TESIS
Oleh
ALBERT
137011086/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
TESIS
Oleh
ALBERT
137011086/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRACT
ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR
Penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan
berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul
“AKIBAT PENGGOLONGAN HUKUM TERHADAP PEMBUATAN SURAT
KETERANGAN HAK WARIS DI KALANGAN NOTARIS”. Penulisan tesis ini
merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr.
Muhammad Yamin, SH, MS, CN., Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN,
M.Hum dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku Komisi
Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk
kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada
tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.
Selanjutnya di dalam penelitian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan
baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak.
Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan
(M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada
peneliti untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, atas segala dedikasi dan
pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu
pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Sumatera Utara, yang telah
membimbing dan membina penulis dalam penyelesaian studi selama menuntut
ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Dosen serta segenap civitas akademis Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Kedua orangtua tercinta terima kasih atas segala rasa sayang dan cinta yang tidak
terbatas sehingga menjadi dukungan untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar
selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah
kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat
memberikan manfaat kepada semua pihak.
Albert
iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................... viii
DAFTAR ISTILAH ASING ................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ...................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 9
E. Keaslian Penelitian ........................................................................ 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ....................................................... 10
1. Kerangka Teori ...................................................................... 10
2. Landasan Konsepsi ................................................................ 12
G. Metode Penelitian.......................................................................... 13
1. Sifat dan Jenis Penelitian ...................................................... 13
2. Sumber Data ........................................................................... 14
3. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 15
4. Alat-Alat Pengumpulan Data ................................................ 16
5. Analisis Data .......................................................................... 17
BAB II AKIBAT DARI BERLAKUNYA SISTEM PENGGOLONGAN
HUKUM YANG DIATUR DALAM HUKUM PERDATA
TERHADAP PRAKTIK PEMBUATAN AKTA NOTARIS ......... 19
A. Sejarah Singkat Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia ....... 19
vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
B. Tinjauan Umum Tentang Penggolongan Hukum Penduduk di
Indonesia .............................................................................. ........ 28
C. Akibat Dari Berlakunya Sistem Penggolongan Dalam
Praktik Pembuatan Akta Notaris Bagi Golongan Penduduk Di
Indonesia .............................................................................. ........ 34
BAB III KEDUDUKAN HUKUM SETIAP WARGA NEGARA
DIDALAM SISTEM PENGGOLONGAN HUKUM
SEBAGAIMANA YANG DIATUR DALAM HUKUM
PERDATA SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG
KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA .................... 55
vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR SINGKATAN
AW : Agrarische Wet
BW : Burgerlijk Wetboek
IS : Indische Staatsregeleling
IS : Indische Staatsregeling
PP : Peraturan Pemerintah
viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RR : Regeringsreglement
RR : Regeling Reglement
ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISTILAH ASING
x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
negara untuk membuat akta otentik yang mewakili pemerintah dalam pelaksanaan
salah satu profesi di bidang hukum yang bertugas memberikan pelayanan dan
dimanapun juga, tidak hanya melayani masyarakat perkotaan tetapi juga masyarakat
bahasa dan agama penduduk di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat
dihindarkan.
merupakan negara yang penduduknya memiliki tingkat pluralitas tinggi dari sabang
sampai merauke yang secara filosofis terungkap dalam semboyan Negara Kesatuan
Republik Indonesia yakni Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi
1 1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
suku, agama, ras, dan golongan. Penggolongan atau pembelahan dilakukan secara
Timur Asing. 1
hukum yang berlaku untuk setiap golongan itu merupakan politik hukum dari
dengan politik pembodohan dan politik devide et impera (politik adu domba) untuk
Belanda saat itu melalui ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS)
1
Djaja S.Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Edisi
Revisi, Bandung, Nuansa Aulia, 2007, hal. 24
2
Sonny Tobelo Manyawa, 2011, “Warisan dan Wasiat” (online),
http://sonnytobelo.blogspot.com/2011/11/warisanwasiat.html, (30 Mei 2015 pukul 13:00).
Belanda tidak terlalu berat menghadapi jika mereka bersatu yang dibagi menjadi tiga
golongan penduduk yaitu: Golongan Eropa, golongan Timur Asing (Tionghoa dan
beragama Islam dan Bumiputera beragama Kristen. Selain itu tujuan Pemerintah
Belanda pada waktu itu melakukan penggolongan penduduk karena alasan politis dan
yuridis.
Golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda, orang Eropa lain di luar
Belanda, orang Jepang dan semua orang yang berasal dari wilayah lain dengan
ketentuan wilayah itu tunduk kepada hukum keluarga yang secara substansial
memiliki asas hukum yang sama dengan hukum Belanda. Kemudian juga
ditambahkan dengan anak sah yang diakui dengan Undang-Undang serta anak-anak
Adapun golongan Timur Asing terdiri dari semua orang yang bukan golongan
Eropa maupun penduduk asli tanah jajahan. Mereka ini di antaranya adalah orang
Dan golongan terakhir, yakni Bumi Putera terdiri dari orang Indonesia asli.
Pengelompokan yang demikian ini berimbas kepada bidang hukum yang berlaku bagi
tiap-tiap kelompok.
Dalam Pasal 131 ayat 1 sub a Indische Staatsregeling (IS) ditetapkan bahwa
untuk hukum perdata materiil bagi orang Eropa berlaku asas konkordasi.3 yaitu
3
J. Kartini Soejendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik,
Cetakan ke-5, Kanisius, Jogjakarta 2005, hal 48
asalnya, ialah hukum perdata yang berlaku di Negeri Belanda”. Adapun golongan
Timur Asing berlaku hukumnya sendiri sedangkan bagi golongan Bumi Putera
Jika kepentingan sosial menghendaki maka hukum Eropa dapat berlaku lintas
hukum Eropa, baik secara sempurna maupun sebagian saja. Penundukan sempurna
dipahami bahwa ketentuan hukum Eropa berlaku utuh bagi setiap subjek hukum yang
melakukan suatu perbuatan hukum. Dengan kata lain, subjek hukum tersebut
dianggap sama dengan golongan Eropa sehingga hukumnya juga hukum Eropa.4
ini, hukum Eropa baru berlaku ketika perbuatan hukum yang dilakukan oleh
yang terdapat di Indonesia sangat beraneka ragam sesuai dengan etnis, kondisi sosial
4
Sukardono Wilianto, Sejarah Hukum di Indonesia (Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan),
Prenada Media, Jakarta, 2012, hal. 55
5
Ibid, hal. 56
a. Untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku “Hukum Adat,” yaitu hukum
yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih
belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal
dalam kehidupan masyarakat.
b. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal Tionghoa dan Eropa
berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian,
bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai Burgerlijk Wetboek tersebut ada
sedikit penyimpangan yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai
upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan)
tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgerlijke Stand”
tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak
(adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgerlijk Wetboek.
Akhirnya untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal Tionghoa atau
Eropah (yaitu : Arab, India, dan lain-lain) berlaku sebahagian dari Burgerlijk
Wetboek, yaitu pada pokoknya hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaan
harta benda (vermogensrecht), jadi tidak yang mengenai hukum kepribadian dan
kekeluargaan (personen en familierecht) maupun yang mengenai hukum warisan.
Mengenai bagian-bagian hukum yang belakangan ini, berlaku hukum mereka sendiri
dari negeri asalnya.
secara diam-diam yang dengan tegas datur didalam Staatsblad 1917 Nomor 12.
6
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Keenambelas,Intermasa, Bandung, 1982 hal.10
7
Ibid, hal.12 dan 13
dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang berbunyi “Setiap
dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”
Kemudian pada Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen yaitu dalam Pasal 28
D ayat (1) juga menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum”.
Selain itu didalam Undang-Undang Dasar 1945 juga hal tersebut ditegaskan
didalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk
Negara yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang
1958 dan akhirnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik yang warga negara Indonesia maupun
warga negara asing yang dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan ketentuan
Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 26 ayat (2),
bahwa penduduk Indonesia ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang
bertempat tinggal di Indonesia. Sedangkan yang menjadi warga negara ialah orang-
orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
dilakukan oleh Pemerintah pada zaman orde baru. Hal tersebut tidak lepas dari sistem
hukum Perdata Indonesia yang masih menganut sistem hukum Belanda mengenai
sistem penggolongan penduduk yang masih dipakai sampai saat ini yang dulunya
Indonesia.
8
C.S.T. Kansil dan Christine S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,
2011, hal.108
hukum masih tetap digunakan sampai saat ini sehingga oleh karena itu kebutuhan
akan jaminan kepastian hukum dibidang hukum perdata akan semakin meningkat.
Perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten
Dalam praktik Notaris sehari-harinya hal ini tidak dapat dipisahkan sehingga
perlu adanya pengertian dan pemahaman yang tepat dalam penerapan sistem hukum
Indonesia terutama kedudukan hukum setiap warga negara di dalam praktik Notaris
sehari-hari.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah
B. Perumusan Masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana akibat dari berlakunya sistem penggolongan hukum yang diatur dalam
C. Tujuan Penelitian
Republik Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis
1. Secara Teoritis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu
hukum pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khusunya terutama mengenai
2. Secara Praktis
memahami sejauh mana hukum dalam praktik pembuatan surat keterangan hak waris.
E. Keaslian Penelitian
Sekolah Pasca Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan Tesis tentang
Penggolongan hukum dalam praktik pembuatan surat keterangan hak waris belum
pernah ditulis.
Mengenai judul dan permasalahan dalam tesis ini, tidak ada mengandung
unsur kesamaan atau plagiat dari hasil karya ilmiah pihak lain, baik dari sisi judul,
baru pertama kali dilakukan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus
dijunjung tinggi antara lain kejujuran, rasional, objektif, terbuka serta sesuai dengan
implikasi estis dari prosedur menemukan kebenaran ilmia secara bertanggung jawab.
1. Kerangka Teori
Penulisan suatu kaya ilmiah seperti halnya tesis tentunya memerlukan suatu
kerangka teori atau kerangka pikir yang mendasari penulisan. Teori diartikan sebagai
suatu sistem yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya.9 Teori
bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses
tertentu terjadi,10 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau
penelitian.12 Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
kepastian hukum.
yang melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom atau hukum dalam bentuk
peraturan tertulis. Vank Kant berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjaga
setiap kepentingan manusia agar tidak terganggu dan terjamin kepastiannya.13 Tujuan
hukum menurut L. J. van Apeldroon adalah mengatur pergaulan hidup secara damai.
2. Landasan Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan Konsep
dalam penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara
dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk
memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu dalam penelitian
15
Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989, hal.34
16
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999,
hal.108
17
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal 19
4. Surat keterangan hak waris adalah surat keterangan yang dikeluarkan atau
yang tersebut di dalam surat keterangan hak waris tersebut adalah ahli waris
G. Metode Penelitian
Metode Penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari
satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu,
maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk
Dari sudut tujuan penelitian hukum, terdapat penelitian hukum normatif dan
18
Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji, Peneltian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkatan, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hal.43
19
Soerjono Soekanto, Op. cit., hal 51
pemaparan deskriptif.
2. Sumber Data
Sumber data utama dari penelitian ini berasal dari berbagai macam sumber,
dan berbagai macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal
pustaka yang terkait dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah
terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat
sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian, yang terdiri dari
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang member penjelasan tentang
20
Muliadi Nur, Tipologi Penelitian Hukum, diakses dari
http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/tipologi-penelitian-hukum.html pada tanggal 13 Juni 2015
pukul 18:35 WIB
pendapat para ahli, hasil penelitian, dan lain sebagainya yang relevan dengan
penelitian ini.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang member penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, bahan-
menggunakan studi pustaka, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan
pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier yang digunakan dengan alat penelitian studi
dokumen atau pustaka atau penelitian pustaka dengan cara mengumpulkan semua
penelitian ini.
sendiri oleh peneliti. Data-data ini akan dikumpulkan dengan cara terjun langsung ke
teknik yang akan dilakukan oleh peneliti saat terjun ke sumber-sumber informasi
meliputi :
a. Teknik Wawancara
Pada teknik ini, peneliti harus bisa mengorek informasi dari para nara sumber
a.1. Pembukaan formal, yakni dengan cara memperkenalkan diri terlebih dahulu,
dilakukan ini.
b. Teknik Observasi
Untuk teknik observasi ini, peneliti melakukan observasi langsung, yaitu teknik
Di dalam penelitian lazimnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu
studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau
interview. Ketiga jenis alat ini dapat dipergunakan masing-masing maupun secara
Studi Kepustakaan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan
bahan hukum tersier. Ronny Soemitro menyatakan bahwa dokumen pribadi dan
Sedangkan untuk penelitian empiris yang akan dilakukan ini, wawancara dan
pengamatan akan menjadi sarana utama bagi peneliti untuk mencatat perilaku
secara langsung memperoleh data yang dikehendaki pada saat itu juga.
5. Analisis Data
data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.23
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data
perbedaan dan atau persamaan pernyatan dari subyek penelitian dengan makna yang
21
Soerjono Soekanto Op. Cit., hal 66
22
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1998 hal.24
23
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta:, 2002
hal.106
Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, dikaji dan diteliti serta
dievaluasi kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan
analisi. Sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif untuk dinilai
kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu, data yang telah dikumpulkan
kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis
sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.
BAB II
Indonesia, tidak lepas dari Sejarah Hukum Perdata Eropa. Bermula di benua Eropa,
Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, oleh karena
karena adanya perbedaan ini jelas bahwa tidak ada suatu kepastian hukum. Akibat
ketidak puasan, sehingga orang mencari jalan kearah adanya kepastian hukum,
kesatuan bukum dan keseragaman hukum. Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon
terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama ”Code
Civil des Francos” yang juga dapat disebut "Code Napoleon", karena Code Civil des
beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothies, disamping itu juga
dipergunakan Hukum Burnt Putra Lama, Hukum Jemonia dan Hukum Conooick. Dan
24
Ansori Ahmad, Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia, Rajawali Jakarta, 2010, hal. 26
19
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di jaman Romawi antara lain
(Jaman baru sekitar abad pertengahan) akhimya dimuat pada kitab Undang-Undang
Kortfnkrijlc Holland" yang isinya mirip dengan "Code Civil des Francois atau Code
tahun 1811, Code Civil des Francois atau Code Napoleon ini tetap berlaku di Belanda
memilikan dan mengerjakan kodefikasi dari Hukum Perdatanya, Dan tepatnya5 Juli
1830 kodefikasi ini sdesai dengan terbentuknya BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK
(Wetboek van koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun isi dan
bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des Francois dan Code de
Sampai sekarang kita kenal dengan nama KUH Sipil (KUH Perdata) untuk BW
koophandel).
dalam masyarakat. Perkataan Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua
Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.
Untuk Hukum Privat materiil ini ada juga yang menggunakan dengan peraturan
Hukum Sipil, tapi oleh karena perkataan sipil juga digunakan sebagai lawan dari
militer maka yang lebih umum digunakan nama Hukum Perdata saja, untuk segenap
Dan pengertian dari Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) ialah hukum
yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam
arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan sesuatu
pihak secara timbal baik dalam hubungannya terhadap orang lain di dalam suatu
masyarakat tertentu.
Disamping Hukum privat materil, juga dikenal Hukum Perdata formal yang
lebih dikenal sekarang yaitu dengan HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata
yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana
sempit kadang-kadang hukum perdata ini digunakan sebagai lawan Hukum Dagang.
masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka wama. Penyebab dari keaneka ragaman
25
Muhammad Darwaknto, Sejarah dan Perkembangan KUH Perdata, di Indonesia, Mitra,
Ilmu, Surabaya, 2012, hal. 19
a. Faktor etnis disebabkan keaneka ragaman hukum adat bangsa Indonesia, karena
b. Faktor Hostia Yuridis yang dapat dilihat, yang pada Pasal 163.I.S yang membagi
ii. Golongan Bumi Putra (pribumi / bangsa Indonesia asli) dan yang
dipersamakan.
1. Bagi golongan Eropa dan yang dipermasakan berlaku Hukum Perdata dan
Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum
2. Bagi golongan Bumi putra (Indonesia Asli) dan yang dipersamakan berlaku
hukum adat mereka, yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan
rakyat, dimana sebagian besar dari hukum adat tersebut belum tertulis, tetapi
3. Bagi golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab) berlaku hukum
masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putra dan Tmur Asing
Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan
Maksudnya untuk segala golongan warga negara berlainan satu dengan yang
Berlaku hukum adat yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan
rakyat, hukum yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam
masyarakat.
2. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan
Eropa.
suatu penyimpangan yaitu pada bagian 2 dan 3 dari TITEL IV dari buku I
tentang :
Hal ini tidak berlaku bagi golongan Tionghoa. Karena pada mereka
26
Abdulah Ari A. Mansyur, Pembagian Golongan Penduduk Di Indonesia Pada Masa
Pemerintahan Kolonial Belanda, Eresco, Bandung, 2009, hal. 52
27
Irwando Hadiman, Pluralisme Hukum dan Penerapannya bagi Golongan Penduduk di
Indonesia, Suluh Ilmu, Semarang, 2009, hal. 18
Selanjutnya untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal dari
Tionghoa atau Eropah (antara lain Arab, India dan lainnya) berlaku sebagian dari BW
Indonesia ditulis dalam Pasal 131 (I.S) (Indische Staatregding) yang sebelumnya
sebagai berikut :
1. Hukum Perdata dan Dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara
Perdata dan Hukum Acara Pidana harus diletakkan dalam Kitab Undang-undang
yaitu di Kodifikasi).
3. Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing (yaitu Tionghoa, Arab
4. Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum
diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa.
Penundukan ini boleh baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu
maka bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi
Berdasarkan pedoman tersebut di atas, di jaman Hindia Belanda itu telah ada
bangsa Indonesia Asli, seperti Pasal 1601-1603 lama dari BW yaitu perihal:
306)
3. Dan beberapa Pasal dari WvK (KUHD) yaitu sebagian besar dari Hukum Laut
28
Fredy Lukmanto, Kedudukan KUH Perdata dan KUH Dagang Bagi Warga Negara
Indonesia Golongan Pribumi dan Timur Asing non Tionghoa, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2008, hal. 55
29
Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Kedua, Pradnya Paramitha,
Jakarta, 2004, hal. 35
Sistematika Hukum Perdata kita (BW) ada dua pendapat Pendapat yang
Buku I : Berisi mengenai orang. Di dalamnya diatur hukam tentang diri seseorang
Buku II : Berisi tentang hal benda, dan di dalamnya diatur hukum kebendaan
Buku III : Berisi tentang hal perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan
daluwarsa itu.
Pendapat yang kedua menurul ilmu Hukum / Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu :
prihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri
kecakapan-kecakapan itu.
2. Hukum kekeluargaan
kekeluargaan yaitu :
dengan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
3. Hukum kekayaan
Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaskudkan ialah
jumlah dari segala dari kewajiban orang itu dinilaikan dengan uang. Hak-hak
kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap orang, oleh
karenanya dinamakan hak mutlak dan hak yang hanya berlaku terhadap
seseorang atau pihak tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.
Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat
Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang terlihat
Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat
terlihat
b. Hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan Ilmu Pengetahuan atau
hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
4. Hukum Waris
Indonesia sebagai Negara yang terdiri dari belasan ribu pulau, beberapa suku
bangsa, agama, budaya, adat istiadat telah melahirkan beberapa sistem hukum.
Keanekaragaman dan perbedaan ini jika dikelola dengan baik akan menjadi modal
dalam rangka membangun bangsa ini menuju bangsa yang besar dan masyarakat
sejahtera, tetapi apabila tidak dikelola dengan baik dapat berakibat timbul konflik.
Oleh karena itu tenggang rasa, harga menghargai merupakan kunci utama supaya
Keanekaragaman suku bangsa ini terjadi akibat dari politik hukum pemerintah
Kolonial Belanda, politik hukum tersebut terlihat dalam Pasal 131 IS (Indische Staats
Regeling) yang mengambil alih Pasal 75 RR. Pasal 131 IS yang merupakan
lain :
1. Hukum Perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum
(ayat 1)
30
Sudarwanto, Hukum Waris Bagi Golongan Timur Asing Tionghoa, Citra Ilmu, Surabaya,
2009, hal. 40
di negeri Belanda dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang (ayat 2
sub a) ayat ini sering disebut sebagai ayat yang memuat asas konkordansi.
3. Bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing, ketentuan Undang-undang Eropa
dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang dapat diperlakukan apabila
kepada hukum yang berlaku bagi orang Eropa, baik sebagian maupun
5. Hukum adat yang masih berlaku bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing
Dari isi Pasal-Pasal tersebut nampak adanya politik memecah belah dari
1. Membedakan hukum yang berlaku untuk orang Eropa, Bumi Putera dan
2. Membagi penduduk di Hindia Belanda atas golongan Eropa, Bumi Putera dan
Timur Asing.32
Perdata sendiri-sendiri. Pada jaman Hindia Belanda, dibidang Hukum Perdata pada
31
Rendy Eko Budiono, Praktek Pelaksanaan Pembagian Golongan Penduduk Berdasarkan
Pasal 131 dan Pasal 163 IS di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 12
32
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 9
umumnya dan Hukum Perdata Waris pada khususnya di jumpai pluralisme hukum.
Hal ini terjadi karena pemerintah Hindia Belanda menurut Pasal 163 ayat (1) I.S
yaitu 33
a. Golongan Eropa
Menurut Pasal 163 ayat (2) I.S, yang termasuk golongan Eropa adalah ;
2. Orang Eropa
4. Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum kekeluargaannya sama
b. Golongan Pribumi
Menurut Pasal 163 ayat (3) I.S, yang termasuk golongan pribumi adalah :
Menurut Pasal 163 ayat (4) I.S, yang termasuk golongan Timur Asing adalah
mereka yang tidak termasuk dalam golongan Eropa atau Indonesia asli yaitu :
Bagi Bumi Putera berlaku hukum adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah
berlaku di kalangan masyarakat tetapi hukum ini masih berbeda-beda sesuai dengan
undang-undang yang secara khusus di buat oleh pemerintah Belanda bagi golongan
2. Ordonansi tentang Maskapai Andie Indonesia atau IMA (Stb 1939 No. 509 jo
717)
3. Ordonasi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Stb 1939 No. 570 jo 717)
b. Golongan Eropa
34
Ali Alfandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut KUH Perdata,
Bina Aksara, Jakarta, 2007, hal. 31
d. Golongan Timur Asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa
Bagi golongan Timur Asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa
(seperti : Arab, India, Pakistan, Mesir dan lain-lain) berlaku sebagian dari
KUHPerdata dan KUHD, yaitu mengenai hukum harta kekayaan, sedangkan hukum
waris (tanpa wasiat), hukum kepribadian dan hukum keluarga berlaku hukum negara
mereka sendiri.
Dari uraian di atas tampaklah jelas bahwa Hukum Perdata yang berlaku di
indonesia masih beraneka ragam (Pluralistik). Hal ini sebagai konsekuensi Pasal 11
badan negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-Undang ini”. Fungsi Pasal 11 aturan peralihan adalah
untuk mengatasi agar tidak terjadi kekosongan hukum, sehingga Indonesia sampai
sekarang masih tetap mengakui Pasal 131 IS. Menurut Pasal 131 IS (Indische Staats
yang hijrah dari Tiongkok secara berkala dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu.
Cara hidup mereka yang cenderung eksklusif dan sangat kuat mempertahankan
tradisi, membuat mereka menjadi kelompok yang eksotis menurut sudut pandang
Barat. Imigran Tiongkok datang di Indonesia pertama kali sebelum Belanda datang di
Indonesia. Imigran pertama datang dari bagian selatan daratan Tiongkok seperti
Hokkien di Propinsi Funan kemudian menetap di Batavia. Imigran lain seperti orang-
orang Hakko datang dari Kwantung, orang-orang Punto datang dari Konton, orang-
orang Hakko dari Swatau, dan orang Haifoeng atau Hailam dari pulau Hounan.
Pasal 131 IS berlaku hukum perdata (BW). Namun di dalam implementasinya tidak
saat ini dan memiliki kekuatan hukum mengikat dalam setiap persitiwa hukum dan
termuat dalam UU No. 62 Tahun 1958 dan UU No. 3 Tahun 1976 dan UU No. 12
menjadi dua golongan hukum yaitu hukum yang berlaku bagi golongan penduduk
Warga Negara Indonesia yang hukum berlaku bagi golongan penduduk Warga
Negara Asing (Warga Negara Asing yang dimaksud adalah warga negara di luar
35
M.J.A. Vanmorik, Studi Kasus Hukum Perdata Waris di Indonesia, Dalam saduran F
Tengker, Eresco, Bandung, 2012, hal. 11
Indonesia tersebut. Hal ini dapat dilihat sebagai contoh, misalnya dalam pembuatan
surat keterangan hak waris bagi golongan penduduk di Indonesia yang termuat di
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dokumen yang digunakan
untuk membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli waris bagi golongan Eropa,
Cina atau Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab yang beragama Islam),
digunakan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris, dalam bentuk Surat
mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh
selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan
Waris yang dibuat di bawah tangan, bermeterai, oleh para ahli waris sendiri dan
diketahui atau dibenarkan oleh Lurah dan Camat sesuai dengan tempat tinggal
terakhir pewaris. Golongan Eropa, Cina atau Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang
Arab yang beragama Islam), selama ini pembuktian sebagai ahli waris berdasarkan
Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris, dalam bentuk Surat Keterangan.
yang dibuat oleh Notaris tidak dibuat dalam bentuk minuta (salinan), melainkan
Belanda yang diikuti di Indonesia dan UUJN No. 30 Tahun 2004 jo UUJN No. 2
Tahun 2014). Artinya surat keterangan dalam bentuk yang asli dan ditandatangani
sendiri oleh Notaris yang bersangkutan. Surat keterangan waris yang dibuat selama
dikalangan notaris, tidak semua notaris bersedia membuat surat keterangan waris bagi
Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Disamping karena tidak adanya aturan
yang jelas yang mengatur tentang surat keterangan waris dan juga karena tidak
adanya aturan yang khusus dalam hal perlindungan hukum bagi notaris yang
membuat surat keterangan waris keturunan Tionghoa, namun juga karena adanya
keragu-raguan dikalangan Notaris, jika ahli waris tidak memberikan keterangan yang
sebenarnya atau menyembunyikan ahli waris yang lain, karena sejak surat keterangan
waris dibuat dan dikeluarkan oleh notaris, selalu terbuka kemungkinan bagi notaris
untuk dimintakan pertanggung jawabannya baik secara moral, etika maupun hukum
yang berlaku dengan akibat hukum terberat notaris diberhentikan dari jabatannya
saat ini tidak ada ketentuan secara tegas dan khusus yang mengatur notaris dalam
membuat surat keterangan waris. Demikian juga dalam UUJN No.30 Tahun 2004 jo
UUJN No. 2 Tahun 2014 tidak ditemukan pengaturan tentang pembuatan surat
kewenangan notaris dalam membuat surat keterangan waris. Sampai saat ini, notaris
membuat surat keterangan waris berdasarkan kebiasaan yang diikuti dari notaris
Belanda.36
Badan Pertanahan Nasional tidak berlaku secara umum, hanya berlaku secara
Undangan.
Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
36
Tan Thong Kie, Serba Serbi Praktek Notaris, Ikhtiar Baru, Jakarta, 2004, hal. 82
Pada dasarnya, ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri
bidang pertanahan, namun pada kenyataannya banyak diterapkan secara luas untuk
SEMA No. 2 Tahun 1979 yang kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6
anak adalah notaris. Dalam Stbl. 1917 No. 129 Bab II Pasal 10 ayat (1), diatur
tentang pengangkatan anak yang berisikan : Pengangkatan anak hanya dapat terjadi
dengan adanya akta notaris. Setelah dikeluarkannya SEMA terakhir tersebut, terdapat
perubahan yang mendasar dimana untuk sahnya pengangkatan anak tidak lagi
menggunakan akta notaris, tetapi dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri
dimana anak tersebut berdomisili. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata “Keadaan
kepastian hukum itu hanya di dapat setelah memperoleh suatu keputusan pengadilan.”
Ikatan Notaris Indonesia (INI) dalam hal pengangkatan anak pada kongres
yaitu :
ketentuan Staatblad 1917 No. 129 yang dalam hal ini adalah menolak
2. Memberi jalan keluar pada klien dengan cara memberikan penolakan secara
anak adalah calon orang tua angka berstatus kawin dan pada saat mengajukan
Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial No. 110 Tahun
berstatus menikah paling sedikit lima tahun, selain itu pengangkatan anak oleh
orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh warga Negara Indonesia setelah
antara pria dan wanita, dan hanya dilihat dari segi keperdataanya saja. Asas-asas
undang-undang
e) Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan isteri
Hal ini berbeda dengan ketentuan yang mengatur tentang perkawinan yang
termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan unifikasi dari
37
Habib Adjie, Plurarisme Kewenangan Pejabat Pembuat Keterangan Hak Waris di
Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 12
termuat di dalam KUH Perdata telah dicabut keberlakuannya sehingga yang berlaku
a) Asas kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus
b) Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya,
seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh
memiliki satu suami, namun ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1
tersebut
38
Djaya S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga di
Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hal. 32
1. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah
1974 )
2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam
4. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga
6. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling serta
dengan kemampuannya
3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan
1. Kedudukan anak
a) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42
Tahun 1974 )
b) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik
c) Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis
a) Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di
b) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun
di luar pengadilan
c) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun
di luar pengadilan
barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau
bagi golongan Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan golongan Eropa
yaitu golongan Timur Asing cina. Sedangkan bagi golongan Timur Asing non cina
dan golongan bumi putra berlaku hukum adatnya masing-masing dalam pengaturan
yang termuat di dalam Pasal 147 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, “Perjanjian
kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung dan akan
menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian itu akan mulai berlaku
pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu “.
perubahan dalam hal itu, yang sedianya boleh diadakan sebelum perkawinan
dilangsungkan tidak dapat diadakan selain dengan akta, dalam bentuk yang sama
seperti akta perjanjian yang dulu dibuat. Lagi pula tiada perubahan yang berlaku, jika
diadakan tanpa kehadiran dan izin orang-orang yang telah menghadiri dan menyetujui
perjanjian itu”. Pasal 149 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “ setelah perkawinan
berlangsung perjanjian kawin tidak boleh diubah dengan cara apapun. Dari uraian di
atas berdasarkan KUH Perdata maka ketentuan tentang perjanjian perkawinan harus
dibuat dalam bentuk akta autentik notaris oleh orang-orang yang tunduk kepada KUH
Perdata yaitu golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan Eropa yaitu Timur
Asing Cina sebelum lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Apabila perjanjian
perkawinan tersebut tidak dibuat dalam autentik notaris maka perjanjian tersebut
batal demi hukum. Ketentuan tentang perjanjian perkawinan yang termuat di dalam
KUH Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan
golongan Eropa yaitu Timur Asing cina berbeda dengan ketentuan tentang
yang berlaku secara nasional. Di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 29
pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga
hukum, agama dan kesusilaan”. Selanjutnya Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No.1
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan
tidak merugikan pihak ketiga”. Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa
dibuat di dalam suat akta autentik notaris dan perjanjian perkawinan tersebut dapat
diubah meskipun telah berlangsung perkawinan dengan ketentuan bila kedua belah
pihak setuju untuk mengubah perjanjian perkawinan tersebut dan tidak merugikan
pihak ketiga. Hal ini berbeda dengan ketentuan tentang perjanjian perkawinan
terdapat dalam KUH Perdata dimana perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh
pasangan suami isteri tidak dapat diubah dengan cara apapun dan dengan alasan
apapun juga. Dari kedua ketentuan tersebut dapat dikatakan terdapat perbedaan
tentang waris bagi golongan penduduk di Indonesia. Bagi golongan Eropa dan
golongan yang dipersamakan dengan Eropa yaitu Timur Asing cina berlaku ketentuan
tentang hukum waris yang termuat di dalam KUH Perdata, sedangkan bagi golongan
bumi putra berlaku hukum adatnya masing-masing dalam hal pewarisan. Disamping
itu bagi golongan Bumi Putra yang beragama Islam berlaku hukum waris Islam.
39
Sugiono Wiratno, Politik Hukum Menggolongkan Penduduk di Indonesia oleh Pemerintah
Kolonial Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 2004, hal. 60
Diaman banyak kehidupan yang menyangkut sosial maupun keluarga, dan tidak jauh-
jauh pasti akhirnya timbul mengenai permasalahan tentang waris. Pada zaman
a. Hukum Perdata, Hukum dagang, dan Hukum Pidana begitu pula Hukum acara
Perdata dan Hukum Acara Pidana harus diatur dalam bentuk Undang-Undang
negeri Belanda dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum dagang (Pasal 131 ayat
(2.a) IS)
c. Terhadap orang Indonesia asli dan Timur Asing, maka ketentuan perundang-
undangan Eropa dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang dapat
e. Hukum adat (yang termasuk Hukum Perdata adat Hukum Dagang menurut Adat)
yang masih berlaku terhadap orang Indonesia asli dan Timur Asing tetap
mempunyai kekuatan, selama dan sejauh belum ditulis dalam bentuk Undang-
berlaku untuk setiap golongan pun berbeda-beda. Adapun Hukum Perdata yang
a. Untuk Golongan Eropa dan orang yang dipersamakan dengan orang Eropa,
keturunannya baik yang sah maupun yang tidak disahkan oleh undang-undang
b. Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing (Oosterlingen) dan terhadap mereka
yang beragama Kristen sesuai dengan ketentuan Staatsblad Tahun 1847 Nomor
c. Untuk golongan Bumi Putra atau Indonesia Asli diberlakukan Hukum Perdata
adat.
Indonesia, maka hal ini menyebabkan terdapat pula 3 (tiga) hukum waris yang
berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Adat dan Hukum
Waris Islam. Ketiga macam hukum waris yang berlaku di Indonesia memang sulit
untuk disatukan. Setiap hukum waris tersebut mempunyai nilai-nilai yang berbeda
dan dasar yang berbeda pula. Hukum waris menurut konsepsi Hukum Perdata Barat
yang bersumber pada BW (KUH Perdata), merupakan bagian dari hukum harta
kekayaan.
Pewaris, Ahli waris, Harta warisan, dan mewarisi. Waris adalah orang yang berhak
menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal. Pewaris adalah orang
yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaan. Ahli waris adalah anggota
keluarga orang yang meninggal dunia yang menggantikan kedudukan Pewaris dalam
harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan
aktiva dan pasiva yang ditinggalkan Pewaris dan beralih kepada para ahli waris,
keseluruhan kekayaan yang berupa aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama
Perdata (KUHPerdata) dalam Bab XII Buku II Pasal 832 adalah para keluraga
sedarah, baik yang sah maupun di luar kawin dan si suami atau isteri yang hidupnya
terlama.
2. Harus ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal
pernah ada. Dengan demikian berarti bayi dalam kandungan juga sudah diatur
haknya oleh hukum sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk
mewaris
3. Seorang ahli waris harus cakap serta berhak mewarisi, dalam arti ia tidak
karena kematian, atau tidak dianggap sebagai tidak cakap untuk menjadi ahli
waris
yang seluas-luasnya sebagai individu untuk berbuat apa saja atas benda yang
apa saja terhadap harta benda miliknya dengan menghibahkan kepada orang
lain akan dapat menimbulkan kerugian pada ahli warisnya. Oleh karena itu,
demi kepentingan ahli waris yang sangat dekat yang bertujuan untuk
Hukum waris yang terdapat di dalam KUH Perdata berlaku bagi golongan
Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan golongan Eropa yaitu golongan
Timur Asing cina, sehingga dalam pelaksanaanya hukum waris yang berlaku bagi
golongan Eropa dan Timur Asing cina adalah berbeda dengan golongan bumi putra
dan golongan Timur Asing bukan cina. Bagi golongan bumi putra dan Timur Asing
bukan cina maka hukum waris yang berlaku bagi mereka adalah hukum adatnya
pemberlakuan hukum waris bagi golongan masyarakat bumi putra dan Timur Asing
bukan cina. Disamping itu hukum adat yang berlaku bagi golongan bumi putra dan
Timur Asing bukan cina tidak termuat di dalam suatu ketentuan peraturan perundang-
undangan, namun dalam praktiknya hukum waris adat diterapkan secara turun
temurun di kalangan masyarakat golongan bumi putra dan Timur Asing bukan cina.
Bagi golongan bumi putra yang beragama Islam dapat pula berlaku hukum waris
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa akibat dari penggolongan hukum
bagi masyarakat yang ada di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda adalah
hukum yang telah termuat di dalam KUH Perdata tersebut. Meskipun demikian
namun terbuka kesempatan bagi golongan bumi putra untuk menundukkan diri secara
sukarela di dalam hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan golongan
Timur Asing cina. Penundukan sukarela terhadap golongan bumi putra untuk tunduk
kepada hukum perdata Eropa tersebut dapat dibagi menjadi penundukan sukarela
secara keseluruhan yaitu penundukan bagi golongan bumi putra untuk tunduk secara
hukum perdata yang berlaku bagi golongan bumi putra tersebut adalah hukum perdata
bumi putra yang menundukkan diri secara sebagian kepada hukum perdata Eropa
maka untuk bidang-bidang hukum perdata tertentu yang dipilih oleh golongan bumi
hal-hal tertentu. Bagi golongan Eropa dan Timur Asing cina untuk pembuatan surat
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) maka pembuatan surat keterangan hak waris
akta autentik notaris maka perbuatan hukum pembuatan surat keterangan hak waris
maupun perjanjian perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan batal demi hukum.40
40
Rusdianto Lasiman, Surat Keterangan Hak Waris dan Kewenangan Pembuatannya
Berdasarkan Golongan Penduduk di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2012, hal. 52
Sedangkan bagi golongan bumi putra dan Timur Asing bukan cina tidak ada
ketentuan yang mewajibkan bagi mereka dalam pembuatan akta autentik notaris di
bidang perjanjian perkawinan maupun dalam surat keterangan hak waris. Dalam surat
keterangan hak waris bagi golongan bumi putra dapat dilakukan oleh para ahli waris
tersendiri dengan ditandatangani oleh lurah/kepala desa dan diketahui oleh camat.
Disamping itu pembuatan surat keterangan hak waris bagi golongan bumi putra dapat
pula dilakukan secara langsung oleh lurah/kepala desa dengan diketahui oleh camat
dimana dalam surat keterangan hak waris tersebut memuat seluruh nama-nama ahli
waris yang sah yang berhak memperoleh warisan dari si pewaris. Bagi golongan
Timur Asing bukan Cina maka surat keterangan hak waris wajib dibuat oleh balai
harta peninggalan (BHP). Hal ini dapat dikatakan terjadi perbedaan kewenangan
dalam pembuatan surat keterangan hak waris akibat terjadinya pembagian golongan
Lurah atau Camat sedangkan golongan Timur Asing dan Eropa di membuatnya di
Notaris. Selain itu terlihat dalam pembuatan surat kawin, golongan pribumi hanya
dengan buku nikah sedangan golongan non pribumi harus dengan menggunakan akta
perkawinan.42
41
Ibid, hal. 53
42
Wawancara dengan Notaris S di Medan Tanggal 31 Oktober 2015, pukul 10.00 Wib
sudah dibuat dalam akta notaris maka berlakulah penggolongan hukum berdasarkan
negara apabila sudah menjadi Warga Negara Indonesia adalah sama di mata hukum.43
berdasarkan pada pembuatan Surat Keterangan Hak Waris dan untuk pembuatan akta
Notaris yang lain adalah sama dan tidak ada perbedaan. Untuk kedudukan hukum
warga negara pada saat ini hal tersebut hanya berakibat pada pembuatan Surat
dalam pembuatan akta notaris tidak ada perbedaan dalam menentukan akta atau surat
apa yang harus dibuat untuk golongan atau agama orang yang bersangkutan
sepanjang dalam pembuatan akta notaris tersebut tidak bertentangan dengan aturan
kebiasaan dan Undang-Undang yang berlaku. Akan tetapi hanya untuk pembuatan
Surat Keterangan Hak Waris terdapat perbedaan dimana untuk golongan pribumi
pembuatannya di Lurah, untuk golongan timur asing di Notaris dan golongan timur
Kota Medan menyatakan bahwa penggolongan hukum dalam praktik pembuatan akta
43
Wawancara dengan Notaris RA di Medan tanggal 17 Nopember 2015, pukul 14.00 Wib
44
Wawancara dengan Notaris FN di Medan tanggal 19 Nopember 2015, pukul 09.00 Wib
45
Wawancara dengan Notaris H di Medan tanggal 01 Desember 2015, pukul 14.00 wib
seseorang dengan dari golongan timur asing beragama Islam maka dalam pembuatan
Surat Keterangan Hak Warisnya pertama sekali adalah di Notaris dengan format
Hukum Islam. Akan tetapi apabila hal tersebut tidak bisa diakomodir oleh Notaris
Keterangan Hak Waris tersebut di Pengadilan Agama. Hal tersebut relatif terhadap
golongan dan agama dari klien tersebut. Sedangkan kedudukan hukum warga negara
implikasinya adalah dalam hukum pertanahan dimana Warga Negara Indonesia dan
46
Wawancara dengan Notaris E di Medan tanggal 07 Desember 2015, pukul 15.00 wib
BAB III
lain: UUD 1945 melalui Pasal-Pasal 26, 27, 28 B ayat (2), 28 D ayat (1) dan (4), 28
1. UU No.3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara Indonesia;
55
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
1. Pasal 26 Ayat (1) menentukan bahwa “Yang menjadi warga negara adalah orang-
orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya, dan bersikap setia kepada
diundangkan UU No.3 Tahun 1946. Adapun yang dimaksud dengan warga negara
47
Sutedjo Irawan, Kedudukan Hukum Warga Keturunan Tionghoa Di Indonesia, Rajawali
Press, Jakarta, 2005, hal. 71
2. Orang yang tidak masuk dalam golongan tersebut diatas akan tetapi turunan dari
seseorang dari golongan itu dan lahir bertempat kedudukan dan kediaman dalam
daerah negara Indonesia, dan orang itu bukan turunan seorang dari golongan
sedikitnya 5 tahun berturut turut yang paling akhir didalam daerah negara
4. Anak yang sah, disahkan atau diakui dengan cara yang sah oleh bapaknya, yang
5. Anak yang lahir dalam waku 300 hari setelah bapaknya yang mempunyai
6. Anak yang hanya oleh ibunya diakui dengan cara yang sah yang pada waktu
7. Anak yang diangkat dengan cara yang sah oleh seorang warga negara Indonesia.
8. Anak yang lahir di dalam daerah negara Indonesia yang oleh bapaknya ataupun
9. Anak yang lahir didalam daerah negara Indonesia, yang tidak diketahui siapa
10. Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku dalam negara
48
Sugondo Akhmal, Plurarisme Hukum Waris di Indonesia, Suatu Kajian Yuridis Normatif,
raja grafindo persada, Jakarta, 2006, hal. 21
Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dianut dalam undang-
undang tersebut adalah asas Ius soli. UU No.3 Tahun 1946 beberapa kali
mengeluarkan Undang Undang No.6 Tahun 1947 tentang Perbahan UU No.3 Tahun
1946 tentang warga negara dan pendudukan Indonesia. Maka dari itu perihal
bagian menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berbentuk republik
federal. Perubahan ini pada dasarnya merupakan hasil persetujuan antara pemerintah
terdapat perihal pembagian Warga Negara, dari hasil KMB tanggal 27 Desember
1949 antara Belanda dengan Negara Indonesia serikat artinya kedua negara harus
menentukan siapa saja yang menjadi warga negara masing-masing, setelah Republik
49
Agus Irawan, Sejarah Perkembangan Kewarganegaraan di Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2006, hal. 48
Indonesia Serikat berdaulat penuh, lepas dari penjajahan Kerajaan Belanda. Maka
ditentukanlah hak opsi dan hak repuidasi dalam piagam persetujuan pembagian warga
negara konfrensi meja bundar tersebut. Hak opsi dalam kewarganegaraan adalah hak
kurangnya enam bulan, dalam jangka waktu dua tahun sesudah penyerahan
2. Kawula negara Belanda bukan orang Belanda dewasa, yang menjelang waktu
dan bertempat tinggal di Negeri Belanda atau luar wilayah peserta Uni Indonesia
Belanda, dalam jangka waktu dua tahun sesudah penyerahan kedaulatan mereka
3. Kawula negara Belanda bukan orang Belanda yang bertempat tinggal di Suriname
50
Soetoprawiro Koerniamanto, Hukum Kewarganegaraan Dan Keimigrasian, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama,1996 hal 4
b. Jika mereka lahir di ;luar wilayah kerajaan Belanda , mereka tetap memegang
4. Orang asing yang kawula negara Belanda bukan orang Belanda yang telah dewasa
penyerahan kedaulatan;
5. Orang asing yang kawula negara Belanda bukan orang Belanda yang telah dewasa
menjelang waktu kedaulatan yang lahir tidak di Indonesia yang bertempat tinggal
di kerajaan Belanda tetap berkebangsaan Belanda, tetapi dalam jangka waktu dua
6. Orang asing yang kawula negara Belanda bukan orang Belanda dari luar negeri
Belanda. Tetapi jika orang tua mereka kawula negara Belanda karena lahir di
Indonesia, dalam jangka waktu dua tahun sesudah penyerahan kedaulatan mereka
repuidasi itu dengan demikian adalah sejak tanggal 27 Desember 1949 sampai
tidak hanya ada pada orang-orang Belanda dan Eropa yang ada di Indonesia. Tetapi
Pada tahun 1949 kaum komunis berhasil merebut kekuasaan di China dari tangan
kaum Kuo Min Tang. Maka dari itu lahirlah negara RRC. Negara ini masih
diundangkan pada tahun 1929. Undang-Undang ini menggunakan asas ius sanguinis,
berarti semua orang China dimanapun mereka berada diklaim sebagai warga negara
China. Hal ini mengakibatkan semua orang yang berstatus warga negara Indonesia
Pembagian Warga Negara (PPPWN) yang dimulai pada tanggal 27 Desember 1949
sampai tanggal 27 Desember 1951 dikenal juga sebagai masa opsi, pada masa itu pula
51
Eko Hadiman, Penduduk Dan Warga Negara Di Mata Hukum, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2006,
hal. 14
Duta Besar RRC untuk Indonesia Wang Yen-Shu yaitu pada tanggal 14 Agustus 1950
dilantik sebagai Duta Besar Pertama RRC di Indonesia.Duta Besar ini secara aktif
mengecewakan pihak Indonesia mengingat sekitar 40% orang China Indonesia secara
berbagai pihak di Indonesia atas PPPWN itu Peaceful Coexistence. Sebagai akibat
Undang (RUU) tentang kewarganegraan Indonesia. RUU tersebut selesai pada bulan
dahulu harus melakukan pembicaraan terlebih dahulu dengan pihak RRC. Pokok dari
permasalahan itu adalah perlunya diselesaikan banyaknya orang China yang diklaim
sebagai warga negaranya baik oleh Indonesia maupun oleh RRC akibat dari opsi
disambut secara positif oleh pemerintah RRC, dalam rangka politik luar negeri RRC
yang baru dikenal dengan, maka dari itu dilakukanlah suatu persetujuan antara
menteri luar negeri Indonesia Sunario dan menteri luar negeri RRC Chou En-Lai.
52
Imam Suryanto, Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Pada Masa Pemerintahan Kolonial
Belanda, Salemba Empat, Jakarta, 2009, hal. 61
Pada tanggal 22 April 1955 yang dikenal dengan perjanjian Dwi Kewarganegaraan
China di Indonesia.
akibat masa opsi . Selain Itu, Indonesia juga menghendaki adanya kepastian akan
lepasnya tuntutan yuridis terhadap orang China di Indonesia sebelum kepada mereka
diberikan kesempatan baru untuk memilih kewarganegaraan. Sementara itu RRC juga
menerima baik keinginan Indonesia untuk menetukan sendiri siapa saja orang China
Indonesia yang harus memilih dan tidak ikut memilih, karena telah secara implicit
Maka secara yuridis, isi persetujuan tersebut di ratifikasi dalam bentuk undang-
Termasuk ketentuan ini adalah Nota kesepakatan antara Perdana Menteri Ali
dimiliki seseorang. Untuk itu kedua belah pihak menyepakati hal-hal berikut ini:
53
Ibid, hal. 62
kewarganegaraan RRC nya. Dengan demikian pula halnya dengan istri dan
Jika kemudian telah dewasa anak tersebut harus memilih salah satu
asal . kecuali apabila salah satu dari mereka dengan kehendak sendiri memohon dan
Dalam hal hak opsi dan hak repuidasi ini seseorang yang memilih
kewajiban bagi warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri lain
untuk menjalankan dinas negara, guna menyatakan keinginan untuk tetap menjadi
warga negara Indonesia dalam jangka waktu 5 (lima) Tahun yang pertama dan
selanjutnya 2 (dua) Tahun. Dalam masa itu tidak semua warga negara Indonesia
yang tinggal diluar negeri dapat memenuhi kewajiban tersebut bukan karena kelalaian
melainkan akibat dari suatu keadaan diluar kesalahannya, sehinga dia terpaksa tidak
dapat menyatakan keinginannya tersebut tepat pada waktunya. Karena Pasal 18 tidak
menggunakan kesempatan Pasal 18 ayat (2) ini adalah orang yang pada waktu mulai
berlakunya UU No.62 Tahun 1958 adalah warga negara Republik Indonesia dan
Dengan demikian orang orang China perantauan (Hoa Kiau) juga tidak dapat
berlakunya Undang-Undang ini terbatas pula yaitu: hanya berlaku 1 (satu) tahun,
sehingga merupakan ketentuan yang berlaku satu kali saja. Jangka waktu 2 (dua)
tahun berlaku bagi mereka yang tempat tinggalnya tidak ada perwakilan Indonesia.
Isi dari Pasal 18 Undang-Undang No.62 Tahun 1958 adalah sebagai berikut
pengadilan negeri dari tempat tinggalnya dari 1 (satu) tahun setelah orang itu
undang ini;
54
Jefri Lermanto, Ketentuan-ketentuan Hukum tentang Penduduk Dan Warga Negara, di
Indonesia (Kajian terhadap undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegara), Tarsito,
Bandung, 2010, hal. 55
ini;
Republik Indonesia seperti tersebut dalam ayat (2), orang yang bersangkutan
harus:
Republik Indonesia;
4. Seorang yang telah menyatakan keterangan sesuai dengan ketentuan dalam ayat
memenuhi syarat-syarat tersebut dalam ayat (3) dan setelah mendapat Keputusan
dan berlaku surut hingga hari tanggal Keputusan Menteri Kehakiman tersebut.55
kewarganegaraan Indonesia maka harus dibuktikan dengan SBKRI. Hal ini sangat
terhadap etnis tionghoa saja. Apabila pada pemerintahan orde baru saat itu memiliki
pemahaman dan pengertian yang benar akan arti kewarganegaraan,maka tentu tidak
55
Ibid, ha. 57
akan muncul masalah mengenai SBKRI . Dengan kata lain SBKRI adalah bentuk lain
untuk warga naturalisasi seperti juga di Filipina. Untuk warga negara yang tidak
Nationality
SBKRI ini juga wajib dimiliki oleh anak anak orang tionghoa yang lahir di
pembuktian jika membutuhkan demi kepastian hukum. Ketika masa peralihan dari
zaman Orde baru menuju reformasi, terjadi demonstrasi besar-besaran yang memaksa
presiden Soeharto untuk mundur hal itu. Perbedaan sangat dirasakan terhadap orang
tionghoa dengan adanya sebutan pribumi dengan non pribumi . Hal ini menyebabkan
diskriminasi terhadap golongan non pribumi mulai dari pengurusan izin sampai
dalam hak haknya sebagai warga negara. Tak lepas dari sejarah istilah non pribumi
ini dahulunya ada berdasarkan penggolongan hukum yang dilakukan oleh Belanda
56
Garmanto Saliman, Plurarisme Pemberlakuan Hukum Bagi Warga Negara Indonesia, Bumi
Aksara, Bandung, 2008, hal. 45
Ketika masa peralihan dari zaman Orde baru menuju reformasi, terjadi
demonstrasi besar-besaran yang memaksa presiden Soeharto untuk mundur hal itu
berimbas terjadinya kerusuhan yang puncaknya pada Mei 1998. Pada kerusuhan
tahun 1998 ,orang Tionghoa yang dianggap non pribumi menjadi korban diskriminasi
Hal itu di karenakan orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi
dan praktik Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) di Indonesia sehingga banyak dari
orang Tionghoa memutuskan untuk pindah dari Indonesia. Puncaknya pada tanggal
21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden dan digantikan
Penggunaan Istilah Pribumi Dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan Dan
hak atas pekerjaan dan penghidupan, hak dan kewajiban warga negara, dan
perlindungan hak asasi manusia, serta lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan
dengan non pribumi dirasakan hilang, pada masa pemerintahan presiden keempat RI
Abdul Rahman Wahid, beliau mulai memberikan kesempatan untuk orang Tionghoa
untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan mengangkat Kwik Kian Gie Sebagai
1999 dan Kepres No.6 Tahun 2000 Tentang pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967
tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina seperti Barongsai dan sejenisnya
tidak perlu lagi izin Khusus dari Pemerintah karena secara kutural budaya dan etnis
Tionghoa tetap dipandang sebagai salah satu asset budaya bangsa yang secara yuridis
Dalam prespektif SBKRI yang dianggap diskriminasi inpres No.4 Tahun 1999
“Bagi Warganegara Repubik Indonesia yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk,
atau Kartu Keluarga atau akte kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk
Kartu Keluarga atau Akte Kelahiran Tersebut”. “maka segala peraturan perundang-
sebagai hari Libur Nasional, dengan demikian jelaslah sudah bahwa negara Indonesia
telah menghapuskan penggolangaan antara pribumi dan non pribumi dan dihapusnya
ini menghapuskan perbedaan antara orang pribumi dengan orang non pribumi sesuai
yang berdasarkan Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS dimana golongan penduduk masih
bumi putra untuk hal-hal tertentu berlaku hukum adatnya, golongan Eropa dan Timur
Asing Tionghoa yang dipersamakan dengan Eropa untuk bidang hukum tertentu
berlaku ketentuan KUH Perdata dan juga golongan Timur Asing Tionghoa berlaku
pula Hukum adatnya masing-masing.57 Hal ini tidak memiliki hubungan sama sekali
HAM Republik Indonesia No. M.80-HL.04.01 tahun 2007 tentang Tata Cara
Di dalam hal ketentuan Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut di atas
adalah mengatur tentang tata cara pendaftaran, pencatatan dan pemberian fasilitas
golongan penduduk atas ketentuan hukum yang berlaku terhadapnya meskipun sama-
57
Ibid, hal. 46
Indonesia ganda. Oleh karena itu bagi warga Negara Indonesia yang
wajib berlaku ketentuan hukum yang sama terhadap warga Negara Indonesia tersebut
menjadi tiga golongan pada saat itu. Demikian pula halnya tentang Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh,
Indonesia. Hal ini tentu berbeda ketentuan hukumnya dengan warga masyarakat yang
tersebut.58
Ketentuan tentang PP No. 2 Tahun 2007 adalah mengenai prosedur dan tata
58
Kartoni Hadiman, Prosedur Hukum dan Tata Cara Pengurusan Kewarganegaraan
Indonesia, Eresco, Bandung, 2013, hal. 28
karena itu antara pembahasan dalam penelitian ini dengan ketentuan yang termuat di
dalam PP No. 2 Tahun 2007 tidak memiliki keterkaitan antara satu dengan yang
lainnya, untuk dibahas dalam penelitian ini. Demikian pula halnya tentang Peraturan
Menteri Hukum dan HAM No. 02.HL.05.06 Tahun 2006 tentang Tata cara
dalam penelitian ini adalah menyangkut tentang perbedaan ketentuan hukum yang
berlaku terhadap Warga Negara Indonesia yang berkedudukan dan bertempat tinggal
Belanda bukan tentang tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga
Negara Indonesia.59
Indonesia di latar belakangi pertama-tama adalah karena perubahan UUD 1945 yang
memeberi tempat perlindungan yang luas terhadap HAM yang juga berakibat
terhadap perubahan Pasal Pasal mengenai hal hal yang terkait dengan
filosofis, yuridis dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
59
Ramadhan Poloumas, Hak dan Tanggung Jawab warga Negara Dalam Undang-Undang,
Pustaka Ilmu, Surabaya, 2014 dan 64
Pancasila antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak
asasi dan persamaan antar warga negara, serta kurang memberikan perlindungan
1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan
undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan
yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga
negara.60
kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan
tempat negara kelahiran (ius soli) itu secara terbatas artinya asas ius soli tersebut
hanya dilakukan terbatas bagi anak - anak. Hal ini dapat diperhatikan pada penjelasan
warga Negara Indonesia adalah dalam Pasal 4 huruf (I) “Anak yang lahir di wilayah
negara Republik Indonesia yang tidak jelas status kewarganegaraan ayah ibunya”,
Pasal 4 huruf (J) “Anak yang baru lahir di temukan di wilayah negara Republik
60
Hadi Hutarman, Sejarah Dan Perkembangan Undang-Undang Kewarganegaraan Di
Indonesia Dari Waktu Ke Waktu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 59
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui”, dan Pasal 4 huruf (K) “Anak
yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak
menjelaskan pengertian dari warga negara menentukan bahwa asas ius soli itu hanya
berlaku bagi seorang anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia selama orang tua
tersebut sudah terjadi jika yang ditemukan adalah seorang anak yang sudah dewasa. 61
setiap orang. Sedangkan asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang
berusia delapan belas tahun atau belum pernah menikah). Hal ini sifatnya merupakan
61
Rafmando Ganuar, Hak dan Kewajiban WNI dan WNA dalam Negara Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal. 19
62
Maria Sudaryati, Kedudukan warga Negara Indonesia Pasca Lahirnya Undang-Undang
No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 37
Republik Indonesia, bahwa terdapat asas khusus juga yang menjadi dasar penyusunan
cita dan tujuannya sendiri. Tujuan negara Indonesia tercantum dalam pembukaan
Hak maksimum warga negara luar negeri adalah membayar pajak sebagai
kontrak utama antara negara dengan warga negara dan membela tanah air (Pasal
27). Membela pertanahan dan keamanan negara (Pasal 29). Menghormati hak
asasi orang lain dan mematuhi pembatasan yang terutang dalam peraturan (Pasal
28), menjunjung hukum dan pemerintah ikut serta dalam upaya pembelaan
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
3. Asas persamaan didalam hukum dan pemerintah adalah asas yang menentukan
dan pemerintahan.
Asas yang yang menentukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan
perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintah. Pemerintah tidak boleh
mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
yang bersifat subtantif, tidak hanya syarat yang bersifat administrasi saja.
dan keturunanya.
63
Darwin Tambunan, Asas-asas Hukum Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan, Mitra Ilmu, Surabaya, 2005, hal. 46
itu harus di bawah umur lima tahun dan disahkan oleh pengadilan di tempat
5. Asas Non diskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam
segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras,
Asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang
berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis
kelamin dan gender. Hal ini dibuktikan dalam Pasal 2 Undang-Undang Tahun
2006 tersebut yang dimaksud bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang
lain atas kehendaknya sendiri. Dalam perjuangan itu seluruh Warga Negara
dengan tidak memandang suku, etnis, ras, agama, kepercayan dan sebagainya,
mempunyai kewajiban dan hak yang sama untuk mengabdi kepada tanah air,
tempat kita lahir, hidup dan akan mati. Cara menghargai persamaan kedudukan
a. Perbedaan ras, ras ditanda dengan ciri-ciri fisik atau tubuh yang khas dan
tertentu. Semua yang berasal dari ras manapun apabila telah menjadi warga
64
Abdullah Azhari, Persamaan Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia dalam Teori
dan Praktek (Kajian Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan), Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2010, hal. 51
yang sama bagi semua pemeluk agama untuk beribadah sesuai dengan agama
masing-masing. Hak beragama adalah hak asasi manusia yang paling asasi.
pengekangan dan pembatasan hak bagi kaum wanita untuk berkiprah dalam
profesi serta jabatan lain yang dipegang oleh wanita. Hal ini menunjukkan
e. Budaya dan suku hal ini berarti bahwa pengembangan budaya dan hak
Apabila kesamaan kedudukan warga negara dapat terwujud maka akan tercipta
6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) adalah
asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warganegara harus
menjamin, melindungi dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan
Asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara
harus menjamin, melindungi dan memuliakan hak asas manusia pada umumnya
dan hak warga negara pada khususnya. Adanya perlindungan HAM dengan
penghormatan dan perlindungan HAM sebagai ciri penting suatu negara hukum
merupakan pilar sangat penting dalam setiap negara yang disebut negara hukum.
HAM dibidang hukum diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) dan 28 D,
memberi jaminan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama
65
Sahrul Efendy, Undang-Undang Kewarganegaraan Dan Hak Asasi Manusia (Suatu
Tinjauan Yuridis Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan), Bumi Aksara,
Bandung, 2009, hal.64
b. Pengakuan bahwa kita sederajat tanpa membedakan agama, ras, jenis kelamin
dll
Penegakan HAM di Indonesia diatur dalam UUD 1945 : Pasal 27 ayat (1)
persamaan bidang hukum dan pemerintahan, Pasal 27 ayat (2) bebas mendapat
7. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ikhwal
Asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal yang berhubungan dengan
warga negara harus dilakukan secara terbuka dengan sikap jujur, rendah hati dan
terus oleh warga negara. Pers sendiri diharapkan dapat memberikan informasi
yang aktual dan tepat kepada warga negara. Selain itu, sikap netral harus terus
dipertahankan oleh pers. Pers diharapkan tidak menjadi alat bagi pemerintah
Agustus 2006 (dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2006 No 63). Dengan
dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam UUD 1945 setelah amademen. Oleh
sebab itu, sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan yaitu asas lex posteriori
potensi, harkat, martabat setiap orang sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Warga negara Indonesia merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok dari
suatu negara Republik Indonesia yang perlu dilindungi dan dijamin pelaksanaannya.
warga negara Indonesia adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-
66
Fitrianti Danis, Plurarisme Hukum serta Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia di
tinjau dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Rajawali Pres, Jakarta,
2003, hal. 55
negara lain sebelum undang-undang ini berlangsung sudah menjadi warga negara
asing, termasuk anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu
warga negara Indonesia dan anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang
ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing termasuk anak yang lahir
dari perkawinan yang sah dari ayah warga negara asing dan ibu warga negara
Indonesia. 67
Disamping itu anak yang lahir dari ibu warga negara Indonesia tetapi ayahnya
tidak mempunyai warga negaraan, anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari
setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dari ayahnya warga
negara Indonesia dan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu
warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai
anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia delapan belas
tahun atau belum kawin dan juga anak yang lahir di wilayah Negara Republik
Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas warga negaraannya ayah dan ibunya atau
tidak diketahui ayah dan ibunya, dan juga tidak diketahui keberadaan ayah dan
Dari ketentuan di atas maka sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa, “Segala warga negara bersama kedudukannya
di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
67
Aldrin Gunanta, Persamaan Kedudukan Hukum Bagi Setiap Warga Negara Indonesia,
Eresco, Bandung, 2010, hal. 75
68
Ibid, hal. 75
itu dengan tidak ada kecualinya”. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar
1945 tersebut menyatakan secara ekplisit bahwa segala warga negara memiliki
sama baik secara hukum maupun terhadap asas ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Konsekuensi yuridis dari lahirnya
bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali dengan tidak menggolongkan
warga negara tersebut ke dalam ketentuan hukum yang berbeda antara satu dengan
yang lain. Oleh karena itu penggolongan hukum yang dilakukan berdasarkan Pasal
131 IS dan Pasal 163 IS terhadap warga negara Indonesia pada masa pemerintahan
dan diganti dengan suatu ketentuan hukum perdata yang berlaku umum dan
kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, yang pokok adalah bahwa setiap orang
kewarganegaraan maka setiap warga negara Indonesia yang telah diakui oleh undang-
undang sebagai warga negara Indonesia harus diperlakukan sama di mata hukum dan
harus pula berlaku ketentuan hukum yang sama pula bagi setiap warga negara
69
Ibid, hal. 76
Indonesia harus dijunjung tinggi, dan pemberlakukan ketentuan hukum yang sama
pengelompokkan atau penggolongan hukum bagi warga negara Indonesia. Hal ini
disebabkan karena setiap warga negara yang telah diakui oleh undang-undang sebagai
di mata hukum maka harus pula diberlakukan ketentuan hukum yang sama kepada
seluruh warga negara Indonesia tersebut tanpa terkecuali atau tanpa membeda-
bedakannya.
Tujuan dari pemberlakuan ketentuan hukum yang sama bagi seluruh warga
2006 tentang Kewarganegaraan maka asas bersamaan kedudukan setiap warga negara
atau dapat diwujudkan tanpa adanya diskriminasi seperti sebelum lahirnya Undang-
70
Risma Mulyanti, Warga Negara Indonesia dan warga Negara Asing Berdasarkan Undang-
Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Bumi Aksara, Bandung, 2006, hal. 22
warga negara Indonesia baik warga negara asli bumiputra maupun warga negara
keturunan asing baik Timur Asing Tionghoa maupun Timur Asing non Tionghoa
perdata. Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis dari suatu kewarganegaraan yang
sama yaitu warga negara Indonesia tanpa membedakan warga negara asli pribumi
maupun warga negara keturunan Timur Asing Tionghoa maupun Timur Asing non
Tionghoa.
Hak dan kewajiban warga negara Indonesia di mata hukum juga harus sama
warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum. Setiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Setiap warga negara memiliki
kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan. Setiap warga
negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan
kesatuan Indonesia atau NKRI dari serangan musuh. Setiap warga negara memiliki
warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda). Setiap warga negara wajib
mentaati serta menjunjung tinggi negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali,
tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara Indonesia.
Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa
agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yang lebih baik.
warga negara Indonesia untuk saat ini masih terdapat diskriminasi meskipun Undang-
Indonesia. Di dalam bidang hukum perdata pemberlakuan hukum yang berbeda tetap
berlaku bagi warga negara Indonesia pribumi, keturunan asing Tionghoa dan
keturunan asing Tionghoa. Dalam pembuatan surat keterangan hak waris misalnya
masih terdapat pemberlakuan ketentuan hukum yang berbeda dan pluralisme pejabat
yang berwenang dalam pembuatan surat keterangan hak waris bagi warga negara
Indonesia tersebut. Bagi golongan bumiputra maka yang berwenang membuat surat
keterangan hak waris adalah para ahli waris itu sendiri yang ditanda tangani oleh
lurah/kepala desa dan diketahui oleh camat. Pembuatan surat keterangan hak waris
bagi golongan bumiputra juga dapat dilakukan langsung oleh lurah/kepala desa dan
diketahui oleh camat yang isinya memuat nama-nama seluruh ahli waris yang berhak
membuat surat keterangan hak waris bagi mereka adalah notaris melalui suatu akta
autentik. Sedangkan bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing non
Tionghoa yang berwenang membuat surat keterangan hak waris adalah Balai Harta
Peninggalan. Hal ini termuat di dalam ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan
Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997 tentang
Tanah yang memuat ketentuan pedoman pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris
dalam hal pelaksanaan pengalihan hak atas tanah yang menyebutkan bahwa, Surat
Bagi warga negara Indonesia penduduk asli (pribumi), surat keterangan ahli
waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi
dan dikuatkan oleh kepala desa / kelurahan dan camat tempat tinggal pewaris pada
waktu meninggal dunia. Bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa akta
keterangan hak mewaris dibuat oleh notaris dan bagi warga negara Indonesia
71
Zainal Abidin Mohan, Persamaan Hak dan Kewajiban Setiap Warga Negara Indonesia di
Mata Hukum, Mitra Ilmu, Surabaya, 2013, hal. 79
72
Musa Winarmo, Hukum Waris Menurut KUH Perdata, dan pemberlakuannya di Indonesia,
Rita Ilmu, Jakarta, 2004, hal. 79
keturunan Timur Asing lainnya surat keterangan waris dari Balai Harta
Peninggalan.73
hukum waris. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan hukum yang berlaku bagi warga
negara Indonesia golongan bumiputra. Di dalam bidang hukum waris berlaku hukum
yang beragama Islam dapat pula berlaku hukum waris Islam dalam pelaksanaan
beragama Islam tersebut. Bagi warga negara Indonesia golongan Timur Asing
Tionghoa maka untuk pembagian warisan berlaku KUH Perdata yang mengatur
tentang ketentuan warisan yang termuat di dalam Pasal 830 – Pasal 1130 KUH
Perdata.74
hak kewajiban dan kedudukan hukum setiap warga negara Indonesia yang telah sah
yang berlaku, namun dalam hal pemberlakuan ketentuan hukum khususnya di bidang
hukum perdata masih terdapat perbedaan pemberlakuan hukum bagi warga negara
73
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Surat Keterangan Hak Waris bagi Golongan Penduduk di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Hal.39
74
Zakaria Buchory, Kajian Hukum tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia
Dalam Praktek Perbuatan Hukum Berdasarkan Ketentuan Hukum Yang Berlaku, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, hal. 67
Indonesia baik golongan bumiputra, Timur Asing Tionghoa maupun Timur Asing
non Tionghoa. Hal ini menjadi dilema bagi unifikasi hukum khususnya di bidang
hukum perdata bagi golongan setiap warga negara Indonesia yang telah sah
pemberlakuan ketentuan hukum yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia
Hal ini mengakibatkan masih terdapat perbedaan penggolongan hukum bagi warga
negara Indonesia yang berarti masih terdapat pula diskriminasi dalam hal
Indonesia secara keseluruhan yang masih berlaku saat ini mengakibatkan belum
terjadinya persamaan hak dan kewajiban khususnya di bidang prosedur dan ketentuan
hukum yang harus ditempuh oleh setiap warga negara Indonesia dalam suatu
75
Sunarti Halimah, Kedudukan Hukum Perdata Di Indonesia, Suatu Tinjauan Yuridis
Normatif, Ghalia Indonesia, 2007, hal. 82
warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
tinggi hukum dan pemerintahan tersebut belum dapat terlaksana secara keseluruhan.
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan baru sebatas hak dan
kewajiban setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh perlindungan hukum dan
untuk mematuhi ketentuan hukum yang berlaku kepada warga negara Indonesia
tersebut meskipun dalam hal-hal tertentu di bidang KUH Perdata masih berlaku
ketentuan hukum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hak warga negara
Indonesia untuk diperlakukan sama di dalam suatu ketentuan hukum yang sama pula
76
Ibid, hal. 83
BAB IV
PENERAPAN SISTEM PENGGOLONGAN HUKUM BAGI WARGA
NEGARA INDONESIA DALAM PRAKTIK PEMBUATAN
SURAT KETERANGAN HAK WARIS
ternyata terdapat pergeseran dan perbedaan arah politik hukumnya. Pada zaman
Asing, dan Golongan Bumiputra. Golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda,
orang Eropa lain di luar Belanda, orang Jepang, semua orang yang berasal dari
wilayah lain dengan ketentuan wilayah itu tunduk kepada hukum keluarga yang
secara substasial memiliki asas hukum yang sama dengan hukum Belanda. Kemudian
juga ditambahkan dengan anak sah yang diikuti dengan Undang-Undang serta anak-
Adapun golongan Timur Asing terdiri dari semua orang yang bukan golongan
Eropa maupun penduduk asli tanah jajahan. Mereka ini diantaranya adalah orang
Arab, India dan Cina. Sedangkan golongan terakhir, yakni Bumiputra terdiri dari
orang Indonesia asli. Pengelompokan yang demikian ini seperti disinggung terdahulu
berimbas kepada bidang hukum yang berlaku bagi tiap-tiap kelompok. Sebagaimana
77
Darwanti Maslita, Pengaruh Penggolongan Hukum Bagi Tata Hukum Indonesia, Rajawali,
Pres, Jakarta, hal. 30
93
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94
diatur dalam Pasal 131 IS bahwa bagi golongan Eropa hukum yang berlaku adalah
hukum yang berlaku di negeri Belanda. Adapun golongan Timur Asing berlaku
berlaku adalah hukum adat. Jika kepentingan sosial menghendaki maka hukum Eropa
penundukan diri terhadap hukum Eropa, baik secara sempurna maupun sebagian saja.
Penundukan sempurna dipahami bahwa ketentuan hukum Eropa berlaku utuh bagi
setiap subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan hukum. Dengan kata lain,
subjek hukum tersebut dianggap sama dengan golongan Eropa sehingga hukumnya
penundukan ini, hukum Eropa baru berlaku ketika perbuatan hukum yang dilakukan
oleh penggolongan lain tersebut tidak dikenal dalam hukum mereka. Pemberlakuan
hukum adat bagi golongan Bumiputra sudah tentu menimbulkan masalah. Masalah
dimaksud mengingat bahwa adat yang terdapat di Indonesia sangat beraneka ragam
sesuai dengan etnis, kondisi sosial budaya, maupun agamanya. Paling tidak, dengan
terhadap hukum agama yang dianut oleh bangsa Indonesia yang mayoritas Islam.
hukum adat. Hal ini sudah tentu dapat dimengerti. Bagaimanapun juga, bangsa
penjajah selalu berusaha agar ideologi mereka bisa diikuti oleh bangsa jajahannya.
78
Ibid, hal. 31
Seiring dengan usaha untuk menanamkan idelogi ini, ada tiga teori yang
diperkenalkan. Dua teori pertama diperkenalkan oleh bangsa Belanda dan suatu teori
terakhir dilontarkan oleh bangsa Indonesia. Teori terakhir ini merupakan teori
bantahan sekaligus teori pematah. Ketiga teori ini secara berturut adalah Receptio in
1. Receptio in Complexu
Christian Van Den Berg (1845-1927). Teori ini bermakna hukum yang diyakini
dan dilaksanakan oleh seseorang seharmoni dengan agama yang diimaninya. Oleh
sebab itu, jika seseorang beragama Islam maka secara langsung hukum islamiah
yang berlaku baginya, demikian seterusnya. Dengan kata lain, teori ini dapat
2. Receptie Theorie
Receptie Theorie atau teori resepsi merupakan teori yang diperkenalkan oleh
1933) dan Betrand Ter Haar (1892-1941). Teori resepsi berawal dari kesimpulan
yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai
hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Terpahami di sini bahwa hukum
Islam berada di bawah hukum adat. Oleh karena itu, jika didapati hukum Islam
Islam melainkan hukum adat. Teori ini dapat pula dipadankan dengan sebutan
“teori penerimaan”.
3. Receptio a Contrario.
Dikatakan sebagai teori pematah karena teori ini menyatakan pendapat yang sama
atas. Pada teori ini justru hukum adatlah yang berada di bawah hukum Islam dan
arus sejiwa dengan hukum Islam. Dengan sebutan lain, hukum adat baru dapat
Dari ketiga teori ini terlihat bahwa usaha untuk meredam gerak maju hukum
Islam didasarkan kepada teori kedua, yakni receptie theori. Hukum Islam dianggap
sebagai hukum jika telah dilegalisasi oleh hukum adat. Oleh karenanya, jika hukum
yang diterapkan hukum Islam namun menurut ketentuan hukum tertulis Pasal 131 IS
pemberlakuan teori ini adalah diharapkannya bangsa penjajah ketika itu dengan tiga
dimaksud adalah hukum Islam, hukum Barat dan hukum adat. Berhadapan dnegan
ketiga konsep ini sudah dapat dipastikan bahwa bangsa penjajah akan menetapkan
hukum yang lebih menguntungkan bagi mereka. Dan hukum yang lebih
79
Noviyanti Salim, Kedudukan Hukum Waris KUH Perdata Bagi Golongan Penduduk di
Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2007, hal. 13
menguntungkan itu dijatuhkan kepada hukum adat. Jika hukum yang diberlakukan
semata-mata adalah hukum bangsa penjajah sudah tentu tingkat kebencian dan
permusuhan terhadap mereka semakin besar. Oleh karena itu, untuk menghindari sisi
negatif ini mereka memberlakukan hukum adat yang memang menunjang terhadap
misi mereka. Dengan demikian, benar kiranya kalau hukum adat dimaksudkan oleh
bangsa penjajah untuk melumpuhkan gerak langkah pelembagaan hukum Islam yang
van Wetgeving vor Indonesia (AB), Regeling Reglement (RR) dan Indische Staat
Reglement (IS).
dibagi atas beberapa golongan dan berlaku pada masing-masing golongan tersebut.
golongan, yaitu golongan Eropa (beserta mereka yang dipersamakan) dan golongan
berlaku bagi masing-masing golongan tersebut diatur dalam Pasal 9 AB dan Pasal 11
80
Muhammad Djuanta, Perkembangan Hukum Perdata dan Pidana di Indonesia dari Masa
Ke Masa, Citra Ilmu, Surabaya, 2006, hal. 84
Pasal 9 AB
“Menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (yang diberlakukan di Hindia Belanda)
hanya akan berlaku untuk orang Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan
dengannya.
Pasal 11 AB
“Menyatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan
diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan kebiasan orang-orang pribumi
itu sendiri, sejauh hukum, pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan
asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum dna pula apabila
terhadap orang-orang pribumi itu sendiri ditetapkan berlakunya hukum Eropa
atau orang pribumi yang bersangkutan telah menundukkan diri pada hukum
Eropa”
hukum tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis ada yang
lainnya yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan yang tidak tertulis, yaitu hukum
perdata adat dan berlaku bagi setiap orang di luar golongan Eropa. Corak hukumnya
dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum perdata yang berlaku bagi
golongan Eropa dan satu sistem hukum perdata lain yang berlaku bagi golongan
Indonesia.
sistem hukum dari masing-masing golongan menurut Pasal 11 AB itu sangat sulit
dalam pelaksanaanya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan yang tegas
walaupun ada ketentuan pembagian golongan berdasarkan Pasal 5 AB. Dalam Pasal 5
AB hanya menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra orang yang disamakan dengan
orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Bumiputra. Pembagian
yang beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang
tidak beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia. Karena itu dapat
dikatakan bahwa bagi setiap orang yang beragama Kristen yang bukan Eropa
kedudukan golongannya sama dengan orang Eropa, berarti bagi orang Indonesia
Kristen termasuk orang yang disamakan dengan orang Eropa. Hal ini tentunya
berlaku juga bagi orang-orang Cina, Arab, India dan orang-orang lainnya yang
peraturan pengecualian bagi orang Indonesia Kristen, maka melalui S.1848:10, Pasal
lapangan hukum sipil dan hukum dagang juga mengenai perundang-undangan pidana
dan peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan
demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk golongan orang
hukum pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam Pasal 75 RR yang pada
asasnya seperti tertera dalam Pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya tetap
dalam dua golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi melainkan
atas kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah” Dan ketentuan terhadap
pembagian golongan ini dicantumkan dalam Pasal 109 Regerings Reglement. Adapun
Pasal 109 RR
“Pada pokoknya sama dengan Pasal 5 AB tetapi orang Pribumi yang
beragama Kristen tetap dianggap orang pribumi dan bagi orang Tionghoa,
Arab serta India dipersamakan dengan Bumi Putera”.
Pasal 75 RR
“Menyatakan tetap memberlakukan hukum Eropa bagi orang Eropa dan
hukum adat bagi golongan lainnya”.
tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengar sebutan RR (baru) dan berlaku
sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya dari tahun
1855 sampai 1926 dinamakan Masa Regerings Reglement. Sedangkan politik hukum
menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing.
berlakunya RR. Politik Hukum Pemerintahan Hindia Belanda pada saat berlakunya
IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131 IS. Pada Pasal 163 IS mengatur
pembagian golongan, yang pada intinya seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR
(baru). Sedangkan Pasal 131 IS mengatur hukum yang berlaku bagi masing-masing
golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam kedua Pasal tersebut adalah:
Pasal 163 IS
1. Golongan Eropa
penundukan bagi golongan bumiputra dan Timur Asing untuk tunduk kepada
hukum Eropa.
81
Berman Rasmanto, Politik Hukum Kolonial Belanda pada Masa Penjajahan di Indonesia,
Pustaka Ilmu, Jakarta, 2004, hal. 46
kodifikasi terhadap semua aturan perundangan terutama hukum perdata dan hukum
dagang. Dengan adanya kondifikasi hukum di Belanda timbul juga pemikiran untuk
diberlakukan unifikasi hukum di Hindia Belanda, hal ini sesuai dengan asas
konkordansi. saat itu di Hindia Belanda berlaku hukum adat bagi golongan bumiputra
yang selama ini hukum adat belum pernah mendapat perhatian. Tugas ini diserahkan
kepada Mr. Hageman, tetapi tugas ini gagal, karena pemerintah Belanda tidak
mengetahui keadaan hukum di Hindia Belanda. Tugas tersebut diganti oleh scholten,
lalu diganti lagi oleh MR. H.L. Wichers. Tugas utamanya adalah mengadakan
unifikasi hukum. Unifikasi hukum ini tentang oleh van der Binne yang mengatakan
sebagian besar penduduknya beragama Islam dan memegang teguh adat istiadat
mereka. Pada tahun 1848, hasil unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum perdata dan
Saat itu yang dikodifikasi hanya hukum perdata berat dan hukum dagang.
suatu rencana undang-undang untuk mengganti hukum adat dengan hukum Eropa dan
mengharapkan agar bumiputra tunduk hukum Eropa, karena hukum adat tidak
mungkin diunifikasikan dan dikodofikasi, selama ini usaha itu gagal. Kegagalan ini
menghilangkan hukum adat. Kegagalan untuk mengganti hukum adat dengan hukum
Eropa, karena dalam kenyataan tidak mungkin, bangsa Indonesia yang merupakan
bagian terbesar dari penduduk Indonesia tunduk pada hukum Eropa yang disesuaikan
dengan orang-orang Eropa, sedangkan bangsa Eropa hanya sebagian kecil saja, tidak
hukum privat.
menganjurkan diadakan pencatatan yang sistematis dari hukum adat yang didahului
ini ternyata bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum
perdata lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga
menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam
praktik masyarakat di Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu
Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari
“langt” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari
budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu terusik ketika
pada ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum
rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian
menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk
kehadiran Organisasi Perdagangan Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal
dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki
peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah
kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC
saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya
Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang
selama ini telah mereka jalankan. Hukum Islam dapat dicatat beberapa “kompromi”
1. Dalam Statua Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan
bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.
2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah
masyarakat. Upaya ini diselesaikAn pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian
Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang misalnya, hasil kompilasi itu dikenal
yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Frejer, dimana ia juga
Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1916) dan Belanda kembali
84
Anienda Masni, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Prenada Media, Jakarta,
2010, hal. 50
ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang
penjajah dengan rakyat jajahnya, khususnya umat Islam yang mengenai konsep dat
al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, pemerintah Belanda mengupayakan ragam
2. Membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek aspek batinah (spritual)
saja.
kolonial, ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang
berlaku di suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda.
Dukungan kepada hukum Adat ini tidak terlepas pula dari politik divide et impera
Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda
lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan
Pasal 131 jo Pasal 163 IS yang tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk
Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum yaitu, Hukum Belanda untuk orang
Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Timur Asing terutama Cina dan India
sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka
masing-masing. Disamping itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi
Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum terkecuali hukum itu telah
diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat bukan
hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Profesor Hazairin sebagai “teori iblis”
itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit dikalangan ahli-ahli hukum
adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh dikemudian hari. Posisi hukum
Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap
dipermainkan begitu rupa oleh pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika
merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban
Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18
Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan
Yang Maha Esa’ sebagaimana dapat dibaca dalam pembukaan UUD 1945 sekarang
ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante
maupun sidang MPR di era Reformasi ini semua menunjukkan bahwa sebagai
aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum Islam di dalam konstitusi
itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.
85
Ibid, hal. 51
memberikan kesimpulan, bahwa pada zaman kolonial hukum tanah bersifat sangat
pemerintah Hindia Belanda didasari pada politik pemerintahan kolonial pada masa
itu. Hal tersebut tertuang di dalam Agrarizche Wet 1870. Agrarische Wet (AW)
merupakan suatu produk hukum yang setara dengan undang-undang yang dibuat di
ayat-ayat baru pada Pasal 62 RR Hindia Belanda Tahun 1854. Semula RR tersebut
terdiri dari 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 s/d 8) oleh AW, maka Pasal
(cultursetesel) sejak tahun 1830 yang memberikan ruang bagi pengusaha besar untuk
melakukan usaha di bidang perkebunan. Oleh karena itu sejak tahun 1839 sejalan
dilaksanakannya Cultures tels el, maka berdasarkan RR 1854 /Pasal 62 ayat (3) secara
tegas dibuka kembali kesempatan untuk menyewa tanah dari pemerintah, yang
dikarenakan jangka waktu sewa yang hanya maksimum 20 tahun yang tidak
mencukupi umur tanaman keras. Lagipula hak sewa tidak dapat digunakan sebagai
86
Efendi Perangin-angin, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 12
jaminan kredit yang diperlukan dengan pemberian jaminan hipotek. Para pengusaha
besar Belanda yang kelebihan modal. Mengingat masih banyaknya tanah hutan di
Hindia Belanda yang belum diusahakan maka sejak abad ke 19 mereka menuntut
untuk diberi kesemaptan berinvestasi pada bidang perkebunann besar. Hal tersebut
memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang
di Hindia Belanda.
tanah kepada pengusaha besar juga tidak boleh melanggar hak-hak pribumi.
Pemberian tanah kepada pengusaha besar juga tidak boleh melanggar hak-hak
melalui cara pencabutan hak dan pemberian ganti rugi yang layak. Namun demikian,
Besluit (AB) Pasal 1 AB kurang menghargai hak-hak rakyat atas tanah yang
bersumber pada hukum adat. Hal tersebut dikenakan ketentuan pada ayat (1) AB
bahwa dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 2 dan 3 AW, tetap
dipertahankan asas semua pihak lain yang tidak dapat membuktikan sebagai hak
87
Ibid, hal. 12
adat tidak mengenal sertipikati atau bukti kepemilikan tertulis dalam menentukan hak
milik atas tanah. Sehingga pada masa itu terjadi kesewenangan perampasan tanah.
Keadaan tersebut jelas sangat merugikan rakyat Indonesia yang masih tunduk
pembinaan kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan homogen, serta adanya
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Untuk sebagian hukum keluarga dan hukum waris yang belum mendapat
Hukum Perdata (KUH Perdata) masih diberlakukan yaitu bagi golongan Eropa
88
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hal. 80
untuk bidang hukum tertentu tidak dapat dihindari. Instruksi Presidium Kabinet
Dengan kata lain dari Pasal 66 UUPerk jo. Instruksi tersebut dapat dikatakan, bahwa
telah diatur dalam UUPerk), dan warisan masih diberlakukan KUH Perdata bagi
timbulnya keadaan terkaitnya pihak-pihak yang tunduk pada hukum waris yang
Mahkamah Agung, atas permintaan dan ditujukan kepada Ny. Sri Redjeki
Kusnun, SH, tertanggal Jakarta, 25 Maret 1991 No. KMA/041/IIIII991 jo. Sural
Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Negara Nomor 3 Tahun 1997 Tentang
angka 4.89
Pendaftaran Tanah untuk keperluan peralihan hak atas tanah karena pewarisan
menyatakan bahwa:
Tahun 1997 tersebut yang merupakan petunjuk bagi pendaftaran tanah apabila
hendak melakukan pendaflaran peralihan hak karena warisan, terdapat tiga bentuk
waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi
89
Ibid, hal. 81
dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada
Timur Asing lainnya, surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan."
penduduk". Lagipula Pasal 111 ayat 1 huruf c angka 4 PMNAI KBPN Nomor 3
Tahun 1997 tersebut hanya menyangkut peristiwa dalam hal berkaitan dengan
pendaftaran tanah.
1989 Tentang Peradilan Agama (SEMA 211990), meskipun isinya sama sekali
kewarisan berkaitan dengan masalah pilihan hukum, berlaku bagi mereka yang
hukum warisnya tunduk pada hukum adat danlatau hukum Islam atau tunduk pada
hukum perdata barat dan/atau hukum Islam, dimana mereka boleh memilih hukum
adat atau hukum perdata barat yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri atau
bidang contentiuese jurisductie dapat pula diberikan tugas lain yaitu volwuaire
01/PK/ AG/1991 yang membatalkan Penetapan Ahli waris yang telah diterbitkan
13.A/1990).
Kewenangan pembuatan KHW bagi mereka yang tunduk pada hukum waris
yang diatur dalam KUHPerd didasarkan pada asas konkordansi dengan Pasal 14
dianggap sebagai hukum kebiasaan. Adapun terjemahan bebas dari Pasal 14 ayat
90
Lili Rasjidi, Hukum Senagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal. 23
berikut:
"Para ahli waris atau dalam hal seseorang sesuai dengan Pasal 524 KUH
Perdata dengan keputusan pengadilan dinyatakan diduga meninggal, yang
diduga ahli waris daripadanya. yang mempunyai suatu hak terdaftar dalam
buku-buku besar utang-utang nasional, harus membuktikan hak mereka
dengan suatu keterangan hak waris setelah kematian atau diduga
meninggalnya pewaris dibuktikan";
Pasal 14 ayat(3):
"Jika suatu warisan terbuka dengan ini (Nederland), keterangan hak waris
dibuat oleh seorang notaris. Akta yang dibuat dari keterangan ini harus
diketuarkan in originali"
dalam pembuatan KHW. Menurut Tan Thong Kie selama ini "Pembuatan
dalam undang-undang di lndonesia". Demikian pula pendapat dari Ting Swan Tiong
bentuk KHW. Bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa bentuk KHW selama
ini dibuat dalam bentuk suatu keterangan di bawah tangan yang dibuat oleh
notaris, namun ada sejumlah notaris membuat dalam bentuk minuta dan
keterangan yang diberikan oleh para saksi sedangkan KHW dalam bentuk
sedemikian tidak masuk dalam golongan akta otentik menurut ketentuan Pasal l868
KUH Perdata dimana akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan
pejabat yang berwenang untuk itu dalam bentuk yang ditetapkan oleh Undang-
Adapula notaris yang membuat KHW dengan minuta yang isinya adalah
keterangan yang diberikan oleh saksi dan kesimpulan berupa siapa ahli waris dan
bagian warisnya diberikan oleh notaris dengan alasan untuk memudahkan pemegang
protokol untuk membuat Salinan jika di kemudian hari ada yang memintanya.
selainnya Timur Asing 1ionghoa diatur dalam Pasal14 ayat 2 Ordonnantie tangga122-
7-1916, S. 1916-517 diubah L.N. 1931 no. 168 dan L.N. 1937 No. 611-11. Balai
Harta Peninggalan (Weeskamer) pada saat ini ada di Jakarta, Medan. Semarang,
dalam ruang lingkup Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang
perdata tidak tepat jika dikeluarkan oleh Pejabat yang tunduk pacta Hukum
Administrasi.
91
Erwin Poweranto, Hukum Waris Dalam Perspektif Hukum Adat, Pustaka Ilmu, Jakarta,
2001, hal. 93
diantaranya pacta PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 dalam Pasal Ill ayat l
Menteri adalah salah satu jenis peraturan pcrundang-undangan yang setingkat lebih
Keputusan yang berlaku secara intern dalam arti keputusan yang tidak mengikat
umum.92
berlaku secara intern atau dalam lingkungannya sendiri dan tidak mengikat umum
dan pada dasamya, merupakan petunjuk bagi pendaftaran tanah apabila hendak
92
Ibid, hal. 93
UUJN "Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dan ayat (2),
tersebut.
Bentuk KHW di bawah tangan yang dibuatkan oleh notaris adalah bukan
bentuk yang diatur di dalam Pasal 15 ayat 1 UUJN. Kelemahan atas bentuk KHW
di bawah Iangan diantaranya jika ada kesalahan atas isi KHW tidak mungkin
dicabut kembali oleh Notaris yang telah membuatnya sendiri. KHW yang dibuat
dalam bentuk otentik atas pernyataan para pihak, jika ada kesalahan keterangan
yang diberikan adalah merupakan tanggung jawab para pihak sendiri lagipula
dalam bentuk akta otentik tidak saja untuk "mereka yang tunduk pada KUH
93
Antonia Wicaksono, Hukum dan Penggolongan Hukum di Indonesia, Mitra Ilmu,
Surabayam 2003, hal. 18
Perdata namun juga bagi seluruh bangsa Indonesia. Bentuk akta otentik yang
mana yang paling sesuai dengan UUJN sebagai suatu penemuan hukum dapat
pewaris.
Kolonial Belanda yang termuat dalam Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS yang membagi
golongan Timur Asing Tionghoa, dan golongan Timur Asing Non Tionghoa, hingga
sekarang ini masih diterapkan dalam sistem hukum di Indonesia dalam bidang hukum
yang mengatur tentang hukum waris bagi seluruh warga Negara Indonesia.
hukum bagi warga negara Indonesia ke dalam 3 (tiga) golongan yaitu : orang-orang
Indonesia bumiputra berlaku hukum adatnya masing-masing, dan bagi warga negara
Indonesia bumiputra yang beragama Islam berlaku hukum Islam. Bagi golongan
Timur Asing Tionghoa berdasarkan Staatblad 1979-129 berlaku hukum waris yang
termuat dalam KUH Perdata yaitu pada Buku Kedua title 12-18, Pasal 830 – Pasal
1130 KUH Perdata. Bagi golongan Timur Asing Non Tionghoa (India, Arab,
Pakistan dll) berlaku hukum waris adat mereka masing-masing kecuali untuk wasiat
umum berdasarkan Staatblad 1924 – 556 tunduk pada KUH Perdata. Bagi golongan
Eropa tunduk pada hukum waris yang termuat dalam KUH Perdata.
Dalam penetapan ahli waris bagi golongan Timur Asing Non Tionghoa
tertulis mengenai nama-nama ahli waris yang berhak atas harta warisan dari si
pewaris. Berdasarkan keterangan tertulis yang dibuat oleh balai harta peninggalan
tersebut maka ditetapkanlah para ahli waris yang berhak atas harta warisan dari si
pewaris tersebut. Bagi Golongan Timur Asing Tionghoa penetapan ahli waris
dilakukan melalui suatu akta autentik yang dibuat oleh notaris. Hal ini merupakan
suatu kewajiban bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa untuk membuat
suatu keterangan hak waris dalam hal pengurusan dan peralihan benda-benda tidak
bergerak berupa tanah dan bangunan yang diperoleh dari warisan dari pewaris kepada
Apabila penetapan ahli waris bagi Golongan Timur Asing Tionghoa tidak
dilakukan melalui suatu akta autentik notaris maka keterangan hak waris tersebut
menjadi tidak sah dan tidak dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dalam hal
pengurusan dan pengalihan terhadap barang-barang tidak bergerak berupa tanah dan
bangunan yang telah bersertipikat. Bagi golongan bumiputra maka penetapan ahli
waris berdasarkan atas surat keterangan waris yang dibuat sendiri oleh para ahli waris
dan ditandatangani oleh lurah/kepala desa dan diketahui oleh camat. Surat keterangan
waris bagi golongan bumiputra dapat pula dibuat langsung oleh lurah/kepala desa dan
diketahui oleh camat yang memuat nama para ahli waris yang sah berdasarkan
94
Ibid, hal. 18
bagi penduduk warga negara Indonesia khususnya di bidang hukum waris sampai
dengan sekarang ini mengakibatkan terjadinya perbedaan prosedur dan tata cara
penetapan ahli waris dan pembuatan surat keterangan hak waris bagi masing-masing
menggunakan akta notaris dalam pembuatan surat keterangan hak waris sebagai bukti
penetapan dari ahli waris yang sah terhadap harta warisan si pewaris. Sedangkan
untuk golongan timur asing non tionghoa dan bumiputra tidak ada ketentuan yang
mewajibkan bagi mereka dalam hal penetapan ahli waris maupun dalam hal
penetapan surat keterangan hak waris dengan menggunakan akta autentik notaris.
saat ini dalam bidang hukum waris mengakibatkan terjadinya perbedaan kewajiban
95
Ismethsyah Syahrinto, Tata Hukum Indonesia (sebelum dan sesudah kemerdekaan),
Pradnya Paramitha, Jakarta, 2000, hal. 59
BAB V
A. Kesimpulan
Perdata terhadap pembuatan akta notaris adalah warga negara Indonesia seperti
Warga Negara Indonesia Timur Asing Tionghoa, Warga Negara Indonesia Timur
Asing Non Tionghoa dan Warga Negara Indonesia bumiputra dalam perbuatan-
perbuatan hukum pembuatan akta notaris mempunyai prosedur dan tata cara yang
sama baik mengenai syarat formil maupun syarat materiil. Khusus hanya untuk
perbuatan hukum dalam pembuatan surat keterangan hak waris saja masih berlaku
penggolongan hukum. Hal ini disebabkan karena ketentuan hukum yang berlaku
bagi Warga Negara Indonesia Timur Asing Tionghoa, Warga Negara Indonesia
Timur Asing Non Tionghoa dan Warga Negara Indonesia bumiputra tersebut
KUH Perdata bagi Warga Negara Indonesia Timur Asing Non Tionghoa berlaku
hukum adat mereka sedang bagi Warga Negara Indonesia bumiputra juga berlaku
kewajiban hukum dalam praktik pembuatan surat keterangan hak waris. Bagi
Warga Negara Indonesia Timur Asing Tionghoa dalam hal pembuatan surat
keterangan hak waris wajib di buat oleh / dihadapan notaris. Sedangkan bagi
Warga Negara Indonesia Bumi Putra tidak diwajibkan dibuat oleh / dihadapan
122
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
123
notaris tetapi oleh para ahli waris itu sendiri atau lurah / kepala desa yang di
tandatangani dan diketahui oleh Camat, sedangkan bagi Warga Negara Indonesia
Timur Asing Non Tionghoa juga tidak wajib dibuat / dihadapan notaris melainkan
oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). Hal ini berlaku hingga saat ini meskipun
negara Indonesia memiliki kedudukan hukum yang sama dalam hukum dan
penduduk warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS dan
Pasal 163 IS tersebut masih tetap berlaku dalam bidang hukum tertentu yakni
bidang hukum waris yang ketentuan hukumnya masih belum terdapat unifikasi
dan masih bersifat pluralisme sebagaimana ditentukan Pasal 131 dan Pasal 163 IS
praktik pembuatan adalah berlaku dalam bidang hukum waris dimana dalam
pembuatan keterangan hak Waris bagi ketiga golongan hukum tersebut berbeda –
beda pejabat berwenang yang membuatnya. Bagi Warga Negara Indonesia Timur
Asing Tionghoa ketentuan hak waris (KHW) dibuat oleh notaris, sedangkan bagi
Warga Negara Indonesia Timur Asing non Tionghoa KHW dibuat oleh Balai
KHW dibuat oleh para ahli waris itu sendiri dan ditandatangani oleh lurah /
kepala desa dan diketahui oleh camat disaksikan oleh kedua saksi atau KHW
dapat dibuat langsung oleh lurah / kepala desa dan diketahui oleh camat hal ini
B. Saran
suatu ketntuan hukum yang bersifat unifikasi dalam bidang hukum tertentu yang
hukum tersebut. Hal ini masih terjadi di bidang hukum waris yakni dalam
pembuatan Keterangan Hak Waris (KHW) yang berbeda pejabat yang berwenang
membuatnya.
hukum yang baru bersifat unifikasi dan berlaku secara nasional. Kepada seluruh
warga negara Indonesia khususnya di bidang hukum tertentu seperti hukum waris.
3. Hendaknya dalam bidang hukum waris dalam hal pembuatan Keterangan Hak
Waris (KHW) dikeluarkan suatu ketentuan hukum yang bersifat unifikasi dan
berlaku nasional dalam hal kewenangan pejabat yang berwenang membuat KHW
tersebut yang bersifat tunggal dan format / bentuk KHW yang diakui oleh
dalam hal pejabat berwenang yang ditunjuk dan format / bentuk KHW yang
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU
Alfandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut KUH
Perdata, Bina Aksara, Jakarta, 2007
Ali, Zainuddin, Pelaksanaan Surat Keterangan Hak Waris bagi Golongan Penduduk
di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011
Azhari, Abdullah, Persamaan Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia dalam
Teori dan Praktek (Kajian Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010
Buchory, Zakaria, Kajian Hukum tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara
Indonesia Dalam Praktek Perbuatan Hukum Berdasarkan Ketentuan Hukum
Yang Berlaku, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011
126
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
127
Ganuar, Rafmando, Hak dan Kewajiban WNI dan WNA dalam Negara Indonesia,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011
Hadiman, Eko, Penduduk Dan Warga Negara Di Mata Hukum, Pustaka Ilmu,
Jakarta, 2006
Kansil, C.S.T. dan Christine S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka
Cipta,2011
Kie, Tan Thong, Serba Serbi Praktek Notaris, Ikhtiar Baru, Jakarta, 2004
Lukmanto, Fredy, Kedudukan KUH Perdata dan KUH Dagang Bagi Warga Negara
Indonesia Golongan Pribumi dan Timur Asing non Tionghoa, Pustaka Ilmu,
Jakarta, 2008
Mansyur, Abdulah Ari A., Pembagian Golongan Penduduk Di Indonesia Pada Masa
Pemerintahan Kolonial Belanda, Eresco, Bandung, 2009
Masni, Anienda, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Prenada Media,
Jakarta, 2010
Meliala, Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum
Keluarga, Edisi Revisi, Bandung : Nuansa Aulia, 2007
Meliala, Djaya S., Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum
Keluarga di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2007
Mohan, Zainal Abidin, Persamaan Hak dan Kewajiban Setiap Warga Negara
Indonesia di Mata Hukum, Mitra Ilmu, Surabaya, 2013
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003
Mulyanti, Risma, Warga Negara Indonesia dan warga Negara Asing Berdasarkan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Bumi
Aksara, Bandung, 2006
Poweranto, Erwin, Hukum Waris Dalam Perspektif Hukum Adat, Pustaka Ilmu,
Jakarta, 2001
Poloumas, Ramadhan, Hak dan Tanggung Jawab warga Negara Dalam Undang-
Undang, Pustaka Ilmu, Surabaya, 2014
Rasjidi, Lili, Hukum Senagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000
Salim, Noviyanti, Kedudukan Hukum Waris KUH Perdata Bagi Golongan Penduduk
di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2007
Soejendro, J. Kartini, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik,
Cetakan ke-5,Jogjakarta : Kanisius, 2005
Soekanto, Soerjono dan Madmuji, Sri, Peneltian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkatan, Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 1995
Soemitro, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Penerbit
Ghalia Indonesia, 1998
Sudarwanto, Hukum Waris Bagi Golongan Timur Asing Tionghoa, Citra Ilmu,
Surabaya, 2009
Suryanto, Imam, Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Pada Masa Pemerintahan
Kolonial Belanda, Salemba Empat, Jakarta, 2009
Vanmorik, M.J.A., Studi Kasus Hukum Perdata Waris di Indonesia, Dalam saduran
F Tengker, Eresco, Bandung, 2012
B. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara
C. Website
http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/tipologi-penelitian-hukum.html diakses
pada tanggal 13 Juni 2015