Anda di halaman 1dari 36

PROBLEMATIKA HUKUM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN SOSIAL LINGKUNGAN


HIDUP CORPORASI PERTAMBANGAN MINERBA DALAM
PRESPEKTIF GERAKAN STUDI HUKUM KRITIS

MAKALAH

DOSEN PENGAMPU:
Dr. M. Hatta Roma Tampubalon, SH., MH.

Makalah ini disusun untuk memenuhi penugasan Mata Kuliah Sosiologi


Hukum pada Semester Ganjil TA. 2021/2021
Program Magister Hukum Fakultas Hukum

Oleh :

Fitria Budi Prastiwi


NIM: D 102 21 055

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2021

i
UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang Maha Esa, karena

atas rahmat dan se Izi-Nya. Penulis dapat menyelesaikan Makalah ini dengan judul

“Problematika Hukum Undang-Undang Cipta Kerja Terhadap

Pertanggungjawaban Sosial Lingkungan Hidup Corporasi Pertambangan Minerba

Dalam Prespektif Gerakan Studi Hukum Kritis . Makalah ini disusun dalam rangka

memenuhi salah satu Tugas Matakuliah Sosiologi Hukum Program Studi Magister Ilmu

Hukum Pada Program Pasacasarjana Universitas Tadulako.

Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penulisan ini serta

menyelesaikan studi pada program Pascasarjana Universitas Tadulako adalah berkat

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Sebagai insan yang penuh keterbatasan,

penyusunan harus menghadapi banyak hambatan dan kesulitan, itu semua dapat diatasi

berkat adanya bantuan, dan dorongan semangat dari berbagai pihak, baik teman maupun

keluarga saya, disamping minat dan kemauan penyusun sendiri. Maka pada kesempatan

ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus dari

relung hati yang terdalam kepada semua pihak tersebut.

Palu, November 2021

Penulis

( Fitria Budi Prastiwi)


No. Stb. D102 21 055

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................... ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 1
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penulisan.................................................................................. 2

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


2.1 Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam
Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara selama ini?......................................................... 16
2.2 Apa yang menjadi kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap
Korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini?.......................... 18
2.3. Bagaimana rekonstruksi sanksi pidana terhadap
korporasi dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berbasis nilai keadilan?... 19

BAB V PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 28
3.2 Saran....................................................................................................... 29

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….. 30

iii
iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang kaya akan

sumberdaya alam (natural resources) baik sumberdaya alam yang dapat diperbaharui

(renewable resources), maupun yang tidak dapat diperbaharui (unrenewable

resources). Jenis-jenis barang tambang atau bahan galian yang dihasilkan dari

pertambangan seperti batubara, minyak bumi, timah, bijih besi, bijih emas, tembaga,

intan, perak, nikel, mangan dan lain sebagainya. Pengelolaan dan pemanfaatan lebih

lanjut hasil tambang tersebut, mempunyai peranan penting sebagai modal

pembangunan dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, karena itu pengelolaannya

harus dikuasai oleh negara dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan

rakyat secara berkeadilan.

Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 33 ayat (3) menyebutkan: “Bumi

air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Maksud penguasaan

Negara adalah: “Negara mempunyai kebebasan atau kewenangan penuh (volldige

bevoegdheid) untuk menentukan kebijaksanaan yang diperlukan dalam bentuk

mengatur (regelen), mengurus (besturen) dan mengawasi (toezichthouden)


1
penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam nasional”. Ada pula putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang menjelaskan rumusan penguasaan negara,

berbunyi:

“Pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna

penguasaan oleh negara dalam arti luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi

kedaulatan rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan

alam yang terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian

kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud.

Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat

kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan

(bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan


2
pengawasan (toezichthoudensdaad) tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dalam hal penguasaan serta pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara,

turunan Pasal 33, UUD 1945 saat ini adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), sebagai pengganti Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.

Pada Pasal 4 ayat (2) disebutkan : “Penguasaan mineral dan batubara oleh negara

diselenggarakan oleh pemerintah dan/pemerintah daerah”. Dalam penjelasan Undang-

Undang Minerba pada Ketentuan Umum disebutkan: “Mineral dan batubara sebagai

sumberdaya yang tak terbarukan dikuasai negara dan pengembangan


serta

1
Abrar Saleng, 2004. Hukum Pertambangan, Yogyakarta: UII Press, hlm. 219.
2
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 002/PUU-1/2003, hlm, 208-209

2
pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah bersama

dengan pelaku usaha. Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan

usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat

setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang

sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh pemerintah dan/atau pemerintah

daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Dalam rangka

penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan

mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas,

dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah. Usaha

pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-

besarnya bagi kesejahteraan rakyat Indonesia. Usaha pertambangan harus dapat

mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi

masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong tumbuhnya industri

penunjang pertambangan. Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan,

kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip

lingkungan hidup, transparansi


3
dan partisipasi masyarakat”.

Pengelolaan mineral dan batubara merupakan upaya untuk mengurus,

mengendalikan dan merumuskan kebijakan dalam pelaksanaan kegiatan

pertambangan mineral dan batubara. Sementara pertambangan adalah sebagian atau

seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan

pengusahaan

mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi


kelayakan,
3
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 4 ayat (2)

3
konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,

4
serta kegiatan pasca tambang.

Usaha pertambangan pada hakikatnya merupakan usaha pengambilan bahan

galian dari dalam bumi. Dari berbagai pengertian soal pertambangan, dapat diketahui

bahwa pertambangan adalah suatu usaha mengambil dan memanfaatkan bahan-bahan

galian,. Hakikatnya pembangunan sektor pertambangan dan energi mengupayakan

suatu proses pengembangan sumber daya mineral dan energi yang potensial untuk

dimanfaatkan secara hemat dan optimal bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Mengingat sumber daya mineral merupakan suatu sumber yang bersifat tidak dapat

diperbaharui, maka penerapannya diharapkan mampu menjaga keseimbangan

serta
5
keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan hidup maupun masyarakat sekitar. .

Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum sebagaimana diatur

dalam Pasal (1) ayat (3) UUD 1945, maka untuk menjalankan suatu negara dan

perlindungan hak asasi manusia harus berdasarkan atas hukum. Untuk mewujudkan

negara hukum, salah satunya diperlukan perangkat hukum yang digunakan mengatur

keseimbangan dan keadilan di segala bidang kehidupan dan penghidupan rakyat

melalui peraturan perundang-undangan dengan tidak mengesampingkan fungsi

yurisprudensi. Hal ini memperlihatkan bahwa peraturan perundang-undangan

mempunyai peranan yang penting dalam negara hukum Indonesia.

4
Ibid, Pasal 1 Angka (1)
5
Abrar Saleng, Op.cit., hlm 90

4
Kehadiran hukum dalam suatu negara bertujuan untuk mewujudkan keadilan

dan semata-mata untuk mencari manfaat. Hukum mempunyai tugas untuk menjamin

adanya kepastian hukum; menjamin keadilan, kebenaran, ketentraman dan

perdamaian; juga menjaga jangan sampai terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam

pergaulan masyarakat. Karenanya aspek-aspek hukum sangat diperhatikan dan

memegang peranan penting dalam penerapan sistem hukum di suatu negara,

termasuk sumber hukum yang merupakan segala apa saja yang menimbulkan aturan-

aturan yang mempunyai kekuatan-kekutatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-

aturan yang jika dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.

Adanya instrumen hukum (pidana) juga merupakan salah satu alat untuk

menjamin keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, yang memberikan kepastian

hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum pidana yang mengatur suatu

pelanggaran terhadap undang-undang yang telah ditetapkan, suatu pelanggaran dan

suatu kejahatan terhadap suatu kepentingan umum dan suatu kepentingan individu,

dan barang siapa berbuat yang dilarang dalam suatu hukum pidana akan diancam

dengan sanksi pidana yang telah ditentukan apa yang diperbuat oleh pelanggar

tersebut. Hukum pidana juga menjaga suatu stabilitas dan suatu lembaga moral yang

memiliki peran merehabilitasi para pelaku pidana.

Jika dikaji lebih jauh, pada hakikatnya tujuan hukum pidana yaitu: (1) untuk

melindungi suatu kepentingan orang atau perseorangan (hak asasi manusia) serta

kepentingan suatu masyarakat dan negara dengan suatu perimbangan yang serasi da

ri suatu tindakan yang tercela/kejahatan di satu pihak, dari tindakan-tindakan

perbuatan

5
yang melanggar dan merugiakan di pihak lain; (2) membuat orang yang ingin

melakukan kejahatan atau perbuatan yang tidak baik menjadi takut untuk melakukan

perbuatan tersebut; (3) Untuk mendidik seseorang yang melanggar agar tidak

melakukan lagi, dan bisa diterima kembali di lingkungan masyarakat.

Menurut literatur hukum, tujuan pemidanaan untuk menjustifikasi atau

mencari pembenaran mengapa pelaku tindak pidana dikenai sanksi pidana serta

dampak sanksi pidana tersebut bagi pelaku tindak pidana dan masyarakat. Tujuan

pemidanaan itu sendiri pada dasarnya terbagi berdasarkan tiga teori yaitu: (1) teori

atributif/absolute, dimana pemidanaan bertujuan untuk membalas kesalahan yang

diperbuat oleh pelaku agar timbul perasaan keadilan bagi pihak yang menuntut

adanya keadilan; (2) teori teleologis, yang memandang bahwa pemidanaan bukan

merupakan pembalasan dendam akan tetapi sarana untuk mencapai kemanfaatan, dan

melindungi masyarakat, mencegah serta membina pelaku; (3) teori

atributif- teleologis yang merupakan gabungan/integrasi dari kedua teori yang

berpandangan bahwa pemidanaan bertujuan sebagai pembalasan atas

kesalahan pelaku dan


6
sekaligus melindungi masyarakat serta membina pelaku.

Tak kalah pentingnya, sanksi pidana yang tegas dan nyata sangat menentukan

bagi pelaku kejahatan agar menimbulkan efek jera (deterrence). Dikatakan Herbert

L. Packer dalam bukunya The Limits of Criminal Sanction bahwa sanksi pidana

sangat diperlukan baik sekarang atau masa yang akan datang, karena sanksi pidana

merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia untuk menghadapi


kejahatan-
6
Hulman Napitupulu, Majalah Gatra edisi Desember 2017

6
kejahatan atau bahaya besar dan segera untuk menghadapi ancaman-ancaman dari

bahaya. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik

atau prime threatener dari kebebasan manusia, dan merupakan penjamin

apabila digunakan secara hemat, cermat atau prudently dan secara manusiawi

atau humanly, merupakan suatu pengancam, apabila digunakan secara sembarangan


7
dan secara paksa.

Pengertian sanksi pidana dalam Black`s Law Dictionary Henry Campbell

Black adalah punishment attached to conviction at crimes such fines, probation and

sentences - suatu pidana yang dijatuhkan untuk menghukum suatu penjahat atau

kejahatan seperti dengan pidana denda, pidana pengawasan dan pidana penjara.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian sanksi pidana

adalah pengenaan suatu derita kepada seseorang yang dinyatakan bersalah

melakukan suatu kejahatan atau perbuatan pidana melalui suatu rangkaian proses

peradilan oleh kekuasaan atau hukum yang secara khusus diberikan untuk hal itu,

dengan pengenaan

sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak melakukan tindak pidana


8
lagi.

Bentuk sanksi yang dikenakan secara variatif, sehingga para pelaku

yang melanggar ketentuan itu dapat dikenakan hukuman atau sanksi pidana yang

disesuaikan berat atau ringannya perbuatan pidana yang dilakukan. Adapun yang

mempunyai kewenangan menjatuhkan sanksi pidana itu adalah negara. Melalui

undang-undang, negara menunjuk pejabat tertentu untuk menjatuhkan sanksi


pidana

7
Muladi dan Barda Nawawi, 1984, Pidana dan Pemidanaan, Semarang: Badan Penyediaan Bahan
Kuliah Fakultas Hukum UNDIP, hlm 155-156
8
Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 79
7
kepada pelaku kejahatan. Pejabat yang diberikan kewenangan dimaksud adalah

hakim. Dengan sanksi pidana yang diberikan melalui putusan pengadilan diharapkan

bisa memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau mampu menjadi sarana pencegahan

terjadinya tindak pidana. Namun, secara umum efek pemberian sanksi-sanksi pidana

tersebut belum sesuai yang diharapkan.

Subjek hukum pidana di Indonesia tidak hanya manusia, tapi juga korporasi

yang umumnya suatu perusahaan atau badan hukum yang bergerak dalam bidang

bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukuman pidana yang

berlaku. Selama ini ada kesulitan pengungkapan dan pemberian sanksi pidana dengan

subjek hukum korporasi karena kompleksitas permasalahan yang memerlukan

identifikasi mendalam dan komprehensif. Tindak pidana korporasi merupakan

tindakan fungsional dan berbentuk delik penyertaan sehingga harus didasarkan pada

konsep yang berbeda dibandingkan konsep yang berlaku untuk manusia. Dalam

pidana korporasi, bisa pengurus yang melakukan tindak pidana, dan pengurus juga

yang bertanggung jawab, bisa juga korporasi yang melakukan tindak pidana dan

pengurus yang bertanggung jawab, namun bisa juga korporasi yang melakukan tindak

pidana dan korporasi pula yang bertanggung jawab.

Salah satu tindak pidana korporasi yang menonjol di sektor pertambangan di

beberapa daerah di Indonesia yakni di operasional pertambangan bahan galian

batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara (Minerba) disebutkan bahwa tidak hanya perorangan sebagai

subjek delik, tapi juga korporasi. Paling tidak ada tiga kategori pelaku usaha

8
pertambangan yaitu pertama: berupa badan usaha, koperasi dan perorangan; kedua,

pelaku usaha pertambangan berupa warga penduduk setempat baik perseorangan

maupun kelompok masyarakat dan koperasi; ketiga, badan usaha yang berbadan

hukum Indonesia, baik berupa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha

Milik Daerah (BUMD) maupun badan usaha swasta. Namun disayangkan, sangat

jarang kasus pidana di sektor pertambangan batubara yang sampai ke pengadilan dan

menjerat korporasi. Memidanakan korporasi tidak mudah, mengingat perangkat

hukum formil yang dimiliki kurang memberikan ruang sehingga perlu dilakukan

pengaturan lebih lanjut dalam hal rekonstruksi hukum .

Begitu pula dalam penerapan sanksi terhadap kasus-kasus di sektor

pertambangan batubara, seringkali majelis hakim dalam memutuskan sanksi pidana

belum berdimensi keadilan. Jika pelaku tindak pidana terkait dengan perusahaan

(apalagi perusahaan skala besar), sanksi yang diberikan bukan merupakan sanksi

penjara, namun berupa denda yang nilainya pun jauh dari yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan. Berbeda jika subjek hukum orang, masih bisa

ditemukan penerapan sanksi berupa sanksi pidana penjara dan juga kewajiban kepada

pelaku untuk membayar denda.

Sanksi pidana seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

seharusnya tegas dan nyata. Tegas dalam arti, sanksi pidana dari aturan yang

dilanggar itu sudah jelas termuat dalam suatu peraturan perundang-undangan yang

dalam hal ini Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Sedangkan yang dimaksud

9
dengan nyata adalah aturan yang sudah ditetapkan untuk pelaku ditetapkan jumlahnya

secara jelas. Sementara ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2009 itu termaktub pada Bab XXIII Pasal 158 sampai Pasal 165 yang hanya

mencantumkan tindak pidana atas perbuatan terkait izin, laporan palsu, penambangan

ilegal, tindakan merintangi atau menganggu kegiatan usaha pertambangan serta

penyalahgunaan wewenang pihak yang mengeluarkan izin yang tidak

sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan sanksi pidana dalam undang-undang tersebut masih belum lengkap

khususnya sanksi pidana jika perusahaan tidak melaksanakan kewajiban dalam

reklamasi dan pasca tambang. Kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 99 dan Pasal

100 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dimana memberi amanat kepada setiap

pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus

(IUPK) wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang saat

mengajukan permohonan izin. Diwajibkan pula pemegang izin untuk menyediakan

dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. Kewajiban-kewajiban

tersebut dalam rangka menjamin kesungguhan pelaksanaan reklamasi dan

pascatambang berlangsung secara terencana, sistematis dan berkelanjutan.

Pelaksanaannya pun ditegaskan dengan perencanaan yang cermat serta komitmen

semua tingkatan dan golongan perusahaan pertambangan pada seluruh tahapan

pertambangan. Ditegaskan lagi soal reklamasi dan pascatambang tersebut pada

Pasal

101 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan terbitnya Peraturan Pemerintah

Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.

10
Kegiatan reklamasi merupakan kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan

usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, serta memperbaiki kualitas

lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya.

Kegiatan pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah

akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi

lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah
9
pertambangan. Hal tersebut perlu diatur karena dalam kegiatan pertambangan dapat

dikatakan hampir seluruhnya menyebabkan kerusakan lingkungan. Karenanya perlu

diberikan kewajiban kepada perusahaan untuk memulihkan lingkungan dalam

pelaksanaan kegiatan pertambangan yang telah mengalami kerusakan. Pemerintah

perlu memberikan perhatian sangat serius dalam pelaksanaan rehabilitasi lingkungan

terhadap daerah-daerah yang terdapat eksploitasi sumberdaya mineral dan batubara di

wilayahnya.

Sebagai contoh Provinsi Kalimantan Timur, program rehabilitasi lingkungan

termasuk reklamasi dan pascatambang sangat mendesak. Mengingat jumlah izin

pengusahaan batubara yang begitu banyak seiring meningkatnya investasi di sektor

pertambangan batubara di daerah ini. Izin pertambangan batubara yang telah

diterbitkan sebanyak 1.434 izin usaha. Dari total izin tersebut, sebanyak 1.404 izin

kategori Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Bupati atau Walikota

se-Kalimantan Timur, sedangkan 30 izin usaha kategori PKP2B (Perjanjian Karya

Pengusahaan Pertambangan Batubara) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat.


9
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Batubara, Pasal 1

11
Luas areal konsesi mencapai 5.134.272,51 hektare atau 40,3 persen luas wilayah

Kalimantan Timur yang 12.737.692 hektare, dengan cadangan batubara 12,45 miliar

ton dan data produksi rata-rata 250 juta ton per tahun. Namun, sangat disayangkan

setelah dilakukan rekonsiliasi dan finalisasi data menunjukkan dari 1.404 IUP

yang ada di Kalimantan Timur, hanya 386 IUP yang tercatat sesuai Clean and

Clear
10
(CNC) dan masih berlaku.

Berdasarkan data yang ada, tergambar sebagian besar perusahaan tambang

belum mematuhi peraturan perundang-undangan, termasuk dalam kewajiban

pelaksanaan program reklamasi dan pascatambang. Luasan lahan terganggu makin

bertambah, tanpa mampu diimbangi keberhasilan bertambahnya luasan lahan yang

direklamasi, revegetasi dan pasca tambang. Ancaman terjadinya banjir, erosi, tanah

longsor, menurunnya kualitas air permukaan dan air tanah, serta rusaknya

keanekaragaman hayati terus berlangsung. Bahkan, danau lubang tambang (coal

mine pit lake) atau void yang begitu banyaknya yang mencapai 632 lubang

tambang
11
tersebar di wilayah Kalimantan Timur. Sementara data lain dari Lembaga
Swadaya

Masyarakat JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) bahwa di Kalimantan Timur

12
masih terdapat 4.464 lubang tambang dengan lokasi yang tersebar. Keberadaaan

lubang bekas tambang tersebut, memiliki dampak negatif yakni menyebabkan lahan

kehilangan nilai produktivitasnya dengan perubahan bentang alam, dan


menelan

10
Data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur, 2019.
11
Data Citra Satelit Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur , 2017

12
12
Gunawan, Ribuan Lubang Bekas Tambang Dibiarkan Menganga di Kaltim, diakses dari
https://www.benarnews.org/indonesian/berita/kalt im-lubang-tambang-dibiarkan-menganga-
04152016142623 .html, tanggal 11 November 2021

13
korban nyawa manusia yang tenggelam di lubang tambang. Ada 20 anak yang

13
meninggal di lubang tambang batubara di wilayah Kalimantan Timur. Sementara

dilaporkan Lembaga Swadaya Masyarakat JATAM Kaltim lebih banyak lagi,

14
sebanyak 27 anak.

Sayangnya, hal tersebut belum cukup menggugah kalangan perusahaan

pertambangan batubara untuk menyadari serta membuat kebijakan perbaikan program

reklamasi dan pascatambang sesuai ketentuan yang ada. Apalagi terhadap keluarga

korban, perusahaan hanya menempuh upaya penyelesaian secara kekeluargaan

dengan memberi tali asih ala kadarnya dan masalah pun dianggap selesai. Perusahaan

terlepas dari sanksi pidana mulai atas tidak patuhnya pada kewajiban melaksanakan

reklamasi dan pascatambang sampai jatuhnya korban di lubang tambang.

Mencermati uraian di atas, maka dalam penyusunan disertasi ini, penulis

sangat tertarik untuk mengkaji secara mendalam dari sisi penerapan sanksi pidana

terhadap korporasi di sektor pertambangan batubara melalui Undang-Undang Nomor

4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, untuk kemudian bisa

dilakukan rekonstruksi hukum guna penyempurnaan regulasi dimaksud.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

13
Data Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur , 2017
14
Gunawan, Loc.cit

14
1. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
selama ini?
2. Apa yang menjadi kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara saat ini?
3. Bagaimana rekonstruksi sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
berbasis nilai keadilan?
C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka tujuan

penelitian yang ditetapkan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam


Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara saat ini.
2. Untuk mengetahui kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara saat ini.
3. Untuk merekonstruksi sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
agar berbasis nilai keadilan.
D. Manfaat Penulisan

Untuk dapat mengetahui baik secara teoritis maupun secara praktis.

1. Secara Teoritis:
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan melahirkan teori baru di bidang ilmu

hukum pidana khususnya korporasi.

2. Secara Praktis:

dan diharapkan dapat memberikan masukan kepada para stakeholder terkait baik

perguruan tinggi, eksekutif, yudikatif, legislatif dan masyarakat.

15
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Bagaimana penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang- Undang


Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara selama ini?

Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Usaha Pertambangan Batu Padas Tanpa Izin

Hukuman pidana ialah merupakan penderitaanseseorang yang melakukan kesalahan karena

melanggar kepentingan umum yang telah diatur dalam undang-undang pidanayang

merupakan suatu sanksi dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku. Termasuk ke dalam

kepentingan umum yaitu: a. Kepentingan instansi pemerintahan serta perundangan

pengaturan negara seperti: Negara, lembaga-lembaga Negara, pejabat Negara, pegawai

negeri, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya. b. Kepentingan tiap orang

seperti: jiwa, tubuh, kemerdekaan, kehormatan, dan hak milik atau harta benda. Pengaturan

hukum yang melakukan suatu penambangan ilegal adalah yang telah disebutkan dalam

aturan undang-undang bahwa negara memiliki hak yang berdasarkan kegiatan tambang

setiap orang yang akan melakukan kegiatan pertambangan karena negara menguasai atas

bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya termasuk tambang, maka aturan

mainnya wajib meminta izin lebih dahulu dari Negara atau pemerintah. Apabila terjadi suatu

kegiatan penambangan pelakunya tidak memiliki izin maka perbuatanya merupa.kan tindak

pidana yang diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Penambangan

Mineral dan Batubara yang berbunyi: Suatu perusahaan pertambangan tanpa IUP, IPR atau

IUPK dipidana dengan pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda paling banyak Rp

10.000.000.000,- (sepuluh milyiar rupiah) sebagimana yang telah tertulis dalam Pasal 37,

Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), Pasal 74 ayat (1) atau (5).

Keseluruhan sistem pemidanaan diwujudkan menjadi nyata melalui penegakan

hukum. Pada proses penegakan hukum ini aparat penegak hukum didukung dengan aturan

pemidanaan. Peraturan pemidanaan sangat membantu hakim dalam mempertimbangkan

berat ringan pidana yang akan dijatuhkan, karena dapat memudahkan hakim menetapkan
16
sanksinya. Sanksi pidana yang tercantum dalam bentuk pasal-pasal tersebut ibarat daftar

yang harus diteliti terlebih dahulu sebelum hakim menjatuhkan pidana. Sanksi pidana

merupakan hukuman yang dapat dijatuhkan oleh hakim pada akhir proses pemeriksaan di

sidang pengadilan atas seseorang yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana. Untuk memberikan gambaran yang lebih luas mengenai sanksi

pidana.Dalam penegakan hukum pidana dapat dikenal ad.anya hukuman wajib dan hukuman

yang bersifat pemberatan. Seorang pelaku pidanansuatu pertambangan diatas dapat

diberikan atau dikenakanhukuman penjiara dan sanksi uang merupakan hukuman wajib.

Penerapan sanksi pidana diatasoleh pelakuyang juga bisa dikenakan pidanan

tambahan berupa: a. Digunakan dalam penambangan harus disita oleh pihak berwenang

karena melakukan perbuatan pidana. b. Pengambilan keuntungan yang didapat dari hasil

kejahatan. Dan juga harusdikenakan sanksi pembayaran biaya yang timbul diakibat tindak

pidana. Setelah itu hakim bisa memberikanhkuman tambahan terhadap badan hukum berupa

pencabutan izin usaha dan atau pencabutan status badan hukum. Bahwa penerapan sanksi

pidana merupakan bukan hanya semata-mata perbuatan balas dendam, Sistem pengaturan

penghukuman pemidanaan hukum pidana Indonesia bukan semata-mata bertujuan untuk

pembalasan, tetapi dalam pemidanaan harus bersifat profesional yaitu harus mengndung

prinsip dan tujuan pemidanan antara lain: pencegahan (prepentif), pembetulan (Corektik),

pendidikan (Educatif), dan pemberantasan (Represif) bahwa karena dengan memperlihatkan

tujuan dan prinsipprinsip pemidanan khususnya Pasal 158 UU RI Nomor 4 Tahun 2009

Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara makadengan itu pemidanaan akan dapat

diberikan,harus dapat memberikan rasa keadilan serta penyesalan dan manfaat bagi yang

dihukum.

2. Apa yang menjadi kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat
ini?

17
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, permasalahan yang diangkat
dalam disertasi ini adalah : (1) penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, (2)
kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, dan (3)
rekonstruksi sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berbasis nilai keadilan.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut, tujuan yang hendak dicapai dalam disertasi
ini adalah untuk mengetahui: (1) penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini,
(2) kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, serta (3)
rekonstruksi penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berbasis nilai keadilan.
Untuk mencapai tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori untuk
menganalisis tiga pokok permasalahan tersebut, yaitu : Pertama, menempatkan Teori
Keadilan Hukum sebagai Grand Theory; Kedua, Teori Perlindungan Hukum sebagai
Middle Theory; dan Ketiga, Teori Pemidanan sebagai Applied Theory.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme. Penelitian ini diarahkan untuk
melakukan rekonstruksi terhadap konstruksi hukum yang ada, yakni Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2009. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum
sosiologis, yang bersifat deskriptif analitis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh wawancara dengan pihak Badan
Legislatif DPR serta Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral. Data sekunder diperoleh
dari bahan-bahan pustaka melalui studi kepustakaan. Data yang diperoleh, kemudian
dianalisa secara kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analitis.
Temuan pertama, bahwa penerapan sanksi pidana terhadap korporasi
disebutkan sebagai badan hukum yang jika melaksanakan tindak pidana, selain
dikenai pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, juga dijatuhkan pidana
denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali ketentuan maksimum
pidana denda yang dijatuhkan.
3. Bagaimana rekonstruksi sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
berbasis nilai keadilan?

18
Salah satu tindak pidana korporasi yang menonjol di sektor pertambangan di
beberapa daerah di Indonesia yakni dalam operasional pertambangan bahan galian
batubara. Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara disebutkan bahwa tidak hanya perorangan sebagai subjek
delik, tapi juga korporasi. Namun disayangkan, sangat jarang kasus pidana di sektor
pertambangan batubara yang sampai ke pengadilan dan menjerat korporasi.
Memidanakan korporasi tidak mudah, mengingat perangkat hukum formil yang
dimiliki kurang memberikan ruang sehingga perlu dilakukan pengaturan lebih lanjut
dalam hal rekonstruksi hukum.
Ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009
selama ini meliputi: (a) Pasal 158, Pelaku usaha penambangan tanpa IUP dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp
10.000.0000.0000,00 (sepuluh miliar rupiah); (b) Pasal 159, Pemegang IUP
dengan sengaja menyampaikan laporan dengan tidak benar atau menyampaikan
keterangan palsu kepada Pemberi IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah). (c) Pasal 160, Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa
memiliki IUP atau IUPK dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); (d)
Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung, memanfaatkan,
melakukan pengolahan dan pemurnian, pengangkutan, penjualan mineral dan
batubara yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah); (e) Pasal 162, Setiap orang yang merintangi atau mengganggu
kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP atau IUPK yang telah
memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal136 ayat (2)
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)emudian (f) Pasal 163, ayat (1)
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu
badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang
dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan
pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda
yang dijatuhkan, ayat (2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha;

19
dan/atau b. pencabutan status badan hukum; (g) Pasal 164, Selain ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160, Pasal 161, dan
Pasal 162 kepada pelaku tindak pidana dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, b.
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau c. kewajiban
membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana; dan (h) Pasal 165, Setiap orang
yang mengeluarkan IUP, IPR, atau IUPK yang bertentangan dengan Undang-
Undang ini dan menyalahgunakan kewenangannya diberi sanksi pidana paling lama
2 (dua) tahun penjara dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
Ketentuan sanksi pidana dalam undang-undang tersebut masih belum lengkap,
khususnya sanksi pidana jika perusahaan tidak melaksanakan kewajiban dalam
reklamasi dan pasca tambang. Kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 99 dan Pasal
100 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dimana memberi amanat kepada setiap
pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK) wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang saat
mengajukan permohonan izin. Diwajibkan pula pemegang izin untuk menyediakan
dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. Kewajiban-kewajiban
tersebut dalam rangka menjamin kesungguhan pelaksanaan reklamasi dan
pascatambang berlangsung secara terencana, sistematis dan berkelanjutan.
Pelaksanaannya pun ditegaskan dengan perencanaan yang cermat serta komitmen
semua tingkatan dan golongan perusahaan pertambangan pada seluruh tahapan
pertambangan. Ditegaskan lagi soal reklamasi dan pascatambang tersebut pada
Pasal 101 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dengan terbitnya
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.
badan hukum juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin
usaha dan/atau pencabutan status badan hukum.
Temuan kedua, kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 saat ini dari aspek : (a)
ketidakjelasan subjek pidana korporasi; (b) belum ada aturan sanksi pidana bagi
yang tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang; (c) adanya multitafsir norma
hukum; (d) adanya disparitas pemidanaan dalam putusan hakim yang tidak
mencerminkan rasa keadilan; (e) sanksi pidana belum berorientasi pelestarian
lingkungan.

20
Temuan ketiga, rekonstruksi penerapan sanksi pidana terhadap korporasi
berbasis nilai keadilan dengan mengganti kata badan usaha dengan korporasi,
memasukkan kewajiban memberi laporan reklamasi dan pascatambang dalam
pasal 159, dihapuskanya pasal yang multitafsir, memberikan batasan minimum
pidana penjara dan pidana denda yang besarannya melalui kajian lebih dulu serta
menambahkan sanksi kerugian juga biaya rehabilitasi lingkungan yang besarannya
diatur melalui kajian lebih dulu.
Berdasarkan temuan-temuan sebagaimana disebutkan, maka dapat diberikan
saran, antara lain : (1) perlu dilakukan revisi terhadap Undang- Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dengan memasukkan
sanksi pidana terkait kewajiban reklamasi dan pascatambang, menambah sanksi
pidana berupa ganti kerugian dan biaya rehabilitasi untuk melengkapi sanksi
penjara dan denda yang ada; (2) perlu evaluasi pada peraturan perundang-
undangan yang mempunyai keterkaitan substansi agar terjadi sinkronisasi dan
harmonisasi; (3) perlu segera mungkin dibentuk peraturan pelaksanaan atas undang-
undang menyesuaikan dengan perkembanga.
Sebagai contoh Provinsi Kalimantan Timur, program rehabilitasi lingkungan
termasuk reklamasi dan pascatambang sangat mendesak. Mengingat jumlah izin
pengusahaan batubara yang begitu banyak seiring meningkatnya investasi di
sektor pertambangan batubara di daerah ini. Izin pertambangan batubara yang
telah diterbitkan sebanyak 1.434 izin usaha. Dari total izin tersebut, sebanyak
1.404 izin kategori Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dikeluarkan oleh Bupati
atau Walikota se- Kalimantan Timur, sedangkan 30 izin usaha kategori PKP2B
(Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat. Luas areal konsesi mencapai 5.134.272,51 hektare atau 40,3
persen luas wilayah Kalimantan Timur yang 12.737.692 hektare, dengan
cadangan batubara 12,45 miliar ton dan data produksi rata-rata 250 juta ton per
tahun. Namun, sangat disayangkan setelah dilakukan rekonsiliasi dan finalisasi
data menunjukkan dari 1.404 IUP yang ada di Kalimantan Timur, hanya 386 IUP
yang tercatat sesuai Clean and Clear (CNC) dan masih berlaku.
Berdasarkan data yang ada, tergambar sebagian besar perusahaan tambang
belum mematuhi peraturan perundang-undangan, termasuk dalam kewajiban
pelaksanaan program reklamasi dan pascatambang. Danau lubang tambang (coal
mine pit lake) atau void yang begitu banyaknya yang mencapai 632 lubang tambang

21
tersebar di wilayah Kalimantan Timur. Sementara data lain dari Lembaga
Swadaya Masyarakat JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) bahwa di Kalimantan
Timur masih terdapat 4.464 lubang tambang dengan lokasi yang tersebar.
Keberadaaan lubang bekas tambang telah menelan korban nyawa manusia yang
tenggelam. Ada 20 anak yang meninggal di lubang tambang batubara di
wilayah Kalimantan Timur. Sementara dilaporkan Lembaga Swadaya Masyarakat
JATAM Kaltim lebih banyak lagi, sebanyak 27 anak.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara (Minerba) merupakan pengaturan di bidang penguasaan dan pemanfaatan sumber

daya mineral dan batubara, yang bersumber dari Pasal 33 UUD 1945. Undang-Undang ini

merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok

Pertambangan. Penguasaan mineral dan batubara oleh negara dilakukan oleh pemerintah

dan/pemerintah daerah bersama-sama dengan pelaku usaha berdasarkan izin yang sejalan

dengan otonomi daerah dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkelanjutan.

Kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip

lingkungan, transparansi, dan peran serta masyarakat.

Subyek hukum pidana di Indonesia tidak hanya manusia, tetapi juga korporasi

yang pada umumnya merupakan perusahaan atau badan hukum yang bergerak di bidang

usaha dengan berbagai perbuatan yang bertentangan dengan sanksi pidana yang berlaku.

Selama ini terdapat kesulitan dalam pengungkapan dan pemberian sanksi pidana dengan

subjek hukum korporasi karena kompleksitas permasalahan yang memerlukan identifikasi

yang mendalam dan komprehensif.

Salah satu tindak pidana korporasi yang menonjol di bidang pertambangan di

beberapa daerah di Indonesia yaitu dalam pengoperasian bahan tambang batubara. Dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

disebutkan bahwa tidak hanya perseorangan sebagai subjek delik, tetapi juga korporasi.

Sayangnya, sangat jarang kasus pidana di sektor pertambangan batu bara sampai ke

pengadilan dan menjerat korporasi. Mengkriminalisasi korporasi tidaklah mudah, mengingat


22
instrumen hukum formal yang mereka miliki tidak memberikan ruang sehingga diperlukan

pengaturan lebih lanjut dalam hal rekonstruksi hukum.

Ketentuan sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 sampai

dengan saat ini antara lain: (a) Pasal 158, Pengusaha pertambangan tanpa IUP dipidana

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan paling lama denda sebesar

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); (b) Pasal 159, Pemegang IUP dengan sengaja

menyampaikan laporan yang tidak benar atau menyampaikan keterangan yang tidak benar

kepada Pemberi IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (c) Pasal 160, Setiap

orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK dipidana dengan pidana

penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus

juta rupiah); (d) Pasal 161, Pemegang IUP Operasi Produksi yang menampung,

memanfaatkan, mengolah dan memurnikan, mengangkut, menjual mineral dan batubara

yang bukan dari pemegang IUP dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)

tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000. 000,00 (sepuluh miliar rupiah); (e) Pasal

162 Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan

pemegang IUP atau IUPK yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidanapenjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda

maksimal Rp100.000,00 (seratus juta rupiah);

Kemudian (f) Pasal 163 ayat (1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud

dalam bab ini dilakukan oleh badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap

pengurusnya, sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadapnya badan hukum berupa denda

dengan bobot ditambah 1/3 (sepertiga) kali dari maksimum denda yang dijatuhkan, ayat (2)

Selain denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tambahan badan dapat dikenakan sanksi

tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum; (g)

Pasal 164, Selain ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158, Pasal 159, Pasal 160,

23
Pasal 161, dan Pasal 162, pelaku tindak pidana tambahan dapat dikenakan tambahan berupa:

a. perampasan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana, b. perampasan

keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, dan/atau c. kewajiban membayar biaya yang

timbul dari tindak pidana; dan (h) Pasal 165, Setiap orang yang menerbitkan IUP, IPR, atau

IUPK yang bertentangan dengan Undang-undang ini dan menyalahgunakan wewenangnya

dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak

Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Ketentuan sanksi pidana dalam undang-undang tersebut masih belum lengkap,

terutama sanksi pidana apabila perusahaan tidak melaksanakan kewajiban dalam reklamasi

dan pascatambang. Kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 99 dan Pasal 100 Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2009 yang mengamanatkan setiap pemegang Izin Usaha Pertambangan

(IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) wajib menyampaikan rencana

reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan izin. aplikasi. Pemegang izin

juga wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang.

Kewajiban tersebut dalam rangka menjamin keseriusan pelaksanaan reklamasi dan

pascatambang berlangsung secara terencana, sistematis dan berkelanjutan. Pelaksanaannya

ditekankan dengan perencanaan yang matang dan komitmen dari semua tingkatan dan

golongan perusahaan pertambangan di semua tahapan penambangan. Isu reklamasi dan

pascatambang ditegaskan kembali dalam Pasal 101 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009

dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan

Pascatambang.

Sebagai contoh, di Provinsi Kalimantan Timur, program rehabilitasi lingkungan

termasuk reklamasi dan pascatambang sangat mendesak. Mengingat jumlah konsesi

batubara yang begitu banyak seiring dengan meningkatnya investasi di sektor pertambangan

batubara di daerah ini. 1.434 izin pertambangan batu bara telah diterbitkan. Dari total izin

tersebut, sebanyak 1.404 izin dalam kategori Izin Usaha Pertambangan (IUP) diterbitkan

24
oleh Bupati atau Walikota se-Kalimantan Timur, sedangkan 30 izin usaha di bawah PKP2B

(Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. .

Luas konsesi 5.134.272,51 hektar atau 40,3 persen dari 12.737.692 hektar Kalimantan

Timur, dengan cadangan batu bara 12,45 miliar ton dan data produksi rata-rata 250 juta ton

per tahun. Namun, sangat disayangkan setelah rekonsiliasi dan finalisasi data menunjukkan

bahwa dari 1.404 IUP di Timur Kalimantan, hanya 386 IUP yang tercatat sesuai dengan

Clean and Clear (CNC) dan masih berlaku.

Berdasarkan data yang ada, diperkirakan sebagian besar perusahaan pertambangan

belum mematuhi peraturan perundang-undangan, termasuk kewajiban melaksanakan

program reklamasi dan pascatambang. Danau lubang tambang (coal mine lake) atau danau

lubang tambang yang begitu banyak yang mencapai 632 lubang tambang yang tersebar di

wilayah Kalimantan Timur. Sedangkan data lainnya dari Lembaga Swadaya Masyarakat

(Jaringan Advokasi Tambang) JATAM bahwa di Kaltim masih terdapat 4.464 lubang

tambang dengan lokasi yang tersebar. Keberadaan bekas lubang tambang telah merenggut

nyawa orang yang tenggelam. Ada 20 anak yang meninggal di lubang tambang batu bara di

wilayah Kalimantan Timur. Sementara dilaporkan Lembaga Swadaya Masyarakat JATAM

Kaltim bahkan lebih banyak lagi, yakni sebanyak 27 anak.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka permasalahan yang diangkat

dalam disertasi ini adalah: (1) penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, (2)

kelemahan penerapan pidana sanksi terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, dan (3) rekonstruksi

sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara berdasarkan nilai wajar.

Sehubungan dengan permasalahan tersebut, tujuan yang ingin dicapai dalam

disertasi ini adalah untuk mengetahui: (1) penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam

25
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini,

(2) kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, dan (3) rekonstruksi

penerapan sanksi pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara berdasarkan nilai wajar.

Menurut Munandjat Danusaputro, lingkungan atau lingkungan hidup adalah semua

benda dan daya serta kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan tingkah-perbuatannya,

yang terdapat dalam ruang di mana manusia berada dan memengaruhi kelangsungan hidup

serta kesejahteraan manusia dan jasad-jasad hidup lainnya. Sementara itu, menurut Otto

Soemarwoto lingkungan hidup diartikan sebagai ruang yang ditempati suatu makhluk hidup

bersama dengan benda hidup dan tak hidup di dalamnya.

Sebagai konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam

penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum (sedangkan hukum adalah kaidah atau

norma yang ada dalam masyarakat) maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian

yuridis normatif yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah

atau norma-norma dalam hukum positif. Pendekatan yang digunakan dalam yuridis normatif

adalah pendekatan undangundang (statute approach) yaitu Pasal 74 Undang-Undang No 40

Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 108 dan 109 Undang-Undang No 4 Tahun

2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 106 Peraturan Pemerintah No 23

Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual

approach).

Sifat kualitatif, dari penelitian hukum normatif. menurut Anselmus Strauss dan

Juliat Corbin menyebut sebagai berikut “qualitative research we mean any kind of research

that procedure finding not arrived at by means of statistical procedures or other means of

quantifications. It can refer of research about person, lives, stories behaviours, but also about

26
organizations functionating, social covenants or intellectual relationship. 131 Penelitian

kualitatif adalah penelitian yang bersifat menyeluruh dan merupakan kesatuan bulat

(holistic), yaitu meneliti data yang diperoleh secara mendalam dari berbagai segi Untuk

mendukung penelitian yuridis normatif dilakukan juga penelitian yuridis empiris. Penelitian

yuridis empiris yaitu penelitian yang mengkaji keberlakuannya hukum (law in action)

sebagai norma yang berlaku di dalam kehidupan bermasyarakat, atau penelitian yang objek

kajian mengenai perilaku masyarakat.133 Menurut Amirudin dan Zaenal Asikin, penelitian

hukum empiris, menggunakan sumber data sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian

dilanjutkan dengan data primer adalah data lapangan 134. Realitas yang menjadi

pengamatan penelitian ini berupa pengaruh penerapan peraturan terhadap perilaku

masyarakat dan atau mengenai perilaku masyarakat yang mempengaruhi pembentukan

hukum. Seperti yang dikatakan oleh Holmes, that life of the law experience, as well as logic.

Holmes menekankan aspek empiris pragmatis dari hukum.

Ruang lingkup perilaku yang diamati adalah perilaku verbal yang didapat melalui

wawancara maupun perilaku nyata yang dilakukan melalui pengamatan langsung. Penelitian

ini juga digunakan untuk mengamati hasil dari perilaku manusia yang berupa peninggalan

fisik maupun arsip yang terkait dengan penerapan CSR. Penelitian ini juga akan dilakukan

dengan studi perbandingan hukum mengenai CSR, dimana akan mengamati mengenai

konsep, ruang lingkup serta pengaturan dan penerapan CSR khususnya perusahaan

pertambangan mineral di negara lain.

Konsep pembangunan berkelanjutan, di samping mempunyai nilai ekonomi juga

mengandung nilai moral dan nilai ekologi. Sebagai bangsa yang sedang melaksanakan

pembangunan saat ini, kita mempunyai tanggung jawab moral terhadap generasi yang akan

datang, yaitu memberikan kesempatan yang sama atau bahkan lebih baik bagi generasi

mendatang untuk melaksanakan pembangunan dan menikmati hasil pembangunan yang

mereka lakukan. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan harus menguntungkan

27
generasi saat ini dan generasi mendatang. Keseluruhan proses dalam implementasi konsep

pembangunan berkelanjutan bukan semata-mata untuk mempercepat dan meningkatkan laju

pertumbuhan ekonomi, tapi harus ditunjukan pada efesiensi biaya dalam pertumbuhan

ekonomi bangsa. Sedangkan nilai ekologi yang terkandung dalam konsep pembangunan

berkelanjutan berkaitan dengan toleransi manusia terhadap kehadiran mahluk lain selain

manusia. Pembangunan yang ditunjukan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup manusia

diharapkan tidak mengancam kehidupan makhluk lain karena gangguan terhadap makhluk

lain tersebut, pada gilirannya akan mengganggu kehidupan manusia. Dengan demikian,

dimensi ekologi lebih menekankan pada pentingnya upaya-upaya untuk mencegah

terganggunya fungsi dasar ekologi (ecological services). Oleh karenanya, tuntutan ke arah

konservasi ekosistem makin besar karena meningkatnya ancaman terhadap keanekaan hayati

oleh pertumbuhan jumlah penduduk, anomaly iklim, pola konsumsi dan oleh sebab

antropogenik lainnya.

28
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari latar belakang masalah diatas, dapat di simpulkan bahwa:
Salah satu tindak pidana korporasi yang menonjol di bidang pertambangan di beberapa

daerah di Indonesia yaitu dalam pengoperasian bahan tambang batubara. Dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan

bahwa tidak hanya perseorangan sebagai subjek delik, tetapi juga korporasi. Sayangnya,

sangat jarang kasus pidana di sektor pertambangan batu bara sampai ke pengadilan dan

menjerat korporasi. Mengkriminalisasi korporasi tidaklah mudah, mengingat instrumen

hukum formal yang mereka miliki tidak memberikan ruang sehingga diperlukan pengaturan

lebih lanjut dalam hal rekonstruksi hukum.

Selain itu adapun kelemahan penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat

ini, serta (3) rekonstruksi penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara berbasis nilai

keadilan.

Untuk mencapai tujuan penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori untuk

menganalisis tiga pokok permasalahan tersebut, yaitu : Pertama, menempatkan Teori

Keadilan Hukum sebagai Grand Theory; Kedua, Teori Perlindungan Hukum sebagai

Middle Theory; dan Ketiga, Teori Pemidanan sebagai Applied Theory.

29
penerapan sanksi pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun

2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, (2) kelemahan penerapan sanksi

pidana terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini, dan (3) rekonstruksi penerapan sanksi pidana

korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara berdasarkan nilai wajar.

B. SARAN
dalam pengoperasian bahan tambang batubara sebaiknya perlu di terapkan sanksi

yang ketat terhadap korporasi dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara berbasis nilai keadilan.

30
DAFTAR PUSTAKA
Abrar Saleng, 2004. Hukum Pertambangan, Yogyakarta: UII Press, hlm. 219.
Data Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur, 2019.

Data Citra Satelit Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Kalimantan Timur , 2017

Data Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur , 2017

Gunawan, Ribuan Lubang Bekas Tambang Dibiarkan Menganga di Kaltim, diakses dari
https://www.benarnews.org/indonesian/berita/kalt im-lubang-tambang-dibiarkan-menganga-
04152016142623 .html, tanggal 11 November 2021

Hulman Napitupulu, Majalah Gatra edisi Desember 2017

Muladi dan Barda Nawawi, 1984, Pidana dan Pemidanaan, Semarang: Badan Penyediaan Bahan
Kuliah Fakultas Hukum UNDIP, hlm 155-156

Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm 79

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, Pasal 4 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan dan Batubara, Pasal 1

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Nomor 002/PUU-1/2003, hlm, 208-209

31

Anda mungkin juga menyukai