Anda di halaman 1dari 75

IMPLEMENTASI DOKTRIN “PIERCING THE CORPORATE VEIL”

DALAM PERUSAHAAN GRUP


(Studi Kasus Tanggung Jawab Induk Perusahaan Bakrie Grup atas Kerugian
Anak Perusahaan PT Lapindo Brantas)

Penulisan Hukum
( Skripsi )

Disusun dan Diajukan untuk


Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu
Hukum Pada Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :
SAVIRA INTAN SARI
NIM E0017428

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)

IMPLEMENTASI DOKTRIN “PIERCING THE CORPORATE VEIL”


DALAM PERUSAHAAN GRUP
(Studi Kasus Tanggung Jawab Induk Perusahaan Bakrie Grup atas Kerugian
Anak Perusahaan PT Lapindo Brantas)

Oleh :
Savira Intan Sari
NIM. E0017428

Disetujui Untuk Dipertahankan di Hadapan Dewan Penguji


Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, 22 Januari 2020


Dosen Pembimbing

Dr, Munawar Kholil S.H., M.Hum


NIP. 196810171994031003

ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)

IMPLEMENTASI DOKTRIN “PIERCING THE CORPORATE VEIL”


DALAM PERUSAHAAN GRUP
(Studi Kasus Tanggung Jawab Induk Perusahaan Bakrie Grup atas Kerugian
Anak Perusahaan PT Lapindo Brantas)

Oleh :
Savira Intan Sari
NIM. E0017428
Telah diterima dan disahkan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Pada:
Hari : Rabu
Tanggal : 3 Februari 2021
DEWAN PENGUJI
1. Dr. Albertus Sentot Sudarwanto, S.H., M.Hum :
NIP. 195911271986011004
Ketua
2. Kukuh Tejomurti, S.H., LL.M :
NIP. 198704222015041003
Sekretaris
3. Dr. Munawar Kholil, S.H., M.Hum :
NIP. 196810171994031003
Anggota

Mengetahui,
Dekan

Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani. S.H., M.M.


NIP. 197210082005012001

iii
SURAT PERNYATAAN

Nama : Savira Intan Sari


NIM : E0017428
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
IMPLEMENTASI DOKTRIN “PIERCING THE CORPORATE VEIL”
DALAM PERUSAHAAN GRUP (Studi Kasus Tanggung Jawab Induk
Perusahaan Bakrie Grup atas Kerugian Anak Perusahaan PT Lapindo
Brantas) adalah betul – betul karya sendiri. Hal – hal yang bukan karya saya dalam
pernulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar
pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi)
dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.

Surakarta, 22 Januari 2020


Yang membuat pernyataan,

Savira Intan Sari


NIM. E0017428

iv
ABSTRAK

Savira Intan Sari. E0017428. IMPLEMENTASI DOKTRIN “PIERCING THE


CORPORATE VEIL” DALAM PERUSAHAAN GRUP (Studi Kasus Tanggung
Jawab Induk Perusahaan Bakrie Grup atas Kerugian Anak Perusahaan PT
Lapindo Brantas)

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konstruksi hukum hubungan induk


perusahaan dan anak perusahaan yang didasarkan pada doktrin piercing the
corporate veil dalam hukum korporasi di Indonesia serta mengkaji
pertanggungjawaban hukum induk perusahaan Bakrie Grup atas kerugian anak
perusahaan PT Lapindo Brantas dalam kasus lumpur lapindo.
Jenis penelitian ini normatif yang bersifat preskriptif, dengan pendekatan perundang-
undangan, pendekatan konseptual serta pendekatan kasus. Jenis bahan hukum terdiri
dari bahan hukum primer dan sekunder dengan teknik pengumpulan secara interaktif
analisis.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa konstruksi hukum hubungan induk
perusahaan dan anak perusahaan secara yuridis merupakan separate legal entity atau
merupakan subyek hukum yang terpisah dan mandiri. Namun secara ekonomi
merupakan satu kesatuan. Dengan adanya doktrin piercing the corporate veil,
menyibak tirai dalam perusahaan grup yang menghapuskan prinsip kemandirian
dalam perushaan grup serta tanggung jawab terbatas pada perusahaan grup sesuai
dengan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Doktrin piercing the corporate veil diimplementasikan pada
pertanggungjawaban PT Lapindo atas kasus lumpur lapindo. Dalam hal ini, induk
perusahaan Bakrie Grup melalui anak perusahaannya PT Minarak Labuan ikut
bertanggung jawab atas kerugian anak perusahaan PT Lapindo Brantas.

Kata Kunci: Piercing The Corporate Veil, Perusahaan Grup

v
ABSTRACK

Savira Intan Sari. E0017428. IMPLEMENTATION OF “PIERCING THE


CORPORATE VEIL” DOCTRINE IN GROUP COMPANIES (Case Study of
Bakrie Group Parent Liability for Losses of PT Lapindo Brantas Subsidiary
Company)

This study aims to analyze the legal construction of the relationship between parent
company and subsidiary company based on the doctrine of piercing the corporate
veil in Indonesia’s corporate law also to analyze the liability of the Bakrie Group
as a holding company for the losses of the subsidiary company PT Lapindo Brantas
in the Lapindo mud case.
This type of research is prescriptive normative research, with a statutory approach,
a conceptual approach and a case approach. Types of legal materials consist of
primary and secondary legal materials with interactive analysis collection
techniques.
The results of this study indicate that the legal construction of the relationship
between the parent company and its subsidiaries is a separate legal entity or a
separate and independent legal subject. But economically it is a unity. With the
piercing the corporate veil doctrine, it has opened the curtain in group companies
which eliminates the principle of independence in group companies and limited
liability to group companies in accordance with Article 3 paragraph (2) of Law
Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies. The piercing the
corporate veil doctrine is implemented in the accountability of PT Lapindo for the
Lapindo mud case. In this case, the holding company of the Bakrie Group through
its subsidiary PT Minarak Labuan is also responsible for the losses of the
subsidiary PT Lapindo Brantas.

Keywords: Piercing The Corporate Veil, Group Companies

vi
MOTTO

“Success doesn’t just come and find you. You have to go out and get it”

“Great things never came from comfort zone”

vii
PERSEMBAHAN

Penulisan ini saya persembahkan untuk orang-orang yang saya cintai, bapak saya
H. Ibnu Witarto, S.E., M.M., Hj. Sumiyati serta kakak adik saya.

viii
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan


rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi)
yang berjudul IMPLEMENTASI DOKTRIN “PIERCING THE
CORPORATE VEIL” DALAM PERUSAHAAN GRUP (Studi Kasus
Tanggung Jawab Induk Perusahaan Bakrie Grup atas Kerugian Anak
Perusahaan PT Lapindo Brantas) dengan baik dan lancar. Sholawat serta
salam semoga selalu tercurah kepada Nabi dan Rasul Muhammad SAW,
beserta keluarga, para sahabat, dan seluruh pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulisan hukum ini disusun dan diajukan guna melengkapi syarat


memperoleh derajat sarjana dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini
belum sempurna, mengingat segala keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh
karena itu, penulis akan dengan senang hati menerima kritik dan saran demi
kesempurnaan penulisan skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi penulis
banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak baik secara moral maupun
secara materiil, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, S.H., M.M.,


selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Bapak Pranoto, S.H., M.H., selaku kepala bagian perdata yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan proses penulisan
hukum skripsi.
3. Dr. Munawar Kholil, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing
penulis yang telah meluangkan waktu pikiran, dan tenaga yang
telah dengan sabar memberikan saran dan bimbingan sehingga
dapat membantu penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini.

ix
4. Ibu Siti Muslimah, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik
yang telah membimbing dan mengarahkan penulis untuk menjadi
pribadi yang disiplin guna menyelesaikan skripsi sesuai dengan
waktu studi.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan.
6. Orang tua penulis, Ibnu Witarto, S.E., M.M serta Sumiyati yang
memfasilitasi penulis hingga dapat menempuh pendidikan
sedemikian rupa serta memberi motivasi dengan penuh kasih
saying.
7. Kakak dan adik penulis yang senantiasa selalu membantu penulis
dalam hal dan dalam bentuk apapun.
8. Yurisdan Angga beserta dengan kedua orang tuanya Bapak Dr.
Sudiyana S.H., M.H dan Ibu Kun Ratnawati S.H juga menunjang
fasilitas penulis selama penyusunan skripsi dan memberikan
motivasi kepada penulis.
9. Anggi Mawarni selaku partner penulis yang selalu supportive dan
memberikan semangat dalam hal akademis.
10. Arief Fajrul, Reihan Yasser dan Bagas Pahlevy selaku sahabat
penulis yang selalu ada untuk penulis.
11. Rani, Sheil, Ully, Kiky, Salma dan Intan yang juga merupakan
sahabat penulis yang selalu memberikan dampak positif kepada
penulis.
12. Sahabat-sahabat penulis di kampus Lula, Alif, Luqman, Nabhila,
Inneke, Aufa, Brigita Cindy, Yoakim, Excel, Fida dan Destyra
yang memberi penulis banyak cerita serta senantiasa membantu
penulis dalam perkuliahan selama ini.
13. Kakak-kakak tingkat yang penulis tiudak sapat sampaikan satu per
satu, terimakasih banyak atas bimbingan dalam perkuliahan ini.
14. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang
telah membantu penulis menyelesaikan penulisan skirpsi.

x
Penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan
manfaat dab berguna dalam ilmu pengetahuan dan bidang ilmu hukum

Surakarta, 22 Januari 2021


Penulis,

Savira Intan Sari


E0017428

xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. iii
SURAT PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................. v
ABSTRACK ............................................................................................ vi
MOTO ..................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN .................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................. ix
DAFTAR ISI ........................................................................................... xii
BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6
D. Manfaat Penelitiaan .................................................................... 7
E. Metode Penelitian....................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................... 12

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 15


A. Kerangka Teori ......................................................................... 15
1. Tinjauan tentang Perusahaan ............................................... 15
2. Tinjauan tentang Perusahaan Grup ...................................... 17
3. Tinjauan tentan Induk Perusahaan dan Anak Perusahaan ..... 18
4. Tinjauan tentang Doktrin dalam Hukum Korporasi.............. 20
5. Tinjauan tentang Perbandingan Pengaturan Perusahaan Grup
di Berbagai Negara .............................................................. 22
6. Tinjauan tentang Konstruksi Hukum ................................... 25
B. Kerangka Pemikiran .................................................................. 25

xii
BAB III : PEMBAHASAN PENELITIAN ............................................... 27
A. Deskripsi Bakrie Grup dan PT Lapindo Brantas ........................ 27
B. Konstruksi Hukum Hubungan Induk Perusahaan dan Anak
Perusahaan Berdasarkan Doktrin Piercing the Corporate Veil
dalam hukum korporasi di Indonesia ......................................... 29
C. Implementasi Doktrin Piercing The Corporate Veil pada kasus
Tanggung Jawab Perusahaan Induk PT Bakrie Grup atas
Kerugian PT Lapindo Brantas ................................................... 45

BAB IV : PENUTUP ............................................................................... 56


A. Kesimpulan ............................................................................... 56
B. Saran......................................................................................... 57

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

xiii
1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Secara etimologi, bisnis merupakan suatu aktivitas dimana


seseorang ataupun sekelompok orang yang bertujuan untuk memperoleh
laba baik dalam kegiatan jual beli barang maupun jasa. Kata bisnis sendiri
memiliki tiga arti penggunaan, dalam penggunaan arti yang lebih luas
merujuk pada sektor pasar. Terlebih lagi kata bisnis dapat digunakan
sebagai seluruh aktivitas penyedia barang dan jasa. Dalam penggunaan
singular kata bisnis dapat merujuk pada badan usaha yaitu kesatuan yuridis
hukum yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Di Indonesia bisnis
banyak dimplikasikan ke dalam sebuah perusahaan. Bisnis merupakan suatu
aktivitas dan perusahaan merupakan wadah atau tempat aktivitas suatu
usaha dijalankan.
Perusahaan didefinisikan menurut pemerintah Belanda ketika
membacakan Memorie van Toelichting (penjelasan) Rencana Undang-
Undang Wetboek van Koophandel di muka parlemen yang menyebutkan
bahwa perusahaan merupakan perbuatan yang dilakukan secara terus-
menerus dengan terang-teranganan dan untuk mencari laba bagi dirinya
sendiri (Zainal Asikin, Wira Pria Suhartana, 2016:3). Sedangkan didalam
KUHD tidak ada penjelasan mengenai arti perusahaan itu sendiri, namun
perkembangan pengertian peraturan dapat dijumpai pada Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan dan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 pada Pasal 1 huruf
(b) dijelaskan bahwa “perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang bersifat
tetap dan terus-menerus dan didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam
wilayah Republik Indonesia untuk tujuan memperolah keuntungan atau
laba”.
2

Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997


tentang Dokumen Perusahaan yang menjelaskan bahwa “Perusahaan
adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan
terus-menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang
diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang
berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan
berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia”.
Dari penjelasan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa unsur-
unsur dalam perusahaan meliputi adanya kegiatan terus-menerus yang
menetap, terang-terangan, diadakan pembukuan, dengan tujuan mencari
keuntungan, dan ada bentuk usaha yang jelas (Handri Raharjo, 2009:2-3).
Bentuk-bentuk perusahaan dibagi menjadi dua yaitu perusahaan
berbadan hukum dan perusahaan bukan berbadan hukum. Perusahaan
berbadan hukum adalah perusahaan yang didirikan dua orang atau lebih
dengan adanya pemisahaan harta kekayaan antara anggota dan perusahaan
dan didaftarkan secara resmi ke Kemenkumham (Kementrian Hukum dan
HAM). Sedangkan perusahaan bukan berbadan hukum tidak ada
pemisahaan kekayaan, jadi tanggung jawab dilakukan secara tanggung
renteng. Namun perusahaan bukan berbadan hukum ini juga didirikan
minimal dua orang atau lebih. CV merupakan contoh dari perusahaan bukan
berbadan hukum.
Berdasarkan penggolongan bentuk perusahan, maka tidak semua
perusahaan merupakan subyek hukum. Subyek hukum adalah segala
sesuatu yang dapat memiliki kewajiban dan hak yaitu orang (natuur
persoon) dan badan hukum (recht persoon). Menurut Prof. Wirjono
Prodjodikoro, badan hukum merupakan suatu badan disamping manusia
perorangan juga dianggap dapat bertindak dalam hukum dan mempunyai
hak serta kewajiban-kewajiban dan hubungan hukum terhadap orang lain
atau badan lain (P.N.H. Simanjuntak. 2009:28-29). Dengan ini perusahaan
berbadan hukum dapat melakukan tindakan hukum, dapat digugat dan
menggugat serta dapat menggabungkan diri dengan perusahaan lain.
3

Di Indonesia perusahaan pertama didirikan sejak tahun 1863 oleh


Oei Tjien Sien. Perusahaan tersebut mengalami perkembangan yang baik
sampai tahun 1885 berkembang menjadi perusahaan grup, dimana adanya
suatu perusahaan sebagai induk perusahaan yang membawahi beberapa
perusahaan perusahaan lainnya yang kemudian disebut anak perusahaan.
Perusahaan grup mengalami perkembangan yang sangat baik dan
menjadi bidang usaha yang banyak diminati oleh pelaku usaha di Indonesia.
Pertumbuhan pesat jumlah perusahaan grup di Indonesia dipengaruhi oleh
berbagai motif, antara lain meliputi penciptaan nilai tambah melalui sinergi
dari beberapa perusahaan, upaya perusahaan mencapai keunggulan
kompetitif yang melebihi perusahaan lain, motif jangka panjang untuk
mendayagunakan dana-dana yang telah dikumpulkan, ataupun perintah
perundang-undangan yang mendorong terbentuknya perusahaan grup
(Sulistiowati, 2010:1).
Definisi grup pada perusaahan tidak diatur dalam Undang-Undang.
Namun, dapat kita temui dalam beberapa ketentuan teknis mengenai
penjabaran definisi grup perusahaan. Ketentuan teknis tersebut, diantaranya
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi pada Pasal 1 yang menjelaskan
pengertian grup perusahaan sebagai “dua atau lebih badan usaha yang
sebagian sahamnya dimiliki oleh orang atau oleh badan hukum yang sama
baik secara langsung maupun melalui badan hukum lain, dengan jumlah
atau sifat pemilikan sedemikian rupa, sehingga melalui pemilikan saham
tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan penyelenggaraan
atau jalannya badan usaha”.
Sebagai bahan perbandingan, dalam KUH Perdata Belanda
(Burgerlijk Wetboek) perusahaan grup didefinisikan sebagai “Kesatuan
ekonomi di mana badan-badan hukum atau persekutuan-persekutuan
terkait secara organisatoris. Grup perusahaan adalah badan-badan hukum
dan persekutuan-persekutuan yang saling terkait di dalam sebuah grup”
Pasal 2:24b BW.
4

Perusahaan grup berasal dari perusahaan-perusahaan yang secara


yuridis mandiri kemudian membentuk satu kesatuan ekonomi yang tunduk
kepada suatu pimpinan dari suatu perusahaan induk sebagai pimpinan
sentral (Emmy Pangaribuan Simanjuntak, 1994:1). Pengertian tersebut
menunjukan bahwa perusahaan grup dikonstruksikan oleh adanya
keterkaitan yang terjadi diantara induk perusahaan dan anak perusahaan
yang masing masing berbadan hukum mandiri dengan implikasi induk
perusahaan memiliki kekuasaan untuk bertindak sebagai pemimpin sentral
yang mengendalikan dan mengkoordinasikan anak-anak perusahaan dalam
suatu kesatuan ekonomi untuk mewujudkan kepentingan perusahaan grup.
Keterikatan antara perusahaan induk dan perusahaan anak,
menimbulkan hubungan hukum dimana induk perusahaan mengendalikan
anak perusahaan atas kepemilikan saham pada anak perusahaan tersebut.
Dalam hukum korporasi di Indonesia keterikatan antara induk dan anak
perusahaan diatur dengan menggunakan pendekatan pada Undang-Undang
perseroan yaitu Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Dimana perusahaan grup secara yuridis merupakan separate legal
entity atau entitas terpisah yang mandiri namun secara ekonomi merupakan
satu kesatuan. Satu kesatuan secara ekonomi dalam perusahaaan grup ini
menimbulkan adanya hak induk perusahaan untuk mengendalikan anak
perusahaan. Dalam hal itu maka sudah semestinya separate legal entity
kurang harmonis apabila diaplikasikan dalam konstruksi hukum perusahaan
grup.
Dengan adanya penelitian ini penulis mengkaji konstruksi hukum
yang tidak didasarkan pada separate legal entity namun pada doktrin
Piercing The Corporate Veil yang dikenal dengan penyingkapan tirai
perusahaan. Doktrin The Corporate Veil juga tertuang pada Pasal 3 ayat (2)
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Doktrin
ini merupakan ajaran yang diartikan sebagai proses menyibak tirai untuk
membebani tanggung jawab ke pundak atau perusahaan orang lain atas
perbuatan hukum yang telah dilakukan pelaku. Doktrin ini diterapkan
5

manakala adanya kerugian atau tuntutan hukum dari pihak ketiga guna
menyingkirkan prinsip pertanggungjawaban terbatas.
Penelitian ini menganalisis kasus PT Lapindo Brantas yang bergerak
dalam industri minyak dan gas bumi. Saham PT Lapindo Brantas dikuasai
100% seluruhnya oleh PT Energi Mega Persada yang sahamnya dimiliki
melalui PT Kalila Energy sebanyak 84,24% dan Pan Asia Enterprise
sebanyak 15,76%. Namun pada 2007 Pemegang saham PT Energi Mega
Persada Tbk menyetujui untuk mengkonversi hutang kedua anak
perusahaannya (PT Kalila Energy Ltd dan Pan Asia Enterprise) kepada PT
Minarak Labuan. PT Minarak Labuan ini merupakan korporasi yang
didirikan sejak tahun 1997 dan mempunyai saham tiga puluh juta yang
secara mayoritas atau sebanyak 23.870.000 saham dikuasai PT Bakrie
Capital Indonesia yang juga dikontrol dan dimiliki Bakrie Grup. Lapindo
Brantas adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS) yang ditunjuk oleh BPMigas guna melakukan pengeboran minyak
dan gas bumi di Sidoarjo, Indonesia. Namun, pada 29 Mei 2006 mulai
muncul semburan lumpur panas dari rekahan tanah yang berjarak kurang
lebih 200 meter dari sumur PT Lapindo Brantas yang terus menerus hingga
mengakibatkan kerugian sebanyak 16 desa di 3 kecamatan di Sidoarjo
tergenang lumpur panas, lebih dari 25 ribu warga harus diungsikan dan
10.426 rumah warga, 77 tempat ibadah dan 30 pabrik terendam lumpur.
Dengan peristiwa tersebut, PT Lapindo Brantas dituntut mengenai
pertanggungjawabannya atas kerugian dalam kasus lumpur lapindo yang
juga ditanggung oleh Bakrie Grup sebagai induk perusahaan.
Dengan adanya penelitian ini guna mengkaji mengenai konstruksi
hukum hubungan perusahaan grup berdasarkan hukum perseroan di
Indonesia serta meninjau implementasi doktrin piercing the corporate veil
dalam sistem pertanggungjawaban Bakrie Grup atas kerugian PT Lapindo
Brantas pada kasus lumpur lapindo.
6

B. Rumusan Masalah

Perumusan masalah dalam penelitian ini dimaksudkan untuk


dijadikan pedoman bagi penulis untuk melakukan penelitian secara cermat
dan tepat sesuai dengan prinsip-prinsip penelitian ilmiah. Perumusan
masalah ini, diharapkan dapat mengetahui objek-objek yang diteliti, serta
bertujuan agar tulisan dan ruang lingkup penelitian ini memiliki uraian yang
terbatas dan terarah pada hal-hal yang ada hubungannya dengan masalah
yang diteliti. Adapun permasalahan yang akan diteliti, antara lain :
1. Bagaimana konstruksi hukum hubungan induk perusahaan Bakrie Grup
dan anak perusahaan PT Lapindo Brantas dalam hukum korporasi di
Indonesia?
2. Bagaimana implementasi doktrin piercing the corporate veil pada
pertanggungjawaban hukum perusahaan induk Bakrie Grup atas
kerugian PT Lapindo Brantas dalam kasus lumpur lapindo?

C. Tujuan Penilitian
Pada hakikatnya setiap penelitian memiliki tujuan yang terbagi
menjadi dua yaitu tujuan objektif dan subjektif. Tujuan objektif dan
subjektif yang hendak dicapai yaitu :
1. Tujuan Objektif
a. Untuk menganalisis konstruksi hukum hubungan induk perusahaan
dan anak perusahaan menurut doktrin piercing the corporate veil
dalam hukum korporasi di Indonesia
b. Untuk menganalisis implementasi doktrin piercing the corporate veil
pada kasus pertanggungjawaban hukum perusahaan induk Bakrie
Grup atas kerugian anak perusahaan PT Lapindo Brantas dalam kasus
lumpur lapindo.
7

2. Tujuan Subjektif
a. Untuk mengembangkan pengetahuan penulis dalam studi ilmu hukum
bidang perdata khususnya Hukum Dagang dalam substansinya
terhadap Hukum Perusahaan.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar Sarjana
Strata I (S1) dalam studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
c. Untuk menghasilkan artikel ilmiah yang akan diterbitkan dalam jurnal
ilmiah nasional.

D. Manfaat Penelitian
Dalam sebuah penelitian diharapkan adanya mafaat bagi penulis,
pembaca, dan dapat menjadi acuan perkembangan ilmu selanjutnya
khususnya Ilmu Hukum. Adapun manfaat penelitian secara teoritis dan
praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Penilitian ini diharapkan dapat memberi maanfaat untuk
perkembangan kurikulum Ilmu Hukum dalam bidang Hukum Perdata
khususnya pada Hukum Dagang terkait dengan implementasi doktrin-
doktrin hukum perusahaan pada praktik Perusahaan Grup.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber ilmu, referensi
ataupun acuan untuk penelitian serupa dikemudian hari.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu bagi penulis
mengenai implementasi doktrin dalam pertanggungjawaban pada
perusahaan grup.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman terkait dengan
problematika mengenai pertanggungjawaban pada perusahaan grup.
c. Penilitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pelaku
ekonomi pada perusahaan untuk menegakan Doktrin Piercing The
Corporate Veil sebagai solusi dalam problematika perusahaan grup.
8

E. Metode Penilitian

Metode penelitian merupakan langkah-langkah yang ditempuh


penulis guna mengumpulkan data atau informasi serta melakukan penelitian
atau investigasi pada data yang diperoleh. Metode penelitian ini dilakukan
penulis dalam suatu penelitian hukum untuk mengidentifikasi problematika
hukum, penalaran hukum dan menganalisis masalah hukum.
Adapun metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian
hukum ini adalah sebagai berikut :
1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian hukum yang digunakan oleh peneliti yaitu hukum


normatif. Penelitian hukum normatif atau penelitian perpustakaan
merupakan penelitian yang dilakukan dengan meneliti data sekunder
baik dari bahan hukum primer dan sekunder. Penelitian normatif
merupakan penelitian hukum doktriner yang mengacu pada norma-
norma hukum (Bambang Waluyo, 1997:13). Menurut Soerjono dan Sri
Marmudji penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum
yang dilakukan dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder
yang mencakup asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi
vertikal dan horizontal, perbandingan hukum dan sejarah hukum
(1995:13).
Jenis penelitian hukum yang digunakan ialah sosio-legal.
Menurut Herlambang P. Wiratraman, sosio-legal merupakan jenis
penelitian yang dilakukan tidak terbatas pada teks, namun juga dengan
melakukan pendalaman pada konteks yang mencakup hingga
implementasion of law atau implementasi hukum. Penelitian sosio-legal
digunakan untuk mengkaji masalah yang lebih komprehensif hukum
beserta dengan penerapannya.
9

2. Sifat Penelitian

Adapun sifat penelitian dari penulisan ini bersifat preskriptif.


Menurut Soerjono Soekanto, penelitian preskriptif merupakan suatu
penelitian yang ditujukan untuk mencari saran-saran dalam
memecahkan suatu masalah tertentu (1981:10). Dalam penelitian
preskriptif ini mempelajari norma-norma hukum, konsep-konsep
hukum, tujuan hukum dan validitas aturan hukum dalam mencari saran
guna memecahkan suatu masalah tersebut. Sifat preskriptif ini dapat
dilihat dalam penelitian ini penulis mempelajari segala ketentuan
hukum yang berlaku di Indonesia mengenai perusahaan grup dan
problematika dalam perusahaan grup terkait perusahaan induk dan
perusahaan anak.
3. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan


perundang-undangan (statue approach), pendekatan konseptual
(conseptual approach) dan juga pendekatan kasus (case approach)
yang diuraikan sebagai berikut :
a. Pendekatan Perundang-Undangan (Statue Approach)
Pendekatan perundang-undangan merupakan penelitian yang
menggunakan pendekatan dengan cara menelaah undang-undang
maupun regulasi yang terkait mengenai isu hukum yang ditangani
(Peter Mahmud Marzuki, 2011:93-94).
b. Pendekatan Konseptual (Conseptual Approach)
Pendekatan Konseptual adalah pendekatan yang diambil dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam
ilmu hukum guna mendapatkan ide-ide yang dapat mencetuskan
mengenai pengertian, konsep dan asas hukum yang relevan untuk
mendapatkan suatu argumentasi dalam memecahkan suatu isu
hukum yang dijalani (Peter Mahmud Marzuki, 2014:134-136).
c. Pendekatan Kasus (Case Approach)
10

Pendekatan kasus dilakukan dengan menelaah suatu


keputusan atau suatu kasus yang telah terjadi (Peter Mahmud
Marzuki, 2014:25). Pendekatan kasus dapat dilihat dalam penelitian
ini yang mengkaji dan menganalisa penyelesaian sengketa di dalam
suatu perusahaan grup antara perusahaan induk dan perusahaan
anak.
4. Jenis dan Sumber Bahan Penelitian

Pada hakikatnya setiap penelitian mempunyai sumber-sumber


sebagai acuan guna mendukung peneliti dalam membentuk
argumentasi. Dalam penelitian hukum normatif, berbeda dengan
penelitian di bidang ilmu lain karena tidak mengenal adanya data
namun bahan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2011:141). Dalam
penelitian ini menggunakan dua jenis bahan hukum yaitu bahan hukum
primer dan sekunder yang diuraikan sebagai berikut ;
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat
autoratif atau bersifat otoritas yang terdiri dari perundang-undangan,
catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang
dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2014:181).
Pada penelitian ini menggunakan bahan hukum primer sebagai
berikut :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XI/2013
5. Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
6. PERPRES No. 48 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan
Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
11

7. PERPRES No. 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas


Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
8. PERPRES No. 68 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
9. PERPRES No. 37 Tahun 2012 tentang Perubahan Keempat atas
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
10. PERPRES No. 33 Tahun 2013 tentang Perubahan Kelima atas
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo

b. Bahan Hukum Sekunder


Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi
hasil penelitian, kajian pustaka ilmiah ataupun teori para ahli seperti:
1. Buku yang ditulis oleh para ahli
2. Jurnal hukum
3. Artikel
4. Bahan dari internet
5. Teknis Pengumpulan Data
Pada penelitian ini penulis menggunakan teknis pengumpulan data
studi kepustaan dimana penulis mengkaji dari buku, jurnal, artikel dan
informasi dari internet terkait dengan hukum perusahaan dan
perusahaan grup guna menemukan saran-saran terkai isu hukum yang
diteliti.
6. Teknik Analisis Data
Pada penelitian ini penulis menggunakan Teknik analisis
dengan model interaktif analisis. Interaktif analisis terdiri atas tiga
komponen yang membentuk suatu tahapan serta saling berhubungan
12

dalam penyusunan penelitian. Dalam Teknik analisis ini terdapat tiga


komponen utama, yaitu (H.B. Sutopo, 2006:113-116):
a. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemfokusan,
penyederhanaan dan mentransformasikan data kasar yang berasal
dari catatan tertulis.
b. Penyajian Data
Penyajian data dalam teknik analisis data kualitatif merupakan
rangkaian informasi dengan teks yang bersifat naratif. Namun, selain
itu penyajian data juga dapat dilakukan dalam bentuk bagan,
flowchart, matriks dan sejenisnya.
c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi
Tahapan terakhir dalam penelitian merupakan penarikan
kesimpulan atau verifikasi dimana penulis mengutarakan
kesimpulan dari data-data yang terdapat pada reduksi data dan sajian
data.

F. Sistematika Penulisan Hukum


Sistematika penulisan hukum merupakan susunan yang berguna
untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai hasil dari sebuah
penelitian. Sistematika penulisan hukum (skripsi) terdiri dari 4 bab yang
meliputi kesuluruhan hasil penelitian sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada Bab I berisikan uraian mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan
hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA


Pada Bab II penulis membahas mengenai kerangka teori dan
kerangka pemikiran yang berkaitan dengan judul dan pokok
permasalah yang diambil berdasar literatur yang selaras
13

dengan permasalahan penelitian. Kerangka teori yang


termuat pada Bab II ini meliputi tinjauan tentang perusahaan
yang diuraikan mengenai unsur-unsur perusahaan, bentuk-
bentuk perusahaan berdasar pada Undang-Undang serta
berdasar pada pendapat para ahli. Dan juga meninjau tentang
perusahaan grup mulai dari definisi perusahaan grup
berdasar para ahli, bentuk perusahaan grup baik secara
horizontal maupun vertikal serta meninjau mengenai induk
perusahaan dan anak perusahaan pada perusahaan grup.
Kemudian diikuti dengan tinjauan doktrin-doktrin dalam
hukum korporasi di Indonesia baik secara defisini dan
peninjauan berdasar pada Undang-Udang Perseroan
Terbatas. Meninjau mengenai komparasi hukum korporasi di
berbagai negara. Dan juga juga memuat tinjauan mengenai
defisini konstruksi hukum menurut para ahli hukum.
Kerangka pemikiran memuat mengenai alur pemikiran
penulis guna melakukan penelitian ini serta menjawab
rumusan masalah pada penelitian ini.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada Bab III merupakan pembahasan hasil dari penelitian
terkait pada rumusan masalah yang dituliskan pada
penelitian ini yaitu mengenai konstruksi hukum hubungan
induk perusahaan dengan anak perushaan berdasarkan
doktrin piercing the corporate veil dalam hukum korporasi
di Indonesia dan meninjau implementasi doktrin piercing the
corporate veil dalam pertanggungjawaban induk perusahaan
Bakrie grup atas kerugian anak perusahaan Lapindo Brantas
dalam kasus lumpur lapindo.
BAB IV : PENUTUP
Pada Bab IV penulis mengutarakan secara singkat dan
keseluruhan mengenai kesimpulan dari hasil penelitian serta
14

jawaban dari rumusan masalah mengenai konstruksi hukum


hubungan induk perusahaan dengan anak perushaan
berdasarkan doktrin piercing the corporate veil dalam
hukum perseroan di Indonesia dan implementasi doktrin
piercing the corporate veil dalam pertanggungjawaban
induk perusahaan Bakrie grup terhadap anak perusahaan
Lapindo Brantas dalam kasus lumpur lapindo dan dilengkapi
dengan saran dari penulis.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
15

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Perusahaan


Berdasarkan ketentuan Staatsblad Nomor 276 Tahun 1938 istilah
pedagang pada pasal 2 – 5 KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang)
dihapus dan diganti dengan istilah perusahaan. Menurut H.M.N Pruwosutjipto
istilah perusahaan lahir dari perkembangan dunia usaha yang diakomodir
dalam KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) (Kurniawan, 2014:71).
Pengertian perusahaan itu sendiri dapat ditemui pada Pasal 1 huruf (b) Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan yang
menjelaskan bahwa “perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang
menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang
didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik
Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba”. Selain itu
juga dapat ditemukan pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1997 tentang Dokumen Perusahaan yang mana disebutkan bahwa “Perusahaan
adalah setiap bentuk usaha yang melakukan kegiatan secara tetap dan terus-
menerus dengan tujuan memperoleh keuntungan atau laba, baik yang
diselenggarakan oleh orang perorangan maupun badan usaha yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan
dalam wilayah Negara Republik Indonesia”.
Pengertian perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang
menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan
didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia untuk
tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba (C.S.T Kansil, 2001:2). Menurut
Molengraff, perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukam terus-
menerus, bertindak keluar untuk memperoleh penghasilan, dengan cara
memperdagangkan atau menyerahkan barang-barang atau mengadakan
perjanjian perdagangan (Abdulkadir Muhammad, 2002:7). Menurut Polak,
16

suatu usaha untuk dapat dimasukkan dalam pengertian perusahaan harus


mengadakan pembukuan, yaitu perhitungan mengenai laba dan rugi (Chidir
Ali, 1987:105).
Berdasarkan dari pengertian perusahaan menurut undang-undang dan
menurut beberapa ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
perusahaan adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan dalam bidang perekonomian
2. Badan usaha
3. Terang-terangan
4. Bersifat tetap dan terus menerus
5. Berorientasi mencari keuntungan
6. Pembukuan
Di Indonesia sendiri perusahaan dibagi menjadi dua yaitu perusahaan
berbadan hukum dan perusahaan bukan berbadan hukum. Istilah badan
hukum ialah istilah teknis yuridis yang merupakan subjek hukum dalam
pendukung hak dan kewajiban di bidang hukum (Verti, 2017:202). Namun
pada Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas tidak
dijelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan badan hukum walaupun pada
pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa Perseroan Terbatas selanjutnya disebut
perseroan adalah badan hukum (Budiono, 2012:189).
Perusahaan berbadan hukum merupakan suatu perusahaan yang
disahkan oleh Kemenkumham dan terdapat pemisahan harta kekayaan di
dalamnya yaitu antara harta pribadi dan harta perusahaan. Apabila perusahaan
mengalami pailit, kerugian ataupun permasalahan yang menyangkut
keuangan maka menggunakan tanggung jawab terbatas atau ganti rugi hanya
sebatas harta perusahaan dan tidak menggunakan keuangan pribadi.
Pengecualian dimungkinkan untuk hal hal yang tercantum dalam Pasal 3 ayat
(2) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu
persyaratan perseroan sebagai badan hukum tidak terpenuhi, pemegang
saham yang bersangkutan mempunyai itikad buruk untuk memanfaatkan
perseroan guna kepentingan pribadi, pemegang saham terlibat dalam
17

perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan dan pemegang saham


menggunakan harta perseroan untuk tindakan yang tergolong dalam melawan
hukum (M. Yahya Harahap, 2007:45-47). Maka pemegang saham
bertanggung jawab pada perseroan dan hanya sebesar nominal sesuai
sahamnya. Contoh perusahaan berbadan hukum adalah Perseroan Terbatas,
Firma, Yayasan, Koperasi, dan Persero.
Sedangkan perusahaan bukan berbadan hukum merupakan perusahaan
yang didirikan tanpa adanya pengesahan dari kemenkumham dan tidak
adanya pemisahan kekayaan antara harta perusahaan dan pemegang saham.
Jadi pertanggungjawaban perusahaan apabila terjadi kerugian tidak terbatas
harta pribadi. Contoh perusahaan tidak berbadan hukum adalah CV dan
maatschap.

2. Tinjauan tentang Perusahaan Grup


Menurut Raaijamakers perusahaan kelompok atau Group Company
atau konsern (consern) atau sebutan dari kerjasama antara perusahaan-
perusahaan yang secara umum mempunyai arti sebagai suatu susunan atau
gabungan dari perusahaan perusahaan yang secara yuridis mandiri dan yang
satu dengan yang lain dalam satuan kesatuan ekonomi yang dipimpin oleh
suatu perusahaan induk (1976:80).
Dan juga yang dijelaskan oleh S.M. Bartman pengertian konsern
merupakan suatu susunan dari perusahaan-perusahaan yang berdiri sendiri
secara yuridis, dipimpin oleh perusahaan sentral, namun dari aspek ekonomi
perusahaan tersebut merupakan satu kesatuan (Bartman, 1986: 19).
Berdasarkan dari definisi yang dikemukakan beberapa ahli diatas
dapat disimpulkan bahwa perusahaan grup mempunyai unsur adanya
kesatuan dalam aspek ekonomi, adanya jumlah jamak secara yuridis dan juga
adanya perusahaan induk atau sentral dengan perusahaan anak.
Susunan di dalam perusahaan grup atau konsern dapat terjadi baik
secara vertikal maupun horizontal. Perusahaan grup atau konsern dapat
dikatakan bersifat vertikal apabila dalam susunan konsern itu merupakan
18

mata rantai dari perusahaan yang melakukan produksi dan masing-masing


perusahaan mengusahakan lanjutan dari usaha perusahaan lainnya (Emmy,
1994:2). Seperti contoh, perusahaan pertama memulai usaha dari bahan baku,
perusahaan selanjutnya mengolah menjadi bahan setengah jadi yang
kemudian dilanjutkan perusahaan lainnya untuk diolah menjadi produk
terakhir yang dipasarkan oleh perusahaan lainnya lagi.
Sedangkan suatu perusahaan grup atau konsern yang bersifat
horizontal yaitu perusahaan-perusahaan yang terkait namun bergerak
dibidang masing-masing yang sangat beragam, yang tidak hanya
memproduksi satu jenis produk namun juga berbagai jenis produk. Misalnya
di dalam suatu konsern terdapat perusahaan pertanian, jasa, transportasi,
perhotelan dan sebagainya.

3. Tinjauan tentang Induk dan Anak Perusahaan


Dengan adanya perseroan memiliki saham pada perseroan lainnya
akan menimbulkan adanya hubungan hukum dan keterkaitan satu sama lain
sebagai induk dan anak perusahaan. Hal ini dapat memberikan hak kepada
induk perusahaan untuk mengendalikan perusahaan anak, menggunakan hak
suara dalam rapat umum pemegang saham pada perusahaan anak dan juga
memberhentikan ataupun mengangkat anggota direksi serta dewan komisaris
perusahaan anak. Adanya hubungan hukum ini tidak menghapuskan status
pengakuan yuridis baik terhadap perusahaan induk maupun anak atas subjek
hukum yang mandiri dan terpisah atau seperti pada prinsip separate legal
entity. Adapun penjelasan mengenai induk dan anak perusahaan sebagai
berikut:

a. Perusahaan Induk
Perusahaan Induk atau yang sering disebut dengan holding
company, parent company ataupun controlling company, menurut Munir
Fuady merupakan perusahaan yang bertujuan memiliki sahan atas
perusahaan lain atau mengatur perusahaan tersebut (Munir Fuady,
1999:84). Sedangkan menurut Winardi induk perusahaan merupakan
19

perusahaan yang menguasai perusahaan lain atau “holding company is


company which holds other companies” (Winardi, 1996:188). Adapun
menurut Komaruddin yang dimaksud dengan induk perusahaan adalah
badan usaha yang bertujuan menguasai sebagian besar saham dari badan
usaha yang akan dipengaruhinya. Dapat disimpulkan bahwa induk
perusahaan merupakan perusahaan yang memiliki kendali atas
perusahaan-perusahaan lainnya berdasar hak suara atas kepemilikan
sebagian atau seluruhnya saham pada perusahaan tersebut yang bergabung
di dalam suatu perusahaan grup. Menurut Sulistiowati, perusahaan induk
adalah perusahaan yang berbentuk PT sebagai pimpinan sentral atas
perusahaan perusahaan anak yang bertugas untuk mengendalikan,
mengkoordinasi dan tidak terbatas pada kepemilikan saham (Sulistiowati,
2010:1). Dengan adanya Induk Perusahaan dalam perusahaan grup
bertujuan untuk meningkatkan nilai pasar perusahaan berdasar lini bisnis
perusahaan.
b. Perusahaan Anak
Sedangkan perusahaan anak atau yang biasa disebut dengan
subsidiary company adalah perseroan yang mempunyai hubungan
khusus dengan perseroan lainnya karena mayoritas saham dikuasaii oleh
perusahaan induknya yang kemudian mayoritas suara dalam RUPS
diperngaruhi oleh perusahaan induk dan jalannya perseroan,
pengangkatan dan pemberhentian direksi dipengaruhi oleh induk
perusahaan (Ni made. 2017:69). Hubungan anak perusahaan terhadap
induk perusahaan merupakan hubungan affiliasi dimana suatu
perusahaan dibawah control perusahaan lain atas kepemilikan mayoritas
saham. Perusahaan yang terafiliasi memiliki kewajiban kepada induk
perusahaannya untuk memberikan informasi penting atas jalannya
perusahaaan (Muhammad Syafii, :128).
20

4. Tinjauan tentang Doktrin dalam Hukum Korporasi


Menurut Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta doktrin merupakan sebuah
ajaran hukum yang merupakan tampungan dari norma-norma sehingga
membentuk sebuah doktrin yang menjadi sumber hukum. Adapun doktrin-
doktrin yang menunjang perundang-undangan perseroan terbatas dalam
pelaksanaan suatu perusahaan atau perusahaan grup yaitu:
a. Doktrin Piercing The Corporate Veil
Pertanggungjawaban terbatas pada perseroan tidaklah mutlak
karena adanya pengecualian pada hal-hal tertentu. Undang-undang
perseroan terbatas memuat mengenai doktrin piercing the corporate veil
yang dapat dilihat dari pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun
2007 tentang Perusahaan Terbatas. Piercing the corporate veil
merupakan suatu proses untuk membebani tanggung jawab ke pundak
orang atau perusahaan lain atas perbuatan hukum suatu perusahaan
pelaku tanpa melihat adanya fakta bahwa perbuatan tersebut
dimaksudkan untuk perusahaan.
b. Doktrin Ultra Vires
Ultra Vires adalah istilah latin yang berarti “di luar kuasa”. Dan
doktrin ultra vires merupakan sebuah pemahaman dimana melakukan
tindakan di luar otoritas yang tidak tercatat dalam anggaran dasar (Dwi
Suryahartati, 2013:5). Doktrin Ultra vires ini dapat ditemukan pada Pasal
97 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
c. Doktrin Fiduciary Duty
Fiduciary Duty terdiri dari dua kata fiduciary dan duty. Fiduciary
berasal dari fiducia yang berarti kepercayaan atau fidere yang berarti
untuk mempercayai. Jadi fiduciary dapat diartikan pemegang
kepercayaan yang dilakukan untuk orang lain. Sedangkan duty yang
berarti tugas. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa fiduciary duty
merupakan tugas yang timbul dari sebuah kepercayaan dimana pihak
pemegang kepercayaan harus beritikad baik dalam menjalankan
21

tugasnya (Siti, 2017:11). Yang mana pada perseroan dimaksudkan pada


direksi dan komisaris. Sesuai pada pasal 97 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa kepercayaan
yang diberikan pada direksi harus dijalankan dengan itikad baik dan
penuh tanggung jawab dan menurut pasal 97 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas apabila yang
bersangkutan terbukti lalai dalam menjalankan tugas maka
pertanggungjawaban dilakukan menggunakan harta pribadi (Sutan Remi
Syahedi, 2001).
d. Doktrin Good Corporate Governance
Direksi harus menjalankan tugas dan bertindak baik berdasar
infomasi yang cukup yang kemudian diolah dengan kemampuan yang
memadahi (Wahyono Darmabrata, 2003:30). Terdapat 5 komponen
Good Corporate Governence pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai berikut :
i. Keterbukaan (Transparency)
Yang dimaksud keterbukaan menyangkut pada akta
pendirian wajib memuat informasi, kewajiban melakukan
pendaftaran perseroan yang terbuka untuk umum, kewajiban direksi
mengungkap informasi perseroan dalam bentuk laporan tahunan dan
hak pemegang saham untuk memperoleh keterangan sepanjang
berkaitan dengan RUPS. Keterbukaan ini tercantum pada pasal 8
ayat (2), pasal 29 ayat (5), pasal 66-69 dan pasal 75 ayat (2) UU PT
ii. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan kejelasan dan keteraturan fungsi,
hak, kewajiban, dan wewenang, serta tanggung jawab. Seperti
direksi bertanggung jawab atas pengelolaan perusahaan yang
ditetapkan pemegang saham, komisaris bertanggung jawab atas
pengawasan dan pemberian nasehat pada direksi dan pemegang
saham yang bertanggung jawab atas pembinaan dalam pengelolaan
perusahaan. Dengan adanya kejelasan atau akuntabilitas demikian
22

akan terjalin hubungan baik organ perusahaan dan pemegang saham


(Srefana, Henry Schawallbenberg, 2006:575-576).
iii. Pertanggungjawaban (Responsibility)
Pertanggungjawaban disini dimaksudkan kewajiban
perseroan dalam tanggung jawab sosial serta lingkungan dan juga
pemeriksaan perseroan mengenai adanya dugaan terhadap organ
perseroan yang melakukan perbuatan melawan hukum yang dapat
merugikan pemegang saham ataupun pihak ketiga. Dalam Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
disebutkan pada pasal 24-25 dan pasal 74 serta pasal 138 ayat (1).
iv. Kemandirian (Independency)
Kemandirian pada Undang-Undang Perseroan Terbatas
ditemukan pada pasal 36 ayat (1) mengenai larangan adanya
kepemilikan saham silang (cross holding) dan pasal 85 ayat (4)
mengenai larangan direksi, komisaris dan karyawan perseroan untuk
menjadi kuasa pemegang saham dalam pemungutan suara RUPS.
v. Kewajaran (Fairness)
Kewajaran mengenai kesetaraan hak hak yang dimiliki
organ-organ perseroan meliputi hak pemegang saham seperti
menghadiri RUPS dan melakukan pemungutan suara, hak pemegang
saham untuk meminta Salinan RUPS, hak ikut serta dalam
memutuskan hal-hal penting bagi perseroan seperti merger, akuisisi
dan penjualan atau pembelian harta tetap perseroan.

5. Tinjauan tentang Perbandingan Pengaturan Perusahaan Grup di


Berbagai Negara
a. Pengaturan Perusahaan Grup di Amerika Serikat
Di Amerika Serikat, pengaturan hukum perusahaan grup
menggunakan pendekatan pada prinsip entity law atau korporasi tunggal.
Entity law menyatakan bahwa peusahaan merupakan suatu badan hukum
yang mandiri (Sulistiowati,2013:75). Dalam hal ini maka kerangka pada
23

perusahaan grup menggunakan konsepsi separate legal entity. Dengan


adanya perkembangan pada realitas ekonomi di Amerika Serikat, entity
law dianggap sudah tidak efisien apabila diterapkan pada perusahaan grup.
Di samping itu, hukum korporasi di Amerika Serikat juga mengenal
piercing the corporate veil sebagai safety valve. Namun piercimg the
corporate veil di Amerika Serikat dianggap tidak berdaya menurut
Easterbrook dan Fishcell serta dianggap masih bersifat abstraksi
(Sulistiowati, 2013:76). Strasser berpendapat bahwa limited liability
sudah seharusnya tidak diterapkan dalam pertanggungjawaban perusahaan
grup karena limited liability didesain untuk pertanggungjawaban dari
investor perserorangan sedangkan induk perusahaan bukan investor
perseorangan (Strasser, 2004). Dengan ini, pada pengadilan di beberapa
negara bagian yang menggunakan konsep pengendalian, menggunakan
pendekatan pada piercing the corporate veil (Ivan Satrio, 2014). Piercing
the corporate veil dapat diterapkan apabila penggugat dapat membuktikan
bahwa :
1. Adanya dominasi atau kontrol yang dilakukan pemegang saham
sehingga mengakibatkan pemisahan badan hukum secara faktual tidak
lagi ada.
2. Dengan nama perusahaan, pemegang saham melakukan ketidak-
adilan.
b. Pengaturan Perusahaan Grup di Australia
Dalam The Corporations Law Australia tidak mendifinisikan secara
langsung mengenai perusahaan grup. Berdasar penjelasan Ramsey
pengaturan perusahaan grup di Australia masih menggunakan pendekatan
pada prinsip perseroan sebagai badan hukum yang mandiri (Ramsey,
1999). Dalam mengatasi permasalahan hukum mengenai perusahaan grup,
Australia melakukan pendekatan pada beberapa pengaturan diantaranya:
1. Pengadilan menggunakan prinsip lifting the corporate veil dalam
mengatasi permasalahan yang menyangkut mengenai limited liability
24

yang mengabaikan pemegang saham atau induk perusahaan dalam


perusahaan grup.
2. Larangan mengenai kepemilikan silang dalam perusahaan grup yaitu
kepemilikan silang dari anak perusahaan maupn perusahaan terafiliasi
guna memiliki saham pada anggota perusahaan lainnya.
3. Menbebankan tanggung jawab pada direktur mengenai praktik
shadow directors
4. Pengadilan dapat menerapkan vicarious liability apabila induk
perusahaan terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dengan
menggunakan anak perusahaan
c. Pengaturan Perusahaan Grup di Jerman
Jerman merupakan negara pertama yang mengatur secara jelas
mengenai hukum perusahaan grup dalam amandemen stock corporatin act
atau aktiengesetz. Hukum perusahaan Jerman mengatur perusahaan grup
dalam dua kelompok yaitu kelompok kontraktual dan faktual. Perusahaan
grup kontraktual merupakan perusahaan induk dan perusahaan anak yang
menjalankan perjanjian pengendalian. Perjanjian pengendalian ini hak
induk perusahaan menjalankan kuasa pengelolaan pada anak perusahaan.
Perusahaan grup faktual mempunyai karakteristik tidak didasarkan pada
perjanjian pengendalian antara induk dan anak perusahaan. Perusahaan
grup faktual didasarkan pada persilangan murni yang tertuang dalam
penyusunan anggaran dasar yang menjadi eksistesi dari pengaturan
perusahaan grup faktual.

Sistem pertanggungjawaban perusahaan grup kontraktual


didasarkan pada perjanjian pengendalian sedangkan sistem
pertanggungjawaban faktual diatur pada anggaran dasar dalam anak
perusahaan.
25

6. Tinjauan tentang Konstruksi Hukum

Konstruksi hukum merupakan cara atau metode dalam


penemuan hukum. Penemuan hukum merupakan proses ketika
menjumpai kurang lengkapnya atau ketidak jelasan suatu aturan
dalam Undang-Undang, maka dalam hal ini penegak hukum dapat
megkaji, mencari dan menggali hukum tersebut. Pada umumnya
penemuan hukum juga diartikan sebagai proses yang dilakukan
hakim atau penegak hukum lainnya dalam pelaksanaan hukum yang
disesuaikan pada peristiwa hukum yang kongkrit (Muliadi Nur,
2016). Dalam hal ini dikarenakan sistem hukum merupakan sistem
yang terbuka yaitu dapat dipengaruhi dan memepengaruhi sistem-
sistem lainnya, yang berarti sistem hukum juga menghadapi
perubahan dan pergeseran dampak perkembangan zaman (Siti
Mawar, 2016). Kemudian hukum dituntut menyesuaikan dengan
perubahan dan pergeseran tersebut melalui penemuan hukum salah
satunya ialah konstruksi hukum. Adapun konstruksi hukum terbagi
menjadi tiga bentuk yaitu analogi, penghalusan hukum dan
Argumentum a Contrario

B. Kerangka Pemikiran

Doktrin -Doktin Hukum


Perseroan Terbatas

Eksistensi Doktrin
Undang-Undang Perseroan Piercing The
Terbatas Corporate Veil
pada Undang-
Undang
Perusahaan Induk

Implementasi
Perusahaan Anak Doktrin Piercing
The Corporate Veil
26

Kerangka pemikiran diatas merupakan gambaran mengenai alur


yang dimaksudkan guna menjawab rumusan permasalahan dalam penelitian
ini. Doktrin-doktrin merupakan ajaran hukum yang pada penelitian ini
terkhusus pada doktrin perseroan yang kemudian diimplementasikan
kedalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas. Pada undang-undang tersebut mengatur dan membahas mengenai
induk perusahan, anak perusahan serta hubungan hukum antara induk dan
anak perusahaan yang terikat dalam perusahaan grup. Adanya hubungan
hukum di dalam perusahaan grup melahirkan adanya keterkaitan antara
induk dan anak perusahaan baik dalam ekonomi, hak serta tanggung jawab
satu sama lain. Oleh karena itu, pada penelitian ini membahas mengenai
sistem pertanggungjawaban dalam perusahaan grup berdasarkan doktrin
piercing the corporate veil yang diimplementasikan pada Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007.
27

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Singkat PT Bakrie Grup dan PT Lapindo Brantas

PT Bakrie & Brothers merupakan sebuah perseroan yang didirikan oleh


Achmad Barie pada tahun 1942. Awal mula PT Bakrie beroperasi dalam bidang
usaha perniagaan sederhana. PT Bakrie terus berkembang dari perusahaan
perniagaan sederhana, merambah ke berbagai bidang investasi maupun divestasi
yang kemudian menjadikan sebuah perusahaan grup. PT Bakrie atau yang
kemudian disebut dengan Bakrie Grup memiliki 17 anak perusahaan yang masih
membawahi beberapa anak perusahan lagi dengan rincian bidang sebagai berikut :
a. Bidang manufaktur dan infrastruktur
PT Bakrie & Brothers Tbk memiliki 12 anak perusahaan dibawahnya
b. Bidang media dan investasi
PT Bakrie Global Ventura memiliki 27 anak perusahaan dibawahnya
c. Bidang telekomunikasi
PT Bakrie Communications Corporation
PT Multi Kontrol Nusantara
d. Bidang property
PT Bakrieland Development Tbk memiliki 25 anak perusahaan dibawahnya
e. Perpusatakaan umum
Freedom Institut
f. Bidang agribisnis
PT Bakrie Sumatra Plantations Tbk memiliki 23 anak perusahaan dibawahnya
g. Bidang tambang dan migas
PT Bumi Resource Tbk memiliki 5 anak perusahaan dibawahnya
PT Energi Mega Persada Tbk memiliki 18 anak perusahaan dibawahnya
Bakrie Kalila Investment
h. Yayasan
Bakrie Center Foundation
Yayasan Pendidikan Bakrie
28

Yayasan Bakrie Amanah


Yayasan Achmad Bakrie

Dari beberapa anak perusahaan diatas, salah satunya PT Energi Mega


Persada Tbk merupakan perusahaan publik yang bergerak dibidang minyak dan gas
bumi. PT Energi Mega Persada atau EMP merupakan anak dari Bakrie Grup. PT
Energi Mega persada didirikan sejak tahun 2001 yang terus berkembang dan
beroperasi di beberapa wilayah diantaranya Riau, Mozambik, Sumatra, Jawa Timur
dan Kalimantan Timur. PT Energi Mega Persada memiliki 18 anak perusahaan
dimana salah satunya adalah PT Lapindo Brantas.
PT Lapindo Brantas sendiri bergerak dalam industri minyak dan gas bumi.
Saham PT Lapindo Brantas dikuasai 100% seluruhnya oleh PT Energi Mega
Persada yang sahamnya dimiliki melalui PT Kalila Energy Ltd sebanyak 84,24%
dan Pan Asia Enterprise sebanyak 15,76%. Namun pada 2007 Pemegang saham PT
Energi Mega Persada Tbk menyetujui untuk mengkonversi hutang kedua anak
perusahaannya (PT Kalila Energy Ltd dan Pan Asia Enterprise) kepada PT Minarak
Labuan. PT Minarak Labuan ini merupakan perseroan yang didirikan sejak tahun
1997 dan mempunyai saham tiga puluh juta yang secara mayoritas atau sebanyak
23.870.000 saham dikuasai PT Bakrie Capital Indonesia yang juga dikontrol dan
dimiliki Bakrie Grup. PT Lapindo Brantas ini merupakan salah satu perusahaan
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang ditunjuk oleh BPMigas untuk
melakukan pengeboran minyak dan gas bumi di Sidoarjo, Jawa Timur, Indonesia
yang berbuntut pada insiden yang mengakibatkan banjir lumpur panas yang kita
kenal lumpur lapindo.
BPMigas atau Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas
Bumi merupakan Lembaga yang dibentuk sejak tanggal 16 Juli 2002 oleh
Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001
tentang Minyak dan Gas Bumi serta Peraturan Pemerintag Nomor 42 Tahun 2002
tentang BPMigas. Lembaga ini merupakan Lembaga yang dibentuk untuk menjadi
Pembina dan pengawas pada Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) guna
menjalankan eksplorasi, eksploitasi dan pemasaran di Indonesia.
29

B. Konstruksi Hukum Hubungan Induk Perusahaan Bakrie Grup dan Anak


Perusahaan PT Lapindo Brantas dalam hukum korporasi di Indonesia
Perusahaan grup merupakan suatu reaksi perkembangan dalam hukum
perusahaan guna meningkatnya efisiensi ekonomis suatu usaha. Dengan adanya
perusahaan grup menjadi permasalahan hukum baru karena tidak diseimbangkan
dengan perkembangan peraturan yang mengatur mengenai perusahaan grup yang
sampai saat ini belum ada pengakuan secara yuridis mengenai status perusahaan
grup. Peraturan perusahaan grup masih terikat pada Undang-Undang Perseroan
Terbatas yang hanya mengatur perusahaan secara tunggal. Oleh karena itu munculah
prinsip prinsip moderen atau yang biasa kita kenal sebagai doktrin. Dalam hukum
korporasi, doktrin dimaksudkan sebagai aturan untuk membatasi perilaku-perilaku
pribadi dibalik organ perseroan agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan melawan
hukum atau yang dapat merugikan pihak lainnya dalam menjalankan perseroan
tersebut.
Doktrin dalam ilmu hukum merupakan pendapat yang dikemukakan para
ahli hukum yang kemudian dijadikan dasar atau asas dalam pelaksanaan hukum.
Adapun doktrin menurut Bernard Aries Sidharta bahwa doktrin merupakan ajaran
hukum tampungan dari norma-norma sehingga menjadi subyek hukum. Berbeda
halnya dengan pendapat Van Apeldoorn yang mengatakan bahwa doktrin hanya
membantu dalam pembentukan norma sehingga doktrin merupakan sumber tidak
langsung dalam implementasi hukum. Menurut R.Soeroso dan Sudikno
Mertokusumo doktrin merupakan pendapat para sarjana hukum yang membantu
hakim dan memiliki pengaruh yang besar dalam mengambil keputusan yang juga
menjadi sumber hukum.
Dari beberapa pernyataan para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa doktrin
merupakan pemikiran kritis para ahli yang dikemukakan secara rasional dan
memiliki peranan penting yang dapat mempengaruhi hakim dalam mengambil suatu
putusan atau dapat dijadikan sebagai kaidah hukum untuk memecahkan masalah
tertentu. Berangkat dari hal tersebut maka doktrin juga merupakan sumber hukum
positif.
30

Adapun doktrin-dontrin dalam hukum korporasi di Indonesia yaitu sebagai


berikut:
1. Separate Legal Entity
Separate legal entity merupakan doktrin pada perseroan yang menyatakan
tegas bahwa pada Perseroan Terbatas (PT) merupakan kesatuan hukum yang
terpisah dari subjek hukum pribadi yang menjadi pendiri atau pemegang saham.
Esensi dari doktrin separate legal entity yaitu perseroan mempunyai personalitas
atau kepribadian yang berbeda dari yang menciptakannya (Titik: 2018:182).
Dalam hal ini terdapat tabir (veil) diantara perseroan sebagai suatu legal entity
dengan pemegang saham perseroan tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat
4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
pemisahan antara perseroan dengan pemilik atau pemegang saham terhitung
sejak perseroan mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum dari Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Hal ini juga diimplikasikan pada perusahaan grup dikarenakan perusahaan
grup masih menggunakan pendekatan dalam kerangka perseroan tunggal. Pada
perusahaan grup walaupun terdapat keterkaitan hubungan antara anak
perusahaan dan induk perusahaan, tidak menghapuskan status badan hukum
subyek hukum yang mandiri. Dalam perusahaan grup, induk perusahaan
dianggap sebagai pemegang saham atas perusahaan lain (Ivan Satrio, 2014:6).
2. Limited Liability
Kemudian dari adanya prinsip separate legal entity pada perseroan yang
merupakan entitas yang berbeda atau adanya pemisahan entitas dengan
pemegang saham diikuti dengan adanya prinsip limited liability atau
keterbatasan tanggung jawab. Dalam hal ini dimaksudkan kepada pemegang
saham hanya bertanggung jawab sebesar saham yang dimiliki. Prinsip limited
liability ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 3
ayat 1 yang menegaskan bahwa pemegang saham hanya pertanggung jawab
sebatas pada sahamnya. Saham yang dimiliki pemegang saham memberikan hak
kepada pemegang saham untuk mengeluarkan suara pada Rapat Umum
Pemegang Saham (RUPS), mendapatkan dividen, mendapatkan aset secara
31

proporsional sesuai dengan jumlah saham yang dimiliki apabila perseroan


mengalami likuidasi dan memiliki hak untuk mengontrol secara tidak langsung
atas operasional sehari-hari perseroan dan kebijakan direksi. Sehingga semakin
banyak memiliki saham pada suatu perseroan maka semakin besar pula peluang
kekuasaan untuk mengontrol atas usaha yang dilakukan suatu perusahaan.
3. Fiduciary Duty
Dalam sebuah perseroan direksi memiliki tanggung jawab untuk melakukan
kewajibannya dengan itikad baik yang kemudian dikenal dengan prinsip
fiduciary duty. Dengan adanya prinsip ini maka seorang direksi harus memiliki
duty of care atau kepedulian atau kehati-hatian dalam menjalankan persoran,
duty of skill atau kemampuan untuk menjalan perseroan dan duty of loyalty atau
kepercayaan untuk direksi agar selalu berpihak pada kepentingan perseroan.
Menurut Ridwan Khairandy, dalam menjalankan perseroan seorang direksi
dituntut untuk menjalankan perseroan menggunakan prinsip fiduciary duty
dilakukan dengan itikad baik, memenuhi unsur tujuan yang layak (proper
purpose), kebebasan yang bertanggung jawab (unfettered direction) serta tidak
adanya benturan kepentingan (conflict of duty and interest) (Ridwan Khairandy,
2009:209).
Pada dasarnya, direksi melakukan prinsip fiduaciary duty sebagai tanggung
jawabnya terhadap perseroan. Namun juga harus dengan memperhatikan atau
mempertimbangkan kepentingan pemegang saham. Disamping itu direksi
mempunyai kebebasan untuk mengeluarkan suara pada setiap rapat dan
mengambil keputusan sesuai dengan keyakinanya yang sesuai dengan
kepentingan usaha perseroan tersebut. Hal ini sesuai pada Pasal 92 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dimana
direksi mempunyai kebebasan untuk melakukan tindakan yang sesuai dan tepat
dalam batas yang ditentukan oleh Undang-Undang dan anggaran dasar
perseroan.
32

4. Good Corporate Governance


Direksi harus menjalankan tugas dan bertindak baik berdasar infomasi yang
cukup yang kemudian diolah dengan kemampuan yang memadahi (Wahyono
Darmabrata, 2003:30). Terdapat 5 komponen Good Corporate Governence pada
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagai
berikut :
a. Keterbukaan (Transparency)
Yang dimaksud keterbukaan menyangkut pada akta pendirian wajib
memuat informasi, kewajiban melakukan pendaftaran perseroan yang
terbuka untuk umum, kewajiban direksi mengungkap informasi perseroan
dalam bentuk laporan tahunan dan hak pemegang saham untuk memperoleh
keterangan sepanjang berkaitan dengan RUPS. Keterbukaan ini tercantum
pada pasal 8 ayat (2), pasal 29 ayat (5), pasal 66-69 dan pasal 75 ayat (2)
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
b. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan kejelasan dan keteraturan fungsi, hak,
kewajiban, dan wewenang, serta tanggung jawab. Seperti direksi
bertanggung jawab atas pengelolaan perusahaan yang ditetapkan pemegang
saham, komisaris bertanggung jawab atas pengawasan dan pemberian
nasehat pada direksi dan pemegang saham yang bertanggung jawab atas
pembinaan dalam pengelolaan perusahaan. Dengan adanya kejelasan atau
akuntabilitas demikian akan terjalin hubungan baik organ perusahaan dan
pemegang saham (Srefana, Henry Schawallbenberg, 2006:575-576).
c. Pertanggungjawaban (Responsibility)
Pertanggungjawaban disini dimaksudkan kewajiban perseroan dalam
tanggung jawab sosial serta lingkungan dan juga pemeriksaan perseroan
mengenai adanya dugaan terhadap organ perseroan yang melakukan
perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan pemegang saham ataupun
pihak ketiga. Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas disebutkan pada pasal 24-25 dan pasal 74 serta pasal 138
ayat (1).
33

d. Kemandirian (Independency)
Kemandirian pada Undang-Undang Perseroan Terbatas ditemukan pada
pasal 36 ayat (1) mengenai larangan adanya kepemilikan saham silang
(cross holding) dan pasal 85 ayat (4) mengenai larangan direksi, komisaris
dan karyawan perseroan untuk menjadi kuasa pemegang saham dalam
pemungutan suara RUPS.
e. Kewajaran (Fairness)
Kewajaran mengenai kesetaraan hak hak yang dimiliki organ-organ
perseroan meliputi hak pemegang saham seperti menghadiri RUPS dan
melakukan pemungutan suara, hak pemegang saham untuk meminta salinan
RUPS, hak ikut serta dalam memutuskan hal-hal penting bagi perseroan
seperti merger, akuisisi dan penjualan atau pembelian harta tetap perseroan.
5. Piercing The Corporate Veil
Kata piercing the corporate veil terdiri kata pierce yang berarti menembus
atau menyobek atau mengoyak dan veil yang berarti tirai atau kain atau
kerudung. Maka secara harfiah istilah piercing the corporate veil mempunyai
arti menyingkap tirai perusahaan. Dan pada hukum perusahaan piercing the
corporate veil diartikan sebagai prinsip atau teori yang membebankan tanggung
jawab ke pundak orang lain akibat perbuatan hukum yang dilakukan pelaku
tanpa melihat fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan untuk
perusahaan pelaku tersebut (Munir Fuady, 2005:8).

Piercing the corporate veil merupakan suatu doktrin yang membuat


pengecualian terhadap suatu prinsip umum dimana tanggung jawab pengurus
perusahaan dibatasi yang dapat menyebabkan penyimpangan sehingga tanggung
jawab pengurus perusahaan tidak lagi terbatas (Reed, 2006). Doktrin piercing
the corporate veil merupakan upaya mengungkap tabir korporasi dalam proses
hukum yang biasa mengabaikan kekebalan pejabat perusahaan dari tanggung
jawab kegiatan perusahaan, maka dengan adanya doktrin ini tanggung jawab
pemegang saham terbatas diabaikan (Ranuhandoko, 2000). Menurut
Chatamarrasjid apabila terjadi pencampuran mengenai harta benda milik
pemegang saham dan perseroan atau suatu perseroan didirikan sebagai sarana
34

pemegang saham memenuhi tujuan pribadinya, dengan ini maka pemegang


saham harus bertanggung jawab dengan harta pribadinya (Chatamarrsjid, 2000).
Selain itu apabila mengutip dari jurnal Urgency of development of piercing the
corporate veil doctrine to Governize a group company: Indonesian context
mengenai doktrin piercing the corporate veil yaitu :
“From the perspective of corporate jurisprudence, Piercing The Corporate
Veil doctrine could be referenced as a process to impose liability to individuals
or corporations for legal acts committed by the company, irrespective of the fact
that the act is actually perpetrated by the company. In this case, the court shall
disregard the legal entity status of the company and assign the responsibility to
the individual irrespective of the principle of limited liability of the company as
a legal entity normally enjoyed by the individual”
Bahwa, dari prespektif yurisprudensi korporasi, doktrin piercing the
corporate veil merupakan suatu proses untuk membebankan tanggung jawab
kepada individu tau korporasi atas perbuatan hukum yang dilakukan oleh
perusahaan, terlepas bahwa sebenarnya perbuatan tersebut dilakukan oleh
perusahaan. Dalam hal ini, maka pengadilan akan mengabaikan status badan
hukum perusahaan dan membebankan tanggung jawab kepada orang tersebut
terlepas dari prinsip terbatas pada perseroan (Tri Widiyono, 2018:16).
Doktrin piercing the corporate veil muncul dan diterapkan ketika adanya
kerugian atau tuntutan hukum dari pihak ketiga terhadap perusahaan. Adapaun
yang menjadi kriteria dasar agar doktin piercing the corporate veil dapat secara
hukum dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut (Munir Fuady, 2002:10):
1. Terjadinya penipuan
2. Adanya ketidakadilan
3. Adanya penindasan (oppression)
4. Tidak memenuhi unsur hukum (illegality)
5. Dominasi pemegang saham yang berlebihan
6. Perusahaan merupakan alter ego dari pemegang saham mayoritas
35

Prinsip piercing the corporate veil juga tertuang pada Undang-Undang


Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada Pasal 3 ayat (2) yang
berbunyi:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan
pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung
secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang
Perseroan.”
Adanya prinsip-prinsip hukum atau doktrin ini dapat memungkinkan
timbulnya konstruksi hukum hubungan induk dan anak perusahaan baru berdasarkan
doktrin-doktrin itu sendiri. Konstruksi hukum merupakan metode penemuan hukum.
Penemuan hukum merupakan proses ketika adanya kurang lengkapnya atau ketidak
jelasan suatu aturan dalam Undang-Undang yang mengatur peristiwa kongkrit, maka
dalam hal ini penegak hukum dapat megkaji, mencari dan menggali hukum tersebut
(Muliadi Nur, 2016). Kontruksi hukum adalah cara untuk mengisi kekosongan
hukum atau kekosongan peraturan perundang-undangan yang dilengkapi dengan
asas-asas hukum atau prinsip-prinsip hukum atau sendi-sendi hukum (Enju Juanda,
2016:157). Di Indonesia kekosongan hukum dikaitkan dengan istilah rechtsvacuum
yang apabila dalam kontekstual arti dari rechtsvacuum adalah kekosongan peraturan
atau kekosongan perundang-undangan. Gejala-gejala kurang lengkapnya suatu
peraturan atau bahkan kekosongan pada peraturan perundang-undangan pada
faktanya sering terjadi di Indonesia yang kemudian menjadi dasar perlu adanya
pendekatan konstruksi pada saat mengimplementasikan suatu hukum.
36

Menurut hasil dari The Conference of European Constitutional Courts yang


dikutip dari jurnal mimbar hukum ialah :

“ the existence of legal vacuum id fue to objective and subjective factors. The
objective causative of legal gaps means that the ever-changing dynamics of society
moving at a more faster pace that the creation of rules. Thus, legal norms will
always be a lag behind. The subjective causative means that it put emphasize on the
lawmakers. It is because of the inability of lawmakers to anticipate development
that create gaps between law and society”
Yang menjelaskan bahwa faktor penyebab kekosongan hukum adalah faktor obyektif
dan faktor subyektif. Faktor obyektifnya adalah adanya dinamika kehidupan yang
berkembang sangat cepat dan tidak diimbangi dengan pembaharuan peraturan
sehingga peraturan atau hukum tertinggal dari perkembangan masyarakat. faktor
subyektif lebih ditekankan pada ketidakmampuan pembentuk Undang-Undang untuk
mengantisipasi adanya perkembangan atau perubahan zaman (Bisaryadi, 2017:139).
Adapun konstruksi hukum itu sendiri terbagi menjadi 3 bentuk yaitu
analogi, penghalusan hukum dan argumentasi A Contrario dengan penjelasan
sebagai berikut :
1. Analogi
Analogi merupakan bentuk penerapan pada keadaan yang pada dasarnya sama
dengan keadaan sudah diatur dalam suatu ketentuan hukum. Maksud dari analogi
adalah untuk memperluas berlakunya pengertian hukum atau perundang-
undangan. Analogi dibutuhkan akibat perlunya perluasan hukum dengan
menyesuaikan tempat, waktu dan situasi. Contohnya adalah pada pasal 1576
Kitab Hukum Undang-Undang Perdata yang menjelaskan bahwa perbuatan jual
beli tidak menghapuskan perjanjian sewa menyewa. Dalam konteks perbuatan
jual beli juga diaplikasikan pada perbuatan hibah, hadiah, ataupun warisan karena
dianggap memliki arti yang sama karena beralihnya hak milik.
2. Penghalusan Hukum
Penghalusan hukum ialah memperlakukan hukum dengan sedemikian rupa
sehingga seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Penghalusan hukum ini
secara tidak langsung mempersempit berlakunya suatu peraturan karena
37

penghalusan hukum ini menerapkan hukum dengan cara lain dari ketentuan
hukum yang sudah tertulis atau tidak menerapkan hukum. Contohnya pada suatu
kejadian tabrakan antara A dan B yang sama sama melanggar lalu lintas satu sama
lain dan apabila A menuntut ganti rugi kepada B maka sama hal dengan B yang
juga akan menuntu ganti rugi kepada A. Dalam hal ini maka terjadilah
kompensasi ganti rugi pada keduanya.
3. Argumentum A Contrario
Argumentum a contrario merupakan sebuah penerapan yang berlawanan dari
ketentuan suatu hukum. Contoh dari argentum a contrario adalah pada Undang-
Undang perkawinan dijelaskan bahwa wanita setelah bercerai dari suaminya
tidak boleh menikah sebelum 300 hari. Dalam hal ini tidak disebutkan mengenai
kata laki-laki maka dapat diartikan bahwa laki-laki setelah bercerai boleh
melangsungkan pernikahan tanpa ada minimum hari yang ditentukan.
Konstruksi hukum dalam perusahaan grup terdapat hubungan hukum antara
induk dan anak perushaan karena adanya kontrol induk perusahaan terhadap anak
perusahaan. Apabila ditinjau berdasarkan dokrtin separate legal entity maka
konstruksi hukum hubungan induk perusahaan dan anak perusahaan dalam kelompok
perusahaan atau perusahaan grup merupakan suatu entitas atau subyek hukum
mandiri yang terpisah. Dalam hal ini selaras dengan hukum perseroan di Indonesia
dimana perseroan merupakan wujud suatu entitas yang berbeda dari pemiliknya atau
pemegang sahamnya. Karena belum adanya peraturan jelas yang mengatur
perusahaan grup dan perusahaan grup masih menggunakan pendekatan peraturan
tentang perseroan tunggal, maka dalam hal ini konstruksi perusahaan grup
dianalogikan sama dengan perseroan tunggal. Sehingga induk perusahaan yang
menjadi pemegang saham atas anak perusahaan merupakan entitas yang berbeda
dengan anak perusahaan itu sendiri.
Kemudian dari itu, dengan adanya separate legal entity mengakibatkan
adanya pertanggungjawaban terbatas (limited liability) antara pemegang saham
terhadap perseroan. Pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang
ditanamkan. Sama halnya dalam perusahaan grup, bahwa induk perusahaan sebagai
38

pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang ditanamkan pada
anak perusahaan.
Mengenai pernyataan diatas maka konstruksi hukum dalam hubungan
perusahaan grup antara induk dan anak perusahaan masih menggunakan pendekatan
pada peraturan perseroan tunggal yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas. Konstruksi hukum hubungan induk perusahaan dan
anak perusahaan yang masih didasrkan pada peraturan perseroan ini memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Perusahaan grup terdiri atas susunan induk perusahaan dan anak perusahaan
merupakan badan hukum mandiri yang terpisah (separate legal entity).
2. Adanya keterbatasan tanggung jawab (limited liability) anatara induk perusahaan
sebagai pemegang ekonomi dengan anak perusahaan.
3. Perusahaan grup merupakan satu kesatuan secara ekonomi.

Doktrin separate legal entity diimplementasikan kedalam perusahaan grup


di Indonesia. Pada PT Lapindo Brantas yang sebagai anak perusahaan, secara yuridis
merupakan suatu entitas yang berbeda dengan induk perusahaannya. Walaupun
mayoritas sahamnya atau 100% sahamnya dimiliki oleh induk perusahaannya PT
Energi Mega Persada yang kemudian dikonversikan ke PT Minarak Labuan yang
dikuasai oleh Bakrie Grup. Karena pengaturan perusahaan grup di Indonesia masih
menggunakan pendekatan pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas yang menganut mengenai separate legal entity.
Kepemilikan mayoritas saham anak perusahaan memberikan hak pada
induk perusahaan yaitu zeggeenshapsfunctie dan baleggungsfunctie (Sulistiowati,
2010:117). Zeggenschapsfunctie merupakan hak suara induk perusahaan untuk
mengendalikan anak perusahaan melalu berbagai mekanisme pengendalian guna
mendukung konstruksi perusahaan grup sebagai satu kesatuan ekonomi sesuai
dengan ketentuan one share one vote yang diatur pada Pasal 84 ayat (1) Undang-
Undang Perseroan Terbatas. Pada pasal tersebut dijelaskan bahwa setiap saham yang
dikeluarkan memiliki satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain dan
atas kepemilikan lebih besar dari 50% saham pada anak perusahaan memberikan
kewenangan induk perusahaan untuk mengendalikan anak perusahaan dan
39

mengarahkan jalannya rapat umum pemegang saham. Sedangkan baleggingsfunctie


dapat diartikan sebagai hak induk perusahaan untuk memperoleh keuntungan yang
lebih banyak dari investasi pada anak perusahaan dalam perusahaan grup dibanding
pada perusahaan tunggal. Hal ini didapat melalui kewenangan induk perusahaan atas
pengendalian anak perusahaan yang diarahkan untuk mendukung konstruksi
perusahaan grup sebagai satu kesatuan ekonomi.
Hak dan kewajiban yang timbul diantara induk perusahaan dan anak
perusahaan mengakibatkan hubungan hukum yang timbul dalam perusahaan grup.
Hubungan antara induk perusahaan dan anak perusahaan diatur jelas dalam anggaran
dasar anak perusahaan dan sesuatu tindakan hukum yang dilakukan oleh anak
perusahaan harus mendapatkan persetujuan dari rapat umum pemegang saham
dimana dikuasai oleh induk perusahaan sebagai pemilik saham mayoritas. Oleh
sebab itu, hubungan tersebut disamakan dengan perseroan terbatas tunggal karena
induk perusahaan melakukan pengawasan terhadap anak perusahaan sesuai dengan
porsi pemegang saham dan disesuaikan dengan aturan dalam anggaran dasar anak
perusahaan (Rita, 2009:82). Hubungan dalam perusahaan grup antara induk
perusahaan dan anak perusahaan memuat beberapa aspek, yaitu (Sulistiowati,
2010:96) :
1. Kepemilikan induk perusahaan atas saham anak perusahaan
Kepemilikan induk perusahaan atas saham anak perusahaan dengan jumlah
signifikan atau lebih dari 50% menjadikan induk perusahaan berwenang untuk
bertindak sebagai pimpinan sentral yang mengendalikan anak perusahan melalui
berbagai mekanisme pengendalian seperti rapat umum pemegang saham.
2. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Kewenangan induk perusahaan dalam mengendalikan anak perusahaan
dapat melalui mekanisme rapat umum pemegang saham anak perusahaan dimana
induk perusahaan dapat menetapkan hal-hal utama yang mendukung pencapaian
perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi seperti rencana strategis. Rencana
strategis menurut Kernzer merupakan alat manajemen yang digunakan sebagai
petunjuk dalam bekerja sampai dengan lima atau 10 tahun yang berisikan visi,
misi, sasaran atau tujuan.
40

3. Penempatan anggota direksi atau dewan komisaris anak perusahaan


Salah satu pengendalian induk perusahaan juga dilakukan dalam
penempatan anggota direksi atau dewan komisaris induk perusahaan untuk
merangkap sebagai direksi atau komisaris anak perusahaan guna mengetahui
perkembangan anak perusahaan.
4. Keterkaitan melalui perjanjian hak suara
Keterkaitan induk perusahaan dan anak perusahaan dapat terjadi karena
adanya perjanjian antara pemegang saham yang menyepakati penunjukan direksi
dan dewan komisaris ditentukan oleh salah satu pemegang saham pendiri.
5. Keterkaitan melalui kontrak
Sebuah perusahaan dapat menyerahkan kendali atas manajemennya kepada
perusahaan lainnya melalui pengelolaan perusahaan.

Dengan adanya kepemilikan saham yang mengakibatkan pemegang saham


mempunyai hak suara untuk mengendalikan suatu perusahaan maka semestinya tidak
ada batas antara pemegang saham atau induk perusahaan dengan anak perusahaan.
Dalam hal ini selaras apabila dalam perusahaan grup menggunakan konstruksi
hukum yang ditinjau dari piercing the corporate veil. Sebagaimana telah dijelaskan
diatas bahwa doktrin piercing the corporate veil merupakan doktrin untuk membuka
tirai pada pribadi-pribadi dibalik suatu badan hukum, baik pada pemegang saham,
anggota direksi dan anggota dewan komisaris. Organ perseroan yang semula
mendapatkan imunitas tanggung jawab namun dengan adanya doktrin piercing the
corporate veil ini maka mereka dapat dimintakan pertanggungjawaban sampai
dengan harta pribadi (Tri Widiyo, 2013:31). Prinsip ini secara tegas mengajarkan
bahwa dalam hal-hal tertentu pertanggungjawaban dalam badan hukum tidak lagi
terbatas. Jadi pemegang saham kini dapat dimintakan pertanggungjawaban
sebagaimana sesuai pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas. Namun prinsip piercing the corporate veil tidak hanya
terbatas pada Undang-Undang Perseroan Terbatas Pasal 3 ayat (2) melainkan juga
mencakup pada setiap perbuatan hukum yang tidak selaras dengan maksud dan
tujuan perseroan yang dilakukan pemegang saham, komisaris maupun direksi
perseroan. Doktrin piercing the corporate veil diterapkan kepada setiap organ
41

perseroan yang dalam kedudukannya memungkinkan terjadinya penyimpangan.


Dengan maksud, organ-organ pada perseroan dapat dimintakan tanggung jawab atas
kerugian perseroan (Putri,Tumanggor, 2015:46).
Adapun beberapa sebab diperlukannya doktrin piercing the corporate veil
dalam hubungan induk perusahaan terhadap tindakan hukum anak perusahaan
yakni melihat realitas bisnis yang ada sebagai berikut (Sulistiowati, 2013:8) :
1. Adanya dominasi yang dilakukan induk perusahaan terhadap anak
perusahaan. Dalam hal ini induk perusahaan melakukan pengendalian
terhadap anak perusahaan sesuai dengan fungsinya sebagai pemegang saham
anak perusahaan. Baik melalui hak suara dalam RUPS anak perusahaan
maupun pengangkatan anggota direksi ataupun dewan komisaris anak
perusahaan. Pelaksanaan hak suara oleh induk perusahaan ini diarahkan untuk
tercapainya tujuan dari penanaman modal atau saham pada anak perusahaan.
Kemudian hal ini memungkinkan untuk induk perusahaan melakukan
tindakan oportunistik atau tindakan yang didefinisikan sebagai tindakan
untuk mencari keuntungan atau kepentingan pribadai dalam hubungan
kemitraan (Alexander, 2013:87). Berikut tindakan – tindakan oportunistik
yang dimungkinkan terjadi :
a. Tindakan induk perusahaan yang melakukan eksternalisasi usaha yang
kemudian berisiko pada anak perusahaan.
b. Tindakan induk perusahaan yang memanfaatkan utang anak perusahaan
untuk membiayai operasional anak perusahaan lainnya tanpa
sepengetahuan kreditur dan anak perusahaan tersebut.
c. Tindakan induk perusahaan untuk mengalihkan asset anak perusahaan
yang hampir bangkrut kepada anak perusahaan lain tanpa sepengatahuan
dari pemegang saham minoritas ataupun kreditur anak perusahaan
tersebut.
Disamping itu derajat pengendalian induk terhadap anak perusahaan dapat
dibedakan sebagai berikut:
a. Pengendalian induk perusahaan sebagai pengaruh dalam kebijakan
strategik anak perusahaan. Dalam hal ini dimaksudkan induk perusahaan
42

hanya mempengaruhi kebijakan dan anak perusahaan memiliki


kemandirian untuk menjalan perseroan sendiri dalam sehari harinya.
b. Pengendalian induk perusahaan sebagai dominasi pada seluruh
kepengurusan anak perusahaan. Yang kemudian anak perusahaan
semakin tidak mandiri atau dimungkingkan hilang kemandiriannya akibat
dominasi induk perusahaan dan anak perusahaan hanya sebagai bayang-
bayang induk perusahaan.
2. Induk perusahaan berlindung dibalik doktrin limited liability atau prinsip
pertanggungjawaban terbatas. Dikarenakan perusahaan grup menggunakan
peraturan perseroan maka berlaku juga doktrin limited liability pada induk
perusahaan yang menyebabkan tanggung jawab induk perusahaan terbatas
dan memungkinkan bisa untuk tidak bertanggung jawab apabila induk
perusahaan mengeksternalisasi kegiatan usaha yang berisiko kepada anak
perusahaan lapisan ketiga, keempat, kelima dan seterusnya.

3. Adanya perbuatan melawan hukum atau wanprestasi dari induk perusahaan.


Apabila induk perusahaan terbukti telah melakukan perbuatan melawan
hukum terhadap perusahaan lainnya melalui anak perusahaan maka doktrin
piercing the corporate veil dapat diberlakukan. Wanprestasi ataupun adanya
unsur kerugian akibat perbuatan melawan hukum menjadi alasan dasar untuk
pelaku bertanggung jawab. Apabila induk perusahaan dapat dibuktikan
melakukan perbuatan melawan hukum, maka tanggung jawab hukum dapat
dibebankan pada induk perusahaan. Demikian juga, tanggung jawab
kontraktual lahir sejak adanya kewajiban dalam hubungan kontraktual.
Namun, tanggung jawab baru lahir ketika kewajiban kontraktual tidak
dilaksanakan. Dengan demikian, apabila wanprestasi terjadi maka holding
dapat diberlakukan piercing the corporate veil ini, sehingga tanggung jawab
dapat dibebankan pada Holding, sesuai dengan terminologi hukum bahwa
beban yang harus dipikul seseorang karena ia tidak memenuhi kewajibannya,
baik kewajiban yang disepakati dalam kontrak ataupun kewajiban yang telah
ditentukan oleh hukum (Sulistiowati, 2013:135).
4. Karena adanya unsur kerugian terhadap pihak ketiga yaitu:
43

a. adanya kerugian pada pihak ketiga yang kemudian diikuti dengan alasan
undercapitalization yang merupakan alasan utama untuk
mengaplikasikan atau mengajukan gugatan piercing the corporate veil
atau membebankan tanggung jawab pada induk perusahaan
b. Adanya pengalihan asset pada anak perusahaan yang hampir bangkrut ke
anak perusahaan lainnya oleh induk perusahaan tanpa sepengetahuan
kreditur sehingga mengakibatkan kerugian pada kreditur. Karena hal ini,
kreditur sulit untuk menuntut aset yang sudah dialihkan kepada anak
perusahaan lainnya.
c. Induk perusahaan dapat melakukan pengumpulan aset modal dan non
modal yang diarahkan untuk mendukung keputusan dan melaksanakan
kewajiban hutang korporasi. Sebaliknya, secara teoritis pemegang saham
pengendali melaksanakan pengurangan aset untuk menghindari berbagai
tanggung jawab yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Melihat dari penjabaran teori diatas maka separate legal entity kurang
selaras dengan realiatas persuahaan grup. Bahwa konstruksi hukum hubungan
induk perusahaan dan anak perusahaan di Inodesia sudah semestinya didasarkan
pada doktrin piercing the corporate veil merupakan penyibakan tirai antara
pemegang saham atau induk perusahaan dan anak perusahaan yang meniadakan
kemandirian perseroan (separate legal entity) yang diikuti dengan pengabaian
pertanggungjawaban terbatas (limited liability). Hal ini dikarenakan doktrin
piercing the corporate veil menunjukan bahwa suatu perseroan terbatas dalam
perusahaan grup sering kali tidak dapat dipisahkan dari kehendak para pihak
pemegang saham yang dimaksudkan dalam posisi ini ialah induk perusahaan. Pada
konteks ini diartikan bahwa piercing the corporate veil menyatakan apabila
keadaan terpisah antara perseroan terbatas sebagai anak perusahaan dengan induk
perusahaan sebagai pemegang sahamnya tidak ada, maka selayaknya prinsip
tanggung jawab terbatas dari pemegang saham juga dihapuskan. Dengan
disobeknya tirai antara anak perusahaan dengan induk perusahaan sebagai
pemegang saham dalam menjalankan perusahaan grup, maka tirai pembatas
mengenai pertanggungjawaban terbatas juga dihapuskan. Dalam konteks ini maka
44

pemegang saham atau induk perusahaan turut bertanggung jawab apabila ada pihak
ketiga yang dirugikan. Seperti pada kasus lumpur lapindo, apabila menggunakan
konstruksi hukum sesuai dengan piercing the corporate veil maka dapat menyobek
atau membuka tirai antara anak perusahaan PT Lapindo Brantas dengan induk
perusahaannya Bakrie Grup. Sehingga Bakrie Grup dapat dimintakan pertanggung
jawaban atas kerugian yang ditanggung anak perusahaannya PT Lapindo Brantas.
Apabila melihat pada hukum korporasi di Amerika Serikat, sistem
perusahaan grup didominasi menggunakan pendekatan pada legal entity law
dimana perusahaan dalam perusahaan grup merupakan badan hukum yang mandiri
dan memeiliki hak serta tanggung jawab yang mandiri (Sulistiowati, 2013:72).
Dengan menggunakannya pendekatan legal entity law ini mendorong penggunaan
prinsip limited liability baik pemegang saham pada perseroan tunggal maupun
induk perusahaan pada perusahaan grup. Dengan adanya perkembangan,
menimbulkan pro dan kontra pada pendekatan separate legal entity law dan
penggunaan prinsip limited liability. Strasser berpendapat bahwa limited liability
sudah seharusnya tidak diterapkan dalam pertanggungjawaban perusahaan grup
karena limited liability didesain untuk pertanggungjawaban dari investor
perserorangan sedangkan induk perusahaan bukan investor perseorangan (Strasser,
2004). Namun, pada pengadilan di beberapa negara bagian yang menggunakan
konsep pengendalian, menggunakan pendekatan pada piercing the corporate veil
(Ivan Satrio, 2014). Piercing the corporate veil dapat diterapkan apabila penggugat
dapat membuktikan bahwa :
1. Adanya dominasi atau kontrol yang dilakukan pemegang saham sehingga
mengakibatkan pemisahan badan hukum secara faktual tidak lagi ada.
2. Dengan nama perusahaan, pemegang saham melakukan ketidak adilan.

Berbeda halnya dengan di Jerman yang sudah ada pengaturan jelas


mengenai perusahaan grup dan membedakan secara spesifik mengenai dua kategori
perusahaan grup yaitu contractual concern dan factual concern. Dengan adanya
pengaturan ini, tidak setiap kasus dengan sistem pertanggungjawaban yang
menyebabkan prinsip separate legal entity dari perusahaan yang mengontrol
terhadap perusahaan yang dikontrol menjadi diabaikan (Ivan Satrio, 2004).
45

Piercing the corporate veil dapat diterapkan apabila terdapat kondisi qualified
natural holding.
Apabila dilihat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 piercing the
coporate veil tertuang pada Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa ketentuan yang
termuat pada Pasal 3 ayat (1) mengenai keterbatasan pertanggungjawaban
pemegang saham tidak berlaku apabila belum terpenuhinya syarat perseroan
sebagai badan hukum, pemegang saham terbukti melakukan itikad buruk untuk
memanfaatkan perseroan baik secara langsung maupun tidak, pemegang saham ikut
serta melakukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan dan juga
apabila pemegang saham menggunakan harta kekayaan perseroan baik secara
langsung atau tidak yang mengakibatkan perseroan tidak dapat melunasi hutang
atau dapat dikatakan pailit.
Maka konstruksi hukum hubungan induk perusahaan dan anak perusahan
berdasarkan piercing the corporate veil dalam hukum korporasi di Indonesia
menyibak tirai kemandirian hukum pada perusahaan grup serta meniadakan
keterbatasan tanggung jawab diantara induk perusahaan sebagai pemegang saham
dan anak perusahaan sebagai perseroan yang dijalankan. Pada hal ini dikarenakan
dalam realitas perusahaan grup adanya campur tangan pada anak perusahaan oleh
induk perusahaan melalui kepemilikan mayoritas saham. Adanya campur tangan
induk perusahaan mengakibatkan hilangnya kemandirian diantara anak perusahaan
dengan anak perusahaan. Dalam hal ini, apabila tiada kemandirian dalam hubungan
anak perusahaan dengan induk perusahaan maka tanggung jawab terbatas dari
pemegang saham juga semestinya ditiadakan.

C. Implementasi Doktrin Piercing The Corporate Veil pada kasus Tanggung Jawab
Perusahaan Induk PT Bakrie Grup atas Kerugian PT Lapindo Brantas

Awal mula terjadinya banjir lumpur panas atau banjir lumpur lapido,
bermula dari semburan lumpur pertama muncul pada tanggal 29 Mei 2006 di
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Lokasi semburan ini lebih
tepatnya hanya berjarak 150 – 500 meter dari sumur eksplorasi gas milik Lapindo
46

Brantas. Oleh sebab itu, semburan lumpur panas diduga akibat dari aktivitas
pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas pada sumur tersebut.
Berawal pada awal Maret 2006 Lapindo Brantas melakukan pengeboran
sumur Banjar Panji-1. Pada rancana awal sumur tersebut berkedalaman 8500 kaki
sampai mencapai formasi Kujung (batu gamping). Pada sumur tersebut akan
dipasang casing (selubung bor) dengan ukuran yang variatif disesuaikan dengan
kedalamannya guna mengantisipasi potensi hilangnya lumpur dalam formasi dan
masuknya fluida kedalam sumur sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan rencana awal, lapindo sudah memasang casing pada kedalaman 150
kaki, 1195 kaki, 2385 kaki dan 3580 kaki. Namun, Lapindo Brantas belum
memasang casing pada kedalaman 8500 yang rencana akan mereka pasang dengan
formasi Kujung.
Dalam hal ini, diperkirakan bahwa dari awal Lapindo merencanakan
kegiatan pengeboran ini membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka
membuat prognosis dengan menggunakan zona pengeboran mereka di zona
Rembang dengan target pengeborannya yaitu formasi Kujung. Pada faktanya
mereka melakukan pengeboran bukan di zona Rembang melainkan di zona
Kendeng yang tidak terdapat formasi Kujung. Jadi mereka merencanakan untuk
memasang casing setelah sampai pada target batu gamping formasi Kujung yang
pada realitanya tidak ada.
Pengeboran terus dilakukan Lapindo Brantas dan selama pengeboran
tersebut, lumpur dari formasi Pucangan atau lumpur dari kedalaman 1200 – 3500
kaki berkekuatan tinggi sehingga dapat menerobos (blow out) tetapi masih dapat
diatasi dengan pompa lumpur. Setelah kedalaman 9297 kaki, mata bor sudah
menyentuh batu gamping dimana Lapindo mengira bahwa sudah mencapai target
formasi Kujung. Padahal itu bukanlah formasi Kujung melainkan formasi Klitik
yang berlubang-lubang yang kemudian berakibat pada lumpur yang berfungsi
sebagai penahan atau melawan dari lumpur formasi Pucangan tadi hilang sehingga
mengalami circulation loss atau hilangnya lumpur dalam formasi.
Akibat dari hilangnya lumpur yang berfungsi sebagai penahan, maka
lumpur formasi Pucangan menerobos ke luar dan terjadilah kick atau fluida formasi
47

masuk ke sumur yang seharusnya hal tersebut diantisipasi pada rencana awal.
Beberapa hal juga sudah diusahakan guna mengantisipasi fluida masuk kesumur.
Namun fluida bertekanan tinggi berhasil naik melalui rekahan-rekahan tanah
sehingga terjadi surface blowout atau mengalirnya cairan dari sumur minyak dan
gas bumi ke permukaan di berbagai tempat sekitar area sumur, bukan di sumur itu
sendiri. Hal inilah yang dianggap sebagai praduga munculnya lumpur yang berada
di dekat atau di daerah sumur Lapindo Brantas.
Luapan lumpur dari sumur lapindo tak kunjung henti hingga membentuk
menjadi banjir lumpur lapindo. Adapun dampak dari semburan lumpur panas yang
awalnya menggenangi empat desa dengan ketinggian 6 meter yang kemudian selalu
bertambah hingga mencapai 16 desa di 3 kecamatan dan sebanyak 10.426 unit
rumah digenangi oleh lumpur. Adapun 77 unit rumah ibadah, sarana pendidikan, 4
kantor pemerintah serta 30 pabrik juga tergenang oleh lumpur panas hingga 1.873
tenang kerja juga berdampak pada lumpur ini. Bahkan jalan tol Surabaya-Gempol
juga berdampak dan harus ditutup hingga waktu yang belum ditentukan
(Wikipedia). Serta berdampak pada lahan dan ternak sekitar. Selain itu berdasar
pada penelitian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, atas insiden banjir
lumpur lapindo ini juga meningkatkan hidrokarbon di udara hingga melebihi batas
normal yang dapat menyebabkan peningkatan penyakit ISPA pada masyarakat
sekitar serta ditemukannya senyawa-senyawa kimia yang terkandung yaitu Crysne
dan Benzanthracene yang memicu penyakit kanker, metabolism tubuh, hingga
beresiko pada ibu hamil.
Akibat dari dampak yang menimbulkan kerugian tersebut maka diperlukan
adanya tanggung jawab dari perusahaan. Perusahaan dapat langsung dimintakan
pertanggungjawaban karena pada dasarnya perusahaan sebagai badan hukum
merupakan subyek hukum. Dalam hal ini perusahaan berbadan hukum sama seperti
manusia yaitu mempunyai hak dan kewajiban serta dapat melakukan perbuatan
hukum dan dapat dituntut di pengadilan. Badan hukum itu sendiri mempunyai
definisi sebagai perkumpulan yang dapat menanggung hak dan kewajiban,
mempunyai harta kekayaan sendiri dan dapat turut didalam lalu lintas hukum untuk
melakukan perbuatan hukum maka dapat menggugat dan digugat di muka
48

pengadilan (Pipin, 1999:62). Konsekuensi berdasarkan pada hal ini maka


perusahaan memiliki pertanggungjawaban sendiri.
Kemudian seiring dengan perkembangan dunia bisnis khususnya perseroan
yang sekarang banyak berkembang menjadi perusahaan grup menjadi tantangan
baru menegenai pertanggungjawaban induk perusahaan atas anak perusahaannya
terhadap pihak ketiga. Hal ini menjadi problematika baru karena mengingat pada
realitas dalam perusahaan grup bahwa adanya kontrol dari induk perusahaan
terhadap anak perusahaan akibat adanya satu kesatuan secara ekonomi. Selain itu
dapat dikatakan bahwa anak perusahaan merupakan perpanjangan tangan dari induk
perusahaan. Hal ini sebenernya bertengtangan dengan konsepsi dasar perusahaan
grup yang secara yuridis merupakan badan hukum yang mandiri, sebuah entitas
yang berbeda atau terpisah sesuai dengan separate legal enitity yang kemudian
timbul adanya pertanggungjawaban terbatas atau limited liability. Terlebih lagi,
apabila melihat pada legitimasi mengenai perseroan untuk dapat membentuk
perseroan lainnya yang kemudian menjadikan sebagai suatu grup maka legitimasi
tersebut juga melahirkan kemungkinan anak perusahaan kehilangan
kemandiriannya akibat dari adanya kontrol atau pengendalian dari induk
perusahaan sebagai pemegang saham. Berangkat dari hal ini, maka sudah
semestinya pertanggungjawaban terbatas juga dihapuskan. Pertanggungjawaban
terbatas dapat diterobos dengan menggunakan prinsip piercing the corporate veil
dimana membebankan tanggung jawab ke pundak orang lain. Hal ini dapat
diaplikasin kedalam perusahaan grup untuk membebankan tanggung jawab kepada
pemegang saham atau induk perusahaan apabila sesuai pada pasal 3 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yaitu :
“Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
a. persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
b. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan
pribadi;
c. pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
49

d. pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung


secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang
Perseroan.”
Sistem pertanggungjawaban pada perseroan ini yang menjadi sorotan pada
pemecahan kasus lumpur lapindo yang telah diuraikan. Kemudian, sesuai dengan
teori diatas mengenai perusahaan dapat dimintakan pertanggungjawaban, maka
dalam kasus ini sudah semesetinya PT Lapindo Brantas bertanggung jawab penuh
atas kerugian yang timbul akibat lumpur lapindo.
Pada awal mula kasus ini muncul dan genangan mulai melebar, presiden
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006 tentang Tim Nasional
Pengganggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo. Dalam Keputusan Presiden ini,
Tim Nasional Pengganggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo ditugaskan untuk
mengambil langkah operasional yang terpadu guna menutup semburan, penangan
luapan serta penganganan masalah sosial dalam upaya penanggulangan semburan
lumpur lapindo di Sidoarjo dengan biaya penugasan ini dibebankan pada anggaran
PT Lapindo Brantas. Kemudian Keputusan Presiden ini diganti dengan Peraturan
Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Peraturan Presiden ini mengalami lima perubahan yaitu:
1. PERPRES No. 48 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden
Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
2. PERPRES No. 40 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo
3. PERPRES No. 68 Tahun 2011 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan
Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo
4. PERPRES No. 37 Tahun 2012 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan
Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo
50

5. PERPRES No. 33 Tahun 2013 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan


Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur
Sidoarjo

Dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah


beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 33 Tahun 2013 ini
mengatur mengenai ganti kerugian oleh PT Lapindo Brantas dalam skema jual beli
tanah yang masuk dalam peta area terdampak lumpur lapindo, biaya
penanggulangan lumpur yang dibebankan pada PT Lapindo Brantas, biaya masalah
sosial kemasyarakatan atau biaya ganti rugi dibebankan pada pemerintah melalui
APBN serta biaya penanganan infrastruktur yang juga dibebankan pada pemerintah
melalui APBN. Dalam hal ini pemerintah ikut andil dalam tanggung jawab ganti
rugi banjir lumpur lapindo, karena menurut opini saya pemerintah juga ikut serta
dalam kasus banjir lumpur lapindo ini. Karena PT Lapindo Brantas melalukan
pengeboran setalah mendapatkan persetujuan dari BPMigas melalui Surat Kepala
Divisi Eksplorasi BP Migas dengan surat No.444/BPA1000/2004-S1 tanggal 1
September 2004 yang menerangkan bahwa menyetujui usulan dan evaluasi PT
Lapindo Brantas untuk melakukan pengeboran di sumur BJP-1 yang pada saat itu
bertengtangan dengan Peraturan Daerah Sidoarjo Nomor 16 Tahun 2003 yang
mengatur bahwa RT/RW di Sidoarjo 2003 sampai 2013 menentukan lingkungan
tersebut merupakan kawasan budidaya meliputi, pertanian, perikanan, perkebunan,
pariwisata, perindustrian, pemukiman, dan kawasan lainnya (pelabuhan bandara,
kawasan militer, dan kawasan lainnya), tidak untuk kawasan pertambangan serta
pada tahun 2006 juga berlaku Peraturan Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 2
Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Timur 2006 - 2020
ditetapkan berdasarkan struktur kawasan pemanfaatan kawasan perkotaan, yang
menentukan bahwa Sidoarjo difokuskan pengembangan sebagai kawasan
pemukiman dan perindustrian, tidak diperuntukkan untuk kawasan pertambangan.
Adapun fakta-fakta mengenai perbuatan yang menyimpanng dalam kasus
lapindo brantas yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas antara lain :
1. Dalam buku Tim Riset Java Collapse (Dari kerja paksa hingga lumpur
lapindo) dijelaskan bahwa dalam penyidikan, polisi mendapatkan bukti
51

mengenai 11 dokumen prosedur dan dokumen pengeboran Lapindo. Dari


11 dokumen tersebut meliputi surat perencanaan pengeboran, laporan
pengeboran dan system operating procedure, dokumen analisis
lingkungan, upaya pemantauan lingkungan, izin gangguan, izin tanggap
darurat dan hasil survey seismic. Namun, tidak terdapat dokumen
mengenai surat ijin eksploari pelaksanaan pengeboran.
2. Kelalaian dalam merencanakan pengeboran di Sidoarjo dengan prognosis
pengeboran yang salah atau tidak sesuai yang mengakibatnya munculnya
semburan lumpur lapindo.
3. Kelalaian dalam pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas dengan
tidak memasang casing pada pengeboran kedalaman 8.500-10.000 kaki.
4. Dalam Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim AD HOC
Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Peristiwa
Lumpur Panas Lapindo menjelaskan fakta bahwa dalam pelaksanaan
pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas dilakukan dengan orang-
orang yang kurang ahli serta dengan peralatan yang kurang memadai.
5. Pelaksanaan pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas bertengtangan
dengan Peraturan Daerah Sidoarjo Nomor 16 Tahun 2003 yang mengatur
bahwa RT/RW di Sidoarjo 2003 sampai 2013 menentukan lingkungan
tersebut merupakan kawasan budidaya meliputi, pertanian, perikanan,
perkebunan, pariwisata, perindustrian, pemukiman, dan kawasan lainnya
(pelabuhan bandara, kawasan militer, dan kawasan lainnya), tidak untuk
kawasan pertambangan serta pada tahun 2006 juga berlaku Peraturan
Daerah Kabupaten Sidoarjo Nomor 2 Tahun 2006 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Jawa Timur 2006 - 2020 ditetapkan berdasarkan struktur
kawasan pemanfaatan kawasan perkotaan, yang menentukan bahwa
Sidoarjo difokuskan pengembangan sebagai kawasan pemukiman dan
perindustrian, tidak diperuntukkan untuk kawasan pertambangan.
Maka pada Undang Undang Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menegaskan mengenai ganti rugi yang wajib
ditanggung PT Lapindo Brantas yang tertera pada pasal 15 yaitu:
52

(1). Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo


Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan
lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta
area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti
kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang
disahkan oleh Pemerintah.
(2). Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan
dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4
Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan dimuka dan
sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2
(dua) tahun habis.
(3). Biaya masalah sosial kemasyarakatan di luar peta area terdampak tanggal
22 Maret 2007, setelah ditandatanganinya Peraturan Presiden ini,
dibebankan pada APBN.
(4). Peta area terdampak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dan ayat (3)
adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini.
(5). Biaya upaya penanggulangan semburan lumpur termasuk di dalamnya
penanganan tanggul utama sampai ke Kali Porong dibebankan kepada PT
Lapindo Brantas.
(6). Biaya untuk upaya penanganan masalah infrastruktur termasuk
infrastruktur untuk penanganan luapan lumpur di Sidoarjo, dibebankan
kepada APBN dan sumber dana lainnya yang sah.

Yang kemudian juga mengalami beberapa perubahanpun hanya menegaskan pada


kasus ini hanya PT Lapindo Brantas yang bertanggung jawab atas dampak akibat
dari banjir lumpur lapindo dengan perubahan-perubahan mengenai batas-batas area
terdampak dan sistem dalam skema jual-beli tanah sebagai tanggung jawabnya
tersebut.
Namun dalam melaksanakan tanggung jawab pada kasus lumpur lapindo,
induk perusahaan atau pemegang saham atau Bakrie Grup ikut serta dalam
melaksanakan tanggung jawab tersebut melalui anak perusahaannya PT Minarak
Labuan. Hal ini juga termasuk dalam implementasi doktrin piercing the corporate
53

veil. Menurut Tuti Rastuti dalam buku seluk beluk perusahaan dan hukum
perusahaan menyebutkan bahwa secara universal penerapan atau implementasi
doktrin piercing the corporate veil dilakukan pada hal-hal sebagai berikut (Tuti
Rastuti, 2015:278) :
a. Implementasi doktrin piercing the coporate veil karena perusahaan tidak
menjalankan formalitas tertentu
Dalam implementasi ini yang dimaksudkan adalah apabila
perusahaan tidak memenuhi suatu formalitas yang diharuskan dalam hukum
perusahaan. Tujuan dari implementasi doktrin piercing the corporate veil
dalam hal ini ialah untuk menegakan hukum agar formalitas suatu hukum
perusahaan dapat dipenuhi.
b. Implementasi doktrin piercing the corporate veil atas badan-badan hukum
yang hanya terpisah secara artifisial
Salah satu yang menjadi alasan implementasi doktrin piercing the
corporate veil ketika suatu perusahaan dalam kenyataanya adalah tunggal
namun perusahaan tersebut dibagi menjadi perusahaan-perusahaan lain yang
hanya secara artifisial. Dalam implemenrasi piercing the corporate veil maka
tanggung jawab akan dibebankan kepada seluruh perusahaan yang terkait.
c. Implementasi doktrin piercing the corporate veil berdasar pada hubungan
kontraktual
Doktrin piercing the corporate veil juga dapat diimplementasikan
apabila adanya hubungan kontraktual diantara perusahaan terhadap pihak
ketiga. Dalam hal ini apabila tanpa doktrin piercing the corporate veil dapat
menyebabkan kerugian terhadap pihak ketiga tidak akan terpenuhi atau
tertanggulangi. Dalam hal ini maka doktrin piercing the corporate veil
diterapkan.
d. Implementasi doktrin piercing the corporate veil atas perbuatan melawan
hukum atau tindak pidana
Apabila terdapat unsur pidana pada kegiatan suatu perusahaan,
meskipun hal tersebut hanya dilakukan oleh perusahaan sendiri maka
berdasarkan doktrin piercing the corporate veil tanggung jawab dapat
54

dimintakan terhadap pihak pihak dalam perusahaan seperti direksi, komisaris


maupun pemegang saham.

Sama halnya pada realitas pertanggungjawaban yang terjadi dalam kasus


lumpur lapindo oleh PT Lapindo Brantas yang diskemakan dengan perikatan jual
beli tanah dan atau bangungan. Pada realitas kasus lumpur lapindo ini induk
perusahaan ikut serta dalam tanggung jawab PT Lapindo Brantas. Bakrie Grup
melalui anak perusahaannya PT Minarak Labuan ikut dalam penyelesaian kasus
lumpur lapindo. Hal ini juga dijelaskan pada keterangan tertulis M. Hadi Shubhan
sebagai ahli pemohon dalam Putusan Nomor 83/PUU-X/2013 menyatakan bahwa
PT Minarak Labuan ikut serta dalam perikatan jual beli tanah dan atau bangunan
yang dilakukan PT Lapindo Brantas sebagai tanggung jawab ganti rugi. Dalam hal
ini sama seperti penjelasan mengenai implementasi doktrin piercing the croporate
veil berdasarkan hubungan kontraktual. Dapat disimpulkan bahwa dalam kasus
lumpur lapindo ini Bakrie Grup menerapkan doktrin piercing the corporate veil
yaitu dengan juga membebankan tanggung jawab ke pemegang saham atau induk
perusahaan melalui PT Minarak walaupun dalam Peraturan Presiden Nomor 14
Tahun 2007 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 33 Tahun 2013 tidak secara langsung menyebutkan keikut sertaan
pemegang saham atau induk perusahaan dalam sistem pertanggungjawaban
tersebut.
Berdasar penjelasan diatas, menurut opini saya bahwa pertanggungjawaban
yang didasarkan pada doktrin piercing the corporate veil lebih luas dari pada yang
tertuang dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Mengingat dalam konstruksi perusahaan grup terdapat
hubungan hukum antara anak perusahaan dan induk perusahaan. Adanya satu
kesatuan secara ekonomi yang mengakibatkan adanya hak kontrol induk
perusahaan terhadap anak perusahaan dan dapat memungkinkan hilangnya
kemandirian anak perusahaan. Maka dalam hal-hal tertentu, pertanggungjawaban
dalam perusahaan semestinya menggunakan doktrin piercing the corporate veil
yang lebih luas dari Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas.
55

Menurut opini Dr. Sudiyana, S.H., M.Hum., pada kasus lumpur lapindo ini
PT Lapindo Brantas tidak dapat bertanggung jawab atau ganti rugi secara penuh
maka dalam hal ini sudah semestinya pemegang saham juga turut dalam
pertanggungjawaban terlebih lagi karena sudah mengakibatkan dampak besar bagi
masyarakat dan melanggar asas ketertiba umum yang juga tercantum pada Pasal 2
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam hal
melanggar asas ketertiban umum bagi masyarakatpun tidak hanya pemegang saham
atau induk perusahaan yang ikut bertanggung jawab namun juga Negara harus andil
dalam penyelesaian kasus dalam hal ini. Maka pada Peraturan Presiden Nomor 14
Tahun 2007 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 33 Tahun 2013 disebutkan bahwa pertanggungjawaban ganti rugi
tidak hanya dijatuhkan pada PT Lapindo Brantas namun juga kepada Negara.
56

BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Konstruksi hubungan hukum induk perusahaan Bakrie Grup dan anak
perusahaan PT Lapindo Brantas dalam hukum korporasi di Indonesia secara
yuridis merupakan suatu entitas yang berbeda (separate legal entity) dan
merupakan satu kesatuan secara ekonomi. Separate legal entity pada
perusahaan grup kemudian mengakibatkan adanya limited liability atau
keterbatasan tanggung jawab. Namun apabila kontruksi hubungan hukum
induk perusahaan Bakrie Grup dan anak perusahaan PT Lapindo Brantas
didasarkan pada doktrin piercing the corporate veil yaitu menyibak tirai antara
pemegang saham didalam perusahaan grup. Karena dalam perusahaan grup
adanya satu kesatuan ekonomi yang mengakibatkan pemegang saham atau
induk perusahaan mengandalikan anak perusahaan maka semestinya
pemegang saham juga dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila anak
perusahaan sampai merugikan pihak ketiga.
2. Doktrin piercing the corporate veil diimplementasikan pada
pertanggungjawaban dalam kasus lumpur lapindo. Induk perusahaan atau
Bakrie Grup melalui anak perusahaanya PT Minarak Labuan ikut bertanggung
jawab atas kerugian anak perusahan PT Lapindo Brantas dengan mengikatkan
diri dalam ganti rugi mengenai tanah dan atau bangunan. Dalam hal ini
merupakan implementasi dari doktrin piercing the corporate veil.
57

B. Saran
1. Pemerintah khususnya DPR bersama Presiden perlu mengakomodasi peraturan
dalam perusahaan grup dengan membedakan jenis perusahaan grup kontraktual
dan faktual diikuti dengan pengaturan mengenai sistem pertanggungjawaban
dalam perusahaan grup dengan pendekatan pada doktrin piercing the corporate
veil yang adil bagi semua organ dalam perusahaan grup.
2. Para Sarjana diharapkan mampu melalukan penelitian lebih lanjut untuk dapat
merekonstruksi tanggung jawab hukum induk perusahaan atas kerugian anak
perusahaan.
58

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Abdulkadir Muhammad. 2002. Hukum Peusahaan Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Bambang Waluyo. 1997. Metode Penelitian Hukum. Semarang: PT Ghalia
Indonesia.
Bartman, S.M. 1986. Incleideng Concemrecht, Tjeen Willink.
Chatamarrasjid. 2000. Menyingkap Tabir Perseroan. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti
Chidir Ali. 1987. Badan Hukum. Alumni.
C.S.T Kansil. 2001. Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum dalam
Ekonomi. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1994. Perusahaan Kelompok (Group
Company/Concern). Yogyakarta: Seleksi Hukum Dagang Fakultas Hukum
UGM.
Handri Raharjo. 2009. Hukum Perusahaan. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Hukumonline.com. 2009. Tanya Jawab Hukum Perusahaan. Jakarta: Visimedia.
Lexy J. Moeleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi).
Bandung: Rosdakarya.
Munir Fuady. 2002. Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti
Munir Fuady. 2005. Perlindungan Pemegang Saham Minoritas. Bandung: CV
Utomo
Peter Mahmud Marzuki. 2014. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta:
Prenamedia Grup.
Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
P.N.H. Simanjuntak. 2009. Pokok – Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Raajmakers. 1976. Joint Venture, Kluwer Deventer.
Ranuhandoko. 2000. Terminologi Hukum: Inggris-Indonesia. Jakarta: Sinar
59

Grapia
Soerjono Soekamto, Sri Marmudji. 1995. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soerjono Soekanto. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Sulistiowati. 2010. Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Sulistiowati. 2013. Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Tuti Rastuti. 2015. Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan. Bandung:
Refika Aditama
Zainal Asikin danWira Pria Suhartana. 2016. Pengantar Hukum Perusahaan.
Jakarta: Prenadamedia Group.

Jurnal dan Artikel :

Abdullah, Rudi. Dkk. 2018. “Pengantar Hukum Bisnis”. Open Science


Framework
Alexander Joseph. 2013. “Perilaku Oportunistik dalam Hubungan Kemitraan
(Partnership): Sebuah Analisis Konseptual dengan Menggunakan Model
IGMOB”. Prasetya Mulya Business School Volume 17 Nomor 2
Budiono. 2012. “Arah Pengaturan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas dalam Menghadapi Era Global. Jurnal
RechtsVinding Volume 1 Nomor 2
Bradley C. Reed. 2006. “Clearing Away The Mist Suggestions for Developing a
Principled Veil Piercing Doctrine in China”. Vanderbilt Journal of
Transnational Law Vol 39
Bisaryadi. 2017. “The Application of Legal Construction in The Rulings of The
60

Constitutional Court”. Jurnal Mimbar Hukum Vol 29 No 1


Dwi Suryahartati. 2013. “Doktrin Ultra Vires (Prespektif Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas)”. Jurnal Ilmu Hukum
INOVATIF, Volume 6 Nomor 7
Enju Juanda. 2016. “Konstruksi Hukum dan Metode Interpretasi Hukum”. Jurnal
Ilmiah Galuh Justis Volume 4 Nomor 2
Hendra Ardiansah, Ema Safitri. dkk. 2019. “Aspek Hukum Dalam Bisnis”.
Fakultas Ekonomi Universitas Tulungagung
Kurniawan. 2014. “Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Terbatas
Menurut Hukum Positif”. Jurnal Mimbar Hukum Volume 26 Nomor 1
Matje Meriam. 2017. “Piercing The Corporate Veil In A Holding / Subsidiary
Relationship”. Master of Laws University of Pretoria
Muliadi Nur. 2016. “Rechtsvinding: Penemuan Hukum (Suatu Perbandingan
Metode Penemuan Hukum Konvensional dan Hukum Islam)”. Jurnal
Ilmiah Al-Syir’ah Volume 2 Issue 1
Mawar Siti. 2016. “Metode Penemuan Hukum (Interpretasi dan Konstruksi)
Dalam Rangka Harmonisasi Hukum”. Jurnal Justisia Volume 1 Nomor 1
Muhammad Syafi’i. 2016. “Piercing The Corporate Veil Terhdap Holding
Company dalam Tindakan Hukum Anak Perusahaan”. Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
M. Yahya Harahap. 2007. “Separate Entity, Limited Liability, dan Piercing The
Corporate Veil”. Jurnal Hukum Bisnis Volume 26 Nomor 3
Ni Made Pratiwi. 2017. “Hubungan Hukum Perusahaan Induk Berbentuk
Perseroan Terbatas dengan Anak Perusahaan Berbentuk Persekutuan
Komandite”. Jurnal Acta Comitas
Putri Sari Harahap, Tumanggor. 2015. “Penerapan Asas Piercing The Corporate
Veil: Prespektif Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terbatas”. Jurnal
Nuansa Kenotahatian Vol.1 No. 1
Ridwan Khairandy. 2007. “Perseroan Terbatas Sebagai Badan Hukum”. Jurnal
Hukum Bisnis, Volume 26 Nomor 3
Ridwan Khairandy. 2013. “Karakter Hukum Perusahaan Perseroan dan Status
61

Hukum Kekayaan yang Dimilikinya”. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM,


Volume 20 Nomor 1
Rita Dyah. 2009. “Tanggung jawab Induk Perusahaan Terhadap Perikatan yang
Dilakukan Oleh Anak Perusahaan”. Tesis Fakultas Magister Kenotariatan
Program Pasca Sarjana Universitas Sumatra Utara
Siti Hapsah Isfardiyana. 2017. “Business Judgement Rule oleh Direksi
Perseroan”. Jurnal Panorama Hukum Vol.2 No.1
Srefana, Henry Schawallbenberg. 2006. “ Religius Values and Corporate Decision
Making: An Economics’s Perspective”. Fordham Journal of Corporate and
Financial Law
Sutan Remi Syahdeni. 2001. “Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris”.
Jurnal Hukum Bisnis, Volume 14 Nomor 7
Strasser. 2004. “Piercing the Veil in Corporate Groups”. Connetitut Law Review
Vol. 37/637
Titik Tri Sulistyawati. 2018. “Eksistensi Doktrin “Piercing The Corporate Veil”
atas Pelaksanaan Sentralisasi Procurement Anak Perusahaan oleh Induk
Perusahaan”. Journal Notaire volume 01 nomor 01
Tri Widiyo. 2013. “Perkembangan Teori Hukum dan Doktrin Hukum Piercing
The Corporate Veil dalam UUPT dan Realitasnya serta Prospektif
Kedepannya”. Lex Jurnalica, Volume 10 Nomor 1
Tri Widiyono. 2018. “Urgency of development of piercing the corporate veil
doctrine to Governize a group company: Indonesian context”.
International Journal of Law, Volume 4 Issue 3
Verti Tri Wahyuni. 2017. “Kepemilikan Tunggal Badan Hukum Perseroan
Terbatas (PT)”. Jurnal Hukum Novelty Vol. 8 No.2
Wahyono Darmabrata. 2003. “Implementasi Good Corporate Governence dalam
Menyikapi Bentuk-Bentuk Penyimpangan Fiduciary Duty Direksi dan
Komisaris Perseroan Terbatas”. Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 Nomor 6
Wibowo T. Tunardy, S.H., M.kn. 2012. “Badan Hukum Sebagai Subyek Hukum”.
Jurnal Hukum
Internet
62

http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2018-09/S57403Ivan%20Satrio%20Lalamentik
diakses tanggal 24 Desember 2020 pukul 13.20 WIB

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Wajib Daftar Perusahaan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XI/2013

Anda mungkin juga menyukai