MAKALAH
DOSEN PENGAMPU:
Dr. M. Hatta Roma Tampubolon, SH., MH.
Oleh :
Puji syukur kepada Tuhan Yesus yang maha Esa, karena atas berkatNya penulis
mampu menyelesaikan makalah dengan judul “Problematika Hukum Undang – Undang
Cipta Kerja Terhadap UU Ketenagakerjaan dalam prespektif Critical Legal Studies”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi penugasan mata kuliah sosiologi hukum Magister
Hukum pada Fakultas Hukum.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini,
baik dari segi isi maupun penyajian. Untuk dapat menyelesaikan makalah ini, tentu tidak
dapat terlepas dari segala hambatan dan kesulitan yang penulis rasakan ketika menyusun
makalah ini, namun dengan dukungan dan bimbingan dari pihak, akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar –
besarnya kepada:
1. Orang tua serta keluarga penulis yang senantiasa memberikan dukungan dan semangat
kepada penulis dan juga mendoakan penulis.
2. Dr. Moh. Hatta R. Tampubolon, S.H., M.H., selaku Dosen mata kuliah Sosiologi Hukum
yang dengan sangat sabar membimbing penulis, memberikan saran, perhatian, motivasi dan
dukungan kepada penulis.
3. Semua pihak yang membantu penulis yang tidak bisa penulis sebutkan satu – satu, yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
Penulis sadar bahwa makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna karena
keterbatasan yang dimiliki penulis, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi
pihak yang membaca maupun yang membutuhkan. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Halaman
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................v
DAFTAR ISI..........................................................................................................vii
BAB 1. PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah...............................................................................1
Perumusan Masalah......................................................................................13
Tujuan Penelitian..........................................................................................13
Metode Penelitian.........................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
BAB I
PENDAHULUAN
4
Harahap, A. M. (2019). Analisis Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Di Tinjau
dalam Kajian Politik Hukum. Jurnal Penelitian Medan Agama, 10(2).
kemanusiaan, sebagai imbalan atas kewajiban yang telah dipenuhi kepada pengusaha. Oleh
karena itu, pemerintah memiliki kewajiban untuk menetapkan mengenai perlindungan upah
bagi pekerja.
Dalam perkembangannya pengaturan upah yang berlaku dalam UU Ketenagakerjaan
memiliki perubahan setelah ditetapkannya UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja merupakan
payung hukum yang dibuat oleh pemerintah dengan harapan dapat memperbaiki ekosistem
investasi dan daya saing Indonesia. Menurut Satjipto Rahardjo disamping hukum merupakan
suatu institutif normatif yang memberikan pengaruh dalam lingkungannya, hukum juga
menerima pengaruh serta dampak dari lingkungan tersebut, hal ini disebut proses tukar
menukar atau terjadi hubungan perubahan lingkungan. Lingkungan tersebut digunakan dalam
arti dalam proses-proses sosial maupun psikis, seperti perubahan dalam kesadaran serta sikap
– sikapnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, dengan disahkannya Undang – Undang Cipta Kerja
yang tujuannya sebagai perbaikan ekosistem dan investasi justru kemudian menimbulkan
berbagai pro kontra di kalangan masyarakat, akademisi, maupun politisi, karena di nilai tidak
sejalan dengan perlindungan hukum pekerja. Padahal pembangunan mengenai
ketenagakerjaan harus di atur sedemikian rupa agar hak-hak dan perlindungan yang mendasar
bagi tenaga kerja dan pekerja/buruh dapat terpenuhi dengan baik, serta di waktu yang
bersamaan juga dapat mewujudkan kondisi yang sangat merugikan hak buruh karena terdapat
beberapa ketentuan perubahan dalam kesadaran serta sikap-sikapnya. Berkaitan dengan hal
tersebut, dengan disahkannya Undang – Undang kondusif terhadap pengembangan dunia
usaha.
Pengaturan pengupahan dalam UU Cipta Kerja di anggap sangat merugikan hak
buruh karena terdapat beberapa ketentuan yang dianggap merugikan pekerja/buruh,
ketentuan tersebut dapat di lihat dalam Pasal 88C ayat (2) bahwa “Gubernur dapat
menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu”. Sedangkan frasa
“dapat” memiliki makna fakultatif, artinya hal tersebut bukan merupakan suatu kewajiban
sehingga dapat ditafsirkan 5bahwa adanya upah minimum yang ditetapkan oleh Gubernur di
kabupaten/Kota bisa saja tidak ada, dan hal ini sangat berbeda dengan kebijakan yang
sebelumnya diberikan oleh UU Ketenagakerjaan, bahwa kebijakan pengupahan yang
memberikan perlindungan terhadap pekerja/buruh salah satunya adalah upah minimum, upah
minimum tersebut terdiri atas upah minimum provinsi atau kabupaten/kota yang ditetapkan
oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi atau
Bupati Walikota.
5
Harahap, A. M. (2019). Analisis Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Di Tinjau
dalam Kajian Politik Hukum. Jurnal Penelitian Medan Agama, 10(2).
Frasa “dapat” pada Pasal 88 Ayat (2) tersebut berpotensi merugikan hak buruh
sehingga menjadi tidak adil terhadap buruh ketika upah yang dibayarkan justru tidak sesuai
dengan upah yang seharusnya di terima. Sehingga, bertentangan dengan ketentuan dalam
Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia yang selanjutnya di singkat UU HAM yang
memberikan sepuluh jenis hak, salah satunya adalah hak untuk memperoleh keadilan. Frasa
“dapat” dalam UU Cipta Kerja juga bertentangan dengan asas materi muatan peraturan
perundang-undangan yang terdapat pada Pasal 6 Ayat (1) huruf g tentang keadilan.
Berbeda halnya ketika frasa “dapat” pada UU Cipta Kerja ditiadakan sehingga
memiliki makna wajib, ketika hal tersebut menjadi kewajiban tentu akan lebih memberikan
perlindungan terhadap buruh karena di daerah kabupaten/kota akan selalu disesuaikan jumlah
upah minimum yang harus dibayarkan.
Selain itu, hal lain yang dinilai merugikan hak buruh dengan adanya UU Cipta Kerja
adalah kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh pada UU Cipta Kerja memiliki
perbedaan signifikan dari ketentuan pasal Undang – Undang Ketenagakerjaan, yang dalam
hal ini pada Pasal 88 ayat (3) Undang – Undang Ketenagakerjaan diberikan sebanyak 11
(sebelas) kebijakan perlindungan dalam mewujudkan penghasilan yang memenuhi
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, yang terdiri atas upah minimum, upah kerja
lembur, upah tidak masuk kerja karena berhalangan, upah tidak masuk kerja karena
melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, upah karena menjalankan hak waktu
istirahatnya, bentuk dan cara pembayaran upah, denda dan potongan upah, hal-hal yang dapat
diperhitungkan dengan upah, struktur dan skala pengupahan yang proporsional, upah untuk
pembayaran pesangon, dan upah untuk perhitungan pajak penghasilan. Sedangkan dalam
ketentuan Undang – Undang Cipta Kerja, hanya mengatur sebanyak 7 (tujuh) kebijakan
pengupahan yaitu upah minimum, struktur dan skala upah, upahkerja lembur, upah tidak
masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu, bentuk dan cara
pembayaran upah, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah, dan upah sebagai dasar
perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban dan keluarganya, dan karena banyaknya isu
mengenai tidak terjaminnya hak-hak tenaga kerja dan 6pekerja/buruh dengan diundangkannya
Undang – Undang Cipta Kerja, sehingga Penulis menganggap perlu untuk meneliti mengenai
perlindungan upah pekerja serta akibat dari adanya perubahan ketentuan pengupahan dalam
klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja. Maka, Penulis mengangkat Judul “Tinjauan Yuridis
Perubahan Ketentuan Upah Pekerja pada Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja” lainnya.
6
Harahap, A. M. (2019). Analisis Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Di Tinjau
dalam Kajian Politik Hukum. Jurnal Penelitian Medan Agama, 10(2).
Peranan Undang – Undang menjadi sangat penting, yaitu memastikan perlindungan
bagi tenaga kerja. Di satu sisi, untuk memeroleh kehidupan dan yang pantas, bahkan demi
sekadar mendapatkan jaminan ataupun perlindungan hidup masih jauh dari harapan. Bahkan
tenaga kerja yang sudah memiliki pekerjaan dalam praktiknya dengan mudah kehilangan
pekerjaan melalui tindakan pemutusan hubungan kerja.
Pada pidato pelantikan tanggal 20 Oktober 2019, Joko Widodo menyampaikan
rencana perihal omnibus law bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden mengusulkan ada
dua Undang – Undang yang yaitu Undang – Undang cipta lapangan kerja dan Undang –
Undang pemberdayaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah. Kemudian pada Februari 2020,
Pemerintah mengusulkan Rancangan Undang – Undang Cipta Kerja ke Dewan Perwakilan
Rakyat dengan harapan dapat terealisasi dalam waktu 100 hari. Rancangan Undang – Undang
Cipta Kerja diprotes oleh berbagai elemen, kelompok hak asasi manusia, serikat pekerja dan
dan berbagai organisasi lingkungan hidup karena mendukung oligarki dan terbatasinya hak
sipil rakyat. Namun Kamar Dagang dan Industri menyokong rancangan undang-undang ini5.
Setelah perbaikan yang dilakukan terhadap beberapa pasal, Undang – Undang Cipta Kerja
disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada hari Senin tanggal 5 Oktober 2020, yang
ternyata lebih cepat 3 hari dari target. Pengesahan rancangan undang-undang sebelum
terlaksananya unjuk rasa oleh Serikat Pekerja. Selain itu, 35 perusahaan investasi bersurat
yang mengingatkan pemerintah tentang konsekuensi berbahaya dari RUU tersebut bagi
lingkungan. Pengesahan Rancangan Undang – Undang Cipta Kerja didukung oleh 7 partai,
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Nasional
Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan
Pembangunan, 2 partai lain menolak yaitu Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera.
Omnibus Law merupakan konsep baru yang digunakan dalam sistem Undang – Undang di
Indonesia. Undang – Undang dalam sistem Omnibus Law dapat mengganti beberapa norma
Undang – Undang ke dalam satu peraturan atau dengan kata lain satu UU yang akan merevisi
beberapa UU (Kurniawan, Jurnal Panorama Hukum, Juni 2020).
7
Konsep Omnibus Law ini merupakan konsep yang baru digunakan dalam sistem
perundang-undangan di Indonesia. Sistem ini biasanya disebut sebagai undang-undang sapu
jagat karena mampu mengganti beberapa norma Undang - Undang dalam satu peraturan.
Selain itu konsep ini juga dijadikan misi untuk memangkas beberapa norma yang dianggap
tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan merugikan kepentingan negara. Indonesia
memang menjadi negara yang memiliki regulasi yang banyak. Bahkan angkanya pada 2017
7
Catur, J. S., Djongga, D., Heriyandi, H., Poerwanto, H., Hutasoit, J., Anam, K., & wiyono, b. (2020).
Perlindungan hukum terhadap kesejahteraan pekerja melalui undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta
kerja. Jurnal lex specialis, 1(2).
sudah mencapai 42.000 (empat puluh dua ribu) aturan. Dalam hal ekonomi dan investasi,
Pemerintah telah memetakan 74 (tujuh puluh empat) undang-undang yang berpotensi
menghambat ekonomi dan investasi. Dari 74 (tujuh puluh empat) undang-undang tersebut,
masalahnya, apakah jumlah regulasi yang menjadi masalah atau ada hal lain, seperti regulasi
yang disharmoni yang sejatinya menjadi masalah. Bila regulasi yang banyak menjadi
masalah, maka penyederhanaan regulasi melalui konsep Omnibus Law tentu adalah langkah
yang tepat. Sebab Omnibus Law adalah Undang – Undang yang menitikberatkan pada
penyederhanaan jumlah regulasi karena sifatnya yang merevisi dan mencabut banyak
Undang – Undang sekaligus.
Omnibus Law memang baik untuk mengatasi masalah regulasi yang terlalu banyak.
Namun tanpa adanya upaya lain, masalah disharmoni, ego sektoral sampai masalah regulasi
yang tidak partisipatif, tentu penerapan Omnibus Law pun tidak akan efektif mengatasi
masalah regulasi tidak cukup hanya sampai Omnibus Law. Omnibus Law dipilih pemerintah
sebagai metode yang tepat dalam menyusun payung hukum proses bisnis perizinan di
Indonesia karena melalui metode Omnibus Law dapat membuat suatu regulasi mencakup
lebih dari satu materi substantif, atau beberapa hal kecil yang telah digabungkan menjadi satu
aturan, yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Metode Omnibus Law mampu melakukan perubahan, pencabutan, atau pemberlakukan
beberapa karakteristik dari sejumlah fakta yang terkait tapi terpisahkan oleh peraturan
perundang - undangan dalam berbagai lingkup yang diaturnya. Keberadaan Undang –
Undang Cipta Kerja didesain sebagai Omnibus Law yang dapat menyeimbangkan antara
ketiga tipe umum regulasi yaitu: pertama, economic regulation, dimaksudkan untuk
memastikan efisiensi pasar, sebagian melalui promosi daya saing yang memadai di antara
para pelaku usaha. Kedua, social regulation, dimaksudkan untuk mempromosikan
internalisasi semua biaya yang relevan oleh aktor. Ketiga, administrative regulation, yang
bertujuan untuk memastikan berfungsinya operasi sektor publik dan swasta.
Pergantian peraturan ini adalah cara untuk dilakukannya penghapusan hitungan uang
penghargaan dari masa waktu bekerja sebagaimana telah ditetapkan masa waktu kerja waktu
dua puluh empat tahun atau selebihnya akan mendapatkan sepuluh bulan upah yang akan di
dapat. RUU Cipta Kerja mempunyai pengelompokan peraturan khususnya ketenagakerjaan.
8
Adapun yang melatarbelakangi pemerintah untuk menetapkan RUU dikarenakan adanya
perlambatan ekonomi global, potensi stagnasi keadaan perekonomian di Indonesia, dan
belum optimalnya daya saing Indonesia dengan negara-negara lainnya. Dalam kelompok
8
Catur, J. S., Djongga, D., Heriyandi, H., Poerwanto, H., Hutasoit, J., Anam, K., & wiyono, b. (2020).
Perlindungan hukum terhadap kesejahteraan pekerja melalui undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta
kerja. Jurnal lex specialis, 1(2).
ketenagakerjaan. Pemerintah membuat RUU Cipta kerja sebagai upaya untuk
menyeimbangkan ketiga peraturan agar menjadi sejalan dan diterapkan secara sempurna, dan
tidak perlu dikhawatirkan adanya peraturan yang tumpang tindih sehingga memiliki potensi
untuk dapat menimbulkan kerugian bagi banyak pihak (Putra, 2020). Dengan tujuan
dirancannya UU ini sehingga mengembangkan iklim usaha yang kondusif dan aktraktif bagi
investor, meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, menarik minat Warga Negara
Asing (WNA) untuk bekerja di Indonesia agar dapat membantu pengetahuan bagi kualitas
SDM Indonesia, serta mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak (WP).
Omnibus Law memang baik untuk mengatasi masalah regulasi yang terlalu banyak.
Namun tanpa adanya upaya lain, masalah disharmoni, ego sektoral sampai masalah regulasi
yang tidak partisipatif, tentu penerapan Omnibus Law pun tidak akan efektif mengatasi
masalah regulasi tidak cukup hanya sampai Omnibus Law. Omnibus Law dipilih pemerintah
sebagai metode yang tepat dalam menyusun payung hukum proses bisnis perizinan di
Indonesia karena melalui metode Omnibus Law dapat membuat suatu regulasi mencakup
lebih dari satu materi substantif, atau beberapa hal kecil yang telah digabungkan menjadi satu
aturan, yang bertujuan untuk menciptakan ketertiban, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Omnibus Law mungkin bisa menjadi jawaban bagi pemerintah untuk membangun ilkim
investasi yang kondusif dan memberikan fasilitas yang memadai untuk meningkatkan
investasi di Indonesia. Instrument yang tepat untuk melahirkan iklim investasi yang kondusif
ialah hukum. Dibutuhkan humum yang dapat mengelola keingingan investor namun juga
tidak mengabaikan kepentingan nasional. Pemerintah sudah berusaha dengan menerbitkan
beberapa PP, Perpres maupun Permen untuk meninjau pertumbuhan investasi di Indonesia.
Sayangnya hal itu saja tidak cukup. Perlu adanya suatu peraturan yang terintegrasi sehingga
dapat memberikan kepastikan hukum dan menghindari adanya peraturan di kemudian hari
(Suriadinata, 2019).
Untuk memberi kemudahan dalam berusaha tentu saja diperlukan perubahan
peraturan yang mendukungnya. Dengan adanya globalisasi, tentu saja akan memengaruhi
cara pandang suatu negara dalam upaya menyeimbangkan negara itu dengan negara lain
sehingga memiliki daya saing yang cukup baik, termasuk di dalamnya adalah negara
Indonesia. Aspek globalisasi yang terjadi di seluruh belahan dunia saat ini telah berakibat
pada terjadinya perubahan dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Perubahan itu dengan
sendirinya akan terjadi juga pada 9berubahnya hukum. Dengan demikian tentu saja perubahan
hukum itu harus mampu meneyelesaikan permasalahan di kalangan masyarakat dan harus
9
Catur, J. S., Djongga, D., Heriyandi, H., Poerwanto, H., Hutasoit, J., Anam, K., & wiyono, b. (2020).
Perlindungan hukum terhadap kesejahteraan pekerja melalui undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta
kerja. Jurnal lex specialis, 1(2).
mampu mengantisipasi agar sampai hukum yang dibuat tidak mampu menghadapi kemajuan
zaman.
Demi menciptakan ketertiban dan kepastian hukum dalam menghadapi
perkembangan dunia, khususnya dalam menghadapi tantangan untuk mengundang investor,
disusunlah Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Mengutip ketentuan
Pasal 1 angka 1 Undang-undang Cipta Kerja yang dimaksud dengan cipta kerja adalah upaya
penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan dan pemberdayaan usaha mikro
kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan kemudahan berusaha dan investasi
pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis nasional. Undang – Undang merupakan
salah satu sumber hukum yang formal. Sumber hukum dalam artian formal berhubungan
dengan permasalahan dan berbagai persoalan untuk memperoleh atau menemukan ketentuan-
ketentuan yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat. Sedangkan undang-undang
secara material adalah peraturan tertulis yang berlaku secara umum serta dibuat oleh
penguasa pusat maupun pihak yang sah.
Sebagai sumber hukum , undang-undang cipta kerja tentu saja harus mampu
menjawab dan menyelesaikan permasalahan yang terjadi yang terkait dengan
ketenagakerjaan. Isu ketenagakerjaan termasuk perlindungan tenaga kerja merupakan isu
yang sensitif dan sering menjadi perdebatan oleh pemangku kepentingan. Tak jarang isu ini
menyebabkan adanya aksi unjuk rasa terutama dari serikat pekerja atau kalangan pekerja
demi memperjuangkan nasibnya agar jangan sampai terabaikan pada saat penyusunan
peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan nasib mereka. Isu perlindungan
terhadap tenaga kerja bukan hanya perlindungan akibat adanya pemutusan hubungan kerja,
tapi juga perlindungan pada saat pekerja sedang melaksanakan kewajibannya dan
memastikan pekerja mendapatkan haknya, Undang-undang Cipta Kerja sebagai pengubah
sebagian Undang-undang Ketenagakerjaan tentu saja berdampak kepada berubahnya tatanan
sosial. Berubahnya hukum yang mampu memengaruhi perubahan sosial merupakan sejalan
dengan salah satu dari fungsi hukum yaitu sebagai sarana perubahan sosial atau sarana
rekayasa masyarakat. Dengan demikian Undang Cipta Kerja sebagai salah satu sumber
hukum harus mampu menjawab tantangan pada saat dihadapkan dengan permasalahan
ketenagakerjaan di masa depan demi adanya perubahan menuju arah yang lebih baik bagi
semua pemangku kepentingan, termasuk di dalamnya perlindungan tenaga kerja.
Di Indonesia Omnibus Law diyakini dapat menyelesaikan permasalahan tumpang
tindih peraturan. Bahkan sebenarnya di Indonesia terdapat beberapa undang-undang yang
10
sudah menerapkan konsep Omnibus Law tersebut, seperti Undang – Undang No. 9 tahun
10
Catur, J. S., Djongga, D., Heriyandi, H., Poerwanto, H., Hutasoit, J., Anam, K., & wiyono, b. (2020).
Perlindungan hukum terhadap kesejahteraan pekerja melalui undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta
2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan, menjadi undang-
undang yang mencabut beberapa pasal dalam beberapa undang-undang antara lain Pasal 35
ayat (2) dan Pasal 35A Undang – Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan beserta perubahannya, Pasal 40 dan Pasal 41 Undang-Undang No. 7
tahun 1992 tentang Perbankan beserta perubahannya, Pasal 47 Undang-Undang No. 8 tahun
1995 tentang pasar Modal, Pasal 17, Pasal 27 dan Pasal 55 Undang – Undang No. 32 Tahun
1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi beserta perubahannya serta Pasal 41 dan
Pasal 42 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pemerintah dalam
Prolegnas setidaknya akan mengakses 5 (lima) Rancangan Undang – Undang (RUU)
Omnibus Law, yaitu : RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Usaha Mikro Kecil Menengah
(UMKM), RUU Kefarmasian, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan
Perekonomian dan RUU Ibukota Negara. Kelima RUU tersebut sangat kental dengan nuansa
ekonomi dan investasi.
Undang – Udang Nomor 12 Tahun. 2011 Mengenai Pembentukan RUU Cipta Kerja
merupakan pendoman untuk pembentukan aturan. RUU Cipta Kerja tidak memenuhi
ketentuan yang tercantum pada Lampiran II Undang – Undang 12 Tahun 2011 dikarenakan
terlalu banyak Peraturan pelaksanaan yang perlu untuk dibentuk sebanyak 535 peraturan
pelaksanaan. Sehingga pelaksanaan dari RUU Cipta Kerja setelah dilakukan pengesahan
menjadi UU menimbulkan banyakmungkinkan untuk selesai dalam kurun waktu satu hingga
dua tahun sesuai dengan Undang – Undang 12 Tahun 2011. Dalam rumusan masalah, penulis
mengutarakan masalah apa saja yang didapati sebagai berikut: Bagaimana menerapkan
konsep pendekatan RUU Cipta Kerja dalam pembuatan peraturan Undang – Undang di
negara Indonesia menurut ketentuan Undang – Undang 12 Tahun 2011 serta bagaimana
problematika hukum yang akan terjadi dalam pembuatan Undang – Undang Cipta Kerja
berdasarkan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengenai RUU Cipta Kerja.
Dengan demikian yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan ini adalah
bagaimana konsepsi undang-undang Cipta Kerja bila dihadapkan dengan perlindungan
tenaga kerja? Selain itu adalah bagaimana perubahan dari undang-undang nomor 13 tahun
2013 tentang ketenagakerjaan lalu kemudian berubah menjadi undang-undang cipta kerja?
Adapun tujuan dari penulisan ini yaitu untuk dan menganalisis kerumitan serta dampak dari
undang-undang Cipta Kerja terhadap tenaga kerja ditinjau dari aspek hukum yang
mengaturnya. Selain itu mengetahui proses perubahan berupa perbedaan muatan isi antara
undang-undang ketenagakerjaan sebelumnya dan undang-undang yang yang disahkan
melalui undang-undang cipta.
11
Adhistianto, M. F. (2020). Politik Hukum Pembentukan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Studi
Klaster Ketenagakerjaan). Pamulang Law Review, 3(1), 1-10.
12
pemutusan hubungan kerja apabila pekerja perempuan sedang hamil, melahirkan,
keguguran atau sedang menyusui. Sementara pada undang-undang cipta kerja tidak
diatur tentang pelarangan sebagaimana dimaksud di atas.
13
Catur, J. S., Djongga, D., Heriyandi, H., Poerwanto, H., Hutasoit, J., Anam, K., & wiyono, b. (2020).
Perlindungan hukum terhadap kesejahteraan pekerja melalui undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta
kerja. Jurnal lex specialis, 1(2).
14
meningkatkan efisiensi perusahaan. Pemutusan hubungan kerja karena perusahaan
melakukan efisiensi lebih menitikberatkan pada kondisi pekerja yang sudah tidak
produktif lagi dan akibat tidak produktif, akan mengganggu efisiensi perusahaan dalam
memproduksi barang atau jasa. Jika ditelaah lebih lanjut, tampak adanya persamaan
antara kedua jenis pemutusan hubungan kerja tersebut, karena keduanya diatur dalam
pasal 164. Hal ini menitikberatkan pada kondisi perusahaan yang bersangkutan, namun
jika berdasarkan pasal 164 ayat (3) pemutusan hubungan kerja tersebut ketenagakerjaan
lebih menitikberatkan pada kondisi tenaga kerja.
Dari ketiga kekuasaan itu masing-masing terpisah satu sama lainnya baik
mengenai orangnya mapun fungsinya. Pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan
14
Setyawan, Y. (2020). Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja Dalam Perspektif Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Ilmiah Hukum
dan Keadilan, 7(1), 150-164
itu dibagi-bagi dalam beberapa bagian, tidak dipisahkan yang dapat memungkinkan
15
fiksi hukum dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, adanya kerjasama
antara bagian-bagian itu (Check and Balances).
Asas hierarki menegaskan bahwa dalam tata urutan peraturan perundang-
undangan harus memperhatikan kordinasi antara satu peraturan dengan peraturan
yang lainnya. Antara peraturan di tingkat pusat dan peraturan di tingkat daerah.
Dengan adanya asas ini menegaskan bahwa adanya hierarki dalam sistem perundang-
undangan dan bersifat subordinasi, tidak hanya koordinasi saja. Asas ini menegaskan
bahwa adanya taat hukum dan taat asas antara peraturan pusat dan peraturan daerah.
Adapun asas-asas hukum yang berkaitan dengan terbentuknya Undang-
Undang No. 11 tahun 2020 adalah, sebagai berikut :
1.
Asas lex posterior derogate lex priori.
15
Setyawan, Y. (2020). Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja Dalam Perspektif Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Ilmiah Hukum
dan Keadilan, 7(1), 150-164
16
3. Asas lex posteriori derogat lex periori.
Ialah asas yang baru mengesampingkan yang lama, yang berarti undang-
undang yang lebih baru menyampingkan undang – undang yang lama. asas ini dengan
pengertian bahwa undang-undang baru itu merubah/meniadakan undang-undang lama
yang mengatur materi yang sama. Bahkan Hartono Hadisoeprapto mengartikan asas
ini dengan pengertian bahwa undang-undang baru itu merubah/meniadakan undang-
undang lama yang mengatur materi yang sama.
Pendapat yang lebih terperinci dikemukakan oleh I.C van der Vliesdi tentang
asas-asas hukum pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas formal dan
asas materil.Asas formal mencakup
1. Asas tujuan yang jelas (beginsel van duetlijke doelstelling);
2. Asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
3. Asas perlu pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
4. Asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uitvoorbaarheid);
5. Asas konsensus (het beginsel van consensus);
Sedangkan yang masuk asas materiil adalah sebagai berkut:
1. Asas terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duitdelijke
terminologie en duitdelijke systematiek);
2. Asas dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
3. Asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechsgelijkheids beginsel);
4. Asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
5. Asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual
Pendapat terakhir dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip
oleh Maria Farida, yang mengatakan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan
Indonesia yang patut akan mengikuti pedoman dan bimbingan yang diberikan oleh cita
negara hukum yang tidak lain adalah Pancasila, yang oleh Attamimi diistilahkan sebagai
“bintang pemandu”, prinsip negara hukum dan konstitusionalisme, dimana sebuah negara
menganut paham konstitusi. Lebih lanjut A. Hamid. S. Attamimi, mengatakan jika
dihubungkan pembagian atas asas formal dan materil, maka pembagiannya sebagai
berikut.
1. Asas-asas formal:
1) Asas tujuan yang jelas.
2) Asas perlunya pengaturan.
3) Asas organ/lembaga yang tepat.
16
Setyawan, Y. (2020). Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja Dalam Perspektif Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Ilmiah Hukum
dan Keadilan, 7(1), 150-164
17
4) Asas materi muatan yang tepat.
5) Asas dapat dilaksanakan.
6) Asas dapat dikenali.
Asas-asas materiil:
1) Asas sesuai dengan cita hukum Indonesia dan norma fundamental negara.
2) Asas sesuai dengan hukum dasar negara.
3) Asas sesuai dengan prinsip negara berdasarkan hukum.
4) Asas sesuai dengan prinsip pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas, pada dasarnya menunjuk pada
bagaimana sebuah peraturan perundang-undangan dibuat, hal ini mengacu pada Undang-
Undang No. 15 Tahun 2019 perubahanatas Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, baik dari segi materi-materi yang harus dimuat
dalam peraturan perundang-undangan, cara atau teknik pembuatannya, akurasi organ
pembentuk, dan lain-lain dengan tambahan dan penjelasan yang dideduksi dari uraian para
ahli.
1). Asas-asas Hukum Umum
a. Peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non retroaktif). Peraturan
perundang-undangan yang dibuat hanya berlaku pada peristiwa peristiwa hukum yang
terjadi setelah peraturan perundang undangan itu lahir. Namun demikian,
mengabaikan asas ini dimungkinkan terjadi dalam rangka untuk memenuhi keadilan
masyarakat.
b. Asas kepatuhan pada hirarkhi (lex superior derogat lex inferior). Peraturan
perundang-undangan yang ada di jenjang yang lebih rendah tidak boleh bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berada pada jenjang lebih tinggi. Dan
seterusnya sesuai dengan hierarki norma dan peraturan perundang-undangan.
c. Peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus menyampingkan peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum (lex specialis derogat lex generalis);
d. Peraturan perundang-undangan yang berlaku belakangan membatalkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terdahulu (lex posteriori derogate lex periori);
dalam setiap peraturan perundang-undangan biasanya terdapat klausul yang
menegaskan keberlakuan peraturan perundang- undangan tersebut dan menyatakan
peraturan perundang - undangan sejenis yang sebelumnya digunakan, kecuali
terhadap pengaturan yang tidak bertentangan. Undang-undang juga mengamanahkan
bahwa dalam perumusan peraturan perundang-undangan tidak menutup kemungkinan
17
Setyawan, Y. (2020). Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja Dalam Perspektif Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jurnal Ilmiah Hukum
dan Keadilan, 7(1), 150-164
untuk 18memperhatikan asas-asas lain yang sesuai dan relevan sesuai dengan bidang
hukum peraturan perundang- undangan yang bersangkutan. Bahwa hendaknya dalam
pembuatan perundang-undangan harus berfungsi untuk memberikan perlindungan
dalam rangka menciptakan ketenteraman masyarakat. Selain itu juga mencerminkan
perlindungan dan pengayoman hak- hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
E. Teori Perundang-undangan
Menurut Bagir Manan yang mengutip pendapat PJ.P tentang wet in
materiele zin
melukiskan pengertian Perundang-undangan dalam arti materil yang esensinya antara lain
sebagai berikut :
a. Peraturan perundang-undangan berbentuk keputusan tertulis. Peraturan perundang-
undangan berbentuk keputusan tertulis. Karena merupakan keputusan tertulis, peraturan
perundang-undangan sebagai kaidah hukum tertulis (geschrevenrecht,written law)
Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat atau lingkungan jabatan (badan,
organ) yang mempunyai wewenang membuat “peraturan” yang berlaku atau mengikat
umum (algemeen)
b. Peraturan perundang-undangan bersifat mengikat umum, tidak dimaksudkan harus selalu
mengikat semua orang. Mengikat umum hanya menunjukkan bahwa peraturan
perundang-undangan tidak berlaku terhadap peristiwa konkret atau individu tertentu.
18
Santosa, D. G. G. (2021). Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasca Undang-Undang Cipta
Kerja: Implementasi Dan Permasalahannya. DiH: Jurnal Ilmu Hukum, 17(2), 178-191
Dalam hukum positif Indonesia, pengertian perundang-undangan disebutkan dalam
Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 Perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
19
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh
lembaga Negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam
Peraturan Perundang-undangan.
Jika merujuk pada Pasal 7 Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 Perubahan atas UU
No. 12 tahun 2011 jelas bahwa didalam hierarki dan tata urutan peraturan perundang-
undangan tersebut belum ada konsep Omnibus Law sebagai satu asas dalam sumber hukum
sehingga menjadi pertanyaan ialah dalam hierarki perundang-undangan posisi Omnibus Law
ini apakah sejajar dengan undang-undang atau di atas undang-undang. Ketentuan Pasal 7
Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
yang menguraikan bahwa :
(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan
6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
19
Santosa, D. G. G. (2021). Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasca Undang-Undang Cipta
Kerja: Implementasi Dan Permasalahannya. DiH: Jurnal Ilmu Hukum, 17(2), 178-191
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sudah mengatur
bagaimana perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja. Sedangkan di kitab undang-
undang hukum perdata pun mengeksplisitkan bahwa hubungan kerja yang diputus karena
alasan efisiensi dapat dilakukan karena alasan mendesak. Dalam undang-undang
ketenagakerjaan sebenarnya terdapat tiga unsur dalam kaitannya dengan perjanjian kerja
yaitu unsur pekerjaan, unsur upah serta unsur perintah seperti tertulis dalam Pasal 1 angka
15. Ketiga unsur dimaksud kemudian dilengkapi dengan unsur waktu yang dijelaskan dalam
kitab undang-undang hukum perdata. Namun Undang-undang Ketenagakerjaan tidak
memberikan syarat adanya keharusan dalam memberikan bukti tetapi dalam proses
penyelesaian konflik akibat perselisihan hubungan industrial, sangat diperlukan peran dari
pihak pemerintah sebagai mediator konsiliator atau arbiter dari dinas yang menangani
ketenagakerjaan antara majelis hakim pengadilan hubungan industrial dan Mahkamah Agung
untuk membuktikan bahwa bentuk implementasi undang-undang ketenagakerjaan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
Akibat dari aturan dibatasinya kegiatan sosial berskala besar demi mencegah
penyebaran virus Covid-19 hingga diberlakukannya pembatasan kegiatan masyarakat tidak
dapat dipungkiri bahwa terjadi penutupan operasional perusahaan sehingga berpotensi
terhadap pemberhentian pekerja dampak kerugian yang dialami perusahaan. Pemutusan
hubungan kerja ini dikaitkan dengan alasan efisiensi akibat dampak pandemi. Dalam undang-
undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja korban pemutusan hubungan kerja sudah
bukan lagi mendapat pesangon 2 kali lipat karena mempertimbangkan alasan efisiensi. Demi
asas keadilan dan terciptanya hubungan industrial yang baik bagi pekerja dan pengusaha
maka pemutusan hubungan kerja adalah suatu tindakan ataupun alternatif terakhir dari suatu
hubungan kerja sehingga pertimbangan yang matang perlu dilakukan oleh kedua belah pihak
agar dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan kerugian di antara kedua pihak. Dengan
demikian adanya penelaahan terhadap rancangan perjanjian/kontrak kerja diantara pekerja
dengan pemberi kerja yang dalamnya perlu disusun dengan prinsip keadilan, sehingga
tercapainya keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi pekerja dan bagi pengusaha
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis paparkan diatas, maka penulis dapat
menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Perbandingan antara Omnibus Law UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan
(yang selanjutnya disebut sebagai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan) melalui Omnibus Law terdapat beberapa substansi yang mengubah
dan/atau menghapus substansi yang terdapat pada UU Ketenagakerjaan. Diantaranya,
ialah mengenai Upah Minimum, pesangon, pemutusan hubungan kerja, alih daya
(Outsourcing), cuti kerja, waktu istirahat, durasi kerja, tenaga kerja asing (TKA),
jaminan sosial, dan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
2. Upaya hukum yang dapat dilakukan dalam menyelesaikan permasalahan antara
Omnoibus Law Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Upaya hukum yang dapat dilakukan ialah, sebagai berikut :
a. Harus ada mekanisme harmonisasi peraturan perundang-undangan
yang jelas;
b. Pengajuan Judicial Review mengenai Omnibus Law Undang-Undang
No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi
c. Penerapan Asas lex posterior derogate legi priori pada Omnibus Law
UU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan.
3.2. Saran
Setelah disahkannya omnibus law Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta
Kerja oleh pemerintah memberikan sampah yang besar terhadap masyarakat luas khusunya di
sektor ketenagakerjaan yang dimana dari aliansi mahasiswa, masyarakat sipil lainnya serta
serikat buruh juga ikut memberikan pendapat mengenai penolakan nya terhadap undang-
undang ini sempat terjadi demo besar-besaran terkait penolakan terhadap penerapan undang-
undang baru ini. Sebaiknya pemerintah memberikan jalan kepada masyarakat untuk
melakukan judicial review (miring) ke mahkamah konstitusi ats penolakannya mengenai
substansi dan materi muatan dari undang-undang tersebut. sebagian dari masyarakat juga
telah menggugat undang-undang ini ke mahkamah konstitusi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Jurnal
Achmadi, Julio. "Omnibus Is Throwing People and Democracy under the Bus".
Tempo.co. 2 Februari 2020.
Adhistianto, M. F. (2020). Politik Hukum Pembentukan Rancangan Undang-Undang
Cipta Kerja (Studi Klaster Ketenagakerjaan). Pamulang Law Review, 3(1), 1-10.
Alfiyani, N. (2020). Perbandingan Regulasi Ketenagakerjaan Dalam Undang-Undang
Ketengakerjaan Dan Undang-Undang Cipta Kerja. AN-NIZAM, 14(2), 121-139.
BPS 5 Mei 2021 ,“ Februari 2021: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Sebesar
6,26 persen”, https://www.bps.go.id/pressrelease/ 2021/05/05/1815/februari-2021--tingkat-
pengangguran-terbukatptsebesar 6-26-persen.html,
Catur, J. S., Djongga, D., Heriyandi, H., Poerwanto, H., Hutasoit, J., Anam, K., &
wiyono, b. (2020). Perlindungan hukum terhadap kesejahteraan pekerja melalui undang-
undang nomor 11 tahun 2020 tentang cipta kerja. Jurnal lex specialis, 1(2).
Esther, Samboh. "Guide to omnibus bill on job creation: 1,028 pages in 10 minutes.
The Jakarta Post.24 Februari 2020
Fauzan, Rahmat“UU Ciptaker Disahkan, Ini Urgensi Yang Dijadikan Latar Belakang
Oleh Pemerintah”, 11 Oktober 2020 https://ekonomi.bisnis.com/ read/20201011/12/
1303557uu-ciptaker-disahkan-ini-urgensi-yang-dijadikan-latar-belakang-oleh-pemerintah,
Diakses 28 Agustus 2021
Fitri, W., & Hidayah, L. (2021). Problematika Terkait Undang-undang Cipta Kerja di
Indonesia: Suatu Kajian Perspektif Pembentukan Perundang-undangan. Jurnal Komunitas
Yustisia, 4(2), 725-735.
Ghalia, Gina. "Indonesia passes jobs bill as recession looms". The Jakarta Post/ 6
Oktober 2020
Gustav, Rizal Jawahir. "Jejak Omnibus Law: Dari Pidato Pelantikan Jokowi hingga
Polemik RUU Cipta Kerja". Kompas.com. 5 Oktober 2020
Hanifah, I. (2021). Peluang Tenaga Kerja Asing Untuk Bekerja Di Indonesia
Berdasarkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. De Lega Lata: Jurnal Ilmu
Hukum, 6(1), 168-173.
Harahap, A. M. (2019). Analisis Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan Di Tinjau dalam Kajian Politik Hukum. Jurnal Penelitian Medan
Agama, 10(2).
Karo, R. P. K., & Yana, A. F. (2020). Konsepsi Omnibus Law terhadap Perlindungan
Tenaga Kerja Wanita di Indonesia. Warta Dharmawangsa, 14(4), 723-729.
Kartikasari, H., & Fauzi, A. M. (2021). Penolakan Masyarakat Terhadap Pengesahan
Omnibus Law Cipta Kerja dalam Perspektif Sosiologi Hukum. DOKTRINA: JOURNAL OF
LAW, 4(1), 39-52.
Karunia, Ade Miranti, "UMK Dihapuskan dalam UU Cipta Kerja? Menaker: Saya
Tegaskan Upah Minimum Kabupaten/Kota Tetap Dipertahankan!". KOMPAS.com. 7
Oktober 2020.
Khair, O. I. (2021). Analisis Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap Perlindungan
Tenaga Kerja Di Indonesia. Widya Pranata Hukum: Jurnal Kajian dan Penelitian
Hukum, 3(2), 45-63.
Putsanra, Dipna Videlia, "Poin-Poin Isi UU Cipta Kerja Omnibus Law Soal Pesangon
hingga Upah". Tirto.id. 7 Oktober 2020
Santosa, D. G. G. (2021). Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasca Undang-Undang
Cipta Kerja: Implementasi Dan Permasalahannya. DiH: Jurnal Ilmu Hukum, 17(2), 178-191.
Setyawan, Y. (2020). Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja Dalam
Perundang-Undangan. Jurnal Ilmiah Hukum dan Keadilan, 7(1), 150-164.
B. Buku – Buku
Abdulkadir Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Ari Hernawan, Dalam seminar Omnibus Law Cipker di MAP Corner FISIPOL UGM, 2020.
Asri Wijayanti, 2009, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta.
Bagir Manan,Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, 1997, hlm. 144.
Bayu Dwi Anggon dalam Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2019, Kajian
Reformasi Regulasi di Indonesia: Pokok Permasalahan dan Strategi Penanganannya, PSHK:
Jakarta, hlm. 89.
Danastri Puspitasari, dkk, Kajian Mengupas Omnibus Law Bikin Ga(k)Law Jilid III:
Pembahasan Investasi dan Ketenagakerjaan, 2020.
Dede Agus, Hukum Ketenagakerjaan, (Banten: Dinas Pendidikan Provinsi Banten, 2011).
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
Edisi III, 2002).
Dudu Duswara mahmudin, Pengantar Ilmu Hukum : SebuahSketsa (Bandung: Refika,
2003),hal 70.
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan
Rekomendasi Terhadap RUU Cipker, 2020.
Fence M. Wantu Dkk, Cara Cepat Belajar Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Reviva Cendekia,
2002).
G.J. Wolhoff,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Timun Mas,
1960), hal. 9-10. Ditegaskan dalam buku ini bahwa norma–norma hukum lah yang mengatur
bentuk negara, organisasipemerintahannya, susunan dan hak serta kewajiban organ- organ
pemerintahan dan cara-cara menjalankanhak dan kewajibannya tersebut.
Hans Kelsen, General Theory of law and state, termejaman Anders Wedberg dkk (New York,
1973).
Libertus Jehani, Hak-Hak Pekerja Bila di PHK, (Tangerang: Visi Media, 2006).
Mahendra Kurniawan, dkk, Pedoman Naska Akademik PERDA Partisipatif, (Yogya karta:
Kreasi Total Media, 2007), Cet. Ke 1.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Kajian Reformasi Regulasi di Indonesia:
Pokok Permasalahan dan Strategi Penanganannya, PSHK: Jakarta, 2019, hlm. 89.
Robert W Shaffern, 2009. Law and Justice from Antiquity Enlightment. Maryland: Rowman
and Littlefield Publishers, hal. 69-70.
Zainal Asikin, dkk, 2002, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Cet 4, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hlm.76
C. Peraturan perundang - undangan
Indonesia, Undang-Undang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
Indonesia, Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial