Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Hutan merupakan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki berbagai

manfaat dalam kehidupan bermasyrakat dan dalam pembangunan Negara baik secara

langsung maupun tidak langsung. Indonesia memiliki kawasan hutan dengan luas hutan

82.663.814,08 hektar dari luas wilayah sebesar 181,2 jutahektar. 1 Memiliki luas yang

hampir mencapai setengah dari luas wilayah Indonesia itu, menjadikan hutan Indonesia

sebagai salah satu sumber daya alam hayati yang sangat berpengaruh bagi kehidupan

rakyat sehingga keberadaannya harus disyukuridan dikelola dengan baik.

Negara melalui Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (yang

selanjutnya disebut DPR) kemudian mengeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diperbarui dengan Undang-Undang Nomor

19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang

Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang (yang selanjutnya disebut UU

Kehutanan).2 Kehutanan berdasarkan pasal 1 angka 1 UU Kehutanan, adalah system

pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang

diselenggarakan secara terpadu. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan, kawasan

hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap. Sementara itu, hutan berdasarkan pasal 1 angka 2

UU Kehutanan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
1
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Data Set Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Tahun 2016”, http://www.menlhk.go.id/berita-129-dataset-lingkungan-hidup-dankehutanan.html, di akses
tanggal 7 November 2021.
2
Mega Dwi Yulyandini, “Wewenang Tidak Langsung Negara Terhadap Hutan Adat Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012”, Jurist Diction Volume 1 No.1 September
2018.Hlm 63.
1
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya,yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan.Dalam UU

Kehutanan, hutan di Indonesia digolongkan ke dalam 2 golongan hutan yang meliputi

hutan negara dan hutan hak.3Hutan negara berdasarkan UU Kehutanan adalah hutan

yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut ketentuan

UUPA, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat

hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga atau sebutan lainnya.

Keberadaan masyarakat adat berakar jauh dalam sejarah Republik Indonesia.Jauh

sebelum kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), masyarakat adat telah

hidup dan berkembang bergenerasi di wilayah yang saat ini menjadi wilayah Negara

Indonesia.Berbagai literatur hukum pada zaman kolonialisasi Belanda telah menulis

tentang masyarakat adat menggunakan istilah masyarakat hukum adat atau persekutuan

hukum atau kesatuan masyarakat hukum. Konsepsi masyarakat adat dan/atau

masyarakat hukum adat terus berkembang sejak era kolonialisasi sampai dengan saat ini.

Pada zaman kolonial, para peneliti Belanda lebih menfokuskan kajian-kajian mereka

pada aspek-aspek hukum adat yang berbeda dengan hukum Belanda atau dikenal juga

dengan hukum Eropa Kontinental. Silih bergantinya rezim politik yang menguasai

pemerintahan Belanda ikut mempengaruhi pasang surut wacana pemberlakuan hukum di

Hindia Belanda sebagai negeri jajahan apakah akan menggunakan satu hukum saja,

yakni hukum Belanda dengan melakukan kodifikasi terhadap hukum adat sehingga

dapat diberlakukan menggunakan sistem hukum Belanda melalui suatu unifikasi atau

hukum adat dan hukum Belanda diberlakukan bersama-sama untuk kelompok

masyarakat berbeda, termasuk hukum-hukum warga Timur Asing seperti India dan Cina

3
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.
2
yang juga menjadi penduduk Hindia Belanda pada saat itu. Pasang surut itu

berkontribusi signifikan terhadap kajian-kajian tentang masyarakat hukum adat yang

pada saat itu merupakan bagian dari suatu kelompok masyarakat yang dikenal sebagai

masyarakat pribumi.4

Adalah suatu fakta yang telah banyak diketahui oleh umum bahwa Indonesia

adalah negara yang dipenuhi oleh keberagaman suku, etnis, kebiasaan, bahasa, tradisi

dan budaya. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki

begitu banyak latar belakang budaya yang membuat mereka memiliki cara hidup yang

berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, termasuk cara mereka dalam

mengorganisasikan diri sebagai suatu entitas sosio-politik. Persekutuan hukum tidak

dapat memindahkan penguasaan kepada orang lainHak ulayat menurut hukum adat ada

di tangan suku/ masyarakat hukum/ desa.5

Jauh sebelum era kolonial, masyarakat di Nusantara telah lama

mengorganisasikan dirinya dalam ribuan entitas sosio-politik mikro berdasarkan tradisi

dan hukum tidak tertulis mereka yang berasal dari adat. Pada masa kolonial, seorang

sarjana Belanda yang bernama Van Vollenhoven menyebut entitas sosio-politik tersebut

dengan nama adat rechtsgemeenshcap yang kemudian banyak diterjemahkan sebagai

“persekutuan hukum adat.” Istilah ini didefinisikan oleh Van Vollenhoven sebagai

persekutuan hukum masyarakat pribumi.

Pada masa penjajahan, walaupun sebuah entitas sosio-politik makro yang

dinamakan negara-bangsa telah diperkenalkan dan didirikan di Nusantara yang bernama

4
Yesua YDK Pellokilo, “Masyarakat Adat: Lintasan Perjalanan Sejak Kolonialisasi Hingga UU
6/2014 2014 Tentang Desa : Jalan Itu Masih Panjang” Jurnal Hukum Volume 2 Nomor 3, Tahun 2018,
hlm 2.
5
Ali Yusri, Adlin, Tito Handoko, "PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENETAPAN HAK
ULAYAT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SINGINGI”, Seminar Nasional Pelestarian Lingkungan
(SENPLING) 2018, hlm 337.
3
Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, di mana keberadaan negara (kolonial) ini

diasumsikan menaungi semua penduduk, eksistensi persekutuan hukum adat tetaplah

dibiarkan untuk terus ada, dibiarkan untuk ada, bukan berarti otoritas kekuasaan

persekutuan hukum adat masih sama seperti sebelum masa kolonial. Dikarenakan salah

satu tujuan utama kolonialisme atau penjajahan adalah untuk melakukan eksploitasi

sumber daya baik alam maupun manusia dari wilayah jajahan, maka Pemerintah

Kolonial Hindia Belanda pun juga memiliki kepentingan untuk menguasai dan

mengontrol wilayah jajahan mereka agar dapat dieksploitasi sumber daya alamnya.

Sebagai konsekuensi dari itu, terjadi banyak friksi kekuasaan antara Pemerintah

Kolonial dengan persekutuan-persekutuan hukum adat yang ada di Nusantara,

khususnya friksi kekuasaan yang menyangkut penguasaan dan kontrol atas tanah dan

sumber daya alam (hak tenurial). Reformasi tahun 1998 membawa angin perubahan bagi

pengakuan hak masyarakat adat.

Sebagaimana telah disinggung, pada tahun 2000, lahir Pasal 18B ayat (2) dan

dua pasal lain yang memperkuat pengakuan hak masyarakat adat pada tingkat konstitusi.

Selepas itu, ada pula 5 Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pengakuan itu

termasuk penegasan pengakuan hak masyarakatadat atas tanah (termasuk hutan),

sebagaimana yang terkandung dalam Putusan MK 35/2012, yang tentu saja membawa

perubahan yang positif bagi kemajuan pengakuan hak masyarakat adat ke depan. Dalam

rangka mempercepat pengakuan hak masyarakat adat di kawasan hutan,dan pemerataan

akses masyarakat pada umumnya kepada sumber daya hutan, pemerintah telah

mencanangkan program reformasi agraria dan perhutanan social. Mengiringi kebijakan

itu, pada tanggal 25 Oktober 2016, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

menandatangani Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun

4
2016 tentang Perhutanan Sosial. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 ayat (1)

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang

Perhutanan Sosial, perhutanan sosial didifenisikan sebagai “sistem pengelolaan hutan

lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang

dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku

utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika

sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman

Rakyat, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan KehutananTerkait dengan kebijakan

ini, pada akhir tahun 2016 lalu, Presiden Jokowi telah menyerahkan 9 (sembilan) Surat

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Penetapan Hutan Adat.6

Merujuk pada pengaturan dalam perundang-undangan yang sudah ada seperti

halnya yang terdapat pada UU No. 5 Tahun 1960 (UUPA) dan UU No. 41 Tahun 1999

(UU Kehutanan), sifat pengakuan yang diberikan kepada eksistensi masyarakat hukum

adat khususnya pada hak-hak tradisional mereka atas sumber daya alam adalah

pengakuan yang terbatas (conditional recognition), dalam arti bahwa hak-hak

masyarakat hukum adat atas sumber daya alam diakui sepanjang tidak bertentangan

dengan kepentingan negara/kepentingan nasional dan perundang-undangan (vide: Pasal

2 ayat 4, Pasal 3, dan Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 dan Pasal 4 ayat 3 UU No. 41

Tahun 1999. Konsep demikian, khususnya sebagaimana yang diatur dalam UU No. 41

Tahun 1999, menjadi berubah dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 35 /PUU-X/ 2012 yang merupakan putusan uji materiil atas UU No. 41 Tahun

1999 yang pada intinya mengatur bahwa hutan adat bukan lagi merupakan hutan negara,

melainkan hutan milik masyarakat adat. Melalui Putusan MK ini, maka terjadi

6
http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/01/09/Tonggak-BaruHak-Masyarakat- Adat
diakses tanggal, 8 November 2021.
5
perubahan konsep mengenai hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, di

mana semula hak ini hanyalah hak yang sifatnya relatif kini menjadi hak yang riil

dimiliki oleh masyarakat hukum adat.7 Bahwa dimasukkannya hutan adat sebagai bagian

dari hutan negara dalam UU Kehutanan mengaibatkan hak-hak masyarakat hukum adat

atas hutan adat sering terabaikan dan bahkan terkadang terlanggar oleh Pemerintah

sendiri. Karena merasa hak-hak mereka terabaikan bahkan terlanggar, maka masyarakat

hokum adat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UU

Kehutanan kepada Mahkamah Konstitusi (yang selanjutnya disebut MK).MK pada 16

Mei 2013 mengeluarkan putusan nomor 35/PUU-X/2012 terkait permohonan pengujian

konstitusionalitas terhadap UU Kehutanan tersebut (yang selanjutnya disebut Putusan

MK 35). Dalam putusan tersebut MK menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan yang

berada dalam wilayah masyarakat hokum adat dan hutan negara yang dimaksud dalam

UU Kehutanan, tidak termasuk hutan adat dan bahwa “...negara hanya mempunyai

wewenang secara tidak langsung terhadap hutan adat”. Berdasarkan putusan tersebut

maka hutan adat termasuk dalam kategori hutan hak, bukan hutan negara.

Dikeluarkannya putusan MK ini kemudian disambut dengan gegap gempita oleh

masyarakat adat. Namunterkait dengan kewenangan negara terhadap hutan adat tersebut

tidak dijelaskan lebih lanjut tentang batasan-batasan kewenangan yang dimiliki oleh

Negara terhadap hutan adat.Hal ini kemudian menimbulkan beberapa pemikiran

bahwaternyata meskipun sudah ada putusan MK terkait UU Kehutanan yang

khususnyaterkait status hukum hutan adat, namun bukan berarti masalah terkait hutan

adatsecara serta merta selesai.Putusan MK terkait juga dapat dikatakan

berpeluangmenimbulkan adanya konflik hukum baru.Dalam sistem ketatanegaraan yang

7
Joeni Arianto Kurniawan, “Kedudukan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya Alam
Pasca Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, “ Jurnal Ilmu Hukum II, N0 5 January 2017, hlm 4.
6
berlaku di Indonesia,aspek hukum implementasi putusan MK tercantum dalam Pasal24C

ayat (1) UUD NRI 1945.Meski demikian, fakta empirismemperlihatkan bahwa tidak

seluruh putusan final dan mengikatitu dapat mempengaruhi parlemen dan lembaga

negara lainnya.Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan regulasi yang

mengaturkewenangan dan akibat hukum putusan final MK belum tentumemiliki

implikasi riil terhadap implementasi putusannya.Persoalan ini disebabkan oleh dua

hal.Pertama, MK tidakmemiliki unit eksekutor yang bertugas menjamin

implementasiputusan final (special enforcement agencies).Kedua, putusan finalsangat

bergantung pada kesediaan otoritas publik di luar MKuntuk menindaklanjuti putusan

final.8

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang penulis uraikan diatas, peneliti

melakukan penelitian khususnya“Legalitas Hutan Adat Dan Hak Kelola Menurut

Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 35/Puu-X/2012 Dalam Perspektif Sosio-

Legal Studies”.

1.2 . Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimanakah kerangka pengaturan hukum yang seharusnya dibuat guna

menindaklanjuti adanya Putusan MK ?

2. Bagaimanakah kaitannya dengan pengaturan dalam perundang-undangan lain

yang masih ada yang secara substansi belum sesuai dengan semangat yang ada

dalam Putusan MK No. 35 /PUU-X/ 2012?

8
Proborini Hastuti, “Pemberian Kewenangan Judicial Order Kepada Mahkamah Konstitusi Dalam
engujian Undang-Undang Terhadap Undang Undang Dasar”, SUPREMASI HUKUM Vol 7, No 1 Juni
2018. Hlm 61.
7
3. Bagaimanakah “wewenang tidak langsung” yang dimiliki olehnegara terhadap

hutan adat yang bukan lagi hutan negara?

1.3 . Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah yang diuraikan di atas, maka

penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui dan menganalisiskerangka pengaturan hukum yang

seharusnya dibuat guna menindaklanjuti adanya Putusan MK ini.

2. Untuk mengetahui dan menganalisiskaitannya dengan pengaturan dalam

perundang-undangan lain yang masih ada yang secara substansi belum sesuai

dengan semangat yang ada dalam Putusan MK No. 35 /PUU-X/ 2012.

1.4 . Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh manfaat sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

a. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan wawasan dan pengetahuan

tentang penulisan ilmiah serta menambah literatur atau bahan-bahan informasi

ilmiah yang dapat digunakan untukmelakukan kajian dan penulisan ilmiah

bidang hukum selanjutnya yang berkaitan dengan Legalitas Hutan Adat Dan

Hak Kelola Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 35/Puu-

X/2012 Dalam Perspektif Sosio-Legal Studies.

b. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

mengenai Legalitas Hutan Adat Dan Hak Kelola Menurut Putusan Mahkamah

Konstitusi Putusan Nomor 35/Puu-X/2012 Dalam Perspektif Sosio-Legal

Studies yang bersifat akademis dan juga sebagai bahan tambahan bagi

kepustakaan.

8
c. Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi kalangan

akademis untuk memaHak Asasi Manusia(HAM)Hukum Acara Pidana yang

berkaitan dengan penahanan dan penangguhan penahanan.

2. Kegunaan Praktis

a. Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi aparat

penegak hukum, dan masyarakat pada umumnya terkait dengan Legalitas Hutan

Adat Dan Hak Kelola Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor

35/Puu-X/2012 Dalam Perspektif Sosio-Legal Studies.

b. Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dan sumbangan

bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam masalah yang diteliti.

c. Diharapkan penelitian ini dapat menggugah kesadaran para pembaca dan dapat

memberikan sumbangan pemikiran untuk pelaksanaan Legalitas Hutan Adat

Dan Hak Kelola Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor

35/Puu-X/2012 Dalam Perspektif Sosio-Legal Studies.

BAB II

PEMBAHASAN

9
2.1 .Kerangka Pengaturan Hukum Yang Seharusnya Dibuat Guna

Menindaklanjuti Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebelum adanya Putusan MK 35, setidaknya ada tiga putusan MK yang

“memberikan arahan” tentang makna dalam norma-norma hukum yang terkandung

dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2).3 Dari ketiga putusan MK itu, dapat disimpulkan

bahwa terdapat tiga kriteria yang digunakan dalam menentukan apakah suatu komunitas

itu masyarakat (hukum) adat—sebagai salah satu subjek hukum yang dapat beracara di

MK—atau bukan.4 Pertama, suatu kesatuan masyarakat hukum adat secara de facto

masih hidup (actual existence), baik bersifat teritorial, genealogis, maupun fungsional,

setidak-tidaknya mengandung salah satu atau gabungan unsur-unsur: (1) adanya

masyarakat yang warganya memiliki perasaan kelompok (in group feeling), (2) adanya

pranata pemerintahan adat, (3) adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, dan

(4) adanya perangkat norma hukum adat dan, khusus pada kesatuan masyarakat hukum

adat yang bersifat teritorial, (5) terdapat unsur adanya wilayah tertentu. 9Konsep Hak

Sumber Daya Alam menurut Hukum Adat Berbicara mengenai hak sumber daya alam di

dalam perspektif hukum adat, maka terlebih dahulu harus ditelaah soal hak yang paling

fundamental di dalam hukum adat terkait denganeksistensi masyarakat hukum adat (atau

yang juga disebut dengan istilah “persekutuan hukum adat/adatrechtsgemeenschap”),

yakni apa yang dikenal dengan istilah hak ulayat atau hak pertuanan atau

beschikkingsrecht.10

9
R Yando Zakaria, “Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan Potensi Implikasinya terhadap
Perebutan Sumberdaya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012: Studi Kasus Kabupaten Kutai
Barat, Kalimantan Timur”Wacana Jurnal Transformasi Sosial, Nomor 33 Tahun XVIII, 2019, hlm 103.
10
Istilah “hak ulayat” ini pada faktanya bervariasi di berbagai daerah, yakni: patuanan (Ambon) ,
panyampeto (Kalimantan), pawetasan (Kalimantan), wewengkon (Jawa), prabumian (Bali), tatabuan
(Bolaang Mangondow), torluk (Angkola), limpo (Sulawesi Selatan), nuru (Buru), payar (Bali), paer
(Lombok), ulayat (Minangkabau). Lihat: Ter Haar, “Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat,” Pradnya
Paramita, Jakarta, 1981, h. 85).
10
Hak ulayat adalah hak yang fundamental dalam eksistensi suatu kesatuan

masyarakat hukum adat dikarenakan hak inilah yang menjadi landasan otoritas atau

kedaulatan dari suatu kesatuan masyarakat adat, sehingga masyarakat adat tersebut

memiliki kewenangan untuk mengatur segala hal yang berada di dalam wilayah

kekuasaannya dan oleh karenanya bisa disebut sebagai masyarakat hukum.Hal ini sesuai

dengan ungkapan dalam hukum adat yang berbunyi “Ada masyarakat, ada

ulayatnya.Tiada ulayat, tiada masyarakatnya.”5 Berangkat dari hal inilah mengapa oleh

Moh. Koesnoe disebutkan bahwa hak ulayat adalah hak yang asasi bagi suatu kesatuan

masyarakat hukum adat, sehingga ia (secara normatif) akan selalu melekat pada setiap

eksistensi masyarakat hukum adat.11Oleh karena itu, menurut Koesnoe cara untuk

membuktikan keberadaan suatu hak ulayat adalah cukup dengan membuktikan eksistensi

sebuah kesatuan masyarakat hukum adat, di mana jika suatu kesatuan masyarakat

hukum adat dapat dibuktikan keberadaannya, maka secara normatif kesatuan masyarakat

hukum adat tersebut memiliki hak ulayatnya.12

Melalui keberadaan hak ulayat ini, maka akan muncul konsekuensi ke dua arah

yang berbeda, yakni ke dalam dan keluar kesatuan masyarakat hukum adat pemilik hak

ulayat tersebut. Konsekuensi ke dalam antara lain adalah:13

1. Mengatur pemakaian dan pemanfaatan tanah-lingkungan ulayat beserta isinya oleh


warganya.
2. Menjaga keamanan dan memelihara kelestarian lingkungan beserta isinya.
3. Mengawasi dan membatasi pelaksanaan hak-hak perorangan yang ada pada
seseorang sesuai dengan tuntutan kepentingan bersama dari seluruh masyarakat
yang berpedoman pada asas keadilan sosial.

Adapun konsekuensi keluarnya adalah:14

11
Ibid, hlm 34.
12
Ibid, hlm 35.
13
Moh.Koesnoe, op cit, hlm. 39
14
Surojo Wignjodipuro, “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,” Penerbit Alumni, Bandung,
1972, hlm 250.
11
1. Mempertahankan dan membela jangan sampai kalangan luar kesatuan
membahayakan atau mengambil alih tanah-lingkungan beserta isinya yang berada
di dalam ulayatnya.
2. Mempertanggung jawabkan tindakan yang dilakukan terhadap orang asing bukan
penduduknya yang terjadi di dalam tanah-lingkungan ulayatnya.

Berdasarkan uraian mengenai hak ulayat di atas, maka dapat terlihat tentang

bagaimana konsep hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam menurut hukum

adat. Adanya hak atas sumber daya alam bagi masyarakat hukum adat, yakni hak untuk

memakai dan memanfaatkan tanah-lingkungan dan isinya dalam wilayah kesatuan

masyarakat hukum adat tersebut, adalah hak yang lahir dari adanya hak ulayat sebagai

kewenangan dasar untuk menguasai suatu tanah-lingkungan/wilayah tertentu dari suatu

kesatuan masyarakat hukum adat, di mana kewenangan penguasaan ini didapat atau

berasal dari hukum kodrat alias kewenangan yang muncul secara alamiah dan bukan

diberikan oleh pihak lain di luar kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Lebih jauh lagi, dikarenakan ini adalah sebuah hak yang melekat pada eksistensi hak

ulayat, maka hak atas sumber daya alam yang dimiliki masyarakat hukum adat adalah

bersifat eksklusif. Artinya, ia hanya bisa dinikmati oleh anggota kesatuan masyarakat

hukum adat yang memiliki ulayat atas wilayah yang bersangkutan, dan bersifat terlarang

bagi siapa saja yang bukan anggota kesatuan masyarakat hukum adat penguasa ulayat

wilayah tersebut. Hal selanjutnya adalah bahwa karena hak atas sumber daya alam

adalah hak yang lahir dan melekat pada eksistensi hak ulayat, sedangkan hak ulayat

adalah kewenangan yang melekat secara kodrati pada setiap eksistensi masyarakat

hukum adat, maka bisa dikatakan bahwa hak atas sumber daya alam adalah hak yang

secara kodrati melekat pada setiap eksistensi masyarakat hukum adat.

Adapun ruang lingkup hak atas sumber daya alam masyarakat hukum adat ini

adalah seperti apa yang telah disinggung di atas, yakni meliputi hak untuk memakai dan

12
memanfaatkan tanah-lingkungan beserta segala isinya yang berada di dalam wilayah

ulayat masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Sehingga, bisa dikatakan bahwa

ruang lingkup hak sumber daya alam masyarakat hukum adat adalah meliputi segala

sumber daya alam di dalam wilayah ulayatnya, juga termasuk sumber daya alam yang

ada di laut dan di dalam perut bumi. Adanya konsep hak ulayat sebagai suatu

kewenangan sebagaimana dipaparkan di atas pada kenyataannya juga masih diyakini

oleh masyarakat hukum adat.Di Indonesia sendiri, organisasi masyarakattidak melulu

beranggotakan danmerepresentasikan orang perorangan. Hal inidicontohkan oleh

AMAN yang beranggotakanmasyarakat-masyarakat adat yang tersebar di seluruh

Indonesia.15Adapun entitas masyarakatadat yang dapat menjadi anggota AMAN

adalahsubyek hukum yang merupakan sekelompokorang yang hidup secara turun

temurun diwilayah geografis tertentu dan diikat olehidentitas budaya, adanya ikatan

pada asalusul leluhur, hubungan yang kuat dengantanah, wilayah dan sumber daya alam

diwilayah adatnya serta sistem nilai yangmenentukan pranata ekonomi, politik, social

dan hukum. Hal ini paling tidak dapat dilihat pada apa yang menjadi landasan gerakan

organisasi masyarakat adat di Indonesia yang bernama “Aliansi Masyarakat Adat

Nusantara (AMAN).” Keberadaan hak ulayat sebagai suatu kewenangan pengaturan

suatu wilayah tertentu milik kesatuan masyarakat hukum adat oleh AMAN dipandang

sebagai landasan yang menjadikan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai suatu

entitas politik, yang memiliki hak penguasaan atas segala hal yang ada dan menjadi isi

dari wilayah di mana kesatuan masyarakat hukum adat tersebut berada dan tinggal. Hal

inilah yang membuat AMAN meyakini bahwa sesungguhnya hingga kini masyarakat

15
Arasy Pradana A Azis, “AFIRMASI MK TERHADAP JUKSTAPOSISI MASYARAKAT
ADAT SEBAGAI SUBYEK HAK BERSERIKAT DI INDONESIA (Analisis terhadap Keterlibatan
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012)”, Jurnal
Rechts Vinding Volume 8, Nomor 1, April 2019.hlm 27.
13
hukum adat di Indonesia masih memiliki kedaulatan atas wilayahnya, dan adapun jika

wilayah tersebut pada kenyataannya sudah beralih fungsi dan penguasaan oleh pihak

lain, menurut AMAN hal itu tidak lebih dikarenakan adanya perampasan sepihak oleh

pihak di luar kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan dan oleh karenanya

wilayah tersebut seharusnya tetap harus dipandang masih menjadi milik masyarakat

hukum adat yang bersangkutan.14 Berdasarkan adanya keyakinan inilah maka AMAN

dalam salah satu manuver gerakannya melakukan gugatan uji materiil atas UU No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan yang kemudian dikabulkan oleh MK melalui Putusan

MK No. 35/PUU-X/2012.16

2.2. Kaitan Pengaturan Dalam Perundang-Undangan Lain Yang Masih Ada

Yang Secara Substansi Belum Sesuai Dengan Semangat Yang Ada Dalam

Putusan MK No. 35 /PUU-X/ 2012

Putusan MK No. 35 /PUU-X/2012 adalah putusan Mahkamah Konstitusi atas

permohonan uji materiil terhadap UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Permohonan uji materiil ini diajukan oleh 3 pemohon bersama-sama, yakni Aliansi

Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian

Kuntu (Kabupaten Kampar Provinsi Riau), dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat

Kesepuhan Cisitu (Kabupaten Lebak Provinsi Banten).Melalui Putusan No. 35 /PUU-

X/2012 ini, MK menganulir beberapa pasal yang ada di dalam UU No. 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan, yakni pasal 1 angka 6, pasal 4 ayat 3, pasal 5 ayat 1, dan pasal 5 ayat

2.

Perubahan pada pasal-pasal yang dianulir tersebut adalah sebagai berikut:

Pasal 1 angka 6 menjadi berbunyi:

16
Joeni Arianto Kurniawan, Op Cit, hlm 7.
14
“Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.”

Pasal 4 ayat 3 menjadi berbunyi:

“Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum


adat, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur oleh undang-
undang.”

Pasal 5 ayat 1 menjadi berbunyi:17


Pasal 5 ayat 3 berbunyi:

“Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);


dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat
hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya.”

Merujuk pada putusan MK No. 35/PUU-X/2012 di atas, maka kita bisa

membandingkan konsep pengaturan mengenai hutan adat sebelum dan sesudah

keluarnya putusan MK ini. Sebelum adanya putusan MK No. 35/PUU-X/2012, prinsip

pengaturan UU No. 41 Tahun 1999 adalah: Pertama, terdapat 2 (dua) jenis hutan, yakni

hutan negara dan hutan hak, di mana hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah

yang dibebani hak atas tanah (vide: Pasal 1 angka 5 UU No. 41 Tahun 1999), sedangkan

hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah

(vide: Pasal 1 angka 4 UU No. 41 Tahun 1999). Kedua, apa yang disebut sebagai “hutan

adat” adalah hutan negara yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat (vide:

Pasal 1 angka 5 UU No. 41 Tahun 1999 pra putusan MK No. 35/PUU-X/2012).

Sehingga, walaupun eksistensi hutan adat sebagai hutan yang terkait dengan eksistensi

masyarakat hukum adat diatur oleh UU No. 41 Tahun 1999, hutan adat sesungguhnya

adalah hutan negara dan oleh karenanya walaupun istilahnya disebut sebagai “hutan

17
Pasal 5 ayat 1 UU No. 41 Tahun 1999 ini semula berbunyi: “ Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari:
a. Hutan Negara
b. Hutan Hak

15
adat”, masyarakat hukum adat sesungguhnya tidak memiliki kekuasaan secara penuh

atas jenis hutan ini.

Melalui putusan MK No. 35/PUU-X/2012, prinsip-prinsip di atas telah dirubah

secara cukup radikal. Sehingga, prinsip pengaturan dalam UU No. 41 Tahun 1999

menyangkut eksistensi hutan adat menjadi sebagai berikut:

Pertama, apa yang disebut sebagai “hutan adat” sekarang menjadi terpisah
dari hutan negara. Hal ini merujuk pada pendapat MK yang menyatakan
bahwa sesuai dengan pengaturan dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945,
kesatuan masyarakat hukum adat adalahsuatu subyek hukum yang memiliki
kapasitas untuk menyandang hak (dan kewajiban), dan oleh karenanya
masyarakat hukum adat sudah seharusnya memliki hak atas hutan.18

Kedua, karena UU No. 41 Tahun 1999 hanya mengenal 2 (dua) jenis hutan
yakni hutan negara dan hutan hak, mendasarkan pada prinsip pertama di atas
bahwa kesatuan masyarakat hukum adat seharusnya juga memiliki hak atas
hutan, maka merujuk pada pendapat MK, apa yang disebut sebagai hutan
adat adalah bagian dari hutan hak dan bukan bagian dari hutan Negara.”19

Ketiga, apa yang disebut sebagai “hutan adat” pasca adanya putusan MK
No. 35/PUU-X/2012 ini menjadi didefinisikan sebagai “hutan yang berada
dalam wilayah masyarakat hukum adat.”20

Keempat, hutan adat sebagai hutan yang haknya dipunyai suatu kesatuan
masyarakat hukum adat akan diakui jika keberadaan kesatuan masyarakat
hukum adat tersebut diakui, dan untuk dapatnya suatu kesatuan masyarakat
hukum adat diakui keberadaannya, ia harus memenuhi syarat pengakuan
sebagaimana diatur oleh UUD 1945, yakni masyarakat hukum adat tersebut
senyatanya masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.21

Hal ini mengubah prinsip yang ada sebelumnya, di mana untuk supaya dapat

diakui, suatu kesatuan masyarakat hukum adat harus memenuhi syarat yang salah

satunya adalah tidak boleh bertentangan kepentingan nasional.Merujuk pada prinsip-

prinsip pengaturan yang baru menyangkut hutan adat pasca adanya putusan MK No.

35/PUU-X/2012 sebagaimana di atas, dapat diketahui bahwa kini telah dikukuhkan


18
Putusan MK RI No. 35/PUU-X/2012, hlm. 168 dan hlm. 173.
19
Ibid, hlm 173, 179, 181.
20
Ibid, hlm 185
21
Ibid, hlm 185-186.
16
bahwa masyarakat hukum adat memiliki hak atas hutan, yang kemudian disebut sebagai

hutan adat. Sehingga, hak masyarakat hukum adat atas hutan ini secara tegas telah diakui

keberadaanya oleh UU No. 41 Tahun 1999 pasca putusan MK No. 35/PUU-X/2012.

Supaya suatu kesatuan masyarakat hukum adat dapat menikmati hak atas hutan ini,

terdapat persyaratan yang harus dipenuhi oleh kesatuan masyarakat hukum adat tersebut,

yakni bahwa keberadaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan harus telah diakui

terlebih dahulu dulu.UU No. 41 Tahun 1999 melalui penjelasan pasal 67 ayat (1)

mengatur tentang unsur-unsur yang harus dipenuhi agar sebuah kesatuan masyarakat

hukum adat dapat diakui keberadaannya, yakni:

1. Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtsgemeenschap).

2. Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya.

3. Ada wilayah hukum adat yang jelas.

4. Ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati;

dan

5. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Berkaitan dengan syarat-syarat pengakuan keberadaan suatu kesatuan masyarakat

hukum adat, maka perlu juga dirujuk syarat-syarat tersebut sebagaimana yang diatur

dalam pasal 18B ayat 2 UUD 1945, yang jika didasarkan pada pendapat MK

sebagaimana yang tertuang dalam putusan MK No. 31/PUU-V/2007 dan Putusan MK

No. 35/PUU-X/2012, syarat-syarat tersebut dapat dijabarkan menjadi 10 unsur

kumulatif, yakni:22

22
Joeni Arianto Kurniawan dan Christiani Widowati, “Perlindungan Eksistensi Masyarakat Hukum
Adat dalam Konstruksi Negara Hukum Indonesia,” Laporan Akhir Penelitian Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya, 2018, hlm 22.
17
1. Kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan adalah kesatuan masyarakat
hukum adat yang eksistensinya telah ada sejak jaman nenek moyang dan berhasil
mempertahankan eksistensinya tersebut hingga kini tanpa terputus;
2. Warga anggotanya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);
3. Memiliki pranata pemerintahan adat;
4. Memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
5. Memiliki perangkat norma hukum adat;
6. Khusus untuk kesatuan masyarakat hukum adat berjenis teritorial, memiliki
wilayah tertentu.
7. Substansi hak-hak tradisional dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut diakui
dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun
masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia.
8. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI.
9. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
10. Keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
tersebut telah diakui berdasarkan UU ataupun Peraturan Daerah (Perda).

Berdasarkan kesepuluh syarat di atas, maka dapat dikatakan bahwa syarat-syarat

yang ada dalam Penjelasan Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 khususnya unsur

nomor 1 hingga nomor 4 dapat dikatakan juga tercakup dalam ke-10 unsur dalam pasal

18B ayat 2 UUD 1945 yang dipaparkan oleh MK dalam putusannya No. 31/PUU-

V/2007 dan putusan No. 35/PUU-X/2012 sebagaimana dijabarkan di atas. Sehingga,

bisa dikatakan bahwa syarat agar suatu kesatuan masyarakat hukum adat dapat diakui

keberadaannya terkait dengan hak masyarakat hukum adat atas hutan, maka kesatuan

masyarakat hukum adat tersebut harus memenuhi secara kumulatif kesepuluh syarat

tersebut di atas ditambah satu syarat sebagaimana diatur dalam poin ke-5 di Penjelasan

Pasal 67 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999. Sehingga jika digabung secara keseluruhan,

unsur-unsur yang berfungsi sebagai syarat pengakuan keberadaan suatu kesatuan

masyarakat hukum adat terkait dengan hak mereka atas hutan adat adalah:23

23
Menurut Pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999, bentuk penuangan pengakuan atas keberadaan
suatu kesatuan masyarakat hukum adat adalah dengan penetapan oleh Peraturan Daerah (Perda). Lebih
jauh, menurut Penjelasan Pasal 67 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 ini, Perda tersebut disusun dengan
memperhatikan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat setempat, dan tokoh
masyarakat adat yang ada di daerah yang bersangkutan, serta instansi atau pihak lain yang terkait.
18
1. Kesatuan masyarakat hukum adat yang eksistensinya telah ada sejak jaman nenek
moyang dan berhasil mempertahankan eksistensinya tersebut hingga kini tanpa
terputus;
2. Warga anggotanya memiliki perasaan kelompok (in-group feeling);
3. Memiliki pranata pemerintahan adat;
4. Memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat;
5. Memiliki perangkat norma hukum adat;
6. Khusus untuk kesatuan masyarakat hukum adat berjenis teritorial, memiliki
wilayah tertentu;
7. Substansi hak-hak tradisional dari kesatuan masyarakat hukum adat tersebut diakui
dan dihormati oleh warga kesatuan masyarakat yang bersangkutan maupun
masyarakat yang lebih luas, serta tidak bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia;
8. Keberadaannya tidak mengancam kedaulatan dan integritas NKRI;
9. Substansi norma hukum adatnya sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;
10. Keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat tersebut diakui berdasarkan UU
ataupun Perda, dan;
11. Masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk
pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Berdasarkan seluruh penjabaran di atas, ada beberapa poin penting yang bisa

diambil terkait hak masyarakat hukum adat atas hutan sebagaimana yang diatur dalam

Putusan MK No. 35/PUU-X/2012. Poin-poin penting tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, putusan MK No. 35/PUU-X/2012 adalah sebuah putusan yang


memberikan konsep baru menyangkut hak masyarakat hukum adat atas
sumber daya alam, dalam hal ini hak atas hutan. Konsep baru tersebut
mengatur bahwa hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam berupa
hutan –yang disebut sebagai hutan adat- adalah hak yang dikuasai secara
penuh oleh kesatuan masyarakat hukum adat, sebagaimana penguasaan
subyek hukum yang lain (individu atau badan hukum di luar masyarakat
hukum adat) atas jenis hutan hak yang lain. Secara normatif, hal ini
mengakibatkan tidak dimungkinkannya lagi adanya intervensi dan atau
pengambil alihan hutan adat secara sepihak oleh negara dengan kliam
bahwa hutan adat tersebut sejatinya adalah hutan negara.

Kedua, walaupun telah terbangun suatu konsep baru tentang hak masyarakat
hukum adat atas hutan yang bersifat penuh yang bernama hutan adat, hal ini
tidak serta merta membuat suatu kesatuan masyarakat hukum adat secara
otomatis memiliki kewenangan untuk mendapatkan hak tersebut. Sesuai
dengan isi Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 jo. Putusan MK No. 31/PUU-
V/2007 serta Penjelasan Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999, diatur mengenai
syarat-syarat diakuinya suatu eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat di

19
mana hal ini adalah prasyarat dapat diberikannya suatu hak atas hutan
kepada masyarakat hukum adat tersebut.

Dengan kata lain, suatu hak atas hutan hanya dapat diberikan kepada suatu

kesatuan masyarakat hukum adat yang sebelumnya sudah diakui eksistensinya terlebih

dahulu. Jika ada suatu kesatuan masyarakat hukum adat tidak dapat diakui

keberadaannya dikarenakan gagal memenuhi kesebelas unsur prasyarat pengakuan

eksistensi masyarakat hukum adat menurut putusan MK dan UU No. 41 Tahun 1999

sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka tentu hak atas hutan tidak dapat diberikan

kepada kesatuan masyarakat hukum adat tersebut.

Semisal mengenai unsur prasyarat nomor 1, yakni bahwa kesatuan masyarakat

hukum adat yang bersangkutan eksistensinya harus sudah ada sejak jaman dahulu dan

berhasil tetap dipertahankan tanpa terputus hingga saat ini. Hal ini tentu saja cukup sulit

untuk dipenuhi, dan kalaupun ada jumlahnya akan sangat sedikit. Hal ini mengingat

adanya kebijakan semasa Orde Baru di masa lalu selama 32 tahun yang banyak

mencerabut hak-hak masyarakat hukum adat, serta penerapan kebijakan-kebijakan yang

serba sentralistis dan otokratis yang ditunjang dengan penerapan sistem pemerintahan

administratif yang serba diseragamkan mulai dari tingkat pusat hingga tingkat paling

bawah di daerah, sehingga banyak membuat eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat

menjadi tertekan lalu kemudian hilang.

Contoh kesulitan yang kedua adalah terkait dengan syarat ke-9, yakni bahwa

norma-norma hukum adat yang dimiliki kesatuan masyarakat hukum adat yang

bersangkutan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Jika dirujuk

ketentuan dalam Pasal 7 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan menyangkut hierarkhi peraturan perundang-undangan di

20
Indonesia, maka berdasarkan syarat dalam poin nomor 9 di atas norma-norma hukum

adat yang dimiliki oleh suatu kesatuan masyarakat hukum adat tidak boleh bertentangan

dengan sebuah Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten sekalipun, karena Perda termasuk

ke dalam hierarkhi peraturan perundang-undangan. Berdasarkan adanya persyaratan ini,

maka jika ada suatu kesatuan masyarakat hukum adat yang memiliki norma-norma

hukum adat yang bertentangan dengan Perda Kabupaten di tempat di mana kesatuan

masyarakat hukum adat tersebut berada, maka otomatis eksistensi kesatuan masyarakat

hukum adat yang bersangkutan tidak akan dapat diakui, dan lebih jauh lagi mereka tidak

akan bisa mendapatkan atau mempertahankan hak atas hutan mereka.

Sedangkan contoh kesulitan yang ketiga adalah terkait dengan bentuk penuangan

pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, yakni yang menurut Pasal 67 ayat (2)

UU No. 41 Tahun1999 harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Perda

pada hakekatnya adalah sebuah produk legislasi daerah, di mana untuk proses

pengusulan, pembuatan, hingga pengesahannya diperlukan adanya proses dan

kesepakatan politik baik antara lembaga legislatif daerah dan Pemerintah Daerah yang

bersangkutan, maupun di antara anggota lembaga legislatif daerah tersebut, dan proses

ini jelas bukan merupakan proses yang mudah. Sehingga, jika ada suatu kesatuan

masyarakat hukum adat yang secara faktual telah ada, atau bahkan telah memenuhi

persyaratan-persyaratan pengakuan eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat

sebagaimana yang dijabarkan di atas, namun belum juga dibentuk sebuah Perda untuk

mengakui keberadaan mereka, maka secara formal keberadaan kesatuan masyarakat

hukum adat tersebut tetap belum bisa diakui dan oleh karenanya pula hak mereka atas

hutan juga belum bisa mereka nikmati.

21
Itulah hal-hal penting yang bisa diuraikan terkait adanya Putusan MK No.

35/PUU-X/2012 yang memberikan konsep baru mengenai hak masyarakat hukum adat

atas sumber daya alam khususnya hak atas hutan. Walaupun di dalamnya masih ada

pembatasan-pembatasan bagi diperolehnya hak atas hutan oleh masyarakat hukum adat,

namun adanya Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 ini tetap dipandang oleh banyak pihak,

termasuk oleh kalangan masyarakat hukum adat sendiri, sebagai semacam “landmark

decision” yang memberikan landasan yuridis konstitutif baru soal hak masyarakat

hukum adat atas sumber daya alam, sehingga Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 ini

dipandang sebagai simbol kemajuan positif pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat

oleh negara.

Hanya saja, walaupun Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 bisa dikatakan putusan

yang memberikan landasan yuridis konstitutif baru soal hak masyarakat hukum adat

atas sumber daya alam, putusan ini tetap berkonteks spesifik yakni hanya terbatas pada

hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam yang berupa hutan. Di luar UU No.

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, terdapat berbagai perundang-undangan yang juga

mengatur soal hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, yang keberadaannya

sudah ada sebelum adanya Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 dan belum dilakukan

perubahan. Di antara perundang-undangan tersebut, terdapat satu perundang-undangan

yang terpenting yakni UU No. 5 Tahun 1960 atau yang dikenal dengan istilah UUPA

(Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria), mengingat undang-undang ini berfungsi

sebagai semacam fundamen bagi pengaturan penguasaan sumber daya alam di

Indonesia yang menindaklanjuti amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.

22
2.2.3. Wewenang Tidak LangsungYang Dimiliki Oleh Negara Terhadap Hutan

Adat Yang Bukan Lagi Hutan Negara

Pada awalnya, hutan adat termasuk dalam kategori hutan Negara berdasarkan pada

ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU Kehutanan yang

pada intinya menyatakan bahwa hutan berdasarkan statusnya terdiri dari hutan negara

dan hutan hak, di mana hutan negara dalam hal ini dapat berupa hutan adat. Bahwa

dengan dimasukkannya hutan adat dalam klasifikasi hutan negara berdasarkan ketentuan

UU Kehutanan menjadikan negara dapat dengan mudahnya mengambil alih hutan adat

tersebut denganberbagai mekanisme, yang salah satunya adalah dengan penetapan hutan

adat menjadi Kawasan Hutan Taman Nasional ataupun yang lainnya.

Dengandilakukannya tindakan yang demikian kemudian berujung pada

diajukannyapengujian konstitusionalitas terhadap UU Kehutanan kepada MK.

Pengujianterhadap UU Kehutanan ini dilakukan oleh masyarakat hukum adat

karenaberbagai penolakan yang dilakukan masyarakat hukum adat sebelumnya,seperti

aksi-aksi demonstrasi, laporan-laporan pengaduan kepada Komnashamdan aparat

penegak hukum lainnya malah ditanggapi dengan kekerasan olehpihak negara dan juga

pihak swasta yang dalam hal ini adalah perusahaanperusahaanyang memanfaatkan hutan

adat tersebut Putusan MK no.35/PUU-X/2012.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang menerima permohonan tentang

pengujian UUKehutanan memberikan pertimbangan terkait permohonan masyarakat

hukumadat tersebut.Pertimbangan yang diberikan oleh MK dalam Putusan MK

35tersebut menyatakan bahwa masyarakat hukum adat adalah juga subjek

hukum.Namun terhadap masyarakat hukum adat UU Kehutanan tidak

memberikanpengaturan yang jelas.Karena adanya perlakuan yang berbeda inilah

23
yangkemudian masyarakat hukum adat kehilangan hak atas hutan sebagai sumberdaya

alam untuk kehidupan mereka.Dengan hilangannya hak masyarakat hukumadat atas

hutan sebagai sumber kehidupannya, maka masyarakat hukum adatkemudian menjadi

kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.Selainkarena adanya ketentuan UU

Kehutanan yang demikian ini, masyarakat hukumadat juga kehilangan hak-hak mereka

atas hutan karena tindakan sewenangwenangyang kemudian menimbulkan konflik

antara masyarakat hukum adatdengan pihak yang mengambil hak mereka tersebut, baik

pihak tersebut adalahperusahaan-perusahaan maupun pemerintah.Selain itu, terjadinya

konflik yangmelibatkan masyarakat hukum adat ini semakin merugikan masyarakat

hukumadat karena mereka berada pada posisi yang lemah karena tidak diakuinya

hakhakmereka secara jelas ketika mereka berhadapan dengan negara yang memilikihak

menguasai yang sangat kuat.Hal ini menurut pendapat MK tidak sesuaidengan amanah

konstitusi yang mana penguasaan negara atas sumber daya alamitu seharusnya

dipergunakan untuk mengalokasikan sumber daya alam tersebutsecara adil demi

sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dengan demikian, menurut pendapat MK dalam putusannya, apabila dimasukkan

ke dalam bagian dari hutan negara maka hal tersebut merupakan bentuk pengabaian

terhadap hak-hak masyarakat hukum adat yang sudah ada jauh sebelum

kemerdekaan.Oleh karena itu, maka hutan adat tersebut dimasukkan ke dalam klasifikasi

hutan hak.Hutan hak sendiri kemudian dibedakan antara hutan adat dan hutan

perorangan/badan hukum. Sehingga dibutuhkan pengaturan hubungan yang berbeda

antara hak menguasai negara terhadap hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap

hutan adat meskipun hutan adat bukan lagi merupakan bagian dari hutan negara.31 Hal ini

24
sebagaimana tecantum dalam Putusan MK 35 yang menyatakan bahwa negara hanya

mempunyai wewenang secara tidak langsung terhadap hutan adat.

Wewenang tidak langsung Negara terhadap hutan adat yang bukan lagi hutan

Negara Wewenang, berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun2014

tentang Administrasi Pemerintahan (yang selanjutnya disebut UU Adpem)didefinisikan

sebagai hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahanatau penyelenggara

negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakandalam penyelenggaraan

pemerintahan. Sementara itu, menurut Bagir Manan,wewenang dalam bahasa hukum

tidak sama dengan kekuasaan, karena kekuasaanhanya menggambarkan hak untuk

berbuat dan tidak berbuat, tetapi wewenangsekaligus berarti hak dan kewajiban.24Hak

berisi kebebasan untuk melakukanatau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut

pihak lain untuk melakukantindakan tertentu sedangkan kewajiban memuat keharusan

untuk melakukanatau tidak melakukan tindakan tertentu. Terkait dengan wewenang

yang dimilikiPemerintah terhadap hutan ini telah diatur dalam Pasal 4 UU Kehutanan

tentangPenguasaan Hutan Munculnya pasal ini tidak dapat dilepaskan dari amanah

yangdiberikan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945. Penguasaan negara terhadapbumi,

air, dan kekayaan alam yang ada didalamnya yang demikian ini bersumberdari Pasal 33

ayat (3) UUD NRI 1945 sehingga merupakan wewenang atribusi yang kemudian disebut

dengan hak menguasai Negara.25Adanya hak menguasai Negara ini merupakan bentuk

penyelenggaraan dari fungsi dan tujuan dari negara Indonesiasebagaimana telah

disebutkan dalam alinea IV pembukaan UUD 1945, adalah untukmembentuk suatu

pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsaIndonesia dan seluruh

24
Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah, Universitas Lampung, Bandar lampung, 2019
25
Julius Sembiring, “Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria”, Jurnal Bhumi Vol.2,
November 2017.hlm 119.
25
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraanumum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Soepomo, yang merupakan seorang tokoh yang turut serta dalam merancang UUD

1945, memberikan penjelasan terkait bunyi Pasal 33 ayat (3) UUD NRI1945 tersebut

bahwa “dikuasai” yang dimaksud dalam pasal tersebut termasuk didalamnya pengertian

mengatur dan atau menyelanggarakan terutama untuk memperbaiki dan

mempertimbangkan produksi.26Bahwa penguasaan tersebuttidaklah dalam artian

memiliki, karena apabila hak menguasai negara ini diartikansebagai hak memiliki, maka

tidak akan ada jaminan bahwa tujuan pemberian haktersebut dapat tercapai.27

 Hal ini juga dikarenakan, apabila hak menguasai tersebut diartikan sebagai hak

memiliki, maka akan melekat pula hak kebendaan yang paling kuat, dan dengan adanya

hak yang terkuat tersebut menjadi hak mutlak dari negara dan menjadikan negara tidak

perlu untuk memenuhi fungsi dan tujuan yang telah diamanahkan kepadanya.Dengan

demikian penguasaan negara terhadap bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya tidak harus melanggar atau bahkanmeniadakan

kepentingan rakyat itu sendiri.Sebagai pembanding terhadap hakmenguasai negara

terhadap hutan, penulis memberikan penjelasan terkait hakmenguasai negara terhadap

tanah yang ada dalam UUPA.Melakukan pembahasanterkait dengan sumber daya

kehutanan dan kewenangan terkait dengan pengelolaankehutanan secara garis besar

haruslah diawali dengan melakukan pembahasan terhadap UUPA.Sebagaimana telah

tercantum dalam penjelasan umum UUPA pula, yang pada intinya menyatakan bahwa

26
Ibid, hlm 52.
27
Julius Sembiring, Op.Cit hlm 121
26
adanya hak menguasai negara tersebut bukanlah tidak terbatas, melainkan dibatasi oleh

3 hal, yaitu:28

1. Pembatasan terhadap hak menguasai negara oleh


tujuan dari adanya hak
menguasai negara itu sendiri, yaitu “dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat”.
2. Pembatasan terhadap hak menguasai negara oleh hak-hak seseorang atau badan
hukum.
3. Pembatasan terhadap hak menguasai negara oleh hak ulayat masyarakat
hukumadat yang secara faktual masih ada. Namun apabila sekiranya kepentingan
umum menginginkan hak ulayat, maka perolehan tanahnya hanya dapat dilakukan
setelah masyarakat hukum adat pemegang hak tersebut didengar pendapatnya
dalam musyawarah dan diberikan ganti kerugian kepada mereka.Artinya, bahwa
tidak dapat diperoleh tanah ulayat tanpa adanya persetujuanmasyarakat hukum
adat sebagai pemegang hak ulayat tersebut.

Dalam kaitannya dengan pengaturan terkait kehutanan, Sebagai undang-undang

yang telah dirumuskan bersama antara legislatif dan yudikatif, pemerintah mengklaim

bahwa UU Kehutanan telah menjunjung tinggi hak masyarakat hukum adat atas hutan

adat.Alasan pemerintah dalam sidang atas putusan bisa memperlihatkan dengan jelas

keberanian pemerintah tidak mengakui pelemahan hak adat tersebut.29 Hal ini juga yang

secara tersirat telah diamanahkan oleh MK dalam putusan MK 35, bahwa setelah hutan

adat tidak dimasukkan lagi dalam bagian dari hutan negara, maka otoritas negara

terhadap hutan adat berbeda dengan otoritas negara terhadap hutan negara. Terhadap

hutan negara, negara memiliki wewenang penuh untuk mengatur dan memutuskan

persediaan, peruntukan, pemanfaatan, pengurusan serta hubungan-hubungan hukum

yang terjadi di wilayah hutan Negara Sedangkan terhadap hutan adat, karena masyarakat

hukum adat memiliki hak untuk mengatur peruntukan dan pemanfaatan tanah ulayat

danhutan adat yang ada di wilayah adatnya, maka wewenang negara dibatasi sejauh

28
Julius Sembiring, Op.Cit hlm 127
29
Faiq Tobroni, “Menguatkan Hak Masyarakat Adat Atas Hutan Adat (Studi Putusan MK Nomor
5/PUU-X/2012), Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 3, September 2017, hlm 468.
27
mana isi wewenang yang tercakup dalam hutan adat tersebut Hal ini dikarenakan hutan

adat berada dalam cakupan hak ulayat dalam wilayah suatu masyarakat hukum adat,

sehingga peragaannya didasarkan atas tradisi yang hidup dalam suasana rakyat dan

mempunyai suatu badan perurusan pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan

wilayah adatnya masing-masing.

BAB III

28
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 memang bisa dimaknai sebagai suatu “landmark

decision” menyangkut soal hak masyarakat hukum adat atas sumber daya

alam.Melalui putusan ini, telah dikonstruksikan sebuah hak yang sifatnya penuh

yang dimiliki masyarakat hukum adat atas sumber daya alam, dalam hal ini sumber

daya alam berupa hutan. Adanya konstruksi hak masyarakat hukum adat

sebagaimana demikian bisa dianggap sebagai implementasi yang riil dari

pengaturan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang mengatur tentang pengakuan dan

pengormatan eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya, sekaligus pengaturan dalam Putusan MK No. 35/PUU-X/2012

adalah pengaturan yang paling progrsif terkait dengan hak masyarakat hukum adat,

khususnya hak atas sumber daya alam,jika dibandingkan dengan pengaturan dalam

peraturan perundang-undangan lain yang telah ada selama ini. Setidaknya ada 3

jalan yang dapatditempuh agar bisa tersusun kebijakan pengakuan hak-hak

masyarakat adatyang lebih operasional ke depan. Pertama, (kembali) melakukan uji

material ataskeberadaan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Tentu

denganargument yang lain sama sekali dari yang pernah digunakan AMAN dalam

prosesJR terdahulu. Merujuk pada uraian di atas, salah satu argument yang

dapatdikemukakan adalah logika pegakuan yang perlu didahului dengan

penetapansubyek hukum (atas hutan adat) dalam bentuk Peraturan Daerah adalah

tidak relevan secara sosio. Jika logika ini digunakan maka hasratpengakuan dengan

sendirinya akan tergugurkan oleh realitas sosiologis yang sesungguhnya ada di

tingkat lapangan.Jalur kedua, memasukkan pengaturan tentang hak atas hutan adat

29
dan hak adatatas tanahh pada umumnya ke dalam materi yang akan diatur dalam

(Rencana)Undang-Undang Pertanahan yang tengah berproses. Ketiga,

menyusunPeraturan Pemerintah tentang Hutan Adat sebagaimana yang diamanatkan

olehPasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan itu

sendiri,dengan terlebih dahulu menyesuaikan kriteria yang disebutkan

denganprasyarat-prasyarat yang disebutkan dalam Putusan MK 35 Tahun

2012.Tentu saja, dalam tindakan strategis kelompok pertama ini, sebuah

peraturanperundang-undangan yang mengatur soal pengakuan dan penghormatan

atasberbagai hak masyarakat adat sebagai suatu payung hukum, sebagaimana yang

tengah diperjuangkan oleh AMAN dalam beberapa tahun belakang ini,

perludilanjutkan. Hal ini diperlukan juga untuk mengatur pengakuan

danpenghormatan atas hak-hak sosial dan budaya masyarakat adat

lainnya.sebagaimana telahditunjukkan, berdasarkan berbagai kebijakan di tingkat

nasional yang sudah ada,pengakuan beberapa hak masyarakat yang spesifik juga

sudah mungkin untukdiwujudkan di tingkat lapangan. Bahkan, sebuah pengakuan

yang nyarisparipurna, karena mengandung pengakuan yang memungkinkan

masyarakathukum adat yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk mengatur

danmengurus pemerintahan dan pembangunan berdasarkan hak asal-usulnya,

puntelah tersedia. Hal itu dapat dilakukan melalui penetapan suatu

masyarakathukum adat sebagai desa adat menurut versi UU Desa Tahun

2014.Namun,sebagaimana telah ditunjukkan Zakaria & Simarmata (2015),

mendirikan desaadat itu tentu saja tidaklah mudah.Banyak syarat penting dan syarat

cukup yangperlu dipenuhi oleh komunitas masyarakat hukum adat yang

bersangkutan.Tantangan berat yang harus dihadapi tidak lagi datang dari luar,

30
melainkan,sebagaimana yang ditunjukkan oleh Arizona (2015) justru datang dari

dalammasyarakat hukum adat itu sendiri. Lebih dari itu, sebagaimana diatur

dalamPasal 98 ayat 2 UU Desa 6/2014, jika mendirikan ‘pemerintahan desa adat’

akanmenimbulkan keguncangan baru dalam komunitas yang

bersangkutan,penetapan desa adat dapat saja digunakan sebagai strategi

memunculkan subyekhukum atas berbagai hak yang terkait pada komuntas tertentu

itu. Toh,sebagaimana yang banyak dilaporkan, banyak komunitas adat tidak

mauberurusan dengan hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan

danpembangunan.

3.2 Saran

Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 di

harapkan Terkait dengan pengakuan atas hak-hak masyarakat hukum adat yang

lebih spesifik, utamanya tanah dan hutan, belajar dari kasus-kasus yang pernah ada,

sepertinya kebijakan di tingkat daerah perlu dirancang secara lebih teknis.

Kebijakan yang ditujukan untuk memberikan pengakuan dan penghormatan kepada

keberadaaan masyarakat hukum adat dalam berbagai bentuk susunan dan hak-hak

yang melekat kepadanya, tidak lagi bisa hanya berupa kebijakan yang bersifat

deklaratif, yang sekedar berisikan rumusan-rumusan hukum yang merupakan

pengulangan dari apa yang telah disebutkan dalam peraturan perundang-undangan

yang di rujuk. Dengan kata lain, kebijakan daerah dimaksud sudah harus mempu

memuat rincian siapa dan apa saja yang dapat disebut sebagai subyek dan obyek hak

masyarakat hukum adat dalam tatanan sosial dan budaya yang bersangkutan yang

akan diakui di kabupaten/kota yang bersangkutan. Hal ini juga diperlukan untuk

31
mendamaikan logika-logika hukum pada berbagai kebijakan di tingkat nasional

yang tidak selamanya sama itu.

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah, Universitas Lampung, Bandar lampung, 2019

TerHaar, “Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat,” Pradnya Paramita, Jakarta, 1981.

Surojo Wignjodipuro, “Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,” Penerbit Alumni,


Bandung, 1972.

Undang-undang:

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.

Putusan MK RI No. 35/PUU-X/2012

Jurnal, Internet dan Sumber Lain

Ali Yusri, Adlin, Tito Handoko, "PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM


PENETAPAN HAK ULAYAT DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SINGINGI”, Seminar
Nasional Pelestarian Lingkungan (SENPLING) 2018, hlm 337.

Arasy Pradana A Azis, “AFIRMASI MK TERHADAP JUKSTAPOSISI


MASYARAKAT ADAT SEBAGAI SUBYEK HAK BERSERIKAT DI INDONESIA
(Analisis terhadap Keterlibatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012)”, Jurnal Rechts Vinding Volume 8, Nomor
1, April 2019.hlm 27.

Joeni Arianto Kurniawan, “Kedudukan Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumber Daya
Alam Pasca Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, “ Jurnal Ilmu Hukum II, N0 5 January
2017, hlm 4.

Faiq Tobroni, “Menguatkan Hak Masyarakat Adat Atas Hutan Adat (Studi Putusan MK
Nomor 5/PUU-X/2012), Jurnal Konstitusi, Volume 10, Nomor 3, September 2017, hlm
468.

Joeni Arianto Kurniawan dan Christiani Widowati, “Perlindungan Eksistensi


Masyarakat Hukum Adat dalam Konstruksi Negara Hukum Indonesia,” Laporan Akhir
Penelitian Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 2018, hlm 22.

32
Julius Sembiring, “Hak Menguasai Negara Atas Sumber Daya Agraria”, Jurnal Bhumi
Vol.2, November 2017.hlm 119.

Mega Dwi Yulyandini, “Wewenang Tidak Langsung Negara Terhadap Hutan Adat
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012”, Jurist Diction Volume 1
No.1 September 2018.hlm 63.

Proborini Hastuti, “Pemberian Kewenangan Judicial Order Kepada


MahkamahKonstitusi Dalam engujian Undang-Undang Terhadap Undang Undang
Dasar”, SUPREMASI HUKUM Vol 7, No 1 Juni 2018. Hlm 61.

R Yando Zakaria, “Kriteria Masyarakat (Hukum) Adat dan Potensi Implikasinya


terhadap Perebutan Sumberdaya Hutan Pasca-Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012:
Studi Kasus Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur”Wacana Jurnal Transformasi
Sosial, Nomor 33 Tahun XVIII, 2019, hlm 103.

Yesua YDK Pellokilo, “Masyarakat Adat: Lintasan Perjalanan Sejak Kolonialisasi


Hingga UU 6/2014 2014 Tentang Desa : Jalan Itu Masih Panjang” Jurnal Hukum
Volume 2 Nomor 3, Tahun 2018, hlm 2.

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Data Set Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Tahun 2016”, http://www.menlhk.go.id/berita-129-dataset-lingkungan-
hidup-dankehutanan.html, di akses tanggal 7 November 2021.

http://print.kompas.com/baca/opini/artikel/2017/01/09/Tonggak-BaruHak-Masyarakat-
Adat diakses tanggal, 8 November 2021.

33

Anda mungkin juga menyukai