Anda di halaman 1dari 28

Reformasi Ketetapan Sanksi TUN Guna Membentuk Good Govarnance Dan

Kedisiplinan Hukum melalui Pembaharuan Implementasi Keputusan

Makalah ini disusun guna melengkapi tugas Hukum Acara Tata Usaha Negara yang
diampu oleh :

Pratama Herry Herlambang, S.H., M.H. & Zidney Ilma Fazaada Emha, S.H., M.H.

Disusun Oleh:

Rifad Fahrezy (8111421413)

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2023
PRAKATA

Assalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh

Bismillahirrahmanirrahim,

Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa, karena atas
berkat dan karunianya, kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Tak lupa penulis haturkan sholawat serta salam kepada junjungan rasulullah
Muhammad SAW. Semoga syafaatnya terus ada hingga akhir zaman.

Dalam penulisan makalah berjudul Reformasi Ketetapan Sanksi TUN:


Membentuk Good Govarnance Dan Kedisiplinan Hukum melalui Pembaharuan
Implementasi Keputusan penulis bertujuan untuk mengemban tugas mata kuliah
Haptun, pada makalah ini penulis uraikan mengenai kaidah dalam pasal 116 ayat (4)
UU no 51 tahun 2004 guna mengedukasi seluruh pembaca agar kedepannya lebih
memperhatikan dan menggunakan pasal pemberian sanksi terhadap pemberlakuan
putusan.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak


yang terkait dan membantu dalam proses pengerjaan hingga penyelesaian makalah.
Dengan harapan, makalah ini dapat memberikan manfaat yang besar bagi seluruh
pembaca.

Penulis sangat menyadari jika di dalam makalah ini masih sangat jauh dari kata
sempurna, besar harapan penulis agar pembaca dapat memberikan masukan berupa
keritik dan saran

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarakatuh,


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................3
BAB I...........................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang...........................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah......................................................................................................8
1.3 Tujuan.........................................................................................................................8
BAB II.........................................................................................................................................9
PEMBAHASAN.........................................................................................................................9
2.1 Yuridiksi Dalam Pembentukan Aturan yang sistematis dan harmonis di
Indonesia.................................................................................................................................9
2.2 Reformasi Aturan Sanksi Tun Guna Membangun Good Governance Dan
Kedisiplinan Hukum Melalui Pembaharuan Ketentuan Pelaksanaan Putusan..............13
2.3 Rekonstruksi Sanksi Pelaksanaan Putusan Yang Berdasarkan Aaupb...............18
BAB III......................................................................................................................................25
PENUTUP.................................................................................................................................25
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................................25
3.2 Saran...............................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................28
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Indonesia, sebagai negara yang menjunjung prinsip negara hukum,


mencerminkan suatu komitmen terhadap prinsip-prinsip yang diakui oleh
masyarakat. Representasi ini melibatkan keberlakuan hukum yang memberikan
manfaat yang dirasakan oleh setiap warga negara Indonesia. Dalam upaya
pemberdayaan kebangsaan, penggunaan perangkat publik menjadi penting sebagai
sarana pelayanan yang digunakan oleh pemerintah untuk konstruksi membangun
kehidupan berbangsa, dengan dasarnya pada norma-norma hukum. Pasal 28 D ayat
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menegaskan bahwa setiap
individu yang berada di Indonesia memiliki hak yang dijamin dengan persamaan,
termasuk para pemangku kekuasaan atau pejabat tata usaha negara. Dalam
perolehan keadilan di mata hukum, prinsip ini berlaku luas dan mencakup tidak
hanya masyarakat umum tetapi juga para pemangku kekuasaan. Dalam
pelaksanaannya, penting untuk tetap berada dalam koridor hukum. Kedepannya,
rekonstruksi hukum harus terus digencarkan dan direalisasikan dengan mengikuti
alur pembaruan living law atau hukum kebiasaan yang berkembang di masyarakat.
Hal ini diperlukan agar tercipta keselarasan dalam bentuk pengadilan Tata Usaha
Negara yang sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat 1.
Pejabat Tata Usaha Negara berada pada tingkat pemerintahan pertama yang
memiliki hubungan langsung dengan kelangsungan hidup masyarakat. Hampir
semua segmen, termasuk industri dan unit terendah seperti rukun warga atau kepala
lingkungan perumahan setempat, mulai dari kepala desa hingga kelurahan,
merupakan level terendah dari badan pejabat tata usaha. Meskipun secara yuridis
mereka mungkin tidak dapat secara langsung mengeluarkan surat perintah atau
keterangan, peran mereka sebagai pejabat yang lebih dekat dengan masyarakat perlu
diakui. Dalam Undang-Undang No 5 tahun 1986, badan atau pejabat Tata Usaha
Negara didefinisikan sebagai mereka yang memiliki kewenangan yang telah diatur.

1
Jurdi Fajlurrahman, ‘Buku Hukum Acara Perdata.Pdf’, 2021.
oleh undang-undang dapat mengeluarka Keputusan tata usaha negara, baik berupa
Penetapan (Fiktif positif) dan Penerapan tanpa wujud penetapan (Fiktif Negatif)
yang memeliki keterkaitan dengan keberlangsungan masyarakat setempat. Gugatan
diajukan demi memperoleh keadilan setinggi-tingginya.
Sengketa Tata Usaha Negara terkait berbagai bentuk pelanggaran, termasuk
kesewenang-wenangan jabatan dan keputusan Tata Usaha Negara yang dianggap
merugikan pihak-pihak di luar Lembaga pelayanan publik maupun internal
Lembaga. Objek sengketa ini dijelaskan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No
51 tahun 2009, dan tidak mencakup objek sengketa yang diatur dalam Pasal 2
Undang-Undang No 9 tahun 2004. Apabila sengketa melibatkan orang atau pejabat
TUN terhadap Badan atau pejabat TUN sebagai akibat dari keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan, gugatan dapat diajukan ke peradilan tata usaha negara.
Gugatan harus didasarkan pada ketidakpenuhan terhadap Asas Umum Pemerintahan
yang Baik, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2014, yang
menjadi pedoman pembentukan dan keberlakuan undang-undang. Setelah
penyelesaian sengketa, putusan tata usaha negara akan dikeluarkan dan harus
dijalankan oleh pihak yang memenangkan persidangan. Sengketa, meskipun tidak
dapat dihindari, dapat diminimalisir melalui kesadaran dalam menjalankan
kewajiban sebagai badan pelayanan publik di Indonesia.2.
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan lembaga peradilan yang secara khusus
ditujukan untuk menyelesaikan konflik hukum yang terjadi antara pemerintah dan
individu atau entitas hukum dalam kerangka tindakan administratif. Peran utamanya
adalah memastikan bahwa tindakan administratif yang diambil oleh pemerintah
sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku dan tidak melanggar hak-hak warga
negara. Fungsinya mencakup tinjauan mendalam terhadap keabsahan dan kebijakan
tindakan administratif, memberikan perlindungan hukum terhadap potensi
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak pemerintah, dan menjalankan fungsi
pengawasan untuk memastikan bahwa proses pengambilan keputusan administratif
berlangsung secara adil dan transparan. Oleh karena itu, peradilan tata usaha negara
memiliki peran sentral dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan
pemerintah. dan hak-hak individu dalam kerangka hukum yang demokratis. Harapan
2
Marshall, Sri Suatmiati, and Angga Saputra, Edisi Revisi Hukum Acara Tata Usaha Negara Indonesia,
Percetakan Tunas Gemilang, 2019.
yang selalu menjalin kebermanfaatan antar penegak keadilan hingga dapat
memberikan dampak positif bagi seluruh masyarakat di Indonesia yang telah
mengalami ketidakadailan karena kesewenang-wenangan badan/ pejabat tata Usaha
Negara.
Implementasi keputusan dari Pengadilan Tata Usaha Negara terkait dengan
badan atau pejabat tata usaha negara memiliki keterkaitan dengan para pemangku
jabatan publik. Meskipun keputusan yang telah inkrah memiliki kekuatan hukum
yang mengikat bagi pihak terkait, masih terjadi ketidakpatuhan oleh badan atau
pejabat TUN yang mengabaikan pelaksanaan putusan tersebut. Hal ini dengan tegas
diatur dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang No 9 tahun 2004 dan Undang-
Undang No 51 tahun 2009, di mana pengabaian dapat dikenai sanksi yang mengikat,
termasuk upaya paksa berupa pembayaran denda dan sanksi administratif. Selain itu,
jika badan atau pejabat tersebut tidak mematuhi putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara, akan diumumkan melalui media massa atau cetak. Sayangnya, keputusan
yang seharusnya memiliki kekuatan mengikat seringkali hanya menjadi kata-kata
tanpa makna karena masih terjadi pengabaian yang terus berlanjut dalam praktiknya.
Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan bagaimana regulasi di Indonesia dapat
direkonstruksi untuk mengatasi tantangan ini.3.
Telah banyak hal yang terjadi bahkan setelah kedua peraturan yang mengatur
terkait sanksi administrasi masih ditemuai banyak pengabaian yang dilakukan oleh
oknum pejabat tata usaha negara yang sebelumnya bersengketa dan dihadapkan
dengan putusan incraht tetapi enggan menjalankan putusan tersebut, entah dengan
motif apapun hal tersebut tidak lah dapat dibenarkan, karena dengan jelas
melakukan pelanggaran sesuai dengan undang-undang tentang pengadailan Tata
Usaha Negara, data menunjukan terdapat setidaknya 65% pengabaian putusan di
setiap daerah di Indonesia tentu saja hal tersebut merupakan data pertimbangan yang
diperoleh melalui average kumulatif, dibalik itu semua maka dihadapkan dengan
peraturan yang mungkin tidak lagi dapat memiliki kekuatan mengikat, karena hal
tersebut beberapa oknum menganggap sepele hal tersebut. Kini Indonesia
dihadapkan dengan status Rechtvaccum jika terus terjadi peningkatan pelanggaran
yang dilakukan oleh badan dan atau pejabat Tata usaha Negara. Hingga pada
3
Mahkamah Agung RI, Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara Dan Produk-Produk Hukum Tata
Usaha Negara Dilihat Dari Beberapa Sudut Pandang, 2021.
saatnya nanti generasi berikutnya harus terus melakukan rekonstruksi terkait pasal
yang memberlakukan sanksi terhadap pengabaian penerapan putusan karenanya
akan menjadi penyebab tidak terjalankan Asas Umum pemerintahan yang baik.
Kondisi yang kurang optimal di dalam peradilan tata usaha negara menjadi
tantangan serius dalam menjaga keseimbangan kekuasaan dan melindungi hak-hak
warga negara. Beberapa isu umum yang muncul melibatkan penyelesaian sengketa
yang berlarut-larut, kompleksitas birokrasi, dan keterbatasan sumber daya.
Lambannya penanganan perkara dapat menyebabkan ketidakpastian hukum dan
kelelahan dari pihak yang terlibat dalam sengketa. Kompleksitas birokrasi dalam
proses peradilan juga sering menjadi hambatan bagi warga negara dalam mencari
keadilan. Keterbatasan sumber daya, baik dalam hal personel maupun infrastruktur,
juga dapat mempengaruhi kapasitas peradilan tata usaha negara dalam menangani
jumlah kasus yang terus meningkat. Oleh karena itu, reformasi menyeluruh
diperlukan untuk meningkatkan efektivitas peradilan tata usaha negara, sehingga
dapat memberikan kepastian hukum dan melindungi hak-hak warga negara dengan
lebih efisien. Sebagai bagian dari reformasi, perlu memberikan otoritas yang lebih
kuat kepada peradilan agar keputusannya dapat dijalankan dengan baik oleh semua
pihak. Dengan demikian, peradilan dapat menjadi lembaga yang mendasarkan diri
pada asas keadilan.4.
Tidak patuhnya seorang pejabat TUN terhadap putusan pengadilan membawa
dampak serius terhadap integritas sistem hukum. Situasi di mana seorang pejabat
enggan melaksanakan putusan pengadilan (TUN) mencerminkan pelanggaran
hukum yang dapat mengakibatkan kerugian bagi pihak yang bersengketa, sambil
secara potensial merusak keyakinan masyarakat dalam keadilan. Pentingnya
penegakan hukum dan reformasi aturan menjadi semakin mendesak untuk
memastikan kepatuhan penuh terhadap putusan pengadilan, sehingga prinsip
kedaulatan hukum tetap terjaga dan dihormati. Dalam konteks ini, perlunya
perhatian yang serius terhadap penegakan hukum dan perbaikan peraturan menjadi
jelas. Langkah-langkah ini diharapkan dapat mengamankan kepatuhan terhadap
putusan pengadilan oleh pejabat TUN, memastikan keadilan substansial bagi semua
pihak yang terlibat, dan pada gilirannya, meningkatkan kepercayaan masyarakat

4
I Ketut Tjukup and others, ‘Hukum Acara Dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara’, 2022, 62.
terhadap sistem peradilan. Reformasi yang hati-hati dan progresif dalam aturan
penegakan hukum akan membantu menciptakan lingkungan hukum yang lebih solid
dan dapat diandalkan, di mana ketentuan pengadilan dihormati dan dijalankan tanpa
kompromi. Maka terdapat keharusan dari reformasi aturan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja yuridiksi dalam pembentukan aturan pemberlakuan putusan tata usaha
negara?
2. Bagaimana reformasi ketetapan sanksi tata usaha negara guna Membentuk Good
Govarnance Dan Kedisiplinan Hukum melalui Pembaharuan Implementasi
Keputusan?
3. Bagaimana rekonstruksi sanksi pelaksanaan putusan yang berdasarkan Asas
Umum Pemerintahan yang Baik?
1.3 Tujuan
1. Fokus utama adalah memastikan bahwa pejabat TUN mematuhi dan
melaksanakan putusan pengadilan, dengan tujuan meningkatkan kepatuhan
hukum secara menyeluruh. Langkah ini akan memberikan kontribusi positif dari
pejabat TUN untuk memperkuat integritas dan otoritas sistem peradilan, yang
pada akhirnya akan memperkuat fondasi kedaulatan hukum.
2. Salah satu tujuan penting adalah memastikan bahwa setiap pihak yang terlibat
dalam sengketa TUN mendapatkan perlakuan yang setara di hadapan hukum,
dengan memastikan keadilan dalam proses hukum untuk semua pihak. Melalui
pelaksanaan putusan pengadilan, peran penting pejabat TUN terlihat dalam
membentuk lingkungan hukum yang adil...
3. Dengan mematuhi putusan pengadilan, pejabat TUN memainkan peran strategis
dalam membangun dan menjaga kredibilitas sistem peradilan, serta memperkuat
kepercayaan masyarakat. Kepercayaan yang terjaga dari masyarakat menjadi
unsur kunci dalam menciptakan lingkungan yang mendukung penyelesaian
sengketa secara damai, serta mendukung prinsip-prinsip keadilan dalam konteks
hukum secara menyeluruh.
4. Sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam pemberlakuan hukum di Indonesia
dalam menjalankan putusan pengaadilan seluruh pihak harus turut andil, baik
dalam proses pengawasan hingga penegakan tetap harus disertai dengan daya
dan upaya yang dilakukan masayarakat.
5. Sebagai tindakan pencegahan, masyarakat dapat berpartisipasi dengan
memberikan kontribusi melalui pelaporan terhadap badan atau pejabat tata usaha
negara yang tidak mematuhi surat keputusan tata usaha negara..
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Yuridiksi Dalam Pembentukan Aturan yang sistematis dan harmonis di
Indonesia
Dalam sejarahnya, Indonesia telah mengadopsi paham hukum dari sistem Eropa
Kontinental, yang lebih dikenal sebagai Civil Law. Paham ini diperkenalkan selama
masa penjajahan Belanda di tanah Indonesia. Salah satu ciri khas dari paham ini
adalah adanya kodifikasi hukum. Indonesia, sebagai negara yang plural dengan
beragam budaya, memiliki beragam hukum yang berkembang di masyarakat, yang
dikenal sebagai living law. Kodifikasi ini bertujuan untuk memberikan keseragaman
di tengah keberagaman hukum yang muncul di Indonesia. Sebagai negara hukum,
prinsip ini juga dijelaskan sesuai dengan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia, yang menekankan bahwa semua aktivitas
ketatanegaraan harus memiliki landasan mekanisme yang mengatur kehidupan
masyarakat di bawah payung hukum.5.
Pembentukan undang-undang didefinisikan sebagai segala bentuk yang memiliki
keterkaitan yang kokoh dengan undang-undang, yang harus memiliki dasar pada
konstruksi sistem hukum. Menurut Bagir Manan, peraturan adalah setiap keputusan
yang dihasilkan secara jujur dan melalui proses penetapan yang dikeluarkan oleh
lembaga negara sebagai fungsi legislatif. Secara umum, terdapat lima parameter
muatan yang menjadi tolak ukur dalam suatu undang-undang, yakni:
1) Penetapan UUD
2) Penetapan terdahulu
3) Dalam rangka mencabut, mengganti, atau menambah UU yang lama
4) Menyangkut Muatan Hak asasi manusia dan hak dasar lainnya
5) Muatan yang menyangkut hidup seluruh rakyat

5
Elidar Sari and Hadi Iskandar, Pengantar HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA, Angewandte
Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 2019.
Bagian dalam pembentukan undang-undang sebagai peraturan yang memiliki sifat
mengikat dan memaksa, harus melalui beberapa tahapan mulai dari penyusunan,
pembahasan, pengesahaan atau penetapan dan terakhir sebagai upaya publisitas agar
seluruh masyarakat mengetahui adalah pengundangan.

Peraturan perundang-undangan dapat didefinisikan sebagai bentuk konkretisasi


produk hukum yang bersifat mengikat, dengan norma-norma yang terkandung di
dalamnya bersifat umum dan abstrak. Dalam proses pembentukannya, peraturan harus
memenuhi nilai dasar yang mencakup landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Sebagai landasan filosofis di Indonesia, peraturan memiliki asta dan cita sebagaimana
tercantum dalam alinea empat Undang-Undang Dasar 1945. Pembukaan UUD diakui
sebagai staattsfundamentalnorm, yang mengakui teori hukum sebagai dasar hukum
positif Indonesia. Landasan ini diarahkan agar sesuai dengan landasan eksistensi bangsa
Indonesia, yaitu Pancasila, yang merupakan manifestasi cita dan harapan masyarakat.
Keberagaman sosial setiap entitas menjadi gambaran pentingnya peraturan sebagai
pemersatu, menggambarkan rechtsidee sebagai solusi pemersatu dalam keberagaman
tersebut.6 .

Landasan sosiologis adalah representasi dari keberlakuan aturan sebagai alat untuk
menjaga keamanan dan ketertiban dalam kehidupan bernegara. Hukum, sebagai sarana
pengaturan, menjadi koridor yang mengatur jalannya kehidupan, dikenal juga sebagai
Law as a tool of social engineering atau hukum sebagai rekayasa sosial menuju satu cita
dan harapan. Pemberlakuan peraturan haruslah dapat diterima sehingga bisa dipatuhi
oleh seluruh elemen bangsa, mulai dari entitas terkecil. Landasan ketiga, yaitu yuridis,
berhubungan dengan substansi suatu peraturan. Peraturan dianggap efektif ketika dalam
implementasinya mampu mengatur dan mendisiplinkan perilaku manusia. Keberadaan
aspek yuridis ini dapat diartikan melalui dua aspek, yaitu peninjauan aspek materiil dan
formal.:

1) Asas materil merupakan bentuk representasi dari perolehan keadilan, kepastian


hukum, berlaku surut hingga peraturan yang tinggi dapat mengenyampinhkan
peraturan yang lebih rendah. Segala bentuk aturan telah di himpun mengenai

6
Ika Darmika, ‘Budaya Hukum (Legal Culture) Dan Pengaruhnya Terhadap Penegakan Hukum Di
Indonesia’, Jurnal Hukum Tô-Râ, 2.3 (2019), 429–35
<http://ejournal.uki.ac.id/index.php/tora/article/view/1114>.
pembentukan peraturan melalui Undang-undang no 12 tahun 2011 terkait
pembentukan undang-undang.
2) Asas formil dapat diberlakukannya suatu aturan asas formil pembentukan
perundang-undangan yang perlu diperhatikan meliputi: 1) Asas Kejelasan
Tujuan; 2) Asas Kelembagaan atau Pejabat Pembentuk yang Tepat, 3) Asas
Kesesuaian Antara Jenis, Hierarki, dan Materi Muatan, 4) Asas Dapat
Dilaksanakan (Applicable), 5) Asas Kedayagunaan dan Kehasilgunaan (Efisiensi
dan Efektivitas), 6) Asas Kejelasan Rumusan, 7) Asas Keterbukaan
(Transparancy)

Konsep pembentukan peraturan perundang-undangan yang sistematis, harmonis,


dan terpadu dapat dicapai melalui berbagai sarana, seperti modifikasi atau pembentukan
norma oleh penguasa untuk memberikan tujuan yang sesuai dengan kondisi masyarakat.
Menurut Van der Vlies, peraturan saat ini tidak dapat memenuhi fungsi utama kecuali
dapat mencerminkan kristalisasi nilai yang hidup dalam masyarakat. Penerapan
modifikasi hukum juga sejalan dengan prinsip Law as a tool of social engineering atau
hukum sebagai rekayasa sosial. Namun, kelemahan dari metode ini adalah potensi
disharmonisasi yang dapat terjadi karena fokus pada modifikasi masalah tertentu dapat
mengabaikan aspek lainnya. Omnibus law, sebagai bentuk pengkodifikasian hukum
yang menggabungkan banyak aturan dalam satu payung hukum, meskipun bertujuan
untuk efisiensi, namun dapat menciptakan bentuk ortodoks yang tidak lazim dalam
penerapannya. Selanjutnya, kodifikasi hukum, meskipun hampir serupa dengan bentuk
lainnya, memiliki tujuan untuk mencapai rechtseenheid (kesatuan hukum) dan
rechtszekerheid (kepastian hukum)7. Berikut adalah pemenuhan nilai Pancasila dalam
keberlakuan peraturan:

Pancasila keberlakuan
Sila ke 1 Keadilan tertinggi datang dari tuhan, maka berdasarkan hal tersebut
pula pembentukan aturan harus memiliki nilai ketuhanan, baik
dalam fundamentum maupun nilai-nilai pelaksanaan yang tetap
memiliki ketuhanan sebagai struktur pembangung.

7
I Wayan Arthanaya dan Luh Putu Suryani Andy Gunawan, ‘Fungsi Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik Dalam Menyelesaikan Sengketa Hukum Acara Tata Usaha Negara’, Jurnal Analogi Hukum,
1.1 (2019), 29 <https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/analogihukum/article/view/1456>.
Sila Ke 2 Keadlian yang memanusiakan merupakan bentuk representasi dari
kesetaraan dalam tatanan hukum, tidak terdapat pembeda yang
ditamakan adalah aturan haruslah dapat memanusiakan manusia,
dalam konteks penerapan aturan.
Sila ke 3 Bangsa plural merupakan bagian besar dari Indonesia maka dari itu
dalam pembentukan peratuaran haruslah dapat dinilai sebagai aturan
yang memiliki indintivitas dengan kesatuan dan persatuan, sebagai
wujud persatuan maka menghimpun beragam nilai kebangsaaan
Sila ke 4 Aturan melalui pengadilan formil merupakan upaya terakhir dan
haruslah dalam pembentukan aturan terapat upaya preventif dengan
menjungjung nilai permusyawaratan karena nilai tersebutlah yang
menjadi tolak ukur penerapan aturan
Sila ke 5 Asas keadilan selalu menjadi poin penting dalam keberlakuan
peraturan, aturan harus lah memiliki sifat keadilan yang tanpa
memandang siapakah pihak yang diadili maka harus memiliki
keadilan yang seadil-adilnya.8

Dalam konteks hukum di Indonesia, isi pasal yang dirumuskan dalam peraturan
wajib berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila. Prinsip ini menjadi dasar bagi asas-asas
utama yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang
menyatakan bahwa negara Indonesia berpangkal pada ketuhanan yang maha esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, setiap peraturan yang dibuat harus
mencerminkan nilai-nilai Pancasila tersebut dalam substansi pasalnya. Pendekatan ini
mencerminkan tekad untuk menghasilkan peraturan hukum yang selaras dengan nilai-
nilai karakteristik bangsa Indonesia, dengan tujuan memastikan keadilan, persatuan, dan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Prinsip ini juga menekankan pentingnya para
pembuat undang-undang untuk selalu memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan,
demokrasi, dan keadilan dalam setiap penyusunan peraturan hukum.
8
Farida Azzahra, ‘Pemberlakuan Sanksi Administratif: Bentuk Upaya Paksa Meningkatkan Kepatuhan
Pejabat Atas Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara (Teori Efektivitas Hukum)’, Binamulia
Hukum, 9.2 (2020), 127–40 <https://doi.org/10.37893/jbh.v9i2.122>.
Pemberlakuan hukum di Indonesia melandaskan dirinya dengan Pancasila karena
jiwa pancasilais selalu memeberikan daya guna yang menyesuaikan dengan bentuk
plurallisme yang ada di Indonesia. Kendati banyak oknum yang melakukan pelanggaran
hal tersebut pada dasarnya bukan berarti melemahkan keberdayaan Pancasila, hanya
mereka yang melanggar telah dengan sengaja dan secara sadar dikendalikan oleh daya
piker yang non kritis. Jika melihat perjuangan bangsa Indonesia dimasa lampau
bagaimana pemenuhan tujuan dalam terbentuknya nilai-nilai Pancasila akan
menggambarkan nasionalisme yang sebenarnya, nilai tersebutlah yang di anut dalam
setiap butir pasal yang ada didalam peraturan perundang-undangan.

2.2 Reformasi Aturan Sanksi Tun Guna Membangun Kedisiplinan Hukum


Melalui Pembaharuan Ketentuan Pelaksanaan Putusan
Essensi dari suatu implementasi hukum terletak pada penerapan sepenuhnya dari
peraturan-peraturan. Jika pelaksanaan hukum tidak lagi terjadi, maka hukum tidak
dapat dianggap sebagai hukum. Hukum tidak dapat berdiri sendiri; oleh karena itu,
untuk mewujudkan norma-norma hukum dalam praktiknya, diperlukan penegakan
hukum. Penegak hukum merujuk kepada individu yang memegang tanggung jawab
dan kewenangan untuk menjalankan serta menegakkan hukum dalam suatu sistem
hukum. Mereka berasal dari berbagai profesi seperti polisi, jaksa, hakim, petugas
keamanan, dan pejabat lain yang terlibat dalam pelaksanaan norma hukum. Tugas
pokok penegak hukum melibatkan pemeliharaan ketertiban, perlindungan hak-hak
warga, dan penerapan keadilan melalui implementasi peraturan hukum yang
berlaku. Saat menjalankan tugas mereka, diharapkan penegak hukum tetap
berpegang pada prinsip-prinsip moral, etika profesi, dan ketentuan hukum yang
berlaku untuk memberikan kontribusi positif dalam menjaga keamanan dan keadilan
dalam masyarakat.9.
Menurut achmad ali menyatakan jika terdapat 5 poin bagaimana perjalanan
dalam penegakan hukum dapat dikatakan efektif, yakni:
a. Keharusan menyusun rumusan substansi aturan hukum yang jelas bertujuan
untuk memberikan kemudahan bagi pihak yang menjadi objek hukum.

9
J. N.D. Anderson, ‘The Syrian Law of Personal Status’, Bulletin of the School of Oriental and African
Studies, 17.1 (2023), 34–49 <https://doi.org/10.1017/S0041977X00106330>.
b. Sebaiknya, Undang-undang mengadopsi sifat larangan daripada kewajiban,
mengingat implementasi aturan yang melarang cenderung lebih praktis
dibandingkan yang bersifat mengharuskan (mandatoris).
c. Implementasi sosialisasi secara optimal menjadi suatu kebutuhan penting
kepada seluruh pihak yang terlibat dalam peraturan hukum.
d. Kepentingan untuk memastikan relevansi aturan hukum dengan individu
atau kelompok yang menjadi objek hukum.
e. Sanksi yang diatur dalam undang-undang seharusnya sejalan dengan sifat
pelanggaran hukumnya; sanksi yang tepat untuk suatu tujuan mungkin tidak
sesuai untuk tujuan lain. Tingkat keberatan harus proporsional dan dapat
dijalankan.

Dalam proses reformasi peraturan, langkah-langkah telah diambil sejak


diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986. Sejarah reformasi ini,
bagaimanapun, mengalami sejumlah kendala karena fokus pada konsep self-respect,
yang mengandung harapan bahwa aturan tersebut dapat menciptakan kesadaran dalam
pelaksanaan putusan. Namun, pendekatan ini terbukti kurang efektif seiring berjalannya
waktu. Pembaruan muncul dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 9 tahun
2004 dan Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009, yang memperkenalkan sanksi
administratif dan denda sebagai bentuk penegakan hukum. Meskipun demikian,
kekurangan terjadi karena kurangnya aturan teknis yang mengatur implementasi sanksi
tersebut. Pasal 116 ayat (7) Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 menegaskan bahwa
pejabat Tata Usaha Negara yang tidak melaksanakan putusan pengadilan TUN akan
dikenai sanksi administratif. Namun, kurangnya sistem hukuman yang lebih terperinci
dalam Peraturan Pemerintah atau undang-undang lainnya menyebabkan pengabaian
tetap berlanjut.

Meskipun telah dikeluarkan peraturan terbaru terkait peradilan tata usaha negara,
yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, namun hal ini tidak memberikan
perubahan signifikan. Di dalamnya, tidak ada prosedur yang mengatur sanksi yang
dapat diberikan kepada pejabat tata usaha negara yang lalai. Selain itu, kurangnya
ketentuan yang tegas dalam mengatur implementasi sanksi administratif dan/atau
pembayaran uang paksa berpotensi menimbulkan risiko kerugian yang lebih besar bagi
masyarakat atau badan hukum perdata. Contoh konkretnya adalah penerapan sanksi
administratif pada Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang memiliki status sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Aturan terkait sanksi administratif terhadap PNS telah
dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai
Negeri Sipil. Pasal 7 ayat (1) PP Nomor 53 Tahun 2010 menyatakan bahwa hukuman
bagi PNS dapat berupa hukuman disiplin ringan, sedang, dan berat. Hukuman disiplin
ringan, seperti teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas tertulis.
Hukuman disiplin sedang mencakup penundaan kenaikan gaji dan pangkat selama satu
tahun, serta penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama satu tahun. Di sisi lain,
hukuman disiplin berat melibatkan penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama
tiga tahun, pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah,
pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.10.

Formulasi berikut menjadi rujukan yang dapat diberlakukan jika dianggap


bermanfaat bagi keberlangsungan hukum di Indonesia

Klasifikasi Substansi Keterangan


I Ringan Jika dalam waktu paling Pemberian kesempatan pertama
lambat 14 (empat belas) hari selama 14 hari dimaksudkan jika
terhitung sejak telah memang dalam pelaksanaan putusan
dikeluarkannya putusan mengalami distraksi kewenangan
pengadilan terhadap badan yang memiliki alasan pembenar,
atau pejabat TUN, maka jika maka diberikanlah kesempatan
tidak terdapat itikad baik pertama tersebut.
dalam menjalankan hasil
putusan, akan dikenakan
sanksi administrative berupa
disiplin ringan lewat surat
teguran yang dituliskan
secara langsung oleh ketua
pengadilan.
II Sedang Apabila dalam batas waktu Dilakukan pemanggilan merupakan

10
Aju Putrijanti and Fakultas, ‘Indonesia. Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara’, 2023.
paling lambat 28 (dua puluh bentuk usaha peringatan terakhir
delapan) hari setelah terkait tindak pengabaian yang
menerima surat peringatan dilakukan, berarti kewajibans secara
dari ketua pengadilan, lisan maupun tulisan telah di
badan/pejabat Tata Usaha lakukan.
Negara tidak mematuhi
pelaksanaan putusan
pengadilan, maka akan
diberlakukan sanksi berupa
pemanggilan secara langsung
oleh ketua pengadilan..
III Berat Apabila dalam batas waktu Mengapa dilakukan pencabutan
paling lambat 48 (empat jabatan karena permasalahan sejak
puluh delapan) hari setelah awal tidak jelas siapakah yang
dilakukan pemanggilan menerima sanksi tersebut, maka
kepada badan/pejabat Tata dengan ini baik orang/perorangan
Usaha Negara, mereka tetap (pejabat TUN) sekaligus jabatan
tidak mematuhi pelaksanaan yang di pangku ikut di
putusan pengadilan, maka turunkan(dicabut) secara tidak
tindakan selanjutnya adalah hormat.
pencabutan jabatan secara
tidak hormat terhadap
badan/pejabat Tata Usaha
Negara.

Penerapan konsep legal substance dalam pembentukan peraturan pelaksana putusan


mencerminkan pendekatan yang lebih mengutamakan substansi atau inti hukum,
daripada hanya formalitas semata. Teori ini menegaskan bahwa validitas hukum lebih
terfokus pada makna atau esensi hukum yang dihasilkan, bukan hanya memperhatikan
tata cara atau aspek formalitas. Dalam konteks peraturan pelaksana putusan, penerapan
konsep legal substance melibatkan penekanan pada kesesuaian antara substansi putusan
pengadilan dengan ketentuan yang diatur dalam peraturan pelaksana. Oleh karena itu,
peraturan pelaksana harus mencerminkan inti dan esensi dari putusan pengadilan yang
akan dilaksanakan. Dengan memberikan prioritas pada aspek substansi, konsep legal
substance dapat memastikan bahwa peraturan pelaksana tidak hanya memenuhi
persyaratan formalitas tetapi juga mencapai tujuan substansial dari putusan pengadilan.
Tujuannya adalah untuk menjaga konsistensi, keadilan, dan kepastian hukum dalam
implementasi keputusan pengadilan.11.

Penerapan konsep legal culture dalam pembentukan peraturan pelaksana putusan


menunjukkan perhatian yang besar terhadap aspek budaya dalam proses tersebut.
Konsep ini menekankan pentingnya memahami nilai-nilai, norma, dan keyakinan yang
terdapat dalam masyarakat, serta bagaimana elemen-elemen ini dapat membentuk dasar
bagi peraturan pelaksana. Dalam konteks peraturan pelaksana putusan, konsep legal
culture mempertimbangkan nilai-nilai hukum yang dianut oleh masyarakat dalam
kehidupan hukumnya. Oleh karena itu, peraturan pelaksana tersebut harus selaras
dengan budaya hukum yang berlaku, sehingga dapat diterima dan dipahami oleh
masyarakat secara menyeluruh. Penerapan konsep legal culture bertujuan untuk
mencapai kesesuaian antara norma hukum formal dan tata cara dalam sistem hukum
dengan realitas budaya masyarakat sebagai dasar hukum tersebut. Dengan cara ini,
peraturan pelaksana putusan yang dihasilkan dapat mencerminkan integrasi antara
norma hukum formal dan budaya hukum masyarakat, yang mendukung kelangsungan
dan kepastian hukum dalam konteks sosial.

Implementasi sanksi administratif atas kelalaian dalam mematuhi putusan


Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) menjadi langkah esensial dalam menjaga
keberlakuan hukum dan melestarikan integritas sistem peradilan administrasi. Tindakan
yang mengabaikan putusan TUN dapat mengakibatkan kerugian pada pihak terkait dan
merusak kepercayaan publik terhadap keadilan administrasi. Oleh karena itu, penerapan
sanksi administratif menjadi pendekatan yang penting untuk menjamin kepatuhan
terhadap putusan TUN. Sanksi administratif yang dijalankan harus sesuai dengan
peraturan hukum yang berlaku, melibatkan berbagai bentuk hukuman yang seimbang
dan efektif. Selain memberikan efek jera kepada pelanggar, penerapan sanksi
administratif juga mendukung kredibilitas lembaga peradilan administrasi dan
mendorong ketaatan terhadap proses hukum yang telah ditetapkan. Langkah ini
11
Abdurrahman Misno Bambang Prawiro, ‘Teori Sistem Hukum Friedman’, 8, 2021.
merupakan bagian integral dari upaya untuk memastikan bahwa putusan TUN
diterapkan secara menyeluruh dan adil, serta memberikan keyakinan kepada masyarakat
bahwa sistem peradilan administrasi bekerja secara efisien dalam menegakkan keadilan.

Penerapan sanksi administratif atas kelalaian mematuhi putusan Pengadilan Tata


Usaha Negara (TUN) bukan hanya sebagai sarana penegakan hukum semata, melainkan
juga sebagai langkah preventif untuk mencegah tindakan serupa di masa mendatang.
Langkah ini menegaskan bahwa kewibawaan lembaga peradilan administrasi harus
dipertahankan, dan setiap putusan yang dihasilkan harus dihormati dan diterapkan tanpa
pengecualian. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan dan penilaian terhadap
pelaksanaan putusan TUN perlu diperkuat agar dapat memastikan kepatuhan yang
konsisten dari semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, tidak hanya menciptakan
sistem peradilan administrasi yang kuat, tetapi juga mengokohkan kepercayaan
masyarakat terhadap keadilan dan ketertiban hukum. Selain itu, sanksi administratif
yang diterapkan harus didesain sedemikian rupa sehingga memberikan efek jera yang
signifikan, menciptakan insentif untuk kepatuhan, dan sekaligus memberikan
perlindungan kepada hak-hak warga yang dilindungi oleh putusan TUN.

2.3 Rekonstruksi Sanksi Pelaksanaan Putusan Yang Berdasarkan Aaupb

Sejumlah peraturan atau undang-undang sering kali menerapkan Asas-Asas Umum


Pemerintahan Yang Baik, seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999, penjelasan pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004, dan
tercermin di berbagai peraturan perundang-undangan serta yurisprudensi. Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik, yang telah dijabarkan dalam beberapa undang-undang
dan yurisprudensi, tidak hanya memiliki dampak moral dan doktrinal, tetapi juga
bersifat yuridis. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik memberikan tiga manfaat
utama. Pertama, sebagai panduan bagi administrasi negara dalam menafsirkan dan
menetapkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang tidak jelas. Kedua, Pasal 53
ayat (2) dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara menunjukkan bahwa
keberadaan asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat digunakan oleh masyarakat
sebagai acuan dalam mencari keadilan dan sebagai dasar gugatan atas keputusan yang
dianggap memberatkan masyarakat. Ketiga, hakim dapat menggunakan asas-asas umum
pemerintahan yang baik sebagai alat uji dalam memutus suatu perkara di dalam
Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam pelaksanaannya, aparat negara mulai dari tingkat presiden hingga perangkat
desa memiliki peran sentral dan tanggung jawab besar terhadap kehidupan masyarakat,
termasuk pemantauan efektivitas penerapan aturan dalam kehidupan sehari-hari.
Kehadiran prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik sangat mendukung upaya
masyarakat dalam mencari keadilan, terutama saat pejabat membuat undang-undang
yang dianggap merugikan masyarakat demi kepentingan penyelenggaraan negara.
Penyelenggaraan negara melibatkan pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif,
legislatif, atau yudikatif, serta pejabat lain yang tugas dan fungsi pokoknya terkait
dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pasal 47, yang menetapkan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara,
menunjukkan bahwa pengadilan ini memiliki wewenang yang signifikan untuk
menangani sengketa di Indonesia. Hal ini sesuai dengan perubahan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004, yang merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986, guna mewujudkan peradilan Tata Usaha Negara yang efektif di Indonesia.

Dalam wilayah Peradilan Tata Usaha Negara, untuk memastikan kebenaran tanpa
kecenderungan, hakim sebaiknya lebih proaktif dalam mengamati peristiwa dalam
kehidupan masyarakat. Jika masyarakat mengalami tekanan kepentingan di luar
Pengadilan Tata Usaha Negara, penggugat berhak meminta sidang lebih awal.
Tanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan masyarakat ditempatkan pada pejabat
negara, sejalan dengan penerapan konsep negara kesejahteraan yang memberikan
pemerintah wewenang untuk turut campur dalam masalah kesejahteraan masyarakat.
Intervensi ini tidak hanya tergantung pada peraturan perundang-undangan; dalam
keadaan tertentu di mana peraturan hukum belum mencakup suatu perkara, pemerintah
berhak mengambil inisiatif sendiri. Ini dilakukan dengan merujuk pada bukti situasional
dan bukti konkret yang terjadi, serta membuat keputusan berdasarkan kebijakan atau
peraturan yang disebut "freies emerssen". Pendekatan ini memungkinkan pemerintah
bertindak tanpa mengikuti perundang-undangan yang berlaku, demi memastikan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik, yang merujuk
pada tujuh prinsip yang diuraikan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999, terutama
prinsip kecermatan, penyelesaian permasalahan hukum dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan norma-norma yang bersifat normatif. Bahkan, teori hukum di
Indonesia yang diajukan oleh ahli hukum dapat berfungsi sebagai panduan untuk
menganalisis permasalahan hukum yang timbul. Meskipun hakim dan penggugat tidak
terikat secara langsung dengan prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik, karena
penjelasannya bersifat yuridis dan bukan norma hukum seperti yang diatur dalam Pasal
53 ayat (2) huruf b Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, namun Pasal 3
Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 menegaskan peran prinsip-prinsip umum
pemerintahan yang baik dalam pembentukan Undang-Undang. Dalam penjelasan Pasal
53 ayat (2) Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, prinsip-prinsip umum
pemerintahan yang baik digunakan secara limitatif sebagai dasar untuk menggugat atau
menguji keputusan yang dikeluarkan oleh hakim Tata Usaha Negara. Terkait dengan
permasalahan hukum, prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik harus dicantumkan
dalam bagian penjelasan putusan sebagai norma yang membatalkan Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat. Akan tetapi, terjadi perubahan paradigma berpikir hakim
setelah masuknya prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik dalam Undang-
Undang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam memutuskan suatu perkara atau sengketa
yang terjadi dalam masyarakat, hakim sebagai pengadilan harus mempertimbangkan
prinsip-prinsip umum pemerintahan yang baik, yang selain menjadi dasar gugatan juga
menjadi acuan bagi hakim untuk memutus perkara atau sengketa dalam peradilan Tata
Usaha Negara.

Implementasi Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) dalam regulasi Tata
Usaha Negara (TUN) menjadi dasar penting untuk menjamin keadilan, transparansi, dan
akuntabilitas dalam pelaksanaan administrasi negara. AUPB, yang mencakup prinsip-
prinsip seperti kepastian hukum, keterbukaan, proporsionalitas, dan partisipasi
masyarakat, memberikan pedoman bagi lembaga-lembaga TUN dalam merumuskan dan
menjalankan kebijakan serta proses administratif. Penggunaan AUPB bukan hanya
bertujuan menciptakan struktur hukum yang jelas dan mudah dimengerti, tetapi juga
untuk memastikan bahwa setiap tindakan administratif dilandaskan pada nilai-nilai
keadilan dan pelayanan masyarakat. Dengan demikian, regulasi TUN yang
mengintegrasikan AUPB dapat membentuk lingkungan administrasi yang efisien,
akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sejalan dengan konsep good
governance yang diinginkan dalam sistem pemerintahan.

Berikut adalah implementasi Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam formulasi
Aturan

No AUPB Keterangan
1. Kepastian hukum Formulasi yang penulis lakukan telah memberikan
kepastian hukum bagi setiap pihak yang ikut turut serta
dalam keberadaan putusan pengadilan tata usaha negara
dengan memberikan sanksi tegas bagi siapapu yang
telah dinyatakan bersalah dalam suatu perkara, dan
berkepastian dalam menjalankan putusan perintah
pengadilan, dengan tanpa terkecuali dengang pulanya
sanksi yang sangat jelas dan mengikat.
2. Kemanfaatan Perolehan efek berkepanjangan merupakan manfaat
paling hakiki dam penetapan aturan sanksi yang
diformulasikan karena dengannya diharapkan dapat
memberikan situai pengadilan yang se adil-adilnya, dan
kedepannya terhadap segala bentuk pengabaian akan
mendapatkan sanksi serupa tanpa ada sanggahan
lainnya, maka mereka yang mengabaikan pantas di
hukum.
3. Ketidakberpihakan Ketidak berpihakan diwujudkan dengan
ketidakterdaoatan nomenklatur sepihak pada orang atau
bentuk jabatan yang pangku, seluruh keadilan harus
dipastikan keberadaannya, bagi yang bersalah bukan
hanya kewenangan yang dimiliki melainkan terkait
person atau orang yang berada dibalik suatu jabatan, dan
dengan memberikan efek retributive justice akan
memberikan efek jera dan tidak aka nada pengulanagan
yang sama kedepannya.
4. Kecermatan Dalam merumuskan suatu peraturan terlebih substansi
pasal, penulis memperhatikan pemenuhan nilai Asas
Umum pemerintahan yang baik pula dangan
menekankan dan tidak menghilangkan keberadaan nilai
yang paling fundamental adalah nilai Pancasila yang
terkandung didalamnya
5. Tidak Menyalahkan Pemberian sanksi dihadapkan pada pilihan jika
kewenangan pemangku jabatan telah dengan kewenangannya
menyalahi perturan dan melakukan tindak kesewenang-
wenangan. Dalam hal ini penulis formulasikan
pemberian sanksi yang substansinya mengikat
pemangku jabatan dan memberikan efek retributive
sehingga dapat pula kedepannya dijadikan sebagai
upaya preventif dari tindak penglalaian pelaksanaan
putusan.
6. Keterbukaan Substansi ini jika dianggap berguna maka akan
diterbitkan maka dari itu seluruh masyarakat akan
dengan secara terbuka mengetahui jika peraturann ini
telah berlaku. Dalam substansi pasal yang penulis
formulasikan terdapat dua keadaan dimana pihak yang
melakukan pengabaian akan dibertahukan surat
peringatan serta dilakkan pemanggilan dan dengan itu
pula menunjukan jika dalam pelaksanaan aturan
diperoleh suatu keterbukaan bahkan dengan pihak yang
telah bersalah melakukan pengabaian.
7. Kepentingan Umum Pelaksanaan putusan tidak sedikit memiliki keterkaitan
dengan khalayak public, misalkan keuputusan Tata
usaha negara yang telah mempengaruhi tingkah laku
masyarakat. Dan dengan terdapat pengabaian
pelaksanaan putusan akan menyebabkan dampak pada
kepentingan umu. Dan demi menjamin hal semacam itu
tidak terjadi maka penulis memformulasikan kedalam
substansi pasal agar dapat bersifat menghukum dan
memberi efek jera.
8. Pelayanan yang Baik Sebagai bentuk pelayanan yang baik, pelaksaan putusan
erupak kategorisasi yang sulit dipenuhi oleh pejabat tata
usaha negara, oleh karena itu jika dalam pelaksanaanya
terdapat kendala yang menjadikan suatu putusan tidak
diberlakukan dengan baik maka akan melanggar asas
pelayanan yang baik, oleh karena itu penulis dengan
segenap hati melakukan perumusan agar dalam
penempatan pasal ini bersifat representative dari
keberadnan pelayanan yang baik dilakukan oleh badan/
pejabat tata usaha negara. Sebagai bentuk dedikasi yang
seharusnya dihadirkan pemangku jabatan.

Secara total, implementasi Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) dalam
regulasi Tata Usaha Negara (TUN) memiliki dampak yang besar pada kualitas
pelaksanaan administrasi negara. Prinsip-prinsip AUPB, seperti kepastian hukum,
keterbukaan, proporsionalitas, dan partisipasi masyarakat, menjadi pedoman yang kuat
bagi lembaga-lembaga TUN dalam merancang kebijakan dan menjalankan proses
administratif. Ini tidak hanya menghasilkan struktur hukum yang lebih jelas dan mudah
dipahami, tetapi juga menjamin bahwa setiap tindakan administratif diarahkan pada
prinsip-prinsip keadilan dan pelayanan masyarakat. Penerapan AUPB dalam regulasi
TUN memberikan kontribusi positif terhadap penciptaan lingkungan administrasi yang
efisien, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan demikian,
AUPB bukan hanya merupakan landasan teoritis, tetapi juga instrumen praktis untuk
mewujudkan good governance dalam sistem pemerintahan, memastikan bahwa
keputusan administratif mencerminkan nilai-nilai yang diharapkan dan memberikan
dampak positif bagi masyarakat.12.

BAB III
12
Vera Bararah Barid M. Jeffri Arlinandes Chandra, Rofi Wahanisa, Ade Kosasih and others, ‘Tinjauan
Yuridis Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Sistematis , Harmonis Dan Terpadu Di
Indonesia’, Jurnal Legislasi Indonesia, 19.147 (2022), 5
<https://e-jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/790>.
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1) Dalam ranah hukum di Indonesia, substansi pasal yang disusun dalam peraturan
wajib didasarkan pada prinsip-prinsip Pancasila. Prinsip ini mendasari asas-asas
utama yang terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang
menyatakan bahwa negara Indonesia berlandaskan kepada ketuhanan yang maha
esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, setiap peraturan
yang dibuat harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila tersebut dalam substansi
pasalnya.
2) Pemberian kesempatan pertama selama 14 hari dimaksudkan jika memang
dalam pelaksanaan putusan mengalami distraksi kewenangan yang memiliki
alasan pembenar, maka diberikanlah kesempatan pertama tersebut. Dilakukan
pemanggilan merupakan bentuk usaha peringatan terakhir terkait tindak
pengabaian yang dilakukan, berarti kewajibans secara lisan maupun tulisan telah
di lakukan. Mengapa dilakukan pencabutan jabatan karena permasalahan sejak
awal tidak jelas siapakah yang menerima sanksi tersebut, maka dengan ini baik
orang/perorangan (pejabat TUN) sekaligus jabatan yang di pangku ikut di
turunkan(dicabut) secara tidak hormat
3) Implementasi Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB) dalam regulasi
Tata Usaha Negara (TUN) menjadi dasar penting untuk menjamin keadilan,
transparansi, dan akuntabilitas dalam pelaksanaan administrasi negara. AUPB,
yang mencakup prinsip-prinsip seperti kepastian hukum, keterbukaan,
proporsionalitas, dan partisipasi masyarakat, memberikan pedoman bagi
lembaga-lembaga TUN dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan serta
proses administratif. Penggunaan AUPB bukan hanya bertujuan menciptakan
struktur hukum yang jelas dan mudah dimengerti, tetapi juga untuk memastikan
bahwa setiap tindakan administratif dilandaskan pada nilai-nilai keadilan dan
pelayanan masyarakat. Dengan demikian, regulasi TUN yang mengintegrasikan
AUPB dapat membentuk lingkungan administrasi yang efisien, akuntabel, dan
responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sejalan dengan konsep good
governance yang diinginkan dalam sistem pemerintahan
3.2 Saran
1) Dalam rangka melaksanakan putusan pengadilan dengan efektif, disarankan agar
pejabat Tata Usaha Negara (TUN) menyusun aturan pelaksanaan dengan jelas
dan rinci. Proses penyusunan aturan sebaiknya mempertimbangkan setiap aspek
dan detail yang diperlukan agar memudahkan pemahaman semua pihak terkait
dan mencegah terjadinya penafsiran yang tidak sesuai.
2) Pentingnya keterlibatan aktif pihak-pihak terkait, termasuk masyarakat atau
organisasi pemohon dalam kasus, perlu ditekankan dalam pelaksanaan putusan
pengadilan. Kolaborasi dan konsultasi dengan mereka dapat memberikan
perspektif yang berharga, serta memastikan bahwa implementasi dilakukan
dengan memperhatikan berbagai sudut pandang.
3) Sebagai langkah penting dalam proses pelaksanaan, pejabat TUN diharapkan
untuk melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin terhadap pelaksanaan
putusan pengadilan. Pemantauan ini dapat dilakukan melalui penyusunan
mekanisme pemantauan yang efektif dan pengumpulan umpan balik dari semua
pihak terkait. Evaluasi tersebut membantu mengidentifikasi kendala atau
hambatan yang mungkin muncul selama pelaksanaan, sehingga tindakan
perbaikan dapat diambil untuk memastikan keberhasilan implementasi putusan
pengadilan.
4) Dalam perancangan undang-undang, ditekankan pentingnya menyesuaikan
setiap ketentuan dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) yang
sudah ada. Undang-undang tersebut seharusnya mencerminkan esensi dan
substansi dari putusan TUN guna memastikan keselarasan dan kejelasan dalam
implementasi keputusan hukum
5) Terlibatnya pihak-pihak terkait, termasuk pejabat TUN, ahli hukum, dan
masyarakat sipil, dalam tahap perancangan undang-undang dianggap sebagai
langkah yang penting. Konsultasi terbuka dan partisipatif dapat memperkaya
sudut pandang dan memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan mencerminkan
kebutuhan dan harapan masyarakat.
6) Dalam rangka perancangan undang-undang, disarankan agar mencakup
mekanisme monitoring dan evaluasi yang efektif terkait pelaksanaan putusan
TUN. Ini bisa melibatkan pembentukan badan atau lembaga independen yang
bertugas memantau pelaksanaan putusan TUN dan memberikan umpan balik
secara berkala. Dengan demikian, undang-undang dapat memberikan dasar yang
kokoh untuk kepastian hukum dan keadilan dalam pelaksanaan putusan TUN.

DAFTAR PUSTAKA
BUKU

Abdurrahman Misno Bambang Prawiro, ‘Teori Sistem Hukum Friedman’, 8, 2021

Anderson, J. N.D., ‘The Syrian Law of Personal Status’, Bulletin of the School of
Oriental and African Studies, 17.1 (2023), 34–49
<https://doi.org/10.1017/S0041977X00106330>

Andy Gunawan, I Wayan Arthanaya dan Luh Putu Suryani, ‘Fungsi Asas-Asas Umum
Pemerintahan Yang Baik Dalam Menyelesaikan Sengketa Hukum Acara Tata
Usaha Negara’, Jurnal Analogi Hukum, 1.1 (2019), 29
<https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/analogihukum/article/view/
1456>

Azzahra, Farida, ‘Pemberlakuan Sanksi Administratif: Bentuk Upaya Paksa


Meningkatkan Kepatuhan Pejabat Atas Pelaksanaan Putusan Peradilan Tata Usaha
Negara (Teori Efektivitas Hukum)’, Binamulia Hukum, 9.2 (2020), 127–40
<https://doi.org/10.37893/jbh.v9i2.122>

Darmika, Ika, ‘Budaya Hukum (Legal Culture) Dan Pengaruhnya Terhadap Penegakan
Hukum Di Indonesia’, Jurnal Hukum Tô-Râ, 2.3 (2019), 429–35
<http://ejournal.uki.ac.id/index.php/tora/article/view/1114>

Fajlurrahman, Jurdi, ‘Buku Hukum Acara Perdata.Pdf’, 2021

M. Jeffri Arlinandes Chandra, Rofi Wahanisa, Ade Kosasih, Vera Bararah Barid, Vera
Bararah Barid, Rofi Wahanisa, and Ade Kosasih, ‘Tinjauan Yuridis Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan Yang Sistematis , Harmonis Dan Terpadu Di
Indonesia’, Jurnal Legislasi Indonesia, 19.147 (2022), 5 <https://e-
jurnal.peraturan.go.id/index.php/jli/article/view/790>

Mahkamah Agung RI, Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara Dan Produk-
Produk Hukum Tata Usaha Negara Dilihat Dari Beberapa Sudut Pandang, 2021

Marshall, Sri Suatmiati, and Angga Saputra, Edisi Revisi Hukum Acara Tata Usaha
Negara Indonesia, Percetakan Tunas Gemilang, 2019

Putrijanti, Aju, and Fakultas, ‘Indonesia. Undang-Undang Tentang Peradilan Tata


Usaha Negara’, 2023

Sari, Elidar, and Hadi Iskandar, Pengantar HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA,
Angewandte Chemie International Edition, 6(11), 951–952., 2019
Tjukup, I Ketut, I Ketut Artadi, Nyoman. A Martana, I Gusti Ayu Agung Ari
Krisnawati, Nyoman Satyayudha Dananjaya, I Putu Rasmadi Arsha Putra, and
others, ‘Hukum Acara Dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara’, 2022, 62

PERATURAN

Undang-Undang No 5 Tahun 1986

Undang-Undang No 9 Tahun 2004

Undang-Undang No 51 Tahun 2009

Undang-Undang No 30 Tahun 2014

BUKTI TURNITIN

Anda mungkin juga menyukai