Anda di halaman 1dari 39

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBERHENTIAN SEPIHAK

DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MELALUI RAPAT UMUM


PEMEGANG SAHAM
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888 K/Pdt/2020)

Dosen :
Henni Wijayanti, SH., MH.

Disusun Oleh:
Fairuzarien Talitha Ariqoh (20210210100034)
Raffi Radityo Samiadji (20210210100042)
Daffa Putra Pratama (20210210100104)
Mochammad Alif Fajri (20210210100113)
Fadlina Nur Saffanah Putri (20210210100125)
Nova Permata Sari (20210210100138)

Mata Kuliah:
Hukum Perusahaan (B)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

Jl. K.H. Ahmad Dahlan, Cireundeu, Kec. Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Banten 15419

Tahun Ajaran 2023/2024


KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kemampuan untuk
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Saya sangat bersyukur atas berkat-
Nya yang memungkinkan saya menyelesaikan makalah ini dengan baik. Doa dan
salam juga saya sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, yang syafaatnya kita
nantikan di akhirat.

Saya bersyukur kepada Allah SWT atas nikmat kesehatan, baik fisik maupun mental,
yang memungkinkan saya menyelesaikan makalah dengan judul
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMBERHENTIAN SEPIHAK
DIREKSI PERSEROAN TERBATAS MELALUI RAPAT UMUM
PEMEGANG SAHAM (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888
K/Pdt/2020)"

Saya berharap makalah ini akan menambah pengetahuan dan pengalaman pembaca,
dan saya siap untuk memperbaiki makalah ini agar menjadi lebih baik di masa depan.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan karena keterbatasan
pengalaman saya. Oleh karena itu, saya sangat menghargai masukan dan saran yang
membangun dari para pembaca untuk meningkatkan kualitas makalah ini.

Terima kasih atas perhatian dan semoga makalah ini memberikan manfaat yang
besar. Terima kasih.

Jakarta, 3 Desember 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR ISI................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN........................................................................................................4
A. Latar Belakang Masalah.....................................................................................4
B. Rumusan Masalah...............................................................................................8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA....................................................................................................9
A. Kerangka Teori...................................................................................................9
1. Teori Keadilan...................................................................................................9
2. Teori Badan Hukum........................................................................................11
3. Teori Tanggung Jawab....................................................................................13
B. Regulasi dan Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur........................14
BAB III
PEMBAHASAN.........................................................................................................16
A. Kasus Posisi.......................................................................................................16
B. Pertimbangan Hukum dan Hasil Penyelesaian..................................................20
C. Analisis...............................................................................................................27
1. Aspek Keadilan pada Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1888 K/Pdt/2020.................................................................................27
2. Hak Direksi Perseroan Terbatas atas Perlindungan Hukum berdasarkan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888 K/Pdt/2020.....................................30
BAB IV
PENUTUP..................................................................................................................33
A. Kesimpulan.........................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................36

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan Perseroan Terbatas sangat penting dalam menggerakkan suatu


pembangunan ekonomi yang kian kompleks. Pelaku usaha saat ini juga
cenderung memilih badan usaha dengan bentuk Perseroan Terbatas berbadan
hukum. Perseroan Terbatas tidak dapat bertindak sendiri sehingga perlu diwakili
oleh organ perusahaan dalam hal mewakili hak beserta kewajiban Perseroan
Terbatas, yakni Direksi sesuai aturan pada Pasal 92 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Direksi sebagai organ perseroan memiliki tanggung jawab penuh dalam


mengurus perseroan. Tanggung jawab terkait dengan kewajiban yang
dibebankan pada seseorang. Jika tanggung jawab tidak dipenuhi dan timbul
kerugian, maka pihak yang mendapat kerugian perlu diberi perlindungan hukum.
Adapun perlindungan hukum, menurut CST Kansil1, merupakan upaya memberi
rasa aman, baik mental ataupun fisik dari ancaman dan gangguan pihak
manapun. Adapun pendapat Setiono2, perlindungan hukum sebagai upaya
memberi perlindungan pada rakyat dari sewenang-wenangan penguasa yang
tidak menaati aturan.

Direksi sesuai ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas, sebagai


organ Perusahaan yang memiliki wewenang serta tanggung jawab dalam
mengurus Perseroan, sesuai dengan maksud serta tujuan perseroan, serta

1
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Penerbit Balai
Pustaka, 1989), h. 40.
2
Soetiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), (Surakarta: Magister Ilmu Hukum Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004), h. 3.

4
mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai ketentuan
anggaran dasar.3 Perseroan Terbatas itu sendiri dijelaskan pada Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Perseroan Terbatas, yakni PT sebagai badan hukum
persekutuan modal, berdasar perjanjian, menjalankan kegiatan dengan modal
yang terbagi pada saham serta memenuhi syarat peraturan perundang-undangan. 4
Dalam hal penggantian, pengangkatan, maupun pemberhentian Direksi terdapat
mekanisme yang diharuskan untuk melalui keputusan RUPS sesuai Pasal 94 UU
Nomor 40 Tahun 2007. Modal perseroan terbatas didapat dari para pemegang
saham merupakan aset terpisah dari kepemilikan pribadi. 5 RUPS sebagai
pencerminan dari perusahaan dengan prinsip kepemilikan saham bersama yang
memberi kepercayaan pada direksi sesuai kemampuan dan profesionalisme
untuk menggerakkan seluruh kegiatan perusahaan.

Dalam hal adanya permasalahan Direksi yang diberhentikan secara


sepihak, maka peneliti memaparkan teori, seperti Teori Keadilan John Rawls
sebagai tindakan yang adil dan setara terhadap pemenuhan hak.6 Selain itu, juga
melihat dengan Teori Badan Hukum khususnya Teori Organ oleh Otto von
Gierke, menyatakan badan hukum bukan sesuatu yang abstrak, tetapi riil melalui
perantara organ dari badan tersebut. Serta memperhatikan pula pada Teori
Tanggung Jawab menurut Abdulkadir Muhammad.

Data empiris terkait jumlah Perseroan Terbatas, berdasarkan data dari


website Kementerian Perindustrian Republik Indonesia dengan kata kunci PT,
menyatakan jumlah PT pada website tersebut berjumlah 19.369 perusahaan yang

3
M. Faisal Rahendra Lubis, “Pertanggungjawaban Direksi Disuatu Perseroan Terbatas Ketika
Terjadi Kepailitan Pada Umumnya dan Menurut Doktrin Hukum Perusahaan & UU No. 40 Tahun
2007”, Jurnal Hukum Kaidah, Vol. 17, No. 2, (2018), h. 25.
4
Ridwan Khairandy, “Karakter Hukum Perusahaan Perseroan dan Status Hukum Kekayaan yang
Dimilikinya”, Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol. 20, No. 1, (2013), h. 82.
5
Kurniawan, “Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Terbatas Menurut Hukum Positif”,
Mimbar Hukum, Vol. 26, No. 1, (2014), h. 71.
6
Bernadinus Chrisdianto, “Peran Komite Audit dalam Good Corporate Governance”, Jurnal
Akuntansi Aktual, Vol. 2, No. 1, (2013), h. 2.

5
tersebar di seluruh Indonesia, sedangkan jumlah perusahaan keseluruhan tanpa
menggunakan kata kunci pada website terkait menampilkan 33.882 perusahaan.7

Dalam hal pengangkatan, penggantian, maupun pemberhentian Direksi


haruslah berdasarkan keputusan RUPS. Akan tetapi, dalam fakta pada kasus
yang peneliti temukan terdapat permasalahan pemberhentian Direksi Perseroan
Terbatas yang melalui RUPS, namun dilakukan secara sepihak tanpa
memberikan alasan-alasan dan tanpa persetujuan dari Direksi yang bersangkutan
dan menyebabkan permasalahan antara Direksi dengan organ perseroan lain
dalam Perseroan Terbatas.

Terdapat fakta pada perkara yang berkaitan dengan Direksi suatu Perseroan
Terbatas yang diberhentikan secara sepihak melalui Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS), seperti pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888
K/Pdt/2020, bahwa Penggugat adalah Pendiri dan Direktur Utama PT. Multi
Daya Wonua (PT. MDW), sedangkan para Tergugat merupakan para Pemegang
Saham PT. MDW. Pada Januari 2019, Penggugat diberhentikan (pemberhentian
atau pemecatan) melalui RUPS secara lisan dan tanpa alasan oleh Para Tergugat
yang hingga saat ini tidak ada surat tertulis yang diberikan kepada Penggugat,
tanpa adanya pembelaan diri dari Penggugat, dan tidak adanya kompensasi.

PT. Multi Daya Wonua (PT. MDW) itu sendiri merupakan badan usaha
berpengalaman yang mengerjakan proyek nasional yang memiliki kualifikasi
mengerjakan proyek Jasa Pelaksana Konstruksi Bangunan Hunian Tunggal dan
Koppel, Jasa Pelaksana Konstruksi Bangunan Gudang dan Industri, Jasa
Pelaksana Konstruksi Bangunan Komersial, Jasa Pelaksana Konstruksi Saluran
Air, DAM, Pelabuhan, dan Prasarana Sumber Daya Air Lainnya.

7
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Direktori Perusahaan Industri, diakses dari
https://www.kemenperin.go.id/direktori-perusahaan?what=&prov=&hal=678, pada tanggal 3
Desember 2023, pukul 15.11 WIB.

6
Permasalahan dalam penelitian pada kasus tersebut menunjukkan adanya
kesenjangan das sein dan das sollen. Pada pemberhentian atau pemecatan
tersebut dilakukan secara tidak sah, sewenang-wenang, dan melawan hukum
sebab tidak sejalan dengan prosedur serta mekanisme pemberhentian Direksi
sesuai pada ketentuan yang ada dalam Pasal 21, Pasal 105, serta Pasal 106
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Tindakan pemberhentian yang dilakukan tidak melalui prosedur ataupun


mekanisme yang sesuai berdasarkan ketentuan Undang-Undang Perseroan
Terbatas sehingga RUPS yang dilakukan oleh PT. MDW mengandung cacat
hukum dan dikualifikasikan Perbuatan Melawan Hukum. Berdasarkan doktrin
hukum KUHPerdata Pasal 1365, disebut bahwa tindakan melawan hukum yang
merugikan, mewajibkan ganti rugi oleh pihak yang memunculkan kerugian
tersebut.8 Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888 K/Pdt/2020,
Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi atas nama
SADIKIN selaku Direksi PT MDW yang diberhentikan sepihak melalui Rapat
Umum Pemegang Saham (RUPS).

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, peneliti tertarik untuk


menganalisis secara lebih jauh mengenai pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusannya dilihat dari sisi keadilan dan hak Direksi suatu
Perseroan Terbatas yang dilakukan pemberhentian secara sepihak, bentuk
perlindungan hukum yang diberikan bagi Direksi yang diberhentikan secara
sepihak terkait keadilan dan haknya, serta menganalisis penyelesaian kasus
terhadap kerugian Direksi Perseroan Terbatas yang dilakukan pemberhentian
secara sepihak melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Untuk itu,
penelitian yang dibahas oleh peneliti berjudul, “PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP PEMBERHENTIAN SEPIHAK DIREKSI PERSEROAN

8
Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002), h. 167-168

7
TERBATAS MELALUI RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (Studi
Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888 K/Pdt/2020).”

B. Rumusan Masalah

Permasalahan pada penelitian ini berfokus untuk mengkaji aspek keadilan


dan hak bagi Direksi Perseroan Terbatas yang mengalami kerugian dalam
permasalahan pemberhentian sepihak melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
Berdasar pada uraian dalam latar belakang, identifikasi permasalahan, serta
pembatasan masalah, peneliti memberi rumusan masalah yang berkaitan dengan
pertimbangan hakim, perlindungan hukum terhadap hak Direksi, serta
penyelesaian kasus pemberhentian sepihak Direksi Perseroan Terbatas. Adapun
perumusan masalah dalam penelitian ini ialah sebagai berikut:

a. Apakah pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor


1888 K/Pdt/2020 telah memperhatikan keadilan bagi Direksi yang
diberhentikan sepihak melalui Rapat Umum Pemegang Saham ditinjau dari
pengaturan badan hukum Perseroan Terbatas di Indonesia?
b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap hak Direksi Perseroan Terbatas
atas pemberhentian sepihak melalui Rapat Umum Pemegang Saham
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888 K/Pdt/2020?

8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

Adapun dalam suatu penelitian diperlukan teori yang digunakan untuk


menganalisis permasalahan yang sedang dikaji. Beberapa teori yang akan peneliti
gunakan dalam riset ini antara lain, sebagai berikut:

1. Teori Keadilan

Dalam Teori Keadilan John Rawls, dijelaskan bahwa Rawls memiliki


pandangan dalam bukunya, yakni Theory of Justice bahwa keadilan adalah
fairness (justice as fairness).9 Dijelaskan bahwa keadilan sebagai kebijakan
dari institusi sosial, namun kebijakan tidak mengabaikan atau menggugat
keadilan tiap orang, khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. 10 Dari
konsep itu, Rawls menggiring masyarakat dalam mencapai kesetaraan yang
adil dengan teori “Justice as fairness”.11Teori ini untuk memperjuangkan
keadilan yang digunakan sebagai alternatif dalam menegakkan keadilan.
Maka, perlu memperjuangkan keadilan untuk perbaikan terhadap kaum lemah
dengan hadirnya institusi sosial, ekonomi, dan politik.

Rawls berpandangan dengan memposisikan bahwa ada situasi yang setara


dan sederajat diantara tiap orang dalam masyarakat. Tidak adanya perbedaan
status, posisi, ataupun mempunyai kedudukan yang lebih tinggi di antara
mereka, sehingga para pihak dapat mengadakan perjanjian dengan pihak lain,
yang oleh Rawls dianggap sebagai “posisi asasli” yang bertumpu pada
pemahaman berdasarkan ciri rasionalitas, kebebasan, dan kesetaraan untuk
9
Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2015), h. 241.
10
Pan Mohamad Faiz, “Teori Keadilan John Rawls”, Jurnal Konstitusi, Vol. 6, No. 1, (2009), h.
140.
11
John Rawls, A Theory of Justice, (London: Oxford University Press), diterjemahkan Uzair
Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1971), h. 90.

9
mengatur struktur dasar masyarakat. Sementara pada terjemahan John Rawls
mengenai konsep selubung ketidaktahuan, disebutkan bahwa tiap orang
berhadapan pada tertutupnya semua fakta serta keadaan dirinya, begitupun
dengan posisi sosial serta doktrin tertentu, akibatnya membutakan konsep
ataupun pengetahuan mengenai keadilan yang ada saat ini. Berdasarkan
konsep tersebut, Rawls menggiring masyarakat melalui teorinya yang dikenal
dengan “Justice as fairness” untuk mencapai prinsip persamaan yang adil. 12

Justice as fairness yang diusulkan John Rawls lebih mengacu pada teori
kontrak sosial, di mana prinsip keadilan dibawa oleh kesepakatan tentang
struktur dasar masyarakat.13 Dalam keadilan adalah fairness melekat prinsip
kesepakatan dan keadilan yang menetapkan hak dan kewajiban serta
menjadikan pembagian keuntungan sosial sebagai posisi asali. Rawls
mengembangkan teori keadilan sebagai kesetaraan berdasarkan teori kontrak
sosial yang sebelumnya dikemukakan oleh Locke, Rousseau, dan Immanuel
Kant, yang membawa prinsip keadilan ke dalam masyarakat melalui
konsensus atau kesepakatan.

Rawls berargumen bahwa setiap orang memiliki hal yang sama terhadap
kebebasan asasi, dan bila terjadi ketidakadilan maka kaum yang tertinggallah
yang harus diuntungkan. Inti pemikiran Rawls terletak pemahaman mengenai
keadilan sebagai fairness. Keadilan sebagai fairness dalam suatu struktur
masyarakat mengacu pada adanya kebebasan dan kesetaraan, di mana hak dan
kewajiban harus dipenuhi secara adil.14 Berdasarkan Teori Keadilan dari John
Rawls tersebut, peneliti berpandangan bahwa perlu adanya keadilan bagi
setiap orang apabila terdapat ketidakadilan yang dirasakan. Dalam hal ini
12
John Rawls, A Theory of Justice, (London: Oxford University Press), diterjemahkan Uzair
Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1971), h. 91.
13
John Rawls, A Theory of Justice, (London: Oxford University Press), diterjemahkan Uzair
Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1971), h. 25.
14
Alifa Cikal Yuanita, “Menelaah Konsep Keadilan Hukum Teori John Rawls dalam Pemutusan
Hubugan Kerja secara Sepihak terhadap Pekerja Migran Indonesia di Luar Negeri”, Interdisciplinary
Journal on Law, Vol. 3, No. 2, (November 2022), h. 131.

10
seperti adanya ketidakadilan yang dilakukan terhadap Direksi Perseroan
Terbatas akibat pemberhentian secara sepihak melalui Rapat Umum
Pemegang Saham.

2. Teori Badan Hukum

Berkaitan dengan badan hukum, terdapat sejumlah teori yang terkait,


diantaranya adalah teori fictie oleh von Savigny, teori harta kekayaan
bertujuan oleh Brinz, teori organ dari Otto von Gierke, dan teori properlete
collective dari Planiol. Berdasarkan teori fictie dari von Savigny, dijelaskan
bahwa badan hukum diciptakan hanya buatan negara. Badan hukum hanya
fiksi atau rekaan, yakni sesuatu yang tidak benar-benar ada, akan tetapi orang
hidup dalam bayang-bayang subjek hukum yang melakukan tindakan hukum
selayaknya manusia.15 Teori harta kekayaan bertujuan dari Brinz menyatakan
adanya kekayaan yang tidak ada pemilik namun dikaitkan dengan tujuan
tertentu yang diberi nama badan hukum. Teori organ dari Otto von Gierke
menyatakan bahwa badan hukum sebagai kenyataan yang sebenarnya sama
dengan hakikat manusia pada pergaulan hukum, dalam hal ini badan hukum
memiliki kehendak sendiri serta terbentuk melalui perlangkapannya, yaitu
pengurus dan anggotanya. Teori properlete collective dari Planiol menyatakan
bahwa hak beserta kewajiban suatu badan hukum pada dasarnya merupakan
hak serta kewajiban kolektif dari para anggotanya, sehingga badan hukum
hanyalah sebagai konstruksi yuridis saja.16

Dari berbagai teori badan hukum yang telah dijelaskan tersebut, dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok teori. Pertama, yaitu teori yang memiliki
anggapan badan hukum merupakan wujud nyata dan dianggap memiliki panca
indera selayaknya manusia, oleh sebab itu badan hukum diidentikkan dengan
15
Ridwan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Badan Hukum Perdata, (Bandung: Alumni,
2000), h. 56.
16
Agus Budiarto, Seri Hukum Perusahaan: Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri
Perseroan Terbatas, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h. 28.

11
manusia. Kedua, yaitu teori yang beranggapan badan hukum bukan wujud
yang nyata, namun dibalik badan hukum terdapat manusia, sehingga apabila
badan hukum membuat suatu kesalahan maka kesalahan itu merupakan
kesalahan secara bersama. Berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas
disebutkan bahwa usaha yang berbentuk perseroan adalah badan hukum.
Perseroan Terbatas merupakan badan hukum yang secara sah dapat bertindak
sebagai subjek hukum serta mempunyai aset yang terpisah dari kekayaan
pribadi para pengurus.17

Berdasarkan penjelasan diatas, organ perseroan terdiri atas Rapat Umum


Pemegang Saham, Komisaris, dan Direksi. Bahwa ketiga organ tersebut
mempunyai tugas, kewenangan, beserta pertanggungjawaban yang berbeda-
beda. Direksi bertugas dan bertanggung jawab dalam mengurus perseroan
sebagai organ perseroan untuk mencapai tujuan serta mewakili perseroan di
dalam maupun di luar pengadilan. Direksi memiliki peranan dan juga fungsi
yang sentral sebab direksi yang menggerakan fungsi pengurusan dan
mewakili perseroan terbatas.18 Dalam teori Otto von Gierke tersebut, Direksi
sebagai organ ataupun sarana dalam badan hukum. Sebagaimana manusia
memiliki organ dan setiap gerakan organ tersebut dikehendaki ataupun
ditentukan oleh otak manusia, demikian pula setiap gerak atau tindakan
Direksi pada suatu badan hukum juga memiliki kehendak atau ditentukan oleh
badan hukum itu sendiri.19

17
Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung: Alumni,
2004), h. 50
18
M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2008), h. 225
19
Nindyo Pramono, “Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank) menurut UU Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, Buletin Hukum dan Kebanksentralan, Vol. 5, No. 3,
(Desember 2007), h. 15

12
3. Teori Tanggung Jawab

Setiap orang mempunyai pertanggungjawaban dan tanggung jawab


tersebut merupakan suatu hal yang harus dipikul oleh setiap orang dalam
menanggung segala risiko. Menurut Abdulkadir Muhammad, Teori Tanggung
Jawab pada perbuatan melanggar hukum dibedakan atas beberapa teori,
yakni:20

a. Tanggung jawab terhadap tindakan melawan hukum yang sengaja,


tergugat melakukan perbuatan yang membawa kerugian penggugat atau
mengetahui yang dilakukan tergugat membawa kerugian.
b. Tanggung jawab terhadap tindakan melawan hukum akibat lalai yang
didasari pada konsep kesalahan berkaitan dengan moral serta hukum yang
tercampur.
c. Tanggung jawab mutlak diakibatkan tindakan melanggar hukum,
didasarkan pada perbuatan baik sengaja ataupun tidak, maksudnya ialah
walaupun bukan kesalahannya namun tetap menanggung kerugian yang
ditimbulkan dari perbuatannya tersebut. Teori ini, bersandar dalam dua
hal, yaitu melanggar hukum serta kesalahan. Kesalahan diberi arti luas
meliputi perbuatan melanggar hukum, timbulnya kerugian bagi orang lain,
serta pertanggungjawaban sepanjang kerugian tersebut disebabkan oleh
pelanggaran norma (perbuatan melawan hukum) serta pelakunya dapat
dimintai pertanggungjawaban sebab telah melanggar norma. 21 Perseroan
Terbatas yang menyelenggarakan RUPS dapat membawa keputusan yang
diatur dalam Pernyataan Keputusan Pemegang Saham yang
dipertanggungjawabkan bersama.

20
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010),
h. 503.
21
Sjaifurrachman dan Habib Adjie, Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam Pembuatan Akta,
(Bandung: Mandar Maju, 2011), h. 1.

13
B. Regulasi dan Peraturan Perundang-Undangan yang Mengatur

regulasi yang menjadi fokus analisis dapat diuraikan berdasarkan sumber data
yang disebutkan:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

KUHD dapat menjadi dasar hukum yang relevan untuk mengidentifikasi


prinsip-prinsip umum terkait dengan hukum dagang, termasuk aspek-aspek
yang berkaitan dengan perseroan terbatas.

2. Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Menyediakan dasar hukum konstitusional yang mungkin mempengaruhi


struktur dan fungsi perusahaan, termasuk regulasi terkait pemecatan direksi.

3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Memiliki ketentuan terkait hak dan perlindungan pekerja, termasuk direksi,


yang perlu diperhatikan dalam konteks pemberhentian.

4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

Undang-undang ini memiliki implikasi khusus terkait dengan


pemberhentian direksi.

5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Sebagai undang-undang yang secara khusus mengatur perseroan terbatas,


menjadi salah satu dasar hukum utama untuk analisis perlindungan hukum
terhadap pemberhentian sepihak direksi melalui Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS).

6. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

14
Perusahaan terdaftar di pasar modal, regulasi ini memberikan kerangka
hukum tambahan yang harus diperhitungkan terkait dengan pemberhentian
direksi.

7. Putusan MA Nomor 1888 K/Pdt/2020

Putusan Mahkamah Agung ini menjadi salah satu sumber hukum utama
yang sangat relevan dan perlu dianalisis dengan cermat untuk memahami
interpretasi dan aplikasi hukum terkait pemberhentian sepihak direksi.

Selain itu, sumber data sekunder seperti literatur hukum, jurnal, buku teks,
artikel, skripsi, tesis, dan disertasi dapat memberikan pandangan yang lebih luas
terhadap penelitian ini, sementara sumber data tersier seperti kamus hukum dapat
membantu dalam memberikan pemahaman lebih mendalam terhadap istilah-
istilah hukum yang digunakan dalam regulasi tersebut.

15
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kasus Posisi

Berdasar pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888/K/Pdt/2020, yang


didahului dengan adanya Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor
82/PDT/2019/PT KDI, serta Putusan Pengadilan Negeri Kolaka Nomor
16/Pdt.G/2019/PN Kka pada kasus pemberhentian sepihak mantan Direksi PT
Multi Daya Wonua, yakni Sadikin yang telah diberhentikan secara sepihak oleh
perusahaannya merasa sangat dirugikan sehingga pada akhirnya menuntut
keadilan agar dirinya dapat mendapat hak-haknya. Sebagai langkah awal, Sadikin
telah melaporkan PT MDW ke pihak Dinas Ketenagakerjaan dan Perindustrian
atau Disnakertrans Kolaka agar permasalahannya mendapat solusi terbaik agar
dirinya tidak dirugikan. Akan tetapi, setelah dimediasi oleh pihak Disnaketrans
tidak ada titik temu sebab perusahaan tidak dapat memenuhi tuntutan dari mantan
Direksi Sadikin sehingga ditempuh jalur hukum.

Sadikin mengaku jika dirinya terpaksa melaporkan pihak perusahaan sebab


tanpa alasan yang jelas dirinya secara tiba-tiba diberhentikan yang menurutnya
hal tersebut tidak sesuai dengan aturan, sebab dirinya diangkat menjadi direksi
berdasarkan proses dan aturan yang ditandatangani oleh akta notaris dimana
dalam aturan tersebut menyatakan bahwa pergantian direksi maksimal lima tahun,
sementara dirinya baru menjabat selama tiga tahun namun sudah diberhentikan.
Hal ini tentunya tidak sesuai mekanisme yang ada pada dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa
pengakhiran perjanjian tersebut mengharuskan adanya pembayaran dari sisa
jabatan sebagai sanksi.

16
Mantan Direksi Sadikin tersebut menyatakan ketika Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS) pada bulan Januari lalu, ia diberhentikan dari jabatannya selaku
Direksi secara sepihak tanpa ada alasan atau pemberitahuan sebelumnya
sementara kinerjanya dalam membesarkan perusahaan selama ini cukup
memuaskan. Oleh sebab itu, Sadikin menuntut keadilan agar sisa jabatan selama
dua tahun dapat dibayarkan terlebih ia diangkat berdasarkan kesepakatan di akta
notaris yang jelas dasar hukumnya. Sadikin pun sejak awal pendirian perusahaan
pada tahun 2013 juga merintis bahkan memberikan nama PT Multi Daya Wonua
dan membesarkan perusahaan tersebut hingga sekarang. Sadikin menyatakan
bahwa perusahaan tersebut tidak akan besar tanpa perjuangannya, sehingga
perusahaan harus memberikan rasa kemanusiaan dan rasa terima kasih kepadanya
yang sudah banyak berjasa.

Berdasarkan hal tersebut, mantan Direktur Operasional PT MDW itu


berencana akan menempuh jalur hukum dan melaporkan perusahaan tersebut ke
pengadilan industri di Kendari. Jalur hukum tersebut ditempuh agar haknya
selaku Direksi dapat terbayarkan, terlebih surat pemberhentiannya belum diterima
secara resmi. Sementara itu, mediator Dinas Ketenagakerjaan dan Perindustrian
mengaku jika pihaknya hanya sebatas melakukan mediasi. Apabila dalam proses
mediasi ada salah satu pihak yang tidak puas, dapat menempuh jalur hukum. Hal
yang diinginkan adalah adanya perdamaian terkait permasalahan apa saja namun
tidak semua masalah dapat diselesaikan oleh mediator apabila terdapat salah satu
pihak yang tidak puas dengan solusi yang disepakati. Sehingga, dipersilahkan
apabila terdapat pihak melanjutkan hingga ke pengadilan.22

Kasus pemecatan sepihak tersebut terus bergulir dan kini tengah ditangani
oleh Pengadilan Negeri Kolaka. Mantan Direksi PT MDW Sadikin mengaku, jika
proses hukum terkait pemecatan yang dilakukan oleh PT MDW terhadap dirinya
22
Redaksi Kolakaposnews, Mantan Direksi PT Multi Daya Wonua Tuntut Keadilan, diakses dari
https://kolakaposnews.fajar.co.id/2019/03/15/mantan-direksi-pt-multi-daya-wonua-tuntut-keadilan/ ,
pada tanggal 30 Desember 2023, pukul 12.18 WIB.

17
telah memasuki masa sidang. Dimana pada sidang pertama, Hakim melakukan
mediasi untuk mencari solusi agar kasus tidak dilanjutkan. Namun, pada saat
tahap mediasi tidak disepakati solusi antar kedua belah pihak, sehingga proses
hukum terus dilanjutkan. Dalam tahap mediasi tersebut, tidak ada kesepakatan
yang didapat sebab PT MDW hanya mampu memberikan dana Rp10.000.000,00,-
(sepuluh juta rupiah) sebagai dana pesangon pada Direksi Sadikin, sementara
Direksi Sadikin menuntut hak sebesar Rp200.000.000,00,- (dua ratus juta rupiah)
karena PT MDW telah memberhentikan secara sepihak, tanpa ada alasan yang
jelas. Terlebih lagi, Direksi Sadikin diangkat menjadi Direksi melalui akta
notaris, sehingga berhak menuntut haknya.

Akibat tidak adanya solusi yang dihasilkan, Hakim memutuskan melakukan


sidang lanjutan. Alasan perusahaan tidak memberikan sesuai yang diinginkan
adalah karena PT Multi Daya Wonua menganggap kasus pemecatan sepihak
tersebut tidaklah diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan sehingga
perusahaan tidak mau memenuhi tuntutan. Saat ini, Direksi Sadikin telah
menyiapkan pengacara agar kasus permasalahannya tersebut dapat segera
diselesaikan. Sehingga untuk kedepannya diharapkan tidak ada lagi perusahaan
yang bertindak sewenang-wenang dalam melakukan pemecatan terhadap
karyawannya dan diharap kasus ini dapat segera diselesaikan sesuai dengan
mekanisme dan ketentuan yang berlaku.

Dalam hal ini, Sadikin telah menempuh upaya hukum yang diawali melalui
pengadilan tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Kolaka dengan Putusan
Nomor 16/Pdt.G/2019/PN.Kka namun dirinya merasa kurang mendapatkan
keadilan, sehingga melanjutkan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi
Sulawesi Tenggara dengan Putusan Nomor 82/Pdt/2019/PT KDI, akan tetapi
putusan dari majelis hakim pada tingkat banding pun dirasa belum cukup
memberikan rasa keadilan sesuai hak yang diminta. Oleh sebab itu, mantan
Direksi PT Multi Daya Wonua yakni Sadikin melanjutkan hingga tingkat kasasi

18
pada Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor 1888 K/Pdt/2020 untuk
memperjuangkan hak dan keadilannya sebagai Direksi yang diberhentikan secara
sepihak tanpa alasan yang jelas dan tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Adapun para pihak dalam kasus
pemberhentian sepihak Direksi PT Multi Daya Wonua (PT MDW) ini ialah
sebagai berikut:

1. Pihak Penggugat

Penggugat dalam kasus ini adalah Sadikin, yang merupakan Pendiri dan
Direktur Utama PT MDW, dalam hal ini memberikan kuasa kepada Saddam
Husein, S.H., Juita, S.H., Muh. Baidar Maulid, S.H., Subair, S.H.,
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 08 April 2018.

2. Pihak Tergugat

Dalam kasus ini yang menjadi Pihak Tergugat adalah:

a. PT Multi Daya Wonua (PT MDW), sebagai Tergugat I.


b. Agung Adrianto, selaku pemegang saham PT MDW, selanjutnya disebut
sebagai Tergugat II.
c. Achmad Munir, selaku pemegang saham PT MDW, selanjutnya disebut
sebagai Tergugat III.
d. Ivan Kariman, selaku pemegang saham PT MDW, selanjutnya disebut
sebagai Tergugat IV.
e. Ruslan Amir, selaku pemegang saham PT MDW, selanjutnya disebut
sebagai Tergugat V.
f. Suwarman Sakoy, selaku pemegang saham PT MDW, selanjutnya disebut
sebagai Tergugat VI.
g. Yustiana, selaku pemegang saham PT MDW, selanjutnya disebut sebagai
Tergugat VII.

19
Dalam hal ini memberi kuasa pada Beni Suswanto, S.H., M.H., Sendy Fery
Yoesoef, S.H., dan M. Akbar, S.H., berdasar Surat Kuasa Khusus tanggal 25
April 2019. Untuk selanjutnya disebut sebagai Para Tergugat.

B. Pertimbangan Hukum dan Hasil Penyelesaian

1. Putusan Pengadilan Negeri Kolaka Nomor 16/Pdt.G/2019/PN.Kka

Dalam pokok perkaranya, sejak Januari 2015 sampai Desember 2017,


Penggugat bekerja di PT MDW sebagai Direktur Utama, kemudian pada
Januari 2018 sampai Januari 2019, Penggugat bekerja sebagai Direktur
(Direktur Operasional). Namun, pada tanggal 31 Januari 2019, Penggugat
diberhentikan melalui RUPS di Hotel castle secara lisan dan tanpa alasan oleh
para Tergugat yang sampai saat ini tidak ada surat tertulis yang diberikan
kepada Penggugat, serta tanpa adanya pembelaan diri dari Penggugat, dan
juga tidak adanya tanda terima kasih dan/atau kompensasi dari para Tergugat.
Adapun pemberhentian yang dilakukan oleh Para Tergugat tersebut adalah
tidak sah, sewenang-wenang, dan melawan hukum, sebab sangat tidak sesuai
prosedur dan mekanisme diberhentikannya Direksi dari jabatannya sesuai
aturan pada Pasal 21, Pasal 105, dan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Tindakan Para Tergugat sangat bertentangan dengan UUPT, sebab para


Tergugat melakukan Pemberhentian secara lisan yang hingga kini tidak
adanya surat tertulis yang diberikan sebagaimana Pasal 21 UUPT bahwa
perubahan anggaran dasar haruslah disetujui Menteri atau cukup
diberitahukan pada Menteri, serta Perubahan anggaran dasar haruslah dimuat
atau dinyatakan pada akta notaris maksimal 30 (tiga puluh) hari setelah
tanggal RUPS diputuskan. Sehingga, telah jelas bahwa pemberhentian secara
lisan yang sampai saat ini tidak adanya surat tertulis yang diberikan kepada

20
Penggugat tidak sah, sewenang-sewenang, dan melawan hukum sehingga
sepatutnya dinyatakan tidak sah menurut hukum.

Tindakan Para Tegugat yang setuju untuk mengganti ataupun


memberhentikan Penggugat selaku Direktur (Operasional) PT MDW sangat
bertentangan dengan Pasal 105 UUPT. Bahwa tindakan yang dilakukan Para
Tergugat bertentangan sebab Penggugat tidak pernah melakukan pembelaan
diri dalam RUPS, namun Para Tergugat langsung mengubah Susunan
Pengurus PT MDW tanpa menyebutkan atau memberitahukan alasannya.
Sehingga, jelaslah dalam hal ini bahwa keputusan tersebut sebagao tindakan
sewenang-wenang dan RUPS tanggal 31 Januari 2019 mengandung kecacatan
hukum. Berdasarkan Pasal 106 UUPT, dalam tindakan pemberhentian yang
dilakukan Para Tergugat tidak dilakukan sesuai prosedur dan/atau mekanisme
UUPT sehingga perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan Perbuatan Melawan
Hukum sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata. Terhadap perbuatan yang
melawan hukum tersebut, Penggugat mengalami kerugian sangat besar, yakni
secara materiil Penggugat kehilangan penghasilan dengan total Rp.
90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah), serta kerugian secara immateriil
kerugian psikologi dan tekanan batin akibat pemberhentian dan reputasi
Penggugat yang tercemar sehingga dapat bernilai paling sedikit Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

Terhadap gugatan Penggugat, kuasa Para Tergugat menyampaikan


jawaban tertulis yang dalam eksepsi pada pokoknya bahwa gugatan
penggugat error in persona dan kurang pihak. Hal ini disebabkan karena
Penggugat hanya menggugat PT MDW sebagai Tergugat I dan tidak
memasukkan Direksi PT MDW sebagai Pihak Tergugat, sesuai dengan
Hukum Acara Perdata, gugatan Penggugat tidak lengkap atau tidak sempurna
karena kurang pihak dapat dinyatakan tidak dapat diterima. Selain itu,
Pengadilan Negeri Kolaka tidak berwenang mengadili perkara aquo (eksepsi

21
kompetensi absolut), sebab dalil posita gugatan Penggugat adalah gugatan
yang timbul dianggap telah melakukan kesalahan berat sesuai ketentuan Pasal
158 angka (1) poin b dan i Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, serta gugatan Penggugat membahas tentang Upah dan
Ketenagakerjaan maka kewenangan untuk mengadili perkara aquo adalah
kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Sebagaimana proses
penyelesaiannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Maka, Pengadilan Negeri
Kolaka tidak memiliki wewenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara aquo.

Pertimbangan hukum, bahwa permohonan Penggugat provisional yang


memohon agar majelis memutuskan terlebih dahulu provisi ini yang
menyatakan Penggugat adalah sah sebagai Direktur PT MDW hingga ada
putusan Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap (in kracht), Majelis
Hakim berpendapat hal tersebut tidaklah terlalu mendesak sehingga
permohonan provisi aquo harus ditolak. Selanjutnya, selain mengajukan
Jawaban pada pokok perkara, Para Tergugat juga mengajukan eksepsi yang
telah dipertimbangkan serta diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Kolaka yang amar putusannya menolak eksepsi Para Tergugat
mengenai wewenang untuk mengadili, menyatakan Pengadilan Negeri Kolaka
memiliki kewenangan mengadili perkara, memerintahkan Para Pihak untuk
melanjutkan perkara, dan menyatakan biaya perkara ditunda sampai dengan
putusan akhir. Dalam hal Para Tergugat mengajukan eksepsi tentang Gugatan
Penggugat error in persona dan kurang pihak karena tidak mengikutsertakan
Direksi PT MDW, terhadap eksepsi tersebut Majelis Hakim berpendapat
bahwa gugatan Penggugat ditujukan kepada badan hukum PT MDW, maka
berdasarkan Pasal 98 UUPT menyatakan Direksi menjadi wakil Perseroan
baik di dalam ataupun di luar pengadilan yang ternyata berdasarkan relaas

22
panggilan diterima dan ditandatangani oleh BASIRAH selaku Direktur Utama
PT MDW sehingga gugatan tersebut dianggap tidak error in persona dan
kurang pihak, sehingga eksepsi dalam hal ini haruslah ditolak. Berdasarkan
uraian dari pertimbangan tersebut, Majelis Hakim dapat menarik kesimpulan
yang berisikan menolak eksepsi dari Para Tergugat seluruhnya.

Bahwa pada pokok gugatan Penggugat mengenai tindakan pemberhentian


Penggugat selaku Direktur Operasional PT. Multi Daya Wonua secara
sewenang-wenang oleh Para Tergugat melalui Rapat Umum Pemegang
Saham, tertanggal 31 Januari 2019 dimana menurut Penggugat mengandung
cacat hukum/tidak sah, serta perbuatan melawan hukum yang membawa
kerugian bagi Penggugat, sedangkan para Tergugat dalam bantahannya
menyebutkan pemberhentian Penggugat sebagai Direktur Operasional PT.
Multi Daya Wonua, tidak sewenang-wenang dan sah karena sesuai Pasal 11
point 3 Akta Pendirian PT. Multi Daya Wonua. Oleh sebab itu, bertitik tolak
pada dasar pertimbangan dalam Pasal 283 Rbg dan Pasal 1865 KUHPerdata,
Majelis Hakim menetapkan beban pembuktian pada kedua pihak berperkara.

Berdasarkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007


tentang Perseroan Terbatas, serta pasal lainnya dari peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan, maka dalam hal ini Majelis Hakim mengadili:

Dalam Provisi;

1. Menolak tuntutan Provisi Penggugat;

Dalam Eksepsi;

1. Menolak eksepsi Para Tergugat untuk seluruhnya;

Dalam Pokok Perkara;

1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

23
2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp.
1.791.000,00,- (satu juta tujuh ratus Sembilan puluh satu ribu rupiah).

2. Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 82/PDT/2019/PT


KDI

Terdapat keberatan-keberatan kuasa hukum Pembanding semula


Penggungat dalam Memori Bandingnya, yakni bahwa pertimbangan hukum
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kolaka yang menyatakan, “Penggugat
diberhentikan sebagai Direktur Operasional PT MDW dan Penggugat tidak
keberatan atas diberhentikannya”. Dalam hal ini, Pertimbangan Hukum
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kolaka tersebut sangat salah dan keliru
karena berdasarkan fakta hukum yang ditemukan pada persidangan bahwa
Penggugat diberhentikan atau dipecat melalui RUPS oleh Para Tergugat dan
Penggugat sangat keberatan akan tetapi tidak diberi kesempatan untuk
melakukan pembelaan bagi dirinya dalam RUPS.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kolaka telah salah menerapkan hukum


yang menolak gugatan Penggugat berdasarkan Pasal 105 ayat (4) Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi,
“Kesempatan membela diri ini tidak diperlukan dalam hal Direksi yang
bersangkutan tidak keberatan atas pemberhentian tersebut”. Pertimbangan
Hukum tersebut telah salah dan keliru sebab Majelis Hakim tidak
mempertimbangkan Pasal 105 ayat (1) dan (2), yakni pada ayat (1) berbunyi,
“Anggota Direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan
RUPS dengan menyebutkan alasannya”; serta pada ayat (2) berbunyi,
“Keputusan utnuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana ayat (1)
diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan membela diri dalam
RUPS”. Hal ini tentunya sangat jelas fakta bahwa Penggugat diberhentikan
atau dipecat tanpa adanya alasan dari Para Tergugat/Terbanding, serta

24
Pembanding/Penggugat tidak diberi kesempatan melakukan pembelaan bagi
dirinya dalam RUPS, sehingga sangat bertentangan dengan Pasal 105 ayat (1)
dan (2) UUPT tersebut.

Bahwa Pengadilan Tinggi membaca serta mempelajari dengan seksama


berkas perkara a quo serta surat yang terlampir serta mempelajari turunan
resmi putusan Pengadilan Negeri Kolaka dalam Putusan Nomor
16/Pdt.G/2019/PN.Kka dan telah mempelajari memori banding yang diajukan
Pembanding semula Penggugat, maka Pengadilan Tinggi dapat menyetujui
dan sependapat terhadap pertimbangan dan putusan Majelis Tingkat Pertama
dalam memutus perkara tersebut karena alat bukti yang diajukan kedua belah
pihak sudah dipertimbangkan dengan tepat dan benar sesuai kaidah hukum
pembuktian, bahwa 4 (empat) orang saksi yang dihadirkan tidak satu pun
yang dapat membuktikan perbuatan Para Terbanding semula Para Tergugat
yang telah melakukan pemecatan atau pemberhentian sebagai Direktur Utama
PT MDW secara sewenang-wenang dan melawan hukum yang merugikan
Pembanding semula Penggugat. Bahwa terhadap keberatan pembanding
semula Penggugat, semua keberatan sudah terjawab dan telah dilakukan
pertimbangan dengan benar oleh Majelis Hakim Tingkat pertama sehingga
keberatan tersebut tidak berdasarkan hukum, maka memori bandng haruslah
ditolak dan berdasarkan pertimbangan tersebut maka Putusan Pengadilan
Negeri Kolaka Nomor 16/Pdt.G/2019/PN.Kka yang dimohonkan banding
tersebut beralasan hukum untuk dikuatkan.

M E N G A D I L I:

1. Menerima permohonan banding dari Pembanding semula Penggugat


tersebut;
2. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Kolaka Nomor
16/Pdt.G/2019/PN.Kka yang dimohonkan banding;

25
3. Menghukum Pembanding semula Penggugat untuk membayar biaya
perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding
ditetapkan sejumlah Rp 150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah).

3. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888 K/Pdt/2020

Dengan adanya gugatan tersebut, Pengadilan Negeri Kolaka telah


memberi Putusan Nomor 16/Pdt.G/2019/PN.Kka yang amarnya menolak
tuntutan provisi Penggugat; menolak eksepsi Para Tergugat untuk seluruhnya;
dalam Pokok Perkara menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya dan
menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sejumlah
Rp1.791.000,00 (satu juta tujuh ratus sembilah puluh satu ribu rupiah).
Selanjutnya, pada tingkat banding, putusan tersebut dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Kendari melalui Putusan Nomor 82/PDT/2019/PT KDI
tanggal 10 Oktober 2019.

Berdasarkan memori kasasi yang diterima tanggal 14 November 2019,


Pemohon Kasasi pada pokoknya meminta agar Menerima permohonan kasasi
dari Pemohon (semula Pembanding/Penggugat); Membatalkan Putusan
Pengadilan Tinggi Kendari Nomor 82/Pdt/2019/PT.KDI juncto Putusan
Pengadilan Negeri Kolaka Nomor 16/Pdt.G/2019/PN.Kka.

Berdasarkan alasan demikian, Mahkamah Agung memiliki pendapat


bahwa alasan kasasi dari Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan sebab
pertimbangan hukum putusan judex facti Pengadilan Tinggi Kendari yang
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Kolaka sudah tepat dan benar, tidak
salah menerapkan hukum dengan pertimbangan bahwa tindakan Para
Tergugat memberhentikan Penggugat sebagai Direktur Operasional PT MDW
melalui RUPS sudah bersesuaian dengan Anggaran Dasar atau Akta Pendirian
PT MDW serta tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun

26
2007 tentang Perseroan Terbatas, dengan demikian tidak adanya perbuatan
melawan hukum oleh Para Tergugat. Berdasarkan pertimbangan tersebut,
putusan judex facti atau Pengadilan Tinggi Kendari yang menguatkan putusan
Pengadilan Negeri Kolaka tidak bertentangan dengan hukum dan/atau
undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon
Kasasi SADIKIN harus ditolak. Sehingga, Pemohon Kasasi dihukum untuk
membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini.

M E N G A D I L I:

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: SADIKIN tersebut.


2. Menghukum Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

C. Analisis

1. Aspek Keadilan pada Pertimbangan Hakim dalam Putusan Mahkamah


Agung Nomor 1888 K/Pdt/2020

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888 K/Pdt/2020, Mahkamah


Agung memiliki pendapat bahwa alasan kasasi dari Pemohon Kasasi tidak
dapat dibenarkan sebab putusan judex facti Pengadilan Tinggi Kendari yang
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Kolaka sudah tepat dan benar, tidak
salah menerapkan hukum. Adapun pertimbangannya bahwa tindakan Para
Tergugat memberhentikan Penggugat sebagai Direktur Operasional PT MDW
melalui RUPS tanggal 31 Januari 2019 di Hotel Castle Pomalaa Kolaka telah
sesuai dengan Anggaran Dasar/Akta Pendirian PT MDW, bahwa dengan
demikian tidak ada perbuatan melawan hukum oleh Para Tergugat terhadap
Penggugat.

Terhadap hal ini, Para Tergugat menyatakan pula bahwa pemberhentian


Penggugat melalui RUPS telah sesuai dengan Akta Pendirian/AD/ART PT

27
MDW sebagaimana dalam Pasal 11 Akta Pendirian, yang menyatakan
Anggota Direksi diangkat oleh RUPS dalam jangka waktu 5 (lima) tahun dan
tidak mengurangi hak bagi RUPS untuk memberhentikan sewaktu-waktu.

Berkaitan dengan hal ini, peneliti berpendapat bahwa pertimbangan


hukum hakim sudah tepat apabila merujuk pada ketentuan dalam Anggaran
Dasar ataupun Akta Pendirian PT Multi Daya Wonua tersebut, akan tetapi
pertimbangan hakim juga perlu memperhatikan fakta dan aspek-aspek lain
serta memperhatikan lebih jauh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang seharusnya mempertimbangkan
Pasal 105 ayat (1) dan ayat (2), yakni dalam ayat (1) berbunyi, “Anggota
direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS
dengan menyebutkan alasannya”, serta pada ayat (2) disebutkan bahwa,
“Keputusan untuk memberhentikan anggota Direksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
membela diri dalam RUPS”.

Adapun majelis hakim hanya memperhatikan ketentuan dalam Pasal 11


Akta Pendirian yang menyatakan RUPS dapat melakukan pengangkatan serta
melakukan pemberhentian bagi Direksi sewaktu-waktu. Sedangkan, pada
kasus pemberhentian sepihak pada PT MDW dilakukan secara lisan dan tanpa
menyebutkan alasannya kepada Direksi yang bersangkutan, sehingga jelas
bahwa Penggugat selaku Direksi diberhentikan tanpa adanya alasan dari Para
Tergugat dan tidak diberikan kesempatan membela diri dalam RUPS yang
sangat bertentangan dengan Pasal 105 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Perseroan Terbatas Tersebut.

Berdasarkan hal diatas, peneliti berpendapat bahwa majelis hakim


seharusnya memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang Perseroan
Terbatas tentang pemberhentian Direksi yang dilakukan tanpa menyebutkan

28
alasan pemberhentiannya, agar keadilan dan hak bagi Direksi yang dilakukan
pemberhentian secara sepihak melalui Rapat Umum Pemegang Saham dapat
terpenuhi, sebab Penggugat diberhentikan atau dipecat melalui RUPS secara
lisan dan tanpa alasan oleh Para Tergugat yang sampai saat ini tidak ada surat
tertulis yang diberikan kepada Penggugat serta tanpa adanya pembelaan diri
dari Penggugat dan tidak adanya tanda terima kasih atau kompensasi dari Para
Tergugat.

Pada permasalahan pemberhentian sepihak Direksi PT MDW ini tentu


Direksi tersebut mengalami kerugian dari adanya pemberhentian secara
sepihak seperti kerugian materiil berupa kehilangan penghasilan, serta
kerugian imateriil karena penggugat mengalami kerugian dalam menuntut
haknya serta mengalami gangguan psikologi dan tekanan batin akibat
perbuatan pemberhentian atau pemecatan tersebut, serta reputasi Penggugat
yang menjadi tercemar dikalangan pengusaha. Terhadap kerugian-kerugian
yang dirasakan oleh Direksi PT MDW akibat pemberhentian secara sepihak
tersebut, sesuai dengan penjelasan Teori Keadilan John Rawls, apabila terjadi
ketidakadilan maka kaum tertinggallah yang harus diuntungkan.

Pemberhentian tersebut dapat dianggap tidak adil bagi kepentingan dan


hak Direksi Perseroan Terbatas yang bersangkutan, sebab permberhentian
tersebut dilakukan dengan tidak sah dan sewenang-wenang yang tidak sesuai
dengan mekanisme dan/atau prosedur diberhentikannya Direksi dari
jabatannya sebagaimana ketentuan Pasal 21, Pasal 105, dan Pasal 106 UUPT.
Tindakan pemberhentian secara lisan dan tanpa alasan ini bertentangan
dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas, yang seharusnya mendapatkan persetujuan dari Menteri atau cukup
diberitahukan kepada Menteri mengenai perubahan anggaran dasar, serta
perubahan tersebut haruslah dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris
maksimal 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal RUPS diputuskan, sehingga

29
pemberhentian secara lisan tanpa surat tertulis ini sangat bertentangan dan
perbuatan tersebut tidak sah, sewenang-wenang, dan melawan hukum.

Tindakan Para Tergugat yang menyetujui untuk mengganti dan/atau


memberhentikan Penggugat selaku Direktur (Operasional) PT MDW sangat
bertentangan pula dengan Pasal 105 ayat (1) serta ayat (2) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

2. Hak Direksi Perseroan Terbatas atas Perlindungan Hukum berdasarkan


Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888 K/Pdt/2020

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888 K/Pdt/2020,


peneliti dalam hal ini menganalisis perlindungan hukum terhadap Direksi
Perseroan Terbatas yang diberhentikan secara sepihak melalui Rapat Umum
Pemegang Saham. Dalam hal ini, hukum merupakan aturan yang memaksa
yang dibuat oleh masyarakat untuk melindungi manusia dari ketidakadilan
tindakan dari orang lain, sehingga terdapat suatu hak yang diberikan oleh
hukum. Prof. Dr. M. Solly Lubis, S.H berpendapat bahwa perlindungan
hukum sebagai perlindungan terhadap status atau hak seperti hak memilih,
dipilih, berusaha, atau hak khusus warga negara. Adapun Prof. Imam
Soepomo, S.H, yang dilengkapi oleh Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H,
menjabarkan bahwa bentuk perlindungan perburuhan terdiri atas perlindungan
ekonomis, keselamatan kerja, kesehatan kerja, hubungan kerja, serta
perlindungan kepastian hukum.23

Dalam kasus pemberhentian sepihak yang dilakukan oleh PT Multi Daya


Wonua (PT MDW) terhadap direksinya, yakni Sadikin. Dalam hal
pemberhentian tersebut, seharusnya dilaksanakan dengan menyebutkan alasan
pemberhentian, namun RUPS PT MDW dalam memberhentikan Direksi
dilakukan langsung menggunakan mekanisme pemberhentian secara tetap
23
Abdullah Sulaiman, Hukum Perburuhan-I, Bahan Mata Kuliah Hukum Perburuhan, (Jakarta:
Program Magister Ilmu Hukum UIJ), h. 38.

30
terhadap Direksinya yang secara tiba-tiba tanpa menyebutkan alasan yang
jelas terhadap Direksi walaupun melalui mekanisme RUPS.

Berkaitan dengan pemberhentian anggota Direksi yang dapat


diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, artinya Direksi tersebut
diberhentikan sewaktu-waktu. Dalam hal ini diberhentikan berdasarkan
keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya. Keputusan RUPS dalam
pemberhentian anggota Direksi dapat dilakukan dengan alasan yang
bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota Direksi, seperti
melakukan perbuatan merugikan perseroan atau sebab alasan lain yang dinilai
tepat oleh RUPS. Keputusan RUPS untuk memberhentikan Direksi hanya
dapat diambil setelah yang bersangkutan diberi kesempatan melakukan
pembelaan diri dalam RUPS. Kesempatan membela diri ini tidak diperlukan
apabila Direksi yang bersangkutan tidak keberatan atas pemberhentian
tersebut. Namun, apabila Direksi merasa keberatan maka dirinya harus
diberikan kesempatan untuk melakukan pembelaan diri.

Sesuai dengan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007,


anggota Direksi juga dapat diberhentikan untuk sementara oleh Dewan
Komisaris dengan menyebutkan alasannya serta harus memberitahukan
kepada yang bersangkutan. Pemberhentian anggota Direksi harus melalui
keputusan RUPS, sehingga dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal
pemberhentian sementara, harus diselenggarakan RUPS. Apabila melewati
jangka waktu tersebut setelah tanggal keputusan pemberhentian sementara,
RUPS tidak dilaksanakan atau RUPS tidak mengambil keputusan, maka
pemberhentian sementara tersebut menjadi batal.

Adapun perlindungan hukum bagi Direksi Perseroan Terbatas yang


dilakukan pemberhentian secara sepihak melalui RUPS, maka dalam hal ini
tiap anggota dewan komisaris dapat pula dimintakan pertanggungjawaban

31
terhadap kerugian yang diterima oleh perseroan, tanggung jawab pribadi
melekat pada diri anggota dewan komisaris jika salah ataupun lalai dalam
mengawasi ataupun memberikan nasihat. Dalam hal ini luasnya
pertanggungjawaban sebatas kesalahan ataupun kelalaiannya tersebut.

Selanjutnya, upaya hukum yang dapat dilakukan, yakni dapat


diadakannya RUPS Luar Biasa sebagai tindak lanjut dari pemberhentian
Direksi, oleh sebab itu hendaknya Dewan Komisaris dengan segera
melakukan pemanggilan kepada para pemegang saham untuk
dilaksanakannya RUPS Luar Biasa demi mengukuhkan keputusannya. Hal ini
disebabkan karena Direksi sebagai pemegang saham mayoritas, sehingga
RUPS biasa tentu tidak dapat sukses karena adanya aturan kuorum atau
pengesahan suara.24

24
Ikhsan Lubis dan Neneg Oktarina, “Perlindungan Hukum terhadap Direksi yang Diberhentikan
tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (Studi Pada PT. Sumber Andalan Mandiri), Unes Law
Review, Vol. 1, No. 2, (Desember 2018), h. 182.

32
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya dan mengacu
permasalahan pada perumusan masalah, peneliti dapat menyimpulkan sebagai
berikut:

1. Pertimbangan hakim dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888


K/Pdt/2020 dalam pemberhentian sepihak Direksi melalui RUPS kurang
memperhatikan keadilan bagi Direksi apabila hanya merujuk pada ketentuan
Anggaran Dasar atau Akta Pendirian PT MDW, hakim hendaknya
memperhatikan lebih jauh dari aspek-aspek ataupun fakta lain serta meninjau
pengaturan badan hukum perseroan terbatas khususnya ketentuan dalam
Undang-Undang Perseroan Terbatas berkaitan dengan pemberhentian Direksi
yang sepatutnya disertai dengan alasan pemberhentiannya serta diberikan
kesempatan membela diri dalam RUPS. Sebab pemberhentian yang
dilakukan oleh PT MDW tidak sah dan sewenang-wenang karena tidak
sesuai dengan mekanisme dalam UUPT, sehingga pemberhentian tersebut
dianggap belum memberikan keadilan bagi kepentingan Direksi yang
bersangkutan. Oleh sebab itu, RUPS yang dilakukan oleh PT MDW
hendaknya dinyatakan cacat hukum dan sepatutnya dinyatakan tidak sah
menurut hukum. Dampak putusan hakim yang mengabulkan pemberhentian
sepihak Direksi tersebut, apabila dibiarkan akan berakibat buruk bagi hukum
di Indonesia karena dapat memicu tindakan para pemegang saham atau organ
perusahaan lain melakukan penyelewengan dan kerugian serupa karena
permasalahan tersebut bukan dianggap sebagai kejahatan.

33
2. Perlindungan Hukum terhadap Hak Direksi Perseroan Terbatas atas
Pemberhentian Sepihak berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888
K/Pdt/2020, dalam hal ini Direksi yang diberhentikan melalui RUPS
memiliki hak untuk mengetahui alasan pemberhentian serta hak membela
diri dalam RUPS. Akan tetapi, hak tersebut tidak dilaksanakan dalam RUPS
yang dilakukan PT MDW sehingga belum terpenuhinya perlindungan hukum
bagi Direksi yang diberhentikan sepihak. Oleh sebab itu, terdapat
konsekuensi hukum apabila pemberhentian Direksi bertentangan dengan
UUPT, maka RUPS mengandung cacat hukum dan sepatutnya dinyatakan
tidak sah menurut hukum. Sehingga, segala hal yang berkaitan dengan akibat
pemberhentian yang bertentangan dengan aturan yang berlaku harus
dianggap tidak pernah ada. Untuk mencapai perlindungan hukum, tiap
anggota dewan komisaris dapat dimintakan pertanggungjawaban terhadap
kerugian apabila salah atau lalai mengawasi ataupun memberikan nasihat
yang sebatas kesalahan ataupun kelalaiannya. Selain itu, dapat diadakan
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa sebagai tindak lanjut dari
pemberhentian Direksi untuk mengukuhkan keputusannya. Dalam hal ini,
perlindungan hukum yang juga dapat diberikan adalah dengan membatalkan
hasil keputusan RUPS oleh PT MDW untuk tidak memberhentikan sepihak
Direksi karena bertentangan dengan UUPT.

B. Saran

Dalam rangka menyumbangkan sedikit pengetahuan peneliti mengenai


hukum bisnis di Indonesia, peneliti hendak mengajukan kontribusi dengan
memberikan beberapa saran berdasarkan bahasan dalam penelitian ini, yakni
sebagai berikut:

1. Perlunya hakim dalam pertimbangan hukumnya untuk lebih


mempertimbangkan fakta lain dan meninjau lebih jauh ketentuan dalam

34
peratuan perundang-undangan yang berkaitan agar dalam menjatuhkan
putusannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa serta dapat memenuhi
rasa keadilan bagi pihak yang dirugikan dan menghindari kemungkinan
timbulnya kerugian lain yang diakibatkan dari adanya putusan tersebut.
2. Perlu adanya lembaga yang memberi pengawasan dan memperhatikan
perlindungan hukum demi terpenuhinya hak bagi para pihak maupun Organ
pada perseroan terbatas, khususnya dalam kaitannya dengan permasalahan
pemberhentian sepihak Direksi Perseroan Terbatas yang tidak sesuai dengan
mekanisme dan/atau prosedur dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas demi menghindari terjadinya kerugian
maupun penyelewengan serupa pada perusahaan lainnya.

35
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2010.

Sulaiman, Abdullah dan Walli, Andi. Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan.


Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia,
2019.

Sulaiman, Abdullah dan Walli, Andi. Hukum Ketenagakerjaan/Perburuhan.


Jakarta: Yayasan Pendidikan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia,
2019.

Rawls, John. A Theory of Justice. London: Oxford University Press, diterjemahkan


Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. Teori Keadilan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1971.

Rahendra Lubis, M. F. “Pertanggungjawaban Direksi Disuatu Perseroan Terbatas


Ketika Terjadi Kepailitan Pada Umumnya dan Menurut Doktrin Hukum
Perusahaan & UU No. 40 Tahun 2007”. Jurnal Hukum Kaidah. Vol. 17, 2,
(2018): 25

Hadi Subhan, M. Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan.


Jakarta: Prenada Media Group, 2008.

Fuady, Munir. Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis. Bandung:


Citra Aditya Bakti, 2002.

Usman, Rachmadi. Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung:


Alumni, 2004.

36
Syahrani, Ridwan. Seluk-Beluk dan Asas-Asas Badan Hukum Perdata. Bandung:
Alumni, 2000.

Sjaifurrachman dan Adjie, Habib. Aspek Pertanggungjawaban Notaris dalam


Pembuatan Akta. Bandung: Mandar Maju, 2011.

Soetiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta: Magister Ilmu Hukum


Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 2004

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Penerbit Balai Pustaka, 1989.

Jurnal

Alifa Cikal Yuanita, “Menelaah Konsep Keadilan Hukum Teori John Rawls dalam
Pemutusan Hubugan Kerja secara Sepihak terhadap Pekerja Migran
Indonesia di Luar Negeri”, Interdisciplinary Journal on Law, Vol. 3, No. 2,
(November 2022), h. 131.

Chrisdianto, B. “Peran Komite Audit dalam Good Corporate Governance”. Jurnal


Akuntansi Aktual. Vol. 2, 1, (2013): 2.

Ikhsan Lubis dan Neneg Oktarina, “Perlindungan Hukum terhadap Direksi yang
Diberhentikan tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (Studi Pada
PT. Sumber Andalan Mandiri), Unes Law Review, Vol. 1, No. 2,
(Desember 2018) : 182

Kurniawan. “Tanggung Jawab Pemegang Saham Perseroan Terbatas Menurut


Hukum Positif”. Mimbar Hukum. Vol. 26, 1, (2014): 71.

Pramono, N. “Tanggung Jawab dan Kewajiban Pengurus PT (Bank) menurut UU


Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”. Buletin Hukum dan
Kebanksentralan. Vol. 5, 3, (2007): 15.

37
Mohamad Faiz, P. “Teori Keadilan John Rawls”. Jurnal Konstitusi. Vol. 6, 1,
(2009): 140.

Khairandy, R. “Karakter Hukum Perusahaan Perseroan dan Status Hukum


Kekayaan yang Dimilikinya”. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum. Vol. 20, 1,
(2013): 82

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal

Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan Negeri Kolaka Nomor 16/Pdt.G/2019/PN Kka.

Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 82/PDT/2019/PT KDI.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1888 K/Pdt/2020.

Internet

Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Direktori Perusahaan Industri,


diakses dari https://www.kemenperin.go.id/direktori-perusahaan?

38
what=&prov=&hal=678 , pada tanggal 3 Desember 2023, pukul 15.11
WIB.

Redaksi Kolakaposnews, Mantan Direksi PT Multi Daya Wonua Tuntut Keadilan,


diakses dari https://kolakaposnews.fajar.co.id/2019/03/15/mantan-direksi-
pt-multi-daya-wonua-tuntut-keadilan/ , pada tanggal 30 Desember 2023,
pukul 12.18 WIB.

39

Anda mungkin juga menyukai