Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

DAMPAK YURIDIS KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA


YANG BERSIFAT FIKTIF POSITIF DAN FIKTIF NEGATIVE
Di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
HUKUM ADMINITRASI NEGARA
Dosen pengampu
Dr. Sri Warijiati.,SH.MH

Oleh:
JUNAIDI
NIM : 02040421010

PRODI HUKUM TATA NEGARA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL SURABAYA
2021/2022

1
KATA PENGANTAR
Bismillahiromanirrohim
Pertama-tama marilah kita panjatkan puja puji syukur kehadirat
Lillahi Robbi yang telah memberikan rasa dan nikamat kepad kita semua
sehingga kita bisa berada dalam keadaan sehat wal afiat.
Sholawat serta Salam semoga selalu tercurah-limpahkan kepada
Utusan Allah SWT, yang mana melalui beliaulah Allah mewashilahkan
ilmu dimuka bumi ini. Semoga sholawat serta Salam terlimpahkan pula
kepada keluarga dan sahabat-sahabatnya (Rosulullah Muhammad SAW).
Dalam makalah ini kami berusaha memberikan suatu solusi untuk
para pendidikan terutamanya di bidang hukum Indonesia dalam
membangun kepercayaan dan melek terhadap Hukum adminitrasi
Negara.
Dengan penulisan ini saya haturkan kepada dosen pengapu saya
mata kuliah Hukum Tata Negara Dr.Sri Wirijiati.,SH,MH yang telah
memberikan suatu arahan kepada saya sehingga bisa melaksanakannya
dengan baik.
Dan sangat berterimakasih kepada orang tua saya yang telah
memberikan motivasi dan rasa kesemangtan kepada saya sehingga saya
bisa melaksanakan amanahnya dengan baik, dan kepada seluruh teman-
teman Pascasarjana HTN kelas A, yang telah memberikan semangat
kepada saya.
Semoga bermanfaat bagi seluruh keluarga yang berkenan membaca
dan menerapkan dari penelitian kami. semoga selalu terlimpahkan
barokah dan Ridho Allah untuk kita semua. Amin yarobbal ‘alamin...

Sumenep, 12 september 2020

2
DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………I
KATAPENGANTAR ………………………………………………………II
DAFTAR ISI………………………………………………………………...III
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1

A. LATAR BELAKANG.................................................................................2
B. RUMUSAN MASLAH................................................................................3
C. TUJUAN PENELITIAN .............................................................................3

BAB II
PEMBAHSAN
A. Pengertian peradilan tata usah Negara di Indonesia………………………4
B. Surat Keputusan Negara Yang Bersifat Fiktif Positif Dan Fiktif Negative.7
C. Akibat Hukum Pengabaian Permohonan Keputusan Tata Usaha
Negara....8

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN .........................................................................................23
B. SARAN .....................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................15

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Masalah Indonesia adalah Negara Hukum, sebagaimana ditegaskan dalam


ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945)1. Sebagai negara hukum Indonesia menganut konsepsi
welfare state (negara kesejahteraan), sebagaimana diisyaratkan dalam alinea
keempat Pembukaan UUD 1945, yang merupakan tujuan negara. Dalam konsepsi
welfare state, pemerintah diberi wewenang yang luas untuk campur tangan
(staatsbemoeienis) di segala lapangan kehidupan masyarakat dalam rangka
menyelenggarakan kesejahteraan umum (bestuurszorg)2. Campur tangan tersebut
tertuang dalam ketentuan perundang-undangan, baik dalam bentuk undang-
undang, maupun peraturan pelaksanaan lainnya yang dilaksanakan oleh
administrasi negara, selaku alat perlengkapan negara yang menyelenggarakan
tugas servis publik3.

Negara hukum pada dasarnya terutama bertujuan untuk memberikan


perlindungan hukum bagi rakyat4. Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap
tindakan pemerintahan dilandasi oleh dua prinsip; prinsip hak asasi manusia dan
prinsip negara hukum5.

1
Lihat Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2
Supandi, 2011, Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (Kepatuhan Hukum Pejabat Dalam
Mentaati Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara), Pustaka Bangsa Press, Medan, hlm.1
3
Sjachran Basah, 2010, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Negara Republik
Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 192-193.
4
Zairin Harahap, 2002, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers,
Jakarta, hlm. 2.
5
Philipus M. Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT Bina Ilmu,
Surabaya, hlm. 71.

4
Dalam negara hukum, setiap penyelenggaraan urusan pemerintahan
haruslah berdasarkan pada aturan hukum yang berlaku (wetmatigheid van
bestuur)6

Sebagai konsekuensi dari negara hukum, wajib adanya jaminan bagi


administrasi negara sebagai alat perlengkapan negara untuk dapat menjalankan
pemerintahan dan warga negara memiliki hak dan kewajiban mendapat jaminan
perlindungan. Oleh karena itu, kekuasaan pemerintah tidak dapat lepas dari
perkembangan asas legalitas yang telah dimulai sejak konsep negara hukum klasik
formele rechtstaat atau liberale rechtsstaat yaitu wetmatigheid van bestuur
artinya pemerintahan menurut undang-undang. Setiap tindakan pemerintah harus
berdasarkan kepada undang-undang7.

Dalam melaksanakan fungsinya, aparat pemerintah mengadakan


hubungan-hubungan baik yang bersifat hubungan hukum maupun hubungan nyata
dengan sesama aparat negara maupun dengan pihak perorangan baik yang
berbentuk badan hukum maupun manusia pribadi (individu).

Dalam menjalin hubungan hukum inilah terbentuk kegiatan-kegiatan atau


aktivitas Pemerintah yang berunsurkan perbuatan-perbuatan aparat pemerintah.
Dalam hukum administrasi yang penting adalah tindakan hukum, sebab suatu
tindakan hukum akan menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu bagi mereka
yang terkena tindakan tersebut8.

Menurut ketentuan Undang-undang No. 5 tahun 1986, tindakan hukum


yang dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha negara yang dituangkan dalam suatu
keputusan (beschikking), harus merupakan tindakan hukum dalam lapangan
hukum tata usaha negara (hukum public).

Tindakan hukum yang dilakukan oleh badan/pejabat tata usaha negara


yang dituangkan dalam suatu keputusan tata usaha negara (beschikking) dapat
6
Ridwan HR, 2013, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 17
7
Irfan Fachruddin, 2004, Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, PT.
Alumni Bandung, hlm. 43-44.
8
F. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, hlm. 146.

5
diuji keabsahannya melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
apabila diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau
bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB). PTUN
adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
terhadap sengketa tata usaha negara yang memiliki tugas dan wewenang untuk
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di tingkat
pertama sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Salah satu kewenangan PTUN yang paling penting selama proses


pemeriksaan persidangan berlangsung adalah kewenangan untuk mengeluarkan
suatu putusan (penetapan) sementara atau putusan sela atas keputusan pemerintah
atau keputusan TUN yang sedang disengketakan. Begitu gugatan masuk dan
didaftarkan di Kepaniteraan PTUN, pada saat itu juga PTUN dapat menghentikan
keputusan pemerintah tersebut untuk tidak dilaksanakan, selama pemeriksaan
proses perkara berlangsung. Putusan yang demikian disebut putusan penundaan,
yang diatur di dalam Pasal 67 Undang-Undang No. 5 Tahun 19869.

Pada asasnya suatu gugatan tidak menunda pelaksanaan keputusan TUN


yang disengketakan (digugat). Asas tersebut bersumber pada asas bahwa setiap
keputusan TUN harus dianggap sah menurut hukum (het vermoeden van
rechtmatigheid = praesumtio iustae causa). Karena keputusan itu dianggap demi
kepastian hukum keputusan itu dapat dilaksanakan selama belum dibuktikan
sebaliknya sampai ada pembatalan10.

Menurut S.F Marbun asas tersebut dinormativisasikan dalam Hukum


Acara Peradilan Administrasi (murni), sehingga suatu gugatan tidak menghalangi
dilaksanakannya KTUN yang digugat tesebut, Namun undang-undang
memberikan peluang kepada penggugat untuk mengajukan permohonan kepada
hakim, agar selama proses pemeriksaan berlangsung dapat dilakukan penundaan
(schorsing) terhadap KTUN yang disengketakan11.

9
Lintong O. Siahaan, 2006, Wewenang PTUN Menunda Berlakunya Keputusan Pemerintah,
Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, hlm. 1.
10
S F. Marbun, op.cit, hlm. 240-241.
11
SF. Marbun, op.cit, hlm. 241.

6
Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang berbunyi:

(1) Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan


Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yang digugat.

(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan


Keputusan Tata Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata
Usaha Negara sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh
kekuatan hukum tetap.

(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan


sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok
sengketanya.

(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2):

a. dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak


yang mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;

b. tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka


pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimna cara memahami putusan tata usaha Negara menurut
hukum yang benar.
2. Bagaimana pengertian putusan Negara yang bersifat fiktif positif
dan fiktif negative
3. apakah jenis keputusan fiktif positif berpotensi menimbulkan
ketidakpastian hukum.
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan memahami keputusan tata usaha Negara
menurut peraturan undang-undang Negara.

7
2. Untuk mengetahui kewenagan PTUN dalam mengeluarkan suatu
keputusan.
3. Memahami cara yang dilakukan oleh Negara ketika ada salah
satupejabat/pemerintah yang bertentangan kewenagannya dangan
peraturan-peraturan Negara.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara Di Indoensia,

Pengertian Tata Usaha Negara Peradilan Tata Usaha Negara adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman untuk rakyat yang mencari keadilan terhadap
sengketa tata usaha negara. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang
terjadi antara badan atau kantor tata usaha negara dengan warga negara. PTUN
diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan warga negaranya.

Dalam hal ini, sengketa timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-
tindakan pemerintah yang melanggar hak-hak warga negara. Dengan demikian
PTUN ditujukan pula untuk melindungi rakyat dari tindakan-tindakan pemerintah
yang tidak populis. Singkatnya, PTUN tidak hanya melindungi hak-hak tunggal
saja, tetapi juga melindungi hak-hak warga negara sebagai suatu masyarakat.
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dibentuk berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Tata Usaha Negara
melengkapi 3 peradilan lain yaitu Mahkamah Agung, Peradilan Agama, dan
Peradilan Militer sebagai pelaksana peradilan berdasarkan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada Masa Hindia Belanda,
Pengadilan Tata Usaha Negara dikenal dengan sistem administratief beroep.

Kemudian, setelah Indonesia merdeka, yaitu pada masa UUDS 1950,


dikenal tiga cara penyelesaian sengketa administrasi, yaitu:

1. Diserahkan kepada Pengadilan Perdata;

8
2. Diserahkan kepada Badan yang dibentuk secara istimewa;

3. Dengan menentukan satu atau beberapa sengketa TUN yang


penyelesaiannya diserahkan kepada Pengadilan Perdata atau Badan Khusus.
Perubahan mulai terjadi dengan keluarnya UUU No. 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Dalam Pasal 10 undang-undang tersebut disebutkan bahwa Kekuasaan


Kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan antara lain Peradilan
Tata Usaha Negara. Kewenangan Hakim dalam menyelesaikan sengketa
administrasi negara semakin dipertegas melalui UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara di mana disebutkan bahwa kewenangan memeriksa,
memutus dan menyelesaikan 114 Hukum Administrasi Negara suatu
perkara/sengketa administrasi berada pada Hakim/Peradilan Tata Usaha Negara,
setelah ditempuh upaya administratife.

B. Surat Keputusan Negara Yang Bersifat Fiktif Positif Dan Fiktif


Negative.

KTUN merupakan bagian dari tindakan hukum pejabat administrasi


negara (rechtshandeling). Sehingga pengaturannya perlu dipertimbangkan di
dalam negara hukum. KTUN di Indonesia telah diatur sebelumnya di dalam pasal
1 angka 3 UUPTUN yang menyatakan bahwa: “Keputusan Tata Usaha Negara
adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.

Dengan adanya pengertian tersebut maka dapat dimaknai bahwa KTUN


merupakan tindakan aktif dari Pejabat TUN. Sehingga apabila seseorang atau
badan hukum perdata yang merasa dirugikan atas dikeluarnya KTUN, maka
mereka dapat melakukan gugatan TUN di PTUN sebagaimana yang diatur di
didalam Peraturan Perundang-undangan.

9
Perlu diketahui bahwa untuk dikeluarkan suatu KTUN dapat berasal dari
inisiatif pejabat TUN itu sendiri dan juga dapat disebabkan karena adanya suatu
permohonan yang berasal dari seseorang atau badan hukum perdata untuk
dikeluarkan suatu KTUN. Akibat dari permohonan tersebut, KTUN yang
diterbitkan dapat berbentuk penolakan (negative) atau penerimaaan (positif).
Namun pertanyaan yang muncul berikutnya yaitu bagaimana jika suatu
permohonan tidak ditindak lanjuti onleh pejabat TUN.

UUPTUN sendiri telah memperluas makna KTUN itu sendiri berdasarkan


pasal 1 angka 3 UUPTUN. Berkaitan dengan kewajiban, dalam hukum
administrasi negara, tidak dapat dipisahkan dengan kewenanagan. artinya pasal 3
ayat (1) UUPTUN menghendaki suatu tindakan dapat juga disebut sebagai KTUN
apabila tindakan tersebut dilakukan oleh pejabat yang berwenang untuk
mengeluarkan atas adanya suatu permohonan.

Apabila suatu peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas


waktu penetapannya untuk dikeluarkan, maka sejak lewat jangka waktu empat
bulan sejak diterima permohonan, Pejabat TUN tersebut dianggap mengeluarkan
keputusan penolakan. Dari penjelesan tersebut dapat difahami bahwa adanya
ketentuan jangka waktu empat bulan dan bentuk keputusannya adalah ditolak.
Pembuat undang-undang memberikan jangka waktu empat bulan adalah dalam
rangka menjamin kepastian hukum. Pemohon tidak terus menunggu konfirmasi
dari pejabat TUN. Terkait dengan bentuk keputusan ditolak, dapat dikatakan
dengan adanya sikap diam tersebut tidak menimbulkan keadaan hukum baru.
Artinya dengan ditolaknya suatu permohonan maka keadaan akan sama antara
sebelum adanya permohonan maupun setelah adanya permohonan.

Sikap diam tersebut dapat dikatakan karena atas dasar kesengajaan


maupun kelalaian dari pejabat TUN. Pejabat TUN bisa saja tidak melakukan
tindak lanjut atas suatu permohonan karena syarat-syarat yang harus dipenuhi
terhadap permohonan tersebut belum lengkap. Sehingga wajar apabila pejabat
TUN tersebut tidak melakukan tindakan lanjutan atas suatu permohonan. Itu
sebabnya didalam ketentuan Pasal 3 UUPTUN tersebut tidak mensyaratkan

10
permohonan harus lengkap. Sehingga dalam aturan tindakan tersebut dianggap
menolak.

Sebaliknya apabila suatu permohonan yang syarat-syaratnya telah


terpenuhi, dengan adanya sikap diam tersebut maka akan berimplikasi pada
kepentingan hukum pemohon. Dimana dengan adanya ketentuan “menolak” maka
permohonan tersebut meskipun syarat-syarat terpenuhi, maka tidak akan
dikabulkan. Sikap diam tersebut dapat berupa adanya kelalaian dari pejabat TUN
yang berwenang. Hal ini menurut penulis tidak tepat apabila dikaitkan dengan
konsep Negara hukum sendiri. Dimana negara dalam menjalankan fungsinya
harus menjamin hak-hak pribadi manusia.9 terlebih konsep negara hukum modern
lebih mengedepankan negara hukum (welfarestate). Sehingga fungsi negara dalam
arti materiil adalah bertindak sebagai pelayan bagi masyarakat (public service)12.

Disini pembuat undang-undang dalam politik hukumnya tidak


menekankan alasan akibat sikap diam dari pejabat TUN. Namun Pembentuk
undang-undang mengarahkan norma dalam pasal 3 UUPTUN diatas hanya untuk
memperluas cakupan arti KTUN. Dimana KTUN tidak hanya sebatas apa yang
disebut didalam pasal 1 angka 9 UUPTUN. Serta Pembentuk undang-undang
ingin membentuk sebuah prinsip umum yang menyatakan bahwa “menolak
mengeluarkan suatu keputusan disamakan sebagai suatu keputusan”. ini

Berarti Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang PTUN dapat disebut dengan


keputusan tata usaha negara atas suatu permohonan yang batas waktu
penetapannya tidak diatur oleh undang-undang yang diistilahkan sebagai fiktif
negative. Karena memuat konteks tentang “fiktif” yang menunjukkan bahwa
KTUN yang digugat sebenarnya tidak berwujud. Ia hanya merupakan sikap diam
dari badan atau pejabat tata usaha negara yang kemudian dianggap disamakan
dengan sebuah pengertian KTUN yang nyata tertulis. Sedangkan istilah “negatif”
menunjukkan bahwa KTUN yang digugat dianggap berisi penolakan terhadap
permohonan yang telah diajukan oleh orang atau badan hukum perdata.

12
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara Indonesia “Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi, Jakarta :
Universitas Atma Jaya, 2009, hal.20

11
Apabila badan atau pejabat tata usaha negara tidak mengeluarkan
keputusan (diam saja), sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka sikap
diamnya tersebut disamakan dengan KTUN sehingga berimplikasi tindakan
tersebut dapat digugat. Sebaliknya, Badan atau Pejabat TUN yang menerima suatu
permohonan, tetapi permohonan itu bukan merupakan kewajibannya untuk
menjawab, maka sikap diamnya tidaklah dapat dianggap sebagai KTUN yang
fiktif-negatif. Dan oleh karena itu, dia tidak dapat digugat13.

Apabila seseorang merasa keberatan dengan Keputusan Fiktif negative,


maka dapat mengajukan gugatan ke PTUN menurut Pasal 53 ayat (1) UUPTUN.
Berkaitan dengan gugatan, penggugat harus mampu membuktikan bahwa telah
terjadi adanya suatu permohonan kepada pejabat TUN yang berwenang. Dimana
permohonan tersebut telah diterima oleh pejabat TUN tersebut. untuk mengetahui
atau menentukan suatu permohonan tersebut diterima atau tidak tentu harus ada
suatu bentuk surat tanda penerimaan yang menjelaskan bahwa permohonan
tersebut telah diterima. Surat tanda penerimaan tersebut dapat dijadikan dasar
untuk menghintung hari untuk menentukan lewat jangka waktu mengajukan
gugatan di PTUN.

Berlakunya UUAP membawa perubahan besar dalam sistem peradilan tata


usaha negara di Indonesia. termasuk di dalam konsep pengaturan KTUN yang
berasal dari adanya suatu permohonan dari masyarakat. Termasuk juga
pengaturan KTUN atas suatu permohonan yang batas waktu penetapannya tidak
diatur oleh peraturan perundang-undangan, diantaranya disebutkan dalam pasal 53
UUAP

Hal-hal yang perlu diperhatikan di dalam ketentuan tersebut yang pertama


adalah pejabat pemerintahan wajib menetapkan suatu keputusan atau ketetapan
atas adanya suatu permohonan. Sehingga apabila pejabat tersebut berwenang
maka hal tersebut merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh pejabat
tun. Apabila kewajiban tersebut tidak dilakukan, maka tentu harus membawa
akibat hukum terhadap tindakannya tersebut. Jangka waktu 10 hari kerja tersebut

13
Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1997, hlm.
2

12
adalah paradigma baru yang diberlakukan di dalam UUAP adalah menuntut
pejabat pemerintahan untuk bekerja lebih aktif.

Politik hukum dalam pemberlakuan ketentuan diatas untuk menjamin


kepastian hukum bagi masyarakat dalam suatu permohonan. Serta adanya
ketentuan demikian karena ditekankan dalam menjalankan pelayanan publik. Para
birokrat dituntut untuk bertindak lebih aktif dan professional dalam melaksanakan
tugasnya. Sehingga pemerintah perlu dibebankan sebuah tanggung jawab. Selain
itu pemerintah sebagai pejabat administrasi di dalam mengeluarkan kebijakan
(beleid) biasanya hanya berdasarkan interpretasi yang dipahami olehnya. Namun
dengan adanya kebebasan bertindak pada pemerintah dalam menjalankan fungsi
administrasi dapat saja terjadi perbuatan atau tindakan yang menyimpang dari
peraturan hukum yang berlaku sehingga tendensinya dapat menimbulkan kerugian
pada pihak Administrabele.

Penjelasan diatas sesuai dengan penjelasan dari Guntur Hamzah pada saat
pembahasan UUAP yang mengemukakan bahwa adanya perubahan dari fiktif
negative menjadi fiktif positif lebih dikarenakan untuk mendesak pemerintah agar
dapat lebih cepat dalam memproses suatu permohonan sehingga masyarakat atau
pihak yang mengajukan permohonan tersebut akan mendapatkan kepastian hasil
keputusan lebih cepat dan tidak terbelit-belit. Hal ini tentunya sejalan dengan
proses reformasi birokrasi, terutama dalam hal peningkatan pelayanan publik.

Apabila pejabat pemerintahan tidak mengeluarkan KTUN dalam jangka


waktu 10 hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap, maka permohonan
tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Keputusan semacam ini dalam
hukum administrasi dikenal dengan keputusan fiktif positif.

Ketenttuan fiktif positif diatas tidak semata-mata berlaku begitu saja.


Namun harus memenuhi persyaratan yaitu permohonan tersebut harus lengkap.
dimana pemohon harus mampu membuktikan bahwa permohonan tersebut
memang benar-benar diterima oleh pejabat pemerintahan. Selain itu yang
dimaksud pejabat pemerintahan adalah pejabat yang berwenang untuk melakukan
tindakan berupa surat keputusan. Pada dasarnya ketentuan pasal 53 ayat (3)

13
UUAP sangat berhubungan dengan apa yang disebutkan didalam pasal 52 ayat (1)
UUAP.

Untuk mendapatkan Penerimaan keputusan berdasarkan fiktif positif


masih diperlukan sebuah proses peradilan untuk memutusnya. Adanya pengaturan
tersebut karena pembuat UU-AP sesungguhnya menyadari bahwa, meskipun
dianggap telah dikabulkan, hak yang timbul dari Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersifat fiktif positif masih berbentuk abstrak dan tidak dapat memberikan
jaminan kepastian hukum secara praktik.

Dewasa ini Mahkmah Agung sebagai lembaga negara yang menjalankan


fungsi kekuasaan kehakiman untuk mengatasi masalah tersebut telah
mengundangkan Peraturan Mahkamh Agung No. 5 Tahun 2015 tentang pedoman
beracara untuk memperoleh putusan atas penerimaan permohonan guna
mendapatkan keputusan dan/atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan.
karena di dalam UUPTUN belum mengatur adanya hukum acara terkait dengan
permohonan fiktif positif.

Jika ditinjau berdasarkan pembahasan awal, bahwa pengaturan mengenai


keputusan tata usaha negara yang batas waktu penetapannya tidak diatur oleh
peraturan perundang-undangan dimuat dalam dua aturan yang berbeda. Dimana
hal itu diatur didalam pasal 3 ayat (3) UUPTUN dan pasal 53 ayat (3) UUAP yang
konsep pengaturan keduannya tersebut sangat berbeda. Hal ini tentu membawa
implikasi yuridis.

Pertama, berkaitan dengan makna KTUN itu sendiri. Dimana Pengertian


KTUN sendiri menurut UUPTUN dan UUAP sebagai penetapan tertulis, maka
menjadi diperluas tidak hanya sebagai penetapan tertulis. Sikap diam pejabat tata
usaha negara atas adanya suatu permohonan juga dapat dikatakan sebagai KTUN.
sehingga tindakan tersebut dapat digugat ke pengadilan. Namun yang
membedakan antara UUPTUN dan UUAP adalah didalam UUAP sikap diam
tersebut harus di mintakan permohonan ke pengadilan TUN untuk memerintahkan
Pejabat TUN mengeluarkan surat penetapan permohonan dikabulkan.

14
Dengan dimaknainya sikap diam pejabat TUN atas adanya suatu
permohonan yang batas waktu penetapannya tidak diatur oleh peraturan
perundang-undangan sebagai suatu KTUN, maka dapat dikatakan itu sebagai
bentuk tindakan hukum publik pemerintah bersegi satu (eenzijdig
publiekrechttelijke handeling). Yaitu suatu tindakan dari alat-alat perlengkapan
pemerintah dalam baik aktif maupun pasif tidak perlu mendapat persetujuan dari
pihak lain yang berimplikasi harus melindungi hak-hak asasi manusia dalam
penyelenggaraan negara hukum.

Kedua, dengan diaturnya fiktif positif di dalam UUAP telah membawa


impliksasi yuridis terhadap berlaku dan mengikatnya suatu KTUN. Sebelum
adanya konsep fiktif positif, maka dianutnya konsep fiktif negative.berlakunya
konsep fiktif negative tentu setelah melalui jangka waktu yang ditetapkan didalam
UUPTUN maka keputusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Namun dengan berlakunya konsep fiiktif positif di dalam UUAP tidak membuat
sikap diam pejabat TUN yang dianggap sebagai keputusan TUN mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Namun dibutuhkan sebuah permohonan ke PTUN
untuk menetapkan. Sehingga keputusan TUN dianggap mempunyai kekuatan
hukum mengikat setelah adanya putusan dari PTUN tentang perkara fiktif positif.

Ketiga, dengan berlakunya pengaturan sebagaimana yang telah dijelaskan


diatas dapat dilihat bahwa dengan keberadaan Peraturan Mahkamah Agung No. 5
tahun 2015 berimplikasi terhadap hukum acara yang termuat didalam UUPTUN.
Sehingga dapat dikatan bahwa sistem peradilan Tata Usaha Negara memiliki dua
hukum acara yang berbeda. Dimana hukum acara yang pertama diatur didalam
UUPTUN dan yang kedua diatur didalam Peraturan Mahkamah Agung No. 5
Tahun 2015 yang khusus berkaitan dengan keputusan yang besifat fiktif positif.

Keempat, dengan berlakunya dua hukum acara yang dimiliki dalam sistem
peradilan tata usaha negara tentu akan membawa implikasi terkait dengan
kewenangan PTUN. Dimana kewenangan PTUN dalam sistem peradilan di
Indonesia yaitu bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha negara. Dimana sengketa menurut nurnaningsih amiriani
sendiri adalah suatu situasi dimana ada pihak yang merasa dirugikan oleh pihak

15
lain, yang kemudian pihak tersebut menyampaikan ketidakpuasan ini kepada
pihak kedua.

Kewenangan tersebut juga diatur di dalam Undang-undang No.49 tahun


2009 tentang kekuasaan kehakiman yang menyebutkan bahwa PTUN berwenang
menyelesaikan sengeteka Tata Usaha Negara berdasarkan UUPTUN. Dengan
adanya Perma No. 5 Tahun 2015 pasal 53 ayat (4) UUAP telah memperluas
kewenangan yaitu tidak hanya sebatas menyelesaikan sengeketa namun
berwenang memeriksa suatu permohonan fiktif positif. Hal ini menurut penulis
permohonan fiktif positif bukan merupakan sengketa, melainkan seseorang
meminta legitimasi dari pengadilan sebagaimana ditentukan oleh Undang-
Undang.

Kelima, dengan adanya dua pengaturan mengenai keputusan TUN fiktif,


maka menimbulkan konflik hukum yang berimplikasi secara yuridis tidak
terciptanya kepastian hukum dalam hukum administrasi di Indonesia. Mengingat
di Indoensia masih secara konkuren memberlakukan pengaturan fiktif negative
dan fiktif secara bersamaan. Sehingga diperlukanlah harmonisasi anatara
ketentuan di dalam kedua undang-undang tersebut.

Dari penjelasan dari bab-bab terhadulu maka dewasa ini berkaitan dengan
Pengaturan Keputusan Tata Usaha yang batas waktu penetapannya tidak diatur
oleh Peraturan perundang-undangan telah terjadi dualisme pengaturan. yaitu
ketentuan didalam UUPTUN dan UUAP. Hal itu dikarenakan didalam UUAP
tidak ada ketentuan yang mencabut keberlakuan ketentuan-ketentuan didalam
UUPTUN. Namun hanya memberikan perluasan pemaknaan atas lingkup KTUN
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 87 UUAP sehingga menjadi pertanyaan
selanjutnya: ketentuan mana yang akan digunakan dalam hal pemerintah tidak
menerbitkan suatu keputusan atas permohonan yang diajukan oleh
warganegaranya. Hal tersebut memberikan potensi dispute yang sekiranya dapat
mengurangi angin segar bagi warga negara yang sebelumnya telah dihembuskan
oleh UUAP.

Jika dikaitkan dengan teori tujuan hukum sendiri dimana hukum dapat
dikatakan sebagai himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang

16
mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh
anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh Karen itu ada hukum yang bersifat
mengatur (fakultatif, aanvuilend recht) dan bersifat memaksa (imperative,
dwingend recht). Namun dalam fungsi pemaksaan, dalam tubuh hukum itu sendiri
harus membersihkan dirinya dari adanya permasalahan-permasalahan. Termasuk
erat kaitanya dengan konflik norma antara satu norma dengan norma lain.

Mengingat hukum tidak hanya dipandang sebagai suatu norma yang


berdiri sendiri, melainkan hukum dalam keberlakuannya merupakan suatu sistem
dimana sangat berhubungan.

Untuk itu diperlukan harmonisasi norma hukum dan konsistensi hukum


dalam upaya pengaturan makna diam Pejabat Pemerintahan, sehingga kepastian
hukum masyarakat dalam upaya memperoleh pelayanan yang baik oleh dan dari
Pejabat Pemerintahan dapat tercapai secara optimal. Mengingat sejak
diundangkannya UUAP maka hubungan peraturan tersebut tidak dapat
dipisahkan. Dimana UUPTUN sebagai hukum formil dalam rangka menegakkan
hukum materiel yaitu UUAP.

Untuk menilai pertentangan suatu norma yang dapat diberlakukan, maka


sinkronisasi tersebut sangat lah penting. Adapun sinkronisasi peraturan
perundang-undangan antara UUPTUN dengan UUAP menurut Endang Sumiarni
lebih condong untuk menggunakan kata harmonisasi. Karena harmonisasi
digunakan untuk mengkaji kesesuaian antara peraturan perundang-undangan
secara horisontal atau yang sederajat dalam sistematisasi hukum positif.16 yaitu
UU PTUN dan UU AP. Harmonisasi antara kedua undang-undang tersebut dapat
dianalisis dengan cara-cara penyelesaian konflik norma. Secara ilmu perundang-
undangan jika dianalisis berdasarkan teori yang menggunakan asas Lex specialis
derogat legi generali yang berarti. penafsiran hukum yang menyatakan bahwa
hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang
bersifat umum (lex generalis).

Jika dianalisis berdasarkan teori ini maka keberadaan UUPTUN tidak


secara primer yang lebih tepat memuat norma substantif. Karena pada dasarnya
UUPTUN sebagai hukum formil dalam menegakkan hukum materiel yang dimuat

17
didalam UUAP. Sehingga ketika UUAP mengatur secara khusus, maka hemat
penulis bahwa norma dalam UUPTUN harus dikesampingkan. Maka dapat
dikatakan bahwa berkaitan dengan Keputusan fiktif positif mempunyai kekuatan
yang lebih memikat dari pada Keputusan Fiktif negative. Karena UUAP adalah
undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai hukum materiel dalam
administrasi pemerintahan.

Hal ini juga sama jika dihubungan dengan asas hukum Lex Posterior
Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat. Dimana peraturan yang
paling baru melumpuhkan peraturan yang lama. Secara yuridis formil keberadaan
UUPTUN telah lebih dulu menjadi hukum positif. Sedangkan UUAP lahir setalah
UUPTUN sendiri mengalami beberapa perubahan. Dengan demikian apabila
terjadi suatu pertentangan konflik norma maka UUPTUN di kesampingan dari
pada ketentuan UUAP dalam hal ini keberlakuan Keputusan yang bersifat fiktif
positif. Keberlakuan keputusan fiktif positif ini juga telah dibuktikan dengan
adanya Peraturan Mahkamah Agung No.5 tahun 2015.

Selain itu harmonisasi juga dapat dilakukan dengan cara pembatalan


(invalidation). Meskipun secara praktik memang keberadaan fiktif negative telah
ditinggalkan. Namun jika dianilisis sebagai konsekuensi logis dari negara hukum
dalam penyelenggaraanya harus menciptakan kepastian hukum. Yaitu melalui
lembaga dan upaya yang tersedia. Dimana upaya tersebut dapat melalui Uji
materiel di Mahkamah Konstitusi maupun pembatalan suatu norma melalui
Legislatif review yaitu melalui jalan parlemen.

Harmonisasi/sinkronisasi hukum ini sangatlah penting mengingat pula


telah ditegaskan Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), bahwa “sasaran
program ini adalah terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang
sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan”. Sinkronisasi
vertikal dan horisontal menelaah sampai sejauh mana hukum positif tertulis yang
berlaku bagi suatu bidang yang sama itu sinkron.

C. Obyek Sengketa Administrasi Negara

18
Negara sebagai organisasi14 yang memiliki berbagai macam fungsi dan
tugas dalam tujuannya mensejahterakan masyarakat. Sebagai sebuah organisasi,
Negara memilik pemerintah sebagai pelaksana, yang kemudian menjalankan
perbuatan-perbuatan / tindakan pemerintah. Muchsan15, mengidentifikasikan
perbuatan pemerintah manakala :

a. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam ke dudukannya


sebagai penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan
(bestuurorganen) dengan prakarsa dan tanggungjawab sendiri.

b. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi


pemerintahan.

c. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan


akibat hukum di bidang hukum administrasi.

d. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan


kepentingan negara dan rakyat

Perbuatan / Tindakan Pemerintahan dalam kajian Hukum Administrasi


Negara di Indonesia, digolongkan menjadi 3 (Tiga) jenis yang terdiri dari :

a. Melakukan Perbuatan Materiil (Materiele Daad)

b. Mengeluarkan Peraturan (regeling)

c. Mengeluarkan Keputusan / Ketetapan (beschikking)

Ciri-ciri perbuatan pemerintah diatas kemudian diadopsi keadalam bentuk


peraturan normatif, dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN (UU
PTUN), obyek sengketa administrasi / tata usaha negara, terbatas pada keputusan
tata usaha negara yang bersifat konkrit, individual dan final. Sehingga ditinjau
dari pengertian tersebut, tindakan pemerintah dalam mengeluarkan peraturan
(regeling) dan melakukan perbuatan materiil (materiele daad) bukan menjadi
kompetensi Pengadilan Tata Usaha Negara (vide Pasal 1 angka 4 UU PTUN). Ini
adalah salah satu syarat formil suatu perkara dapat diajukan ke PTUN.
14
Logemann, J.H.A.1995. Over theTheorie van en Stelling Staatsrecht. (Mahabarata, Amsterdam), hlm.
15
Muchsan, 1981. Beberapa Catatan tentang Hukum Adminsitrasi negara dan Peradilan Administrasi di
Indonesia, Liberty, Jogyakarta, hlm. 18-19

19
Meskipun demikian, apabila kita melihat dalam UU-AP, terdapat upaya
memperluas kewenangan PTUN, yang tidak hanya terbatas dalam ranah
pembuatan, penerbitan dan keabsahan Keputusan / Surat Keputusan Tata Usaha
Negara melainkan juga telah memasukkan tindakan faktual (materiil) dalam
rangka pelaksanaan keputusan tata usaha negara dalam menjalankan fungsi
pemerintahan (vide Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 87 huruf a UU-AP). Perluasan
kewenangan ini sesuai dengan tujuan dibentuknya PTUN sebagai sarana kontrol
hukum yang utuh di bidang administrasi pemerintahan 16. Pandangan Utrecht7
bahwa kewenangan adalah bentuk kekuasaan dan kekuatan, tentu memerlukan
suatu kontrol (dalam hal ini hukum) agar kekuasaan dan kekuatan tersebut tidak
disalahgunakan oleh pemilik kewenangan, hal ini dikarenakan kekuasaan
cenderung disalahgunakan dan kekuasaan yang bersifat absolut, pasti diikuti
dengan penyalahgunaan.

Pembuat UU-AP dengan demikian telah mengajukan suatu proposisi yang


sangat menarik menurut penulis, apakah tindakan administrasi merupakan satu
kesatuan dengan surat keputusan tata usaha negara (KTUN) dan menjadi bagian
yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga tidak hanya keputusan tata usaha negara
saja yang dapat diajukan gugatan (challenge), namun juga setiap tindakan yang
dilakukan dalam rangka persiapan, pembuatan serta pemenuhan Keputusan Tata
Usaha Negara. Sedangkan De Haan, di sisi lain memandang tindaknya nyata /
faktual tidak memiliki akibat hukum. Inilah yang kemudian menarik untuk dikaji,
apakah tindakan pejabat tata usaha negara yang mengabaikan permohonan tata
usaha negara dapat menjadi landasan hukum terbitnya Keputusan Tata Usaha
Negara, dan / atau menjadi landasan hukum Pemohon Keputusan Tata Usaha
Negara untuk mengajukan gugatan ke pengadilan tata usaha negara sebagai
fundamentum petendi.

D. Akibat Hukum Pengabaian Permohonan Keputusan Tata Usaha


Negara.

16
Imam Soebechi dalam Soebekhi dkk,2014.“Bunga Rampai Peradilan Administrasi Kontemporer”. Genta
Press Yogyakarta.hlm.5.

20
Sesuai dengan namanya, setiap permohonan yang diajukan oleh pemohon,
pasti akan menimbulkan dua kemungkinan. Pertama, permohonan tersebut
dikabulkan oleh termohon, yang kedua permohonan tersebut ditolak. Pengabulan
dan penolakan permohonan administrasi negara, menjadi kewenangan Pejabat /
Badan Tata Usaha Negara sepenuhnya. Syarat pengabulan permohonan
administrasi negara diatur dalam peraturan-peraturan pelaksanaan yang mengatur
spesifik mengenai permohonan tersebut, dan apabila pemohon telah melengkapi
syarat-syarat dan memenuhi prosedur maka pengajuan permohonan tersebut dapat
dikabulkan.

Tindakan Pengabulan dan Penolakan permohonan administrasi negara,


berada dalam ranah kebijakan Pejabat Tata Usaha Negara yang kemudian
diformalkan melalui penerbitan Keputusan Tata Usaha negara, surat
pemberitahuan penolakan permohonan, atau tidak ditanggapi sama sekali oleh
Pejabat / Badan Tata Usaha Negara. Baik keputusan pengabulan maupun
penolakan yang dilakukan oleh Pejabat / Badan Tata Usaha Negara harus sesuai
dengan peraturan perundang-undangan dan memenuhi Asas-Asas Umum
Pemerintahan yang baik.

Pengertian sesuai pertaturan perundang-undangan, membawa implikasi


apabila peraturan perundang-undangannya berganti atau diterbitkan peraturan
yang baru maka asas lex posteriori derogate legi priori berlaku, yakni peraturan
yang baru mengesampingkan peraturan yang lama apabila mengatur hal yang
sama. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara (UU PTUN) Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha
Negara adalah penetapan tertulis, yang sesuai dengan ajaran positivisme, bahwa
hukum harus tertulis guna menjamin kepastian hukum.

Bagaimana apabila permohonan Keputusan Tata Usaha Negara tidak


ditanggapi / diabaikan oleh Pejabat / Badan Tata Usaha Negara? Keadaan yang
timbul dari tindakan diamnya / abainya Pejabat /Badan Tata Usaha Negara ini
berdasarkan UU PTUN (vide Pasal 3 ayat 1 dan 2) dianggap seolah-olah telah
mengeluarkan putusan yang bersifat negatif. Tjakranegara17 memberikan

17
Tjakranegara, Soegiatno.1994, Hukum Acara PTUN , Jakarta. Sinar Grafika Hlm. 45

21
pengertian bahwa keputusan negatif dapat merupakan keputusan penolakan akan
suatu hal yang dimohon maupun keputusan yang merupakan penolakan untuk
memproses suatu permohonan.

Frasa disamakan dan dianggap menolak dalam Pasal 3 UU PTUN tersebut


kemudian memunculkan istilah fiktif negatif. Pengertaian fiktif dalam KBBI
adalah bersifat fiksi atau hanya ada dalam khayalan, sehingga sesungguhnya
akibat hukum yang timbul bukan karena dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara, melainkan karena perbuatan / tindakan pengabaian yang dilakukan oleh
Pejabat / Badan Tata Usaha Negara itu sendiri yang kemudian dianggap seolah-
oleh sebagai suatu penolakan. Dengan demikian Tindakan Faktual pun
sesungguhnya dapat berakibat hukum, dan dapat menjadi landasan pengajuan
gugatan ke PTUN.

Paradigma yang berbeda dalam memandang akibat tindakan pengabaian


oleh Pejabat / Badan Tata Usaha Negara diatur dalam UU-AP yang merupakan
peraturan terbaru dalam pokok bahasan mengenai sifat keberlakukan keputusan
tata usaha negara. Dalam UU-AP, permohonan Keputusan Tata Usaha Negara
yang tidak ditindaklanjuti / diabaikan oleh Pejabat / Badan Tata Usaha Negara
dianggap dikabulkan secara hukum (vide Pasal 53 ayat 3 UU-AP). Frasa dianggap
dikabulkan (fiktif positif) membawa konsekuensi bahwa akibat hukum yang
timbul dari tindakan faktual pejabat/badan tata usaha negara yang tidak
menindaklanjuti / mengabaikan permohonan administrasi negara adalah
merupakaan pengabulan atas permohonan tersebut dan wajib untuk mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang diminta.

Pengabulan ini ditinjau berdasarkan frasa dianggap dikabulkan secara


hukum, memiliki akibat yang bersifat otomatis (given), meskipun demikian
diperlukan mekanisme pengajuan permohonan kepada Pengadilan untuk
memperoleh putusan penerimaan permohonan. Disinilah, penulis berargumen
bahwa pembuat undang-undang telah keliru menyamakan frasa penerimaan
permohonan dengan pengabulan permohonan. Frasa penerimaan mengacu kepada
keadaan dimana permohonan telah diterima karena memenuhi persyaratan/format
yang diminta serta kemudian dipertimbangkan pengajuan hak pemohon untuk

22
dikabulkan. Sedangkan pengabulan permohonan , mengandung makna bahwa hak
pemohon telah dinyatakan sah menjadi milik pemohon, normalnya dimana
keadaan tersebut muncul setelah adanya Keputusan Tata Usaha Negara
diterbitkan, namun karena frasa dianggap dikabulkan dalam Pasal 53 ayat 3 UU-
AP, maka ketika Pejabat /Badan tata Usaha Negara tidak menindaklanjuti
permohonan administrasi negara pemohon, akibat hukumnya dianggap sama
dengan telah dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat positif /
pengabulan akan permohonan administrasi negara tersebut. Jika permohonan telah
dianggap dikabulkan, lalu untuk apa pemohon harus mengajukan permohonan
pengeluaran Keputusan Tata Usaha Negara? Toh secara hukum, apa yang
dimohon telah diberikan / diakui oleh undang-undang dengan frasa dikabulkan
secara hukum. Hal ini karena pembuat UU-AP sesungguhnya menyadari bahwa,
meskipun dianggap telah dikabulkan, hak yang timbul dari Keputusan Tata Usaha
Negara yang bersifat fiktif positif bersifat abstrak dan tidak dapat memberikan
jaminan kepastian hukum, sebagai alat bukti tertulis , layaknya perlindungan yang
dapat diberikan oleh sertifikat / Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat
tertulis.

Mahkamah Agung sebagai lembaga yang memiliki kewenangan mengatur


pelaksanaan hukum acara di Badan-badan Peradilan, bertindak cepat dengan
mengeluarkan Perma No. 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara untuk
Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan guna Mendapatkan
Keputusan dan / atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan. Perma 5/2015
ini kemudian menetapkan syarat permohonan mendapatkan keputusan dimana
salah satu syarat pengajuannya adalah bukti surat atau tulisan yang berkaitan
dengan permohonan yang sudah diterima lengkap oleh pemohon. Lagi-lagi,
ketidakjelasan dalam aturan tampak disini, frasa lengkap tersebut membawa
konsekuensi apabila tidak dilengkapi, pemohon diberikan waktu 7 hari untuk
melengkapi berkas, kemudian apabila dalam waktu 7 hari tidak dilengkapi
Panitera akan mengembalikan berkas ke pemohon, yang kemudian permohonan
dapat diajukan kembali dengan permohonan baru disertai dengan kelengkapan
permohonannya. (Pasal 3 ayat 3,4,5,6 Perma 5/2015)

23
Penulis berargumen bahwa, frasa “lengkap” dalam Perma tersebut
berpotensi menimbulkan masalah baru, karena dapat saja terjadi karena
kecerobohan Pejabat / Badan Tata Usaha Negara, berkas permohonan yang tidak
lengkap yang diajukan pemohon tidak ditindaklanjuti dengan SK penolakan
kepada pemohon, sehingga ketentuan Pasal 53 ayat 3 UU-AP berlaku terhadap
permohonan tersebut, yang pada akhirnya tidaklah mungkin pemohon dapat
melengkapi berkas. Kemudian, tidak diaturnya batas kesempatan pengajuan
kembali, menurut menulis menimbulkan ketidakpastian hukum yang nyata.
Penulis juga mempertanyakan apa yang dimaksud dengan lengkap adalah lengkap
sesuai dengan persyaratan permohonan SK atau lengkap sesuai dengan berkas
yang telah diajukan oleh pemohon, meskipun tidak memenuhi persyaratan? MA
tidak memperjelas ketentuan mengenai arti lengkap dalam Perma tersebut.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan diaturnya keputusan tata usaha negara yang batas waktu


penetapannya tidak diatur oleh Undang-Undang di dalam pasal 53 ayat (3) UUAP
yang menganut prinsip fiktif positif mengubah pasal 3 UUPTUN yang menganut
prinsip fiktif negative sehingga membawa implikasi yuridis yaitu, Perluasan

24
makna KTUN, Berlaku mengikatnya suatu KTUN, Sistem hukum acara peradilan
Administrasi di dalam UUPTUN, Kewenangan PTUN dan Tidak terciptanya
kepastian hukum. Adanya pengaturan yang berbeda di dalam norma UUPTUN
dan UUAP menimbulkan adanya suatu konflik norma. Sehingga perlu dilakukan
harmonisasi. Harmonisasi antara kedua Undang-Undang tersebut yaitu dengan
menggunakan asas Lex specialis derogat legi generali yang berarti. Sehingga yang
dapat diberlakukan adalah didalam UUAP. Karena secara prinsip UUAP sebagai
hukum materiel didalam Hukum Administrasi negara Indonesia.

Kesimpulan kedua yang dapat kita ambil bersama adalah, bahwa jenis
keputusan fiktif positif berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
fungsinya sebagai alat bukti hak yang diberikan oleh Pejabat / Badan Tata Usaha
Negara. Serta pengaturan mengenai keabsahan Keputusan Fiktif Positif tersebut
perlu untuk ditinjau kembali sifat otomatis dikabulkannya. Saran Penulis dalam
permasalahan tersebut, ketentuan yang dimaksud harus direvisi dan diganti
dengan penggunaan kata “dianggap telah diterima” sehingga, hak yang timbul dari
diabaikannya permohonan administrasi negara, hanya dapat dijadikan sebagai
landasan untuk mengajukan gugatan ke PTUN. Namun apabila, maksud pembuat
undang-undang memang demikian, Perma No. 5/2015 tidak seharusnya
menghasilkan putusan penolakan atau gugur karena permohonan administrasi
yang diabaikan telah dianggap dikabulkan secara hukum. Penulis juga
menyarankan kepada Pejabat / Badan Tata Usaha Negara agar lebih berhati-hati
dan teliti dalam pengadministrasian setiap permohonan yang diajukan oleh
masyarakat.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Amriani, Nurnaningsih.2012. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa

Perdata Di Pengadilan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Asmuni. 2017.


Konsep Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara.
2. Malang:Stara Pers Atmosudirdjo,S. Prajudi, 1994. Hukum Administrasi
Negara, Cet. X. Jakarta: Ghalia Indonesia, Goesniadhie, Kusnu. 2006.
3. Harmonisasi Hukum Dalam Perspektif Perundang-undangan,Surabaya,:
PT. Temprina Media Grafika Handoyo, B. Hestu Cipto. 2009. Hukum Tata
Negara Indonesia “Menuju Konsolidasi Sistem Demokrasi”,
Jakarta :Universitas Atma Jaya Harahap, Zairin.1997.

26
4. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada Muchsan. 1982. Pengantar Hukum Administrasi Negara


Indonesia. Yogyakarta: Liberty Muh. Bakri. 2011.
5. Pengantar Hukum Indonesia; Perbidangan dan asas-asas Hukum Jilid 1.
Malang: UB Pers. Ridwan HR.2014, Hukum Administrasi Negara, Edisi
Revisi. Jakarta: Rajawali Pers
6. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-


Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-
Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Undang-
Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2015 tentang tentang
Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan
Permohonan guna Mendapatkan Keputusan dan / atau Tindakan Badan
atau Pejabat Pemerintaha

27

Anda mungkin juga menyukai