Anda di halaman 1dari 87

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU

YANG MELAKUKAN PRAKTEK KEDOKTERAN


TANPA IZIN MENTERI KESEHATAN
(Analisis Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas-Tugas dan Syarat-Syarat


Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

ANAS NAINGGOLAN
NPM : 1816000345
Program Studi : Ilmu Hukum
Konsentrasi : Hukum Pidana

FAKULTAS SOSIAL SAINS


PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI
MEDAN
2022

i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU


YANG MELAKUKAN PRAKTEK KEDOKTERAN
TANPA IZIN MENTERI KESEHATAN
(Analisis Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr)
Nama : Anas Nainggolan
NPM : 1816000345
Program Studi : Ilmu Hukum
Konsentrasi : Hukum Pidana

Disetujui Oleh :

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Syahranuddin, SH., M.H Robi Krisna, S.E., M.H

DIKETAHUI/DISETUJUI OLEH :
KETUA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

Dr. Syaiful Asmi Hasibuan, SH., M.H.

DIKETAHUI OLEH :
DEKAN FAKULTAS SOSIAL SAINS
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI MEDAN

Dr. E. Rusiadi, SE., M. Si., CiQar., CIQnR., CIMMR


OUTLINE
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU YANG
MELAKUKAN PRAKTEK KEDOKTERAN TANPA IZIN
(Analisis Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Keaslian Penelitian
F. Tinjauan Pustaka
G. Metode Penelitian
H. Sistematika Penulisan
BAB II PENGATURAN HUKUM PELARANGAN PRAKTEK KEDOKTERAN
TANPA IZIN KEMENTERIAN KESEHATAN
A. Definisi, Tugas, Dan Kompetensi Dokter Melakukan Praktek
Kedokteran
B. Izin Praktik Dokter
C. Ketentuan Hukum Pelarangan Praktek Kedokteran Tanpa Izin
Kementerian Kesehatan
BAB III BENTUK PERBUATAN PELAKU DALAM MELAKUKAN PRAKTEK
KEDOKTERAN TANPA IZIN KEMENTERIAN KESEHATAN
BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR 1096/PID.SUS/2020/PN JKT.UTR
A. Kasus Posisi Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/Pn Jkt.Utr
B. Fakta-Fakta Hukum dalam Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/
PN.Jkt.Utr
C. Unsur Perbuatan Pidana Pelaku Dalam Melakukan Praktek Kedokteran
Tanpa Izin berdasarkan Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr
BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU DALAM MELAKUKAN
PRAKTEK KEDOKTERAN TANPA IZIN KEMENTERIAN KESEHATAN
BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR 1096/PID.SUS/2020/PN JKT.UTR
A. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Praktek Kedokteran Tanpa Izin
Kementerian Kesehatan
B. Analisis Penjatuhan Pidana Pelaku Dalam Melakukan Praktek
Kedokteran Tanpa Izin Kementerian Kesehatan Berdasarkan Putusan
Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr
C. Hambatan dan Upaya Pemerintah Dalam Menanggulangi Praktek
Kedokteran Tanpa Izin Kementerian Kesehatan
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU YANG


MELAKUKAN PRAKTEK KEDOKTERAN TANPA IZIN
MENTERI KESEHATAN
(Analisis Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr)
Anas Nainggolan
Syahranuddin, SH., M.H
Robi Krisna, S.E., M.H
Konsekuensi bagi setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik tanpa
memiliki izin maka ketentuan pidananya terdapat dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, sebagaimana dipidana
dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Selain
itu dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran juga menyebutkan bahwa konsekuensi bagi dokter atau dokter gigi yang
dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik dapat
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan
hukum pelarangan praktek kedokteran tanpa izin kementerian kesehatan, bentuk
perbuatan pelaku dalam melakukan praktek kedokteran tanpa izin kementerian
kesehatan berdasarkan Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr, serta
pertanggungjawaban pidana pelaku dalam melakukan praktek kedokteran tanpa izin
kementerian kesehatan berdasarkan Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr.
Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif dengan jenis penelitian yuridis
normatif menggunakan metode analisis kualitatif.
Pengaturan hukum pelarangan praktek kedokteran tanpa izin kementerian
kesehatan tertuang dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran. Bentuk perbuatan pelaku dalam melakukan praktek kedokteran
tanpa izin kementerian kesehatan telah melanggar ketentuan Pasal 86 Ayat (1) Jo.
Pasal 46 Ayat (1) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Pertanggungjawaban pidana pelaku dalam melakukan praktek kedokteran tanpa izin
kementerian kesehatan berdasarkan Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr
dijatuhkan Pasal 86 ayat (1) Jo Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun
2014 tentang Tenaga Kesehatan dengan pidana denda sejumlah Rp. 30.000.000,- (tiga
puluh juta rupiah).
Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Praktek Kedokteran, Tanpa Izin.

 Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Sosial Sains UNPAB Medan.

Dosen Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Sosial Sains UNPAB Medan, Dosen
Pembimbing I dan II.

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada TUHAN YANG MAHA ESA Atas
segala kasih .karunia serta kesehatan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi
ini dengan baik.

Skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat kelulusan mata kuliah Skripsi di
Fakultas Sosial Sains ,prodi Ilmu Hukum di Universitas Pembangunan Pancabudi.
Dengan judul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU
YANG MELAKUKAN PRAKTEK KEDOKTERAN TANPA IZIN MENTERI
KESEHATAN‟

Tidak dapat disangkal bahwa butuh usaha yang keras dalam penyelesaian
pengerjaan skripsi ini. Dalam penulisan ini tentunya banyak pihak yang membantu
dan memberikan motivasi baik langsung maupun tidak langsung .terutama dari orang-
orang tercinta di sekeliling saya yang mendukung dan membantu. Terima kasih saya
sampaikan kepada:

1. Dr.H.M.Isa Indrawan ,SE.,MM Selaku Rektor Universitas Pembangunan


Panca Budi
2. Dr.E. Rusiadi,SE.,M.Si.,CIQaR.,CIQnR selaku Dekan Fakultas Sosial Sains
Universitas Pembangunan Panca Budi.
3. Syahranuddin,SH.,M.H selaku Dosen pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan dan berbagai pengalaman kepada penulis.
4. Robi Krisna ,S.E., M.Hselaku dosen pembingbing II Yang telah memberikan
bimbingan dan arahan kepada saya.
5. Segenap Dosen Fakultas yang telah mendidik dan memberikan ilmu selama
kuliah dan seluruh staf yang selalu sabar melayani segala administrasi selama
proses penelitian ini.
6. Untuk orang tua saya yang saya sayangi mama tercinta terimakasih yang terus
mendoakan saya dan yang tak pernah berhenti memberi semangat.

ii
7. Untuk orang yang saya sayangi uda Ronal Togatorop dan inanguda Rumandi
Purba terimakasih telah membantu dan memberi semangat untuk saya sampai
saat ini.
8. Seluruh teman seperjuangan saya selama kuliah ito jontario,gopindo
gurning,sandi situmorang,marulitua purba ,etika anggina tarigan,
mutiamawarni dan serli purba
9. Seluruh orang-orang tersayang kakak Lusi Indah,Endang Esterina ,abang
roncen,rapi dan adik saya rona dan jhonprik .
10. Seluruh teman kerja yang memberi semangat untuk saya ,yang tidak bisa
sebut satu persatu.

Dalam penulisan ini menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata
sempurna, karena keterbatasan ilmu yang saya miliki. Untuk itu saya dengan
kerendahan hati mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun
akan meyempurnakan penulisan ini.semoga bermanfaat bagi penulis dan
pembaca .

Medan,9 April 2023

Anas Nainggolan

iii
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang .................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah............................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 8
E. Keaslian Penelitian ........................................................................... 9
F. Tinjauan Pustaka............................................................................... 11
G. Metode Penelitian ............................................................................. 19
H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 21

BAB II PENGATURAN HUKUM PELARANGAN PRAKTEK


KEDOKTERAN TANPA IZIN KEMENTERIAN KESEHATAN . 23

A. Definisi, Tugas, Dan Kompetensi Dokter Melakukan Praktek


Kedokteran........................................................................................ 23
B. Izin Praktik Dokter ........................................................................... 32
C. Ketentuan Hukum Pelarangan Praktek Kedokteran Tanpa Izin
Kementerian Kesehatan .................................................................... 37

BAB III BENTUK PERBUATAN PELAKU DALAM MELAKUKAN


PRAKTEK KEDOKTERAN TANPA IZIN KEMENTERIAN
KESEHATAN BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR
1096/PID.SUS/2020/PN JKT.UTR ..................................................... 41
A. Kasus Posisi Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr .......... 41

iv
B. Fakta-Fakta Hukum dalam Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/
PN.Jkt.Utr ......................................................................................... 45
C. Unsur Perbuatan Pidana Pelaku Dalam Melakukan Praktek
Kedokteran Tanpa Izin berdasarkan Putusan Nomor 1096/Pid.
Sus/2020/PN.Jkt.Utr ......................................................................... 46

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU DALAM


MELAKUKAN PRAKTEK KEDOKTERAN TANPA IZIN
KEMENTERIAN KESEHATAN BERDASARKAN PUTUSAN
NOMOR 1096/PID.SUS/2020/PN JKT.UTR ..................................... 53
A. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Praktek Kedokteran Tanpa
Izin Kementerian Kesehatan ............................................................. 53
B. Analisis Penjatuhan Pidana Pelaku Dalam Melakukan Praktek
Kedokteran Tanpa Izin Kementerian Kesehatan Berdasarkan
Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr................................ 60
C. Hambatan dan Upaya Pemerintah Dalam Menanggulangi Praktek
Kedokteran Tanpa Izin Kementerian Kesehatan .............................. 65

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 74
B. Saran ................................................................................................ 75

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 76


LAMPIRAN
- Putusan

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan

yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana

dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan

prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan

sumber daya manusia Indonesia, serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa

bagi pembangunan nasional. Hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan

pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi

negara, dan setiap upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti

investasi bagi pembangunan negara.1

Upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti

pembangunan nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan

tanggung jawab semua pihak baik Pemerintah maupun masyarakat. Pasal 2 Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menyebutkan bahwa:

“Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan,

1
Bagoes Prasetya Aribawa, “Penindakan Terhadap Dokter Praktik Tanpa Memiliki Surat Izin
Praktik (Studi di Dinas Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia Kabupaten Pasuruan)”, Jurnal Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 2014, hal. 1.

1
2

keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban,

keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama”.

Sakit merupakan suatu contoh bahwa manusia (penderita) dalam keadaan

lemah dan membutuhkan seseorang yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya

untuk sehat.2 Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan

pencegahan dan pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan

medis yang dilaksanakan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien

yang membutuhkan kesembuhan.3

Dokter sebagai medical providers mempunyai kewajiban untuk melakukan

pelayanan kesehatan berupa diagnosis pengobatan dan tindakan medik lainnya yang

terbaik menurut pengetahuan standar profesi yang dimilikinya,sedangkan di sisi lain

pasien sebagai penerima (medical receivers) mempunyai hak untuk menentukan

pelayanan kesehatan berupa pengobatan atau tindakan medik lain yang akan

dilakukan.4 Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk

pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui

penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi

masyarakat, penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari berbagai

kegiatan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh dokter dan

dokter gigi yang memiliki etik dan moral yang tinggi.

2
Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hal. 96.
3
Danny Wiradharmairadharma, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan,
Kedokteran EGC, Jakarta, 2018, hal. 7.
4
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 2012, hal. 29.
3

Keahlian secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui

pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta

pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar pelaksanaan praktik kedokteran sesuai

dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk memberikan

perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan, dokter,

dan dokter gigi, diperlukan pengaturan mengenai penyelenggaraan praktik

kedokteran.

Pemerintah mengharapkan semua tenaga kesehatan bisa memberikan mutu

pelayanan kesehatan secara optimal tanpa adanya keterpaksaan dalam melaksanakan

tugasnya, baik di sarana pelayanan Pemerintah, Swasta, maupun pelayanan praktik

mandiri atau perorang yang pada umumnya dilaksanakan oleh dokter. Sebagaimana

hal tersebut terdapat dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, menyebutkan bahwa: “Untuk mewujudkan derajat kesehatan yang

setinggi-tingginya bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang terpadu

dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan perseorangan dan upaya kesehatan

masyarakat”. Dengan adanya kesadaran dan kepatuhan dari Sumber Daya Manusia

(dokter dan dokter gigi) maka pemerintah akan lebih mudah dalam memberikan

pembinaan dan pengawasan terhadap pelayanan kedokteran.

Berkaitan dengan ini maka dibuatlah Peraturan Perundang-undangan di

Bidang Kesehatan. Pasal 36 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran menyebutkan bahwa: “Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan
4

praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik”.5 Selain itu, lebih

lanjut dalam Pasal 46 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan menyebutkan bahwa:

(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang pelayanan


kesehatan wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk SIP.
(3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh pemerintah
daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat kesehatan yang
berwenang di kabupaten/kota tempat Tenaga Kesehatan menjalankan
praktiknya.
(4) Untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Tenaga
Kesehatan harus memiliki:
a. STR yang masih berlaku;
b. Rekomendasi dari Organisasi Profesi; dan
c. Tempat praktik.
(5) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing berlaku hanya
untuk 1 (satu) tempat.
(6) SIP masih berlaku sepanjang:
a. STR masih berlaku; dan
b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Berdasarkan hal tersebut juga sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan

Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang

Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran yang menyebutkan bahwa Setiap

Dokter dan Dokter Gigi yang menjalankan praktik kedokteran wajib memiliki SIP.

Dokter dan dokter gigi dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya

mempunya karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang

diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap

5
Pendewal, “Surat Izin Praktek”, melalui https://pendewal.com/surat-izin-praktik/, diakses
pada tanggal 28 Maret 2022, Pukul 10.10 Wib.
5

tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan.

Tindakan medis terhadap tubuh manusia yang dilakukan bukan oleh dokter atau

dokter gigi dapat digolongkan sebagai tindak pidana. Sanksi pidana dapat

diberlakukan terhadap kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan terhadap peraturan

perundang-undangan termasuk di bidang kesehatan, khususnya berkaitan dengan

penyelenggaraan praktik kedokteran tanpa izin yang tentunya dapat membahayakan

bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan.6

Konsekuensi bagi setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik tanpa

memiliki izin maka ketentuan pidananya terdapat dalam Pasal 86 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, sebagaimana dipidana

dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Selain

itu dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran juga menyebutkan bahwa konsekuensi bagi dokter atau dokter gigi yang

dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik dapat

dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak

Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Salah satu kasus praktek kedokteran tanpa izin terdapat dalam kasus perkara

yang dipersidangan pada Pengadilan Jakarta Utara dengan Putusan Nomor

1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr, sebagaimana awalnya Terdakwa pada sekitar bulan

Desember 2018 berangkat ke Korea Selatan untuk mempelajari teknik sulam alis,

6
Eliezer Sepang, “Sanksi Pidana Terhadap Praktik Kedokteran Tanpa Izin Menurut Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004”, Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016, hal 5.
6

sulam bibir, dan sulam lipatan mata (Eyelid). Sulam lipatan mata (Eyelid) yaitu bedah

pembuangan lemak pada kelopak mata dan tanam benang (jahit kelopak mata)

dengan cara terlebih dahulu membuat pola pada kelopak mata untuk membuat

lipatan, kemudian dilakukan suntik anestesi untuk meghilangkan rasa sakit,

selanjutnya kelopak mata dijahit menggunakan benang khusus lipatan. Pada bulan

April 2019 kemudian Terdakwa membuka usaha salon kecantikan dan membuka

praktek tindakan medis berupa sulam alis, sulam bibir, dan Sulam lipatan mata

(Eyelid). Terdakwa mendapatkan pasien dalam sehari yaitu sekitar 1 atau 2 orang

dengan keuntungan yang didapatkan terdakwa dalam 1 (satu) hari adalah sekitar Rp

5.000.000,- (lima juta rupiah) dan dalam sebulan terdakwa bisa mendapatkan

keuntungan sebesar Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) s/d Rp

200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Perbuatan praktek yang dilakukan terdakwa untuk pembuatan lipatan mata

(Eyelid), yaitu dengan menyuntik mata yang akan dilakukan sulam lipatan, kemudian

Terdakwa memasukan cairan bius ke dalam lipatan mata menggunakan alat suntikan

lalu menggoreskan sedikit luka pada lipatan mata Saksi, selanjutnya Terdakwa

menjahit lipatan mata Saksi menggunakan jarum dan benang khusus. Akibat

pembuatan lipatan mata yang dilakukan Terdakwa membuat mata korban menjadi

bengkak dan terasa nyeri. Sehingga setelah dilakukan penelusuran mendalam bahwa

Terdakwa dalam menjalankan praktek tindakan medis di salon kecantikan tidak

memiliki izin dari instansi yang berwenang.


7

Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

Pasal 86 Ayat (1) Jo. Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014

tentang Tenaga Kesehatan. Sehingga atas perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa

yang melakukan praktek kedokteran tanpa izin oleh instansi berwenang haruslah

dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. sehingga tertarik mengangkat judul:

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU YANG

MELAKUKAN PRAKTEK KEDOKTERAN TANPA IZIN KEMENTERIAN

KESEHATAN (Analisis Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr)”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum pelarangan praktek kedokteran tanpa izin

kementerian kesehatan?

2. Bagaimana bentuk perbuatan pelaku dalam melakukan praktek kedokteran

tanpa izin kementerian kesehatan berdasarkan Putusan Nomor

1096/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr?

3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku dalam melakukan praktek

kedokteran tanpa izin kementerian kesehatan berdasarkan Putusan Nomor

1096/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum pelarangan praktek kedokteran tanpa izin

kementerian kesehatan.
8

2. Untuk mengetahui bentuk perbuatan pelaku dalam melakukan praktek

kedokteran tanpa izin kementerian kesehatan berdasarkan Putusan Nomor

1096/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr.

3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku dalam melakukan

praktek kedokteran tanpa izin kementerian kesehatan berdasarkan Putusan

Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam hal ini, terdiri dari:

1. Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai syarat dalam

menyelesaikan Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Sosial Sains di Universitas

Pembangunan Panca Budi Medan, khususnya terhadap masalah yang penulis

angkat mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan

praktek kedokteran tanpa izin kementerian kesehatan.

2. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian-kajian dalam

rangka pengembangan ilmu hukum serta dapat menjadi bahan rujukan bagi

mahasiswa yang ingin mengadakan penelitian lebih lanjut khususnya kajian

mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan praktek

kedokteran tanpa izin kementerian kesehatan.


9

3. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat memberi sumbangsih pengetahuan bagi aparat

hukum khususnya mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku

yang melakukan praktek kedokteran tanpa izin kementerian kesehatan.

b. Hasil penelitian ini juga dapat memberikan tambahan wawasan kepada

masyarakat terkait mengenai pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku

yang melakukan praktek kedokteran tanpa izin kementerian kesehatan.

E. Keaslian Penelitian

Keaslian Penelitian ini berdasarkan pada beberapa penelitian terdahulu yang

mempunyai karakteristik yang relatif sama dalam hal tema kajian, meskipun berbeda

dalam hal kriteria subjek, jumlah dan posisi variabel penelitian atau metode analisis

yang digunakan. Penelitian yang akan dilakukan mengenai. “Pertanggungjawaban

Pidana Terhadap Pelaku Yang Melakukan Praktek Kedokteran Tanpa Izin

Kementerian Kesehatan (Analisis Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr)”.

Penelitian terkait dan hampir sama yaitu:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Bagoes Prasetya Aribawa, Mahasiswa Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya, Malang, pada tahun 2014 dengan judul penelitian:

“Penindakan Terhadap Dokter Praktik Tanpa Memiliki Surat Izin Praktik (Studi di

Dinas Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia Kabupaten Pasuruan)”. Penelitian

ini menjelaskan rumusan masalah antara lain :


10

a. Bagaimanakah upaya penindakan terhadap Dokter yang tidak memiliki Surat

Izin Praktik oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan dan Ikatan Dokter

Indonesia Kabupaten Pasuruan?

b. Kendala atau kesulitan apakah yang terjadi dalam penindakan terhadap Dokter

yang tidak memiliki Surat Izin Praktik oleh Dinas Kesehatan Kabupaten

Pasuruan dan Ikatan Dokter Indonesia Kabupaten Pasuruan? 7

2. Penelitian yang dilakukan oleh Eriska Kurniati Sitio, Mahasiswa Program

Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana pada tahun

2017 dengan judul penelitian: “Hukum Pidana Dan Undang-Undang Praktek

Kedokteran Dalam Penanganan Malpraktek”. Permasalahan dalam penulisan karya

ilmiah ini adalah:

a. Bagaimana pengaturan tentang malpraktek dalam praktek kedokteran menurut

hukum pidana Indonesia?

b. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap dokter dalam malpraktek

medik? 8

3. Penelitian yang dilakukan oleh I Gede Indra Diputra, Mahasiswa Bagian Hukum

Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, pada tahun 2014 dengan judul

penelitian: “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Dokter Yang Melakukan

7
Bagoes Prasetya Aribawa, “Penindakan Terhadap Dokter Praktik Tanpa Memiliki Surat Izin
Praktik (Studi di Dinas Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia Kabupaten Pasuruan)”, melalui
https://media.neliti.com/media/publications/34906-ID-penindakan-terhadap-dokter-praktik-tanpa-
memiliki-surat-izin-praktik-studi-di-di.pdf, diakses tanggal 27 Maret 2022, Pukul 20.30 Wib.
8
Eriska Kurniati Sitio, “Hukum Pidana Dan Undang-Undang Praktek Kedokteran Dalam
Penanganan Malpraktek”, melalui https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/29910,
diakses tanggal 27 Maret 2022, Pukul 20.30 Wib.
11

Tindakan Malpraktek Dikaji Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Indonesia”. Permasalahan dalam penulisan ini adalah:

a. Bagaimana pengaturan hukum pelanggaran kode etik profesi kedokteran?

b. Bagaimana pertanggungjawaban dokter yang melakukan tindakan malpraktek

dikaji dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia? 9

Secara konstruktif, substansi dan pembahasan terhadap kedua penelitian

tersebut diatas berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis saat ini. Dalam

kajian topik kajian yang penulis angkat mengarah kepada permasalahan

pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang melakukan praktek kedokteran

tanpa izin kementerian kesehatan.

E. Tinjauan Pustaka

1. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana, terdapat dua pandangan, yaitu pandangan

yang monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan yang monistis

dikemukakan oleh Simon yang merumuskan strafbaar feit sebagai suatu

perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan

hukum, dilakukan oleh seorang yang bersalah dan orang itu dianggap

bertanggungjawab atas perbuatannya.10 Menurut aliran monistis, unsur-unsur

9
I Gede Indra Diputra, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Dokter Yang Melakukan
Tindakan Malpraktek Dikaji Dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia”, melalui
https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/10707, diakses tanggal 27 Maret 2022,
Pukul 20.30 Wib.
10
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2012, hal. 185.
12

strafbaar feit itu meliputi baik unsur perbuatan, yang lazim disebut sebagai

unsur objektif maupun unsur pembuat yang lazimnya dinamakan unsur

subjektif. Oleh karena itu, disatukannya unsur perbuatan dan unsur

pembuatnya maka dapat disimpulkan bahwa strafbaar feit adalah sama dengan

syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa jika

strafbaar feit terjadi maka sudah pasti pelakunya dapat dipidana.11

Roeslan Saleh berpendapat bahwa, pertanggungjawaban pidana

diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada perbuatan

pidana dan secara subjektif yang memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena

perbuatannya itu. Dasar untuk adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas

sedangkan dasar dapat dipidananya suatu perbuatan adalah asas kesalahan. Ini

berarti bahwa pelaku perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai

kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang

dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut pada pertanggungjawaban

pidana.

Elemen terpenting dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan.

Dengan unsur kesalahan, pelaku tindak pidana tidak semua dapat dijatuhi

pidana, hal ini sesuai dengan asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana

adalah “geen straf zonder schuld; Actus non facit reum nisi mens sit rea” yang

artinya tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.Asas ini tidak terumuskan

dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tak tertulis yang juga di
11
Ibid., hal. 64.
13

Indonesia berlaku.12 Oleh karena kesalahan merupakan penentu dalam

menentukan pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana. Maka

untuk menentukan adanya kesalahan seseorang harus memenuhi beberapa

unsur, yaitu :

a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat;

b. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa) yang disebut sebagai bentuk

kesalahan;

c. Tidak ada alasan penghapusan kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf.13

2. Pelaku Tindak Pidana

Kata pelaku atau pembuat (Belanda: dader) dalam hal ini berarti orang

yang melakukan atau orang yang membuat perbuatan salah dalam peristiwa

pidana. Untuk dapat mengetahui atau mendefinisikan siapakah pelaku atau

daader tidaklah sulit namun juga tidak terlalu gampang. Banyak pendapat

mengenai apa yang disebut pelaku. Satochid Kertanegara kata dader dengan

istilah pelaku, sedangkan Moeljatno memberikan istilah dader sebagai

pembuat.14 Pembuat menurut Pasal 55 KUHP dibagi menjadi 3 yaitu pelaku

12
Marhus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 155.
13
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pegertian Dasar
Dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta, 2011, hal. 57.
14
H H.M. Rasyid Ariman & Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Setara Press, Malang, 2015,
hal. 121.
14

(dader), orang yang turut melakukan (mededader), dan orang yang

membujuk/penganjur (uitloker).15

Pelaku suatu tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakanya atau

kelapaanya memenuhi semua unsur dari delik seperti yangt terdapat dalam

rumusan delik yang bersangkutan, baik yang dinyatakan secara tegas maupun

tidak dinyatakan secara tegas.

Wujud atau bentuk dari penyertaan deelneming yaitu turut melakukan

medeplegen dan pembantuan (medeplichtigheid) yang dikandungan dalam

Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tujuan

dirumuskannya tindak pidana yang dalam undang-undang baik sebagai

kejahatan ataupun pelanggaran ditujukan pada orang (subyek hukum pidana)

dan hanya sebagian terdapat tindak pidana yang ditujukan pada suatu badan

hukum yang terdapat diluar KUHP.

Subyek hukum yang disebutkan dan dimaksudkan dalam rumusan

tindak pidana adalah hanya satu orang, bukan beberapa orang. Namun sering

terjadi subyek suatu tindak pidana dilakukan lebih dari satu orang. Dalam hal

ini dinamakan sebagai suatu penyertaan atau Deelneming. Penyertaan atau

deelneming adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut

serta/terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik

dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak

pidana.
15
Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2012, hal. 63.
15

Penyertaan diatur di dalam Pasal 55 dan 56 Peraturan Perundang-

Undangan Nomor 1 Tahun 1976 tentang Peraturan Hukum Indonesia (Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana). Pasal 55 dan 56 mengatur mengenai kategori

dari perbuatan yang dilakukan termasuk dalam turut serta atau pembantuan

apakah termasuk atau tidak.

Ketentuan pidana dalam Pasal 55 KUHP menurut rumusannya

berbunyi:

(1) Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana, yaitu:


a. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau yang turut
melakukan;
b. Mereka yang dengan pemberian-pemberian, janji-janji, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan
kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan
kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan, sarana-
sarana atau keterangan-keterangan, dengan sengaja telah
menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana yang
bersangkutan.
(2) Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini, yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada mereka itu hanyalah tindakan-
tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk
dilakukan oleh orang lain, berikut akibat-akibatnya.

Ketentuan pidana dalam Pasal 56 KUHP menurut rumusannya

berbunyi:

(1) Mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam


melakukan kejahatan tersebut.
(2) Mereka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan,
sarana-sarana atau keterangan-keterangan untuk melakukan
kejahatan tersebut.

Menurut KUHP yang dimaksud dengan turut serta melakukan adalah

setiap orang yang sengaja berbuat dalam melakukan suatu tindak pidana. Pada
16

mulanya yang disebut dengan turut berbuat itu ialah bahwa masing-masing

peserta telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi semua

rumusan tindak pidana yang bersangkutan.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada Pasal 55 jika dicermati

menurut pengaturannya, dapat diketahui bahwa klasifikasi pelaku adalah :

a. Mereka yang melakukan (pleger)

Orang ini ialah seorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan

segala anasir atau elemen dari peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana

yang dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi

elemen status sebagai Pegawai Negeri.

b. Mereka yang menyuruh melakukan (doen pleger)

Disini sedikitnya ada dua orang yang menyuruh (doen plegen) dan

yang disuruh (pleger). Jadi bukan orang itu sendiri yang melakukan

peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian

toh ia dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri yang

melakukan peristiwa pidana, akan tetapi ia menyuruh orang lain, disuruh

(pleger) itu harus hanya merupakan suatu alat (instrument) saja,

maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dapat

dipertaggungjawabkan atas perbuatannya.

c. Orang yang turut melakukan (medepleger)

Turut melakukan dalam arti kata bersama-sama melakukan.

Sedikit-dikitnya harus ada dua orang, ialah orang yang melakukan


17

(pleger) dan orang yang turut melakukan (medepleger) peristiwa pidana

itu. Disini diminta, bahwa kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan

pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu.

Tidak boleh misalnya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau

perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka

orang yang menolong itu tidak masuk medepleger akan tetapi dihukum

sebagai membantu melakukan (medeplichtige) tersebut dalam Pasal 56

KUHP.

3. Praktek Kedokteran Tanpa Izin Kementerian Kesehatan

Setiap tenaga medis dan tenaga kesehatan yang melakukan praktik

harus memiliki surat izin praktik, yang biasa dikenal dengan Surat Izin Praktik

(SIP). Surat Izin Praktik diterbitkan oleh pemerintah daerah atas rekomendasi

dari pejabat kesehatan yang berwenang. Dasar Hukum Surat Izin Praktik (SIP),

terdapat dalam Pasal 13 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 44 Tahun

2009 tentang Rumah Sakit, menyebutkan bahwa: “Tenaga medis yang

melakukan praktik kedokteran di rumah sakit wajib memiliki surat izin praktik

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Tenaga kesehatan

tertentu yang bekerja di rumah sakit wajib memiliki izin sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 46 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan menyebutkan bahwa:


18

(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik di bidang


pelayanan kesehatan wajib memiliki izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk
SIP.
(3) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh
pemerintah daerah kabupaten/kota atas rekomendasi pejabat
kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat Tenaga
Kesehatan menjalankan praktiknya.
(4) Untuk mendapatkan SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Tenaga Kesehatan harus memiliki:
a. STR yang masih berlaku;
b. Rekomendasi dari Organisasi Profesi; dan
c. Tempat praktik.
(5) SIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-masing berlaku
hanya untuk 1 (satu) tempat.
(6) SIP masih berlaku sepanjang:
a. STR masih berlaku; dan
b. tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 36 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran menyebutkan bahwa: “Setiap dokter dan dokter gigi yang

melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik”.

Hal tersebut juga sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan

Republik Indonesia Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang Izin Praktik

Dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran yang menyebutkan bahwa Setiap Dokter

dan Dokter Gigi yang menjalankan praktik kedokteran wajib memiliki SIP.

Konsekuensi bagi setiap tenaga kesehatan yang menjalankan praktik

tanpa memiliki izin maka ketentuan pidananya terdapat dalam Pasal 86 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan,

sebagaimana dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00


19

(seratus juta rupiah). Selain itu, terdapat ancaman berpraktik tanpa izin terdapat

dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran, Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan

praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau

denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Ancaman pidana

berpraktik tanpa izin, hanya ada dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran.

F. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan penulis dalam penulisan hukum ini

adalah deskriptif analitis karena penelitian ini mendeskripsikan secara terperinci

fenomena sosial yang menjadi pokok permasalahan. Suatu penelitian deskriptif

dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia,

keadaan atau gejala-gejala lainnya.16

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif, adapun

yang dimaksud dengan jenis penelitian yuridis normatif adalah penelitian

16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
2014, hal. 10.
20

hukum kepustakaan karena dalam penelitian hukum normatif dilakukan dengan

cara meneliti bahan-bahan pustaka atau data sekunder saja.17

3. Metode Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah dengan

studi kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan ini dimaksudkan

untuk memperoleh data sekunder dengan mempelajari literatur-literatur,

peraturan perundang-undangan, teori-teori, pendapat para sarjana dan hal-hal

lain yang berkaitan dengan pokok bahasan.

4. Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder

diperoleh melalui sumber data yang diperoleh dalam materi penelitian terdiri:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang

Praktik Kedokteran, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah

Sakit, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang

Kesehatan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik

Kedokteran.

17
Dyah Ochtorina Susanti Dan A‟an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research), Sinar
Grafika, Jakarta, 2014, hal 19.
21

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi

tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi. Publikasi tentang

hukum yang dikaji, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti Kamus

Bahasa Indonesia serta melalui penelusuran dari internet.

5. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif

yang merupakan analisis yang mengupayakan dilakukannya dengan jalan

bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi

satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola,

menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa

yang dapat diceritakan kepada orang lain.

G. Sistematika Penulisan

Bab I berisikan Pendahuluan yang terdiri dari Latar belakang, Rumusan

masalah, Tujuan penelitian, Maanfaat penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan

pustaka, Metode penelitian, dan Sistematika penulisan.

Bab II berisikan Pengaturan Hukum Pelarangan Praktek Kedokteran Tanpa

Izin, yang terdiri dari Definisi, Tugas, Dan Kompetensi Dokter Melakukan Praktek,
22

Izin Praktik Dokter, serta Ketentuan Hukum Pelarangan Praktek Kedokteran Tanpa

Izin Kementerian Kesehatan.

Bab III berisikan Bentuk Perbuatan Pelaku Dalam Melakukan Praktek

Kedokteran Kedokteran Tanpa Izin Kementerian Kesehatan berdasarkan Putusan

Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr, yang terdiri dari Kasus Posisi Putusan Nomor

1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr, Fakta-Fakta Hukum dalam Putusan Nomor

1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr, serta Unsur Perbuatan Pidana Pelaku Dalam

Melakukan Praktek Kedokteran Tanpa Izin berdasarkan Putusan Nomor

1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr.

Bab IV berisikan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Dalam Melakukan

Praktek Kedokteran Tanpa Izin Berdasarkan Putusan Nomor

1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr, yang terdiri pertanggungjawaban pidana terhadap

pelaku praktek kedokteran tanpa izin Kementerian Kesehatan, analisis penjatuhan

pidana pelaku dalam melakukan praktek kedokteran tanpa izin Kementerian

Kesehatan berdasarkan Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr, serta

hambatan dan upaya pemerintah dalam menanggulangi praktek kedokteran tanpa izin

Kementerian Kesehatan.

Bab V berisikan Penutup yang terdiri dari Kesimpulan dan Saran.


BAB II
PENGATURAN HUKUM PELARANGAN PRAKTEK KEDOKTERAN
TANPA IZIN KEMENTERIAN KESEHATAN

A. Definisi, Tugas, Dan Kompetensi Dokter Melakukan Praktek Kedokteran

Dokter merupakan seorang individu yang bekerja sesuai keilmuannya untuk

menyembuhkan atau mengobati pasien atau orang yang dalam penyakit. Definisi

dokter disini tidak berarti sebagai orang yang dapat menyembuhan segala penyakit,

tetapi dengan pelatihan, Pendidikan, dan keilmuannya diharapkan dapat mengurangi

penderitaan individu yang sakit.18 Definisi operasional dari “Dokter” merupakan

tenaga kesehatan sebagai tempat tujuan pertama pasien dan petugas kesehatan untuk

mengatasi semua permasalahan kesehatan yang terjadi tanpa memilih jenis penyakit,

usia, organology serta jenis kelamin, secepat dan sebisa mungkin, dengan cara

paripurna, menyeluruh, kolaborasi, dan koordinasi serta berkesinambungan bersama

profesional kesehatan yang lainnya, menggunakan dasar pelayanan yang efisien dan

efektif dan mengutamakan tanggungjawab hukum, profesional, moral dan etika.

Layanan yang diselenggarakannya adalah sebatas kompetensi dasar kedokteran yang

diperolehnya selama pendidikan kedokteran.19

Definisi dokter ditinjau menurut Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 1 ayat (2) ialah seluruh dokter baik umum,

spesialis, gigi, dan gigi spesialis yang telah menyelesaikan Pendidikan kedokteran di

18
S. Soekiswati, Studi Kritis Praktik Dokteroid Paramedis Pada Pelayanan Kesehatan.
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 10, No. (2), 2019, hal. 111- 131.
19
Konsil Kedokteran Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta, 2012, hal. 12.

23
24

Indonesia maupun di luar negeri dan haruslah diakui oleh Pemerintah Indonesia dan

mengacu pada perundang-undangan yang berlaku. Dari pengertian sebelumnya dapat

disimpulkan bahwa dokter merupakan individu yang mempunyai peran dan fungsi

yang dapat membuktikan dirinya telah memenuhi dan melewati pendidikan dokter

dengan baik diuar dan di dalam negeri yang dapat dibuktikan dengan surat ijazah atau

surat keterangan lulus. Dengan kata lain individu yang disebut dokter tidak dari

keahlian yang turun temurun, tetapi melewati jenjang pendidikan dokter.

Area kompetensi seorang dokter yang harus dicapai meliputi 7 area yaitu:

1. Area akan kecakapan memberikan komunikasi yang efektif


2. Kompetensi untuk melaksanakan Keterampilan medis khususnya dibidang
klinik dasar
3. Kemampuan untuk menerapkan ilmu pengetahuan biomedik, klinik,
epidemiologi, serta perilaku dalam praktik medis.
4. Kemampuan untuk mengolah segala permasalahan kesehatan yang ada di
tingkat individu hingga masyarakat dengan pendekatan yang
komprehensif, holistik, bersinambung, terkoordinasi dan melakukan
kolaborasi dengan berbagai tingkat fasilitas kesehatan.
5. Mengelola informasi, menilai secara kritis dan memanfaatkan segala
bentuk informasi yang didapat.
6. Selalu mengembangkan diri dalam pembelajaran dengan motton belajar
sepanjang hayat dengan menjunjung tinggi mawas diri
7. Praktik klinis yang selalu menjunjung profesionalisme, moral, dan etika
yang berlaku.20

Tugas yang diberikan kepada dokter merupakan:

1. Membenahi masalah kesehatan individu, misalnya mendiagnosis penyakit,


memeriksa pasien, melakukan konsultasi serta memberi pengobatan yang
akurat, melakukan pencatatan, memberikan surat keterangan sehat, dan
memberikan surat keterangan sakit
2. Dalam kondisi sehat maupun sakit pasien harus diberikan pelayanan yang
baik.

20
Ibid., hal. 51.
25

3. Memberikan pertolongan pertama atau kegawatdaruratan kepada pasien


sebelum ditransportasikan ke rumah sakit
4. Memberikan pelayanan rujukan kepada dokter yang lebih kompeten
(dokter spesialis) untuk kelompok pasien yang membutuhkan pertolongan
lebih.
5. Keluarga pasien diberikan bimbingan oleh dokter.
6. Dokter memiliki peran dalam kesehatan perseorangan, keluarga serta
masyarakat.21

Profesi dokter adalah salah satu profesi tertua di dunia selain profesi Advokat

yang telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran memberi

pengertian dokter dan dokter gigi yang berbunyi: “Dokter, dokter spesialis, dokter

gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan Pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi

baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia

sesuai dengan peraturan perundangundangan”. Ketika membahas pengertian dokter

dan dokter gigi secara keseluruhan seperti yang telah dijelaskan diatas, maka tidak

terlepas juga dengan pengertian profesi kedokteran yang menjalankan praktik

kedokteran. Dikarenakan pada sisilain praktek kedokteran bukanlah pekerjaan yang

dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok

professional kedokteran tertentu, dan telah mendapatkan izin dari institusi yang

berwenang, serta bekerja sesuai dengan standar dan profesionalisme yang ditetapkan

oleh organisasi profesi.22

21
Farida, N. Medical professional (1st ed.). Grasindo, Jakarta, 2012, hal. 34.
22
Nusye Ki Jayanti, Penyelesaian Hukum Dalam Malpraktek Kedokteran, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2016, hal. 31.
26

Dalam hubungan ini dapat dikemukakan adanya yurisprudensi Supreme Court

of Canada 1956; keputusan mana memberikan komentar tentang Principle of

Liability seorang dokter yang terdiri dari 5 (lima) unsur sebagai berikut:

1. Tindakan yang teliti dan hati-hati;


2. Sesuai standar medis;
3. Sesuai dengan kemampuan dokter menurut ukuran tertentu;
4. Dalam situasi dan kondisi yang sama; dan
5. Keseimbangan antara keseimbangan tindakan dengan tujuan.23

Bertambahnya kapasitan Pendidikan masyarakat (pasien) mempengaruhi

terjadinya pergeseran hubungan antara dokter dan pasien, yang tadinya kedudukan

dokter lebih tinggi dibandingkan dengan pasien, dikarenakan pasien merupakan pihak

yang ingin disembuhkan oleh dokter yang tahu terkait kondisi kesehatan pasien, saat

seperti ini sering kali pasien secara langsung menyerahkan tanggung jawab tindakan

medis sepenuhnya kepada dokter karena menganggap dokter tahu segalanya (father

knows the best). Hubungan pasien dan dokter dalam upaya penyembuhan dipahami

tidak lagi sekedar hanya pengobatan pada umumnya, tetapi dipahami sebagai

hubungan terapeutik, dimana pasien diwajibkan memahami hak dan kewajiban dalam

setiap upaya penyembuhan kesehatannya oleh dokter, dan upaya ini harus diperoleh

dari kerja sama antara pasien dengan dokter dikarenakan dalam perjanjian terapeutik

kedudukan antara pasien dan dokter adalah sejajar, terkait dengan semua upaya

tindakan medis yang dilakukan oleh dokter, demi kesembuhan pasien dari penyakit.

23
Mohammad Hatta, Hukum Kesehatan Medik dan Sengketa Medik, Liberty, Yogyakarta,
2013, hal. 84.
27

Semua professional dalam melaksanakan pekerjaannya harus sesuai denga apa

yang disebut dengan standar (ukuran) profesi. Jadi bukan hanya tenaga kesehatan

yang harus bekerja sesuai dengan standar profesi medik. Pengembangan profesi yang

lainpun memiliki standar profesi yang ditentukan oleh masing-masing. Namun

pengembangan profesi di luar dokter jarang berhubungan dengan hilangnya nyawa

seseorang atau menyebabkan cacat, sehingga mungkin tidak begitu dipermasalahkan.

Dalam lingkungan masyarakat ada beberapa jenis profesi seperti guru,

jurnalis, advokat, hakim, jaksa dan sebagainya. Bila dibandingkan dengan profesi

lainnya sebagaimana disebutkan, profesi kedokteran mempunyai kekhususan yang

membedakannya dengan profesi lain. Kekhususan profesi kedokeran terletak pada

sifat otonom dan ukuran mengenai kemampuan rata-rata dan dokter sebagai

pengemban profesi, ketelitian, ketekunan, kehati-hatian, dan rasa pengabdian yang

tinggi. Walaupun dokter dalam memberikan pelayanan medis mempunyai otonomi

profesi, tetapi kemandirian dokter berdasar otonomi tersebut tetap harus dipagari

dengan peraturan yang berlaku.

W.B. Van Der Mijn, mengemukakan pendapat bahwa dalam melaksanakan

profesinya, seorang tenaga kesehatan harus berpegang pada tiga ukuran umum

meliputi:24

1. Kewenangan;

Kewenangan adalah kewenangan hukum (rechtsvoegheid) yang dipunyai

oleh seorang tenaga kesehatan untuk melaksanakan pekerjaannya. Atas dasar


24
Ibid.
28

kewenangan inilah, seorang tenaga kesehatan berhak melakukan pengobatan

sesuai dengan bidangnya. Di Indonesia, kewenangan menjalankan profesi tenaga

kesehatan pada umumnya diperoleh dan Departemen Kesehatan. Namun sejak

berlakunya Undang-Undang Praktik Kedokteran pada tanggal 6 Oktober 2005,

maka kewenangan dokter untuk menjalankan praktik kedokteran di Indonesia

diperoleh dan Konsil Kedokteran Indonesia.25 Dengan diterbitkannya Surat Tanda

Registrasi Dokter oleh Konsil Kedokteran Indonesia, maka dokter pemilik Surat

Tanda Registrasi (STR) tersebut, berhak untuk melakukan praktik kedokteran di

Indonesia, karena telah memenuhi syarat administratif untuk melaksanakan

profesinya. Dari persyaratan administratif yang telah dipenuhi ini, dokter sebagai

pengemban profesi telah memperoleh kewenangan profesional dalam

menjalankan pekerjaannya.

2. Kemampuan rata-rata;

Menentukan kemampuan rata-rata seorang tenaga kesehatan, banyak

faktor yang harus dipertimbangkan. Selain dan faktor pengalaman tenaga

kesehatan yang bersangkutan fasilitas, sarana prasarana di daerah tempat tenaga

kesehatan (dokter) tersebut bekerja juga ikut mempengaruhi sikap dokter dalam

melakukan pekerjaannya. Sehingga sangat sulit untuk menentukan standar

kemampuan rata-rata ini.

25
Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran.
29

3. Ketelitian yang umum.

Berdasarkan ketelitian yang dilakukan oleh dokter dalam melaksanakan

pekerjaan dan situasi yang sama. Tolak ukur untuk menentukan ketelitian ini

sangat sulit, karena setiap bidang keahlian mempunyai aturan main sendiri-sendiri

yang seharusnya bisa dituangkan di dalam “Standar Umum”.

Secara yuridis, perjanjian terapeutik diartikan sebagai hubungan hukum antara

dokter dengan pasien dalam pelayanan medis secara profesional didasarkan

kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu di bidang

kesehatan. Terapeutik adalah terjemahan dari therapeutic yang berarti dalam bidang

pengobatan, Ini tidak sama dengan terapi yang berarti pengobatan.26

Persetujuan yang terjadi antara dokter dan pasien bukan hanya di bidang

pengobatan saja tetapi lebih luas, mencakup bidang diagnostik, preventif, rehabilitatif

maupun promotif, maka persetujuan ini disebut pejanjian terapeutik atau transaksi

terapeutik. Perjanjian terapeutik juga disebut dengan kontrak terapeutik yang

merupakan kontrak yang dikenal dalam bidang pelayanan kesehatan.27 Dalam hal ini

Salim mengutip pendapat Fred Ameln yang mengartikan perjanjian terapeutik dengan

kontrak dimana pihak dokter berupaya maksimal menyembuhkan pasien (inspanings

verbintenis) jarang merupakan kontrak yang sudah pasti (resultasts verbintenis).

Perjanjian terapeutik tersebut disamakan inspanings verbintenis karena dalam kontrak

26
Hermien Hadiati Koeswadji, Hukum Kedokteran (Medical Law), Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Jakarta, 2012, hal. 142.
27
Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press, Jakarta,
2015, hal. 45.
30

ini dokter hanya berusaha untuk menyembuhkan pasien dan upaya yang dilakukan

belum tentu berhasil.

Harmien Hadiati Koswadji mengemukakan bahwa hubungan dokter dan

pasien dalam transaksi teurapeutik (perjanjian medis) bertumpu pada dua macam hak

asasi yang merupakan hak dasar manusia, yaitu:

1. Hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self-determination);

2. Hak atas dasar informasi (the right to informations).28

Hubungan hukum kontrak terapeutik oleh undang-undang diintepretasikan

berbeda, walaupun secara prinsip hubungan hukum perjanjian terapeutik adalah sama

yaitu hubungan antara pasien dengan petugas tenaga medis. Undang-Undang Nomor

36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menyatakan bahwa para pihak dalam kontrak

terapeutik adalah pasien dengan tenaga kesehatan, sedangkan dalam Undang-Undang

Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa para pihak

dalam kontrak teurapeutik adalah pasien dan dokter/dokter gigi.

Pengertian perjanjian terapeutik di atas oleh undang-undang dimaknai

berbeda, oleh karena itu Salim H.S menyempurnakan pengertian Perjanjian

Terapeutik, yaitu sebagai:

Kontrak yang dibuat antara pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau dokter
atau dokter gigi, di mana tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi
berusaha melakukan upaya maksimal untuk melakukan penyembuhan
terhadap pasien sesuai dengan kesepakatan yang dibuat antara keduanya dan
pasien berkewajiban membayar biaya penyembuhannya.29

28
Harmien Hadiati Koeswadji, Op. Cit., hal. 143:
29
Salim H.S. Op. Cit., hal. 46.
31

Dalam pelaksanaanya perjanjian terapeutik ini harus di dahului oleh adanya

persetujuan tindakan tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi terhadap pasien yang lazim

disebut Informed consent. Istilah transaksi atau perjanjian Terapeutik memang tidak

dikenal dalam KUHPerdata, akan tetapi dalam unsur yang terkandung dalam

perjanjian teurapeutik juga dapat dikategorikan sebagai suatu perjanjian sebagaimana

diterangkan dalam Pasal 1319 KUHPerdata, bahwa untuk semua perjanjian baik yang

mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama

tertentu, tunduk pada peraturan umum mengenai perikatan pada umumnya.

Perjanjian terapeutik mempunyai sifat yang lebih khusus, sehingga tidak

semua ketentuan dari KUHPerdata dapat diterapkan. Sesuai Permenkes RI Nomor

290/MENKES/PER/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran pada Pasal 1

angka (7) menjelaskan bahwa pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau

bukan anak menurut peraturan perundang-undangan atau telah/pernah menikah, tidak

terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi secara wajar, tidak mengalami

kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami penyakit mental

sehingga mampu membuat keputusan secara bebas. Apabila yang mendatangi dokter

adalah seorang pasien yang tidak kompeten maka apakah dokter tersebut harus

menolaknya, tentu saja dokter tidak mungkin menolaknya. Untuk mengantisipasi hal

ini, maka dapat digunakan ketentuan hukum yang tidak tertulis/ hukum adat yang

menyatakan bahwa seseorang yang dianggap dewasa apabila sudah bisa bekerja, ini

mungkin bisa digunakan.


32

B. Izin Praktik Dokter

Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

2052/MenKes/Per/X/2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran

menyebutkan bahwa Praktik Kedokteran adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan

oleh dokter terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan. Pembangunan

bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan,

dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang untuk mewujudkan derajat kesehatan

yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dokter dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan

kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait

langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang

diberikan. Landasan utama bagi dokter dan dokter gigi untuk dapat melakukan

tindakan medis terhadap orang lain adalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan

kompetensi yang dimiliki, yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan.

Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus dipertahankan dan ditingkatkan

sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.

Dokter dan dokter gigi dengan perangkat keilmuan yang dimilikinya

mempunyai karakteristik yang khas. Kekhasannya ini terlihat dari pembenaran yang

diberikan oleh hukum yaitu diperkenankannya melakukan tindakan medis terhadap

tubuh manusia dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan.


33

Tindakan medis terhadap tubuh manusia yang dilakukan bukan oleh dokter atau

dokter gigi dapat digolongkan sebagai tindak pidana.

Berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter dan dokter gigi,

maraknya tuntutan hukum yang diajukan masyarakat dewasa ini seringkali

diidentikkan dengan kegagalan upaya penyembuhan yang dilakukan dokter dan

dokter gigi. Sebaliknya apabila tindakan medis yang dilakukan dapat berhasil,

dianggap berlebihan, padahal dokter dan dokter gigi dengan perangkat ilmu

pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya hanya berupaya untuk menyembuhkan,

dan kegagalan penerapan ilmu kedokteran dan kedokteran gigi tidak selalu identik

dengan kegagalan dalam tindakan.

Pasal 1 Angka 4 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

2052/MenKes/Per/X/2011 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran,

“Surat Izin Praktik adalah bukti tertulis yang diberikan pemerintah kepada dokter

yang akan menjalankan praktik kedokteran setelah memenuhi persyaratan”. Pasal 1

Angka 6 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

2052/MenKes/Per/X/2011 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran,

menyebutkan bahwa “Surat Tanda Registrasi Dokter adalah bukti tertulis yang

diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah

teregistrasi”. Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 2052/MenKes/Per/X/2011 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan

Praktik Kedokteran, menyebutkan bahwa setiap dokter dan dokter gigi yang

menjalankan praktik kedokteran wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP).


34

Pasal 76 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang

Praktik Kedokteran, menyebutkan: “Dokter dan Dokter Gigi yang dengan sengaja

melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun

atau denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”

Tujuan perlu adanya Surat Izin Praktik adalah:

1. Perlindungan bagi masyarakat dan tenaga kesehatan, apabila dari praktik

kedokteran tersebut menimbulkan akibat yang merugikan kesehatan fisik, mental,

atau nyawa pasien.

2. Petunjuk bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat

harus mempunyai kualifikasi, kompetensi, dan lisensi atau legalitas.

3. Pemberdayaan masyarakat, organisasi profesi, dan institusi yang ada.

Dokter dan Dokter Gigi Warga Negara Indonesia, yang selanjutnya disebut

Dokter dan Dokter Gigi adalah Dokter dan Dokter Gigi bangsa Indonesia asli dan

dokter dan dokter gigi bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai

warga negara Indonesia.30 Pengaturan pemberian izin penyelenggaraan Praktik

Dokter dan Dokter gigi tertuang di dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran, di dalamnya memberikan amanat untuk membuat

sebuah badan yang disebut Konsil Kedokteran Indonesia (KKI). Disini KKI

mempunyai tugas

30
Pasal 1 Angka 4 Peraturan Konsil Kedokteran Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Registrasi
Bersyarat Bagi Dokter Dan Dokter Gigi Warga Negara Asing.
35

1. Melakukan registrasi dokter dan dokter gigi;

2. Mengesahkan standar Pendidikan profesi dokter dan dokter gigi; dan

3. Melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang

dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan fungsi masing-masing.

Pasal 1 Angka 6 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

2052/MenKes/Per/X/2011 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran,

menyebutkan bahwa: “Surat Tanda Registrasi Dokter adalah bukti tertulis yang

diberikan oleh Konsil Kedokteran Indonesia kepada dokter dan dokter gigi yang telah

teregistrasi”. Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 Tentang penyelengaraan Praktik Dokter

dan Dokter gigi. Di dalamnya juga termuat formulir untuk mendapatkan STR ataupu

SIP. Kemudian KKI membuat peraturan yang tertuang dalam Pasal 36 Peraturan

Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 tentang Registrasi Dokter dan

Dokter Gigi yang berbunyi : “Setiap dokter atau dokter gigi yang melakukan praktik

kedokteran di Indonesia wajib memiliki surat izin praktik”.

Pasal 37 Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 tentang

Registrasi Dokter dan Dokter Gigi yang berbunyi :

(1) Surat izin praktik sebagaimana dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh pejabat
kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran
atau kedokteran gigi dilaksanakan
(2) Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat
(3) Satu surat izin praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
36

Pasal 38 Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 1 Tahun 2005 tentang

Registrasi Dokter dan Dokter Gigi yang berbunyi :

(1) Untuk mendapatkan surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
36, dokter dan dokter gigi harus:
a. Memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter
gigi yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal
31, dan Pasal 32;
b. Mempunyai tempat praktik; dan
c. Memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
(2) Surat izin praktik masih tetap berlaku sepanjang:
a. Surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi
masih berlaku; dan
b. Tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam surat izin
praktik
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai surat izin praktik diatur dengan Peraturan
Menteri.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2052/Menkes/Per/

X/2011 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran diatur lebih lanjut

terkait persyaratan dan tata cara dokter dan dokter gigi untuk memperoleh Surat Izin

Praktik dengan ketentuan Pasal sebagai berikut:

Pasal 8 ayat (1) :

Untuk memperoleh SIP, Dokter dan Dokter Gigi harus mengajukan


permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Kota tempat praktik
kedokteran dilaksanakan dengan melampirkan:
1. Fotokopi STR yang diterbitkan dan dilegalisasi oleh KKI;
2. Surat pernyataan mempunyai tempat praktik, atau surat keterangan dari
fasilitas layanan kesehatan sebagai tempat praktiknya;
3. Surat persetujuan dari atasan langsung dokter dan dokter gigi yang bekerja
pada instansi/fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah atau pada
instansi/fasilitas pelayanan kesehatan lain secara purna waktu;
4. Surat rekoemndasi dari organisasi profesi, sesuai tempat praktik; dan
5. Pas foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 3 (tiga) lembar dan 3x4 sebanyak
2 (dua) lembar.
37

C. Ketentuan Hukum Pelarangan Praktek Kedokteran Tanpa Izin


Kementerian Kesehatan

Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum, larangan mana

disertai dengan ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang

melanggar larangan tersebut.31 Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah

perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam

pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau

kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya

ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.32 Jika dilihat dari sudut

subjek hukumya, tindak pidana dokter melakukan praktik tanpa izin praktik adalah

tindak pidana khusus karena tindak pidana tersebut hanya dilakukan pada orang-

orang yang hanya berkualitas sebagai dokter atau dokter gigi.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran mengatur beberapa sanksi pidana terkait hal ini diantaranya:

Pasal 75 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004

tentang Praktik Kedokteran, merumuskan bahwa:

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal ini jelas bahwa seorang dokter atau dokter gigi untuk terlebih dahulu

memiliki surat tanda registrasi sebelum melakukan praktik kedokteran.

31
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hal. 59
32
Ibid.
38

Pasal 75 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran, merumuskan bahwa:

Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal ini ditujukan bagi dokter atau dokter gigi warga negara asing yang

melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pelayanan

kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara, wajib

memiliki STR sementara terlebih dahulu.

Pasal 75 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004

Tentang Praktik Kedokteran merumuskan bahwa:

Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat ayat 1 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal ini dikhusukan bagi seorang dokter atau dokter gigi warga negara asing

peserta program pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang mengikuti

pendidikan di Indonesia, sebelum melakukan praktik kedokteran wajib memiliki STR

bersyarat.

Pasal 76 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang

Praktik Kedokteran merumuskan bahwa:

Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda
paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
39

Seperti halnya pada Pasal 75 ayat (1), Pasal ini menjelaskan bahwa seorang

dokter atau dokter gigi untuk terlebih dahulu memiliki surat izin praktik sebelum

melakukan praktik kedokteran.

Pasal 79 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang

Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa: “Setiap dokter atau dokter gigi dapat

dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling

banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”. Perbuatan dalam pasal ini

termasuk dalam hal:

1. Dengan sengaja tidak memasang papan nama;

2. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis; atau

3. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban.

Pasal 80 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang

Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh korporasi, maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana denda
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah sepertiga atau dijatuhi
hukuman tambahan berupa pencabutan izin.

Berdasarkan uraian di atas, maka mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi

dokter melakukan praktik tanpa izin, dapat diuraikan sebagai berikut:


40

1. Belum Memiliki Izin

a. Belum mendapat rekomendasi Organisasi Profesi Ikatan Dokter Indonesia

(IDI). Jika seorang dokter tersebut belum menjadi anggota Organisasi Profesi

IDI, maka dokter tersebut tidak bisa memperoleh sebuah rekomendasi dari

Ketua IDI dimana rekomendasi tersebut nantinya akan digunakan sebagai

syarat melengkapi pengurusan STR.

b. Belum lulus uji kompetensi. Setelah lulus dari pendikikan Kedokteran,

seorang dokter harus mengikuti dan lulus uji kompetensi. Dimana hasil uji

kompetensi ini juga digunakan sebagai salah satu syarat dalam melengkapi

pengurusan STR.

c. Belum memiliki STR. Dalam pengurusan STR, seorang dokter harus

melengkapi persyaratan-persyaratan yang ada seperti harus lulus uji

kompetensi dan atau mendapat rekomendasi dari Organisasi Profesi IDI. Jika

seorang dokter belum memiliki STR maka secara langsung dalam pengurusan

Surat Izin Praktik (SIP) juga akan terhambat.

2. Izin Sudah Tidak Berlaku.

Belum memperpanjang STR. SIP tetap berlaku selama STR masih berlaku

juga. Dalam memperpanjang SIP seorang dokter harus terlebih dahulu

memperpanjang STR-nya. Sebagian besar seorang dokter belum memperpanjang

STR dikarenakan belum memenuhi persyaratan yang telah ditentukan atau

dikarenakan SKP (Satuan Kredit Partisipasi) masih kurang.


41

BAB III
BENTUK PERBUATAN PELAKU DALAM MELAKUKAN PRAKTEK
KEDOKTERAN TANPA IZIN KEMENTERIAN KESEHATAN
BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR
1096/PID.SUS/2020/PN JKT.UTR

A. Kasus Posisi Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/Pn Jkt.Utr.

1. Identitas Terdakwa

Nama lengkap : Benediktus Irwan Mulyono


Tempat lahir : Ruteng
Tanggal lahir : 12 Nopember 1984
Jenis kelamin : Laki-laki
Kewarganegaraan : Indonesia
Tempat tinggal : Citra Ext Blok BA 3 No 1 Rt 012/005 Kelurahan
Pegadungan, Kecamatan Kalideres, Jakarta Barat
Agama : Katolik
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : S1

2. Kronologi Kasus

Terdakwa Benediktus Irwan Mulyono diketahui pada hari Kamis tanggal 19

Maret 2020 sekitar pukul 12.00 WIB atau pada suatu waktu dalam bulan Maret 2020

atau setidaknya pada suatu waktu yang masih dalam tahun 2020, yang diketahui

bertempat di Salon Kecantikan LAVISH yang beralamatkan diruko Jalan Pantai

Indah Selatan I Blok A No 25 Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan Penjaringan,

Jakarta Utara, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam

daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang berwenang memeriksa dan

mengadili, bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga

Kesehatan yang telah memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 yaitu

setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan dilarang melakukan praktik seolah-olah

41
42

sebagai Tenaga Kesehatan yang telah memiliki izin, yang dilakukan yang dilakukan

oleh Terdakwa dengan cara-cara:

Awalnya Terdakwa pada sekitar bulan Desember 2018 berangkat ke Korea

Selatan untuk mempelajari teknik sulam alis, ulam bibir, dan sulam lipatan mata

(Eyelid). Sulam lipatan mata (Eyelid) yaitu bedah pembuangan lemak pada kelopak

mata dan tanam benang (jahit kelopak mata) dengan cara terlebih dahulu membuat

pola pada kelopak mata untuk membuat lipatan, kemudian dilakukan suntik anestesi

untuk meghilangkan rasa sakit, selanjutnya kelopak mata dijahit menggunakan

benang khusus lipatan.

Pada bulan April 2019 kemudian Terdakwa membuka usaha salon kecantikan

LAVISH yang beralamat di Jl. Pantai Indah Selatan I Blok A No.25 Kel. Kapuk

Muara, Kec. Penjaringan, Jakarta Utara dan membuka praktek tindakan medis berupa

sulam alis, sulam bibir, dan Sulam lipatan mata (Eyelid) dengan jam buka praktek

yaitu antara jam 09.30 WIB sampai dengan jam 19.00 WIB untuk hari kerja,

sedangkan untuk tanggal merah/libur jam buka praktek yaitu antara jam 09.30 WIB

sampai dengan jam 17.00 WIB. Terdakwa mendapatkan pasien dalam sehari yaitu

sekitar 1 atau 2 orang dengan keuntungan yang didapatkan terdakwa dalam 1 (satu)

hari adalah sekitar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah) dan dalam sebulan terdakwa bisa

mendapatkan keuntungan sebesar Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah)

s/d Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).

Pada hari Kamis tanggal 19 Maret 2020 sekitar pukul 10.00 WIB Saksi Friska

Y. Pohan datang ketempat praktek Terdakwa di salon kecantikan LAVISH untuk


43

Sulam lipatan mata (Eyelid). Sebelumnya Saksi Friska Y. Pohan telah mentrasfer

uang sejumlah Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah ke rekening Terdakwa sebagai uang

muka jasa praktek tindakan medis Sulam lipatan mata (Eyelid) dari tarif yang

dikenakan sebesar Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah). Kmudian Terdakwa menyuruh

Saksi Friska Y. Pohan untuk masuk ke ruangan medis lalu menggambar dengan

pulpen dilingkaran mata Saksi Friska Y. Pohan.

Tidak lama kemudian datang Saksi Akhmad Husein, Saksi Danu Sudrajat, dan

Saksi Arman Dhana yang merupakan anggota Satnarkoba Polres Metro Jakarta Utara

melakukan penggrebekan di salon kecantikan LAVISH tempat Terdakwa praktek

tindakan medis. Selanjutnya dilakukan penggeledahan ditemukan 5 (lima) dus jarum

sulam, 2 (dua) botol air NACL, 30 (tiga puluh) pcs wadah tinta, 52 (lima puluh dua)

botol berisikan cairan tinta sulam 20 ml, 3 (tiga) botol berisikan cairan tinta sulam 20

ml, 2 (dua) buah mesin sulam, 6 (enam) buah contoh serum. Terdakwa mendapatkan

produk-produk kosmetik tersebut dengan cara memesan melalui Tokopedia yang

selanjutnya terdakwa akan mengecerkannya di salon kecantikan LAVISH milik

terdakwa. Sebelumnya pada hari kamis tanggal 14 November 2019 sekitar pukul

19.00 WIB bertempat di Salon Kecantikan LAVISH yang beralamatkan diruko Jalan

Pantai Indah Selatan I Blok A No 25 Kelurahan Kapuk Muara, Kecamatan

Penjaringan, Jakarta Utara, datang Saksi Siska Mustika Sari akan melakukan Sulam

lipatan mata (Eyelid) dan telah membayar uang sejumlah Rp 6.500.000,- (enam juta

lima ratus ribu rupiah) sebagai biaya untuk pembuatan lipatan mata (Eyelid). Setelah

itu Terdakwa menyuntik mata Saksi Siska Mustika Sari yang akan dilakukan sulam
44

lipatan, kemudian Terdakwa memasukan cairan bius ke dalam lipatan mata Saksi

Siska Mustika Sari menggunakan alat suntikan lalu menggoreskan sedikit luka pada

lipatan mata Saksi, selanjutnya Terdakwa menjahit lipatan mata Saksi menggunakan

jarum dan benang khusus. Akibat pembuatan lipatan mata yang dilakukan Terdakwa

membuat mata Saksi Siska Mustika Sari menjadi bengkak dan terasa nyeri.

Terdakwa dalam menjalankan praktek tindakan medis di salon kecantikan

LAVISH tidak memiliki izin dari instansi yang berwenang. Terdakwa dalam

mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan berupa 5 (lima) dus jarum

sulam, 2 (dua) botol air NACL, 30 (tiga puluh) pcs wadah tinta, 52 (lima puluh dua)

botol berisikan cairan tinta sulam 20 ml, 3 (tiga) botol berisikan cairan tinta sulam 20

ml, 2 (dua) buah mesin sulam, 6 (enam) buah contoh serum masing-masing tanpa

memiliki izin edar dari isntansi yang berwenang.

3. Dakwaan Penuntut Umum

a. Kesatu: Pasal 83 Jo. Pasal 64 Undang-Undang No. 36 Tahun 2014


tentang Tenaga Kesehatan.
b. Kedua: Pasal 86 Ayat (1) Jo. Pasal 46 Ayat (1) Undang-Undang No.
36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
c. Ketiga: Pasal 197 Jo. Pasal 69 Ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun
2014 tentang Tenaga Kesehatan.

4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum.

a. Menyatakan terdakwa Benediktus Irwan Mulyono, terbukti bersalah


secara sah menurut hukum melakukan tindak pidana Tenaga
Kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin sebagaimana
Dakwaan Kedua Pasal 86 Ayat (1) Jo. Pasal 46 Avat (1) UU No. 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan;
b. Menghukum terdakwa BENEDIKTUS IRWAN MULYONO untuk
membayar Pidana denda sebesar Rp 35.000.000,- (tiga puluh lima juta
45

rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar oleh Terdakwa


maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan;
c. Menyatakan barang bukti berupa:
1) Jarum Sulam 5 dus;
2) Air NACL 2 botol;
3) 30 Pise wadah tinta;
4) 52 Botol yang berisikan cairan 20 ml tinta sulam;
5) 3 Botol yang berisikan cream 20 ml tinta sulam;
6) jarum suntik 5 buah;
7) 2 mesin sulam;
8) 6 contoh serum;
Dirampas untuk dimusnahkan;
d. Menetapkan supaya Terdakwa dibebani membayar biaya perkara
sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).

5. Amar Putusan

a. Menyatakan Terdakwa Benediktus Irwan Mulyono, telah terbukti


secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana „‟tenaga
kesehatan yang menjalankan praktik tanpa memiliki izin sebagaimana
dalam dakwaan alternatif kedua Jaksa Penuntut Umum;
b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana
denda sejumlah Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan
pidana kuruangan selama 4 (empat) bulan;
c. Menetapkan barang bukti berupa:
1) Jarum Sulam 5 dus;
2) Air NACL 2 botol;
3) 30 Pise wadah tinta;
4) 52 Botol yang berisikan cairan 20 ml tinta sulam;
5) 3 Botol yang berisikan cream 20 ml tinta sulam;
6) jarum suntik 5 buah;
7) 2 mesin sulam;
8) 6 contoh serum;
Dirampas untuk dimusnahkan;
4. Membebankan Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).

B. Fakta-Fakta Hukum dalam Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN. Jkt.Utr

Berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang diajukan diperoleh fakta-fakta

hukum sebagai berikut:


46

Terdakwa diamankan pada hari Kamis, tanggal 19 Maret 2020 sekitar pukul

12.00 Wib yang beralamat di Ruko Jalan Pantai Indah Selatan I Blok A No. 25

Kelurahan Kapuk Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara karena melakukan

tindak pidana praktek kecantikan tanpa adanya ijin yang berwenang. Bahwa pada saat

pengamanan ditemukan barang bukti berupa Jarum Sulam 5 dus, air NACL 2 botol,

30 Pise wadah tinta, 52 Botol yang berisikan cairan 20 ml tinta sulam, 3 Botol yang

berisikan cream 20 ml tinta sulam, jarum suntik 5 buah, 2 mesin sulam, 6 contoh

serum.

Terdakwa membuka praktek kecantikan berupa pemasangan ayelid dengan

cara menyuntikan anastesi maupun menggunakan anastesi oles kemudian menjahit

kelopak mata. Bahwa tarif jasa pembuatan ayelid yang dilakukan Terdakwa sebesar

Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah). Bahwa Terdakwa dalam membuka praktek salon

kecantikan pemasangan ayelid tersebut tanpa memiliki register sementara (STR).

Surat izin yang dipergunakan Terdakwa untuk membuka salon tersebut adalah

izin salon kecantikan yang dikeluarkan oleh Satuan Pelaksana Pelayanan Terpadu

Satu Pintu Kelurahan Kapuk Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara.

C. Unsur Perbuatan Pidana Pelaku Dalam Melakukan Praktek Kedokteran


Tanpa Izin berdasarkan Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr
Unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan setidak-tidaknya dari dua sudut

pandang, yaitu:

1. Dari sudut pandang teoritis; dan

2. Dari sudut pandang Undang-undang.


47

Maksud teoritis adalah berdasarkan pendapat ahli hukum, yang tercermin dari

pada rumusannya. Sedangkan sudut Undang-undang adalah kenyataan tindak pidana

itu dirumuskan menjadi tinda pidana tertentu dalam Pasal-pasal perundang-undangan

yang ada.33

1. Unsur-unsur tindak pidana menurut beberapa teoritis

Berdasarkan rumusan tindak pidana menurut Moeljatno, maka unsur tindak

pidana adalah perbuatan, yang dilarang (oleh aturan hukum), ancaman pidana

(bagi yang melanggar larangan). Dari batasan yang dibuat Jonkers dapat dirincikan

unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan, melawan hukum, kesalahan (yang

dilakukan oleh orang yang dapat), dipertangungjawabkan.

E.Y.Kanter menyusun unsur-unsur tindak pidana yaitu:34

Ke-1 Subjek
Ke-2 Kesalahan
Ke-3 Bersifat melawan hukum (dari tindakan)
Ke-4 Suatu tindakan yang dilarang dan diharuskan oleh UU/PerUU-an dan
terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana.
Ke-5 Waktu, tempat, keadaan (unsur bjektif lainnya).

K. Wantjik Saleh menyimpulkan bahwa suatu perbuatan akan menjadi

tindak pidana apabila perbuatan itu:

a. Melawan hukum
b. Merugikan masyarakat
c. Dilarang oleh aturan pidana
d. Pelakunya diancam dengan pidana.35

33
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana II, Rajawali Pers, Jakarta, 2002, hal. 78.
34
E.Y. Kanter, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni
AHMPTHM, Jakarta, 1992, hal. 211.
35
K. Wantjik Saleh, Kehakiman dan Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hal. 67.
48

Perumusan Simons mengenai tindak pidana, menunjukan unsur-unsur

tindak pidana sebagai berikut:36

a. Handeling, perbuatan manusia, dengan hendeling dmaksudkan tidak


saja eendoen (perbuatan) tetapi juga “een natalen” atau “niet doen”
(melalaikan atau tidak berbuat)
b. Perbuatan manusia itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)
c. Perbuatan itu diancam pidana (Strafbaarfeit Gesteld) oleh UU
d. Harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab
(toerekeningsvatbaar).
e. Perbuatan itu harus terjadi karena kesalahan.

2. Unsur rumusan tindak pidana dalam Undang-undang

Buku II KUHP memuat rumusan-rumusan perihal tindak pidana tertentu

yang masuk dalam kelompok kejahatan dan Buku III adalah pelanggaran. Ternyata

ada unsur yang selalu disebutkan dalam setiap rumusan ialah tingkah

laku/perbuatan, walaupun ada perkecualian seperti Pasal 335 KUHP. Unsur

kesalahan dan melawan hukum terkadang dicantumkan dan seringkali juga tidak

dicantumkan. Sama sekali tidak dicantumkan ialah mengenai unsure kemampuan

bertanggngjawab. Disamping itu banyak mencantumkan unsur-unsur lain baik

sekitar/mengenai objek kejahatan maupun perbuatan secara khusus untuk rumusan

tertentu.

Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP, maka dapat

diketahui adanya delapan unsur tindak pidana, yaitu:

a. Unsur tingkah laku

b. Unsur melawan hukum

36
Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,
2013, hal. 26-27
49

c. Unsur kesalahan

d. Unsur akibat konsttutif

e. Unsur keadaan yang menyertai

f. Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana

g. Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana

h. Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana.

Apakah suatu peristiwa telah memenuhi unsur-unsur dari suatu delik yang

dirumuskan dalam pasal undang-undang, maka diadakanlah penyesuaian atau

percocokan (bagian-bagian/kejadian-kejadian) dari peristiwa tersebut kepada unsur-

unsur dari delik yang didakwakan. Dalam hal ini unsur-unsur delik tersebut disusun

terlebih dahulu seperti tersebut di atas. Jika ternyata sudah cocok maka dapat

ditentukan bahwa peristiwa itu merupakan suatu tindak pidana yang telah terjadi yang

(dapat) dipertanggungjawab pidanakan, kepada subjeknya. Jika salah satu unsur

tersebut tidak ada atau lebih tegas tidak terbukti, maka harus disimpulkan bahwa

tindak pidana belum atau tidak terjadi. Boleh jadi tindakan sudah terjadi, tetapi bukan

suatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang terhadap mana diancamkan suatu

pidana. Mungkin pula suatu tindakan telah terjadi sesuai dengan perumusan tindakan

dalam pasal yang bersangkutan, tetapi tidak terdapat kesalahan pada petindak,

dan/atau tindakan itu tidak bersifat melawan hukum.

Berdasarkan hal tersebut, dalam hal bentuk perbuatan pidana pelaku dalam

melakukan praktek kedokteran tanpa izin dalam putusan atau kasus yang dikaji,

perbuatan yang dilakukan pelaku merupakan salah satu perbuatan pidana pelaku
50

dalam melakukan praktek kedokteran tanpa izin yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan telah sesuai.

Perbuatan pidana pelaku dalam melakukan praktek kedokteran tanpa izin

termasuk dalam tindak pidana dan pelakunya dapat dimintai pertanggungjawaban

dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan. Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan, dapat dikenakan Pasal 86 ayat (1) Jo Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan sesuai dengan dakwaan alternatif

kedua dalam putusan tersebut.

Mengenai dapat atau tidaknya seseorang untuk dimintai pertanggungjawaban

pidana dapat dilihat pada unsur kesalahan pelaku tindak pidana. Berdasarkan hal

tersebut, pelaku dalam melakukan praktek kedokteran tanpa izin dapat

dikualifikasikan sebagai pelaku yang dapat dimintai pertanggungjawabkan karena

telah memenuhi unsur-unsur kesalahan.

Berdasarkan dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum dan dengan

fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan, maka dakwaan yang paling tepat

diterapkan terhadap perbuatan terdakwa adalah dakwaan alternatif kedua yaitu

melanggar Pasal 86 ayat (1) Jo Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun

2014 tentang Tenaga Kesehatan, dengan unsur-unsur sebagai berikut:

1. Setiap Tenaga Kesehatan

Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam

bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui


51

pendidikan dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan RI Nomor 67 tahun 2013 tentang Pendayagunaan Tenaga Kesehatan

Warga Negara Asing, Tenaga kesehatan Warga Negara Asing Pasal 1 angka 2

yang memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan pendidikan dibidang kesehatan

yang diakui oleh Pemerintah.

Setiap orang yang dimaksud adalah yang berkaitan dengan subjek hukum

yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan, yang

melakukan suatu disebutkan bahwa Terdakwa telah melakukan suatu perbuatan

maka yang dimaksud dengan tenaga Kesehatan dalam perkara ini adalah

Terdakwa Benediktus Irwan Mulyono. Bahwa berdasarkan pertimbangan hukum

tersebut diatas, maka Majelis Hakim berpendapat unsur ini telah terbukti menurut

hukum.

2. Menjalankan praktik tanpa memiliki izin

Terdakwa diamankan pada hari Kamis, tanggal 19 Maret 2020 sekitar

pukul 12.00 Wib yang beralamat di Ruko Jalan Pantai Indah Selatan I Blok A No.

25 Kelurahan Kapuk Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta Utara karena

melakukan tindak pidana praktek kecantikan tanpa adanya ijin yang berwenang.

Terdakwa dalam melakukan pengobatan tradicional menggunakan alat bantu

berupa Jarum Sulam 5 dus, air NACL 2 botol, 30 Pise wadah tinta, 52 Botol yang

berisikan cairan 20 ml tinta sulam, 3 Botol yang berisikan cream 20 ml tinta

sulam, jarum suntik 5 buah, 2 mesin sulam, 6 contoh serum.


52

Terdakwa membuka praktek kecantikan di Ruko Jalan Pantai Indah

Selatan I Blok A No. 25 Kelurahan Kapuk Muara Kecamatan Penjaringan Jakarta

Utara. Pengobatan yang Terdakwa lakukan adalah dengan cara menyuntikan

anastesi maupun menggunakan anastesi oles kemudian menjahit kelopak mata.

Tarif jasa pembuatan ayelid yang dilakukan Terdakwa sebesar Rp. 5.000.000,-

(lima juta rupiah). Kemudian Terdakwa dalam membuka praktek salon

kecantikan pemasangan eyelid tersebut tanpa memiliki register sementara (STR).


53

BAB IV
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU DALAM MELAKUKAN
PRAKTEK KEDOKTERAN TANPA IZIN KEMENTERIAN KESEHATAN
BERDASARKAN PUTUSAN NOMOR
1096/PID.SUS/2020/PN JKT.UTR

A. Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Praktek Kedokteran Tanpa Izin


Kementerian Kesehatan

Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

menganut asas kesalahan disamping asas legalitas. Pertanggung jawaban pidana

merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang

dilakukannya. Maka dari itu terjadinya pertanggungjawaban pidana karena ada

kesalahan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang, dan telah

ada aturan yang mengatur tindak pidana tersebut. Dalam membicarakan tentang

pertanggung jawaban pidana, tidaklah dapat dilepaskan dari satu, dua aspek yang

harus dilihat dengan pandangan-pandangan falsafah. Satu diantaranya adalah

keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggung jawaban pidana akan

memberikan kontur yang lebih jelas, pertanggung jawaban pidana adalah suatu

perbuatan yang tercela oleh masyarakat yang harus dipertanggung jawabkan pada

pelakunya atas perbuatan yang dilakukan. Dengan mempertanggungjawabkan

perbuatan yang tercela itu pada pelakunya, apakah pelakunya juga di cela ataukah

pelakunya tidak dicela, pada hal yang pertama maka pelakunya tentu dipidana,

sedangkan dalam hal yang kedua pelakunya tentu tidak dipidana.

Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah

seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana

53
54

(crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana

atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus jelas ternyata bahwa tindakan yang dilakukan

itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggung jawab. Kemampuan

tersebut memperlihatkan kesalahan dari pelaku yang berbentuk kesengajaan atau

kealpaan. Bahwa demikian ternyata, bahwa orang dapat dikatakan mempunyai

kesalahan, jika dia pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi

masyarakat dapat dicela karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang

merugikan masyarakat padahal mampu untuk mengetahui makna perbuatan. tersebut.

Pertanggung jawaban pidana menjurus pada pemidanaan pelaku, jika telah

melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan

dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang,

seseorang akan dapat mempertanggung jawabkan pidananya yang terlarang,

seseorang akan dapat mempertanggungjawabkan pidananya atas suatu tindakan

tersebut apabila bersifat melawan hukum.

Kemampuan bertanggungjawab pidana menurut Pompe harus mempunyai

unsur-unsur sebagai berikut:37

1. Kemampuan berpikir (psychisch) pembuat (dader) yang memung-kinkan


ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan
perbuatannya.
2. Oleh sebab itu, ia dapat menentukan akibat perbuatannya;
3. Sehingga ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya.

37
Andi Sofyan dan Nur Azisa, Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makassar, 2016, hal. 125.
55

Van Hamel38 berpendapat, bahwa kemampuan bertanggungjawab adalah suatu

keadaan normalitas psychis dan kematangan, yang mempunyai tiga macam

kemampuan:

1. Untuk memahami lingkungan kenyataan perbuatan sendiri.


2. Untuk menyadari perbuatannya sebagai suatu yang tidak diperboleh-kan
oleh masyarakat dan
3. Terhadap perbuatannya dapat menentukan kehendaknya.

Syarat-syarat orang dapat dipertanggungjawabkan menurut Van Hamel adalah

sebagai berikut:39

1. Jiwa orang harus sedemikian rupa sehingga dia mengerti atau meng-
insyafi nilai dari perbuatannya;
2. Orang harus menginsyafi bahwa perbuatannya menurut tata cara ke-
mayarakatan adalah dilarang; dan
3. Orang harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya.

Dalam menjelaskan arti kesalahan, kemampuan bertanggung jawab dengan

singkat diterangkan sebagai keadaan batin orang yang normal, yang sehat. Dalam

KUHP tidak ada ketentuan arti kemampuan bertanggung jawab. Hubungan antara

keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa hingga orang itu

dapat dicela karena melakukan perbuatan itu tadi. Terdapat 3 hal yang dipkirkan

selain adanya kesalahan yaitu pertama merupakan faktor akal (intelektual factor)

yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak.

Yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak (volutional factor) yaitu dapat

menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsafan atas yang diperbolehkan dan mana

yang tidak. Adanya keadaan psikis (batin) tertentu dan yang kedua yaitu adanya

38
Ibid.
39
Ibid.
56

hubungan yang tertentu antara keadan batin tersebut dengan perbuatan yang

dilakukan, hingga menimbulkan celaan.

Kesalahan dapat dilihat dari sikap batin pembuat terhadap perbuatan dan

akibatnya, dari adanya kesalahan dapat ditentukan adanya pertanggungjawaban. Jan

Remmelink mendefinisikan:40 “kesalahan adalah pencelaan yang ditujukan oleh

masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu terhadap

manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari”.

Kesalahan dapat dibedakan menjadi dua yaitu:41

1. Kesengajaan (opzet) mempunyai tiga unsur yaitu perbuatan yang dilarang,


akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan itu, dan perbuatan itu
melanggar hukum;
2. Kurang hati-hati (culpa) yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak
pidana yang tidak seberat kesengajaan yaitu kurang berhati-hati, sehingga
akibat yang tidak disengaja terjadi.

Tegasnya bahwa, pertanggungjawaban pidana mempunyai kaitan yang erat

dengan beberapa hal yang cukup luas. Manusia itu mempunyai kebebasan untuk

menentukan kehendaknya atau tidak. Kehendak merupakan aktivitas batin manusia

yang pada gilirannya berkaitan dengan pertanggung jawaban manusia atas

perbuatannya,42 adalah merupakan pertanggung jawaban orang terhadap tindak

pidana yang dilakukannya, sebab terjadinya pertanggung jawaban pidana karena telah

ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dimana masyarakat telah sepakat

menolak suatu perbuatan tertentu yang mewujudkan dalam bentuk larangan atas

40
Teguh Prasetyo, Op. Cit., hlm. 226.
41
Ibid.
42
Ibid., hal. 83.
57

perbuatan tersebut. Sehingga orang yang melakukan perbuatan tersebut akan dicela

karena dalam keadaan tersebut sebenarnya pembuat dapat berbuat lain pertanggung

jawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh

hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu

perbuatan tertentu.

Pertanggungjawaban pidana dapat diartikan sebagai diteruskannya celaan

yang objektif yang terdapat pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada

memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Untuk dapat

dipidananya si pelaku, diisyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu harus

memenuhi unsur-unsur yang telah di tentukan dalam undang-undang sehingga pelaku

secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatannya.

Pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana adalah kemampuan

bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan. Pertanggungjawaban dalam hukum

pidana menganut asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).

Walaupun tidak di rumuskan dalam undang-undang, tetapi dianut dalam praktik.

Tidak dapat dipisahkan antara kesalahan dan pertanggungjawaban atas perbuatan.43

Hukum pidana sebagai hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang

dilarang oleh undang-undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa saja

yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam

ketentuan Hukum Pidana. Hukum menentukan bahwa manusialah yang diakuinya

43
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta,
2014, hal. 151.
58

sebagai penyandang hak dan kewajiban, tetapi segala sesuatunya hanya

dipertimbangkan dari segi yang bersangkut–paut atau mempunyai arti hukum. Dalam

hubungan ini bisa terjadi bahwa hukum menentukan pilihannya sendiri tentang

manusia-manusia mana yang hendak diberinya kedudukan sebagai pembawa hak dan

kewajiban. Hal ini berarti, bahwa hukum bisa mengecualikan manusia atau

segolongan manusia tertentu sebagai mahkluk hukum. Sekalipun mereka adalah

manusia, namun hukum bisa tidak menerima dan mengakuinya sebagai orang dalam

arti hukum. Bila hukum menentukan demikian, maka tertutuplah kemungkinan bagi

orang-orang tersebut untuk bisa menjadi pembawa hak dan kewajiban.44

Keperluan hukum adalah mengurusi kepentingan manusia. Oleh karena

kepentingan yang demikian itu hanya ada pada manusia yang hidup, maka konsep

orang dalam hukum itu tidak membedakan antara manusia yang hidup dan orang

dalam arti khayal, yaitu sebagai suatu konstruksi hukum. Menurut pendapat ini,

keduanya diterima sebagai orang oleh hukum. Karena hukumlah yang

mengangkatnya sebagai demikian. Mengingat terjadi perubahan sosial di berbagai

bidang kehidupan manusia, maka subjek hukum pidana tidak lagi dapat dibatasi

hanya pada manusia alamiah (Natural Person) tetapi mencakup pula korporasi (legal

person).45

Kesalahan dalam arti seluas luasnya dapat disamakan dengan

pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yaitu terkandung makna dapat dicelanya

44
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perekembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), Prenadamedia Grup, Jakarta, 2018, hal. 78.
45
Ibid.
59

si pembuat atas perbuatannya. Untuk dapat dicela atas perbuatannya, seseorang harus

memenuhi unsur-unsur kesalahan sebagai berikut:46

1. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat. Artinya keadaan


jiwa si pembuat harus normal
2. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang
berupa kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa)
3. Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf,
atau pembenar.

Apabila ketiga unsur tersebut ada, maka orang yang bersangkutan dapat

dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehingga ia dapat

dipidana. Disamping itu harusa diingat pula bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti

seluas luasnya (pertanggungjawaban pidana), orang yang bersangkutan harus

dinyatakan lebih dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Oleh karena itu

sangat penting untuk selalu menyadari akan dua hal syarat-syarat pemidanaan.

Pertanggungjawaban pidana pelaku dalam melakukan praktek kedokteran

tanpa izin kementerian kesehatan berdasarkan putusan nomor

1096/Pid.Sus/2020/PN.Jkt.Utr dikenakan Pasal 86 ayat (1) Jo Pasal 46 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

Kesehatan, menyebutkan bahwa: “Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan

praktik tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dipidana

dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Sedangkan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga

46
Ibid.
60

Kesehatan, menyebutkan bahwa: “Setiap Tenaga Kesehatan yang menjalankan

praktik di bidang pelayanan kesehatan wajib memiliki izin”.

Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban selaku subjek hukum, sesuai

dengan kesalahannya. Syarat untuk pemidanaan dari subjek hukum harus memiliki

mens rea yang melekat pada diri pelaku. Terkait dengan sikap batin dari corporate

agar dapat dimintai tanggung jawab pidana harus diterimanya doktrin tanggung jawab

fungsional (fungsional daderschap). Ciri utama dari fungsional daderschap adalah

tindakan pelaku harus menghasilkan perbuatan fungsional bagi korporasi.

Penjatuhan sanksi pidana kepada korporasi yang diduga melakukan

pelanggaran dapat dikenakan Pasal 201 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan, yang menyatakan bahwa “Selain pidana penjara dan denda

terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa

pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditetapkan

terhadap perseorangan”. Selain itu dapat juga dijerat dengan Pasal yang sama pada

Pasal 201 ayat (2) yang menyatakan bahwa “korporasi dapat dijatuhi pidana

tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.

B. Analisis Penjatuhan Pidana Pelaku Dalam Melakukan Praktek Kedokteran


Tanpa Izin Kementerian Kesehatan Berdasarkan Putusan Nomor
1096/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr.

Sebelum hakim memberikan putusan terhadap terdakwa terkait dengan tindak

pidana yang dilakukan oleh terdakwa, hakim terlebih dulu melakukan pertimbangan-

pertimbangan yang disebut dengan pertimbangan hakim. Baik itu pertimbangan yang
61

bersifat yuridis yaitu, pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis

yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan

sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Adapun pertimbangan yang bersifat

yuridis yaitu dengan memperhatikan, dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan

terdakwa, keterangan saksi, barang-barang bukti, serta pasal-pasal peraturan pidana.

Selain itu juga ada pertimbangan hakim yang bersifat non yuridis yaitu dengan

melihat latar belakang dilakukannya tindak pidana, akibat-akibat yang ditimbulkan,

kondisi diri terdakwa, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan keluarga terdakwa,

serta faktor agama.47

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam

menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan

(ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu juga

mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan

hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim

tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan

hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah Agung. Hakim

dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya pembuktian, dimana hasil

dari pembuktian itu akan digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memutus

perkara.

47
Rusli Muhammad, Hukum Acara teori Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2016,
hal. 214.
62

Pada dasarnya tugas hakim adalah memberi keputusan dalam setiap perkara

atau konflik yang dihadapkan kepadanya, menetapkan hal-hal seperti hubungan

hukum, nilai hukum dari perilaku, serta kedudukan hukum pihak-pihak yang terlibat

dalam suatu perkara, sehingga untuk dapat menyelesaikan perselisihan atau konflik

secara imparsial berdasarkan hukum yang berlaku, maka hakim harus selalu mandiri

dan bebas dari pengaruh pihak mana pun, terutama dalam mengambil suatu

keputusan. Ketentuan dalam menyatakan seseorang melanggar hukum, Pengadilan

harus dapat menentukan kebenaran akan hal tersebut. Untuk menentukan kebenaran

tersebut, sangat diperlukan adanya pembuktian terlebih dahulu agar dapat

menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa yang terjadi. Pasal 183 KUHAP

menyatakan bahwa:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila


dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.

Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses

pemeriksaan persidangan adalah tentang benar tidaknya terdakwa melakukan

perbuatan yang didakwakan, pembuktian merupakan bagian yang terpenting acara

pidana. Pembuktian menurut pemahaman umum adalah menunjukan ke hadapan

tentang suatu keadaan yang bersesuaian dengan induk persoalan, atau dengan kata

lain adalah mencari kesesuaian antara peristiwa induk dengan akar-akar peristiwanya.

Dalam perkara pidana kesesuaian itu tentu tidak harus diartikan adanya kolerasi, atau
63

adanya hubungan yang mendukung terhadap penguatan atau pembenaran karena

hukum.48

Mengenai pembuktian, terlebih dahulu haruslah diketahui terhadap ketentuan

alat bukti yang sah diatur dalam hukum acara pidana. Menurut R. Atang Ranomiharjo

dalam Andi Sofyan, bahwa alat-alat bukti yang sah adalah alat-alat yang ada

hubungannya dengan suatu tindak pidana, di mana alat-alat tersebut dapat digunakan

sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan bagi hakim, atas kebenaran

adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.49

Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya suatu

peristiwa atau perbuatan yang dilakukan oleh seseorang. Dengan demikian, tujuan

pembuktian adalah untuk dijadikan dasar dalam menjatuhkan putusan hakim kepada

terdakwa tentang bersalah atau tidaknya sebagaimana yang telah didakwakan oleh

penuntut umum. Namun tidak semua hal harus dibuktikan, sebab menurut Pasal 184

ayat (2) KUHAP, bahwa “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu

dibuktikan”.50 Alat bukti sah yang diajukan bertujuan untuk memberikan kepastian

pada hakim tentang perbuatan-perbuatan terdakwa. Tugas ini diemban penuntut

umum, hakim karena jabatannya, juga mencari tambahan bukti. Karena tujuan

pemeriksaan pengadilan di persidangan adalah untuk mencari kebenaran materiil.

Dengan demikian, hal yang diketahui hakim, tidak memerlukan alat bukti sah. Oleh

48
Hartono, Penyidikan Dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum
Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hal. 59.
49
Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Penerbit
Kencana, 2016, hal. 229.
50
Ibid.
64

karena semua unsur dari Pasal 86 ayat (1) Jo Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan telah terpenuhi, maka Terdakwa

haruslah dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tunggal putusan tersebut.

Majelis Hakim tidak menemukan hal-hal yang dapat menghapuskan

pertanggungjawaban pidana, baik sebagai alasan pembenar dan atau alasan pemaaf,

maka Terdakwa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sehingga Majelis

Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Benediktus Irwan Mulyono dengan

pidana denda sejumlah Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan

apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kuruangan selama 4

(empat) bulan.

Hukuman ini sudah merceminkan kepastian hukum bagi terdakwa walaupun

hukuman ini terkesan lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntut

menjatuhkan hukuman pidana denda sebesar Rp 35.000.000,- (tiga puluh lima juta

rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar oleh Terdakwa maka diganti

dengan pidana kurungan selama 6 (enam) bulan terhadap terdakwa. Kemudian

hukuman ini juga terkesan ringan apabila dilihat dari hukuman maksimal dari Pasal

Pasal 86 ayat (1) Jo Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang

Tenaga Kesehatan itu sendiri yang menjelaskan: “Setiap Tenaga Kesehatan yang

menjalankan praktik tanpa memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat

(1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000,000,00 (seratus juta

rupiah).”.
65

Pada kenyataanya apabila kepastian hukum dikaitkan dengan keadilan hukum,

maka akan kerap kali tidak sejalan satu sama lain. Adapun hal ini dikarenakan di satu

sisi tidak jarang kepastian hukum mengabaikan prinsip-prinsip keadilan hukum,

sebaliknya tidak jarang pula keadilan hukum mengabaikan prinsip-prinsip kepastian

hukum. Tujuan pidana menurut Plato dan Aristoteles, bahwa pidana itu dijatuhkan

bukan karena telah berbuat jahat, tetapi agar jangan diperbuat kejahatan, hal ini

merupakan suatu kenyataan bahwa hukum pidana bersifat prefentif atau pencegahan

agar tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran.51 Begitu juga Herbert L. Packer

berpendapat bahwa tingkatan atau derajat ketidakenakan atau kekejaman bukanlah

ciri yang membedakan antara punishment dan treatment.52

Putusan yang dijatuhkan hakim belum mencerminkan efek jera bagi terdakwa

dan tidak mencerminkan rasa keadilan. Penjatuhan hukuman yang ringan oleh

Majelis Hakim tidak membuat pelaku merasakan efek jera. Sehingga ditakutkan akan

muncul lagi tindak pidana seperti ini dikemudian hari. Seharusnya terdakwa tidak

hanya dijatuhkan hukuman tujuh bulan, seharusnya terdakwa di hukum seberat-

beratnya.

C. Hambatan dan Upaya Pemerintah Dalam Menanggulangi Praktek


Kedokteran Tanpa Izin Kementerian Kesehatan.

Dalam pelaksanaan penindakan terhadap Dokter yang tidak memiliki Surat

Izin Praktik terdapat kendala yang cukup menghambat, antara lain:

51
Zainab Ompu Jainah, Kapita Selekta Hukum Pidana, Tira Smart, Tangerang, 2018, hal. 25.
52
Ibid.
66

1. Dokter yang bersangkutan tidak menghiraukan pembinaan dari Organisasi

Profesi.

Dokter yang bersangkutan tidak mengerti arti pentingnya pembinaan bagi

dirinya, sehingga dalam pelaksanaan pembinaan baik pembinaan yang dilakukan

oleh organisasi profesi atau pembinaan intern yang dilakukan oleh Dinas

Kesehatan tidak direspon dengan baik, dokter yang bersangkutan cenderung

bersikap acuh.

2. Waktu yang berbenturan.

Waktu dilaksanakannya pembinaan berbenturan dengan kesibukan dokter

yang bersangkutan, sehingga dalam pelaksanaan pembinaan tidak banyak dokter

yang dapat menghadiri pembinaan tersebut.

3. Dokter kurang merespon tentang penjelasan peraturan izin praktik dokter.

Meskipun telah mengikuti pembinaan, namun dalam prosesnya tidak

memberikan banyak perubahan terhadap perilakunya. Hal tersebut dikarenakan

ketika proses pembinaan berlangsung, dokter yang bersangkutan terkesan tidak

menghiraukan proses pembinaan yang berlangsung.

4. Tidak memenuhi panggilan Mediasi.

Dokter yang bersangkutan menghiraukan undangan dari organisasi profesi

IDI untuk melakukan mediasi, biasanya hal ini dikarenakan dokter tersebut tidak

aktif dalam pertemuan organisasi profesi.


67

5. Dokter tidak ada di tempat praktik saat BINWASDAL dilaksanakan.

BINWASDAL biasanya dilaksanakan pada saat jam kerja (siang hari),

sedangkan biasanya dokter praktik pada waktu pagi dan sore hari. Jadi saat tim

Dinas Kesehatan melakukan kunjungan lapangan tidak dapat bertemu secara

langsung dengan dokter yang bersangkutan, dikarenakan dokter tidak ada

ditempat atau ada kesibukan lainnya.

6. Dokter tersebut bukan atau belum menjadi anggota organisasi profesi IDI.

Dikarenakan dokter yang bersangkutan bukan atau belum menjadi anggota

organisasi profesi IDI, maka sulit untuk berkomunikasi dan sulit memperoleh

informasi antara organisasi profesi IDI dan dokter tersebut.

7. Dokter tetap menjalankan praktek secara diam-diam.

Meskipun oleh pihak Dinas Kesehatan telah dilakukan penutupan tempat

praktik, dokter yang bersangkutan tetap menjalankan praktek secara diam-diam.

Dengan demikian dokter tersebut melanggar Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dan Peraturan Menteri

Kesehatan no. 2052/Menkes/X/2011 tentang izin praktik dan pelaksanaan praktik

kedokteran serta melanggar kode etik kedokteran.

Banyaknya Dokter praktik tanpa memiliki Surat Izin Praktik mengakibatkan

tidak adanya kepastian hukum bagi para pengguna layanan kesehatan. Dinas

Kesehatan terkait yang mengatur standar layanan kesehatan yang bermutu dan Ikatan

Dokter Indonesia sebagai organisasi profesi yang mengawasi para anggotanya agar

menjalankan kode etik kedokteran dengan baik, sangat mempunyai peran besar dalam
68

menindak dokter-dokter yang tidak memiliki Surat Izin Praktik tersebut. Upaya

penindakan terhadap dokter yang tidak memiliki surat izin praktik adalah:

1. Pembinaan dan Meditasi oleh Organisasi Profesi IDI.

Pembinaan dilakukan oleh Organisasi Profesi IDI untuk memberikan

penjelasan tentang peraturan izin praktik dokter secara detail, sedangkan meditasi

dilakukan untuk membuka isi pikiran dan merenungkan bahwa pentingnya suatu

izin praktik bagi seorang dokter, serta memberi pengertian bahwa melakukan

praktik tanpa memiliki izin adalah perbuatan melanggar hukum negara yang

berakibat sanksi terberat di kemudian hari.

2. Pembinaan secara intern oleh Dinas Kesehatan.

Selain pembinaan yang dilakukan oleh Organisasi Profesi IDI, Dinas

Kesehatan terkait juga memberikan pembinaan secara pribadi tentang peraturan

izin praktik dokter yang harus dipatuhi dan dipahami.

3. Teguran secara lisan dan tertulis oleh Dinas Kesehatan.

a. Teguran secara lisan. Teguran secara lisan disampaikan kepada seorang

Dokter yang tidak memiliki izin praktik, dengan diberikan jangka waktu 1

sampai 2 minggu untuk mengurus izin praktik tersebut.

b. Teguran tertulis. Teguran tertulis diberikan kepada seorang Dokter karena

tidak menghiraukan teguran secara lisan dengan batas waktu yang telah

ditentukan. Pemberian teguran secara lisan ataupun tertulis ini merupakan

salah satu bentuk pemberian sanksi administratif.


69

4. Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian (BINWASDAL) ke tempat Praktik.

BINWASDAL dilakukan oleh tim Dinas Kesehatan untuk memantau,

memonitoring dan memberikan pembinaan serta pengendalian terhadap

pelaksanaan izin praktek.

a. Mekanisme BINWASDAL

BINWASDAL merupakan bagian program yang dilaksanakan oleh

Dinas Kesehatan Kabupatan/Kota yang dilakukan secara berkala oleh tim

BINWASDAL, melalui:

1) Pertemuan dan koordinasi dengan forum komunikasi organisasi profesi.

2) Kunjungan lapangan dan supervise.

5. Organisasi Profesi tidak memberikan rekomendasi untuk melengkapi SIP.

Rekomendasi dari organisasi profesi IDI merupakan salah satu persyaratan

untuk melengkapi pengurusan SIP, dengan kata lain apabila organisasi profesi IDI

tidak memberikan rekomendasi maka pengurusan izin dokter tersebut tertunda

selama organisasi profesi IDI belum memberikan rekomendasi tersebut. Dengan

kata lain Organisasi Profesi IDI sudah memberikan sanksi terhadap dokter yang

praktik tanpa memiliki surat izin praktik sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat 1

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik

Kedokteran.
70

6. Pencabutan izin dan penutupan tempat praktik. Seorang dokter dilarang

melakukan aktivitas pelayanan kesehatan selama belum mempunyai izin praktik.

Dinas kesehatan telah berupaya memberikan sanksi terhadap dokter yang

melakukan praktik tanpa memiliki surat izin praktik tersebut sesuai dengan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik

Kedokteran.

7. Pencabutan Rekomendasi oleh Organisasi Profesi IDI.

Dicabut rekomendasinya yang diberikan oleh organisasi profesi IDI

melalui sidang yang dilakukan khusus. Seperti halnya pencabutan izin praktik

sanksi ini diberikan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan

Praktik Kedokteran.

Tindak pidana praktik kedokteran tanpa Surat Izin Praktik (SIP), pada

dasarnya bermula dari pelanggaran hukum administrasi kedokteran. Pelanggaran

hukum administrasi kedokteran yang diberi ancaman pidana. Jadi, sifat melawan

hukum perbuatan dalam tindak pidana tersebut terletak pada pelanggaran hukum

administrasi. Apabila ditinjau dari teori penegakan hukum dari segi faktor

kebudayaan, seharusnya dalam hukum pidana harus lebih mengutamakan nilai

ketertiban daripada nilai ketentraman. Namun dilihat dari realita kasus yang ada, nilai

ketentraman yang lebih diutamakan dari nilai ketertiban, hal ini sudah menjadi

budaya hukum yang berlaku dalam kasus seperti ini.


71

Akibat budaya hukum yang ada seperti yang telah dijelaskan di atas, tentunya

hal ini juga berkaitan dengan faktor berikutnya yaitu faktor penegak hukum. Dimana

aparat penegak hukum tidak bisa tegas dalam melakukan tindakan terhadap dokter

praktik tanpa memiliki surat izin praktik tersebut. Aparat penegak hukum hanya bisa

melakukan mediasi kepada dokter praktik tanpa surat izin praktik dan melakukan

koordinasi dengan pihak dinas kesehatan ataupun organisasi profesi dibandingkan

melakukan upaya penegakan hukum secara pidana. Dimana upaya penegakan hukum

tersebut seharusnya memberikan efek jera bagi para dokter yang melakukan praktik

tanpa memiliki surat izin praktik.

Teori yang dikemukakan oleh Soekanto menyatakan bahwa terdapat beberapa

faktor yang berpotensi berpengaruh dalam penegakan hukum yatu:

1. Faktor dari hukum dan perundang-undangan seperti adanya asas undang-


undang yang tidak berlaku surat, undang-indang yang dibuat oleh
penguasa, dan undang-undang dengan kedudukan superior.
2. Faktor aparat yang bertugas menegakan hukum
3. Faktor fasilitas, saran, dan prasarana yang didalamnya tercakup sumber
daya manusia yang berpendidikan dan mumpuni serta terampil, sebuah
organisasi yang baik, dana materiil yang cukup, dan ketersediaan peralatan
yang mencukupi.
4. Faktor masyarakat dan lingkungan dimana penegakan hukum
dilaksanakan.
5. Faktor kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai dari sebuah hukum yang
berlaku.53

Masyarakat memiliki peranan penting dalam proses penegakan hukum. Jika

masyarakat tidak memberi informasi kepada kepolisian maka kepolisian akan

kesulitan unuk memenuhi tugasnya untuk melakukan penegakan hukum. Pada kasus

53
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali,
Bandung, 2012, hal. 24.
72

tindak pidana mengenai praktik illegal yang dilakukan oleh dokter palsu ini,

masyarakat kurang mempunyai informasi untuk membedakan dokter asli atau dokter

palsu.

Sikap kerjasama masyarakat sangat berpengaruh atas penuntasan kasus-kasus

seperti itu. Karena masyarakatlah yang harus melaporkan apabia dokter tersebut

adalah dokter palsu atau tidak. Ini dikarenakan aparat penegak hukum tidak dapat

melakukan penyelidikan jika tidak adanya laporan dari masyarakat yang telah tertulis

pada KUHP. Oleh karena itu, jika masyarakat melaporkan praktik illegal yang

dilakukan oleh dokter palsu maka selanjutnya aparat penegak hukum dapat

melakukan tindakan lebih lanjut yaitu penangkapan, penyelidikan, penuntutan, hingga

penjatuhan hukuman. Penjatuhan hukuman akan di dilakukan oleh hakim di

kejaksaan.

Aparat penegak hukum diharapkan mememiliki sikap profesionalisme agar

dapat terselesaikannya kasus praktik illegal ini tanpa hambatan.54 Penegak hukum

dapat menjadi faktor yang menghambat cepatnya penegakan hukum yang harus

dijaduhkan kepada dokter palsu, hal ini dikarenakan ada aparat penegak hukum yang

kurang profesional dalam menjalankan tugas dan kurangnya pengetahuan untuk

mengatasi hal-hal yang berkaitan dengan praktik ilegal kedokteran.

Beberapa lembaga berwenang kurang dapat bekerjasama dengan aparat

penegak hukum. hal-hal lain yang mempengaruhi terhambatnya proses hukum adalah

kurangnya fasilitas yang dapat memperlancar penegakan hukum. Tanpa adanya


54
Ibid., hal. 25.
73

sarana dan prasarana yang baik maka akan berpotensi menghambat penegakan

hukum.55 Kebudayaan dapat dikatakan merupakan salah satu faktor yang dominan

karena pada dasarnya profesi dokter merupakan profesi yang disukai oleh

masyarakat. Faktor kebudayaan sebagai salah satu pendukung dan penghambat

selesainya kasus ini merupakan norma dan nilai yang dianut oleh masyarakat.

penghambat faktor budaya antara lain saat masyarakat tidak memiliki pengetahuan

wewenang dan tugas dokter. Masyarakat juga mengganggap dokter merupakan

profesi tidak bercela, sehingga masyarakat tidak berusaha melihat latar belakang

pendidikan dokter yang terkait. Tetapi faktor kebudayaan juga dapat menjadi faktor

yang dapat mempercepat selesainya kasus ini antara lain bahwa hal yang dilakukan

dokter palsu tersebut melanggar norma dan nilai yang ada di dalam masyarakat,

sehingga pelaku harus diberikan hukuman yang setimpal atas perbuatannya tersebut.

55
Ibid.
74

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan.

1. Pengaturan hukum pelarangan praktek kedokteran tanpa izin kementerian

kesehatan tertuang dalam Pasal 76 Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, merumuskan bahwa setiap

dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran

tanpa memiliki surat izin praktik dipidana dengan pidana penjara paling lama

3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta

rupiah). Pasal ini menjelaskan bahwa seorang dokter atau dokter gigi untuk

terlebih dahulu memiliki surat izin praktik sebelum melakukan praktik

kedokteran.

2. Bentuk perbuatan pelaku dalam melakukan praktek kedokteran tanpa izin

kementerian kesehatan berdasarkan Putusan Nomor 1096/Pid.Sus/2020/PN 9

Jkt.Utr merupakan tindak pidana Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik

tanpa memiliki izin sebagaimana dalam Pasal 86 Ayat (1) Jo. Pasal 46 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan,

dimana perbuatan pelaku memenuhi unsur yaitu unsur setiap tenaga kesehatan

dan unsur menjalankan praktik tanpa memiliki izin.

3. Pertanggungjawaban pidana pelaku dalam melakukan praktek kedokteran

tanpa izin kementerian kesehatan berdasarkan Putusan Nomor

1096/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Utr dijatuhkan Pasal 86 ayat (1) Jo Pasal 46 ayat

74
75

(1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

sebagaimana yang didakwakan dalam dakwaan alternatif kedua. Sehingga

Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Benediktus Irwan

Mulyono dengan pidana denda sejumlah Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta

rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti

dengan pidana kuruangan selama 4 (empat) bulan.

B. Saran.

1. Hendaknya Dokter harus mengetahui peraturan perundang-undangan yang

mengatur tentang izin praktik kedokteran agar dapat mengetahui dan

memahami kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan

praktik kedokteran serta dapat mengetahui segala konsekuensi apabila

melaksanakan praktik kedokteran tidak sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

2. Pihak kepolisian seharusnya lebih mengoptimalkan kinerjanya dengan

melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Dinas Kesehatan dan Organisasi

Profesi IDI dalam melakukan penindakan terhadap dokter yang melakukan

praktik tanpa izin tersebut.

3. Pihak Hakim diharapkan lebih tegas dalam melakukan tindakan, dalam hal ini

menerapkan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Dengan maksud, untuk meminimalisir adanya dokter yang

melakukan praktik tanpa izin atau praktik ilegal.


76

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdullah, Mustafa, dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2013.

Ali, Marhus, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.

Amir, Amri, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, Widya Medika, Jakarta, 2012.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perekembangan


Penyusunan Konsep KUHP Baru), Prenadamedia Grup, Jakarta, 2018.

Ariman, H.M. Rasyid, & Fahmi Raghib, Hukum Pidana, Setara Press, Malang, 2015.

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT Rajagrafindo Persada,


Jakarta, 2014.

Dwiyatmi, Sri Harini, Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2012.

Hartono, Penyidikan Dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum


Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Hatta, Mohammad, Hukum Kesehatan Medik dan Sengketa Medik, Liberty,


Yogyakarta, 2013.

H.S, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata, Rajawali Press,
Jakarta, 2015.

Jainah, Zainab Ompu, Kapita Selekta Hukum Pidana, Tira Smart, Tangerang, 2018.

Jayanti, Nusye Ki, Penyelesaian Hukum Dalam Malpraktek Kedokteran, Pustaka


Yustisia, Yogyakarta, 2016.

Kanter, E.Y., Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni


AHMPTHM, Jakarta, 1992.

Koeswadji, Hermien Hadiati, Hukum Kedokteran (Medical Law), Badan Pembinaan


Hukum Nasional, Jakarta, 2012.
77

Konsil Kedokteran Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia, Jakarta, 2012.

Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2012.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2015.

Muhammad, Rusli, Hukum Acara teori Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2016.

N, Farida,. Medical professional (1st ed.). Grasindo, Jakarta, 2012.

Saleh, K. Wantjik, Kehakiman dan Keadilan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998.

Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pegertian


Dasar Dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta, 2011.

Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,


Rajawali, Bandung, 2012.

------------------------, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press,


Jakarta, 2014.

Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta, 2015.

Sofyan, Andi, dan Nur Azisa, Hukum Pidana, Pustaka Pena Press, Makassar, 2016.

Sofyan, Andi, dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta:
Penerbit Kencana, 2016.

Susanti, Dyah Ochtorina, dan A‟an Efendi, Penelitian Hukum (Legal Research),
Sinar Grafika, Jakarta, 2014.

Wiradharmairadharma, Danny, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan,


Kedokteran EGC, Jakarta, 2018.

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.


78

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


2052/MENKES/PER/X/2011 Tentang Izin Praktik Dan Pelaksanaan Praktik
Kedokteran.

C. Jurnal

Aribawa, Bagoes Prasetya, “Penindakan Terhadap Dokter Praktik Tanpa Memiliki


Surat Izin Praktik (Studi di Dinas Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia
Kabupaten Pasuruan)”, Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas
Brawijaya, Malang, 2014, hal. 1

Sepang, Eliezer, “Sanksi Pidana Terhadap Praktik Kedokteran Tanpa Izin Menurut
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004”, Lex Administratum, Vol. IV/No.
3/Mar/2016, hal 5.

Soekiswati, S., Studi Kritis Praktik Dokteroid Paramedis Pada Pelayanan Kesehatan.
Media Keadilan: Jurnal Ilmu Hukum, 10(2), 2019.

D. Internet

Aribawa, Bagoes Prasetya, “Penindakan Terhadap Dokter Praktik Tanpa Memiliki


Surat Izin Praktik (Studi di Dinas Kesehatan dan Ikatan Dokter Indonesia
Kabupaten Pasuruan)”, melalui
https://media.neliti.com/media/publications/34906-ID-penindakan-terhadap-
dokter-praktik-tanpa-memiliki-surat-izin-praktik-studi-di-di.pdf, diakses
tanggal 27 Maret 2022, Pukul 20.30 Wib.

Diputra, I Gede Indra, “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Dokter Yang


Melakukan Tindakan Malpraktek Dikaji Dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Indonesia”, melalui
https://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/view/10707, diakses
tanggal 27 Maret 2022, Pukul 20.30 Wib.
79

Pendewal, “Surat Izin Praktek”, melalui https://pendewal.com/surat-izin-praktik/,


diakses pada tanggal 28 Maret 2022, Pukul 10.10 Wib.

Sitio, Eriska Kurniati, “Hukum Pidana Dan Undang-Undang Praktek Kedokteran


Dalam Penanganan Malpraktek”, melalui
https://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/view/29910, diakses
tanggal 27 Maret 2022, Pukul 20.30 Wib.

Anda mungkin juga menyukai