Anda di halaman 1dari 115

SKRIPSI

HIBAH HARTA BERSAMA KEPADA ANAK SETELAH


PERCERAIAN
(Studi Kasus Putusan Nomor 436/Pdt.G/2009/PA. Mks)

OLEH :

NURHIDAYAH
B111 07 241

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS HUKUM
BAGIAN HUKUM KEPERDATAAN
MAKASSAR
2011
HALAMAN JUDUL

HIBAH HARTA BERSAMA KEPADA ANAK SETELAH


PERCERAIAN
(Studi Kasus Putusan Nomor 436/Pdt.G/2009/PA. Mks)

OLEH :

NURHIDAYAH
B111 07 241

SKRIPSI

pada

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR
2011

i
PENGESAHAN SKRIPSI

HIBAH HARTA BERSAMA KEPADA ANAK


SETELAH PERCERAIAN
(Studi Kasus Putusan No.436/Pdt.G/2009/PA.Mks)

Disusun dan diajukan oleh

NURHIDAYAH
B 111 07 808

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Skripsi yang Dibentuk


Dalam rangka Penyelesaian Studi Program Sarjana
Bagian Hukum Keperdataan Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Pada hari Selasa, 25 Januari 2011
Dan Dinyatakan Lulus

Panitia Ujian

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. DR. Sukarno Aburaera, SH, Achmad, SH, MH.


NIP. 194303101973021001 NIP. 196801041993031002

An. Dekan
Pembantu Dekan I,

Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H.


NIP. 19630419 198903 1 003

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa proposal dari :

Nama : NURHIDAYAH.
Nomor Pokok : B111 07 241
Bagian : Hukum Keperdataan.
Judul : Hibah Harta Bersama Kepada Anak Setelah Perceraian
(Studi Kasus Putusan No.436/Pdt.G/2009/PA.Mks)

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam Ujian Skripsi.

Makassar, Desember 2010

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. DR. Sukarno Aburaera, SH, Achmad, SH, MH.


NIP. 194303101973021001 NIP. 196801041993031002

iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI

Diterangkan bahwa proposal dari :

Nama : NURHIDAYAH.
Nomor Pokok : B111 07 241
Bagian : Hukum Keperdataan.
Judul : Hibah Harta Bersama Kepada Anak Setelah Perceraian
(Studi Kasus Putusan No.436/Pdt.G/2009/PA.Mks)

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam Ujian Skripsi.

Makassar, Janauri 2011

An. Dekan
Pembantu Dekan I,

Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H.


NIP. 19630419 198903 1 003

iv
ABSTRAK

Nurhidayah (B111 07 241), Hibah Kepada Anak Setelah Perceraian


(Studi Kasus Putusan No. 436/Pdt.G/2009/PA.Mks) dengan dosen
pembimbing Bapak Sukarno Aburaera (selaku pembimbing I), dan
Bapak Achmad (selaku pembimbing II)
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui kedudukan harta
bersama yang dihibahkan kepada anak setelah perceraian serta
pertimbangan hakim dalam mengeluarkan putusan perdamaian mengenai
tuntutan nafkah anak dan pembagian harta bersama. Penelitian ini
dilakukan di Pengadilan Agama Klas 1A Makassar, dengan
mewawancarai hakim di Pengadilan Agama Klas 1A Makassar, juga
dosen di Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri bagian
fiqh.
Sumber data yang digali dalam penelitian ini antara hasil
wawancara dengan hakim di Pengadilan Agama Klas 1A Makassar,
dengan dosen di Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri
bagian fiqh serta dari buku-buku yang relevan dengan masalah yang
diteliti. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan
kepustakaan yang merupakan rujukan untuk menganalisis hasil penelitian.
Pendekatan yangn digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif dan sosiologis yaitu cara pendekatan masalah dengan
berdasarkan pada aturan Kompilasi Hukum Islam , selanjutnya
berdasarkan data dari hasil wawancara yang ada.
Penyusun berusaha menerik kesimpulan dari fakta-fakta yang bersifat
khusus menjadi sebuah kesimpulan yang lebih umum.
Hasil yang diperoleh penelitian ini antara lain bahwa dalam
pemberian hibah dengan objek yang dihibahkan adalah objek dari harta
bersama dapat dilakukan terhadap anak. Akan tetapi, sebelum
menentukan objek yang akan dihibahkan terlebih dahulu hakim
melepaskan segala pembebanan atau melakukan pemurnian harta
bersama. Setelah itu barulah melakukan hibah harta bersama. Hibah yang
dilakukan kepada anak juga harus memperhatikan syarat-syarat dalam
melakukan hibah dan 1/3 dari harta bersama. Adapun mengenai
pembagian harta bersama yang seharusnya terbagi dua menurut
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dapat
dilenturkan berdasarkan kondisi para pihak atau kesepakatan yang
dilakukan.

v
UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah , puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas berkat,

rahmat dan izin-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menghaturkan

rasa terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Ayahanda Drs.Khaeril R, M.H. dan

Ibunda Nursiah BA. yang selama ini telah dengan sabar

membesarkan dan mendidik penulis dengan kasih sayangnya.

2. Adik-adikku Muh. Hafiluddin, Muh. Idhan Khalid, Muh.Muhaemin

Khaeril, dan si bungsu Muh.Noufal Aulawi yang telah memberi

dukungan dan doa mereka dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Sepupuku Wulan Zaty Sari yang telah banyak membantu,

mendampingi serta memberi masukan dan motivasi dalam

penyelesaian skripsi ini.

4. Rektor Universitas Hasanuddin dan segenap jajarannya.

5. Bapak Prof.Dr.Aswanto S.H.,M.H. Selaku dekan Fakultas Hukum

Universitas Hasanuddin.

6. Bapak Prof.Dr.Ir. Abrar,S.H.,M.H., Bapak Dr.Anshory Ilyas.

S.H.,M.H., Bapak Romi Librayanto S.H.,M.H. selaku Pembantu

Dekan I,II,III.

7. Bapak Prof.Dr. Soekarno Aburaera, S.H. selaku pembimbing 1 dan

Bapak Achmad Tjolli S.H,.M.H. selaku pembimbing 2 yang dengan

vi
ikhlas memberikan bimbingan,pengarahan dam masukan dalam

penyelesaian skripsi ini. Kerelaan beliau dalam mengorbankan

waktu, tenaga dan pikiran yang merupakan salah satu faktor

terwujudnya skripsi ini.

8. Bapak Prof.Dr. Arfin Hamid,S.H.,M.H., Bapak H. Mustafa Bola

S.H.,M.H. dan Ibu Hj.Sakka Pati S.H.,M.H., selaku tim penguji yang

telah memberikan kritik dan saran yang membangun dalam

penyempurnaan skripsi ini.

9. Bapak Prof.Dr. Sabri Samin M.Ag. Dosen Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin yang telah meluangkan

waktunya untuk wawancara guna melengkapi data untuk

kesempurnaan skripsi ini.

10. Bapak Drs. Syahidal, Bapak Drs.H.Mustamin Dahlan S.H., Bapak

Drs. Faizal S.H., Ibu Dra. Bannasari S.H., Selaku Hakim dan para

staf Pengadilan Agama Makassar, yang telah meluangkan waktu

dan banyak memberi kemudahan dalam perolehan informasi untuk

melengkapi skripsi ini.

11. Para Dosen pengajar dan staf Fakultas Hukum Universitas

Hasanuddin.

12. Sahabat – Sahabatku “Anak KaBe” ( Mira, Lia, Titi, Dian, Anto,

Akram, Fadhil, Zaldy,Iswan), Ayu, Rhisma, Nana, Narti, Afrizal,

ALSA, Anggota KKN-PH Pengadilan Agama Makassar, Angkatan

Ekstradisi 07 yang telah memberi dukungan dan semangat.

vii
13. Terkhusus Endris Ary Dinindra, Aisyah Suryani dan Muh. Ersyad

Indra Praja yang telah banyak membantu, memberi

dukungan,semangat serta doa dalam penyelesaian skripsi ini.

14. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu

yang telah membantu, memberi dorongan dan semangat selama

ini. Semoga mendapat limpahan rahmat dan berkah dari Allah SWT

Adapun kendala yang dihadapi penulis merupakan tantangan dalam

penulisan skripsi ini. Apabila dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, maka harap dimaklumi. Oleh karena itu, saran dan kritik

dari para pihak sangat diharapkan karena untuk menunggu sampai

sempurna skripsi ini, rasanya tidaklah mudah. Penulis berharap semoga

skripsi ini memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi pengembangan

wawasan ilmu pengetahuan khususnya dibidang hukum keperdataan.

Makassar , 8 Januari 2011

Penulis

viii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................... i


HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI .................... iv
ABSTRAK ............................................................................................... v
UCAPAN TERIMA KASIH ....................................................................... vi
DAFTAR ISI ............................................................................................ ix

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah ……………………………………. .................. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………… ................. 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 7
D. Kegunaan Penelitian .......................................................................... 8
E. Metode Pendekatan ........................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ........................................................................ 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 12


A. Tinjauan Umum Mengenai Perceraian ................................................ 12
1. Pengertian Perceraian ........................................................................ 12
2. Dasar Hukum Perceraian .................................................................... 13
3. Penyebab Terjadinya Perceraian ........................................................ 16
4. Tata Cara Perceraian .......................................................................... 18
B. Tinjauan Umum Mengenai Harta Bersama ........................................ 23
1. Pengertian Harta Bersama ................................................................. 23
2. Dasar Hukum Harta Bersama .............................................................. 29
3. Ruang Lingkup Harta Bersama ........................................................... 40
C. Tinjauan Umum Mengenai Hibah ....................................................... 44
1. Pengertian Hibah ................................................................................ 44
2. Dasar Hukum Hibah ............................................................................ 49

ix
2.1. Dasar Hibah yang Diatur Dalam Al-Quran dan Hadist ................ 49
2.2. Dasar Hibah yang Diatur Dalam Kompilasi Hukum Islam ........... 51
3. Rukun dan Syarat Sahnya Hibah ....................................................... 52
4. Macam-Macam Hibah ......................................................................... 55
5. Hibah Jika Dihubungkan Dengan Warisan ......................................... 57
6. Penghibaan Semua Harta ................................................................... 58
7. Besarnya Nilai yang Boleh Dihibahkan ............................................... 59
8. Penarikan Kembali Hibah yang Telah Diberi ...................................... 60

BAB III KASUS POSISI .......................................................................... 63


A. Posisi Para Pihak .......................................................................... 63
B. Uraian Fakta ................................................................................. 64

BAB IV PERUMUSAN INTISARI PUTUSAN ………………………….. .... 73


A. Para Pihak ................................................................................... 73
B. Uraian Fakta ................................................................................. 74

BAB V ANALISIS KASUS ....................................................................... 80


A. Kedudukan Harta Bersama yang Dihibahkan Setelah
Perceraian ..................................................................................... 80
B. Pertimbangan Hakim Dalam Putusan Nomor
436/Pdt.G/2009/PA.Mks) ............................................................. 91

BAB VI PENUTUP .................................................................................. 100


A. Kesimpulan .................................................................................. 100
B. Saran ........................................................................................... 101

DAFTAR PUSTAKA

x
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan

manusia, karena perkawinan adalah lembaga resmi yang menyatukan

secara sah antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup

bersama dan membentuk sebuah rumah tangga dimana, dalam rumah

tangga itulah kehidupan setiap manusia dimulai dan diakhiri.

Dalam Pasal 1 Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok–

Pokok Perkawinan (selanjutnya disebut dengan Undang-undang

Perkawinan) menjelaskan bahwa, perkawinan merupakan suatu ikatan

lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-isteri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa1 sedangkan menurut

Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) Pasal 2 mengenai

dasar–dasar perkawinan, perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang

sangat kuat atau miitsaaqan ghalizhan untuk menaati perintah Allah SWT

dan melaksanakannya merupakan ibadah, dengan tujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah,

warahma sebagai suatu keluarga.2

1 Departemen Agama, 2004, Penyuluhan Hukum, hlm 117.


2 Ibid, hlm. 166.

1
Menurut KHI, Perkawinan merupakan sunnatullah yang bersifat alami

dan berlaku umum pada setiap makhluk Allah SWT, baik manusia, hewan

dan tumbuh-tumbuhan yang sengaja diciptakan dalam bentuk berpasang-

pasangan. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-quran Surah

Yaasin ayat 36 sebagai berikut:

Artinya:

“Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan


semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri
mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui”.

Pasangan suami-isteri yang membangun kehidupan rumah tangga

dengan hati yang bersih (niat yang ikhlas), akan menjadi pilar

terbentuknya masyarakat yang damai dan sejahtera. Sebuah masyarakat

yang kuat, damai, dan sejahtera hanya akan terwujud apabila keluarga-

keluarga sebagai anggotanya merupakan keluarga-keluarga sakinah dan

keluarga-keluarga yang menyadari tanggung jawab sosialnya dalam

kehidupan masyarakat.3 Oleh karena itu, sudah seharusnya hubungan

suami-isteri dalam suatu rumah tangga dipenuhi dengan rasa cinta dan

kasih sayang. Dimana, hubungan-hubungan emosional dan komunikasi

diantara mereka terjalin dengan mesra tanpa hambatan psikologi. Para

anggota keluaraga tersebut dapat menikmati hak-haknya secara baik,

3 Andi Syamsu Alam, 2005, Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan, Kencana Mas,
Jakarta, hlm. 6.

2
sekaligus dapat menjalankan kewajiban-kewajibannya secara baik pula,

serta memelihara sakralitas (kemuliaan, kesucian) perkawinan sehingga

tercapai tujuan dari perkawinan itu sendiri.4

Namun pada kenyataannya, perkawinan tidak selalu berjalan

sebagaimana mestinya. Pengaruh perkembangan modern saat ini

cenderung menganggap bahwa perkawinan itu tidak lebih dari suatu

aktivitas biasa yang menimbulkan kurangnya rasa saling menghormati

antara suami dan isteri. Hal ini menyebabkan berbagai masalah,

keretakan dan pergolakan dapat mengganggu keharmonisan rumah

tangga. Dengan tidak diterapkannya petunjuk-petunjuk Allah SWT

mengenai perkawinan, banyak pasangan suami–isteri yang tergelincir ke

lembah pertengkaran yang hebat diantara mereka sehingga terjadilah apa

yang tidak dikehendaki dan paling dibenci oleh Allah yaitu putusnya

hubungan perkawinan.5

Putusnya perkawinan atau yang biasa disebut dengan perceraian atau

talak sebetulnya merupakan alternatif terakhir, sebagai pintu darurat yang

boleh ditempuh, manakala bahtera kehidupan rumah tangga tidak dapat

lagi dipertahankan keutuhan dan kesinambungannya. Islam menunjukkan

sebelum terjadinya talak atau perceraian, ditempuh usaha-usaha

4Ibid, hlm. 9.
5Arni zakiah,2010,”Pelaksanaan Pembagian Harta Bersama Prespektif Kompilasi
Hukum Islam”, Skripsi, Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Makassar,hlm. 2.

3
perdamaian antara kedua belah pihak, melalui hakam 6 (arbitrator) dari

kedua belah pihak .7

Seperti firman Allah SWT dalam Al-quran Surah An-Nisa Ayat 35 sebagai

berikut :

Artinya :

Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka


kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal .

Putusnya hubungan perkawinan antara suami-isteri bukan berarti

terputusnya segala urusan antara keduanya, namun ada akibat-akibat

hukum yang perlu diperhatikan oleh kedua belah pihak yang bercerai.

Salah satu sengketa yang sering timbul akibat dari putusnya perkawinan

adalah harta bersama yang harus dibagi antara suami dan isteri, serta

hadanah8 bagi anak-anak yang belum dewasa. Biasanya sengketa ini di

selesaikan di Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan

Pengadilan Negeri bagi non-Islam.

6 Hakam (arbitrartor)= seorang hakim yang membantu untuk mendamaikan pihak-


pihak yang bersengketa
7 Ahmad Rofiq, 1998, Hukum Islam Di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,

cet.3, hlm. 268.


8 Hadanah adalah kewajiban memelihara, mendidik, dan mengatur segala

kepentingan atau keperluan anak yang belum mumayyiz, atau belum dewasa.

4
Dalam hukum Islam sebenarnya tidak ada aturan-aturan mengenai

harta perkawinan seperti yang diatur oleh hukum perdata Pasal 119 KUH

Perdata. Begitu pula dengan peraturan-peraturan mengenai pemisahan

harta dalam perkawinan kecuali sejak awal memang telah diperjanjikan

pemisahan harta oleh masing- masing pihak. Akan tetapi, adanya harta

bersama tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing

suami atau isteri seperti yang tercantum dalam Pasal 85 KHI, adanya

kewenangan mutlak dalam penguasaan harta milik pribadi diharapkan

tidak merusak tatanan hidup dalam rumah tangga. Oleh karena itu, hukum

Islam memperbolehkan diadakannya perjanjian perkawinan sebelum

pernikahan dilaksanakan.

Pada KHI telah diatur mengenai harta benda dalam perkawinan mulai

dari pasal 85–97, begitu pula dengan Undang –Undang Perkawinan mulai

dari pasal 35-37. Pada Pasal 97 KHI dan Pasal 37 Undang–Undang

Perkawinan menyatakan bahwa:

Pasal 97 KHI:

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari


harta bersama sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan:

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur


menurut hukumnya masing-masing.

Kedua pasal di atas merupakan salah satu dasar dalam pembagian

harta bersama ketika putusnya perkawinan atau perceraian terjadi. Dalam

hal pengaturan hukum mengenai harta bersama suami-isteri, hukum Islam

5
paling sederhana pengaturannya, tidak rumit dan mudah untuk

dipraktikkan.

Berkaitan dengan hal di atas, pada kenyataannya di Pengadilan

Agama Makassar terdapat suatu perkara dengan putusan N0.436 Pdt.G/

2009/ PA Mks, mengenai gugatan nafkah anak dan harta bersama yang

disinyalir tidak sesuai dengan Undang-Undang Perkawinan dan KHI

dimana, das sein dan das sollen tidak sejalan. Harta bersama yang

seharusnya dibagi dua antara suami isteri justru dihibahkan kepada

seluruh anak yang telah lahir dalam perkawinan tersebut untuk

menghindari sengketa harta bersama. Dengan melakukan mediasi yang

diperantarai oleh mediator kedua belah pihak dengan inisial yakni MB

binti M.B sebagai penggugat dan Dr.YAB, SP.M bin A.B sebagai tergugat

menyepakati untuk menghibahkan sebagian harta bersama kepada ke

empat anaknya. Oleh sebab itu, menarik untuk dianalisis dan dilakukan

penelitian mengenai hal tersebut

Untuk menganalisis kedua permasalahan hukum di atas, digunakan

pendekatan peraturan perundang-undangan yang terkait dalam hal ini

yaitu Undang-Undang Perkawinan dan KHI.

6
B. Rumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang masalah ditentukan dua pokok

masalah yaitu:

1. Bagaimana kedudukan harta bersama yang dihibahkan kepada

anak akibat perceraian dalam perkara Nomor

436/Pdt.G/2009/PA.Mks?

2. Bagaimana pertimbangan hakim atas putusan harta bersama

yang dihibahkan akibat terjadinya perceraian dalam perkara Nomor

436/Pdt.G/2009/PA.Mks?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui kedudukan harta bersama yang dihibahkan

kepada anak akibat terjadinya perceraian dalam perkara Nomor

436/Pdt.G/2009/PA.Mks.

2. Untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim atas putusan

harta bersama yang dihibahkan dengan terjadinya perceraian

dalam perkara Nomor 436/Pdt.G/2009/PA.Mks.

7
D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dalam penelitian ini yaitu :

1. Secara teoritis :

a. Menambah referensi hukum perdata, khusus mengenai

perbedaan pandangan hakim dalam memutus suatu perkara.

b. Dapat menjadi pegangan bagi masyarakat ,terutama bagi para

mahasiswa ilmu hukum agar mengetahui dan dapat

menjelaskan kedudukan harta bersama dalam perkawinan serta

pelaksanaan pemberian hibah yang berasal dari harta bersama

yang pembagiannya berdasarkan pada Kompilasi Hukum Islam.

2. Secara praktis

a. Sebagai pengembang wawasan ilmu pengetahuan dibidang

hukum keperdataan.

b. Dapat menjadi masukan bagi pihak yang membutuhkan

referensi pelengkap tentang pelaksanaan harta bersama dan

pembagian hibah.

c. Untuk memenuhi persayaratan guna mencapai gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

8
E. Metode Pendekatan

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pendekatan yuridis

dengan cara melihat, membaca dan menganalisis fakta-fakta apa saja

yang melanggar ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI, khususnya pada Pasal 37

Undang-undang Perkawinan dan Pasal 97 pada KHI, dengan mempelajari

dokumen-dokumen dan referensi–referensi yang terkait dengan masalah

penelitian penulis.

Sebagai pendukung metode pendekatan ini, dilakukan penelitian di

beberapa lokasi yakni:

1. Pengadilan Agama Makassar.

2. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,

Makassar.

3. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Islam Negeri

Alauddin, Makassar.

Dari ketiga lokasi penelitian ini, penulis akan memperoleh dua macam

data yaitu data primer dan data sekunder. Pertama, data primer adalah

data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara dengan hakim

Pengadilan Agama Makassar dan para dosen pengajar mata kuliah

hukum Islam yang berkompeten dengan permasalahan yang akan diteliti.

Kedua data sekunder adalah data yang diperoleh melalui literatur, karya

tulis, dan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yang

9
selanjutnya dijadikan sebagai bahan kajian guna menyelesaikan skripsi

ini.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, maka penulis

menyusun penelitian ini dengan menggunakan sistematika penulisan

sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang permasalahan, rumusan

masalah yang merupakan permasalahan yang akan

dibahas, tujuan dan kegunaan penelitian yang merupakan

arah penelitian dan hal-hal yangn diharapkan oleh penulis

pada penelitian ini. Metode pendekatan yang melihat atau

mengkaji permasalahan dengan lebih spesifik dan

sistematika penulisan yang mencakup keseluruhan isi dari

penelitian ini.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisi sajian atau paparan mengenai norma-norma, asas-

asas hukum dan teori yang berhubungan dengan kasus

penelitian.

BAB III : KASUS POSISI

Menjelaskan kasus atau permasalahan yang dikaji, terdiri

dari posisi para pihak dan uraian-uraian fakta dalam

10
menentukan masalah hukum atas kasus yang tengah

diteliti.

BAB IV : PERUMUSAN INTISARI PUTUSAN

Mengenai perumusan intisari putusan dari putusan

Pengadilan Agama Makassar yang telah mempunyai

kekuatan hukum yang tetap (inkracht) serta perimbangan-

pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan.

BAB V : ANALISIS KASUS

Analisis hukum terhadap keputusan yang dimuat dalam

BAB III dilakukan dengan menggunakan norma, atau asas

hukum serta doktrin hukum yang berhubungan dengan

kasus sehingga jelas terlihat hubungan antara bagian

dalam sistematika penulisan.

BAB VI : PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran dari penulis

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Mengenai Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Perceraian merupakan kata yang terdiri dari cerai yang berarti

pisah, dimana mendapatkan imbuhan per-an sehingga secara bahasa

berarti putusnya hubungan sebagai suami isteri, talak, hidup

perpisahan antara suami isteri selagi kedua-duanya masih hidup9.

Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 38 dah KHI pada Pasal 113

menyatakan bahwa perceraian itu merupakan salah satu sebab

putusnya perkawinan.

Sedangkan menurut istilah agama talak dari kata “ithlaq”, artinya

“melepaskan atau meninggalkan”. Talak artinya melepaskan ikatan

perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan.10

Cerai talak11 adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap

isterinya, sehingga perkawinan mereka menjadi putus. Seorang suami

bermaksud menceraikan isterinya harus lebih dahulu mengajukan

permohonan ke Pengadilan Agama yang berkedudukan diwilayah

tempat tinggalnya. Sedangkan cerai gugat12 adalah cerai yang

9
Kamus Besar Bahasa Indonesia
10 Sayyid Sabiq,1980, Fikih Sunnah 8, PT.Alma’arif, Bandung, cet 14, hlm 7.
11 Departemen Agama, Op.cit., hlm 3.
12 Ibid, hlm. 6.

12
didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan oleh isteri, agar

perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Seorang isteri yang

bermaksud bercerai dari suaminya harus lebih dahulu mengajukan

gugatan ke Pengadilan Agama.

Berdasarkan defenisi-defenisi di atas, penulis dapat menyimpulkan

bahwa perceraian adalah putusnya perkawinan atau putusnya

hubungan suami isteri selagi keduanya masih hidup, yang dapat terjadi

dengan talak (cerai talak) ataupun khuluk (cerai gugat).

2. Dasar Hukum Perceraian

Dasar hukum perceraian pada Undang-Undang Perkawinan

terdapat pada Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya

Pasal 38 dan Pasal 39 sedangkan pada KHI pada Bab XVI tentang

Putusnya Perkawinan Pasal 113-Pasal 128. Sedangkan para ahli fiqh

berbeda pendapat, pendapat yang paling benar diantara semua itu

yaitu yang mengatakan “terlarang”, kecuali karena alasan yang benar.

Mereka yang berpendapat seperti ini ialah golongan Hanafi dan

Hambali. Adapun alasannya yaitu:

Rasulullah SAW bersabda: “Allah melaknat tiap-tiap orang yang


suka merasai dan bercerai.”(Maksudnya: suka kawin dan cerai).

Ini disebabkan bercerai itu kufur terhadap nikmat Allah. Sedangkan

kawin adalah suatu nikmat dan kufur terhadap nikmat adalah haram.

Jadi tidak halal bercerai, kecuali karena darurat. Darurat membolehkan

13
cerai bila suami meragukan kebersihan tingkah laku isteri, atau sudah

tidak punya cinta dengannya. Golongan Hambali lebih menjelaskannya

secara terperinci dengan baik, yang ringkasnya sebagai berikut13 :

“Talak itu, adakalanya wajib, adakalanya haram, adakalanya


mubah dan ada kalanya sunnah”

Menurut Sayyid Sabiq14, talak wajib yaitu talak yang dijatuhkan oleh

pihak hakam (penengah), karena perpecahan antara suami isteri yang

sudah berat. Ini terjadi jika hakam berpendapat bahwa talaklah jalan

satu-satunya menghentikan perpecahan.

Talak haram yaitu talak tanpa ada alasan. Oleh karena merugikan

bagi suami dan isteri serta tidak ada kemaslahatan yang mau dicapai

dengan perbuatan talaknya itu, jadi talaknya haram. Dalam riwayat lain

dikatakan talak dibenci oleh Allah SWT, Rasulullah SAW bersabda:

perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak, dalam kalimat

lain disebutkan: “tidak ada sesuatu yang dihalalkan Allah,tetapi

dibenci-Nya selain daripada talak”. Talak itu dibenci bila tidak ada

alasan yang benar, sekalipun Nabi SAW. Menamakan talak sebagai

perbuatan halal karena ia merusak perkawinan yang mengandung

kebaikan-kebaikan yang dianjurkan oleh agama. Talak sunnah yaitu

dikarenakan isteri mengabaikan kewajibannya kepada Allah, seperti

sholat dan sebagainya, sedangkan suami tidak mampu memaksanya

13
Sayyid Sabiq, Op.cit.,hlm 10
14 Ibid.

14
agar isteri menjalankan kewajibannya tersebut, atau isteri kurang rasa

malunya. Imam Ahmad berkata15:

“tidak patut memegang isteri seperti ini, karena hal ini dapat
mengurangi keimanan suami, tidak membuat aman ranjangnya dari
perbuatan rusaknya, dan dapat melemparkan kepadanya anak yang
bukan dari darah dagingnya sendiri”.
Dalam keadaan seperti ini suami tidak salah untuk bertindak keras

kepada isterinya, agar dia mau menebus dirinya dengan

mengembalikan maharnya untuk bercerai. Allah SWT berfirman dalam

Al-Quran Surah An-Nisaa Ayat 19 :

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai


wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji
yang nyata . Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian
bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin
kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak”.

15
Ibid, hlm. 11

15
3. Penyebab Terjadinya Perceraian

Menurut Hukum Islam, perkawinan itu putus karena kematian, dan

karena perceraian (Thalak, khuluk, fasakh, akibat syiqaq, dan

pelanggaran taklik talak) dan alasan memutuskan perceraian hanya

satu saja yaitu salah satu pihak merasa bahwa perkawinannya tidak

dapat lagi diteruskan16.

Menurut KHI pada Pasal 116 bahwa perceraian dapat terjadi

karena alasan-alasan sebagai berikut :

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,

penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun

berturut-turut tanpa izin dari pihak lain dan tanpa alasan yang

sah atau karena hal diluar kemampuannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun

atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan

berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan

berat yang membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan

akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami

atau isteri.

16
Abdoerraoef, 1970, Al-Quran dan Ilmu Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, hlm 94.

16
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi

dalam rumah tangga.

g. Suami melanggar taklik talak

h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga.

Selain itu, menurut Ahmad Rofiq ada empat kemungkinan yang

dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutus / terputusnya

perkawinan dalam kehidupan rumah tangga, yakni17:

a. Terjadinya nusyuz dari pihak isteri

b. Terjadinya nusyuz dari pihak suami

c. Terjadinya perselisihan atau percekcokan antara suami dan isteri,

yang dalam al-quran di sebut shiqaq.

d. Terjadinya salah satu pihak melakukan perbuatan zina atau

fakhisyah, yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara

keduanya.

Hal-hal yang disebutkan di ataslah yang biasanya menjadi

penyebab terjadinya perceraian.

17
Ahmad Rofiq., 1998, Hukum Islam Di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta, cet.3, hlm 269.

17
4. Tata Cara Perceraian

Sejalan dengan prinsip atau asas undang-undang perkawinan

untuk mempersulit terjadinya perceraian, maka perceraian hanya

dapat dilakukan di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak (Undang-Undang Peradilan Agama selanjutnya disingkat UUPA

Pasal 65 jo. Pasal 115 KHI).

Adapun tata cara dan prosedurnya dapat dibedakan ke dalam 2

macam yaitu:

a. Cerai talak (permohonan)

Pasal 66 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama (UUPA) menyatakan seorang suami yang beragama Islam

yang akan menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada

pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.

Pada rumusan Pasal 14 PP Nomor 9 Tahun 1975 dijelaskan

mengenai pengadilan tempat permohonan itu diajukan, yaitu seorang

suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,

yang akan menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada

pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia

bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasan serta

meminta kepada pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu

18
Berdasarkan uraian Pasal 14, PP Nomor 9 Tahun 1975 di atas

menyebutkan bahwa pengadilan tempat mengajukan permohonan

adalah yang mewilayahi tempat tinggal pemohon. Sementara dalam

Undang-Undang Peradilan Agama mengubah atau memperbaharui

tempat mengajukan permohon adalah ke pengadilan yang mewilayahi

tempat kediaman termohon, atau dalam bahasa KHI tempat tinggal

isteri. Hal ini dimaksudkan oleh Munawir Sjadzali, untuk memberikan

kemudahan bagi pihak isteri.

Langkah berikutnya adalah pemeriksaan oleh pengadilan, yang

dalam Pasal 68 undang-undang perkawinan yang menjelaskan

bahwa:

1. Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau

permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan.

2. Pemeriksaan permohonan cerai talak, dilakukan dalam sidang

tertutup.

Pada rumusan Pasal 15 PP Nomor 9/ 1975, dinyatakan:

“Pengadilan yang bersangkutan mempelajari isi surat yang


dimaksud dalam Pasal 14, dan dalam waku selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari memanggil pengirim surat dan
juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu”.

19
Usaha mendamaikan kedua belah pihak selain ditempuh sebelum

persidangan dimulai, juga dapat dilakukan setiap kali persidangan

tidak tertutup untuk mendamaikan mereka, karena biasanya

persidangan semacam ini tidak bisa diselesaikan dalam sekali

persidangan.

Langkah berikutnya diatur dalam Pasal 70 Undang-undang

perkawinan sebagaimana dirinci dalam pasal 16 PP Nomor 9 / 1975 :

“Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang


pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam
Pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang
dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan
Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang
bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi
dalam rumah tangga”.18
Langkah berikutnya, diatur dalam UUPA Pasal 70 sebagaimana

dirinci dalam Pasal 16 PP Nomor 9 Tahun 1975:

1. Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak, tidak


mungkin lagi didamaikan, dan telah cukup alasan perceraian maka
pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.
2. Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1),
isteri dapat mengajukan banding.
3. Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap,
pengadilan menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan
memanggil suami dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang
tersebut.
4. Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus
dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak,
mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
5. Apabila isteri telah mendapat panggilan secara sah dan patut,
tetapi tidak datang menghadap sendiri atau tidak mengirimkan
wakilnya dapat mengucapkan talak tanpa dihadiri isteri atau
wakilnya.

18 Ahmad Rofik, Op.cit, hlm. 299.

20
6. Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan
hari sidang penyaksian ikrar talak tidak datang menghadap sendiri
atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat panggilan
secara sah dan patut maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut,
dan perceraian dapat diajukan kembali berdasarkan alasan yang
sama.

Selanjutnya diatur dalam pasal 17 PP Nomor 9 Tahun 1975,

dirumuskan sebagai berikut:

“Sesaat setelah dilakukan sidang pengadilan untuk


menyaksikan perceraian yang dimaksud pada pasal 16, ketua
pengadilan membuat surat keterangan tentang terjadinya
perceraian tersebut. Surat itu dikirim kepada pegawai pencatat
ditempat perceraian itu terjadi untuk diadakan pencatatan
perceraian”

b. Cerai gugat

Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan mengenai cerai gugat

yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan isteri atau kuasa

hukumnya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman penggugat (isteri), kecuali apabila penggugat dengan

sengaja meningggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin tergugat

(suami). Dalam hal penggugat dan tergugat berdomisili di luar negara,

maka gugatan diajukan ditempat perkawinan mereka dilangsungkan

atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Pasal 73 Undang-Undang

Perkawinan).

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu

pihak mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan

perceraian, penggugat cukup menyampaikan salinan putusan

21
pengadilan yang berwenang memutuskan perkara disertai keterangan

yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan

hukum yang tetap (Pasal 74 Undang-Undang Perkawinan).

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq

(pertengkaran), maka untuk menetapkan putusan perceraian harus

didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang

terdekat. Selama gugatan perceraian berlangsung, pengadilan dapat

mengizinkan suami isteri untuk tidak tinggal dalam suatu rumah, atas

permohonan penggugat atau tergugat.19

Proses pemeriksaan cerai gugat hampir sama dengan proses

pemeriksaan cerai talak yang diatur dalam Pasal 20–Pasal 36 PP No.

9 Tahun 1975, yang mengacu pada Undang-Undang Perkawinan pada

Pasal 80 pada ayat 1 jo. Pasal 141 KHI, sedangkan ayat 2 dan 3

menjelaskan soal teknis untuk menghindarkan ketidakhadiran para

pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat.20

Berdasarkan ajaran Islam, isteri mempunyai hak untuk meminta

talak yaitu pertama, talak tafwid yaitu hak talak yang diberikan suami

kepada isterinya berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan keduanya,

dan apabila syarat-syarat yang mereka tentukan terjadi maka isteri

mempunyai hak untuk meminta talak dan terjadilah perceraian. Kedua,

19Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan,


Hukum Adat,Hukum Agama,Mandar Maju, Bandung, Cet.3, hlm. 167.

20 Ahmad Rofiq, Op.cit.,hlm 305.

22
talak taklik yaitu pada waktu diadakan akad nikah, suami

mengucapkan syarat-syarat yang dapat dijadikan alasan isteri untuk

meminta hakim menjatuhkan talak kepadanya, jika dalam perjalanan

rumah tangga ternyata suami melanggar syarat-syarat yang telah

disepakati sebelum menikah, maka isteri dapat meminta talak.

B. Tinjauan Umum Mengenai Harta Bersama

1. Pengertian Harta Bersama

Secara etimologi, harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari

harta dan bersama . Harta menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan

berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum

dimiliki perusahaan. Bersama menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah berbarengan. Harta bersama berarti harta yang

digunakan (dimanfaatkan) bersama-sama.

Harta bersama adalah harta benda atau hasil kekayaan yang

diperoleh selama berlangsungnya perkawinan. Meskipun harta

tersebut diperoleh dari hasil kerja suami saja, isteri tetap memiliki hak

atas harta bersama. Jadi, harta bersama meliputi harta yang

diperoleh dari usaha suami dan isteri berdua atau usaha salah

seorang dari mereka diatur lain dalam perjanjian perkawinan, apabila

23
terjadi perceraian maka masing-masing pihak isteri maupun suami

berhak atas separuh (seperdua) dari harta bersama.21

Menurut Abdul Manan22 , semua harta yang diperoleh suami isteri

dalam ikatan perkawinan menjadi harta bersama, baik harta tersebut

diperoleh secara sendiri-sendiri maupun diperoleh secara bersama-

sama. Demikan pula dengan harta yang dibeli selama ikatan

perkawinan berlangsung, adalah menjadi harta bersama. Tidak

menjadi soal apakah isteri atau suami yang membeli, tidak menjadi

masalah apakah isteri atau suami mengetahui pada saat pembelian itu

dan tidak menjadi masalah atas nama siapa harta itu didaftarkan”.

Sedangkan menurut Sayuti Thalib harta bersama adalah kekayaan

yang diperoleh selama perkawinan diluar hadiah atau warisan.

Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka, atau

sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Dalam istilah

muamalah dapat dikategorikan sebagai syirkah atau join antara suami

dan isteri23.

Dalam kitab-kitab fiqh tradisional, harta bersama diartikan sebagai

harta kekayaan yang dihasilkan oleh suami isteri selama mereka diikat

oleh tali perkawinan, atau dengan kata lain harta bersama itu adalah

harta yang dihasilkan dengan jalan syirkah, antara suami dan isteri

21 www.badilag.net, di akses tgl 3 Oktober 2010, pukul 15:00.

22 Abdul Manan, Op.cit. hlm. 109.


23
Ahmad Rofiq, Op.cit., hlm. 200.

24
sehingga terjadi percampuran harta yang satu dengan harta yang lain

dan tidak dapat dibeda-bedakan lagi.24

Menurut M.Yahya Harahap bahwa sudut pandang Hukum Islam

terhadap harta bersama sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ismail

Muhammad Syah yang mengatakan pencarian bersama suami isteri,

mestinya tidak masuk dalam Rub’u Mu’alamah tetapi secara khusus

tidak ditegaskan. Mungkin hal ini disebabkan karena pada umumnya

pengarang dari kitab-kitab tersebut adalah orang arab, sedangkan adat

arab tidak mengenal adanya adat mengenai pencarian harta bersama

suami isteri itu, tetapi disana membicarakan mengenai perkongsian

yang dalam bahasa arab disebut syarikah atau syirkah.25

Dikalangan mahzab Syafi’i26 terdapat empat macam yang disebut

harta syarikat (disebut juga syarikat, syarkat dan syirkat), yaitu:

1. Syarikat ‘inan, yaitu dua orang yang berkongsi di dalam harta

tertentu, misalnya bersyarikat untuk membeli suatu barang dan

keuntungannya untuk mereka berdua.

2. Syarikat abdan, yaitu dua orang atau lebih bersyarikat masing-

masing mengerjakan suatu pekerjaan dengan tenaga dan hasilnya

(upah) untuk mereka bersama menurut perjanjian yang mereka

24
Abdul Manan, Op.cit,. hlm.109.
25
M.Yahya Harahap, S.H, 1993, Kedudukan dan Kewenangan dan Acara
Peradilan Agama, PT.Garuda Metropolitan Press, Jakarta,cet. 2, hlm. 297.
26 Abdul Manan, Op.cit., hlm. 110.

25
buat, seperti tukang kayu, tukang batu, mencari ikan di laut,

berburu dan kegiatan yang seperti menghasilkan lainnya;

3. Syarikat mufawadlah, yaitu perserikatan dari dua orang atau lebih

untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan dengan tenaganya dan

masing-masing diantara mereka mengeluarkan modalnya, masing-

masing melakukan tindakan meskipun tidak diketahui oleh pihak

lain;

4. Syarikat wujuh, yaitu syarikat atas tanpa pekerjaan ataupun harta,

yaitu permodalan dengan dasar kepercayaan pihak lain kepada

mereka

Dari keempat macam syarikat di atas mahzab Hanafi dan Maliki

hanya menerima syarikat ‘inan karena syarikat ini merupakan

muamalah yang harus dilaksanakan oleh setiap orang dalam rangka

mempertahankan hidupnya. Begitu pula dengan Mahzab Syafii

meskipun membagi syarikat menjadi 4 (empat) macam tetapi dalam

praktik peradilan mereka hanya mengakui syarikat ‘inan saja.

Pada KHI pada pasal 85 dan 86 diatur mengenai harta kekayaan

dalam perkawinan dimana menyatakan bahwa adanya harta bersama

tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami

atau isteri. Pada dasarnya tidak ada pencampuran antara harta suami

dan harta isteri karena perkawinan. Berdasarkan ke dua pasal ini

dapat disimpulkan bahwa Islam tidak mengenal adanya harta bersama

atau pencampuran harta suami dan isteri.

26
Walaupun dalam hukum Islam tidak mengenal adanya harta

bersama atau pencampuran harta pribadi masing-masing ke dalam

harta bersama suami isteri tetapi dianjurkan adanya saling pengertian

antara suami dan isteri dalam mengelola harta pribadi tersebut, jangan

sampai di dalam mengelola kekayaan pribadi ini dapat merusak

hubungan suami isteri yang menjurus ke perceraian.

Undang-undang perkawinan Pasal 35-37 dikemukakan bahwa

harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama. Masing-masing suami isteri terhadap harta yang diperoleh

masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah

pengusaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan

lain. Tentang harta bersama ini, suami atau isteri dapat bertindak untuk

berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu atas harta bersama itu

atas persetujuan kedua belah pihak. Dinyatakan pula bahwa suami

isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum

mengenai harta bawaannya tersebut apabila perkawinan putus karena

perceraian,maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-

masing”27

Sebenarnya apa yang disebutkan dalam pasal di atas sejalan

dengan ketentuan hukum adat yang berlaku di Indonesia. Dalam

konsepsi hukum adat tentang harta bersama yang ada di Nusantara

ini, banyak ditemukan prinsip bahwa masing-masing suami isteri

27 Abdul Manan, Ibid,hlm. 105.

27
berhak menguasai harta bendanya sendiri dan ini berlaku

sebagaimana sebelum mereka menjadi suami isteri.28

Mengenai harta bersama dalam peraturan perundang-undangan di

Indonesia, terdapat empat macam harta keluarga (gezimsgood) dalam

perkawinan yaitu29:

1. Harta yang diperoleh dari warisan, baik sebelum maupun setelah

mereka melangsungkan perkawinan. Harta ini di Jawa Tengah

disebut barang gawaan, di Betawi disebut barang usaha,di Banten

disebut barang sulur, di Aceh disebut harta tuha atau harta pusaka,

di Nganjuk disebut harta perimbit;

2. Harta yang diperoleh dengan keringat sendiri sebelum mereka

menjadi suami isteri. Harta yang demikian di Bali disebut guna

kaya, di Sumatera Selatan dibedakan harta milik suami dan harta

milik isteri sebelum kawin, kalau milik suami disebut harta

pembujang yang milik isteri disebut harta penantian.

3. Harta dihasilkan bersama oleh suami isteri selama berlangsungnya

perkawinan. Harta ini di Aceh disebut harta seuhareukat, di Bali

disebut Druwe gebru, di Jawa disebut harta gonogini, di

Minangkabau disebut harta saurang, di Madura disebut ghuma-

ghuma , dan di Sulawesi Selatan disebut barang cakkar;

28Abdul Manan, Ibid hlm,106.


29
Ibid

28
4. Harta yang didapat oleh pengantin pada waktu pernikahan

dilaksanaan, harta ini menjadi milik suami dan isteri selama

perkawinan.

Adapun defenisi mengenai harta bawaan dan harta bersama

menurut penulis adalah :

1. Harta bawaan adalah harta yang diperoleh suami dan isteri

sebelum dan setelah perkawinan berlangsung yang berasal dari

warisan, hadiah atau hibah.

2. Harta bersama adalah harta yang diperoleh suami dan isteri

selama perkawinan berlangsung diluar dari warisan, hadiah atau

hibah.

2. Dasar Hukum Harta Bersama

Pada pembahasan ini akan diuraikan berbagai aturan peraturan

perundang- undangan yang dijadikan dasar hukum yang mengatur

tentang harta bersama:

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Perkawinan.

Ketentuan yang relevan dengan pembahasan mengenai harta

bersama terdapat pada Bab VII tentang harta benda dalam

perkawinan Pasal 35 – 37 sebagai berikut:

29
Pasal 35

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta


bersama.
2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta
benda yang diperoleh masing- masing sebagai hadiah atau
warisan adalah dibawah pengusaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 36

1. Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas


persetujuan kedua belah pihak.
2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya.
Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur


menurut hukumnya masing-masing.

Berdasarkan uraian Pasal 35 ayat (1) dalam Undang-Undang

Perkawinan telah ditegaskan bahwa harta bersama yaitu harta yang

diperoleh suami isteri selama perkawinan berlangsung. Ini berarti

terbentuknya harta bersama dalam perkawinan adalah sejak tanggal

terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan putus. Harta apa saja

yang diperoleh terhitung sejak dilangsungkan akad nikah sampai saat

perkawinan putus baik karena salah satu pihak meninggal atau karena

perceraian, maka seluruh harta-harta tersebut dengan sendirinya

menurut hukum menjadi harta bersama.30

30 M.Yahya Harahap,Op.cit., hlm. 299.

30
Penegasan seperti itu antara lain dapat dilihat dalam putusan

Mahkamah Agung tanggal 9 November 1976 No.1448 K/Sip/1974.

Didalam putusan itu ditegaskan bahwa:

“Sejak berlakunya UU No.1 Tahun 1974, harta benda yang

diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sehingga pada

saat terjadinya perceraian harta bersama tersebut dibagi sama rata

antara bekas suami isteri”31

Pada Pasal 35 Ayat (2) dijelaskan bahwa kekayaan yang diperoleh

dengan cara warisan atau hadiah, tidak dapat dikategorikan sebagai

kekayaan bersama. Ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al-

quran Surah.An-Nisaa Ayat 32 sebagai berikut:

Artinya :

“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-
Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.32

31 Ibid.

32 Ahmad Rofiq. Op.cit., hlm. 203.

31
Pada Pasal 36 ayat (1) yang menyatakan mengenai harta bersama

suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak,

maksudnya bahwa dalam harta bersama terdapat dua macam hak

yaitu hak milik dan hak kegunaan. Harta suami isteri memang telah

menjadi milik bersama, namun jangan dilupakan bahwa di dalamnya

juga ada hak guna, artinya para pihak berhak menggunakan harta

tersebut dengan syarat harus mendapatkan persetujuan dari

pasangannya, maka dia harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari

pihak lainnya.33

Pada Pasal 36 ayat (2) menegaskan bahwa mengenai harta

bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya

untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Ini

artinya bahwa suami atau isteri terhadap harta bawaannya berhak

melakukan apapun terhadap hartanya. Kalau pun salah satu pihak ikut

campur itu hanya sebatas nasehat saja, bukan penentu dalam

pengelolaan harta milik pribadi.34

Pada Pasal 37 sebagaimana yang telah diuraikan di atas,

menjelaskan bahwa ketika terjadinya perceraian, harta bersama yang

diperoleh selama perkawinan dapat diatur menurut aturan hukum yang

berbeda-beda tergantung adat atau hukum agamanya masing-masing.

33
Arni Zakiah, Op.cit.hlm. 20.
34 Abdul Manan,Op.cit.,,hlm. 112.

32
Bagi ummat Islam ketentuan-ketentuan pembagian harta bersamaa

diatur dalam KHI, sedangkan bagi penganut non-muslim diatur dalam

Burgerlijk Wetboek (selanjutnya akan disingkat BW).35

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam

Undang-Undang Perkawinan dikenal adanya 3 jenis harta dalam

perkawinan yaitu harta bersama yang diperoleh selama perkawinan,

dimana dapat digunakan oleh kedua belah pihak atas persetujuan

keduanya. Harta bawaan yang diperoleh sebelum pernikahan

berlangsung, dan harta perolehan dari warisan atau hadiah yang

menjadi milik pribadi masing-masing dan dikuasai penuh oleh masing-

masing pihak yang mendapatkannya.

2. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991

Tentang Kompilasi Hukum Islam.

Ketentuan dalam peraturan ini yang berkaitan dengan harta

bersama diatur dalam Bab XIII tentang Harta Kekayaan dalam

Perkawinan pada Pasal 85-97

Pada Pasal 85 KHI disebutkan bahwa adanya harta bersama tidak

menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami isteri

Dari uraian ini, diketahui bahwa dalam perkawinan diakui adanya harta

bersama. Hal ini membuktikan bahwa KHI mengakui adanya harta

bersama, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya harta milik

35 Arni Zakiah Op.cit., hlm. 21.

33
masing-masing, menurut hemat penulis harta milik masing-masing

yang disebutkan dalam KHI adalah harta yang diperoleh sebelum

perkawinan dan hadiah yang di dapatkan oleh masing-masing pihak.

Selanjutnya dalam pasal 86 ayat 1 menyatakan pada dasarnya

tidak ada pencampuran antara harta suami dan harta isteri karena

perkawinan. Dari uraian ini kembali ditegaskan bahwa Islam tidak

mengatur adanya pencampuran harta suami isteri, walaupun pada

pasal 85 KHI mengakui adanya harta bersama, tetapi hal ini dikaitkan

dengan adat yang berlaku di Indonesia sehingga pada saat perumusan

KHI para ulama melakukan pendekatan dari jalur syarikat abdan. Lebih

lanjut ditegaskan pada ayat 2 yang menyatakan pada dasarnya harta

isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya. Demikian

pula sebaliknya, harta suami tetap menjadi milik suami dan dikuasai

penuh olehnya.

Pada Pasal 86 ayat (1) Harta bawaan masing-masing suami dan

isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hasiah atau

warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para

pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Ayat (2)

Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan

perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah,

sodaqah atau lainnya.

34
Pada pasal 88 menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan

antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian

perselisihan itu diajukan ke Pengadilan Agama. Pasal 89 menyatakan

bahwa suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri

maupun hartanya. Pasal 90 menyatakan bahwa isteri turut

bertanggung jawab menjaga harta bersama, maupun harta suami yang

ada padanya Isi pasal –pasal ini merupakan penjabaran dari firman

Allah Al-quran Surah.An-Nisaa ayat 34.:36

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
karena Allah telah melebihkan sebagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri di balik pembelakangan suaminya oleh karena Allah
telah memelihara (mereka),
Selanjutnya pengaturan mengenai bentuk kekayaan bersama

dijelaskan dalam Pasal 91 ayat (1) KHI yang menyatakan bahwa:

1. Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dan


berupa benda berwujud atau tidak berwujud.
2. Menyatakan harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda
tidak bergerak,benda bergerak, dan surat-surat berharga.

36 Ahmad Rofiq, Op.cit.,hlm 203.

35
3. Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun
kewajiban.
4. Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah
satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Penjelasan Pasal 91 tersebut menunjukkan adanya nuansa

modern, seperti surat-surat berharga (polis, bilyetgiro, saham dan lain-

lain). Dengan demikian pengertian harta kekayaan menjadi sangat

luas, tidak hanya bagi barang-barang yang secara material langsung

dapat dikomsumsi. Ini menunjukkan bahwa KHI jauh-jauh telah

mengantisipasi permasalahan perekonomian modern.37

Pada Pasal 92 menyatakan bahwa suami isteri tanpa persetujuan

pihak lain tidak diperbolehkan menjual dan memindahkan harta

bersama. Hal ini dimaksudkan bahwa harta bersama itu merupakan

harta milik bersama antara suami dan isteri jadi untuk melakukan

perbuatan hukum atas harta bersama itu kedua belah pihak harus

menyetujuinya, selain itu dimaksudkan pula agar hal-hal yang

berurusan soal rumah tangga kiranya dapat dilakukan dengan penuh

tanggung jawab.

Pada Pasal 93 menyatakan bahwa:

1. Pertanggung jawaban terhadap utang suami atau isteri dibebankan


pada hartanya masing-masing.
2. Pertanggung jawaban terhadap utang yang dilakukan untuk
kepentingan keluarga,dibebankan pada harta suami.
3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta
suami.

37 Ahmad Rofiq, Ibid, hal.205

36
4. Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan
kepada harta isteri.

Pada pasal ini terkesan adanya pemisahan harta kekayaan suami

isteri, tapi perlu diketahui bahwa jika pembiyaan tersebut ditujukan

untuk kepentingan keluarga dan harta bersama tidak mencukupi untuk

memenuhi biaya tersebut maka diambil dari harta masing-masing.

Pada Pasal 94 menyatakan bahwa:

1. Harta dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih


dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1)
dihitung pada saat berlangsung akad perkawinan yang kedua,
ketiga, atau yang keempat.
Pasal ini berkaitan dengan perkawinan poligami, dimana diatur

mengenai harta bersama antara isteri pertama, kedua, ketiga dan atau

keempat untuk mengantisipasi kemungkinan gugat waris diantara

mereka.

Pada Pasal 95 menyatakan bahwa:

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 Ayat (2) huruf c PP


No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 Ayat (2), suami atau istri dapat
meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas
harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila
salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti; judi,mabuk,boros, dan
sebagainya.
2. Selama masa sita dapat dilakukan penjualan harta bersama untuk
kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Uraian Pasal 95 tersebut dianalogikan kepada ketentuan yang

terdapat dalam hadist Hindun binti ‘Utbah isteri Abu

37
Sufyan.Perbedaannya dalam hadist tersebut , Abu Sufyan sebagai

suami yang sangat pelit dan tidak memperhatikan kebutuhan isteri dan

anak-anaknya, maka Rasulullah SAW membolehkan hindun

mengambil harta suaminya itu dengan cara yang makruf.38

Pada pasal 96 menyatakan:

1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi


hak pasangan yang hidup lebih lama.
2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang
isterinya atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas
dasar putusan Pengadilan Agama.
Pada pasal 97 menyatakan bahwa:

“Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari


harta bersama sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”
Berdasarkan kedua uraian pasal di atas diketahui bahwa setiap

putusnya perkawinan baik itu dikarenakan cerai mati atau cerai

hidup,masing-masing suami istri berhak seperdua dari harta bersama,

kecuali ada perjanjian lain yang dibuat oleh keduanya yang mana

ketentuan ini berlaku untuk kasus cerai hidup.

Hal ini sejalan dengan KHI Pasal 96 dan Undang- undang

Perkawinan Pasal 37, dimana dikemukakan bahwa harta bersama

suami isteri apabila terjadi putusnya perkawinan baik karena kematian

atau perceraian maka kepada suami isteri tersebut masing-masing

38 Ahmad Rofiq, Ibid ,hlm. 207.

38
mendapat setengah bagian dari harta yang mereka peroleh selama

perkawinan berlangsung.

Menurut Abdul Manan39,harta bersama setengah untuk suami dan

setengah untuk isteri dalam kasus-kasus tertentu dapat dilenturkan

mengikat realita dalam kehidupan rumah tangga di beberapa daerah di

Indonesia ini ada pihak suami yang tidak berpartisipasi dalam

perekonomian rumah tangga. Dalam hal ini sebaiknya para praktisi

hukum lebih berhati-hati dalam memeriksa kasus-kasus tersebut agar

memenuhi rasa keadilan, kewajaran dan kepatutan. Sesuai dengan

ketentuan pasal 229 KHI.

Dalam hal suami memang tidak bekerja, tetapi dia masih memiliki

peran besar dalam menjaga keutuhan dan kelangsungan keluarga,

seperti mengurusi urusan rumah tangga, mengantar dan menjemput

anak maupun isteri, bahkan berbelanja dan menyediakan kebutuhan

makan dan minum, ketika isteri bekerja, maka suami tersebut masih

layak untuk mendapatkan hak separuh harta bersama. Sebab

meskipun pihak suami tidak bekerja sendiri untuk memperoleh harta,

namun dengan memelihara anak-anak dan membereskan urusan

rumah tangga itu, pihak isteri telah menerima bantuan yang sangat

berharga dan sangat mempengaruhi kelancaran pekerjaannya sehari-

hari, sehingga secara tidak langsung juga mempengaruhi jumlah harta

yang diperoleh. Sebaliknya, ketika isteri bekerja, sedangkan pihak

39 Abdul Manan,.Op.cit.,hlm. 129.

39
suami tidak menjalankan peran yang semestinya sebagai partner isteri

untuk menjaga keutuhan dan kelangsungan keluarga, pembagian

harta bersama separuh bagi isteri dan separuh bagi suami tersebut

tidak sesuai dengan rasa keadilan. Dalam hal ini bagian isteri harus

lebih banyak dari pihak suami.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa

pembagian harta bersama selayaknya baru dibagi setelah secara pasti

tidak akan bersatu kembali yaitu setelah habisnya masa iddah pada

perceraian akibat talaq ba’in. Akan tetapi menurut Pasal 66 Ayat 5

dan Pasal 86 Ayat 2 Undang-Undang perkawinan, baik dalam

permohonan ceari talak yang akibat hukumnya talak raj’i maupun

dalam gugtan talaq ba’in dapat diajukan pembagian harta bersama

pada saat mengajukan permohonan cerai talak maupun saat

mengajukan gugatan cerai.

3. Ruang Lingkup Harta Bersama

Pada pembahasan ini akan diuraikan mengenai ruang lingkup dari

harta bersama. Dimana dapat diketahui harta apa saja yang dapat

dikategorikan sebagai objek harta bersama dan objek harta apa yang

tidak termasuk dalam harta bersama. Pada pasal 35 ayat 1 Undang-

Undang Perkawinan maupun yurisprudensi yang terkait telah

ditentukan mengenai harta yang dengan sendirinya menjadi harta

bersama. Akan tetapi tidak sesederhana itu penerapannya di dalam

kenyataan ini.

40
Berikut ini adalah batasan dalam ruang lingkup harta bersama

menurut Yahya Harahap40 :

a. Harta yang dibeli selama perkawinan.

Patokan pertama yang menentukan apakah suatu barang termasuk

objek harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembeliannya.

Setiap barang yang dibeli selama perkawinan maka harta tersebut

menjadi objek harta bersama suami istri tanpa mempersoalkan:

1. Apakah isteri atau suami yang membeli,

2. Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami,

3. Dimana harta tersebut diletakkan.

Seperti itulah patokan umum untuk menentukan barang yang dibeli

selama perkawinan. Hal ini dipertegas dalam putusan Mahkamah

Agung tanggal 5 Mei 1971 No. 803 K/Sip/1970. Dalam putusan ini

dijelaskan harta yang dibeli oleh suami atau isteri di tempat yang jauh

dari tempat tinggal mereka adalah termasuk harta bersama, jika

pembelian dilakukan selama perkawinan berlangsung.

Lain halnya jika uang pembeli barang berasal dari harta pribadi

suami atau isteri. Jika uang pembelian barang secara murni berasal

dari harta pribadi, maka barang yang dibeli itu tidak termasuk objek

harta bersama.

40 Yahya Harahap. Op.cit., hlm 303.

41
b. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang

dibiayai dari harta bersama.

Patokan berikut untuk menentukan suatu barang termasuk objek

harta bersama atau tidak adalah ditentukan berdasarkan asal-usul

uang biaya pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan,

meskipun barang itu dibeli atau dibangun sesudah terjadinya

perceraian. Hal ini sejalan dengan keputusan Mahkamah Agung tgl 5

Mei 1970 No.803 K/Sip/1970, yakni apa saja yang dibeli, jika uang

pembelinya berasal dari harta bersama. Penerapan yang seperti ini

harus dipengang teguh untuk menghindari manipulasi dan itikad buruk

suami atau isteri.

c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan.

Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama, yakni

semua harta yang diperoleh selama perkawinan dengan sendirinya

menjadi harta bersama. Namun disadari bahwa dalam suatu sengketa

harta bersama, tentu tidak semulus dan semudah itu. Pada umumnya,

pada setiap perkara harta bersama pihak yang digugat selalu

mengajukan bantahan terhadap harta yang digugat dengan dalih,

bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, melainkan harta milik

pribadi tergugat. Jika penggugat mengajukan dalih bahwa harta

tersebut berasal dari warisan atau hibah maka ditetapkannya objek

gugatan tersebut berdasarkan kemampuan dan keberhasilan tergugat

42
atau penggugat untuk membuktikan bahwa harta tersebut adalah harta

bersama atau tidak.

Patokan ini secara jelas tertuang dalam putusan Pengadilan Tinggi

Medan tgl 20 November 1975 yang menyatakan “Pelawan tidak dapat

membuktikan bahwa rumah dan tanah terperkara diperoleh sebelum

perkawinanya dengan suaminya dan juga malah terbukti bahwa sesuai

dengan tanggal izin bangunan, rumah tersebut dibangun semasa

perkawinan berlangsung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

rumah dan tanah terperkara adalah harta bersama antara suami dan

isteri, sekalipun tanah dan rumah terdaftar atas nama isteri.

d. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan

Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, sudah logis akan

jatuh menambah jumlah harta bersama. Tumbuhnya pun berasal dari

harta bersama, sudah semestinya hasil tersebut menjadi harta

bersama. Tetapi bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang

jatuh menjadi objek harta bersama diantara suami isteri, penghasilan

suami isteri yang tumbuh dari harta bersama pun akan jatuh menjadi

objek harta bersama. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi

mutlak dibawah penguasaan pemiliknya masing-masing akan tetapi

harta pribadi tidak lepas fungsinya dari kepentingan keluarga.

Ketentuan ini berlaku sepanjang suami istri tidak menentukan lain

dalam perjanjian perkawinan. Jika dalam perjanjian perkawinan tidak

43
diatur mengenai hasil yang timbul dari harta pribadi, maka seluruh

hasil yang diperoleh dari harta pribadi suami dan harta pribadi istri

jatuh menjadi objek harta bersama.

e. Segala penghasilan pribadi suami istri.

Menurut putusan Mahkamah Agung tgl 11 Maret 1971 No.454

K/Sip/ 1970 menyatakan “Segala penghasilan pribadi suami isteri baik

dari keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing

ataupun hasil perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai jatuh

menjadi harta bersama suami istri”. Jadi sepanjang mengenai

penghasilan pribadi suami istri tidak terjadi pemisahan maka dengan

sendirinya akan menjadi harta bersama.

Demikianlah ruang lingkup harta bersama dengan batasan-

batasannya yang telah dipertegas dengan adanya putusan Mahkamah

Agung dan Pengadilan Tinggi Medan, baik pada perkawinan

monogami maupun poligami.

C. Tinjauan Umum Mengenai Hibah.

1. Pengertian hibah

Berbagai pendapat tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat,

mengenai status harta yang diperoleh dari pemberian hibah yang

berasal dari harta warisan. Di bawah ini akan diuraikan mengenai

pengertian hibah.

44
Perkataan hibah atau memberikan sesuatu kepada orang lain

sebagai perbuatan hukum dikenal baik di dalam masyarakat hukum

adat, hukum Islam maupun di dalam BW. Hibah itu sendiri harus ada

persetujuan. Pada Pasal 1666 BW merumuskan defenisi mengenai

hibah yaitu suatu persetujuan dimana si penghibah diwaktu hidupnya

dengan cuma- cuma dan dengan tidak ditarik kembali menyerahkan

suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima

penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui hibah yang lain selain

hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup.41

Dalam KUH Perdata, hibah disebut schenking yang berarti suatu

persetujuan dengan si pemberi hibah di waktu hidupnya dengan cuma-

cuma dan dengan tidak ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda

guna keperluan si penerima hibah untuk digunakan sebagai layaknya

milik pribadi.42

Di dalam Al-Quran terdapat firman Allah yang artinya:

“Zakaria berkata: Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang


anak yang baik.Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa”

Kata hibah diambil dari kata-kata “Hubuubur riih” artinya

“Muruuruhaa” (perjalanan angin). Kemudian dipakailah kata hibah

dengan maksud memberikan kepada orang lain, baik berupa harta

ataupun bukan. Di dalam syara’ hibah berarti akad yang pokok

41 Soedharyo Soemin, 2001, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta,
Cet. 2, hlm. 89.
42 Abdul Manan,Op.cit., hlm. 131

45
persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain

diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang

memberiikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan, maka

hal itu disebut I’aarah (pinjaman).43

Apabila pemberian itu disertai dengan imbalan,44 maka itu adalah

pejualan, dan padanya berlaku jual beli. Yakni bahwa hibah itu dimiliki

semata-mata hanya setelah terjadi aqad, sesudah itu tidak

dilaksanakan tasharruf penghibah kecuali atas izin dari orang yang

diberi. Di dalam hibah bisa terjadi khiyar45 dan syuf’ah46 dan

disyaratkan agar imbalannya itu tidak diketahui, bila tidak maka hibah

itu batal.

Adapun hibah dengan makna umum yaitu47:

1. Ibraa: yaitu menghibahkan hutang kepada orang yang berhutang.

2. Sedekah: yaitu menghibahkan sesuatu dengan harapan pahala di

akhirat.

3. Hadiah: yaitu yang menuntut orang yang diberi hibah untuk

memberi imbalan.

43 Sayyid Sabiq, 2000, Fikih Sunnah 14, PT.Alma’arif,Bandung, cet. 20, hlm. 174.
44 Ibid, hlm 175, Abu Hanifah berpendapat bahwa hibah dengan syarat imbalan itu,
pada mulanya adalah imbalan, tetapi akhirnya menjadi jual-beli. Dengan demikian,
sebelum diterima imbalan, hibah macam ini tidak dimiliki kecuali setelah dipegang di
tangan, dan tidak diperkenankan bagi orang yang dieberi untuk mentashrarufkannya
sebelum dipegang.Sedang pemberi hibah boleh mentasharrufkannya.
45
Artinya boleh memeilih antara dua yaitu meneruskan akad jual beli atau
mengurungkannya
46
Artinya perkongsian
47
Sayyid Sabiq, Ibid, hlm. 175.

46
Ahmad Rofiq mengatakan bahwa kata hibah adalah bentuk masdar

dari kata wahaba digunakan dalam Al-Quran beserta kata derivatnya

sebanyak 25 kali dalam 13 surat. Wahaba artinya memberi, jika

subyeknya Allah berarti memberii karunia, atau menganugrahi seperti

dalam firman Allah Al-quran Surah Al-Imran Ayat 8 sebagai berikut:

Artinya: Mereka berdo'a, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan


hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk
kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau;
karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)"

Dalam pengertian istilah, hibah adalah pemilikan sesuatu benda

melalui transaksi (aqad) tanpa mengharapkan imbalan yang telah

diketahui dengan jelas ketika pemberi masih hidup. Dalam rumusan

kompilasi hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan

tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup

untuk dimiliki (Pasal 171 Huruf g KHI).

Lebih lanjut Ahmad Rofiq menarik pemahaman bahwa hibah dapat

dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kecakapan dalam melakukan

perbuatan hukum tanpa adanya paksaan dari pihak lain. Hibah juga

dapat dilakukan oleh orang tua kepada anaknya.

Menurut Eman Suparman48 ,mengenai prespektif pemberian hibah


menyatakan bahwa:

“Hukum Islam memperbolehkan seseorang memberikan atau


menghadiahkan sebagian atau seluruh harta kekayaannya ketika masih

48Nanda Dwi Nirmalasari, 2010, Pemberian Hibah yang Melebihi Bagian Sebagai
Ahli Waris, Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar , hlm. 14.

47
hidup kepada orang lain yang disebut intervivos, pemberian semasa
hidup tersebut dinamakan hibah. Di dalam hukum Islam jumlah harta
seseorang yang dihibahkan itu terbatas”.

Menurut Abdul Manan, hibah adalah pemberian suatu benda

secara sukarela tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang

masih hidup untuk dimiliki.Hibah harus dilakukan di hadapan 2 (dua)

orang saksi dan harta yang dihibahkan haruslah barang-barang milik

pribadi (hak milik) orang yang memberi hibah.

Sedangkan menurut Hasby Ash Shiddieqy49 adalah memberikan

harta secara sukarela dimasa masih hidup kepada seseorang, sah

dengan ada ijab, qabul dan qabdl (menerima barang). Perlu terdapat

ketiga-tiga perkara ini untuk menshahkan hibah.

Pendapat Abu Haniefah dan Ahmad50 menyatakan bahwa Malik

berkata: tidak diperlukan untuk mensahkan hibah menerima barang.

Hibah itu telah sah dan telah lazim dengan hasil ijab dan qabul. Qabadl

itu hanyalah syarat nufudznya dan sempurnanya. Apabila si Wahab

mentakhirkan qabadl, padahal yang menerima hibah terus memintanya,

maka tidak batallah hibah itu dan dia dapat menuntut kepada ahli

waris.Ibnu Abie Zaid Al-Maliky51 mengatakan tidak sempurna hibah,

sedekah atau wakaf melainkan dengan diterimannya oleh yang

49 Hasbi Ash Ahiddieqy, 1978, Hukum-Hukum Fiqih Islam Bulan Bintang, Jakarta,
Cet. 5, hlm. 502.
50 Ibid, hlm 502.
51 Ibid, hlm 503

48
menerima. Apabila mati sebelum menerima, maka akan menjadi barang

pusaka.

Sedangkan menurut penulis hibah adalah suatu akad dimana

seseorang memberiikan harta bendanya secara suka rela ketika dia

masih hidup kepada orang lain tanpa adanya paksaan.

2. Dasar Hukum Hibah

2.1. Dasar hukum hibah yang diatur dalam Al-quran dan


hadist

Dalam Al-Quran, penggunaan kata hibah digunakan dalam

konteks pemberian anugerah Allah kepada utusan-utusan-Nya,

doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba-hamba-Nya terutama para

nabi dan menjelaskan sifat Allah Yang Maha Pemberi

Karunia.Untuk itu mencari dasar hukum tentang hibah dapat dilihat

pada firman Allah dalam Al-quran Surah Albaqarah Ayat 262:

Artinya: “Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan


Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya
itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di
sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
tidak (pula) mereka bersedih hati”

49
Selain itu, firman Allah dalam Al-Quran Surah Al-Munafiqun Ayat 10

Artinya:”Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami


berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah
seorang di antara kamu; lalu ia berkata: "Ya Rabb-ku, mengapa
Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang
dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku
termasuk orang-orang yang saleh?"
Selain itu Allah telah mensyariatkan hibah, karena hibah itu

menjinakkan hati dan meneguhkan kecintaan diantara manusia

seperti hadist riwayat Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah SAW

bersabda:” Saling memberi hadiahlah maka kamu akan saling

mencintai”.

Rasululah SAW, telah menganjurkan untuk menerima hadiah,

sekalipun hadiah itu adalah sesuatu yang kurang berharga.Oleh

karena itu sebagian ulama berpendapat makruh hukumnya

menolak hadiah apabila tidak ada halangan yang bersifat

syara.seperti hadist riwayat berikut ini:

“ Dari Anas dia berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW,


seandainya aku diberi hadiah sepotong kaki binatang, tentu aku

50
akan menerimanya.Dan seandainya aku diundang untuk makan
sepotong kaki, tentu aku akan mengabulkan undangan tersebut”.
Berdasarkan beberapa firman Allah SWT dan hadist yang

menjadi dasar hukum dari hibah di atas, dapat dilihat bahwa Allah

SWT dan nabi menyarankan untuk saling memberi (hibah) kepada

sesama. Oleh karena itu para ulama berpendapat makruh

hukumnya menolak hadiah pemberian. Apabila didasarkan pada

hakikat manusia sebagai mahluk sosial dimana naluri untuk berbuat

kebaikan, saling membantu, memberi, menerima, dan sudah

menjadi kebutuhan. Dengan demikian hibah sangat diajurkan.

2.2. Dasar hukum hibah yang diatur dalam Kompilasi Hukum

Islam

Dalam KHI pasal 171 huruf g, hibah adalah pemberian suatu

benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada

orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Pengertian ini sama

dengan defenisi yang banyak disebut dalam kitab-kitab fiqih

tradisional52.

Ketentuan hibah dalam KHI telah diterima baik oleh para alim

ulama Indonesia dalam loka karya yang dilaksanakan di Hotel

Kartika Chandra Jakarta pada tanggal 2 – 5 februari 1988.

Kemudian KHI diinstruksikan oleh Presiden Republik Indonesia

dengan Inpres No 1 Tahun 1991 kepada Menteri Agama RI untuk

52 Abdul Manan, Op.cit,, hlm. 133.

51
disebarluaskan sengketa perkawinan,hibah dan shadaqah bagi

ummat Islam supaya berpedoman kepada Kompilasi Hukum Islam

Pada KHI hibah diatur dalam Bab VI mengenai Hibah pada

Pasal 210 – Pasal 214 sebagai berikut:

Pasal 210

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun


berakal sehat tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan
sebanyak-banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau
lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari
penghibah.

Pasal 211

Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan


sebagai warisan.

Pasal 212

Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada
anaknya.

Pasal 213

Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan


sakit yang dekat dengan kematian, maka harus mendapat
persetujuan dari ahli warisnya.

Pasal 214

Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat


membuat surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik
Indonesia setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan
ketentuan pasal-pasal ini.

52
3. Rukun dan Syarat Sahnya Hibah

Syarat sahnya hibah menurut Abdoerraoef 53 adalah apabila sudah

ada wilsverklaring dari pemberi hibah untuk memberikan hibahnya,

dan dari penerima hibah untuk menerimanya, serta benda hibah itu

telah diserahkan oleh pemberi hibah dan diterima oleh penerima hibah.

Menurut Ibnu Rusdy54 dalam kitabnya Bidayatul Mujtahid

sebagaimana yang dikutip oleh Jaziri mengemukakan bahwa rukun

hibah ada 3 yang essensial yaitu: (1) orang yang menghibahkan atau

al-wahib; (2) orang yang menerima hibah atau al-mauhublah; (3)

pemberiannya atau perbuatan hibah atau disebut juga dengan al-

hibah. Sedangkan Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa disamping itu,

hibah baru dianggap sah haruslah melalui ijab qabul, misalnnya

penghibah berkata; aku hibahkan kepadamu, aku hadiahkan

kepadamu,aku berika kepadamu, atau yang serupa itu, sedangkan si

penerima hibah berkata, ya aku terima.

Menurut Sayyid Sabiq55 Hibah itu sah melalui ijab dan qabul,

bagaimanapun bentuk ijab qabul yang ditunujukkan oleh pemberian

harta tanpa imbalan, syaratnya hibah itu menghendaki adanya

penghibah,orang yang diberi hibah dan sesuatu yang dihibahkan.

53 Abdoerraoef, 1970, Al-Quran dan Ilmu Hukum,Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 129.
54 Abdul Manan,Op.cit., hlm. 134.
55 Sayyid Sabiq,op,cit,hlm. 178.

53
Lebih jauh beliau juga memberikan syarat-syarat bagi penghibah, yang

diberi hibah, dan barang yang dihibahkan.

Menurut Sayyid Sabiq56 syarat-syarat penghibah:

1. Penghibah memiliki apa yang dihibahkan.

2. Penghibah bukan orang yang dibatasi haknya karena suatu alasan.

3. Penghibah itu orang dewasa,sebab anak-anak kurang

kemapuannya.

4. Penghibah itu tidak dipaksa sebab,hibah itu aqad yang

mempersyaratkan keridhaan dalam keabsahannya.

Adapun syarat-syarat bagi orang yang diberi hibah adalah benar-

benar ada waktu diberi hibah. Bila tidak benar-benar ada atau

diperkirakan adanya, misalnya dalam bentuk janin, maka hibah tidak

sah. Apabila orang yang diberi hibah itu ada diwaktu pemberian hibah,

akan tetapi dia masih kecil atau gila, maka hibah itu diambil oleh

walinya, pemeliharanya atau orang yang mendidiknya, sekalipun orang

asing.

Syarat-syarat bagi yang dihibahkan57:

1. Benar – benar ada.

2. Harta yang bernilai.

56 Ibid, hlm. 179


57
Ibid.

54
3. Dapat dimiliki zatnya, yakni yang dihibahkan itu adalah apa yang

bisa dimiliki, diterima peredarannya, dan pemilikannya dapat

berpindah tangan. Maka tidak sah mengnhibahkan air di

sungai,ikan di laut, burung di udara, masjid-masji, atau pesantren.

4. Tidak berhubungan denngan tempat milik penghibah, seperti

menghibahkan tanaman, pohon atau bangunan tanpa tanahnya.

5. Dikhususkan, yakni yang dihibahkan itu bukan untuk umum,sebab

pemegangan dengan tangan itu tidak sah kecuali bila ditentukan,

seperti halnya jaminan.

Selain itu, Sayyid Sabiq dan Chairuman Pasaribu58 menjelaskan

bahwa apabila seseorang menghibahkan hartanya, sedangkan orang

yang memberi hibah itu dalam keadaan sakit yang menyebabkan

kematiannya, maka hukum hibah itu sama dengan hukum wasiat .

Oleh karena itu, apabila ada orang lain atau salah satu ahli waris

mengaku bahwa ia telah menerima hibah maka hibah hanya dianggap

tidak sah, sebab dikhawatirkan si pemberi hibah sewaktu

menghibahkan hartanya tidak didasarkan sukarela atau setidaknya ia

tidak dapat lagi membedakan mana yang baik, mana yang buruk.

4. Macam – macam hibah

Dalam pelaksanaannya, hibah dapat dibagi menurut waktu dan

besarnya suatu pemberian hibah yakni:

58 Sayyid Sabiq, Op.cit., hlm. 134.

55
a. Hibah semasa hidup

Menurut Sayyid Sabiq59 hibah semasa hidup (‘umraa)

merupakan hibah yang dilakukan oleh seseorang dengan

menghibahkan sesuatu kepada orang lain semasa ia hidup, bila

yang menerima hibah meninggal dunia lebih dahulu maka

barang yang dihibahkan itu kembali kepada orang yang

memberi hibah.

Sedangkan Abdul Manan60 membaginya menjadi:

1. Hibah muajjalah atau hibah bertempo.

2. Hibah ‘ariyah atau hibah pinjaman.

3. Hibah minha atau hibah pmberian.

4. Hibah umrah atau hibah yang diisyaratkan dilaksanakan selama

masih hidup.

b. Hibah melalui wasiat.

Apabila seseorang menderita sakit yang menyebabkan kematian,

sedang dia menghibahkan harta bendanya kepada orang lain, maka

hukumnya hibah itu seperti wasiat.

59 Sayyid Sabiq, Ibid, hlm. 142.


60 Sayyid Sabiq, Ibid, hlm. 141.

56
Menurut Muh. Idris Ramulyo61 hibah wasiat atau leegat adalah

suatu penepatan wasiat yangn khusus. Dimana si mewaris kepada

seseorang atau lebih memberikan beberapa barang tertentu dari harta

peninggalan atau memberikan dari jenis tertentu dari harta

peninggalan atau memberikan barang-barang jenis tertentu.

Wasiat juga dapat berisikan legaat62 yaitu suatu pemberian berupa:

1) Satu atau beberapa benda tertentu;

2) Seluruh benda dari satu macam atau jenis, misalnya benda

bergerak;

3) Hak vruchtgebruik atas sebagian atau seluruh harta warisan;

4) Sesuatu hak lain terhadap bundel misalnya hak untuk member

satu atau beberapa benda tertentu dari bundel.

5. Hibah jika dihubungkan dengan warisan

Sebagaimana telah dijelaskan dari berbagai literatur bahwa hibah

dari orang tua kepada anak-anaknya dapat diperhitungkan sebagai

warisan. Dalam hal melakukan hibah kepada anak-anak hendaknya

dimusyawarahkan terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk mencegah

terjadinya perpecahan dalam keluarga.

Memang pada prinsipnya, pelaksanaan hibah orang tua kepada

anak sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW, hendaknya bagian

61 Nanda Dwi Nirmalasari, op.cit, hlm. 23.


62 Ibid.

57
mereka disamakan. Kalaupun dibedakan, hanya bisa dilakukan jika

mereka setuju. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pemberian

hibah sebagai warisan.63

Terkadang hibah diberikan kepada ahli waris dengan diikuti

perjanjian yang biasa disebut takharruj atau pengunduran diri. Fatur

Rachman mendefenisikan “Takharruj adalah suatu perjanjian yang

diadakan oleh para ahli waris untuk mengundurkan (mengeluarkan)

salah seorang ahli waris dalam menerima bagian pusaka dengan

memberikan suatu prestasi, baik prestasi tersebut berasal dari harta

milik orang yang pada mengundurkannya, maupun berasal dari harta

peninggalan yang bakal dibagi-bagikan”.64

Berdasarkan uraian diatas sejalan dengan Gurisiani.65 yang

berpendapat bahwa motivasi umum penyebab terjadinya hibah adalah

sebagai protes terhadap pembagian harta waris yang dilakukan

menurut hukum adat dan hukum islam. Pada masyarakat yang

menggunakan hukum adat dengan sistem kewarisan mayorat maka

semua harta waris hanya diwariskan kepada satu orang saja yaitu

anak tertua. Begitu juga jika orang menggunakan hukum waris

menurut Hukum Islam maka pembagian harta warisan yang akan

diperoleh masing-masing ahli waris menjadi sedikit, yang menurut

63 Ahmad Rofiq, Op.cit., hlm. 473.


64 Ibid, hlm 474
65 Gusriani,“Hibah Terhadap Anak Angkat dan Permasalahannya”, Jurnal Mimbar

Hukum, Al Hikmah dan DITBINPERA No 59 Thn XIV, Januari-februari 2003, hlm 103.

58
pandangan pemilik harta kekayaan tersebut seharusnya tidak demikian

karena kasih sayang terhadap ahli waris tertentu lebih besar

disbanding ahli-ahli waris lainnya.

6. Penghibahan semua harta

Terhadap penghibahan semua harta, sebagian dari para ahli

hukum berpendapat bahwa boleh menghibahkan semua harta

bendanya, akan tetapi sebagian pula yang menentang penghibahan

atas semua harta. Salah satu yang menentangnya adalah Muhammad

ibnu Hasan dan pentaqhiq Mahzab Hanafi yang mengemukakan

bahwa tidak sah menghibahkan seluruh harta meskipun dalam

kebaikan.

Sejalan dengan uraian di atas, Ahmad Ishaq, Tsauri dan beberapa

pakar Hukum Islam lainnya mengemukakan bahwa hibah batal apabila

melebihkan hartanya satu dengan yang lain tidak diperkenankan

menghibahkan hartanya hanya kepada salah seorang anaknya.

Haruslah adil terhadap setiap anak. Jika terlanjur dilakukan terpaksa

harus ditarik kembali.66

7. Besarnya Nilai yang Boleh dihibahkan

Dalam pembagian hibah terdapat ketentuan mengenai besarnya

harta yang dihibahkan dan siapa saja yang akan mendapatkan hibah.

66 Nanda Dwi Nirmalasari, op.cit hlm 27.

59
Penghibah atau pewaris dapat menghibahkan hartanya kepada siapa

saja, baik ahli waris maupun kepada orang lain.

Riwayat Imran ibn Husain menjelaskan tindakan Nabi SAW bahwa

ketika beliau ingin memerdekakan enam orang hamba dalam saat

menjelang kematian , maka Rasulullah SAW memerintahkan (agar

dimerdekakan 1/3nya saja), maka beliau memerdekakan 1/3nya saja

dan menetapkan sebagai hamba yang lainnya.

Dalam KHI dijelaskan pada Pasal 210 Ayat (1) berbunyi sebagai

berikut:

Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal


sehat dan tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-
banyaknya1/3 dari harta bendanya kepada orang lain atau
lembaga dihadapan 2 orang saksi untuk dimiliki.

Menurut Effendi Perangin67 hibah tidak boleh melebihi ketentuan

yang telah diatur yakni 1/3 dan tidak boleh merugikan legitimaris.

Apabila dalam pembagiannya pemberian tersebut merugikan ahli waris

maka dapat diajukan tuntutan pemotongan (inkorting) dari legitimaris

atau yang telah menerima hibah atau legaat, apabila bagian mutlak itu

tersinggung akibat pemberian hibah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa hibah yang diberikan kepada

seseorang tidak boleh melebihi 1/3 dari harta orang yang

menghibahkan.

67 Nanda Dwi Nirmalasari, op.cit hlm 28

60
8. Penarikan Kembali Hibah yang telah diberikan

Berdasarkan uraian mengenai defenisi hibah, kita ketahui bahwa

hibah adalah pemberian cuma-cuma seseorang kepada orang lain,

sehingga bisa saja si penghibah menarik kembali apa yang telah ia

hibahkan. Akan tetapi dalam al-quran perbuatan menarik kembali

hibah yang telah dilakukan itu haram, kecuali hibah orang tua kepada

anaknya.

Menurut Hadist Ibnu Abbas68, Rasulullah SAW, bersabda bahwa

orang yang meminta kembali hibahnya adalah laksana anjing yang

muntah kemudian ia kembali memakan muntahannya itu, ini

diriwayatkan oleh Mutafaq’alaih.

Selain itu Jumhur ulama berpendapat bahwa rujuk di dalam hibah

itu haram, sekalipun hibah itu terjadi diantara saudara atau suami-

isteri, kecuali bila hibah dari orang tua kepada anaknya, maka rujuk

diperbolehkan.

Dalam hukum perdata, hibah yang telah diberikan oleh seseorang

kepada orang lain tidak dapat ditarik kembali dan dihapuskan, kecuali

sebagaimana yang tercantum dalam pasal 1688 KUH Perdata, yaitu :

1) Karena orang yang menerima hibah tidak memenuhi syarat-syarat

yang telah ditentukan oleh orang yang menerima hibah, syarat ini

68 Abdul Manan, Op.cit.,hlm 139.

61
biasanya berbentuk pembebanan kepada orang yang menerima

hibah;

2) Orang yang menerima hibah telah bersalah melakukan atau

membantu melakukan suatu kewajiban yang bertujuan

menghilangkan jiwa orang yang member hibah, atau suatu

kejahatan yang lain yang bertujuan menghilangkan dan

mencelakakan orang yang memberi hibah.

3) Jika orang yang menerima hibah menolak untuk memberikan

tunjangan nafkah terhadap diri orang yang member hibah karena ia

jatuh miskin.

Sejalan dengan KUH Perdata, KHI juga menyatakan larangan

menarik kembali hibah yang telah diberikan hal ini tertuang dalam

Pasal 212 yang menyatakan bahwa hibah tidak dapat ditarik kembali,

kecuali hibah orang tua kepada anaknya.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa hibah tidak

dapat ditarik kecuali hibah orang tua kepada anak dan beberapa

alasan lain yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Penghibah yang tidak diperbolehkan menarik kembali hibah yang telah

diberikan adalah penghibah yang semata-mata memberikan tanpa

meminta imbalan dan penghibah yang diperbolehkan menarik kembali

hibah yang telah diberikan adalah penghibah yang memberikan agar

pemberiannya itu diberikan imbalan dan dibalas, sedang orang yang

diberi hibah tidak membalasnya.

62
BAB III

KASUS POSISI

A. Posisi Para Pihak

Posisi para pihak dalam kasus ini yaitu:

1. MB binti M.B, Umur 36 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Urusan

Rumahtangga, alamat Jln. Borong Raya Komp. Delta Mas I Blok B

No. 12, Rt 5, Rw 4, Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala, Kota

Makassar, selanjutnya disebut sebagai penggugat dan telah

memberikan kuasanya kepada;

M. Syahrir Nur,M.Ag., Advokat, berkantor di kantor “M.Syahrir

Nur,M.Ag., & Rekan” yang beralamat di Jln. Monginsidi Baru No 21

Makassar, selanjutnya disebut sebagai kuasa penggugat.

2. Dr. YAB,SP,M. bin A.B, umur 41 tahun, Agama Islam, Pekerjaan

Dokter Mata (swasta), alamat Jln. Toddopuli Raya No. 9 G (Apotik

Amanah Inayah), Kelurahan Panakkukang, Kecamatan Paroppo,

Kota Makassar, selanjutnya disebut sebagai tergugat dan telah

memberikan kuasanya kepada;

Budiman Mubar, S.H., Advokat, berkantor di Kantor “Budiman

Mubar dan Rekan” yang beralamat di Jln. Gunung Bawakaraeng

No.120 Makassar, selanjutnya disebut kuasa tergugat.

63
B. Uraian Fakta

Berdasarkan gugatan yang diajukan melalui kuasa hukumnya kepada

ketua Pengadilan Agama Makassar bertanggal 20 April 2009,

sebagaimana telah terdaftar dalam register perkara

No.436/Pdt.g/2009/PA.Mks, setelah mendengar keterangan dari pihak,

saksi, berkas perkara yang bersangkutan, bukti-bukti tertulis yang

diperoleh selama pemeriksaan, ditemukan fakta-fakta yang berkaitan

dengan perkara tersebut:

Tentang Putusan dalam perkara gugatan Nafkah Anak dan Harta

bersama ini didapatkan fakta-fakta sebagai berikut:

1. Penggugat dan tergugat telah menikah di Makassar pada tanggal 3

Agustus 1991, berdasarkan Kutipan Akta Nikah dari KUA

Kecamatan Ketabunan Nomor 57/10/VIII/Rw/01/1991 tanggal 3

Agustus 1991;

2. Selama dalam ikatan perkawinan antara penggugat dan tergugat

telah dikaruniai 4 orang anak dengan inisial yaitu;

2.1. MB yang lahir tahun 1992

2.2. HB yang lahir tahun 1994

2.3. AB yang lahir tahun 1996

2.4. MH Alias S yang lahir tahun 2009

3. Pada tanggal 25 Februari 2008 M, bertepatan dengan tanggal 18

Safar 1429 H, hubungan perkawinan penggugat dan tergugat telah

64
putus karena perceraian sesuai Akta Cerai Nomor

118/AC/2008/PA/Mks. Berdasarkan keputusan Pengadilan Agama

Makassar Nomor 554/Pdt.G/2007/PA.Mks. Pada tanggal 19 Feruari

2008;

4. Setelah penggugat dan tergugat bercerai keempat anak penggugat

dan tergugat diasuh oleh penggugat;

5. Setelah penggugat dan tergugat terpisah, anak-anak penggugat

dan tergugat menjadi korban, dimana kebutuhan nafkah (biaya

sehari-hari), dan biaya pendidikan semakin hari semakin

berkurang diterima oleh anak-anak penggugat dan tergugat,

bahkan tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Padahal

sebelum penggugat dan tergugat berpisah, tergugat telah berjanji di

hadapan anak-anak bahwa tergugat akan bertanggung jawab dan

memenuhi segala biaya dan kebutuhan anak-anak mereka;

6. Berdasarkan pasal 41 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 jo. Pasal

105 dan Pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam, tergugat

sebagai ayah atau bapak berkewajiban memberi nafkah atau biaya

pemeliharaan anak sampai anak tersebut dewasa atau mampu

berdiri sendiri;

7. Alasan tersebut dan kekhawatiran bahwa anak-anak mereka akan

diterlantarkan oleh tergugat, maka penggugat menuntut

ditetapkannya nafkah, biaya pemeliharaan dan biaya pendidikan

anak sepertiga dari penghasilan tergugat sampai anak-anak

65
tersebut dewasa atau telah mampu berdiri sendiri dan diterima

langsung oleh anak tertua penggugat dan tergugat yaitu

Mutmainnah Bachmid melalui transfer rekening nomor 0150330339

An. MB pada BNI Mattoanging Makassar;

8. Selama dalam ikatan perkawinan, penggugat dan tergugat telah

memiliki usaha bersama dan harta bersama sebagai berikut;

8.1. Sebuah rumah bertingkat yang terletak di Jln. Borong Raya

Komp. Delta Mas I Blok B No 12 Rt 5/ Rw 4, Kelurahan

Antang, Kecamatan Manggala, Kota Makassar dengan

batas-batas sebagai berikut:

- Sebelah utara : Tanah Kosong

- Sebelah Barat : Rumah atas nama Mega

- Sebelah Selatan : Jalan Kompleks

- Sebelah Timur : Rumah atas nama R

8.2. 1 (satu) unit kendaraan motor merek Honda Legenda Nomor

Polisi DD 2802 PG. dimana seluruh surat-surat kendaraan

tersebut dikuasai oleh tergugat.

8.3. 1 (satu) unit kendaraan mobil xenia warna hitam Nomor

Polisi DD 222 YB dimana seluruh surat-surat kendaraan

tersebut dikuasai tergugat.

8.4. Penghasilan dari usaha bersama PT. Berkah Inayah Medika

yang bergerak dalam usahan obat-obatan dan farmasi yang

keuntungan bersih ditaksir sekitar Rp. 5.000.000,- (lima juta

66
rupiah) per 1 (satu) bulan. Dan sejak penggugat dan

tergugat bercerai pada bulan februari 2008, tergugat tidak

pernah lagi membagi penghasilan dan usaha tersebut

kepada penggugat, kerena tergugat pengambil alih

pengusaan dan pengelolaan secara sepihak;

8.5. Utang sebesar Rp.108.000.000,- (seratus delapan juta

rupiah) pada MS yang digunakan untuk biaya renovasi

rumah yang terletak Jln. Borong Raya Komp. Delta Mas I

Blok B No. 12, Rt 5, Rw 4, Kelurahan Antang, Kecamatan

Manggala, Kota Makassar;

8.6. Utang sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah)

pada saudara NB yang digunakan untuk pembangunan

rumah di Jln. Borong Raya Komp. Delta Mas I Blok B No.

12, Rt 5, Rw 4, Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala,

Kota Makassar;

8.7. Tanah milik yang terletak didusun Sailong Sungguminasa,

Kecamatan Patalassang, Kabupaten Gowa seluas kurang

lebih 600 M2, No SPTT (NOP) 73.06.150.004.005.0032.0

dengan batas-batas

- Sebelah Utara : Tanah Kosong

- Sebelah Barat : Rumah

- Sebelah Selatan : Jalanan

- Sebelah Timur : Rumah

67
9. Menyangkut harta bersama telah diatur dalam KHI antara lain;

Pasal 93 ayat 2 dinyatakan bahwa: “ Pertanggunngjawaban hutang

yang dilakukan untuk kepentingan keluaga, dibebankan pada harta

bersama”;

Pasal 97 dinyatakn bahwa “Janda atau duda cerai hidup masing-

masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang para pihak

tidak menentukan lain dalam perjajian perkawinan”

10. Oleh karena perkawinan penggugat dan tergugat telah putus

karena perceraian, maka menurut hukum in casu Kompilasi hukum

Islam (KHI) penggugat dan tergugat masing-masing berhak 50%

atas harta gono-gini pada poin 8 diatas;

11. Oleh karena tergugat telah mengambil alih secara sepihak

pengusaan dari usaha bersama PT Berkah inayah Medika, maka

berlasan hukum jika penggugat menuntut setengah hasil yang

diperoleh tergugat. Karena tergugat secara sepihak mengambil alih

pengusaan dan pengelolaan dan mempergunakan harta bersama

untuk kepentingan sendiri tanpa pernah dibagi kepada penggugat;

12. Penggugat telah beberapa kali menyampaikan kepada tergugat

untuk membagi harta bersama tersebut secara kekeluargaan,

demikian pula membayar utang tersebut karena utang tersebut

adalah utang keluarga. Tetapi tergugat dengan berbagai alasan

menolak, tidak bersedia membagi dan menyerahkannya kepada

penggugat. Oleh karena sampai sekarang harta-harta penggugat

68
dan tergugat belum terbagi, demikian pula dengan utang tersebut

belum dibayar, maka penggugat menempuh upaya hukum untuk

mengajukan gugatan ini;

13. Penggugat khawatir tergugat mengalihkan dan membebani

kewajiban atas harta-harta tersebut di atas. Dan untuk menjamin

gugatan ini agar tidak sia-sia, maka berdasar dan beralasan hukum

apabila harta tersebut diletakkan sita atasnya;

14. Harta-harta tersebut pada poin di atas di dasarkan atas bukti-bukti

otentik. Karenanya sangat berdasar dan beralasan hukum jika

putusan perkara a quo dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada

upaya hukum verzet, banding, maupun kasasi.

15. Berdasarkan hal-hal di atas, penggugat mohon kepada ketua

Pengadilan Agama Kelas 1 A Makassar cq Ketua/Majelis hakim

yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagai

berikut;

- Mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya;

- Menyatakan sita jaminan yang telah diletakkan sah dan berharga;

- Menyatakan anak yang bernama MB, HB, AB dan MB alias S

berada dalam asuhan penggugat selaku ibu kandungnya;

- Menghukum tergugat untuk memberikan nafkah dan biaya

pemeliharaan serta biaya pendidikan terhadap keempat orang

puterinya yakni MB, HB, AB dan MB alias S sebesar sepertiga

dari penghasilan tergugat sampai anak-anak tersebut dewasa dan

69
atau telah mampu hidup mandiri dan diterima langsung oleh anak

tertua penggugat dan tergugat melalui transfer rek nomor

0150330339 An. MB pada bank BNI Mattoangin Makassar;

- Menyatakan bahwa rumah bertingkat yang terletak di Jln. Borong

Raya Komp. Delta Mas I Blok B No. 12, Rt 5, Rw 4, Kelurahan

Antang, Kecamatan Manggala, Kota Makassar adalah bagian dari

harta bersama;

- Menyatakan bahwa satu unit kendaraan mobil xenia warna hitam

Nomor Polisi DD 222 YB adalah bagian dari harta bersama;

- Menyatakan bahwa 1 (satu) unit kendaraan motor merek Honda

Legenda Nomor Polisi DD 2802 PG adalah bagian dari harta

bersama;

- Menyatakan bahwa penggugat berhak atas ½ (setengah) dari

penghasilan dari usaha bersama PT Berkah inayah Medika mulai

sejak februari 2008 sampai putusan ini berkekuatan tetap;

- Menyatakan bahwa utang sebesar Rp.108.000.000,- (seratus

delapan juta rupiah) pada Maryam Subetan adalah utang

bersama (utang keluarga);

- Menetapkan dan menyatakan bahwa utang sebesar Rp.

15.000.000,- (lima belas juta rupiah) pada saudara NB adalah

utang bersama (utang keluarga);

- Menetapkan dan menyatakan bahwa dengan telah putusnya

hubungan perkawinan antara penggugat dan tergugat karena

70
perceraian, maka harta bersama penggugat dan tergugat harus

dibagi bersama baik secara natura ataupun melalui proses lelang

eksekusi kemudian hasil penjualannya dibagi bersama serta

menyerahkan bagian yang merupakan hak penggugat.

- Menghukum tergugat atau siapa saja yang menguasai atau

memperoleh hak daripadanya untuk menyerahkan kepada

penggugat sebesar 50% dari harta bersama tersebut sebagai

bagian dari hak penggugat dalam keadaan baik tanpa beban

kewajiban apapun atasnya selambat-lambatnya 1 (satu) bulan

sejak putusan aquo mempunyai kekuatan tetap.

Pada hari sidang yang telah ditetapkan oleh ketua majelis kuasa,

pemohon beserta termohon telah hadir di persidangan.

Ketua majelis telah memerintahkan pemohon melalui kuasa hukumnya

agar hadir di persidangan dalam rangka mendamaikan permasalahan

yang dialami oleh keduanya, akan tetapi keduanya tidak hadir dan

mewakilkannya kepada kuasa hukum masing-masing. Lalu ketua majelis

berusaha mendamaikan kedua belah pihak melalui kuasanya masing-

masing agar mengatur nafkah anak dan harta bersama secara

kekeluargaan namun tidak berhasil, maka untuk memaksimalkan upaya

perdamaian tersebut kedua belah pihak melalui kuasa hukumnya masing-

masing menunjuk mediator untuk mediasi yaitu Dra. Hj. Mardawiah

Haking, S.H.,M.H. berdasarkan penetapan ketua majelis tentang

penunjukkan mediator Nomor 436/Pdt.G/2009/PA Mks. Tanggal 5 Mei.

71
Majelis hakim menunda pemeriksaan pada hari itu dan kembali

melanjutkannya pada hari selasa tgl 2 Juni 2009.

Kemudian sidang kembali dilanjutkan pada tanggal yang telah

ditentukan dan ketua majelis hakim kembali memberikan kesemoatan

untuk melanjutkan mediasi.

Setelah melakukan mediasi sebanyak tujuh kali maka, kedua belah

pihak melalui kuasa hukumnya masing-masing sepakat untuk mengakhiri

sengketa antara mereka sebagaimana yang termuat dalam surat gugatan

Nomor 436/Pdt.G/2009/PA.Mks. Tanggal 20 April 2009 dengan

perdamaian dan untuk hal itu telah mengadakan persetujuan.

Untuk lengkapnya uraian putusan ini secara in complex dapat dilihat

dalam berita acara persidangan perkara ini, sebagai satu kesatuan yang

tak terpisahkan dari putusan ini.

72
BAB IV

PERUMUSAN INTISARI PUTUSAN

A. Para Pihak

1. MB binti M.B, Umur 36 tahun, Agama Islam, Pekerjaan Urusan

Rumahtangga, alamat Jln. Borong Raya Komp. Delta Mas I Blok B

No. 12, Rt 5, Rw 4, Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala, Kota

Makassar, selanjutnya disebut sebagai penggugat dan telah

memberikan kuasanya kepada;

M. Syahrir Nur,M.Ag., Advokat, berkantor di kantor “M.Syahrir

Nur,M.Ag., & Rekan” yang beralamat di Jln. Monginsidi Baru No 21

Makassar, selanjutnya disebut sebagai kuasa penggugat.

2. Dr. YAB,SP,M. bin A.B, umur 41 tahun, Agama Islam, Pekerjaan

Dokter Mata (swasta), alamat Jln. Toddopuli Raya No. 9 G (Apotik

Amanah Inayah), Kelurahan Panakkukang, Kecamatan Paroppo,

Kota Makassar, selanjutnya disebut sebagai tergugat dan telah

memberikan kuasanya kepada;

Budiman Mubar, S.H., Advokat, berkantor di Kantor “Budiman

Mubar dan Rekan” yang beralamat di Jln. Gunung Bawakaraeng

No.120 Makassar, selanjutnya disebut kuasa tergugat.

73
B. Uraian Fakta

1. Pengadilan Agama

Menyatakan bahwa pada hari sidang yang telah ditentukan,

penggugat dan tergugat masing-masing diwakili oleh kuasa hukumnya,

datang menghadap di persidangan dan setelah majelis hakim menyatakan

persidangan terbuka untuk umum, lalu dengan sunguh-sungguh

mengupayakan agar perkara ini dapat diselesaikan dengan jalan damai,

dan upaya perdamaian dilanjutkan melalui mediasi oleh hakim mediator.

Bahwa setelah dilakukan mediasi, maka telah tercapai kesepakatan

antara penggugat dan tergugat untuk berdamai dengan rumusan

perdamaian sebagai berikut:

Pasal I

Bahwa penggugat dan tergugat mempunyai hak dan kewajiban yang

sama dalam memelihara dan mendidik anak sampai anak-anak

tersebut dewasa dan atau telah mampu hidup mandiri meskipun

penggugat dan tergugat telah berpisah.

Pasal II

Bahwa penggugat dan tergugat tidak dapat menghalang-halangi

tergugat untuk bertemu dengan keempat orang anaknya. Demikian

pula penggugat akan member kebebasan kepada keempat anaknya

untuk bertemu dengan tergugat. Dan keempat anak penggugat da

74
tergugat diberi hak untuk menentukan apakah anak tersebut akan

tinggal bersama penggugat atau tergugat.

Pasal III

Bahwa tergugat bersedia untuk memenuhi kewajibannya sebagai

seorang ayah dengan memberi nafkah dan biaya rumah tangga

kepada kepada penggugat dan keempat orang putrinya sebesar

Rp.2.000.000,- (dua juta rupiah) setiap bulannya sampai anak-anak

tersebut dewasa dan atau telah mampu hidup mandiri dan diterima

langsung oleh penggugat.

Pasal IV

Bahwa disamping biaya rumah tangga yang diberikan tergugat kepada

penggugat dan keempat anaknya, tergugat juga menanggung

kebutuhan laiinya setiap bulannya yaitu pembayaran listrik PLN,

pembayaran air PDAM, beras 25 kg, menyediakan 1 tabung gas elpiji

seberat 12 kg, biaya pembantu rumah Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu

rupiah) .

Pasal V

Bahwa tergugat juga menanggung biaya pendidikan dan pemeliharaan

kesehatan keempat anak tersebut setiap bulannya, termasuk uang

saku, sampai anak-anak tersebut dewasa dan atau telah mampu hidup

mandiri.

75
Pasal VI

Bahwa tergugat bersedia melunasi segala sangkutan/ kredit yang ada

di Bank Mandiri Cabang Sulawesi dengan jaminan sebuah rumah

berlantai dua yang terletak di Jln. Borong Raya Komp. Delta Mas I Blok

B No. 12, Rt 5, Rw 4, Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala, Kota

Makassar, dan setelah kredit tersebut dilunasi tergugat, maka

penggugat dan tergugat sepakat untuk menghibahkan rumah tersebut

kepada anak penggugat dan tergugat.

Pasal VII

Bahwa penyerahan hibah kepada keempat anak orang tersebut

dilakukan dihadapan Notaris atau dihadapan pejabat yang berwenang.

Pasal VIII

Bahwa setelah rumah dihibahkan kepada keempat orang anak

penggugat dan tergugat, maka baiknya penggugat maupun tergugat

tidak dapat mengalihkan rumah tersebut di atas.

Pasal IX

Bahwa satu unit kendaraan mobil xenia warna hitam Nomor Polisi DD

222 YB, yang selanjutnya akan digunakan tergugat untuk kepentingan

anak-anaknya.

76
Pasal X

Bahwa satu unit kendaraan bermotor merek Honda Legenda Nomor

Polisi DD 2802 PG, pada dasarnya telah dijual oleh tergugat sebesar

Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah), oleh karena itu hasil

penjualan akan dibagi dua, 50% untuk penggugat dan 50% untuk

tergugat.

Pasal XI

Bahwa tanah milik yang terletak didusun Sailong Sungguminasa,

Kecamatan Patalassang, Kabupaten Gowa seluas kurang lebih 600

M2, adalah bagian dari harta bersama penggugat dan tergugat. Dan

jika dikemudian hari tergugat akan menjual tanah tersebut, penggugat

tidak akan menghalangi. Dan hasil penjualan akan dibagi menurut

ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal XII

Bahwa jika salah satu pihak melakukan wanprestasi maka bersedia

dituntut sesuai ketentuan hukum yang berlaku.

Pasal XIII

Bahwa akta perdamaian ini dibuat dihadapan Mediator Hakim dan

selanjutnya dituangkan dalam putusan hakim yang menguatkan

kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya

hukum biasa maupun luar biasa.

77
Setelah perjajian perdamaian tersebut dituliskan dan dibacakan pada

kedua belah pihak, maka penggugat dan tergugat menerangkan bahwa

mereka menerima dan menyetujui perdamain tersebut yang tidak tunduk

pada upaya hukum biasa maupun luar biasa.

Setelah perjanjian tersebut dituliskan dan dibacakan pada kedua belah

pihak, maka penggugat dan tergugat menerangkan bahwa mereka

menerima dan menyetujui perdamaian tersebut diatas.

Bahwa setelah itu Ketua Majelis membacakan rumusan perdamaian

tersebut dan disetujui oleh penggugat dan tergugat.

Bahwa oleh karena telah terjadi kesepakatan antara penggugat dan

tergugat, maka kesepakatan tersebut berlaku sebagai undang-undang

dan mengikat bagi kedua belah pihak yang membuat kesepakatan

tersebut, sesuai dengan maksud pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.

Bahwa demikian penggugat dan tergugat wajib melaksanakan isi

kesepakatan yang telah dibuatnya tersebut.

Bahwa perkara ini termasuk dalam bidang perkawinan maka

berdasarkan ketentuan pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No 7 tahun

1989 yang telah diubah dan disempurnakan dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006, biaya perkara dibebankan kepada penggugat.

Mengingat dan memperhatikan segala ketentuan perundang-undangan

yang berlaku dan berkaitan dengan perkara a quo.

78
Mengadili

- Menghukum penggugat dan tergugat untuk tunduk dan taat kepada

perdamaian yang telah dibuat dengan Nomor 436/Pdt.G/2009/PA.Mks,

tanggal 9 Juni 2009 Masehi, bertepatan dengan 15 Jumadil Akhir 1430

Hijriah.

- Membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara

sebanyak Rp.341.000,- (tiga ratus empat puluh satu rupiah).

Demikian diputuskan dalam sidang musyawarah majelis hakim

Pengadilan Agama Makassar pada hari selasa tanggal 14 Juli 2009

Masehi bertepatan tanggal 21 Rajab 1430 Hijriah.

79
BAB V

ANALISIS KASUS

A. Kedudukan Harta Bersama yang Dihibahkan Setelah Perceraian

Dalam al-Quran disebutkan bahwa perkawinan itu adalah untuk

menciptakan kehidupan keluarga antara suami isteri dan anak-anak serta

orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram

(sakinah), pergaulan yang saling mencintai (mawaddah) dan saling

mengasihi (rahmah). Ini adalah bentuk ideal yang ingin diciptakan di

dalam berlangsungnya suatu perkawinan.

Dalam suatu perkawinan haruslah ada suatu harta yang digunakan

untuk menunjang kehidupan perkawinan yaitu sesuatu yang diperlukan

untuk menunjang hidup dan kehidupan sepanjang perkawinan mereka.

Oleh karena itu, perlu diadakannya pembagian harta kekayaan dalam

perkawinan. Mengenai harta kekayaan dalam perkawinan memerlukan

pemikiran dalam tiga dimensi, yaitu :

1. Sebelum perkawinan yang menyangkut harta kekayaan yang

dibawa masing-masing ke dalam perkawinan.

2. Selama perkawinan mengenai harta kekayaan yang didapat oleh

suami istri selama dalam perkawinan.

80
3. Setelah perkawinan yaitu mengenai kedudukan masing-masing

suami istri terhadap kekayaan tersebut.

Dari ketiga dimensi mengenai harta kekayaan dalam perkawinan yang

disebutkan di atas yang sering dipermasalahkan adalah harta kekayaan

setelah putusnya perkawian. Dengan putusnya perkawinan maka

mengakibatkan perubahan kedudukan suami istri terhadap harta

kekayaan. Sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

yaitu pada Undang-Undang Perkawinan dan KHI telah dibahas mengenai

harta kekayaan dalam perkawinan yaitu pada :

Pasal 97 KHI:

Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari


harta bersama sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan:

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur


menurut hukumnya masing-masing.

Dari kedua bunyi pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa jika

terputusnya perkawinan baik itu disebabkan oleh kematian ataupun

perceraian maka yang akan dibagi hanyalah harta bersama. Jadi,

sebelum membagi harta kekayaan dalam rumah tangga maka harus

dipisahkan terlebih dahulu mana harta yang dibawa oleh masing-masing

pihak sebelum terjadinya perkawinan dan mana yang dihasilkan oleh

masing-masing pihak selain itu perlu diperhatikan pula harta yang

81
merupakan warisan, hadiah atau hibah yang didapatkan oleh masing-

masing pihak selama masih dalam waktu perkawinan.

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 mengenai harta

benda dalam perkawinan yang terdapat dalam BAB VII Pasal 35, 36 dan

37 sebagai berikut :

Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta benda
bersama.
(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dari harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di
bawah penguasaan masing-masing si penerima sepanjang para pihak
tidak menentukan lain.
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing.
Sedang dalam Kompilasi Hukum Islam terdapat pada Pasal 1 huruf (f) dan

Pasal 85 menyebutkan :

Pasal 1 Huruf (f)


Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami isteri selama dalam
ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta
bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa pun.

82
Pasal 85 :
Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

Berdasarkan hasil wawancara dengan hakim pada Pengadilan Agama

Makassar menurut Syahidal, harta bersama adalah harta benda yang

diperoleh dari hasil usaha bersama suami istri selama dalam ikatan

perkawinan. Harta bersama dapat digolongkan menjadi dua macam.

Pertama, harta bersama yang berwujud berupa benda bergerak, benda

tidak bergerak dan surat-surat berharga. Kedua, harta bersama yang tidak

berwujud berupa hak dan kewajiban. (Tanggal 24 November 2010)

Sejalan dengan pendapat Syahidal, Faizal dan Mustamin Dahlan

(Hakim Pengadilan Agama Makassar) juga berpendapat bahwa harta

bersama itu adalah harta yang diperoleh dan dikumpulkan sejak terjadinya

perkawinan. Sedangkan Menurut Bannasari (Hakim pada Pengadilan

Agama Makassar), harta bersama adalah harta yang diperoleh suami

isteri setelah menikah, kriterianya adalah bahwa harta tersebut murni

diperoleh setelah perkawinan dengan tidak mempersoalkan apakah yang

mendapatkan harta tersebut suami atau isteri. (Tanggal 24 November

2010).

Dengan diketahuinya ruang lingkup dari harta bersama berdasarkan

uraian pada pasal 35 undang-undang perkawinan, 85 KHI serta pendapat

para hakim diatas, maka dapat diketahui pembagian harta bersama. Akan

83
tetapi dalam hal pelaksanaannya, pembagian harta bersama seringkali

terjadi permasalahan. Hal ini bisa saja diakibatkan tidak adanya itikad baik

dari salah satu pihak yang hanya ingin menguasai harta bersama

tersebut.

Dalam hal putusnya perkawinan karena perceraian, pelaksanaan

pembagian harta bersama biasanya terjadi melalui kesepakatan antara

kedua belah pihak di luar persidangan. Hal ini didukung oleh pernyataan

Bannasari (Hakim pada Pengadilan Agama Makassar). Menurutnya tidak

semua putusan perceraian diikuti pembagian harta bersama berdasarkan

beberapa hal :

1. Mereka tidak bersengketa atau tidak mempermasalahkan

harta bersamanya. Dalam hal ini biasanya kedua belah

pihak bersepakat atau untuk membagi harta bersama secara

kekeluargaan di luar sidang, cara ini sebetulnya yang paling

baik karena dapat diselesaikan dengan biaya ringan,waktu

singkat dan tidak ada permusuhan.

2. Ada pula kedua belah pihak bersepakat agar harta bersama

itu tidak dibagi kepada suami istri yang bercerai tetapi

dengan persetujuan bersama diberikan kepada anak-

anaknya.

3. Ada pula diantara para pihak itu yang tidak

mempermasalahkan harta bersama yang penting cerai.

84
Lebih lanjut mengatakan bahwa faktor-faktor yang melatarbelakangi

diajukannya permohonan gugatan pembagian harta bersama di

Pengadilan Makassar adalah :

1. Kedua belah pihak atau salah satunya membutuhkan harta

bersama tersebut;

2. Salah satu pihak berniat tidak baik atau menguasai harta bersama

atau tidak membagi kepada pasangannya yang dicerai.(

wawancara 23 November 2010)

Jika dikaitkan dengan putusan No.436/Pdt.G/2009/PA.Mks dimana

penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Makassar

menuntut pembagian harta bersama dan gugatan nafkah anak maka,

sudah jelas bahwa yang melatarbelakangi diajukannya gugatan ini adalah

sebab-sebab yang telah dijelaskan di atas. Adapun mengenai bentuk

pelaksanaan pembagian harta bersama tersebut, yang mana sejalan

dengan pendapat Bannasari pada poin ke dua yaitu menyepakati untuk

memberikan sebagian harta bersama kepada anak-anak penggugat dan

tergugat dalam bentuk hibah.

Berdasarkan wawancara dengan salah satu dosen Universitas Islam

Negeri (UIN) Fakultas Syariah dan Hukum, Sabri Samin mengatakan

hibah adalah pemberian cuma-cuma tanpa adanya imbalan ataupun

karena adanya prestasi. Hibah tidak sama dengan hadiah yang biasanya

oleh masyarakat awam dianggap sama, walaupun pada dasarnya

85
merupakan pemberian cuma-cuma akan tetapi ada perbedaan antara

hibah dan hadiah. Menurutnya, hadiah ada karena adanya suatu prestasi

sedangkan hibah murni hanya pemberian semata tanpa ada prestasi.

Dalam surah Ali Imran ayat 92 berbunyi;

Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang


sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya”.(QS.Ali Imran 92)

Surah ini memberikan anjuran bahwa seseorang sebaiknya

menafkahkan atau memberikan sebagian hartanya kepada orang lain dan

pemberian itu bisa dalam bentuk hibah. Hibah juga dapat menjinakkan

hati dan meneguhkan kecintaan diantara manusia. Didalam hibah harus

meletakkan nilai-nilai kebijakan apa lagi jika hibah tersebut dilakukan

kepada keluarga karena hal ini akan berpengaruh terhadap pembagian

warisan kelak. Bisa saja orang tua menghibahkan hartanya kepada anak

akan tetapi harus lebih bijaksana dalam memikirkan hal-hal yang bisa saja

akan terjadi kedepannya, karena kebanyakan kasus hibah baru akan

bermasalah dikemudian hari. Olehnya itu, hibah sebaiknya dibarengi

dengan penyimbangan serta bersikap adil. (Tanggal 21 Desember 2010)

86
Jika dikaitkan dengan harta bersama yang dihibahkan kepada anak

maka menurutnya hal ini dapat menimbulkan masalah dikemudian hari,

jika pemberiannya tidak dibarengi dengan keseimbangan. Sabri Samin

menyebutkan bahwa seimbang tidak harus 1:1 akan tetapi yang dimaksud

berimbang dalam hal ini adalah mendapatkan apa yang seharusnya

didapatkan serta bersikap adil terhadap pemberian hibah kepada anak.

Hibah jangan disamakan dengan kewarisan yang memiliki ketentuan

1:2 terhadap laki-laki dan perempuan, karena hibah itu tidak sama dengan

kewarisan. Hibah diberikan pada saat orang tua masih hidup sedangkan

warisan setelah orang tua meninggal. Selain itu orang tua juga harus

memikirkan akibat yang akan ditimbulkan dari pemberian hibah itu dengan

metode “tsaddu syarai” yaitu metode menangkal sesuatu yang akan

terjadi dikemudian hari.

Lebih lanjut Sabri Samin mengatakan bahwa hibah kepada anak dapat

ditarik oleh orang tua. Apalagi jika anak tersebut pernah mencoba untuk

mecelakakan nyawa orang tuanya atau menunjukkan sikap acuh tak acuh

kepada orang tuanya. Maka, orang tua dapat menarik harta yang

dihibahkannya. (Tanggal, 21 Desember 2010).

Adapun menurut Syahidal (hakim Pengadilan Agama Makassar)

bahwa hibah adalah bentuk pemberian harta benda seseorang baik yang

bergerak maupun tidak bergerak kepada orang lain semasa ia masih

hidup dengan ketentuan pemberi hibah itu sudah dewasa sudah dewasa

87
dan harta benda itu tidak melebihi 1/3 dari harta kekayaannya serta

dilakukan tanpa paksaan dan disaksikan oleh dua orang saksi.

Berkaitan dengan harta bersama yang dihibahkan, menurutnya sah-

sah saja menghibahkan harta bersama asal ada kesepakatan antara

suami istri untuk menghibahkan harta bersamanya. Jika menghibahkan

harta bersama kepada anak maka hibah tersebut dapat diperhitungkan

dikemudian hari sebagai bagian dari warisan, bahkan dapat ditarik

kembali jika si pemberi hibah (orang tua) ingin menggunakan objek yang

dihibahkan untuk kebutuhan hidupnya. Berikut pengaturan mengenai

hibah pada KHI yang diatur dalam Bab VI mengenai Hibah pada Pasal

210 – Pasal 214 sebagai berikut:

Pasal 210

(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun berakal sehat


tanpa adanya paksaan dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3
harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang
saksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak dari penghibah.

Pasal 211

Hibah dan orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai


warisan.
Pasal 212

Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah orang tua kepada
anaknya.

88
Pasal 213

Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang
dekat dengan kematian, maka harus mendapat persetujuan dari ahli
warisnya.
Pasal 214

Warga negara Indonesia yang berada di negara asing dapat membuat


surat hibah di hadapan Konsulat atau Kedutaan Republik Indonesia
setempat sepanjang isinya tidak bertentangan dengan ketentuan pasal-
pasal ini.
Menurut Sabri Samin mengenai harta bersama yang ingin dihibahkan

kepada anak maka sebaiknya pembagian harta bersama tersebut dibagi

dahulu sesuai aturan yang berlaku lalu dibuat dalam suatu perjanjian

mengenai harta yang temasuk harta bersama yang ingin dihibahkan di

depan Notariat seperti yang terkadung dalam surah Al baqarah ayat 282

sebagai berikut:

89
Yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah 179 tidak


secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah
ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan
(apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan,
maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki
dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya
jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil;
dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar
sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi
Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika
mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu,
maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan
persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan
saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian),
maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan
bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan, maka dapat diketahui

bahwa kedudukan harta bersama yang dihibahkan setelah perceraian

pada dasarnya sama ketika hanya ingin membagi harta bersama tanpa

adanya hibah. Hal ini sudah sejalan dengan Undang-Undang Perkawinan

dan Kompilasi Hukum Islam serta apa yang menjadi kriteria pada

Pengadilan Agama Klas IA Makassar dalam penyelesaian sengketa harta

bersama. Dimana, terlebih dahulu melakukan pemurnian harta bersama

90
setelah itu menentukan harta tertentu yang akan dihibahkan lalu

membaginya. Kesepakatan yang terjadi antara kedua belah pihak

haruslah dibuat dalam bentuk akta, baik akta otentik maupun akta

dibawah tangan yang hal ini sesuai dengan Pasal 1851 KUH Perdata

yaitu:

“Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah


pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang,
mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah
timbulnya suatu perkara. Pesetujuan ini tidaklah sah, melainkan dibuat
secara tertulis .”
Perdamaian dituangkan dalam putusan perdamaian yang bersifat

mengikat bagi kedua belah pihak dan berlaku sebagai undang-undang

sesuai dengan maksud pada pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yaitu:

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-


undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan
yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan itu
haruslah dilaksanakana dengan itikad baik”

B. Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor

436/Pdt.G/2009/PA.Mks

Berdasarkan hasil Putusan Pengadilan Agama Makassar Nomor:

436/Pdt.G/2009/PA.Mks terdapat adanya harta bersama yang diperoleh

setelah adanya perkawinan antara penggugat dan tergugat. Status dari

harta bersama tetap sebagai harta bersama milik penggugat dan tergugat

tanpa harus memperhatikan atas nama siapa barang-barang tersebut

berada.

91
Hal ini sesuai dengan Pasal 1 sub f Kompilasi Hukum Islam bahwa :

“harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan

berlangsung, baik harta itu terdaftar atas nama suami atau isteri”, serta

sesuai Putusan MA tanggal 30 Juli 1974 No. 806 K/Sip/1974 mengatakan

bahwa :

Masalah atas nama siapa harta terdaftar bukan faktor yang


menggugurkan keabsahan suatu harta menjadi obyek harta bersama, asal
harta yang bersangkutan dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan
serta pembiayaannya berasal dari harta bersama maka harta tersebut
termasuk obyek harta bersama.

Harta bersama yang kemudian dikuasai oleh tergugat yang

menyebabkan penggugat mengajukan gugatan harta bersama dan.

diakumulasikan dengan gugatan nafkah anak. Setelah melalui mediasi

melalui perantara mediator sebanyak 7 kali dan ditetapkan yang menjadi

harta bersama selama perkawinan berlangsung berdasarkan bukti-bukti

yang telah diberikan sebagai berikut:

1. Sebuah rumah berlantai dua yang terletak di Jln. Borong Raya

Komp. Delta Mas I Blok B No. 12, Rt 5, Rw 4, Kelurahan

Antang, Kecamatan Manggala, Kota Makassar.

2. 1 (satu) Unit Mobil Xenia warna hitam Nomor Polisi DD 222 YB.

3. Hasil penjualan satu unit kendaraan bermotor merek Honda

Legenda Nomor Polisi DD 2802 PG

92
4. tanah milik yang terletak didusun Sailong Sungguminasa,

Kecamatan Patalassang, Kabupaten Gowa seluas kurang lebih

600 M2,

5. Penghasilan dari usaha bersama PT. Berkah Inayah Medika

yang bergerak dalam usahan obat-obatan dan farmasi yang

keuntungan bersih ditaksir sekitar Rp. 5.000.000,- (lima juta

rupiah) per 1 (satu) bulan.

Harta bersama ini kemudian dibagi sesuai ketentuan yang berlaku

kecuali rumah berlantai dua yang terletak di Jln. Borong Raya Komp.

Delta Mas I Blok B No. 12, Rt 5, Rw 4, Kelurahan Antang, Kecamatan

Manggala, Kota Makassar, Rumah ini telah disepakati oleh ke dua belah

pihak untuk dihibahkan kepada ke empat putri mereka dan 1 (satu) Unit

Mobil Xenia warna hitam Nomor Polisi DD 222 YB yang tidak dibagi

sebagaimana ketentuan berlaku karena mobil ini digunakan penggugat

untuk kepentingan anak-anaknya. Akan tetapi, hibah atas rumah tersebut

belum langsung jatuh ke tangan anak-anaknya karena masih menjadi

jaminan atas kredit yang ada di Bank Mandiri. Oleh karena itu, pemberian

hibah ini menurut Sabri Samin adalah hibah tergantung karena

pelaksanaannya belum dilakukan dan baru akan dilakukan penyerahan

hibah dinotaris setelah sangkutan atas kredit tersebut dilunasi.

Menurutnya hibah ini belum tegas pelaksanaannya.

93
Lebih lanjut Sabri Samin menyebutkan bahwa ada beberapa bentuk

pelaksanaan hibah yaitu:

1. Hibah terikat: merupakan hibah yang mana si pemberi hibah

menentukan bagian-bagian tertentu saja yang dihibahkan dari

satu kesatuan harta bendanya.

2. Hibah bebas: hibah yang langsung diserahkan tanpa adanya

persyaratan ataupun ketentuan dari si penghibah.

3. Hibah bersyarat: hibah yang pemberiannya akan dilaksanakan

kepada penerima hibah setelah syarat-syarat yang ditentukan si

penghibah dilaksanakan.

Pada pembagian harta bersama ini sebuah mobil Xenia warna hitam

dengan Nomor Polisi DD 222 YB diberikan kepada penggugat yang akan

digunakan untuk kepentingan anak-anaknya. Begitu pula kewajiban si

tergugat untuk memberikan nafkah kepada anak-anak mereka sampai

dewasa serta membiayai kehidupan rumah tangga kepada penggugat dan

menanggung kebutuhan lainnya, seperti pembayaran listrik pada PLN,

pembayaran air pada PDAM, beras 25 kg, menyediakan 1 tabung gas

Elpiji seberat 12 kg, biaya pembantu rumah tangga yang semuanya

ditanggung oleh tergugat.

Apabila dicermati dari sisi rasio logis pelembagaan harta bersama,

penulis memiliki pemahaman bahwa dalam pembagian harta bersama

94
serta nafkah anak ini, harta bersama ini tidak terbagi dua secara mutlak.

Si tergugat mempunyai banyak tanggungan, dimana dia harus

menanggung segala biaya atas penghidupan anak serta melunasi segala

utang yang semestinya dilunasi bersama oleh penggugat dan tergugat

karena utang ini merupakan utang bersama.

Pada dasarnya, Pasal 80 ayat (4) KHI menyatakan bahwa sesuai

dengan penghasilannya suami menanggung : (a) nafkah, kiswah dan

tempat kediaman bagi isteri, (b) biaya rumah tangga, (c) biaya pendidikan

bagi anak. Pasal ini secara tegas menetapkan bahwa suami wajib

memberikan nafkah kepada isteri sesuai dengan penghasilannya. Akan

tetapi, kerancuan muncul ketika di satu sisi seluruh harta yang diperoleh

suami isteri selama ikatan perkawinan menjadi harta bersama, sementara

itu disisi lain, suami diwajibkan pula menaggung nafkah isteri.

Persoalannya adalah darimana lagi suami akan mengambil harta untuk

dijadikan sebagai nafkah isteri, padahal seluruh harta yang dihasilkan

suami telah dianggap sebagai harta bersama.

Berdasarkan hasil wawancara mengenai masalah ini Bannasari

(Hakim Pengadilan Agama Makassar) mengatakan bahwa pembagian

dengan cara dibagi dua sangat jarang terjadi karena dalam memberikan

keputusan hakim mengambil asas proporsionalitas dengan

memperhatikan besarnya peranan masing-masing serta kondisi para

pihak.

95
Lebih lanjut mengatakan bahwa pada kasus ini, walaupun si

penggugat hanya berperan sebagai ibu rumah tangga dan tergugat yang

bekerja mencari nafkah akan tetapi hal ini sudah dianggap bahwa si

penggugat juga sudah “bekerja” sebagaimana halnya tergugat, yaitu

menyelenggarakan dan mengatur rumah tangga dengan sebaik-baiknya.

Artinya, bahwa antara penggugat dan tergugat dalam kondisi diatas

adalah sama-sama bekerja, hanya saja ruang lingkup dan wilayah

tugasnya memang berbeda.( Tanggal 23 November 2010)

Selain itu, karena adanya kesepakatan yang telah terjadi antara

kedua belah pihak melalui kuasa hukumnya masing-masing yang

diperantarai oleh mediator mengenai pembagian harta bersama dan

nafkah yang akan diberikan maka, hakim hanya memperkuat hasil

mediasi dari kedua belah pihak dengan mengeluarkan putusan agar hasil

dari mediasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak mendapatkan

kepastian hukum atas status harta bersama kedua belah pihak.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, dalam

hal harta bersama yang dihibahkan kepada anak, dimana objek hibah

yang belum dapat diterima secara langsung oleh penerima hibah (anak-

anak penggugat dan tergugat) dikarenakan objek hibah tersebut masih

dalam jaminan kredit di bank. Penulis tidak sependapat dengan putusan

yang dibuat oleh hakim mengenai objek dari harta bersama yang

dihibahkan.

96
Menurut hemat penulis, hakim tidak seharusnya menyetujui rumah

yang dijaminkan untuk melunasi kredit di bank untuk dijadikan objek hibah

dalam perdamaian harta bersama. Lebih lanjut penulis berpendapat

bahwa hal ini bisa saja kedepannya menimbulkan masalah jika tergugat

tidak bisa melunasi segala sangkutan/ kredit yang ada di bank. Objek

tersebut bisa menjadi milik bank jika tergugat melakukan wanprestasi atau

tidak mampu melunasi jaminan dibank.

Jika bank melakukan pelelangan atas objek hibah tersebut, maka si

penerima hibah tidak mendapatkan objek hibah. Sebagai akibatnya, hibah

tidak dapat terlaksana sebagaimana putusan yang telah dikeluarkan oleh

Pengadilan Agama atau si penerima hibah hanya mendapatkan sisa dari

hasil pelelangan yang dilakukan oleh bank.

Hal ini telah sejalan dengan pendapat Sabri Samin yang

mengistilahkan hibah ini adalah “hibah tergantung” dengan bentuk

pelaksanaan bersyarat, yang bisa saja tidak dilakukan jika si tergugat

tidak melunasi jaminan dibank.

Selain itu dipertegas oleh Khaeril R. (Hakim Tinggi Pengadilan

Agama Palu) bahwa dalam putusan perdamaian ini, terdapat aqad di atas

aqad yang mana orang tua melakukan 2 (dua) perjanjian dengan objek

yang sama yaitu menjaminkan rumah tersebut kepada bank lalu membuat

perjanjian untuk menghibahkan rumah tersebut kepada anak tanpa

melibatkan pihak ke tiga (bank) dalam perjanjian ini. Menurutnya, aqad ini

97
bisa digolongkan sebagai ta’alluq, aqad sepeti ini terlarang dalam suatu

perjanjian. Penghibaan dengan objek yang masih ada kaitannya dengan

pihak ke tiga akan mempersulit dilaksanakannya isi putusan yang telah

dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Ibn Al Qayyum – Al Jauziah

menyatakan pendapatnya bahwa objek aqad yang tidak ada pada waktu

aqad namun dapat dipastikan ada kemudian hari maka akadnya tetap

sah. Sebaliknya , jika objek pada waktu aqadnya tidak dapat dipastikan

adanya dikemudian hari maka aqadnya tidak sah.

Lebih lanjut menurutnya, putusan ini masih bersifat dangkal karena

isi perjanjian ini tidak dijelaskan secara terperinci sehingga memungkinkan

untuk membuat perjanjian baru dan dalam perjanjian ini tidak semua harta

yang menjadi harta bersama dimasukkan dalam perjanjian ini seperti

Penghasilan dari usaha bersama PT. Berkah Inayah Medika yang

bergerak dalam usahan obat-obatan dan farmasi yang keuntungan bersih

ditaksir sekitar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) per 1 (satu) bulan, tidak

dicantumkan dalam apakah hasilnya akan dibagi dua atau tidak, sehingga

kedepannya dapat menimbulkan masalah jika tergugat tidak beritikad

baik.

Menurutnya, suatu putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan

Agama yang mana telah memiliki kekuatan hukum tetap (inkrach van

gewijsde) seharusnya segera dilaksanakan. Akan tetapi, karena objek

hibah yang masih dalam jaminan menyebabkan putusan ini merupakan

98
putusan yang bersifat condemnatoir yang tidak bisa dilaksanakan.

(Tanggal 26 Desember 2010)

Menurut penulis, walaupun putusan ini merupakan putusan

perdamaian hasil dari mediasi yang dilakukan oleh kedua belah pihak,

seharusnya hakim tetap mempertimbangkan keberlanjutan isi dari

perdamaian itu dan tidak langsung menguatkannya dengan mengeluarkan

putusan. Dalam putusan ini hakim tidak mempertimbangkan

kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dikemudian hari mengenai

pelaksanan putusan yang dibuatnya.

Seharusnya objek yang dihibahkan adalah objek yang murni hak

milik si pemberi hibah dan jika objek hibah tersebut adalah bagian dari

harta bersama, baiknya yang diserahkan adalah harta yang tidak ada

sangkut pautnya dengan pihak ke tiga sehingga pelaksanaan hibah

tersebut dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

99
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Dalam pemberian hibah yang objeknya diambil dari harta bersama

pada dasanya dapat dilakukan. Harta bersama yang dihibahkan

kepada anak dapat dilakukan dengan tetap memenuhi syarat-syarat

dalam menghibahkan harta benda yaitu 1/3 dari keseluruhan harta.

Akan tetapi, hibah kepada anak memungkinkan orang tua menarik

kembali hibah tersebut jika kelak orang tua merasa si anak tidak

berhak menerima hibah tersebut seperti yang tercantum pada pasal

212 KHI. Hibah kepada anak ini bisa diperhitungkan sebagai warisan

yang nantinya akan mempengaruhi kalkulasi dari pembagian warisan

seperti yang tercantum pada pasal 211 KHI. Adapun dalam

pelaksanaan pembagian harta bersama sebagai akibat putusnya

perkawinan akibat perceraian sesuai dengan aturan dalam KHI dan

UU Perkawinan yaitu ½ untuk para pihak. Apabila tidak secara

mutlak dibagi dua, maka hal ini dapat dimaklumi karena putusan ini

merupakan putusan perdamaian dimana kedua belah pihak

menyetujui kesepakatan dengan segala resiko yang bisa saja terjadi

dikemudian hari. Pengaturan dalam KHI dan UU Perkawinan hanya

merupakan patokan dasar dalam pembagian harta bersama yang

100
pada realitanya kasus-kasus tertentu dapat dilenturkan, sehingga hal

ini dimungkinkan untuk membagi harta bersama dengan porsi yang

berbeda berdasarkan posisi kasusnya.

2. Dalam perkara nomor 436/Pdt.G/2009/PA.Mks , hakim sepertinya

tidak mempertimbangkan mengenai dampak yang akan terjadi

tehadap pelaksanaan putusan. Hakim langsung memberikan

kekuatan hukum tetap terhadap isi perdamaian tanpa

mempertimbangkan objek yang dihibahkan sehingga kemungkinan

putusan tersebut tidak dilaksanakan bisa terjadi jika si tergugat

tidak melunasi kredit dibank.

B. Saran

1. Harta bersama yang dijadikan objek hibah sebaiknya murni harta

bersama yang mana telah dipisahkan terlebih dahulu antara harta

bawaan dan harta yang didapatkan oleh masing-masing pihak

sebagai hadiah atau hibah dan warisan. Serta tidak ada sangkut

pautnya dengan pihak ke tiga sehingga hibah dapat dilaksanakan

sesuai dengan aturan yang berlaku.

2. Sebaiknya para praktisi hukum lebih hati-hati dalam memeriksa

kasus-kasus yang berhubungan dengan pembagian harta bersama

dan nafkah anak. Hakim harus mempertimbangkan dampak dari

pelaksanaan putusan apakah putusan itu dapat dijalankan

sebagaimana mestinya atau tidak. Meskipun dalam proses

101
berjalannya persidangan terdapat kesepakatan antara kedua belah

pihak, hakim perlu mencermati isi dari kesepakatan tersebut

apakah sudah sesuai dengan peraturan, konsep keadilan,

kewajaran dan kepatutan bagi semua pihak yang terkait dalam

kesepakatan tersebut.

102
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan. 2008. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia,


Jakarta: Kencana Predana Media Group.
. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
Peradilan Agama, Jakarta:Kencana Predana Media Group.
Abdullah Siddik. 1968. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Tintomas.
Abdoerraoef. 1970. Al-Quran Dan Ilmu Hukum. Jakarta: Bulan Bintang.
Ahmad Rofiq. 1998. Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada.
Andi Syamsu Alam. 2005. Usia Ideal Memasuki Dunia Perkawinan,
Jakarta: Kencana Mas.
Amiur Nuruddin et.al. 2006. Hukum perdata Islam Di Indonesia, Jakarta:
Kencana Predana Media Group.
Depertemen Agama. 2004. Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta:
Depertemen Agama R.I
Gusriani. et.al .” Hibah Terhadap Anak Angkat Dan Permasalahnnya”.
Mimbar Hukum, Januari-Februari 2003. Hlm 101.
Hasbi Ash Ahiddieqy. 1978. Hukum-Hukum Fiqih Islam, Jakarta: Bulan
Bintang.
Hilman Hadikusuma. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut
Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung:
Mandar Maju.
Sayyid Sabiq. 1978. Fikih Sunnah 8, Bandung: PT Alma’arif.
. 1978. Fikih Sunnah 14, Bandung: PT Alma’arif.
Soedharyono Soimin. 1992. Hukum Orang Dan Keluarga, Jakarta: Sinar
Grafika.
T. Jafizham. 1977. Persintuhan Hukum Di Indonesia dengan Hukum
Perkawinan Islam, Medan: CV. Percetakan “ Mestika”.
Zainal Abidin Abubakar.et.al. “Analisis yurisprudensi Tentang Perceraian
dan Harta Bersama”. Mimbar Hukum, No.10 Thn 1V 1993.
Hlm 54.

103
Yahya Harahap.1993. Kedudukan Kewenangan Dan Acara peradilan
Agama. Jakarta: Pustaka Kartini.
, 2004. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,
Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan
Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika.
Sumber lain:
www.Badilag.net. diakses tgl 3 Oktober 2010. Pukul 15:00.

104

Anda mungkin juga menyukai