MAKALAH
DOSEN PENGAMPU :
Dr. M. Hatta Roma Tampubolon, SH., MH
Oleh :
RAHMAT HIDAYATULLAH
NIM : D 102 21 058
Puji syukur penulis hadiahkan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang atas segala Rahmat dan Nikmat yang telah diberikan kepada penulis
Penulis menyadari ada kekurangan pada makalah ini. Oleh sebab itu, saran dan
ii
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR………………………………………………………………...ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………..………..iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………..1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………...8
3.1 Kesimpulan………………………………………………………………..28
3.2 Saran……………………………………………………………………...29
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..30......
........................................................................................
........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
iii
Disahkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 5
Oktober 2020 (selanjutnya disebut UU Cipta Kerja) menimbulkan pro dan kontra.
Dari segala pro dan kontra tersebut, perlu kita cermati bersama tujuan disahkannya
undang-undang itu dari perspektif hukum agraria. Menurut ketua Badan Legislasi
DPR RI, ada beberapa poin penting yang diatur di dalam UU Cipta Kerja yang terkait
reformasi agraria dan redistribusi tanah yang akan dilakukan oleh Bank Tanah.1
Bank Tanah akan sangat membantu pemerintah untuk memperoleh tanah nantinya di
bangun untuk fasilitas umum seperti jalan, infrastruktur, rumah sakit, kantor
akan mengurangi keberatan perkara nilai ganti rugi tanah untuk kepentingan umum di
pengadilan. Adanya bank tanah akan terwujud prinsip efesiensi dalam perolehan
tanah maka akan terwujud prinsip efesiensi dalam perolehan tanah untuk kepentingan
umum karena tampah mengikut sertakan pengadilan yang pada umummnya terjadi
1
Supratman Andi Agtas, Laporan Badan Legislasi DPR RI Dalam Rangka Pembicaraan Tingkat II / Pengambilan Keputusan
Hasil Pembahasan RUU tentang cipta kerja yang telah diselesaikan oleh Badan Legislasi Dalam Rapat Paripurna DPR RI, 6
Oktober 2020, hlm. 4.
2
Mekanisme secara rinci terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa di cermati di dalam Undang-Undang Nomor 2
tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum
iv
Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
regulator dan manager. Selama ini fungsi manager tidak berjalan karena tidak
memiliki tanah yang bisa digunakan untuk kepentingan umum. Bank Tanah sangat
Alam (Tap MPR No. IX/2001) belum terbit produk legislasi dan regulasi yang secara
RUU Omnibus Law saat ini di bidang Cipta Kerja akan beririsan dengan
Berbagai irisan tersebut memiliki potensi konflik pada masing-masing tahap, baik
pengurusan hak atas tanah, perizinan, hingga pelaksanaan kegiatan usaha. Sejumlah
pengaturan sektoral di bidang agraria, tata ruang dan lingkungan hidup dalam
kaitannya dengan
v
dalamnya terdapat instrumen pengendalian dalam rangka fungsi pencegahan atas
5 tahun 1960 tentang Pokok Agraria, yang saat ini tengah dalam proses perubahan di
Substansi pertanahan yang dimuat dalam Bab VIII Bagian Keempat (Pasal
125 147) UU Cipta Kerja (UU) terbukti tidak “menyederhanakan” regulasi karena
UU No.5 Tahun 1960 (UUPA) sebagai UU asalnya tidak dirujuk untuk dirubah/
dihapus. Rumusan disusun dengan cara menyalin substansi dalam RUU Pertanahan
skenario besar untuk membuka peluang investasi melalui perolehan tanah yang relatif
mudah untuk pelaku usaha. Untuk itu, maka dibentuklah Badan Bank Tanah yang
dirombak menjadi “hak” karena dijadikan alas hak bagi pihak ketiga untuk
menjalankan usahanya dengan memperoleh Hak Atas Tanah di atas HPL. Hak Guna
pembangunan untuk investasi memerlukan alas hak berupa HGB. Walaupun HGB
diperoleh Sertifikat Laik Fungsi (SLF). Ketentuan ini berpeluang untuk diajukan
pengujian di Mahkamah Konstitusi. Secara khusus WNA dan Badan Hukum Asing
vi
diperkenankan memiliki apartemen/sarusun yang tanah bersamanya berstatus HGB.
MK, TAP MPR IX/2001,UUPA, dan Nawacita khususnya program kelima. Di sisi
lain, penyebutan Reforma Agraria (RA) sebagai salah satu tujuan Bank Tanah tak ada
merupakan suatu kebijakan pertanahan yang disebut Bank Tanah. 4 Menurut definisi
Bank Tanah merupakan lembaga yang melakukan fungsi penataan terhadap tanah.
Konsep Bank Tanah sebenarnya telah hadir di Indonesia bagian ujung barang
letaknya di bagian Kota Aceh yang di kenal dengan Lembaga Baitul Mal dan di Pulau
Sulawesi terletak di Kota Makassar. Pengelolaan Tanah terlantar oleh Baitul Mal
dengan menggunakan konsep Bank Tanah dan ihya al-mawat. Baitul Mal bertindak
sebagai pengelolah harta Agama menurut syari’at Islam dapat menentukan status
4
Konsorsium Pembaruan Agraria, Pandangan dan usulan terhadap RUU Pertanahan, (Jakarta: Konsorsium PembaruanAgraria,
2017), hlm. 10.
vii
tanah terlantar dan memperuntuhkannya pada masyarakat untuk dapat diberdayakan,
kepada masyarakat dapat diberikan dengan status hak sewa maupun hak lainnya atas
peruntuhkan serta pemanfaatan tanah sesuai rencana tata ruang yang sudah disahkan.6
berdirinya Lembaga Bank Tanah sudah dilaksanakan oleh pemerintah kota Kota
Makassar. Hal ini terlihat dalam pemerajaan Kawasan kumuh di Kecamatan Mariso
dengan dengan menggunakan tanah seluas 1,2 hektare yang merupakan asset
melaksanakan fungsi tata kelolah pemerintah. Manfaat nyata keberadaan asas ini
ternyata di nikmati oleh warga Kota Aceh dan Kota Makassar. Dari uraian di atas
Fatimah Al Zahra, Konstruksi Hukum Pengaturan Bank Tanah Untuk Mewujudkan Pengelolaan Aset Tanah Negara Berkeadilan,
5
viii
1.2 Rumusan Masalah
Undang Cipta Kerja.dan Peran serta fungsi Bank Tanah sebagai lembaga
pengelolah tanah.
Legal Studies.
teori yang ada dalam Jurnal, khusus yang berhubungan dengan pembahasan
ix
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Urgensi pendirian Bank Tanah menurut Undang-Undang Cipta Kerja dan
menjelaskan secara tegas bentuk hukum Bank Tanah apakah sebagai Badan Usaha
Milik Negara/ BUMN, lembaga negara, Badan Layanan Umum/ BLU, atau bentuk
x
yang lain. Status ini sangat penting karena berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan
ketiga.
lebih lanjut akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah. Bentuk hukum ini akan
berpengaruh terhadap jenis subjek hukum Bank Tanah dalam penyelenggaraan fungsi
dan perannya. Jika sebagai subjek hukum maka ia dapat melakukan perbuatan hukum
dengan pihak ketiga sedangkan jika bukan subjek hukum maka ia sebagai bagian unit
Cipta Kerja menurut Maria SW Sumardjono. 8 Empat isu tersebut yaitu pembentukan
Badan Bank Tanah setidaknya belum jelas yakni filosofi, landasan hukum, dan
ketentuan umum terlebih dahulu terhadap Bank Tanah. Pendiriannya pun juga
8
Herni Amir, Kegiatan Bank Tanah Sebagai Bentuk Penyediaan Tanah Untuk Permukiman Rakyat,Analisis, Juni 2014, Vol.3
No.1, hlm. 35
xi
Bank Tanah bukan lembaga yang berorientasi pada keuntungan (non profit),
pemerintah yang objeknya barang milik negara/barang milik daerah. Hal ini tercermin
dari Pasal 129 ayat (2) dimana Hak Pengelolaan (HPL) Bank Tanah dapat diberikan
Hak Guna usaha/ HGU, Hak Guna Bangunan/ HGB, atau Hak Pakai yang secara
yuridis wajib didasarkan perjanjian yang dibuat Bank Tanah dengan mitranya/ pihak
ketiga. Konstruksi hukum ini tunduk terhadap hukum pengelolaan barang milik
Penggunaan Tanah sebagaimana diatur didalam Pasal 4 ayat (2) Peraturan Meteri
Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang
Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan.
Perjanjian Penggunaan Tanah tunduk terhadap PMA, selain itu secara teori
yang terdiri dari 4 unsur yakni kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang
halal.9
Dari banyaknya kecaman dan pertentangan terhadap UU Cipta Kerja, ada sisi
sebagaimana Pasal 136. Sebelumnya HPL tidak diatur didalam UUPA meskipun kata
dan makna “pengelolaan” dapat ditemukan dalam romawi II angka 2 penjelan umum
xii
meskipun di sisi lain ada yang beranggapan bahwa HPL bukan hak atas tanah karena
Susun, Undang-Undang Nomor 21 tentang 1997 tentang Bea perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan, Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor
24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun
1999. UU No 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun dan UU No. 21 tahun 1997
tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan tidak mendefinisikan secara
tegas HPL itu apa karena hanya menyinggung keberadaannya secara singkat. Di
dalam PMA No. 9 tahun 1999 disebutkan beberapa instansi yang dapat diberikan
HPL.
jenis lembaga mempunyai dasar hukum masing-masing yang harus dipatuhi seperti
terhadap Peraturan Menteri Dalam Negeri, BLU tunduk terhadap Peraturan Menteri
Keuangan. Hal ini mengingat kekayaan Bank Tanah merupakan kekayaan Negara
yang dipisahkan sehingga dalam mengelolanya harus penuh hati-hati dan waspada
agar pihak-pihak yang andil didalamnya tidak merugikan keuangan negara yang
dipisahkan tersebut.
xiii
Dua hal yang perlu menjadi perhatian terhadap HPL Bank Tanah yang
pilihan/alternatif bagi Bank Tanah beserta mitranya diantaranya Sewa, Pinjam Pakai,
Kerja Sama Pemanfaatan, Bangun Guna Serah/ Bangun Serah Guna, Kerja Sama
Penyediaan Infrastruktur.
berkaitan dengan keuangan negara. Pihak yang mengelola keuangan negara ini jangan
negara.
Negeri Nomor 19 tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.
Nuansa sensitif tersebut tercermin dari pengaturan kontribusi tetap dan pembagian
keuntungan yang wajib diatur didalam perjanjian kerja sama pemanfaatan. Hal
tersebut diamanatkan oleh Permenkeu 78/2014. Oleh sebabnya perlu adanya kajian
xiv
tersendiri terhadap pengelolaan aset milik Bank Tanah yang merupakan kekayaan
Peruntukan HPL Bank Tanah dibagi dua yaitu untuk kepentingan ekonomi
berkeadilan dan untuk investasi. Bank Tanah harus memiliki skala prioritas untuk
kepentingan siapa HPL Bank Tanah nantinya. Jika berorientasi untuk kepentingan
Indonesia yang mempunyai hubungan kekal dan abadi karena tanah sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa. Jika untuk kepentingan yang kedua maka tanah HPL Bank
sebagaimana dicita-citakan UUPA dan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945.
Bank Tanah merupakan instansi tambahan yang dapat diberikan HPL selain
instansi pemerintah, BUMN, BUMD, PT. Persero, Badan Otorita, atau Badan-badan
hukum Pemerintah lainnya. Dari karakter penerima HPL ini semuanya merupakan
Bank Tanah dapat dikatakan sebagai lembaga di bidang eksekutif dilihat dari
Komite sebagai salah satu organ Bank Tanah. Komite terdiri dari ketua yaitu menteri
di bidang pertanahan dan anggota yaitu menteri di bidang lain yang semuanya
ditetapkan oleh Keputusan Presiden. Dari ketentuan ini, maka seorang menteri
ATR/kepala BPN berkedudukan tiga jabatan sekaligus, ia sebagai menteri agraria dan
tata ruang, sebagai kepala Badan Pertanahan Nasional, dan sebagai Ketua Komite
Bank Tanah.
xv
Peruntukan tanah yang dikelola oleh Bank Tanah ada 2 yaitu dalam rangka
ekonomi berkeadilan dan dalam rangka mendukung investasi. Dalam rangka ekonomi
berkeadilan, Bank Tanah menjamin ketersediaan tanah minimal 30% (tiga puluh)
peruntukan ini bertolak belakang karena yang satu ada di pihak bangsa Indonesia
sebagai pemilik bumi, air, dan luar angkasa, sedangkan yang lain bisa dikatakan pro
investor yang bisa datang dari tuan rumah atau bisa juga tamu dari luar.
Republik Indonesia 1945 yang mengamanatkan bumi dan air dan kekayaan alam yang
undang memilih salah satu peruntukan saja asalkan muara akhirnya yaitu sebesar-
investasi bernuansa asing dan hanya untuk kaum elit. Padahal, kehadiran Bank Tanah
Ketentuan bahwa Bank Tanah dapat mengelola aset secara mandiri dengan
antara lain melakukan kerjasama dengan pihak ketiga berpotensi untuk diprioritaskan
xvi
kepentingan sosial, dan lain-lain. Berdasarkan tugas dan fungsi utamanya tidak tepat
Pemerintah yang di buat, bahwa Bank Tanah didirikan untuk menyediakan tanah bagi
masyarakat. Hal ini agar apa yang di harapkan pemerintah sesuai dengan produk
hukumnya supaya “grand design” didirikannya Bank Tanah itu jelas. Makna jelas
yang dimaksud adalah mudah dilaksanakan bagi siapapun yang ada di dalam organ
Bank Tanah, supaya niat atau Tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan tersebut
dapat dihindari.
dapat dibangun rumah atau tempat tinggal dengan sebutan lain untuk kepentingan
pribadi yang berdasarkan jenisnya berstatus hak milik. Tanah juga dapat digunakan
dengan dasar Hak Guna Usaha atau non pertanian dengan dasar Hak Guna Bangunan
Objek yang dapat dikelola Bank Tanah sangat terbatas. Berdasarkan Pasal 129
ayat (1), tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan. Wewenang
Bank Tanah ini menurut penulis secara yuridis telah diatur di peraturan tersendiri.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah (selanjutnya disebut PP No. 40 tahun
10
Nizam Zakka Arrizal, La Validité De La Procuration De Vendre Basé Sur La Décision De Justice, Jurnal Legal Standing
Vol.4 No.1, Maret 2020, Hlm.79.
xvii
1996) telah diatur bahwa Menteri mengatur dan menentukan peruntukan Hak
Pengelolaan. PP No. 40 tahun 1996 mengatur bahwa diatas tanah HPL dapat
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Dan
Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan (selanjutnya disebut PMA
9/1999) terdapat lembaga khusus yaitu Panitia Pemeriksa Tanah yang bertugas
memperoleh Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah
Jika ketentuan Bank Tanah di dalam UU Cipta Kerja tetap diberlakukan maka
akan ada Overlaping atau tumpang tindih kewenangan. Kewenangan Bank Tanah
pertanahan. Secara yuridis, menteri melalui kepala kantor wilayah atau kepala kantor
pertanahan yang akan menetapkan dan memberikan izin kepada seseorang untuk
menikmati HPL. Hal ini sebagaimana diatur dalam PMA 9/1999 dan PP 40/1996.
Pengaturan pemberian Hak Milik atas tanah rumah tinggal juga diatur lebih
Nasional Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik atas tanah untuk rumah
xviii
Impian masyarakat untuk memiliki tanah hak milik dengan adanya Bank
Tanah akan sulit diraih mengingat hak milik bukan objek yang dapat dimintakan ke
Bank Tanah atau hak atas tanah yang dapat diberikan diatas tanah HPL Bank Tanah.
Di atas tanah HPL Bank Tanah hanya dapat diberikan HGB, HGU, atau Hak Pakai
saja. Dari ketentuan ini nampak bahwa tujuan didirikannya Bank Tanah tidak lain
adalah untuk pemberian hak atas tanah demi kepentingan bisnis, bukan untuk
pemukiman/ tempat tinggal. Selain itu, meskipun di atas tanah HGB atau Hak Pakai
dapat didirikan suatu tempat tinggal namun kenikmatannya tidak lebih baik dari tanah
hak milik misalnya perumahan atau rumah susun karena hak milik memiliki
Dalam disiplin ilmu hukum dikenal suatu asas Lex superior derogat legi
inferior yang bermakna norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya akan
mengesampingkan norma hukum yang berada dibawahnya. Jika asas ini diterapkan
dalam UU Cipta kerja dan peraturan perundang-undangan yang lainnya maka yang
berlaku adalah UU Cipta Kerja sehingga menteri melalui kepala kantor wilayah atau
oleh Bank Tanah. Tugas yang digantikan adalah terkait pengurusan HPL.
Struktur organisasi Bank Tanah terdiri dari 3 organ yaitu Komite, Dewan
Pengawas, dan Badan Pelaksana. Pengaturan lebih lanjut terkait tiga organ ini akan
ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Dari ketiga organ ini, Komite merupakan
organ yang mempunyai posisi paling kuat karena diisi oleh para menteri atau kepala
lembaga serta dapat menetapkan Badan Pelaksana yang terdiri dari kepala dan deputi.
xix
Keberadaan Bank Tanah ini akan menjadi tantangan bagi pemerintah yang
Pertanahan;
maksimal.11
Dari berbagai hambatan seperti yang dipaparkan pada bagian terdahulu, terlihat
ketersediaan data dan informasi yang akurat tentang lahan dan kependudukan.
pemilikan dan pengusahaan lahan serta berbagai kelembagaan yang terkait dengan
xx
lahan serta kelembagaan yang terkait dengan keberadaan lahan akan dengan mudah
dapat menuntun berbagai upaya perbaikan yang akan dilakukan. Selain itu dari peta
lahan yang komprehensif dapat ditaksir tingkat kesejahteraan masyarakat dan upaya-
tersebut.
sulit bagi mereka untuk menghasilkan sesuatu yang komprehensif dan lengkap, tanpa
adanya bantuan dari lembaga/instansi lain yang punya perhatian terhadap masalah ini.
Karena itu berbagai studi pendasaran akan sangat membantu BPS dalam perencanaan
dan pelaksanaan Sensus Pertanian 2003. Hal-hal sederhana seperti Batasan tentang
pemilikan, penguasaan dan lainnya yang sangat beragam, merupakan hal-hal yang
data secara terintegrasi dalam level nasional, akan sangat banyak membantu upaya
perbaikan akses masyarakat terhadap lahan. Pada masa yang akan datang data tentang
lahan dan yang berwenang mengelola upaya khusus reformasi agrarian sebaiknya
ditangani oleh suatu badan khusus, yang tidak terlalu banyak dibebani tugas
xxi
Reformasi dalam peraturan/undang-undang yang terkait dengan lahan perlu
dominasi negara terhadap pemanfaatan lahan perlu direformasi. Selain itu, berbagai
Undang-Undang dan produk hukum lainnya perlu juga direformasi, sehingga kesan
bahwa semua lahan di negara ini sudah dikapling oleh kepentingan sektoral teidak
terlalu menonjol seperti selama ini. Pada tingkat perencana di pusat dan di daerah
perlu melibatkan masyarakat lokal tidak hanya menjadi penonton dan membiarkan
sumber daya. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah reformasi sikap pemerintah
tentang tanah adat atau tanah ulayat. Walaupun dalam UUPA keberadaan tanah adat
menentukan batas-batas lahan mereka. Namun dari beberapa penelitian terlihat bahwa
hal itu bukanlah masalah utama dalam pemanfaatan lahan masyarakat adat. Menurut
Atok, masyarakat adat dapat dengan mudah mengenali batas-batas lahan hak
ulayatnya. Malahan Atok dapat melakukan pemetaan terhadap lahan adat secara
jauh upaya-upaya semacam ini dapat terintegrasi dengan berbagai aturan dan undang-
undang yang ada, sehingga masyarakat adat punya bargaining position yang kuat bila
xxii
Petani sebagai penerima lahan objek landreform dalam proses reformasi
agrarian juga perlu disiapkan, sebelum mereka menerima lahan. Diharapkan dengan
demikian mereka dapat mengelola lahan tersebut secara berkelanjutan. Selain itu tata
aturan dalam proses penentuan lahan objek landreform dan untuk mendapatkan lahan
tersebut perlu diperjelas dan dibuat tidak terlalu rumit seperti yang selama ini ada.
Sehingga jelas objek, pelaku dan tata aturan dari proses ini.12
Alasan itu rasional karena, selain ada inkonsistensi dalam pemilihan istilah
yang bisa berdampak bagi kajian dan fungsi praktis dari hukum tersebut. Bila mau
konsisten, nama produk RUU ini sekaligus bahasa Latin (lex omnibus) atau sekaligus
bahasa Inggris (the law for entirely) atau ditranslasi ke dalam bahasa Indonesia
penggunaannya). Hal ini tentu sejalan dengan nasehat Spinoza, "verba exsolo usu
certam habent significationem (Kata-Kata hukum mendapat makna yang tepat hanya
Dalam Critical Legal Study, maka pasal ini akan ditemukan adanya beberapa
keganjilan secara formil yaitu: (1) terkait dengan kewenangan eksekutif; (2)
bertentangan dengan stufenbau theory; (3) konsultasi dan bukan uji publik.13
12
https://media.neliti.com/media/publications/64253-none-6c1a19c3.pdf di akses pada tanggal 10
2021 pukul 21.00 wib
13
Kierkegaard: Relevansinya Bagi Mental Warga. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan, 9
(November), 77–84. https://doi.org/10.20527/kewargan egaraan.v9i2.8052
xxiii
Pertama, intensi untuk memudahkan aturan perundang-undangan bermula dari
ke dalam satu formula hukum yang bisa merangkum semua dan semua. Artinya,
intensi itu tidak hanya sekadar berada dalam gagasan, melainkan bisa menjadi suatu
laku hukum yang berlaku dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan sampai ke
elemen akar rumput. Gagasan dalam drat RUU OL menjadi langkah awal dari
eksekutif dengan berkonsultasi pada ahli hukum dan secara konstitusional kepada
DPR sebagai representasi warga. Poin krusialnya, eksekutif yang merujuk pada
segala aturan. Dalam konteks ini, presiden bisa jadi mengurangi peran yudikatif dan
legislatif karena mesti memerhatikan secara detail baik setiap kata, frase-frase,
kalimat maupun implikasinya dan itu membutuhkan waktu. Selain itu, perlu juga
melibatkan warga dan kelompok civil society dalam perumusan RUU tersebut.14
peraturan pemerintah. Pada ayat kedua inilah terjadi kekeliruan in casu karena
Dalam stufenbau theory yang digagas oleh Hans Kelsen,sistem hukum merupakan
tata aturan yang berjenjang di mana norma hukum yang paling rendah harus
berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi,dan kaidah hukum yang tertinggi
(seperti konstitusi) harus berpegangan pada grundnorm (dalam konteks ini: Dengan
xxiv
demikian, peraturan pemerintah yang digunakan untuk mengoreksi Undang-undang
menjadi bertentangan dengan asas hukum yaitu lex superior derogate legi inferior
(hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi).
Situasi ini terjadi karena adanya ketergesa-gesaan untuk merumuskan hukum tanpa
dasar hukum. Akibatnya, konstruksi logis dari hukum tersebut menjadi keliru. Bila,
maka hukum berada dalam logika waktu pendek. Artinya, alur pemikiran dan
menjadi terlalu longgar, karena pemerintah seakan “meminta restu” informal pada
menggunakan diksi “konsultasi”. Alasan kedua, dikatakan longgar karena DPR bukan
lembaga konsultasi, tetapi lembaga yang mengawasi eksekutif dan membuat produk-
produk hukum. Maka, dalam relasi antara eksekutif dan legislatif, idealnya adalah
draft RUU OL itu diuji bukan dikonsultasikan. Peran DPR juga berinisiatif
melibatkan warga untuk berperan dalam uji publik pada produk hukum. Dalam arti
ini, DPR sebagai representasi publik bisa melakukan pemeriksaan tekstual pada draft
Wadu, L. B., & Jaisa, Y. (2017).Pembinaan Moral Untuk Memantapkan Watak Kewarganegaraan
15
Siswa Sekolah Dasar Kelas Tinggi. Jurnal Moral Kemasyarakatan, 2(2), 131-139.
xxv
RUU tersebut. Lalu, DPR sangat memungkinkan untuk melibatkan publik sebagai
warga yang kritis untuk ikut serta dalam mengkaji RUU OL ini agar bisa menjadi
Apa yang bisa kita ambil dari temuan kekeliruan penggunaan pada istilah
omnibus law? Lantas, apakah omnibus law yang dapat dijadikan sandaran dan
perlindungan bagi para pekerja? Pertanyaan pertama, kami telah memberi argumen
bahwa kekeliruan istilah berupa percampuran bahasa Latin dan Inggris menjadi agak
bias makna. Selain itu, secara substasi berarti ada limitasi pada kebebasan yang di
satu sisi perlu, namun di sisi lain, limitasi itu perlu sesuai dengan kelayakan hidup
terutama bagi para pekerja. Pertanyaan kedua, RUU OL hampir tidak bisa menjadi
sandaran dan perlindungan bagi para pekerja. Argumen ini akan kami elaborasi,
dalam posisi kontra, dengan merujuk pada draft RUU OL Cipta Lapangan Kerja.
konteks ini, kami mengelaborasi RUU OL Cipta Lapangan Kerja ini dalam posisi
kontra. Posisi kontra, oleh karena adanya tumpang tindih peraturan perundang-
undang terkait dengan mulai disesuaikannya UU No. 13 tahun 2003 yang dimasukkan
dalam RUU OL, tentu dengan beberapa revisi berupaya penambahan maupun
xxvi
intensi menyederhanakan banyaknya peraturan (dan beragam turunannya) yang tidak
Pada konteks ini, kami bisa mengerti intensi baik dari pemerintah.Tetapi,
beberapa catatan argumentative kami perlu untuk kita kaji bersama-sama. Pertama,
dari UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan, pola hubungan kerja diatur dalam bentuk
kerjasama antara pemerintah, pemilik perusahaan, serikat buruh dan pekerja. Bila ada
kasus-kasus, misalnya pemutusan hubungan kerja, pemilik perusahan tidak bisa serta
melibatkan empat elemen di atas dengan prosedur hukum yang diputuskan melalui
pemutusan hubungan kerja diserahkan dalam pola hubungan hanya antara pengusaha
Pada titik ini, konsekuensi logis yang kami ajukan adalah ada situasi sangat
rentan bagi para pekerja (buruh) dengan pola relasi satu arah dengan pengusaha
sebagai pemilik modal.Dalam sejarah hubungan kelas, para pemilik modal hampir
pasti berada pada kelas atas (kapitalis), sedangkan para buruh di kelas bawah
(proletar). Dengan melihat stratifikasi kelas ini, buruh hampir pasti bisa dipergunakan
sesuai dengan keperluan pengusaha dan apabila tenaga dan ketrampilannya sudah
Patterson, E. W. (1951). Historical and Evolutionary Theories of Law. Columbia Law Review. Jurnal
17
https://doi.org/10.2307/1119252
xxvii
tidak lagi efektif, maka pengusaha bisa dengan keputusan subyektif melakukan PHK.
Ini konsekuensi yang berdampak negatif bagi para pekerja di RUU OL.
Kita bisa melihat pada pasal 77 A (RUU OL) yang tertulis demikian,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor
usaha tertentu
(2). Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan
Pada titik ini, RUU OL Cipta Lapangan Kerja berubah menjadi bentuk-
bisa jadi melihat para pekerja layaknya mesin-mesin dengan nilai efektivitas, nilai
efisiensi, dan nilai guna tanpa memperhatikan kehidupan layak dan perikemanusiaan.
Skema kerja ditentukan dalam keinginan pengusaha yang bisa menambah jam kerja
dalam dalam
rangka peningkatan produksi dan distribusi yang berdampak bagi pola kerja para
buruh. Ditambah lagi, dalam pasal 92 dan pasal 92A, skema pengupahan ditentukan
oleh para pengusaha dan tentu ini adalah bentuk penyerahan nasib dan hidup para
pekerja dari pemerintah kepada pemilik modal. Dengan demikian, kita bisa melihat
Norris, P. (2003). Jurnal Introduction: The Growth of Critical Citizens? InCritical Citizens.
18
https://doi.org/10.1093/019829568 5.003.0001
xxviii
konsekuensi, pemerintah sebagai regulator menjadi semacam “lepas tangan” dengan
pengusaha dan pekerja, bisa jadi hanya menguntungkan pengusaha. Hal ini bisa
dimengerti, karena dalam dunia bisnis, ada dalil, “keuntungan menjadi prioritas”.
Kepragmatisan pada diri pengusaha akan memiliki konsekuensi, (1) pengusaha bisa
yang tidak sesuai dengan standar perusahaan, dan akibatnya ada penggantian para
pekerja yang sudah tidak efektif dan efisien lagi; (2) pemerintah pada posisinya
kelayakan hidup para pekerja, dan persis di sini kelemahan dari RUU OL. Padahal,
pekerja akan tetap menjadi elemen yang rapuh dalam dunia kerja; (3) Pemerintah
dalam upaya menumbuhkan investasi (baik asing maupun domestik) untuk membuka
banyak lapangan kerja, penting untuk diingat bahwa lapangan kerja dengan serapan
paling banyak tetap berada pada sektor-sektor industri padat karya, sedangkan sektor
sebentuk perjanjian yang searah dan tanpa ada moderatornya. Idealnya, dalam
hubungan kerja, terutama dengan merujuk sejarah hukum kanonik Roma, mesti
Marzuki, P. M. (1999). Reformasi Hukum dan Pendidikan Hukum di Indonesia. Perspektif Jurnal.
19
https://doi.org/10.30742/perspektif. v4i1.202
xxix
didasarkan pada dalil hukum yaitu Pacta Sunt Servanda (perjanjian harus ditepati).
Artinya, adanya asas kepastian hukum dalam perjanjian antara pengusaha dan
pekerja. Poinnya, perjanjian kerja yang dipercayakan oleh pemerintah pada dua pihak
(pengusaha dan pekerja) itu mesti ada prinsip konsensualisme dan bila terjadi
kelemahan dalam melihat konsekuensi yang akan dialami para pekerja (buruh).
Argumen pertama, mereka telah kehilangan akses dan relasi dalam serikat
dicermati dalam Critical Legal Theory, para pekerja yang mengalami perselisihan
kerja dengan pengusaha, hampir pasti dalam RUU OL akan tersingkir. Argumen
kedua, para pekerja tidak memiliki modal ekonomi yang kuat untuk memperjuangkan
haknya di pengadilan.
3.1 Kesimpulan
dalam pengelolaan dan penataan tanah untuk kepentingan umum dan tempat tinggal.
Wewenang Bank Tanah belum diatur secara tegas didalam UU Cipta Kerja karena
secara umum wewenang terkait pertanahan ada di tangan Menteri yang membidangi
pertanahan atau pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Peran dan fungsi Bank
xxx
perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Perlu
adanya beberapa peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang khusus tentang Bank
Tanah untuk segera disahkan agar pelaksanaan fungsi dan peran Bank Tanah bisa
diantara dua pilihan yaitu dalam rangka ekonomi berkeadilan dan dalam rangka
mendukung investasi terkait peruntukan tanah HPL yang dikelola Bank Tanah.
RUU Omnibus Law dalam posisinya sekarang masih dalam tahap pengajuan
ke legislatif untuk dikaji lebih lanjut diuji kepada publik. RUU tersebut juga mesti
para pekerja. Kajian pada produk hukum perlu dicermati dari sudut pandang CLS
kelemahan dari sudut pandang CLS, dengan demikian analisa kritis yang inheren
diperlukan, terlebih agar hukum tetap berpijak pada alur logika yang jelas, dan tidak
3.2 Saran
dua pilihan yaitu dalam rangka ekonomi berkeadilan dan dalam rangka
xxxi
mendukung investasi terkait peruntukan tanah HPL yang dikelola Bank
Tanah.
b. inheren diperlukan, terlebih agar hukum tetap berpijak pada alur logika yang
DAFTAR PUSTAKA
Buku/Jurnal
https://media.neliti.com/media/publications/337802-kajian-kritis-terhadap-
eksistensi-bank-t-ca9a5516. jurnal Fakultas Hukum Universitas Tulang Bawang di
akses pada tanggal 10 november 2021 pada jam 16.00 WITA.
xxxii
Soekanto Soerjono Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986).
Amir Herni, Kegiatan Bank Tanah Sebagai Bentuk Penyediaan Tanah Untuk
Permukiman Rakyat,Analisis, Juni 2014, Vol.3 No.1.
Ulya Zaki, Espaktasi Pengelolaan Tanah Terlantar Oleh Baitul Mal Dalam
Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat", Jurnal Hukum & Pembangunan Volume 46
No. 4 tahun 2016.
Mekanisme secara rinci terkait pengadaan tanah untuk kepentingan umum bisa di
cermati di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah
untuk Kepentingan Umum.
Penjelasan Menteri ATR/BPN Soal Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja “diakses
melaluihttps://www.Hukumonline.com/berita/baca/lt5f8e8f954808a/penjelasanMente
ri-atr-bpn-soal-bank-tanah-dalam uu, cipta kerja/#:~:text= Menteri% 20 Agraria% 20
dan% 20 Tata% 20Ruang,salah%20satunya%20mengenai%20Bank%20Tanah
diakses tanggal 8 november 2020 pukul 21.00 wita.
xxxiii
Norris, P. (2003). Jurnal Introduction: The Growth of Critical Citizens? InCritical
Citizens. https://doi.org/10.1093/019829568 5.003.0001.
Jaisa Y & Wadu, L. B., (2017).Pembinaan Moral Untuk Memantapkan Watak Kewarganegaraan
Siswa Sekolah Dasar Kelas Tinggi. Jurnal Moral Kemasyarakatan, 2(2), 131-139.
M Tushnet, (1991). Critical Legal Studies: A Political History. The Yale Law
Journal.https://doi.org/10.2307/796697
xxxiv