Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang cukup signifikan, termasuk juga memperluas lapangan kerja, Indonesia sangat membutuhkan modal.1 Caranya antara lain menarik penanam modal (investor) untuk menanamkan modalnya atau berinvestasi. Salah satu kunci utama keberhasilan dalam menarik investor adalah adanya kepastian hukum.2 Dengan demikian, kepastian hukum itu merupakan masalah fundamental dalam penanaman modal (investasi). Dengan adanya kepastian hukum diharapkan investor memperoleh imbalan atau keuntungan (return) dalam beberapa tahun kemudian.3 Arti pentingnya kepastian hukum disadari oleh para pembuat UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal.4 Untuk itulah kepastian hukum dijadikan salah satu asas dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Asas kepastian hukum diartikan sebagai negara meletakkan

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6703/kwik-indonesia-jangan-bergantungkepada-investor-asing, 22 Oktober 2002; http://www.suaramerdeka.com/harian/0502/05/opi01.htm, Ditunggu Insentif Baru bagi Investor, Tajuk Rencana, Akses 5 Februari 2005. 2 Hulman Panjaitan & Anner Mengatur Sianipar, Hukum Penanaman Modal Asing, Indhillco, Jakarta, 2008, hlm. 10, 15 16. 3 http://www.tempointeraktif.com/hg/perbankan_keuangan/2009/11/09/brk,20091109207136,id.html, Tak Ada Kepastian Hukum, Investor Tak Mau Taruh Uang, Akses 9 November 2009. 4 Selanjutnya ditulis Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.5 Namun sayangnya, kepastian hukum hingga sekarang masih belum dibenahi dengan baik. Hal ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dalam berinvestasi, dan menyebabkan kurangnya iklim kondusif dalam berinvestasi, yang pada akhirnya justru sangat menghambat masuknya investasi.6 Hasil survei Bank Dunia terhadap 155 negara menunjukkan, iklim investasi di Indonesia tergolong paling buruk di antara negara-negara lain. Iklim investasi yang dimaksudkan mencakup stabilitas ekonomi makro, kepastian hukum, sistem perpajakan, regulasi, korupsi, ketersediaan sumber daya manusia (SDM) terampil, dan ketersediaan infrastruktur, misalnya listrik, jalan, pelabuhan, dan telekomunikasi. Untuk sekadar mendapatkan perizinan di Indonesia, pemodal harus menghabiskan waktu 224 hari. Biaya minimal yang dikeluarkan 364,9% dari PDB (Pendapatan Domestik Bruto) per kapita dan modal minimum yang dihabiskan 97,8% dari PDB per kapita.7 Khusus di bidang usaha pertambangan, ketidakpastian hukum berinvestasi tersebut semakin bertambah komplek pada masa otonomi daerah. Apabila dipetakan, masalah dalam pelaksanaan otonomi daerah berkaitan dengan bidang energi dan sumber daya mineral meliputi:8

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. http://indonesiafile.com/content/view/857/61/, Mengkaji Iklim Investasi dan Kepastian Hukum di Daerah, Akses 13 Februari 2009. 7 Ibid. 8 Irwandy Arif, Kepastian Hukum Sektor Pertambangan? http://www.korantempo.com/korantempo/email/2008/06/14/Opini/krn.20080614.133722.id.html, Akses 1 November 2009. Namun demikian ada beberapa daerah yang mengungkapkan bahwa otonomi daerah tidak menghambat masuknya investasi lokal maupun asing. Lihat
6

1. kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten atau kota, 2. tumpang-tindih lahan pertambangan dengan kegiatan sektor kehutanan, royalti, dan revenue sharing antara pusat dan daerah, 3. permintaan daerah untuk dapat menerima secara langsung royalti dari perusahan pertambangan, 4. keterbatasan akses daerah atas data produksi dan potensi energi dan sumber daya mineral, 5. peraturan perundang-undangan yang ada belum memadai serta adanya peraturan yang saling bertentangan dan tumpang-tindih, 6. perizinan baru yang tumpang-tindih dengan perizinan yang sebelumnya, 7. kesulitan teknis untuk mengeluarkan perizinan, khususnya Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B),9 dan 8. persoalan yang terkait dengan program pengembangan masyarakat (community development). Dalam kerangka otonomi daerah, pemimpin daerah seringkali mengabaikan kontrak atau perjanjian yang telah disepakati oleh pihak kontraktor pertambangan dengan pemerintah pusat. Masalah lain dalam era otonomi daerah adalah selama ini ada kesimpangsiuran proses perizinan baik pada tingkat pemerintah pusat maupun daerah. Seringkali, izin yang sudah

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol6185/tidak-benar-otonomi-daerah-hambat-investasi, 07 August 2002. 9 Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara KK dan PKP2B diganti dengan rezim perizinan.

diperoleh investor dari pemerintah pusat, secara tiba-tiba dibatalkan begitu saja oleh pemerintah daerah.10 Investor batubara dan pertambangan mineral menunggu waktu yang cukup lama untuk melakukan investasi di Indonesia. Sementara menunggu, para penanam modal berinvestasi di tempat lain terlebih dahulu dan hal ini sebenarnya sangat merugikan Indonesia. Pada dasarnya, permasalahan ini sudah lama menjadi kendala utama dalam bidang pertambangan di Indonesia. Namun pemerintah tidak segera menyelesaikannya, sehingga menyebabkan permasalahan ini semakin berlarut-larut.11 Akibat kondisi tersebut, rencana investasi, baik untuk proyek baru maupun proyek perluasan oleh perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia mengalami penundaan. Beberapa rencana investasi yang mengalami penundaan antara lain pengembangan tambang timbal (lead) dan seng di Sumatera Utara milik PT Dairi Prima Mineral, karena terganjal izin pertambangan di areal hutan lindung, proyek nikel Lasamphala PT Rio Tinto Indonesia di Sulawesi Utara, dan masalah divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara.12 Masalah pungutan biaya merupakan masalah klasik. Adanya pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, menimbulkan terjadinya tarik menarik pembagian rejeki atas bagian

http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=15756&cl=Berita, Sistem Kontrak Karya Pertambangan Umum akan Diubah RUU Minerba, Akses 20 November 2006. 11 Daniri, Menunggu Dukungan Kepastian Hukum? http://www.madaniri.com/2008/08/05/menunggu-dukungan-kepastian-hukum/, Akses 24 Desember 2009. 12 http://web.pab-indonesia.com/content/view/19377/9/, Sektor Pertambangan Butuh Kepastian Hukum, Akses 22 Oktober 2008, 21:30 wib.

10

pemerintah yang diperoleh dari Kontraktor Pertambangan Umum antara Bupati, Gubernur dan Pemerintahan Pusat, sebagaimana ditetapkan dan ditentukan oleh Kontrak Karya dan sebagai implementasi community development.13 Pemerintah Pusat dengan dalih pemasukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dan mewujudkan tanggung jawab publik, serta melaksanakan amanah untuk mensejahterakan rakyat sesuai Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945, berkepentingan akan adanya kepastian revenue atau pemasukan dari bagian pemerintah (government take) atas hasil dari produk pertambangan baik dari pajak, royalti, deadrent (iuran tetap) atau iuran produksi, maupun pajak dari perusahaan jasa pertambangan umum terkait. Sementara itu, Pemerintah Daerah dengan

alasan Pendapatan Asli Pemerintah Daerah (PAD), maka pajak dan berbagai kewajiban lain yang dibebankan kepada perusahaan kontraktor pertambangan, meskipun dibayarkan kepada Pemerintah Pusat, namun terdapat pajak daerah dari penghasilan karyawan dan kontraktor lokal.14 Kebijakan otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat Dan Daerah, yang dimaknai sebagai desentralisasi kekuasaan, telah mendorong daerah-daerah mengandalkan sumber daya alam sebagai sumber PAD, sehingga maraklah beragam

13 Agung Supomo Suleiman, Konsep Hukum Pertambangan Umum dan Mineral di Indonesia, http://agungssuleiman.wordpress.com/2009/09/09/konsep-hukum-pertambanganumum-dan-mineral-di-indonesia/, Akses 26 Desember 2009. 14 Ibid.

peraturan daerah dan kebijakan pemberian izin oleh kepala daerah kepada beragam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan oleh investor.15 Menelisik permasalahan tumpang-tindih lahan di era otonomi daerah, pangkal permasalahan berawal dari penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001. Peraturan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan tersebut disusun untuk mewujudkan komitmen pemerintah dalam melaksanakan desentralisasi di sektor pertambangan. Akan tetapi, peraturan pemerintah yang bersifat desentralistik tersebut tidak sejalan dengan Undang-Undang Pertambangan yang bersifat sentralistik. Kontradiksi itulah yang menyebabkan ketidakpastian hukum tidak hanya bagi investor prospective, tapi juga bagi investor existing. Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 tanpa dibarengi dengan penyusunan perangkat undangundang dari sektor terkait lainnya memberikan ruang diskresi bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang bersifat sempit dan jangka pendek.16 Dalam beberapa media massa disebutkan Gubernur Sulawesi Tenggara H Nur Alam, Juni 2008 mengajukan sejumlah syarat untuk perpanjangan Cooperation Resource Agreement (CRA) antara PT Inco dan PT Aneka
15

Solly Lubis, Masalah-masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Makalah Seminar Hukum Nasional VIII: Penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 14 18 Juli 2003, hlm. 5, 7, dan 15. Lihat juga Umar S. Tarmansyah, Dampak Negatif Otonomi Daerah dan Peran Dephan dalam Pendayagunaan Sumber Daya Nasional untuk Kepentingan Pertahanan Negara, Suatu Tinjauan Analisis Makro tentang Implementasi Fungsi Pembinaan dan Pendayagunaan Sumber Daya Alam, http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?mnorutisi=4&vnomor=14, Akses 10 Januari 2010. 16 Ibid. Lihat pula http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20797&cl=Berita, UU Minerba, Terlalu Dini Disahkan, Akses 24 Desember 2008.

Tambang, yakni penciutan wilayah konsesi Inco dari 64.000 hektare menjadi 10.000 hektare. Inco diminta meningkatkan kontribusi sehingga mendekati kontribusi PT Aneka Tambang, dan harus membangun pabrik pengolahannya di Pomalaa.17 Kasus tumpang tindihnya lahan dialami oleh Rio Tinto, yang akan mengolah nikel di lokasi tambang Lasamphala yang terletak di dua kabupaten, yakni Morowali (Sulawesi Tengah) dan Konawe (Sulawesi Tenggara). Perusahaan ini sejak tahun 2000 telah mendapat izin prinsip konsesi tambang dari Pemerintah Pusat, namun Pemerintah Daerah mengeluarkan Kuasa Pertambangan (KP) di wilayah yang sama kepada perusahaan lain. Padahal untuk proyek ini, Rio Tinto telah menyiapkan dana hingga US$ 1 miliar untuk mengembangkan kawasan tambang tersebut. Kasusnya ini sedang diselesaikan melalui pengadilan.18 Berbagai keluhan itu muncul dan umumnya dialami oleh perusahaan tambang berskala besar.19 Kasus lainnya berkaitan dengan tumpang-tindih lahan dialami oleh PT Tambang Batu Bara Bukit Asam Tbk. (PTBA), PT Aneka Tambang Tbk., PT Inco Tbk., dan PT Rio Tinto Indonesia merupakan kasus-kasus terkini yang timbul akibat interpretasi peraturan dan ketiadaan pengaturan yang jelas. Gugatan dilakukan PTBA atas keputusan Bupati Lahat dalam menerbitkan KP

http://web.pab-indonesia.com/content/view/19377/9/, loc. cit. Ibid. 19 Namun, suatu kenyataan bahwa kini cukup banyak perusahaan asing berskala kecil dan menengah yang bergerak di sektor pertambangan di Indonesia maupun yang akan memulai beroperasi, dan jumlahnya lebih dari 250 investasi. Hal ini merupakan kecenderungan (trend) global, yaitu adanya pergeseran dominasi dari perusahaan besar ke perusahaan berskala kecil.
18

17

lain di atas lahan PTBA ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).20 Putusan Mahkamah Agung menguatkan putusan PTUN yang menolak gugatan PTBA memberikan inspirasi bagi pemerintah di daerah penghasil sumber daya alam mineral lainnya dalam mengexercise kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah. Sudah lazim didengar adanya penerbitan KP di atas KP lainnya. Bahkan di wilayah pemegang Kontrak Karya (KK) atau PKP2B. Upaya Rio Tinto mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas kebijakan Bupati Morowali semakin mempertegas carut-marut pengelolaan sektor pertambangan di daerah.21 Ketidakpastian juga dapat dilihat dari kondisi di lapangan yang dihadapi oleh investor yang berbeda dengan beberapa KP, misalnya di atas wilayah yang diberikan kepada Rio Tinto. Bahkan masalah ini dimediasi oleh kantor Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, mengingat hal itu melibatkan lebih dari satu kementerian, yaitu Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dan Departemen Dalam Negeri.22 Kini dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, diperkenalkan Izin Usaha

Pertambangan (IUP) di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan tidak dipergunakan lagi Kontrak Karya bagi Investor Pertambangan Umum yang mengajukan Izin Usaha Pertambangan Umum. Dengan demikian, konsep dasar pemberian hak untuk melakukan kegiatan Pertambangan Umum yang 30

Irwandy Arif, loc. cit. Ibid. 22 Ibid. Lihat pula http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=21876&cl=Berita, Ini Dia Kisi-Kisi RPP Minerba, Akses 1 Mei 2009.
21

20

tahun lalu adalah melalui perjanjian, dengan adanya Undang-Undang yang baru ini, akan dirubah berbentuk Pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP).23 Selain Izin Usaha Pertambangan di atas, terdapat juga beberapa izin lain, yaitu: 1. Izin Pertambangan Rakyat (IPR). IPR adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas, untuk melakukan aktivitas pertambangan di Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), dan 2. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melaksanakan aktivitas kegiatan pertambangan di WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus) Pemberian Izin dari Kuasa Pertambangan berkaitan dengan Kuasa Pertambangan, yang dibedakan berdasarkan jenis bahan mineral serta luasnya lahan maupun kapasitas kemampuan finansial dari pihak kontraktor (Badan Usaha dan atau BUMN atau BUMD, koperasi maupun perorangan) yang akan melakukan kegiatan pertambangannya. Hal yang menarik untuk ditelusuri adalah Instansi Pemerintah mana yang berhak untuk mengeluarkan izin Kuasa Pertambahangan tersebut, memperpanjangnya, memonitor, meminta laporan berkala, dan mencabut izinnya, karena jaminan kestabilan investasi dengan sistem perizinan termasuk hal yang menjadi perhatian utama investor.24 Hal itu mengingat bahwa jika pemerintah tidak mampu menciptakan iklim kondusif bagi investasi pertambangan, maka investor akan enggan
23 24

Ibid. Agung Supomo Suleiman, loc. cit.

10

berinvestasi di sektor pertambangan di Indonesia. Selanjutnya apakah masalah tarik menarik antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan dapat terpecahkan, jika dikaitkan dengan otonomi daerah?25

B. Rumusan Masalah Masalah yang dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini adalah: 1. Apa saja kendala penanaman modal di bidang usaha pertambangan di Indonesia yang menimbulkan ketidakpastian hukum? 2. Bagaimana penyelesaian atas ketidakpastian hukum dalam penanaman modal di bidang usaha pertambangan di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk menganalisis kendala penanaman modal di bidang usaha pertambangan di Indonesia yang menimbulkan ketidakpastian hukum. 2. Untuk mengkaji penyelesaian atas ketidakpastian hukum dalam

penanaman modal di bidang usaha pertambangan di Indonesia.

D. Telaah Pustaka Istilah penanaman modal dapat disepadankan dengan investasi. Kata investasi atau investment ini mempunyai padanan kata dalam beberapa bahasa, yaitu investering (Belanda), investissement (Prancis), investition (Jerman),
http://www.antara.co.id/arc/2007/8/7/pemerintah-harus-selesaikan-konflik-investasipertambangan/, Pemerintah Harus Selesaikan Konflik Investasi Pertambangan? Ekonomi & Bisnis, Akses 26 Desember 2009.
25

11

investimento (Italia), investimento (Portugis), dan inversin (Spanyol).26 Komaruddin memberikan rumusan investasi atas dasar aspek ekonomi, yang memandang investasi sebagai salah satu faktor produksi disamping faktor produksi lainnya, ke dalam tiga arti, yaitu:27 1. suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi atau penyertaan lainnya. 2. suatu tindakan membeli barang-barang modal.

3. pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan pendapatan di masa yang akan datang. Sementara itu Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 menyebutkan penanaman modal sebagai segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia.28 Berdasarkan pengertian itu, penanaman modal dibagi menjadi dua yaitu penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing.29 Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dari negeri dengan menggunakan modal dalam negeri. Menurut Rai Widjaya penanaman modal dalam negeri adalah penggunaan kekayaan baik secara langsung maupun tidak

26

http://duniabahasa.multiply.com/journal, Belajar Bahasa Yuk, Akses 20 Agustus

2008. Hulman Panjaitan, op. cit., 2003, hlm. 28. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 yang telah ditandatangani oleh presiden tanggal 26 April 2007 menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Lihat Erman Rajagukguk, Hukum Investasi di Indonesia, Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 41. 29 Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
28 27

12

langsung untuk menjalankan usaha menurut atau berdasarkan ketentuan Undang-Undang Penanaman Modal.30 Selanjutnya, penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.31 Penanam modal asing adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.32 Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dasar penanaman modal, yaitu dengan tujuan untuk:33 1. mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan 2. mempercepat peningkatan penanaman modal. Dalam menetapkan kebijakan tersebut, maka pemerintah:34 1. Memberikan perlakuan yang sama bagi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Perlakuan yang sama artinya Pemerintah tidak membedakan perlakuan terhadap penanam modal yang telah menanamkan modalnya di Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang30 31

Rai Widjaya, Penanaman Modal, Pradnya Paramita, 2000, hlm. 23. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. 32 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. 33 Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. 34 Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

13

undangan. Prinsip ini diangkat dari prinsip yang dianut dalam Trade Related Investment Measures sebagai isu baru (new issue) dalam World Trade Organization (WTO) yaitu tidak membedakan modal asing dan modal dalam negeri yang telah berusaha di suatu negara. 2. Kebijakan dasar penanaman modal mencakup jaminan kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanaman modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 3. Selanjutnya, kebijakan dasar penanaman modal termasuk pula membuka kesempatan bagi perkembangan dan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, dan menengah, dan koperasi. Kebijakan dasar tersebut akan diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal. Pemerintah Indonesia mengimplementasikan ketentuan pemerintah memberikan perlakuan yang sama dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara mana pun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan kententuan peraturan perundang-undangan.35 Ketentuan ini diangkat dari prinsip WTO, yaitu the Most Favored Nations atau MFN. Artinya, sesuatu ketentuan yang

diperlakukan kepada suatu negara harus diperlakukan pula kepada semua negara anggota WTO. Ketentuan ini juga untuk menegakkan prinsip non diskriminasi yang dianut oleh WTO. Namun, perlakuan tersebut tidak berlaku

35

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

14

bagi penanaman modal dari suatu negara yang memperoleh hak istimewa berdasarkan perjanjian dengan Indonesia.36 Setiap penanam modal berhak mendapatkan kepastian hak, hukum, dan perlindungan, informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang di jalankannya, hak pelayanan, dan berbagai bentuk fasilitas kemudahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.37 Kepastian hak adalah jaminan pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban yang di tentukan. Selanjutnya kepastian hukum adalah jaminan Pemerintah untuk menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama daslam setiap tindakan dan kebijakan bagi penanam modal. Sedangkan keapstian perlindungan adalah jaminan pemerintah bagi penanaman modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal.38 Setiap penanam modal berkewajiban untuk menerapkan prinsip tata kelola yang baik, melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan,39 membuat laporan tentang kegiatan penanaman modal dan menyampaikannnya kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal, menghormati tradisi budaya

masayarakat sekitar lokasi kegiatan usaha penanaman modal dan mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.40

Erman Rajagukguk, op. cit., hlm 46. Pasal 14 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. 38 Penjelasan Pasal 14 huruf a Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. 39 Penjelasan Pasal 15 huruf b menyatakan tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. 40 Pasal 15 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.
37

36

15

Selanjutnya tanggung jawab penanam modal adalah: 1. menjamin tersedianya modal yang berasal dari sumber yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, 2. menanggung dan menyelesaikan segala kewajibannya dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan usahanya secara sepihak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan, 3. menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, dan hal lain yang merugikan negara, 4. menajga kelestarian lingkungan hidup, 5. menciptakan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kesejahteraan pekerja, dan 6. mematuhi semua ketentuan peraturan perundang-undangan.41 Penanam modal yang mengusahakan sumber daya alam yang tidak terbarukan (unreneable natural resources) wajib mengalokasikan dana secara bertahap untuk pemulihan lokasi yang memenuhi standar kelayakan lingkungan hidup, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.42 Kewajiban ini dimaksudkan untuk

mengantisipasi kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penanaman modal.43 Untuk itu, perlu kiranya mengetahui apa saja golongan atau kriteria penanaman modal khususnya tentang pertambangan, karena penggolongan
41 42

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007. 43 Penjelasan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.

16

bahan galian akan terkait dengan pelaksana penguasaan Negara dan pengaturan pengusahaan serta siapa atau badan apa yang berhak untuk mengusahakannya. Namun sebenarnya membahas tentang dasar penggolongan bahan-bahan galian, terlebih dahulu dipahami pengertian dan

karakteristiknya.44 Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.45 Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.46 Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.47 Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. Penguasaan mineral dan batubara oleh negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau pemerintah daerah.48 Untuk itu baik Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten maupun Kota masing-masing memiliki

Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 85. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. 46 Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. 47 Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. 48 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.
45

44

17

kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 sampai 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk:49 1. Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.50 2. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas,51 dan 3. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus. 52

E. Metode Penelitian 1. Fokus Penelitian a. ketidakpastian hukum. b. penanaman modal. c. usaha pertambangan. 2. Sumber Data Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu bahan hukum yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang berupa bahan-bahan hukum yang terdiri dari:53

49 50

Pasal 35 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. 51 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009. 52 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

18

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari: 1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Penanaman Modal. 2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literatur, makalah, artikel, hasil penelitian, dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. c. Bahan Hukum Tertier, yaitu yaitu bahan hukum yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari: 1) Kamus Hukum 2) Kamus Inggris Indonesia 3) Ensiklopedia 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu mempelajari, mengkaji dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang berupa bahan hukum hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. 4. Metode Pendekatan

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm. 13.

53

19

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu menganalisis permasalahan dari sudut pandang atau menurut ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku. 5. Analisis Bahan Hukum Metode analisis bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian. b. Hasil klasifikasi selanjutnya disistematisasikan. c. Bahan hukum yang telah disistematisasikan selanjutnya dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.

F. Kerangka Penulisan Bab I adalah pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, dan kerangka penulisan. Bab II adalah tinjauan umum penanaman modal dan hukum pertambangan. Bab ini dimulai dengan pembahasan penanaman modal yang berisi bentuk badan usaha dan kedudukan hukumnya, perlakuan terhadap penanaman modal, bidang usaha, hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanaman modal, serta fasilitas penanaman modal. Pembahasan selanjutnya

20

tentang hukum pertambangan, yaitu pengertian pertambangan, penguasaan mineral dan batu bara, kewenangan pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, wilayah pertambangan, usaha pertambangan. Bab III adalah kepastian hukum penanaman modal di bidang usaha pertambangan. Bab ini diawali dengan pembahasan kendala penanaman modal di bidang usaha pertambangan di Indonesia yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Pembahasan di lanjutkan dengan penyelesaian atas ketidakpastian hukum dalam penanaman modal di bidang usaha pertambangan di Indonesia. Akhirnya bab IV adalah penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.

Anda mungkin juga menyukai