TESIS
Oleh
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
TESIS
Oleh
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Pada era perdagangan global dan pasar bebas merek memegang peranan yang sangat
penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Era perdagangan global
hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Salah satu bagian
Hak Kekayaan Intelektual yang harus diatur dan dilindungi yaitu merek. Kebutuhan adanya
perlindungan hukum atas merek semakin berkembang dengan pesat setelah banyaknya
kejadian orang yang melakukan peniruan-peniruan. Perlindungan merek sebenarnya sudah
diatur dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek, namun faktanya masih
banyak yang belum terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sehingga
belum mendapat perlindungan hukum.
Timbul permasalahan hukum bagaimana perlindungan hukum terhadap merek
dagang asing di Indonesia menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek,
Pelaksanaan prinsip First to File dalam penyelesaian sengketa merek dagang asing dalam
peradilan di Indonesia dan Penyelesaian sengketa dalam hal merek dagang asing tersebut
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar di
Indonesia.Untuk mengetahui jawaban dari permasalahan, dilakukan penelitian hukum
Yuridis Normatif.
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa Pendaftaran merek yang
dilakukan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bertujuan untuk memperoleh
kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak atas merek sesuai Undang-Undang
No. 15 Tahun 2001. Pendaftaran merek dengan menggunakan sistem konstitutif (first to file)
lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi pemegang hak atas merek karena pendaftar
merek diberikan sebuah sertifikat sebagai tanda bukti pendaftaran dan bukti atas hak merek,
sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari merek tersebut. Penyelesaian Sengketa
Merek Dagang Asing yang mempunyai Persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan Merek Terdaftar dapat dilakukan secara Perdata, Pidana dan Administratif/
Administrasi Negara. Dilihat dari perlindungan hukumnya maka sehubungan dengan perkara
merek yang ada, perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pemilik merek tedaftar
adalah mengajukan gugatan pembatalan merek mengingat berdasarkan sistem konstitutif
yang dianut oleh Undang-Undang Merek Indonesia yaitu perlindungan hukum diberikan
kepada pendaftar merek yang pertama.
Sehubungan dengan hal tersebut, diharapkan agar proses pendaftaran merek
dipermudah dan dipersingkat, serta dilakukan perbaikan sistim data dan publikasi pada Dirjen
HKI agar pelaku usaha tidak akan ragu lagi untuk mendaftarkan mereknya. Untuk lebih
memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang merek dagang asing diperlukan
kerjasama yang harmonis antara pemerintah dengan disertai peraturan perundang-undangan
yang memadai, aparat pemeriksa merek (Dirjen HKI), aparat penegak hukum, masyarakat
luas dengan informasi adanya pelanggaran merek serta pengusaha yang akan menggunakan
suatu merek tertentu bagi produknya. Sehingga pada prakteknya, sistem pendaftaran First to
File dapat berjalan efektif menciptakan keselerasan jaminan keadilan dan kemanfaatan,
karena masih banyak merek-merek yang didaftarkan bukan oleh pemilik merek yang
sebenarnya.
In the era of global trade and free markets, brand plays a very important role that
require a more adequate setting system. The era of global trade can only be able to defend if
there is a healthy business competition climate. One of the parts of Intellectual Property
Rights which must be regulated and protected is brand (trademark). The need for legal
protection on brand has increasingly rapidly developed after there have been many
imitations done by people at large. Actually, brand protection has been regulated in Law
No.15/2001 on Brand, but, in fact, there are still many brands (trademarks) which have not
been registered at the Office of Directorate General of Intellectual Property Rights that they
have not received any legal protection.
The legal problems occured were what legal protection was provided for foreign
trademark according to Law No.15/2001 on Brand, therefore, the purpose of this normative
juridical study was to answer the questions of how the principle of First to File was
implemented in the settlement of foreign trademark dispute in the Indonesian court of law,
and whether or not the settlement of trademark dispute was principally or wholly similar
between the settlement of foreign trademark and the trademark registered in Indonesia.
The result of this study showed that, the registration of trademark done by the
Directorate General of Intellectual Property Rights was intended to obtained legal certainty
and legal protection for the right to trademark in accordance with Law No.15/2001. The
registration of trademark through constitutive system (First to File) more guarantees the
existence of legal certainty for the holder of right to trademark because the one who
registered the trademark was given a certificate as a proof of registration and a proof of
right to trademark, and at the same time, the registrant is regarded as the first user of the
trademark. The settlement of dispute on Foreign Trademark which is principally or wholly
similar to the registered trademark can be carried out based on the civil, criminal and
administrative approach. In terms of legal protection, in relation to the existing cases of
trademark, legal protection that can be given to the owner of the registered trademark is to
file a lawsuit on the cancellation of brand (trademark) considering the constitutive system
followed by the Indonesian Law on Brand (Trademark) saying that legal protection is given
to the first registrant of trademark.
It is expected that the process of trademark registration can be simplified and
shortened and the data system and publication of the Directorate General of Intellectual
Property Rights should be improved that the business practitioners will be not in doubt to
register their trademarks. To give more legal protection to the holders of foreign trademarks,
harmonious cooperation is needed between the government accompanied with adequate
regulations of legislation, brand (trademark) inspection apparatuses (the Directorate
General of Intellectual Property Rights), law enforcement officers, community members at
large in announcing the information about violation brands and entrepreneurs who will use a
particular brand for their products. That, in practice, the First to File registration system can
be effectively run and create the alignment of guarantees justice and expediency, because
there many brands (trademarks) registered not by their actual owners.
ii
Puji dan Syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
KasihNya, sehingga Tesis ini dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Adapun judul dari Tesis ini adalah:
TOAST BOX oleh BreadTalk Pte.Ltd No: 02/ Merek/ 2011/ PN.Niaga/
Medan).
Dalam penyelesaian tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, MHum., selaku Dekan Fakultas Hukum
yang telah menyediakan waktu untuk memberi saran dan masukan dalam
3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum., selaku Pembantu Dekan I
iii
4. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN., selaku Ketua Program Studi
5. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, MHum., selaku Sekretaris Program
selaku Dosen Pembimbing III yang telah meluangkan waktu untuk memberi
6. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar, Seluruh staf administrasi dan pegawai pada
7. Keluarga Besar Sitepu dan Tarigan yang telah memberi motivasi dan semangat
untuk orangtuaku terkasih, Papa Simbela Sitepu dan Mama Inganlit Tarigan yang
telah merawat, memberikan doa dan mendidik penulis untuk menjadi pribadi
yang Takut akan Tuhan. Kakak-kakakku, Susan dan Erin, abang iparku, Darma,
insiprasi, dukungan dan hiburan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
8. Seluruh Kerabat dan Sahabat sejak SMP, SMA, kuliah di Fakultas Hukum dan
iv
Akhir kata, Penulis mengharapkan semoga Tesis ini dapat bermanfaat untuk
Penulis,
A. DATA PRIBADI
B. PENDIDIKAN
vi
Halaman
ABSTRAK .......................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................................... vi
DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii
BAB I PENDAHUHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................... 11
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 12
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 12
E. Keaslian Penelitian ..................................................................... 13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi .................................................... 15
1. Kerangka Teori .................................................................... 15
2. Konsepsi............................................................................... 19
G. Metode Penelitian ....................................................................... 22
1. Sifat Penelitian ..................................................................... 22
2. Sumber Data......................................................................... 22
3. Tehnik dan Alat Pengumpulan Data .................................... 23
4. Analisis Data ........................................................................ 24
5. Penarikan Kesimpulan ......................................................... 25
BAB II PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP MEREK DAGANG
ASING DI INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG
NO. 15 TAHUN 2001 TENTANG MEREK .................................. 26
A. Konvensi-Konvensi Internasional .............................................. 26
B. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 .................................... 32
C. Pengertian Merek Asing ............................................................. 41
D. Kriteria dan Ruang Lingkup Merek Terkenal ............................ 44
vii
viii
Pada era perdagangan global dan pasar bebas merek memegang peranan yang sangat
penting yang memerlukan sistem pengaturan yang lebih memadai. Era perdagangan global
hanya dapat dipertahankan jika terdapat iklim persaingan usaha yang sehat. Salah satu bagian
Hak Kekayaan Intelektual yang harus diatur dan dilindungi yaitu merek. Kebutuhan adanya
perlindungan hukum atas merek semakin berkembang dengan pesat setelah banyaknya
kejadian orang yang melakukan peniruan-peniruan. Perlindungan merek sebenarnya sudah
diatur dalam Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek, namun faktanya masih
banyak yang belum terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual sehingga
belum mendapat perlindungan hukum.
Timbul permasalahan hukum bagaimana perlindungan hukum terhadap merek
dagang asing di Indonesia menurut Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek,
Pelaksanaan prinsip First to File dalam penyelesaian sengketa merek dagang asing dalam
peradilan di Indonesia dan Penyelesaian sengketa dalam hal merek dagang asing tersebut
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terdaftar di
Indonesia.Untuk mengetahui jawaban dari permasalahan, dilakukan penelitian hukum
Yuridis Normatif.
Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa Pendaftaran merek yang
dilakukan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual bertujuan untuk memperoleh
kepastian hukum dan perlindungan hukum terhadap hak atas merek sesuai Undang-Undang
No. 15 Tahun 2001. Pendaftaran merek dengan menggunakan sistem konstitutif (first to file)
lebih menjamin adanya kepastian hukum bagi pemegang hak atas merek karena pendaftar
merek diberikan sebuah sertifikat sebagai tanda bukti pendaftaran dan bukti atas hak merek,
sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari merek tersebut. Penyelesaian Sengketa
Merek Dagang Asing yang mempunyai Persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan Merek Terdaftar dapat dilakukan secara Perdata, Pidana dan Administratif/
Administrasi Negara. Dilihat dari perlindungan hukumnya maka sehubungan dengan perkara
merek yang ada, perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pemilik merek tedaftar
adalah mengajukan gugatan pembatalan merek mengingat berdasarkan sistem konstitutif
yang dianut oleh Undang-Undang Merek Indonesia yaitu perlindungan hukum diberikan
kepada pendaftar merek yang pertama.
Sehubungan dengan hal tersebut, diharapkan agar proses pendaftaran merek
dipermudah dan dipersingkat, serta dilakukan perbaikan sistim data dan publikasi pada Dirjen
HKI agar pelaku usaha tidak akan ragu lagi untuk mendaftarkan mereknya. Untuk lebih
memberikan perlindungan hukum terhadap pemegang merek dagang asing diperlukan
kerjasama yang harmonis antara pemerintah dengan disertai peraturan perundang-undangan
yang memadai, aparat pemeriksa merek (Dirjen HKI), aparat penegak hukum, masyarakat
luas dengan informasi adanya pelanggaran merek serta pengusaha yang akan menggunakan
suatu merek tertentu bagi produknya. Sehingga pada prakteknya, sistem pendaftaran First to
File dapat berjalan efektif menciptakan keselerasan jaminan keadilan dan kemanfaatan,
karena masih banyak merek-merek yang didaftarkan bukan oleh pemilik merek yang
sebenarnya.
In the era of global trade and free markets, brand plays a very important role that
require a more adequate setting system. The era of global trade can only be able to defend if
there is a healthy business competition climate. One of the parts of Intellectual Property
Rights which must be regulated and protected is brand (trademark). The need for legal
protection on brand has increasingly rapidly developed after there have been many
imitations done by people at large. Actually, brand protection has been regulated in Law
No.15/2001 on Brand, but, in fact, there are still many brands (trademarks) which have not
been registered at the Office of Directorate General of Intellectual Property Rights that they
have not received any legal protection.
The legal problems occured were what legal protection was provided for foreign
trademark according to Law No.15/2001 on Brand, therefore, the purpose of this normative
juridical study was to answer the questions of how the principle of First to File was
implemented in the settlement of foreign trademark dispute in the Indonesian court of law,
and whether or not the settlement of trademark dispute was principally or wholly similar
between the settlement of foreign trademark and the trademark registered in Indonesia.
The result of this study showed that, the registration of trademark done by the
Directorate General of Intellectual Property Rights was intended to obtained legal certainty
and legal protection for the right to trademark in accordance with Law No.15/2001. The
registration of trademark through constitutive system (First to File) more guarantees the
existence of legal certainty for the holder of right to trademark because the one who
registered the trademark was given a certificate as a proof of registration and a proof of
right to trademark, and at the same time, the registrant is regarded as the first user of the
trademark. The settlement of dispute on Foreign Trademark which is principally or wholly
similar to the registered trademark can be carried out based on the civil, criminal and
administrative approach. In terms of legal protection, in relation to the existing cases of
trademark, legal protection that can be given to the owner of the registered trademark is to
file a lawsuit on the cancellation of brand (trademark) considering the constitutive system
followed by the Indonesian Law on Brand (Trademark) saying that legal protection is given
to the first registrant of trademark.
It is expected that the process of trademark registration can be simplified and
shortened and the data system and publication of the Directorate General of Intellectual
Property Rights should be improved that the business practitioners will be not in doubt to
register their trademarks. To give more legal protection to the holders of foreign trademarks,
harmonious cooperation is needed between the government accompanied with adequate
regulations of legislation, brand (trademark) inspection apparatuses (the Directorate
General of Intellectual Property Rights), law enforcement officers, community members at
large in announcing the information about violation brands and entrepreneurs who will use a
particular brand for their products. That, in practice, the First to File registration system can
be effectively run and create the alignment of guarantees justice and expediency, because
there many brands (trademarks) registered not by their actual owners.
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
perdagangan Internasional secara cepat dan menyeluruh telah menjadi salah satu
Mobilisasi barang dan jasa yang berskala antar negara memerlukan standarisasi dan
Dalam era perdagangan bebas, arus masuknya barang dari luar negeri ke
wilayah pabean Indonesia tidak dapat dihindari. Oleh karena banyaknya barang yang
menggunakan merek dagang asing yang beredar di Indonesia maka merek dagang
asing harus dapat diidentifikasi.1 Pendaftaran dari sebuah merek yang digunakan
untuk mengidentifikasi barang-barang dan jasa yang diproduksi atau didistribusi oleh
untuk mengunakan secara eksklusif merek dan perusahaan tersebut memiliki hak
1
Julius Rizaldi, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan
Curang, (Bandung: PT. Alumni, 2009), hal.3.
untuk mencegah penggunaan merek yang tidak sah. Membangun hubungan antara
produk dan usaha menciptakan reputasi yang bernilai atau nama baik (good will),
perlindungan bagi berbagai produk intelektual dari upaya pelanggaran hak atas
produk yang dihasilkan baik oleh individu maupun suatu korporasi dalam bidang
industri dan perdagangan dalam upaya menjaga pelanggaran hak atas keaslian karya
cipta yang menyangkut Hak Cipta, Hak-hak yang berkaitan dengan hak cipta, Merek,
Perlindungan Variates Tanaman dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Undang-
undang tersebut dimaksudkan untuk memberikan rasa aman bagi kalangan industri
dan perdagangan, namun hingga saat ini berbagai masalah di bidang Hak Kekayaan
Ada dua alasan mengapa HKI perlu dilindungi oleh hukum. Pertama, alasan
non ekonomis dan kedua alasan ekonomis. Alasan yang bersifat non ekonomis
karya-karya intelektual tersebut untuk terus melakukan kreativitas intelektual. Hal ini
2
Tim Lindsey, Eddy damian, dkk, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung:
Asian Law Group Pty Ltd dan PT. Alumni, 2002), hal. 132.
akan meningkatkan self actualization pada diri manusia.3 Bagi masyarakat hal ini
alasan yang bersifat ekonomis adalah dengan melindungi mereka yang melahirkan
manusia yang terdiri dari karya-karya di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni, sehingga dapat dibagi menjadi: Hak Cipta, Merek, Paten, Perlindungan Variates
Tanaman, Desain Industri, Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.
undangan telah distandarisasi dan berfungsi sebagai pranata yang mengatur dan
berfungsi sebagai a tool of social engineering4 yaitu sebagai alat pembaharuan dalam
masyarakat, dalam istilah ini hukum diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai
3
Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 23.
4
Retnowulan Sutanto, Perjanjian menurut Hukum Indonesia, (Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2003), hal.35.
persaingan yang cukup berat, ditunjukkan oleh tingkat pemanfaatan kapasitas barang-
barang produk nasional yang rendah dan perebutan pasar yang tidak sehat, tidak
simpatik, serta tidak mengindahkan nilai-nilai etis dalam perdagangan. Keadaan ini
sering kali bukan hanya merugikan para pedagang atau produsen, tetapi juga
merugikan masyarakat luas khususnya konsumen. Merek sebagai salah satu wujud
terjadinya persaingan tidak sehat, begitu pentingnya peran suatu merek dapat dilihat
Dengan merek, produk barang atau jasa sejenis dapat dibedakan asal muasalnya,
kualitasnya serta keterjaminan bahwa produk itu original. Kadangkala yang
membuat harga suatu produk menjadi mahal bukan produknya, tetapi mereknya.
Merek adalah sesuatu yang ditempelkan atau dilekatkan pada satu produk, tetapi
ia bukan produk itu sendiri. Seringkali setelah barang dibeli, mereknya tak dapat
dinikmati oleh si pembeli. Merek mungkin hanya menimbulkan kepuasan saja
bagi pembeli. Benda materiilnya yang dapat dinikmati. Merek itu sendiri ternyata
hanya benda immateril yang tak dapat memberikan apapun secara fisik. Inilah
yang membuktikan bahwa merek itu merupakan hak kekayaan immateril.5
Pengaturan Merek di Indonesia untuk pertama kali dapat dijumpai dalam
khalayak ramai dilindungi terhadap tiruan barang-barang yang memakai suatu merek
yang sudah dikenalnya sebagai merek barang-barang yang bermutu baik. 6 Seiring
5
Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
hal. 329-330.
6
C.S. T. Kansil, Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta, (Jakarta:
Sinar Grafika), hal. 145.
karena Perlindungan hukum bagi merek terkenal belum di atur di dalam Undang-
Tahun 2001 serta Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 03-HC-
02.01 Tahun 1991 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal atau
Merek yang mirip Terkenal Milik Orang lain atau Badan lain.
Merek adalah suatu tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf,
angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki
daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.7 Dari
pengertian tersebut secara umum diartikan bahwa merek adalah suatu tanda untuk
sekelompok orang atau badan hukum yang memiliki daya pembeda yang digunakan
dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa, sehingga tanda tersebut mampu
yaitu merek dagang, merek jasa dan merek kolektif. Merek dagang adalah tanda yang
barang sejenis lainnya, merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang
7
Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, UU Nomor 15 Tahun 2001, Pasal 1 butir(1).
8
Suyud Margono, Longginus Hadi, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, (Jakarta: CV.
Novindo Pustaka Mandiri, 2002), hal. 27.
kolektif adalah merek yang digunakan pada barang dan atau jasa dengan karakteristik
yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara
bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya (Lihat
memperoleh hak atas merek, maka pemilik merek harus mendaftarkan mereknya
penggunaan merek tertentu atau untuk memberikan izin kepada pihak lain untuk
Tahun 2001 mengenai merek, yang tidak dapat didaftarkan bilamana mengandung
9
Indirani Waudan, Tinjauan Yuridis Mengenai Peniruan Merek, (Salatiga: FH-UKSW,
2006), 25.
persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah terkenal milik
orang lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan atau jasa yang
sejenis maupun yang tidak sejenis (pasal 6 ayat 1 dan 2). Sedangkan pengertian suatu
merek mempunyai persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan oleh
adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan merek yang lain, yang
Ada dua sistem yang dikenal dalam pendaftaran merek, yaitu sistem deklaratif
(first to use) dan sistem konstitutif (first to file). Undang-undang merek Tahun 2001
yaitu UU No. 19 Tahun 1992, dan UU No. 14 Tahun 1997. Hal ini merupakan
Dalam sistem deklaratif, titik berat diletakkan pada pemakai pertama (first to
use). Siapa yang memakai pertama suatu merek, dialah yang dianggap berhak
memberikan suatu prasangka menurut hukum, dugaan hukum bahwa orang pertama
mendaftar adalah si pemakai pertama dengan konskuensi dia adalah pemilik merek
pendaftaran merek bukan merupakan suatu keharusan, jadi tidak ada kewajiban untuk
Menurut Saidin, dalam sistem deklaratif orang yang berhak atas merek
bukanlah orang yang secara formal saja terdaftar mereknya, tetapi haruslah orang
yang sungguh-sungguh menggunakan atau memakai merek tersebut. Orang-
orang yang sungguh-sungguh memakai dan menggunakan merek tersebut tidak
dapat dihentikan pemakaiannya oleh orang lain dengan begitu saja, meskipun
orang yang disebut terakhir ini mendaftarkan mereknya. Dalam sistem deklaratif
orang yang tidak mendaftarkan mereknya pun tetap dilindungi. Sehingga
kelemahan dari sistem deklaratif ini adalah, tidak adanya jaminan kepastian
hukum.12
Pada sistem konstitutif hak atas merek diperoleh melalui pendaftaran, artinya
hak eksklusif atas suatu merek diberikan karena adanya pendaftaran, sehingga dapat
dikatakan bahwa pendaftaran merek adalah hal mutlak, karena merek yang tidak di
konstitutif, prinsip penerimaan merek adalah first to file13, artinya siapapun yang
dengan merek tersebut, sebab pendaftar inilah yang secara riil menggunakan barang
11
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata I, Himpunan Keputusan Merek Dagang,
(Bandung: PT. Alumni, 1997), hal. 33.
12
Saidin, Op.cit, hal. 337-338.
13
Cita Citrawinda Priapantja, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, (Bogor: Biro Oktroi
Rooseno, 2000), hal. 1.
tersebut. Hal-hal seperti ini lah yang menjadi permasalahan utama dalam sistem
pendaftaran konstitutif.
Bentrokan antara keadilan dan kepastian hukum terjadi pada sistem konstitutif
pendaftaran merek. Dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum, ada hak-
hak perseorangan yang tidak terpenuhi. Penggunaan merek milik orang lain banyak
dilakukan orang atau badan hukum, mereka menggunakan merek tersebut tanpa ijin
pemiliknya, hal ini tentu akan merugikan pemilik merek yang terdaftar. Biasanya
merek yang digunakan secara melawan hukum ini adalah merek dagang asing.
dagang asing didasarkan pertimbangan bahwa peniruan merek dagang asing atau
terkenal milik orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, karena mencari
ketenaran merek orang lain, sehingga seharusnya merek tersebut tidak mendapatkan
Asas umum yang berlaku dalam rangka perlindungan HKI pada hakikatnya
adalah asas teritorial. Namun, dengan adanya Perjanjian TRIPS, berkembang satu
mengesampingkan rezim hukum yang telah lebih dahulu ada yaitu hukum nasional.
Antara kedua rezim hukum tersebut sangat dibutuhkan suatu kerja sama. Rezim
dalam hukum nasional. Sebaliknya, rezim hukum nasional tentang HKI juga harus
tujuannya untuk keseragaman pengaturan tentang HKI dalam rangka kebebasan lalu
Hal tersebut di atas pernah menjadi dasar putusan Hakim pada kasus
Niaga/Medan, dimana merek dagang asing tersebut telah digunakan secara komersial
TALK Pte,Ltd) untuk membuka outlet di Indonesia maka pada tanggal 24 April 2008
mendaftarkan merek TOAST BOX dan logo pada Direktorat Merek Direktorat
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Merek TOAST BOX oleh Tergugat (Frangky Chandra) pada tanggal 16 Januari 2007
yang dianggap memiliki itikad tidak baik/buruk karena telah menjiplak/meniru merek
apabila terjadi suatu sengketa terhadap suatu merek terdaftar, maka gugatan
pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Direktorat Jenderal Hak
14
Titon Slamet Kurnia, Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia Pasca
Perjanjian TRIPs (Bandung: PT. Alumni, 2011), hal. 16.
15
Indonesia, Undang-Undang tentang Merek,, Op.cit, Pasal 68 ayat (3), Pasal 76 ayat (2).
Kekayaan Intelektual dengan mencoret merek yang bersangkutan dari Daftar Umum
perdagangan barang yang menggunakan merek yang tidak terdaftar. Namun sesuai
dengan prinsip perlindungan Merek yang bersifat Konstitutif yang dianut oleh
Undang-undang No. 15 tahun 2001, merek dagang yang tidak terdaftar tersebut tidak
era globalisasi ini, ikut pula mendorong meningkatnya merek dagang asing yang
aturan hukum yang tegas dan efektif untuk memberikan kepastian hukum di dalam
perlindungan atas merek dagang asing tersebut. Oleh karena itulah, perlu dikaji
B. Perumusan Masalah
terdaftar di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
asing di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut
2. Secara Praktis
pemalsuan terhadap hak merek yang telah terdaftar dalam kaitannya dengan
E. Keaslian Penelitian
sudah ada atau sedang dilakukan dilingkungan akademis Sekolah Pasca Sarjana
merek dagang asing di Pengadilan (Studi Kasus tentang gugatan pencabutan hak
Niaga/Medan) , belum pernah diteliti oleh peneliti lain. Akan tetapi penelitian
tentang permasalahan HKI, khususnya di bidang merek telah pernah ada dilakukan
oleh:
USU tahun 2003, dengan judul: Penggunaan Merek Dagang Tidak Terdaftar
dan Malaysia?
USU tahun 2004, dengan judul: Aspek Hukum Perjanjian Lisensi Merek
Dagang
merek dagang?
4. Made Diah Sekar Mayang Sari, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program
Intelektual
Kekayaan Intelektual?
terkenal di Indonesia?
5. RR. Putri Ayu Priamsari, mahasiswa Magister Ilmu Hukum Program Pasca
beritikad buruk ?
1. Kerangka Teori
Teori adalah merupakan suatu prinsip ajaran pokok yang dianut untuk
mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia, salah satu arti teori adalah pendapat, cara-cara dan aturan-aturan
dihubungkan secara logis satu dengan yang lainnya dengan tata dasar yang
penjelasan fenomena.18
permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah teori kepastian hukum.
16
Roony H. Semitro, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Ghali, 1982), hal. 37.
17
M. Soly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Cetakan ke I (Bandung : Mandar Maju, 1994),
hal. 27.
18
Snelbecker dan Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1993), hal. 34-35.
19
Ibid, hal. 80.
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau
tidak boleh dilakukan dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari
itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibenarkan atau dilakukan
hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya
kepastian hukum, dan ketat mentaati peraturan hukum maka akibatnya akan
kaku serta menimbulkan rasa tidak adil. Apapun yang terjadi peraturannya
Undang itu sering terasa kejam, apabila dilaksanakan secara ketat, lex dura,
20
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Kencana Pranada Media
Goup,2008), hal.158.
21
Ibid, hal. 159.
bunyinya).22
dari unsur kepastian hukum. Hal yang dipertimbangkan cukup relevan dengan
penelitian dalam tesis ini dikarenakan Pemilik Hak atas Merek Dagang Asing
tersebut.
22
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Penghantar (Yogyakarta: Liberty, 1988) ,
hal. 136.
d. Risk Theory, berupa resiko yang terkandung pada setiap karya yang
2. Konsepsi
Konsepsi merupakan bagian terpenting dari pada teori. Peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan dua teori dengan observasi, antara abstraksi
dan realitas.24 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, konsepsi yang
diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu yang abstrak menjadi sesuatu yang
untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (du bius) dari
Kerangka Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum di samping yang
lain-lain, seperti asas dan standar. Oleh karena itu kebutuhan untuk membentuk
23
Ranti Fauza Mayana, Perlindungan Desain Industri di Indonesia (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2004), hal. 44.
24
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei (Jakarta: LP3ES, 1989),
hal. 34.
25
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para
Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia (Jakarta: Institut Bankir Indonesia,1993), hal. 10.
konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan pentingnya dalam hukum.
Konsep merupakan suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu
proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analitis.26 Kerangka
tentang makna dan definisi konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini,
sebagai berikut:
1. Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-
atau jasa.
berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for the Protection
26
Satjipto Raharjo I, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 37.
27
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995) , hal. 7.
negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota
salah satu dari kedua perjanjian itu selama pengajuan tersebut dilakukan
dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention for
4. Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada
pemilik Merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu
masalah Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI) seperti sengketa merek, paten,
yang terdiri dari tiga standar perlindungan yang berlaku umum terhadap suatu
28
Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, Op.cit, Pasal 3.
29
(Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan selanjutnya
dibentuk 4 (empat) Pengadilan Niaga, yaitu Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Ujung
Pandang (Makasar), Pengadilan Niaga Semarang, dan Pengadilan Niaga Surabaya. Khusus wilayah
hukum Pengadilan Niaga Medan meliputi wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat,
Bengkulu, Jambi dan Propinsi Nangro Aceh Darusallam.) Indonesia, Keputusan Presiden RI Nomor 97
Tahun 1999.
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
normatif, karena objek dalam penelitian ini adalah norma-norma hukum tertulis.
2. Sumber Data
Data dalam Penelitian ini diperoleh dengan cara studi dokumen yang
tersebut, meliputi:
a. Bahan hukum primer yaitu merupakan bahan hukum yang mengikat, terdiri
baru tentang fakta yang diketahui mengenai suatu gagasan (ide) seperti:
30
H. D. Effendy Hasibuan, Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan
Indonesia dan Amerika Serikat (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003),
hal. 22.
31
Ibid, hal. 22.
Sedangkan dalam Penelitian ini bahan hukum primer antara lain: Undang-
yang meliputi buku-buku hasil karya para sarjana, hasil penelitian dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder berupa
bahan pustaka seperti surat kabar, majalah, kamus hukum dan kamus lainnya
bahan bagi penulisan tesis ini, sepanjang memuat informasi yang relevan
Tehnik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara studi
penelaahan bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum
Pengadilan Niaga, serta sumber hukum lain yang berkaitan dengan materi penelitian.
Data dalam penelitian ini diperoleh dengan cara studi dokumen yang
penelitian. Studi dokumen atau dapat juga dikatakan sebagai studi literatur/ riset
pustaka, apa yang menurut Soejono Soekanto dalam bukunya sebagai ..any
characteristics of massages.33
4. Analisis Data
dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan
dapat dirumuskan hipotesa kerja seperti yang disarankan data.34 Analisis data
32
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek (Jakarta: Sinar Grafika , 1996), hal. 14.
33
M. Hafidullah, Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta Pada Karya Cipta Source Code Piranti Lunak Komputer (Yogyakarta:
Laporan Penelitian Lembaga Kajian Hukum Teknologi, 2005), hal. 4.
34
Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993),
hal. 103.
35
Ibid, hal. 103.
5. Penarikan Kesimpulan
Pada tahap akhir akan ditemukan hukum secara konkret, sehingga penarikan
pengambilan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada yang bersifat
khusus.
BAB II
A. Konvensi-Konvensi Internasional
1. Konvensi Paris
tahun 1883 dengan ditanda-tanganinya The Paris Convention for the Protection of
Industrial Property (selanjutnya disebut konvensi Paris) yang merupakan salah satu
oleh 11 negara peserta, kemudian bertambah hingga tahun 1976 berjumlah 82 negara,
meliputi: paten, utility model, industrial design, trademarks, service marks, trade
Salah satu tujuan Konvensi Paris adalah untuk mencapai unifikasi di bidang
macam hukum tentang merek atau cap dagang yang dapat mengatur soal-soal merek
secara seragam di seluruh dunia. Ada 3 (tiga) hal penting yang diatur dalam Konvensi
Paris ini, yaitu national treatment, yang artinya bahwa setiap warga negara peserta
26
Konvensi Paris bisa mengklaim negara peserta lainnya, agar ia diperlakukan sama
dengan warga negaranya sendiri, dalam hal pemberian perlindungan merek, Priority
rights, yaitu hak-hak prioritas yang diberikan keapda setiap warga negara peserta
terhitung sejak tanggal pendaftaran mereknya di negara peserta konvensi Paris, dan
2. Perjanjian Madrid
(Madrid Agreement) tahun 1891 yang direvisi di Stockholm pada tahun 1967. Pasal
perjanjian hak merek dagang melalui pendaftaran merek dagang Internasional, yang
atau lebih pendaftaran pada Negara Protocol dimana Pemohon tinggal, berbisnis atau
Negara tersebut. Kantor Merek akan memeriksa detail dari permohonan internasional
36
Dwi Rezeki Sri Astarini, Penghapusan Merek Terdaftar, (Bandung: PT. Alumni, 2009),
hal. 62.
Negara asal dan atau Pemohon, dan memberikan waktu untuk perbaikan. Apabila
tidak ada ketidaksesuaian atau perbaikan sudah dilakukan maka IB akan mendaftar
mempublikasikan pendaftaran pada Berita Resmi WIPO atas merek internasional dan
masing-masing.
Apabila ada keberatan atau oposisi maka Negara tujuan akan memberi tahu IB
diteruskan dengan melalui bantuan agen merek lokal. Berdasarkan Madrid Protocol,
Kantor Merek harus mengeluarkan penolakan dalam jangka waktu 12 bulan dengan
pilihan perpanjangan 6 bulan. Apabila tidak ada penolakan dalam 12 atau 18 bulan
untuk lebih dari 3 kelas adalah US$ 497 untuk merek hitam putih dan US$699 untuk
merek berwarna. Biaya tambahan untuk masing-masing Negara tujuan adalah US$ 55
kecuali Negara tujuan menentukan biaya sendiri yang tentunya tidak boleh melebihi
biaya pendaftaran langsung ke Negara tersebut. Untuk kelas barang dan jasa yang
didaftarkan lebih dari 3 maka masing-masing kelas lebihnya akan dikenakan US$ 55.
pemberitahuan asal barang secara palsu. Indonesia sendiri sampai saat ini belum
international akan lebih hemat. Hal ini menimbulkan harapan bahwa merek-merek
nasional akan dapat mudah masuk ke pasar internasional. Namun harus disadari
walaupun biaya pendaftaran merek internasional menjadi lebih murah tetapi merek
merupakan biaya kecil apabila dilihat dari scope untuk orbit ke pasar internasional.
Masih ada besarnya biaya ekspor barang ke luar negeri yang harus dipikirkan, biaya
sangat besar untuk mempertahankan agar merek yang didaftarkan di Negara lain ini
asal. Untuk 5 (lima) tahun pertama mengikuti pada tanggal efektif dari pendaftaran
tergantung pada nasib dari permohonan atau pendaftaran di Negara asal. Misalnya
saja ada pembatasan, penolakan final atau abandonment di Negara asal, atau
pembatalan, pencabutan pada Negara asal dalam jangka waktu 5 tahun, maka akan
memiliki efek yang sama pada pendaftaran internasional dan pada pendaftaran di
pembatalan atau semacamnya pada pendaftaran nasional yang terjadi sesudah masa 5
peran dari pihak ketiga). Pendaftaran baru bebas dari kutukan ini apabila telah
permohonan individual yang harus diajukan dalam jangka waktu 3 bulan dari
ini maka akan merugikan pemilik merek apabila pendaftaran merek di Negara asal
menyatakan bahwa semua pendaftaran HKI harus melalui Konsultan HKI akan
langsung ke Kantor Merek melalui IB. Tentunya Konsultan HKI akan kehilangan
meratifikasi Madrid Protocol sudah cukup banyak yakni lebih dari 80 negara.
Termasuk juga hilangnya pemasukan dari service renewal. Apabila dikatakan bahwa
Konsultan HKI akan mendapatkan kenaikan melalui proses litigasi belum tentu dapat
terbukti benar mengingat sejauh ini penolakan terhadap merek tidak terlalu banyak
statistic 2001, 2002, 2003 dimana total penolakan adalah sebesar 10% dari
merek menjadi turun. Karena apabila aplikasi tetap jumlahnya, biaya juga tidak lebih
merek menjadi jauh lebih banyak karena harus langsung berkorespondensi dan
merespons secara lebih cepat kepada IB. Hal ini akan meyebabkan Kerugian bagi
Pemerintah, karena dengan pendapatan yang berkurang pada Konsultan HKI akan
3. TRIPs- WTO
putaran uruguay yang dimulai pada tahun 1986. Tujuan utamanya adalah untuk
menciptakan sistem perdagangan Internasional yang lebih bebas dan adil dengan
satu topik yang dibahas dalam putaran Uruguay adalah TRIPs (Agreement on Trade
Related Aspects of Intellectual Propertu Rights) atau aspek dagang yang terkait
dengan HKI.38 Sebagai salah satu bagian persetujuan pembentukan WTO, TRIPs
37
Belinda Rosalina, Madrid Protocol: Untung dan Ruginya Meratifikasi, (Jakarta:
Universitas Indonesia, 2008), hal. 3.
38
Normin Pakpahan, Pengaruh Perjanjian WTO dan Pembentukan Hukum Nasional, (Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 3, 1998), hal. 41-42.
perangkat kerja hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak kekayaan intelektual,
intelektual. Untuk itu, Indonesia beberapa kali mengubah, menambah dan melengkapi
TRIPs cukup banyak yang telah diadopsi dalam Undang-Undang Merek Indonesia,
merek. TRIPs berguna sebagai suatu kesempatan positif bagi suatu negara untuk
penggunaan nama maupun domain name atas suatu merek yang telah terkenal
secara efektif untuk mencegah segala bentuk pelanggaran yang berupa penjiplakan,
penggunaan nama yang sama, pencatutan nama, atau domain name atas suatu merek.
kepada khalayak ramai agar dapat dinikmati karena merek merupakan karya atas olah
Perlindungan terhadap merek asing atau luar bagi pemegang merek tersebut
sangatlah menentukan bagi perkembangan dan kemajuan dari industri yang ditekuni
dan dijalaninya agar merek yang dimilikinya tidak disalahgunakan oleh orang-orang
yang tidak mempunyai itikad baik dalam menggunakan mereknya untuk mengelabui
untuk meningkatkan daya jual ke pasaran dengan menggandeng ketenaran dari merek
Hanya dengan melihat dan memotret produk tesebut kemudian membuatnya kembali
produk tersebut dan didaftarkan. Cara seperti ini secara tidak langsung yang dimana
produk buatan seseorang tadi yang seharusnya miliknya dapat dengan mudah ditiru
Pelanggaran atas merek tidak hanya pada UKM saja, perusahaan yang telah
tenar dan mereknya yang sudah dikenal khalayak ramai tidak luput dari pihak yang
perusahaan tersebut. Dengan membuat nama mirip atau dari pengucapan yang serupa
walaupun pada dasarnya berbeda jenis barangnya. Oknum tadi dengan mudah dapat
menimbulkan keragu-raguan pada khalayak ramai terhadap produk yang dipakai oleh
Jika ini hal ini tidak ditindaklanjuti secara serius maka akan terus menyebar
dan orang akan melakukan tindakan seenaknya saja demi mendapatkan keuntungan
yang berlebih. Keadaan ini menjadi tidak kondusif bagi si pemilik merek dan
lambat laun akan menjadi sebuah mesin yang dapat membunuh bagi pemilik
merek, sehingga seorang pemilik merek akan berkurang minatnya dalam berkreasi
di pasaran.
Hakikat dari perlindungan hukum ialah jaminan bahwa jika hak atau suatu
pemulihan atas kerugian yang terjadi serta upaya-upaya hukum dalam rangka
pemulihan tersebut apakah itu secara yudisial atau non-yudisial. Secara konseptual,
diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang di dalam
Nomor 15 Tahun 2001, hak atas merek tercipta karena pendaftaran. Dinyatakan
Hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik Merek yang
terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan
menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain
untuk menggunakannya.
eksklusif atas penggunaan merek tertentu atau untuk memberikan izin kepada
39
Titon Slamet Kurnia, Op.cit, hal. 151-152.
40
Indirani Wauran, Op.cit, hal. 25.
mengenai pendaftaran merek sehubungan dengan asas good faith yaitu Pasal 4
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menentukan bahwa merek tidak dapat
didaftar atas dasar permohonan yang beriktikad tidak baik. Pengertian iktikad tidak
baik dalam pendaftaran merek dapat ditemukan dalam penjelasan Pasal 4 Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 berkenaan dengan kesengajaan yang diketahui dalam
Kaidah ini memiliki kaitan dengan Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 sebagai relative grounds for refusal atas pendaftaran merek jika suatu
merek memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak
lain, termasuk merek terkenal. Namun, kaidah in concreto yang dihasilkan dalam
pokoknya yang operasional untuk dapat diterapkan dalam peristiwa konkret ketika
belum berhasil menetapkan kaidah otoritatif yang dapat mempedomani Kantor Merek
41
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2002), hal. 270-277.
Asas dalam pendaftaran yang sangat penting dalam kaitan dengan asal usul
suatu merek supaya tidak terjadi persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya
dengan merek pihak lain ialah asas kebenaran substantif menyangkut kepemilikan
merek yang didaftarkan. Pengadilan perlu memberikan kontribusi bagi pemecahan isu
Satu pengertian penting dalam kaitan dengan itu ialah bahwa Kantor Merek
harus bertindak hati-hati dan cermat dalam memutuskan untuk menerbitkan Sertifikat
Merek untuk mencegah supaya ketika Sertifikat Merek diterbitkan tidak ada pihak
persamaan pokoknya atau tidak dengan merek terkenal di dalam maupun di luar
yurisdiksi Indonesia.
merek terkenal didasarkan pada pertimbangan bahwa peniruan merek terkenal milik
orang lain pada dasarnya dilandasi itikad tidak baik, terutama untuk mengambil
kesempatan dari ketenaran merek orang lain, sehingga tidak seharusnya mendapat
merek terkenal, selain melalui inisiatif pemilik merek tersebut sebagaimana telah
diatur dalam Pasal 56 ayat (3) UU Nomor 19 Tahun 1992, dapat pula ditempuh
melalui penolakan oleh Kantor Merek terhadap permintaan pendaftaran merek yang
sama pada pokoknya dengan merek terkenal. Perlindungan hukum merek yang
diberikan kepada merek asing atau lokal, terkenal atau tidak terkenal hanya diberikan
secara eksplisit yang memberi kewenangan kepada Kantor Merek untuk atas
terkenal dan hal itu baru terbukti di kemudian hari karena pemegang/pemilik
atas kekuatan putusan pengadilan, bukan inisiatif sendiri, yang lahir karena
proses gugatan yang diajukan oleh pemilik merek yang berhak. Hal ini
putusan badan peradilan yang berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain,
dilakukan setelah adanya putusan yudisial, bukan inisiatif sendiri dari Kantor
42
Titon Slamet Kurnia, Op.cit, hal. 179.
Perjanjian TRIPs (supra Bab II). Perubahan paling mendasar dari Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2001 ialah tentang isu yurisdiksi. Upaya hukum
kaidah:
menetapkan kaidah:
Terkait dengan isu pembatalan merek oleh pengadilan, pemegang hak atas
merek juga berhak atas ganti kerugian. Dasar hukum menyangkut gugatan atas
pelanggaran merek diatur dalam Pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2001 yang meliputi: gugatan ganti rugi dan penghentian semua perbuatan yang
Tahun 2001 tersebut sangat sempit, yaitu hanya sebagai dasar mengajukan gugatan
oleh pemilik merek terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek
yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau
jasa sejenis. Meskipun Pasal 76 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tidak mengatur tentang merek untuk barang atau jasa tidak sejenis maupun merek
terkenal, kaidah dalam pasal tersebut dapat diberlakukan secara analogi terhadap
merek untuk barang atau jasa tidak sejenis maupun untuk merek terkenal.
Merek perusahaan atau merek pabrik (fabrieks merk, factor mark) adalah
merek yang dilekatkan pada barang oleh si pembuatnya (pabrik). Sedangkan
merek perniagaan (handelsmerk, trade mark) adalah merek yang dilekatkan
pada barang oleh pengusaha perniagaan yang mengedarkan barang itu.
4. Prof. R Soekardono, S. H., mengatakan bahwa merek adalah sebuah tanda
(Jawa: ciri atau tengger) dengan nama dipribadikan sebuah barang tertentu, di
mana perlu juga dipribadikan asalnya barang atau menjamin kualitetnya
barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau
barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau
diperdagangkan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain.
5. Mr. Tirtaamidjaya yang mensitir pendapat Prof. Vollmar, mengatakan bahwa
suatu merek pabrik atau merek perniagaan adalah suatu tanda yang
dibubuhkan di atas barang atau di atas bungkusannnya, guna membedakan
barang itu dengan barang barang yang sejenis lainnya.
6. Drs. Iur Soeryatin, mengemukakan rumusannya dengan meninjau merek dari
segi aspek fungsinya dengan mengatakan bahwa suatu merek dipergunakan
untuk membedakan barang yang bersangkutan dari barang sejanis lainnya
oleh karena itu, barang yang bersangkutan dengan diberi merek tadi
mempunyai: tanda asal, nama, jaminan terhadap mutunya.
7. Essel R. Dillavou, mengatakan bahwa No complete definition can be givefor
a trade mark generally it is any sign, symbol mark, work or arrangement of
word in the form of a label adopted and used by a manufacturer of
distributor to designate his particular goods, and which no other person
has the legal right to use it.Originally, the sign or trade mark, indicated
origin, but to day it is used more as an advertising mechanism.
8. Harsono Adisumarto, S. H., MPA, menyatakan bahwa merek adalah tanda
pengenal yang membedakan milik seseorang dengan milik orang lain, seperti
pada pemilikan ternak dengan memberi tanda cap pada punggung sapi yang
kemudian dilepaskan di tempat penggembalaan bersama yang luas. Cap
seperti itu memang merupakan tanda pengenal untuk menunjukkan bahwa
hewan yang bersangkutan adalah milik orang tertentu. Biasanya, untuk
membedakan tanda atau merek digunakan inisial dari nama pemilik sendiri
sebagai tanda pembedaan.
9. Philip S. James MA, sarjana Inggris mengatakan A trade mark is a mark
used in conextion with goods which a trader uses in order to tignity that a
certain type of good are his trade need not be the actual manufacture of
goods, in order to give him the right to use a trade mark, it will suffice if they
marely pass through his hand is the course of trade.
Salah satu prinsip terpenting dari Konvensi Paris adalah tentang persamaan
perlakuan yang mutlak antara orang asing dengan warga negara sendiri. Prinsip
seorang warga negara dari suatu negara peserta UNI, akan memperoleh pengakuan
dan hak-hak yang sama seperti seorang warga negara dimana mereknya didaftarkan.43
Prinsip perlakuan yang sama ini dimaksudkan untuk melindungi merek asing
secara pasti. Berdasarkan Penjelasan pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Merek Nomor
berlaku bagi Pemohon dengan menggunakan Hak Prioritas yaitu merek yang diajukan
oleh pemilik atau yang berhak atas merek yang tidak bertempat tinggal atau
berkedudukan tetap di luar wilayah negara RI.Prinsip perlakuan sama ini tidak hanya
berlaku untuk warga negara perseorangan, tetapi berlaku juga untuk badan-badan
hukum. Seorang asing dilindungi sama dengan warga negara tempat mereknya
didaftarkan, dengan demikian hak dan kewajibannya pun sama. Dalam hal ini tidak
Bila orang asing ingin memperoleh hak merek di Indonesia maka ia harus
mengetahui bagaimana peraturan hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam hal ini
tata cara untuk memudahkan pengurusan merek tersebut, yaitu si orang asing
43
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah Teori dan
Prakteknya di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 129.
memberikan kuasa kepada konsultan merek di negara tempat merek tersebut akan
(telah) didaftarkan. Ketentuan ini tercantum dalam hukum merek Indonesia yaitu
Permintaan pendaftaran merek yang diajukan oleh pemilik atau yang berbuat
atas merek yang bertempat tinggal atau berkedudukan tetap di luar wilayah negara
Kriteria suatu merek terkenal dalam penjelasan Pasal 4 UU Merek 2001, anya
pada prakteknya, untuk membuktikan suatu merek itu terkenal, sering dengan adanya
promosi yang cukup sering dan digunakan secara efektif kadang diikuti dengan
persyaratan bahwa merek itu telah didaftar di berbagai Negara, misalnya minimal 3
Negara.
Kriteria merek terkenal yang dianut di Amerika Serikat diatur dalam pasal 43
(c) (1) Lanhnham Act yang diperbaharui menentukan bahwa untuk menentukan
apakah suatu merek mempunyai sifat daya pembeda dan terkenal, Pengadilan dapat
44
Ridwan Khairandy, Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I, (Pusat Studi Hukum UII
Yogyakarta dan Yayasan Klinik HAKI Jakarta, 2000), hal. 97.
1. Derajat sifat yang tidak terpisahkan atau mempunyai sifat daya pembeda dari
merek tersebut.
2. Jangka waktu dan ruang lingkup pemakaian merek yang berkaitan dengan
3. Jangka waktu dan ruang lingkup dari pengiklanan dan publisitas merek
tersebut.
dipakai.
6. Derajad pengakuan atas merek tersebut dari arena perdagangan dan jaringan
perdagangan dari pemilik merek dan larangan terhadap orang atas pemakaian
7. Sifat umum dan ruang lingkup pemakaian merek yang sama oleh pihak ketiga.
Kriteria yang lebih rinci juga dimiliki Kantor Merek China dalam menentukan
45
Ibid, hal. 98.
mereknya.
Sekarang ini dipandang perlu untuk menegaskan bahwa apa yang dianggap
sebagai merek terkenal bukan hanya membatasi peniruan oleh pihak lain terhadap
pemakaian barang yang sejenis. Tetapi dicakup juga dalam perumusan ini barang-
barang yang tidak sejenis. Dengan lain perkataan, apabila suatu merek dipandang
sebagai merek terkenal, maka tidak dapat dipergunakan merek itu juga untuk barang-
barang yang tidak sejenis. Misalnya, secara konkret merek Sony sudah terkenal
terutama untuk barang-barang elektronik. Merek Sony ini tidak dapat dipakai untuk
misalnya pulpen, potlot dan sebagainya, walaupun tidak termasuk barang sejenis
Karena goodwill dari Sony ini sudah demikian besar karena terkenal di
seluruh dunia, maka tidak wajar jika dipergunakan untuk barang-barang lain. Hal ini
memang merupakan pandangan yang berlainan dari apa yang sudah kita saksikan
selama ini.46
Pasal 6 bis Konvensi Paris tidak memberikan definisi atau kriteria tentang
Tahun 1991 tanggal 2 Mei 1991 tentang penolakan permohonan pendaftaran merek
terkenal atau merek yang mirip merek terkenal milik orang lain atau milik badan lain,
a) Merek dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang
Usaha untuk meraih predikat merek terkenal terhadap suatu produk bukan hal
yang mudah. Pemilik merek membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk
khusus dalam pendaftaran merek terkenal, karena kalau suatu barang sudah terkenal
46
Sudargo Gautama dan R. Winata II, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam
Rangka WTO) 1997, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), 41.
47
Ibid, hal. 57.
dengan merek tertentu maka merek inilah yang dijadikan pegangan untuk
Pasal 6 bis Konvensi Paris versi Stockholm 1967, menentukan bahwa merek
terkenal yang telah dipakai oleh pemakai merek yang beritikad tidak baik, maka
pendaftaran. Dalam pasal 6 bis ayat (3) dinyatakan bahwa tidak ada jangka waktu
yang ditentukan untuk meminta pembatalan daripada merek itu atau larangan untuk
memakai merek terdaftar tersebut jika dipakainya dengan itikad buruk (in bad faith).
memberikan perlindungan secara terbatas kepada pemilik merek terkenal asing yang
tidak terdaftar dan mendorong pemilik merek terkenal asing untuk mendaftarkan
yang diajukan BreadTalk Pte. Ltd, Pengadilan Niaga telah mengabulkan gugatan
tersebut dan menyatakan bahwa BreadTalk Pte. Ltd adalah pemilik satu-satunya
Merek TOAST BOX, karena itu mempunyak hak tunggal untuk memakai merek
dagang TOAST BOX di Indonesia. Pemakaian merek terkenal atau pemakaian merek
mirip dengan merek terkenal milik orang lain secara tidak berhak juga dapat
48
Sudargo Gautama III, Hukum Merek Indonesia, (Bandung: Alumni, 1984), hal. 154.
49
Sudargo Gautama dan R. Winata II, Op.cit, hal. 96.
Saat ini perlindungan terhadap merek terkenal telah diperluas daripada apa
yang ditentukan dalam pasal 6 bis Konvensi Paris. Seperti yang tercantum dalam
persetujuan TRIPs bahwa pembatasan peniruan oleh pihak lain tidak hanya terhadap
pemakaian barang sejenis tetapi juga terhadap pemakaian barang yang tidak
sejenis. Negara anggota dari Paris Union ini menerima secara exofficio, jika
melarang pemakaian daripada suatu merek yang merupakan suatu reproduksi, imitasi
atau penerjemahan yang dapat menimbulkan kekeliruan (to create confusion) dari
suatu merek yang telah dianggap oleh instansi yang berwenang daripada negara
dimana merek ini didaftarkan atau dipakai sebagai merek terkenal (wellknown mark),
di dalam negara itu, yakni sebagai suatu merek dari seorang yang berhak atas fasilitas
menurut Konvensi Paris ini dapat dipakai untuk barang-barang yang sama (identik)
dari adanya kepentingan ekonomi dari merek-merek tersebut yang mana diakui
didalam perjanjian internasional WIPO. Istilah merek terkenal ini ditinjau dari
reputasi (reputation) dan kemahsyuran (renown) suatu merek, yang di mana merek
50
Sudargo Gautama dan R. Winata II, Op.cit,hal. 57.
(familiar attachement) dan ikatan mitos (mythical context) kepada seluruh lapisan
konsumennya.
manca negara yang dimiliki oleh pihak asing tetapi juga merek-merek lokal yang
dimiliki oleh para pengusaha lokal yang dianggap terkenal untuk kalangan tertentu,
atau masyarakat pada umumnya. Kriteria suatu merek terkenal dalam penjelasan
masyarakat mengenai merek atau nama tersebut di bidang usaha yang bersangkutan.
untuk membuktikan suatu merek itu terkenal, sering dengan adanya promosi yang
cukup sering dan digunakan secara efektif kadang diikuti dengan persyaratan bahwa
Selain itu pula secara universal perlindungan terhadap merek terkenal itu
51
Suyud Margono, Op.cit, hal. 30.
image ekslusif dari produknya yang diperoleh melalui pengiklanan atau penjualan
(Dilution Theory) tidak mensyaratkan adanya bukti telah terjadi kekeliruan dalam
komersial atau nilai jual dari merek dengan cara melarang pemakaian yang dapat
mencemarkan nilai ekslusif dari merek atau menodai daya tarik merek terkenal
tersebut.52
yang diderita oleh pemilik merek asli yang mungkin saja bukan kerugian materi
citra atau image yang khas dari merek terkenal tersebut. Passing Off melindungi
kepada adanya suatu pelanggaran dalam bidang hak atas kekayaan intelektual, dalam
hal ini hukum merek. Jadi dalam hal tersebut pelanggaran tersebut belumlah terjadi,
52
Tim Lindsey, Op.cit, hal. 151.
kemasan, kesan atau indikasi lain yang mendorong pembeli meyakini bahwa barang-
barang yang dijual mereka diproduksi oleh orang lain. Jadi passing off mencegah
merek terkenal tersebut lebih mendalam dan detail sehingga hanya memberikan
suatu perlindungan yang bersifat preventif saja dan juga banyaknya pelaku bisnis
curang demi mengeruk suatu keuntungan untuk bisnis yang akan dijalankan olehnya
nanti dengan mendompleng dari merek yang sudah terkenal sehingga secara tidak
si pemilik aslinya.
53
Tim Lindsey, Op.cit, hal. 152.
Istilah merek terkenal ini ditinjau dari reputasi (reputation) dan kemahsyuran
(renown) suatu merek, yang di mana merek terkenal ini mempunyai reputasi tinggi
sebagai merek terkenal, tidaklah hanya terkenal di manca negara yang dimiliki oleh
pihak asing tetapi juga merek-merek lokal yang dimiliki oleh para pengusaha lokal
yang dianggap terkenal untuk kalangan tertentu, atau masyarakat pada umumnya.
BAB III
Indonesia, menganut sistem First to file dalam memberikan hak merek. Berdasarkan
sistem First to file tersebut, pemilik merek, termasuk merek terkenal, harus
mereknya dan perlindungan hukum. Hak eksklusif tidak dapat diperoleh pemilik
merek tersebut di Indonesia. First-to-file system berarti bahwa pihak yang pertama
Hak atas merek adalah hak khusus atau eksklusif yang diberikan negara
kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk
jangka waktu tertentu menggunakan sendiri merek tersebut atau memberi izin
kepada seseorang atau beberapa orang yang secara beramai-ramai atau badan
hukum untuk menggunakannya54
54
H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, (Djambatan. 1985),
hal. 89.
54
19 Tahun 1992 dan UU No. 14 Tahun 1997 yang merupakan perubahan yang sangat
mendasar dalam undang-undang merek di Indonesia yang dari semula telah menganut
Sistem Deklaratif dan dengan sistem ini maka terjadi perubahan dimana sistem ini
memberikan hak atas merek, maksudnya siapa yang pertama kali mendaftarkan
mereknya maka dialah yang berhak terhadap merek tersebut (first to file).55
Sistem pendaftar konstitutif disebut juga first to file principle. Artinya, merek
yang didaftar adalah yang memenuhi syarat dan sebagai yang pertama karena tidak
semua merek dapat didaftarkan. Merek tidak dapat didaftar atas dasar permohonan
yang diajukan oleh pemohon yang beretikad tidak baik. Pemohon beretikad tidak baik
adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara tidak layak dan tidak jujur,
Sistem ini lebih menjamin adanya suatu kepastian hukum karena pemilik atau
pendaftar merek diberikan sebuah sertifikat sebagai tanda bukti pendaftaran dan bukti
hak atas merek yang telah didaftarkan tersebut sekaligus dianggap sebagai pemakai
pertama dari merek yang bersangkutan. Keuntungan dari merek yang terdaftar bila
dibandingkan dengan merek yang tidak didaftarkan apabila terjadi sengketa adalah
merek yang telah terdaftar akan lebih mudah untuk pembuktiannya karena
55
Suyud Margono, Op.cit, hal. 32.
mempunyai bukti otentik berupa sertifikat yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal
HKI dan dengan adanya sertifikat tersebut dianggap sebagai pemakai pertama merek
tersebut sedangkan pada merek yang tidak terdaftar si pemakai akan mengalami
kesulitan untuk membuktikan dirinya sebagai pemakai pertama karena tidak terdapat
memperoleh hak atas merek. Tanpa pendaftaran negara tidak akan memberikan hak
atas merek kepada pemilik merek. Hal ini berarti tanpa mendaftarkan merek,
seseorang tidak akan diberikan perlindungan hukum oleh negara apabila mereknya
ditiru oleh orang lain. Pendaftaran merek yang digunakan di Indonesia sejak Undang-
pertama yang beritikad baik.57 Hal ini juga seperti yang tercantum dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa merek tidak dapat
didaftar oleh pemohon yang tidak beritikad baik. Pasal 1 butir 5 Undang-Undang
56
Ibid, hal. 32.
57
Rachmadi Usman, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, (Bandung: PT. Alumni, 2003) ,
hal. 326.
untuk menentukan dapat atau tidaknya merek yang dimohonkan didaftarkan dalam
Daftar Umum Merek. Pemeriksaan substantif dilakukan dalam jangka waktu paling
permohonan tersebut tidak dapat diterima atau ditolak, maka atas persetujuan
Direktorat Merek, hal tersebut diberitahukan secara tertulis pada pemohon atau
15 Tahun 2001 menyatakan bahwa merek tidak dapat didaftarkan atas itikad tidak
baik, merek juga tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu
moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum, tidak memiliki daya pembeda,
telah menjadi milik umum, dan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang
Tidak seperti halnya dalam sistem deklaratif yang lebih banyak menimbulkan
kesulitan dalam penegakan hukumnya, maka pada sistem konstitutif dengan prinsip
first to file atau dengan doktrin prior in tempore, melior injure, sangat potensial untuk
mengkondisikan:
c) Mewujudkan dugaan hukum siapa pemilik merek yang paling berhak dengan
pertama.58
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah
terdaftar terlebih dahulu untuk barang atau jasa yang sejenis, mempunyai persamaan
pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal.59
2. Merupakan tanda pada barang atau jasa (unsur-unsur gambar, nama, kata,
ketertiban umum;
5. Tidak merupakan keterangan, atau berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimintakan pendaftaran.
dalam waktu 3 (tiga) bulan dengan menempatkan pada papan pengumuman yang
58
Kholis Roisah, Implementasi Perjanjian TRIPs Tentang Perlindungan Hukum Terhadap
Hak Atas Merek Terkenal (Asing) Di Indonesia, (Semarang: Tesis Hukum(UNDIP), 2001) , hal. 66.
59
Ahmadi M. Ramli, Cyber Law dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2004), hal. 11.
khusus dan dapat dengan mudah dilihat oleh masyarakat dalam Berita Resmi Merek
yang diterbitkan secara berkala oleh Direktorat Merek. Hal ini dilakukan untuk
pendaftaran merek dan dapat mencegah pendaftaran merek yang dilakukan oleh
orang yang tidak beritikad baik. Apabila masa pengumuman berakhir dan tidak ada
sanggahan atau keberatan dari pihak lain, Direktorat Merek mendaftarkan merek
tersebut dalam Daftar Umum Merek serta dilanjutkan dengan pemberian sertifikat
merek.
Sertifikat merek merupakan alat bukti bahwa merek telah terdaftar dan juga
putusan ini dapat diajukan banding secara tertulis oleh pemilik merek atau kuasanya
kepada Komisi Banding Merek. Tentang permohonan banding dan Komisi Banding
Merek ini terdapat dalam Pasal 29 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001.
oleh Komisi Banding Merek paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal
ditolak, pemohon dan kuasanya dapat mengajukan gugatan atas putusan penolakan
permohonan banding kepada Pengadilan Niaga dalam waktu paling lambat 3 ( tiga )
Undang Merek 1992 (lihat Pasal 2). Pada sistem konstitutif Undang-Undang Merek
dirugikan akan adanya pengumuman itu dapat mengajukan keberatan. Pihak yang
tersebut.61
diberikan Sertifikat Merek. Sertifikat ini merupakan tanda bukti Hak atas Merek yang
merupakan bukti bahwa pemilik merekdiberi hak khusus oleh negara untuk
menggunakan merek yang telah didaftarkan. Bukti yang demikian tidak dijumpai
pada sistem deklaratif, karena pemilik merek yang mendaftarkan mereknya hanya
diberi surat tanda pendaftaran, bukan sertifikat. Disinilah dapat dilihat jaminan
60
Erna Wahyuni, dan T. Saiful Bahri, Kebijakan dan Manajemen Hukum Merek, (Yogyakarta
: YPAPI, 2004), hal. 96.
61
Gatot Supramono, Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang Undang Nomor 19 Tahun1
992, (Jakarta: Djambatan, 1996), hal. 21.
Merek-merek yang tidak didaftarkan sudah dapat dipastikan pemilik merek yang
Paris dan penanda tangan Perjanjian TRIPS, pemerintah Indonesia sejak 1997 telah
Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI), dalam hal ini Direktorat Merek,
dengan merek terkenal milik pihak lain terutama untuk barang dan/atau jasa sejenis.
Dalam UU Merek yang saat ini berlaku, kewenangan melindungi merek terkenal
tersebut diberikan melalui Pasal 4, Pasal 6 ayat (1) huruf b dan Pasal 6 ayat (2).
Baik Konvensi Paris maupun Perjanjian TRIPS tidak memberi definisi yang
baku mengenai kriteria merek terkenal ini. Masing-masing Negara anggota bebas
62
Ibid, hal. 21.
melalui pengadilan niaga dan oposisi (Pengajuan Keberatan), apabila merek terkenal
unfair competition yang dapat menimbulkan kerugian bagi pihak lainnya. Hal ini
diharapkan akan dapat mencegah atau menekan segala tindakan yang menimbulkan
Unfair competition menurut pasal 10 bis Konvensi Paris, yaitu meliputi segala
bahwa setiap tindakan atau praktek yang bertentangan dengan praktek di dalam
practice).63
undangan yang mengatur secara khusus mengenai unfair competition dalam kaitan
competition saat ini dapat mendasarkan pada ketentuan yang termuat dalam aturan
hukum pidana (criminal provision) dan aturan perdata (civil provision) yaitu :64
2. Pasal 1365 BW
"Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
kerugian tersebut."
63
Zen Umar Purba, Latar Belakang Perubahan UU Tentang Kekayaan Hak Intelektual,
(Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004), hal. 15
64
Ibid, hal. 17.
Gugatan atas kasus unfair competition yang mendasar pada ketiga ketentuan
perkara merek (dalam lingkup Pengadilan Niaga) yang mengandung unsur unfair
competition, para Hakim untuk mengisi kekosongan hukum yang ada dengan
menyatakan bahwa :
"Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek yang
ketertiban umum".
Bertitik tolak dari penjelasan pasal 57 ayat 2 UU Merek No. 19 Tahun 1992 yang
sudah diadopsi menjadi pasal 69 ayat 2 dalam UU Merek No.15 Tahun 2001, dimana
dinyatakan pengajuan gugatan pembatalan tanpa batas waktu, terdiri dari dua
alasan:65
65
M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia
berdasarkan Undang-Undang No. 19 tahun 1992, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 584-
585.
Sulit untuk menentukan definisi yang pasti dan konkret akan pengertian itikad
tidak baik. Dari pendekatan teori dan praktek terdapat pengertian yang sangat
kemasyuran merek orang lain menurut versi pasal 6 bis konvensi paris,
Setiap orang tahu, itikad tidak baik "(bad faith) merupakan lawan kata dari
"itikad baik" (good faith) .Secara umum, jangkauan pengertian itikad tidak baik,
mengabaikan kewajiban hukum untuk mendapat keuntungan. Atau bisa juga diartikan
melakukan perbuatan yang tidak dibenarkan secara sadar untuk mencapai suatu
lain tanpa hak (unauthorized use). Setiap perbuatan Pemalsuan, penyesatan atau
memakai merek orang lain tanpa hak, secara harmonisasi dalam perlindungan merek,
66
Ibid, hal.584-585.
BreadTalk Pte.Ltd selaku penggugat, yang beralamat di 171 Kampong Amat, #05-
03/04, KA Foodlink, Singapura 368330 yang diwakili oleh Mr. Aw Wee Kiat dengan
Tuan Frangky Chandra selaku Tergugat yang bertempat tinggal di Pasar Pelita
RT.002/002, Kampung Pelita, Lubuk baja, Batam, Indonesia, dijelaskan dalam Surat
Gugatan bahwa Pihak BreadTalk telah memiliki perlindungan merek TOAST BOX di
lain, di tahun 2006 membuka outlet pertamanya di Thailand, tahun 2007 membuka
outlet di Malaysia dan Filipina dan juga akan membuka outlet di Indonesia, saat ini
tanggal 24 April 2008 Penggugat telah mendaftarkan merek TOAST BOX dan
TOAST BOX & Logo pada Direktorat Merek Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia untuk:
untuk membuat hasil-hasil roti; roti; roti kecil-kecil; roti kismis; biskuit; kue-
kue; kue kering; gula-gula; donat; adonan terigu untuk membuat berbagai
macam kue; kue pai (manis ataupun asin); wafer; kue bapel (waffle); kopi
buatan; minuman dengan bahan dasar coklat; minuman dengan bahan dasar
kakao; minuman dengan bahan dasar kopi; minuman dengan bahan dasar
selain minyak-minyak sari untuk penyedap rasa dan aroma; minuman dengan
bahan dasar teh; andewi (pengganti kopi); minuman coklat dengan susu;
kokoa; minuman kokoa dengan susu; kopi; kopi yang disangrai; minuman
kopi dengan susu; penyedap rasa dan aroma kopi; sedia-sediaan tumbuh-
tumbuhan untuk digunakan sebagai pengganti kopi; es teh; serbat (es); sorbet
(es); teh.)
pelayanan jasa boga untuk rumah makan; pelayanan jasa boga untuk sedia-
jasa boga untuk sedia-sediaan makanan bagi turis-turis; pelayanan jasa boga
minuman; penyajian makanan dan minuman di food court; kios makanan siap
saji dan rumah makan; pemberian informasi berkaitan dengan rumah makan;
pelayanan rumah makan untuk pemberian makanan siap saji; rumah makan;
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dan telah didaftarkan pada
merupakan pemilik atas merek Toast Box. Penggugat pada tanggal 4 Juni 2008 telah
untuk kelas 43 yang diajukan oleh Joenani pada tanggal 5 Oktober 2006 dengan No.
Agenda D00.2006.033189 yang telah diumumkan dalam Berita Resmi Merek No.
25/III/A/2008, pada tanggal 5 Maret 2008 dan keberatan tersebut telah dikabulkan
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan menolak permohonan
yang diajukan Joenani, hal ini juga membuktikan dan memperkuat bahwa Penggugat
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia pada tanggal 16 Januari 2007 untuk kelas 43 dengan No.
Agenda J002007001306 dengan bentuk dan huruf yang sama dengan merek Toast
Box yang digunakan oleh Penggugat sejak tahun 2005 di Singapura dan telah
Tergugat berdomisili di Batam sangat masuk akal dan tidak mengada-ada bahwa
Tergugat telah melihat dan mengamati merek Toast Box milik Penggugat di
Singapura yang telah mempunyai reputasi yang baik dan menjadi bisnis yang maju di
Singapura dan sekitarnya sehingga tidak diragukan lagi Tergugat dengan itikad tidak
baik/buruk telah menjiplak/ meniru merek Toast Box milik Penggugat dan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dan hal ini jelas
berbunyi: Merek tidak dapat didaftarkan atas dasar permohonan yang diajukan
Penggugat pada tanggal 6 Juli 2010 telah mengajukan sanggahan atas akan
ditolaknya Permohonan Pendaftaran Merek Toast Box untuk kelas 43 yang diajukan
pada tanggal 24 April 2008 dengan No. Agenda J002008014764 karena persamaan
dengan merek Toast Box yang didaftarkan oleh Tergugat. Tetapi hingga saat gugatan
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi
adanya bukti-bukti yang kuat yang dapat mendukung dalil gugatan penggugat bahwa
penggugat merupakan pemilik satu-satunya merek Toast Box dan Tergugat adalah
pemohon merek Toast Box yang beritikad tidak baik/ beritikad buruk. Sehingga
Toast Box Tergugat No. IDM000173048 yang dikeluarkan oleh Direktorat Merek
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia batal demi hukum. Oleh karena Gugatan Penggugat
dikabulkan seluruhnya maka biaya yang timbul dalam perkara ini dibebankan kepada
Tergugat yaitu sebesar Rp 426.000,- (empat ratus dua puluh enam ribu rupiah).
Berkaitan dengan kasus merek Toast Box yang terjadi antara BreadTalk
hukum bagi merek terkenal baik untuk barang yang sejenis maupun bukan.
Pengadilan mendasarkan pandangannya dengan prinsip iktikad baik. Ada niat yang
tidak baik (iktikad buruk) untuk membonceng ketenaran merek orang lain.
Merek Nomor 15 tahun 2001 sebagai dasar hukum. Sehingga dapat dipastikan bahwa
Prinsip penerimaan merek dalam Undang-Undang ini adalah first to file, artinya
siapapun yang mendaftar lebih dahulu akan diterima pendaftaraannya, dalam kasus
Selain kasus tersebut di atas, telah banyak ditemukan kasus mengenai prinsip
first to file antara lain kasus K-Link Sendirian Berhad yang berkedudukan di Kuala
digunakan untuk merek bagi produk kesehatan (kelas barang No. 5) berupa koyo
tempel. Merek dagang KINOTAKARA ini terdaftar di beberapa negara lain seperti
Malaysia, India dan Indonesia sendiri sejak 2001. Namun pada 27 Desember 2002
merek tersebut telah terdaftar di Dir.Jen. HKI atas nama PT Royal Body Care
sama. Kondisi seperti ini sangat merugikan K-Link sebagai pemilik merek
Kedua kasus diatas telah memberi kita pengalaman yang berharga, bahwa
tidak semua pemilik merek yang telah terdaftar merupakan pemilik yang sah atas
merek terdaftar tersebut, banyak dari mereka mendaftarkan merek pihak lain dengan
itikad buruk. Hal ini sangat merugikan pemilik merek beritikad baik yang merupakan
pihak paling berhak atas merek yang telah didaftarkan tersebut. Disisi lain tindakan
hal seperti ini lah yang menjadi permasalahan utama dalam sistem pendaftaran
konstitutif. Bentrokan antara keadilan dan kepastian hukum terjadi pada sistem
ada hak-hak perseorangan yang tidak terpenuhi. Namun, dalam sejarah pengaturan
pilihan sistem yang paling baik, karena dapat mewujudkan kepastian hukum yaitu
pemberian sebuah sertifikat kepada pendaftar merek sebagai tanda bukti pendaftaran
dan bukti atas hak merek, sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari merek
tersebut dan merek yang akan didaftar akan lebih mudah pembuktiannya daripada
merek yang tidak didaftar karena pemakai akan mengalami kesulitan untuk
membuktikan dirinya sebagai pemakai pertama karena tidak terdapat akta-akta dan
surat-surat yang dapat diajukan sebagai bukti otentik dalam pemeriksaan pengadilan.
pendaftaran merek adalah perlunya iktikad baik atau good faith dari pendaftar.
Dengan prinsip ini hanya pendaftar yang beriktikad baiklah yang akan mendapat
Depkumham juga berkewajiban secara aktif untuk menolak suatu pendaftaran merek
bilamana secara nyata ditemukan adanya kemiripan atau peniruan dengan suatu
penerapannya harus memperhatikan pula motivasi dan situasi dari pihak yang
Prinsip-prinsip tersebut antara lain good faith, reciprocity dan right priority.67
secara konsekuen telah menerapkan kerangka hukum yang termuat dalam Paris
Convention, dan Stockholm Act 1967, yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui
Keputusan Presiden Indonesia No. 24 tahun 1979. Untuk itulah badan peradilan di
Indonesia dalam menyelesaikan sengketa bidang merek, baik yang berskala nasional
67
O. C. Kaligis, Teori dan Praktek Hukum Merek Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2008),
hal. 14.
dalam perkara GUCCI, dimana Mahkamah Agung RI secara tegas menerapkan Pasal
6 bis ayat 3 Konvensi Paris, yang mengatur bahwa tuntutan pembatalan merek yang
didaftarkan dengan iktikad tidak baik, tidak terikat tenggang waktu. Selanjutnya,
pertimbangan hukum ini ditindak lanjuti secara nyata oleh pemerintah dalam rangka
HC.0201 Tahun 1991, yang menegaskan bahwa permohonan pendaftaran merek yang
terkenal milik pihak lain, ditolak untuk didaftar dalam daftar umum.
Salah satu prinsip hukum baru dari isi keputusan Menteri tersebut adalah
semakin dipertegas bahwa melalui pendaftaran akan menciptakan suatu hak atas
tidak berhak atas penggunaan merek dari luar negeri dengan jalan tidak menerima
pendaftaran yang dilakukan oleh pemohon merek di Indonesia terhadap merek yang
sudah terkenal di luar negeri. Pada keadaan tertentu ada kalanya pemilik merek luar
mereknya telah didaftar oleh pihak lain untuk produk yang sama.
pemilik merek, yang menyatakan bahwa tidak ada jangka waktu yang ditentukan
untuk meminta pembatalan dari merek yang didaftarkan dengan iktikad tidak baik
(mendaftarkan merek yang telah ada) atau larangan untuk memakai merek terdaftar
yang muncul dalam sengketa, timbul prinsip-prinsip hukum yang dapat diambil yang
permohonan pendaftaran merek terkenal atau merek yang mirip dengan merek
terkenal milik orang lain atau milik badan lain. Peraturan ini dapat dianggap sebagai
penetapan prinsip dari Pasal 4 ayat 1 Konvensi Paris mengenai Principle Right of
Pengertian hak prioritas menurut hukum adalah hak utama untuk dilakukan,
Indonesia, untuk memperoleh filling data pemilik merek yang sama dengan cara
utama pemberian hak priritas kepada pemilik orang asing memperoleh pendaftaran,
yaitu melindungi merek orang asing di Indonesia di Indonesia dari pembajakan atau
pemboncengan.
berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for Protection of
tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian
itu selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
Perlindungan tersebut hanya bisa efektif dengan jalan memberi hak prioritas
kepada pemilik merek orang asing tersebut. Dengan demikian, dalam hal terjadi
persaingan untuk memperoleh pendaftaran antara pemilik merek orang asing dan
pemilik merek domestik mengenai merek orang asing dan pemilik merek domestik
mengenai merek dari jenis barang dan kelas yang sama harus diberi rangka utama
prioritas (Pasal 11 s.d Pasal 12). Dengan demikian, acuan penerapan pendaftaran
Hukum merek suatu negara harus memberi perlindungan yang sama terhadap
68
Ibid, hal. 17.
Menegakkan asas pemberian perlakuan yang sama atas hak prioritas, artinya
permintaan pendaftaran dengan hak prioritas terhadap pemilik merek orang asing
artinya jika pemohon bukan dari negara anggota peserta Konvensi Paris, kantor
Resiprositas.
melalui Keppres No. 15 Tahun 1997 dan Trademark Law Treaty melalui Keppres No.
17 Tahun 1997. Dalam Paris Convention diatur mengenai merek, tetapi hanya sebatas
Banyak perkara yang terkait dengan merek terkenal yang akhirnya merugikan
pihak pemilik merek dari negara asalnya. Sampai saat ini masih dipermasalahkan
tentang definisi apa yang disebut dengan merek terkenal. Tolak ukur yang digunakan
masih belum jelas. Batasan suatu merek sebagai merek terkenal tidaklah terbatas
untuk merek-merek yang dimiliki oleh pihak asing saja, tetapi juga merek-merek
lokal yang dimiliki oleh pengusaha nasional yang berhasil go international. Apakah
suatu merek termasuk sebagai merek terkenal, selain didasarkan pada Pasal 6 bis
Paris Convention, juga didasarkan pada Undang-Undang Merek yang berlaku di suatu
negara atau didasarkan pula pada interpretasi hakim yang mengadili kasus tersebut.
dikelompokkan sebagai merek terkenal. Hal ini akan sangat bergantung pada produk
yang dihasilkan dan digunakan pada umumnya oleh konsumen, atau produk dengan
merek tertentu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari konsumen. Itu sebabnya
pendekatan yang dilakukan untuk menentukan suatu merek terkenal didasarkan pada
suatu Peraturan Pemerintah (PP) tentang merek terkenal. PP ini ditujukan untuk
mengatur tentang batasan definisi merek untuk dapat dikatakan sebagai merek
terkenal agar dicapai kepastian hukum. Dengan demikian, penegak hukum dapat
lebih mudah memilah-milah mana yang dapat disebut sebagai merek terkenal dan
mana yang tidak. Namun, sampai sekarang PP ini belum juga diterbitkan.
Perlindungan hukum atas suatu merek yang dimiliki oleh seseorang perlu
diberikan oleh pemerintah kepada pemilik yang sah secara tepat. Bagi pemegang
penjualan menurun atau bilamana barang yang diproduksi si pemalsu merek tidak
memadai kualitasnya, sehingga pada akhirnya nama baik merek itu akan tercemar.
Begitu juga konsumen akan kehilangan jaminan (kepercayaan atau reputasi) atas
merek terkenal. Kebutuhan akan adanya PP itu bukan saja dapat menjadi bukti
juga sebagai usaha pemerintah untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi pelaku
bisnis.
hukum dalam menafsirkan merek terkenal. Selain itu, hakim Pengadilan Niaga dan
Hakim Agung69 perlu memiliki pengetahuan yang cukup soal merek, sehingga ada
kesamaan dalam membuat putusan (predictability). Hal ini penting karena hakim di
Indonesia tidak terikat kepada keputusan terdahulu (case law), kita tidak menganut
sistem preseden.
daya manusia yang andal adalah suatu keniscayaan yang harus selalu dimiliki oleh
hukum di bidang ekonomi, yang harus senantiasa mendapat perhatian, untuk menjaga
69
Mieke Komar K, Kasus Sengketa Merek Terkenal dan Yurisprudensi Mahkamah Agung
Republik Indonesia (Minahasa Law Centre, 2008), hal. 63.
BAB IV
Hak khusus untuk memakai sesuatu merek tidak dibataskan kepada hak untuk
hak khusus ini juga meliputi semua merek-merek yang sama pada pokoknya dengan
bahwa: Kepada yang berhak atas sesuatu merek diberikan kesempatan untuk
Jakarta tentang pendaftaran merek yang dipandangnya sama pada pokoknya yang
bahwa:
79
Pasal 6 ini jelas tidak menginginkan adanya kekeliruan. Jadi, permohonan yang
dalam praktek akan berlangsung ternyata masih ada yang lolos dan dalam hal
Permasalahan yang timbul mengenai barang atau jasa sejenis dan merek yang
sudah terkenal dalam masyarakat ini yang dapat menimbulkan problema. Persamaan
pada pokoknya ini secara keseluruhan adalah suatu penilaian menurut realita.
Tentunya dalam hal ini apakah ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya tidak
orang yang harus memberikan penilaian. Oleh karena dalam prakteknya disaksikan
bahwa sesungguhnya dalam menghadapi masalah persamaan pokok ini, apakah dapat
menimbulkan kekeliruan dari pihak konsumen atau salah sangka telah membeli
barang yang sudah terkenal padahal merek orang yang membonceng pada ketenaran
disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dan
merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai
bentuk, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi
70
Sudargo Gautama IV, Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001 (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002), hal. 50.
71
Ibid, hal. 51.
keseluruhan dengan Merek terkenal untuk barang dan/atau jasa yang sejenis
reputasi Merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-
besaran investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya, dan
disertai bukti pendaftaran Merek tersebut di beberapa negara. Apabila hal-hal di atas
khalayak ramai, jika dipakai bagi barang-barang yang sejenis, maka dianggap ada
Pemahaman semacam ini tidak akan kita dapatkan hanya dengan membaca
formulasi dari isi pasal, tetapi kita harus menggali makna-makna positif yang berada
dibalik rumusan pasal tersebut. Menurut teori Rechtsvinding yang dimotori oleh Paul
Scholten, bahwa didalam menerapkan suatu hukum tugas hakim tidak sekedar
menerapkan apa yang telah tertulis didalam rumusan undang-undang tetapi juga
72
Indonesia, Undang-Undang tentang Merek, Op.cit, Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf (a) dan (b).
73
Sudargo Gautama III, Op.cit , hal. 84.
Menurut Prof. Abdul Gani (Hakim), Rechtsvinding itu sendiri adalah satu
cara penemuan hukum untuk menentukan makna normatif yang ada dalam rumusan
azas legalitas dalam suatu bentuk undang-undang. selanjutnya, memerlukan ini agar
dapat mencari Ideal Norm (norma ideal) dalam suatu norma hukum yang tertulis
dalam suatu peraturan hukum dengan berbagai instrumen penemuan hukum yang
ada.74
Ketika hakim benar-benar memutus secara kaku sesuai dengan apa yang
tersurat didalam rumusan Pasal maka akan menghasilkan putusan yang tidak adil bagi
kedua pihak. Padahal hukum itu dibuat untuk manusia, sehingga hukumlah yang
harus disesuaikan dengan manusia dan bukan sebaliknya. Teori diatas juga
mengingatkan kita kepada pikiran progresif dari hakim agung Oliver Wendell
Holmes, yang mengatakan bahwa The Life of the law has not been logic, but
experience. Didalam diktum yang kemudian menjadi sangat terkenal itu, Holmes
menolak logika sebagai satu-satunya standart atau ukuran dalam hukum, melainkan
juga pengalaman.75 Hal ini dapat diartikan bahwa alangkah lebih bijaknya jika para
74
Abdul Gani Abdulah, Mahkamah Agung Perlu Reposisi Manajemen, (Jakarta: Buletin
Komisi Yudisial, 2006) , Hal. 52.
75
Satjipto Rahardjo II, Biarkan Hukum Mengalir, ( Jakarta: Kompas, 2007), Hal. 89-90.
sama dalam memutuskan suatu perkara, sehingga diharapkan dapat tercipta kepastian
hukum progresif.
tidaknya persamaan pada pokoknya. Sang Hakim dalam menunaikan tugasnya ini
dan juga kesan yang diberikan oleh merek bersangkutan atas publik atau khalayak
ramai secara sepintas lalu. Tetapi dalam melakukan hal ini, maka kiranya Hakim
harus selalu ingat bahwa para pembeli dari barang-barang bersangkutan tidak seperti
sang Hakim yang harus mengadili perkara ini akan memperoleh kesempatan untuk
pula dilakukan untuk barang/ atau jasa yang tidak sejenis. Dan ditambahkan lagi
sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah ini. Dan apakah yang akan dijadikan sebagai pegangan. Inilah
yang masih merupakan suatu bahan perbedaan paham. Karena di sini mencakup
Dalam Memori Penjelasan Pasal 6 ini mengenai ayat (1) huruf a di nyatakan
bahwa: Yang dimaksud dengan persamaan pada pokoknya adalah kemiripan
yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu
dengan merek yang lain. Unsur-unsur ini dapat menimbulkan kesan adanya
persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau
kombinasi antar unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat
dalam merek-merek tersebut.
Juga adanya, misalnya rekaman suara, inilah yang dapat dijadikan perbedaan
pendapat apakah terjadi kesan persamaan. Dalam memori penjelasan dikatakan lebih
lanjut bahwa persamaan ini terletak di bidang lain, yaitu mengenai cara penempatan
Dapat ditambahkan juga bahwa arti kata yang serupa dalam merek yang
diucapkan atau dilafalkan dalam bahasa asing, dapat juga menimbulkan adanya ciri
persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal, untuk barang
merek tersebut. Di samping itu, diperhatikan pula reputasi merek terkenal yang
negara di dunia yang dilakukan oleh pemiliknya. Kemudian disertai bukti pendaftaran
76
Sudargo Gautama IV, Op.cit, hal. 51.
77
Ibid, hal. 52.
merek tersebut di beberapa negara. Ini yang menunjukkan ciri-ciri merek terkenal.
Apabila hal-hal di atas belum dianggap cukup maka Pengadilan Niaga dapat
penolakan itu.
merek ini sudah terkenal atau belum. Mengenai Pasal 6 ayat (2) huruf c ini dianggap
dalam Memori Penjelasan cukup jelas. Pasal6 ayat (3) huruf a menyatakan apa yang
dimaksud dengan nama badan hukum. Ini adalah nama badan hukum yang digunakan
Dalam Pasal 6 ayat(3) dinyatakan bahwa permohonan juga harus ditolak oleh
terkenal, foto atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain, kecuali atas
persetujuan dari yang berhak. Dengan demikian, kalau memakai merek terkenal,
harus meminta izin dari pihak bersangkutan. Dalam Memori Penjelasan ditegaskan
lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan nama badan hukum yang digunakan
sebagai merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek. Kemudian, huruf b yang
sosial politik.
namun pada prakteknya sering timbul beberapa masalah dalam pemeriksan merek.
Salah satu masalah yang paling menonjol adalah yang berkaitan dengan "persamaan".
Di dalam ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa permohonan merek
harus ditolak oleh Dirjen HKI apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan merek pihak lain yang sudah terdaftar lebih
dulu untuk barang dan atau jasa sejenis. Berikut ini adalah beberapa teori mengenai
persamaan merek dan contoh-contoh merek yang dianggap sama dan tidak sama:78
persamaan yang sesuai dengan doktrin entirentis similar. Dalam hal ini merek
yang diminta untuk didaftarkan merupakan copy atau reproduksi merek orang
lain. Agar suatu dapat disebut copy atau reproduksi dari merek orang lain
78
Amalia Rooseno, Aspek Hukum tentang Merek, (Mahkamah Agung RI dan Pusat pengkajian
Hukum, 2004), hal. 32.
79
Budi Rahardjo, Perlukah Perlindungan HKI Bagi Negara Berkembang, (Mahkamah Agung
RI dan Pusat pengkajian Hukum , 2004), hal. 29.
disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu
dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan
baik dalam bentuk (lukisan atau tulisan), cara penempatan (yaitu unsur-unsur
yang diatur sedemikian rupa sehingga timbul kesan sama dengan merek orang
80
Amalia Rooseno, Op. cit, hal.38.
sejenis. Dari bunyi pasal 6 ayat 1 (a), untuk menentukan ada tidaknya suatu
ditentukan oleh jenis barang dan atau jasanya. Jika barang atau jasa yang
hendak dilindungi oleh suatu merek yang sama dengan merek orang lain
Suatu barang belum tentu dapat dikatakan sejenis dengan barang tertentu
walaupun berada pada kelas yang berbeda, karena keterkaitan yang sangat
erat antara kedua barang tersebut. Sebagai contoh di dalam praktek kantor
Merek, tepung dianggap sejenis dengan mie, karena mie dibuat dari bahan
yang sama dengan tepung. Padahal jika kita menelaah dari tujuan pemakaian
perhiasan, pakaian (garmen), sepatu, tas, dan sebagainya; jika melihat pada
merek tertentu juga memproduksi juga sepatu atau tas dengan merek yang
pada barang atau jasa sejenis, melainkan juga terhadap barang atau jasa
yang tidak sejenis. Jadi perlindungan terhadap merek terkenal mencakup jenis
barang/jasa yang lebih luas. Akan tetapi kriteria apa yang harus dipenuhi
sehingga suatu merek dapat dianggap terkenal. Reputasi yang bagaimana yang
harus diperoleh sehingga merek menjadi terkenal. Hal ini dalam praktek
perundang-undangan.
1. Reputasi merek tersebut tidak harus terbatas pada produk tertentu atau
jenis produk, memiliki kualitas stabil, dari waktu ke waktu dapat
dipertahankan di berbagai negara serta memiliki pendaftaran di beberapa
negara ;
2. Perlindungan diberikan dalam hubungan pemakaian secara umum dan
tidak hanya berhubungan dengan jenis barang-barang dimana merek
tersebut didaftarkan ;
3. Faktor pengetahuan masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha
yang bersangkutan yang dapat diketahui dari adanya promosi yang
dilakukan dengan gencar dan besar-besaran, adanya investasi di beberapa
Negara yang dilakukan oleh pemiliknya, disertai dengan adanya bukti
pendaftaran merek tersebut di beberapa negara.
81
Ibid, hal. 33.
sangat bergantung pada penafsiran dan penilaian yang berbeda dari masing-
BreadTalk Pte. Ltd No: 02/ Merek/ 2011/ PN/ Niaga/ Medan, Majelis Hakim
penggugat (BreadTalk Pte. Ltd) adalah pemilik asli atas merek TOAST BOX
Trade Marks Act untuk kelas 30 dan 43 serta sertifikat yang dikeluarkan oleh
BreadTalk Pte. Ltd. Majelis Hakim menyatakan BreadTalk Pte. Ltd adalah
pemohon merek TOAST BOX yang beritikad tidak baik/ beritikad buruk
dikemukakan bahwa:
Sebagai aturan umum, pada saat pemilik merek dapat membuktikan bahwa
memberi kompensasi kepada pemilik merek atas kerugian yang nyata-nyata diderita
pemilik merek karena adanya pelanggaran merek yang terjadi. Dalam KUH Perdata
Pasal 1365 telah diatur tentang perbuatan melanggar hukum tersebut yaitu:
82
Budi Santoso, Butir-Butir Berserakan Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual, Desain
Industri, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 145.
Dari rumusan yang terdapat pada KUH Perdata dan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2001 dapat diketahui bahwa si penggugat atau si pemilik merek terdaftar
dalam gugatannya dapat meminta adanya ganti kerugian dan penghentian pemakaian
Oleh karenanya ganti kerugian material yaitu kerugian yang nyata dapat
dinilai dengan uang. Misalnya: Akibat dari pemakaian merek oleh pihak
Yaitu tuntutan ganti rugi yang disebabkan karena adanya kerugian secara
moril bagi pihak yang berhak. Misalnya: Mutu dari barang yang palsu
dalam Pasal 76 dapat diajukan oleh penerima lisensi merek terdaftar baik
83
Saidin, Op.cit, hal. 304-305.
84
Ibid, hal.146.
Sehubungan dengan masalah gugatan ganti rugi dalam hal lisensi ini,
merek terdaftar (si pemberi lisensi). Akan tetapi gugatan ganti rugi ini
berbeda dengan gugatan ganti rugi seperti yang telah diuraikan di atas.
Gugatan ganti rugi dalam hal lisensi ini tidak dikategorikan sebagai
dalam KUH Perdata. Dalam hal ini KUH Perdata berfungsi sebagai Lex
bersifat khusus).85
tindak pidana merek dikategorikan sebagai delik aduan karena pada prinsipnya aspek
perdata dalam masalah merek lebih ditonjolkan dibanding aspek pidananya sehingga
dimungkinkan terjadinya proses perdamaian diantara pada pihak dalam hal terjadinya
Selain itu dalam prakteknya selama ini penindakan terhadap pelanggaran hak
atas merek lebih banyak dilakukan setelah adanya pengaduan dari pemilik merek
sehingga selalu dituntut adanya keaktifan dari pemilik merek terdaftar tersebut jika
mereknya dirugikan oleh pihak lain. Penyidikan bila terjadinya tindak pidana merek
dilakukan oleh penyidik POLRI dan dapat dilakukan juga oleh Pejabat Pegawai
Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Direktorat Jenderal HKI sebagaimana diatur dalam
85
Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, (Surabaya: Fakultas
Hukum Universitas Airlangga), hal. 305.
merek tergantung pada siapa pemilik merek terdaftar yang mereknya dilanggar
2001:
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama
pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang
dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau paling banyak Rp
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama
pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau
jasa yang sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
800.000.000.000,- (delapan ratus juta rupiah).
Berdasarkan Pasal 92 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001:
(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang
sama pada keseluruhan dengan indikasi-geografis milik pihak lain untuk
barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang pada
pokoknya dengan indikasigeografis milik pihak lain untuk barang yang
sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.
800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pencatuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil
pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa
baranng tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan
dilindungi berdasarkan indikasi geografis, diberlakukan ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
mereknya, namun yang perlu diperhatikan dengan tegas adalah pada saat
bukti atas hak merek, sekaligus dianggap sebagai pemakai pertama dari
merek tersebut dan merek yang akan didaftar akan lebih mudah
Apabila terjadi pelanggaran terhadap hak milik intelektual dalam hal ini hak
merek, maka negara juga bisa menggunakan kekuasaan untuk melindungi pemilik
barang yang memakai merek dagang secara tidak sah yang dimiliki warga
negara dari negara peserta Konvensi Paris, bisa disita waktu diimpor masuk ke
86
Pipin Syarifin dan Debah Jubaedah, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia,
(Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), hal. 183.
kewenangan:
Barang-barang yang memakai merek yang tanpa hak dapat diduga tidak
yang tanpa hak tersebut juga adalah usaha untuk mengelabui para konsumen.
Tindakan semacam ini adalah merupakan salah satu objek pengawasan dari
badan standard industri yang dalam hal ini dapat mengeluarkan keputusan
yang bersangkutan.
orang lain. Pengawasan periklanan ini bisa juga melarang iklan merek yang
kerugian.87
pembatalan merek dari Daftar Umum Merek yang dilakukan oleh Direktorat
1) Penghapusan Merek
Merek yang telah terdaftar pada Direktorat Jenderal HKI dapat dihapus
(Pasal 61):
b) Merek digunakan untuk jenis barang dan/atau jasa yang tidak sesuai
87
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Op.cit, hal. 148-149.
didaftar.
2) Pembatalan Merek
dan 6. Pembatalan merek terdaftar hanya dapat dilakukan oleh pihak yang
a) Jaksa
Dalam Penyelesaian Sengketa Merek Dagang Asing TOAST BOX No: 02/
Hukum secara:
tanggal 11 Agustus 2008 yang terdaftar atas nama Tergugat dari daftar
umum merek.
b) Perdata, yaitu:
Membebankan biaya perkara yang timbul dalam perkara ini kepada Tergugat
(Frangky Chandra) sebesar Rp 426.000,- (empat ratus dua puluh enam ribu
rupiah).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
perlindungan hukum terhadap hak atas merek. Pendaftaran merek dilakukan pada
Undang No. 15 Tahun 2001. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa pendaftaran merek merupakan hal yang sangat penting dalam rangka
asing dalam peradilan di Indonesia ini lebih menjamin adanya kepastian hukum
pendaftaran dan bukti atas hak merek, sekaligus dianggap sebagai pemakai
pertama dari merek tersebut. Dengan adanya Prinsip First to File ini, merek yang
akan didaftar akan lebih mudah pembuktiannya daripada merek yang tidak
103
sebagai pemakai pertama karena tidak memiliki sertifikat dan surat-surat yang
merek di Indonesia dapat memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi
hukum yang ada maka sehubungan dengan perkara merek yang ada,
perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada pemilik merek tedaftar adalah
B. Saran
panjang. Akan lebih baik, masa pengumuman dipersingkat, tidak perlu sampai
tiga bulan, karena yang paling penting adalah efektifitas dari pengumuman
yang relatif singkat pun, masyarakat luas sudah mengetahui rencana permohonan
substantif juga sebaiknya tidak perlu terlalu lama, sampai 9 bulan. Dengan
perbaikan sistem data yang baik, pemeriksa akan lebih mudah untuk melakukan
menurut Penulis, pelaku usaha tidak akan ragu lagi untuk mendaftarkan
mereknya.
data dilapangan. Akan lebih baik, dalam upaya memberikan perlindungan hukum
merek belum melakukan pendaftaran merek dikarenakan faktor biaya yang relatif
mahal. Hal ini perlu dilakukan untuk melindungi pemilik merek dalam lingkup
usaha mikro dan menengah. Dengan itikad tidak baik, orang yang memiliki dana,
dan mengetahui prospek perkembangan merek pada usaha mikro dan menengah,
Sehingga dengan adanya data merek yang belum terdaftar, pemeriksa akan lebih
mudah untuk melakukan cross check, sehingga diperoleh data yang sesuai
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU-BUKU:
Abdulah, Abdul Gani. Mahkamah Agung Perlu Reposisi Manajemen. Jakarta: Buletin
Komisi Yudisial, 2006.
Astarini, Dwi Rezeki Sri. Penghapusan Merek Terdaftar. Bandung: PT. Alumni,
2009.
Bainbridge, David I. Intellectual Property. Fifth Edition. England: Peorson Education
Limited, 2002.
Budi, Henry Soelistyo dan Suyud Margono. Bunga Rampai Hak Atas Kekayaan
Intelektual (HAKI). Jakarta: Perhimpunan Masyarakat HAKI Indonesia, 2001.
Christie, Andrew dan Stephen Gore, Blackstones Statutes on Intellectual Property.
5th Edition. London: Blackstones Press, 2001.
Djumhana, Muhammad dan R. Djubaedillah. Hak Milik Intelektual Sejarah Teori dan
Prakteknya di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999.
Durianto, Darmadi, Sugiharto dan Tony Sitinjak. Strategi Menaklukkan Pasar
Melalui Riset Ekuitas Perilaku Merek. Jakarta: Gramedia Utama, 2001.
Gautama, Sudargo. Hukum Merek Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1984.
. Pembaharuan Hukum Merek Indonesia (Dalam Rangka WTO)
1997. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
dan Rizawarto Winata. Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001.
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002
dan Rizawanto Winata. Himpunan Keputusan Merek Dagang.
Bandung: PT. Alumni, 1997.
Hadjon, Philipus M.. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2002.
Hafidullah, Muhammad. Analisis Yuridis Terhadap Penerapan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta Pada Karya Cipta Source Code
Piranti Lunak Komputer. Yogyakarta: Laporan Penelitian Lembaga Kajian
Hukum Teknologi, 2005.
107
Harahap, Yahya. Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia
Berdasarkan Undang-Undang No.19 Tahun 1992. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1996.
Hart, Tina, et. al. Intellectual Property Law. London: Palagrave Macmillan, 2006.
Hasibuan, H. D. Effendy. Perlindungan Merek Studi Mengenai Putusan Pengadilan
Indonesia dan Amerika Serikat. Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum
Universitas Indonesia,2003.
Juwana, Hikmahanto. Sekilas tentang Hukum Persaingan Usaha dan Undang-
Undang No. 5 Tahun 1999. Jakarta: 2005.
Kaligis, O. C. Teori dan Praktek Hukum Merek Indonesia. Bandung: PT. Alumni,
2008.
Kansil, C. S. T. Hak Milik Intelektual Hak Milik Perindustrian dan Hak Cipta.
Jakarta: Sinar Grafika.
Khairandy, Ridwan. Kapita Selekta Hak Kekayaan Intelektual I. Pusat Studi Hukum
UII Yogyakarta dan Yayasan Klinik HAKI Jakarta, 2000.
. Itikad baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Universitas
Indonesia Fakultas Hukum Pascasarjana, 2004.
Komar, Mieke K. Kasus Sengketa Merek Terkenal dan Yurisprudensi Mahkamah
Agung Republik Indonesia. Minahasa Law Centre, 2008.
Kurnia, Titon Slamet. Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal di Indonesia
Pasca Perjanjian TRIPs. Bandung: PT. Alumni, 2011.
Lindsey, Tim. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Penghantar. Bandung: PT Alumni,
2006.
Lubis,Solly. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung : Mandar Maju,1994.
Margono, Suyud, Longginus Hadi. Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek.
Jakarta: CV. Novindo Pustaka Mandiri, 2002.
Maulana, Insan Budi. Sukses Bisnis melalui Merek, Paten dan Hak Cipta. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti, 1997.
Mayana, Ranti Fauza, Perlindungan Desain Industri di Indonesia, Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2004
Marzuki, Peter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Pranada Media
Goup,2008.
Ricketson, Staniforth. The Law of Intellectual Property. Australia: The Law Book
Company Limited, 1994.
Rizaldi, Julius. Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap
Persaingan Curang. Bandung: PT Alumni, 2009
Roisah, Kholis. Implementasi Perjanjian TRIPs Tentang Perlindungan Hukum
Terhadap Hak Atas Merek Terkenal (Asing) Di Indonesia. Semarang: Tesis
Hukum(UNDIP), 2001.
Rooseno, Amalia. Aspek Hukum tentang Merek. Mahkamah Agung RI dan Pusat
pengkajian Hukum, 2004.
Rosalina, Belinda. Madrid Protocol: Untung dan Ruginya Meratifikasi. Jakarta:
Universitas Indonesia, 2008.
Saidin, H. OK. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property
Rights). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.
Santoso, Budi. Butir-Butir Berserakan Tentang Hak Atas Kekayaan Intelektual,
Desain Industri. Bandung: Mandar Maju, 2005.
Semitro, Roony H. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghali, 1982
Siahaan,N. H. T. Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk.
Jakarta: Panta Rei, 2005.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES,
1989
Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut
Bankir Indonesia,1993.
Snelbecker dan Lexy J. Moleo, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosda Karya, 1993.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.
Sudarto dan Zaeni Asyhadie. Mengenal Arbitrase Salah Satu Alternatif Penyelesaian
Sengketa Bisnis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Supramono, Gatot. Pendaftaran Merek Berdasarkan Undang Undang Nomor 19
Tahun1 992. Jakarta: Djambatan, 1996.
B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
Keputusan Presiden R.I. No. 97 Tahun 1999