Anda di halaman 1dari 18

Hukum Acara Tata Usaha Negara

“Kaitan Dengan Putusan PTUN dan Upaya Hukum”

Dosen Pengampu : Dr.H.E. Zainal Mutaqin, M.H., M.A

Disusun oleh kelompok 9:

Raisyatul Wahidah (171120045)

Esa Purwanti (171120062)

Atma Jaya Kusuma (171120069)

Fahmi Rizal (161120062)

Maulana Malik Ibrahim (151200473)

Semester VI/B

Jurusan Hukum Tata Negara

Fakultas Syariah

Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin Banten

2020/2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Alhamdullilah, segala puja dan puji kami haturkan kepada kehadirat Allah SWT
yang memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah pada mata kuliah Hukum Acara Tata Usaha Negara ini. Sholawat serta salam
kami curahkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan yang baik
dan benar yang di ridhai Allah SWT.

Kami merasa sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan tugas makalah ini
dengan tepat waktu. Makalah ini sebagai penilaian tugas kelompok mata kuliah
Hukum Acara Tata Usaha Negara, makalah yang berjudul “Kaitan Dengan Putusan
PTUN dan Upaya Hukum” ini diambil dari berbagai literatur yang memuat mengenai
hal tersebut. Kami ucapkan terima kasih kepada piha-pihak yang ikut berkontribusi
dalam penyusunan makalah ini.

Diharapkan makalah ini dapat menjadi bahan bacaan bagi semua pihak, terkhusus
mahasiswa fakultas hukum. Kami paham bahwa makalah ini masih banyak
kekurangannya, maka dari itu kami mengharapkan kritikan dan saran yang
membangun dari pembaca agar kedepannya kami bisa mengerjakan lebih baik lagi.
Terima kasih

Billahitaufiq Walhidayah

Wassalamua’alaikum Wr.Wb

Serang, April 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................ i

Daftar Isi ............................................................................................................. ii

Bab I Pendahuluan

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 2

1.3 Tujuan ....................................................................................................... 2

Bab II Pembahasan

1.1 Banding ....................................................................................................... 3

1.2 Kasasi.......................................................................................................... 5

1.1 Ganti Rugi Rehabilitasi .............................................................................. 9

Bab III Penutup

3.1 Penutup ....................................................................................................... 12

Daftar Pustaka .................................................................................................... iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum, oleh karena itu maka sebagai negara
hukum sudah semestinya hukum dijadikan sebagai sarana untuk mengatur
masyarakat, sehingga hukum Indonesia harus ditegakkan dengan sebaik mungkin.
Hukum Indonesia adalah sarana utama untuk melindungi dan memberikan
jaminan rasa aman pada penduduk warga negara Indonesia itu sendiri, dimana
setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dihadapan hukum (Equality Before The Law). Oleh sebab itu menurut FJ. Stahl
dalam buku Hukum Adminitrasi Negara Ridwan HR bahwa suatu negara hukum
memiliki unsur penting dengan adanya Peradilan Administrasi dalam perselisihan
atau Peradilan Tata Usaha negara.

Ingatan kolektif sejarah menyadarkan Bangsa ini akan pentingnya pemisahan


kekuasaan yang berimbang terhadap organ-organ negara agar terjadi adanya
checks and balance diantara organ-organ negara tersebut. Salah satu implikasi
dari pengadopsian prinsip tersebut adalah diaplikasikanya teori Trias Politica
Montesqieu, yaitu pemisahan kekuasaan (Seperation of Power). Gagasan tentang
pemisahan kekuasaan ini menjadi acuan ideal dalam organisasi negara demokrasi
modern. Karena itu, kiranya diperlukan kelembagaan yang berfungsi sebagai
kontrol terhadap jalanannya konstitusi bagi organ-organ negara yang menerima
mandat langsung oleh Undang- Undang Dasar. Sebagaimana diutarakan Hans
Kelsen bahwa penerapan aturan-aturan konstitusi mengenai pembentukan
undang-undang dapat dijamin secara efektif hanya jika suatu organ selain organ
legeslatif diberi mandat yang tegas menguji apakah suatu undang-undang sesuai
atau tidak dengan konstitusi.

Indonesia sebagai negara hukum tengah berusaha meningkatkan


kesejahteraan bagi seluruh warganya dalam segala bidang. Kesejahteraan itu
hanya dapat dicapai dengan melakukan aktivitas-aktivitas pembangunan di segala
bidang. Dalam melaksanakan pembangunan yang multi kompleks sifatnya tidak
dapat dipungkiri bahwa aparatur pemerintah memainkan peranan yang sangat
besar Konsekuensi negatif atas peran pemerintah tersebut adalah munculnya

1
sejumlah penyimpangan-penyimpangan seperti korupsi, penyalahgunaan
kewenangan, pelampauan batas kekuasaan, sewenang-wenang, pemborosan dan
sebagainya. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh aparat
pemerintahan itu tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Disamping itu juga
diperlukan sarana hukum untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat.

Dengan demikian penyelenggaraan peradilan tata usaha negara di Indonesia


merupakan suatu kehendak konstitusi sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 24
dalam rangka memberikan perlindungan hukum terhadap rakyat secara maksimal.

Ada beberapa upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam
penyelesaian sengketa TUN, baik terhadap putusan pengadilan yang belum
mempunyai kekuatan hukum tetap maupun terhadap putusan pengadilan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Upaya hukum tyang dapat ditempuh
terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap
diantaranya adalah banding, dan kasasi, yang dikenal dengan dengan sebutan
upaya hukum biasa. Yang selanjutnya akan di bahas dalam makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan banding dan bagaimana pelaksanaannya pada


hukum acara TUN?

2. Apa yang dimaksud dengan kasasi dan bagaimana pelaksanaannya pada


hukum acara TUN?

3. Bagaimana penjelasan mengenai ganti rugi rehabilitasi pada TUN?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian dan pelaksanaan banding pada hukum acara


TUN

2. Untuk mengatahui pengertian dan pelaksanaan kasasi pada hukum acara TUN

3. Untuk mengatahui penjelasan ganti rugi rehabilitasi pada TUN

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Banding

Banding ialah ulangan pemeriksaan yang berasal dari bahasa latin appellare,
yang memiliki penjelasan yaitu pemeriksaan dalam instansi (tingkat) kedua oleh
sebuah pengadilan atasan yang mengulangi seluruh pemeriksaan baik mengenai
fakta-fakta maupun penerapan hukum atau undang-undang. 1 Pemeriksaan di
tingkat banding merupakan pemeriksaan oleh judex facti tingkat terakhir.

Terdapat putusan pengadilan tata usaha negara yang dapat dimintakan


banding oleh penggugat atau tergugat kepada pengadilan tinggi tata usaha negara
(pasal 12 UU No. 5 Tahun 1986). Pengaturan upaya banding diatur dalam pasal
122 sampai dengan pasal 130 UU PTUN. Pasal 123 UU No.5 Tahun 1986 tentang
peradilan tata usaha negara menyatakan bahwa permohonan pemeriksaan banding
diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya, dalam tenggang waktu
empat belas hari setelah putusan pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara
sah. Apabila sampai tenggang waktu tersebut berakhir ternyata pihak yang
dikalahkan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan upaya hukum banding
tersebut, maka pihak yang dikalahkan dianggap telah menerima putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut.2

Dalam praktik permohonan tertulis itu dinamakan Akta Permohonan Banding


yang dibuat oleh pemohon banding (pembanding) ditandatangani dihadapan
panitera untuk kepastian tanggal pembanding datang menghadap kepada panitera
apakah pernyataan banding itu diajukan dalam tenggang waktu empat belas hari
sejak diberitahukan atau dibacakan apabila pembanding datang ketika putusan
hakim Pengadilan Tata Usaha Negara diucapkan. Pembanding akan membayar
biaya perkara di Bank yang ditunjuk oleh Pengadilan, dan biaya perkara yang
dibayarkan oleh pembanding itu dinamakan SKUM (Surat Kuasa Untuk
Membayar) selanjutnya pembanding diberikan tanda terimanya.
1 A. Siti Sotami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, PT. Refika Aditama,: Bandung, 2011. Hal. 59
2 Ali Abdullah, Teori&Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negra pasca Amandemen, Jakarta, 2017. Hal.
149

3
Sesudah pembanding mengajukan permohonan banding kepada panitera dan
oleh panitera telah mencatat dalam daftar perkara, selanjutnya panitera
memberitahukan kepada terbanding atas permohonan pemeriksaan banding dari
pembanding tersebut. Setelah pencatatan dilakukan dalam daftar perkara, maka
oleh panitera sesuai dengan ketentuan Pasal 126 Undang-Undang No. 5 Tahun
1986 akan melakukan:

1. Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah permohonan pemeriksaan dicatat,


Penitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat
berkas perkara di Kantor Pengadilan T'ata Usaha Negara dalam tenggang waktu
tiga puluh hari setelahmenerima pemberitahuan tersebut.

2. Salinan putusan, berita acara, dan surat lainnya yang bersangkutan harus dikirim
kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara selambat-lambatnya enam
puluh hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.

3. Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori banding
serta surat keterangan dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara
dengan ketentuan bahwa salinan memori dan/atau kontra memori diberikan
kepada pihak lainnya dengan perantaraan panitera pengadilan. Penyerahan
memori banding maupun kontra memori banding tidak wajib. oleh karenanya
tidak dibatasi oleh tenggang waktu, naka dengan denikian memori banding
maupun kontra memori banding ke dapat diserahkan ke Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara sepanjang majelis hakim belum memutus perkara yang
bersangkutan.

Pemeriksaan tingkat banding itu bersifat devolutif, artinya pengadilan tinggi


memindahkan dan mengulangi kembali seluruh pemeriksaan perkara yang pernah
dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama (PTUN). Hakim pengadilan tinggi
seakan-akan duduk sebagai hakim pengadilan tingkat pertama pada waktu
memeriksa perkara tersebut di tingkat banding.

Kekhususan Hukum Acara Pengadilan TUN adalah Pengadilan tingkat tinggi


TUN selain memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara di tingkat banding
sebagai judex facti tingkat terakhir, juga dapat menjalankan fungsi pemeriksaan
pengadilan tingkat pertama untuk gugatan terhadap kepegawaian yang telah
melewati banding administratif.

4
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus perkara
Banding dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim. Apabila Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata
Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
tersebut dapat mengadakan sidang sendiri untuk mengadakan pemeriksaan
tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
melaksanakan pemeriksaan tambahan itu. Terhadap putusan pengadilan tata
usaha negara yang menyatakan tidak berwenang memeriksa perkara yang
diajukan kepadanya, sedangkan bila Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
berpendapat lain, pengadilan tinggi tersebut dapat memeriksa dan memutus
sendiri perkara itu atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan memeriksa dan memutus, dan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari
Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara mengirimkan salinan putusan
pengadilan tinggi beserta surat pemeriksaan dan surat lain kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama. (Pasal
127 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.)

Apabila pembanding tidak berkeinginan lagi untuk meneruskan permohonan


bandingnya, maka permohonan pemeriksaan tingkat banding tersebut dapat
dicabut sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus oleh Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara. Dan, apabila permohonan banding telah dicabut, tidak
dapat diajukan lagi meskipun jangka waktu untuk mengajukan permohonan
pemeriksaan banding belum lampau. Dengan demikian, berarti permohonan
pemeriksaan banding ini hanya dapat diajukan satu kali. Juga dalam hal salah satu
pihak sudah menerima baik putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, ia tidak
dapat mencabut kembali pernyataan tersebut meskipun jangka waktu untuk
mengajukan permohonan pemeriksaan banding telah lampau.

Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara terhadap sengketa TUN yang
dimohonkan banding tersebut dapat berupa:

1. Menguatkan putusan hakim (tingkat pertama) dengan cara:

a. Memperbaiki putusan hakim tingkat pertama.

b. Mengambil alih (mengoper) seluruh atau sebagian pertimbangannya.

5
2. Membatalkan untuk seluruhnya/untuk sebagian dan putusan hakim tingkat
pertama dengn mengadili sendiri seperti seakan-akan duduk sebagai hakim
pertama.

2.2 Kasasi

Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada


Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain (Pasal 23 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman).

Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas


Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa
tidak semua putusan pengadilan tinggi dapat diajukan permohonan kasasi ke
Mahkamah agung. Ini dapat diketahui dari ketentuan Pasal 45A menyatakan3:

1. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat
untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh Undang-undang ini dibatasi
pengajuannya.

2. Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. Putusan tentang praperadilian.

b. Perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
dan/atau diancam pidana denda.

c. Perkara tata usaha negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat
daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah yang bersangkutan.

3. Permohonan kasasi terhadap perkara sebagainana dimaksud pada ayat (2) atau
permohonan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat
diterima dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas perkaranya
tidak dikirim ke Mahkamah Agung.

4. Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat
diajukan upaya hukum lagi.

3 Ibid., hal.151

6
Penjelasan dari Pasal 45 ayat (2) huruf c tersebut, menegaskan bahwa secara tidak
langsung ketentuan tersebut telah membuat PTTUN sebagai pengadilan yang
memutus perkara di tingkat terakhir, artinya untuk sengketa-sengketa di tingkat
daerah hanya ada dua tingkatan pemeriksaan, pertama di PTUN (pemeriksaan tingkat
pertama), dan kedua di PTTUN (pemeriksaan tingkat kedua).

Untuk nenentukan apakah suatu keputusan tata usaha negara dapat diajukan
upaya hukum kasasi, maka terlebih dahulu didengar pihak yang bersengketa. Dan
selanjutnya ketua pengadilan mengeluarkan surat keterangan bahwa perkara tersebut
tidak dapat dikasasi dengan alasan, bahwa objek sengketa mempunyai jangkauan
beraku di wilayah daerah yang bersangkutan.

Mengenai bentuk surat ketua pengadilan tentang penolakan pengajuan kasasi ada
dua pendapat sebagai berikut:

a. Pendapat pertama: Mengacu kepada bunyi undang-undang yang menghendaki


penolakan tersebut dimuat dalam bentuk "penetapan", dengan alasan itu perlu
diadakan revisi SEMA No. 6 Tahun 2005 yang menentukan bentuk penolakannya
dalam surat keterangan Ketua Pengadilan tingkat Pertama (bersifat judicieledaad,
bukan eksekutivedaad. Hal mana, untuk menghindari protes/keberatan dari pihak
vang bersengketa.

b. Pendapat kedua: Bentuk surat ketua pengadilan tingkat pertama tentang penolakan
pengajuan kasasi yakni berbentuk “surat keterangan Ketua Pangadilan” mengingat
bahwa pembuatan "surat penetapan" adalah wewenang Mahkamah Agung.

Permohonan kasasi dapat diajukan atas putusan Pengadilan Tingi Tata Usaha
Negara yang bertindak sebagai pengadilan tingkat banding dan putusan Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara yang bertindak sebagai pengadilan tingkat perama dalam
hal telah dilakukan penyelesaian upaya banding adniinistratif (Pasal 5l ayat (4] jo.
Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986. Pasal 43 undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika permohonan
terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali ditentukan
lain oleh undang-undang. Permohonan kasasi hanya dapat diajukan satu kali.

Mahkamah Agung dalam melakukan peradilan kasasi tidak melakukan


peninjauan putusan seluruhnya dari pengadilan-pengadilan tingkat peradilan terakhir,

7
tetapi terbatas pada peninjuan menganai hukum saja, tidak menganai peristiwa dan
pembuktiannya. Peninjauan mengenai hukum tersebut hanya terbatas pada apakah
pengadilan-pengadilan dalam tingkat peradilanan terakhir itu4 :

1. Tidak berwenang atau melampaui batas kewenangannya

2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku

3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan


perundang-undangan.

Upaya permohonan kasasi diatur dalam Pasal 131 Undang-Undarıg No. 5 Tahun
1986 yang menyebutkan sebagai berikut:

1. Terhadap putusan tingkat terakhir, pengadilan dapat dimintakan pemeriksaan


kasasi kepada Mahkamah Agung.

2. Acara pemeriksaan kasasi dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),


dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Ketentuan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang


Mahkamah Agung sebagai berikut: “Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus
oleh Pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama, atau yang diputus oleh
pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan ketentuan
undang- undang ini.”

Mengacu pada ketentuan Pasal 131 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
tersebut, maka penyelesaian kasasi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Mahkamah Agung, karena Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara hanya satu pasal yang mengatur tentang kasasi.

Permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada pemohon.
Permohonan kasasi disampaikan kepada panitera pengadilan tingkat pertama dan
panitera selanjutnya membuatkan akta permohonan kasasi. Akta permohonan kasasi
ini dibuat di hadapan panitera semacam berita acara untuk kepastian tanggal
ditandatanganinya akta permohonan kasasi tersebut. Apabila dalam tenggang waktu
4 Abdulkadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2015. hal. 206

8
14 (empat belas) hari telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh
pihak yang beperkara, maka pihak yang telah menerima putusan. Panitera akan
mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan pada hari itu juga membuat akta
permohonan kasasi yang dilampirkan kepada berkas perkara, setelah pemohon
membayar biaya perkara. Selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari setelah
permohonan kasasi terdaftar, panitera pengadilan dalam tingkat pertama yang
memutus perkara tersebut memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan itu
kepada pihak lawan/termohon kasasi (Pasal 46 Undang-Undang No. 14 tahun 1985
tentang Mahkamah Agung).

Setelah tercatat dalam buku daftar permohonan kasasi itu oleh panitera, dalam
tenggang waktu 14 (empat belas) hari pemohon kasasi wajib menyampaikan pula
memori kasasi yang memuat alasan-alasannya. Ketentuan undang-undang di sini
menggunakan kata wajib yang berarti apabila pemohon tidak menyampaikan memori
kasasi dan hanya menyatakan kasasi, maka dengan lewatnya waktu tersebut terhadap
putusan yang dimohonkan kasasi tersebut langsung mempunyai kekuatan hukum yang
tetap. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan
pengaduan dari semua lingkungan peradilan karena:

a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.

b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku.

c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan


yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui, bahwa Mahkamah Agung dalam


tingkat kasasi selain berwenang membatalkan putusan pengadilan juga berwenang
membatalkan penetapan pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara.

Permohonan kasasi dapat dicabut sebelum permohonan kasasi diputus oleh


Mahkamah Agung, dan apabila telah di cabut permohonan tidak dapat lagi
mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meskipun tenggang waktu kasasi
belum lampau.

9
Dalam pengambilan keputusan Mahkamah Agung tidak terikat pada
alasan-alasan yang diajukan pemohon kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum
sendiri (pasal 52 UU no. 14 tahun 1985).

2.3 Ganti Rugi Rehabilitasi

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara


sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang
perubahan pertama atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara dan terakhir kali diubah dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara.

Ketentuan rehabilitasi diatur dalam pasal 121 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986
yang merumuskan:5

1. Dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang kepagawaian dikabulkan sesuai
dengan ketentuan pasal 97 ayat 11, salinan putusan pengadilan yang berisi kewajiban
tentang rehabilitasi dikirimkan kepada penggugat dan tergugat dalam waktu tiga hari
setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

2. Salinan putusan pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi sebagaimana


dimaksud dalam ayat 1, dikirimkan pula oleh pengadilan kepada badan atau pejabat
tata usaha negara yang dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam
waktu tiga hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam putusan peradilan tata usaha negara yang bersifat condemnatior, berisi
penghukuman pada tergugat dalam hal ini adalah badan atau pejabat tata usaha negara
untuk melaksanakan suatu kewajiban yang berupa:6

1. Pencabutan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan

2. Pencabutan keputusan tata usaha negara yang bersangkutan dan menerbitkan


keputusan tata usaha negara yang baru

5 Ali Abdullah., Op.Cit. hal.196


6 Tata Cara Pemberian Rehabilitasi dalam Putusan PTUN (m.hukumonline.com, diakses pada 2 April 2020, pukul
11.15)

10
3. Penerbitan keputusan tata usaha negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3
Undang-Undang No.5 Tahun 1986

4. Membayar ganti rugi

5. Memberikan rehabilitasi (putusan menyangkut kepegawaian).

Jadi, rehabilitasi dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah
satu kewajiban yang dapat ditetapkan untuk dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan
menyangkut kepegawaian yang dikabulkan. Rehabilitasi ini merupakan pemulihan
hak penggugat dalam kemampuan dan kedudukan, harkat, dan martabatnya sebagai
pegawai negeri seperti semula sebelum ada keputusan yang disengketakan.7

Proses Pelaksanaan Rehabilitasi

Proses pelaksanaan Rehabilitasi diatur dalam Pasal 121 Undang-Undang No. 5,


yang dapat disimpulkan bahwa, jika dalam suatu sengketa kepegawaian gugatan
dikabulkan disertai dengan kewajiban memberikan rehabilitasi, maka dalam waktu
tiga hari, selain salinan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap dikirimkan kepada penggugat dan tergugat, salinan putusan tersebut juga
dikirimkan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang akan melaksanakan
rehabilitasi.

Apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan
putusan Pengadilan yang berisi kewajiban rehabilitasi, maka:

1. Tergugat (badan atau pejabat tata usaha negara) wajib memberitahukan bahwa
mereka tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi
setelah putusan pengadilan kepada ketua pengadilan dan penggugat (yang
bersangkutan).

2. Kemudian jika dalam waktu 30 hari setelah menerima pemberitahuan tersebut


penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan yang telah
mengirimkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

7 Ali Abdullah,. Op.Cit. hal.170

11
tersebut agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau kompensasi
lain yang diinginkannya

3. Setelah menerima permohonan tersebut Ketua Pengadilan memerintahkan


memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya persetujuan tentang
jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada tergugat

4. Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetapi tidak dapat diperoleh
kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, Ketua Pengadilan
dengan penetapan yang disertai pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang
atau kompensasi lain yang dimaksud.

12
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Banding ialah ulangan pemeriksaan yang berasal dari bahasa latin appellare,
yang memiliki penjelasan yaitu pemeriksaan dalam instansi (tingkat) kedua oleh
sebuah pengadilan atasan yang mengulangi seluruh pemeriksaan baik mengenai
fakta-fakta maupun penerapan hukum atau undang-undang.

Pemeriksaan tingkat banding itu bersifat devolutif, artinya pengadilan tinggi


memindahkan dan mengulangi kembali seluruh pemeriksaan perkara yang pernah
dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama (PTUN).

Pemeriksaan tingkat banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau


kuasanya, dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan pengadilan itu
diberitahukan kepadanya secara sah. Apabila sampai tenggang waktu tersebut
berakhir ternyata pihak yang dikalahkan tidak menggunakan haknya untuk
mengajukan upaya hukum banding tersebut, maka pihak yang dikalahkan
dianggap telah menerima putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut.

Putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada


Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang
menentukan lain.

Upaya permohonan kasasi diatur dalam Pasal 131 Undang-Undarıg No. 5


Tahun 1986 yang menyebutkan sebagai berikut:

1. Terhadap putusan tingkat terakhir, pengadilan dapat dimintakan pemeriksaan


kasasi kepada Mahkamah Agung.

2. Acara pemeriksaan kasasi dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),


dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Peradilan kasasi tidak melakukan peninjauan putusan seluruhnya dari


pengadilan-pengadilan tingkat peradilan terakhir, tetapi terbatas pada peninjuan
menganai hukum saja, tidak menganai peristiwa dan pembuktiannya. Peninjauan

13
mengenai hukum tersebut hanya terbatas pada apakah pengadilan-pengadilan
dalam tingkat peradilanan terakhir itu :

1. Tidak berwenang atau melampaui batas kewenangannya

2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku

3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan


perundang-undangan.

Badan atau pejabat tata usaha negara wajib melaksanakan isi putusan
pengadilan tata usaha negara yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, salah
satunya ialah rehabilitasi.

Rehabilitasi dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah


satu kewajiban yang dapat ditetapkan untuk dilakukan oleh Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal
gugatan menyangkut kepegawaian yang dikabulkan. Rehabilitasi ini merupakan
pemulihan hak penggugat dalam kemampuan dan kedudukan, harkat, dan
martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula sebelum ada keputusan yang
disengketakan.

14
Daftar Pustaka

Abdullah, Ali. Teori&Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negra pasca
Amandemen. Jakarta: 2017.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung: PT.Citra


Aditya Bakti, 2015.

Sotami, A. Siti. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.Bandung: PT. Refika
Aditama, 2011.

Hasanah,,Sovia. “Tata Cara Pemberian Rehabiltasi Dlam Putusan PTUN”.


https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/It5afa432d5c244/tata-cara-pemberian
-rehabilitasi-dalam-putusan-ptun/

15

Anda mungkin juga menyukai