Anda di halaman 1dari 17

Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum

Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Research Article

Eksistensi Pertambangan Rakyat Pasca Pemberlakuan Perubahan Undang-Undang


tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
Derita Prapti Rahayu*, Faisal
Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung
*itha82017@gmail.com

ABSTRACT

Since the enactment of Law No. 3 of 2020 concerning Mineral and Coal Mining, the existence of community
mining from the aspect of licensing, supervision, guidance, to environmental management has made it more
difficult for small communities. The purpose of this study is to find out how far the state is in favor of the
existence of smallholder mining after the new regulation changes. The benefit side in terms of legal policies in
order to strengthen the legal position of people's mining. The research method uses normative legal research.
The results of this study include; First, with the enactment of the Minerba Law of 2020, the licensing authority
of local governments has been removed. The organization of licensing becomes centralized by the central
government. Second, the existence of people's mining is not clear which party has the authority to determine
the people's mining area. Third, the strategic role of local governments has been revoked and currently local
governments are only an extension of the central government so that a culture of bureaucratization will
emerge in people's mining governance.

Keywords: Existence; People's Mining Area; Local Government; Licensing.

ABSTRAK

Sejak berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara eksistensi
pertambangan rakyat dari aspek perizinan, pengawasan, pembinaan, hingga pengelolaan lingkungan hidup
semakin menyulitkan masyarakat kecil. Tujuan penelitian ingin mengetahui sejauh mana keberpihakan negara
terhadap eksistensi pertambangan rakyat pasca perubahan regulasi yang baru. Sisi manfaat dalam hal
kebijakan hukum dalam rangka memperkuat posisi hukum pertambangan rakyat. Metode penelitian
menggunakan penelitian hukum normatif. Hasil kajian dari penelitian ini antara lain; pertama, dengan
diberlakukannya Undang-Undang Minerba Tahun 2020 membuat kewenangan perizinan pemerintah daerah
telah dihapus. Pengorganisasian perizinan menjadi sentralistik oleh pemerintah pusat. Kedua, eksistensi
pertambangan rakyat menjadi tidak jelas pihak mana yang berwenang menetapkan wilayah pertambangan
rakyat. Ketiga, peran strategis pemerintah daerah telah dicabut dan saat ini pemerintah daerah hanya menjadi
perpanjangan tangan pemerintah pusat sehingga akan muncul budaya birokratisasi dalam tata kelola
pertambangan rakyat.

Kata Kunci: Eksistensi; Wilayah Pertambangan Rakyat; Pemerintah Daerah; Perizinan.

337
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

A. PENDAHULUAN meter, karena banyak kasus Pertambangan Rakyat


Pertambangan rakyat secara implisit telah jenis mineral logam dan batubara yang kegiatannya
diatur dalam Pasal 20, 21, 22, 23, 24, 25, dan Pasal lebih dari 25 meter. Kedua, luas WPR maksimal 25
26 mengenai WPR dan Pasal 66 hingga 73 tentang ha, perlu diketahui bahwa pertambangan rakyat
IPR di dalam Undang-Undang No 4 Tahun 2009 biasanya dilakukan secara berpindah-pindah lahan,
tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. untuk mencari cadangan yang bagus apalagi bila
Beberapa Pasal di dalam Undang-Undang tersebut arealnya cukup luas. Ketiga, wilayah atau tempat
juga mengatur pertambangan rakyat terkait dengan kegiatan pertambangan rakyat harus sudah
tanggung jawab pemerintah daerah sebagai dikerjakan sekurang-kurangnya 15 tahun (Yunianto,
pengelola pertambangan di daerah, lahan pemegang & Saleh, 2011).
IPR, bantuan permodalan untuk pertambangan Setelah 11 tahun sejak Undang-Undang
rakyat, dan lainnya. Undang-Undang terdahulu Minerba Tahun 2009, akhirnya pada tahun 2020
Tahun 2009 mengenai pertambangan mineral dan Pemerintah melakukan perubahan strategis di bidang
batu bara mengatur WPR (Pasal 20 dan Pasal 21), pertambangan mineral dan batu bara. Undang-
bahwa kegiatan pertambangan rakyat dilakukan Undang No. 03 Tahun 2020 dalam pembahasannya
dalam suatu WPR, dan WPR ditetapkan oleh bupati/ sudah menuai kontroversial di tengah masyarakat
walikota. Substansi Pasal tersebut menekankan sedang dilanda pandemi covid. Dewan Perwakilan
otonomi daerah pertambangan di tingkat Rakyat (DPR) tetap saja bersikukuh mengesahkan
kabupaten/kota. Memang untuk urusan agenda perubahan UU Minerba beberapa bulan yang
pertambangan rakyat, seyogyanya secara penuh lalu pada Tahun 2020. Salah satu yang sangat
kewenangannya diserahkan kepada daerah, karena memicu perdebatan ialah aspek kewenangan
kalau pusat masih ikut ‘mencampuri’ kewenangan perizinan yang semula dijalankan secara
daerah (kabupaten/ kota), maka hanya akan proporsional oleh pemerintah pusat dan daerah, saat
memperpanjang birokrasi, sehingga tidak efektif dan ini melalui UU yang baru tersebut semua level
menjadi kendala penyelesaian pertambangan tanpa pemberian izin diambil alih oleh pemerintah pusat.
izin (PETI) yang saat ini perlu secepatnya ditangani Hak penguasaan atas mineral dan batu bara hingga
(Yunianto, & Saleh, 2011). kewenangan pengelolaan pertambangan menjadi
Bambang Yunianto dan Ridwan Saleh dalam serba sentralisitik di tangan otoritas pemerintah pusat
penelitiannya tersebut memberi penjelasan kriteria (Rahayu, & Faisal, 2021).
WPR pada pasal 22 (huruf a hingga f) minimal ada 3 Arah politik hukum pertambangan menjadi
hal yang perlu diperjelas pengaturannya dalam juklak berubah dimana kewenangan perizinan tidak lagi
maupun juknis. Pertama, cadangan primer logam menjadi prioritas pemerintah daerah pasca
atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 perubahan UU Minerba Tahun 2020. Beberapa

338
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

perubahan tersebut antara lain; hak penguasaan dilarang. Dengan memberi izin, penguasa
mineral dan batu bara, kewenangan pengelolaan memperkenankan orang yang memohonnya untuk
pertambangan, dan pendelegasian kewenangan. melakukan tindakan-tindakan tertentu yang
Secara mendasar perubahan dalam Pasal 4 UU sebenarnya dilarang demi memperhatikan
Minerba Tahun 2020 ialah hak penguasaan mineral kepentingan umum yang mengharuskan adanya
dan batu bara ada pada negara untuk sebesar-besar pengawasan (Maulana, & Jamhir, 2019).
kesejahteraan rakyat dan diselenggarakan oleh Dwi Prilmilono dan Ahmad Zuhairi meneliti
Pemerintah Pusat melalui fungsi kebijakan, mengenai tambang rakyat yang diberikan izin,
pengaturan, pengurusan, pengelolaan, dan meskipun dimunculkan konsep hukum pertambangan
pengawasan. Sebelumnya penguasaan dijalankan rakyat yang berkelanjutan di Kabupaten Lombok
secara berimbang oleh pemerintah pusat dan Barat yaitu membuat kebijakan yang mengatur
pemerintah daerah. Saat ini penguasaan tersebut tahapan pertambangan rakyat mulai dari sosialisasi
sepenuhnya ada ditangan pemerintah pusat kepada masyarakat untuk menyebarkan informasi
(Rahayu, & Faisal, 2021). Tambang Rakyat, setelah itu Penetapan Wilayah
Pada umumnya kewenangan diartikan sebagai Pertambangan Rakyat (WPR). Kemudian untuk
kekuasaan, seperti disebutkan pada Kamus Besar mempermudah pengawasan maka yang berhak
Bahasa Indonesia, bahwa kekuasaan merupakan mengajukan izin pertambangan adalah perusahaan
kemampuan dari orang atau golongan untuk yang berbadan hukum Koperasi. Dari WPR yang
menguasai orang lain atau golongan lain ada, Dinas Pertambangan akan mengeluarkan Izin
berdasarkan kewibawaan, kewenangan, kharisma Pertambangan Rakyat (IPR) kepada Koperasi yang
atau kekuatan fisik (Abikusna, 2019). Sedangkan sudah memenuhi persyaratan formal. Untuk
dalam aspek perizinan, Utrecht memberikan menghindari konflik maka ditetapkan mekanisme
pengertian Izin (Vergunning) bahwa bilamana Kepemilikan wilayah IPR dan teknis penggalian agar
pembuat peraturan umumnya melarang suatu terhindar dari konflik dengan pemilik wilayah IPR
perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya yang lain. Kemudian, pembuangan limbah yang akan
asal saja diadakan secara yang ditentukan untuk langsung dipegang oleh perusahaan Semelter serta
masing-masing hal konkret, maka perbuatan memperhatikan kesejahteraan masyarakat lingkar
administrasi Negara yang memperkenankan tambang (Prilmilono, & Zuhairi, 2016).
perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning). Masalah legalitas hukum izin pertambangan
Izin dalam arti luas berarti suatu peristiwa dari rakyat tidak saja terjadi di Indonesia, tapi juga di
penguasa berdasarkan Peraturan Perundang- negara lain, seperti di Ghana, yaitu Many small-scale
undangan untuk memperbolehkan melakukan mining in Ghana operate illegally. The existence of
tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum the illegal mining sector has created policy

339
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

challenges for governments, and actions to curb the pemenuhan aspek legal melainkan pula sosio-
problem have often failed. Small-scale mining in kultural. Bertemunya otoritas negara dan otoritas
Ghana is the result of the social injustice experienced rakyat sehingga menciptakan konsep kepengaturan
by the miners. That those involved in this sector are sosial tersendiri. Sumber daya alam menjadi modal
not homogeneous but are differentiated based on sosial yang mereproduksi konflik sosial beserta
class and motives. In overcoming social injustice, the penyatuan sosial kembali di masyarakat.
state's actions only focus on law enforcement in Kepentingan yang sedang bersaing dikelola secara
overcoming the problem (Ofori, & Ofori, 2018). realistis agar terciptanya harmonisasi di tengah
Penelitian dari Muhammad Bagus Adi Wicaksana, masyarakat. Tambang rakyat merupakan sebuah
dan I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani kenyataan yang memberikan perspektif lain dari
menjelaskan paling tidak ada pengawasan dari keberadaan perusahaan tambang profesional.
daerah mengenani aktifitas tambang, the absence Berdasarkan pada uraian di atas, tulisan yang
of government supervision in the mining business merupakan bagian dari hasil Penelitian Unggulan
can also lead to social conflicts between mining (PU) Universitas Bangka Belitung tahun 2021 ini,
entrepreneurs with communities around the mining peneliti akan fokus pada pertanyaan penelitian antara
area or between fellow communities around the mine lain; Pertama, bagaimana kewenangan pemberian
(Wicaksono, & Handayani, 2020). izin pertambangan rakyat menurut Undang-Undang
Penelitian lain telah dilakukan oleh Absori, Minerba Tahun 2020. Kedua, bagaimana eksistensi
Aulia Vivi Yulianingrum, Khudzaifah Dimyati, Harun, pertambangan rakyat pasca pemberlakuan
Arief Budiono dan Hari Sutra Disemadi yang perubahan regulasi yang baru. Ketiga, bagaimana
mengkaji bahwa pengawasan terhadap bekas peran pemerintah daerah di tengah eksistensi
tambang masih lemah. Hal ini menyebabkan pertambangan rakyat dalam UU Minerba Tahun
meluasnya kerusakan lingkungan dan sebagian dari 2020. Penelitian ini memiliki urgensi dengan tujuan
ketidaktahuan perusahaan terhadap kewajiban ingin mengetahui kewenangan pemerintah daerah
reklamasi dan pascatambang. Kondisi ini berdampak dalam pemberian izin pertambangan rakyat, dan
pada kualitas air, karena merupakan kebutuhan bagaimana eksistensi pertambangan rakyat pasca
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya pemberlakuan UU Minerba yang baru, serta seperti
(Absori dkk, 2021). Kemudian oleh Arief Rahman dan apa peran pemerintah daerah terhadap eksistensi
Diman Ade Mulada yang mengkaji keberadaan pertambangan rakyat.
pertambangan rakyat perspektif hukum di Indonesia
(Rahman, & Mulada, 2018). B. METODE PENELITIAN
Berdasarkan hal diatas, eksistensi tambang Fokus permasalah dalam penelitian ini akan
rakyat menjadi sebuah diskursus yang tidak sekedar diulas melalui metode penelitian hukum normatif.

340
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Kajian terhadap norma Undang-Undang No. 3 Tahun memiliki kewenangan yang bersifat atribusi yang
2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 diberikan oleh undang-undang dalam hal pemberian
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan izin IUP dan IPR, sementara pemerintah provinsi
Batubara akan menjadi fokus kajian penelitian. berwenang mengeluarkan IUP. Pada Undang-
Undang-Undang Minerba merupakan bahan hukum Undang Minerba yang baru Pasal 7 dan Pasal 8
primer. Selain itu pula, bahan hukum sekunder tersebut dicabut atau dihapus. Itu artinya, politik
meliputi referensi kepustakaan antara lain literatur hukum pertambangan yang diterapkan ialah
buku dan jurnal yang relevan dengan topik penelitian pengorganisasian perizinan yang sentralistik.
ini. Faisal ketika mengutip Mahfud MD
mengatakan bahwa politik hukum salah satunya
C. PEMBAHASAN merupakan kebijakan negara tentang hukum yang
1. Kewenangan Pemberian Izin Pertambangan akan diberlakukan atau tidak diberlakukan dalam
Rakyat Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun rangka pencapaian tujuan negara (Faisal, Satrio, &
2020 Ferdian, 2020).
Sejak terjadinya perubahan dan pemberlakuan Pola yang biasa terjadi mengenai latar
Undang-Undang No.3 Tahun 2020 yang telah belakang politik hukum terjadinya perubahan
merubah aturan sebelumnya Undang-Undang No.4 kewenangan pemberian izin usaha pertambangan
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu dari pemerintah daerah ke pemerintah pusat
Bara dimana kewenangan perizinan pemerintah biasanya disebabkan oleh faktor internal adanya
daerah telah dihapus dan sepenuhnya diambil alih peyimpangan baik secara politik maupun hukum
oleh pemerintah pusat. Hak penguasaan mineral dan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Faktor
batu bara pada Pasal 4 menjadi otoritas tunggal eksternal paling tidak dipengaruhi oleh kepentingan
ditangan kementerian pusat. Bahkan secara tegas investor yang akan menanamkan modalnya pada
dikatakan pada Pasal 6 mengenai kewenangan sektor pertambangan. Kepentingan utama investor
pengelolaan pertambangan diarahkan satu pintu yaitu mengehendaki adanya iklim kepastian hukum
secara terpadu pada wewenang pemerintah pusat. terhadap investasi dalam pelaksanaan usaha
Hal ini berlaku disemua rezim perizinan baik itu izin pertambangan (Putri, & ALW, 2015).
usaha pertambangan (IUP), izin usaha Sejak berlakunya UU No. 4 Tahun 2009
pertambangan khusus (IUPK), dan izin kewenangan perizinan menjadi terobosan baru bagi
pertambangan rakyat (IPR). penyelenggaraan kepemerintahan dalam kerangka
Semula pemerintah daerah kabupaten/kota otonomi daerah yaitu dari sentralistik beralih kearah
dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2009 tentang desentralisasi kewenangan (Nuradhawati, 2019).
Pertambangan Mineral dan Batu Bara Pasal 8 Padahal jauh sebelum lahirnya Undang-Undang No.4

341
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Tahun 2009, pengaturan perizinan pertambangan rezim urusan pemerintahan. Hal ini terjadi karena
cenderung sentralistik. usaha di sektor pertambangan mempunyai titik
Salah satu karakteristik yang mengedepankan simpul yang beririsan langsung dengan urusan
dari produk hukum pada masa pemerintahan orde pemerintahan, khususnya isu otonomi dan
baru adalah bercorak sentralistik dengan pembagian urusan pemerintahan menyangkut
menggunakan pendekatan sectoral (Syarief, Patros & hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah
Simanungkalit, 2017). Bersifat sentralistik, artinya daerah (Kartono, 2017).
segala macam urusan yang berkaitan dengan Kemudian, saat ini arah politik hukum
pertambangan, baik yang berkaitan dengan pertambangan dalam Undang-Undang No.3 Tahun
penetapan izin kuasa pertambangan, kontrak karya, 2020 yang merubah UU No.4 Tahun 2009 kembali
perjanjian karya, pengusahaan pertambangan batu berjalan mundur mendistorsi esensi dari otonomi
bara, maupun yang lainnya, pejabat yang berwenang daerah dengan mengakusisi kewenangan perizinan
memberikan izin adalah Menteri Pertambangan pertambangan pemerintah daerah kembali menjadi
(Nurjaya, 2008). kewenangan pemerintah pusat.
Selain itu, hal ini juga dipengaruhi perubahan Diana Yusyanti dalam penelitiannya pernah
paradigma dalam sistem pemerintahan daerah, dari menyampaikan bahwa dalam aspek perizinan
otonomi daerah yang sentralistik menjadi otonomi dibidang pertambangan mineral dan batubara pada
daerah dengan sistem desentralistik berdasarkan UU era otonomi daerah dengan terbitnya UU No 11
No 22 Tahun 1999, UU No 32 Tahun 2004, dan UU Tahun 1967 yang awalnya bersifat sentralistik
No 23 Tahun 2014 Regulasi otonomi daerah sebelum kemudian sejak diterbitkannya UU No 22 Tahun 1999
UU No 23 Tahun 2014 memberikan kekuasaan yang dan diperbaharui dengan UU No 32 Tahun 2004
begitu luas kepada kepala daerah dalam pengelolaan menjadi bersifat desentralistik sehingga aspek
sumber daya alam, kondisi ini dimanfaatkan oleh perizinan di bidang pertambangan menjadi tumpang
para bupati dalam pengelolaan batu bara melalui tindih antara kewenangan menteri dan kewenangan
berbagai bentuk perizinan. Para bupati seakan akan bupati seperti kewenangan yang bersifat
menjadi pemilik tambang batu bara yang desentralisasik melalui UU No 22 Tahun 1999
mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan tersebut, ditarik kembali menjadi sentralistik melalui
Pemberian Izin Wilayah Usaha Pertambangan UU No 23 Tahun 2014 sehingga terjadi tarik menarik
(WIUP) batu bara tanpa memperhatikan kerusakan kepentingan untuk mengamandemen tentang mineral
lingkungan (Syarif, 2020). Namun, pasca UU No 23 dan batubara tersebut (Yusyanti, 2017).
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Berlakunya UU No 23 Tahun 2014 tentang
pendekatan sektoral administrasi perizinan dalam Pemda membawa konsekuensi pengambilalihan
undang-undang pertambangan terjadi pergeseran ke kewenangan di bidang pertambangan mineral dan

342
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

batubara oleh Pemerintah Pusat dari Pemerintah kepada orang perseorangan dan koperasi yang
Daerah kabupaten/kota yang semula memiliki merupakan orang serta anggotanya penduduk
kewenangan untuk memberikan izin usaha setempat. Padahal sebelumnya, pemberian izin IPR
pertambangan di wilayahnya. Beberapa implikasi cukup melalui bupati/walikota dan bahkan dalam
terdapat disharmonisasi antara UU Minerba 2009 situasi tertentu bupati/walikota dalat melimpahkan
dengan UU Pemda 2014, kewenangan antara pusat kewenangan pemberian IPR kepada camat.
dan daerah, hubungan keuangan antara pusat dan Kewenangan yang demikian saat ini telah
daerah, serta hubungan pengawasan antara pusat dihapuskan.
dan daerah (Putri, & ALW, 2015). Perubahan selanjutnya terjadi dalam Pasal 70,
Sebagaimana Pasal 20 menyebutkan kegiatan bahwa pemegang IPR dibebankan kewajiban
pertambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu mengelola lingkungan hidup bersama menteri dan
wilayah pertambangan rakyat (WPR). Kriteria dan menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha
syarat dalam menetapkan WPR diatur dalam Pasal pertambangan rakyat secara berkala kepada menteri.
22. WPR yang disebutkan dalam Pasal 20 dalam UU Fakta dilapangan, khususnya pertambangan rakyat
yang lama ditetapkan oleh kewenangan tambang timah inkonvensional (TI) di Bangka
bupati/walikota setelah konsultasi dengan DPRD Belitung betapa sulitnya melakukan pengawasan
setempat. Sejak berlakunya UU yang baru, ironisnya aktivitas pertambangan yang sesuai dengan
Pasal 21 yang memberikan kewenangan ketentuan yang berlaku. Pemerintah daerah saja
menetapkan WPR kepada bupati/walikota dicabut yang daya jangkaunya ada di daerah kesulitan
alias Pasal tersebut dihapuskan. Pemerintah daerah melakukan penertiban pertambangan rakyat di
tidak saja kewenangan pemberian izin dicabut, daerahnya. Bagaimana bisa, pemerintah pusat
bahkan kewenangan menetapkan WPR pun dicabut. melalui kementerian terkait dapat melakukan
Menjadi pertanyaan, jika Pasal 21 dihapuskan dalam pengawasan yang efektif dalam rangka pengelolaan
UU yang baru, lalu kemudian siapa yang lingkungan hidup di area tambang rakyat. Jika pun
menentukan kewenangan menetapkan WPR, pemerintah pusat memberikan kewenangan terhadap
mengingat dalam UU yang baru tidak disebutkan pemerintah daerah justru akan membuat birokratisasi
secara jelas pihak mana yang menetapkan WPR. rantai dan alur pengawasan tambang rakyat tidak
Undang-Undang No.3 Tahun 2020 selain menjadi efektif dan efesien.
menghapus Pasal 8 prihal pemerintah Kabupaten/ Bahkan sering terjadi di lapangan yaitu
Kota dapat memberikan izin IUP dan IPR, dalam sengketa usaha pertambangan, baik sengketa antara
Pasal yang lain yaitu Pasal 67 ayat 1 dalam UU yang perusahaan tambang dengan pertambangan rakyat,
baru telah diubah menjadi wewenang pemberian izin bahkan antara sesama penambang rakyat yang
pertambangan rakyat (IPR) diberikan oleh menteri paling sering terjadi muncul konflik pertambangan.

343
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Penelitian sebelumnya menjelaskan bahwa dampak terpusat oleh kementerian terkait sebagaimana diatur
dari aktivitas pertambangan adalah sikap beberapa dalam Pasal 73.
kelompok masyarakat atau masyarakat adat yang Konsekuensi logis secara hukum, melalui
sering kali melakukan penolakan ataupun protes Pasal 72 ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
terhadap aktivitas studi kelayakan rencana membuka dan syarat pemberian IPR diatur berdasarkan
lokasi tambang, tahap eksplorasi, tahap eksploitasi, Peraturan Pemerintah. Pemerintah daerah sudah
hingga tahap produksi. Protes yang dilakukan tidak memiliki kewenangan apapun untuk membuat
dengan berbagai macam alasan, mulai dari regulasi peraturan daerah mengenai tata cara dan
pencemaran limbah terhadap lingkungan dan prosedur pemberian izin IPR. Semua serba
ekosistem laut, tidak mendapat persetujuan dari tersentralistik dari pemberian izin IPR hingga
pemegang hak atas tanah, mengganggu perangkat peraturan teknisnya diatur sepenuhnya
kenyamanan pemukiman warga, aktivitas mata oleh pemerintah pusat.
pencaharian terganggu oleh dampak tambang, dan 2. Eksistensi Pertambangan Rakyat Pasca
mempertahankan tanah adat leluhur dari segala Pemberlakuan Regulasi Baru
aktivitas pertambangan (Faisal, & Rahayu, 2021b). Aktivitas pertambangan rakyat diberbagai
Menurut Made Widnyana sebagaimana yang daerah biasanya dilakukan dengan cara
dikutip oleh Iwan Harianto, konflik dapat disebabkan konvensional. Berbekal dengan pengalaman yang
oleh berbagai faktor yaitu sistem nilai dan seadanya dan alat serta modal yang tidak memadai
kepercayaan, sistem informasi, kekurangan sumber, kemudian masyarakat memilih jalan secara mandiri
ketidakpuasan dari suatu keinginan, persaingan melakukan aktivitas menambang. Pemerintah
antara perusahaan yang mengarah pada ataupun pihak perusahaan mengidentifikasi
permusuhan, peraturan dan perundang-udangan, masyarakat penambang dengan berbagai sebutan,
adat, pola dan pelaksanaan, kebiasaan, dan ego misalnya penambang liar, tambang inkonvensional,
(Harianto, 2013). pertambangan tanpa izin, atau tambang rakyat.
Bahkan dalam tataran teknis pelaksanaan Stigma ini diberikan untuk membedakan profil dan
pembinaan teknologi pertambangan, permodalan dan cara kerja masyarakat sebagai penambang dengan
pemasaran dalam rangka meningkatkan kemampuan perusahaan yang menggunakan alat-alat produksi
usaha pertambangan menjadi tanggungjawab pihak yang serba canggih. Tambang rakyat secara kultural
kementerian pusat. Level tanggungjawab menteri tidak dapat dilihat hanya dalam satu persoalan
sampai kepada pelaksanaan kaidah teknis semata. Banyak tudingan hadir jika pertambangan
pertambangan rakyat yang meliputi keselamatan rakyat eksis dilatarbelakangi hanya tergiur alasan
penambang dan tanggungjawab reklamasi pasca ekonomis yang menguntungkan. Meskipun, hal ini
tambang. Kewenangan yang demikian pun menjadi merupakan satu dari sekian varian faktor, dalam

344
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

skala sosial masyarakat, ada beberapa faktor lainnya Karena tidak ada kejelasan pihak mana yang
yang cukup dominan mendorong munculnya berwenang menetapkan WPR yang telah memenuhi
tambang rakyat. syarat dan kriteria sesuai ketentuan yang berlaku.
Eksistensi pertambangan rakyat secara hukum Bahkan prasyarat yang dimintakan semakin
sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang No. mempersulit dalam hal menetapkan WPR.
4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Sebelumnya Pasal 22 hanya kedalaman maksimal
Batubara dimana di dalamnya juga terdapat 25 meter cadangan primer logam atau batu bara,
ketentuan tentang pertambangan rakyat. Telah kemudian dirubah menjadi 100 meter. Sudah barang
ditegaskan dalam ketentuan hukum dalam hal ini tentu ini menyulitkan masyarakat kecil dengan segala
Perda Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tentang keterbatasannya untuk mengetahui sebaran luas
Pengelolaan Pertambangan Umum sepatutnya dapat kedalaman 100 meter cadangan logam tersebut.
dinikmati oleh masyarakat tanpa terkecuali, tetapi hal Masih di Pasal yang sama, untuk ditetapkan
ini harus didukung dengan budaya hukum wilayah pertambangan rakyat diperlukan luas wilayah
masyarakat terhadap hukum (Rahayu, 2016). Dalam maksimal 100 hektar yang sebelumnya hanya
perjalanan mulai lahirnya UU No 4 Tahun 2009 diperlukan 25 hektar. Bagaimana mungkin
hingga saat ini telah menimbulkan pertentangan, masyarakat kecil dapat memenuhi luas cakupan
konflik sosial atau sengketa baik pada saat wilayah sebegitu besar, meskipun kelonggaran luas
penetapan wilayah pertambangan, perizinan, wilayah merupakan batas maksimal yang dapat
tumpang tindih sektor perkebunan atau kehutanan, ditetapkan adalah 100 hektar dikuatirkan timbul
maupun kegagalan dalam mengelola limbah atau penyimpangan secara teknis dilapangan.
secara sengaja menimbulkan pencemaran dan atau Ditambah lagi, dalam aturan yang baru bahwa
kerusakan lingkungan akibat adanya kegiatan usaha wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang
pertambangan. Untuk memperbaikinya, perlu sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 tahun telah
dilakukan integrasi di antara dua sub sistem hukum ditiadakan menjadi syarat penetapan WPR. Hanya
modern dengan sub sistem hukum tradisional WPR yang diusulkan harus memenuhi kriteria
(Nugroho, 2019). pemanfaatan ruang dan kawasan untuk kegiatan
Beberapa hal yang mengatur mengenai usaha pertambangan.
pertambangan rakyat pasca pemberlakuan regulasi Rakyat sebagai penambang akan semakin
baru membuat kabar tidak menyenangkan bagi terhimpit ketika mereka harus mengajukan
penambang rakyat kecil. Kewenangan dalam permohonan izin pertambangan rakyat (IPR) kepada
menetapkan WPR oleh bupati/walikota telah menteri. Dengan lahirnya UU baru maka yang dapat
ditiadakan. Hal ini saja dapat menimbulkan mengajukan permohonan IPR hanya orang
ketidakpastian hukum bagi pertambangan rakyat. perorangan dan anggota koperasi yang berasal dari

345
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

penduduk setempat. Padahal di UU terdahulu logam timah di pulau Bangka telah dilakukan.
kelompok masyarakat dapat mengajukan Sebelumnya rakyat tidak diperbolehkan menambang.
permohonan yang saat ini hak tersebut telah Masyarakat sebagai penambang rakyat disebut
dihapuskan. sebagai Tambang Inkonvensional (TI). Tambang
Perihal penetapan dan syarat WPR akan rakyat TI di Bangka Belitung secara kuantitas cukup
menyulitkan partisipasi penambang rakyat, belum banyak. Dengan menggunakan peralatan seadanya
lagi ditambah perizinan yang harus melalui satu pintu dengan modal yang kecil masyarakat sudah bisa
kementerian pusat. Akan tetapi, dalam Pasal 68 menambang.
pemerintah pusat memperluas area wilayah Tambang rakyat tidak sekedar urusan tarik
pemberian izin kepada pemohon perseorangan ulur urusan konflik sosial dan akumulasi keuntungan
paling banyak diberikan seluas 5 hektar yang saja. Di kabupaten Bangka sebagaimana yang telah
sebelumnya hanya 1 hektar. Hanya tidak ada diteliti oleh Derita Prapti Rahayu bahwa tambang
perubahan pemohon dari koperasi masih sama rakyat juga menunjukkan interaksi kearifan lokal. Ada
maksimal diberikan 10 hektar. semacam tradisi dan kepercayaan yang boleh jadi
Jangka waktu yang diberikan izin tidak rasional secara umum, akan tetapi dalam
pertambangan rakyat (IPR) tidak lagi sebatas paling masyarakat lokal Bangka hal itu menjadi keyakinan
lama 5 tahun, melainkan jangka waktu izinnya 10 yang sakral tumbuh berkembang.
tahun dan dapat diperpanjang dua kali masing- Hal ini juga berimbas pada eksistensi
masing 5 tahun. Dengan demikian, luas wilayah izin pertambangan rakyat. Eksistensi tambang rakyat
IPR yang diberikan semakin luas dalam jangka waktu akan semakin menjadi dilema, sebagaimana yang
yang cukup lama. Akan tetapi pada aspek perizinan telah ditulis pada penelitian sebelumnya, yang
menjadi terpusat sentralistik di kementerian. Bagi menjelaskan bahwa keberadaan tambang rakyat
penambang rakyat kecil dimana akses modal dan sangat didorong oleh beberapa faktor dominan
pengetahuan mereka yang minim akan menyulitkan seperti ekonomi dan kesejahteraan, kesadaran dan
partisipasi masyarakat untuk menambang di area pengetahuan masyarakat tentang permohonan izin
lokasi dimana tempat ia tinggal. usaha pertambangan, kearifan lokal, dan pengurusan
Pemegang izin pertambangan rakyat perizinan dipertimbangkan menjadi sangat
dihadapkan dengan Pasal 70A yaitu Pasal baru yang prosedural dan birokratis, dimana hal tersebut telah
disisipkan agar setiap pemegang IPR tidak memicu pencegahan kejahatan pertambangan
melakukan memindahtangankan IPR kepada pihak melalui tindakan rasional selain penggunaan sarana
lain. Jika hal ini dilakukan, penambang rakyat akan pidana oleh penegak hukum lembaga. Sehingga
berhadapan dengan konsekuensi pengenaan sanksi sarana non-penal diperlukan sebagai tindakan
hukum. Sejak tahun 1998 pertambangan rakyat preventif dan juga untuk menentukan akar masalah

346
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

dan solusi untuk penambangan yang sangat oleh aktivitas tambang rakyat, timah menjadi ampak
kompleks. (The dilemmas in mining governance have tersebut karena memang sengaja diampak atau
been discussed at the beginning of this research and diasal oleh orang terdahulu untuk kelangsungan
those associated with funding complexity were found lingkungan hidup sehingga anak keturunan mereka
to be usually driven by several dominant factors such tetap bisa memanfaatkan lingkungan hidup untuk
as the economic and welfare, awareness and berladang yang menjadi sumber mata pencaharian
knowledge of the community regarding the masa itu. Tidak adanya aktivitas pertambangan di
application for mining business permits, local beberapa wilayah di atas, karena timahnya sudah
wisdom, and licensing management considered to be ampak menyebabkan lingkungan disana tetap terjaga
very procedural and bureaucratized. Some of these kelestariannya (Rahayu, 2016).
factors have triggered the prevention of mining Pertambangan Inkonvensional (TI) yang
crimes through rational actions other than the use of beraktivitas bukan hanya berdampak pada kondisi
penal means by law enforcement agencies. This ekonomi, namun terindikasi pula menimbulkan
shows the non-penal means are needed as a perubahan sosial masyarakat sekitar areal
preventive measure and also to determine the root pertambangan. Pertambangan tersebut menimbulkan
problems and solutions to very complex mining eskalasi konflik antara perusahaan tambang dengan
crimes. This prevention effort is, however, divided masyarakat, berubahnya kondisi masyarakat agraris
into two general models including the primary and menjadi masyarakat tambang serta berdampak buruk
secondary) (Faisal, & Rahayu, 2021a). bagi lingkungan yang dapat merubah kondisi
Derita Prapti Rahayu dalam penelitian ekologis di areal pertambangan (Faisal, Satrio &
terdahulu menampilkan sisi lain dari eksistensi Ferdian, 2020).
tambang rakyat. Dimensi kearifan lokal tambang Penelitian yang diungkap oleh Dwi Prilmilono
rakyat menjadi sesuatu yang unik dan otentik dan Ahmad Zuhairi menarik untuk disajikan disini. Ia
menjadi suatu konsep ecoliteracy di Kabupaten justru menemukan penambangan liar (tambang
Bangka. Kearifan lokal timah ampak atau timah yang rakyat) di Kabupaten Lombok Barat diberikan izin
di asal atau timah kopong. Suatu kondisi dimana secara legal karena semata-mata alasan yang
timah yang ada sangat ringan kalau ditimbang bernuansa politis sebagai upaya dalam meredam
sehingga tidak berharga atau tidak bisa dijual, sama konflik horizontal maupun vertikal dibandingkan
halnya dengan pasir biasa. Timah ampak diyakini alasan keuntungan ekonomis. Dengan kondisi
dan diakui masyarakat akibat dari tindakan atau berlatarbelakang konflik horizontal maupun vertikal
perbuatan yang menjadi pantangan (istilah tersebut, akhirnya Pemerintah Daerah (Pemda)
lokal)/larangan dalam menambang telah dilanggar memutuskan bahwa rakyat diberikan ruang yang
oleh penambang. Jika di wilayah yang tidak tersentuh cukup dan proporsional untuk ikut serta melakukan

347
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

penambangan secara legal. Apabila pertambangan Peran pemerintah daerah lainnya yaitu
rakyat tak diberikan ruang, maka akan terjadi konflik penginventarisasian, penyelidikan dan penelitian
yang berkepanjangan. Jika pemerintah keras mereka serta eksplorasi dalam rangka memperoleh data dan
juga keras, harapannya karakter masyarakat pada informasi mineral dan batubara sesuai dengan
saat dia menguasai wilayah yang mempunyai potensi kewenangannya. Pemda dapat melakukan
emas, maka masyarakat itu akan ada perubahan penyusunan neraca sumber daya mineral dan
(Prilmilono, & Zuhairi, 2016). batubara serta pengembangan dan peningkatan nilai
Dalam aspek perizinan, pertambangan rakyat tambah kegiatan usaha pertambangan. Pemda dapat
hanya diberikan pada warga penduduk setempat baik mendorong peran serta masyarakat pada bidang
itu perseorangan maupun kelompok masyarakat dan usaha pertambangan dalam rangka kelestarian
koperasi. Izin yang diberikan kepada pelaku usaha lingkungan sekitar lokasi tambang. Fungsi koordinasi
untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam juga dapat dilakukan antar pemerintah daerah
wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah provinsi dan kabupaten/kota hingga level
dan investasi terbatas (Ali, 2020). Dengan demikian, kementerian terkait dalam hal penyampaian informasi
pertambangan rakyat tidak mungkin dilakukan hasil inventarisasi penyelidikan umum dan penelitian
dengan skala besar dan modal yang cukup besar. serta eksplorasi.
Pertambangan rakyat diakomodir secara legal dalam Bahkan adanya kewajiban peran Pemda
batas-batas tertentu dan syarat-syarat tertentu. penyampaian informasi hasil produksi, penjualan
3. Peran Pemerintah Daerah di Tengah dalam negeri, serta ekspor kepada pemerintah pusat
Eksistensi Pertambangan Rakyat dalam dalam hal ini adalah Menteri terkait. Hal yang paling
Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 penting ialah partisipasi Pemda untuk melakukan
Peran Pemerintah Daerah (Pemda) terkait pembinaan dan pengawasan terhadap reklamasi
pengelolaan pertambangan pada umumnya dan lahan pasca tambang serta peningkatan kemampuan
pertambangan rakyat secara khusus telah diatur aparatur pemerintah provinsi dan pemerintah
sedemikian rupa dalam UU Minerba No.4 Tahun kabupaten/kota dalam penyelenggaraan pengelolaan
2009. Beberapa kewenangan Pemda yang diberikan usaha pertambangan.
dalam Pasal 7 dan Pasal 8 pada UU Minerba yang Beberapa kewenangan yang diperankan
lama menegaskan beberapa tugas dan fungsi Pemda Pemda tersebut dimana tertuang dalam Pasal 7 dan
antara lain yaitu; pembuatan regulasi daerah, Pasal 8 UU Minerba No.4 Tahun 2009 telah dihapus
pemberian dan pengoordinasian izin IUP dan IPR, atau dicabut oleh pemerintah pusat. Sehingga,
pembinaan dan pengawasan usaha pertambangan, pemerintah daerah hanya menjadi perpanjangan
penyelesaian konflik masyarakat. tangan pemerintah pusat dalam hal pendelegasian
atau pelimpahan kewenangan sebagaimana diatur

348
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

dalam Pasal 35 ayat 4 UU Minerba No.3 Tahun ada pada pusat, sementara Pemda hanya
2020. Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan menjalankan pelimpahan kewenangan itupun jika
kewenangan pemberian perizinan berusaha kepada ada pendelegasian atau pelimpahan kewenangan.
Pemerintah Daerah Provinsi sesuai dengan Dengan demikian, Pemda hanya difungsikan sebagai
ketentuan peraturan perundang-undangan. instrument atau alat koordinasi pemerintah pusat.
Lemahnya kewenangan Pemda ditegaskan kembali Masalah mendasar yang akan muncul
di dalam UU Minerba No.3 Tahun 2020 pada Pasal 4 ketidakefektifan bahkan budaya birokratisasi alur
mengenai hak penguasaan mineral dan batu bara koordinasi yang akan panjang dan berbelit-belit
dan Pasal 6 terkait kewenangan pengelolaan dalam tata kelola pertambangan rakyat.
pertambangan dimana kedua hal tersebut Meskipun aktivitas pertambangan juga dapat
sepenuhnya menjadi otoritas pemerintah pusat. menopang kebutuhan hidup masyarakat. Namun
Eksistensi perizinan pertambangan rakyat dibalik proyek-proyek tersebut terdapat pelaku usaha
menjadi urusan kewenangan pemerintah pusat sejak yang tidak memperhatikan berbagai pencemaran
legalitas hukum wewenang Pemda diubah pada yang akan ditimbulkan dari aktivitas pertambangan
Pasal 67 ayat 1 yaitu segala pemberian izin IPR tersebut dan pelaku usaha tidak menerapkan baku
diajukan kepada menteri. Kemampuan pemerintah mutu lingkungan dalam melindungi dan mengelola
daerah secara teknis dalam rangka mendorong pelestarian lingkungan (Karjoko, Santosa &
tanggungjawab Pemda pada Pasal 73 pun telah Handayani, 2019) Apabila adanya penambangan
diubah dalam UU Minerba No.3 Tahun 2020. rakyat yang dilakukan dengan cara tidak memenuhi
Dari aspek perizinan, pengawasan, standar prosedur menambang maka hanya
pembinaan, penindakan, pengelolaan lingkungan Pemerintah Pusat yang akan melakukan
pasca tambang (reklamasi), hingga jaminan pengawasan, pembinaan dan penindakan.
keselamatan dan kesehatan penambang semua itu Permasalahan yang akan dihadapai dalam tataran
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Hal ini tentu teknis Pemerintah pusat tidak mungkin mampu
menjadi ironi, bagaimana bisa pemerintah pusat bekerja sendirian. Sudah barang tentu akan
dapat mengatur semua itu ditengah masyarakat melibatkan pemerintah daerah dalam hal menjaga
penambang kita yang kehidupannya sangat plural kualitas lingkungan hidup yang wilayahnya sedang
dari satu daerah dengan daerah lainnya memiliki ditambang. Dengan berlakunnya Undang-Undang
perbedaan corak budaya. No. 3 tahun 2020, berimbas juga pada eksistensi
Pemerintah ditingkat pusat tentu secara teknis pertambangan rakyat. Birokratisasi perizinan yang
hanya dapat mengandalkan pemerintah daerah serba terpusat akan memberikan dampak kepada
sebagai ujung tombak dalam menjalankan fungsi tambang rakyat. Perizinan tambang rakyat tidak lagi
koordinasi. Menjadi problem, kewenangan primernya diberikan oleh kepala daerah, melainkan

349
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

permohonan diajukan kepada menteri terkait. Hal ini oleh menteri kepada orang perseorangan dan
akan membuat semakin sulit masyarakat kecil untuk koperasi yang merupakan orang serta anggotanya
mengajukan perizinan. Kendati demikian, ada penduduk setempat.
beberapa pengaturan yang baru mengenai perizinan Eksistensi pertambangan rakyat menjadi tidak
tambang rakyat yang diatur di beberapa Pasal. jelas pasca permberlakuan UU Minerba No.3 tahun
Konsekuensi dari itu semua, peran Pemerintah 2020. Kewenangan dalam menetapkan WPR oleh
Daerah dalam aspek regulasi tidak cukup memliki bupati/walikota telah ditiadakan. Dalam UU Minerba
kewenangan secara langsung untuk melakukan yang baru WPR tidak terkonsolidasi secara hukum.
pengawasan, pembinaan dan penindakan terhadap Maksudnya Wilayah Pertambangan ditetapkan oleh
eksistensi pertambangan rakyat. Dalam Aspek teknis Pemerintah Pusat setelah ditentukan oleh
tidak dapat serta merta secara langsung mengambil Pemerintah Daerah Provinsi sesuai dengan
tindakan hukum apapun tanpa adanya instruksi dari kewenangannya setelah berkonsultasi dengan
Pemerintah Pusat. Persoalannya eksploitasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan demikian,
pertambangan dilakukan di daerah dan dampaknya sebelumnya Pemerintah Provinsi memiliki
akan dirasakan langsung oleh daerah baik itu dalam kewenangan menetapkan WPR berubah menjadi
konteks dampak kerusakan lingkungan atau aktivitas hanya memiliki fungsi menentukan dan mengusulkan
pertambangan yang harus dilakukan sesuai pemetaan WPR kepada Pemerintah Pusat setelah
ketentuan hukum yang berlaku. dilakukan konsultasi dengan DPR. Beberapa peran
strategis pemerintah daerah termuat dalam dalam
D. SIMPULAN Pasal 7 dan Pasal 8 UU Minerba No.4 Tahun 2009
Terbitnya UU No.3 Tahun 2020 Tentang telah dihapus atau dicabut oleh pemerintah pusat.
Pertambangan Mineral dan Batu Bara membuat Saat ini, pemerintah daerah hanya menjadi
kewenangan perizinan pemerintah daerah telah perpanjangan tangan pemerintah pusat dalam hal
diamputasi dan sepenuhnya diambil alih oleh pendelegasian atau pelimpahan kewenangan
pemerintah pusat. Hak penguasaan mineral dan batu perizinan sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat 4
bara hingga kewenangan pengelolaan pertambangan UU Minerba No.3 Tahun 2020. Dari aspek perizinan,
menjadi kewenangan pemerintah pusat. Bahkan pengawasan, pembinaan, penindakan, pengelolaan
pada Undang-Undang Minerba yang baru Pasal 7 lingkungan pasca tambang (reklamasi), hingga
dan Pasal 8 tersebut dicabut atau dihapus. Itu jaminan keselamatan dan kesehatan penambang
artinya, politik hukum pertambangan yang diterapkan semua itu menjadi kewenangan pemerintah pusat.
ialah pengorganisasian perizinan yang sentralistik. Pemda hanya difungsikan sebagai alat koordinasi
Penegasan dalam Pasal 67 ayat 1 wewenang pemerintah pusat.
pemberian izin pertambangan rakyat (IPR) diberikan

350
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

DAFTAR PUSTAKA Hukum Lingkungan, Vol.5, (No.2), pp. 287–


JURNAL 303. https://doi.org/10.24970/BHL.V5I2.189
Abikusna, Raden A. (2019). Kewenangan Faisal., Satrio, Ndaru., & Ferdian, Komang Jaka.
Pemerintah Daerah Dalam Perspektif Undang- (2020). Evaluasi Perbaikan Kebijakan
Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Penegakan Hukum Pertambangan Perspektif
Pemerintahan Daerah. Sosfilkom: Jurnal Genealogi Hukum dan Kuasa di Kabupaten
Sosial, Filsafat Dan Komunikasi, Vol.13, Bangka Selatan. Jurnal Magister Hukum
(No.01),pp.1-15. https://doi.org/10.32534/jsfk. Udayana,Vol.9,(No.3).pp.482-494. https://doi.
v13i01. 1453 org/10.24843/JMHU.2020.v09.i03.p02
Absori., Yulianingrum, Aulia Vivi., Dimyati, Harianto, I. (2013). Sengketa Usaha Pertambangan
Khudzaifah., Harun., Budiono, Arief., & Di Wilayah Hutan Elang Dodo Kabupaten
Disemadi, Hari Sutra. (2021). Environmental Sumbawa. Jurnal Magister Hukum Udayana
Health-Based Post-Coal Mine Policy in East (Udayana Master Law Journal),Vol.2,(No.1).
Borneo. Open Access Macedonian Journal of https://doi.org/10.24843/jmhu.2013.v02.i01.p0
Medical Sciences, Vol.9, (No. E), pp .740-744. 4
https://doi.org/10.3889/oamjms.2021.6431 Karjoko, Lego., Santosa, Josephine., & Handayani, I
Faisal., Satrio, Ndaru., & Ferdian, Komang Jaka. Gusti Ayu Ketut Rachmi. (2019). Disfungsi
(2020). Evaluasi Perbaikan Kebijakan Peraturan Perundang-Undangan Tanggung
Penegakan Hukum Pertambangan Perspektif Jawab Sosial dan Lingkungan di Indonesia.
Genealogi Hukum dan Kuasa di Kabupaten Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vol.26, (No. 2),
Bangka Selatan. Jurnal Magister Hukum pp.305–325. https://doi.org/10.20885/iustum.
Udayana,Vol.9,(No.3),pp.482-494. https://doi. vol26.iss2.art5
org/10.24843/JMHU.2020.v09.i03.p02 Kartono. (2017). The Analysis Of Legal Conflict
Faisal., & Rahayu, Derita Prapti. (2021a). Authority Mining Inspection After The
Countermeasure Policy On Mining Crime Enactment Of Regional Government Law Year
Under The Legal Progressive Perceptive. 2014. Bina Hukum Lingkungan, Vol.2, (No.1),
Yustisia Jurnal Hukum, Vol.10,(No.2), pp. 226– pp. 30–39. https://doi.org/10.24970/jbhl.v2n1.3
239. https://doi.org/10.20961/YUSTISIA.V10I2. Maulana, Rifqy., & Jamhir. (2019). Konsep Hukum
47189 Perizinan Dan Pembangunan. Jurnal Justisia :
Faisal., & Rahayu, Derita Prapti. (2021b). Tujuan Jurnal Ilmu Hukum, Perundang-Undangan Dan
Pemidanaan Undang-Undang Minerba Dalam Pranata Sosial, Vol.3, (No.1), pp.90–115.
Perspektif Kebijakan Kriminalisasi. Bina https://doi.org/10.22373/JUSTISIA.V3I1.5088

351
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Nugroho, W. (2019). Konsep Integrasi Kebijakan Pasca Perubahan Undang-Undang Minerba.


Pengelolaan Pertambangan Perspektif Pandecta Research Law Journal, Vol.16,
Pluralisme Hukum Di Indonesia. Masalah- (No.1),pp.164–172. https://doi.org/10.15294
Masalah Hukum,Vol.48,(No.4),p.402. https:// /pandecta.v16i1.28013
doi.org/10.14710/mmh.48.4.2019.402-410 Rahman, Arief., & Mulada, Diman Ade. (2018). Kajian
Nuradhawati, R. (2019). Dinamika Sentralisasi Dan Yuridis Tentang Keberadaan Pertambangan
Desentralisasi Di Indonesia. Jurnal Academia Rakyat. Jatiswara, Vol.33,(No.3),pp.277-292.
Praja, Vol.2,(No.01),pp.152-170. https://doi. https://doi.org/10.29303/jatiswara.v33i3.177
org/10.36859/jap.v2i01.90 Syarief, Elza., Patros, Asmin., & Simanungkalit,
Ofori, Daisy Rose., & Ofori, Jeffifon Jerome. (2018). Naomi Hani. (2017). Penerapan
Digging for Gold or Justice? Misrecognition Tanggungjawab Sosial Perusahaan Pada
and Marginalization of “Illegal” Small-Scale Perusahaan dibidang Pertambangan di
Miners in Ghana. Social Justice Research, Kabupaten Karimun. Journal of Judicial
Vol.31,(No.4),pp.355–373. https://doi.org/10. Review, Vol.16,(No.1),pp.50-64. https://journal.
1007/S11211-018-0313-X uib.ac.id/index.php/jjr/article/view/151
Prilmilono, Dwi., & Zuhairi, Ahmad. (2016). Konsep Syarif, A. (2020). Pengelolaan Pertambangan Batu
Hukum Pertambangan Rakyat (Studi Di Bara Dalam Penegakan Hukum Lingkungan
Kabupaten Lombok Barat). Jurnal IUS Kajian Pasca Otonomi Daerah Di Provinsi Jambi.
Hukum dan Keadilan, Vol. 4, (No.1), pp. 179- Jurnal Arena Hukum Vol.12, (No.2), pp. 264–
191. https://doi.org/10.29303/IUS.V4I1.421 277.https://doi.org/10.21776/ub.arenahukum.2
Putri, Rizkyana Zaffrindra., & ALW, Lita Tyesta. 020.01302.4
(2015). Kajian Politik Hukum Tentang Wicaksono, Muhammad Bagus Adi., & Handayani, I
Perubahan Kewenangan Pemberian Izin Gusti Ayu Ketut Rachmi. (2020). Regional
Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara. Government Supervision on Coal Mine Voids
Law Reform,Vol.11,(No.2),p.199. https://doi. in East Kalimantan Province. International
org/10.14710/lr.v11i2.15767 Journal of Advanced Science and Technology,
Rahayu, Derita P. (2016). Kearifan Lokal Tambang Vol.29,(No.04),pp.7168–7178. http://sersc.org/
Rakyat sebagai Wujud Ecoliteracy di journals/index.php/IJAST/article/view/28125
Kabupaten Bangka. Jurnal Hukum Ius Quia Yunianto, Bambang., & Saleh, Ridwan. (2011).
Iustum,Vol.23,(No.2),pp.320–342. Persoalan Pertambangan Rakyat Pasca
https://doi.org/10.20885/iustum.vol23.iss2.art8 Pemberlakuan Undang-Undang No. 4 Tahun
Rahayu, Derita Prapti., & Faisal. (2021). Politik 2009. Jurnal Teknologi Mineral Dan
Hukum Kewenangan Perizinan Pertambangan

352
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Program Studi Magister Ilmu Hukum
Volume 3, Nomor 3, Tahun 2021, halaman 337-353 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Batubara, Vol.7,(No.4),pp.145-156. https://doi.


org/10.30556/jtmb.Vol7.No4.2011.811
Yusyanti, D. (2017). Aspek Perizinan Dibidang
Hukum Pertambangan Mineral Dan Batubara
Pada Era Otonomi Daerah (Permit Aspects Of
In The Legal Field Of Mineral And Coal Mining
In The Era Of Regional Autonomy). Jurnal
Penelitian Hukum De Jure, Vol.16, (No.3), p.
309. https://doi.org/10.30641/dejure.2016.v16.
309-321

BUKU
Ali, M. (2020). Hukum Pidana Lingkungan. Depok:
Rajawali press.
Nurjaya, I. N. (2008). Pengelolaan Sumber Daya
Alam dalam Perspektif Antropologi Hukum.
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.

353

Anda mungkin juga menyukai