Anda di halaman 1dari 132

ANALISIS HUKUM TERJADINYA PENGALIHAN HAK ATAS

TANAH ATAS DASAR PENGUASAAN FISIK (ANALISIS


TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NO.475//PK/PDT.2010)

TESIS

Oleh :

LISA MANALU
097011072/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011

Universitas Sumatera Utara


ANALISIS HUKUM TERJADINYA PENGALIHAN HAK ATAS
TANAH ATAS DASAR PENGUASAAN FISIK (ANALISIS
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NO.475//PK/PDT.2010)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar


Magister Kenotariatan Dalam Program Studi Magister Kenotariatan
Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

LISA MANALU
097011072/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2011

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : ANALISIS HUKUM TERJADINYA
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH ATAS
DASAR PENGUASAAN FISIK (ANALISIS
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NO. 475/PK/PDT.2010)
Nama Mahasiswa : Lisa Manalu
Nomor Pokok : 097011072
Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)

Pembimbing Pembimbing

(Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn) (Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 08 Agustus 2011

Universitas Sumatera Utara


Telah Diuji
Pada tanggal 08 Agustus 2011

Panitia Penguji Tesis


Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS,CN
Anggota : 1. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, M.Kn
2. Chairani Bustami, SH, Sp.N, M.Kn
3. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum
4. Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum

Universitas Sumatera Utara


SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : LISA MANALU


NIM : 097011072
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : ANALISIS HUKUM TERJADINYA
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH ATAS
DASAR PENGUASAAN FISIK (ANALISIS
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
NO.475//PK/PDT.2010)

Dengan ini menyatakan bahwa tesis yang saya buat adalah asli karya

saya sendiri bukan plagiat, apabila dikemudian hari diketahui tesis saya

tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi

sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya

tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam

keadaan sehat

Medan, 22 Agustus 2011


Yang Membuat Pernyataan

Nama : LISA MANALU


NIM : 097011072

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Kebutuhan masyarakat akan tanah dari hari ke hari terus meningkat,searah


dengan lajunya pembangunan di segala bidang yang dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia. Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah sebagai media dengan
dilaksanakan oleh pemerintah melalui pembebasan tanah serta pertumbuhan
penduduk yang sangat tinggi di Indonesia membuat tingginya kegiatan pengalihan
hak atas tanah. Pemegang hak atas tanah saat ini bukanlah pemegang hak atas tanah
yang pertama. Akibatnya baik pemerintah maupun masyarakat ketika membutuhkan
sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan kepastian mengenai
siapa sebenarnya pemilik bidang tanah tersebut. Pengalihan hak atas tanah merupakan
suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari satu pihak ke pihak
lain. Perumusan masalah yang akan diajukan dalam penulisan ini adalah Bagaimana
mekanisme pengalihan hak atas tanah dalam sistem hukum agraria, bagaimana
kedudukan pihak ketiga yang menguasai objek hak atas tanah terhadap terjadinya
pengalihan hak atas tanah. Bagaimana analisa terhadap kasus pada Putusan
Mahkamah Agung No.475//PK/Pdt.2010.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif karena dalam penelitian
ini akan dipaparkan tentang pengalihan hak atas tanah yang dikuasai secara fisik
tanpa alas hak. Bersifat analistis, karena terhadap data yang diperoleh itu dilakukan
analistis data secara kualitatif. Sumber data diperoleh dari data sekunder yang
dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Dalam hal ini dilakukan dengan cara
menginventarisasikan dan pengumpulan buku-buku, bahan-bahan bacaan, Peraturan
Perundang-undangan dan dukumen-dukumen lain.
Pengalihan merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik.
Pengalihan ini adalah salah satu kewajiban para pihak dalam suatu peristiwa hukum
yang bertujuan untuk mengalihkan hak milik atas suatu barang yang dilakukan
diantara subjek hukum. Mekanisme pengalihan hak atas tanah dalam sistem hukum
agraria dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan cara jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. membuat
pengalihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah (hak
milik) tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka
yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Pengalihan
hak atas tanah juga dapat dilakukan dengan cara penguasaan fisik hak atas tanah.,
sesuai dengan ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa masa
penguasaan fisik di atas 20 tahun dapat dijadikan dasar pendaftaran hak atas tanah.

Kata Kunci : Analisis Hukum, Pengalihan Hak Atas Tanah , Penguasaan Fisik

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

People’s need for land is increasing, along with the growth rate of the
Indonesian development. The development activities done by the government which
need land as the medium through the acquisition of land for development and the
high population growth in Indonesia have caused the increasing activities in land
endorsement. The person entitled to land nowadays is not the first one. The effect is
that both the government and the people who need a piece of land have to ascertain
who the real owner of the land is. Land endorsement is a legal act which is aimed to
endorse from one party to another. The formulations of the in the problems in this
thesis were as follow : how about the mechanism of the land endorsement in the
agrarian system, how the position of the third party who controlled the right of the
land when the land endorsement occurred, and how about the analysis on the case in
the verdict of the Supreme Court No. 475/PK/Pdt.2010.
This research was descriptive analytic. It was called descriptive because this
research described the land endorsement which was controlled physically without
any right. It was analytic because the data were an analyzed qualitatively. The data
were gathered from the secondary data conducted from the materials of the primary
law, not from the materials of the secondary or tertiary law. It was done by taking
inventory and gathering books, reading materials, and considering legal provisions,
and other documents.
Endorsement is one of the methods of obtaining proprietary rights. This which
is aimed to endorse the property of a certain thing done by a legal subject. The
mechanism of land endorsement in the agrarian system can be done in many ways,
such as by transact, an exchange, grant, investment, and other legal acts concerning
other endorsements. An endorsement through auction can only be registered if it can
be proved with an official document of PPAT (official empowered to draw up land
deeds) who has the authority to write the land endorsement and ascertains the
validity of the land proprietary rights and the skill and the authority of the person
who wants to endorse or receive the land endorsement physically, according to the
Government Regulation No. 24/1997 which states that physical control of the land in
more than 20 years can become the principle of the principle of the registration of
land endorsement.

Keywords : Judicial Analysis, Land Endorsement, Physical Control

ii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih,

yang telah memberikan Rahmat dan hidayah`Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian tesis ini, dengan judul “Analisis Hukum Terjadinya

Pengalihan Hak Atas Tanah Atas Dasar Penguasaan Fisik (Analisis Terhadap

Putusan Mahkamah Agung No.475//Pk/Pdt.2010).”

Penulisan tesis ini adalah merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi

untuk menyelesaikan sutudi pada Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU. Akan

tetapi menurut Penulis, tesis ini adalah merupakan amanah yang diberikan dan harus

dipertanggung jawabkan sedaya mampu dalam hakekat kemanusiaan yang penuh

keterbatasan. Semoga bermanfaat bagi seluruh ummat. Amin.

Dalam kesempatan ini penulis dengan kerendahan hati menyampaikan ucapan

terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA (K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan

kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program studi

Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen

iii

Universitas Sumatera Utara


Pembimbing I yang memberikan masukan dan kritikan dan dorongan kepada

penulis.

4. Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, M.Kn selaku Dosen Pembimbing II

yang telah memberikan masukan dan kritikan kepada penulis.

5. Ibu Chairani Bustami, SH, Sp.N, MKn selaku Dosen Pembimbing III yang

telah memberikan masukan dan kritikan kepada penulis.

6. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program

studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

sekaligus Dosen Penguji.

7. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum selaku Dosen Penguji yang telah

memberikan masukan dan kritikan kepada penulis.

8. Bapak-bapak dan ibu-ibu staf pengajar serta para karyawan di program studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Terima kasih yang tak terhingga kepada ayahanda (alm). Birnald Manalu dan

ibunda Khadijah Sirat yang telah membesarkan dengan penuh kasih sayang dan

pengorbanan dalam dukungan moril dan finansial kepada ananda, serta do’anya

yang tak pernah putus pada ananda.

10. Kepada suamiku tercinta (alm) Donny Parhimpunan Harahap, SH yang selalu

ada dalam hati Penulis selamanya. Meskipun sudah berada di sisi Allah, kasih

sayangnya selalu menemani penulis hingga akhir hayat.

11. Teman-teman mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara, khususnya teman-teman sekelas dengan penulis,

iv

Universitas Sumatera Utara


terima kasih atas kekompakannya selama ini, dan yang selalu memberi semangat

dalam menyelesaikan tesis ini.

Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya

sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan penulisan tesis ini, penulis

menyadari tesis ini masih jauh dari sempurna, namun diharapkan semoga tesis ini

bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalam

Medan, Agustus 2011


Penulis

(Lisa Manalu)

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI :
Nama : LISA MANALU
Tempat/Tgl Lahir : Medan, 17 Juli 1986
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Anak ke : 3 (tiga) dari 3 (tiga) bersaudara

II. KELUARGA:
Nama Ayah : Birnald Manalu (alm)
Nama Ibu : Khadijah Sirait
Nama Suami : Donny Parhimpunan Harahap, SH (alm)
Nama Anak : Bonar Siddiq Harahap

III. PENDIDIKAN:
- TK Damara Sei Rotan 1990 - 1992

- Sekolah Dasar Negeri 104206 Sei Rotan 1992 - 1998

- SMP Swasta Eria Medan 1998 - 2001

- SMA Swasta Prayatna Medan 2001- 2004

- Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara 2005 - 2009

- Program Studi Magister Kenotariatan Universitas


Sumatera Utara 2009 - 2011

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vi
DAFTAR ISI........................................................................................................ vii
DAFTAR ISTILAH ASING............................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Perumusan Masalah .................................................................... 9
C. Tujuan penelitian ........................................................................ 10
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 10
E. Keaslian penelitian ..................................................................... 11
F. Kerangka Teori dn Konsepsi ...................................................... 12
G. Metode Penelitian ....................................................................... 22
1. Sifat Penelitian .................................................................... 22
2. Sumber Data......................................................................... 23
3. Alat Pengumpul Data ........................................................... 24
4. Analisis Data ........................................................................ 24
BAB II MEKANISME PENGALIHAN HAK ATAS TANAH
DALAM SISTEM HUKUM AGRARIA
A. Penguasaan Fisik dari Tanah....................................................... 25
B. Hak Penguasaan Atas Tanah....................................................... 34
C. Dasar Hukum Pendaftaran Pengalihan Hak Atas Tanah............. 51
D. Penguasaan Fisik dari Tanah....................................................... 54
E. Hak Penguasaan Atas Tanah....................................................... 58
F. Dasar Hukum Pendaftaran Pengalihan Hak Atas Tanah............. 66

vii

Universitas Sumatera Utara


BAB III KEDUDUKAN PIHAK KETIGA YANG MENGUASAI OBJEK
HAK ATAS TANAH TERHADAP TERJADINYA
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH
A. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pengalihan Hak Atas
Tanah ......................................................................................... 70
B. Hambatan Pendaftaran Pengalihan Hak Atas Tanah terhadap
Tanah Yang Dikuasai secara Fisik Oleh Pihak Lain Tanpa
Bukti Hak.................................................................................... 79

BAB IV ANALISIS KASUS TERHADAP PENGALIHAN HAK ATAS


TANAH YANG DIKUASAI SECARA FISIK OLEH PIHAK
LAIN

A. Kasus Posisi ................................................................................ 88


B. Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak yang Telah
Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah ..................................... 94
C. Penyelesaian Sengketa Pengalihan Hak Atas Tanah ..................103
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................111
A. Kesimpulan ................................................................................111
B. Saran............................................................................................112
DAFTAR PUSTAKA

viii

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISTILAH ASING

Apatisme : Tidak Perduli Terhadap Sesuatu

Beschikking Srecht : Hak Ulayat

Chaos : Kekacauan

Conservatoir Beslaagh : Sita Jaminan

Derivative : Berasal dari ketentuan peraturan perundang-


undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya

Domein Veerklaring : Hak Memiliki Memerintah Atas Tanah

Dubius : Penafsiran Mendua

Enforce : Melaksanakan

Enforceable : Ditegakkan

Erfopvlging : Pewarisan

Hegemoni : Pengaruh Negara Yang Satu Terhadap Negara

Yang Lain

Levering : Pengalihan Dan Penyerahan

Lichamelijk : Barang-Barang Yang Berwujud

Natrekking : Ikutan

Operational Definition : Defenisi Operasional

Onrechtmatige Overheisdaad : Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa

Onlichamelijk : Barang-Barang Yang Tidak Berwujud

Ontoerende Zaaken : Benda Tidak Bergerak

Onverbruikbaar Zaken : Benda Yang Dipakai Tidak Dapat Habis

ix

Universitas Sumatera Utara


Post Moderen : Era Yang Berkembang Setelah Adanya Faham
Moderenisme

Radikal : Semangat Perjuangan Yang Cenderung


Menggunakan Kekerasan

Rechtsverweking : Lembaga Kadaluarsa

Roerende Zaak : Benda Bergerak

Toeegening : Pendakuan

Verbruikbaar Zaken : Benda Yang Dapat Dipakai Habis

Verplaas Baar : Benda Yang Dapat Dipindahkan

Verjaring : Lampaunya Waktu

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Kebutuhan masyarakat akan tanah dari hari ke hari terus meningkat,searah


dengan lajunya pembangunan di segala bidang yang dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia. Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah sebagai media dengan
dilaksanakan oleh pemerintah melalui pembebasan tanah serta pertumbuhan
penduduk yang sangat tinggi di Indonesia membuat tingginya kegiatan pengalihan
hak atas tanah. Pemegang hak atas tanah saat ini bukanlah pemegang hak atas tanah
yang pertama. Akibatnya baik pemerintah maupun masyarakat ketika membutuhkan
sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan kepastian mengenai
siapa sebenarnya pemilik bidang tanah tersebut. Pengalihan hak atas tanah merupakan
suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari satu pihak ke pihak
lain. Perumusan masalah yang akan diajukan dalam penulisan ini adalah Bagaimana
mekanisme pengalihan hak atas tanah dalam sistem hukum agraria, bagaimana
kedudukan pihak ketiga yang menguasai objek hak atas tanah terhadap terjadinya
pengalihan hak atas tanah. Bagaimana analisa terhadap kasus pada Putusan
Mahkamah Agung No.475//PK/Pdt.2010.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif karena dalam penelitian
ini akan dipaparkan tentang pengalihan hak atas tanah yang dikuasai secara fisik
tanpa alas hak. Bersifat analistis, karena terhadap data yang diperoleh itu dilakukan
analistis data secara kualitatif. Sumber data diperoleh dari data sekunder yang
dilakukan dengan menghimpun bahan-bahan berupa bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Dalam hal ini dilakukan dengan cara
menginventarisasikan dan pengumpulan buku-buku, bahan-bahan bacaan, Peraturan
Perundang-undangan dan dukumen-dukumen lain.
Pengalihan merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik.
Pengalihan ini adalah salah satu kewajiban para pihak dalam suatu peristiwa hukum
yang bertujuan untuk mengalihkan hak milik atas suatu barang yang dilakukan
diantara subjek hukum. Mekanisme pengalihan hak atas tanah dalam sistem hukum
agraria dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan cara jual beli, tukar
menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak
lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika
dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. membuat
pengalihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah (hak
milik) tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka
yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Pengalihan
hak atas tanah juga dapat dilakukan dengan cara penguasaan fisik hak atas tanah.,
sesuai dengan ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa masa
penguasaan fisik di atas 20 tahun dapat dijadikan dasar pendaftaran hak atas tanah.

Kata Kunci : Analisis Hukum, Pengalihan Hak Atas Tanah , Penguasaan Fisik

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

People’s need for land is increasing, along with the growth rate of the
Indonesian development. The development activities done by the government which
need land as the medium through the acquisition of land for development and the
high population growth in Indonesia have caused the increasing activities in land
endorsement. The person entitled to land nowadays is not the first one. The effect is
that both the government and the people who need a piece of land have to ascertain
who the real owner of the land is. Land endorsement is a legal act which is aimed to
endorse from one party to another. The formulations of the in the problems in this
thesis were as follow : how about the mechanism of the land endorsement in the
agrarian system, how the position of the third party who controlled the right of the
land when the land endorsement occurred, and how about the analysis on the case in
the verdict of the Supreme Court No. 475/PK/Pdt.2010.
This research was descriptive analytic. It was called descriptive because this
research described the land endorsement which was controlled physically without
any right. It was analytic because the data were an analyzed qualitatively. The data
were gathered from the secondary data conducted from the materials of the primary
law, not from the materials of the secondary or tertiary law. It was done by taking
inventory and gathering books, reading materials, and considering legal provisions,
and other documents.
Endorsement is one of the methods of obtaining proprietary rights. This which
is aimed to endorse the property of a certain thing done by a legal subject. The
mechanism of land endorsement in the agrarian system can be done in many ways,
such as by transact, an exchange, grant, investment, and other legal acts concerning
other endorsements. An endorsement through auction can only be registered if it can
be proved with an official document of PPAT (official empowered to draw up land
deeds) who has the authority to write the land endorsement and ascertains the
validity of the land proprietary rights and the skill and the authority of the person
who wants to endorse or receive the land endorsement physically, according to the
Government Regulation No. 24/1997 which states that physical control of the land in
more than 20 years can become the principle of the principle of the registration of
land endorsement.

Keywords : Judicial Analysis, Land Endorsement, Physical Control

ii

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan manusia, tanah merupakan faktor yang sangat penting.

Karena pada kehidupan manusia sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah.

Manusia hidup di atas tanah (bermukim) dan memperoleh bahan pangan dengan cara

mendayagunakan tanah, lebih dari itu tanah juga mempunyai hubungan yang

emosional dengan manusia. Setiap orang tentu memerlukan tanah, bukan hanya

dalam kehidupannya saja, untuk meninggalpun manusia masih memerlukan tanah

sebagai tempat peristirahatan. Manusia hidup senang serba kecukupan jika mereka

dapat menggunakan tanah yang dikuasai atau dimilikinya sesuai dengan hukum alam

yang berlaku, dan manusia akan dapat hidup tentram dan damai jika mereka dapat

menggunakan hak-hak dan kewajibannya sesuai dengan batas-batas tertentu dalam

hukum yang berlaku yang mengatur kehidupan manusia itu dalam masyarakat.

Tanah merupakan salah satu sumber daya alam memiliki nilai ekonomis serta
memiliki nilai sosial, politik dan pertahanan keamanan yang tinggi. Oleh
karena itu, kebijakan pembangunan pertanahan haruslah merupakan bagian
yang tidak terpisahkan (integral) dari kebijakan pembangunan nasional.
Dalam perkembangan pelaksanaan UU Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA)
permasalahan tanah menjadi semakin kompleks. Di satu sisi kompleksitas
masalah tanah terjadi sebagai akibat meningkatnya kebutuhan tanah untuk
berbagai kegiatan pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang cepat
dengan penyebaran yang tidak merata antar wilayah. Di sisi lain, kompleksitas
ini muncul karena luas tanah relatif tidak bertambah.1

1
Iswan B. Padu. Dkk. “Laporan Orientasi di Direktorat Sengketa Tanah BPN RI.”
http://sarmanpsagala.wordpress.com/2010/06/02/laporan-orientasi-di-direktorat-sengketa-tanah/,
diakses tanggal 02 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara


2

Saat ini tanah bagi masyarakat merupakan harta kekayaan yang memiliki nilai

jual yang tinggi karena fungsinya sebagai sumber kehidupan masyarakat, sehingga

setiap jengkal tanah dipertahankan hingga akhir hayat. Saat ini pembangunan di

segala bidang terus dilakukan oleh Bangsa Indonesia. Dengan demikian fungsi

tanahpun mengalami perkembangan sehingga kebutuhan masyarakat akan hak atas

tanah juga terus mengalami perkembangan. Jumlah tanah yang tetap dan kebutuhan

akan tanah yang semakin meningkat karena pertumbuhan penduduk di Indonesia

yang sangat tinggi membuat tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan

kebutuhan tanah itu dapat memicu timbulnya berbagai macam permasalahan.

Kebutuhan masyarakat akan tanah dari hari ke hari terus meningkat,searah

dengan lajunya pembangunan di segala bidang yang dilaksanakan oleh bangsa

Indonesia. Dengan demikian fungsi tanahpun mengalami perkembangan sehingga

kebutuhan masyarakat akan hak atas tanah juga terus mengalami perkembangan yang

disesuaikan dengan tingkat kebutuhan yang beranekaragam. Luas tanah yang

tersediapun relatif terbatas, tidak seimbangnya antara persediaan tanah dengan

kebutuhan akan tanah itu dapat memacu timbulnya berbagai persoalan.

Secara umum motif dan latar belakang penyebab munculnya kasus-kasus

pertanahan adalah:

1. Kurang tertibnya administrasi pertanahan di masa lampau


2. Harga tanah yang meningkat
3. Kondisi masyarakat yang semakin menyadari dan menyadari akan
kepentingan dan haknya.
4. Iklim keterbukaan sebagai salah satu kebijaksanaan yang digariskan
pemerintah.

Universitas Sumatera Utara


3

5. Masih adanya oknum-oknum pemerintah yang belum dapat menangkap


aspirasi masyarakat.
6. Adanya pihak-pihak yang menggunakan kesempatan untuk mencari
keuntungan materil yang tidak wajar atau menggunakan untuk
kepentingan politik.2

Karenanya oleh Pemerintah kebijaksanaan mengenai tanah ini telah diatur

dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria atau dikenal dengan UUPA yang berlaku sebagai induk dari

segenap peraturan pertanahan di Indonesia bertujuan:

a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan

merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan

bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil

dan makmur.

b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam

hukum pertanahan.

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak

atas tanah bagi rakyat seluruhnya.3

Dari tujuan Undang-undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA)

seperti tersebut di atas, terlihat bahwa UUPA berlaku sebagai alat untuk memberikan

kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat Indonesia, maka

setiap warga negara wajib mengakui dan menghormati adanya hak-hak tersebut.4

2
Ali Chomzah, Hukum Pertanahan Seri III dan Seri IV, Prestasi Pustaka, Jakarta, Tahun
2003, hal. 21
3
Penjelasan Undang-Undang Pokok Agraria
4
Suardi, Hukum Agraria, Badan Penerbit Iblam, Jakarta, Tahun 2005, hal. 8

Universitas Sumatera Utara


4

UUPA adalah sebuah Undang-Undang yang memuat dasar-dasar pokok di

bidang Agraria yang merupakan landasan bagi usaha pembaharuan hukum agraria

guna dapat diharapkan memberikan adanya jaminan kepastian hukum bagi

masyarakat dalam memanfaatkan fungsi bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan

alam yang terkandung didalamnya untuk kesejahteraan bersama secara adil. Tegasnya

ialah untuk mencapai kesejahteraan dimana masyarakat dapat secara aman

melaksanakan hak dan kewajiban yang diperolehnya sesuai dengan peraturan yang

telah memberikan jaminan perlindungan terhadap hak dan kewajiban tersebut.

Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah sebagai media yang

dilaksanakan oleh pemerintah melalui pembebasan tanah serta laju pertumbuhan

penduduk yang sangat tinggi di Indonesia menyebabkan tingginya lalu lintas

peralihan hak atas tanah. Pemegang hak atas tanah saat ini bukanlah pemegang hak

atas tanah yang pertama. Akibatnya baik pemerintah maupun masyarakat ketika

membutuhkan sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan kepastian

mengenai siapa sebenarnya pemilik sebidang tanah tersebut.

Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya

memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang

dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk

menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya

dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki dikuasai disewakan kepada

pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik. Atau tanah tersebut dikuasai

secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak

Universitas Sumatera Utara


5

penguasaan yuridisnya berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang

bersangkutan secara fisik kepadanya. Dalam hukum tanah dikenal juga penguasaan

yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik. Kreditor

pemegang jaminan hak atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah

yang dijadikan agunan, tetapi penguasaan secara fisik tetap ada pada yang empunya

tanah.

Kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah sebagai media dengan

dilaksanakan oleh pemerintah melalui pembebasan tanah serta pertumbuhan

penduduk yang sangat tinggi di Indonesia membuat tingginya kegiatan pengalihan

hak atas tanah. Pemegang hak atas tanah saat ini bukanlah pemegang hak atas tanah

yang pertama. Akibatnya baik pemerintah maupun masyarakat ketika membutuhkan

sebidang tanah untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan kepastian mengenai

siapa sebenarnya pemilik bidang tanah tersebut.

Semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk dan kebutuhan manusia akan

tanah menyebabkan kedudukan tanah menjadi sangat penting terutama menyangkut

kepemilikan, penguasaan dan penggunaannya. Mengingat kebutuhan untuk

menempati tanah selalu meningkat akan mendorong laju tingkat pengalihan hak.

Fungsi tanahpun mengalami perkembangan sehingga kebutuhan masyarakat akan hak

atas tanah juga terus mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan tingkat

kebutuhan yang beranekaragam.

Pengalihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan

memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain. Salah satu contoh hak atas tanah

Universitas Sumatera Utara


6

yang dapat dialihkan melalui jual beli adalah Hak Milik. Hak Milik yaitu hak turun-

temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan

mengingat bahwa hak itu mempunyai fungsi sosial. Apabila sudah dilakukan

pengalihan hak atas tanah maka harus segera didaftarkan tanahnya di Kantor

Pertanahan atau yang biasa disebut dengan pendaftaran tanah.5

Pengalihan hak milik atas tanah yang dikarenakan jual beli tanah merupakan

suatu perbuatan hukum yang sengaja dilakukan oleh satu pihak dengan maksud untuk

memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain. Di mana berpindahnya hak

milik atas tanah tersebut diinginkan oleh kedua belah pihak melalui jual beli

Permasalahan ini sering terjadi pada waktu pemindahan hak atas tanah berlangsung,

yang menyebabkan hak atas tanah beralih dari seseorang kepada orang lain, misalnya

pada saat jual beli, waris, hibah, tukar menukar dan lain-lain.6 Hal ini merupakan

perbuatan hukum dan mengakibatkan berpindahnya suatu hak atas tanah pada orang

lain.

Pengalihan hak atas tanah merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan

memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain. Salah satu contoh dari pengalihan

hak atas tanah adalah melalui Hibah. Hibah yaitu suatu persetujuan dalam mana suatu

pihak berdasarkan atas kemurahan hati, perjanjian dalam hidupnya memberikan hak

milik atas suatu barang kepada pihak kedua secara percuma dan yang tidak dapat

ditarik kembali, sedangkan pihak kedua menerima baik penghibahan ini. Salah satu

5
Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media Group,
2009), hal. 90.
6
Effendi Perangin, Mencegah Sengketa Tanah. (Jakarta: Rajawali Press, 1994) hal. 34.

Universitas Sumatera Utara


7

contoh hak atas tanah yang dapat dialihkan melalui hibah adalah Hak Milik. Hak

Milik yaitu hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas

tanah, dengan mengingat bahwa hak itu mempunyai fungsi sosial. Apabila sudah

dilakukan pengalihan hak atas tanah maka harus segera didaftarkan tanahnya di

Kantor Pertanahan atau yang biasa disebut dengan pendaftaran tanah. Namun hal ini

bukan berarti terlepas dari sengketa.

Pada Putusan Mahkamah Agung No. 475 K/Pdt/2010, dapat dilihat adanya

sengketa akibat pengalihan hak atas tanah karena hibah. Kasus yang terjadi

merupakan sengketa antara Ambrosius alias Akong Bin De Nogo C, (Pada kasus

disebutkan dengan istilah Penggugat) versus (1) Presiden Republik Indonesia di

Jakarta Cq.Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia di Jakarta Cq. Gubernur

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di Pangkalpinang Cq. Walikota Pangkalpinang

Cq. Camat Pangkalbalam di Belitung Cq. Lurah Rejosari dan (2) Presiden Republik

Indonesia di Jakarta Cq. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia di Jakarta Cq.

Kepala Kepolisian Daerah Bangka Belitung di Pangkalpinang Cq Kepala Kepolisian

Daerah Resort Kota Pangkalpinang di Pangkalpinang masing-masing merupakan

Tergugat I dan Tergugat II.

Bahwa Penggugat bersama-sama masyarakat kelurahan Rejosari, kecamatan

Pangkalbalam lainnya yang menguasai/mengusahakan fisik tanah negara tersebut

pernah mengajukan permohonan hak atas tanah Negara tersebut kepada Camat

Pangkalbalam selaku pejabat pembuat akta tanah, Bahwa pada Tahun 2004

pemerintah kota Pangkalpinang pernah mendata tanah negara yang

Universitas Sumatera Utara


8

dikuasai/diusahakan oleh warga masyarakat dengan keputusan walikota

Pangkalpinang Nomor: 154 Tahun 2004 tanggal 28 Juni 2004 tentang pembentukan

tim penyelesaian kasus tanah di kelurahan Rejosari, kecamatan Pangkalbalam, kota

Pangkalpinang dan diusahakan oleh warga masyarakat dan melakukan pendataan

tanah negara di kelurahan Rejosari yang dikuasai/diusahakan oleh warga masyarakat.

Kota Pangkalpinang yang dibentuk walikota Pangkalpinang tersebut, kepada

21 (dua puluh satu) warga masyarakat kelurahan Rejosari yang menguasai/

mengusahakan fisik tanah tersebut termasuk Penggugat, diberikan hak untuk

mengajukan permohonan hak atas tanah negara tersebut dengan kewajiban membayar

uang konstribusi kepada pemerintah kota Pangkalpinang berdasarkan luas tanah yang

dikuasai oleh masing-masing masyarakat Pemohon.

Bahwa Penggugat ditetapkan untuk membayar konstribusi yang besarnya Rp

3.331.200,- (tiga juta tiga ratus tiga puluh satu ribu dua ratus rupiah) dan dari seluruh

kewajiban tersebut Penggugat telah membayar sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta

rupiah) kepada pejabat yang ditugaskan dan diantara 21 (dua puluh satu) orang

masyarakat pemohon hak penguasa fisik tanah atas tanah negara tersebut, beberapa

orang warga surat keterangan penguasaan fisik tanah telah dikeluarkan oleh lurah

Rejosari, sedangkan beberapa warga masyarakat pemohon lainnya termasuk

Penggugat belum keluar/diberikan surat keterangan penguasaan fisik tanah tanpa

alasan yang jelas.

Bahwa pada Tahun 2006, Penggugat mengetahui di atas lahan tanah yang

dikuasai/ diusahakan Penggugat telah terpancang papan yang bertuliskan "Di atas

Universitas Sumatera Utara


9

tanah ini akan dibangun Mako Polsek Pangkalbalam” yang dipasang oleh Kepala

Kepolisian Resort Kota Pangkalpinang.

Perbuatan Tergugat sebagaimana yang telah diuraikan di atas, secara langsung

telah menimbulkan kerugian materil dan moril terhadap Penggugat oleh karena itu

sebagaimana diatur dan ditentukan Pasal 1365 KUHPerdata Penggugat sebagai pihak

yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan kerugian.

Pada beberapa sengketa dibidang pertanahan banyak terjadi kebingungan dari

masyarakat pencari keadilan, khususnya tentang kepastian hukum terhadap tanah

yang dimilikinya baik dimiliki dengan cara membeli maupun dengan cara menguasai

secara fisik dalam kurun waktu yang cukup lama.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dilakukan penelitian mengenai

“Analisis Hukum Terjadinya Pengalihan Hak Atas Tanah Atas Dasar

Penguasaan Fisik (Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung

No.475//PK/Pdt.2010)”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dan gambaran latar belakang tersebut di atas, maka:

1. Bagaimana mekanisme pengalihan hak atas tanah dalam sistem hukum agraria?

2. Bagaimana kedudukan pihak ketiga yang menguasai objek hak atas tanah

terhadap terjadinya pengalihan hak atas tanah?

3. Bagaimana analisa terhadap kasus pada Putusan Mahkamah Agung

No.475//PK/Pdt.2010 ?

Universitas Sumatera Utara


10

C. Tujuan Penelitian

Sejalan dengan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui mekanisme pengalihan hak atas tanah dalam sistem hukum

agraria

2. Untuk mengetahui kedudukan pihak ketiga yang menguasai objek hak atas

tanah terhadap terjadinya pengalihan hak atas tanah.

3. Untuk mengetahui tanggapan atas kasus pada Putusan Mahkamah Agung

No.475//PK/Pdt.2010

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberi manfaat antara lain:

1. Secara Teoritis

a. Sebagai bahan informasi bagi akademisi maupun sebagai bahan perbandingan

bagi para peneliti yang hendak melaksanakan penelitian tentang terjadinya

pengalihan hak atas tanah atas dasar penguasaan fisik.

b. Sebagai bahan bagi pemerintah Republik Indonesia dalam penyempurnaan

peraturan perundangan-undangan tentang pengaturan yang mengatur mengenai

pengalihan hak atas tanah atas dasar penguasaan fisik.

c. Memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan

hukum tentang terjadinya pengalihan hak atas tanah atas dasar penguasaan fisik.

Universitas Sumatera Utara


11

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-

pihak yang berhubungan langsung dengan proses terjadinya pengalihan hak atas

tanah atas dasar penguasaan fisik.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang Analisis Hukum Terjadinya Pengalihan Hak Atas Tanah Atas

dasar Penguasaan Fisik (Analisis terhadap Putusan Mahkamah Agung

No.475//PK/Pdt.2010) yang pernah dilakukan sehubungan dengan objek pembahasan

sudah pernah dilakukan oleh Muaz Effendi dengan judul “ Pengalihan Hak Atas

Tanah yang Belum Bersertifikat di Kecamatan Medan Johor dan Pendaftaran Haknya

di Kantor Pertanahan Medan)”. Adapun perumusan masalahnya adalah:

1. Mengapa terjadi ketidakseragaman pengalihan hak atas tanah yang belum

bersertifikat di Kecamatan Medan Johor?

2. Bagaimana bentuk-bentuk surat pengalihan hak atas tanah sebagai landasan

pengalihan hak atas tanah yang belum bersertifikat ?

3. Bagaimana pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah yang belum bersertifikat

serta kendala-kendala umum yang dihadapi masyarakat dalam pendaftaran tanah

pada Kantor Pertanahan Medan.

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dari hasil-hasil penelitan yang pernah

dilakukannya, khususnya di Universitas Sumatera Utara, penelitian yang dilakukan

Universitas Sumatera Utara


12

peneliti lebih memfokuskan diri pada terjadinya pengalihan hak atas tanah atas dasar

penguasaan fisik, sehingga penelitian yang dilakukan, baik dari segi judul,

permasalahan dan lokasi serta daerah penelitian yang belum pernah dilakukan oleh

peneliti lain, maka berdasarkan hal tersebut, maka dengan demikian, penelitian ini

adalah asli, serta dapat dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Cita-cita hukum yang baik adalah untuk mendapatkan keadilan dan kepastian

hukum. Apabila ada pertentangan antaran kepastian hukum dengan keadilan, maka

unsur keadilan harus dikedepankan dan dimenangkan. Kepastian hukum adalah

sebuah falsafah positivisme dimana untuk mendapatkan titik temu antara para pihak

yang kepentingannya berbeda-beda, maka harus dicari suatu rujukan yang telah

disepakati, dilegalkan dan diformalitaskan serta enforceable oleh aparat hukum

sebagai penjelmaan dari kedaulatan birokrasi negara.

Saluran formal yang mengedepankan kepastian hukum tidak mencerminkan

adanya keadilan, maka pencari keadilan akan menemukan caranya sendiri untuk

mendapatkan keseimbangan antara keadilan dan kepastian hukum. Kepastian hukum

yang ideal adalah hukum yang memberi keadilan. Namun manakala keadilan tersebut

tidak ditemukan lewat saluran formal, akan terjadi apatisme hukum, yang bahkan

pada titik ekstrim akan dapat menjelma menjadi chaos karena masing-masing pihak

akan mencari, menafsirkan dan meng enforce keadilan menurut persepsinya masing-

Universitas Sumatera Utara


13

masing. Fenomena yang demikian ini, sebenarnya telah dikaji dalam satu aliran

hukum post modernisme yang bernama critical legal studies.

Munir Fuady mencatat, aliran critical legal studies merupakan suatu aliran

yang bersikap anti liberal, anti objektivisme, anti formalisme, dan anti kemapanan

dalam teori dan filsafat hukum, yang dengan dipengaruhi oleh pola pikir post modern,

secara radikal mendobrak dan menggugat kenetralan dan keobjektifan peran dari

hukum, hakim, dan penegak hukum lainnya terutama dalam hal keberpihakan hukum

dan penegak hukum terhadap golongan yang kuat/ mayoritas/ berkuasa/ kaya dalam

rangka mempertahankan hegemoninya, serta menolak unsur kebenaran objektif dari

ilmu pengetahuan hukum, serta menolak kepercayaan terhadap unsur keadilan,

ketertiban dan kepastian hukum yang dihasilkan lembaga-lembaga formal negara. 7

Hak milik atas tanah mengandung unsur hak kebendaan dan hak

perseorangan. Sebagai hak kebendaan, hak atas tanah memiliki ciri-ciri bersifat

absolut, jangka waktunya tidak terbatas, hak mengikuti bendanya (droit de suite), dan

memberi wewenang yang luas bagi pemiliknya seperti dialihkan, dijaminkan,

disewakan atau dipergunakan sendiri. Sebagai hak perseorangan, ciri-cirinya adalah

bersifat relatif, jangka waktunya terbatas, mempunyai kekuatan yang sama tidak

tergantung saat kelahirannya hak tersebut, memberi wewenang terbatas kepada

pemiliknya.8

7
Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Post Modern, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2005. hal. 34.
8
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, PT. Alumni, Bandung,
1997, hal. 31

Universitas Sumatera Utara


14

Seseorang dapat dikatakan mempunyai hak atas tanah atau mendapatkan

penetapan hak atas tanah maka harus dapat dibuktikan terlebih dahulu adanya dasar

penguasaan seseorang dalam menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah,

yang tidak ditentang oleh pihak manapun dan dapat diterima menjadi bukti awal

untuk pengajuan hak kepemilikannya.

Penguasaan dapat juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang

menyebut penguasaan tanah sudah merupakan suatu "hak". Kata "penguasaan"

menunjukkan adanya suatu hubungan hukum antara tanah dengan yang

mempunyainya.9 Artinya ada sesuatu hal yang mengikat antara orang dengan

tanah tersebut, ikatan tersebut ditunjukkan dengan suatu tanda/bukti bahwa tanah

tersebut telah dikuasainya. Tanda/bukti tersebut bisa berbentuk penguasaan fisik

maupun bisa berbentuk pemilikan surat-surat tertulis (bukti yuridis).

Bukti penguasaan tanah dalam bentuk pemilikan surat-surat tertulis tersebut


dapat saja dalam bentuk keputusan dari pejabat di masa lalu yang berwenang
memberikan hak penguasaan kepada subyek hak untuk menguasai tanah
dimaksud dan dapat juga dalam bentuk akta otentik yang diterbitkan oleh
pejabat umum yang menunjukkan tanah tersebut diperolehnya akibat adanya
perbuatan hukum berupa perjanjian pemindahan/pengalihan hak. Bila
dikatakan perolehan hak atas tanah, maka tersirat adanya perbuatan hukum
yang dilakukan oleh subyek hak atas obyek tanahnya.10
Menurut Boedi Harsono, hubungan penguasaan dapat dipergunakan dalam arti

yuridis maupun fisik.11 Penguasaan dalam arti yuridis maksudnya hubungan tersebut

ditunjukkan dengan adanya penguasaan tanahnya secara hukum. Apabila telah ada
9
Badan Pertanahan Nasional, Hak-hak Atas Tanah dalam Hukum Tanah Nasional, Jakarta,
Tahun 2002, hal. 18
10
Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum PendaftaranTanah,Mandar
Maju, Bandung, Tahun 2008, hal. 235
11
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, Tahun 1994,
halaman 19.

Universitas Sumatera Utara


15

bukti penguasaan tanahnya secara hukum (biasanya dalam bentuk surat-surat tertulis),

maka hubungan tanah dengan obyek tanahnya sendiri telah dilandasi dengan suatu

hak. Sedangkan penguasaan tanah dalam arti fisik menunjukkan adanya hubungan

langsung antara tanah dengan yang empunya tanah tersebut, misalnya didiami

dengan mendirikan rumah tinggal atau ditanami dengan tanaman produktif untuk

tanah pertanian.

Penguasaan tanah dapat merupakan permulaan adanya atau diberikannya hak

atas tanah, dengan perkataan lain penguasaan tanah secara fisik merupakan salah satu

faktor utama dalam rangka pemberian hak atas tanahnya. Berdasarkan ketentuan

Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,

dapat dijelaskan bahwa sekalipun tidak ada alat bukti penguasaan secara yuridis,

namun apabila dalam kenyataan bidang tanah tersebut telah dikuasai secara fisik,

maka dapat dilegitimasi/diformalkan haknya melalui penetapan/pemberian haknya

kepada yang bersangkutan.

Terhadap penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis

dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai:

Bukti penguasaan-atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang
menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah
dengan yang mempunyai tanah, dapat juga berupa riwayat pemilikan tanah
yang pernah diterbitkan oleh pejabat Pemerintah sebelumnya maupun bukti
pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini
biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan,
surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun
surat di bawah tangan dan lain-lain.12

12
Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendafataran Tanah, Mandar
Maju, Bandung, Tahun 2008, hal. 237

Universitas Sumatera Utara


16

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan

Peraturan Menteri Negara. Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, alas hak

tersebut diberi istilah data yuridis, yakni keterangan mengenai status hukum bidang

tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Secara perdata, dengan adanya hubungan yang mempunyai tanah dengan

tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau

ada alas hak berupa data yuridis berarti telah dilandasi dengan suatu hak keperdataan,

tanah tersebut sudah berada dalam penguasaannya atau telah menjadi miliknya.

Penguasaan atas tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan yang

diberikan hukum untuk menguasai fisik tanahnya. Oleh karena itu penguasaan yuridis

memberikan alas hak terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang

bersangkutan. Apabila tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas

haknya, maka persoalannya hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi

hubungan tersebut menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dan diakui oleh Negara

agar hubungan tersebut memperoleh perlindungan hukum.

Proses alas hak menjadi hak atas tanah yang diformalkan melalui penetapan

Pemerintah disebut pendaftaran tanah yang produknya adalah sertifikat

tanah.13 Oleh karena itu alas hak sebenarnya sudah merupakan suatu legitimasi awal

atau pengakuan atas penguasaan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan, namun

idealnya agar penguasaan suatu bidang tanah juga mendapat legitimasi dari Negara,

13
Ibid, hal. 238

Universitas Sumatera Utara


17

maka harus diformalkan yang dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan

oleh Negara/Pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional Republik

Indonesia.

AP. Parlindungan menyatakan bahwa alas hak atau dasar penguasaan atas

tanah sebagaimana diatur dalam UUPA dapat diterbitkan haknya karena penetapan

Pemerintah atau ketentuan peraturan perundang-undangan, maupun karena suatu

perjanjian khusus yang diadakan untuk menimbulkan suatu hak atas tanah di

atas hak tanah lain (misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik) dan juga karena

ketentuan konversi hak, sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa

memperoleh suatu hak dengan lembaga uit wi zingprocedure sebagaimana diatur dalam

pasal 548 KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan

merupakan juga salah satu alas hak.14

Dinyatakan juga bahwa dasar penguasaan atau alas hak untuk tanah

menurut UUPA adalah bersifat derivative, artinya berasal dari ketentuan peraturan

perundang-undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti Hak-hak Adat

atas tanah dan hak-hak yang berasal dari Hak-hak Barat.15

Adapun hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat adalah:

1. Hak agrarisch egeindom. Lembaga agrarisch egeindom ini adalah usaha dari

Pemerintah Hindia Belanda dahulu untuk mengkonversi tanah hukum adat, baik

14
A. P. Parlindungan, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Mandar Maju, Bandung, Tahun
1993, hal. 69-70
15
A. P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
Tahun 1993, hal 3

Universitas Sumatera Utara


18

yang berupa milik perorangan maupun yang ada hak perorangannya pada hak

ulayat dan jika disetujui sebagian besar dari anggota masyarakat pendukung hak

ulayatnya, tanahnya dikonversikan menjadi agrarisch egeindom.

2. Tanah hak milik, hak Yasan, adar beni, hak atas druwe, hak atas druwe desa,

pesini. Istilah dan lembaga-lembaga hak atas tanah ini merupakan istilah lokal

yang terdapat di Jawa.

3. Grant Sultan yang terdapat di daerah Sumatra Timur terutama di Deli yang

dikeluarkan oleh Kesultanan Deli termasuk bukti-bukti hak atas tanah yang

diterbitkan oleh para Datuk yang terdapat di sekitar Kotamadya Medan. Di

samping itu masih ada lagi yang disebut grant lama yaitu bukti hak tanah yang

juga dikeluarkan oleh Kesultanan Deli.

4. Landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak-hak usaha atas bekas tanah

partikulir. Selain tanah-tanah yang disebut di atas yang tunduk pada hukum adat

ada juga hak-hak atas tanah yang lain yang dikenal dengan nama antara lain

ganggan bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituas dan lain-lain.

Sedangkan hak-hak barat dapat berupa hak eigendom, hak opstal, dan hak

erfpacht. Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang

tanah yang diterbitkan oleh Pemerintah sebelumnya (dasar penguasaan/alas hak lama)

masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh

pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang

berlaku pada masa itu.

Universitas Sumatera Utara


19

Sementara itu, menurut Aslan Noor, teori kepemilikan ataupun pengalihan

kepemilikan secara perdata atas tanah dikenal empat teori, yaitu: 16

a. Hukum Kodrat, menyatakan dimana penguasaan benda-benda yang ada di dunia

termasuk tanah merupakan hak kodrati yang timbul dari kepribadian manusia

b. Occupation theory, dimana orang yang pertama kali membuka tanah, menjadi

pemiliknya dan dapat diwariskan.

c. Contract theory, dimana ada persetujuan diam-diam atau terang-terangan untuk

pengalihan tanah.

d. Creation theory, menyatakan bahwa hak milik privat atas tanah diperoleh karena

hasil kerja dengan cara membukukan dan mengusahakan tanah.

Mengenai pengalihan atau penyerahan hak atas tanah, terdapat dua pendapat

yaitu yang pertama adalah bahwa jual beli harus dilakukan dengan akta otentik yang

diikuti dengan pendaftaran pengalihan hak atas tanah untuk mendapatkan sertifikat

sebagai tanda bukti hak atas tanah. Akta otentik yang dibuat oleh Pejabat Pembuat

Akte Tanah, bukan saja hanya sebagai alat bukti tetapi merupakan syarat mutlak

adanya perjanjian penyerahan.

Pendapat ini diwakili oleh Mariam Darus Badrulzaman dan Saleh Adiwinata.

Pendapat lainnya adalah bahwa perbuatan jual beli tanpa diikuti dengan akta otentik

adalah sah, sepanjang diikuti dengan penyerahan konkret. Pendapat ini diwakili oleh

16
Aslan Noor, Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
2006, hal. 28-29

Universitas Sumatera Utara


20

Boedi Harsono dan R. Soeprapto.17 Penyerahan yang sifatnya konsensual

sebagaimana dianut hukum perdata sekaligus dengan penyerahan yang sifatnya

konkret sebagaimana dianut oleh hukum adat pada dasarnya adalah bertentangan dan

dapat terjadi dualisme dalam penafsiran kepastian hukumnya.

Mariam Darus Badrulzaman berpendapat, bahwa lembaga pendaftaran pada

proses pengalihan hak atas tanah, tidak semata-mata mengandung arti untuk

memberikan alat bukti yang kuat, akan tetapi juga menciptakan hak kebendaan. Hak

kebendaan atas suatu benda tanah terjadi pada saat pendaftaran dilakukan. Sebelum

dilakukan pendaftaran yang ada baru milik, belum hak.18 Dalam kaitan itulah, maka

salah satu asas dari hak atas tanah adalah adanya asas publisitas.

2. Konsepsi

Konsep adalah suatu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan

sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang

disebut dengan operational definition19. Pentingnya definisi operasional adalah untuk

menghindari perbedaaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu

istilah yang dipakai.20

17
John Salindeho, Sistem Jaminan Kredit Dalam Era Pembangunan Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, 1994, hal. 34-35
18
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain yang Melekat
Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hal. 76
19
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993), hal.
10.
20
Tan Kamello, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara (Medan: PPs-USU, 2002), hal. 35.

Universitas Sumatera Utara


21

Konsepsi yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Analisis Hukum berasal dari kata analisa dan hukum. Analisa adalah

penyelidikan tentang kemampuan dan kepribadian seseorang dihubungkan

dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya21 Sedangkan hukum

peraturan atau adat, yang secara resmi dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh

penguasa, pemerintah atau otoritas. Undang-undang, peraturan dan sebagainya

untuk mengatur kehidupan masyarakat. patokan (kaidah, ketentuan). keputusan

(pertimbangan) yang ditentukan oleh hakim dalam pengadilan.22

2. Pengalihan Atas Tanah dan Bangunan adalah Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, pengalihan adalah pergantian /perlintasan dari keadaan yang satu

kepada keadaan yang lain. Sedangkan pengertian dari hak adalah

milik/kepunyaan, kekuasaan untuk berbuat sesuatu karena telah ditentukan oleh

undang-undang (aturan). Jadi pengalihan hak adalah suatu perbuatan hukum

yang bertujuan untuk memindahkan hak dari satu pihak kepada pihak lain.

3. Akta Tanah adalah akta yang memuat data otentik mengenai perbuatan hukum

tertentu mengenai hak atas tanah

4. Dikuasai secara fisik berarti objek tanah ditempati oleh orang atau badan hukum.

5. Pihak lain adalah pihak yang bukan merupakan pihak yang memiliki hak atas

tanah.

21
W. J. S. Poerwadarminta. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996,
hal. 32
22
Ibid, hal. 146

Universitas Sumatera Utara


22

6. Bukti Hak merupakan alat bukti mengenai kepemilikan atas tanah yang telah

didaftarkan.

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis. Deskriptif karena dalam penelitian ini

akan dipaparkan tentang pengalihan hak atas tanah yang dikuasai secara fisik tanpa

alas hak. Bersifat analistis, karena terhadap data yang diperoleh itu dilakukan analistis

data secara kualitatif.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ialah pendekatan yuridis

normatif, yaitu pendekatan yang mengacu kepada peraturan-peraturan sehubungan

dengan pengalihan hak atas tanah.

2. Sumber Data

Sumber data diperoleh dari data sekunder yang dilakukan dengan

menghimpun bahan-bahan berupa:

a. Bahan hukum primer berupa UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok

Agraria (UUPA), Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran

Tanah, Putusan Mahkamah Agung No.475//PK/Pdt.2010 dan Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer, berupa hasil penelitian para ahli, hasil karya

Universitas Sumatera Utara


23

ilmiah, buku-buku ilmiah, ceramah atau pidato yang berhubungan dengan

penelitian ini.

c. Bahan hukum tertier, yang bertujuan untuk mendukung bahan hukum primer

dan sekunder berupa kamus hukum, kamus bahasa Inggris, Kamus bahasa

Indonesia, dan artikel-artikel lainnya yang berhubungan dengan objek

penelitian.

3. Alat Pengumpulan Data

Instrumen penelitian yang digunakan dalam pengkajian ilmu hukum normatif

terdiri studi dukumen yaitu pengumpulan data. Data yang diperoleh dalam penelitian

ini dikumpulkan, dilakukan dengan studi kepustakaan/literatur. Dalam hal ini

dilakukan dengan cara menginventarisasikan dan pengumpulan buku-buku, bahan-

bahan bacaan, Peraturan Perundang-undangan dan dukumen-dukumen lain. Cara ini

dilakukan untuk memperoleh gambaran yang bersifat umum dan relatif menyeluruh,

tentang apa yang tercakup di dalam fokus permasalahan yang akan diteliti dengan

jalan mengadakan pencatatan langsung mengenai data yang berupa dukumen ataupun

mengutip keterangan-keterangan yang dibutuhkan.

3. Analisis Data

Semua data yang telah diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh di

lapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode

deduktif.

Universitas Sumatera Utara


BAB II

MEKANISME PENGALIHAN HAK ATAS TANAH


DALAM SISTEM HUKUM AGRARIA

A. Tinjauan tentang Pengalihan Hak Atas Tanah

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukar-

menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah

atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain Pemerintah guna pelaksanaan

pembangunan termasuk pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak

memerlukan persyaratan khusus.

Ada 2 (dua) cara dalam mendapatkan ataupun memperoleh hak milik, yakni

1. Dengan pengalihan, yang meliputi beralih dan dialihkan. Dalam hal ini berarti

ada pihak yang kehilangan yaitu pemilik semula dan pihak lain yang

mendapatkan suatu hak milik.

2. Terjadinya hak milik sesuai dengan Undang–Undang Pokok Agraria Nomor 5

Tahun 1960 pada Pasal 22, yaitu:

1) Terjadinya hak milik menurut hukum adat yang diatur dengan Peraturan

Pemerintah. Dalam hal ini berarti terjadinya hak milik tesebut, diawali

dengan hak seorang warga untuk membuka hutan dalam lingkungan

wilayah masyarakat hukum adat dengan persetujuan Kepala Desa. Dengan

dibukanya tanah tesebut, belum berarti orang tersebut langsung

24

Universitas Sumatera Utara


25

memperoleh hak milik. Hak milik akan dapat tercipta jika orang tersebut

memanfaatkan tanah yang telah dibukanya, menanami dan memelihara

tanah tersebut secara terus menerus dalam waktu yang sangat lama. Dari

sinilah hak milik dapat tercipta, yang sekarang diakui sebagai hak milik

menurut UUPA. Terjadinya hak milik dengan cara ini memerlukan waktu

yang cukup lama dan tentunya memerlukan penegasan yang berupa

pengakuan dari pemerintah.

2) Terjadinya hak milik karena penetapan pemerintah, yaitu yang diberikan

oleh pemerintah dengan suatu penetapan menurut cara dan syarat-syarat

yang telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah. Dalam hal ini berarti

pemerintah memberikan hak milik yang baru sama sekali. Pemerintah juga

dapat memberikan hak milik berdasarkan perubahan dari suatu hak yang

sudah ada. Misalnya dengan peningkatan dari Hak Guna Usaha menjadi

Hak Milik, Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik, Hak Pakai menjadi

Hak Milik.

Pemindahan hak atas tanah adalah perbuatan hukum untuk memindahkan hak

atas tanah kapada pihak lain. Pemindahan dilakukan apabila status hukum pihak yang

akan menguasai tanah memenuhi persyaratan sebagai pemegang hak atas tanah yang

tersedia, dan pemegang hak atas tanah tersebut bersedia untuk memindahkan haknya.

Universitas Sumatera Utara


26

Secara khusus Herman Soesangobeng mengatakan falsafah kepemilikan atas

tanah dalam hukum adat, hakekat dasarnya adalah dari pertautan manusia dengan

tanah dan alamnya dan bukan pada hak, melainkan pada hubungan kuatnya pertautan

hubungan yang melahirkan kewenangan (hak). Oleh karena itu hak lahir melalui

proses intensitas hubungan antara manusia dengan tanah tidak dari keputusan

pejabat.20 Dalam filosofi adat, hak dipahamkan sebagai suatu yang relatif dan mudah

berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat, sehingga hak

sesuatu yang tidak mutlak.

Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah: Penjualan, tukar-

menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah

atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain selain Pemerintah; Penjualan, tukar-

menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain yang disepakati dengan

Pemerintah guna pelaksanaan pembangunan termasuk pembangunan untuk

kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus; Penjualan, tukar-

menukar, pelepasan hak, penyerahan hak atau cara lain kepada Pemerintah guna

pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan

khusus.

20
Herman Soesangobeng, Filosofi Adat dalam UUPA, Makalah dipresentasikan dalam
Sarasehan Nasional “Peningkatan Akses Rakyat Terhadap Sumberdaya Tanah”, Diselenggarakan oleh
Kantor Menteri Negara Agraria/BPN bekerjasama dengan ASPPAT, tanggal 12 Oktober 1998, di
Jakarta, 1998, hal. 4.

Universitas Sumatera Utara


27

Konsep hak-hak atas tanah yang terdapat dalam Hukum Agraria Nasional

membagi hak-hak atas tanah dalam dua bentuk, yaitu:

1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer

Yaitu hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki atau dikuasai secara langsung

oleh seorang atau badan hukum yang mempunyai waktu lama dan dapat dipindah-

tangankan kepada orang lain atau ahliwarisnya. Dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (lebih lanjut disingkat

dengan UUPA) terdapat beberapa hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu:

a. Hak Milik atas tanah.

b. Hak Guna Usaha.

c. Hak Guna Bangunan.

d. Hak Pakai. 21

2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder

Yaitu hak-hak atas tanah yang bersifat sementara. Dikatakan bersifat

sementara, karena hak-hak tersebut dinikmati dalam waktu terbatas, dan hak-hak itu

dimiliki oleh orang lain. Hak atas tanah yang bersifat sementara dapat dialihkan

kapan saja si pemilik berkehendak. Terhadap beberapa hak, hak atas tanah yang

bersifat sementara memiliki jangka waktu yang terbatas, seperti Hak Gadai dan Hak

Usaha bagi hasil. Kepemilikan terhadap hak atas tanah hanya bersifat sementara saja.

21
Ibid

Universitas Sumatera Utara


28

Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 53 UUPA yang mengatur mengenai hak-

hak atas tanah yang bersifat sementara, yaitu:

1) Hak Gadai.

2) Hak Usaha Bagi Hasil.

3) Hak Menumpang.

4) Hak Menyewa atas Tanah Pertanian.22

Tata cara memperoleh hak atas tanah menurut Hukum Tanah Nasional adalah

sebagai berikut:

1. Permohonan dan pemberian hak atas tanah, jika tanah yang diperlukan berstatus

Tanah Negara.

2. Pemindahan Hak, jika:

a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak ;

b. Pihak yang memerlukan tanah boleh memiliki hak yang sudah ada ;

c. Pemilik bersedia menyerahkan tanah.

3. Pelepasan hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian hak atas

tanah, jika:

a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak atau tanah hak ulayat suatu

masyarakat hukum adat ;

22
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 64. Pendapat lain
menayatakan bahwa disebut sebagai hak yang bersifat sementara karena eksistensinya pada suatu saat
nanti akan dihapuskan, karena mengandung sifat-sifat yang kurang baik bertentangan dengan jiwa
UUPA.

Universitas Sumatera Utara


29

b. Pihak yang memerlukan tanah tidak boleh memiliki hak yang sudah ada;

c. Pemilik bersedia menyerahkan tanahnya.

4. Pencabutan hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian hak atas

tanah, jika:

a. Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak;

b. Pemilik tanah tidak bersedia melepaskan haknya;

c. Tanah tersebut diperuntukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk

kepentingan umum

Dalam sistem KUHPerdata maupun dalam sistem UUPA kita kenal adanya

pengalihan sebagai salah satu cara untuk memperoleh hak milik. Pengalihan ini

adalah salah satu kewajiban para pihak dalam suatu peristiwa hukum yang bertujuan

untuk mengalihkan hak milik atas suatu barang yang dilakukan diantara mereka.

Seperti yang telah dikemukakan bahwa di dalam KUHPerdata yaitu pada

Pasal 584 KUHPerdata dinyatakan bahwa ada lima cara untuk memperoleh hak milik

atas suatu kebendaan. Kelima cara tersebut antara lain adalah:

1. Pendakuan (toeegening)

Pendakuan ini dilakukan terhadap barang-barang yang bergerak yang belum

ada pemiliknya (res nullius). Contoh dari pendakuan ini yaitu yang terdapat di

dalam Pasal 585 KUHPerdata yaitu pendakuan dari ikan-ikan di sungai, binatang-

binatang liar di hutan dan lain-lain.

Universitas Sumatera Utara


30

2. Ikutan (natrekking).

Hal ini diatur dalam Pasal 588 – Pasal 605 KUHPerdata. Yaitu cara

memperoleh benda karena benda itu mengikuti benda yang yang lain. Contoh dari

natrekking ini adalah: hak-hak atas tanaman, hak itu mengikuti tanah yang sudah

menjadi milik orang lain.

3. Lampaunya waktu(Verjaring).

Yaitu cara memperoleh hak milik atas suatu kebendaan karena lampaunya

waktu. Artinya pemilik yang lama dari benda tersebut tidak berhak lagi atas benda

tersebut karena jangka waktu kepemilikannya telah lewat waktu oleh hukum. hal

ini diatur dalam Pasal 610 KUHPerdata dan diatur lebih lanjut dalam buku

keempat KUHPerdata.

4. Pewarisan (erfopvolging)

Yaitu cara memperoleh hak milik atas suatu benda tidak bergerak karena

terluangnya atau jatuhnya warisan terhadap seseorang sehingga ia berhak atas

benda tersebut.

5. Pengalihan Dan Penyerahan (levering).

Ini adalah cara untuk memperoleh hak milik yang paling penting dan paling

sering terjadi di masyarakat. Yaitu cara memperoleh hak milik atas suatu

kebendaan dengan cara mengalihkan hak milik atas suatu kebendaan dari pemilik

yang lama kepemilik yang baru.

Universitas Sumatera Utara


31

Pasal 20 ayat 2 UUPA menyebutkan bahwa hak milik dapat beralih dan

dialihkan kepada pihak lain. Dengan kata lain, sifat milik pribadi ini walau dibatasi

oleh ketentuan Pasal 6 UUPA dapat dioperkan hanya kepada orang lain dengan hak

yang sama.

Umpamanya jika menjual, menghibah, tukar menukar, mewariskan, ataupun

memperoleh hak karena perkawinan/kesatuan harta benda, maka hak atas tanah yang

semula hak milik tetap akan menjadi hak milik. Hak milik adalah: “Hak turun

temurun, artinya hak itu dapat diwariskan berturut-turut tanpa perlu diturunkan

derajatnya ataupun hak itu menjadi tiada atau memohon haknya kembali ketika

terjadi perpindahan tangan.23

Hak milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh, namun hal ini berbeda

dengan hak eeigendom vide Pasal 571 KUHPerdata, di mana dikatakan bahwa hak

milik tersebut mutlak tidak dapat diganggu gugat. Hak milik menurut UUPA

mengandung arti bahwa hak ini merupakan hak yang terkuat, jika dibandingkan

dengan hak-hak atas tanah lainnya, seperti hak guna usaha, hak guna bangunan dan

lain-lain.

Luasnya hak milik juga meliputi tubuh bumi, air dan ruang angkasa yang ada

di atasnya, sebagai suatu penjelmaan dari ciri-ciri khas hukum adat yang menjadi

dasar hukum Agraria Nasional. Mengenai pertambangan diatur sendiri, yang artinya

23
Budi Harsono, Op. Cit, hal. 371

Universitas Sumatera Utara


32

bahwa untuk melakukan pertambangan di bumi memerlukan suatu izin khusus yang

dinamakan kuasa pertambangan. Dengan demikian hak milik ini masih ada

pembatasannya, meskipun dikatakan meliputi seluruh bumi dengan isinya.

Dalam pengalihan hak milik yang merupakan pelaksanaan dari perikatan yang

dimaksud, timbul persoalan apakah antara perbuatan hukum lanjutan tersebut dan

hubungan hukum yang menjadi dasarnya atau dengan kata lain apakah pengalihan itu

tergantung pada alas haknya ataukah merupakan hal yang terpisah satu sama lainnya.

Hubungan antara pengalihan dengan alas haknya ada dua ajaran yaitu ajaran

abstrak dan ajaran kausal (sebab akibat). Baik ajaran abstrak maupun ajaran kausal

sama-sama, menekankan bahwa sahnya suatu pengalihan bertujuan untuk

mengalihkan hak milik tersebut tergantung pada alas haknya harus tegas dinyatakan,

sedangkan menurut ajaran abstrak, maka penyerahan itu tidak perlu adanya titel yang

nyata, cukup ada alas hak atau titel anggapan saja.

Dari uraian di atas, terlihat hubungan jelas antara perjanjian obligatoir dari

perbuatan hukum yang bertujuan untuk mengalihkan hak milik atau benda tidak

bergerak dengan balik nama yang merupakan pengalihan hak milik itu sendiri.

Ditegaskan oleh R. Subekti, bahwa: menurut pendapat yang lazim dianut oleh para

ahli hukum dan hakim, dalam KUHPerdata berlaku apa yang dinamakan “kausal

stelsel” di mana memang sah tidaknya suatu pemindahan hak milik tergantung sah

tidaknya perjanjian obligatoir”.

Universitas Sumatera Utara


33

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa sahnya atau

tidaknya suatu balik nama tergantung pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoir

yang menimbulkan hak dan kewajiban untuk menurut dan melaksanakan isi

perjanjian yang berupa pengalihan hak milik atas benda tidak bergerak tersebut. Di

atas telah disebutkan bahwa sah tidaknya suatu balik nama adalah tergantung pada

sah tidaknya perjanjian obligatoir, dengan demikian sah atau tidaknya perjanjian

obligatoir yang menyebabkan timbulnya suatu kewajiban untuk mengalihkan suatu

kepemilikan benda tidak bergerak, adalah merupakan syarat sahnya balik nama.

Selanjutnya untuk mengetahui sahnya perjanjian obligatoir, maka harus diketahui

pula tentang sah atau tidaknya perbuatan-perbuatan hukum yang menyebabkan

timbulnya kewajiban untuk mengalihkan benda tidak bergerak yang merupakan objek

dari perbuatan hukum tersebut. Jual beli, tukar menukar maupun penghibahan, adalah

merupakan suatu perbuatan hukum yang disebut perjanjian atau dengan istilah lain

“perikatan” dan oleh karena itu untuk sahnya suatu perbuatan hukum tersebut harus

memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian.

B. Cara-cara Pengalihan Hak Atas Tanah

Pengalihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar

menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak

lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika

dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Dengan demikian

Universitas Sumatera Utara


34

berarti setiap pengalihan hak milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli,

tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT. Jual beli, tukar menukar

atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang

bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum

tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan

dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut.

Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum

dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan

segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan

kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak atas tanah (hak

milik) yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan

bertindak atas bidang tanah tersebut.

Adapun yang menjadi syarat-syarat terjadinya pengalihan terhadap kebendaan

tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pengalihan tersebut haruslah dilakukan oleh orang yang berhak untuk

mengalihkan kebendaan tersebut. Tidak selamanya pemilik suatu kebendaan

dapat diberikan hak untuk mengalihkan benda tersebut, hal ini dikarenakan suatu

hal misalnya saja pemilik suatu kebendaan di dalam keadaan pailit (failiet). Disini

ia merupakan pemilik suatu kebendaan tetapi dikarenakan keputusan pengadilan

yang mengatakan ia pailit maka ia tidak berhak untuk mengalihkan benda

tersebut.

Universitas Sumatera Utara


35

Adapun sebaliknya orang tersebut tidak merupakan pemilik suatu

kebendaan tetapi ia berhak untuk melakukan pengalihan. Misalnya pandamer, di

mana pihak ini menerima barang gadaian dari pemilik benda tersebut sebagai

jaminan pelunansan hutangnya. Dalam hal ini ia tidak merupakan pemilik yang

sah dari suatu kebendaan, tetapi bila pihak yang berhutang dalam hal ini pemilik

yang sah dari benda itu ingkar janji atau wanprestasi maka pihak penerima gadai

dapat mengalihkan benda tersebut.

2. Pengalihan itu dilakukan secara nyata.

Artinya pengalihan itu harus benar-benar terjadi dan dilakukan secara nyata

dari tangan ke tangan. Melihat persyaratan tersebut di atas pengalihan terhadap

benda-benda bergerak cukup hanya melakukan penyerahannya begitu saja, tetapi

terhadap benda tidak bergerak, pencatatan benda tersebut ke dalam suatu akte sangat

penting untuk menetapkan keabsahan benda tersebut. Terhadap benda tidak bergerak,

di samping dengan pengalihan nyata, maka untuk mengalihkan hak milik atas barang

tidak bergerak tersebut harus dilakukan dengan pengalihan secara yuridis.

Bahwa Pasal 1682 BW menyatakan bahwa hibah terhadap barang tidak

bergerak harus dinyatakan dengan akta otentik. Bahwa hibah yang dilakukan

Tergugat I kepada Tergugat II tidak dilekatkan dalam suatu akta otentik sebagaimana

yang disyaratkan oleh Pasal 1682 KUHPerdata. Oleh karena tanah objek gugatan

secara hukum bukanlah milik pemerintah kota Pangkalpinang sebagai pihak pemberi

Universitas Sumatera Utara


36

hibah dan pernyataan hibah tidak dinyatakan/dilekatkan dalam akta otentik, maka

perbuatan hukum hibah atas objek gugatan kepada Tergugat II adalah batal demi

hukum.

Bahwa Tergugat I telah salah dalam mengartikan hak menguasai Negara atas

tanah sebagaimana dimaksud UU Nomor. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Agraria. Hak menguasai negara atas tanah menurut UU Nomor: 5 Tahun 1960

tentang pokok-pokok Agraria, bukan merupakan domein veerklaring atau hak

memiliki pemerintah atas tanah, sebagaimana yang Penggugat sampaikan bahwa

pemerintah sebagai badan hukum publik juga merupakan subjek hukum tanah sama

halnya dengan hak-hak rakyat lainnya.

Penggugat telah mengusahakan dan menguasai fisik tanah objek gugatan

sejak Tahun 1975 atau sudah selama waktu 31 tahun tanpa ada pihak lain yang

menggugatnya. Dengan demikian maka status tanah objek gugatan tidak lagi

merupakan tanah negara bebas tetapi telah menjadi (berstatus) tanah negara tidak

bebas. Sebagai warganegara Republik Indonesia maka menurut ketentuan Pasal 4

ayat (1) UU. Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria Penggugat berhak

dan dilindungi hak-haknya untuk memperoleh hak atas tanah negara dan Tergugat I

tidak dapat lagi memberikan hak penguasaan atas fisik tanah terhadap tanah yang

berstatus tanah negara yang tidak bebas (telah dikuasai/diusahakan) oleh Penggugat.

Universitas Sumatera Utara


37

Bahwa perbuatan Tergugat I yang telah menghibahkan tanah dan memberikan

hak penguasaan atas fisik tanah objek gugatan yang telah dikuasai dan diusahakan

Penggugat sejak Tahun 1975 kepada Tergugat II dikwalifikasikan sebagai perbuatan

melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) sebagaimana diatur

Pasal 2 RO/Pasal 1365 KUHPerdata dan telah melanggar hak-hak subjektif

Penggugat.

Yang dimaksud dengan pengalihan yuridis adalah berupa pencatatan dalam

perbuatan hukum yang bertujuan untuk mengalihkan hak milik atas benda tidak

bergerak tersebut dalam suatu akte yang otentik di depan para pejabat yang

berwenang dan kemudian mendaftarkannya dalam register umum yang telah

disediakan khusus.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah,

yang merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

merupakan panduan yang nyata dalam pelaksanaan otonomi daerah, juga merupakan

politik hukum otonomi daerah. Dengan dasar kekuatan tersebut, pelaksanaan otonomi

daerah diwujudkan dalam kebijakan yang terukur, terarah, dan terencana oleh

pemerintah pusat. Oleh sebab itu, otonomi daerah yang dijalankan selain bersifat

nyata dan luas, tetap harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Maksudnya

otonomi daerah harus dipahami sebagai perwujudan pertanggungjawaban

konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan

Universitas Sumatera Utara


38

kewajiban yang harus dilaksanakan daerah. Tugas dan kewajiban dalam pelaksanaan

otonomi daerah adalah berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat,

pengembangan kehidupan demokrasi, penegakan keadilan dan pemerataan, serta

pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam

rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sangat

jelas mengatur mengenai pertanahan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 14

yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah untuk

kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi poin (k)

tentang pelayanan pertanahan. Kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah itu juga,

sesuai dengan yang terdapat dalam penjelasan poin (b), yang menyebutkan bahwa

prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti

daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di

luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

Hal di atas mengartikan bahwa daerah memiliki kewenangan membuat arah

kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa,

dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan

rakyat. Selanjutnya juga kebijakan nasional di bidang pertanahan saat ini, melalui

kewenangan pemerintah di bidang pertanahan yang dilakukan oleh pemerintah

kabupaten/kota dan provinsi, secara tegas dijelaskan bahwa sebagian kewenangan

Universitas Sumatera Utara


39

pemerintah di bidang pertanahan, dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota,

meliputi:

1. Pemberian izin lokasi;

2. Penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;

3. Penyelesaian sengketa tanah garapan;

4. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan satuan tanah untuk pembangunan;

5. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah

kelebihan maksimum dan tanah absentee;

6. Penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;

7. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;

8. Pemberian izin membuka tanah;

9. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/kota.24

Dalam bidang pertanahan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

memberikan pengaturan meliputi penyelenggaran kegiatan dibidang pertanahan, dan

memberikan kewenangan pengaturannya kepada Pemerintah Daerah propinsi maupun

kabupaten/kota.

Kewenangan yang telah dimiliki oleh daerah dengan berlakunya otonomi

daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupaten/kota serta desa

merupakan lini pertama yang dapat melindungi hak masyarakat hukum adat serta

24
M. Rizal Akbar dkk, Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat, LPNU Press,
Pekanbaru, 2005, Hal.9.

Universitas Sumatera Utara


40

tanah ulayatnya. Karena jajaran Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang amat

luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja

dengan benar-benar memahami dan mampu mengartikulasikan aspirasi dan

kepentingan masyarakat yang berada di daerahnya tersebut. Selain itu juga

masyarakat hukum adat tersebut juga tidak harus tinggal diam akan tetapi juga harus

turut serta mendayagunakan hak sipil dan hak politiknya dengan cara menata dan

mengorganisasikan diri mereka secara nyata dan melembaga. Dengan cara inilah

maka masyarakat hukum adat itu akan nampak dan akan lebih di dengar

keberadaannya oleh para pengambil keputusan. 25

Mengenai hak-hak penguasaan atas tanah tetap berdasarkan UUPA. Adapun

pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam

arti yuridis, juga beraspek perdata dan publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang

dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak

untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki.

Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan

untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan

fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada

pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai

secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak

25
Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika,
Jakarta, 2007, hal. 63-64

Universitas Sumatera Utara


41

penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang

bersangkutan secara fisik kepadanya.26

Hak menguasai tanah oleh negara adalah hak yang memberi wewenang

kepada negara untuk mengatur 3 hak seperti termuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA,27

Hak ulayat dari unsur/aspek hukum publik juga memberi wewenang kepada

masyarakat hukum adat untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan,

pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah ulayat. Jika kedua hal tersebut

dihubungkan satu dengan yang lain, maka hak menguasai tanah oleh negara semacam

hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang tertinggi yaitu, meliputi seluruh

wilayah Republik Indonesia.

Pengalihan hak atas tanah dapat terjadi dikarenakan:

1. Pewarisan tanpa wasiat

Menurut hukum perdata, jika pemegang sesuatu hak atas tanah meninggal

dunia, hak tersebut karena hukum beralih kepada ahli warisnya. Pengalihan tersebut

kepada ahliwaris, yaitu siapa-siapa yang termasuk ahliwaris, berapa bagian masing-

masing dan bagaimana cara pembagiannya, diatur oleh Hukum Waris almarhum

pemegang hak yang bersangkutan, bukan oleh Hukum Tanah.

26
Boedi Harsono, Op.Cit, Hal. 23
27
Menurut Pasal 2 ayat (2) UU PA Tahun 1960, maka Hak menguasai dari Negara termaksud
dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk: a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan,
penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa, c.
menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Universitas Sumatera Utara


42

Hukum tanah memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang

berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya

oleh para ahli waris. Menurut ketentuan Pasal 61 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor

24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, untuk pendaftaran pengalihan hak karena

pewarisan yang diajukan dalam waktu enam bulan sejak tanggal meninggalnya

pewaris, tidak dipungut biaya.

2. Pemindahan hak

Berbeda dengan beralihnya hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat

yang terjadi karena hukum dengan meninggalnya pemegang hak, dalam perbuatan

hukum pemindahan hak, hak atas tanah yang bersangkutan sengaja dialihkan kepada

pihak lain. Bentuk pemindahan haknya bisa dikarenakan:

a. Jual-Beli,

b. Hibah,

c. Pemasukan dalam perusahaan atau “inbreng” dan

d. Hibah-wasiat atau “legaat”

Perbuatan-perbuatan tersebut, dilakukan pada waktu pemegang haknya masih

hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai atau

langsung, kecuali hibah wasiat. Artinya, bahwa dengan dilakukannya perbuatan

hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain.

Universitas Sumatera Utara


43

Dalam hibah wasiat, hak atas tanah yang bersangkutan beralih kepada penerima

wasiat pada saat pemegang haknya meninggal dunia.

Jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat dan pemasukan

dalam perusahaan, demikian juga pelaksanaan hibah-wasiat, dilakukan oleh para

pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disingkat PPAT, yang bertugas

membuat aktanya. Dengan dilakukannya perbuatan hukum yang bersangkutan di

hadapan PPAT, telah dipenuhi syarat terang (bukan perbuatan hukum yang “gelap”,

yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi).

Akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata atau “riil”

perbuatan hukum jual-beli yang dilakukan. Dengan demikian sifat jual-beli, yaitu

tunai, terang dan riil, dipenuhi. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah

dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan. Karena perbuatan hukum yang

dilakukan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak, maka akta tersebut secara

implisit juga membuktikan, bahwa penerima hak sudah menjadi pemegang haknya

yang baru. Tetapi hal itu baru diketahui oleh dan karenanya juga baru mengikat para

pihak dan ahliwarisnya karena administrasi PPAT sifatnya tertutup bagi umum.

Untuk memperoleh surat bukti yang lebih kuat dan lebih luas daya

pembuktiannya pemindahan haknya didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kota/

Kotamadya, untuk dicatat pada buku tanah dan sertifikat yang bersangkutan. Dengan

dicatatnya pemindahan hak tersebut pada sertifikat haknya, diperoleh surat tanda

Universitas Sumatera Utara


44

bukti yang kuat. Karena administrasi pengalihan hak atas tanah yang ada di kantor

pertanahan Kota/Kotamadya mempunyai sifat terbuka bagi umum, maka dengan

dicatatnya pemindahan hak tersebut pada buku tanah haknya, bukan hanya yang

memindahkan hak dan ahliwarisnya, tetapi pihak ketiga pun dianggap mengetahui,

bahwa penerima hak adalah pemegang haknya yang baru.28

1. Jual beli

Pengertian jual beli tanah adalah suatu perjanjian dalam mana pihak yang

mempunyai tanah yang disebut “penjual”, berjanji dan mengikatkan diri untuk

menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada pihak lain, yang disebut

“pembeli”. Sedangkan pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar

harga yang telah disetujui. Yang diperjualbelikan menurut ketentuan Hukum Barat ini

adalah apa yang disebut “tanah-tanah hak barat”, yaitu tanah-tanah Hak Eigendom,

Erfpacht, Opstal.

Perkataan jual beli terdiri dari dua suku kata, yaitu: “jual dan beli”. Kata

“jual” menunjukkan bahwa adanya perbuatan menjual, sedangkan kata “beli” adalah

adanya perbuatan membeli. Maka dalam hal ini, terjadilah peristiwa hukum jual beli.

Menurut pengertian syariat, yang dimaksud dengan jual beli adalah pertukaran harta

atas dasar saling rela. Atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan

28
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jilid 1. Cetakan ke-9. (Jakarta: Djambatan,
2003), hal. 329.

Universitas Sumatera Utara


45

(yaitu berupa alat tukar yang sah).29

Pada saat dilakukannya jual beli tersebut belum terjadi perubahan apa pun

pada hak atas tanah yang bersangkutan, biarpun misalnya pembeli sudah membayar

penuh harganya dan tanahnya pun secara fisik sudah diserahkan kepadanya. Hak atas

tanah yang dijual baru berpindah kepada pembeli, jika penjual sudah menyerahkan

secara yuridis kepadanya dalam rangka memenuhi kewajiban hukumnya.30

Menyerahkan secara yuridis berarti si penjual sudah memberikan hak atas

kepemilikannya terhadap suatu barang. Pengalihan hak atas tanah merupakan suatu

perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak dari satu pihak ke pihak lain.31

Mengenai jual beli, pengaturannya dapat dilihat dalam Buku III bab ke V

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan yang rumusannya terdapat di dalam Pasal

1457 KUH Perdata yang berbunyi: Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana

pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak

yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.

Kewajiban dari penjual adalah:

a. Menyerahkan barang yang menjadi obyek jual beli dalam keadaan baik.

Artinya barang yang diserahkan itu harus sesuai dengan yang dipesan oleh

pembeli dan dalam keadaan baik.

29
Gunawan Widjaja dan Kartini Widjaja, Jual Beli, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003.
hal.128.
30
Ibid., hal. 27.
31
Adrian Sutedi, Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafika,
2007), hal. 34.

Universitas Sumatera Utara


46

b. Menanggung barang yang diserahkan.

Sebagai pengertian menyerahkan barang disebutkan: “Yang diartikan

menyerahkan barang adalah suatu pemindahan hak milik dan barang yang telah dijual

ke dalam kekuasaan dan kepunyaan pembeli”.32

Sedangkan hak dan kewajiban pihak pembeli adalah:

a. Hak pembeli: menerima barang yang dibeli sesuai dengan pesanan dalam

keadaan baik dan aman tenteram.

b. Kewajiban pembeli:

1) Membayar harga barang dengan sejumlah uang sesuai dengan janji yang telah

dibuat. Harga yang dimaksud merupakan harga yang wajar.

2) Memikul biaya yang ditimbulkan dalam jual beli itu, misalnya ongkos antar,

biaya surat menyurat, biaya akta dan sebagainya, kecuali jika diperjanjikan

sebaliknya.

2. Berdasarkan Hibah

Menurut R. Subekti perkataan ‘penghibahan’ (pemberian) dalam Pasal 1666

KUHPerdata selanjutnya dipakai dalam arti yang sempit, karena hanya perbuatan-

perbuatan yang memenuhi syarat-syarat yang disebut dengan penghibahan, misalnya

dengan syarat dengan cuma-cuma yaitu, tidak memakai pembayaran, disini orang

32
M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal. 60

Universitas Sumatera Utara


47

lazim mengatakan adanya suatu ’formele schenking’ yaitu suatu penghibahan

formil”,33

Apabila ditelusuri secara lebih mendalam, istilah hibah itu berkonsentrasi

memberikan hak milik oleh seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan

imbalan dan jasa. Menghibahkan tidak sama artinya dengan menjual atau

menyewakan. Oleh sebab itu, istilah balas jasa dan ganti rugi tidak berlaku dalam

transaksi hibah. Pasal 1667 KUHPerdata menyebutkan penghibahan hanya boleh

dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi.

Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan batal

sekedar mengenai barang-barang yang belum ada.

Berdasarkan keterangan di atas, tampak bahwa objek dari hibah haruslah

benda yang sudah ada dan merupakan milik si penghibah. Pasal 499 KUHPerdata

menyebutkan sebagai berikut: ”Menurut paham undang-undang yang dinamakan

kebendaaan ialah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak

milik”. Dengan demikian menurut Pasal 499 KUHPerdata tersebut, di samping hak

maka barang pun yang dapat dikuasai oleh hak milik adalah merupakan kebendaaan,

menurut paham undang-undang.

Mariam Darus Badrulzaman, menyatakan bahwa “Pada umumnya yang

diartikan dengan benda (benda berwujud, bagian kekayaan) ialah sesuatu yang dapat

dikuasai oleh manusia dan dapat dijadikan objek hukum (Pasal 449 KUHPerdata).

33
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1995. hal. 56

Universitas Sumatera Utara


48

Pengertian ini adalah abstrak, yang dinamakan dengan istilah subjek hukum
34
(pendukung hak dan kewajiban)” Di samping hal tersebut di atas, maka kata dapat

yang terdapat dalam Pasal 449 KUHPerdata tersebut membuka berbagai

kemungkinan, hukum), dalam arti di mana dipakai sebagai lawan dari pada orang

sebagai subjek hukum”.

Ad. a. Benda bertubuh dan benda tidak bertubuh

Bila diperhatikan KUHPerdata, maka kata zaak tidak hanya dipakai barang

yang berwujud atau yang bertubuh saja, misalnya Pasal 508 KUHPerdata yang

menentukan beberapa hak, Pasal 511 KUHPerdata juga beberapa hak. Zaak dalam

pasal tersebut dipakai dalam arti “bagian dari harta kekayaan, dan inilah yang

merupakan benda atau barang tidak bertubuh. Dengan demikian sistem hukum

perdata barat sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, benda dapat dibedakan sebagai

berikut:”Barang-barang yang berwujud (lichamelijk) dan barang-barang yang tidak

berwujud (onlichamelijk)”. 35

Sebagaimana seseorang dapat menjual dan menggadaikan benda bertubuh, ia

juga dapat menjual atau menggadaikan hak-hak benda yang tidak bertubuh. Misalnya:

hak erfpacht atau hak usaha yaitu usaha hak kebendaan untuk dinikmati sepenuhnya

akan kegunaan suatu barang tidak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan

membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya

baik berupa uang, hasil atau pendapatan (Pasal 7201 KUHPerdata).


34
Mariam Darus Badrulzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, BPHN, Penerbit:
PT. Alumni Bandung, 1983. hal.35.
35
Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Op.Cit. hal. 43

Universitas Sumatera Utara


49

Ad. b. Benda bergerak dan benda tidak bergerak

Tahapan benda bergerak (roerende zaak), Undang-undang

membedakannya atas benda bergerak karena sifatnya dan berdasarkan ketentuan

undang-undang. Pembedaan berdasarkan sifatnya seperti yang ditentukan Pasal

509 KUHPerdata memberi arti bahwa yang dimaksud dengan benda bergerak

menurut sifatnya adalah benda yang dapat dipindahkan (verplaats baar), misalnya

meja, kursi, lemari, dan lain-lain.

Sedang yang dimaksud dengan benda bergerak berdasarkan Pasal 511

KUHPerdata:

a. Hak pakai hasil dan hak pakai atas kebendaan bergerak.

b. Hak atas bunga-bunga yang diperjanjikan baik bunga-bunga yang abadi

maupun bunga cagak hidup.

c. Perkaitan-perkaitan dan tuntutan-tuntutan, mengenai jumlah uang yang dapat

ditagih atau yang mengenai benda-benda bergerak.

d. Sero-sero atau andil-andil dalam persekutuan perdagangan uang, persekutuan

dagang atau persekutuan perusahan, sekalipun benda-benda persekutuan yang

bersangkutan dan perusahaan itu adalah kebendaaan tidak bergerak. Sero-

sero atau andil-andil itu dianggap merupakan kebendaan tidak bergerak akan

tetapi hanya terdapat para pesertanya selama persekutuan berjalan.

Apabila terhadap benda dibedakan atas dua jenis, maka terhadap benda

tidak bergerak (ontoerende zaaken) pembedaaannya ada tiga jenis yaitu:

Universitas Sumatera Utara


50

1. Benda tidak bergerak karena sifatnya (Pasal 506 KUHPerdata).

2. Benda tidak bergerak karena tujuannya (Pasal 507 KUHPerdata).

3. Benda tidak bergerak dikarenakan ketentuan-ketentuan undang-undang

(Pasal 508 KUHPerdata).

Ad.c Benda yang dapat dipakai habis dan yang tidak dapat dipakai habis

Benda yang dapat dipakai habis (verbruikbaar zaken), misalnya: beras, gula,

susu dan lainnya, sedangkan benda yang tidak dapat dipakai habis (onverbruikbaar

zaken) ialah suatu benda meskipun dipakai terus menerus atau berkali-kali tidak akan

habis karena pemakaiannya tersebut. Misalnya rumah, mobil dan lainnya.

C. Mekanisme Pengalihan Hak Atas Tanah

Pengalihan hak atas tanah, dan khususnya hak milik atas tanah tersebut dapat

terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat pengalihan hak

atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah (hak milik) tersebut,

dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan

mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. Sehubungan dengan

obyek hak atas tanah yang dipindahkan PPAT harus memeriksa kebenaran dari

dokumen-dokumen:

a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah

susun, sertifikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal serifikat tidak

Universitas Sumatera Utara


51

diserahkan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar

yang ada di Kantor Pertanahan; atau

b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar:

1) Surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum

dikonversi atau surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan yang menyatakan

bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad

baik, dan tidak pernah ada permasalahan yang timbul sehubungan dengan

penguasaan tanahnya tersebut; dan

2) Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan

belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak

di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak

yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan; dan

dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib menolak

membuat akta pemindahan hak atas tanah tersebut termasuk hak milik atas

tanah yang akan dialihkan tersebut.

Apabila pemegang hak tidak dapat menyediakan bukti kepemilikan tanahnya

baik berupa bukti tertulis maupun bentuk lain yang dapat dipercaya, maka

pembukuan hak dapat dilakukan tidak berdasarkan kepemilikan akan tetapi

berdasarkan bukti penguasaan fisik tanah, dengan syarat:

1. Telah dikuasai selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon

pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya.

Universitas Sumatera Utara


52

2. Penguasaan dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka.

3. Diperkuat dengan kesaksian orang yang dapat dipercaya.

4. Penguasaan tidak dipermasalahkan atau tidak dalam keadaan sengketa.36

Ketentuan ini tentunya selain mempertimbangkan bahwa hukum adat di

Indonesia pada dasarnya kebanyakan tidak tertulis termasuk dalam hak pembuktian

penguasaan bidang tanah, tetapi sudah cukup dengan pengakuan oleh masyarakat atau

diwakili oleh tokoh-tokoh adat setempat, juga hal ini sebagai pemberian perhatian

terhadap perbedaan dalam perkembangan kondisi dan kehidupan sosial masyarakat.37

Pengalihan hak milik tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan:

1. Pengalihan hak milik terjadi karena jual beli, hibah, warisan, tukar menukar

dan perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.

2. Pengalihan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan

Pemerintah.

3. Setiap pengalihan hak milik atas tanah atau perbuatan yang dimaksudkan

untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik pada orang asing

atau orang yang berkewarganegaraan Indonesia rangkap dengan orang asing

36
Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar
Maju, Bandung, 2010. hal. 144
37
Ibid. dalam kasus putusan No. Pengadilan Negeri Pangkalpinang Nomor:
18/PDT.G/2006/PN.PKP tanggal 13 Maret 2007 dinyatakan bahwa Bahwa diantara 21 (dua puluh
satu) orang masyarakat pemohon hak penguasa fisik tanah atas tanah negara tersebut, beberapa orang
warga surat keterangan penguasaan fisik tanah telah dikeluarkan oleh lurah Rejosari, sedangkan
beberapa warga masyarakat pemohon lainnya termasuk Penggugat belum keluar/diberikan surat
keterangan penguasaan fisik tanah tanpa alasanyang jelas

Universitas Sumatera Utara


53

yang boleh mempunyai hak milik adalah batal dengan sendirinya dan tanah

jatuh pada negara.

D. Penguasaan Fisik dari Tanah

Untuk kelompok-kelompok masyarakat yang belum tersentuh administrasi

dan hukum pertanahan yang lebih modern dan hanya mengenal ketentuan hukum adat

mereka, alat bukti yang dapat digunakan meliputi pernyataan tentang penguasaan

secara fisik atas tanah oleh yang bersangkutan dengan syarat bahwa penguasaan itu

sudah berlangsung secara turun-temurun dan atas dasar itikad baik selama 20 tahun

atau lebih, diperkuat dengan kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya.

Berdasarkan doktrin dan yurisprudensi yang ada, surat di bawah tangan tidak

memiliki kekuatan hukum.38 Namun demikian, surat di bawah tangan tetap dapat

dijadikan sebagai alat bukti, dan hal ini tentu saja terkait dengan masalah tanda

tangan dan kesaksian dalam surat tersebut. Dalam kenyataan yang ada, tidak jarang

alas hak berupa surat di bawah tangan ini menimbulkan masalah di kemudian hari.

Salah satunya adalah munculnya dua pihak yang mengaku sebagai pemilik atas tanah

yang telah didaftarkan tersebut.

38
Secara umum, di Indonesia terdapat beberapa yurisprudensi yang menegaskan bahwa
transaksi yang tidak dilakukan di depan pejabat yang berwenang merupakan transaksi yang tidak sah
menurut hukum sehingga para pihak tidak perlu mendapat perlindungan hukum. Yurisprudensi yang
dimaksud antara lain:
-Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 598 K/Sip/1971 tertanggal 18 Desember
1971,
-Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 601.K/Sip/1972 tertanggal 14 Maret 1973,
-Keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 393 K/Sip/1973 tertanggal 11 Juli 1973.

Universitas Sumatera Utara


54

Terwujudnya kepastian hukum dalam pendaftaran tanah tidak lepas dari faktor

kekurangan dalam substansi aturan pertanahan, dissinkronisasi peraturan yang ada.

Secara normatif, kepastian hukum memerlukan tersedianya perangkat aturan

perundang-undangan yang secara operasional mampu mendukung pelaksanaannya.

Secara empiris, keberadan peraturan-peraturan itu dilaksanakan secara konsisten dan

konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya.

Surat pernyataan penguasaan secara fisik yang dibuatkan oleh pemohon

pendaftaran tanah antara lain berisi:

1. Bahwa fisik tanahnya secara nyata dikuasai dan digunakan sendiri oleh pihak

yang mengaku atau secara nyata tidak dikuasai tetapi digunakan pihak lain

secara sewa atau bagi hasil atau dengan bentuk hubungan perdata lainnya.

Bahwa tanahnya sedang/tidak dalam keadaan sengketa.

2. Bahwa apabila penandatanganan memalsukan isi surat pernyataan, bersedia

dituntut di muka hakim secara pidana maupun perdata karena memberikan

keterangan palsu.

3. Jadi, jika seluruh syarat bagi sebuah surat di bawah tangan telah dipenuhi

untuk dapat dijadikan dasar dalam penerbitan sertifikat hak milik berdasarkan

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah maka surat di bawah tangan

tersebut dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan sertifikat dan memiliki

kekuatan pembuktian. Dalam kenyataan yang banyak terjadi, meskipun

Universitas Sumatera Utara


55

persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun

1997 telah dipenuhi, akan tetapi banyak persoalan yang tetap timbul

sehubungan dengan penggunaan surat di bawah tangan sebagai dasar

penerbitan Sertifikat Hak Milik.

Beberapa persoalan mengenai pertanahan yang sering terjadi ini adalah

sebagai berikut:

1. Dalam proses pendaftaran tanah secara massal, pihak Kantor Lurah atau

kantor Desa biasanya membantu mengkoordinir pelaksanaan di lapangan

termasuk dalam hal pembuatan surat-surat tanah bagi masyarakat yang belum

memiliki surat tanah. Oleh karena waktu yang singkat dengan jumlah

pemohon yang banyak maka pihak Kantor Kelurahan hanya sekedar

menandatangani tanpa mempelajari kebenaran surat tanah yang diajukan,

bahkan untuk seluruh masyarakat, surat tanah mereka ditandatangi saksi yang

sama yaitu 2 (dua) orang dari aparat desa atau kelurahan. Kebenaran surat

tanah ini menjadi sulit untuk dijamin karena proses yang cepat dan tidak teliti.

2. Keberadaan surat di bawah tangan sebagai dasar dalam penerbitan Sertifikat

Hak Milik tetap diakui dalam peraturan-Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah, meskipun surat di bawah tangan tidak memiliki

kekuatan hukum. Untuk dapat dijadikan sebagai alas hak dalam penerbitan

Sertifikat Hak Milik dan dapat memiliki kekuatan pembuktian maka surat di

Universitas Sumatera Utara


56

bawah tangan tersebut harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang

ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997 yang menetapkan

bahwa dalam hal tidak ada lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian

yang berdasarkan pembuktian, pembukuan hak dapat dilakukan kenyataan

penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih

secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dari pendahulu-pendahulunya

dengan syarat:

1) Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh

yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah serta diperkuat oleh

Kesaksian oleh orang yang dapat dipercaya. Penguasaan tersebut baik

sebelum maupun selama pengumuman tidak dipermasalahkan oleh

masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak

lainnya.

2) Keterangan dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang

kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai orang tertua adat

setempat dan atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di

desa/kelurahan letak tanah yang bersangkutan dan tidak mempunyai

hubungan keluarga dengan yang bersangkutan sampai derajat kedua baik

dalam kekerabatan vertikal maupun horizontal.

Universitas Sumatera Utara


57

E. Hak Penguasaan Atas Tanah

Konsepsi atau falsafah yang mendasari Hukum Adat mengenai tanah adalah

konsepsi komunalistik religius. Hal itu sejalan dengan pandangan hidup masyarakat

Indonesia asli dalam memandang hubungan antara manusia pribadi dengan

masyarakat yang selalu mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat.

Soepomo menandaskan bahwa di dalam Hukum Adat manusia bukan individu yang

terasing yang bebas dari segala ikatan dan semata-semata mengingat keuntungan

sendiri, melainkan adalah anggota masyarakat. Di dalam Hukum Adat, yang primer

bukanlah individu, melainkan masyarakat. Karena itu, menurut tanggapan Hukum

Adat, kehidupan individu adalah kehidupan yang terutama diperuntukkan buat

mengabdi kepada masyarakat. Dalam pada itu, maka hak-hak yang diberikan kepada

individu adalah berkaitan dengan tugasnya dalam masyarakat. Berdasarkan konsepsi

tersebut, maka tanah ulayat sebagai hak kepunyaan bersama dari suatu masyarakat

hukum adat dipandang sebagai tanah-bersama.

Tanah bersama itu merupakan ‘pemberian/anugrah’ dari suatu kekuatan gaib,

bukan dipandang sebagai sesuatu yang diperoleh secara kebetulan atau karena

kekuatan daya upaya masyarakat adat tersebut. Oleh karena hak ulayat yang menjadi

lingkungan pemberi kehidupan bagi masyarakat adat dipandang sebagai tanah

bersama, maka semua hak-hak perorangan bersumber dari tanah bersama tersebut.

Berdasarkan pemahaman atas konsepsi di atas, maka differensias Hak

Penguasaan Atas Tanah (HPAT) menurut Hukum Adat terdiri atas: Hak Ulayat (hak

Universitas Sumatera Utara


58

komunal) dan hak-hak individual atas tanah. Hak ulayat merupakan HPAT yang

tertinggi dalam Hukum Adat. Dari Hak Ulayat, karena proses individualisasi dapat

lahir hak-hak perorangan (hak individual).

Hak Ulayat (van Vollen Hoven menyebutnya beschikkingsrecht, Soepomo

menyebutnya Hak Pertuan, ter Haar mengistilahkannya Hak Pertuanan; sedangkan

kosa kata ulayat oleh masyarakat Minang). Subyek Hak Ulayat adalah Masyarakat

Hukum Adat, yang di dalamnya ada Anggota Masyarakat Hukum Adat (AMHA) dan

ada pula Ketua dan para Tetua Adat. Para AMHA secara bersama-sama memiliki hak

yang bersifat keperdataan atas wilayah adat tersebut. Ter Haar mengatakan bahwa

AMHA dapat mempergunakan hak pertuanannya dalam arti memungut keuntungan

dari tanah itu, tentu seizin Ketua Adat. Hak mempergunakan ini jika berlangsung

lama dan terus menerus menjadi cara yang menjadikan bagian dari Hak Ulayat

sebagai Hak individual. Hal itu yang disebut sebagai proses individualisasi Hak

Ulayat. Kewenangan untuk mempergunakan oleh para AMHA itulah yang disebut

dalam Hak Ulayat sebagai ‘berlaku ke dalam’. Selanjutnya, Hak Ulayat juga ‘berlaku

keluar’, dalam arti, orang asing/orang luar hanya boleh memungut hasil dari tanah

ulayat setelah memperoleh izin dan membayar uang pengakuan di depan serta uang

penggantian di belakang. Kewenangan untuk memungut hasil hutan bersifat terbatas.

Selanjutnya, agar Hak Ulayat dapat terus/lestari sebagai penopang hidup para

AMHA, maka Ketua Adat dan para Tetua Adat diberi kewenangan untuk mengatur

Universitas Sumatera Utara


59

penguasaan dan penggunaan wilayah adat tersebut. Kewenangan untuk mengatur

itulah yang kemudian disebut sebagai aspek publik dari Hak Ulayat.

Herman Soesangobeng mengatakan bahwa kewenangan persekutuan sebagai

organisasi dalam menata hubungan antara warga masyarakat dengan semua unsur

agrarianya, dirangkum secara umum pada aturan tentang penguasaan dan penggunaan

tanah. Ketentuan itu dalam kepustakaan Hukum adat dikelompokkan dalam bagian

yang disebut ‘Hukum Tanah’.

Pemikiran dasar dalam hukum ini adalah bahwa tanah, termasuk ruang-

angkasa dan kekayaan alam yang ada di dalamnya adalah kepunyaan bersama dari

segenap warga persekutuan atau masyarakat. Kepunyaan bersama itu berbeda dengan

‘milik bersama’ atau ‘pemilikan kolektif’. Karena kepunyaan bersama hanya

memberikan kewenangan kepada kelompok untuk menguasai secara bersama, namun

pemakaian dan hasilnya dinikmati secara individual baik berupa perorangan maupun

keluarga batih (nuclear family). Dengan demikian, kepunyaan bersama itu lebih

mencerminkan sifat kebersamaan atau kolektiviteit daripada komunal (communal).39

Kepunyaan bersama itu juga dilarang untuk dialihkan kepada kelompok lain

tanpa persetujuan dari seluruh anggota. Perwujudan dari kepunyaan bersama itu

dinyatakan dalam bentuk kekuasaan untuk menguasai tanah secara penuh. Kekuasaan

itu, dalam penuturan maupun tulisan sering disebut ‘hak’.

39
Herman Soesangobeng, Op. Cit. hal. 4.

Universitas Sumatera Utara


60

Selanjutnya dikatakan bahwa kewenangan dalam kekuasaan oleh persekutuan

itu adalah untuk mengatur dalam arti menyediakan, menetapkan penggunaan, serta

meletakkan larangan bagi warga maupun orang asing.

Kewenangan itu dalam kosa kata masyarakat Minangkabau disebut ‘ulayat’,

masyarakat Ambon disebut ‘patuanan’, masyarakat Jawa disebut wewengkon, dan

masyarakat Bali disebut ‘prabumian’. Akan tetapi, kewenangan mengatur itu

bukanlah suatu hak, sebab masyarakat atau persekutuan tidak berwenang untuk

mengalihkan secara mutlak tanah ulayat kepada pihak lain. Bahkan Van Vollen

Hoven ketika pada tahun 1909 menggunakan istilah teknis beschikkingsrecht untuk

menggambarkan konsep ‘ulayat’ pun telah dengan tegas menyatakan dalam salah satu

sifat dari kewenangan ulayat, yaitu bahwa ‘hak’ ulayat tidak dapat dialihkan. Karena

itu, beschikkingen dalam kosa kata bahasa hukum Belanda, ketika digunakan untuk

menggambarkan konsep ulayat, tidak dapat diartikan sama dengan penguasaan secara

mutlak sehingga dapat mengalihkan hak atas tanah kepada pihak lain. Oleh karena

itu, Herman Soesangobeng menandaskan bahwa ulayat sebenarnya hanya

menggambarkan hubungan kewenangan menguasai pada tingkat tertinggi dari

masyarakat atas tanah dalam wilayah hukum (yurisdiksi) persekutuan. Dengan

perkataan lain, ulayat hanyalah wadah bagi lahirnya hak atas tanah.

Menurut Herman Soesangobeng, bila disederhanakan akan tampak

sebagaimana pada tabel berikut in:

Universitas Sumatera Utara


61

Tabel 1
Proses Lahirnya Hak Atas Tanah

TAHAPAN JENIS HAK


NO.

1. Pencarian dan pemilihan lahan Hak Wenang Pilih

2. Pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan Hak Terdahulu


pemberian tanda larangan atas tanah

3. Membuka dan Mengolah Tanah Hak Menikmati

4. Pengolahan tetap secara terus menerus Hak Pakai

5. Mewariskan Tanah Hak Milik

Sumber: Herman Soesangobeng, Filosofi Adat dalam UUPA, Makalah dipresentasikan dalam
Sarasehan Nasional “Peningkatan Akses Rakyat Terhadap Sumberdaya Tanah”,
Diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/BPN bekerjasama dengan
ASPPAT, tanggal 12 Oktober 1998, di Jakarta, 1998

Atas dasar hubungan ulayat maka dimungkinkan timbulnya hak-hak atas

tanah. Hak-hak itu dilahirkan berdasarkan proses perhubungan penguasaan nyata,

utamanya oleh perorangan dan keluarga sebagai pemegang hak. Pertumbuhan hak

atas tanah itu diawali dari pemilihan lahan berdasarkan Hak Wenang Pilih. Hukum

adat mengenal hak wenang pilih bagi perseorangan warga persekutuan yang

membuka tanah atau menempatkan tanda-tanda pelarangan seperti pagar pada

tanahnya. 40

40
S. Hendratiningsih, A. Budiartha dan Andi Hernandi. “Masyarakat dan Tanah Adat di Bali”
Jurnal Sosioteknologi Edisi 15 Tahun 7, Desember 2008. Hal. 8.

Universitas Sumatera Utara


62

Kemudian setelah pemberitahuan kepada kepala masyarakat dan pemasangan

tanda-tanda larangan maka lahirlah Hak Terdahulu. Hak terdahulu dimilikioleh pihak

yang membuka lahan pertanahan pertama kali. Selanjutnya, setelah membuka hutan

dan lahannya diolah serta digarap maka lahir Hak Menikmati.Baru setelah Hak

Menikmati berlangsung cukup lama dan penggarapan lahan dilakukan secara terus

menerus maka ia berubah menjadi Hak Pakai. Akhirnya, setelah penguasaan dan

pemakaian itu berlangsung sangat lama sehingga terjadi pewarisan kepada generasi

berikutnya, maka Hak Pakai pun berubah menjadi Hak Milik. Proses lahirnya hak

atas tanah ini

Dalam perkembangannya, para sarjana kemudian menyederhanakan jenis hak-

hak perorangan atas tanah dalam Hukum Adat menjadi Hak Milik dan Hak Pakai.

Dalam pada itu, jika dilakukan penyederhanaan, maka differensiasi Hak Penguasaan

Atas Tanah menurut Hukum Adat terdiri atas:

1. Hak Ulayat yang dipegang oleh seluruh Masyarakat Hukum Adat, yang

kewenangannya memiliki aspek privat (kewenangan menguasai secara perdata

dari para anggota masyarakat hukum adat AMHA atas bagian dari tanah ulayat

dan aspek publik yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat;

2. Hak Tetua Adat yang dipegang oleh Ketua Adat dan para Tetua Adat, yang

berisi kewenangan publik untuk mengatur penguasaan dan penggunaan wilayah

adat untuk kelangsungan masyarakat hukum adat itu sendiri;

Universitas Sumatera Utara


63

3. Hak Perorangan atas Tanah Adat (sebagai proses individualisasi Hak Ulayat),

yang terdiri atas:

1. Hak Milik (hak AMHA yang diperoleh secara turun-temurun);

2. Hak Pakai (hak AMHA yang diperoleh dengan mengolah bagian dari

wilayah adat).

Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga

dalam arti yuridis. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan

umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik

tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang, biarpun memberi

kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya

penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain. Misalnya tanah yang dimiliki

disewakan kepada pihak lain dan penyewa menguasai secara fisik. Atau tanah

tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak, maka dalam hal ini pemilik

tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya berhak menuntut diserahkannya

kembali tanah tersebut secara fisik kepadanya.

Dalam hukum tanah dikenal juga penguasaan yuridis, yang tidak memberikan

kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik Misal kreditor

pemegang hak jaminan atas tanah, mempunyai hak menguasai secara yuridis atas

tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaan secara fisik tetap ada pada yang

empunya tanah. Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang,

kewajiban dan larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan tanah

Universitas Sumatera Utara


64

yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat itulah yang

merupakan tolak pembeda antara berbagai hak penguasaan atas tanah yang diatur

dalam hukum tanah Negara yang bersangkutan.

Dalam Hukum Tanah Nasional terdapat bermacam-macam penguasaan hak

atas tanah, dapat disusun jenjang atau hierarki yaitu:

Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA)

1. Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2 UUPA)

2. Hak ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut

kenyataannya masih ada (Pasal 3 UUPA)

3. Hak-hak Individu:

a. Hak-hak atas tanah (Pasal 4 UUPA) ;

1) Primer: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan

oleh Negara, dan Hak Pakai, yang diberikan oleh Negara.

2) Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh

pemilik tanah, hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak

Sewa dan lain-lainnya.

b. Wakaf (Pasal 49 UUPA)

c. Hak Jaminan atas Tanah: Hak Tanggungan (Pasal 23,33,39, 51 dan Undang-

undang Nomor 4/1996.41

41
“Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional”. http://id.shvoong.com/law-and-
politics/1954099-hukum-agraria-indonesia/#ixzz1PDV7qzeE, diakses tanggal 20 Juli 2011.

Universitas Sumatera Utara


65

F. Dasar Hukum Pendaftaran Pengalihan Hak Atas Tanah

Untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum, dalam pendaftaran

pengalihan hak atas tanah dengan status hak milik karena hibah, diterbitkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku masa pembangunan jangka panjang. Adapun

Dasar Hukum dari Kegiatan Pendaftaran Pengalihan Hak Atas Tanah dengan Status

Hak Milik Karena hibah, adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 3, menyebutkan bahwa: “Bumi air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

2. Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Agraria.

a. Pasal 19 ayat 1 “Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan

pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-

ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”.

b. Pasal 23 ayat 1 dan 2

1) Hak milik demikian pula setiap pengalihan, hapusnya dan pembebanannya dengan

hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud

dalam Pasal 19 UUPA.

Universitas Sumatera Utara


66

2) Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat

mengenai hapusnya hak milik serta sahnya pengalihan dan pembebanan hak

tertentu.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

a. Pasal 1 ayat 1

“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah

secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan,

pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis,

dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan

rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah

yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu

yang membebaninya.”

b. Pasal 37 ayat 1 dan 2

(1) Pengalihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual

beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan hukum

pemindahan hak lainnya,kecuali pemindahan hak lainnya melalui lelang, hanya

dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang

berwenang menurut ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

(2) Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala

Kantor Pertanahan dapat mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak milik,

Universitas Sumatera Utara


67

yang dilakukan diantara perorangan Warga Negara Indonesia yang dibuktikan

dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut Kepala Kantor

Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup untuk mendaftar

pemindahan hak yang bersangkutan.

c. Pasal 40 ayat 1 dan 2

(1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta

yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut

dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk

didaftar.

(2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah

disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat 1 kepada para pihak

yang bersangkutan.

d. Pasal 46 ayat 1, 2 dan 3

(1) Kepala Kantor Pertanahan menolak untuk melakukan pendaftaran pengalihan atau

pembebanan hak, jika salah satu syarat di bawah ini tidak dipenuhi:

a. Sertifikat atau surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak sesuai

lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan;

b. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat 1 tidak

dibuktikan dengan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana

Universitas Sumatera Utara


68

dimaksud dalam Pasal 41, kecuali dalam keadaan tertentu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 37 ayat 2;

c. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran pengalihan atau pembebanan

hak yang bersangkutan tidak lengkap;

d. Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan;

e. Tanah yang bersangkutan merupakan objek sengketa di pengadilan;

f. Perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau dibatalkan

oleh putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; atau

g. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dibatalkan

oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan.

(2) Penolakan Kepala Kantor Pertanahan dilakukan secara tertulis, dengan menyebut

alasan-alasan penolakan itu.

(3) Surat penolakan disampaikan kepada yang berkepentingan, disertai pengembalian

berkas permohonannya, dengan salinan kepada PPAT atau Kepala Kantor lelang

yang bersangkutan.

4. Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun

1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun

1997 (Pendaftaran Tanah).

Universitas Sumatera Utara


69

BAB III

KEDUDUKAN PIHAK KETIGA YANG MENGUASAI OBJEK HAK ATAS


TANAH TERHADAP TERJADINYA PENGALIHAN HAK ATAS TANAH

A. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Dalam Pengalihan Hak Atas Tanah

Di era reformasi dan tuntutan tegaknya supermasi hukum atau penegakan

keadilan melalui pelaksanaan hukum kelihatan menggejala situasi pergulatan antara

hukum dan politik untuk memegang peranan dan saling mengungguli untuk

mendominasi, setidak-tidaknya untuk mempengaruhi pembuatan keputusan hukum.

Kendala-kendala yang dihadapi oleh PN Medan dalam melakukan eksekusi

terhadap objek sengketa yang dikuasai pihak ketiga adalah bahwa pihak ketiga

menggunakan segala cara untuk mempertahankan objek yang belum tentu sah

miliknya. Bahkan terkadang pihak ketiga tersebut melakukan kegiatan premanisme

dalam mempertahankan objek yang dikuasainya. Juga terkadang di back up oleh

pihak aparat sendiri.42

Hal ini juga berpengaruh terhadap pelaksanaan eksekusi pada objek sengketa

yang dikuasai oleh pihak ketiga. Untuk itu perlu diadakan beberapa solusi yang harus

dilaksanakan. Berdasarkan putusan Putusan Mahkamah Agung No.475//PK/Pdt.2010

diketahui bahwa menurut pengakuan Tergugat II, tanah objek gugatan diperoleh

Tergugat II dari Tergugat I atas dasar hibah untuk pembangunan Mako Polsek Tugas

hakim adalah mengambil atau menjatuhkan keputusan yang mempunyai akibat


42
Ibid

69

Universitas Sumatera Utara


70

hukum bagi pihak lain. Ia tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila

perkaranya sudah mulai diperiksa. Bahkan perkara yang telah dijatuhkan kepadanya

tetapi belum mulai diperiksa tidak wewenang ia menolaknya.

Atas dasar pengalihan hak dengan hibah dari Tergugat I tersebut, Tergugat II

memperoleh surat keterangan penguasaan fisik tanah Nomor: 27/KRS–

SKPFAT/2006 tanggal 18 Mei 2006. Apabila benar sebagaimana yang dinyatakan

Tergugat II bahwa tanah objek gugatan ini sebelumnya adalah tanah milik

(inventaris) pemerintah kota Pangkalpinang yang kemudian dihibahkan oleh Tergugat

I kepada Tergugat II, maka perbuatan hukum hibah yang dilakukan Tergugat I kepada

Tergugat II adalah tidak sah menurut hukum dan oleh karenanya perbuatan hukum

hibah tersebut batal demi hukum yang dikeluarkan oleh Lurah Rejosari dan diketahui

oleh Camat.

Agar putusan yang dijatuhkan hakim dapat memuaskan dan diterima pihak

lain, maka ia harus meyakinkan pihak lain dengan alasan-alasan atau pertimbangan-

pertimbangan bahwa putusannya itu tepat atau benar.

Ada beberapa pihak yang disebut dengan pihak lain yang menjadi sasaran

hakim, yaitu: 43

1. Para pihak

43
lihat juga Algra, Rechtsaanvang, hal. 215.

Universitas Sumatera Utara


71

Para pihak yang berperkaralah yang terutama mendapat perhatian dari hakim,

karena ia harus menyelesaiakan atau memutuskannya. Hakim harus memberi

tanggapan terhadap tuntutan para pihak. Ia akan berusaha agar putusannya itu

putus dan tuntas. Secara obyektif putusan yang tepat dan tuntas berarti akan dapat

diterima bukan hanya oleh penggugat melainkan juga oleh tergugat.

Hakim akan lebih puas apabila putusannya memenuhi keinginan dan dapat

diterima oleh kedua belah pihak yang berperkara. Hal ini pada umumnya tidak

mungkin terjadi, kecuali dalam hal putusannya itu merupakan putusan

perdamaian, di mana tidak ada yang dimenangkan atau dikalahkan. Apabila

dengan putusan itu ada yang dimenangkan dan ada yang dikalahkan, maka pada

umumnya yang dikalahkan akan merasa tidak puas dan menganggap putusannya

tidak adil atau tidak tepat serta mengajukan banding.

2. Masyarakat

Hakim harus mempertanggungjawabkan putusannya kepada masyarakat

dengan melengkapinya dengan alasan-alasan. Masyarakat sebagai keseluruhan

harus dapat menerima putusan tersebut. Masyarakat bukan hanya mempunyai

pengaruhnya terhadap putusan, tetapi juga terhadap hakim. Hakim harus

memperhitungkan perkembangan masyarakat. Putusannya harus sesuai dengan

perkembangan masyarakat.

Universitas Sumatera Utara


72

3. Pengadilan banding

Pada umumnya hakim dari peradilan tingkat pertama kali akan kecewa

apabila putusannya dibatalkan oleh pengadilan banding. Bahkan ia mungkin akan

merasa kurang cermat, bodoh, bersalah atau kecil hati, suatu sikap yang tidak

perlu timbul kalau putusannya memang sudah dipertimbangkan masak-masak.

Maka oleh karena itu wajarlah kalau hakim dari tingkat peradilan pertama selalu

berusaha sekeras-kerasnya agar putusannya tidak dibatalkan oleh pengadilan

banding dengan mendukung putusannya dengan alasan-alasan yang cukup kuat,

lengkap dan ketat. Ia akan berusaha agar putusannya dapat diterima oleh

pengadilan banding.

4. Ilmu pengetahuan

Setiap putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Bukan itu saja: putusan-putusan hakim, terutama yang menarik, sering dimuat

dalam majalah-majalah hukum.

Bahkan putusan-putusan itu sering didiskusikan oleh para sarjana hukum.

Ilmu pengetahuan hukum selalu mengikuti peradilan untuk mengetahui

bagaimana peraturan-peraturan hukum itu dilaksanakan dalam praktek peradilan

dan peraturan-peraturan baru manakah yang diciptakan oleh peradilan. Jadi

putusan-putusan pengadilan itu menjadi obyek ilmu pengetahuan hukum untuk

dianalisa, disitemtisir dan diberi komentar. Oleh karena itu hakim akan berusaha

Universitas Sumatera Utara


73

agar putusannya dapat diterima oleh ilmu pengetahuan hukum jangan sampai

putusannya itu acak-acakan sehingga ada komentar yang negatif.

Pada pelaksanaan eksekusi terhadap objek sengketa yang dikuasai oleh pihak

ketiga, pasti mengalami kendala. Ada beberapa kendala yang dihadapi, antara lain

bahwa pihak ketiga yang menguasai objek sengketa tidak mau melaksanakan

eksekusi putusan pengadilan dengan segera. Biasanya mereka langsung akan

mengajukan keberatannya kepada pengadilan.

Secara konkrit ada beberapa tindakan yang diambil oleh PN Medan, yaitu

mempersiapkan diri, baik dari persiapan hukum juga mengantisipasi segala hal-hal

yang mungkin terjadi, termasuk akibat tindak premanisme dan jika terpaksa

Pengadilan juga bisa meminta bantuan dari aparat-aparat terkait

Penggugat dalam gugatannya mengajukan peristiwa konkrit yang menjadi

dasar gugatannya. Peristiwa konkrit itu pulalah yang menjadi titik tolak dalam

memeriksa dan mengadili. Tergugat di persidangan mengemukakan peristiwa konkrit

juga sebagai jawaban terhadap gugatan penggugat.

Ilmu pengetahuan merupakan sumber pula untuk menemukan hukum. Kalau

perundang-undangan tidak memberikan jawaban dan tidak pula ada putusan

pengadilan mengenai perkara sejenis yang akan diputuskan, maka hakim akan

mencari jawabannya pada para pendapat sarjana hukum. Oleh karena ilmu

pengetahuan itu obyektif sifatnya, lagi pula mempunyai wibawa karena diikuti atau

Universitas Sumatera Utara


74

didukung oleh pengikut-pengikutnya, sedangkan putusan hakim itu harus obyektif

dan berwibawa pula, maka ilmu pengetahuan merupakan sumber untuk mendapatkan

bahan guna mendukung atau mempertanggung jawabkan putusan hakim.

Sebagaimana diutarakan diatas bahwa penguasaan tanah oleh negara menurut

UUPA bersifat “hukum publik dan hukum perdata “, yang dalam pelaksanaannya

kesemuanya berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 2 ayat 2 UUPA. Ketentuan

dalam angka 1 mengatur kewenangan negara menurut hukum publik, sedangkan

ketentuan dalam angka 2 dan 3 mengatur kewenangan negara menurut hukum

perdata.

Apabila kita hendak membicarakan pengalihan hak atas tanah, maka pertama-

tama kita harus mengamati ketentuan khusus yang mengatur pengalihan hak atas

tanah sebagai bagian dari “pendaftaran tanah“. Adapun ketentuan yang mengatur

pendaftaran tanah termasuk pengalihan hak atas tanah dimuat dalam Pasal 19 UUPA

dan peraturan pelaksanaannya. Peraturan pelaksanaannya Pasal 19 UUPA yaitu yang

tadinya terdapat pada Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran

tanah.

Dalam perkembangannya, peraturan ini kemudian diganti, dengan maksud

untuk menyempurnakan, dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang

Pendaftaran Tanah. Dalam Peraturan Pemerintah terbaru ini memang banyak

Universitas Sumatera Utara


75

dilakukan penyederhanaan persyaratan dan prosedur untuk penyelenggaraan

pendaftaran tanah.

Dewasa ini tanah bagi masyarakat merupakan harta kekayaan yang memiliki

nilai jual tinggi, di samping fungsinya sebagai sumber kehidupan rakyat, sehingga

setiap jengkal tanah akan dipertahankan sampai ia meninggal dunia. Dalam rangka

pembangunan Nasional, tanah juga merupakan salah satu modal utama sebagai wadah

pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur.

Ketidak pastian hukum menyebabkan kekhawatiran pihak-pihak yang akan

menguasai sebidang tanah kerena pengalihan hak atau pun kreditur yang akan

memberikan kredit dengan jaminan sebidang tanah.44 Permasalahan ini sering terjadi

pada waktu pemindahan hak milik atas tanah berlangsung, yang menyebabkan hak

atas tanah dari seseorang kepada orang lain, misalnya pada saat jual beli, warisan,

hibah, tukar menukar dan lain-lain. Hal ini yang menyebabkan perbuatan hukum dan

mengakibatkan berpindahnya suatu hak atas tanah pada orang lain.

Pengalihan hak milik atas tanah adalah suatu perbuatan hukum yang

memindahkan hak dari suatu pihak ke pihak lain. Hak atas tanah yang dimaksud

adalah hak milik yaitu hak yang terkuat, turun menurun dan terpenuh dan dapat

dipunyai setiap orang, dimana dalam peruntukan dan panggunaannya harus berfungsi

sosial.

44
Efendi Perangin.Hukum Agraria Indonesia. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada, 1994. .
hal. 1

Universitas Sumatera Utara


76

Sedangkan yang di maksud pengertian jual beli tanah adalah beralihnya suatu

hak atas tanah, baik secara keseluruhan maupun sebagian hak dari seseorang ke orang

lain atau badan hukum dengan cara jual beli, yang nantinya hak di alihkan tersebut

akan menjadi hak sepenuhnya dari penerima hak/pemegang hak yang baru. Dan hak

milik atas tanah tersebut yang di maksud disini adalah hak milik yang tanahnya sudah

bersertifikat Pendaftaran pengalihan hak atas tanah yang dimaksud adalah kegiatan

pelaksanaan pencatatan mengenai pengalihan hak atas tanah.

Pencatatan pengalihan hak atas tanah di sini dimaksudnya adalah suatu

kegiatan pencatatan administrasi/yuridis bahkan kadang teknis atau

beralihnya/berpindahnya kepemilikan suatu bidang tanah dari suatu pihak kepada

pihak lain yang dalam hal ini pengalihannya dikarenakan hibah.

Yaitu agar kepastian hukum dari hak-hak atas tanah di haruskan

melaksanakan pendaftaran hak-hak atas tanahnya di Kantor Pertanahan setempat,

begitu juga bila dilakukan hibah pengalihan/bila di alihkan pada pihak lain melalui

hibah, khususnya pada tanah milik harus segera didaftarkan pada kantor pertanahan

setempat yaitu pada kantor pertanahan. Pendaftaran yang dimaksud adalah kegiatan

pencatatan pengalihan hak atas tanah khususnya karena hibah, yang merupakan alat

pembuktian yang kuat mengenai beralihnya serta hapusnya hak-hak milik atas tanah.

Diharuskan pula pada pemegang hak atas tanah, bila akan mengadakan

pengalihan hak atas tanah, yang bertujuan untuk memindahkan hak dari suatu pihak

Universitas Sumatera Utara


77

ke pihak lain, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan di hadapan

PPAT yang ditunjuk oleh mentri agraria/kepala Badan Pertanahan Nasional.45

Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang

pendaftaran tanah pada Pasal 37 ayat (1)dan (2) dan 38 ayat (1) dan (2), yang

mengatur mengenai pengalihan hak atas tanah, yang berbunyi:

1. Pengalihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui

jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan

hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang,

hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT

yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

2. Dalam keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan oleh Menteri, Kepala

Kantor Pertanahan dan mendaftar pemindahan hak atas bidang tanah hak

milik, yang dilakukan di antara perorangan warga negara Indonesia yang

dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi yang menurut

Kepala Kantor Pertanahan tersebut kadar kebenarannya dianggap cukup

untuk mendafar pemindahan hak yang bersangkutan. Pasal 38 yaitu:

Pembuat akta sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) dihadiri oleh pihak

yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh

45
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran tanah

Universitas Sumatera Utara


78

sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat untuk

bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.

B. Pelanggaran Pendaftaran Hak Atas Tanah Yang Dikuasai Secara Fisik Oleh

Pihak Lain

Waktu yang dipergunakan untuk menyelesaikan pengalihan hak atas tanah

cukup lama sampai berbulan-bulan lamanya. Hal ini dikarenakan dalam

pelaksanaannya terdapat berbagai macam hambatan-hambatan yang menyebabkan

pelaksanaan pendaftaran pengalihan hak atas tanah ini selesai tidak tepat pada

waktunya, baik dari faktor intern maupun faktor ekstern. Hambatan-hambatan yang

berasal dari faktor intern, mengakibatkan masyarakat merasa kecewa karena

pelayanan pendaftaran pengalihan hak atas tanah karena hibah ini berkesan lambat,

tidak sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dan membutuhkan waktu yang lebih

lama dari yang sebenarnya.

Soal lain yang mungkin terjadi adalah kesulitan dalam eksekusi. Masih

banyak putusan Peradilan yang tidak dieksekusi/ tidak dipatuhi masyarakat.

Pandangan masyarakat tersebut dapat difahami dengan melihat kenyataan bahwa

diperadilan lain, setelah suatu putusan berkekuatan hukum tetap, maka putusan

tersebut dapat segera dieksekusi, dan bila mana perlu dapat dieksekusi secara paksa

(rieel eksekusi). Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) tentunya

Universitas Sumatera Utara


79

tindakan dari pemerintah tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Dibutuhkan suatu pengujian yuridis terhadap tindakan pemerintah dan pengujian

yang dilakukan terhadap tindakan pemerintah itu harus dapat menghasilkan

perlindungan bagi kepentingan rakyat. Apabila tindakan tersebut bertentangan dengan

kepentingan rakyat, maka kepentingan rakyat tidak semena-mena dapat dikorbankan

begitu saja.

Tanpa hak” pada umumnya merupakan bagian dari “melawan hukum” yaitu

setiap perbuatan yang melanggar hukum tertulis (peraturan perundang-undangan) dan

atau asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis.46

Sedangkan hambatan yang berasal dari faktor ekstern, masih banyak

masyarakat yang dalam melakukan pengalihan hak atas tanahnya tidak dibuat

dihadapan PPAT sekaligus tidak dilakukannya pendaftaran pengalihannya pada

Kantor Pertanahan.

Hambatan-hambatan yang terjadi antara lain:

1. Hambatan-hambatan yang timbul dari faktor intern, dalam hal ini pada Kantor

Pertanahan . Hambatan yang ada pada Kantor Pertanahan, dibedakan menjadi

dua yakni hambatan dalam segi teknis atau pelaksana dan hambatan dalam segi

pembukuan.

46
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, hal .67

Universitas Sumatera Utara


80

a. Hambatan dalam segi teknis atau pelaksana, maksudnya hambatan yang

dilihat dari segi pelaksana, dalam hal ini menyangkut sumber daya manusia,

diantaranya:

1) Kurangnya sumber daya manusia, dalam hal ini tenaga ahli di bidang

pertanahan, yang menangani pendaftaran pengalihan hak atas tanah

tersebut pada Sub Seksi pengalihan hak pembebanan dan PPAT.

Pelaksanaan pelayanan pendaftaran pengalihan hak atas tanah bukan

merupakan pekerjaan yang ringan akan tetapi merupakan pekerjaan yang

berat yang banyak membutuhkan tenaga ahli di bidangnya.

2) Di Kantor Pertanahan ini, jumlah tenaga ahli yang menangani pelaksanaan

pendaftaran pengalihan hak atas tanah karena hibah ini masih sangat

terbatas. Hal ini dilihat dari menumpuknya pekerjaan pendaftaran

pengalihan hak atas tanah ini, yang menyebabkan pelayanan menjadi

sangat lambat dan tidak tepat waktu. Begitu juga pada petugas

pengukuran, jika dalam hal tanah yang dialihkan tersebut belum

bersertifikat, walaupun sudah ada petugas ukur keliling yang sudah

terjadwal, sering juga terlambat dalam melakukan pengukuran,

dikarenakan jumlah tenaga ukur sangat terbatas. Keterlambatan ini

dikarenakan banyaknya pekerjaan dari petugas ukur yang lebih penting

Universitas Sumatera Utara


81

dari pada pengukuran di lapangan yang akhirnya pekerjaan pengukuran

menjadi tertunda.

3) Benturan kepentingan pegawai antara kepentingan pekerjaan dengan

kepentingan pribadinya, yang keduanya sama-sama penting. Kurangnya

tenaga ahli dalam pekerjaan ini menyebabkan terjadinya benturan

kepentingan antara kepentingan pribadi pegawai dengan kepentingan

pekerjaan, yang keduanya dirasakan terlihat penting. Hal ini pula yang

menyebabkan pelaksanaan pendaftaran pengalihan hak atas tanah ini tidak

lancar, dan menghambat waktu penyelesaiannya.

4) Kesibukan Kepala Kantor Pertanahan. Kesibukannya terkadang menunda

pekerjaan ini untuk beberapa waktu lamanya, karena dirasakan ada

sesuatu kepentingan yang harus diselesaikan terlebih dahulu, yang sangat

penting dari pekerjaan lain.

Misalnya: untuk kepentingan dinas, yang mengharuskan Kepala Kantor

Pertanahan meninggalkan semua pekerjaan di Kantor Pertanahan tersebut.

Sehingga waktu penyelesaian pekerjaan ini menjadi tertunda sampai beberapa

waktu yang lama. Hambatan dari segi teknis atau pelaksana ini menyebabkan

`pandangan masyarakat menjadi negatif mengenai pelaksanaan pendaftaran

pengalihan hak atas tanah khususnya karena hibah di Kantor Pertanahan.

Universitas Sumatera Utara


82

5) Adanya sumber daya manusia yang masih sangat terbatas, Kepala Sub

Seksi pengalihan hak pembebanan dan PPAT memang mengakui, bahwa

merupakan sebagian sebab dari belum lancarnya kegiatan pelaksanaan

pendaftaran pengalihan hak atas tanah karena hibah tersebut di Kantor

Pertanahan. Maka wajarlah kiranya dengan kekurangan tenaga ahli,

penyelesaian pekerjaan ini menjadi terlambat karena kurang adanya

keseimbangan antara tenaga yang tersedia dan tugas yang harus

diselesaikan.

b. Dari segi pembukuan, maksudnya hambatan yang dilihat dari segi pembukuannya

atau pencatatannya, diantaranya:

1) Pencarian buku tanah yang tidak ditemukan ketika PPAT akan melakukan

pendaftaran pengalihan hak atas tanah tersebut, terlebih dahulu harus dicari

buku tanah yang sesuai dengan sertifikat yang bersangkutan, untuk

mengetahui apakah data-data yang ada dalam sertifikat sesuai dengan data-

data yang ada dalam buku tanah yang bersangkutan sekaligus untuk mencatat

adanya pengalihan dan hapusnya hak atas tanah khususnya karena hibah.

Dalam pencarian buku tanah tersebut kadang-kadang mengalami hambatan,

diantaranya tidak ditemukannya buku tanah pada almari arsip buku tanah, hal

ini dikarenakan buku tanah yang bersangkutan sedang dipakai/digunakan oleh

bagian lain dan belum dikembalikan pada almari arsip buku tanah. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


83

mengakibatkan pencocokan dan pencatatan pada buku tanah mengenai telah

terjadinya pengalihan hak atas tanah tersebut mengalami katerlambatan,

karena menunggu buku tanah tersebut selesai diproses oleh bagian lain.47

Begitu juga buku tanah yang akan digunakan, ternyata hilang.

Hilangnya buku tanah ini pada Kantor Pertanahan, dapat juga dikarenakan

ketidakteraturan para pegawai dalam menyimpan kembali buku tanah tersebut

dalam almari arsip atau buku tanah tersebut telah usang termakan oleh waktu.

Di mana hilangnya buku tanah tersebut harus melalui berita acara kehilangan,

untuk dibuatkan buku tanah yang baru lagi yang memakan proses yang sangat

lama. Hal inilah yang menghambat proses penyelesaian pendaftaran

pengalihan hak atas tanah tersebut yang tidak selesai tepat pada waktunya.

2) Pengisian akta-akta khususnya jual beli yang dibuat oleh PPAT yang kurang

lengkap, kurang teliti dan cenderung tidak sempurna dalam pembuatan

aktanya.

Hal ini terletak pada banyaknya halaman-halaman yang berisi pasal-

pasal dalam akta jual beli yang tidak terpakai, tidak dilakukan pencoretan.

Pada setiap perubahannya / penambahannya pada akta jual beli tersebut tidak

dibubuhkan paraf oleh PPAT maupun para pihak serta tidak dibubuhkan cap

47
Boedi Harsono, Undang-Undang Hukum Agraria. Sejarah Isi dan Pelaksanaannya.
Jakarta: Djambatan., 1999. hal. 90.

Universitas Sumatera Utara


84

stempel PPAT yang bersangkutan. Sehingga harus dikembalikan pada PPAT

yang bersangkutan, untuk segera melengkapinya.

Hal inilah yang menyebabkan pelaksanaan pendaftaran pengalihan hak atas

tanah ini menjadi tertunda dan berkesan sangat lambat.

3) Berkas-berkas yang diperlukan untuk melakukan pendaftaran pengalihan hak

atas tanah karena hibah tersebut, tidak lengkap atau kurang lengkap.

Hal ini dilihat dari foto copy KTP yang sudah tidak berlaku lagi ataupun

belum dilegalisir oleh pejabat yang berwenang, begitu pula sertifikat yang

akan dilakukan pengalihan haknya belum dilakukan pengecekan terlebih

dahulu pada Kantor Pertanahan. Pengecekan sertifikat tersebut dilakukan oleh

PPAT sebelum melakukan pembuatan akta jual beli tanah. Berkas yang

kurang lengkap inilah yang nantinya dikembalikan kepada pemohon untuk

dilengkapi terlebih dahulu. Hal ini akan memperpanjang waktu pendaftaran

pengalihannya sehingga berkesan pelaksanaanya sangat lambat.

Tanah yang akan dilaksanakan pendaftaran pengalihannya tersebut ternyata

dalam keadaan sengketa. Dalam hal ini Kantor Pertanahan menolak untuk

diadakan pendaftaran pengalihan karena, selama tanah tersebut masih

bersengketa dengan pihak lain.

2. Hambatan yang timbul dari faktor ekstern, dalam hal ini masyarakat sendiri, yakni:

Masih banyaknya masyarakat, khususnya pada desa yang terpencil yang dalam

Universitas Sumatera Utara


85

melakukan pengalihan hak atas tanahnya yang dilakukan di bawah tangan, tidak

dilakukan di hadapan PPAT.

Mereka beranggapan dengan dilakukannya pengalihan hak atas tanah yang

dilakukan di bawah tangan, yang hanya bermodalkan materai, yang disaksikan oleh

para pihak, jual beli tersebut dianggap sah, tanpa didaftarkannya pada Kantor

Pertanahan setempat dan beranggapan bahwa pemilik tanah sudah pasti mendapatkan

hak atas tanah dan jaminan kepastian hukum.

Hal ini disebabkan masih banyaknya masyarakat yang belum mengetahui

secara jelas tentang pelaksanaan pendaftaran pengalihan hak atas tanah di Kantor

Pertanahan serta syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pendaftaran

pengalihan hak atas tanah karena hibah tersebut yang tidak diketahui oleh

masyarakat. Bagi masyarakat, khususnya daerah yang terpencil, biaya yang

dikeluarkan untuk melakukan pengalihan hak atas tanahnya sampai dengan

pendaftaran pengalihannya relatif mahal, dan mengeluarkan biaya yang sangat besar

serta melalui proses yang berbelit-belit dan lama.

Bagi masyarakat golongan ekonomi lemah, biaya tersebut dirasakan sangat

mahal. Yang pada kenyataannya masyarakat ekonomi lemah merasa malas dan

enggan untuk melakukan pengalihannya pada PPAT dan melakukan pendaftaran

pengalihannya pada Kantor Pertanahan, yang dirasa hanya memakan waktu yang

sangat lama, yang hanya akan menyita waktu kerja mereka.

Universitas Sumatera Utara


86

Apabila tidak didaftarkan pengalihan tersebut, mereka akan kesulitan dalam

memperoleh sertifikat atas namanya. Begitu pula masyarakat di daerah pedesaan yang

dalam melakukan pendaftaran pengalihan hak atas tanahnya melalui perantara Kepala

Desa/Lurah, karena kesibukan kepentingan pribadi Kepala Desa/Lurah untuk

mengurusi hal lain, mengakibatkan pendaftaran ke Kantor Pertanahan menjadi

tertunda untuk beberapa waktu lamanya. Keterlambatan dan penundaan oleh Kepala

Desa/Lurah inilah yang menyebabkan pendaftaran pengalihan hak atas tanah

berkesan lama.

Philippe Nonet dan Philip Selznick menyatakan bahwa rezim hukum represif

akan menghasilkan bentuk hukum yang represif, rezim hukum otonom akan

menghasilkan produk hukum yang otonom dan rezim hukum responsif akan

menghasilkan hukum yang responsif pula.48

Berdasarkan isi putusan, hambatan yang paling dirasakan untuk

melaksanakan pengalihan hak atas tanah, adalah karena objeknya masih dikuasai

pihak lain dengan cara tanpa bukti hak. Dengan masih dikuasainya objek hak atas

tanah, akan menghalangi pihak lain untuk melakukan pendaftaran.

48
Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung, Penerbit Nusamedia,
2007, hal. 45.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

ANALISIS KASUS TERHADAP PENGALIHAN HAK ATAS TANAH


YANG DIKUASAI SECARA FISIK OLEH PIHAK LAIN

A. Kasus Posisi

Berawal dari putusan Pengadilan Negeri Pangkalpinang dengan Putusan

Nomor 18/PDT.G/2006/PN.PKP, di mana ayah Penggugat De Nogo. C semasa

hidupnya yaitu sejak Tahun 1975 telah mengusahakan tanah Negara Bebas yang

terletak di JI. RE. Martadinata, Kelurahan Rejosari, Kecamatan Pangkalbalam, Kota

Pangkalpinang dengan batas-batas jelas disebutkan dalam putusan. Awalnya putusan

Pengadilan Negeri dengan alasan bahwa gugatan Penggugat tidak dapat diterima

(niet ontvanklijk verklaard). Selanjutnya dilakukan gugatan ulang dan dalam tingkat

banding atas permohonan Penggugat putusan Pengadilan Negeri tersebut telah

dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bangka Belitung dengan putusan No.

02/Pdt/2009/PT.Babel tanggal 20 April 2009 dan selanjutnya kembali diajukan kasasi

yang akhirnya mengubah putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi Bangka

Belitung yang memutuskan bahwa Penggugat merupakan pihak yang berhak untuk

mengajukan hak atas tanah, dengan dasar telah menguasai secara fisik objek hak atas

tanah tersebut lebih dari 20 (dua puluh) tahun.

Bahwa, sejak Tahun 1975 tanah Negara bebas tersebut dikuasai dan

diusahakan oleh ayah Penggugat De Nogo C sebagai kebun palawija tanpa ada pihak

87

Universitas Sumatera Utara


88

manapun yang menggugatnya Bahwa setelah ayah Penggugat meninggal pada tanggal

04 Juni 1994, Penggugat meneruskan mengusahakan tanah negara tersebut, yaitu:

Bahwa Penggugat bersama-sama masyarakat kelurahan Rejosari, kecamatan

Pangkalbalam lainnya yang menguasai/mengusahakan fisik tanah negara tersebut

pernah mengajukan permohonan hak atas tanah Negara tersebut kepada Camat

Pangkalbalam selaku pejabat pembuat akta tanah.

Pada Tahun 2004 pemerintah kota Pangkalpinang pernah mendata tanah

negara yang dikuasai/diusahakan oleh warga masyarakat dengan keputusan walikota

Pangkalpinang Nomor: 154 Tahun 2004 tanggal 28 Juni 2004 tentang pembentukan

tim penyelesaian kasus tanah di kelurahan Rejosari, kecamatan Pangkalbalam, kota

Pangkalpinang (bukti P-1) dan diusahakan oleh warga masyarakat dan melakukan

pendataan tanah negara di kelurahan Rejosari yang dikuasai/diusahakan oleh warga

masyarakat.

Atas kesimpulan tim penyelesaian tanah di kelurahan Rejosari, kecamatan

Pangkalbalam, kota Pangkalpinang yang dibentuk walikota Pangkalpinang tersebut,

kepada 21 (dua puluh satu) warga masyarakat kelurahan Rejosari yang

menguasai/mengusahakan fisik tanah tersebut termasuk Penggugat, diberikan hak

untuk mengajukan permohonan hak atas tanah negara tersebut dengan kewajiban

membayar uang konstribusi kepada pemerintah kota Pangkalpinang berdasarkan luas

tanah yang dikuasai oleh masing-masing masyarakat Pemohon:

Universitas Sumatera Utara


89

- Bahwa Penggugat ditetapkan untuk membayar konstribusi yang besarnya Rp

3.331.200,- (tiga juta tiga ratus tiga puluh satu ribu dua ratus rupiah) dan dari

seluruh kewajiban tersebut Penggugat telah membayar sebesar Rp 1.000.000,-

(satu juta rupiah) kepada pejabat yang ditugaskan (bukti P-2) ;

- Bahwa di antara 21 (dua puluh satu) orang masyarakat pemohon hak

penguasaan fisik tanah atas tanah negara tersebut, beberapa orang warga surat

keterangan penguasaan fisik tanah telah dikeluarkan oleh lurah Rejosari,

sedangkan beberapa warga masyarakat pemohon lainnya termasuk Penggugat

belum keluar/diberikan surat keterangan penguasaan fisik tanah tanpa alasan

yang jelas. Bahwa pada Tahun 2006, Penggugat mengetahui di atas lahan

tanah yang dikuasai/ diusahakan Penggugat telah terpancang papan yang

bertuliskan "Di atas tanah ini akan dibangun Mako Polsek Pangkalbalam”

yang dipasang oleh Tergugat II Pangkalbalam, dan atas dasar pengalihan hak

dengan hibah dari Tergugat I tersebut, Tergugat II memperoleh surat

keterangan penguasaan fisik tanah Nomor : 27/KRS–SKPFAT/2006 tanggal

18 Mei 2006. Apabila benar sebagaimana yang dinyatakan Tergugat II bahwa

tanah objek gugatan ini sebelumnya adalah tanah milik (inventaris)

pemerintah kota Pangkalpinang yang kemudian dihibahkan oleh Tergugat I

kepada Tergugat II, maka perbuatan hukum hibah yang dilakukan Tergugat I

kepada Tergugat II adalah tidak sah menurut hukum dan oleh karenanya

perbuatan hukum hibah tersebut batal demi hukum yang dikeluarkan oleh

Universitas Sumatera Utara


90

Lurah Rejosari saudara Nasri, SH, dan diketahui oleh Camat Pangkalbalam

Sdr. Drs. N. Abubakar tertanggal 19 Juli objek gugatan ini sebelumnya adalah

tanah milik (inventaris) pemerintah kota Pangkalpinang yang kemudian

dihibahkan oleh Tergugat I kepada Tergugat II, maka perbuatan hukum hibah

yang dilakukan Tergugat I kepada Tergugat II adalah tidak sah menurut

hukum dan oleh karenanya perbuatan hukum Hibah tersebut batal demi

hukum.

Bahwa Pasal 1667 BW menyatakan bahwa objek hibah hanya dapat dilakukan

terhadap benda-benda yang sudah ada. Dari bunyi pasal ini mensyaratkan bahwa

benda objek hibah pada waktu dihibahkan harus sudah ada dan menjadi milik sah

penghibah. Pemerintah kota Pangkalpinang adalah badan hukum publik yang juga

adalah merupakan subjek hukum UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok

Agraria.

Sebagai subjek hukum UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang pokok-pokok

Agraria, maka pemerintah kota Pangkalpinang dapat memperoleh hak atas tanah

(Pasal 4 (1) UU No. 5 th. 1960) dan untuk memperoleh dan memiliki hak atas tanah

harus memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah ditentukan perundang-

undangan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyatakan bahwa "Sertifikat

hak atas tanah adalah merupakan satu-satunya alat bukti kepemilikan hak atas tanah".

Jika benar tanah objek gugatan adalah milik/inventaris Pemerintah kota

Pangkalpinang sejak Tahun 1984 sebagaimana yang dinyatakan Tergugat II. Kami

Universitas Sumatera Utara


91

mensomir Tergugat I dan Tergugat II Untuk membuktikan kepemilikan hak atas

tanah objek gugatan ini sebagai milik/ inventaris Pemerintah kota Pangkalpinang.

Kalaupun tanah objek gugatan tersebut adalah berstatus milik/inventaris pemerintah

kota Pangkalpinang, maka dapat dihibahkan kepada Tergugat II, sebagaimana

ketentuan Pasal 22 Kepmendagri dan Otonomi Daerah No. 11 Tahun 2001 tentang

Pedoman Pengelolaan Barang Daerah, sebelum ditetapkan kepala daerah harus

dimintakan persetujuan DPRD.

Namun demikian di beberapa darerah Surat Pernyataan Penguasaan Fisik itu

yang lazim digunakan. Selain dengan penyerahan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik

yang asli, jual beli tanah girik lazimnya disertakan juga dengan Surat Keterangan

Ganti Rugi.

Lazimnya, Surat Keterangan Penguasaan Fisik Tanah mencakup setidaknya

hal-hal sebagai berikut:

1. Identitas para pihak (penjual dan pembeli). Identitas ini sama seperti penulisan

identitas pada dokumen-dokumen hukum lainnya, seperti : Nama, tempat

tinggal, tempat tanggal lahir dan sebagainya. Kita tidak harus menulis

selengkap-lengkapnya namun jangan lupa untuk saling bertukar fotocopy

KTP dari masing-masing pihak, hal ini agar mudah untuk dihubungi/ditelusuri

apabila suatu saat diperlukan.

2. Riwayat Tanah. Keterangan ini cukup signifikan. Keterangan ini berisi

tentang keterangan darimana asal muasal tanah yang dijual oleh penjual.

Universitas Sumatera Utara


92

Biasanya tanah girik ini adalah tanah yang didapatkan secara turun-temurun

ataupun dari jual beli. Pembeli tanah bisa mendapatkan dokumen lain yang

berhubungan dengan riwayat tanah ini. Maksudnya, apabila tanah yang akan

dijual adalah tanah hasil jual beli, maka mintalah tanda bukti pembeliannya

(yang asli). Misalkan tanah adalah dari hasil turun temurun, mintalah Surat

Pernyataan Penguasaan Fisik sebelumnya. Seperti yang telah dikatakan

sebelumnya, bahwa permasalahan tanah adat/tanah girik biasanya adalah

kelemahan administratif dokumen tanah.

3. Ukuran dan batas-batas tanah. Ini penting sekali, karena keterangan ini akan

membedakan antara kepemilikan suatu bidang tanah. Untuk menguatkan

kebenaran tentang keterangan tanah ini, baik sekali untuk bisa

menpergunakan bantuan dari pihak yang diakui keahlian dan independensinya

dalam hal pengukuran tanah.

4. Saksi-saksi. Sangat disarankan bahwa saksi yang akan digunakan adalah dari

pihak yang berbatasan langsung dengan bidang tanah yang akan dijual

tersebut. Karena bagaimanapun tetangga yang bersebelahan langsung dengan

obyek jual beli dianggap tahu banyak mengenai kondisi dan riwayat tanah

tetangganya.

Diketahui oleh Kelurahan atau kepala Desa. Sebagai pihak perwakilan dari

pemerintah yang dianggap tahu secara detil terhadap kondisi warganya, cap/stempel

dari kelurahan/kepala desa adalah penting. Menyangkut stempel dari

Universitas Sumatera Utara


93

kelurahan/kepala desa ini, mungkin saja berbeda di setiap daerah. Misalkan saja,

Surat Pernyataan Penguasaan Fisik ada yang dibuat/dinyatakan oleh Kepala

Desa/Kelurahan dan kemudian diketahui oleh Warga/penjual yang bersangkutan.

Namun model yang seperti ini dianggap banyak kelemahan oleh karena Kepala Desa

dianggap rentan terhadap gugatan hukum (apabila di kemudian hari ada sengketa

terhadap kebenaran status tanah tersebut). Padahal kenyataannya yang paling tahu

dan yang paling bertanggungjawab terhadap kebenaran Pernyataan Penguasaan Fisik

Tanah adalah warga pemilik/penjual tanah tersebut.

B. Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak yang Telah Melakukan

Pengalihan Hak Atas Tanah

Hukum Pertanahan Indonesia menginginkan kepastian siapa pemegang hak

milik atau hak-hak lain atas sebidang tanah. Di dalam realitasnya, pemegang sertifikat

atas tanah belum merasa aman akan kepastian haknya, bahkan sikap keragu-raguan

yang seringkali muncul dengan banyaknya gugatan yang menuntut pembatalan

sertifikat tanah melalui pengadilan.40

Menurut Pasal 19 ayat 1 UUPA disebutkan bahwa: “Untuk menjamin

kepastian hukum oleh Pemerintah dilaksanakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah

Indonesia menurut ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah”, dan

selanjutnya menurut ketentuan Pasal 23 ayat 1 UUPA disebutkan bahwa hak milik,

40
Maria S.W. Soemarjono. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,
Kompas Jakarta, 2001, hal.78

Universitas Sumatera Utara


94

demikian pula dengan pengalihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak

lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksudkan dalam Pasal 19 UUPA.

Pasal-pasal tersebut adalah merupakan dasar hukum dari pendaftaran

tanah/pendaftaran hak atas tanah, termasuk tanah-tanah dengan status milik adat.

Melalui pendaftaran inilah maka status tanah milik adat tersebut berubah menjadi hak

milik sebagaimana diatur UUPA.41

Terbitnya sertifikat tanah atas tanah-tanah milik adat, di samping membawa

kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah-tanah milik adat (merubah

statusnya menjadi hak milik menurut UUPA), juga demi untuk kelancaran lalu lintas

hukum dan kemajuan pembangunan dewasa ini, di mana setiap orang menghendaki

kepastian tentang segala soal.

Pendaftaran pengalihan hak atas tanah diperlukan guna memperkuat

pembuktian beralihnya suatu hak atas tanah karena dengan didaftarkan haknya akan

berlaku umum. Dalam uraian di muka telah dikemukan bahwa Mahkamah Agung

Republik Indonesia berpendapat mengingat stelsel negatif tentang register

pendaftaran tanah yang berlaku di Indonesia, maka terdaftarnya nama seseorang

dalam register bukanlah berarti absolut menjadi pemilik tanah tersebut apabila

ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain. Dengan demikian disini

pendaftaran adalah bersifat administratif. Jual belinya tetap sah menurut hukum

41
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


95

kendati pun tanpa di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah atau pun tidak didaftarkan

haknya di kantor agraria.

Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menegaskan bahwa

kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik dimulai dari pembuatan peta dasar

pendaftaran, sedangkan pada pendaftaran tanah secara sporadik hanya perlu

diusahakan tersedianya peta dasar pendaftaran tersebut.

Pendaftaran tanah bertujuan:

a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada

pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak

lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai

pemegang hak yang bersangkutan;

b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan

termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang

diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang

tanah dan satuan-satuan rumah susun yang terdaftar;

c. Untuk terselenggarakan tertib administarsi pertanahan.42

Hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf dan hak milik atas satuan rumah

susun didaftar dengan membukukannya dalam buku tanah, yang memuat data yuridis

dan data fisik bidang tanah yang bersangkutan dan sepanjang ada surat ukurnya

dicatat pula pada surat ukur tersebut. Pembukuan dalam buku tanah serta

42
Tampil Anshari, Undang-undang Pokok Agraria dalam Bagan, Kelompok Study Hukum
dan Masyarakat, Fakultas Hukum USU, Medan, 2001, hal. 186

Universitas Sumatera Utara


96

pencatatannya pada surat ukur tersebut merupakan bukti, bahwa hak yang

bersangkutan berserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan dalam

surat ukur secara hukum telah didaftar menurut PP No. 24 Tahun 1997 ini.

Sistem publikasi yang digunakan tetap seperti dalam pendaftaran tanah

menurut PP No. 10 Tahun 1961, yaitu sistem negatif yang mengandung unsur positif,

karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat

pembuktian yang kuat, seperti dinyatakan dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23

ayat (2) Pasal 32 ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA. Bukan sistem publikasi

negatif yang murni. Sistem publikasi yang negatif murni tidak akan menggunakan

sistem pendaftaran hak. Juga tidak akan ada pernyataan seperti dalam Pasal-Pasal

UUPA tersebut, bahwa sertifikat merupakan alat bukti yang kuat.

Sebagaimana akan dilihat pada ketentuan-ketentuan yang mengatur prosedur

pengumpulan sampai penyajian data fisik dan data yuridis yang diperlukan serta

pemeliharaannya dan penerbitan sertifikat haknya, biarpun sistem publikasinya

negatif, tetapi kegiatan-kegiatan yang bersangkutan dilaksanakan secara seksama,

agar data yang disajikan sejauh mungkin dapat dipertanggungjawabkan

kebenarannya.

Sehubungan dengan apa yang dikemukakan dalam uraian di atas, dalam

rangka memberi kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dan hak

milik atas satuan rumah susun dalam Pasal 32 ayat (1) diberikan penjelasan resmi

mengenai arti dan persyaratan pengertian ’’berlaku sebagai alat pembuktian yang

Universitas Sumatera Utara


97

kuat” itu. Dijelaskan, bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku

sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang ternyata

di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang

ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

Ini berarti, demikian dijelaskan dalam penjelasan pasal tersebut, bahwa

selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum

di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam melakukan

perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam berperkara di pengadilan. Sudah barang

tentu data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus sesuai dengan

data yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan, karena data

itu diambil dari surat ukur dan buku tanah tersebut.

Dalam hubungan ini maka, data yang dimuat dalam surat ukur dan buku tanah

itu mempunyai sifat terbuka untuk umum, hingga pihak yang berkepentingan dapat

(PPAT bahkan wajib) mencocokkan data dalam sertifikat itu dengan yang ada dalam

surat ukur dan buku tanah yang disajikan di Kantor Pertanahan. Perlu diperhatikan,

bahwa menurut PP No. 10 Tahun 1961 surat ukur merupakan petikan dari peta

pendaftaran. Maka data yuridisnya harus sesuai dengan peta pendaftaran. Menurut PP

No. 24 Tahun 1997 surat ukur merupakan dokumen yang mandiri di samping peta

pendaftaran. Surat ukur memuat data fisik bidang tanah yang bersangkutan.

Sebagai kelanjutan dari pemberian perlindungan hukum kepada para

pemegang sertifikat hak tersebut, dinyatakan dalam Pasal 32 ayat (2), bahwa: dalam

Universitas Sumatera Utara


98

hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara sah atas nama orang

atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara

nyata menguasainya, maka para pihak yang merasa mempunyai hak atas tanah ini

tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hal tersebut apabila dalam waktu 5 (lima)

tahun sejak diterbitkannya sertifikat ini tidak mengajukan keberatan secara tertulis

kepada pemegang sertifikat dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan

ataupun tidak mengajukan gugatan pada Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau

penerbitan sertifikat tersebut.

Pada kasus, Tergugat I telah mengalihkan hak penguasaan tanah objek

sengketa kepada Tergugat II tanpa alas hak yang jelas. Daftar inventaris barang milik

Tergugat I bukanlah bukti sah kepemilikan Tergugat I terhadap tanah objek sengketa

karena selain bukan termasuk bukti sah yang diakui oleh UU, juga daftar inventaris

tersebut adalah produk yang dibuat sendiri oleh Tergugat I dengan melakukan

tindakan sewenang-sewenang sehingga melanggar asas pemerintahan yang baik

karena tanpa alas hak yang jelas mengeluarkan surat keterangan penguasaan fisik

tanah kepada Tergugat II, juga tanpa sebuah penjelasan atau alasan yang jelas

Tergugat I tidak mengeluarkan surat keterangan penguasaan fisik tanah untuk

Penggugat.

Pernyataan tersebut dia atas mengandung makna, bahwa sertifikat merupakan

alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan

adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan,

Universitas Sumatera Utara


99

menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya, sungguhpun sistem publikasi yang

digunakan adalah sistem negatif.

Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas permberian perlindungan yang

seimbang, baik kepada pihak yang mempunyai tanah dan dikuasai serta digunakan

sebagaimana mestinya maupun kepada pihak yang memperoleh dan menguasainya

dengan itikad baik dan dikuatkan dengan pendaftaran tanah yang bersangkutan.

Demikian dinyatakan dalam Penjelasan Umum PP No. 24 Tahun 1997.

Ketentuan Pasal 32 ayat (2) tersebut disertai penjelasan sebagai berikut:

“Pendaftaran tanah yang penyelenggaraan diperintahkan oleh UUPA tidak

menggunakan sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin

oleh Negara, melainkan menggunakan sistem publikasi negatif”. Di dalam sistem

publikasi negatif negara tidak menjamin kebenaran data yang disajikan.

Ketentuan ini bertujuan, pada suatu pihak untuk tetap berpegang pada sistem

publikasi negatif dan pada lain pihak untuk secara seimbang memberi kepastian

hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah dan didaftar

sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya,

yang menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kelemahan sistem negatif adalah, bahwa pihak yang namanya tercantum

sebagai pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi

kemungkinan gugatan dari pihak lain yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya

kelemahan tersebut di atasi dengan menggunakan lembaga acquisitieve verjaring

Universitas Sumatera Utara


100

(tidak dikenalnya daluwarsa untuk memperoleh hak atas tanah) atau adverse

possession.

Hukum tanah di Indonesia yang memakai dasar hukum adat tidak dapat

menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya (Putusan

Hooge rechts Hof 25 Oktober 1934). Tetapi dalam hukum adat terdapat lembaga yang

dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam

pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverweking (lembaga kedaluarsa).

Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya

tidak dikerjakan, kemudian tanah itu dikerjakan orang lain, yang memperolehnya

dengan itikad baik, maka dia dianggap telah melepaskan haknya atas bidang tanah

yang bersangkutan dan karnanya hilanglah haknya untuk menuntut kembali tanah

tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas tanah

karena diterlantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan

lembaga ini.43

Penjelasan ayat (2) tersebut diakhiri dengan kalimat: “Dengan pengertian

demikian, maka apa yang ditentukan dalam ayat ini bukanlah menciptakan ketentuan

hukum baru, melainkan merupakan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum

adat, yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah

Nasional Indonesia dan sekaligus memberikan wujud yang konkret dalam penerapan

ketentuan UUPA mengenai penelantaran tanah”.

43
AP. Parlindungan, loc.Cit.

Universitas Sumatera Utara


101

Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan, pertama-tama

memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas, yang

dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya.

Selain itu dalam menghadapi kasus-kasus konkret diperlukan juga

terselenggaranya pendaftaran tanah, yang memungkinkan bagi para pemegang hak

atas tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya,

dan bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditor,

untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang menjadi obyek

perbuatan hukum yang akan dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan

kebijaksanaan pertanahannya.

Sehubungan dengan itu UUPA memerintahkan pendaftaran tanah dalam

rangka menjamin kepastian hukum sebagai yang dimaksud di atas. Pendaftaran tanah

tersebut kemudian diatur lebih lanjut dengan PP No. 10 Tahun 1961 yang sampai kini

menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.

Data Fisik dan data Yuridis yang dilaporkan secara bulanan oleh PPAT

mendukung upaya pemerintah untuk menyediakan informasi kepada masyarakat. Hal

inilah yang membedakan antara akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT dengan

akta di bawah tangan. Kontrol terhadap kebenaran alat bukti di bawah tangan sangat

rentan dengan kekeliruan sedangkan untuk akta otentik lebih memberikan kepastian

hukum. Kondisi ini juga dapat menjadi salah satu solusi untuk memberikan

penerangan kepada masyarakat siapa pemilik sah sebuah objek hak atas tanah.

Universitas Sumatera Utara


102

C. Penguasaan Fisik sebagai Penyebab Terhalangnya Pengalihan Hak Atas

Tanah

Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, diadakan ketentuan

yang mewajibkan Kepala Kantor Pertanahan menolak melakukan pendaftaran

pengalihan atau pembebanan hak yang dimohon. Penolakan itu harus dilakukan

secara tertulis, yang disampaikan kepada yang berkepentingan, dengan menyebut

alasan-alasannya, disertai pengembalian berkas permohonannya, dengan tembusan

kepada PPAT atau Kepala Kantor Lelang yang bersangkutan. Kepala Kantor

Pertanahan wajib menolak melakukan pendaftaran pengalihan atau pembebanan hak,

jika salah satu syarat di bawah ini tidak dipenuhi:

a. Sertifikat atau surat keterangan tentang keadaan hak atas tanah tidak sesuai

lagi dengan daftar-daftar yang ada pada Kantor Pertanahan .

b. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) tidak

dibuktikan dengan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 41, kecuali dalam keadaan tertentu sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2).

c. Dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran pengalihan atau pembebanan

hak yang bersangkutan tidak lengkap.

d. Tidak dipenuhi syarat lain yang ditentukan dalam peraturan perundang

undangan yang bersangkutan.

e. Tanah yang bersangkutan merupakan obyek sengketa di Pengadilan.

Universitas Sumatera Utara


103

f. Perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta PPAT batal atau dibatalkan

oleh putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;atau

g. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dibatalkan

oleh para pihak sebelum didaftar oleh Kantor Pertanahan.

Dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

disebutkan bahwa dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat

pembuktian sebagai dasar pendaftaran hak atas tanah, maka pembukuan hak dapat

dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan

selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon

pendaftaran dan pendahulu-pendahulunya dengan syarat:

1. Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang

bersangkutan sebagai pihak yang berhak atas tanah.

2. Diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.

3. Penguasaan tersebut tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau

desa/kelurahan yang bersangkutan atau pihak lainnya.

Berdasarkan ketentuan pasal ini, mereka yang secara fisik menguasai suatu

bidang tanah selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut dapat

mengajukan permohonan hak kepada BPN. Tentu hal ini harus didukung dengan

sejumlah persyaratan tentang pembuktian bahwa penguasaan tersebut dilakukan

dengan itikad baik dan terbuka, didukung dengan keterangan saksi, dan penguasaan

tersebut tidak dipermasalahkan oleh masyarakat sekitar.

Universitas Sumatera Utara


104

Jika sejumlah persyaratan yang ditentukan tersebut tidak dipenuhi walaupun

yang bersangkutan telah menguasai secara fisik tanah tersebut selama 20 tahun

berturut-turut hal tersebut tidak dapat dijadikan dasar pemberian hak atas tanah.

D. Penyelesaian Sengketa Pengalihan Hak Atas Tanah

Penyelesaian sengketa pengalihan hak atas tanah dilakukan dengan dua cara:

1. Solusi Melalui BPN

Kasus pertanahan itu timbul karena adanya klaim/pengaduan/keberatan dari

masyarakat (perorangan/badan hukum) yang berisi kebenaran dan tuntutan terhadap

suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan yang telah ditetapkan oleh

Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan Badan Pertanahan Nasional, serta

keputusan Pejabat tersebut dirasakan merugikan hak-hak mereka atas suatu bidang

tanah tersebut. Berdasarkan adanya klaim tersebut, mereka ingin mendapat

penyelesaian secara administrasi dengan apa yang disebut koreksi serta merta dari

Pejabat yang berwenang untuk itu. Kewenangan untuk melakukan koreksi terhadap

suatu keputusan Tata Usaha Negara di bidang pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan

Pemberian Hak Atas Tanah), ada pada Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Kasus pertanahan meliputi beberapa macam antara lain mengenai masalah

status tanah, masalah kepemilikan, masalah bukti-bukti perolehan yang menjadi dasar

pemberian hak dan sebagainya. Setelah menerima berkas pengaduan dari masyarakat

tersebut di atas, pejabat yang berwenang menyelesaikan masalah ini akan

Universitas Sumatera Utara


105

mengadakan penelitian dan pengumpulan data terhadap berkas yang diadukan

tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sementara apakah

pengaduan tersebut dapat diproses lebih lanjut atau tidak dapat. Apabila data yang

disampaikan secara langsung ke Badan Pertanahan Nasional itu masih kurang jelas

atau kurang lengkap, maka Badan Pertanahan Nasional akan meminta penjelasan

disertai dengan data serta saran ke Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan

Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat letak

tanah yang disengketakan.

Bilamana kelengkapan data tersebut telah dipenuhi, maka selanjutnya

diadakan pengkajian kembali terhadap masalah yang diajukan tersebut yang meliputi

segi prosedur, kewenangan dan penerapan hukumnya. Agar kepentingan masyarakat

(perorangan atau badan hukum) yang berhak atas bidang tanah yang diklaim tersebut

mendapat perlindungan hukum, maka apabila dipandang perlu setelah Kepala Kantor

Pertanahan setempat mengadakan penelitian dan apabila dari keyakinannya memang

harus di status quo kan, dapat dilakukan pemblokiran atas tanah sengketa. Kebijakan

ini dituangkan dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 14-1-

1992 No 110-150 perihal Pencabutan Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun

1984.

Dicabutnya Instruksi Menteri Dalam Negeri No 16 Tahun 1984, maka diminta

perhatian dari Pejabat Badan Pertanahan Nasional di daerah yaitu para Kepala Kantor

Universitas Sumatera Utara


106

Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala Kantor Pertanahan

Kabupaten/Kota, agar selanjutnya di dalam melakukan penetapan status quo atau

pemblokiran hanya dilakukan apabila ada penetapan Sita Jaminan (Conservatoir

Beslag) dari Pengadilan.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa apabila Kepala Kantor Pertanahan

setempat hendak melakukan tindakan status quo terhadap suatu Keputusan Tata

Usaha Negara di bidang Pertanahan (sertifikat/Surat Keputusan Pemberian Hak Atas

Tanah), harusnya bertindak hati-hati dan memperhatikan asas-asas umum

Pemerintahan yang baik, antara lain asas kecermatan dan ketelitian, asas keterbukaan

(fair play), asas persamaan di dalam melayani kepentingan masyarakat dan

memperhatikan pihak-pihak yang bersengketa.

Terhadap kasus pertanahan yang disampaikan ke Badan Pertanahan Nasional

untuk dimintakan penyelesaiannya, apabila dapat dipertemukan pihak-pihak yang

bersengketa, maka sangat baik jika diselesaikan melalui cara musyawarah.

Penyelesaian ini seringkali Badan Pertanahan Nasional diminta sebagai mediator di

dalam menyelesaikan sengketa hak atas tanah secara damai saling menghormati

pihak-pihak yang bersengketa. Berkenaan dengan itu, bilamana penyelesaian secara

musyawarah mencapai kata mufakat, maka harus pula disertai dengan bukti tertulis,

yaitu dari surat pemberitahuan untuk para pihak, berita acara rapat dan selanjutnya

sebagai bukti adanya perdamaian dituangkan dalam akta yang bila perlu dibuat di

hadapan notaris sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.

Universitas Sumatera Utara


107

Pembatalan keputusan tata usaha negara di bidang pertanahan oleh Kepala

Badan Pertanahan Nasional berdasarkan adanya cacat hukum/administrasi di dalam

penerbitannya. Yang menjadi dasar hukum kewenangan pembatalan keputusan

tersebut antara lain:

a. Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria.

b. Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

c. Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang

Pertanahan.

d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No 3

Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Dan Pembatalan

Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara.

Dalam praktik selama ini terdapat perorangan/ badan hukum yang merasa

kepentingannya dirugikan mengajukan keberatan tersebut langsung kepada Kepala

Badan Pertanahan Nasional. Sebagian besar diajukan langsung oleh yang

bersangkutan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dan sebagian diajukan

melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat dan diteruskan melalui

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan.

2. Melalui Badan Peradilan

Apabila penyelesaian melalui musyawarah di antara para pihak yang

bersengketa tidak tercapai, demikian pula apabila penyelesaian secara sepihak dari

Universitas Sumatera Utara


108

Kepala Badan Pertanahan Nasional tidak dapat diterima oleh pihak-pihak yang

bersengketa, maka penyelesaiannya harus melalui pengadilan.

Setelah melalui penelitian ternyata Keputusan Tata Usaha Negara yang

diterbitkan oleh Pejabat Badan Pertanahan Nasional sudah benar menurut hukum dan

sesuai dengan prosedur yang berlaku, maka Kepala Badan Pertanahan Nasional dapat

juga mengeluarkan suatu keputusan yang berisi menolak tuntutan pihak ketiga yang

berkeberatan atas Keputusan Tata Usaha Negara yang telah dikeluarkan oleh Pejabat

Badan Pertanahan Nasional tersebut.

Sebagai konsekuensi dari penolakan tersebut berarti Keputusan Tata Usaha

Negara yang telah dikeluarkan tersebut tetap benar dan sah walaupun ada pihak lain

yang mengajukan ke pengadilan setempat.

Sementara menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,

dilarang bagi Pejabat Tata Usaha Negara yang terkait mengadakan mutasi atas tanah

yang bersangkutan (status quo). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya

masalah di kemudian hari yang menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang

berperkara maupun pihak ketiga, maka kepada Pejabat Tata Usaha Negara di bidang

Pertanahan yang terkait harus menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik,

yaitu untuk melindungi semua pihak yang berkepentingan sambil menunggu adanya

putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).

Kemudian apabila sudah ada putusan hakim yang mempunyai kekuatan

hukum yang pasti, maka Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat melalui

Universitas Sumatera Utara


109

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi yang bersangkutan

mengusulkan permohonan pembatalan suatu Keputusan Tata Usaha Negara di bidang

Pertanahan yang telah diputuskan tersebut di atas. Permohonan tersebut harus

dilengkapi dengan laporan mengenai semua data yang menyangkut subjek dan beban

yang ada di atas tanah tersebut serta segala permasalahan yang ada.

Kewenangan administratif permohonan pembatalan suatu Surat Keputusan

Pemberian Hak Atas Tanah atau Sertifikat Hak Atas Tanah adalah menjadi

kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional termasuk langkah-langkah

kebijaksanaan yang akan diambil berkenaan dengan adanya suatu putusan hakim

yang tidak dapat dilaksanakan. Semua ini agar diserahkan kepada Kepala Badan

Pertanahan Nasional untuk menimbang dan mengambil keputusan lebih lanjut.

Universitas Sumatera Utara


110

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Mekanisme pengalihan hak atas tanah dalam sistem hukum agraria dilakukan

dengan beberapa cara, antara lain dengan cara jual beli, tukar menukar, hibah,

pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya,

kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan

dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. membuat pengalihan hak

atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah (hak milik)

tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang

akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut.

Pengalihan hak atas tanah juga dapat dilakukan dengan cara penguasaan fisik

hak atas tanah., sesuai dengan ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 yang

menyebutkan bahwa masa penguasaan fisik di atas 20 tahun dapat dijadikan

dasar pendaftaran hak atas tanah.

2. Kedudukan pihak ketiga yang menguasai objek hak atas tanah terhadap

terjadinya pengalihan hak atas tanah adalah merupakan pihak yang tidak

memiliki hak, karena pihak ketiga menguasai objek hak atas tanah dengan

mengabaikan pihak lain yang sudah menguasai fisik hak atas tanah selama lebih

dari 20 tahun. Hal ini menyebabkan pihak ketiga tidak berhak atas bentuk

110

Universitas Sumatera Utara


111

pengalihan apapun, termasuk cara yang tidak sah. Hal ini berakibat pemilik asli

harus melakukan upaya-upaya hukum yang tentu saja akan menghabiskan

banyak waktu dan biaya.

3. Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 475 K/Pdt/2010, disebutkan bahwa

pengalihan hak atas tanah dapat dilakukan berdasarkan penguasaan fisik atas

tanah. Pihak penggugat yang menguasai tanah garapan selama 31 (tiga puluh

satu) tahun memiliki hak prioritas kesempatan pertama untuk mengajukan

permohonan sertifikat hak milik atas tanah obyek sengketa, sesuai dengan

Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3283 K/Pdt/1994

tertanggal 27 Maret 1997 menyatakan bahwa “Penggarap yang menguasai

tanah milik Negara mempunyai prioritas untuk memperoleh hak atas tanah”.

Hal ini berbeda dengan dua putusan sebelumnya, yang tidak mengakui

keberadaan penggugat sebagai penguasa fisik hak atas tanah.

B. Saran

1. Kepada masyarakat sebaiknya menghindari adanya kepemilikan hak atas tanah

yang tidak sekaligus dikuasai secara fisik. Hal ini akan menimbulkan sengketa di

belakang hari, karena dapat mengakibatkan pihak lain menempati tanah tersebut

dalam waktu yang lama, dan akhirnya memberi kesempatan pada pihak lain

untuk menguasainya.

Universitas Sumatera Utara


112

2. Diharapkan lebih meningkatkan lagi sosialisasi mengenai cara mendaftarkan

tanah dan arti pentingnya pendaftaran tanah, dengan dituangkan dalam bahasa

yang sederhana agar mudah dipahami oleh masyarakat

3. Hendaknya masyarakat, ketika akan melakukan pengalihan hak atas tanahnya

sekaligus juga melakukan pendaftaran pengalihan haknya pada Kantor

Pertanahan. Hal ini untuk menghindari adanya penguasaan hak atas objek tanah

sekaligus penerbitan sertifikat palsu, jika pemilik asli tidak segera melakukan

pendaftaran atas tanah miliknya.

Universitas Sumatera Utara


113

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Sutedi Adrian, 2009, Pengalihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Jakarta: Sinar
Grafika.

Noor Aslan, 2006, Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, Mandar
Maju, Bandung.

Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar
Maju.

Harsono Boedi, 2007, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit


Universitas Trisakti, ed. 3 Jakarta.

Dalimunthe Chadijah, 2000, Pelaksanaan Landreform di Indonesia dan


Permasalahnya, Fakultas Hukum USU Press, Medan.

Djuhaendah Hasan, 1996, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain
yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan
Horisontal, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Perangin Effendi, 1994, Mencegah Sengketa Tanah. Jakarta: Rajawali Press.

Harsono Boedi, 2003, Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-


undang Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Djambatan, Jakarta, 2003.

Soesangobeng Herman, Filosofi Adat dalam UUPA, Makalah dipresentasikan dalam


Sarasehan Nasional “Peningkatan Akses Rakyat Terhadap Sumberdaya
Tanah”, Diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara Agraria/BPN
bekerjasama dengan ASPPAT, tanggal 12 Oktober 1998, di Jakarta, 1998,

Kamello Tan, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia: Suatu Tinjauan Putusan


Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara (Medan: PPs-USU, 2002).

Soemarjono Maria S.W.. Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,


Kompas Jakarta, 2001.

Badrulzaman Mariam Darus, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, BPHN,


Alumni, Bandung, 1997

Universitas Sumatera Utara


114

Yamin Muhammad.. Beberapa Dimensi Filosofis Hukum Agraria, Pustaka Bangsa


Press, Medan, 2003.

Yamin Muhammad, dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar
Maju, Bandung, 2010.

Parlindungan A. P., 1994, Bunga Rampai Hukum Agraria Serta Landreform, Bagian
II, Mandar Maju, Bandung.

Perangin Efendi.1994. Hukum Agraria Indonesia.Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Saleh K. Wantjik, 1977, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia: Jakarta.

Sauni Herawan dan M. Yamani Komar (ed), 1998, Hukum Agraria, Beberapa
Pemikiran dan Gagasan Prof. A. P. Parlindungan, USU Press, Medan.

Seoprapto R., 1986, UUPA Dalam Praktek, Mitra Sari, Jakarta.

Siregar Tampil Anshari, 2001, Undang-undang Pokok Agraria dalam Bagan,


Kelompok Study Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum USU, Medan.

Soejendro J. Kartini, 2001, Perjanjian Pengalihan Hak atas Tanah yang Berpotensi
Konflik, Kanisius, Jakarta.

Subekti, Aneka Hukum Perjanjian, Pradnya Paramita, Bandung, 1995.

Sumardjono Maria S.W, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi &


Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008).

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang


Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: Institut
Bankir Indonesia, 1993),

Tampil Anshari, Undang-undang Pokok Agraria dalam Bagan, Kelompok Study


Hukum dan Masyarakat, Fakultas Hukum USU, Medan, 2001.

A. Karya Ilmiah

Iswan B. Padu. Dkk. “Laporan Orientasi di Direktorat Sengketa Tanah BPN RI.”
http://sarmanpsagala.wordpress.com/2010/06/02/laporan-orientasi-di-
direktorat-sengketa-tanah/, diakses tanggal 02 Maret 2011.

Universitas Sumatera Utara


115

Muliadi Nur, Tipologi Penelitian Hukum, Pojok Hukum Online Meia belajar Hukum
dan Ilmu Hukum, diakses tanggal 09 Juli 2010.

Redaksi,”Kriminalisasi Penyerobotan Tanah Bukan Solusi”, http://www.


riaumandiri.net/rm/index.php?option=com, diakses tanggal 20 Nopember
2010.

B. Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Dagang

Kitab Undang-undang Hukum Perdata


Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai