BATUBARA DI MASA YANG AKAN DATANG Dida Rachma Wandayati1 , Nur Rahmadayana Siregar2 1,2 Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada Surel: nurrahmadayana@mail.ugm.ac.id Abstrak Berbicara mengenai lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan publik yang diambil oleh pemegang otoritas dalam rangka berputarnya roda pembangunan ataupun berjalannya suatu program cita-cita suatu bangsa. Melihat potensi mineral dan batubara yang sangat besar, tentu saja Indonesia perlu pengelolaan yang tepat agar keberlangsungan dari mineral dan batubara tetap dapat dirasakan selama Indonesia berdiri. Terkait dengan penelitian ini penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian menjelaskan bahwa pengesahan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) merupakan salah satu bagian penting terkait dengan pengelolaan mineral dan batubara. Adanya perubahan wilayah pertambangan dalam UU Minerba yang baru berpotensi pada perubahan tata ruang baik di daerah maupun pusat yang akan berdampak pula pada ekosistem darat maupun ekosistem laut dilihat dalam bingkai tujuan pembangunan berkelanjutan. Kata kunci : Undang-Undang, Mineral dan Batubara, Wilayah Pertambangan PENDAHULUAN Berbicara mengenai lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, tidak terlepas dari kebijakan-kebijakan publik yang diambil oleh pemegang otoritas dalam rangka berputarnya roda pembangunan ataupun berjalannya suatu program cita-cita suatu bangsa. Hal tersebut berkaitan erat baik dengan kebijakan publik di dalam bidang ekonomi, lingkungan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain sebagainya. Kesemuanya harus berbasis pada pancasila (staatsfundamentalnorm) dan konstitusi UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), sebagai bagian tidak terlepas demi tercapainya tujuan suatu bangsa. UUD NRI Tahun 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menjelaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Selanjutnya, pasal tersebut juga menegaskan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, bumi yang bersifat tidak terbarukan dan terkait dengan hajat hidup orang banyak, pengelolaan mineral dan batubara (Minerba) harus dikuasai oleh negara. Dengan demikian, pengelolaannya perlu dilakukan secara optimal, efisien, transparan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 tersebut, negara telah membentuk UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- Paradigma Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana, Vol. 1 No. 1 (2020) 56 Ketentuan Pokok Pertambangan yang kemudian dirubah dengan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan saat ini diganti dengan UU No. 3 Tahun 2020. Polemik pengesahan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) menimbulkan pro dan kontra baik terjadi di kalangan akademisi maupun masyarakat melihat UU Minerba ini disahkan. Ada beberapa mengatakan penting (urgensi) dengan melihat perlunya pengaturan lebih jelas dalam bentuk UU No. 3 Tahun 2020 yang dianggap UU sebelumnya sudah tidak sesuai dan diperlukan pembaharuan. Akan tetapi, bagi pihak yang kontra melihat bahwa UU ini dibentuk hanya mementingkan pemilik modal dalam hal investasi di pertambangan. Dengan disahkannya UU Minerba terbaru, publik dikejutkan dengan proses pembuatan UU (segi formiil) yang seperti kilat, dan tidak banyak menyerap aspirasi masyarakat. Padahal pada periode 2014-2019 terjadi penolakan akan dimasukkannya RUU Minerba pada saat itu. Hingga pada akhirnya UU No. 3 Tahun 2020 disahkan pada tanggal 10 Juni 2020 sebagai pengganti UU Minerba sebelumnya. Dalam tulisan ini, ingin mencoba melihat permasalahan yang lebih krusial (secara materiil) dimana sebenarnya menjadi pintu masuk bagi pelaksanaan kegiatan pertambangan Minerba. Selain beberapa catatan yang menjadi penting dengan beberapa permasalahan teknis dalam pembentukan UU No. 3 Tahun 2020, ada substansi yang dirasa jauh dari keadilan bagi masyarakat sebagai warga negara dalam hak atas lingkungan yang sehat, serta berwawasan keberlanjutan demi generasi mendatang. (Kompas.com, 2020) Substansi sebagaimana diatas ialah pada Pasal 9 UU No. 3 Tahun 2020 yang mengubah bunyi pasal sebelumnya dalam Pasal 9 UU No. 4 Tahun 2009, yaitu dengan mengatur Wilayah Hukum Pertambangan (WHP) sebagai landasan bagi penetapan kegiatan usaha pertambangan. Dalam hal ini Wilayah Pertambangan ditetapkan oleh pemerintah pusat setelah ditentukan oleh pemerintah daerah provinsi sesuai dengan kewenangannya dan berkonsultasi dengan DPR RI. Sedangkan bunyi dari Pasal 9 UU No. 4 Tahun 2009 ketika menetapkan Wilayah Pertambangan sebagai bagian dari tata ruang nasional sebagai landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. Pada UU Minerba baru tidak lagi mengatur Wilayah Pertambangan berdasarkan tata ruang nasional sebagai landasan bagi penetapan kegiatan pertambangannya. Wilayah Pertambangan pada UU baru juga meluas dengan menambahkan Wilayah Pertambangan pada landas kontinen. Dari permasalahan sebagaimana diuraikan diatas, tentu akan jauh dari tujuan pembangunan berkelanjutan dalam hal menjaga ekosistem darat dan laut demi terwujudnya lingkungan yang berkelanjutan. Sebagaimana agenda dari tujuan pembangunan berkelanjutan dalam Era SDGs (sustainable development goals), yang dimulai dengan pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 25-27 September 2015 di markas besar PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), New York, Amerika Serikat merupakan kegiatan seremoni pengesahan dokumen SDGs yang dihadiri oleh perwakilan dari 193 negara. Seremoni tersebut merupakan lanjutan dari kesepakatan dokumen SDGs yang terjadi pada tanggal 2 Agustus 2015 yang berlokasi di New York. Saat itu sebanyak 193 negara anggota PBB mengadopsi secara aklamasi dokumen berjudul “Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development” atau “Mengalihrupakan Dunia Kita: Agenda Tahun 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan”. Dokumen SDGs dicetuskan untuk meneruskan dan memantapkan capaian-capaian MDGs sebelumnya agar langgeng dan berlanjut seterusnya. (Ishartono et al., 2016) Di Indonesia sendiri implementasi tujuan dan target SDGs dikelompokkan ke dalam empat pilar, yaitu pilar pembangunan sosial, Paradigma Jurnal Multidisipliner Mahasiswa Pascasarjana, Vol. 1 No. 1 (2020) 57 pilar pembangunan ekonomi, pilar pembangunan lingkungan dan pilar pembangunan hukum dan tata kelola pemerintahan Indonesia yang kemudian mengintegrasikan 94 dari 169 target SDGs dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 dengan terbitnya Perpres No. 59 Tahun 2017 Tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. (BAPPENAS, 2017) Dari pemaparan diatas, dapat terlihat bahwa substansi pada UU Minerba No. 3 Tahun 2020 dalam penetapan wilayah pertambangan tidak berdasarkan tata ruang yang ada, akan tetapi lebih ditetapkan dalam hal wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Tentu ini menjadi catatan tersendiri, bagaimana kemudian dalam UU No. 3 Tahun 2020 tidak berdasarkan landasan tata ruang yang sebelumnya telah diatur. Hal ini, dikhawatirkan dalam hal eksplorasi dan pemanfaatan pertambangan akan jauh dari prosedur yang ada, dan justru demi melancarkan dan memanfaatkan tambang dapat dilakukan kegiatan pertambangan tanpa diringi perlindungan terhadap lingkungan yang ada, karena sebelumnya telah ditentukan dalam wilayah yang masuk kategori kawasan produksi ataupun lindung. Batubara dan mineral merupakan energi tak terbarukan, yang perlu pengelolaan ataupun penjagaan yang ketat demi terwujudnya lingkungan yang selaras, tanpa menimbulkan dampak lingkungan yang serius dikemudian hari. Secara lebih spesifik, tulisan ini fokus pada perubahan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba terhadap penentuan Wilayah Pertambangan dengan melihat dampak lingkungan yang akan terjadi jika peraturan ini tetap ada, serta mengevaluasi dan merekonstruksi tata kelola dalam penentuan Wilayah Pertambangan yang berbasis pada tujuan sustainable development dalam poin 14 dan 15 sebagai wujud ekosistem darat dan laut yang berkelanjutan di masa yang akan datang. Berdasarkan latar belakang masalah diatas, yang menjadi pokok pembahasan adalah bagaimana dampak UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba mengenai penentuan Wilayah Pertambangan bagi keberlangsungan lingkungan di masa yang akan datang?
Kewenangan Pemerintah Daerah di Bidang Pertanahan Berdasar UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Analisis terhadap Kewenangan Bidang Pertanahan antara Pemerintah kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam)
PUSTAKA Virtual Tata Ruang dan Pertanahan (Pusvir TRP)