Anda di halaman 1dari 126

ANALISIS PRINSIP FIRST TO FILE DALAM PENYELESAIAN

SENGKETA MEREK DAGANG ASING DI PENGADILAN :


STUDI TENTANG GUGATAN PENCABUTAN HAK MEREK
TOAST BOX" OLEH BREADTALK PTE.LTD NO.
02/MEREK/2011/PN.NIAGA/MEDAN)

TESIS

Oleh

VANIA ISURA SITEPU


117011120/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014

Universitas Sumatera Utara


ANALISIS PRINSIP FIRST TO FILE DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA MEREK DAGANG ASING DI PENGADILAN :
STUDI TENTANG GUGATAN PENCABUTAN HAK MEREK
TOAST BOX" OLEH BREADTALK PTE.LTD NO.
02/MEREK/2011/PN.NIAGA/MEDAN)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada


Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh

VANIA ISURA SITEPU


117011120/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014

Universitas Sumatera Utara


Judul Tesis : ANALISIS PRINSIP FIRST TO FILE DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA MEREK DAGANG
ASING DI PENGADILAN : STUDI TENTANG
GUGATAN PENCABUTAN HAK MEREK TOAST
BOX" OLEH BREADTALK PTE.LTD NO.
02/MEREK/2011/PN.NIAGA/MEDAN)
Nama Mahasiswa : VANIA ISURA SITEPU
Nomor Pokok : 117011120
Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 29 Agustus 2014

Universitas Sumatera Utara


Telah diuji pada
Tanggal : 29 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Dr. Dedi Harianto, SH, MHum
4. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

Universitas Sumatera Utara


SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : VANIA ISURA SITEPU
Nim : 117011120
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS PRINSIP FIRST TO FILE DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA MEREK DAGANG
ASING DI PENGADILAN : STUDI TENTANG
GUGATAN PENCABUTAN HAK MEREK TOAST
BOX" OLEH BREADTALK PTE.LTD NO.
02/MEREK/2011/PN.NIAGA/MEDAN)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.

Medan,
Yang membuat Pernyataan

Nama : VANIA ISURA SITEPU


Nim : 117011120

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Pada era perdagangan global dan pasar bebas merek memegang peranan yang sangat
penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Era perdagangan global
hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Salah satu bagian
Hak Kekayaan Intelektual yang harus diatur dan dilindungi yaitu merek. Kebutuhan adanya
perlindungan hukum atas merek semakin berkembang dengan pesat setelah banyaknya
kejadian orang yang melakukan peniruan-peniruan. Perlindungan merek sebenarnya sudah
diatur dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek, namun faktanya masih
banyak yang belum terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sehingga
belum mendapat perlindungan hukum.
Timbul permasalahan hukum bagaimana perlindungan hukum terhadap merek
dagang asing di Indonesia menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek,
Pelaksanaan prinsip First to File dalam penyelesaian sengketa merek dagang asing dalam
peradilan di Indonesia dan Penyelesaian sengketa dalam hal merek dagang asing tersebut
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar di
Indonesia.Untuk mengetahui jawaban dari permasalahan, dilakukan penelitian hukum
Yuridis Normatif.
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa Pendaftaran merek yang
dilakukan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bertujuan untuk memperoleh
kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak atas merek sesuai Undang-Undang
No. 15 Tahun 2001. Pendaftaran merek dengan menggunakan sistem konstitutif (first to file)
lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi pemegang hak atas merek karena pendaftar
merek diberikan sebuah sertifikat sebagai tanda bukti pendaftaran dan bukti atas hak merek,
sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari merek tersebut. Penyelesaian Sengketa
Merek Dagang Asing yang mempunyai Persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan Merek Terdaftar dapat dilakukan secara Perdata, Pidana dan Administratif/
Administrasi Negara. Dilihat dari perlindungan hukumnya maka sehubungan dengan perkara
merek yang ada, perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pemilik merek tedaftar
adalah mengajukan gugatan pembatalan merek mengingat berdasarkan sistem konstitutif
yang dianut oleh Undang-Undang Merek Indonesia yaitu perlindungan hukum diberikan
kepada pendaftar merek yang pertama.
Sehubungan dengan hal tersebut, diharapkan agar proses pendaftaran merek
dipermudah dan dipersingkat, serta dilakukan perbaikan sistim data dan publikasi pada Dirjen
HKI agar pelaku usaha tidak akan ragu lagi untuk mendaftarkan mereknya. Untuk lebih
memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang merek dagang asing diperlukan
kerjasama yang harmonis antara pemerintah dengan disertai peraturan perundang-undangan
yang memadai, aparat pemeriksa merek (Dirjen HKI), aparat penegak hukum, masyarakat
luas dengan informasi adanya pelanggaran merek serta pengusaha yang akan menggunakan
suatu merek tertentu bagi produknya. Sehingga pada prakteknya, sistem pendaftaran First to
File dapat berjalan efektif menciptakan keselerasan jaminan keadilan dan kemanfaatan,
karena masih banyak merek-merek yang didaftarkan bukan oleh pemilik merek yang
sebenarnya.

Kata Kunci : Merek, Prinsip First To File.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

In the era of global trade and free markets, brand plays a very important role that
require a more adequate setting system. The era of global trade can only be able to defend if
there is a healthy business competition climate. One of the parts of Intellectual Property
Rights which must be regulated and protected is brand (trademark). The need for legal
protection on brand has increasingly rapidly developed after there have been many
imitations done by people at large. Actually, brand protection has been regulated in Law
No.15/2001 on Brand, but, in fact, there are still many brands (trademarks) which have not
been registered at the Office of Directorate General of Intellectual Property Rights that they
have not received any legal protection.
The legal problems occured were what legal protection was provided for foreign
trademark according to Law No.15/2001 on Brand, therefore, the purpose of this normative
juridical study was to answer the questions of how the principle of First to File was
implemented in the settlement of foreign trademark dispute in the Indonesian court of law,
and whether or not the settlement of trademark dispute was principally or wholly similar
between the settlement of foreign trademark and the trademark registered in Indonesia.
The result of this study showed that, the registration of trademark done by the
Directorate General of Intellectual Property Rights was intended to obtained legal certainty
and legal protection for the right to trademark in accordance with Law No.15/2001. The
registration of trademark through constitutive system (First to File) more guarantees the
existence of legal certainty for the holder of right to trademark because the one who
registered the trademark was given a certificate as a proof of registration and a proof of
right to trademark, and at the same time, the registrant is regarded as the first user of the
trademark. The settlement of dispute on Foreign Trademark which is principally or wholly
similar to the registered trademark can be carried out based on the civil, criminal and
administrative approach. In terms of legal protection, in relation to the existing cases of
trademark, legal protection that can be given to the owner of the registered trademark is to
file a lawsuit on the cancellation of brand (trademark) considering the constitutive system
followed by the Indonesian Law on Brand (Trademark) saying that legal protection is given
to the first registrant of trademark.
It is expected that the process of trademark registration can be simplified and
shortened and the data system and publication of the Directorate General of Intellectual
Property Rights should be improved that the business practitioners will be not in doubt to
register their trademarks. To give more legal protection to the holders of foreign trademarks,
harmonious cooperation is needed between the government accompanied with adequate
regulations of legislation, brand (trademark) inspection apparatuses (the Directorate
General of Intellectual Property Rights), law enforcement officers, community members at
large in announcing the information about violation brands and entrepreneurs who will use a
particular brand for their products. That, in practice, the First to File registration system can
be effectively run and create the alignment of guarantees justice and expediency, because
there many brands (trademarks) registered not by their actual owners.

Keywords: Brand (Trademark), First to File Principle

ii

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

KasihNya, sehingga Tesis ini dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Master Kenotariatan pada Magister Kenotariatan Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari Tesis ini adalah:

Pelaksanaan Prinsip First to File Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Dagang

Asing Di Pengadilan (Studi Kasus tentang Gugatan Pencabutan Hak Merek

TOAST BOX oleh BreadTalk Pte.Ltd No: 02/ Merek/ 2011/ PN.Niaga/

Medan).

Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai

pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Medan dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I

yang telah menyediakan waktu untuk memberi saran dan masukan dalam

penulisan tesis ini.

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum., selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan yang telah

iii

Universitas Sumatera Utara


merekomendasikan penulis untuk mengikuti perkuliahan di Magister

Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., selaku Ketua Program Studi

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan

selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu untuk

memberi bimbingan dan semangat dalam menyelesaian tesis ini.

5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum., selaku Sekretaris Program

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan

selaku Dosen Pembimbing III yang telah meluangkan waktu untuk memberi

perhatian dan pengarahan dalam penulisan tesis ini.

6. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar, Seluruh staf administrasi dan pegawai pada

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang membantu segala urusan perkuliahan dan administrasi penulis.

7. Keluarga Besar Sitepu dan Tarigan yang telah memberi motivasi dan semangat

untuk dukungan sebagai keluarga sekaligus teman bagi penulis. Teristimewa

untuk orangtuaku terkasih, Papa Simbela Sitepu dan Mama Inganlit Tarigan yang

telah merawat, memberikan doa dan mendidik penulis untuk menjadi pribadi

yang Takut akan Tuhan. Kakak-kakakku, Susan dan Erin, abang iparku, Darma,

serta Keponakan-keponakanku tersayang, Carenza dan Valeska yang memberi

insiprasi, dukungan dan hiburan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.

8. Seluruh Kerabat dan Sahabat sejak SMP, SMA, kuliah di Fakultas Hukum dan

Magister Kenotariatan, terutama abangda Polda Simbolon yang telah memberi

iv

Universitas Sumatera Utara


bantuan kepada Penulis dalam menemukan judul tesis ini, serta Rekan-rekan

Permata Sion, khususnya Traveler Sion.

Akhir kata, Penulis mengharapkan semoga Tesis ini dapat bermanfaat untuk

semua pihak, Semoga Tuhan selalu memberkati Kita semua.

Penulis,

Vania Isura Sitepu

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. DATA PRIBADI

Nama : Vania Isura Sitepu


Tempat/tanggal lahir : Medan/13 Agustus 1988
Jenis Kelamin : Perempuan
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jalan Setia Budi Komplek Griya Kenanga Asri
Blok A No. 7 Medan
E-mail : vaniaisurasitepu@yahoo.co.id
Orang tua : Simbela Sitepu, Dipl.com. (Ayah)
Inganlit Tarigan (Ibu)
Saudara : Susan Octarina Sitepu, SH (Kakak)
Erin Karina Sitepu, SE (Kakak)

B. PENDIDIKAN

1994-2000 : SD Methodist, di Binjai


2000-2001 : SMP Methodist, di Binjai
2001-2003 : SMP Immanuel, di Medan
2003-2006 : SMA Immanuel, di Medan
2006-2010 : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di
Medan
2011-2014 : Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, di Medan

vi

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK .......................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
BAB I PENDAHUHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 12
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 12
E. Keaslian Penelitian ..................................................................... 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi .................................................... 15
1. Kerangka Teori .................................................................... 15
2. Konsepsi............................................................................... 19
G. Metode Penelitian ....................................................................... 22
1. Sifat Penelitian ..................................................................... 22
2. Sumber Data......................................................................... 22
3. Tehnik dan Alat Pengumpulan Data .................................... 23
4. Analisis Data ........................................................................ 24
5. Penarikan Kesimpulan ......................................................... 25
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DAGANG
ASING DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG
NO. 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK .................................. 26
A. Konvensi-Konvensi Internasional .............................................. 26
B. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 .................................... 32
C. Pengertian Merek Asing ............................................................. 41
D. Kriteria dan Ruang Lingkup Merek Terkenal ............................ 44

vii

Universitas Sumatera Utara


E. Ketentuan Khusus Pendaftaran Merek Terkenal ........................ 47
F. Perlindungan Hukum terhadap Merek Dagang Asing di
Indonesia .................................................................................... 49

BAB III PELAKSANAAN PRINSIP FIRST TO FILE DALAM


PENYELESAIAN SENGKETA MEREK DAGANG ASING
DALAM PERADILAN DI INDONESIA ...................................... 54

A. Pengertian Prinsip First to File dalam Perlindungan Merek


menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 ...................... 54

B. Pelaksanaan Prinsip First To File dalam Penyelesaian


Sengketa Merek Dagang Asing TOAST BOX berdasarkan
dalam Putusan Pengadilan NO. 02/Merek/2011/PN.
Niaga/Medan ............................................................................... 61

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HAL MEREK


DAGANG ASING MEMPUNYAI PERSAMAAN PADA
POKOKNYA ATAU KESELURUHANNYA DENGAN
MEREK TERDAFTAR DI INDONESIA...................................... 79

A. Pengertian Persamaan Pada Pokoknya atau keseluruhannya


termasuk oleh Pengadilan ........................................................... 79

B. Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Asing yang mempunyai


Persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek
Terdaftar ..................................................................................... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 103


A. Kesimpulan ................................................................................. 103
B. Saran............................................................................................ 104
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 107

viii

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK

Pada era perdagangan global dan pasar bebas merek memegang peranan yang sangat
penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Era perdagangan global
hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Salah satu bagian
Hak Kekayaan Intelektual yang harus diatur dan dilindungi yaitu merek. Kebutuhan adanya
perlindungan hukum atas merek semakin berkembang dengan pesat setelah banyaknya
kejadian orang yang melakukan peniruan-peniruan. Perlindungan merek sebenarnya sudah
diatur dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek, namun faktanya masih
banyak yang belum terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sehingga
belum mendapat perlindungan hukum.
Timbul permasalahan hukum bagaimana perlindungan hukum terhadap merek
dagang asing di Indonesia menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek,
Pelaksanaan prinsip First to File dalam penyelesaian sengketa merek dagang asing dalam
peradilan di Indonesia dan Penyelesaian sengketa dalam hal merek dagang asing tersebut
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar di
Indonesia.Untuk mengetahui jawaban dari permasalahan, dilakukan penelitian hukum
Yuridis Normatif.
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa Pendaftaran merek yang
dilakukan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bertujuan untuk memperoleh
kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak atas merek sesuai Undang-Undang
No. 15 Tahun 2001. Pendaftaran merek dengan menggunakan sistem konstitutif (first to file)
lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi pemegang hak atas merek karena pendaftar
merek diberikan sebuah sertifikat sebagai tanda bukti pendaftaran dan bukti atas hak merek,
sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari merek tersebut. Penyelesaian Sengketa
Merek Dagang Asing yang mempunyai Persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan Merek Terdaftar dapat dilakukan secara Perdata, Pidana dan Administratif/
Administrasi Negara. Dilihat dari perlindungan hukumnya maka sehubungan dengan perkara
merek yang ada, perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pemilik merek tedaftar
adalah mengajukan gugatan pembatalan merek mengingat berdasarkan sistem konstitutif
yang dianut oleh Undang-Undang Merek Indonesia yaitu perlindungan hukum diberikan
kepada pendaftar merek yang pertama.
Sehubungan dengan hal tersebut, diharapkan agar proses pendaftaran merek
dipermudah dan dipersingkat, serta dilakukan perbaikan sistim data dan publikasi pada Dirjen
HKI agar pelaku usaha tidak akan ragu lagi untuk mendaftarkan mereknya. Untuk lebih
memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang merek dagang asing diperlukan
kerjasama yang harmonis antara pemerintah dengan disertai peraturan perundang-undangan
yang memadai, aparat pemeriksa merek (Dirjen HKI), aparat penegak hukum, masyarakat
luas dengan informasi adanya pelanggaran merek serta pengusaha yang akan menggunakan
suatu merek tertentu bagi produknya. Sehingga pada prakteknya, sistem pendaftaran First to
File dapat berjalan efektif menciptakan keselerasan jaminan keadilan dan kemanfaatan,
karena masih banyak merek-merek yang didaftarkan bukan oleh pemilik merek yang
sebenarnya.

Kata Kunci : Merek, Prinsip First To File.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

In the era of global trade and free markets, brand plays a very important role that
require a more adequate setting system. The era of global trade can only be able to defend if
there is a healthy business competition climate. One of the parts of Intellectual Property
Rights which must be regulated and protected is brand (trademark). The need for legal
protection on brand has increasingly rapidly developed after there have been many
imitations done by people at large. Actually, brand protection has been regulated in Law
No.15/2001 on Brand, but, in fact, there are still many brands (trademarks) which have not
been registered at the Office of Directorate General of Intellectual Property Rights that they
have not received any legal protection.
The legal problems occured were what legal protection was provided for foreign
trademark according to Law No.15/2001 on Brand, therefore, the purpose of this normative
juridical study was to answer the questions of how the principle of First to File was
implemented in the settlement of foreign trademark dispute in the Indonesian court of law,
and whether or not the settlement of trademark dispute was principally or wholly similar
between the settlement of foreign trademark and the trademark registered in Indonesia.
The result of this study showed that, the registration of trademark done by the
Directorate General of Intellectual Property Rights was intended to obtained legal certainty
and legal protection for the right to trademark in accordance with Law No.15/2001. The
registration of trademark through constitutive system (First to File) more guarantees the
existence of legal certainty for the holder of right to trademark because the one who
registered the trademark was given a certificate as a proof of registration and a proof of
right to trademark, and at the same time, the registrant is regarded as the first user of the
trademark. The settlement of dispute on Foreign Trademark which is principally or wholly
similar to the registered trademark can be carried out based on the civil, criminal and
administrative approach. In terms of legal protection, in relation to the existing cases of
trademark, legal protection that can be given to the owner of the registered trademark is to
file a lawsuit on the cancellation of brand (trademark) considering the constitutive system
followed by the Indonesian Law on Brand (Trademark) saying that legal protection is given
to the first registrant of trademark.
It is expected that the process of trademark registration can be simplified and
shortened and the data system and publication of the Directorate General of Intellectual
Property Rights should be improved that the business practitioners will be not in doubt to
register their trademarks. To give more legal protection to the holders of foreign trademarks,
harmonious cooperation is needed between the government accompanied with adequate
regulations of legislation, brand (trademark) inspection apparatuses (the Directorate
General of Intellectual Property Rights), law enforcement officers, community members at
large in announcing the information about violation brands and entrepreneurs who will use a
particular brand for their products. That, in practice, the First to File registration system can
be effectively run and create the alignment of guarantees justice and expediency, because
there many brands (trademarks) registered not by their actual owners.

Keywords: Brand (Trademark), First to File Principle

ii

Universitas Sumatera Utara


1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan perdagangan global membuktikan bahwa terjadinya

perdagangan Internasional secara cepat dan menyeluruh telah menjadi salah satu

komponen yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan ekonomi suatu

bangsa. Arus globalisasi telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan semakin

meningkat, bahkan telah menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama.

Mobilisasi barang dan jasa yang berskala antar negara memerlukan standarisasi dan

perlindungan, apalagi negaranegara menyadari perdagangan merupakan faktor yang

sangat penting dalam meningkatkan ekonomi negara. Dengan demikian sektor

perdagangan harus diberi peran bilamana perekonomian negara ingin maju.

Dalam era perdagangan bebas, arus masuknya barang dari luar negeri ke

wilayah pabean Indonesia tidak dapat dihindari. Oleh karena banyaknya barang yang

menggunakan merek dagang asing yang beredar di Indonesia maka merek dagang

asing harus dapat diidentifikasi.1 Pendaftaran dari sebuah merek yang digunakan

untuk mengidentifikasi barang-barang dan jasa yang diproduksi atau didistribusi oleh

sebuah perusahaan tertentu dengan memberikan hak kepada perusahaan tersebut

untuk mengunakan secara eksklusif merek dan perusahaan tersebut memiliki hak

1
Julius Rizaldi, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan
Curang, (Bandung: PT. Alumni, 2009), hal.3.

Universitas Sumatera Utara


2

untuk mencegah penggunaan merek yang tidak sah. Membangun hubungan antara

produk dan usaha menciptakan reputasi yang bernilai atau nama baik (good will),

dan ini merupakan dasar dari kebanyakan perdagangan internasional.2

Diberlakukannya perjanjian TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual

Property Right) pada tanggal 1 Januari 2000 memberikan harapan adanya

perlindungan bagi berbagai produk intelektual dari upaya pelanggaran hak atas

produk yang dihasilkan baik oleh individu maupun suatu korporasi dalam bidang

industri dan perdagangan dalam upaya menjaga pelanggaran hak atas keaslian karya

cipta yang menyangkut Hak Cipta, Hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta, Merek,

Paten, Desain Industri, Perlindungan Rahasia Dagang, Indikasi Geografis,

Perlindungan Variates Tanaman dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Undang-

undang tersebut dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi kalangan industri

dan perdagangan, namun hingga saat ini berbagai masalah di bidang Hak Kekayaan

Intelektual (HKI) masih saja terjadi.

Ada dua alasan mengapa HKI perlu dilindungi oleh hukum. Pertama, alasan

non ekonomis dan kedua alasan ekonomis. Alasan yang bersifat non ekonomis

menyatakan bahwa perlindungan hukum akan memacu mereka yang menghasilkan

karya-karya intelektual tersebut untuk terus melakukan kreativitas intelektual. Hal ini

2
Tim Lindsey, Eddy damian, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung:
Asian Law Group Pty Ltd dan PT. Alumni, 2002), hal. 132.

Universitas Sumatera Utara


3

akan meningkatkan self actualization pada diri manusia.3 Bagi masyarakat hal ini

akan berguna untuk meningkatkan perkembangan kehidupan mereka, sedangkan

alasan yang bersifat ekonomis adalah dengan melindungi mereka yang melahirkan

karya intelektual tersebut, berarti yang melahirkan karya tersebut mendapatkan

keuntungan materiil dari karya-karyanya. Di lain pihak melindungi mereka dari

adanya peniruan, pembajakan, penjiplakan maupun perbuatan curang lainnya yang

dilakukan oleh orang lain atas karya-karya mereka yang berhak.

Hak atas Kekayaan Intelektual mencakup karya-karya yang dihasilkan oleh

manusia yang terdiri dari karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan

seni, sehingga dapat dibagi menjadi: Hak Cipta, Merek, Paten, Perlindungan Variates

Tanaman, Desain Industri, Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Pengaturan di bidang Hak Kekayaan Intelektual dalam suatu peraturan perundang

undangan telah distandarisasi dan berfungsi sebagai pranata yang mengatur dan

mengarahkan perilaku masyarakat dalam melindungi dan mempertahankan karya

intelektualnya. Dengan rumusan lain peraturan perundang undangan dibidang HKI

berfungsi sebagai a tool of social engineering4 yaitu sebagai alat pembaharuan dalam

masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai

sosial dalam masyarakat.

3
Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 23.
4
Retnowulan Sutanto, Perjanjian menurut Hukum Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003), hal.35.

Universitas Sumatera Utara


4

Dunia industri dan perdagangan nasional menunjukkan berbagai gejala

persaingan yang cukup berat, ditunjukkan oleh tingkat pemanfaatan kapasitas barang-

barang produk nasional yang rendah dan perebutan pasar yang tidak sehat, tidak

simpatik, serta tidak mengindahkan nilai-nilai etis dalam perdagangan. Keadaan ini

sering kali bukan hanya merugikan para pedagang atau produsen, tetapi juga

merugikan masyarakat luas khususnya konsumen. Merek sebagai salah satu wujud

karya intelektual memegang peranan yang amat penting di dalam mencegah

terjadinya persaingan tidak sehat, begitu pentingnya peran suatu merek dapat dilihat

seperti yang ditegaskan Saidin bahwa:

Dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya,
kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu original. Kadangkala yang
membuat harga suatu produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya.
Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada satu produk, tetapi
ia bukan produk itu sendiri. Seringkali setelah barang dibeli, mereknya tak dapat
dinikmati oleh si pembeli. Merek mungkin hanya menimbulkan kepuasan saja
bagi pembeli. Benda materiilnya yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata
hanya benda immateril yang tak dapat memberikan apapun secara fisik. Inilah
yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan immateril.5
Pengaturan Merek di Indonesia untuk pertama kali dapat dijumpai dalam

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek

Perniagaan (disebut pula Undang-Undang Merek 1961) dengan pertimbangan agar

khalayak ramai dilindungi terhadap tiruan barang-barang yang memakai suatu merek

yang sudah dikenalnya sebagai merek barang-barang yang bermutu baik. 6 Seiring

5
Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 329-330.
6
C.S. T. Kansil, Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta, (Jakarta:
Sinar Grafika), hal. 145.

Universitas Sumatera Utara


5

berjalannya waktu, Pengaturan Merek di Indonesia telah mengalami perubahan. Oleh

karena Perlindungan hukum bagi merek terkenal belum di atur di dalam Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 1961, maka diperbaiki dengan Undang-Undang Nomor 19

Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 jo Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2001 serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 03-HC-

02.01 Tahun 1991 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal atau

Merek yang mirip Terkenal Milik Orang lain atau Badan lain.

Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,

angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki

daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.7 Dari

pengertian tersebut secara umum diartikan bahwa merek adalah suatu tanda untuk

membedakan barang-barang yang dihasilkan atau diperdagangkan seseorang atau

sekelompok orang atau badan hukum yang memiliki daya pembeda yang digunakan

dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa, sehingga tanda tersebut mampu

memberi kesan pada saat seseorang melihat merek tersebut.8

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 membedakan merek menjadi 3 (tiga),

yaitu merek dagang, merek jasa dan merek kolektif. Merek dagang adalah tanda yang

digunakan pada barang yang diperdagangkan untuk membedakan dengan barang-

barang sejenis lainnya, merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang

diperdagangkan untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya, sedangkan Merek

7
Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, UU Nomor 15 Tahun 2001, Pasal 1 butir(1).
8
Suyud Margono, Longginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, (Jakarta: CV.
Novindo Pustaka Mandiri, 2002), hal. 27.

Universitas Sumatera Utara


6

kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik

yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara

bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya (Lihat

Pasal 1 angka 2,3, dan 4 Undang-Undang No.15 tahun 2001).

Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 agar suatu merek

memperoleh hak atas merek, maka pemilik merek harus mendaftarkan mereknya

tersebut pada kantor Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Dengan

melakukan pendaftaran, pemilik merek akan memperoleh hak eksklusif atas

penggunaan merek tertentu atau untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk

menggunakannya selama jangka waktu tertentu serta mendapatkan perlindungan

hukum dari negara.9

Suatu merek dapat diterima pendaftarannya jika memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan dalam Undang-undang. Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2001 mengenai merek, yang tidak dapat didaftarkan bilamana mengandung

unsur-unsur sebagai berikut :

a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas


agama, kesusilaan dan ketertiban umum;
b. tidak memiliki daya pembeda;
c. telah menjadi milik umum atau;
d. merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimintakan pendaftaran.

9
Indirani Waudan, Tinjauan Yuridis Mengenai Peniruan Merek, (Salatiga: FH-UKSW,
2006), 25.

Universitas Sumatera Utara


7

Selain itu suatu permintaan pendaftaran juga ditolak jika mempunyai

persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah terkenal milik

orang lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan atau jasa yang

sejenis maupun yang tidak sejenis (pasal 6 ayat 1 dan 2). Sedangkan pengertian suatu

merek mempunyai persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh

adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek yang lain, yang

dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara

penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan

bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.10

Ada dua sistem yang dikenal dalam pendaftaran merek, yaitu sistem deklaratif

(first to use) dan sistem konstitutif (first to file). Undang-undang merek Tahun 2001

menganut sistem pendaftaran konstitutif, sama dengan undang-undang sebelumnya,

yaitu UU No. 19 Tahun 1992, dan UU No. 14 Tahun 1997. Hal ini merupakan

perubahan mendasar dalam Undang-undang merek di Indonesia yang semula

menganut sistem deklaratif (UU No. 21 Tahun 1961).

Dalam sistem deklaratif, titik berat diletakkan pada pemakai pertama (first to

use). Siapa yang memakai pertama suatu merek, dialah yang dianggap berhak

menurut hukum atas merek yang bersangkutan. Pendaftaran dipandang hanya

memberikan suatu prasangka menurut hukum, dugaan hukum bahwa orang pertama

mendaftar adalah si pemakai pertama dengan konskuensi dia adalah pemilik merek

tersebut, sampai ada pembuktian sebaliknya. Dalam sistem pendaftaran deklaratif,


10
Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, Op.cit, Penjelasan Pasal 6 ayat(1) huruf (a).

Universitas Sumatera Utara


8

pendaftaran merek bukan merupakan suatu keharusan, jadi tidak ada kewajiban untuk

mendaftarakan merek. Pendaftaran hanya untuk pembuktian, bahwa pendaftar merek,

adalah pemakai pertama dari merek yang bersangkutan.11

Menurut Saidin, dalam sistem deklaratif orang yang berhak atas merek
bukanlah orang yang secara formal saja terdaftar mereknya, tetapi haruslah orang
yang sungguh-sungguh menggunakan atau memakai merek tersebut. Orang-
orang yang sungguh-sungguh memakai dan menggunakan merek tersebut tidak
dapat dihentikan pemakaiannya oleh orang lain dengan begitu saja, meskipun
orang yang disebut terakhir ini mendaftarkan mereknya. Dalam sistem deklaratif
orang yang tidak mendaftarkan mereknya pun tetap dilindungi. Sehingga
kelemahan dari sistem deklaratif ini adalah, tidak adanya jaminan kepastian
hukum.12

Pada sistem konstitutif hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran, artinya

hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena adanya pendaftaran, sehingga dapat

dikatakan bahwa pendaftaran merek adalah hal mutlak, karena merek yang tidak di

daftar, tidak akan mendapatkan perlindungan hukum. Dalam sistem pendaftaran

konstitutif, prinsip penerimaan merek adalah first to file13, artinya siapapun yang

mendaftar lebih dahulu akan diterima pendaftaraannya dengan tidak mempersoalkan

apakah si pendaftar benar-benar menggunakan merek tersebut untuk kepentingan

usahanya. Beberapa kemungkinan dapat terjadi setelah masuknya pendaftaran

pertama, misalnya muncul pendaftar lain yang sebenarnya berkepentingan langsung

dengan merek tersebut, sebab pendaftar inilah yang secara riil menggunakan barang

11
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata I, Himpunan Keputusan Merek Dagang,
(Bandung: PT. Alumni, 1997), hal. 33.
12
Saidin, Op.cit, hal. 337-338.
13
Cita Citrawinda Priapantja, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, (Bogor: Biro Oktroi
Rooseno, 2000), hal. 1.

Universitas Sumatera Utara


9

tersebut. Hal-hal seperti ini lah yang menjadi permasalahan utama dalam sistem

pendaftaran konstitutif.

Bentrokan antara keadilan dan kepastian hukum terjadi pada sistem konstitutif

pendaftaran merek. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum, ada hak-

hak perseorangan yang tidak terpenuhi. Penggunaan merek milik orang lain banyak

dilakukan orang atau badan hukum, mereka menggunakan merek tersebut tanpa ijin

pemiliknya, hal ini tentu akan merugikan pemilik merek yang terdaftar. Biasanya

merek yang digunakan secara melawan hukum ini adalah merek dagang asing.

Menurut Penjelasan Umum Undang-undang Merek, perlindungan terhadap merek

dagang asing didasarkan pertimbangan bahwa peniruan merek dagang asing atau

terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, karena mencari

ketenaran merek orang lain, sehingga seharusnya merek tersebut tidak mendapatkan

perlindungan hukum, sehingga untuk ini, permintaan pendaftaran merek terkenal

milik orang lain harus ditolak atau dibatalkan.

Asas umum yang berlaku dalam rangka perlindungan HKI pada hakikatnya

adalah asas teritorial. Namun, dengan adanya Perjanjian TRIPS, berkembang satu

rezim hukum internasional tentang HKI meskipun tanpa bermaksud

mengesampingkan rezim hukum yang telah lebih dahulu ada yaitu hukum nasional.

Antara kedua rezim hukum tersebut sangat dibutuhkan suatu kerja sama. Rezim

hukum internasional tentang HKI tidak mungkin efektif tanpa ditransformasi ke

dalam hukum nasional. Sebaliknya, rezim hukum nasional tentang HKI juga harus

mengindahkan kaidah-kaidah dalam rezim hukum internasional tentang HKI yang

Universitas Sumatera Utara


10

tujuannya untuk keseragaman pengaturan tentang HKI dalam rangka kebebasan lalu

lintas barang, jasa dan modal secara internasional.14

Hal tersebut di atas pernah menjadi dasar putusan Hakim pada kasus

pelanggaran merek dagang asing TOAST BOX Nomor: 02/Merek/2011/PN.

Niaga/Medan, dimana merek dagang asing tersebut telah digunakan secara komersial

di Singapura sejak tahun 2005 dan diperluas peredarannya ke negara-negara lain

seperti Thailand, Malaysia, Filipina dan sebagai keseriusan Penggugat (BREAD

TALK Pte,Ltd) untuk membuka outlet di Indonesia maka pada tanggal 24 April 2008

mendaftarkan merek TOAST BOX dan logo pada Direktorat Merek Direktorat

Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia, sehingga Hakim memutuskan untuk membatalkan pendaftaran

Merek TOAST BOX oleh Tergugat (Frangky Chandra) pada tanggal 16 Januari 2007

yang dianggap memiliki itikad tidak baik/buruk karena telah menjiplak/meniru merek

TOAST BOX baik huruf, logo ataupun kata-kata.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek yang menggantikan

undang-undang merek yang telah ada sebelumnya, memberikan penegasan bahwa

apabila terjadi suatu sengketa terhadap suatu merek terdaftar, maka gugatan

pembatalan pendaftaran merek tersebut dapat diajukan pada Pengadilan Niaga.15

Sedangkan untuk melaksanakan pembatalan suatu merek kewenangannya berada

pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Direktorat Jenderal Hak

14
Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca
Perjanjian TRIPs (Bandung: PT. Alumni, 2011), hal. 16.
15
Indonesia, Undang-Undang tentang Merek,, Op.cit, Pasal 68 ayat (3), Pasal 76 ayat (2).

Universitas Sumatera Utara


11

Kekayaan Intelektual dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum

Merek, dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek.

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, tidak melarang

perdagangan barang yang menggunakan merek yang tidak terdaftar. Namun sesuai

dengan prinsip perlindungan Merek yang bersifat Konstitutif yang dianut oleh

Undang-undang No. 15 tahun 2001, merek dagang yang tidak terdaftar tersebut tidak

mendapat perlindungan hukum.

Perkembangan teknologi informasi dan transportasi yang sangat pesat dalam

era globalisasi ini, ikut pula mendorong meningkatnya merek dagang asing yang

masuk ke Indonesia. Hal ini berpotensi menimbulkan sengketa, sehingga diperlukan

aturan hukum yang tegas dan efektif untuk memberikan kepastian hukum di dalam

perlindungan atas merek dagang asing tersebut. Oleh karena itulah, perlu dikaji

terlebih dahulu mengenai permasalahan pengaturan hukum merek yang berlaku di

Indonesia dan yang terdapat dalam perjanjian Internasional.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan Latar Belakang yang diuraikan di atas, maka dapat diambil

beberapa permasalahan, antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimana Perlindungan hukum terhadap merek dagang asing di Indonesia

menurut Undang-Undang No. 15 tahun 2001 tentang Merek?

2. Bagaimana pelaksanaan prinsip first to file dalam penyelesaian sengketa

merek dagang asing dalam peradilan di Indonesia?

Universitas Sumatera Utara


12

3. Bagaimana Penyelesaian sengketa dalam hal merek dagang asing tersebut

mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek

terdaftar di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Merek dagang

asing di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan prinsip first to file dalam penyelesaian

sengketa merek dagang asing di pengadilan.

3. Untuk mengetahui pelaksanaan penyelesaian sengketa dalam hal merek

dagang asing tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau

keseluruhannya dengan merek terdaftar di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Hasil Penelitian ini nantinya diharapkan dapat memberikan manfaat baik

secara teoritis maupun praktis, yaitu:

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut

untuk berbagai konsep ilmiah yang pada gilirannya memberikan sumbangan

bagi perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum Hak Atas

Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya di dalam perlindungan merek dagang

asing di Indonesia yang kemudian dihubungkan dengan Undang-undang

Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Universitas Sumatera Utara


13

2. Secara Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan kerangka acuan dalam

penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi atau

pemalsuan terhadap hak merek yang telah terdaftar dalam kaitannya dengan

Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakan dan dari hasil-hasil penelitian yang

sudah ada atau sedang dilakukan dilingkungan akademis Sekolah Pasca Sarjana

Universitas Sumatera Utara dan khususnya pada Program Magister Kenotariatan,

penelitian tentang: Pelaksanaan prinsip first to file dalam penyelesaian sengketa

merek dagang asing di Pengadilan (Studi Kasus tentang gugatan pencabutan hak

merek TOAST BOX oleh BREADTALK Pte.Ltd. No. 02/Merek/2011/PN.

Niaga/Medan) , belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Akan tetapi penelitian

tentang permasalahan HKI, khususnya di bidang merek telah pernah ada dilakukan

oleh:

1. Erly Sulanjani, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana

USU tahun 2003, dengan judul: Penggunaan Merek Dagang Tidak Terdaftar

Studi Mengenai Faktor-Faktor Penyebab Tidak Didaftarkannya Merek

Dagang Di Kawasan Industri Medan(KIM)

Dengan permasalahan yang dibahas adalah:

a. Faktor apa saja yang menjadi penyebab tidak didaftarkannya merek

dagang oleh pengusaha di Kawasan Industri Medan (KIM)?

Universitas Sumatera Utara


14

b. Apakah keuntungan dan kerugian yang dialami oleh pengusaha yang

memperdagangkan barang dengan merek tidak terdaftar?

2. Nomi Mutiaridha, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana

USU tahun 2004, dengan judul: Studi Komparatif Pendaftaran Merek

Dagang di Indonesia Dan Malaysia

Dengan permasalahan yang dibahas adalah:

a. Bagaimana pengaturan merek dagang di Indonesia dan di Malaysia?

b. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap merek terdaftar di Indonesia

dan Malaysia?

3. Dwi Femi Nasution, mahasiswa Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana

USU tahun 2004, dengan judul: Aspek Hukum Perjanjian Lisensi Merek

Dagang

Dengan permasalahan yang dibahas adalah:

a. Bagaimanakah Hak dan Kewajiban para pihak dalam perjanjian lisensi

merek dagang?

b. Bagaimanakah perlindungan lisensi merek dagang yang diberikan pemilik

merek terhadap penerima lisensi merek dagang?

c. Bagaimanakah tindakan pihak pemberi lisensi jika terjadi wanprestasi

oleh pihak penerima lisensi?

4. Made Diah Sekar Mayang Sari, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program

Pasca Sarjana Universitas Udayana tahun 2010, dengan judul: Perlindungan

Hukum Terhadap Merek Terkenal Dalam Sistem Hukum Hak Kekayaan

Intelektual

Dengan permasalahan yang dibahas adalah:

Universitas Sumatera Utara


15

a. Bagaimana pengaturan merek terkenal dalam sistem Hukum Hak

Kekayaan Intelektual?

b. Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diperlukan terhadap merek

terkenal di Indonesia?

5. RR. Putri Ayu Priamsari, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pasca

Sarjana Universitas Dipenogoro tahun 2010, dengan judul: Penerapan Itikad

Baik Sebagai Alasan Pembatalan Merek Menurut Undang-Undang Nomo 15

Tahun 2001 tentang Merek (Di Tingkat Peninjauan Kembali)

Dengan permasalahan yang dibahas adalah:

a. Bagaimana penerapan itikad baik sebagai salah satu alasan pembatalan

Merek berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek ?

b. Apakah dampak dari penerapan itikad baik terhadap pemilik Merek

beritikad buruk ?

Jika dibandingkan penelitian yang pernah dilakukan dengan penelitian-

penelitian ini, baik permasalahan maupun pembahasan adalah berbeda. Dengan

demikian maka penelitian ini adalah asli, serta dapat dipertanggungjawabkan

keasliannya secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Teori adalah merupakan suatu prinsip ajaran pokok yang dianut untuk

mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Menurut Kamus Umum

Universitas Sumatera Utara


16

Bahasa Indonesia, salah satu arti teori adalah pendapat, cara-cara dan aturan-aturan

untuk melakukan sesuatu.16

Menurut M. Solly Lubis bahwa: Teori merupakan penjelasan mengenai


gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu
abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan
pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan
rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan
walau bagaimanapun menyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris
untuk dapat dinyatakan benar.17

Snelbecker mendefinisikan teori yaitu sebagai perangkat proposisi yang

terintegrasi secara sintaksis yang mengikuti aturan tertentu yang dapat

dihubungkan secara logis satu dengan yang lainnya dengan tata dasar yang

dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dengan

penjelasan fenomena.18

Kerangka Teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir

pendapat, teori, tesis, mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang

menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui

ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka

berpikir dalam penulisan.19

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam menjawab rumusan

permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.

16
Roony H. Semitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghali, 1982), hal. 37.
17
M. Soly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cetakan ke I (Bandung : Mandar Maju, 1994),
hal. 27.
18
Snelbecker dan Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1993), hal. 34-35.
19
Ibid, hal. 80.

Universitas Sumatera Utara


17

Teori kepastian hukum dikemukakan oleh Roscoe Pound.20 Teori Kepastian

Hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang

bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau

tidak boleh dilakukan dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari

kesewenangan pemerintah karena adanya aturan hukum yang bersifat umum

itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibenarkan atau dilakukan

Negara terhadap individu. Kepastian Hukum bukan hanya berupa pasal-pasal

dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan

hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk

kasus yang serupa yang telah diputuskan.21

Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan

adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas

menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk ketertiban masyarakat.

Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya

sehingga akhirnya timbul keresahan. Tetapi jika terlalu menitikberatkan pada

kepastian hukum, dan ketat mentaati peraturan hukum maka akibatnya akan

kaku serta menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya

tetap seperti demikian, sehingga harus ditaati dan dilaksanakan. Undang-

Undang itu sering terasa kejam, apabila dilaksanakan secara ketat, lex dura,

20
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Pranada Media
Goup,2008), hal.158.
21
Ibid, hal. 159.

Universitas Sumatera Utara


18

sed tamen scripta (Undang-Undang itu kejam, tetapi memang demikian

bunyinya).22

Dalam kaitannya dengan penelitian tesis ini yang meneliti mengenai

Perlindungan Hukum Atas Merek Dagang Asing di Indonesia menurut

Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek tentunya tidak terlepas

dari unsur kepastian hukum. Hal yang dipertimbangkan cukup relevan dengan

penelitian dalam tesis ini dikarenakan Pemilik Hak atas Merek Dagang Asing

harus mendapatkan kepastian hukum untuk perlindungan terhadap Merek

Dagang Asing yang mereka miliki.

Menurut Robert M. Sherwood yang mendasari perlunya perlindungan

terhadap hak kekayaan intelektual sesuai dengan teori :

a. Reward Theory, berupa pengakuan terhadap karya itelektual yang telah

dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/pencipta atau

pendesain harus diberikan suatu penghargaan sebagai imbalan atas upaya-

upaya kreatif dalam menemukan/menciptakan karya-karya intelektual

tersebut.

b. Recovery Theory, berupa pengembalian terhadap apa yang telah

dikeluarkan penemu/pencipta/pendesain yakni biaya, waktu dan tenaga

dalam proses menghasilkan suatu karya.

22
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Penghantar (Yogyakarta: Liberty, 1988) ,
hal. 136.

Universitas Sumatera Utara


19

c. Incentive Theory, berupa insentive yang diberikan kepada

penemu/pencipta/pendesain untuk pengembangan keratifitas dan

pengupayaan terpacunya kegiatan-kegiatan penelitian yang berguna.

d. Risk Theory, berupa resiko yang terkandung pada setiap karya yang

dihasilkan. Suatu penelitian mengandung resiko yang memungkinkan

orang lain menemukan karya yang dihasilkan, atau memperbaikinya dan

resiko yang mungkin timbul dari penggunaan secara illegal.

e. Economic Growth Stimulus Theory, perlindungan hak merupakan alat

untuk pembangunan ekonomi.23

2. Konsepsi

Konsepsi merupakan bagian terpenting dari pada teori. Peranan konsep dalam

penelitian adalah untuk menghubungkan dua teori dengan observasi, antara abstraksi

dan realitas.24 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, konsepsi yang

diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu yang abstrak menjadi sesuatu yang

konkrit, disebut dengan operation/definition. Pentingnya definisi operasional adalah

untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari

suatu istilah yang dipakai.25

Kerangka Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang

lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk
23
Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2004), hal. 44.
24
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei (Jakarta: LP3ES, 1989),
hal. 34.
25
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993), hal. 10.

Universitas Sumatera Utara


20

konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.

Konsep merupakan suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu

proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.26 Kerangka

Konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan

dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum.27

Untuk memperoleh gambaran dan pemahaman serta persepsi yang sama

tentang makna dan definisi konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini,

maka akan dijabarkan penjelasan dan pengertian tentang konsep-konsep tersebut

sebagai berikut:

1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-

angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang

memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang

atau jasa.

2. Merek Dagang adalah Merek yang digunakan pada barang yang

diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau

badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya.

3. Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang

berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for the Protection

of Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade

Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di

26
Satjipto Raharjo I, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 37.
27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) , hal. 7.

Universitas Sumatera Utara


21

negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota

salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan

dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention for

the Protection of Industrial Property.

4. Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada

pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu

tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin

kepada pihak lain untuk menggunakannya.28

5. Pengadilan Niaga adalah suatu Pengadilan khusus yang berada dalam

lingkungan peradilan umum, yang dibentuk dan bertugas menerima,

memeriksa dan memutus serta menyelesaikan permohonan pernyataan pailit

dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain dibidang

perniagaan, serta merupakan badan peradilan khusus dalam lingkungan

peradilan umum, yang salah satu kewenangannya untuk memeriksa masalah-

masalah Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) seperti sengketa merek, paten,

desain industri, dan desain tata letak sirkuit terpadu.29

6. Perlindungan Merek adalah kekuatan hukum yang melindungi suatu merek

yang terdiri dari tiga standar perlindungan yang berlaku umum terhadap suatu

28
Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, Op.cit, Pasal 3.
29
(Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan selanjutnya
dibentuk 4 (empat) Pengadilan Niaga, yaitu Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Ujung
Pandang (Makasar), Pengadilan Niaga Semarang, dan Pengadilan Niaga Surabaya. Khusus wilayah
hukum Pengadilan Niaga Medan meliputi wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat,
Bengkulu, Jambi dan Propinsi Nangro Aceh Darusallam.) Indonesia, Keputusan Presiden RI Nomor 97
Tahun 1999.

Universitas Sumatera Utara


22

kemungkinan yang membingungkan diantara merek, suatu persamaan atau

penambahan dari merek-merek dan persaingan curang merek.30

7. Merek Terkenal (Famous mark) adalah merek yang menjadi simbol

kebanggaan yang dapat diandalkan oleh konsumen walaupun konsumen tidak

mengetahui atau tidak menyadari siapa pemilik merek tersebut.31

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian yang dilakukan terkait dengan pembahasan mengenai perlindungan

hukum atas merek dagang asing di Indonesia, merupakan penelitian yuridis

normatif, karena objek dalam penelitian ini adalah norma-norma hukum tertulis.

2. Sumber Data

Data dalam Penelitian ini diperoleh dengan cara studi dokumen yang

digunakan untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari,

meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan

penelitian. Pengumpulan data sekunder dengan menelaah bahan kepustakaan

tersebut, meliputi:

a. Bahan hukum primer yaitu merupakan bahan hukum yang mengikat, terdiri

dari bahan pustaka yang berisikan pengetahuan ilmiah maupun pengertian

baru tentang fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan (ide) seperti:

30
H. D. Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan
Indonesia dan Amerika Serikat (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003),
hal. 22.
31
Ibid, hal. 22.

Universitas Sumatera Utara


23

peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak dikodifikasi (hukum

kebiasaan), yurisprudensi, putusan-putusan pengadilan, dan lainnya.

Sedangkan dalam Penelitian ini bahan hukum primer antara lain: Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek, Peraturan Perundang-

undangan lainnya yang berkaitan dengan merek, Putusan Pengadilan Niaga

dalam perkara penyelesaian sengketa gugatan pembatalan merek.

b. Badan hukum sekunder yaitu merupakan bahan hukum yang berfungsi

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa bahan pustaka

yang meliputi buku-buku hasil karya para sarjana, hasil penelitian dan

penemuan ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang berfungsi memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa

bahan pustaka seperti surat kabar, majalah, kamus hukum dan kamus lainnya

yang menyangkut penelitian ini, situs-situs internet juga menjadi sumber

bahan bagi penulisan tesis ini, sepanjang memuat informasi yang relevan

terhadap penulisan tesis ini.

3. Tehnik dan Alat Pengumpulan Data

Tehnik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara studi

kepustakaan (Library Research) yaitu menghimpun data dengan melakukan

penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum

Universitas Sumatera Utara


24

primer, sekunder, tersier32 yaitu buku-buku, majalah-majalah, tulisan, karangan

ilmiah, peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, serta putusan-putusan

Pengadilan Niaga, serta sumber hukum lain yang berkaitan dengan materi penelitian.

Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara studi dokumen yang

digunakan untuk memperoleh data sekunder, dengan membaca, mempelajari,

meneliti, mengidentifikasi dan menganalisa data sekunder yang berkaitan dengan

penelitian. Studi dokumen atau dapat juga dikatakan sebagai studi literatur/ riset

pustaka, apa yang menurut Soejono Soekanto dalam bukunya sebagai ..any

technique for making inferences by objectively and systematically identifying specifed

characteristics of massages.33

4. Analisis Data

Analisis data merupakan proses mengorganisasikan dan menguraikan data ke

dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan

dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.34 Analisis data

menurut Patton adalah sebuah proses mengatur urutan data mengorganisasikannya

ke dalam suatu pola, kategori dan kesatuan uraian dasar.35

Kegiatan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan

menginventarisasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan persoalan yang

32
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika , 1996), hal. 14.
33
M. Hafidullah, Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta Pada Karya Cipta Source Code Piranti Lunak Komputer (Yogyakarta:
Laporan Penelitian Lembaga Kajian Hukum Teknologi, 2005), hal. 4.
34
Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993),
hal. 103.
35
Ibid, hal. 103.

Universitas Sumatera Utara


25

menjadi obyek kajian. Data yang terkumpul akan diidentifikasikan kemudian

dilakukan penganalisisan secara kualitatif berupa pembahasan, antara berbagai data

sekunder yang terkait dengan berbagai peraturan perundang-undangan dan bahan

hukum yang telah diinventarisir.

5. Penarikan Kesimpulan

Pada tahap akhir akan ditemukan hukum secara konkret, sehingga penarikan

kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berpikir deduktif yakni

pengambilan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada yang bersifat

khusus.

Universitas Sumatera Utara


26

BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DAGANG ASING DI


INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN 2001
TENTANG MEREK

A. Konvensi-Konvensi Internasional

1. Konvensi Paris

Secara keseluruhan konvensi Internasional di bidang merek dimulai pada

tahun 1883 dengan ditanda-tanganinya The Paris Convention for the Protection of

Industrial Property (selanjutnya disebut konvensi Paris) yang merupakan salah satu

konvensi intelektual pertama dan terpenting. Awalnya konvensi ini ditandatangani

oleh 11 negara peserta, kemudian bertambah hingga tahun 1976 berjumlah 82 negara,

dan Indonesia termasuk didalamnya. Dalam Konvensi Paris, terminologi HKI

meliputi: paten, utility model, industrial design, trademarks, service marks, trade

names, indications of source or appellation of origin, dan repression of unfair

competition (Pasal 1 Provision of the Paris Convention for the Protection of

Industrial Property 1967, mentioned in the TRIPs Agreement, WIPO, Geneva).

Salah satu tujuan Konvensi Paris adalah untuk mencapai unifikasi di bidang

perundang-undangan merek sedapat mungkin, dengan harapan agar tercipta satu

macam hukum tentang merek atau cap dagang yang dapat mengatur soal-soal merek

secara seragam di seluruh dunia. Ada 3 (tiga) hal penting yang diatur dalam Konvensi

Paris ini, yaitu national treatment, yang artinya bahwa setiap warga negara peserta

26

Universitas Sumatera Utara


27

Konvensi Paris bisa mengklaim negara peserta lainnya, agar ia diperlakukan sama

dengan warga negaranya sendiri, dalam hal pemberian perlindungan merek, Priority

rights, yaitu hak-hak prioritas yang diberikan keapda setiap warga negara peserta

konvensi untuk mendaftarkan mereknya dalam jangka waktu 6 (enam) bulan

terhitung sejak tanggal pendaftaran mereknya di negara peserta konvensi Paris, dan

registration yang merupakan harmonisasi secara global sehubungan dengan

pendaftaran merek bagi setiap peserta Konvensi Paris.36

2. Perjanjian Madrid

Perjanjian Internasional lainnya mengenai merek adalah Perjanjian Madrid

(Madrid Agreement) tahun 1891 yang direvisi di Stockholm pada tahun 1967. Pasal

1, 2, 3 Perjanjian Madrid ditentukan bahwa Perjanjian Madrid berhubungan dengan

perjanjian hak merek dagang melalui pendaftaran merek dagang Internasional, yang

berdasarkan pendaftaran di negara asal. Pendaftaran Internasional tersebut

memungkinkan diperolehnya perlindungan merek dagang di seluruh negara anggota

peserta Perjanjian Madrid melalui satu pendaftaran saja.

Permohonan pendaftaran merek internasional harus berdasarkan pada satu

atau lebih pendaftaran pada Negara Protocol dimana Pemohon tinggal, berbisnis atau

berkewarganegaraan. Permohonan tersebut harus diajukan melalui Kantor Merek

Negara tersebut. Kantor Merek akan memeriksa detail dari permohonan internasional

tersebut termasuk kesamaannya dengan aplikasi atau pendaftaran pada Negara

36
Dwi Rezeki Sri Astarini, Penghapusan Merek Terdaftar, (Bandung: PT. Alumni, 2009),
hal. 62.

Universitas Sumatera Utara


28

tersebut selanjutnya mengirim ke WIPO International Bureau (IB). IB tidak

melakukan pemeriksaan substantif. IB hanya melakukan pemeriksaan formalitas

termasuk juga biaya, pengklasifikasian merek berdasarkan Nice Agreement.

Apabila ada ketidaksesuaian maka IB akan memberitahukan Kantor Merek

Negara asal dan atau Pemohon, dan memberikan waktu untuk perbaikan. Apabila

tidak ada ketidaksesuaian atau perbaikan sudah dilakukan maka IB akan mendaftar

merek tersebut pada International Register, memberitahukan Kantor Merek Negara

asal dan mengirim sertifikat pendaftaran pada pemegang. IB juga akan

mempublikasikan pendaftaran pada Berita Resmi WIPO atas merek internasional dan

mengirim detail ke Negara-negara tujuan. Masing-masing Negara tujuan akan

memeriksa International Registration berdasarkan Undang-Undang Mereknya

masing-masing.

Apabila ada keberatan atau oposisi maka Negara tujuan akan memberi tahu IB

yang akan menyampaikan kepada Pemegang Merek. Selanjutnya penyelesaian akan

diteruskan dengan melalui bantuan agen merek lokal. Berdasarkan Madrid Protocol,

Kantor Merek harus mengeluarkan penolakan dalam jangka waktu 12 bulan dengan

pilihan perpanjangan 6 bulan. Apabila tidak ada penolakan dalam 12 atau 18 bulan

maka merek harus mendapatkan perlindungan. Biaya PendaftaranBiaya pendaftaran

untuk lebih dari 3 kelas adalah US$ 497 untuk merek hitam putih dan US$699 untuk

merek berwarna. Biaya tambahan untuk masing-masing Negara tujuan adalah US$ 55

kecuali Negara tujuan menentukan biaya sendiri yang tentunya tidak boleh melebihi

Universitas Sumatera Utara


29

biaya pendaftaran langsung ke Negara tersebut. Untuk kelas barang dan jasa yang

didaftarkan lebih dari 3 maka masing-masing kelas lebihnya akan dikenakan US$ 55.

Tujuan yang hendak dicapai dari Perjanjian Madrid adalah mempermudah

cara pendaftaran merek-merek di berbagai negara dan juga menghindarkan

pemberitahuan asal barang secara palsu. Indonesia sendiri sampai saat ini belum

masuk sebagai anggota Perjanjian Madrid.

Tentunya dengan diratifikasinya Madrid Protocol maka pendaftaran merek

international akan lebih hemat. Hal ini menimbulkan harapan bahwa merek-merek

nasional akan dapat mudah masuk ke pasar internasional. Namun harus disadari

walaupun biaya pendaftaran merek internasional menjadi lebih murah tetapi merek

merupakan biaya kecil apabila dilihat dari scope untuk orbit ke pasar internasional.

Masih ada besarnya biaya ekspor barang ke luar negeri yang harus dipikirkan, biaya

pemasaran/tempat penjualan, biaya promosi, dll. Biaya-biaya lainnya ini tentunya

sangat besar untuk mempertahankan agar merek yang didaftarkan di Negara lain ini

tetap tergolong merek yang digunakan.

Madrid Protocol memiliki prinsip ketergantungan pada pendaftaran di Negara

asal. Untuk 5 (lima) tahun pertama mengikuti pada tanggal efektif dari pendaftaran

internasional, keberlakuan dan cakupan dar pendaftaran di Negara lain akan

tergantung pada nasib dari permohonan atau pendaftaran di Negara asal. Misalnya

saja ada pembatasan, penolakan final atau abandonment di Negara asal, atau

pembatalan, pencabutan pada Negara asal dalam jangka waktu 5 tahun, maka akan

memiliki efek yang sama pada pendaftaran internasional dan pada pendaftaran di

Universitas Sumatera Utara


30

Negara-negara anggota Madrid Protocol. Termasuk juga untuk abandonment,

pembatalan atau semacamnya pada pendaftaran nasional yang terjadi sesudah masa 5

tahun dimana proses terjadi selama periode 5 tahun.

Konsep ketergantungan ini sering menjadi central attack (dimana muncul

peran dari pihak ketiga). Pendaftaran baru bebas dari kutukan ini apabila telah

melewati masa 5 tahun. Namun diberikn kesempatan untuk melakukan transformasi

dimana diijinkan untuk mentransformasi pendaftaran internasional menjadi pengajuan

permohonan individual yang harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan dari

pembatalan atas pendaftaran internasional. Tentunya dengan sistem ketergantungan

ini maka akan merugikan pemilik merek apabila pendaftaran merek di Negara asal

mengalami hambatan karena berdampak pada Negara-negara lainnya.

Dengan diratifikasinya Madrid Protocol maka tentunya pasal yang

menyatakan bahwa semua pendaftaran HKI harus melalui Konsultan HKI akan

dikesampingkan. Maka pendaftaran melalui Madrid Protocol dapat dilakukan

langsung ke Kantor Merek melalui IB. Tentunya Konsultan HKI akan kehilangan

pendapatan melalui pendaftaran secara significant mengingat Negara yang telah

meratifikasi Madrid Protocol sudah cukup banyak yakni lebih dari 80 negara.

Termasuk juga hilangnya pemasukan dari service renewal. Apabila dikatakan bahwa

Konsultan HKI akan mendapatkan kenaikan melalui proses litigasi belum tentu dapat

terbukti benar mengingat sejauh ini penolakan terhadap merek tidak terlalu banyak

dibandingkan dengan aplikasi yang masuk sebagaimana digambarkan dalam data

Universitas Sumatera Utara


31

statistic 2001, 2002, 2003 dimana total penolakan adalah sebesar 10% dari

permohonan pendaftaran merek yang masuk.

Kantor Merek tidak terlalu mengalami kerugian kecuali angka pendaftaran

merek menjadi turun. Karena apabila aplikasi tetap jumlahnya, biaya juga tidak lebih

besar dibandingkan permohonan melalui nasional. Yang pasti pekerjaan kantor

merek menjadi jauh lebih banyak karena harus langsung berkorespondensi dan

merespons secara lebih cepat kepada IB. Hal ini akan meyebabkan Kerugian bagi

Pemerintah, karena dengan pendapatan yang berkurang pada Konsultan HKI akan

berdampak pada penerimaan pajak oleh pemerintah.37

3. TRIPs- WTO

Perjanjian mengenai pembentukan World Trade Organization (WTO)

ditandatangani tanggal 15 April 1994 di Marakesh sebagai hasil konkret perundingan

putaran uruguay yang dimulai pada tahun 1986. Tujuan utamanya adalah untuk

menciptakan sistem perdagangan Internasional yang lebih bebas dan adil dengan

tetap memperhatikan kepentingan-kepentingan khusus negara berkembang. Salah

satu topik yang dibahas dalam putaran Uruguay adalah TRIPs (Agreement on Trade

Related Aspects of Intellectual Propertu Rights) atau aspek dagang yang terkait

dengan HKI.38 Sebagai salah satu bagian persetujuan pembentukan WTO, TRIPs

37
Belinda Rosalina, Madrid Protocol: Untung dan Ruginya Meratifikasi, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 2008), hal. 3.
38
Normin Pakpahan, Pengaruh Perjanjian WTO dan Pembentukan Hukum Nasional, (Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 3, 1998), hal. 41-42.

Universitas Sumatera Utara


32

telah memicu perubahan yang sangat fenomenal dalam perkembangan sistem

perlindungan HKI di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Persetujuan TRIPs menentukan standar-standar Internasional tertentu bagi

penegakan yang bersifat perintah dan mengharuskan Negara anggota menyediakan

perangkat kerja hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak kekayaan intelektual,

termasuk didalamnya merek. Setiap negara anggota memiliki kewajiban internasional

untuk memasukkan TRIPs ke dalam hukum nasional tentang hak kekayaan

intelektual. Untuk itu, Indonesia beberapa kali mengubah, menambah dan melengkapi

ketentuan di dalam Undang-Undang Merek sebagai konsekuensi Indonesia

meratifikasi TRIPs-WTO. Beberapa ketentuan merek yang diatur dalam persetujuan

TRIPs cukup banyak yang telah diadopsi dalam Undang-Undang Merek Indonesia,

diantaranya seperti lisensi dan indikasi geografis.

Secara keseluruhan, TRIPs telah mempengaruhi dan membantu terciptanya

suatu kecenderungan yang umum ke arah penyempurnaan perundang-undangan

merek. TRIPs berguna sebagai suatu kesempatan positif bagi suatu negara untuk

meningkatkan pembangunan ekonomi dan nasional.

B. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

Dengan berlakunya UU Merek di Indonesia pencatutan, pendomplengan,

penggunaan nama maupun domain name atas suatu merek yang telah terkenal

merupakan musuh besar bagi perkembangan industri sebuah perusahaan. Pengaturan

merek dengan Undang-Undang ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan

Universitas Sumatera Utara


33

secara efektif untuk mencegah segala bentuk pelanggaran yang berupa penjiplakan,

penggunaan nama yang sama, pencatutan nama, atau domain name atas suatu merek.

UU Merek menetapkan tujuan, untuk mendorong kelancaran dan peningkatan

perdagangan barang dan jasa merek dengan mempromosikan mereknya tersebut

kepada khalayak ramai agar dapat dinikmati karena merek merupakan karya atas olah

pikir manusia yang dituangkan ke dalam bentuk benda immaterial.

Perlindungan terhadap merek asing atau luar bagi pemegang merek tersebut

sangatlah menentukan bagi perkembangan dan kemajuan dari industri yang ditekuni

dan dijalaninya agar merek yang dimilikinya tidak disalahgunakan oleh orang-orang

yang tidak mempunyai itikad baik dalam menggunakan mereknya untuk mengelabui

konsumen yang telah lama memakai mereknya dengan mendaftarkan dan

menggunakan nama yang sama pada pendaftarannya.

Pelanggaran terhadap merek acapkali terjadi di Indonesia, terutama dalam hal

penggunaan dan pendomplengan nama maupun penjiplakan dari merek terkenal.

Sebuah merek sangatlah gampang untuk ditiru bagi produsen-produsen perusahaan

untuk meningkatkan daya jual ke pasaran dengan menggandeng ketenaran dari merek

perusahaan yang telah ada di pasaran sebelumnya.

Pada Usaha Kecil Menengah (UKM) pada saat dilakukan mereka

memamerkan produk-produk yang dimiliki oleh mereka yang belum didaftarkan.

Hanya dengan melihat dan memotret produk tesebut kemudian membuatnya kembali

produk tersebut dan didaftarkan. Cara seperti ini secara tidak langsung yang dimana

Universitas Sumatera Utara


34

produk buatan seseorang tadi yang seharusnya miliknya dapat dengan mudah ditiru

oleh orang lain dan mendaftarkannya sebagai merek dari produknya.

Pelanggaran atas merek tidak hanya pada UKM saja, perusahaan yang telah

tenar dan mereknya yang sudah dikenal khalayak ramai tidak luput dari pihak yang

ingin menyabotase ketenarannya itu dengan mendompleng nama dari merek

perusahaan tersebut. Dengan membuat nama mirip atau dari pengucapan yang serupa

walaupun pada dasarnya berbeda jenis barangnya. Oknum tadi dengan mudah dapat

meraup keuntungan dengan merek yang digunakannya tersebut sehingga

menimbulkan keragu-raguan pada khalayak ramai terhadap produk yang dipakai oleh

mereka dan telah beredar di pasaran.

Jika ini hal ini tidak ditindaklanjuti secara serius maka akan terus menyebar

dan orang akan melakukan tindakan seenaknya saja demi mendapatkan keuntungan

yang berlebih. Keadaan ini menjadi tidak kondusif bagi si pemilik merek dan

lambat laun akan menjadi sebuah mesin yang dapat membunuh bagi pemilik

merek, sehingga seorang pemilik merek akan berkurang minatnya dalam berkreasi

menciptakan produk-produk baru agar bisa bersaing dengan produk-produk lainnya

di pasaran.

Hakikat dari perlindungan hukum ialah jaminan bahwa jika hak atau suatu

kepentingan dirugikan atau dilanggar, akan ada kepastian tentang tersedianya

pemulihan atas kerugian yang terjadi serta upaya-upaya hukum dalam rangka

pemulihan tersebut apakah itu secara yudisial atau non-yudisial. Secara konseptual,

istilah perlindungan hukum mendeskripsikan suatu keadaan berupa kebebasan pada

Universitas Sumatera Utara


35

diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang di dalam

menikmati kebebasan tersebut terkandung jaminan berupa ketiadaan gangguan.

Jaminan tersebut penting artinya karena jika proses penikmatan atas

kebebasan tersebut terganggu, yang bersangkutan berhak mengajukan suatu tuntutan

supaya gangguan dihentikan dan kerugian dapat diganti.39

Menyangkut mekanisme perlindungan secara ratione temporis dapat

diklasifikasikan dua jenis perlindungan hukum, yaitu:

a) Perlindungan Hukum Preventif

Sebagai konsekuensi dari sistem konstitutif yang dianut oleh Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2001, hak atas merek tercipta karena pendaftaran. Dinyatakan

oleh Pasal 3 Undang-UndangNomor 15 Tahun 2001 bahwa:

Hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang
terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan
menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain
untuk menggunakannya.

Dengan melakukan pendaftaran, pemilik merek akan memperoleh hak

eksklusif atas penggunaan merek tertentu atau untuk memberikan izin kepada

pihak lain untuk menggunakannya selama jangka waktu tertentu serta

mendapatkan perlindungan hukum dari negara.40

Sistem konstitutif yang dianut oleh hukum merek Indonesia menunjukkan

betapa pentingnya makna lembaga pendaftaran merek dalam rangka memberikan

perlindungan hukum kepada pemegang/pemilik merek. Kaidah yang relevan

39
Titon Slamet Kurnia, Op.cit, hal. 151-152.
40
Indirani Wauran, Op.cit, hal. 25.

Universitas Sumatera Utara


36

mengenai pendaftaran merek sehubungan dengan asas good faith yaitu Pasal 4

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menentukan bahwa merek tidak dapat

didaftar atas dasar permohonan yang beriktikad tidak baik. Pengertian iktikad tidak

baik dalam pendaftaran merek dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 4 Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2001 berkenaan dengan kesengajaan yang diketahui dalam

meniru merek dagang yang sudah dikenal.

Kaidah ini memiliki kaitan dengan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2001 sebagai relative grounds for refusal atas pendaftaran merek jika suatu

merek memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak

lain, termasuk merek terkenal. Namun, kaidah in concreto yang dihasilkan dalam

praktik peradilan ternyata masih problematis seperti kaidah in abstracto dalam

peraturan karena mengandung ketidak jelasan pengertian persamaan pada

pokoknya yang operasional untuk dapat diterapkan dalam peristiwa konkret ketika

pejabat pada Kantor Merek menangani permohonan pendaftaran merek.41 Pengadilan

belum berhasil menetapkan kaidah otoritatif yang dapat mempedomani Kantor Merek

padahal upaya tersebut sangat penting ketika yang bersangkutan harus

mempertimbangkan apakah suatu pendaftaran dapat diterima atau tidak dapat

diterima/harus ditolak karena memiliki persamaan pada pokoknya atau pada

keseluruhannya dengan merek pihak lain terutama merek terkenal.

41
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2002), hal. 270-277.

Universitas Sumatera Utara


37

Asas dalam pendaftaran yang sangat penting dalam kaitan dengan asal usul

suatu merek supaya tidak terjadi persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya

dengan merek pihak lain ialah asas kebenaran substantif menyangkut kepemilikan

merek yang didaftarkan. Pengadilan perlu memberikan kontribusi bagi pemecahan isu

ini sebagai solusi dari ketidaklengkapan, kekurangsempurnaan atau kekurangjelasan

peraturan (legislasi maupun regulasi) terutama dalam melakukan interpretasi atas

pengertian kapan terjadi persamaan pada pokoknya.

Satu pengertian penting dalam kaitan dengan itu ialah bahwa Kantor Merek

harus bertindak hati-hati dan cermat dalam memutuskan untuk menerbitkan Sertifikat

Merek untuk mencegah supaya ketika Sertifikat Merek diterbitkan tidak ada pihak

lain yang kepentingannya dirugikan. Keharusan berlaku cermat tersebut secara

konkret misalnya harus mengenali apakah merek yang didaftarkan memiliki

persamaan pokoknya atau tidak dengan merek terkenal di dalam maupun di luar

yurisdiksi Indonesia.

Menurut Penjelasan Umum UU No 14 Tahun 1997, perlindungan terhadap

merek terkenal didasarkan pada pertimbangan bahwa peniruan merek terkenal milik

orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, terutama untuk mengambil

kesempatan dari ketenaran merek orang lain, sehingga tidak seharusnya mendapat

perlindungan hukum. Berdasarkan undang undang ini, mekanisme perlindungan

merek terkenal, selain melalui inisiatif pemilik merek tersebut sebagaimana telah

diatur dalam Pasal 56 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 1992, dapat pula ditempuh

melalui penolakan oleh Kantor Merek terhadap permintaan pendaftaran merek yang

Universitas Sumatera Utara


38

sama pada pokoknya dengan merek terkenal. Perlindungan hukum merek yang

diberikan kepada merek asing atau lokal, terkenal atau tidak terkenal hanya diberikan

kepada merek terdaftar.

b) Perlindungan Hukum Represif

1. Penarikan Kembali Keputusan tentang Pendaftaran Merek (Sertifikat Merek)

oleh Kantor Merek.

Pasal 61 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menetapkan

kaidah tentang siapa yang dapat melakukan penghapusan merek:

Penghapusan pendaftaran Merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan

atas prakarsa Direktorat Jenderal atau berdasarkan permohonan pemilik

Merek yang bersangkutan.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tidak menetapkan dasar hukum

secara eksplisit yang memberi kewenangan kepada Kantor Merek untuk atas

inisiatifnya sendiri melakukan penghapusan pendaftaran merek yang

memiliki persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya dengan merek

terkenal dan hal itu baru terbukti di kemudian hari karena pemegang/pemilik

merek ketika mendaftarkan mereknya tidak memberikan keterangan secara

benar dan lengkap tentang merek yang didaftarkannya.

Pembatalan Pendaftaran Merek yang dapat Kantor Merek lakukan adalah

atas kekuatan putusan pengadilan, bukan inisiatif sendiri, yang lahir karena

proses gugatan yang diajukan oleh pemilik merek yang berhak. Hal ini

dapat diketahui dari ketentuan Pasal 70 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 15

Universitas Sumatera Utara


39

Tahun 2001 yang kaidahnya ialah bahwa Direktorat Jenderal melaksanakan

pembatalan pendaftaran merek dari Daftar Umum Merek setelah menerima

putusan badan peradilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain,

tersirat suatu pengertian bahwa pembatalan Pendaftaran Merek hanya bisa

dilakukan setelah adanya putusan yudisial, bukan inisiatif sendiri dari Kantor

Merek padahal kewenangan melakukan itu senantiasa inheren dalam diri

mereka sesuai dengan asas-asas dan kaidah-kaidah dalam hukum administrasi

menyangkut pembuatan keputusan TUN. Secara yuridis, ketentuan demikian

memiliki sisi-sisi positif maupun negatif sekaligus.

Sisi positifnya ialah mencegah supaya Kantor Merek tidak melakukan

tindakan sewenang-wenang sehingga karena itu kewenangannya sangat

dibatasi. Sisi negatifnya ialah ketentuan ini kurang efisien dan

mengurangi kewenangan Kantor Merek untuk melakukan pengawasan atas

keputusannya dalam pendaftaran merek, terutama untuk melakukan koreksi

atas keputusan yang mengandung kekeliruan. Dengan pengertian lain bahwa

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 mengurangi secara substantif

kewenangan secara administratif yang dimiliki oleh Kantor Merek sebagai

badan tata usaha negara.42

2. Pembatalan Merek oleh Pengadilan dan Ganti Kerugian.

42
Titon Slamet Kurnia, Op.cit, hal. 179.

Universitas Sumatera Utara


40

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 memberi dampak cukup signifikan

dalam rangka perlindungan hukum terhadap merek terkenal meskipun

pengaturan yang ada di dalamnya masih belum sesuai sepenuhnya dengan

perkembangan dalam yurisprudensi maupun ketentuan Pasal 16 Ayat (2 & 3)

Perjanjian TRIPs (supra Bab II). Perubahan paling mendasar dari Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2001 ialah tentang isu yurisdiksi. Upaya hukum

yudisial dalam setiap sengketa tentang merek berada di bawah yurisdiksi

Pengadilan Niaga (suatu pengadilan khusus di dalam peradilan umum).

Menurut Pasal 80 ayat (8) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, putusan

harus diucapkan paling lama 90 hari setelah gugatan didaftarkan.

Perpanjangan hanya dibolehkan maksimal 120 hari dengan persetujuan Ketua

Mahkamah Agung. Satu-satunya upaya hukum atas putusan Pengadilan Niaga

tersebut adalah kasasi (Pasal 82 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001).

Pasal 68 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menetapkan

kaidah:

Gugatan pembatalan pendaftaran merek dapat diajukan oleh pihak yang

berkepentingan dengan alasan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 4,5, dan 6

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

Kemudian Pasal 68 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

menetapkan kaidah:

Pemilik merek yang tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan setelah

mengajukan permohonan pendaftaran kepada Kantor Merek.

Universitas Sumatera Utara


41

Terkait dengan isu pembatalan merek oleh pengadilan, pemegang hak atas

merek juga berhak atas ganti kerugian. Dasar hukum menyangkut gugatan atas

pelanggaran merek diatur dalam Pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 yang meliputi: gugatan ganti rugi dan penghentian semua perbuatan yang

berkaitan dengan penggunaan merek yang disengketakan.

Namun, aplikabilitas kaidah Pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15

Tahun 2001 tersebut sangat sempit, yaitu hanya sebagai dasar mengajukan gugatan

oleh pemilik merek terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek

yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau

jasa sejenis. Meskipun Pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

tidak mengatur tentang merek untuk barang atau jasa tidak sejenis maupun merek

terkenal, kaidah dalam pasal tersebut dapat diberlakukan secara analogi terhadap

merek untuk barang atau jasa tidak sejenis maupun untuk merek terkenal.

C. Pengertian Merek Asing

Menurut batasan yuridis beberapa sarjana ada juga memberikan pendapatnya

mengenai pengertian merek, yaitu:

1. Sudargo Gautama (1997), mengatakan bahwa perumusan pada Paris


Convention, suatu Trademark atau merek pada umumnya didefinisikan
sebagai suatu tanda yang berperan untuk membedakan barang- barang dari
suatu perusahaan dengan barang- barang dari perusahaan lain.
2. R. M. Suryodiningrat (1980), mengatakan bahwa barang-barang yang
dihasilkan oleh pabrik dengan dibungkus dan pada bungkusnya itu dibubuhi
tanda tulisan atau perkataan untuk membedakan dari barang sejenis hasil
perusahaan lain, tanda inilah yang disebut merek perusahaan.
3. M. N. Purwosutjipto (1991: 88), mengatakan bahwa Merek itu ada dua
macam, yaitu merek perusahaan atau merek pabrik dan merek perniagaan.

Universitas Sumatera Utara


42

Merek perusahaan atau merek pabrik (fabrieks merk, factor mark) adalah
merek yang dilekatkan pada barang oleh si pembuatnya (pabrik). Sedangkan
merek perniagaan (handelsmerk, trade mark) adalah merek yang dilekatkan
pada barang oleh pengusaha perniagaan yang mengedarkan barang itu.
4. Prof. R Soekardono, S. H., mengatakan bahwa merek adalah sebuah tanda
(Jawa: ciri atau tengger) dengan nama dipribadikan sebuah barang tertentu, di
mana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitetnya
barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau
barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau
diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.
5. Mr. Tirtaamidjaya yang mensitir pendapat Prof. Vollmar, mengatakan bahwa
suatu merek pabrik atau merek perniagaan adalah suatu tanda yang
dibubuhkan di atas barang atau di atas bungkusannnya, guna membedakan
barang itu dengan barang barang yang sejenis lainnya.
6. Drs. Iur Soeryatin, mengemukakan rumusannya dengan meninjau merek dari
segi aspek fungsinya dengan mengatakan bahwa suatu merek dipergunakan
untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejanis lainnya
oleh karena itu, barang yang bersangkutan dengan diberi merek tadi
mempunyai: tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya.
7. Essel R. Dillavou, mengatakan bahwa No complete definition can be givefor
a trade mark generally it is any sign, symbol mark, work or arrangement of
word in the form of a label adopted and used by a manufacturer of
distributor to designate his particular goods, and which no other person
has the legal right to use it.Originally, the sign or trade mark, indicated
origin, but to day it is used more as an advertising mechanism.
8. Harsono Adisumarto, S. H., MPA, menyatakan bahwa merek adalah tanda
pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain, seperti
pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada punggung sapi yang
kemudian dilepaskan di tempat penggembalaan bersama yang luas. Cap
seperti itu memang merupakan tanda pengenal untuk menunjukkan bahwa
hewan yang bersangkutan adalah milik orang tertentu. Biasanya, untuk
membedakan tanda atau merek digunakan inisial dari nama pemilik sendiri
sebagai tanda pembedaan.
9. Philip S. James MA, sarjana Inggris mengatakan A trade mark is a mark
used in conextion with goods which a trader uses in order to tignity that a
certain type of good are his trade need not be the actual manufacture of
goods, in order to give him the right to use a trade mark, it will suffice if they
marely pass through his hand is the course of trade.

Salah satu prinsip terpenting dari Konvensi Paris adalah tentang persamaan

perlakuan yang mutlak antara orang asing dengan warga negara sendiri. Prinsip

Universitas Sumatera Utara


43

National Treatment atau prinsip assimilasi (Principle Of Assmilation) yaitu bahwa

seorang warga negara dari suatu negara peserta UNI, akan memperoleh pengakuan

dan hak-hak yang sama seperti seorang warga negara dimana mereknya didaftarkan.43

Prinsip perlakuan yang sama ini dimaksudkan untuk melindungi merek asing

yang didaftarkan di negara peserta Konvensi Paris termasuk Indonesia. Pengertian

merek asing menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak didefinisikan

secara pasti. Berdasarkan Penjelasan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Merek Nomor

15 Tahun 2001 dapat diinterprestasikan mengenai pengertian merek asing yang

berlaku bagi Pemohon dengan menggunakan Hak Prioritas yaitu merek yang diajukan

oleh pemilik atau yang berhak atas merek yang tidak bertempat tinggal atau

berkedudukan tetap di luar wilayah negara RI.Prinsip perlakuan sama ini tidak hanya

berlaku untuk warga negara perseorangan, tetapi berlaku juga untuk badan-badan

hukum. Seorang asing dilindungi sama dengan warga negara tempat mereknya

didaftarkan, dengan demikian hak dan kewajibannya pun sama. Dalam hal ini tidak

boleh ada diskriminasi.

Bila orang asing ingin memperoleh hak merek di Indonesia maka ia harus

mengetahui bagaimana peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini

biasanya ketentuan merek suatu negara selalu mencantumkan ketentuan mengenai

tata cara untuk memudahkan pengurusan merek tersebut, yaitu si orang asing

diwajibkan mempunyai domisili dimana mereknya didaftarkan dengan cara

43
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah Teori dan
Prakteknya di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 129.

Universitas Sumatera Utara


44

memberikan kuasa kepada konsultan merek di negara tempat merek tersebut akan

(telah) didaftarkan. Ketentuan ini tercantum dalam hukum merek Indonesia yaitu

pada ketentuan Undang-Undang Nomor 19 tahun 1992 pasal 11.

Permintaan pendaftaran merek yang diajukan oleh pemilik atau yang berbuat

atas merek yang bertempat tinggal atau berkedudukan tetap di luar wilayah negara

Republik Indonesia, wajib diajukan melalui kuasanya di Indonesia, juga wajib

menyatakan dan memilih tempat tinggal kuasanya sebagai alamatnya di Indonesia.

D. Kriteria dan Ruang Lingkup Merek Terkenal

Kriteria suatu merek terkenal dalam penjelasan Pasal 4 UU Merek 2001, anya

didasarkan pada pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang

usaha yang bersangkutan. Dalam pelaksanaan Undang-undang merek tersebut, atau

pada prakteknya, untuk membuktikan suatu merek itu terkenal, sering dengan adanya

promosi yang cukup sering dan digunakan secara efektif kadang diikuti dengan

persyaratan bahwa merek itu telah didaftar di berbagai Negara, misalnya minimal 3

Negara.

Kriteria merek terkenal yang dianut di Amerika Serikat diatur dalam pasal 43

(c) (1) Lanhnham Act yang diperbaharui menentukan bahwa untuk menentukan

apakah suatu merek mempunyai sifat daya pembeda dan terkenal, Pengadilan dapat

mempertimbangkan faktor-faktor seperti, tetapi tidak terbatas pada:44

44
Ridwan Khairandy, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, (Pusat Studi Hukum UII
Yogyakarta dan Yayasan Klinik HAKI Jakarta, 2000), hal. 97.

Universitas Sumatera Utara


45

1. Derajat sifat yang tidak terpisahkan atau mempunyai sifat daya pembeda dari

merek tersebut.

2. Jangka waktu dan ruang lingkup pemakaian merek yang berkaitan dengan

barang atau jasa dari merek.

3. Jangka waktu dan ruang lingkup dari pengiklanan dan publisitas merek

tersebut.

4. Ruang lingkup geografis dari daerah perdagangan di mana merek tersebut

dipakai.

5. Jaringan perdagangan barang atau jasa dari merek yang dipakai.

6. Derajad pengakuan atas merek tersebut dari arena perdagangan dan jaringan

perdagangan dari pemilik merek dan larangan terhadap orang atas pemakaian

merek tersebut dilaksanakan.

7. Sifat umum dan ruang lingkup pemakaian merek yang sama oleh pihak ketiga.

8. Keberadaan pendaftaran merek tersebut berdasarkan Undang Undang atau

pendaftaran pertama dilakukan.

Kriteria yang lebih rinci juga dimiliki Kantor Merek China dalam menentukan

terkenal tidaknya suatu merek yakni:45

1. Ruang lingkup daerah geografis di mana merek tersebut dipakai.

2. Jangka waktu merek tersebut dipakai.

3. Jumlah dan hasil minimum penjualan dari pemakaian merek tersebut.

45
Ibid, hal. 98.

Universitas Sumatera Utara


46

4. Pengetahuan masyarakat tentang merek itu.

5. Status merek tersebut apakah telah terdaftar di Negara lain.

6. Biaya pengeluaran dari iklan berikut daerah jangkauan iklan tersebut.

7. Usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemilik merek dalam melindungi

mereknya.

8. Kemampuan pemilik merek untuk mempertahankan kualitas yang baik dari

merek yang dipakainya.

Sekarang ini dipandang perlu untuk menegaskan bahwa apa yang dianggap

sebagai merek terkenal bukan hanya membatasi peniruan oleh pihak lain terhadap

pemakaian barang yang sejenis. Tetapi dicakup juga dalam perumusan ini barang-

barang yang tidak sejenis. Dengan lain perkataan, apabila suatu merek dipandang

sebagai merek terkenal, maka tidak dapat dipergunakan merek itu juga untuk barang-

barang yang tidak sejenis. Misalnya, secara konkret merek Sony sudah terkenal

terutama untuk barang-barang elektronik. Merek Sony ini tidak dapat dipakai untuk

misalnya pulpen, potlot dan sebagainya, walaupun tidak termasuk barang sejenis

dengan elektronik, pemakaian oleh pihak lain juga dilarang.

Karena goodwill dari Sony ini sudah demikian besar karena terkenal di

seluruh dunia, maka tidak wajar jika dipergunakan untuk barang-barang lain. Hal ini

Universitas Sumatera Utara


47

memang merupakan pandangan yang berlainan dari apa yang sudah kita saksikan

selama ini.46

Pasal 6 bis Konvensi Paris tidak memberikan definisi atau kriteria tentang

merek terkenal (Wellknown Mark) tetapi diserahkan sepenuhnya pada masing-masing

negara anggota. Pemerintah Indonesia melalui Kepmenkeh No. M 03-HC-02.01

Tahun 1991 tanggal 2 Mei 1991 tentang penolakan permohonan pendaftaran merek

terkenal atau merek yang mirip merek terkenal milik orang lain atau milik badan lain,

memberikan kriteria tentang merek terkenal yaitu meliputi:

a) Merek dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang

diperdagangkan oleh seorang atau badan;

b) Digunakan di Indonesia maupun di luar negeri.

Kriteria merek terkenal tidak hanya didasarkan pada pengetahuan umum

masyarakat tetapi juga didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan

yang telah diperoleh karena promosi yang telah dilakukan pemiliknya. 47

E. Ketentuan Khusus Pendaftaran Merek Terkenal

Usaha untuk meraih predikat merek terkenal terhadap suatu produk bukan hal

yang mudah. Pemilik merek membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk

menjadikan mereknya merek terkenal. Salah satu caranya adalah dengan

mendaftarkan mereknya diberbagai negara. Hal itu menuntut diperlukannya ketentuan

khusus dalam pendaftaran merek terkenal, karena kalau suatu barang sudah terkenal

46
Sudargo Gautama dan R. Winata II, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam
Rangka WTO) 1997, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), 41.
47
Ibid, hal. 57.

Universitas Sumatera Utara


48

dengan merek tertentu maka merek inilah yang dijadikan pegangan untuk

memperluas pasaran luar negeri dari barang yang bersangkutan. 48

Pasal 6 bis Konvensi Paris versi Stockholm 1967, menentukan bahwa merek

terkenal yang telah dipakai oleh pemakai merek yang beritikad tidak baik, maka

selalu dapat dimintakan pembatalannya atau dilakukan pembatalan oleh pejabat

pendaftaran. Dalam pasal 6 bis ayat (3) dinyatakan bahwa tidak ada jangka waktu

yang ditentukan untuk meminta pembatalan daripada merek itu atau larangan untuk

memakai merek terdaftar tersebut jika dipakainya dengan itikad buruk (in bad faith).

Walaupun tidak terdaftar, pemilik merek terkenal dapat mengajukan gugatan

untuk pendaftaran pembatalan merek setelah mengajukan pendaftaran pada

Direktorat Jenderal Merek.49 Maksud dari ketentuan tersebut adalah untuk

memberikan perlindungan secara terbatas kepada pemilik merek terkenal asing yang

tidak terdaftar dan mendorong pemilik merek terkenal asing untuk mendaftarkan

mereknya. Dalam permohonan Pembatalan dan Penghapusan Merek TOAST BOX

yang diajukan BreadTalk Pte. Ltd, Pengadilan Niaga telah mengabulkan gugatan

tersebut dan menyatakan bahwa BreadTalk Pte. Ltd adalah pemilik satu-satunya

Merek TOAST BOX, karena itu mempunyak hak tunggal untuk memakai merek

dagang TOAST BOX di Indonesia. Pemakaian merek terkenal atau pemakaian merek

mirip dengan merek terkenal milik orang lain secara tidak berhak juga dapat

menyesatkan masyarakat tentang asal-usul kualitas barang.

48
Sudargo Gautama III, Hukum Merek Indonesia, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 154.
49
Sudargo Gautama dan R. Winata II, Op.cit, hal. 96.

Universitas Sumatera Utara


49

Saat ini perlindungan terhadap merek terkenal telah diperluas daripada apa

yang ditentukan dalam pasal 6 bis Konvensi Paris. Seperti yang tercantum dalam

persetujuan TRIPs bahwa pembatasan peniruan oleh pihak lain tidak hanya terhadap

pemakaian barang sejenis tetapi juga terhadap pemakaian barang yang tidak

sejenis. Negara anggota dari Paris Union ini menerima secara exofficio, jika

perundang-undangan mereka memperbolehkan, atau atas permohonan daripada pihak

yang berkepentingan untuk menolak atau membatalkan pendaftaran dan juga

melarang pemakaian daripada suatu merek yang merupakan suatu reproduksi, imitasi

atau penerjemahan yang dapat menimbulkan kekeliruan (to create confusion) dari

suatu merek yang telah dianggap oleh instansi yang berwenang daripada negara

dimana merek ini didaftarkan atau dipakai sebagai merek terkenal (wellknown mark),

di dalam negara itu, yakni sebagai suatu merek dari seorang yang berhak atas fasilitas

menurut Konvensi Paris ini dapat dipakai untuk barang-barang yang sama (identik)

atau sebagai essential (utama).50

F. Perlindungan Hukum terhadap Merek Dagang Asing di Indonesia

Perlindungan terhadap merek terkenal merupakan salah satu aspek penting

dari hukum merek. Pentingnya perlindungan terhadap merek terkenal dikarenakan

dari adanya kepentingan ekonomi dari merek-merek tersebut yang mana diakui

didalam perjanjian internasional WIPO. Istilah merek terkenal ini ditinjau dari

reputasi (reputation) dan kemahsyuran (renown) suatu merek, yang di mana merek

50
Sudargo Gautama dan R. Winata II, Op.cit,hal. 57.

Universitas Sumatera Utara


50

terkenal ini mempunyai reputasi tinggi yang menimbulkan sentuhan keakraban

(familiar attachement) dan ikatan mitos (mythical context) kepada seluruh lapisan

konsumennya.

Penentuan suatu merek sebagai merek terkenal, tidaklah hanya terkenal di

manca negara yang dimiliki oleh pihak asing tetapi juga merek-merek lokal yang

dimiliki oleh para pengusaha lokal yang dianggap terkenal untuk kalangan tertentu,

atau masyarakat pada umumnya. Kriteria suatu merek terkenal dalam penjelasan

Pasal 4 UU No 15 Tahun 2001, hanya didasarkan pada pengetahuan umum

masyarakat mengenai merek atau nama tersebut di bidang usaha yang bersangkutan.

Dalam pelaksanaan Undangundang merek tersebut, atau pada prakteknya,

untuk membuktikan suatu merek itu terkenal, sering dengan adanya promosi yang

cukup sering dan digunakan secara efektif kadang diikuti dengan persyaratan bahwa

merek itu telah didaftar di berbagai negara, misalnya minimal 3 negara.

Selain itu pula secara universal perlindungan terhadap merek terkenal itu

didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

1. merek telah dipromosikan secara luas oleh pemiliknya sehingga menjadi


terkenal luas di lingkungan bisnis dan konsumen;
2. bermutu baik dan banyak digemari oleh masyarakat konsumen;
3. tidak dapat didaftar oleh orang lain yang bukan pemilik merek tersebut (baik
untuk barang atau jasa sejenis maupun tidak sejenis).51

Perlindungan yang diberikan oleh UU Merek terhadap merek terkenal

merupakan pengakuan terhadap keberhasilan pemilik merek dalam menciptakan

51
Suyud Margono, Op.cit, hal. 30.

Universitas Sumatera Utara


51

image ekslusif dari produknya yang diperoleh melalui pengiklanan atau penjualan

produk produknya secara langsung. Teori mengenai pencemaran merek terkenal

(Dilution Theory) tidak mensyaratkan adanya bukti telah terjadi kekeliruan dalam

menilai sebuah pelanggaran merek terkenal. Perlindungan didasarkan pada nilai

komersial atau nilai jual dari merek dengan cara melarang pemakaian yang dapat

mencemarkan nilai ekslusif dari merek atau menodai daya tarik merek terkenal

tersebut.52

Adanya unsur itikad baik juga perlu dipertimbangkan pula dalam

perlindungan terhadap merek terkenal. Dalam hubungan ini dikarenakan si pendaftar

bukan pemilik sebenarnya dianggap membonceng ketenaran merek terkenal,

memanfaatkan promosi merek terkenal untuk mengeruk suatu keuntungan demi

kepentingan diri sendiri secara Cuma-cuma yang mengakibatkan banyaknya kerugian

yang diderita oleh pemilik merek asli yang mungkin saja bukan kerugian materi

langsung, misalnya penurunan omzet penjualan, akan tetapi berupa penggerogotan

citra atau image yang khas dari merek terkenal tersebut. Passing Off melindungi

semua hal itu.

Passing off merupakan suatu upaya/ tindakan/perbuatan yang mengarah

kepada adanya suatu pelanggaran dalam bidang hak atas kekayaan intelektual, dalam

hal ini hukum merek. Jadi dalam hal tersebut pelanggaran tersebut belumlah terjadi,

baru merupakan usaha-usaha yang mengarah kepada terjadinya pelanggaran.

52
Tim Lindsey, Op.cit, hal. 151.

Universitas Sumatera Utara


52

Kompetitor/pelaku usaha lain tidak dapat menggunakan merek-merek, tulisan-tulisan,

kemasan, kesan atau indikasi lain yang mendorong pembeli meyakini bahwa barang-

barang yang dijual mereka diproduksi oleh orang lain. Jadi passing off mencegah

orang melakukan dua hal yaitu:

1. menampilkan/menyebabkan anggapan bahwa barang/jasanya adalah barang /

jasa orang lain; dan

2. menimbulkan anggapan bahwa barang atau jasanya ada hubungan dengan

barang / jasa penggugat.

Namun sangat disayangkan sekali passing off jarang sekali dipergunakan

dalam menyelesaikan kasus pelanggaran reputasi di Indonesia.53

Permasalahan hukum yang dapat timbul terhadap merek terkenal ini

dikarenakan kurangnya pengetahuan dari pakar-pakar yang ada untuk mendefenisikan

merek terkenal tersebut lebih mendalam dan detail sehingga hanya memberikan

suatu perlindungan yang bersifat preventif saja dan juga banyaknya pelaku bisnis

curang demi mengeruk suatu keuntungan untuk bisnis yang akan dijalankan olehnya

nanti dengan mendompleng dari merek yang sudah terkenal sehingga secara tidak

langsung menimbulkan anggapan bahwa mereknya tersebut merupakan merek dari

si pemilik aslinya.

53
Tim Lindsey, Op.cit, hal. 152.

Universitas Sumatera Utara


53

Istilah merek terkenal ini ditinjau dari reputasi (reputation) dan kemahsyuran

(renown) suatu merek, yang di mana merek terkenal ini mempunyai reputasi tinggi

yang menimbulkan sentuhan keakraban (familiar attachement) dan ikatan mitos

(mysthical context) kepada seluruh lapisan konsumennya. Penentuan suatu merek

sebagai merek terkenal, tidaklah hanya terkenal di manca negara yang dimiliki oleh

pihak asing tetapi juga merek-merek lokal yang dimiliki oleh para pengusaha lokal

yang dianggap terkenal untuk kalangan tertentu, atau masyarakat pada umumnya.

Universitas Sumatera Utara


54

BAB III

PELAKSANAAN PRINSIP FIRST TO FILE DALAM PENYELESAIAN


SENGKETA MEREK DAGANG ASING DALAM PERADILAN
DI INDONESIA

A. Pengertian Prinsip First to File dalam Perlindungan Merek menurut


Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.

Pada umumnya, negara-negara dengan sistem hukum Civil Law, termasuk

Indonesia, menganut sistem First to file dalam memberikan hak merek. Berdasarkan

sistem First to file tersebut, pemilik merek, termasuk merek terkenal, harus

mendaftarkan mereknya di Dirjen HKI untuk memperoleh hak eksklusif atas

mereknya dan perlindungan hukum. Hak eksklusif tidak dapat diperoleh pemilik

merek hanya dengan menunjukan bukti-bukti bahwa ia adalah pemakai pertama

merek tersebut di Indonesia. First-to-file system berarti bahwa pihak yang pertama

kali mengajukan permohonan pendaftaran diberi prioritas untuk mendapatkan

pendaftaran merek dan diakui sebagai pemilik merek yang sah.

Berdasarkan Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001 bahwa pendaftaran merek yang

digunakan adalah sistem Konstitutif yang isinya menyatakan:

Hak atas merek adalah hak khusus atau eksklusif yang diberikan negara
kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk
jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin
kepada seseorang atau beberapa orang yang secara beramai-ramai atau badan
hukum untuk menggunakannya54

54
H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Djambatan. 1985),
hal. 89.

54

Universitas Sumatera Utara


55

Sistem Konstitutif ini dianut oleh undang-undang sebelumnya yakni UU No.

19 Tahun 1992 dan UU No. 14 Tahun 1997 yang merupakan perubahan yang sangat

mendasar dalam undang-undang merek di Indonesia yang dari semula telah menganut

Sistem Deklaratif dan dengan sistem ini maka terjadi perubahan dimana sistem ini

memberikan hak atas merek, maksudnya siapa yang pertama kali mendaftarkan

mereknya maka dialah yang berhak terhadap merek tersebut (first to file).55

Sistem pendaftar konstitutif disebut juga first to file principle. Artinya, merek

yang didaftar adalah yang memenuhi syarat dan sebagai yang pertama karena tidak

semua merek dapat didaftarkan. Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan

yang diajukan oleh pemohon yang beretikad tidak baik. Pemohon beretikad tidak baik

adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara tidak layak dan tidak jujur,

ada niat tersembunyi misalnya membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran

menimbulkan persaingan tidak sehat dan mengecohkan atau menyesatkan konsumen.

Yang dapat mendaftarkan merek adalah orang atau badan hukum.

Sistem ini lebih menjamin adanya suatu kepastian hukum karena pemilik atau

pendaftar merek diberikan sebuah sertifikat sebagai tanda bukti pendaftaran dan bukti

hak atas merek yang telah didaftarkan tersebut sekaligus dianggap sebagai pemakai

pertama dari merek yang bersangkutan. Keuntungan dari merek yang terdaftar bila

dibandingkan dengan merek yang tidak didaftarkan apabila terjadi sengketa adalah

merek yang telah terdaftar akan lebih mudah untuk pembuktiannya karena

55
Suyud Margono, Op.cit, hal. 32.

Universitas Sumatera Utara


56

mempunyai bukti otentik berupa sertifikat yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal

HKI dan dengan adanya sertifikat tersebut dianggap sebagai pemakai pertama merek

tersebut sedangkan pada merek yang tidak terdaftar si pemakai akan mengalami

kesulitan untuk membuktikan dirinya sebagai pemakai pertama karena tidak terdapat

surat-surat yang diajukan sebagai bukti otentik di dalam pemeriksaan di pengadilan.56

Merek dengan sistem konstitutif, pendaftaran merupakan keharusan agar dapat

memperoleh hak atas merek. Tanpa pendaftaran negara tidak akan memberikan hak

atas merek kepada pemilik merek. Hal ini berarti tanpa mendaftarkan merek,

seseorang tidak akan diberikan perlindungan hukum oleh negara apabila mereknya

ditiru oleh orang lain. Pendaftaran merek yang digunakan di Indonesia sejak Undang-

Undang Nomor 19 Tahun 1992 adalah sistem Konstitutif.

Pada sistem Konstitutif ini perlindungan hukumnya didasarkan atas pendaftar

pertama yang beritikad baik.57 Hal ini juga seperti yang tercantum dalam Pasal 4

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa merek tidak dapat

didaftar oleh pemohon yang tidak beritikad baik. Pasal 1 butir 5 Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2001 disebutkan bahwa permohonan merupakan permintaan

pendaftaran yang diajukan secara tertulis kepada Direktorat Jenderal. Sehingga

dimungkinkan permohonan pendaftaran merek dapat berlangsung dengan tertib,

pemeriksaan merek tidak hanya dilakukan berdasarkan kelengkapan persyaratan

formal saja, tetapi juga dilakukan pemeriksaan subtantif.

56
Ibid, hal. 32.
57
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT. Alumni, 2003) ,
hal. 326.

Universitas Sumatera Utara


57

Pemeriksaan subtantif atas permohonan pendaftaran merek ini dimaksudkan

untuk menentukan dapat atau tidaknya merek yang dimohonkan didaftarkan dalam

Daftar Umum Merek. Pemeriksaan substantif dilakukan dalam jangka waktu paling

lama 9 (Sembilan) bulan. Apabila dari hasil pemeriksaan subtantif ternyata

permohonan tersebut tidak dapat diterima atau ditolak, maka atas persetujuan

Direktorat Merek, hal tersebut diberitahukan secara tertulis pada pemohon atau

kuasanya dengan menyebutkan alasannya. Pasal 4, 5, dan 6 Undang-Undang nomor

15 Tahun 2001 menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftarkan atas itikad tidak

baik, merek juga tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu

unsur yang bertentangan dengan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku,

moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, tidak memiliki daya pembeda,

telah menjadi milik umum, dan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang

atau jasa yang dimohonkan pendaftaran.

Tidak seperti halnya dalam sistem deklaratif yang lebih banyak menimbulkan

kesulitan dalam penegakan hukumnya, maka pada sistem konstitutif dengan prinsip

first to file atau dengan doktrin prior in tempore, melior injure, sangat potensial untuk

mengkondisikan:

a) Kepastian hukum untuk mengkondisikan siapa sebenarnya pemilik merek

yang paling utama untuk dilindungi.

b) Kepastian hukum pembuktian, karena hanya didasarkan pada fakta

pendaftaran. Pendaftaran satu-satunya alat bukti utama.

Universitas Sumatera Utara


58

c) Mewujudkan dugaan hukum siapa pemilik merek yang paling berhak dengan

pasti, tidak menimbulkan kontroversi antara pendaftar pertama dan pemakai

pertama.58

Permohonan merek juga harus ditolak apabila merek tersebut mempunyai

persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah

terdaftar terlebih dahulu untuk barang atau jasa yang sejenis, mempunyai persamaan

pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal.59

Berdasarkan ketentuan persyaratan merek agar dapat didaftarkan, sesuatu dapat

dikategorikan dan diakui sebagai merek, apabila:

1. Mempunyai fungsi pembeda;

2. Merupakan tanda pada barang atau jasa (unsur-unsur gambar, nama, kata,

huruf, angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut);

3. Tidak memenuhi unsur-unsur yang bertentangan dengan kesusilaan dan

ketertiban umum;

4. Bukan menjadi milik umum;

5. Tidak merupakan keterangan, atau berkaitan dengan barang atau jasa yang

dimintakan pendaftaran.

Selain pemeriksaan substantif, harus pula ditempuh mekanisme Pengumuman

dalam waktu 3 (tiga) bulan dengan menempatkan pada papan pengumuman yang

58
Kholis Roisah, Implementasi Perjanjian TRIPs Tentang Perlindungan Hukum Terhadap
Hak Atas Merek Terkenal (Asing) Di Indonesia, (Semarang: Tesis Hukum(UNDIP), 2001) , hal. 66.
59
Ahmadi M. Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2004), hal. 11.

Universitas Sumatera Utara


59

khusus dan dapat dengan mudah dilihat oleh masyarakat dalam Berita Resmi Merek

yang diterbitkan secara berkala oleh Direktorat Merek. Hal ini dilakukan untuk

memungkinkan pihak-pihak yang dirugikan mengajukan bantahan terhadap

pendaftaran merek dan dapat mencegah pendaftaran merek yang dilakukan oleh

orang yang tidak beritikad baik. Apabila masa pengumuman berakhir dan tidak ada

sanggahan atau keberatan dari pihak lain, Direktorat Merek mendaftarkan merek

tersebut dalam Daftar Umum Merek serta dilanjutkan dengan pemberian sertifikat

merek.

Sertifikat merek merupakan alat bukti bahwa merek telah terdaftar dan juga

sebagai bukti kepemilikan. Dalam hal permintaan pendaftaran merek ditolak,

keputusan tersebut diberitahukan secara tertulis oleh Direktorat Merek kepada

pemilik merek atau kuasanya dengan disertai alasan-alasan.Penolakan terhadap

putusan ini dapat diajukan banding secara tertulis oleh pemilik merek atau kuasanya

kepada Komisi Banding Merek. Tentang permohonan banding dan Komisi Banding

Merek ini terdapat dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2001.

Komisi Banding Merek merupakan badan khusus yang independen yang

berada dilingkungan Direktorat Hak Kekayaan Intelektual. Keputusan yang diberikan

oleh Komisi Banding Merek paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal

penerimaan permohonan banding. Keputusan Komisi Banding bersifat final dan

mengikat. Apabila komisi banding merek mengabulkan permintaan banding,

Direktorat Merek melaksanakan pendaftaran dan memberikan sertifikat merek. Jika

Universitas Sumatera Utara


60

ditolak, pemohon dan kuasanya dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan

permohonan banding kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lambat 3 ( tiga )

bulan terhitung sejak tanggal diterimanya keputusan penolakan.60

Sistem konstitutif ini mulai diberlakukan di Indonesia berdasarkan Undang-

Undang Merek 1992 (lihat Pasal 2). Pada sistem konstitutif Undang-Undang Merek

1992 teknis pendaftarannya telah diatur seteliti mungkin, dengan melakukan

pemeriksaan secara formal persyaratan pendaftaran dan pemeriksaan substantive

tentang merek. Sebelum dilakukan pemeriksaan substantif, dilakukan lebih dahulu

pengumuman tentang permintaan pendaftaran merek. Bagi mereka yang merasa

dirugikan akan adanya pengumuman itu dapat mengajukan keberatan. Pihak yang

mengajukan pendaftaran merek diberi hak untuk menyanggah terhadap keberatan

tersebut.61

Jika prosedur pemeriksaan substantif selesai dan pendaftaran merek

dilangsungkan dengan menempatkan ke Daftar Umum Merek, maka pemilik merek

diberikan Sertifikat Merek. Sertifikat ini merupakan tanda bukti Hak atas Merek yang

merupakan bukti bahwa pemilik merekdiberi hak khusus oleh negara untuk

menggunakan merek yang telah didaftarkan. Bukti yang demikian tidak dijumpai

pada sistem deklaratif, karena pemilik merek yang mendaftarkan mereknya hanya

diberi surat tanda pendaftaran, bukan sertifikat. Disinilah dapat dilihat jaminan

60
Erna Wahyuni, dan T. Saiful Bahri, Kebijakan dan Manajemen Hukum Merek, (Yogyakarta
: YPAPI, 2004), hal. 96.
61
Gatot Supramono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang Undang Nomor 19 Tahun1
992, (Jakarta: Djambatan, 1996), hal. 21.

Universitas Sumatera Utara


61

kepastian hukumnya pemakai merek pada sistem konstitutif pendaftaran merek.

Merek-merek yang tidak didaftarkan sudah dapat dipastikan pemilik merek yang

bersangkutan tidak mempunyai Hak Atas Merek.62

B. Pelaksanaan Prinsip First To File dalam Penyelesaian Sengketa Merek


Dagang Asing TOAST BOX berdasarkan dalam Putusan Pengadilan NO.
02/Merek/2011/PN. Niaga/Medan.

Untuk memenuhi komitmennya sebagai salah satu Negara anggota Konvensi

Paris dan penanda tangan Perjanjian TRIPS, pemerintah Indonesia sejak 1997 telah

melakukan beberapa kali perubahan terhadap UU Merek dan melengkapinya dengan

pasal-pasal yang memberi wewenang kepada otoritas terkait yakni Direktorat

Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI), dalam hal ini Direktorat Merek,

untuk melindungi merek terkenal dengan menolak permohonan pendaftaran merek

yang mengandung persamaan baik pada pokoknya maupun secara keseluruhan

dengan merek terkenal milik pihak lain terutama untuk barang dan/atau jasa sejenis.

Dalam UU Merek yang saat ini berlaku, kewenangan melindungi merek terkenal

tersebut diberikan melalui Pasal 4, Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6 ayat (2).

Baik Konvensi Paris maupun Perjanjian TRIPS tidak memberi definisi yang

baku mengenai kriteria merek terkenal ini. Masing-masing Negara anggota bebas

merumuskan kriteria untuk menentukan apakah sebuah merek dapat dikategorikan

sebagai merek terkenal. Mengenai hal ini, UU Merek dalam Penjelasannya

melengkapi ketentuan pada Pasal 6 ayat (1) huruf b sebagai berikut:

62
Ibid, hal. 21.

Universitas Sumatera Utara


62

Penolakan Permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau


keseluruhan dengan Merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang
sejenis dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat
mengenai Merek tersebut di bidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu,
diperhatikan pula reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi
yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang
dilakukan oleh pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di
beberapa negara. Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup, Pengadilan
Niaga dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan
survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya Merek
yang menjadi dasar penolakan.
Terkait pelaksanaan Pasal 4, dan Pasal 6 ayat (1) huruf b oleh Dirjen HKI,

bagi pemilik merek terkenal yang dapat menunjukkan bukti-bukti keterkenalan

mereknya, UU Merek menyediakan mekanisme pembatalan pendaftaran merek

melalui pengadilan niaga dan oposisi (Pengajuan Keberatan), apabila merek terkenal

mereka terlanjur didaftarkan atau diajukan permohonan pendaftarannya di Indonesia

oleh pihak lain yang beriktikad buruk.

Indonesia sebagai negara peserta dalam Konvensi Paris wajib menjamin

adanya perlindungan yang efektif dalam hukum nasional terhadap tindakan-tindakan

unfair competition yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Hal ini

diharapkan akan dapat mencegah atau menekan segala tindakan yang menimbulkan

unfair competition. Adapun mengenai tindakan-tindakan yang dianggap sebagai

Unfair competition menurut pasal 10 bis Konvensi Paris, yaitu meliputi segala

tindakan yang menciptakan comfusion, adanya pernyataan menyesatkan (false

allegation) untuk mendiskritkan kompetitornya, serta adanya indikasi atau pernyataan

bahwa setiap tindakan atau praktek yang bertentangan dengan praktek di dalam

Universitas Sumatera Utara


63

kegiatan perdagangan yang jujur dianggap sebagai unfair competition (dishonest

practice).63

Sampai saat ini, Indonesia belum mempunyai suatu peraturan perundang-

undangan yang mengatur secara khusus mengenai unfair competition dalam kaitan

dengan pemakaian merek. Namun demikian untuk menangani kasus unfair

competition saat ini dapat mendasarkan pada ketentuan yang termuat dalam aturan

hukum pidana (criminal provision) dan aturan perdata (civil provision) yaitu :64

1. Pasal 382 bis KUHP

"Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil


perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan
perbuatan curang untuk menyesatkan khalayak umum atau atau seorang
tertentu diancam jika perbuatan itu dapat menimbulkan kerugian bagi
konkuren-konkurennya atau konkuren-konkuren orang lain karena persaingan
curang dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana
denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus rupiah ".

2. Pasal 1365 BW

"Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut."

3. Pasal 2 Undang- Undang Perlindungan konsumen No. 8 tahun 1999

Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,

keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

63
Zen Umar Purba, Latar Belakang Perubahan UU Tentang Kekayaan Hak Intelektual,
(Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004), hal. 15
64
Ibid, hal. 17.

Universitas Sumatera Utara


64

Gugatan atas kasus unfair competition yang mendasar pada ketiga ketentuan

hukum di atas berada di lingkungan peradailan umum. Sedangkan untuk perkara-

perkara merek (dalam lingkup Pengadilan Niaga) yang mengandung unsur unfair

competition, para Hakim untuk mengisi kekosongan hukum yang ada dengan

mendasarkan pertimbangan hukumnya pada UU Merek Pasal 69 ayat 2 yang

menyatakan bahwa :

"Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek yang

bersangkutan bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan dan

ketertiban umum".

Karena dalam penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa:

"pengertian bertentangan dengan moralitas, agama, kesusilaan, atau


ketertiban umum adalah apabila penggunaan tanda tersebut dapat
menyinggung perasaan, kesopanan, ketentraman, atau keagamaan dari
khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu (penjelasan pasal 5
huruf a), termasuk pula dalam pengertian yang bertentangan dengan
ketertiban umum adalah adanya itikad tidak baik ".
Masalah unfair competition ini berkaitan erat dengan unsur itikad tidak baik,

Bertitik tolak dari penjelasan pasal 57 ayat 2 UU Merek No. 19 Tahun 1992 yang

sudah diadopsi menjadi pasal 69 ayat 2 dalam UU Merek No.15 Tahun 2001, dimana

dinyatakan pengajuan gugatan pembatalan tanpa batas waktu, terdiri dari dua

alasan:65

1. Berdasarkan alasan bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, dan

65
M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1992, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 584-
585.

Universitas Sumatera Utara


65

2. Berdasarkan alasan itikad tidak baik (bad faith).

Sulit untuk menentukan definisi yang pasti dan konkret akan pengertian itikad

tidak baik. Dari pendekatan teori dan praktek terdapat pengertian yang sangat

luas. Misalnya, meniru, memproduksi atau mencontoh maupun membonceng

kemasyuran merek orang lain menurut versi pasal 6 bis konvensi paris,

dianggap sebagai perbuatan "Pembajakan" (pirate) secara itikad tidak baik.

Setiap orang tahu, itikad tidak baik "(bad faith) merupakan lawan kata dari

"itikad baik" (good faith) .Secara umum, jangkauan pengertian itikad tidak baik,

meliputi perbuatan "penipuan" (fraud). Termasuk juga rangkaian yang

"menyesatkan" (misleading) orang lain. Meliputi juga tingkah laku yang

mengabaikan kewajiban hukum untuk mendapat keuntungan. Atau bisa juga diartikan

melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan secara sadar untuk mencapai suatu

tujuan yang tidak jujur (dishonesthy purpose).

Dalam pengkajian Merek, setiap perbuatan peniruan, reproduksi, mengkopi,

membajak atau membonceng kemasyuran merek orang lain, dianggap perbuatan

pemalsuan (fraud), Penyesatan (deception,misleading), dan memakai merek orang

lain tanpa hak (unauthorized use). Setiap perbuatan Pemalsuan, penyesatan atau

memakai merek orang lain tanpa hak, secara harmonisasi dalam perlindungan merek,

dikualifikasi sebagai : Persaingan curang (unfair competition), Serta dinyatakan

sebagai perbuatan mencari kekayaan secara tidak jujur (unjust enrichment).66

66
Ibid, hal.584-585.

Universitas Sumatera Utara


66

Dalam perkara No: 02/Merek/2011/PN. Niaga/Medan, yang terjadi antara

BreadTalk Pte.Ltd selaku penggugat, yang beralamat di 171 Kampong Amat, #05-

03/04, KA Foodlink, Singapura 368330 yang diwakili oleh Mr. Aw Wee Kiat dengan

Tuan Frangky Chandra selaku Tergugat yang bertempat tinggal di Pasar Pelita

RT.002/002, Kampung Pelita, Lubuk baja, Batam, Indonesia, dijelaskan dalam Surat

Gugatan bahwa Pihak BreadTalk telah memiliki perlindungan merek TOAST BOX di

negara asalnya Singapura, setidak-tidaknya sejak tanggal 27 September 2005 yang

merupakan desain Mr. Thomas Tan dan memperluas peredarannya ke negara-negara

lain, di tahun 2006 membuka outlet pertamanya di Thailand, tahun 2007 membuka

outlet di Malaysia dan Filipina dan juga akan membuka outlet di Indonesia, saat ini

Penggugat telah mencapai 14 outlet di Singapura, 3 outlet di Malaysia dan 1 outlet

masing-masing di Thailand dan Filipina.

Sebagai Keseriusan Penggugat untuk membuka outlet di Indonesia, pada

tanggal 24 April 2008 Penggugat telah mendaftarkan merek TOAST BOX dan

TOAST BOX & Logo pada Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan

Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk:

a) Kelas 30 yaitu (Hasil-hasil roti dan makanan yang dipanggang; campuran

makanan untuk membuat hasil-hasil makanan yang dipanggang; sedia-sediaan

untuk membuat hasil-hasil roti; roti; roti kecil-kecil; roti kismis; biskuit; kue-

kue; kue kering; gula-gula; donat; adonan terigu untuk membuat berbagai

macam kue; kue pai (manis ataupun asin); wafer; kue bapel (waffle); kopi

buatan; minuman dengan bahan dasar coklat; minuman dengan bahan dasar

Universitas Sumatera Utara


67

kakao; minuman dengan bahan dasar kopi; minuman dengan bahan dasar

selain minyak-minyak sari untuk penyedap rasa dan aroma; minuman dengan

bahan dasar teh; andewi (pengganti kopi); minuman coklat dengan susu;

kokoa; minuman kokoa dengan susu; kopi; kopi yang disangrai; minuman

kopi dengan susu; penyedap rasa dan aroma kopi; sedia-sediaan tumbuh-

tumbuhan untuk digunakan sebagai pengganti kopi; es teh; serbat (es); sorbet

(es); teh.)

b) Kelas 43 yaitu (Mengatur penyediaan makanan; mengatur penyediaan

minuman; kafetaria; pelayanan kafetaria; jasa boga (makanan & minuman);

pelayanan jasa boga untuk rumah makan; pelayanan jasa boga untuk sedia-

sediaan makanan; pelayanan jasa boga untuk penyediaan makanan; pelayanan

jasa boga untuk sedia-sediaan makanan bagi turis-turis; pelayanan jasa boga

yang disediakan untuk rumah makan; pelayanan konsultasi berkaitan dengan

makanan; pelayanan konsultasi berkaitan dengan penyajian makanan;

pelayanan pemasakan makanan; penyediaan makanan; pelayanan

keramahtamahan (makanan dan minuman); penyediaan makanan dan

minuman; penyajian makanan dan minuman di food court; kios makanan siap

saji dan rumah makan; pemberian informasi berkaitan dengan rumah makan;

pemberian informasi berkaitan dengan penyediaan makanan dan minuman;

pelayanan rumah makan untuk pemberian makanan siap saji; rumah makan;

pelayanan kafetaria swalayan; pelayanan penyediaan makanan dan minuman).

Universitas Sumatera Utara


68

Dengan No. Agenda J002008014764 dan No. Agenda J002008014765.

Permohonan Pendaftaran Merek Penggugat untuk Kelas 30 telah dikabulkan

oleh Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan telah didaftarkan pada

tanggal 21 Desember 2009 dengan No. Pendaftaran IDM000230206 dan No.

Pendaftaran IDM000230207, hal ini membuktikan bawah Penggugat adalah memang

merupakan pemilik atas merek Toast Box. Penggugat pada tanggal 4 Juni 2008 telah

mengajukan keberatan atas pengajuan permohonan pendaftaran merek Toast Box

untuk kelas 43 yang diajukan oleh Joenani pada tanggal 5 Oktober 2006 dengan No.

Agenda D00.2006.033189 yang telah diumumkan dalam Berita Resmi Merek No.

25/III/A/2008, pada tanggal 5 Maret 2008 dan keberatan tersebut telah dikabulkan

oleh Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian

Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan menolak permohonan

yang diajukan Joenani, hal ini juga membuktikan dan memperkuat bahwa Penggugat

adalah pemilik atas merek Toast Box.

Tergugat telah mengajukan permohonan merek pada Direktorat Merek

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia pada tanggal 16 Januari 2007 untuk kelas 43 dengan No.

Agenda J002007001306 dengan bentuk dan huruf yang sama dengan merek Toast

Box yang digunakan oleh Penggugat sejak tahun 2005 di Singapura dan telah

dikabulkan pada tanggal 11 Agustus 2008 dengan no. IDM000173048. Bahwa,

Tergugat berdomisili di Batam sangat masuk akal dan tidak mengada-ada bahwa

Universitas Sumatera Utara


69

Tergugat telah melihat dan mengamati merek Toast Box milik Penggugat di

Singapura yang telah mempunyai reputasi yang baik dan menjadi bisnis yang maju di

Singapura dan sekitarnya sehingga tidak diragukan lagi Tergugat dengan itikad tidak

baik/buruk telah menjiplak/ meniru merek Toast Box milik Penggugat dan

mendaftarkannya di Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dan hal ini jelas

melanggar ketentuan Undang-Undang Merek Nomor 15 Tahun 2001 pasal 4 yang

berbunyi: Merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan

Pemohon yang beritikad tidak baik.

Penggugat pada tanggal 6 Juli 2010 telah mengajukan sanggahan atas akan

ditolaknya Permohonan Pendaftaran Merek Toast Box untuk kelas 43 yang diajukan

pada tanggal 24 April 2008 dengan No. Agenda J002008014764 karena persamaan

dengan merek Toast Box yang didaftarkan oleh Tergugat. Tetapi hingga saat gugatan

diajukan, sanggahan Penggugat belum mendapat tanggapan dari Direktorat Merek

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia.

Adapun yang menjadi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilam Niaga adalah

adanya bukti-bukti yang kuat yang dapat mendukung dalil gugatan penggugat bahwa

penggugat merupakan pemilik satu-satunya merek Toast Box dan Tergugat adalah

pemohon merek Toast Box yang beritikad tidak baik/ beritikad buruk. Sehingga

dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Hakim menyatakan pendaftaran merek

Toast Box Tergugat No. IDM000173048 yang dikeluarkan oleh Direktorat Merek

Universitas Sumatera Utara


70

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia batal demi hukum. Oleh karena Gugatan Penggugat

dikabulkan seluruhnya maka biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada

Tergugat yaitu sebesar Rp 426.000,- (empat ratus dua puluh enam ribu rupiah).

Berkaitan dengan kasus merek Toast Box yang terjadi antara BreadTalk

Pte.Ltd selaku penggugat, dengan Tuan Frangky Chandra selaku Tergugat

memperluas perlindungan hukum merek tersebut, yaitu mencakup perlindungan

hukum bagi merek terkenal baik untuk barang yang sejenis maupun bukan.

Pengadilan mendasarkan pandangannya dengan prinsip iktikad baik. Ada niat yang

tidak baik (iktikad buruk) untuk membonceng ketenaran merek orang lain.

Dalam memutuskan perkara ini Hakim juga menggunakan Undang-Undang

Merek Nomor 15 tahun 2001 sebagai dasar hukum. Sehingga dapat dipastikan bahwa

Hakim menggunakan sistem pendaftaran konstitutif dalam memutuskan perkara.

Prinsip penerimaan merek dalam Undang-Undang ini adalah first to file, artinya

siapapun yang mendaftar lebih dahulu akan diterima pendaftaraannya, dalam kasus

ini pendaftar pertama merupakan BreadTalk. Beberapa kemungkinan dapat terjadi

setelah masuknya pendaftaran pertama.

Selain kasus tersebut di atas, telah banyak ditemukan kasus mengenai prinsip

first to file antara lain kasus K-Link Sendirian Berhad yang berkedudukan di Kuala

Lumpur, Malaysia yang adalah pemakai pertama merek KINOTAKARA yang

digunakan untuk merek bagi produk kesehatan (kelas barang No. 5) berupa koyo

tempel. Merek dagang KINOTAKARA ini terdaftar di beberapa negara lain seperti

Universitas Sumatera Utara


71

Malaysia, India dan Indonesia sendiri sejak 2001. Namun pada 27 Desember 2002

merek tersebut telah terdaftar di Dir.Jen. HKI atas nama PT Royal Body Care

Indonesia dengan nomor agenda DOO.2002.10804.00807 untuk kelas barang yang

sama. Kondisi seperti ini sangat merugikan K-Link sebagai pemilik merek

KINOTAKARA dan sungguh sangat menyesatkan masyarakat.

Kedua kasus diatas telah memberi kita pengalaman yang berharga, bahwa

tidak semua pemilik merek yang telah terdaftar merupakan pemilik yang sah atas

merek terdaftar tersebut, banyak dari mereka mendaftarkan merek pihak lain dengan

itikad buruk. Hal ini sangat merugikan pemilik merek beritikad baik yang merupakan

pihak paling berhak atas merek yang telah didaftarkan tersebut. Disisi lain tindakan

demikian ini dapat menimbulkan kerancuan dan penyesatan.

Dalam hal demikian, pendaftar kemudian (notabene pengguna merek

sebenarnya) harus melakukan Penyelesaian khusus dengan pendaftar pertama. Hal-

hal seperti ini lah yang menjadi permasalahan utama dalam sistem pendaftaran

konstitutif. Bentrokan antara keadilan dan kepastian hukum terjadi pada sistem

konstitutif pendaftaran merek. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum,

ada hak-hak perseorangan yang tidak terpenuhi. Namun, dalam sejarah pengaturan

perlindungan merek di Indonesia, sistem pendaftaran konstitutif memang merupakan

pilihan sistem yang paling baik, karena dapat mewujudkan kepastian hukum yaitu

pemberian sebuah sertifikat kepada pendaftar merek sebagai tanda bukti pendaftaran

dan bukti atas hak merek, sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari merek

tersebut dan merek yang akan didaftar akan lebih mudah pembuktiannya daripada

Universitas Sumatera Utara


72

merek yang tidak didaftar karena pemakai akan mengalami kesulitan untuk

membuktikan dirinya sebagai pemakai pertama karena tidak terdapat akta-akta dan

surat-surat yang dapat diajukan sebagai bukti otentik dalam pemeriksaan pengadilan.

Prinsip penting yang dijadikan sebagai pedoman berkenaan dengan proses

pendaftaran merek adalah perlunya iktikad baik atau good faith dari pendaftar.

Dengan prinsip ini hanya pendaftar yang beriktikad baiklah yang akan mendapat

perlindungan hukum. Hal ini membawa konsekuensi bahwa direktorat merek

Depkumham juga berkewajiban secara aktif untuk menolak suatu pendaftaran merek

bilamana secara nyata ditemukan adanya kemiripan atau peniruan dengan suatu

merek yang telah terlebih dahulu didaftarkan dengan iktikad baik.

Dengan demikian, unsur formalitas tenggang waktu pendaftaran dalam

penerapannya harus memperhatikan pula motivasi dan situasi dari pihak yang

mengajukan pendaftaran dengan pertimbangan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

Prinsip-prinsip tersebut antara lain good faith, reciprocity dan right priority.67

Di berlakukannya prinsip-prinsip hukum tersebut berarti pihak Indonesia

secara konsekuen telah menerapkan kerangka hukum yang termuat dalam Paris

Convention, dan Stockholm Act 1967, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui

Keputusan Presiden Indonesia No. 24 tahun 1979. Untuk itulah badan peradilan di

Indonesia dalam menyelesaikan sengketa bidang merek, baik yang berskala nasional

67
O. C. Kaligis, Teori dan Praktek Hukum Merek Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2008),
hal. 14.

Universitas Sumatera Utara


73

maupun yang berskala internasional harus secara tepat menerapkan patokan-patokan

dari prinsip-prinsip hukum tersebut.

Hal ini terbukti dari putusan Mahkamah Agung RI No. 3485K/Pdt/1992

dalam perkara GUCCI, dimana Mahkamah Agung RI secara tegas menerapkan Pasal

6 bis ayat 3 Konvensi Paris, yang mengatur bahwa tuntutan pembatalan merek yang

didaftarkan dengan iktikad tidak baik, tidak terikat tenggang waktu. Selanjutnya,

pertimbangan hukum ini ditindak lanjuti secara nyata oleh pemerintah dalam rangka

melengkapi pelaksanaan Undang-Undang No. 21 Tahun 1961, dengan

dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 03-

HC.0201 Tahun 1991, yang menegaskan bahwa permohonan pendaftaran merek yang

mempunyai persamaan pada pokoknya maupun pada keseluruhannya dengan merek

terkenal milik pihak lain, ditolak untuk didaftar dalam daftar umum.

Salah satu prinsip hukum baru dari isi keputusan Menteri tersebut adalah

semakin dipertegas bahwa melalui pendaftaran akan menciptakan suatu hak atas

merek yang bersangkutan, sedangkan pihak lain tidak dibenarkan untuk

mempergunakannya. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari orang lain yang

tidak berhak atas penggunaan merek dari luar negeri dengan jalan tidak menerima

pendaftaran yang dilakukan oleh pemohon merek di Indonesia terhadap merek yang

sudah terkenal di luar negeri. Pada keadaan tertentu ada kalanya pemilik merek luar

negeri lalai atau belum mendaftarkan mereknya di Indonesia, dengan resiko

mereknya telah didaftar oleh pihak lain untuk produk yang sama.

Universitas Sumatera Utara


74

Pada 6 bis ayat 3 Konvensi Paris memuat perlindungan hukum kepada

pemilik merek, yang menyatakan bahwa tidak ada jangka waktu yang ditentukan

untuk meminta pembatalan dari merek yang didaftarkan dengan iktikad tidak baik

(mendaftarkan merek yang telah ada) atau larangan untuk memakai merek terdaftar

tersebut jikalau dipakainya dengan iktikad buruk. Berdasarkan persoalan-persoalan

yang muncul dalam sengketa, timbul prinsip-prinsip hukum yang dapat diambil yang

kemudian diselaraskan dengan konvensi-konvensi di bidang merek untuk akhirnya

dituangkan dalam peraturan perundang-undangan tentang merek di Indonesia.

Untuk merek terkenal, Departemen Kehakiman RI mengeluarkan Keputusan

Menteri Kehakiman RI No. M.03.HC.020.1 tahun 1991, tentang penolakan

permohonan pendaftaran merek terkenal atau merek yang mirip dengan merek

terkenal milik orang lain atau milik badan lain. Peraturan ini dapat dianggap sebagai

penetapan prinsip dari Pasal 4 ayat 1 Konvensi Paris mengenai Principle Right of

Priority (hak prioritas).

Pengertian hak prioritas menurut hukum adalah hak utama untuk dilakukan,

yang berarti apabila orang asing mengajukan permintaan pendaftaran merek di

Indonesia, untuk memperoleh filling data pemilik merek yang sama dengan cara

memberikan perlindungan kepadanya berupa hak prioritas untuk didaftarkan. Tujuan

utama pemberian hak priritas kepada pemilik orang asing memperoleh pendaftaran,

yaitu melindungi merek orang asing di Indonesia di Indonesia dari pembajakan atau

pemboncengan.

Universitas Sumatera Utara


75

Hak prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang

berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for Protection of

Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade Organization

untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan

tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian

itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan

berdasarkan Paris Convention tersebut.

Perlindungan tersebut hanya bisa efektif dengan jalan memberi hak prioritas

kepada pemilik merek orang asing tersebut. Dengan demikian, dalam hal terjadi

persaingan untuk memperoleh pendaftaran antara pemilik merek orang asing dan

pemilik merek domestik mengenai merek orang asing dan pemilik merek domestik

mengenai merek dari jenis barang dan kelas yang sama harus diberi rangka utama

kepada orang asing.

Undang-Undang Merek secara tegas mengatur pendaftaran merek dengan hak

prioritas (Pasal 11 s.d Pasal 12). Dengan demikian, acuan penerapan pendaftaran

merek dengan hak prioritas adalah antara lain:68

1. Perlakuan pemberian perlindungan hukum yang sama

Hukum merek suatu negara harus memberi perlindungan yang sama terhadap

pemilik merek orang asing, sebagaimana perlakuan perlindungan yang diberikan

kepada pemilik merek warga negara sendiri.

68
Ibid, hal. 17.

Universitas Sumatera Utara


76

2. Berdasarkan asas Resiprositas

Menegakkan asas pemberian perlakuan yang sama atas hak prioritas, artinya

kesediaan, kerelaan memberi perlindungan yang sama terhadap pelayanan

permintaan pendaftaran dengan hak prioritas terhadap pemilik merek orang asing

harus berdasarkan asas timbal balik. Asas Resiprositas dengan sendirinya

bercorak multilateral terhadap semua negara anggota peserta Konvensi Paris,

artinya jika pemohon bukan dari negara anggota peserta Konvensi Paris, kantor

mereka harus menolak pendaftaran dengan alasan tidak ditegakkan asas

Resiprositas.

Seperti telah dikemukakan, Indonesia menjadi peserta Paris Convention

melalui Keppres No. 15 Tahun 1997 dan Trademark Law Treaty melalui Keppres No.

17 Tahun 1997. Dalam Paris Convention diatur mengenai merek, tetapi hanya sebatas

pengaturan mengenai gugatan terhadap pemberian merek yang dimiliki kesamaan

seluruhnya atau sebagian dengan merek.

Banyak perkara yang terkait dengan merek terkenal yang akhirnya merugikan

pihak pemilik merek dari negara asalnya. Sampai saat ini masih dipermasalahkan

tentang definisi apa yang disebut dengan merek terkenal. Tolak ukur yang digunakan

masih belum jelas. Batasan suatu merek sebagai merek terkenal tidaklah terbatas

untuk merek-merek yang dimiliki oleh pihak asing saja, tetapi juga merek-merek

lokal yang dimiliki oleh pengusaha nasional yang berhasil go international. Apakah

suatu merek termasuk sebagai merek terkenal, selain didasarkan pada Pasal 6 bis

Universitas Sumatera Utara


77

Paris Convention, juga didasarkan pada Undang-Undang Merek yang berlaku di suatu

negara atau didasarkan pula pada interpretasi hakim yang mengadili kasus tersebut.

Rasanya akan sulit menentukan apakah suatu merek tertentu dapat

dikelompokkan sebagai merek terkenal. Hal ini akan sangat bergantung pada produk

yang dihasilkan dan digunakan pada umumnya oleh konsumen, atau produk dengan

merek tertentu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari konsumen. Itu sebabnya

pendekatan yang dilakukan untuk menentukan suatu merek terkenal didasarkan pada

Pasal 6 bis Paris Convention dan penjelasan Pasal 6 Undang-Undang Merek.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Undang-Undang Merek 1992 sampai

dengan Undang-Undang Merek 2001, sudah pernah mengamanatkan dibentuknya

suatu Peraturan Pemerintah (PP) tentang merek terkenal. PP ini ditujukan untuk

mengatur tentang batasan definisi merek untuk dapat dikatakan sebagai merek

terkenal agar dicapai kepastian hukum. Dengan demikian, penegak hukum dapat

lebih mudah memilah-milah mana yang dapat disebut sebagai merek terkenal dan

mana yang tidak. Namun, sampai sekarang PP ini belum juga diterbitkan.

Perlindungan hukum atas suatu merek yang dimiliki oleh seseorang perlu

diberikan oleh pemerintah kepada pemilik yang sah secara tepat. Bagi pemegang

merek yang sesungguhnya jelas dapat mengurangi pemasukannya karena volume

penjualan menurun atau bilamana barang yang diproduksi si pemalsu merek tidak

memadai kualitasnya, sehingga pada akhirnya nama baik merek itu akan tercemar.

Begitu juga konsumen akan kehilangan jaminan (kepercayaan atau reputasi) atas

kualitas barang yang dibelinya.

Universitas Sumatera Utara


78

Untuk mencegah timbulnya kasus yang telah dijelaskan sebelumnya,

pemerintah perlu benar-benar didorong untuk secepatnya menerbitkan PP tentang

merek terkenal. Kebutuhan akan adanya PP itu bukan saja dapat menjadi bukti

keseriusan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi pemegang HKI, namun

juga sebagai usaha pemerintah untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaku

bisnis.

Diharapkan PP tersebut akan menjadi pedoman (guideline) bagi penegakan

hukum dalam menafsirkan merek terkenal. Selain itu, hakim Pengadilan Niaga dan

Hakim Agung69 perlu memiliki pengetahuan yang cukup soal merek, sehingga ada

kesamaan dalam membuat putusan (predictability). Hal ini penting karena hakim di

Indonesia tidak terikat kepada keputusan terdahulu (case law), kita tidak menganut

sistem preseden.

Penyediaan perangkat hukum di bidang merek yang didukung oleh sumber

daya manusia yang andal adalah suatu keniscayaan yang harus selalu dimiliki oleh

pemerintah. Perlindungan hukum terhadap merek juga merupakan jaminan kepastian

hukum di bidang ekonomi, yang harus senantiasa mendapat perhatian, untuk menjaga

hubungan internasional Indonesia.

69
Mieke Komar K, Kasus Sengketa Merek Terkenal dan Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia (Minahasa Law Centre, 2008), hal. 63.

Universitas Sumatera Utara


79

BAB IV

PENYELESAIAN SENGKETA DALAM HAL MEREK DAGANG ASING


MEMPUNYAI PERSAMAAN PADA POKOKNYA ATAU
KESELURUHANNYA DENGAN MEREK TERDAFTAR DI INDONESIA

A. Pengertian Persamaan Pada Pokoknya atau keseluruhannya termasuk oleh


Pengadilan.

Hak khusus untuk memakai sesuatu merek tidak dibataskan kepada hak untuk

memakai merek yang digunakan untuk membedakan barang-barangnya saja. Tetapi

hak khusus ini juga meliputi semua merek-merek yang sama pada pokoknya dengan

merek tersebut. Dalam pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Merek 1961 dinyatakan

bahwa: Kepada yang berhak atas sesuatu merek diberikan kesempatan untuk

mengajukan permohonan pernyataan pembatalan kepada Pengadilan Negeri di

Jakarta tentang pendaftaran merek yang dipandangnya sama pada pokoknya yang

telah didaftarkan oleh orang lain untuk barang-barang yang sejenis.

Dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dikatakan

bahwa:

a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek


milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa
yang sejenis;
b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek
yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;
c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi-
geografis yang sudah dikenal.

79

Universitas Sumatera Utara


80

Pasal 6 ini jelas tidak menginginkan adanya kekeliruan. Jadi, permohonan yang

menyerupai itu harus ditolak oleh Direktorat Jenderal bersangkutan. Bagaimana

dalam praktek akan berlangsung ternyata masih ada yang lolos dan dalam hal

demikian maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan.70

Permasalahan yang timbul mengenai barang atau jasa sejenis dan merek yang

sudah terkenal dalam masyarakat ini yang dapat menimbulkan problema. Persamaan

pada pokoknya ini secara keseluruhan adalah suatu penilaian menurut realita.

Tentunya dalam hal ini apakah ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya tidak

mungkin disejajarkan kedua merek bersangkutan tersebut secara sekaligus di hadapan

orang yang harus memberikan penilaian. Oleh karena dalam prakteknya disaksikan

bahwa sesungguhnya dalam menghadapi masalah persamaan pokok ini, apakah dapat

menimbulkan kekeliruan dari pihak konsumen atau salah sangka telah membeli

barang yang sudah terkenal padahal merek orang yang membonceng pada ketenaran

dari merek bersangkutan.71

Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang

disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan

merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai

bentuk, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi

ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.

70
Sudargo Gautama IV, Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001 (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002), hal. 50.
71
Ibid, hal. 51.

Universitas Sumatera Utara


81

Penolakan Permohonan yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau

keseluruhan dengan Merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang sejenis

dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai Merek

tersebut dibidang usaha yang bersangkutan. Di samping itu, diperhatikan pula

reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-

besaran investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan

disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara. Apabila hal-hal di atas

belum dianggap cukup, Pengadilan Niaga dapat memerintahkan lembaga yang

bersifat mandiri untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai

terkenal atau tidaknya Merek yang menjadi dasar penolakan.72

Tujuan daripada Undang-Undang Merek pertama-tama ialah untuk mencegah

kemungkinan timbulnya kekeliruan pada khalayak ramai tentang pemakaian merek

itu. Apabila sesuatu merek bersangkutan akan menimbulkan kekeliruan pada

khalayak ramai, jika dipakai bagi barang-barang yang sejenis, maka dianggap ada

persamaan pada pokoknya.73

Pemahaman semacam ini tidak akan kita dapatkan hanya dengan membaca

formulasi dari isi pasal, tetapi kita harus menggali makna-makna positif yang berada

dibalik rumusan pasal tersebut. Menurut teori Rechtsvinding yang dimotori oleh Paul

Scholten, bahwa didalam menerapkan suatu hukum tugas hakim tidak sekedar

menerapkan apa yang telah tertulis didalam rumusan undang-undang tetapi juga

72
Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, Op.cit, Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf (a) dan (b).
73
Sudargo Gautama III, Op.cit , hal. 84.

Universitas Sumatera Utara


82

mencari, memilih, menilai, menimbang, menggali dan menemukan hukum yang

setepat-tepatnya untuk diterapkan pada peristiwa konkret.

Menurut Prof. Abdul Gani (Hakim), Rechtsvinding itu sendiri adalah satu

cara penemuan hukum untuk menentukan makna normatif yang ada dalam rumusan

azas legalitas dalam suatu bentuk undang-undang. selanjutnya, memerlukan ini agar

dapat mencari Ideal Norm (norma ideal) dalam suatu norma hukum yang tertulis

dalam suatu peraturan hukum dengan berbagai instrumen penemuan hukum yang

ada.74

Ketika hakim benar-benar memutus secara kaku sesuai dengan apa yang

tersurat didalam rumusan Pasal maka akan menghasilkan putusan yang tidak adil bagi

kedua pihak. Padahal hukum itu dibuat untuk manusia, sehingga hukumlah yang

harus disesuaikan dengan manusia dan bukan sebaliknya. Teori diatas juga

mengingatkan kita kepada pikiran progresif dari hakim agung Oliver Wendell

Holmes, yang mengatakan bahwa The Life of the law has not been logic, but

experience. Didalam diktum yang kemudian menjadi sangat terkenal itu, Holmes

menolak logika sebagai satu-satunya standart atau ukuran dalam hukum, melainkan

juga pengalaman.75 Hal ini dapat diartikan bahwa alangkah lebih bijaknya jika para

hakim juga mempertimbangkan beberapa yurisprudensi mengenai kasus-kasus yang

74
Abdul Gani Abdulah, Mahkamah Agung Perlu Reposisi Manajemen, (Jakarta: Buletin
Komisi Yudisial, 2006) , Hal. 52.
75
Satjipto Rahardjo II, Biarkan Hukum Mengalir, ( Jakarta: Kompas, 2007), Hal. 89-90.

Universitas Sumatera Utara


83

sama dalam memutuskan suatu perkara, sehingga diharapkan dapat tercipta kepastian

hukum progresif.

Pengertian Hakim dalam Putusan merupakan yang menentukan ada atau

tidaknya persamaan pada pokoknya. Sang Hakim dalam menunaikan tugasnya ini

umumnya memperhatikan kesan sifat umum daripada merek bersangkutan kepadanya

dan juga kesan yang diberikan oleh merek bersangkutan atas publik atau khalayak

ramai secara sepintas lalu. Tetapi dalam melakukan hal ini, maka kiranya Hakim

harus selalu ingat bahwa para pembeli dari barang-barang bersangkutan tidak seperti

sang Hakim yang harus mengadili perkara ini akan memperoleh kesempatan untuk

menjejerkan kedua merek bersangkutan ini dihadapannya.

Dalam Pasal 6 ayat (2) dikatakan bahwa:

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat pula

diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang

memenuhi persyaratan memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan

lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah

Disini dinyatakan bahwa persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya bisa

pula dilakukan untuk barang/ atau jasa yang tidak sejenis. Dan ditambahkan lagi

sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan

Peraturan Pemerintah (PP). Sangat dinantikan bagaimana akhirnya akan diciptakan

Peraturan Pemerintah ini. Dan apakah yang akan dijadikan sebagai pegangan. Inilah

Universitas Sumatera Utara


84

yang masih merupakan suatu bahan perbedaan paham. Karena di sini mencakup

barang-barang yang tidak sejenis.76

Dalam Memori Penjelasan Pasal 6 ini mengenai ayat (1) huruf a di nyatakan
bahwa: Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan
yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu
dengan merek yang lain. Unsur-unsur ini dapat menimbulkan kesan adanya
persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau
kombinasi antar unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat
dalam merek-merek tersebut.

Adanya jurisprudensi yang dapat dipakai menurut penulis-penulis luar negeri

(Belanda) yang mempersoalkan menangani masalah persamaan pada pokoknya ini.

Juga adanya, misalnya rekaman suara, inilah yang dapat dijadikan perbedaan

pendapat apakah terjadi kesan persamaan. Dalam memori penjelasan dikatakan lebih

lanjut bahwa persamaan ini terletak di bidang lain, yaitu mengenai cara penempatan

atau persamaan dari ucapan.77

Dapat ditambahkan juga bahwa arti kata yang serupa dalam merek yang

diucapkan atau dilafalkan dalam bahasa asing, dapat juga menimbulkan adanya ciri

persamaan. Dinyatakan lebih lanjut bahwa penolakan permohonan yang mempunyai

persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal, untuk barang

atau jasa dilakukan dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat mengenai

merek tersebut. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi merek terkenal yang

diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran, investasi di beberapa

negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya. Kemudian disertai bukti pendaftaran

76
Sudargo Gautama IV, Op.cit, hal. 51.
77
Ibid, hal. 52.

Universitas Sumatera Utara


85

merek tersebut di beberapa negara. Ini yang menunjukkan ciri-ciri merek terkenal.

Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup maka Pengadilan Niaga dapat

memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri untuk melakukan survei guna

memperoleh keputusan mengenai ada/tidaknya persamaan yang menjadi dasar

penolakan itu.

Di sini dilibatkan misalnya Lembaga Konsumen mengenai persoalan apakah

merek ini sudah terkenal atau belum. Mengenai Pasal 6 ayat (2) huruf c ini dianggap

dalam Memori Penjelasan cukup jelas. Pasal6 ayat (3) huruf a menyatakan apa yang

dimaksud dengan nama badan hukum. Ini adalah nama badan hukum yang digunakan

sebagai merek dan terdaftar dalam Daftar Umum Merek.

Dalam Pasal 6 ayat(3) dinyatakan bahwa permohonan juga harus ditolak oleh

Direktorat Jenderal apabila merek tersebut merupakan atau menyerupai orang

terkenal, foto atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas

persetujuan dari yang berhak. Dengan demikian, kalau memakai merek terkenal,

harus meminta izin dari pihak bersangkutan. Dalam Memori Penjelasan ditegaskan

lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan nama badan hukum yang digunakan

sebagai merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Kemudian, huruf b yang

dimaksud dalam lembaga nasional perkumpulan, masyarakat ataupun organisasi

sosial politik.

Meskipun Undang-undang sudah mengatur ketentuan merek sedemikian rupa,

namun pada prakteknya sering timbul beberapa masalah dalam pemeriksan merek.

Salah satu masalah yang paling menonjol adalah yang berkaitan dengan "persamaan".

Universitas Sumatera Utara


86

Di dalam ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa permohonan merek

harus ditolak oleh Dirjen HKI apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada

pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih

dulu untuk barang dan atau jasa sejenis. Berikut ini adalah beberapa teori mengenai

persamaan merek dan contoh-contoh merek yang dianggap sama dan tidak sama:78

1. Persamaan keseluruhan elemen

Persamaan keseluruhan elemen adalah standar untuk menentukan adanya

persamaan yang sesuai dengan doktrin entirentis similar. Dalam hal ini merek

yang diminta untuk didaftarkan merupakan copy atau reproduksi merek orang

lain. Agar suatu dapat disebut copy atau reproduksi dari merek orang lain

sehingga dapat dikualifikasi mengandung persamaan secara keseluruhan,

paling tidak harus memenuhi syarat-syarat :79

1) Terdapat persamaan elemen merek secara keseluruhan;


2) Persamaan jenis atau produksi dan kelas barang atau jasa;
3) Persamaan wilayah dan segmen perusahaan;
4) Persamaan cara dan prilaku pemakaian;
5) Persamaan cara pemeliharaan;
6) Persamaan jalur pemasaran.

Syarat-syarat tersebut diatas bersifat kumulatif, sehingga untuk

menentukan adanya persamaan harus semuanya terpenuhi. Namun

demikian standar penentuan berdasarkan ajaran ini dianggap terlalu

78
Amalia Rooseno, Aspek Hukum tentang Merek, (Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian
Hukum, 2004), hal. 32.
79
Budi Rahardjo, Perlukah Perlindungan HKI Bagi Negara Berkembang, (Mahkamah Agung
RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004), hal. 29.

Universitas Sumatera Utara


87

kaku dan tidak dapat melindungi kepentingan pemilik merek

khususnya untuk merek terkenal.

2. Persamaan pada pokoknya

Dalam penjelasan Pasal 6 ayat (1) UU No. 15 Tahun 2001,yang

dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang

disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu

dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan

baik dalam bentuk (lukisan atau tulisan), cara penempatan (yaitu unsur-unsur

yang diatur sedemikian rupa sehingga timbul kesan sama dengan merek orang

lain), arti dan kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi

dalam ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.

Pengertian persamaan pada pokoknya yang diatur dalam penjelasan ini


sesuai dengan doktrin "nealy resembles", yang menganggap suatu merek
mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek orang lain jika pada
merek tersebut terdapat kemiripan (identical) atau hampir mirip (neal
resembles) dengan merek orang lain, yang dapat didasarkan pada
kemiripan gambar, susunan kata, warna atau bunyi. Menurut doktrin ini,
persamaan pada pokoknya tidak mutlak ditegaskan pada persamaan doktrin
semua elemen merek dan tidak dituntut keras adanya jalur pemasaran yang
sama. Faktor yang paling pokok dalam doktrin ini adalah bahwa pemakaian
merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya ini dapat menimbulkan
kebingungan yang nyata (actual confusion) atau menyesatkan (deceive)
masyarakat konsumen. Seolah-olah merek tersebut berasal dari sumber atau
produksi yang sama. Sehingga di dalamnya terlihat unsur itikad tidak baik
untuk membonceng ketenaran merek milik orang lain.80

Permasalahan kedua yang timbul dalam pemeriksaan merek adalah

bagaimana menerapkan ketentuan mengenai barang / jasa jenis atau tidak

80
Amalia Rooseno, Op. cit, hal.38.

Universitas Sumatera Utara


88

sejenis. Dari bunyi pasal 6 ayat 1 (a), untuk menentukan ada tidaknya suatu

persamaan pada merek, selain ditentukan oleh mereknya sendiri, juga

ditentukan oleh jenis barang dan atau jasanya. Jika barang atau jasa yang

hendak dilindungi oleh suatu merek yang sama dengan merek orang lain

berbeda, maka tidak dianggap tidak terpenuhi syarat persaman baik

keseluruhan maupun pada pokoknya.

Suatu barang belum tentu dapat dikatakan sejenis dengan barang tertentu

lainya meskipun berada dalam satu kelas yang sama. Demikian

sebaliknya, suatu barang bisa dikatakan sejenis dengan barang lainnya

walaupun berada pada kelas yang berbeda, karena keterkaitan yang sangat

erat antara kedua barang tersebut. Sebagai contoh di dalam praktek kantor

Merek, tepung dianggap sejenis dengan mie, karena mie dibuat dari bahan

yang sama dengan tepung. Padahal jika kita menelaah dari tujuan pemakaian

tepung dan mie jelas berbeda.

Contoh lain, barang-barang yang berkaitan dengan dunia fashion, seperti

perhiasan, pakaian (garmen), sepatu, tas, dan sebagainya; jika melihat pada

klasifikasi jenis barang, masing-masing berada pada kelas yang berbeda.

Padahal bukannya tidak mungkin, orang yang memproduksi pakaian dengan

merek tertentu juga memproduksi juga sepatu atau tas dengan merek yang

sama, karena keterkaitan antara barang-barang tersebut dalam tujuan

pemakaian. Sehingga kalau tidak dapat dikatakan sejenis namun mempunyai

keterkaitan yang sangat erat.

Universitas Sumatera Utara


89

Khusus untuk merek terkenal, perlindungan tidak hanya diberikan

pada barang atau jasa sejenis, melainkan juga terhadap barang atau jasa

yang tidak sejenis. Jadi perlindungan terhadap merek terkenal mencakup jenis

barang/jasa yang lebih luas. Akan tetapi kriteria apa yang harus dipenuhi

sehingga suatu merek dapat dianggap terkenal. Reputasi yang bagaimana yang

harus diperoleh sehingga merek menjadi terkenal. Hal ini dalam praktek

sering menimbulkan permasalahan, karena ketidak jelasan ketentuan

perundang-undangan.

Sejauh ini batasan mengenai merek terkenal hanya berdasarkan kriteria

penggolongan sebagai berikut:81

1. Reputasi merek tersebut tidak harus terbatas pada produk tertentu atau
jenis produk, memiliki kualitas stabil, dari waktu ke waktu dapat
dipertahankan di berbagai negara serta memiliki pendaftaran di beberapa
negara ;
2. Perlindungan diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan
tidak hanya berhubungan dengan jenis barang-barang dimana merek
tersebut didaftarkan ;
3. Faktor pengetahuan masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha
yang bersangkutan yang dapat diketahui dari adanya promosi yang
dilakukan dengan gencar dan besar-besaran, adanya investasi di beberapa
Negara yang dilakukan oleh pemiliknya, disertai dengan adanya bukti
pendaftaran merek tersebut di beberapa negara.

Ketiga permasalahan tersebut yakni mengenai persamaan merek dan jenis

barang serta kriteria merek terkenal sering menimbulkan masalah dalam

pemeriksaan merek. Selain karena tidak adanya ketentuan yang

81
Ibid, hal. 33.

Universitas Sumatera Utara


90

memberikan pedoman yang pasti pada pemeriksaan merek, juga karena

sifatnya sangat subyektif, sehingga untuk menentukan ketiga hal tersebut

sangat bergantung pada penafsiran dan penilaian yang berbeda dari masing-

masing individu. Keadaan ini menyebabkan munculnya putusan-putusan

Kantor Merek yang kurang konsisten mengenai kasus-kasus yang serupa.

Dalam memutuskan Perkara Pencabutan Hak Merek TOAST BOX oleh

BreadTalk Pte. Ltd No: 02/ Merek/ 2011/ PN/ Niaga/ Medan, Majelis Hakim

mempelajari uraian keseluruhan gugatan penggugat dan bukti bahwa

penggugat (BreadTalk Pte. Ltd) adalah pemilik asli atas merek TOAST BOX

berdasarkan bukti-bukti berupa sertifikat yang dikeluarkan oleh Singapore

Trade Marks Act untuk kelas 30 dan 43 serta sertifikat yang dikeluarkan oleh

Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk

BreadTalk Pte. Ltd. Majelis Hakim menyatakan BreadTalk Pte. Ltd adalah

pemilik satu-satunya merek TOAST BOX berdasarkan bukti-bukti tersebut.

Majelis Hakim juga menyatakan Tergugat (Frangky Chandra) adalah

pemohon merek TOAST BOX yang beritikad tidak baik/ beritikad buruk

berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek.

Dalam Penjelasan Pasal 4 Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001

dikemukakan bahwa:

Pemohon yang beritikad baik adalah Pemohon yang mendaftarkan


Mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk
membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi
kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau
menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan

Universitas Sumatera Utara


91

konsumen. Contohnya Merek dagang A yang sudah dikenal masyarakat


secara umum sejak bertahun-tahun ditiru demikian rupa sehingga
memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek
dagang A tersebut. Dalam contoh itu sudah terjadi itikad tidak baik dari
peniru karena setidak-tidaknya patut diketahui unsur kesengajaannya
dalam meniru merek dagang yang sudah dikenal tersebut.

B. Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Asing yang mempunyai Persamaan


pada pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek Terdaftar.

1. Penyelesaian Hukum Perdata

Sebagai aturan umum, pada saat pemilik merek dapat membuktikan bahwa

mereknya telah dilanggar maka pengadilan akan memerintah pelanggar untuk

memberi kompensasi kepada pemilik merek atas kerugian yang nyata-nyata diderita

sebagai akibat adanya pelanggaran.82 Sanksi yang diberikan berdasarkan gugatan

pemilik merek karena adanya pelanggaran merek yang terjadi. Dalam KUH Perdata

Pasal 1365 telah diatur tentang perbuatan melanggar hukum tersebut yaitu:

Bahwa terhadap tiap-tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa

kerugian kepada seseorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Sejalan hal tersebut, di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Pasal

76 ayat 1 disebutkan bahwa: Pemilik merek terdaftar dapat mengajukan

gugatan berupa ganti rugi dan/atau penghentian semua perbuatan yang

berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Gugatan dapat diajukan kepada

Pengadilan Niaga (Pasal 76 ayat 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001).

82
Budi Santoso, Butir-Butir Berserakan Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual, Desain
Industri, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 145.

Universitas Sumatera Utara


92

Dari rumusan yang terdapat pada KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2001 dapat diketahui bahwa si penggugat atau si pemilik merek terdaftar

dalam gugatannya dapat meminta adanya ganti kerugian dan penghentian pemakaian

merek oleh si tergugat atau si pelaku pemalsu merek.

Ganti rugi terbagi atas 2 (dua) bagian, yaitu:83

a. Ganti rugi Material


Ganti kerugian material 3 (tiga) kali lipat atas kerugian yang nyata-nyata
diderita sebagai akibat pelanggaran, keuntungan yang didapat Tergugat
atas pelanggaran (biasanya dikenakan bila pelanggaran dengan sengaja
pada barang atau jasa yang saling bersaing pada pasar yang sama), biaya
pengacara.84

Oleh karenanya ganti kerugian material yaitu kerugian yang nyata dapat

dinilai dengan uang. Misalnya: Akibat dari pemakaian merek oleh pihak

yang tidak berhak tersebut menyebabkan produknya menjadi sedikit

terjual karena konsumen telah membeli produk yang palsu.

b. Ganti rugi Immaterial

Yaitu tuntutan ganti rugi yang disebabkan karena adanya kerugian secara

moril bagi pihak yang berhak. Misalnya: Mutu dari barang yang palsu

mempunyai kualitas yang rendah sehingga konsumen tidak mau membeli

produk dari pemegang hak yang sebenarnya lagi.

Selanjutnya gugatan atas pelanggaran merek sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 76 dapat diajukan oleh penerima lisensi merek terdaftar baik

secara sendiri maupun secara bersama-sama dengan pemilik merek yang

83
Saidin, Op.cit, hal. 304-305.
84
Ibid, hal.146.

Universitas Sumatera Utara


93

bersangkutan (Pasal 77 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001).

Kemudian menurut Pasal 78 ayat 1 dalam rangka mencegah kerugian

yang lebih besar akibat terjadinya pelanggaran merek tersebut pemilik

merek terdaftar atau penerima lisensi merek selaku Penggugat dapat

memerintahkan Tergugat pengguna merek tersebut untuk menghentikan

produksi, peredaran, atau perdagangan barang atau jasa yang

menggunakan merek tersebut tanpa hak.

Sehubungan dengan masalah gugatan ganti rugi dalam hal lisensi ini,

si lisensi dapat juga mengajukan gugatan ganti rugi kepada si pemilik

merek terdaftar (si pemberi lisensi). Akan tetapi gugatan ganti rugi ini

berbeda dengan gugatan ganti rugi seperti yang telah diuraikan di atas.

Gugatan ganti rugi dalam hal lisensi ini tidak dikategorikan sebagai

peristiwa perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad, pasal 1365

KUH Perdata) dan ketentuan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001 seperti disebut di atas.

Gugatan ganti rugi ini dapat dikategorikan ke dalam peristiwa

wanprestasi, karena didasarkan atas adanya ingkar janji dan si pemberi

lisensi (pemberi merek terdaftar), karena lisensi ini terjadi berdasarkan

adanya ingkar janji (wanprestasi) ini mengacu kepada ketentuan Pasal

1234 KUH Perdata, yaitu: Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan

sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.

Universitas Sumatera Utara


94

Oleh karena sepanjang mengenai tuntutan ganti rugi yang didasarkan

kepada kedua peristiwa di atas yaitu perbuatan melawan hukum dan

perbuatan wanprestasi tersebut berlaku pula ketentuan yang termuat

dalam KUH Perdata. Dalam hal ini KUH Perdata berfungsi sebagai Lex

Generalis (peraturan yang bersifat umum), sedangkan Undang-Undang

Nomor 15 Tahun 2001 berfungsi sebagai Lex Speciallis (peraturan yang

bersifat khusus).85

2. Penyelesaian Hukum Pidana

Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 dinyatakan bahwa sifat

tindak pidana merek dikategorikan sebagai delik aduan karena pada prinsipnya aspek

perdata dalam masalah merek lebih ditonjolkan dibanding aspek pidananya sehingga

dimungkinkan terjadinya proses perdamaian diantara pada pihak dalam hal terjadinya

kasus tindak pidana merek.

Selain itu dalam prakteknya selama ini penindakan terhadap pelanggaran hak

atas merek lebih banyak dilakukan setelah adanya pengaduan dari pemilik merek

sehingga selalu dituntut adanya keaktifan dari pemilik merek terdaftar tersebut jika

mereknya dirugikan oleh pihak lain. Penyidikan bila terjadinya tindak pidana merek

dilakukan oleh penyidik POLRI dan dapat dilakukan juga oleh Pejabat Pegawai

Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Direktorat Jenderal HKI sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

85
Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, (Surabaya: Fakultas
Hukum Universitas Airlangga), hal. 305.

Universitas Sumatera Utara


95

Pada prakteknya mengenai siapa yang melakukan penyidikan tindak pidana

merek tergantung pada siapa pemilik merek terdaftar yang mereknya dilanggar

membuatkan pengaduan. Berdasarkan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2001:

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama
pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau paling banyak Rp
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Berdasarkan Pasal 91 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001:

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama
pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau
jasa yang sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
800.000.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).
Berdasarkan Pasal 92 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001:

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang
sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk
barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang pada
pokoknya dengan indikasigeografis milik pihak lain untuk barang yang
sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pencatuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil
pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa
baranng tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan
dilindungi berdasarkan indikasi geografis, diberlakukan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

Berdasarkan Pasal 93 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001:

Universitas Sumatera Utara


96

Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang


dilindungi berdasarkan indikasi-asal pada barang atau jasa sehingga dapat
memperdaya atau menyesatkan masyarakat mengenai asal barang atau
asal jasa tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus
juta rupiah).
Berdasarkan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001:

(1) Barangsiapa memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui


atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan
hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91,
Pasal 92, dan Pasal 93 dipidana dengan pidana kurungan paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
pelanggaran.

Berdasarkan Pasal 95 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001:

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91,

Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 merupakan detik aduan.

Sistem perlindungan merek di Indonesia dapat memberikan kepastian

hukum dan jaminan hukum bagi pihak-pihak yang telah mendaftarkan

mereknya, namun yang perlu diperhatikan dengan tegas adalah pada saat

pelaksanaan atau prakteknya. Dilihat dari perlindungan hukum yang ada

maka sehubungan dengan perkara merek yang ada, perlindungan hukum

yang dapat diberikan kepada pemilik merek tedaftar adalah mengajukan

gugatan pembatalan merek mengingat berdasarkan sistem konstitutif yang

dianut oleh Undang-Undang Merek Indonesia, perlindungan hukum

diberikan kepada pendaftar merek yang pertama.

Universitas Sumatera Utara


97

Sistem ini lebih menjamin adanya kepastian hukum karena pendaftar

merek diberikan sebuah sertifikat sebagai tanda bukti pendaftaran dan

bukti atas hak merek, sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari

merek tersebut dan merek yang akan didaftar akan lebih mudah

pembuktiannya daripada merek yang tidak didaftar karena pemakai akan

mengalami kesulitan untuk membuktikan dirinya sebagai pemakai

pertama karena tidak terdapat akta-akta dan surat-surat yang dapat

diajukan sebagai bukti otentik dalam pemeriksaan pengadilan. 86

3. Penyelesaian Hukum Administrasi Negara

Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak milik intelektual dalam hal ini hak

merek, maka negara juga bisa menggunakan kekuasaan untuk melindungi pemilik

hak merek terdaftar melalui kewenangan administrasi negaranya, yaitu melalui:

a. Penanganan oleh Pabean

Konvensi Paris dalam Pasal 9 memuat ketentuan yang memungkinkan barang-

barang yang memakai merek dagang secara tidak sah yang dimiliki warga

negara dari negara peserta Konvensi Paris, bisa disita waktu diimpor masuk ke

negara peserta lain atau sekurang-kurangnya diadakan larangan terhadap

impor barang-barang yang bersangkutan atau identitas dari orang yang

membuatnya, atau pedagang barang itu, dapat dilakukan tindakan serupa.

86
Pipin Syarifin dan Debah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia,
(Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 183.

Universitas Sumatera Utara


98

Dalam TRIPs ditentukan bahwa Badan Administrasi Pabean memiliki

kewenangan:

1) Badan ini mempunyai kewenangan atas inisiatif sendiri (ex officio)

menunda pelepasan barang-barang yang telah terbukti melakukan

pelanggaran di bidang hak milik intelektual (Pasal 58).

2) Berwenang memerintahkan pemusnahan barang-barang hasil

pelanggaran hak milik intelektual dan melarang agar barang-barang

tersebut tidak diekspor kembali (Pasal 59).

b. Penanganan oleh Badan Standard Industri

Barang-barang yang memakai merek yang tanpa hak dapat diduga tidak

memiliki kriteria standard industri yang telah ditetapkan baik komposisinya

maupun kualitasnya. Dengan demikian barang tersebut dapat dikatakan berada

di bawah standard (inferior Quality Goods or Service). Penggunaan merek

yang tanpa hak tersebut juga adalah usaha untuk mengelabui para konsumen.

Tindakan semacam ini adalah merupakan salah satu objek pengawasan dari

badan standard industri yang dalam hal ini dapat mengeluarkan keputusan

untuk melarang barang-barang tersebut beredar karena tidak terjamin

keamanannya dan sekaligus juga merugikan konsumen serta pemilik merek

yang bersangkutan.

c. Pengawasan Oleh Badan Standard Periklanan

Pengawasan periklanan dengan kewenangan dapat mengawasi situasi

persaingan yang ada di pasaran melalui kode etik periklanan. Dengan

Universitas Sumatera Utara


99

demikian sedini mungkin dapat dicegah pelanggaran terhadap hak merek

orang lain. Pengawasan periklanan ini bisa juga melarang iklan merek yang

menyesatkan konsumen, sehingga para konsumen dapat dihinarkan dari

kerugian.87

Sanksi secara administrasi dimana dilakukan penghapusan dan

pembatalan merek dari Daftar Umum Merek yang dilakukan oleh Direktorat

Jenderal HKI dapat dilakukan dengan cara:

1) Penghapusan Merek

Merek yang telah terdaftar pada Direktorat Jenderal HKI dapat dihapus

(invalidation) dari Daftar Umum Merek berdasarkan permohonan pemilik

merek yang bersangkutan dan juga penghapusan pendaftaran merek

tersebut dapat dilakukan oleh prakarsa Direktorat Jenderal HKI.

Penghapusan dilakukan atas prakarsa Direktorat Jenderal HKI apabila

(Pasal 61):

a) Merek tidak digunakan (non use) selama 3 (tiga) tahun berturut-turut

dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran

atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat

diterima oleh Direktorat Jenderal.

b) Merek digunakan untuk jenis barang dan/atau jasa yang tidak sesuai

dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan pendaftaran

87
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit, hal. 148-149.

Universitas Sumatera Utara


100

termasuk pemakaian merek yang tidak sesuai dengan merek yang

didaftar.

Untuk penghapusan pendaftaran merek atas prakarsa sendiri tidak

ditentukan oleh Undang-Undang karena merupakan hak dari pemilik

merek terdaftar tersebut sedangkan penghapusan merek atas prakarsa

pihak ketiga dapat diajukan berdasarkan Pasal 61 ayat 2 yang dilakukan

dengan mengajukan gugatan HKI Pengadilan Niaga. Penghapusan

pendaftaran merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI dengan

mencoret merek tersebut dari Daftar Umum Merek, kemudian

diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan

menyebutkan alasan penghapusan merek tersebut (Pasal 65) serta

diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Sejak tanggal pencoretan dari

Daftar Umum Merek, sertifikat merek yang bersangkutan dinyatakan

tidak berlaku lagi dan mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum

atas merek yang bersangkutan.

2) Pembatalan Merek

Untuk pembatalan terhadap merek berdasarkan Pasal 68 ayat 1

mengatakan gugatan pembatalan terhadap merek dapat diajukan oleh

pihak yang berkepentingan berdasarkan alasan-alasan dalam Pasal 4, 5,

dan 6. Pembatalan merek terdaftar hanya dapat dilakukan oleh pihak yang

berkepentingan atau pemilik merek, baik dalam bentuk permohonan

kepada Direktorat Jenderal HKI atau gugatan kepada Pengadilan Niaga.

Universitas Sumatera Utara


101

Pihak-pihak yang berkepentingan:

a) Jaksa

b) Yayasan atau lembaga di bidang konsumen

c) Majelis lembaga keagamaan

Gugatan pembatalan diajukan kepada Pengadilan Niaga dan hanya

dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal

pendaftaran dan gugatan pembatalan dapat dilakukan tanpa batas

waktu apabila merek yang bersangkutan bertentangan dengan

moralitas, agama, kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 69).

Pembatalan merek dilakukan oleh Direktorat Jenderal HKI dengan

mencoret merek tersebut dari Daftar Umum Merek dan diberitahukan

secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan

menyebutkan alasan pembatalan serta diumumkan dalam Berita

Resmi Merek kemudian merek dan sertifikat merek yang

bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi (Pasal 71).

Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Asing TOAST BOX No: 02/

Merek/2011/PN.Niaga/Medan yang mempunyai Persamaan pada pokoknya atau

keseluruhannya dengan Merek Terdaftar, Majelis Hakim menggunakan Penyelesaian

Hukum secara:

Universitas Sumatera Utara


102

a) Administrasi Negara, yaitu:

1) Menyatakan pendaftaran merek TOAST BOX Tergugat (Frangky

Chandra) No. IDM000173048 yang dikeluarkan oleh Direktorat Merek

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia batal demi hukum;

2) Memerintahkan Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan

Intelektual Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia untuk menghapus merek TOAST BOX No. IDM000173048

tanggal 11 Agustus 2008 yang terdaftar atas nama Tergugat dari daftar

umum merek.

b) Perdata, yaitu:

Membebankan biaya perkara yang timbul dalam perkara ini kepada Tergugat

(Frangky Chandra) sebesar Rp 426.000,- (empat ratus dua puluh enam ribu

rupiah).

Universitas Sumatera Utara


103

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pendaftaran merek bertujuan untuk memperoleh kepastian hukum dan

perlindungan hukum terhadap hak atas merek. Pendaftaran merek dilakukan pada

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual. Direktorat Jenderal HKI adalah

instansi pendaftaran merek yang ditugaskan untuk mendaftarkan merek yang

dimohonkan pendaftarannya oleh pemilik merek. Pendaftaran merek dilakukan

dengan memenuhi syarat-syarat sebagaimana telah ditentukan oleh Undang-

Undang No. 15 Tahun 2001. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa pendaftaran merek merupakan hal yang sangat penting dalam rangka

memberikan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas merek. Pendaftaran

merek dengan menggunakan sistem konstitutif (first to file) lebih menjamin

adanya kepastian hukum bagi pemegang hak atas merek.

2. Pelaksanaan Prinsip First To File dalam Penyelesaian Sengketa merek dagang

asing dalam peradilan di Indonesia ini lebih menjamin adanya kepastian hukum

karena pendaftar merek diberikan sebuah sertifikat sebagai tanda bukti

pendaftaran dan bukti atas hak merek, sekaligus dianggap sebagai pemakai

pertama dari merek tersebut. Dengan adanya Prinsip First to File ini, merek yang

akan didaftar akan lebih mudah pembuktiannya daripada merek yang tidak

didaftar karena pemakai akan mengalami kesulitan untuk membuktikan dirinya

103

Universitas Sumatera Utara


104

sebagai pemakai pertama karena tidak memiliki sertifikat dan surat-surat yang

dapat diajukan sebagai bukti otentik dalam pemeriksaan pengadilan.

3. Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Asing yang mempunyai Persamaan pada

pokoknya atau keseluruhannya dengan Merek Terdaftar dapat dilakukan secara

Perdata, Pidana dan Administratif/Administrasi Negara. Sistem perlindungan

merek di Indonesia dapat memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi

pihak-pihak yang telah mendaftarkan mereknya. Dilihat dari perlindungan

hukum yang ada maka sehubungan dengan perkara merek yang ada,

perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pemilik merek tedaftar adalah

mengajukan gugatan pembatalan merek mengingat berdasarkan sistem konstitutif

yang dianut oleh Undang-Undang Merek Indonesia, perlindungan hukum

diberikan kepada pendaftar merek yang pertama.

B. Saran

1. Salah satu alasan yang membuat pengusaha/pemilik merek enggan melakukan

pendaftaran merek dikarenakan proses pendaftaran memakan waktu yang relatif

panjang. Akan lebih baik, masa pengumuman dipersingkat, tidak perlu sampai

tiga bulan, karena yang paling penting adalah efektifitas dari pengumuman

tersebut. Apabila pengumuman dilakukan dengan efektif, maka dengan waktu

yang relatif singkat pun, masyarakat luas sudah mengetahui rencana permohonan

pendaftaran merek yang sedang diajukan. Selain itu, lamanya pemeriksaan

substantif juga sebaiknya tidak perlu terlalu lama, sampai 9 bulan. Dengan

Universitas Sumatera Utara


105

perbaikan sistem data yang baik, pemeriksa akan lebih mudah untuk melakukan

pemeriksaan. Dengan mempermudah dan mempersingkat waktu pendaftaran,

menurut Penulis, pelaku usaha tidak akan ragu lagi untuk mendaftarkan

mereknya.

2. Dalam pelaksanaan pemeriksaan substansi, sebaiknya pemeriksa melakukan

pemeriksaan secara komperhensif, sehingga diperoleh data yang sesuai dengan

data dilapangan. Akan lebih baik, dalam upaya memberikan perlindungan hukum

terhadap merek-merek yang belum terdaftar, DIRJEN HKI memiliki daftar

merek-merek yang belum didaftar, karena sangat dimungkinkan sekali pemilik

merek belum melakukan pendaftaran merek dikarenakan faktor biaya yang relatif

mahal. Hal ini perlu dilakukan untuk melindungi pemilik merek dalam lingkup

usaha mikro dan menengah. Dengan itikad tidak baik, orang yang memiliki dana,

dan mengetahui prospek perkembangan merek pada usaha mikro dan menengah,

bisa saja mendahului untuk mendaftarkan merek tersebut ke DIRJEN HKI.

Sehingga dengan adanya data merek yang belum terdaftar, pemeriksa akan lebih

mudah untuk melakukan cross check, sehingga diperoleh data yang sesuai

dengan data dilapangan.

3. Untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang merek dagang

asing diperlukan kerjasama yang harmonis antara pemerintah dengan disertai

peraturan perundang-undangan yang memadai, aparat pemeriksa merek (Dirjen

HKI), aparat penegak hukum, masyarakat luas dengan informasi adanya

pelanggaran merek serta pengusaha yang akan menggunakan suatu merek

Universitas Sumatera Utara


106

tertentu bagi produknya. Sehingga pada prakteknya, sistem pendaftaran First to

File dapat berjalan efektif menciptakan keselerasan jaminan keadilan dan

kemanfaatan, karena masih banyak merek-merek yang didaftarkan bukan oleh

pemilik merek yang sebenarnya.

Universitas Sumatera Utara


107

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU:

Abdulah, Abdul Gani. Mahkamah Agung Perlu Reposisi Manajemen. Jakarta: Buletin
Komisi Yudisial, 2006.
Astarini, Dwi Rezeki Sri. Penghapusan Merek Terdaftar. Bandung: PT. Alumni,
2009.
Bainbridge, David I. Intellectual Property. Fifth Edition. England: Peorson Education
Limited, 2002.
Budi, Henry Soelistyo dan Suyud Margono. Bunga Rampai Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI). Jakarta: Perhimpunan Masyarakat HAKI Indonesia, 2001.
Christie, Andrew dan Stephen Gore, Blackstones Statutes on Intellectual Property.
5th Edition. London: Blackstones Press, 2001.
Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah. Hak Milik Intelektual Sejarah Teori dan
Prakteknya di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Durianto, Darmadi, Sugiharto dan Tony Sitinjak. Strategi Menaklukkan Pasar
Melalui Riset Ekuitas Perilaku Merek. Jakarta: Gramedia Utama, 2001.
Gautama, Sudargo. Hukum Merek Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1984.
. Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam Rangka WTO)
1997. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
dan Rizawarto Winata. Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002
dan Rizawanto Winata. Himpunan Keputusan Merek Dagang.
Bandung: PT. Alumni, 1997.
Hadjon, Philipus M.. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2002.
Hafidullah, Muhammad. Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pada Karya Cipta Source Code
Piranti Lunak Komputer. Yogyakarta: Laporan Penelitian Lembaga Kajian
Hukum Teknologi, 2005.

107

Universitas Sumatera Utara


108

Harahap, Yahya. Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang No.19 Tahun 1992. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1996.
Hart, Tina, et. al. Intellectual Property Law. London: Palagrave Macmillan, 2006.
Hasibuan, H. D. Effendy. Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan
Indonesia dan Amerika Serikat. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia,2003.
Juwana, Hikmahanto. Sekilas tentang Hukum Persaingan Usaha dan Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999. Jakarta: 2005.
Kaligis, O. C. Teori dan Praktek Hukum Merek Indonesia. Bandung: PT. Alumni,
2008.
Kansil, C. S. T. Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta.
Jakarta: Sinar Grafika.
Khairandy, Ridwan. Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I. Pusat Studi Hukum
UII Yogyakarta dan Yayasan Klinik HAKI Jakarta, 2000.
. Itikad baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Universitas
Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2004.
Komar, Mieke K. Kasus Sengketa Merek Terkenal dan Yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Minahasa Law Centre, 2008.
Kurnia, Titon Slamet. Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia
Pasca Perjanjian TRIPs. Bandung: PT. Alumni, 2011.
Lindsey, Tim. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Penghantar. Bandung: PT Alumni,
2006.
Lubis,Solly. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung : Mandar Maju,1994.
Margono, Suyud, Longginus Hadi. Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek.
Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2002.
Maulana, Insan Budi. Sukses Bisnis melalui Merek, Paten dan Hak Cipta. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 1997.
Mayana, Ranti Fauza, Perlindungan Desain Industri di Indonesia, Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2004
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Pranada Media
Goup,2008.

Universitas Sumatera Utara


109

McGinnes, Paul. Intellectual Property Commercialisation a Bussiness Managers


Companion. Australia: Lexis Nexis, Butterworths, 2004.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Penghantar. Yogyakarta: Liberty,
1988.
Miru, Achmadi. Hukum Merek: Cara mudah mempelajari Undang-Undang Merek.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Moloeng, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,
1993.
Pakpahan, Normin. Pengaruh Perjanjian WTO dan Pembentukan Hukum Nasional.
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 3, 1998.
Pattishal, Beverly W, David C. Hilliard dan Joseph Nye Wetch. Trademark and
Unfair Competation. USA: Lexis Publishing, 2000.
Prakorso, Joko. Perselisihan Hak Atas Merek di Indonesia. Yogyakarta: Liberty,
1987.
Priapantja, Cita Citrawinda. Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia. Bogor: Biro
Oktroi Rooseno, 2000.
Purba, Achmad Zen Umar. Latar Belakang Perubahan UU Tentang Kekayaan Hak
Intelektual. Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum, 2004.
Purwadi, Ari. Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen. Surabaya:
Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Purwosutjipto, H. M. N. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia. Djambatan.
1985.
Rahardjo,Budi. Perlukah Perlindungan HKI Bagi Negara Berkembang. Mahkamah
Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004.
Raharjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Kompas, 2007.
. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.
Ramli, Ahmadi M. Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia. Bandung:
PT. Refika Aditama, 2004.
Reynolds, Rocque dan Natalie Stoianoff. Intellectual Property Text and Cases.
Second Edition. Australia: The Federation Press, 2005.

Universitas Sumatera Utara


110

Ricketson, Staniforth. The Law of Intellectual Property. Australia: The Law Book
Company Limited, 1994.
Rizaldi, Julius. Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap
Persaingan Curang. Bandung: PT Alumni, 2009
Roisah, Kholis. Implementasi Perjanjian TRIPs Tentang Perlindungan Hukum
Terhadap Hak Atas Merek Terkenal (Asing) Di Indonesia. Semarang: Tesis
Hukum(UNDIP), 2001.
Rooseno, Amalia. Aspek Hukum tentang Merek. Mahkamah Agung RI dan Pusat
pengkajian Hukum, 2004.
Rosalina, Belinda. Madrid Protocol: Untung dan Ruginya Meratifikasi. Jakarta:
Universitas Indonesia, 2008.
Saidin, H. OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Santoso, Budi. Butir-Butir Berserakan Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual,
Desain Industri. Bandung: Mandar Maju, 2005.
Semitro, Roony H. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghali, 1982
Siahaan,N. H. T. Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk.
Jakarta: Panta Rei, 2005.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES,
1989
Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut
Bankir Indonesia,1993.
Snelbecker dan Lexy J. Moleo, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1993.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Sudarto dan Zaeni Asyhadie. Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian
Sengketa Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Supramono, Gatot. Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang Undang Nomor 19
Tahun1 992. Jakarta: Djambatan, 1996.

Universitas Sumatera Utara


111

Sutanto, Retnowulan. Perjanjian menurut Hukum Indonesia. Jakarta: Fakultas


Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Syarifin, Pipin dan Debah Jubaedah. Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di
Indonesia. Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.
Usman, Rachmadi. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual. Bandung: PT. Alumni,
2003.
Wahyuni, Erna dan T. Saiful Bahri. Kebijakan dan Manajemen Hukum Merek.
Yogyakarta : YPAPI, 2004.
Waluyo,Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
Waudan, Indirani. Tinjauan Yuridis Mengenai Peniruan Merek. Salatiga: FH-UKSW,
2006.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Keputusan Presiden R.I. No. 97 Tahun 1999

UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai