Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

TINDAK PIDANA KORPORASI

“PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP


TINDAK PIDANA SUMBER DAYA ALAM”

Dosen Pengampu : Dr. Mukhlis, R. S.H., M.H.

Disusun Oleh:

FANITA ADITIA
2110246772

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU

2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, tuhan seluruh alam. Yang telah memberi
penulis kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad SAW
yang diutus sebagai rahmat semesta alam, beserta keluarga dan para sahabatnya
serta para pengikutnya yang setia sampai hari kemudian.

Makalah ini berjudul mengenai “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi


Terhadap Tindak Pidana Sumber Daya Alam”. Penulis buat dengan maksud
untuk menunaikan Tugas mata kuliah Tindak Pidana Korporasi. Penulis berharap,
penyusunan dalam bentuk makalah ini akan memberi banyak manfaat dan
memperluas ilmu pengetahuan kita.

Dan Penulis menyadari didalam penyusunan ini mungkin masih belum


sempurna dan terdapat kesalahan dalam penyusunannya, Penulis mohon untuk
bimbingan dan kritik serta saran yang bersifat membangun.

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT Penulis memohon, semoga usaha ini
merupakan usaha yang murni bagi-Nya dan berguna bagi kita sekalian sampai hari
kemudian.

Pekanbaru, 8 Septermber 2022

Penulis,

FANITA ADITIA
2110246772

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................4
C. Tujuan.........................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................5

A. Bentuk pertanggungjawaban Pidana Korporasi....................................5


B. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana
Sumber Daya Alam Kedepannya (Ius Constituendum)........................10
BAB III PENUTUP..............................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai potensi
sumber daya alam yang melimpah, baik itu sumber daya alam hayati maupun
sumber daya alam nonhayati. Sumber daya mineral yang dimiliki oleh
Indonesia sangat beragam baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Sumber
daya mineral tersebut antara lain: minyak bumi, emas, batu bara, perak,
timah,dan lain-lain. Sumber daya itu diambil dan dimanfaatkan untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia. Sumber daya alam merupakan salah satu
modal dasar dalam pembangunan nasional, oleh karena itu harus dimanfaatkan
sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat dengan memperhatikan kelestarian
hidup sekitar.1
Landasan filosofi pengelolaan sumber daya alam di Indonesia adalah
Pasal 33 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia 1945, yang menyatakan
bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal tersebut memiliki makna yang mendalam yang patut dipatuhi oleh para
penyelenggara negara dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam,
termasuk pengelolaan pertambangan mineral dan batubara. Ada beberapa kata
yang perlu dijabarkan maknanya lebih lanjut untuk implementasi dalam
peraturan perundang-undangan, yaitu: kata “dikuasai oleh negara” dan kata
“untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.2
Hak penguasaan negara merupakan instrumen (bersifat instrumental)
berdasarkan kalimat “dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat” yang merupakan tujuan (objektivitas). yang kesemuanya berasal dari
sifat konstitusi.3 Dikatakan bahwa tujunnya untuk sebesar-besar bagi

1
Abdul Halim Berkatullah, Pertanggungjawaban Korporasi di Sektor Sumber Daya Alam:
Sebuah Tinjauan, Auriga Nusantara, Jakarta, 2020, hlm. 1
2
Tri Hayati, “Hak Penguasaan Negara Terhadap SDA dan Implikasinya Terhadap Bentuk
Pengusahaan Pertambangan”,Jurnah Hukum dan Pembangnan Tahun ke-49, No. 3 juli-september
2019, hlm. 768.
3
Abrar saleng, Hukum Pertambangan, UII Presss, Yogyakarta, 2007, hlm. 21

1
kemakmuran rakyat ini merujuk pada kepemilikan sumber daya alam adalah
milik rakyat. Rakyatlah yang memberikan mandat kepada Pemerintah untuk
menjalankan pengelolaan terhadap sumber daya alam di indonesia.
Keterkaitan antara hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, menurut Bagir Manan akan mewujudkan kewajiban
negara sebagai berikut:4
1. Segala bentuk pemanfaatan atas bumi, air serta hasil yang didapat
(kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan
kesejahteraan masyarakat;
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di
dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang
dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat;
3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan
rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya
dalam menikmati kekayaan alam.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin bergerak positif
ditambah dengan melimpahnya sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya
manusia (SDM) membuat Indonesia semakin dilirik oleh investor dari banyak
negara. Berkembangnya investasi juga semakin membuka lapangan pekerjaan
yang semakin banyak dan bentuk investasi yang masuk di Indonesia juga
semakin beragam, dari mulai investasi modal hingga investasi dalam bentuk
pendirian korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum. Aktivitas korporasi sebagai badan hukum (artificial person) telah
memasuki berbagai aspek kehidupan masyarakat.5
Korporasi memegang peranan penting dalam arus perubahan dan
pertumbuhan ekonomi dunia. Keberadaan korporasi juga berhubungan dengan
penguasaan sumber daya alam dan keuangan global. Berbicara mengenai
korporasi, Yan Pramadya Puspa menyatakan yang dimaksud dengan korporasi
adalah suatu perseorangan yang merupakan badan hukum; korporasi atau

4
Tri Hayati, Era Baru Hukum Pertambangan: Di Bawah Rezim UU No.4 Tahun 2009,
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2015, hlm. 55
5
Sutan Remy Sjahdeni, Peratanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti Perss, Jakarta, 2007,
hlm. 41.

2
perseroan disini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan atau organisasi yang
oleh hukum diperlukan seperti seorang manusia (persona) ialah sebagai
pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat
ataupun digugat di muka pengadilan. 6
Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang
terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dengan disahkannya Perma No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan
Tindak Pidana Korporasi (Perma Korporasi), memberikan landasan kuat dalam
menjerat korporasi yang melakukan tindak pidana. Pasal 4 Perma Korporasi
menyebutkan bahwa korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana
sesuai dengan ketentuan pidana korporasi dalam undang- undang yang
mengatur tentang korporasi. Sedangkan kejahatan korporasi adalah ketika
pengurus menggunakan korporasi atau infrastruktur atau asetnya untuk
melakukan kejahatan sehingga memberikan keuntungan kepada korporasi.
Dengan demikian, kejahatan korporasi lebih condong pada pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh korporasi atau pengurusnya untuk kepentingan korporasi
itu sendiri.7
Kadangkala satu korporasi memonopoli sumber daya lebih banyak
dibanding korporasi yang lain. Ini terjadi karena adanya kompetisi antara
korporasi sehingga memungkinkan mereka untuk saling mengalahkan dan
menguasai. Ketika ada korporasi yang memenangkan kompetisi maka akan
dengan mudah mendominasi yang lain. Pada titik ini terjadilah yang disebut
dengan kapitalisme global. Suatu kondisi dimana ekonomi dunia hanya
dikuasai oleh negara tertentu dengan mengandalkan korporasi nasional atau
multinasionalnya.
Terdapat hubungan antara perkembangan ekonomi dengan tingkat
kejahatan di bidang bisnis terutama yang dilakukan oleh korporasi.
Perkembangan ekonomi dalam bentuk pelaksanaan bisnis seperti produksi,
distribusi, maupun pemasaran barang dan jasa seringkali disalahgunakan
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Akibatnya adalah

6
Yudi Krismen, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Kejahatan Ekonomi”, Jurnal
Ilmu Hukum, Vol. 4 No. 1, 2014, hlm. 142
7
Abdul Halim Berkatullah, Op. Cit. hlm.4

3
bebarapa pihak dirugikan, seperti masyarakat konsumen pada umumnya,
perusahaan lain dalam bentuk persaingan tidak sehat, maupun negara dalam
bentuk pajak yang tidak dibayar. Perilaku menyimpang di bidang bisnis ini
nampaknya cenderung meningkat seiring dengan peningkatan kuantitas
perusahaan industri itu sendiri. Selain itu dampak negatif yang sering terlihat
adalah munculnya kejahatan seperti pencemaran lingkungan, penambangan
illegal, pembakaran hutan, pembunuhan dan penangkatapan satwa-satwa liar
yang dilindungi, yang mana kejahatan-kejahatan ini biasanya disebut juga
sebagai tindak pidana sumber daya alam.
Khusus di bidang sumber daya alam, paling tidak korporasi telah
diatur pada lima undang-undang. Pertama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kedua,
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Ketiga, Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Keempat, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Kelima,
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Jika
memperhatikan rumusan norma pada kelima undang-undang tersebut, maka
dapat diketahui bahwa ada pengaturan yang berbeda antara undang-undang
yang satu dengan undang-undang yang lain perihal korporasi sebagai subjek
delik dalam tindak pidana sumber daya alam.
Pada latar belakang di atas, penulis ingin meneliti lebih lanjut
bagaimanakan bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi terkhusus pada
bidang Sumber Daya Alam serta bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban
pidana korporasi sumber daya alam ke depannya ( ius constituendum).

B. Rumusan Masalah
1. Begaimanakah bentuk pertanggungjawaban pidana Korporasi ?
2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap
Tindak Pidana Sumber Daya Alam kedepannya (Ius Constituendum)?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban pidana Korporasi
2. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap
Tindak Pidana Sumber Daya Alam kedepannya (Ius Constituendum)

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Pertanggungjawaban Tindak Pidana Korporasi


Hukum pidana harus dipandang mempunyai fungsi yang subsidier,
artinya bahwa dalam usaha melindungi masyarakat terhadap kejahatan
hendaknya digunakan upaya-upaya lain lebih dulu dan apabila upaya-upaya ini
kurang memadai barulah hukum pidana digunakan. Dengan demikian, dalam
menyatakan bahwa sesuatu perbuatan dapat dipidana, selain
mempertimbangkan mengenai dampak yang akan ditimbulkan oleh perbuatan
tersebut di dalam masyarakat, maka pembentuk undang-undang juga harus
mempertimbangkan sifat jahatnya perbuatan tersebut, yaitu :8
"Apakah perbuatan tersebut memang bertentangan dengan kewajaran,
moral dan prinsip umum masyarakat beradab (mala in se, natural crime).
Secara teoritis, pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika
sebelumnya seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Menurut
Moeljatno bahwa: "Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi
ukuman) kalau dia tidak melakukan suatu perbuatan pidana."
Adanya kesalahan merupakan unsur mutlak yang bisa mengakibatkan
dimintanya pertanggungjawaban pidana dari si pelaku delik.
Pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang itu
adalah untuk menentukan kesalahan dari tindak pidana yang ia lakukan.
Pertanggungjawaban pidana atau criminal responsibility artinya orang yang
telah melakukan suatu tindak pidana belum berarti harus dipidana. la harus
mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah dilakukannya, jika ditemukan
unsur kesalahan padanya, karena suatu tindak pidana itu terdiri atas a criminal
act (actus reus) dan a criminal intent (mens rea), Actus reus atau guilty act dan
mens rea atau guilty mind ini mutlak ada untuk pertanggungjawaban pidana.
Pertanggung jawaban pidana hanya dapat terjadi setelah sebelumnya dia
melakukan tindak pidana, Jadi, tindak pidana dipisahkan dari
pertanggungjawaban pidana, atau dipisahkan dari unsur kesalahan,
8
Titie Guntari, “Upaya Penal dan Non Penal Dalam Menanggulangi Tindak Pidana
Lingkungan Hidup”, Jurnal Advokatura Indonesia, Vol 1 No 1 2022, hlm. 65

5
Pengecualian prinsip actus reus dan mens rea ini ada pada delik yang bersifat
strict liability, dimana mens rea tidak perlu dibuktikan.9
Berkaitan dengan pertanggungjawaban ini, maka seseorang hanya dapat
dibebani tanggung jawab pidana bukan hanya karena dia telah melakukan
perbuatan yang dilarang, atau melanggar kewajiban yang dipersyaratkan
undang-undang, yang harus dapat dibuktikan penuntut umum, tetapi juga
bahwa pada saat perbuatan itu dilakukan, pelakunya harus memiliki mens rea,
atau sikap kalbu. Hal ini merupakan salah satu ciri dari hampir semua sistem
hukum, di mana tanggung jawab pelaku atas tindak pidana yang telah
dilakukannya selalu dikaitkan pada keadaan-keadaan tertentu dari mentalnya.10
Diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana atau subjek tindak
pidana dan pertanggungjawaban pidana korporasi, di samping mempunyai
implikasi terhadap prumusan ketentuan pidana korporasi dalam perundang-
undangan juga terhadap penuntutan dan pemidanaan dalam praktik peradilan.
Walaupun korporasi diakui sebagai subjek tindak pidana, korporasi tidak dapat
di tuntut dan dipidana apabila tidak ada ketentuan pidana yang mengatur
pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan terhadap korporasi. Namun dalam
perundang-undangan lainnya yang dianalisis di atas telah mengatur
pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan untuk korporasi. Oleh karena itu
sesungguhnya tidak ada lagi kendala untuk menuntut dan menjatuhkan pidana
terhadap korporasi karena perundang-undangan Indonesia sudah mengaturnya
walaupun itu belum sempurna dan konsisten dengan perkenmbangan mutakhir
teori pertanggungjawaban pidana korporasi.11
Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban
pidanakorporasi, terdapat model pertanggungjawaban korporasi sebagai
berkut:12

9
Hasbullah F. Sjawie , Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada TIPIKOR, Kencana
Prenamedia Group, Jakarta, 2018, hlm. 10
10
Hasbullah F. Sjawie, Direksi Perseroan Terbatas Serta Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi, Kencana, Jakarta, 2017, hlm. 258
11
Hendra Sukmana, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana Korporasi, Alumni,
Bandung, hlm. 131
12
Muladi dan Dwidja Priyatno, PertanggungKjawaban Pidana Korporasi: Edisi Ketiga,
Kencana, Jakarta, 2015, hlm. 85

6
1. Pengurus koperasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab
2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertaggungawab
3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
Dalam hal pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggungjawab, kepada pengurus korporasi dibebankan kewajiban-
kewajiban tertentu. Kewajiban yang dibebankan itu sebenarnya adalah
kewajiban dari korporasi. Pengurus yang tidak memenuhi kewajiban itu
diancam dengan pidana. Sehingga dalam sistem ini terdapat alasan yang
menghapuskan pidana. Sedangkaan dasar pemikirannya adalah : korporasi itu
sendiri tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap suatu pelanggaran,
melainkan selalu penguruslah yang melakukan delik itu. Dan karenanya
pengruuslah yang diancam pidana dan pidana.
Seperti yang di jelaskan dalam Pasal 169 KUHP :13
1. Turut serta dalam perkumpulan yang bertujuan melakukan kejahatan,
atau turut serta daam perkumpulan lainnya yang dilarang oleh aturan-
aturan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
2. Turut serta dalam perkumpulan yang melakukan pelanggaran, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah;
3. Terhadap pendiri atau pengurus, pidana dapat di tambah sepertiga.
Ketentuan-ketentuan dalam KUHP tersebut jelas menganut subjek
dalam hukum pidan adalah orang, hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 59
KUHP. Apabila dihubungkan dengan tahap-tahap perkembangan korporasi
merupakan tahap pertama, yaitu pertanggungjawaban korporasi belum dikenal,
karena pengaruh yang sangat kuat asas “societess delinquere non potest”,
artinya badan hukum (korporasi) tidak dapat dipidana.14
Perihal korporasi sebagai subjek hukum terkait tanggung jawab pidana
di Indonesia telah diakui sejak tahun 1955, melalu UU RI Nomor 7/Drt/1955 jo
UU No. 1 tahun 1961 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pengadilan Tindak
Pidana Ekonomi sampai saat ini, Penempatan tanggung jawab pidana korporasi
13
Pasal 169 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
14
Muladi, Op, Cit, hlm. 90

7
di dalam undang-undang pidana di luar KUHP merupakan penghalusan hukum
terhadap ketentuan Pasal 59 KUHP yang masih mengandung keragu-raguan
dan pembatasan. Sejak penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana
dalam UU Drt tersebut, di dalam beberapa undang-undang pidana khusus lain
(Lex Specialis) ditetapkan kemudian korporasi sebagai subjek tindak pidana.
Pertanggungjawaban suatu korporasi sebagai subjek tindak pidana dan
dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dilandaskan pada pemikiran
abstraksi-logis merujuk pada pengalaman empiris bahwa korporasi telah
digunakan sebagai sarana untuk melaksanakan suatu tindak pidana atau
digunakan sebagai sarana untuk menampung hasil suatu tindak pidana dan
korporasi dianggap telah memperoleh keuntungan dari suatu perbuatan yang
telah merugikan kepentingan orang lain atau korporasi lain. Perkembangan
perikiran ini sekaligus mengenyampingkan doktrin klasik, "societas delinquere
non potest", dan memperkuat tori identifikasi atau tori pelaku fungsional
(functionele dader). Di dalam peraturan perundang-undangan pidana tersebut
di atas telah dicantumkan bahwa pengertian "setiap orang adalah orang
perorangan atau korporasi baik berbadan hukum atau tidak berbadan hukum,
sehingga dalam sistem hukum pidana Indonesia, korporasi eksplisit diakui
sebagai subjek tindak pidana dan tidak ada lagi keragu-raguan mengenai hal
tersebut.
Perkembangan sistem hukum pidana Indonesia tersebut berpijak pada
kenyataan bahwa sering korporasi dijadikan "kedok" (shields) perbuatan
korporasi yang digunakan sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana atau
merupakan organ yang menampung hasil tindak pidana. Di dalam
perkembangan korporasi pertengahan abad ke-19, terdapat beberapa alasan
korporasi dapat diminta pertanggungjawaban pidana, selain
pertanggungjawaban perdata. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Korporasi didirikan oleh sekumpulan orang yang memiliki tujuan yang
sama dan untuk mencari keuntungan finansial bersama, Aktivitas
korporasi hidup karena orang-orang yang menjalan-kannya baik sebagai
direksi, pegawai maupun anggota dewan komisarisnya.

8
2. Setiap pengambilan keputusan yang menentukan arah aktivitas
korporasi sesuai dengan anggaran dasar diputuskan oleh dan di dalam
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai organ tertinggi dalam
suatu korporasi.
3. Direksi selaku pemegang kendali dala menjalankan keputusan RUPS
bertanggung jawab penuh ke dalam dan ke luar antara lain mewakili
korporasi di pengadilan.
4. Präktik korporasi sering terjadi perlibatan korporasi di dalam kejahatan
yang mamberikan keuntungan kepada korporasi selain kepada
pengurusnya, bahkan koporasi didirikan untuk menjalan aktivitas
kejahatan dan menampung hasil kejahatan.
5. Pertanggungjawaban pidana terhadap direksi, pegawai dan anggota
dewan komisaris, terbukti telah tidak memadai karena sekalipun mereka
dijatuhi hukuman, tetapi korporasi tetap menjalankan aktivitasnya
seperti biasa.
6. Efek jam terhadap direksi, pegawai atau anggota dewan komisaris suatu
korporasi yang terlibat kejahatan tidak terbukti karna sekalipun mereka
dijatuhi hukuman, di balik penjara mereka masin dapat mengendalikan
aktivitas korporasinya dan memperoleh keuntungan finansial dari
aktifitasnya.
7. Kerugian-kerugian yang diakibatkan perbuatan korporasi yang
melanggar Sumber hukum terbukti berdampak las terhadap kepentingan
perekonomian suatu negara, seperti tar fraud, kartel monopoli.
Di dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016
tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi
menyatakan korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai
dengan ketentuan pidana korporasi dalam undang-undang yang mengatur
tentang korporasi, dan dinilai kesalahannya apabila:15
1. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak
pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk
kepentingan korporasi;
15
Pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan
Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi

9
2. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
3. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk
melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar, dan
memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna
menghindari terjadinya tindak pidana.
Kemudian di dalam Perma ini menyatakan bahwa yang dapat dijatuhi
pidana adalah korporasi atau pengurus, atau korporasi dan pengurus (Pasal 23).
Meski demikian tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana terhadap
pelaku lain berdasarkan ketentuan undang-undang terbukti terlibat dalam
tindak pidana tersebut. Pidana yang dijatuhkan dapat berupa pidana pokok dan
pidana tambahan. Pidana pokok terhadap korporasi adalah denda, sedangkan
pidana tambahan dapat berupa ganti rugi atau restitusi terhadap pihak yang
dirugikan oleh tindak pidana tersebut. Semua pidana ini dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.

B. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Tindak Pidana Sumber


Daya Alam kedepannya (Ius Constituendum)
Dalam perundang-undangan mengenai sumber daya alam di Indonesia,
penggunaan hukum pidana pada prinsipnya didasarkan pada asas yang dikenal
dengan istilah "ultimum remedium" yang menempatkan penegakan hukum
pidana sebagai pilihan hukum yang terakhir. Penegakan hukum lain berupa
mekanisme hukum perdata dan hukum administrasi harus didahulukan. Jadi
jika kedua penegakan hukum tersebut ternyata tidak mampu juga
menyelesaikan dan menghentikan tindak pidana di bidang sumber daya alam
menurut undang-undang terkait, maka hukum pidana dapat ditegakkan.
Selain itu, perumusan ketentuan pidana dalam perundang-undang
mengenai sumber daya alam merupakan bagian dari kriminalisasi pembentuk
undang-undang terhadap suatu perbuatan. Menurut Sudarto, dalam hal
mengadakan kriminalisasi pembentuk undang-undang harus memperhatikan
hal, yaitu: Harus menyadari daya kemampuan dari hukum pidana dalam
menanggulangi kejahatan. Daya kemampuannya tidak boleh dipandang terlalu

10
tinggi, akan tetapi sebaliknya juga tidak boleh dipandang terlalu remeh seolah-
olah tidak mempunyai efek sama sekali.”16
Meskipun tidak selalu ada pertanggungawaban pidana apabila terjadi
perbuatan pidana, namun ketika berbicara tentang perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana, kedua variabel ini tidak dapat dipisahkan satu
sama lain, demikian pula jika membahas tentang pertanggungjawaban pidana
korporasi, dimana tidak dapat dipisahkan dari kejahatan korporasi.
Khusus di bidang sumber daya alam, kejahatan korporasi telah diatur
dalam beberapa undang-undang terkait sumber daya alam, diantaranya :
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentag Perkebunan;
3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara;
4. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan
5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 entang Ketuhanan

Apabila di perhatikan rumusah pemidanaan yang ada di dalam lima


undang-undang di atas dapat diketahui bahwa adanya peraturan yang berbeda
antara undang-undang yang satu dengan undang-undnag lainya. Dalam Pasal
78 ayat (14) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2004 tentang kehutanan, menyebutkan bahwa:17

“Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), ayat


(2), dan ayat (3), apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan
hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan
terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing
ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.”
Hal yang sama diatur juga pada Pasal 101 Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perikanan, bahwa :18

16
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2007, hlm. 152
17
Pasal 78 Ayat 14 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2004 tentang kehutanan
18
Pasal 101 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

11
“Dalam hal tindak pidana perikanan dilakukan oleh korporasi, tuntutan,
dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, dan pidana
dendanya ditambah sepertiga dari pidana yang dijatuhkan”
Pada kedua undang-undang di atas dapat disimpulkan bahwa meskipun
korporasi diakui sebagai pelaku tindak pidana, akan tetapi tidak dapat
dimintakan pertaggungjawaban pidana. Jadi antara undang-undang kehutanan
dan undang-undang perikanan memiliki konsep yang sama dalam merumuskan
korporasi sebagai subyek delik. Pengaturan demikian akan menimbulkan
banyak kelemahan, yaitu menjadi tidak sebandingnya antara hukuman dengan
dampak atau kerugian yang ditimbulkannya. Di samping itu, penjatuhan pidana
kepada pengurus korporasi juga tidak cukup memberikan jaminan bahwa
korporasi tersebut tidak melakukan tindakan serupa di kemudian hari. Dalam
kenyataannya, pihak korporasi juga tidak sedikit yang berlindung di balik
korporasi-korporasi boneka (dummy company) yang sengaja mereka bangun
untuk melindungi korporasi induknya.19
Terhadap Undang-Undang Sumber Daya Alam lainnya, terdapat
perbedaan posisi korporasi sebagai subjek delik. Seperti penjelasan pada Pasal
113 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan:20

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal


104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109
dilakukan oleh korporasi, selain pengurusnya dipidana berdasarkan
Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 107, Pasal 108, dan
Pasal 109, korporasinya dipidana dengan pidana denda maksimum
ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana denda dari masing-masing
tersebut.”
Sementara itu dalam Pasal 116 ayat (1) Undang- Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup, juga memiliki karakter sendiri dalam
merumuskan pertanggungjawaban pidana korporasi. Yaitu :21
“Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau
atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan
kepada:
a. badan usaha; dan/atau

19
Oksimana Darmawan, “Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam illegal fishing di
indonesia”, jurnal Yudisial, Vol. 11 No. 2 Agustus 2018, hlm. 174
20
Pasal 113 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan
21
Pasal 116 ayat (1) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup

12
b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana tersebut.”

Senada dengan rumusan undang-undang lingkungan hidup, Pasal 163


Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batu Bara, menyebutkan bahwa selain pidana penjara dan denda pada
pengurusnya, pidana juga dijatuhkan kepada badan hukum berupa pidana
denda, seperti penjelasan pasalnya sebagai berikut:22
“Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini
dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana penjara dan denda
terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan
hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/ 3
(satu per tiga) kali dari ketentu dari maksimum pidana denda yang
dijatuhkan
Memperhatikan rumusan sejumlah undang-undang di atas, maka dapat
diketahui bahwa terdapat ketidakkonsistenan setiap undang-undang di mana
tidak memiliki konsep yang sama dalam menempatkan korporasi. Fenomena
ini akan berimbas dalam penerapannya oleh aparat penegak hukum. Oleh
karena itu, perlu dilakukan reformulasi pengaturan pertanggungjawaban pidana
korporasi di sektor Sumber Daya Alam pada masa yang akan datang (ius
constituendum) melalui kebijakan hukum pidana atau kebijaan kriminal (penal
policy) menyangkut tentang pertanggungjawaban pidana korporasi.
Marc Ancel mengemukakan bahwa penal policy adalah suatu ilmu
sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk
memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undnag, tetapi
juga kepada pengadilan yang menerapkan unang-undang dan juga kepada
penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.23
Penal policy dalam konteks pertanggungjawaban pidana korporasi di
sektor SDA adalah lebih condong pada upaya melakukanpembaharuan hukum
pidana (perundang-undangan pidana) yang fokus utamanya adalah melakukan
perbaikan terhadap sistem pertanggungjawaban pidana korporasi agar nantinya
22
Pasal 163 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu
Bara,
23
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum PidanaPerkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 10

13
dapat memberikan kepastian hukum. Perbaikan tersebut dimulai pada tahap
formulasi, aplikasi hingga tahap eksekusi. Adapun tujuan akhirnya adalah
untuk kepentingan perlindungan sosial (social defence) dan kesejahteraan
masyarakat (social welfare).
Penal policy dalam hal ini di fokuskan kepada keseragaman bentuk
pertanggungjawaban pidana korporasi di Sektor SDA, jika
pertanggungjawaban pidana korporasi diatur secara tidak seragam maka hal itu
berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum disebabkan oleh peraturan
yang tidak jelas. Idealnya pembentuk undang-undang merumuskan sebuah
formula yang tegas dan jelas mengenai bentuk pertanggungjawabanpidana
korporasi di sektor SDA.
Berdasarkan teori-teori pertanggungjawaban pidana korporasi maka teori
ideal untuk menuntut koporasi adalah memadukan teori strict liablity dan
direct corporate criminal liabilitv. Dalam teori direct corporate criminal
liability, perbatan yang dilakukan oleh korporasi adalah perbuatan langsung
dilakukan korporasi, meskipun realitaya perbuatan tersebut dilakukan oleh
pengurus yang di dalamnya. Sehingga kesalahan penguruslah yang harus
dibuktikan. Dalam doktrin ini pertanggungjawaban pidana dibebankan pada
pengurus. Dalam teori strict liability, perbuatan dilakukan oleh korporasi yang
diwakili oleh pengurusnya. Karena perbuatan dilakukan oleh korporasi maka
kesalahan dari korporasi ini tidak perlu dibukikan,sehingga doktrin inisering
juga disebut pertanggungjawaban tanpa kesalahan, dan peranggungjawaban
dibebankan kepada korporasi, bukan pengurus.24 Perpaduankeduateori ini akan
memudahkan aparat penegak hukum dalam menuntut dan membuktikan
kesalahan korporasi. Jika pengurus korporasi/karyawan melakukan kejahatan
yang terkait dengan korporasi maka mutatis mutandis korporasi ikut
bertanggungjawab. Penuntutan terhadap korporasi tidak menghilangkan
tanggung jawab pidana karyawannya.
Selanjutnya kemungkinan memakai konsep double track system.
kecenderungan perkembangan hukum pidana di luar KUHP terutama dalam
penerapan sanksi, mengarah kepada sistem dua jalur yaitu mengatur sekaligus
24
https://business-law.binus.ac.id/2015/07/18/pertanggungjawaban-pidana-korporasi-dalam-
delik-ham/, diakses pada 8 September 2022

14
sanksi pidana dan sanksi tindakan. Menurut muladi hukum pidana modern
yang bercirikan orientasi pada perbuatan dan pelaku,penetapan sanksi tidak
hanya pidana penderiaan tetapi juga tata tertib yang secara relatif lebih
bermuatan pendidikan.25
Dalam undang-undang di sektor SDA seharusnya mengintegrasikan
ketentuan sanksi pidana dengan tindakan secara bersamaan. Terlebih lagi
sebelumnya telah ada Undang-Undang tindak pidana ekonomi yang menganut
konsep double track system dalam perumusan sanksi pidana. Sholehuddin
menjelaskan bahwasanksi pidana dan tindakan memiliki perbedaan yang
fundamental, sanksi pidana bersifat reaktif terhadap sesuatu perbuatan dengan
fokus sanksi adalah penderitaan serta pernyataan pencelaan, sedangkan sanksi
tindakan bersifat antisifatif terhadap pelaku perbuatan tersebut dengan fokus
sanksi adalah memberi pertolongan kepada pelaku agar berubah kepada yang
baik, sanksi pidana penekanannya pada unsur balasan namun sedangkan sanksi
tindakan lebih kepada ide dasar perlindungan masyarakat dan
pembinaan/perawatan si pelaku, juga disebut dengan sanksi bersifat sosial.26
Sanksi ini akan lebih efektif digunakan untuk menghukum korporasi dan
pengurusnya.

BAB III
25
Hariman Satria, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Sumber Daya
Alam”, Mimbar Hukum, Vol 28 No. 2 Juni2016, hlm. 245
26
Muhammad Natsir, Korporasi Antara Sanksi Dan Tindak Pidana Lingkungan Di Aceh,
Deepublish, 2019, Yogyakarta, hlm 14

15
PENTUP

A. Kesimpulan
1. Perihal korporasi sebagai subjek hukum terkait tanggung jawab pidana di
Indonesia telah diakui sejak tahun 1955, melalu UU RI Nomor 7/Drt/1955
jo UU No. 1 tahun 1961 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pengadilan
Tindak Pidana Ekonomi sampai saat ini, Penempatan tanggung jawab
pidana korporasi di dalam undang-undang pidana di luar KUHP merupakan
penghalusan hukum terhadap ketentuan Pasal 59 KUHP yang masih
mengandung keragu-raguan dan pembatasan. Sejak penempatan korporasi
sebagai subjek tindak pidana dalam UU Drt tersebut, di dalam beberapa
undang-undang pidana khusus lain (Lex Specialis) ditetapkan kemudian
korporasi sebagai subjek tindak pidana. Perkembangan sistem hukum
pidana Indonesia tersebut berpijak pada kenyataan bahwa sering korporasi
dijadikan "kedok" (shields) perbuatan korporasi yang digunakan sebagai
sarana untuk melakukan tindak pidana atau merupakan organ yang
menampung hasil tindak pidana. Di dalam Pasal 4 Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara
Tindak Pidana oleh Korporasi menyatakan korporasi dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana korporasi
dalam undang-undang yang mengatur tentang korporasi, dan dinilai
kesalahannya apabila: Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau
manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan
untuk kepentingan korporasi; Korporasi membiarkan terjadinya tindak
pidana; atau Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan
untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar, dan
memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna
menghindari terjadinya tindak pidana.
2. Dalam undang-undang terkait perikanan dan kehutanan memiliki rumusan
yang sama bahwa jika korporasi sebagai pembuat, pengurus yang
bertanggung jawab dapat dipidana. Kedua, Undang-undang Perkebunan
memiliki rumusan sendiri, jika korporasi sebagai pembuat maka korporasi
yang dipidana atau bertanggung jawab. Ketiga, Undang-undang Lingkungan

16
Hidup menambahkan hal baru bahwa korporasi sebagai pembuat, korporasi
dan orang yang memberi perintah yang dipidana. Keempat, Undang-undang
Minerba memuat rumusan yang lebih sederhana, di mana korporasi sebagai
pembuat, pengurus dan korporasi yang dipidana. Hal ini telah menyebabkan
ketidakkonsistenan setiap undnag-undang dimana tidak memiliki penerapan
yang sama dalam menempatkan pemidanaan terhadap korporasi. Hal ini
telah mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Maka yang harus
dilakukan pada reformulasi pengaturan pertanggungjawaban pidana
korporasi di sektor Sumber Daya Alam pada masa yang akan datang (ius
constituendum) melalui kebijakan hukum pidana atau kebijaan kriminal
(penal policy) menyangkut tentang pertanggungjawaban pidana korporasi.
Penal policy dalam hal ini di fokuskan kepada keseragaman bentuk
pertanggungjawaban pidana korporasi di Sektor SDA, jika
pertanggungjawaban pidana korporasi diatur secara tidak seragam maka hal
itu berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum disebabkan oleh
peraturan yang tidak jelas. Selanjutnya kemungkinan memakai konsep
double track system. Dalam undang-undang di sektor SDA seharusnya
mengintegrasikan ketentuan sanksi pidana dengan tindakan secara
bersamaan

DAFTAR PUSTAKA

17
A. Buku
Arief, Barda Nawawi, 2018, Bunga Rampai Kebijakan Hukum
PidanaPerkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Kencana, Jakarta;

Berkatullah, Abdul Halim, 2020, Pertanggungjawaban Korporasi di Sektor


Sumber Daya Alam: Sebuah Tinjauan, Auriga Nusantara, Jakarta;

Haryati, Tri, 2015, Era Baru Hukum Pertambangan: Di Bawah Rezim UU No.4
Tahun 2009, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta;

Muladi dan Dwidja Priyatno, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi:


Edisi Ketiga, Kencana, Jakarta;

Natsir, Muhammad, 2019, Korporasi Antara Sanksi Dan Tindak Pidana


Lingkungan Di Aceh, Deepublish, Yogyakarta;

Saleng, Abrar, 2007, Hukum Pertambangan, UII Presss, Yogyakarta;

Sjahdeni, Sutan Remy, 2008, Peratanggungjawaban Pidana Korporasi, Grafiti


Perss, Jakarta;

Sjawie, Hasbullah F, 2017, Direksi Perseroan Terbatas Serta


Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Kencana, Jakarta;

_____________________, 2018, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada


TIPIKOR, Kencana Prenamedia Group, Jakarta;

Sudarto,2007, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung;

Sukmana, Hendra, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Tindak Pidana


Korporasi, Alumni, Bandung.

B. Jurnal

Hariman Satria, 2016, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Tindak


Pidana Sumber Daya Alam”, Mimbar Hukum, Vol 28 No. 2 Juni;

Oksimana Darmawan, 2018, “Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam illegal


fishing di indonesia”, jurnal Yudisial Vol. 11 No. 2 Agustus;

Tri Hayati, 2019, “Hak Penguasaan Negara Terhadap SDA dan Implikasinya
Terhadap Bentuk Pengusahaan Pertambangan”,Jurnah Hukum dan
Pembangnan Tahun ke-49, No. 3 juli-september;

Titie Guntari, 2022, “Upaya Penal dan Non Penal Dalam Menanggulangi Tindak
Pidana Lingkungan Hidup”, Jurnal Advokatura Indonesia, Vol 1 No 1;

18
Yudi Krismen, 2014, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Kejahatan
Ekonomi”, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 4 No. 1.

C. Internet

https://business-law.binus.ac.id/2015/07/18/pertanggungjawaban-pidana-
korporasi-dalam-delik-ham/, diakses pada 8 September 2022

19

Anda mungkin juga menyukai