adalah hasil musyawarah yang bertitik tolak

91
M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim, UII Press, Yogyakarta, 2014, h. 13.
92
M. Natsir Asnawi, Op. Cit., h. 13.
93
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktek Peradilan,
Mandar Maju, Bandung, 2007, h. 127.
dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di

sidang pengadilan.

Dalam Pasal 1 butir 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) disebutkan bahwa Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim

yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa

pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Putusan hakim merupakan pertanggungjawaban hakim dalam

melaksanakan tugasnya untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara

yang diajukan kepadanya, dimana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya

ditujukan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun kepadanya masyarakat,

tetapi lebih penting lagi putusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan

kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bagaimanapun sebuah putusan bisa disebut adil apabila setiap hakim bisa

menggunakan haknya untuk mengungkapkan pandangannya secara bebas,

terbuka dan jujur dengan menggunakan pertimbangan hukum sampai

dihasilkan satu putusan kolektif.

Putusan Hakim secara normatif mengandung 2 (dua) aspek yaitu

prosedural justice dan substantive justice dimana procedural justice

berhubungan dengan hukum acara dan hukum pembuktian, sedangkan

subtantive justice berkaitan dengan diktum putusan atau pemidanaan (dalam

perkara pidana).94 Terkait procedural justice, hukum acara dan hukum


94
Mudzakkir, “Eksaminasi Publik Terhadap Putusan Pengadilan: Beberapa Pokok Pikiran
dan Prospeknya ke Depan”, dalam Wasingatu Zakiyah dkk, Eksaminasi Publik Patrisipasi
Masyarakat Mengawasi Peradilan, Indonesia Corruption Watch, Jakarta, 2003, h. 72.
pembuktian bersifat obyektif dengan parameter aturan hukum bersifat konkrit

dengan standar yang tegas. Proses pembuktian ini biasanya memerlukan ilmu

pengetahuan yang obyektif dan karena itu hasil proses pembuktian dapat diuji

secara ilmiah (obyektif) oleh siapa saja. Sedangkan untuk substantive justice

tidak memiliki ukuran yang seobyektif procedural justice, karena suatu

diktum atau amar putusan adalah suatu kesimpulan dari kegiatan penafsiran

terhadap kaidah hukum (in abstracto) yang dilakukan oleh hakim terhadap

fakta-fakta hukum yang telah diuji di Pengadilan (in concreto).

Putusan hakim yang ideal adalah putusan hakim yang mengandung 3

(tiga) unsur pertimbangan hukum secara proporsional, yaitu:

1. Unsur kepastian hukum (rechtssicherkeit) yang memberi jaminan


bahwa hukum itu dijalankan sehingga yang berhak menurut hukum
dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan seperti itu juga dapat
diterapkan untuk jenis perkara yang sama.
2. Unsur kemanfaatan (zweckmassigkeit), bahwa isi putusan itu tidak
hanya bermanfaat bagi pihak berperkara tetapi juga bagi masyarakat
luas. Masyarakat berkepentingan atas putusan hakim itu karena
masyarakat menginginkan adanya keseimbangan tatanan dalam
masyarakat.
3. Unsur keadilan (gerechtigkeit), yang memberi keadilan bagi pihak yang
bersangkutan; kalaupun pihak lawan menilainya tidak adil masyarakat
harus dapat menerimanya sebagai adil. Asas hukum yang berbunyi : lex
dura sed tamen scripta, mengartikan hukum itu kejam tetapi begitulah
bunyinya. Dalam hal terjadi konflik antar keadilan dan kepastian
hukum serta kemanfaatan, unsur keadilanlah yang seharusnya
didahulukan.95

Pertimbangan hukum secara rasional merupakan dambaan masyarakat

pencari keadilan dan bagi hakim pertimbangan hukum secara rasional

menunjukkan kewibawaan putusannya sebagai mahkota hakim. Terkait

95
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2000,
h. 90.
dengan itu, Bernard Arif Sidharta berpendapat bahwa kewibawaan putusan

hakim tersebut berguna untuk:

1. Mempersiapkan putusan hukum pada tataran mikro dan makro;


2. Menunjukkan apa hukumnya tentang hal tertentu dan
merekomendasikan interpretasi terhadap aturan yang tidak jelas
(penemuan hukum);
3. Mengeliminasi kontradiksi yang tampak dalam tata hukum;
4. Kritik dan menyarankan amandemen terhadap perundang-undangan
yang ada;
5. Pembentukan perundang-undangan yang baru;
6. Analisis kritis terhadap putusan hakim untuk pembinaan
yurisprudensi.96

Kalaupun hukum yang tersedia tidak dapat digunakan sebagai landasan

yuridis memutus perkara, maka Hakim harus dapat menemukan hukum untuk

memutus perkara yang diadilinya. Nilai hukum yang digunakan hakim

haruslah nilai hukum yang tepat sehingga putusan hakim dirasakan sebagai

putusan yang berkeadilan.

Kaitannya dengan kebebasan Hakim memberikan keadilan melalui

putusannya, terkadang Hakim dituntut untuk melakukan konstruksi hukum

maupun untuk melakukan penemuan hukum (rechtsviding).97 Hakim sebagai

penegak hukum dan keadilan dituntut menggali, mengikuti dan memahami

nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat, dan karena itu hakim harus

terjun ke tengah-tengah masyarakat untuk mengenal, merasakan, dan mampu

menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam mengambil

keputusan, yaitu:
96
Abdullah, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Program Pascasarjana Universitas
Sunan Giri, Sidoarjo, 2008, h. 38.
97
Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 2008, h.
458.
1. Raw in-put, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan suku, agama,
pendidikan informal dan sebagainya.
2. Instrumental in-put, yakni faktor yang berhubungan dengan pekerjaan
dan pendidikan formal.
3. Environmental in-put, faktor lingkungan, sosial budaya yang
mempunyai pengaruh dalam kehidupan seorang hakim, umpamanya
lingkungan organisasi dan seterusnya.98

Apabila diperinci, maka faktor-faktor tersebut dibagi atas faktor subjektif

dan faktor objektif.

Pertama, faktor subjektif yaitu:


1. Sikap perilaku yang apriori, adaya sikap seorang hakim yang sejak
semula sudah menganggap bahwa terdakwa yang diperiksa dan diadili
adalah orang yang memang telah bersalah sehingga harus dipidana.
2. Sikap perilaku emosional, putusan pengadilan akan mempengaruhi sifat
seorang hakim. Hakim yang mempunyai sifat mudah tersinggung akan
berbeda dengan sifat seorang hakim yang tidak mudah tersinggung.
Demikian pula dengan putusan dari seorang hakim yang mudah marah
dan pendendam akan berbeda dengan putusan seorang hakim yang
sabar.
3. Sikap arrogance power, sikap lain yang mempengaruhi suatu putusan
adalah kecongkakan kekuasaan. Di sini hakim merasa dirinya berkuasa
dan pintar melebihi orang lain (Jaksa, Pembela apalagi Terdakwa).
4. Moral, moral seorang hakim sangat berpengaruh karena bagaimanapun
juga pribadi seorang hakim diliputi oleh tingkah laku yang didasari oleh
moral pribadi hakim tersebut terlebih dalam memeriksa serta
memutuskan suatu perkara.
Kedua, faktor objektif yaitu:
1. Latar belakang budaya, kebudayaan, agama, pendidikan seorang hakim
tentu ikut mempengaruhi suatu putusan hakim. Meskipun latar belakang
hidup budaya tidak bersifat determinis, tetapi faktor setidak-tidaknya
mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu keputusan.
2. Profesionalisme, kecerdasan serta profesionalisme seorang hakim ikut
mempengaruhi keputusannya. Perbedaan suatu pengadilan sering
dipengaruhi oleh profesionalisme hakim tersebut.99

Tujuan penegakan hukum dan keadilan menuntut kepada Hakim supaya

wajib mengadili dan memeriksa setiap perkara yang diajukan kepadanya; ia

tidak boleh menolak memeriksa perkara. Hakim adalah tempat pencari


98
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 116.
99
Ibid., h. 116-117.
keadilan meminta keadilan. Hakim dianggap “corong” Undang-undang

(hukum) yang dapat memberikan tafsiran atas peraturan hukum yang berlaku.

Untuk itu, hakim wajib pula mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat. Putusan-putusan Hakim, yang telah mempunyai kekuatan

pasti, harus dilaksanakan dengan baik, bahkan ia wajib mengawasinya.

Peranan yang dimainkan oleh Hakim sebagai subsistem peradilan pidana

dalam usahanya untuk menanggulangi kejahatan adalah dengan memberikan

pidana bagi pelanggar hukum. Perlu dikemukakan dalam hal ini mengenai

peranan Hakim selain sebagai pemberi pidana (straftoemeter) yaitu peran

Hakim dalam memberi Putusan yang "sesuai dengan hukum dan rasa

keadilan" yang hidup dalam masyarakat, juga melakukan penemuan hukum.

Dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, hal ini dinyatakan dengan tegas, bahwa Hakim

merupakan perumus dan penggali dari nilai-nilai hukum yang hidup dalam

masyarakat. Makna dari ketentuan ini memberi peran yang luas pada Hakim,

bahwa untuk mendapat keadilan bagi si pencari keadilan andaikata Hakim

tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis,

atau hukum yang hidup dalam masyarakat.

Berarti dalam memberikan Putusan (vonis), Hakim harus bertanya pada

diri sendiri apakah Putusannya dapat digunakan sebagai kaidah hukum.

Dengan kata lain, Putusan itu menjadi kaidah yang mengikat Hakim setaraf

dengan Undang-undang dan peradilan yang umum diakui, setelah


pengulangan berkali-kali dan meyakinkan, walaupun ada kemungkinan akan

mengalami perubahan.

Meskipun kebebasan seorang Hakim terletak pada dirinya yaitu pada

keyakinan untuk membuat Putusan sesuai dengan panggilan suara hati nurani

yang menjadi sikap dan persepsinya dan juga sejalan dengan nilai-nilai yang

dianut masyarakat namun kebebasan itu tidaklah bersifat mutlak, kebebasan

itu akan dibatasi oleh proses jalannya perkara, ketertiban umum, moral dan

kepentingan para pihak. Dalam hal ini, peranan Hakim sebagai role playing,

hendaklah tidak membuat dan menjadikan Putusannya dianggap

kontroversial. Pemikiran itu hendaklah menjadikan Putusan Pengadilan yang

rasional dalam perkara pidana.

Segala keputusan pengadilan selain harus memuat pasal-pasal tertentu

dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang

dijadikan dasar untuk menggali, kaedah hukum yang hidup dan berkembang

di dalam masyarakat. Putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim

dalam melaksanakan tugasnya, untuk menerima, memeriksa dan memutus

perkara yang diajukan kepadanya dimana pertanggungjawaban tersebut tidak

hanya dijatuhkan kepada hukum, dirinya sendiri ataupun masyarakat luas,

tetapi yang lebih penting lagi itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada

Tuhan Yang Maha Esa.

Putusan hakim harus berpedoman pada 3 (tiga) hal, yaitu:

1. Unsur Yuridis, yang merupakan unsur pertama dan utama.

2. Unsur Filosofis, berintikan kebenaran dan keadilan.


3. Unsur Sosiologis, yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang

hidup dan berkembang dalam masyarakat.100

Dalam memberikan putusan, ada beberapa teori yang digunakan oleh

hakim. Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat

dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan

dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:

1. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan di sini adalah keseimbangan
antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan
kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan
perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan
dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban.
2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh Hakim merupakan diskresi atau kewenangan
dari Hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan Putusan Hakim
menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap
pelaku tindak pidana, Hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau
penuntut umum dalam perkara pidana. Pendekatan seni dipergunakan
oleh Hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh
insting atau intuisi dari pada pengetahuan dari Hakim.
3. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan
pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian
khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam
rangka menjamin konsistensi dari Putusan Hakim. Pendekatan
keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus
suatu perkara, Hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi atau
instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum
dan juga wawasan keilmuan Hakim dalam menghadapi suatu perkara
yang harus diputuskannya.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang Hakim merupakan hal yang dapat
membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya
seharihari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang Hakim dapat
mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam
suatu perkara pidana yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun
masyarakat.
5. Teori Ratio Decidendi
100
Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di
Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1983, h. 64.
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara
yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan
yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar
hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan Hakim harus
didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan
memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara.101

Majelis hakim dapat menjatuhkan putusan terhadap perkara apabila telah

selesai tahap pembuktian dan kesimpulan dari para pihak yang berperkara.

BAB III

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Analisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang Dengan Putusan


Nomor 13/Pid.Sus/2013/PN.Bky Dalam Penyelesaian Perkara Tindak
Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Pada Masyarakat Adat Dayak
Bakati di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang Yang Telah
Diputus Oleh Peradilan Adat Madok

Dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice system),

Hakim mempunyai kewenangan mengadili yaitu serangkaian tindakan Hakim

berupa menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana berdasarkan asas

bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan. Tugas Hakim adalah

memberikan putusan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya dan

tidak dapat menolak perkara.

101
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, h. 106.
Hakim dalam memutuskan suatu perkara pidana tentunya menggunakan

pertimbangan-pertimbangan tertentu yang menjadi dasar keputusannya.

Selain mendengar dakwaan dan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, Hakim

juga harus memperhatikan barang bukti yang diajukan di depan persidangan,

kemudian Hakim juga harus mendengarkan keterangan korban maupun

pelaku dari tindak pidana dan juga keterangan saksi-saksi, serta fakta hukum

yang ada di persidangan.

Tolok ukur keberhasilan pelaksanaan peradilan pidana adalah

tercapainya keadilan melalui putusan hakim. Perwujudan pemberian keadilan

diberikan oleh Hakim melalui putusan sesuai kewenangan yang diberikan

undang-undang. Putusan pengadilan merupakan indikator penilaian

kepercayaan pada pengadilan. Apabila putusan pengadilan menyimpang dari

ketentuan peraturan perundang-undangan


76 dan unsur perbuatan pidana yang

dilakukan oleh Terdakwa, maka akan menimbulkan ketidakpercayaan

masyarakat terhadap pengadilan itu sendiri dan menimbulkan ketidakpastian

hukum.

Salah satu putusan pengadilan yang menimbulkan ketidakpastian

hukum adalah Putusan Nomor 13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dalam kasus

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan Terdakwa HLM dan

korbannya POL yang merupakan istri Terdakwa HLM.

Adapun kronologis kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

dengan Terdakwa HLM adalah sebagai berikut:

Bahwa Terdakwa HLM Bin JSM pada hari Rabu tanggal 26 Desember
2012, sekira pukul 22.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada waktu lain pada
bulan Desember 2012, atau setidak-tidaknya pada waktu lain pada tahun
2012, bertempat di rumah Terdakwa, Dusun Sangkubana, Desa Sabau,
Kecamatan Lembah Bawang, Kabupaten Bengkayang atau setidak-tidaknya
pada suatu tempat lain yang masih termasuk dalam wilayah hukum
Pengadilan Negeri Bengkayang, telah melakukan perbuatan kekerasan fisik
dalam lingkup rumah tangganya (istri Terdakwa) yaitu saksi (korban) POL
Als. MS Binti FG, perbuatan tersebut Terdakwa lakukan dengan cara-cara
sebagai berikut:

- Bahwa Terdakwa HLM Bin JSM bersama saksi (korban) POL Als. MS
Binti FG menikah pada tahun 2007 dan telah dikaruniai 2 (dua) orang
anak, mereka tinggal dalam sebuah rumah di Dusun Sangkubana, Desa
Sabau, Kecamatan Lembah Bawang, Kabupaten Bengkayang;
- Bahwa pada waktu dan tempat tersebut di atas, ketika saksi (korban) POL
Als. MS Binti FG sedang mengemaskan barang-barang di rumahnya,
Terdakwa datang untuk minta dikerokin karena Terdakwa masuk angin,
akan tetapi sewaktu saksi (korban) POL Als. MS Binti FG hendak
mengerok tubuh Terdakwa tiba-tiba Terdakwa marah-marah dengan
menuduh bahwa saksi (korban) POL Als. MS Binti FG telah
berselingkuh, karena saksi (korban) POL Als. MS Binti FG merasa hal
tersebut tidak benar, maka dari itu saksi (korban) POL Als. MS Binti FG
menjawab bahwa ia tidak pernah berselingkuh dengan siapapun,
mendengar hal tersebut kemudian Terdakwa langsung emosi dan langsung
memukul dengan tangan terkepal ke arah wajah saksi (korban) POL Als.
MS Binti FG yang selanjutnya mengenai pada bagian pipi sebelah kiri
saksi (korban) POL Als. MS Binti FG hingga hidungnya mengeluarkan
darah dan kemudian setelah itu saksi (korban) POL Als. MS Binti FG
langsung lari ke rumah pamannya yang tidak jauh dari tempat tinggalnya
dan sesampainya di sana saksi (korban) POL Als. MS Binti FG bertemu
dengan orang tuanya yaitu saksi FG dan langsung menceritakan perbuatan
Terdakwa tersebut yang telah memukulnya hingga hidunya mengeluarkan
darah;
- Akibat perbuatan Terdakwa, saksi (korban) POL Als. MS Binti FG
menderita uka bengkak pada bagian pipi kiri dan memar kemerahan pada
bagian hidung, sebagaimana hasil pemeriksaan yang diterangkan dalam
Visum et Repertum Nomor : 331/226/H/RSUD/2013 tangga 28 Desember
2012 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Nurul Khasana, dokter pada
Rumah Sakit Umum Daerah dr. ABDUL AZIZ Singkawang, dengan hasil
pemeriksaan sebagai berikut :

Uraian tentang kelainan-kelainan yang terdapat dalam pemeriksaan :

- Di bagian tulang hidung terdapat memar kemerahan dengan ukuran ±


1 x 1 cm;
- Di bagian pipi kiri terdapat bengkak (hematom) dengan ukuran ± 3 x 2
cm.
- Tampak bercak darah yang mengering di tepi lubang hidung sebelah
kiri;

Kesimpulan :

Diagnosa : Memar di region os nasal


Hematom di region facial sinistra
Pendarahan cavum nasi sinistra

Kelainan-kelainan tersebut diatas terjadi karena : kekerasan benda tumpul.

- Perbuatan Terdakwa HLM Bin JSM tersebut di atas, sebagaimana


diatur dan diancam pidana dalam Pasal 44 Ayat (1) UU RI Nomor 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Bahwa berdasarkan kesaksian dari saksi (korban) POL Als. MS Binti


FG dan saksi FG diperoleh keterangan sebagai berikut :

- Bahwa Terdakwa HLM Bin JSM memang sudah sering memukul saksi
(korban) POL Als. MS Binti FG;
- Bahwa yang melaporkan Terdakwa HLM Bin JSM ke pihak Kepolisian
adalah saksi (korban) POL Als. MS Binti FG sendiri;
- Bahwa sebelum kejadian ini, sebenarnya Terdakwa HLM Bin JSM sudah
pernah 2 (dua) kali dikenakan sanksi hukum adat karena melakukan
pemukulan terhadap istrinya, yaitu saksi (korban) POL Als. MS Binti FG;
- Bahwa saksi FG sudah sering menasehati Terdakwa HLM Bin JSM,
namun Terdakwa HLM Bin JSM tidak pernah mau mendengarkan
nasehat saksi FG;

Bahwa atas keterangan yang diberikan oleh saksi-saksi tersebut,


Terdakwa HLM Bin JSM membenarkan dan tidak merasa keberatan;

Bahwa di persidangan Terdakwa HLM Bin JSM tidak menghadirkan


saksi-saksi yang dapat meringankan dirinya (saksi a de charge);

Bahwa oleh karena Terdakwa HLM Bin JSM dinyatakan terbukti


secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan dijatuhi
pidana penjara serta tidak adanya keterangan yang menyatakan bahwa
Terdakwa HLM Bin JSM adalah termasuk orang yang tidak mampu, maka
kepada Terdakwa HLM Bin JSM dibebani pula untuk membayar biaya
perkara dalam perkara ini;

Bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana yang layak kepada


Terdakwa HLM Bin JSM perlu dipertimbangkan terlebih dahulu mengenai
hal-hal yang memberatkan dan meringankan pidana bagi Terdakwa HLM
Bin JSM :
Hal-hal yang memberatkan :
- Terdakwa HLM Bin JSM sudah melakukan perbuatan tersebut berulang
kali dan telah pula dikenai beberapa kali sanksi menurut hukum adat;
- Perbuatan Terdakwa HLM Bin JSM mengakibatkan timbulnya rasa sakit
pada orang lain dalam hal ini adalah istri Terdakwa HLM Bin JSM
sendiri;
- Perbuatan Terdakwa HLM Bin JSM tidak mencerminkan sebagai Kepala
Keluarga yang baik dan bertanggungjawab yang mana seharusnya mampu
melindungi istri dan anak-anaknya;

Hal-hal yang meringankan :


- Terdakwa HLM Bin JSM belum pernah dihukum;
- Terdakwa HLM Bin JSM masih berusia muda sehingga diharapkan dapat
belajar untuk memperbaiki sikapnya dalam berumah tangga;
- Terdakwa HLM Bin JSM menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan
mengulanginya di kemudian hari;

Bahwa oleh karena semua hal telah dipertimbangkanoleh Majelis


Hakim dalam putusan ini, maka penjatuhan hukuman/pidana kepada
Terdakwa HLM Bin JSM telah dipandang memenuhi rasa keadilan, baik
bagi Terdakwa HLM Bin JSM maupun masyarakat;

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa HLM Bin JSM telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan kekerasan
fisik dalam lingkup rumah tangganya yang dilakukan oleh suami
terhadap istri yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk
menjalankan kegiatan sehari-hari”;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa HLM Bin JSM oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15 (lima belas) hari;
3. Menetapkan lamanya masa penangkapan dan penahanan yang telah
dijalani oleh Terdakwa HLM Bin JSM dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan;
4. Memerintahkan agar Terdakwa HLM Bin JSM tetap berada di dalam
tahanan;
5. Membebankan Terdakwa HLM Bin JSM untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1.000,00 (seribu rupiah);

Berdasarkan Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang tersebut,

terlihat dengan jelas bahwa Majelis Hakim dalam perkara aquo tidak

mempertimbangkan bahwa Terdakwa HLM Bin JSM telah dijatuhkan sanksi


pidana adat melalui peradilan adat, padahal Terdakwa HLM Bin JSM telah

dijatuhkan sanksi pidana adat melalui peradilan adat Madok Ringan dengan

membayar denda adat sebesar Rp. 2.890.000,- (dua juta delapan ratus

sembilan puluh ribu rupiah) dengan rincian sebagai berikut:102

a. Lipet Kunyit 3½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 367.500,-


b. Mandoh Buat Adat 5½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 577.500,-
c. Mangkok Nyabak 1½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 157.500,-
d. Siap Kapung Are 2 kg x Rp. 70.000,- = Rp. 140.000,-
e. Bia Buis 3½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 367.500,-
f. Pentek dan Pangadap 1½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 157.500,-
g. Pansilo dan Pangadap 1½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 157.500,-
h. Alak Tuak Botol ½ kg x Rp. 40.000,- = Rp. 20.000,-
i. Sangkotop 1½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 157.500,-
j. Basi Pagar Samadat 3 buah x Rp. 70.000,- = Rp. 210.000,-
k. Panabe Pasang Bangse 5½ tahil x Rp. 105.000,- = Rp. 577.500,-
Jumlah = Rp. 2.890.000,-

Faktanya, justru majelis hakim yang menyidangkan Terdakwa HLM

Bin JSM menjadikan sanksi hukum adat yang dijatuhkan Terdakwa HLM

Bin JSM sebagai hal-hal yang memberatkan karena Terdakwa sudah

berulang kali melakukan perbuatan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(KDRT) terhadap istrinya POL Als. MS Binti FG.

Melihat putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Bengkayang

dengan Putusan Nomor 13/Pid.Sus/2013/PN.Bky, maka telah terjadi dualisme

dalam penyelesaian perkara tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(KDRT) tersebut, dimana penyelesaiannya dilakukan melalui peradilan adat

102
Hasil wawancara dengan Bapak Timotius Taim, S.H., selaku Ketua Peradilan Adat Dayak
di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang, pada tanggal 10 Desember 2022.
dan Pengadilan Negeri Bengkayang. Selain itu, adanya Putusan Nomor

13/Pid.Sus/2013/PN.Bky menimbulkan pertentangan dengan salah satu teori

sistem hukum yakni komponen hukum yang bersifat kultural, dimana kultur

hukum mengakui sikap-sikap dan nilai-nilai yang berhubungan dengan

external legal culture yakni kultur hukum masyarakat pada umumnya,

termasuk hukum adat dan peradilan adat seperti Adat Madok pada

masyarakat Dayak Bakati’ di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang.

Meskipun Hakim diberikan kebebasan untuk memberikan

pertimbangan hukum dan menjatuhkan putusan, namun kebebasan itu

tidaklah bersifat mutlak, kebebasan itu akan dibatasi oleh proses jalannya

perkara, ketertiban umum, moral dan kepentingan para pihak. Putusan hakim

harus sesuai dengan panggilan suara hati nurani yang menjadi sikap dan

persepsinya dan juga sejalan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.

Pengadilan harus berjalan secara obyektif dan transparan sehingga putusan

yang dijatuhkan diharapkan menjadi putusan yang dapat mencerminkan rasa

keadilan, mempunyai kemanfaatan dan berkepastian hukum sebagai

perpaduan cita hukum dalam suatu putusan.

Sejatinya Putusan Hakim harus dapat memberikan keadilan bagi korban

dan juga bagi pelaku serta keadilan bagi masyarakat setempat. Selain itu,

Putusan Hakim juga harus memperhitungkan dampak yang akan terjadi pada

pihak yang berkaitan disebabkan penjatuhan putusan tersebut. Karena itu

Hakim tidak dapat berbuat dan menghasilkan putusan yang responsif tanpa
mengaitkan diri pada peran-peran dari berbagai komponen sosial dan

lingkungan masyarakat yang membentuknya.103

Dalam menjatuhkan putusan atas perkara pidana, Hakim harus

memberikan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasarnya dalam

menjatuhkan putusan. Pertimbangan hukum secara rasional merupakan

dambaan masyarakat pencari keadilan dan bagi hakim pertimbangan hukum

secara rasional menunjukkan kewibawaan putusannya sebagai mahkota

hakim. Terkait dengan itu, Bernard Arif Sidharta berpendapat bahwa

kewibawaan putusan hakim tersebut berguna untuk:

1. Mempersiapkan putusan hukum pada tataran mikro dan makro;


2. Menunjukkan apa hukumnya tentang hal tertentu dan
merekomendasikan interpretasi terhadap aturan yang tidak jelas
(penemuan hukum);
3. Mengeliminasi kontradiksi yang tampak dalam tata hukum;
4. Kritik dan menyarankan amandemen terhadap perundang-undangan
yang ada;
5. Pembentukan perundang-undangan yang baru;
6. Analisis kritis terhadap putusan hakim untuk pembinaan
yurisprudensi.104

Dalam literatur lain Harifin A. Tumpa berpendapat bahwa yang lebih

penting dari alur proses beperkara adalah apakah putusan hakim telah

memberikan nilai hukum dan keadilan?105 Artinya, putusan hakim itu sendiri

haruslah memuat landasan hukum, argumentasi hukum dan penalaran hukum

sehingga tersaji nilai-nilai hukum sebagai pisau pemutus perkara. Kalaupun

hukum yang tersedia tidak dapat digunakan sebagai landasan yuridis

103
Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Gramata Publishing, Bekasi, 2012, h. 16.
104
Abdullah, Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan, Program Pascasarjana Universitas
Sunan Giri, Sidoarjo, 2008, h. 38.
105
Harifin A. Tumpa, Menguak Roh Keadilan Dalam Putusan Hakim Perdata, Tanjung
Agung, Jakarta, 2012, h. 19.
memutus perkara, maka Hakim harus dapat menemukan hukum untuk

memutus perkara yang diadilinya. Nilai hukum yang digunakan hakim

haruslah nilai hukum yang tepat sehingga putusan hakim dirasakan sebagai

putusan yang berkeadilan.

Menurut penulis, seharusnya perkara tindak pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh HLM Bin JSM terhadap

istrinya POL Als. MS Binti FG tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan

Negeri Bengkayang karena pelakunya sudah dijatuhi sanksi pidana adat. Hal

ini juga diperkuat dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991, yang menyatakan

bahwa: “Seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menurut hukum

yang hidup (hukum adat) di daerah tersebut adalah merupakan suatu

perbuatan yang melanggar hukum adat, yaitu “delict adat”. Kepala dan para

pemuka adat memberikan reaksi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku

tersebut. Sanksi adat itu telah dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si

terhukum yang sudah dijatuhi “reaksi adat” oleh Kepala Adat tersebut, maka

ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam

persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan

yang sama, melanggar hukum adat dan dijatuhi hukuman penjara menurut

KUHP (Pasal 5 ayat (3) b Undang-Undang Nomor 1 Drt 1951). Dalam

keadaan yang demikian, maka pelimpahan berkas perkara serta tuntutan

Kejaksaan di Pengadilan Negeri, harus dinyatakan “tidak dapat diterima”

(Niet Ontvakelijk Verklaard).


Di samping itu, secara yuridis pengakuan hukum adat diatur pada Pasal

18 B ayat (2) UUD 1945 Perubahan Amandemen Kedua, Pasal 5 ayat (3) sub

b Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan

Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan

Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, serta Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 50 ayat

(1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

B. Analisis Alasan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang


Menjatuhkan Pidana Penjara Terhadap Terdakwa Tanpa
Mempertimbangkan Sanksi Pidana Adat Yang Telah Dijatuhkan
Terhadap Terdakwa Oleh Peradilan Adat

Hukum pidana adat adalah hukum yang hidup (the living law) diikuti

dan ditaati oleh masyarakat adat secara terus menerus, dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap tata tertib tersebut dipandang dapat

menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat karena dianggap mengganggu

keseimbangan kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, bagi si pelanggar diberi

sanksi adat oleh masyarakat melalui pengurus adat.

Salah satu masyarakat di Indonesia yang masih memegang teguh

hukum adat adalah masyarakat suku Dayak yang berada di Kalimantan Barat.

Suku Dayak di Kalimantan Barat terbagi ke dalam sub-sub suku dan masing-

masing sub suku memiliki perbedaan, baik dari segi bahasa, adat istiadat,

struktur dan tatanan kehidupan maupun dari sisi hukum adatnya.

Salah satu sub suku Dayak yang terdapat di Kalimantan Barat adalah

suku Dayak Bakati’. Suku Dayak Bakati’ merupakan sub suku rumpun Dayak

Kanayatn yang berada di Kabupaten Bengkayang. Penyebaran suku Dayak


Bakati’ di Kabupaten Bengkayang sebagian terdapat di wilayah Kecamatan

Monterado.

Dalam menjalankan kehidupannya, masyarakat Dayak Bakati’ di

Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang masih berpegang teguh pada

adat istiadat dan hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat tersebut.

Alam pemikiran masyarakat Dayak Bakati’ mewarisi nilai-nilai leluhur nenek

moyangnya yang masih mengandung unsur-unsur religius magis. Selain itu,

dalam kehidupan masyarakat adat Dayak Bakati’ juga masih mengandung

unsur komunal, di mana gotong-royong (tolong menolong), rasa kekeluargaan

dan persaudaraan masih tertanam kuat dalam pergaulan hidup mereka.

Dalam menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran adat baik yang

bersifat pidana maupun perdata, masyarakat suku Dayak Bakati’ di

Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang akan menyelesaikannya

melalui peradilan adat. Begitu pula dalam menyelesaikan kasus tindak pidana

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang terjadi antara HLM dan POL

di Dusun Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten

Bengkayang.

Kasus tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang

terjadi antara HLM dan POL di Dusun Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan

Monterado, Kabupaten Bengkayang diselesaikan melalui hukum pidana adat

yang berlaku pada masyarakat suku Dayak Bakati’ yaitu Adat Madok (adat

memukul orang).106

106
Hasil wawancara dengan Bapak Timotius Taim, S.H., selaku Ketua Peradilan Adat Dayak
di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang, pada tanggal 10 Desember 2022.
Adat Madok terbagi menjadi 3 (tiga) tingkatan, yakni: adat madok

ringan, adat madok sedang, dan adat madok berat. Adat madok ringan adalah

sanksi adat bagi orang yang memukul orang lain dan menyebabkan lebam-

lebam. Kemudian adat madok sedang adalah sanksi adat bagi orang yang

memukul orang lain dan menyebabkan keluar darah. Sedangkan adat madok

berat adalah sanksi adat bagi orang yang memukul orang lain dan

menyebabkan korban tidak sadarkan diri (pingsan) dan harus dirawat di

rumah sakit.107

Penjatuhan sanksi pidana adat yang dijatuhkan kepada pelanggar adat

oleh para pengurus/penguasa adat bertujuan untuk memberikan kepastian

hukum dan keadilan bagi korban dan masyarakat adat.108

Akan tetapi, penyelesaian perkara tindak pidana Kekerasan Dalam

Rumah Tangga (KDRT) melalui peradilan adat antara HLM dan POL di

Dusun Giri Harja, Desa Beringin, Kecamatan Monterado, Kabupaten

Bengkayang, ternyata diajukan juga ke Pengadilan Negeri Bengkayang.

Bahkan, telah diputus oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Bengkayang

melalui Putusan Nomor 13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dan menjatuhkan pidana

kepada Terdakwa HLM dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan dan 15

(lima belas) hari.

Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor

13/Pid.Sus/2013/PN.Bky tidak mempertimbangkan bahwa Terdakwa HLM

107
Hasil wawancara dengan Bapak Timotius Taim, S.H., selaku Ketua Peradilan Adat Dayak
di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang, pada tanggal 10 Desember 2022.
108
Hasil wawancara dengan Bapak Timotius Taim, S.H., selaku Ketua Peradilan Adat Dayak
di Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang, pada tanggal 10 Desember 2022.
telah dijatuhkan sanksi pidana adat melalui peradilan adat, justru Majelis

Hakim yang menyidangkan perkara aquo menjadikan penjatuhan sanksi

hukum adat terhadap Terdakwa HLM Bin JSM sebagai hal-hal yang

memberatkan karena Terdakwa sudah berulang kali melakukan perbuatan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap istrinya POL Als. MS

Binti FG.

Secara yuridis pengakuan hukum adat diatur pada Pasal 18 B ayat (2)

UUD 1945 Perubahan Amandemen Kedua, Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-

Undang Nomor 1 Drt Tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara

Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara

Pengadilan-Pengadilan Sipil, Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 50 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, serta

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991.

Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 menyatakan bahwa: “Seseorang yang

telah melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup (hukum adat) di

daerah tersebut adalah merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum

adat, yaitu “delict adat”. Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi

adat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu telah

dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si terhukum yang sudah dijatuhi

“reaksi adat” oleh Kepala Adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi

(untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan


Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum

adat dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP (Pasal 5 ayat (3) b

Undang-Undang Nomor 1 Drt 1951). Dalam keadaan yang demikian, maka

pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri,

harus dinyatakan “tidak dapat diterima” (Niet Ontvakelijk Verklaard).

Alasan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang menjatuhkan

pidana penjara terhadap Terdakwa tanpa mempertimbangkan sanksi pidana

adat yang telah dijatuhkan terhadap Terdakwa oleh Peradilan Adat sebagai

berikut :

1) Karena Terdakwa HLM Bin JSM sudah berulang kali melakukan tindak

pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap istrinya POL

Als. MS Binti FG, walaupun telah dijatuhkan sanksi pidana adat.109

2) Karena sanksi pidana adat yang dijatuhkan terhadap Terdakwa HLM Bin

JSM tidak memberikan efek jera, sehingga Terdakwa HLM Bin JSM

mengulangi lagi tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(KDRT) terhadap istrinya POL Als. MS Binti FG. 110

3) Karena penjatuhan pidana penjara terhadap Terdakwa HLM Bin JSM

untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban maupun masyarakat dan

memberikan efek jera bagi Terdakwa HLM Bin JSM. 111

109
Hasil wawancara dengan Bapak Oloan Exodus Hutabarat, S.H., M.H., selaku Ketua
Pengadilan Negeri Bengkayang, pada tanggal 07 Desember 2022.
110
Hasil wawancara dengan Bapak Oloan Exodus Hutabarat, S.H., M.H., selaku Ketua
Pengadilan Negeri Bengkayang, pada tanggal 07 Desember 2022.
111
Hasil wawancara dengan Bapak Oloan Exodus Hutabarat, S.H., M.H., selaku Ketua
Pengadilan Negeri Bengkayang, pada tanggal 07 Desember 2022.
Peranan yang dimainkan oleh Hakim sebagai subsistem peradilan pidana

dalam usahanya untuk menanggulangi kejahatan adalah dengan memberikan

pidana bagi pelanggar hukum. Perlu dikemukakan dalam hal ini mengenai

peranan Hakim selain sebagai pemberi pidana (straftoemeter) yaitu peran

Hakim dalam memberi Putusan yang "sesuai dengan hukum dan rasa

keadilan" yang hidup dalam masyarakat.

Walaupun Hakim diberikan kebebasan untuk memberikan

pertimbangan hukum dan menjatuhkan putusan, namun kebebasan itu

tidaklah bersifat mutlak, kebebasan itu akan dibatasi oleh proses jalannya

perkara, ketertiban umum, moral dan kepentingan para pihak. Putusan hakim

harus sesuai dengan panggilan suara hati nurani yang menjadi sikap dan

persepsinya dan juga sejalan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.

Dalam hal ini, peranan Hakim sebagai role playing, hendaknya tidak

membuat dan menjadikan Putusannya dianggap kontroversial. Pemikiran itu

hendaklah menjadikan Putusan Pengadilan yang rasional dalam perkara

pidana.

Oleh karena itu, karakteristik latar belakang Hakim, pendidikannya

serta bahan-bahan konkrit yang dihadapinya pada waktu membuat Putusan

menampilkan persepsi Hakim terhadap perkara yang ditanganinya.

Sehubungan dengan hal tersebut Satjipto Rahardjo menyatakan, bahwa:

Hakim di sini kita lihat sebagai bagian atau kelanjutan dari pikiran-pikiran
dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Oleh karena itu, di dalam
menjalankan peranannya itu ia merupakan:
1. Pengembangan nilai-nilai yang dihayati masyarakat;
2. Hasil pembinaan masyarakat (sosialisasi);
3. Sasaran pengaruh lingkungan pada waktu itu.112

Dengan demikian sejak seorang dipersiapkan menjadi Hakim,

kemudian setelah seorang menjadi Hakim dan menjalankan tugasnya,

masyarakat mempunyai peranan dalam memberikan ciri-ciri Hakim tersebut.

Dalam menjatuhkan putusan atas perkara pidana, Hakim harus

memberikan pertimbangan-pertimbangan sebagai dasarnya dalam

menjatuhkan putusan. Pertimbangan hukum secara rasional merupakan

dambaan masyarakat pencari keadilan dan bagi hakim pertimbangan hukum

secara rasional menunjukkan kewibawaan putusannya sebagai mahkota

hakim.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian analisis dan pembahasan pada BAB III di atas,

maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Putusan Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang dengan Putusan Nomor

13/Pid.Sus/2013/PN.Bky dalam penyelesaian perkara tindak pidana

112
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta
Publishing, Yogyakarta, 2009, h. 58.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga pada Masyarakat Adat Dayak Bakati di

Kecamatan Monterado Kabupaten Bengkayang yang telah diputus oleh

Peradilan Adat Madok menimbulkan dualisme hukum karena menurut

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor

1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 : “Seseorang yang telah melakukan

perbuatan yang menurut hukum yang hidup (hukum adat) di daerah

tersebut adalah merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum adat,

yaitu “delict adat”. Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi adat

(sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu telah

dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si terhukum yang sudah dijatuhi

“reaksi adat” oleh Kepala Adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan

lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan

Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama,

melanggar hukum adat dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP

(Pasal 5 ayat (3) b Undang-Undang Nomor 1 Drt 1951). Dalam keadaan

yang demikian, maka pelimpahan berkas perkara serta tuntutan

Kejaksaan di Pengadilan Negeri, harus dinyatakan “tidak dapat diterima”

(Niet Ontvakelijk Verklaard).

2. Alasan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkayang menjatuhkan

pidana penjara terhadap Terdakwa tanpa mempertimbangkan sanksi

pidana adat yang telah dijatuhkan terhadap Terdakwa oleh Peradilan

Adat dikarenakan (a) Terdakwa HLM Bin JSM sudah berulang kali

melakukan tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)


terhadap istrinya POL Als. MS Binti FG, walaupun telah dijatuhkan

sanksi pidana adat, (b) sanksi pidana adat yang dijatuhkan terhadap

Terdakwa HLM Bin JSM tidak memberikan efek jera, sehingga

Terdakwa HLM Bin JSM mengulangi lagi tindak pidana Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (KDRT) terhadap istrinya POL Als. MS Binti

FG, dan (3) penjatuhan pidana penjara terhadap Terdakwa HLM Bin

JSM untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban maupun masyarakat dan

memberikan efek jera bagi Terdakwa HLM Bin JSM.

B. S a r a n

Berdasarkan uraian kesimpulan di atas, maka penulis mengemukakan

beberapa saran yang mungkin bisa dijadikan bahan rekomendasi sebagai

berikut:

1. Diharapkan Pengadilan Negeri tidak menerima pelimpahan berkas

perkara pidana serta tuntutan Kejaksaan yang telah diselesaikan melalui

peradilan adat, mengingat adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 1644K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991.

2. Hendaknya aparat penegak hukum yang termasuk dalam sistem peradilan

pidana (criminal justice system) menghargai putusan peradilan adat

dalam menjatuhkan sanksi pidana adat terhadap pelaku yang melanggar

hukum adat, agar tidak terjadi dualisme dalam penyelesaian perkara

pidana yang dilakukan oleh pelaku yang melanggar hukum adat.


DAFTAR PUSTAKA

BUKU :

Abdurrahman, 1978, Kedudukan Hukum Adat Dalam Rangka Pembangunan


Nasional, Alumni, Bandung.

Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum
Progresif, Sinar Grafika, Jakarta.

Antonius Sudirman, 2007, Hati Nurani Hakim Dan Putusannya: Suatu


Pendekatan Dari Perspektif Ilmu Hukum Perilaku (Behavioral
Jurisprudensi) Kasus Hakim Bismar Siregar, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung.
Chairul Anwar, 1997, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat
Minangkabau, Rineka Cipta, Jakarta.

Dewa Made Suarta, 2015, Hukum dan Sanksi Adat, Setara Press, Malang.

Dewi Wulansari, 2010, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, PT. Refika
Aditama, Bandung.

Djojodigoeno, 2000, Asas-asas Hukum Adat, PT. Intermasa, Jakarta.

E. Amalia, 2000, Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga: Analisa


Kasus Pada Beberapa Keluarga di Wilayah Ciputat, Unpublished
Research Report PSW IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Fathul Djannah, dkk., 2007, Kekerasan Terhadap Istri, LkiS Yogyakarta


bekerjasama dengan CIDE-ICIHEF Jakarta dan Pusat Studi Wanita IAIN
Sumatra Utara.

Guse Prayudi, 2008, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (Dilengkapi dengan Uraian Unsur-unsur Tindak Pidananya),
Merkid Press, Yogyakarta.

Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung.

----------, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.

I Gusti Ketut Sutha, 1995, Peranan Hukum Adat Sebagai Hukum Tidak Tertulis
dalam Pembangunan Masyarakat, dalam Bunga Rampai Pembangunan
Hukum Indonesia, Eresco, Bandung.

I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco, Bandung.
John Z. Loudoe, 1985, Menemukan Hukum Melalui Tafsir dan Fakta, Cetakan
Pertama, Bina Aksara, Jakarta.

M. Natsir Asnawi, 2014, Hermeneutika Putusan Hakim, UII Press, Yogyakarta.

Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Peter Mahmud Marzuki, 2009, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media


Group, Jakarta.

Pontang Moerad, 2005, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan dalam


Perkara Pidana, PT. Alumni, Bandung.
Rika Saraswati, 2006, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah
Tangga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

R. Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Konseptualisasi Hukum Adat


Kontemporer, Alumni, Bandung.

R. Soepomo, 1986, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita,


Jakarta.

Rusli Muhammad, 2013, Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan


Kontroversial, UII Press, Yogyakarta.

Soerojo Wignjodipoero, 1990, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Haji


Masagung, Jakarta.

S. Meiyanti, 1999, Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Rumah Tangga, Pusat


Penelitian Kependudukan UGM dan Ford Foundation, Yogyakarta.

Sri Sutatiek, 2013, Menyoal Akuntabilitas Moral Hakim Pidana Dalam


Memeriksa, Mengadili, dan Memutus Perkara, Aswaja Pressindo,
Yogyakarta.

Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta.

------------, 2009, Penemuan Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Topo Santoso, 1990, Pluralisme Hukum Pidana Indonesia, PT. Eresco, Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 1 Drt Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan


Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan
Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam


Rumah Tangga.

Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1644K/Pid/1988


tanggal 15 Mei 1991.

Putusan Nomor 13/Pid.Sus/2013/PN.Bky.


JURNAL / MAKALAH :

Abdulah Rahmat, 2015, “Urgensi Hukum Adat Dalam Pembaharuan Hukum


Pidana Nasional”, Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Gajah Mada, Vol. 9, No. 2.

E. Sundari dan Iswatiningsih, 2003, “Penemuan Hukum oleh Hakim Indonesia


dalam Menghadapi Peraturan Hukum yang Tidak Lengkap”, Justitia Et
Pax, Vol.23 No.2, Desember, Jakarta.

Hardijan Rusli, 2006, “Metode Penelitian Hukum Normatif: Bagaimana?”, Law


Review Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Volume V  No. 3.

Hermin Hadiati Koeswadji, 1957, “Aspek Budaya Dalam Pemidanaan Delik


Adat”, Makalah Dalam Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama
Terhadap Hukum Pidana, 17-19 Maret, Denpasar.

M. Fauzan, 2008, “Deindividualisasi Putusan Hakim dalam Lembaga Peradilan”,


Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIII No. 270 Mei, MA-RI.

Suryono Sutarto, 2001, “Kekhilafan Hakim Dalam Menjatuhkan Pidana, Masalah-


Masalah Hukum”, Majalah Ilmiah FH. UNDIP, Semarang, Oktober-
Desember.

Anda mungkin juga menyukai