Anda di halaman 1dari 34

PROBLEMATIKA HUKUM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

TERHADAP IMPLEMENTASI REFORMA AGRARIA DALAM


PERSPEKTIF CRITICAL LEGAL STUDIES

MAKALAH

DOSEN PENGAMPU :
Dr. M. Hatta Roma Tampubolon, SH., MH

Makalah ini disusun untuk memenuhi penugasan Mata Kuliah


Sosiologi Hukum pada Semester Ganjil TA. 2021/2022
Program Magister Hukum Fakultas Hukum

Oleh :

RAHMAT HIDAYATULLAH
NIM : D 102 21 058

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis hadiahkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang atas segala Rahmat dan Nikmat yang telah diberikan kepada penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini dengan baik.

Penulis menyadari ada kekurangan pada makalah ini. Oleh sebab itu, saran dan

kritik senantiasa diharapkan demi memperbaiki makalah penulis. Penulis juga

berharap semoga makalah ini mampu meberikan pengetahuan tentang problematika

hukum undang-undang cipta kerja terhadap implementasi reforma agraria dalam

perspektif critical legal studies

ii
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………..………..iii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..1

1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………………………1


1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………6
1.3 Tujuan Penulis……………………………………………………………6
1.4 Manfaat Penulis……………………………………………………………..7

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………...8

2.1 Urgensi pendirian Bank Tanah menurut Undang-Undang Cipta Kerja.dan


Peran serta fungsi Bank Tanah sebagai lembaga pengelolah
tanah…………………………………………………………………………8

2.2 Implemetasi Reforma Agraria dalam Persfektif Critical Legal Studies……


18

BAB III PENUTUP………………………………………………………………….28

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………..28
3.2 Saran……………………………………………………………………...29

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..30......
........................................................................................
........................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

iii
Disahkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 5

Oktober 2020 (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) menimbulkan pro dan kontra.

Dari segala pro dan kontra tersebut, perlu kita cermati bersama tujuan disahkannya

undang-undang itu dari perspektif hukum agraria. Menurut ketua Badan Legislasi

DPR RI, ada beberapa poin penting yang diatur di dalam UU Cipta Kerja yang terkait

Bank Tanah yaitu percepatan reformasi agraria, pemerintah akan mempercepat

reformasi agraria dan redistribusi tanah yang akan dilakukan oleh Bank Tanah.1

Keberadaan Bank Tanah ini merupakan salah satu terobosan pemerintah

dalam usahanya menyediakan tanah untuk kepentingan umum dan kepentingan

masyarakat yang membutuhkan tanah. Khusus untuk kepentingan umum, keberadaan

Bank Tanah akan sangat membantu pemerintah untuk memperoleh tanah nantinya di

bangun untuk fasilitas umum seperti jalan, infrastruktur, rumah sakit, kantor

pemerintah dan sebagainya. Lembaga ini jika dilaksanakan sebagaimana mestinya

akan mengurangi keberatan perkara nilai ganti rugi tanah untuk kepentingan umum di

pengadilan. Adanya bank tanah akan terwujud prinsip efesiensi dalam perolehan

tanah maka akan terwujud prinsip efesiensi dalam perolehan tanah untuk kepentingan

umum karena tampah mengikut sertakan pengadilan yang pada umummnya terjadi

proses keberatan dan pembayaran uang ganti rugi.2

1
Supratman Andi Agtas, Laporan Badan Legislasi DPR RI Dalam Rangka Pembicaraan Tingkat II / Pengambilan Keputusan
Hasil Pembahasan RUU tentang cipta kerja yang telah diselesaikan oleh Badan Legislasi Dalam Rapat Paripurna DPR RI, 6
Oktober 2020, hlm. 4.
2
Mekanisme secara rinci terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa di cermati di dalam Undang-Undang Nomor 2
tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

iv
Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional

(selanjutnya disebut Menteri ATR/BPN), Kementerian ATR/ BPN berfungsi sebagai

regulator dan manager. Selama ini fungsi manager tidak berjalan karena tidak

memiliki tanah yang bisa digunakan untuk kepentingan umum. Bank Tanah sangat

dibutuhkan dan tujuannya, antara lain untuk memfasilitasi investasi, kepentingan

umum seperti taman, perumahan rakyat, dan reforma agraria.

Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), Ketetapan MPR

Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya

Alam (Tap MPR No. IX/2001) belum terbit produk legislasi dan regulasi yang secara

khusus mengoperasionalkan agenda-agenda dan program reforma agraria.3

RUU Omnibus Law saat ini di bidang Cipta Kerja akan beririsan dengan

ketentuan sektoral lain, di antaranya di bidang agraria dan lingkungan hidup.

Berbagai irisan tersebut memiliki potensi konflik pada masing-masing tahap, baik

pengurusan hak atas tanah, perizinan, hingga pelaksanaan kegiatan usaha. Sejumlah

pengaturan sektoral di bidang agraria, tata ruang dan lingkungan hidup dalam

kaitannya dengan

kegiatan investasi, RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan memangkas

undang-undang pokok (induk), seperti Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang di


3
Penjelasan Menteri ATR/BPN Soal Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja “diakses melalui
https://www.Hukumonline.com/berita/baca/lt5f8e8f954808a/penjelasan Menteri-atr-bpn-soal-bank-tanah-dalam-uu,cipta kerja
/#:~:text=Menteri%20Agraria%20dan%20Tata%20Ruang,salah%20satunya%20mengenai%20Bank%20Tanah diakses tanggal 8
november 2020 pukul 21.00 wita

v
dalamnya terdapat instrumen pengendalian dalam rangka fungsi pencegahan atas

pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup, termasuk Undang-Undang Nomor

5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria, yang saat ini tengah dalam proses perubahan di

DPR melalui RUU Pertanahan.

Substansi pertanahan yang dimuat dalam Bab VIII Bagian Keempat (Pasal

125 147) UU Cipta Kerja (UU) terbukti tidak “menyederhanakan” regulasi karena

UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) sebagai UU asalnya tidak dirujuk untuk dirubah/

dihapus. Rumusan disusun dengan cara menyalin substansi dalam RUU Pertanahan

yang ditunda pembahasannya pada 23 September 2019 karena permasalahan krusial

yang belum diperoleh jalan keluarnya. Penambahan rumusan dalam UU justru

menambah kerumitan substansinya. Penyusunan pengaturan pertanahan dilandasi

skenario besar untuk membuka peluang investasi melalui perolehan tanah yang relatif

mudah untuk pelaku usaha. Untuk itu, maka dibentuklah Badan Bank Tanah yang

akan menyediakan tanah dan membantu memberikan Kemudahan Perizinan

Berusaha/ Persetujuan. Kedudukan Hak Pengelolaan (HPL) sebagai “fungsi”

dirombak menjadi “hak” karena dijadikan alas hak bagi pihak ketiga untuk

menjalankan usahanya dengan memperoleh Hak Atas Tanah di atas HPL. Hak Guna

Bangunan (HGB) di atas HPL dijadikan primadona karena mayoritas jenis

pembangunan untuk investasi memerlukan alas hak berupa HGB. Walaupun HGB

belum berakhir, dapat diberikan perpanjangan dan pembaharuan hak setelah

diperoleh Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Ketentuan ini berpeluang untuk diajukan

pengujian di Mahkamah Konstitusi. Secara khusus WNA dan Badan Hukum Asing

vi
diperkenankan memiliki apartemen/sarusun yang tanah bersamanya berstatus HGB.

Sayangnya skenario ini disusun dengan melanggar/ bertentangan dengan Putusan

MK, TAP MPR IX/2001,UUPA, dan Nawacita khususnya program kelima. Di sisi

lain, penyebutan Reforma Agraria (RA) sebagai salah satu tujuan Bank Tanah tak ada

dampaknya terhadap redistribusi tanah pertanian. Ideologi Bank Tanah tak

kompatibel dengan tujuan RA. Di samping rancu, ketentuan ini berpotensi

melemahkan pelaksanaan RA sebagaimana diatur dalam Perpres No.86 Tahun 2018

tentang Reforma Agraria.

Negara melalui lembaga pemerintah atau lembaga independen yang ditunjuk

oleh pemerintah berwenang melakukan akuisisi tanah terlantar, mengelola dan

mengatur sementara waktu, mendistrbusikan untuk kepentingan umum. Hal tersebut

merupakan suatu kebijakan pertanahan yang disebut Bank Tanah. 4 Menurut definisi

Bank Tanah merupakan lembaga yang melakukan fungsi penataan terhadap tanah.

Fungsi penataan ini sangat luas cakupannya seperti perencanaan, perolehan,

pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan distribusi tanah sebagaimana diatur

didalam UU Cipta Kerja.

Konsep Bank Tanah sebenarnya telah hadir di Indonesia bagian ujung barang

letaknya di bagian Kota Aceh yang di kenal dengan Lembaga Baitul Mal dan di Pulau

Sulawesi terletak di Kota Makassar. Pengelolaan Tanah terlantar oleh Baitul Mal

dengan menggunakan konsep Bank Tanah dan ihya al-mawat. Baitul Mal bertindak

sebagai pengelolah harta Agama menurut syari’at Islam dapat menentukan status
4
Konsorsium Pembaruan Agraria, Pandangan dan usulan terhadap RUU Pertanahan, (Jakarta: Konsorsium PembaruanAgraria,
2017), hlm. 10.

vii
tanah terlantar dan memperuntuhkannya pada masyarakat untuk dapat diberdayakan,

dihidupkan dan di kelolah sebagaimana mestinya dengan tujuan pengembangan

kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Di satu sisi, pendayagunaan tanah terlantar

kepada masyarakat dapat diberikan dengan status hak sewa maupun hak lainnya atas

tanah menurut ketentuan yang telah ditentukan ataupun yang berlaku.5

Salah satu terobosan untuk mengatasi kompleksitas masalah pengadaan tanah

untuk kepentingan pembangunan adalah penerapan bank tanah yang berfungsi

sebagai penghimpun tanah, pengaman tanah guna mengamankan penyediaan dan

peruntuhkan serta pemanfaatan tanah sesuai rencana tata ruang yang sudah disahkan.6

Kegiatan Bank Tanah di bidang permukiman rakyat sebagai cikal bakal

berdirinya Lembaga Bank Tanah sudah dilaksanakan oleh pemerintah kota Kota

Makassar. Hal ini terlihat dalam pemerajaan Kawasan kumuh di Kecamatan Mariso

dengan dengan menggunakan tanah seluas 1,2 hektare yang merupakan asset

Pemerintah Kota Makassar.7 Indonesia yang mengenal asas otonomi daerah

memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk berinovasi guna

melaksanakan fungsi tata kelolah pemerintah. Manfaat nyata keberadaan asas ini

ternyata di nikmati oleh warga Kota Aceh dan Kota Makassar. Dari uraian di atas

penulis mencoba merumuskan dua permasalahan antara lain yaitu :

Fatimah Al Zahra, Konstruksi Hukum Pengaturan Bank Tanah Untuk Mewujudkan Pengelolaan Aset Tanah Negara Berkeadilan,
5

jurnal Arena Hukum Volume 10 Nomor 3 Desember 2017, hlm. 364.


6
Zaki Ulya, Espaktasi Pengelolaan Tanah Terlantar Oleh Baitul Mal Dalam Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat", Jurnal
Hukum & Pembangunan Volume 46 No. 4 tahun 2016, Hlm. 518.
7
Hairani Mochtar, Keberadaan Bank Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Jurnal Cakrawala Hukum,
Vol.18, No.2 Desember 2013, Hlm. 134.

viii
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan apa yang uraian dalam latar belakang masalah di atas,maka

dapat di rumuskan permasalahan sebagai berikut :

a. Urgensi pendirian Bank Tanah menurut Undang-Undang Cipta Kerja dan

Peran serta fungsi Bank Tanah sebagai lembaga pengelolah tanah ?

b. Implemetasi Reforma Agraria dalam Persfektif Critical Legal Studies ?

1.3 Tujuan Penulisan

a. Untuk memahami Urgensi pendirian Bank Tanah menurut Undang-

Undang Cipta Kerja.dan Peran serta fungsi Bank Tanah sebagai lembaga

pengelolah tanah.

b. Untuk memahami Implemetasi Reforma Agraria dalam Persfektif Critical

Legal Studies.

1.4 Manfaat Penulisan

a. Manfaat ilmiah, yaitu penulis ingin mengembangkan pengetahuan serta teori-

teori yang ada dalam Jurnal, khusus yang berhubungan dengan pembahasan

tentang problematika hukum undang-undang cipta kerja terhadap

implementasi reforma agraria dalam perspektif critical legal studies.

ix
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Urgensi pendirian Bank Tanah menurut Undang-Undang Cipta Kerja dan

Peran serta fungsi Bank Tanah sebagai lembaga pengelolah tanah.

Status hukum Bank Tanah di dalam Undang-Undang Cipta Kerja disebut

sebagai badan khusus yang mengelola tanah. Pembentuk undang-undang belum

menjelaskan secara tegas bentuk hukum Bank Tanah apakah sebagai Badan Usaha

Milik Negara/ BUMN, lembaga negara, Badan Layanan Umum/ BLU, atau bentuk

x
yang lain. Status ini sangat penting karena berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan

wewenang sehari-hari, status pekerja/karyawan, dan perlindungan hukum pihak

ketiga.

Pembentukan Bank Tanah berdasarkan UU Cipta Kerja, namun ketentuan

lebih lanjut akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah. Bentuk hukum ini akan

berpengaruh terhadap jenis subjek hukum Bank Tanah dalam penyelenggaraan fungsi

dan perannya. Jika sebagai subjek hukum maka ia dapat melakukan perbuatan hukum

dengan pihak ketiga sedangkan jika bukan subjek hukum maka ia sebagai bagian unit

kerja dari suatu lembaga pemerintahan tertentu. Bentuk pertanggungjawaban Bank

Tanah juga belum diatur, bertanggungjawab kepada Presiden atau tidak.

Sedikitnya terdapat 4 isu penting terkait pendirian Bank Tanah sesuai UU

Cipta Kerja menurut Maria SW Sumardjono. 8 Empat isu tersebut yaitu pembentukan

Badan Bank Tanah setidaknya belum jelas yakni filosofi, landasan hukum, dan

prinsip dasar/asas-asasnya, urgensi pembentukannya, asal tanah, dan pihak yang

paling diuntungkan dengan keberadaan Badan.

Sekilas tampaknya pembuat undang-undang mendahulukan pendirian dan

ketentuan umum terlebih dahulu terhadap Bank Tanah. Pendiriannya pun juga

diikutsertakan kedalam suatu Undang-Undang Omnibus Law yang memuat beraneka

ragam Undang-Undang. Menurut penulis inisiatif Pemerintah ini menandakan bahwa

kehadiran Bank Tanah sudah mendesak.

8
Herni Amir, Kegiatan Bank Tanah Sebagai Bentuk Penyediaan Tanah Untuk Permukiman Rakyat,Analisis, Juni 2014, Vol.3
No.1, hlm. 35

xi
Bank Tanah bukan lembaga yang berorientasi pada keuntungan (non profit),

undang-undang menghendaki keuntungan sesuai dengan prisip dalam kerjasamaa

pemerintah yang objeknya barang milik negara/barang milik daerah. Hal ini tercermin

dari Pasal 129 ayat (2) dimana Hak Pengelolaan (HPL) Bank Tanah dapat diberikan

Hak Guna usaha/ HGU, Hak Guna Bangunan/ HGB, atau Hak Pakai yang secara

yuridis wajib didasarkan perjanjian yang dibuat Bank Tanah dengan mitranya/ pihak

ketiga. Konstruksi hukum ini tunduk terhadap hukum pengelolaan barang milik

negara/daerah. Selanjutnya akan dibuat suatu perjanjian seperti Perjanjian

Penggunaan Tanah sebagaimana diatur didalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Meteri

Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang

Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.

Perjanjian Penggunaan Tanah tunduk terhadap PMA, selain itu secara teori

tunduk terhadap ketentuan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata). Ketetuan didalam KUHPerdata tersebut diatur didalam Pasal 1320

yang terdiri dari 4 unsur yakni kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang

halal.9

Dari banyaknya kecaman dan pertentangan terhadap UU Cipta Kerja, ada sisi

positif diantaranya lahirnya pengaturan Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut HPL)

sebagaimana Pasal 136. Sebelumnya HPL tidak diatur didalam UUPA meskipun kata

dan makna “pengelolaan” dapat ditemukan dalam romawi II angka 2 penjelan umum

UUPA. Akhirnya ada peraturan setingkat Undang-Undang yang mengatur HPL


9
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 10.

xii
meskipun di sisi lain ada yang beranggapan bahwa HPL bukan hak atas tanah karena

tidak di atur didalam pasal 4 dan pasal 16 UUPA.

HPL merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan

pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya. HPL sebelumnya

diatur diantaranya didalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah

Susun, Undang-Undang Nomor 21 tentang 1997 tentang Bea perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan, Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna

Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor

24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun

1999. UU No 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun dan UU No. 21 tahun 1997

tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan tidak mendefinisikan secara

tegas HPL itu apa karena hanya menyinggung keberadaannya secara singkat. Di

dalam PMA No. 9 tahun 1999 disebutkan beberapa instansi yang dapat diberikan

HPL.

Mengkategorikan Lembaga Bank Tanah sangan fundamental mengigat setiap

jenis lembaga mempunyai dasar hukum masing-masing yang harus dipatuhi seperti

BUMN tunduk terhadap peraturan menteri BUMN, Pemerintah Daerah tunduk

terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri, BLU tunduk terhadap Peraturan Menteri

Keuangan. Hal ini mengingat kekayaan Bank Tanah merupakan kekayaan Negara

yang dipisahkan sehingga dalam mengelolanya harus penuh hati-hati dan waspada

agar pihak-pihak yang andil didalamnya tidak merugikan keuangan negara yang

dipisahkan tersebut.

xiii
Dua hal yang perlu menjadi perhatian terhadap HPL Bank Tanah yang

pertama adalah Perjanjian Penggunaan Tanah tersebut diatas dan bentuk

pemanfaatannya. Bentuk pemanfaatannya beraneka ragam yang dapat menjadi

pilihan/alternatif bagi Bank Tanah beserta mitranya diantaranya Sewa, Pinjam Pakai,

Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah/ Bangun Serah Guna, Kerja Sama

Penyediaan Infrastruktur.

Segala hal menyangkut keuangan merupakan isu yang sensitif terlebih

berkaitan dengan keuangan negara. Pihak yang mengelola keuangan negara ini jangan

sampai dirugikan sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kerugian keuangan

negara.

Di beberapa Peraturan perundang-undangan yang berkaitan

denganpengelolaan barang milik negara/daerah mewajibkan pengelola HPL untuk

menetapkan penerimaan negara ke dalam perjanjian. Dalam hal tersebut terdapat

pengaturan utama di dalam Peraturan Pemerintah Nomor Nomor 27 Tahun 2014

tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang melahirkan beberapa

peraturan pelaksana diantaranya Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia

Nomor 78/PMK.06/2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemanfaatan Barang Milik

Negara (selanjutnya disebut Permenkeu 78/2014) dan Peraturan Menteri Dalam

Negeri Nomor 19 tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Nuansa sensitif tersebut tercermin dari pengaturan kontribusi tetap dan pembagian

keuntungan yang wajib diatur didalam perjanjian kerja sama pemanfaatan. Hal

tersebut diamanatkan oleh Permenkeu 78/2014. Oleh sebabnya perlu adanya kajian

xiv
tersendiri terhadap pengelolaan aset milik Bank Tanah yang merupakan kekayaan

negara yanng dipisahkan.

Peruntukan HPL Bank Tanah dibagi dua yaitu untuk kepentingan ekonomi

berkeadilan dan untuk investasi. Bank Tanah harus memiliki skala prioritas untuk

kepentingan siapa HPL Bank Tanah nantinya. Jika berorientasi untuk kepentingan

yang pertama maka sudah seharusnya ia menyediakan tanah untuk masyarakat

Indonesia yang mempunyai hubungan kekal dan abadi karena tanah sebagai karunia

Tuhan Yang Maha Esa. Jika untuk kepentingan yang kedua maka tanah HPL Bank

Tanah dapat bekerjasama dengan pemilik manfaatnya yaitu masyarakat Indonesia

sebagaimana dicita-citakan UUPA dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.

Bank Tanah merupakan instansi tambahan yang dapat diberikan HPL selain

instansi pemerintah, BUMN, BUMD, PT. Persero, Badan Otorita, atau Badan-badan

hukum Pemerintah lainnya. Dari karakter penerima HPL ini semuanya merupakan

lembaga pemerintah atau perusahaan milik pemerintah (BUMN/BUMD) sehingga

bank tanah merupakan bagian dari fungsi pemerintahan.

Bank Tanah dapat dikatakan sebagai lembaga di bidang eksekutif dilihat dari

Komite sebagai salah satu organ Bank Tanah. Komite terdiri dari ketua yaitu menteri

di bidang pertanahan dan anggota yaitu menteri di bidang lain yang semuanya

ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Dari ketentuan ini, maka seorang menteri

ATR/kepala BPN berkedudukan tiga jabatan sekaligus, ia sebagai menteri agraria dan

tata ruang, sebagai kepala Badan Pertanahan Nasional, dan sebagai Ketua Komite

Bank Tanah.

xv
Peruntukan tanah yang dikelola oleh Bank Tanah ada 2 yaitu dalam rangka

ekonomi berkeadilan dan dalam rangka mendukung investasi. Dalam rangka ekonomi

berkeadilan, Bank Tanah menjamin ketersediaan tanah minimal 30% (tiga puluh)

persen guna reforma agrarian, sedangkan dalam rangka mendukung investasi,

pemegang HPL Bank Tanah diberikan beberapa kewenangan. Kedua macam

peruntukan ini bertolak belakang karena yang satu ada di pihak bangsa Indonesia

sebagai pemilik bumi, air, dan luar angkasa, sedangkan yang lain bisa dikatakan pro

investor yang bisa datang dari tuan rumah atau bisa juga tamu dari luar.

Inkonsistensi peruntukan tersebut menunjukkan bahwa pembuat kebijakan

mengesampingkan eksistensi Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 yang mengamanatkan bumi dan air dan kekayaan alam yang

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seyogyanya pembuat undang-

undang memilih salah satu peruntukan saja asalkan muara akhirnya yaitu sebesar-

besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan kepentingan

investasi bernuansa asing dan hanya untuk kaum elit. Padahal, kehadiran Bank Tanah

diharapkan dapat menyediakan tanah bagi masyarakat yang belum mendapatkan

tanah untuk hunian atau untuk kepentingan umum.

Ketentuan bahwa Bank Tanah dapat mengelola aset secara mandiri dengan

antara lain melakukan kerjasama dengan pihak ketiga berpotensi untuk diprioritaskan

ketimbang melaksanakan tugas dan fungsi utamanya untuk menyediakan dan

mendistribusikan tanah agar terjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum,

xvi
kepentingan sosial, dan lain-lain. Berdasarkan tugas dan fungsi utamanya tidak tepat

jika Bank Tanah menjadi subjek HPL.10

Menurut penulis jika tujuan didirikannya Bank Tanah adalah untuk

menyediakan tanah maka harus ditegaskan dalam Undang-Undang atau Peraturan

Pemerintah yang di buat, bahwa Bank Tanah didirikan untuk menyediakan tanah bagi

masyarakat. Hal ini agar apa yang di harapkan pemerintah sesuai dengan produk

hukumnya supaya “grand design” didirikannya Bank Tanah itu jelas. Makna jelas

yang dimaksud adalah mudah dilaksanakan bagi siapapun yang ada di dalam organ

Bank Tanah, supaya niat atau Tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan tersebut

dapat dihindari.

Kebutuhan masyarakat akan kepemilikan tanah sangat besar. Di atas tanah

dapat dibangun rumah atau tempat tinggal dengan sebutan lain untuk kepentingan

pribadi yang berdasarkan jenisnya berstatus hak milik. Tanah juga dapat digunakan

untuk kepentingan usaha atau bisnis diantaranya pertanian, perikanan, peternakan

dengan dasar Hak Guna Usaha atau non pertanian dengan dasar Hak Guna Bangunan

atau Hak Pakai.

Objek yang dapat dikelola Bank Tanah sangat terbatas. Berdasarkan Pasal 129

ayat (1), tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan. Wewenang

Bank Tanah ini menurut penulis secara yuridis telah diatur di peraturan tersendiri.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak

Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah (selanjutnya disebut PP No. 40 tahun
10
Nizam Zakka Arrizal, La Validité De La Procuration De Vendre Basé Sur La Décision De Justice, Jurnal Legal Standing
Vol.4 No.1, Maret 2020, Hlm.79.

xvii
1996) telah diatur bahwa Menteri mengatur dan menentukan peruntukan Hak

Pengelolaan. PP No. 40 tahun 1996 mengatur bahwa diatas tanah HPL dapat

diberikan HGB atau Hak Pakai.

Selanjutnya di dalam Peraturan Meteri Negara Agraria/ Kepala Badan

Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan

Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut PMA

9/1999) terdapat lembaga khusus yaitu Panitia Pemeriksa Tanah yang bertugas

melaksanakan pemeriksa tanah dalam rangka penyelesaian permohonan untuk

memperoleh Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah

Negara termasuk Hak Pengelolaan.

Jika ketentuan Bank Tanah di dalam UU Cipta Kerja tetap diberlakukan maka

akan ada Overlaping atau tumpang tindih kewenangan. Kewenangan Bank Tanah

akan mengeleminasi kewenangan Menteri / kepala kantor wilayah / kepala kantor

pertanahan. Secara yuridis, menteri melalui kepala kantor wilayah atau kepala kantor

pertanahan yang akan menetapkan dan memberikan izin kepada seseorang untuk

menikmati HPL. Hal ini sebagaimana diatur dalam PMA 9/1999 dan PP 40/1996.

Pengaturan pemberian Hak Milik atas tanah rumah tinggal juga diatur lebih

spesifik didalam Keputusan Meteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas tanah untuk rumah

tinggal. Pasal 2 menjelaskan bahwa permohonan pendaftaran hak milik diajukan

kepada kepala kantor pertanahan kabupaten/kotamadya.

xviii
Impian masyarakat untuk memiliki tanah hak milik dengan adanya Bank

Tanah akan sulit diraih mengingat hak milik bukan objek yang dapat dimintakan ke

Bank Tanah atau hak atas tanah yang dapat diberikan diatas tanah HPL Bank Tanah.

Di atas tanah HPL Bank Tanah hanya dapat diberikan HGB, HGU, atau Hak Pakai

saja. Dari ketentuan ini nampak bahwa tujuan didirikannya Bank Tanah tidak lain

adalah untuk pemberian hak atas tanah demi kepentingan bisnis, bukan untuk

pemukiman/ tempat tinggal. Selain itu, meskipun di atas tanah HGB atau Hak Pakai

dapat didirikan suatu tempat tinggal namun kenikmatannya tidak lebih baik dari tanah

hak milik misalnya perumahan atau rumah susun karena hak milik memiliki

keistimewaan dibanding hak atas tanah yang lain.

Dalam disiplin ilmu hukum dikenal suatu asas Lex superior derogat legi

inferior yang bermakna norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya akan

mengesampingkan norma hukum yang berada dibawahnya. Jika asas ini diterapkan

dalam UU Cipta kerja dan peraturan perundang-undangan yang lainnya maka yang

berlaku adalah UU Cipta Kerja sehingga menteri melalui kepala kantor wilayah atau

kepala kantor pertanahan akan kehilangan kewenangannya karena sudah digantikan

oleh Bank Tanah. Tugas yang digantikan adalah terkait pengurusan HPL.

Struktur organisasi Bank Tanah terdiri dari 3 organ yaitu Komite, Dewan

Pengawas, dan Badan Pelaksana. Pengaturan lebih lanjut terkait tiga organ ini akan

ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Dari ketiga organ ini, Komite merupakan

organ yang mempunyai posisi paling kuat karena diisi oleh para menteri atau kepala

lembaga serta dapat menetapkan Badan Pelaksana yang terdiri dari kepala dan deputi.

xix
Keberadaan Bank Tanah ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah yang

menginisiasi berdirinya lembaga pengelolaan tanah tesebut. Tantangan

Bank Tanah diantaranya :

a) Kepentingan mana yang akan didahulukan antara kepentingan investasi

atau kepentingan ekonomi berkeadilan dalam penyediaan dan distribusi tanah;

b) Adanya tumpang tindih kewenangan antara Bank tanah dan Menteri di

bidang pertanahan atau Kepala Kantor Pertanahan/ Kepala Kantor Wilayah

Pertanahan;

c) Harapan untuk mengurangi beban perkara di Pengadilan akibat Konsinyasi

(keberatan ganti kerugian) pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus

maksimal.11

2.2 Implemetasi Reforma Agraria dalam Persfektif Critical Legal Studies

Dari berbagai hambatan seperti yang dipaparkan pada bagian terdahulu, terlihat

bahwa persoalan mendasar berkaitan dengan pelaksanaan reformasi agraria adalah

ketersediaan data dan informasi yang akurat tentang lahan dan kependudukan.

Informasi tentang lahan tersbut terutama berkaitan dengan struktur penguasaan,

pemilikan dan pengusahaan lahan serta berbagai kelembagaan yang terkait dengan

keberadaan lahan tersebut. data dasar tentang penguasaan/pemilikan dan pengusahaan


11
https://media.neliti.com/media/publications/337802-kajian-kritis-terhadap-eksistensi-bank-t-ca9a5516. jurnal Fakultas Hukum
Universitas Tulang Bawang di akses pada tanggal 10 november 2021 pada jam 16.00 WITA

xx
lahan serta kelembagaan yang terkait dengan keberadaan lahan akan dengan mudah

dapat menuntun berbagai upaya perbaikan yang akan dilakukan. Selain itu dari peta

lahan yang komprehensif dapat ditaksir tingkat kesejahteraan masyarakat dan upaya-

upaya yang mungkin dapat dilakukan dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat

tersebut.

Pelaksanaan Sensus Pertanian tahun 2003 sebenarnya dapat dijadikan sebagai

upaya awal untuk mendapatkan data yang akurat tentang struktur

penguasaan/pemilikan lahan serta dinamika penguasaan/pemilikannya. Dengan

berbagai keterbatasan yang dimiliki Badan Pertanahan Nasional (BPN) menyebabkan

sulit bagi mereka untuk menghasilkan sesuatu yang komprehensif dan lengkap, tanpa

adanya bantuan dari lembaga/instansi lain yang punya perhatian terhadap masalah ini.

Karena itu berbagai studi pendasaran akan sangat membantu BPS dalam perencanaan

dan pelaksanaan Sensus Pertanian 2003. Hal-hal sederhana seperti Batasan tentang

pemilikan, penguasaan dan lainnya yang sangat beragam, merupakan hal-hal yang

perlu dilihat pada studi pendasaran selain dinamika dalam penguasaan/pemilikan

lahan serta kelambagaan yang mengatur penguasaan lahan di pedesaan.

Berkaitan dengan informasi kependudukan, adanya upaya untuk membuat

data secara terintegrasi dalam level nasional, akan sangat banyak membantu upaya

perbaikan akses masyarakat terhadap lahan. Pada masa yang akan datang data tentang

lahan dan yang berwenang mengelola upaya khusus reformasi agrarian sebaiknya

ditangani oleh suatu badan khusus, yang tidak terlalu banyak dibebani tugas

administrasif seperti BPN.

xxi
Reformasi dalam peraturan/undang-undang yang terkait dengan lahan perlu

diawali dengan Undang-Undang Pokok Agraria. Hal-hal yang mengarah pada

dominasi negara terhadap pemanfaatan lahan perlu direformasi. Selain itu, berbagai

Undang-Undang dan produk hukum lainnya perlu juga direformasi, sehingga kesan

bahwa semua lahan di negara ini sudah dikapling oleh kepentingan sektoral teidak

terlalu menonjol seperti selama ini. Pada tingkat perencana di pusat dan di daerah

perlu melibatkan masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton dan membiarkan

lingkungannya rusak serta hilangnya beberapa kearifan lokal dalam pemanfaatan

sumber daya. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah reformasi sikap pemerintah

tentang tanah adat atau tanah ulayat. Walaupun dalam UUPA keberadaan tanah adat

diakui, namun dalam kenyataannya masyarakat adat sering diabaikan dalam

pemanfaatan lahan yang ada diwilayahnya.

Persoalan dengan lahan adat ini seringkali berkaitan dengan sulitnya

menentukan batas-batas lahan mereka. Namun dari beberapa penelitian terlihat bahwa

hal itu bukanlah masalah utama dalam pemanfaatan lahan masyarakat adat. Menurut

Atok, masyarakat adat dapat dengan mudah mengenali batas-batas lahan hak

ulayatnya. Malahan Atok dapat melakukan pemetaan terhadap lahan adat secara

partisipatif di masyarakat Dayak Kalimantan Barat, masalahnya sekarang seberapa

jauh upaya-upaya semacam ini dapat terintegrasi dengan berbagai aturan dan undang-

undang yang ada, sehingga masyarakat adat punya bargaining position yang kuat bila

berhadapan dengan investor atau pendatang dari luar.

xxii
Petani sebagai penerima lahan objek landreform dalam proses reformasi

agrarian juga perlu disiapkan, sebelum mereka menerima lahan. Diharapkan dengan

demikian mereka dapat mengelola lahan tersebut secara berkelanjutan. Selain itu tata

aturan dalam proses penentuan lahan objek landreform dan untuk mendapatkan lahan

tersebut perlu diperjelas dan dibuat tidak terlalu rumit seperti yang selama ini ada.

Sehingga jelas objek, pelaku dan tata aturan dari proses ini.12

Dalam kajian Critical Legal Studies, produk-produk hukum perlu untuk

ditelaah secara lebih rinci pada bahasanya, terutama pada gramatikanya.

Alasan itu rasional karena, selain ada inkonsistensi dalam pemilihan istilah

yang bisa berdampak bagi kajian dan fungsi praktis dari hukum tersebut. Bila mau

konsisten, nama produk RUU ini sekaligus bahasa Latin (lex omnibus) atau sekaligus

bahasa Inggris (the law for entirely) atau ditranslasi ke dalam bahasa Indonesia

(hukum terintegrasi/terpadu) (agar sesuai dengan kondisi alam pikiran

penggunaannya). Hal ini tentu sejalan dengan nasehat Spinoza, "verba exsolo usu

certam habent significationem (Kata-Kata hukum mendapat makna yang tepat hanya

bila sesuai dari penggunaannya).

Dalam Critical Legal Study, maka pasal ini akan ditemukan adanya beberapa

keganjilan secara formil yaitu: (1) terkait dengan kewenangan eksekutif; (2)

bertentangan dengan stufenbau theory; (3) konsultasi dan bukan uji publik.13

12
https://media.neliti.com/media/publications/64253-none-6c1a19c3.pdf di akses pada tanggal 10
2021 pukul 21.00 wib
13
Kierkegaard: Relevansinya Bagi Mental Warga. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 9
(November), 77–84. https://doi.org/10.20527/kewargan egaraan.v9i2.8052

xxiii
Pertama, intensi untuk memudahkan aturan perundang-undangan bermula dari

pihak eksekutif dengan tujuan menguraikan dan mengakselarasi aturan-aturan hukum

ke dalam satu formula hukum yang bisa merangkum semua dan semua. Artinya,

intensi itu tidak hanya sekadar berada dalam gagasan, melainkan bisa menjadi suatu

laku hukum yang berlaku dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan sampai ke

elemen akar rumput. Gagasan dalam drat RUU OL menjadi langkah awal dari

eksekutif dengan berkonsultasi pada ahli hukum dan secara konstitusional kepada

DPR sebagai representasi warga. Poin krusialnya, eksekutif yang merujuk pada

Presiden Republik Indonesia memiliki kewenangan penuh untuk menyederhanakan

segala aturan. Dalam konteks ini, presiden bisa jadi mengurangi peran yudikatif dan

legislatif karena mesti memerhatikan secara detail baik setiap kata, frase-frase,

kalimat maupun implikasinya dan itu membutuhkan waktu. Selain itu, perlu juga

melibatkan warga dan kelompok civil society dalam perumusan RUU tersebut.14

Kedua, gagasan tertulis untuk merubah undang-undang didasarkan pada

peraturan pemerintah. Pada ayat kedua inilah terjadi kekeliruan in casu karena

peraturan pemerintah justru lebih rendah kedudukannya daripada undang-undang.

Dalam stufenbau theory yang digagas oleh Hans Kelsen,sistem hukum merupakan

tata aturan yang berjenjang di mana norma hukum yang paling rendah harus

berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi,dan kaidah hukum yang tertinggi

(seperti konstitusi) harus berpegangan pada grundnorm (dalam konteks ini: Dengan

Tushnet, M. (1991). Critical Legal


14
Studies: A Political History. The Yale Law
Journal.https://doi.org/10.2307/796697

xxiv
demikian, peraturan pemerintah yang digunakan untuk mengoreksi Undang-undang

menjadi bertentangan dengan asas hukum yaitu lex superior derogate legi inferior

(hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi).

Situasi ini terjadi karena adanya ketergesa-gesaan untuk merumuskan hukum tanpa

dasar hukum. Akibatnya, konstruksi logis dari hukum tersebut menjadi keliru. Bila,

eksekutif tetap mendasarkan logika hukumnya pada percepatan penataan hukum,

maka hukum berada dalam logika waktu pendek. Artinya, alur pemikiran dan

pendasaran logis pembuatan dan perumusan tanpa memerhatikan konsiderasi dan

konsekuensi dari produk hukum tersebut.15

Ketiga, pihak eksekutif yang mendasarkan logika hukumnya pada Peraturan

Pemerintah kemudian tahap penetapannya dilakukan dengan berkonsultasi pada

pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat. Pilihan kata "berkonsultasi" bila dianalisis

menjadi terlalu longgar, karena pemerintah seakan “meminta restu” informal pada

Dewan Perwakilan Rakyat, padahal relasi trias politica tidak semestinya

menggunakan diksi “konsultasi”. Alasan kedua, dikatakan longgar karena DPR bukan

lembaga konsultasi, tetapi lembaga yang mengawasi eksekutif dan membuat produk-

produk hukum. Maka, dalam relasi antara eksekutif dan legislatif, idealnya adalah

draft RUU OL itu diuji bukan dikonsultasikan. Peran DPR juga berinisiatif

melibatkan warga untuk berperan dalam uji publik pada produk hukum. Dalam arti

ini, DPR sebagai representasi publik bisa melakukan pemeriksaan tekstual pada draft

Wadu, L. B., & Jaisa, Y. (2017).Pembinaan Moral Untuk Memantapkan Watak Kewarganegaraan
15

Siswa Sekolah Dasar Kelas Tinggi. Jurnal Moral Kemasyarakatan, 2(2), 131-139.

xxv
RUU tersebut. Lalu, DPR sangat memungkinkan untuk melibatkan publik sebagai

warga yang kritis untuk ikut serta dalam mengkaji RUU OL ini agar bisa menjadi

produk hukum yang bisa mewujudkan keadilan.

Apa yang bisa kita ambil dari temuan kekeliruan penggunaan pada istilah

omnibus law? Lantas, apakah omnibus law yang dapat dijadikan sandaran dan

perlindungan bagi para pekerja? Pertanyaan pertama, kami telah memberi argumen

bahwa kekeliruan istilah berupa percampuran bahasa Latin dan Inggris menjadi agak

bias makna. Selain itu, secara substasi berarti ada limitasi pada kebebasan yang di

satu sisi perlu, namun di sisi lain, limitasi itu perlu sesuai dengan kelayakan hidup

terutama bagi para pekerja. Pertanyaan kedua, RUU OL hampir tidak bisa menjadi

sandaran dan perlindungan bagi para pekerja. Argumen ini akan kami elaborasi,

dalam posisi kontra, dengan merujuk pada draft RUU OL Cipta Lapangan Kerja.

Penjelasan lebih detail ada di bawah ini.16

Kemunculan draft RUU OL ini menimbulkan beragam tanggapan. Dalam

konteks ini, kami mengelaborasi RUU OL Cipta Lapangan Kerja ini dalam posisi

kontra. Posisi kontra, oleh karena adanya tumpang tindih peraturan perundang-

undang terkait dengan mulai disesuaikannya UU No. 13 tahun 2003 yang dimasukkan

dalam RUU OL, tentu dengan beberapa revisi berupaya penambahan maupun

penghapusan pasal-pasalnya. Argumen dari pemerintah, RUU OL memang dengan

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2020.


16
(2020). Retrieved from
https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5e44b818ae3f4/ranc

xxvi
intensi menyederhanakan banyaknya peraturan (dan beragam turunannya) yang tidak

terintegrasi, bahkan bisa saling mengamputasi.

Pada konteks ini, kami bisa mengerti intensi baik dari pemerintah.Tetapi,

beberapa catatan argumentative kami perlu untuk kita kaji bersama-sama. Pertama,

dari UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan, pola hubungan kerja diatur dalam bentuk

kerjasama antara pemerintah, pemilik perusahaan, serikat buruh dan pekerja. Bila ada

kasus-kasus, misalnya pemutusan hubungan kerja, pemilik perusahan tidak bisa serta

merta mengelurkan putusan untuk menindak pekerja dengan PHK (Pemutusan

Hubungan Kerja). PHK mesti dijalankan dalam prosedur kebijakan dengan

melibatkan empat elemen di atas dengan prosedur hukum yang diputuskan melalui

lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Tetapi, dalam RUU OL,

pemutusan hubungan kerja diserahkan dalam pola hubungan hanya antara pengusaha

dan pekerja (buruh).17

Pada titik ini, konsekuensi logis yang kami ajukan adalah ada situasi sangat

rentan bagi para pekerja (buruh) dengan pola relasi satu arah dengan pengusaha

sebagai pemilik modal.Dalam sejarah hubungan kelas, para pemilik modal hampir

pasti berada pada kelas atas (kapitalis), sedangkan para buruh di kelas bawah

(proletar). Dengan melihat stratifikasi kelas ini, buruh hampir pasti bisa dipergunakan

sesuai dengan keperluan pengusaha dan apabila tenaga dan ketrampilannya sudah

Patterson, E. W. (1951). Historical and Evolutionary Theories of Law. Columbia Law Review. Jurnal
17

https://doi.org/10.2307/1119252

xxvii
tidak lagi efektif, maka pengusaha bisa dengan keputusan subyektif melakukan PHK.

Ini konsekuensi yang berdampak negatif bagi para pekerja di RUU OL.

Kita bisa melihat pada pasal 77 A (RUU OL) yang tertulis demikian,

(1).Pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor

usaha tertentu

(2). Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan

skema periode kerja (Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2020).18

Pada titik ini, RUU OL Cipta Lapangan Kerja berubah menjadi bentuk-

benrtuk kesewenangan bagi para pekerja. Kesewenangan, oleh karena, pengusaha

bisa jadi melihat para pekerja layaknya mesin-mesin dengan nilai efektivitas, nilai

efisiensi, dan nilai guna tanpa memperhatikan kehidupan layak dan perikemanusiaan.

Skema kerja ditentukan dalam keinginan pengusaha yang bisa menambah jam kerja

dalam dalam

rangka peningkatan produksi dan distribusi yang berdampak bagi pola kerja para

buruh. Ditambah lagi, dalam pasal 92 dan pasal 92A, skema pengupahan ditentukan

oleh para pengusaha dan tentu ini adalah bentuk penyerahan nasib dan hidup para

pekerja dari pemerintah kepada pemilik modal. Dengan demikian, kita bisa melihat

Norris, P. (2003). Jurnal Introduction: The Growth of Critical Citizens? InCritical Citizens.
18

https://doi.org/10.1093/019829568 5.003.0001

xxviii
konsekuensi, pemerintah sebagai regulator menjadi semacam “lepas tangan” dengan

menyerahkan hidup para pekerja kepada keputusan pengusaha terutama dalam

mengurus skema kerja para buruh.

Selain itu, kerentanan dalam pengaturan pola hubungan kerja antara

pengusaha dan pekerja, bisa jadi hanya menguntungkan pengusaha. Hal ini bisa

dimengerti, karena dalam dunia bisnis, ada dalil, “keuntungan menjadi prioritas”.

Kepragmatisan pada diri pengusaha akan memiliki konsekuensi, (1) pengusaha bisa

dengan tanpa pertimbangan (consideration) untuk melakukan pergantian para pekerja

yang tidak sesuai dengan standar perusahaan, dan akibatnya ada penggantian para

pekerja yang sudah tidak efektif dan efisien lagi; (2) pemerintah pada posisinya

terlalu yakin bahwa pengusaha akan bertindak bijak dengan mengutamakan

kelayakan hidup para pekerja, dan persis di sini kelemahan dari RUU OL. Padahal,

pekerja akan tetap menjadi elemen yang rapuh dalam dunia kerja; (3) Pemerintah

dalam upaya menumbuhkan investasi (baik asing maupun domestik) untuk membuka

banyak lapangan kerja, penting untuk diingat bahwa lapangan kerja dengan serapan

paling banyak tetap berada pada sektor-sektor industri padat karya, sedangkan sektor

mikro dan kecil hanya sedikit.19

Beragam konsekuensi dalam hubungan antara pengusaha dan pekerja menjadi

sebentuk perjanjian yang searah dan tanpa ada moderatornya. Idealnya, dalam

hubungan kerja, terutama dengan merujuk sejarah hukum kanonik Roma, mesti

Marzuki, P. M. (1999). Reformasi Hukum dan Pendidikan Hukum di Indonesia. Perspektif Jurnal.
19

https://doi.org/10.30742/perspektif. v4i1.202

xxix
didasarkan pada dalil hukum yaitu Pacta Sunt Servanda (perjanjian harus ditepati).

Artinya, adanya asas kepastian hukum dalam perjanjian antara pengusaha dan

pekerja. Poinnya, perjanjian kerja yang dipercayakan oleh pemerintah pada dua pihak

(pengusaha dan pekerja) itu mesti ada prinsip konsensualisme dan bila terjadi

sengketa maka diputuskan oleh hakim di pengadilan. Persis di sinilah letak

kelemahan dalam melihat konsekuensi yang akan dialami para pekerja (buruh).

Argumen pertama, mereka telah kehilangan akses dan relasi dalam serikat

pekerja,pemerintah dan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Bila

dicermati dalam Critical Legal Theory, para pekerja yang mengalami perselisihan

kerja dengan pengusaha, hampir pasti dalam RUU OL akan tersingkir. Argumen

kedua, para pekerja tidak memiliki modal ekonomi yang kuat untuk memperjuangkan

haknya di pengadilan.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kehadiran Bank tanah sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan pemerintah

dalam pengelolaan dan penataan tanah untuk kepentingan umum dan tempat tinggal.

Wewenang Bank Tanah belum diatur secara tegas didalam UU Cipta Kerja karena

secara umum wewenang terkait pertanahan ada di tangan Menteri yang membidangi

pertanahan atau pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Peran dan fungsi Bank

tanah adalah lembaga yang mengelola tanah dengan melaksanakan perencanaan,

xxx
perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Perlu

adanya beberapa peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang khusus tentang Bank

Tanah untuk segera disahkan agar pelaksanaan fungsi dan peran Bank Tanah bisa

segera dirasakan masyarakat. Pemerintah sekiranya dapat membuat prioritas utama

diantara dua pilihan yaitu dalam rangka ekonomi berkeadilan dan dalam rangka

mendukung investasi terkait peruntukan tanah HPL yang dikelola Bank Tanah.

RUU Omnibus Law dalam posisinya sekarang masih dalam tahap pengajuan

ke legislatif untuk dikaji lebih lanjut diuji kepada publik. RUU tersebut juga mesti

bisa memprediksi dan melihat konsekuensi-konsekuensi logis bagi kelayakan hidup

para pekerja. Kajian pada produk hukum perlu dicermati dari sudut pandang CLS

lebih berupaya menemukan inkonsistensi pada teks-teks hukum dan berupaya

memberi interpretasi kritis pada produk hukum. RUU OL memiliki beberapa

kelemahan dari sudut pandang CLS, dengan demikian analisa kritis yang inheren

diperlukan, terlebih agar hukum tetap berpijak pada alur logika yang jelas, dan tidak

kehilangan aspek kepastian dan kemampuan untuk memprediksi konsekuensi hukum

di masa sekarang dan di masa mendatang.

3.2 Saran

a. Mempertegas secara terperinci mengenai UU Cipta kerja dalam hal tanah

pelantaran dan Pemerintah sekiranya dapat membuat prioritas utama diantara

dua pilihan yaitu dalam rangka ekonomi berkeadilan dan dalam rangka

xxxi
mendukung investasi terkait peruntukan tanah HPL yang dikelola Bank

Tanah.

b. inheren diperlukan, terlebih agar hukum tetap berpijak pada alur logika yang

jelas, dan tidak kehilangan aspek kepastian dan kemampuan untuk

memprediksi konsekuensi hukum di masa sekarang dan di masa mendatang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku/Jurnal

https://media.neliti.com/media/publications/337802-kajian-kritis-terhadap-
eksistensi-bank-t-ca9a5516. jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang di
akses pada tanggal 10 november 2021 pada jam 16.00 WITA.

La Arrizal Nizam Zakka Validité De La Procuration De Vendre Basé Sur La


Décision De Justice, Jurnal Legal Standing Vol.4 No.1, Maret 2020.

xxxii
Soekanto Soerjono Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986).

Amir Herni, Kegiatan Bank Tanah Sebagai Bentuk Penyediaan Tanah Untuk
Permukiman Rakyat,Analisis, Juni 2014, Vol.3 No.1.

Fatimah Al Zahra, Konstruksi Hukum Pengaturan Bank Tanah Untuk Mewujudkan


,
Pengelolaan Aset Tanah Negara Berkeadilan jurnal Arena Hukum Volume 10 Nomor 3
Desember 2017.

Ulya Zaki, Espaktasi Pengelolaan Tanah Terlantar Oleh Baitul Mal Dalam
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat", Jurnal Hukum & Pembangunan Volume 46
No. 4 tahun 2016.

Mochtar Hairani, Keberadaan Bank Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk


Pembangunan, Jurnal Cakrawala Hukum, Vol.18, No.2 Desember 2013.

Konsorsium Pembaruan Agraria, Pandangan dan usulan terhadap RUU Pertanahan,


(Jakarta: Konsorsium PembaruanAgraria, 2017).

Supratman Andi Agtas, Laporan Badan Legislasi DPR RI Dalam Rangka


Pembicaraan Tingkat II / Pengambilan Keputusan Hasil Pembahasan RUU tentang
cipta kerja yang telah diselesaikan oleh Badan Legislasi Dalam Rapat Paripurna
DPR RI, 6 Oktober 2020.

Mekanisme secara rinci terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa di
cermati di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum.

Penjelasan Menteri ATR/BPN Soal Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja “diakses
melaluihttps://www.Hukumonline.com/berita/baca/lt5f8e8f954808a/penjelasanMente
ri-atr-bpn-soal-bank-tanah-dalam uu, cipta kerja/#:~:text= Menteri% 20 Agraria% 20
dan% 20 Tata% 20Ruang,salah%20satunya%20mengenai%20Bank%20Tanah
diakses tanggal 8 november 2020 pukul 21.00 wita.

Marzuki, P. M. (1999). Reformasi Hukum dan Pendidikan Hukum di Indonesia.


Perspektif Jurnal. https://doi.org/10.30742/perspektif. v4i1.202.

Patterson, E. W. (1951). Historical and Evolutionary Theories of Law. Columbia


Law Review. Jurnal https://doi.org/10.2307/1119252.

xxxiii
Norris, P. (2003). Jurnal Introduction: The Growth of Critical Citizens? InCritical
Citizens. https://doi.org/10.1093/019829568 5.003.0001.

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2020. (2020). Retrieved from


https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5e44b818ae3f4/ranc.

Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja Tahun 2020. (2020). Retrieved from


https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt5e44b818ae3f4/ranc.

Jaisa Y & Wadu, L. B., (2017).Pembinaan Moral Untuk Memantapkan Watak Kewarganegaraan
Siswa Sekolah Dasar Kelas Tinggi. Jurnal Moral Kemasyarakatan, 2(2), 131-139.

M Tushnet, (1991). Critical Legal Studies: A Political History. The Yale Law
Journal.https://doi.org/10.2307/796697

xxxiv

Anda mungkin juga menyukai