PENDAHULUAN
Hutan merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki berbagai
manfaat dalam kehidupan bermasyrakat dan dalam pembangunan Negara baik secara
langsung maupun tidak langsung. Indonesia memiliki kawasan hutan dengan luas hutan
82.663.814,08 hektar dari luas wilayah sebesar 181,2 jutahektar. 1 Memiliki luas yang
hampir mencapai setengah dari luas wilayah Indonesia itu, menjadikan hutan Indonesia
sebagai salah satu sumber daya alam hayati yang sangat berpengaruh bagi kehidupan
Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang
hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap. Sementara itu, hutan berdasarkan pasal 1 angka 2
UU Kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
1
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Data Set Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Tahun 2016”, http://www.menlhk.go.id/berita-129-dataset-lingkungan-hidup-dankehutanan.html, di akses
tanggal 7 November 2021.
2
Mega Dwi Yulyandini, “Wewenang Tidak Langsung Negara Terhadap Hutan Adat Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012”, Jurist Diction Volume 1 No.1 September
2018.Hlm 63.
1
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
hutan negara dan hutan hak.3Hutan negara berdasarkan UU Kehutanan adalah hutan
yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut ketentuan
hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga atau sebutan lainnya.
sebelum kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), masyarakat adat telah
hidup dan berkembang bergenerasi di wilayah yang saat ini menjadi wilayah Negara
tentang masyarakat adat menggunakan istilah masyarakat hukum adat atau persekutuan
masyarakat hukum adat terus berkembang sejak era kolonialisasi sampai dengan saat ini.
Pada zaman kolonial, para peneliti Belanda lebih menfokuskan kajian-kajian mereka
pada aspek-aspek hukum adat yang berbeda dengan hukum Belanda atau dikenal juga
dengan hukum Eropa Kontinental. Silih bergantinya rezim politik yang menguasai
Hindia Belanda sebagai negeri jajahan apakah akan menggunakan satu hukum saja,
yakni hukum Belanda dengan melakukan kodifikasi terhadap hukum adat sehingga
dapat diberlakukan menggunakan sistem hukum Belanda melalui suatu unifikasi atau
masyarakat berbeda, termasuk hukum-hukum warga Timur Asing seperti India dan Cina
3
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
2
yang juga menjadi penduduk Hindia Belanda pada saat itu. Pasang surut itu
pada saat itu merupakan bagian dari suatu kelompok masyarakat yang dikenal sebagai
masyarakat pribumi.4
Adalah suatu fakta yang telah banyak diketahui oleh umum bahwa Indonesia
adalah negara yang dipenuhi oleh keberagaman suku, etnis, kebiasaan, bahasa, tradisi
dan budaya. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki
begitu banyak latar belakang budaya yang membuat mereka memiliki cara hidup yang
berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, termasuk cara mereka dalam
dapat memindahkan penguasaan kepada orang lainHak ulayat menurut hukum adat ada
dan hukum tidak tertulis mereka yang berasal dari adat. Pada masa kolonial, seorang
sarjana Belanda yang bernama Van Vollenhoven menyebut entitas sosio-politik tersebut
“persekutuan hukum adat.” Istilah ini didefinisikan oleh Van Vollenhoven sebagai
4
Yesua YDK Pellokilo, “Masyarakat Adat: Lintasan Perjalanan Sejak Kolonialisasi Hingga UU
6/2014 2014 Tentang Desa : Jalan Itu Masih Panjang” Jurnal Hukum Volume 2 Nomor 3, Tahun 2018,
hlm 2.
5
Ali Yusri, Adlin, Tito Handoko, "PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENETAPAN HAK
ULAYAT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SINGINGI”, Seminar Nasional Pelestarian Lingkungan
(SENPLING) 2018, hlm 337.
3
Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, di mana keberadaan negara (kolonial) ini
dibiarkan untuk terus ada, dibiarkan untuk ada, bukan berarti otoritas kekuasaan
persekutuan hukum adat masih sama seperti sebelum masa kolonial. Dikarenakan salah
satu tujuan utama kolonialisme atau penjajahan adalah untuk melakukan eksploitasi
sumber daya baik alam maupun manusia dari wilayah jajahan, maka Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda pun juga memiliki kepentingan untuk menguasai dan
mengontrol wilayah jajahan mereka agar dapat dieksploitasi sumber daya alamnya.
Sebagai konsekuensi dari itu, terjadi banyak friksi kekuasaan antara Pemerintah
khususnya friksi kekuasaan yang menyangkut penguasaan dan kontrol atas tanah dan
sumber daya alam (hak tenurial). Reformasi tahun 1998 membawa angin perubahan bagi
Sebagaimana telah disinggung, pada tahun 2000, lahir Pasal 18B ayat (2) dan
dua pasal lain yang memperkuat pengakuan hak masyarakat adat pada tingkat konstitusi.
Selepas itu, ada pula 5 Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pengakuan itu
sebagaimana yang terkandung dalam Putusan MK 35/2012, yang tentu saja membawa
perubahan yang positif bagi kemajuan pengakuan hak masyarakat adat ke depan. Dalam
akses masyarakat pada umumnya kepada sumber daya hutan, pemerintah telah
itu, pada tanggal 25 Oktober 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
4
2016 tentang Perhutanan Sosial. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 ayat (1)
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang
lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang
dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku
sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman
Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan KehutananTerkait dengan kebijakan
ini, pada akhir tahun 2016 lalu, Presiden Jokowi telah menyerahkan 9 (sembilan) Surat
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penetapan Hutan Adat.6
halnya yang terdapat pada UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dan UU No. 41 Tahun 1999
(UU Kehutanan), sifat pengakuan yang diberikan kepada eksistensi masyarakat hukum
adat khususnya pada hak-hak tradisional mereka atas sumber daya alam adalah
masyarakat hukum adat atas sumber daya alam diakui sepanjang tidak bertentangan
2 ayat 4, Pasal 3, dan Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 dan Pasal 4 ayat 3 UU No. 41
Tahun 1999. Konsep demikian, khususnya sebagaimana yang diatur dalam UU No. 41
Nomor 35 /PUU-X/ 2012 yang merupakan putusan uji materiil atas UU No. 41 Tahun
1999 yang pada intinya mengatur bahwa hutan adat bukan lagi merupakan hutan negara,
melainkan hutan milik masyarakat adat. Melalui Putusan MK ini, maka terjadi
6
http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/01/09/Tonggak-BaruHak-Masyarakat- Adat
diakses tanggal, 8 November 2021.
5
perubahan konsep mengenai hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, di
mana semula hak ini hanyalah hak yang sifatnya relatif kini menjadi hak yang riil
dimiliki oleh masyarakat hukum adat.7 Bahwa dimasukkannya hutan adat sebagai bagian
dari hutan negara dalam UU Kehutanan mengaibatkan hak-hak masyarakat hukum adat
atas hutan adat sering terabaikan dan bahkan terkadang terlanggar oleh Pemerintah
sendiri. Karena merasa hak-hak mereka terabaikan bahkan terlanggar, maka masyarakat
MK 35). Dalam putusan tersebut MK menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan yang
berada dalam wilayah masyarakat hokum adat dan hutan negara yang dimaksud dalam
UU Kehutanan, tidak termasuk hutan adat dan bahwa “...negara hanya mempunyai
wewenang secara tidak langsung terhadap hutan adat”. Berdasarkan putusan tersebut
maka hutan adat termasuk dalam kategori hutan hak, bukan hutan negara.
masyarakat adat. Namunterkait dengan kewenangan negara terhadap hutan adat tersebut
tidak dijelaskan lebih lanjut tentang batasan-batasan kewenangan yang dimiliki oleh
khususnyaterkait status hukum hutan adat, namun bukan berarti masalah terkait hutan
7
Joeni Arianto Kurniawan, “Kedudukan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Alam
Pasca Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, “ Jurnal Ilmu Hukum II, N0 5 January 2017, hlm 4.
6
berlaku di Indonesia,aspek hukum implementasi putusan MK tercantum dalam Pasal24C
ayat (1) UUD NRI 1945.Meski demikian, fakta empirismemperlihatkan bahwa tidak
seluruh putusan final dan mengikatitu dapat mempengaruhi parlemen dan lembaga
final.8
Legal Studies”.
sebagai berikut:
yang masih ada yang secara substansi belum sesuai dengan semangat yang ada
8
Proborini Hastuti, “Pemberian Kewenangan Judicial Order Kepada Mahkamah Konstitusi Dalam
engujian Undang-Undang Terhadap Undang Undang Dasar”, SUPREMASI HUKUM Vol 7, No 1 Juni
2018. Hlm 61.
7
3. Bagaimanakah “wewenang tidak langsung” yang dimiliki olehnegara terhadap
Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah yang diuraikan di atas, maka
perundang-undangan lain yang masih ada yang secara substansi belum sesuai
1. Kegunaan Teoritis
bidang hukum selanjutnya yang berkaitan dengan Legalitas Hutan Adat Dan
mengenai Legalitas Hutan Adat Dan Hak Kelola Menurut Putusan Mahkamah
Studies yang bersifat akademis dan juga sebagai bahan tambahan bagi
kepustakaan.
8
c. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi kalangan
2. Kegunaan Praktis
a. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi aparat
penegak hukum, dan masyarakat pada umumnya terkait dengan Legalitas Hutan
Adat Dan Hak Kelola Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor
b. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan sumbangan
c. Diharapkan penelitian ini dapat menggugah kesadaran para pembaca dan dapat
BAB II
PEMBAHASAN
9
2.1 .Kerangka Pengaturan Hukum Yang Seharusnya Dibuat Guna
dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2).3 Dari ketiga putusan MK itu, dapat disimpulkan
bahwa terdapat tiga kriteria yang digunakan dalam menentukan apakah suatu komunitas
itu masyarakat (hukum) adat—sebagai salah satu subjek hukum yang dapat beracara di
MK—atau bukan.4 Pertama, suatu kesatuan masyarakat hukum adat secara de facto
masih hidup (actual existence), baik bersifat teritorial, genealogis, maupun fungsional,
masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in group feeling), (2) adanya
pranata pemerintahan adat, (3) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, dan
(4) adanya perangkat norma hukum adat dan, khusus pada kesatuan masyarakat hukum
adat yang bersifat teritorial, (5) terdapat unsur adanya wilayah tertentu. 9Konsep Hak
Sumber Daya Alam menurut Hukum Adat Berbicara mengenai hak sumber daya alam di
dalam perspektif hukum adat, maka terlebih dahulu harus ditelaah soal hak yang paling
fundamental di dalam hukum adat terkait denganeksistensi masyarakat hukum adat (atau
yakni apa yang dikenal dengan istilah hak ulayat atau hak pertuanan atau
beschikkingsrecht.10
9
R Yando Zakaria, “Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan Potensi Implikasinya terhadap
Perebutan Sumberdaya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012: Studi Kasus Kabupaten Kutai
Barat, Kalimantan Timur”Wacana Jurnal Transformasi Sosial, Nomor 33 Tahun XVIII, 2019, hlm 103.
10
Istilah “hak ulayat” ini pada faktanya bervariasi di berbagai daerah, yakni: patuanan (Ambon) ,
panyampeto (Kalimantan), pawetasan (Kalimantan), wewengkon (Jawa), prabumian (Bali), tatabuan
(Bolaang Mangondow), torluk (Angkola), limpo (Sulawesi Selatan), nuru (Buru), payar (Bali), paer
(Lombok), ulayat (Minangkabau). Lihat: Ter Haar, “Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat,” Pradnya
Paramita, Jakarta, 1981, h. 85).
10
Hak ulayat adalah hak yang fundamental dalam eksistensi suatu kesatuan
masyarakat hukum adat dikarenakan hak inilah yang menjadi landasan otoritas atau
kedaulatan dari suatu kesatuan masyarakat adat, sehingga masyarakat adat tersebut
memiliki kewenangan untuk mengatur segala hal yang berada di dalam wilayah
kekuasaannya dan oleh karenanya bisa disebut sebagai masyarakat hukum.Hal ini sesuai
dengan ungkapan dalam hukum adat yang berbunyi “Ada masyarakat, ada
ulayatnya.Tiada ulayat, tiada masyarakatnya.”5 Berangkat dari hal inilah mengapa oleh
Moh. Koesnoe disebutkan bahwa hak ulayat adalah hak yang asasi bagi suatu kesatuan
masyarakat hukum adat, sehingga ia (secara normatif) akan selalu melekat pada setiap
eksistensi masyarakat hukum adat.11Oleh karena itu, menurut Koesnoe cara untuk
membuktikan keberadaan suatu hak ulayat adalah cukup dengan membuktikan eksistensi
sebuah kesatuan masyarakat hukum adat, di mana jika suatu kesatuan masyarakat
hukum adat dapat dibuktikan keberadaannya, maka secara normatif kesatuan masyarakat
Melalui keberadaan hak ulayat ini, maka akan muncul konsekuensi ke dua arah
yang berbeda, yakni ke dalam dan keluar kesatuan masyarakat hukum adat pemilik hak
11
Ibid, hlm 34.
12
Ibid, hlm 35.
13
Moh.Koesnoe, op cit, hlm. 39
14
Surojo Wignjodipuro, “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,” Penerbit Alumni, Bandung,
1972, hlm 250.
11
1. Mempertahankan dan membela jangan sampai kalangan luar kesatuan
membahayakan atau mengambil alih tanah-lingkungan beserta isinya yang berada
di dalam ulayatnya.
2. Mempertanggung jawabkan tindakan yang dilakukan terhadap orang asing bukan
penduduknya yang terjadi di dalam tanah-lingkungan ulayatnya.
Berdasarkan uraian mengenai hak ulayat di atas, maka dapat terlihat tentang
bagaimana konsep hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam menurut hukum
adat. Adanya hak atas sumber daya alam bagi masyarakat hukum adat, yakni hak untuk
masyarakat hukum adat tersebut, adalah hak yang lahir dari adanya hak ulayat sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat, di mana kewenangan penguasaan ini didapat atau
berasal dari hukum kodrat alias kewenangan yang muncul secara alamiah dan bukan
diberikan oleh pihak lain di luar kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Lebih jauh lagi, dikarenakan ini adalah sebuah hak yang melekat pada eksistensi hak
ulayat, maka hak atas sumber daya alam yang dimiliki masyarakat hukum adat adalah
bersifat eksklusif. Artinya, ia hanya bisa dinikmati oleh anggota kesatuan masyarakat
hukum adat yang memiliki ulayat atas wilayah yang bersangkutan, dan bersifat terlarang
bagi siapa saja yang bukan anggota kesatuan masyarakat hukum adat penguasa ulayat
wilayah tersebut. Hal selanjutnya adalah bahwa karena hak atas sumber daya alam
adalah hak yang lahir dan melekat pada eksistensi hak ulayat, sedangkan hak ulayat
adalah kewenangan yang melekat secara kodrati pada setiap eksistensi masyarakat
hukum adat, maka bisa dikatakan bahwa hak atas sumber daya alam adalah hak yang
Adapun ruang lingkup hak atas sumber daya alam masyarakat hukum adat ini
adalah seperti apa yang telah disinggung di atas, yakni meliputi hak untuk memakai dan
12
memanfaatkan tanah-lingkungan beserta segala isinya yang berada di dalam wilayah
ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sehingga, bisa dikatakan bahwa
ruang lingkup hak sumber daya alam masyarakat hukum adat adalah meliputi segala
sumber daya alam di dalam wilayah ulayatnya, juga termasuk sumber daya alam yang
ada di laut dan di dalam perut bumi. Adanya konsep hak ulayat sebagai suatu
temurun diwilayah geografis tertentu dan diikat olehidentitas budaya, adanya ikatan
pada asalusul leluhur, hubungan yang kuat dengantanah, wilayah dan sumber daya alam
diwilayah adatnya serta sistem nilai yangmenentukan pranata ekonomi, politik, social
dan hukum. Hal ini paling tidak dapat dilihat pada apa yang menjadi landasan gerakan
suatu wilayah tertentu milik kesatuan masyarakat hukum adat oleh AMAN dipandang
sebagai landasan yang menjadikan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai suatu
entitas politik, yang memiliki hak penguasaan atas segala hal yang ada dan menjadi isi
dari wilayah di mana kesatuan masyarakat hukum adat tersebut berada dan tinggal. Hal
inilah yang membuat AMAN meyakini bahwa sesungguhnya hingga kini masyarakat
15
Arasy Pradana A Azis, “AFIRMASI MK TERHADAP JUKSTAPOSISI MASYARAKAT
ADAT SEBAGAI SUBYEK HAK BERSERIKAT DI INDONESIA (Analisis terhadap Keterlibatan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012)”, Jurnal
Rechts Vinding Volume 8, Nomor 1, April 2019.hlm 27.
13
hukum adat di Indonesia masih memiliki kedaulatan atas wilayahnya, dan adapun jika
wilayah tersebut pada kenyataannya sudah beralih fungsi dan penguasaan oleh pihak
lain, menurut AMAN hal itu tidak lebih dikarenakan adanya perampasan sepihak oleh
pihak di luar kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan oleh karenanya
wilayah tersebut seharusnya tetap harus dipandang masih menjadi milik masyarakat
hukum adat yang bersangkutan.14 Berdasarkan adanya keyakinan inilah maka AMAN
dalam salah satu manuver gerakannya melakukan gugatan uji materiil atas UU No. 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan yang kemudian dikabulkan oleh MK melalui Putusan
MK No. 35/PUU-X/2012.16
Yang Secara Substansi Belum Sesuai Dengan Semangat Yang Ada Dalam
Permohonan uji materiil ini diajukan oleh 3 pemohon bersama-sama, yakni Aliansi
Kuntu (Kabupaten Kampar Provinsi Riau), dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat
X/2012 ini, MK menganulir beberapa pasal yang ada di dalam UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, yakni pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat 3, pasal 5 ayat 1, dan pasal 5 ayat
2.
16
Joeni Arianto Kurniawan, Op Cit, hlm 7.
14
“Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”
pengaturan UU No. 41 Tahun 1999 adalah: Pertama, terdapat 2 (dua) jenis hutan, yakni
hutan negara dan hutan hak, di mana hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah
yang dibebani hak atas tanah (vide: Pasal 1 angka 5 UU No. 41 Tahun 1999), sedangkan
hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah
(vide: Pasal 1 angka 4 UU No. 41 Tahun 1999). Kedua, apa yang disebut sebagai “hutan
adat” adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat (vide:
Sehingga, walaupun eksistensi hutan adat sebagai hutan yang terkait dengan eksistensi
masyarakat hukum adat diatur oleh UU No. 41 Tahun 1999, hutan adat sesungguhnya
adalah hutan negara dan oleh karenanya walaupun istilahnya disebut sebagai “hutan
17
Pasal 5 ayat 1 UU No. 41 Tahun 1999 ini semula berbunyi: “ Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. Hutan Negara
b. Hutan Hak
15
adat”, masyarakat hukum adat sesungguhnya tidak memiliki kekuasaan secara penuh
secara cukup radikal. Sehingga, prinsip pengaturan dalam UU No. 41 Tahun 1999
Pertama, apa yang disebut sebagai “hutan adat” sekarang menjadi terpisah
dari hutan negara. Hal ini merujuk pada pendapat MK yang menyatakan
bahwa sesuai dengan pengaturan dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945,
kesatuan masyarakat hukum adat adalahsuatu subyek hukum yang memiliki
kapasitas untuk menyandang hak (dan kewajiban), dan oleh karenanya
masyarakat hukum adat sudah seharusnya memliki hak atas hutan.18
Kedua, karena UU No. 41 Tahun 1999 hanya mengenal 2 (dua) jenis hutan
yakni hutan negara dan hutan hak, mendasarkan pada prinsip pertama di atas
bahwa kesatuan masyarakat hukum adat seharusnya juga memiliki hak atas
hutan, maka merujuk pada pendapat MK, apa yang disebut sebagai hutan
adat adalah bagian dari hutan hak dan bukan bagian dari hutan Negara.”19
Ketiga, apa yang disebut sebagai “hutan adat” pasca adanya putusan MK
No. 35/PUU-X/2012 ini menjadi didefinisikan sebagai “hutan yang berada
dalam wilayah masyarakat hukum adat.”20
Keempat, hutan adat sebagai hutan yang haknya dipunyai suatu kesatuan
masyarakat hukum adat akan diakui jika keberadaan kesatuan masyarakat
hukum adat tersebut diakui, dan untuk dapatnya suatu kesatuan masyarakat
hukum adat diakui keberadaannya, ia harus memenuhi syarat pengakuan
sebagaimana diatur oleh UUD 1945, yakni masyarakat hukum adat tersebut
senyatanya masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.21
Hal ini mengubah prinsip yang ada sebelumnya, di mana untuk supaya dapat
diakui, suatu kesatuan masyarakat hukum adat harus memenuhi syarat yang salah
prinsip pengaturan yang baru menyangkut hutan adat pasca adanya putusan MK No.
hutan adat. Sehingga, hak masyarakat hukum adat atas hutan ini secara tegas telah diakui
Supaya suatu kesatuan masyarakat hukum adat dapat menikmati hak atas hutan ini,
terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh kesatuan masyarakat hukum adat tersebut,
yakni bahwa keberadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan harus telah diakui
terlebih dahulu dulu.UU No. 41 Tahun 1999 melalui penjelasan pasal 67 ayat (1)
mengatur tentang unsur-unsur yang harus dipenuhi agar sebuah kesatuan masyarakat
4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati;
dan
hukum adat, maka perlu juga dirujuk syarat-syarat tersebut sebagaimana yang diatur
dalam pasal 18B ayat 2 UUD 1945, yang jika didasarkan pada pendapat MK
kumulatif, yakni:22
22
Joeni Arianto Kurniawan dan Christiani Widowati, “Perlindungan Eksistensi Masyarakat Hukum
Adat dalam Konstruksi Negara Hukum Indonesia,” Laporan Akhir Penelitian Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 2018, hlm 22.
17
1. Kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan adalah kesatuan masyarakat
hukum adat yang eksistensinya telah ada sejak jaman nenek moyang dan berhasil
mempertahankan eksistensinya tersebut hingga kini tanpa terputus;
2. Warga anggotanya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);
3. Memiliki pranata pemerintahan adat;
4. Memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
5. Memiliki perangkat norma hukum adat;
6. Khusus untuk kesatuan masyarakat hukum adat berjenis teritorial, memiliki
wilayah tertentu.
7. Substansi hak-hak tradisional dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut diakui
dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun
masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia.
8. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI.
9. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
10. Keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
tersebut telah diakui berdasarkan UU ataupun Peraturan Daerah (Perda).
yang ada dalam Penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 khususnya unsur
nomor 1 hingga nomor 4 dapat dikatakan juga tercakup dalam ke-10 unsur dalam pasal
18B ayat 2 UUD 1945 yang dipaparkan oleh MK dalam putusannya No. 31/PUU-
bisa dikatakan bahwa syarat agar suatu kesatuan masyarakat hukum adat dapat diakui
keberadaannya terkait dengan hak masyarakat hukum adat atas hutan, maka kesatuan
masyarakat hukum adat tersebut harus memenuhi secara kumulatif kesepuluh syarat
tersebut di atas ditambah satu syarat sebagaimana diatur dalam poin ke-5 di Penjelasan
Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999. Sehingga jika digabung secara keseluruhan,
masyarakat hukum adat terkait dengan hak mereka atas hutan adat adalah:23
23
Menurut Pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999, bentuk penuangan pengakuan atas keberadaan
suatu kesatuan masyarakat hukum adat adalah dengan penetapan oleh Peraturan Daerah (Perda). Lebih
jauh, menurut Penjelasan Pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 ini, Perda tersebut disusun dengan
memperhatikan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh
masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
18
1. Kesatuan masyarakat hukum adat yang eksistensinya telah ada sejak jaman nenek
moyang dan berhasil mempertahankan eksistensinya tersebut hingga kini tanpa
terputus;
2. Warga anggotanya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);
3. Memiliki pranata pemerintahan adat;
4. Memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
5. Memiliki perangkat norma hukum adat;
6. Khusus untuk kesatuan masyarakat hukum adat berjenis teritorial, memiliki
wilayah tertentu;
7. Substansi hak-hak tradisional dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut diakui
dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun
masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia;
8. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI;
9. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;
10. Keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat tersebut diakui berdasarkan UU
ataupun Perda, dan;
11. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Berdasarkan seluruh penjabaran di atas, ada beberapa poin penting yang bisa
diambil terkait hak masyarakat hukum adat atas hutan sebagaimana yang diatur dalam
Kedua, walaupun telah terbangun suatu konsep baru tentang hak masyarakat
hukum adat atas hutan yang bersifat penuh yang bernama hutan adat, hal ini
tidak serta merta membuat suatu kesatuan masyarakat hukum adat secara
otomatis memiliki kewenangan untuk mendapatkan hak tersebut. Sesuai
dengan isi Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 jo. Putusan MK No. 31/PUU-
V/2007 serta Penjelasan Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999, diatur mengenai
syarat-syarat diakuinya suatu eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat di
19
mana hal ini adalah prasyarat dapat diberikannya suatu hak atas hutan
kepada masyarakat hukum adat tersebut.
Dengan kata lain, suatu hak atas hutan hanya dapat diberikan kepada suatu
kesatuan masyarakat hukum adat yang sebelumnya sudah diakui eksistensinya terlebih
dahulu. Jika ada suatu kesatuan masyarakat hukum adat tidak dapat diakui
eksistensi masyarakat hukum adat menurut putusan MK dan UU No. 41 Tahun 1999
sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka tentu hak atas hutan tidak dapat diberikan
hukum adat yang bersangkutan eksistensinya harus sudah ada sejak jaman dahulu dan
berhasil tetap dipertahankan tanpa terputus hingga saat ini. Hal ini tentu saja cukup sulit
untuk dipenuhi, dan kalaupun ada jumlahnya akan sangat sedikit. Hal ini mengingat
adanya kebijakan semasa Orde Baru di masa lalu selama 32 tahun yang banyak
serba sentralistis dan otokratis yang ditunjang dengan penerapan sistem pemerintahan
administratif yang serba diseragamkan mulai dari tingkat pusat hingga tingkat paling
bawah di daerah, sehingga banyak membuat eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat
Contoh kesulitan yang kedua adalah terkait dengan syarat ke-9, yakni bahwa
norma-norma hukum adat yang dimiliki kesatuan masyarakat hukum adat yang
ketentuan dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
20
Indonesia, maka berdasarkan syarat dalam poin nomor 9 di atas norma-norma hukum
adat yang dimiliki oleh suatu kesatuan masyarakat hukum adat tidak boleh bertentangan
dengan sebuah Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten sekalipun, karena Perda termasuk
maka jika ada suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki norma-norma
hukum adat yang bertentangan dengan Perda Kabupaten di tempat di mana kesatuan
masyarakat hukum adat tersebut berada, maka otomatis eksistensi kesatuan masyarakat
hukum adat yang bersangkutan tidak akan dapat diakui, dan lebih jauh lagi mereka tidak
Sedangkan contoh kesulitan yang ketiga adalah terkait dengan bentuk penuangan
pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, yakni yang menurut Pasal 67 ayat (2)
UU No. 41 Tahun1999 harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Perda
pada hakekatnya adalah sebuah produk legislasi daerah, di mana untuk proses
kesepakatan politik baik antara lembaga legislatif daerah dan Pemerintah Daerah yang
bersangkutan, maupun di antara anggota lembaga legislatif daerah tersebut, dan proses
ini jelas bukan merupakan proses yang mudah. Sehingga, jika ada suatu kesatuan
masyarakat hukum adat yang secara faktual telah ada, atau bahkan telah memenuhi
sebagaimana yang dijabarkan di atas, namun belum juga dibentuk sebuah Perda untuk
hukum adat tersebut tetap belum bisa diakui dan oleh karenanya pula hak mereka atas
21
Itulah hal-hal penting yang bisa diuraikan terkait adanya Putusan MK No.
35/PUU-X/2012 yang memberikan konsep baru mengenai hak masyarakat hukum adat
atas sumber daya alam khususnya hak atas hutan. Walaupun di dalamnya masih ada
pembatasan-pembatasan bagi diperolehnya hak atas hutan oleh masyarakat hukum adat,
namun adanya Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 ini tetap dipandang oleh banyak pihak,
termasuk oleh kalangan masyarakat hukum adat sendiri, sebagai semacam “landmark
decision” yang memberikan landasan yuridis konstitutif baru soal hak masyarakat
hukum adat atas sumber daya alam, sehingga Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 ini
dipandang sebagai simbol kemajuan positif pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat
oleh negara.
yang memberikan landasan yuridis konstitutif baru soal hak masyarakat hukum adat
atas sumber daya alam, putusan ini tetap berkonteks spesifik yakni hanya terbatas pada
hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam yang berupa hutan. Di luar UU No.
mengatur soal hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, yang keberadaannya
sudah ada sebelum adanya Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan belum dilakukan
yang terpenting yakni UU No. 5 Tahun 1960 atau yang dikenal dengan istilah UUPA
22
2.2.3. Wewenang Tidak LangsungYang Dimiliki Oleh Negara Terhadap Hutan
Pada awalnya, hutan adat termasuk dalam kategori hutan Negara berdasarkan pada
ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Kehutanan yang
pada intinya menyatakan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara
dan hutan hak, di mana hutan negara dalam hal ini dapat berupa hutan adat. Bahwa
dengan dimasukkannya hutan adat dalam klasifikasi hutan negara berdasarkan ketentuan
UU Kehutanan menjadikan negara dapat dengan mudahnya mengambil alih hutan adat
tersebut denganberbagai mekanisme, yang salah satunya adalah dengan penetapan hutan
penegak hukum lainnya malah ditanggapi dengan kekerasan olehpihak negara dan juga
pihak swasta yang dalam hal ini adalah perusahaanperusahaanyang memanfaatkan hutan
23
yangkemudian masyarakat hukum adat kehilangan hak atas hutan sebagai sumberdaya
Kehutanan yang demikian ini, masyarakat hukumadat juga kehilangan hak-hak mereka
antara masyarakat hukum adatdengan pihak yang mengambil hak mereka tersebut, baik
hukumadat karena mereka berada pada posisi yang lemah karena tidak diakuinya
hakhakmereka secara jelas ketika mereka berhadapan dengan negara yang memilikihak
menguasai yang sangat kuat.Hal ini menurut pendapat MK tidak sesuaidengan amanah
konstitusi yang mana penguasaan negara atas sumber daya alamitu seharusnya
ke dalam bagian dari hutan negara maka hal tersebut merupakan bentuk pengabaian
terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang sudah ada jauh sebelum
kemerdekaan.Oleh karena itu, maka hutan adat tersebut dimasukkan ke dalam klasifikasi
hutan hak.Hutan hak sendiri kemudian dibedakan antara hutan adat dan hutan
antara hak menguasai negara terhadap hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap
hutan adat meskipun hutan adat bukan lagi merupakan bagian dari hutan negara.31 Hal ini
24
sebagaimana tecantum dalam Putusan MK 35 yang menyatakan bahwa negara hanya
Wewenang tidak langsung Negara terhadap hutan adat yang bukan lagi hutan
sebagai hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahanatau penyelenggara
berbuat dan tidak berbuat, tetapi wewenangsekaligus berarti hak dan kewajiban.24Hak
berisi kebebasan untuk melakukanatau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut
yang dimilikiPemerintah terhadap hutan ini telah diatur dalam Pasal 4 UU Kehutanan
tentangPenguasaan Hutan Munculnya pasal ini tidak dapat dilepaskan dari amanah
yangdiberikan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Penguasaan negara terhadapbumi,
air, dan kekayaan alam yang ada didalamnya yang demikian ini bersumberdari Pasal 33
ayat (3) UUD NRI 1945 sehingga merupakan wewenang atribusi yang kemudian disebut
dengan hak menguasai Negara.25Adanya hak menguasai Negara ini merupakan bentuk
24
Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah, Universitas Lampung, Bandar lampung, 2019
25
Julius Sembiring, “Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria”, Jurnal Bhumi Vol.2,
November 2017.hlm 119.
25
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraanumum, mencerdaskan
Soepomo, yang merupakan seorang tokoh yang turut serta dalam merancang UUD
1945, memberikan penjelasan terkait bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD NRI1945 tersebut
bahwa “dikuasai” yang dimaksud dalam pasal tersebut termasuk didalamnya pengertian
memiliki, karena apabila hak menguasai negara ini diartikansebagai hak memiliki, maka
tidak akan ada jaminan bahwa tujuan pemberian haktersebut dapat tercapai.27
Hal ini juga dikarenakan, apabila hak menguasai tersebut diartikan sebagai hak
memiliki, maka akan melekat pula hak kebendaan yang paling kuat, dan dengan adanya
hak yang terkuat tersebut menjadi hak mutlak dari negara dan menjadikan negara tidak
perlu untuk memenuhi fungsi dan tujuan yang telah diamanahkan kepadanya.Dengan
demikian penguasaan negara terhadap bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam
tercantum dalam penjelasan umum UUPA pula, yang pada intinya menyatakan bahwa
26
Ibid, hlm 52.
27
Julius Sembiring, Op.Cit hlm 121
26
adanya hak menguasai negara tersebut bukanlah tidak terbatas, melainkan dibatasi oleh
3 hal, yaitu:28
yang telah dirumuskan bersama antara legislatif dan yudikatif, pemerintah mengklaim
bahwa UU Kehutanan telah menjunjung tinggi hak masyarakat hukum adat atas hutan
adat.Alasan pemerintah dalam sidang atas putusan bisa memperlihatkan dengan jelas
keberanian pemerintah tidak mengakui pelemahan hak adat tersebut.29 Hal ini juga yang
secara tersirat telah diamanahkan oleh MK dalam putusan MK 35, bahwa setelah hutan
adat tidak dimasukkan lagi dalam bagian dari hutan negara, maka otoritas negara
terhadap hutan adat berbeda dengan otoritas negara terhadap hutan negara. Terhadap
hutan negara, negara memiliki wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan
yang terjadi di wilayah hutan Negara Sedangkan terhadap hutan adat, karena masyarakat
hukum adat memiliki hak untuk mengatur peruntukan dan pemanfaatan tanah ulayat
danhutan adat yang ada di wilayah adatnya, maka wewenang negara dibatasi sejauh
28
Julius Sembiring, Op.Cit hlm 127
29
Faiq Tobroni, “Menguatkan Hak Masyarakat Adat Atas Hutan Adat (Studi Putusan MK Nomor
5/PUU-X/2012), Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 3, September 2017, hlm 468.
27
mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat tersebut Hal ini dikarenakan hutan
adat berada dalam cakupan hak ulayat dalam wilayah suatu masyarakat hukum adat,
sehingga peragaannya didasarkan atas tradisi yang hidup dalam suasana rakyat dan
mempunyai suatu badan perurusan pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan
BAB III
28
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
decision” menyangkut soal hak masyarakat hukum adat atas sumber daya
alam.Melalui putusan ini, telah dikonstruksikan sebuah hak yang sifatnya penuh
yang dimiliki masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, dalam hal ini sumber
daya alam berupa hutan. Adanya konstruksi hak masyarakat hukum adat
pengaturan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang mengatur tentang pengakuan dan
adalah pengaturan yang paling progrsif terkait dengan hak masyarakat hukum adat,
khususnya hak atas sumber daya alam,jika dibandingkan dengan pengaturan dalam
peraturan perundang-undangan lain yang telah ada selama ini. Setidaknya ada 3
denganargument yang lain sama sekali dari yang pernah digunakan AMAN dalam
prosesJR terdahulu. Merujuk pada uraian di atas, salah satu argument yang
penetapansubyek hukum (atas hutan adat) dalam bentuk Peraturan Daerah adalah
tidak relevan secara sosio. Jika logika ini digunakan maka hasratpengakuan dengan
tingkat lapangan.Jalur kedua, memasukkan pengaturan tentang hak atas hutan adat
29
dan hak adatatas tanahh pada umumnya ke dalam materi yang akan diatur dalam
atasberbagai hak masyarakat adat sebagai suatu payung hukum, sebagaimana yang
nasional yang sudah ada,pengakuan beberapa hak masyarakat yang spesifik juga
mendirikan desaadat itu tentu saja tidaklah mudah.Banyak syarat penting dan syarat
bersangkutan.Tantangan berat yang harus dihadapi tidak lagi datang dari luar,
30
melainkan,sebagaimana yang ditunjukkan oleh Arizona (2015) justru datang dari
dalammasyarakat hukum adat itu sendiri. Lebih dari itu, sebagaimana diatur
memunculkan subyekhukum atas berbagai hak yang terkait pada komuntas tertentu
danpembangunan.
3.2 Saran
harapkan Terkait dengan pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat yang
lebih spesifik, utamanya tanah dan hutan, belajar dari kasus-kasus yang pernah ada,
keberadaaan masyarakat hukum adat dalam berbagai bentuk susunan dan hak-hak
yang melekat kepadanya, tidak lagi bisa hanya berupa kebijakan yang bersifat
yang di rujuk. Dengan kata lain, kebijakan daerah dimaksud sudah harus mempu
memuat rincian siapa dan apa saja yang dapat disebut sebagai subyek dan obyek hak
masyarakat hukum adat dalam tatanan sosial dan budaya yang bersangkutan yang
akan diakui di kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini juga diperlukan untuk
31
mendamaikan logika-logika hukum pada berbagai kebijakan di tingkat nasional
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
TerHaar, “Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat,” Pradnya Paramita, Jakarta, 1981.
Undang-undang:
Joeni Arianto Kurniawan, “Kedudukan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya
Alam Pasca Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, “ Jurnal Ilmu Hukum II, N0 5 January
2017, hlm 4.
Faiq Tobroni, “Menguatkan Hak Masyarakat Adat Atas Hutan Adat (Studi Putusan MK
Nomor 5/PUU-X/2012), Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 3, September 2017, hlm
468.
32
Julius Sembiring, “Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria”, Jurnal Bhumi
Vol.2, November 2017.hlm 119.
Mega Dwi Yulyandini, “Wewenang Tidak Langsung Negara Terhadap Hutan Adat
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012”, Jurist Diction Volume 1
No.1 September 2018.hlm 63.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Data Set Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Tahun 2016”, http://www.menlhk.go.id/berita-129-dataset-lingkungan-
hidup-dankehutanan.html, di akses tanggal 7 November 2021.
http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/01/09/Tonggak-BaruHak-Masyarakat-
Adat diakses tanggal, 8 November 2021.
33