Anda di halaman 1dari 4

EVALUASI TENGAH SEMESTER

HUKUM OTONOMI DAERAH (C)


ANALISIS UU PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Disusun oleh :
Ryan Purnama Putra (1312000331)
ABSTRAK
Pada Juni 2020, Pemerintah Indonesia mengumumkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2020
tentang Perubahan atas Undang-Undang Pertambangan (“UU 3/2020”), mengubah beberapa
ketentuan dari Undang-Undang Pertambangan sebelumnya. UU 3/2020 ini dapat dilihat
sebagai upaya pemerintah untuk memberikan jawaban atas tantangan industri pertambangan
Indonesia antara lain perizinan usaha pertambangan, wilayah pertambangan, kegiatan
pengolahan dan pemurnian, serta kewajiban divestasi. Hal lain yang menjadi perhatian
industri pertambangan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir adalah bagaimana
Pemerintah Indonesia akan memberikan kepastian bagi kelangsungan perekonomian, sebagai
bentuk hak pertambangan yang lebih tua di Indonesia.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Saat ini, Amandemen UU Pertambangan Baru sedang dalam proses peninjauan kembali
secara yuridis oleh Mahkamah Konstitusi atas permohonan masyarakat sipil tertentu.
Pemohon mendesak agar tidak adanya pemeriksaan formalitas proses pengesahan perubahan
undang-undang oleh masyarakat, pemerintah daerah dan BUMN, sehingga melanggar prinsip
transparansi dalam proses legislasi. Meskipun demikian, Amandemen UU Minerba yang
Baru tetap berlaku. Perubahan kunci pertama dalam Amandemen UU Minerba yang Baru
adalah pergeseran ke sistem yang terpusat di mana Pemerintah Pusat sekarang diberikan
kewenangan tunggal oleh negara terhadap sektor pertambangan sedangkan kewenangan
Pemerintah Daerah di bidang pertambangan dicabut. Perubahan UU Pertambangan Baru juga
memberikan masa transisi enam bulan sejak tanggal berlakunya Perubahan UU
Pertambangan Baru untuk transisi kewenangan dari pemerintah provinsi ke Pemerintah Pusat.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, “bagaimana analisis adanya UU 3/2020 terkait
pertambangan di Indonesia?”

BAB II
PEMBAHASAN
Sebagai salah satu konsekuensi utama dari pergeseran tersebut, Pemerintah Pusat diberikan
kewenangan utama untuk menerbitkan izin usaha di bidang pertambangan. Izin usaha untuk
sektor pertambangan akan mencakup (i) Nomor Induk Berusaha (NIB), (ii) sertifikat standar
dan/atau (iii) izin pertambangan (misalnya, IUP).
UU 3/2020 tidak mengatur luas minimal kegiatan eksplorasi untuk Eksplorasi Mineral
Logam atau Eksplorasi Mineral Non Logam. Sebelumnya UU Pertambangan menetapkan
paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare untuk wilayah eksplorasi dalam WIUP Mineral
Logam dan paling sedikit 500 (lima ratus) hektare untuk WIUP Mineral Bukan Logam.
Penghentian wilayah minimal untuk kegiatan eksplorasi dapat dilihat sebagai upaya
Pemerintah untuk mendorong pelaku usaha pertambangan untuk lebih banyak melakukan
kegiatan eksplorasi guna menemukan potensi wilayah pertambangan baru di Indonesia.
UU Pertambangan sebelumnya menyebutkan bahwa Kontrak Karya (KK) dan Kontrak Karya
(PKB) Batubara yang ada harus disesuaikan dengan ketentuan dalam UU Pertambangan,
termasuk antara lain konversi KK dan PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus
( Izin Usaha Pertambangan Khusus). Di masa lalu, terdapat tantangan dalam proses konversi
ini terkait dengan jangka waktu dan luas areal yang akan diberikan IUPK konversi dari KK
atau PKP2B karena ketentuan dalam UU Pertambangan dan peraturan pelaksanaannya tidak
memberikan jaminan yang jelas.
Sebaliknya UU 3/2020 memuat ketentuan yang memberikan kepastian kepada pemegang KK
dan PKP2B tentang kelanjutan KK Berdasarkan undang-undang baru ini, pemegang KK
mendapatkan jaminan perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus sebagai
Kelanjutan Kontrak/Perjanjian. Kemungkinan jaminan lain yang diberikan UU 3/2020 adalah
bahwa izin tersebut dapat diberikan untuk seluruh wilayah dengan persetujuan Menteri
sebagai WIUPK untuk tahap kegiatan Operasi Produksi. Perubahan kunci pertama dalam
amandemen tersebut adalah dikukuhkannya pencabutan kewenangan pemerintah
kota/kabupaten untuk menerbitkan dan mengawasi izin pertambangan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Kewenangan penerbitan dan
pengawasan izin pertambangan kini hanya dimiliki oleh pemerintah pusat melalui Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral dengan mencabut kewenangan pemerintah provinsi.
Perubahan kunci pertama dalam Amandemen UU Pertambangan Baru adalah pergeseran ke
sistem terpusat di mana Pemerintah Pusat sekarang diberikan kewenangan tunggal oleh
negara dalam bidang pertambangan sedangkan kewenangan Pemerintah Daerah di bidang
pertambangan telah dicabut. Perubahan UU Pertambangan Baru juga memberikan masa
transisi enam bulan sejak tanggal berlakunya Perubahan UU Pertambangan Baru untuk
transisi kewenangan dari pemerintah provinsi ke Pemerintah Pusat.
Sebagai salah satu konsekuensi utama dari pergeseran tersebut, Pemerintah Pusat diberikan
kewenangan utama untuk menerbitkan izin usaha di bidang pertambangan. Izin usaha untuk
sektor pertambangan akan mencakup Nomor Induk Berusaha (NIB),sertifikat standar
dan/atau izin pertambangan. Setiap perusahaan pertambangan harus menyesuaikan izin
usahanya (sebagaimana relevan) untuk memenuhi persyaratan di atas selambat-lambatnya 2
(dua) tahun sejak tanggal berlakunya Perubahan Undang-Undang Pertambangan Baru.
Dengan demikian, amandemen tersebut berupaya untuk merampingkan proses yang sering
diidentifikasi sebagai hambatan birokrasi antara pemerintah daerah yang berbeda, termasuk
tumpang tindih wilayah pertambangan.
Secara terpisah, amandemen tersebut tampaknya lebih memberikan kepastian bagi calon
investor dan perusahaan pertambangan yang ada terhadap kelangsungan usaha karena
pemerintah kini menjamin: tidak akan ada amandemen atau perubahan fungsi yang ada pada
wilayah pertambangan yang telah ditentukan sebelumnya yang izinnya telah diterbitkan; dan
izin yang diperlukan untuk kegiatan usaha pertambangan akan diterbitkan, dengan ketentuan
perusahaan pertambangan telah memenuhi semua persyaratan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
Dari apa yang telah kami uraikan di atas, yang menjadi sorotan utama dalam UU 3/2020
adalah perubahan kewenangan sehingga pemerintah pusat ingin berperan besar dalam industri
pertambangan ke depan. dalam UU 3/2020 yang memberikan kejelasan lebih lanjut tentang
isu-isu yang menjadi perhatian industri bisnis pertambangan Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir. Hal ini secara khusus akan berdampak pada pemegang KK dan PKP2B, yang kini
memiliki kejelasan tentang bagaimana mereka dapat melanjutkan bisnis pertambangan
mereka di Indonesia. Namun, seperti banyak peraturan baru yang diundangkan di Indonesia,
peraturan pelaksanaan yang definitif untuk UU 3/2020 akan menjadi penting untuk
mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Balbir Bhasin dan Jennifer McKay, “Mining Law and Policy in Indonesia: Reforms of the
Contract of Work Model to Promote Foreign Direct Investment and Sustainibility”,
Australian Mining and Petroleum Law Journal Volume 21 Number 1 (April
2002):77– 94.
Marthen, B. (2019). Prinsip Hukum Pertambangan Mineral dan Batubara yang Berpihak
kepada Masyarakat Hukum Adat. Jurnal Konstitusi, Vol. 16, No. 1, 148-169.
Mezak, Meray Hendrik, “Pengaturan Hak Penguasaan Negara atas Pertambangan Studi
Perbandingan Konsepsi Kontrak Karya dengan Izin Usaha Pertambangan”, Law
Review Volume XI Nomor 1 Juli 2011: 21 – 36..
Yuking, Ana Sofa, “Kepastian Hukum dalam Undang-Undang Minerba”, Law Review
Volume XI Nomor 1 Juli 2011: 38 – 50
Kompas.com (2020). Undang-Undang Minerba Digugat ke MK, Ini Tiga Alasan penguji
Mengajukan Uji Materi. Diakses dari
https://nasional.kompas.com/read/2020/07/11/07405511/uu-minerba-digugat- ke-mk-
ini-tiga-alasan-penggugat-ajukan-uji-materi?page=all

Anda mungkin juga menyukai