Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

SOSIOLOGI HUKUM
PROBLEMATIKA HUKUM DUNDANG – UNDANG CIPTA KERJA
TERHADAP PENGAKUAN HUTAN ADAT DALAM PRESPEKTIF
SOSIO-LEGAL STUDIES

DISUSUN:
SYARFINA SYAHARUDDIN
D10221071

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat
rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Makalah Mata Kuliah “
SOSIOLOGI HUKUM Pada MEGISTER ILMU HUKUM” Yang berjudul “
PROBLEMATIKAHUKUM UNDANG – UNDANG CIPTA KERJA TERHADAP
PENGAKUAN HUTAN ADAT DALAM PRESPEKTIF SOSIO-LEGAL
STUDIES”
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat
kekurangan. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun guna mewujudkan makalah yang lebih baik di masa
mendatang.
Akhir kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat memberikan konstribusi
positif kepada para pembaca.

11 November 2021
PENULIS

SYARFINA SYAHRUDIN

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... ii

ABSTRAK............................................................................................................................. iv

BAB I...................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN.................................................................................................................. 1

A. LATAR BELAKANG...................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH...............................................................................................3
C. TUJUAN PENULISAN.................................................................................................4
BAB II..................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN..................................................................................................................... 5
A. PENGERTIAN..............................................................................................................5
1. Pengertian Hukum Dan Undang-Undang...................................................................5
2. Pengertian Cipta Kerja...............................................................................................5
3. Pengertian Hutan Adat...............................................................................................5
4. Prespektif Sosiolegal Studies.....................................................................................6
5. Kajian Sosio-Legal Dan Pengembangan Pendidikan Hukum Di Indonesia...............6
B. PEMBAHASAN MATERI...........................................................................................7
C. PENETEPAN HUTAN ADAT MEMERLUKAN MEKANISME
LEGAL FORMAL.......................................................................................................21
D. KEBERADAAN HUKUM ADAT DALAM SISTIM
HUKUM INDONESIA.................................................................................................22
E. PROBLEMATIKA YANG SERING MUNCUL.......................................................24
F. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN
KEHUTANAN REPOBLIK INDONESIA TENTANG HUTAN ADAT.................26
BAB III.................................................................................................................................. 29

ii
PENUTUP............................................................................................................................. 29
A. Kesimpulan .....................................................................................................................29
B. Saran.........................................................................................................................30
DAFTAR ISI ....................................................................................................................... 31

iii
ABSTRAK
Intisari: Di Indonesia, belakangan ini sebuah gerakan pengakuan hutan adat dan hak
masyarakat hukum adat atas wilayah hutan memuncak. Momentum ini menandai
pengakuan pertama kalinya Indonesia atas pengelolaan tradisional masyarakat hukum
adat atas hutannya. Makalah ini ingin menjelaskan mengenai bagaimana usulan
kebijakan pencadangan hutan adat dibuat serta perjalanan dalam
mengimplementasikannya. Skema ini dapat membantu perjuangan masyarakat adat
untuk menunjukkan bahwa pemerintah dapat terlibat dengan transformasi sosial dari
bawah ke atas. Studi ini mengambil metode penelitian riset aksi dari pengalaman saya
bekerja sebagai peneliti untuk menghasilkan sebuah target reforma agraria dan
Perhutanan Sosial di Indonesia. Studi ini mengambil konsep kerangka konstruksi sosial
untuk mencari ide naratif tentang pencadangan hutan adat di Indonesia. Hasil penelitian
ini menjelaskan adanya tabulasi data dengan problematikanya yang dapat diformulasi
dengan melakukan usulan pencadangan hutan adat dalam mewujudkan agenda reforma
agraria dan perhutanan sosial di Indonesia.

Kata kunci: Masyarakat adat, hukum adat, hutan adat.

iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Idonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai sumber
daya alam yang sangat melimpah. Dari sumber daya manusianya sampai
ke sumber daya alamnya. Salah satu contoh sumber daya alam tersebut yaitu
hutan. Hutan merupakan tempat dimana hewan dan tumbuhan dapat
berlindung dan hidup didalamnya. Selain itu hutan dapat memberi banyak
manfaat untuk manusia seperti sumber oksigen bagi keberlangsungan
hidup, menjaga keseimbangan siklus air bahkan menjaga keseimbangan
suhu serta iklim.Menurut Steve Pollock (1991:4) hutan adalah suatu
daerah yang luas, dan dipenuhi oleh pepohonan dan hewan-hewan yang
hidup didalamnya. Hutan merupakan salah satu contoh dari lingkungan
hidup yang ada di sekitar kita dantidak bisa dilepaskan dari kehidupan
masyarakat. Masyarakat di Indonesia hidupnya sangat bergantung kepada
hutan. Salah satu contohnya yaitu masyarakat adat yang sebagian besar
hidupnya bergantung dengan hutan dan lingkungannya. Hal ini disebabkan
karena masyarakat adat masih mencari makan dan menjalani hidupnyadi
dalam hutan
Hutan adat biasanya dijaga dengan kepercayaan masyarakat setempat
atau dengan kata lain dijaga melalui kearifan lokal masyarakat adat tersebut.
Kearifan lokal merupakan kepandaian dan strategi-strategi pengelolaan alam
semesta dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad-abad
teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran manusia. Kearifan
lokal tidak hanya berhenti pada etika, tetapi sampai pada norma dan tindakan
dan tingkah laku, sehingg kearifan lokal dapat menjadi seperti religi yang
memedomani manusia dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks

1
kehidupan sehari-hari maupun menentukan peradaban manusia yang lebih
jauh (Wahono dalam Suhartini, 2009)

Hutan adat merupakan yang dikuasai oleh masyarakat hukum


adat. Bentuk hutan ini umumnya berasal dari hutan alam yang sudah
secara turun temurun dikelola dan di keluarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/puu-x/2012 dimana hutan adat putusan tersebut
keberadaan masyarakat hukum adat sama sekali tidak diperhatikan
pemerintah dengan tidak adanya suatu peraturan daerah yang mengakui
keberadaan masyarakat hukum adat atas hutan adatnya.

Pada Senin, 5 Oktober 2020 dalam sidang paripurna DPR dan


Pemerintah menyetujui pengesahan RUU Cipta Kerja, meski berbagai lapisan
masyarakat terus menyuarakan ketidak setujuannya karena prosedur dan
substansi yang bermasalah. Sejak diserahkan oleh Pemerintah pada 12 Februari
2020, pembahasan RUU Cipta Kerja tetap dijalankan walaupun Indonesia tengah
menghadapi pandemi Covid-19. Dalam rancangan awal, undang-undang
terdampak sejumlah 79 undang-undang, yang pada akhirnya mengalami
perubahan menjadi 76 undang-undang. Namun secara pokoknya beberapa
undang-undang yang selama ini mendapat kritik tetap menjadi bagian dalam
Undang-Undang tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). “Dipaksakan”, adalah
kata yang menggambarkan bagaimana cara DPR dan Pemerintah dalam
menyusun undang undang ini.

Secara umum terdapat beberapa masalah yang terdapat dalam UU Cipta Kerja
dan Naskah Akademik antara lain: pelanggaran terhadap asas-asas dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan, ketidakjelasan dalam naskah
akademik dan kebutuhan perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009).

2
- Penyusunan UU Cipta Kerja melanggar ketentuan dalam Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan
- UU Cipta Kerja Tidak Menjawab Permasalahan dan Tidak
Menyelesaikan Pekerjaan Rumah Pembangunan Berkelanjutan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang saya kemukakan diatas.
Ruang lingkup permasalahan ini perlu diberi batasan, agar penelitian
ini tidak menyimpang dari sasaran yang hendak dicapai. Adapun
Rumusan Masalah yang akan diteliti adalah:
1. Bagaimana kedudukan hutan adat berdasarkan hukum negara
sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-
X/2012 ?
2. Unutuk mengetahui problematika hukum dan undang – undang
cipta kerja terhadap pengakuan Hutan adat dalam Prespektif sosia-
legal Stasies.

3
C. TUJUAN PERMSALAHAN
Adapun tujuan yang hendak dicapai melalui makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui kedudukan hutan adat berdasarkan hukum negara
sebelum keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/2012
2. Unutuk mengetahui problematika hukum dan undang – undang cipta kerja
terhadap pengakuan Hutan adat dalam Prespektif sosia-legal Stasies.

4
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
1. Pengertian Hukum dan Undang – undang
Hukum merupakan peraturan atau adat yang secara resmi dianggap
mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. Hukum juga
dapat diartikan sebagai undang-undang dan peraturan untuk mengatur
pergaulan hidup masyarakat.
2. Pengertian Cipta Kerja
Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan,
perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan
menengah, peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan
investasi Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.
3. Pengertian Hutan Adat
Hutan adat adalah hutan yang ada di wilayah adat. Luasan hutan adat saat ini
adalah 64% dari 7,4 juta hektar wilayah adat yang sudah dipetakan oleh
AMAN.
Bagi masyarakat adat, Hutan adat menjadi kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Hutan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat yang
telah menopang kehidupan sehari-hari, dan juga titipan bagi generasi yang
akan datang. Hutan adat menjadi salah satu kekayaan penting bagi
masyarakat adat untuk menjamin kesejahteraan hidupnya, namun Negara
justru mengingkari keberadaannya.
Hutan adat adalah hutan yang ada di wilayah adat. Luasan hutan adat
saat ini adalah 64% dari 7,4 juta hektar wilayah adat yang sudah dipetakan
oleh AMAN.

5
Bagi masyarakat adat, Hutan adat menjadi kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. Hutan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat adat yang
telah menopang kehidupan sehari-hari, dan juga titipan bagi generasi yang
akan datang. Hutan adat menjadi salah satu kekayaan penting bagi
masyarakat adat untuk menjamin kesejahteraan hidupnya, namun Negara
justru mengingkari keberadaannya.

4. Prespektif socialegal studies


Studi sosiolegal merupakan kajian terhadap hukum dengan
menggunakan pendekatan ilmu hukum maupun ilmu-ilmu sosial. Studi
hukum di negara berkembang memerlukan kedua pendekatan baik
pendekatan ilmu hukum maupun ilmu sosial.
5. Kajian Sosio Legal dan Pengembangan Pendidikan Hukum di
Indonesia
Kajian interdisipliner hukum bukanlah hal yang baru di Indonesia.
Perdebatan pemberlakuan hukum Adat yang dimotori Van Vollenhoven
menjadi bukti bahwa pertarungan ide tentang isu hukum positive telah ada
bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka.

Kajian sosio legal sebagai kajian hukum interdisipliner dilakukan


dengan cara mengaplikasikan perspektif keilmuan sosial terhadap studi
hukum, termasuk diantaranya sosiologi hukum, antropologi hukum, sejarah
hukum, psikologi dan hukum, studi ilmu politik peradilan, dan ilmu
perbandingan.
Kajian interdisipliner juga memberikan peluang bagi kalangan
penstudi hukum termasuk dalam pendidikan tinggi hukum, untuk
merefleksikan konteks negara hukum Indonesia yang hari ini berhadapan
6
dengan pelanggaran hak asasi manusia, lemahnya penegakan hukum, arah
kebijakan dan politik hukum yang kian berkiblat pada pasar, serta
sistematiknya korupsi di sejumlah lembaga Negara.
Inilah yang menjadi landasan bagi Epistema Institute, Pusat
Pengembangan Studi Sosio Legal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
dan Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia untuk mengadakan pelatihan
penelitian sosio legal. Pelatihan yang dilaksanakan pada 18 – 19 Februari
2014 ini dilaksanakan di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang
dan dihadiri oleh dosen-dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Pelatihan ini diampu oleh narasumber yang cukup berpengalaman di
bidang hukum, seperti Prof. Dr. B. Arief Sidharta, Imam Koeswahyono,
S.H, M.H, Dr. Shidarta SH., MH, Herlambang Perdana, S.H., M.A, Dr.
Myrna A. Safitri dan Fachrizal Afandi, S.Psi., SH., MH.
Dalam pelatihan ini dipaparkan pula bahwa penelitian sosio-legal
dapat digunakan untuk kegiatan advokasi kebijakan, kajian penegakan
hukum, hingga pengembangan pendidikan hukum di Indonesia.
(https://epistema.or.id/kabar/liputan-kegiatan/kajian-sosio-legal-dan-pengembangan-
pendidikan-hukum-di-indonesia)/

B. PEMBAHASAN MATERI
Pemerintah mempersiapkan RUU Cipta Kerja dengan
menggunakan konsep Omnibus Law, untuk dijadikan sebuah skema
membangun perekonomian agar mampu menarik investor menanamkan
modalnya di Indonesia. RUU Cipta Kerja memiliki beberapa klaster yang
salah satu diantaranya mengatur tentang ketenagakerjaan. Pemerintah
mempersiapkan RUU Cipta Kerja dengan menggunakan konsep Omnibus
Law, untuk dijadikan sebuah skema membangun perekonomian agar
7
mampu menarik investor menanamkan modalnya di Indonesia. RUU Cipta
Kerja memiliki beberapa klaster yang salah satu diantaranya mengatur
tentang ketenagakerjaan.
Pada 10 Maret 2020 kemarin, Perkumpulan HuMa Indonesia
menyampaikan hasil kajian yang dilakukan terhadap Rancangan Undang-
Undang Cipta Kerja. Kajian ini menemukan frasa-frasa yang tidak seragam
untuk mengatur masyarakat hukum adat dan hak atas wilayah adat dalam RUU
tersebut. Misalnya, konteks subjek hukum, terdapat frasa masyarakat hukum
adat, masyarakat adat, masyarakat lokal, dan masyarakat tradisional.
Sedangkan untuk mengatur wilayah adat misalnya terdapat frasa hak ulayat,
hak tradisional, wilayah adat, wilayah kelola masyarakat hukum adat, desa
adat, dan kawasan adat. Singkatnya ada beberapa hasil pemaparan dari
Narasumber dibawah yaaa…..
Terdapat 3 (tiga) pengaturan yang tidak seragam berkaitan dengan
prosedur pengakuan masyarakat hukum adat dalam RUU Cipta Kerja, yaitu:
(1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; (2)
diserahkan kepada pemerintah pusat; dan (3) harus melalui Peraturan Daerah.
Selain melestarikan ketidakjelasan prosedur, kewenangan, pada tingkat mana
dan dengan produk hukum apa pengukuhan masyarakat hukum adat,
pengaturan di atas juga melanggengkan ‘pengakuan bersyarat’ bagi masyarakat
hukum adat. Karena terdapat syarat prosedural untuk mengakui masyarakat
hukum adat secara hukum, yaitu harus terlebih dahulu ditetapkan melalui
produk hukum.

“Perbedaan frasa-frasa tersebut terjadi karena di dalam berbagai undang-


undang sektoral yang diubah oleh RUU ini memang menyebutkan istilah yang
berbeda tentang masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, dan
8
ternyata persoalan itu dilanggengkan oleh RUU ini. RUU ini tidak
memanfaatkan momentum untuk mengurangi ego sektoral pengelolaan sumber
daya alam dalam pengakuan dan perlindungan hak masyarakat hukum adat,”
ungkap Dahniar Andriani, Direktur Perkumpulan Huma Indonesia.
Selain hal diatas, Dr. Rikardo Simarmata juga mengungkapkan bahwa
terdapat 3 (tiga) poin utama dalam RUU Cipta Kerja ini yaitu :
1. Pendapat hukum yang dibuat HUMA yang bahannya sudah dipegang teman-
teman itu kurang lebih menyimpulkan bahwa tidak ada sebenarnya yang
berubah mengenai pengaturan MHA di RUU Cipta Kerja ini dengan
berbagai undang-undang yang ingin diubahnya. Ini melanggengkan existing
legal framework yang bercirikan sektoralisme, disharmoni, kabur, dan
pengakuan setengah hati (pengakuan bersyarat).
2. Ketidakjelasan RUU ini dalam mengatur MHA yang dihubungkan dengan
investasi menimbulkan pertanyaan politik hukum.
3. Ada satu paradigma yang secara implisit di belakang penyusunan RUU
Cipta Kerja yang mengisyaratkan bahwa aturan hukum determinan dan bila
ada UU maka semua orang akan berperilaku seperti yang dimaksud oleh
UU. Pemikiran di atas merupakan pengaturan pelaksana dan aktor dan
kelompok terdampka sebagai penentu untuk implementasi aturan hukum
yang efektif.
Satu hal penting yang perlu digaris bawahi adalah UU Cipta Kerja
tidak menjawab permasalahan pembangunan berkelanjutan yang secara
faktual terjadi. UU Cipta Kerja mengabaikan permasalahan penegakan
hukum dan korupsi sebagai faktor krusial penghambat iklim investasi.
Naskah Akademik UU Cipta Kerja versi 12 Februari 2020 mengangkat
indikator untuk menunjukkan bahwa sistem perizinan yang berbelit serta
over regulasi sebagai penyebab sulitnya melakukan usaha di Indonesia.
9
Akan tetapi, Naskah Akademik luput menyorot indikator lain yang bernilai
lebih buruk dibandingkan indikator regulasi dan perizinan, yaitu enforcing
ontracts dalam Ease of Doing Business (EODB),dan incidence of
corruption dalam. Global Competitiveness Index (GCI). Padahal, berbagai
hasil penelitian telah menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan (good
governance) suatu negara turut mempengaruhi nilai investasi asing (foreign
direct investment/FDI) maupun pertumbuhan ekonomi (economic growth),
dua hal yang hendak dicapai oleh UU Cipta Kerja.
Presiden Jokowi menaruh perhatian yang sangat besar terhadap semua
suku bangsa yang ada di Indonesia dan tidak memiliki keraguan sedikitpun
untuk mengakui keberadaanya. Penyerahan 8 SK Penetapan Hutan Adat
pada 30 Desember 2016, dan 35 SK selanjutnya pada 7 Januari 2021 oleh
Presiden, mempertegas ketidakraguan pemerintah untuk terus melakukan
percepatan pengakuan terhadap kawasan hutan adat di seluruh Indonesia
(SIARAN PERS 

Nomor: SP.259/HUMAS/PP/HMS.3/08/2021)

Sebagai negara yang majemuk dengan beragam suku bangsa dan


budaya, pengakuan terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) dan kawasan
hutan adatnya, menjadi salah satu bukti kehadiran Pemerintah untuk
melindungi hak masyarakat tradisional sekaligus mensejahterakannya dalam
bingkai sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. (SIARAN
PERS 

Nomor: SP.259/HUMAS/PP/HMS.3/08/2021)

Komitmen Pemerintah dalam melindungi MHA dan kearifan lokalnya


semakin nyata dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan Nomor P. 9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan
Sosial. Di dalam aturan tersebut komitmen pemerintah diperjelas salah
satunya dengan menetapkan Peta hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan

10
Adat yang ditanda tangani oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
seluas ± 1.090.755 Ha.

Data dan potensi hutan adat yang masuk dalam Peta hutan Adat dan Wilayah
Indikatif Hutan Adat tersebut sebagiannya menunggu pengesahan keputusan
tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat adat yang berhak atas
kawasan adat dimaksud dari pemerintah daerah. Keberadaan pemerintah
daerah penting karena pengakuan dari pemerintah daerah melalui peraturan
daerah atas MHA dan wilayahnya menjadi syarat kukuhnya keberadaan
MHA di suatu provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan yang diatur dalam
UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU 6 Tahun 2014 Tentang
Desa.
“Khusus untuk Hutan Adat yang merupakan bagian dari Perhutanan
Sosial, sampai dengan Bulan Juli 2021 telah ditetapkan sebanyak 59.442 Ha
dengan jumlah SK sebanyak 80 unit yang mencakup 42.038 Kepala
Keluarga. Selain itu wilayah indikatif hutan merupakan areal yang sudah
jelas indikasi masyarakat adatnya dan sudah jelas arealnya yang tidak
memungkinkan lagi untuk peruntukan lain, maka relatif aman. KLHK
sedang terus upayakan fasilitasi bagi masyarakat adat dalam urusan hal-hal
tersebut di Pemerintah Daerah sesuai UUCK. KLHK juga meminta bantuan
aktivis adat untuk bersama menyelesaikan permasalahan tersebut, kita
sedang kerja keras, termasuk masyarakat adat Danau Toba,” ujar Menteri
LHK, Siti Nurbaya, Senin, (16/8).
Menteri Siti menambahkan bahwa perlu adanya sinergisitas antar
Kementerian dan Lembaga karena persoalan MHA ini tidak bisa dilakukan
oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja, karena ada
subyek (manusia), budaya maupun kawasan bukan hutan yang berada di
11
kewenangan yang berbeda. Selain itu perlunya pemahaman Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota sebagai garda terdepan dalam upaya Perlindungan
MHA dan kearifan lokalnya melalui upaya-upaya identifikasi, dan verifikasi
MHA yang ada di wilayahnya.“Akses kelola hutan adat ini akan
memberikan beberapa manfaat kepada masyarakat adat, yaitu penguatan
pengelolaan hutan adat berdasarkan kearifan lokal yang telah teruji selama
puluhan tahun,” imbuhnya.
Ia pun menekankan salah satu hal penting yang perlu diperhatikan
dalam penetapan hutan adat adalah pemahaman bahwa penetapan hutan adat
tidak berarti mengubah fungsi hutan, sebagaimana tercantum dalam UU 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, namun penetapan hutan adat merupakan
penetapan status hutan yang tidak serta merta dapat merubah fungsi hutan.
Artinya penetapan hutan adat harus mengarah untuk pengelolaan yang
berkearifan lokal untuk mendukung pembangunan hutan yang berkelanjutan.
“Praktik-praktik hutan adat yang menjaga alam ikut mengatasi emisi gas
rumah kaca, emisi global, dan mata air, serta aktualisasi partikularistik
wilayah dan masyarakat adat sebagai wujud kemajemukan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI),” ujar Menteri.
Selanjutnya, terkait perkembangan realisasi Perhutanan Sosial tercatat
hingga Bulan Juli 2021 telah ada 4.720.474,89 hektar ijin perhutanan sosial
yang diberikan dengan penerima manfaat sebanyak total 1.029.223 kepala
keluarga, melalui sebanyak 7.212 unit SK.
Ia melanjutkan jika Program Perhutanan Sosial adalah program
reforma agraria untuk keadilan akses masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan hutan yang ditunjang dengan program pemerataan ekonomi agar
memberikan manfaat ekonomi dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan
yang berkelanjutan. Pemerintah berkomitmen meningkatkan alokasi lahan
12
kawasan hutan dari 400 ribu ha menjadi 12,7 juta ha atau sepertiga (30%)
dari total kawasan hutan Indonesia untuk dikelola oleh masyarakat setempat.
Perhutanan Sosial sendiri saat ini sudah secara formal termaktub
dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) artinya dalam
pengelolaan hutan masyarakat harus dilibatkan secara aktif, tidak boleh ada
lagi petani kecil asal ditangkap, justru mereka harus dirangkul dan diberi
akses mengelola kawasan dalam bentuk Perhutanan Sosial. Kebijakan baru
ini mengkoreksi kebijakan di masa lalu yang akibat-akibatnya sekarang kita
rasakan dan sedang dibenahi satu persatu. Tantangannya tidak mudah, tapi
pemerintah terus berupaya berpihak kepada rakyat.
Perhutanan Sosial juga menjadi salah satu bentuk pengembangan
ekonomi hijau seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pidato
pada Sidang Tahunan MPR RI tahun 2021 dan pidato kenegaraan pada
Sidang Bersama DPR RI dan DPD RI dalam rangka HUT ke-76 Proklamasi
Kemerdekaan RI hari ini. Dengan Perhutanan Sosial, era sektor kehutanan
yang pada era yang lampau didominasi ekploitasi komoditas kayu mulai
digeser dengan model ekonomi baru yang lebih menghargai hutan secara
tepat.
Perhutanan sosial menjadi salah satu jalan mewujudkan ekonomi hijau
melalui pengelolaan sektor kehutanan yang mampu menjadi satu pilar
mewujudkan berbagai target pembangunan nasional maupun global yang
berkelanjutan, mulai dari Sustainable Development Goal’s (SDG’s),
pembangunan rendah emisi (Low Emission Development), pemenuhan NDC
(Nationally Determined Contribution), kemandirian energi yang bersumber
dari Energi Baru Terbarukan (EBT), kedaulatan pangan, dan program
strategis nasional lainnya.

13
Kedudukan hutan adat dalam hukum Indonesia, sebelum adannya
Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 35/PUU-X/2012 berada dalam
status hutan negara. Kedudukan dalam status hutan negara tersebut
berkonsekuensi terhadap penguasaan dan pengaturan oleh negara yang
dipengaruhi oleh adanya Konsepsi Hak Menguasai Negara. Konsepsi
Penguasaan dan Kedudukan hukum dari status hutan adat tersebut
telah menjadi penyebab munculnya Konflik Kehutanan. Konflik yang
bersifat struktural itu muncul akibat adanya aturan hukum negara yang
tidak memberikan penghormatan hak terhadap masyarakat hukum adat,
maupun akibat adanya kebijakan negara memberikan konsesi-konsesi
kehutanan kepada pihak swasta diwilayah masyarakat hukum adat, yang
menimbulkan
Legal Gaps antara hukum negara dengan hukum adat, meskipun sudah
banyak aturan hukum negara yang mengakui dan menghormati hak
masyarakat hukum adat tapi belum dapat dijadikan pijakan terhadap
pengakuan dan penguasaan hak.
Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 35/PUU-X/2012 telah
memperkecil jarak dari Legal Gaps antara hukum negara dan hukum adat,
karena negara melalui Putusan Mahkamah Konsitusi tersebut telah
memberikan pengakuan hak kepada masyarkat hukum adat, dan
mengeluarkan hutanadat dari status hutan negara, dan memasukkan
kedalam hutan hak. Namun Pemisahan status hutan adat dari hutan
negara, tidak serta merta dapat diberlakukan tapi harus mengikuti
persyaratan mengenai keberadaan masyarkat hukum adat, dan setelah itu
ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota melalui peraturan
daerah. Untuk melaksanakan dan mengimplementasikan penetapan dan
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat. Pemerintah juga telah
14
memberikan peluang-peluang hukum untuk pengakuan masyarkat hukum
adat oleh pemerintah daerah, mulai dari Undang-Undang sampai kepada
Peraturan Menteri.
Ketua Badan Registrasi Wilayah Adat Kasmita Widodo khawatir
pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja membuat banyak masyarakat adat
tidak terakomodasi perlindungan dan legalitas hukum yang sebelumnya
dijanjikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
"Kami mencatat potensi hutan adat [yang belum diakui] ada 6,9 juta
hektare. Dari 6,9 juta hektar ini sudah ada dokumen yang kami siapkan
900an ribu hektar usulan hutan adat," ungkapnya kepada
CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Jumat (16/10).Baca artikel
CNN Indonesia "UU Cipta Kerja Disebut Berpotensi Mengancam Hutan
Adat" selengkapnya di sini:(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201016152450-
20-559295/uu-cipta-kerja-disebut-berpotensi-mengancam-hutan-adat).
Dodo menjelaskan selama ini kendala pengakuan hutan adat karena
syarat pengajuan yang mengharuskan masyarakat memiliki surat keputusan
atau peraturan daerah, yang mengakui wilayah tersebut sebagai hutan adat.
Ketentuan ini, katanya, tidak dicabut maupun diubah melalui Omnibus Law.
Sedangkan perizinan berusaha diperluas dan dipermudah. Ia pun khawatir
hal ini tidak akan banyak membantu masyarakat adat."Maka apa yang terjadi
ke depan? Perlambatan pengakuan hutan adat masih akan terjadi. Di satu
sisi, perluasan kesempatan berusaha akan lebih terbuka dengan Omnibus
Law," singgungnya. Untuk itu, ia menilai KLHK harus mengupayakan
percepatan pengakuan hutan adat dan penerbitan peta penunjukan hutan
adat. Sehingga dapat memastikan perlindungan untukmasyarakat adat.
Sebelumnya, KLHK mengklaim UU Cipta Kerja dapat meminimalisir
kriminalitas terhadap masyarakat adat. Ini karena Pasal 29A dan 29B

15
mengatur landasan hukum untuk izin perhutanan sosial.
(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201016152450-20-559295/uu-cipta-kerja-disebut-
berpotensi-mengancam-hutan-adat).
Jika masyarakat adat memiliki izin ini, maka akan terlindungi dari
sanksi ketika melakukan kegiatan di kawasan hutan lindung dan hutan
produksi
"Kalaupun ada kekhilafan, maksimal itu sanksi administrasi. Demikian juga
kalau belum ada izin yang diberikan dirjen PSKL, pasal yang mengatur
normal sanksi kami dorong untuk diberikan sanksi administrasi saja kepada
masyarakat," ungkap Sekretaris Jenderal KLHK Bambang Hendroyono.
(https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201016152450-20-559295/uu-cipta-kerja-disebut-
berpotensi-mengancam-hutan-adat).
Namun izin perhutanan sosial ini hanya berlaku untuk 12,7 juta
hektare hutan sosial yang diakui KLHK. Kawasan hutan sosial ini terdiri
dari hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, Kulin KK,
IHPS dan Hutan Adat.
- Ada begitu banyak regulasi dan pembentukan tim teknis untuk
memberikan pengakuan masyarakat adat dan hutannya. Tetap lambat
karena Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan tak pernah dicabut,
bahkan dalam UU Cipta Kerja.
PENGAKUAN hutan adat menjadi salah satu isu penting dan menjadi
indikator keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat adat di sektor
kehutanan. Di tengah kebuntuan pembahasan Rancangan Undang-Undang
Masyarakat Hukum Adat, perubahan regulasi terkait dengan hutan adat
dalam Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan peraturan turunannya perlu
kita cermati bersama. Pasal 35 Undang-Undang Cipta Kerja mengatur sektor
kehutanan dengan mengubah, menghapus, dan menambahkan Undang-
Undang Kehutanan serta Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan
16
Perusakan Hutan. Pemerintah mengklaim pasal ini akan memberikan
kemudahan bagi masyarakat, terutama pelaku usaha, mendapat perizinan
berusaha dan syarat investasi dalam sektor kehutanan.
Masyarakat dalam omnibus law Cipta Kerja adalah perseorangan,
kelompok orang, masyarakat lokal/setempat, termasuk masyarakat hukum
adat. Sedangkan pelaku usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha
yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu (pasal 1 ayat
8).
Dalam konteks “kemudahan”, artikel ini membahas makna pasal 35
yang menyasar salah satu kategori masyarakat, yaitu masyarakat hukum
adat. Lebih spesifik yang berkaitan dengan hutan adat, yang aturan
turunannya berupa perhutanan sosial.
Perhutanan sosial masuk Undang-Undang Cipta Kerja melalui pasal
tambahan 29A dan 29B dalam Undang-Undang Kehutanan. Secara hierarki
hukum, ada penguatan status perhutanan sosial yang sebelumnya diatur
melalui peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (LHK). Logikanya, dengan regulasi yang baru ini, kebijakan
perhutanan sosial menjadi urusan kementerian dan lembaga pemerintah lain,
dengan Kementerian LHK tetap menjadi leading sector.
Kata “terutama” dalam Pasal 35 Undang-Undang Cipta Kerja menjadi
penanda arah kebijakan sektor kehutanan. Bisa jadi bukan untuk
memberikan kemudahan kepada masyarakat adat dalam mendapatkan
kembali hutan mereka dari statusnya sebagai hutan negara. Penanda ini
makin kuat karena Undang-Undang Cipta Kerja tak mengubah atau
menghapus Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan yang mensyaratkan
pengakuan masyarakat hukum adat harus melalui peraturan daerah.

17
Padahal pasal ini menjadi salah satu yang menghambat proses
pengakuan hutan adat karena faktanya perda adalah sebuah proses politik di
daerah yang memerlukan waktu dan sarat dengan pelbagai kepentingan
politik di dalamnya. Syarat perda menyebabkan penetapan hutan adat tidak
bisa diproses.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang
pengujian Undang-Undang Kehutanan hanya mengabulkan sebagian, tidak
termasuk pasal 67 tersebut. Dalam anotasi putusan Mahkamah Konstitusi
yang disusun Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Epistema, dan HuMA
tertulis, “…tidaklah tepat UU Kehutanan mengatur syarat ada atau tidaknya
masyarakat hukum adat, termasuk mendelegasikan kepada pemerintah
membuat peraturan pemerintah dan kepada pemerintah daerah melalui
peraturan daerah untuk mengukuhkan ada atau hapusnya masyarakat adat”
(Arizona, Y., 2014).
Upaya menghapus pasal 67 tak mengendur sampai pembahasan
Undang-Undang Cipta Kerja. Hasilnya, keberadaan masyarakat adat makin
kukuh melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 dan Peraturan
Menteri LHK Nomor 9 Tahun 2021 tentang pengelolaan perhutanan sosial.
Norma-norma yang mengatur hutan adat dalam PP Nomor 23 banyak
mengadopsi ketentuan dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 17 Tahun 2020
tentang hutan adat dan hutan hak. Akibatnya, norma hukum yang makin kuat
ini makin menyulitkan masyarakat adat mendapatkan pengakuan dan
penetapan status hutannya.
Regulasi mengenai hutan adat memang amat dinamis. Ada empat
peraturan Menteri LHK tentang hutan adat sejak terbit pada 2015, setelah
putusan MK Nomor 35. Peraturan Nomor P.32 Tahun 2015 tentang hutan
hak kemudian direvisi menjadi P.21 Tahun 2019 tentang hutan adat dan
18
hutan hak, lalu berganti menjadi P.17 Tahun 2020, dan saat ini memakai P.9
Tahun 2021. Apa hasilnya? Mari kita sorot dari capaian luas hutan adat sejak
2015.
Peraturan Menteri LHK Nomor P.32 Tahun 2015 kemudian menjadi
P.21 Tahun 2019, yang memuat nomenklatur baru yang diklaim sebagai
terobosan, yaitu penetapan peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat.
Wilayah indikatif hutan adat merupakan calon hutan adat yang lokasinya
berdasarkan peta lampiran perda atau surat keputusan kepala daerah untuk
pengakuan masyarakat hukum adat. Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan menetapkannya tidak melalui verifikasi lapangan, melainkan
melalui kajian dokumen kebijakan daerah mengenai pengakuan masyarakat
hukum adat, lalu ditumpangsusunkan dengan peta wilayah adat dan peta
kawasan hutan.
Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I diluncurkan
pada 27 Mei 2019. Luasnya 472.981 hektare, yang terdiri atas hutan negara
seluas 384.896 hektare, area penggunaan lain 68.935 hektare, dan hutan adat
19.150 hektare. Selebihnya merupakan luas wilayah adat yang telah
mendapat pengakuan pemerintah daerah. Lalu ada pembaruan Peta Hutan
Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase III dengan luas 950.129
hektare dan Fase IV seluas 1.107.986 hektare (Nugroho, Y.P. dkk, 2020).
Salah satu perubahan P.21 Tahun 2019 menjadi P.17 Tahun 2020
adalah penggantian peta hutan adat dan wilayah indikatif hutan adat menjadi
peta penunjukan dan penetapan hutan adat. Peta ini merupakan proses awal
suatu wilayah tertentu menjadi hutan adat dan peta area yang telah
ditetapkan menjadi area hutan adat. Namun, sampai P.17 Tahun 2020
dicabut dengan P.9 Tahun 2021, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan belum merilis data yang bisa dirujuk mengenai peta penunjukan
19
dan penetapan hutan adat seperti amanat P.17 Tahun 2020 paling lambat
enam bulan dan bersifat kumulatif.
Pengaturan hutan adat pada P.9 Tahun 2021 tidak banyak berubah
secara substansial dibanding P.17 Tahun 2020. Pada P.9 Tahun 2021 muncul
kembali skema penetapan wilayah indikatif hutan adat. Bedanya dengan
P.21 Tahun 2019 adalah penetapan peta indikatif hutan adat melalui
verifikasi teknis lapangan oleh tim terpadu yang dibentuk Direktur Jenderal
Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian LHK. Maka,
secara normatif, proses penetapan hutan adat sekarang jauh lebih sulit
dibanding sebelumnya.
Dalam urusan percepatan pengakuan hutan adat, normanya sudah
dibahas dalam rapat internal Presiden Joko Widodo di Istana dengan
kelompok masyarakat sipil pada November dan Desember 2020. Tindak
lanjutnya berupa rapat tingkat menteri yang dipimpin Kepala Staf
Kepresidenan dan dihadiri empat organisasi masyarakat sipil, yaitu
Konsorsium Pembaruan Agraria, Serikat Petani Indonesia, Gerakan
Masyarakat Perhutanan Sosial, dan Badan Registrasi Wilayah Adat.
Hasil rapat itu adalah Kantor Staf Presiden membentuk Tim
Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma
Agraria pada 29 Januari 2021 dengan masa kerja hingga 31 Desember 2021.
Tim ini dipimpin Kepala Staf Kepresidenan bersama Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan serta Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional dengan anggota direktorat jenderal terkait dan empat
organisasi masyarakat sipil tersebut.
Tiap organisasi masyarakat sipil menyampaikan lokasilokasi prioritas
penyelesaian konflik agraria, sementara kami menyampaikan lokasi prioritas
usulan hutan adat. Dari 137 kasus prioritas penanganan konflik, ada 27
20
lokasi prioritas usulan hutan adat seluas 1,1 juta hektare. Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah melakukan verifikasi teknis tiga
usulan hutan adat di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, pada awal April
2021.
Sampai kini belum ada keputusan atas hasil verifikasi tersebut.
Sebaliknya, rekomendasi hasil tim verifikasi teknis atas usulan tiga
komunitas adat di Sigi, yaitu Lindu, Toro, dan Moa, belum memenuhi
harapan komunitas adat. Luas hutan adat yang mereka usulkan dan
direkomendasikan pemerintah beda jauh.
Kesempatan mempermudah pengakuan masyarakat adat dan hutannya
dalam Undang-Undang Cipta Kerja pun lepas begitu saja. Sebaliknya, aturan
ini beserta semua aturan turunannya kian menyulitkan masyarakat adat
mendapatkan kembali hak-hak mereka.
Jika merujuk pada target pengakuan hutan adat yang disampaikan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada Juni 2019 seluas 6,53 juta
hektare, segala perubahan aturan hingga pembentukan tim kerja oleh Kantor
Staf Presiden hingga kini belum memberi hasil yang menggembirakan. Kini
Kementerian LHK baru menetapkan pengakuan hutan adat seluas 56.903
hektare.
C. Penetapan Hutan Adat Memerlukan Mekanisme Legal Formal
NEGARA mengakui keberadaan masyarakat hukum adat. Keberadaan
masyarakat hukum adat dijamin konstitusi. Pasal 18 B ayat (2) Undang-
Undang Dasar 1945 menyatakan ‘Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-
undang’
21
Itu artinya pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat harus
berdasarkan undang-undang. Sebagai negara hukum, segala sesuatu
berpedoman pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
Sejumlah itu, ada undang-undang yang mengatur masyarakat hukum
adat, antara lain, Undang-Undang Nomor 5/1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA), Undang-Undang Nomor 41/1999 tentang
Kehutanan, Undang-Undang Nomor 39/2014 tentang Perkebunan, Undang-
Undang Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor
32.2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-
Undang Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, dan Undang-Un-dang
Nomor 6/2014 tentang Desa. Peraturan terbaru yang mengatur mengenai
keberadaan masyarakat hukum adat ialah Peraturan Menteri LHK Nomor
32/2015. Peraturan itu memperluas produk hukum yang bisa dipakai untuk
pengukuhan atau penetapan keberadaan hukum adat menjadi produk hukum
daerah. Sesuai ketentuan Permendagri Nomor 1/2014, produk hukum daerah
mencakup perda atau nama lainnya, peraturan kepala daerah, peraturan
bersama kepala daerah, peraturan DPRD, dan berbagai keputusan. Pun DPR
telah menyetujui RUU Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. RUU ini akan
memberi jaminan perlindungan dan pengakuan bagi keberadaan masyarakat
hukum adat. RUU ini kelak menjadi dasar hukum penyelesaian berbagai
persoalan masyarakat hukum adat.
.(https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/345505/penetapan-hutan-adat-memerlukan-
mekanisme-legal-formal)

D. KEBERADAAN HUKUM ADAT DALAM SISTEM HUKUM


INDONESIA

22
Indonesia adalah negara yang menganut pluralitas dalam bidang
hukumnya, dimana ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku
yaitu hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Pada prakteknya masih
banyak masyarakat yang menggunakan hukum adat dalam mengatur
kegiatan sehari-harinya serta dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang
ada. Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tata hukum adatnya masing-
masing untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam
yang sebagian besar hukum adat tersebut tidak dalam bentuk aturan yang
tertulis.
Hukum adat tersebut berkembang mengikuti perkembangan
masyarakat dan tradisi rakyat yang ada. Hukum adat merupakan endapan
kesusilaan dalam masyarakat yang kebenarannya mendapatkan pengakuan
dalam masyarakat tersebut. Dalam perkembangannya, praktek yang terjadi
dalam masyarakat hukum adat keberadaan hukum adat sering
menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apakah aturan hukum adat ini tetap
dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari-hari masyarakat dan
menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan yang timbul di
masyarakat hukum adat. Sementara itu negara kita juga mempunyai aturan
hukum yang dibuat oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan
peraturan perundang-undangan lainnya. Antara hukum adat dengan hukum
negara mempunyai daya pengikat yang berbeda secara konstitusional
bersifat sama tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.
Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan
tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum
dikodifikasikan. Menurut Terhaar, hukum adat adalah keseluruhan
peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan adat dan berlaku
secara spontan. Dapat disimpulkan hukum adat adalah suatu norma atau
23
peraturan tidak tertulis yang dibuat untuk mengatur tingkah laku
masyarakat dan memiliki sanksi.
Keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh negara
keberadaannya tetapi penggunaannyapun terbatas. Merujuk pada pasal 18B
ayat (2) UUD 1945 dimana menyebutkan”Negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur
dalam undang-undang” yang berarti bahwa negara mengakui keberadaan
hukum adat serta konstitusional haknya dalam system hukum Indonesia.
Disamping itu juga diatur dalam Pasal 3 UUPA “Pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
E. PROBLEMATIKA YANG SERING TIMBUL
Problematika yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak
ulayat atau kepemilikan hak atas tanah. Hak ulayat yaitu hak penguasaan
atas tanah masyarakat hukum adat yang dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan diakui oleh negara dimana dalam teorinya hak ulayat
dapat mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama juga
halnya dengan hak-hak perorangan dan ini pula yang merupakan sifat
istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat, “semakin kuat
kedudukan hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin mengempis
tetapi apabila semakin kuat hak milik itu maka keberadaan hak ulayat itu
akan berakhir”. Dengan telah diakuinya hak-hak kesatuan masyarakat
24
hukum adat tetapi mengapa masih banyak permasalahan itu terjadi di
daerah-daerah Indonesia. Banyak penggunaan tanah ulayat yang berakhir
sengketa karena tidak sesuai dengan seharusnya. Hal itu timbul karena para
investor seharusnya berurusan langsung dengan masyarakat adat sebagai
pemilik hak ulayat untuk melaksanakan suatu perjanjian. Tetapi
kenyataannya malah investor tersebut mendapatkan tanahnya melalui
pemerintah yang mengakibatkan masyarakat adat selaku pemilik protes
karena mengapa melakukan kegiatan investor ditanah mereka. Timbul juga
sebuah kerugian sebagai efek samping dari terjadinya sengketa karena
tanah tersebut dalam status quo sehingga tidak dapat digunakan secara
optimal dan terjadilah penurunan kualitas sda yang bisa merugikan banyak
pihak.
Negara dimana sebagai pemberi sebuah jaminan kepastian hukum
adat terhadap masyarakat hukum adat dengan di berlakukannya UU No.5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) diharapkan
dapat mengurangi terjadinya sengketa dan memberikan keadilan untuk
masyarakat adat. Karena dalam pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa hukum
tanah nasional bersumber pada hukum adat seharusnya secara otomatis
hak-hak ulayat tersebut diakui tetapi dalam prakteknya tidak. Jangan
sampai terjadinya tumpang tindih aturan yang berakibat kaburnya
kepemilikan serta penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat adat dalam
tatanan hukum Indonesia karena tidak adanya kepastian kedudukan
tersebut.
Untuk konsep kedepannya diharapkan untuk adanya jaminan
kepastian hukum tentang pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat.
Dimana haruslah dibuat secara lebih mendalam atau rinci peraturan
perundang-undangannya baik itu bisa dalam Peraturan Presiden atau
25
Peraturan Pemerintah dimana yang jelas dibawah undang-undang, apakah
bisa dibuat dalam bentuk tertulis dalam hal hak atas tanah atau untuk
pelaksanaannya. Supaya ada kejelasan hak milik dari pada masyarakat
hukum adat itu kedepannya karena selama ini hukum adat memang dikenal
dalam UUPA dan juga diatur dalam UUD 1945 tapi sejauh mana
keberadaan hukum adat itu bisa menganulir hukum positif tidak ada
kejelasannya.

26
F. PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN
REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUTAN ADAT
 NOMOR P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2020 TENTANG HUTAN
ADAT DAN HUTAN HAK.
Menimbang: a. bahwa Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang
Hutan Adat dan Hutan Hak sudah tidak sesuai lagi dengan
kebutuhan hukum masyarakat sehingga perlu diganti;
b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Hutan Adat dan
Hutan Hak;
Mengingat : 1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata
Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan

27
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
5. Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2015 tentang
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 17);
6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.18/Menlhk-II/2015 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor
713);

Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
2. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai Hutan tetap.
3. Hutan Negara adalah Hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani
hak atas tanah.
4. Hutan Adat adalah Hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat
hukum adat.
5. Hutan Hak adalah Hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas
tanah.
6. Pemanfaatan Hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan Kawasan Hutan,
memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan
kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil
untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
7. Masyarakat Hukum Adat yang selanjutnya disingkat MHA adalah kelompok
masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang
kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan
pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

28
8. Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, an/atau perairan
beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-batas tertentu,
dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-temurun dan secara
berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang diperoleh
melalui pewarisan dari leluhur mereka atau gugatan kepemilikan berupa
tanah ulayat atau Hutan Adat.

29
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kedudukan hutan adat dalam hukum Indonesia, sebelum adannya Putusan
Mahkamah Kontitusi Nomor 35/PUU-X/2012 berada dalam status hutan
negara. Kedudukan dalam status hutan negara tersebut berkonsekuensi
terhadap penguasaan dan pengaturan oleh negara yang dipengaruhi oleh
adanya Konsepsi Hak Menguasai Negara. Konsepsi Penguasaan dan
Kedudukan hukum dari status hutan adat tersebut telah menjadi penyebab
munculnya Konflik Kehutanan. Konflik yang bersifat struktura itu muncul
akibat adanya aturan hukum negara yang tidak memberikan penghormatan
hak terhadap masyarakat hukum adat, maupun akibat adanya kebijakan
negara memberikan konsesi-konsesi kehutanan kepada pihak swasta
diwilayah masyarakat hukum adat, yang menimbulkan
Legal Gaps antara hukum negara dengan hukum adat, meskipun sudah
banyak aturan hukum negara yang mengakui dan menghormati hak
masyarakat hukum adat tapi belum dapat dijadikan pijakan terhadap
pengakuan dan penguasaan hak.
2. Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 35/PUU-X/2012 telah memperkecil
jarak dari Legal Gaps antara hukum negara dan hukum adat, karena negara
melalui Putusan Mahkamah Konsitusi tersebut telah memberikan
pengakuan hak kepada masyarkat hukum adat, dan mengeluarkan hutan
adat dari status hutan negara, dan memasukkan kedalam hutan hak.
Namun Pemisahan status hutan adat dari hutan negara, tidak serta merta
dapat diberlakukan tapi harus mengikuti persyaratan mengenai
keberadaan masyarkat hukum adat, dan setelah itu ditetapkan oleh
pemerintah daerah Kabupaten/Kota melalui peraturan daerah. Untuk
30
melaksanakan dan mengimplementasikan penetapan dan pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat. Pemerintah juga telah memberikan
peluang-peluang hukum untuk pengakuan masyarkat hukum adat oleh
pemerintah daerah, mulai dari Undang-Undang sampai kepada Peraturan
Menteri.
B. Saran
1. Kedepan untuk dapat mengimplementasikan Putusan Mahkamah Kontitusi

Nomor 35/PUU-X/2012 harus dibuatkan suatu aturan skema yang jelas


dari
Undang-Undang Kehutanan, sebagaimana konteks pengaturan hutan
negara. Serta pemerintah dan pemerintah daerah harus melakukan
identifikasi dan inventarisasi wilayah masyarakat hukum adat dan hutan
adat juga memfasilitasi terbentuknya aturan hukum daerah untuk
pengakuan masyarakat hukum adat.
2. Perlunya aturan hukum untuk pengakuan masyarakat hukum adat di
Indonesia, dalam suatu rujukan Undang-undang, agar juga tidak
menimbulkan keraguan pemerintah daerah sebagai organ/pihak yang akan
menindak lanjuti putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

31
DAFTAR PUSTAKA

- Abdul Muis Yusuf dan Mohammad Taufik Makarao. 2011. Hukum


Kehutanan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta
- (ono dalam Suhartini, 2009)
- (UU 32/2009).
- https://www.bola.com/ragam/read/4436427/pengertian-hukum-tujuan-
unsur-dan-jenis-jenisnya
- https://www.am

.(https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/345505/penetapan-hutan-adat-memerlukan-
mekanisme-legal-formal)
n.o
r.id/apa-itu-hutan-adat
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201016152450-20-559295/uu-
cipta-kerja-disebut-berpotensi-mengancam-hutan-adat).
- ttps://epistema.or.id/kabar/liputan-kegiatan/kajian-sosio-
legal-dan-pengembangan-pendidikan-hukum-di-indonesia/
- Salim, H.S. 2013. Dasar-Dasar HukumKehutanan. Jakarta:
SinarGrafika.

32

Anda mungkin juga menyukai