MAKALAH
DOSEN PENGAMPU:
Dr. M. Hatta Roma Tampubalon, SH., MH.
Oleh :
i
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan se Izi-Nya. Penulis dapat menyelesaikan Makalah ini dengan judul
Dalam Prespektif Gerakan Studi Hukum Kritis . Makalah ini disusun dalam rangka
memenuhi salah satu Tugas Matakuliah Sosiologi Hukum Program Studi Magister Ilmu
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Sebagai insan yang penuh keterbatasan,
penyusunan harus menghadapi banyak hambatan dan kesulitan, itu semua dapat diatasi
berkat adanya bantuan, dan dorongan semangat dari berbagai pihak, baik teman maupun
keluarga saya, disamping minat dan kemauan penyusun sendiri. Maka pada kesempatan
ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus dari
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan.................................................................................. 2
BAB V PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 28
3.2 Saran....................................................................................................... 29
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 30
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
sumberdaya alam (natural resources) baik sumberdaya alam yang dapat diperbaharui
resources). Jenis-jenis barang tambang atau bahan galian yang dihasilkan dari
pertambangan seperti batubara, minyak bumi, timah, bijih besi, bijih emas, tembaga,
intan, perak, nikel, mangan dan lain sebagainya. Pengelolaan dan pemanfaatan lebih
pembangunan dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya
harus dikuasai oleh negara dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
berbunyi:
penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi
kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan
Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat
Dalam hal penguasaan serta pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara,
turunan Pasal 33, UUD 1945 saat ini adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
Pada Pasal 4 ayat (2) disebutkan : “Penguasaan mineral dan batubara oleh negara
Undang Minerba pada Ketentuan Umum disebutkan: “Mineral dan batubara sebagai
1
Abrar Saleng, 2004. Hukum Pertambangan, Yogyakarta: UII Press, hlm. 219.
2
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 002/PUU-1/2003, hlm, 208-209
2
pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah bersama
setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang
pengusahaan
3
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
4
serta kegiatan pasca tambang.
galian dari dalam bumi. Dari berbagai pengertian soal pertambangan, dapat diketahui
suatu proses pengembangan sumber daya mineral dan energi yang potensial untuk
Mengingat sumber daya mineral merupakan suatu sumber yang bersifat tidak dapat
serta
5
keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan hidup maupun masyarakat sekitar. .
dalam Pasal (1) ayat (3) UUD 1945, maka untuk menjalankan suatu negara dan
perlindungan hak asasi manusia harus berdasarkan atas hukum. Untuk mewujudkan
negara hukum, salah satunya diperlukan perangkat hukum yang digunakan mengatur
4
Ibid, Pasal 1 Angka (1)
5
Abrar Saleng, Op.cit., hlm 90
4
Kehadiran hukum dalam suatu negara bertujuan untuk mewujudkan keadilan
dan semata-mata untuk mencari manfaat. Hukum mempunyai tugas untuk menjamin
perdamaian; juga menjaga jangan sampai terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam
termasuk sumber hukum yang merupakan segala apa saja yang menimbulkan aturan-
aturan yang jika dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
Adanya instrumen hukum (pidana) juga merupakan salah satu alat untuk
hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum pidana yang mengatur suatu
suatu kejahatan terhadap suatu kepentingan umum dan suatu kepentingan individu,
dan barang siapa berbuat yang dilarang dalam suatu hukum pidana akan diancam
dengan sanksi pidana yang telah ditentukan apa yang diperbuat oleh pelanggar
tersebut. Hukum pidana juga menjaga suatu stabilitas dan suatu lembaga moral yang
Jika dikaji lebih jauh, pada hakikatnya tujuan hukum pidana yaitu: (1) untuk
melindungi suatu kepentingan orang atau perseorangan (hak asasi manusia) serta
kepentingan suatu masyarakat dan negara dengan suatu perimbangan yang serasi da
perbuatan
5
yang melanggar dan merugiakan di pihak lain; (2) membuat orang yang ingin
melakukan kejahatan atau perbuatan yang tidak baik menjadi takut untuk melakukan
perbuatan tersebut; (3) Untuk mendidik seseorang yang melanggar agar tidak
mencari pembenaran mengapa pelaku tindak pidana dikenai sanksi pidana serta
dampak sanksi pidana tersebut bagi pelaku tindak pidana dan masyarakat. Tujuan
pemidanaan itu sendiri pada dasarnya terbagi berdasarkan tiga teori yaitu: (1) teori
diperbuat oleh pelaku agar timbul perasaan keadilan bagi pihak yang menuntut
adanya keadilan; (2) teori teleologis, yang memandang bahwa pemidanaan bukan
merupakan pembalasan dendam akan tetapi sarana untuk mencapai kemanfaatan, dan
Tak kalah pentingnya, sanksi pidana yang tegas dan nyata sangat menentukan
bagi pelaku kejahatan agar menimbulkan efek jera (deterrence). Dikatakan Herbert
L. Packer dalam bukunya The Limits of Criminal Sanction bahwa sanksi pidana
sangat diperlukan baik sekarang atau masa yang akan datang, karena sanksi pidana
6
kejahatan atau bahaya besar dan segera untuk menghadapi ancaman-ancaman dari
apabila digunakan secara hemat, cermat atau prudently dan secara manusiawi
Black adalah punishment attached to conviction at crimes such fines, probation and
sentences - suatu pidana yang dijatuhkan untuk menghukum suatu penjahat atau
kejahatan seperti dengan pidana denda, pidana pengawasan dan pidana penjara.
melakukan suatu kejahatan atau perbuatan pidana melalui suatu rangkaian proses
peradilan oleh kekuasaan atau hukum yang secara khusus diberikan untuk hal itu,
dengan pengenaan
yang melanggar ketentuan itu dapat dikenakan hukuman atau sanksi pidana yang
disesuaikan berat atau ringannya perbuatan pidana yang dilakukan. Adapun yang
7
Muladi dan Barda Nawawi, 1984, Pidana dan Pemidanaan, Semarang: Badan Penyediaan Bahan
Kuliah Fakultas Hukum UNDIP, hlm 155-156
8
Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 79
7
kepada pelaku kejahatan. Pejabat yang diberikan kewenangan dimaksud adalah
hakim. Dengan sanksi pidana yang diberikan melalui putusan pengadilan diharapkan
bisa memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau mampu menjadi sarana pencegahan
terjadinya tindak pidana. Namun, secara umum efek pemberian sanksi-sanksi pidana
Subjek hukum pidana di Indonesia tidak hanya manusia, tapi juga korporasi
yang umumnya suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang
bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukuman pidana yang
berlaku. Selama ini ada kesulitan pengungkapan dan pemberian sanksi pidana dengan
tindakan fungsional dan berbentuk delik penyertaan sehingga harus didasarkan pada
konsep yang berbeda dibandingkan konsep yang berlaku untuk manusia. Dalam
pidana korporasi, bisa pengurus yang melakukan tindak pidana, dan pengurus juga
yang bertanggung jawab, bisa juga korporasi yang melakukan tindak pidana dan
pengurus yang bertanggung jawab, namun bisa juga korporasi yang melakukan tindak
Mineral dan Batubara (Minerba) disebutkan bahwa tidak hanya perorangan sebagai
subjek delik, tapi juga korporasi. Paling tidak ada tiga kategori pelaku usaha
8
pertambangan yaitu pertama: berupa badan usaha, koperasi dan perorangan; kedua,
maupun kelompok masyarakat dan koperasi; ketiga, badan usaha yang berbadan
hukum Indonesia, baik berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD) maupun badan usaha swasta. Namun disayangkan, sangat
jarang kasus pidana di sektor pertambangan batubara yang sampai ke pengadilan dan
hukum formil yang dimiliki kurang memberikan ruang sehingga perlu dilakukan
belum berdimensi keadilan. Jika pelaku tindak pidana terkait dengan perusahaan
(apalagi perusahaan skala besar), sanksi yang diberikan bukan merupakan sanksi
penjara, namun berupa denda yang nilainya pun jauh dari yang diatur dalam
ditemukan penerapan sanksi berupa sanksi pidana penjara dan juga kewajiban kepada
seharusnya tegas dan nyata. Tegas dalam arti, sanksi pidana dari aturan yang
dilanggar itu sudah jelas termuat dalam suatu peraturan perundang-undangan yang
dalam hal ini Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Sedangkan yang dimaksud
9
dengan nyata adalah aturan yang sudah ditetapkan untuk pelaku ditetapkan jumlahnya
2009 itu termaktub pada Bab XXIII Pasal 158 sampai Pasal 165 yang hanya
mencantumkan tindak pidana atas perbuatan terkait izin, laporan palsu, penambangan
reklamasi dan pasca tambang. Kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 99 dan Pasal
100 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dimana memberi amanat kepada setiap
pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus
Pasal
10
Kegiatan reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan
akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi
lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah
9
pertambangan. Hal tersebut perlu diatur karena dalam kegiatan pertambangan dapat
wilayahnya.
diterbitkan sebanyak 1.434 izin usaha. Dari total izin tersebut, sebanyak 1.404 izin
kategori Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Bupati atau Walikota
11
Luas areal konsesi mencapai 5.134.272,51 hektare atau 40,3 persen luas wilayah
Kalimantan Timur yang 12.737.692 hektare, dengan cadangan batubara 12,45 miliar
ton dan data produksi rata-rata 250 juta ton per tahun. Namun, sangat disayangkan
setelah dilakukan rekonsiliasi dan finalisasi data menunjukkan dari 1.404 IUP
yang ada di Kalimantan Timur, hanya 386 IUP yang tercatat sesuai Clean and
Clear
10
(CNC) dan masih berlaku.
direklamasi, revegetasi dan pasca tambang. Ancaman terjadinya banjir, erosi, tanah
longsor, menurunnya kualitas air permukaan dan air tanah, serta rusaknya
mine pit lake) atau void yang begitu banyaknya yang mencapai 632 lubang
tambang
11
tersebar di wilayah Kalimantan Timur. Sementara data lain dari Lembaga
Swadaya
12
masih terdapat 4.464 lubang tambang dengan lokasi yang tersebar. Keberadaaan
lubang bekas tambang tersebut, memiliki dampak negatif yakni menyebabkan lahan
10
Data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur, 2019.
11
Data Citra Satelit Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur , 2017
12
12
Gunawan, Ribuan Lubang Bekas Tambang Dibiarkan Menganga di Kaltim, diakses dari
https://www.benarnews.org/indonesian/berita/kalt im-lubang-tambang-dibiarkan-menganga-
04152016142623 .html, tanggal 11 November 2021
13
korban nyawa manusia yang tenggelam di lubang tambang. Ada 20 anak yang
13
meninggal di lubang tambang batubara di wilayah Kalimantan Timur. Sementara
14
sebanyak 27 anak.
reklamasi dan pascatambang sesuai ketentuan yang ada. Apalagi terhadap keluarga
dengan memberi tali asih ala kadarnya dan masalah pun dianggap selesai. Perusahaan
terlepas dari sanksi pidana mulai atas tidak patuhnya pada kewajiban melaksanakan
sangat tertarik untuk mengkaji secara mendalam dari sisi penerapan sanksi pidana
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, untuk kemudian bisa
B. Rumusan Masalah
13
Data Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur , 2017
14
Gunawan, Loc.cit
14
1. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
selama ini?
2. Apa yang menjadi kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara saat ini?
3. Bagaimana rekonstruksi sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
berbasis nilai keadilan?
C. Tujuan Penulisan
1. Secara Teoritis:
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan melahirkan teori baru di bidang ilmu
2. Secara Praktis:
dan diharapkan dapat memberikan masukan kepada para stakeholder terkait baik
15
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Usaha Pertambangan Batu Padas Tanpa Izin
merupakan suatu sanksi dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku. Termasuk ke dalam
seperti: jiwa, tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik atau harta benda. Pengaturan
hukum yang melakukan suatu penambangan ilegal adalah yang telah disebutkan dalam
aturan undang-undang bahwa negara memiliki hak yang berdasarkan kegiatan tambang
setiap orang yang akan melakukan kegiatan pertambangan karena negara menguasai atas
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk tambang, maka aturan
mainnya wajib meminta izin lebih dahulu dari Negara atau pemerintah. Apabila terjadi suatu
kegiatan penambangan pelakunya tidak memiliki izin maka perbuatanya merupa.kan tindak
pidana yang diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penambangan
Mineral dan Batubara yang berbunyi: Suatu perusahaan pertambangan tanpa IUP, IPR atau
IUPK dipidana dengan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp
10.000.000.000,- (sepuluh milyiar rupiah) sebagimana yang telah tertulis dalam Pasal 37,
Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5).
hukum. Pada proses penegakan hukum ini aparat penegak hukum didukung dengan aturan
berat ringan pidana yang akan dijatuhkan, karena dapat memudahkan hakim menetapkan
16
sanksinya. Sanksi pidana yang tercantum dalam bentuk pasal-pasal tersebut ibarat daftar
yang harus diteliti terlebih dahulu sebelum hakim menjatuhkan pidana. Sanksi pidana
merupakan hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim pada akhir proses pemeriksaan di
sidang pengadilan atas seseorang yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas mengenai sanksi
pidana.Dalam penegakan hukum pidana dapat dikenal ad.anya hukuman wajib dan hukuman
diberikan atau dikenakanhukuman penjiara dan sanksi uang merupakan hukuman wajib.
tambahan berupa: a. Digunakan dalam penambangan harus disita oleh pihak berwenang
karena melakukan perbuatan pidana. b. Pengambilan keuntungan yang didapat dari hasil
kejahatan. Dan juga harusdikenakan sanksi pembayaran biaya yang timbul diakibat tindak
pidana. Setelah itu hakim bisa memberikanhkuman tambahan terhadap badan hukum berupa
pencabutan izin usaha dan atau pencabutan status badan hukum. Bahwa penerapan sanksi
pidana merupakan bukan hanya semata-mata perbuatan balas dendam, Sistem pengaturan
pembalasan, tetapi dalam pemidanaan harus bersifat profesional yaitu harus mengndung
prinsip dan tujuan pemidanan antara lain: pencegahan (prepentif), pembetulan (Corektik),
tujuan dan prinsipprinsip pemidanan khususnya Pasal 158 UU RI Nomor 4 Tahun 2009
Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara makadengan itu pemidanaan akan dapat
diberikan,harus dapat memberikan rasa keadilan serta penyesalan dan manfaat bagi yang
dihukum.
2. Apa yang menjadi kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat
ini?
17
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, permasalahan yang diangkat
dalam disertasi ini adalah : (1) penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, (2)
kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, dan (3)
rekonstruksi sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berbasis nilai keadilan.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, tujuan yang hendak dicapai dalam disertasi
ini adalah untuk mengetahui: (1) penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini,
(2) kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, serta (3)
rekonstruksi penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berbasis nilai keadilan.
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori untuk
menganalisis tiga pokok permasalahan tersebut, yaitu : Pertama, menempatkan Teori
Keadilan Hukum sebagai Grand Theory; Kedua, Teori Perlindungan Hukum sebagai
Middle Theory; dan Ketiga, Teori Pemidanan sebagai Applied Theory.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Penelitian ini diarahkan untuk
melakukan rekonstruksi terhadap konstruksi hukum yang ada, yakni Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum
sosiologis, yang bersifat deskriptif analitis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh wawancara dengan pihak Badan
Legislatif DPR serta Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. Data sekunder diperoleh
dari bahan-bahan pustaka melalui studi kepustakaan. Data yang diperoleh, kemudian
dianalisa secara kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis.
Temuan pertama, bahwa penerapan sanksi pidana terhadap korporasi
disebutkan sebagai badan hukum yang jika melaksanakan tindak pidana, selain
dikenai pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, juga dijatuhkan pidana
denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali ketentuan maksimum
pidana denda yang dijatuhkan.
3. Bagaimana rekonstruksi sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
berbasis nilai keadilan?
18
Salah satu tindak pidana korporasi yang menonjol di sektor pertambangan di
beberapa daerah di Indonesia yakni dalam operasional pertambangan bahan galian
batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara disebutkan bahwa tidak hanya perorangan sebagai subjek
delik, tapi juga korporasi. Namun disayangkan, sangat jarang kasus pidana di sektor
pertambangan batubara yang sampai ke pengadilan dan menjerat korporasi.
Memidanakan korporasi tidak mudah, mengingat perangkat hukum formil yang
dimiliki kurang memberikan ruang sehingga perlu dilakukan pengaturan lebih lanjut
dalam hal rekonstruksi hukum.
Ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
selama ini meliputi: (a) Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IUP dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
10.000.0000.0000,00 (sepuluh miliar rupiah); (b) Pasal 159, Pemegang IUP
dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan
keterangan palsu kepada Pemberi IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah). (c) Pasal 160, Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa
memiliki IUP atau IUPK dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); (d)
Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan
batubara yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah); (e) Pasal 162, Setiap orang yang merintangi atau mengganggu
kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah
memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal136 ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)emudian (f) Pasal 163, ayat (1)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu
badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang
dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan
pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda
yang dijatuhkan, ayat (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha;
19
dan/atau b. pencabutan status badan hukum; (g) Pasal 164, Selain ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161, dan
Pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, b.
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau c. kewajiban
membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana; dan (h) Pasal 165, Setiap orang
yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-
Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama
2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Ketentuan sanksi pidana dalam undang-undang tersebut masih belum lengkap,
khususnya sanksi pidana jika perusahaan tidak melaksanakan kewajiban dalam
reklamasi dan pasca tambang. Kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 99 dan Pasal
100 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dimana memberi amanat kepada setiap
pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK) wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang saat
mengajukan permohonan izin. Diwajibkan pula pemegang izin untuk menyediakan
dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. Kewajiban-kewajiban
tersebut dalam rangka menjamin kesungguhan pelaksanaan reklamasi dan
pascatambang berlangsung secara terencana, sistematis dan berkelanjutan.
Pelaksanaannya pun ditegaskan dengan perencanaan yang cermat serta komitmen
semua tingkatan dan golongan perusahaan pertambangan pada seluruh tahapan
pertambangan. Ditegaskan lagi soal reklamasi dan pascatambang tersebut pada
Pasal 101 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.
badan hukum juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin
usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.
Temuan kedua, kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 saat ini dari aspek : (a)
ketidakjelasan subjek pidana korporasi; (b) belum ada aturan sanksi pidana bagi
yang tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang; (c) adanya multitafsir norma
hukum; (d) adanya disparitas pemidanaan dalam putusan hakim yang tidak
mencerminkan rasa keadilan; (e) sanksi pidana belum berorientasi pelestarian
lingkungan.
20
Temuan ketiga, rekonstruksi penerapan sanksi pidana terhadap korporasi
berbasis nilai keadilan dengan mengganti kata badan usaha dengan korporasi,
memasukkan kewajiban memberi laporan reklamasi dan pascatambang dalam
pasal 159, dihapuskanya pasal yang multitafsir, memberikan batasan minimum
pidana penjara dan pidana denda yang besarannya melalui kajian lebih dulu serta
menambahkan sanksi kerugian juga biaya rehabilitasi lingkungan yang besarannya
diatur melalui kajian lebih dulu.
Berdasarkan temuan-temuan sebagaimana disebutkan, maka dapat diberikan
saran, antara lain : (1) perlu dilakukan revisi terhadap Undang- Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan memasukkan
sanksi pidana terkait kewajiban reklamasi dan pascatambang, menambah sanksi
pidana berupa ganti kerugian dan biaya rehabilitasi untuk melengkapi sanksi
penjara dan denda yang ada; (2) perlu evaluasi pada peraturan perundang-
undangan yang mempunyai keterkaitan substansi agar terjadi sinkronisasi dan
harmonisasi; (3) perlu segera mungkin dibentuk peraturan pelaksanaan atas undang-
undang menyesuaikan dengan perkembanga.
Sebagai contoh Provinsi Kalimantan Timur, program rehabilitasi lingkungan
termasuk reklamasi dan pascatambang sangat mendesak. Mengingat jumlah izin
pengusahaan batubara yang begitu banyak seiring meningkatnya investasi di
sektor pertambangan batubara di daerah ini. Izin pertambangan batubara yang
telah diterbitkan sebanyak 1.434 izin usaha. Dari total izin tersebut, sebanyak
1.404 izin kategori Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Bupati
atau Walikota se- Kalimantan Timur, sedangkan 30 izin usaha kategori PKP2B
(Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat. Luas areal konsesi mencapai 5.134.272,51 hektare atau 40,3
persen luas wilayah Kalimantan Timur yang 12.737.692 hektare, dengan
cadangan batubara 12,45 miliar ton dan data produksi rata-rata 250 juta ton per
tahun. Namun, sangat disayangkan setelah dilakukan rekonsiliasi dan finalisasi
data menunjukkan dari 1.404 IUP yang ada di Kalimantan Timur, hanya 386 IUP
yang tercatat sesuai Clean and Clear (CNC) dan masih berlaku.
Berdasarkan data yang ada, tergambar sebagian besar perusahaan tambang
belum mematuhi peraturan perundang-undangan, termasuk dalam kewajiban
pelaksanaan program reklamasi dan pascatambang. Danau lubang tambang (coal
mine pit lake) atau void yang begitu banyaknya yang mencapai 632 lubang tambang
21
tersebar di wilayah Kalimantan Timur. Sementara data lain dari Lembaga
Swadaya Masyarakat JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) bahwa di Kalimantan
Timur masih terdapat 4.464 lubang tambang dengan lokasi yang tersebar.
Keberadaaan lubang bekas tambang telah menelan korban nyawa manusia yang
tenggelam. Ada 20 anak yang meninggal di lubang tambang batubara di
wilayah Kalimantan Timur. Sementara dilaporkan Lembaga Swadaya Masyarakat
JATAM Kaltim lebih banyak lagi, sebanyak 27 anak.
daya mineral dan batubara, yang bersumber dari Pasal 33 UUD 1945. Undang-Undang ini
Pertambangan. Penguasaan mineral dan batubara oleh negara dilakukan oleh pemerintah
dan/pemerintah daerah bersama-sama dengan pelaku usaha berdasarkan izin yang sejalan
Subyek hukum pidana di Indonesia tidak hanya manusia, tetapi juga korporasi
yang pada umumnya merupakan perusahaan atau badan hukum yang bergerak di bidang
usaha dengan berbagai perbuatan yang bertentangan dengan sanksi pidana yang berlaku.
Selama ini terdapat kesulitan dalam pengungkapan dan pemberian sanksi pidana dengan
beberapa daerah di Indonesia yaitu dalam pengoperasian bahan tambang batubara. Dalam
disebutkan bahwa tidak hanya perseorangan sebagai subjek delik, tetapi juga korporasi.
Sayangnya, sangat jarang kasus pidana di sektor pertambangan batu bara sampai ke
dengan saat ini antara lain: (a) Pasal 158, Pengusaha pertambangan tanpa IUP dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling lama denda sebesar
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); (b) Pasal 159, Pemegang IUP dengan sengaja
menyampaikan laporan yang tidak benar atau menyampaikan keterangan yang tidak benar
kepada Pemberi IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (c) Pasal 160, Setiap
orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus
juta rupiah); (d) Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung,
yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000. 000,00 (sepuluh miliar rupiah); (e) Pasal
162 Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan
pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidanapenjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
Kemudian (f) Pasal 163 ayat (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam bab ini dilakukan oleh badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadapnya badan hukum berupa denda
dengan bobot ditambah 1/3 (sepertiga) kali dari maksimum denda yang dijatuhkan, ayat (2)
Selain denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tambahan badan dapat dikenakan sanksi
tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum; (g)
Pasal 164, Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160,
23
Pasal 161, dan Pasal 162, pelaku tindak pidana tambahan dapat dikenakan tambahan berupa:
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau c. kewajiban membayar biaya yang
timbul dari tindak pidana; dan (h) Pasal 165, Setiap orang yang menerbitkan IUP, IPR, atau
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
terutama sanksi pidana apabila perusahaan tidak melaksanakan kewajiban dalam reklamasi
dan pascatambang. Kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 99 dan Pasal 100 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 yang mengamanatkan setiap pemegang Izin Usaha Pertambangan
(IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib menyampaikan rencana
reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan izin. aplikasi. Pemegang izin
juga wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang.
ditekankan dengan perencanaan yang matang dan komitmen dari semua tingkatan dan
pascatambang ditegaskan kembali dalam Pasal 101 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan
Pascatambang.
batubara yang begitu banyak seiring dengan meningkatnya investasi di sektor pertambangan
batubara di daerah ini. 1.434 izin pertambangan batu bara telah diterbitkan. Dari total izin
tersebut, sebanyak 1.404 izin dalam kategori Izin Usaha Pertambangan (IUP) diterbitkan
24
oleh Bupati atau Walikota se-Kalimantan Timur, sedangkan 30 izin usaha di bawah PKP2B
Luas konsesi 5.134.272,51 hektar atau 40,3 persen dari 12.737.692 hektar Kalimantan
Timur, dengan cadangan batu bara 12,45 miliar ton dan data produksi rata-rata 250 juta ton
per tahun. Namun, sangat disayangkan setelah rekonsiliasi dan finalisasi data menunjukkan
bahwa dari 1.404 IUP di Timur Kalimantan, hanya 386 IUP yang tercatat sesuai dengan
program reklamasi dan pascatambang. Danau lubang tambang (coal mine lake) atau danau
lubang tambang yang begitu banyak yang mencapai 632 lubang tambang yang tersebar di
wilayah Kalimantan Timur. Sedangkan data lainnya dari Lembaga Swadaya Masyarakat
(Jaringan Advokasi Tambang) JATAM bahwa di Kaltim masih terdapat 4.464 lubang
tambang dengan lokasi yang tersebar. Keberadaan bekas lubang tambang telah merenggut
nyawa orang yang tenggelam. Ada 20 anak yang meninggal di lubang tambang batu bara di
dalam disertasi ini adalah: (1) penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, (2)
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, dan (3) rekonstruksi
sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
disertasi ini adalah untuk mengetahui: (1) penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam
25
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini,
(2) kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, dan (3) rekonstruksi
penerapan sanksi pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
benda dan daya serta kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah-perbuatannya,
yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan memengaruhi kelangsungan hidup
serta kesejahteraan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya. Sementara itu, menurut Otto
Soemarwoto lingkungan hidup diartikan sebagai ruang yang ditempati suatu makhluk hidup
penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan hukum adalah kaidah atau
norma yang ada dalam masyarakat) maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian
yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah
atau norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan yang digunakan dalam yuridis normatif
Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 108 dan 109 Undang-Undang No 4 Tahun
2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 106 Peraturan Pemerintah No 23
Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
approach).
Sifat kualitatif, dari penelitian hukum normatif. menurut Anselmus Strauss dan
Juliat Corbin menyebut sebagai berikut “qualitative research we mean any kind of research
that procedure finding not arrived at by means of statistical procedures or other means of
quantifications. It can refer of research about person, lives, stories behaviours, but also about
26
organizations functionating, social covenants or intellectual relationship. 131 Penelitian
kualitatif adalah penelitian yang bersifat menyeluruh dan merupakan kesatuan bulat
(holistic), yaitu meneliti data yang diperoleh secara mendalam dari berbagai segi Untuk
mendukung penelitian yuridis normatif dilakukan juga penelitian yuridis empiris. Penelitian
yuridis empiris yaitu penelitian yang mengkaji keberlakuannya hukum (law in action)
sebagai norma yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat, atau penelitian yang objek
kajian mengenai perilaku masyarakat.133 Menurut Amirudin dan Zaenal Asikin, penelitian
hukum empiris, menggunakan sumber data sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian
dilanjutkan dengan data primer adalah data lapangan 134. Realitas yang menjadi
hukum. Seperti yang dikatakan oleh Holmes, that life of the law experience, as well as logic.
Ruang lingkup perilaku yang diamati adalah perilaku verbal yang didapat melalui
wawancara maupun perilaku nyata yang dilakukan melalui pengamatan langsung. Penelitian
ini juga digunakan untuk mengamati hasil dari perilaku manusia yang berupa peninggalan
fisik maupun arsip yang terkait dengan penerapan CSR. Penelitian ini juga akan dilakukan
dengan studi perbandingan hukum mengenai CSR, dimana akan mengamati mengenai
konsep, ruang lingkup serta pengaturan dan penerapan CSR khususnya perusahaan
mengandung nilai moral dan nilai ekologi. Sebagai bangsa yang sedang melaksanakan
pembangunan saat ini, kita mempunyai tanggung jawab moral terhadap generasi yang akan
datang, yaitu memberikan kesempatan yang sama atau bahkan lebih baik bagi generasi
27
generasi saat ini dan generasi mendatang. Keseluruhan proses dalam implementasi konsep
pertumbuhan ekonomi, tapi harus ditunjukan pada efesiensi biaya dalam pertumbuhan
ekonomi bangsa. Sedangkan nilai ekologi yang terkandung dalam konsep pembangunan
berkelanjutan berkaitan dengan toleransi manusia terhadap kehadiran mahluk lain selain
diharapkan tidak mengancam kehidupan makhluk lain karena gangguan terhadap makhluk
lain tersebut, pada gilirannya akan mengganggu kehidupan manusia. Dengan demikian,
terganggunya fungsi dasar ekologi (ecological services). Oleh karenanya, tuntutan ke arah
konservasi ekosistem makin besar karena meningkatnya ancaman terhadap keanekaan hayati
oleh pertumbuhan jumlah penduduk, anomaly iklim, pola konsumsi dan oleh sebab
antropogenik lainnya.
28
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari latar belakang masalah diatas, dapat di simpulkan bahwa:
Salah satu tindak pidana korporasi yang menonjol di bidang pertambangan di beberapa
daerah di Indonesia yaitu dalam pengoperasian bahan tambang batubara. Dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan
bahwa tidak hanya perseorangan sebagai subjek delik, tetapi juga korporasi. Sayangnya,
sangat jarang kasus pidana di sektor pertambangan batu bara sampai ke pengadilan dan
hukum formal yang mereka miliki tidak memberikan ruang sehingga diperlukan pengaturan
Selain itu adapun kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat
ini, serta (3) rekonstruksi penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berbasis nilai
keadilan.
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori untuk
Keadilan Hukum sebagai Grand Theory; Kedua, Teori Perlindungan Hukum sebagai
29
penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, (2) kelemahan penerapan sanksi
Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, dan (3) rekonstruksi penerapan sanksi pidana
korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
B. SARAN
dalam pengoperasian bahan tambang batubara sebaiknya perlu di terapkan sanksi
yang ketat terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
30
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Saleng, 2004. Hukum Pertambangan, Yogyakarta: UII Press, hlm. 219.
Data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur, 2019.
Data Citra Satelit Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur , 2017
Gunawan, Ribuan Lubang Bekas Tambang Dibiarkan Menganga di Kaltim, diakses dari
https://www.benarnews.org/indonesian/berita/kalt im-lubang-tambang-dibiarkan-menganga-
04152016142623 .html, tanggal 11 November 2021
Muladi dan Barda Nawawi, 1984, Pidana dan Pemidanaan, Semarang: Badan Penyediaan Bahan
Kuliah Fakultas Hukum UNDIP, hlm 155-156
Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 79
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 4 ayat (2)
31