Oleh:
JUNAIDI
NIM : 02040421010
1
KATA PENGANTAR
Bismillahiromanirrohim
Pertama-tama marilah kita panjatkan puja puji syukur kehadirat
Lillahi Robbi yang telah memberikan rasa dan nikamat kepad kita semua
sehingga kita bisa berada dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta Salam semoga selalu tercurah-limpahkan kepada
Utusan Allah SWT, yang mana melalui beliaulah Allah mewashilahkan
ilmu dimuka bumi ini. Semoga sholawat serta Salam terlimpahkan pula
kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya (Rosulullah Muhammad SAW).
Dalam makalah ini kami berusaha memberikan suatu solusi untuk
para pendidikan terutamanya di bidang hukum Indonesia dalam
membangun kepercayaan dan melek terhadap Hukum adminitrasi
Negara.
Dengan penulisan ini saya haturkan kepada dosen pengapu saya
mata kuliah Hukum Tata Negara Dr.Sri Wirijiati.,SH,MH yang telah
memberikan suatu arahan kepada saya sehingga bisa melaksanakannya
dengan baik.
Dan sangat berterimakasih kepada orang tua saya yang telah
memberikan motivasi dan rasa kesemangtan kepada saya sehingga saya
bisa melaksanakan amanahnya dengan baik, dan kepada seluruh teman-
teman Pascasarjana HTN kelas A, yang telah memberikan semangat
kepada saya.
Semoga bermanfaat bagi seluruh keluarga yang berkenan membaca
dan menerapkan dari penelitian kami. semoga selalu terlimpahkan
barokah dan Ridho Allah untuk kita semua. Amin yarobbal ‘alamin...
2
DAFTAR ISI
COVER………………………………………………………………………I
KATAPENGANTAR ………………………………………………………II
DAFTAR ISI………………………………………………………………...III
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.................................................................................2
B. RUMUSAN MASLAH................................................................................3
C. TUJUAN PENELITIAN .............................................................................3
BAB II
PEMBAHSAN
A. Pengertian peradilan tata usah Negara di Indonesia………………………4
B. Surat Keputusan Negara Yang Bersifat Fiktif Positif Dan Fiktif Negative.7
C. Akibat Hukum Pengabaian Permohonan Keputusan Tata Usaha
Negara....8
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN .........................................................................................23
B. SARAN .....................................................................................................23
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
Supandi, 2011, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (Kepatuhan Hukum Pejabat Dalam
Mentaati Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara), Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm.1
3
Sjachran Basah, 2010, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Negara Republik
Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 192-193.
4
Zairin Harahap, 2002, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 2.
5
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT Bina Ilmu,
Surabaya, hlm. 71.
4
Dalam negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan
haruslah berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku (wetmatigheid van
bestuur)6
5
diuji keabsahannya melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
apabila diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). PTUN
adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
terhadap sengketa tata usaha negara yang memiliki tugas dan wewenang untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat
pertama sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
9
Lintong O. Siahaan, 2006, Wewenang PTUN Menunda Berlakunya Keputusan Pemerintah,
Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, hlm. 1.
10
S F. Marbun, op.cit, hlm. 240-241.
11
SF. Marbun, op.cit, hlm. 241.
6
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimna cara memahami putusan tata usaha Negara menurut
hukum yang benar.
2. Bagaimana pengertian putusan Negara yang bersifat fiktif positif
dan fiktif negative
3. apakah jenis keputusan fiktif positif berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami keputusan tata usaha Negara
menurut peraturan undang-undang Negara.
7
2. Untuk mengetahui kewenagan PTUN dalam mengeluarkan suatu
keputusan.
3. Memahami cara yang dilakukan oleh Negara ketika ada salah
satupejabat/pemerintah yang bertentangan kewenagannya dangan
peraturan-peraturan Negara.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman untuk rakyat yang mencari keadilan terhadap
sengketa tata usaha negara. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang
terjadi antara badan atau kantor tata usaha negara dengan warga negara. PTUN
diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya.
Dalam hal ini, sengketa timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-
tindakan pemerintah yang melanggar hak-hak warga negara. Dengan demikian
PTUN ditujukan pula untuk melindungi rakyat dari tindakan-tindakan pemerintah
yang tidak populis. Singkatnya, PTUN tidak hanya melindungi hak-hak tunggal
saja, tetapi juga melindungi hak-hak warga negara sebagai suatu masyarakat.
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara
melengkapi 3 peradilan lain yaitu Mahkamah Agung, Peradilan Agama, dan
Peradilan Militer sebagai pelaksana peradilan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Masa Hindia Belanda,
Pengadilan Tata Usaha Negara dikenal dengan sistem administratief beroep.
8
2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;
9
Perlu diketahui bahwa untuk dikeluarkan suatu KTUN dapat berasal dari
inisiatif pejabat TUN itu sendiri dan juga dapat disebabkan karena adanya suatu
permohonan yang berasal dari seseorang atau badan hukum perdata untuk
dikeluarkan suatu KTUN. Akibat dari permohonan tersebut, KTUN yang
diterbitkan dapat berbentuk penolakan (negative) atau penerimaaan (positif).
Namun pertanyaan yang muncul berikutnya yaitu bagaimana jika suatu
permohonan tidak ditindak lanjuti onleh pejabat TUN.
10
permohonan harus lengkap. Sehingga dalam aturan tindakan tersebut dianggap
menolak.
12
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia “Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi, Jakarta :
Universitas Atma Jaya, 2009, hal.20
11
Apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan
keputusan (diam saja), sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka sikap
diamnya tersebut disamakan dengan KTUN sehingga berimplikasi tindakan
tersebut dapat digugat. Sebaliknya, Badan atau Pejabat TUN yang menerima suatu
permohonan, tetapi permohonan itu bukan merupakan kewajibannya untuk
menjawab, maka sikap diamnya tidaklah dapat dianggap sebagai KTUN yang
fiktif-negatif. Dan oleh karena itu, dia tidak dapat digugat13.
13
Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1997, hlm.
2
12
adalah paradigma baru yang diberlakukan di dalam UUAP adalah menuntut
pejabat pemerintahan untuk bekerja lebih aktif.
Penjelasan diatas sesuai dengan penjelasan dari Guntur Hamzah pada saat
pembahasan UUAP yang mengemukakan bahwa adanya perubahan dari fiktif
negative menjadi fiktif positif lebih dikarenakan untuk mendesak pemerintah agar
dapat lebih cepat dalam memproses suatu permohonan sehingga masyarakat atau
pihak yang mengajukan permohonan tersebut akan mendapatkan kepastian hasil
keputusan lebih cepat dan tidak terbelit-belit. Hal ini tentunya sejalan dengan
proses reformasi birokrasi, terutama dalam hal peningkatan pelayanan publik.
13
UUAP sangat berhubungan dengan apa yang disebutkan didalam pasal 52 ayat (1)
UUAP.
14
Dengan dimaknainya sikap diam pejabat TUN atas adanya suatu
permohonan yang batas waktu penetapannya tidak diatur oleh peraturan
perundang-undangan sebagai suatu KTUN, maka dapat dikatakan itu sebagai
bentuk tindakan hukum publik pemerintah bersegi satu (eenzijdig
publiekrechttelijke handeling). Yaitu suatu tindakan dari alat-alat perlengkapan
pemerintah dalam baik aktif maupun pasif tidak perlu mendapat persetujuan dari
pihak lain yang berimplikasi harus melindungi hak-hak asasi manusia dalam
penyelenggaraan negara hukum.
Keempat, dengan berlakunya dua hukum acara yang dimiliki dalam sistem
peradilan tata usaha negara tentu akan membawa implikasi terkait dengan
kewenangan PTUN. Dimana kewenangan PTUN dalam sistem peradilan di
Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara. Dimana sengketa menurut nurnaningsih amiriani
sendiri adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak
15
lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada
pihak kedua.
Dari penjelasan dari bab-bab terhadulu maka dewasa ini berkaitan dengan
Pengaturan Keputusan Tata Usaha yang batas waktu penetapannya tidak diatur
oleh Peraturan perundang-undangan telah terjadi dualisme pengaturan. yaitu
ketentuan didalam UUPTUN dan UUAP. Hal itu dikarenakan didalam UUAP
tidak ada ketentuan yang mencabut keberlakuan ketentuan-ketentuan didalam
UUPTUN. Namun hanya memberikan perluasan pemaknaan atas lingkup KTUN
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 87 UUAP sehingga menjadi pertanyaan
selanjutnya: ketentuan mana yang akan digunakan dalam hal pemerintah tidak
menerbitkan suatu keputusan atas permohonan yang diajukan oleh
warganegaranya. Hal tersebut memberikan potensi dispute yang sekiranya dapat
mengurangi angin segar bagi warga negara yang sebelumnya telah dihembuskan
oleh UUAP.
Jika dikaitkan dengan teori tujuan hukum sendiri dimana hukum dapat
dikatakan sebagai himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang
16
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh
anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh Karen itu ada hukum yang bersifat
mengatur (fakultatif, aanvuilend recht) dan bersifat memaksa (imperative,
dwingend recht). Namun dalam fungsi pemaksaan, dalam tubuh hukum itu sendiri
harus membersihkan dirinya dari adanya permasalahan-permasalahan. Termasuk
erat kaitanya dengan konflik norma antara satu norma dengan norma lain.
17
didalam UUAP. Sehingga ketika UUAP mengatur secara khusus, maka hemat
penulis bahwa norma dalam UUPTUN harus dikesampingkan. Maka dapat
dikatakan bahwa berkaitan dengan Keputusan fiktif positif mempunyai kekuatan
yang lebih memikat dari pada Keputusan Fiktif negative. Karena UUAP adalah
undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai hukum materiel dalam
administrasi pemerintahan.
Hal ini juga sama jika dihubungan dengan asas hukum Lex Posterior
Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat. Dimana peraturan yang
paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Secara yuridis formil keberadaan
UUPTUN telah lebih dulu menjadi hukum positif. Sedangkan UUAP lahir setalah
UUPTUN sendiri mengalami beberapa perubahan. Dengan demikian apabila
terjadi suatu pertentangan konflik norma maka UUPTUN di kesampingan dari
pada ketentuan UUAP dalam hal ini keberlakuan Keputusan yang bersifat fiktif
positif. Keberlakuan keputusan fiktif positif ini juga telah dibuktikan dengan
adanya Peraturan Mahkamah Agung No.5 tahun 2015.
18
Negara sebagai organisasi14 yang memiliki berbagai macam fungsi dan
tugas dalam tujuannya mensejahterakan masyarakat. Sebagai sebuah organisasi,
Negara memilik pemerintah sebagai pelaksana, yang kemudian menjalankan
perbuatan-perbuatan / tindakan pemerintah. Muchsan15, mengidentifikasikan
perbuatan pemerintah manakala :
19
Meskipun demikian, apabila kita melihat dalam UU-AP, terdapat upaya
memperluas kewenangan PTUN, yang tidak hanya terbatas dalam ranah
pembuatan, penerbitan dan keabsahan Keputusan / Surat Keputusan Tata Usaha
Negara melainkan juga telah memasukkan tindakan faktual (materiil) dalam
rangka pelaksanaan keputusan tata usaha negara dalam menjalankan fungsi
pemerintahan (vide Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 87 huruf a UU-AP). Perluasan
kewenangan ini sesuai dengan tujuan dibentuknya PTUN sebagai sarana kontrol
hukum yang utuh di bidang administrasi pemerintahan 16. Pandangan Utrecht7
bahwa kewenangan adalah bentuk kekuasaan dan kekuatan, tentu memerlukan
suatu kontrol (dalam hal ini hukum) agar kekuasaan dan kekuatan tersebut tidak
disalahgunakan oleh pemilik kewenangan, hal ini dikarenakan kekuasaan
cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang bersifat absolut, pasti diikuti
dengan penyalahgunaan.
16
Imam Soebechi dalam Soebekhi dkk,2014.“Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer”. Genta
Press Yogyakarta.hlm.5.
20
Sesuai dengan namanya, setiap permohonan yang diajukan oleh pemohon,
pasti akan menimbulkan dua kemungkinan. Pertama, permohonan tersebut
dikabulkan oleh termohon, yang kedua permohonan tersebut ditolak. Pengabulan
dan penolakan permohonan administrasi negara, menjadi kewenangan Pejabat /
Badan Tata Usaha Negara sepenuhnya. Syarat pengabulan permohonan
administrasi negara diatur dalam peraturan-peraturan pelaksanaan yang mengatur
spesifik mengenai permohonan tersebut, dan apabila pemohon telah melengkapi
syarat-syarat dan memenuhi prosedur maka pengajuan permohonan tersebut dapat
dikabulkan.
17
Tjakranegara, Soegiatno.1994, Hukum Acara PTUN , Jakarta. Sinar Grafika Hlm. 45
21
pengertian bahwa keputusan negatif dapat merupakan keputusan penolakan akan
suatu hal yang dimohon maupun keputusan yang merupakan penolakan untuk
memproses suatu permohonan.
22
dikabulkan. Sedangkan pengabulan permohonan , mengandung makna bahwa hak
pemohon telah dinyatakan sah menjadi milik pemohon, normalnya dimana
keadaan tersebut muncul setelah adanya Keputusan Tata Usaha Negara
diterbitkan, namun karena frasa dianggap dikabulkan dalam Pasal 53 ayat 3 UU-
AP, maka ketika Pejabat /Badan tata Usaha Negara tidak menindaklanjuti
permohonan administrasi negara pemohon, akibat hukumnya dianggap sama
dengan telah dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat positif /
pengabulan akan permohonan administrasi negara tersebut. Jika permohonan telah
dianggap dikabulkan, lalu untuk apa pemohon harus mengajukan permohonan
pengeluaran Keputusan Tata Usaha Negara? Toh secara hukum, apa yang
dimohon telah diberikan / diakui oleh undang-undang dengan frasa dikabulkan
secara hukum. Hal ini karena pembuat UU-AP sesungguhnya menyadari bahwa,
meskipun dianggap telah dikabulkan, hak yang timbul dari Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersifat fiktif positif bersifat abstrak dan tidak dapat memberikan
jaminan kepastian hukum, sebagai alat bukti tertulis , layaknya perlindungan yang
dapat diberikan oleh sertifikat / Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat
tertulis.
23
Penulis berargumen bahwa, frasa “lengkap” dalam Perma tersebut
berpotensi menimbulkan masalah baru, karena dapat saja terjadi karena
kecerobohan Pejabat / Badan Tata Usaha Negara, berkas permohonan yang tidak
lengkap yang diajukan pemohon tidak ditindaklanjuti dengan SK penolakan
kepada pemohon, sehingga ketentuan Pasal 53 ayat 3 UU-AP berlaku terhadap
permohonan tersebut, yang pada akhirnya tidaklah mungkin pemohon dapat
melengkapi berkas. Kemudian, tidak diaturnya batas kesempatan pengajuan
kembali, menurut menulis menimbulkan ketidakpastian hukum yang nyata.
Penulis juga mempertanyakan apa yang dimaksud dengan lengkap adalah lengkap
sesuai dengan persyaratan permohonan SK atau lengkap sesuai dengan berkas
yang telah diajukan oleh pemohon, meskipun tidak memenuhi persyaratan? MA
tidak memperjelas ketentuan mengenai arti lengkap dalam Perma tersebut.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
24
makna KTUN, Berlaku mengikatnya suatu KTUN, Sistem hukum acara peradilan
Administrasi di dalam UUPTUN, Kewenangan PTUN dan Tidak terciptanya
kepastian hukum. Adanya pengaturan yang berbeda di dalam norma UUPTUN
dan UUAP menimbulkan adanya suatu konflik norma. Sehingga perlu dilakukan
harmonisasi. Harmonisasi antara kedua Undang-Undang tersebut yaitu dengan
menggunakan asas Lex specialis derogat legi generali yang berarti. Sehingga yang
dapat diberlakukan adalah didalam UUAP. Karena secara prinsip UUAP sebagai
hukum materiel didalam Hukum Administrasi negara Indonesia.
Kesimpulan kedua yang dapat kita ambil bersama adalah, bahwa jenis
keputusan fiktif positif berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
fungsinya sebagai alat bukti hak yang diberikan oleh Pejabat / Badan Tata Usaha
Negara. Serta pengaturan mengenai keabsahan Keputusan Fiktif Positif tersebut
perlu untuk ditinjau kembali sifat otomatis dikabulkannya. Saran Penulis dalam
permasalahan tersebut, ketentuan yang dimaksud harus direvisi dan diganti
dengan penggunaan kata “dianggap telah diterima” sehingga, hak yang timbul dari
diabaikannya permohonan administrasi negara, hanya dapat dijadikan sebagai
landasan untuk mengajukan gugatan ke PTUN. Namun apabila, maksud pembuat
undang-undang memang demikian, Perma No. 5/2015 tidak seharusnya
menghasilkan putusan penolakan atau gugur karena permohonan administrasi
yang diabaikan telah dianggap dikabulkan secara hukum. Penulis juga
menyarankan kepada Pejabat / Badan Tata Usaha Negara agar lebih berhati-hati
dan teliti dalam pengadministrasian setiap permohonan yang diajukan oleh
masyarakat.
25
DAFTAR PUSTAKA
26
4. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo
27