Penulisan Hukum
( Skripsi )
Oleh :
SAVIRA INTAN SARI
NIM E0017428
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
Oleh :
Savira Intan Sari
NIM. E0017428
ii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
Oleh :
Savira Intan Sari
NIM. E0017428
Telah diterima dan disahkan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Pada:
Hari : Rabu
Tanggal : 3 Februari 2021
DEWAN PENGUJI
1. Dr. Albertus Sentot Sudarwanto, S.H., M.Hum :
NIP. 195911271986011004
Ketua
2. Kukuh Tejomurti, S.H., LL.M :
NIP. 198704222015041003
Sekretaris
3. Dr. Munawar Kholil, S.H., M.Hum :
NIP. 196810171994031003
Anggota
Mengetahui,
Dekan
iii
SURAT PERNYATAAN
iv
ABSTRAK
v
ABSTRACK
This study aims to analyze the legal construction of the relationship between parent
company and subsidiary company based on the doctrine of piercing the corporate
veil in Indonesia’s corporate law also to analyze the liability of the Bakrie Group
as a holding company for the losses of the subsidiary company PT Lapindo Brantas
in the Lapindo mud case.
This type of research is prescriptive normative research, with a statutory approach,
a conceptual approach and a case approach. Types of legal materials consist of
primary and secondary legal materials with interactive analysis collection
techniques.
The results of this study indicate that the legal construction of the relationship
between the parent company and its subsidiaries is a separate legal entity or a
separate and independent legal subject. But economically it is a unity. With the
piercing the corporate veil doctrine, it has opened the curtain in group companies
which eliminates the principle of independence in group companies and limited
liability to group companies in accordance with Article 3 paragraph (2) of Law
Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies. The piercing the
corporate veil doctrine is implemented in the accountability of PT Lapindo for the
Lapindo mud case. In this case, the holding company of the Bakrie Group through
its subsidiary PT Minarak Labuan is also responsible for the losses of the
subsidiary PT Lapindo Brantas.
vi
MOTTO
“Success doesn’t just come and find you. You have to go out and get it”
vii
PERSEMBAHAN
Penulisan ini saya persembahkan untuk orang-orang yang saya cintai, bapak saya
H. Ibnu Witarto, S.E., M.M., Hj. Sumiyati serta kakak adik saya.
viii
KATA PENGANTAR
ix
4. Ibu Siti Muslimah, S.H., M.Hum., selaku Pembimbing Akademik
yang telah membimbing dan mengarahkan penulis untuk menjadi
pribadi yang disiplin guna menyelesaikan skripsi sesuai dengan
waktu studi.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan.
6. Orang tua penulis, Ibnu Witarto, S.E., M.M serta Sumiyati yang
memfasilitasi penulis hingga dapat menempuh pendidikan
sedemikian rupa serta memberi motivasi dengan penuh kasih
saying.
7. Kakak dan adik penulis yang senantiasa selalu membantu penulis
dalam hal dan dalam bentuk apapun.
8. Yurisdan Angga beserta dengan kedua orang tuanya Bapak Dr.
Sudiyana S.H., M.H dan Ibu Kun Ratnawati S.H juga menunjang
fasilitas penulis selama penyusunan skripsi dan memberikan
motivasi kepada penulis.
9. Anggi Mawarni selaku partner penulis yang selalu supportive dan
memberikan semangat dalam hal akademis.
10. Arief Fajrul, Reihan Yasser dan Bagas Pahlevy selaku sahabat
penulis yang selalu ada untuk penulis.
11. Rani, Sheil, Ully, Kiky, Salma dan Intan yang juga merupakan
sahabat penulis yang selalu memberikan dampak positif kepada
penulis.
12. Sahabat-sahabat penulis di kampus Lula, Alif, Luqman, Nabhila,
Inneke, Aufa, Brigita Cindy, Yoakim, Excel, Fida dan Destyra
yang memberi penulis banyak cerita serta senantiasa membantu
penulis dalam perkuliahan selama ini.
13. Kakak-kakak tingkat yang penulis tiudak sapat sampaikan satu per
satu, terimakasih banyak atas bimbingan dalam perkuliahan ini.
14. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang
telah membantu penulis menyelesaikan penulisan skirpsi.
x
Penulis berharap semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan
manfaat dab berguna dalam ilmu pengetahuan dan bidang ilmu hukum
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. iii
SURAT PERNYATAAN ......................................................................... iv
ABSTRAK .............................................................................................. v
ABSTRACK ............................................................................................ vi
MOTO ..................................................................................................... vii
PERSEMBAHAN .................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ............................................................................. ix
DAFTAR ISI ........................................................................................... xii
BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 6
D. Manfaat Penelitiaan .................................................................... 7
E. Metode Penelitian....................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan Hukum .................................................... 12
xii
BAB III : PEMBAHASAN PENELITIAN ............................................... 27
A. Deskripsi Bakrie Grup dan PT Lapindo Brantas ........................ 27
B. Konstruksi Hukum Hubungan Induk Perusahaan dan Anak
Perusahaan Berdasarkan Doktrin Piercing the Corporate Veil
dalam hukum korporasi di Indonesia ......................................... 29
C. Implementasi Doktrin Piercing The Corporate Veil pada kasus
Tanggung Jawab Perusahaan Induk PT Bakrie Grup atas
Kerugian PT Lapindo Brantas ................................................... 45
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xiii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
manakala adanya kerugian atau tuntutan hukum dari pihak ketiga guna
menyingkirkan prinsip pertanggungjawaban terbatas.
Penelitian ini menganalisis kasus PT Lapindo Brantas yang bergerak
dalam industri minyak dan gas bumi. Saham PT Lapindo Brantas dikuasai
100% seluruhnya oleh PT Energi Mega Persada yang sahamnya dimiliki
melalui PT Kalila Energy sebanyak 84,24% dan Pan Asia Enterprise
sebanyak 15,76%. Namun pada 2007 Pemegang saham PT Energi Mega
Persada Tbk menyetujui untuk mengkonversi hutang kedua anak
perusahaannya (PT Kalila Energy Ltd dan Pan Asia Enterprise) kepada PT
Minarak Labuan. PT Minarak Labuan ini merupakan korporasi yang
didirikan sejak tahun 1997 dan mempunyai saham tiga puluh juta yang
secara mayoritas atau sebanyak 23.870.000 saham dikuasai PT Bakrie
Capital Indonesia yang juga dikontrol dan dimiliki Bakrie Grup. Lapindo
Brantas adalah salah satu perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama
(KKKS) yang ditunjuk oleh BPMigas guna melakukan pengeboran minyak
dan gas bumi di Sidoarjo, Indonesia. Namun, pada 29 Mei 2006 mulai
muncul semburan lumpur panas dari rekahan tanah yang berjarak kurang
lebih 200 meter dari sumur PT Lapindo Brantas yang terus menerus hingga
mengakibatkan kerugian sebanyak 16 desa di 3 kecamatan di Sidoarjo
tergenang lumpur panas, lebih dari 25 ribu warga harus diungsikan dan
10.426 rumah warga, 77 tempat ibadah dan 30 pabrik terendam lumpur.
Dengan peristiwa tersebut, PT Lapindo Brantas dituntut mengenai
pertanggungjawabannya atas kerugian dalam kasus lumpur lapindo yang
juga ditanggung oleh Bakrie Grup sebagai induk perusahaan.
Dengan adanya penelitian ini guna mengkaji mengenai konstruksi
hukum hubungan perusahaan grup berdasarkan hukum perseroan di
Indonesia serta meninjau implementasi doktrin piercing the corporate veil
dalam sistem pertanggungjawaban Bakrie Grup atas kerugian PT Lapindo
Brantas pada kasus lumpur lapindo.
6
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penilitian
Pada hakikatnya setiap penelitian memiliki tujuan yang terbagi
menjadi dua yaitu tujuan objektif dan subjektif. Tujuan objektif dan
subjektif yang hendak dicapai yaitu :
1. Tujuan Objektif
a. Untuk menganalisis konstruksi hukum hubungan induk perusahaan
dan anak perusahaan menurut doktrin piercing the corporate veil
dalam hukum korporasi di Indonesia
b. Untuk menganalisis implementasi doktrin piercing the corporate veil
pada kasus pertanggungjawaban hukum perusahaan induk Bakrie
Grup atas kerugian anak perusahaan PT Lapindo Brantas dalam kasus
lumpur lapindo.
7
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk mengembangkan pengetahuan penulis dalam studi ilmu hukum
bidang perdata khususnya Hukum Dagang dalam substansinya
terhadap Hukum Perusahaan.
b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar Sarjana
Strata I (S1) dalam studi Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
c. Untuk menghasilkan artikel ilmiah yang akan diterbitkan dalam jurnal
ilmiah nasional.
D. Manfaat Penelitian
Dalam sebuah penelitian diharapkan adanya mafaat bagi penulis,
pembaca, dan dapat menjadi acuan perkembangan ilmu selanjutnya
khususnya Ilmu Hukum. Adapun manfaat penelitian secara teoritis dan
praktis sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
a. Penilitian ini diharapkan dapat memberi maanfaat untuk
perkembangan kurikulum Ilmu Hukum dalam bidang Hukum Perdata
khususnya pada Hukum Dagang terkait dengan implementasi doktrin-
doktrin hukum perusahaan pada praktik Perusahaan Grup.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber ilmu, referensi
ataupun acuan untuk penelitian serupa dikemudian hari.
2. Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu bagi penulis
mengenai implementasi doktrin dalam pertanggungjawaban pada
perusahaan grup.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman terkait dengan
problematika mengenai pertanggungjawaban pada perusahaan grup.
c. Penilitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pelaku
ekonomi pada perusahaan untuk menegakan Doktrin Piercing The
Corporate Veil sebagai solusi dalam problematika perusahaan grup.
8
E. Metode Penilitian
2. Sifat Penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
a. Perusahaan Induk
Perusahaan Induk atau yang sering disebut dengan holding
company, parent company ataupun controlling company, menurut Munir
Fuady merupakan perusahaan yang bertujuan memiliki sahan atas
perusahaan lain atau mengatur perusahaan tersebut (Munir Fuady,
1999:84). Sedangkan menurut Winardi induk perusahaan merupakan
19
B. Kerangka Pemikiran
Eksistensi Doktrin
Undang-Undang Perseroan Piercing The
Terbatas Corporate Veil
pada Undang-
Undang
Perusahaan Induk
Implementasi
Perusahaan Anak Doktrin Piercing
The Corporate Veil
26
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
d. Kemandirian (Independency)
Kemandirian pada Undang-Undang Perseroan Terbatas ditemukan pada
pasal 36 ayat (1) mengenai larangan adanya kepemilikan saham silang
(cross holding) dan pasal 85 ayat (4) mengenai larangan direksi, komisaris
dan karyawan perseroan untuk menjadi kuasa pemegang saham dalam
pemungutan suara RUPS.
e. Kewajaran (Fairness)
Kewajaran mengenai kesetaraan hak hak yang dimiliki organ-organ
perseroan meliputi hak pemegang saham seperti menghadiri RUPS dan
melakukan pemungutan suara, hak pemegang saham untuk meminta salinan
RUPS, hak ikut serta dalam memutuskan hal-hal penting bagi perseroan
seperti merger, akuisisi dan penjualan atau pembelian harta tetap perseroan.
5. Piercing The Corporate Veil
Kata piercing the corporate veil terdiri kata pierce yang berarti menembus
atau menyobek atau mengoyak dan veil yang berarti tirai atau kain atau
kerudung. Maka secara harfiah istilah piercing the corporate veil mempunyai
arti menyingkap tirai perusahaan. Dan pada hukum perusahaan piercing the
corporate veil diartikan sebagai prinsip atau teori yang membebankan tanggung
jawab ke pundak orang lain akibat perbuatan hukum yang dilakukan pelaku
tanpa melihat fakta bahwa perbuatan tersebut sebenarnya dilakukan untuk
perusahaan pelaku tersebut (Munir Fuady, 2005:8).
“ the existence of legal vacuum id fue to objective and subjective factors. The
objective causative of legal gaps means that the ever-changing dynamics of society
moving at a more faster pace that the creation of rules. Thus, legal norms will
always be a lag behind. The subjective causative means that it put emphasize on the
lawmakers. It is because of the inability of lawmakers to anticipate development
that create gaps between law and society”
Yang menjelaskan bahwa faktor penyebab kekosongan hukum adalah faktor obyektif
dan faktor subyektif. Faktor obyektifnya adalah adanya dinamika kehidupan yang
berkembang sangat cepat dan tidak diimbangi dengan pembaharuan peraturan
sehingga peraturan atau hukum tertinggal dari perkembangan masyarakat. faktor
subyektif lebih ditekankan pada ketidakmampuan pembentuk Undang-Undang untuk
mengantisipasi adanya perkembangan atau perubahan zaman (Bisaryadi, 2017:139).
Adapun konstruksi hukum itu sendiri terbagi menjadi 3 bentuk yaitu
analogi, penghalusan hukum dan argumentasi A Contrario dengan penjelasan
sebagai berikut :
1. Analogi
Analogi merupakan bentuk penerapan pada keadaan yang pada dasarnya sama
dengan keadaan sudah diatur dalam suatu ketentuan hukum. Maksud dari analogi
adalah untuk memperluas berlakunya pengertian hukum atau perundang-
undangan. Analogi dibutuhkan akibat perlunya perluasan hukum dengan
menyesuaikan tempat, waktu dan situasi. Contohnya adalah pada pasal 1576
Kitab Hukum Undang-Undang Perdata yang menjelaskan bahwa perbuatan jual
beli tidak menghapuskan perjanjian sewa menyewa. Dalam konteks perbuatan
jual beli juga diaplikasikan pada perbuatan hibah, hadiah, ataupun warisan karena
dianggap memliki arti yang sama karena beralihnya hak milik.
2. Penghalusan Hukum
Penghalusan hukum ialah memperlakukan hukum dengan sedemikian rupa
sehingga seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Penghalusan hukum ini
secara tidak langsung mempersempit berlakunya suatu peraturan karena
37
penghalusan hukum ini menerapkan hukum dengan cara lain dari ketentuan
hukum yang sudah tertulis atau tidak menerapkan hukum. Contohnya pada suatu
kejadian tabrakan antara A dan B yang sama sama melanggar lalu lintas satu sama
lain dan apabila A menuntut ganti rugi kepada B maka sama hal dengan B yang
juga akan menuntu ganti rugi kepada A. Dalam hal ini maka terjadilah
kompensasi ganti rugi pada keduanya.
3. Argumentum A Contrario
Argumentum a contrario merupakan sebuah penerapan yang berlawanan dari
ketentuan suatu hukum. Contoh dari argentum a contrario adalah pada Undang-
Undang perkawinan dijelaskan bahwa wanita setelah bercerai dari suaminya
tidak boleh menikah sebelum 300 hari. Dalam hal ini tidak disebutkan mengenai
kata laki-laki maka dapat diartikan bahwa laki-laki setelah bercerai boleh
melangsungkan pernikahan tanpa ada minimum hari yang ditentukan.
Konstruksi hukum dalam perusahaan grup terdapat hubungan hukum antara
induk dan anak perushaan karena adanya kontrol induk perusahaan terhadap anak
perusahaan. Apabila ditinjau berdasarkan dokrtin separate legal entity maka
konstruksi hukum hubungan induk perusahaan dan anak perusahaan dalam kelompok
perusahaan atau perusahaan grup merupakan suatu entitas atau subyek hukum
mandiri yang terpisah. Dalam hal ini selaras dengan hukum perseroan di Indonesia
dimana perseroan merupakan wujud suatu entitas yang berbeda dari pemiliknya atau
pemegang sahamnya. Karena belum adanya peraturan jelas yang mengatur
perusahaan grup dan perusahaan grup masih menggunakan pendekatan peraturan
tentang perseroan tunggal, maka dalam hal ini konstruksi perusahaan grup
dianalogikan sama dengan perseroan tunggal. Sehingga induk perusahaan yang
menjadi pemegang saham atas anak perusahaan merupakan entitas yang berbeda
dengan anak perusahaan itu sendiri.
Kemudian dari itu, dengan adanya separate legal entity mengakibatkan
adanya pertanggungjawaban terbatas (limited liability) antara pemegang saham
terhadap perseroan. Pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang
ditanamkan. Sama halnya dalam perusahaan grup, bahwa induk perusahaan sebagai
38
pemegang saham hanya bertanggung jawab sebatas saham yang ditanamkan pada
anak perusahaan.
Mengenai pernyataan diatas maka konstruksi hukum dalam hubungan
perusahaan grup antara induk dan anak perusahaan masih menggunakan pendekatan
pada peraturan perseroan tunggal yaitu berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas. Konstruksi hukum hubungan induk perusahaan dan
anak perusahaan yang masih didasrkan pada peraturan perseroan ini memiliki
karakteristik sebagai berikut:
1. Perusahaan grup terdiri atas susunan induk perusahaan dan anak perusahaan
merupakan badan hukum mandiri yang terpisah (separate legal entity).
2. Adanya keterbatasan tanggung jawab (limited liability) anatara induk perusahaan
sebagai pemegang ekonomi dengan anak perusahaan.
3. Perusahaan grup merupakan satu kesatuan secara ekonomi.
a. adanya kerugian pada pihak ketiga yang kemudian diikuti dengan alasan
undercapitalization yang merupakan alasan utama untuk
mengaplikasikan atau mengajukan gugatan piercing the corporate veil
atau membebankan tanggung jawab pada induk perusahaan
b. Adanya pengalihan asset pada anak perusahaan yang hampir bangkrut ke
anak perusahaan lainnya oleh induk perusahaan tanpa sepengetahuan
kreditur sehingga mengakibatkan kerugian pada kreditur. Karena hal ini,
kreditur sulit untuk menuntut aset yang sudah dialihkan kepada anak
perusahaan lainnya.
c. Induk perusahaan dapat melakukan pengumpulan aset modal dan non
modal yang diarahkan untuk mendukung keputusan dan melaksanakan
kewajiban hutang korporasi. Sebaliknya, secara teoritis pemegang saham
pengendali melaksanakan pengurangan aset untuk menghindari berbagai
tanggung jawab yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Melihat dari penjabaran teori diatas maka separate legal entity kurang
selaras dengan realiatas persuahaan grup. Bahwa konstruksi hukum hubungan
induk perusahaan dan anak perusahaan di Inodesia sudah semestinya didasarkan
pada doktrin piercing the corporate veil merupakan penyibakan tirai antara
pemegang saham atau induk perusahaan dan anak perusahaan yang meniadakan
kemandirian perseroan (separate legal entity) yang diikuti dengan pengabaian
pertanggungjawaban terbatas (limited liability). Hal ini dikarenakan doktrin
piercing the corporate veil menunjukan bahwa suatu perseroan terbatas dalam
perusahaan grup sering kali tidak dapat dipisahkan dari kehendak para pihak
pemegang saham yang dimaksudkan dalam posisi ini ialah induk perusahaan. Pada
konteks ini diartikan bahwa piercing the corporate veil menyatakan apabila
keadaan terpisah antara perseroan terbatas sebagai anak perusahaan dengan induk
perusahaan sebagai pemegang sahamnya tidak ada, maka selayaknya prinsip
tanggung jawab terbatas dari pemegang saham juga dihapuskan. Dengan
disobeknya tirai antara anak perusahaan dengan induk perusahaan sebagai
pemegang saham dalam menjalankan perusahaan grup, maka tirai pembatas
mengenai pertanggungjawaban terbatas juga dihapuskan. Dalam konteks ini maka
44
pemegang saham atau induk perusahaan turut bertanggung jawab apabila ada pihak
ketiga yang dirugikan. Seperti pada kasus lumpur lapindo, apabila menggunakan
konstruksi hukum sesuai dengan piercing the corporate veil maka dapat menyobek
atau membuka tirai antara anak perusahaan PT Lapindo Brantas dengan induk
perusahaannya Bakrie Grup. Sehingga Bakrie Grup dapat dimintakan pertanggung
jawaban atas kerugian yang ditanggung anak perusahaannya PT Lapindo Brantas.
Apabila melihat pada hukum korporasi di Amerika Serikat, sistem
perusahaan grup didominasi menggunakan pendekatan pada legal entity law
dimana perusahaan dalam perusahaan grup merupakan badan hukum yang mandiri
dan memeiliki hak serta tanggung jawab yang mandiri (Sulistiowati, 2013:72).
Dengan menggunakannya pendekatan legal entity law ini mendorong penggunaan
prinsip limited liability baik pemegang saham pada perseroan tunggal maupun
induk perusahaan pada perusahaan grup. Dengan adanya perkembangan,
menimbulkan pro dan kontra pada pendekatan separate legal entity law dan
penggunaan prinsip limited liability. Strasser berpendapat bahwa limited liability
sudah seharusnya tidak diterapkan dalam pertanggungjawaban perusahaan grup
karena limited liability didesain untuk pertanggungjawaban dari investor
perserorangan sedangkan induk perusahaan bukan investor perseorangan (Strasser,
2004). Namun, pada pengadilan di beberapa negara bagian yang menggunakan
konsep pengendalian, menggunakan pendekatan pada piercing the corporate veil
(Ivan Satrio, 2014). Piercing the corporate veil dapat diterapkan apabila penggugat
dapat membuktikan bahwa :
1. Adanya dominasi atau kontrol yang dilakukan pemegang saham sehingga
mengakibatkan pemisahan badan hukum secara faktual tidak lagi ada.
2. Dengan nama perusahaan, pemegang saham melakukan ketidak adilan.
Piercing the corporate veil dapat diterapkan apabila terdapat kondisi qualified
natural holding.
Apabila dilihat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 piercing the
coporate veil tertuang pada Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan bahwa ketentuan yang
termuat pada Pasal 3 ayat (1) mengenai keterbatasan pertanggungjawaban
pemegang saham tidak berlaku apabila belum terpenuhinya syarat perseroan
sebagai badan hukum, pemegang saham terbukti melakukan itikad buruk untuk
memanfaatkan perseroan baik secara langsung maupun tidak, pemegang saham ikut
serta melakukan perbuatan melawan hukum yang dilakukan perseroan dan juga
apabila pemegang saham menggunakan harta kekayaan perseroan baik secara
langsung atau tidak yang mengakibatkan perseroan tidak dapat melunasi hutang
atau dapat dikatakan pailit.
Maka konstruksi hukum hubungan induk perusahaan dan anak perusahan
berdasarkan piercing the corporate veil dalam hukum korporasi di Indonesia
menyibak tirai kemandirian hukum pada perusahaan grup serta meniadakan
keterbatasan tanggung jawab diantara induk perusahaan sebagai pemegang saham
dan anak perusahaan sebagai perseroan yang dijalankan. Pada hal ini dikarenakan
dalam realitas perusahaan grup adanya campur tangan pada anak perusahaan oleh
induk perusahaan melalui kepemilikan mayoritas saham. Adanya campur tangan
induk perusahaan mengakibatkan hilangnya kemandirian diantara anak perusahaan
dengan anak perusahaan. Dalam hal ini, apabila tiada kemandirian dalam hubungan
anak perusahaan dengan induk perusahaan maka tanggung jawab terbatas dari
pemegang saham juga semestinya ditiadakan.
C. Implementasi Doktrin Piercing The Corporate Veil pada kasus Tanggung Jawab
Perusahaan Induk PT Bakrie Grup atas Kerugian PT Lapindo Brantas
Awal mula terjadinya banjir lumpur panas atau banjir lumpur lapido,
bermula dari semburan lumpur pertama muncul pada tanggal 29 Mei 2006 di
Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Lokasi semburan ini lebih
tepatnya hanya berjarak 150 – 500 meter dari sumur eksplorasi gas milik Lapindo
46
Brantas. Oleh sebab itu, semburan lumpur panas diduga akibat dari aktivitas
pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas pada sumur tersebut.
Berawal pada awal Maret 2006 Lapindo Brantas melakukan pengeboran
sumur Banjar Panji-1. Pada rancana awal sumur tersebut berkedalaman 8500 kaki
sampai mencapai formasi Kujung (batu gamping). Pada sumur tersebut akan
dipasang casing (selubung bor) dengan ukuran yang variatif disesuaikan dengan
kedalamannya guna mengantisipasi potensi hilangnya lumpur dalam formasi dan
masuknya fluida kedalam sumur sebelum pengeboran menembus formasi Kujung.
Sesuai dengan rencana awal, lapindo sudah memasang casing pada kedalaman 150
kaki, 1195 kaki, 2385 kaki dan 3580 kaki. Namun, Lapindo Brantas belum
memasang casing pada kedalaman 8500 yang rencana akan mereka pasang dengan
formasi Kujung.
Dalam hal ini, diperkirakan bahwa dari awal Lapindo merencanakan
kegiatan pengeboran ini membuat prognosis pengeboran yang salah. Mereka
membuat prognosis dengan menggunakan zona pengeboran mereka di zona
Rembang dengan target pengeborannya yaitu formasi Kujung. Pada faktanya
mereka melakukan pengeboran bukan di zona Rembang melainkan di zona
Kendeng yang tidak terdapat formasi Kujung. Jadi mereka merencanakan untuk
memasang casing setelah sampai pada target batu gamping formasi Kujung yang
pada realitanya tidak ada.
Pengeboran terus dilakukan Lapindo Brantas dan selama pengeboran
tersebut, lumpur dari formasi Pucangan atau lumpur dari kedalaman 1200 – 3500
kaki berkekuatan tinggi sehingga dapat menerobos (blow out) tetapi masih dapat
diatasi dengan pompa lumpur. Setelah kedalaman 9297 kaki, mata bor sudah
menyentuh batu gamping dimana Lapindo mengira bahwa sudah mencapai target
formasi Kujung. Padahal itu bukanlah formasi Kujung melainkan formasi Klitik
yang berlubang-lubang yang kemudian berakibat pada lumpur yang berfungsi
sebagai penahan atau melawan dari lumpur formasi Pucangan tadi hilang sehingga
mengalami circulation loss atau hilangnya lumpur dalam formasi.
Akibat dari hilangnya lumpur yang berfungsi sebagai penahan, maka
lumpur formasi Pucangan menerobos ke luar dan terjadilah kick atau fluida formasi
47
masuk ke sumur yang seharusnya hal tersebut diantisipasi pada rencana awal.
Beberapa hal juga sudah diusahakan guna mengantisipasi fluida masuk kesumur.
Namun fluida bertekanan tinggi berhasil naik melalui rekahan-rekahan tanah
sehingga terjadi surface blowout atau mengalirnya cairan dari sumur minyak dan
gas bumi ke permukaan di berbagai tempat sekitar area sumur, bukan di sumur itu
sendiri. Hal inilah yang dianggap sebagai praduga munculnya lumpur yang berada
di dekat atau di daerah sumur Lapindo Brantas.
Luapan lumpur dari sumur lapindo tak kunjung henti hingga membentuk
menjadi banjir lumpur lapindo. Adapun dampak dari semburan lumpur panas yang
awalnya menggenangi empat desa dengan ketinggian 6 meter yang kemudian selalu
bertambah hingga mencapai 16 desa di 3 kecamatan dan sebanyak 10.426 unit
rumah digenangi oleh lumpur. Adapun 77 unit rumah ibadah, sarana pendidikan, 4
kantor pemerintah serta 30 pabrik juga tergenang oleh lumpur panas hingga 1.873
tenang kerja juga berdampak pada lumpur ini. Bahkan jalan tol Surabaya-Gempol
juga berdampak dan harus ditutup hingga waktu yang belum ditentukan
(Wikipedia). Serta berdampak pada lahan dan ternak sekitar. Selain itu berdasar
pada penelitian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, atas insiden banjir
lumpur lapindo ini juga meningkatkan hidrokarbon di udara hingga melebihi batas
normal yang dapat menyebabkan peningkatan penyakit ISPA pada masyarakat
sekitar serta ditemukannya senyawa-senyawa kimia yang terkandung yaitu Crysne
dan Benzanthracene yang memicu penyakit kanker, metabolism tubuh, hingga
beresiko pada ibu hamil.
Akibat dari dampak yang menimbulkan kerugian tersebut maka diperlukan
adanya tanggung jawab dari perusahaan. Perusahaan dapat langsung dimintakan
pertanggungjawaban karena pada dasarnya perusahaan sebagai badan hukum
merupakan subyek hukum. Dalam hal ini perusahaan berbadan hukum sama seperti
manusia yaitu mempunyai hak dan kewajiban serta dapat melakukan perbuatan
hukum dan dapat dituntut di pengadilan. Badan hukum itu sendiri mempunyai
definisi sebagai perkumpulan yang dapat menanggung hak dan kewajiban,
mempunyai harta kekayaan sendiri dan dapat turut didalam lalu lintas hukum untuk
melakukan perbuatan hukum maka dapat menggugat dan digugat di muka
48
veil. Menurut Tuti Rastuti dalam buku seluk beluk perusahaan dan hukum
perusahaan menyebutkan bahwa secara universal penerapan atau implementasi
doktrin piercing the corporate veil dilakukan pada hal-hal sebagai berikut (Tuti
Rastuti, 2015:278) :
a. Implementasi doktrin piercing the coporate veil karena perusahaan tidak
menjalankan formalitas tertentu
Dalam implementasi ini yang dimaksudkan adalah apabila
perusahaan tidak memenuhi suatu formalitas yang diharuskan dalam hukum
perusahaan. Tujuan dari implementasi doktrin piercing the corporate veil
dalam hal ini ialah untuk menegakan hukum agar formalitas suatu hukum
perusahaan dapat dipenuhi.
b. Implementasi doktrin piercing the corporate veil atas badan-badan hukum
yang hanya terpisah secara artifisial
Salah satu yang menjadi alasan implementasi doktrin piercing the
corporate veil ketika suatu perusahaan dalam kenyataanya adalah tunggal
namun perusahaan tersebut dibagi menjadi perusahaan-perusahaan lain yang
hanya secara artifisial. Dalam implemenrasi piercing the corporate veil maka
tanggung jawab akan dibebankan kepada seluruh perusahaan yang terkait.
c. Implementasi doktrin piercing the corporate veil berdasar pada hubungan
kontraktual
Doktrin piercing the corporate veil juga dapat diimplementasikan
apabila adanya hubungan kontraktual diantara perusahaan terhadap pihak
ketiga. Dalam hal ini apabila tanpa doktrin piercing the corporate veil dapat
menyebabkan kerugian terhadap pihak ketiga tidak akan terpenuhi atau
tertanggulangi. Dalam hal ini maka doktrin piercing the corporate veil
diterapkan.
d. Implementasi doktrin piercing the corporate veil atas perbuatan melawan
hukum atau tindak pidana
Apabila terdapat unsur pidana pada kegiatan suatu perusahaan,
meskipun hal tersebut hanya dilakukan oleh perusahaan sendiri maka
berdasarkan doktrin piercing the corporate veil tanggung jawab dapat
54
Menurut opini Dr. Sudiyana, S.H., M.Hum., pada kasus lumpur lapindo ini
PT Lapindo Brantas tidak dapat bertanggung jawab atau ganti rugi secara penuh
maka dalam hal ini sudah semestinya pemegang saham juga turut dalam
pertanggungjawaban terlebih lagi karena sudah mengakibatkan dampak besar bagi
masyarakat dan melanggar asas ketertiba umum yang juga tercantum pada Pasal 2
Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam hal
melanggar asas ketertiban umum bagi masyarakatpun tidak hanya pemegang saham
atau induk perusahaan yang ikut bertanggung jawab namun juga Negara harus andil
dalam penyelesaian kasus dalam hal ini. Maka pada Peraturan Presiden Nomor 14
Tahun 2007 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan
Presiden Nomor 33 Tahun 2013 disebutkan bahwa pertanggungjawaban ganti rugi
tidak hanya dijatuhkan pada PT Lapindo Brantas namun juga kepada Negara.
56
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
1. Konstruksi hubungan hukum induk perusahaan Bakrie Grup dan anak
perusahaan PT Lapindo Brantas dalam hukum korporasi di Indonesia secara
yuridis merupakan suatu entitas yang berbeda (separate legal entity) dan
merupakan satu kesatuan secara ekonomi. Separate legal entity pada
perusahaan grup kemudian mengakibatkan adanya limited liability atau
keterbatasan tanggung jawab. Namun apabila kontruksi hubungan hukum
induk perusahaan Bakrie Grup dan anak perusahaan PT Lapindo Brantas
didasarkan pada doktrin piercing the corporate veil yaitu menyibak tirai antara
pemegang saham didalam perusahaan grup. Karena dalam perusahaan grup
adanya satu kesatuan ekonomi yang mengakibatkan pemegang saham atau
induk perusahaan mengandalikan anak perusahaan maka semestinya
pemegang saham juga dapat dimintakan pertanggungjawaban apabila anak
perusahaan sampai merugikan pihak ketiga.
2. Doktrin piercing the corporate veil diimplementasikan pada
pertanggungjawaban dalam kasus lumpur lapindo. Induk perusahaan atau
Bakrie Grup melalui anak perusahaanya PT Minarak Labuan ikut bertanggung
jawab atas kerugian anak perusahan PT Lapindo Brantas dengan mengikatkan
diri dalam ganti rugi mengenai tanah dan atau bangunan. Dalam hal ini
merupakan implementasi dari doktrin piercing the corporate veil.
57
B. Saran
1. Pemerintah khususnya DPR bersama Presiden perlu mengakomodasi peraturan
dalam perusahaan grup dengan membedakan jenis perusahaan grup kontraktual
dan faktual diikuti dengan pengaturan mengenai sistem pertanggungjawaban
dalam perusahaan grup dengan pendekatan pada doktrin piercing the corporate
veil yang adil bagi semua organ dalam perusahaan grup.
2. Para Sarjana diharapkan mampu melalukan penelitian lebih lanjut untuk dapat
merekonstruksi tanggung jawab hukum induk perusahaan atas kerugian anak
perusahaan.
58
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Abdulkadir Muhammad. 2002. Hukum Peusahaan Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Bambang Waluyo. 1997. Metode Penelitian Hukum. Semarang: PT Ghalia
Indonesia.
Bartman, S.M. 1986. Incleideng Concemrecht, Tjeen Willink.
Chatamarrasjid. 2000. Menyingkap Tabir Perseroan. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti
Chidir Ali. 1987. Badan Hukum. Alumni.
C.S.T Kansil. 2001. Hukum Perusahaan Indonesia (Aspek Hukum dalam
Ekonomi. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Emmy Pangaribuan Simanjuntak. 1994. Perusahaan Kelompok (Group
Company/Concern). Yogyakarta: Seleksi Hukum Dagang Fakultas Hukum
UGM.
Handri Raharjo. 2009. Hukum Perusahaan. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.
Hukumonline.com. 2009. Tanya Jawab Hukum Perusahaan. Jakarta: Visimedia.
Lexy J. Moeleong. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi).
Bandung: Rosdakarya.
Munir Fuady. 2002. Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti
Munir Fuady. 2005. Perlindungan Pemegang Saham Minoritas. Bandung: CV
Utomo
Peter Mahmud Marzuki. 2014. Penelitian Hukum Edisi Revisi. Jakarta:
Prenamedia Grup.
Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
P.N.H. Simanjuntak. 2009. Pokok – Pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta:
Djambatan.
Raajmakers. 1976. Joint Venture, Kluwer Deventer.
Ranuhandoko. 2000. Terminologi Hukum: Inggris-Indonesia. Jakarta: Sinar
59
Grapia
Soerjono Soekamto, Sri Marmudji. 1995. Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soerjono Soekanto. 1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Sulistiowati. 2010. Aspek Hukum dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup di
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Sulistiowati. 2013. Tanggung Jawab Hukum pada Perusahaan Grup di
Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Tuti Rastuti. 2015. Seluk Beluk Perusahaan dan Hukum Perusahaan. Bandung:
Refika Aditama
Zainal Asikin danWira Pria Suhartana. 2016. Pengantar Hukum Perusahaan.
Jakarta: Prenadamedia Group.
http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2018-09/S57403Ivan%20Satrio%20Lalamentik
diakses tanggal 24 Desember 2020 pukul 13.20 WIB
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Wajib Daftar Perusahaan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan
Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan
Lumpur Sidoarjo
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 83/PUU-XI/2013