Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH HUKUM SUMBER DAYA ALAM

“PENGATURAN SUMBER DAYA ALAM BIDANG MINERBA


KONSEP PERIZINAN ”

DOSEN PENGAMPU:
EKO NURIYATMAN,S.H., M.H.

DI SUSUN OLEH:

ELSA TRINICA S ITUMORANG B1A121422


AKBAR FITRA MAELANI B1A121424
NOVI INDAH CAHYANI B1A121425
IRGI KARTA WIJAYA B1A121427
T FIRZA ADERALD SANGAPTA B1A121428
AULIA NABILA B1A121429
CINDHY JUNITA B1A121430

PROGRAN STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada tuhan YME, karena atas berkat dan karunianyalah kita
dalam kelompok ini dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PENGATURAN
SUMBER DAYA ALAM BIDANG MINERBA KONSEP PERIZINAN”. Adapun
tugas ini di selesaikan untuk memenuhi tugas dalam Mata Kuliah Hukum Sumber
Daya Alam yang mana tugas ini diberikan oleh Bapak Eko Nuriyatman, S.H,.M.H.
Kami Tim Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak Eko
Nuriyatman S.H,.M.H. selaku dosen mata kuliah Hukum Administrasi Negara.
Berkat tugas yang diberikan ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan
dengan topik yang diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang
sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses penyusunan makalah
ini.
Kami selaku TimPenulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan
penulisan masih melakukan banyak kesalahan. Oleh karena itu penulis memohon
maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam
makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca apabila
menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Jambi, 05 April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i


DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar Belakang ....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................... 5
A. Tinjauan Yuridis .................................................................................... 5
B. Perbandingan Kewenangan Pengelolaan dan Perizinan Pertambangan
berdasarkan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara dengan Undang-Undang Revisinya ........................................ 9
C. Upaya Pemerintah dalam mengatasi maraknya pertambangan
Illegal di Indonesia ................................................................................ 13
D. Pro dan Kontra Undang-Undang Minerba ............................................. 18
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 21
Kesimpulan ................................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) hayati
dan sumber daya alam non-hayati. SDA tersebut sebagaimana telah diatur dalam “Pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI
Tahun 1945)” yang menyatakan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat”. Kata “dikuasai” memiliki makna bahwa pengelolaan semua sumber daya alam
termasuk bahan galian pertambangan berada di tangan negara atau pemerintah, meliputi
kewenangan dalam mengurus, mengatur serta mengawasi secara meluas guna
mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia bukan untuk kepentingan
orang-seorang.1 Pasal 33 ayat 3 tersebut memberikan kekuasaan kepada negara untuk
menguasai kekayaan alam di Indonesia dan dipergunakan untuk kemakmuran seluruh
rakyat Indonesia.
Sumber Daya Alam non-hayati atau Sumber Daya Alam yang mampu
menghasilkan energi diantaranya adalah mineral dan batu bara. Mineral dan Batu Bara
merupakan sumber daya yang memiliki arti penting dalam memenuhi kebutuhan serta
hajat hidup orang banyak. Tidak dapat dipungkiri hasil dari bahan tambang Mineral dan
Batu Bara akan selalu dibutuhkan seperti minyak bumi dan batu bara yang dapat diolah
sebagai bahan bakar, aluminium dan besi untuk perkakas, emas yang dapat digunakan
sebagai perhiasan dan investasi, serta masih banyak lagi. Di Indonesia, subsektor
Mineral dan Batu Bara memegang peranan penting bagi pembangunan nasional guna
mendukung pertumbuhan perekonomian Nasional. Di Indonesia hingga saat ini sektor
mineral dan batubara masih menjadi kontributor peningkatan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP). 3 Keberadaan SDA Mineraba akan memberikan manfaatnya jika
ada perusahaan atau korporasi yang mampu mengelola SDA Minerba tersebut.
Usaha di bidang Mineral dan Batu Bara adalah “industri padat modal (high
capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high technology), usaha di bidang
mineral dan batubara juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi
dimana cadangan bahan galian”. 5 Karena Mineral dan Batu Bara adalah “kekayaan
alam yang tak terbarukan, maka dalam pengelolaannya perlu dijalankan secara
bertanggungjawab dan berwawasan lingkungan serta berkeadilan agar memperoleh
manfaat sebesar- besarnya untuk kemakmuran rakyat secara berkelanjutan”. 6 Untuk itu
2

pengelolaan usaha pertambangan Mineral dan Batu Bara harus dilakukan secara arif dan
bijaksana.
Adanya beberapa karakteristik yang dimiliki kegiatan usaha di bidang Mineral dan
Batu Bara tersebut, sehingga diperlukan adanya legalitas operasional terhadap
kegiatannya untuk menjamin kepastian hukum. Awal mulanya, Hak menguasai Negara
atas Mineral dan Batu Bara dilaksanakan berdasarkan “Undang-Undang Nomor 11
tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan”. Adanya peraturan
tersebut ternyata membuat „terlena‟ para pelaku usaha dalam menjalankan usahanya
karena adanya beberapa insentif meliputi “perlindungan dan jaminan investasi,
terbukanya lapangan kerja bagi tenaga kerja asing, insentif dibidang perpajakan, dan
berbagai insentif lainnya”.
“Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967” memberlakukan sistem kontrak karya
yang menimbulkan hubungan antara pemerintah dan perusahaan di bidang
pertambangan di bidang keperdataan. Kontrak karya tersebut banyak yang menilai
bahwa tidak mengngakomodir kepentingan seimbang antara pemerintah dan pelaku
usaha di bidang pertambanagan. Sebagai contoh “pada kontrak karya dengan PT.
Freeport, pemerintah hanya memperoleh royalti sebesar 3%”. Persentase yang
didapatkan pemerintah tersebut “tidak seimbang dengan sumber daya mineral yang
dikeruk” dan degradasi kualitas lingkungan yang disebabkan oleh pertambangan.
Sehingga yang terjadi adalah kerusakan lingkungan yang tidak terkendali akibat
penambangan. Hal ini sangatlah bertentangan dengan amanat yang ada dalam
“Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945” yang memerintahkan bahwa
pengelolaan pertambangan bertujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-
besamya bagi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Untuk itu di tahun 2009, pemerintah mengeluarkan Undang-“Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU
Minerba) sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967”. Lahirnya
UU Minerba merubah kebijakan di bidang usaha pertambangan Mineral dan
Batu Bara, karena dihapuskan nya kontrak karya diganti dengan sistem perizinan
yang dikenal dengan istilah Izin Usaha Pertambangan (IUP). Diketahui bahwa
kebijakan pemberian izin usaha pertambangan ditujukan agar negara memiliki
kontrol terhadap operasional perusahaan atau korporasi di bidang pertambangan
Minerba di Indonesia.
3

Di UU Minerba terjadi pergeseran kebijakan dimana negara tidak lagi


sebagai pihak yang inferior terhadap perusahaan pertambangan asing, melainkan
sebagai pihak yang memiliki kuasa atas sumber daya Mineral dan Batu Bara.
Dengan adanya perubahan tersebut, pemerintah dapat mengatur serta menjadi
pengendali atau pengarah perusahaan nasional maupun perusahaan asing dalam
pemanfaatan sumber daya Mineral dan Batu Bara.
Dengan berlakunya “Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (UU Pemda)” ternyata berimplikasi pada pelimpahan
kewenangan penerbitan izin pertambangan. Kewenangan penerbitan izin
pertambangan yang dahulu dapat dilakukan oleh pemerintah daerah di tingkat
kabupaten/kota, sekarang beralih menjadi kewenangan pemerintah provinsi.
Perubahan ini dilakukan sebagai langkah antisipasi kerusakan alam, karena
dengan pelimpahan wewenang diharapkan dapat meminimalisir
penyalahgunaan pemberian izin ekologis yang seringkali diterbitkan semaunya
serta memudahkan pengawasan dari pusat atas pemanfaatan sumber daya alam
di subsektor Mineral dan Batubara.
Setelah satu dekade diberlakukan nya, UU Minerba dianggap sudah tidak
relevan lagi dengan kebutuhan hukum masyarakat dan kebutuhan untuk
pelaksanaan usaha di bidang pertambangan Mineral dan Batubara. Revisi UU
Minerba perlu dilakukan agar tercipta harmonisasi dan sinkronisasi hukum guna
menjadikan landasan yuridis yang efektif, efisien serta komprehensif di bidang
Pertambangan dan Batubara.
Sampai akhirnya pada 12 Mei 2020 lalu, pemerintah mengesahkan revisi
UU Minerba. Adanya revisi UU Minerba membawa perubahan penerapan sistem
sentralisasi terhadap kewenangan pengelolaan dan perizinan. Mengutip
pendapat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif yang
menyatakan bahwa penarikan kewenangan pengelolaan ke pemerintah pusat
dilakukan guna mengendalikan jumlah produksi dan penjualan terutama logam
dan batubara sebagai komoditas strategis untuk ketahanan energi serta suplai
hilirisasi logam.
Beralihnya kewenangan pengelolaan dan perizinan kepada pemerintah
pusat, berimplikasi pada kewenangan daerah yang mutlak dikepras. Sehingga
4

muncul pertanyaan apakah pelimpahan kewenangan dan perizinan kepada


pemerintah pusat merupakan keputusan yang tepat, karena hingga saat ini
implementasi dari UU Minerba sebelumnya yang membagi kekuasaan atas
penguasaan Mineral dan Batu Bara ke Daerah Provinsi masih „kecolongan‟
dalam melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha pertambangan Mineral
dan Batu Bara. Sehingga usaha pertambangan yang ada, kian hari makin
menghadirkan kerusakan terhadap lingkungan karena ketidak sesuaian AMDAL
sebagai syarat dikeluarkannya IUP.

B. Rumusan Masalah
1. Tinjauan yuridis terhadap penghentian sementara izin usaha pertambangan dan
izin usaha pertambangan khusus
2. Bagaimana perbandingan kewenangan pengelolaan dan perizinan
Pertambangan berdasarkan “Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara” dengan Undang-Undang revisi nya?
3. Bagaimana upaya pemerintahan dalam mengatasi maraknya pertambangan
illegal diindonesia?
4. Pro dan kontra Undang-undang minerba
5

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Yuridis
Izin usaha Pertambangan adalah pemberian izin untuk Melakukan usaha
pertambangan kepada orang pribadi atau badan Yang diberikan oleh
Pemerintah Daerah. Izin Usaha Pertambangan diberikan dalam bentuk surat
keputusan Izin Usaha Pertambangan.7 Menurut Pasal 113 UU No. 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (“UU Minerba”), suatu
kegiatan Usaha pertambangan yang sedang dilakukan oleh pemegang Ijin
Usaha Pertambangan (“IUP”) atau Ijin Usaha Pertambangan Khusus (“IUPK”)
dapat diberhentikan sementara, tanpa mengurangi masa Berlaku IUP atau
IUPK, apabila terjadi:
1. Keadaan kahar
2. Keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan Penghentian
sebagian atau seluruh kegiatan usaha Pertambangan;
3. Keadaan dimana kondisi daya dukung lingkungan wilayah Tersebut
tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi Produksi sumber daya
mineral dan/atau batubara yang Dilakukan di wilayahnya.
Permohonan penghentian suatu kegiatan disampaikan kepada Menteri,
Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan Kewenangannya. Pihak yang
berwenang lalu wajib mengeluarkan Keputusan tertulis diterima atau ditolak
disertai alasannya atas Permohonan penghentian sementara paling lama 30 hari
sejak Menerima permohonan tersebut. Mengenai penghentian kegiatan Usaha
pertambangan karena kondisi daya dukung lingkungan, hal ini Dapat dilakukan
oleh inspektur tambang atau berdasarkan Permohonan masyarakat kepada
pihak yang berwenang.
Jangka Waktu Penghentian Pasal 114 UU Minerba mengatur Bahwa jangka
waktu penghentian sementara karena keadaan kahar Dan/atau keadaan yang
menghalangi diberikan paling lama 1 tahun Dan dapat diperpanjang paling
banyak 1 kali untuk 1 tahun. Apabila Dalam kurun waktu sebelum habis masa
penghentian sementara berakhir pemegang IUP dan IUPK sudah siap
6

melakukan kegiatan operasinya, kegiatan dimaksud wajib dilaporkan kepada


Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan Kewenangannya
mencabut keputusan penghentian sementara setelah Menerima laporan.
Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara Sebagaimana yang telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Minerba”), mengatur lebih lanjut mengenai Penghentian
sementara kegiatan izin usaha pertambangan dan izin Usaha pertambangan
khusus. Pasal 79 PP Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba
mengatur bahwa dalam hal Penghentian dilakukan atas dasar keadaan kahar,
kewajiban Pemegang IUP dan IUPK sesuai dengan peraturan perundang-
Undangan tidak berlaku.
Namun dalam hal penghentian dilakukan atas dasar keadaan Yang
menghalangi dan kondisi daya dukung lingkungan yang tidak Memadai,
pemengang IUP dan IUPK wajib :
1. Menyampaikan laporan kepada Menteri, gubernur, atau Bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya;
2. Memenuhi kewajiban keuangan; dan
3. Tetap melaksanakan pengelolaan lingkungan, keselamatan dan
Kesehatan kerja, serta pemantauan lingkungan.
4. Selanjutnya terkait dengan persetujuan berakhirnya Penghentian
sementara kegiatan usaha pertambangan, di Dalam pasal 80 diatur bahwa
persetujuan tersebut diberikan Karena:
5. Habis masa berlakunya; atau
6. Permohonan pencabutan dari pemegang IUP atau IUPK.

Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi meliputi kegiatan Penyelidikan umum,


Eksplorasi, dan Studi kelayakan Izin UsahaPertambangan diberikan untuk satu
jenis mineral atau batubara. Pemegang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi
7

meliputi kegiatan Penyelidikan umum, Eksplorasi, dan Study kelayakan Izin


Usaha Pertambangan. Menemukan mineral lain di dalam Wilayah Izin Usaha
Pertambangan yang dikelola diberikan prioritas untuk Mengusahakannya.
Pemegang Izin Usaha Pertambangan mengusahakan mineral adalah Izin Usaha
Pertambangan Operasi Produksi meliputi kegiatan Konstruksi, Penambangan,
wajib mengajukan permohonan Izin Usaha Pertambangan baru kepada
Menteri, Gubernur, dan Bupati / Walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi meliputi kegiatan
Konstruksi, Penambangan, dapat menyatakan tidak berminat untuk
mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut. Pemegang Izin Usaha
Pertambangan yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang
ditemukan wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak
lain. Izin Usaha Pertambangan untuk mineral lain dapat diberikan kepada pihak
lain oleh Menteri, Gubernur, dan Bupati / Walikota sesuai dengan
kewenangannya. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi untuk pertambangan
mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama delapan tahun.
Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan
logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu tiga tahun dan mineral
bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama
tujuh tahun. Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi untuk pertambangan batuan
dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama tiga tahun. Izin Usaha
Pertambangan Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam
jangka waktu paling lama tujuh tahun. Dalam hal kegiatan Eksplorasi dan
kegiatan studi kelayakan, pemegang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi yang
mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada
pemberi Izin Usaha Pertambangan.
Pemegang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi yang ingin Menjual mineral
atau batubara wajib mengajukan izin sementara Untuk melakukan
pengangkutan dan penjualan Izin sementara yang Diberikan oleh Menteri,
Gubernur, atau Bupati / Walikota sesuai Dengan kewenangannya. Mineral atau
batubara yang tergali dalam Hal kegiatan ekpolorasi dan kegiatan study
kelayakan, pemegang Izin Usaha Pertambangan Ekplorasi yang mendapatkan
8

mineral atau Batubara yang tergali wajib melaporkan kepeda pemberi Izin
Usaha Pertambangan dikenai iuran produksi. Izin Usaha Pertambangan
Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai Pelaksanaan
Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi untuk melakukan Tahapan kegiatan
operasi produksi. Setiap pemegang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi
dijamin untuk memperoleh Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi sebagai
kelanjutan kegiatan usaha Pertambangannya. Izin Usaha Pertambangan
Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau
perseorangan atas hasil Pelelangan.
Pasal 95 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
(“UU Minerba”) mengatur beberapa kewajiban Secara umum yang harus
ditaati oleh pemegang IUP dan IUPK, Yakni:
1. Menerapkan kaidah teknik pertambangan yang baik, yang Mewajibkan
pemegang IUP dan IUPK untuk:
a. Ketentuan keselamatan dan kesehatan kerja Pertambangan
b. Keselamatan operasi pertambangan
c. Pengelolaan dan pemantauan lingkungan Pertambangan, termasuk
kegiatan reklamasi dan pasca Tambang
d. Upaya konservasi sumber daya mineral dan batubara
e. Pengelolaan sisa tambang dari suatu kegiatan usaha Pertambangan
dalam bentuk padat, cair, atau gas Sampai memenuhi standar baku
mutu lingkungan Sebelum dilepas ke media lingkungan.
2. Mengelola keuangan sesuai dengan sistem akuntansi Indonesia
3. Meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau Batubara
4. Melaksanakan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat Setempat
dan
5. Mematuhi batas toleransi daya dukung lingkungan.
9

B. Perbandingan kewenangan pengelolaan dan perizinan Pertambangan


berdasarkan “Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara” dengan Undang-Undang
revisinya
Sebelum membahas mengenai perbandingan pengelolaan dan perizinan
Pertambangan berdasarkan “Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara” dengan Undang-Undang revisi nya,
perlu diketahui bahwa secara historis, pengaturan tentang pengelolaan dan
perizinan pertambangan di Indonesia merupakan kelanjutan dari hukum
pertambangan yang berlaku sebelum kemerdekaan. “Awalnya peraturan
pertambangan merupakan warisan dari zaman penjajahan Belanda yakni
Indische Mijnwet (Staatsblad 1899 Nomor 214) yang diberlakukan
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Kemudian di tahun 1906,
UU tersebut ditambah dan diubah dengan Mijnordonantie (Ordinansi
Pertambangan) Tahun 1906”.Peraturan a quo menyatakan bahwa “pemerintah
mengatur perizinan perminyakan dan pertambangan bahan galian logam,
batubara, batu permata dan beberapa bahan galian penting. Sedangkan bahan
galian yang dianggap kurang penting seperti gamping, pasir, dan lempung
perizinan nya diatur oleh para penguasa setempat”.
Setelah 15 tahun merdeka, Indonesia baru membentuk “Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 37 Tahun 1960
tentang Pertambangan yang kemudian menjadi Undang-Undang, yakni
Undang-Undang Nomor 37 Prp Tahun 1960 yang berlaku pada tanggal 14
Oktober Tahun 1960. UU a quo mencabut Indische Mijnwet karena ruh
peraturannya dianggap tidak sesuai dengan karakteristik negara Indonesia dan
kepentingan nasional di bidang pertambangan”.
Di tahun 1966, Pemerintah Indonesia menganut kebijakan ekonomi
terbuka yang ditandai dengan lahirnya TAP MPRS Nomor XXIII 1966 tentang
Pembaharuan Landasan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan. Ketetapan
tersebut akhirnya diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA). UU PMA memberikan peluang
investasi di sektor pertambangan dalam bentuk Kontrak Karya.Selanjutnya
10

kebijakan di sektor pertambangan pun menyesuaikan dengan diundangkan nya


Undang-Undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan (UU Pertambangan). “Ketentuan-ketentuan tersebut berhasil
menciptakan iklim yang menguntungkan dan menarik investor asing untuk
menanamkan modal di Indonesia yang dibuktikan dengan lahirnya Kontrak
Karya Generasi I hingga Generasi VII”.
Sampai akhirnya di tahun 1999, negara Indonesia memasuki era reformasi
otonomi daerah yang ditandai dengan lahirnya Undang-“Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda 1999)”. Prinsip otonomi
daerah yang dianut UU Pemda 1999 telah memberikan kewenangan yang luas
bagi daerah dengan menganut asas desentralisasi. Namun di bidang
pertambangan, yang dianut masih UU Pertambangan tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan yang menganut asas sentralistis dalam
pengelolaan pertambangan. Hal ini jelas menimbulkan ketidak sinkronan antar
peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai pengelolaan
kegiatan pertambangan.
Di tahun 2004, UU Pemda 1999 akhirnya diganti dengan diterbitkannya
Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU
Pemda 2004). Dengan terbitnya UU Pemda 2004 terdapat penjelasan yang
lebih mendalam mengenai pembagian kekuasaan yang diselenggarakan oleh
negara. Pembagian tersebut juga terkait dengan pengelolaan sumber daya
pertambangan mineral dan batu bara. Lahirnya UU Pemda 2004 mendorong
perubahan untuk merubah peraturan perundang undangan terkait dengan
pengelolaan tambang yang dianggap sudah tidak dapat mengakomodir
kebutuhan – kebutuhan hukum terkait pengelolaan di bidang usaha
pertambangan. Arah kebijakan di bidang pertambangan Minerba di Indonesia
ditujukan agar Pemerintah sebagai representasi negara memiliki kedudukan
yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDA Minerba di Indonesia.
Setelah 42 tahun berlaku, UU Pertambangan diganti dengan “Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara”
(UU Minerba 2009) yang telah merubah kebijakan di bidang usaha
pertambangan Mineral dan Batu Bara. Adanya UU Minerba, telah
11

menghapuskan model kontrak karya dan digantikan dengan sistem perizinan


yang dikenal dengan istilah Izin Usaha Pertambangan (IUP). Lahirnya UU
Minerba 2009 “membawa konsekuensi sistem pengelolaan pertambangan di
Indonesia menjadi bersifat pluralistik”.Hal ini terjadi karena pada saat
diberlakukannya UU Minerba 2009, masih terdapt beberapa kontrak karya
yang dalam tahun berjalan atau bahkan baru ditanda tanganin sebelum
pemberlakuan undang-undang yang baru.
Berdasarkan UU Minerba, bahwa pemerintah daerah baik di tingkat
kabupaten/kota maupun pada tingkat provinsi dapat melakukan penerbitan
IUP. Dalam praktiknya, seringkali terjadi pertentangan terkait dengan
kepemilikan kewenangan dalam penerbitan IUP antara pemerintah provinsi
dengan pemerintah kabupaten/kota. Lahirnya “Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah ternyata membawa perubahan
terhadap pengaturan pemberian IUP di bidang Energi dan Sumber Daya
Mineral sub urusan Mineral dan Batubara, kewenangan hanya menjadi urusan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Provinsi. Sedangkan untuk daerah
kabupaten/kota tidak memegang lagi kewenangan sama sekali termasuk dalam
pemberian IUP sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Minerba 2009”.
Setelah satu dekade berlakunya UU Minerba 2009, akhirnya pada 12 Mei
2020 lalu pemerintah mengesahkan revisi UU Minerba. Terdapat beberapa
perubahan cukup signifikan yang dilakukan dalam revisi UU Minerba, salah
satunya ada pada pengambilalihan sebagian besar kewenangan untuk mengatur
dan mengelola Mineral dan Batu Bara kepada pemerintah pusat termasuk di
dalam nya berkaitan dengan penerbitan IUP.
Lokus dari usaha di bidang Minerba adalah di daerah, yaitu daerah
kabupaten atau kota seharusnya ada pelibatan wewenang daerah dalam
pengelolaan mineral dan batubara.20 Hal ini bertujuan agar pemerintah daerah
kabupaten atau kota yang secara jarak dekat dengan perusahaan Minerba
mudah untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha Minerba
tersebut. Selain itu penguasaan negara terhadap mineral dan batubara harusnya
diberikan kepada perusahaan negara atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
12

atau Badan Usaha Milik Negara (BUMD). Pasal 169 a UU Minerba baru, peran
negara dalam pengelolaan negara terhadap minerba dikurangi.
Setelah 42 tahun berlaku, UU Pertambangan diganti dengan “Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara”
(UU Minerba 2009) yang telah merubah kebijakan di bidang usaha
pertambangan Mineral dan Batu Bara. Adanya UU Minerba, telah
menghapuskan model kontrak karya dan digantikan dengan sistem perizinan
yang dikenal dengan istilah Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Lahirnya UU Minerba 2009 “membawa konsekuensi sistem pengelolaan
pertambangan di Indonesia menjadi bersifat pluralistik”.Berdasarkan UU
Minerba, bahwa pemerintah daerah baik di tingkat kabupaten/kota maupun
pada tingkat provinsi dapat melakukan penerbitan IUP.Dalam praktiknya,
seringkali terjadi pertentangan terkait dengan kepemilikan kewenangan dalam
penerbitan IUP antara pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota.
Lahirnya “Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah ternyata membawa perubahan terhadap pengaturan pemberian IUP di
bidang Energi dan Sumber Daya Mineral sub urusan Mineral dan Batubara,
kewenangan hanya menjadi urusan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
Provinsi. Sedangkan untuk daerah kabupaten/kota tidak memegang lagi
kewenangan sama sekali termasuk dalam pemberian IUP sebagaimana yang
diamanatkan dalam UU Minerba 2009”. Setelah satu dekade berlakunya UU
Minerba 2009, akhirnya pada 12 Mei 2020 lalu pemerintah mengesahkan revisi
UU Minerba. Terdapat beberapa perubahan cukup signifikan yang dilakukan
dalam revisi UU Minerba, salah satunya ada pada pengambilalihan sebagian
besar kewenangan untuk mengatur dan mengelola Mineral dan Batu Bara
kepada pemerintah pusat termasuk di dalam nya berkaitan dengan penerbitan
IUP.Lokus dari usaha di bidang Minerba adalah di daerah, yaitu daerah
kabupaten atau kota seharusnya ada pelibatan wewenang daerah dalam
pengelolaan mineral dan batubara.
Hal ini bertujuan agar pemerintah daerah kabupaten atau kota yang secara
jarak dekat dengan perusahaan Minerba mudah untuk melakukan pengawasan
terhadap kegiatan usaha Minerba tersebut. Selain itu penguasaan negara
13

terhadap mineral dan batubara harusnya diberikan kepada perusahaan negara


atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Negara
(BUMD). Pasal 169 a UU Minerba baru, peran negara dalam pengelolaan
negara terhadap minerba dikurangi.

C. Upaya pemerintahan dalam mengatasi maraknya pertambangan


illegal diindonesia
Dari sisi regulasi, kegiatan pertambangan ilegal melanggar Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Persyaratan perizinan pun sudah lengkap diatur dalam PP No. 23 Tahun
2010 yang mengatur bahwa setiap permohonan izin usaha di bidang
pertambangan mineral dan batubara harus memenuhi persyaratan administratif,
teknis, lingkungan, dan finansial. Dalam kegiatan usaha pertambangan, terdapat
3 (tiga) jenis usaha pertambangan, yaitu izin usaha pertambangan (IUP), izin
usaha pertambangan khusus (IUPK),dan izin pertambangan rakyat (IPR).
Pada pasal 158 UU tersebut misalnya menyebutkan bahwa orang yang
melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan
denda paling banyak Rp 100.000.000.000. Termasuk juga setiap orang yang
memiliki IUP pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi
produksi, dipidana dengan pidana penjara diatur dalam pasal 160.
Sementara itu, pasal 161 mengatur bahwa setiap orang yang menampung,
memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan
dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang
tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan
dipidana dengan pidana penjara.
Adapun saran yang dapat diberikan sebagai upaya penyelesaian PETI ini,
antara lain:
(a) Pemerintah sebaiknya membuat kebijakan berbasis cost and benefit
analysis untuk memastikan The Greatest Happiness of The Greatest
Number Principle tercapai.
14

(b) Terhadap kegiatan penambangan yang telah terjadi yang diduga sebagai
perbuatan pidana maka aparat penegak hukum dan aparat terkait harus
mengedepankan kebijakan nonpenal melalui techno-prevention,
misalnya melalui pembinaan dan pengawasan penambang skala kecil
agar PETI nya menjadi pertambangan yang sah.
Dari sisi regulasi, kegiatan pertambangan ilegal melanggar Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Persyaratan perizinan
pun sudah lengkap diatur dalam PP No. 23 Tahun 2010 yang mengatur bahwa setiap
permohonan izin usaha di bidang pertambangan mineral dan batubara harus
memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial. Dalam
kegiatan usaha pertambangan, terdapat 3 (tiga) jenis usaha pertambangan, yaitu izin
usaha pertambangan (IUP), izin usaha pertambangan khusus (IUPK),dan izin
pertambangan rakyat (IPR).
Pada pasal 158 UU tersebut misalnya menyebutkan bahwa orang yang
melakukan penambangan tanpa izin dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda
paling banyak Rp 100.000.000.000. Termasuk juga setiap orang yang memiliki IUP
pada tahap eksplorasi, tetapi melakukan kegiatan operasi produksi, dipidana dengan
pidana penjara diatur dalam pasal 160.
Sementara itu, pasal 161 mengatur bahwa setiap orang yang menampung,
memanfaatkan, melakukan pengolahan dan/atau pemurnian, pengembangan
dan/atau pemanfaatan pengangkutan, penjualan mineral dan/atau batubara yang
tidak berasal dari pemegang IUP, IUPK, IPR, SIPB atau izin lainnya akan dipidana
dengan pidana penjara.
Adapun saran yang dapat diberikan sebagai upaya penyelesaian PETI ini, antara
lain:
(c) Pemerintah sebaiknya membuat kebijakan berbasis cost and benefit analysis
untuk memastikan The Greatest Happiness of The Greatest Number
Principle tercapai.
(d) Terhadap kegiatan penambangan yang telah terjadi yang diduga sebagai
perbuatan pidana maka aparat penegak hukum dan aparat terkait harus
mengedepankan kebijakan nonpenal melalui techno-prevention, misalnya
15

melalui pembinaan dan pengawasan penambang skala kecil agar PETI nya
menjadi pertambangan yang sah.
Undang-Undang Minerba yang mengatur perizinan juga mengatur sanksi
administrasi yang diatur dalam Bab XXII Pasal 151 s/d Pasal 157. Berikut sanksi
adminstrasi dalam Pasal 151 (1) di bawah ini:
1. Pemegang IUP tidak mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri,
gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya ketika akan
mengusahakan mineral lain di WIUPnya (Pasal 40 (3))
2. Pemegang IUP yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang
ditemukan di WIUPnya, namun tidak menjaga mineral lain tersebut (Pasal
40 (5))
3. Penyalahgunaan IUP untuk kepentingan diluar pemberian IUP (Pasal 41)
4. Pemegang IUP Eksplorasi mendapatkan minerba yang tergali saat kegiatan
eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan namun tidak melaporkan kepada
pemberi IUP.
5. Pemegang IUP Eksplorasi yang menjual minerba namun tidak mengajukan
izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. (Pasal 43)
6. Tidak melaksanakan kewajiban selaku pemegang IPR (Pasal 70)
7. Pemegang IPR tidak menaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan
(Pasal 71 (1))
8. Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan mineral lain namun tidak
mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri (Pasal 74 (4))
9. Pemegang IUPK yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain
yang ditemukan, namun tidak menjaga mineral lain tersebut (Pasal 74 (6))
10. Pemegang IUPK Eksplorasi yang mendapatkan mineral logam atau
batubara yang tergali saat kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan
tidak melaporkan kepada Menteri (Pasal 81 (10))
11. Tidak memenuhi ketentuan syarat tentang pengalihan kepemilikan dan/atau
saham di bursa saham Indonesia (Pasal 93 (3))
12. Tidak memenuhi kewajiban selaku pemegang IUP dan IUPK (Pasal 95)
13. Pemegang IUP dan IUPK tidak melaksanakan kewajiban untuk menerapkan
kaidah teknik pertambangan yang baik (Pasal 96)
16

14. Pemegang IUP dan IUPK tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin
penerapan standar dan baku mutu lingkungan sesuai dengan karakteristik
suatu daerah (Pasal 97)
15. Pemegang IUP dan IUPK tidak melaksanakan kewajiban untuk menjaga
kelestarian fungsi dan daya dukung sumber daya air yang bersangkutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan (Pasal 98)
16. Pemegang IUP dan IUPK yang tidak menyerahkan rencana reklamasi dan
rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi
Produksi atau IUPK Operasi Produksi
17. Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan tidak sesuai
dengan peruntukan lahan pascatambang Peruntukan lahan pascatambang
tidak dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang
IUP atau IUPK dan pemegang hak atas tanah (Pasal 99)
18. Pemegang IUP dan IUPK tidak menyediakan dana jaminan reklamasi dan
dana jaminan pascatambang. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota tidak
menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang
dengan dana jaminan padahal diketahui pemegang IUP/IUPK tidak
melaksanakan reklamasi dan pascatambang (Pasal 100)
19. Pemegang IUP dan IUPK tidak melaksanakan kewajiban untuk
meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam
pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan
mineral dan batubara (Pasal 102)
20. Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi tidak melakukan pengolahan
dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri (Pasal 103)
21. Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha Pertambangan tidak membayar
iuran produksi atas minerba yang tergali dan akan dijual (Pasal 105 (3))
22. Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha Pertambangan tidak
menyampaikan laporan hasil penjualan mineral dan/atau batubara yang
tergali kepada pejabat berwenang (Pasal 105 (4))
23. Dalam melakukan kegiatan operasi produksi, badan usaha pemegang IUP
dan IUPK tidak mengikutsertakan pengusaha local yang ada di daerah
tersebut (Pasal 107)
17

24. Pemegang IUP dan IUPK tidak menyusun program pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat (Pasal 108 (1))
25. Pemegang IUP dan IUPK tidak menyerahkan seluruh data yang diperoleh
dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada pejabat yang berwenang
(Pasal 110)
26. Pemegang IUP dan IUPK tidak memberikan laporan tertulis secara berkala
atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan minerba
kepada pejabat berwenang (Pasal 111 (1))
27. Setelah 5 tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang
sahamnya dimiliki oleh asing tidak melakukan divestasi saham pada
Pemerintah, pemda, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional
(Pasal 112 (1))
28. Pemegang IUP & IUPK tidak melapor kepada pejabat yang berwenang
bahwa sudah siap melakukan kegiatan operasinya sebelum habis masa
penghentian sementara berakhir (Pasal 114 (2))
29. Pemegang IUP & IUPK tidak memenuhi kewajiban terhadap Pemerintah
dan pemerintah daerah tetap berlaku pada masa penghentian sementara
kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan yang menghalangi
kegiatan usaha pertambangan (Pasal 115 (2))
30. Pelaku usaha jasa pertambangan tidak mengutamakan kontraktor dan tenaga
kerja lokal (Pasal 125 (3))
31. Pemegang IUP/IUPK yang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya
dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah usaha pertambangan
yang diusahakannya, kecuali izin Menteri (Pasal 126 (1))
32. Pemegang IUP atau IUPK tidak membayar pendapatan negara dan
pendapatan daerah (Pasal 128 (1))
33. Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dan
batubara tidak membayar sebesar 4% kepada Pemerintah dan 6% kepada
pemda dari keuntungan bersih sejak berproduksi (Pasal 129 (1))
34. Pemegang IUP/IUPK tidak membayar iuran produksi atas pemanfaatan
tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan (Pasal 130 (2)).
18

D. Pro dan kontra Undang-undang minerba


UU Minerba telah diberlakukan dengan mengundang banyak pendapat pro
dan kontra dari berbagai kalangan. Pemerintah telah pula menerbitkan
peraturan pelaksana atas UU Minerba dengan menerbitkan Peraturan
Pemerintah No. 23 Tahun 2010. Hal ini dilakukan dalam rangka memberikan
kepastian hukum bagi setiap kalangan dalam melakukan pengusahaan
pertambangan. Pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin membuat
peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan dengan
memperhatikan kepentingan nasional dan tetap memberikan jaminan kepastian
hukum bagi pelaku usaha pertambangan dalam melakukan pengusahaan
pertambangan di Indonesia.
Memang tidak mudah bagi regulator untuk membuat perangkat peraturan
perundang-undangan di bidang pertambangan yang sempurna. UU Minerba
masih memerlukan waktu untuk diuji apakah mampu menjawab sejumlah
permasalahan di bidang pertambangan mineral dalam rangka
menghadapi tantangan lingkungan strategis baik bersifat nasional maupun
internasional.
Namun yang terpenting harus diperbaharui dari UU Minerba ini adalah
menegaskan kembali posisi Pemerintah selaku regulator yang tidak seharusnya
menjadi pemegang saham dalam perusahaan pertambangan. Sudah selayaknya
Pemerintah selaku organ negara bertindak hanya selaku pemberi izin dalam
pengusahaan pertambangan. Sedangkan pihak yang akan menjadi pemegang
saham dalam perusahaan pertambangan asing, sebaiknya dipercayakan kepada
BUMN dan BUMD yang ada
Dalam perjalanannya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (selanjutnya disebut UU Minerba) untuk
menjawab segala tantangan yang ada namun dalam perkembangannya faktanya
Undang- Undang tersebut dinilai belum menjawab segala permasalahan yang
ada, sehingga pemerintah menilai perlu dilakukan penyempurnaan terhadap
Undang_Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara agar dapat memberikan kepastian hukum untuk kegiatan
pengelolaaan dan pengusahaan pertambangan mineral dan batubara bagi
19

pelaku usaha di bidang mineral dan batu bara. Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2020 menjadi penyempurna terhadap Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam pengesahan UU Minerba menimbulkan pro dan kontra, baik dari
kalangan akademisi maupun masyarakat. Sebagian pihak yang menyetujui
revisi UU Minerba berpendapat bahwa penting dengan melihat perlunya
pengaturan yang lebih jelas dalam bentuk Undang- Undang No. 3 Tahun 2020
yang sebelumnya dianggap sebagi regulasi yang tidak sesuai dan diperlukan
segera pembaruan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa perubahan substansi
untuk 4 penyesuaian terutama berkaitan dengan kewenangan pengelolaan
pertambangan minerba; penyesuaian nomenklatur perizinan; dan kebijakan
terkait divestasi saham.
Sedangkan di sisi lain, pihak kontra mengatakan bahwa UU Minerba ini
dibentuk hanya mementingkan pemilik modal dalam hal investasi
pertambangan. Publik dikejutkan dengan proses pembentukan Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2020 (selanjtunya disebut revisi UU Minerba) ini yang
dari segi formil dapat dikatakan terlalu terburu-buru bagaikan kilat.
Apalagi proses pembentukan, seperti rapat dengar pendapat dan rapat
paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dilakukan dan disahkan ditengah
masa pandemi Covid-19. Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi dalam pernyataan tertulis menuturkan
salah satu contoh tujuan revisi UU Minerba adalah untuk menjamin kelanjutan
operasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batu Bara (PKP2B) yang kontraknya segera berakhir. Faktanya, ketentuan
yang ada dalam UU 4/2009 tidak menjamin kesempatan bagi pengusaha
tambang memperoleh perpanjangan kontrak secara otomatis. Jika revisi tidak
dilakukan, dominasi mereka akan terputus. Dengan adanya revisi maka terbuka
kesempatan bagi para pengusaha tambang tetap mendominasi penguasaan
sumber daya alam minerba minimal 20 tahun ke depan.
Selain itu,revisi UU Minerba kurang melibatkan aspirasi masyarakat.
Faktanya, pengajuan revisi UU Minerba pada pemerintah dan DPR periode
2014- 2019 ditolak. Namun, upaya untuk terus mencetuskan revisi UU
20

Minerba terus terjadi secara intensif mulai dari 17 Februari 2020 hingga 6 Mei
2020. Pada akhirnya, revisi UU Minerba, yaitu Undang- Undang Nomor 3
Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) disahkan
pada tanggal 10 Juni 2020 sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 4 Tahun
2009.
Undang-Undang Dasar 1945, maka diterbitkan Undang- Undang Nomor 11
Tahun 1976 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (yang
selanjutnya disebut UU 2 Pokok Pertambangan). Regulasi tersebut
diberlakukan selama kurang lebih empat dasawarsa untuk memberikan
sumbangan yang amat penting bagi pembangunan Nasional, utamanya dalam
dunia pertambangan. Dalam dunia pertambangan yang terdiri dari tiga elemen
penting, yaitu pengusaha, tenaga kerja, dan pemerintah sering terjadi dinamika.
Perusahaan sebagai perwujudan pengusaha dituntut untuk melindungi hak-hak
tenaga kerja, sedangkan di sisi lain, para pekerja wajib melaksanakan kerjanya
sebagai aturan yang ada. Peran pemerintah adalah sebagai penengah ketika
terjadi masalah dalam 3 rangka pemenuhan hak dan kewajiban pengusaha dan
tenaga kerja, penyelesaian dapat dilakukan secara bipatrit kalaupun gagal maka
dilakukan tripatrit. Sistem ini perlu diatur dengan baik sebagai syarat formil
penyelesaian suatu masalah. Maka dari itu, guna menjawab segala tantangan
tersebut perlu disusun peraturan perundang- undangan yang baru dalam bidang
pertambangan mineral dan batu bara, sehingga dapat menjadi landasan hukum
baru yang lebih komprehensif dalam pengelolaaan dan pengusahaan
pertambangan mineral dan batu bara.
Penelitian ini adalah penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan
peraturan perundang-undangan. Data diperoleh melalui literatur, seperti jurnal,
buku, dan sumber media internet yang berkaitan dengan topic penelitian.
Kemudian data penelitian dijelaskan secara deksriptif-kualitatif.
21

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam pengaturan sumber daya alam di bidang pertambangan dan
energi(minerba), konsep perizinan merupakan hal yang penting. Konsep perizinan
mengatur tentang tata cara pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam
minerba, termasuk tentang izin pertambangan (IUP) dan kontrak karya.
Perizinan yang dikeluarkan pemerintah harus memenuhi syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan yang
berlaku.hal ini bertujuan untuk menjaga keberlanjutan dan sejarah dengan prinsip-
prinsip kelestarian lingkungan hidup.
Dalam hal ini peran pemerintah sangat penting dalam melakukan
pengawasan dan pengendalian terhadap pihak-pihak yang memiliki perizinan.selain
itu, partisipasi masyarakat juga penting untuk memastikan bahwa pengelolaan
sumber daya alam minerba dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab.
Secara keseluruhan, konsep perizinan merupakan salah satu aspek penting dalam
pengaturan sumber daya minerba.dalam penerapannya,perizinan harus memeuhi
syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh perundang-
undangan serta harus diawasi dan dikontrol oleh pemerintahan dan partisipasi
masyarakat agar tercapai pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA

https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/jurnalhukumunsrat/article/view/16050

https://www.researchgate.net/publication/336741447_KEBIJAKAN_PEMERINTAH_DALA
M_MENANGANI_PERTAMBANGAN_ILEGAL_DI_SUMATERA_SELATAN/link/5db04b47299
bf111d4bffd6b/download

https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=1136366

https://rechtsvinding.bphn.go.id/artikel/ART%207%20JRV%205.3%20WATERMARK.pdf
http://ync.co.id/
http://iainpalu.ac.id/
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=17910
https://media.neliti.com/media/publications/81083-ID-tinjauan-yuridis-terhadap-
penghentian-se.pdf

Anda mungkin juga menyukai