Anda di halaman 1dari 145

AKIBAT PENGGOLONGAN HUKUM TERHADAP

PEMBUATAN SURAT KETERANGAN HAK WARIS


DI KALANGAN NOTARIS

TESIS

Oleh

ALBERT
137011086/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


AKIBAT PENGGOLONGAN HUKUM TERHADAP
PEMBUATAN SURAT KETERANGAN HAK WARIS
DI KALANGAN NOTARIS

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada


Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh

ALBERT
137011086/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Telah diuji pada :
Tanggal : 20 Juli 2016

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
2. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
3. Dr. Rosnidar Sembiring, SH, MHum
4. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAK

Sebagai negara yang pernah mengalami kolonialisasi Belanda, Indonesia menderita


ekses negatif dari keanekaragaman masyarakat majemuk. Selama penjajahan, masyarakat
majemuk Indonesia dibelah berdasarkan unsur primordial suku, agama, ras, dan golongan.
Penggolongan atau pembelahan dilakukan secara sistematis dan terstruktur oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Salah satu ekses dari kolonialisme tersebut adalah terjadinya penggolongan
hukum yang berbeda untuk tiap-tiap penduduk di Indonesia berdasarkan 3 (tiga) golongan
penduduk yaitu Golongan Eropa, Golongan Timur Asing dan Golongan Bumiputra, masing-
masing memiliki penggolongan hukum yang berbeda yaitu KUH Perdata, dan hukum adatnya
masing-masing. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana
akibat dari berlakunya sistem penggolongan hukum praktik pembuatan akta notaris bagi
golongan penduduk di Indonesia, bagaimana kedudukan hukum setiap warga negara didalam
sistem penggolongan hukum sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata setelah keluarnya Undang-Undang nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia, bagaimana penerapan sistem penggolongan hukum bagi Warga Negara
Indonesia dalam praktik pembuatan surat keterangan hak waris.
Jenis penelitian tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif, yang bersifat
deskriptif analitis, dimana pendekatan terhadap permasalahan dilakukan dengan mengkaji
ketentuan perundang-undangan yang berlaku di bidang hukum pembuatan surat keterangan
hak waris yang memiliki plurarisme dari segi kewenangan pembuatannya berdasarkan
penggolongan hukum yang berlaku di Indonesia.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa akibat dari berlakunya sistem penggolongan
hukum dalam praktik pembuatan akta notaris bagi golongan penduduk di Indonesia adalah
bahwa tidak semua golongan penduduk dalam hal suatu perbuatan hukum tertentu
membutuhkan akta notaris, hanya golongan penduduk eropa dan timur asing tionghoa yang
berlaku pembuatan akta notaris contohnya dalam hal surat keterangan hak waris dan
perbuatan-perbuatan hukum lainnya yang menurut ketentuan diwajibkan menggunakan akta
notaris. Sedangkan bagi golongan timur asing non tionghoa seperti India, Arab, Pakistan
untuk pembuatan surat keterangan hak waris dibuat oleh pejabat balai harta peninggalan dan
bagi golongan bumiputra dibuat oleh para ahli waris itu sendiri dengan ditandatangani oleh
lurah dan diketahui oleh camat. Kedudukan hukum setiap warga negara didalam sistem
penggolongan hukum sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia adalah seharusnya sama kedudukannya dan pemberlakuan hukumnya
bagi setiap penduduk / warga Negara Indonesia yang ada yang tinggal dan berkedudukan di
Indonesia. Penerapan sistem penggolongan hukum bagi warga negara Indonesia dalam
praktik pembuatan akta notaris adalah tetap berpedoman kepada penggolongan hukum bagi
penduduk di Indonesia yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda yang sampai saat ini
masih tetap berlaku meskipun telah keluar Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Kata kunci : Penggolongan Hukum, Penduduk, Surat Keterangan Hak Waris

i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRACT

As a country which has been under Dutch colonialism, Indonesia undergoes


negative access of the diversity of pluralistic society. During the colonial era,
Indonesian pluralistic society was divided according to primordiality elements of
ethnicity, religion, race, and classification. Classification or division was
systematically and structurally done by the Dutch East Indies Government. One of
the excesses of colonialism was different judicial division for each group of the
people in Indonesia which was the European, the Foreign East, and the Natives; each
of them had its own judicial classification in the Civil Code and customary law. The
research problems were as follows: how about the consequences of classification
system of law in the practice of drawing up notarial deeds for the people in
Indonesia, how about the position of law for each citizen in the classification system
of law as stipulated in the Civil Code after the issuance of Law No. 12/2006 on the
Citizenship of the Republic of Indonesia, and how about the implementation of
classification system of law for the Indonesian citizens in the practice of drawing up
Inheritance Right Certificates.
The research used judicial normative and descriptive analytic methods by
analyzing the prevailing legal provisions in drawing up inheritance right certificates
which have pluralism in the authority to make them, based on the classification of
law in Indonesia.
The result of the research shows that the consequence of the classification
system of law in the practice of drawing up notarial deeds for the Indonesian people
is that not all of the Indonesian people need notarial deeds in a certain legal act. It is
intended only for the Foreign East Chinese who need inheritance right certificates
and the other legal acts which need notarial deeds, while for the other non-Chinese,
such as the Indian, the Arab, and the Pakistani, it is signed by the head of the Probate
Court and for the Natives it is signed by the testator and the village head, and
acknowledged by the subdistrict head. Legal position of each citizen in the
classification system of law according to the Civil Code after the issuance of Law No
12/2006 on the Citizenship of the Republic of Indonesia is equal and effective for
each Indonesian citizen who resides and domiciles in Indonesia. The implementation
of classification system of law for the Indonesian citizens in the practice of drawing
up notarial deeds is guided by judicial classification for the Indonesian people made
by the Dutch East Indies Government which is in effect although Law No. 12/2006 on
the Citizenship of the Republic of Indonesia has been issued.

Keywords: Judicial Classification, Citizen, Inheritance Right Certificate

ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
KATA PENGANTAR

Penulis sampaikan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya dengan
berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul
“AKIBAT PENGGOLONGAN HUKUM TERHADAP PEMBUATAN SURAT
KETERANGAN HAK WARIS DI KALANGAN NOTARIS”. Penulisan tesis ini
merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr.
Muhammad Yamin, SH, MS, CN., Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN,
M.Hum dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum, selaku Komisi
Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk
kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada
tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.
Selanjutnya di dalam penelitian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan
baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak.
Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang
sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera
Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Magister Kenotariatan
(M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada
peneliti untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

iii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program
Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, atas segala dedikasi dan
pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu
pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Sumatera Utara, yang telah
membimbing dan membina penulis dalam penyelesaian studi selama menuntut
ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu Dosen serta segenap civitas akademis Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Kedua orangtua tercinta terima kasih atas segala rasa sayang dan cinta yang tidak
terbatas sehingga menjadi dukungan untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar
selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah
kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari
sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat
memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, 20 Juli 2016


Penulis

Albert

iv
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

II. DATA PRIBADI


Nama : Albert
Tempat / Tgl. Lahir : Medan, 17 September 1988
Alamat : Jl. Ternak IV No. 7 Medan
Status : Belum Menikah
Agama : Budha

II. PENDIDIKAN FORMAL

1. SD Swasta Methodist 4 2000

2. SMP Santa Maria 2003

3. SMA Sutomo 1 2006

4. S1 Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa 2012

5. S2 Program Studi Magister Kenotariatan FH USU 2016

v
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ............................................................................................................. i
ABSTRACT ............................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................. v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN ....................................................................................... viii
DAFTAR ISTILAH ASING ................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Perumusan Masalah ...................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian ........................................................................ 9
E. Keaslian Penelitian ........................................................................ 10
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ....................................................... 10
1. Kerangka Teori ...................................................................... 10
2. Landasan Konsepsi ................................................................ 12
G. Metode Penelitian.......................................................................... 13
1. Sifat dan Jenis Penelitian ...................................................... 13
2. Sumber Data ........................................................................... 14
3. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 15
4. Alat-Alat Pengumpulan Data ................................................ 16
5. Analisis Data .......................................................................... 17
BAB II AKIBAT DARI BERLAKUNYA SISTEM PENGGOLONGAN
HUKUM YANG DIATUR DALAM HUKUM PERDATA
TERHADAP PRAKTIK PEMBUATAN AKTA NOTARIS ......... 19
A. Sejarah Singkat Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia ....... 19

vi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
B. Tinjauan Umum Tentang Penggolongan Hukum Penduduk di
Indonesia .............................................................................. ........ 28
C. Akibat Dari Berlakunya Sistem Penggolongan Dalam
Praktik Pembuatan Akta Notaris Bagi Golongan Penduduk Di
Indonesia .............................................................................. ........ 34
BAB III KEDUDUKAN HUKUM SETIAP WARGA NEGARA
DIDALAM SISTEM PENGGOLONGAN HUKUM
SEBAGAIMANA YANG DIATUR DALAM HUKUM
PERDATA SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG
KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA .................... 55

A. Perkembangan Pengaturan Tentang Kewarganegaraan Indonesia 55


B. Asas-asas Kewarganegaraan yang Terkandung dalam Undang-
Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan ............... 73

C. Kedudukan Hukum Setiap Warga Negara Didalam Sistem


Penggolongan Hukum Sebagaimana yang Diatur Dalam Hukum
Perdata Setelah Keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia................... 83
BAB IV PENERAPAN SISTEM PENGGOLONGAN HUKUM BAGI
WARGA NEGARA INDONESIA DALAM PRAKTIK
PEMBUATAN SURAT KETERANGAN HAK WARIS ............... 93
A. Politik Penggolongan Hukum Bagi Warga Negara Indonesia
Pada Masa Pemerintahan Kolonial Belanda ........................ ........ 93
B. Penerapan Sistem Penggolongan Hukum Bagi Warga Negara
Indonesia Dalam Praktik Pembuatan Surat Keterangan Hak
Waris ............................................................................................. 110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 122
A. Kesimpulan .................................................................................. 122
B. Saran .............................................................................................. 124
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 126

vii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR SINGKATAN

AB : Algemene Bepalingen van Wetgeving vor Indonesia,

AMVB : Algemene Maatgerel Van Bestuur

AW : Agrarische Wet

BHP : Balai Harta Peninggalan

BP KNIP : Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat

BW : Burgerlijk Wetboek

HAM : Hak Asasi Manusia

HAP : Hukum Acara Perdata

I.S : Indische Staatregding

IMA : Maskapai Andil Indonesia

INI : Ikatan Notaris Indonesia

IS : Indische Staatsregeleling

IS : Indische Staatsregeling

KHW : Keterangan Hak Waris

KKN : Korupsi Kolusi Nepotisme

KMB : Konfrensi Meja Bundar

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia

PP : Peraturan Pemerintah

PPPWN : Piagam Persetujuan Pembagian Warga Negara

RIS : Republik Indonesia Serikat

viii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RR : Regeringsreglement

RR : Regeling Reglement

RRC : Republik Rakyat China

RUU : Rancangan Undang-Undang

SBKRI : Surat Bukti Kewarganegaraan Indonesia

SEMA : Surat Edaran Mahkamah Agung

WvK : Wetboek van koophandel

WVK : Wetboek van koophandle

ix
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISTILAH ASING

Azas koncordantie : Azas Politik Hukum

Burgerlijk Wetboek : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Devide et impera : Politik adu domba

Handelingson-bekwaam : Belum memiliki kecakapan

Minderjarig : Belum dewasa

Personen en familierecht : Hukum kepribadian dan kekeluargaan

Verklaring Van Erfrecht : Surat keterangan waris

Vermogensrecht : Harta benda saja

Vermorgensrecht : Hukum Kekayaan Harta Benda

x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan Notaris sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan oleh

negara untuk membuat akta otentik yang mewakili pemerintah dalam pelaksanaan

hukum privat yang terjadi ditengah-tengah masyarakat sangat berperan terjadinya

hubungan dengan masyarakat dalam pekerjaan Notaris sehari-hari.

Selain itu, Notaris juga merupakan jabatan kepercayaan sekaligus sebagai

salah satu profesi di bidang hukum yang bertugas memberikan pelayanan dan

menciptakan kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat.

Dalam Profesinya, Notaris harus aktif dan bersedia melayani masyarakat

dimanapun juga, tidak hanya melayani masyarakat perkotaan tetapi juga masyarakat

pedesaan sehingga interaksi Notaris dengan berbagai suku/etnis, ras, adat-istiadat,

bahasa dan agama penduduk di Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat

dihindarkan.

Dengan keanekaragaman suku/etnis, ras, adat-istiadat, bahasa dan agama dan

merupakan negara yang penduduknya memiliki tingkat pluralitas tinggi dari sabang

sampai merauke yang secara filosofis terungkap dalam semboyan Negara Kesatuan

Republik Indonesia yakni Bhinneka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi

tetap satu jua.

1 1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2

Sebagai negara yang pernah mengalami kolonialisasi Belanda, Indonesia

menderita ekses negatif dari keanekaragaman masyarakat majemuk. Selama

penjajahan, masyarakat majemuk Indonesia dibelah berdasarkan unsur primordial

suku, agama, ras, dan golongan. Penggolongan atau pembelahan dilakukan secara

sistematis dan terstruktur oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Penggolongan penduduk merupakan warisan Pemerintah Hindia Belanda

yang berdasarkan politik hukum diatur melalui Indische Staatsregeling (IS).

Dalam Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS) secara normatif eksplisit

mengatur tentang adanya pembagian golongan penduduk di Hindia Belanda ke dalam

tiga golongan yaitu golongan Eropa, golongan Bumiputera/Pribumi,dan golongan

Timur Asing. 1

Pembedaan pada golongan penduduk ini membawa pula perbedaan dalam

hukum keperdataan masing-masing golongan tersebut. Penggolongan penduduk dan

hukum yang berlaku untuk setiap golongan itu merupakan politik hukum dari

pemerintah kolonial untuk mengawasi penduduk yang berada di daerah jajahannya

dengan politik pembodohan dan politik devide et impera (politik adu domba) untuk

penduduk di wilayah Hindia-Belanda pada saat itu.2

Penggolongan penduduk di Bumi Nusantara oleh Pemerintah Kolonial

Belanda saat itu melalui ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS)

1
Djaja S.Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Edisi
Revisi, Bandung, Nuansa Aulia, 2007, hal. 24
2
Sonny Tobelo Manyawa, 2011, “Warisan dan Wasiat” (online),
http://sonnytobelo.blogspot.com/2011/11/warisanwasiat.html, (30 Mei 2015 pukul 13:00).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

dimaksudkan melakukan politik pemecah-belahan di masyarakat, agar Pemerintah

Belanda tidak terlalu berat menghadapi jika mereka bersatu yang dibagi menjadi tiga

golongan penduduk yaitu: Golongan Eropa, golongan Timur Asing (Tionghoa dan

bukan Tionghoa) dan golongan Bumiputera yang terbagi menjadi Bumiputera

beragama Islam dan Bumiputera beragama Kristen. Selain itu tujuan Pemerintah

Belanda pada waktu itu melakukan penggolongan penduduk karena alasan politis dan

yuridis.

Golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda, orang Eropa lain di luar

Belanda, orang Jepang dan semua orang yang berasal dari wilayah lain dengan

ketentuan wilayah itu tunduk kepada hukum keluarga yang secara substansial

memiliki asas hukum yang sama dengan hukum Belanda. Kemudian juga

ditambahkan dengan anak sah yang diakui dengan Undang-Undang serta anak-anak

klasifikasi golongan Eropa dimaksud yang lahir di tanah jajahan.

Adapun golongan Timur Asing terdiri dari semua orang yang bukan golongan

Eropa maupun penduduk asli tanah jajahan. Mereka ini di antaranya adalah orang

Arab, India, dan China.

Dan golongan terakhir, yakni Bumi Putera terdiri dari orang Indonesia asli.

Pengelompokan yang demikian ini berimbas kepada bidang hukum yang berlaku bagi

tiap-tiap kelompok.

Dalam Pasal 131 ayat 1 sub a Indische Staatsregeling (IS) ditetapkan bahwa

untuk hukum perdata materiil bagi orang Eropa berlaku asas konkordasi.3 yaitu

3
J. Kartini Soejendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik,
Cetakan ke-5, Kanisius, Jogjakarta 2005, hal 48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

“terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia diperlakukan hukum perdata

asalnya, ialah hukum perdata yang berlaku di Negeri Belanda”. Adapun golongan

Timur Asing berlaku hukumnya sendiri sedangkan bagi golongan Bumi Putera

hukum yang berlaku adalah hukum adat.

Jika kepentingan sosial menghendaki maka hukum Eropa dapat berlaku lintas

golongan. Keberlakuan ini selanjutnya disebut sebagai penundukan diri terhadap

hukum Eropa, baik secara sempurna maupun sebagian saja. Penundukan sempurna

dipahami bahwa ketentuan hukum Eropa berlaku utuh bagi setiap subjek hukum yang

melakukan suatu perbuatan hukum. Dengan kata lain, subjek hukum tersebut

dianggap sama dengan golongan Eropa sehingga hukumnya juga hukum Eropa.4

Berbeda halnya dengan jenis penundukan hukum sebagian. Pada penundukan

ini, hukum Eropa baru berlaku ketika perbuatan hukum yang dilakukan oleh

golongan lain tersebut tidak dikenal dalam hukum mereka.5

Pemberlakuan hukum adat bagi golongan Bumi Putera sudah tentu

menimbulkan ketidakpastian. Ketidakpastian yang dimaksud mengingat bahwa adat

yang terdapat di Indonesia sangat beraneka ragam sesuai dengan etnis, kondisi sosial

budaya, maupun agamanya.

Ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Indische Staatsregeling (IS)

dipertegas di dalam Hukum Perdata Indonesia yang menganut pengelompokan dan

pembagian hukum berdasarkan penggolongan penduduk di Indonesia, yaitu6:

4
Sukardono Wilianto, Sejarah Hukum di Indonesia (Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan),
Prenada Media, Jakarta, 2012, hal. 55
5
Ibid, hal. 56

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

a. Untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku “Hukum Adat,” yaitu hukum
yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih
belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal
dalam kehidupan masyarakat.
b. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal Tionghoa dan Eropa
berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian,
bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai Burgerlijk Wetboek tersebut ada
sedikit penyimpangan yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai
upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan)
tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgerlijke Stand”
tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak
(adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgerlijk Wetboek.

Akhirnya untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal Tionghoa atau
Eropah (yaitu : Arab, India, dan lain-lain) berlaku sebahagian dari Burgerlijk
Wetboek, yaitu pada pokoknya hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaan
harta benda (vermogensrecht), jadi tidak yang mengenai hukum kepribadian dan
kekeluargaan (personen en familierecht) maupun yang mengenai hukum warisan.
Mengenai bagian-bagian hukum yang belakangan ini, berlaku hukum mereka sendiri
dari negeri asalnya.

Selain itu didalam Hukum Perdata di Indonesia juga dikenal penundukkan

secara diam-diam yang dengan tegas datur didalam Staatsblad 1917 Nomor 12.

Peraturan ini mengenal empat macam penundukan, yaitu7:

a. Penundukan pada seluruh Hukum Perdata Eropah


b. Penundukan pada sebagian Hukum Perdata Eropah, yang dimaksudkan hanya
pada hukum kekayaan harta benda saja (vermogensrecht), seperti yang telah
dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa;
c. Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum tertentu;
d. Penundukan secara “diam-diam”, menurut Pasal 29 yang berbunyi :
“Jika seorang bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang
tidak dikenal di dalam hukumnya sendiri, ia dianggap secara diam-diam
menundukkan dirinya pada hukum Eropah”.

6
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Keenambelas,Intermasa, Bandung, 1982 hal.10
7
Ibid, hal.12 dan 13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

Setelah Indonesia merdeka, kedudukan hukum mengenai warga negara diatur

dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang berbunyi “Setiap

warga negara bersamaan dalam kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan

dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Kemudian pada Undang-Undang Dasar 1945 hasil Amandemen yaitu dalam Pasal 28

D ayat (1) juga menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan

hukum”.

Selain itu didalam Undang-Undang Dasar 1945 juga hal tersebut ditegaskan

didalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk

Negara yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang

Memperpanjang Waktu Untuk Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan

Kewarganegaraan Indonesia, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948 tentang

Memperpanjang Waktu Lagi Untuk Mengajukan Pernyataan Berhubungan dengan

Kewarganegaraan Indonesia. Berikutnya diregulasi dengan Undang-Undang Nomor

62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 62 Tahun

1958 dan akhirnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Dalam Pasal 2 jo Pasal 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia ditentukan bahwa Warga Negara Indonesia

adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

dengan Undang-Undang sebagai Warga Negara Indonesia. Ketentuan tentang definisi

Warga Negara Indonesia juga dicantumkan pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang

Nomor 26 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Sedangkan pengertian penduduk Indonesia ialah keseluruhan penghuni

Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik yang warga negara Indonesia maupun

warga negara asing yang dalam jangka waktu tertentu, sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku bertempat tinggal di wilayah Republik

Indonesia. Hal itu ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 26 ayat (2),

bahwa penduduk Indonesia ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang

bertempat tinggal di Indonesia. Sedangkan yang menjadi warga negara ialah orang-

orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan

undang-undang sebagai warga negara (Ayat 1).8

Negara Indonesia dengan dinamisasi kependudukannya menyebabkan banyak

permasalahan berkaitan dengan penggolongan penduduk dan kewarganegaraan. Salah

satunya hal ini nampak pada pembatasan-pembatasan hak kewarganegaraan yang

dilakukan oleh Pemerintah pada zaman orde baru. Hal tersebut tidak lepas dari sistem

hukum Perdata Indonesia yang masih menganut sistem hukum Belanda mengenai

sistem penggolongan penduduk yang masih dipakai sampai saat ini yang dulunya

digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk memecah belah penduduk di

Indonesia.

8
C.S.T. Kansil dan Christine S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,
2011, hal.108

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia, penerapan sistem hukum dalam penggolongan

hukum masih tetap digunakan sampai saat ini sehingga oleh karena itu kebutuhan

akan jaminan kepastian hukum dibidang hukum perdata akan semakin meningkat.

Perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten

sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya sangat diperlukan dalam

pemberian jaminan kepastian hukum di bidang perdata tersebut.

Dalam praktik Notaris sehari-harinya hal ini tidak dapat dipisahkan sehingga

perlu adanya pengertian dan pemahaman yang tepat dalam penerapan sistem hukum

di Indonesia terhadap penggolongan penduduk setelah keluarnya Undang-Undang

nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia sehingga

masyarakat mengerti dan memahami kelebihan dan kekurangan sistem hukum di

Indonesia terutama kedudukan hukum setiap warga negara di dalam praktik Notaris

sehari-hari.

Berkaitan dengan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti masalah

tersebut dan menuliskan hasilnya dalam tesis berjudul :

AKIBAT PENGGOLONGAN HUKUM TERHADAP PEMBUATAN SURAT

KETERANGAN HAK WARIS DI KALANGAN NOTARIS

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diangkat permasalahan

sebagai berikut :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

1. Bagaimana akibat dari berlakunya sistem penggolongan hukum yang diatur dalam

Hukum Perdata terhadap praktik pembuatan akta notaris?

2. Bagaimana kedudukan hukum setiap warga negara didalam sistem penggolongan

hukum yang diatur dalam Hukum Perdata setelah keluarnya Undang-Undang

nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia?

3. Bagaimana penerapan sistem penggolongan hukum bagi Warga Negara Indonesia

dalam praktik pembuatan surat keterangan hak waris?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui akibat dari berlakunya sistem penggolongan hukum yang

diatur dalam Hukum Perdata terhadap praktik pembuatan akta notaris.

2. Untuk mengetahui kedudukan hukum setiap warga negara didalam sistem

penggolongan hukum sebagaimana yang diatur dalam Hukum Perdata setelah

keluarnya Undang-Undang nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia.

3. Untuk mengetahui penerapan sistem penggolongan hukum bagi Warga Negara

Indonesia dalam praktik pembuatan surat keterangan hak waris.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis

maupun praktis, seperti yang dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut :

1. Secara Teoritis:

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu

hukum pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khusunya terutama mengenai

penggolongan hukum dalam praktik pembuatan surat keterangan hak waris.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat

khususnya kepada kalangan Notaris, masyarakat dan pemerintah agar lebih

memahami sejauh mana hukum dalam praktik pembuatan surat keterangan hak waris.

E. Keaslian Penelitian

Sepanjang yang diketahui berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran

kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya di lingkungan

Sekolah Pasca Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara, penulisan Tesis tentang

Penggolongan hukum dalam praktik pembuatan surat keterangan hak waris belum

pernah ditulis.

Mengenai judul dan permasalahan dalam tesis ini, tidak ada mengandung

unsur kesamaan atau plagiat dari hasil karya ilmiah pihak lain, baik dari sisi judul,

permasalahan maupun substansinya sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian ini

baru pertama kali dilakukan dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus

dijunjung tinggi antara lain kejujuran, rasional, objektif, terbuka serta sesuai dengan

implikasi estis dari prosedur menemukan kebenaran ilmia secara bertanggung jawab.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Penulisan suatu kaya ilmiah seperti halnya tesis tentunya memerlukan suatu

kerangka teori atau kerangka pikir yang mendasari penulisan. Teori diartikan sebagai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

suatu sistem yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya.9 Teori

bertujuan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses

tertentu terjadi,10 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-

fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya. Kerangka Teori adalah kerangka

pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau

permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.11

Kerangka Teori juga menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasi dan

menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil

penelitian.12 Adapun kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori

kepastian hukum.

Teori kepastian hukum merupakan salah satu penganut aliran positivisme

yang melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom atau hukum dalam bentuk

peraturan tertulis. Vank Kant berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk menjaga

setiap kepentingan manusia agar tidak terganggu dan terjamin kepastiannya.13 Tujuan

hukum menurut L. J. van Apeldroon adalah mengatur pergaulan hidup secara damai.

Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi

kepentingan-kepentingan hukum manusia, kehormatan, kemerdekaan, jiwa serta

harta benda terhadap pihak yang merugikannya.14

9 Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press,1986) hal.6


10
J.J.J.M. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996) hal.203
11
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian (Bandung: Mandar Maju,1994) hal.80
12
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipa, 2010), hal.19
13
Jonathan Sarwono, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Graha, Yogyakarta, 2006 hal.74
14
Ibid, hal.11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

2. Landasan Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan Konsep

dalam penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara

abstraksi dan realistis. 15

Pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakan terutama dalam judul

penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya yang mengakibatkan

salah tafsir, tetapi untuk menuntun dalam menangani penelitian. 16

Konsepsi juga merupakan definisi operasional dari intisari objek penelitian.

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian

dan penafsiran dari suatu istilah yang dipakai. Selain itu dipergunakan juga untuk

memberikan pegangan pada proses penelitian ini. Oleh karena itu dalam penelitian

ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi sebagai berikut :

1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik

mengenai semua perbutan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh

peraturan perundang-undangan dan/atau dikehendaki yang berkepentingan

untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan

akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta.17

2. Praktik Notaris adalah Pekerjaan Notaris dalam kesehariannya sebagaimana

yang diamanatkan oleh Undang-Undang.

15
Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989, hal.34
16
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999,
hal.108
17
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), hal 19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

3. Penggolongan hukum adalah klasifikasi golongan hukum yang berlaku bagi

penduduk yang ada di Indonesia.

4. Surat keterangan hak waris adalah surat keterangan yang dikeluarkan atau

diketahui oleh pejabat yang berwenang yang menerangkan bahwa nama-nama

yang tersebut di dalam surat keterangan hak waris tersebut adalah ahli waris

yang sah dari pewaris.

G. Metode Penelitian

Metode Penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak

harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu

pengetahuan. Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan

pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari

satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu,

maka diadakan juga pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk

kemudian mengusahakannya suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul

didalam gejala yang bersangkutan.18

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Dari sudut tujuan penelitian hukum, terdapat penelitian hukum normatif dan

penelitian hukum sosiologis atau empiris.19

18
Soerjono Soekanto dan Sri Madmuji, Peneltian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkatan, Penerbit Rajawali Pers, Jakarta, 1995, hal.43
19
Soerjono Soekanto, Op. cit., hal 51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

Penelitian ini lebih dikategorikan sebagai penelitian empiris. Pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan kualitatif, artinya hasil penelitian yang nantinya

diperoleh akan dikaji sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu bentuk

pemaparan deskriptif.

Penelitian hukum sebagai penelitian sosiologis (empiris) dapat direalisasikan

kepada penelitian terhadap efektivitas hukum yang sedang berlaku.20

2. Sumber Data

Sumber data utama dari penelitian ini berasal dari berbagai macam sumber,

baik sumber data tertulis seperti peraturan perundang-undangan, buku-buku ilmiah,

dan berbagai macam dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dalam hal

ini seorang peneliti diharapkan dapat mengumpulkan sebanyak mungkin bahan

pustaka yang terkait dengan objek penelitiannya sehingga dapat menambah khasanah

dalam menganalisis data dan menyajikan hasil penelitian.

Sumber data berasal dari penelitian kepustakaan (Library Research) yang

terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat

sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian, yang terdiri dari

kaidah dasar dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang member penjelasan tentang

bahan hukum primer, seperti buku-buku, makalah-makalah, jurnal-jurnal,

20
Muliadi Nur, Tipologi Penelitian Hukum, diakses dari
http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/tipologi-penelitian-hukum.html pada tanggal 13 Juni 2015
pukul 18:35 WIB

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

pendapat para ahli, hasil penelitian, dan lain sebagainya yang relevan dengan

penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang member penjelasan terhadap

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, bahan-

bahan dari internet, dan lain sebagainya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

menggunakan studi pustaka, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan

pustaka atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tersier yang digunakan dengan alat penelitian studi

dokumen atau pustaka atau penelitian pustaka dengan cara mengumpulkan semua

dokumen-dokumen, buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang terkait

penelitian ini.

Selain pengumpulan data menggunakan studi pustaka, penelitian ini juga

menggunakan penelitian empiris, yang mana data-data penelitian akan dikumpulkan

sendiri oleh peneliti. Data-data ini akan dikumpulkan dengan cara terjun langsung ke

lapangan oleh peneliti sendiri atau ke sumber-sumber informasi langsung. Teknik-

teknik yang akan dilakukan oleh peneliti saat terjun ke sumber-sumber informasi

meliputi :

a. Teknik Wawancara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

Pada teknik ini, peneliti harus bisa mengorek informasi dari para nara sumber

dengan melakukan pendekatan individu secara profesional. Untuk itu, peneliti

akan melewati tahapan berikut ini.

a.1. Pembukaan formal, yakni dengan cara memperkenalkan diri terlebih dahulu,

lantas menjelaskan latar belakang dan tujuan dilakukannya wawancara

tersebut, serta manfaat dari penelitian yang akan dilakukan.

a.2. Pendekatan individu, yakni pendekatan yang dilakukan sedemikian agar si

nara sumber merasa nyaman dengan kehadiran penelitian yang akan

dilakukan ini.

a.3. Wawancara mendalam, yakni wawancara yang dilakukan untuk mengorek

sedalam mungkin informasi dari narasumber. Tentunya wawancara ini akan

sangat berhasil apabila pendekatan individu sebagaimana tersebut di atas

telah berjalan baik.

b. Teknik Observasi

Untuk teknik observasi ini, peneliti melakukan observasi langsung, yaitu teknik

pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung

terhadap gejala-gejala subjek yang diselidiki baik pengamatan itu dilakukan di

dalam situasi sebenarnya maupun dilakukan di dalam situasi yang khusus

diadakan untuk itu.

4. Alat-Alat Pengumpulan Data

Di dalam penelitian lazimnya dikenal tiga jenis alat pengumpulan data, yaitu

studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

interview. Ketiga jenis alat ini dapat dipergunakan masing-masing maupun secara

bergabung untuk mendapatkan hasil maksimal. Setiap penelitian hukum senantiasa

harus didahului dengan penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka.21

Studi Kepustakaan meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tersier. Ronny Soemitro menyatakan bahwa dokumen pribadi dan

pendapat ahli hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder.22

Sedangkan untuk penelitian empiris yang akan dilakukan ini, wawancara dan

pengamatan akan menjadi sarana utama bagi peneliti untuk mencatat perilaku

sebagaimana yang terjadi di dalam kenyataan, sedemikian sehingga peneliti akan

secara langsung memperoleh data yang dikehendaki pada saat itu juga.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan

data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.23

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data

kualitatif yaitu analisis data yang tidak menitikberatkan pada sarana/pengujian

statistik tetapi berdasarkan pada pemaparan deskriptif dengan mencari hubungan,

perbedaan dan atau persamaan pernyatan dari subyek penelitian dengan makna yang

terkandung dalam konsep-konsep dasar penelitian tersebut.

21
Soerjono Soekanto Op. Cit., hal 66
22
Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1998 hal.24
23
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta:, 2002
hal.106

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

Semua data yang diperoleh disusun secara sistematis, dikaji dan diteliti serta

dievaluasi kemudian data dikelompokkan atas data yang sejenis untuk kepentingan

analisi. Sedangkan evaluasi dan penafsiran dilakukan secara kualitatif untuk dinilai

kemungkinan persamaan jawaban. Oleh karena itu, data yang telah dikumpulkan

kemudian diolah, dianalisis secara kualitatif dan diterjemahkan secara logis sistematis

untuk selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode pendekatan

deduktif. Kesimpulan adalah jawaban khusus atas permasalahan yang diteliti

sehingga diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

BAB II

AKIBAT DARI BERLAKUNYA SISTEM PENGGOLONGAN HUKUM


YANG DIATUR DALAM HUKUM PERDATA TERHADAP PRAKTIK
PEMBUATAN AKTA NOTARIS

A. Sejarah Singkat Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia

Sejarah membuktikan bahwa Hukum Perdata yang saat ini berlaku di

Indonesia, tidak lepas dari Sejarah Hukum Perdata Eropa. Bermula di benua Eropa,

terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya

Hukum tertulis dari Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata

Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, oleh karena

keadaan hukum di Eropa kacau-balau, dimana tiap-tiap daerah selain mempunyai

peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda. Oleh

karena adanya perbedaan ini jelas bahwa tidak ada suatu kepastian hukum. Akibat

ketidak puasan, sehingga orang mencari jalan kearah adanya kepastian hukum,

kesatuan bukum dan keseragaman hukum. Pada tahun 1804 atas prakarsa Napoleon

terhimpunlah Hukum Perdata dalam satu kumpulan peraturan yang bernama ”Code

Civil des Francos” yang juga dapat disebut "Code Napoleon", karena Code Civil des

Francais ini adalah merupakan sebagian dari Code Napoleon.24

Sebagai petunjuk penyusunan Code Civil ini dipergunakan karangan dari

beberapa ahli hukum antara lain Dumoulin, Domat dan Pothies, disamping itu juga

dipergunakan Hukum Burnt Putra Lama, Hukum Jemonia dan Hukum Conooick. Dan

24
Ansori Ahmad, Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia, Rajawali Jakarta, 2010, hal. 26

19
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20

mengenai peraturan-peraturan hukum yang belum ada di jaman Romawi antara lain

masalah wessel, assuransi, badan-badan hukum. Akhirya pada jaman Aufklarung

(Jaman baru sekitar abad pertengahan) akhimya dimuat pada kitab Undang-Undang

teisendiri dengan nama "Code de Commerce".

Sejalan dengan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda (1809-1811), maka

Raja Lodewijk Napoleon Menetapkan : "Wetboek Napoleon Ingeright Voor net

Kortfnkrijlc Holland" yang isinya mirip dengan "Code Civil des Francois atau Code

Napoleon" untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda (Nederland). Setelah

berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan dengan Prancis pada

tahun 1811, Code Civil des Francois atau Code Napoleon ini tetap berlaku di Belanda

(Nederland). Oleh Karena perkembangan jaman, dan setelah beberapa tahun

kemerdekaan Belanda (Nederland) dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai

memilikan dan mengerjakan kodefikasi dari Hukum Perdatanya, Dan tepatnya5 Juli

1830 kodefikasi ini sdesai dengan terbentuknya BW (Burgerlijk Wetboek) dan WVK

(Wetboek van koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun isi dan

bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des Francois dan Code de

Commerce dan pada tahun 1948, kedua Undang-Undang produk Nasional-Nederland

ini diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum).

Sampai sekarang kita kenal dengan nama KUH Sipil (KUH Perdata) untuk BW

(Burgeriijk Wettwek). Sedangkan KUH Dagang untuk WvK (Wetboek van

koophandel).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

Hukum Perdata ialah hukum yang mengatur hubungan antara perorangan di

dalam masyarakat. Perkataan Hukum Perdata dalam arti yang luas meliputi semua

Hukum Privat materiil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari Hukum Pidana.

Untuk Hukum Privat materiil ini ada juga yang menggunakan dengan peraturan

Hukum Sipil, tapi oleh karena perkataan sipil juga digunakan sebagai lawan dari

militer maka yang lebih umum digunakan nama Hukum Perdata saja, untuk segenap

peraturan Hukum Privat materiil (Hukum Perdata Materiil).25

Dan pengertian dari Hukum Privat (Hukum Perdata Materiil) ialah hukum

yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perseorangan di dalam

masyarakat dan kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Dalam

arti bahwa di dalamnya terkandung hak dan kewajiban seseorang dengan sesuatu

pihak secara timbal baik dalam hubungannya terhadap orang lain di dalam suatu

masyarakat tertentu.

Disamping Hukum privat materil, juga dikenal Hukum Perdata formal yang

lebih dikenal sekarang yaitu dengan HAP (Hukum Acara Perdata) atau proses perdata

yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana

caranya melaksanakan praktik di lingkungan pengadilan perdata. Di dalam pengertian

sempit kadang-kadang hukum perdata ini digunakan sebagai lawan Hukum Dagang.

Mengenai keadaan Hukum Perdata dewasa ini di Indonesia dapat dikatakan

masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka wama. Penyebab dari keaneka ragaman

ini ada 2 faktor yaitu :

25
Muhammad Darwaknto, Sejarah dan Perkembangan KUH Perdata, di Indonesia, Mitra,
Ilmu, Surabaya, 2012, hal. 19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

a. Faktor etnis disebabkan keaneka ragaman hukum adat bangsa Indonesia, karena

negara Indonesia ini terdiri dari berbagai suku bangsa.

b. Faktor Hostia Yuridis yang dapat dilihat, yang pada Pasal 163.I.S yang membagi

penduduk Indonesia dalam tiga golongan, yaitu

i. Golongan Eropa dan yang dipersamakan

ii. Golongan Bumi Putra (pribumi / bangsa Indonesia asli) dan yang

dipersamakan.

iii. Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).

Pasal 131.I.S yaitu mengatur hukum-hukum yang diberlakukan bagi masing-

masing golongan yang tersebut dalam Pasal 163.I.S di atas.

Adapun hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yaitu :

1. Bagi golongan Eropa dan yang dipermasakan berlaku Hukum Perdata dan

Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum

Dagang di negeri Belanda berdasarkan azas konkordansi.

2. Bagi golongan Bumi putra (Indonesia Asli) dan yang dipersamakan berlaku

hukum adat mereka, yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan

rakyat, dimana sebagian besar dari hukum adat tersebut belum tertulis, tetapi

hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.

3. Bagi golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab) berlaku hukum

masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putra dan Tmur Asing

(Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukkan diri kepada Hukum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan

hukum tertentu saja.26

Maksudnya untuk segala golongan warga negara berlainan satu dengan yang

lain dapat dilihat sebagai berikut :

1. Untuk Golongan Bangsa Indonesia Asli

Berlaku hukum adat yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan

rakyat, hukum yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi hidup dalam

tindakan-tindakan rakyat mengenai segala hal di dalam kehidupan kita dalam

masyarakat.

2. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan

Eropa.

Berlaku kitab KUHP (Burgelijk Wetboek) dan KUHD (Wetboek Van

Koophandel), dengan suatu pengertian bahwa bagi golongan Tionghoa ada

suatu penyimpangan yaitu pada bagian 2 dan 3 dari TITEL IV dari buku I

tentang :

Upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai penahanan pernikahan.

Hal ini tidak berlaku bagi golongan Tionghoa. Karena pada mereka

diberlakukan khusus yaitu Burgelijke Stand, dan peraturan mengenai

pengankatan anak (adopsi).27

26
Abdulah Ari A. Mansyur, Pembagian Golongan Penduduk Di Indonesia Pada Masa
Pemerintahan Kolonial Belanda, Eresco, Bandung, 2009, hal. 52
27
Irwando Hadiman, Pluralisme Hukum dan Penerapannya bagi Golongan Penduduk di
Indonesia, Suluh Ilmu, Semarang, 2009, hal. 18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

Selanjutnya untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal dari

Tionghoa atau Eropah (antara lain Arab, India dan lainnya) berlaku sebagian dari BW

yaitu hanya bagian-bagian yang mengenai Hukum Kekayaan Harta Benda

(Vermorgensrecht), jadi tidak mengenai Hukum Kepribadian dan Kekeluargaan

(Personen en Familierecht) maupun yang mengenai Hukum Warisan. Untuk

manahami keadaan Hukum Perdata di Indonesia perlulah kila mengetahui riwayat

politik pemerintah Hindia Belanda teriebih dahulu terhadap) hukum di Indonesia.

Pedoman politik bagi pemerintah Hindia Belanda tethadap hukum di

Indonesia ditulis dalam Pasal 131 (I.S) (Indische Staatregding) yang sebelumnya

Pasal 131 (IS) yaitu Pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokoknya

sebagai berikut :

1. Hukum Perdata dan Dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara

Perdata dan Hukum Acara Pidana harus diletakkan dalam Kitab Undang-undang

yaitu di Kodifikasi).

2. Untuk golongan bangsa Eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di

negeri Belanda (sesuai azas Konkordansi).

3. Untuk golongan bangsa Indonesia Asli dan Timur Asing (yaitu Tionghoa, Arab

dan lainnya) jika ternyata bahwa kebutuhan kemasyarakatan mereka

menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan

berlaku bagi mereka.

4. Orang Indonesia Asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum

ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa.

Penundukan ini boleh baik secara umum maupun secara hanya mengenai suatu

perbuatan tertentu saja.

5. Sebelumnya hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam Undang-Undang,

maka bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi

mereka, yaitu Hukum Adat28

Berdasarkan pedoman tersebut di atas, di jaman Hindia Belanda itu telah ada

beberapa peraturan Undang-Undang Eropa yang telah dinyatakan berlaku untuk

bangsa Indonesia Asli, seperti Pasal 1601-1603 lama dari BW yaitu perihal:

1. Perjianjian kena perburuhan : (staatsblat 1879 no 256)

2. Pasal 1788-1791 BW perihal hutang-hutang dari perjudian (straatsbtad 1907 no

306)

3. Dan beberapa Pasal dari WvK (KUHD) yaitu sebagian besar dari Hukum Laut

(Stratsblad 1933 No. 49)29

Disamping itu ada peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk

bangsa Indonesia seperti :

1. Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 no 74).

2. Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) Staatsblad 1939 no 570

berhubungan dengan No 717).

28
Fredy Lukmanto, Kedudukan KUH Perdata dan KUH Dagang Bagi Warga Negara
Indonesia Golongan Pribumi dan Timur Asing non Tionghoa, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2008, hal. 55
29
Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Kedua, Pradnya Paramitha,
Jakarta, 2004, hal. 35

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

Peraturan-peratura yang berlaku bagi semua golongan warga negara, yaitu:

a. Undang-undang Hak Pengarang (Auteuiswet lahun 1912)

b. Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad 1933 no 108)

c. Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523)

d. Ordonansi tentang pengangkutan dl udara (StaateWad 1938 no 98).

Sistematika Hukum Perdata kita (BW) ada dua pendapat Pendapat yang

pcitama yaitu, dan pembeilaku Undang-Undang berisi:

Buku I : Berisi mengenai orang. Di dalamnya diatur hukam tentang diri seseorang

dan hukum kekeluargaan.

Buku II : Berisi tentang hal benda, dan di dalamnya diatur hukum kebendaan

dan hukum waris.

Buku III : Berisi tentang hal perikatan. Di dalamnya diatur hak-hak dan

kewajiban timbal balik antara orang-orang atau pihak-pihak tertentu.

Buku IV : Berisi tentang pembuktian dan daluarsa. Di dalamnya diatur tentang

alat-alat pembuktian dan akibat-akibat hukum yang timbul dan adanya

daluwarsa itu.

Buku IV : Mengenai pembuktian

Pendapat yang kedua menurul ilmu Hukum / Doktrin dibagi dalam 4 bagian yaitu :

1. Hukum tentang diri seseorang (pribadi)

Mengatur tentang manusia sebagai subyek dalam hukum, mengatur tentang

prihal kecakapan untuk memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

melaksanakan hak-hak itu dan selanjutnya hal-hal yang mempengaruhi

kecakapan-kecakapan itu.

2. Hukum kekeluargaan

Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan

kekeluargaan yaitu :

a. Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami

dengan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.

3. Hukum kekayaan

Mengatur prihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.

Jika kita mengatakan tentang kekayaan seseorang maka yang dimaskudkan ialah

jumlah dari segala dari kewajiban orang itu dinilaikan dengan uang. Hak-hak

kekayaan terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap-tiap orang, oleh

karenanya dinamakan hak mutlak dan hak yang hanya berlaku terhadap

seseorang atau pihak tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan.

Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat

dinamakan hak kebendaan

Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang terlihat

Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat

terlihat

a. Hak seorang pengarang atas karangannya

b. Hak seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan Ilmu Pengetahuan atau

hak pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


28

4. Hukum Waris

Mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal.

Disamping itu Hukum Warisan mengatur akibat-akibat dari bubungan keluarga

terhadap harta peninggalan seseorang.

B. Tinjauan Umum Tentang Penggolongan Hukum Penduduk di Indonesia

Indonesia sebagai Negara yang terdiri dari belasan ribu pulau, beberapa suku

bangsa, agama, budaya, adat istiadat telah melahirkan beberapa sistem hukum.

Keanekaragaman penduduk merupakan kelebihan bangsa Indonesia.

Keanekaragaman dan perbedaan ini jika dikelola dengan baik akan menjadi modal

dalam rangka membangun bangsa ini menuju bangsa yang besar dan masyarakat

sejahtera, tetapi apabila tidak dikelola dengan baik dapat berakibat timbul konflik.

Oleh karena itu tenggang rasa, harga menghargai merupakan kunci utama supaya

penduduk yang beraneka ragam dapat hidup berdampingan dengan damai.30

Keanekaragaman suku bangsa ini terjadi akibat dari politik hukum pemerintah

Kolonial Belanda, politik hukum tersebut terlihat dalam Pasal 131 IS (Indische Staats

Regeling) yang mengambil alih Pasal 75 RR. Pasal 131 IS yang merupakan

“Pedoman Politik Hukum” pemerintah Belanda memuat ketentuan-ketentuan antara

lain :

1. Hukum Perdata, hukum dagang, hukum pidana, hukum acara perdata, hukum

acara pidana, harus diletakkan dalam kitab Undang-undang atau dikodifisir

(ayat 1)

30
Sudarwanto, Hukum Waris Bagi Golongan Timur Asing Tionghoa, Citra Ilmu, Surabaya,
2009, hal. 40

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

2. Terhadap golongan Eropa, harus diperlakukan perundang-undangan yang ada

di negeri Belanda dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang (ayat 2

sub a) ayat ini sering disebut sebagai ayat yang memuat asas konkordansi.

3. Bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing, ketentuan Undang-undang Eropa

dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang dapat diperlakukan apabila

kebutuhan mereka menghendakinya (ayat 2 sub b).

4. Orang Indonesia asli dan Timur Asing diperbolehkan menundudukkan dirinya

kepada hukum yang berlaku bagi orang Eropa, baik sebagian maupun

seluruhnya (ayat 4).

5. Hukum adat yang masih berlaku bagi orang Indonesia asli dan Timur Asing

tetap berlaku sepanjang belum ditulis dalam Undang-undang (ayat 6).31

Dari isi Pasal-Pasal tersebut nampak adanya politik memecah belah dari

pemerintah Hindia Belanda yakni :

1. Membedakan hukum yang berlaku untuk orang Eropa, Bumi Putera dan

Timur Asing yang ada Hindia Belanda pada waktu itu.

2. Membagi penduduk di Hindia Belanda atas golongan Eropa, Bumi Putera dan

Timur Asing.32

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, penduduk Indonesia dibagi dalam 3

golongan dan masing-masing golongan penduduk tersebut mempunyai Hukum

Perdata sendiri-sendiri. Pada jaman Hindia Belanda, dibidang Hukum Perdata pada

31
Rendy Eko Budiono, Praktek Pelaksanaan Pembagian Golongan Penduduk Berdasarkan
Pasal 131 dan Pasal 163 IS di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 12
32
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

umumnya dan Hukum Perdata Waris pada khususnya di jumpai pluralisme hukum.

Hal ini terjadi karena pemerintah Hindia Belanda menurut Pasal 163 ayat (1) I.S

(Indische Staats Regeling), penduduk Indonesia dibagi dalam 3 golongan penduduk

yaitu 33

a. Golongan Eropa

Menurut Pasal 163 ayat (2) I.S, yang termasuk golongan Eropa adalah ;

1. Semua warga negara Belanda

2. Orang Eropa

3. Warga negara Jepang

4. Orang-orang yang berasal dari negara lain yang hukum kekeluargaannya sama

dengan hukum keluarga Belanda, terutama azas monogami

5. Keturunan mereka yang tersebut di atas.

b. Golongan Pribumi

Menurut Pasal 163 ayat (3) I.S, yang termasuk golongan pribumi adalah :

1. Orang Indonesia asli

2. Mereka yang semula termasuk golongan lain, lalu membaurkan dirinya

kedalam orang Indonesia asli.

c. Golongan Timur Asing

Menurut Pasal 163 ayat (4) I.S, yang termasuk golongan Timur Asing adalah

mereka yang tidak termasuk dalam golongan Eropa atau Indonesia asli yaitu :

1. Golongan Timur Asing Tionghoa (Cina)


33
P.N.H Simanjuntak, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1999, hal 1-2.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

2. Golongan Timur Asing bukan Tionghoa34

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, terdapat berbagai Hukum Perdata

yang berlaku bagi golongan – golongan warga negara di Indonesia. Penggolongan

hukum perdata tersebut adalah :

a. Golongan bangsa Indonesia asli (bumiputera)

Bagi Bumi Putera berlaku hukum adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah

berlaku di kalangan masyarakat tetapi hukum ini masih berbeda-beda sesuai dengan

daerahnya masing-masing. Disamping hukum adat, terdapat beberapa peraturan

undang-undang yang secara khusus di buat oleh pemerintah Belanda bagi golongan

Bumi Putera, yaitu antara lain :

1. Ordonansi perkawinan bangsa Indonesia kristen (Stb 1933 No. 74)

2. Ordonansi tentang Maskapai Andie Indonesia atau IMA (Stb 1939 No. 509 jo

717)

3. Ordonasi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Stb 1939 No. 570 jo 717)

b. Golongan Eropa

Bagi golongan Eropa, berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang yang diselaraskan dengan Burgelijk Wetbook

dan Wetbook Van Koophandel yang berlaku di negara Belanda.

c. Golongan Tionghoa (Cina)

34
Ali Alfandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut KUH Perdata,
Bina Aksara, Jakarta, 2007, hal. 31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

Bagi golongan Tionghoa, berlaku KUHPerdata dan KUHD dengan beberapa

pengecualian, yaitu mengenai pencatatan sipil, cara-cara perkawinan, dan

pengangkatan anak (Adopsi).

d. Golongan Timur Asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa

Bagi golongan Timur Asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa

(seperti : Arab, India, Pakistan, Mesir dan lain-lain) berlaku sebagian dari

KUHPerdata dan KUHD, yaitu mengenai hukum harta kekayaan, sedangkan hukum

waris (tanpa wasiat), hukum kepribadian dan hukum keluarga berlaku hukum negara

mereka sendiri.

Dari uraian di atas tampaklah jelas bahwa Hukum Perdata yang berlaku di

indonesia masih beraneka ragam (Pluralistik). Hal ini sebagai konsekuensi Pasal 11

aturan peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyebutkan ”Segala

badan negara dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan

yang baru menurut Undang-Undang ini”. Fungsi Pasal 11 aturan peralihan adalah

untuk mengatasi agar tidak terjadi kekosongan hukum, sehingga Indonesia sampai

sekarang masih tetap mengakui Pasal 131 IS. Menurut Pasal 131 IS (Indische Staats

Regiling), golongan penduduk terdiri dari :

1. Golongan Eropa danyang dipersamakan dengan mereka

2. Golongan Timur Asing Tionghoa dan non Tionghoa

3. Golongan Bumi Putera

Masyarakat Tionghoa Indonesia, merupakan keturunan orang-orang Tionghoa

yang hijrah dari Tiongkok secara berkala dan bergelombang sejak ribuan tahun lalu.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

Cara hidup mereka yang cenderung eksklusif dan sangat kuat mempertahankan

tradisi, membuat mereka menjadi kelompok yang eksotis menurut sudut pandang

Barat. Imigran Tiongkok datang di Indonesia pertama kali sebelum Belanda datang di

Indonesia. Imigran pertama datang dari bagian selatan daratan Tiongkok seperti

Hokkien di Propinsi Funan kemudian menetap di Batavia. Imigran lain seperti orang-

orang Hakko datang dari Kwantung, orang-orang Punto datang dari Konton, orang-

orang Hakko dari Swatau, dan orang Haifoeng atau Hailam dari pulau Hounan.

Masyarakat Tionghoa adalah salah satu golongan penduduk yang menurut

Pasal 131 IS berlaku hukum perdata (BW). Namun di dalam implementasinya tidak

semua ketentuan-ketentuan yang diatur dalam kitab Undang-Undang hukum perdata

diikuti dan bahkan ada

Pembagian golongan hukum penduduk di Indonesia masih berlaku hingga

saat ini dan memiliki kekuatan hukum mengikat dalam setiap persitiwa hukum dan

perbuatan hukum di lapangan hukum perdata karena di Indonesia, sebagaimana

termuat dalam UU No. 62 Tahun 1958 dan UU No. 3 Tahun 1976 dan UU No. 12

Tahun 2006 tentang kewarganegaraan yang masih membagi penduduk Indonesia

menjadi dua golongan hukum yaitu hukum yang berlaku bagi golongan penduduk

Warga Negara Indonesia yang hukum berlaku bagi golongan penduduk Warga

Negara Asing (Warga Negara Asing yang dimaksud adalah warga negara di luar

warga negara Indonesia).35

35
M.J.A. Vanmorik, Studi Kasus Hukum Perdata Waris di Indonesia, Dalam saduran F
Tengker, Eresco, Bandung, 2012, hal. 11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

C. Akibat Dari Berlakunya Sistem Penggolongan Dalam


Praktik Pembuatan Akta Notaris Bagi Golongan Penduduk Di
Indonesia

Sistem penggolongan hukum yang berlaku bagi penduduk di Indonesia yang

diatur dalam KUH Perdata mengakibatkan terjadinya perbedaan dalam prosedur

hukum praktik pembuatan akta notaris bagi masing-masing golongan penduduk di

Indonesia tersebut. Hal ini dapat dilihat sebagai contoh, misalnya dalam pembuatan

surat keterangan hak waris bagi golongan penduduk di Indonesia yang termuat di

dalam Pasal 2 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yang menyebutkan : “Segala

badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum

diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Dokumen yang digunakan

untuk membuktikan kedudukan seseorang sebagai ahli waris bagi golongan Eropa,

Cina atau Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang Arab yang beragama Islam),

digunakan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris, dalam bentuk Surat

Keterangan. Golongan Timur Asing (bukan Cina/Tionghoa), selama ini pembuktian

mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh

Balai Harta Peninggalan (selanjutnya disebut BHP). Golongan Pribumi (Bumiputera),

selama ini pembuktian mereka sebagai ahli waris berdasarkan Surat Keterangan

Waris yang dibuat di bawah tangan, bermeterai, oleh para ahli waris sendiri dan

diketahui atau dibenarkan oleh Lurah dan Camat sesuai dengan tempat tinggal

terakhir pewaris. Golongan Eropa, Cina atau Tionghoa, Timur Asing (kecuali orang

Arab yang beragama Islam), selama ini pembuktian sebagai ahli waris berdasarkan

Surat Keterangan Waris yang dibuat oleh Notaris, dalam bentuk Surat Keterangan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

Surat keterangan waris bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa

yang dibuat oleh Notaris tidak dibuat dalam bentuk minuta (salinan), melainkan

dalam bentuk in originali (Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris

Belanda yang diikuti di Indonesia dan UUJN No. 30 Tahun 2004 jo UUJN No. 2

Tahun 2014). Artinya surat keterangan dalam bentuk yang asli dan ditandatangani

sendiri oleh Notaris yang bersangkutan. Surat keterangan waris yang dibuat selama

ini merupakan terjemahan dari Verklaring Van Erfrecht. Permasalahannya adalah

dikalangan notaris, tidak semua notaris bersedia membuat surat keterangan waris bagi

Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa. Disamping karena tidak adanya aturan

yang jelas yang mengatur tentang surat keterangan waris dan juga karena tidak

adanya aturan yang khusus dalam hal perlindungan hukum bagi notaris yang

membuat surat keterangan waris keturunan Tionghoa, namun juga karena adanya

keragu-raguan dikalangan Notaris, jika ahli waris tidak memberikan keterangan yang

sebenarnya atau menyembunyikan ahli waris yang lain, karena sejak surat keterangan

waris dibuat dan dikeluarkan oleh notaris, selalu terbuka kemungkinan bagi notaris

untuk dimintakan pertanggung jawabannya baik secara moral, etika maupun hukum

yang berlaku dengan akibat hukum terberat notaris diberhentikan dari jabatannya

secara tidak hormat.

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai

saat ini tidak ada ketentuan secara tegas dan khusus yang mengatur notaris dalam

membuat surat keterangan waris. Demikian juga dalam UUJN No.30 Tahun 2004 jo

UUJN No. 2 Tahun 2014 tidak ditemukan pengaturan tentang pembuatan surat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

keterangan waris, demikian juga Peraturan Jabatan Notaris tidak ditemukan

kewenangan notaris dalam membuat surat keterangan waris. Sampai saat ini, notaris

membuat surat keterangan waris berdasarkan kebiasaan yang diikuti dari notaris

Belanda.36

Namun pada perkembangannya kewenangan dalam pembuatan surat

keterangan hak waris bagi golongan penduduk di Indonesia di muat di dalam

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun

1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Namun demikian, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala

Badan Pertanahan Nasional tidak berlaku secara umum, hanya berlaku secara

internal, mengingat Peraturan Menteri Negara tidak termasuk dalam hierarki

Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan.

Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan

Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyebutkan:

c. Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa:


1) Wasiat dari pewaris, atau
2) Putusan Pengadilan, atau
3) Penetapan hakim/Ketua Pengadilan, atau
4) - Bagi Warga Negara Indonesia penduduk asli: surat keteranganahli
waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua)

36
Tan Thong Kie, Serba Serbi Praktek Notaris, Ikhtiar Baru, Jakarta, 2004, hal. 82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


37

orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat


tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia;
- Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa: akta keterangan
hak mewaris dari Notaris.
- Bagi Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya: surat
keterangan dari Balai Harta Peninggalan.

Pada dasarnya, ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

tersebut di atas merupakan peraturan bagi kewarisan hanya yang menyangkut di

bidang pertanahan, namun pada kenyataannya banyak diterapkan secara luas untuk

kewarisan bidang lain seperti perbankan maupun asuransi.

Di dalam hal pengangkatan anak bagi golongan penduduk di Indonesia

prosedur formal pengangkatan anak bagi golongan Tionghoa sebelum dikeluarkannya

SEMA No. 2 Tahun 1979 yang kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6

Tahun 1983 tentang pengangkatan anak, yang berwenang melakukan pengangkatan

anak adalah notaris. Dalam Stbl. 1917 No. 129 Bab II Pasal 10 ayat (1), diatur

tentang pengangkatan anak yang berisikan : Pengangkatan anak hanya dapat terjadi

dengan adanya akta notaris. Setelah dikeluarkannya SEMA terakhir tersebut, terdapat

perubahan yang mendasar dimana untuk sahnya pengangkatan anak tidak lagi

menggunakan akta notaris, tetapi dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri

dimana anak tersebut berdomisili. Hal ini dapat dilihat dari kata-kata “Keadaan

tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

masyarakat semakin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan

kepastian hukum itu hanya di dapat setelah memperoleh suatu keputusan pengadilan.”

Ikatan Notaris Indonesia (INI) dalam hal pengangkatan anak pada kongres

yang ke XI tahun 1980 di Semarang mengambil keseragaman antara para notaris

yaitu :

1. Menolak membuat pengangkatan anak atau adopsi yang bertentangan dengan

ketentuan Staatblad 1917 No. 129 yang dalam hal ini adalah menolak

pengangkatan anak perempuan.

2. Memberi jalan keluar pada klien dengan cara memberikan penolakan secara

tertulis, sehingga terbuka kesempatan pada klien untuk memohon kepada

Pengadilan Negeri agar diperintahkan kepada notaris untuk membuat akta

pengangkatan anak atau adopsi yang dikehendaki tersebut. Di dalam Kementerian

Sosial RI No. 41 / HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan perijinan

pengangkatan anak menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan ijin adopsi

anak adalah calon orang tua angka berstatus kawin dan pada saat mengajukan

permohonan adopsi anak sekurang-kurangnya sudah kawin 5 (lima) tahun hal

inilah yang kemudian menjadi rujukan PP No. 54 Tahun 2007 tentang

Pelaksanaan Pengangkatan Anak dan Peraturan Menteri Sosial No. 110 Tahun

2009 yakni pengangkatan anak harus berdasarkan penetapan pengadilan dan

berstatus menikah paling sedikit lima tahun, selain itu pengangkatan anak oleh

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh warga Negara Indonesia setelah

mendapat ijin dari menteri.37

Didalam pengaturan tentang perkawinan KUH Perdata tidak memberikan

pengertian mmengenai perkawinan. Perkawinan dalam Hukum Perdata adalah

perkawinan perdata, maksudnya adalah perkawinan hanya merupakan ikatan lahiriah

antara pria dan wanita, dan hanya dilihat dari segi keperdataanya saja. Asas-asas

perkawinan menurut KUH Perdata adalah :

1. Asas-asas Perkawinan menurut KUH Perdata

a) Asas monogami. Asas ini bersifat absolut/mutlak, tidak dapat dilanggar

b) Perkawinan adalah perkawinan perdata sehingga harus dilakukan di depan

pegawai catatan sipil

c) Perkawinan merupakan persetujuan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan di bidang hukum keluarga,

d) Supaya perkawinan sah maka harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan

undang-undang

e) Perkawinan mempunyai akibat terhadap hak dan kewajiban suami dan isteri

f) Perkawinan menyebabkan pertalian darah

g) Perkawinan mempunyai akibat di bidang kekayaan suami dan isteri itu

Hal ini berbeda dengan ketentuan yang mengatur tentang perkawinan yang

termuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan unifikasi dari

37
Habib Adjie, Plurarisme Kewenangan Pejabat Pembuat Keterangan Hak Waris di
Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2008, hal. 12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

hukum perkawinan secara nasional. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan maka ketentuan tentang pengaturan perkawinan yang

termuat di dalam KUH Perdata telah dicabut keberlakuannya sehingga yang berlaku

adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

2. Asas-asas perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

a) Asas kesepakatan (Bab II Pasal 6 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974), yaitu harus

ada kata sepakat antara calon suami dan isteri

b) Asas monogami (Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974). Pada asasnya,

seorang pria hanya boleh memiliki satu isteri dan seorang wanita hanya boleh

memiliki satu suami, namun ada perkecualian (Pasal 3 ayat (2) UU No. 1

Tahun 1974), dengan syarat-syarat yang diatur dalam Pasal 4-5

c) Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah melainkan juga batiniah

d) Supaya sah perkawinan harus memenuhi syarat yang ditentukan undang-

undang (Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974)

e) Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi suami dan isteri

f) Perkawinan mempunyai akibat terhadap anak/keturunan dari perkawinan

tersebut

g) Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta suami dan isteri tersebut.38

Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami

isteri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.

38
Djaya S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum Keluarga di
Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2007, hal. 32

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

a. Akibat Perkawinan Terhadap Suami Istri

1. Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah

tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30 UU No. 1 Tahun

1974 )

2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat (Pasal 31 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 )

3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31

ayat 2 UU No. 1 Tahun 1974 )

4. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga

5. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka

6. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling serta

7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai

dengan kemampuannya

8. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya

b. Akibat Perkawinan terhadap Harta Kekayaan

1. Timbul harta bawaan dan harta bersama

2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta

bawaan untuk melakukan perbuatan hukum apapun.

3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan

hukum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36 UU No. 1 Tahun 1974 )

c. Akibat Perkawinan terhadap Anak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

1. Kedudukan anak

a) Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42

UU No. 1 Tahun 1974 )

b) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja

2. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak

a) Kedua orang tua wajb memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai

anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45 UU No. 1

Tahun 1974 )

b) Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik

c) Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis

keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan

anaknya (Pasal 46 UU No. 1 Tahun 1974 )

3. Kekuasaan orang tua

a) Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di

bawah kekuasaan orang tua

b) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun

di luar pengadilan

c) Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hukum baik di dalam maupun

di luar pengadilan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

d) Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-

barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau

belum pernah kawin

e) Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila :

1. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak

2. Ia berkelakuan buruk sekali

f) Meskipun orang tua dicabut kekuasaanya, tetap berkewajiban untuk

memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya

Ketentuan perkawinan yang termuat di dalam KUH Perdata adalah berlaku

bagi golongan Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan golongan Eropa

yaitu golongan Timur Asing cina. Sedangkan bagi golongan Timur Asing non cina

dan golongan bumi putra berlaku hukum adatnya masing-masing dalam pengaturan

perkawinan sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Perkawinan. Di dalam KUH Perdata juga dikenal lembaga perjanjian perkawinan

yang termuat di dalam Pasal 147 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, “Perjanjian

kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan berlangsung dan akan

menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian itu akan mulai berlaku

pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu “.

Selanjutnya Pasal 148 KUH Perdata menyebutkan bahwa ,” “perubahan-

perubahan dalam hal itu, yang sedianya boleh diadakan sebelum perkawinan

dilangsungkan tidak dapat diadakan selain dengan akta, dalam bentuk yang sama

seperti akta perjanjian yang dulu dibuat. Lagi pula tiada perubahan yang berlaku, jika

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

diadakan tanpa kehadiran dan izin orang-orang yang telah menghadiri dan menyetujui

perjanjian itu”. Pasal 149 KUH Perdata menyebutkan bahwa, “ setelah perkawinan

berlangsung perjanjian kawin tidak boleh diubah dengan cara apapun. Dari uraian di

atas berdasarkan KUH Perdata maka ketentuan tentang perjanjian perkawinan harus

dibuat dalam bentuk akta autentik notaris oleh orang-orang yang tunduk kepada KUH

Perdata yaitu golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan Eropa yaitu Timur

Asing Cina sebelum lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974. Apabila perjanjian

perkawinan tersebut tidak dibuat dalam autentik notaris maka perjanjian tersebut

batal demi hukum. Ketentuan tentang perjanjian perkawinan yang termuat di dalam

KUH Perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan dengan

golongan Eropa yaitu Timur Asing cina berbeda dengan ketentuan tentang

perkawinan setelah lahirnya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan

yang berlaku secara nasional. Di dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 29

ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa,

“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua pihak atas

persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh

pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga

sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyebutkan

bahwa, “Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas

hukum, agama dan kesusilaan”. Selanjutnya Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No.1

Tahun 1974 menyebutkan bahwa, “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

perkawinan dilangsungkan”. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang No.1 Tahun 1974

menyebutkan bahwa, “Selama perkawinan berlangsung tersebut tidak dapat diubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan

tidak merugikan pihak ketiga”. Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tidak mewajibkan suatu perjanjian perkawinan

dibuat di dalam suat akta autentik notaris dan perjanjian perkawinan tersebut dapat

diubah meskipun telah berlangsung perkawinan dengan ketentuan bila kedua belah

pihak setuju untuk mengubah perjanjian perkawinan tersebut dan tidak merugikan

pihak ketiga. Hal ini berbeda dengan ketentuan tentang perjanjian perkawinan

terdapat dalam KUH Perdata dimana perjanjian perkawinan yang telah dibuat oleh

pasangan suami isteri tidak dapat diubah dengan cara apapun dan dengan alasan

apapun juga. Dari kedua ketentuan tersebut dapat dikatakan terdapat perbedaan

tentang pengaturan perjanjian perkawinan yang termuat di dalam KUH Perdata di

dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.39

Dalam bidang hukum waris terdapat pula pluralisme keberlakuan ketentuan

tentang waris bagi golongan penduduk di Indonesia. Bagi golongan Eropa dan

golongan yang dipersamakan dengan Eropa yaitu Timur Asing cina berlaku ketentuan

tentang hukum waris yang termuat di dalam KUH Perdata, sedangkan bagi golongan

bumi putra berlaku hukum adatnya masing-masing dalam hal pewarisan. Disamping

itu bagi golongan Bumi Putra yang beragama Islam berlaku hukum waris Islam.

39
Sugiono Wiratno, Politik Hukum Menggolongkan Penduduk di Indonesia oleh Pemerintah
Kolonial Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 2004, hal. 60

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


46

Hukum mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan manusia. Maka

untuk membicarakan hukum maka harus membicarakan tentang kehidupan manusia.

Diaman banyak kehidupan yang menyangkut sosial maupun keluarga, dan tidak jauh-

jauh pasti akhirnya timbul mengenai permasalahan tentang waris. Pada zaman

pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia berlaku IS (indische Staatsregeleling)

yang merupakan pedoman politik terhadap hukum di Indonesia dengan pokok-pokok

pikiran sebagai berikut :

a. Hukum Perdata, Hukum dagang, dan Hukum Pidana begitu pula Hukum acara

Perdata dan Hukum Acara Pidana harus diatur dalam bentuk Undang-Undang

atau Ordonasi (Pasal 131, ayat 91) IS)

b. Terhadap golongan Eropa, harus dianut Perundang-undangan yang berlaku di

negeri Belanda dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum dagang (Pasal 131 ayat

(2.a) IS)

c. Terhadap orang Indonesia asli dan Timur Asing, maka ketentuan perundang-

undangan Eropa dalam bidang Hukum Perdata dan Hukum Dagang dapat

diberlakukan bilamana kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendaki (Pasal

131 ayat (2.b) IS) “

d. Orang Indonesia asli dan Timur Asing diperbolehkan menundukan diri

(onderwerpen) ke dalam ketentuan perundang-undangan Eropa, baik sebagian

maupun dalam keseluruhannya, peraturannya serta akibatnya diatur dalam

Undang-Undang/Ordonasi (Pasal 131 (ayat 4) IS)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

e. Hukum adat (yang termasuk Hukum Perdata adat Hukum Dagang menurut Adat)

yang masih berlaku terhadap orang Indonesia asli dan Timur Asing tetap

mempunyai kekuatan, selama dan sejauh belum ditulis dalam bentuk Undang-

Undang/Ordonansi (Pasal 131 ayat (1) IS).

Dengan adanya penggolongan penduduk tersebut maka Hukum Perdata yang

berlaku untuk setiap golongan pun berbeda-beda. Adapun Hukum Perdata yang

berlaku bagi masing-masing golongan yaitu sebagai berikut :

a. Untuk Golongan Eropa dan orang yang dipersamakan dengan orang Eropa,

seperti Jepang, Amerika, Kanada, Afrika Selatan, Australia serta keturunan-

keturunannya baik yang sah maupun yang tidak disahkan oleh undang-undang

terhadap mereka berlaku Hukum Perdata Eropa

b. Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing (Oosterlingen) dan terhadap mereka

yang beragama Kristen sesuai dengan ketentuan Staatsblad Tahun 1847 Nomor

23, berlaku ketentuan Hukum Perdata Eropa

c. Untuk golongan Bumi Putra atau Indonesia Asli diberlakukan Hukum Perdata

adat.

Sehubungan dengan berlakunya 3 (tiga) sistem Hukum Perdata yang ada di

Indonesia, maka hal ini menyebabkan terdapat pula 3 (tiga) hukum waris yang

berlaku di Indonesia, yaitu Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Adat dan Hukum

Waris Islam. Ketiga macam hukum waris yang berlaku di Indonesia memang sulit

untuk disatukan. Setiap hukum waris tersebut mempunyai nilai-nilai yang berbeda

dan dasar yang berbeda pula. Hukum waris menurut konsepsi Hukum Perdata Barat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

yang bersumber pada BW (KUH Perdata), merupakan bagian dari hukum harta

kekayaan.

Dalam hukum kewarisan perdata terdapat istilah-istilah mengenai waris ;

Pewaris, Ahli waris, Harta warisan, dan mewarisi. Waris adalah orang yang berhak

menerima pusaka (peninggalan) orang yang telah meninggal. Pewaris adalah orang

yang meninggal dunia yang meninggalkan harta kekayaan. Ahli waris adalah anggota

keluarga orang yang meninggal dunia yang menggantikan kedudukan Pewaris dalam

bidang hukum kekayaan karena meninggalnya Pewaris, Mewarisi adalah mendapat

harta pusaka, biasanya segenap ahli waris adalah mewarisi harta peninggalan

pewarisnya. Sedangkan Harta warisan adalah kekayaan yang berupa keseluruhan

aktiva dan pasiva yang ditinggalkan Pewaris dan beralih kepada para ahli waris,

keseluruhan kekayaan yang berupa aktiva dan pasiva yang menjadi milik bersama

ahli waris disebut Boedel.

Ahli waris menurut perdata diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata (KUHPerdata) dalam Bab XII Buku II Pasal 832 adalah para keluraga

sedarah, baik yang sah maupun di luar kawin dan si suami atau isteri yang hidupnya

terlama.

Unsur-unsur Pewaris berdasarkan KUHPerdata :

1. Harus ada orang yang meninggal dunia (Pasal 830 BW)

2. Harus ahli waris atau para ahli waris harus ada pada saat pewaris meninggal

dunia. Ketentuan ini tidak berarti mengurangi makna ketentuan Pasal 2

KUHPerdata, yaitu “anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


49

dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana kepentingan si anak

menghendakinya.” Apabila meninggal saat dilahirkan, ia dianggap tidak

pernah ada. Dengan demikian berarti bayi dalam kandungan juga sudah diatur

haknya oleh hukum sebagai ahli waris dan telah dianggap cakap untuk

mewaris

3. Seorang ahli waris harus cakap serta berhak mewarisi, dalam arti ia tidak

dinyatakan oleh undang-undang sebagai seorang yang tidak patut mewarisi

karena kematian, atau tidak dianggap sebagai tidak cakap untuk menjadi ahli

waris

Unsur-unsur pewarisan menurut harta kekayaan terdiri dari :

1. Unsur individual (menyangkut diri pribadi seseorang)

Pada prinsipnya seseorang pemilik tas suatu benda mempunyai kebebasan

yang seluas-luasnya sebagai individu untuk berbuat apa saja atas benda yang

dimilikinya. Orang tersebut mempunyai kebebasan untuk berbuat apa saja

terhadap harta kekayaannya, misalnya menghibahkan ataupun memberikan

harta kekayaanya kepada orang lain menurut kehendaknya

2. Unsur sosial (Menyangkut kepentingan bersama)

Perbuatan yang dilakukan oleh seseorang pemilik harta kekayaan

sebagaimana dijelaskan dalam unsur individual, yaitu kebebasan melakukan

apa saja terhadap harta benda miliknya dengan menghibahkan kepada orang

lain akan dapat menimbulkan kerugian pada ahli warisnya. Oleh karena itu,

undang-undang memberikan batasan-batasan terhadap kebebasan pewaris

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

demi kepentingan ahli waris yang sangat dekat yang bertujuan untuk

melindungi kepentingan mereka.

Hukum waris yang terdapat di dalam KUH Perdata berlaku bagi golongan

Eropa dan orang-orang yang dipersamakan dengan golongan Eropa yaitu golongan

Timur Asing cina, sehingga dalam pelaksanaanya hukum waris yang berlaku bagi

golongan Eropa dan Timur Asing cina adalah berbeda dengan golongan bumi putra

dan golongan Timur Asing bukan cina. Bagi golongan bumi putra dan Timur Asing

bukan cina maka hukum waris yang berlaku bagi mereka adalah hukum adatnya

masing-masing. Sehingga hal ini mengakibatkan terjadinya pluralisme dalam

pemberlakuan hukum waris bagi golongan masyarakat bumi putra dan Timur Asing

bukan cina. Disamping itu hukum adat yang berlaku bagi golongan bumi putra dan

Timur Asing bukan cina tidak termuat di dalam suatu ketentuan peraturan perundang-

undangan, namun dalam praktiknya hukum waris adat diterapkan secara turun

temurun di kalangan masyarakat golongan bumi putra dan Timur Asing bukan cina.

Bagi golongan bumi putra yang beragama Islam dapat pula berlaku hukum waris

Islam yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan pembagian warisan tersebut.

Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa akibat dari penggolongan hukum

bagi masyarakat yang ada di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda adalah

berlakunya ketentuan hukum yang berbeda untuk tiap-tiap masyarakat berdasarkan

penggolongannya tersebut di bidang hukum perdata sesuai ketentuan penggolongan

hukum yang telah termuat di dalam KUH Perdata tersebut. Meskipun demikian

namun terbuka kesempatan bagi golongan bumi putra untuk menundukkan diri secara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

sukarela di dalam hukum perdata yang berlaku bagi golongan Eropa dan golongan

Timur Asing cina. Penundukan sukarela terhadap golongan bumi putra untuk tunduk

kepada hukum perdata Eropa tersebut dapat dibagi menjadi penundukan sukarela

secara keseluruhan yaitu penundukan bagi golongan bumi putra untuk tunduk secara

keseluruhan kepada hukum perdata Eropa sehingga segala ketentuan-ketentuan

hukum perdata yang berlaku bagi golongan bumi putra tersebut adalah hukum perdata

Eropa sebagaimana termuat di dalam KUH Perdata. Disamping penundukan sukarela

secara keseluruhan adapula penundukan sukarela sebagian yang berarti golongan

bumi putra yang menundukkan diri secara sebagian kepada hukum perdata Eropa

maka untuk bidang-bidang hukum perdata tertentu yang dipilih oleh golongan bumi

putra tersebut maka berlaku baginya hukum perdata Eropa tersebut.

Pembagian golongan hukum bagi penduduk warga negara indonesia juga

berakibat terhadap pelaksanaan pembuatan akta autentik di hadapan notaris dalam

hal-hal tertentu. Bagi golongan Eropa dan Timur Asing cina untuk pembuatan surat

keterangan hak waris, perjanjian perkawinan (sebelum lahirnya Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) maka pembuatan surat keterangan hak waris

maupun perjanjian perkawinan tersebut wajib dilakukan dengan menggunakan akta

autentik notaris. Apabila perbuatan tersebut tidak dilakukan dengan menggunakan

akta autentik notaris maka perbuatan hukum pembuatan surat keterangan hak waris

maupun perjanjian perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan batal demi hukum.40

40
Rusdianto Lasiman, Surat Keterangan Hak Waris dan Kewenangan Pembuatannya
Berdasarkan Golongan Penduduk di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2012, hal. 52

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


52

Sedangkan bagi golongan bumi putra dan Timur Asing bukan cina tidak ada

ketentuan yang mewajibkan bagi mereka dalam pembuatan akta autentik notaris di

bidang perjanjian perkawinan maupun dalam surat keterangan hak waris. Dalam surat

keterangan hak waris bagi golongan bumi putra dapat dilakukan oleh para ahli waris

tersendiri dengan ditandatangani oleh lurah/kepala desa dan diketahui oleh camat.

Disamping itu pembuatan surat keterangan hak waris bagi golongan bumi putra dapat

pula dilakukan secara langsung oleh lurah/kepala desa dengan diketahui oleh camat

dimana dalam surat keterangan hak waris tersebut memuat seluruh nama-nama ahli

waris yang sah yang berhak memperoleh warisan dari si pewaris. Bagi golongan

Timur Asing bukan Cina maka surat keterangan hak waris wajib dibuat oleh balai

harta peninggalan (BHP). Hal ini dapat dikatakan terjadi perbedaan kewenangan

dalam pembuatan surat keterangan hak waris akibat terjadinya pembagian golongan

hukum bagi penduduk Indonesia tersebut.41

Menurut hasil wawancara dengan Notaris S menyatakan bahwa terlihat

perbedaan pengelompokan dalam melakukan pembuatan hukum misalnya dalam

pembuatan surat keterangan hak waris dimana golongan pribumi membuatnya di

Lurah atau Camat sedangkan golongan Timur Asing dan Eropa di membuatnya di

Notaris. Selain itu terlihat dalam pembuatan surat kawin, golongan pribumi hanya

dengan buku nikah sedangan golongan non pribumi harus dengan menggunakan akta

perkawinan.42

41
Ibid, hal. 53
42
Wawancara dengan Notaris S di Medan Tanggal 31 Oktober 2015, pukul 10.00 Wib

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

Hal tersebut juga sependapat dengan Notaris RA menyatakan bahwa apabila

sudah dibuat dalam akta notaris maka berlakulah penggolongan hukum berdasarkan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan untuk kedudukan hukum warga

negara apabila sudah menjadi Warga Negara Indonesia adalah sama di mata hukum.43

Demikian juga halnya berdasarkan wawancara dengan Notaris FN di Kota

Medan menyatakan bahwa penggolongan hukum yang ada di Indonesia hanya

berdasarkan pada pembuatan Surat Keterangan Hak Waris dan untuk pembuatan akta

Notaris yang lain adalah sama dan tidak ada perbedaan. Untuk kedudukan hukum

warga negara pada saat ini hal tersebut hanya berakibat pada pembuatan Surat

Keterangan Hak Waris saja.44

Begitu juga dengan hasil wawancara dengan Notaris H menyatakan bahwa

dalam pembuatan akta notaris tidak ada perbedaan dalam menentukan akta atau surat

apa yang harus dibuat untuk golongan atau agama orang yang bersangkutan

sepanjang dalam pembuatan akta notaris tersebut tidak bertentangan dengan aturan

kebiasaan dan Undang-Undang yang berlaku. Akan tetapi hanya untuk pembuatan

Surat Keterangan Hak Waris terdapat perbedaan dimana untuk golongan pribumi

pembuatannya di Lurah, untuk golongan timur asing di Notaris dan golongan timur

asing Non Cina di Balai Harta Peninggalan.45

Pandangan sedikit berbeda berdasarkan hasil wawancara dengan Notaris E di

Kota Medan menyatakan bahwa penggolongan hukum dalam praktik pembuatan akta

43
Wawancara dengan Notaris RA di Medan tanggal 17 Nopember 2015, pukul 14.00 Wib
44
Wawancara dengan Notaris FN di Medan tanggal 19 Nopember 2015, pukul 09.00 Wib
45
Wawancara dengan Notaris H di Medan tanggal 01 Desember 2015, pukul 14.00 wib

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

Notaris tergantung dengan kasus permasalahan klien. Kalau mengenai warisan

seseorang dengan dari golongan timur asing beragama Islam maka dalam pembuatan

Surat Keterangan Hak Warisnya pertama sekali adalah di Notaris dengan format

Hukum Islam. Akan tetapi apabila hal tersebut tidak bisa diakomodir oleh Notaris

maka yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan pembuatan Surat

Keterangan Hak Waris tersebut di Pengadilan Agama. Hal tersebut relatif terhadap

golongan dan agama dari klien tersebut. Sedangkan kedudukan hukum warga negara

implikasinya adalah dalam hukum pertanahan dimana Warga Negara Indonesia dan

Warga Negara Asing terhadap kepemilikan tanah di Indonesia adalah berbeda

sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria.46

46
Wawancara dengan Notaris E di Medan tanggal 07 Desember 2015, pukul 15.00 wib

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


55

BAB III

KEDUDUKAN HUKUM SETIAP WARGA NEGARA DIDALAM SISTEM


PENGGOLONGAN HUKUM SEBAGAIMANA YANG DIATUR DALAM
HUKUM PERDATA SETELAH KELUARNYA UNDANG-UNDANG
NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN
REPUBLIK INDONESIA

A. Perkembangan Pengaturan Tentang Kewarganegaraan Indonesia

Ketentuan hukum yang mendasari pengaturan kewarganegaraan Republik

Indonesia adalah Undang-undang Dasar dan Peraturan Perundang-undangan antara

lain: UUD 1945 melalui Pasal-Pasal 26, 27, 28 B ayat (2), 28 D ayat (1) dan (4), 28

E ayat (4), 28 I ayat (2), 28 1. Kemudian Undang-undang No 12 Tahun 2006. Dalam

sejarahnya, sebelum berlakunya UU No 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan

Republik Indonesia, ada banyak pengaturan mengenai kewarganegaraan di

Indonesia baik berupa Peraturan Perundang-undangan maupun Peraturan Pelaksanaan

berupa Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden. Perubahan-

perubahan itu dilakukan karena banyaknya permasalahan Pengaturan

Kewarganegaraan di Indonesia. Akan tetapi, beberapa perbedaan yang sangat

mencolok dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. UU No.3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara Indonesia;

2. UU No.62 Tahun 1958 tentang Kewarnegaraan Republik Indonesia dan UU No.3

Tahun 1976 tentang perubahan Pasal 18 UU No.62 Tahun 1958 tentang

Kewarganegaraan Republik Indonesia dan

55
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56

3. UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.47

Pada waktu Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus

tahun 1945, Negara Republik Indonesia belum Mempunyai Undang-undang dasar

(UUD1945) sehari kemudian tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945, mengenai

kewarganegaraan UUD1945 menyebutkan antara lain:

1. Pasal 26 Ayat (1) menentukan bahwa “Yang menjadi warga negara adalah orang-

orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan

undang-undang sebagai warga negara Indonesia”, sedangkan ;

2. Pasal 26 Ayat (2) menentukan bahwa, “syarat-syarat yang mengenai

kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang”.

Secara otentik, penjelasan UUD 1945 mengenai ketentuan di atas

menerangkan sebagai berikut: “Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan

Belanda, Peranakan Tionghoa, dan peranakan Arab yang bertempat tinggal di

Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya, dan bersikap setia kepada

negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara”.

Sebagai pelaksanaan Pasal 26 UUD1945, tanggal 10 April 1946,

diundangkan UU No.3 Tahun 1946. Adapun yang dimaksud dengan warga negara

Indonesia menurut UU No.3 Tahun 1946 adalah

1. Orang-orang asli dalam wilayah daerah di Indonesia;

47
Sutedjo Irawan, Kedudukan Hukum Warga Keturunan Tionghoa Di Indonesia, Rajawali
Press, Jakarta, 2005, hal. 71

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

2. Orang yang tidak masuk dalam golongan tersebut diatas akan tetapi turunan dari

seseorang dari golongan itu dan lahir bertempat kedudukan dan kediaman dalam

daerah negara Indonesia, dan orang itu bukan turunan seorang dari golongan

termaksud yang lahir dan bertempat kedudukan dan kediaman di selama

sedikitnya 5 tahun berturut turut yang paling akhir didalam daerah negara

Indonesia yang telah berumur 21 tahun atau telah kawin.

3. Orang yang mendapatkan kewarganegaraan Indonesia dengan cara Naturalisasi.

4. Anak yang sah, disahkan atau diakui dengan cara yang sah oleh bapaknya, yang

pada lahirnya bapaknya mempunyai kewarganegaraan Indonesia.

5. Anak yang lahir dalam waku 300 hari setelah bapaknya yang mempunyai

kewarganegaraan Indonesia, meninggal dunia.

6. Anak yang hanya oleh ibunya diakui dengan cara yang sah yang pada waktu

lahirnya mempunyai kewarganegaraan Indonesia.

7. Anak yang diangkat dengan cara yang sah oleh seorang warga negara Indonesia.

8. Anak yang lahir di dalam daerah negara Indonesia yang oleh bapaknya ataupun

ibunya tidak diakui dengan cara yang sah.

9. Anak yang lahir didalam daerah negara Indonesia, yang tidak diketahui siapa

orang tuanya atau kewarganegaraan keduan orang tuanya.

10. Badan-badan hukum yang didirikan menurut hukum yang berlaku dalam negara

Indonesia dan bertempat kedudukan didalam daerah negara Indonesia.48

48
Sugondo Akhmal, Plurarisme Hukum Waris di Indonesia, Suatu Kajian Yuridis Normatif,
raja grafindo persada, Jakarta, 2006, hal. 21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dianut dalam undang-

undang tersebut adalah asas Ius soli. UU No.3 Tahun 1946 beberapa kali

mengalami perubahan tanggal 27 Februari 1947 pemerintah Indonesia dengan

persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP)

mengeluarkan Undang Undang No.6 Tahun 1947 tentang Perbahan UU No.3 Tahun

1946 tentang warga negara dan pendudukan Indonesia. Maka dari itu perihal

tentang kewarganegaraan Indonesia pada awal kemerdekaan diatur di dalam UU

No.3 Tahun 1946 jo UU No.6 Tahun 1947 jo UU No.8 Tahun 1947.49

Pada perkembangan politik selanjutnya yaitu pada tahun 1949 Negara

Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melebur bersama dengan negara negara

bagian menjadi negara Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berbentuk republik

federal. Perubahan ini pada dasarnya merupakan hasil persetujuan antara pemerintah

Indonesia dengan Pemerintah kerajaan Belanda, bahwa Belanda mengakui kedaulatan

Republik Indonesia tetapi dalam bentuk Republik Federal.

Dalam permasalahan orang-orang Belanda dan Eropa di Indonesia, negara

Republik Indonesia Serikat dengan kerajaan Belanda (Koninkrijk der Nederlander)

Melangsungkan Konfrensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag. Dalam Persetujuan ini

terdapat perihal pembagian Warga Negara, dari hasil KMB tanggal 27 Desember

1949 antara Belanda dengan Negara Indonesia serikat artinya kedua negara harus

menentukan siapa saja yang menjadi warga negara masing-masing, setelah Republik

49
Agus Irawan, Sejarah Perkembangan Kewarganegaraan di Indonesia, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2006, hal. 48

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

Indonesia Serikat berdaulat penuh, lepas dari penjajahan Kerajaan Belanda. Maka

ditentukanlah hak opsi dan hak repuidasi dalam piagam persetujuan pembagian warga

negara konfrensi meja bundar tersebut. Hak opsi dalam kewarganegaraan adalah hak

seseorang untuk memilih atau menerima tawaran kewargarganegaraan suatu negara

tertentu. Sebaliknya, hak repuidasi adalah hak seseorang menolak tawaran

kewarganegaraan suatu negara tertentu.50

Piagam Persetujuan Pembagian Warga Negara (PPPWN) tersebut di atas

pada prinsipnya mengatur sebagai berikut

1. Orang-orang Belanda dewasa tetap memegang kebangsaan Belanda. Namun jika

mereka dilahirkan di Indonesia atau bertempat tinggal di Indonesia sekurang-

kurangnya enam bulan, dalam jangka waktu dua tahun sesudah penyerahan

kedaulatan mereka berhak menyatakan memilih kebangsaan Indonesia;

2. Kawula negara Belanda bukan orang Belanda dewasa, yang menjelang waktu

penyerahan kedaulatan termasuk golongan penduduk orang-orang asli Indonesia,

memperoleh kebangsaan Indonesia. Namun jika mereka lahir di luar Indonesia

dan bertempat tinggal di Negeri Belanda atau luar wilayah peserta Uni Indonesia

Belanda, dalam jangka waktu dua tahun sesudah penyerahan kedaulatan mereka

berhak menyatakan bahwa mereka memilih kebangsaan Belanda;

3. Kawula negara Belanda bukan orang Belanda yang bertempat tinggal di Suriname

50
Soetoprawiro Koerniamanto, Hukum Kewarganegaraan Dan Keimigrasian, Jakarta,
Gramedia Pustaka Utama,1996 hal 4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


60

a. Jika mereka lahir di luar wilayah kerajaan Belanda, mereka memperoleh

kebangsaan Indonesia. Namun dalam jangka waktu dua tahun sesudah

penyerahan kedaulatan mereka berhak menyatakan bahwa mereka memilih

kebangsaan Belanda; atau antillen Belanda :

b. Jika mereka lahir di ;luar wilayah kerajaan Belanda , mereka tetap memegang

kebangsaan Belanda. Namun dalam jangka waktu dua tahun sesudah

penyerahan kedaulatan, mereka berhak memilih kebangsaan Indonesia;

4. Orang asing yang kawula negara Belanda bukan orang Belanda yang telah dewasa

menjelang waktu penyerahan kedaulatan dan yang lahir di Indonesia atau

bertempat tinggal di Republik Indonesia Serikat mendapat tahun sesudah

penyerahan kedaulatan;

5. Orang asing yang kawula negara Belanda bukan orang Belanda yang telah dewasa

menjelang waktu kedaulatan yang lahir tidak di Indonesia yang bertempat tinggal

di kerajaan Belanda tetap berkebangsaan Belanda, tetapi dalam jangka waktu dua

tahun sesudah penyerahan kedaulatan mereka berhak menolak kebangsaan

Belanda dan memilih kebangsaan Indonesia;

6. Orang asing yang kawula negara Belanda bukan orang Belanda dari luar negeri

yang telah dewasa menjelang waktu penyerahan kedaulatan yang bertempat

tinggal di wilayah peserta Unit Indonesia-Belanda dan yang lahir di negeri

Belanda. Tetapi jika orang tua mereka kawula negara Belanda karena lahir di

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

Indonesia, dalam jangka waktu dua tahun sesudah penyerahan kedaulatan mereka

berhak memilih kebangsaan Indonesia dengan menolak kebangsaan Belanda itu.51

Jangka waktu kesempatan untuk menggunakan hak opsi ataupun hak

repuidasi itu dengan demikian adalah sejak tanggal 27 Desember 1949 sampai

dengan tanggal 27 Desember 1951.

Masalah kewarganegaraan pada awal kemerdekaan negara Republik Indonesia

tidak hanya ada pada orang-orang Belanda dan Eropa yang ada di Indonesia. Tetapi

juga terhadap orang-orang TiongHoa yang merupakan Warga Negara Republik

Rakyat China (RRC) yang ada di Indonesia.

Permasalahan itu adalah adanya dwi kewarganegaraan orang-orang Cina.

Pada tahun 1949 kaum komunis berhasil merebut kekuasaan di China dari tangan

kaum Kuo Min Tang. Maka dari itu lahirlah negara RRC. Negara ini masih

mempertahankan Undang-Undang kewarganegaraan China Nasionalis yang

diundangkan pada tahun 1929. Undang-Undang ini menggunakan asas ius sanguinis,

berarti semua orang China dimanapun mereka berada diklaim sebagai warga negara

China. Hal ini mengakibatkan semua orang yang berstatus warga negara Indonesia

mempunyai Dwi kewarganegaraan. Artinya selain memiliki kewarganegaraan

Indonesia mereka juga mempunyai kewarganegaraan China. Piagam Persetujuan

Pembagian Warga Negara (PPPWN) yang dimulai pada tanggal 27 Desember 1949

sampai tanggal 27 Desember 1951 dikenal juga sebagai masa opsi, pada masa itu pula

51
Eko Hadiman, Penduduk Dan Warga Negara Di Mata Hukum, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2006,
hal. 14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

Duta Besar RRC untuk Indonesia Wang Yen-Shu yaitu pada tanggal 14 Agustus 1950

dilantik sebagai Duta Besar Pertama RRC di Indonesia.Duta Besar ini secara aktif

berkampanye guna menarik orientasi orang-orang china di Indonesia ke

RRC.terjadilah pengaruh perebutan antara pihak RRC dengan Indonesia, sehingga

Indonesia merasa terganggu karenanya. 52

Pada masa opsi berakhir tanggal 27 Desember 1951 dengan hasil

mengecewakan pihak Indonesia mengingat sekitar 40% orang China Indonesia secara

formal menolak kewarganegaraan Indonesia. kemudian munculah kekecewaan dari

berbagai pihak di Indonesia atas PPPWN itu Peaceful Coexistence. Sebagai akibat

memuncaknya ketidakpuasan terhadap PPPWN, disusunlah Rancangan Undang-

Undang (RUU) tentang kewarganegraan Indonesia. RUU tersebut selesai pada bulan

Februari 1954. Namun sebelum disahkan dan diberlakukan, Indonesia terlebih

dahulu harus melakukan pembicaraan terlebih dahulu dengan pihak RRC. Pokok dari

permasalahan itu adalah perlunya diselesaikan banyaknya orang China yang diklaim

sebagai warga negaranya baik oleh Indonesia maupun oleh RRC akibat dari opsi

1949-1951 dari hasil KMB di Denhaag. Usul pembicaraan Indonesia-RRC ini

disambut secara positif oleh pemerintah RRC, dalam rangka politik luar negeri RRC

yang baru dikenal dengan, maka dari itu dilakukanlah suatu persetujuan antara

menteri luar negeri Indonesia Sunario dan menteri luar negeri RRC Chou En-Lai.

52
Imam Suryanto, Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Pada Masa Pemerintahan Kolonial
Belanda, Salemba Empat, Jakarta, 2009, hal. 61

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


63

Pada tanggal 22 April 1955 yang dikenal dengan perjanjian Dwi Kewarganegaraan

China di Indonesia.

Tujuan Pihak Indonesia dalam persetujuan ini adalah meniadakan akibat-

akibat masa opsi . Selain Itu, Indonesia juga menghendaki adanya kepastian akan

lepasnya tuntutan yuridis terhadap orang China di Indonesia sebelum kepada mereka

diberikan kesempatan baru untuk memilih kewarganegaraan. Sementara itu RRC juga

menerima baik keinginan Indonesia untuk menetukan sendiri siapa saja orang China

Indonesia yang harus memilih dan tidak ikut memilih, karena telah secara implicit

memilih kewarganegaraan Indonesia berdasarkan kedudukan sosial politik mereka.

Maka secara yuridis, isi persetujuan tersebut di ratifikasi dalam bentuk undang-

undang No.2 Tahun 1958.53

Undang-Undang No.2 Tahun 1958 disahkan pada tanggal 11 Januari 1958

diundangkan dalam Lembaran Negara 1958-5 pada tanggal 27 Januari 1958.

Termasuk ketentuan ini adalah Nota kesepakatan antara Perdana Menteri Ali

Sastroamidjojo dan Perdana Menteri Chou-En-Lai tertanggal 3 juni 1955 di Peking.

Tujuan dari Undang-Undang ini dalah:

1. menyelesaikan masalah Dwi-Kewarganegaraan yang ada pada waktu itu;

2. mencegah timbulnya Dwi-kewarganegaraan di kemudian hari.

Dalam Perjanjian ini, masalah Dwi-Kewarganegaraan yang ada itu

diselesaikan dengan cara menghilangkan salah satu kewarganegaraan yang serempak

dimiliki seseorang. Untuk itu kedua belah pihak menyepakati hal-hal berikut ini:
53
Ibid, hal. 62

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


64

1. Suatu golongan diantara mereka yang berdwi-Kewarganegaraan dianggap

tidak mempunyai kewarganegaraan rangkap lagi, karena menurut pendapat

pemerintah Indonesia kedudukan sosial politik mereka membuktikan bahwa

mereka dengan sendirinya (secara implicit) telah melepaskan

kewarganegaraan RRC nya. Dengan demikian pula halnya dengan istri dan

anaknya yang belum dewasa, diikutkan dalam anggapan itu.

2. Mereka yang berkewarganegaraan rangkap selain butir a di atas, harus

memilih dengan kehendak sendiri salah satu kewarganegaraan yang akan

mereka pertahankan, dengan ketentuan bahwa mereka yang menyatakan

pilihannya, bagi Indonesia menjadi orang asing. Suami/isteri yang

berkewarganegaraan rangkap menetukan pilihannya masing masing.

sementara itu anak selama belum dewasa, mengikuti pilihan bapak/ibunya.

Jika kemudian telah dewasa anak tersebut harus memilih salah satu

kewarganegaraan. Apabila ia tidak menyatakan pilihannya, ia dianggap tetap

berkewarganegaraan seperti selama ia belum dewasa.

Khusus menyangkut masalah perkawinan, Pasal X perjanjian Dwi-

Kewarganegaraan menentukan bahwa apabila seorang warga negara Indonesia kawin

dengan seorang warga negara RRC, masing-masing tetap memiliki kewarganegaraan

asal . kecuali apabila salah satu dari mereka dengan kehendak sendiri memohon dan

memeperoleh kewarganegaraan partnernya. Jika ia memperoleh kewarganegaraan

dari partnernya, dengan sendirinya akan kehilangan kewarganegaraan asalnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


65

Dalam hal hak opsi dan hak repuidasi ini seseorang yang memilih

kewarganegaraan Indonesia harus memiliki SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan

Indonesia) Pasal 17 huruf (k) Undang-Undang No.62 Tahun 1958 memberikan

kewajiban bagi warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri lain

untuk menjalankan dinas negara, guna menyatakan keinginan untuk tetap menjadi

warga negara Indonesia dalam jangka waktu 5 (lima) Tahun yang pertama dan

selanjutnya 2 (dua) Tahun. Dalam masa itu tidak semua warga negara Indonesia

yang tinggal diluar negeri dapat memenuhi kewajiban tersebut bukan karena kelalaian

melainkan akibat dari suatu keadaan diluar kesalahannya, sehinga dia terpaksa tidak

dapat menyatakan keinginannya tersebut tepat pada waktunya. Karena Pasal 18 tidak

menampung orang-orang tersebut ,maka perlu diadakan perubahan terhadap Pasal 18

Undang-Undang No.62 Tahun 1958. Adapun mengenai orang yang berhak

menggunakan kesempatan Pasal 18 ayat (2) ini adalah orang yang pada waktu mulai

berlakunya UU No.62 Tahun 1958 adalah warga negara Republik Indonesia dan

selama ini menunjukan kesetiaannya kepada negara Republik Indonesia.

Dengan demikian orang orang China perantauan (Hoa Kiau) juga tidak dapat

menggunakan kesempatan yang diberikan oleh Undang-Undang ini. Ketentuan

berlakunya Undang-Undang ini terbatas pula yaitu: hanya berlaku 1 (satu) tahun,

sehingga merupakan ketentuan yang berlaku satu kali saja. Jangka waktu 2 (dua)

tahun berlaku bagi mereka yang tempat tinggalnya tidak ada perwakilan Indonesia.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

Isi dari Pasal 18 Undang-Undang No.62 Tahun 1958 adalah sebagai berikut

1. Seorang yang kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia termasuk dalam

Pasal 17 huruf (K) memeroleh kewarganegaraan Republik Indonesia kecuali jika

ia mau bertempat tinggal di Indonesia berdasarkan kartu izin masuk dan

menyatakan keterangan untuk itu. Keterangan itu harus dinyatakan kepada

pengadilan negeri dari tempat tinggalnya dari 1 (satu) tahun setelah orang itu

bertempat tinggal di Indonesia.

2. Seorang yang bertempat tinggal di luar negeri yang telah kehilangan

kewarganegaraan Republik Indonesia termaksud dalam Pasal 17 huruf k, karena

sebab-sebab diluar kesalahannya, sebagai akibat dari keadaan di negara tempat

tinggalnya yang menyebabkan tidak dapat dilaksanakannya kewajiban

sebagaimana diatur dalam ketentuan tersebut, dapat memperoleh kembali

kewarganegaraan Republik Indonesia:54

a. jika ia melaporkan diri dan menyatakan keterangan untuk itu kepada

Perwakilan Republik Indonesia di negara tempat tinggalnya dalam jangka

waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Undang-

undang ini;

b. jika ia melaporkan diri dan menyatakan keterangan untuk itu kepada

Perwakilan Republik Indonesia di negara yang terdekat dari tempat

54
Jefri Lermanto, Ketentuan-ketentuan Hukum tentang Penduduk Dan Warga Negara, di
Indonesia (Kajian terhadap undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegara), Tarsito,
Bandung, 2010, hal. 55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


67

tinggalnya dalam jangka waktu 2 tahun setelah berlakunya Undang-undang

ini;

3. Selain menyatakan keterangan untuk memperoleh kembali kewarganegaraan

Republik Indonesia seperti tersebut dalam ayat (2), orang yang bersangkutan

harus:

a. menunjukkan keinginan yang sungguh-sungguh untuk menjadi warganegara

Republik Indonesia;

b. telah menunjukkan kesetiaannya terhadap Negara Republik Indonesia

4. Seorang yang telah menyatakan keterangan sesuai dengan ketentuan dalam ayat

(2), memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia dalam waktu 1

tahun setelah melaporkan diri dan menyatakan keterangan serta ternyata

memenuhi syarat-syarat tersebut dalam ayat (3) dan setelah mendapat Keputusan

Menteri Kehakiman. Keputusan Menteri Kehakiman yang memberikan kembali

kewarganegaraan Republik Indonesia mulai berlaku pada hari pemohon

menyatakan sumpah atau janji setia dihadapan Perwakilan Republik Indonesia

dan berlaku surut hingga hari tanggal Keputusan Menteri Kehakiman tersebut.55

Ketika orang cina (etnis tionghoa) yang ada di Indonesia memilih

kewarganegaraan Indonesia maka harus dibuktikan dengan SBKRI. Hal ini sangat

disayangkan karena dalam praktiknya kebijakan SBKRI hanya di berlakukan

terhadap etnis tionghoa saja. Apabila pada pemerintahan orde baru saat itu memiliki

pemahaman dan pengertian yang benar akan arti kewarganegaraan,maka tentu tidak
55
Ibid, ha. 57

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


68

akan muncul masalah mengenai SBKRI . Dengan kata lain SBKRI adalah bentuk lain

dari apartheid (segregation) atau state sponsored rasial discrimination yang di

ekspresikan melalui perangkat hukum dan kebiasaan Di Malaysia dan Singapura

untuk warga negara pewarganegaraan (By Regisration) diberikan Bukti

kewarganegraan yaitu certificate of Regisration dan Certificate Of Naturalization

untuk warga naturalisasi seperti juga di Filipina. Untuk warga negara yang tidak

mempunyai bukti kewarganegaraan di amerika serikat diberikan Certificate of

Nationality

SBKRI ini juga wajib dimiliki oleh anak anak orang tionghoa yang lahir di

Indonesia ,walaupun secara perundang undanganan mereka adalah warga negara

Indonesia. Pada umumnya warga negara By operation of law tidak memerlukan

bukti kewarganegaraan. Lain halnya dengan warga negara karena pengangkatan,

perkawinan, karena turut ayah ibunya karena pernyataan maka ia memerlukan

pembuktian jika membutuhkan demi kepastian hukum. Ketika masa peralihan dari

zaman Orde baru menuju reformasi, terjadi demonstrasi besar-besaran yang memaksa

presiden Soeharto untuk mundur hal itu. Perbedaan sangat dirasakan terhadap orang

tionghoa dengan adanya sebutan pribumi dengan non pribumi . Hal ini menyebabkan

diskriminasi terhadap golongan non pribumi mulai dari pengurusan izin sampai

dalam hak haknya sebagai warga negara. Tak lepas dari sejarah istilah non pribumi

ini dahulunya ada berdasarkan penggolongan hukum yang dilakukan oleh Belanda

didalam ketentuan Pasal 163 IS.56

56
Garmanto Saliman, Plurarisme Pemberlakuan Hukum Bagi Warga Negara Indonesia, Bumi
Aksara, Bandung, 2008, hal. 45

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


69

Ketika masa peralihan dari zaman Orde baru menuju reformasi, terjadi

demonstrasi besar-besaran yang memaksa presiden Soeharto untuk mundur hal itu

berimbas terjadinya kerusuhan yang puncaknya pada Mei 1998. Pada kerusuhan

tahun 1998 ,orang Tionghoa yang dianggap non pribumi menjadi korban diskriminasi

akibat masih terasanya perbedaan dalam status kewarganegaraan di Indonesia.

Hal itu di karenakan orang Tionghoa dituduh menjadi biang krisis ekonomi

dan praktik Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) di Indonesia sehingga banyak dari

orang Tionghoa memutuskan untuk pindah dari Indonesia. Puncaknya pada tanggal

21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden dan digantikan

oleh presiden BJ.Habibie. Demi melindungi hak-hak orang orang tionghoa di

Indonesia presiden BJ Habibie tepatnya pada tanggal 16 September 1998

mengeluarkan Instruksi Presiden No.26 Tahun 1998 Tentang Menghentikan

Penggunaan Istilah Pribumi Dan Non Pribumi Dalam Semua Perumusan Dan

Penyelenggaraan Kebijakan, Kegiatan Pemerintah, Perencanaan Program, Ataupun

Pelaksanaan sebagai wujud dari upaya penghapusan diskriminasi terhadap

permasalahan golongan dalam kearganegaraan di Indonesia.

Instruksi presiden ini didasari oleh pertimbangan bahwa untuk lebih

meningkatkan perwujudan persamaan didalam hukum dan pemerintahan, persamaan

hak atas pekerjaan dan penghidupan, hak dan kewajiban warga negara, dan

perlindungan hak asasi manusia, serta lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan

bangsa, dipandang perlu memberi arahan bagi upaya pelaksanaannya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


70

Diawali dengan adanya Inpres ini perlahan-lahan perbedaan antara pribumi

dengan non pribumi dirasakan hilang, pada masa pemerintahan presiden keempat RI

Abdul Rahman Wahid, beliau mulai memberikan kesempatan untuk orang Tionghoa

untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan mengangkat Kwik Kian Gie Sebagai

menteri perekonomian. Kebijakan pengahapusan diskriminasi juga dapat

diperhatikan dengan berbagai keputusan pemerintah misalnya Inpres No.4 Tahun

1999 dan Kepres No.6 Tahun 2000 Tentang pencabutan Inpres No.14 Tahun 1967

tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina seperti Barongsai dan sejenisnya

tidak perlu lagi izin Khusus dari Pemerintah karena secara kutural budaya dan etnis

Tionghoa tetap dipandang sebagai salah satu asset budaya bangsa yang secara yuridis

harus dilindungi keberadaannya.

Dalam prespektif SBKRI yang dianggap diskriminasi inpres No.4 Tahun 1999

adalah salah satu usaha Pemerintah menghapuskan diskriminasi di Indonesia yaitu

“Bagi Warganegara Repubik Indonesia yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk,

atau Kartu Keluarga atau akte kelahiran, pemenuhan kebutuhan persyaratan untuk

kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda Penduduk Tersebut,

Kartu Keluarga atau Akte Kelahiran Tersebut”. “maka segala peraturan perundang-

undangan yang untuk kepentingan tertentu yang mempersyaratkan SBKRI,

dinyatakan tidak berlaku lagi”

Pada masa pemerintahan presiden Megawati hari Raya Imlek dijadikan

sebagai hari Libur Nasional, dengan demikian jelaslah sudah bahwa negara Indonesia

telah menghapuskan penggolangaan antara pribumi dan non pribumi dan dihapusnya

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


71

diskriminasi terhadap etnis tionghoa. Pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yodhoyono Undang-Undang No.12 Tahun 2006 ditetapkan yang pada dasarnya UU

ini menghapuskan perbedaan antara orang pribumi dengan orang non pribumi sesuai

dengan asas khusus di dalam ketentuan ini yaitu penghapusan diskriminasi.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perlakuan hukum terhadap Warga

Negara Indonesia masih dilandasi kepada ketentuan pemerintahan kolonial Belanda

yang berdasarkan Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS dimana golongan penduduk masih

berlaku meskipun sama-sama memiliki kewarganegaraan Indonesia, yaitu golongan

bumi putra untuk hal-hal tertentu berlaku hukum adatnya, golongan Eropa dan Timur

Asing Tionghoa yang dipersamakan dengan Eropa untuk bidang hukum tertentu

berlaku ketentuan KUH Perdata dan juga golongan Timur Asing Tionghoa berlaku

pula Hukum adatnya masing-masing.57 Hal ini tidak memiliki hubungan sama sekali

dengan ketentuan-ketentuan yang termuat di dalam peraturan Menteri Hukum dan

HAM Republik Indonesia No. M.80-HL.04.01 tahun 2007 tentang Tata Cara

Pendaftaran, Pencatatan dan Pemberian Fasilitas Keimigrasian sebagai warga Negara

Indonesia yang berkewarganegaraan ganda.

Di dalam hal ketentuan Peraturan Menteri Hukum dan HAM tersebut di atas

adalah mengatur tentang tata cara pendaftaran, pencatatan dan pemberian fasilitas

keimigrasian sebagai warga Negara Indonesia yang berkewarganegaraan ganda.

Sedangkan pembahasan dalam penelitian ini adalah menyangkut tentang perbedaan

golongan penduduk atas ketentuan hukum yang berlaku terhadapnya meskipun sama-
57
Ibid, hal. 46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


72

sama memiliki kewarganegaraan Indonesia (tunggal) bukan kewarganegaraan

Indonesia ganda. Oleh karena itu bagi warga Negara Indonesia yang

berkewarganegaraan ganda tentu memiliki ketentuan hukum yang berbeda dalam

pelaksanaan tentang pemberian fasilitas keimigrasian. Sedangkan apabila warga

Negara Indonesia tersebut memiliki kewarganegaraan Indonesia (tunggal) maka

wajib berlaku ketentuan hukum yang sama terhadap warga Negara Indonesia tersebut

meskipun pada masa pemerintahan Belanda warga Negara Indonesia dikelompokkan

menjadi tiga golongan pada saat itu. Demikian pula halnya tentang Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia No. 2 Tahun 2007 tentang Tata Cara Memperoleh,

kehilangan, pembatalan, dan memperoleh kembali kewarganegaraan Republik

Indonesia. Hal ini tentu berbeda ketentuan hukumnya dengan warga masyarakat yang

tinggal di Indonesia yang telah memiliki kewarganegaraan Indonesia (tunggal)

tersebut.58

Ketentuan tentang PP No. 2 Tahun 2007 adalah mengenai prosedur dan tata

cara memperoleh kehilangan, pembatalan dan memperoleh kembali kewarganegaraan

Indonesia. Sedangkan pembahasan dalam penelitian ini tidak sedang membicarakan

tentang tata cara memperoleh, kehilangan, pembatalan maupun memperoleh kembali

Kewarganegaraan Indonesia. Akan tetapi adalah membahas tentang adanya

pemberlakuan ketentuan hukum yang berbeda terhadap Warga Negara Indonesia

berdasarkan atas penggolongan penduduk Warga Negara Indonesia tersebut. Oleh

58
Kartoni Hadiman, Prosedur Hukum dan Tata Cara Pengurusan Kewarganegaraan
Indonesia, Eresco, Bandung, 2013, hal. 28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


73

karena itu antara pembahasan dalam penelitian ini dengan ketentuan yang termuat di

dalam PP No. 2 Tahun 2007 tidak memiliki keterkaitan antara satu dengan yang

lainnya, untuk dibahas dalam penelitian ini. Demikian pula halnya tentang Peraturan

Menteri Hukum dan HAM No. 02.HL.05.06 Tahun 2006 tentang Tata cara

Menyampaikan Pernyataan Untuk Menjadi Warga Negara Indonesia juga tidak

memiliki keterkaitan dengan pembahasan dalam penelitian ini, karena pembahasan

dalam penelitian ini adalah menyangkut tentang perbedaan ketentuan hukum yang

berlaku terhadap Warga Negara Indonesia yang berkedudukan dan bertempat tinggal

di Indonesia akibat adanya penggolongan penduduk oleh pemerintah kolonial

Belanda bukan tentang tata cara menyampaikan pernyataan untuk menjadi Warga

Negara Indonesia.59

B. Asas-asas Kewarganegaraan yang Terkandung dalam Undang-Undang No.


12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Pembentukan UU No.12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik

Indonesia di latar belakangi pertama-tama adalah karena perubahan UUD 1945 yang

memeberi tempat perlindungan yang luas terhadap HAM yang juga berakibat

terhadap perubahan Pasal Pasal mengenai hal hal yang terkait dengan

kewarganegaraan dan hak-haknya. Undang-undang No.62 Tahun 1958 secara

filosofis, yuridis dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan

masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia. Secara filosofis, Undang-undang

tersebut masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah

59
Ramadhan Poloumas, Hak dan Tanggung Jawab warga Negara Dalam Undang-Undang,
Pustaka Ilmu, Surabaya, 2014 dan 64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


74

Pancasila antara lain, karena bersifat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak

asasi dan persamaan antar warga negara, serta kurang memberikan perlindungan

terhadap perempuan dan anak-anak. Secara yuridis, landasan konstitusional

pembentukan undang-undang tersebut adalah undang-undang dasar sementara tahun

1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan

kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945. Dalam perkembangannya Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan

yang lebih menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia dan hak warga

negara.60

Secara sosiologis, Undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat

internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki persamaan perlakuan dan

kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan dan keadilan

gender. Undang-undang No.12 Tahun 2006 Berbeda dengan undang undang

sebelumnya, undang-undang ini pada dasarnya menganut asas kelahiran berdasarkan

tempat negara kelahiran (ius soli) itu secara terbatas artinya asas ius soli tersebut

hanya dilakukan terbatas bagi anak - anak. Hal ini dapat diperhatikan pada penjelasan

warga Negara Indonesia adalah dalam Pasal 4 huruf (I) “Anak yang lahir di wilayah

negara Republik Indonesia yang tidak jelas status kewarganegaraan ayah ibunya”,

Pasal 4 huruf (J) “Anak yang baru lahir di temukan di wilayah negara Republik

60
Hadi Hutarman, Sejarah Dan Perkembangan Undang-Undang Kewarganegaraan Di
Indonesia Dari Waktu Ke Waktu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hal. 59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


75

Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui”, dan Pasal 4 huruf (K) “Anak

yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak

mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya”, yang

menjelaskan pengertian dari warga negara menentukan bahwa asas ius soli itu hanya

berlaku bagi seorang anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia selama orang tua

mereka tidak diketahui kewarganegaraannya. Jadi bukan berlaku apabila keberadaan

tersebut sudah terjadi jika yang ditemukan adalah seorang anak yang sudah dewasa. 61

Sementara untuk mencegah masalah status kewarganegaraan ganda

(bipatride) dan tanpa kewarganegaraan (apatride), baik dari status kewarganegaraan

yang lahir dari sistem kelahiran maupun sistem perkawinan, maka UU

kewarganegaraan mengakomodasi asas kewarganegaraan tunggal dan asas

kewarganegaraan ganda terbatas. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas

kewarganegaraan yang menentukan bahwa hanya ada satu kewarganegaraan bagi

setiap orang. Sedangkan asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang

menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak yang belum dewasa (belum

berusia delapan belas tahun atau belum pernah menikah). Hal ini sifatnya merupakan

suatu pengecualian, dengan suatu pertimbangan, bahwa anak-anak masih belum

dewasa (minderjarig) yang secara yuridis dianggap belum memiliki kecakapan

(handelingson-bekwaam) dalam lalu lintas hukum. 62

61
Rafmando Ganuar, Hak dan Kewajiban WNI dan WNA dalam Negara Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal. 19
62
Maria Sudaryati, Kedudukan warga Negara Indonesia Pasca Lahirnya Undang-Undang
No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 37

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


76

Subtansi mendasar daripada UU No.12 Tahun 2006 tentang

kewarganegaraan yang sekaligus menjadi prinsip adalah, bahwa dalam UU

kewarganegaraan ini tidak dikenal lagi permasalahan kewarganegaraan. Ketentuan

ini dapat dilihat dalam penjelasan umum undang-undang tentang kewarganegaraan

Republik Indonesia, bahwa terdapat asas khusus juga yang menjadi dasar penyusunan

Undang-undang tentang kewarganegaraan Indonesia yaitu :

1. Asas kepentingan nasional adalah asas yang menentukan bahwa peraturan

kewarganegaraan mengutamakan kepentingan nasional Indonesia, yang bertekad

mempertahankan kedaulatannya sebagai negara kesatuan yang memiliki cita –

cita dan tujuannya sendiri. Tujuan negara Indonesia tercantum dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 yaitu Melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Sedangkan tujuan pembangunan negara Indonesia yang dapat mewujudkan

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar 1945 adalah seperti : memberantas kemiskinan, mencapai pendidikan

dasar yang universal seperti menjamin semua anak menyelesaikan jenjang

pendidikan dasar, mempromosikan persamaan gender dan pemberdayaan

perempuan, mengurangi jumlah kematian anak usia di bawah 5 (lima) tahun,

meningkatkan kesehatan ibu, memerangi/menghentikan penyebaran virus

HIV/AIDS, malaria dan penyakit lain, menjamin kelestarian lingkungan,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


77

mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan yaitu dengan

mengembangkan sistem perdagangan dan keuangan yang terbuka yang

didasarkan pada peraturan yang dapat diprediksi dan tidak diskriminatif,

menanggulangi kebutuhan khusus negara yang kurang berkembang, secara

komprehensif menanggulangi masalah hutang negara berkembang melalui

tindakan nasional/internasional untuk membuat hutang mereka bisa dipikul untuk

jangka panjang, bekerjasama dengan negara-negara berkembang untuk

mengembangkan lapangan pekerjaan yang produktif bagi golongan pemuda.

2. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah

wajib memberikan perlindungan penuh kepada setiap warga negara Indonesia

dalam keadaan apapun baik didalam maupun diluar negeri.

Hak maksimum warga negara luar negeri adalah membayar pajak sebagai

kontrak utama antara negara dengan warga negara dan membela tanah air (Pasal

27). Membela pertanahan dan keamanan negara (Pasal 29). Menghormati hak

asasi orang lain dan mematuhi pembatasan yang terutang dalam peraturan (Pasal

28), menjunjung hukum dan pemerintah ikut serta dalam upaya pembelaan

negara, tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang

untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang

lain, mengikuti pendidikan dasar.

3. Asas persamaan didalam hukum dan pemerintah adalah asas yang menentukan

bahwa setiap warganegara mendapatkan perlakuan yang sama didalam hukum

dan pemerintahan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


78

Asas yang yang menentukan bahwa setiap Warga Negara Indonesia mendapatkan

perlakuan yang sama di dalam hukum dan pemerintah. Pemerintah tidak boleh

mengistimewakan orang / kelompok tertentu / mendiskriminasikan orang /

kelompok tertentu. Di dalam prinsip ini terkandung adanya jaminan persamaan

bagi semua orang dihadapan hukum dan pemerintahan, dan tersedianya

mekanisme untuk menuntut perlakuan yang sama bagi semua warga negara.

4. Asas kebenaran subtantif adalah prosedur kewarganegaraan seseorang tidak

hanya bersifat administratif, tetapi juga disertai subtansi dan syarat-syarat

permohonan yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.63

Prosedur pewarganegaraan seseorang tidak hanya bersifat administratif, tetapi

juga disertai subtansi dan syarat-syarat permohonan yang dapat

dipertanggungjawabkan kebenaranya. Jadi jika seseorang ingin menjadi

warganegaraan Indonesia, maka orang tersebut harus melengkapi syarat-syarat

yang bersifat subtantif, tidak hanya syarat yang bersifat administrasi saja.

a. Cara memperoleh kewarganegaraan di Indonesia kelahiran : disini garis

kewarganegaraan orang tua sangat menentukan bagi kewarganegaraan anak

dan keturunanya.

b. Pengangkatan yang dibicarakan di sini adalah pengangkatan anak (orang)

asing. Agar anak (orang) asing yang diangkat itu memperoleh

kewarganegaraan orangtua angkatnya (WNI) maka anak asing yang diangkat

63
Darwin Tambunan, Asas-asas Hukum Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan, Mitra Ilmu, Surabaya, 2005, hal. 46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


79

itu harus di bawah umur lima tahun dan disahkan oleh pengadilan di tempat

dimana orangtua angkat anak itu berada.

c. Pewarganegaraan jika orang asing ingin memperoleh kewarganegaraan RI,

maka dapat dilakukan dengan cara naturalisasi (pewarganegaraan).

5. Asas Non diskriminatif adalah asas yang tidak membedakan perlakuan dalam

segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras,

agama, golongan, jenis kelamin dan gender.

Asas yang tidak membedakan perlakuan dalam segala hal ikhwal yang

berhubungan dengan warga negara atas dasar suku, ras, agama, golongan, jenis

kelamin dan gender. Hal ini dibuktikan dalam Pasal 2 Undang-Undang Tahun

2006 tersebut yang dimaksud bangsa Indonesia asli adalah orang Indonesia yang

menjadi WNI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan

lain atas kehendaknya sendiri. Dalam perjuangan itu seluruh Warga Negara

Indonesia dengan jiwa pancasila berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945

dengan tidak memandang suku, etnis, ras, agama, kepercayan dan sebagainya,

mempunyai kewajiban dan hak yang sama untuk mengabdi kepada tanah air,

tempat kita lahir, hidup dan akan mati. Cara menghargai persamaan kedudukan

warga negara melalui kebhinekaan : 64

a. Perbedaan ras, ras ditanda dengan ciri-ciri fisik atau tubuh yang khas dan

tertentu. Semua yang berasal dari ras manapun apabila telah menjadi warga

64
Abdullah Azhari, Persamaan Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia dalam Teori
dan Praktek (Kajian Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan), Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2010, hal. 51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


80

negara Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.

Masing-masing memiliki kesempatan mengembangkan potensinya, baik

dalam bidang politik ekonomi sosial, maupun kebudayaannya.

b. Agama. Di Indonesia terdapat pemeluk agama yang berbeda. Kita jaga

persatuan dan kesatuan dengan memberikan dan menghormati kedudukan

yang sama bagi semua pemeluk agama untuk beribadah sesuai dengan agama

masing-masing. Hak beragama adalah hak asasi manusia yang paling asasi.

c. Gender di Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 tidak terdapat

pengekangan dan pembatasan hak bagi kaum wanita untuk berkiprah dalam

kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kebudayaan. Terbukti dalam

sejarah Indonesia pernah terdapat presiden wanita, menteri wanita dan

profesi serta jabatan lain yang dipegang oleh wanita. Hal ini menunjukkan

kesamaan gender telah terbukti nyata.

d. Golongan berbagai golongan dalam masyarakat baik atas dasar profesi,

tingkat pendidikan, dan sebagainya mempunyai kedudukan yang sama dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Penggolongan atau

pengelompokkan terjadi karena para anggota memiliki kepentingan dan

tujuan yang sama. Namun demikian dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara mereka memiliki kedudukan yang sama.

e. Budaya dan suku hal ini berarti bahwa pengembangan budaya dan hak

masyarakat tradisional selaras dengan nilai-nilai peradaban. Kesamaan untuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


81

berkembang dan mengembangkan kebudayaan itu selaras dengan kemajuan

zaman dan peradaban yang luhur bernilai kemanusiaan.65

Apabila kesamaan kedudukan warga negara dapat terwujud maka akan tercipta

ketentraman dan kedamaian, ketertiban dan kesejahteraan rakyat.

6. Asas pengakuan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) adalah

asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warganegara harus

menjamin, melindungi dan memuliakan hak asasi manusia pada umumnya dan

hak warganegara pada khususnya.

Asas yang dalam segala hal ikhwal yang berhubungan dengan warga negara

harus menjamin, melindungi dan memuliakan hak asas manusia pada umumnya

dan hak warga negara pada khususnya. Adanya perlindungan HAM dengan

jaminan hukum bagi tuntutan penegakkannya melalui proses yang adil.

Perlindungan HAM dimasyarakatan dalam rangka mempromosikan

penghormatan dan perlindungan HAM sebagai ciri penting suatu negara hukum

yang demokratis. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan HAM

merupakan pilar sangat penting dalam setiap negara yang disebut negara hukum.

HAM dibidang hukum diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) dan 28 D,

memberi jaminan bahwa setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama

dalam hukum dan wajib menjunjung tinggi hukum.

Upaya penghormatan HAM :

65
Sahrul Efendy, Undang-Undang Kewarganegaraan Dan Hak Asasi Manusia (Suatu
Tinjauan Yuridis Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan), Bumi Aksara,
Bandung, 2009, hal.64

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


82

a. Pengakuan harkat martabat manusia sebagai makhluk Tuhan YME.

b. Pengakuan bahwa kita sederajat tanpa membedakan agama, ras, jenis kelamin

dll

c. Mengembangkan sikap mencintai sesama manusia

d. Mengembangkan sikap berani membela kebenaran dan keadilan

Penegakan HAM di Indonesia diatur dalam UUD 1945 : Pasal 27 ayat (1)

persamaan bidang hukum dan pemerintahan, Pasal 27 ayat (2) bebas mendapat

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, Pasal 28 kebebasan

berpendapat, Pasal 29 kebebasan beragama, Pasal 30 bela negara, Pasal 31

pendidikan, Pasal 32 kebudayaan, Pasal 33 perekonomian, Pasal 34 fakir miskin

dan anak terlantar dipelihara negara.

7. Asas keterbukaan adalah asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ikhwal

yang berhubungan dengan warga negara harus dilakukan secara terbuka.

Asas yang menentukan bahwa dalam segala hal ihwal yang berhubungan dengan

warga negara harus dilakukan secara terbuka dengan sikap jujur, rendah hati dan

adil, serat non deskriminatif.

8. Asas publisitas adalah asas yang menentukan bahwa sesesorang yang

memperoleh atau kehilangan warga negara Republik Indonesia diumumkan

dalam berita Negara Republik Indonesia agar masyarakat mengetahuinya.

Setiap pengambilan keputusan yang diambil oleh pemerintah dapat dipantau

terus oleh warga negara. Pers sendiri diharapkan dapat memberikan informasi

yang aktual dan tepat kepada warga negara. Selain itu, sikap netral harus terus

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


83

dipertahankan oleh pers. Pers diharapkan tidak menjadi alat bagi pemerintah

untuk mempertahankan kekuasaannya.66

Undang-Undang No 12.Tahun 2006 berlaku sejak diundangkan tanggal 1

Agustus 2006 (dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2006 No 63). Dengan

demikian semua peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur

mengenai kewarganegaraan, dengan sendirinya tidak berlaku karena tidak sesuai

dengan prinsip-prinsip yang diamanatkan dalam UUD 1945 setelah amademen. Oleh

sebab itu, sesuai dengan asas peraturan perundang-undangan yaitu asas lex posteriori

derogat lex priori.

C. Kedudukan Hukum Setiap Warga Negara Didalam Sistem Penggolongan


Hukum Sebagaimana yang Diatur Dalam Hukum Perdata Setelah
Keluarnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia

Negara kesatuan Republik Indonesia adalah berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin

potensi, harkat, martabat setiap orang sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM).

Warga negara Indonesia merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok dari

suatu negara Republik Indonesia yang perlu dilindungi dan dijamin pelaksanaannya.

Dari ketentuan dasar pertimbangan lahir Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006

Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia di atas maka dapat dikatakan bahwa

warga negara Indonesia adalah setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-

66
Fitrianti Danis, Plurarisme Hukum serta Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia di
tinjau dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Rajawali Pres, Jakarta,
2003, hal. 55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


84

undangan dan/atau berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan

negara lain sebelum undang-undang ini berlangsung sudah menjadi warga negara

asing, termasuk anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu

warga negara Indonesia dan anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang

ayah warga negara Indonesia dan ibu warga negara asing termasuk anak yang lahir

dari perkawinan yang sah dari ayah warga negara asing dan ibu warga negara

Indonesia. 67

Disamping itu anak yang lahir dari ibu warga negara Indonesia tetapi ayahnya

tidak mempunyai warga negaraan, anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari

setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dari ayahnya warga

negara Indonesia dan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu

warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai

anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia delapan belas

tahun atau belum kawin dan juga anak yang lahir di wilayah Negara Republik

Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas warga negaraannya ayah dan ibunya atau

tidak diketahui ayah dan ibunya, dan juga tidak diketahui keberadaan ayah dan

ibunya atau tidak mempunyai kewarganegaraan.68

Dari ketentuan di atas maka sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa, “Segala warga negara bersama kedudukannya

di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan

67
Aldrin Gunanta, Persamaan Kedudukan Hukum Bagi Setiap Warga Negara Indonesia,
Eresco, Bandung, 2010, hal. 75
68
Ibid, hal. 75

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


85

itu dengan tidak ada kecualinya”. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar

1945 tersebut menyatakan secara ekplisit bahwa segala warga negara memiliki

kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan sehingga harus diperlakukan

sama baik secara hukum maupun terhadap asas ketentuan-ketentuan hukum yang

berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Konsekuensi yuridis dari lahirnya

Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan pada prinsipnya

adalah membuat suatu unifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku

bagi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali dengan tidak menggolongkan

warga negara tersebut ke dalam ketentuan hukum yang berbeda antara satu dengan

yang lain. Oleh karena itu penggolongan hukum yang dilakukan berdasarkan Pasal

131 IS dan Pasal 163 IS terhadap warga negara Indonesia pada masa pemerintahan

kolonial Belanda khususnya di bidang hukum perdata seharusnya sudah ditiadakan

dan diganti dengan suatu ketentuan hukum perdata yang berlaku umum dan

menyeluruh bagi seluruh warga negara Indonesia.69

Sebagai warga negara dan masyarakat setiap manusia Indonesia mempunyai

kedudukan, hak dan kewajiban yang sama, yang pokok adalah bahwa setiap orang

harus terjamin haknya untuk mendapat status kewarganegaraan sehingga terhindar

dari kemungkinan terjadi tidak berkewarganegaraan. Setelah memperoleh status

kewarganegaraan maka setiap warga negara Indonesia yang telah diakui oleh undang-

undang sebagai warga negara Indonesia harus diperlakukan sama di mata hukum dan

harus pula berlaku ketentuan hukum yang sama pula bagi setiap warga negara
69
Ibid, hal. 76

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


86

Indonesia tanpa kecuali. Persamaan kedudukan hukum pada setiap kewarganegaraan

Indonesia harus dijunjung tinggi, dan pemberlakukan ketentuan hukum yang sama

khususnya di bidang hukum perdata harus juga terlaksana untuk menghindari

pengelompokkan atau penggolongan hukum bagi warga negara Indonesia. Hal ini

disebabkan karena setiap warga negara yang telah diakui oleh undang-undang sebagai

warga negara Indonesia yang sah berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 12

Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan selain harus diperlakukan sama kedudukannya

di mata hukum maka harus pula diberlakukan ketentuan hukum yang sama kepada

seluruh warga negara Indonesia tersebut tanpa terkecuali atau tanpa membeda-

bedakannya.

Tujuan dari pemberlakuan ketentuan hukum yang sama bagi seluruh warga

negara Indonesia adalah untuk menghindarkan terjadinya diskriminasi maupun

pengelompokkan-pengelompokkan bagi warga negara Indonesia khususnya warga

negara Indonesia keturunan asing. Dengan lahirnya Undang-Undang No. 12 Tahun

2006 tentang Kewarganegaraan maka asas bersamaan kedudukan setiap warga negara

di mata hukum yang terkandung dalam undang-undang tersebut dapat direalisasikan

atau dapat diwujudkan tanpa adanya diskriminasi seperti sebelum lahirnya Undang-

Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan tersebut yang masih

menggolong-golongkan penduduk kepada golongan hukum tertentu meskipun sama-

sama menjadi warga negara Indonesia.70

70
Risma Mulyanti, Warga Negara Indonesia dan warga Negara Asing Berdasarkan Undang-
Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Bumi Aksara, Bandung, 2006, hal. 22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


87

Lahirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

secara hukum di dalam penjelasan undang-undang tersebut memandang seluruh

warga negara Indonesia baik warga negara asli bumiputra maupun warga negara

keturunan asing baik Timur Asing Tionghoa maupun Timur Asing non Tionghoa

adalah sama dalam pelaksanaan ketentuan hukum khususnya di bidang hukum

perdata. Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis dari suatu kewarganegaraan yang

sama yaitu warga negara Indonesia tanpa membedakan warga negara asli pribumi

maupun warga negara keturunan Timur Asing Tionghoa maupun Timur Asing non

Tionghoa.

Hak dan kewajiban warga negara Indonesia di mata hukum juga harus sama

berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Setiap

warga negara berhak mendapatkan perlindungan hukum. Setiap warga negara berhak

atas pekerjaan dan penghidupan yang layak. Setiap warga negara memiliki

kedudukan yang sama di mata hukum dan di dalam pemerintahan. Setiap warga

negara bebas untuk memilih, memeluk dan menjalankan agama dan kepercayaan

masing-masing yang dipercayai. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan

dan pengajaran. Setiap warga negara berhak mempertahankan wilayah negara

kesatuan Indonesia atau NKRI dari serangan musuh. Setiap warga negara memiliki

hak sama dengan kemerdekaan berserikat, berkumpul mengeluarkan pendapat secara

lisan dan tulisan sesuai undang-undang berlaku.

Setiap warga negara memiliki kewajiban untuk berperan serta dalam

membela, mempertahankan kedaulatan negara Indonesia dari serangan musuh. Setiap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


88

warga negara wajib membayar pajak dan retribusi yang telah ditetapkan oleh

pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda). Setiap warga negara wajib

mentaati serta menjunjung tinggi negara, hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali,

serta dijalankan dengan sebaik-baiknya. Setiap warga negara berkewajiban taat,

tunduk dan patuh terhadap segala hukum yang berlaku di wilayah negara Indonesia.

Setiap warga negara wajib turut serta dalam pembangunan untuk membangun bangsa

agar bangsa kita bisa berkembang dan maju ke arah yang lebih baik.

Namun dalam praktik pemberlakukan ketentuan hukum yang berlaku bagi

warga negara Indonesia untuk saat ini masih terdapat diskriminasi meskipun Undang-

Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah diberlakukan di

Indonesia. Di dalam bidang hukum perdata pemberlakuan hukum yang berbeda tetap

berlaku bagi warga negara Indonesia pribumi, keturunan asing Tionghoa dan

keturunan asing Tionghoa. Dalam pembuatan surat keterangan hak waris misalnya

masih terdapat pemberlakuan ketentuan hukum yang berbeda dan pluralisme pejabat

yang berwenang dalam pembuatan surat keterangan hak waris bagi warga negara

Indonesia tersebut. Bagi golongan bumiputra maka yang berwenang membuat surat

keterangan hak waris adalah para ahli waris itu sendiri yang ditanda tangani oleh

lurah/kepala desa dan diketahui oleh camat. Pembuatan surat keterangan hak waris

bagi golongan bumiputra juga dapat dilakukan langsung oleh lurah/kepala desa dan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


89

diketahui oleh camat yang isinya memuat nama-nama seluruh ahli waris yang berhak

atas harta wraisan dari si pewaris. 71

Bagi warga negara Indonesia keturunan asing Tionghoa yang berwenang

membuat surat keterangan hak waris bagi mereka adalah notaris melalui suatu akta

autentik. Sedangkan bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing non

Tionghoa yang berwenang membuat surat keterangan hak waris adalah Balai Harta

Peninggalan. Hal ini termuat di dalam ketentuan Pasal 111 ayat (1) huruf c Peraturan

Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1997 tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah yang memuat ketentuan pedoman pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris

dalam hal pelaksanaan pengalihan hak atas tanah yang menyebutkan bahwa, Surat

tanda bukti sebagai ahli waris dapat berupa :

1. Wasiat dari pewaris


2. Putusan pengadilan
3. Penetapan hakim / ketua pengadilan72

Bagi warga negara Indonesia penduduk asli (pribumi), surat keterangan ahli

waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi

dan dikuatkan oleh kepala desa / kelurahan dan camat tempat tinggal pewaris pada

waktu meninggal dunia. Bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa akta

keterangan hak mewaris dibuat oleh notaris dan bagi warga negara Indonesia

71
Zainal Abidin Mohan, Persamaan Hak dan Kewajiban Setiap Warga Negara Indonesia di
Mata Hukum, Mitra Ilmu, Surabaya, 2013, hal. 79
72
Musa Winarmo, Hukum Waris Menurut KUH Perdata, dan pemberlakuannya di Indonesia,
Rita Ilmu, Jakarta, 2004, hal. 79

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


90

keturunan Timur Asing lainnya surat keterangan waris dari Balai Harta

Peninggalan.73

Pemberlakuan ketentuan hukum tentang warisan bagi warga negara Indonesia

juga belum memiliki keseragaman / unifikasi dalam pemberlakuan ketentuan tentang

hukum waris. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan hukum yang berlaku bagi warga

negara Indonesia golongan bumiputra. Di dalam bidang hukum waris berlaku hukum

adatnya masing-masing sedangkan bagi warga negara Indonesia golongan bumiputra

yang beragama Islam dapat pula berlaku hukum waris Islam dalam pelaksanaan

pembagian warisan terhadap warga negara Indonesia golongan bumiputra yang

beragama Islam tersebut. Bagi warga negara Indonesia golongan Timur Asing

Tionghoa maka untuk pembagian warisan berlaku KUH Perdata yang mengatur

tentang ketentuan warisan yang termuat di dalam Pasal 830 – Pasal 1130 KUH

Perdata.74

Dari uraian di atas dapat dikatakan meskipun lahirnya Undang-Undang No.

12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan adalah bertujuan untuk mempersamakan

hak kewajiban dan kedudukan hukum setiap warga negara Indonesia yang telah sah

menjadi warga negara Indonesia sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berlaku, namun dalam hal pemberlakuan ketentuan hukum khususnya di bidang

hukum perdata masih terdapat perbedaan pemberlakuan hukum bagi warga negara

73
Zainuddin Ali, Pelaksanaan Surat Keterangan Hak Waris bagi Golongan Penduduk di
Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Hal.39
74
Zakaria Buchory, Kajian Hukum tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia
Dalam Praktek Perbuatan Hukum Berdasarkan Ketentuan Hukum Yang Berlaku, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2011, hal. 67

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


91

Indonesia baik golongan bumiputra, Timur Asing Tionghoa maupun Timur Asing

non Tionghoa. Hal ini menjadi dilema bagi unifikasi hukum khususnya di bidang

hukum perdata bagi golongan setiap warga negara Indonesia yang telah sah

dinyatakan sebagai warga negara Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 12

Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Asas persamaan hak dan kewajiban serta persamaan kedudukan dan

pemberlakuan ketentuan hukum yang sama bagi seluruh warga negara Indonesia

tanpa membeda-bedakan warga negara Indonesia golongan bumiputra ataupun

keturunan asing, hingga lahirnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan belum dapat dilaksanakan sesuai asas-asas persamaan

kewarganegaraan yang termuat di dalam undang-undang kewarganegaraan tersebut.

Hal ini mengakibatkan masih terdapat perbedaan penggolongan hukum bagi warga

negara Indonesia yang berarti masih terdapat pula diskriminasi dalam hal

pemberlakuan ketentuan hukum bagi seluruh warga negara Indonesia.75

Perbedaan penggolongan hukum di bidang hukum perdata bagi warga negara

Indonesia secara keseluruhan yang masih berlaku saat ini mengakibatkan belum

terjadinya persamaan hak dan kewajiban khususnya di bidang prosedur dan ketentuan

hukum yang harus ditempuh oleh setiap warga negara Indonesia dalam suatu

perbuatan hukum di bidang hukum perdata khususnya di bidang hukum waris.

75
Sunarti Halimah, Kedudukan Hukum Perdata Di Indonesia, Suatu Tinjauan Yuridis
Normatif, Ghalia Indonesia, 2007, hal. 82

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


92

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa lahirnya Undang-Undang No. 12 Tahun

2006 tentang Kewarganegaraan yang memuat asas-asas persamaan kedudukan setiap

warga negara Indonesia di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung

tinggi hukum dan pemerintahan tersebut belum dapat terlaksana secara keseluruhan.

Kedudukan hukum warga negara Indonesia sebagaimana termuat di dalam

Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan baru sebatas hak dan

kewajiban setiap warga negara Indonesia untuk memperoleh perlindungan hukum dan

untuk mematuhi ketentuan hukum yang berlaku kepada warga negara Indonesia

tersebut meskipun dalam hal-hal tertentu di bidang KUH Perdata masih berlaku

ketentuan hukum yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hak warga negara

Indonesia untuk diperlakukan sama di dalam suatu ketentuan hukum yang sama pula

belum dapat terwujud karena masih berlakunya ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berbeda-beda dalam pengurusan perbuatan hukum dibidang hukum

tertentu khususnya dalam hukum perdata.76

76
Ibid, hal. 83

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


93

BAB IV
PENERAPAN SISTEM PENGGOLONGAN HUKUM BAGI WARGA
NEGARA INDONESIA DALAM PRAKTIK PEMBUATAN
SURAT KETERANGAN HAK WARIS

A. Politik Penggolongan Hukum Bagi Warga Negara Indonesia Pada Masa


Pemerintahan Kolonial Belanda

Secara historis sejak pemerintahan Hindia Belanda sampai dengan sekarang

ternyata terdapat pergeseran dan perbedaan arah politik hukumnya. Pada zaman

pemerintahan Hindia Belanda Politik hukumnya terlihat pada adanya Politik

Penggolongan Rakyat. Pembagian meliputi 3 (tiga) golongan Eropa, Golongan Timur

Asing, dan Golongan Bumiputra. Golongan Eropa terdiri dari orang-orang Belanda,

orang Eropa lain di luar Belanda, orang Jepang, semua orang yang berasal dari

wilayah lain dengan ketentuan wilayah itu tunduk kepada hukum keluarga yang

secara substasial memiliki asas hukum yang sama dengan hukum Belanda. Kemudian

juga ditambahkan dengan anak sah yang diikuti dengan Undang-Undang serta anak-

anak klasifikasi golongan Eropa dimaksud yang lahir di tanah jajahan. 77

Adapun golongan Timur Asing terdiri dari semua orang yang bukan golongan

Eropa maupun penduduk asli tanah jajahan. Mereka ini diantaranya adalah orang

Arab, India dan Cina. Sedangkan golongan terakhir, yakni Bumiputra terdiri dari

orang Indonesia asli. Pengelompokan yang demikian ini seperti disinggung terdahulu

berimbas kepada bidang hukum yang berlaku bagi tiap-tiap kelompok. Sebagaimana

77
Darwanti Maslita, Pengaruh Penggolongan Hukum Bagi Tata Hukum Indonesia, Rajawali,
Pres, Jakarta, hal. 30

93
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94

diatur dalam Pasal 131 IS bahwa bagi golongan Eropa hukum yang berlaku adalah

hukum yang berlaku di negeri Belanda. Adapun golongan Timur Asing berlaku

hukumnya sendiri. Selanjutnya bagi golongan terakhir Bumiputra hukum yang

berlaku adalah hukum adat. Jika kepentingan sosial menghendaki maka hukum Eropa

dapat berlaku lintas golongan. Keberlakuan ini selanjutnya disebut sebagai

penundukan diri terhadap hukum Eropa, baik secara sempurna maupun sebagian saja.

Penundukan sempurna dipahami bahwa ketentuan hukum Eropa berlaku utuh bagi

setiap subjek hukum yang melakukan suatu perbuatan hukum. Dengan kata lain,

subjek hukum tersebut dianggap sama dengan golongan Eropa sehingga hukumnya

juga hukum Eropa.78

Berbeda halnya dengan penundukan hukum yang disebabkan terakhir. Pada

penundukan ini, hukum Eropa baru berlaku ketika perbuatan hukum yang dilakukan

oleh penggolongan lain tersebut tidak dikenal dalam hukum mereka. Pemberlakuan

hukum adat bagi golongan Bumiputra sudah tentu menimbulkan masalah. Masalah

dimaksud mengingat bahwa adat yang terdapat di Indonesia sangat beraneka ragam

sesuai dengan etnis, kondisi sosial budaya, maupun agamanya. Paling tidak, dengan

adanya ketentuan tertulis seperti dijelaskan terdahulu menimbulan bias negatif

terhadap hukum agama yang dianut oleh bangsa Indonesia yang mayoritas Islam.

Bias negatif itu adalah membenamkan hukum Islam di bawah bayang-bayang

hukum adat. Hal ini sudah tentu dapat dimengerti. Bagaimanapun juga, bangsa

penjajah selalu berusaha agar ideologi mereka bisa diikuti oleh bangsa jajahannya.
78
Ibid, hal. 31

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


95

Seiring dengan usaha untuk menanamkan idelogi ini, ada tiga teori yang

diperkenalkan. Dua teori pertama diperkenalkan oleh bangsa Belanda dan suatu teori

terakhir dilontarkan oleh bangsa Indonesia. Teori terakhir ini merupakan teori

bantahan sekaligus teori pematah. Ketiga teori ini secara berturut adalah Receptio in

Complexu, Receptie Theorie dan Receptio a Contrario.

1. Receptio in Complexu

Receptio in Complexu merupakan teori yang dikemukakan oleh Lodewijk Wiliem

Christian Van Den Berg (1845-1927). Teori ini bermakna hukum yang diyakini

dan dilaksanakan oleh seseorang seharmoni dengan agama yang diimaninya. Oleh

sebab itu, jika seseorang beragama Islam maka secara langsung hukum islamiah

yang berlaku baginya, demikian seterusnya. Dengan kata lain, teori ini dapat

dipadankan dengan sebutan “teori penerimaan secara kompleks atau sempurna”.

2. Receptie Theorie

Receptie Theorie atau teori resepsi merupakan teori yang diperkenalkan oleh

Christian Snouck Hurgronje (1857-1936). Teori ini selanjutnya

ditumbuhkembangkan oleh pakar hukum adat Cornelis van Vollenhoven (1874-

1933) dan Betrand Ter Haar (1892-1941). Teori resepsi berawal dari kesimpulan

yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai

hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Terpahami di sini bahwa hukum

Islam berada di bawah hukum adat. Oleh karena itu, jika didapati hukum Islam

dipraktikkan di dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya ia bukanlah hukum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


96

Islam melainkan hukum adat. Teori ini dapat pula dipadankan dengan sebutan

“teori penerimaan”.

3. Receptio a Contrario.

Sebagaimana diutarakan di depan bahwa teori ini merupakan pematah populer

yang dikemukakan oleh Hazarin (1906-1975) dan Sajuti Thalib (1929-1990).

Dikatakan sebagai teori pematah karena teori ini menyatakan pendapat yang sama

sekali berlawanan arah dengan receptie theori Christian Snouck Hurgronje di

atas. Pada teori ini justru hukum adatlah yang berada di bawah hukum Islam dan

arus sejiwa dengan hukum Islam. Dengan sebutan lain, hukum adat baru dapat

berlaku jika telah dilegalisasi oleh hukum Islam.79

Dari ketiga teori ini terlihat bahwa usaha untuk meredam gerak maju hukum

Islam didasarkan kepada teori kedua, yakni receptie theori. Hukum Islam dianggap

sebagai hukum jika telah dilegalisasi oleh hukum adat. Oleh karenanya, jika hukum

yang diterapkan hukum Islam namun menurut ketentuan hukum tertulis Pasal 131 IS

ia bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat. Makna tersembunyi di balik

pemberlakuan teori ini adalah diharapkannya bangsa penjajah ketika itu dengan tiga

konsep hukum yang masing-masing memiliki karakter sendiri. Ketiga konsep

dimaksud adalah hukum Islam, hukum Barat dan hukum adat. Berhadapan dnegan

ketiga konsep ini sudah dapat dipastikan bahwa bangsa penjajah akan menetapkan

hukum yang lebih menguntungkan bagi mereka. Dan hukum yang lebih

79
Noviyanti Salim, Kedudukan Hukum Waris KUH Perdata Bagi Golongan Penduduk di
Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2007, hal. 13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


97

menguntungkan itu dijatuhkan kepada hukum adat. Jika hukum yang diberlakukan

semata-mata adalah hukum bangsa penjajah sudah tentu tingkat kebencian dan

permusuhan terhadap mereka semakin besar. Oleh karena itu, untuk menghindari sisi

negatif ini mereka memberlakukan hukum adat yang memang menunjang terhadap

misi mereka. Dengan demikian, benar kiranya kalau hukum adat dimaksudkan oleh

bangsa penjajah untuk melumpuhkan gerak langkah pelembagaan hukum Islam yang

bermuara kepada tercapainya misi penjajah mereka.80

Keberadaan Politik Hukum Hindia Belanda dapat dilihat berdasarkan masa

berlakunya 3 pokok peraturan Belanda yaitu masa berlakunya Algemene Bepalingen

van Wetgeving vor Indonesia (AB), Regeling Reglement (RR) dan Indische Staat

Reglement (IS).

1. Masa Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia (AB)

Di masa berlakunya AB politik hukum pemerintahan penjajah Hindia Belanda

dibagi atas beberapa golongan dan berlaku pada masing-masing golongan tersebut.

Pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Pasal 5 AB membagi kedalam dua

golongan, yaitu golongan Eropa (beserta mereka yang dipersamakan) dan golongan

Pribumi (beserta mereka yang dipersamakan dengannya). Sedangkan hukum yang

berlaku bagi masing-masing golongan tersebut diatur dalam Pasal 9 AB dan Pasal 11

AB. Adapun yang diatur di dalam Pasal tersebut adalah

80
Muhammad Djuanta, Perkembangan Hukum Perdata dan Pidana di Indonesia dari Masa
Ke Masa, Citra Ilmu, Surabaya, 2006, hal. 84

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


98

Pasal 9 AB
“Menyatakan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (yang diberlakukan di Hindia Belanda)
hanya akan berlaku untuk orang Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan
dengannya.

Pasal 11 AB
“Menyatakan bahwa untuk golongan penduduk pribumi oleh hakim akan
diterapkan hukum agama, pranata-pranata dan kebiasan orang-orang pribumi
itu sendiri, sejauh hukum, pranata dan kebiasaan itu tidak berlawanan dengan
asas-asas kepantasan dan keadilan yang diakui umum dna pula apabila
terhadap orang-orang pribumi itu sendiri ditetapkan berlakunya hukum Eropa
atau orang pribumi yang bersangkutan telah menundukkan diri pada hukum
Eropa”

Pemerintah Kolonial Belanda melaksanakan politik hukumnya dengan bentuk

hukum tertulis dan tidak tertulis. Bentuk hukum perdata tertulis ada yang

dikodifikasikan dan terdapat di dalam Burgerlijk Wetboek van Koophandel (WvK)

yang tidak dikodifikasikan terdapat di dalam undang-undang dan peraturan dan

lainnya yang dibuat sengaja untuk itu. Sedangkan yang tidak tertulis, yaitu hukum

perdata adat dan berlaku bagi setiap orang di luar golongan Eropa. Corak hukumnya

dilaksanakan dengan dualistis, yaitu satu sistem hukum perdata yang berlaku bagi

golongan Eropa dan satu sistem hukum perdata lain yang berlaku bagi golongan

Indonesia.

Membedakan golongan untuk memberlakukan hukum perdata berdasarkan

sistem hukum dari masing-masing golongan menurut Pasal 11 AB itu sangat sulit

dalam pelaksanaanya. Hal ini disebabkan tidak adanya asas pembedaan yang tegas

walaupun ada ketentuan pembagian golongan berdasarkan Pasal 5 AB. Dalam Pasal 5

AB hanya menyatakan orang Eropa, orang Bumiputra orang yang disamakan dengan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


99

orang Eropa dan orang yang disamakan dengan orang Bumiputra. Pembagian

golongan menurut Pasal 5 AB hanya berdasarkan kepada perbedaan agama, yaitu

yang beragama Kristen selain orang Eropa disamakan dengan orang Eropa dan yang

tidak beragama Kristen disamakan dengan orang Indonesia. Karena itu dapat

dikatakan bahwa bagi setiap orang yang beragama Kristen yang bukan Eropa

kedudukan golongannya sama dengan orang Eropa, berarti bagi orang Indonesia

Kristen termasuk orang yang disamakan dengan orang Eropa. Hal ini tentunya

berlaku juga bagi orang-orang Cina, Arab, India dan orang-orang lainnya yang

beragama Kristen disamakan dengan orang Eropa.

Sedangkan bagi orang-orang yang tidak beragama Kristen selain orang

Indonesia dipersamakan kedudukannya dengan orang bumiputra. Tetapi karena Pasal

10 AB memberikan wewenang kepada Gubernur Jenderal untuk menetapkan

peraturan pengecualian bagi orang Indonesia Kristen, maka melalui S.1848:10, Pasal

3 nyata Gubernur Jenderal menetapkan bahwa “orang Indonesia Kristen dalam

lapangan hukum sipil dan hukum dagang juga mengenai perundang-undangan pidana

dan peradilan pada umumnya tetap dalam kedudukan hukumnya yang lama”. Dengan

demikian berarti bahwa bagi orang Indonesia Kristen tetap termasuk golongan orang

bumiputra dan tidak dipersamakan dengan orang Eropa.

2. Masa Regeling Reglement (RR)

Politik hukum pemerintah jajahan yang mengatur tentang pelaksanaan tata

hukum pemerintah di Hindia Belanda itu dicantumkan dalam Pasal 75 RR yang pada

asasnya seperti tertera dalam Pasal 11 AB. Sedangkan pembagian penghuninya tetap

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


100

dalam dua golongan, hanya saja tidak berdasarkan perbedaan agama lagi melainkan

atas kedudukan “yang menjajah” dan “yang dijajah” Dan ketentuan terhadap

pembagian golongan ini dicantumkan dalam Pasal 109 Regerings Reglement. Adapun

yang diatur dalam kedua Pasal tersebut adalah:

Pasal 109 RR
“Pada pokoknya sama dengan Pasal 5 AB tetapi orang Pribumi yang
beragama Kristen tetap dianggap orang pribumi dan bagi orang Tionghoa,
Arab serta India dipersamakan dengan Bumi Putera”.

Pasal 75 RR
“Menyatakan tetap memberlakukan hukum Eropa bagi orang Eropa dan
hukum adat bagi golongan lainnya”.

Pada tahun 1920 RR itu mengalami perubahan terhadap beberapa Pasal

tertentu dan kemudian setelah diubah dikenal dengar sebutan RR (baru) dan berlaku

sejak tanggal 1 Januari 1920 sampai 1926. Karena itu selama berlakunya dari tahun

1855 sampai 1926 dinamakan Masa Regerings Reglement. Sedangkan politik hukum

dalam Pasal 75 RR (baru) mengalami perubahan asas terhadap penentuan penghuni

menjadi “pendatang” dan “yang didatangi”. Sedangkan penggolongannya dibagi

menjadi tiga golongan, yaitu golongan Eropa, Indonesia dan Timur Asing.

3. Indische Staat Reglement (IS).

Berlakunya IS dengan sendirinya telah menghapus atau menggantikan

berlakunya RR. Politik Hukum Pemerintahan Hindia Belanda pada saat berlakunya

IS dapat dilihat dalam Pasal 163 IS dan 131 IS. Pada Pasal 163 IS mengatur

pembagian golongan, yang pada intinya seluruh isinya dikutip dari Pasal 109 RR

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


101

(baru). Sedangkan Pasal 131 IS mengatur hukum yang berlaku bagi masing-masing

golongan tersebut. Adapun yang diatur dalam kedua Pasal tersebut adalah:

Pasal 163 IS

Penduduk Hindia Belanda dibedakan atas tiga golongan, yakni :

1. Golongan Eropa

2. Golongan Bumi Putera

3. Golongan Timur Asing.

Pasal 131 IS menyatakan beberapa hal yakni :

1. Menghendaki supaya hukum itu ditulis tetap di dalam ordonansi.

2. Memberlakukan hukum Belanda bagi warga negara Belanda yang tinggal di

hindia Belanda berdasarkan asas konkordansi.

3. Membuka kemungkinan untuk unifikasi hukum yakni menghendaki

penundukan bagi golongan bumiputra dan Timur Asing untuk tunduk kepada

hukum Eropa.

4. Memberlakukan dan menghormati hukum adat bagi golongan bumi putera

apabila masyarakat menghendaki demikian.81

Pembagian golongan penghuni berdasarkan Pasal 163 IS sebenarnya untuk

menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan

sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS.

81
Berman Rasmanto, Politik Hukum Kolonial Belanda pada Masa Penjajahan di Indonesia,
Pustaka Ilmu, Jakarta, 2004, hal. 46

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


102

Politik Hukum Kolonial Belanda tahun 1838 di negeri Belanda dilakukan

kodifikasi terhadap semua aturan perundangan terutama hukum perdata dan hukum

dagang. Dengan adanya kondifikasi hukum di Belanda timbul juga pemikiran untuk

diberlakukan unifikasi hukum di Hindia Belanda, hal ini sesuai dengan asas

konkordansi. saat itu di Hindia Belanda berlaku hukum adat bagi golongan bumiputra

yang selama ini hukum adat belum pernah mendapat perhatian. Tugas ini diserahkan

kepada Mr. Hageman, tetapi tugas ini gagal, karena pemerintah Belanda tidak

mengetahui keadaan hukum di Hindia Belanda. Tugas tersebut diganti oleh scholten,

lalu diganti lagi oleh MR. H.L. Wichers. Tugas utamanya adalah mengadakan

unifikasi hukum. Unifikasi hukum ini tentang oleh van der Binne yang mengatakan

suatu kejanggalan untuk memberlakukan hukum Belanda di Hindia Belanda yang

sebagian besar penduduknya beragama Islam dan memegang teguh adat istiadat

mereka. Pada tahun 1848, hasil unifikasi dan kodifikasi terhadap hukum perdata dan

hukum dagang di Belanda telah selesai.

Dalam bidang hukum tanah, dilakukan unifikasi hukum diantaranya

1. Agrarische Wet (stb. 1850-1855). Lahir atas desakan perusahaan swasta

yang dikenal dengan cultuur Stelsel.

2. Agrarische Besluit (Stb 1870-1877), mengenal Domein verklarine

3. Agrarische Zigendum (Stb 1872-1877), yang sekarang dikonversi menjadi

hak milik Guna Usaha dan hak Guna Bangunan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


103

4. Vervremdung Verbrod (Stb 1875-1879). 82

Saat itu yang dikodifikasi hanya hukum perdata berat dan hukum dagang.

Sedangkan untuk hukum adat belum diperhatikan. Mengenai hukum adat

timbul pemikiran untuk melakukan unifikasi sesuai kepentingan ekonomi dan

kepentingan keamanan dari pemerintah Belanda, tetapi termasuk kepentingan

Belanda Indonesia. Tahun 1904 pemerintah Belanda (kabinet Kuyper) mengusulkan

suatu rencana undang-undang untuk mengganti hukum adat dengan hukum Eropa dan

mengharapkan agar bumiputra tunduk hukum Eropa, karena hukum adat tidak

mungkin diunifikasikan dan dikodofikasi, selama ini usaha itu gagal. Kegagalan ini

mengakibatkan hukum adat semakin terdesak dan adat pemikiran untuk

menghilangkan hukum adat. Kegagalan untuk mengganti hukum adat dengan hukum

Eropa, karena dalam kenyataan tidak mungkin, bangsa Indonesia yang merupakan

bagian terbesar dari penduduk Indonesia tunduk pada hukum Eropa yang disesuaikan

dengan orang-orang Eropa, sedangkan bangsa Eropa hanya sebagian kecil saja, tidak

mungkin bangsa indonesia dimasukkan dalam golongan Eropa di dalamm lapangan

hukum privat.

Tahun 1927 pemerintah Belanda mulai menolak untuk mengadakan unifikasi

hukum adat, mulai melaksanakan konsepsi Van Vollenhoven yang isinya

menganjurkan diadakan pencatatan yang sistematis dari hukum adat yang didahului

dengan penelitian. Tujuannya adalah untuk memajukan hukum dan untuk

mengkomplikasikannya ke dalam Compendium Frejer yang terkenal itu. Kompilasi


82
Ibid, hal. 47

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


104

ini ternyata bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum

perdata lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga

menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam

praktik masyarakat di Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu

sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan

orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.83

Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari

“langt” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari

budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu terusik ketika

pada ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum

rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian

empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teroritis tertentu, mulai

menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk

pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.

Cika bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai dengan

kehadiran Organisasi Perdagangan Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal

dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki

peran yang melebihi fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah

Kerajaan Belanda memang menjadikan VOC sebagai perpanjangan tangannya di

kawasan Hindia Timur. Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC

juga mewakili Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintah. Tentu


83
Muhammad Djuanta, Op.Cit. 58

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


105

saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa. Dalam kenyataannya

penggunaan hukum Belanda itu menemukan kesulitan ini disebabkan karena

penduduk pribumi berat menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka.

Akibatnya, VOC pun membebaskan penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang

selama ini telah mereka jalankan. Hukum Islam dapat dicatat beberapa “kompromi”

yang dilakukan oleh VOC, yaitu

1. Dalam Statua Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC, dinyatakan

bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk agama Islam.

2. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku di tengah

masyarakat. Upaya ini diselesaikAn pada tahun 1760. Kompilasi ini kemudian

dikenal dengan Compendium Frejer.

3. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di Semarang,

Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang misalnya, hasil kompilasi itu dikenal

dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun kompilasi

yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium Frejer, dimana ia juga

memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.84

Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga

menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris. Setelah Thomas Stanford

Raffles menjabat sebagai gubernur selama 5 tahun (1811-1916) dan Belanda kembali

memegang kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa

84
Anienda Masni, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Prenada Media, Jakarta,
2010, hal. 50

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


106

pihak Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah

ini. Namun upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang

penjajah dengan rakyat jajahnya, khususnya umat Islam yang mengenai konsep dat

al-Islam dan dar al-harb. Itulah sebabnya, pemerintah Belanda mengupayakan ragam

cara untuk menyelesaikan masalah itu diantaranya :

1. Dengan menyebarkan agama Kristen kepada rakyat pribumi

2. Membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek aspek batinah (spritual)

saja.

Hasil telaah akademis ini sedikit banyak mempengaruhi kebijakan politik

kolonial, ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang

berlaku di suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda.

Dukungan kepada hukum Adat ini tidak terlepas pula dari politik divide et impera

kolonial. Hikum adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum

Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda

lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan

Pasal 131 jo Pasal 163 IS yang tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk

Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum yaitu, Hukum Belanda untuk orang

Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Timur Asing terutama Cina dan India

sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


107

masing-masing. Disamping itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi

orang bumiputra yang beragama Kristen.85

Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum terkecuali hukum itu telah

diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat bukan

hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Profesor Hazairin sebagai “teori iblis”

itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit dikalangan ahli-ahli hukum

adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh dikemudian hari. Posisi hukum

Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap

menjadi masalah kontroversial sampai merdeka. Karena merasa hukum Islam

dipermainkan begitu rupa oleh pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika

dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia

merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam

Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18

Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan

Yang Maha Esa’ sebagaimana dapat dibaca dalam pembukaan UUD 1945 sekarang

ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante

maupun sidang MPR di era Reformasi ini semua menunjukkan bahwa sebagai

aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum Islam di dalam konstitusi

itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.

85
Ibid, hal. 51

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


108

Penelusuran mengenai keberadaan hukum tanah pada masa penjajahan

memberikan kesimpulan, bahwa pada zaman kolonial hukum tanah bersifat sangat

eskolitatif, dualistik, deodalistik yang berasaskan Domein veralring nyata-nyata

sampai bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Hukum tanah administrasi

pemerintah Hindia Belanda didasari pada politik pemerintahan kolonial pada masa

itu. Hal tersebut tertuang di dalam Agrarizche Wet 1870. Agrarische Wet (AW)

merupakan suatu produk hukum yang setara dengan undang-undang yang dibuat di

Belanda pada tahun 1870. AW di undangkan di dalam S1870-55 sebagai tambahan

ayat-ayat baru pada Pasal 62 RR Hindia Belanda Tahun 1854. Semula RR tersebut

terdiri dari 3 ayat. Dengan tambahan 5 ayat baru (ayat 4 s/d 8) oleh AW, maka Pasal

RR terdiri dari 8 ayat. Sebelum AW berlaku di lakukan sistem tanam paksa

(cultursetesel) sejak tahun 1830 yang memberikan ruang bagi pengusaha besar untuk

melakukan usaha di bidang perkebunan. Oleh karena itu sejak tahun 1839 sejalan

dilaksanakannya Cultures tels el, maka berdasarkan RR 1854 /Pasal 62 ayat (3) secara

tegas dibuka kembali kesempatan untuk menyewa tanah dari pemerintah, yang

peaturannya dimulai di dalam Algemene Maatgerel Van Bestuur (AMVB) yang

diundangkan dalam S 1856-54.86

Tetapi penerapan peraturan tersebut ternyata tidak menimbulkan dampak

berarti terhadap perkembangan perkebunan besar di Hindia Belanda. Hal tersebut

dikarenakan jangka waktu sewa yang hanya maksimum 20 tahun yang tidak

mencukupi umur tanaman keras. Lagipula hak sewa tidak dapat digunakan sebagai
86
Efendi Perangin-angin, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


109

jaminan kredit yang diperlukan dengan pemberian jaminan hipotek. Para pengusaha

besar Belanda yang kelebihan modal. Mengingat masih banyaknya tanah hutan di

Hindia Belanda yang belum diusahakan maka sejak abad ke 19 mereka menuntut

untuk diberi kesemaptan berinvestasi pada bidang perkebunann besar. Hal tersebut

mendorong lahirnya AW 1870, yang bertujuan utnuk membuka kemungkinan dan

memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang

di Hindia Belanda.

Ketentuan AW juga menggunakan perlindungan bagi pribumi. Pemberian

tanah kepada pengusaha besar juga tidak boleh melanggar hak-hak pribumi.

Pemberian tanah kepada pengusaha besar juga tidak boleh melanggar hak-hak

pribumi. Pengambilan tanah-tanah pribumi hanya boleh bagi kepentingan umum,

melalui cara pencabutan hak dan pemberian ganti rugi yang layak. Namun demikian,

pemberian perlindungan bagi rakyat tersebut bukan merupakan tujuan AW tujuan

AW adlaah tetap pada tujuan memberikan dasar pada perkembangan perkebunan-

poerkebunan besar swasta untuk kepentingan pemerintah kolonial.87

Ketentuan pelaksanaan AW diatur di dalam berbagai peraturan dan keputusan,

diantaranya Koninjlijk Besluit dalam S.1870-118 yang dikenal sebagai Agararisch

Besluit (AB) Pasal 1 AB kurang menghargai hak-hak rakyat atas tanah yang

bersumber pada hukum adat. Hal tersebut dikenakan ketentuan pada ayat (1) AB

bahwa dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan Pasal 2 dan 3 AW, tetap

dipertahankan asas semua pihak lain yang tidak dapat membuktikan sebagai hak
87
Ibid, hal. 12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


110

eigendomnya merupakan hak milik (domein) pemerintahan kolonial. Padahal hukum

adat tidak mengenal sertipikati atau bukti kepemilikan tertulis dalam menentukan hak

milik atas tanah. Sehingga pada masa itu terjadi kesewenangan perampasan tanah.

Keadaan tersebut jelas sangat merugikan rakyat Indonesia yang masih tunduk

terhadap hukum adat.

B. Penerapan Sistem Penggolongan Hukum Bagi Warga Negara Indonesia


Dalam Praktik Pembuatan Surat Keterangan Hak Waris

Meskipun melalui Instruksi Presidium Kabinet Nomor 31/U/IN/12/1966

tanggal 27 Desember 1966, telah ditetapkan penghapusan pembedaan golongan

penduduk di Indonesia dengan dasar pertimbangan bahwa demi tercapainya

pembinaan kesatuan bangsa Indonesia yang bulat dan homogen, serta adanya

perasaan persamaan nasib di antara sesama bangsa Indonesia. Berdasarkan Pasa1

66 UUPerk dinyatakan bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang

berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka

dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam

"peraturan-peraturan lama" dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang

perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Untuk sebagian hukum keluarga dan hukum waris yang belum mendapat

pengaturan dalam undang-undang khusus (UUPerk) maka Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUH Perdata) masih diberlakukan yaitu bagi golongan Eropa

dan Timur Asing Tionghoa.88

88
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003,
hal. 80

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


111

Walaupun penggolongan penduduk telah dihapuskan oleh Instruksi

Presidium Kabinet tersebut. Namun di dalam praktiknya "penggolongan penduduk"

untuk bidang hukum tertentu tidak dapat dihindari. Instruksi Presidium Kabinet

Nomor 31/U/IN/1211966 tersebut juga menyatakan, bahwa penghapusan golongan-

golongan penduduk tersebut tidak mengurangi berlakunya ketentuan-ketentuan

mengenai perkawinan, warisan dan ketentuan-ketentuan hukum perdata lainnya.

Dengan kata lain dari Pasal 66 UUPerk jo. Instruksi tersebut dapat dikatakan, bahwa

mengenai sebagian ketentuan hukum perdata di bidang perkawinan (kecuali yang

telah diatur dalam UUPerk), dan warisan masih diberlakukan KUH Perdata bagi

sebagian penduduk Indonesia. Situasi yang digambarkan di atas, memungkinkan

timbulnya keadaan terkaitnya pihak-pihak yang tunduk pada hukum waris yang

berbeda-beda. Sebagaimana kita ketahui, dengan meninggalnya seseorang, maka

harus ditentukan siapa ahli warisnya, penentuan mana dilakukan dengan

memperhatikan hukum waris yang berlaku bagi pewaris.

Dalam Pembuatan Keterangan Hak Waris (KHW) masih didasarkan kepada

penggolongan hukum penduduk yang didasarkan pada Asas konkordansi Pasal 13

Wet op de Groorboeken der Nationale Schuld (Undang-Undang tentang Buku

Besar Perutangan Nasional) di Belanda, Surat Edaran Departemen Dalam Negeri

Direktorat Jenderal Agraria tanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/69, Fatwa

Mahkamah Agung, atas permintaan dan ditujukan kepada Ny. Sri Redjeki

Kusnun, SH, tertanggal Jakarta, 25 Maret 1991 No. KMA/041/IIIII991 jo. Sural

Ketua Mahkamah Agung kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


112

Agama, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama di seluruh Indonesia tertanggal

Jakarta, 8 Mei 1991 No. MA/Kumdil/l7l/V/K/1991, Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 42 ayat I juncto Peraturan

Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Negara Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Ketentuan Pelaksanaan PP Nomor 24 Tahun I997, Pasal 111 ayat I huruf c

angka 4.89

Pasal 111 ayat I huruf c angka 4 Peraturan Menteri Negara Agraria/

Kepala Badan Pertahahan Negara (PMNA/KBPN) Nomor 3 Tahun 1997 Tentang

Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang

Pendaftaran Tanah. Penjelasan Pasa 42 ayat (I) PP Nomor 24/1997 Tentang

Pendaftaran Tanah untuk keperluan peralihan hak atas tanah karena pewarisan

menyatakan bahwa:

"Peralihan hak karena pewarisan terjadi karena hukum pada saat


pemegang hak yang bersangkutan meninggal dunia. Dalam arti bahwa sejak
itu para ahli waris menjadi pemegang haknya yang baru. Mengenai siapa
yang menjadi ahli waris diatur dalam Hukum Perdata yang berlaku bagi
pewaris. ( ... )".

Berdasarkan Pasal Ill ayat 1 huruf c angka 4 PMNNKBPN Nomor 3

Tahun 1997 tersebut yang merupakan petunjuk bagi pendaftaran tanah apabila

hendak melakukan pendaflaran peralihan hak karena warisan, terdapat tiga bentuk

dan tiga institusi yang membuat bukti/surat keterangan waris, yaitu:

"4)- bagi warganegara Indonesia penduduk asli: surat keterangan ahli

waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi
89
Ibid, hal. 81

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


113

dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada

waktu meninggal dunia, bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa: akta

keterangan hak mewaris dari notaris, bagi warganegara Indonesia keturunan

Timur Asing lainnya, surat keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan."

Pembuatan KHW oleh instansi yang berbeda-beda merupakan salah satu

konsekuensi akibat masih berlakunya plura\isme sistem hukum waris dan

terdapatnya perbedaan kebutuhan keperdataan masing-masing "golongan

penduduk". Lagipula Pasal 111 ayat 1 huruf c angka 4 PMNAI KBPN Nomor 3

Tahun 1997 tersebut hanya menyangkut peristiwa dalam hal berkaitan dengan

pendaftaran tanah.

Pengadilan Agama menerbitkan penetapan waris dengan judul Pemisahan

dan Pembagian Warisan Di luar Sengketa (Pasal 236a Herziene lndonesisch

Reglement) sebagaimana juga disebutkan di dalam Surat Edaran Mahkamah Agung

Nomor 2 Tahun 1990 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Undang-Undang nomor 7 tahun

1989 Tentang Peradilan Agama (SEMA 211990), meskipun isinya sama sekali

tidak mengatur Pemisaan Pembagian Warisan Di luar Sengketa, melainkan mumi

merupakan penetapan/fatwa waris. Adapun SEMA 211990 memberi petunjuk

bahwa di dalam perkara antara orang-orang yang beragama Islam di bidang

kewarisan berkaitan dengan masalah pilihan hukum, berlaku bagi mereka yang

hukum warisnya tunduk pada hukum adat danlatau hukum Islam atau tunduk pada

hukum perdata barat dan/atau hukum Islam, dimana mereka boleh memilih hukum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


114

adat atau hukum perdata barat yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri atau

memilih hukum Islam yang menjadi wewenang Pengadilan Agama.90

Mahkamah Agung (MA) menggunakan penafsiran berkenaan engan ketentuan

Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang mengatur bahwa di samping tugas di

bidang contentiuese jurisductie dapat pula diberikan tugas lain yaitu volwuaire

jurisdictie kepada peradilan asal berdasarkan peraturan perundangan. Misalnya,

Pengadilan Negeri berwenang menetapkan pengangkatan wali untuk anak dibawah

umur sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 300-30l KUH Perdata.

Oleh karena tidak terdapat undang-undang yang cara tegas memberi

kewenangan kepada pengaditan untuk mengetuarkan penetapan/fatwa di tuar

sengketa, maka harus dianggap bahwa pengaditan negeri/ agama tidak

berwenang untuk menerbitkan penetapan/fatwa waris dituar sengketa (22-1-1992 No.

01/PK/ AG/1991 yang membatalkan Penetapan Ahli waris yang telah diterbitkan

oteh Pengadilan Agama Pandeglang: 4- 4- 1990 (18 Ramadhan 1410 H) No.

13.A/1990).

Kewenangan pembuatan KHW bagi mereka yang tunduk pada hukum waris

yang diatur dalam KUHPerd didasarkan pada asas konkordansi dengan Pasal 14

ayat 1 dan 3 Wet op de Grootboeken der Nationale Schuld (S. 1931-105) di

Nederland yang kemudian diterima sebagai doktrin dan yurisprudensi di Indonesia

dianggap sebagai hukum kebiasaan. Adapun terjemahan bebas dari Pasal 14 ayat
90
Lili Rasjidi, Hukum Senagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal. 23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


115

I dan ayat 3 Wet op de Grootboeken der Nationale Schuld adalah sebagai

berikut:

Pasal 14 ayat (1):

"Para ahli waris atau dalam hal seseorang sesuai dengan Pasal 524 KUH
Perdata dengan keputusan pengadilan dinyatakan diduga meninggal, yang
diduga ahli waris daripadanya. yang mempunyai suatu hak terdaftar dalam
buku-buku besar utang-utang nasional, harus membuktikan hak mereka
dengan suatu keterangan hak waris setelah kematian atau diduga
meninggalnya pewaris dibuktikan";

Pasal 14 ayat(3):

"Jika suatu warisan terbuka dengan ini (Nederland), keterangan hak waris
dibuat oleh seorang notaris. Akta yang dibuat dari keterangan ini harus
diketuarkan in originali"

Sebenarnya Wet op de Grootbueken der Nationale Schuld bukan undang-

undang yang khusus mengatur wewenang notaris dalam pembuatan KHW,

namun di dalam praktik dianggap sebagai dasar hukum kewenangan notaris

dalam pembuatan KHW. Menurut Tan Thong Kie selama ini "Pembuatan

keterangan waris oleh seorang notaris di Indonesia tidak mempunyai dasar

dalam undang-undang di lndonesia". Demikian pula pendapat dari Ting Swan Tiong

dan Oe Siang Djie. Akibatnya di dalam praktik ditemukan bermacam-macam

bentuk KHW. Bagi warganegara Indonesia keturunan Tionghoa bentuk KHW selama

ini dibuat dalam bentuk suatu keterangan di bawah tangan yang dibuat oleh

notaris, namun ada sejumlah notaris membuat dalam bentuk minuta dan

keterangan yang diberikan oleh para saksi sedangkan KHW dalam bentuk

keterangan di bawah tangan yang dibuat notaris. Bentuk surat keterangan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


116

sedemikian tidak masuk dalam golongan akta otentik menurut ketentuan Pasal l868

KUH Perdata dimana akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di hadapan

pejabat yang berwenang untuk itu dalam bentuk yang ditetapkan oleh Undang-

Undang dan dalam wilayah kewenangannya. Lagipula kekuatan pembuktiannya

tetap sebagai akta di bawah tangan.91

Adapula notaris yang membuat KHW dengan minuta yang isinya adalah

keterangan yang diberikan oleh saksi dan kesimpulan berupa siapa ahli waris dan

bagian warisnya diberikan oleh notaris dengan alasan untuk memudahkan pemegang

protokol untuk membuat Salinan jika di kemudian hari ada yang memintanya.

Kewenangan College van Boedelmeesteren dari Balai Harta Peninggalan

(Weeskamer) untuk KHW bagi warganegara Indonesia keturunan Timur Asing

selainnya Timur Asing 1ionghoa diatur dalam Pasal14 ayat 2 Ordonnantie tangga122-

7-1916, S. 1916-517 diubah L.N. 1931 no. 168 dan L.N. 1937 No. 611-11. Balai

Harta Peninggalan (Weeskamer) pada saat ini ada di Jakarta, Medan. Semarang,

Surabaya dan Makassar. Adapun keberadaan Balai Harta Peninggalan secara

struktural kelembagaan merupakan lembaga pemerintah (eksekutif) yang berada

dalam ruang lingkup Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang

melaksanakan urusan pemerintah. Bukti ahli waris yang merupakan bukti

perdata tidak tepat jika dikeluarkan oleh Pejabat yang tunduk pacta Hukum

Administrasi.

91
Erwin Poweranto, Hukum Waris Dalam Perspektif Hukum Adat, Pustaka Ilmu, Jakarta,
2001, hal. 93

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


117

Para notaris selama ini telah mendasarkan kewenangan pembuatan KHW

diantaranya pacta PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1997 dalam Pasal Ill ayat l

huruf c angka 4 Tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No. 24/1997 jo. PP Nomor

2411997 Tcntang Pendaftaran Tanah scbagaimana telah disebutkan di atas yang

menyangkut peristiwa dalam hal berkaitan dengan pendaftaran tanah. Keputusan

Menteri adalah salah satu jenis peraturan pcrundang-undangan yang setingkat lebih

rendah dari Keputusan Presiden. Kewenangan Menteri untuk membentuk suatu

Keputusan Menteri bersumber dari Pasal 17 UUD 1945, di mana Menteri

Negara adalah pembantu Presiden yang menangani bidang-bidang tugas yang

diberikan kepadanya. Menteri-menteri yang dapat membentuk suatu Keputusan

Menteri adalah Menteri-menteri yang memegang suatu departemen, sedangkan

Menteri Koodinator dan Menteri Negara hanya dapat membentuk suatu

Keputusan yang berlaku secara intern dalam arti keputusan yang tidak mengikat

umum.92

PMNA/BPN No. 3 Tahun 1997 tersebut tergolong pada keputusan yang

berlaku secara intern atau dalam lingkungannya sendiri dan tidak mengikat umum

dan pada dasamya, merupakan petunjuk bagi pendaftaran tanah apabila hendak

melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah karena warisan.

Kewenangan notaris utama adalah membuat akta otentik sebagaimana

disebutkan di dalam Pasal 15 ayat I UUJN:

92
Ibid, hal. 93

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


118

"Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan,


perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk
dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta,
menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya
itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh
undang-undang".

Selain kewenangan tersebut, maka notaris menurut Pasal 15 ayat (3)

UUJN "Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dan ayat (2),

Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-

undangan". Yang dimaksudkan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan disini adalah bukan Peraturan Menteri Negara Agraria

tersebut.

Bentuk KHW di bawah tangan yang dibuatkan oleh notaris adalah bukan

bentuk yang diatur di dalam Pasal 15 ayat 1 UUJN. Kelemahan atas bentuk KHW

di bawah Iangan diantaranya jika ada kesalahan atas isi KHW tidak mungkin

dicabut kembali oleh Notaris yang telah membuatnya sendiri. KHW yang dibuat

dalam bentuk otentik atas pernyataan para pihak, jika ada kesalahan keterangan

yang diberikan adalah merupakan tanggung jawab para pihak sendiri lagipula

bentuk KHW di bawah tangan tidak mempunyai nilai pembuktian sebagaimana

halnya dengan kekuatan pembuktian akta otentik.93

Atas dasar Pasal 15 ayat 1 notaris berwenang untuk membuat KHW

dalam bentuk akta otentik tidak saja untuk "mereka yang tunduk pada KUH

93
Antonia Wicaksono, Hukum dan Penggolongan Hukum di Indonesia, Mitra Ilmu,
Surabayam 2003, hal. 18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


119

Perdata namun juga bagi seluruh bangsa Indonesia. Bentuk akta otentik yang

mana yang paling sesuai dengan UUJN sebagai suatu penemuan hukum dapat

dikaji bersama. Pembagian warisnya sebelum adanya unifikasi hukum waris

dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku bagi "golongan penduduk"

pewaris.

Sistem penggolongan hukum bagi warga negara Indonesia pada masa

Kolonial Belanda yang termuat dalam Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS yang membagi

golongan penduduk di Indonesia menjadi tiga golongan yakni golongan Eropa,

golongan Timur Asing Tionghoa, dan golongan Timur Asing Non Tionghoa, hingga

sekarang ini masih diterapkan dalam sistem hukum di Indonesia dalam bidang hukum

waris karena belum adanya suatu unifikasi ketentuan peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang hukum waris bagi seluruh warga Negara Indonesia.

Konsekuensi hukumnya adalah bahwa masih terjadi penerapan sistem penggolongan

hukum bagi warga negara Indonesia ke dalam 3 (tiga) golongan yaitu : orang-orang

Indonesia bumiputra berlaku hukum adatnya masing-masing, dan bagi warga negara

Indonesia bumiputra yang beragama Islam berlaku hukum Islam. Bagi golongan

Timur Asing Tionghoa berdasarkan Staatblad 1979-129 berlaku hukum waris yang

termuat dalam KUH Perdata yaitu pada Buku Kedua title 12-18, Pasal 830 – Pasal

1130 KUH Perdata. Bagi golongan Timur Asing Non Tionghoa (India, Arab,

Pakistan dll) berlaku hukum waris adat mereka masing-masing kecuali untuk wasiat

umum berdasarkan Staatblad 1924 – 556 tunduk pada KUH Perdata. Bagi golongan

Eropa tunduk pada hukum waris yang termuat dalam KUH Perdata.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


120

Dalam penetapan ahli waris bagi golongan Timur Asing Non Tionghoa

dilaksanakan oleh Balai Harta Peninggalan dengan menggunakan suatu keterangan

tertulis mengenai nama-nama ahli waris yang berhak atas harta warisan dari si

pewaris. Berdasarkan keterangan tertulis yang dibuat oleh balai harta peninggalan

tersebut maka ditetapkanlah para ahli waris yang berhak atas harta warisan dari si

pewaris tersebut. Bagi Golongan Timur Asing Tionghoa penetapan ahli waris

dilakukan melalui suatu akta autentik yang dibuat oleh notaris. Hal ini merupakan

suatu kewajiban bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa untuk membuat

suatu keterangan hak waris dalam hal pengurusan dan peralihan benda-benda tidak

bergerak berupa tanah dan bangunan yang diperoleh dari warisan dari pewaris kepada

para ahli warisnya.94

Apabila penetapan ahli waris bagi Golongan Timur Asing Tionghoa tidak

dilakukan melalui suatu akta autentik notaris maka keterangan hak waris tersebut

menjadi tidak sah dan tidak dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dalam hal

pengurusan dan pengalihan terhadap barang-barang tidak bergerak berupa tanah dan

bangunan yang telah bersertipikat. Bagi golongan bumiputra maka penetapan ahli

waris berdasarkan atas surat keterangan waris yang dibuat sendiri oleh para ahli waris

dan ditandatangani oleh lurah/kepala desa dan diketahui oleh camat. Surat keterangan

waris bagi golongan bumiputra dapat pula dibuat langsung oleh lurah/kepala desa dan

diketahui oleh camat yang memuat nama para ahli waris yang sah berdasarkan

94
Ibid, hal. 18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


121

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang hukum waris bagi

golongan bumiputra yaitu hukum adatnya.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa penerapan penggolongan hukum

bagi penduduk warga negara Indonesia khususnya di bidang hukum waris sampai

dengan sekarang ini mengakibatkan terjadinya perbedaan prosedur dan tata cara

penetapan ahli waris dan pembuatan surat keterangan hak waris bagi masing-masing

golongan penduduk, dimana warga negara Indonesia Golongan Tionghoa wajib

menggunakan akta notaris dalam pembuatan surat keterangan hak waris sebagai bukti

penetapan dari ahli waris yang sah terhadap harta warisan si pewaris. Sedangkan

untuk golongan timur asing non tionghoa dan bumiputra tidak ada ketentuan yang

mewajibkan bagi mereka dalam hal penetapan ahli waris maupun dalam hal

penetapan surat keterangan hak waris dengan menggunakan akta autentik notaris.

Penerapan penggolongan hukum penduduk warga negara Indonesia tersebut hingga

saat ini dalam bidang hukum waris mengakibatkan terjadinya perbedaan kewajiban

hukum dalam praktik pembuatan akta notaris tersebut.95

95
Ismethsyah Syahrinto, Tata Hukum Indonesia (sebelum dan sesudah kemerdekaan),
Pradnya Paramitha, Jakarta, 2000, hal. 59

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


122

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Akibat berlakunya penggolongan hukum sebagaimana yang diatur dalam Hukum

Perdata terhadap pembuatan akta notaris adalah warga negara Indonesia seperti

Warga Negara Indonesia Timur Asing Tionghoa, Warga Negara Indonesia Timur

Asing Non Tionghoa dan Warga Negara Indonesia bumiputra dalam perbuatan-

perbuatan hukum pembuatan akta notaris mempunyai prosedur dan tata cara yang

sama baik mengenai syarat formil maupun syarat materiil. Khusus hanya untuk

perbuatan hukum dalam pembuatan surat keterangan hak waris saja masih berlaku

penggolongan hukum. Hal ini disebabkan karena ketentuan hukum yang berlaku

bagi Warga Negara Indonesia Timur Asing Tionghoa, Warga Negara Indonesia

Timur Asing Non Tionghoa dan Warga Negara Indonesia bumiputra tersebut

berbeda-beda. Untuk Warga Negara Indonesia Timur Asing Tionghoa berlaku

KUH Perdata bagi Warga Negara Indonesia Timur Asing Non Tionghoa berlaku

hukum adat mereka sedang bagi Warga Negara Indonesia bumiputra juga berlaku

hukum adat-adatnya masing-masing. Hal ini mengakibatkan terjadinya pluralisme

kewajiban hukum dalam praktik pembuatan surat keterangan hak waris. Bagi

Warga Negara Indonesia Timur Asing Tionghoa dalam hal pembuatan surat

keterangan hak waris wajib di buat oleh / dihadapan notaris. Sedangkan bagi

Warga Negara Indonesia Bumi Putra tidak diwajibkan dibuat oleh / dihadapan

122
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
123

notaris tetapi oleh para ahli waris itu sendiri atau lurah / kepala desa yang di

tandatangani dan diketahui oleh Camat, sedangkan bagi Warga Negara Indonesia

Timur Asing Non Tionghoa juga tidak wajib dibuat / dihadapan notaris melainkan

oleh Balai Harta Peninggalan (BHP). Hal ini berlaku hingga saat ini meskipun

telah dikeluarkannya Undang-Undang Warga Negara No. 12 Tahun 2006.

2. Kedudukan hukum setiap warga negara. Di dalam penggolongan hukum

sebagaimana diatur dalam Hukum Perdata setelah berlakunya Undang-Undang

No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia adalah setiap warga

negara Indonesia memiliki kedudukan hukum yang sama dalam hukum dan

pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan tersebut

tanpa ada pengecualiannya. Namun demikian akibat penggolongan hukum

penduduk warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 131 IS dan

Pasal 163 IS tersebut masih tetap berlaku dalam bidang hukum tertentu yakni

bidang hukum waris yang ketentuan hukumnya masih belum terdapat unifikasi

dan masih bersifat pluralisme sebagaimana ditentukan Pasal 131 dan Pasal 163 IS

tersebut pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

3. Sistem penerapan penggolongan hukum bagi warga negara Indonesia dalam

praktik pembuatan adalah berlaku dalam bidang hukum waris dimana dalam

pembuatan keterangan hak Waris bagi ketiga golongan hukum tersebut berbeda –

beda pejabat berwenang yang membuatnya. Bagi Warga Negara Indonesia Timur

Asing Tionghoa ketentuan hak waris (KHW) dibuat oleh notaris, sedangkan bagi

Warga Negara Indonesia Timur Asing non Tionghoa KHW dibuat oleh Balai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


124

Harta Penggalan (BHP), sedangkan bagi Warga Negara Indonesia Bumiputra

KHW dibuat oleh para ahli waris itu sendiri dan ditandatangani oleh lurah /

kepala desa dan diketahui oleh camat disaksikan oleh kedua saksi atau KHW

dapat dibuat langsung oleh lurah / kepala desa dan diketahui oleh camat hal ini

termuat di dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24

Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai dasar hukumnya.

B. Saran

1. Hendaknya penggolongan hukum yang berlaku di Indonesia yang berasal dari

masa pemerintahan Kolonial Belanda ditiadakan sama sekali dengan membuat

suatu ketntuan hukum yang bersifat unifikasi dalam bidang hukum tertentu yang

masih berdasarkan ketentuan hukum yang berbeda karena adanya penggolongan

hukum tersebut. Hal ini masih terjadi di bidang hukum waris yakni dalam

pembuatan Keterangan Hak Waris (KHW) yang berbeda pejabat yang berwenang

membuatnya.

2. Hendaknya dengan keluarnya Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang

Kewarganegaraan Indonesia tersebut menjadi momentum bagi penghapusan

penggolongan hukum di Indonesia sesuai asas persamaan hak dan kewajiban di

mata hukum dan pemerintahan yang dianut oleh Undang-Undang

Kewarganegaraan tersebut. Hal ini harus diikuti dengan pembentukan ketentuan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


125

hukum yang baru bersifat unifikasi dan berlaku secara nasional. Kepada seluruh

warga negara Indonesia khususnya di bidang hukum tertentu seperti hukum waris.

3. Hendaknya dalam bidang hukum waris dalam hal pembuatan Keterangan Hak

Waris (KHW) dikeluarkan suatu ketentuan hukum yang bersifat unifikasi dan

berlaku nasional dalam hal kewenangan pejabat yang berwenang membuat KHW

tersebut yang bersifat tunggal dan format / bentuk KHW yang diakui oleh

ketntuan hukum tersebut. Sehingga dengan demikian tercipta suatu unifikasi

dalam hal pejabat berwenang yang ditunjuk dan format / bentuk KHW yang

diakui oleh hukum yang berlaku secara nasional.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


126

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU

Adjie, Habib, Plurarisme Kewenangan Pejabat Pembuat Keterangan Hak Waris di


Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2008

Ahmad, Ansori, Sejarah dan Kedudukan BW di Indonesia, Rajawali Jakarta, 2010

Akhmal, Sugondo, Plurarisme Hukum Waris di Indonesia, Suatu Kajian Yuridis


Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006

Alfandi, Ali, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian Menurut KUH
Perdata, Bina Aksara, Jakarta, 2007

Ali, Zainuddin, Pelaksanaan Surat Keterangan Hak Waris bagi Golongan Penduduk
di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011

Ashshofa ,Burhan, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1996

Ashshofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipa, 2010

Azhari, Abdullah, Persamaan Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia dalam
Teori dan Praktek (Kajian Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010

Buchory, Zakaria, Kajian Hukum tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara
Indonesia Dalam Praktek Perbuatan Hukum Berdasarkan Ketentuan Hukum
Yang Berlaku, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011

Budiono, Rendy Eko, Praktek Pelaksanaan Pembagian Golongan Penduduk


Berdasarkan Pasal 131 dan Pasal 163 IS di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2006

Darwaknto, Muhammad, Sejarah dan Perkembangan KUH Perdata, di Indonesia,


Mitra, Ilmu, Surabaya, 2012

Djuanta, Muhammad, Perkembangan Hukum Perdata dan Pidana di Indonesia dari


Masa Ke Masa, Citra Ilmu, Surabaya, 2006

126
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
127

Efendy, Sahrul, Undang-Undang Kewarganegaraan Dan Hak Asasi Manusia (Suatu


Tinjauan Yuridis Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan), Bumi Aksara, Bandung, 2009

Faisal, Sanapiah, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta: Raja Grafindo Persada,


1999

Gunanta, Aldrin, Persamaan Kedudukan Hukum Bagi Setiap Warga Negara


Indonesia, Eresco, Bandung, 2010

Ganuar, Rafmando, Hak dan Kewajiban WNI dan WNA dalam Negara Indonesia,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011

Hadiman, Eko, Penduduk Dan Warga Negara Di Mata Hukum, Pustaka Ilmu,
Jakarta, 2006

Hadiman, Irwando, Pluralisme Hukum dan Penerapannya bagi Golongan Penduduk


di Indonesia, Suluh Ilmu, Semarang, 2009

Hadiman Kartoni, Prosedur Hukum dan Tata Cara Pengurusan Kewarganegaraan


Indonesia, Eresco, Bandung, 2013

Halimah, Sunarti, Kedudukan Hukum Perdata Di Indonesia, Suatu Tinjauan Yuridis


Normatif, Ghalia Indonesia, 2007

Hutarman, Hadi, Sejarah Dan Perkembangan Undang-Undang Kewarganegaraan Di


Indonesia Dari Waktu Ke Waktu, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005

Irawan, Agus, Sejarah Perkembangan kewarganegaraan di Indonesia, Ghalia


Indonesia, Jakarta, 2006

Irawan, Sutedjo, Kedudukan Hukum Warga Keturunan Tionghoa Di Indonesia,


Rajawali Press, Jakarta, 2005

Kansil, C.S.T. dan Christine S.T.Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka
Cipta,2011

Kie, Tan Thong, Serba Serbi Praktek Notaris, Ikhtiar Baru, Jakarta, 2004

Koerniamanto, Soetoprawiro, Hukum Kewarganegaraan Dan Keimigrasian, Jakarta,


Gramedia Pustaka Utama,1996

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


128

Lermanto, Jefri, Ketentuan-ketentuan Hukum tentang Penduduk Dan Warga Negara,


di Indonesia (Kajian terhadap undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang
Kewarganegara), Tarsito, Bandung, 2010

Lubis, M.Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju,1994

Lukmanto, Fredy, Kedudukan KUH Perdata dan KUH Dagang Bagi Warga Negara
Indonesia Golongan Pribumi dan Timur Asing non Tionghoa, Pustaka Ilmu,
Jakarta, 2008

Mansyur, Abdulah Ari A., Pembagian Golongan Penduduk Di Indonesia Pada Masa
Pemerintahan Kolonial Belanda, Eresco, Bandung, 2009

Maslita, Darwanti, Pengaruh Penggolongan Hukum Bagi Tata Hukum Indonesia,


Rajawali, Pres, Jakarta

Masni, Anienda, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Prenada Media,
Jakarta, 2010

Meliala, Djaja S., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum
Keluarga, Edisi Revisi, Bandung : Nuansa Aulia, 2007

Meliala, Djaya S., Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum
Keluarga di Indonesia, Nuansa Aulia, Bandung, 2007

Mohan, Zainal Abidin, Persamaan Hak dan Kewajiban Setiap Warga Negara
Indonesia di Mata Hukum, Mitra Ilmu, Surabaya, 2013

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2003

Mulyanti, Risma, Warga Negara Indonesia dan warga Negara Asing Berdasarkan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Bumi
Aksara, Bandung, 2006

Perangin-angin, Efendi, Hukum Waris, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011

Poweranto, Erwin, Hukum Waris Dalam Perspektif Hukum Adat, Pustaka Ilmu,
Jakarta, 2001

Poloumas, Ramadhan, Hak dan Tanggung Jawab warga Negara Dalam Undang-
Undang, Pustaka Ilmu, Surabaya, 2014

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


129

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

Rasjidi, Lili, Hukum Senagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000

Rasmanto, Berman, Politik Hukum Kolonial Belanda pada Masa Penjajahan di


Indonesia, Pustaka Ilmu, Jakarta, 2004

Salim, Noviyanti, Kedudukan Hukum Waris KUH Perdata Bagi Golongan Penduduk
di Indonesia, Prenada Media, Jakarta, 2007

Saliman, Garmanto, Plurarisme Pemberlakuan Hukum Bagi Warga Negara


Indonesia, Bumi Aksara, Bandung, 2008

Sarwono, Jonathan, Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif, Yogyakarta: Graha,


2006

Simanjuntak, P.N.H, Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan,


1999

Singarimbun, Masri dkk, Metode Penelitian Survei, Jakarta: LP3ES,1989

Soejendro, J. Kartini, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik,
Cetakan ke-5,Jogjakarta : Kanisius, 2005

Soekanto, Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press,1986

Soekanto, Soerjono dan Madmuji, Sri, Peneltian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkatan, Jakarta: Penerbit Rajawali Pers, 1995

Soemitro, Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Penerbit
Ghalia Indonesia, 1998

Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Kedua, Pradnya


Paramitha, Jakarta, 2004

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Keenambelas, Bandung:


Intermasa,1982

Sudarwanto, Hukum Waris Bagi Golongan Timur Asing Tionghoa, Citra Ilmu,
Surabaya, 2009

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


130

Sudaryati, Maria, Kedudukan warga Negara Indonesia Pasca Lahirnya Undang-


Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, Sinar Grafika,
Jakarta, 2007

Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada,


2002

Suryanto, Imam, Hukum Dan Tata Hukum Indonesia Pada Masa Pemerintahan
Kolonial Belanda, Salemba Empat, Jakarta, 2009

Syahrinto, Ismethsyah, Tata Hukum Indonesia (sebelum dan sesudah kemerdekaan),


Pradnya Paramitha, Jakarta, 2000

Tambunan, Darwin, Asas-asas Hukum Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang


Kewarganegaraan, Mitra Ilmu, Surabaya, 2005

Vanmorik, M.J.A., Studi Kasus Hukum Perdata Waris di Indonesia, Dalam saduran
F Tengker, Eresco, Bandung, 2012

Wicaksono, Antonia, Hukum dan Penggolongan Hukum di Indonesia, Mitra Ilmu,


Surabayam 2003

Winarmo, Musa, Hukum Waris Menurut KUH Perdata, dan pemberlakuannya di


Indonesia, Rita Ilmu, Jakarta, 2004

Wiratno, Sugiono, Politik Hukum Menggolongkan Penduduk di Indonesia oleh


Pemerintah Kolonial Belanda, Bina Aksara, Jakarta, 2004

Wuisman, J.J.J.M., Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia, 1996

B. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu Untuk


Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewarganegaraan Indonesia

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi Untuk


Mengajukan Pernyataan Berhubungan dengan Kewarganegaraan Indonesia

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


131

Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik


Indonesia
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18

Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik


Indonesia

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik


Indonesia

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris

C. Website
http://pojokhukum.blogspot.com/2008/03/tipologi-penelitian-hukum.html diakses
pada tanggal 13 Juni 2015

http://sonnytobelo.blogspot.com/2011/11/warisanwasiat.html, diakses pada tanggal


30 Mei 2015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai