Anda di halaman 1dari 13

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM

TUGAS MAKALAH MATA KULIAH HUKUM


LINGKUNGAN
Kelas: G

JUDUL
Penerapan Hukum Lingkungan Dalam Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batu Bara Di
kabupaten Pemalang

DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH :


1. Prof.Dr. Elita Rahmi, S.H., M.H.
2. Ivan Fauzani Raharja,S.H., M.H.

Oleh:

1. Nama : Alexander Aditya Firmansyah


NIM : B1A122343

2. Nama : Billy Anggara Jufri


NIM : B1A122300

3. Nama : Ichrar Syahbani Mukti


NIM : B1A122326

4. Nama : Leni Herawati


NIM : B1A122337

5. Nama : Hanae Melsy Ramadhani


NIM : B1A122308

6. Nama : Diana Maylani


NIM : B1A122318
Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang atas rahmatnya dan
karunianya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Adapun
judul yang kami angkat pada makalah ini adalah “Penerapan Hukum Lingkungan
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral Dan
Batu Bara Di kabupaten Pemalang”.

Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada Ibu Prof.Dr.Elita Rahmi, S.H., M.H dan Bapak Ivan Fauzani Raharja, S.H,
M.H. Selaku dosen pengampu pada mata kuliah Hukum Pidana yang telah
memberikan tugas kepada kami. Dan juga kami ingin mengucapkan terima kasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini.

Tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kami
mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat
kami harapkan demi perbaikan pada tugas selanjutnya. Harapan kami semoga
tugas ini bermanfaat khususnya bagi kami dan bagi pembaca lainnya.

Jambi, 17 Februari 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………...

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………...

A. Latar Belakang ………...………………………………………………………..


B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………
C. Tujuan Dan Manfaat Dari Makalah …………………………………………….

BAB II LANDASAN TEORI …………………………………………………….

A. ………………………….
B. ……………………..........

BAB III PEMBAHASAN ………………………………………………………...

A. ………………………………..
B. ………………………………...

BAB IV PENUTUP ……………………………………………………………….

A. Kesimpulan ……………………………………………………………………..
B. Saran …………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSAKA ……………………………………………………………….


BAB 1

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia merupakan negara yang kaya dengan bahan galian (tambang). Bahan
galian yang terkandung tersebut berupa emas, perak, tembaga, minyak dan gas
bumi, batu bara dan masih banyak lagi potensipotensi alam lainnya yang dapat
menopang pembangunan negara ini. Bahan galian merupakan mineral asli dalam
bentuk aslinya yang dapat ditambang untuk keperluan manusia. Semua bahan
tambang itu dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk seluruh bangsa
Indonesia, berdasarkan kelima sila dalam pancasila sebagai satu kesatuan bulat,
adanya norma atau kaidah dalam ketentuan Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945)
bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Topik
tentang pertambangan di negara-negara berkembang sudah menjadi isu yang
hangat dari dulu sampai sekarang, dari sisi positif maupun negatif. Dalam buku
yang berjudul Escaping The Resource Curse yang disunting salah satu ekonom
dunia Joseph Stiglitz malah mempertontonkan kerugian yang besar bagi suatu
negara yang memberikan keleluasan kepada negara maju untuk berinvestasi
secara besar-besaran di bidang tersebut Salah satu sisi negatif adalah di Jawa
Tengah khususnya Kabupaten Pemalang, pada tahun 2021 di salah satu area bekas
tambang pasir ditemukan mayat 2 anak di bawah umur. Hal tersebut menunjukkan
bahwa, pengusaha tambang di Pemalang belum melaksanakan Pasal 61 huruf a
angka 3 yang berbunyi bahwa pemegang IUP wajib melaksanakan pengelolaan
dan pemantauan lingkungan pertambangan, termasuk kegiatan reklamasi dan
pascatambang. Sebagaimana bunyi Pasal 1 angka 1 UU Minerba bahwa
pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka,
pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan
umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan
atau pemurnian atau pengembangan dan atau pemanfaatan, pengangkutan dan
penjualan, serta kegiatan pasca tambang. Bahan tambang sebagai kekayaan alam
yang bersifat tidak dapat diperbaharui dan memiliki jumlah terbatas tentu saja
memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Adanya nilai ekonomi yang tinggi
tersebut menjadi faktor usaha bahan tambang ini menjadi sebuah industri baik
oleh pemerintah maupun swasta. Keberadaan kegiatan tambang juga memiliki
dampak negatif, dimana kegiatan pertambangan selalu identik dengan kerusakan
lingkungan dan masalah lainnya. Pengerjaan yang tidak sesuai dengan standar
operasional pertambangan, ketidak pedulian terhadap masalah lingkungan
disekitarnya, masalah dengan masyarakat sekitar wilayah, dan izin kegiatan
pertambangan Hampir semua pertambangan di Indonesia tidak patuh pada
peraturan hukum yang berlaku di negeri ini, termasuk pertambangan-
pertambangan besar sekalipun yang diberi izin dan diawasi oleh pemerintah.
Menurut Greenpeace, sekitar 70 persen kerusakan lingkungan di Indonesia
disebabkan oleh pertambangan. Jumlah izin pertambangan yang telah diberikan
oleh pemerintah mencapai lebih dari 10.000 perizinan dan ini belum termasuk
perizinan tambang Galian C. Sebagai bentuk pembuatan instrumen hukum,
pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1959 tentang
Pembatalan Hak-Hak Pertambangan digantikan dengan Undang-Undang Nomor
37 Tahun 1960 tentang Pertambangan selanjutnya digantikan dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan kemudian
diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan
Mineral dan Batu Bara. Salah satu rumusan penting yang dimuat dalam UU
Minerba adalah kewajiban bagi pemegang IUP dan IUPK untuk menggunakan
jalan pertambangan dalam pelaksanaan usaha pertambangan. Ketentuan mengenai
jalan pertambangan tersebut dimuat dalam Pasal 91 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara yang berbunyi : (1)
Pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan jalan Pertambangan dalam
pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambangan (2) Jalan Pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dibangun sendiri oleh pemegang IUP dan IUPK
atau bekerjasama dengan : a. pemegang IUP atau IUPK lain yang membangun
jalan Pertambangan; atau b. pihak lain yang memiliki jalan yang dapat
diperuntukkan sebagai jalan pertambangan, setelah memenuhi aspek keselamaan
pertambangan. (3) Dalam hal jalan Pertambangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) tidak tersedia, pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan
sarana dan prasarana umum termasuk jalan umum untuk keperluan Pertambangan
setelah memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan. (4) Pemegang IUP
dan IUPK dapat memberikan akses kepada masyarakat untuk menggunakan jalan
Pertambangan setelah mendapat persetujuan dari penanggung jawab aspek
keselamatan Pertambangan pada IUP dan IUPK. (5) Ketentuan lebih lanjut
mengenai pelaksanaan kewajiban penggunaan jalan Pertambangan diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya Pasal 173 Peraturan
Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan
Mineral dan Batu Bara juga mengatur mengenai jalur pertambangan yang
berbunyi : (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menggunakan jalan Pertambangan
dalam pelaksanaan kegiatan Usaha Pertambagan. (2) Jalan perambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas : a. Jalan tambang yang terdapat
pada area Pertambangan atau area proyek yang digunakan dan dilalui oleh alat
utama dan alat penunjang produksi; dan b. Jalan penunjang yang disediakan untuk
jalan transportasi barang atau orang dalam suatu area Pertambangan dan/atau area
proyek pendukung operasi Pertambangan atau penyediaan fasilitas Pertambangan.
(3) Jalan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibangun
sendiri oleh IUP dan IUPK atau bekerja sama dengan : a. Pemegang IUP dan
IUPK lain yang membangun jalan Pertambangan; atau b. Pihak lain yang
memiliki jalan yang dapat diperuntukkan sebagai jalan Pertambangan, setelah
memenuhi aspek keselamatan Pertambangan. (4) Dalam melaksanakan kerja sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang IUP dan IUPK dapat melakukan
perjanjian pemandaatan jalan sebagai jalan Pertambangan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Perjanjian pemanfaatan jalan
sebagai jalan Pertambangan sebagaimana diamksud ayat (4) terus memperhatikan
asas keadilan, kewajaran, dan kemanfaatan. (6) Dalam hal jalan Pertambangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak tersedia, pemegang IUP dan
IUPK dapat memanfaatkan sarana dan prasarana umum termasuk jalan umum
untuk keperluan Pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan
perundangundangan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka telah ditentukan rumusan pada penelitian
ini adalah : 1. Bagaimana penerapan Hukum Lingkungan di Kabupaten
Pemalang ? 2. Faktor apa saja yang menjadi kendala dalam penerapan aturan
mengenai jalan pertambangan dalam sudut pandang hukum positif di Kabupaten
Pemalang? 3. Bagaimana penyelesaian kendala dalam aturan mengenai jalan
pertambangan di Kabupaten Pemalang?

C. TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka telah ditentukan rumusan pada


penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Memahami penerapan hukum
lingkungan di Kabupaten Pemalang. 2. Mengetahui faktor yang menjadi kendala
dalam penerapan hukum jalan pertambangan dalam sudut pandang hukum positif
di Kabuppaten Pemalang. 3. Mengetahui penyelesaian kendala dalam penerapan
aturan jalan pertambangan di Kabupaten Pemalang

D.MANFAAT

Penyusunan makalahj ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan kegunaan :

1. Manfaat Teoritis Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan referensi


yuridis terhadap pemikiran akademis dalam mengembangkan ilmu hukum
khusunya Hukum Tata Negara.

2. Manfaat Praktis Dapat dijadikan masukan informasi dalam menyusun program


dan kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan lembaga-lembaga terkait
seperti, Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah,“praktisi, maupun teoritisi hukum, serta bagi masyarakat Indonesia pada
umumnya.”
BAB II

LANDASAN TEORI

Penulis melakukan telaah terhadap beberapa literatur adapun beberapa penelitian


yang memiliki keterkaitan dengan penelitian di bawah ini adalah :

1. Berdasarakan penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Nugroho tahun 2020


dengan judul “Persoalan Hukum Penyelesaian Hak atas Tanah dan Lingkungan
Berdasarkan Perubahan Undang-Undang Minerba” menjelaskan bahwa UU
Minerba mengandung permasalahan substansi. Pertama, mengenai penyelesaian
hak atas tanah untuk kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yan
problematik, kedua, mengenai mekanisme perizinan dan pengawasan lingkungan
area pertambangan pasca revisi UU Minerba. Hasil penelitian menyimpulkan
bahwa penyelesaian hak atas tanah untuk pertambangan yang dilakukan oleh
pemerintah pusat akan mengaburkan fungsi negara sebagai pengatur dan pemberi
izin, kemudian perizinan dan pengawasan lingkungan pertambangan belum
mendasarkan pada kebijakan lingkungan, dan tidak adanya pemberlakuan sistem
pengawasan lingkungan pertambangan belum mendasarkan pada kebijakan
lingkungan, dan tidak adanya pemberlakuan sistem pengawasan lingkungan
terpadu di daerah.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Imas Novita Jusningsih pada tahun 2020
dengan judul “Polemik Revisi Undang-Undang Minerba dalam Dinamika Tata
Negara Indonesia” menghasilkan penelitian bahwa UU Minerba terbaru
melanggar Pasal 5 huruf g UU 15/2019 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yaitu dilakukan secara tertutup dan tanpa mengindahkan
asas keterbukaan. Terdapat beberapa Pasal di dalam UU Minerba yang dihapus
dengan alasan yang kurang jelas antara lain Pasal 7, 8, 37,43, 45, 44, 45, 142, 143
yang kurang lebih menghapuskan kewenangan Daerah daam pengelolaan
pertambangan minerba yang berpotensi menggerus prinsip desentralisasi.

3. Penelitian yang dilakukan oleh Zulvi Fazria pada tahun 2021 dengan judul
“Implikasi Yuridis Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020
Terhadap Sentralisasi Pengelolaan Minerba Daerah Oleh Pemerintah Pusat
menghasilkan penelitian bahwa “UU Nomor 3 Tahun 2020” perlu dilakukan
perubahan. Karena UU Nomor 3 Tahun 2020 mengembalikan rezim
kontrakpertambangan, dimana posisi negara dan pemilik modal sejajar.
Kewenangan perizinan pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota dihapus. Serta
berakhirnya kewenangan daerah pada bidang mineral dan batubara. Implikasi
yang ditimbulkan dari Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2020 terhadap Pasal
18 UUD 1945 mengakibatkan Dinas ESDM Provinsi ditutup sementara sampai
diterbitkannya aturan turunan mengenai UU Nomor 3 Tahun 2020 melalui
PP/Perpres.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Efektivitas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Dalam Pemberian Izin


Usaha Pertambangan Mineral di Indonesia Setelah kemerdekaan, sebagai
pelaksanaan atas dasar hukum Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pengaturan hukum dibidang pertambangan sudah
beberapa kali mengalami perubahan. Seiring berjalan waktu kondisi
pertambangan di Indonesia dan perusahaan pengelolanya juga berubah.
Sehingga, pemerintah juga menyadari Undang-Undang Minerba yang
terbaru sangat dibutuhkan karena berbagai alasan:
1) Mendorong peningkatan nilai tambah produk pertambangan guna
menguatkan daya saing dengan negara lain, ini ditujukan agar Indonesia
mampu terbebas menjadi penghasil bahan mentah saja.
2) Negara banyak merugi karena unreporting transaction dari
pertambangan raksasa yang dinilai triliunan rupiah. 3) Lemahnya
perlindungan terhadap lingkungan dan menciptakan sumber daya ramah
lingkungan. 4) Harus ada sanksi tegas terhadap pelanggar yang
menimbulkan efek jera. Serta undangundang harus melindungi hak-hak
masyarakat kecil yang tinggal disekitar daerah tambang. Adapun aturan
yang digunakan sekarang adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Dimana dalam rangka mendukung
pembangunan nasional yang berkesinambungan, maka yang menjadi
tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah : a) Menjamin efektivitas
pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha pertambangan secara
berdaya guna, berhasil guna, dan berdaya saing; b) Menjamin manfaat
pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan hidup; c) Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai
bahan baku dan/atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
d) Mendukung dan menumbuhkembangkan kemampuan nasional agar
lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional; e)
Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan negara, serta
menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat; dan
f) Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha
pertambangan mineral dan batubara. Sebelum dikeluarkannya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
pengaturan perizinan pertambangan mineral dan batubara menggunakan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara dan juga menggunakan PeraturanPemerintah Nomor 8 Tahun
2018 tentang Perubahan Kelima atas Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral
dan Batubara. Sebelum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dihapus
dan digantikan dengan UndangUndang Mineral dan Batubara, sebuah
badan atau perorangan apabila ingin melakukan aktivitas pertambangan di
suatu daerah harus meminta izin terlebih dahulu kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten atau Kota setempat. Dimana nantinya Pemerintah
daerah di tiap lokasi pertambangan memiliki tugas dalam melakukan
pembinaan, penyelesaian konflik bahkan pengawasan usaha
pertambangan. Dengan adanya peran pemerintah daerah ini, jika terjadi
konflik antara perusahaan tambang dan masyarakat lingkar tambang, maka
Pemerintah Daerah dapat berperan layaknya mediator.12 Namun, setelah
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 di sahkan pengaturan terkait
dengan kewenangan pengelolaan Minerba adalah merupakan hak serta
kewajiban dari Pemerintah Pusat melalui fungsi kebijakan, pengaturan,
pengurusan, pengelolaan dan pengawasan, serta memiliki kewenangan
untuk menetapkan jumlah produksi, penjualan dan harga mineral logam,
bukan logam jenis tertentu dan batubara.13 Tata kelola perizinan kegiatan
usaha pertambangan mineral dan batubara saat ini sedang mengalami
transformasi menuju era digitalisasi. Transformasi tersebut merupakan
upaya untuk mengefektifkan proses perizinan, serta memanfaatkan
kemajuan teknologi sekaligus menandakan bahwa tata kelola
pertambangan saat ini sudah lebih maju dari yang sebelumnya. Untuk
pengajuan permohonan izin usaha atau pengajuan wilayah izin usaha
pertambangan dapat dikirim dan diproses melalui online dengan
mengunjungi website Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau
dapat mengirimkan email. Kemudian pengaturan terkait dengan tata kelola
izin pertambangan, pemerintah menetapkan kebijakan Wilayah Hukum
Pertambangan (WHP). Konsep Wilayah Hukum Pertambangan meliputi
ruang udara, ruang laut (ruang dalam bumi), tanah di bawah perairan, dan
landas kontinen 15 . Wilayah hukum pertambangan bukan untuk kegiatan
penambangan, melainkan menjadi ruang penyelidikan dan penelitian untuk
mengetahui potensi mineral dan batubara. Hal ini menjadi dasar atau
landasan bagi penetapan kegiatan usaha pertambangan. Semua wilayah
Indonesia selama ketersediaan mineral dan batubara yang bernilai
ekonomis untuk di tambang maka dapat diusahakan penguasaannya karena
masuk dalam wilayah hukum pertambangan. Meskipun semua penguasaan
pengelolaan Mineral dan Batubara dipegang oleh Pemerintah Pusat, tetapi
Pemerintah Daerah tetap memiliki kewenangan untuk menentukkan
wilayah pertambangan sebagai bagian dari tata ruang nasional. Telah di
tulis jelas pada Pasal 9 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang mana
dijelaskan bahwa wilayah pertambangan di tetapkan oleh Pemerintah
Pusat “Setelah ditentukan” oleh Pemerintah Provinsi. Apabila ingin
mengeksplorasi wilayah tersebut, statusnya harus diubah menjadi Wilayah
Pertambangan (WP) dengan melibatkan pemerintah daerah, masyarakat
serta sesuai dengan rencana tata ruang. Wilayah Pertambangan (WP)
adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan dapat dilakukan
penambangan. Setelah mendapatkan status Wilayah Pertambangan (WP),
proses selanjutnya adalah status Wilayah Pertambangan tersebut harus
menjadi Wilayah Usaha Pertambangan (WUP). Dimana Wilayah Usaha
Pertambangan merupakan bagian dari Wilayah Pertambangan yang telah
memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi, Wilayah
Usaha Pertambangan selanjutnya harus dikembangkan menjadi Wilayah
Izin Usaha Pertambangan (WIUP), dimana WIUP merupakan wilayah
yang diberikan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan untuk
melakukan kegiatan eksplorasi dan produksi. Saat ini bentuk perizinan
kegiatan usaha pertambangan menurut Undang-Undang No.3 Tahun 2020
menjelaskan bahwa disebutkan jenis perizinan antara lain: 15 Dida
Rachma Wand1) Izin usaha pertambangan (IUP) 2) Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) 3) Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR)
4) Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai Kelanjutan Kontrak
Karya dan PKP2B 5) Surat Izin Pertambangan Batuan 6) Izin Penugasan
7) Izin Usaha Jasa Pertambangan; dan 8) Izin pengangkutan dan penjualan
Melalui Undang-Undang Mineral dan Batubara yang baru Pemerintah
menjamin para pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) memperoleh perpanjangan izin dan
kelanjutan operasi. Tidak hanya demikian, Pemerintah juga menjamin
perpanjangan izin dan Kelanjutan Operasi Kontrak Karya (KK) atau
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) menjadi
IUPK sebagai Kelanjutan Operasi dengan mempertimbangkan upaya
peningkatan penerimaan negara. Jaminan perpanjangan izin operasi yang
semula diatur dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 2009 tercantum
dengan klausul “dapat diperpanjang” diganti menjadi “dijamin” pada
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Hal tersebut dapat dilihat pada
Pasal 47, Pasal 83 dan Pasal 169, Pasal 169 A dan 169 B. Perizinan
kegiatan usaha pertambangan kini dikeluarkan oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM). Hal itu didasarkan pada Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 25 Tahun 2015 tentang
Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang Pertambangan
Mineral dan Batubara Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dalam tahapan kegiatan
pertambangan ada proses peningkatan nilai tambah yaitu “pengolahan
dan/atau pemurnian atau pengembangan dan/atau pemanfaatan”. Dalam
Pasal 102 dan 103 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 disebutkan
bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) pada tahap kegiatan operasi produksi wajib
meningkatkan nilai tambah mineral dalam kegiatan usaha pertambangan
melalui, pengolahan dan pemurnian untuk komoditas tambang mineral
logam; dan/atau pengolahan untuk komoditas tambang batuan, serta
melakukan pengembangan atau pemanfaatan untuk komoditas batubara.
Hilirisasi ini harus dilakukan di dalam negeri khususnya untuk pemegang
izin di subsektor mineral. 16 Dalam Undang-Undang Mineral dan
Batubara yang baru juga terdapat kewajiban untuk membangun fasilitas
pemurnian dan atau rencana kerjasama dalam proses pengolahan dan/atau
pemurnian paling lambat tahun 2023.

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penulis menyimpulkan
bahwa pemberlakuan UU No. 3 Tahun 2020 Mengenai Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara mempunyai implikasi yang sangat signifikan terhadap
pertanggungjawaban perusahaan pertambangan terhadap kerusakan
lingkungan hidup. Poin penting yang disempurnakan adalah ketentuan
reklamasi dan pascatambang yang berpengaruh terhadap rusak tidaknya
lingkungan hidup. Berdasarkan Pasal 100 UU No.4/2009, pemegang IUP
dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan jaminan
pascatambang, kemudian jika pemegang IUP dan IUPK tidak
melaksanakan reklamasi sesuai dengan rencana yang telah disetujui, maka
menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya
dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan
pascatambang dengan dana jaminan tersebut. Dalam hal ini, menteri,
gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak
memberikan sanksi administrasi bagi pemegang IUP dan IUPK atas
pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud tidak membayarkan dana
jaminan. Sanksi administratif dapat berupa peringatan tertulis, penghentian
sementara 60 sebagian atau seluruh kegiatan eksplorasi ataupun operasi
produksi dan pencabutan IUP, IPR, IUPK. Hal yang disempurnakan terkait
aturan reklamasi dan pascatambang pada UU No.3/2020 ini adalah bagi
pemegang IUP dan IUPK yang izin usahanya dicabut atau berakhir tetapi
tidak melaksanakan reklamasi/pascatambang yang akan berdampak bagi
lingkungan hidup atau tidak menempatkan dana jaminan
reklamasi/pascatambang dapat dipidana paling lama 5 (lima) tahun penjara
dan denda paling banyak Rp 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah).
Selain sanksi pidana, pemegang IUP dan IUPK dapat dijatuhi pidana
tambahan berupa pembayaran dana dalam rangka pelaksanaan kewajiban
reklamasi dan/atau pascatambang yang menjadi kewajibannya. Dengan,
adanya pemberlakuan UU No. 3 Tahun 2020 Mengenai Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara para pemegang IUP dan IUPK, tanggung jawab terhadap
kerusakan lingkungan menjadi lebih berat, demikian juga ancaman sanksi
yang dapat dijatuhkan kepada pelaku kegiatan tambang yang tidak
melakukan reklamasi pascatambang dengan memberikan dana jaminan
B. SARAN
Berdasarkan simpulan tersebut, Penulis memberikan saran sebagai berikut:
Agar UU No. 3 Tahun 2020 mampu menjamin pelaksanaaan reklamasi &
pasca tambang, maka Pemerintah perlu segera menerbitkan peraturan
pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah (PP). Sesuai pasal 174 UU
Minerba ini peraturan pelaksanaan harus ditetapkan dalam waktu 1 tahun
sejak UU ini berlaku. PP ini berisi tentang pelaksanaan kegiatan usaha
pertambagan mineral dan batubara. Rancangan Peraturan Pemerintah yang
disusun harus mengatur tentang pembinaan dan pengawasan serta
reklamasi pascatambang dalam penyelenggaraan pengelolaan usaha
pertambangan. Ada beberapa hal yang harus diatur, diantaranya
pelaksanaan pembinaan dan pengawasan usaha pertambangan, prinsip-
prinsip reklamasi dan pascatambang, pelaksanaan dan pelaporan reklamasi
pasca tambang, dana jaminan reklamasi dan pascatambang, reklamasi dan
pasca tambang pada WIUP/WIUPK yang memenuhi kriteria untuk
diusahakan kembali, reklamasi dan pasca tambang bagi pemengan izin
Pertambangan Rakyat (IPR) dan Surat Izin Penambangan Batuan (SIPB),
dan mengenai penyerahan lahan tambang.

DAFTAR PUSTAKA

Buku : Abrar Saleng, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta


Ahmad Redi, 2017, Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan Mineral dan
Batubara, Sinar Grafika, Jakarta

Andi Hamzah, 2005, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta

Gatot Supramono, 2012, Hukum Pertambangan Mineral dan Batu Bara Di


Indonesia,

Rineka Cipta, Jakarta Hans Kelsen sebagaimana diterjemahkan oleh Raisul


Mutaqien, 2006 Teori Hukum Murni, Nuansa dan Nusa Media, Bandung HR.

Irawan, 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta

Jimly Asshiddiqie, 2009, Green Constitution: Nuansa Hijau UUD NRI Tahun
1945, Rajawali Pers, Jakarta

H. Salim HS, 2004, Hukum Pertambangan Indonesia, Raja Grafindo Persada,


Jakarta

NHT Siahaan, 2009, Hukum Lingkungan, Pancuran Alam, Jakarta

Otong Rosadi, 2012, Pertambangan dan Kehutanan Dalam Perspektif Cita Hukum
Indonesia, Thafa Media, Yogyakart

a Simon F. Sembiring, 2009, Jalan Baru Tambang: Mengalirkan Berkah bagi


Anak Bangsa, Gramedia, Jakarta

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok


Pertambangan

Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan


Batubara

Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan


Lingkungan Hidup

Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang perubahan Undang-Undang No. 4


Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha


Pertambangan Mineral Dan Batubara

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 11
Tahun 2018 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan
Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Anda mungkin juga menyukai